Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 21

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 21


membengkak, maka begitu babatan tangan Bouw It-yu berlalu,
tahu-tahu paras muka orang tadi sudah berubah jadi rata kembali.
Anehnya ternyata tidak ada darah yang mengalir keluar, yang
dibabat keluar ternyata hanya segumpal benda yang segera hancur
lebur dan berserakan ditanah.
Rupanya lelaki itu telah menggunakan sebangsa pupur yang
dipekatkan untuk membuat pelbagai benjolan diwajahnya, meskipun
belum termasuk ilmu menyaru muka tingkat tinggi, namun boleh
dibilang sangat canggih dan hebat.
Tadi, sebetulnya ada banyak orang sudah merasa kalau raut
wajah orang ini sedikit agak 'istimewa', keistimewaan itu terletak
pada bentuk badannya yang kurus ceking namun memiliki bentuk
wajah yang gemuk dan sedikit melebar, sama sekali tidak serasi
dengan potongan tubuhnya.
Tapi kini, sesudah Bouw It-yu dengan andalkan sabetan
tangannya berhasil menampilkan raut muka aslinya, semua orang
baru sadar apa yang sesungguhnya telah terjadi.
Mi Jian-cong, seorang busu dari soat-pak segera berseru, "Jika
dilihat dari ilmu jari yang digunakan orang ini, rasanya mirip sekali
dengan ilmu pena keluarga Lian yang digubah menjadi ilmu jari, tapi
menurut apa yang kuketahui, ilmu pena dari keluarga Lian tidak
pernah diwariskan orang luar, sedang anak murid keluarga Lian pun
hampir semuanya kukenal, tapi belum pernah kujumpai orang ini."
Dia dapat melihat asal-usul ilmu jari yang digunakan lelaki ceking
itu, terhitung pengetahuan orang ini cukup luas.
"Kalau hanya soal ini mah buat apa kau katakan kepadaku," batin
Bouw It-yu. Namun untuk sopan santunya tentu saja dia harus berterima
kasih untuk petunjuk yang diberikan, katanya cepat, "Kalau begitu
terpaksa dikemudian hari aku harus minta petunjuk lagi dari orang
keluarga Lian." Mendadak terdengar ada orang berseru, "Hey, ke mana perginya
pemuda tadi" Kenapa secara tiba-tiba lenyap tidak berbekas" Bouwkongcu,
lebih baik kau cari kembali orang itu dan menanyainya. Dia
bisa bertarung melawan lelaki ini, siapa tahu dia sudah tahu asal
usulnya." Ternyata menggunakan kesempatan di saat semua orang sedang
heboh, secara diam-diam Seebun Yan telah melarikan diri dari situ.
Ilmu menyaru muka yang dilakukan Seebun Yan jauh lebih hebat
daripada ilmu menyamar dari lelaki ceking itu, namun ilmu pedang
yang ia gunakan tak bisa mengelabuhi ketajaman mata Bouw It-yu.
Karena dia sudah tahu kalau bocah keparat itu adalah Seebun
Yan, maka Bouw It-yu tidak segan di hadapan orang banyak lebih
membelai dirinya daripada lelaki ceking itu.
Sejujurnya dia pun sebenarnya sedang khawatir bila Seebun Yan
di bawah tekanan orang banyak melakukan keonaran lain lagi, dia
jadi merasa sangat lega setelah mengetahui gadis itu sudah tidak
berada di sana lagi. Hanya saja, biarpun Seebun Yan telah pergi namun peristiwa ini
belum bisa disudahi sampai disitu saja.
Terdengar busu dari soatpak Mi Jian-cong kembali berkata,
"Menurut pandanganku, persoalan paling penting yang harus segera
kita lakukan sekarang adalah menemukan sang pembokong.
Memang benar yang dia bunuh adalah seorang mata-mata, tapi apa
maksudnya menghabisi nyawa orang itu untuk menghilangkan
saksi" Benar bukan perkataanku?"
Diantara para tamu yang hadir, status dia terhitung paling tua
dan dihormati, tentu saja serentak semua orang menyatakan
"benar". Mi Jian-cong nampak semakin bangga, ujarnya lebih jauh, "Bila
dugaanku tidak meleset, karena dia ingin menghilangkan saksi,
berarti sang pembunuh pasti punya hubungan dengan penghianat
ini. Swan-sianseng, coba kau periksa, apa benar diantara alis mata
bajingan itu terdapat bekas lubang jarum kecil?"
Lubang kecil itu ditemukan busu tua tadi sewaktu menyentuh
tubuh lelaki ceking itu, gara-gara menyentuh tubuhnya dia ikut
keracunan, tapi sebelum jatuh tidak sadarkan diri dia sempat
memberitahukan penemuannya itu kepada semua orang.
Kini Mi Jian-cong kembali menyinggung soal ini, jelas maksudnya
adalah menegur Swan Ji-cing kenapa begitu ceroboh
mengesampingkan jejak penemuan penting itu. Buat orang lain
mungkin bukti itu tidak berguna, tapi Swan Ji-cing adalah keluarga
jago racun nomor tiga di kolong langit.
Darimana dia tahu kalau Swan Ji-cing memang enggan
membongkar rahasia tersebut karena masalah ini ada
keterkaitannya dengan keluarga Tong.
Waktu itu Swan Ji-cing sedang mempertimbangkan masalah itu
dalam hati, "Bila yang kuhisap keluar adalah jarum beracun dari
keluarga Tong, apakah aku harus berlagak bodoh" Atau bicara terus
terang?" Perlu diketahui, dengan posisinya dalam dunia persilatan, bila
berlagak tak tahu, jelas tindakan tersebut sangat membuatnya
kehilangan muka, belum tentu orang lain mau percaya kepadanya.
Sebaliknya bila bicara terus terang, jelas perbuatan nya ini sama
halnya membuat masalah dengan keluarga Tong.
Padahal senjata rahasia beracun dari keluarga Tong terhitung
nomor wahid dikolong langit, sementara dia sendiri hanya
menempati urutan ke tiga, itupun dalam hal menyelidiki obat
penawar racun, tentu saja dengan posisinya ini, dia tidak akan
berani mencari gara gara dengan keluarga Tong.
Sekalipun timbul keraguan di hati kecilnya, besi semberani yang
telah dia tempelkan diatas mulut luka tetap harus diangkat juga.
Di bawah pengawasan orang banyak, dia mengangkat perlahan
besi semberani itu dari atas alis mata lelaki ceking itu.
Dalam waktu sekejap, perasaan hatinya benar benar terasa berat
sekali, jantungnya berdebar keras.
Tapi begitu diangkat, diapun segera menghembuskan napas lega.
Ternyata di atas besi semberani itu sama sekali tidak terhisap
benda apa pun, meski sebatang jarum sangat halus dan lembut,
namun setiap orang masih dapat melihatnya dengan jelas.
"Aneh," seru Swan Ji-cing sambil menghembuskan napas lega,
"kenapa tidak ada yang terhisap keluar?"
"Jangan-jangan luka itu bukan karena tertembus jarum
melainkan terluka kena kuku bocah tadi sewaktu bertarung,"
terdengar seseorang berseru.
Seebun Yan memang memelihara kuku panjang, dan melukai
orang dengan kuku mesti merupakan kejadian langka namun bukan
berarti tidak mungkin terjadi.
Gagal menghisap keluar sesuatu, Swan Ji-cing sendiripun merasa
keheranan, pikirnya, Aneh, permainan busuk dari siapa lagi"'
Dia mencoba memperhatikan keadaan disekeliling nya, tampak
semua yang hadir sedang ramai membicara kan kejadian itu, hanya
Bouw It-yu seorang yang berdiri sambil menyunggingkan sekulum
senyuman dingin. Dalam waktu singkat dia segera memahami keadaan yang
sebenarnya, hanya saja dia menyangka Bouw It-yu pun berdiam diri
karena takut menghadapi keluarga Tong dari Suchuan, tentu saja
dia tidak menyangka kalau Bouw It-yu sedang berusaha melindungi
si Lebah hijau Siang Ngo-nio.
Lalu dengan cara apa dia menghisap keluar jarum beracun itu"
Ternyata ketika Bouw It-yu menggunakan golok tangannya
merobek penyamaran wajah lelaki ceking itu, secara diam-diam dia
telah mengerahkan tenaga dalamnya dan menghisap keluar jarum
Lebah hijau yang menancap di alis mata lelaki itu bahkan segera
memusnahkannya. Walau begitu bukan berarti tidak ada orang yang menaruh
curiga. Sejak awal Put-hui Suthay sudah curiga akan jarum Lebah
hijau milik Siang Ngo-nio.
Dia adalah salah satu korban yang pernah merasakan hebatnya
racun jahat dari jarum lebah hijau, begitu mendengar kalau kening
penghianat itu ditemukan lubang jarum, perasaan curiganya
langsung saja muncul. Put-hui Suthay adalah seorang wanita yang dengan tegas
membedakan mana budi dan mana dendam, selain sifat kerasnya
dia pun tinggi hati. Begitu timbul rasa curiganya maka tanpa berpikir
panjang lagi dia melompat keluar dari tempatnya berdiri.
"Aku akan memeriksanya sendiri, kau tunggu aku disini."
"Suhu, bagaimana kalau aku pulang dulu?"
Ternyata baru kemarin Lan Sui-leng tiba dirumah, karena saat
tiba hari sudah gelap maka dia tinggal di tokoan tempat tinggal
gurunya dan hingga kini belum pulang ke rumah.
Saat itu konsentrasi Put-hui Suthay hanya ingin melakukan
pelacakan yang jelas, bahkan setelah memeriksanya diapun tahu
kalau persoalan tidak akan beres dalam waktu singkat (andaikata
terbukti memang Siang Ngo-nio yang melakukannya).
Maka begitu muridnya minta ijin untuk pulang ke rumah
menjumpai orang tuanya lebih dulu, maka diapun segera
mengiyakan. "Baiklah, tapi kalau pulang sendirian harus berhati-hati."
Untuk menghindar agar tidak sampai bertemu dengan ayah
angkat adiknya, Put-ji Tojin, Lan Sui-leng sengaja memilih jalan di
bawah bukit. Puncak Ci-siau-hong saling berhubungan dengan puncak Tian-kihong,
kedua puncak bukit itu berdiri berjajar, kalau istana Ci-siaukiong
dibangun di atas puncak Ci-siau-hong maka puncak Tian-kihong
ibarat sebuah penahan angin bagi istana Ci-siau-kiong.
Bukit ini berbatu hitam bagai baja, bentuknya seperti sebuah
panji besar yang berkibar terhembus angin, karena bentuknya inilah
nama puncak Tian-ki-hong diperoleh.
Bila ditinjau dari bentuk medannya maka tebing ini jauh lebih
curam dan berbahaya ketimbang puncak Ci-siau-hong, itulah
sebabnya jarang sekali ada orang yang melalui tempat itu.
Lan Sui-leng sengaja memilih jalan perbukitan ini, dia berputar
dari sisi selatan istana Ci-siau-kiong lalu turun dari puncak sebelah
utama puncak Tian-ki-hong.
Sepanjang perjalanan tampak air jeram mengalir diantara
bebatuan yang curam, pemandangan alam sangat indah dan
tenang. Namun perasaan hati Lan Sui-leng justru naik turun bagai
terombang ambing di tengah samudra luas, sulit rasanya untuk
menjadi tenang kembali. Sementara dia masih menelusuri jalan bukit yang berliku-liku
itulah, mendadak terdengar suara seseorang menegurnya dengan
merdu, "Adik Leng, kau tidak menyangka bakal bertemu aku disini
bukan" Aku sudah cukup lama menanti kedatanganmu."
Orang yang muncul dihadapannya tidak lain adalah 'bocah
keparat' tadi. Walaupun 'bocah keparat' ini belum muncul dengan wajah
aslinya, namun nada ucapannya sudah pulih kembali sebagai suara
wanita. Dia memang tidak salah melihat, ternyata orang ini memang
Seebun Yan. Bahkan seperti apa yang dikatakan Seebun Yan, dia
pun seakan sudah menduga kalau dia bakal melalui jalan bukit ini.
Setelah berhasil mengendalikan diri, Lan Sui-leng segera
menegur, "Mau apa kau datang ke gunung Bu-tong?"
"Datang mencarimu!"
"Kau jangan mengajakku bergurau. Kalau ingin bergurau dengan
diriku saja tidak mengapa, tapi aku harus memberitahu kepadamu,
berada di gunung Bu-tong, kau tidak boleh membuat keonaran
sekehendak hatimu sendiri, kalau sampai terjadi sesuatu, keadaan
bisa berabe...." Seebun Yan segera tertawa terkekeh, tukasnya, "Aku telah
membuat keonaran, toh paling juga begitu. Namun denganmu....
aku tidak ingin bergurau, siapa suruh kau menolak pulang ke
rumahku, jadi terpaksa aku datang mencarimu."
"Aaaai.... aku benar-benar kehabisan akal menghadapi orang
macam kau, sebenarnya apa mau mu?"
"Masa baru saja bertemu, kau sudah ingin mengusirku" Bicaralah
barang satu dua patah kata."
"Baik, kalau ingin mengucapkan sesuatu, katakan!"
"Apakah adikmu telah kembali?"
"Aku pun sedang mengharapkan dia kembali. Eei.... apakah
kaupun sedang mencarinya?"
"Ooh, jadi dia belum pulang kemari" Bila tidak terjadi sesuatu
yang diluar dugaan, paling lambat sebelum tengah hari lusa, dia
seharusnya sudah tiba disini."
"Darimana kau tahu?"
"Nanti saja baru kubicarakan soal ini. Percaya tidak, aku benarbenar
sedang mencari dia."
Selama ini Seebun Yan sangat gemar bicara sambil bergurau,
tapi sewaktu mengucapkan perkataan barusan, dia justru nampak
serius dan bersungguh sungguh. Tidak perlu diselidiki lebih jauh
pun, Lan Sui-leng yang polos dapat melihatnya juga.
Seakan memahami akan sesuatu Lan Sui-leng segera berseru
sambil tertawa, "Aaah.... mengerti aku."
"Mengerti apa?"
"Kalau dibilang mencari aku, jelas bohong. Dibilang mau mencari
adikku pun bohong. Orang yang sebetulnya sedang kau cari adalah
Piauko mu!" Seebun Yan tidak mengaku, pun tidak menyang-kal, hanya
ujarnya sambil tertawa, "Sejak kapan kau belajar menebak jalan
pikiran orang?" "Aku bukan sedang menbak, tapi mendengar dengan telinga ku
sendiri." ?"Mendengar?" tanya Seebun Yan tertegun.
"Bukan hanya mendengar, malah telah melihatnya. Waktu itu kau
memaksa aku untuk pulang bersama mu, kemudian Bouw It-yu
muncul membelai aku. Saat itu meski aku sudah menyingkir tapi
semua pembicara-anmu masih sempat kudengar dari sisi bukit.
Waktu itu Bouw It-yu berkata begini kepadamu, bila kau sedang
mencari Tonghong Liang, sudah seharusnya ikut bersamanya pergi
Liauw-tong. Waktu itu kau bertanya kepadanya, darimana bisa tahu
kalau Tonghong Liang sedang menuju Liauw-tong, dia bilang,
diapun tidak mengetahui berita tentang Tonghong Liang, tapi tahu
kalau adikku sedang menuju Liauw-tong. Dia bilang, dimana adikku
muncul, kemungkinan besar Tonghong Liang akan segera
menyusulnya. Aku tidak salah mendengar bukan?"
"Memang tidak salah mendengar."
"Pada mulanya kau ribut dengan Bouw It-yu, tapi kemudian
setelah mendengar ucapannya, kau pun mengikutinya pergi tanpa
membantah. Aku tidak salah melihatbukan?"
Kontan saja Seebun Yan berteriak gusar, "Bagus sekali, dasar
setan cilik, kusangka kau adalah seorang nona yang jujur, ternyata
pintar sekali mencuri dengar pembicaraan orang secara diam-diam."
"Aku bukannya berniat mencuri dengar semua pembicaraan
kalian, tapi enci Yan, kau jangan percaya dengan permainan lain
dari Bouw It-yu." "Perkataan lain apa?"
"Aku memang tidak mendengar apa yang dia katakan kepadamu,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi aku dapat menduganya, apakah perkataan lain yang telah dia
sampaikan kepadamu."
Seebun Yan memang cerdas dan berotak encer, sekali dengar dia
segera mengerti, tanpa terasa ujarnya sambil menghela napas
panjang, "Rasa curiga Siau-susiok mu memang sedikit agak besar,
tapi aku sama seperti pandanganmu, tidak percaya kalau Tonghong
Liang bersahabat dengan adikmu hanya gara-gara ingin mencuri
belajar ilmu pedang dari Bu-tong-pay."
"Terima kasih banyak."
"Eeei, aku percaya Piauko ku bukan orang jahat, kenapa kau
malah berterima kasih kepadaku," seru Seebun Yan sambil senyum
tidak senyum. Merah jengah selembar wajah Lan Sui-leng.
"Kemana kau bawa perkataanmu itu, aku kan demi adikku...."
serunya. "Jangan tegang!" seru Seebun Yan kemudian sambil tertawa,
"aku hanya menggodamu. Terus terang, pada mulanya aku
memang sedikit agak cemburu ketika melihat Piauko bersikap baik
sekali kepadamu, tapi kini aku baru tahu, ternyata Piauko ku
mencintai rumah berikut seisinya, karena adikmu adalah sahabat
karibnya, tentu saja diapun harus melindungimu, bahkan bukan
cuma begitu, aku malah tahu juga kalau kau sudah mempunyai
kekasih hati, kalau sudah jadi begini, masih ada alasan apa lagi
bagiku untuk minum cuka mu?"
Perkataan itu disampaikan dengan begitu terus terang dan blakblakan,
membuat paras muka Lan Sui-leng berubah jadi merah
padam bagai kepiting rebus, serunya jengkel, "Kau lagi-lagi ngaco
belo, darimana datangnya kekasih hati?"
Seebun Yan tertawa tergelak.
"Ooh, mungkin aku harus memutar balik kata kataku, betul, dia
memang bukan kekasih hatimu, kaulah kekasih hatinya. Hey,
apakah lantaran terhalang oleh perbedaan status, maka kau jadi
sangsi dan ragu" Padahal...."
"Sudah, jangan banyak bicara lagi, kau cepat pergi!" tukas Lan
Sui-leng dengan perasaan tidak tenang.
"Baik, tolong kau menghantarku."
"Apa" Kau minta aku menghantarmu turun gunung?"
"Siapa bilang aku minta kau menghantarku turun gunung" Aku
mau bertanya, kau hendak ke mana?"
"Ke mana lagi aku akan pergi, tentu saja pulang ke rumahku."
"Tepat sekali, aku pun akan ikut pulang ke rumahmu!"
"Kau ini serius atau sedang bergurau?" tanya Lan Sui-leng
terkesiap. "Tentu saja serius."
"Mana boleh begitu?" teriak Lan Sui-leng semakin terperanjat.
"Kenapa tidak boleh" Takut ada orang melihat kau mengajak
pulang seorang laki-laki hingga timbul isu dan gosip tidak sedap di
belakangmu" Padahal bukan masalah, asal setiba dirumahmu aku
tampil kembali dengan wajah asliku, bukankah semua jadi beres"
Asal orang tuamu mengerti, perduli amat dengan segala gosip dan
isu. Lagipula jalanan ini sepi dan terpencil, belum tentu dalam
perjalanan nanti kita kepergok orang lain."
Lan Sui-leng benar-benar dibuat tertawa tidak bisa menangis pun
tidak dapat, sambil menghentakkan kakinya berulang kali dia
berseru, "Seharusnya kau memahami maksudku, bukan begitu yang
kuartikan!" "Kau takut ayah ibuku tidak suka hati?"
"Aku takut kau akan membuat bencana bila tetap berada diatas
gunung!" "Kau takut aku membuat bencana" Berarti semakin wajib
menerimaku dirumahmu, kalau tidak, kau suruh aku mencari tempat
di mana?" Akhirnya Lan Sui-leng menghela napas panjang, keluhnya, "Kau
benar-benar seorang nona yang susah dilayani, jadi kau tetap
bersikukuh baru akan pergi setelah bertemu Piaukomu" Percayalah,
perkataan Bouw It-yu tidak bisa dipegang, jangan lagi adikku belum
kembali, sekalipun dia sudah kembali, belum tentu Tonghong toako
akan mengikutinya datang kemari, "Kalau begitu, paling tidak aku
baru akan pergi setelah bertemu adikmu bukan. Begini saja, dua
hari, masa kau tega membiarkan aku hidup bergelandangan" Masa
kau tidak sudi menerimaku tinggal di rumahmu" Adikku, kaupun
sudah hampir sebulan berdiam di rumahku, sekarang aku mohon
hanya tinggal selama dua hari saja di rumahmu!"
Lan Sui-leng dibuat kelabakan dan tidak tahu apa yang harus
dilakukan, pikirnya, 'Waktu itu aku bisa tinggal dirumahmu karena
kau yang paksa aku, menculik diriku, toh bukan keinginanku secara
sukarela.' Sekalipun dia dipaksa dan diculik, namun selama tinggal dirumah
Seebun Yan sebulan lamanya, banyak menfaat yang berhasil
diraihnya, sebab itulah dia merasa kurang leluasa untuk bicara
secara terus terang. "Enci Yan, bukan aku tidak menyambut kedatanganmu dengan
suka cita, bila dihari hari biasa, aku pasti akan menerima mu dengan
penuh kegembiraan." "Oooh, jadi kau takut kehadiranku menyulitkan kau" Keliru besar,
walaupun aku telah membuat keonaran tadi, tapi hal itu merupakan
bagianku membantu Bouw It-yu untuk membongkar kasus
penyusup, dalam kejadian itu, biar ayahnya, Ciangbunjin perguruanmu
sekarang tahu siapa diriku, aku yakin dia tidak bakalan
menyalahkan dirimu. Aku berjanji tidak akan melakukan keonaran
lagi, masa kau masih takut terseret karena ulahku?"
Lan Sui-leng tahu kalau dia tidak bakal bisa memenangkan debat
melawan gadis itu, lagipula dasar jiwanya baik dan mulia, terpaksa
katanya setelah menghela napas, "Aku bukannya takut terseret oleh
perbuatanmu, aku hanya memikirkan keselamatanmu."
"Aku hanya ingin bertanya, kau setuju tidak?" tukas Seebun Yan
cepat. "Aaaai.... kau benar-benar musuh bebuyutanku, baiklah,
sekalipun aku tidak berani menaikkan derajatku dengan
menganggap kau sebagai saudara angkatku, dalam kesopanan aku
memang wajib...." "Bagus sekali," kembali Seebun Yan menukas kegirangan, "asal
tahu soal tata kesopanan, kau tidak perlu melanjutkan lagi
perkataanmu. Adikku sayang, padahal aku masih ada banyak
persoalan yang ingin dibicarakan denganmu, selama aku tinggal
dirumahmu, kujamin ayah ibumu pasti ikut gembira. Inginkah kau
tahu...." "Bila kau senang untuk membicarakan, katakan saja!"
"Dan kau?" "Biar aku tidak suka mendengar pun terpaksa harus
kudengarkan!" Mendengar itu Seebun Yan tertawa terbahak-bahak.
"Hey, apa yang lucu?" tegur Lan Sui-leng.
"Tepat sekali, sesuai dengan watakku, biar kau tak ingin
mendengarpuri aku tetap akan mengucapkannya. Kita baru
berkumpul satu bulanan tapi begitu cepat kau bisa menyelami
watakku, sungguh sebuah prestasi yang luar biasa. Tapi apa yang
ingin kukatakan kali ini, tanggung kau pasti ingin mendengarnya!"
"Sudah, tidak usah jual mahal lagi. Kalau ingin bicara cepatlah
bicara, kalau ingin.... ingin...."
Tiba-tiba dia ingat, ucapan "kalau ingin kentut cepat dilepaskan"
tidak patut diucapkan seorang gadis remaja, kontan saja dengan
wajah merah padam dia mengulang kembali kata pertama.
Ternyata Seebun Yan tidak menanggapi serius, katanya sambil
tertawa, "Kau tidak usah memujiku, yang ingin kubicarakan adalah
masalah serius, bukankah kau ingin tahu kabar berita tentang
adikmu" Nah, aku beritahu, bukan saja sewaktu di Liauw-tong aku
telah bersua dengannya, bahkan dia pernah menyelamatkan
nyawaku?" "Sungguh?" "Tapi kisah ini memang panjang untuk diceritakan, entar malam
kalau kita sedang tidur bersama saja, akan kuceritakan semuanya."
Biarpun jalan perbukitan itu sangat suci, namun Lan Sui-leng
masih tetap merasa tidak lega hati, katanya kemudian, "Baiklah, aku
justru takut kau tidak bisa membungkam mulutmu dan berbicara
tidak hentinya, kalau sampai kedengaran orang maka identitasmu
segera akan ketahuan orang. Kalau masih ingin membicarakan
sesuatu, memang lebih baik dilanjutkan di rumah saja."
Namun biarpun Seebun Yan tidak berbicara lagi, setelah berjalan
beberapa saat tidak tahan dia mulai tertawa, rupanya dia terbayang
kembali keadaan ketika Lan Giok-keng menolongnya setelah dia
terkena asap beracun dari Siang Ngo-nio ketika berada ditanah
perbukitan dekat kota Uh-sah-tin.
Sesudah berhasil memukul mundur Siang Ngo-nio, Lan Giok-keng
membopongnya masuk ke dalam gua, kemudian menggunakan pil
Bi-leng-wan yang terbuat dari teratai salju asal gunung Thian-san
untuk menyelamatkan jiwanya.
"Aku pura-pura tidak sadarkan diri, mendadak dia membuka
suara dan mengajaknya bicara, dia tersipu sipu malu hingga muka
dan telinganya jadi merah.
Hehehehe.... entah hingga sekarang dia masih tersipu malu atau
tidak" Tapi aku tidak tahan ingin sekali menggodanya lagi."
Kemudian dia berpikir lagi, "Bila waktu itu Piauko yang
membopongku, entah bagaimana pula reaksiku?"
Berpikir sampai disitu, tidak tahan senyumannya kembali hilang,
dia mulai murung dan termenung.
"Kau sinting atau edan?" tegur Lan Sui-leng cepat, "sebentar
tertawa, sebentar murung.... otaknya mulai tidak beres!"
Sekalipun dia sangat memahami watak Seebun Yan namun tidak
menyadari kalau gadis itu sedang dilanda asmara.
Ooo)*(ooO "Coba bawa kemari, apa benar jarum Lebah hijau?" begitu tiba di
tengah pelataran, Put-hui Suthay langsung menegur Bouw It-yu.
"Darimana datangnya jarum Lebah hijau?" jawab Bouw It-yu,
"jarum bwee-hoa-ciam yang biasa pun tidak terlihat. Bisa jadi luka
kecil dialis matanya disebabkan luka terkena kuku tangan."
"Sungguh?" "Benar," Swan Ji-cing berkata pula, "aku telah mencoba untuk
menghisapnya dengan batu semberani, namun tidak ada benda
yang berhasil kuhisap."
Put-hui Suthay segera menghampiri jenasah itu dan
memeriksanya sekejap dengan seksama, kemudian serunya, "Aaah,
tidak benar! Aku pernah terluka oleh jarum Lebah hijau dan tahu
bagaimana bentuk keadaannya. Lubang jarum itu sudah pasti bukan
akibat luka karena kuku tangan!"
Sementara berbicara, matanya dialihkan ke wajah Bouw It-yu.
"Tapi Swan-sianseng telah mencobanya," kata Bouw It-yu,
"andaikata memang ada jarum beracunnya, jarum itu pasti sudah
terhisap keluar oleh batu semberani. Apakah kau ingin mencobanya
sekali lagi?" Dengan perasaan setengah percaya setengah tidak kata Put-hui
Suthay, "Mungkin saja jarum beracun itu telah menyusup lebih
dalam sampai di tulang, jadi susah dihisap keluar. Tapi bagaimana
pun juga, duduknya persoalan harus diselidiki sampai tuntas!"
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, kata "duduk nya
persoalan" sengaja dipertegas.
"Soal ini...." "Apakah kau masih sangsi akan sesuatu?" tanya Put-hui Suthay
sambil menatap tajam wajahnya.
"Tidak ada yang perlu disangsikan, tapi seandainya benar seperti
yang kau katakan, bila ingin menyelidiki hingga tuntas, mungkin
terpaksa kita harus membelah batok kepalanya, soal ini...."
Mendadak terdengar seseorang berkata, "Perbuatan kejam
semacam ini tidak pantas dilaku kan orang beribadah macam kita."
Ternyata yang berbicara adalah seorang tosu, dia tidak lain
adalah murid pertama Bu-kek Totiang yang bergelar Put-po.
Sejak Bu-siang Cinjin meninggal dunia, sudah ada dua orang dari
angkatan "Put" yang diangkat menjadi tianglo, yang seorang adalah
Put-ji sementara yang lain adalah dia.
Ketika terjadi kegaduhan di pelataran tadi, kebetulan dia sedang
berjalan keluar dari istana Ci-siau-kiong.
"Perkataan Toa-suheng tepat sekali," Bouw It-yu segera berkata,
"walaupun orang ini adalah bajingan tengik yang pernah ingin
mencelakaiku, namun aku tetap merasa tidak pantas merusak
jenasahnya dengan cara yang begitu keji. Lagipula setelah kita
belah tengkorak kepalanya pun belum tentu bisa menemukan
sebatang jarum beracun. Masa kita harus membelah setiap tulang
tengkoraknya satu per satu...."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, tiba-tiba terdengar ada
tiga orang hampir pada saat yang bersamaan berteriak,
"Tidakbenar!" "Rasanya tidak benar!"
"Eeei, kelihatannya memang tidak benar."
Yang mengatakan "tidak benar" adalah Swan Ji-cing, yang
mengatakan "rasanya tidak benar" adalah Put-po tianglo, sedang
yang menjerit terakhir adalah Put-hui Suthay.
Ternyata paras muka mayat itu lambat laun mulai diselimuti
selapis warna hitam pekat, menanti semua orang datang
mengerubung, seluruh wajah mayat itu telah berubah jadi hitam
pekat bagaikan tinta bak.
"Seandainya terkena jarum Lebah hijau, seharusnya wajah maya
t ini dilapiri warna hijau," ujar Swan Ji-cing.
Put-hui Suthay termasuk korban yang pernah merasakan
kelihayan jarum beracun itu, ketika tubuhnya terkena jarum Lebah
hijau, lapisan hawa hijau yang menyelimuti wajahnya bertengger
hampir belasan hari lamanya sebelum hilang lenyap. Karena itu dia
tidak bisa berkata-kata lagi setelah melihat keadaan tersebut.
"Sungguh tidak kusangka dalam situasi seperti ini orang she-
Swan itu telah membantuku," pikir Bouw It-yu.
Dia sangka Swan Ji-cing telah melakukan sesuatu untuk
membantu dirinya, tidak terlukis rasa terima kasihnya terhadap
orang ini. Padahal darimana dia tahu kalau perasaan sangsi dan
curiga yang dialami Swan Ji-cing waktu itu jauh melebihi dirinya.
Sudah jelas penyebab terjadinya perubahan warna pada wajah
jenasah itu dikarenakan terkena racun, bahkan sifat racunnya jauh
lebih hebat daripada racun jarum Lebah hijau, oleh karena kadar
racunnya yang kuat maka dari warna hijaunya berubah jadi hitam.
Yang membuat Swan Ji-cing curiga bercampur kaget adalah
bukan saja bukan dia yang meracuni jenasah itu, bahkan jenis racun
apa yang digunakan pun tidak terdeteksi olehnya.
Ada satu hal lagi yang membuat hatinya tercekat, di bawah
penglihatan begitu banyak orang, ternyata orang itu dapat meracuni
mayat itu tanpa diketahui siapa pun, termasuk dia sendiri. Jelas
kecepatan orang itu melancarkan serangan jauh melebihi
kemampuan siapa pun. Swan Ji-cing sendiri adalah seorang tokoh yang jago dalam
melepaskan racun, justru karena dia ter-masuk seorang jagoan
maka rasa kaget dan ngeri yang dialaminya jauh melebihi siapa pun.
"Perbuatan siapakah ini" Jangan-jangan...."
Belum habis ingatan itu melintas, mendadak terdengar Put-po


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentak nyaring, "Siapa kau?"
Di tengah bentakan nyaring, tubuhnya langsung menerjang ke
arah seorang tamu berwajah kurus tapi tampan. Bersamaan waktu
Put-hui Suthay ikut pula menyergap ke depan sambil membentak,
"Bajingan laknat, tunjukkan wujud aslimu!"
Gerakan tubuh ke tiga orang itu dilakukan dengan kecepatan luar
biasa, dalam waktu singkat tamu asing itu sudah berada diatas
batuan di samping puncak Tian-ki-hong, jaraknya dari pelataran itu
sudah mencapai ratusan langkah.
Put-hui Suthay yang pertama-tama berhasil menyusulnya, ujung
senjata hudtimnya segera digetarkan, bulu lembut berawarna putih
itu langsung mengurung wajah orang itu.
Di susul kemudian tusukan pedang dari Put-po mengancam
punggungnya. Selisih mereka berdua hanya setengah langkah, tapi berhubung
pedang Put-po jauh lebih panjang daripada senjata hudtim Put-hui
Suthay, karena itu meski menyerang belakangan namun senjatanya
tiba duluan, tampaknya ujung pedang itu segera akan menusuk ke
tubuh orang tadi. Berhubung gerakan tubuh tamu asing itu kelewat cepat, banyak
orang tidak sempat melihat jelas raut wajahnya. Namun Bouw It-yu
dapat melihat dengan jelas sekali, dengan ketajaman matanya,
dalam sekilas pandang dia sudah tahu kalau orang itu mengenakan
topeng kulit manusia, tubuh serta wajahnya pun telah melalui
penyamaran yang teliti dan seksama.
Siang Ngo-nio yang kemarin naik gunung bersama nya
menyamar sebagai seorang lelaki, dan kini meski tamu ini bukan
tampil dengan wajah seperti penyaruan Siang Ngo-nio kemarin,
namun perawakan tubuhnya boleh dibilang tidak jauh berbeda.
Bouw It-yu sendiri meski tidak sempat melihat jelas raut muka
orang itu, namun dalam waktu sekejap, jantungnya terasa berdebar
sangat keras. Dia kuatir sekali kalau tamu ini tidak lain adalah
'jelmaan' dari Siang Ngo-nio.
Put-po serta Put-hui Suthay sama halnya seperti Bouw It-yu,
mereka pun sudah tahu kalau tamu itu mengenakan topeng kulit
manusia dan muncul dengan penyamaran, karena itu meski timbul
kecurigaan diliati kecilnya, namun mereka tidak berani terlalu yakin.
Kalau Put-po curiga orang itu adalah Tonghong Liang maka Puthui
Suthay mencurigai orang itu sebagai si lebah hijau Siang Ngonio.
Sebagaimana diketahui, Put-hui Suthay sangat mahir dalam ilmu
meringankan tubuh, terdorong oleh rasa curiganya, maka dengan
mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya dia melakukan
pengejaran, dalam jarak yang sangat pendek ini, dia justru tiba
setengah langkah lebih cepat daripada Put-po.
Diantara murid wanita Bu-tong-pay, ilmu silatnya memang
menempati posisi paling atas. Jurus Jian-si-ban-lu (seribu bulu
selaksa serat) yang dia gunakan ini merupakan sebuah jurus yang
digubah dari gerakan Luan-po-hong (angin puyuh liar) dalam ilmu
pedang Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat, bila orang itu sampai
terkurung oleh senjata hudtimnya, niscaya seluruh kulit mukanya
ayang tercabik-cabik hingga hancur.
Put-po sendiri adalah salah satu diantara tiga jago pedang dari
Bu-tong-pay, tusukan pedangnya benar benar sangat lihay, asal
tenaga dalamnya dipancarkan lewat ujung pedang itu, niscaya
punggung orang tersebut akan tertembusi oleh tusukan pedang
mautnya. Jantung Bouw It-yu nyaris melompat keluar dari mulutnya karena
kaget, tapi dalam waktu yang relatif singkat itulah kembali terjadi
perubahan yang sama sekali diluar dugaan siapa pun.
Tiba-tiba orang itu membalikkan tubuh sambil meniup kencang,
tiupan itu begitu kuatnya hingga bulu senjata hudtim yang hampir
mengenai wajahnya segera buyar ke empat penjuru.
Di saat menghembuskan tiupannya tadi, orang itu menyentilkan
juga tangannya...."Criiiing!" terdengar suara dentingan nyaring,
pedang yang hampir menembusi punggungnya itu ikut terpental ke
samping. Sentilan ini sangat cepat dan tepat waktu, boleh dibilang benarbenar
luar biasa. Put-hui maupun Put-po adalah jagoan tangguh dari murid
angkatan kedua dalam Bu-tong-pay, khususnya Put-po, bukan saja
ilmu pedangnya hebat, tenaga dalam yang dimiliki pun cukup
tangguh. Namun dalam kenyataan kedua orang jago Bu-tong ini
tidak sanggup menghadapi tiupan serta sentilan tangan orang itu.
Yang lebih hebat lagi, ternyata langkah kaki Put-hui Suthay jadi
gontai dan tidak sanggup berdiri tegak, dengan sempoyongan dia
mundur sampai sejauh tujuh-delapan langkah lebih sebelum berdiri
tegak. Put-po sendiri walaupun tidak sampai tergetar mundur, namun
tubuhnya terlihat gontai, disusul kemudian...." Traaang!" pedangnya
sudah terlepas dari genggaman.
Dalam terperanjatnya semua orang berlarian maju untuk
memberi pertolongan. Tapi entah mengapa, beberapa orang yang
lari paling depan mendadak merasakan tubuhnya linu dan kaku,
sepasang kaki seolah tidak mau menuruti perintah lagi
dan...."Bluuuk."
"Blukkk!" secara beruntun mereka jatuh terjerembab ke tanah.
Orang-orang yang berada di belakang serentak menjerit kaget
dan tanpa sadar sama-sama menghentikan larinya, dalam waktu
singkat tamu asing itupun lenyap entah ke mana.
Swan Ji-cing tahu bahwa musuhnya adalah seorang jago
tangguh, maka ujarnya, "Kali ini kita tidak bakal salah lihat lagi,
racun yang barusan disebar orang itu adalah bubuk pelunak tulang,
bila bubuk itu dicampurkan ke dalam air teh, paling tidak sang
korban baru akan pulih kembali tenaganya setelah tiga hari
kemudian, tapi kalau asap itu hanya terhisap karena terbawa angin,
kondisi tubuhnya tidak akan terganggu, asal istirahat setengah jam
saja keadaannya akan pulih kembali."
Dalam pada itu Put-hui Suthay pun ikut berjalan mendekat,
hampir bersamaan waktu dengan Put-po, serunya, "Bukan!"
"Apanya yang bukan?"
"Bukan perempuan siluman itu. Meski cara menyebar racun yang
dilakukan orang ini masih diatas kemampuan wanita siluman itu,
namun sepak terjangnya tidak seganas perempuan siluman itu."
"Dia bukan Tonghong Liang, Tonghong Liang tidak memiliki
tenaga dalam sehebat ini," ucapan Put-po jauh lebih singkat.
Lalu siapakah orang itu" Bouw It-yu serta beberapa orang itu
segera dapat menebak, hanya saja tidak seorang pun berani
menyinggung nama orang itu.
"Baguslah kalau bukan perempuan siluman itu," ujar Bouw It-yu
kemudian sambil menghembuskan napas lega.
"Hmm, tapi orang ini jauh lebih susah dihadapi ketimbang wanita
siluman itu," dengus Put-hui Suthay. Put-po tertawa getir, katanya,
"Perduli siapa pun orang ini, yang pasti dia telah mengampuni jiwa
kita semua, coba dia sedikit lebih telengas, mungkin badan kita pun
sudah ikut hancur berantakan."
Apa yang dia katakan memang tidak salah, tenaga dalam yang
dimiliki orang itu benar-benar sangat hebat, saat itu mereka sedang
bertarung di atas tebing batu, seandainya menggunakan
kesempatan disaat dia sedang menghisap asap bubuk pelemas
tulang itu dia mendorongkan tangannya dengan tenaga dalam,
berada dalam kondisi lemas, mana mungkin dia mampu
melawannya" "Menurut pendapatku, lebih baik kita tidak usah mencari tahu
siapakah orang itu!" usul Bouw It-yu.
"Kenapa begitu?" tanya Put-hui Suthay.
"Suci, bila apa yang kau curigai merupakan kenyataan,
kemunculan orang ini justru telah membantu Bu-tong-pay kita
melenyapkan seorang penyclinap."
Walaupun dia tidak menerangkan secara jelas, namun Put-hui
Suthay maupun Put-po memahami maksudnya. Orang itu tidak
sampai turun tangan jahat tentu saja karena dia tidak ingin
mengikat tali permusuhan dengan Bu-tong-pay. Oleh sebab itu bila
Siang Ngo-nio benar-benar seperti apa yang dicurigai Put-hui
Suthay, telah datang ke gunung Bu-tong, maka kehadiran orang itu
besar kemungkinan adalah bermaksud mencari Siang Ngo-nio untuk
diajak pulang. "Aku dengar murid tidak resmi mu telah kembali?" kembali Bouw
It-yu bertanya. "Sebetulnya Sui-leng sudah mengikuti aku sampai disini, tapi
berhubung telah terjadi peristiwa disini, maka kusuruh dia pulang
dulu. Eei.... beritamu sungguh cepat, sampai urusan sekecil inipun
mendapat perhatian mu."
Bouw It-yu hanya tertawa tanpa menanggapi perkataan itu,
ucapnya, "Baiklah, sekarang kita harus segera kembali ke ruang Cisiau-
kiong." Ooo)*(ooO Lan Sui-leng merasa kehabisan daya, terpaksa dia mengajak
Seebun Yan pulang ke rumah.
Orang tuanya jadi terperangah bila melihat dia pulang dengan
mengajak seorang 'pria' asing. Namun perasaan kaget itu segera
berubah jadi gembira setelah dia memberikan penjelasan.
"Nona," ujar Lan Kau-san, "tinggallah disini dengan perasaan
lega. Di tempat ku ini, kecuali Put-ji Totiang yang terkadang datang
mampir, para tosu lainnya tidak bakalan akan datang kemari. Hanya
saja...." "Hanya saja kenapa?" tanya Seebun Yan.
"Aku berharap kau berganti dengan dandanan wanita saja, sebab
aku masih mempunyai banyak teman menanam sayur yang sering
mampir kemari, aku khawatir...."
"Aku mengerti," tukas Seebun Yan sambil tertawa, "mana ada
seorang pria asing tidur sekamar dengan putrimu?"
"Sudah, jangan bergurau lagi," tukas Lan Sui-leng, "mari kita
bicara secara serius. Rumah kami dibangun menyendiri di sudut
bukit, di sekitar sini tidak ada rumah penduduk lain. Tapi bukan
berarti tidak ada petani yang bakal mampir kemari, meski jarangjarang.
Aku hanya berharap kau tinggallah disini tenang alim,
jangan sembarangan pergi."
"Aku tahu. Begitu bertemu adikmu, aku segera akan pergi."
Orang tua Lan Sui-leng yang mendengar perkata-an itu segera
saling berpandangan sambil tersenyum, mereka seperti ingin
mengucapkan sesuatu namun tidak berani.
Seebun Yan tahu kalau mereka pasti salah paham, namun diapun
tidak banyak membantah. Malam itu mereka tidur seranjang dan bercerita sepanjang
malam, secara ringkas Seebun Yan mengisahkan bagaimana dia
bertemu Lan Giok-keng di Liauw-tong. Mendengar cerita itu Lan Suileng
merasa gembira bercampur terkejut.
"Aaah, betulkah ilmu pedangnya berhasil dilatih hingga selihay
itu?" "Bukan saja ilmu pedangnya hebat, kesempurnaan tenaga
dalamnya pun sudah jauh lebih maju daripada kemampuanku.
Ketika aku terserang bubuk pemabok dari Siang Ngo-nio, dialah
yang berhasil mengusir siluman wanita itu dan menyelamatkan aku.
Padahal waktu itu dia tidak menghisap pil Bi-leng-wan, namun
bubuk pemabok seolah sama sekali tidak berpengaruh di tubuhnya."
Lan Sui-leng benar-benar merasa tercengang, katanya, "Berapa
hari sebelum turun gunung, aku pernah berlatih pedang dengannya
di bawah tebing Tian-ki-hong, sewaktu aku melolohnya dengan satu
jurus tipuan, dia kalah ditanganku. Heran, baru berpisah selama
tujuh, delapan bulan, kenapa ilmu silatnya bisa meraih kemajuan
sedemikian pesatnya?"
"Aku dengar dia telah mewarisi ilmu pedang peninggalan Busiang
Cinjin, bisa jadi setelah turun gunung dia kembali memperoleh
pengalaman aneh." "Kalau soal ini, aku masih bisa menerimanya, tapi ada kejadian
lain yang membuat pikiranku tidak habis mengerti," ujar Lan Suileng,
"antara siluman wanita Siang Ngo-nio dengan adikku boleh
dibilang sama sekali tidak punya hubungan apa apa, kenal pun
tidak, mengapa berulang kali dia mencari masalah dengannya?"
"Sebetulnya bukan terhitung masalah besar, tampaknya siluman
wanita itu hanya ingin mengangkat adikmu menjadi anak
angkatnya." "Betul. Justru persoalan inilah yang membuat aku tidak habis
mengerti. Pertama kali datang ke rumahku, dia berusaha menculik
dan melarikan adikku, padahal waktu itu adikku belum pernah turun
dari bukit Bu-tong. Anehnya, darimana dia bisa tahu tentang adikku,
lalu mengapa pula dia gunakan segala cara untuk memaksanya
menjadi anak angkatnya?"
Seebun Yan segera tertawa.
"Siang Ngo-nio paling suka dengan pemuda berwajah tampan,
siapa tahu dia sudah tertarik dengan adikmu," katanya.
"Cisss, ngaco belo," Lan Sui-leng menyumpah, "adikku baru
berusia enam, tujuh belas tahunan...."
"Apakah kau tidak merasa sepak terjang adikmu agak aneh?"
Pertanyaan ini dengan tepat mengenai rahasia hati Lan Sui-leng,
kontan saja gadis itu berdebar keras, serunya, "Aku justru ingin
bertanya kepadamu, apa alasannya dia pergi ke Liauw-tong?"
"Aku tidak tahu, aku hanya tahu kalau dia sempat mencari tahu
tentang jejak seseorang sewaktu berada di kota Uh-sah-tin."
"Siapa?" "Konon seorang murid preman dari Bu-tong-pay yang bernama
Keng King-si, kurang lebih dua puluh tahun berselang, orang itu
pernah pula tinggal di kota Uh-sah-tin."
"Keng King-si" Aku sepertinya pernah mendengar orang
menyinggung tentang nama ini," kata Lan Sui-leng.
"Aku dengar Keng King-si adalah murid dari mendiang Ji-ou
Thayhiap Ho Ki-bu." "Bukankah Ho Ki-bu adalah guru Put-ji Totiang ketika masih
preman dulu" Kalau begitu orang she-Keng itu pastilah saudara
seperguruan ayah angkat adikku. Tidak heran kalau dia bersikap
begitu baik kepada adikku. Tapi dalam hal mengajarkan ilmu
pedang, mengapa pula dia harus membohongi adikku?"
Berpikir sampai disini, tiba-tiba timbul satu ingatan aneh dalam
benaknya, "Mungkinkah adikku benar-benar adalah anak hubungan
gelap orang lain" Tidak heran kalau wajahnya sama sekali tidak
mirip dengan wajahku!"
Tapi dia segera merasa kalau ingatan semacam ini 'tidak
sepatutnya' muncul dalam benaknya, dia segera menegur diri
sendiri, "Aku pernah memaki adik agar tidak percaya atas perkataan
ngawur orang lain, kenapa sekarang aku malah punya pikiran
begini!" "Hey, apa yang sedang kau pikirkan?" tiba-tiba Seebun Yan
menegur, "aku ingin mendengar pula kisahmu."
"Aku hanya ingin mendengar kisah pengalamanku selama berada
di wilayah Liauw-tong, semua kejadian di sana terasa baru, aneh
dan menarik. Mengenai pengalamanku sendiri, aaai, tidak ada yang
bisa diceritakan, sejak berpisah denganmu, aku langsung pulang ke
gunung dan sepanjang perjalanan tidak pernah terjadi apa-apa."
"Bagus. Kalau begitu aku akan mengisahkan lagi sebuah cerita
yang sangat menegangkan hati, ada seorang manusia


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkerudung...." Belum habis dia berkata, mendadak terlihat Lan Sui-leng
menguap karena mengantuk.
Dalam hati Seebun Yan merasa tidak suka hati, tapi entah
mengapa, tiba-tiba diapun ikut menguap.
Gadis ini pernah punya pengalaman terkena bubuk pemabuk, dia
segera sadar akan ketidak beresan itu, namun tanpa terasa dia
kembali menghirup bubuk pemabuk.
"Cepat kerahkan tenaga dalam untuk melawan racun!" dia hanya
bisa berbisik lirih di sisi telinga Lan Sui-leng, karena kepalanya
terasa makin berat dan mulai terkurai, rasanya mengantuk sekali
dan ingin tidur. Untung saja tenaga dalamnya cukup lumayan, begitu konsentrasi
dipusatkan ke Tan-tian, hawa murni pun kembali berputar satu
lingkaran di seluruh tubuh, lambat laun keadaannya menjadi sedikit
mendingan. Yang dimaksud 'mendingan' adalah dia hanya bisa memaksakan
diri untuk membuka lebar matanya dan mengusir momok rasa
kantuk hingga tidak sampai roboh tidak sadarkan diri.
Namun seluruh tenaga yang dimilikinya telah lenyap, jangan lagi
berbicara, untuk menggerakkan jari tangan sendiri pun sudah tidak
sanggup. Keadaan Lan Sui-leng tidak jauh berbeda, dia hanya bisa
membuka matanya dan sama sekali tidak mampu bergerak.
Diam-diam Seebun Yan merasa kagum, pikirnya, 'Padahal dia
hanya seorang murid yang belum lama bergabung dengan Bu-tongpay,
tapi kenyataannya dia sanggup mempertahankan diri!'
Tentu saja dia tidak tahu kalau majunya tenaga dalam yang
dimiliki Lan Sui-leng bukan hasil ajaran Put-hui Suthay melainkan
ilmu yang dipelajarinya dari Tonghong Liang.
Oleh karena pikirannya tidak banyak berusik oleh pelbagai
masalah, berbeda jauh dengan Seebun Yan yang sering terganggu
banyak urusan, karena itu meski baru berlatih setengah tahun,
namun keberhasilannya nyaris menyamai kemam puan Seebun Yan.
Biarpun mereka berdua tidak sampai jatuh semaput, namun
justru karena mereka masih memiliki kesadaran maka kedua orang
itu merasakan teror dan rasa takut yang selama hidup belum pernah
dialaminya. Perlu diketahui, pada saat dan detik ini, mereka berdua sudah
tidak memiliki sedikit tenaga pun, semisal orang itu masuk ke dalam
kamar, maka mereka berdua hanya bisa menyerah dan menuruti
semua keinginannya, kalau hanya mati bukan masalah, justru yang
dikuatirkan adalah kejadian yang jauh lebih tersiksa daripada
kematian. Bagaimana pun juga, yang akan muncul akhirnya muncul juga.
Mereka mulai mendengar suara pembicaraan di luar sana.
Orang pertama yang berbicara alah Lan Kau-san, ayah Lan Suileng.
"Ada urusan apa tengah malam begini tootiang datang kemari,
apakah.... apakah...." suara Lan Kau-san kedengaran penuh
dicekam rasa heran. Begitu mendengar suara ayahnya, Lan Sui-leng merasa sedikit
lega. Karena ayahnya tidak keracunan maka pikirnya, 'Hanya
seorang tootiang yang kenal akrab dengan ayah, mungkinkah orang
itu adalah.... ' Belum lenyap pikiran itu, orang tersebut sudah mulai menjawab,
betul seperti yang dia duga, orang itu adalah Put-ji tootiang, ayah
angkat adiknya. "Aku hanya ingin mengajukan satu pertanyaan, kau harus
menjawab sejujurnya. Apakah kau telah memberitahukan asal usul
anak Keng yang sebenarnya?"
Suara Put-ji Totiang kedengaran sedikit sumbang, seakan dia
sedang menderita sakit flu berat hingga hidungnya dipenuhi ingus.
Tapi Lan Sui-leng masih dapat mengenali suaranya.
"Ti.... tidak!" jawab Lan Kau-san dengan suara gemetar.
"Tidak" Kenapa dia bisa pergi ke Liauw-tong untuk mencari orang
tua kandungnya?" Mendengar sampai disini, Lan Sui-leng merasakan hatinya
bergoncang keras. Ternyata dugaannya tidak salah, adiknya
memang punya asal-usul sendiri, dia bukan saudara kandungnya!
"Aku.... aku tidak tahu! Aku benar-benar tidak tahu!"
"Apa yang tidak kau ketahui" Tidak tahu akan persoalan ini, atau
tidak tahu dia anak siapa?"
"Dia sama sekali tidak beritahu kepadaku apa sebabnya turun
gunung, akupun tidak tahu ke mana dia telah pergi!"
Put-ji Tojin segera tertawa dingin.
"Kalau begitu kau sudah tahu anak siapakah dia?" dengusnya.
"Too.... tootiang mungkin lupa" Sewaktu kau serahkan anak itu
kepadaku, aku pernah dipesan untuk tidak bertanya asal-usul bocah
itu. Kau hanya mengatakan kalau dia adalah putra sahabat
karibmu." "Kalau aku tidak mengatakan, memangnya kau sendiri tidak
tahu" Aku ingin tanya. Berani kau mengata kan kalau kau sama
sekali tidak tahu siapa orang tua bocah itu?"
"Soal ini, soal ini...." Lan Kau-san adalah seseorang yang jujur,
dia tidak berani berbohong, akan tetapi dia pun tidak berani
berbicara terus terang. Nada suara Put-ji Tojin makin lama semakin ketus dan dingin,
katanya lagi, "Tahukah kau siapa ayahnya" Tentunya kaupun tahu
bukan kalau akulah yang telah membunuh ayahnya!"
Andaikata Lan Sui-leng masih memiliki sedikit tenaga, dia pasti
akan melompat bangun saking kagetnya. Kini, biarpun tubuhnya
sama sekali tidak mampu bergerak, namun jantungnya seolah mau
melompat keluar dari rongga dadanya, dia merasa sangat
ketakutan. "Aku tidak tahu, waktu itu sepanjang hari aku tidak berada di
rumah, aku tidak.... tidak...."
Kembali Put-ji Tojin menukas sambil tertawa dingin, "Tapi siapa
pun tahu kalau saat itu Keng King-si dan Ho Giok-yan pernah
muncul di bukit Boan-liong-san, kemudian jejak mereka berdua
hilang tidak berbekas. Hampir semua orang melihat kalau Ho
Giokyan melakukan perjalanan dengan perut buncit. Aku tidak
percaya kalau kau sedemikian gobloknya sampai menduga akan hal
inipun tidak bisa!" "Aku.... aku memang.... memang tahu akan kejadian ini, tapi....
tapi.... aku sama sekali tidak menyangka kalau pembunuhnya
adalah dirimu!" Apa yang diucapkan Lan Kau-san memang kata yang sejujurnya.
"Baiklah, aku percaya kalau ucapanmu jujur. Tapi sekarang aku
telah memberitahukan rahasia ini kepadamu!"
Wajahnya seakan dilapisi oleh bunga salju yang tebal, bukan saja
perkataannya dingin bagaikan es, mimik muka serta sikapnya juga
dingin dan kaku, membuat siapa pun bergidik.
Lan Kau-san bukan terhitung orang yang kelewat bodoh, buruburu
dia berkata, "Tootiang, apa yang barusan kau katakan" Aku
sepertinya tidak mendengar apa-apa...."
Ketika dilihatnya Put-ji Tojin tidak memberi tanggapan, cepat dia
menambahkan lagi, "Totiang, jangan kuatir, aku tidak bakal
membocorkan semua yang kau katakan malam ini kepada siapa
pun." Put-ji Tojin tertawa dingin, "Baru sekarang kau mengatakan hal
ini, hmmm! Tapi sayang aku tidak bisa mempercayaimu dengan
begitu saja!" "Lantas apa yang hendak kau lakukan agar percaya?"
"Kecuali...." Lan Sui-leng yang berbaring dalam kamarnya sambil mencuri
dengar pembicaraan itu dapat menangkap semua tanya jawab itu
dengan jelas, tapi dia tidak bisa melihat apa yang terjadi diluaran
sana. Put-ji Tojin mengatakan 'kecuali", lalu "kecuali" apa yang
dimaksud" Namun dia tidak perlu menebak terlalu jauh, karena jawabannya
segera ketahuan. Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri yang menyayat hati
berkumandang memecahkan keheningan, menyusul kemudian
terdengar suara langkah kaki ibunya dan menyusul keluar dari
belakang. Agaknya waktu itu ibunya tertegun sesaat, sesudah hening
berapa waktu, tiba-tiba terdengar dia menjerit lengking, "Tootiang,
kau.... kau apakah suamiku...."
Mendadak jeritan lengking itu terputus di tengah jalan, diikuti
terdengar lagi jeritan ngeri yang memilukan hati.
Kemudian terdengar Put-ji Tojin berkata, "Enso, maafkan aku.
Hanya perbuatan semacam inilah yang bisa kulakukan. Karena
hanya orang mati yang tidak bisa membocorkan rahasia ini lagi!"
Tanpa menyaksikan dengan mata kepala sendiri pun Lan Sui-leng
sudah tahu apa yang telah terjadi, seketika itu juga dia tertegun
saking kagetnya. Sukmanya serasa meninggalkan raganya,
melayang keluar dari kamar tidur dan menyaksikan tubuh ayah
ibunya terkapar di tengah genangan darah.
Dia ingin menjerit namun tidak ada suara yang keluar, ingin
menangis namun tidak dapat mengeluarkan isak tangisnya. Apakah
dia sedang bermimpi" Aaai, moga-moga saja kesemuanya ini hanya
sebuah impian buruk. Kembali terdengar suara langkah kaki manusia, Put-ji Tojin tidak
memasuki kamarnya tapi pergi meninggalkan rumah itu.
Sungguh aneh sekali, ternyata di saat seseorang merasakan
ketakutan yang telah mencapai puncaknya, dia malah seolah tidak
tahu lagi arti dari takut.
Kini benaknya seolah berubah jadi putih dan kosong, bahkan
jalan pikiran serta semua aktifitasnya ikut terhenti. Semuanya
tenang, semuanya terhenti. Seandainya ada sebatang jarum yang
terjatuh ke lantai pada saat ini, mungkin dia dapat mendengarnya
dengan sangat jelas. Saat itulah dia mendengar suara perempuan yang dikenalnya
berkumandang dari luar rumah, "Semua telah dibereskan?"
Bukankah suara itu berasal dari Siang Ngo-nio" Walaupun
suaranya agak serak, namun dia masih dapat mengenalinya.
"Kenapa musti ditanyakan lagi, semua ini gara-gara kau hingga
terpaksa aku harus melakukan kekejam-an ini. Aaai, sejujurnya, Lan
Kau-san pernah membantu-ku, coba kalau bukan demi kau, tidak
nanti aku tega untuk menghabisi nyawanya!"
"Hmm, gara-gara demi aku?"
Kelihatannya Put-ji Tojin berbicara sambil berjalan, "Betul, aku
takut anak Keng mengetahui kejadian yang sebenarnya. Tapi coba
kalau bukan aku telah mengambil keputusan, akan selamanya
bersama mu...." Kata selanjutnya sudah tidak terdengar lagi.
Berapa saat kemudian Seebun Yan baru berbisik, "Adik Leng,
sekarang bukan saatnya untuk bersedih hati, cepat tenangkan
pikiran dan cobalah mengatur pernapasan lagi. Hingga kini kita
belum terlepas dari kurungan!"
Rupanya tenaga dalam yang dimiliki Seebun Yan telah pulih satu,
dua bagian hingga dia memiliki kekuatan untuk berbisik.
Pikiran Lan Sui-leng kembali dibuat kacau oleh terjadinya
peristiwa yang sama sekali tidak terduga itu, kondisi tubuhnya
mundur kembali ke posisi semula, sama sekali tidak punya tenaga
hingga kekuatan untuk menggerakkan jari tangan pun tidak punya.
Entah berapa saat kembali lewat, tiba-tiba terdengar lagi suara
manusia. Ternyata Lan Giok-keng telah kembali, (seharusnya sudah bukan
she-Lan lagi, tapi bermarga Keng, jadi selanjutnya dia bernama
Keng Giok-keng). Oleh karena dalam benaknya dipenuhi pelbagai kecurigaan dan
tanda tanya, maka dia sengaja pulang ke rumah di malam hari.
Sewaktu lewat di kota Kim-leng, dia berhasil menjumpai Kwik Bu
bahkan menyingkap teka-teki yang menyelimuti asal-usulnya.
Setiap perkataan yang diucapkan Kwik Bu masih teringat dengan
sangat jelas. Dan kini, di saat dia sudah mendekati pintu rumah,
pemandangan saat itu satu per satu kembali melintas dalam
benaknya. Dia mengunjungi rumah keluarga Kwik di tengah malam, oleh
karena status dan kedudukan Kwik Bu yang istimewa, begitu
melihat munculnya orang asing, tanpa memberi kesempatan
kepadanya untuk berbicara sudah berusaha untuk membekuknya.
Tapi pertarungan pun tidak sampai lewat tiga puluh gebrakan,
serta merta mereka berdua sama-sama menghentikan pertarungan.
Ujar Kwin Bu kemudian sambil menghela napas, "Aku dengar
ilmu pedang Bu-si Tojin merupakan yang paling hebat dalam Butong-
pay, sayang belum sempat kujumpainya. Kalau dilihat dari
usiamu, seharus nya kau hanya seorang Boanpwee. Tapi ilmu
pedangmu sudah berada jauh diatas kemampuanku. Aaaai, kalau
hanya seorang murid muda dari Bu-tong-pay pun tidak sanggup
kuhadapi, mana mungkin bisa bertarung melawan jagoannya. Aaai,
aku tahu siapakah dirimu."
"Kau mengetahui siapakah aku, akupun mengetahui siapa dirimu,
meski aku belum pernah bertemu denganmu!" ujar Keng Giok-keng.
"Kau tahu siapakah aku?"
?"Aku tahu kau adalah putra Jit-seng-kiam-kek, mempunyai
nama manchu sebagai Huo Bu-tuo dan nama Han sebagai Kwik Bu."
Seharusnya orang itu terperanjat karena identitasnya berhasil
tertebak, akan tetapi dia tidak kaget, seolah hal tersebut sudah
berada dalam dugaannya. Dia hanya bertanya, "Ada apa kau
mencari aku?" Untuk sesaat Keng Giok-keng tidak tahu harus mulai ceritanya
dari mana. Sambil tersenyum kembali Kwik Bu berkata, "Aku mempunyai
seorang sahabat she-Keng, sama seperti kau, murid Bu-tong-pay.
Hanya saja peristiwa itu sudah berlangsung pada delapan belas
tahun berselang. Tahun ini usiamu belum genap delapan belas tahun bukan?"
Keng Giok-keng merasakan hatinya berdebar keras, dia balik
bertanya, "Benarkah begitu?"
"Sahabatku itu bernama Keng King-si, dia adalah murid kedua
dari Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu.
"Dua puluh tahun terselang, dia bersama Bouw Ciong-long
merupakan murid preman dari Bu-tong-pay. Hanya sayang nasibnya
tidak sebagus Bouw Ciong-long. Kini Bouw Ciong-long telah menjadi
Ciangbunjin baru perguruanmu, sementara Ho Ki-bu sudah mati
sejak delapan belas tahun berselang, bahkan kudengar dia mati
tidak jelas. Apakah kaupun mengetahui kejadian ini?"
"Tentu saja aku pernah mendengar orang mem bicarakan
tentang nama Ho Thayhiap dari perguruanku, tapi belum pernah
ada yang beritahu apa penyebab kematiannya. Dengan ucapanmu
ini, berarti kau sudah tahu...."
"Aku sendiripun tidak tahu. Aku hanya ingin membicarakan
masalah yang berkaitan dengan orang she-Keng itu."
Dia memandang Keng Giok-keng sekejap, ketika dilihatnya bocah
itu memandang dengan mata mendelong, seperti orang
kebingungan, tanpa terasa kembali dia menghela napas, lanjutnya,
"Ho Ki-bu mempunyai dua orang murid dan seorang putri, anak


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putrinya bernama Ho Giok-yan, Keng King-si berada diurutan kedua,
diatas dia masih ada seorang Suheng lagi dari marga Ko, sedang
dibawahnya adalah Giok-yan, Siau-sumoaynya. Pernah-kah kau
mendengar nama ke tiga orang ini?"
"Pernah," jawab Keng Giok-keng setelah ragu sejenak, "tapi
itupun hanya terbatas pernah mendengar nama mereka."
"Sejak kapan kau mulai mendengar tentang mereka?"
"Setelah aku turun gunung, baru setengah tahun berselang."
"Kau bukan hanya tahu nama mereka saja bukan" Karena apa
kau mengajak Hwee-ko Thaysu berkunjung ke kota Uh-sah-tin?"
"Betul, aku mengetahui juga kalau Keng-kisu dan Ho Giok-yan
pernah berdiam hampir setahun lamanya di kota Uh-sah-tin. Tapi
hal ini kuketahui sesudah tiba di kota Uh-sah-tin. Sebelum itu aku
hanya tahu kalau mereka pernah datang ke luar perbatasan, tapi
tidak tahu pasti tempat yang dituju. Ada orang memberi petunjuk
kepadaku, suruh aku menemukan Jit-seng-kiam-kek, karena bila
dapat bertemu dengannya maka ada harapan bagiku untuk mencari
tahu kejadian tentang mereka di masa lalu. Tapi sayang aku tidak
punya kesempatan untuk bertemu dengan Jit-seng-kiam-kek, oleh
sebab itu...." "Kemudian kau tahu kalau Jit-seng-kiam-kek adalah ayahku,
maka kaupun terpaksa datang mencari aku," sambung Kwik Bu.
Bicara sampai disini dia berhenti sebentar, tertawa terbahakbahak,
kemudian baru melanjutkan, "Betul, kau telah menemukan
aku, telah menemukan orang yang benar. Aku mengetahui masalah
tentang Keng King-si, bahkan apa yang kuketahui jauh lebih banyak
daripada apa yang diketahui ayah angkatmu.
"Dia bersama sumoaynya tinggal di kota Uh-sah-tin dan berganti
nama, sehari-hari mereka hidup sebagai nelayan. Tidak seorangpun
yang mengetahui asal usulnya, kecuali aku. Mereka tidak punya
teman yang lain." "Tunggu sebentar," dengan napas tersengkal Keng Giok-keng
bertanya, "kalau benar mereka adalah murid dari perguruan kaum
lurus, mengapa harus kabur ke luar perbatasan dan bersembunyi di
sebuah bandar nelayan yang terpencil?"
"Mereka kabur dari rumah, kawin lari. Oleh karena nona Ho
adalah putri tunggal Ji-ou Thayhiap, maka hampir semua orang di
daratan Tionggoan mengenalinya, karena itu mereka hanya bisa
kabur ke luar perbatasan dan menyembunyikan diri disana."
Tampaknya Keng Giok-keng tidak menyangka akan menerima
jawaban seperti itu, setelah agak ter-tegun, dia menegaskannya,
"Kabur dari rumah?"
"Kau tidak mengerti apa yang dinamakan kabur dari rumah?" ujar
Kwik Bu sambil tersenyum, "biasanya perkawinan itu harus
mendapat restu dari orang tua, paling tidak ada mak comblangnya.
Yang dinamakan kabur dari rumah adalah kawin lari, mereka jadi
suami istri tapi tidak mendapat restu dari orang tua, karena itu
mereka kabur dari rumah, kawin lari dan menyembunyikan diri."
"Aku bukannya tidak mengerti apa yang dinamakan kabur dari
rumah, aku hanya tidak mengerti kenapa mereka harus kabur dari
rumah" Kenapa harus kawin lari?"
"Karena sejak kecil ayahnya telah menjodohkan nona Ho kepada
Toa-suhengnya. Tapi gadis itu justru mencintai Ji-suhengnya."
Diam-diam Keng Giok-keng menghembuskan napas lega,
bisiknya lirih, "Ooh, ternyata begitu!"
Rupanya di dasar hati kecilnya tersembunyi suatu perasaan takut
yang luar biasa. Dia takut Keng King-si kabur ke luar perbatasan
karena berkhianat dan sudah menjadi mata-mata bangsa Boan.
Tadi dia tidak berani menanyakan soal ini kepada Kwik Bu,
kendatipun dia tahu dengan jelas bahwa Kwik Bu adalah satusatunya
orang yang bisa mengungkap teka-teki asal-usulnya, dia
tidak berani bertanya karena khawatir hal tersebut menyangkut
suatu penghianatan bangsa.
Tapi kini, walaupun dia sudah merasa lega namun beban lain
kembali mengganjal hatinya.
"Bukankah Toa-suheng dari Keng King-si adalah ayah angkatku
sekarang?" Terdengar Kwik Bu berkata lebih lanjut, "Waktu itu kedudukanku
adalah juragan yang membeli ikan disana, posisi yang ditempati Kim
Teng-hap sekarang. Di kota Uh-sah-tin hanya aku seorang yang
mengetahui asal-usul Keng King-si, dan hanya Keng King-si seorang
yang mengetahui identitasku yang sebenarnya, bahkan Ho Giok-yan
sendiripun tidak tahu. Oleh sebab itu meski aku berkenalan dengan
mereka berdua, namun sahabatku yang sesungguhnya hanya Keng
King-si seorang." "Sepasang suami istri itu tinggal di kota Uh-sah-tin hampir
setahun lamanya kemudian mudik. Tahukah kau mengapa mereka
berbuat begitu?" tiba tiba Kwik Bu bertanya.
Keng Giok-keng merasa sedikit keheranan, serunya, "Darimana
aku bisa tahu" Lebih baik kau saja yang memberitahukan masalah
ini kepadaku!" "Karena Keng-hujin telah hamil dan tidak ada yang merawatnya,
dia ingin mudik dan melahirkan di desa kelahirannya. Selain itu, nasi
telah menjadi bubur, dia berharap perbuatannya di masa lalu dapat
dimaafkan oleh ayahnya. Aaai.... siapa tahu perpisahan itu
merupakan perpisahan untuk selamanya, aku tidak pernah bertemu
lagi dengan mereka."
Keng Giok-keng merasakan jantungnya berdebar sangat keras,
buru-buru tanyanya, "Setelah dilahirkan, anak mereka itu seorang
pria atau seorang wanita?"
"Konon anak mereka lelaki!"
"Lelaki?" suara Keng Giok-keng kedengaran mulai gemetar.
"Cukup lama kunantikan kedatangannya di kotaraja, namun dia
tidak pernah muncul, karena itu aku mengutus orang untuk mencari
kabar tentang mereka berdua.
"Berita yang kudapat, pernah ada orang melihat sepasang mudamudi
menempuh perjalanan di tanah perbukitan Boan-liong-san,
kalau dilihat keadaannya, mereka adalah sepasang suami istri. Sang
wanita konon perutnya buncit, seperti orang hamil yang sudah
cukup bulan untuk melahirkan. Berdasarkan berita ini dapat
disimpulkan kalau sepasang suami istri muda itu tidak lain adalah
Keng King-si serta Ho Giok-yan."
"Bagaimana selanjutnya?" buru-buru Keng Giok-keng bertanya,
tanpa terasa nada suaranya ikut berubah.
"Ho Giok-yan dan suaminya tidak pernah sampai ke rumah,
semenjak hari itu jejak mereka berdua hilang lenyap tidak berbekas.
Tapi untung juga dia tidak pulang ke rumah...."
"Kenapa?" "Sebab di rumah orang tuanya sedang berlangsung satu kasus
pembunuhan yang amat tragis, ayahnya, Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu
ditemukan mati terbunuh secara mengenaskan!"
"Aaah....!" Keng Giok-keng menjerit tertahan, seluruh perasaan
hatinya serasa mengejang, untuk sesaat dia tidak mampu berkatakata.
Kwin Bu berkata lebih lanjut, "Peristiwa ini terjadi sehari sebelum
kedua orang itu hilang, dan setelah lenyapnya kedua orang itu,
tersiar lagi sebuah berita kecil, walaupun tidak ada orang yang
menaruh perhatian atas berita kecil itu, namun rasanya kau perlu
mengetahui juga akan hal ini."
Keng Giok-keng merasakan hatinya berdebar keras, dia dapat
menduga apakah isi berita tersebut.
Betul saja, terdengar Kwik Bu berkata lebih jauh, "Di atas bukit
Boan-liong-san tinggal seorang pemburu dari marga Lan, tiba-tiba
saja keluarga mereka kedapatan memperoleh tambahan seorang
bayi lelaki. Bininya baru saja melahirkan seorang anak gadis pada
setengah bulan berselang, itu berarti bayi lelaki itu sudah pasti
bukan anak yang dia lahirkan, tapi tidak ada yang tahu darimana
datangnya bocah itu. Beberapa hari kemudian, keluarga pemburu
she-Lan itu sudah pindah rumah, tidak ada yang tahu mereka telah
pindah ke mana. Ehmm, yang diketahui hanyalah kalau bocah itu
masih hidup hingga sekarang, seharusnya dia telah genap berusia
enam belas tahun." "Bocah itu.... bocah itu...." teriak Keng Giok-keng dengan suara
parau. Saking sedih dan terharunya, dia tidak sanggup lagi
melanjutkan kata-katanya, air mata jatuh bercucuran membasahi
wajahnya. "Apakah kau masih belum paham?" sepatah demi sepatah kata
Kwik Bu melanjutkan, "bocah itu tidak lain adalah kau! Ayah
kandungmu adalah Keng King-si, ibu kandungmu adalah Ho Giokyan!"
Biarpun jawaban ini sudah diduga Keng Giok-keng jauh
sebelumnya, namun setelah memperoleh bukti dari mulut Kwik Bu,
tidak urung air matanya berlinang semakin deras.
"Sekarang kau seharusnya sudah paham bukan, mengapa aku
harus melindungimu secara diam-diam?" ujar Kwin Bu lagi, "sejak
kau melangkahkan kakimu ke luar perbatasan, aku telah mendapat
laporan rahasia dari mata-mataku, menurut laporan yang kuperoleh,
katanya Hwee-ko Thaysu dari biara Siau-lim melakukan perjalanan
bersama seorang pemuda dan pemuda itu berwajah mirip sekali
dengan Keng King-si masa itu. Aku segera tahu siapakah dirimu.
Kau adalah putra temanku almarhum, tentu saja aku harus
melindungi keselamatan jiwamu dengan sepenuh tenaga."
"Karena itulah kau menulis surat itu!" seru Keng Giok-keng
seolah baru mengerti. "Surat yang mana?"
"Surat yang kau tujukan untuk Kim Teng-hap."
"Oooh, rupanya kau pun mengetahui persoalan ini. Kalau begitu
kau pasti tahu bukan kalau surat yang kutulis itu sama sekali tidak
menaruh niat jahat terhadap mu?"
Isi surat itu memerintahkan Kim Teng-hap agar tidak
mempersulit Keng Giok-keng.
"Terima kasih banyak kau telah melindungiku secara diam-diam,"
kata anak muda itu kemudian.
"Aku tahu Kim Teng-hap tidak melakukan seperti apa yang
kuperintahkan," kata Kwik Bu lagi, "bahkan secara diam-diam dia
berusaha mencelakaimu."
"Sekalipun begitu, aku tetap menerima maksud baikmu. Tapi ada
satu hal yang tidak kupahami, sebetulnya apa kedudukanmu?"
"Menurut kau?" Keng Giok-keng ragu-ragu, untuk sesaat dia tidak mampu
menjawab. Sambil tertawa tergelak Kwik Bu berseru, "Kalau begitu biar aku
yang mewakilimu untuk menjawab. Kau tidak berani berbicara
karena selama ini kau menganggap aku adalah mata-mata bangsa
Boan." "Tidak!" Keng Giok-keng menggeleng, "jika kau adalah matamata
bangsa Boan, tidak mungkin kau akan melindungiku secara
diam-diam. Dalam pertarungan tadi, setelah lewat tiga puluh
gebrakan, tenagaku sudah tidak sanggup ditambah lagi, jika kau
curiga aku sudah tahu kalau kau adalah mata-mata bangsa Boan
dan dalam kenyataan kau memang pengkhianat bangsa, pada jurus
yang ke tiga puluh satu kau sudah dapat menusuk tujuh buah jalan
darahku. Tapi dalam kenyata-an, kau menarik pedang jauh lebih
awal ketimbang aku. Oleh sebab itu aku benar-benar tidak habis
mengerti...." "Aku tidak pernah membocorkan statusku kepada siapa pun, tapi
terkecuali untuk dirimu," kata Kwik Bu, "sesungguhnya
kedudukanku bukan hanya satu saja tapi ada tiga kedudukan yang
berbeda, kedudukan pertama adalah orang kepercayaan Nurhaci
Khan dari negeri Kim; kedudukanku yang ke dua adalah pejabat
tinggi Kerajaan Beng yang sedang mendapat tugas dari Nurhaci
Khan untuk menyusup ke kota Kim-leng."
Keng Giok-keng yakin dan percaya kalau dia pasti bukan matamata
bangsa Boan, namun perasaan hatinya tidak urung tercekat
juga setelah mendengar jawaban itu, karena yang dimaksud
"menyusup" sudah jelas adalah perbuatan seorang mata-mata.
Buru-buru dia bertanya, "Lantas apa kedudukanmu yang ke
tiga?" "Aku sendiripun tidak tahu harus berkata apa tentang
kedudukanku sekarang. Aku justru rela menjadi mata-matanya
bangsa Boan untuk menyusup ke kota Kim-leng karena hanya
dengan berbuat beginilah aku baru bisa memperoleh laporan yang
paling rahasia, aku jadi tahu orang-orang dari kerajaan Beng mana
yang secara diam-diam melakukan persekongkolan dengan bangsa
Boan." Kalau meminjam istilah jaman sekarang, posisinya saat ini adalah
'spion ganda". "Tapi semua yang kulakukan ini bukan karena mendapat perintah
dari siapa pun," kembali Kwik Bu melanjutkan, "dulu ayahku pernah
bertemu dan berbicara panjang lebar dengan Hin Teng-pi, menurut
Him Teng-pi untuk menanggulangi serangan yang datang dari luar,
maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah membasmi kaum
penghianat, khususnya musuh dalam selimut. Atau lebih tegasnya
lagi, inilah tugas utama yang harus dilakukan oleh aku si mata-mata
gadungan dari bangsa Boan. Karena dengan berbuat beginilah kita
baru tahu siapa mata-mata bangsa Boan yang sesungguhnya.
Aaai.... alhasil...."
"Bagaimana hasilnya?"
"Bahkan aku sendiripun tidak menyangka kalau ada begitu
banyak orang kenamaan yang ternyata telah dibeli olehbangsa Boan
untuk menjadi pengkhianatbangsa!"
Tergerak pikiran Keng Giok-keng setelah mendengar perkataan
itu, tanpa terasa dia bertanya, "Jadi mereka yang telah menjadi
mata mata bangsa Boan kebanyakan adalah para pejabat tinggi
kerajaan?" "Belum tentu begitu. Misalkan saja, menurut apa yang kuketahui
dari pihak militer selain ada panglima perang dari pasukan Yu-limkun
yang terlibat, ternyata ada juga orang persilatan yang menjadi
pengkhianat bangsa.... bahkan...."
Bicara sampai disini, tiba-tiba dia berhenti berbicara.
"Bahkan dalam Bu-tong-pay kami pun terdapat mata-mata
bukan?" sambung Keng Giok-keng cepat.
Bocah ini memang sangat cerdas, dari cara Kwik-bu berbicara,
dia sudah dapat menebak kalau ada masalah tertentu yang sama
sekali tidak disinggung olehnya. Tapi bagaimana pun juga dia masih
muda dan belum banyak pengalaman, masalah semacam ini
memang tidak sepatutnya dia tanyakan.
"Aku tidak berani memastikan," ujar Kwik Bu kemudian, "kami
hanya mencurigai tapi belum bisa membuktikan."
"Bagaimana dengan para mata-mata yang berhasil kau buktikan
secara nyata" Apakah rahasia mereka sempat kau bongkar...."
"Membongkarnya kepada siapa?" tanya Kwik Bu sambil tertawa
getir, "Him Teng-pi sudah tewas dibunuh pengkhianat bangsa. Mau
lapor ke pihak kerajaan" Padahal mereka yang telah berkhianat
rata-rata adalah pejabat tinggi yang memegang kekuasaan besar,
dengan posisi dan pangkatku yang begini kecil, bagaimana mungkin
bisa menggeser mereka" Lagipula begitu aku membocorkan rahasia
ini, dapat dipastikan peranku sebagai mata-mata ganda segera akan
terbongkar." "Lantas apa artinya kau melanjutkan peran ganda mu itu?"
"Tidak bisa dikatakan tidak ada artinya. Semisal aku bisa
mendapat tahu tokoh persilatan manakah yang telah menjadi matamata


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangsa Boan dan mengkhianati bangsa, kita bisa
menggerakkan para pendekar untuk membunuhnya."
Keng Giok-keng merasakan darah panas menggelora dalam
rongga dadanya, setelah menanyakan masalah yang tidak
sepantasnya dia tanyakan, kini dia baru mulai berpikir masalah
tentang diri sendiri. Ujarnya, "Tadi kau mengatakan, selama ini
belum pernah membocorkan rahasiamu kepada siapa pun,
terkecuali kepadaku. Kenapa terkecuali kepadaku?"
"Sebab kemungkinan besar ayah ibumu mengalami nasib tragis
karena terseret oleh masalahku!"
"Siapa yang telah mencelakai mereka?" buru-buru Keng Giokkeng
mendesak. "Aku hanya mendengar kabar tentang hilangnya mereka berdua,
kemudian selama banyak tahun tidak pernah bertemu lagi dengan
mereka, oleh karena itu....
oleh karena itu kuduga mereka lebih banyak celakanya daripada
selamat." Timbul secercah harapan di hati kecil Keng Giok-keng, katanya,
"Terlepas apakah orang tuaku sudah tertimpa bencana atau tidak,
aku harus melakukan penyelidikan hingga semuanya jelas, aku
harap.... aku harap...."
"Kunasehatkan padamu, lebih baik tidak usah diselidiki lebih jauh.
Sebab, sekalipun kau berhasil melacak kejadian yang sebenarnya,
mungkin.... mungkin mereka telah tertimpa nasib tragis, dan
semisalnya mereka memang menemui celaka, tidak usah
menyalahkan siapa pun, kalau ingin menyalahkan, salahkan diriku
saja!" "Kenapa?" "Masa kau masih tidak paham" Belum tentu pengkhianat yang
ingin mencelakainya. Bukankah pada awalnya kau pun mencurigai
aku sebagai mata-mata bangsa Boan" Keng King-si adalah sahabat
karibku, sementara para pendekar selain tidak mengetahui kejadian
ini, setelah tahu, apa tidak mungkin mereka pun mencurigai dirinya
sebagai mata-mata bangsa Boan juga?"
Keng Giok-keng merasakan hatinya bergolak keras, katanya,
"Kalau begitu aku semakin harus melakukan penyelidikan hingga
jelas, aku tidak boleh membiarkan nama ayahku tercemar! Empek
Kwik, kau pasti sudah mengetahui sesuatu, tolong beri tahukan
kepadaku!" "Kau bersikeras ingin tahu?"
"Benar!" jawaban Keng Giok-keng tegas. Kwik Bu menghela
napas panjang, ujarnya kemudian, "Padahal aku sendiripun tidak
tahu apa-apa, bila kau bersikeras ingin tahu, mungkin harus
bertanya kepada seseorang...."
"Siapa?" "Murid pertama dari Ho Ki-bu, Ko Ceng-kim! Pada malam ketika
Ho Ki-bu terbunuh, dia tidak berada di rumah keluarga Ho, baru hari
ke dua ada orang melihat dia pulang dari gunung Boan-liong-san!"
"Maksud.... maksudmu...."
"Aku tidak mengatakan kalau Ko Ceng-kim lah yang telah
membunuh Keng King-si serta Ho Giok-yan, tapi bila diperhitungkan
waktunya sejak sepasang suami istri itu lenyap setelah naik ke
gunung Boan-liong-san, seharusnya mereka telah saling bertemu
muka dengan Toa-suhengnya!"
"Apakah dia tahu kalau ayahku berkenalan denganmu di luar
perbatasan?" "Aku tidak tahu apakah dia mengetahui akan hal ini, tapi ada
sepucuk surat dariku yang disembunyikan disakunya, menurut apa
yang kemudian kuketahui, surat itu sudah terjatuh ke tangan orang
lain." Siapakah "orang lain" itu" Walaupun tidak bisa dikatakan tidak
tersangkut secara langsung dalam peristiwa ini, namun bukan
berarti orang itu tidak ada hubungannya dengan kejadian ini.
Sebab kalau orang itu bukan Ko Ceng-kim, menurut apa yang
dilukiskan Kwik Bu, kemungkinan besar surat itu diperoleh setelah
menggeledah saku Keng King-si kemudian diserahkan kepada
"orang lain". Aaai.... bukankah Ko Ceng-kim adalah ayah angkatnya, yang kini
sudah menjadi Put-ji Tojin, salah satu Tianglo dari Bu-tong-pay"
Keng Giok-keng sangat berharap kematian orang tuanya sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan ayah angkatnya itu.
Oleh karena pelbagai kecurigaan dan tanda tanya menyelimuti
benaknya, maka dia sengaja pulang di saat malam telah tiba.
Walaupun dia pergi belum sampai satu tahun, sebuah jangka
waktu yang tidak terlalu lama, akan tetapi kepergiannya kali ini
merupakan kali pertama meninggalkan rumah, tidak heran kalau
perasaan gembira segera menyelimuti hatinya setelah kini tiba
kembali di rumah. Aneh, kenapa tidak ada yang menyahut meski pintu telah diketuk
berulang kali" "Ayah, ibu, aku telah kembali!"
Sewaktu memanggil "ayah" dan "Ibu" timbul perasaan aneh
dihati kecilnya, namun luapan perasaannya masih sama seperti
dulu. Pepatah kuno mengatakan: budi dari ibu kandung tidak bisa
mengalahkan budi terhadap ibu yang memeliharanya, selama ini dia
dipelihara dan dibesarkan oleh Lan Kau-san suami istri, meskipun
sekarang dia sudah tahu kalau mereka bukan orang tua
kandungnya, namun dalam hati kecilnya dia tetap menaruh
perasaan terima kasih dan sayangnya kepada mereka.
Masih belum kedengaran suara jawaban.
"Jangan-jangan mereka tidak berada dirumah, atau terlelap tidur
sangat nyenyak, aaah....! atau jangan jangan mereka sakit?"
Dicekam rasa ragu, sangsi bercampur curiga, terpaksa dia
mendorong sendiri pintu rumah. Ternyata pintu hanya dirapatkan,
begitu didorong segera terbuka.
Begitu melangkah masuk ke dalam rumah, segera terenduslah
bau anyirnya darah! Buru-buru Keng Giok-keng menyulut lentera yang ada dimeja,
tampak Lan Kau-san dan istrinya telah terkapar ditanah bersimbah
darah, dari mulut mereka terlihat darah masih meleleh keluar.
Untuk sesaat dia jadi tertegun, terperangah.
Kemudian sambil menghantam meja makan kuat kuat, teriaknya
kalap, "Ayah! Ibu! Kalian tidak boleh mati! Siapa pembunuhnya,
katakan kepadaku, katakan kepadaku.... siapa yang telah
membunuh kalian!" Tentu saja tidak ada orang yang beritahu kepadanya, rasa sakit
karena kepalan yang menghantam meja, membuatnya tersadar dari
luapan emosi, tiba-tiba dia mendengar ada suara lirih sedang
memanggil namanya. "Adik.... adik....!"
"Siau-Keng-cu, Siau-Keng-cu!"
Dengan langkah sigap dia masuk ke kamar tidur cicinya, disitu
dia temukan Lan Sui-leng sedang berbaring bersama Seebun Yan.
Dalam sekilas pandang Keng Giok-keng sudah tahu kalau mereka
berdua telah terkena racun bubuk pemabuk, tapi suara panggilan
"Siau-Keng-cu" dari Seebun Yan terdengar jauh lebih nyaring, ini
membuktikan kalau racun yang menyerang dirinya jauh lebih ringan.
Tapi dalam keadaan begini dia tidak sempat lagi bertanya
mengapa Seebun Yan bisa tidur dirumahnya, dengan suara keras
segera tanyanya, "Siapa pembunuhnya?"
Mulut Seebun Yan terkatup rapat, dia seperti ingin mengucapkan
sesuatu namun tidak mampu mengutarakannya keluar.
"Dia.... dia adalah...." seru Lan Sui-leng.
Suaranya sangat lirih bagai suara nyamuk, tapi sayang hanya
kata itu yang mampu diucapkan, karena dia sudah kehabisan
tenaga. Akan tetapi Keng Giok-keng telah memperhatikan wajahnya,
wajah dengan rasa takut, ngeri dan horor yang telah mencapai pada
puncaknya. Keng Giok-keng semakin gelisah, cepat dia menarik tubuh
encinya, menempelkan tangan di punggungnya dan menyalurkan
tenaga dalam ke tubuhnya.
"Apakah perbuatan siluman wanita Siang Ngo-nio?" tanyanya.
Dengan mengerahkan segenap sisa kekuatan yang dimiliki,
akhirnya Lan Sui-leng berseru, "Dia.... dia adalah.... adalah ayah
angkatmu!" Keng Giok-keng bersuara nyaring tidak berani percaya dengan
pendengaran sendiri, bentaknya, "Kau.... apa kau bilang?"
"Walaupun aku tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
namun tidak bakalan salah mendengar, pembunuhnya memang tosu
bajingan Put-ji!" kata Lan Sui-leng lagi.
Keng Giok-keng ingin menangis namun ddak ada air mata yang
jatuh berlinang, sepasang matanya merah membara seperti
sembuaran api di mulut kawah.
Setelah tertegun cukup lama, tiba-tiba dia mengeluarkan dua
butir pil dan dijejalkan ke mulut mereka, kemudian tanpa
mengucapkan sepatah kata pun dia membalikkan tubuh dan lari
keluar rumah. "Adik, kau...." jerit Lan Sui-leng.
"Aku tidak punya waktu untuk menunggu kalian, pembunuhan
atas orang tuaku lebih dalam dari samudra, aku harus bertanya
kepadanya hingga jelas, aku harus bertanya hingga jelas!"
Apa yang akan ditanyakan" Walaupun tidak dia jelaskan namun
Lan Sui-leng telah memahami maksud hatinya. Dia ingin bertanya,
mengapa Put-ji begitu sayang terhadap dirinya hingga melebihi
hubungan seorang ayah dan anak, tapi mencelakai orang tuanya"
Namun kata depan dan kata belakang yang diucapan Keng Giokkeng
justru bukan merupakan satu rangkaian kata, hal ini tidak
pernah terbayangkan Lan Sui-leng sebelumnya.
Pil yang diberikan Keng Giok-keng untuk mereka tidak lain adalah
dua butir Siau-huan-wan yang ditinggalkan Hwee-ko Thaysu
kepadanya, Siau-huan-wan merupakan obat mujarab dari biara
Siau-lim, khasiatnya adalah untuk memperkuat daya tahan tubuh,
sekalipun bukan obat pemunah bubuk mabuk dari keluarga Tong,
namun sangat bermanfaat untuk mengembalikan kondiri tubuh
mereka. Tidak sampai seperminum teh kemudian mereka berdua telah
dapat duduk kembali, berbicara dan duduk seperti orang biasa.
"Adikmu benar benar patut dikasihani," tiba-tiba Seebun Yan
berkata sambil menghela napas, "coba kalau berganti aku, mungkin
perasaan hatiku pun amat kalut dan terjadi pertentangan batin!"
Lan Sui-leng baru saja kehilangan sepasang orang tuanya,
perasaan benci dan dendam menyelimuti hatinya, dalam keadaan
begini tentu saja jalan pikirannya berbeda dengan jalan pikiran
Seebun Yan. Dengan mata mendelik tanyanya, "Pertentangan batin apa" Masa
kau tidak mendengar, diapun mengatakan dendam orang tua
sedalam lautan" Sekalipun dia mempunyai orang tua lain, tapi dia
dibesarkan dirumahku, orang tuaku adalah orang tuanya juga!"
"Tapi diapun mengatakan kalau akan pergi bertanya hingga
jelas!" kata Seebun Yan.
"Maksudmu, dia menaruh curiga atas perkataanku?"
"Bukan hanya itu saja maksudnya."
"Kalau begitu kau kuatir dia masih teringat hubungannya sebagai
guru dan murid, hubungan antara ayah angkat dengan anak,
sekalipun sudah tahu kalau ayah angkatnya adalah pembunuh yang
telah menghabisi nyawa orang tuanya, namun tetap tidak tega
untuk membalas dendam?"
"Dia bukannya tidak percaya, tapi tidak ingin percaya. Jelas
dalam hal ini terdapat perbedaan yang besar."
"Lantas kenapa?"
"Oleh sebab itulah dia ingin menanyakan masalah ini hingga
jelas, moga-moga saja kesimpulan yang kau peroleh tidak akan
menjadi kenyataan." "Orang yang membunuh ayah ibuku adalah ayah angkatnya, hal
ini merupakan "kenyataan" yang kita dengar sendiri, memangnya
masih mungkin terdapat "kenyataan" lain?"
"Kau jangan lupa," kata Seebun Yan cepat, "kita hanya
"mendengar", bukan "menyaksikan" dengan mata kepala sendiri!"
"Semua pembicaraan antara ayahku dengan tosu bajingan itu
kita ikuti dengan sangat jelas, apakah dalam hal ini kita perlu
melihat dengan mata kepala sendiri?"
"Benar, aku memang masih sedikit agak sangsi."
"Apa lagi yang kau sangsikan?"
Seebun Yan tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dia seakan
terjerumus dalam pemikiran yang sangat mendalam, setelah lewat
beberapa saat kemudian dia baru berkata lagi, "Tadi kau bertanya
kepadaku, apakah aku khawatir adikmu tidak tega untuk turun
tangan" Sekarang aku dapat menjawab pertanyaanmu itu, aku
bukan hanya khawatir, bahkan merasa sangsi. Sebab setelah
kubayangkan kembali semua peristiwa yang baru saja terjadi,
memang nyata sekali terdapat banyak bagian yang sukar
dimengerti!" "Baik, coba kau sebutkan!"
Begitu mendengar perkataan dari Seebun Yan ini, seketika dia
pun dibuat tertegun. Pada saat Seebun Yan sedang menunjukkan beberapa hal yang
membuatnya "sangsi" dan "curiga", waktu itu sang pembunuh Put-ji
Tojin sedang merasa amat masgul di dalam kamarnya.
Siang tadi, demi menghindari keributan dengan Siang Ngo-nio
dan dipaksa oleh keadaan, terpaksa dia berjanji akan bertemu
dengan perempuan itu pada malam nanti di kompleks pemakaman.
Kini bayangan rembulan telah condong ke langit barat, waktu
sudah menunjukkan kentongan ke tiga.
"Malam sudah begini larut, mengapa dia belum juga munculkan
diri" Mungkin kah dia tidak jadi datang?"
Sejujurnya dia sangat tidak ingin bertemu dengan Siang Ngo-nio,
tapi bila malam ini dia tidak datang, besar kemungkinan besok
malam akan datang juga, sekalipun besok malam, atau malam lusa
dia tidak datang juga, bibit musibah masih tetap ada!
"Aaaai, yang harus datang biarlah segera datang! Dengan begitu
urusan pun segera dapat terselesaikan!"
Pada saat pikirannya sedang kalut itulah, tiba-tiba terdengar
seseorang tertawa merdu sambil berseru, "Maaf, aku harus
membuatmu menunggu cukup lama!"
Tidak salah, yang akan datang akhirnya datang juga, Siang Ngonio
telah muncul dihadapannya!
"Ngo-nio, dengarkan aku...." seru Put-ji.
Dia ingin berusaha untuk terakhir kalinya untuk membujuk
perempuan itu agar pergi meninggalkan dirinya. Tapi bila dia tetap
bersikeras ingin merecokinya, maka satu-satunya jalan adalah
menggunakan segala cara untuk menyelesaikan masalah ini
secepatnya. Tapi Siang Ngo-nio bukan saja tidak mau menuruti bujukannya,
bahkan dengan gelisah berseru, "Tidak bisa menunggu lagi, cepat
pergi, cepat pergi!"
"Kau pergilah sendiri!"
Tiba-tiba Siang Ngo-nio menunjukkan mimik muka yang sangat
aneh, seakan sangat mengkhawatirkan keselamatannya, tapi seperti


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga membawa nada ejekan dan sindiran, seolah mara bahaya
sedang mengancam jiwanya.
"Kau keliru besar, kali ini kau harus pergi dari sini!"
Put-ji Tojin ingin sekali mendorong perempuan itu, tapi ingatan
lain segera melintas, dia merasa belum waktunya untuk ribut
dengan perempuan ini, terpaksa sambil menahan sabar dia
bertanya, "Kenapa?"
"Kau benar benar amat tolol," sengaja Siang Ngo-nio
menunjukkan senyum tidak senyum, "kita telah melakukan
perbuatan yang tidak sepatutnya kita lakukan, masa tidak mau
kabur?" Put-ji Tojin salah mengartikan ucapan itu, sambil menarik muka
tegurnya, "Bicaralah yang benar!"
"Aku sedang bicara benar dan serius, tahukah kau, bocah muda
itu sudah kembali!" "Bocah muda mana yang kau maksud?"
"Tentu saja bocah muda yang kau cintai, tapi juga paling kau
takuti. Bocah itu mempunyai dendam kesumat sedalam lautan
denganmu, coba bayangkan saja, kecuali dia tidak tahu duduk
persoalan yang sebenarnya, kalau tidak apakah tidak mungkin dia
menyusul kemari untuk mencari balas terhadapmu?"
Ucapan itu dengan telak menyinggung penyakit hati Put-ji,
persoalan inilah yang selama beberapa hari terakhir menghantui
pikiran dan perasaan hatinya.
Dia pernah berniat akan menyatakan penyesalannya di hadapan
anak angkatnya itu, mengaku semua perbuatannya secara terus
terang; dia pun pernah berpikir untuk memanfaatkan hubungan
perasaan anak angkat terhadapnya untuk mengarang sebuah cerita
bohong dan melanjutkan usahanya untuk mengelabuhi bocah itu.
Bahkan diapun pernah berpikir, bilamana keadaan terpaksa, dia
lebih suka mengorbankan orang lain dari pada dirinya terjerumus
dalam rasa malu karena namanya ternoda dan tercemar.
Untuk beberapa saat pikiran itu berada diatas angin, tapi
beberapa saat kemudian pikiran lain yang berada diatas angin,
hingga detik ini dia masih tetap ragu dan tidak berani mengambil
keputusan. "Sebagai seorang lelaki, kau harus segera mengambil
keputusan," ujar Siang Ngo-nio, "mumpung bocah itu belum tiba,
kalau sekarang tidak pergi, kau hendak menunggu sampai kapan
lagi?" Put-ji Tojin masih tetap sangsi, tapi Siang Ngo-nio sempat
menariknya untuk kabur beberapa langkah meninggalkan tempat
itu. Pada saat itulah mendadak terdengar suara seseorang
menghardik dengan nada gemetar, "Put-ji, kau masih ingin
melarikan diri?" Biarpun suaranya agak gemetar, namun nadanya dingin dan kaku
sekali. Satu lagi, yang harus datang akhirnya datang juga. Put-ji Tojin
merasakan hatinya tergoncang keras, tanpa sadar dia menghentikan
langkahnya. Orang yang muncul persis dihadapannya saat ini tidak lain adalah
anak angkatnya, Keng Giok-keng!
"Keng-ji, kau...."
Dialah yang menyaksikan Keng Giok-keng lahir ke dunia ini,
aaai.... dari situlah panggilan "Keng-ji" berasal.
"Kau masih memanggil aku Keng-ji" Aku telah mengetahui segala
sesuatunya!" kata Keng Giok-keng sambil menggigit bibir.
Put-ji Tojin menghela napas panjang.
"Aku pun tahu, hari seperti ini akhirnya pasti akan tiba juga, tapi
tidak mengira datang dengan begitu cepat! Anak.... anak Keng....
apa yang ingin kau lakukan?"
"Jadi kaupun tahu kalau telah melakukan perbuatan yang sangat
memalukan?" "Betul! Setelah kejadian ini, aku sempat merasa menyesal, akan
tetapi...." "Jangan tapi-tapian!" bentak Keng Giok-keng, "aku hanya ingin
bertanya kepadamu, mengapa kau bunuh ayah ibuku?"
Pucat pias wajah Put-ji bagaikan mayat, katanya gemetar,
"Peristiwa itu terjadi pada delapan belas tahun berselang, aku tidak
tahu harus mulai bicara dari mana...."
Dia menyangka "ayah ibu" yang dimaksud Keng Giok-keng
adalah orang tua kandungnya, oleh sebab itu begitu buka suara dia
langsung menyinggung soal peristiwa pada "delapan belas tahun
berselang." Mana dia tahu kalau perkataan itu sama halnya telah mengakui
semua perbuatannya. Setelah melakukan perjalanan ke Liauw-tong kali ini, Keng Giokkeng
berhasil mengumpulkan banyak data dan keterangan dari
pelbagai pihak tentang kejadian di masa lampau, dari semua
keterangan tersebut sudah timbul perasaan curiga di hati kecilnya.
Tapi sekarang, setelah mendengar sendiri pengakuan yang
langsung muncul dari mulut Put-ji, yang mana semakin
membuktikan kalau Put-ji lah sang pembunuh yang telah
mencelakai ayah ibu kandungnya, dia merasakan hatinya
bergoncang keras, begitu terpukul batinnya yang membuat dia jadi
sedih bercampur gusar. "Hmm, kau tidak tahu harus berbicara dari mana" Apakah ingin
mengarang cerita bohong lagi untuk menipuku" Ingat, aku sudah
bukan bocah berusia tiga tahun, mau mengaku mau tidak, aku tetap
akan menuntut keadilan darimu!"
Sinar berapi-api serasa memancar keluar dari sepasang mata
Keng Giok-keng, nada ucapannya dingin, tajam dan tanpa perasaan.
Tiba-tiba Siang Ngo-nio menimbrung, "Ceng-kim, kalau kau tidak
tahu bagaimana harus berbicara, biar aku mewakilimu untuk
menjawab. Sederhana sekali, bila kau tidak bisa mengendalikan diri,
langit dan bumi akan memusnahkan dirimu!"
Put-ji Tojin menghela napas panjang.
"Benar," sahutnya, "dalam peristiwa ini, aku memang terdorong
oleh perasaan egois, tapi dibalik ke semuanya ini terselip pula
banyak kesalahpahaman!"
Keng Giok-keng tidak kuasa menahan diri lagi, tiba-tiba
bentaknya nyaring, "Kau telah membunuh ayah dan ibu yang telah
memeliharaku selama ini, apakah kejadian inipun sebuah kesalahpahaman?"
Put-ji Tojin kelihatan sangat terkejut, jeritnya,
"Apa.... apa kau bilang?"
"Kau masih ingin menyangkal?" kembali Keng Giok-keng
membentak, "mengingat kau pernah memelihara dan membesarkan
aku, bunuhlah dirimu sendiri! Kalau tidak, jangan salahkan aku...."
Tangannya sudah mulai menggenggam gagang pedang.
Tiba-tiba Siang Ngo-nio mengayunkan tangannya, segenggam
jarum beracun segera dilontarkan ke depan, bentaknya, "Ceng-kim,
kejadian telah berkembang jadi begini, bila kau tidak
membunuhnya, dialah yang akan membunuhmu! Cepat turun
tangan membunuhnya!"
Sejak awal Keng Giok-keng sudah membuat persiapan, begitu
jarum Lebah hijau dari Siang Ngo-nio meluncur ke arahnya, dia
segera mengibaskan pedangnya menciptakan selapis cahaya yang
segera menghancur lumatkan jarum-jarum itu.
Sejak mencabut pedang, melambung sampai melancarkan
serangan semua dilakukan bersamaan waktu, jurus serangan yang
digunakan tidak lain adalah Pek-hok-liang-ci, jurus yang diajarkan
Put-ji. Maksud tujuannya adalah ingin menunjukkan kepada ayah
angkatnya bahwa jurus Thay-kek-kiam-hoat yang dia ajarkan itu
sama sekali tidak berguna. Dia ingin melihat bagaimana reaksi dari
ayah angkatnya itu. Dalam situasi yang amat kritis itu, Put-ji Tojin merasa kegirangan
setengah mati setelah menyaksikan bocah itu mengeluarkan jurus
serangan ajarannya. "Untung aku telah menyiapkan hal ini untuk mengantisipasi hal
hal yang tidak diinginkan!" demikian dia berpikir (GB15).
Tanpa berpikir panjang lagi dia segera membalas dengan
menggunakan jurus Pek-hok-liang-ci yang asli.
Begitu dilancarkan, gerak pedangnya melambung di udara
bagaikan burung bangau sedang mementang sayap. Tapi sayang
gerakan yang dilakukan Keng Giok-keng terlampau melebar,
meskipun sangat indah dipandang namun bila digunakan dalam
pertarungan nyata, jelas terbuka sebuah titik kelemahan yang
sangat besar. Dengan gerakan sangat cepat ujung pedang Put-ji menusuk
masuk ke dalam titik kelemahan dari Keng Giok-keng, asal dia
menusukkan pedangnya dengan sepenuh tenaga, maka ujung
pedang akan segera menghujam di atas dadanya.
Pada detik itulah Put-ji merasakan jantungnya berdebar keras,
pikirnya, 'Mana boleh kulukai bocah ini"'
Buru-buru dia menarik kembali berapa bagian tenaganya, ujung
pedangnya segera dicongkel perlahan, maksudnya ingin menotok
beberapa buah jalan darahnya agar bocah itu tidak mampu berkutik.
Siapa tahu biarpun jalan pikirannya bergerak cepat, gerakan
Keng Giok-keng jauh lebih cepat lagi.
Bocah itu berani menggunakan jurus palsu untuk menjebak ayah
angkatnya, tentu saja karena dia punya keyakinan untuk
menghadapi perubahan tersebut, begitu menyaksikan pedang Put-ji
telah menusuk masuk ke bagian tubuhnya yang terbuka, tentu saja
dia tidak berani ambil resiko, cepat jurus sesungguhnya dia
gunakan. Saat itu kemampuan ilmu pedang Put-ji belum sempat mencapai
taraf pengendalian sesuai dengan jalan pikiran,
terdengar...."Traaaang!" tahu-tahu pedangnya sudah terpapas
kutung jadi dua bagian. Tapi bersamaan waktu perasaan hati Keng Giok-keng pun sedikit
tergerak, timbul setitik keraguan di hatinya.
Sampai dimana kemampuan tenaga dalam yang dimiliki ayah
angkatnya, tentu saja dia tahu dengan pasti, sekalipun ilmu
pedangnya masih belum mampu melampaui kemampuannya,
namun mustahil senjatanya bisa dikutungi dengan begitu gampang.
"Jangan-jangan diapun berniat mengampuni jiwaku?"
Sayang di samping mereka masih hadir si Lebah hijau Siang Ngonio,
tentu saja perempuan itu tidak akan membiarkan dia bertindak
lebih jauh. Bersamaan dengan dilepasnya tiga batang paku penembus
tulang, sepasang golok Wan-yo-to di tangan Siang Ngo-nio segera
membacok ke arahnya bertubi-tubi.
Sepasang golok yang digunakan Siang Ngo-nio itu satu panjang
satu pendek, biasanya sewaktu bertarung melawan orang, golok
panjangnya digunakan untuk melindungi tubuh sementara golok
pendeknya dipakai untuk menyerang musuh. Tapi kini, tanpa
menunggu teriakan dari Put-ji lagi, sepasang goloknya langsung
diayunkan ke depan melancarkan serangan.
Saat itu Keng Giok-keng telah berhasil memukul rontok dua
batang jarum penembus tulang, jarum ke tiga menyambar lewat
persis di atas bahunya, senjata rahasia itu berhasil dipunahkan
tenaganya oleh pancaran hawa murninya, karena itu meluncur dan
rontok di sisi tubuhnya. Oleh karena, pertama, perasaan hatinya tidak tenang, ke dua
harus menghadapi pula senjata rahasia beracun dari Siang Ngo-nio,
hampir saja tubuhnya terbacok oleh golok pendek Siang Ngo-nio.
"Breeet!" terdengar suara kain yang tersambar robek, ujung
bajunya telah terbabat hingga robek sebagian.
Dengan cekatan Siang Ngo-nio menyelinap ke samping lalu
mundur ke sisi Put-ji Tojin, tiba-tiba dia menjejalkan sebuah benda
ke tangan toosu itu, kemudian teriaknya, "Kau tidak usah takut, asal
kita bekerja sama, bocah itu pasti dapat teratasi, namun kau tidak
boleh punya perasaan tidak tega!"
Ternyata benda yang dijejalkan ke tangan Put-ji Tojin itu tidak
lain adalah sebilah pedang lemas yang tergulung, rupanya jauh
sebelumnya perempuan ini telah menduga sampai disitu, karenanya
dia telah menyiapkan sebilah pedang pengganti untuk Put-ji Tojin.
Begitu mendengar teriakan dari Siang Ngo-nio itu, Keng Giokkeng
segera berpikir lagi, "Tidak benar, sekalipun dalam jurus
serangan tadi dia berniat mengampuni jiwaku, tapi bagaimana pun
juga dia telah mencelakai orang tuaku, telah membunuh mati ayah
dan ibu yang telah memelihara aku selama ini!"
Berpikir sampai di situ, permainan pedangnya segera dilancarkan
secepat petir, dalam waktu singkat dia telah melancarkan delapan
belas jurus serangan, pada mulanya tiga jurus pertama diarahkan ke
tubuh Put-ji Tojin, disusul kemudian tiga jurus berikut dia
menyerang ke arah Siang Ngo-nio, delapan belas jurus serangan
dirangkai menjadi tiga buah lingkaran berantai.
Dalam waktu yang teramat singkat, Put-ji Tojin maupun Siang
Ngo-nio masing-masing telah mendapat tiga kali serangan kalap.
Berhubung permainan pedangnya telah mencapai tingkat kecepatan
yang luar biasa, waktu jedah baginya seolah sama sekali tidak ada,
Put-ji Tojin maupun Siang Ngo-nio harus menghadapi serangan
demi serangan secara bertubi-tubi tanpa berhenti.
Di tengah pertempuran sengit, Keng Giok-keng dengan jurus
Tay-mo-ku-yan (asap tunggal di tengah gurun) pedangnya lurus
bagaikan tombak, ujung pedangnya langsung menusuk ke arah
tenggorokan Put-ji Tojin.
Sadar kalau serangan itu sulit dihindari lagi, Put-ji Tojin menghela
napas sambil bergumam, "Karma, karma!"
Dia pun memejamkan mata sambil menunggu saat datangnya
kemarian. Tapi entah mengapa, dia hanya merasakan mata pedang yang
dingin bagaikan es itu seolah menyambar lewat persis dari atas kulit
lebernya, tiada rasa sakit, tiada darah yang mengalir, namun Put-ji
Tojin dengan bermandikan keringat dingin telah roboh terjungkal ke
belakang. Dalam pada itu Keng Giok-keng sendiripun sedang menghela
napas sambil berpikir, "Dia adalah musuh besar pembunuh ayahku,
mengapa aku masih teringat akan budi kebaikannya"
Yaa sudahlah, lebih baik kubantai dulu perempuan siluman ini!"
Taktik pertarungan Keng Giok-keng segera berubah, dengan
tenaga sebesar tujuh bagian dia mulai melancarkan serangan ke
arah Siang Ngo-nio. Tidak selang beberapa gebrakan kemudian
perempuan itu sudah dibuat keteter hebat dan kalang kabut
dibuatnya. Baru saja dia akan melancarkan serangan mematikan, tiba-tiba
jalan darah Huan-tiau-hiat pada lututnya terasa linu, ujung
pedangnya pun segera meleset ke samping.
Perubahan yang terjadi ini sangat mendadak dan sama sekali
tidak terduga oleh Keng Giok-keng sebelumnya.
Berdasarkan perasaan hatinya, benda yang menyentuh lututnya
adalah sejenis batu pasir yang amat lembut, tapi dia tidak tahu
apakah benda tersebut benar adalah batu pasir ataukah merupakan
sejenis senjata rahasia berbentuk pasir.
Disangkanya senjata rahasia ini dilepas Siang Ngo-nio di saat
jiwanya sedang terancam, segera pikirnya dengan terkesiap, 'Tidak
kusangka kemampuan siluman perempuan ini dalam melepaskan


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjata rahasia jauh diluar dugaan ku, tidak jelas dengan cara apa
dia melepaskan senjata rahasianya, ternyata bukan saja aku tidak
melihatnya, merasakan pun tidak.'
Siang Ngo-nio sendiri yang baru lolos dari kematian merasakan
hatinya tergerak, walaupun dia tidak merasa ada senjata rahasia
yang datang dari luar jendela, namun dari perubahan mimik muka
Keng Giokkeng, dia tahu pasti sudah terjadi sesuatu. Tiba-tiba
bentaknya, "Aku tahu kau sedang bersembunyi diluar! Hmm, kalau
memang tidak ingin berjumpa denganku, tidak usah pinjam golok
membunuh orang! Kau sangka dengan meminjam tangan bocah ini
membunuhku, maka semua rahasiamu bakal tersimpan rapi. Hmm,
terus terang saja kukatakan, sejak awal aku sudah...."
Dengan teriakan tersebut, baik Keng Giok-keng maupun Put-ji
Tojin segera menyangka "dia" yang dimaksud adalah Tong Jisianseng.
Keng Giok-keng segera berpikir, "Jangan-jangan si tua bangka
dari marga Tong benar-benar bersembunyi diluar" Tidak heran
kalau senjata rahasia yang dia lancarkan begitu lihay dan luar
biasa!" Sebaliknya Put-ji Tojin setelah merasakan terkejut bercampur
girang, dia pun merasa curiga.
Kalau didengar dari nada pembicaraan Siang Ngo-nio, tidak
seharusnya dia bersikap sekasar itu terhadap Tong Ji-sianseng,
apalagi ucapannya tentang "pinjam golok membunuh orang", hal ini
semakin membuatnya tidak habis mengerti.
Apalagi rahasia yang dimaksud Siang Ngo-nio, bila ditujukan
untuk hubungan khususnya dengan Tong Ji-sianseng, maka
seharusnya "rahasia" yang dimaksud sudah bukan merupakan
sebuah rahasia lagi. Jagoan mana dalam dunia persilatan yang tidak
tahu kalau Siang Ngo-nio adalah kekasih simpanannya"
Lalu selain "rahasia" tersebut, mungkinkah Tong Ji-sianseng
masih mempunyai "rahasia" lain yang bisa dibuat bahan ancaman"
Tentu saja kecurigaan itu hanya terbatas pada pemikiran Put-ji
Tojin, bagi Keng Giok-keng sendiri, pikirannya tidak secermat dan
sedetil itu. Karena kuatir Siang Ngo-nio memperoleh bala bantuan yang
tangguh, kuatir juga kemampuan Siang Ngo-nio dalam melepaskan
senjata rahasia benar-benar di luar dugaannya, begitu lewat rasa
kagetnya, dia semakin memperketat serangan yang dilancarkan,
jurus pedang yang digunakan pun semakin luar biasa.
Dia ingin memaksa Siang Ngo-nio keteter hebat sehingga tidak
berkesempatan melepaskan senjata rahasia, andaikata senjata
rahasia itu berasal dari luar pun, dia akan melakukan penjagaan
yang ketat hingga serangan itu tidak tembus dari lingkaran
pedangnya. Di bawah serangan yang gencar dan dahsyat, posisi Siang Ngonio
semakin gawat, jangankan untuk meloloskan diri, kesempatan
untuk berbicara pun sudah tidak punya.
Suasana di luar sana masih tetap hening, sama sekali tidak
nampak sesuatu gerakan. Kembali Put-ji Tojin berpikir, "Andaikata Tong Ji-sianseng berada
diluar, dia seharusnya sudah masuk kemari. Berarti ucapan Ngo-nio
yang ngawur dan ngaco belo itu tidak lebih hanya ingin menakutnakuti
anak Keng. Tapi gertak sambal semacam ini hanya bisa
dilakukan sekali dan tidak mungkin berulang. Aaai.... andaikata
Tong Tiong-san benar-benar telah datang, aku pun bisa luput dari
kematian." Perasaan putus asa seketika mencekam perasaan hatinya, timbul
sudah niatnya untuk pasrah.
Jalan pikiran Keng Giok-keng sama seperti apa yang dia pikirkan,
dia menduga Siang Ngo-nio hanya gertak sambal belaka, maka
sambil tertawa dingin sindirnya, "Siluman perempuan, kau sudah
banyak melakukan kejahatan, tidak ada orang yang bisa
menolongmu lagi!" Tenaga dalamnya segera dihimpun ke ujung pedang, jurus
serangan dilancarkan secepat petir, kali ini dia lancarkan serangan
mematikan! "Traaang....!" golok panjang pelindung tubuh Siang Ngo-nio telah
terpapas kutung jadi dua bagian. Ujung pedang Keng Giok-keng
yang tajam tahu-tahu sudah berada di depan dadanya.
Put-ji Tojin berseru kaget, tanpa memperdulikan keselamatan
sendiri dia getar pedang lemasnya hingga tegak lurus lalu secara
tiba-tiba menggulung ujung pedang Keng Giok-keng.
Keng Giok-keng mendengus dingin, dengan jurus Hun-hui-samuh
(barisan awan menari-nari) yang disertai tenaga dalam dia babat
pedang lemas di tangan Put-ji Tojin hingga patah jadi dua bagian.
Dimana pedang itu menyambar lewat, bahu kanan tosu itu segera
terbacok hingga muncul luka yang sangat dalam.
"Anak Keng," dengan wajah pucat pias Put-ji menghardik, "bila
kau menginginkan nyawaku, segera akan kuserahkan, tapi
dengarkan dulu sepatah dua patah perkataanku!"
Keng Giok-keng membungkam tanpa bicara, walaupun pedang
itu masih terarah ke tubuhnya, namun ujung pedangnya telah
ditarik mundur dua inci dari tenggorokannya.
Kelihatannya Siang Ngo-nio tidak setakut tosu itu, bahkan secara
tiba-tiba dia tertawa terkekeh, ujarnya, "Ceng-kim, ternyata kau
memang baik kepadaku. Cukup berharga bagiku untuk mati
bersamamu. Baik, mari kita beradu nyawa dengan bocah keparat
ini!" Begitu selesai bicara, tiba-tiba dia membusungkan dadanya,
pakaian luar yang dikenakan tiba-tiba terbuka lebar, kemudian
dengan gerakan yang paling cepat dia melepaskan tiga buah
kancing dari pakaian itu.
Ke tiga kancing itu berwarna tembaga, sekilas pandang dapat
dilihat kalau terbuat dari bahan logam. Namun Put-ji Tojin tahu
kalau kancing itu merupakan senjata rahasia yang amat dahsyat,
disebut Lui-hwee-tan (peluru api guntur). Di dalam kancing itu
tersimpan bahan peledak berkekuatan tinggi, andaikata ke tiga biji
kancing Lui-hwee-tan itu sampai meledak berbarengan, biarpun
memiliki ilmu silat yang lebih hebat pun tubuh bakal terpisah hingga
hancur berkeping keping. Tapi saat ini Keng Giok-keng berdiri saling berhadapan dengan
mereka, andaikata peluru Lui-hwee-tan itu meledak, tentu saja
bukan Keng Giok-keng seorang yang tewas, tapi seperti yang
dikatakan Siang Ngo-nio tadi: mereka akan mati bersama!
Keng Giok-keng tidak mengetahui kalau senjata rahasia itu
merupakan senjata rahasia paling dahsyat dari keluarga Tong, dia
jadi bingung dan tidak habis mengerti ketika melihat perempuan itu
melepaskan pakaian luarnya, dengan gusar segera umpatnya,
"Perempuan siluman yang tidak tahu malu, kematian sudah didepan
mata pun masih ingin bermain busuk?"
Siang Ngo-nio tertawa dingin, baru saja dia akan melemparkan
peluru lui-hwee-tan itu, mendadak pergelangan tangannya terasa
mengencang, suatu perubahan yang sama sekali tidak terduga telah
terjadi. Rupanya diluar dugaan Put-ji Tojin telah turun tangan, dengan
satu gerakan kilat tiba-tiba dia merebut ke tiga butir Lui-hwee-tan
itu dari genggamannya. Saat itu seluruh konsentrasi Siang Ngo-nio hanya tertuju untuk
menghadapi lawan, mimpi pun dia tidak menyangka kalau
kekasihnya bakal menyergap dirinya.
Agak tertegun dia pun berteriak, "Hey, mau apa kau?"
Disangkanya karena terdesak oleh anak angkatnya, timbul rasa
benci dihati tosu itu hingga ingin meledakkan sendiri Keng Giokkeng.
Karena dianggapnya dengan cara apapun toh hasilnya mati juga,
maka perempuan itupun tidak melakukan tindakan lebih jauh.
Lagi-lagi satu kejadian di luar dugaan berlangsung di depan
mata, ternyata Put-ji Tojin tidak melemparkan peluru Lui-hwee-tan
itu, melainkan menyimpannya ke dalam saku.
Bahan peledak dari Lui-hwee-tan tersimpan dalam sebuah
kerangka yang terbuat dari logam, dibutuhkan tenaga benturan
yang kuat untuk membuat benda itu meledak, andaikata tidak
dilempar dengan kekuatan besar, maka benda tersebut baru akan
meledak jika ditekan dengan jari tangan. Kini semua benda tadi
sudah disimpan ke dalam saku, dengan sendirinya tidak mudah bagi
orang lain untuk meledakkannya.
Dengan perasaan heran bercampur sangsi kata Siang Ngo-nio,
"Kejadian telah berkembang jadi begini rupa, apakah kau masih
berat hati untuk mati?"
"Biar harus mati pun aku harus menanyakan persoalan ini hingga
jelas!" sahut Put-ji Tojin.
Hingga detik itu Keng Giok-keng masih belum sadar kalau baru
saja dia berjalan keluar dari pintu gerbang kematian. Dengan
pandangan bingung, tidak habis mengerti dia awasi kedua orang itu.
Terdengar Put-ji Tojin berkata lagi, "Benarkah ayah ibumu telah
meninggal" Mati keracunan atau mati terbunuh?"
Sekali lagi api amarah membara di hati Keng Giok-keng,
bentaknya gusar, "Kalian telah bersekongkol untuk melakukannya,
apakah masih menyangkal?"
"Oooh, kalau begitu mereka keracunan lebih dulu kemudian baru
dibunuh?" Jari tangan Keng Giok-keng yang menggenggam pedang mulai
tampak gemetar, jelas terjadi pergolakan emosi dihatinya,
bentaknya gusar, "Seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan
ini kepada kalian!" Sebagaimana diketahui, dia baru tiba di rumah setelah ayah dan
ibunya mati terbunuh, menyusul kemudian dia menjumpai encinya
serta Seebun Yan terkena bubuk pemabok, maka setelah Put-ji Tojin
mengajukan pertanyaan itu, dia mengira ayah ibunya keracunan
lebih dahulu kemudian baru mati terbunuh.
Put-ji Tojin sudah berhubungan dengan Lan Kau-san hampir dua
puluh tahun lamanya, tidak heran bila dia merasa tidak tega untuk
turun tangan sendiri, jadi sangat masuk diakal bila dia meracuni
dulu korbannya kemudian baru turun tangan menghabisi nyawanya.
Sebaliknya Put-ji Tojin yang mendengar perkataan itu,
disangkanya kejadian yang sebetulnya memang demikian. Dalam
waktu singkat paras mukanya yang semula putih keabu-abuan kini
dilapisi pula dengan warna hijau menyeramkan.
Kepada Siang Ngo-nio tiba-tiba bentaknya gusar, "Kau yang
membunuh Lan Kau-san suami istri!"
"Bukan aku," Siang Ngo-nio segera menyangkal, "tapi akupun
tahu juga bukan perbuatanmu!"
"Lantas perbuatan siapa?"
"Aku tidak tahu!" sahut Siang Ngo-nio, padahal dalam hatinya dia
telah menduga seseorang, namun dia masih menyimpan secerca
harapan, karena itu tidak berani menyebutkan nama orang itu
secara terus terang. "Tentu saja bukan aku," seru Put-ji Tojin sambil tertawa dingin,
"tapi kau pun jangan harap bisa berkelit!"
Siang Ngo-nio melototkan sepasang matanya bulat bulat,
mendadak perasaan gusar menyelimuti wajahnya.
Tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya tertawa terbahak-bahak,
teriaknya, "Ko Ceng-kim, kau ingin aku memikul tanggung jawab ini
seorang diri! Hahahaha.... Keng Giok-keng, dengarkan baik-baik,
aku akan mengakui semua kesalahanku. Apa yang kau katakan
benar, memang aku bekerja sama dengan gurumu yang telah
membunuh ayah dan ibumu!"
Perempuan ini menyangka Put-ji Tojin akan mengkhianatinya
agar bisa bertahan hidup, dalam gusar dan emosinya, dia pun
langsung menggigit Put-ji Tojin dan menyeretnya ke dalam kasus
pembunuhan ini. "Perempuan racun, kau benar-benar keji!" umpat Put-ji Tojin
gusar, dia segera mengangkat kurungan pedangnya dan langsung
dihujamkan ke dada Siang Ngo-nio.
Perubahan yang terjadi sama sekali di luar dugaan Keng Giokkeng,
tapi perubahan yang kemudian menyusul semakin
membuatnya melengak. Di saat yang kritis itulah tiba-tiba terdengar suara dentingan
nyaring bergema memecahkan keheningan, "Triiiing!" sebiji baru
tahu-tahu melesat masuk dari luar jendela dan merontokkan
Pendekar Kidal 17 Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya 6
^