Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 1

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 1


" Karya : Liang Yu Sheng Saduran : TJAN ID
~Pendekar Pedang Dari Bu-tong~
JILID KE SATU PENDAHULUAN Bayar hutang sebelum masalah jelas
Sang bayi sebatang kara Kabut tebal menyelimuti angkasa, tiada terdengar suara angin
dan gesekan dedaunan, akankah hujan segera turun"
Jalanan yang menembus hutan terasa sepi, tidak nampak
manusia yang berlalu-lalang, awan putih semakin menggelayut di
angkasa, dimanakah desaku"
Di saat hujan menjelang datang, ketika rombongan burung sudah
balik ke sarangnya, dari balik keheningan yang mencekam tanah
pegunungan terlihat ada dua orang menempuh perjalanan tanpa
berkata-kata. Mereka bukan tamu yang datang dari negeri seberang, juga
bukan pengembara yang tidak tahu harus beristirahat dimana.
Kedua orang itu adalah sepasang suami-istri muda, yang pria
tampan dan bertubuh tegap, sementara yang perempuan cantik,
elok bagaikan sekuntum bunga, pasangan yang amat serasi. Sayang
status mereka sebagai suami-istri belum mendapat persetujuan dan
pengakuan orang lain. Sejak setahun berselang, di luar
pengetahuan orang rumah, mereka telah kabur, melarikan diri
bersama. Cuaca selalu berubah, apalagi kehidupan manusia. Ketika
pertama kali meninggalkan desa kelahirannya, mereka menyangka
selamanya tidak bakal balik lagi, siapa tahu baru lewat setahun,
mereka telah menginjak kembali ke jalan lama, balik lagi ke
kampung halaman. Bila kau tanya mengapa mereka kembali"
Mungkin mereka hanya akan tertawa getir sebagai jawaban.
Saat ini si pria memang sedang tertawa getir, walau hanya di
dalam hati. Coba kalau bukan istrinya berulang kali memohon,
bagaimanapun bernyalinya dia tidak bakal berani balik kembali ke
sana. Dia tidak berani membayangkan kesulitan apa yang bakal dia
hadapi ketika pertama kali menginjakkan kakinya kembali di pintu
perguruan. Tentu saja perasaan kuatir, perasaan tidak tenang itu tidak
sampai dia kemukakan di wajahnya. Ketika mencoba melirik paras
istrinya, dia melihat wajah istrinya lebih mendung daripada cuaca di
langit, tanpa terasa dia berpikir, 'Tampaknya perasaan adik Yan
tidak jauh lebih baik daripadaku.'
"Ai, lebih baik kita tidak usah pulang!" belum sempat perkataan
itu meluncur keluar, tiba-tiba suara guntur yang menggelegar keras
memotong niatnya. Tampaknya perempuan itu dibuat terkejut oleh suara guntur,
sambil menjerit melengking, nyaris dia terjungkal ke tanah. Buruburu
si pria memeluk dan merangkulnya.
"Keng, Keng-long, aku.... aku takut!"
"Masa pendekar wanita dari dua telaga takut dengan suara
guntur" Untung di sini tidak ada orang, kalau tidak, cerita ini pasti
akan jadi bahan lelucon dalam dunia persilatan!"
Boleh dibilang hampir seluruh umat persilatan mengenal nama
besarnya Ho Ki-bu, Ji-ouw Tayhiap (Pendekar besar dua telaga), dia
adalah salah satu murid preman dari Bu-tong-pay yang amat
termashur kehebatannya, konon ilmu pedang Jit-cap-ji-jiu-lian-hoantoh-
beng-kiam-hoat (72 jurus ilmu pedang berantai pencabut
nyawa) yang dikuasainya jauh lebih hebat di bandingkan dengan
kemampuan yang dimiliki Ciang-bunjin Bu-tong-pay saat itu.
Yang perempuan adalah putri tunggalnya yang bernama Ho Giokyan,
sementara yang lelaki adalah murid keduanya yang bernama
Keng King-si. Mereka masih mempunyai seorang Toa-suheng yang
bernama Ko Ceng-kim. "Putri Ji-ouw Tayhiap?" terdengar Ho Giok-yan tertawa getir,
"hm, hm.... putri Ji-ouw Tayhiap.... aku telah melakukan perbuatan
yang sangat memalukan nama perguruan, tidak pantas bagiku
untuk mengaku sebagai putri Ji-ouw Tayhiap!"
"Semua ini adalah kesalahanku, akulah yang telah membuat kau
ikut menderita," Keng King-si menundukkan kepalanya rendahrendah.
"Kaulah yang telah mencelakai aku!" seru Ho Giok-yan sambil
mendepakkan kakinya. Sebenarnya Keng King-si sudah menunjukkan rasa penyesalan
yang mendalam, tapi ucapan "mencelakai" dari Ho Giok-yan
dirasakan begitu menusuk perasaan hatinya, membuat dia tertegun.
Lama kemudian baru ujarnya dengan sedih, "Bagaimanapun kita
sudah hampir setahun hidup sebagai suami-istri, masa kau belum
mau memaafkan aku?" Ho Giok-yan jadi tidak tega, sembari memukul jidatnya perlahan
dia berbisik, "Tolol, kalau aku tidak memaafkan dirimu, kenapa
minta kau pulang bersamaku" Aku tidak bermaksud ini itu.... hm,
coba kalau bukan kau yang mencelakai aku, tidak nanti aku nyaris
jatuh karena mesti menempuh perjalanan berbukit."
Mendadak seperti teringat akan sesuatu, Keng King-si segera
berseru, "Ah benar, aku betul-betul tolol, masa anak sendiri pun
sampai terlupakan. Coba kudengarkan dulu suara jejak kakinya."
Sembari berkata dia tempelkan telinganya di atas perut istrinya,
kemudian lanjutnya sambil tertawa, "Nah, sudah kudengar
suaranya, dia sedang menendang dalam perutmu, setelah dewasa
nanti, dia pasti akan menjadi seorang tokoh persilatan."
"Jangan cengar-cengir," tukas Ho Giok-yan sambil mendorong
tubuhnya, "aku tidak berminat melihat tampang jelekmu! Lihatlah,
mendung telah menggelayut, sebentar lagi hujannya pasti sangat
deras, ayo cepat berangkat!"
"Eh, jangan terlalu cepat, hati-hati dengan anak kita!"
"Jalanan ini aku lebih hapal daripada kau, bahkan tempat yang
paling curam dan berbahaya pun sudah hapal di luar kepala, tidak
usah kuatir, aku tidak bakal terpeleset."
Setelah jalanan yang paling berbahaya dan curam terlalui,
benarkah jalan di depan sana lebar dan datar" Tentu saja jalanan
yang sedang dibayangkan Ho Giok-yan dalam benaknya bukanlah
jalanan ini. Sejujurnya dia sendiri pun tidak yakin dengan apa yang bakal
terjadi. Tidak tahan dia menghela napas panjang, "Ai, seandainya
bukan demi bocah ini...."
Dia tidak bicara lebih lanjut, tapi Keng King-si sangat memahami
apa yang dimaksud. Justru karena Ho Giok-yan merasa dirinya
sudah hamil dan hidup nun jauh dari kerumunan keluarga dan
teman, maka dia sangat berharap bisa pulang kembali ke rumah.
"Coba lihat, awan mendung semakin menyelimuti angkasa,
mungkin kita tidak sempat mencapai rumah, lebih baik cari tempat
dulu untuk berteduh dari hujan angin," usul Keng King-si.
Tapi Ho Giok-yan seakan tidak mendengar, dia berjalan makin
cepat. Cahaya halilintar berkilat dari balik lapisan mendung, menyusul
suara guntur yang menggelegar dari ujung langit.
"Kalau mau hujan, cepatlah turun hujan yang deras," umpat Ho
Giok-yan tiba-tiba, "melulu suara guntur tanpa hujan, benar-benar
membikin hati jadi mendelu!"
"Kalau kau merasa kesal, biar kumainkan seruling untuk
menghilangkan rasa kesalmu itu."
Sambil berkata Keng King-si mengeluarkan sebuah seruling dan
mulai memainkan lagu kegemaran nona itu.
Mengikuti irama seruling, Ho Giok-yan pun bersenandung,
"Di ujung malam nan dingin
Burung gagak terpekur di ujung ranting.
Rembulan tergantung di tepi langit, sepi, sendiri.
Cahaya berkilauan terpercik bagai kaitan emas....
Tertidur dalam pembaringan bersulam indah.
Harum bunga semerbak, menyebar di balik kelambu.
Kudengar suara langkah di luar jendela.
Tidak kulihat kekasihku, dimana kau telah bersembunyi."
Semakin bersenandung, nona itu nampak semakin tidak tenang,
hatinya semakin gundah dan kalut.
Akhirnya dia tidak sanggup menahan diri lagi, tiba-tiba berteriak,
"Jangan kau lanjutkan, makin lama hatiku makin gundah!"
"Kenapa kau?" tanya Keng King-si melengak, tapi begitu melihat
perubahan raut mukanya, pemuda itu segera mengerti apa
gerangan yang terjadi, katanya setelah menghela napas, "Jadi kau
masih marah padaku?"
Benar, sebenarnya lagu ini merupakan lagu favorit Ho Giok-yan,
karena lagu ini pula dia terpesona dan hanyut oleh Ji-suhengnya. Di
malam yang hening dan sepi, mereka telah melakukan perbuatan
dosa, perbuatan yang berakibat fatal.
Pada malam itu pula, untuk pertama kalinya dia meneguk arak,
bukan.... bukan arak, tapi cawan kegetiran dari kehidupan mereka.
"Tidak ingin melakukan pun sudah terjadi, apalagi yang bisa
dikatakan?" keluh Ho Giok-yan, "aku bukan marah kepadamu,
hanya merasa tidak punya muka untuk bertemu dengan ayahku
juga diriku sendiri."
"Sejujurnya," mendadak Keng King-si berkata, "aku merasa
sedikit takut. Aku takut setibanya di rumah nanti, kita tidak bakal
menjadi suami-istri lagi. Lebih baik kita balik ke Liauw-tong, kita
kembali ke sini setelah anak kita lahir nanti."
"Sejelek apapun wajah seorang menantu, akhirnya toh harus
bertemu juga dengan sang mertua, biar takut pun kau harus
menjumpainya. Betul ayah berhati keras dan disiplin, tapi aku tahu
dia sangat mencintaiku. Kini nasi telah menjadi bubur, siapa tahu
memandang wajah bakal cucunya, paling dia hanya mencaci-maki
padamu habis-habisan, pada akhirnya toh tetap memaafkan dirimu.
Eeei.... Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku.... aku tidak memikirkan apa-apa," sahut Keng King-si
tergagap, "haah, hujan lebat telah tiba, cepat, cepat kita mencari
tempat berteduh." Kali ini tidak ada suara guntur, tiba-tiba saja hujan turun dengan
amat derasnya. Mereka bersembunyi di bawah sebuah dinding bukit yang
menonjol keluar dari sebuah tanah pebukitan, hujan turun makin
deras, sementara Ho Giok-yan hanya duduk termangu, entah
terbuai oleh suasana hujan atau sedang tenggelam dalam pikiran
lain. Tiba-tiba dia teringat kembali kepada Toa-suhengnya, Ko Cengkim,
ketika meninggalkan rumah waktu itu, di saat berpisah dengan
Ko Ceng-kim, hujan pun turun sangat deras, sederas saat ini. Dia
merasa tidak punya muka untuk bertemu orang, sebenarnya bukan
malu bertemu ayahnya, tapi malu bertemu Toa-suhengnya.
"Ehm, Toa-suheng.... di saat dia sedang membayangkan sosok
Ko Ceng-kim, tiba-tiba Keng King-si buka suara.
Kontan Ho Giok-yan merasakan hatinya bergetar keras,
teriaknya, "Kau tidak usah menyembunyikan perkataan yang ingin
kau ucapkan, katakan saja kepadaku terus terang!"
"Sejujurnya, yang kutakuti adalah Toa-suheng," bisik Keng Kingsi.
"Jangan kuatir, dia pasti bersedia memaafkan dirimu."
"Tidak, tidak mungkin, aku tahu, dia tidak akan melepaskan aku!"
"Percayalah padaku, sesungguhnya Suheng sudah memaafkan
dirimu sejak dulu." "Darimana kau tahu?"
"Kau tidak pernah mau percaya ucapanku, memangnya baru mau
percaya jika Toa-suheng sudah mengutarakan sendiri kepadamu?"
Pada saat itulah cahaya halilintar berkelebat, mendadak mereka
lihat ada dua orang sedang berlarian menuju ke arah mereka.
Bahkan orang yang berlari di depan tidak lain adalah Toa-suheng
mereka, Ko Ceng-kim. Orang yang mengikut di belakangnya adalah si pelayan tua Ho
Liang, lantaran sudah berumur, lari Ho Liang sangat lambat, ketika
dia masih berada di kaki bukit, Ko Ceng-kim sudah muncul di
hadapan mereka berdua. Ho Giok-yan merasa sangat keheranan, rumah mereka berada di
sebuah dusun lebih kurang lima li selatan bukit, mengapa mereka
datang ke atas bukit" Mungkinkah mereka pandai meramal hingga
sudah menduga akan kedatangan mereka, khusus datang
menyambut kepulangannya"
Ai, mengapa wajah Ko Ceng-kim nampak dingin, gelap dan
menyeramkan" Dia tidak berbicara, sorot matanya yang dingin bagaikan tusukan
pisau beralih dari tubuhnya ke tubuh Keng King-si, menatapnya
tanpa berkedip seakan sedang mengawasi musuh besar yang telah
membantai seluruh anggota keluarganya.
Hujan yang turun mulai mereda, langit pun tidak seberapa gelap.
Namun Ho Giok-yan langsung bergidik melihat mimik muka Ko
Ceng-kim, bulu kuduknya bangun berdiri. Jauh lebih bergidik, jauh
lebih merinding daripada terhembus hujan angin tadi.
Dia cukup memahami perasaan Ko Ceng-kim yang terluka, tapi
tidak mengerti dengan sikap dingin, kaku, menyeramkan yang
ditampilkan saat ini. Sejak dulu hingga kini, ia belum pernah melihat
sorot mata Ko Ceng-kim yang dipenuhi rasa benci dan dendam yang
begitu mendalam. Ko Ceng-kim tidak berbicara, dia pun semakin tidak berani
bersuara. Pemandangan setahun berselang kembali melintas dalam
benaknya, waktu itupun dia berpisah dengan Ko Ceng-kim di tengah
hujan deras, dia bahkan melihat air mata yang meleleh dari kelopak
matanya. Namun sorot mata itu tiada rasa benci maupun dendam,
tapi kini paras mukanya jauh lebih gelap, jauh lebih menyeramkan
daripada dulu! "Bisa dimaklumi dia merasa sedih sekali melihat aku dan Keng-si
balik. Tapi tidak seharusnya dia tunjukkan rasa sedih yang jauh
lebih mendalam dari-pada waktu perpisahan tempo hari! Waktu itu
aku tidak punya rencana untuk balik lagi, dia pun menyangka tidak
bakal bertemu aku lagi untuk selamanya. Tapi dia tetap berbesar
hati, tetap mengampuni kesalahan kami. Dan sekarang kami telah
kembali, kenapa dia justru bersikap begitu" Jangan-jangan ada
kejadian lain yang jauh lebih menyedihkan, jauh lebih tragis
daripada hari perpisahan kita waktu itu?"
Dia merasa tidak sanggup menghadapi sorot mata Ko Ceng-kim
yang begitu dingin membeku, kendatipun sorot mata itu bukan
tertuju kepadanya. Akhirnya dengan memberanikan diri dia menyapa, "Toa-suheng,
kami telah kembali!"
Saat itulah Ko Ceng-kim baru berpaling, sahutnya hambar,
"Sudah seharusnya kau kembali sejak dulu!"
Dia mengatakan kalau "kami" telah kembali, tapi jawaban dari Ko
Ceng-kim justru hanya menyinggung tentang "kau".
Dia tidak berani mempercayai pandangan matanya, juga tidak
berani mempercayai pendengarannya. Ternyata apa yang terjadi
jauh berbeda seperti apa yang dibayangkan semula!
Sekarang dia mulai merasa, dan ternyata rasa kuatir Keng King-si
bukan rasa khawatir tanpa alasan.
Setelah termangu beberapa saat, katanya lagi dengan nada
gemetar, "Toa-suheng, kami tahu, kami telah berbuat salah


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadamu...." "Kau sudah pernah mengutarakan persoalan ini, jadi tidak usah
diulang untuk kedua kalinya. Aku sendiri pun belum pernah
menyalahkan kau karena urusan ini."
Lagi-lagi dia hanya menyinggung dirinya seorang! Sekali lagi Ho
Giok-yan memberanikan diri, katanya, "Toa-suheng, lalu bagaimana
dengan perkataan yang pernah kau katakan itu?"
"Apa yang telah diucapkan pasti akan kulaksanakan, tidak pernah
kuulang untuk kedua kalinya!"
"Terima kasih atas janji Toa-suheng yang selalu ditepati," timbul
kembali setitik harapan di hati Ho Giok-yan, "Keng-si, cepat beri
hormat kepada Toa-suheng...."
Mendadak perkataannya seperti membeku ditengah jalan, tidak
sanggup dilanjutkan lagi.
Paras muka Ko Ceng-kim masih kelihatan dingin, kaku dan
membeku, hanya saja di balik sorot mata yang tertuju ke wajahnya
terselip beberapa bagian rasa iba, kasihan dan sedih.
Tampaknya Keng King-si sendiri pun dibuat kaku membeku
karena sikap aneh itu, dia sama sekali tidak bergerak.
Bergidik hati Ho Giok-yan, teriaknya tanpa sadar, "Toa-suheng,
masa kau lupa, bukankah hari itu kau berkata sendiri kepadaku...."
"Aku tidak lupa," tukas Ko Ceng-kim cepat, "setiap patah kata
yang pernah kuucapkan tidak pernah kulupakan, yang melupakan
justru kau sendiri!"
Lupa" Mana mungkin dia lupa"
Pemandangan saat itu seakan terpampang kembali di depan
mata! Sama seperti saat ini, hujan turun dengan derasnya, persis
seperti sekarang, dia pun berdiri di hadapan sang Toa-suheng, yang
beda hanya waktu itu Keng King-si tidak hadir.
Sikap Ko Ceng-kim tidak jauh berbeda seperti sikapnya barusan,
menatapnya tanpa berkata-kata.
Tanpa peduli air hujan yang masih turun dengan derasnya, cepa
t dia menjatuhkan diri berlutut.
"Suko, akubeisalah kepadamu.... aku.... aku...."
"Kenapa kau" Kalau ingin bicara, bicaralah secara baik-baik, tidak
usah begitu!" "Aku merasa tidak punya muka untuk bicara denganmu, aku
hanya memohon...." Tiba-tiba Ko Ceng-kim menghela napas panjang, ujarnya,
"Apakah kau hendak pergi bersama Ji-sute?"
"Suko, jadi kau sudah tahu?" seru Ho Giok-yan dengan tubuh
bergetar. Ko Ceng-kim manggut-manggut, wajahnya ter-lihat jauh lebih
gelap, jauh lebih kelam daripada cuaca di langit.
"Suko, aku tidak dapat menjadi istrimu!" seru Ho Giok-yan sambil
menangis terisak, "aku tidak berani memohon pengampunan
darimu, aku hanya berharap lepaskanlah dia."
"Ai.... sejak awal sudah kuduga bakal terjadi peristiwa ini," Ko
Ceng-kim menghela napas, "Ji-sute pintar, berbakat dan pandai
merebut hatimu. Aku memang kalah dibanding dia!"
"Suko, bukannya aku ingin berubah pikiran. Sejak kecil ayah
telah menjodohkan aku kepadamu, seharusnya aku pun ingin sekali
menjadi istrimu. Aai.... padahal tidak ada gunanya kusinggung lagi
persoalan ini sekarang, karena biar kukatakan pun belum tentu kau
mau percaya." Berkilat sepasang mata Ko Ceng-kim.
"Jadi maksudmu kau kena bujuk rayunya" Kau tertipu oleh siasat
busuknya?" "Semua kejadian ini tidak bisa menyalahkan dia, kalau mau
disalahkan, salahkan nasibku yang jelek, kenapa ditakdirkan harus
menerima aib seperti ini!"
"Maksudmu, sesungguhnya kau pun menyukainya?"
"Suko, kau tidak usah bertanya lagi. Bila kau bersedia
memaafkan kami, biarkan kami pergi dari sini. Kalau enggan
memberi maaf, aku sudah siap menerima hukuman yang kau
jatuhkan!" Karena dia bersedia menanggung semua resiko akibat kesalahan
yang telah diperbuatnya, tentu saja Ko Ceng-kim tidak bisa bertanya
lebih jauh. Akhirnya Ko Ceng-kim mengulap tangannya berulang kali sambil
berkata, "Kalian boleh pergi, selama Ji-sute benar-benar baik
kepadamu, aku pun tidak akan menyalahkan dia, cuma....
"Cuma kenapa?" "Apa rencana kalian selanjutnya?"
"Hidup mengasingkan diri, pergi ke ujung dunia dan tukar nama."
"Aai.... kenapa mesti berbuat begitu?" Ko Ceng-kim menghela
napas panjang. "Kau bukannya tidak tahu tabiat ayahku, apalagi selama inipun
dia tidak menyukai King-si. Bila kejadian ini sampai ketahuan, aku
sebagai putrinya mungkin bisa lolos dari kematian, tapi King-si....
aku takut, paling tidak ilmu silatnya bakal dimusnahkan!"
"Kalau begitu menyingkirlah sementara waktu, bila rasa gusar
Suhu sudah mereda, biar kubantu kalian membujuknya. Cuma
orang persilatan banyak yang licik dan berhati keji, sementara kalian
masih muda, belum berpengalaman, dalam pergaulan di dunia
persilatan berhati-hatilah bercampur dengan orang, jangan salah
berkenalan, jangan salah bergaul hingga menyimpang dari norma
kebenaran, kalian jangan merusak nama baik ayahmu."
"Suko tidak usah kuatir, kami pun takut kalau sampai tertangkap
ayah. Jadi mana mungkin berani meminjam nama besarnya untuk
membuat keonaran di dunia persilatan" Aku toh pernah berkata,
kami sudah memutuskan untuk hidup mengasingkan diri,
memendam nama, hidup nun jauh di ujung langit. Yang penting
kami bisa hidup aman dan tenteram."
"Padahal kalian tidak perlu putus asa dan berkecil hati, memang
benar tabiat Suhu keras dan kaku, tapi aku percaya dia tetap akan
memaafkan kalian bila balik lagi besok. Saat itu kalian masih bisa
menjadi sepasang pendekar muda-mudi yang termashur."
"Semisal bakal terjadi seperti itu, aku rasa itu akan terjadi pada
delapan sampai sepuluh tahun mendatang."
"Sekalipun Ji-sute takut pada Suhu, tidak seharusnya dia
ketakutan sampai begitu, padahal kalian tidak perlu...."
"Aku tahu. Kepergian kami tanpa sepengetahuannya, mungkin
hal ini bisa membuat dia orang tua semakin gusar. Tapi posisiku
sekarang ibarat kawin dengan ayam ikut ayam, yang bisa kulakukan
hanya mengikuti pendapat King-si."
Padahal sesungguhnya ada satu masalah yang tidak berani dia
katakan kepada Ko Ceng-kim, dia tahu orang yang sesungguhnya
paling ditakuti Keng King-si bukanlah ayahnya, melainkan Ko Cengkim
itu. "Kalau memang kau sudah bertekad akan pergi bersamanya, aku
pun tidak akan menghalangi lagi," ujar Ko Ceng-kim kemudian, "aku
hanya berharap kau selalu ingat pada ucapanku."
"Aku akan mengingatnya selalu di dalam hati. Suko, bila kau
tidak ada persoalan lain, biarlah aku pergi sekarang juga."
Tidak disangka setahun baru lewat, mereka telah kembali lagi.
Yang lebih di luar dugaan ternyata apa yang selama ini
dikuatirkan suaminya, kini telah menjadi kenyataan.
Pemandangan di sekeliling tempat itu masih tetap seperti sedia
kala, mengapa nada bicara Ko Ceng-kim sama sekali telah berubah.
Dengan nada sedikit mendongkol, segera tegurnya, "Toa-suheng,
aku melupakan apa?" "Aku pernah berkata, aku bisa memaafkan perbuatan Keng Kingsi
yang merampas kau dari sisiku, tapi belum pernah berkata dapat
memaafkan setiap perbuatan yang dia lakukan! Apakah kau ingin
aku mengulang sekali lagi perkataan ini?"
"Tapi kami tidak melakukan perbuatan sesat, kami tidak
terjerumus ke jalan serong, bahkan kami tidak pernah menodai
nama baik ayah!" "Aku tidak mengatakan kau!" dengan wajah tanpa perasaan Ko
Ceng-kim menukas ketus. Keng King-si tidak tahu apa saja yang telah mereka bicarakan
waktu itu, dia hanya tahu Ko Ceng-kim tidak bakal melepaskan dia.
Ditatap sedemikian rupa oleh Ko Ceng-kim yang sorot matanya
dingin membeku, lama kelamaan King-si tidak kuasa menahan diri,
tiba-tiba teriaknya, "Sumoy, kau tidak perlu memintakan ampun
lagi. Toa-suheng, aku tahu, aku memang bersalah kepadamu,
hukuman apa yang ingin kau jatuhkan kepadaku, lakukan-lah
sesuka hatimu!" "Hm, kau bukan bersalah kepadaku, kau telah bersalah kepada
Suhu!" "Apa katamu?" teriak Keng King-si terperanjat, "Darimana aku
bisa bersalah terhadap Suhu?"
Ko Ceng-kim tidak menjawab. Sementara itu Ho Liang si pelayan
tua telah menyusul sampai di situ. Ho Liang adalah pelayan setia
mereka, dia sangat setia terhadap ayahnya, bicara soal tingkatan,
dia masih jauh di bawahnya.
Dengan napas tersengal Ho Liang menuding ke wajah Keng Kingsi
sambil mengumpat, "Kau.... kau bukan cuma telah berbuat salah,
kau.... kau bajingan laknat!"
"Paman, kau jangan mencaci-maki dulu," cegah Ko Ceng-kim
cepat, "lebih baik kita tanya dulu sampai jelas sebelum bicara lebih
jauh." "Apalagi yang mesti ditanya" Aku menyaksikan dengan mata
kepala sendiri!" Tampaknya Keng King-si mulai panas hatinya, agak gusar
serunya, "Kalau bicara yang jelas, apa yang kau saksikan" Kenapa
kau memakiku bajingan laknat?"
"Persoalan ini pasti akan kuungkap sampai jelas," kata Ko Cengkim
sambil mengulapkan tangan, "sumoy, lebih baik pulanglah dulu
bersama Ho-toasiok!"
"Tidak, aku sudah hidup sebagai suami-istri dengan King-si,
persoalannya adalah persoalanku juga, aku akan tetap tinggal di sini
menemaninya!" "Siocia, tahukah kau perbuatan apa yang telah dia lakukan?"
teriak Ho Liang gusar, "kalau sudah tahu tapi masih berusaha
melindunginya, jangan salahkan kalau aku.... aku...."
"Apa yang hendak kau lakukan terhadapku?"
Ho Liang memang menyaksikan sendiri gadis itu tumbuh hingga
dewasa, selama ini boleh dibilang dia sangat sayang dan
mencintainya bahkan memperhatikan segala keperluan gadis itu
hingga detilnya, kini walau-pun darah segar meleleh dalam hatinya,
namun dengan nada yang lembut ujarnya, "Siocia, aku percaya kau
telah ditipu habis-habisan oleh bajingan laknat ini. Kau adalah
seorang gadis ceria yang saleh dan berhati lembut, tidak mungkin
berbuat seperti dia, gila, sinting dan tidak punya peri kemanusiaan!"
Maksud perkataannya sangat jelas, andai dia mengetahui
perbuatan suaminya atau dia masih mempercayai ucapan suaminya,
maka dia sendiri pun sudah gila, sinting dan tidak berperi
kemanusiaan! Kejut bercampur tercengang mencekam hati Ho Giok-yan, segera
bentaknya, "Sebenarnya apa yang telah dia lakukan" Cepat
katakan!" "Sumoy," bujuk Ko Ceng-kim, "tidak ada salahnya kau tetap
tinggal di sini, tapi hal ini akan semakin menusuk perasaan hatimu!"
"Biar langit ambruk pun aku tak bakal takut!" sahut Ho Giok-yan
lantang, sementara dalam hati pikirnya, 'Tatapan mata kalian yang
begitu dingin menyengat pun sudah menusuk perasaanku,
rangsangan apalagi yang tidak bisa kutahan"'
"Baiklah," kata Ko Ceng-kim kemudian, "kalau begitu aku minta
kau menjawab pertanyaanku dengan sejujurnya, kemarin malam
apakah kau ada bersama Keng King-si?"
"Toa-suheng, mau apa kau menanyakan persoalan ini?" seru Ho
Giok-yan dengan wajah bersemu merah.
"Jawab pertanyaanku!" hardik Ko Ceng-kim keras.
"Kalau aku tidak bersama dia, lalu bersama siapa?"
"Apakah semalaman suntuk dia selalu berada di sisimu?"
Bergetar keras perasaan Ho Giok-yan.
'Toa-suheng, dia.... darimana dia bisa tahu" Apakah dia sudah
mengetahui jejak kami sejak awal hingga semalam pun datang
mengintai"' pikirnya.
Ternyata kemarin malam, ada sesaat Keng King-si memang tidak
berada di sampingnya. Mereka menginap di sebuah losmen kecil, ketika terbangun di
tengah malam Ho Giok-yan tidak melihat suaminya berada di
sampingnya, kurang lebih setengah jam kemudian suaminya baru
muncul kembali. Ho Giok-yan sendiri pun tidak tahu kemana dia
telah pergi. Kini dia dihadapkan pada pertanyaan itu, haruskah menjawab
dengan sejujurnya atau lebih baik berbohong" Untuk sesaat Ho
Giok-yan jadi bimbang dan tidak tahu bagaimana mesti menjawab.
Tiba-tiba Keng King-si bangkit berdiri, serunya, "Aku percaya
tidak pernah melakukan perbuatan memalukan yang takut diketahui
orang, tidak perlu ditutupi lagi. Benar, semalam aku telah
meninggalkan rumah penginapan karena harus menyelesaikan satu
urusan pribadi." "Hm, kau masih berani mengatakan tidak melakukan perbuatan
yang malu diketahui orang, menurutku kau memang manusia gila
yang sinting dan tidak punya otak!"
Ko Ceng-kim segera mengulap tangannya mencegah Ho Liang
bicara lebih lanjut. Ho Liang menurut dan segera menyingkir ke samping, tapi dia
tetap mengomel, "Kalau masih ingin diperiksa, periksa saja. Padahal
bukti seberat bukit sudah tertera di depan mata, kenapa mesti
diperiksa lagi!" Ko Ceng-kim tidak menanggapi, dia berpaling dan tanyanya
kepada Keng King-si, "Urusan pribadi apa?"
"Menjumpai seorang sahabat."
"Siapa orang itu?"
"Kau tidak berhak mengetahui urusan pribadiku! Aku toh bukan
seorang narapidana, jangan kau menanya aku seperti memeriksa
seorang terpidana." Kemarin malam, Keng King-si pun menggunakan jawaban yang
sama untuk menanggapi pertanyaan istrinya. Ho Giok-yan mulai
curiga bercampur tidak tenang, lamat-lamat dia mulai merasa
gelagat tidak beres. "Keng-long!" buru-buru dia membujuk, "kalau memang tidak
pernah melakukan perbuatan jahat, kenapa kau tidak berani
berterus terang kepada Toasuheng?"
"Masa kau pun tidak percaya kepadaku?" Keng King-si tertawa
getir. Mendadak Ho Liang menjerit keras, "Aku tidak sanggup menahan
diri lagi, Ko-siauya, biar kau melarang aku berbicara pun aku tetap
akan bicara. Bajingan laknat dari marga Keng, setelah melakukan
perbuatan busuk yang teramat berdosa, kau masih berlagak pilon"
Kau.... kau benar-benar bedebah, bangsat keparat!"
Umpatan terakhir dia ucapkan sambil menuding wajah Keng
King-si. "Baiklah," ujar Ko Ceng-kim pula, "kalau dia tidak berani


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengakui, biar aku yang mewakilinya bicara!"
"Ho-toasiok!" teriak Ho Giok-yan dengan perasaan tercengang,
"apakah kau tahu perbuatan apa yang telah dia lakukan semalam?"
"Tentu saja aku tahu, semalam dengan mata kepala sendiri
kusaksikan perbuatannya, kusaksikan semua perbuatan terkutuk
yang telah dia lakukan, jangan harap dia bisa memungkirinya!"
"Sebenarnya perbuatan apa yang telah dia lakukan" Tolong
katakan kepadaku, bagaimanapun aku berhak mengetahuinya
bukan?" Sementara itu air mata telah jatuh bercucuran membasahi wajah
Ho Liang, tapi nada suaranya masih kedengaran dingin dan tajam,
"Kemarin malam dia sama sekali tidak pergi menjumpai sahabatnya,
dia kembali ke rumahmu dan membunuh ayahmu!"
Waktu itu hujan telah berhenti. Tapi perkataan Ho Liang
bagaikan guntur yang menggelegar di siang hari bolong, membuat
Ho Giok-yan terperana, tertegun dan melongo.
Dia seolah tidak percaya dengan pendengaran sendiri, lama
setelah tertegun, tanyanya, "Ho-toasiok, kau.... apa kau bilang?"
"Tahukah kau, dia adalah musuh besar pembunuh ayahmu?"
Ho Giok-yan mundur sempoyongan, dengan susah payah
akhirnya dia berhasil menenangkan diri, jeritnya, "Aku tidak
percaya! Aku tidak percaya! Mana mungkin ayah tewas di
tangannya?" Sambil menghela napas Ho Liang menggeleng kepala berulang
kali, katanya, "Kapan toasiok pernah membohongimu" Kau tidak
mau percaya pun tetap harus percaya. Ayahmu benar-benar telah
tewas dibunuh bajingan laknat itu. Dan bajingan laknat itu tidak lain
adalah...." "Tidak, tidak mungkin bajingan laknat itu adalah dia!" potong Ho
Giok-yan cepat. "Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mana mungkin
salah?" Sikap Keng King-si waktu itu sangat tenang, bahkan tenangnya
luar biasa. Ujarnya perlahan, "Toa-suheng, sewaktu Suhu terbunuh,
apakah kau pun berada di rumah?"
"Hm, kalau aku berada di rumah, mana mungkin bajingan laknat
itu dapat melarikan diri?" sahut Ko Ceng-kim sambil menggigit bibir.
"Kalau begitu bolehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan
kepada Ho-toasiok?" "Tentu saja boleh."
Dengan hawa amarah yang masih meluap Ho Liang mendengus
dingin. "Kau masih mencoba menyangkal?" jengeknya.
"Pertanyaan saja belum kuajukan, darimana kau tahu kalau aku
akan menyangkal?" "Baik, kalau begitu tanyalah!"
"Jam berapa Suhu dibunuh orang semalam?"
"Kurang lebih mendekati kentongan kedua."
"Semalam kami tinggal di dusun Gou-bin-tin."
Dengan perasaan tidak sabar Ho Liang kembali menukas, "Jarak
dusun Gou-bin-tin dengan rumah kita hanya selisih dua puluh lima
li, dengan ilmu meringankan tubuh yang kau miliki hanya butuh
waktu setengah jam untuk mencapainya."
"Kemarin, sejak kentongan kedua hingga kentongan ketiga dusun
Gou-bin-tin ditimpa hujan deras, waktu itu kau ada di rumah,
apakah hujan juga sedang turun di situ?"
"Betul, memang sedang hujan."
"Aku masih ingat, Suhu punya kebiasaan tidur lebih awal, apakah
waktu itu dia sudah tertidur?"
"Aku tidak tahu apakah saat itu dia sudah tertidur atau belum,
tapi aku mendengar dia seperti menjerit kaget dalam mimpinya,
ketika aku menyusul ke dalam kamar, saat itu kau si bajingan laknat
telah membunuhnya!" Berulang kali Ho Liang mengatakan kalau dia menyaksikan
semua peristiwa itu dengan mata kepala sendiri, seakan sudah tidak
ada peluang lagi bagi lawan untuk membantah atau menyangkal.
Tiba-tiba Keng King-si bertanya, "Sumoy, apakah ayahmu punya
kebiasaan tidur dengan lentera tetap menyala?"
"Tentu saja tidak!"
"Ho-toasiok, ketika kau mendengar Suhu menjerit kaget,
tentunya kau tidak memasang lentera terlebih dulu sebelum
menyusul ke sana bukan?"
"Betul, aku memang tidak sempat melihat jelas raut mukanya,
tapi aku melihat bayangan punggungmu. Waktu itu kau sedang
melompat keluar lewat daun jendela! Kau masuk perguruan pada
usia sepuluh tahun, sedang tahun ini baru berusia dua puluh dua
tahun. Aku melihat kau tumbuh dewasa, aku telah melihatmu
selama dua belas tahun, biar mataku rabun pun tidak bakal salah
melihat orang!" "Lumrah bila di hari biasa kau dapat mengenaliku hanya melihat
dari bayangan punggung, tapi semalam...."
"Semalam kenapa?"
"Semalam hujan turun sangat deras, langit gelap tidak
berbintang tidak berembulan. Menurut penuturanmu, aku pun saat
itu sedang melarikan diri dengan menggunakan ilmu meringankan
tubuh, mana mungkin hanya memandang sekilas bayangan
punggungku kau lantas dapat mengenali aku?"
"Benar," ucap Ho Giok-yan pula dengan perasaan lega, "Toasiok,
mungkin kau sudah punya rasa sentimen terhadapnya, maka...."
"Keng King-si, kau sangka dengan berbelit-belit lantas bisa lolos
dari tuduhan dan kecurigaan?" hardik Ho Liang makin sewot, "betul,
waktu itu aku memang tidak melihat dengan jelas, tapi aku dapat
mendengar dengan jelas sekali!"
"Apa yang kau dengar?" tanya Ho Giok-yan.
"Sewaktu aku berlari masuk ke dalam kamar, saat itu kudengar
ayahmu sedang mengumpat, dasar binatang busuk, sudah
kuwariskan ilmu silat kepadamu, ternyata kau justru
menggunakannya.... Belum selesai dia mengumpat, ayahmu sudah
keburu putus nyawa."
Kata umpatan "binatang" biasanya hanya digunakan untuk
memaki anak durhaka atau murid sendiri yang murtad. Jika apa
yang dikatakan Ho Liang tidak bohong, dapat dipastikan kecuali
Keng King-si, memang tidak ada pembunuh lain.
Berubah hebat paras muka Keng King-si, sesudah termangu
beberapa saat tiba-tiba ia bertanya, "Toa-suheng, semalam kenapa
kau tidak berada di rumah?"
Belum sempat Ko Ceng-kim menjawab, dengan amarah yang
meluap Ho Liang telah berkata lebih dulu, "Kurangajar, tampaknya
kau berniat balik menggigit Suhengmu" Kau tahu, ayah Giok-yan
justru jatuh sakit lantaran kau telah menipu dan melarikan putrinya.
Semalam Ko-siauya pergi ke dusun untuk membeli obat, dia baru
balik menjelang kentongan keempat."
"Aku mendatangi warung obat untuk membeli beberapa jenis
obat, tauke warung bisa jadi saksi, waktu itu kentongan ketiga baru
menjelang," Ko Ceng-kim menerangkan.
Keng King-si menghela napas panjang.
"Sayang aku tidak punya saksi, tampaknya aku mesti terima
nasib, menjadi kambing hitam!"
"Bajingan keparat," umpat Ho Liang semakin gusar, "dengan
berkata begitu, kau maksudkan aku dan Suhengmu memang sedang
bersekongkol mencelakaimu?"
Dalam gusar dia langsung menerkam maju sambil melepaskan
satu tempelengan keras. Dengan sigap Keng King-si mengegos ke samping, serunya, "Hotoasiok,
mengingat kau sudah lama melayani Suhu, selama ini aku
selalu menghormatimu sebagai seorang angkatan tua. Tolong
jangan buka mulut langsung memaki, goyang tangan langsung
menampar, kalau tidak...."
"Kalau tidak kenapa?" jerit Ho Liang makin gusar, "kau
membunuh Suhu sendiri, mengkhianati perguruan, saking bencinya
aku ingin mencincang tubuhmu dan menggigit dagingmu!"
Walaupun ilmu silatnya jauh ketinggalan dibanding Keng King-si,
namun dengan mempertaruhkan nyawa dia tetap menerkam ke
depan dan memeluk tubuh pemuda itu kencang-kencang, bukan
cuma begitu, dia benar-benar pentang mulut dan mulai menggigit.
Tampaknya Keng King-si sendiri pun tidak sanggup menguasai
emosi, dia segera pentang lengannya ke samping, lalu mendorong
tubuhnya kuat-kuat. "Blukkkk!", Ho Liang terpental ke belakang dan jatuh terduduk.
Buru-buru Ko Ceng-kim membangunkan Ho Liang dari tanah,
siapa tahu ketika diperiksa denyut nadinya, ternyata orang tua itu
sudah putus nyawa. Berubah hebat paras muka Ko Ceng-kim, dengan wajah hijau
membesi dia membaringkan tubuh Ho Liang ke lantai, lalu sambil
melolos pedang dia membentak, "Keng King-sin, kau ingin
membunuh orang menghilangkan saksi" Jangan lupa, masih ada
aku!" Tidak terlukiskan rasa kaget Ho Giok-yan, jeritnya, "Apa" Hotoasiok,
dia.... dia sudah meninggal?"
Dalam waktu sekejap Keng King-si sendiri pun dibuat tertegun
saking kagetnya. Ketika mendorong tadi, dia merasa tenaga yang
digunakan tidak terlampau besar, mungkinkah dia sudah kesalahan
hingga benar-benar mencabut nyawanya"
Belum sempat ingatan itu melintas, "Sreeeet!", tusukan maut
pedang Ko Ceng-kim telah meluncur datang.
Buru-buru Keng King-si mencabut pedangnya sambil menangkis,
teriaknya, "Mendorong Ho Liang sampai mati mungkin memang
kesalahanku. Tapi aku tidak mau mengakui sebagai pembunuh
Suhuku sendiri!" Ho Giok-yan sendiri pun dibuat terperanjat hingga gugup,
serunya, "Toa-suheng, kenapa kau tidak memberi kesempatan
kepadanya untuk membela diri?"
"Apalagi yang bisa dia katakan?"
"Paling tidak kau harus tanya dulu kenapa dia membunuh Suhu
sendiri" Benar, kami memang telah melakukan perbuatan yang
merusak nama baik perguruan, kejadian itu bisa jadi membuat dia
orang tua gusar. Tapi aku tidak bakal percaya kalau King-si
melakukan perbuatan biadab dan terkutuk ini gara-gara kuatir
ditegur ayah." "Tentu saja tidak mungkin hanya dikarenakan urusan ini saja."
"Lalu karena apa" Karena apa?"
"Kau bersikeras ingin tahu?" seru Ko Ceng-kim sambil menarik
muka. "Benar, aku harus tahu!"
Ko Ceng-kim menghela napas panjang, katanya, "Aku kuatir kau
tidak tahan, sebenarnya aku tidak ingin kau tahu persoalan ini...."
"Ayah sudah meninggal, Ho-toasiok pun sudah mati, peristiwa
apalagi yang dapat membuat aku tidak tahan?" keluh Ho Giok-yan
sambil terisak. "Ai, sebenarnya aku tidak ingin kau tahu persoalan ini," lanjut Ko
Ceng-kim, "tapi kalau tidak kukatakan, kau pasti akan menuduhku
membalas dendam karena sakit hati pribadi. Baiklah, kalau kau
memang ingin tahu, aku pun akan memberitahu secara terus
terang. Karena dia sebenarnya adalah mata-mata bangsa Boan!"
Pukulan batin kali ini benar-benar sangat besar dan berat,
membuat Ho Giok-yan limbung dan tidak sanggup berdiri tegak.
Setelah jatuh terduduk di lantai, seru Ho Giok-yan dengan suara
gemetar, "Toa-suheng, kau.... apakah kau punya bukti kalau....
kalau dia...." "Setahun berselang, kalian bertempat tinggal dimana?"
"Sebuah dusun nelayan di tepi sungai Song-hoa."
"Kenapa kalian pergi ke wilayah kekuasaan bangsa Boan?" hardik
Ko Ceng-kim. "Untuk menghindari pertemuan dengan orang-orang yang
dikenal," jawab Ho Giok-yan cepat.
"Keng King-si, aku minta kau yang menjawab!"
"Sumoy telah mewakili menjawab, kenapa kau minta aku untuk
menjawab lagi?" "Aku kuatir kau pun telah mengelabui dia!
Katakan terus terang, kenapa kau lari ke tempat itu" Biar lebih
aman dan menguntungkan bila bertemu dengan pembelimu?"
Sekulum senyuman getir tersungging di ujung bibir Keng King-si,
sementara sinar buas memancar keluar dari balik matanya.
"Ternyata dugaanku tidak salah," serunya, "Toa-suheng, rupanya
kau memang sengaja mencari alasan untuk membunuhku!"
Ooo)*(ooO Pertempuran sengit pun segera berkobar, kedua orang sesama
perguruan itu terlibat dalam baku hantam yang amat seru.
"Tolonglah, sementara waktu kalian jangan baku hantam dulu,"
pinta Ho Giok-yan setengah menjerit, "Toa-suheng, aku ingin bicara
denganmu, aku ingin bicara denganmu, tolong...."
"Sumoy, tidak usah memohon kepadanya. Dia tidak bakal
melepaskan aku," teriak Keng King-si.
Sementara Ko Ceng-kim menyahut setelah menghela napas
panjang, "Sumoy, kau masih belum percaya kalau dia orang jahat"
Baiklah, bila ada pertanyaan yang kau ragukan, katakan saja!"
"Di tempat itu kami hidup sebagai nelayan, rakyat yang hidup
dalam dusun yang sama pun hampir semuanya nelayan," Ho Giokyan
menerangkan, "selama satu tahun penuh tinggal di situ, kami
tidak pernah berjumpa dengan pejabat bangsa Boan biarpun hanya
seorang. Kalau dibilang di situ ada 'pembeli', dia hanya seorang
pembeli yang membeli semua hasil tangkapan kami."
"Untuk merekrut mata-mata, memang tidak perlu seorang
pejabat resmi yang turun tangan sendiri."
"Tidak banyak jumlah penduduk dusun itu, dia pun jarang sekali
berhubungan dengan orang luar. Aku tidak pernah menjumpai
seseorang yang mencurigakan."
"Bukankah di sana terdapat seorang lelaki kekar bermata segitiga
dengan telinga yang besar" Kau kenal dia bukan?"
"Orang itu bernama Huo Bu-tou, dia seorang pembeli ikan di
dusun kami, semua ikan hasil tangkapan kami diborong olehnya.
Ada apa dengan orang itu?"
"Peristiwa itu terjadi pada setengah tahun berselang, setengah
tahun berikut tiba-tiba orang itu menghilang bukan?"
Untuk sesaat Ho Giok-yan merasa terkejut bercampur ragu, tapi
kemudian sahutnya juga, "Betul, konon pasar ikan di dusun itu
sudah berganti pembeli lain, tapi aku tidak tahu kenapa mesti
berganti orang, apalagi kami memang tidak suka mencampuri
urusan orang, jadi tidak pernah menanyakannya. Toa-suheng,
apakah kau tahu siapa orang ini?"
"Aku belum pernah bertemu orang ini, tapi tahu dengan jelas
asal-usul dan posisinya!"
"Oh, siapa dia" Apa kedudukannya?"
"Dia adalah salah satu jago tangguh dari aliran Tiang-pek-san,
sebelum jadi pedagang ikan, kedudukannya semula adalah
pengawal pribadi Nurhaci Khan dari negeri Kim."
Diam-diam Ho Giok-yan merasa sangat terkejut, mimpi pun dia
tidak menyangka kalau orang yang berwajah begitu jelek dan lucu,
bahkan sepintas mirip seorang pedagang ikan biasa itu tidak lain
adalah seorang jagoan tangguh yang berilmu tinggi.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar Ko Ceng-kim berkata lebih lanjut, "Tapi jabatan dia
yang sesungguhnya adalah perekrut mata-mata yang diutus bangsa
Boan. Dia mendapat perintah khusus dari Nurhaci Khan dan saat ini
melakukan pergerakan di kotaraja kerajaan Beng kita. Untuk
mempermudah dan memperlancar gerakannya, dia malah berganti
nama dengan memakai nama bangsa Han, sekarang bernama Kwik
Bu." "Toa-suheng, sekalipun apa yang kau katakan itu benar, tapi apa
sangkut-pautnya dengan kami?"
"Kita memang sama sekali tidak tahu jabatan sebenarnya dari
orang itu," tukas Ko Ceng-kim, "kau pun mungkin tidak tahu, tapi
Keng King-si tahu dengan jelas!"
Kemudian sambil menatap tajam lawannya, dia membentak lagi,
"Keng King-si, apakah sampai sekarang kau masih belum mau
mengaku?" "Kau suruh aku mengaku apalagi?"
"Kenapa kau balik kemari setelah menyingkir jauh ke luar
perbatasan?" "Toa-suheng, bukankah sudah kujelaskan" Akulah yang
mengajak dia balik. Karena aku sudah hamil, karena aku kangen
rumah...." Pipinya berubah jadi merah padam lantaran jengah, tapi demi
menyelamatkan jiwa suami, dia tidak ambil peduli lagi dengan
segala pantangan dan rasa malu.
"Sumoy, kau sudah ditipu olehnya, sepintas kelihatannya dia
balik karena permintaanmu, padahal alasan yang sebenarnya adalah
karena dia telah menerima sepucuk surat rahasia dari Huo Bu-tou.
Huo Bu-tou lah yang menyuruh dia balik kemari!"
Dengan perasaan ragu bercampur kaget Ho Giok-yan berseru,
"Masa ada surat rahasia seperti itu" Kenapa aku tidak pernah
mendengar" Kenapa....?"
Setajam mata pedang Ko Ceng-kim menatap lekat wajah Keng
King-si, sahutnya ketus, "Tentu saja dia tidak akan mengatakan
kepadamu." Lalu sambil meninggikan suaranya dia melanjutkan, "Keng Kingsi,
urusan sudah sampai di sini, seharusnya kau pun mengerti
bahwa kelicikanmu tidak bakal berhasil mengelabui aku. Berani kau
mengatakan kalau tidak pernah menerima surat rahasia semacam
ini" Berani kugeledah sakumu" Aku tahu surat itu akan kau gunakan
sebagai tanda pengenal, jadi mustahil sudah kau bakar habis. Kalau
bukan berada dalam sakumu, pasti kau sembunyikan dalam
buntalanmu itu!" Sewaktu berteduh dari hujan serangan tadi, buntalan yang selalu
digembol Keng King-si itu diletakkan di bawah tonjolan batu yang
berada di sisi tebing, darimana Ho Giok-yan setiap saat dapat
menyentuhnya. Benar saja, begitu disinggung, paras muka Keng King-si kontan
berubah hebat, tanpa sadar dia melirik sekejap ke arah
buntalannya. Kelihatannya Ho Giok-yan sudah termakan oleh perkataan itu,
pikirnya, 'Seandainya dia memang sudah sejahat apa yang
dikatakan Toa-suheng, tidak seharusnya aku berusaha melindungi
dia.' Berpikir begitu, sambil menggertak gigi dia segera membuka
buntalan milik suaminya itu.
Begitu buntalan dibuka, benar saja, dia segera menemukan
sepucuk surat. Di atas surat itu tertulis,
"Siaute berada di kotaraja dan beruntung berhasil merebut posisi
tinggi, tidak tertutup kemungkinan suatu hari bisa mencapai jabatan
terhormat. Bila kakak berhasil menyelesaikan tugas besar, silakan datang ke
kotaraja untuk bersua. Tertanda, tanpa nama."
Walaupun surat itu tidak dicantumkan nama seseorang, namun
Ho Giok-yan dapat mengenalinya sebagai gaya tulisan Huo Bu-tou.
Di masa lalu, dia sering menjual ikan kepada Huo Bu-tou, malah dia
pun sering membeli keperluan lain melalui orang ini, hingga tidak
heran kalau dia banyak menerima bon tulisan Huo Bu-tou dan
mengenali tulisannya. Begitu selesai membaca surat itu, sekujur badan Ho Giok-yan
gemetar keras, tubuhnya menggigil bagaikan terperosok ke gudang
es, tanyanya dengan nada gemetar, "Su.... surat ini...."
Rasa panik dan takut yang diperlihatkan Keng King-si saat ini
sudah tidak sehebat tadi, dibalasnya tatapan mata istrinya sambil
berkata, "Surat itu memang benar-benar ada. Aku tidak
memberitahu kepadamu karena ada alasan lain yang terpaksa. Tapi
aku yakin tidak melakukan hal-hal yang melanggar aturan dan
norma...." Sambil tertawa dingin Ko Ceng-kim segera menukas
perkataannya yang belum selesai, kepada Ho Giok-yan, ujarnya,
"Sumoy, sekarang kau sudah melihat dengan jelas bukan bahwa
surat itu bukan surat biasa. Kini surat sudah ada di depan mata,
apakah kau masih curiga kalau perkataanku semua hanya bohong?"
Akan tetapi Ho Giok-yan masih nampak ragu dan penuh tanda
tanya, tiba-tiba tanyanya sambil mengangkat wajah, "Toa-suheng,
bukankah kau mengatakan kalau tidak kenal Huo Bu-tou?"
"Betul. Aku memang belum pernah bertemu dengan orang itu.
Bentuk mukanya pernah kudengar dari pembicaraan orang lain."
"Urusan wajah hanya masalah kedua. Yang membuat aku tidak
habis mengerti adalah darimana kau tahu kalau dia memberikan
sepucuk surat untuk King-si" Bahkan seolah-olah kau pun sudah
mengetahui dengan jelas isi surat itu! Kalau memang surat itu isinya
sangat rahasia, tidak mungkin dia sembarangan memberitahukan
kepada orang lain, kecuali terhadap sahabatnya yang paling karib,
bukankah begitu?" "Belum tentu harus sahabat karibnya baru tahu isi surat itu,
musuhnya pun dapat mengetahui isi surat itu," dengus Ko Ceng-kim
dingin. "Apa maksud perkataanmu itu?"
"Jangan lupa, ayahmu adalah Ji-ouw Tayhiap, di samping itu dia
pun seorang tokoh pimpinan Bu-tong-pay. Sekalipun dia tidak
berada di kotaraja, bukan berarti di kotaraja tidak terdapat anak
murid Bu-tong-pay! Gerak-gerik Huo Bu-tou sangat mencurigakan,
tidak lama setibanya di ibukota, rahasia asal-usulnya sudah berhasil
diketahui orang." "Maksudmu, ada anak murid Bu-tong-pay yang melaporkan
rahasia Huo Bu-tou ini kepada ayah" Mungkin saja rahasia asalusulnya
mudah diselidiki, tapi darimana pula kau bisa mendapat
tahu tentang rahasia surat itu?"
"Dia bukan berhasil menyelidiki, tapi menyaksikan dengan mata
kepala sendiri. Kau tidak usah gugup atau panik, dengarkan dulu
penjelasanku, kau pasti akan tahu dengan sejelasnya."
"Surat itu dibawa pulang oleh seorang pembantu kepercayaan
Huo Bu-tou, orang yang mendapat tugas mengawasi gerak-gerik
Huo Bu-tou segera melakukan penguntitan secara diam-diam atas
pembantu itu. Hari ketiga setelah pembantu itu meninggalkan
kotaraja, dia berhasil ditangkap hidup-hidup!"
"Kalau memang pembawa surat itu sudah ditangkap anak murid
Bu-tong-pay, kenapa surat ini bisa diantar sampai ke tangannya?"
tanya Ho Giok-yan. "Tentu saja murid Bu-tong-pay itu tidak akan membunuh si
pembawa surat, dia hanya menotok jalan darah 'In-hiat' (jalan
darah tersembunyi) di tubuh orang itu, apa akibatnya bila In-hiat
tertotok, rasanya aku tidak perlu menjelaskan lagi kepadamu
bukan?" Partai Bu-tong terkenal dengan ilmu totokan yang luar biasa, bila
In-hiat seseorang sampai tertotok, maka akibatnya walaupun orang
itu masih bisa bergerak seperti biasa, namun bila dia mencoba
menghimpun tenaga dalam, maka perutnya akan kesakitan seperti
disayat pisau. Bila In-hiat sudah tertotok, maka luka dalamnya kian
hari kian bertambah dalam, jika selewat tujuh hari belum ada murid
Bu-tong-pay yang membantu membebaskan pengaruh totokan
orang itu, maka dia akan tersiksa dan kesakitan setengah mati
sebelum akhirnya mati secara mengenaskan.
Tentu saja Ho Giok-yan memahami persoalan itu, katanya
kemudian, "Jadi dia memang sengaja dibiarkan hidup agar orang itu
bisa berlagak tidak ada kejadian apa-apa dan tetap mengantarkan
surat?" "Betul, kalau tidak berbuat begitu, mana mungkin bisa
memancing murid murtad ini masuk perangkap?"
"Siapakah anggota Bu-tong-pay yang kau maksud?"
"Ting-susiok!" Yang dimaksud sebagai Ting-susiok adalah Sam-sute dari Ho Kibu,
ayah Ho Giok-yan, orang itu bernama Ting Im-hok, sekalipun
ilmu silat yang dimiliki Ting Im-hok masih kalah jauh dibandingkan
kungfu kakak seperguruannya, namun dia terkenal sebagai seorang
jagoan Bu-tong-pay yang cerdas dan banyak akal.
"Kenapa Ting-susiok harus mengeluarkan tenaga begitu besar
untuk memancing King-si balik kemari?"
"Pertama, dia masih belum tahu secara pasti apakah Keng King-si
sudah bertekad akan mengkhianati perguruan atau tidak, dia hanya
kuatir termakan oleh rencana busuk lawan yang sengaja diatur
begitu. Baginya membersihkan nama baik perguruan merupakan
wewenang Suhu, maka dia tak ingin mencampurinya."
"Ai.... tapi tidak disangka kejadian ini mengalami perubahan yang
luar biasa, perubahan itu sama sekali di luar dugaannya, walaupun
si murid murtad berhasil dipancing balik, namun Suhu justru tewas
dicelakai murid durhaka itu."
"Aku tidak pernah mencelakai Suhu," teriak Ken King-si keras,
"surat itupun bukan surat pengantarku untuk menjadi mata-mata
bangsa Boan! Aku berani bersumpah...."
"Hehe.... siapa yang percaya dengan sumpah palsumu?" ejek Ko
Ceng-kim sambil tertawa dingin, di tengah senyuman dinginnya dia
kembali menatap wajah Ho Giok-yan.
Ho Giok-yan sendiri pun tidak berani mengatakan "aku percaya",
meskipun begitu, dalam hati kecilnya dia masih tetap setengah
percaya setengah tidak. Sehabis menghindari tatapan mata Ko Ceng-kim yang dingin
sadis, ujarnya lirih, "Aku masih mempunyai satu pertanyaan yang
meragukan." "Katakan saja!"
"Si pengantar surat adalah orang kepercayaan Huo Bu-tou,
sementara Ting-susiok pun tidak membunuhnya, kenapa dia tidak
balik melaporkan kejadian ini kepada Huo Bu-tou?"
Maksud perkataannya adalah jika Huo Bu-tou sudah mengetahui
kejadian ini, semestinya dia akan berusaha untuk mengabarkan
peristiwa ini kepada Keng King-si, dan mana mungkin Keng King-si
mau mengantar diri masuk perangkap"
"Sumoy, jalan pikiranmu sungguh terlalu kekanak-kanakan!" sela
Ko Ceng-kim. "Mohon Toa-suheng memberi petunjuk."
"Betul, perkataan seorang lelaki sejati harus ditaati, tapi itupun
tergantung kepada siapa kita berjanji, janji terhadap seorang
sahabat tentu berbeda sekali dengan janji terhadap musuh!"
"Berarti Ting-susiok tidak pernah membebaskan totokan jalan
darahnya?" "Mana mungkin Ting-susiok membiarkan orang semacam itu
hidup lebih lama" Begitu dia melangkah pergi meninggalkan dusun
itu, Ting-susiok segera menghabisi nyawanya."
"Lantas dimana Ting-susiok sekarang?"
"Seperti yang aku katakan tadi, telah terjadi banyak perubahan
setelah peristiwa itu, mungkin yang sama sekali tidak terduga oleh
Ting-susiok adalah dia justru mati terbunuh lebih dulu sebelum
ayahmu dibunuh orang!"
"Apa" Ting-susiok juga terbunuh?"
"Aku sendiri pun baru mendapat berita ini pagi tadi, sekembali ke
kotaraja Ting-susiok ditemukan tewas terbunuh. Tidak ditemukan
bekas luka di sekujur badannya, tapi bagi jagoan silat yang
berpengalaman, semua orang dapat melihat kalau dia tewas karena
terkena pukulan Hong-lui-ciang (pukulan angin guntur) dari aliran
Tiang-pek-san!" Untuk sesaat Ho Giok-yan berdiri termangu, bukan saja dia
merasa sedih karena Susioknya mati terbunuh, yang lebih penting
lagi adalah satu-satunya sisa harapan yang dia miliki, berharap
perkataan Ko Ceng-kim tidak benar seratus persen, kini ikut pupus
dengan kejadian itu. Ting-susiok telah mati terbunuh, kemana dia
harus mencari saksi lain"
Tampaknya Ko Ceng-kim dapat membaca jalan pikiran gadis itu,
katanya dingin, "Ting-susiok mampir ke rumah kita lebih dulu
sebelum balik ke kotaraja. Apalagi isi surat itu hanya beberapa
baris, sekilas pandang dia sudah menghapalkan di luar kepala, maka
waktu bertemu ayahmu, dia langsung membeberkan isi surat itu,
waktu itu aku pun berada di samping Suhu."
"Siaute berada di kotaraja dan beruntung berhasil merebut posisi
tinggi, tidak tertutup kemungkinan suatu hari bisa mencapai jabatan
terhormat. Bila kakak berhasil menyelesaikan tugas besar, silakan datang ke
kotaraja untuk bersua."
Benar saja, dia pun dapat menghapal isi surat itu di luar kepala,
sepatah kata pun tidak ada yang salah.
"Berhasil menyelesaikan tugas besar" Bukankah tugas besar itu
tidak lain menunggu kelahiran keturunan kalian?" Ko Ceng-kim
sama sekali tidak mengendorkan tekanannya dengan bertanya
kepada sang Sumoy. "Lalu.... lalu menurut kau.... apa.... apa yang dimaksud?" suara
Ho Giok-yan semakin gemetar.
"Masa perlu aku jelaskan" Seharusnya kau bisa berpikir sendiri!
Mengkhianati perguruan demi mencari kedudukan, tentu saja yang
paling penting lagi adalah menyelamatkan diri!"
Maksud perkataan ini sudah jelas sekali, lantaran kuatir Suhunya
melakukan pembersihan terhadap murid yang berkhianat, maka
Keng King-si turun tangan lebih dahulu menghabisi nyawa Suhunya!
Sebenarnya analisa ini sangat masuk akal dan gampang dicerna,
namun bagi Ho Giok-yan, mana mungkin dia bisa menerima
kenyataan yang begitu sadis dan kejam"
"Tidak, tidak, sekalipun dia telah salah jalan, aku tidak percaya
kalau dia berani membunuh ayahku!"
Sayang, biar tidak percaya pun mau tidak mau dia harus percaya
juga, sebab sekarang dia sudah tidak dapat menemukan alasan apa
pun untuk membantah pernyataan Ko Ceng-kim.
"Keng King-si!" akhirnya sambil menggertak gigi dia berseru,
"aku.... aku benar-benar telah salah menilaimu, kau.... kau....
apalagi yang ingin kau katakan?"
"Adik Yan!" Keng King-si tertawa getir, "kalau kau pun tidak
percaya lagi kepadaku, aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa
lagi. Cuma...." "Cuma kenapa?" bentak Ko Ceng-kim.
"Toa-suheng, tolong beri aku waktu sepuluh hari. Setelah sampai
batas waktunya, aku pasti akan balik kemari dan menerangkan


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua duduk persoalan dengan sejelasnya kepada kalian!"
Perkataan itu mengandung dua arti yang berbeda, pertama, pada
saat dan kondisi sekarang dia merasa tidak leluasa untuk
menerangkan duduk persoalan yang sebenarnya, kedua, ketika dia
memohon kepada Ko Ceng-kim, istilah yang digunakan adalah
"kalian", tentu saja dia berharap istrinya bisa ikut memaklumi akan
kesulitannya. Diam-diam Ho Giok-yan memperhatikan sorot matanya. Dengan
cepat dia dapat merasakan kepedihan hati yang dialami suaminya,
tapi di balik kepedihan sama sekali tidak terselip perasaan malu atau
tidak senang, malah sebaliknya menyongsong tatapan matanya
dengan pasrah. Satu ingatan segera melintas dalam benak perempuan itu,
pikirnya, 'Orang yang telah melakukan kesalahan atau perbuatan
yang memalukan, tidak mungkin berani membalas tatapanku
dengan pasrah, jangan-jangan.... dia memang menyimpan kesulitan
yang susah dijelaskan"'
Tapi sekarang posisi Keng King-si, dari suami telah berubah
menjadi tersangka pembunuh ayahnya, dalam keadaan seperti ini
bagaimana mungkin dia bisa mengabulkan permintaannya itu"
Tanpa sadar sorot matanya dialihkan ke wajah Ko Ceng-kim.
Sambil tertawa dingin Ko Ceng-kim segera berkata, "Kau tidak
bakal balik lagi kemari, anak kecil saja tidak percaya apalagi kami!
Hehehe.... setelah menghabisi nyawa Suhu, kau masih ingin
berusaha meloloskan diri" Perhitunganmu sungguh kelewatan, bila
aku mesti melepas kau pergi dari sini, arwah Suhu di alam baka pun
tidak akan mengampuni diriku!"
Sudah jelas perkataan inipun sengaja ditujukan pada Ho Giokyan,
dalam keadaan begini, apalagi yang bisa dikatakan perempuan
itu" Akhirnya sambil mengeraskan hati dan menggigit ujung bibir,
ujarnya dengan suara gemetar, "Toa-suheng, seharusnya akulah
yang berkewajiban membalas dendam sakit hati ayahku. Tapi hari
ini.... terpaksa.... terpaksa.... aku harus minta bantuanmu!"
"Sreeet!", diiringi desingan angin tajam, Ko Ceng-kim telah
melolos pedangnya sambil melancarkan sebuah tusukan kilat ke
tubuh Keng King-si. Sementara Ho Giok-yan menutup wajah sambil
menangis terisak. "Traang!", dengan cekatan Keng King-si menangkis datangnya
tusukan kilat itu, tiba-tiba ujarnya sambil menghela napas panjang,
"Toa-suheng, padahal sudah kuduga kalau kau memang tidak sabar
ingin menghabisi nyawaku, aku tahu, kau sudah sangat lama
menantikan kesempatan ini. Bukankah begitu Toa-suheng?"
"Aku ingin membunuhmu karena ingin membalas dendam atas
kematian Suhu, siapa bilang aku melakukan ini karena urusan
pribadi?" tukas Ko Ceng-kim gusar, "kau telah membunuh Suhu,
membunuh Ho Liang, jangan salahkan kalau aku pun tidak akan
memberi muka kepadamu!"
Sementara berbicara, secara beruntun dia telah melancarkan
serangan berantai, ancaman pedangnya makin lama semakin cepat,
tujuh puluh dua jurus ilmu pedang berantainya dilancarkan bagaikan
deru angin topan. "Sreeeet!", desingan tajam membelah bumi, tahu-tahu bahu
Keng King-si sudah termakan satu tusukan, meski tidak sampai
melukai tulangnya, namun darah segar bercucuran keluar dengan
derasnya. Ho Giok-yan melengos ke arah lain, dia tidak tega menyaksikan
adegan itu. Terdengar Keng King-si berseru lagi dengan nyaring, "Toasuheng,
sebenarnya tidak patut aku bertarung melawanmu, tapi aku
tidak ingin membiarkan putraku lahir tanpa ayah, bagaimanapun
aku tidak akan mati dengan mata meram sebelum dapat
menyaksikan putraku. Toa-suheng, kalau kau memang bersikeras
ingin membunuhku, jangan salahkan kalau aku pun tidak akan
mengalah lagi!" "Hm, siapa suruh kau mengalah" Kalau memang merasa hebat,
kenapa tidak sekalian bunuh diriku juga!"
Suara bentrokan senjata kembali bergema silih berganti, tiba-tiba
terdengar dengusan tertahan, Keng King-si mundur dengan
sempoyongan, kelihatan sekali kuda-kudanya tergempur dan dia
berdiri dengan gontai. "Kena!" bentak Ko Ceng-kim nyaring.
Pedangnya bagai gelombang samudra menggulung tiba dengan
hebatnya, langsung membabat pinggang lawan.
Serangan ini dilancarkan secepat sambaran petir, bahkan
dilontarkan di saat Keng King-si belum sempat berdiri tegak.
Dalam anggapan Ko Ceng-kim, babatan mautnya kali ini paling
tidak akan berhasil mematahkan dua kerat tulang iga lawan.
Siapa sangka meski tubuh Keng King-si nampak gontai, seolaholah
tidak sanggup berdiri tegak, namun ketika dia melakukan
putaran dengan gerakan melingkar, tahu-tahu ancaman maut dari
kakak seperguruannya telah berhasil dihindari.
Ko Ceng-kim mendengus dingin, pikirnya, 'Tidak disangka baru
berpisah satu tahun, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki bajingan
cilik ini telah mengalami kemajuan pesat! Hm, tapi sayangnya, biar
ilmu meringankan tubuhmu lebih hebat, jangan harap bisa
menandingi tujuh puluh dua jurus serangan berantaiku.'
Benar saja, baru dua puluhan jurus serangan yang dia gunakan,
sekujur tubuh Keng King-si sudah terkurung di balik bayangan
serangannya. "Kena!" sekali lagi Ko Ceng-kim membentak nyaring, pedangnya
berputar satu lingkaran, lalu dengan gaya bacokan sebilah kwanto,
dia bacok batok kepala lawannya kuat-kuat.
Inilah jurus Lip-pit-hoa-san (membacok lurus bukit Hoa-san),
salah satu jurus andalan Ko Ceng-kim untuk menghabisi nyawa
lawannya, dengan pedang sebagai golok, bacokannya keras, ganas
dan mematikan. Dalam perkiraannya, tenaga dalam yang dimilikinya masih satu
tingkat lebih unggul daripada lawan, berarti bagaimanapun usaha
Keng King-si untuk menangkis, mustahil adik seperguruannya
berhasil membendung ancaman itu.
Siapa tahu di saat tenaga serangan pedangnya sudah mencapai
puncaknya, ketika mata senjata tinggal tujuh inci dari batok kepala
lawan dan segera akan membelah batok kepalanya, tahu-tahu Keng
King-si memutar ujung pedangnya dengan membentuk gerakan satu
lingkaran, entah bagaimana tahu-tahu serangan yang maha dahsyat
itu telah berhasil dipunahkan begitu saja.
Ko Ceng-kim sangat terperanjat, pikirnya, 'Rasanya aku belum
pernah melihat jurus pedang ini, dari-mana dia mempelajarinya"'
Sebagaimana diketahui, Ko Ceng-kim adalah murid pertama,
ketika Keng King-si masuk perguruan pertama kalinya, selama dua
tahun pertama dia malah pernah mewakili Suhunya mengajarkan
ilmu silat kepadanya. Kemudian walaupun Keng King-si dibimbing langsung oleh
Suhunya, namun sebagai suheng, mereka masih sering berlatih
bersama, tentu saja dia pun memikul tanggung jawab sebagai
pembimbing dan pengawasnya.
Oleh sebab itulah posisi Ko Ceng-kim boleh dibilang masih
terhitung setengah guru Keng King-si.
Tapi sekarang ternyata Keng King-si dapat menggunakan jurus
serangan yang selama hidup belum pernah disaksikan olehnya, tidak
heran dia dibuat terkejut bercampur keheranan.
Siapa sangka kejadian mencengangkan justru masih ada di
bagian belakang, begitu Keng King-si memutar posisi pedangnya,
jurus serangan yang digunakan pun sama sekali berubah.
Tampak gerak serangan pedangnya berputar bagai lingkaran,
sebentar dia bergerak melingkar di timur, kemudian membuat
lingkaran di sisi barat, lingkaran besar, lingkaran kecil, dalam
lingkaran terdapat lingkaran lain, betapa hebat dan ganas serangan
yang dilancarkan Ko Ceng-kim ternyata semuanya punah dan
terbendung oleh gerak lingkaran itu, betapapun hebatnya gerak
serangan yang digunakan, nyaris tidak satu pun mampu
memperlihatkan keampuhannya.
Yang lebih aneh lagi adalah gerak melingkar yang dilakukan Keng
King-si seolah memiliki daya sedot yang kuat, lambat-laun tanpa
disadari gerak serangan pedang nya pun bergeser dan bergerak
mengikuti gerakan lawannya.
Ketika tidak mendengar suara bentrokan senjata, Ho Giok-yan
pun merasa keheranan, tanpa terasa dia membuka matanya kembali
untuk menonton. Terkejut bercampur curiga, tidak tahan Ko Ceng-kim membentak
nyaring,, "Oh, rupanya selama di wilayah Liauw-tong, kau sudah
belajar dari perguruan lain, tidak heran berani amat mengkhianati
perguruan sendiri!" "Hm, percuma kau jadi Ciangbun Suheng!" jengek Keng King-si
sambil tertawa dingin. "Apa maksud perkataanmu itu?"
Dalam pada itu Ho Giok-yan telah berseru tertahan, "Toa-suheng,
ilmu pedang yang dia gunakan adalah ilmu pedang perguruan
sendiri!" Seakan baru menyadari akan sesuatu, Ko Ceng-kim berteriak
keras, "Bu.... bukankah ilmu itu adalah Thay-khek-kiam-hoat
perguruan kita?" "Menurut pendapatku, rasanya memang begitu."
Ternyata perguruan Bu-tong-pay memiliki dua macam ilmu
pedang yang menggetarkan sungai telaga, yang pertama adalah
tujuh puluh dua jurus ilmu pedang berantai Jit-cap-ji-jiu-Lian-hoantoh-
beng-kiam-hoat, dan yang lain adalah ilmu pedang Thay-khekTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
kiam-hoat. Ilmu pedang yang seringkali dijumpai dalam dunia persilatan
adalah ilmu pedang Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat, sedangkan
mengenai Thay-khek-kiam-hoat, jangan lagi umat persilatan,
bahkan anggota perguruan sendiri pun (khususnya dari kalangan
murid preman) jarang atau malah tidak pernah melihatnya.
Tentu saja dalam hal ini ada penyebabnya.
Sebagaimana diketahui, ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat
merupakan ilmu pedang yang diciptakan Thio Sam-hong, Couwsu
pendiri Bu-tong-pay di masa tuanya, berhubung ilmu pedang ini
mengandung intisari yang sangat mendalam dengan perubahan
yang tidak terkirakan, maka setiap orang yang ingin mempelajari
ilmu pedang itu harus memiliki dasar tenaga dalam yang kuat, di
samping tentu saja orang itu harus memiliki bakat yang bagus.
Oleh karena itulah setiap anak murid Buy-tong-pay diwajibkan
mempelajari dulu ilmu pedang Jit-cap-ji-jiu-Lian-hoan-toh-bengkiam-
hoat, bila ilmu itu telah berhasil dikuasai, barulah atas
bimbingan Suhunya, mereka mulai mempelajari ilmu pedang Thaykhek-
kiam-hoat. Karena ilmu itu diwariskan atas dasar bakat, sudah barang tentu
tidak setiap orang dapat mempelajarinya.
Ho Ki-bu, ayah Ho Giok-yan termasuk jago silat yang mengerti
ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat, tapi karena pertama, murid
paling besarnya belum berhasil menguasai ilmu pedang Jit-cap-ji-jiu-
Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat dengan sempurna maka dia tidak
ingin muridnya naik tingkat secara tidak semestinya. Kedua, dia pun
ingin mentaati peraturan perguruan dengan membiarkan anak
muridnya berkelana dulu dalam dunia persilatan, kemudian secara
diam-diam menilai tingkah-laku dan sifatnya, di saat dia
menganggap seseorang sudah saatnya menerima, ilmu itu baru
diwariskan. Untuk menghindari muridnya panik atau kesemsem, biasanya dia
melatih ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat di tengah malam buta,
berlatih seorang diri di ruang belakang.
Sayang, biarpun dia melarang muridnya melihat, bukan berarti
putrinya tidak mengetahui hal itu, maka dia hanya bisa
memperingatkan putrinya agar tidak menuntut belajar secara tidak
lazim. Belajar silat memang harus berurutan menurut tingkatan.
Itulah sebabnya Ho Giok-yan hanya mengenal ilmu pedang Thaykhek-
kiam-hoat, tapi tidak mengerti ilmu pedang itu. Kalau mengerti
saja tidak, mana mungkin bisa menggunakannya.
Berubah hebat paras muka Ko Ceng-kim begitu tahu ilmu pedang
yang digunakan Keng King-si adalah Thay-khek-kiam-hoat, pikirnya,
'Kelihatannya saja Suhu tidak begitu menyukai bocah keparat itu,
tidak disangka secara diam-diam dia malah mewariskan Thay-khekkiam-
hoat kepadanya. Hm! Aku adalah Ciangbun-tecu, murid paling
tua, kusangka Suhu pasti akan mewariskan semua ilmu
simpanannya kepadaku, tidak disangka ternyata Suhu pilih kasih!'
Terbakar rasa iri yang menggelora, tanpa berpikir apakah
kemampuannya mampu mengalahkan Sutenya atau tidak, kembali
dia merangsek maju sambil melepaskan serangkaian serangan
berantai. Secara tiba-tiba Keng King-si bisa menggunakan ilmu pedang
Thay-khek-kiam-hoat, bukan cuma Ko Ceng-kim yang dibuat
tercengang, Ho Giok-yan sendiri pun terheran-heran dibuatnva.
Sama seperti Ko Ceng-kim, sebelum kejadian hari ini Ho Giok-yan
juga tidak tahu kalau Keng King-si telah menguasai ilmu pedang
Thay-khek-kiam-hoat. Dalam sangkaan Ko Ceng-kim, Suhunya pasti pilih kasih dengan
mewariskan ilmu itu secara diam-diam kepada Sutenya, tapi,
andaikata benar-benar ada kejadian seperti itu, mungkinkah sang
ayah juga mengelabui putri sendiri"
Berulang kali Ko Ceng-kim melancarkan serangan berantai, matimatian
dia merangsek maju, tapi setiap serangan dan desakan yang
dilancarkan, hampir semuanya berhasil dipatahkan oleh gerakan
pedang Keng King-si. Sayangnya, biarpun tekanan yang dialami Keng King-si
bertambah ringan dan enteng, tekanan batin Ho Giok-yan justru
makin lama semakin berat.
Darimana dia mempelajari ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat"
Kenapa dia selalu merahasiakannya kepada-ku"'
Di antara sepasang suami-istri memang tidak seharus nya ada
rahasia, tapi sekarang, Ho Giok-yan menemukan persoalan yang
dirahasiakan suaminya bukan hanya satu saja.
Selama ini dia pun merahasiakan surat yang dikirim Huo Bu-tou
kepadanya. Semalam, lagi-lagi dia keluar kamar pergi menjumpai seseorang,
siapa yang dia jumpai" Tidak pernah hal ini dia jelaskan kepada
istrinya. Dan sekarang ditambah lagi dengan ilmu pedang Thay-khekkiam-
hoat, Ho Giok-yan betul-betul tercengang, terperangah dan
penuh curiga. "Ai.... berapa banyak lagi rahasia yang dia lakukan untuk
mengelabui diriku?" Betul sampai sekarang dia masih tidak percaya bahwa Keng Kingsi
adalah pembunuh ayahnya, tapi membayangkan suaminya selama
ini banyak mengelabui dirinya, banyak persoalan yang sengaja
dirahasiakan terhadap dirinya, hal ini sudah cukup membuatnya
bersedih hati, cukup membuatnya jengkel, marah dan mendongkol.
Mendadak perutnya terasa amat sakit, pukulan batin telah
membuat kondisi badannya tidak berimbang atau karena masalah


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain, kandungannya tiba-tiba saja terasa bergerak. Rasa sakit yang
makin lama makin menjadi membuat perempuan ini tidak sanggup
menahan diri. Biarpun dia belum berpengalaman melahirkan, tapi dia segera
sadar rasa sakit itu merupakan pertanda datangnya saat persalinan.
Dalam pada itu, setiap kali Keng King-si mundur satu langkah,
dia berhasil memunahkah satu serangan maut yang dilancarkan
sang Suheng, dan kini dari posisi bertahan sudah berubah jadi posisi
menyerang. Saat itu Ko Ceng-kim sedang melancarkan serangan dengan
jurus Ki-hwe-liau-thian (mengangkat obor menerangi langit),
gerakan pedang membentuk setengah lingkaran busur seketika
berhasil membelenggu senjata itu hingga tidak mampu bergerak.
"Suheng!" bentak Keng King-si nyaring, "kalau kau tidak segera
lepas tangan, jangan salahkan kalau aku tidak kenal ampun!"
Asal dia melanjutkan gerakannya dengan setengah lingkaran
busur lagi, niscaya lengan milik Ko Ceng-kim akan terpapas kutung.
Pada saat itulah dia mendengar suara rintihan Ho Giok-yan yang
sedang mengerang kesakitan....
"Adik Yan, kenapa kau?" dengan perasaan terkejut Keng King-si
menegur. "Aku mohon.... aku mohon.... kalian jangan berkelahi lagi pinta
Ho Giok-yan sambil merintih, "Aku.... aku hampir mati.... aduh....
cepat tolong aku!" Suara rintihan tiba-tiba terputus di tengah jalan, menyusul
kemudian terdengar suara tangisan orok yang amat nyaring....
tangisan orok yang baru lahir dari rahim ibunya.
Bukan kematian, tapi kelahiran, seorang anak telah lahir.
Keng King-si terkejut bercampur girang, tanpa mempedulikan
keadaan di sekelilingnya lagi dia memburu ke hadapan sang istri.
Dengan pedang dia potong tali pusar orok itu, lalu membopongnya.
"Haah, seorang bayi lelaki!" teriaknya kegirangan.
Di saat rasa gembira dan kaget bercampur-aduk dalam hati itulah
mendadak dia merasakan hawa dingin yang sangat membekukan,
rasa dingin membekukan yang merasuk hingga ke tulang sumsum.
Ternyata ujung pedang milik Ko Ceng-kim telah menusuk dari
punggungnya hingga tembus ke jantungnya.
Menyusul kemudian terdengar suara Ko Ceng-kim yang lebih
dingin membekukan daripada mata pedang berkumandang, "Sumoy,
jangan kau salahkan aku telah membunuhnya, dia tidak pantas
menjadi ayah anak itu!"
Ho Giok-yan terduduk kaku bagai patung batu, dia seolah tidak
mendengar ucapan Ko Ceng-kim, bahkan jalan pikiran pun ikut
membeku kaku. Dalam waktu sekejap, seluruh otak, seluruh pikirannya seolaholah
kosong melompong, tiba-tiba saja jadi kosong dan putih bersih.
Tusukan pedang itu datang sangat cepat, tampaknya Keng Kingsi
sendiri pun masih belum sadar akan peristiwa yang telah
menimpa dirinya, dia hanya berjongkok dengan wajah bingung, lalu
tubuhnya gontai dan perlahan-lahan roboh ke tanah. Bayi laki itu
masih dipeluknya erat-erat.
Ketika bayi itu menyentuh permukaan tanah, pantatnya segera
terluka karena gesekan pasir dan batu. Sekali lagi suara tangisan
orok berkumandang memecah keheningan.
Sambil membungkukkan badan, Ko Ceng-kim menepis tangan
Keng King-si yang sedang memegang tubuh orok itu, setelah
berhasil merebut bayi itu, ujarnya dingin, "Sudah kuberi kesempatan
untuk melihat kelahiran anakmu, sekarang kau bisa mati dengan
meram. Jangan salahkan aku, toh kau sendiri yang berkata begitu."
Ho Giok-yan seakan baru tersadar kembali dari mimpi buruknya
karena suara tangisan bayinya, segera jeritnya, "Berikan kepadaku,
berikan kepadaku!" "Adik Yan," bisik Ko Ceng-kim sambil tertawa paksa, "coba lihat,
orok ini mirip sekali denganmu."
Tiada cucuran air mata di wajahnya ketika Ho Giok-yan
menerima kembali bayinya, tapi nada suaranya justru jauh lebih
pilu, jauh lebih mengenaskan daripada suara tangisan.
"Oh.... anakku yang bernasib malang.... begitu lahir kau telah
kehilangan ayah, kehilangan ibu...."
"Sumoy, jangan berpikir sembarangan buru-buru Ko Ceng-kim
menukas. Dengan penuh kasih sayang Ho Giok-yan mencium mesra pipi
lembut bayinya, kemudian katanya lagi, "Suko, aku bersalah
kepadamu. Maukah kau kabul kan satu permintaanku?"
"Apapun permintaanmu, pasti kukabulkan."
"Aku percaya kau pasti akan membalas dendam bagi kematian
ayahku, karenanya aku tidak ingin minta kepadamu untuk
membalas dendam atas terbunuhnya ayah. Permintaanku ini....
mungkin akan jauh lebih sulit daripada tugas balas dendam."
"Katakan saja, sesulit apa pun, pasti akan kulaksanakan dengan
sepenuh tenaga." "Bagus, hatiku sangat lega mendengar janjimu itu. Aku mohon,
rawatlah anak ini baik-baik, rawatlah dia hingga dewasa...."
"Sumoy, aku pasti akan bantu kau merawat bocah ini. Apalagi
sebenarnya kita adalah.... adalah.... bila kau tidak keberatan, aku
berharap kau mau mengabulkan permintaanku, biar aku menjadi
ayah dari bocah ini!"
Ho Giok-yan tertawa getir.
"Benar, aku memang tidak bisa jadi istrimu, aku hanya berharap
kau bisa menjadi ayah bocah itu!" bisiknya.
Sepintas perkataan itu terdengar amat bersahaja dan tidak ada
yang aneh, padahal belum tentu arti sebenarnya begitu.
Terdengar Ho Giok-yan berkata lebih lanjut, "Boleh saja kau
merahasiakan identitas ayah aslinya, tapi bila tidak keberatan,
tolong berikan nama untuk bocah itu, ehm.... panggil saja dia Giokkeng."
Giok-keng! Bukankah nama ini merupakan penggabungan nama Keng King-si
dan Ho Giok-yan" Tidak usah Ho Giok-yan melukis kaki di gambar
ular pun Ko Ceng-kim sudah menangkap arti sebenarnya nama itu.
Sekalipun perempuan itu tidak berharap si bocah tahu nama
sebenarnya dari sang ayah, namun nama yang dia berikan,
bagaimanapun tetap mengandung kenangan kedua orang tuanya.
Bila dibayangkan lebih mendalam, bukankah nama itu terkandung
juga luapan perasaan cintanya terhadap Keng King-si"
Semakin terbukti bahwa dia sama sekali tidak memandangnya
sebagai musuh besar pembunuh ayahnya, dia masih mengakuinya
sebagai suami. Kecut juga perasaan hati Ko Ceng-kim setelah mendengar
perkataan itu, sudah barang tentu dia pun menangkap apa yang
dimaksud "kalau tidak keberatan" dari Sumoynya itu.
Perasaan Ko Ceng-kim saat ini amat kalut, namun dalam situasi
seperti ini, sanggupkah dia menegur perempuan itu" Sambil tertawa
paksa katanya, "Nama yang kau usulkan sangat bagus, tapi jika kau
bisa mendidik dan membimbingnya sendiri, mungkin akan jauh lebih
baik lagi." "Aaisuara Ho Giok-yan makin lama makin lirih, "ternyata hidup itu
menderita, maafkanlah aku karena harus menyerahkan semua
kerepotan kepadamu. Aai....! Suko, terlalu banyak aku berhutang
kepadamu, bahkan sebelum mati pun harus.... harus...."
"Sumoy, kau.... kau harus hidup terus!" jerit Ko Ceng-kim keras.
Tapi sayang sudah terlambat, belum selesai perkataan Ho Giokyan
diucapkan, tubuhnya sudah roboh ke dalam pelukannya dan....
tewas! Di saat dia memejamkan mata untuk terakhir kalinya, bocah itu
sudah terlepas dari genggaman, pandangan matanya yang terakhir
adalah di saat melihat Ko Ceng-kim menerima sodoran bocah itu!
Semua isi alam jagad, seluruh isi kolong langit, semuanya seakan
jadi hening, jadi sepi! Di atas tanah terbujur kaku jenazah Ho Liang, ada pula jenazah
Keng King-si, dan sekarang ditambah pula dengan sesosok mayat
lain, jenazah Ho Giok-yan.
Satu-satunya suara yang kedengaran hanya suara tangisan si
orok yang tidak berdosa. Sambil membopong bayi itu, Ko Ceng-kim berdiri dengan kening
berkerut. Aai....! Membesarkan si bocah hingga dewasa"
Masalahnya tidak segampang itu, 'merepotkan' saja.
Bayi itu masih menangis, mulai mencakar wajah sendiri. Ko
Ceng-kim pun termangu, dia hanya bisa mengawasi wajah si bocah
dengan pandangan mendelong.
Bocah yang baru lahir memang sulit untuk dibedakan apakah
lebih mirip wajah ayahnya atau lebih mirip wajah ibunya.
Aah! Bocah ini putra Keng King-si, tapi dia pun darah daging Ho
Giok-yan! Entah karena keterkaitannya dengan seseorang atau memang
pada dasarnya bocah itu memang menyenangkan, tanpa sadar
sikapnya pun telah berubah seolah-olah dia memang ayah
kandungnya, rasa kasih, rasa sayangnya terhadap bayi itupun
bertambah besar. "Sudah.... cup.... cup.... jangan menangis, jangan menangis,
sayang.... oooh.... sayang!" bisiknya dengan penuh kasih sayang.
Dia mulai menepuk, menggoda dan menina-bobokan si bayi dengan
penuh kemesraan. Tapi bocah itu masih juga menangis terus.
Masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan, tapi persoalan
paling penting sekarang ini adalah bagaimana menempatkan si
bocah itu di suatu tempat yang aman. Dia tidak tahu apakah bayi
yang baru lahir bisa menunjukkan rasa 'lapar', tapi bagaimanapun
dia toh mesti mencari sesuatu untuk diberikan kepada bayi itu.
Apalagi dia pun tidak bisa membiarkan bayi itu telanjang menahan
terpaan hawa dingin yang menggigilkan.
Untung saja orang yang bepergian jauh biasanya selalu
membawa bekal air dan makanan, dari sisi tubuh Ho Giok-yan, Ko
Ceng-kim berhasil menemukan kantung air yang dibawa, isi air
masih ada setengah, dia pun menuang sedikit lalu dilolohkan ke
mulut si bayi. "Kasihan benar kau," bisiknya sambil tertawa getir, "baru lahir
tapi tidak bisa mengisap susu ibu, terpaksa anggap saja air ini
sebagai susu ibu." Benar saja, setelah diberi air sedikit, bayi itupun berhenti
menangis (Gb 1). Tentu saja air tidak bisa menggantikan susu ibu, apalagi bayi itu
lahir belum cukup umur, kecil, kurus lagi, benar-benar
mengenaskan. Ko Ceng-kim tidak punya pengalaman menyusui bayi, dia pun
tidak tahu kalau bayi yang dilahirkan belum cukup umur
membutuhkan susu ibu untuk menopang hidupnya, seandainya
bukan susu ibu kandungnya pun paling tidak harus ada susu dari
perempuan lain. Hujan telah berhenti, suasana senja pun lambat-laun menyelimuti
angkasa. Kabut tipis mulai muncul dari kaki bukit dan menyelimuti
permukaan. Tiba-tiba seperti teringat akan sesuatu, dia segera berseru, "Ha,
bukankah di depan mata sudah ada seorang ibu" Kenapa tidak
terpikirkan olehku sejak tadi?"
Di bawah bukit hidup sepasang suami-istri muda, suaminya
bernama Lan Kau-san, seorang pemburu, sedang istrinya sangat
trampil melakukan pekerjaan kasar, dia terhitung seorang wanita
yang kuat dan bertenaga. Lan-toaso kebetulan baru melahirkan seorang putri beberapa hari
berselang. Ko Ceng-kim kenal baik suami-istri itu, bahkan suatu kali
pernah membantu Lan Kau-san membunuh seekor harimau putih
yang buta sebelah matanya.
Kala itu, walaupun senjata trisula Lan Kau-san berhasil
menghujam tubuh harimau itu, tapi kulit badan sang harimau yang
tebal dan kasar membuat hewan liar itu semakin buas, setelah
terluka parah, andaikata Ko Ceng-kim tidak datang tepat waktu dan
menyelamatkan jiwanya, mungkin dia sudah tewas diterkam sang
harimau. Kembali Ko Ceng-kim berpikir, 'Lan-toaso bertubuh sehat dan
kuat, rasanya lebih dari cukup air susunya untuk menyusui dua
orang bayi. Lan-toako termasuk orang jujur yang bisa dipercaya,
terlepas aku pernah melepas budi kebaikan kepadanya, dia pun
masih terhitung sahabat karibku semenjak kecil, aku percaya dia
pasti akan bantu aku merahasiakan kejadian ini."
Begitu selesai mengambil keputusan, dia pun mengambil satu
stel pakaian dari dalam buntalan milik Keng King-si dan
dibungkuskan ke tubuh sang bayi, kemudian dengan terburu-buru
dia beranjak pergi untuk mencari Lan Kau-san.
Persis seperti apa yang diduganya semula, permintaannya
langsung disanggupi Lan Kau-san berdua.
Ko Ceng-kim pun mengarang sebuah cerita untuk mengelabui
kejadian sebenarnya, dia mengaku telah menemukan seorang bayi
yang dibuang orang di tepi gunung.
Orang polos yang selama hidup tidak pernah berbohong inipun
segera menyanggupi permintaannya. Mereka berjanji, setelah bocah
itu berusia enam tujuh tahun, Ko Ceng-kim baru akan datang untuk
mengajaknya pergi. Pulang pergi tidak sampai sepuluh li, selepas dari rumah keluarga
Lan, Ko Ceng-kim balik kembali ke tempat semula, saat itu langit
belum gelap, segala sesuatu masih sama seperti sebelum dia pergi
dari situ, kalau dibilang ada perbedaan, maka perbedaan itu kecil
sekali. Sewaktu tadi dia meninggalkan tempat itu, jenazah Ho Giok-yan
dan Keng King-si terbujur kaku di dua tempat yang terpisah,
meskipun selisih jarak itu tidak terlampau jauh.
Tapi sekarang, jenazah mereka berdua nyaris berjajar dan
berhimpitan satu sama lainnya, salah satu tangan Ho Giok-yan
menggenggam tangan Keng King-si yang terjulur ke depan.
Apakah waktu itu mereka berdua belum mati sungguhan" Atau
karena ada orang yang telah menggeser posisi jenazah itu" Tidak
ditemukan bekas jejak kaki asing di atas tanah, Ko Ceng-kim juga
percaya mustahil ada orang yang akan melakukan perbuatan yang
membingungkan semacam itu.
Maka dengan kening berkerut dia pisahkan kembali genggaman
tangan kedua jenazah itu, lalu dengan menggunakan sekop yang
baru dipinjam dari keluarga Lan untuk membuat sebuah liang besar.
Ketika liang kubur telah siap, dia pun menggotong jenazah
Sumoynya untuk dikebumikan, saat itulah timbul perasaan sedih di
hati kecilnya. "Sumoy.... oooh, Sumoy.... pergilah dengan hati lega, aku pasti
akan menganggap bocah itu seperti anak kandungku sendiri. Aai....!
Ketika kau berpamitan dulu, aku tidak dapat mengantar
kepergianmu, tidak disangka, hari ini kita harus berpisah untuk
selamanya." Waktu itu malam telah menjelang tiba, sebenarnya mengubur
sepasang suami-istri itu dalam satu liang adalah tindakan yang
paling menghemat waktu. Namun secara tiba-tiba Ko Ceng-kim
terbayang kembali adegan dimana Sumoynya menggenggam
kencang tangan Keng King-si di saat ajalnya, perasaan iri dan
cemburu seketika menyelimuti hatinya.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm!" kata batinnya, 'biarpun di saat hidup kau berhasil
menipunya dan membawanya kabur, aku tidak rela membiarkan
kalian terkubur dalam satu liang di saat telah mati...."
Selesai mengubur jenazah Sumoynya, menguruk kembali tanah
dan menggunakan sebuah batu sebagai batu nisan, dia pun mulai
menggali liang kedua. Baru menggali setengah jalan, mendadak ter-dengar suara
langkah kaki bergema datang.
Dengan perasaan tercekat, buru-buru Ko Ceng-kim
mendongakkan kepala, tampak seorang Tosu berjenggot panjang
tahu-tahu sudah muncul di depan mata.
Buru-buru dia melepaskan sekopnya, bangkit berdiri dan
menyapa sambil memberi hormat, "Bu-kek Supek, maaf bila Tecu
terlambat menyambut!"
Ternyata Bu-kek Totiang adalah pemimpin Bu-tong-sam-lo (tiga
sesepuh Bu-tong), dia menempati posisi kedua setelah Ciangbunjin
Bu-siang Totiang dalam jajaran Bu-tong-pay.
Waktu itu Bu-kek Totiang berlarian mendekat dengan sangat
tergesa-gesa, bukan saja jidatnya telah basah oleh keringat,
napasnya juga tersengal-sengal.
Kejadian ini membuat Ko Ceng-kim semakin keheranan, pikirnya,
'Tenaga dalam yang dimiliki Bu-kek Supek sangat tinggi dan
sempurna, biarpun baru saja menempuh perjalanan jauh,
seharusnya langkah kakinya tidak bakal limbung, napas pun
mustahil tersengal-sengal seperti dengus napas kerbau. Aneh,
kenapa dia bisa berubah seperti itu?"
Dengus napas Bu-kek Totiang masih tersengal bagai kerbau,
begitu tiba di tempat itu, sorot matanya langsung dialihkan ke atas
jenazah Keng King-si. Paras mukanya yang sudah nampak kuning
kepucat-pucatan, kini terlihat semakin tidak sedap.
Ko Ceng-kim semakin tidak tenang, apalagi sesudah menyaksikan
perubahan mimik mukanya yang aneh.
Belum sempat dia melaporkan peristiwa itu, terdengar Bu-kek
Totiang telah bergumam dengan nada sedih, "Aah! Ternyata
kedatanganku terlambat!"
Menyusul ucapan itu, dia menghela napas panjang.
"Lapor Supek," buru-buru Ko Ceng-kim berseru, "aku telah
mewakili Suhu membersihkan perguruan dari murid murtad.
Ceritanya panjang sekali, Keng King-si.... dia.... sewaktu di wilayah
Liauw-tong...." "Tidak usah dilanjutkan," tukas Bu-kek sambil mengulap
tangannya, "ketika Ting-susiok baru balik dari Liauw-tong tempo
hari, dia telah melaporkan kejadian ini kepada Ciangbunjin, saat itu
aku hadir di situ, jadi semua persoalan telah kuketahui dengan
jelas!" Seharusnya Ko Ceng-kim dapat menduga kalau Bu-kek Totiang
sudah tahu tentang peristiwa ini.
Sebagaimana diketahui, kasus Keng King-si bersekongkol dengan
bangsa Boan merupakan satu peristiwa besar, Ting Im-hok lah yang
berhasil mendapat tahu rahasia itu.
Menghadapi peristiwa yang begitu besar dan serius, selain
memberitahukan persoalan ini kepada Suhu Keng King-si, yakni Jiouw
Tayhiap Ho Ki-bu, tentu saja dia pun harus melaporkan hal ini
kepada ketua partai. Padahal posisi Bu-kek Totiang dalam jajaran Bu-tong-pay adalah
orang kedua setelah Ciangbunjin, kecuali sang ketua enggan
berunding dengan pihak ketiga, kalau tidak, orang pertama yang
akan diajak berunding pastilah Bu-kek.
Jelas dalam peristiwa ini ketua Bu-tong-pay tidak berani
memutuskan sendiri, dia pasti akan mengundang para sesepuh
partai untuk diajak berunding.
Teori ini bukannya tidak terpikirkan oleh Ko Ceng-kim. Tapi
persoalannya, begitu datang kata pertama yang dilontarkan Bu-kek
Totiang adalah "aku datang terlambat", dia takut Supeknya
menegur dia karena telah membunuh adik seperguruan, maka
sebelum sang Supek mengemukakan kalau dia sudah tahu
persoalan itu, dia merasa lebih baik memberi lapor terlebih dulu.
'Aha.... baguslah kalau sudah tahu,' pikir Ko Ceng-kim lagi
dengan perasaan lega, 'sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk
menghukum mati murid murtad, tidak semestinya kau marah
kepadaku bukan karena aku telah membersihkan perguruan"'
Tampaknya Bu-kek Totiang dapat membaca jalan pikirannya,
setelah menghela napas panjang, gumamnya, "Aai.... aku sendiri
pun tidak tahu apakah kau telah salah membunuh atau tidak...."
Sesudah memandang wajah Ko Ceng-kim sekejap dan
termenung beberapa saat, lanjutnya lebih jauh, "Terdapat banyak
sekali titik mencurigakan dalam peristiwa ini, sayang aku tidak
punya waktu untuk menjelaskan lebih terperinci, satu hal yang bisa
kukatakan adalah, pertama, ternyata Huo Bu-tou bukan bangsa
Boan!" "Tapi Ting-susiok telah mengusut dengan jelas kalau dia adalah
murid Tiang-pek-pay, bekas pengawal pribadi Nurhaci Khan dari
negeri Boan," bantah Ko Ceng-kim keheranan.
"Betul, Nurhaci Khan sendiri pun menyangka dia berasal dari
etnis sukunya, kalau bukan begitu, mana mungkin dia bisa diangkat
jadi pengawal pribadinya" Tapi kenyataan dia adalah bangsa Han,
bahkan pada dua puluh tahun berselang ayahnya masih terhitung
seorang jago pedang yang tersohor. Pernah tidak kau mendengar
nama Kwik Tang-lay?"
"Maksud Supek, Cang-ciu-kiam-khek (jago pedang dari Cang-ciu)
Kwik Tang-lay yang lenyap di luar perbatasan (Kwan-gwa) pada dua
puluh tahun lalu?" "Betul, Kwik Tang-lay meninggal di luar perbatasan, sementara
Huo Bu-tou tumbuh dewasa karena ikut ayah angkatnya, kebetulan
ayah angkatnya berasal dari etnik Nizhen, oleh ayah angkatnya dia
pun diberi nama bangsa Boan, hanya saja she Huo yang dipakai
Huo Bu-tou masih kedengaran senada dengan she aslinya Kwik
(dalam lafal terbaca Kuo)"
"Jadi lantaran dia adalah keturunan seorang pendekar bangsa
Han, maka Supek curiga kalau orang itu belum tentu benar-benar
setia kepada Nurhaci Khan" Tapi pepatah mengatakan, dekat gincu
jadi merah, dekat tinta jadi hitam. Lagi pula dia sendiri pun belum
tentu tahu asal-usulnya yang sebenarnya?"
"Perkataanmu memang masuk akal, aku sendiri pun tidak
mengetahui terlalu banyak tentang asal-usulnya. Bahkan aku pun
tidak tahu siapakah ayah angkatnya itu. Itulah sebabnya aku tidak
berani mengata kan 'meski dia berada di wilayah Cho-cho, hatinya
berada di wilayah bangsa Han', sekalipun begitu, kita juga tidak bisa
menuduh dia pasti seorang mata-mata dan pengkhianat!"
Jika status Huo Bu-tou saja masih belum pasti seorang
pengkhianat, bagaimana mungkin dia bisa bersikeras menuduh
Keng King-si pasti seorang mata-mata" Telapak tangan Ko Ceng-kim
mulai berkeringat dingin.
"Tapi dalam surat Huo Bu-tou yang dikirim ke Keng King-si jelas
tertulis kalau dia sudah mendapat jabatan tinggi di kotaraja, lalu
minta Keng King-si setelah selesai melakukan 'pekerjaan besar'
diminta bergabung dengannya di ibukota,. Bagaimana pula dengan
penjelasannya" Bukankah di balik nada ucapan itu seolah terselip
satu intrik, satu rencana busuk?" seru Ko Ceng-kim mencoba
mengemukakan pandangannya.
"Ya, aku sendiri pun tidak jelas urusan besar apa yang
dikemukan dalam surat itu," ucap Bu-kek Totiang, "intrik atau
rencana besar jelas ada, tapi bukan berarti Keng King-si pasti telah
mengkhianati perguruan!"
"Belum tentu, berkhianat bukankah berarti dia pasti akan
mengkhianati perguruan!"
"Ceng-kim! Jangan kau sangka aku membela Keng King-si," tukas
Bu-kek Totiang tiba-tiba, "justru karena aku sendiri pun tidak berani
mengambil kesimpulan, maka aku baru mengatakan semoga kau
tidak salah membunuh!"
Ko Ceng-kim membungkam tanpa menjawab.
Terdengar Bu-kek Totiang berkata lebih jauh, "Persoalan kedua
yang perlu kusampaikan padamu adalah Ting-susiok ternyata bukan
tewas di tangan jago Tiang-pek-pay!"
"Apa?" Ko Ceng-kim terperanjat, "konon tidak ditemukan bekas
luka di jenazah Ting-susiok, darimana bisa tahu kalau bukan hasil
perbuatan jago-jago Tiang-pek-pay?"
"Kau sangka hanya ilmu pukulan Hong-lui-ciang (pukulan angin
guntur) dari Tiang-pek-pay saja yang bisa membunuh orang dengan
memukul remuk isi perutnya tanpa meninggalkan bekas?"
"Pengetahuan Tecu sangat cupat, seingatku Suhu pernah berkata
begitu." "Kapan dia berkata begitu kepadamu?"
"Tiga tahun berselang, Waktu itu Tecu baru lulus dari perguruan
dan secara khusus Suhu menerangkan berbagai kelebihan ilmu silat
berbagai aliran untuk menambah pengetahuan, lantaran saat itu
Tiang-pek-pay dari luar perbatasan dan sedang berseteru dengan
semua perguruan besar di daratan Tionggoan, maka dalam hal ilmu
pukulan Hong-lui-ciang dari Tiang-pek-san, Suhu menerangkan lebih
jelas dan terperinci."
"Ai.... seandainya saat ini Suhumu mengajak bicara lagi soal ilmu
silat berbagai aliran, mungkin dia tidak akan berkata demikian," kata
Bu-kek Totiang. Ko Ceng-kim melongo, dia seperti tidak paham ucapan itu, tapi
belum sempat mengucapkan sesuatu, lagi-lagi Bu-kek Totiang
memberi tanda agar tidak berisik, lalu berkata, "Dengarkan dulu
keteranganku lebih lanjut. Akulah orang pertama yang menemukan
jenazah Ting-sute, dia dicelakai orang dalam sebuah losmen kecil,
ketika menemu kan jenazahnya, waktu itu jenazahnya itu sudah
dingin dan kaku. Meski begitu, sekilas pandang saja aku sudah tahu
kalau dia tewas karena dibunuh anggota perguruan sendiri!"
Ko Ceng-kim semakin terkesiap, tidak terlukiskan rasa kagetnya
kali ini. "Jadi pembunuhnya berasal dari perguruan sendiri?" jeritnya,
"Supek, dari.... darimana kau.... kau tahu?"
"Bila ilmu Thay-khek yang dilatih seseorang sudah mencapai
puncak kesempuraan, dia pun bisa membunuh orang tanpa
meninggalkan jejak. Bedanya, pukulan Thay-khek bersifat lembek
sedang pukulan Hong-lui-ciang bersifat keras, oleh sebab itu meski
sama-sama tidak meninggalkan bekas luka di luar badan, namun
bila kita lakukan pemeriksaan, dapat diketahui isi perut korban
pukulan Hong-lui-ciang pasti hancur remuk, sementara isi perut
korban Thay-khek-ciang tetap utuh seperti normal. Bagiku, tidak
usah dilakukan pemeriksa-an pun sekilas pandang aku dapat
membedakannya." Beberapa saat setelah berhasil mengendalikan rasa kagetnya,
dengan agak tergagap bisik Ko Ceng-kim, "Aku hendak melaporkan
satu kejadian aneh yang menakutkan pada Supek, ternyata Keng
King-si pun dapat menggunakan ilmu pedang Thay-khek-kiamhoat."
"Sebelum menggunakan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat,
apakah dia terlebih dulu menggunakan ilmu pedang Lian-hoan-tohbeng-
kiam-hoat?" "Betul, justru lantaran dia tidak dapat menangkan aku dengan
ilmu pedang Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat, maka akhirnya dia
keluarkan Thay-khek-kiam-hoat."
"Kalau begitu, pembunuhnya pasti bukan dia. Memang, untuk
mempelajari Thay-khek-kiam-hoat dibutuhkan dasar tenaga dalam
perguruan kita, tapi untuk bisa mencapai tingkat kemampuan Thaykhek-
ciang yang sanggup menghabisi nyawa Ting-susiok paling
tidak dibutuhkan tenaga dalam yang sudah mencapai puncak
kesempurnaan. Kenyataan, tenaga dalamnya belum sanggup
mengungguli dirimu, berarti dia pun belum mencapai taraf sehebat
itu. Aku tahu, di masa lalu Suhumu berhasil melatih ilmu pedang
Thay-khek-kiam-hoat hingga mencapai tingkat kesempurnaan, aku
pun yakin dengan tenaga dalamnya dia sanggup melepaskan
pukulan Thay-khek-ciang. Tapi tenaga dalam toh mustahil bisa
diwariskan kepada muridnya dalam waktu singkat!"
Sekarang Ko Ceng-kim baru paham apa yang dimaksud sang
Supek, sebagaimana diketahui ilmu silat Suhunya baru mencapai
kemajuan pesat sejak tahun lalu, berarti pada tiga tahun berselang,
Suhunya pun belum paham akan perbedaan hasil pukulan Thaykhek-
ciang dan Hong-lui-ciang.
Setelah lama termangu, kembali ujarnya, "Tapi pembunuh yang
telah menghabisi nyawa Ting-susiok sudah pasti bukan Suhu!"
"Tentu saja bukan Suhumu!" Bu-kek Totiang menghela napas
panjang, "andai Suhumu masih hidup, keadaan pasti lebih
mendingan! Dan aku pun tidak usah terburu-buru datang
mencarimu!" "Sebenarnya Tecu sedang bersiap-siap melaporkan tentang
kematian Suhu, ternyata Supek malah sudah tahu."
"Betul, aku sudah sampai di rumah Suhumu dan justru lantaran
Suhumu sudah meninggal maka aku buru-buru menyusul kemari."
"Supek sudah memeriksa penyebab kematian Suhu?"
"Ilmu silat yang digunakan pembunuh untuk menghabisi nyawa
Suhumu pun merupakan ilmu silat aliran perguruan kita!"
"Kalau begitu Ho Liang memang tidak salah melihat!"
"Ho Liang melihat wajah pembunuh itu?"
"Justru karena Ho Liang sempat bertemu dengan murid durhaka
pembunuh Suhu, maka pengkhianat itu menghabisi pula nyawa Ho
Liang." Untuk sesaat Bu-kek Totiang hanya termenung tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
Kembali Ko Ceng-kim berkata, "Terdorong ingin membalas
dendam atas kematian Suhu, Tecu berpendapat, bila tidak segera
mengambil tindakan, bisa jadi murid durhaka ini akan kabur dari
jaring hukuman, itulah sebabnya aku putuskan untuk menghabisi
dulu nyawanya, kemudian baru melapor kejadian ini kepada
Ciangbunjin, Supek, harap maafkan kesalahan Tecu ini."
Bu-kek Totiang hanya tertawa getir, sama sekali tidak bicara.
Melihat sang Supek tidak memberi komentar, Ko Ceng-kim tidak
kuasa menahan diri, serunya, "Supek, sudah terbukti murid durhaka
inilah yang membunuh Suhu, bahkan ada saksi mata, kenapa kau
orang tua masih sangsi?"
"Kelihatannya aku tidak bisa mewakilimu untuk balik ke bukit dan
melaporkan peristiwa ini kepada Ciangbunjin."
"Kenapa?" tanya Ko Ceng-kim terkejut.
"Apa alasannya biar kujelaskan di kemudian hari saja. Sekarang
yang ingin kuketahui adalah apa benar Ho Liang telah menyaksikan
secara jelas?" Ko Ceng-kim mulai merasa hatinya tidak tenteram, namun
sahutnya juga, "Meskipun semalam turun hujan, namun Ho Liang
melihatnya sejak kecil hingga tumbuh dewasa, Tecu yakin dia tidak
bakal salah melihat. Selain itu, kalau bukan karena dia kuatir
jejaknya ketahuan, kenapa pula dia harus membunuh Ho Liang
untuk menghilangkan jejak?"
Oleh karena takut sang Supek menegur dan menyalahkan
tindakannya yang ceroboh dan gegabah, membunuh orang sebelum
melakukan penyelidikan secara jelas, terpaksa Ko Ceng-kim
merahasiakan keadaan yang sesungguhnya, kalau Ho Liang hanya
sempat menangkap bayangan punggungnya saja.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tampaknya Bu-kek Totiang seperti memikirkan sesuatu, sesaat
kemudian katanya, "Jika Ho Liang mengaku telah menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, seharusnya laporan ini tidak perlu
diragukan lagi, tapi "Tapi kenapa?"
Bu-kek Totiang tidak menjawab, tiba-tiba dia melancarkan
sebuah pukulan, langsung menabok ke tubuhnya.
Ko Ceng-kim terkejut, sekuat tenaga dia melancarkan serangan
balasan untuk menangkis. Menghadapi ancaman yang bisa
membahayakan jiwanya, tentu saja tangkisan ini dilakukan dengan
mengerah kan segenap kekuatan yang dimiliki.
Padahal saat itu Bu-kek Totiang hanya menggunakan tiga bagian
tenaga dalamnya, biarpun begitu, tidak urung tubuh Ko Ceng-kim
sempoyongan juga dibuatnya.
Lekas Bu-kek Totiang memayang tubuh, berkata, "Kau tidak usah
gugup atau panik, aku hanya ingin menjajal kekuatan tenaga
dalammu." Sementara berbicara, lagi-lagi dia menggeleng kepala berulang
kali, seolah pada saat bersamaan dia sedang membayangkan
sesuatu. Dengan hati masih kebat-kebit segera Ko Ceng-kim berseru,
"Ketika Suhu terbunuh semalam, Tecu tidak ada di rumah, waktu itu
Tecu sedang di dalam kota."
"Tentu saja aku tidak akan mencurigaimu," tukas Bu-kek Totiang
tertawa, "aku sengaja menjajal tenaga dalam-mu hanya ingin
membuktikan satu hal."
"Soal apa?" "Keng King-si bukan pembunuh Suhunya!"
Sebelum Ko Ceng-kim mengajukan pertanyaan, selesai membuat
kesimpulan, kembali Tosu itu melanjutkan penjelasannya,
"Pembunuh itu melancarkan serangan dengan sebuah jurus Lianhoan-
toh-beng-kiam-hoat yang diubah menjadi sebuah pukulan,
kelihatan jelas dari tanda yang tertinggal di tubuh Suhumu kalau dia
tewas dalam satu gebrakan saja!"
Agaknya Ko Ceng-kim mengerti apa yang dimaksud sang Supek,
segera dia menimpali, "Saat itu Suhu sedang sakit, juga agaknya dia
tidak menyangka orang yang membunuhnya adalah...."
Mendadak dia seperti teringat kalau sang Supek telah mengambil
kesimpulan bahwa pembunuhnya bukan Keng King-si.
Terpaksa kata "Keng King-si" yang sudah menempel di ujung
bibir pun ditelan kembali.
"Betul," ujar Bu-kek Totiang lebih lanjut, "pasti lantaran
pembunuhnya adalah orang yang sangat dikenal maka saat itu
Suhumu tidak melakukan persiap-an, akibatnya dia dicelakai secara
mudah. Tapi.... dengan tenaga dalam yang dimiliki Suhumu,
kendatipun dalam keadaan sakit, tidak seharusnya dia mati
terbunuh hanya dalam sekali pukulan saja. Apalagi tenaga dalam
yang dimiliki orang itu masih lebih rendah daripada pembunuh yang
membantai Ting-susisok, tapi masih sedikit lebih kuat daripada kau.
Jadi aku pikir.... tidak mungkin salah lihat!"
Ko Ceng-kim menghembuskan napas lega, pikirnya, 'Masih
untung kau tidak mencurigai aku!'
Kembali Bu-kek Totiang berkata lebih jauh, "Tenaga dalam yang
dimiliki orang itu masih lebih kuat darimu, sedang tenaga dalam
yang dimiliki Keng King-si jauh di bawahmu, jadi mana mungkin
dialah pembunuhnya?"
"Jangan-jangan Ho Liang berbohong?" agar bisa cuci tangan dari
tanggung jawab kesalahan, ternyata Ko Ceng-kim tetap berusaha
untuk merahasiakan detil kejadian.
"Aku rasa masih terdapat hal aneh yang mencurigakan di balik
semua itu, sayang Ho Liang sudah keburu tewas hingga sulit bagiku
untuk melacak lebih jelas. Namun dari semua kejadian yang sudah
kita ketahui, paling tidak kita bisa menyimpulkan satu hal, terdapat
murid murtad dalam perguruan kita! Bahkan murid yang berkhianat
itu bukan hanya satu orang. Pertama adalah pembunuh yang telah
menghabisi nyawa Ting-susiok, orang kedua adalah pembunuh yang
menghabisi nyawa Suhumu, mungkin saja masih ada orang
ketiga...." "Jangan-jangan orang ketiga adalah Keng King-si?" cepat Ko
Ceng-kim menambahkan. Terbayang bahwa kemungkinan besar dia
telah salah membunuh, tanpa sadar nada suaranya kedengaran
agak gemetar. "Aku tidak berani mengatakan kalau dia bukan murid
pengkhianat ketiga, aku hanya mengatakan kalau tidak percaya
bahwa dia adalah salah satu di antara kedua pembunuh itu."
Tampaknya dia sedikit kelelahan, setelah mengatur sejenak
napasnya yang tersengal, lanjutnya kembali, "Namun terlepas dia
murid murtad atau bukan, toh sekarang sudah mati, maka tindakan
terpenting yang harus kita lakukan bukanlah menyelidiki apa benar
dia telah berkhianat atau bukan, tapi segera melaporkan semua
peristiwa yang telah kita ketahui kepada Ciangbunjin!"
Ko Ceng-kim tidak menjawab, dia membungkam.
Terdengar Bu-kek Totiang berkata lagi, "Kemampuan yang
dimiliki murid durhaka pembunuh Suhumu masih terhitung tidak
seberapa, justru murid murtad yang membunuh Ting-susiok itu
sangat berbahaya, kesempurnaan tenaga dalamnya luar biasa,
tenaga pukulan Thay-khek-ciang-hoat miliknya telah mencapai
puncak kesempurnaan, malah aku sendiri pun masih bukan
tandingan dia!" Ko Ceng-kim benar-benar terkejut bercampur ngeri, tidak tahan
berseru, "Padahal tidak seberapa orang dalam perguruan yang
memiliki kemampuan sehebat Supek...."
Di Bu-tong-pay, selain Bu-siang Tojin sebagai Ciangbunjin, hanya
Bu-si Tojin dan Bu-liang Tojin yang berada satu angkatan dengan
Bu-kek Totiang, memang benar dari murid preman masih terdapat
enam-tujuh orang yang satu angkatan dengan mereka, namun
setiap anggota Bu-tong-pay pasti tahu bahwa kemampuan silat
yang dimiliki murid preman tidak pernah bisa menandingi
kemampuan murid bukan preman. Oleh sebab itu yang dimaksud
'tidak seberapa orang' dalam hal ini, sesungguhnya cuma terdiri dari
tiga orang. Hanya saja sudah barang tentu Ko Ceng-kim tidak berani
berbicara lebih terperinci.
Bu-kek Totiang menggeleng kepala berulang kali, katanya
murung, "Urusan ini besar sekali dampaknya, aku tidak berani
menduga secara sembarangan, begitu juga kau. Lagi pula belum
tentu hanya angkatan tua macam kami saja yang bisa mencapai
taraf kemampuan seperti itu. Pepatah mengatakan orang yang
sungguh berilmu tidak akan menampakkan diri, yang menampakkan
diri belum tentu berilmu. Kalau toh para pengkhianat itu bertindak
hati-hati, selalu menunggu saat untuk mencelakai rekan
seperguruan nya, aku rasa biarpun dia telah berhasil menguasai
kungfu yang hebat pun belum tentu mau pamer kemampuannya di
depan orang. Aku harap kau camkan baik-baik perkataanku ini,
kecuali terhadap Ciangbunjin, jangan kau bicarakan dengan siapa
pun." "Baik, Tecu mengerti."
Tampaknya Bu-kck Totiang sudah kehabisan tenaga hingga
kekuatan untuk bicara pun sudah payah, namun dia tetap
melanjutkan perkataannya, "Bila kita menarik kesimpulan dari
kenyataan yang berhasil kita temukan, murid murtad pembunuh
Ting-susiokmu itulah dalang dari semua ini, ilmu silatnya juga yang
paling menakutkan, meskipun aku tidak berani sembarangan
menduga siapakah dia, namun yakin kalau dia sudah cukup lama
menyelinap di dalam kuil Sam-cing-koan di bukit Bu-tong, kau mesti
peringatkan Ciangbunjin agar tidak dibokong juga! Sedangkan
mengenai orang yang telah membunuh Suhumu itu, aku rasa orang
itu hanya mampu menguasai ilmu pedang Jit-cap-ji-jiu-Lian-hoantoh-
beng-kiam-hoat, walaupun kemampuannya sudah hebat dan
matang, tapi aku yakin kemung-kinan besar dia adalah jagoan
tangguh dari kalangan preman. Sudahlah, apa yang harus
kukatakan telah kusampaikan, segera selesaikan upacara
penguburan Suhumu, lalu esok pagi segera berangkat ke Bu-tongsan
dan melaporkan kejadian ini kepada Ciangbunjin!"
"Kenapa bukan Supek sendiri yang balik ke Bu-tong?" tanya Ko
Ceng-kim terkejut. Bu-kek Totiang menghela napas panjang.
"Masa kau belum melihat kalau aku pun sudah terluka dalam
sangat parah" Aai.... semisal Suhumu masih hidup atau aku masih
bisa hidup setengah sampai setahun lagi.... tapi kini keadaanku
ibarat lampu yang kehabisan minyak! Apalagi yang ingin kau
tanyakan, cepat ajukan!"
Sebenarnya Ko Ceng-kim pun sudah tahu kalau sang Supek
menderita luka dalam cukup parah, namun dia tidak menyangka
kalau lukanya separah itu.
Dalam kaget, cepat dia berseru, "Supek, kau tidak boleh mati,
cepatlah obati lukamu dengan tenaga dalam. Meski kemampuan
Tecu cetek, tapi tecu yakin masih mampu memikul tanggung jawab
melindungi dirimu." "Aai.... kau tidak perlu membuang banyak waktu dan tenaga,"
Bu-kek Totiang menghela napas panjang, "jalan darah pentingku
sudah terhajar Am-gi (senjata rahasia) yang dilontarkan dengan
tenaga dalam Bu-khek, kini luka itu sudah menembus jalan darah
dan melukai jantungku. Hanya mengandalkan kekuatan sendiri
rasanya sulit untuk menyelamatkan diri dari kematian, kecuali ada
orang bertenaga dalam tinggi bersedia membantu aku menembus
semua nadi dan urat penting dalam tubuhku. Aai.... sementara
kau...." Dia tidak melanjutkan kembali kata-katanya, namun Ko Ceng-kim
bukan orang bodoh, tentu dia paham apa yang diartikan.
Sebagaimana diketahui, jangankan menggunakan tenaga dalam
Thay-khek untuk menembus nadi sang Supek, bahkan ilmu pedang
Thay-khek-kiam-hoat pun belum pernah dipelajari Ko Ceng-kim,
padahal untuk bisa membantu Bu-kek Totiang dibutuhkan
penguasaan kunci ilmu itu.
Sekarang dia baru mengerti kenapa begitu tiba di sana, kata
pertama yang dilontarkan sang Supek adalah "aku datang
terlambat!", rupanya keluhan itu bukan saja dilontarkan lantaran dia
tidak berhasil mencegah pembunuhan atas Keng King-si, bersamaan
itu dia pun menyesal atas kematian Suhunya.
Terlepas dari semuanya itu, Ko Ceng-kim merasa terperanjat
juga karena tidak menyangka kalau sang Supek terluka oleh tenaga
dalam Thay-khek, lekas dia bertanya, "Supek, siapa orang yang
telah mencelakaimu?"
"Aai, orang itu tidak lain adalah pembunuh yang telah mencelakai
Ting-susiokmu!" Ko Ceng-kim berdiri melongo, dia mengawasi wajah sang Supek
tanpa bicara. Kelihatannya Bu-kek Totiang mengerti apa yang sedang
dipikirkan keponakan muridnya, cepat dia menambahkan, "Meskipun
belum pernah bersua dengan pembunuh itu, tapi aku tahu orangnya
pasti sama!" Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Waktu itu aku
sedang memeriksa luka yang diderita Ting-sute, tidak nyana dia
membokongku dengan melontar kan sebatang mata uang dari luar
jendela. Begitu terhajar Am-gi, aku merasa bagaikan dihantam
seorang jagoan dari perguruan kita dengan tenaga pukulan Bukhek.
Buru-buru kugunakan segenap tenaga dalam hasil latihanku
selama puluhan tahun untuk mengendalikan gejolak dalam dadaku
hingga beruntung tidak sampai tewas di tempat. Dalam keadaan
begini, tentu mustahil bagiku untuk melakukan pengejaran. Aai....
dengan mengandalkan segenap kekuatan yang kumiliki, akhirnya
aku berusaha datang kemari untuk menyampaikan berita ini kepada
Suhumu, sebab umurku paling hanya bisa bertahan tiga hari lagi.
Kini saat ajalku telah tiba, Suhumu juga telah mati, tampaknya
masalah selanjutnya harus kuserahkan kepadamu. Yang kumaksud
'urusan selanjutnya' bukan berarti badan kasarku ini, aku minta kau
laporkan kejadian ini secepatnya kepada Ciangbunjin...."
Rupanya dia kuatir Ko Ceng-kim salah mengartikan maksudnya
hingga membuang banyak waktu hanya demi mengurus
jenazahnya, karena itu sekali lagi dia mengulangi pesannya.
"Supek, masih ada satu hal lagi tiba-tiba Ko Ceng-kim berseru.
Waktu itu kelopak mata Bu-kek Totiang sudah hampir terkatup
rapat, mendengar teriakan itu, sekali lagi dia membuka mata sambil
berkata, "Cepat katakan, ada urusan apa?"
"Biarpun Supek belum tahu manusia macam apa ayah angkat
Huo Bu-tuo, tentunya kau sudah tahu bukan dimana dia berada
sekarang?" Bu-kek Totiang tidak habis mengerti mengapa di saat yang amat
penting itu, pertanyaan terakhir yang diajukan justru merupakan
Rahasia Istana Terlarang 11 Tongkat Rantai Kumala Seruling Kumala Kim Lan Pay Karya Oh Chung Sin Bende Mataram 13
^