Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 13

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 13


untuk menghadapi serangan empat penjuru, karena itulah
ilmu pukulan ini disebut Su-peng-kun atau ilmu pukulan empat
datar. Biarpun sederhana dan umum, namun sebuah jurus Su-peng-kun
yang begitu sederhana tanpa keanehan itu justu berhasil
memunahkan daya pengaruh pukulan toya baja yang dilancarkan
Wan-tin. Begitu melihat pihak lawan mengeluarkan ilmu pukulan Su-pengkun,
Wan-tin segera mengerti maksud hatinya, dalam hati diapun
berpikir, "Dia sengaja menggunakan ilmu pukulan yang paling
sederhana dan umum untuk memunahkan seranganku, jelas dia
tidak berniat membiarkan aku dapat mengetahui asal usul
perguruannya. Tapi sudah banyak tahun aku pelajari pelbagai ilmu
sakti dari biara Siau-lim, kalau sampai untuk menandingi ilmu
pukulan Su-peng-kun pun tidak mampu, kelihatan sekali kalau aku
sama sekali tidak becus."
Bagaimana pun dia adalah ketua dari delapan belas Lohan,
sedikit banyak rasa ingin menang masih berkecamuk dalam hatinya,
maka dengan gerakan Kua-hau-teng-san (menunggang harimau
mendaki gunung) sepasang kepalannya saling berhadapan
membentuk satu bunga lingkaran lalu dengan jurus Ui-eng-lok-ka
(Burung nuri hinggap ditiang) dari Sin-hua-siau-lim dia melancarkan
sebuah serangan. Sin-huan-siau-lim merupakan jenis ilmu pukulan yang paling
dalam perubahannya diantara tiga belas jenis ilmu pukulan lainnya
dalam Siau-lim, lingkaran yang dilakukan tangan kirinya seketika
mengurung seluruh tubuh Hwee-ko, sementara kepalan kanannya
dengan membuat gerakan busur dilontarkan ke muka.
Jika pukulan ini sampai bersarang telak, niscaya tulang rusuk
Hwee-ko akan patah beberapa kerat.
Diam-diam Lan Giok-keng bermandikan keringat dingin, hampir
saja dia menjerit tertahan saking kagetnya, masih untung dia tidak
sampai berteriak karena saat itulah terdengar Hwee-ko berbatuk
dua kali, sepasang kepalannya kiri dan kanan mulai menghantam ke
depan, jurus yang digunakan pun masih dari ilmu pukulan Su-pengTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
kun-hoat yang disebut Yo-yu-kay-kiong (kiri kanan membentang
gendawa). Kembali daya penghancur pukulan Wan-tin terbendung oleh
bentangan kepalan lawan ini, banyak jurus rumit yang ampuh jadi
susah dikembangkan lagi. Begitulah, ilmu Sin-hua-siau-lim yang tangguh dan ganas, sekali
lagi berhasil dipunahkan secara mudah dan gampang.
Tong-sian Sangjin kembali berseru memuji, "Memang tidak
gampang untuk mencapai tingkatan berat, lambat dan luas. Hweeko,
kau memang sudah mendekati. Aaaai, hanya sayang.... hanya
sayang...." Sayang apa" Dia tidak melanjutkan, malah kali ini dia memuji ke
arah Wan-tin, "Kungfu hebat!"
Ternyata Wan-tin telah berganti gerak serangan, kali ini dia
mengancam dengan ilmu jari.
Terlihat ke dua jari tangannya bagaikan sebatang tombak
menusuk ke depan, langkahnya sempoyongan bagaikan lelaki
mabok, tusukan dan totokan dilancarkan tidak beraturan, namun
kecepatan dan kehebatannya bagaikan angin puyuh hujan badai.
Lan Giok-keng sangat keheranan, pikirnya, "Ilmu totok jalan
darah macam apakah ini" Kepandaian silat apa pula yang dia
gunakan?" Ternyata ilmu yang digunakan Wan-tin bukanlah ilmu jari,
melainkan salah satu diantara beberapa ilmu tingkat tinggi dari biara
Siau-lim, ilmu pedang Tat-mo-kiam.
Wan-tin dengan jari tangan menggantikan pedang, tenaganya
menembusi hingga ke ujung jari, setiap menotok, menusuk atau
membabat, hampir semuanya disertai desingan angin tajam.
Lan Giok-keng bersembunyi di sudut ruangan sambil mengikuti
jalannya pertarungan, biarpun tidak melihat ada cahaya pedang
namun dia dapat merasakan hawa pedang yang sedang menyambar
dalam gedung Toa-hiong-poo-tian.
Hwee-ko terbatuk berulang kali, dia seperti tidak kuat menahan
datangnya ancaman, tubuhnya mundur sejauh satu jengkal lebih.
Mendadak terlihat selapis awan gelap menyeli-muti seluruh
tubuhnya, ternyata dia telah melepaskan jubah Ihasa berwarna
hitamnya dan diputar sebagai tameng.
Perlu diketahui, ilmu silat yang dimiliki mereka berdua boleh
dibilang hampir seimbang, oleh sebab itu setelah Wan-tin
mengeluarkan ilmu pedang Tat-mo-sin-kiam yang terhitung ilmu
sakti dari biara Siau-lim, tidak mungkin lagi baginya untuk
memunahkan datangnya ancaman dengan memakai jurus serangan
biasa. Di antara ayunan jubah lhasa terasa desingan angin kuat
menyelimuti selumh ruangan, Lan Giok-keng yang bersembunyi di
sudut ruangan segera merasakan napasnya jadi sesak dan kurang
leluasa. Mendadak terdengar Tong-sian Sangjin berbisik, "Barang siapa
keras kepala, dia akan terperosok di bawah angin. Kalau tujuannya
untuk mencari tahu sumber, buat apa memburu rasa ingin
menang!" Waktu itu sebetulnya tanpa disadari rasa ingin menang di hati
Wan-tin telah menguasai benaknya, itulah sebabnya dia merangsek
terus dengan sepenuh tenaga.
Namun sesudah mendengar ucapan dari sang ketua, perasaan
hatinya jadi terkesiap, segera pikirnya, "Aaah benar juga, kalau
keadaan diteruskan dengan cara begini, aku tidak bakalan bisa
memperoleh hasil yang diinginkan, daripada tiada hasil mendingan
kalau bisa diperoleh jawaban."
Ternyata walaupun dia sudah mengubah dengan beberapa
macam ilmu sakti biara Siau-lim, namun tidak pernah berhasil
memperoleh jawaban atas asal usul ilmu silat Hwee-ko, hanya satu
yang diketahuinya dengan pasti yakni ilmu silat yang dimiliki HweeTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
ko memang setingkat di atas kemampuannya.
Hwee-ko menjumpai di atas jubah lhasa kunonya telah muncul
tujuh delapan buah lubang kecil yang tersebar dimana-mana, sambil
menggulung kembali jubah itu, ujarnya, "Ilmu pedang yang suheng
miliki benar-benar luar biasa, kagum, kagum!"
Ternyata lubang lubang kecil itu ditembusi oleh kekuatan jari
tangan Wan-tin, besar kecilnya sama persis seperti lubang bekas
tusukan ujung pedang. "Mau ilmu pukulan, ilmu telapak tangan ataupun ilmu pedang,
selama ada 'ilmu' maka dia akan berada di bawah angin, mana
mungkin bisa menandingi sistim mu yang tidak terikat, bergerak
tanpa aturan?" ujar Wan-tin, "Hwee-ko suheng, kau sama sekali
tidak menggunakan ilmu dari perguruan kami, hal ini sudah sangat
memberi muka kepadaku, maaf kalau tidak akan mengantar lebih
jauh lagi, silahkan!"
Semua yang dikatakan bukanlah kata-kata sungkan, namun
masih mengandung arti lain, dia seperti menerangkan kalau Hweeko
sama sekali tidak mencuri ilmu silat dari Siau-lim-pay, dan hal itu
merupakan tujuannya melakukan pengujian.
Namun 'jawaban' yang diperoleh hanya sebatas pada jurus
serangan saja, sedang mengenai tenaga dalam, apakah Hwee-ko
pernah mempelajari Sim-hoat tenaga dalam aliran Siau-lim-pay atau
tidak, dia belum bisa memperoleh kepastian.
Mendadak Tong-sian Sangjin mengangkat tangan kanannya
sambil meraih ke tengah udara, tahu-tahu jubah lhasa yang berada
di tangan Hwee-ko telah berpindah ke tangannya.
Inilah ilmu Ki-liong-jiu-hoat (ilmu menangkap naga), salah satu
ilmu sakti dari biara Siau-lim.
Lan Giok-keng merasa terkagum-kagum menyaksi kan hal itu,
untuk sesaat dia sampai berdiri terbelalak dengan mulut melongo.
Wan-tin terlebih kaget lagi, pikirnya, "Rupanya aku sudah
terjangkit penyakit rakus terhadap kepandaian sakti perguruan kita,
padahal asal salah satu saja bisa dilatih sesempurna apa yang
dilakukan Hong-tiang, kemampuan itu sudah cukup bagiku untuk
memanfaatkannya sepanjang masa. Aaai, untuk bisa mencapai
tingkat kesempurnaan semacam itu, entah berapa lama aku baru
dapat mencapainya?" Setelah menerima kembali jubah lhasanya, dengan lantang Tongsian
Sangjin berkata, "Setelah melepaskan jubah lhasa, kau telah
kem-bali pada asal mulamu, Hwee-ko, kau sudah boleh pergi."
"Terima kasih atas petunjuk Hong-tiang, terima kasih juga
kepada Wan-tin suheng yang telah mengantar kepergianku," ucap
Hwee-ko. Selesai berkata, diapun segera beranjak keluar dari gedung Toahiong-
po-tian. Tong-sian Sangjin maupun Wan-tin tidak ikut bergeser dari posisi
semula, sementara Lan Giok-keng segera mengikuti di samping
Hwee-ko meninggalkan pintu biara.
"Kionghi Cianpwee, kau telah berhasil melampuai pintu pertama,"
bisiknya lirih, "apakah di depan sana masih ada orang lain yang
akan mengantar kepergianmu lagi?"
Teka teki itu segera terjawab.
Tidak lama setelah meninggalkan ruang gedung Toa-hiong-potian
menuju ke arah puncak Ngo-ji-hong, tibalah mereka di sebuah
tempat yang bernama Pi-lu-kek, tempat ini merupakan salah satu
tempat pesiar yang tersohor dalam biara Siau-lim, dalam gedung
tersebut terdapat lukisan yang menggambarkan lima ratus orang
Lohan, konon merupakan hasil karya Go Too-cu, seorang pelukis
kenamaan dari ahala Tong.
Setelah melewati gedung Pi-lu-kek terdapat sebuah pintu
gunung, di bawah pintu terdapat sebuah dinding batu yang berkilat
bagai cermin, dinding batu ini jauh lebih tersohor, konon merupakan
batu dinding yang digunakan Tat-mo couwsu ketika menghadap
dinding selama sembilan tahun.
Karena itulah dinding batu itu disebut Bin-pit-sik (Menghadap
batu dinding). Konon di atas dinding batu itu secara lamat-lamat
masih dapat dilihat bayangan wajah Tat-mo couwsu, kendatipun
kejadiannya telah berlangsung hampir seribu tahun lebih.
Sepanjang perjalanan Hwee-ko tiada hentinya mengisahkan
cerita tentang dinding Tat mo itu, baru saja mereka mempercepat
langkahnya untuk menyaksikan bayangan yang konon masih
tertinggal di atas dinding, tiba-tiba terlihat di bawah dinding
terdapat dua buah kasur semedi, salah satu diantaranya ditempati
seorang pendeta tua. Dengan perasaan ingin tahu Lan Giok-keng pun berpikir, "Kenapa
hweesio tua ini bukannya duduk bersemedi di dalam kamarnya,
malahan duduk di tempat ini, masa dia sedang menirukan laku
Tatmo Couwsu" Tapi kalau dia bukan berasal dari posisi yang tinggi,
rasanya tidak nanti berani duduk menghadap dinding di tempat ini."
Lamat-lamat Lan Giok-keng pun merasa kalau bayangan
punggung orang itu seperti amat dikenalnya.
Sementara dia masih berpikir, pendeta itu sudah membalikkan
tubuhnya, kali ini dia tidak lagi menghadap ke dinding melainkan
menghadap ke arah mereka.
Ternyata orang ini tidak lain adalah ketua Tianglo dari ruang Tatmo,
Pun-bu Thaysu. Terdengar Pun-bu Thaysu berkata, "Aku mendapat perintah dari
Hong-tiang untuk mengantar kepergianmu, sudah cukup lama aku
menanti kedatanganmu disini. Bila ingin turun gunung, kau harus
duduk sebentar di bantal semedi itu."
"Tecu tidak berani!" seru Hwee-ko tercekat.
"Bodhi sebenarnya tidak berpohon, cermin sebenar nya tidak
berkaki. Sudah begitu lama kau hidup dalam lingkungan Buddha,
mengapa harus bersikukuh dengan wajah manusia, wajahku" Tatmo
Couwsu bisa, kau bisa juga aku, mengertikah?"
Sebagaimana diketahui, ajaran Buddha mengutamakan
kehidupan setara diantara umat manusia, empat penjuru adalah
kosong, tapi kali ini Hwee-ko tidak berani duduk bersanding dengan
ketua ruang Tat-mo, hal ini dikarenakan dalam pikirannya masih
tersisip perasaan, perasaan menghormat orang lain, perasaan
rendah diri. Oleh karena itu dia berada di posisi bawah angin.
"Terima kasih atas petunjuk ketua," kata Hwee-ko perlahan.
"Duduk bersemedi merupakan pelajaran dasar umat Buddha,
biarpun kau tidak berada dalam biara, kaupun bukan anggota
perguruan Buddha, maka sebelum pergi meninggalkan tempat ini,
aku perlu menguji kemampuanmu duduk bersemedi. Asal kau bisa
duduk diatas kasur itu dengan tenang, terlepas betapa banyaknya
liku-liku perjalanan di dunia, kau pun bisa berjalan dengan tenang."
Seakan memahami akan sesuatu, Hwee-ko segera merangkap
tangannya di depan dada seraya berkata, "Kasur semedi bukan
dibawa oleh couwsu, dimana pun tiada kasur semedi. Bila tidak
duduk di kasur itu, darimana datangnya kebebasan?"
Sambil berkata dia segera duduk diatas kasur tersebut.
Pun-bu Thaysu mengeluarkan seuntai tasbeh, biji tasbeh terdiri
dari seratus delapan butir yang dirangkai menjadi satu dengan
seutas benang, bila ditarik lurus, panjangnya menjadi tujuh depa
(kurang lebih 2 meter). Pun-bu Thaysu menekuk tasbeh itu menjadi sebuah lingkaran
yang terbagi jadi atas dan bawah, dia minta Hwee-ko memegang
ujung yang satu sambil berkata, "Dapatkah kau membaca doa?"
"Tecu tidak dapat membaca doa."
"Baiklah, kalau begitu kau baca satu kali O-mi-to-hud sambil
menarik sebutir biji tasbeh, begitu juga dengan aku. Ketika semua
biji tasbehmu sudah beralih ke atas sementara biji tasbeh ku beralih
ke bawah, maka pelajaran dianggap selesai."
Kedua orang itu sama-sama duduk bersila diatas kasur semedi,
muka berhadapan dengan muka, mata saling berpejam namun jari
tangannya bergerak tanpa berhenti.
Tidak lama kemudian Hwee-ko telah memindahkan sebutir biji
tasbeh ke arah atas, sedang Pun-bu menggerakkan sebutir biji
tasbeh ke arah bawah, gerakan yang dilakukan mereka berdua
sama-sama cepatnya. Lan Giok-keng yang menyaksikan kejadian itu jadi tertegun dan
kebingungan, pikirnya, "Masa mereka benar-benar sedang
bertanding membaca doa sambil duduk bersemedi?"
Belum habis ingatan itu melintas, tampak biji tasbeh di ujung
yang dipegang Hwee-ko kelihatan bergetar sangat keras.
Sementara tasbeh dan tali yang dipegang Pun-bu Thaysu sama
sekali tidak bergerak. "Ooh, ternyata mereka sedang bertanding tenaga dalam," pikir
Lan Giok-keng seolah-olah baru sadar.
Tidak salah lagi, mereka memang sedang bertanding tenaga
dalam, rupanya disebabkan Wan-tin gagal mencari tahu asal usul
Sim-hoat tenaga dalam yang dipelajari Hwee-ko, maka terpaksa dia
harus turun tangan sendiri.
Lan Giok-keng segera dapat menyaksikan perbedaan di antara
kedua orang itu, Hwee-ko berada di pihak yang tersiksa.
Rupanya Pun-bu telah menggunakan ilmu Li-uh-coan-kang untuk
menekan lawannya, Hwee-ko segera merasakan tenaga dalam


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawan bagaikan gulungan ombak samudra menerpa dirinya berulang
kali, membuat dirinya nyaris tidak sanggup berpegangan kencang.
Dilanjutkan kemudian pengaturan tenaga murninya terhambat,
napas pun terasa mulai sesak dan tidak nyaman.
Diam-diam Hwee-ko mengeluh, pikirnya, "Ternyata ketua dari
ruang Tat-mo memang luar biasa hebatnya, ehmm, dia begitu
mendesakku habis habisan, kelihatannya dia merasa keberatan
membiarkan aku pergi meninggalkan biara Siau-lim."
Waktu itu adalah saat para pendeta dalam biara Siau-lim untuk
melakukan sembahyang siang, suara genta bergema bertalu-talu,
namun Pun-bu Thaysu tetap duduk tenang seolah dia sudah berada
dalam keadaan konsentrasi penuh, terhadap keadaan di
sekelilingnya bukan saja tidak melihat bahkan sama sekali tidak
mendengar. Satu ingatan cepat melintas dalam benak Hwee-ko, pikirnya lagi,
"Pendeta Buddha tidak pernah berbohong, tadi Pun-bu Thaysu
bilang hendak mengujiku duduk bersemedi, kenapa aku hanya
berpikir soal tenaga dalam saja"
Apalagi Hong-tiang pun pernah bilang, bukan masalah menang
kala tapi masalah kau dapat mengendalikan diri atau tidak, aku
haras berusaha dulu untuk pengendalian diri!"
Sim-hoat tenaga dalam tingkat atas memang ada hubungannya
dengan masalah ajaran Buddha. Maka begitu semua ingatan
dibuang dari benaknya, begitu pikiran dan perasaan menjadi bersih
tanpa gangguan maka kekuatan tenaga dalam yang terpancar
keluar pun dengan sendirinya bertambah kuat dan hebat.
Kalau dibicarakan sungguh aneh, tadi walaupun dia sudah
mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk menahan
serangan Pun-bu Thaysu, namun usahanya keteteran bahkan nyaris
tidak tahan, tapi begitu sekarang dia buang jauh jauh ingatan untuk
mencari menang, sebaliknya seluruh tubuh malah terasa lebih
enteng, tekanan yang berat pun seketika jauh berkurang.
Walaupun biji tasbeh masih bergetar tiada hentinya, namun
dalam perasaannya sekarang bagaikan hembusan angin musim sepi
di atas permukaan telaga, pikiran dan perasaannya yang semula
bergolak, lambat laun jadi tenang kembali.
Lama-kelamaan tanpa terasa dia seolah sudah lupa kalau dirinya
sedang bertanding tenaga dalam melawan Pun-bu Thaysu.
Hembusan angin musim sepi diatas permukaan telaga bukan
sebatas perasaan saja, bahkan kini seolah berubah jadi sebucih
pemandangan semu dihadapan mukanya.
Dia seolah balik kembali ke masa tiga puluh tahun berselang,
berada di tepi telaga See-ouw, mengejar kekasih hatinya.
Hey, suara apa itu" Dia sedang bersenandung lirih, "Impian
sukma tiada ikatan, melangkahi pohon Liu melalui jembatan."
Bahkan diapun mulai bernyanyi lirih."
"Mabuk dimalam ini hingga kapan baru mendusin, berada di tepi
pohon Liu, memandang sisa rembulan."
Aaai, semuanya bukan, Bouw Ciong-long yang berjalan mendekat
sambil meniup seruling, lalu dia lepaskan cincinnya dan dikenakan di
jari tangannya. Aaah, tidak benar, kenapa Bouw Ciong-long bisa berubah jadi
orang lain, berubah jadi sahabat karibnya Seebun Mu"
Untuk mencapai tingkatan "tenang" tanpa gangguan pikiran apa
pun memang teramat sulit, Hwee-ko bisa saja melupakan dunia
nyata dan menuju ke alam kosong, namun alam kosong bukanlah
sama sekali kosong, sebab dia belum dapat melupakan perasaan
cintanya di masa silam. Maka iblis cinta pun mulai merasuk ke dalam pikirannya.
Dalam menyaksikan pelbagai khayalan, dia sebagai orang yang
menjalaninya sama sekali tidak menyadari akan hal itu, namun Lan
Giok-keng yang menonton jalannya pertarungan jadi tercengang,
kaget dan tidak habis mengerti, dia tidak paham mengapa pendeta
itu seperti sebentar girang sebentar murung, sebentar jengkel
sebentar gusar. Dalam pada itu Pun-bu Thaysu pun sedang berpikir, "Tenaga
dalamnya memang merupakan tenaga dalam aliran lurus, hanya
sayang keteguhan hatinya masih kurang. Tapi tujuanku kali ini
mengujinya hanya terbatas ingin tahu apakah dia mencuri belajar
Sim-hoat tenaga dalam partai kami atau tidak, dan kini aku telah
memperoleh hasilnya, buat apa mesti dilanjutkan lagi hingga
menyebabkan dia Cau-hwee-jip-mo?"
Ternyata Sim-hoat tenaga dalam yang dimiliki Hwee-ko ada
sedikit ketersambungan dengan Sim-hoat tenaga dalam aliran biara
Siau-lim, namun itupun hanya sebatas 'ketersambungan', bila
berbicara soal ke d alam dan kehebatan ilmu maka apa yang
dipelajari masih setingkat di bawah ilmu silat aliran Siau-lim.
Ketika Pun-bu menggeser biji tasbeh yang terakhir, Hwee-ko
merasa dihadapan matanya seolah melihat kekasih hatinya sedang
membuang cincin yang diberikan Bouw Ciong-long itu ke atas tanah,
bantingan itu seakan menimbulkan suara. Dengan cepat dia
tersadar kembali dari alam khayalan, dan saat itu pula kebetulan dia
mendengar Lan Giok-keng sedang berteriak keras, "Hwee-ko
Thaysu, kenapa kau tidak menggerakkan biji tasbehmu?"
Dengan cepat dia menggerakkan biji tasbeh yang terakhir, saat
itulah Pun-bu Thaysu mengayunkan tangan, untaian biji tasbeh itu
segera melambung ke udara, dalam waktu singkat ke seratus
delapan biji tasbeh itu hancur lebur berubah jadi bubuk dan
beterbangan di angkasa. Dengan suara nyaring Pun-bu Thaysu pun berseru, "Tersebar di
alam bebas, tiada rintangan tiada halangan. Mampu duduk di bantal
semedi, mampu keluar dari pintu gunung. Hwee-ko, pergilah!"
Pada saat yang bersamaan kedua orang itu bersama-sama turun
dari bantal semedi. "Terima kasih atas kemurahan Thaysu," Hwee-ko segera
merangkap tangannya di depan dada.
"Itulah nasib keberuntunganmu, pergilah sendiri, aku tidak akan
mengantar lagi." Lan Giok-keng mengikuti disisi Hwee-ko berjalan keluar dari pintu
gunung ke dua, segera serunya, "Kionghi Thaysu, lagi-lagi kau
berhasil lolos dari sebuah rintangan."
"Tapi di depan masih ada sebuah rintangan lagi," ucap Hwee-ko
sambil tertawa getir. "Tidak ada orang dalam biara Siau-lim yang memiliki ilmu silat
jauh lebih tinggi daripada ketua ruang Tat-mo, kalau rintangan
itupun dapat kau lalui, apa pula yang kau takuti?"
"Tadi ketua tianglo memang berniat melepaskan aku. Yang paling
sulit dipelajari dari biara Siau-lim bukanlah ilmu silat."
"Lantas apa?" batin Lan Giok-keng, namun ketika melihat Hweeko
meneruskan perjalanan dengan mulut membungkam, diapun
merasa tidak leluasa untuk banyak bertanya.
Setelah melewati ruang Pi-lu-kek, tibalah mereka di gedung Jianhud-
tian (Ruang seribu Buddha), dalam gedung ini terdapat
seribuan lebih patung Buddha hasil pahatan pendeta pendeta di
masa lampau, setiap patung mempunyai gaya yang berbeda.
Semasa masih berada di gunung Bu-tong dulu, Lan Giok-keng
sudah pernah mendengar orang bercerita tentang hal ini, namun
saat ini dia tidak punya cukup waktu untuk memasuki gedung dan
melakukan pemujaan. Kini mereka berjalan melalui sebuah jalan yang berlapiskan batu
hijau, yang membuat Lan Giok-keng tercekat hatinya adalah
tersisanya bekas-bekas lekukan di sepanjang lantai batu itu.
Bekas bekas lekukan itu adalah bekas yang tertinggal ketika para
hwesio biara melakukan latihan kungfu di pelataran itu.
Kalau tadi Lan Giok-keng masih mencoba menghibur Hwee-ko,
maka kini timbul pula rasa khawatir dalam hati kecilnya, pikirnya,
"Jagoan yang menjaga pintu pertama adalah Wan-tin hweesio,
pemimpin Cap-pwee Lohan, kemudian jagoan yang menjaga pintu
ke dua adalah Pun-bu Thaysu, ketua tianglo ruang Tat-mo. Kira-kira
tokoh maha sakti dari mana yang akan berjaga jaga di pintu ke tiga
ini?" Perjalanan dilanjutkan dengan perasaan berat bercampur
gundah, tanpa terasa akhirnya tibalah mereka di depan pintu
gunung yang terakhir. Ternyata orang yang menjaga pintu gunung itu tak lain adalah
Tong-sian Sangjin, hongtiang biara Siau-lim.
Begitu bersua Tong-sian Sangjin segera berkata, "Hwee-ko,
tahukah kau aku bukan datang untuk mengantar kepergianmu"'
"Tecu mengerti."
Lan Giok-keng kembali tidak habis mengerti, pikirnya, "Tadi dia
telah berkata sendiri kalau ada tiga orang yang akan menghantar
kepergian Hwee-ko, dia pun berkata Hwee-ko harus berhasil
melewati tiga pintu gunung sebelum dapat meninggalkan biara Siaulim,
dan sekarang dia sendirilah yang berdiri di depan pintu terakhir,
tapi mengapa dibilang kedatangannya bukan untuk mengantar
kepergian Thaysu?" Belum habis ingatan tersebut melintas, terdengar Tong-sian
Sangjin telah berkata lagi, "Hwee-ko, sejak kedatanganmu di biara
kami dua puluh tahun berselang, belum pernah aku bertanya
kepadamu darimana kau berasal?"
"Tecu datang dari tempat tecu datang."
"Kini kau hendak ke mana?"
"Ke mana aku harus pergi."
"Apa yang kau lihat sewaktu datang?"
"Melihat gunung adalah gunung, melihat biara adalah biara."
"Kemudian?" "Melihat gunung bukan gunung, melihat biara bukan biara."
"Sekarang?" "Melihat gunung tetap gunung, melihat biara tetap biara."
"Benarkah gunung ini adalah gunung semula" Benarkah biara ini
biara semula?" "Kalau dikatakan benar adalah benar, kalau dikatakan tidak benar
adalah tidak benar."
"Kalau memang ada itu tiada, tiada itu ada, kenapa pula kau
harus tinggalkan tempat ini?"
"Datang bukanlah datang, pergi bukanlah pergi, biar tubuh
berada dalam dunia persilatan, hati masih tetap berada di Siau-lim."
Maksud dari perkataan ini adalah, sewaktu dia datang pertama
kali dulu, karena belum mendengar ajaran Buddha maka yang
datang adalah kerangka tubuh saja, itulah sebabnya dia
mengatakan datang bukanlah datang. Dan kini dia telah
memperoleh gemblengan dan ajaran Buddha, telah meninggalkan
kehidupan prema, atau dengan perkataan lain telah menjadi murid
Buddha, maka dia katakan pergi bukanlah pergi.
Lan Giok-keng tidak paham dengan ajaran Buddha, namun
lamat-lamat dia dapat memahami apa yang dimaksud. Kalau
memang datang bukanlah datang, pergi bukanlah pergi, maka
kehadiran Tong-sian Sangjin pun bisa dibilang bukan untuk
mengantar kepergiannya. "Jawaban yang bagus," ujar Tong-sian Sangjin, "tapi aku telah
mendengar laporan Liau-huan yang mewakilimu, katanya kau belum
putus jodohmu dengan keduniawian."
"Benar. Jodoh tecu dengan keduniawian memang belum putus,
semua dosa dan karma sulit dihilangkan."
"Dunia itu kosong, dunia itu tiada benda, semua kehidupan
berada di langit barat. Lalu darimana datangnya dosa, darimana
perginya karma. Baik, aku ingin bertanya lagi, apa yang dimaksud
jodoh keduniawian?" Tanpa terasa butiran keringat jatuh bercucuran membasahi jidat
Hwee-ko. "Harap Hongtiang sudi memberi petunjuk."
"Baiklah, akan kubacakan kitab Hua-gan-keng sebagai berikut,
"Materi dikenal oleh hati, napsu timbul karena materi, penyatuan
napsu dan hati akan menimbulkan khayalan dan angkara murka.
Napsu berasal dari luar, tiada sifat tersimpan di hati, bila tiada
pemahaman, bagaimana bisa mandiri."
Berbicara sampai disitu kembali dia menambahkan, "Boddhi
hanya berada dalam hati, buat apa susah payah mencari diluar"
Asal kau bersedia melatih diri, langit barat berada di depan mata!
Carilah dari dalam tubuh Buddha, bukan mencari di luar sana\"
"Ajaran Hong-tiang akan tecu ingat selalu."
"Baiklah, kalau begitu pergilah ke mana kau akan pergi."
Lan Giok-keng sama sekali tidak menyangka kalau pintu gunung
yang terakhir dapat mereka lalui dengan begitu 'mudah'. Tanpa
banyak bicara dia segera mengikuti Hwee-ko berjalan keluar dari
pintu gerbang itu, sementara pikiran dan perasaannya terasa
kosong dan tidak menentu.
Ooo)*(ooO BAB X Khayalan duniawi sulit dilanjut
Terombang-ambing tanpa pendamping.
Tua muda berdua dengan cepat berjalan meninggalkan biara
Siau-lim. Di luar pintu terlihat cahaya matahari bersinar terang,
sambil mendongakkan kepalanya Hwee-ko menarik napas panjang,
perlahan dia mulai membesut butiran keringat yang membasahi
jidatnya. Tidak tahan Lan Giok-keng segera bertanya, "Cianpwee, aku
merasa bingung dan tidak habis mengerti dengan tanya jawab yang
kau lakukan dengan Hong-tiang, tapi aku lihat pertarungan ini justru
lebih sengit, lebih membuang energi daripada sewaktu bertarung
melawan Wan-tin?" "Bukan hanya begitu, pertarungan tenaga dalamku melawan
Pun-bu thaysu bukan hanya sengsara dan membuang banyak
energi," ditatapnya wajah Lan Giok-keng sekejap kemudian
terusnya, "tahukah kau, sebagai seorang hwesio apa yang harus dia
pahami?" "Membaca kitab suci?"
"Boleh dibilang begitu," Hwee-ko tertawa, "namun yang paling
penting adalah pemahamannya terhadap ajaran Buddha, bukan
hapal dengan doa. Barusan Hongtiang sedang menguji seberapa
banyak pemahamanku, bila jawabanku tidak tepat maka menurut
peraturan yang berlaku dalam biara, paling tidak aku harus kembali
dan belajar membaca kitab lagi selama tiga tahun."
"Ooh, ternyata begitu," Lan Giok-keng tertawa, "tapi sewaktu
kudengar tanya jawab yang berlangsung antara kau dengan Hongtiang,
rasanya semua jawaban berada diantara dapat dipahami dan
tidak. Asal dia berniat membiarkan kau tinggalkan biara, meski
jawabanmu keliru pun akan dia anggap sebagai benar. Maaf, ini
hanya perasaanku dan bicara tanpa maksud apa-apa, harap kau
jangan marah." Hwee-ko segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... perkataanmu memang tidak salah, aku pun berasa
kalau Hong-tiang memang berniat membiarkan aku pergi
meninggalkan biara Siau-lim."
Selesai tertawa, tiba-tiba dia menghela napas lagi, ujarnya lebih
jauh, "Sayang keterikatanku dengan duniawi belum bisa diputus,
sehingga tidak punya jodoh untuk mempelajari ajaran Buddha dari
Hong-tiang." "Semakin kau terbeban oleh masalah keterkaitan-mu dengan
duniawi, bukankah semakin berat tekanan batin yang kau alami?"


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mula-mula Hwee-ko agak tertegun, kemudian sambil tertawa
terbahak-bahak katanya, "Luar biasa, luar biasa. Tampaknya kau
memang punya jodoh dengan ajaran Buddha, hanya sepatah kata
yang kau katakan sudah membuat kesadaranku makin terkuak. Apa
yang kau katakan memang benar, yang penting adalah
ketenteraman hati, jangan urusi lagi apakah keterkaitan dengan
duniawi bisa dilepas atau tidak. Mari kita segera berangkat!"
Setelah menempuh perjalanan beberapa saat, mereka pun
melewati hutan pagoda. Tampak di bawah lembah bukit ada orang
sedang menggali liang kubur lalu memasukkan sesosok mayat yang
terbungkus tikar ke dalam liang itu.
Lan Giok-keng tahu, jenasah yang dikubur itu adalah mayat lelaki
berewok yang sempat bertarung melawannya, timbul rasa sedih
dihatinya, tidak tahan akhirnya dia berlutut dan menyembah
beberapa kali. "Kau kenal dengan orang ini?" tanya Hwee-ko.
"Setengah hari berselang, aku sempat bertarung melawannya.
Walaupun bukan aku yang membunuhnya, namun dia mati lantaran
aku." Secara singkat diapun menceritakan bagaimana Tonghong Liang
membantunya secara diam-diam hingga mengakibatkan lelaki
berewok itu terpeleset dan mati di bawah jurang.
"Orang ini adalah anak buah Han Siang dari Toan-hun-kok, dia
pasti sudah seringkali melakukan tindak kejahatan. Namun
Tonghong Liang membunuh dengan cara beginipun terhitung
kelewat kejam, aku kuatir lagi lagi karma buruk telah dibuatnya."
"Siapa sih Han Siang dari Toan-hun-kok itu?"
"Seorang pentolan perampok yang selalu menerima upeti. Dua
puluh tahun berselang, untuk menghindari pengejaran musuh
besarnya, dia hidup mengasingkan dalam lembah itu. Di kemudian
hari apakah dia sempat muncul lagi dalam dunia persilatan atau
tidak, aku sendiri kurang begitu tahu."
Sedikit terhibur juga perasaan Lan Giok-keng setelah tahu kalau
lelaki berewok yang dibunuh Tonghong Liang adalah anak buah
seorang pentolan perampok, kembali tanyanya, "Tadi taysu
mengatakan kalau Tonghong Liang membuat karma buruk lagi, apa
maksud perkataan ini?"
"Karena generasi atas Tonghong Liang pernah mempunyai ikatan
dendam kesumat dengan Han Siang. Kendatipun Han Siang
memang bukan orang lurus, namun dalam kasus yang terjadi di
masa lalu masih belum jelas keterlibatannya. Kini, Tonghong Liang
bukannya mengurangi karma generasi tuanya, dia sendiri justru
menambah ruwetnya masalah ini, bukan-kah sama artinya dia telah
membuat karma jelek?"
"Yang kau maksudkan sebagai generasi diatasnya apakah ayah
Tonghong Liang?" "Termasuk juga pamannya. Dulu, pamannya juga termasuk
pentolan perampok yang lebih hebat lagi, berhubung Han Siang
enggan menuruti perintahnya maka dia telah mencelakai Han Siang
hingga sangat mengenaskan keadaannya."
"Rasanya Thaysu pernah berkata kalau paman Tonghong Liang
adalah sahabat karibmu juga?" tanya Lan Giok-keng sedikit agak
ragu. "Mana orang baik, mana orang jahat, terkadang tidak gampang
untuk dipisahkan. Yang jadi pentolan bajingan belum tentu orang
jahat, sahabatku pun belum tentu orang baik!"
Berbicara sampai disini, dia seolah terkenang kembali kejadian di
masa lampau, kembali ujarnya, "Kini aku sudah terjun kembali ke
dalam dunia persilatan, jadi tidak ada salahnya kalau aku singgung
kembali peristiwa yang kualami sebelum menjadi pendeta dulu....
Pernakah kau mendengar tentang Siau Ngo-gi (lima setia kawan
kecil) yang cukup tersohor namanya pada tiga puluh tahun
berselang?" "Belum pernah mendengar."
"Sesudah lewat tiga puluh tahun, yang mati pun sudah mati,
yang menghilangpun sudah menghilang, bahkan yang sudah jadi
pendeta pun ada. Tidak heran kalau orang lain sudah mulai
melupakannya." "Jadi Siau Ngo-gi adalah...."
"Lotoa adalah Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay, loji adalah Tojin
bisu tuli yang selama ini meladeni Sucouwmu Bu-siang Cinjin, nama
premannya adalah Ong Hwee-bun. Walaupun dia berada di urutan
kedua namun usianya paling tua, tersohor paling awal dan
mengundurkan diri dari dunia persilatan pun paling awal. Disaat
nama besar lima setia kawan begitu tersohor di kolong langit, dia
sudah menjadi pendeta di gunung Bu-tong.
"Itulah sebabnya banyak orang tidak menganggap dia sebagai
salah satu anggota Siau Ngo-gi tapi memasukkan orang lain ke
dalam kelompok tersebut. Biarpun begitu, hubungannya dengan ke
empat orang rekan lainnya terjalin sangat baik. Walaupun ada
sekian waktu tak tahu kabar beritanya, mereka masih tetap
menganggapnya sebagai saudara. Sebaliknya orang lain yang
kemudian dianggap salah satu anggota Siau Ngo-gi justru
mempunyai hubungan yang kurang harmonis dengan ke empat
orang lainnya, sekalipun tidak pernah menampik kehadirannya
namun tidak seorang pun yang mau mengakui dia sebagai loji.
"Tentu saja julukan Siau Ngo-gi adalah pemberian orang dunia
persilatan, apa pun yang ingin dikatakan orang lain, kami tidak bisa
memaksakan kehendak."
Mendengar sampai disini, Lan Giok-keng segera berpikir, "Itu
berarti dia adalah salah satu diantara anggota Siau Ngo-gi, kalau
tidak, mana mungkin dia bisa mengetahui kejadian ini dengan
begitu jelas." Betul saja, terdengar Hwee-ko berkata lebih jauh, "Ke tiga orang
lainnya, yang ke satu adalah Tonghong Siau, ayah Tonghong Liang,
orang kedua adalah Seebun Mu, paman Tonghong Liang, kemudian
orang ke tiga adalah aku. Seebun Mu adalah keluarga perampok,
Cuma waktu itu kami semua belum tahu latar belakang keluarganya.
Kami berlima datang dari utara selatan timur barat, dari propinsi
yang beda, dari perguruan yang tidak sama, selisih usia cukup
banyak, diantaranya ada perampok, ada pendekar, ada pula tokoh
diantara lurus dan sesat, tapi berhubung kesukaan kami sama, jiwa
kami sama dan lagi bertemu dalam dunia persilatan, maka
terjalinlah tali persahabatan yang sangat erat."
"Pendekarnya adalah jago pedang tujuh bintang Kwik Tang-lay,
perampoknya adalah Seebun Mu, lantas siapakah tokoh yang antara
lurus dan sesat?" "Dia adalah Tonghong Siau, ayah Tonghong Liang. Sepak
terjangnya memang sesuka hati, gembira marah tidak menentu,
sejak kecil sudah tersohor karena watak aneh dan eksentriknya.
Walau begitu dia tidak kehilangan sebagai manusia yang
berperasaan, itulah sebabnya kami cukup akrab dengan dirinya."
Berbicara sampai disitu, dia seolah teringat akan suatu kejadian,
tiba-tiba ujarnya lagi sambil menggeleng, "Biarpun sejak kecil
Tonghong Liang sudah kehilangan ayah, namun wataknya tidak
jauh berbeda dengan tabiat ayahnya."
"Bukankah kau mengatakan tidak pernah bertemu Tonghong
Liang" Darimana bisa mengetahui tabiatnya?"
"Sewaktu dia menyerahkan sepucuk surat kepadaku tadi, coba
terka apa yang dia tulis?"
"Bukan surat dari lelaki berewok itu?"
"Bukan, surat dari Tonghong Liang. Karena dia kuatir para
hwesio dari biara Siau-lim enggan menyampaikan surat itu
kepadaku, maka sengaja dia letakkan surat itu disaku mayat tadi.
Orang itu pernah mencariku pagi tadi, meski mereka tidak
membiarkan dia masuk, tapi orangnya toh sudah meninggal, jadi
surat itu pasti akan disampaikan ke tanganku."
Lan Giok-keng hanya membungkam tanpa menjawab, sedang
dalam hati kecilnya berpikir, "Tonghong toako telah membunuh
orang itu, bahkan manfaatkan dia untuk mengirim surat. Akal
liciknya betul-betul menakutkan, Cuma sikapnya terhadapku
terhitung sangat baik."
"Dalam surat itu dia hanya menyinggung masalah pribadi,
tampaknya dia sudah menduga kalau aku bakal mewakilinya untuk
menyampaikan kabar ke rumah, maka dalam surat itu dia tulis
sepatah kata untuk adik misannya, kata-kata itu sangat aneh, dia
minta adik misannya jangan meletakkan telur angsa dalam sebuah
keranjang. Ehmm, kelihatannya dibalik ucapan tersebut
mengandung arti lain, tapi lebih susah diterjemahkan daripada
ucapan hongtiang tadi."
Begitu mendengar kalau isinya hanya 'urusan pribadi', Lan Giokkeng
pun merasa tidak leluasa untuk menyela, maka tanyanya
kemudian, "Tadi kau mengatakan setelah Hwe-bun menghilang dari
dunia persilatan, ada orang memasukkan seseorang lagi ke dalam
kelompok Siau Ngo-gi, siapakah orang yang dimaksud?"
"Berbicara dari usia, orang ini paling muda, berbicara soal
kungfu, dia paling hebat. Dia sama seperti lotoa kami Kwik Tanglay,
berasal dari keluarga persilatan, diapun seorang pendekar
pedang. Tapi latar belakang keluarganya lebih tersohor dan nama
besarnya lebih mentereng."
Setengah percaya setengah tidak Lan Giok-keng sehabis
mendengar ucapan itu, pikirnya, "Ternyata di kolong langit terdapat
seorang tokoh sehebat ini, kalau didengar nada pembicaraannya,
kenapa dia seperti merasa malu dijadikan satu kelompok dengan
orang ini?" "Kau tidak percaya ada tokoh semacam ini" Dia malah berasal
dari Bu-tong-pay," ucap Hwee-ko sambil tertawa.
"Dari Bu-tong-pay?"
"Bahkan statusnya sama seperti kau."
"Aku bukan berasal dari keluarga persilatan!" seru Lan Giok-keng,
mendadak dia seperti menyadari sesuatu, "maksudmu, diapun
berasal dari murid preman Bu-tong-pay?"
"Benar, dia adalah murid preman dari Bu-tong-pay, orang
menyebutnya Tiong-ciu Thayhiap Bouw Ciong-long."
"Aaah, sekarang Bouw-thayhiap sudah menjadi Ciangbunjin baru
partai Bu-tong kami!" seru Lan Giok-keng dengan perasaan
terperanjat. "Beberapa hari berselang aku telah mendengar kabar ini dari
cerita orang. Aaai, terkadang di dunia ini memang bisa terjadi hal
hal yang sama sekali diluar dugaan dan kejadian ini boleh dibilang
salah satu diantaranya. Loji kami Hwee-bun telah menjadi tojin bisu
tuli yang kerjanya hanya melayani keperluan Ciangbunjin,
sementara majikan barunya sekarang tidak lain adalah Bouw Cionglong
yang dimasa lalu pernah saling menyebut saudara dengan
dirinya. Moga-moga saja Bouw Ciong-long bisa memahami
kesulitannya dengan tidak menyingkap rahasia identitasnya."
Setelah merasa terperanjat, Lan Giok-keng mencoba untuk
berpikir sejenak, dia merasa apa yang dikatakan Hwee-ko thaysu
memang tidak salah, meskipun usia Bouw Ciong-long baru lima
puluh tahunan, berbicara soal tingkatan status maka dia masih satu
angkatan dengan Sucouwnya, Bu-siang Cinjin, padahal leluhurnya
dimasa lalu pun pernah menjadi satu-satunya ketua preman di Butong-
pay, selama dua ratus tahun terakhir, keluarga Bouw selalu
tersohor dalam dunia persilatan sebagai keluarga persilatan.
Tapi justru karena itu, hal mana menimbulkan pula kecurigaan
lain, "Jika dilihat dari posisinya, status dia seharusnya masih berada
jauh diatas Siau Ngo-gi, tapi mengapa dia harus mencari tenar
dengan bergabung dalam kelompok ini?"
Perlu diketahui, biarpun tadi Hwee-ko tidak membocorkannya,
namun dari pembicaraanya tadi telah diketahui kalau Bouw Cionglong
bisa dimasukkan jadi salah satu anggota Siau Ngo-gi
dikarenakan setelah lenyapnya Kwik Tang-lay maka Bouw Cionglong
berinisiatip melakukan hubungan dengan mereka.
Tampaknya Hwee-ko dapat menebak jalan pikirannya, sambil
tertawa getir ujarnya, "Aku sendiripun tidak habis mengerti
mengapa dia ingin masuk sekelompok dengan kami, bukannya kami
tidak sudi duduk satu kelompok dengannya, sejujurnya kami merasa
tidak mampu mengangkat diri setinggi itu. Kalau orang lain
memasukkan dia ke dalam kelompok Siau Ngo-gi, hal ini
sesungguhnya membuat kami jadi tersanjung dan ikut kecipratan
ketenarannya." Berhubung orang yang dibicarakan Hwee-ko adalah Ciangbun
Susiok-couw nya, Lan Giok-keng merasa tidak leluasa untuk banyak
bicara, terpaksa dia hanya menyimpan semua kecurigaannya
didalam hati. Padahal Hwee-ko mengetahui alasannya, hanya saja dia enggan
mengatakannya kepada Lan Giok-keng.
Menyingkap kembali tabir memorinya, dia merasa waktu berlalu
begitu cepat, dalam waktu singkat dua puluhan tahun sudah lewat.
Waktu itu, diantara lima setia kawan ada dua diantaranya telah
berkeluarga, mereka adalah Tiong-ciu kiam-kek Kwin Tang-lay serta
Tonghong Siau yang tinggal di kota Hang-ciu.
Kwik hujin adalah seorang wanita type ibu rumah tangga yang
saleh, walaupun perempuan semacam ini pantas dikagumi namun
dalam pandangan sementara orang, dia hanyalah seorang wanita
biasa. Waktu berkumpul Kwik Tang-lay dengan rekan rekannya
berlangsung sangat pendek, tidak lama kemudian dia lenyap tidak
berbekas, menyusul kemudian istrinya pun ikut pergi.
Istri Tonghong Siau adalah seorang wanita cantik yang
termashur dalam dunia persilatan, dia bernama In Li-cu.
Walaupun In Li-cu amat cantik, namun dia kalah cantik bila
dibandingkan dengan adiknya, In Beng-cu. Semua orang berkata
kalau In Beng-cu lah sesungguhnya merupakan sebutir Beng-cu
(mutiara) yang benar benar bersinar terang.
Ketika Hwee-ko berkenalan dengan In Beng-cu, gadis itu tinggal
di rumah kakak iparnya. Bouw Ciong-long sudah lama berkenalan dengan Tonghong Siau,
mula-mula hubungan mereka hanya sekedar kenal, setelah In Bengcu
tinggal di rumah kakak iparnya, hubungannya dengan Tonghong
Siau baru berkembang jadi sangat akrab.
Kedatangan Bouw Ciong-long di kota Hang-ciu jauh sebelum
kedatangan Hwee-ko, adapun perkenalan Hwee-ko dan dua orang
lainnya dari Siau Ngo-gi yakni Ong Hwe-bun dan Seebun Mu dengan
Bouw Ciong-long terjadi karena peranan Tonghong Siau (waktu itu
Kwik Tang-lay sudah lenyap), pada saat itu pula Bouw Ciong-long
menyatakan keinginannya untuk mempererat hubungan
persahabatan dengan mereka.
Tabir kenangan kembali semakin terkuak, tanpa terasa Hwee-ko
seolah-oleh melihat bayangan tubuh In Beng-cu, tampak pula In
Beng-cu dengan Bouw Ciong-long sedang berjalan santai di
sepanjang tanggul, dia seperti mendengar pula suara tertawa In
Beng-cu yang bercampur dengan suara seruling yang dimainkan
Bouw Ciong-long. Tiba-tiba suaranya kembali berubah, suara tertawa cekikikan In
Beng-cu berubah jadi permintaan maaf kepadanya, "Maaf, kau
datang terlambat, tolong maafkan kalau kami tidak menunggumu
lagi!" Sedang suara seruling dari Bouw Ciong-long pun telah berubah
menjadi gelak tertawa penuh kebanggaan.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini semua permasalahan telah jadi jelas, tujuan Bouw Cionglong
'bersahabat' dengan mereka ternyata hanya bertujuan
mendapatkan hati In Beng-cu.
Kekasih hati Bouw Ciong-long ternyata merupakan kekasih
hatinya juga, dalam keadaan begitu dia hanya bisa tertawa getir
sambil berpikir, "Benar, aku memang datang terlambat!"
Tapi perubahan yang terjadi kemudian sungguh jauh di luar
dugaannya, In Beng-cu tidak jadi menikah dengan Bouw Ciong-long,
melainkan menikah dengan seseorang yang kedatangannya jauh
lebih 'terlambat' daripada dirinya.... orang yang menempati urutan ke empat
dalam kelompok lima sekawan, Seebun Mu.
Dia tidak tahan lagi ingin tertawa, entah kenapa, dia justru lebih
rela menyaksikan In Beng-cu menjadi janda seorang perampok
daripada membiarkan dia menjadi nyonya Ciangbunjin Bu-tong-pay.
Tentu saja dia tidak sampai tertawa karena Lan Giok-keng telah
menyadarkan kembali dari lamunannya.
"Hwee-ko Thaysu, kau.... mengapa kau tidak berbicara"'
Seakan baru mendusin dari impian, setelah berhasil
menenangkan diri, jawabnya, "Tidak apa apa, aku sedang
berpikir...." Sementara pembicaraan sedang berlangsung, mereka telah tiba
di sebuah persimpangan jalan, satu mengarah ke timur dan yang
lain mengarah ke utara. Hwee-ko thaysu pun menghentikan perjalanannya sambil
berkata, "Aku sedang berpikir, ke arah mana aku harus pergi?"
"Walaupun ke dua jalan ini menuju ke arah yang beda, tapi
bukanlah jalan yang menuju ke arah yang berlawanan," sahut Lan
Giok-keng cepat. Kecerdasan otak bocah ini memang jauh melampaui usianya,
secara lamat-lamat dia sudah dapat menebak kesulitan yang sedang
dihadapi pendeta itu. "Perkataanmu memang tepat sekali, yang ada sesungguhnya
hanya mana yang lebih duluan, mana yang belakangan'
Lan Giok-keng merasa kurang leluasa untuk mengemukakan
pendapatnya, terpaksa dia berlagak mengerti sambil mendengarkan
pendeta itu berbicara lebih lanjut.
"Tonghong Liang memberitahu kepadaku kalau dia sedang
menuju Toan-hun-kok. Walaupun tiada permintaan apa-apa yang
dia ajukan, namun antara Kokcu Toan-hun-kok, Han Siang dengan
generasi dia sebelumnya pernah terjalin sengketa dan perselisihan
yang dalam, bagaimana pun aku harus menguatirkan keselamatan
jiwanya. "Sucouwmu, Bu-siang Cinjin adalah Cianpwee yang paling
kuhormati dan kagumi, dia minta aku membantumu mencarikan
Kwik Tang-lay yang bukan lain adalah Toako ku sebelum aku
menjadi pendeta, tapi ayah Tonghong Liang pun merupakan
sahabat karibku juga...."
Tiba tiba Lan Giok-keng menukas perkataannya, "Jalan mana
yang mengarah ke Toan-hun-kok?"
"Jalan disebelah timur."
Sebetulnya Lan Giok-keng berjalan mengikuti di belakangnya,
tapi sekarang dia berjalan lebih duluan dengan memilih arah timur.
"Kau pandai memecahkan kesulitan orang, bagus sekali, namun
kuanjurkan kepadamu lebih baik dipikir sampai matang terlebih dulu
sebelum melangkah." "Aku telah memikirkannya dengan sangat jelas, beberapa kasus
pembunuhan itu sudah enam belas tahun lamanya dilacak dan
diselidiki pihak Bu-tong-pay, namun hingga kini belum juga
ditemukan titik terang, jadi apa salahnya bila masalah itu
dikesampingkan sesaat?"
Sementara itu di hati kecilnya dia berpikir, "Teka-teki seputar
asal-usulku pun sejak lahir hingga sekarang masih menjadi sebuah
tanda tanya besar, aaai.... daripada tahu mungkin lebih baik bila
tidak tahu." "Kau masih belum memahami maksudku," sela Hwee-ko.
"Silahkan Cianpwee memberi petunjuk."
"Untuk menuju ke Toan-hun-kok, kalau mau dibilang
perjalanannya sangat jauh, tempat itu memang jauh, kalau mau
dibilang dekat, sebenarnya memang dekat. Kalau mengikuti
kecepatan kaki kita sekarang, paling banter tujuh hari lagi sudah
akan tiba di tempat tujuan, hanya saja...."
"Hanya saja kenapa?"
"Pernahkah kau berpikir, seandainya aku pun terjebak dalam
lembah pemutus sukma, berarti tidak ada orang lagi yang bisa
memberi petunjuk kepadamu untuk menemukan Kwik Tang-lay?"
"Urusan ada yang penting ada yang tidak, kini keselamatan
Tonghong toako sedang terancam, sudah seharusnya kita pergi
membantunya terlebih dulu."
Hwee-ko thaysu menghela napas panjang katanya, "Aaai, tidak
disangka biar usiamu masih muda, namun kau jauh lebih mengerti
persoalan daripada sementara orang dewasa."
Lan Giok-keng tidak paham siapa yang dimaksud sebagai
'sementara orang dewasa', namun dia dapat melihat kalau ucapan
tersebut diutarakan atas dasar suara hatinya.
"Biarpun Tonghong toako belum pernah angkat saudara
denganku, tapi kebaikan yang telah dia berikan kepadaku tidak
bakal kulupakan untuk selamanya. Terserah apapun yang akan
dikatakan orang lain, aku tetap akan menganggapnya sebagai
Toako ku. Cianpwee, kalau kau pun bersedia menempuh bahaya
demi keselamatannya, kenapa aku harus memikirkan kepentinganku
sendiri?" "Kalau begitu kau bersikeras ingin ikut aku menuju lembah
pemutus sukma?" Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Lan Giok-keng,
jangan-jangan pertikaian antara mereka dengan lembah pemutus
sukma tidak ingin dicampuri oleh dirinya, maka segera ujarnya, "Bila
locianpwee merasa tidak leluasa untuk mengajak serta aku, silahkan
kau tunjukkan satu tempat tertentu dengan batasan waktu selama
tiga bulan, biar aku menantimu disana."
Hwee-ko tidak langsung menjawab, dia berpikir sejenak setelah
itu baru berkata, "Hubunganmu dengan Tonghong Liang terhitung
sangat akrab, cici mu pun berada di rumah Seebun-hujin, rasanya
tidak masalah kuajak serta kau mengunjungi Toan-hun-kok."
Perhitungan Hwee-ko ternyata sangat tepat, setelah berjalan
selama tujuh hari, betul saja mereka telah tiba di Toan-hun-kok.
Hanya saja, biarpun perhitungannya tepat, ada satu hal yang
membuatnya tidak habis mengerti.
Mengapa Tonghong Liang tidak menunggu kedatangannya di
tengah jalan" Betul, Tonghong Liang memang tidak memohon kepadanya
untuk melakukan sesuatu, tapi dia telah mengutus orang dengan
membawa cincin mendiang ayahnya sebagai tanda pengenal, jelas
ini bermakna minta bantuan. Seharusnya Tonghong Liang pun bisa
menduga, asal dia dapat meninggalkan biara Siau-lim, sudah pasti
akan muncul pula di lembah pemutus sukma.
Tonghong Liang tidak lebih hanya berangkat dua jam lebih awal,
mengapa ia tidak menunggunya ditengah jalan"
Karena tidak diperoleh jawaban, terpaksa Hwee-ko mengurainya
begini, "Tonghong Siau adalah tokoh diantara sesat dan lurus,
tabiatnya aneh dan sering sukar diduga. Watak Tonghong Liang
mirip sekali dengan bapaknya, mana mungkin aku bisa mengurai
tindak tanduknya dengan nalar pada umumnya?"
Ternyata manusia yang bernama Han Siang jauh di luar dugaan
Lan Giok-keng. Dia adalah pentolan perampok, tempat tinggalnya pun disebut
lembah pemutus sukma, dalam bayangan Lan Giok-keng, dia
pastilah seseorang dengan wajah bengis dan buas.
Siapa tahu Han Siang mempunyai wajah yang sangat bersih
dengan tiga jenggot panjang yang terawat rapi, modelnya tidak
beda jauh dengan seorang siucay tua.
Lembah pemutus sukma pun bukan tanah perbukitan yang
gersang, aneka bunga dan tumbuhan memenuhi seluruh lembah,
ternyata tempat itu begitu subur bagaikan nirwana.
Waktu itu Han Siang sedang menjamu mereka di tengah kebun
bunga. Di tengah kebun aneka bunga tumbuh mekar, ada gardu, ada
bangunan loteng, ada pula gunung-gunung-an dan kolam teratai,
keindahannya bak sebuah lukisan hidup.
Meja perjamuan disiapkan di tepi kolam teratai dengan dikelilingi
gunung-gunungan yang terbuat dari batuTayli.
Setelah mempersilahkan tamunya mengambil duduk, sambil
tertawa terbahak-bahak ujar Han Siang, "Maafkan Thaysu bila aku
akan bicara terus terang, sungguh tidak kusangka kau bisa kabur ke
biara Siau-lim untuk menjadi seorang hwesio juru masak. Masih
teringat pada pertemuan kita yang terakhir kalinya, kalau tidak salah
diselenggarakan di luar loteng rumah makan dekat telaga See-ouw,
waktu itu kita beberapa orang bertaruh minum arak melawanmu,
siapa tahu biar kami bergabungpun ternyata tidak sanggup
menangkan dirimu. Aaai, tanpa terasa tiga puluh tahun sudah
lewat." "Benarkah begitu" Aah, kalau bukan kau yang bercerita lagi,
mungkin akupun sudah melupakannya. Aku sendiripun tidak
menyangka kalau kau bisa menjadi pemilik lembah pemutus
sukma!" Han Siang tertawa. "Hwee-ko Thaysu, walaupun kau sudah menjadi pendeta, namun
dalam pandanganku kau masih tetap Si Sam-hiap yang gagah dan
berjiwa besar!" Kini Lan Giok-keng baru tahu kalau marga Hwee-ko sebelum jadi
pendeta adalah marga Si. "Atas dasar apa kau berkata begitu?" tanya Hwee-ko.
Dengan senyum tidak senyum sahut Han Siang, "Kalau bukan
demi sahabat, aku rasa tidak mungkin Thaysu akan mendatangi
lembahku yang terpencil ini. Boleh tahu saudara cilik ini adalah...."
"Dia bernama Lan Giok-keng, saudara angkat Tonghong Liang."
"Lebih bagus lagi kalau Lan-siauhiap pun ikut datang. Silahkan
duduk, tidak usah sungkan-sungkan."
"Han tua, pandai benar kau menikmati hidup, tempat
kediamanmu ini boleh dibilang ibarat nirwana, masa kau bilang
lembah gersang yang terpencil?"
Kembali Han Siang tertawa getir.
"Aku dipaksa untuk bersembunyi disini menjadi cucu kura-kura
yang tidak berani memperlihatkan kepala, kalau bukan Seebun Mu
ingin membunuh istriku kemudian membunuhku, mana mungkin aku
rela mengundurkan diri dari dunia persilatan."
"Seebun Mu sudah mati banyak tahun, masa kau masih ingin
balas dendam terhadap orang mati" Aku si hwesio hanya tahu
membebaskan orang dari dosa dan karma, tidak ingin terlibat lagi
dalam urusan dendam sakit hati yang ada dalam dunia persilatan."
"Aku justru ingin minta tolong Thaysu untuk membebaskan diriku
dari bencana kemusnahan. Hanya saja, mau tidak mau memang
harus terlibat dalam pertikaian dunia persilatan. Sebetulnya aku
ingin mengandalkan masalah ini kepada Tonghong Liang, tapi kini
hanya Thaysu seorang yang bisa menolongku."
"Karena kau telah menyinggung soal Tonghong Liang, aku ingin
bertanya lebih dulu, benarkah Tonghong Liang pernah mendatangi
tempat ini?" "Benar," Han Siang manggut manggut, kemudian sambil tertawa
lanjutnya, "Thaysu, sekalipun kau tidak bilang, aku pun tahu kalau
kedatanganmu kali ini demi Tonghong Liang."
"Sekarang dimana Tonghong Liang berada?"
"Masih berada ditempatku, sama sekali tidak kuganggu seujung
rambut pun, hanya saja...."
"Hanya saja kau telah mengurungnya bukan?"
"Harap thaysu maklum, ilmu silat yang dimiliki Tonghong Liang
masih diatas kemampuanku, kalau toh pembicaraan tidak
menyambung, aku harus gunakan segala cara untuk melindungi diri
sendiri. Pepatah kuno pun berkata: Menangkap harimau gampang,
melepaskan macan susah."
"Persoalan apa yang membuat pembicaraan kalian tidak
nyambung?" "Padahal sederhana sekali, aku hanya mohon kepadanya untuk
membantuku berbicara beberapa patah kata dihadapan Seebunhujin,
agar kawanan saudaraku bisa mencari sesuap nasi, Seebunhujin
adalah bibinya, setahuku, keponakannya ini bisa jadi segera
akan berubah menjadi 'setengah putra'nya, apa yang dia katakan,
Seebun-hujin sudah pasti akan menurutinya."
"Aku memang mengetahui hubungan antara Tonghong Liang
dengan Seebun-hujin. Hanya saja, bukankah kau telah berkata,
sudah sejak lama mengundurkan diri dari dunia persilatan?"
"Harap Thaysu maklum. Aku mundur dari dunia persilatan karena
dipaksa. Bagiku, bisa saja hidup terus dalam lembah gersang ini,
tapi para saudaraku toh butuh makan, butuh sesuap nasi. Terus
terang saja, semenjak kematian Seebun Mu, saudara saudaraku itu
sudah berusaha lagi dengan pekerjaaan lama mereka. Tapi kini ada
orang enggan melepaskan kami, apa daya, kalau bukan aku yang
tampil mewakili mereka, siapa lagi yang bakal tampil?"
"Siapa yang kau maksudkan dengan orang-orang itu?"
"Hmm, sialan," pikir Han Siang dalam hati, "sudah tahu masih
berlagak tanya." Namun diluaran segera sahutnya, "Biarpun Seebun Mu telah
mati, namun sekawan-an pembantu utamanya yang dulu masih
hidup." "Siapa pemimpin kawanan itu?"
"Seseorang yang bernama Liok Ki-seng, masih ingat dengan
orang ini?" "Apakah Liok Ki-seng yang punya julukan Siucay dari alam
baka?" "Betul. Liok Ki-seng hanya bisa disebut sebagai kunsunya
kawanan tersebut, dia tidak bisa dikatakan sebagai pentolannya.
Dalam pandangan kelompok orang orang itu, pemimpin mereka
masih tetap Seebun Mu."
"Tapi Seebun Mu toh sudah mati."
"Oleh sebab itulah dewasa ini hanya Seebun-hujin seorang yang
mereka turuti perkataannya."
Hwee-ko thaysu segera berpikir, "Bila aku yang berbicara,
mungkin saja In Beng-cu akan memberi muka untukku. Cuma, apa
yang ku-dengar sekarang hanya merupakan penjelasan sepihak,
mungkinkah dibalik kesemuanya itu masih ada persoalan lain?"
Belum habis ingatan itu melintas, terdengar Han Siang telah
berkata lagi, "Thaysu, kau dan Seebun Mu adalah saudara angkat,
asal mau membantu kami, jelas bantuanmu akan jauh lebih
bermanfaat daripada bantuan Tonghong Liang."
Hwee-ko termenung sejenak, kemudian bertanya, "Bolehkah aku
berjumpa dulu dengan Tonghong Liang?"
Han Siang segera tertawa tergelak.
"Di kalangan hek-to memang berlaku peraturan semacam ini,
kalau toh Thaysu baru merasa tenteram setelah bertemu Tonghong
Liang, tentu saja kami akan memenuhi keinginanmu."


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktu itu malam sudah menjelang tiba, lampu lampion tampak
tergantung diseputar kolam teratai dan pepohonan disekeliling
gunung gunungan, begitu banyaknya lentera yang terpasang
membuat suasana di sekeliling sana tampak terang benderang.
Setelah meneguk dua cawan arak, kembali Han Siang berkata,
"Thaysu adalah seorang yang berjiwa terbuka, apalagi taruhan
minum yang kita selenggarakan dulu rasanya belum memuaskan
Thaysu, untuk perjumpaan kembali kita hari ini, biar aku orang she
Han menghormati dulu Thaysu dengan secawan arak."
"Lebih baik kita minum setelah bertemu Tonghong Liang nanti."
"Cawan ini merupakan cawan penghormatanku, nanti kita baru
minum lagi sepuasnya."
Hwee-ko jadi teringat kalau kedatangannya kali ini adalah ingin
minta kembali sandera dari tangan Han Siang, bila tidak minum
araknya, hal ini menandakan kalau dia tidak percaya. Karena itu
sahutnya, "Baik, akan kuteguk habis cawan arak ini."
"Betul, masih ada lagi Lan-siauhiap, silahkan Lan-siauhiap pun
menghabiskan secawan."
"Dia masih kecil, tidak pandai minum," tukas Hwee-ko cepat,
"bila Han-Kokcu tetap ingin menjalankan peraturan dunia persilatan,
biar cawan arak itu aku yang mewakilinya."
Rupanya Hwee-ko kuatir kalau Han Siang telah mencampuri arak
itu dengan racun, dengan mengandalkan tenaga dalam yang
dilatihnya secara tekun hampir dua puluhan tahun lamanya dalam
biara Siau-lim, dia yakin ke dua cawan arak racun itu tidak bakal
sampai mematikannya, oleh sebab itu dengan gaya sama sekali
tidak curiga, dia pun menghabiskan cawan arak bagian Lan Giokkeng.
Setelah arak mengalir masuk ke dalam perut, dia tidak
merasakan sesuatu yang aneh. Hwee-ko pun berpikir, "Ternyata
arak yang dia tuang adalah arak jempolan, keharumannya sungguh
luar biasa." Berpikir begitu, diapun berseru, "Arak telah kuteguk, kenapa
Han-Kokcu belum juga mempersilahkan Tonghong Liang keluar?"
"Tonghong Liang sudah datang."
"Dimana?" tanya Hwee-ko tertegun.
Han Siang segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... jauh di ujung langit, dekat di depan mata, silahkan
Thaysu periksa!" Baru selesai perkataan itu diucapkan, Hwee-ko pun baru saja
bangkit berdiri, terdengar...."Blummm!"
seorang anak buah Han Siang telah melepaskan sebatang panah
berapi. Anak panah itu dibidikkan ke arah gunung-gunungan dan
memancarkan cahaya api berwarna kebiru-biruan.
Sebetulnya diatas gunung gunungan itu tidak terdapat gua, tapi
sekarang, tiba-tiba saja dinding gunung-gunungan itu merekah lalu
muncullah mulut gua. Tonghong Liang tampak berdiri di depan mulut gua itu!
"Tonghong Toako!" terkejut bercampur girang Lan Giok-keng
segera berteriak. Pada saat yang bersamaan Tonghong Liang berteriak pula,
"Hwee-ko Thaysu, mereka tidak bakal berani membunuhku, kau
jangan termakan tipu muslihatnya!"
Belum selesai dia berkata, "Blaaam!" pintu gua yang merekah
telah menutup kembali, gumpalan cahaya api berwarna kebirubiruan
itupun seketika padam. "Hey, apa yang kau lakukan terhadap Tonghong Toako?" teriak
Lan Giok-keng. "Bukankah kau telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
Tonghong Toako mu selamat tanpa kekurangan sesuatu apa pun."
"Mengapa kau tidak membebaskannya!"
"Engkoh cilik," ujar Han Siang sambil tertawa tergelak,
"kelihatannya kau masih belum seberapa paham dengan peraturan
yang berlaku di kalangan hitam."
"Dia memang tidak paham, tapi aku paham. Ajukan syaratmu
sekarang!" "Thaysu, aku orang she Han selalu menyukai transaksi yang adil,
dalam kasus ini akulah sang korban, tapi aku tidak bakal menuntut
ganti rugi nyawa dari siapa pun."
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali dia melanjutkan,
"Oleh karena itu aku yakin semua prasyarat yang kuajukan adalah
syarat yang adil dan masuk akal, tapi bila kau kuatir tertipu atau
terperangkap, lebih baik tidak usah kita bicarakan lagi."
Hwee-ko segera berpikir, "Seandainya permintaan dia hanya
ingin aku mintakan pengertian dari In Beng-cu dan semua yang
mereka katakan tadi memang kata-kata yang jujur, aku rasa
permintaan semacam ini tidak kelewat batas."
Maka diapun berkata, "Semasa suaminya masih hidup, Seebunhujin
tidak pernah mau mencampuri urusan suaminya. Tapi bila
dengan sepatah katanya, Liok Ki-seng sekalian benar-benar mau
mengakhiri pertarungan, aku rasa dia pasti akan berbicara."
"Yang kami harapkan bukan hanya sepatah kata itu saja,
melainkan menginginkan dia bicara akan dua hal."
"Lalu perkataan apa lagi yang kalian inginkan?"
"Minta dia menyerahkan semua kekuasaan yang diperoleh dari
suaminya dulu di hadapan Liok Ki-seng sekalian."
"Maaf, aku tidak memahami maksud perkataanmu itu, toh
orangnya sudah mati, kekuasaan apa lagi yang kalian harapkan?"
"Dulu, Liok Ki-seng dan kelompoknya merupakan gabungan dari
sembilan belas markas Liok-lim caycu di wilayah air dan daratan,
untuk menyatakan kesetiaan mereka terhadap Seebun Mu, orangorang
itu secara bersama sama telah menyerahkan sebuah lencana
emas yang berukirkan nama dari sembilan belas keluarga Liok-lim
sebagai pernyataan kepatuhan mereka ter-hadap Seebun Mu yang
telah diangkat menjadi Liok-lim Bengcu. Lencana emas itu bisa
diserahkan oleh Bengcu kepada siapa pun untuk menyampaikan
perintah, kemunculan lencana emas sama seperti kehadiran Bengcu
pribadi. Waktu itu sama sekali tidak disertai keterangan kalau sang
Bengcu meninggal maka pengaruh lencana emas ikut lenyap. Oleh
karena itulah meski orangnya telah mati namun kekuasaannya
masih tetap utuh." Kini Hwee-ko sedikit rada mengerti, ujarnya kemudian, "Jadi
menurut perkataanmu, karena Seebun-hujin memegang lencana
emas itu maka dia pun bisa menjadi Liok-lim Bengcu?"
"Betul, seandainya dia serahkan lencana emas itu kepada
putrinya, biarpun putrinya masih seorang budak ingusan, dia sama
saja dapat menjadi seorang Liok-lim Bengcu, atau paling tidak bisa
menjadi Cong-caycu dari sembilan belas keluarga."
"Tapi menurut apa yang kuketahui, mereka ibu dan anak sudah
lama hidup mengasingkan diri diluar perbatasan, di sebuah gunung
yang terpencil dan jauh dari keramaian dunia, sudah pasti mereka
tidak bakalan mau menjadi Liok-lim Bengcu."
"Mau atau tidak, itu urusan mereka," tukas Han Siang, "tapi
dalam kenyataan, lencana emas itu masih berada ditangan Seebunhujin."
"Han-Kokcu," kata Hwee-ko kemudian dengan suara hambar,
"ternyata perhitungan siepoa mu memang luar biasa, kalau sampai
begitu keadaannya, bukan saja Liok Ki-seng dan kawan-kawannya
tidak akan menyusahkan dirimu lagi, malah sebaliknya mereka bakal
menjadi anak buahmu."
"Hmm!" Han Siang mendengus dingin, "bukan berarti aku berniat
merebut kekuasaan ini, tapi paling tidak berilah keadilan untukku.
Anak istriku telah mati di tangan Seebun Mu, jelas aku harus
membalas dendam sakit hati ini, anak buahku selama banyak tahun
pun hidup tertekan dan sengsara, masa tidak pantas untuk memberi
sedikit ganti rugi bagi mereka semua?"
Untuk sesaat Hwee-ko thaysu hanya termenung tanpa bicara,
pikirnya, 'Bicara sejujurnya, perbuatan Seebun Mu yang
mengakibatkan keluarganya berantakan memang merupakan
tindakan yang sedikit kelewatan, sewajarnya bila Beng-cu
menebuskan dosa dan kesalahan suaminya dimasa itu. Namun Han
Siang pun bukan orang baik-baik, jika membiarkan dia jadi Liok-lim
Bengcu, sudah jelas kedudukan tersebut akan semakin membuatnya
malang melintang dengan segala kejahatan dan kebusukan.
Lagipula sewaktu dia berkhianat terhadap Seebun Mu tempo hari,
bukankah dia pun berniat menghabisi nyawa Seebun Mu dan
keluarganya"' Belum sempat dia mengucapkan sesuatu, kembali Han Siang
telah berkata, "Thaysu, bukankah kau berkata akan datang
membebaskan semua dosa dan karma buruk" Kini keputusan
berada pada ucapanmu."
"Aku harus berbicara dulu dengan Seebun-hujin sebelum
menyinggung masalah lain."
"Itulah sebabnya aku mohon agar Thaysu bersedia
menyampaikan permintaan mereka itu kepada Seebun-hujin!
Thaysu, bila kau anggap prasyarat yang kukemukan masuk akal dan
cengli, silahkan ucapkan janjimu, kami percaya kau pasti tak akan
mengecewakan harapan kami semua!"
Perkataan dari Han Siang ini memang sangat diplomatis, posisi
yang dihadapi Hwee-ko sekarang ibarat orang yang sudah didesak
hingga berada di sudut dinding, tidak mungkin bisa berkelit lagi,
bagaimana pun harus mengemukakan sikapnya.
Sebetulnya Han Siang hanya minta tolong kepadanya untuk
menyampaikan perkataan, apakah nantinya dia akan sampaikan
kepada Seebun-hujin atau tidak, sebetulnya tidak ada yang bakal
tahu. Soal apakah Seebun-hujin bersedia menyerahkan lencana
emas itu atau tidak pun merupakan urusan Seebun-hujin, sama
sekali tidak ada sangkut paut dengan dirinya.
Semisal gagal, itupun dia hanya kehilangan muka karena katakatanya
tidak berpengaruh. Bila berganti orang lain, bisa saja dia
pura-pura menyanggupi permintaan Han Siang dan berusaha
membebaskan Tonghong Liang terlebih dulu.
Namun Hwee-ko bukanlah manusia seperti itu, sejak tiga puluh
tahun berselang dia sudah merupakan seorang pendekar yang
punya nama besar, apalagi sekarang pun sudah menjadi murid
Buddha, bagaimana mungkin dia mau berbohong"
Lagipula dia ingin mencari dahulu apakah prasyarat yang
diajukan Han Siang cukup masuk diakal atau tidak, kemudian baru
membantu orang itu untuk berbicara dengan Seebun-hujin.
Hwee-ko merasakan hatinya sangat kalut, sementara dia masih
ragu, mendadak pandangan matanya terasa jadi gelap, tahu-tahu
kepalanya merasa pening dan pandangan matanya berkunangkunang,
perubahan ini kontan membuat hatinya terperanjat.
Walaupun pandangan matanya jadi gelap, tapi pikiran dan
hatinya tiba-tiba jadi terang.
Dalam pada itu Han Siang sedang mengawasinya dengan
pandangan tajam, tegurnya dingin, "Hwee-ko Thaysu,
sebetulnya...." Belum selesai dia berkata, mendadak Hwee-ko melompat
bangun, sambil menuding bentaknya, "Han Siang, berani amat kau
gunakan cara najis yang memalukan semacam ini untuk
menghadapiku!" Segulung pancaran air tiba-tiba menyembur keluar dari ujung
jarinya, pancaran cairan itu menyebarkan bau wanginya arak yang
sangat kental. Ternyata Hwee-ko telah menggunakan tenaga dalam tingkat
tingginya untuk memaksa keluar dua cawan arak yang diteguknya
tadi melalui ujung jarinya dalam bentuk panah arak.
Han Siang tidak sempat bangkit berdiri, bangkunya langsung
didorong ke belakang, sementara ujung bajunya dikebaskan untuk
menangkis. Butiran arak segera memancar ke empat penjuru, "Aduuuuh!"
terdengar jerian ngeri bergema memecahkan keheningan, mata
seorang anak buah Han Siang yang kebetulan berdiri di samping
sana terhajar telak hingga buta.
Ujung baju Han Siang sendiripun telah bertambah dengan lubang
lubang kecil yang tidak terhitung jumlahnya, bentuk lubang itu
persis seperti sarang lebah. Biar begitu, dia sempat menggulung
poci arak yang berada diatas meja itu kemudian berikut bangkunya
telah melompat mundur sejauh satu tombak lebih.
"Tunggu sebentar!" bentak Han Siang nyaring, dengan tangan
kiri memegang poci, tangan kanannya melakukan bacokan, dia
babat poci arak itu hingga terbelah menjadi dua bagian.
Sambil mengangkat belahan poci arak itu dan diarahkan ke
depan, teriaknya, "Hwee-ko Thaysu, coba kau perhatikan dengan jelas. Dalam poci
arak ini sama sekali tidak ada alat rahasia. Arak yang tersimpan pun
sama. Padahal aku meneguk arak itu jauh lebih banyak ketimbang
kau!" Sebenarnya Hwee-ko curiga kalau dia telah mencampuri arak itu
dengan racun, tapi sekarang dia mulai meragukan kecurigaannya
itu, jangan-jangan dia telah salah menduga. Pikirnya, 'Kemampuan
Han Siang melepaskan racun belum termasuk nomor wahid, bila dia
benar-benar mengguna- kan racun, masa aku tidak dapat
merasakannya" Tapi aneh, mengapa sekarang.... '
Belum habis dia berpikir, perasaan pusing dan berkunang kembali
muncul secara tiba-tiba. Hwee-ko mencoba mengatur pernapasan, dia merasa peredaran
hawa murninya sudah menjumpai hambatan, maka setelah berhasil
mengendalikan diri ujarnya, "Baik, anggap aku telah salah
menuduhmu, silahkan duduk kembali ke tempat semula, mari kita
berbicara lagi." "Pembicaraan antar teman berdasarkan saling percaya, bila
Thaysu memang menaruh curiga, lebih baik pembicaraan hari ini
kita hentikan sampai disini saja."
Hwee-ko tidak habis mengerti mengapa dirinya bisa keracunan,
tapi sudah jelas terlihat kalau pihak lawan sedang menjalankan
siasat menunda pasukan. Sekuat tenaga dia berusaha mengendalikan diri, tidak
membiarkan Han Siang menemukan perubahan mimik mukanya,
dengan hambar ujarnya, "Baik, sementara waktu tidak usah kita
bicarakan, hanya saja...."
Mendadak sambil membentak dia menerkam ke depan, serunya,
"Hanya saja, kau harus menghantarkan aku dan Tonghong Liang
meninggalkan tempat ini!"
Han Siang tidak sempat menghindarkan diri, terpaksa dia balas
mencengkeram tubuh Hwee-ko.
Sebetulnya dia pun mempelajari ilmu cakar elang Toa-lek-engjiau-
kang, siapa tahu ketika cakar kedua belah pihak saling
membentur, terjadi suara benturan yang keras diikuti kulit tubuhnya
serasa disayat dengan golok, tahu-tahu lengan kanan Han Siang
telah muncul sebuah mulut luka yang merekah besar, darah
bercucuran tiada hentinya.
"Thaysu!" teriak Han Siang dengan napas tersengkal,
"kecurigaanmu kelewat besar, sebenarnya aku hendak menghantar
keluar Tonghong Liang tapi paling tidak kau harus memberi
kesempatan kepadaku untuk berbicara!"
Begitu menggunakan tenaga dalamnya, Hwee-ko segera
merasakan peredaran tenaga dalam dadanya jadi kalut, seolah olah
seluruh badannya akan terlepas saja, bahkan kondisi badan pun
kian bertambah menyusut. Cepat dia berpaling ke arah Lan Giokkeng


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil berpikir, "Bocah ini tidak meneguk arak, rasanya dia
tidak bakalan keracunan."
Namun dalam kondisi seperti ini, dia tidak dapat memperingatkan
Lan Giok-keng, minta dia segera melarikan diri.
Ooo)*(ooO Belum lenyap ingatan itu, terlihat kepala Lan Giok-keng tiba-tiba
terkulai lemas, dia seperti tidak dapat duduk dengan tegak lagi,
tubuh berikut bangkunya roboh terjungkal ke tanah.
Hwee-ko terkesiap, baru saja hendak menerjang maju, anak
buah Han Siang sudah keburu meluruk maju ke depan, Hwee-ko
segera mengerahkan sisa kekuatannya untuk memukul, menendang
dan merobohkan beberapa orang lagi, tapi sayang pandangan
matanya jadi kabur, yang terlihat kini hanya bayangan hitam yang
kabur, kekuatan badannya semakin melemah, dalam waktu singkat
dia berhasil merobohkan beberapa orang itu.
Untung saja kawanan anak buah Han Siang keder dibuatnya oleh
kejadian ini, untuk sesaat mereka tidak berani lagi untuk maju ke
depan. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berseru sambil tertawa
cekikikan, "Hwee-ko, sungguh hebat kepandaianmu, sayang sedikit
terlambat ketika kau sadar mulai keracunan."
Di hadapannya muncul seorang wanita cantik setengah umur,
biarpun pandangan matanya sudah mulai kabur, namun dia masih
cukup mengenali siapakah wanita itu, bahkan biar sudah terbakar
jadi abu pun dia tetap dapat mengenali.
"Siang Ngo-nio, ternyata kau yang telah meracuni kami!" bentak
Hwee-ko nyaring, suara bentakan itu penuh dengan hawa amarah,
tapi kedengaran mulai gemetar.
Siang Ngo-nio tampak sangat bangga, katanya lagi sambil
tertawa terkekeh, "Sekarang tentunya kau sudah tahu bukan kalau
tuduhanmu terhadap Han tua salah besar" Hehehehe....
kalau bukan lo-nio turun tangan sendiri, mana mungkin tokoh
hebat semacam kau bisa masuk perangkap!"
"Tidak memalukan bila lolap dipecundangi manusia macam kau,
tapi ada satu hal aku kurang jelas, mohon diberi petunjuk," ujar
Hwee-ko tiba-tiba. Suara tertawa Siang Ngo-nio makin keras.
"Terima kasih banyak atas pujian Thaysu, kenapa persoalan apa
yang ingin kau ketahui?"
"Dalam arak tiada racun, aku ingin tahu dengan cara apa kau
mempercudang diriku?"
Ketika seseorang merasa telah melakukan sebuah 'hasil karya
yang membanggakan', yang paling dia takuti adalah bila orang lain
tidak mengetahui secara jelas.
Pertanyaan dari Hwee-ko ini ibarat sedang menggaruk bagian
tubuhnya yang paling gatal, kontan saja Siang Ngo-nio tertawa
terkekeh. "Hahahaha.... bila tidak kuberitahu tahu, mungkin sampai
mampus pun kau akan jadi setan pikun. Meracuni orang sama
dengan ilmu silat, semuanya terdiri dari beberapa tingkatan, kau
sangka hanya lewat arak dan hidangan saja racun baru bisa
disebar" Kau salah besar, terus terang saja, semenjak pertama kali
kau melangkah ke tempat ini, tubuhmu sudah mulai keracunan."
"Aku jadi semakin tidak habis mengerti, bukankah waktu itu kau
belum datang, bagaimana mungkin bisa menyebar racun"
Kemudian, sejak kapan kau menyebar racun" Mengapa aku sama
sekali tidak merasa?"
Siang Ngo-nio tertawa lebar.
"Siapa suruh kau kurang hati-hati, pernahkah kau
memperhatikan sesuatu, ketika baru datang tadi, langit belum
gelap, tapi mengapa di empat penjuru gardu ini sudah disulut lilin?"
Seolah baru mendusin dari impian, Hwee-ko segera berseru,
"Jadi racun itu berasal dari ke empat batang lilin itu?"
"Betul, lilin itu terbuat dari tujuh macam bahan pemabok, yang
hebat adalah setelah bahan-bahan itu tercampur, sama sekali tidak
menyebarkan bau harum apa pun, itulah sebabnya kehadiran racun
ini sama sekali tidak bisa dirasakan oleh jagoan tangguh macam
dirimu." Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Racun ini bekerja
sangat lambat, satu menit lebih lama lilin itu menyala, satu menit
lebih dalam kau keracunan. Pada mulanya kau tidak bakalan berasa,
tapi disaat kau mulai merasakan hal ini, maka keadaan sudah
terlambat, sehebat apa pun tenaga dalam yang kau miliki, jangan
harap bisa mengusir pengaruh racun tersebut. Hebatnya tenaga
dalam seseorang hanya bisa menunda saatmu jatuh tidak sadarkan
diri, tapi sayangnya semakin kau gunakan tenaga dalam untuk
melawan, racun akan semakin dalam menyusup dalam tubuhmu.
Kalau tidak percaya, cobalah sekarang, coba lihat apakah kau masih
bisa mengerahkan tenaga murnimu."
Hwee-ko sengaja 'minta petunjuk' darinya, tujuan yang utama
adalah berusaha untuk mengulur waktu, dia berharap bisa
menggunakan waktu yang sesaat untuk mengusir pengaruh racun
dari tubuhnya. Tapi sekarang dia tidak perlu mencoba lagi, sebab sudah tahu
kalau apa yang dikatakan Siang Ngo-nio memang tidak bohong, kini
lambungnya terasa kosong melompong, bukan saja tidak dapat
menggiring hawa murninya berkumpul di Tan-tian, sebaliknya dia
merasa makin lama tubuhnya semakin 'terurai' dan terlumat dalam
udara. "Lebih baik beristirahatlah dengan tenang," kata Siang Ngo-nio
sambil tertawa, "mengingat hubungan kita selama banyak tahun,
tidak nanti aku akan mencabut nyawamu. Yang kuinginkan hanya
bocah itu. Han tua, aku telah membantumu, jadi bocah she Lan itu
bisa kau serahkan kepadaku bukan!"
"Buat apa aku minta bocah itu" Cuma khawatirnya ada yang
merasa keberatan." "Siapa?" "Tonghong Liang!"
Kontan Siang Ngo-nio tertawa dingin.
"Hmm, dia sangka masih berhak untuk ikut bicara disini?"
jengeknya. Tiba tiba dia teringat kalau Tonghong Liang sudah terjatuh ke
tangan Han Siang, lantas buat apa dia harus mengucapkan
perkataan seperti itu" Begitu ingatan tadi melintas, segera katanya,
"Baik, sekarang aku akan membawa dulu bocah itu, daripada nanti
aku musti berebut lagi dengan orang lain.
Eeei, tidak benar...."
Sebetulnya Lan Giok-keng berbaring diatas meja dalam keadaan
tudak sadarkan diri, tapi sekarang, secara tiba tiba dia melompat
bangun, kemudian...." blukk, bluuuk! Dua orang anak buah Han
Siang yang sedang mengawasinya dari samping tahu-tahu sudah
roboh tertelentang diatas tanah.
Ternyata walaupun dalam arak yang disuguhkan Han Siang tidak
dicampuri racun, namun setelah meneguk arak lalu menghisap hawa
racun yang tersebar dari lilin yang terbakar, daya kerja racun
menyebar semakin cepat. Itulah sebabnya ketika Hwee-ko merasa kalau dirinya sudah
keracunan, Lan Giok-keng sendiri baru saja mulai merasa agak
pening, namun sama sekali belum sadarkan diri.
Alasan lain mengapa racun dalam tubuhnya bekerja jauh lebih
lambat dari Hwee-ko adalah, meski dalam hal tenaga dalam dia
masih kalah jauh dibandingkan Hwee-ko, namun Sim-hoat tenaga
dalam yang dipelajarinya adalah tenaga dalam murni yang dipelajari
langsung dari Bu-siang Cinjin, tenaga dalamnya lebih menang dalam
hal 'kemurnian', maka di saat dia berlagak mabok dengan
memperlemah napasnya, otomatis daya kerja racun pun jadi
semakin melambat. Begitu cepat dia bertindak, mendadak Lan Giok-keng telah
mencabut keluar pedangnya dan melancarkan sebuah tusukan ke
tubuh Siang Ngo-nio. Tentu saja Siang Ngo-nio tidak memandang sebelah mata pun
terhadap datangnya ancaman, sambil mengebaskan ujung bajunya
dia berkata sambil tertawa lembut, "Aku hanya berniat baik
kepadamu, buat apa...."
Belum habis berkataan itu diucapkan, "Breeet!' tahu-tahu ujung
bajunya sudah terpapas oleh sambaran pedang Lan Giok-keng yang
cepat bagaikan sambaran kilat dan robek sebagian.
Sekarang Siang Ngo-nio baru terkejut, dia tidak habis mengerti,
baru berpisah satu bulan kenapa ilmu pedang Lan Giok-keng dapat
mengalami kemajuan sedemikian cepatnya"
Darimana dia bisa tahu kalau dalam sebulan belakangan, bukan
saja dia telah mendapat petunjuk dari Tonghong Liang bahkan
selama berada dalam biara Siau-lim, secara beruntun dia telah
menyaksikan pertarungan antara Tonghong Liang dengan Wan-seng
dan Wan tin, lalu menyaksikan pula pertarungan Hwee-ko melawan
Pun-bu thaysu, ketua tianglo dari ruang Tat-mo, sekalipun
pertarungan mereka bukan pertan-dingan pedang, namun dengan
pemahaman yang diperoleh sepanjang pertarungan itu berlangsung,
kepesatan ilmu silat yang diperoleh Lan Giok-keng saat ini boleh
dibilang jauh diatas kemampuannya dulu.
Begitu menyaksikan Lan Giok-keng dapat menggunakan ilmu
pedang sedemikian hebatnya, Hwee-ko merasa kegirangan
setengah mati, namun dibalik rasa gembira, diam-diam dia pun
berpekik, "Sayang!" pikirnya, "Kepintaran bocah ini memang lain
daripada yang lain, hanya sayang dia masih kekurangan
pengalaman, coba kalau dia menunggu sebentar lagi, sampai wanita
siluman itu berjalan mendekatinya baru melancarkan serangan,
besar harapan perempuan itu tidak bisa meloloskan diri lagi."
Dengan perasaan kaget bercampur ragu Siang Ngo-nio melompat
mundur ke belakang, kemudian menyelinap ke balik penyekat
ruangan. Dalam pada itu Hwee-ko merasakan kepalanya makin lama makin
bertambah pening, buru-buru teriaknya, "Mau menangkap bajingan,
bekuk pentolannya lebih dulu."
Dalam Toan-hun-kok, Han Siang adalah tuan rumah, kalau bisa
membekuk Han Siang tentu saja manfaatnya jauh lebih besar
ketimbang membekuk Siang Ngo-nio. Selain itu kungfu yang dimiliki
Han Siang masih sedikit di bawah Siang Ngo-nio, itu berarti
kesempatan untuk berhasil jauh lebih besar.
Hwee-ko bisa berpikir ke situ, begitu pula dengan Lan Giok-keng.
Dengan cepat dia mengambil keputusan dan langsung menerkam ke
arah Han Siang. Melihat datangnya ancaman, Han Siang dengan jurus Wan-kiongTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
si-tiau (Menarik gendawa memanah rajawali) segera mengancam
jalan darah Sam-yo-hiat di tekukan lengan Lan Giok-keng, cepat
bocah itu membalik pedangnya balas membacok.
"Serangan bagus!" bentak Han Siang.
Sambil menekuk lutut dan memutar arah, Dia menggunakan ilmu
Ki-na-jiu-hoat balas mengancam lengan lawan.
Saat itu jurus serangan Lan Giok-keng sudah terlanjur digunakan
hingga puncak, tampaknya susah baginya untuk meloloskan diri dari
cengkeraman tersebut. Hal ini bukan disebabkan ilmu silat Han Siang jauh lebih baik dari
Siang Ngo-nio, melainkan karena dia sudah melihat kerugian yang
diderita perempuan itu maka jauh sebelumnya sudah membuat
persiapan. "mi.... -> " * '
Bagaimana pun, yang menonton dari samping arena dapat
melihat situasi jauh lebih jelas, disaat dia sangka bakal peroleh
kemenangan itulah tiba-tiba terdengar Siang Ngo-nio berteriak
keras, "Kokcu, hati-hati!"
Belum habis dia berkata, mata pedang Lan Giok-keng yang
sesungguhnya sudah berada pada posisi tidak mungkin membalik
itulah tiba-tiba memercikkan bunga pedang, kemudian dari arah
yang sama sekali tidak diduga Han Siang mendadak menusuk
masuk. Dalam gugupnya cepat-cepat Han Siang menekuk pinggang
sambil membuang tubuhnya nyaris menempel diatas tanah, meski
cukup cepat dia berkelit hingga bagian tubuhnya yang mematikan
berhasil terlindungi, tidak urung ujung pedang Lan Giok-keng
sempat menusuk juga tubuhnya.
Han Siang merasakan tengkuknya tersambar angin dingin,
dengan perasaan bergidik pekiknya dalam hati, "Mampus aku kali
ini!" Diluar dugaan, ternyata dia tidak merasakan kesakitan. Ternyata
babatan pedang dari Lan Giok-keng itu hanya menyambar lewat
nyaris menempel diatas bahunya, akibat babatan tersebut hanya
selapis kulit tubuhnya saja yang tersayat.
Sementara itu Lan Giok-keng sendiripun diam diam menarik
napas dingin, pikirnya, "Coba kalau aku menggunakan tenaganya
dua bagian lebih besar, dia pasti terluka parah. Aaai, sungguh tidak
nyana kemampuanku demikian tidak becus!"
Bagaikan keledai malas yang menggelinding, Han Siang
menyingkir sejauh beberapa tombak dari arena pertarungan.
"Kokcu, jangan gugup," terdengar Siang Ngo-nio berseru sambil
tertawa, "bocah itu sudah kehabisan tenaga."
Ketika Han Siang bangkit berdiri, betul saja, dia jumpai Lan Giokkeng
hanya berdiri di tempat semula dan sama sekali tidak
mengejarnya. Namun sayang keadaannya sekarang sudah ibarat
burung yang kaget oleh panah, mana mungkin berani maju
kembali" Dalam pada itu Siang Ngo-nio telah muncul kembali dari balik
sekatan, dengan lembut ujarnya, "Anak Keng, aku tidak bakal
mencelakaimu, asal mau memanggil ibu angkat kepadaku, bukan
saja aku akan segera menolongmu bahkan akan kuberikan juga
obat pemunahnya." Waktu itu Lan Giok-keng merasakan otaknya seperti mau
meledak, beratnya bukan kepalang. Namun meski sudah ingin tidur,
dia masih berusaha untuk mempertahankan diri, umpatnya, "Kau....
kau siluman perempuan.... bunuhlah aku, tidak nanti aku akan...."
Belum selesai bicara tiba-tiba terdengar suara benda berat yang
jatuh ke tanah, ternyata Hwee-ko Thaysu bagaikan sebatang balok
kayu sudah roboh terjungkal ke tanah.
Ternyata setelah menyaksikan racun yang berada dalam tubuh
Lan Giok-keng mulai bekerja, harapan pun pupus sudah, hawa
murni yang masih tersisa dalam Tan-tian pun otomatis membuyar,
hal ini membuat kesadarannya tidak dapat dipertahankan lagi.
"Hwee.... Hwee-ko Thaysu...." teriak Lan Giok-keng dengan suara
parau. Sayang dia tidak dapat mendengar suara teriakan sendiri, dia
sudah tidak mampu berteriak lagi.
Namun lamat-lamat dia seperti mendengar suara helaan napas
Siang Ngo-nio disusul ucapannya, " Aaaai.... dasar bocah yang tidak
tahu diri....!" Mendadak pandangan matanya jadi gelap, dia pun roboh tidak
sadarkan diri. "Han Kokcu," sambil tertawa ujar Siang Ngo-nio, "kali ini mereka
benar-benar sudah pingsan, bukan pura-pura lagi, kau tidak usah
kuatir." Keadaan Han Siang sungguh mengenaskan, selain malu dia pun


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa sangat kehilangan muka, sambil tertawa paksa katanya,
"Bocah ini selain pintar, nyalinya sangat besar. Terus terang saja
bukan hanya Ngo-nio saja yang menyukainya, meski aku sempat
tersayat oleh pedangnya, jujur saja, aku tetap tidak tega untuk
melukainya." Siang Ngo-nio mendengus. "Sudah, tidak usah bicara yang bukan-bukan lagi, mari kita
kembali ke pokok persoalan. Aku telah membantu usahamu, lantas
apa balasanmu untukku?"
Sebenarnya dia menunggu tindakan Han Siang yang secara
otomatis menyerahkan Lan Giok-keng kepadanya, siapa tahu orang
itu hanya membungkam saja.
Diam-diam Siang Ngo-nio jadi jengkel, pikirnya, "Sudah jelas kau
tahu kalau aku menyukai bocah ini, tapi masih sengaja berlagak
pilon! Hmmm, paling tidak kau harusnya bilang begini," kalau kau
begitu menyukainya, ambillah."
Belum lagi ingatan itu melintas, tiba-tiba terdengar seseorang
berkata, "Jangan lupa masih ada aku!"
Bersamaan dengan bergemanya perkataan itu, dari balik sekat
ruang telah berjalan keluar seseorang, ternyata dia tidak lain adalah
Tonghong Liang. Rupanya di dalam gua di balik gunung-gunungan itu terdapat
sebuah lorong bawah tanah yang langsung menembus ke ruangan
Huan-cui-kek ini. "Ngo-nio, tidak nyana tanganmu begitu panjang hingga bisa
menjamah ke tempat ini. Mengagumkan, sungguh mengagumkan!"
sindir Tonghong Liang. "Hmm, memangnya aku masih punya nilai untuk dikagumi?"
balas Siang Ngo-nio ketus.
"Bukan saja aku kagum karena tanganmu yang begitu panjang,
terlebih kagum lagi karena siasatmu yang begitu licik dan keji. Hey,
dengan cara apa pula kau bisa membiarkan si tua Tong memberi ijin
kepada-mu untuk keluyuran?"
Sewaktu berjumpa ditengah jalan tempo hari, Siang Ngo-nio
telah menderita kekalahan di tangan Tonghong Liang, bahkan
menderita kekalahan yang amat mengenaskan, sedikit banyak dia
merasa jeri juga menghadapi orang ini. Cepat sahutnya, "Kau tidak
usah mencampuri urusanku. Hmm, aku hanya ingin tanya, mau apa
kau datang kemari?" "Sama seperti kau, datang kemari untuk menanyakan balas jasa
dari Han-Kokcu," sahut Tonghong Liang sambil tersenyum.
"Tonghong Liang, hari ini aku tidak ingin membuat perhitungan
denganmu, tapi kau pun jangan mencoba mencampuri urusanku.
Tahukah kau, aku adalah sahabat karib gurumu, seandainya gurumu
berada disini pun, dia pasti akan memberi muka kepadaku."
Kembali Tonghong Liang tertawa.
"Ke satu, sahabat lamamu kelewat banyak, aku tidak berminat
untuk mengetahuinya. Ke dua, aku tidak pernah mencampuri urusan
lama guruku. Ke tiga, sejak terjun ke dalam dunia persilatan, guruku
tidak pernah lagi mencampuri urusan pribadiku."
Siang Ngo-nio benar-benar dibuat menangis tidak bisa tertawa
pun tidak mampu, hampir saja dia tidak tahan untuk melukainya
dengan racun, tapi setelah mendapat pelajaran tempo hari, dia
semakin sadar akan kehebatan ilmu silat Tonghong Liang, bahkan
sudah jauh mengungguli gurunya di masa lampau, maka dia tidak
berani bertindak gegabah. Sembari berpaling ke arah Han Siang,
ujarnya sambil tertawa dingin, "Han-Kokcu, permainan sandiwara
mu dengan Tonghong Liang benar-benar sangat hebat, bahkan aku
sendiripun nyaris terkelabuhi. Hehehe.... apakah sekarang kalian
akan bekerja sama lagi untuk menghadapi ku?"
Han Siang tertawa getir. "Ucapan Ngo-nio terlampau serius, kalian berdua sama-sama
telah membantuku, mana mungkin aku akan pilih kasih?"
"Bantuan apa yang telah dia berikan kepadamu?" tanya Siang
Ngo-nio cepat. "Tanpa dia, Hwee-ko Thaysu yang sudah menjadi pendeta di
biara Siau-lim ini mana mungkin bakal muncul di Toan-hun-kok?"
Kembali Siang Ngo-nio tertawa dingin.
"Aku tahu, dalam hal menipu orang, aku memang tidak sanggup
menandingi Tonghong Liang, tapi kalau hanya berhasil membohongi
pendeta itu hingga muncul disini, memangnya dia bakal
membantumu menyelesaikan cita-cita?"
"Benar, seandainya tiada bantuan dari Ngo-nio, kami pun tidak
mampu menghadapi hweesio itu. Maka dari itulah aku menaruh rasa
berterima kasih yang sama terhadap kalian berdua. Tolong kalian
sudi memandang wajahku dengan tidak melakukan benturan
sendiri, semua persoalan mari kita rundingkan secara baik-baik. Bila
kalian sudah memperoleh pemahaman, aku akan melaksanakan apa
pun keputusan itu. Tolong jangan menyusahkan diriku."
"Baik, kalau memang hweesio itu datang karena tertipu olehnya,
kutinggalkan hwesio itu untuknya, sementara aku menginginkan
bocah she Lan itu." "Tidak," tukas Tonghong Liang cepat, "hwesio itu untukmu, aku
minta Lan Giok-keng saja."
"Kurangajar, aku toh seorang wanita, buat apa mendapatkan
seorang hweesio?" "Hahahaha.... siapa tahu kau ingin mencicipinya."
"Dasar sialan, mulut anjing memang tidak bakal muncul gading.
Lo-nio tidak sudi ribut denganmu. Tapi jangan kau sangka lo-nio
bisa dipermainkan sesuka hatimu!"
"Siapa yang sedang mempermainkan dirimu" Kalau kau tidak
maui hwesio, itu mah urusanmu sendiri. Lan Giok-keng adalah adik
angkatku, tidak nanti akan kuserahkan kepadamu."
"Han-Kokcu, bagaimana menurut kau?" teriak Siang Ngo-nio
kemudian. Han Siang angkat ke dua belah tangannya sambil menggeleng.
"Terus terang, aku tidak ingin menyalahi kalian berdua, namun
aku pun tidak ingin membantu pihak mana pun."
"Han-Kokcu, jadi kau sangka aku tidak mampu mengalahkan
Tonghong Liang?" "Lebih baik kalian berdua jangan sampai saling bertempur!"
"Han-Kokcu," kembali Siang Ngo-nio berkata ketus, "kalau
memang kau enggan membantuku, lebih baik biarkan aku mati
disini saja!" Sembari berkata dia sudah mencabut sebatang jarum beracun
dan mengarahkan ujung jarum yang tajam ke atas tenggorokan
sendiri. "Ngo-nio, jangan!" teriak Han Siang.
"Apa salahnya biarkan aku mati" Bukankah lebih baik untukmu"
Hmm, biar kau enggan membantuku, ada orang pasti akan
membantuku!" Tentu saja Han Siang mengerti siapa yang dimaksud "ada orang"
itu, pikirnya, "Tidak jelas ancamannya untuk bunuh diri itu
sungguhan atau hanya gertak sambal. Tapi seandainya dia benarbenar
mati di dalam Lembah pemutus sukma, kekasih gelapnya,
Tong ji-sianseng pasti akan datang kemari untuk membuat
keonaran." Sebagaimana diketahui, keluarga Tong dari wilayah Su-chuan
mempunyai julukan sebagai "keluarga senjata rahasia nomor wahid
dikolong langit". 'Tong ji-sianseng' Tong Tiong-san adalah anggota
keluarga Tong dari Su-chuan, kakaknya Tong Pak-san sudah
meninggal, itu berarti dewasa ini dialah orang dengan kedudukan
paling tinggi dalam keluarga Tong.
Jangan lagi Han Siang tidak bernyali untuk mengusiknya, bahkan
para Ciangbunjin dari pelbagai partai besar pun rata-rata menaruh
perasaan jeri terhadapnya.
Mimpi pun Han Siang tidak menyangka kalau Siang Ngo-nio bakal
membuat ulah, saking kagetnya dia sampai gugup dan panik tidak
karuan. Tonghong Liang masih berdiri dengan mimik santai, hanya
ujarnya dengan nada hambar, "Ngo-nio, kau ingin merampas Lan
Giok-keng" Apakah tidak kuatir orang Bu-tong-pay akan mencarimu
untuk membuat perhitungan?"
Dengan berlagak serius sahut Siang Ngo-nio cepat, "Mati saja
tidak takut, apa lagi yang musti kutakuti?"
"Hahahaha.... betul, orang mati memang tidak perlu ditakuti, tapi
kalau ada orang tahu kalau kau bukan orang mati?" sindir Tonghong
Liang sambil tertawa terkekeh.
"Apa maksud perkataanmu itu?" seru Siang Ngo-nio, diam-diam
dia terperanjat. "Aku tidak percaya kalau kau tidak mengerti, berani mendatangi
Toan-hun-kok bukankah lantaran kau sangka orang lain telah
menganggapmu mati" Orang yang sudah mati ditambah sedikit obat
perubah wajah, kau pun bisa berkeliaran dalam dunia persilatan
semau hati sendiri."
Siang Ngo-nio tidak mengira rahasianya bakal dibongkar
Tonghong Liang, untuk sesaat dia berdiri termangu, berdiri tertegun
saking kagetnya. Kembali Tonghong Liang tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... Ngo-nio, lebih baik tidak usah berlagak sok mati
lagi, mari kita bicarakan jual beli ini dengan lebih serius."
Kemudian sambil berpaling ke arah Han Siang, ujarnya lebih
jauh, "Han-Kokcu, untuk sementara waktu kuserahkan hwesio tua
dan adik angkatku kepadamu, harap kau merawat mereka dengan
sebaik-baiknya, biar aku berunding dulu dengan Ngo-nio. Terlepas
apakah transaksi ini berhasil atau tidak, akupun tidak bakal
menyusahkan dirimu."
Ibarat pucuk dicinta ulam tiba, cepat-cepat Han Siang berseru,
"Memang paling baik begitu."
Segera dia perintahkan orang untuk menggotong pergi Hwee-ko
thaysu dan Lan Giok-keng, sementara dia sendiri ikut meninggalkan
ruang Huan-cui-kek dengan membiarkan Siang Ngo-nio dan
Tonghong Liang tetap berada ditempat.
Sepeninggal Han Siang, dengan perasaan ragu penuh curiga
Siang Ngo-nio baru bertanya kepada Tonghong Liang, "Sebetulnya
isu apa yang telah kau dengar sepanjang jalan?"
"Tidak ada, aku hanya berjumpa Bouw It-yu di tengah jalan."
"Lantas kenapa?"
"Juga tidak apa-apa, aku hanya tahu kalau kau pun pernah
bersua pula dengan Bouw It-yu."
"Apa saja yang telah dia katakan kepadamu?" kembali Siang
Ngo-nio bertanya, sementara di hati kecilnya berpikir, 'Bouw It-yu
adalah musuh bebuyutan Tonghong Liang, seharusnya tidak
mungkin dia akan beritahukan rahasiaku kepada Tonghong Liang'
Tampaknya Tonghong Liang dapat membaca jalan pikirannya,
segera ujarnya lagi, "Pokoknya kau tidak usah tahu siapa yang
memberitahukan kepadaku, pokoknya aku tahu kalau kau ingin
menggunakan siasat berlagak mati untuk mengelabuhi seluruh
dunia." Siang Ngo-nio adalah jago silat kawakan, betapa pun rasa takut
mencekam perasaan hatinya, perasaan tersebut tidak sampai
diperlihatkan keluar. Katanya ketus, "Monyet kecil, apa lagi yang
kau ketahui?" Tonghong Liang tertawa terkekeh.
"Ngo-nio, aku dengar kau dengan Bouw Ciong-long, Ciangbunjin
baru dari Bu-tong-pay pun punya hubungan khusus, benarkah itu?"
"Bocah busuk, jangan ngaco belo...."
Belum selesai umpatan itu, Tonghong Liang telah menarik
kembali senyumannya dan berkata serius, "Ngo-nio, kau bukan
perempuan baik, akupun bukan lelaki budiman, mari kita bicara
blak-blakan, kalau tidak jual beli ini tidak perlu dibicarakan lebih
lanjut." Siang Ngo-nio terkesiap, sahutnya kemudian, "Baik, katakan lebih
lanjut." Kembali Tonghong Liang bersikap santai, ujarnya sambil tertawa,
"Ngo-nio, kau tidak kuatir orang orang Bu-tong-pay mencarimu
untuk menuntut balas karena selain telah berlagak mati dan
mengira Bu-si Tojin sekalian pasti dapat dikelabuhi, mungkin hal ini
dikarenakan Bouw Ciong-long pernah jadi kekasih gelapmu bukan"
Benar! Menurut kebiasaan, dia seharusnya teringat dengan
hubungan cinta kalian di masa lalu, tapi aku rasa kau harus
mewaspadainya juga!"
Makin didengar Siang Ngo-nio merasa semakin terkesiap,
pikirnya, Entah berapa banyak lagi yang dia ketahui"'
Dengan berlagak tidak acuh katanya, "Bocah busuk, kalau ada
perkataan cepat sampaikan, kalau ada kentut cepat lepaskan, kau
tidak usah menebak-nebak perasaan hati lonio."
Kelihatannya Tonghong Liang lagi-lagi berhasil membaca suara
hatinya, setelah tertawa terbahak-bahak katanya, "Hahahaha.... apa
yang kuketahui tentang persoalanmu mungkin jauh diluar
perhitunganmu, aku pun tahu tentang kematian yang menimpa Bukek
tianglo dari Bu-tong-pay, walaupun bukan kau yang turun
tangan namun kasus pembunuhan ini ada hubungannya denganmu.
Aku bahkan tahu kalau kau lah pembunuh utama yang telah
menghabisi nyawa Ji-ouw thayhiap Ho Ki-bu!"
Biarpun Siang Ngo-nio berusaha menenangkan hati, tidak urung
berubah juga paras mukanya sesudah mendengar perkataan itu,
ujarnya getir, "Kalau kau tahu lantas kenapa" Bila aku takut dengan
gertakan orang, dari dulu sudah mati ketakutan, mana mungkin bisa
hidup hingga hari ini?"
"Ngo-nio, kau salah paham," Tonghong Liang tertawa, "jika aku
berniat jahat kepadamu, tidak bakalan kuajak kau berunding soal
jual beli ini, aku tidak berniat menggertakmu, hanya ikut
mengkhawatirkan keselamat anmu."
"Terima kasih banyak. Aku jadi ingin tahu dengan cara apa kau
ikut mengkhawatirkan aku?"
"Kedua kasus pembunuhan ini merupakan kejadian yang paling
memalukan bagi Bu-tong-pay, bila orang lain sampai tahu akan
keterlibatanmu, aku yakin Bouw Ciong-long sendiripun tidak bakal
bisa melindungimu. Itupun seandainya Bouw Ciong-long masih
teringat dengan hubungan cinta kalian dimasa silam, tapi bila demi
memperkokoh posisinya sebagai Ciangbunjin baru, siapa tahu dia
bakal mengorbankan dirimu."
Sesungguhnya Siang Ngo-nio sendiri pun merupakan seorang
wanita berhati keji dan telengas, begitu mendengar ucapan
tersebut, dalam hati kecilnya dia segera mengakui kalau ucapan ini
ada benarnya juga. "Bouw Ciong-long baru saja menjabat sebagai Ciangbunjin, dia
pasti akan berusaha melakukan jasa besar bagi partai Bu-tong,
dengan begitu posisi dan kekuasaannya baru semakin kokoh."
Membayangkan sampai disitu, tanpa terasa Siang Ngo-nio
merasa amat bergidik, ujarnya kemudian, "Apakah kau punya cara
untuk mengajariku menghadapi Bouw Ciong-long?"
"Kata 'mengajari' tidak berani kuterima, kemampuanku pun tidak
bisa digunakan untuk menghadapi Bouw Ciong-long. Tapi kalau
ingin membuat Bouw Ciong-long segan kepadamu, itu mah tidak
susah." "Aku siap mendengarkan pendapatmu yang hebat."
"Jangan dikatakan yang hebat, yang paling lemah pun aku tidak
punya!"

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siang Ngo-nio tertegun. Belum sempat dia mengucapkan sesuatu, terdengar Tonghong
Liang telah berkata lebih jauh, "Kau harus tahu, untuk bisa
membuat Bouw Ciong-long segan kepadamu, kita tidak bisa hanya
mengandalkan pembicaraan saja. Tapi mengapa aku harus
mengatakannya kepadamu?"
"Ooh, rupanya kau hendak menggunakan hal ini untuk
melakukan barter denganku, aku musti lihat dulu apa yang kau
minta dan seberapa besar keuntungan yang akan kuperoleh?"
"Dalam jual beli ini sudah pasti kau berada dipihak yang di
untungkan. Asal kau bersedia menyerah kan Lan Giok-keng
kepadaku, bagimu ibarat sekali tepuk mendapat dua."
Dapat membuat Bouw Ciong-long segan kepadanya telah
dikatakan Tonghong Liang sedari tadi, maka Siang Ngo-nio pun
bertanya, "Lalu apa pula yang ku peroleh lainnya?"
Tonghong Liang tidak langsung menjawab, dengan senyum tidak
senyum ujarnya, "Tahun ini Tong Ji-sianseng telah mencapai usia
tujuh puluh tahun an, masa hidupnya di dunia inipun tidak bakal
berapa lama lagi. Sekalipun tidak sampai mati, yang pasti dia akan
semakin tua. Aku yakin kau pasti mempunyai cara untuk
menundukkan dirinya bukan?"
"Apa maksudmu menyangkut pautkan persoalan ini dengan dia
orang tua?" "Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya ingin mengatakan bahwa
kehidupanmu dikemudian hari sudah pasti tidak perlu kuatir
kekangan dan peng-awasan dari Tong ji-sianseng lagi."
"Hmm, sebelumnya pun aku tidak usah takut dikekang dan
diawasi dia," dengus Siang Ngo-nio sambil tertawa dingin.
"Hahahaha.... bagus, kalau begitu aku boleh menyinggung
masalah pokoknya sekarang," kata Tonghong Liang sambil tertawa,
"kita singkirkan masalah si tua bangka itu, aku ingin bertanya, bila
kau bisa mempunyai seorang gendak, kira-kira yang kau pilih Bouw
Ciong-long atau Ko Ceng-kim?"
"Cisss, kentut apa yang sedang kau hembuskan?"
"Sudahlah, tidak perlu berlagak pilon," kembali Tonghong Liang
tertawa, "Ko Ceng-kim, murid pertama Ho Ki-bu dimasa lampau
tidak lain adalah Put-ji Tojin, tianglo yang baru diangkat di partai
Bu-tong, bukankah kalian pernah menjalin hubungan rahasia?"
Akhirnya sikap Siang Ngo-nio melunak, tanyanya, "Sebenarnya
apa yang ingin kau sampaikan?"
"Kalau bicara soal kedudukan, jelas Bouw Ciong-long lebih tinggi,
tapi bicara soal usia, Ko Ceng-kim jauh lebih muda. Aku rasa
mereka berdua sama-sama berat untuk ditinggalkan bukan" Tapi
kira-kira dari mereka berdua, siapa yang bersikap lebih baik
terhadapmu?" Siang Ngo-nio hanya membungkam tanpa menjawab, sementara
dalam hati berpikir, "Rasanya ke dua orang itu sama saja. Samasama
tidak setia, tidak sayang, tidak menaruh perhatian lagi
kepadaku. Sudah sejak lama Bouw Ciong-long tidak berani
menyentuhku lagi, Ko Ceng-kim pun sudah enam belas tahun
menghindari aku." Tonghong Liang kembali melirik Siang Ngo-nio beberapa kejap,
lalu dengan senyum tidak senyum ujarnya, "Aku tidak tahu
bagaimana Ko Ceng-kim bersikap kepadamu, tapi menurut
pandanganku, bila kau ingin berhubungan mesra lagi dengan Bouw
Ciong-long, jelas hal ini lebih susah lagi untuk mencapainya!"
Merah padam selembar wajah Siang Ngo-nio lantaran jengah,
umpatnya, "Siapa bilang aku ingin bermesraan lagi dengan Bouw
Ciong-long" Kau sangka lantaran dia sudah jadi Ciangbunjin, maka
aku berniat menggaetnya lagi" Hmmm, sebejadnya lo-nio, tidak
bakal sampai sebejad itu!"
Tonghong Liang tertawa tergelak.
"Memang paling bagus bila kau lepaskan ingatanmu terhadap
Bouw Ciong-long. Berarti jual beli kita pun bisa dilanjutkan
pembicaraannya. Eeei.... Kenapa kau tidak bertanya, mengapa aku
begitu yakin kalau Bouw Ciong-long tidak bakal menerima cinta
kasihmu lagi?" "Hmm, sejak awal aku memang tidak punya rencana untuk
berbuat begitu." "Kau tidak ingin mengetahui alasannya?"
Bersambung.... Ooo)*(ooO JILID KE EMPAT Lanjutan BAB X Selama ini Siang Ngo-nio selalu percaya diri karena dia yakin
memiliki daya pikat untuk meluluhkan hati lelaki, tapi sekarang dia
sudah setengah umur, sedikit banyak muncul juga perasaan rendah
diri, tidak percaya diri. Sisi lain dari tidak percaya diri adalah gengsi,
karena alasan itu pula dia enggan menanyakan alasannya secara
detil. Tidak berani bertanya bukan berarti dia tidak ingin tahu, karena
Tonghong Liang sudah berkata begitu maka dia pun berlagak
seolah-olah kehabisan daya dan berkata, "Baiklah, kalau begitu aku
ingin bertanya, mengapa dia bersikap begitu?"
"Hal ini disebabkan dia menyukai perempuan lain!"
Berlagak seolah tidak acuh kembali Siang Ngo-nio bertanya,
"Selama ini hubungannya dengan istri dia selalu rukun dan saling
menyayangi, tidak usah kau bilangpun aku sudah tahu, sayang
bininya telah meninggal."
"Perempuan itu bukan istrinya. Jauh sebelum dia menikahi
istrinya sudah kenal akrab dengan perempuan itu, bahkan sempat
pacaran dengannya." "Mengapa dia tidak menikah dengan perempuan itu?"
"Waah, kalau soal itu mah aku kurang jelas, mungkin tidak
direstui orang tuanya. Tapi yang kuketahui, hingga sekarang rasa
cintanya terhadap perempuan itu belum pernah padam."
"Siapa perempuan itu?" rasa cemburu mulai membakar perasaan
Siang Ngo-nio. "Perempuan ini adalah seorang perempuan yang luar biasa."
"Sebenarnya siapakah dia?"
"Kau tidak perlu tahu siapakah dia, tapi aku dapat
memberitahukan satu hal lagi kepadamu, bukan saja dia
mempunyai hubungan cinta dengan perempuan itu bahkan malah
mempunyai seorang keturunan!"
"Sungguh?" seru Siang Ngo-nio terperanjat.
"Jangankan kau tidak tahu, dikolong langit saat ini mungkin
hanya aku seorang yang mengetahui rahasia mereka! Bila rahasia
ini sampai terkuak atau terbongkar, dapat dipastikan akan terjadi
kehebohan yang luar biasa di dunia persilatan, dan yang terkena
imbasnya sudah pasti bukan hanya Bouw Ciong-long seorang!"
Sekarang Siang Ngo-nio baru paham, ujarnya kemudian, "Jadi
kau ingin menggunakan rahasia ini untuk barter denganku?"
"Benar. Dengan memegang rahasia ini sama artinya kau telah
membawa selembar Hu pelindung badan. Tidak perlu takut lagi dia
akan berbuat sesuatu kepadamu."
Diam diam Siang Ngo-nio berpikir, "Benar juga, bila Bouw Cionglong
takut kubeber kan rahasia ini ke dunia luar, sekalipun dia tahu
kalau aku pun tersangkut dengan ke dua kasus pembunuhan itu,
tahu juga kalau aku sedang pura-pura mati, yakin dia tidak akan
berani membawaku balik ke gunung Bu-tong untuk di interogasi."
Melihat perubahan mimik mukanya, Tonghong Liang segera
mendesak, '"Ngo-nio, sudah jelas dalam transaksi ini kau berada di
pihak yang diuntungkan, kenapa musti ragu ragu?"
"Tidak benar!" tiba-tiba Siang Ngo-nio berteriak. "Apanya yang
tidak benar?" "Pertama, darimana aku tahu kalau ucapanmu jujur atau tidak,
buktinya siapa nama perempuan itu pun kau enggan
memberitahukan kepadaku! Kedua, kalau toh benar, memangnya
Bouw Ciong-long tidak tahu cara membunuh orang untuk
membungkam mulut saksi?"
"Kesatu, kau bersedia untuk bertransaksi denganku, tentu saja
akan kuberitahukan hal yang lebih banyak lagi, bahkan akan
kuserahkan sebuah tanda pengenal sebagai tanda bukti. Kedua, jika
dia tahu kalau dengan membunuhmu pun tidak mungkin bisa
membungkam mulutmu, sudah pasti dia tidak akan berani
membunuh! Dengan kecerdasan otakmu, masa cara yang begini
sederhana pun tidak terpikirkan?"
"Benar juga," kembali Siang Ngo-nio berpikir, "aku bisa saja
beritahu kepadanya kalau sudah kusiapkan surat wasiat yang
disembunyikan di rumah keluarga Tong, bila aku sampai mati maka
semua rahasianya akan terungkap."
Terdengar Tonghong Liang berkata lebih lanjut, "Yang kau
katakan hanya ke dua, padahal yang ingin kukatakan masih ada ke
tiga nya. Ke tiga, dengan benda yang kuberikan kepadamu itu,
begitu dilihat dia segera akan tahu kalau kau sudah mempersiapkan
langkah akhir, kujamin dia tidak bakalan berani membunuhmu!"
"Benda apakah itu" Masa mempunyai daya pengaruh sehebat
itu?" "Asal kau setujui jual beli ini, tentu saja akan kuserahkan benda
itu kepadamu." Kembali Siang Ngo-nio termenung sambil berpikir beberapa saat,
tiba-tiba dia menggeleng.
"Apa lagi yang kau khawatirkan?" tanya Tonghong Liang.
"Aku masih belum tahu benda apa yang akan kau serahkan
kepadaku, lagipula aku merasa berat hati untuk menyerahkan Lan
Giok-keng kepadamu."
Kontan saja Tonghong Liang tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... kalau begitu lebih baik aku bicara blak-blakan saja
denganmu! Kau bukannya merasa berat hati untuk menyerahkan
Lan Giok-keng kepadaku, yang benar kau ingin menggunakan bocah
itu sebagai sandera. Ko Ceng-kim adalah ayah angkatnya, bila kau telah menjadi ibu
angkatnya, sudah pasti Ko Ceng-kim tidak bakalan tidak menuruti
kemauanmu, tapi coba kau bayangkan, Bouw Ciong-long sudah
menjadi Ciang-bunjin Bu-tong-pay, sekalipun Ko Ceng-kim masih
menaruh hati kepadamu, memangnya dia masih berani melakukan
langkah-langkah salah! Rasa takutnya terhadap Bouw Ciong-long
jauh melebihi rasa takutnya terhadap dirimu, sekalipun kau berhasil
mendapatkannya sebagai anak angkat, hal ini tidak bakal membantu
banyak! Tapi sebaliknya, bila kau dapat mengenda likan Bouw
Ciong-long, justru dia malah bisa membantu dirimu, agar kaupun
mendapatkan juga Ko Ceng-kim."
Akhirnya sambil menggertak gigi ujar Siang Ngo-nio, "Baik, akan
kupertaruhkan! Kuserahkan bocah ini kepadamu, serahkan juga
benda yang akan kau berikan kepadaku!"
Tonghong Liang segera mengeluarkan sebuah cincin dan
diserahkan ke tangan Siang Ngo-nio.
Setelah menerimanya sengaja Siang Ngo-nio berkata, "Bahannya
mah lumayan juga, tapi aku tidak melihat sesuatu yang sangat
istimewa." "Kau jangan pandang enteng cincin itu, asal kau kenakannya di
jari tangan, kujamin Bouw Ciong-long tidak bakalan berani
mencelakai dirimu." "Oooh, berarti cincin ini mempunyai asal usul yang luar biasa."
"Bouw Ciong-long pernah menghadiahkan sebuah cincin kepada
kekasih hatinya sebagai tanda tunangan, cincin itu mirip sekali
dengan cincin tersebut."
"Sekalipun mirip sekali, toh tetap barang palsu."
"Asal kau bisa membuat dia tahu kalau rahasianya telah kau
ketahui, asli atau palsu sama sekali tidak ada bedanya."
Seketika itu juga Siang Ngo-nio merasa masgul, dia merasa
kuatir namun takut juga kehilangan, akhirnya dengan setengah
percaya setengah tidak katanya, "Yang aku ketahui hanya secuwil,
mana mungkin bisa meyakinkan dia?"
"Bila seseorang tidak ingin rahasianya ketahuan orang lain, sudah
pasti dia sendiripun tidak ingin mengungkitnya kembali. Apalagi
hubunganmu dengan dirinya pun terjalin luar biasa, meski dihati
kecilnya mungkin masih ada keraguan, tidak nanti dia akan
menginterogasi mu, paling banter dia hanya bertanya: darimana kau
dapatkan cincin itu?"
"Lalu bagaimana aku harus menjawab?"
"Tidak perlu dijawab, cukup diingat saja dua bait syair ini."
"Aku harus membacakan syair?"
"Mudah diingat, dengarkan baik-baik.
Apa daya bunga berguguran, serasa kenal walet terbang
Pendekar Kembar 12 Panji Sakti Karya Khu Lung Duel 2 Jago Pedang 3
^