Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 22

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 22


kutungan pedang di tangan Put-ji Tojin.
Bersamaan dengan rontokkan kutungan pedang itu, sebutir batu
lain memadamkan api lentera dalam ruangan, seketika ruang kamar
itu berubah jadi gelap gulita, sedemikian gelap hingga sukar melihat
ke lima jari tangan sendiri.
Saat itu Keng Giok-keng telah membuat persiapan, buru-buru dia
tempelkan tubuhnya ke sudut dinding, pedangnya diputar untuk
melindungi tubuh. Asal senjata rahasia tidak ditujukan ke tubuhnya,
dia pun enggan ambil peduli atas keselamatan Put-ji Tojin serta
Siang Ngo-nio. Di balik kegelapan malam, terdengar lagi suara desingan tajam
membelah bumi, terlihat seutas tali menyambar masuk dari luar
jendela, tiba-tiba tali itu menggulung tubuh Siang Ngo-nio kemudian
membetotnya keluar dari ruangan.
Semua perubahan yang terjadi diluar dugaan ini berlangsung
dalam waktu singkat, menanti mereka sadar akan apa yang telah
terjadi, suasana di luar sana sudah pulih dalam keheningan dan
tidak terdengar suara apa-apa lagi.
Keng Giok-keng dapat menduga kalau orang yang telah
selamatkan nyawa Siang Ngo-nio adalah Tong Tiong-san, dia
pernah merasakan kelihayan senjata rahasia dari Tong Ji-sianseng
ini, apalagi saat ini mereka berada dalam kegelapan, menimbang
untung rugi yang harus dihadapi, maka sementara waktu dia
memilih untuk berdiam diri dan membiarkan perempuan siluman itu
kabur. Perlu diketahui, dalam pandangan bocah ini, sekeji kejinya Siang
Ngo-nio, perempuan itu tidak lebih hanya pembunuh pembantu,
sebagai dalang dari semua pembunuhan ini tetap adalah Put-ji
Tojin. Dia mencoba untuk mengatur pernapasan, selang berapa saat
kemudian dari balik kegelapan baru terdengar suara Put-ji, "Anak
Keng, percayalah padaku, bukan aku yang membunuh ayah dan ibu
angkatmu!" "Bagaimana dengan orang tua kandungku?" Keng Giok-keng balik
bertanya. Put-ji Tojin menghela napas panjang.
"Benar, akulah yang membunuh ayah kandung-mu, meski ibu
kandungmu bukan mati ditanganku, namun diapun mad lantaran
aku. Selama banyak tahun belakang, hampir setiap hari setiap
malam aku merasa menyesal, menyesali perbuatanku yang telah
salah membunuh mereka berdua!"
"Salah membunuh?" jengek Keng Giok-keng sambil tertawa
dingin, "telah banyak tahun kau membohongi aku, sekarang tidak
perlu berbohong lagi dengan mengarang pelbagai cerita!"
"Aku tahu kau tidak bakal percaya lagi dengan diriku," sahut Putji
Tojin pilu, "kesemuanya ini memang gara-gara rasa egoisku yang
menyebabkan aku melakukan kesalahan besar, oleh karena itu aku
tidak ingin memberi penjelasan apa pun, bukankah kau
menginginkan aku menghabisi diriku sendiri" Tadi aku memang
berpikir akan bunuh diri begitu berhasil menghabisi perempuan
jahat itu, sayang keinginanku tidak terkabulkan."
"Aku pasti akan mencari perempuan siluman itu untuk membuat
perhitungan dengannya," kata Keng Giok-keng dingin, "kini meski
dia telah pergi, bukankah masih ada kau!"
"Keng-ji, aku pasti akan mengabulkan permintaanmu," janji Put-ji
Tojin pedih, "tapi sebelum mati, aku masih ada sebuah permintaan
lagi." "Katakan, asal dapat kulakukan."
"Silahkan sulut lampu lentera, biar aku dapat mengamati
wajahmu sekali lagi!"
Keng Giok-keng menyangka dia masih ada tugas lain yang belum
sempat diselesaikan, sama sekali tidak disangka ternyata
"permintaan" nya hanya ingin melihat nya sekejap lagi.
Perasaan budi dan dendam seketika berkecamuk dalam dadanya,
membuat perasaan hatinya bergejolak keras, begitu emosinya
bocah ini hingga jari tangan pun ikut gemetar keras, sudah tiga kali
dia menggesekkan batu api sebelum lampu lentera itu dapat tersulut
kembali. Dengan pandangan kosong Put-ji Tojin mengamati wajah bocah
itu, katanya kemudian dengan sedih, "Bagus, kini kau telah tumbuh
dewasa, ilmu silatmu sudah jauh diatas kemampuanku, kau tidak
butuh perawatan aku lagi. Anak Keng, terima kasih kau telah
mengabulkan permintaanku, ketika ibumu menyerahkan kau ke
tanganku, aku telah berjanji akan merawatmu baik-baik, dan kini
aku telah memenuhi pengharapannya, inilah saatku untuk
melepaskan beban ini."
Setiap patah kata yang dia ucapkan nyaris disampaikan dengan
lelehan air mata, ketika menyelesai kan perkataan itu dia segera
mengangkat kutungan pedangnya dan perlahan-lahan dihujamkan
ke ulu hatinya. Keng Giok-keng hanya berdiri di samping bagaikan patung kayu,
perasaan hatinya saat itu menggelora kencang.
Mati hidup Put-ji Tojin boleh dibilang tergantung keputusannya
saat itu, terhadap musuh besar pembunuh ayah kandungnya, tapi
sekaligus merupakan ayah angkat yang telah mendidik dan
memeliharanya selama ini, dia merasa bingung dan ragu untuk
mengambil keputusan, apakah dibiarkan tetap hidup" Ataukah
membiarkan dia bunuh diri di depan matanya"
Ooo)*(ooO Siang Ngo-nio dililit dengan seutas tali panjang dan ditarik keluar,
sungguh besar kekuatan yang dimiliki orang itu, sambil memegang
ujung tali yang lain, dia menggantung perempuan itu dan
membawanya lari kencang. Akhirnya Siang Ngo-nio tidak kuasa menahan diri lagi, teriaknya
keras keras, "Bouw Ciong-long, aku tahu pasti kau. Apakah belum
cukup kau menyiksa diriku" Cepat lepaskan aku!"
Sepanjang perjalanan dia belum sempat melihat raut wajah
orang itu, lalu atas dasar apa dia begitu yakin kalau orang itu adalah
Bouw Ciong-long" Tentu saja ada alasannya!
Bouw It-yu pernah berjanji akan berusaha mengajaknya
menemui ayahnya, Bouw Ciong-long yang kini telah menjadi BuTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
beng Cinjin, ketua Bu-tong-pay yang baru. Bouw Ciong-long adalah
bekas kekasihnya di masa lampau.
Tempat yang dijanjikan Bouw It-yu adalah hutan pohon Siong di
belakang rumah kediaman Lan Kau-san.
Waktu yang dijanjikan adalah pada kentongan ke tiga, sejak
kentongan ke dua dia sudah menanti kedatangannya di sana.
Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dalam pertemuan ini,
pertama, Bouw It-yu muncul seorang diri sambil membawa berita
untuknya, atau kemungkinan kedua Bouw Ciong-long akan datang
sendiri untuk bertemu dengannya.
Siapa tahu yang dia jumpai justru satu peristiwa yang sama
sekali di luar dugaannya.
Dia telah mendengar suara dari Put-ji Tojin, meski hal ini bukan
sesuatu kejadian yang aneh, tapi yang lebih aneh lagi adalah dia
telah mendengar suara "diri sendiri".
Saat itu dia mendengar suara "sendiri" sedang bertanya kepada
Put-ji Tojin, "Apakah semua persoalan telah dibereskan?"
Terdengar suara Put-ji Tojin menyahut sambil menghela napas,
"Sebenarnya aku tidak ingin melakukan perbuatan ini, aaai,
semuanya gara-gara kau."
Menyusul kemudian dia mendengar suara "sendiri" kembali
menyindir, "Hmm, gara-gara aku" Enak benar kau bicara
sembarangan. Memangnya kau tidak takut bocah itu kembali dan
mengetahui kejadian yang sebenarnya?"
Yang dia dengar saat itu adalah suara dua orang, tapi yang
terlihat keluar dari rumah Lan Kau-san hanya sesosok bayangan
hitam, orang itu berlari masuk ke dalam hutan pohon Siong.
Saking takutnya Siang Ngo-nio menahan napas sambil bertiarap
di tengah semak belukar, dia tidak berani berkutik walau sedikitpun.
Untung orang itu tidak menemukan tempat persembunyiannya,
dia hanya lewat dari jarak tidak jauh dari tempatnya bersembunyi
dan berlalu dari situ. Orang itu sebentar menirukan logat Put-ji Tojin, sebentar lagi
menirukan logat dirinya, bahkan gaya bahasa serta nada suaranya
ditiru sangat persis, se akan kuatir kalau orang lain tidak tahu
bahwa "mereka" adalah Put-ji Tojin serta Siang Ngo-nio.
Orang itu berlagak seolah ada dua orang sedang bertanya jawab,
tidak lama kemudian suara itu tidak kedengaran lagi. Tentu saja
bayangan tubuhnya juga ikut lenyap.
Siang Ngo-nio bertiarap dibalik semak belukar tanpa berani
berkutik, tentu saja diapun tidak berani mengintip siapa gerangan
orang itu. Namun meski tidak bisa dilihat dengan mata, dia dapat berpikir
dengan hati, dan begitu berpikir diapun segera tahu siapakah orang
itu. Biarpun hanya beberapa kecap kata orang itu yang dia dengar,
namun segala sesuatunya dia sudah paham.
Orang yang punya janji dengannya adalah Bouw It-yu, berarti
orang itu kalau bukan Bouw It-yu pastilah ayahnya, Bouw Cionglong.
Tapi Bouw It-yu tidak memiliki ilmu meringankan tubuh sebagus
itu, diapun tidak bisa menirukan logat suara orang sebagus ini, jadi
perempuan ini yakin kalau orang tersebut pastilah Bouw Ciong-long.
"Sungguh tidak kusangka sepak terjang Bouw Ciong-long jauh
lebih keji daripada aku, dia beraninya menyamar sebagai Put-ji
untuk membunuh Lan Kau-san suami istri!"
Tapi mengapa Bouw Ciong-long harus berbuat begitu"
Dia adalah seorang jago kawakan dari dunia persilatan, bahkan
sudah terbiasa melakukan perbuatan jahat dan keji, dengan
kebiasaan sendiri dia berusaha menelusuri jalan pemikiran Bouw
Ciong-long dan mencari tahu apa yang menjadi dasar pemikirannya.
"Demi melepaskan diri dariku, demi menjaga nama baiknya,
ternyata dia tidak segan meminjam golok untuk membunuh orang!"
"Mungkin dia pun sudah tahu kalau antara aku dengan Put-ji
pernah terjalin hubungan gelap, siasatnya meminjam golok
membunuh orang boleh dibilang merupakan siasat sekali timpuk
mendapat dua ekor burung!"
'Setelah Lan Kau-san suami istri ditemukan tewas di tangan Put-ji
yang bersekongkol denganku, dia secara resmi dapat menghukum
mati kami berdua! Bukan hanya dia, bahkan setiap anggota Butong-
pay punya kewajiban untuk menghabisi nyawa kami!"
Kini tinggal satu persoalan yang belum dipahami olehnya,
mengapa Bouw Ciong-long harus menyamar jadi mereka berdua"
Hal itu dia lakukan untuk didengarkan siapa"
Dia tidak tahu kalau Lan Sui-leng dan Seebun Yan sedang tidur di
rumahnya, dengan berlagak sok pintar kembali pikirnya, 'Janganjangan
masih ada murid Bu-tong-pay yang sedang ronda malam di
seputar sana"' Tapi anehnya, sampai bayangan itu lenyap tidak berbekas, dia
masih belum melihat ada orang lain memasuki rumah keluarga Lan.
Tentu saja dia tidak bisa menunggu lebih jauh.
Sebab terpikir olehnya, bila Bouw Ciong-long telah melaksanakan
siasat pinjam golok untuk membunuh orang, sementara diapun tahu
kalau dirinya bakal datang kesitu pada kentongan ke tiga. Maka saat
ini dia pasti telah balik ke istana Ci-siau-kiong untuk membuat
persilatan kemudian balik lagi ke sana.
Bila saat itu mereka bertemu, sudah pasti Bouw Ciong-long tidak
akan memberi kesempatan kepadanya untuk berbicara lagi, dia pasti
akan menggunakan cara tercepat untuk menghabisi nyawanya.
Kemudian baru pergi membunuh Put-ji Tojin.
Analisanya memang terhitung cukup cermat, Bouw Ciong-long
harus berlagak seolah tidak mengetahui kejadian ini, maka dia harus
kembali dulu ke istrana Ci-siau-kiong kemudian menitahkan murid
Bu-tong-pay yang telah dipersiapkan (kemungkinan besar adalah
Bouw It-yu) untuk melaporkan penemuan kasus berdarah di rumah
keluarga Lan kepadanya. Setelah mendapat laporan itu, dia baru segera menyusul ke
tempat kejadian. Sudah barang tentu waktu pun telah di
perhitungkan dengan matang.
Kini kentongan ke dua sudah lewat, kentongan ke tiga segera
akan menjelang tiba, dia tidak bisa berdiam diri saja menunggu
dirinya ditangkap dan dibunuh, oleh sebab itu dengan mengambil
resiko dia segera berangkat mencari Put-ji Tojin.
Dia sadar, setelah terjadi peristiwa berdarah diatas gunung Butong,
kendatipun Tong Tiong-san masih bersedia menerimanya,
belum tentu dia sanggup menghadapi tekanan dari pihak Bu-tongpay,
lagipula dia pun merasa tidak punya muka lagi untuk kembali
ke dalam pelukannya. Maka setelah berpikir pulang pergi, akhirnya dia memutuskan
daripada tidak memperoleh siapa pun, apa salahnya kalau mencoba
untuk merebut hati Ko Ceng-kim.
Satu hal yang sama sekali tidak terduga olehnya adalah baru saja
dia melangkah pergi, Keng Giok-keng telah melangkah masuk ke
rumahnya. Kemudian ketika dia baru tiba di kompleks pemakaman
dan baru saja akan mengajak Put-ji melarikan diri, lagi-lagi Keng
Giok-keng telah tiba disana.
Masih untung di saat jiwanya terancam bahaya maut, ternyata
Bouw Ciong-long telah turun tangan menyelamatkan jiwanya.
Selama ini dia selalu berpikir ke arah yang terjelek, ketika secara
tiba-tiba memperoleh kesempatan hidup, perempuan inipun tanpa
terasa mulai berpikiran positip, pikirnya, 'Ternyata perasaan cinta
Bouw Ciong-long terhadap diriku belum punah, sasarannya
meminjam golok membunuh orang ternyata hanya terbatas untuk
membunuh Put-ji seorang.'
Sambil menahan rasa pedih dan sakit karena kulit tubuhnya
terluka oleh onak disemak, tidak tahan teriaknya, "Bouw Ciong-long,
aku tahu pasti kau. Belum cukupkah kau menyiksa diriku" Cepat
lepaskan aku!" Bouw Ciong-long sama sekali tidak menuruti perkataannya, dia
malah semakin diseret dengan kasarnya. Batu cadas diatas
permukaan tanah langsung saja mencabik-cabik kulit tubuhnya,
membuat perempuan itu semakin tersiksa dan kesakitan.
"Bouw Ciong-long, kau sungguh kejam! Lebih baik bunuhlah
aku!" Bouw Ciong-long tetap tidak menjawab.
Karena mengumpatpun tidak manjur, akhirnya terpaksa dia mulai
merengek minta ampun, "Ciong-long, kau seharusnya tahu, yang
kucintai selama ini hanya kau seorang. Karena kau tidak mau lagi
denganku, maka aku berpura-pura baik dengan Ko Ceng-kim.
Sekarang kau telah meminjam tangan Keng Giok-keng untuk
membunuhnya, perasaan bencimu seharusnya telah mereda.
Kenapa musti menyiksa aku terus-menerus" Ampunilah diriku!"
Sementara pembicaraan berlangsung, orang itu telah menyeret
tubuhnya tiba di sebuah tanah datar dalam hutan pohon Siong.
Mendadak orang itu menghentikan langkahnya, berpaling dan
membebaskan tali yang membelenggu tubuh Siang Ngo-nio,
tegurnya dingin, "Perempuan rendah, coba lihat siapa aku?"


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata orang yang sedang mengawasinya dengan mata
melotot itu bukan Bouw Ciong-long, melainkan Tong Tiong-san!
Dengan begitu semua analisa yang dilakukan olehnya selama ini
adalah salah besar! Tapi hal inipun bukan kesalahannya, sebab dia tahu Tong Tiongsan
adalah seseorang yang tinggi gengsinya, bagaimanapun dia
tidak akan menyangka kalau Tong Tiong-san bisa menebalkan muka
untuk mengundinya sampai di gunung Bu-tong.
"Bagus sekali, yang kucintai selama ini hanya kau seorang! Tapi
sayang aku bukanlah Bouw Ciong-long yang kau dambakan selama
ini, tentunya kau merasa amat kecewa bukan?" ujar Tong Tiong-san
dengan suara dingin. "Yang kucintai selama ini hanya kau seorang", perkataan ini
bukan saja diutarakan dengan lagak Siang Ngo-nio, bahkan suara,
dialek serta gayanya tidak jauh berbeda.
"Perempuan hina, apa lagi yang hendak kau katakan?" sambil
melepaskan tali yang membelenggu tubuhnya, Tong Tiong-san
membanting tubuh perempuan itu keras-keras.
Dalam keadaan begini, Siang Ngo-nio benar-benar mati kutunya,
bukan saja tidak dapat menjawab, berkutik pun tidak bisa. Akhirnya
diapun mengeluarkan senjata ampuhnya yang terakhir: air mata dan
teriakan manja. Tiba-tiba dia menangis menjerit, sambil berguling ke samping
Tong Tiong-san, merangkul sepasang kakinya kuat-kuat, rengeknya,
"Loya, aku telah berbuat salah kepadamu, bunuhlah aku!"
Tong Tiong-san telah mengangkat tinggi telapak tangannya, dia
sudah siap menghajar ubun-ubunnya, namun di bawah sinar
rembulan, dia menyaksikan perempuan itu menangis dengan begitu
sedihnya, wajahnya yang cantik penuh berderai air mata, membuat
hatinya tiba-tiba terenyuh, mana tega dia melanjutkan pukulannya"
"Hmm, membunuhmu" Bukankah kalau mati malah keenakan
untuk kau perempuan sundal!"
Biarpun nada suaranya tetap keras dan penuh amarah, namun
Siang Ngo-nio telah mendengar kalau kesempatan hidupnya kembali
muncul. "Loya, aku memang membuatmu gusar, biar mati seribu kalipun
tidak bisa menebus kesalahan ini. Loya, aku tahu salah, aku rela kau
jatuhi hukuman, mau membunuhku terserah, mau menyiksaku
setiap hari aku pun rela...."
Sambil memeluk sepasang kakinya, dia tempelkan wajahnya di
atas kaki orang itu. Diam-diam Tong Tiong-san menghela napas panjang, dia segera
menarik bangun Siang Ngo-nio, dengan wajah tetap dingin ujarnya,
"Kau perempuan hina selalu bikin hatiku marah, tapi Bouw Cionglong
lebih memuakkan lagi! Hmm, sudah tahu kau adalah orangku,
masih beraninya mengajak kau berselingkuh. Kurangajar, aku tidak
akan melepaskan dia dengan begitu saja!"
"Loya...." seru Siang Ngo-nio sambil menangis tersedu, "aku
memang dirayu olehnya, tapi akupun punya kesalahan. Bila ingin
membunuh, bunuhlah aku saja, kau jangan menantang duel Bouw
Ciong-long!" "Oooh, jadi kau sedang mintakan ampun?"
"Loya-cu, aku berbuat demikian demi dirimu! Aku tahu ilmu
silatmu jauh lebih hebat daripada Bouw Ciong-long, tapi saat ini kita
sedang berada di gunung Bu-tong! Bila aku telah membuatmu
gusar, biar matipun aku tidak akan menyesal, tapi bila gara-gara
urusanku hingga menyusahkan loya, aku.... biar aku mati seribu kali
lagi pun tidak akan bisa menebus dosa ini!"
Perhitungan sipoa perempuan ini memang sangat hebat, bila
Tong Tiong-san termakan oleh perkataannya hingga menantang
Bouw Ciong-long untuk berduel, inilah kejadian yang sangat dia
harapkan. Sebaliknya bila Tong Tiong-san tidak berani pergi, sudah
pasti dia akan berterima kasih atas "perhatian" nya.
Padahal Tong Tiong-san sendiripun sadar, dia tahu kalau ilmu
silat yang dimiliki Bouw Ciong-long masih jauh di atas
kemampuannya. Oleh sebab itu kendatipun dia marah dan benarbenar
ingin membalas dendam, hal tersebut tidak akan
dilakukannya dengan gegabah.
Perlahan-lahan dia mendongakkan kepalanya melihat posisi
rembulan, lalu tanyanya, "Jam berapa pertemuan mu dengan Bouw
It-yu?" "Pada kentongan ke tiga," sahut Siang Ngo-nio setelah tertegun
sejenak. Kini rembulan persis diatas awang-awang, berarti kentongan ke
tiga telah menjelang. Tong Tiong-san tertawa dingin, dia membalikkan tubuh dan
sekali lagi berjalan menuju hutan pohon Siong di belakang rumah
Lan Kau-san. Senyuman yang tersungging diujung bibirnya amat dingin,
sepasang alis matanya berkenyit, sorot matanya dingin bagai es.
Begitu seram wajahnya membuat si Lebah hijau Siang Ngo-nio yang
sudah tersohor karena kekejamannya pun bergidik dibuatnya.
Mau apa dia berjalan balik ke rumah keluarga Lan" Bagaimana
keadaan rumah keluarga Lan saat itu"
Lan Sui-leng dan Seebun Yan sudah dapat bergerak, tenaga
dalam mereka perlahan-lahan pulih kembali.
Peristiwa yang barusan terjadi merupakan peristiwa yang paling
menggoncangkan hati Lan Sui-leng selama hidupnya, tapi setelah
mengalami goncang-an tersebut, dia pun tahu, saat ini dia butuh
ketenangan untuk memulihkan kembali kondisinya.
"Aaah, salah!" tiba-tiba Seebun Yan berbisik.
"Apa yang salah?"
"Kedua orang itu sama-sama tidak beres!"
"Bagaimana tidak beresnya?"
"Suara pertama tidak benar, suara dari Siang Ngo-nio kabur dan
tidak jelas, sementara suara dari Put-ji berat dan sengau, seperti
orang yang sedang sakit flu berat dan tersumbat hidungnya."
"Suara Siang Ngo-nio berasal dari tempat kejauhan, tidak aneh
bila suaranya tidak jelas."
"Lalu bagaimana dengan penjelasanmu tentang suara Put-ji yang
berubah?" "Atau mungkin dia benar-benar sedang terserang flu?"
"Bagaimana keadaan cuaca hari ini?"
"Apa maksudmu menanyakan hal ini?" tanya Lan Sui-leng setelah
agak tertegun, "sejak pagi tadi langit sangat cerah, tentu saja tidak
bisa dikatakan cuaca jelek."
"Tepat sekali, bukankah pagi tadi kau sempat berbincang dengan
Put-ji" Apakah waktu itu dia sudah terserang flu" Cuaca sama sekali
tidak berubah jadi buruk, lagipula dia adalah seorang yang berlatih
silat, mana mungkin secara tiba-tiba bisa terserang masuk angin"
Lan Sui-leng mulai curiga, tapi katanya kemudian, "Tidak
mungkin ayahku salah mengenali orang, apalagi semua
pembicaraan yang mereka lakukan cukup membuktikan identitas
dirinya!" "Tidak bisa dijadikan bukti, ada satu titik kelemahan besar yang
mungkin tidak kau pikirkan?"
"Titik kelemahan" Titik kelemahan apa?"
"Coba bayangkan, seandainya mereka memang benar Put-ji dan
Siang Ngo-nio, mengapa kedua orang itu tidak sekalian menghabisi
nyawa kita berdua?" "Benar, siluman wanita itu tersohor karena kekejaman dan
ketelengasannya, sedangkan Put-ji adalah tianglo dari Bu-tong-pay,
atau mungkin mereka menyangka kita berdua sudah jatuh tidak
sadarkan diri?" "Bila orang itu benar-benar Put-ji, tujuannya melakukan
pembunuhan adalah untuk menghilangkan saksi, dia pasti akan
berusaha mencabut rumput hingga keakar-akarnya, buat apa mesti
tinggalkan bibit bencana untuk di kemudian hari" Hmm, orang yang
tampilannya sok lurus, biasanya kalau melakukan kejahatan, sepak
terjang mereka biasanya jauh lebih buas dan telengas! Kalau
terhadap ayah ibumu saja dia tega melakukan kekejian, mana
mungkin dia akan mengampuni jiwa mu?"
Api kegusaran kembali membara di hati Lan Sui-leng, hatinya
dipenuhi rasa duka dan marah, selain itu diapun merasa bimbang
dan diliputi tanda tanya.
"Mengapa dia berbuat begitu?" dengan perasaan ragu bisiknya.
"Justru karena dia ingin kita berdua mendengarkan pembicaraan
tersebut, agar kita tahu siapakah mereka!" Seebun Yan
menerangkan. "Aku tetap tidak mengerti, kenapa...."
"Apa lagi yang tidak kau pahami" Setelah ada kau sebagai saksi,
siapa lagi yang berani curiga kalau Put-ji bukan sang pembunuh!"
"Oooh, jadi dia ingin melimpahkan kejahatan ini kepada orang
lain dengan menfitnah Put-ji Totiang!" seru Lan Sui-leng seakan
baru menyadari akan hal itu.
"Tepat sekali, akhirnya kau paham juga."
Sekali lagi Lan Sui-leng menghela napas panjang.
"Aaaai.... kalau begitu aku telah salah menuduh Put-ji Totiang,"
katanya. "Put-ji sendiripun bukan manusia baik, hanya saja dia tidak
sejahat seperti apa yang dilukiskan orang itu. Kau tidak salah
menuduh dirinya." "Sekalipun dia jahat, tapi tidak sepantasnya menerima fitnahan
yang demikian kejinya?"
"Jadi kau berniat mencegah adikmu pergi membunuhnya?"
"Orang tuaku sudah mati terbunuh, tentu saja aku tidak ingin
menyusahkan mereka yang tidak bersalah. Bila aku tidak berusaha
menghalanginya, mungkin sepanjang hidup adikku akan menyesal!"
"Apakah kau masih kuat untuk lari?" tanya Seebun Yan,
"sekalipun kuat, aku rasa saat ini sudah terlambat. Lagipula orang
itu masih mengawasi gerak-gerik kita secara diam-diam,
memangnya dia akan mengijinkan kau pergi memberi kabar?"
Tenaga dalam yang dimiliki Lan Sui-leng jauh lebih cetek
ketimbang Seebun Yan, kondisi tubuhnya saat ini masih lemah,
sekalipun dipaksakan, paling dia hanya sanggup berjalan perlahan.
Mendengar perkataan itu dia jadi putus asa bercampur duka,
serunya dengan penuh kebencian, "Siapakah orang itu" Dia benarbenar
amat keji." Belum habis dia berkata, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar
didorong orang, kemudian terlihat seseorang menerjang masuk ke
dalam sambil berteriak, "Aku tahu siapakah dia!"
Begitu orang itu menerjang masuk ke ruang tidur Lan Sui-leng
dan menyelesaikan perkataannya, dia sudah roboh terjungkal ke
lantai. Begitu Lan Sui-leng tahu siapa orang itu, kontan saja dia menjerit
kaget. .... Tong Tiong-san menyeret tubuh Siang Ngo-nio menuju ke dalam
hutan di belakang rumah keluarga Lan, tiba-tiba dia menotok jalan
darah bisunya. Kemudian jagoan dari keluarga Tong ini berjongkok sambil
bersandar di belakang sebatang pohon besar, dia menarik tubuh
Siang Ngo-nio dan didudukkan persis dihadapannya, seolah tubuh
perempuan itu dipakainya sebagai sebuah tameng.
Siang Ngo-nio ketakutan setengah mati, dengan jantung
berdebar keras pikirnya, 'Sialan benar tua bangka ini, entah apa
yang hendak dia lakukan terhadap diriku"'
Baru berpikir sampai kesitu, dia menyaksikan rembulan telah
berada di tengah angkasa, pertanda kentongan ke tiga telah tiba.
Saat itulah terlihat sesosok bayangan hitam mulai muncul di tengah
hutan. Yang muncul adalah Bouw It-yu, dia memang datang tepat
waktu, tidak terlalu awal, tidak pula terlalu lambat.
Biarpun dia datang tepat waktu, namun perasaan hatinya sangat
kalut. Ada perasaan ngeri yang sama sekali tidak terduga, juga
terdapat rasa terkejut dan gembira yang tidak disangka.
Walau apa pun perasaan hatinya saat itu, paling tidak sebuah
beban berat berhasil disingkirkan. Biarpun ayahnya pernah
melakukan kesalahan, ternyata dia tidak sejahat bayangannya
semula. Walaupun dia baru berusia dua puluhan tahun, namun perasaan
hati terhadap ayahnya sudah berapa kali terjadi perubahan.
Sewaktu masih kecil dulu, dia menganggap ayahnya merupakan
jelmaan dari seorang laki-laki sempurna, merupakan idola yang
selalu dipuja dan disanjung.
Kemudian dia tahu kalau ayahnya di tempat luar mempunyai
seorang "Perempuan liar", ibunya mulai tersiksa, mulai terabaikan,
kesepian, hidup menyendiri, sepanjang tahun selalu
menyembunyikan perasaan sedihnya di dalam hati, tidak pernah dia
menyalahkan ulah ayahnya dan terakhir dia mati karena sakit hati,
mati dalam keadaan mengenaskan.
Lambat laun dia pun mulai menemukan kalau moral dan watak
ayahnya tidak sesempurna apa yang semula dia bayangkan, bahkan
boleh dibilang tidak ubahnya seperti seorang kuncu gadungan,
maka dia pun semakin menganggap ayahnya sebagai orang jahat.
Oleh karena Siang Ngo-nio pernah mempunyai hubungan yang
tidak terlalu jelas dengan ayahnya, sementara Siang Ngo-nio nyaris
boleh dibilang tersangkut dalam berapa kasus berdarah yang
menimpa anggota perguruannya, dia bahkan pernah menaruh
curiga kalau ayahnyalah yang menjadi dalang di belakang layar
yang selama ini mendukung dan melindungi semua sepak terjang
Siang Ngo-nio. Sekalipun bukan dalang utama, paling tidak
tersangkut erat dengan kasus tersebut.
Ketika kali ini Siang Ngo-nio memohon agar bisa dipertemukan
dengan ayahnya, diapun pernah berusaha untuk berdiri diluar garis
sambil memikirkan kepentingan ayahnya, dia berpendapat, bila ingin
mempertahankan nama baik ayahnya sebagai Ciangbunjin Bu-tongTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
pay, cara yang terbaik adalah berusaha merancang sebuah jebakan,
kemudian menghabisi nyawa Siang Ngo-nio.
Tapi hasil yang diperoleh sama sekali diluar dugaannya.
Betul, saat ayahnya mengetahui persoalan ini, pada mulanya
reaksi yang diberikan sangat aneh, paras mukanya berubah jadi
mendung dan cerah bergantian, ini menunjukkan perasaan gusar
dan tidak tenang yang mencekam hatinya.
Sambil menghancurkan cawan teh yang berada dalam
genggamannya, Bouw Ciong-long bertanya, "Percayakah kau
dengan perkataan siluman wanita itu?"
Serta merta dia pun menjawab, meski dalam hati berpendapat
lain, "Tentu saja aku tidak percaya, tapi ucapan siluman wanita itu
begitu tegas, dia bahkan mengatakan telah mempunyai bahan yang
kuat untuk menjerumuskan ayah, justru karena punya bukti, maka
dia tidak khawatir diancam. Aku tidak percaya dengannya, tapi aku
kuatir orang lain...."
Baru saja dia berbicara sampai disitu, "Kraaak!" lagi-lagi ayahnya
menghajar ujung cawan dengan "tangan golok"nya hingga gumpil
sebagian, teriaknya, "Kau tidak percaya, orang lain pun tidak akan
percaya!" Dengan nada menyelidik diapun berkata lagi, "Bila ayah punya
keyakinan, lebih baik kita...."


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia membuat gaya membacok dengan telapak tangannya.
Namun ketika melihat gerakan tangannya itu, sang ayah segera
gelengkan kepalanya berulang kali.
Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba ayahnya menghela
napas sambil berkata, "Aku ingin tahu, dalam pandanganmu, ayah
adalah seorang manusia macam apa?"
Dia ddak berani segera menjawab, maka ayahnya berkata lebih
lanjut, "Kau tidak perlu membohongi aku, aku telah bersalah kepada
ibumu, aku cukup tahu bagaimana pandanganmu. Tapi akupun
mempunyai kesulitan yang sukar diutarakan, selewat malam ini,
semua masalah pasti akan kuberitahukan kepadamu."
Saat itu dia merasa jenuh, amat muak, tampiknya, "Aku tidak
ingin tahu." "Tapi masalah ini besar sekali pengaruhnya padamu, sekalipun
kau tidak ingin tahu, aku tetap harus memberitahukan kepadamu.
Hanya saja, malam ini kau harus bantu aku melakukan satu
pekerjaan." "Jadi ayah, telah mengambil keputusan akan...."
"Tidak," ayahnya menukas, "aku sama sekali tidak berniat untuk
membunuhnya. Sekalipun dia pantas mati, namun bukan aku yang
berhak membunuhnya. Dalam persoalan ini, aku.... aku pun ikut
bersalah. Coba bantu aku dan lakukan.... asal begini.... dia pasti
dapat enyah dari sini."
Secara panjang lebar ayahnya merincikan tugas serta
rencananya, bahkan menyerahkan sebuah benda kepadanya.
Sebetulnya setiap kali teringat akan hubungan cinta ayahnya
dengan Siang Ngo-nio, dia merasa muak dan ingin muntah, tapi kali
ini dia dipaksa oleh keadaan sehingga terpaksa harus mengajak
pulang perempuan itu ke atas gunung, untuk perbuatannya itu dia
selalu merasa tidak tenang.
Tapi sekarang, setelah dia harus mewakili ayahnya untuk pergi
menjumpai perempuan kekasih ayahnya itu, bukan saja dia tidak
merasa rikuh atau kikuk, sebaliknya dia justru merasakan hatinya
ringan dan lega. Sebab sekarang boleh dikata dia benar-benar telah mengenali
ayahnya, ternyata sang ayah bukanlah "nabi" yang mengenakan
lingkaran cahaya diatas kepalanya, melainkan seorang manusia
yang mempunyai darah daging, seseorang yang bisa menyadari
kenyataan. Dalam hal ayahnya bersedia membantu Siang Ngo-nio
untuk melakukan persoalan inipun dia berpendapat bahwa tindakan
itu sangat cengli dan masuk diakal.
Begitu melangkah masuk ke dalam hutan dan bertemu dengan
Siang Ngo-nio, dengan perasaan tidak sabar diapun berseru, "Ngonio,
aku sampaikan sebuah berita gembira...."
Waktu itu jalan darah bisu Siang Ngo-nio telah tertotok hingga
tidak sanggup bicara, dengan hati berdebar pikirnya, 'Kabar gembira
apa" Apakah Bouw Ciong-long telah bersedia menerima aku" Tapi
mengapa ucapan semacam inipun hams diwakilkan putranya"'
Mengapa Siang Ngo-nio tidak bicara" Bouw It-yu mulai
merasakan gelagat yang sedikit tak beres.
Setelah agak tertegun diapun menghentikan ucapannya yang
baru mencapai separuh jalan.
Tapi baru saja dia berhenti bicara, terdengar Siang Ngo-nio telah
berseru dengan nada marah, "Monyet cilik, kenapa bapakmu tidak
ikut datang" Berita gembira apa yang hendak kau sampaikan?"
Suaranya kedengaran agak parau, tapi logat serta gaya bicaranya
persis sama seperti gaya bicara Siang Ngo-nio dihari-hari biasa.
Bouw It-yu segera tertawa terbahak, katanya, "Hahahaha....
Ngo-nio, sepintar begini kau pun masa tidak bisa menebak sendiri"
Baiklah, kalau begitu aku beritahu, ayah bilang, dia bersedia
memenuhi keinginanmu, dia.... dia...."
Belum selesai dia berkata, tiba-tiba terdengar "Siang Ngo-nio"
mendengus dingin, kemudian Bouw It-yu merasakan lututnya
menjadi kaku dan kesemutan, ternyata seutas tali telah menyambar
datang dan melilit pinggangnya.
Dalam keadaan seperti ini, betapapun hebatnya ilmu silat yang
dimiliki, sulit bagi Bouw It-yu untuk menghindarkan diri.
Tong Tiong-san benar-benar terbakar oleh api cemburu, begitu
berhasil melilit tubuh Bouw It-yu dan membetotnya, tanpa memberi
kesempatan lagi baginya untuk berbicara, cepat dia cekik dagu
pemuda itu, membuat dia harus membuka mulutnya lebar-lebar,
kemudian menjejalkan sebutir pil ke dalam mulutnya.
Bouw It-yu tidak dapat melihat wajahnya, dia diseret secara
kasar hingga tiba di depan rumah keluarga Lan, kemudian
dilemparkan masuk ke dalam.
"Aku tahu siapakah dia," itulah ucapan Bouw It-yu begitu
tubuhnya terbanting ke atas lantai.
Tentu saja dia tak tahu kalau Lan Sui-leng dan Seebun Yan
sedang membicarakan siapa pembunuhnya, Lan Sui-leng sendiripun
tidak tahu apa yang diucapkan pemuda itu.
"Siapakah dia?" tanya Lan Sui-leng tanpa terasa.
"Aaah, Bouw toako, kenapa kau?" pada saat yang bersamaan
Seebun Yan berteriak pula.
Bouw It-yu segera merasakan kegembiraan yang sama sekali
tidak terduga, pikirnya, 'Ternyata adik Yan memang khawatirkan
diriku' Meski begitu, dia menjawab pertanyaan Lan Sui-leng, "Dia adalah
Tong Tiong-san!" Seebun Yan menjerit kaget, buru-buru dia peluk tubuh pemuda
itu dan bertanya dengan gemetar, "Toako, kau.... apakah kau sudah
terkena racun dari keluarga Tong?"
Tiba-tiba terdengar gelak tertawa yang amat menu suk telinga,
menyusul kemudian terdengar Tong Ji-sianseng, jago nomor wahid
dalam hal racun berkata, "Hey nona cilik dari keluarga Seebun,
jangan khawatir, Toakomu tidak bakalan mampus. Yang kucekokkan
ke mulutnya bukan obat racun, tapi pil dewa. Obat dewa yang dapat
membuat dia merasa senang dan bahagia bagaikan para dewa!
Hehehehe.... kau tidak percaya bukan" Baik, aku pun dapat
membuat mu merasakan juga bagaimana nikmatnya jadi dewa!"
"Tong Ji-sianseng!" teriak Bouw It-yu, "bila kau marah kepada
ayahku, cukup aku saja yang kau celakai, jangan kau ganggu lagi
nona Seebun!" Mana mungkin Tong Tiong-san mau menuruti bujukannya"
"Braaak!" terdengar suara benturan keras, tahu tahu jendela
ruang tidur itu sudah terhajar oleh pukulannya hingga muncul
sebuah lubang besar. Yang pertama-tama muncul adalah seutas tali panjang, dengan
kecepatan bagai sambaran petir, tali itu langsung melilit tubuh Lan
Sui-leng! Waktu itu Seebun Yan masih memeluk tubuh Bouw It-yu, belum
sempat dia berteriak, menyusul, lagi lagi terjadi ledakan keras
bergema dalam ruangan, kali ini suara itu berasal dari ledakan
sebuah bulatan peluru, dalam waktu singkat seluruh ruangan itu
telah dipenuhi asap tebal.
Sambil tertawa dingin dengan nada yang menyeramkan ujar
Tong Tiong-san, "Bouw It-yu, ternyata kau cukup cekatan dan
pintar, selama ini akupun amat suka denganmu. Sayang siapa suruh
kau menjadi putra tunggal dari Bouw Ciong-long"
Hehehe.... ayah berhutang anak musti membayar, itu baru adil
namanya. Begitu juga anak perempuannya, sama-sama harus
bertanggung jawab!" Perkataan yang pertama mudah sekali dipahami, tapi perkataan
yang terakhir sangat membingungkan, jangankan Bouw It-yu, Siang
Ngo-nio sendiripun membutuhkan waktu cukup lama sebelum dapat
mengartikannya. Ooo)*(ooO JILID KE ENAM BAB XVI Pedang sakti unjuk diri Mencari pemecahan ilmu pedang berantai.
Kendatipun dia sudah terbiasa melakukan perbuatan keji dan
busuk, tapi kali ini, tidak urung bergidik juga dibuatnya.
"Lepaskan aku, lepaskan aku, selama hidup aku tidak pernah
kenal denganmu!" jerit Lan Sui-leng.
"Mungkin saja kau tidak kenal dengan aku, tapi aku kenal siapa
dirimu. Aku pun tahu kalau kau dan Keng Giok-keng meski bukan
saudara kembar, namun hubungan kalian tidak ubahnya seperti
saudara kembar." Sambil berkata, dia segera menotok jalan darah bisu di tubuh Lan
Sui-leng. Diikuti dia menotok bebas jalan darah bisu di tubuh Siang
Ngo-nio. "Memandang di atas wajah Keng Giok-keng, kita tidak boleh
membiarkan gadis muda ini menderita, kau bopong dia!" perintah
Tong Tiong-san kemudian. "Loya-cu, apakah kehadirannya tidak akan menam bah kerepotan
kita sendiri?" tanya Siang Ngo-nio.
"Benar, memang bakal menambah sedikit kerepotan, tapi
kerepotan yang sedikit itu justru memberi manfaat besar bagimu!
Asal kita bertemu bocah muda itu, semisal aku tidak bisa menjaga
keselamatanmu, paling tidak kaupun tidak perlu kuatir tusukan
pedang bocah itu bakal mencabut nyawamu."
Padahal Siang Ngo-nio bukannya tidak mengerti akan maksud
hatinya, dia hanya ingin mendengar sendiri pengakuan langsung
dari mulutnya, dengan begitu perasaan hatinya baru lega.
"Aaah, ternyata dia masih tetap berusaha melindungi
keselamatanku!" Timbul rasa ingin tahu dihati kecilnya, sekali lagi Siang Ngo-nio
bertanya, "Loya-cu, senjata rahasia apa yang barusan kau
gunakan?" "Menurut kau senjata rahasia apakah itu?"
"Aku tidak tahu. Tapi dilihat bentuknya mirip sekali dengan
peluru Lui-hwee-tan."
Tong Tiong-san kelihatan sangat bangga, sahutnya sambil
tertawa riang, "Padahal bukan senjata rahasia, melainkan obat
pencipta khayalan, pernah mendengar nama ini?"
"Apa yang disebut obat pencipta khayalan?"
"Obat pencipta khayalan bisa membuat kesadaran orang hilang
dan kabur, kemudian muncul khayalan karena terpengaruh oleh
sejenis obat. Bahan dasar dari obat ini bernama opium, banyak
tumbuh di sebuah negeri kecil yang bernama Nepal, negeri Nepal
berada di sebelah utara gunung Himalaya.
"Hehehehe.... tidak gampang untuk memperoleh bahan dasar itu.
Isi dari peluru itu sebenarnya hanya obat pencipta khayalan, aku
tidak lebih hanya menambahi dengan belerang, agar bahan itu bisa
terbakar kemudian meledak. Pil yang kucekokkan ke mulut Bouw Ityu
tadi tidak lain adalah obat pencipta mulut Bouw It-yu tadi tidak
lain adalah obat pencipta khayalan, bila obat itu langsung tertelan
maka khasiatnya akan jauh lebih besar."
"Kalau begitu, setelah menelan pil tersebut, bukankah dia akan
kehilangan kesadaran serta dapat melakukan hal-hal yang diluar
susila?" tanya Siang Ngo-nio terperanjat.
Tong Tiong-san tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... tepat sekali, aku memang ingin membuat mereka
kehilangan kesadaran, bila seseorang sudah kehilangan kesadaran
kemudian terangsang napsu birahinya.... hahahaha.... perbuatan
apa pun bisa mereka lakukan!"
Bouw It-yu merasa seolah tubuhnya berendam di kolam air
panas, seluruh tubuh terasa lemas tidak bertenaga, semua syaraf,
semua otot di tubuhnya seakan kendor semua.
Tapi terasa ada segumpal hawa panas muncul dari Tan-tian dan
menyebar ke seluruh badan.
Waktu itu Seebun Yan masih memeluk tubuhnya erat-erat, tibatiba
dia berbisik dengan nada aneh, "Bouw-toako, semakin
kupandang wajahmu semakin terasa mukamu mirip sekali dengan
ibu, tidak heran kalau ibu begitu menyukaimu. Tahukah kau, dulu
ibu adalah wanita tercantik dalam dunia persilatan. Bouw-toako, kau
pun tampak ganteng sekali."
Waktu itu Bouw It-yu masih memiliki berapa bagian kesadaran,
begitu mendengar gadis itu menying-gung dirinya mirip ibunya,
seketika dia seolah mendusin kembali, buru-buru dia dorong tubuh
gadis itu sambil bentaknya, "Nona Seebun, sadarlah!"
"Kau panggil aku apa" Bukankah kita sudah angkat saudara" Kau
adalah engkohku sayang dan aku adalah adikmu sayang."
"Baik, kalau begitu kau harus menuruti perkataanku, cepat lari
keluar dan tinggalkan ruangan ini!"
Biarpun tenaga dalamnya jauh lebih sempurna, walaupun dia
jauh lebih sadar ketimbang Seebun Yan, namun saat itu Bouw It-yu
mulai merasa agak kabur pikirannya dan timbul pelbagai khayalan
yang mesum. Dia seakan tidak terpikirkan, kalau dia sendiripun
sudah tidak bertenaga untuk kabur, apa lagi Seebun Yan"
"Aku ingin kau menemaniku, kenapa harus mengusirku pergi dari
sini" Aaah, coba lihat.... ada begitu banyak bunga yang indah, ada
yang ungu, kuning, merah, coklat, hijau.... aaaah, ada pula yang
biru, ada begitu banyak aneka warna, indah.... sungguh indah!
Jangan- jangan kita telah tiba di istana para dewata?"
Tanpa terasa Bouw It-yu pentangkan matanya lebar-lebar,
teriaknya, "Aaaah, akupun telah melihatnya, sungguh takjub!"
Bagaimanapun dia masih tersisa sedikit kesadaran dalam
benaknya, tiba-tiba dia merasakan gelagat tidak beres, cepat dia
gigit lidah sendiri sambil berteriak, "Itu semua hanya khayalan,
hanya ilusi, cepat gigit lidahmu sendiri!"
"Gigit lidah sendiri" Sakit.... ogah!" bisik Seebun Yan manja, sorot
matanya mulai nampak liar dan jalang, "toako, bukankah kau
pernah bilang amat menyukai aku" Jangan kau permainkan diriku!"
"Aku bukannya sedang permainkan dirimu, dengarkan dulu
perkataanku...." Tapi bagaimana caranya memberi penjelasan kepada gadis itu"
Begitu tertunda, pengaruh obat semakin menyebar luar diseluruh
tubuhnya, daya pengaruh yang ditimbulkan pun semakin bertambah
berat. Dalam keadaan begini, biarpun dasar tenaga dalamnya cukup
sempurna pun lambat laun dia mulai tidak kuasa mengendalikan
diri. Seebun Yan semakin menempelkan tubuhnya, bisiknya lirih,
"Bagaimana sih rasanya lidah yang digigit" Toako, ciumlah aku,
coba gigitlah lidahku...."
"Omong kosong, cepat pergi!" hardik Bouw It-yu, sekuat tenaga
dia dorong tubuh gadis itu. Sayang sekujur tubuhnya lemas tidak
bertenaga, tentu saja dia tidak sanggup mendorong si nona dari sisi
tubuhnya. Sambil menangis Seebun Yan berseru, "Tonghong-toako enggan
dekati aku, kaupun tidak mau mencium aku. Apakah wajahku
memang jelek dan buruk?"
Sekali lagi Bouw It-yu menggigit lidahnya kuat-kuat, kemudian
menghibur, "Jangan menangis, jangan menangis! Aku berjanji, pasti
akan menemukan kembali Tonghong Liang untukmu!"
"Aku tidak mau Tonghong Liang lagi, dia tidak mencintaiku
dengan sungguh hati, aku tahu, toako, sepanjang jalan kau
melindungiku, kaulah yang sesungguhnya amat menyayangiku, aku
tahu!" "Jangan begitu, kau.... kau...."


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum lagi kata "salah paham" sempat diucapkan, Seebun Yan
bagaikan burung kecil telah menubruk ke dalam pelukannya dan
bersandar pada dadanya. Tiba-tiba Seebun Yan mulai menyanyi, mulai bersenandung
dengan suara yang merdu, "Terbang.... terbang.... terbang.... aku
terbang di antara awan.... oooh.... sungguh nyaman! Sungguh
nikmat! Hei.... jangan simpan telur angsa dalam satu keranjang....
itulah yang dikatakan Tonghong Liang.... apakah kau paham!"
"Tidak, aku tidak mengerti."
"Kau tidak mengerti, tapi aku mengerti. Aaai.... kenapa kau
pandang aku dengan sorot mata seperti itu" Apakah wajahku benarbenar
sangat jelek?" Tiba-tiba dia menangis lagi.
Begitu menyaksikan gadis itu menangis dengan amat sedihnya,
runtuh sudah daya tahan Bouw It-yu, tanpa sadar dia balas
memeluk gadis itu sambil berbisik, "Jangan menangis, jangan
menangis! Wajahmu amat cantik, aku sayang padamu!"
"Kalau begitu ciumlah aku.... ciumlah aku.... asal kau mau
mencium, aku baru akan percaya! Baiklah, kau tidak mau
menciumku" Akulah yang akan mencium-mu!"
Tiba-tiba saja dia menyodorkan bibirnya yang mungil ke depan
dan mulai menciumi pipinya.
Bouw It-yu yang langsung menelan obat pencipta khayalan,
begitu bibir gadis itu menempel diatas bibirnya, kontan saja semua
daya tahannya ambrol, tidak kuasa dia balas menciumi bibir gadis
itu dengan penuh napsu. Di saat yang amat kritis itulah tiba-tiba muncul seseorang yang
langsung masuk ke dalam kamar.
"Ploook.... ploook.... ploook....!" tamparan demi tamparan
mendarat diwajah ke dua orang itu, rupanya orang yang menampar
sepasang muda mudi itu tidak lain adalah Seebun-hujin.
"Kalian tidak boleh berbuat begitu!" bentak Seebun-hujin nyaring.
Seebun Yan membelalakkan sepasang matanya yang merah
membara, merah karena napsu birahi, tiba tiba umpatnya, "Dasar
perempuan siluman, diam-diam kau selingkuh dengan laki lain pun
aku tidak ambil perduli, apa urusannya aku bermesraan dengan
lelaki lain?" Seebun-hujin tertegun, tapi segera bentaknya, "Anak Yan, kau
jangan ngaco belo, perhatikan baik-baik, siapa aku?"
Seebun Yan seakan tidak menggubris, kembali teriaknya,
"Terbang.... terbang.... terbang melayang.... aku terbang diantara
awan! Aku adalah bidadari, kau siluman wanita!"
Bagaimana pun Seebun-hujin adalah seorang tokoh silat kawakan
yang banyak pengalaman, dalam sekali pandang dia sudah tahu
kalau kedua orang muda mudi itu sudah dikerjai orang. Pikirnya,
'Untung saja mereka belum sampai melakukan perbuatan busuk.... '
Di atas meja tersedia sepoci air teh dingin, Seebun-hujin segera
meneguk satu tegukan kemudian menyemburkan air teh itu diatas
wajah putrinya, menyusul kemudian dia tekan jalan darah Thamtiong-
hiat di tengah dadanya. Kemudian dia melakukan hal yang
serupa terhadap Bouw It-yu.
Setelah itu dengan menggunakan Sim-hoat tenaga dalamnya dia
membantu mereka berdua memperlancar peredaran hawa murni,
tidak selang setengah batang hio kemudian, Bouw It-yu sudah
bermandikan keringat dingin, pancaran sinar matanya jauh lebih
lunak dan halus, bahkan terkandung rasa terima kasihnya yang luar
biasa. Seebun-hujin tahu dia akal sehatnya telah pulih kembali, maka
dia menarik kembali telapak tangannya dari dada pemuda itu dan
membiarkan dia bersemedi sendiri.
Setelah tidak perlu pecahkan perhatian maka kini dengan
sepenuh tenaga dia mengobati putrinya, tidak lama kemudian
Seebun Yan merasakan sekujur tubuhnya terasa dingin, ternyata dia
lebih cepat tersadar kembali dari pengaruh obat.
Setelah memperoleh kembali akal sehatnya, dengan perasaan
terkejut Seebun Yan bertanya, "Ibu, apa yang sebenarnya telah
terjadi?" "Justru aku yang ingin bertanya padamu, apa yang sebenarnya
telah terjadi?" Seebun-hujin balik bertanya.
Seebun Yan berusaha mengingat kembali semua yang telah
terjadi, tapi untuk sesaat dia seperti tidak dapat mengingatnya
kembali. Melihat itu Seebun-hujin segera mengingatkan, "Tadi kau sempat
memaki seorang perempuan siluman, coba pikirkan lagi dengan
seksama, sebelum jatuh tidak sadarkan diri, apakah kalian telah
bertemu...." "Aaah benar, aku teringat sekarang," tiba-tiba Seebun Yan
seperti teringat akan sesuatu, "perempuan siluman itu adalah si
Lebah hijau Siang Ngo-nio, tapi aku tidak bertemu dengannya,
aaai.... apa yang sebenarnya telah terjadi" Aaah, ingat aku
sekarang, Bouw-toako yang membawanya sampai disini."
"Aneh," seru Seebun-hujin tercengang, "mana mungkin dia
membawa siluman wanita itu hanya untuk mencelakaimu dan
dirinya sendiri?" "Hey, hey, Bouw-toako!" teriak Seebun Yan kemudian, "tadi aku
seperti mendengar kau berkata kepada siluman perempuan itu
bahwa ayahmu bersedia memenuhi keinginannya, aku tidak salah
dengar bukan?" Ternyata dia hanya teringat setengah, sementara yang setengah
lagi adalah kejadian setelah Bouw It-yu melangkah masuk ke dalam
ruangan itu, tapi ingatannya masih tersamar.
Setelah mengatur pernapasan, Bouw It-yu merasakan akal
sehatnya telah pulih seperti sedia kala, dia membuka matanya
seraya menjawab, "Kau tidak salah dengar, tapi yang turun tangan
mencelakai kita berdua bukan dia."
"Lantas siapa?" tanya Seebun-hujin dengan perasaan ragu
bercampur kaget. "Dia adalah Tong Tiong-san. Dia paksa aku menelan sebutir pil,
sedangkan adik Yan telah menghirup asap dupa yang dihasilkan dari
ledakan pelurunya. Secara lamat-lamat aku seperti mendengar dia
menjelaskan kepada siluman perempuan itu bahwa dupa itu adalah
obat pencipta khayalan!"
Paras muka Seebun-hujin seketika berubah hebat!
"Kurangajar betul tua bangka sialan itu, berani amat dia
mencelakai aku!" umpat Seebun Yan gusar, "ibu, kau harus
membalaskan sakit hatiku ini."
Seebun-hujin tertawa getir, ujarnya, "Kehebatan senjata rahasia
dari keluarga Tong tiada duanya dikolong langit. Bila kau telah
mengusiknya, berdoa saja semoga dia tidak datang mencari garagara
lagi, selama dia tidak mencarimu, keselamatan mu pasti tidak
akan terancam." "Aku sama sekali tidak pergi mengusiknya, dialah yang tanpa
sebab musabab tahu-tahu datang mengganggu kami. Ibu, tahukah
kau, orang tua adik Lan telah dia bunuh mati dan sekarang adik Lan
telah diculik olehnya, apakah kita akan melepaskan tua bangka itu
begitu saja....?" "Adik Lan mu adalah murid Bu-tong-pay, jadi tidak perlu kita
yang harus tampil sendiri. Turuti saja nasehatku, mari ikut aku
pulang." "Ibu," seru Seebun Yan tercengang, "bukankah kau ingin
menghadiri upacara penguburan Bu-siang Cinjin" Susah payah kita
telah sampai di Bu-tong, kenapa harus pulang?"
"Sekarang aku telah berubah pikiran."
"Ibu, kau benar-benar takut menghadapi bajingan tua itu?" teriak
Seebun Yan makin gusar. Seebun-hujin hanya tertawa getir tanpa menjawab. Padahal
meskipun dia memang jeri menghadapi kelihayan senjata rahasia
keluarga Tong, namun masih ada alasan penting lainnya, hanya saja
alasan tersebut sulit untuk diutarakan dengan begitu saja.
"Urusan balas dendam lebih baik dibicarakan di kemudian hari
saja," tiba tiba Bouw It-yu menyela, "adik Yan, apakah kau ingin
tahu maksud dari perkataan itu?"
"Maksud perkataan yang mana?" Seebun Yan sudah tak teringat
lagi. "Ucapan yang kusampaikan kepada Siang Ngo-nio."
"Kau bilang ayahmu bersedia memenuhi keinginannya bukan"
Bukankah ucapan itu sudah amat jelas, tidak usah dijelaskan lagipun
aku sudah mengerti maksudnya. Hehehe.... sungguh tidak disangka
biarpun ayahmu bertampang pendeta, ternyata jiwanya tetap
seorang lelaki romantis, tidak disangka dengan siluman perempuan
itupun...." "Anak perempuan bicara tanpa batasan, apa-apaan kau?" tegur
Seebun-hujin. "Adik Yan, kau salah paham, bukan begitu maksudnya!" Bouw Ityu
menerangkan. Seebun-hujin segera mengernyitkan alis matanya, tanpa sadar
dia telah menegur lebih dulu mendahului putrinya, "Lantas apa
maksudnya?" "Maksud ayah, dia bersedia membantunya untuk membebaskan
dirinya dari belenggu, agar dia tanpa dibebani rasa takut dan
khawatir bisa menghindari Tong Ji-sianseng dan memperoleh
kembali kemerdekaannya, dengan begitu dia pun bisa bebas
mencari suami yang sesuai dengan keinginannya. Sebab inilah yang
sesungguhnya diinginkan Siang Ngo-nio."
Seebun-hujin manggut-manggut.
"Biarpun nama busuk Siang Ngo-nio sudah tersohor seantero
jagad, namun separuh hidupnya boleh dibilang dilewatkan sebagai
barang mainan Tong Tiong-san, dia memang pantas dikasihani.
Hanya saja, mungkinkah Tong Tiong-san bersedia lepas tangan?"
"Ayah suruh aku menyerahkan kotak ini kepadanya, konon isi
kotak ini adalah rahasia yang bisa dipakai untuk mengendalikan
Tong Ji-sianseng. Ketika Tong Ji-sianseng mengetahui kalau
boroknya sudah terjatuh ke tangannya, enggan lepas tangan pun
terpaksa dia harus membebaskannya juga."
"Menurut pandanganku, memang keinginan siluman wanita itu
sendiri untuk melakukan perbuatan hina, jadi sebenarnya tidak
berharga dikasihani ayahmu," kata Seebun Yan.
"Aku sendiripun berpendapat begitu, maka...."
"Maka kenapa?" "Maka aku tidak ingin menyerahkan kepadanya."
"Bukankah sama artinya telah menyia-nyiakan pengharapan
ayahmu?" sindir Seebun-hujin dingin.
"Bagaimana pun dia toh sudah pergi bersama Tong Tiong-san,
sekalipun ingin kuserahkan juga tidak mungkin lagi."
"Aku rasa dia tidak mirip orang yang dipaksa, memang dia sendiri
yang rela dan iklas kembali ke dalam pekikan bajingan tua itu," ucap
Seebun Yan. "Anak Yan, kau tidak boleh berkata begitu!" tegur Seebun-hujin.
Walaupun dia seakan sedang menegur putrinya, namun dalam
pandangan Bouw It-yu, dia dapat menangkap suara hati perempuan
itu yang sebenarnya. Tiba tiba ujarnya, "Adik Yan, lebih baik kuberikan kotak ini
untukmu." "Buat apa aku mendapatkan barang itu?" sahut Seebun Yan,
mendadak seperti teringat sesuatu, katanya lagi sambil tertawa,
"jadi kau bermaksud agar aku memiliki barang mestika yang bisa
kupakai untuk menghadapi Tong Ji-sianseng."
"Ayahku mengatakan kalau kotak itu berisikan rahasia yang
dapat mengendalikan Tong Tiong-san, aku rasa kegunaannya belum
tentu harus dilakukan oleh Siang Ngo-nio saja."
Timbul perasaan ingin tahu dihati kecil Seebun Yan, segera
ujarnya, "Bukan lantaran aku takut menghadapi bajingan tua itu,
tapi apa salahnya kalau kita buka kotak itu dan coba kita periksa
sebenarnya rahasia apa yang tersimpan dalam kotak itu."
Ketika kotak dibuka, ternyata isinya hanya selembar saputangan
berwarna kuning, diatas sapu tangan itu sama sekali tidak ada
tulisannya. "Eeei, dimana rahasianya?" seru Seebun Yan.
Seebun-hujin mengambil saputangan itu dan diendusnya
sebentar, seakan menyadari akan sesuatu, ujarnya kemudian,
"Terlepas apakah saputangan ini menyimpan rahasia atau tidak, biar
sementara waktu aku saja yang menyimpannya."
Ternyata walaupun dia tidak mengerti tentang obat-obatan,
namun pengetahuannya cukup lumayan juga. Dari bau obat yang
tertinggal pada saputangan itu, dia dapat memastikan kalau dibalik
saputangan itu pasti tersimpan tulisan, hanya saja karena tulisan itu
sudah disembunyikan dengan sejenis obat-obatan, maka harus
melalui suatu cara yang khusus (bisa direndam atau digarang diatas
api), tulisan itu baru dapat muncul dan terbaca.
"Anak Yu, kalau memang ayahmu sudah berniat baik untuk
membantu Siang Ngo-nio melepaskan diri dari lautan derita, sudah
seharusnya kita bantu dia untuk menyelesaikan keinginannya itu.
Hanya saja ayahmu sebagai seorang Ciangbunjin memang tidak
sepantasnya mengarungi dunia persilatan hanya bermaksud mencari
jejak Siang Ngo-nio, kalau begitu biar aku saja yang membantunya
memenuhi pengharap-an tersebut, karena sebagai sesama
perempuan, mungkin gerak-gerikku jauh lebih gampang," kata
Seebun-hujin lebih lanjut.
Bicara sampai disitu, mendadak dengan senyum tidak senyum
dipandangnya Bouw It-yu sekejap, kemudian tambahnya, "Orang
bilang: yang tidak punya perasaan justru kaya akan perasaan!
Barusan anak Yan mengatakan ayahmu adalah seorang lelaki
romantis, aku rasa apa yang dia katakan memang benar."
Bouw It-yu merasakan dadanya tersumbat oleh banyak
kecurigaan dan tanda tanya, tanpa terasa dia berpaling dan saling
bertatap muka dengan Seebun-hujin, dia seakan ingin mengatakan
sesuatu, namun tidak berani mengucapkannya keluar.
Seebun Yan sendiripun merasakan pipinya sedikit terasa panas
dan pedas, katanya kemudian, "Bouw-toako, apakah kau marah
lantaran ibu telah menamparmu tadi" Hal ini dilakukan karena...."
"Aku tahu, hal ini dilakukan agar kita semua tersadar kembali dari
pengaruh obat," sahut Bouw It-yu.
"Lantas apa yang sedang kau pikirkan?"
"Tidak apa-apa, ibu angkat memang sangat baik kepadaku."
"Jadi sekarang kau baru tahu?" kata Seebun Yan sambil tertawa,
"padahal sejak bertemu kau di tengah jalan dan kemudian
kuceritakan pertemuan ini kepada ibu, padahal waktu itu ibu belum
pernah bertemu kau, tapi dia sudah sangat menaruh perhatian
terhadap segala sesuatumu."
Bicara sampai disitu, timbul kecurigaan dihati kecilnya, kembali
serunya, "Aaah, betul. Kenapa ibu bersikap sangat baik
terhadapnya?" Dari nada pembicaraan Seebun-hujin tadi, Bouw It-yu pun dapat
merasakan kalau perempuan ini seolah menaruh semacam perasaan
yang istimewa terhadap ayahnya, tanpa terasa dia pun jadi teringat
kembali di saat perempuan itu menampar dirinya, Seebun-hujin
sempat berteriak, "Kalian tidak boleh berbuat begitu!"
Benar, saat ini dia sudah seratus persen sadar, diapun merasa
malu atas semua perbuatan yang telah dilakukan di saat


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpengaruh orang perangsang, dia memang tidak seharusnya
bermesraan seperti itu dengan Seebun Yan.
Tapi kata "tidak boleh" jelas sangat berbeda dengan kata
"Jangan", bagaimana pun juga, ucapan Seebun-hujin itu segera
menambah selapis kecurigaan yang lebih mendalam dihati kecilnya.
Seebun-hujin berusaha menghindari tatapan matanya, katanya,
"Anak Yu, kau jangan berpikir sembarangan, segera pulanglah dan
titip salamku untuk ayahmu."
"Ibu, apakah sekarang juga kita akan pergi?" tanya Seebun Yan.
"Benar, coba lihat, hari hampir terang tanah."
"Ibu angkat!" tiba tiba Bouw It-yu memanggil. "Ada apa?"
"Aku hanya ingin menanyakan sesuatu kepada-mu."
Seebun-hujin merasakan hatinya tergoncang keras, namun dia
berusaha mengendalikan diri, dengan nada setenang mungkin
ucapnya, "Kalau begitu tanyalah!"
"Sebetulnya apa hubunganmu dengan aku?"
Sebenarnya Seebun-hujin sudah mendapat firasat pertanyaan
macam apa yang bakal diajukan, namun setelah mendengar dengan
mata telinga sendiri, tak urung gemetar juga sekujur tubuhnya,
paras mukanya berubah. Bagi Seebun Yan, pertanyaan ini datangnya sangat mendadak
dan sulit baginya untuk mencerna, untuk sesaat, sama seperti
ibunya, dia ikut berdiri mematung.
Pada saat itulah, tiba-tiba mereka seperti mendengar ada suara
helaan napas seseorang dari luar ruangan.
"Siapa?" hardik Seebun-hujin dengan nada gemetar. Tahu-tahu
orang itu sudah muncul dihadapan mereka semua.
"Ayah!" teriak Bouw It-yu tidak tahan.
Dengan perasaan terkejut Seebun Yan ikut menjerit, "Jadi kau....
kau adalah Ciangbunjin Bu-tong-pay?"
Hanya Seebun-hujin seorang tetap berdiri mematung, tidak
sepatah kata pun yang diucapkan.
Sambil tertawa getir ujar Bouw Ciong-long perlahan, "Selama
berada dihadapan ibumu, aku bukanlah seorang Ciangbunjin, juga
bukan seorang Cinjin, aku hanya bisa tampil sebagai Bouw CiongTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
long!" Perkataan yang dia ucapkan tidak dipahami Seebun Yan, begitu
juga Bouw It-yu, hanya Seebun-hujin yang paham.
"Ciong-long, mau apa kau datang kemari?"
"Beng-cu," Bouw Ciong-long menghela napas panjang, "urusan
toh telah berkembang jadi begini, rasanya kita tidak perlu
merahasiakannya lagi. Anak Yu, kemari kau!"
"Ayah, kau.... apa yang harus kulakukan?" tanya Bouw It-yu
tercengang, tiba-tiba perasaan ngeri dan takut yang aneh
mencekam hatinya, membuat nada suaranya ikut berubah pula.
"Aku minta kau datang menjumpai ibu kandungmu!" ujar Bouw
Ciong-long perlahan. Bouw It-yu langsung tertegun, mendadak jeritnya, "Apa kau
bilang" Ibuku sudah lama meninggal!"
"Tidak, ibu kandungmu belum meninggal, dia....
dialah...." "Aku tidak percaya, aku tidak percaya!" jerit Bouw It-yu,
bagaikan mabok arak, tubuhnya mulai gontai, langkah kakinya mulai
sempoyongan dan tidak mampu berdiri tegak (Gb 16).
Seebun-hujin tidak kuasa mengendalikan rasa pedih dihatinya,
cepat dia memayang pemuda itu sambil katanya,
"Anak Yu, kami tidak berbohong, aku.... aku memang bukan ibu
angkatmu, aku adalah ibu kandungmu!"
"Anak Yu," kata Bouw Ciong-long pula, "maafkan aku.
Sebenarnya kau harus tahu rahasia ini sejak dulu. Tapi kau harus
percaya padaku, semua yang kukatakan adalah sebenarnya!"
Bouw It-yu tidak mau menatap ayahnya, dia tetap berteriak,
"Aku tidak mau mendengarnya, aku tidak mau mendengarnya!"
Padahal dalam hatinya dia sudah mempercayai kenyataan
tersebut, hanya saja dia tidak ingin mempercayainya dengan begitu
saja. Perlu diketahui, semenjak dia tahu urusan, ibu tirinya selalu
dianggap sebagai ibu kandung sendiri, pada hakekatnya dia tidak
tahu kalau dirinya masih memiliki seorang ibu yang lain.
Yang dia butuhkan sebetulnya bukan kasih sayang seorang ibu,
sebaliknya adalah kasih sayang seorang ayah. Dia pernah merasa
tidak terima karena perlakuan ayahnya yang begitu dingin terhadap
ibunya, selama hidup diapun tidak dapat melupakan sorot mata
ibunya menjelang saat ajalnya tiba.
Tidak lama berselang, dia masih menganggap Seebun-hujin yang
berada dihadapannya sebagai musuh besar pembunuh ibunya,
bahkan nyaris hendak menghabisi nyawanya.
Tapi sekarang, dari pengakuan ayahnya dia baru tahu, ternyata
perempuan yang telah membuat "ibu"nya mati karena sedih
sesungguhnya adalah ibu kandung dia sendiri!
Kini, dia sudah tahu bahwasanya semua peristiwa itu merupakan
kenyataan yang tidak terbantahkan, namun dalam perasaan, dia
belum dapat menerimanya dengan begitu saja.
Seebun-hujin sendiripun merasakan kepedihan yang luar biasa,
untuk sesaat dia tidak tahu apa yang harus dikatakan, satu
gelombang belum reda, gelom-bang lain telah datang melanda.
Setelah tertegun berapa saat, tiba-tiba Seebun Yan berteriak
keras, "Ibu, apakah semuanya ini kenyataan?"
Nada suaranya dipenuhi rasa bimbang bercampur gusar,
suaranya berubah jauh lebih tidak sedap didengar daripada suara
Bouw It-yu. Perlu diketahui, biarpun dia tidak mempunyai seorang ayah, tapi
sejak kecil dia sangat menyanjung kehadiran seorang ayah. Gadis
ini tidak rela membiarkan ayahnya memiliki seorang istri yang tidak
setia, dia tidak rela dirinya ditipu selama banyak tahun oleh ibunya.
"Anak Yan," kata Seebun-hujin lagi, "aku memang telah
melakukan kesalahan. Tapi aku tidak pernah mempermalukan
ayahmu. Aku berhubungan lebih dulu dengan ayah anak Yu
sebelum kenal dengan ayahmu, dan dia mengetahui akan hal ini!"
"Aku tidak mau mendengar!" tiba-tiba sikap Seebun Yan sama
seperti sikap Bouw It-yu tadi, dia mulai berteriak keras, bahkan
sambil menutupi wajah sendiri kabur meninggalkan tempat itu.
"Anak Yan!" teriak Seebun-hujin, wajahnya pucat pias.
Baru saja dia berteriak, Bouw It-yu sudah ikut lari meninggalkan
tempat itu. "Anak Yu," seru Bouw Ciong-long, "semuanya ini merupakan
kesalahanku seorang, kalau ingin marah, marahlah kepadaku!"
Bagaimana pun juga usia Bouw It-yu jauh lebih dewasa, dia lebih
mengerti urusan, kendatipun pikiran dan perasaannya sangat kalut,
namun dia tidak seperti Seebun Yan, sama sekali tidak memberi
jawaban. "Ayah, ibu.... berilah kesempatan kepadaku untuk berpikir lebih
tenang. Aku segera akan mencari adik Yan!"
Bouw Ciong-long menghembuskan napas lega, ujarnya kemudian
sambil tersenyum, "Beng-cu, coba dengar, dia sudah memanggil ibu
kepadamu." Tapi dalam pendengaran Seebun-hujin, panggilan "ibu" dari
Bouw It-yu diucapkan dengan nada terpaksa. Bahkan dia merasa
memikul beban tekanan batin yang jauh lebih banyak daripada
Bouw Ciong-long, sudah jelas putrinya tidak dapat memaklumi
kejadian itu. Dengan lemas dia terduduk, katanya, "Aku tidak seharusnya
datang kemari!" "Jangan berpikir begitu, mereka hanya sekedar emosi, setelah
beberapa saat, sikap mereka pasti akan berubah lebih baik."
"Moga-moga saja begitu. Hanya saja, Cong-long, akupun harus
pergi dari sini." "Biarkan mereka kakak beradik bicara lebih lama, jangan kelewat
cepat mengusik ketenangan kedua orang itu."
"Kalau begitu kau boleh balik dulu. Sebentar biar aku sendiri
yang mencari anak Yan. Aku tidak berencana menghadiri upacara
pemakaman dari Bu-siang Cinjin."
"Beng-cu," bisik Bouw Ciong-long, "berilah kesempatan bagiku
untuk memandang wajahmu lebih lama, aku telah mengecewakan
banyak orang, terlebih kepada dirimu. Beng-cu, aku sedang berpikir,
apakah masih ada kesempatan bagiku untuk membayar semua
kesalahanku di masa lalu...."
Seebun-hujin tertawa pedih, tukasnya, "Buat apa kau singgung
lagi masalah tersebut saat ini, kini kau sudah menjadi Ciangbunjin
Bu-tong-pay!" "Tapi aku toh bisa tidak usah jadi Ciangbunjin!" pikir Bouw Cionglong
dalam hati. Tapi berhubung persoalan ini menyangkut masa-lah yang lebih
besar, tentu saja keputusan semacam itu tidak bisa dia putuskan
seorang diri. Dengan perasaan apa boleh buat ditatapnya lagi wajah kekasih
hatinya, dia hanya bisa menyimpan ucapan itu di dalam hati dan
tidak berani mengemukakan.
"Cong-long," kembali Seebun-hujin berkata, "kau masih ada
tugas berat yang sedang menanti. Sewaktu masuk tadi, apakah kau
sudah melihat kalau Lan Kau-san suami istri telah tewas di depan
rumah sana?" Seolah baru teringat kembali, Bouw Ciong-long segera bertanya,
"Tahukah kau, siapa yang telah membunuh mereka?"
"Semua perbuatan keji itu merupakan hasil karya Tong Tiongsan.
Tapi menurut cerita Yan-ji kepadaku tadi, tampaknya dia
sengaja mengatur rencana busuk dan berniat melimpahkan semua
dosa ini kepada Put-ji Tojin, ayah angkat Keng Giok-keng."
Saat itu Bouw Ciong-long masih terpengaruh oleh gejolak
perasaan hatinya, dia bertambah kaget setelah mendengar
perkataan itu. "Sewaktu datang tadi, apakah kau bertemu Keng Giok-keng?"
"Tidak, tapi aku tahu dia telah kembali, buat apa kau
menanyakan hal ini?"
"Ketika baru turun dari puncak Ci-siau-hong tadi, kulihat ada
sesosok bayangan hitam bergerak menuju ke kompleks
pemakaman, kelihatannya dia adalah Keng Giok-keng."
Perlu diketahui, dia menyusul turun dari puncak Ci-siau-kiong
lantaran menguatirkan keselamatan putranya, oleh sebab itu meski
timbul kecurigaan saat itu, namun tidak sempat untuk melakukan
penyelidikan. "Kompleks pemakaman?" seru Seebun-hujin dengan perasaan
terkejut. "Benar, kompleks pemakaman yang disediakan untuk mengubur
jenasah Bu-siang Cinjin, selama berapa bulan terakhir Put-ji selalu
tinggal disana." "Kalau begitu sudah pasti dia. Aduh.... celaka! Rencana busuk
Tong Tiong-san benar-benar kelewat kejam, bocah itu.... bocah
itu...." Tidak perlu dia menyelesaikan perkataannya, Bouw Ciong-long
sudah tahu kalau urusan ini sangat gawat.
Tampaknya Tong Tiong-san ingin menyaksikan Put-ji Tojin mati
dibunuh anak angkatnya sendiri, tindakannya ini merupakan
pelampiasan rasa gusarnya karena kekasih kesayangannya direbut
orang. Dengan berbuat demikian, bukankah dia akan jauh lebih
puas daripada turun tangan membunuhnya sendiri"
Sekalipun dia merasa berat hati untuk meninggalkan Seebunhujin,
mau tidak mau dia harus meninggalkan dirinya juga.
Terhadap Put-ji Tojin, boleh dibilang dia tidak menaruh kesan
baik, namun diapun tidak tega membiarkan dia mati konyol. Bukan
dikarenakan dia telah difitnah orang, di balik kesemuanya itu
terselip pula alasan lainnya.
Dengan kecepatan tinggi dia berangkat menuju kompleks
pemakaman, dia khawatir kedatangannya sedikit terlambat.
Put-ji Tojin mengangkat tinggi kurungan pedangnya kemudian
perlahan lahan dihujamkan ke ulu hati sendiri.
Dalam waktu sekejap Keng Giok-keng merasakan pikiran dan
perasaannya amat kalut. Terhadap musuh besar pembunuh ayahnya, tapi bersamaan juga
sebagai ayah angkat yang telah melepaskan budi memelihara dan
mendidiknya hingga dewasa, dia tidak tahu haruskah membiarkan
dia hidup terus, ataukah membiarkan dia mati dihadapannya"
Pedang Put-ji toji telah menusuk masuk ke dalam ulu hatinya,
darah segar telah menyembur keluar dihadapannya.
Tiba-tiba Keng Giok-keng menubruk maju ke depan dan merebut
kutungan pedang dari tangan Put-ji.
Meski mulut luka tidak terlalu dalam, namun Put-ji telah roboh
diatas genangan darah. Dalam keadaan begini dia tidak mampu
berkata-kata, hanya sepasang matanya belum dipejamkan, bahkan
sedang membelalak lebar sambil mengawasi pemuda itu tanpa
berkedip. Tiba-tiba terdengar suara yang lembut serasa melayang di udara
dan terkirim ke dalam telinganya, "Giok-keng, bukan dia yang
membunuh ayah ibu asuhmu!"
"Siapa yang sedang mengajak aku bicara?"
Jangan lagi pikirannya saat itu sedang kalut, sekali pun masih
dapat mempertahankan kesadaran otaknya pun dia tidak bakal
menyangka kalau Ciangbunjin nya telah datang sendiri ke sana,
bahkan sebelum melangkah masuk ke kompleks pemakanan, dia
sudah menyampaikan suara terlebih dulu.
Terhadap kematian yang menimpa Lan Kau-san suami istri, Put-ji
Tojin telah menyangkal kalau dia adalah pembunuhnya, tapi setelah
pernyataan itu disampaikan orang ini, mau tidak mau Keng Giokkeng
harus mempercayainya. Orang itu muncul dengan kecepatan luar biasa, belum lagi
orangnya muncul, seruannya telah disampaikan lebih dulu melalui
ilmu menyampaikan suara, hal ini membuktikan betapa cemas dan
gelisahnya dia. Oleh karena itulah Keng Giok-keng merasakan hatinya
bergoncang keras, segera pikirnya, 'Jangan-jangan aku memang
telah salah menuduh ayah angkat"'
Begitu ingatan tersebut melintas, perasaan benci dan dendamnya
terhadap Put-ji pun otomatis berkurang beberapa bagian.
Perlu diketahui, sejak lahir dari rahim ibunya, kedua orang
tuanya sudah mati, karena itu selama hidup belum pernah dia
bertemu dengan kedua orang tuanya itu.
Keinginannya untuk membalas dendam pun tidak lebih hanya
berdasarkan niatan dan kewajiban yang telah berlaku turuntemurun,
perasaan tersebut bercampur aduk dengan perasaan
tanggung jawabnya, sehingga niatan untuk membalas dendam
sesungguhnya tidak terlalu kuat.
Sejak dia lahir di dunia ini, hanya dua orang yang bersikap
sangat baik kepadanya, yang satu adalah ayah asuhnya Lan Kausan
dan yang lain adalah ayah angkat sekaligus gurunya Put-ji Tojin.
Perasaan kasih sayangnya terhadap dua orang ini merupakan
ikatan batin yang nyata, seakan ada sebuah tali yang tidak
berwujud telah merantai dan menyatukan mereka.
Dia sendiri mungkin belum pernah mengurai perasaan hati
sendiri secara detil, tapi alasan utama yang memaksa dia untuk


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendesak Put-ji melakukan bunuh diri bukanlah karena ingin
membalaskan sakit hati ayah ibu kandungnya, tapi lebih ditekankan
pada pembalasan dendam atas kematian Lan Kau-san berdua.
Masalah utama yang paling membuatnya sedih adalah karena dia
menyangka ayah angkatnya telah menghabisi nyawa orang tua
asuhnya. Tapi sekarang, setelah mendengar seruan Bouw Ciong-long yang
secara tegas menandaskan kalau ayah angkatnya bukanlah sang
pembunuh, otomatis simpul mati terbesar yang membelenggu
perasaan hatinya selama inipun ikut teruraikan.
Dia merampas kurungan pedang ditangan Put-ji, kemudian
katanya sedih, "Benar, orang tuaku kandung telah mati, orang tua
asuhku juga telah mati, bagaimana pun juga aku tidak boleh
membiarkan ayah angkatku ikut mati!"
Sesungguhnya perkataan itu diucapkan untuk didengar dirinya
sendiri, tapi Put-ji yang terkapar diatas genangan darah dan belum
kehilangan kesadarannya, tentu saja dapat mendengar pula
perkataan itu. Sekulum senyuman mulai menghiasi wajah Put-ji Tojin yang
pucat pasi, tapi sepasang matanya perlahan-lahan dipejamkan.
"Gihu, kau.... kau tidak boleh mati!" teriak Keng Giok-keng
terkejut. Pada saat itulah terasa desiran angin berkelebat lewat
menggoyangkan cahaya lentera dalam ruangan, tahu-tahu
Ciangbunjin Bu-tong-pay telah muncul di hadapannya.
Terkejut bercampur girang Keng Giok-keng berseru,
"Ciangbunjin, rupanya kau!"
Bu-beng Cinjin (Bouw Ciong-long) tidak sempat menjawab,
secepat kilat dia totok beberapa buah jalan darah ditubuh Put-ji,
yang digunakan adalah ilmu menotok untuk menghentikan aliran
darah, seketika itu juga darah yang mengalir keluar dari mulut luka
terhenti. "Untung luka yang dideritanya tidak terlampau berat, aku rasa
nyawanya masih dapat diselamatkan," ujar Bu-beng Cinjin sambil
menghembuskan napas lega.
Keng Giok-keng ikut menghembuskan napas lega, namun tekateki
yang mencekam pikirannya sulit untuk diuraikan.
Tampaknya Bu-beng Cinjin dapat menebak jalan pikirannya, dia
segera berkata, "Kau tidak perlu tahu darimana aku bisa
mengetahui kejadian ini, aku hanya ingin bertanya, percayakah kau
dengan perkataanku?"
"Terima kasih atas teguran Ciangbun-Cinjin sehingga tecu tidak
melakukan kesalahan besar. Untuk menyesal pun tecu merasa tidak
sempat, mana berani mencurigai" Tapi sesungguhnya tecu pun
tidak punya nyali untuk memaksa Gihu bunuh diri, di balik
kesemuanya itu masih terdapat rahasia lain yang sulit untuk
diungkap...." "Kalau memang sulit diungkap, lebih baik tidak usah kau
sampaikan kepadaku."
"Apakah Ciangbun-Cinjin telah berkunjung ke rumah tecu?"
"Betul, aku pun sudah tahu kalau orang yang mencelakai ayah
dan ibu asuhmu adalah Tong Ji-sianseng dari Suchuan. Cici mu
sudah diculik olehnya."
"Lagi-lagi ulah bangsat tua itu!" seru Keng Giok-keng terkejut
bercampur marah. "Cepatlah pergi selamatkan cicimu, serahkan ayah angkatmu
kepadaku." Karena sudah terjadi peristiwa secara beruntun, tentu saja
terpaksa Keng Giok-keng menunda urusan tentang ayah angkatnya
sementara waktu, cepat dia pergi mengejar Tong Ji-sianseng.
Setelah menghentikan aliran darah ditubuh Put-ji, Bu-beng Cinjin
menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh pendeta itu. Tapi dia
segera merasakan timbulnya tenaga perlawanan di tubuh Put-ji
Tojin, hawa murni yang dia salurkan hanya digiring untuk berputar
di antara urat urat nadinya namun sama sekali tidak digiring masuk
ke Tan-tian. Dengan adanya penolakan tersebut, usaha Bu-beng Cinjin pun
menjadi sia-sia belaka. Tanpa terasa Bu-beng Cinjin mengernyitkan dahinya, perlu
diketahui, apabila pihak penderita telah muncul keinginannya untuk
mati, maka sekalipun Hoa-tuo hidup kembali pun tidak nanti dia bisa
selamatkan jiwanya lagi. Perlahan-lahan Put-ji Tojin membuka matanya dan berkata,
"Tecu memang pantas mati, harap Ciangbunjin tidak usah
membuang tenaga lagi untuk menolong aku."
"Apakah kau merasa bersalah karena telah salah membunuh
Keng King-si" Sudah lama aku mengetahui persoalan ini, bukan
maksudku kau tidak bersalah, tapi dalang dari semua pembunuhan
itu bukanlah kau." "Tidak bisa dikatakan semua peristiwa ini timbul karena salah
paham," kata Put-ji Tojin sambil menghela napas, "ketika turun
tangan secara keji waktu itu, aku memang mempunyai kepentingan
pribadi." Kalau dibicarakan sungguh aneh sekali, sebetulnya dia tidak ingin
mati, tapi setelah memperoleh pengampunan dari Keng Giok-keng,
entah mengapa, dia justru merasa tidak punya muka lagi untuk
bertemu dengan putra angkatnya.
Dia sadar, kendatipun selembar nyawanya tetap dapat
dipertahankan, namun kondisinya ibarat seorang cacat, apalagi
sepanjang tahun dia harus memikul rasa bersalah dan menyesal,
lalu apa gunanya tetap hidup terus di dunia ini"
Sementara itu Bu-beng Cinjin berpikir, "Untuk mengobati
penyakit jiwa memang diperlukan santapan rohani, bila aku tidak
menggunakan obat yang paling keras, mungkin niatnya untuk tetap
hidup bakal lenyap untuk selamanya."
Berpikir begitu, diapun menegur, "Hmm, kau hanya ingin
bertanggung jawab atas kematian Keng King-si dan istrinya" Apakah
kau lupa masih ada seseorang lain yang lebih penting, sebuah kasus
besar yang lebih penting?"
Put-ji Tojin tertegun seketika, dengan napas ter-sengkal bisiknya,
"Ciangbun Cinjin, kau.... maksudmu...."
Tiba-tiba wajah Put-ji yang pucat pias mulai mengejang keras,
katanya lagi agak tergagap, "Kau.... kau maksudkan guruku semasa
preman dulu?" "Betul. Aku ingin tanya apa penyebab kematian guru premanmu
dulu, Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu?"
"Aku.... aku tidak tahu. Malam itu aku tidak berada dirumah.
Sekembali dari pergi,.suhu telah mati dibunuh orang."
"Bagaimana keadaan matinya?"
"Sepertinya dihantam oleh tenaga pukulan aliran perguruan kita
sendiri." "Malam itu kau pergi ke mana?"
"Oleh karena Ciangbunjin telah menanyakan persoalan ini, tecu
akan menjawab sejujurnya. Sewaktu mendapat kabar kalau Keng
sute bakal pulang ke rumah, akupun pergi untuk mencari kabar.
Malam itu aku tinggal di rumah seorang famili keluarga Ho di kaki
gunung Boan-liong-san, hingga kini orang itu masih hidup, dia
bersedia menjadi saksi mataku."
"Karena itu kau curiga pembunuhan itu dilakukan Keng King-si,
dan pada hari kedua kau mengajak si orang tua Ho Liang untuk naik
ke gunung Boan-licng-san dan melakukan penghadangan?"
"Waktu itu aku memang salah informasi dan kelewat percaya
dengan segala rumor, kusangka Keng King-si betul-betul telah
menjadi mata-mata bangsa Boan, ditambah lagi pada malam itu, di
saat aku sedang keluar rumah untuk mencari berita tentang dirinya,
ternyata sebelum aku tiba kembali di rumah, dia sudah berkunjung
dulu ke rumah kami dan melakukan pembunuhan."
"Tapi, bukankah dia pulang dari luar perbatasan bersama-sama
Sumoymu" Sumoymu adalah putri tunggal gurumu!"
Maksud ucapan itu sangat jelas, dia sedang menuduh Put-ji tidak
punya otak, karena kecurigaan yang timbul dalam benaknya
sesungguhnya tidak masuk akal.
Semu merah muncul dari balik wajah Put-ji yang pucat, cepat
sahutnya, "Malam itu dia pernah meninggalkan Sumoy hampir dua
jam lamanya, hal ini pernah kuinterogasikan pada mereka, Sumoy
mengatakan hal itu kepadaku. Meskipun saat itu Sumoy telah
memberi penjelasan juga kepadaku, namun aku tetap tidak
percaya." "Dan sekarang?"
Paras muka Put-ji Tojin nampak semakin duka, sahutnya lirih,
"Tahun berselang aku telah berkunjung ke Liauw-tong, sedikit
banyak aku berhasil juga mendengar segala sesuatu yang
berhubungan dengan Keng-sute semasa hidup disana, tampaknya
aku memang telah salah menduganya."
"Tapi kau belum pernah melakukan pembelaan atas watak dan
perangai Keng King-si dihadapan gurumu Bu-siang Cinjin, kenapa
kau selalu hanya mengatakan kalau kemungkinan besar kau telah
salah menuduhnya." "Benar, aku memang pantas mati, aku memang egois, aku hanya
memikirkan kepentingan sendiri," kata Put-ji sambil memukul dada
sendiri berulang kali. "Oleh karena kau sudah tahu menyesal, dalam hal ini aku tidak
akan melakukan pengusutan lagi. Tapi waktu itu kau selalu
bersikeras menuduh Keng King-si lah yang telah membunuh
gurunya, kecuali dikarenakan kau percaya dengan isu yang sengaja
dilontarkan mata-mata bangsa Boan, apakah masih ada alasan
lainnya?" "Soal ini.... soal ini...."
Tampaknya dia sedang menduga-duga apa tujuan Ciangbunjin
yang sebenarnya, sehingga meski ingin menjawab namun dia pun
tidak berani mengatakannya.
Kembali Bu-beng Cinjin berkata, "Aku dengar sewaktu guru
premanmu dibunuh orang, dia sempat menjerit kaget sambil
berteriak." ternyata.... ternyata kau! Benarkah ada kejadian seperti ini?"
Put-ji Tojin membelalakkan matanya lebar-lebar, sorot matanya
dipenuhi rasa takut bercampur ngeri, beberapa saat kemudian dia
baru berkata, "Malam itu hanya Ho Liang seorang yang berada di
rumah, dia bilang perkataan yang diucapkan suhu didengarnya
dengan mata kepala sendiri, jadi akupun tidak tahu apakah benar
atau tidak!" "Hanya sepatah kata?" desak Bu-beng Cinjin.
"Tegasnya hanya setengah patah kata. Guru hanya memaki:
Kau.... kau binatang.... hanya sampai separuh jalan, suhu telah
putus nyawa." Bu-beng Cinjin manggut-manggut, katanya kemudian, "Separuh
patah katamu jauh lebih banyak dari-pada apa yang kudengar dari
orang lain, tidak heran kalau orang lainpun jadi curiga."
"Tidak heran" apa" Tampaknya memang tidak perlu Put-ji
melukis ular diberi kaki lagi. Biasanya kalau seorang guru silat
mengumpat "binatang", kalau bukan putranya yang dimaksud,
pastilah muridnya yang dituju.
Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu tidak berputra, jadi umpatannya
"binatang" kalau bukan ditujukan untuk muridnya lalu siapa lagi"
Padahal perkataan yang disampaikan Ho Liang bukan hanya
separuh kata itu saja, tapi Put-ji kuatir bila dia bicara makin banyak
maka kecurigaan orang terhadap dirinya bisa makin besar, maka dia
tidak berani bicara lebih jauh.
Dengan sorot tajam Bu-beng Cinjin mengawasi wajahnya,
kemudian bertanya, "Apakah gara-gara separuh kata itu maka kau
mencurigai adik seperguruanmu?"
"Menurut Ho Liang, dia sempat melihat bayangan punggung
orang itu, menurutnya orang itu mirip....
mirip Keng-sute." "Tapi kalau ditinjau dari pelbagai kenyataan yang berhasil kita
kumpulkan sekarang, dapat disimpulkan bahwa sembilan puluh
persen pembunuhnya bukan Sute mu!"
Keringat dingin mulai bercucuran membasahi punggung Put-ji
Tojin, dengan napas tersengkal bisiknya, "Ciangbunjin, jadi kau
mencurigai aku?" Bu-beng Cinjin tidak menjawab, dengan sorot mata yang tajam
bagaikan mata golok ditatapnya wajah tosu itu tanpa berkedip.
"Bukan aku, sumpah bukan aku!" teriak Put-ji Tojin dengan suara
parau, "Ciangbun-Cinjin, kau...."
Tiba-tiba sorot mata Bu-beng Cinjin berubah, dengan suara yang
lebih lembut ka tanya, "Aku mempercayaimu!"
Put-ji menghembuskan napas lega, peluh dingin telah membasahi
seluruh pakaiannya, dia merasa seolah baru saja lolos dari lubang
jarum. Terdengar Bu-beng Cinjin berkata lebih lanjut, "Tapi sayang
belum cukup hanya aku seorang yang mempercayaimu. Kau baru
bisa terlepas dari segala tuduhan setelah kasus pembunuhan ini terungkap."
"Baik, aku tahu."
"Oleh karena itu kau tidak boleh mati, kalau tidak, bila kau
sampai mati maka biar dicuci dengan air lautan pun, dosa mu
tidakbakalan terhapus!"
"Teguran Ciangbunjin sangat tepat, biar tecu harus jadi cacat
pun tetap akan hidup terus."
Sekalipun kondisi tubuhnya bertambah lemah sehingga apa yang
seharusnya ingin disampaikan pun sudah tidak sanggup diucapkan,
malah dia telah memejamkan matanya, namun hawa murni yang
disalurkan Bu-beng Cinjin ke dalam tubuhnya segera mengalir
masuk ke dalam Tan-tian dengan lancar.
Setelah Bu-beng Cinjin melihat pendeta itu tertidur pulas, meski
perasaan hatinya sedikit agak lega, namun tidak urung dalam
hatinya dia tertawa getir juga.
Delapan belas tahun berselang, beberapa orang tokoh penting
dari Bu-tong-pay telah mati terbunuh secara beruntun, diantaranya
terdapat ketua para Tianglo Bu-kek Tojin, ada Ji-ou Thayhiap Ho Kibu,
ada pula Ting Hun-hok yang satu level dengan Ho Ki-bu.
Di antara ketiga korban pembunuhan itu, berbicara soal tingkat
kedudukan maka Bu-kek Tianglo yang paling tinggi, tapi kalau
berbicara dari tingkat kasus maka terbunuhnya Ho Ki-bu merupakan
kasus kunci yang paling penting.
Sebab dari pelbagai gejala dan bukti yang berhasil dikumpulkan
dapat ditarik kesimpulan bahwa Ho Ki-bu merupakan target utama
yang hendak dibunuh pihak lawan, sementara dua orang lainnya
hanya karena secara kebetulan bertemu dengan kejadian ini maka
otomatis mereka ikut tergulung dalam peristiwa berdarah itu.
Itu berarti asal kasus yang pertama dapat diuraikan, maka dua
kasus lainnya secara otomatis akan tersingkapjuga.
Yang pasti hanya orang luar biasa yang sanggup membokong
mati tiga orang jago lihay dari Bu-tong-pay, dan jelas peristiwa ini
merupakan kasus yang luar biasa.
Sesudah terjadinya beberapa kasus pembunuhan ini, secara
diam-diam Ciangbunjin Bu-tong-pay saat itu Bu-siang Cinjin pernah
menghubungi sute nya ini, yang saat itu masih merupakan seorang
murid preman, Bouw Ciong-long untuk bantu dia melakukan
penyelidikan. Kini, setelah kejadian itu lewat delapan belas tahun lamanya,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiong-ciu Thayhiap Bouw Ciong-long pada waktu itu kini telah
menjadi ketua Bu-cong-pay yang baru dengan nama Bu-beng Cinjin,
namun dia masih tetap gagal untuk mengungkap siapa dalang
pembunuhan yang sebenarnya.
Tapi ada satu hal dia telah mengetahuinya, yakni ditemukannya
sebatang jarum Lebah hijau milik Siang Ngo-nio dalam kerangka
kepala si orang tua Ho Liang. Putranya Bouw It-yu yang melaporkan
penemuan ini kepadanya. Bahkan jauh sebelum putranya melaporkan penemuan itu, dia
sudah curiga kalau Siang Ngo-nio tersangkut dalam kasus
pembunuhan ini. Sebab dua patah kata pertama yang diucapkan Ho Ki-bu di saat
menemui ajalnya merupakan kata-kata yang pernah diungkap Siang
Ngo-nio ketika suatu kali dia sedang menikmati arak bersama
perempuan itu. Waktu itu dia sempat bertanya kepada Siang Ngo-nio, tapi
perempuan itu segera berkata, "Kau sangka aku memiliki
kemampuan untuk membuat mati Ho Ki-bu serta Bu-kek Totiang"
Kalau memang sudah tahu kalau bukan aku, maka apa yang tidak
ingin kukatakan lebih baik tidak usah kau tanyakan lagi!"
Watak Siang Ngo-nio membuat dia kehabisan daya, lagipula dia
sendiripun mempunyai banyak hal yang membuatnya was-was,
terpaksa dia lepaskan Siang Ngo-nio dan berusaha melacak dari
jalur lain. Kini dari mulut Put-ji dia berhasil mendapat tahu keadaan di saat
Ho Ki-bu terbunuh, bahkan apa yang diperoleh jauh lebih lengkap
dan terperinci, selama delapan belas tahun lamanya, untuk pertama
kalinya dia memperoleh sedikit gambaran tentang seluk beluk kasus
pembunuhan ini. "Jangan-jangan pembunuhnya adalah Tong Ji-sianseng?" tapi
ingatan lain segera melintas, "Tong Ji-sianseng hanya bisa dikatakan
mengerti ilmu silat aliran Bu-tong, seharusnya dia membunuh Ho Kibu
dengan mengandalkan ilmu pukulan perguruannya."
Setelah berpikir sekian lama, mendadak dia teringat lagi akan
seseorang, seseorang yang membuatnya amat terperanjat.
"Jangan-jangan orang itu adalah.... adalah...."
Dia tidak berani berpikir lebih lanjut. Andaikata bukan terpaksa,
dia tidak ingin ribut apalagi bermusuhan dengan orang itu.
Terpaksa dia pun memusatkan kembali perhatiannya pada Tong
Ji-sianseng. Menurutnya, sekalipun Tong Ji-sianseng tidak tersangkut dengan
beberapa kasus pembunuhan itu, paling tidak dia bisa mencari
keterangan atau titik terang dari tubuhnya.
Karena antara dia dengan Siang Ngo-nio punya ikatan hubungan
yang luar biasa, rahasia yang diketahui Siang Ngo-nio sudah pasti
diketahui pula olehnya. Bahkan besar kemungkinan berita yang
dibocorkan Siang Ngo-nio setelah pesta arak waktu itupun berasal
dari mulutnya. Di samping itu, bukankah belum lama berselang Tong Ji-sianseng
telah menjadi pembunuh yang telah mengeksekusi Lan Kau-san dan
istrinya" Memang, Lan Kau-san dan istrinya hanya orang kecil yang sama
sekali tidak berbobot, namun bagaimana pun juga, lokasi
terbunuhnya mereka adalah diatas gunung Bu-tong, sebagai
Ciangbunjin Bu-tong-pay tentu saja dia tidak bisa berpangku tangan
membiarkan orang itu melakukan kejahatan semaunya kemudian
pergi dengan begitu saja.
Tapi.... bukan satu pekerjaan yang mudah untuk menghadapi
Tong Ji-sianseng, bahkan tidak dapat disangkal, peristiwa itu pasti
akan menyeret Siang Ngo-nio juga. Bila penanganannya sedikit saja
keliru, peristiwa ini bisa meletus menjadi berita paling memalukan
dalam dunia persilatan. Lebih baik membiarkan Tong Ji-sianseng dan Siang Ngo-nio pergi
meninggalkan gunung Bu-tong, atau mumpung baru saja terjadi, dia
segera menghadang mereka dan menggusurnya ke atas gunung"
Bu-beng Cinjin merasa serba salah, menyaksikan Put-ji yang
terlelap tidur, dia hanya tertawa getir.
Mimpi pun dia tidak menyangka, tidak usah dia turun tangan
sendiripun waktu itu sudah ada seseorang menghadang jalan pergi
Tong Ji-sianseng. Waktu itu Tong Tiong-san baru saja turun dari puncak Tian-kihong.
Siang Ngo-nio sambil membopong Lan Sui-leng berjalan di
depannya. Bebatuan di puncak Tian-ki-hong hitam bagai baja, medannya
selain naik turun tidak menentu bahkan seluruh puncak berwarna
hitam pekat dan amat tandus.
Ada satu keuntungan bagi mereka dengan memilih di bawah
bukit ini, dalam sekilas pandang mereka dapat memeriksa apakah di
sekitar sana terdapat jebakan atau tidak.
Medan yang curam dan berbahaya sama sekali bukan jadi
halangan bagi mereka berdua.
Siang Ngo-nio sendiri karena dilindungi oleh Tong Tiong-san,
apalagi dia pun membawa Lan Sui-leng sebagai sandera, maka
perempuan itu tidak perlu merasa takut atau khawatir.
Di puncak Tian-ki-hong terdapat sebuah batu cadas, bentuknya
mirip seorang Tojin yang sedang berjongkok sambil mengawasi
tungku obat dihadapannya, batu berbentuk tungku obat itu
berwarna hitam kemerah-merahan.
Karena bentuknya yang unik, bebatuan itu dinama kan "Lo-kunlian-
wan" (Tosu tua memasak obat), merupakan salah satu tempat
wisata yang terkenal di gunung Bu-tong.
Ketika Siang Ngo-nio sedang berjalan melewati bawah kaki "lokun"
itu, dia berjalan santai dan sama sekali tidak berjaga-jaga,
tidak disangka tiba-tiba "lo-kun" itu bergerak dan hidup.
Seorang tosu berbaju hitam yang menyaru sebagai "Lo-Kun" tibatiba
melompat turun dari atas tebing dan langsung menerkam Siang
Ngo-nio. Perempuan ini cukup cekatan, walaupun dalam kondisi tidak siap
namun dia segera dapat menebak niat tosu itu, tampaknya pihak
lawan berniat merebut sanderanya, Lan Sui-leng.
Buru-buru Siang Ngo-nio memutar tubuh sambil menyodorkan
tubuh Lan Sui-leng ke arah tosu tadi, ejeknya sambil tertawa dingin,
"Apakah kau menghendaki nyawa bocah perempuan ini?"
Siapa tahu tosu tersebut sama sekali tidak ambil perduli atas mati
hidup Lan Sui-leng, baru selesai perempuan itu mengancam, sebuah
pukulan keras dari tosu itu sudah dihantamkan ke tubuh Lan Suileng.
Dalam anggapan Siang Ngo-nio, tosu itu ingin merebut
sanderanya sebagai Hu pelindung diri, dia sama sekali tidak
menyangka jika "Hu pelindung diri" itu sekarang malah dipakai
lawan sebagai alat untuk menggempurnya.
Dalam waktu singkat dia merasakan dadanya seolah dihantam
dengan martil besar, belum sempat berpikir lebih jauh, sandera
yang berada di tangannya tahu-tahu telah berhasil direbut tosu
berbaju hitam itu! Bukan saja sanderanya berhasil direbut, perempuan itupun
merasakan tubuhnya gontai bagaikan api lilin yang terhembus
angin, untung tidak sampai roboh terjengkang.
Perubahan yang terjadi sangat tiba-tiba ini bukan saja jauh
diluar-dugaan Siang Ngo-nio, Tong Ji-sianseng pun tidak pernah
menduga sebelumnya. Bagaimana pun juga dia adalah seorang tokoh yang luas
pengalamannya dalam dunia persilatan, reaksi yang dilakukan
sangat cepat dan tepat. Sebelum tubuh Siang Ngo-nio roboh
terjengkang, dia telah melepaskan satu pukulan ke punggung
perempuan itu. Siang Ngo-nio buru-buru mengendalikan diri, selang beberapa
saat kemudian perlahan-lahan dia baru roboh ke tanah. Biarpun
akhirnya perempuan itu roboh juga, namun Tong Ji-sianseng segera
menghembuskan napas lega, seolah baru saja terlepas dari beban
berat. Ternyata ilmu pukulan yang digunakan tosu berbaju hitam itu
adalah ilmu Li-uh-coan-kang (mengirim tenaga dari balik benda)
yang merupakan ilmu pukulan tingkat tinggi, meskipun serangan itu
dihantamkan ke tubuh Lan Sui-leng, namun korban yang terkena
sasaran adalah Siang Ngo-nio.
Pukulan yang kemudian dilancarkan Tong Tiong-san bermaksud
untuk memunahkan tenaga pukulan yang dikirim lawan.
Pertarungan semacam ini sama artinya dengan meminjam tubuh
Siang Ngo-nio sebagai media untuk beradu tenaga dalam,
kendatipun tidak sampai mencabut nyawa perempuan itu, tidak
urung getaran dan guncangan tenaga dalam yang dipancarkan ke
dua orang jago lihay itu akhirnya membuat dia jatuh tidak sadarkan
diri. Itupun masih beruntung karena pukulan dari Tong Tiong-san tiba
tepat waktunya, coba kalau bukan begitu, niscaya selembar jiwanya
akan melayang. Kini, walaupun dia tidak sadarkan diri, namun tidak sampai
menderita luka dalam. Reaksi yang dilakukan Tong Tiong-san benar-benar amat cepat,
disaat dia melepaskan pukulan ke tubuh Siang Ngo-nio tadi,
segenggam senjata rahasia telah disambitkan pula ke tubuh tosu
berbaju hitam itu. Gerakan yang dilakukan kedua belah pihak sama-sama cepatnya,
mula pertama tosu berbaju hitam itu melempar dulu tubuh Lan Suileng
ke arah belakang, kemudian tangannya diayunkan, sebutir batu
cadas sebesar telur itik segera diremasnya jadi hancuran batu
kerikil, kemudian dengan gaya Thian-li-san-hoa (gadis langit
menebar bunga) dia tebar hancuran batu itu ke depan.
"Triiing.... traaangg...." suara dentingan nyaring bergema
berulang kali, sebagian besar senjata rahasia yang dilontarkan Tong
Tiong-san nyaris berhasil dijatuhkan, tinggal dua butir peluru yang
meluncur tidak beraturan berhasil menghindari hantaman batuan itu
dan langsung melesat ke hadapan tubuh tosu itu.
Cepat tosu itu mengebaskan ujung bajunya, ke dua butir peluru
itu seakan melekat diujung bajunya, untuk sesaat hanya berputar
tiada hentinya. Mula pertama Tong Tiong-san nampak berseri karena girang, tapi
berapa saat kemudian paras mukanya berubah. Ternyata kedua
butir peluru itu telah berhenti berputar, sedikit saja menggetarkan
bajunya, tahu-tahu kedua biji peluru itu telah meluncur masuk ke
dalam saku tosu berbaju hitam itu.
Kalau peluru geledek Bi-lek-tan saja tidak mampu melukai tosu
itu, tentu saja senjata rahasia lain tidak akan menghasilkan apa-apa,
dalam keadaan begini terpaksa menang kalah harus ditentukan
dengan beradu ilmu silat.
Tosu berbaju hitam itu menggerakkan tangannya mendayung ke
samping membentuk satu lingkaran busur, dia menggiring tenaga
pukulan dari Tong Tiong-san melenceng ke samping.
Tampaknya Tong Tiong-san sudah menduga akan hal itu, tibatiba
gerak pukulannya berubah, dari sudut yang sama sekali tidak
terduga dia melakukan satu perubahan dan...."Plaaak!" sepasang
tangan pun saling beradu.
Tong Tiong-san merupakan tokoh yang sangat hebat dari
keluarga Tong selama seratus tahun terakhir, bukan saja senjata
rahasianya merupakan nomor wahid di kolong langit, tenaga dalam
yang dimiliki pun boleh dibilang sejajar dengan para jago mana pun.
Siapa sangka tenaga dalam yang dilontarkan keluar seolah
tergiring masuk ke dalam ruangan dengan pintu baja yang berlapislapis.
Sekalipun tidak sampai hilang lenyap begitu saja, namun
setiap kali berhasil melampaui selapis pintu, daya kekuatannya
serasa ikut hilang separuh bagian.
Kejut bercampur heran Tong Tiong-san segera berpikir, "Rasanya
tenaga dalam aliran Bu-tong-pay tidak seperti ini, tapi cara yang dia
gunakan justru merupakan tehnik lembek melawan keras dari Thaykek-
kun. Ehmmm, tidak betul, tenaga yang dia gunakan sama sekali
bukan tenaga lembek yang murni, jelas dia adalah tosu Bu-tong
yang menjadi pendeta di tengah jalan!"
Ternyata dibalik tenaga lembek yang digunakan tosu itu untuk
menempel dan melekat di seputar serangannya, lamat-lamat muncul
'sudut tonjolan", padahal inti dari tenaga dalam aliran Bu-tong-pay
mengutamakan "bulat dan berputar natural". Dengan kesempurnaan
tenaga dalam yang dimiliki tosu itu, tidak seharusnya terjadi sudut
tonjolan seperti ini. Tiba-tiba Tong Tiong-san tersadar, segera teriaknya, "Aku tahu
siapakah kau, kau.... kau adalah...."
Tiba-tiba tosu berbaju hitam itu tertawa dingin kemudian menarik
kembali tenaga pukulannya.
Yang paling susah dipelajari seorang pesilat adalah menyerang
dan menarik kembali tenaganya sekehendak hati, khususnya disaat
sedang bertarung melawan musuhnya, menyerang maupun menarik
kembali tenaganya harus dilakukan tepat waktu, bahkan lebih susah
lagi ketika menarik kembali tenaganya secara mendadak.
Padahal waktu itu mereka berdua sedang bertarung sengit,
ditariknya kembali tenaga pukulan tosu berbaju hitam itu secara
mendadak, sesungguhnya mengandung resiko yang amat besar.
Jika tenaga lawan sedikit saja berkurang maka pihak lawan bisa
manfaatkan kesempatan itu untuk menyerang balik, dari lemah
berubah jadi kuat, dari kalah bisa berubah menjadi menang. Tapi
sebaliknya, cara inipun bisa digunakan untuk mundur tapi kemudian
maju lagi, melancarkan sergapan tanpa diduga.
Tapi berhubung pertama, Tong Tiong-san sudah tahu siapakah
tosu itu, kedua diapun tidak menyangka pihak lawan berani
membuyarkan tenaga serangannya dalam keadaan seperti ini,
kontan saja tubuhnya kehilangan keseimbangan hingga tidak ampun
dia maju terhuyung sejauh beberapa langkah.
Dalam keadaan seperti ini, asal tosu berbaju hitam itu menambah
sebuah pukulan lagi di punggungnya, niscaya dia akan mati atau
paling tidak terluka parah.
Buru-buru Tong Tiong-san mengendalikan keseimbangan
tubuhnya lalu berpaling agak tertegun. Ternyata tosu berbaju hitam
itu masih berdiri tidak bergerak di posisi semula.
Biarpun sekarang dia tahu kalau tosu berbaju hitam itu tidak
berniat melukainya, namun perasaan sangsi dan ragu masih
mencekam perasaan hatinya, untuk sesaat dia tidak tahu apa yang
harus dikatakan. Terdengar tosu berbaju hitam itu berkata perlahan, "Kau tahu
siapakah aku, akupun tahu siapa dirimu. Apa yang kuketahui
tentang dirimu jauh lebih banyak daripada apa yang kau ketahui
tentang aku!" Tentu saja yang dimaksud Tong Tiong-san tadi sebagai "Aku tahu
siapa kau" mengartikan kalau dia sudah tahu siapakah tosu berbaju
hitam itu. Tapi "tahu" yang dimaksud tosu berbaju hitam itu jelas bukan
menunjukkan manusia melainkan masalah. Dan masalah yang
dimaksud, tentu saja bukan masalah biasa melainkan rahasia yang
tidak ingin diketahui orang lain.
Bagaimanapun Tong Tiong-san adalah seekor rase tua yang licik,
segera ujarnya, "Baik, kalau kau tidak bicara, akupun tidak akan
bicara!" "Tidak, yang seharusnya disampaikan harus disampaikan, yang


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak seharusnya diucapkan, tidak perlu diucapkan!"
"Soal itu aku mengerti, hanya saja mengenai bocah
perempuan...." Sambil berkata Tong Tiong-san menengok sekejap ke arah Lan
Sui-leng yang tergeletak ditanah.
"Tidak usah kuatir, biar guntur membelah bumi pun dia tidak
bakal mendengar," tukas tosu berbaju hitam itu cepat.
Kini Tong Tiong-san sudah berhasil menenangkan hatinya, tentu
saja diapun dapat melihat bahwa sewaktu tosu berbaju hitam itu
membanting Lan Sui-leng, bukan saja telah menggunakan tehnik
melempar yang hebat hingga membuat gadis itu sama sekali tidak
terbuka, bahkan telah menotok jalan darah tidurnya.
"Jadi kedatanganmu lantaran bocah perempuan ini?" tanya Tong
Tiong-san kemudian. "Secara khusus aku datang kemari untuk menunggu
kedatanganmu, hanya saja bocah perempuan ini adalah cicinya
seorang sahabat kecilku, karena telah bertemu disini, anggap saja
aku sedang minta keringan-an tanganmu untuk membebaskannya."
"Baik, bisa saja kuserahkan bocah perempuan ini kepadamu, tapi
kau pun tidak boleh menyusahkan aku!"
Perlu diketahui, diatas gunung Bu-tong saat ini hanya dua orang
yang benar-benar memiliki kemampu-an untuk mempersulit dirinya,
yang satu adalah Bu-beng Cinjin dan yang lain adalah tosu berbaju
hitam itu. Oleh karena itu, asal tosu berbaju hitam itu bersedia mengijinkan
dia bersama Siang Ngo-nio turun gunung, maka diapun tidak
membutuhkan Lan Sui-leng lagi untuk dijadikan sandera.
"Tukar menukar kado memang sesuatu yang sangat
menyenangkan, tapi rasanya kau seperti lupa dengan sepatah kata
yang telah kuucapkan tadi."
"Apa?" "Kedatanganku kemari adalah khusus untuk menantikan dirimu!
Bila hanya dikarenakan bocah perempuan itu, masa aku musti
bersusah payah menanti kan kedatanganmu?"
"Jadi kau masih punya maksud lain?"
"Boleh dibilang aku ingin menawarkan sebuah transaksi."
"Baik, katakan saja!"
"Jangan kuatir, aku tidak berniat menyusahkan dirimu, tapi itu
pun hanya terbatas tidak akan menyusahkan dirimu saja."
Dengan ditambahnya ucapan tersebut, jelas artinya jadi jauh
berbeda. Dengan perasaan terkejut Tong Tiong-san berseru:
"Maksudmu...." "Asal kau turun gunung seorang diri, bukan saja aku tidak akan
menyusahkan dirimu bahkan akan membantumu. Namun Siang
Ngo-nio harus tetap tinggal disini! Kita semua adalah sahabat lama,
aku tidak akan membohongimu, aku hanya ingin meminjam Ngo-nio
untuk dipakai!" Melotot besar sepasang mata Tong Tiong-san saking gusarnya,
dengan suara dalam tegurnya, "Bukankah kau mengatakan kita
adalah sahabat lama" Tahukah kau karena apa aku datang kemari"
Aku datang ke gunung Bu-tong justru karena dia. Masa kau ingin
pinjam untuk memakainya?"
"Pikiranmu jangan kotor duluan," tukas tosu berbaju hitam itu
senyum tidak senyum, "aku hanya ingin meminjamnya untuk
menghadapi seseorang, bukan berniat meminjamnya untuk dipakai
dalam arti lain. Lagipula setelah selesai upacara penguburan Busiang
Cinjin, aku akan mengembalikan dia ke sisimu, kujamin tidak
bakal kekurangan seujung rambut pun."
"Ternyata kau ingin menggunakan dia untuk mengancam Bouw
Ciong-long!" teriak Tong Tiong-san makin gusar.
"Asal kita sama-sama mengertikan sudah cukup, buat apa musti
disebut terang-terangan!" sela tosu itu dengan tidak suka hati.
Coba berganti orang lain, aneh jika Tong Tiong-san tidak
merobek tubuhnya jadi dua. Tapi tosu berbaju hitam itu merupakan
salah satu lawan tandingnya, biarpun hawa amarah memenuhi
seluruh dadanya, dia tidak ingin segera bermusuhan dengan orang
ini. Terdengar tosu berbaju hitam itu berkata lebih lanjut, "Padahal
akupun berbuat begitu demi kebaikanmu sendiri. Coba bayangkan,
bila kita tidak bisa menaklukan Bouw Ciong-long, apa akibat yang
mungkin bisa terjadi terhadap dirimu" Kita bicarakan dulu soal
hutang piutang, kau sangka dia tidak tahu kalau orang yang
mencelakai Lan Kau-san suami istri belum lama berselang adalah
dirimu?" "Memangnya dia akan membuat perhitungan denganku hanya
gara-gara seorang petani sayur" Apalagi ilmu silatku tidak selisih
jauh darinya meski sedikit masih berada dibawahnya!"
Tosu berbaju hitam itu tersenyum.
"Kau keliru besar, si petani sayur itu mempunyai seorang anak
angkat yang punya reputasi hebat. Tentunya kau mengerti bukan,
yang kumaksudkan adalah Keng Giok-keng!"
"Lantas kenapa?" teriak Tong Tiong-san gusar, "memangnya aku
harus takut menghadapi seorang bocah ingusan?"
"Benar, dewasa ini kungfunya masih belum dapat mengungguli
dirimu, namun tidak gampang juga bagimu bila ingin menangkan
dirinya." Sengaja dia berhenti sejenak, kemudian baru perlahan-lahan
melanjutkan, "Bila kau keberatan meminjamkan Ngo-nio kepadaku,
akupun tidak akan kelewat memaksa. Terpaksa aku pun akan
berpeluk tangan sambil berdiri di luar garis, biar Bouw Ciong-long
dan Keng Giok-keng merecoki dirimu."
Tong Tiong-san adalah seekor rase tua yang licik, tentu saja dia
dapat menangkap kalau di balik perkataan itu masih terkandung
makna lain, dengan terperanjat serunya, "Apakah kau telah
mengundang mereka berdua untuk berkumpul di sini?"
"Buat apa aku musti mengundang" Bocah itu sudah tiba di bukit
Thay-cu-po." Bukit Thay-cu-po terletak hanya selisih satu tebing dengan
tempat dimana mereka berada, dengan hasil latihan semedinya
selama dua puluh tahun, tosu berbaju hitam itu mempunyai
pendengaran yang luar biasa, dia telah menangkap suara dengus
napas dari tebing seberang.
Sebagai seorang jago senjata rahasia kenamaan, tentu saja
pendengaran Tong Tiong-san tidak kalah jauh dari tosu berbaju
hitam itu, begitu pasang telinga, benar saja diapun segera
menangkap suara itu. "Seorang lelaki sejati harus tegas dalam mengambil keputusan,"
kembali tosu berbaju hitam itu berkata, "apalagi dengan kerugian
kecil bisa meraih keuntungan yang lebih besar!"
Dengan paras muka dingin kaku dan tidak mengucapkan sepatah
kata pun, Tong Tiong-san segera berlalu dari sana.
Oleh karena puncak Tian-ki-hong merupakan jalanan menuju ke
bawah gunung, Keng Giok-keng pun memilih melalui tempat ini
melakukan pengejaran. Belum lama tosu berbaju hitam itu menyembunyikan Siang Ngonio,
Keng Giok-keng telah tiba di tempat tersebut. Pemandangan
yang terlihat di depan mata membuatnya terkejut bercampur
gembira. Dia mengejar musuh karena ingin menyelamatkan encinya yang
diculik, apakah pengejarannya berhasil menyusul musuh, dan
apakah setelah berhasil menyusul musuhnya dia mampu merebut
kembali cicinya, baginya hal itu merupakan sebuah tanda tanya
besar, dia sama sekali tidak yakin.
Sungguh tidak disangka baru tiba di Tian-ki-hong, di tempat
tersebut dia telah menemukan cicinya.
Tosu berbaju hitam yang "menjaga" disisi cicinya setelah lari
menyambut kedatangannya begitu melihat kemunculan bocah muda
itu. Keng Giok-keng meski terkejut setelah melihat cicinya tergeletak
ditanah, namun setelah bertemu tosu berbaju hitam itu, seakan
bertemu sanak keluarga sendiri, dia tampak jauh lebih gembira lagi.
Tosu berbaju hitam itu hanya seorang, tapi tosu berbaju hitam
yang "dikenali" Keng Giok-keng berbeda jauh dengan tosu berbaju
hitam yang dikenali Tong Tiong-san.
Keng Giok-keng sama sekali tidak tahu kalau tosu berbaju hitam
ini dapat berbicara dan mendengar, dia hanya tahu kalau tosu
berbaju hitam itu pernah melayani Sucouwwnya selama puluhan
tahun dan dia adalah seorang Tojin bisu tuli.
Tojin bisu tuli boleh dibilang merupakan pembantu paling setia
dari Sucouwwnya, Bu-siang Cinjin, di samping itu diapun amat
sayang dirinya. Dia sudah terbiasa berdialog dengan Tojin bisu tuli menggunakan
bahasa tangan, bahkan cukup melihat "gerakan bibir" lawan, diapun
dapat menebak "perkataan" apa yang sedang disampaikan.
"Apakah kau yang berhasil menghajar siluman wanita itu dan
menyelamatkan ciriku?" tanyanya dengan bahasa tangan.
Tojin bisu tuli menuding ke arah Lan Sui-leng, melakukan
gerakan menotok jalan darah lalu menuding ke arah diri sendiri dan
gelengkan kepalanya berulang kali.
Maksudnya, Lan Sui-leng tidak terluka, dia hanya tertotok jalan
darahnya, akan tetapi dia tidak mampu membebaskan pengaruh
totokan itu. Keng Giok-keng merasa sedikit lega, dia segera maju
menghampiri dan melakukan pemeriksaan.
Ilmu totokan yang digunakan Tojin bisu tuli adalah ilmu totokan
berat, jangankan Keng Giok-keng memang tidak mengenali ilmu
totokannya, sekalipun mengerti, dengan tenaga dalamnya yang
minim belum cukup baginya untuk membebaskan.
Dia sangka ke semuanya itu hasil perbuatan Tong Tiong-san,
mimpi pun dia tidak mengira kalau orang yang telah menotok jalan
darah cirinya adalah si Tojin bisu tuli yang amat disayanginya.
Bila jalan darah terlalu lama tertotok, sekalipun pada akhirnya
bisa terbebaskan dengan sendirinya, namun hal ini akan
mendatangkan kerugian bagi tubuh. Oleh sebab itu meski dia masih
ada beberapa urusan ingin "ditanyakan" Tojin bisu tuli, dalam
keadaan begini dia tidak sempat lagi untuk berpikir lebih jauh.
Setelah menggendong tubuh cirinya, sekali lagi dia mendaki bukit
Tian-ki-hong dan berlarian menuju kompleks pekuburan Bu-siang
Cinjin. Dia ingin minta bantuan Ciangbunjin nya untuk membebaskan
pengaruh totokan cirinya. Di samping itu diapun sangat
menguatirkan keselamatan ayah angkatnya.
Walaupun ayah angkatnya telah ditangani dan ditolong langsung
oleh Ciangbunjin sehingga nyawanya tidak perlu dikhawatirkan,
namun bagaimana pun juga dia tetap merasa tidak lega hati.
Ooo)*(ooO Bu-beng Cinjin berdiri termangu sambil mengawasi Put-ji Tojin
yang telah tertidur nyenyak, pikirannya terombang-ambing tidak
menentu. Dari mulut Put-ji Tojin, dia berhasil mengumpulkan banyak data
dan titik terang seputar kasus pembunuhan misterius yang menimpa
Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu pada delapan belas tahun berselang. Ketika
titik terang baru dicocokkan dengan bukti nyata yang telah diketahui
olehnya, lambat laun jalan pikirannya makin terang dan jelas.
Tapi justru karena itu, perasaan hatinya jadi tidak tenang. Sebab
perkembangan kasus ini kemungkinan besar akan merembet pada
seseorang yang sangat tidak ingin dijumpai.
Tanpa terasa dengan perasaan bergidik, berpikir, "Bila
kecurigaanku terbukti benar, kejadian ini betul-betul merupakan
sebuah lelucon yang tidak lucu. Jauh diujung langit, dekat di depan
mata, ternyata aku masih tidak tahu akan dirinya!"
Tentu saja "lelucon" ini bukan lelucon beneran, sebab orang ini
jauh lebih sukar dihadapi ketimbang Tong Ji-sianseng.
Dalam hati kecilnya masih ada satu teka-teki lagi yang belum
berhasil dia pecahkan, dia tidak ingin segera pergi mencari orang
itu, tapi ingin mencari Tong Ji-sianseng lebih dulu untuk mencari
tahu duduknya persoalan. Akan tetapi dia pun tidak ingin mengusik Siang Ngo-nio lagi, dia
tahu dengan jelas, Siang Ngo-nio berada bersama Tong Ji-sianseng.
Sementara masih berdiri sangsi, mendadak terdengar suara
ujung baju tersampok angin berkuman-dang dari atas atap rumah.
Ternyata ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ya-heng-jin (si
pejalan malam) itu cukup lihay.
Dia adalah seorang tokoh silat berilmu tinggi, dari gesekan ujung
baju yang tersampok angin dia dapat menebak aliran ilmu
meringankan tubuh yang digunakan lawan, sekalipun bukan berarti
Pisau Terbang Li 9 Pusaka Para Dewa Karya Lovely Dear Durjana Dan Ksatria 5
^