Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 24

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 24


hitungan detik, hanya selisih sedikit saja ujung pedang Keng Giokkeng
mengenai sasaran kosong, jangan lagi melukai tubuh lawan,
menyentuh pakaiannya pun tidak mampu.
Tapi oleh karena manusia berkerudung itu harus menarik perut
dan dadanya ke belakang, tubuhnya jadi menyusut berapa inci,
dengan sendirinya totokan ujung jarinya pun gagal menyentuh jalan
darah Keng Giok-keng. Di tengah deruan angin pukulan bayangan pedang, mendadak
tubuh mereka berdua dari bergabung menjadi berpisah. Sekilas
pandang kedua belah pihak sama-sama tidak menderita kerugian,
tapi Keng Giok-keng merasakan urat nadinya lamat-lamat terasa
panas dan pedas. Peru diketahui, tenaga dalam yang dimiliki manusia berkerudung
itu amat sempurna, sekalipun ujung jarinya tidak sampai mengenai
jalan darahnya, namun tenaga serangan yang terpancar sudah
cukup membuat pergelangan tangannya jadi linu dan kaku.
Keng Giok-keng menarik napas pajang, pedangnya kembali
berputar melancarkan serangkaian ancaman kilat. Bagaikan air
raksa yang tersebar di tanah, hampir setiap pori-pori yang ada
disusupi dengan cepat, namun tidak mengurangi kelincahan serta
keindahan gerakannya. Apabila manusia berkerudung itu tidak dapat membunuhnya
dalam sekali pukulan, boleh dibilang dia benar-benar tidak akan
berani mendekati anak muda itu.
Sekalipun manusia berkerudung itu yakin kemenangan berada
dipihaknya, tidak urung tercekat juga perasaan hatinya.
"Baru berpisah berapa bulan, ternyata ilmu pedang yang dimiliki
bocah ini telah mencapai kemajuan yang amat pesat, bila sekarang
aku tidak membunuhnya, di kemudian hari pasti akan merupakan
bibit bencana! Aaai, tapi aku melihatnya tumbuh hingga dewasa,
apakah tega turun tangan keji kepadanya?"
Begitu sedikit dia pecah perhatian, terdengar "Sreeet....!" ujung
baju manusia berkerudung itu sudah tersambar ujung pedang
hingga robek sebagian. Manusia berkerudung itu menggigitbibir, pikirnya, 'Bila aku
melayani terus pertarungan ini, takutnya masih ada musuh tangguh
lain yang sedang mengincar dari samping, sudah, sudahlah, kalau
tidak berjiwa besar memang bukan seorang Kuncu, kalau tidak keji
bukan lelaki sejati, terpaksa aku harus menghantar setan cilik ini
menghadap raja akhirat!' Begitu napsu membunuhnya muncul, secepat kilat dia lepaskan
dua bacokan kilat lalu mundur tiga langkah.
Kali ini dia mengandalkan kesempurnaan tenaga dalamnya untuk
memaksa mundur lawan. Pukulan pukulan udara kosongnya sudah
lebih dari cukup untuk membendung serangan lawan, dia tinggal
menunggu hingga kekuatan lawan mulai lemah, maka dari jurus
tipuan diapun akan mengubah jadi jurus benaran dan mencabut
nyawanya. Dalam waktu singkat Keng Giok-keng merasakan napasnya mulai
sesak tidak lancar. Mendadak dia teringat dengan Sim-hoat ajaran
Sucouwwnya, "Biarkan bukit Thay-san datang menindih, aku anggap
bagaikan hembusan angin sejuk!"
Kemudian dia teringat pula dengan ajaran "koki menjagal sapi"
yang dijelaskan artinya oleh Hwee-ko Thaysu sewaktu terkurung
dalam penjara batu lembah Toan-hun-kok.
Begitu teringat akan semua teori tersebut, Keng Giok-keng
segera memusatkan seluruh perhatiannya ke satu titik, dalam
tatapan matanya saat ini tinggal sepasang telapak tangan dari
manusia berkerudung itu. Ilmu pedangnya mengalami pula kemajuan satu tingkat, dia
seakan bukan menggunakan tangan untuk memegang pedang tapi
menggunakan hatinya, mengikuti setiap perubahan dari lawan, dia
hadapi menuruti suara hati, menyerang lewat celah-celah yang
muncul dan berusaha mendahului lawannya.
Dengan begitu dia tidak perlu mengeluarkan lebih banyak tenaga
lagi untuk melancarkan serangannya, sementara tehnik
"pemborosan" tenaga yang dipakai manusia berkerudung itu pun
tidak memberikan manfaat lagi.
Biarpun tenaga dalam yang dimiliki manusia berkerudung itu
amat sempurna, namun dalam pertarungan seru ini, banyak tenaga
yang harus dihamburkan, dalam kondisi seperti ini bila pertarungan
dilanjutkan, menang kalah jadi sukar diramalkan.
Agaknya manusia berkerudung itu dapat melihat bahaya yang
mengancam, dia segera mengeluarkan jurus tangguh untuk segera
menyelesaikan pertarungan.
Semua pembahan terjadi dalam waktu singkat, sepasang
tangannya telah menciptakan rangkaian lingkaran demi lingkaran,
dari ilmu pukulan pun kini telah berubah jadi ilmu pedang.
Mimpi pun Keng Giok-keng tidak menyangka kalau manusia
berkerudung itu dapat menggunakan telapak tangannya sebagai
pengganti pedang untuk memainkan Thay-kek-kiam-hoat, bahkan
yang dia gunakan adalah jurus serangan yang khusus untuk
mematahkan jurus Pek-hong-koan-jit (bianglala putih menembus
sang surya) yang sedang dia pergunakan sekarang.
Dalam situasi kritis, Keng Giok-keng segera mengeluarkan jurus
pemecahan yang baru saja diperoleh dari pemahaman, tampak
ujung pedangnya bergetar keras, tiba-tiba muncul tujuh kuntum
bunga pedang, dari jurus Pek-hong-koan-jit tiba-tiba berubah jadi
jurus Jit-seng-pan-gwee (tujuh bintang mendam-pingi rembulan).
Dalam waktu singkat tujuh buah jalan darah kematian di tubuh
manusia berkerudung itu terserang secara berbarengan, andaikata
dia tetap bersikeras hendak merebut pedangnya, niscaya ada
berapa lubang tusukan yang akan muncul ditubuhnya.
Jurus serangan balasan yang dipergunakan Keng Giok-keng saat
ini boleh dibilang tercipta mengikuti keadaan, dan seharusnya telah
menembusi tingkat pemahaman ilmu pedang paling tinggi, siapa
sangka perubahan tersebut seolah-olah telah berada dalam
perhitungan manusia berkerudung itu.
Gerakan yang dilakukan kedua belah pihak sama sama cepat luar
biasa, nyaris pada saat bersamaan mereka berubah jurus.
Sepasang tangan manusia berkerudung itu mengguratkan garis
lingkaran yang berlapis, belum sampai lingkaran itu menyatu, dia
telah memutar tubuhnya ke arah lain.
Tidak butuh bantuan tangannya, dengan jurus Kim-can-to-ke
(tonggeret emas keluar dari kepompong) tahu-tahu dia telah
melepaskan jubah luarnya dan dilontarkan ke tengah udara. Jubah
itu langsung mengembang dan ibarat selapis awan gelap langsung
mengurung batok kepala Keng Giok-keng.
Cahaya pedang Keng Giok-keng berkelebat dan menari di
angkasa, diantara kilatan cahaya tajam, jubah luar milik manusia
berkerudung itu sudah tercabik cabik menjadi berkuntum kupu kupu
yang menyebar ke mana mana.
Tapi dalam sekejap itu juga, lantaran sinar mata Keng Giok-keng
tertutup oleh "awan gelap", maka dia pun tidak dapat melihat jelas
perubahan jurus serangan dari lawannya.
Manusia berkerudung itu segera manfaatkan kesempatan emas
itu dengan sebaik-baiknya, sebuah pukulan yang enteng langsung
dilontarkan ke tubuh Keng Giok-keng. Serangan itu tanpa suara
tanda pertanda, tahu-tahu meluruk tiba dengan kecepatan tinggi
bahkan disertai tenaga dalam yang luar biasa.
Tampaknya Keng Giok-keng segera akan terluka oleh serangan
maut itu.... Mendadak manusia berkerudung itu teringat kembali dengan
pemandangan di saat Keng Giok-keng masih kecil, terbayang
bagaimana dia main bersama bocah itu. Apalagi dalam
kehidupannya yang begitu panjang di atas gunung Bu-tong,
perasaan hatinya betul betul kesepian, kecuali Bu-siang Cinjin, boleh
dibilang hanya bocah ini yang paling akrab dengan dirinya.
"Aaaai, kenapa aku berbuat begini" Sekalipun tidak mengingat
budi kebaikan Bu-siang Cinjin selama ini kepadaku, akupun tidak
boleh menghancurkan kehidupannya!"
Serangan itu sebenarnya bisa menghajar Keng Giok-keng hingga
mampus atau paling tidak terluka parah, begitu ingatan tadi
melintas, dia segera menarik kembali tenaganya sebesar tujuh
bagian, maksudnya pukulan itu cukup menghajar Keng Giok-keng
hingga pingsan saja. Siapa sangka kemajuan tenaga dalam yang dicapai Keng Giokkeng
jauh di luar dugaannya, terdengar bocah itu menjerit tertahan,
langkah kakinya gontai namun tidak sampai roboh terjungkal.
Pada saat itulah ujung pedang Keng Giok-keng memancarkan
cahaya kehijau hijauan dan tahu-tahu sudah menusuk ke hadapan
wajahnya. Tapi pada detik terakhir untuk menentukan mati hidup ini,
ingatan Keng Giok-keng pun berputar cepat dan tidak mampu
mengambil keputusan.... dia tidak tahu haruskah membunuh
dirinya" Atau tidak membunuhnya"
Dia sudah pernah merasakan kelihayan manusia berkerudung itu.
Ketika manusia berkerudung itu mengampuni jiwanya tadi, dia
bukannya tidak tahu. Sama keadaannya seperti ketika dia bertarung melawan manusia
berkerudung itu di kota Uh-sah-tih, saat itupun dia pernah
mengampuni jiwanya. Itu berarti bukan hanya satu kali manusia berkerudung itu
mengampuni jiwanya, melainkan untuk kedua kalinya.
"Dia mempunyai dua kesempatan untuk membunuhku tapi tidak
dia lakukan, mana boleh kucabut nyawanya?"
"Tapi dendam kematian Gihu tidak boleh dibiarkan begitu saja,
apalagi masih di tambah nyawa Hwee-ko Thaysu, apakah mereka
harus kehilangan nyawa dengan sia-sia?"
Sementara ingatan itu masih melintas, Sreeet! Pedangnya telah
menyambar di wajah manusia berkerudung itu.
Hanya saja babatan pedangnya dilakukan ringan sekali, paling
hanya merobek kain kerudung mukanya dan sama sekali tidak
melukai kulit wajahnya. "Hmm, akan kulihat siapakah...."
Belum habis pikiran itu melintas, Keng Giok-keng telah berdiri
terperangah. Dia telah menyaksikan paras muka sesungguhnya dari manusia
berkerudung itu. Mimpi pun dia tidak menyangka kalau manusia berkerudung itu
tidak lain adalah Tojin bisu tuli yang selama ini melayani Bu-siang
Cinjin (Gb 17). Dia tidak mengira orang ini adalah orang yang nyaris setiap hari
bertemu dengannya selama belasan tahun terakhir.
Kini dia baru tahu kalau tubuh bongkok Tojin bisu tuli, mimik
muka bloon dan gerak-geriknya yang lamban hanya pura-pura saja.
Tapi kini, setelah kain kerudung muka Tojin bisu tuli tersingkap,
tiba-tiba saja gerak-gerik tosu itu balik kembali seperti sedia kala.
"Ternyata kau!" jerit Keng Giok-keng.
Tojin "bisu tuli" tertawa getir.
"Giok-keng, kau telah menyia-nyiakan kesempatan baik untuk
membunuhku, jangan salahkan bila aku akan melakukan kesalahan
terhadapmu!" Begitu ucapan terakhir diutarakan, telapak tangannya telah
bergerak cepat. Waktu itu Keng Giok-keng masih berdiri terperangah, rasa
bingung dan kalut menyelimuti benaknya, kontan saja pukulan itu
membuatnya roboh tidak sadarkan diri. Tidak jelas apakah dia
masih hidup atau telah mati.
Ooo)*(ooO Prosesi pemakaman segera akan dimulai, para pelayat dengan
teratur telah memasuki kompleks pekuburan.
Peti mati Bu-siang Cinjin digotong oleh delapan orang kekar,
empat orang adalah murid pertama dari Bu-tong-pay, sementara
empat orang yang lain adalah sahabat karib Bu-siang Cinjin di saat
masih hidupnya dulu. Komandan upacara tentu saja dipimpin langsung oleh
Ciangbunjin baru, Bu-beng Cinjin.
Tengah hari telah menjelang, sudah saatnya peti jenasah Busiang
Cinjin masuk liang kubur.
Bu-beng Cinjin pun segera membaca doa, "Bila kemampuan telah
terlupakan, bila napsu dan angkara murka telah terhapus, jagad
raya tiada wujud, semuanya kembali pada kehampaan, melepaskan
diri dari kulit kasar, kembali ke nirwana tanah ketenangan!"
Baru saja ke empat murid Bu-tong-pay peng-gotong peti mati itu
hendak menurunkan peti jenasah ke dalam liang kubur, tiba-tiba
terdengar seseorang berteriak keras, "Tunggu sebentar!"
Bersamaan dengan suara bentakan, terlihat seorang lelaki
berusia lima puluh tahunan, berbaju warna abu-abu telah
menghadang di depan peti mati.
Ooo)*(ooO BAB XVIII Mati hidup bagai impian Budi dendam terselesaikan.
Ke empat murid Bu-tong-pay yang bertugas menggotong peti
mati adalah Put-po, Put-yi, Put-yu dan Put-kan. Mereka berempat
merupakan murid angkatan kedua partai Bu-tong dari angkatan
"Put" yang memiliki kepandaian silat paling menonjol, terutama Putpo
Tojin Put-po adalah murid pertama Bu-kek Tojin, ketua Tianglo
yang telah meninggal, selain ilmu pedangnya hebat, tenaga
dalamnya sempurna, kemampuannya sama sekali tidak kalah
dibandingkan kemampuan para susioknya dari angkatan "Bu".
Namun tenaga dorongan yang dipergunakan manusia berbaju
abu-abu itu untuk menahan peti mati tersebut sangat hebat, bukan
dilawan dengan kekerasan tapi justru meminjam tenaga lawan.
Sementara ke empat orang murid itu maju melangkah ke depan,
tahu-tahu peti mati itu sudah dia letakkan ke tanah.
Manusia berbaju abu-abu itu segera menjatuhkan diri berlutut,
sambil membenturkan keningnya di ujung peti mati, serunya diiringi
isak tangis yang sedih, "Cinjin, aku datang terlambat!"
Sebetulnya put-po hendak mengumbar amarahnya, tapi setelah
menyaksikan orang itu melakukan penghormatan besar, bahkan
penampilannya begitu sedih, tentu saja dia jadi tidak dapat menegur
dengan nada kasar. Ke empat orang murid itu tidak tahu apa hubung-an manusia
berbaju abu-abu itu dengan Bu-siang Cinjin, untuk sesaat tidak
seorang pun berani bersuara.
Tapi pada saat itulah ada seorang "orang luar" justru menegur
dengan nada kasar, "Siang Thian-beng, apa maksudmu
menghalangi upacara penguburan" Kalau memang hebat, tunggu
saja setelah selesai penguburan, aku orang she-Kok pasti akan
menantangmu untuk berduel!"
Kalau dibilang dia adalah "orang luar", sesungguh nya dia bukan
"orang luar". Ternyata orang yang barusan berbicara tidak lain adalah jagoan
pedang yang tersohor sebagai "Dewa pedang", orang menyebutnya
Pa-san-kiam-kek (jago pedang dari gunung Pa-san) Kok Thiat-ceng.
Dia adalah sahabat karib Bu-siang Cinjin semasa hidupnya, dan
tidak lain adalah salah satu diantara empat orang kenamaan yang


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ikut menggotong peti jenasah Bu-siang Cinjin tadi.
Tampilnya Kok Thiat-ceng sambil memberi teguran sudah cukup
menarik perhatian semua hadirin, apalagi sesudah dia menyebutkan
nama manusia berbaju abu-abu itu, seketika itu juga suasana jadi
gempar. Yang membuat orang-orang yang hadir terkesiap adalah nama
Siang Thian-beng yang belakangan sudah menjadi jago pedang
paling top di kolong langit.
Dia baru berusia empat puluh tahunan, begitu muncul dalam
dunia persilatan, dia langsung berhasil mengalahkan si dewa pedang
Kok Thiat-ceng sehingga merebut julukan sebagai Rasul pedang.
Tapi berhubung dia amat jarang berkelana di daratan Tionggoan,
maka tidak banyak kawanan jago yang hadir mengenalinya.
Tanpa melirik sekejap pun ke arah Kok Thiat-ceng, jengek Siang
Thian-beng hambar, "Bukankah kita sudah pernah bertanding?"
Kontan saja api amarah berkobar di rongga dada Kok Thiantceng,
teriaknya, "Itu kejadian sepuluh tahun berselang, sepuluh
tahun yang lalu secara beruntung kau berhasil mengungguli aku
satu jurus, kenapa" Tidak sudi bertanding pedang lagi denganku?"
"Aku tidak bermaksud begitu, oleh karena aku punya janji
terlebih dulu maka hari ini aku tidak bisa melayani tantanganmu
itu." "Ada janji" Janji dengan siapa?"
"Janji dengan Bu-siang Cinjin."
Kembali Kok Thiat-ceng mendengus.
"Siang-sianseng, bukannya kau sedang bergurau?" tegurnya.
"Ciangbunjin dari Bu-tong-pay tentu tidak akan menganggap aku
sedang bergurau," sahut Siang Thian-beng tenang.
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Tiga puluh tujuh
tahun berselang, aku pernah mengikuti guruku, Hian Tin-cu naik ke
gunung Bu-tong untuk minta pengajaran, saat itu usiaku masih
kecil, tapi Bu-siang Cinjin pernah berjanji kepadaku, bila aku
berhasil melatih ilmu silatku, terlepas kapan pun waktunya, aku
boleh mencarinya untuk beradu pedang. Janji itu tidak dibatasi
waktunya!" "Janji memang tiada batasan waktu, sayang usia manusia ada
batasnya," kata Bu-beng Cinjin, "seperti apa yang kau katakan tadi,
kau datang terlambat."
"Benar," kata Pun-bu Thaysu pula dari kerumunan para tamu,
"orang yang telah mati tidak bisa hidup kembali, Sicu, tentunya
tidak mungkin kau akan menarik Bu-siang Cinjin dari dalam peti
matinya untuk beradu pedang denganmu bukan!"
Pun-bu Thaysu adalah ketua ruang Tat-mo dari biara Siau-lim, di
antara kawanan tamu yang hadir, kedudukannya terhitung paling
terhormat. Ketika dia mengucapkan kata guyon sembari mengelus jenggot
putih, tidak tahan banyak orang ikut tertawa tergelak.
Untung saja orang yang mati telah melewati usia delapan puluh,
menurut adat yang berlaku, kematian semacam ini dinamakan
"duka cita tertawa", jadi meski ada tamu yang tertawa pun tidak
dianggap melanggar tata kesopanan.
Put-bu Thaysu dengan statusnya sebagai ketua ruang Tat-mo
datang memberikan belasungkawanya atas kematian Bu-siang
Cinjin, semua orang sangka dengan tampilnya pendeta saleh ini
maka semua pergolakan segera akan mereda.
Siapa tahu Siang Thian-beng tetap ngotot dengan kehendaknya,
terdengar dia berseru, "Walaupun terlambat bukan terlambat
beneran, walau sudah mati bukan mati beneran!"
"Ooh, tampaknya Sicu sedang memberi petunjuk kepada loceng"
Sayang loceng bodoh dan tidak bisa memahami petunjuk itu," kata
Pun-bu Thaysu cepat. "Memberi petunjuk mah tidak berani, aku hanya mengatakan
kenyataan di depan mata."
Meledak hawa amarah Put-po, hampir saja dia akan meradang,
serunya ketus, "Kenyataan apa yang kau maksud?"
"Boanpwee memang menyesal karena datang terlambat, namun
pewarisnya tidak pernah akan mati!"
"Hmm, maksudmu...." dengus Bu-beng Cinjin.
"Sebagai seorang boanpwee, aku memang menyesal karena
datang terlambat, karena keterlambat-anku membuat aku tidak
sempat minta pengajaran dari Bu-siang Cinjin. Tapi walaupun Cinjin
telah berpulang ke alam baka, kehebatan ilmu silatnya tidak
mungkin akan ikut dia berpulang ke nirwana. Menurut apa yang
kuketahui, Put-ji Tojin yang baru diangkat menjadi Tianglo baru
adalah satu-satunya murid didiknya!"
"Ooh. Jadi kau ingin beradu pedang melawan pewarisnya?" sela
Kok Thiat-cing. "Orang kuno berkata, sekali berjanji sampai matipun tidak akan
mengingkari. Sekalipun orang sekarang tidak bisa dibandingkan
orang kuno, tapi dengan budi luhur serta kebijaksaan yang dimiliki
Bu-siang Cinjin, seandainya di bawah tanah dia tahu akan hal ini,
dapat dipastikan dia pun tidak ingin ahli warisnya mengingkari janji
yang pernah dibuatnya bukan?"
Umat persilatan memang mengutamakan janji, karena itu Put-bu
Thaysu tidak leluasa menimbrung setelah mendengar ucapan
tersebut. Put-po Tojin benar-benar mendongkol, tidak tahan teriaknya,
"Tahun berselang, muridmu Tonghong Liang pernah mewakilimu
memenuhi janji! Kami bukannya takut menghadapimu, tapi jelas
kehadiranmu memang berniat mengacau!"
Senyum tidak senyum Siang Thian-beng terbahak-bahak,
katanya, "Ucapan Totiang keliru besar! Muridku rendah dua tingkat
bila dibandingkan Bu-siang Cinjin, selatah atau segila apa pun tidak
nanti akan kusuruh dia mewakili aku datang memenuhi janji. Bila
aku sampai berbuat begitu, bukankah tindakan ku ini berubah jadi
sikap tidak hormat terhadap Cinjin" Aku hanya suruh dia
menyampaikan kabar kepada Cinjin, sekalian perintahkan dia untuk
menjajal ilmu silat dari murid partai anda yang seangkatan dengan
dirinya. Menurut apa yang kuketahui, orang yang waktu itu memberi
pelajaran kepada muridku pun bukan Bu-siang Cinjin, darimana bisa
kau katakan kalau dia telah mewakili aku beradu pedang melawan
Bu-siang Cinjin?" Tentu saja Siang Thian-beng tahu kalau orang yang turun tangan
"memberi pelajaran" kepada muridnya saat itu tidak lain adalah Bubeng
Cinjin yang berdiri dihadapannya.
Tapi dia sengaja tidak membongkarnya karena dari balik
perkataan itu sesungguhnya dia sedang menyindir Bu-beng Cinjin,
menyindir dia sebagai seorang senior menganiaya golongan muda
hingga merendahkan derajat sendiri.
Hari itu Put-po sendiripun mengalami kekalahan di tangan
Tonghong Liang, tanpa terasa merah jengah selembar wajahnya.
"Waktu itu muridmu datang dengan mengusung nama besarmu,"
katanya. "Benarkah begitu" Aaah, muridku memang sedikit kelewatan.
Hanya saja, seandainya dia tidak berbuat begitu, mana mungkin
para tokoh Bu-tong-pay sudi memberi petunjuk kepadanya?"
Di balik ucapan itu terkandung makna lain, yang dimaksud para
"tokoh" disini jelas menunjukkan Put-po Tojin.
Kalau Put-po Tojin saja sudah dianggap menurunkan derajat
sendiri, apalagi Bu-beng Cinjin yang dua tingkat lebih senior.
Setelah berhenti sejenak, kembali dia melanjutkan, "Untuk
ketidak tahuan muridku, harap Cinjin jangan marah. Tujuan
kedatanganku hari ini tidak lebih hanya ingin menagih janji, karena
Bu-siang Cinjin telah meninggal maka satu satunya jalan adalah
minta ahli warisnya memberi petunjuk kepadaku. Tolong tanya
siapakah diantara kalian yang bernama Put-ji Totiang" Cayhe siap
menantikan petunjuk darinya!"
Terhadap sindiran orang itu Bu-beng Cinjin hanya menanggapi
dengan senyuman, namun terhadap tantangannya kepada Put-ji
Tojin, tentu saja dia tidak berani menanggapi dengan begitu saja.
Apalagi Put-ji telah tewas terkena sambitan jarum Lebah hijau yang
diperoleh Ong hui-bun, si tosu yang menyamar sebagai Tojin bisu
tuli dari tangan Siang Ngo-nio.
Dengan perasaan sangsi Bu-beng Cinjin berpikir, "Jangan-jangan
Siang Thian-beng telah bersekongkol dengan anggota Bu-tong-pay,
bila aku tidak sanggup mengundang Put-ji untuk tampil melayani
tantangan ini, maka mereka segera akan memfitnah diriku" Tapi
Ong hui-bun mempunyai permintaan kepadaku, mustahil dia mau
berhubungan dengan Siang Thian-beng hingga merusak rencana dia
sendiri." Berpikir begitu maka diapun mengalihkan sorot matanya ke
seputar arena, dia bermaksud menemukan Tojin bisu tuli dari
kerumunan orang banyak. Sementara itu terdengar Put-po berkata, "Put-ji sute tidak
nampak hadir disini, walaupun pinto tidak berani mengatakan telah
memperoleh warisan dari mendiang Ciangbunjin, akan tetapi...."
Belum selesai dia berkata, Siang Thian-beng telah
memperlihatkan perasaan kaget bercampur tercengang, serunya
tertahan, "Hah" Bukankah Put-ji Totiang adalah satu-satunya ahli
waris Bu-siang Cinjin" Kenapa dia tidak nampak ikut hadir dalam
upacara pemakaman?" Diam-diam Bu-beng Cinjin berpikir, "Sekarang masih belum
saatnya untuk menying-kap kejadian yang sebenarnya, akan kucoba
seberapa banyak yang dia ketahui."
Maka diapun mengarang sebuah cerita bohong, katanya, "Oleh
karena kesedihan yang kelewat batas, sungguh tidak beruntung Putji
sedang jatuh sakit."
"Aaah, sungguh tidak beruntung. Bu-beng Cinjin, kau adalah
penerus Ciangbunjin, kalau dibicarakan yang sebenarnya, janji dari
mendiang Ciangbunjin seharusnya menjadi tanggung jawabmu
untuk mewakilinya, padahal seusai upacara pemakaman, kaupun
harus menghadiri upacara penyerahan tanda gelar kehormat-an,
bagimu jelas waktunya sangat tidak sesuai. Tentu saja bila kau
bersedia memberi petunjuk, hal ini jauh lebih baik lagi, tapi bila
merasa kurang leluasa, kaupun bisa memilih salah satu diantara
murid-murid perguru-an anda untuk tampil mewakili Put-ji tootiang."
Kemarin, Bu-beng Cinjin sudah pernah melihat kelihayan ilmu
silatnya, dalam hati diapun berpikir, "Ilmu pedangnya masih
setingkat lebih tinggi daripada Beng-ci, kendatipun kusuruh Bu-si
sute tampil ke arena pun belum tentu dia sanggup menandingi
kehebatannya, apalagi Put-po. Hmm, sampai akupun dia berani
tantang, jangan-jangan orang ini memang masih menyembunyikan
jurus pamungkas yang kemarin belum sempat diperlihatkan?"
Dalam pada itu Bu-si Tojin telah tampil ke depan sambil berkata,
"Siang-sianseng, biar pinto yang minta petunjuk beberapa jurus
seranganmu." Put-po yang berada di sampingnya cepat menyela, "Keinginan
sebenarnya dari Siang sianseng adalah ingin beradu pedang
melawan ahli waris mendiang Ciangbunjin, sekalipun aku bukan
murid langsung Bu-siang Cinjin, namun masih terhitung kakak
seperguruan Put-ji, aku rasa pertarungan ini lebih cocok aku yang
mewakili Put-ji." Perlu diketahui, walaupun usia Bu-si Tojin dan Put-ji hanya selisih
tidak seberapa, namun Bu-si Tojin berasal dari angkatan dengan Busiang
Cinjin. Tampilnya Put-po dengan gagah berani sebetulnya tidak lebih
hanya ingin menyelaraskan tingkat keseniorannya dengan Siang
Thian-beng. Melihat itu, kembali Bu-beng Cinjin berpikir, "Jika membiarkan
Put-po yang brtanding, jelas sudah dia pasti akan menderita
kekalahan. Tapi bila membiarkan Bu-si yang tampil, menang tidak
gagah apalagi jika sampai kalah, hal ini akan sangat memalukan."
Kemarin dia telah menyaksikan sendiri kehebatan ilmu pedang
yang dimiliki Siang Thian-beng, dia sadar, kecuali dirinya turun
tangan sendiri, tidak akan ada murid Bu-tong-pay yang sanggup
menandingi kehebat-an Siang Thian-beng.
Tapi sekarang dia sedang menghadapi kesibukan yang luar biasa,
seusai dilantik jadi Ciangbunjin dan sebelum diselenggaranya
upacara penobatan gelar dari kerajaan, dengan posisinya sekarang
mustahil baginya untuk turun tangan sendiri.
Sementara dia masih sangsi dan tidak dapat mengambil
keputusan, terdengar Siang Thian-beng berkata lagi sambil tertawa
tergelak, "Kalian berdua tidak perlu rebutan, lebih baik maju
bersama!" "Siang Thian-beng," kata Bu-si Tojin gusar, "kau anggap setelah
mendapat gelar Rasul pedang maka tiada orang lagi yang sanggup
mengalahkan dirimu?"
Pada saat itulah mendadak terdengar seseorang berkata, "Janji
yang ditinggal Sucouw sudah sepantasnya bila aku yang mewakili.
Susiok-couw, Toa-supek, harap kalian tidak usah berebut."
Menyusul kemudian muncul seorang pemuda berwajah bersih,
usianya seputar tujuh, delapan belas tahuan.
Orang ini tidak lain adalah Keng Giok-keng. Ternyata meskipun
semalam dia telah dihajar Tojin bisu tuli hingga jatuh tidak sadarkan
diri, namun apa yang dilakukan Tojin bisu tuli hanya sebatas
membuatnya "tidak sadarkan diri" dan sama sekali tidak melukainya.
Sekalipun begitu, setelah melalui pertarungan yang amat seru,
walaupun tenaga murni Keng Giok-keng tidak sampai mengalami
"luka parah", "luka kecil" memang tidak dapat dihindarkan.
Melihat kemunculan Keng Giok-keng, Siang Thian-beng segera
menegur, "Engkoh cilik, berapa usiamu tahun ini?"
Jelas sekali, dia bertanya dengan nada sinis dan pandang enteng.
"Kau tidak usah mengurusi berapa usiaku tahun ini," tukas Keng
Giok-keng angkuh, "yang seharusnya kau tanyakan adalah apakah
aku pantas menerima tantanganmu?"
"Bagus, kalau begitu aku balik bertanya, atas dasar apa kau
merasa berhak untuk mewakili Bu-siang Cinjin menerima
tantanganku ini?" Bu-liang Tojin, ketua para Tianglo dari Bu-tong-pay yang berdiri
di sampingnya segera mewakili bocah itu untuk menjawab, "Dia
bernama Keng Giok-keng, salah seorang murid Put-ji. Biarpun
usianya masih muda, namun ilmu pedangnya diajar langsung oleh
mendiang Ciangbun-suheng."
Dia dengan statusnya sebagai ketua Tianglo ternyata secara
khusus dan serius memperkenalkan seorang murid angkatan muda
dari perguruannya, hal ini menunjukkan kalau dia kuatir Siang
Thian-beng enggan menerima Keng Giok-keng sebagai lawan
tandingnya. "Oooh, kalau begitu kau adalah satu-satunya ahli waris dari Busiang
Cinjin!" seru Siang Thian-beng.
"Rasanya sulit bagiku untuk menjawab pertanyaanmu itu,
memang benar, ilmu pedang yang kupelajari berasal dari Sucouw,
tapi hanya beberapa bagian yang berhasil kuserap, hal ini baru bisa
dijawab setelah aku beradu pedang denganmu nanti, biar penilaian
diberikan oleh beberapa orang Tianglo itu."
Siang Thian-beng sendiripun pernah mendengar Tonghong Liang
memuji kehebatan ilmu pedangnya serta bakat alamnya yang luar
biasa, tapi setelah melihat kalau bocah itu hanya seorang pemuda
berusia tujuh, delapan belas tahunan, bagaimana mungkin dia
memasukkan dalam pandangan matanya.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah mendengus katanya, "Sebetulnya janji ini adalah janjiku
dengan Bu-siang Cinjin, perduli kau adalah seorang kakek yang
telah berusia delapan puluh tahun atau bocah yang masih berusia
delapan belas tahun, bila kau merasa dapat mewakili Bu-siang Cinjin
untuk memenuhi janji ini, akupun dapat menganggap kau sebagai
wakil dari Bu-siang Cinjin. Cuma ingat, jangan kau anggap hal ini
sebagai mainan. Kau mengerti maksudku bukan?"
"Aku mengerti. Kau takut orang lain menuduhmu yang tua
menganiaya yang muda. Kalau begitu kita bicarakan dulu dimuka,
kau boleh menyerangku dengan sepenuh tenaga, sementara aku
pun tidak akan segan-segan melancarkan serangan telengas!"
"Bagus, punya semangat, kalau begitu ayoh majulah!"
Bu-beng Cinjin tidak tahu kalau semalam Keng Giok-keng telah
bertarung melawan Tojin bisu tuli menyaksikan wajah pemuda itu
kusut dan layu, dikiranya dia sedang sedih karena kematian ayah
angkatnya. Maka cepat ujarnya, "Siang-sianseng, bagaimana kalau
pelaksaan janji itu kita tunda dua hari lagi?"
"Kenapa?" "Selama ini dia amat disayang Sucouwnya, sedang hari ini adalah
hari jenasah Sucouwnya dikebumikan, perasaan sedih pasti sedang
mencekam hatinya. Lagi-pula secara adat kurang baik bila
pertarungan dilaksanakan pada saat seperti ini."
"Perkataan Cinjin keliru besar. Pertama, janji ini aku buat semasa
Bu-siang Cinjin masih hidup dulu, jadi seharusnya diselesaikan
sebelum dia masuk liang tanah, dengan begitu kita baru bisa
menganggap dia datang sendiri memenuhi janji. Lagipula kalau
memang Lan sauhiap adalah cucu murid yang paling disayang Busiang
Cinjin, untuk menunjukkan rasa baktinya, diapun seharusnya
perlihatkan semua ilmu yang telah dipelajarinya dari perguruan di
depan layon Bu-siang Cinjin, agar Cinjin bisa ikut bangga karena
keberhasilan ilmu pedang cucu muridnya dan bisa beristirahat
dengan tenang dialam baka!"
"Ucapan ini sangat masuk diakal," Bu-liang Totiang manggutmanggut,
"Giok-keng, kalau begitu anggap saja Sucouwmu ikut
hadir di arena pertarungan dan menyaksikan kau bertanding."
Dengan diucapkannya perkataan itu, sama saja dia telah
melengkapi Siang Thian-beng dengan alasan ke tiga: membiarkan
Keng Giok-keng bertanding didepan kuburan Sucouw nya telah
memberikan rangsangan tidak berwujud kepadanya.
Bu-beng Cinjin segera berkerut kening, namun diapun harus
menghormati status Bu-liang Totiang sebagai seorang Tianglo,
kendatipun dihati kecilnya merasa sangat tidak puas, dia pun hanya
bisa berkerut kening saja.
Tiba tiba Pun-bu Thaysu berkata, "Siang-sicu, sewaktu kau
membuat pernjanjian dengan Bu-siang Cinjin tempo dulu, tujuannya
tentu hanya ingin beradu ilmu pedang saja bukan?"
"Betul. Tapi aku adalah angkatan muda, kata beradu tidak berani
kugunakan, lebih cocok kalau disebut minta petunjuk, karena kata
ini lebih sesuai." Bagaimanapun Bu-siang Cinjin sudah masuk ke liang kubur, biar
rendah hati sedikit pun tidak masalah.
"Kalau memang begitu, pertandingan pedang kali ini seharusnya
hanya sampai saling menutul bukan," ucap Pun-bu Thaysu.
"Memang seharusnya begitu, tapi golok dan pedang tidak
bermata, seandainya terjadi luka atau salah bacok pun mungkin
masing-masing harus menuruti kehendak Thian."
Sebagian besar tamu yang hadir disana pada menaruh rasa
simpatik kepada Keng Giok-keng, perkata an itu segera memancing
pembicaraan ramai diantara mereka.
Ada yang mengatakan, kalau bertanding pedang maka
seharusnya menang kalah ditentukan pada ilmu pedang, adu jurus
bukan adu kekuatan. Ada pula yang mengatakan, meski luka memang susah dihindari
tapi bila menyebabkan pihak lawan terluka dalam, itu berarti dia
melukai lawan memakai tenaga dalam dan bukan terluka karena
jurus ilmu pedang. Karena itu seharusnya penggunaan tenaga
dalam harus dilarang. Bahkan ada pula yang berpendapat menggetar lepas pedang
lawan dengan menggunakan tenaga dalam pun seharusnya
dilarang. "Omintohud," Put-bu Thaysu segera merangkap tangannya di
depan dada, "terluka tanpa sengaja memang susah dihindari, tapi
disengaja atau tidak sukar untuk ditentukan. Lolap berharap kedua
belah pihak sama-sama mempunyai perasaan welas asih, asal bisa
ditaati, itu sudah lebih dari cukup."
Menggunakan kesempatan itu Bu-beng Cinjin segera ikut
menimbrung, "Sengaja atau tidak sengaja susah dipastikan dengan
mata telanjang. Masih untung ada Put-bu Thaysu yang bermata
tajam dan bijaksana. Bagaimana kalau dalam pertarungan kali ini,
biar Thaysu saja yang menjadi juri?"
Sebenarnya "perjanjian" ini termasuk perjanjian yang sifatnya
pribadi, sama sekali berbeda dengan perjanjian adu ilmu silat yang
biasanya terjadi antara dua perguruan karena dendam kesumat.
Bila perjanjian itu bersifat yang belakang, memang dibutuhkan
seorang juri untuk menyaksikannya, sementara kalau sifatnya hanya
pribadi tidak perlu. Tapi kini Bu-beng Cinjin mengusulkan hal tersebut, sedang Punbu
Thaysu pun telah menyang-gupi, terpaksa Siang Thian-beng
harus menghormati Put-bun Thaysu, ketua ruang Tat-mo dari biara
Siau-lim ini dan menyetujuinya menjadi juri, sekalipun perasaan
persetujuan harus dilakukan dengan terpaksa.
Dengan cepat Siang Thian-beng telah meloloskan pedangnya, dia
memberi hormat terlebih dulu kepada peti mati Bu-siang Cinjin.
Seusai memberi hormat, dengan lantang dia baru berkata,
"Semenjak berusia tiga puluh tahunan, aku belum pernah
menggunakan golok atau pedang yang terbuat dari logam. Tapi hari
ini aku datang kemari adalah lantaran untuk memenuhi janjiku
dengan Ciangbun Cinjin dari Bu-tong-pay, andaikata tidak
menggunakan senjata berbentuk pedang, mungkin tindakanku itu
akan dianggap kurang hormat terhadap seorang Cianpwee, untuk
itu harap kalian semua maklum adanya!"
Biarpun penampilannya seolah menaruh rasa hormat terhadap
Bu-siang Cinjin, namun sikap angkuh dan jumawanya jelas sekali
terpancar keluar dari wajahnya.
Akan tetapi apa yang dikatakan memang benar. Apabila ilmu
pedang dapat dilatih hingga mencapai tingkat kesempurnaan, setiap
benda yang ditemukan dapat dipergunakan sebagai pengganti
pedang, bahkan tanpa pedang di tangan pun tetap dapat
mempergunakan ilmu pedang.
Seperti contohnya kemarin, sewaktu dia "beradu pedang"
melawan Seebun-hujin, "pedang" yang dipergunakan Seebun-hujin
hanya berupa sebatang ranting pohon, sedangkan pedangnya
hanyalah sepasang tangan kosong.
Chin Ling-hun, sahabat karib Kok thiat-cing segera tertawa
dingin, ejeknya, "Gayanya sok, ngibulnya gede. Sudah jelas yang
tua menganiaya yang muda, lagaknya masih memuakkan. Huuuh,
menangpun tidak gagah, apalagi kalau kalah, bikin malu saja.
Memang paling enak kalau segala kesalahan dilimpahkan kepada
Bu-siang Cinjin." Chin Ling-hun termasuk juga seorang jago pedang kenamaan,
dia seharusnya termasuk juga seorang pendekar dengan
pengetahuan luas, perkataan itu terang terangan bermaksud
mengejek Siang Thian-beng, membuat para tamu yang sebagian
besar memang menaruh simpatik kepada Keng Giok-keng segera
tertawa terbahak-bahak. Siang Thian-beng mendengus dingin, katanya, "Aku tidak pernah
menggubris segala omongan orang, siapa saja yang merasa tidak
puas, selesai pertandingan pedang ini, silahkan saja ikut merasakan
kehebatan pedang tanpa wujudku."
Kontan meledak hawa amarah Chin Ling-hun, teriaknya nyaring,
"Begitu selesai bertanding, asal kau belum mampus, akulah orang
pertama yang akan minta pelajaran darimu."
Buru-buru Bu-liang Tianglo melerai, serunya, "Saudara sekalian,
harap melihat wajah Pun-bu Thaysu dan pinto, jangan membuat
masalah baru lagi." Pun-bu Thaysu adalah juri, dengan sengaja menarik nama Punbu
Thaysu, Bu-liang Tianglo bermaksud meningkatkan bobot
perkataan sendiri. Betul saja, suasana yang mulai gaduh pun seketika menjadi
hening kembali, semua orang tidak berani banyak bicara.
Dalam pada itu Pun-bu Thaysu telah menghampiri Keng Giokkeng
sambil bertanya, "Siau-sicu, apakah belakangan kau baru saja
sembuh dari sakit parah?"
Diam-diam Keng Giok-keng merasa tercekat, pikirnya, 'Sungguh
lihay ketajaman mata hwesio tua ini'
Namun dia segera menjawab, "Tidak."
"Baguslah kalau tidak. Aku lihat semangatmu sedikit kurang
bagus, karena itu sengaja bertanya begitu. Bagus, bangkitkan
semangatmu dan gunakan pedang sesuai dengan kemampuanmu.
Bagi seorang jago, begitu turun tangan segera akan diketahui berisi
atau tidak, jangan kau pikirkan masalah menang kalah!"
Sambil berkata dia segera menepuk bahu Keng Giok-keng.
Begitu ditepuk, Keng Giok-keng merasakan ada segulung aliran
hawa panas mengalir masuk lewat Cian-cing-hiat di bahunya dan
dalam waktu singkat menye-bar ke seluruh tubuh, dia merasakan
semangatnya seketika berkobar.
Sadar kalau secara diam-diam Pun-bu Thaysu telah
membantunya, dia segera berkata, "Terima kasih atas dorongan
semangat Thaysu." Selesai berkata dia segera meloloskan pedangnya dan tampil ke
tengah arena. Sementara itu Siang Thian-beng telah memasang kuda-kuda,
sorot matanya dicurahkan ke ujung pedang, mimik mukanya serius,
seolah sedang menghadapi musuh tangguh.
Bertarung melawan singa menggunakan sepenuh tenaga,
berbarung melawan kelinci tetap menggunakan sepenuh tenaga,
inilah ajaran seorang jago lihay kelas satu untuk mempertahankan
prinsipnya tidak kalah. Jangan takut sepuluh laksa, yang dikuatirkan
justru seandainya terjadi. Hanya menggunakan sikap yang sama
seriusnya dalam menghadapi setiap masalah, kau baru bisa berjagajaga
atas terjadinya segala kemungkin-an.
Bagi seorang jago silat, begitu turun tangan segera akan
ketahuan berisi atau tidak. Tapi begitu Siang Thian-beng memasang
kuda-kuda, dia segera memperlihatkan kewibawan dari seorang
jago silat kenamaan. Siang Thian-beng tersohor sebagai seorang jago pedang dengan
julukan Rasul pedang, sebaliknya Keng Giok-keng meski merupakan
cucu murid yang memperoleh warisan langsung dari Bu-siang Cinjin,
namun dia tidak lebih hanya seekor anak ayam yang baru menetas,
maka tidak heran sikap serius yang diperlihatkan jago pedang itu
terhadap pertarungan yang segera berlangsung membuat setiap
orang merasa tercengang dan di luar dugaan.
Akan tetapi sikap seriusnya itu mengartikan juga bahwa dia
menaruh rasa hormat terhadap Bu-siang Cinjin, hal ini membuat
para murid Bu-tong-pay disatu sisi merasa sangat puas, disisi lain
menguatirkan juga keselamatan Keng Giok-keng.
Bahkan Bu-beng Cinjin yang sangat mengetahui kehebatan ilmu
pedang Keng Giok-keng pun diam-diam berpikir, "Semoga saja dia
dapat bertahan tiga sampai lima puluh gebrakan, walaupun akhirnya
kalah, rasanya dia tetap kalah dengan terhormat."
Di bawah sorot mata banyak orang Keng Giok-keng telah
berjalan menuju ke hadapan Siang Thianbeng, ujarnya sembari
melintangkan pedangnya di depan dada, "Siang sianseng jauh-jauh
datang sebagai tamu, silahkan melancarkan serangan lebih dahulu!"
Mula-mula Siang Thian-beng agak tertegun, kemudian sahutnya
sambil tertawa, "Benar, kau adalah wakil Bu-siang Cinjin, aku tidak
boleh memandang kau sebagai seorang murid angkatan muda dari
Bu-tong-pay. Bila memutar balikkan tata sopan santun, hal ini justru
akan memperlihatkan sikap tidak hormatku kepada Bu-siang Cinjin."
Bicara sampai disitu segera bentaknya, "Lihat serangan!"
Cahaya pedang secepat sambaran petir segera menyapu ke
depan. "Triiing....!" Keng Giok-keng mundur selangkah.
Siang Thian-beng segera melancarkan tiga jurus serangan
berantai, serangannya tiba susul menyusul.
Jurus kedua ganas bagaikan bianglala panjang yang membabat
ke arah pinggang, jurus ke tiga telengas bagaikan rantai baja yang
langsung menusuk ulu hati.
"Triiiing, triiiing, triiiing!" selesai terjadi tiga kali dentingan
nyaring, tubuh Keng Giok-keng mundur lagi sejauh tiga langkah,
namun dilihat dari mimik wajahnya, pemuda itu masih nampak
tenang dan santai, sedikitpun tidak ada pertanda menderita
kekalahan. Kejadian ini kontan saja memancing perasaan kaget bercampur
keheranan dari para hadirin, bahkan Put-po yang berdiri di samping
Bu-beng Cinjing pun berbisik lirih, "Tidak kusangka Giok-keng-sutit
berhasil memahami semua intisari pelajaran silat dari perguruan
kita!" Intisari pelajaran ilmu silat Bu-tong-pay adalah "dengan lembek
mengatasi keras", ketika menghadapi tiga jurus serangan dahsyat
dari Siang Thian-beng tadi, Keng Giok-keng memang benar-benar
memperlihatkan kehebatan dari tehnik empat tahil membelokkan
ribuan kati. Siang Thian-beng mendengus dingin, kembali dia melanjutkan
serangan mautnya, setiap ancaman muncul bagaikan gulungan
ombak di sungai Tiangkang yang mengalir dan menggulung dengan
hebatnya. Keng Giok-keng menciptakan lingkaran pedangnya satu per satu,
lingkaran-lingkaran besar, lingkaran kecil, lingkaran bulat, lingkaran
loncong, dalam lingkaran terkandung lingkaran lain, setiap lingkaran
yang tercipta segera memunahkan satu bagian tenaga serangan
dari Siang Thian-beng. Tanpa terasa tiga puluhan gebrakan sudah lewat tanpa bisa
menentukan siapa menang siapa kalah.
Senyuman puas mulai tersungging diujung bibir Bu-beng Cinjin
maupun Pun-bu Thaysu, pikir mereka, "Sekalipun bocah ini bakal
kalah saat ini, namun keberhasilan yang telah dicapainya tetap akan
mempertahankan nama baik Bu-tong-pay, justru yang paling
dikuatirkan sekarang adalah dia tidak tahu diri dan merangsek
terus." Seandainya Keng Giok-keng menyerah kalah saat itu, boleh
dibilang walaupun kalah namun dia kalah dengan cemerlang, bagi
nama baik pihak Bu-tong-pay sendiripun akan semakin bertambah
dan sama sekali tidak akan menderita kerugian apa pun (perlu
diketahui, dia tidak lebih hanya cucu murid Bu-siang Cinjin).
Tentu saja keputusan tersebut hanya bisa diambil oleh pihak
yang bersangkutan, sementara penonton tidak bisa melampaui
wewenang tersebut. Namun Keng Giok-keng sama sekali tidak punya niatan untuk
mundur, dia masih tetap mematahkan setiap jurus yang datang,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memunahkan setiap gerakan yang mendekat, bahkan dia seolah
sudah terlelap dalam kondisi lupa diri, sama seperti Siang Thianbeng,
seluruh pikiran, tenaga dan konsentrasinya telah terpusat di
ujung pedang lawan. Oleh karena kedua belah pihak sama-sama bersikap begitu,
tampaknya sebelum menang kalah diketahui, pertarungan tersebut
tidak mungkin akan berhenti dengan begitu saja.
Bu-beng Cinjin selain girang diapun merasa kuatir, gembira
karena tidak mengira seorang murid angkatan mudanya sanggup
bertarung hampir lima puluh gebrakan lebih melawan si Rasul
pedang. Kuatir karena pada akhirnya Keng Giok-keng bakal kalah,
sekalipun kekalahannya tidak sampai merusak nama baik Bu-tongpay,
namun pemuda itu sendiri mungkin kalau tidak mati bakal
menderita luka parah. Siang Thian-beng mengembangkan ilmu pedangnya dengan
hebatnya, gerak serangannya ibarat burung elang yang terbang di
angkasa, menyambar dan menukik tidak menentu.
Begitu hebatnya gempuran yang dilancarkan membuat kening
Keng Giok-keng mulai dibasahi keringat sebesar kacang kedele.
Sementara itu Bu-beng Cinjing, Bu-si Tojin serta Put-po Tojin
yang merupakan jago-jago pedang dari Bu-tong-pay merasa
teramat terperanjat, ternyata mereka dapat melihat bahwa dibalik
sifat keras dari ilmu pedang Siang Thian-beng terkandung pula sifat
lembek, terutama gaya pedangnya sewaktu berputar dan menari
diudara ibarat gelombang samudra yang mengembang ke empat
penjuru, bahkan secara lamat-lamat terkandung "makna" dari ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Walaupun hingga detik itu Keng Giok-keng masih sanggup
menghadapi datangnya semua ancaman, namun dalam pandangan
ke tiga orang jago pedang ini, permainan pedang Keng Giok-keng
boleh dibilang telah dikuasahi pihak lawan.
Diam-diam Keng Giok-keng menarik napas panjang, dalam hati
dia berbisik, "Biarkan dia menindih bagaikan gunung Thay-san,
kutanggapi seperti hembusan angin sejuk."
Seketika itu juga pikirannya pulih kembali dalam kesegaran,
gerakan pedangnya ringan bagai lambaian pohon Liu, meski ringan
dan lembek namun tidak akan bisa dihancurkan oleh hembusan
angin puyuh sekali-pun. Tanpa terasa timbul juga perasaan "sayang" Siang Thian-beng
atas bakat bagus pemuda itu, tapi pikiran lain segera melintas, "Jika
aku membiarkan bocah ini bertahan sampai seratus gebrakan lebih,
harus kutaruh ke mana wajahku ini dihadapan para enghiong,
apalagi mau membuka perguruan besar!"
Nama dan status seketika mengalahkan rasa sayangnya atas
bakat pemuda itu, sambil menggigit bibir dia segera mengeluarkan
jurus pamungkas lain yang lebih ganas dan telengas.
Tampak cahaya pedang menyambar bagaikan sambaran kilat,
begitu silau dan menusuk mata membuat para jago yang menonton
disekeliling arena pun merasakan matanya ikut sakit hingga nyaris
tidak sanggup dibuka kembali.
Dalam keadaan seperti ini, sekalipun. Keng Giok-keng mengerti
tehnik "empat tahil membelokkan ribuan kati", namun bila tidak
mampu melihat jelas datangnya serangan lawan, mana mungkin dia
bisa mengeluarkan jurus untuk menghadapinya"
Baru saja Bu-beng Cinjin akan mempertaruhkan nama baiknya
untuk mewakili Keng Giok-keng mengaku kalah, mendadak satu
kejadian yang sama sekali tidak terduga telah berlangsung di depan
mata. Di tengah pertarungan yang begitu sengit, tiba-tiba saja Keng
Giok-keng memejamkan sepasang matanya.
Kalau dibicarakan memang sungguh aneh, begitu dia pejamkan
mata, gerak serangannya jadi lebih santai, setiap jurus yang
digunakan secara kebetulan dan pas selalu berhasil memunahkan
serangan lawan, sikapnya yang semula tegang pun kini jadi lebih
santai, lambat laun peluh yang semula membasahi jidatnya
berangsur menghilang. Put-po betul-betul kesemsem dibuatnya, dengan mata terbelalak
tanpa berkedip dia ikuti terus pertarungan yang sedang
berlangsung. Tiba-tiba tanyanya kepada Bu-beng Cinjin, "Aku.... aku sama
sekali tidak menyangka kalau Giok-keng-sutit berhasil melatih ilmu
pedangnya hingga mencapai tingkat begitu sempurna, bagaimana....
bagaimana cara dia melatihnya" Rasanya belum pernah tercatat
dalam ilmu pedang perguruan kita."
Bu-beng Cinjin sendiripun terperangah menyaksikan kehebatan
anak muda itu, berapa saat kemudian dia baru menjawab, "Tentu
saja tidak ada catatan dalam ilmu pedang kita, yang dia pakai
adalah ajaran sang koki menjagal sapi, melihat tapi tidak melihat,
kalau seseorang berhasil mencapai tingkatan seperti ini, memang
tidak perlu lagi jurus atau gerakan serangan."
"Berarti Giok-keng-sutit telah berhasil mencapai tingkatan seperti
itu?" tanya Put-po terperanjat.
"Aku tidak tahu karena aku sendiripun belum pernah mencapai
tingkatan seperti itu. Tapi menurut penilaianku, kendatipun belum
mencapai tingkatan seperti itu, paling tidak sudah mendekatinya.
Put-po, kau paling memahami seluk beluk ilmu pedang perguru an
kita, coba kau perhatikan apakah ke dua jurus serangannya telah
mencapai dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi tiada?"
Yang dimaksudkan sebagai dari tiada menjadi ada, dari ada
menjadi tiada" Adalah menitik beratkan pada "niat pedang".
Apabila seseorang dapat mencapai pemahaman atas ilmu pedang
tingkat tinggi maka setiap gerakan yang dilakukan seadanya bisa
berubah menjadi jurus serangan maut, yang tampak seolah tanpa
jurus sesungguhnya mengandung jurus serangan yang luar biasa.
Antara "tiada" dan "ada" sudah bukan merupakan wujud yang bisa
terlihat dengan nyata, karena kedua sifat itu telah membaur jadi
satu. Itulah sebabnya orang kuno mengatakan: dari tiada bisa
diperoleh ada, seakan ada namun tetap tiada.
Put-po manggut-manggut, ujarnya, "Perkataan Ciangbunjin
memang benar, walaupun gerak serangan yang dipergunakan Giokkeng
sutit sama sekali tidak mengandung unsur ilmu pedang
perguruan kita, akan tetapi bila diamati lebih teliti, dapat dilihat
adanya sifat dari Thay-kek-kiam-hoat, hanya saja sungguh aneh,
kenapa ilmu pedang milik Siang Thian-beng pun seakan
mengandung juga unsur dari ilmu pedang kita?"
"Pernyataanmu itu hanya benar separuh," kata Bu-beng Cinjin.
"Harap Ciangbunjin mau memberi petunjuk."
"Memang benar, ilmu pedang dari Siang Thian-beng ada berapa
bagian mirip unsur Thay-kek-kiam-hoat-kiam aliran kita, tapi inti
utama dari jurus serangan nya masih tetap ilmu pedang
perguruannya, Hui-eng-hwee-sian-kiam-hoat. Berbicara tentang
tingkatan yang berhasil dicapai, dia masih kalah setingkat bila
dibandingkan Giok-keng."
Put-po Tojin adalah seorang "gila pedang", sebenarnya dia ingin
manfaatkan kesempatan itu untuk minta petunjuk yang lebih banyak
dari Bu-beng Cinjin, namun melihat pertarungan yang berlangsung
di tengah arena telah memasuki babak yang paling gawat dan
tegang, dia kuatir terlewat melihat satu dua perubahan hebat yang
bakal muncul, maka dia tidak banyak berbicara lagi dan segera
memusatkan seluruh perhatian ke tengah arena pertarungan.
Sementara Put-po dan Bu-beng membicarakan tehnik dan intisari
dari ilmu pedang, maka sebagian besar tamu hanya melihat
"keramaian" dan bukan menyaksikan "kehebatan tehnik" nya.
Selama ini Keng Giok-keng hanya memejamkan mata, dia seolaholah
benar-benar memandang tapi tidak melihat, mendengar tapi
tidak mendengar. Tidak kuasa lagi semua orang bersorak-sorai memuji kehebatan
Keng Giok-keng, bahkan ada yang mulai mengejek, "Hahahaha....
katanya saja Rasul pedang, ternyata tidak mampu mengungguli
seorang bocah yang memejamkan mata!"
"Aaah belum tentu, coba lihat si Rasul pedang masih menguasai
enam, tujuh bagian penyerangan!"
"Tapi musuhnya memejamkan mata, biar menang pun tetap
tidak gagah, apalagi kalah!"
"Coba kalian lihat, tampaknya sewaktu bocah itu memejamkan
mata, dia jauh lebih lihay daripada sewaktu membuka matanya."
"Kalian semua tidak tahu, cahaya pedang dari Rasul pedang yang
berkilauan seperti halilintar, hanya dengan pejamkan mata dia baru
tidak merasakan silau."
Walaupun orang terakhir yang mengucapkan perkataan itu tidak
mengerti teori ilmu pedang tingkat tinggi, namun apa yang
dijelaskan memang merupakan kenyataan.
Sindiran dan ejekan dari orang orang itu kontan saja membuat
Siang Thian-beng berang, dengan mempertaruhkan nama baiknya
tiba-tiba dia melancarkan serangan mematikan.
Terlihat cahaya pedang bagaikan sambaran petir itu mendadak
membelah bumi, diiringi kilatan bianglala berwarna perak, Siang
Thian-beng membentak nyaring, melambung ke udara dan
menyerang dari tengah udara.
Dia telah menggunakan jurus pamungkasnya yang terakhir dari
ilmu pedang Hui-eng-hwe-sian-kiam-hoat.
Sebagian jago yang hadir di arena adalah tokoh silat yang
menguasai ilmu silat tingkat tinggi, mereka terkejut juga setelah
melihat dia mengeluarkan jurus tangguh itu. Bahkan Bu-beng Cinjin
yang selama ini menaruh kepercayaan tinggi terhadap Keng Giokkeng
pun ikut ' erubah mukanya.
Gerak serangannya ini ibarat bumng elang yang terbang di
angkasa lalu berputar, menukik sambil menyerang ke bawah, di
antara gerakan pedangnya yang menukik sambil meliuk-liuk itu,
paling tidak terkandung sembilan macam pembahan.
Tiga puluh tujuh tahun berselang, ketika gurunya, Hian-tin-cu
bertarung melawan Bu-siang Cinjin, waktu itu Hian-tin-cu sempat
menggunakan jurus pamungkas ini, saat itu Bu-siang Cinjin hanya
mampu memunahkan gerakan serangannya saja.
Sekalipun pada akhirnya Bu-siang Cinjin berhasil memenangkan
pertarungan, namun berbicara soal jurus serangan ini, Bu-siang
Cinjin hanya mampu memunahkannya dan bukan mematahkan
gerak serangan itu. Saat itu, dalam jurus serangan yang dilancarkan Hian tin-cu
hanya tersisip tujuh jenis perubahan, sementara jurus yang
digunakan Siang Thian-beng saat ini mengandung sembilan jenis
perubahan. Sekalipun jago yang menguasahi tehnik empat tahil
membelokkan ribuan kati pun tidak mungkin baginya untuk
memunahkan satu jums dengan sembilan gerakan itu dalam waktu
singkat. Apalagi tenaga dalam yang dimiliki Siang Thian-beng jauh
di atas kemampuan Keng Giok-keng.
Mampukah Keng Giok-keng menghadang sergapan dari tengah
udara yang cepat bagaikan sambaran geledek dan disertai
perubahan yang serba pelik dan rumit"
Sementara semua orang menahan napas karena tegang, tampak
Keng Giok-keng ikut melambung pula ke udara, gerakan pedangnya
membentang bagaikan burung bangau pentang sayap.
Menyaksikan hal ini, para murid Bu-tong-pay yang dengan
tingkatan yang lebih tinggi jadi semakin kaget.
Dulu, sewaktu Bu-siang Cinjin mematahkan jurus serangan itu,
yang dipergunakan adalah jurus Twie-cong-kan-gwat (mendorong
jendela memandang rembul an), sebuah jurus serangan sederhana.
Twie-cong-kan-gwat adalah gerakan lurus disertai tenaga
serangan, meski nampak sederhana tanpa sesuatu yang hebat,
namun dengan kesederhanaan itu dia berhasil meraih kemenangan.
Berbeda sekali dengan jurus Pek-hok-liang-ci, bukan saja gerak
serangannya melebar bahkan harus terjadi bentrok kekerasan
dengan pihak lawan. Dengan gelisah Bu-beng Cinjin berpikir, "Katanya bocah ini sudah
menguasahi ilmu pedang tingkat tinggi, kenapa tiba-tiba melakukan
tindakan bodoh?" Tiba-tiba dia menyaksikan ternyata dalam menggunakan jurus
serangan ini Keng Giok-keng masih tetap menggunakan tehnik, ada
tapi tiada, bentuknya menyerupai Pek-hok-liang-ci namun niat
pedangnya justru berbeda.
Namun sekalipun begitu, Bu-beng Cinjin masih tetap
menguatirkan keselamatan Keng Giok-keng, dia kuatir, sekalipun
bocah itu dapat mematahkan jurus tersebut tapi berhubung
tubuhnya masih melambung di udara, lagipula harus terjadi bentrok
kekerasan, paling tidak hasil pertarungan ini bisa menyebabkan
kedua belah pihak sama-sama terluka parah.
Malahan kalau sedikit saja kurang berhati-hati, mungkin dia harus
kehilangan selembar nyawanya.
Tampaknya kedua belah pihak segera akan bentrok ditengah
udara! Mendadak terlihat selapis awan merah muncul di tengah
udara, ternyata Pun-bu Thaysu telah melepaskan jubah lhasa
berwarna merahnya dan dibabatkan ke depan menerobos dua kilas
cahaya pedang itu. "Traaaang....!" terdengar dua kali dentingan nyaring, dua bilah
pedang sama-sama rontok ke tanah. Jubah lhasa milik Pun-bu
Thaysu pun berubah jadi hancuran kecil dan tersebar bagaikan
kupu-kupu. Keng Giok-keng terpental sejauh beberapa jengkal dan roboh
terduduk di atas tanah, sementara Siang Thian-beng mundur sejauh
enam, tujuh langkah lebih, paras mukanya tampak amat tidak sedap
dipandang. Bu-si Tojin melotot sekejap ke arah Siang Thian-beng kemudian
berjalan menghampiri Keng Giok-keng dan membangunkan dirinya
sambil bertanya, "Anak Keng, bagaimana keadaanmu?"
Di antara empat orang Tianglo dari Bu-tong-pay, dia menempati
posisi ke dua sedang ilmu pedangnya menempati posisi pertama,
tujuh puluh dua jurus ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat
yang dimiliki Keng Giok-keng tidak lain adalah hasil belajar darinya.
Sama seperti Bu-siang Cinjin, dia pun selama ini amat sayang
terhadap Keng Giok-keng. Pikirnya lagi, 'Bila anak Keng sampai
terluka dalam, aku bersumpah tidak akan melepaskan Siang Thianbeng!'
"Aku tidak apa-apa," sahut Keng Giok-keng perlahan, "aku hanya
merasa malu bercampur menyesal, malu dan menyesal...."
Yang dia maksudkan sebagai malu dan menyesal karena tidak
mampu mengalahkan pihak lawan.
"Kau tidak perlu malu dan menyesal," Bu-si Tojin segera
menghibur, "bukan saja tidak perlu malu dan menyesal bahkan hasil
pertarunganmu telah membuat pamor perguruan kita menjadi lebih
cemerlang. Dalam ilmu pedang, kau sama sekali tidak kalah dari
manusia yang menyebut dirinya Rasul pedang!"
Sebenarnya ungkapannya yang mengandung "Penilaian" hanya
pantas diucapkan seorang juri dan tidak cocok diucapkan Bu-si
Tojin. Tapi pendeta ini benar-benar tidak kuasa mengendalikan rasa
gusar dan dongkolnya sehingga tidak tahan diutarakan juga.
Kondisi tubuh Keng Giok-keng saat itu bagaikan orang yang baru
sembuh dari sakit parah, seluruh tubuhnya amat lemah.
Ketika dibimbing bangun Bu-si Tojin, terlihat tubuhnya masih
gontai sebelum dapat berdiri tegak.
Menyaksikan hal ini, semua hadiripun berpikir, "Sekalipun dia


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak sampai menderita luka dalah, tapi dalam kenyataan telah
dirobohkan oleh tenaga dalam lawan. Eehm, lalu siapa yang berhak
menjadi pemenang dalam pertandingan pedang ini?"
Perlu diketahui, meski sebelum pertandingan pedang sudah ada
yang mengusulkan dilarang menggunakan tenaga dalam untuk
melukai lawan, tapi dirobohkannya Keng Giok-keng oleh pukulan
tenaga dalam lawan adalah masalah lain, lagipula pertarungan
belum sampai berakhir, Pun-bu Thaysu telah memisahkan mereka
berdua, kejadian semacam inipun merupakan pelanggaran
peraturan dunia persilatan, lalu apa yang harus dilakukan sekarang"
Perhatian semua jago yang hadir diarena sama-sama dialihkan ke
wajah Pun-bu Thaysu. Terdengar Pun-bu Thaysu mendeham beberapa kali, kemudian
baru berkata, "Aku terpaksa harus memisahkan kalian berdua
karena memang keadaan memaksa. Bila kalian menganggap lolap
tidak pantas berbuat begini apalagi sebagai seorang juri, lolap
bersedia untuk melepaskan jabatan ini. Tapi menurut pendapat
lolap, hasil pertarungan barusan adalah seri, tidak ada yang menang
dan tidak ada yang kalah. Entah bagaimana menurut pendapat
Siang-sicu?" Walaupun sebagian besar para jago yang hadir menaruh simpatik
kepada Keng Giok-keng, namun semua orangpun berpendapat
bahwa keputusan yang diambil Pun-bu Thaysu jelas lebih membelai
pihak Keng Giok-keng, tanpa terasa orang orang itu berpikir, "Keng
Giok-keng telah dijatuhkan, sementara keadaan Siang Thian-beng
masih bagaikan lentera yang belum kehabisan minyak, mana mau
dia menerima keputusan ini?"
Siapa tahu diluar dugaan banyak orang, tampak Siang Thianbeng
berdiri dengan wajah yang berubahubah, sebentar berubah
jadi hijau membesi sebentar kemudian berubah jadi merah padam.
Akhirnya dengan suara sedih katanya, "Tidak, akulah yang kalah!
Pun-bu Thaysu, terima kasih kau telah memberi muka kepadaku,
tapi kalah tetap kalah, aku tidak boleh mengingkari kenyataan ini!"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, kontan saja para jago berdiri
terperangah dan melongo, mereka bingung dan tidak habis
mengerti. Pada saat itulah segulung angin berhembus lewat, tiba-tiba
terlihat ada segumpal robekan kain berbentuk bulat yang besarnya
seperti mata uang tembaga terbang melayang di angkasa. Darimana
datangnya robekan kain itu"
Setelah diamati lebih seksama, semua orang baru tahu kalau
pakaian di bagian dada Siang Thian-beng telah bertambah dengan
sebuah lubang, besar lubang itu persis seperti sebuah mata uang.
Kini para jago baru menyadari, ternyata Siang Thian-beng
memang sudah menderita kekalahan.
Padahal tadi mereka berdua baru saja akan bentrok satu sama
lainnya, sementara bentrokan itu belum sampai terjadi, mereka
berdua telah dipisah Pun-bu Thaysu.
Biarpun belum terjadi benturan, namun tenaga dalam kedua
belah pihak telah dipusatkan di ujung pedang, bahkan telah
memancarkan hawa pedang tanpa wujud.
Oleh sebab itu walaupun ujung pedang Keng Giok-keng belum
sampai menyentuh tubuh Siang Thian-beng, namun hawa pedang
tanpa wujudnya telah merobek pakaiannya lebih dahulu.
Dengan teori yang sama seperti di atas, pukulan terakhir yang
dilancarkan Siang Thian-beng meski belum sampai mengenai tubuh
Keng Giok-keng, namun Keng Giok-keng seakan sudah terkena
tenaga pukulan itu dan roboh terjungkal diterjang hawa pukulan
lawan. Untung Pun-bu Thaysu memisahkan mereka berdua tepat waktu
sehingga kedua orang itu tidak sampai terluka.
Atau dengan perkataan lain, andaikata di saat yang kritis itu jika
Pun-bu Thaysu tidak segera turun tangan, akibatnya kedua belah
pihak pasti sama-sama terluka parah.
Namun meski kedua belah pihak sama-sama terluka, taraf luka
yang diderita pun berbeda.
Bagi Keng Giok-keng, tentu saja dia akan menderita luka dalam
yang amat parah, namun belum tentu sampai menyebabkan dia
kehilangan nyawa. Sebab meski jurus pedangnya dilancarkan
belakangan akan tetapi telah mencapai sasaran duluan, bila Siang
Thian-beng sudah terluka lebih dulu oleh tusukan pedang, otomatis
serangannya tidak akan mampu membacok tubuh Keng Giok-keng,
itu berarti dia hanya bisa mengandalkan tenaga dalam yang
dilontarkan kemudian untuk melukai anak muda itu.
Sebaliknya bila tusukan pedang Keng Giok-keng itu tidak kenal
ampun, dapat dipastikan dada Siang Thian-beng pasti sudah
tertembus oleh pedang lawan.
Inilah alasan kuat yang memaksa Siang Thian-beng mau tidak
mau harus mengakui kekalahannya.
Pucat pias selembar wajah Siang Thian-beng, mendadak dia
tertawa kalap, serunya, "Seorang cucu murid Bu-siang Cinjin saja
sudah demikian hebatnya, aku masih berkhayal ingin bertarung
melawan dia orang tua, benar-benar bagaikan katak dalam
tempurung. Kionghi kalian Bu-tong-pay telah muncul seorang
pendekar muda yang begitu hebat, aku orang she-Siang mengaku
kalah!" Di tengah gelak tertawanya yang kelap, Siang Thian-beng telah
berjalan keluar dari kompleks pemakaman dan pergi meninggalkan
tempat itu. Para anggota Bu-tong-pay beserta para tamu segera maju
memberi selamat kepada Keng Giok-keng,.
Bu-beng Cinjin membimbing pemuda itu menuju ke depan layon
Bu-siang Cinjin, minta dia melakukan penghormatan terakhir kepada
Sucouwnya, kemudian ke empat murid Bu-tong baru memasukkan
peti mati itu ke dalam liang kubur.
Tidak sampai setengah jam kemudian, liang kubur telah diisi
tanah, batu nisan baru pun telah diletakkan.
Ketika upacara penguburan jenasah Bu-siang Cinjin telah selesai
dilakukan, menyusul kemudian Bu-beng Cinjin pun secara resmi
diangkat menjadi Ciang-bunjin baru dan menerima gelar
kehormatan dari pihak Kerajaan.
Utusan kaisar To Jian-sik segera maju mengucapkan selamat,
katanya, "Upacara penguburan telah tertunda satu jam, apakah
penganugerahan gelar bisa segera kita mulai?"
Menurut tata cara yang berlaku turun-temurun, pengumuman
tentang pengangkatan Ciangbunjin baru sama artinya dengan surat
pengangkatan resmi, mula-mula isi pengumuman itu akan
mengatakan karena mentaati pesan terakhir mendiang Ciangbunjin,
disusul kemudian seluruh anggota perguruan akan memberikan
penghormatannya. Dalam pada itu dua orang murid Bu-tong-pay dengan membawa
baki kumala telah berdiri dikedua sisi Bu-beng Cinjin. Dalam baki
pertama berisinya tanda kekuasaan dari seorang Ciangbunjin
sementara dalam baki kedua berisikan satu stel jubah pendeta yang
sudah nampak sangat kuno, jubah kuno itu adalah barang
peninggalan dari Thio Sam-hong, Couwsu pendiri Bu-tong-pay.
Kedua macam benda ini merupakan lambang kekuasaan paling
tinggi dari seorang ketua Bu-tong-pay.
Tiba tiba Bu-beng Cinjin berkata, "Sementara waktu kalian
berdua mundur dulu, aku masih ada yang ingin kusampaikan!"
Dua orang anggota Bu-tong-pay itu saling bertatap muka dengan
perasaan terkejut bercampur heran.
Menurut aturan yang berlaku, di saat Bu-beng Cinjin telah
menyampaikan pengumuman tentang pengangkatannya sebagai
Ciangbunjin penerus, dia akan menerima tanda kekuasaan dan
mengenakan jubah pendeta itu.
Pengumuman tidak lebih hanya mengulang kata kata yang telah
disiapkan, tidak terlalu panjang isinya dan dengan cepat akan
selesai dibaca, sekalipun tidak ingin mengikuti peraturan lama, tidak
seharusnya Bu-beng Cinjin menitahkan mereka untuk mundur,
kemudian sampai waktunya meminta mereka buru-buru maju
mendekat lagi. Tapi dikarenakan perkataan ini merupakan perintah dari seorang
Ciangbunjin, terpaksa kedua orang murid itu menyingkir ke
samping. Kebanyakan tamu tidak memahami peraturan yang berlaku
dalam Bu-tong-pay, karenanya mereka tidak terlalu menganggap
serius kejadian ini, sebaliknya para anggota Bu-tong-pay mulai
gelisah dan cemas, serentak mereka mengawasi Bu-beng Cinjin
tanpa berkedip, setiap orang memasang telinga baik-baik.
Terdengar Bu-beng Cinjin perlahan-lahan berkata, "Semua murid
perguruan kita pasti masih ingat, sewaktu Bu-siang suheng mewakili
gurunya menerima aku sebagai murid, kemudian mengangkat aku
menjadi Ciangbunjin, telah terjadi satu peristiwa yang amat
istimewa." Tentu saja semua anggota Bu-tong-pay menge-tahui akan
peristiwa itu, tapi ada sementara tamu yang belum mengetahui
akan kejadian tersebut, beramai ramai mereka mencari tahu berita
tersebut dari murid Bu-tong.
Bu-liang Totiang segera nyahut, "Benar, hari itu Tonghong Liang
telah menyaru sebagai gurunya dan naik gunung menantang
berduel, Bu-beng sute hanya menggunakan satu jurus telah berhasil
menyingkap topeng kulit manusianya, hal ini membuat dia
menyerah kalah dengan perasaan puas!"
Bu-liang Totiang menyimpan banyak rencana busuk dalam
benaknya, dalam perkiraan dia Bu-beng Cinjin bakal menyerahkan
posisi ketua kepadanya setelah secara resmi dia menjadi
Ciangbunjin nanti. Karena mengira Bu-beng Cinjin ingin
memamerkan hasil karyanya sebelum lengser, maka diapun cepatcepat
membantu memberikan penjelasan.
Kini kawanan tamu baru mengerti duduknya perkara, pikir
mereka hampir berbareng, "Ternyata Bu-beng Cinjin bisa diangkat
menjadi Ciangbunjin karena dia telah membuat jasa besar."
Sambil tertawa Pa-san-kiam-kek Kok Thiat-ceng menimbrung,
"Tempo hari muridnya yang dikalahkan, hari ini gurunya yang
dikalahkan, hahahaha.... tampaknya kejadian hari ini merupakan
hadiah besar untuk merayakan pengangkatan Ciangbunjin baru!"
Bu-liang Totiang yang mendengar ucapan itu kontan saja
mengernyitkan alis matanya.
Melihat itu Kok Thiat-ceng baru sadar kalau perkataannya
memang tidak tepat diucapkan dalam suasana begini. Apalagi yang
mengalahkan muridnya adalah Ciangbunjin baru, sementara yang
mengalahkan gurunya justru murid muda yang dua tingkat di bawah
Ciangbunjin. Terdengar Bu-beng Cinjing melanjutkan kembali kata-katanya,
"Sebenarnya aku adalah murid preman, ketika naik gunung hari itu,
Bu-siang suheng segera menyiapkan upacara untuk menerimaku
menjadi pendeta, disusul kemudian mewakili gurunya menerima aku
sebagai muridnya. Padahal semua kejadian ini dilakukan tidak
mengikuti aturan yang berlaku, karena merupakan tindakan taktis
untuk menghadapi kejadian yang tidak diinginkan."
"Padahal peristiwa semacam ini bukannya belum pernah terjadi
sebelumnya," kata Bu-si Tianglo, "Ciangbunjin generasi ke tiga
perguruan kami pernah dipegang juga oleh murid preman, yaitu
Bouw Tok-it, Bouw Couwsu tidak lain adalah leluhur keluarga Bouw
kalian!" "Peristiwa itu sudah terjadi pada dua ratus tahun berselang,"
kata Bu-beng Cinjin, "sejak leluhurku Bouw Tok-it menjadi
Ciangbunjin pertama dari kaum preman, selama ini belum pernah
terjadi lagi kejadian semacam itu. Karenanya aku pun tidak ingin
melanggar kebiasaan yang berlaku."
"Walaupun kau diangkat menjadi Ciangbunjin bertepatan pada
hari yang sama setelah kau dilantik jadi pendeta, namun saat itu
kau sudah berstatus seorang pendeta, jadi seharusnya
pengangkatan ini tidak menyalahi aturan."
"Tadi telah kukatakan, sebetulnya hal ini tidak lebih hanya
merupakan siasat taktis yang digunakan Bu-siang suheng untuk
mengatasi masalah, sewaktu aku menerima pengangkatan tersebut
pun sempat memberikan janji bahwa setiap saat aku siap untuk
dilengserkan dari jabatan ketua."
Put-po adalah orang yang paling mengagumi Bu-beng Cinjin,
sebagai seorang pendeta yang polos, dia segera berseru, "Benar,
oleh karena Ciangbun supek waktu itu menganggap ilmu pedangmu
tiada tandingan dikolong langit, lagipula perguruan sedang dirudung
banyak masalah dan kesulitan, untuk menjadi seorang Ciangbunjin
selain harus mahir menggunakan ilmu pedang, diapun harus masih
berusia muda, bertenaga kuat, cekatan dan hebat. Karena itulah
baru terpikir untuk mengundang kau datang dan menduduki jabatan
Ciangbunjin. Tatkala mendiang Ciangbunjin mengambil keputusan
untuk melakukan kesemuanya itu, terlepas apakah benar seperti
yang kau katakan, hanya merupakan tindakan taktis untuk
mengatasi masalah, tapi sebelum semua situasi berubah menjadi
lebih baik dan stabil, tidak seharusnya kau melepaskan beban dan
tanggung jawab ini!"
"Tidak, telah terjadi perubahan," sela Bu-beng Cinjin.
"Kau sangka dengan dikalahkannya Rasul pedang dan muridnya,
maka kau sudah dapat memberikan pertanggungan jawab kepada
mendiang Ciangbunjin?" teriak Put-po dengan suara keras, "apakah
kau tidak tahu kalau partai kita masih harus menghadapi persoalan
lain yang jauh lebih penting dan berat, yang menanti kau untuk
menghadapi dan menyelesaikannya!"
Ketika pertama kali berbicara tadi, dia mengatakan bahwa "partai
kita sedang dirundung banyak kesulitan", lalu sekarang kembali dia
mengatakan kalau "partai kita masih harus menghadapi masalah
lain yang jauh lebih penting daripada urusan mengalahkan Rasul
pedang dan muridnya," kemudian berulang kali meminta Bu-beng
Cinjin untuk menanggulanginya.
Kontan saja perkataan ini menimbulkan keheboh-an diantara
para tamu, ada diantara mereka yang sedang berpikir, "Saat ini
partai Bu-tong sedang memasuki masa jayanya, kehebatan mereka
ibarat matahari di tengah hari, mengapa dikatakan sedang
dirundung banyak kesulitan?"
Tapi ada pula sebagian orang yang cukup mengetahui "banyak
kesulitan" apa yang sedang dihadapi Bu-tong-pay, banyak orang
segera menganut sikap ingin tahu lebih banyak tentang masalah itu
dan berharap Putpo bisa mengungkap lebih banyak lagi "aib"
keluarga mereka. Kontan saja Bu-liang Totiang mengernyitkan dahi, umpatnya
dalam hati, "Kini Put-po telah menjadi salah seorang Tianglo,
kenapa dia masih begitu tidak tahu diri, tidak seharusnya dia
mengungkap masalah yang tidak banyak diketahui orang luar."
Tapi berhubung Put-po merupakan murid pertama dari bekas
ketua Tianglo yang telah tiada, Bu-kek Tojin, apalagi sekarangpun
telah naik pangkat menjadi seorang Tianglo, biar tidak puas di
dalam hati, Bu-liangTojin tidak berani mencegahnya.
"Oleh karena kau telah mengatakan, akupun tidak perlu
mengelabuhi teman-teman lagi," kata Bu-beng Cinjin, "enam belas
tahun berselang dalam partai kami terdapat tiga orang suheng yang
satu angkatan denganku, mereka ditemukan tewas secara misterius,
kasus pembunuhan ini memang harus kami selidiki hingga tuntas.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun, biarpun aku tidak menjadi Ciangbunjin pun masih tetap bisa
memberikan bantuan untuk melacak kejadian ini!"
Begitu rahasia tersebut diungkap, sekali lagi terjadi kehebohan
diantara para tamu yang hadir.
Put-po menunggu hingga suasana menjadi tenang kembali,
kemudian baru berkata, "Bu-beng-susiok, dulu kau adalah Tiong-ciu
Thayhiap, sebagai seorang Thayhiap mengapa tidak kau selesaikan
tanggung jawab ini hingga tuntas" Kenapa sebelum masalah besar
diselesaikan, kau sudah akan regenerasi?"
Dengan tabiatnya yang temperamen dan polos, begitu diumbar
hawa amarah, sebutan Ciangbunjin pun segera dirubah jadi sebutan
Susiok, bahkan mulai menegur sang ketua secara kasar.
Kini habis sudah kesabaran Bu-liang Totiang, tidak tahan
hardiknya keras-keras, "Put-po, kau tidak boleh bersikap kasar! Kita
hanya bisa membujuk Ciangbunjin untuk berubah pikiran, tidak
boleh kau tegur dengan kata-kata sekasar itu."
Tampaknya Bu-beng Cinjin sama sekali tidak ambil perduli,
katanya lagi hambar, "Put-po, perkataanmu memang tidak salah,
sebutan Thayhiap memang hanya nama kosong belaka. Terus
terang, imanku memang tidak teguh, setelah kuserahkan jabatan
Ciangbunjin nanti, aku malah berencana untuk menjadi preman lagi.
Siapa tahu setelah menjadi preman kembali, aku bisa
menyumbangkan tenagaku lebih besar untuk partai. Oleh sebab itu
kau boleh saja menegurku tidak teguh imannya, tapi masalah tidak
menyelesaikan tugas hingga tuntas, aku rasa teguran ini kelewat
berat untuk kuterima."
Orang yang segera akan menerima jabatan sebagai Ciangbunjin
ternyata memberikan pernyataan bahwa dia akan menjadi preman
kembali, kontan saja pertanyaan itu membuat para anggota Butong-
pay jadi malu. Bu-liang Totiang tampak amat gembira menyaksikan ketuanya
mendapat malu, sengaja dia menghela napas panjang dan berkata,
"Kalau memang kau tidak tahan hidup dalam biara, kamipun tidak
akan memaksamu. Aaai, tidak heran kalau tadi kau mengatakan
akan melanggar kebiasaan, ternyata memang sejak awal sudah
punya rencana untuk kembali menjadi orang preman!"
Dari nada pembicaraan tersebut dapat disimpulkan bahwa dia
setuju bila Bu-beng Cinjin melepaskan jabatannya sebagai ketua
dan diberikan kepada orang lain.
"Susiok," buru-buru Put-po Tojin berseru, "harap kau berpikir tiga
kali sebelum memutuskan. Berulang kali kau mengatakan akan
regenerasi, lalu dimana generasi baru yang kau maksud?"
"Jauh diujung langit, dekat di depan mata...."
Bicara sampai disitu sengaja dia berhenti sejenak, sinar matanya
perlahan lahan menyapu sekejap wajah Bu-liang Totiang, Bu-si Tojin
serta Put-po Tojin. Bu-liang Tianglo merasakan jantungnya berdebar keras, sejak
awal dia sudah mengetahui rencana busuk yang diatur si Tojin bisu
tuli Ong Hui-bun, menurut rencana posisi Ciangbunjin oleh Bu-beng
Cinjin akan diserahkan kepadanya, kemudian dari tangannya
diwariskan kepada Put-ji Tojin.
Hanya saja setelah Bu-beng Cinjin lengser dari kedudukannya,
maka dia akan memegang jabatan sebagai ketua selama banyak
tahun, karena di saat dia telah menjadi ketua maka Put-ji Tojin
harus diangkat terlebih dulu menjadi murid Ciangbunjin.
Mereka terpaksa mengatur begitu karena Bu-siang Cinjin semasa
hidupnya pernah berkata, Ciangbunjin baru setelah dia diharapkan
bisa dipilih dari mereka yang masih muda, kuat dan penuh
kemampuan. Sedangkan alasan mereka mengapa memilih Put-ji Tojin sebagai
Ciangbunjin generasi berikut, pertama karena hal ini sesuai dengan
urutan yang berlaku (karena Put-ji Tojin adalah murid Bu-siang
Cinjin) dan kedua karena mereka memegang rahasia pribadi Put-ji
Tojin. Karena mereka memegang rahasianya, otomatis Put-ji Tojin
bakal menjadi boneka mereka saja.
Siapa tahu semalam Put-ji Tojin tidak segan mengakui semua
dosanya termasuk masalah "salah membunuh" Sutenya kepada
Keng Giok-keng, semua pengakuan diberikan secara gamblang,
bahkan secara beruntun dia pun bersumpah di hadapan Bu-beng
Cinjin maupun Keng Giok-keng dan berjanji akan berusaha dengan
sepenuh tenaga untuk mencari tahu siapa pembunuh sebenarnya
yang telah menghabisi nyawa Bu-kek Totiang serta Ji-ou Thayhiap
Ho Ki-bu. Justru lantaran masalah inilah Ong Hui-bun terpaksa turun
tangan menghabisi nyawa Put-ji.
Bu-liang Totiang merasa uring-uringan, dia takut kehilangan
kesempatan untuk menjadi ketua, namun diapun kualir setelah
menjadi ketua, kedudukan tersebut bakal diserahkan lagi kepada
orang lain, diam-diam pikirnya, 'Put-ji telah mati, aku harus
mewariskan kedudukan ini kepada siapa" Kalau tidak segera
mengangkat murid Ciangbunjin, lagipula usiaku sudah lanjut, bisa
jadi para murid tidak akan setuju bila jabatan ketua diserahkan
kepadaku' Tiba-tiba dia memperoleh sebuah ide, pikirnya lebih jauh, 'Aaah
betul, aku toh bisa memilih Put-po, walaupun sifatnya polos dan
terus terang namun dia tidak tahu keadaan, orang semacam ini
paling gampang untuk disetir'
Belum habis ingatan itu melintas, terlihat Bu-beng Cinjin telah
menghentikan pandangan matanya di wajah Keng Giok-keng,
kemudian terdengar dia berkata lebih jauh, "Orang itu jauh diujung
langit, dekat di depan mata, dia tidak lain adalah satu-satunya cucu
murid Bu-siang Cinjin, Keng Giok-keng!"
Begitu pengumuman itu disampaikan, bahkan para tamu yang
hadir di lapangan pun nyaris tidak percaya dengan pendengaran
sendiri, terlebih para anggota Bu-tong-pay, mereka sampai
terbelalak saking kagetnya.
"Apa?" teriak Bu-liang Totiang tidak tahan, "kau hendak serahkan
posisi Ciangbunjin kepada bocah itu?"
"Benar!" jawaban Bu-beng Cinjin singkat tapi tegas.
Keng Giok-keng sendiripun berdiri terbelalak dengan mulut
melongo saking kagetnya, dengan susah payah akhirnya dia dapat
berteriak juga, "Ciangbun Cinjin, aku.... aku.... mana mungkin aku
memikul tanggung jawab seberat ini!"
Bibeng Cinjin segera memberi tanda, menanti suasana di arena
menjadi tenang kembali, dia baru berkata lebihjauh, "Walaupun
Giok-keng masih muda, namun kehebatan ilmu pedangnya telah
kalian saksikan sendiri, bahkan Rasul pedang pun kalah
ditangannya, coba kalian pikirkan, siapa lagi yang mampu
mengalahkan dirinya" Aku menang dari dia karena tenaga dalamku
jauh lebih tinggi, tapi berbicara soal ilmu pedang.... sejujurnya
harus kuakui, aku masih kalah jauh!"
Dia dengan status sebagai paman guru ternyata tidak segan
merendahkan diri, hal ini menunjukkan bahwa pujiannya terhadap
Keng Giok-keng benar-benar luar biasa.
Merah padam selembar wajah Bu-liang Totiang saking
mendongkolnya, tapi dia pun tak berani mengata kan kalau ilmu
pedangnya jauh lebih unggul daripada Keng Giok-keng.
Put-po adalah seorang gila pedang, setelah tertegun berapa saat
tiba-tiba ujarnya, "Aku tidak tahu bagaimana pemikiran orang lain,
tapi terus terang aku pribadi merasa benar-benar kagum dan takluk
atas kehebatan ilmu pedang yang dimiliki Giok-keng-sutit. Apa yang
dikatakan Bu-beng-susiok memang tepat, dia memang seorang
manusia berbakat yang belum tentu akan dijumpai dalam seratus
tahun. Apalagi dalam perguruan kitapun rasanya tidak ada
peraturan yang mengatakan hanya orang yang berusia lanjut saja
yang pantas menjadi seorang Ciangbunjin!"
Nada pembicaraan itu jelas menunjukkan kalau dia sangat setuju
bila Keng Giok-keng yang menjadi ketua.
Murid ke dua Bu-liang Totiang, Put-huang Tojin segera berpikir,
"Tampaknya suhu sungkan untuk bicara sendiri, kalau begitu biar
aku membantunya untuk berbicara."
Maka sambil tampil ke depan katanya, "Put-po suheng, walaupun
ucapanmu masuk akal, namun bagaimana pun Giok-keng-sutit baru
menginjak usia enam, tujuh belas tahunan, mana mungkin dia bisa
memimpin sebuah perguruan yang begini besar" Apalagi untuk
menjadi seorang Ciangbunjin dari partai kita, bukan pandai ilmu
pedang saja yang diandalkan. Tadipun Bu-beng-susiok sempat
menyinggung bahwa calon ketua yang baru harus seorang yang arif,
tolong tanya dimana kearifan Giok-keng-sutit" Hingga kini toh kita
belum pernah melihatnya!"
Put-po segera garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, katanya
kemudian, "Ehmm, kelihatannya apa yang kau katakan memang
masuk akal juga." "Aku rasa dalam hal ini kalian tidak perlu terlalu merisaukan,"
sela Bu-beng Cinjin. "Kenapa?" "Pepatah mengatakan: dekat gincu jadi merah, dekat tinta jadi
hitam, sejak kecil Giok-keng sudah dididik oleh Bu-siang Cinjin
Cinjin, apakah kalian anggap didikan dari mendiang Ciangbunjin
masih diragukan" Mengetahui kemampuan untuk mengatasi
permasalahan, hal semacam ini bisa dilatih dengan jalannya sang
waktu." Put-po memang orang yang tidak punya pendiri-an, sekali lagi dia
garuk-garuk kepala, "Rasanya perkataan inipun masuk akal. Betul,
bila dia berhati busuk atau moralnya jelek, mana mungkin mendiang
Ciangbun Cinjin akan mewariskan Sim-hoat tenaga dalam serta ilmu
pedang maha sakti dari perguruan kita kepadanya."
Bu-siang Cinjin merupakan idola setiap anggota perguruan, rasa
hormat dan kagum mereka kepada ketuanya tidak perlu diragukan
lagi. Setelah Bu-beng Cinjin mengusung hal ini, siapa pun tidak lagi
berani membantah. Terdengar Put-huang Tojin masih menggerutu, "Tapi usia Giokkeng
sutit masih sangat muda, kalau sekarang juga mengangkatnya
jadi Ciangbunjin, rasanya.... rasanya...."
"Tentu saja masalah ini masih bisa dirundingkan lagi," sela Bubeng
Cinjin kemudian, "misalkan saja selama jangka waktu tertentu
kita bisa memilih dua orang Tianglo untuk membantunya, atau
mungkin kita tetapkan saja dulu dirinya sebagai Ciangbun-tecu."
Tiba tiba Bu-liang Totiang berkata, "Aku rasa saat ini belum
saatnya untuk merunding kan masalah seperti itu, karena ada satu
hal yang perlu kita tanyakan dulu hingga jelas!"
"Soal apa?" tanya Bu-beng Cinjin.
"Apabila seseorang telah melanggar peraturan-peraturan yang
diakui seluruh umat persilatan, apakah dia masih pantas menjadi
seorang Ciangbunjin?"
"Peraturan apa yang dilanggar?" tanya Bu-beng Cinjin dengan
perasaan berat, jantungnya terasa berdebar keras.
"Bersekongkol dengan penghianat, pagar makan tanaman!"
Keng Giok-keng yang mendengar perkataan itu kontan saja
melompat bangun, teriaknya, "Kapan aku bersekongkol dengan
penghianat" Kapan aku pagar makan tanaman?"
"Giok-keng, biar Tianglo selesaikan dulu tuduhannya!" bentak Bubeng
Cinjin nyaring. Terdengar Bu-liang Totiang berkata lebih lanjut, "Aku bukannya
curiga Bu-siang suheng tidak bisa mendidik orang, tapi sifat anak
muda itu masih tidak menentu, pengetahuan tidak banyak apalagi
baru pertama kali terjun ke dalam dunia persilatan, siapa yang bisa
jamin kalau dia tidak akan ditipu orang jahat hingga terjerumus ke
jalan sesat. Harus diketahui, guru hebat menghasilkan murid hebat
hanya merupakan sebuah kebiasaan, tapi dalam pelbagai kejadian
toh terkadang muncul juga pengecualian."
Put-po yang polos kembali menyela, "Perkataanmu memang ada
benarnya juga, namun lebih baik kau kurangi ucapan debat kusir,
banyak perlihatkan fakta saja."
Bu-liang Totiang cukup mengetahui wataknya, meskipun ditegur,
dia sama sekali tidak mendongkol, ujarnya lebih lanjut, "Dalam
pertarungannya melawan Siang Thian-beng tadi, tentunya kalian
telah menyaksikan dengan jelas bukan?"
"Kalau dibilang jelas sekali mah susah, mungkin baru enam tujuh
bagian saja." "Kalau begitu coba katakan, benarkah didalam permainan pedang
Siang Thian-beng tersisip juga rahasia ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat
dari Bu-tong-pay?" "Benar, memang ada berapa bagian. Namun bagaimana pun juga
dia toh tidak bisa mengungguli kemampuan Giok-keng dalam
permainan pedang." "Peristiwa ini harus dipandang sebagai dua hal yang beda, aku
ingin bertanya lagi, bila kau tidak memahami ilmu pedang dari suatu
partai tertentu, dapatkah kau ciptakan ilmu pedangmu dengan
unsur ilmu pedang aliran lain?"
"Tentu saja tidak bisa!"
"Tepat sekali, lantas darimana Siang Thian-beng mempelajari
ilmu pedang pergunian kita?" desak Bu-liang Totiang.
"Waah, darimana aku bisa tahu?" sahut Put-po sambil memegang
kepala sendiri. "Kau memang tidak tahu, tapi aku tahu!" jawab Bu-liang Totiang
cepat, tiba-tiba dia berpaling dan membentak, "Giok-keng, setelah
kau turun gunung tahun berselang, benarkah kau telah bersahabat
dengan Tonghong Liang?"
"Tonghong Liang bukan penghianat, juga bukan bandit, bahkan
guru dia Siang Thian-beng pun tidak pernah dianggap Sucouw
sebagai penghianat atau bandit, kalau tidak, mana mungkin Sucouw
menyang-gupi tantangannya untuk berduel."
Bu-liang Totiang mendengus dingin.
"Hmmm! Guru ada guru, murid adalah murid, jangan kau
baurkan mereka menjadi satu. Lagipula meski Siang Thian-beng
bukan bandit atau penghianat, namun dia bermusuhan dengan
perguruan kita." "Tapi sekarang toh permusuhan itu telah terselesai kan," sela
Keng Giok-keng. Bu-liang Totiang jadi semakin sewot, bentaknya gusar, "Sudah
kusuruh kau jangan mengaitkan persoalan ini dengan orang lain,
yang kubicarakan sekarang adalah Tonghong Liang!"
"Baik, kalau begitu kita bicara soal Tonghong Liang."
"Apakah Tonghong Liang seorang begal atau bukan, nanti akan
kujelaskan kepadamu. Sekarang aku ingin bertanya terlebih dulu,
benarkah ilmu pedang aliran Bu-tong-pay yang dimiliki Tonghong
Liang merupakan hasil ajaranmu?"
"Bukan!" jawab Keng Giok-keng setelah berpikir sejenak.
Bu-liang Totiang segera berpaling ke arah Pun-bu Thaysu,
katanya, "Pun-bu Thaysu, konon Keng Giok-keng pernah
mendatangi biara Siau-lim bersama Tonghong Liang, bahkan ketika
berada di biara Siau-lim, Tonghong Liang pernah memperlihatkan
ilmu pedangnya!" "Benar, memang ada kejadian ini," Pun-bu Thaysu manggutmanggut,
"dibalik ilmu pedang yang digunakan Tonghong Liang
memang terktmdung jurus serangan dari aliran Bu-tong-pay."
Dengan wajah dingin bagai salju, Bu-liang Totiang segera
menghardik, "Giok-keng, apakah kau masih ingin menyangkal!"


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku bukannya ingin menyangkal...." sahut Keng Giok-keng.
Put-po Tojin tidak sabaran, dia ingin membantu Keng Giok-keng,
maka sebelum bocah itu menyesalikan perkataannya, dia sudah
menyela lebih dahulu, "Sewaktu tahun kemarin Tonghong Liang naik
gunung untuk menantang berduel, aku pernah bertarung
melawannya, waktu itu dia belum kenal Giok-keng-sutit, tapi
buktinya telah dapat menggunakan ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat,
bahkan ada berapa jurus diantaranya malah jauh lebih hebat
daripada permainanku!"
"Apakah hal ini membuktikan kalau dia tidak pernah mengajari
Tonghong Liang?" dengus Bu-liang Totiang.
Put-po sedikit tidak mengerti, sambil garuk-garuk kepalanya dia
berkata, "Apakah pernah mengajar atau tidak, sulit untuk
dikatakan." Kembali Bu-liang Totiang berkata, "Aku tidak tahu siapakah orang
pertama yang mengajarkan ilmu pedang perguruan kita kepada
Tonghong Liang. Bu-beng sute, apakah kau tahu?"
"Aku tidak tahu!" jawab Bu-beng Cinjin tegas, sementara dalam
hati kecilnya diam-diam merasa terperanjat, dia tidak tahu berapa
banyak rahasianya yang diketahui pendeta tua itu.
Bu-beng Cinjin bisa merasa terperanjat karena sejak tiga puluh
tahun berselang, diapun pernah mengajarkan ilmu pedang ThayTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
kek-kiam-hoat hasil pengembangannya kepada In Beng-cu (yang
kemudian menjadi Seebun-hujin).
Sekalipun kini Bu-liang Totiang seolah-olah sedang menuduh
Keng Giok-keng, namun dalam pendengarannya berarti lain, ucapan
itu mengandung maksud "menuding si A tapi yang dimaki si B".
"Sute," kembali Bu-liang Totiang berkata, "kalau memang kau
tidak tahu, maka lebih baik kau tidak usah tahu siapakah orang
pertama yang mengajarkan ilmu pedang Bu-tong-pay kepada
Tonghong Liang. Tapi aku yakin, yang membuat Tonghong Liang
bisa memperoleh ilmu pedang aliran murni pastilah Keng Giokkeng."
"Tianglo, darimana kau bisa tahu?" tanya Put-po sambil garukgaruk
kepala. Bu-liang Totiang tidak menggubris pertanyaan itu, sambil
berpaling ke arah Bouw It-yu katanya, "It-yu, kau mendapat
perintah untuk turun gunung dan membawa pulang Keng Giokkeng.
Konon kaupun pernah melihat mereka melakukan perjalanan
bersama, bahkan pernah juga beradu pedang melawan Tonghong
Liang, boleh tahu bagaimana hasil dari pertarungan itu?"
"Sungguh memalukan, aku kalah! Jawab Bouw It-yu.
"Kalau begitu bukankah ilmu pedang yang dimiliki Tonghong
Liang telah mengalami kemajuan yang pesat bila dibandingkan
ketika pertama kali naik ke gunung Bu-tong?"
"Benar, memang kemajuannya amat pesat!"
"Sudah berapa lama peristiwa ini terjadi?"
"Pertengahan bulan sepuluh tahun berselang."
Bouw It-yu tahu kalau pendeta tua ini bermaksud menggiring dia
untuk memberi pertanyaan bahwa Keng Giok-keng lah yang telah
mengajarkan ilmu pedangnya kepada orang luar, dalam hati segera
pikirnya, 'Aku tidak bisa berbohong gara-gara ingin melindungi Keng
Giok-keng, tapi bagaimana harus kusampaikan hal tersebut"'
Karena bingung terpaksa diapun berlagak tidak tahu.
Setelah tertawa dingin Bu-liang Totiang kembali berkata,
"Padahal seharusnya aku langsung bertanya kepadamu. Aku masih
ingat kau pernah berkata kepadaku, tugasmu turun gunung kali ini
adalah khusus untuk menyelidiki dan mengawasi tingkah laku Keng
Giokkeng selama berada di luaran, kalau memang kau pernah
bertarung melawan Tonghong Liang, kenapa saat itu Keng Giokkeng
enggan turut dirimu pulang gunung sebaliknya bersikeras ingin
pergi bersama Tonghong Liang" Tentunya kau pasti tahu bukan
apakah Keng Giok-keng pernah mengajarkan ilmu pedang
perguruan kita kepada orang lain" Sekalipun tidak tahu, kau
seharusnya bisa mengambil satu kesimpulan!"
"Waktu itu dia bersikeras hendak berangkat bersama Tonghong
Liang karena mereka hendak pergi ke biara Siau-lim dan
menyambangi Hwee-ko Thaysu, panjang untuk menceritakan
kejadian ini...." "Aku hanya ingin tahu kesimpulanmu!" bentak Bu-liang Totiang
dengan suara keras, "urusan yang tidak ada hubungannya dengan
pertanyaanku, lebih baik tidak usah kauurusi!"
Tugas utama Bouw It-yu sewaktu turun gunung kali ini adalah
menyelidiki hubungan antara Keng Giok-keng dengan Tonghong
Liang, tapi kini situasi telah berubah, posisi Tonghong Liang
dimatanya juga berubah karena kemungkinan besar akan menjadi
calon adik iparnya. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin
dia dapat membuka suara untuk memberikan pengakuannya"
Tiba-tiba Keng Giok-keng berteriak keras, "Bu-liang Tianglo,
seharusnya kau langsung bertanya kepadaku!"
"Oooh, jadi sekarang kau bersedia bicara sejujurnya?" ejek Buliang
Totiang. "Aku tidak pernah berbohong, karena pertanyaanmu adalah:
pernahkah aku mengajari Tonghong Liang, maka akupun hanya bisa
menjawab: tidak pernah!"
"Kurangajar, semua fakta telah terpampang di depan mata, kau
masih tetap menyangkal!" teriak Bu-liang Totiang penuh amarah.
Bu-beng Cinjin segera menangkap maksud lain dari ucapan itu,
cepat tukasnya, "Suheng, tampaknya dia belum selesai bicara,
biarkan dia selesaikan dulu ucapannya!"
Dengan suara lantang Keng Giok-keng berseru, "Di dalam
kenyataan, dialah yang mengajari aku, bukan aku yang mengajari
dia!" "Dia mengajarimu?" dengus Bu-liang Totiang sambil tertawa
dingin, "ilmu pedang yang dia gunakan sewaktu naik ke Bu-tong
tahun berselang telah kami saksikan. Padahal jurus serangan yang
kau gunakan tadi tidak ada yang dipahami olehnya!"
Agaknya didalam hal ini Put-po pun merasa tidak habis mengerti,
gumamnya, "Benar juga perkataan ini, perbedaan mereka memang
bagaikan langit dan bumi!"
"Giok-keng," Bu-beng Cinjin kemudian dengan nada lembut,
"coba kau ceritakan kisah pengalamanmu itu."
"Sewaktu pertama kali berjumpa dengannya, aku sama sekali
tidak tahu kalau dia adalah Tonghong Liang. Waktu itu dia panaspanasi
hatiku untuk berduel melawannya, kemudian gara-gara duel
itu kamipun berkenalan. Dia tunjukkan semua kelemahan yang ada
dalam jurus seranganku dan minta aku mengulang dan mengulang
terus, akhirnya gara-gara kejadian ini akupun berhasil memahami
banyak teori yang sebelumnya tidak kuketahui."
"Kalau begitu kau memperoleh banyak manfaat dari kejadian
ini?" tanya Put-po. "Benar, memang begitulah kenyataannya."
"Kionghi, kionghi!" seru Pun-bu Thaysu sembari memuji, "tidak
kusangka dari perguruan anda telah muncul seorang jago berbakat
alam yang hebat, sungguh luarbiasa! Sungguh luar biasa!"
Bu-liang Totiang tidak berani menyindir atau mengajak debat
Pun-bu Thaysu, tapi kepada Put-pi Tojin segera dampratnya,
"Terlepas siapa yang lebih banyak menerima manfaat, buktinya dia
telah membocorkan rahasia ilmu pedang perguruan kami kepada
orang luar. Kalau hanya orang lain saja masih tidak seberapa,
tahukah kalian siapakah Tonghong Liang?"
"Dia adalah murid Rasul pedang Siang Thian-beng," jawab Put-po
cepat. Dengan gemas Bu-liang Totiang melotot sekejap ke arahnya, lalu
umpatnya sambil tertawa dingin, "Kalau hanya soal itu mah setiap
orang juga tahu, buat apa kau banyak omong?"
Nyaris saja dia mengumpat dengan kata yang lebih kotor.
"Ooh, jadi dia masih mempunyai status lain?" kata Put-po lagi.
"Pamannya adalah Lioklim Bengcu di masa lalu, Seebun Mu,
sedangkan ayahnya Tonghong Siau meski tidak pernah jadi kepala
bandit akan tetapi sering membantu usaha Seebun Mu, jadi
sesungguhnya diapun tidak berbeda dengan kepala bandit. Dengan
latar belakang keluarganya seperti ini, apa mungkin Tonghong Liang
adalah orang baik" Dengan mengajarkan ilmu pedang Bu-tong-pay
kepada manusia semacam ini, bukankah sama artinya kau sedang
membantu melakukan kejahatan" Jadi tidak salah bukan jika aku
menuduhmu berkawan dengan bandit, pagar makan tanaman?"
Diantara tamu undangan yang hadir, Chin Ling-hun berasal dari
kalangan hitam, kontan saja dia protes setelah mendengar
perkataan itu." "Bandit pun terbagi menjadi bandit baik dan bandit jahat, mana
boleh kau sama ratakan. Menurut pendapatku, Seebun Mu mesti
seorang bandit namun dia tahu aturan. Kalau dibandingan moral
dan akhlak-mu, Hamm, dia masih menang jauh!"
Sekujur badan Bu-liang Totiang gemetar keras saking gusar dan
mendongkolnya, bentaknya keras keras, "Kau.... kau.... kau berani
membandingkan aku dengan pentolan bandit!"
Buru-buru Bu-beng Cinjin melerai, katanya, "Harap kalian jangan
membuat masalah baru, lebih baik kita kembali ke pokok persoalan
yang sebenarnya." "Apakah Seebun Mu termasuk orang baik atau orang jahat
rasanya tidak perlu kita persoalkan disini," ujar Keng Giok-keng,
"tapi, sekalipun paman Tonghong Liang adalah seorang pentolan
bandit, lantas apa sangkut paut dengan dirinya" Asal dia sendiri
bukan orang jahat toh sudah cukup. Kalau menuruti perkataan-mu,
jika seorang ayah melakukan kejahatan maka anaknya yang harus
masuk penjara?" "Pendapat yang hebat, pendapat yang hebat," puji Put-po sambil
manggut-manggut, "Giok-keng-sutit, sungguh tidak kusangka
dengan usiamu yang masih begitu muda, ternyata pemahamanmu
sudah begitu luar biasa."
Kembali Bu-liang Totiang mendengus.
"Hmm, pepatah mengatakan: begitu bapaknya, begitu juga
anaknya. Sekalipun perkataan ini ada pengecualian, tapi apakah
kalian bisa menjamin kalau di kemudian hari Tonghong Liang tidak
akan menjadi seorang bandit jahat?"
Setelah diserang berulang kali dengan ucapan yang tajam, dia
tetap berusaha membela pendapat sendiri, bahkan selalu tidak lupa
menambahkan kata jahat dibelakang kata bandit.
"Urusan dikemudian hari adalah urusan besok, paling tidak
hingga sekarang dia tidak begitu," bantah Keng Giok-keng.
"Tapi kau jangan lupa, ada sebagian ilmu pedangnya berhasil
diperoleh dengan mencuri darimu, bila dia menggunakan
kepandaian tersebut untuk melakukan kejahatan, bila kemudian ada
yang mengusut, bagai-mana pertanggungan jawab Bu-tong-pay
akan persoalan ini" Apalagi jika waktu itu kau telah menjadi seorang
Ciangbunjin!" "Seandainya Tonghong Liang benar-benar berubah sejahat itu,"
kata Keng Giok-keng dengan tegas, "aku bersumpah akan
menggunakan ilmu pedang ajaran Sucouw untuk membasminya!
Bila aku tidak mampu membunuhnya maka aku sendiri yang akan
bunuh diri di hadapan makam Sucouw!"
Begitu perkataan itu diucapkan, seketika suasana di arena
berubah jadi hening dan serius.
Sesaat kemudian Bu-beng Cinjin berkata, "Giok-keng telah
mengangkat sumpah berat, Bu-liang suheng, seharusnya semua
keraguanmu bisa dihapus bukan"
"Terus terang, aku menaruh kesan yang sangat buruk terhadap
Siang Thian-beng karena demi merebut sedikit nama bagi
Sucouwnya Hian Tin-cu, berulang kali dia selalu berusaha mencari
masalah dengan Bu-tong-pay kami. Tapi untunglah pertikaian yang
telah berlangsung selama tiga generasi ini akhirnya dapat dihentikan
pada hari ini. Sekalipun di kemudian hari Tonghong Liang bisa saja
akan mencari masalah lagi, paling tidak hingga hari ini sepak
terjangnya belum pernah bersifat negatip. Jadi semisal Giok-keng
berteman dengan dirinya pun tidak bisa dituduh sebagai bersahabat
dengan bandit. Apalagi meski Giok-keng berteman dengan
Tonghong Liang, namun gurunya Tonghong Liang justru berhasil dia
kalahkan, jadi tuduhan pagar makan tanaman semakin tidak sesuai
untuk dijatuhkan pada dirinya!"
Dengan adanya uraian tersebut maka semua tuduhan yang
dilontarkan Bu-liang Tianglo terhadap Keng Giok-keng pun menjadi
mentah kembali. Dari malu Bu-liang Totiang jadi naik pitam, teriaknya, "Hingga
kini kau belum lengser berarti kedudukan mu masih seorang
Ciangbunjin. Kalau sebagai Ciang-bunjin maka seharusnya semua
urusan diselesaikan menurut peraturan yang berlaku dalam
perguruan, tapi kau justru kelewat membelai Keng Giok-keng!
Sekalipun ke dua tuduhan itu tidak terbukti, namun perbuatannya
membocorkan rahasia ilmu pedang perguruan kepada orang luar
tetap merupakan sebuah pelanggaran berat!"
"Aku rasa tidak ada satu peraturanpun dari perguruan kita yang
melarang anak murid kita bertarung melawan murid partai lain,
apalagi hanya sebatas adu kepandaian. Giok-keng sendiripun sudah
bicara jelas, dia hanya beradu ilmu pedang melawan Tonghong
Liang dan belum pernah mengajarkan ilmu tersebut kepada orang
lain!" "Sekalipun tidak ada peraturan yang tertulis, tapi peraturan
semacam ini telah diakui semua umat persilatan sejak ribuan tahun
berselang!" "Bolehkah lolap ikut berbicara?" tiba-tiba Pun-bu Thaysu
menyela. Ketika dia hendak berbicara, siapa yang berani membantah"
Terpaksa Bu-liang Totiang manggut-manggut.
"Tentu saja boleh," sahutnya.
"Silahkan Thaysu memberi petunjuk," kata Bu-beng Cinjin pula.
"Petunjuk mah tidak berani. Aku hanya ingin bertanya kepada
kalian, ilmu silat dari aliran manakah yang sejak awal hanya
diciptakan atas dasar pemikiran Couwsunya sendiri" Ilmu silat dari
aliran mana pula yang tidak pernah menghisap inti sari dari ilmu
silat aliran lain" Tidak pernah terpengaruh oleh gerakan ilmu silat
aliran lain?" Sebagian besar tamu yang menghadiri upacara pemakaman Busiang
Cinjin kali ini boleh dikata memiliki ilmu silat yang rata-rata
sudah terpengaruh oleh ilmu silat aliran lain, tidak seorang pun yang
berani membantah pernyataan ini.
Melihat semua orang hanya membungkam, kembali Pun-bu
Thaysu melanjutkan kata-katanya, "Lolap tidak tahu bagaimana
dengan aliran perguruan lain, tapi ambil contoh partai Siau-lim kami,
ilmu silatnya bersumber dari negeri Thian-tok (kini India) dan
hampir semua orang mengetahui akan hal ini. Tapi setelah melewati
perubahan hampir seribu tahun lebih, ilmu silat aliran negeri Thiantok
yang ada dalam biara Siau-lim telah membaur dan menyatu
dengan ilmu silat daratan Tionggoan sendiri sehingga tidak bisa
dibedakan jurus mana yang berasal dari Thian-tok dan jurus mana
yang berasal dari daratan. Namun ilmu silat dari biara Siau-lim tetap
dikatakan berasal dari ilmu silat yang datang dari kuil Nalanda di
negeri Thian-tok." Karena apa yang dikatakan memang merupakan kenyataan yang
hampir diketahui setiap orang, ada terdengar seseorang berseru,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rupanya dikarenakan partai Siau-lim menyerap pelbagai ilmu silat
yang ada di daratan Tionggoan maka kehebatannya baru
berkembang jadi sehebat sekarang, perkataan Thaysu benar-benar
membuat pikiranku jadi lebih terbuka."
Ada seorang lagi yang merasa kagum dan takluk setelah
mendengar perkataan itu, dia adalah Put-po Tojin. Tampak pendeta
itu berdiri termangu bagai orang bodoh, tiba-tiba gumamnya,
"Harus menyerap pelbagai ilmu, dengan begitu kepandaian sendiri
baru makin berjaya. Masuk akal, sangat masuk akal! Tidak heran
kalau ilmu silat aliran Siau-lim-pay selalu nomor wahid dikolong
langit!" Selama ini antara Siau-lim dengan Bu-tong selalu terjadi ganjalan
hati, sekalipun tahun-tahun belakangan ganjalan itu sudah makin
pudar namun bukan berarti lenyap begitu saja.
Bu-liang Totiang merasa sangat tidak puas, terutama setelah
mendengar Put-po mengagumi kehebatan Siau-lim, akan tetapi
diapun merasa tidak enak untuk menegur rekannya yang dianggap
hanya memuji kehebatan orang hingga kejayaan perguruan sendiri
jadi tid ak bercahaya. Sambil tersenyum Pun-bu Thaysu berkata lagi, "Pujian itu tidak
berani kuterima, sebab banyak dari ilmu silat perguruanmu yang
terbukti jauh lebih mengungguli biara Siau-lim kami. Ehmm, apalagi
Couwsu pendiri partai kalian Thio Cinjin adalah seorang tokoh yang
luar biasa, sewaktu masih menjadi hwesio cilik di biara Siau-lim-si,
dia hanya sempat mempelajari ilmu pukulan Lo-han-kun, tapi
setelah meninggalkan biara dan mengembara di kolong langit,
akhirnya setelah menyaksikan bentuk dua bukit yang menyerupai
kura kura dan ular, beliau berhasil mendapat ilham sehingga
menciptakan tiga belas jurus Thay-kek-kun dan menjadi seorang
pendiri partai. Lolap selama hidup tidak pernah berbohong, sejak
dulu hingga sekarang, meski terdapat banyak tokoh persilatan
namun orang yang benar-benar lolap kagumi hanyalah Thio Cinjin
dari partai Bu-tong!"
Ucapan ini sama artinya menerangkan bahwa ilmu silat yang
dimiliki Bu-tong-pay saat ini berasal dari biara Siau-lim, jika
menyerap ilmu silat dari partai lain pun dilarang, bagaimana
mungkin bisa muncul partai Bu-tong saat ini" Dan mungkin hanya
Pun-bu Thaysu seorang yang berani mengungkapnya.
Oleh karena berulang kali pendeta ini menyatakan
kekagumannya terhadap Thio Cinjin, segenap anggota Bu-tong-pay
pun ikut merasa nyaman di dalam hati.
Put-po menggelengkan kepalanya berulang kali, setelah
termenung sejenak, akhirnya dia tidak tahan dan ikut menimbrung,
"Benar juga, ketika terjadi pertarungan antara Giok-keng melawan
Tonghong Liang, meski kejadian tersebut membuat Tonghong Liang
berhasil mencuri beberapa jurus, bukankah manfaat yang diperoleh
pihak kita pun lebih banyak" Jurus serangan adalah benda mati,
pemahaman itulah yang penting. Misalkan saja jurus serangan yang
sama-sama dirubah dari Thay-kek-kiam-hoat, bukankah permainan
jurus dari Giok-keng sutit masih setingkat lebih menang ketimbang
gurunya Tonghong Liang?"
"Bukan hanya setingkat, tapi dua tingkat, tiga tingkat!" teriak Pasan
Kiam-kek Kok Thiat-cing lantang.
"Oleh karena itu, sekalipun kebiasaan ini sudah berlangsung
sejak ribuan tahun berselang, belum tentu kebiasaan tersebut bisa
diterima oleh setiap orang," kata Pun-bu Thaysu lebih lanjut, "dunia
persilatan ibarat sebuah keluarga besar yang terdiri dari beribu
keluarga, tidak seharusnyalah masing-masing perguruan menutup
diri dan hidup mengasingkan diri. Pepatah mengatakan: kita jadi
besar bila mau membaur. Lolap bersedia untuk berdiskusi dengan
kalian semua!" Begitu dia menyelesaikan perkataannya, para tokoh dari pelbagai
perguruan pun sama-sama mengangguk tanda setuju.
"Terima kasih banyak atas petunjuk Thaysu," kata Bu-beng Cinjin
kemudian, "Bu-liang Tianglo, apakah masih ada yang ingin kau
sampaikan?" Oleh karena situasi telah berubah jadi begini rupa, tentu saja Buliang
Totiang tidak sanggup berbicara lagi, terpaksa dia hanya bisa
tertawa getir. "Apakah kalian sudah tidak ada perkataan lagi," kata Bu-beng
Cinjin kemudian, "kalau begitu mari kita kembali ke pokok
persoalan. Aku memutuskan untuk menyerahkan kedudukan
Ciangbunjin kepada Giok-keng, mengenai bagaimana
pelaksanaannya...." Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang berteriak keras,
"Tunggu sebentar!"
Seorang Tojin tua bertubuh bongkok perlahan-lahan tampil ke
depan, semua anggota Bu-tong-pay segera berseru tertahan setelah
melihat kemunculannya. "Eeei, bukankah dia.... dia adalah Tojin bisu tuli dari istana Cisiau-
kiong yang selama ini bisu" Kenapa secara tiba-tiba bisa
berbicara?" Setelah tertegun berapa saat, suasana pun berubah menjadi
gaduh. Terdengar ada orang yang berseru, "Dia sudah tiga puluh
tahunan hidup melayani mendiang Ciangbun Cinjin, ternyata selama
ini hanya berpura-pura bisu dan tuli!"
"Hmm, pura-pura bisu tuli, apa tujuan sebenarnya!" seru Bouw
It-yu pula. Tojin bisu tuli mendengus dingin, katanya, "Boleh tahu, peraturan
mana dalam Bu-tong-pay yang melarang seseorang berlagak bisu
tuli?" "Ehmm, rasanya tidak ada," sahut Bu-liang Totiang cepat.
Bu-beng Cinjin sadar, bentrokan tidak mungkin bisa dihindari
lagi, maka katanya, "Baik, katakan lebih lanjut."
Sepatah demi sepatah kata Tojin bisu tuli berka ta, "Bagaimana
pun juga, hingga sekarang kau masih tetap Ciangbunjin dari Butong-
pay. Aku ingin kau laksanakan pembersihan perguruan terlebih
dulu kemudian baru menyinggung masalah kedudukan ini akan kau
wariskan kepada siapa!"
Begitu perkataan itu diucapkan, kembali terjadi kegaduhan
diseluruh arena. Semua orang merasa perkembangan kejadian yang
berlangsung sekarang makin lama semakin bertambah aneh.
"Membersihkan perguruan" bukankah sama artinya menuduh
Keng Giok-keng adalah seorang murid murtad" Sebab kalau yang
dibicarakan adalah orang lain, tidak mungkin perkataannya dikaitkan
dengan masalah regenerasi.
"Hey, membersihkan perguruan" Ucapan sema-cam ini tidak
boleh dituduhkan secara sembarangan! Supek bisu tuli, kau tuli lagi
bisu, masalah apa yang bisa kau ketahui?"
Ternyata yang berteriak adalah Put-po Tojin, tosu yang polos dan
suka bicara blak-blakan. Biarpun Tojin bisu tuli telah berbicara, namun dia masih tetap
memanggilnya seperti kebiasaan semula, memanggilnya Supek bisu
tuli. Bu-si Tojin paling encer otaknya diantara sekian banyak orang,
dengan alis mata berkenyit segera ujarnya pula, "Walaupun
peraturan perguruan tidak melarang seseorang untuk berlagak bisu
tuli, tapi sebelum kau melontarkan tuduhan agar kami melakukan
pembersihan atas perguruan, terlebih dulu kami ingin menanyakan
satu hal terlebih dulu. Kau sudah hampir tiga puluh tahunan
menyembunyikan identitasmu dengan bersembunyi dalam partai Butong,
sudah jelas perbuatanmu bukannya tanpa tujuan. Aku minta
kau berikan dulu sebuah penjelasan yang masuk akal!"
"Kalau tidak kau akan menuduhku mempunyai maksud dan
tujuan busuk?" ejek Tojin bisu tuli.
"Betul, memang begitu maksudku!"
"Hmmm, penjelasan yang paling nyata sudah berada
dihadapanmu, buat apa kau bertanya lagi?"
"Penjelasan apa?"
"Aku sudah puluhan tahun hidup melayani Bu-siang Cinjin,
seandainya aku adalah orang jahat dan bermaksud jahat, masa
dalam puluhan tahun ini Cinjin tidak merasakannya" Masa dia tetap
berani menerimaku untuk melayaninya?"
Karena yang dia usung adalah mendiang Ciangbunjin, orang
yang paling dihormati segenap anggota Bu-tong-pay, otomatis
meski dalam hati kecil kawanan murid itu menaruh curiga, tidak
seorang pun berani buka suara.
"Hmm!" Bu-si Tojin mendengus dingin, "seorang kuncu paling
gampang dibohongi manusia licik, Bu-siang Cinjin adalah orang
yang jujur dan polos, tidak aneh jika beliau pun bisa kau bohongi."
"Benar," serentak berapa orang murid Bu-tong-pay berseru,
"bukan saja kau telah berlagak bisu tuli bahkan berhasil pula
merahasiakan identitas serta asal-usul ilmu silatmu, jadi, sekalipun
kami tidak melacak apa sebabnya kau berlagak bisu tuli, paling tidak
kau harus memberikan penjelasan yang masuk akal, mengapa kau
rela datang ke gunung Bu-tong dan hidup sebagai seorang Tojin
yang tugasnya hanya masak teh dan menyapu lantai?"
Gelang Perasa 2 Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo Lung Shen Pedang Asmara 12
^