Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 2

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 2


satu masalah yang tidak penting dan sama sekali tak ada
keterkaitannya dengan peristiwa ini.
Sayang jiwanya sudah di ujung tanduk, dalam keadaan begini dia
tidak punya kekuatan lagi untuk berpikir lebih jauh. Dengan
mengerahkan sisa kekuatan yang dimilikinya, ia berbisik, "Orang
itu.... orang itu.... dulu.... dulu Linggal di.... di satu bagian da.... dari
jeram Liau-ji-kau.... tapi.... tapi...."
"Tapi kenapa?" Ko Ceng-kim harus menempelkan telinganya di
tepi bibir sang Supek sebelum dapat mendengar kata berikut,
"dia.... dia telah mati!"
Bu-kek Totiang menghembuskan napasnya yang penghabisan,
saat dia memberitakan kematian orang lain, nyawa sendiri pun ikut
melayang. Sumoy telah dikebumikan, namun di atas tanah masih berjajar
jenazah Keng King-si dan Ho Liang, kini kembali jenazah Bu-kek
Totiang membujur kaku di sampingnya.
Begitu banyak orang yang telah meninggal, kematian beruntun
sejak pertama kali diperoleh kabar bahwa Keng King-si telah
mengkhianati perguruan dan menjual negara.
Dimulai dari Ting Im-hok yang curiga, sampai Bu-kek Totiang,
orang terakhir yang berusaha mencuci dosa Keng King-si, walaupun
belum dapat membuktikan dia pasti bukan seorang mata-mata,
namun telah membuktikan kalau dia bukan seorang pembunuh,
sudah begitu banyak orang tewas gara-gara masalah itu.
Dengan pikiran kalut Ko Ceng-kim mencoba berhitung. Tingsusiok
telah mati, Suhunya telah mati, lalu Sumoynya Ho Giok-yan,
Sutenya Keng King-si, pelayan tuanya Ho Liang. Selain itu, seperti
yang telah diketahui, orang yang membawa surat Huo Bu-tuo telah
tewas, ayah angkat Huo Bu-tuo juga telah mati, bahkan setiap
orang yang mengetahui persoalan ini nyaris telah mati semua, kini
yang masih hidup tinggal dia, walaupun ketua Bu-tong-pay juga
mengetahui akan peristiwa ini, tapi dia belum tahu kalau dirinya,
telah salah membunuh orang.
Setelah menghembuskan napas panjang, kembali pikirannya
kalut. Ya, di dunia saat ini memang tidak seorang pun tahu kalau dia
telah salah membunuh, tapi, apakah tidak ada yang tahu berarti
dapat mengurangi dosa dan kesalahannya"
Dia telah berjanji kepada Bu-kek Totiang, menyampaikan apa
yang telah diketahui sang Supek kepada Ciangbunjin. Seandainya
hasil penyelidikan di kemudian hari membuktikan bahwa Keng Kingsi
selain bukan pembunuh, juga bukan mata-mata, apa yang harus
dilakukan" Memang, salah membunuh tidak akan sampai menghilangkan
nyawanya, apalagi kesalahan membunuh dalam situasi seperti ini,
dapat dipastikan Ciangbunjin akan mengampuni kesalahannya.
Semisal dijatuhi hukuman yang terberat pun paling dia disuruh
menghadap tembok selama satu tahun dan tidak sampai diusir
keluar perguruan. Namun ketika semua peristiwa telah terkuak, bukankah Keng
Giok-keng, putra Keng King-si dengan Sumoynya akan mengetahui
juga akan kejadian ini" Mungkinkah Keng Giok-keng akan
menganggapnya sebagai musuh besar pembunuh ayahnya"
Tentu saja yang paling penting lagi adalah rasa tanggung jawab
terhadap liangsim sendiri, mampukah pikiran dan perasaan hatinya
menjadi tenang" Perkataan sang Supek memang tidak salah, hal terpenting yang
harus dia lakukan adalah melaporkan kejadian ini kepada
Ciangbunjin, agar ketua partai tahu bahwa dalam perguruannya,
paling tidak tersembunyi dua orang pengkhianat, bahkan salah satu
di antaranya memiliki kepandaian silat yang ampuh dan cara kerja
yang keji dan telengas. Sedangkan masalah Keng King-si itu seorang pengkhianat atau
bukan, saat ini memang belum perlu diselidiki secara tergesa-gesa,
sebab bagaimanapun toh manusianya telah mati.
Bisa saja dia mengelabui Ciangbunjin dengan tidak menyinggung
masalah ini secara detil, tapi.... sanggup-kah dia berbuat begitu"
Langit makin gelap, angin dingin berhembus makin kencang,
namun Ko Ceng-kim berdiri tidak berkutik di tengah bukit, seolah
tubuhnya telah berubah menjadi sebuah patung batu, tidak seorang
pun tahu apa yang sedang dia pikirkan saat itu.
Dia baru tersadar dari lamunan ketika angin dingin kembali
menerpa wajahnya, 'Yang mati telah mati, biar-lah mereka
beristirahat dengan tenang di dalam tanah. Sudah saatnya bagiku
untuk pergi juga.' Kembali dia pungut sekop dari tanah dan melanjutkan galiannya
pada liang yang belum selesai.
Biarpun ada tiga sosok mayat yang belum dike-bumikan, Ko
Ceng-kim merasa tidak punya waktu untuk menggali tiga liang
kubur. Namun kalau membiar kan jenazah Supek, Sute dan Ho
Liang berjajar dalam satu liang pun dia merasa sedikit tidak tenang.
Setelah ragu beberapa saat, akhirnya dia turunkan jenazah Bukek
Totiang terlebih dulu, diikuti membujurkan jenazah Ho Liang di
sisi kiri sang Supek, diam-diam doanya, 'Supek, kau adalah seorang
iman yang berjiwa besar, sesuai dengan amanatmu sebelum
meninggal, aku hanya bisa mengubur jenazahmu apa adanya.
Paman Ho, kematianmu yang paling tidak berharga.... tapi aku akan
membiarkan kau menemani Supek, tentu arwahmu di alam baka
tidak akan menyalahkan aku bukan.'
Terakhir sorot matanya dialihkan ke tubuh Keng King-si,
mendadak satu ingatan melintas dalam otaknya, "Setelah sekali
melakukan kesalahan, aku tidak boleh mengulang kesalahan yang
sama, aku telah salah membunuhnya, tidak semestinya kuhalangi
keinginannya terkubur bersama jenazah Sumoy."
Namun untuk mengubur jenazahnya di samping Ho Giok-yan
sama artinya dia harus menggali kembali tanah kubur yang telah
diratakan, padahal langit semakin gelap. Setelah berpikir berulang
kali, akhirnya dia membaringkan tubuh Keng King-si di sisi kanan
sang Supek. Di saat dia akan menimbun kembali liang kubur itu, tiba-tiba satu
ingatan kembali melintas, sekali lagi dia membopong naik jenazah
Keng King-si. Bukan karena dia berubah pikiran ingin mengubur
Sutenya satu liang dengan Sumoynya, tapi dia ingin mengambil
surat dari Huo Bu-tuo dan membawanya pergi.
Tapi aneh, dia tidak berhasil menemukan surat itu!
Apakah surat itu telah dicuri orang saat dia sedang berkunjung
ke rumah keluarga Lan" Ataukah terbang dibawa angin" Padahal dia
masih ingat dengan jelas, Keng King-si telah mengambil kembali
surat itu dari tangan Sumoynya, tapi sayang dia tidak ingat apakah
Keng King-si menyimpan kembali surat itu ke dalam sakunya atau
tidak. Waktu itu dia sedang gusar lantaran Sumoynya terlalu membela
sang Sute, disusul kemudian dia menyerang adik seperguruannya
itu secara kalap. Dalam keadaan begini, tidak sempat lagi baginya
untuk memperhatikan keberadaan surat itu. Mungkinkah surat itu
terjatuh di saat Keng King-si bertarung sengit"
Surat tidak didapat dia justru menemukan seruling kemala dari
dalam saku Keng King-si. Seruling yang sering digunakan Sutenya
untuk merayu dan memancing sang Sumoy, yang seharusnya
merupakan calon istrinya.
Sambil menggigit bibir, mendadak dia lakukan satu tindakan
emosi yang membuat pipinya menjadi merah setiap kali teringat di
kemudian hari, sekuat tenaga dia hantamkan seruling kemala itu di
atas batu hingga hancur berkeping-keping, kemudian hancuran itu
dia buang ke dalam liang kubur.
Selesai melakukan tindakan itu, tiba-tiba dia baru mendusin,
pikirnya, 'Kenapa aku mesti membenci seruling itu" Aah, yang benar
aku iri karena Sute lebih pintar dan tahu seni daripada aku, iri
karena dengan seni dia berhasil menggaet hati Sumoy.... Aai, tadi
aku terburu napsu ingin membunuhnya, apakah hal inipun
disebabkan dorongan perasaan iri?"
Ketika tanah terakhir selesai dituang ke dalam liang kubur, dia
menutup liang yang telah mengubur Sute serta Supeknya. Berdiri
termangu sambil mengawasi sekeliling tempat itu, dia merasa
seolah tubuhnya ikut terkubur dalam liang itu. Seolah langit dan
bumi sudah tidak ada harganya untuk dinikmati lagi.
Keng King-si sama seperti dia, sama-sama tumbuh dewasa di
kediaman Suhunya. Yang membedakan mereka hanya lebih awal
dan lebih akhir menggabungkan diri.
Saat dia masuk perguruan, Sumoynya belum lahir, sedang saat
Keng King-si masuk perguruan, Sumoynya baru berusia tujuh tahun.
Jadi sebenarnya sejak dilahirkan dari rahim ibunya, dia selalu
berkumpul bersama adik seperguruannya itu, termasuk juga
Sutenya. Mungkin hubungan batinnya dengan sang Sute tidak sebanding
dengan hubungan batinnya terhadap sang Sumoy, tapi terlepas
semua budi dan dendam, hubungannya dengan sang Sute tetap
sedalam hubungannya terhadap sanak sendiri, tapi sekarang, semua
orang yang paling dekat dengannya telah pergi.
Dia ingin menangis, namun tiada air mata yang meleleh, dia
memang tidak punya waktu lagi untuk bersedih. Karena dia harus
secepatnya pulang, di rumah masih ada seorang 'sanak' lagi yang
menanti kedatangannya, sanak yang telah melepas banyak budi
kepadanya, menunggu untuk dikebumikan olehnya!
Aai, selama banyak tahun dia sudah terbiasa menganggap rumah
Suhunya sebagai rumah sendiri. Tapi kini, anggota rumah itu,
kecuali dia seorang, semuanya telah mati, penghuni rumah ini
benar-benar telah punah. Biar langit begitu luas, kemana lagi dia harus pergi untuk
menemukan sebuah rumah yang hangat bagi dirinya"
Dia tidak berani berpikir lebih lanjut, yang dirasakan saat ini
hanya kesepian, perasaan hampa yang aneh!
Ooo)*(ooO BAB I Dengan pikiran bersih bertemu
Bu-siang Tiga pantangan mengikat Put-ji
Gunung Bu-tong terletak di propinsi Ouw-pak, disebut juga
gunung Som-sang atau Thay-hap-san.
Pegunungan yang indah dan megah meliputi wilayah seluas
empat ratusan li, puncak tertinggi mencapai seribu tujuh ratus
meter dari permukaan laut dengan tujuh puluh dua puncak, tiga
puluh enam tebing dan dua puluh empat jeram.
Di puncak gunung Bu-tong berdiri dua buah tugu prasasti, satu
berasal ahala Yong-lok tahun ke-16 (th 1418) yang bertuliskan
"Prasasti peringatan jalan setapak bukit Thay-gak-thay-hap-san".
Tulisan itu digunakan Kaisar Yong-lok untuk melambangkan
hubungan "Tin-bu-tay-te" yang tercantum dalam kitab agama To
dengan Bu-tong-san. Di sana dikatakan pula bahwa dia bersama
ayah Hong-bu (Cu Goan-ciang) berhasil menguasai dunia dan
pernah memanjatkan doa di "Tin-bu". Maka dia sengaja
membangun sebuah To-koan di gunung Bu-tong sebagai lambang
untuk menunjukkan kesaktiannya.
Prasasti ke-2 berasal dari ahala Ka-cing tahun ke-32 (th 1553)
yang merupakan prasasti untuk memperingati dibangunnya kembali
ruang istana di Thay-hap-san.
Di kaki gunung Bu-tong, Kaisar Ka-cing mendirikan pula sebuah
tugu yang bertuliskan "Ci-si-hian-gak", orang setempat
menyebutnya sebagai pintu "Hian-gak-bun".
Selewatnya tugu batu itu, akan sampai di ruang Gi-tin-kiong.
Ruang Gi-tin-kiong dibangun Kaisar Beng Seng-cu untuk
memperingati Thio Sam-hong, Couwsu pendiri partai Bu-tong.
Antara pintu Hian-gak-bun dengan ruang Gi-tin-kiong berdiri pula
sebuah patung tembaga yang menggambarkan Thio Sam-hong
mengena kan topi bambu dan bersepatu rumput.
Pada saat itulah terlihat ada dua orang Tosu kecil sedang berdiri
di depan patung Couwsu sambil mengaguminya.
Tosu yang lebih tua sedang bercerita tentang kisah Sucouwnya
kepada sang adik seperguruan, katanya, "Tahukah kau, Thio-cinjin
termasuk seorang manusia aneh, dia tidak pernah mau menuruti
tata cara, orang menyebutnya "La-ta Thio" (Thio si dekil), bukan
saja tidak terlalu perhatian terhadap segala tetek-bengek tata cara,
bahkan dia gemar berkumpul dan bergaul dengan para kuli, rakyat
dusun dan orang rendah lainnya. Padahal beberapa kali Kaisar
Hong-bu dan Yong-lok mengutus orang untuk mengunjunginya dan
mengundang dia masuk istana, anehnya, tiap kali dia selalu
menghindar. Coba bayangkan, aneh tidak manusia semacam ini?"
"Suhuku pernah bercerita tentang hal ini," Tosu yang agak kecil
menimpali, "konon sewaktu beliau berpesiar menjelajahi empat
penjuru, beliau sempat berkenalan dengan seorang Pangeran, putra
Hong-bu-te yang bernama Siok-sian-ong. Menurut Suhu, Thio-cinjin
adalah manusia luar biasa yang tidak berpegang teguh pada aturan.
Dalam pandangannya, kedudukan kaisar dan rakyat kecil itu sama
saja. Dalam berteman dia lebih mengutamakan soal joduh, bukan
dikarenakan pihak lawan adalah seorang kaisar maka dia sengaja
menghindar." Tosu yang usianya lebih tua hatinya jadi tidak senang, apalagi
melihat Sutenya jauh lebih menguasai cerita yang dia kemukakan,
untuk menjaga gengsi, sebagai seorang kakak seperguruan, setelah
mendengus kemudian berkata, "Hm, tahukah kau Thio-cinjin berasal
darimana?" "Kalau bukan Ouw-pak tentunya dari Ouw-lam bukan?"
Tosu yang lebih tua tertawa dingin.
"Dugaanmu meleset jauh sekali, sesungguhnya Thio-cinjin kita
berasal dari wilayah Liauw-tong!"
"Oh, ternyata Couwsu Bu-tong-pay adalah orang Liauw-tong"
Kenapa aku tidak pernah mendengar Suhu bercerita tentang hal
ini?" Merasa mendapatkan muka kembali, dengan bangga Tosu yang
lebih tua itu berkata lebih lanjut, "Kau sangka aku berbohong" Thiocinjin
benar-benar orang Liauw-tong, malah semua murid Bu-tongpay
yang berusia tiga puluh tahun ke atas mengetahui akan hal ini."
"Apa hubungannya dengan masalah usia?" tanya Tosu kecil itu
kebingungan. "Siapa bilang tidak ada hubungannya" Menurut peraturan
perguruan, hanya mereka yang sudah memasuki usia Yok-koan
(sekitar dua puluh tahun ke atas) yang bisa diterima menjadi murid
agama To. Kalau dibilang murid yang berusia tiga puluh tahun ke
atas, berarti paling tidak dia harus sudah masuk perguruan selama
sepuluh tahun lebih. Sementara kau baru bergabung selama enam
tahun, sekarang pun belum mencapai usia dua puluh tahun, tentu
saja tidak ada yang memberitahukan kepadamu."
"Suheng, kau makin bicara semakin membingungkan. Bukankah
kisah hidup Couwsu merupakan kewajiban setiap murid untuk
mengetahuinya. Kenapa harus menung gu sepuluh tahun baru
berhak mendapat tahu kisah ini?"
"Sebenarnya bukan harus masuk perguruan selama sepuluh
tahun lebih dulu baru boleh tahu kisah ini. Ini semua disebabkan
pada sepuluh tahun berselang, daerah asal Sucouw bukan
merupakan pantangan yang tidak boleh dibicarakan, tapi sekarang


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

justru merupakan larangan. Jadi semua orang enggan
menyinggungnya kembali. Coba kalau bukan aku yang
memberitahu, mungkin lewat sepuluh tahun lagi pun belum tentu
kau akan tahu!" "Kenapa sekarang jadi tabu?" tanya Tosu kecil itu tidak habis
mengerti. "Mumpung di sini tidak ada orang luar, tidak ada salahnya aku
beritahukan, tahukah kau...."
Baru saja dia akan bercerita mengapa sekarang jadi tabu,
mendadak dilihatnya ada seorang asing muncul di sana.
Orang itu adalah seorang lelaki berusia dua puluh tahunan yang
memiliki mata besar dan alis tebal, dandanannya seperti orang udik,
sinar matanya mendelong seperti orang bloon, kelihatan sekali kalau
dia seperti orang sinting, sewaktu berjalan mendekat pun
langkahnya gontai mirip orang idiot.
"Hei, sebenarnya kau tahu aturan tidak?" tiba-tiba Tosu yang
lebih tua itu menghardik sambil melotot sekejap ke arahnya.
"Aturan apa?" lelaki itu balik bertanya dengan wajah melengak.
"Sebagai pernyataan rasa hormatnya terhadap Thio-cinjin, Kaisar
Yong-lok memberi ijin kepada partai Bu-tong kami untuk
menetapkan sebuah peraturan khusus, hampir semua orang
persilatan tahu akan peraturan itu, hm! Aku rasa kau sedang
berlagak pilon!" "Aku benar-benar tidak tahu."
"Kau tidak tahu aturan, tapi bisa membaca bukan?"
"Asal bukan tulisan yang terlalu dalam, aku memang bisa
membaca sedikit." "Ketika naik gunung tadi, bukankah kau lewat di samping gardu
pelepas pedang" Tulisan Ciat-kiam-teng tertera besar sekali di
tengah gardu, masa kau tidak melihatnya?"
"Rasanya tidak melihat."
"Hm!" Tosu itu membentak gusar, "berarti kau memang sengaja
melanggar walau sudah tahu!"
Tampaknya lelaki itupun dibuat gusar oleh ulah lawan, sahutnya
hambar, "Sebenarnya peraturan mana yang telah ku-langgar"
Sudah coba kutanyakan tapi kau sendiri pun tidak bisa menjawab.
Maaf, aku masih ada urusan lain, kalau kau cuma tahunya
mengumpat orang, maaf kalau aku enggan melayani."
"Kalau tadi sudah lewat di samping gardu Ciat-kiam-teng, masa
kau masih belum mengerti maksud 'melepas pedang'" Sesuai
peraturan Bu-tong-pay, siapa pun dilarang naik gunung sambil
menggembol pedang!" Ketika mengucapkan kata "dilarang", tahu-tahu Tosu itu sudah
melolos pedangnya dan secepat sambaran kilat melepaskan sebuah
tusukan ke tubuh lelaki itu.
Dengan serangan itu dia tidak bermaksud merenggut nyawa
lawan, sebetulnya Tosu ini hanya ingin pamer kepandaian dengan
memotong putus tali ikat pinggang lelaki itu hingga pedang yang
digembolnya jatuh ke tanah.
Dengan serangan secepat sambaran petir, menurut perkiraannya
pemuda dusun itu niscaya tidak mampu menghindarkan diri,
pikirnya, 'Perlukah aku melukai sedikit kulit luarnya sebagai tanda
pelajaran"' Pada hakikatnya dia tidak pernah membayangkan kalau pihak
lawan bakal melakukan serangan balasan.
Benar saja, sama sekali di luar dugaan, tusukan pedangnya
mengenai sasaran kosong. Jangan dilihat pemuda dusun itu seperti orang bloon,
sesungguhnya dia terhitung seorang lelaki berwatak keras, biarpun
tahu maksud lawan, namun dia tidak rela diperlakukan semenamena,
lagi pula dia pun tidak sadar, dalam keadaan menghadapi
sergapan mendadak dari lawan, secara otomatis dia sendiri
memberikan reaksinya dengan mencabut pedang melakukan
tangkisan. "Traang!", ketika sepasang pedang saling membentur terjadilah
suara dentingan nyaring diiringi percikan bunga api.
"Hei, apa-apaan kau!" bentak pemuda dusun itu gusar, "kenapa
kau tidak memberi kesempatan kepada-ku untuk bicara, aku...."
Dalam keadaan tidak menduga, Tosu itu nyaris terluka karena
harus menerima sebuah serangan balasan, untung reaksinya cukup
cepat hingga terhindar dari malu. Dalam keadaan malu bercampur
gusar, mana mungkin dia mau mendengarkan perkataan lawan.
Lagi-lagi sebuah serangan kilat dilontarkan.
"Ooh, rupanya kau memang berniat menghina perguruan Butong
kami?" serunya gusar, "buat apa banyak bicara!"
Tusukannya kali ini jauh lebih cepat dan ganas, sasarannya
adalah sepasang mata pemuda dusun itu.
Sepintas pemuda itu kelihatan tercecar dan kewalahan sampai
kemampuan untuk berbicara pun tidak ada, namun begitu
pedangnya membuat satu gerakan melingkar, tahu-tahu ancaman
lawan berhasil dipunahkan begitu saja.
Sadar musuh bukan orang sembarangan, Tosu itu mulai
terkesiap, pikirnya, 'Aneh, kenapa jurus serangannya seakan
merupakan tandingan dari jurus Tiang-ho-lok-jit (matahari
tenggelam di sungai panjang), salah satu jurus ampuh dalam ilmu
pedang Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat?"
Sayang pertarungan telah berlangsung makin sengit, tidak ada
peluang lagi baginya untuk berpikir lebih jauh.
Secara beruntun pemuda dusun itu mundur sejauh tiga langkah,
setiap mundur selangkah dia selalu berhasil mematahkan ancaman
yang datang, setelah mundur sejauh tiga langkah, akhirnya dengan
susah-payah berhasil juga dia berdiri tegak.
Baru saja akan mengucapkan sesuatu, tiba-tiba jurus serangan
Tosu itu kembali berubah, dari ilmu pedang Lian-hoan-toh-bengkiam-
hoat berubah jadi ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat.
Gerak serangannya melingkar bagaikan gelang, lingkaran demi
lingkaran menggulung tiba bagaikan gulungan ombak di tepi sungai
Tiang-kang, begitu dahsyat datangnya tekanan membuat pemuda
dusun itu mau tidak mau harus memusatkan perhatiannya untuk
menangkis dan tidak mampu memberi penjelasan lagi.
Melihat musuhnya tercecar hebat, Tosu itu bangga bercampur
puas, kembali pikirnya, 'Hm! Ternyata dia adalah seorang murid
preman yang belum sempurna menguasai ilmu perguruan. Huh,
kalau memang anggota perguruan, kenapa sikapmu tidak
menghormat kepadaku" Manusia macam begini memang pantas
diberi hukuman. Ada baiknya aku rontokkan dulu pedangnya."
Siapa tahu biarpun ilmu pedang yang dimiliki pemuda dusun itu
masih belum mumpuni, bukan berarti gampang untuk merontokkan
senjata lawan begitu saja.
Ternyata pemuda dusun itu bukan lain adalah Ko Ceng-kim.
Andaikata dia tidak pernah melihat ilmu pedang Thay-khek-kiamhoat,
niscaya dalam sepuluh gebrakan saja dia sudah dibuat keok.
Untung bukan saja dia pernah melihat bahkan pernah bertarung
melawan Keng King-si yang menggunakan ilmu pedang Thay-khekkiam-
hoat, ditambah lagi selama beberapa bulan terakhir dia selalu
berusaha menelusuri rahasia ilmu pedang itu, kendatipun belum
mampu menggunakannya, paling tidak dia sudah memahami
beberapa bagian. Jadi tidak heran kalau Tosu itu tidak mampu mengalahkan
lawannya dalam waktu singkat.
Sekejap kemudian lima puluh gebrakan sudah lewat, Tosu kecil
yang menonton dari tepi arena mulai berteriak, "Suheng,
kelihatannya ilmu pedang yang digunakan orang ini mirip
dengan...." "Kau tidak usah ikut campur," hardik Tosu yang lebih tua itu
nyaring, "perhatikan baik-baik aku menggunakan ilmu pedang Thaykhek-
kiam-hoat untuk mengalahkan dia!"
Pertama, karena Tosu itu keder dengan wibawa Suhengnya,
kedua, karena dia pun ingin belajar ilmu pedang Thay-khek-kiamTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
hoat, maka begitu dibentak kakak seperguruannya, dia benar-benar
tidak berani bersuara lagi.
Lima puluh gebrakan kemudian, Ko Ceng-kim mulai tercecar
hebat dan hampir tidak sanggup menahan diri.
Kembali Tosu itu melancarkan satu jurus serangan dengan tiga
lingkaran pedang, lingkaran padat yang seketika membungkus
seluruh tubuh Ko Ceng-kim, bentaknya, "Lepas pedang!"
Jurus ini disebut Sam-coan-hoat-lun (tiga kali memutar roda
hukum), ketika 'roda hukum' berputar untuk ketiga kalinya, pedang
di tangan Ko Ceng-kim pasti akan terlepas dari genggaman.
Pada saat itulah mendadak terdengar seseorang membentak
nyaring, "Put-pay, hentikan seranganmu!"
Bentakan itu tidak terlampau keras, nada suaranya pun tidak
terlalu berwibawa, namun begitu masuk pendengaran Tosu itu,
sekujur tubuhnya seketika bergetar keras, terperanjat luar biasa.
Ternyata Tosu tua itu tidak lain adalah Bu-siang Cinjin,
Ciangbunjin Bu-tong-pay. Saat itu kebetulan Tosu itu sedang melontarkan lingkaran pedang
yang ketiga, lingkaran yang seketika menjepit pedang milik Ko
Ceng-kim, ketika hatinya terkesiap, tanpa sadar gerakan pedangnya
jadi sedikit melambat, lingkaran pedang yang tercipta pun jadi
miring tidak berbentuk, menggunakan kesempatan ini Ko Ceng-kim
dengan jurus Tay-mo-ku-yan (asap tunggal di tengah gurun), ujung
pedangnya mencongkel ke tengah lingkaran dan...."Trangg!"
pedang milik Tosu itupun mencelat dan jatuh ke tanah.
Pada saat bersamaan Ko Ceng-kim berpikir juga, 'Baru dari
tingkatan 'Put' saja dia sudah begitu hebat dan luar biasa, jelas
bukan murid sembarangan. Aku tidak boleh membuat dia
kehilangan muka.' Begitu ingatan itu melintas, buru-buru dia berlagak tidak kuat
menahan tenaga gempuran lawan dengan membuang pedang
miliknya ke tanah. Sepasang pedang itu hampir pada saat yang
bersamaan rontok ke tanah. Walaupun dia dapat mengelabui Tosu
kecil itu, ternyata tidak mampu mengelabui sepasang mata Bu-siang
Cinjin, ketua Bu-tong-pay inipun berpikir, 'Orang ini mampu
menghadapi serangan Thay-khek-kiam-hoat dengan menggunakan
ilmu pedang Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat, dalam deretan murid
murid perguruan rasanya belum ada orang kedua yang sanggup
melakukannya. Ehm, belakangan perguruan banyak kehilangan orang berbakat,
padahal aku sedang risau karena urusan ini. Dilihat dari bakatnya,
orang ini bagus untuk mempelajari ilmu silat tingkat tinggi, yang aku
kuatirkan adalah wataknya yang licik dan pandai melihat situasi,
orang semacam ini bisa baik, bisa juga jahat. Kalau jadi baik dia
akan jadi manusia paling berbakat untuk perguruan, tapi kalau jadi
jahat, dia malah bisa jadi bencana. Ehm, terpaksa aku harus
membuang lebih banyak pikiran untuk mendidiknya."
Berpikir sampai di situ, dia pun segera menegur, "Apa yang telah
terjadi?" "Lapor Ciangbun Supek," dengan ketakutan buru-buru Tosu itu
menyahut, "dia naik gunung dengan menggembol pedang, padahal
sudah kusuruh untuk melepaskan senjatanya, tapi dia tidak mau
menurut, malah mengajak aku bertarung!"
"Hm! Masa tidak kau lihat bahwa dia adalah murid seperguruan"
Kalau dia bukan orang luar, kenapa harus melepaskan pedang?"
Merah jengah wajah Tosu itu.
"Dia tidak menerangkan hal ini kepada Tecu, justru Tecu baru
tahu kalau dia berasal dari satu perguruan setelah terjadi
pertarungan tadi." Dalam hati tentu saja Bu-siang Cinjin tahu kalau Tosu itu tidak
bicara jujur. Kalau bukan Tosu ini yang menyerang duluan, mana
mungkin Ko Ceng-kim melayani pertarungannya" Cuma saja karena
Tosu ini adalah murid pertama Bu-liang Tojin, salah satu dari tiga
sesepuh Bu-tong-pay, memandang wajah Sutenya dia tidak ingin
kelewat menegur muridnya.
Maka dengan suara hambar ujarnya, "Sudah sejak lama aku ingin
menghapus peraturan ini, tapi lantaran aturan itu merupakan
anugerah Kaisar Yong-lok, terpaksa peraturan serta gardu pelepas
pedang kupertahankan sampai sekarang. Tapi aku berharap kalian
bisa memaklumi maksud hatiku, selanjutnya jangan berlindung di
balik perlindungan dan kasih sayang kerajaan dengan menganiaya
orang luar, mengajak orang berkelahi hanya dikarenakan orang luar
melanggar peraturan."
Tosu itu jadi serba kikuk, buru-buru dia berlutut sambil
menyahut, "Terima kasih banyak atas nasehat Ciangbunjin."
Ko Ceng-kim sendiri pun buru-buru ikut berlutut seraya berseru,
"Lapor Ciangbunjin, sesungguhnya semua ini merupakan kesalahan
Tecu, Tecu kelewat bodoh dan lamban pikiran! Sewaktu Suheng ini
bertanya apakah aku paham peraturan atau tidak, untuk sesaat
ternyata aku lupa dengan peraturan ini, jadi tidak heran kalau
Suheng ini memberi pelajaran kepadaku." (Gb 2)
"Kalau memang hanya salah paham, anggap saja urusan selesai,"
kata Bu-siang Cinjin kemudian dengan kening berkerut, "apalagi
kedatanganku juga bukan untuk menuntut pertanggung jawaban
kalian. Ayo, semuanya bangkit!"
Lalu kepada Ko Ceng-kim tanyanya, "Siapa Suhumu" Apakah kau
baru kali pertama ini naik ke Bu-tong-san" Kenapa datang seorang
diri?" Sesuai peraturan yang berlaku dalam Bu-tong-pay, murid preman
yang untuk pertama kali datang menyambangi Ciangbunjin harus
didampingi Suhu atau angkatan tua dari lingkungannya.
"Lapor Ciangbunjin, Tecu Ko Ceng-kim, Suhuku adalah...."
"Ooh, rupanya kau adalah murid pertama Ho Ki-bu," segera Busiang
Cinjin menukas, "tahukah kau, justru aku sedang menanti
kedatanganmu." Seperti kaget karena mendapat perlakuan istimewa, setelah
tertegun sejenak, seru Ko Ceng-kim, "Jadi Ciangbunjin sudah tahu
kalau hari ini Tecu akan kemari?"
"Benar, sebab Bu-kek Supekmu seharusnya sudah tiba di gunung
sejak dua hari berselang, karena dia tidak datang, seharusnya
Suhumu yang datang. Tapi mereka berdua tidak ada yang datang
menjumpai aku, berarti kaulah yang seharusnya datang kemari.
Oleh karena kuatir kau baru pertama kali naik gunung, masih asing
bagi semua orang di sini dan untuk menjumpai aku pun harus
melalui beberapa pos penjagaan, maka secara khusus aku turun
gunung menanti kedatanganmu, biar kau tidak usah repot melewati
pos penjagaan dan bisa langsung menemui aku."
"Lapor Ciangbunjin, Bu-kek Supek serta Suhu bicara sampai di
sini dia melirik sekejap memperhatikan paras muka ketuanya,
kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya, "Soal ini.... soal ini....
panjang sekali untuk diceritakan."
"Baguslah, kalau memang panjang ceritanya, sekarang ikut aku
balik dulu ke atas bukit, selesai beristirahat baru perlahan kau
laporkan semua kejadian kepadaku."
Diam-diam Ko Ceng-kim bersyukur karena dugaannya tidak
meleset, kembali pikirnya, 'Masih untung aku pandai menilai
perubahan wajah Ciangbunjin dan tidak langsung memberi laporan.
Padahal di sana masih hadir dua orang Tosu bau itu, kalau sampai
salah tafsir hingga mengungkap hal yang tidak seharusnya mereka
ketahui, waah.... tentu bakal celaka."


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebagaimana diketahui, dengan status Bu-siang Cinjin yang
begitu terhormat sebagai seorang Ciang-bunjin, tentu saja
kedatangannya ke bawah bukit untuk menyambu t kedatangan Ko
Ceng-kim bukan hanya disebabkan untuk menghapus aturan
sewaktu memberikan laporan, tapi lebih menitik beratkan pada
keseriusan masalah yang hendak disampaikan. Dia kuatir pemuda
itu segera akan membeberkan rahasia besar itu kepada seluruh
anggota Bu-tong-pay begitu tiba di sana.
Beruntung Ko Ceng-kim meski masih muda namun jalan
pikirannya justru jauh lebih matang, sejak awal dia sudah
memperkirakan hal itu. Satu-satunya persoalan yang membuat dia ragu hanyalah apakah
dia harus melaporkan dulu masalah kematian Suhunya kepada
ketuanya atau tidak. Sebab menurut peraturan yang berlaku dalam
dunia persilatan, pembunuhan terhadap Suhu sama beratnya
dengan pembunuhan atas orang tua sendiri, sebagai murid yang
menghadapi tragedi semacam itu, menjadi kewajiban baginya untuk
melaporkan berita duka ini kepada sang ketua, bahkan seharusnya
dia menangis tersedu begitu bertemu sang Ciangbunjin.
Tapi sekarang dia dapat merasa lega, sebab baik ditinjau dari
perubahan mimik muka Ciangbunjin atau dari nada pembicaraan
yang dilontarkan, dia tahu tindakan yang dilakukannya sudah sangat
tepat. Rupanya dalam menghadapi persoalan istimewa, berlaku pula
peraturan istimewa. Berbeda dengan kedua orang Tosu itu, mereka tidak memahami
sebab musabab di balik semua itu, betapa tercengang dan
tertegunnya mereka ketika melihat ketuanya melanggar kebiasaan
dengan menyam-but sendiri kedatangan seorang murid preman.
Dalam keadaan begini, buru-buru mereka memperkenalkan diri
kepada Ko Ceng-kim. Ternyata Tosu yang berusia lebih besar itu
adalah Put-pay, murid pertama Bu-liang Tojin, sementara Tosu yang
lebih muda adalah Put-hu, murid ketiga Bu-si Tojin.
"Ko Ceng-kim," kata Bu-siang Tojin tiba-tiba, "baru pertama kali
ini naik gunung bukan" Cepat beri hormat dulu kepada Couwsu."
Menunggu Ko Ceng-kim selesai memberi hormat pada patung
Couwsu mereka, dia pun mengajaknya naik gunung.
Put-pay serta Put-hu yang tidak mendapat perintah dari
Ciangbunjinnya tentu saja tidak berani sembarangan membuntuti.
Ko Ceng-kim yang berjalan mengikut di belakang sang
Ciangbunjin pun tidak berani sembarangan bicara, selewatnya istana
Gi-tin-kiong, mendadak Bu-siang Cinjin menegur lagi, "Ceng-kim,
ketika menyembah di hadapan Couwsu tadi mimik mukamu
kelihatan sangat aneh, sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?"
'Tajam benar pandangan mata Ciangbunjin,' diam-diam Ko Cengkim
terkesiap, 'ternyata apa pun yang sedang kupikir tidak dapat
mengelabui dirinya!' Agak tergagap buru-buru sahutnya, "Lapor Ciangbunjin, Tecu
ingin menanyakan satu hal tapi tidak tahu harus dimulai darimana?"
"Tanyakan saja!"
"Benarkah Couwsu kita, Thio-cinjin berasal dari Liauw-tong?"
"Betul. Apalagi yang ingin kau ketahui?"
"Kalau begitu Thio-cinjin termasuk bangsa Boan atau bangsa
Han?" "Couwsu adalah bangsa Han yang lahir di wilayah Liauw-tong,
kenapa kau bertanya soal ini?"
"Tecu merasa sedikit keheranan ketika mendengar kedua orang
Suheng itu membicarakan asal-usul Couwsu."
"Apa yang aneh?"
"Kenapa murid yang baru masuk perguruan dilarang mengetahui
daerah asal Couwsu" Tecu dengar sepuluh tahun berselang tidak
ada peraturan semacam ini."
"Sekarang pun tidak ada peraturan semacam ini. Mereka tidak
berani menyinggung soal daerah asal Couwsu lantaran perasaan
mereka sendiri yang punya kendala!"
"Apa yang dimaksud kendala dalam hati" Harap Ciangbunjin
bersedia memberi petunjuk untuk membuka kebodohan Tecu."
"Hukum alam berkata, kehidupan di dunia itu sederajat.
Meskipun itu merupakan ajaran Buddha, namun asalnya ajaran
Buddha maupun agama To adalah satu aliran. Manusia adalah salah
satu bagian dari kehidupan, kalau kehidupan saja sederajat, apalagi
antara manusia satu daerah dengan manusia dari daerah lain. Tidak
ada manusia yang sejak lahir sudah dibedakan kaya miskin,
terhormat atau hina, tidak ada baik tidak ada buruk, yang penting
adalah pikiran dan perasaanmu sendiri. Kalau sejak awal kau sudah
berpendapat bangsa Han adalah orang baik sementara bangsa Boan
adalah orang jahat, maka pandangan inilah yang merupakan
kendala bagimu!" Ko Ceng-kim seperti sedang meresapi perkataan itu, dia
terbungkam seribu bahasa.
"Sejak sepuluh tahun berselang, meski Nurhaci Khan dengan
membawa pasukan bangsa Boan sudah mulai mengusik garis batas
negeri kita," ujar Bu-siang Cinjin lebih jauh, "namun kerajaan Taybeng
kita hanya menganggap kejadian itu sebagai gangguan kecil,
oleh sebab itu pada sepuluh tahun lalu partai kita masih tidak
menganggap daerah asal Thio-cinjin di wilayah Liauw-tong sebagai
satu hal yang tabu. Kemudian, setelah Nurhaci mendirikan negara
dan mengangkat diri jadi Khan, kini dia secara resmi menjadi musuh
besar kerajaan Tay-beng kita. Situasi pertempuran antar dua negara
makin lama makin gawat, wilayah pertempuran pun semakin
melebar, pada saat seperti inilah timbul pikiran di antara sebagian
murid perguruan bahwa mengakui Couwsu sebagai orang yang
berasal dari Liauw-tong merupakan satu kejadian yang mencoreng
nama baik kita, kendatipun Couwsu dilahirkan sebagai seorang
bangsa Han." "Oh, rupanya urusan tabu berasal dari kejadian ini?"
"Padahal biar kau tidak menyinggung soal inipun bukan berarti
orang lain tidak tahu. Tabu semacam ini tidak lebih hanya pikiran
orang dungu. Padahal yang terpenting bukan daerah asal Thiocinjin,
melainkan watak serta tindak-tanduknya!"
"Selama hidup Thio-cinjin bijaksana dan jujur, satu fakta yang
tidak terbantahkan!"
"Bukan lantaran bijaksana dan jujur saja," sahut Bu-siang Cinjin
sambil manggut-manggut, "tahukah kau apa sebabnya semenjak
Kaisar Tay-cou Huante dan kaisar dinasti Beng berikutnya,
semuanya menghormati Thio-cinjin?"
Seakan menjawab pertanyaan sendiri dia melanjutkan, "Dalam
prasasti yang didirikan Kaisar Yong-lok dikatakan kalau
keberhasilannya merebut kembali tanah air karena mendapat
perlindungan dari Kaisar langit Tin-bu-tay-te, padahal kenyataan
ucapan itu hanya bualan belaka, sesungguhnya di balik itu semua
terdapat sebab-musabab lain. Ketika kaisar Tay-cu mengusir bangsa
Mongol dan merebut kembali tanah air dulu, Bu-tong-pay yang
didirikan Thio-cinjin pernah menyum-bang kekuatannya untuk
membantu dia. Hanya saja Thio-cinjin bukan jenis orang yang
menuntut jasa atas pengorbanannya. Oleh sebab itu ketika
sekarang bangsa Boan sudah menjadi musuh negara, rasa hormat
kaisar saat ini terhadap Thio-cinjin pun masih mengikuti adat lama,
sementara para pendekar di kolong langit pun tidak menganggap
lantaran Thio-cinjin berasal dari wilayah Liauw-tong maka kejadian
ini dianggap memalukan! Aku berharap kau pun jangan punya
pandangan picik seperti kebanyakan orang, mau membedakan
seseorang jangan menilai dari dia berasal dari etnis Boan atau Han
melainkan nilailah dari baik- buruknya watak seseorang!"
"Jangan menilai dari turunan Boan atau Han, melainkan nilailah
dari baik-buruknya watak seseorang!" gumam Ko Ceng-kim.
"Betul, di antara bangsa Han ada juga orang jahat, di antara
bangsa Boan pun ada orang baik. Bukankah teori ini sebenarnya
sangat sederhana?" Tanpa terasa keringat dingin jatuh bercucuran membasahi
seluruh tubuh Ko Ceng-kim. Sebagaimana diketahui, Keng King-si
dicurigai sebagai mata-mata lantaran pemuda itu hidup
mengasingkan diri di wilayah Liauw-tong. Di antara bangsa Boan
terdapat juga orang baik, apalagi hanya bertempat tinggal di
wilayah bangsa Boan"
Bukankah dasar alasan kecurigaannya jadi goyah" Tidak berdasar
sama sekali" Walau begitu, kunci semua persoalan ini tetap berada di tubuh
Huo Bu-tou seorang. Sekarang telah diketahui bahwa dia adalah
bangsa Han kelahiran Liauw-tong, keadaan itu tidak jauh berbeda
dengan riwayat Thio Sam-hong, Couwsu Bu-tong-pay di masa lalu.
Jadi masalahnya adalah apakah dia benar-benar telah menjadi
mata-mata bangsa Boan atau bukan.
Tidak salah, dia memang pernah menjadi penga-wal pribadi
Nurhaci Khan, tapi siapa tahu dia justru "biar tubuh berada di
sarang Cho-cho, jiwa tetap di pihak bangsa Han?" Ketika Bu-kek
Supek dan dia sendiri tahu asal-usul Huo Bu-tou, kemudian
langsung menuduhnya sebagai mata-mata bangsa Boan, apakah
tindakan ini termasuk pandangan yang mendahului kenyataan"
Padahal kunci semua peristiwa itu berada dalam isi surat yang
dikirim Huo Bu-tou untuk Keng King-si, mereka harus mengetahui
terlebih dulu pekerjaan apa yang harus Keng King-si lakukan, lalu
apa pula jabatan resmi yang dia pangku di kotaraja" Apa pula
tujuannya berbuat begitu" Asalkan beberapa hal ini diketahui secara
jelas, saat itulah mereka baru bisa membuktikan apakah Keng Kingsi
itu seorang mata-mata atau bukan.
Tapi kini semua orang yang berhubungan dengan peristiwa itu
sudah mati, satu-satunya saksi hidup rasanya tinggal Huo Bu-tou
seorang. Padahal dari mulut Huo Bu-tou bukan saja bakal diketahui semua
rahasia besar itu, bahkan bisa jadi dapat diketahui pula siapa matamata
dan pengkhianat yang menyusup ke dalam perguruan mereka,
jelas kebera-daan Huo Bu-tou sangat penting, jelas dia merupakan
saksi kunci. Kelihatannya Bu-siang Cinjin berpikir juga ke sana, bahkan sudah
menduga semua kemungkinan yang bakal terjadi jauh sebelum Ko
Ceng-kim memikirkannya. Dia mengajak Ko Ceng-kim masuk ke dalam kamar semadinya,
setelah menanyakan semua persoalan dengan jelas, dia pun
menghela napas seraya berkata, "Kini, kita hanya mempunyai
seorang saksi kunci yaitu Huo Bu-tuo, dia sangat penting artinya
untuk mengungkap semua kejadian ini, semoga saja dia tidak
dicelakai orang!" Begitu mendengar ucapan terakhir, Ko Ceng-kim sangat
terperanjat, bisiknya tanpa sadar, "Maksud Ciangbun si pengkhianat
yang telah mencelakai Bu-kek Supek sedang bersiap hendak
mencelakai dia?" "Belum tentu orang ilu turun tangan sendiri."
"Kalau begitu, perlu tidak segera mengirim orang ke kotaraja
untuk mencarinya" Kalau hasil penyelidikan terbukti dia bukan
mata-mata atau pengkhianat, kita bisa segera menghubungi murid
Bu-tong-pay yang ada di ibukota untuk melindunginya, atau
menyuruh dia cepat menyembunyikan diri. Bila tidak ada orang yang
mau melaksanakan tugas ini, Tecu bersedia melakukan perjalanan
untuk melaksanakan perintah."
"Kau tidak perlu menguatirkan persoalan ini. Mana sempat kalau
sekarang baru mengirim orang ke kotaraja?"
"Aah, rupanya Ciangbunjin telah mengutus orang?" seru Ko
Ceng-kim terkejut bercampur girang.
"Benar, orang yang kuutus adalah murid tertuaku yang paling
bisa dipercaya, Put-coat. Aku rasa dalam sehari dua hari mendatang
dia seharusnya sudah kembali."
"Ooh, berarti dia sudah diutus jauh sebelum Ting-susiok
terbunuh?" "Benar, aku berbuat begini bukan lantaran sudah menduga
sebelumnya, waktu itu aku masih belum tahu bakal berhadapan
dengan lawan yang begitu lihai. Ketika mengutus Put-coat
berangkat ke kotaraja waktu itu, tujuan utama adalah menyelidiki
kejadian yang sebenarnya, kemudian baru berjaga-jaga kalau dia
dicelakai orang. Ehm, tapi sekarang keadaan sudah jauh berbeda."
Walaupun Bu-siang Cinjin tidak menjelaskan lebih lanjut, Ko
Ceng-kim cukup mengerti apa yang dimaksud "jauh berbeda". Kini
setelah diketahui ada musuh tangguh yang menyelinap masuk ke
dalam perguruan, tentu saja semua sepak-terjang harus
diperhitungkan matang-matang. Bila sekarang Bu-siang Cinjin akan
mengutus orang ke kotaraja, jelas orang itu harus memiliki kungfu
yang sangat hebat, karena tujuannya adalah melindungi
keselamatan jiwa Huo Bu-tuo.
Mendadak Ko Ceng-kim merasa kata "lawan" yang digunakan Busiang
Cinjin barusan sedikit mencurigakan, segera tanyanya,
"Menurut analisa Bu-kek Supek, ilmu pukulan Thay-khek-ciang yang
digunakan pembunuh yang mencelakai Ting-susiok maupun dirinya
sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, jelas orang itu adalah
jago tangguh dari perguruan sendiri. Apakah Ciangbunjin masih
menaruh perasaan sangsi atau curiga atas kejadian ini?"
Sebagaimana diketahui, bila sudah disimpulkan dalam partai
telah muncul orang yang dicurigai, maka istilah yang digunakan
seharusnya "pengkhianat" dan bukan kata "lawan".
"Rasanya dalam partai kita, hanya beberapa gelintir manusia
yang memiliki kemampuan sehebat itu," sahut Bu-siang Cinjin, "tapi
setelah dipikir pulang pergi, rasanya tidak seorang pun yang patut
dicurigai. Oleh sebab itu aku tidak berani memastikan orang itu
pastilah pengkhianat yang menyusup ke dalam partai kita."
"Tapi ilmu pukulan Thay-khek-ciang adalah ilmu rahasia
perguruan yang tidak diajarkan kepada orang luar, mana mungkin
orang luar bisa mempelajarinya?"
"Sudah hampir dua ratus tahun lamanya Thio-cinjin mendirikan
perguruan kita. Selama dua ratus tahun, murid penganut agama To
maupun murid preman yang mempelajari ilmu pukulan Thay-khekciang
meski tidak terhitung terlalu banyak, jumlahnya pun tidak
sedikit. Tidak menjamin ada satu dua orang yang mengajarkan ilmu
itu kepada orang luar. Sebagai contoh, ada orang yang keranjingan
belajar ilmu silat, biasanya mereka akan melupakan segala
pantangan maupun larangan perguruan ketika melihat ada ilmu silat
aliran lain yang lebih tangguh, seringkali mereka justru rela bertukar
ilmu silat perguruan sendiri dengan pihak lain.
"Selama dua ratus tahun ini, asal ada satu atau dua orang saja
yang berbuat begitu, diam-diam mengajarkan ilmu rahasia itu
kepada orang luar, kemudian orang itu mewariskan juga ilmu tadi
kepada generasi berikutnya selama beberapa puluh tahun ini, tidak
tertutup kemungkinan bukan kalau ada orang luar yang berhasil
menguasai ilmu Thay-khek-ciang jauh melebihi kita semua" Satu
kejadian yang tidak aneh."
Rasa bingung semakin menyelimuti perasaan Ko Ceng-kim,
pikirnya, 'Ternyata Bu-kek Supek belum pernah berpikir sampai ke
situ.' Cepat ujarnya kemudian, "Kalau sampai begitu, bukankah urusan
jadi bertambah ruwet?"
"Aku tidak berani mengatakan benar atau tidak, pokoknya secara
keseluruhan, masih banyak hal yang mencurigakan dan belum dapat
kupecahkan. Ai.... semoga saja perbuatan terkutuk ini bukan hasil


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perbuatan pengkhianat dari partai kita. Kau pun tidak usah
sembarangan menduga atau berprasangka, toh dalam satu dua hari
mendatang Put-coat sudah kembali, siapa tahu dia berhasil
menemukan sedikit titik terang."
Baru selesai berbicara, mendadak seseorang mendorong pintu
sambil melangkah masuk. Ko Ceng-kim terkesiap, dia tidak tahu siapa orang bernyali yang
berani memasuki ruang rahasia Ciangbunjin, tapi dapat diduga
pastilah seorang tokoh penting dalam perguruan.
Baru saja ingatan itu melintas, teka-teki itu segera terbongkar
sudah. Tampak seorang Tosu setengah umur memasuki ruang
rahasia itu sambil menyapa, "Suhu!" Sementara matanya
mengawasi terus ke arahnya tanpa berkedip.
Bu-siang Cinjin segera tertawa tergelak.
"Baru saja menyebut Cho-cho, ternyata Cho-cho sudah datang.
Put-coat, kami sedang menunggu kedatanganmu. Dia adalah murid
paling tua Ho-susiokmu, bernama Ko Ceng-kim. Kalau ada yang
ingin dilaporkan, cepat katakan saja."
Tanpa peduli Ko Ceng-kim yang sedang memberi hormat
kepadanya, tergopoh-gopoh seru Put-coat, "Lapor Suhu, Tecu telah
melaksanakan perintah dengan mendatangi kotaraja, sayang
kedatanganku terlambat!"
"Bagaimana keadaan Huo Bu-tuo?" seru Bu-siang Cinjin
terkesiap. "Sudah mati! Sehari sebelum kedatangan Tecu di kotaraja, tibatiba
dia terserang penyakit dan tewas!"
"Mati terserang penyakit" Mana mungkin ada kejadian yang
begitu kebetulan" Jangan-jangan dia mati dibunuh orang, sudah kau
selidiki?" "Lapor Suhu, rasanya persoalan ini agak mencurigakan, Tecu
sendiri tidak tahu apakah dia benar-benar mati dibunuh orang atau
dia cuma pura-pura mati!"
"Apa maksud perkataanmu itu?" buru-buru Bu-siang Cinjin
bertanya dengan mata berkilat.
"Seperti apa yang Suhu perintahkan, begitu sampai di kotaraja,
Tecu segera menyambangi Sik Cu, Congpiautau perusahaan
ekspedisi Ceng-wan-piaukiok yang telah pensiun, dia adalah orang
lama di kotaraja, hampir semua orang dia kenal. Ketika Tecu minta
tolong untuk mencari tahu soal Huo Bu-tuo, benar saja, tidak
sampai beberapa lama, dari mulut beberapa orang kurcaci diperoleh
satu kabar yang sama sekali tidak terduga!"
"Ooh, kejadian tidak terduga macam apa yang kau peroleh" Coba
ceritakan secara detil, lalu kita bahas bersama-sama."
"Begundal yang memberi laporan adalah seorang pencuri barang
kuburan, dia terbiasa membongkar kuburan baru dan merampok
barang berharga yang ada dalam peti mati. Huo Bu-tuo adalah
orang yang belum lama datang ke kotaraja, tanpa sanak tanpa
saudara, membongkar kuburan orang macam begini adalah
pekerjaan dengan resiko sangat kecil. Oleh sebab itu meski Huo Butuo
termasuk salah seorang pengawal Kim-ih-wi, dia tetap berani
membongkar kuburannya pada malam kedua setelah hari
pemakaman. Akhirnya yang dia peroleh hanya kesialan. Coba terka
apa yang terjadi" Bukan saja dia tidak menemukan barang berharga
dalam peti mati itu, pakaian halus pun tidak dijumpai sepotong pun.
Bahkan yang lebih di luar dugaan adakah ketika peti mati itu
dibongkar, ternyata di situ tidak ditemukan jenazah!"
"Ooh, tidak ditemukan jenazah" Lantas siapa yang melakukan
pemakaman itu?" "Konon beberapa orang rekan sesama pengawal Kim-ih-wi yang
mengurus layonnya, salah satu di antaranya adalah sobat lama Sik
Cu. Menurut penuturan orang itu, dengan mata kepala sendiri dia
saksikan jenazah Huo Bu-tuo dimasukkan ke dalam peti mati!"
"Menurut kebiasaan, rasanya tidak pernah ada yang mencuri
jenazah seseorang!" "Tapi ada satu kemungkinan," sahut Put-coat cepat, "bila orang
itu mati karena keracunan. Mungkin saja orang yang meracuninya
takut bakal menimbulkan masalah di kemudian hari, maka dia
sengaja memusnahkan jenazah itu agar sukar dilacak."
Melihat tampang Ko Ceng-kim yang bodoh dan kuatir pemuda itu
tidak mengerti apa yang dimaksud, cepat tambahnya lagi, "Biasanya
tulang-belulang orang yang mati keracunan berwarna hitam, oleh
sebab itu walau sudah mati lama, gejala itu masih dapat ditemukan.
Bisa jadi pembunuh itu kuatir ada orang yang bakal membongkar
peti mati untuk melakukan pemeriksaan di kemudian hari, maka
cara terbaik untuk menutup rahasia ini adalah turun tangan lebih
dahulu, mencuri jenazahnya dan membakar sampai punah."
"Kemungkinan seperti ini bukannya tidak ada, tapi menurutku,
bisa jadi dia hanya pura-pura mati," kata Ko Ceng-kim.
"Itulah sebabnya aku mengatakan kalau kasus ini sangat
mencurigakan, dia mati sungguhan" Atau pura-pura mati" Dibunuh"
Atau mati lantaran sakit" Tidak gampang buat kita untuk
menyimpulkan!" "Aai.... semoga saja dia hanya pura-pura mati," Ko Ceng-kim
menghela napas panjang, "kalau tidak, titik terang terakhir yang kita
miliki pun bakal lenyap."
Entah mengapa, walaupun di luar dia menghela napas, namun
dalam hati kecilnya justru seolah merasa lega karena kehilangan
beban berat. "Mana surat yang ditulis Huo Bu-tuo untuk Keng King-si" Apakah
masih berada di tanganmu?" tiba-tiba Bu-siang Cinjin bertanya.
"Surat itu sudah hilang!"
"Kenapa bisa hilang?" seru Bu-siang Cinjin tertegun, "apakah
tidak digembol Keng King-si" Atau lenyap setelah berada di
tanganmu" Atau belum berhasil ditemukan" Aku rasa mustahil kau
tidak menggeledah sakunya bukan?"
"Dia memang membawanya, cuma Tecu sendiri pun tidak jelas
kenapa bisa mendadak hilang," secara ringkas dia pun menceritakan
keadaan yang dialaminya waktu itu kepada Bu-siang Cinjin.
Bu-siang Cinjin menghela napas panjang sehabis mendengar
penuturan itu, gumamnya, "Tidak kusangka, setelah menjumpai
satu teka-teki besar, kini muncul teka-teki yang lain. Bila surat itu
benar-benar dicuri orang, akan semakin sulit bagi kita untuk
melacak kejadian yang sebenarnya."
"Tapi.... bukankah Suhu sudah pernah mendengar isi surat itu
dari penuturan Ting-susiok?" tanya Put-coat.
"Yang aku butuhkan adalah tulisan tangan Huo Bu-tuo sendiri.
Tahukah kau" Biarpun dia sudah mati, tapi masih sangat berguna."
"Maaf Tecu makin lama makin bingung, Tecu tidak berhasil
menemukan apa kegunaannya," kata Put-coat.
"Bila di kemudian hari kita dapat menemukan catatan harian atau
surat yang ditinggalkan Huo Bu-tou, maka kita bisa mencocokkan
gaya tulisan di surat itu dengan catatan lainnya, dengan begitu kita
bisa tahu apakah tulisan surat itu asli atau palsu," Ko Ceng-kim
menerangkan. "Aah, betul! Ternyata otakmu jauh lebih encer daripada aku!"
seru Put-coat tanpa terasa.
Sebetulnya dia memandang sebelah mata terhadap Ko Ceng-kim,
tapi sekarang, pandangannya berubah seratus persen.
"Ceng-kim, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Bu-siang Cinjin
kemudian. "Tecu tidak punya sanak tidak punya keluarga, rumah pun tidak
punya, jadi tiada rencana apapun."
"Baiklah, kalau begitu tinggal saja di sini. Aku akan mengatur
semuanya untukmu." "Terima kasih atas budi kebaikan Ciangbunjin!"
Apa yang bakal diatur Ciangbunjin untuknya" Lamat-lamat dia
dapat menebaknya beberapa bagian. Oleh sebab itu meski
perasaannya saat itu dicekam kepedihan, namun di balik kepedihan
sedikit banyak dia bersyukur juga untuk masa depan sendiri.
"Baik, sekarang kau boleh ikut aku pergi melaporkan berita duka
ini kepada kedua orang Tianglo yang lain," ajak Bu-siang Cinjin.
Tiga hari kemudian, di atas bukit Bu-tong telah muncul seorang
murid baru dari aliran agama To.
Dalam perguraan Bu-tong-pay sebenarnya terdapat beratus
orang murid Tosu, bertambah seorang murid baru bukanlah suatu
kejadian yang aneh, tapi murid baru yang satu ini justru telah
melanggar peraturan yang berlaku selama ini.
Pertama, menurut aturan Bu-tong-pay, untuk menjadi murid
aliran agama To, seseorang harus masuk perguruan sejak usia kecil
atau paling tidak usianya tidak melebihi 15 tahun. Tapi murid baru
itu sudah berusia dua puluh tujuh tahun.
Kedua, murid itu sama sekali bukan orang luar, sebelumnya dia
adalah murid preman dari perguruan Bu-tong-pay.
Ketiga, yang paling mencolok adalah murid itu ternyata diterima
Bu-siang Cinjin, sang Ciangbunjin sebagai murid penutup. Murid
preman yang berpindah jadi murid aliran agama To bukannya tidak
ada, tapi murid yang diterima Ciangbunjin boleh dibilang sangat
langka. Murid baru itu tidak lain adalah Ko Ceng-kim.
Bu-siang Cinjin adalah seorang Ciangbunjin yang dihormati dan
disegani anak muridnya, tentu saja apa yang dia lakukan tidak
berani dibantah atau diprotes orang lain. Kendatipun begitu, tidak
urung sekelompok murid diam-diam berkasak-kusuk juga mengenai
kejadian itu. Sesaat sebelum Ko Ceng-kim resmi menjadi pendeta, berita
kematian yang menimpa Bu-kek Tianglo serta Ji-ouw Tayhiap Ho Kibu
tersebar luas. Yang dimaksud tersebar luas tentu saja hanya sebatas kematian
mereka karena menderita sakit, sementara alasan sesungguhnya
tidak pernah disebar luaskan.
Tahun ini usia Bu-kek Totiang sudah lebih enam puluh tahun,
meskipun belum terbilang kelewat tua, namun masih terhitung
panjang usia (sebagaimana diketahui, usia orang jaman kuno jauh
lebih pendek daripada usia manusia jaman modern), usia Ho Ki-bu
baru lewat lima puluh tahunan, jadi seusianya belum terhitung
terlalu tua. Akan tetapi lantaran berita kematian karena sakit ini berasal dari
Ciangbunjin sendiri, tentu saja tidak seorang pun berani mencurigai
Ciangbunjin mereka sedang berbohong. Malah ada sementara murid
yang menyangka Ciangbunjin mereka masih terkenang dengan
kemampuan Ho Ki-bu, sehingga menerima murid pertama Ho Ki-bu
itu sebagai murid sendiri.
Kini Ko Ceng-kim menyandang gelar kepende-taan, Put-ji Tosu,
dia bukannya tidak tahu kalau banyak orang sedang berkasak-kusuk
di belakangnya membicarakan persoalan itu, namun selama ini dia
hanya berlagak pilon. Sebagai orang yang pada dasarnya memang
tidak gemar banyak bicara, sesudah menjadi murid Ciangbunjin, dia
semakin membungkam dan jarang bicara.
Sepintas dia seperti seorang yang sudah hambar memandang
masalah dunia, padahal bukan berarti dia sama sekali tidak
memikirkan persoalan apa pun.
Dia selalu teringat pesan Suhunya di saat melantik dia menjadi
seorang pendeta. "Setelah memasuki perguruan, kau harus menjaga tiga
pantangan, pantangan rakus, pantangan marah dan pantangan
bertindak bodoh. Keputusan utama selalu di hati, biarkan jalan
menyimpang berjalanlah sesuai kebutuhan. Tiada godaan tidak akan
menimbulkan napsu, tiada kecurigaan tidak akan menumbuhkan
penyesalan." Mengulang kembali pesan itu dalam hatinya, tanpa terasa dia
pun tertawa getir, pikirnya, 'Tiga pantangan rakus, bertindak bodoh
dan marah, hampir semuanya pernah kulanggar. Tiada godaan tidak
akan menimbulkan napsu" Jelas ini merupakan pelajaran agama To
tingkat tinggi, semudah itukah aku dapat mencapai tingkatan seperti
itu?" Kemudian pikirnya lebih jauh, 'Keputusan utama selalu di hati,
biarkan jalan menyimpang berjalanlah sesuai kebutuhan. Suhu
memberi aku gelar Put-ji (tiada penyimpangan), apakah dia kuatir
aku tidak dapat mengendalikan diri hingga kembali terjerumus ke
jalan sesat?" Hari itu dia mendapat tugas mencari daun obat di bukit belakang,
tugas itu dilewatkan dengan pikiran kalut dan tidak menentu, tanpa
terasa sang surya telah tenggelam di langit barat.
Tiba-tiba terdengar seseorang menegur, "Put-ji Sutit, apakah ada
sesuatu pikiran yang mengganjal?"
Ketika Put-ji mendongakkan kepala, dia lihat seorang Tianglo
perguruannya, Bu-liang Tojin telah berdiri di hadapannya. Semenjak
kematian Bu-kek Tojin, Tosu ini telah naik pangkat menjadi
pimpinan para sesepuh, kedudukannya hanya di bawah Ciangbunjin.
"Tecu tidak memikirkan apa-apa!" dengan perasaan terkesiap
buru-buru Put-ji menyahut.
"Syukurlah kalau tidak ada masalah. Namun bila kau merasa ada
ganjalan, janganlah kau kelabui diriku!"
"Tecu tidak berani mengelabui Tianglo," kembali Put-ji menyahut,
sementara dalam hati dia berpikir keheranan, 'aneh, kenapa dia
bertanya begitu kepada-ku"'
"Tentunya kau sudah tahu bukan kalau Suhumu Ho Ki-bu dan
aku mempunyai guru yang sama, meski-pun kami dibedakan karena
satu preman satu Tosu, namun sesungguhnya dia adalah sahabat
karib-ku." "Tecu tahu akan hal itu," Put-ji manggut-manggut, sementara
dalam hati ia berpikir penuh curiga, 'benar, walaupun Suhu dan dia
sama-sama merupakan murid Hian-khong Cinjin, Ciangbunjin
generasi sebelumnya, tapi orang yang sering disinggung Suhu
bukan dia melainkan Bu-si Supek. Dan lagi orang yang selama ini
berhubungan akrab dengan Suhu pun bukan dia, melainkan Bu-si
Supek!" Tampaknya Bu-liang Tojin dapat membaca suara hatinya,
kembali dia berkata, "Akrab tidaknya hubungan seseorang tidak bisa
dinilai dari kerap tidaknya seseorang berhubungan, apalagi
belakangan aku sedang membantu Ciangbun Suheng mempelajari
Sim-hoat tenaga dalam perguruan, tidak heran aku jarang sekali
berkunjung ke rumah Ho-sute. Walau begitu, semua persoalan yang
menimpa dirinya, baik urusan besar maupun urusan kecil, tidak satu
pun yang bisa mengelabui diriku. Khususnya di saat dia sedang
menghadapi masalah yang tidak terpecahkan, dia selalu
mengajakku berunding. Sekali pun kami tidak saling berjumpa, dia
selalu mengutus orang mengirim surat atau titip pesan untukku."
Ho Ki-bu adalah pemimpin murid preman, sedang Bu-liang Tojin
adalah sesepuh partai, apalagi mereka berdua berasal dari guru
yang sama. Tidaklah aneh kalau mereka berdua sering berhubungan
kabar meski jarang bertemu muka. Dalam posisi begini, Put-ji tidak
berani menaruh curiga, terpaksa dia mengiakan berulang kali.
Setelah menghela napas panjang, kembali Bu-liang berkata,
"Suhumu hanya mempunyai seorang putri, dia sengaja
menjodohkan putrinya kepadamu karena dia berharap di kemudian
hari kalian bisa mendapat keturunan untuk melanjutkan generasi
keluarga Ho. Aai.... siapa tahu perhitungan manusia tak bisa
melawan kehendak langit...."
Berdebar keras detak jantung Put-ji sesudah mendengar ucapan


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, pikirnya, "Dari nada bicaranya, jangan-jangan dia sudah tahu
tentang sebab-musabab kematian Suhu?"
Perlu diketahui, walaupun Bu-siang Cinjin sempat mengumumkan
berita kematian yang menimpa Ho Ki-bu, namun kepada kedua
orang Tianglo itupun dia tidak pernah menerangkan sebab kematian
yang sebenarnya. Belum selesai ingatan itu melintas, kembali terdengar Bu-liang
Tojin melanjutkan kata-katanya, "Mereka ayah beranak telah mati
lebih dulu!" Ternyata yang dia maksudkan "perhitungan manusia tidak bisa
melawan kehendak langit" hanyalah menunjukkan kematian ayah
beranak itu. Hanya saja, sekalipun dia tidak mengetahui penyebab kematian
Ho Ki-bu, namun perkataan itu masih tetap mendatangkan rasa
bingung yang luar biasa. Kaburnya Ho Giok-yan dan Keng King-si tahun berselang jelas
merupakan aib keluarga yang tidak mungkin diceritakan Ho Ki-bu
kepada orang luar. Tapi sayang 'api tidak mungkin dibungkus
kertas', bau busuk tidak mungkin bisa terbungkus rapi, setelah lewat
satu tahun, akhirnya banyak juga orang luar yang menge-tahui
kejadian ini. Tapi lantaran itu pula, murid-murid Bu-tong-pay yang
mengetahui peristiwa itu tidak ada yang berani mengungkit masalah
Sumoy premannya di hadapan Put-ji, karena mereka tahu
Sumoynya itu dulu adalah calon istrinya. Mereka sangka Ho Giokyan
dan Keng King-si masih bersembunyi di tempat jauh dan belum
berani pulang. Tapi sekarang ternyata Bu-liang Tianglo sudah tahu bahwa
Sumoynya telah meninggal.
"Darimana dia tahu" Apa Ciangbun Suhu yang memberitahu"
Atau dia mendapatkan sendiri beritanya?"
"Berapa banyak yang telah dia ketahui?"
Semakin mendengar Put-ji merasa semakin terkejut, makin
mendengar dia merasa Tianglo ini semakin misterius dan sukar
diraba. Setelah menghela napas panjang, kembali Bu-liang Tojin
melanjutkan, "Sebetulnya kau dan Sumoymu merupakan pasangan
yang amat serasi, aai.... kalau bukan peristiwa setahun berselang,
tidak mungkin kau jadi Tosu!"
"Peristiwa yang sudah lewat biarlah lewat, kini Tecu sudah
menjadi orang beribadah, tolong Tianglo jangan mengungkitnya
kembali." "Murid aliran agama To dari Bu-tong-pay jauh berbeda dengan
murid aliran lain, bukankah dulu Thio-cinjin juga banyak mengurusi
urusan keduniawian dengan statusnya sebagai orang beribadah."
"Mereka semua telah meninggal dunia."
"Tapi ada sementara orang masih hidup, ada sementara urusan
yang belum selesai meski orangnya telah tiada."
"Apa yang Tianglo maksud dan siapa orangnya?"
"Seharusnya kau lebih tahu daripada aku, siapa lagi manusia di
dunia ini yang membutuhkan perawatan dan perhatianmu!"
Put-ji tertegun! Belum sempat mengucapkan sesuatu, kembali
Bu-liang berkata sambil menatapnya tajam, "Masih ada orang yang
butuh perhatian dan perawatanmu, masa kau ingin mengelabui
diriku" Siapa tahu aku bisa membantumu membebaskan beban
pikiran itu" Keputusan utama selalu di hati, biarkan jalan menyimpang
berjalanlah sesuai kebutuhan. Put-ji, mari ikut aku!"
Seolah terkena hipnotis, tanpa sadar Put-ji berjalan mengintil di
belakangnya. Berjalan tidak seberapa lama, setelah melewati sebuah lereng
gunung, terlihatlah sebuah bangunan rumah penduduk berdinding
tanah berpintu bambu, rumah itu tidak jauh berbeda dengan rumah
penduduk mana pun. Suara tangisan bayi terdengar berkumandang dari balik ruangan,
tangisan itu amat keras dan nyaring. Entah mengapa tiba-tiba Put-ji
merasa isak tangis bayi itu seperti sangat dikenalnya, satu perasaan
aneh seketika menyelimuti hatinya.
Tidak lama kemudian terdengar suara seorang lelaki berkata,
"Aai, kenapa bocah ini menangis melulu" Masa dia tahu sejak
dilahirkan sudah kehilangan orang tua?"
"Biar aku saja yang membopongnya," sahut suara seorang
wanita, "anak sayang, jangan menangis, jangan ribut, sebentar
paman pasti akan datang menjengukmu."
"Aai.... sudah tiga hari kita datang kemari, kenapa dia masih
belum kemari untuk menengok bocah ini?" kembali lelaki itu
menghela napas, "jangan-jangan...."
Bu-liang Totiang segera mendorong Put-ji, bisiknya, "Orang yang
harus kau rawat dan lindungi berada dalam rumah itu, kenapa kau
masih tidak masuk menjenguknya...."
Padahal Put-ji sudah tidak perlu diingatkan, apalagi didorong
orang, karena dia sudah mengenali suara suami-istri itu, dia pun
sudah tahu siapa gerangan bocah yang sedang menangis. Setelah
termangu beberapa saat, akhirnya bagaikan segulung angin
berpusing cepat dia membuka pagar bambu dan menerobos masuk
ke dalam rumah itu. Ternyata dugaannya tidak salah, bayi yang sedang digendong
perempuan itu tidak lain adalah anak Ho Giok-yan! Di atas
pembaringan batu berbaring pula seorang bayi lain, bayi itu sudah
terlelap tidur. Tidak salah lagi, suami-istri itu tidak lain adalah suami-istri
keluarga Lan, pemburu yang telah dititipi anak tempo hari.
Tampak Lan Kau-san agak tertegun sejenak, kemudian teriaknya
kegirangan, "Ko-toako, ternyata kau muncul juga!"
Put-ji tidak sempat menanyakan apa arti "ternyata" itu, cepat
serunya, "Lan-toaso, biar aku yang menggendongnya."
Setelah membopong bayi itu, ingatan masa lalu pun kembali
melintas dalam benaknya, membayangkan kembali saat-saat
dimana Sumoynya menitipkan bocah itu, rasa sedih yang luar biasa
seketika mencekam hatinya, tapi dia berusaha keras menahan diri,
ibu jarinya segera dijejalkan ke mulut bayi itu dan membiarkannya
menghisap. "Ko-toako," istri Lan Kau-san berseru sambil tertawa,
"kelihatannya ibu jarimu jauh lebih bermanfaat daripada puting
susuku, coba lihat, dia tidak menangis lagi, malah membuka
matanya lebar-lebar untuk memandangmu. Hahaha.... dia seperti
sudah mengenali dirimu, kenal kalau kau adalah satu-satunya sanak
yang dia miliki." Perempuan ini lahir dan hidup di tengah lereng gunung, tidak
heran cara berbicaranya kasar, spontan dan tanpa tedeng alingaling.
Put-ji tertawa getir. 'Asal setelah dewasa nanti dia tidak menganggapku sebagai
musuh besar, aku sudah amat bersyukur,' demikian pikirnya, tapi di
luar dia menyahut, "Aku sudah menjadi pendeta, kini aku sudah
bukan Ko Ceng-kim lagi. Namaku kini Put-ji!"
"Put-ji?" gumam Lan Kau-san, "aku tidak terbiasa dengan
panggilan itu. Terserah kau sudah menjadi pendeta atau tidak,
selama ada dalam rumah, aku masih tetap akan memanggilmu
sebagai Ko-toako." "Terserahlah. Aku hanya ingin tahu, kenapa kalian bisa sampai di
sini?" "Hei, bukankah kau sendiri yang menyuruh kami datang kemari?"
"Aku?" Put-ji terkejut bercampur keheranan.
"Setengah bulan berselang, datang seorang Totiang ke rumah
kami, dia mengabarkan kalau kau sudah menjadi pendeta di Butong-
san, agar bisa bertemu bocah itu setiap saat, katanya secara
khusus kau titipkan uang dan pesan untuk kami dan minta kami
segera pindah ke Bu-tong-san. Masa perkataan Totiang itu bohong"
Masa dia menipu kami?"
"Macam apa Totiang itu?"
"Berusia tiga puluh tahunan, alis matanya tebal sekali, badannya
tinggi agak gemuk, di sisi bibirnya terdapat sebuah tahi lalat besar."
Tosu itu tidak lain adalah Put-pay, Tosu yang pernah bertarung
melawannya ketika pada hari pertama dia naik ke Bu-tong-san, Putpay
adalah murid tertua Bu-liang Tianglo.
Berpikir sampai di situ, Put-ji pun segera sadar dan memahami
apa yang telah terjadi, pikirnya, "Tak heran aku tidak menjumpai
Suheng ini ketika hari upacara pengangkatan murid tempo hari,
padahal semua anggota Bu-tong-pay hadir dan memberi selamat,
rupanya dia sedang turun gunung menjalankan tugas."
Maka dengan berlagak baru teringat akan hal itu, sahutnya
cepat, "Aah, betul, betul, Tosu yang kau maksud bernama Put-pay.
Padahal waktu itu aku hanya sempat berkeluh-kesah di hadapannya
dan bilang kalau aku sangat kangen pada kalian dan bocah itu, tidak
disangka dia telah membantu aku memenuhi keinginan ini dengan
berlagak disuruh aku menyampaikan pesan dan uang untuk kalian."
"Kalau begitu, benar sudah, aku sempat memikirkan soal ini,
mana ada manusia di kolong langit yang mau mengeluarkan uang
untuk berbohong, yang ada selama ini hanya orang yang berbohong
untuk mendapatkan duit."
"Totiang itu baik sekali," kata istri Lan Ko-san pula, "bukan saja
dia telah mengeluarkan uang untuk membantu kami pindah rumah,
bahkan sudah mengaturkan pula penghidupan kami selanjutnya."
"Hah, bagaimana mengaturnya?"
"Setelah tiba di sini, dia segera mengajak kami bertemu dengan
Totiang yang mengurusi masalah dapur, dia mengaku kami sebagai
orang sedusun dan minta Totiang itu memberi sebidang tanah untuk
kami tanamani sayuran."
Perlu diketahui, jumlah Tosu yang hidup di Bu-tong-san
mencapai ribuan orang banyaknya, selama ini rangsum mereka
sebagian besar diperoleh dari derma para jemaah yang datang
berkunjung atau membelinya di bawah gunung, namun sayuran
segar harus diperoleh dengan menanam sendiri di atas gunung.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, anggota perguruan telah
membuka hampir seribuan hektar tanah yang ditanami sayursayuran,
tanah itu sebagian diberikan kepada orang yang naik bukit
dan bersedia menanaminya tanpa memungut uang sewa. Tapi
justru karena tidak dipungut uang sewa, maka kebanyakan orang
yang mendapat jatah tanah adalah orang-orang yang mempunyai
hubungan dekat atau kerabat dari murid-murid Bu-tong-pay.
"Sebenarnya aku adalah seorang pemburu," kata Lan Kau-san
lagi, "aku pun amat senang bekerja sebagai seorang pemburu, tapi
setelah pikir punya pikir, rasanya hidup dengan menanam sayur
jauh lebih tenang dan tenteram daripada hidup sebagai seorang
pemburu, apalagi usiaku makin hari makin tua, sudah tidak
bertenaga lagi hidup berburu, untuk menanam sayuran rasanya
masih cukup kuat. Selain itu, biarpun aku sendiri tidak takut
menghadapi resiko dan ancaman bahaya sewaktu berburu, akan
tetapi aku tidak berharap kedua orang bocah itu ikut menghadapi
resiko. Dan yang lebih penting lagi adalah dengan berpindah
kemari, kau pun bisa lebih sering bertandang kemari dan bermain
dengan bocah itu." "Betul, perkataanmu betul sekali," Put-ji mengangguk berulang
kali, "Put-pay Toheng memang seorang sobat yang hebat, tidak
nyana dia bisa berpikir sesempurna itu untuk kalian. Nanti aku mesti
berterima kasih kepadanya. Baiklah, kalau begitu hiduplah dengan
tenang di sini. Sekarang hari sudah gelap, aku akan berkunjung lagi
lain hari." Dengan perasaan sangsi, curiga dan tidak habis mengerti Put-ji
meninggalkan rumah keluarga Lan, setelah berbelok ke lereng bukit,
dia lihat Bu-liang Totiang masih menanti kedatangannya di tempat
semula. "Put-ji," terdengar Bu-liang Totiang menegur, "sudah kau jumpai
sobat dan bocah itu" Akulah yang menitahkan Put-pay dengan
mencatut namamu dan memboyong mereka datang kemari."
"Ya, Tecu sudah tahu."
"Bocah itu adalah cucu luar Suhumu, bahkan terhitung satusatunya
darah daging keturunan Ho-sute yang masih hidup.
Tentunya kau tidak marah bukan karena aku ikut campur masalah
ini?" "Sumoy memang menyerahkan bayi itu kepadaku dan minta aku
merawatnya. Aku rasa jalan pikiranku sama persis dengan jalan
pikiran Susiok, dengan membiarkan bocah ini hidup di sisi kita,
tentulah perawatan terhadapnya akan lebih terjamin."
"Jadi kau merasa puas dengan semua pengaturan yang telah
kulakukan?" tanya Bu-liang Totiang tersenyum.
"Terima kasih banyak Tianglo Susiok, pengaturan semacam ini
memang amat sempurna."
Walaupun waktu mengucapkan perkataan itu dia harus menahan
senyuman getir, namun apa yang diucapkan sama sekali tidak
bertentangan dengan jalan pikirannya. Dia memang pernah punya
ingatan untuk memindahkan keluarga Lan ke atas Bu-tong-san,
namun andaikata dia sendiri yang melakukan hal itu, sudah pasti
tindakannya ini akan menimbulkan kecurigaan rekan-rekan
seperguruan lainnya. Tapi sekarang Tianglo sendiri yang mengatur semua ini, bukan
saja memindahkan keluarga Lan ke atas gunung, bahkan
memberinya sebidang tanah untuk nafkah hidup, jelas hal ini akan
semakin mempermudah dirinya berhubungan dengan mereka di
kemudian hari. Tapi kecurigaan lain segera memenuhi benaknya, darimana Buliang
Totiang tahu kalau bocah itu berada di tangan keluarga Lan"
Padahal selama ini dia tidak pernah melaporkan kejadian itu
termasuk masalah kelahiran anak Sumoynya kepada Ciangbun
Suhu. "Jangan-jangan.... jangan-jangan hari itu Bu-liang Susiok juga
berada di Boan-liong-san" Itu berarti dia telah menyaksikan semua
perbuatan yang telah kulakukan?"
Satu pemikiran lain yang lebih menakutkan melintas pula dalam
benaknya, "Mungkinkah surat Huo Bu-tuo telah diambil olehnya"
Atau.... atau.... jangan-jangan pembunuh yang bersembunyi dalam
perguruan adalah dirinya" Tapi.... tapi rasanya tidak mungkin! Bukek
Supek adalah sahabat karibnya selama puluhan tahun, jika dia
adalah pembunuh gelap itu, ketika membokong Bu-kek Supek,
kendatipun waktu itu Bu-kek Supek tidak sempat melihat wajahnya,
semestinya dia mengenali sobat karibnya ini, tapi kenyata-an
sampai saat ajalnya pun Bu-kek Supek masih belum bisa menebak
siapa yang telah melakukan pembunuhan ini. Namun.... sang
pembunuh dan orang yang telah mencuri surat itu belum tentu
merupakan orang yang sama, bukan jaminan dia yang telah
mencuri surat itu...."
Semakin dipikir dia merasa semakin kalut dan tidak berhasil
menarik kesimpulan apa pun. Tentu saja semua kecurigaan itu tidak
berani dia kemukakan di hadapan Bu-liang Totiang, bahkan dia pun
tidak berani menunjukkan perubahan mimik muka.
Tampaknya Bu-liang Totiang dapat membaca jalan pikirannya,
seakan sengaja tidak sengaja dia berkata, "Keputusan utama selalu
di hati, biarkan jalan menyimpang berjalanlah sesuai kebutuhan.
Tiada godaan tidak akan menimbulkan napsu, tiada kecuri-gaan
tidak akan menumbuhkan penyesalan. Bukankah petuah ini pernah
disampaikan Ciangbunjin kepadamu" Ehm, hampir semua orang


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai pikiran yang sama, terkadang ada sementara persoalan
yang tidak ingin diucapkan kepada siapa pun, termasuk kepada
sanak sendiri bila keadaan belum mendesak, mereka selalu
berpendapat bila ada orang menaruh curiga maka urusan itu adalah
urusan orang lain. Bahkan ada sementara persoalan yang harus
dihadapi dengan perasaan bimbang, tidak yakin apakah yang telah
diperbuat itu benar atau salah, namun selama kau yakin bahwa
dirimu tidak pernah punya ingatan untuk melakukan kesalahan,
maka kau tidak perlu menyesal atau banyak curiga. Semua masalah,
semua keruwetan pada akhirnya toh akan jelas dengan sendirinya."
Sepintas perkataan Bu-liang Totiang ini seperti sebuah petuah
yang diberikan seorang angkatan tua terhadap murid yang baru
bergabung, namun bagi Put-ji, semua perkataan itu sangat
mengena di hatinya, bahkan setiap kata, setiap ucapannya seolah
memang sengaja ditujukan kepadanya.
Berdasarkan analisa yang dilakukan Put-ji, perkataan itu paling
tidak mengandung tiga maksud, Dia sudah mengetahui semua
perbuatan yang dilakukan Put-ji, termasuk salah bunuh yang telah
dia lakukan terhadap adik seperguruannya.
Dia sudah dapat membaca jalan pikiran Put-ji, yaitu takut kalau
orang lain mengetahui rahasia besar yang tersimpan dalam hatinya.
Oleh sebab itu dia memberi kisikan kepada Put-ji agar jangan
banyak bertanya, artinya kau tak perlu bertanya kepadaku kenapa
aku bisa tahu anak itu sudah jatuh ke tangan keluarga Lan, sampai
waktunya aku pasti akan memberitahukan kepadamu. Sebab kalau
kau pun mempunyai rahasia yang tidak ingin diketahui orang lain,
begitu juga dengan diriku!
Kalau keadaan sudah begini, apalagi yang bisa dia lakukan
kecuali mengiakan berulang kali.
"Apakah suami-istri keluarga Lan sudah tahu asal-usul bocah
itu?" tiba-tiba Bu-liang Totiang bertanya.
"Tidak, mereka hanya tahu bocah itu adalah putra seorang
sahabatku." "Kalau begitu Lan Kau-san juga tidak tahu siapa ayah-ibu bocah
itu?" "Aku rasa tidak perlu memberitahukan hal ini kepadanya."
"Baiklah, kalau begitu hanya kau dan aku yang mengetahui
rahasia ini," Bu-liang Totiang menandaskan.
"Bagaimana dengan Put-pay Suheng?"
"Aku hanya memerintahkan dia memindahkan keluarga Lan Kausan
kemari. Kepandaian muridku ini memang kurang bagus, tapi dia
memiliki satu kelebihan, yakni amat setia kepadaku. Kalau aku tidak
memberitahukan sesuatu kepadanya, dia tidak pernah berani
banyak bertanya." Kini Put-ji dapat merasa sedikit lega, namun sayang, walaupun
dia berhasil menyingkirkan sebuah batu yang menindih hatinya, tapi
ada batu lain yang jauh lebih berat justru makin menghimpit
perasaannya. Hanya Bu-liang Totiang seorang yang mengetahui rahasianya, hal
ini bukankah sama artinya kalau sejak saat itu dia berada dalam
kekuasaan Tosu itu" Bukan begitu saja, kecuali rahasia ini, mungkinkah Bu-liang
Totiang masih mengetahui rahasia pribadinya yang lain" Sebab
kalau didengar dari nada bicaranya, dia seolah bukan cuma tahu
soal rahasia itu saja, bahkan bisa jadi seluruh peristiwa yang terjadi
di Boan-liong-san hari itu telah diketahui semua olehnya.
Entah Bu-liang Totiang dapat membaca jalan pikirannya atau
tidak, tiba-tiba dia berkata sambil tersenyum, "Jangan sembarangan
berpikir, waktu sudah larut, lebih baik cepatlah pulang."
Senyuman itu kelihatan ramah, lembut dan penuh kedamaian.
Sekembali ke To-koan, langit sudah gelap. Buru-buru Put-ji
menangsal perut dengan hidangan malam, kemudian pergi
menjumpai Suhunya, sebagai murid baru yang belum lama
bergabung, dia harus belajar lebih giat, selain belajar di siang hari,
dia pun harus belajar di malam hari.
Waktu itu Bu-siang Cinjin sedang duduk bersemedi, mendengar
dia masuk kamar, sambil membuka mata, dia menyapa, "Ehm, kau
telah kembali." "Lapor Suhu, hari ini Tecu mencari daun obat di bukit belakang
sana, sampai agak malam baru kembali," jawab Put-ji cepat,
sementara di hatinya dia merasa agak berdebar, takut ditanyai sang
Suhu. "Aku tahu," sahut Bu-siang Cinjin sambil mengangguk, "aku
dengar hasil buruanmu hari ini cukup bagus, dua batang Lengci itu
tidak gampang ditemukan."
Kembali Put-ji tertegun, seingatnya bahan obat-obatan yang
diperolehnya hari ini hanya daun obat biasa, darimana datangnya
Lengci" Tapi dengan cepat dia tersadar kembali, petugas yang mengurusi
soal pengumpulan bahan obat adalah Put-tay salah satu murid Buliang
Totiang, jelas prestasi yang dilaporkan atas namanya adalah
laporan palsu yang dibuat Put-tay, sedang Put-tay bisa berbuat
begitu tidak ragu lagi tentu karena mendapat perintah dari Suhunya.
Kembali Bu-siang Cinjin berkata sambil ter-senyum, "Aku dengar
Bu-liang Susiok yang menemanimu kembali ke sini" Dia sangat
memuji kemampuanmu."
Sekarang Put-ji baru mengerti, ternyata yang melaporkan
prestasi palsunya itu bukan Put-tay, melainkan Bu-liang Cinjin.
Diam-diam dia menertawakan ketololan sendiri, masalah
mendapat Lengci hanya masalah kecil, tentu saja pengurus obatobatan
tidak bakal melaporkan hal ini secara khusus pada
Ciangbunjin, atau dengan perkataan lain pastilah Bu-liang Totiang
yang telah berkunjung ke sana dan berbincang dengan Suhunya.
"Tecu tidak punya kelebihan apa-apa, apa yang dibanggakan Buliang
Susiok?" dengan perasaan tidak tenang dan pura-pura malu
Put-ji menyahut. Sekali lagi Bu-siang Cinjin tersenyum.
"Kau ingin tahu apa yang dipujikan Bu-liang Susiokmu itu" Dia
memujimu pintar, giat belajar. Dia bilang kau sangat menguasai
teori ilmu silat dari perguruan, bahkan yang lebih hebat lagi, kau
bisa memberikan analisa dan pandangan pribadi."
"Aah. Bu-liang Susiok kelewat memujiku. Padahal Tecu belum
sampai sebulan mempelajari ilmu silat, pengetahuanku sangat
terbatas, kalau dibilang ada kemajuan, semuanya ini juga berkat
bimbingan serta jasa Suhu."
"Aku senang orang yang bicara terus terang, tapi paling muak
mendengar sanjungan," kata Bu-siang Cinjin dengan kening
berkerut, "walaupun kau hanya sebulan mengikuti aku, seharusnya
cukup paham watakku ini."
Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan senyuman
tersungging di ujung bibirnya dia melanjutkan, "Aku memang bisa
saja mengajarkan ilmu silat kepadamu, tapi bakat dan kemampuan
toh tetap tergantung dirimu sendiri."
"Ada satu hal Tecu bingung harus ditanyakan atau tidak?"
dengan memberanikan diri Put-ji berkata.
"Tanyakan saja!"
"Tanggal enam bulan berselang apakah Bu-liang Susiok berada di
Bu-tong-san?" Hari itu adalah hari kedua setelah Ho Ki-bu tewas dibunuh orang,
atau hari dimana dia telah salah membunuh Keng King-si dan Bukek
Totiang tewas karena luka dalamnya yang parah.
"Buat apa kau menanyakan soal ini?" tanya Bu-siang Cinjin
keheranan. "Tecu tidak berani berbohong, terus terang timbul sedikit rasa
curiga dalam hatiku, konon ilmu pukulan Thay-khek-ciang yang
diyakini Bu-liang Susiok tidak berada di bawah Suhu...."
Tiba-tiba Bu-siang Cinjin menukas dengan wajah serius dan
suara dalam, "Sejak hari pertama kau naik gunung, bukankah telah
kukatakan bahwa dalam perjalanan sejarah perguruan selama dua
ratus tahunan, tidak tertutup kemungkinan ada murid yang gila silat
telah membarter ilmu perguruan kita dengan orang luar. Thay-khekkun,
Thay-khek-kiam semua nya merupakan ilmu rahasia, jadi tidak
heran kalau ada orang lain yang mampu menguasai ilmu itu setara
dengan kemampuanku. Masa kau berani mencurigai Tianglo
perguruan sendiri?" "Tecu tahu salah, tidak seharusnya Tecu mengajukan pertanyaan
seperti itu." "Tapi sekarang kau telah mengatakannya, kalau tidak kujelaskan
mungkin rasa curigamu masih belum hilang. Untuk melatih tenaga
dalam tingkat atas dari perguruan kita, sejak tiga bulan berselang
Bu-liang Sute sudah menutup diri, dia baru keluar dari kamar
semadinya sehari sebelum kedatanganmu di sini. Hampir tiga bulan
lamanya dia tidak pernah keluar dari kamarnya barang selangkah
pun." Ting Im-hok menemui ajalnya tiga bulan lalu, sementara Bu-kek
Tojin terluka parah oleh tenaga pukulan Thay-khek-ciang pada saat
Ting Im-hok sudah tewas lebih dulu, berarti terlepas apakah
pembunuhnya merupakan orang yang sama atau tidak, yang pasti
orang itu bukan Bu-liang Totiang. Kalau pembunuhnya bukan dia,
berarti pula orang yang mencuri surat pun sudah pasti bukan dia,
sebab peristiwa itu baru terjadi pada tanggal enam.
'Heran, kalau bukan dia, kenapa Bu-liang Susiok seakan telah
menyaksikan semua peristiwa itu dengan mata kepala sendiri"' Putji
semakin berpikir semakin bingung dan tidak habis mengerti,
namun dia tidak berani mencurigai Bu-liang Totiang walau
dipandang dari sudut mana pun.
"Malam ini kau tidak usah belajar lagi," kata Bu-siang Cinjin tibatiba,
"pergilah istirahat lebih awal. Besok akan kusuruh Bu-si Sute
mewakiliku mengajarkan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat
padamu." "Suhu," seru Put-ji agak tertegun, "Tecu baru saja selesai
mempelajari teori ilmu pedang darimu, kenapa harus Sam-susiok
yang menggantikan?" "Aku ingin kau lebih cepat berhasil. Ilmu pedang yang berhasil
dikuasai Bu-si Sute adalah yang paling jago dalam perguruan,
bahkan dia lebih unggul daripada diriku sendiri. Ditambah pula di
masa lalu dia adalah sahabat paling karib mendiang Suhumu, bisa
dipastikan dia akan mendidikmu dengan lebih seksama. Mulai besok
aku harus menutup diri selama tiga bulan, kalau tidak minta
bantuannya untuk mendidikmu, khawatir kemajuan ilmu silatmu
justru akan ter-kendala." Bu-si Totiang adalah salah satu di antara
ketiga Tianglo Bu-tong-pay yang usianya paling muda, tahun ini dia
baru berusia empat puluh delapan tahun.
Wataknya periang, sangat terbuka dan mudah bergaul, tidak
heran murid-murid angkatan muda paling suka bergaul dengannya.
Ketika Ho Ki-bu masih hidup dulu, setiap tahun paling tidak satudua
kali dia berkunjung ke rumah keluarga Ho, oleh karena itu di
antara angkatan para Susiok dan Supek dari kuil Sam-cing-koan, dia
terhitung orang yang paling dikenalnya.
Ketika keesokan harinya Put-ji datang berkunjung ke tempat
tinggalnya, dia pun segera berkata, "Sebetulnya Suhumu itu
berencana dalam satu dua tahun mendatang akan mewariskan ilmu
pedang Thay-khek-kiam kepadamu, sayang dia keburu mening-gal,
aai.... bukan saja jiwanya telah melayang, bahkan putus keturun-an
pula, baiklah, biar mulai hari ini aku menganggap kau seperti
putraku sendiri. Semisal tidak ada perintah dari Ciangbunjin pun,
aku masih tetap akan mewakilinya mewariskan ilmu pedang ini
kepadamu, anggap saja sebagai upayaku memenuhi keinginan
hatinya. "Cuma kau mesti ingat, bila latihanmu jelek atau hasilnya kurang
memadai, aku tidak segan menghajar pantatmu. Ehm, jangan kau
anggap aku sedang bergurau!"
Ketika mengatakan kata "bergurau", dia sendiri malah tertawa
geli terlebih dulu. Ditinjau dari pembicaraan Bu-si Tojin, tampaknya dia sudah tahu
bahwa adik seperguruan serta Sumoynya telah meninggal dunia.
Tapi dia agaknya belum tahu Ho Giok-yan telah melahirkan seorang
putra, sebab kalau tidak begitu tak mungkin dia mengatakan
keluarga Ho telah putus keturunan.
Selesai mendengar perkataan itu, di satu sisi Put-ji merasa
sangat lega, namun di sisi lain dia justru merasakan tekanan yang
semakin berat dari pihak Bu-liang Totiang.
"Biasanya semakin galak seorang Suhu, hasil pelajaran yang
diperoleh sang murid akan semakin maju," segera Put-ji menyahut,
"kini Susiok mewakili Suhu mengajarkan ilmu pedang itu kepada
Tecu, justru Tecu berharap Susiok bisa mendidik lebih galak...."
"Hahaha.... baguslah, aku sendiri pun tidak berharap menabok
pantatmu. Baik, kalau begitu kita mulai sekarang juga. Teori ilmu
pedang Thay-khek-kiam tentunya sudah diajarkan Ciangbun Suheng
bukan?" "Pernah diajarkan satu kali, semoga Susiok mau memberi
petunjuk." "Dasar ilmu pukulan Thay-khek-kun maupun Thay-khek-kiam
sebenarnya sama. Kalau Thay-khek-kun lebih mengutamakan pada
mengendalian musuh di akhir serangan, sedang ilmu pedang Thaykhek-
kiam lebih mengutamakan pada pengendalian lawan di saat
awal serangan. Niat munculnya jurus menyusul, mana dahulu mana
belakangan merupakan kebalikan. Tapi intinya adalah meminjam
tenaga lawan untuk mengen-dalikan musuh, gerakan ikutan yang
disertakan tidak lebih hanya untuk memperberat kekuatan serta
daya serangan yang ditimbulkan. Berat bagaikan tindihan Thay-san,
ringan bagaikan hembusan angin sejuk. Thay-khek itu tiada awal
tiada akhir, perubahan dalam gerakan pedang pun tiada habisnya.
Asal kau bisa menguasai teori tentang ketenangan, maka segala
sesuatunya bisa kau kuasai secara gampang. Di saat latihanmu
sudah mencapai puncak kesempurnaan, bisa jadi semua jurus
serangan akan kau lupakan. Cuma.... sampai sekarang jarang ada
orang yang berhasil mencapai tingkatan seperti itu, termasuk aku
sendiri. Maka berlatihlah dari dasar yang paling bawah, karena
setiap jurus serangan dibutuhkan penguasaan yang paling
sempurna, kau harus bisa melatih diri dari ada menjadi tiada, ada
adalah benar-benar ada, tiada justru bukan benar-benar tiada. Kau
paham apa yang ku-maksud?"
Put-ji dapat merasakan penjelasan yang diberikan paman
gurunya ini jauh lebih jelas dan mendetil daripada penjelasan
Suhunya, tanpa terasa dia mengangguk berulang kali.
"Semua penjelasan Susiok dapat Tecu terima, hanya masalahnya
benar-benar mengerti atau tidak, Tecu sendiri pun tidak jelas."
"Betul, bila kau mengatakan benar-benar mengerti, aku justru
akan memaksamu untuk berlatih beberapa kali lagi. Sebab biarpun
dilatih berulang kali pun tidak seharusnya kau benar-benar
mengerti, teori saja tidaklah cukup, kalau bisa ditambah
pengalaman menghadapi beberapa orang musuh, jelas hal ini akan
semakin bagus." Kemudian setelah tertawa dan menarik napas panjang, lanjutnya,
"Sayang penganut agama To lebih mengutamakan kehidupan yang
tenang, aku pun tidak berharap kau bisa memperoleh kesempatan
cukup untuk berhadapan dengan musuh. Baiklah, sekarang coba
perhatikan contohku."
Dengan penuh seksama Put-ji memperhatikan Susioknya


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempraktekkan ilmu pedang Thay-khek, tampak gerakan
pedangnya melingkar bagai gelang, bergerak saling menyambung,
lembut halus bagaikan aliran air. Diam-diam dia merasa sangat
kagum. 'Tidak heran Ciangbun Suhu amat memuji kehebatan ilmu
pedangnya, sekarang aku yang belum menguasai intisari ilmu itupun
sudah dibuat mabuk kepayang, apalagi yang sudah memahaminya,'
demikian dia berpikir. Tapi entah mengapa, secara lamat-lamat dia merasa ilmu pedang
yang dimiliki Bu-si Tojin jauh berbeda dengan ilmu pedang yang
dipelajari Bu-siang Cinjin, hanya saja bila ditanya dimana letak
perbedaannya, susah baginya untuk menjawab.
Sejak itu setiap hari dia mempelajari satu jurus, gerakan yang
diajarkan pun makin lama semakin lambat, sementara teori yang
diberikan pun makin banyak dan detil. Setelah berlatih puluhan hari
lamanya, hari itu ketika dia melatih jurus Pek-hok-liang-ci (bangau
putih pentang sayap), Put-ji baru mulai memahami dimana letak
perbedaan itu. Ketika Bu-siang Cinjin yang mempraktekkan jurus serangan itu,
sepasang kakinya selalu menempel di atas tanah, sebaliknya kaki
Bu-si Tojin justru tiga inci meninggalkan permukaan tanah sehingga
daya bacokan yang timbul pun jauh lebih besar dan kuat. Di
samping itu serangan pedang Bu-siang Cinjin lambat tanpa
menimbulkan deru angin, sementara gerakan pedang Busi Tojin
cepat dan menimbulkan suara desingan tajam.
Sekarang Put-ji mulai mengerti, walaupun perbedaannya sangat
tipis dan kecil, ternyata kekuatan yang dihasilkan sama sekali
berbeda. Bila Bu-siang Cinjin yang mengajarkan jurus serangan itu
paling hanya bisa menggoreskan luka memanjang di lengan lawan,
sebaliknya bila menggunakan jurus serangan yang diajar kan Bu-si
Tojin, besar kemungkinan dia dapat memo-tong lengan musuh jadi
dua bagian. Setelah menemukan titik perbedaan ini, dia pun dapat
mengambil kesimpulan secara menyeluruh. Ilmu pedang Bu-siang
Cinjin termasuk tenang dan penuh kedamaian, sementara ilmu
pedang Bu-si Tojin cenderung tajam dan ganas, jika dipraktekkan
untuk menghadapi musuh, sudah jelas ilmu pedang ajaran Bu-si
Tojin jauh lebihnyata dan bermanfaat.
Sekarang dia pun mulai mengerti kenapa Ciangbun Suhu
memerintahkan dia untuk belajar ilmu pedang dari Bu-si Tojin,
tampaknya dia berharap dirinya bisa mempelajari ilmu pedang yang
lebih bermanfaat dan nyata sehingga di kemudian hari dapat
digunakan untuk membalas dendam kematian Suhunya.
Membayangkan sampai di sini, dia merasa sedikit bingung dan
kabur. Di balik perasaan terima kasih, terasa pula perasaan
menyesal bercampur kecewa. Sekarang dia mulai menyadari,
ternyata di dasar lubuk hatinya tidak tersimpan harapan atau
keinginan yang kuat untuk membalas dendam kematian Suhunya.
Ketika Bu-si Tojin menyaksikan pemuda itu berdiri melamun,
segera tegurnya, "Apakah kau merasa ada sedikit perbedaan antara
yang diajarkan aku dengan Suhumu" Bahkan ajaranku sedikit tidak
sesuai dengan teori ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat?"
"Tecu tidak berani menduga."
"Tidak masalah, katakan saja menurut pikiran....."
"Aku hanya merasa, walaupun ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat
mengutamakan ketenangan untuk mengendalikan gerak, namun
tenang dan gerak tidak berarti cepat atau lambat, tenang dan gerak
pun harus dibedakan secara nyata, karena di balik ketenangan
terdapat gerak, di balik gerak terdapat ketenangan. Oleh sebab itu
ilmu pedang yang dimiliki Suhu dan Susiok meski berbeda,
sesungguhnya sama!" Sesaat Bu-si Tojin tampak tertegun, pujinya, "Tidak kusangka
begitu cepat kau dapat menyelami makna sebenarnya dari ilmu ini,
ketika pertama kali mempelajarinya dulu, aku tidak pernah bisa
membayangkan hal semacam itu."
"Lalu dalam pandangan Susiok, seperti apa bakat yang Tecu
miliki?" tanya Put-ji memberanikan diri.
"Sejak awal, tentu saja aku pun tahu kau adalah seorang murid
yang sangat berbakat. Namun sama-sama berbakat pun masingmasing
memiliki kelebihan serta kelemahan yang berbeda. Aku
dengar ketika hari pertama naik gunung tempo hari, kau sempat
bertarung seimbang melawan Put-pay yang menggunakan ilmu
pedang Thay-khek-kiam-hoat dengan hanya mengandalkan ilmu
pedang Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat?"
"Aah, waktu itu aku berhasil seimbang berkat Put-pay Suheng
yang selalu mengalah."
"Tidak, aku mengetahui wataknya, tidak mungkin dia mau
mengalah kepada siapa pun! Justru karena mendengar
kemampuanmu itu, maka terpikir olehku untuk memanfaatkan
kelebihan yang kau miliki itu. Bakatmu adalah dengan menyerang
mengatasi pertahanan, dengan keras menaklukkan lembek. Biarpun
dalam teori ilmu silat dikatakan lembek bisa menaklukkan keras,
namun hal ini bisa dilakukan bila seseorang telah mencapai tingkat
yang luar biasa. Berarti sebelum seseorang berhasil mencapai
tingkatan seperti itu, keras masih mampu menaklukkan lembek."
Makin bicara dia semakin bersemangat, pelajaran yang diberikan
pun makin detil. Tapi sayang Put-ji seolah mulai kehilangan
konsentrasi, semangat belajarnya pun makin lama semakin
mengendor. Bu-si Tojin mengira dia kelewat lelah, maka katanya kemudian,
"Selama beberapa hari ini kau belajar siang malam tidak kenal lelah,
sekarang sudah saatnya untuk beristirahat sejenak. Karena kalau
dipaksakan lagi, bukan kemajuan yang diperoleh, bisa jadi semangat
belajarmu akan hilang. Baiklah, hari ini kita berlatih sampai di sini
saja. Besok setelah kau pelajari jurus Pek-hok-liang-ci hingga lebih
sempurna, datanglah mencari aku lagi."
Tadi sempat turun hujan yang cukup deras. Put-ji yang berjalan
di atas tanah berlumut beberapa kali nyaris terjungkal, hal ini bukan
disebabkan jalan bukit yang licin, namun karena pikirannya sedang
kalut. Jalanan gunung itu berliku-liku, begitu juga dengan jalan
pikirannya. Dia seperti berjalan di kegelap-an malam yang pekat,
berusaha mencari jalan keluar, berusaha menemukan kebebasan.
Lalu apa yang sedang Dia pikirkan" Sebuah pemandangan yang
selama ini tersimpan dalam lubuk hatinya kembali terpampang di
depan mata. Ia mendongakkan kepala, memandang sekejap
kegelapan malam yang mencekam, lalu teringat kembali suasana
hari itu.... hujan yang tidak pernah terlupakan, saat hujan baru
reda, saat dia harus bertarung sengit melawan Sutenya, Keng Kingsi.
Ilmu pedang Thay-khek-kiam yang tiba-tiba digunakan Keng
King-si membuat dia terdesak kalang-kabut. Saat itu cahaya pedang
Sutenya begitu cepat bagaikan sambaran kilat, mimpi pun tidak
pernah disangka kalau ilmu pedang Sutenya begitu lihai dan
menakutkan, tindakan apa pun yang telah dilakukannya ternyata
tidak sanggup membendung ancaman itu.
Andaikata konsentrasi Sutenya waktu itu tidak bercabang karena
mendengar suara tangisan orok yang baru lahir, tidak bisa dia
bayangkan apa akibat yang menimpanya ketika menghadapi
serangan maut itu. Namun 'tidak bisa dibayangkan' pun pada akhirnya harus dia
bayangkan. Dan sekarang dia tidak perlu membayangkan lagi
karena dia sudah tahu bagaimana akhir dari semua ini, jika
serangan itu berlanjut, bisa dipastikan lengan kanannya pasti akan
terbabat kutung. Tungkai kaki meninggalkan tanah, gerak pedang menyambar
selembut angin, cepat bagai sambaran petir, dahsyat bagai angin
puyuh bercampur guntur! Itulah jurus Pek-hok-liang-ci yang baru
saja diajarkan Bu-si Tojin kepadanya.
"Tidak kusangka, ternyata seorang orok yang baru lahir telah
menyelamatkan nyawaku!" pikirnya sambil tertawa getir.
Kalau waktu itu dia tidak bisa membayangkan apa yang bakal
terjadi, maka sekarang dia baru sadar bahwa nyawanya nyaris
lenyap di ujung senjata lawan, drama mengerikan yang tidak pernah
bisa terlupakan untuk selamanya, horor yang akan membuatnya
berulang kali bermimpi buruk.
Kini dia sudah mengerti mengapa ketika Bu-si Tojin memainkan
ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat di hadapannya, dari hati kecilnya
selalu timbul perasaan kurang beres. Ternyata perasaan kurang
beres itu bukan disebabkan karena permainan pedang Ciangbun
Suhu yang berbeda, melainkan karena dia merasa seakan pernah
mengenal gerakan itu. Terbukti Thay-khek-kiam-hoat yang dimainkan Keng King-si
ternyata sama persis seperti ilmu pedang yang diajarkan Bu-si Tojin
kepadanya, membuat Tosu muda ini merasa sangsi bercampur
kaget. Dari siapa Keng King-si mempelajari ilmu pedang itu"
Mungkin-kah tokoh misterius itu adalah Bu-si Tojin"
Tentu saja kecurigaan itu hanya bisa tersimpan di dalam hati, dia
tidak berani menanyakannya secara langsung kepada Bu-si Tojin.
Kendatipun pikiran dan perasaan hatinya bergolak bagaikan
gulungan ombak di samudra, namun kehidupannya selama di Butong-
san amat tenang tanpa gejolak. Selama ini Bu-si Tojin selalu
mengajarkan ilmu pedang kepadanya dengan sabar dan teliti, rasa
sayangnya bagaikan terhadap putra sendiri, dia seolah sama sekali
tidak tahu dalam hatinya pernah timbul kecurigaan seperti itu.
Semenjak saat itu Bu-liang Totiang sendiri pun tidak pernah
datang menghubunginya. Karena Bu-liang Totiang tidak pernah datang mencarinya, rasa
curiga di hatinya pun berangsur berkurang, namun sikap tanpa
curiga yang diperlihatkan Busi Tojin justru membuat rasa sangsi dan
curiganya berkembang makin meluas.
Semakin lama dia belajar ilmu pedang dari Bu-si Tojin, dia
semakin merasa ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat yang pernah
digunakan Keng King-si waktu itu pada hakikatnya sama persis
seperti apa yang dipelajarinya sekarang.
Biarpun Ciangbun Suhunya pernah berkata bahwa tidak aneh jika
ada jago dari perguruan lain ikut menguasai ilmu pedang Thaykhek-
kiam-hoat, namun dia tidak yakin kalau kebetulan yang terjadi
bisa begitu pas, sampai perubahan kecil yang diciptakan Bu-si Tojin
sendiri pun secara kebetulan bisa diciptakan pula oleh orang luar
itu, bahkan sama persis satu dengan lainnya.
Di saat Suhunya masih hidup dulu, Bu-si Tojin memang terhitung
tamu yang sering datang berkunjung, apabila selama ini secara
diam-diam dia telah mewariskan ilmu pedang kepada Keng King-si,
bisa saja perbuatannya itu mengelabui orang lain, tapi mengapa
Keng King-si mengelabui juga istrinya sendiri"
Tapi persoalan yang paling membuatnya tidak tenteram adalah
mengapa Bu-si Tojin harus mengelabui pula dirinya" Kalau dulu dia
berbuat begini, mungkin saja lantaran tidak ingin dia merasa iri
terhadap adik seperguruannya, tapi sekarang Keng King-si sudah
meninggal dan dia pun sedang belajar pedang dari orang yang
sama, mengapa Bu-si Tojin masih tetap membungkam seribu
bahasa" Sudah barang tentu dia tidak akan mencurigai Busi Tojin sebagai
pembunuh misterius itu, pertama, karena Bu-si Tojin adalah sahabat
paling karib Suhunya, kedua, menurut kenyataan yang diketahui,
pembunuh itu menghabisi nyawa lawannya dengan mengandalkan
ilmu pukulan Thay-khek-kun dan bukan menggunakan ilmu pedang,
padahal dari ketiga Tianglo itu, tenaga pukulan yang dimiliki Bukhek
Tojin terhitung nomor wahid.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, kini dia telah
mempelajari seluruh ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat, Bu-si Tojin
sendiri pun sudah tidak mengajarkan apa-apa lagi, berarti dia harus
melatih diri sendiri. Akan tetapi teka-teki itu masih mengendon di dalam lubuk
hatinya. Satu kejadian lain yang sedikit di luar dugaannya adalah pada
tahun ketiga, ketika untuk kedua kalinya Ciangbun Suhunya akan
menutup diri, sebenarnya dia minta Bu-liang Totiang mengajarkan
tenaga dalam kepadanya, ternyata waktu itu Bu-liang Totiang
menolak permintaan itu. Bicara sejujurnya, dia memang sedikit takut terhadap Bu-liang
Totiang, dia kuatir sesepuh itu mengguna kan boroknya untuk
mengompas dirinya, ternyata Bu-liang Totiang melepaskan
kesempatan itu, melepaskan peluang berduaan dengan dirinya,
meski kenyataan itu membuatnya tercengang, namun perasaannya
justru jauh lebih tenang.
Masih untung keinginan pribadinya berjalan sesuai dengan
rencana, bayi itu tumbuh di dalam keluarga Lan, ketika berusia tiga
tahun dia diangkat menjadi Gihu (ayah angkat) nya dan di usia ke-7
Ciangbunjin memberi ijin kepadanya untuk menerima bocah itu
sebagai murid. Dalam masalah ini, ada satu hal yang dia telah melanggar pesan
terakhir Sumoynya, dia tidak ingin bocah itu mengetahui asal-usul
sebenarnya, karenanya dia minta Lan Kau-san mengaku sebagai
ayah bocah itu. Karenanya dia tidak memberi nama Keng Giok-keng kepada
bocah itu, melainkan Lan Giok-keng.
Hingga detik itu kasus pembunuhan berantai itu belum berhasil
terkuak, mati hidup Huo Bu-tuo pun masih menjadi tanda tanya
besar, bahkan semenjak kematian keluarga Ho, tidak ada orang
yang menying-gung kembali kejadian itu. Semua orang seolah-olah
sudah melupakannya, semua orang seakan sudah menganggap
peristiwa itu hanya merupakan sebuah kejadian kelam yang sudah
berlalu. Sayang Put-ji tidak pernah melupakannya, apalagi di saat hujan
sedang turun dengan derasnya.
Ooo)*(ooO BAB II Dengan intrik merahasiakan kejadian
Curiga dengan asal usulnya
Musim gugur kembali menjelang, angin yang berhembus kencang
menggugurkan dedaunan kering dan menggoyangkan rerumputan,
saat senja telah tiba. Gunung nan hijau terbentang jauh di depan sana, matahari senja
kembali memancarkan cahayanya yang kemerah-merahan.
Di atas sebuah bukit, jauh dari keramaian manusia, terlihat
seseorang sedang menghela napas.
Mengapa dia menghela napas"
Apakah karena umat manusia yang datang silih berganti"
Atau karena angin kencang kembali berhembus di musim gugur
ini, seolah hendak mengubah suasana dalam kehidupan dunia"
Di puncak bukit itulah, persis di tempat orang itu berdiri
sekarang, telah terjadi sebuah kasus pembunuhan yang sangat
istimewa dan menggemparkan dunia persilatan pada enam belas
tahun berselang. Dibilang "istimewa" karena kejadian itu selain sebuah kasus
pembunuhan yang 'tragis', boleh dibilang termasuk juga sebuah
kasus yang penuh diliputi 'teka teki'.
Dua orang murid Ji-ouw Tayhiap Ho Ki-bu saling bunuh di tempat
itu, pertarungan yang berakibat si kakak seperguruan berhasil


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghabisi nyawa adik seperguruannya.
Tapi mengapa terjadi pembunuhan itu" Apakah dikarenakan sang
Sute telah melakukan perbuatan terkutuk hingga pantas dibunuh,
ataukah karena pihak Suheng salah membunuh Sutenya"
Tidak ada yang tahu, tidak seorang pun yang tahu, bahkan pihak
Suheng yang telah melakukan pembunuhan itupun tidak tahu.
Masih ada seorang tokoh dunia persilatan lagi yang ikut terkubur
di puncak bukit itu, seorang Bu-lim Cianpwe yang tersohor di kolong
langit, Bu-kek Tojin, ketua Tianglo perguruan Bu-tong.
Nama besar Bu-kek Tojin termashur di seantero jagad, tapi
hanya beberapa orang yang tahu kalau dia juga tewas karena
pembunuhan, dan tidak ada yang tahu kalau dia juga tewas di
puncak bukit itu. Malah di antara orang-orang yang tahu bahwa dia mati dibokong
orang, entah karena urusan apa dia mendatangi puncak bukit itu
sehingga tewas di sana pun tidak tahu siapakah pembunuhnya.
Yang lebih mengerikan lagi adalah kematian dari hampir seluruh
tokoh yang berhubungan dengan kasus pembunuhan ini, tokohtokoh
itu di antaranya mencakup Ji-ouw Tayhiap Ho Ki-bu, putrinya
Ho Giok-yan serta Ting Im-hok, seorang tokoh Bu-tong-pay.
Satu-satunya orang yang masih hidup hingga kini, satu-satunya
orang yang terlibat dalam kasus pembunuhan itu rasanya tidak lain
hanya murid tertua Ho Ki-bun yang bernama Ko Ceng-kim. Hanya
saja Ko Ceng-kim adalah 'nama preman' nya pada enam belas tahun
berselang, kini dia sudah menjadi murid penutup Bu-siang Cinjin,
ketua Bu-tong-pay, dengan gelar Put-ji.
Orang yang sedang menghela napas ringan saat inipun
merupakan seorang Tosu dari Bu-tong-pay, malahan kebetulan
merupakan kakak seperguruan Put-ji.
Orang itu bukan lain adalah murid tertua Bu-siang Cinjin, Putcoat.
Setelah kita tahu identitasnya, mungkin saja dapat kita pahami
kenapa dia menghela napas saat itu.
Tapi masakah kedatangannya ke sana hanya untuk menghela
napas" Biarpun Bu-siang Cinjin tidak pernah secara resmi
mengangkatnya sebagai murid Ciangbunjin, tapi siapa pun tahu
kalau di kemudian hari dialah yang bakal dipilih Bu-siang Cinjin
untuk meneruskan jabatannya sebagai ketua partai, karena bukan
saja dia merupakan murid tertua, kecerdasan dan keuletannya boleh
dibilang sangat menonjol, selama belasan tahun terakhir nyaris
seluruh urusan partai, baik urusan besar maupun urusan kecil telah
diserahkan pelaksanaannya kepada dirinya.
Sebagai seorang tokoh penting yang mempunyai posisi strategis
dalam partai Bu-tong, karena urusan apa dia mendatangi bukit
terpencil itu" Tentu saja dia datang karena ada urusan penting, tapi apa
persoalannya" Bahkan dia sendiri pun merasa keheranan!
Dia mendapat perintah dari Ciangbun Suhu untuk menggali
jenazah Bu-kek Tojin. Sang ketua memerintahkan dia untuk
mengangkut balik sisa tulang belulang bekas ketua Tianglo itu agar
bisa dikebumikan di atas gunung Bu-tong.
Selama ini, hampir semua Tianglo Bu-tong-pay dikebumikan di
atas gunung terkecuali Bu-kek Tojin.
Sekalipun tidak ada peraturan tertulis yang mewajibkan setiap
Tianglo harus dikebumikan di atas gunung, namun Bu-siang Cinjin
sebagai seorang ketua, tampaknya tidak ingin saudara
seperguruannya itu terkubur di tempat jauh.
Tapi yang membuat Put-coat tidak habis mengerti adalah kenapa
gurunya tidak melimpahkan tugas ini kepada Sutenya, Put-ji"
Bukankah pada enam belas tahun berselang, Put-ji (waktu itu
masih bernama Ko Ceng-kim) yang telah mengebumikan Bu-kek
Tojin di tempat itu. Ko Ceng-kim tidak mendirikan kuburan, pun tidak membuat batu
nisan, yang dia lakukan waktu itu hanya menggali liang lalu
memasukkan jenazah Bu-kek Tojin dengan begitu saja lalu
meratakan kembali liang kubur itu.
Biarpun dia masih ingat dengan letak tempat itu, dia pun
meninggalkan tanda di sana. Namun daripada menyuruh orang lain
yang menggali, bukankah jauh lebih tepat kalau dia sendiri yang
mengerjakan" Persoalan ini pernah ditanyakan Put-coat kepada gurunya,
namun jawaban Suhunya belum cukup untuk menghilangkan
perasaan curiganya. Menurut Suhu, hal ini disebabkan Put-ji sedang bertugas di
wilayah Liauw-tong. Kalau memang begitu, mengapa penggalian itu tidak dilakukan
setelah kepulangan Put-ji" Sewaktu Suhu menyerahkan tugas itu
kepadanya, Put-ji sudah tiga bulan pergi ke Liauw-tong, menurut
perhitungan, seharusnya dalam waktu dekat dia pasti sudah balik
kembali ke bukit Bu-tong.
Menurut Suhu, kepergian Put-ji ke wilayah Liauwtong kali ini
karena sedang melacak dan menyelidiki tempat yang pernah didiami
Sumoynya bersama Keng King-si pada enam belas tahun berselang.
Karena masalahnya pelik, sukar diramalkan sampai kapan dia baru
balik lagi ke perguruan. "Usiaku bertambah tua, mungkin tidak dapat menunggu lebih
lama lagi." Tapi mengapa baru sekarang gurunya teringat untuk
memboyong tulang belulang Bu-kek Tojin agar bisa dikebumikan di
perguruan" Bukankah enam belas tahun bukan jangka waktu yang
pendek" Tentu saja masalah inipun masih bisa diberi penjelasan, biarpun
usia gurunya tahun ini sudah mencapai tujuh puluh tujuh tahun,
akan tetapi kesehatannya masih sangatbagus.
Sebelum kejadian ini, mungkin saja dia beranggapan bahwa
masalah itu bukan masalah 'pelik yang harus segera diselesaikan',
karenanya tidak pernah terlintas pikiran untuk berbuat begitu. Dan
sekarang dia mulai merasa 'usianya makin tua dan kesehatannya
makin rentan'. Tentu penjelasan itu merupakan penjelasan yang dia berikan
untuk gurunya, karena yang pasti, dia tidak mungkin berani
"bertanya dan menegur" gurunya.
Belum tentu penjelasan itu sesuai dengan jalan pikiran gurunya,
namun paling tidak dia sendiri merasa sangat puas dengan
penjelasan itu. Terlepas ada begitu banyak kecurigaan yang mengganjal dalam
hatinya, dia masih tetap menerima tugas itu dengan senang hati.
Di luar 'perintah guru harus dilaksanakan', dia merasa wajib
untuk melaksanakan tugas ini karena semasa hidupnya dulu,
Tianglo ini sangat menyayanginya. Rasa hormatnya terhadap Bu-kek
Tianglo pun tidak di bawah rasa hormatnya terhadap Ciangbun
Suhu. Put-ji belum pernah menjelaskan tentang tempat penguburan itu
kepadanya, dia harus menemukan letak kuburan itu berdasarkan
penuturan dan keterangan yang diberikan gurunya.
Dengan cepat dia berhasil menemukan tebing batu yang
berbentuk seperti paruh elang itu, menemukan juga pohon besar
yang tumbuh di tepi tebing.
Di belakang pohon besar itu terdapat dua gundukan tanah,
rumput ilalang dan semak liar tumbuh amat lebat, begitu lebatnya
semak belukar di sana membuat orang yang tidak tahu akan
mengira gundukan itu hanya merupakan permukaan tanah yang
tidak merata, siapa pun tidak bakal menyangka kalau gundukan
tanah tadi merupakan kuburan.
Dari penjelasan gurunya, Put-coat juga mendapat tahu kalau
gundukan tanah di sebelah kiri adalah kuburan Bu-kek Tojin.
Gurunya pernah berkata, "Gundukan di sebelah kanan untuk
mengubur jenazah Ho Giok-yan, adik seperguruan Put-ji. Tapi
lantaran Put-ji ingin mengurus sendiri kuburan adik seperguruannya
itu, maka Put-coat dipesan agar jangan salah menggali.
Selain itu, di sana pun terdapat sebuah tanda yang gampang
dikenali, di samping gundukan tanah yang digunakan untuk
mengubur Bu-kek Tojin, Ko Ceng-kim pernah menancapkan
sebatang dahan pohon sebesar lengan bocah.
Agar tidak melakukan kesalahan fatal, sebelum dilakukan
penggalian, Put-coat mencari dulu tanda yang ada, tapi dia tidak
menemukan dahan pohon yang dimaksud, namun menemukan ada
sebuah pohon pendek yang tumbuh sendirian, tumbuh persis di
samping kiri gundukan tanah itu.
Mula-mula Put-coat agak tertegun, tapi dengan cepat dia
tersadar kembali akan apa yang terjadi. Ternyata setelah lewat
enam belas tahun, dahan pohon yang ditancapkan Ko Ceng-kim itu
telah tumbuh menjadi sebatang pohon pendek.
Biarpun pohon itu pendek dan kecil, paling tidak ranting dan
dahannya sudah mencapai dua-tiga puluhan batang.
Put-coat berjalan mendekat, memandang dengan lebih seksama,
Iblis Sungai Telaga 31 Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Panji Wulung 2
^