Perawan Lembah Wilis 10
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
pada golok lawan dan tidak mau Menurutkan kehendaknya
lagi, tanpa dapat ia cegah telah tertarik dan menangkis
tongkat ular Cekel Wisangkoro! Terdengar suara keras dan
Sariwuni yang menjerit itu terlempar ke belakang,
tangannya menggembung seketika karena terkena ujung
tongkat ular yang berbisa! Pada saat tertangkis oleh pedang
buntung itu, Cekel Wisangkoro sudah berusaha menarik
tongkatnya kembali namun terlambat sehingga melukai
teman sendiri dan iapun terhuyung ke belakang. Detik
berikutnya, tubuh Ki Kolohangkoro mencelat ke belakang.
Kiranya raksasa ini yang tadi juga kaget ketika nenggalanya
melekat pada golok lawan, telah menggunakan seluruh
tenaga untuk membetot senjatanya. Terjadi adu tenaga
ketika Tejolaksono menarik nenggala itu dengan kekuatan
dalam, namun ternyata Ki Kolohangkoro jauh lebih kuat
daripada Sariwuni dan Tejolaksono melihat betapa kebutan
merah itu menyambar kepalanya. Karena usahanya
menangkis kebutan menggunakan nenggala tidak berhasil,
terpaksa ia miringkan kepala dan membiarkan ujung
kebutan menghantam pundaknya. Ia mengerahkan tenaga,
menyalurkan tenaga hantaman kebutan itu ke arah tangan
kanan, menambah tenaga pada goloknya sehingga ketika
mendorong, tubuh Ki Kolohangkoro mencelat ke belakang.
Secepat kilat Tejolak sono memutar tubuh, mengayun
kakinya dan kini Ni Dewi Nilamanik yang men jerit dan
tubuh wanita ini terlempa sampai lima tombak terkena
tendanga Tejolaksono! Wajah Tejolaksono pucat sekali. Pundak kirinya terasa
panas sekali, membuat lengan kiri seperti lumpuh dan ada
rasa gatal-gatal. Ia tahu bahwa hantaman ujung kebutan Ni
Dewi Nilamanik telah membuat ia terluka dan keracunan.
Maka ia menjadi marah sekali. Ia tahu bahwa kalau empat
orang lawannya yang juga hanya terluka itu sempat
mengeroyoknya tagi, tentu ia akan celaka. Dia tidak takut
mati. Seorang perajurit yang berjuang di medan laga, sama
sekali tidak gentar akan kematian. Akan tetapi sebelum
mati, id harus dapat menewaskan sebanyak mungkin
lawan, dan demi keselamatan Panjalu, perlu sekali empat
orang tokoh pimpinan musuh ini dibinasakan. Sambil
mengertak gigi, Tejolaksono menubruk maju dengan
sepasang goloknya. Yang terdekat adalah Ni Dewi
Nilamanik, juga karena yang melukainya adalah wanita ini,
maka orang pertama yang hendak ditewaskan adalah Ni
Dewi Nilamanik inilah. Ia mengayun golok, menubruk ke
depan dan .............. Tejolaksono mengeluarkan seruan
kaget karena ia sama sekali tidak dapat menggerakkan
tubuhnya! "Ha-ha-ha, memang benar-benar keras kepala si
Tejolaksono!" Terdengar suara halus penuh ejekan.
Tejolaksono menoleh ke kanan dan melihat bahwa yang
mengeluarkan kata-kata ini adalah Wasi Bagatpati. Akan
tetapi ia merasa kaget, heran dan kagum karena kakek itu
berada jauh di puncak sebelah kanan, amat jauh dari situ.
Namun suaranya terdengar seolah-olah kakek itu berada di
dekatnya, dan ia tahu pula bahwa kakek sakti itulah yang
menggunakan aji kesaktian yang gaib karena kakek itu
meluruskan tangan kiri ke arahnya dan ia sama sekali tidak
dapat bergerak maju! "Ramanda wasil Perkenankanlah saya menewaskan
keparat Tejolaksono ini!" terdengar Ki Kolohangkoro
berkata, suaranya menggeledek.
"Lakukanlah, Kolohangkoro. Sebelum dia disempurnakan, memang akan sukarlah dicapai hasil dalam
usaha kami," kata Wasi Bagaspati.
Tejolaksono melihat betapa Ki Kolohangkoro tertawa
bergelak dan menghampirinya dengan senjata nenggala
tangan. Ia berusaha untuk bergerak, namun usahanya sia-
sia. Ketika ia mengerahkan seluruh tenaga batin dan hawa
sakti di tubuhnya, mencoba meronta, ia malah terjerembab,
roboh terguling. Seluruh tubuhnya seperti telah dikuasai
dalam sebuah jaring halus yang tidak tampak, yang
membuat ia tidak mampu bergerak. Kini ia hanya dapat
memandang Ki Kolohangkoro dengan mata terbelalak
marah, sedikitpun tidak takut, menanti datangnya tusukan
maut dengan senjata nenggala itu, sambil menduga-duga
apakah hawa sakti yang ia kerahkan akan dapat menahan
hantaman nenggala. Ia maklum bahwa pengaruh kesaktian
Wasi Bagaspati yang membuat ia tidak mampu bergerak ini
dan tahu pula bahwa sekali ini ia tidak akan dapat lolos
daripada bahaya maut yang mengancam dari tangan
banyak lawan yang amat sakti, terutama dari tangan Wasi
Bagaspati yang ia tahu jauh lebih sakti daripada dirinya
sendiri. Namun merupakan pantangan besar bagi seorang
perkasa seperti dia untuk menyerah kalah, maka dalam saat
terakhir itupun ia tidak memperlihatkan sedikitpun rasa
takut dan menentang datangnya maut dengan sikap tetap
gagah perkasa. Dengan mata tidak berkedip, Tejolaksono
yang sudah roboh itu memandang berkelebatnya senjata
nenggala yang meluncur turun dad atas mengarah
tubuhnya. "Cuiiittt .............. cringgg .............. Aduhh ?"?"..!!"
Tejolaksono terbelalak. Jelas tampak olehnya ada sinar
putih menyambar turun dari sebelah kiri atas, sinar yang
mengeluarkan suara bercuit nyaring, dan kemudian sinar ini
menghantam nenggala yang sedang meluncur turun ke arah
tubuhnya, membuat senjata itu terlempar dari tangan Ki
Kolohangkoro, terlepas, dan raksasa itu sendiri terjengkang
ke belakang, mengaduh-aduh memegangi tangannya. Dan
tampak oleh Tejolaksono betapa betapa di atas puncak
sebelah kiri itu, cukup jauh dari situ, berdiri dua orang,
seorang kakek tua berpakaian putih panjang, namun wajah
kakek ini sama sekali tidak jelas karena mukanya seolah-
olah tertutup sinar atau uap seperti embun bermandi cahaya
matahari pagi. Dan di samping kiri kakek ini berdiri seorang
pemuda tanggung, berusia kurang lebih lima belas tahun,
berpakaian sederhana dan menggigillah seluruh tubuh
Tejolaksono ketika ia melihat wajah pemuda itu. Biarpun
sudah berpisah lima tahun, namun mana mungkin ia
melupakan wajah yang siang malam selalu terbayang di
hatinya ini" "Bagus Seta .............. !!" Ia berseru penuh keheranan dan
mencoba untuk bangkit berdiri, namun tidak berhasil
karena pengaruh kesaktian Wasi Bagaspati masih menguasainya. Melihat keadaan KI Kolohangkoro, teman-temannya
menjadi heran dan juga penasaran dan marah. Musuh besar
mereka, Tejolaksono sudah tak berdaya, sudah roboh dan
tinggal bunuh saja, bagaimana Ki Kolohangkoro sampai
gagal" Serentak Ni Dewi Nilamanik, -Cekel Wisangkoro,
Sariwuni mencelat maju dan hendak membunuh musuh
yang sudah tak berdaya, bahkan Ki Kolohangkoro yang
merasal marah sudah bangkit lagi dan hendak mengulangi
serangannya dengan tangan kosong. Keempat orang itu
maju seperti berlumba, hendak menjadi orang pertama yang
menjatuhkan tangan maut. Akan tetapi tiba-tiba keempatnya terpekik dan .......... berdiri seperti arca, tak
dapat bergerak sama sekali, seperti keadaan Tejolaksono
sendiri! Tejolaksono melihat hal ini semua, dapat menduga
bahwa ini tentulah perbuatan kakek yang mukanya tertutup
kabut di puncak itu, karena kakek itu mengangkat tangan
kiri ke atas. Keadaan sekeliling menjadi hening sekali,
seolah-olah dunia berhenti bergerak. Suara pertempuran
yang tadinya amat hiruk-pikuk kini lenyap sama sekali.
Tejolaksono belum dapat bangkit, akan tetapi masih dapat
menggerakkan leher menoleh. Alangkah heran dan
kagetnya ketika melihat para perajurit kedua fihak yang
tadinya berperang mati-matian di sebelah bawah, di lereng
yang rata, kini semua diam tak bergerak, seakan-akan telah
berubah menjadi batu atau arca semua! Peristiwa ini seperti
mimpi saja bagi Tejolaksono. Mimpikah dia" Benar-benar
Bagus Setakah yang berada di puncak itu" Ataukah hanya
dalam mimpi" Atau barangkali ia benar-benar telah tewas di
tangan musuh dan sekarang tidak lagi berada di atas dunia"
Akan tetapi suara-suara yang didengarnya kemudian
menyatakan kepadanya bahwa dia bukanlah mimpi, bukan
pula berada di alam baka.
"Sadhu-sadhu-sadhu .............. Terdengar suara yang
mengejutkan Tejolaksono, apalagi ketika tampak olehnya
betapa kini di samping Wasi Bagaspati muncul seorang
kakek lain, yang berkepala gundul, bertubuh gendut pendek,
memegang tasbih dan tongkat, seorang kakek yang sudah
pernah dilihatnya, yaitu Sang Biku Janapati yang entah
bagaimana tahu-tahu telah muncul di atas puncak sebelah
kanan itu! Suaranya perlahan dan halus namun seolah-olah
suara itu berada di dekat telinga Tejolaksono! "Semoga
Sang Triratna selalu melindungi kita, memberkahi yang
benar dan menuntun yang sesat ke jalan kebenaran!
Siapakah gerangan andika, wahai saudara yang sakti1
mandraguna" Adakah andika golongan dewa" Kalau dewa,
mengapa mencampuri urusan manusia" Kalau manusia
mengapa menggunakan kekuasaan seperti dewa" Ataukah
andika hendak mengandalkan aji kesaktian untuk
menyombong dan menganggap bahwa di dunia ini tidak
ada lagi lain manusia yang dapat menandingi andika"
Mengakulah andika, wahai saudara yang berada di puncak
depan!" Tejolaksono terbelalak memandang. Jelas tampak wajah
puteranya yang kini telah membayangkan kedewasaan,
tampan dan gagah akan tetapi tampak keterangan dan
keagungan, dengan sinar mata redup namun menyembunyikan sinar tajam, tubuhnya sedang, sedikitpun
tidak membayangkan sesuatu perasaan pada wajah yang
muda itu. Di sampingnya, kakek aneh yang tidak tampak
mukanya, masih saja diam tak bergerak, juga tidak
mengeluarkan suara, seolah-olah tidak mendengar atau
memperdulikan teguran dan pertanyaan Biku Janapati yang
halus namun penuh teguran itu.
"Hemmm .............. babo-babo! Heh, si tua bangka yang
berada di puncak depan!" Wasi Bagaspati berkata marah,
suaranya nyaring sekali, terdengar menggema di seluruh
Gunung Merak, tanda bahwa dalam kemarahannya
pendeta ini telah mengerahkan tenaga dalam yang dahsyat.
"Biarpun kita sudah sama-sama tua bangka, akan tetapi
tidak selayaknya andika menyombongkan kesaktian di
depan kami! Apakah matamu buta telingamu tuli sehingga
tidak mengenal, kami berdua dan berani berlancang tangan
mencampuri urusan kami" Benarkah itu sikap seorang
pendeta yang sudah bijaksana untuk membela satu fihak
saja dan memilih kasih" Hayo mengaku andika sebelum
disempurnakan oleh kedua tangan Wasi Bagaspati!"
Akan tetapi, kakek aneh itu tetap diam saja, sama sekali
tidak bergerak, juga sama sekali tidak menjawab.
Tejolaksono kini secara tiba-tiba sekali dapat menggerakkan
kaki tangannya, akan tetapi ada getaran sesuatu yang aneh,
yang membuat semua api perang yang membakar
semangatnya padam. Ia lalu berjalan perlahan karena
khawatir kalau-kalau membikin marah kakek itu, khawatir
pula kalau puteranya itu hanya bayangan mimpi dan akan
lenyap kalau ia bergerak cepat. Ia berjalan perlahan
mendaki puncak di sebelah kiri di mana puteranya dan
kakek aneh itu berdiri seperti arca.
Juga para perajurit kedua fihak kini dapat bergerak
kembali, akan tetapi seperti juga Tejolaksono, api perang
yang mendorong mereka saling gempur tadi kini telah
padam, mereka itu kini bengong memandang dan
memperhatikan kakek aneh, hendak mendengar dan
melihat sikapnya menghadapi ,dua orang kakek sakti dari
Sriwijaya dan Cola itu. Cekel Wisangkoro dan tiga orang
temannya juga bangkit berdiri di belakang Wasi Bagaspati,
hati mereka gentar dan dengan mata terbelalak memandang
ke puncak depan. "Inilah akibat daripada kekerasan yang andika lakukan,
saudaraku Wasi Bagaspati," Sang Biku Janapati menegur
temannya setelah menghela napas panjang, seolah-olah
dalam suasana yang diam itu ia mendapat jawaban.
Kemudian ia menghadap ke arah puncak dan merangkap
kedua tangan yang dibuka jarinya di depan dada sebagai
penghormatan sambil berkata,
"Wahai sang pertapa yang sidik paningal dan bijaksana!
Kalau saya menyatakan tidak mengenal andika, seolah-olah
buta kedua mata ini. Sebaliknya kalau, saya mengatakan
tahu, seakan-akan saya hendak mendahului andika. Karena
kita sudah saling berjumpa dan jalan kita bersilang, harap
andika sudi berwawancara dengan saya, Biku Janapati dari
Kerajaan Sriwijaya."
Kakek di puncak kiri itu masih tidak bergerak, wajahnya
tidak tampak sama sekali karena ada semacam kabut
menyelimuti mukanya, akan tetapi kini terdengar suara
halus menembus keluar dari kabut itu,
"Biku Janapati, setengah abad lebih yang lalu pernah kita
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saling berjumpa. Andika masih tetap bijaksana, sayang
belum dapat membebaskan diri daripada belenggu kencana
yang melibatkan diri andika dengan Kerajaan Sriwijaya!"
Semua perajurit kedua fihak yang tadi bermusuhan, kini
tertegun, tidak ada yang bergerak, semua memandang
bergantian ke puncak kanan dan puncak kiri di mana Biku
Janapati dan Wasi Bagaspati mengadakan "percakapan"
dengan seorang kakek yang mukanya terselimut kabut dan
yang suaranya begitu halus bergema dan menggetarkan hati
semua pendengarnya. Betapa orang-orang yang berada di
kedua puncak yang berhadapan dapat saling bicara,
sungguh hal yang amat mengherankan dan mengejutkan.
"Sadhu-sadhu-sadhti,.............. betapa mungkin saya
dapat melupakan suara ini" Bukankah andika ini Sang Sakti
Jitendrya?" berkata Biku Janapati sambil menggoyang
tangan kirinya dan terdengarlah suara berdencingan nyaring
menyakitkan telinga. Semua perajurit tercengang keheranan
melihat betapa seuntai tasbih digerakkan perlahan dapat
mengeluarkan suara seperti itu!
Suara dari dalam kabut terdengar lagi, "Terserah kepada
andika, Biku Janapati, hendak menyebut dengan nama
apapun boleh. Memang bukan hanya menjadi kewajibanku
seorang, bahkan seluruh manusia di atas bumi ini harus
melatih diri dengan jitendrya (menahan nafsu)!"
"Wahai Sang Sakti Jitendrya yang arif bijaksana! Andika
menyatakan bahwa saya belum terbebas daripada belenggu
kencana yang melibatkan diri saya dengan Kerajaan
Sriwijaya! Sebaliknya, semenjak setengah abad yang lalu,
andika selalu berfihak kepada keturunan Mataram!
Bagaimana pula ini" Adakah seorang sakti mandraguna dan
arif bijaksana seperti andika masih juga memiliki sifat
menyalahkan orang lain tanpa menengok cacad sendiri?"
Suara di balik kabut itu kini terdengar lagi, angker dan
penuh wibawa, seperti suara seorang guru menasehati dan
menegur muridnya, "Sang Biku Janapati, seorang biku tidak
hanya hafal akan isi kitab-kitab pelajaran agama, melainkan
terutama sekali mentaati dan mengerjakan semua isi
pelajaran itu untuk memberi contoh dan menuntun para
umatnya. Aku sama sekali tidak memihak atau pilih kasih,
tidak membela keturunan Mataram hanya membela yang
benar mengingatkan yang keliru. Andika khilaf dalam
memilih sahabat sehingga andika telah menyalahi makna
pelajaran yang berbunyi demikian : ' Hendaknya orang
tidak berteman dengan orang jahat atau tercela, sebaliknya
bertemanlah dengan orang yang melakukan kebajikan dan
yang berjiwa luhur. Orang bijaksana tenang menghadapi
apapun yang menimpa dirinya, tidak merengek-rengek
menginginkan kesenangan duniawi, tidak memperlihatkan
perubahan, dalam suka atau duka, tidak terikat oleh
kebahagiaan ataupun penderitaan. Namun, andika masih
menghambakan diri kepada Sriwijaya sehingga tidak
mungkin andika bebas daripada duniawi!"
Merah wajah Biku Janapati mendengar ucapan ini. Dia
diserang dengan ujar-ujar dari Agama Buddha sendiri!
Dengan suara gemetar karena menahan peluapan perasaan
tersinggung, pendeta ini berkata,
"Wahai Sang Sakti Jitendrya! Faham kita berselisih
karena pandangan kita berbeda, seperti bedanya kedudukanmu sekarang. Andika berada di puncak itu,
sebaliknya saya berada di puncak ini. Tentu saja
pemandangan menjadi berlainan kalau dipandang dari situ
dengan kalau dipandang dari sini. Saya hanya seorang
manusia, tidak lepas daripada kewajiban terhadap negara
dan bangsa. Saya menghambakan diri di Sriwijaya dan
agama, demi untuk kebaikan di dunia ini."
Kakek aneh itu tidak menjawab dan pada saat itu,
Tejolaksono sudah tiba di puncak. Ia melihat cahaya terang
menyelimuti wajah kakek itu, membuat matanya menjadi
silau dan serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut dan
bersembah sujut. Jelas kini bahwa pemuda yang, berdiri di
samping kakek itu adalah Bagus Seta yang memandangnya
dengan pandang mata penuh keharuan dan cinta kasih yang
terpendam dan tertindas, sehingga wajah anak itu
mengeluarkan( sinar lembut, akan tetapi anak itupun tidak
berkata-kata apa-apa. Sebagai seorang sakti, Tejolaksono
maklum bahwa puteranya tidak berani mengganggu kakek
sakti yang sedang berwawancara secara aneh itu,
menghadapi dua orang kakek yang berdiri di puncak jauh di
sebelah depan. "Hah, Biku Janapati! Perlu apa banyak berbantah dengan
dia" Sekarang akupun teringat siapa dia itu!" Sang Wasi
Bagaspati kini berkata, suaranya penuh ejekan dan
kemarahan. "Hei, engkau pertapa sombong yang berada di
depan! Bukankah engkau ini yang dahulu disebut
Bhagawan Sirnasarira . yang pernah menyelamatkan
Airlangga di Wonogiri dari tanganku" Engkau memang
selalu membela keturunan Mataram akan tetapi lidahmu
yang tak bertulang pandai mengelak dan menyangkal, itu
bukan perbuatan orang gagah dan kalau kau memang
berkepandaian, mari kita mengadu kesaktian! Sang Hyang
Bathara Shiwa yang maha kuasa melebur seisi jagad akan
menghancurkan pula orang berlagak dewa seperti engkau!"
Ucapan yang kasar penuh tantangan dari Wasi Bagaspati
ini dikeluarkan dengan suara yang nyaring sehingga semua
orang yang mendengarnya menjadi gentar dan tegang
hatinya. Makin terasalah kesunyian di puncak itu setelah
Sang Bagaspati menghentikan kata-katanya. Sejenak ikakek
aneh itu tidak menjawab, sesaat kemudian barulah
terdengar lagi suara halus dari balik kabut itu,
"Hemmmm, Wasi Bagaspati, seperti tadi Biku Janapati
menyebut aku Jaendrya, engkaupun boleh menyebutku
sesuka hatimu, Sirnasarira atau apa saja terserah, tiada
bedanya. Kalau dahulu aku menyelamatkan Airlangga,
bukan sekali-kali aku menyelamatkan keturunan Mataram
atau seorang yang bernama Airlangga, melainkan
menyelamatkan seorang manusia yang sedang dilanda
kesengsaraan dan mencegah manusia lain yang hendak
menggunakan kekuatan dan kelebihan untuk bersikap
sewenang-wenang seperti yang kaulakukan, Wasi Bagaspati!" "Heh, Bhagawan Sirnasasira yang sombong! Engkau
memiliki wawasan sendiri, apa kaukira aku tidak
mempunyai pendapat sendiri pula" Engkau tahu aku
pemuja Sang Hyang Bathara Shiwa, dan aku berhak
mengabdi kepadaNya. Memanglah menjadi kekuasaanNya
untuk menghancurkan isi jagat. Apakah kau hendak
menentang dan berani melawan kekuasaanNya?"
"Wahai, Wasi Bagaspati, sungguh menyeleweng wawasanmu! Memang kita sama tahu bahwasanya ada tiga
sifat Yang Maha Kuasa, yaitu mencipta, memelihara, dan
menghancurkan. Ketiga sif at yang saling menyusul, saling
bersambung dan saling meinghidupkan sehingga terbentuk
lingkaran sempurna. Memang betul bahwa Sang Hyang
Bathara Shiwa yang menguasai sifat terakhir tadi, berhak
dan berkuasa menghancurkan. Akan tetapi betapapun juga,
tidak akan melanggar, mendahului atau tertinggal oleh
Dharma! Segala macam kehancuran yang dilaksanakan
oleh Sang Hyang Shiwa demi pelaksanaan tugas adalah
selaras dengan Dharma (kebenaran), tak lebih tak kurang.
Adapun Dharma daripada para Dewata merupakan rahasia
bagi manusia, Wasi Bagaspati, karena itulah maka
seringkali timbul persangkaan daripada manusia betapa
tidak adilnya kehancuran yang menimpa dirinya. Padahal,
semua itu sudah adil, sudah tepat, sudah semestinya karena
berlandaskan Dhar ma. Adapun untuk kita manusia, yang
tahu akan baik buruk, akan benar salah menurut
pertimbangan dan pendapat serta pengetahuan kita adalah
tentu saja menurut pertimbangan ini, yang baik, yang benar,
menjunjung kebajikan. Lupakah engkau akan nasehat
dalam ajaran agamamu yang berbunyi begini :.............. "
"Prihen temen dharma dhumaranang sarat.
Saraga sang sadhu sireka tutana,
Tan artha tan kama pidonya tan yasa,
Ya shakti sang sayana dharma raksaka."
(Carilah) sungguh-sungguh kebenaran
untuk mengatur masyarakat.
Bagi orang jujur Itulah yang diturut,
Bukan harta bukan kasth bukan pula jiasa
Kuat sang budiman karena berpegang kepada
Dharma.) "Huah-ha-ha-ha-ha! Kau pertapa tua bangka yang
sombongi Lagakmu seperti hendak memberi wejangan para
dewata di Suralaya! Semenjak muda, puluhan tahun aku
memuja Sang Hyang Bathara Shiwa, apa kaukira aku
belum dapat mengenal isi daripada pelajarannya?"
"Wasi Bagaspati! Mengenal tanpa pengertian tiada
gunanya. Mengerti tanpa pelaksanaan juga kosong
melompong. Yang dipuja isinya, bukan kulitnya. Engkau
tidak memuja keadilan Sang Hyang Shiwa, melainkan
memuja kekuatannya. Kekuatan yang dipergunakan bukan
dengan landasan kebenaran, sesungguhnya hanyalah
kelemahan yang amat lemah. Mengandalkan kekuatan,
kekuasaan, dan kelebihan untuk berlaku sewenang-wenang,
hanya menimbun racun yang akhirnya akan meracuni dan
merusak diri pribadi. Suro diro jayaningrat lebur dening
pangastuti! Lupakah engkau akan hal itu, Sang Wasi
Bagaspati?" "Aaaauuuurrggghhhh .............. !!!" Pekik yang keluar
dari dalam dada Wasi Bagaspati melalui kerongkongannya
ini hebat-nya bukan main. Para perajurit sampai jatuh
bertekuk lutut karena tidak dapat bertahan, mereka berlutut
dan menggigil. "Bhagawan Sirnasarira! Mari kita mengadu
kesaktian! Lihat kekuasaan Sang Hyang Bathara Shiwa,
keparat!" Wasi Bagaspati menggerakkan tangannya dan tiba-tiba di
tangan kanannya sudah memegang sebuah senjata yang
mengeluarkan cahaya gemilang menyilaukan mata. Senjata
ini bentuknya seperti sebuah senjata cakra, bergagang
tombak akan tetapi ujungnya berbentuk lingkaran yang
mempunyai banyak mata tombak. Tiba-tiba angin besar
datang bertiup ketika pendeta ini mengangkat senjata itu ke
atas kepalanya. Ia kelihatan menyeramkan sekali! Mukanya
yang selalu merah itu kini seolah-olah berubah menjadi bara
api yang mengeluarkan asap yang menyelubungi mukanya,
namun masih ditembusi sinar matanya yang seperti kilat
menyambar. Ketika angin bertiup, rambutnya yang panjang
putih itu melambai berkibar-kibar seperti bendera. Angin
makin besar dan tiba-tiba langit tertutup mendung, disusul
geledek menyambar-nyambar diiringi kilat. Para perajurit
makin ketakutan dan kini semua orang, termasuk para
perwira, bertekuk lutut dan menyembunyikan muka di balik
kedua tangan, penuh ketakutan dan kengerian. Dunia
seolah-olah hendak kiamat, bumi bergetar dan pohon-
pohon besar seperti akan tumbang.
Kembali Wasi Bagaspati mengeluarkan pekik dahsyat.
Kilat dan geledek makin hebat mengamuk dan turunlah air
hujan seperti dituang dari langit, air hujan yang besar-besar
dan berjatuhan menimpa kulit menimbulkan rasa nyeri.
Makin ributlah para perajurit kedua fihak.
"Sadhu-sadhu-sadhu .............. , kembali kau tak dapat
menguasai nafsu kemarahanmu, saudaraku Wasi Bagaspati
.............. !" terdengar suara Biku Janapati yang halus akan
tetapi mengatasi suara ribut dan ledakan-ledakan petir.
Anehnya, tidak ada air hujan yang menimpa tubuh pendeta
Buddha ini. Tubuhnya seakan-akan terlindung sebuah
kurungan yang tak tampak sehingga air hujan yang menimpa dari atas menyeleweng semua ke sekeliling tubuhnya! Hal ini membuktikan pendapat Ki Tunggaljiwa dahulu kepada Tejolaksono bahwa tingkat ilmu kesaktian Sang Biku Janapati masih lebih tinggi daripada Sang Wasi Bagaspati. Akan tetapi yang lebih aneh lagi adalah kenyataan bahwa puncak di mana kakek aneh bersama Bagus Seta dan Tejolaksono berada, sama sekali
tidak terganggu oleh keadaan yang menyeramkan ini.
Jangankan hujan dan kilat, bahkan anginpun yang lewat
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanyalah angin gunung sumilir sejuk! Awan hitam yang
tampaknya hendak menyerang daerah ini, membalik lagi,
demikian pun angin dan geledek!
"Wasi Bagaspati!" terdengar suara kakek di Batik kabut
itu dengan suaranya yang halus namun menembus semua
kegaduhan dan terdengar oleh semua orang yang berada di
situ. "Kekuasaan dan kesaktian yang didasari oleh sifat
tidak benar, tidak adil, dan sewenang-wenang, hanya akan
meracuni diri pribadi!" Tangan kiri kakek itu terangkat ke
atas dan .............. semua keadaan yang menakutkan itupun
lenyaplah. Keadaan menjadi terang kembali, tidak ada
angin, tidak ada awan, tidak ada hujan maupun kilat. Akan
tetapi bekas-bekas amukannya masih tampak, pakaian para
perajurit basah semua, pohon-pohon tumbang.
"Pertapa keparat! Berani engkau menghina murid
terkasih Sang Hyang Bathara Shiwa .............. ?" Wasi
Bagaspati berteriak-teriak marah dan dilontarkannyalah
senjata cakra di tangannya itu ke udara. Senjata itu
mengaung dan meluncur cepat bagaikan bernyawa, menuju
ke puncak depan. Tampak oleh semua perajurit betapa
senjata yang kini merupakan cahaya merah itu melayang-
layang dan turun hendak menerjang tubuh si kakek aneh di
seberang puncak. Akan tetapi, senjata itu hanya melayang-
layang dan mengitari tubuh sang pertapa, seakan-akan tidak
kuasa menembus cahaya berembun, kemudian terbang
kembali menuju Wasi Bagaspati yang menerima pusakanya
sambil membanting-banting kaki.
"Sadhu-sadhu-sadhu .............. , dia amat sakti mandraguna, senjata dewatapun tidak akan mempan.
Saudaraku, tiada gunanya melawan. Seorang bijaksana
dapat menyadari keadaan sebelum terlambat. Lebih baik
kita mundur sebelum hancur. Sang Sakti Jitendrya
bukanlah lawan kita."
Setelah berkata demikian, Biku Janapati lalu melangkah
turun dari puncak itu tanpa menoleh lagi, pergi secara
terburu-buru. Melihat betapa temannya yang dapat ia
andalkan telah pergi, hati Wasi Bagaspati mulai menjadi
gentar. Ia mengerahkan seluruh tenaga batinnya, disalurkan
ke dalam sinar matanya dan dengan kekuatan gaib ini ia
memandang ke puncak depan dan berhasil menembus
kabut yang menyelimuti wajah lawan. Begitu ia dapat
memandang wajah kakek di depan itu, mukanya menjadi
pucat dan ia segera membuang muka, lalu melambaikan
tangannya memberi isyarat kepada semua anak buahnya
dan hanya satu kata-kata yang keluar dari mulutnya, namun
cukup jelas dan lantang, "Mundur ..............
Bagaikan rombongan semut ditiup, bergeraklah semua
perajurit anak buahnya, dipimpin oleh Cekel Wisangkoro
dan kawan-kawannya yang juga pucat wajahnya, tanpa
mengeluarkan suara mereka semua pergi dari situ, seolah-
olah takut bahwa sedikit suara akan mendatangkan
malapetaka bagi mereka. Tidak sampai terlalu lama,
Gunung Merak telah ditinggalkan Wasi Bagaspati dan
seluruh pasukan pengikutnya, tinggal para perajurlt Panjalu
yang masih berlutut sambil memandang ke arah puncak di
mana kakek aneh itu masih berdiri tegak. Di sampingnya
berdiri Bagus Seta dan di depan-nya berlutut Tejolaksono.
Setelah semua lawan pergi, Bagus Seta kini pun
menjatuhkan diri berlutut, menghadapi ayahnya dan
terdengar suaranya memanggil, "Kanjeng rama .............. !!"
"Anakku Bagus Seta .............. "
Mereka saling pandang dan dari pandang mata ini saja
tercurah kasih sayang yang amat besar. Adipati Tejolaksono
maklum bahwa puteranya telah menjadi seorang gagah dan
sakti, yang tentu saja tidak mau tunduk terhadap perasaan
dan nafsu sehingga rasa rindu yang membuatnya ingin
sekali memeluk ayahnya telah ditekannya dengan kuat.
Tejolaksono sendiri seorang yang sakti mandraguna, ia
tidak mau memperlihatkan kelemahan dan keharuan, maka
ia hanya memandang wajah puteranya dengan sepasang
mata terasa panas karena menahan keluarnya air mata.
Tiba-tiba dari balik kabut yang menyelimuti wajah kakek
itu terdengar suara halus, "Sang adipati, dharma bakti
menuntut pengorbanan. Relakan puteramu untuk lima
tahun lagi agar kelak berguna bagi tegaknya kebenaran dan
keadilan." Tejolaksono memandang dan ia melihat seperti apa yang
disaksikan Wasi Bagaspati tadi, melihat wajah yang
cemerlang, sukar ditentukan bentuknya, hanya tampak
sebuah wajah seperti bayangan, wajah yang terlalu lembut,
terlalu halus, terlalu cemerlang seperti keadaan langit
bermandi cahaya matahari pagi, indah dipandang namun
tak kuat mata lama-lama memandang, sehingga ia
menundukkan muka dan tidak berani mengeluarkan suara.
Di sudut hatinya, ia mengakui kebenaran kata-kata yang
ditujukan kepadanya itu. Memang tiada dharma bakti dapat
terlaksana dengan baik tanpa pengorbanan, tiada kebpjikan
dapat dilaksanakan tanpa pengorbanan. Namun pengorbanan lahir belaka! Betapapun juga, ia tetap seorang
manusia biasa yang ada kelemahannya, seorang ayah yang
rindu kepada putera tunggalnya. Biarpun dengan kebijaksanaan ia yakin akan kebenaran pendapat kakek itu,
namun perasaan hatinya menjadi trenyuh dan terharu.
Haruskah ia berpisah selama llma tahun lagi dengan
puteranya yang baru sekarang ia jumpai setelah berpisah
lima tahun" Tergetar seluruh tubuh Tejolaksono ketika ia
memandang puteranya. Akan ia serahkan keputusannya
kepada puteranya sendiri. Seorang ayah berkewajiban
membimbing puteranya kalau putera itu masih kecil. Akan
tetapi Bagus Seta bukan kanak-kanak lagi, sudah dewasa
dan kalau si anak sudah dewasa, si ayah harus
menyerahkan kekuasaan kepada si anak sendiri. Dia kini
hanya menjadi pengawas, penasehat, dan pelindung agar
langkah-langkah anaknya tidak menyeleweng daripada
kebenaran. Kakek itu menggerakkan kedua kakinya, membalikkan
tubuh dan melangkah pergi perlahan-lahan, tanpa sepatah
kata-pun kepada Tejolaksono dan puteranya. Agaknya
kakek ini pun tidak menggunakan paksaan kepada ayah dan
anak. Ayah dan anak ini saling pandang; dengan sinar mata
seolah-olah hendak menembus dada masing-masing,
menjenguk hati masing-masing. Lalu Bagus Seta tersenyum,
menggerakkan tangan mengambil bunga cempaka putih
yang tadi terselip di atas telinganya.
"Kanjeng rama, hamba mohon maaf bahwa sampai
sekarang hamba belum juga dapat berdharma bakti kepada
rama ibu. Hamba harus memperdalam ilmu selama lima
tahun lagi, dan mohon paduka sudi menyerahkan bunga ini
kepada kanjeng ibu sebagai pengganti jasmani hamba."
Dengan jari-jari tangan tergetar Tejolaksono menerima
kembang cempaka putih dari tangan puteranya, hatinya
penuh kekaguman dan kecintaan. Ia dapat meraba dengan
perasaan dan kewaspadaannya bahwa puteranya kelak akan
menjadi seorang yang luar biasa, bahkan kini sentuhan
ujung jari tangan mereka saja sudah mendatangkan getaran
hawa yang mendatangkan rasa nyaman, pandang mata
yang halus itu begitu penuh wibawa dan pengaruh murni.
"Baik, puteraku .............. aku .............. aku mengerti
.............. " Hanya demikian Tejolaksono dapat mengeluarkan kata-kata sambil menekan keharuan hatinya.
Bagus Seta meninggalkan senyum yang membuat hati
ayahnya makin terharu karena pada senyum itu selain
Tejolaksono dapat melihat pengertian yang mendalam, juga
senyum itu sama benar dengan senyum Ayu Candra! Bagus
Seta sudah melangkah pergi mengikuti bayangan gurunya
dan biarpun guru dan murid itu melangkah perlahan,
namun dalam sekejap mata saja mereka telah turun dari
puncak! Setelah bayangan kedua orang. itu lenyap, Tejolaksono
menggoyang-goyang kepalanya seperti orang baru bangun
dari mimpi. Ia menoleh dan melihat betapa para
perajuritnya yang kehilangan musuh itu masih berlutut
semua seperti orang-orang yang kehilangan semangat,
bengong dan tak tahu harus berbuat apa. Semua yang
mereka saksikan tadi adalah terlalu besar, terlalu aneh dan
terlalu menyeramkan bagi mereka sehingga mereka hampir
tidak dapat mempercayai kedua mata sendiri.
Tejolaksono bangkit, memandang cempaka putih dan
mencium bunga yang harum ini. Keharuman bunga itu
meresap terus sampai di hati dan aneh sekali rasanya,
keharuman bunga ini seolah-olah menyiram hatinya dan
membuat hatinya kuat, mengusir keharuan dan kekecewaan. Bukan main kagum hati Tejolaksono, kagum
dan bangga. Puteranya begini hebat, pikirnya. Dengan
penuh rasa sayang ia menyimpan bunga itu ke dalam saku
dalam, kemudian ia menuruni puncak. Barulah pasukannya
mendapatkan kembali semangat mereka ketika melihat
pimpinan mereka berada di antara mereka. Segera mereka
memenuhi perintah Tejolaksono, mengurus yang gugur dan
merawat yang luka. Kemudian Tejolaksono membawa
pasukannya kembali ke Selopenangkep. Dalam perjalan
pulang ini saja sudah tampak perubahan besar sekali. Tidak
pernah mereka bertemu lawan dan di sepanjang jalan
Tejolaksono mendengar dari para penduduk bahwa
pengacau-pengacau yang tadinya mengganggu dusun-dusun
di sekitar perbatasan daerah Panjalu kini telah pergi semua!
Makin ke timur, makin baiklah keadaannya, tidak terjadi
gangguan-gangguan lagi. Penduduk yang tidak mengerti
apa yang sesungguhnya telah terjadi di puncak Gunung
Merak, menganggap bahwa larinya semua musuh ini
adalah akibat "pembersihan" yang dilakukan oleh
Tejolaksono, maka dimana-mana rakyat menyambut
pasukan Tejolaksono dengan penuh syukur dan kegembiraan. Namun, para perajurit dan Tejolakscno
sendiri khususnya, mengerti bahwa semua ini adalah jasa
kakek sakti luar biasa yang disebut Bhagawan Jitendrya
oleh Biku Janapati dan disebut Bhagawan Sirnasarira oleh
Wasi Bagaspati. Pengaruh pertapa luar biasa inilah yang
membuat dua orang pucuk pimpinan musuh itu menjadi
gentar dan memerintahkan penarikan mundur semua anak
buah mereka. Tejolaksono menanti sampai sebulan di Selopenangkep.
Setelah mendapat kenyataan bahwa semua daerah benar-
benar sudah aman, berangkatlah ia membawa sisa
pasukannya ke Panjalu, menghadap sang prabu dan
membuat laporan selengkapnya, juga ia melaporkan tentang
munculnya Biku Janapati dan Wasi Bagaspati sebagai
utusan-utusan Kerajaan Sriwijaya dan Cola dan betapa
kedua orang ini telah dapat ditundukkan dan ditaklukkan
oleh seorang kakek sakti yang oleh kedua orang itu disebut
Bhagawan Jitendrya dan juga Bhagawan Sirnasarira.
Jilid XVIII "JAGAT Dewa Bathara ............ !" Sang Prabu Panjalu
berseru kaget dan juga tercengang keheranan. "Tidak bisa
keliru lagi, Adipati Tejolaksono! Kakek pertapa sakti itu
bukan lain tentulah eyang Bhagawan Ekadenta! Biarpun
aku sendiri belum pernah berjumpa dengan beliau, namun
pernah dahulu aku mendengar penuturan mendiang Rama
Prabu Airlangga yang pernah ditolong oleh eyang
Bhagawan Ekadenta ketika rama prabu mengungsi ke
Wonogiri dan terancam keselamatannya oleh musuh, yaitu
pasukan-pasukan Sriwijaya yang juga dibantu oleh tokoh-
tokoh dari Cola. Sungguh luar biasa. Semenjak setengah
abad yang lalu, beliau sudah menjadi seorang kakek sakti,
dan selama ini tidak pernah terdengar namanya, bahkan
ada berita bahwa Eyang Bhagawan Ekadenta telah
meninggalkan dunia Ini tanpa jejak; murca berikut raganya.
Itulah sebabnya maka dijuluki Sirnasarira (lenyap
tubuhnya)." Juga para senopati kagum mendengar ini dan
menyatakan suka cita bahwa Panjalu dibantu oleh seorang
yang sakti itu, menjadi pertanda bahwa Kerajaan Panjalu
masih dilindungi para dewata.
"Betapapun juga, para senopati dan ponggawaku yang
setia. Kita tidak boleh mabuk oleh kemenangan, karena
betapa-pun sukarnya merebut kemenangan, menjaganya
adalah lebih sukar lagi. Justeru kemenangan yang ajaib ini
malah harus menjadi cambuk bagi kita untuk mempertebal
kewaspadaan. Oleh karena itu, Tejolaksono, engkau tidak
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
usah kembali ke Selopenangkep, biarlah aku akan
mengangkat orang lain untuk mengurus Selopenangkep.
Adapun engkau dan isterimu tinggallah di sini, karena
engkau kuangkat menjadi patih muda, membantu Kakang
Patih Suroyudo dan kuserahi tugas bagian pertahanan.
Engkaulah sebagai wakilku sendiri mengatur semua
senopati dan seluruh barisan Panjalu!"
Tejolaksono terkejut, girang dan juga bersyukur sekali
karena anugerah ini amatlah besar baginya. Semenjak saat
itu ia disebut Patih Tejolaksono dan mendapat sebuah
istana di kepatihan Panjalu. Setelah menghaturkan terima
kasih dan mendapat perkenan sang prabu, bergegas
Tejolaksono pulang ke pesanggrahan menemui isterinya.
Ayu Candra menyambut suaminya dengan tangis dan
tawa saking gembira dan bahagianya. Tidak saja suaminya
berhasil mengusir musuh negara dan membalas dendam
atas kehancuran Selopenangkep dan kematian kedua orang
bibi mereka, akan tetapi terutama sekali karena suaminya
dapat pulang dalam keadaan selamat, mengingat akan
beratnya tugas yang diplkulnya dan saktinya lawan-lawan
yang dihadapinya. "Nimas, sungguh terjadi hal yang sama sekali tak pernah
kuduga ............ , di puncak Gunung Merak aku bertemu
dengan Bagus seta!" Terbelalak mata Ayu Candra Memandang suaminya,
berseri-seri penuh kebahaglaan dan dua titik air mata
bahagia meloncat keluar ke atas pipinya. "A ............ anak
............ kita ............ " Bagaimana dia" Kenapa tidak ikut
pulang ............ "Il
Pertanyaan itu penuh harap dan dengan tenang
Tejolaksono lalu menceritakan pengalamannya di puncak
Pegunungan Merak, di mana hampir saja ia tewas kalau
saja tidak ditolong oleh kakek sakti yang bernama
Bhagawan Jitendrya, juga Bhagawan Sirnasarisa atau oleh
sang prabu disebut Bhagawan Ekadenta. Ia ceritakan
tentang keadaan Bagus Seta yang sehat dan betapa putera
mereka Itu telah menjadi seorang pemuda yang gagah dan
tampan. "Aahhh ............ , mengapa dia tidak diajak pulang"
Bagaimana dia harus dipisahkan dari aku sampai lima
tahun lagi?" Ibu yang sudah amat rindu kepada puteranya
itu mengeluh dan mulailah Ayu Candra menangis.
Tejolaksono mengeluarkan bunga cempaka putih darI
saku dalam bajunya. Ia makin kagum menyaksIkan betapa
bunga itu tIdak layu. Tahulah ia bahwa puteranya telah
memiliki kesaktian yang mujijat, maka. cepat-cepat ia
menyerahkan bunga itu kepada isterinya sambil berkata,
"Nimas, kaulihat ini. Puteramu itu menitipkan bunga ini
kepadaku dengan pesan agar diberikan kepada ibunya ...... "
"Aduh, anakku ............ !" Ayu Candra terbelalak
memandang dan menerkam, lalu merampas bunga itu dari
tangan suaminya dengan penuh gairah, lalu sambil tersedu-
sedu ia menciumi bunga Itu, mendekapnya di dada. "Aduh,
Bagus Seta ............ angger ............ anakku tercinta ............
kau masih ingat kepada ibumu ............ "
Tejolaksono menahan perasaannya agar tidak sampai
menitikkan air mata karena terharu. "Nimas, dia sama
sekali tidak pernah melupakan ayah bundanya. Akan tetapi
Bagus Seta berjiwa ksatria utama, mengesampingkan
kesenangan pribadi untuk menggembleng diri agar kelak
dapat berdharma bhakti kepada sesama manusIa."
Ayu Candra hanya sebentar diamuk gelombang perasaan
rindu dan terharu, .kini ia sudah tenang, memegangi bunga
cempaka putih dengan bengong seperti orang melamun,
kemudian ia mengangguk-angguk perlahan. "Benar sekali,
Kakanda, memang putera kita harus berjiwa ksatria. Biarlah
kurelakan dia lima tahun lagi, biarlah kita sebagai orang
tuanya berprihatin agar dia menjadi seorang manusia
utama, seperti ramandanya."
Tejolaksono makin terharu, memeluk dan mengecup
ubun-ubun isterinya yang terkasih. "Engkau seorang ibu
yang bijaksana, seorang isteri yang hebat ............ ! Dan
Bagus Seta ............ putera kita yang mengagumkan
............!" Memang ia kagum sekali karena bunga cempaka
putih itu ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa
sekali, yang dalam waktu sebentar telah dapat mengobati
kerinduan hati Ayu Candra.
Mulailah Tejolaksono melaksanakan tugasnya yang
baru, sebagai patih muda di Kerajaan Panjalu. Dengan
amat tekunnya menggembleng barisan Panjalu melalui para
senopati dan semenjak dia menjadi patih muda yang
berkuasa di bagian pertahanan negara, maka keadaan
menjadi aman tenteram, pengaruh Kerajaan Panjalu makin
besar, tidak ada lagi raja-raja muda yang berani menentang
dan melakukan penyerangan.
Akan tetapi benar-benarkah SriwIjaya dan Cola
menghentikan usaha mereka untuk menanam pengaruh di
Panjalu" Benar-benarkah mereka itu mundur teratur dan
tidak berani lagi melakukan kekacauan"
Sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Tepat seperti
yang dikatakan oleh sang prabu di Panjalu agar mereka
semua mempertebal kewaspadaan, karena sesungguhnya,
Kerajaan Panjalu, dan terutama sekali Jenggala yang tidak
lagi diganggu kerusuhan-kerusuhan, belum terbebas
daripada bahaya yang mengancam. Secara halus Kerajaan
Sriwijaya masih mencoba untuk memperlebar pengaruhnya
sampai di kedua kerajaan ini melalui Agama Buddha yang
disebarluaskan, dipimpin oleh Biku Janapati yang
bijaksana. Karena sang biku menggunakan cara yang halus,
tidak memakai kekerasan, maka usahanya ini lebih
berhasih. Namun yang menjadi ancaman bahaya besar
adalah usaha yang dijalankan oleh Wasi Bagaspati. Sang
wasi yang merasa penasaran akan gagalnya usahanya, kini
menyebar kaki tangannya, terutama sekali di Jenggala,
dengan secara cerdik dan halus ia menyuruh mereka
menyelundup ke dalam kerajaan,, menggunakan pengaruh
harta benda dan ilmu hitam sehingga banyak di antara anak
buahnya yang berhasil menduduki tempat-tempat terpenting dalam pemerintahan. Bahkan kuku-kuku
cengkeraman yang tidak tampak oleh mata ini menyelundup sampai ke dalam istana Kerajaan Jenggala!
Memang hebat sekali usaha Sang Wasi Bagaspati yang
mengadakan penyelundupan-penyelundupan
rahasia, terutama sekali di istana Kerajaan Jenggala. Banyak di
antara anak buahnya yang sakti, laki-laki dan terutama
wanita-wanita cantik, dijadikan senjata untuk usaha ini.
Pada waktu itu memang harus diakui bahwa Kerajaan
Jenggala amat lemah kedudukannya. Kerajaan Jenggala
masih dapat berdiri tegak dan tidak ada musuh berani
mengganggu hanya karena mereka itu sungkan dan takut
kepada Kerajaan Panjalu. Mereka maklum bahwa
memusuhi Jenggala berarti akan berhadapan dengan
Panjalu pula, karena sebagai saudara, Panjalu tentu akan
membela Jenggala. Sebetulnya, sebagai putera mendiang Sang Prabu
Airlangga yang arif bijaksana, raja di Jenggala bukanlah
seorang yang jahat atau lalim. Sang prabu di Jenggala
cukup baik dalam arti kata sebagai raja, cukup mencinta
rakyatnya dan bukan seorang raja yang menindas rakyat.
Akan tetapi, sang prabu mempunyai sebuah kelemahan
sebagai seorang pria, yaitu bahwa sang prabu mudah
tergoda oleh wanita cantik. Kalau para wanita yang banyak
jumlahnya itu menggoda sang prabu hanya dengan pamrih
agar menjadi selir dan mendapat kedudukan mulia, hal itu
tidak mengapa. Akan tetapi, akhir-akhir ini sang prabu di
Jenggala amat berubah sikapnya setelah dia mendapatkan
seorang selir baru. Celakanya, berbeda dengan selir-selir
lainnya yang puluhan orang banyaknya, selir baru ini tidak
hanya terbatas pada kemuliaan pamrihnya, melainkan lebih
tinggi lagi. Selir baru ini ingin mendapatkan kekuasaan
tertinggi sesudah raja, dan untuk mencapai hal ini, ia
mempergunakan segala kecantikan wajahnya, segala
kesegaran tubuh mudanya, segala bujuk rayu yang
menggairahkan sehingga hati sang prabu di Jenggala yang
masih muda biarpun tubuhnya sudah tua itu menjadi jatuh
dan tunduk. Siapakah selir baru yang muda belia, segar menggairahkan ini" Dia seorang wanita masih muda belia,
tujuh belasatau delapan belas tahun usianya, bagaikan
setangkai bunga yang sedang mekar semerbak mengharum,
bagaikan buah mangga sedang ranum matang hati, manis
segar dan renyahl Wajahnya manis sekali, terutama kerling
matanya yang tajam melebihi mata pedang, kerling yang
menyambar-nyambar membetot hati membuat sukma pria
melayang-layang karena dalam kerling ini terkandung
tantangan dan ajakan kepada pria untuk bertamasya ke
dalam surga kenikmatan. Selain sepasang mata indah yang
memiliki kerling "maut" ini, juga mulutnya membuat setiap
mata laki-laki memandang bagaikan tergantung dan lekat
pada sepasang bibir itu! Bibir itu merah segar, berkulit tipis
seperti kulit kentang, seperti buah tomat masak,
menggemaskan hati, membuat orang ingin sekali menggigitnya, menantang dan selain dapat mencipta
senyum memikat dan memabukkan, juga bibir yang basah
dapat bergerak-gerak menggairahkan sehingga selalu
tampak memberahikan ketika dicemberutkan, atau dijebikan, atau bergerak-gerak seperti menggigil. Deretan
gigi putih seperti pagar mutiara melindungi rongga mulut
yang merah penuh tantangan. Wajah yang manis sekali,
yang bagaikan besi semberani menarik pandang mata setiap
orang pria yang berjumpa dengannya. Rambutnya hitam
panjang dan agak berombak, membentuk sinom halus di
dahi dan anak rambut melengkung di depan telinga, kalau
dibiarkan terurai, panjangnya sampai ke bawah pinggul.
Tubuhnya tingi ramping, padat penuh dengan lekuk-
lengkung sempurna dalam pandangan setiap orang pria,
dan ia dapat menggerak-gerakkan setiap bagian tubuhnya
dengan gerakan yang luwes dan memikat. Kulitnya yang
agak hitam tidak menjadi cacat, bahkan menambah
kemanisannya. Siapakah dia" Kita sudah mengenalnya. Namanya
Suminten! Di bagian depan cerita ini telah dituturkan
bahwa Suminten adalah abdi dalem (pelayan) mendiang
Pangeran Panjirawit dan Endang Patibroto. Suminten
ketika menjadi abdi dalem di istana pangeran itu, seringkali
mengintai dan menyaksikan adegan mesra antara Pangeran
Panjirawit dan isterinya. Suami isteri itu selalu berkasih-
kasihan dan akhirnya terbangunlah berahi dalam tubuh
Suminten dan pelayan inl jatuh cinta kepada sang pangeran!
Cinta berahi yang ditahan-tahan .dan akhirnya tercetus
menjadi cemburu, iri hati, dan kebencian terhadap Endang
Patibrotol Ia mengharapkan untuk menjadi selir Pangeran
Panjirawit yang tampan, akan tetapi semua pengharapan
.dan usahanya sia-sia belaka karena sang pangeran terlalu
mencinta isterinya, tidak mau mempunyai selir. Telah
diceritakan betapa kebencian ini membuat Suminten diam-
diam larI kepada Ki Patih Brotomenggala, menceritakan
perbuatan Endang Patibroto yang melukal ayam dengan
ilmu hitam sehingga makin besarlah kecurigaan dan dugaan
ki patih bahwa Endang Patibroto agaknya yang melakukan
pembunuhan-pembunuhan terhadap para ponggawa dengan
ilmu hitam. Suminten dihadapkan kepada sang prabu di
Jenggala, kemudian oleh sang prabu dijadikan abdi dalem
istana. Semenjak saat itulah tampak Suminten yang sesungguhnya, yaitu seorang dara muda belia yang
mempunyai pamrih besar sekali, tidak akan puas kalau
belum mencapaI kedudukan setinggi-tingginya. Terhadap
Pangeran Panjirawit ia memang menaruh kasih sayang
yang sesungguhnya, yang murni dan andaikata terlaksana
keinginan hatinya menjadi selir Pangeran Panjirawit,
agaknya ia akan merasa puas dan bahagia, tidak akan
mencita-citakan hal lain lagi. Akan tetapi, la mendengar
akan keadaan Pangeran Panjirawit, akan kesengsaraan dan
akhirnya akan kematiannya. Hatinya hancur dan ia
bertekad untuk menyalurkan semua cinta bercampur duka
ini menjadi cita-cita untuk menjadi manusia paling berkuasa
di Jenggala agar ia dapat membalas dendam atas kematian
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pangeran Panjirawit, pria yang pernah cinta sepenuh
hatinya. Gadis ini selain cantik manis, juga amat cerdik. Setelah
menjadi abdi dalem di Istana Kerajaan Jenggala, cepat
sekali ia dapat mempelajari keadaan dan dapat pula
mengambil hati para selir, bahkan sampai permaisuri
sendiri menaruh kepercayaan kepadanya dan memberinya
tugas melayani sang prabu. Kesempatan ini dipergunakan
sebaiknya oleh Suminten. Dengan daya tariknya yang luar
biasa, ditambah kelemahan sang prabu terhadap wanita
muda, dalam waktu beberapa hari saja ia berhasil
menjatuhkan hati sang prabu yang usianya sudah
mendekati enam puluh tahun Itu! Akhirnya, dengan resmi
Suminten diangkat menjadi selir termuda Sang Prabu
Jenggalal Semenjak ia diangkat menjadi selir, mulailah Suminten
menggunakan kecerdikannya meniasang jerat, merayu dan
mengambil hati para selir lain untuk mencapai cita-cita
hatinya. Makin pandai ia merayu sang prabu, menggoda
dan melakukan segala macam akal wanita sehingga sang
prabu menjadi makin mabuk dan cinta kepadanya. Sang
prabu menganggap bahwa di antara semua selirnya,
Suminten inilah yang paling mencinta dirinya yang sudah
tua. Hanya Suminten inilah yang mempunyai rasa cinta
kasih yang "murni" terhadap dirinya.
Selain mempermainkan sang prabu seperti pandainya ia
mempermainkan rambutnya, Suminten juga mengambil
hati dan bermuka-muka kepada permaisuri sehingga sang
ratu ini merasa lebih sayang kepadanya daripada kepada
para selir lainnya. Di depan sang ratu, Suminten bersikap
amat merendah diri, amat tekun merawat dan melayani
segala keperluan sang ratu, pandai menghibur dengan kata-
kata manis, memuji-muji dan menjilat-jilat. Sebentar saja
naiklah derajat Suminten, karena ia dikasihi sang prabu dan
disayang sang ratu, maka kedudukan atau derajatnya boleh
dibilang meningkat tinggi di atas derajat semua selir sri
baginya. Kalau diingat betapa dalam waktu beberapa bulan saja ia
telah dapat menanjak dari seorang abdi dalem pangeran
menjadi selir terkasih sang prabu, sesungguhnya kenaikan
derajat ini sudahhal yang luar biasa sekali, apalagi kalau
diingat bahwa Suminten hanyalah seorang yang berasal dari
desa. Namun, bagi Suminten hal ini masih belum
memuaskan hatinya, masih jauh daripada memuaskan. Ia
melihat ada hal-hal yang masih menjadi rintangan baginya
untuk mencapai anak tangga tertinggi.
Hal pertama adalah sang ratu atau permaisuri sendiri.
Betapapun juga tinggi kedudukannya, ia hanya seorang selir
termuda, tentu tidak akan dapat mengalahkan pengaruh
sang ratu, maka sang ratu merupakan sebuah perintang
baginya. Akan tetapi, ia tidak begitu memusingkan hal ini
karena sang ratu harus dianggap rintangan terakhir. Yang
amat menyakitkan hatinya adalah rintangan di depan mata,
yang membuat Suminten gemas sekali. Rintangan ini
berupa seorang selir lain yang sebelum Suminten diangkat
menjadi selir, merupakan selir tercinta dari sang prabu. Selir
ini adalah Puteri Sekarmadu yang baru berusia dua puluh
lima tahun dan sudah lima tahun menjadi selir sang prabu.
Puteri Sekarmadu memang cantik jelita, pendiam, pandai
segala macam kesenian, berwatak halus dan memang dia
adalah puteri seorang adipati di Kanigoro yang dipersembahkan kepada sang prabu oleh sang adipati.
Puteri Sekarmadu adalah yang tercantik di antara semua
selir, namun setelah di situ ada Suminten, puteri ini biarpun
pada dasarnya menang cantik, namun kalah pandai. dalam
keluwesan dan gaya memikat. Puteri Sekarmadu maklum
akan segala polah tingkah Suminten, maklum betapa selir
termuda ini, berbeda dengan lain-lain selir, berusaha sekuat
tenaga untuk menjatuhkan hati, sang prabu, sebagai seorang
puteri yang pandai membawa sikap, Sekarmadu tidak
membuat reaksi apa-apa. Betapapun juga, sang prabu tidak
pernah dapat melupakan Sekarmadu dan biarpun ia kini
seolah-olah menjadi selemas rambut yang dipermainkan
oleh jari-jari tangan Suminten yang cekatan, namun sang
prabu masih saja mendekati Sekarmadu dan membagi
waktunya secara bergilir.
Bagi Suminten, tentu saja ia tidak mencinta sang prabu
setulus hatinya. Mana mungkin dia, seorang dara remaja
berusia tujuh belas tahun, dapat mencurahkan kasih sayang
yang setulusnya terhadap seorang kakek berusia enam
puluh tahun" Tidak, ia muak terhadap belaian kasih sayang
dan pencurahan cinta asmara sang prabu, dan dia sama
sekali tidak cemburu atau iri hati terhadap Sekarmadu.
Yang membuat ia gemas. adalah karena Sekarmadu
dianggapnya sebuah rintangan yang harus dienyahkan
kalau ia mau cepat-cepat mencapai cita-citanya. Namun,
bagaimana ia dapat menjatuhkan Sekarmadu yang
demikian pendiam, halus tutur sapanya, lemah lembut
budinya, dan sukar dicari kesalahannya itu" Namun dengan
sabar dan tekun Suminten mengatur semua rencana,
mendekati semua selir, berbaik dan mengambil hati mereka,
sambil menanti saat dan kesempatan yang baik untuk
menghalau rintangan-rintangan itu, satu demi satu!
Kalau ada orang mengira bahwa selir-selir raja di jaman
dahulu yang begitu banyaknya itu dapat hidup rukun, dia
mengira keliru. Memang pada lahirnya mereka ini tampak
rukun, namun sesungguhnya tidak demikianlah di dalam
hati. Kalau mereka tampak rukun, dan tidak pernah
bertengkar, adalah karena mereka ini takut kepada raja dan
kebencian mereka satu sama lain hanya diutarakan secara
diam-diam dan dengan jalan saling membicarakan
keburukan masing-masing di belakang punggung. Karena
maklum akan keadaan para selir sang prabu di Jenggala ini,
maka secara cerdik sekali Suminten mendekati mereka
semua dengan sikapnya yang mengambil hati dan
merendah sehingga mereka semua merasa suka kepadanya
dan menganggap selir termuda ini sebagai sahabat baik.
Mulai-lah Suminten mengorek-ngorek rahasia pribadi
masing-masing selir itu melalui selir-selir lainnya, membuat
mereka saling membicarakan rahasia dan keburukan
masing-masing sehingga Suminten dapat mengetahui
sebagian besar cacad dan keburukan para selir yang menjadi
saingannya. Pada suatu malam terang bulan yang amat indah. Hawa
malam itu sejuk sekali di dalam taman, berbeda dengan
hawa di dalam kamar yang panas. Suminten duduk
sendirian di dalam taman sari yang sunyi. Malam sudah
mendekati tengah malam, semua penghuni keputren di
mana para selir tinggal, telah tidur pulas, demikian pula
para abdi dalem. Namun Suminten masih duduk melamun
di taman sari. Hatinya tidak puas. Malam itu sang prabu
menjatuhkan giliran kepada Sekarmadu. Hatinya panas.
Bukan karena cemburu, karena dia sendiri sesungguhnya
tidak pernah merasa senang apalagi cinta kepada sang
prabu yang sudah tua. Hanya ia merasa panas dan tidak
senang karena kenyataan bahwa sang prabu masih melekat
kepada Sekarmadu itu berarti bahwa cita-citanya untuk naik
ke tangga tertinggi menghadapi rintangan berat.
"Gilang-gemilang bulan purnama
taman sari bermandi cahaya kencana
termenung sendiri dewi jelita
seperti Bathari Komaratih
Dewl Asmara." Suminten kaget dan ketika ia menoleh dan melihat siapa
orangnya yang berpantun dengan suara merdu dan penuh
rayuan itu, bibirnya yang manis berjebi, matanya
mengerling tajam. Lalu dengan gerakan yang genIt ia
membuang muka. Laki-laki itu masIh muda, tampan dan tubuhnya tinggi
besar. Uslanya antara dua puluh lima tahun, pakaiannya
indah. Dia ini adalah Pangeran Kukutan, seorang di antara
banyak pangeran putera sang prabu terlahir dari para selir.
Pangeran Kukutan ini adalah putera selir yang kini telah tua
dan "tidak terpakai lagi" oleh sang prabu, seolah-olah telah
di "pensiun". Namun sebagai selir raja mempunyai seorang
putera, tentu hidupnya terjamtn, juga Pangeran Kuktuan
mendapat kedudukan terhormat seperti para pangeran lain.
Berdebar jantung Suminten, biarpun ia pura-pura
membuang muka sambil berjebi., Pangeran Kukutan ini
sudah lama menaruh hati kepadanya, semenjak ia menjadi
abdi dalem dan belum dIselir sang prabu.
Kalau ia mau, ia tidak akan menjadi selir sang prabu,
tentu didahului dan diselir pangeran ini. Akan tetapi,
Suminten yang bercita-cita tinggi selalu menolaknya dan
lebih suka menjadi selir sang prabu, sungguhpun di dalam
hatinya seringkali mengenangkan pangeran yang muda dan
tampan ini. Namun, ia seorang wanita yang amat cerdik
dan la tidak mau membiarkan dirinya terseret oleh
perasaannya karena hal ini akan membahayakan kedudukannya dan dapat menyeretnya turun kembali ke
tingkat paling bawah! Maka ia selalu menghadapi Pangeran
Kukutan seperti seekor burung dara yang sukar ditangkap,
jinak-jinak merpati. Rasa sukanya kepada pangeran muda
dan tampan gagah ini membuat ia jika bertemu melempar
kerling memperlihatkan senyum, akan tetapi kewaspadaannya untuk mencapai cita-cita membuat ia
selalu mengelak dari perangkap-perangkap asmara yang
dipasang oleh sang pangeran.
"Aduhai juita ............ jelita yang tiada bandingnya di
atas permukaan bumi ini ............ , agaknya para dewata
memang telah menjodohkan kita, siapa mengira bahwa
hamba yang tak dapat tidur dan berjalan-jalan di sini akan
bertemu dengan dewi pujaan hati ............ !" kata sang
pangeran dengan suara merayu dan duduklah pangeran itu
di atas bangku, dekat Suminten.
Suminten merasa akan kehadiran tubuh pria itu yang
duduk begitu dekat di sampingnya. Kedua kakinya
menggigil, jantungnya berdebar tegang, dan rasa bahagia
menyelundup di hati mendengar kata-kata yang amat indah
baginya itu. Selama menjadi selir sang prabu, ia tidak
pernah mendengar rayuan seperti itu, melainkan suara sang
prabu yang berwibawa dan memerintah, kasih sayang sang
prabu yang kaku dan tidak merayu, dengus napas tuanya
yang terengah-engah, tubuh tuanya yang lemah dan terlalu
sering membutuhkan pijat sehingga melelahkan kedua
tangannya. Kekerasan hatinya mulai mencair seperti lilin
kepanasan dan seluruh urat syarafnya tegang dilanda
berahi, membuat ia ingin sekali menjatuhkan dirinya dalam
dekapan lengan yang kuat, bersandar pada dada yang
bidang itu. Akan tetapi, Suminten menekan perasaannya
dan tanpa menoleh ia berkata, suaranya diketus-
ketuskan, "Pangeran, mau apa engkau ke sini" Dan mengapa berani mengeluarkan kata-kata seperti itu, duduk bersanding dengan aku"
Lupakah engkau bahwa aku adalah ibumu juga, selir daripada ramandamu?" "Heh-heh," sang pangeran terkekeh perlahan, "kalau begitu,
aku adalah anak-mu?"
"Tentu saja engkau anakku! Anak tiri, karena engkau
putera sang prabu!" kata Suminten yang belum berani
menoleh karena ia mendengar suara pangeran itu amat
dekat di telinga kanannya sehingga kalau ia menoleh, muka
mereka akan berhadapan dan berdekatan sekali.
Kembali Pangeran Kukutan terkekeh, suara ketawanya
merdu terdengar oleh telinga Suminten, berbeda dengan
suara tertawa sang prabu yang serak terbabah diseling
batuk! "Ha-ha-ha ............ , kalau begitu, biarlah aku menjadi
puteramu, dan engkau ibuku. Duhai ibunda yang cantik
manis seperti dewi kahyangan, terimalah sembah bakti
puteranda!" Pangeran muda itu sambil tersenyum-senyum
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suminten,
menyembah dan mencium ujung kainnya.
Mau tidak mau Suminten kini memandang dan
menunduk. Alangkah bagusnya kepala yang berambut
hitam tebal itu, tidak seperti kepala sang prabu yang sudah
botak dan rambutnya yang jarang dan memutih. Pundak
yang lebar, dada yang bidang dan menonjol kekar, oto-totot
melingkar kuat, perut yang rata dan kuat, semua tampak di
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balik baju pemuda itu yang terbuka di sebelah depan. Kulit
yang halus padat, sama sekali tidak ada keriput. Berbeda
dengan tubuh sang prabu dengan perutnya yang gendut,
dadanya yang kerempeng, pundak yang menunduk, otot-
ototnya sudah layu! Suminten yang cerdik tidak membiarkan dirinya terseret
oleh berahi, namun ia mempergunakan perhitungan dalam
otaknya, perhitungan untung ruginya, kalau ia menuruti
nafsunya menerima bujuk rayu pemuda ganteng ini. Ah,
memang dia membutuhkan pembantu-pembantu untuk
dapat mencapai cita-citanya. Dan agaknya Pangeran
Kukutan ini dapat ditarik menjadi pembantu pertama dan
pembantu utama. Pertama karena dia seorang pangeran
yang selalu berada di istana, dekat dengannya. Ke dua,
karena ia telah mengetahui rahasia ibunda pangeran ini,
selir ke tiga sang prabu sehingga ia dapat menggenggam
pangeran ini dalam kekuasaannya, apalagi kalau ia berhasil
menundukkannya dengan keindahan wajah dan tubuhnya.
Banyak sekali keuntungan didapat kalau ia melayani
pangeran ini, pikir otaknya yang cerdik sementara
jantungnya makin berdebar keras dan mulai terbakar nafsu
berahi ketika pangeran itu sesudah menyembah lalu
memegang kedua kakinya dan mengelus-elus kedua kaki
kecil itu dengan jari-jari tangan yang nakal dan pandai
membelai. Ketika ia merasa betapa jari-jari tangan itu dad
kaki makin merayap naik, ia menegur dan mengibaskan
tangannya, "Ihhhh ............ Pangeran, engkau tak tahu susila!"
Pangeran Kukutan yang masih berlutut itu menengadahkan mukanya, memandang wajah Suminten
dengan sepasang mata memancarkan sinar kasih sayang
yang tenggelam dalam nafsu berahi yang berkobar-kobar,
mulutnya tersenyum penuh ajakan dan ia berkata, suaranya
tetap halus merdu dan jenaka,
"Elhoo ............ Bukankah aku puteramu dan kau ibuku"
Aduh, Kanjeng Ibu, aku minta dipangku!" Dan pangeran
itu lalu betul-betul menjatuhkan mukanya dl atas pangkuan
Suminten, kedua lengannya memeluk pinggang yang
ramping itu. "Aiihhh ............ I" Suminten menjerit lirlh karena geli,
pinggangnya menggeliat. Akan tetapi Pangeran Kukutan
yang sudah sepenuhnya dikuasai nafsu berahi itu, makin
menggila. "Ibunda yang cantik jelita, anakmu ini minta cium, minta
emik (menyusu), minta kelon (ditemani tidur)!" Berkata
demikian, pangeran itu melanjutkan belaiannya dan
menciumi Suminten. "Iihhhh ............ aaahhh "............ ; Pangeran Kukutan,
berhenti atau ............ aku akan menjerit!"
Ancaman ini berhasil. Pangeran Kukutan tentu saja
merasa takut karena kalau sampai "ibu tirinya" ini benar-
benar menjerit sehingga perbuatannya diketahui oleh sang
prabu, ia tentu akan celaka. Akan tetapi pada saat itu, nafsu
berahi telah memuncak sampai ke ubun-ubunnya, maka
serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut dan suaranya
menggigil ketika ia berbisik,
"Duhai Adinda Suminten, telah terlampau lama aku
menyimpan cinta asmara di dalam hati terhadap Adinda,
tak tertahankan lagi ..... ah, adinia, kasihanilah kakanda ini
............ Suminten juga menggigil seluruh tubuhnya. Perbuatan
nakal pangeran tadi seolah-olah telah membakar tubuhnya,
membuat nafsunya sendiri menyala-nyala, matanya
setengah terpejam, bibirnya ditarik seperti orang tersiksa
nyeri, hidungnya yang kecil mancung kembang-kempis,
tarikan napasnya terdengar, tersendat-sendat, kedua
tangannya digenggam erat-erat. Hanya kecerdikan otaknya
sajalah yang tadi dapat membuat ia kuasa menahan diri.
Kemudian la menunduk, memandang tubuh pangeran yang
berlutut di depannya itu, tersenyum puas dan girang. Satu
hal sudah nyata, ia dapat menggenggam pangeran ini dalam
kekuasaannya dengan pengaruh asmara. Akan tetapi ia
masih belum puas. Pengaruh itu belum meyakinkan karena
ia mau agar supaya pangeran muda ini benar-benar bersetia
kepadanya, setia sampai mati. Maka ia lalu berkata
perlahan, "Pangeran Kukutan, sebelum aku membiarkan kau
menurutkan keinginan hatimu itu, lebih dulu kaudengarkan, baik-baik kata-kataku. Mataku juga tidak
buta dan aku dapat melihat bahwa sudah lama engkau
mencintaku. Akan tetapi, pangeran. Cinta kasih seorang
pria terhadap wanita adalah cinta kasih sementara saja
seperti orang mencinta setangkai bunga yang harum. Kalau
sudah kenyang menikmati keharuman bunga sampai bunga
itu layu dan tidak harum lagi, akan berhentilah cinta
kasihnya dan bunga layu itu akan dibuang begitu saja!
Berahi seorang pria seperti orang makan tebu. Setelah
kenyang mengunyah, menghisap sampai habis sari
manisnya, dia akan mencampakkan sepahnya begitu saja!
Aku tidak sudi kelak kauperlakukan seperti setangkai bunga
atau sebatang tebu ......"
"Aduh, kekasih hati pujaan kalbu! Demi Sang Hyang
Bathara Kamajaya, dewa segala cinta asmara di jagat ini,
aku bersumpah akan bersetia dalam cinta kasihku
terhadapmu ............ "
"Bukan hanya kesetiaan yang kukehendaki, pangeran,
melainkan juga ketaatan. Terutama sekali ketaatan. Engkau
akan melakukan segala permintaanku?"
"Demi para dewata! Perintahkan apa saja, juwitaku,
akan kulaksanakan. Engkau menghendaki aku menyeberangi lautan api" Bilamana saja, aku siap!".
Suminten tersenyum, sengaja membuat senyuman
mengejek tidak percaya. "Sesungguhnyakah?"
"Demi nyawaku ............ !" Pangeran Kukutan hendak
memeluk lagi akan tetapi Suminten menahan dengan kedua
tangannya. "Nanti dulu, pangeran. Aku bersungguh-sungguh dalam
hal ini. Andaikata ............ ini umpamanya saja untuk
mengukur besarnya kesetiaanmu kepadaku, andaikata
sekali waktu aku minta engkau ............ membunuh sang
prabu, bagaimana jawabmu?"
Pangeran Kukutan terbelalak dan meloncat mundur
dalam keadaan berjongkok saking kagetnya. Sejenak ia
tidak kuasa menjawab, hanya memandang wanita jelita itu
dengan mata terbelalak, kaget dan khawatir. Bahkan ia
sudah menoleh ke kanan-kiri, khawatir kalau-kalau ucapan
tadi terdengar lain telinga.
"Apa ............ " Apa yang kaukatakan ini ............ "
Harap kau jangan main-main, adinda Suminten ............ "
Suminten tetap tersenyum, lalu berkata sambil memandang tajam, "Engkau pun tidak perlu berpura-pura,
Pangeran Kukutan. Kita harus berterus terang, saling
membuka kartu. Biarpun aku selir termuda dan tersayang,
namun tentu saja aku yang muda dan cantik ini tidak
mencinta sang prabu yang tua dan lemah, bahkan aku
............ aku membenci tua bangka itu! Dan engkau ............
, engkau sama juga. Jangan kaukira bahwa aku tidak tahu.
Engkau ............ bukan putera sang prabu. Aku sudah tahu
bahwa dahulu ibumu melakukan hubungan rahasia dengan
ki juru taman (penjaga taman) dan engkau adalah
keturunan ki juru taman. Nah, sekarang katakan terus
terang, bersediakah engkau bersekutu denganku dalam
segala hal dan selalu akan tunduk terhadap perintahku?"
Wajah Pangeran Kukutan menjadi pucat sekali. Sejenak
ia ketakutan dan hampir saja timbul kenekatan hatinya
untuk membunuh wanita yang tahu akan rahasia ibunya
akan hal itu. Akan tetapi mendengar kalimat-kalimat
selanjutnya, hatinya lega. Memang dia pun selalu menanti
kesempatan untuk dapat merampas kekuasaan karena
maklum bahwa kelak kedudukan raja tentu tidak akan
diturunkan kepadanya. Hatinya lega, wanita ini cerdik
bukan main, dan amat dekat dengan raja, mungkin tidak
akan ada ruginya kalau ia bersekutu lengannya. Apalagi
dengan hadiah balasan cinta kasih!
"Aku bersedia dan bersumpah akan bersetia kepadamu,
adinda Suminten yang cerdik pandai. Bahkan aku girang
sekali mendapat sekutu seperti adinda, karena dalam segala
hal tentu adinda lebih pandai mengaturnya daripada aku."
Suminten girang sekali, ia bangkit berdiri dan tertawa
lirih. "Bagus sekali, pangeran. Aku percaya akan
kesetiaanmu, apalagi karena sekali kau berbuat curang,
engkau dan ibumu akan celaka. Kau cukup tahu akan
kekuasaanku atas diri sang prabu. Nah, kini lega hatiku dan
terimalah hadiahku. Mari ............ !" Wanita muda jelita itu
mengulurkan dan mengembangkan kedua lengannya ke
arah Pangeran Kukutan. Pemuda itu mengeluarkan sorak perlahan saking
girangnya, lalu bangkit dan menubruk Suminten seperti
seekor singa kelaparan menubruk seekor domba. Mereka
berdekapan dan berciuman dengan buas, seperti orang-
orang kelaparan menghadapi nasi.
"Hushhhh ............ kau gila, pangeran" Jangan di sini!
Balwa aku ke pondok taman ............ !" bisik Suminten di
dekat telinga pangeran itu.
Pangeran Kukutan tidak menjawab karena sukar baginya
untuk mengeluarkan kata-kata di antara napasnya yang
tersendat-sendat dan terengah-engah. Ia lalu memondong
tubuh yang baginya amat ringan itu dan membawanya lari
ke dalam gelap, menyelinap antara pohon-pohon dan
rumpun bunga, kemudian menghilang ke dalam sebuah
pondok kecil mungil yang memang sengaja dibangun di
dalam taman itu sebagai tempat istirahat raja dan para
selirnya. -oo0dw0oo- Memang tidaklah mengherankan apabila semenjak
malam hari penuh gairah nafsu iblis itu, Suminten selalu
mengadakan pertemuan dan perhubungan gelap dengan
Pangeran Kukutan, setiap malam apabila sang prabu tidak
tidur di kamarnya. Semenjak masih perawan, Suminten
diselir sang prabu dan selama itu ia hanya mengenal belaian
kasih asmara sang prabu yang sudah berusia enam puluh
tahun lebih, yang tentu saja tidak sesuai dengan keadaan
jasmaninya sendiri yang masih muda belia. Namun, wanita
muda yang amat cerdik ini biarpun terbuai gelombang
asmara, tetap ia masih dapat menguasai keadaan dan
bukanlah dia yang dipermainkan oleh sang pangeran,
melainkan si pangeran inilah yang makin lama makin
mabuk dan jatuh terkulai, tunduk di bawah pengaruh
Suminten. Sedemikian hebat kekuasaan wanita ini atas diri
pangeran yang menjadi kekasihnya sehingga sang pangeran
akan mentaati segala macam perintahnya secara membuta,
biar disuruh mencuci kaki Suminten akan dilakukan dengan
penuh kesungguhanl Betapapun juga, nafsu berahi yang menguasai hati
Suminten membuat wanita ini alpa. Dia lupa bahwa semua
gerak-geriknya tidak terluput daripada pengintaian wanita
yang menjadi saingannya, yaitu Sekarmadu. Selir inipun
menggunakan seorang emban (pelayan) untuk mengawasi
gerak-gerik Suminten dan pada suatu hari ia mendapat
pelaporan mata-matanya bahwa Suminten seringkali
mengadakan pertemuan gelap dengan Pangeran Kukutan di
dalam pondok taman. Mendengar ini, Sekarmadu tertawa lebar, kemudian
mengepal tangannya menjadi tinju kecil dan berkata, "Nah,
sekarang mampuslah engkau, perempuan rendah!"
Sekarmadu menanti saat balk. Ketika sang prabu
kebetulan bergilir kepada selir lain, suatu hal yang jarang
sekali terjadi semenjak Suminten menjadi selirnya, dan
emban yang menjadi mata-mata Sekarmadu melaporkan
bahwa Pangeran Kukutan dan Suminten sudah berada di
pondok taman, selir ini sendiri bersama embannya
menyelinap memasuki taman, menghampiri pondok
dengan hati-hati. Sang emban yang merasa takut karena
urusan ini menyangkut selir sang prabu yang terkasih dan
seorang pangeran muda, berjongkok di luar pondok:.
dengan tubuh menggigil karena ia maklum bahwa tentu
akan terjadl peristlwa hebat. Adapun Sekarmadu dengan
hati panas penuh kemarahan lalu mendekati jendela,
mengintai dan mendengarkan.
Di dalam pondok itu gelap remang-remang, hanya
tampak bayangan dua orang yang tidak jelas. Akan tetapi
suara percakapan mereka jelas mudah dikenal, yaitu suara
Suminten dan Pangeran Kukutan. Dengan jantung
berdebar-debar, Sekarmadu mendengarkan percakapan
mereka yang dilakukan lirih-lirih,
"............ kekasihku wong bagus (orang tampan), betapa
kuatnya engkau tidak seperti sang prabu yang loyo"
"........... dan engkau wanita tercantik di dunia ini,
pujaan hatiku ............ "
Sekarmadu tidak dapat menahan kemarahan hatinya
lagi. Dari luar jendela, ia memaki,
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suminten perempuan rendah, perempuan hinna! Berani
engkau bermain gila dengan Pangeran Kukutan dan masih
menghina sang prabu lagi. Tunggu saja, habiskan
kesenanganmu malam ini karena besok engkau akan
mampus!" Setelah berkata demikian, Sekarmadu dengan
muka merah saking marahnya meninggalkan tempat itu,
kembali ke kamarnya, diikuti emban yang masih ketakutan.
Betapapun juga, Sekarmadu tidak mau menimbulkan
keributan malam hari itu karena sang prabu sedang
bermalam di kamar sellr ke tujuh. Karena hal ini amat
memalukan, juga bagi sang prabu sendiri, maka Sekarmadu
yang menghormati suaminya menahan gelora kemarahannya malam itu, hendak menanti sampai besok
baru ia akan melapor secara diam-diam kepada junjungannya. Adapun Suminten dan Pangeran Kukutan yang sedang
langen asmara (bermain cinta) di dalam pondok taman,
seolah-olah berubah menjadi arca saking kagetnya. Kalau di
malam hari yang terang tiada mendung itu tiba-tiba
terdengar Halilintar menyambar, agaknya mereka tidak
akan sekaget ketika mendengar suara Sekarmadu di luar
jendela. Pangeran Kukutan menjadi pucat dan tak dapat
berkata sesuatu. Sumintenlah yang lebih dulu sadar dan
dapat menguasai hatinya. Wanita ini mendorong tubuh
kekasihnya dan melompat turun dari pembaringan,
berkemas sambil berkata, "Hayo cepat, kita harus turun tangan lebih dulu!"
Mendengar suara kekasihnya yang sedikitpun tidak
membayangkan rasa takut itu, barulah hati Pangeran
Kukutan menjadi tenang. Mereka lalu berbisik-bisik dan
Suminten yang cerdik itu mengatur rencananya. Cepat
sekali Suminten mengatur rencana dan segera mereka
melakukan siasat yang diatur Suminten malam itu juga.
Pangeran Kukutan pergi ke pondok kediaman para juru
taman, diam-diam memanggil pembantu juru taman yang
muda bernama Jagaloka. Adapun Suminten pergi menemui
tujuh orang emban pelayan yang menjadi kaki tangannya.
Mereka berdua bekerja cepat sesuai dengan siasat Suminten
dan tak lama kemudian, Suminten sudah bertemu lagi
dengan Pangeran Kukutan yang datang bersama. Jagaloka
yang muda dan cukup tampan, akan tetapi pada saat itu
Jagaloka kelihatan bingung dan takut.
Sekarmadu masih belum tidur. Dia sama sekali tidak
dapat tidur, bahkan semenjak memasuki kamarnya, puteri
ini berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya, hatinya penuh
ketegangan. Ingin sekali ia sekarang juga melapor sang
prabu, namun kalau ia melakukan hal ini, tentu banyak selir
dan abdi dalem yang mendengar, juga sang prabu dapat
menjadi tidak senang hati karena terganggu. Hatinya sudah
tidak sabar dan ingin ia malam cepat-cepat berganti pagi
agar ia dapat segera melapor dan wanita hina itu segera
dihukum! Emban pembantunya yang tadi ketakutan sudah
tidur melingkar di atas lantai.
Tiba-tiba ia mendengar suara kaki di luar pintu
kamarnya. Sekarmadu berhenti melangkah, memutar tubuh
menoleh ke arah pintu kamar dan bertanya, "Siapa di luar?"
Sebagai jawaban pertanyaannya, tiba-tiba pintu kamarnya yang terkunci itu didobrak orang dari luar.
Agaknya orang yang mendobraknya itu kuat sekali karena
sekali tendang, daun pintu itu terbuka dan muncullah
Jagaloka yang wajahnya pucat.
"Ehh ............ , si Jagaloka, mau apa engkau ............ ?""
Sekarmadu membentak, heran dan marah.
"Hamba ............ hamba ............ bukankah hamba
dipanggil ............ ?"
"Keparat! Jangan kurang ajar engkau! Berani membuka
pintu kamarku?" Pada saat itu, berkelebat masuk bayangan Pangeran
Kukutan yang membentak, "Juru taman bedebah, kau harus mati!" Ucapan
Pangeran Kukutan ini disusul terjangannya dengan keris di
tangan. Sekali tusuk saja si juru taman yang tentu saja
bukan lawan pangeran yang perkasa itu mengeluh dan
terhuyung, darah muncrat-muncrat keluar dari ulu hatinya.
Sekarmadu memandang dengan mata terbelalak, hendak
menjerit, akan tetapi dengan gerakan sigap sekali Pangeran
Kukutan sudah meloncat ke dekatnya dan sekali
menggerakkan tangan, pangeran itu sudah merangkulnya
dan membungkam mulutnya. Sekarmadu meronta-ronta
dan berusaha menjerit, namun sia-sia karena pangeran itu
kuat sekali merangkulnya dan kuat pula tangan yang
menutupi mulut. Pada saat berikutnya, muncul Suminten
yang tersenyum-senyum. Wanita ini sambil tersenyum genit
mendekati Sekarmadu lalu merenggut pakaian yang
menempel di tubuh Sekarmadu, satu demi satu sampai
Sekarmadu menjadi telanjang bulat! Setelah itu barulah
Pangeran Kukutan melepaskan rangkulannya dan mendorong tubuh wanita yang telanjang itu sampai
terlempar dan tertelungkup dalam pembaringannya. Emban
yang terbangun oleh suara gaduh ini, memandang
terbelalak, saking kaget dan takutnya sampai tak dapat
bersuara. "Bagus sekali engkau perempuan hina-dina, perempuan
rendah, pelacur yang terseret memasuki istana!" Suara
Suminten terdengar lantang karena ia sengaja mengeluarkan suara seperti menjeri-tjerit, telunjuknya
menuding ke arah tubuh Sekarmadu yang telanjang bulat di
atas pembaringan. "Sungguh menjijikkan! Tak tahu malu!
Berjina dengan si juru tamanl"
"Apa kau bilang" Kau perempuan keji ............ kau
............ kau!" Akan tetapi wanita yang malang itu tak dapat
melanjutkan kata-katanya dan ia menangis dan berusaha
menutupi tubuh telanjangnya dengan alas sutera pembaringan karena pada saat itu, para abdi dalem dan
beberapa orang selir yang mendengar suara ribut-ribut itu
sudah membanjir masuk ke dalam kamar. Mereka berdiri
dengan muka pucat dan mata terbelalak, sejenak
memandang ke atas pembaringan di mana puteri
Sekarmadu rebah dalam keadaan telanjang bulat terbungkus
alas pembaringan, kemudian memandang tubuh Jagaloka
yang kini juga sudah telanjang bulat dan menjadi mayat
berlepotan darahnya sendiri. Melihat keadaan ini, melihat
Pangeran Kukutan yang berdiri dengan keris di tangan,
tanpa diberitahu sekali-pun mereka dapat menduga apa
yang telah terjadi! Tentu Sekarmadu berjina dengan si juru
taman, akan tetapi dipergoki Pangeran Kukutan dan
Suminten yang berakibat kematian juru taman di tangan
sang pangeran. "Tidak ............ ! Tidaaaaaaaakkk ............ Aku tidak
............ !" Sekarmadu menjerit-jerit karena iapun dapat
mengerti akan bahaya yang mengancam dirinya. Gegerlah
istana pada malam itu sehingga sang prabu sendiri sampai
terkejut, terbangun dan mendengar apa yang terjadi di
kamar selirnya yang terkasih, Sekarmadu.
Mendengar ini sang prabu marah sekali. Setelah
berpakaian rapi, sang prabu duduk di ruangan dalam dan
memerintahkan menyeret Sekarmadu menghadapi juga
memerintahkan agar Suminten dan Pangeran Kukutan
menghadap sebagai saksi. Sekarmadu menangis terisak-isak ketika dua orang
pengawal istana menyeretnya, karena ia hampir tidak
mampu berdiri, dengan tubuh masih terbungkus sutera
merah alas pembaringan, rambutnya terural dan wajahnya
pucat. Di belakangnya, Suminten dan Pangeran Kukutan
melangkah tenang, namun berbeda dengan wajah Suminten
yang berseri-seri tersenyum, wajah Pangeran Kukutan pucat
dan kedua kaki tangannya terasa dingin.
Mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan menyembah sang raja. Suminten yang pandai merayu itu
segera berjalan jongkok menghampiri sang prabu,
menyembah dan menyentuh kakinya sambil berkata lirih,
suaranya serak-serak basah amat mengharukan,
"Hamba mohon beribu ampun bahwa hamba telah
menimbulkan keributan, akan tetapi mohon paduka
memaklumi betapa panas hati hamba penyaksikan
perbuatan tak tahu malu dari perempuan itu yang menghina
paduka." Dengan gerakan halus dan penuh kasih sayang, tangan
sang prabu menjamah rambut yang halus berikal mayang
itu, kemudian berkata, "Engkau malah berjasa, Suminten.
Mundurlah, biar kuperiksa perkara menjijikkan ini!" Akan
tetapi Suminten tidak mundur jauh, menyembah lagi dan
berkata, "Mohon ampun. Junjungan hamba. Perempuan ini amat
keji dan palsu, sebelum ia sempat bercerita bohong, harap
paduka sudi mendengar dulu kesaksian hamba dan
puteranda Pangeran Kukutan."
Sang prabu mengelus-elus jenggotnya sambil memandang selirnya yang terkasih itu.
"Duhai, gusti pujaan hamba ............ sudilah paduka
mendengarkan penuturan hamba ............ , hamba kena
fitnah ............ hamba tidak bersalah ............ dialah
perempuan rendah yang hamba yakin menjadi biang keladi
fitnah ini! Dia ............ dia dan Pangeran Kukutan ............
!!" "Diam kau, perempuan terkutukk !! Sang prabu
membentak dan pucatlah muka Sekarmadu, maklum bahwa
nasibnya sudah ditentukan dengan sikap sri baginda raja
itu. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani membantah,
hanya menunduk dan menangis, meratap di dalam hati
mohon pertolongan dewata. "Berceritalah kau, Suminten."
Dengan suara lantang Suminten bercerita, "Malam tadi
hamba tidak dapat tidur ............ " Ia mengerling tajam
kepada sang prabu yang memandangnya dan sang prabu
mengangguk-angguk, mulutnya tersenyum maklum, karena
ia tahu bahwa seperti biasanya menurut pengakuan
Suminten, tiap kali sang prabu tidur dengan selir lain, selir
termuda dan tercinta ini tentu tak dapat tidur! "............
karena gelisah dan merasa gerah, hamba keluar dari kamar
dengan maksud mencari angin sejuk di taman. Akan tetapi,
seperti paduka maklum, jalan menuju ke taman melalui
belakang kamar ............ perempuan rendah ini. Hamba
mendengar suara-suara di dalam kamar, suara kekeh
tertawa genit dan cumbu rayu pria. Hamba curiga dan
mendengarkan di luar jendela, kemudian hamba yakin
bahwa itu adalah suara si perempuan rendah dan si juru
taman keparat itu. Kebetulan sekali, pada saat itu, hamba
melihat berkelebatnya bayangan orang di taman, dan ketika
hamba mengenal bayangan itu adalah puteranda Pangeran
Kukutan, hamba lalu memanggilnya dan menceritakan
bahwa di kamar perempuan ini ada seorang duratmoko
(maling). Demikianlah, Gusti, puteranda pangeran lalu
turun tangan membunuh si bedebah juru taman."
Sang prabu menjadi merah mukanya, mengepal tinju dan
giginya yang sudah banyak ompongnya berkerot.
"Kukutan, ceritakan kesaksianmu!"
Setelah menyembah, Pangeran Kukutan bercerita yang
tentu saja memperkuat cerita Suminten, yaitu bahwa karena
hawa terasa panas ia pergi ke tamansari, di-panggil
"ibunda" dan diberi tahu kejadian di kamar Sekaremadu,
dan saking marahnya, ia menendang daun pintu kamar,
melihat betapa selir yang berjina itu berada di atas
pembaringan bersama Jagaloka.
"Si bedebah itu hendak melarikan diri, akan tetapi hamba
menerjangnya dan menikam ulu hatinya dengan keris
hamba." Demikian sang pangeran menutup ceritanya.
Sang prabu makin marah dan pada saat itu,
"persidangan" kecil ini diganggu dengan munculnya Ki
Patih Brotomenggala yang tergopoh-gopoh menghadap
karena mendengar akan kekacauan di istana. Ia
menyembah dan diberi isyarat tangan sang prabu agar
duduk. Ki patih yang sudah tua ini pun duduk bersila dan
mendengarkan dengan hati tegang dan wajah berkerut.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Perempuan tak tahu malu, perempuan rendah! Apa
yang dapat kauceritakan sekarang?" bentak sri baginda
kepada Sekarmadu yang mendengarkan semua tuduhan itu
dengan wajah pucat akan tetapi sepasang matanya
menyinarkan kebencian dan kemarahan kepada Suminten
dan Pangeran Kukutan. "Fitnah! Semua itu fitnah belaka, Gusti! Tidak tahukah
Paduka betapa jahat dan palsu dua orang manusia terkutuk
ini" Hamba tidak bersalah. Hamba sedang berada di kamar,
tahu-tahu pintu tertendang dan masuk si juru taman, disusul
Pangeran Kukutan yang serta-merta membunuhnya,
kemudian manusia keparat ini memeluk hamba, si
perempuan tak tahu malu itu menelanjangi hamba dan ......
" "Eh, Sekarmadu, sungguh mulutmu lancang sekali!"
Suminten memotong. Hanya dialah satu-satunya orang
yang berani berlancang mulut di depan sang prabu. "Sudah
berdosa, mengapa tidak mengaku dan memohon ampun
kepada sri baginda" Dengan bicara membabi-buta, dosamu
bertambah berat. Engkau sudah kubantu, kurahasiakan
kata-katamu yang kudengar, akan tetapi engkau malah
menyebar fitnah ............ !!"
"Suminten, apa yang dia katakan" Hayo kau mengaku,
apa yang ia katakan kepada juru taman keparat itu?" Sri
baginda menjadi tertarik dan ingin sekali mendengar
"rahasia" itu. Suminten menggeser duduknya makin dekat depan kaki
sang prabu, lalu menunduk, memasang tubuh sedemikian
rupa sehingga kelihatan amat menggairahkan dalam
pandangan sri baginda yang sudah tua itu. Kemudian ia
berkata, suaranya menggetar,
"Hamba ............ hamba tidak berani"
"Eh, kenapa tidak berani" Takut kepada siapa" Jangan
takut, tidak ada seorang setan pun yang akan berani
menganggu seujung rambutmu, Suminten!" kata sri baginda
penuh kasih sayang sehingga ia diupah sekilas senyum dan
kerling tajam kekasihnya.
"Hamba ............ hamba takut kalau-kalau akan
membuat paduka marah ............ "
"Tidak, Suminten. Kalaupun marah, tentu tidak
kepadamu yang bersih daripada dosa."
"Kalau begitu, sebelumnya hamba mohon ampun.
Hamba mendengar jelas ucapan yang keluar dari mulut
busuk perempuan hina itu begini, ............ kekasihku wong
bagus, betapa kuatnya engkau ............ tidak seperti sang
prabu, si tua bangka yang loyo ............ "
Tidak hanya wajah Sekarmadu yang menjadi pucat,
bahkan wajah Pangeran Kukutan sendiri menjadi pucat dan
matanya terbelalak memandang Suminten yang tersenyum.
Alangkah beraninya wanita itu! Padahal, ucapan itu adalah
persis seperti apa yang diucapkan Suminten sendiri
kepadanya ketika mereka berlangen asmara! Sekarmadu
terbelalak, kemarahannya memuncak dan ia bangkit berdiri,
menjerit, "Perempuan iblis............ ! Engkaulah yang mengatakan
itu ............ ! Engkau ............ engkau keji ............ "
Akan tetapi sang prabu yang sudah tak dapat menahan
kemarahannya, meloncat turun dari atas kursinya. Biarpun
usianya sudah enam puluh tahun lebih, namun dia masih
kuat dan tangkas. Keris pusaka di tangannya berkilat dan di
lain detik, tubuh Sekarmadu roboh mandi darahnya sendiri
yang muncrat keluar dari dadanya. Tangan kiri Sekarmadu
mendekap luka di dada, ia berusaha bangkit, berlutut dan
tangan kanannya menunjuk ke arah Suminten, matanya
terbelalak, mulutnya mengeluarkan kata-kata lemah,
"............ engkau ............ Suminten perempuan keji
............ dan engkau Pangeran Kukutan laki-laki pengecut
............ terkutuklah kalian ............ aduhhh ............ sang
prabu telah khilaf, mudah terbujuk ............ semua ini fitnah
............ mereka ............ merekalah yang berjina, harap
tanyakan kepada emban ............ auuughhhl" Robohlah
kembali tubuh Sekarmadu, terkulai miring tak bernapas
lagi. Alas pembaringan sutera merah menjadi lebih merah
lagi dan kini terlepas, terbuka, sehingga tampaklah tubuh
yang berkulit putih berslh itu, sebersih hatinya, namun
ternoda warna merah, darahnya sendiri!
"Aduhhhh, gusti puteri ............ I" Emban pelayan
pribadi Sekarmadu menubruk mayat itu dan menangis.
"Heh, emban! Apa artinya ucapan terakhir gustimu yang
berdosa tadi?"' Sang prabu bertanya kepada emban itu,
hatInya agak terharu dan kemarahannya mereda ketika ia
melihat betapa tubuh muda yang blasanya amat
dikasihaninya itu kini sudah menggeletak tak bernyawa
lagi. Emban itu terengah-engah, menyembah-nyembah sampai dahinya terbentur lantai. "Ampun, kanjeng gusti
............ sesungguhnya gusti puteri tidak berdosa ............
gusti putri mulus dan murni tanpa cacad ............
sesungguhnyalah yang berjina adalah ............ gusti puteri
Suminten dan gusti Pangeran Kukutan ............ hamba
menyaksikan sendiri ............ !!"
"Keparat ............ "
Pangeran Kukutan melompat dan sebelum dapat
dicegah, kerisnya telah menembus lambung emban itu yang
seketika roboh, berkelojotan dan tewas! Sang prabu
mengerutkan kening dan menghardik.
"Kukutan! Apa yang kaulakukan ini?"
Pangeran itu segera menjatuhkan diri menyembah.
"Mohon ampun, Kanjeng Rama! Bagaimana hati hamba
kuat mendengar fitnah yang keluar dari mulut si bedebah
ini. Tentu saja ia berusaha membalas dendam gustinya dan
berusaha menjatukan fitnah. Kedosaan Sekarmadu sudah
terbukti, adapun tuduhan tanpa bukti terhadap hamba
adalah fitnah belaka. Hamba tidak dapat menahah
kemarahan, mohon paduka sudi memberi ampun."
"Memang bujang hina itu tak patut dibiarkan hidup!"
Suminten menyambung sambil mencium kaki sri baginda.
"Betapa dia boleh menghina hamba begitu saja. Seorang
emban! Dan tentang hubungan antara Sekarmadu dengan
Jagaloka bukan hal yang aneh lagi. Hamba mempunyai
banyak saksi ............ !" Suminten melambaikan tangannya
ke dalam, memanggil para emban keputren. Mereka ini
adalah kaki tangannya yang tadi sudah ia pesan dan beri
hadiah, tentu saja tujuh orang pelayan ini segera
menerangkan dengan suara seragam bahwa mereka pernah
menyaksikan Sekarmadu mengadakan pertemuan- pertemuan rahasia dengan Jagaloka, dan yang menjadi
perantara adalah si emban yang terbunuh Pangeran
Kukutan! Marahlah sri baginda. "Sudahlah, lekas enyahkan
bangkai terkutuk kedua orang itu!"
Tergopoh-gopoh para pengawal dan pelayan mengangkut dua mayat wanita itu dan membersihkan lantai
sehingga tidak ada lagi bekas-bekas darah.
"Kakang Patih Brotomenggala, engkau jaga agar
peristiwa .kotor ini tidak sampai tersiar keluar."
"Hamba akan mentaati perintah paduka, Gusti," jawab ki
patih yang wajahnya masih keruh dan alisnya berkerut.
"Eh, Kakang patih, kau kelihatan tidak senang hatimu.
Bukankah sudah tepat sekali dua orang manusia jahanam
itu dibunuh?" "Maafkan hamba, gusti. Memang sudah sepatutnya yang
salah dihukum. Akan tetapi ............ , tidak seyogianya
kalau paduka sendiri yang menjatuhkan hukuman. Selain
itu, barulah adil namanya kalau si terdakwa diberi
kesempatan untuk membela diri dan perkara diselidiki
terlebih dahulu kebenarannya sebelum menjatuhkan
hukuman. Hukuman pun harus dilaksanakan oleh petugas
yang sudah ada." "Eh, ki patih! Apakah andika tidak percaya akan
keterangan hamba dan puteranda Pangeran Kukutan?"
Terdengar Suminten bertanya, suaranya lantang penuh
tantangan. "Bukan begitu, sang puteri. Bukan soal percaya atau
tidak percaya, akan tetapi hamba hanya menyatakan hal
yang sernestlnya menurut adilnya hukum. Menurut
penglihatan hamba, biasanya Sang Puterl Sekarmadu
berwatak baik dan berbudi berslh."
"Kakang patih, apakah seorang manusia itu dinilai
daripada sikapnya yang baik" Siapa tahu akan isi hati
seseorang?" Sang prabu membantah karena merasa ikut
tersinggung bahwa patihnya ini agaknya menyangsikan
kesaksian selirnya yang tercinta.
Patih Brotomenggala menyembah kepada sang prabu
lalu berkata, "Memang benar sekali sabda paduka, gusti.
Akan tetapi, sedikit banyak .gerak-gerik seseorang
mencerminkan dasar wataknya
"Hemm, Paman patih, agaknya andika adalah seorang
ahli mengenal watak wanita!" Pangeran Kukutan mengejek.
Ki Patih Brotomenggala yang tua itu memandang tajam
ke arah wajah pangeran itu dan berkata, suaranya perlahan
dan hormat namun mengandung getaran berwibawa,
"Sedikitnya pengetahuan hamba akan watak wanita lebih
banyak daripada yang paduka ketahui, gusti pangeran,
karena sebelum paduka terlahir, hamba sudah banyak
mengenal wanita." "Sudahlah, Kakang patih," kata sang prabu dengan suara
kesal, "sudah terang akan dosa Sekarmadu, saksinyapun
bukan sembarang orang melainkan selirku dan puteraku,
juga tujuh orang emban. Tentu saja mereka tidak mau
mengaku, si bedebah juru taman dan perempuan laknat itu.
Akan tetapi mereka sudah dihukum, dan hal ini sudah adil
dan sudah habis, tidak perlu dipercakapkan lagi. Yang perlu
dijaga agar hal seperti ini jangan sampai terdengar keluar,
karena hanya akan mendatangkan aib belaka."
"Hamba mentaati perintah paduka, gusti," jawab ki patih
sambil menyembah. Sang prabu lalu membubarkan persidangan kecil itu,
kemudian kembali ke tempat peraduan, akan tetapi sekali
ini bukan kembali ke tempat selir yang digiliri malam tadi,
melainkan menggandeng lengan Suminten yang berkulit
halus dan padat itu, memasuki kamar Suminten yang indah
bersih dan berbau harum. Dengan sikap manja sambil
berjalan perlahan, Suminten menggenggam tangan junjungannya, berjalan mepet dan menggosok-gosokkan
tubuhnya agar bersentuhan dengan tubuh sang prabu,
senyum manisnya melebar, kerling matanya makin tajam!
Demikianlah, dengan amat cerdik, Suminten dapat
membalikkan kenyataan, dari keadaan terancam bahaya
karena perjinaannya, menjadi pemenang atas diri saingannya yang terberat, yaitu Sekarmadu, berhasil
membunuh wanita tak berdosa itu dan mempertebal
kepercayaan dan kecintaan sang prabu kepadanya.
Pada pertemuan berikutnya dengan Pangeran Kukutan,
ia menegur pangeran itu, "Pangeran, engkau benar-benar ceroboh! Kalau tidak ada aku yang bersikap hati- hati, tentu akan celakalah kita di tangan Ki Patih Brotomenggala!" Pangeran Kukutan merangkul, mendekap dan mencium bibir yang menantang itu sebelum bertanya, "Ah, datang-datang aku dIsambut makianl Apa salahanku kali ini, dewi jelita" Mengapa kau menyebut aku ceroboh?"
Jilid XIX "DASAR bodoh!" Suminten melepaskan diri daripada
pelukan. "Lupakah engkau betapa engkau menelanjangi
juru taman?" "Eh, mengapa ceroboh" Bukankah perbuatan itu
menunjukkan kecerdikanku, sesuai dengan siasatmu yang
amat sempurna?" "Memang benar, akan tetapi baju juru taman itu
berlubang dan berdarah bekas tusukanmu!"
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pangeran Kukutan masih tidak mengerti dan memandang kekasihnya dengan mata penuh pertanyaan.
"Habis, mengapa?"
"Mengapa" Benar-benar kau tidak mengerti" Kalau kau
bermain cinta dan bertelanjang bulat ketika. kau
menusuknya, bagaimana pakaiannya dapat berlubang dan
berdarah" Kalau kau menusuknya dalam keadaan
berpakaian, mengapa pakaiannya terlepas semua dan ia
telanjang" Perbuatanmu itu dapat membuka rahasia kita,
seolah-olah pakaian berlubang dan berdarah si juru taman
itu dapat bercerita bahwa si juru taman itu kautusuk lebih
dulu, baru kemudian ditelanjangi! Kaukira ki patih orang
bodoh" Dia telah mencari-cari bekas pakaian si juru taman
itu!" Seketika pucat wajah Pangeran Kukutan. Suaranya
gemetar ketika ia bertanya, "lalu .......... , bagaimana ..........
" Di mana .......... eh, pakaian itu.......... ?"
Suminten tersenyum, lalu melangkah dan duduk di atas
pembaringan, memasukkan kedua kakinya di dalam
tempayan berisi air bunga mawar untuk mencuci kakinya.
Kemudian ia mengangkat mukanya memandang pangeran
itu dan berkata, "Kalau tidak ada aku, sekarang engkau
tentu telah digantung! Untung aku melihat kebodohanmu
itu dan sudah kusuruh singkirkan pakaian itu oleh
embanku." Pangeran Kukutan yang sudah merangkul pundak itu,
melangkah mundur dengan senyum dikulum. Sudah biasa
ia menyanjung dan menjilat untuk menyenangkan hati
kekasihnya ini. Apalagi sekarang, ia anggap bahwa
kekasihnya telah menyelamatkan nyawanya. Tanpa sangsi
lagi ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suminten.
"Pangeran, benar-benarkah engkau berterima kasih
kepadaku bahwa aku telah menolong dan menyelamatkan
nyawamu?" "Demi para dewata di Suralaya, adinda Suminten. Aku
bersyukur dan berterima kasih sekali, juga makin
mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku."
"Engkau mau melakukan apa saja yang kuminta?"
"Siap sedia!" "Kalau begitu, aku ingin melihat kesetiaanmu, Pangeran
Kukutan. Kau minumlah air mawar bekas kakiku."
Pangeran Kukutan mengangkat muka memandang.
Melihat betapa mulut itu tersenyum manis dan mata itu
memandang penuh berahi, ia tertawa, lalu menunduk,
mengangkat tempayan berisi air mawar bekas pencuci kaki
Suminten, mendekatkan ke mulutnya dan .......... ia minum
beberapa teguk air itu. "Aahhhh .......... segar sekali!"
Pangeran Kukutan menaruh tempayan di atas lantai.
Melihat Suminten tertawa girang, iapun tertawa dan
merangkul pinggang, menyembunyikan mukanya di atas
pangkuan wanita itu. Sejenak Suminten diam saja,
berdongak meramkan mata, kedua tangan menjambak
rambut kepala di atas pangkuannya, kemudian perlahan ia
mendorong pangeran itu mundur.
"Cukup, pangeran. Malam ini kita tidak boleh .......... !!"
"Tapi .......... tapi .......... , mengapa .......... ...!?"
Pangeran Kukutan terkejut. Minum air bekas cucian kaki
masih ringan, akan tetapi kalau wanita ini menolak
cintanya, benar-benar hal ini amat berat baginya.
"Kita harus hati-hati. Bukan hanya Sekarmadu musuh
kita. Masih banyak tugas menanti. Kesenangan dapat kita
lakukan segala waktu dan masih panjang bagi kita.
Pangeran, mulai sekarang kita atur rencana menyusun
kekuatan mengumpulkan sekutu yang boleh dipercaya,
melenyapkan musuh-musuh yang berada di istana dan di
luar istana. Adapun tentang pertemuan kita .......... hemm,
mulai sekarang, akulah yang akan menentukan waktu dan
saatnya. Jangan sekali-kali kau berani datang menemuiku
kalau tidak kupanggil. Mengerti?"
Kekecewaan besar yang tadinya membayang di wajah
pangeran itu, perlahan-lahan lenyap, terganti oleh
kesungguhan dan pengertian. Pangeran itu mengangguk-
angguk dan berkata lirih,
"Aku mengerti, Diajeng. Memang seharusnya aku
mentaati segala perintah-mu, karena kaulah yang mempunyai kecerdikan luar biasa."
"Nah, kalau begitu, pergilah sekarang juga. Siapa tahu ki
patih selalu memasang mata-mata. Aku akan mengganti
semua emban menjadi orang-orang yang tunduk kepadaku."
Pangeran Kukutan bangkit berdiri, mendekati hendak
merangkul dan mencium seperti yang Ia selalu lakukan di
saat mereka hendak berpisah. Akan .tetapi Suminten juga
bangkit berdiri dan mendorong dengan kedua tangan.
"Jangan!" "Hanya cium perpisahan, Diajeng ..... "
"Itupun harus aku yang menentukan!"
Sejenak sang pangeran meragu, lalu menunduk dan
mengangguk, membalikkan diri dan melangkah keluar ke
arah pintu pondok. "Pangeran .......... " Panggilan lirih itu membuat ia
berhenti dan membalikkan tubuh. Suminten menggapai dan
ia melangkah maju mendekat.
"Nah, berilah cium perpisahan itu," kata Suminten
sambil tertawa dan mengangkat mukanya.
Bagaikan kucing kelaparan Pangeran Kukutan meraih,
merangkul dan mencium mulut yang masih tertawa itu,
penuh cinta kasih dan berahi. Suminten mendorongnya
perlahan dan menjauhkan muka. "Cukuplah, ingat, masih
banyak waktu bagi kita. Nah, pergilah, pangeran."
Pangeran Kukutan memandang sejenak, tersenyum
penuh kasih sayang dan terima kasih, lalu pergi keluar dari
pondok memasuki taman gelap. Suminten yang ditinggal
seorang diri di atas pembaringan di pondok, meramkan
matanya dan tertawa. Ia mengepal tangan kanan-nya dan
merasa seolah-olah Pangeran Kukutan berada di dalam
kepalan tangannya itu. Ia telah menguasai pangeran itu
seluruhnya, dan ia puas. Bahkan dalam hal cinta sekalipun
ia yang berkuasa dan pangeran itu hanya seperti seekor
anjing penjaga yang akan datang apabila ia menjentikkan
jari tangannya. Demikianlah, makin lama, secara teratur dan pandai
sekali, Suminten makin menaik derajatnya di dalam istana,
makin dalam sang prabu tenggelam ke dalam pelukan dan
makin mabuk dalam belaiannya. Tidak hanya memabukkan
sang prabu sehingga raja tua itu tunduk kepadanya, juga
wanita cerdik ini mulai-lah memperluas pengaruh dan
kekuasaannya sehingga seringkali sang prabu merundingkan soal-soal pemerintahan dengan selir terkasih
ini dan tidak jarang sang prabu mengambil keputusan
berdasarkan nasehat Suminten!
Tahun demi tahun lewat dan kekuasaan Suminten makin
terasa oleh semua keluarga istana. Diam-diam Ki Patih
Brotomenggala menjadi cemas sekali. Bersama beberapa
orang ponggawa tinggi lainnya, Ki Patih Brotomengala
seringkali mengadakan perundingan dan diam-diam mereka
ini menyusun kekuatan ke tiga untuk menandingi pengaruh
Suminten yang mereka anggap meracuni Kerajaan
Jenggala. Akan tetapi, ki patih dan para ponggawa tinggl tidak
berani secara terang-terangan menentang Suminten karena
mereka semua mengerti betapa besar cinta kasih sang prabu
kepada selir termuda ini yang makin lama makin
mempengaruhi junjungan mereka. Suminten sendiri secara
cerdik sekali juga tidak memperlihatkan permusuhan,
bahkan di luarnya ia bersikap amat manis dan baik terhadap
mereka, namun secara diam-diam Suminten dibantu oleh
Pangeran Kukutan memperluas kekuasaannya dan memperbesar persekutuannya dengan para ponggawa muda
yang merasa tidak puas dengan kedudukan mereka. Makin
lama makin menjalarlah pengaruh dan kekuasaan Suminten
di Kerajaan Jenggala, dan makin tunduklah sang prabu
yang sudah tua itu sehingga dalam waktu lima tahun, dapat
dikatakan bahwa segala keputusan perkara pemerintahan
yang keluar dari mulut sang prabu adalah keputusan
berdasar kehendak Suminten!
-oo0dw0oo- Kita tinggalkan dulu Suminten, wanita muda cantik jelita
yang berasal dari dusun namun berkat kecerdikan dan
ambisinya telah mencapai kedudukan tinggi, lebih tinggi
dari sang permaisuri sendiri itu. Lebih baik kita menengok
dan mengikuti pengalaman Endang Patibroto yang sudah
terlalu lama kita tinggalkan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, yaitu kurang
lebih lima tahun yang lalu, Endang Patibroto mengajak
Setyaningsih adik kandungnya, pergi secara diam-diam
meninggalkan Selopenangkep. Ia pergi membawa hati yang
perih, seperti disayat-sayat pisau rasanya, betapapun ia
menguatkan hati, air matanya bercucuran terus kalau ia
teringat akan Adipati Tejolaksono, suaminya yang amat
dikasihinya. Tadinya ia amat berbahagia, belum pernah
selama hidupnya ia merasa sebahagia ketika ia pergi
menyusul suaminya itu ke Selopenangkep. Ia dahulu
pernah bahagia menjadi isteri Pangeran Panjirawit, namun
tidak seperti ketika menjadi isteri Tejolaksono, karena hal
itu berarti bahwa ia telah menemukan cinta kasihnya
kembali, cinta kasih yang ditanamnya semenjak ia masih
remaja dahulu. Mendiang Pangeran Panjirawit hanya
merupakan tempat pelarian, hanya merupakan obat
penawar yang menyejukkan hati. Akan tetapi, bertemu dan
menjadi isteri Tejolaksono berarti terpenuhi segala
keinginannya sehingga ia dapat menumpahkan semua kasih
sayangnya kepada pria idaman hatinya itu. Apalagi ketika
ia mendapat kenyataan bahwa ia telah mengandung, cinta
kasihnya terhadap Tejolaksono makin kuat berakar di
dalam hatinya. Akan tetapi, dia harus meninggalkan kebahagiaan itu,
harus meninggalkan Tejolaksono, tidak ingin menyaksikan
pria terkasih itu menderita sengsara. Dan ia maklum setelah
mendengar percakapan antara suaminya dan Ayu Candra,
bahwa kalau dia tetap tinggal di Selopenangkep sebagai
isteri muda, akan timbul hal-hal yang tidak baik antara dia
dan Ayu Candra, dan akhirnya akan menyeret Tejolaksono
ke dalam lembah kedukaan. Selain itu iapun tidak mau lagi
mengulang perbuatannya yang dahulu, ia sudah terlalu
banyak mendatangkan kesengsaraan kepada Ayu Candra.
Dan terutama sekali, ia tidak sudi berebut cinta dengan
wanita lain. Betapapun hancur hatinya, ia lebih baik pergi,
bahkan lebih baik mati daripada memperebutkan cinta yang
dianggapnya merupakan hal yang amat memalukan.
Mereka berdua, Endang Patibroto dan Setyaningsih,
terus melakukan perjalanan tanpa tujuan ke timur. Di
sepanjang jalan, Endang Patibroto menangis sedih, dan
Setyaningsih selalu berusaha menghibur ayundanya dengan
ucapan-ucapan halus dan tenang. Sungguh mengherankan
sekali kalau diingat betapa dahulu Endang Patibroto adalah
seorang wanita yang pantang tangis, wanita yang sakti
mandraguna, yang keras hati melebihi baja, kini menjadi
wanita cengeng yang menangis sepanjang jalan! Memang,
betapapun juga, dia tetap wanita dan sekali tersentuh dan
terbangkit cinta kasihnya, ia akan menjadi seorang yang
perasa sekali. Lebih aneh lagi kalau dilihat betapa
Setyaningsih, gadis cilik yang baru berusia sebelas tahun itu,
bersikap tenang dan seperti seorang dewasa saja, selalu
menghibur Endang Patibroto. Seringkali, apabila Endang
Patibroto teringat akan pengalamannya berkasih mesra
dengan Tejolaksono, ia tidak dapat menahan diri dan
menangis sesenggukan, menjatuhkan diri di pinggir jalan
tak dapat melanjutkan langkah kakinya. Dan pada saat
seperti itu, Setyaningsih yang segera memeluknya,
merangkul dan menciuminya, dan berbisik-bisik menghibur,
membesarkan hati, seperti seorang ibu menghibur anaknya
yang rewell Kalaupun ada kalanya Setyaningsih sebagai seorang
anak perempuan tak dapat menahan karena terharu melihat
ayundanya menangis seperti itu sehingga air matanya
sendiri runtuh, dia cepat-cepat mengusap air matanya dan
menekan hatinya, berkeras menyembunyikan tangisnya
agar ayundanya tidak menjadi makin berduka.
"Sudahlah, ayunda Endang Patibroto, perlu apa ayunda
menangisi terus hal yang telah lewat" Bukankah lebih baik
kalau kita melihat ke depan, ke masa depan yang lebih
gemilang" Kalau ayunda tidak dapat melupakan masa lalu,
baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan sambil bercakap-
cakap tentang masa lalu. Aku ingin sekali mendengarkan
semua kisah ayunda yang pasti akan menarik sekali."
Kalau sudah dihibur oleh adik kandungnya, Endang
Patibroto menekan hati dan perasaannya yang hancur,
kagum menyaksikan sikap adiknya yang masih kecil namun
tenang dan berpemandangan luas seperti orang tua ini.
lapun agak terhibur dan berceritalah ia kepada adiknya
sambil melanjutkan perjalanan. Karena sikap Setyaningsih
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti seorang tua, lupalah Endang Patibroto bahwa
adiknya ini baru berusia sebelas tahun. Ia bercerita seperti
kepada orang dewasa saja, dan ia menceritakan semua
pengalamannya tanpa tedeng aling-aling lagi, diceritakan
semua kepada Setyaningsih. Tentang pengalamannya
dahulu, tentang pertentangannya dengan Joko Wandiro,
dan Ayu Candra, kemudian betapa hampir ia membunuh
diri karena terpencil dibenci semua orang dan dihibur oleh
Pangeran Panjirawit yang menjadi suaminya selama
sepuluh tahun. Kemudian diceritakan semua pengalaman
akhir-akhir ini, tentang kematian suaminya dan tentang
pertemuannya dengan Adipati Tejolaksono di Blambangan,
pengalaman mereka di dalam sumur yang membuat mereka
menjadi suami isteri dan seterusnya.
Setyaningsih mendengarkan semua penuturan ayundanya dengan hati penuh keharuan. Akan tetapi, anak
ini memang mempunyai pembawaan sikap tenang,
pendiam, luas pandangan, hati-hati dan angkuh, tinggi hati
namun berdasarkan jiwa satria. la dapat memaklumi
keadaan ayundanya, dapat merasakan kedukaan yang
menimpa diri ayundanya, namun juga di dalam hati ia
Pendekar Sejagat 3 Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Pendekar Pengejar Nyawa 23
pada golok lawan dan tidak mau Menurutkan kehendaknya
lagi, tanpa dapat ia cegah telah tertarik dan menangkis
tongkat ular Cekel Wisangkoro! Terdengar suara keras dan
Sariwuni yang menjerit itu terlempar ke belakang,
tangannya menggembung seketika karena terkena ujung
tongkat ular yang berbisa! Pada saat tertangkis oleh pedang
buntung itu, Cekel Wisangkoro sudah berusaha menarik
tongkatnya kembali namun terlambat sehingga melukai
teman sendiri dan iapun terhuyung ke belakang. Detik
berikutnya, tubuh Ki Kolohangkoro mencelat ke belakang.
Kiranya raksasa ini yang tadi juga kaget ketika nenggalanya
melekat pada golok lawan, telah menggunakan seluruh
tenaga untuk membetot senjatanya. Terjadi adu tenaga
ketika Tejolaksono menarik nenggala itu dengan kekuatan
dalam, namun ternyata Ki Kolohangkoro jauh lebih kuat
daripada Sariwuni dan Tejolaksono melihat betapa kebutan
merah itu menyambar kepalanya. Karena usahanya
menangkis kebutan menggunakan nenggala tidak berhasil,
terpaksa ia miringkan kepala dan membiarkan ujung
kebutan menghantam pundaknya. Ia mengerahkan tenaga,
menyalurkan tenaga hantaman kebutan itu ke arah tangan
kanan, menambah tenaga pada goloknya sehingga ketika
mendorong, tubuh Ki Kolohangkoro mencelat ke belakang.
Secepat kilat Tejolak sono memutar tubuh, mengayun
kakinya dan kini Ni Dewi Nilamanik yang men jerit dan
tubuh wanita ini terlempa sampai lima tombak terkena
tendanga Tejolaksono! Wajah Tejolaksono pucat sekali. Pundak kirinya terasa
panas sekali, membuat lengan kiri seperti lumpuh dan ada
rasa gatal-gatal. Ia tahu bahwa hantaman ujung kebutan Ni
Dewi Nilamanik telah membuat ia terluka dan keracunan.
Maka ia menjadi marah sekali. Ia tahu bahwa kalau empat
orang lawannya yang juga hanya terluka itu sempat
mengeroyoknya tagi, tentu ia akan celaka. Dia tidak takut
mati. Seorang perajurit yang berjuang di medan laga, sama
sekali tidak gentar akan kematian. Akan tetapi sebelum
mati, id harus dapat menewaskan sebanyak mungkin
lawan, dan demi keselamatan Panjalu, perlu sekali empat
orang tokoh pimpinan musuh ini dibinasakan. Sambil
mengertak gigi, Tejolaksono menubruk maju dengan
sepasang goloknya. Yang terdekat adalah Ni Dewi
Nilamanik, juga karena yang melukainya adalah wanita ini,
maka orang pertama yang hendak ditewaskan adalah Ni
Dewi Nilamanik inilah. Ia mengayun golok, menubruk ke
depan dan .............. Tejolaksono mengeluarkan seruan
kaget karena ia sama sekali tidak dapat menggerakkan
tubuhnya! "Ha-ha-ha, memang benar-benar keras kepala si
Tejolaksono!" Terdengar suara halus penuh ejekan.
Tejolaksono menoleh ke kanan dan melihat bahwa yang
mengeluarkan kata-kata ini adalah Wasi Bagatpati. Akan
tetapi ia merasa kaget, heran dan kagum karena kakek itu
berada jauh di puncak sebelah kanan, amat jauh dari situ.
Namun suaranya terdengar seolah-olah kakek itu berada di
dekatnya, dan ia tahu pula bahwa kakek sakti itulah yang
menggunakan aji kesaktian yang gaib karena kakek itu
meluruskan tangan kiri ke arahnya dan ia sama sekali tidak
dapat bergerak maju! "Ramanda wasil Perkenankanlah saya menewaskan
keparat Tejolaksono ini!" terdengar Ki Kolohangkoro
berkata, suaranya menggeledek.
"Lakukanlah, Kolohangkoro. Sebelum dia disempurnakan, memang akan sukarlah dicapai hasil dalam
usaha kami," kata Wasi Bagaspati.
Tejolaksono melihat betapa Ki Kolohangkoro tertawa
bergelak dan menghampirinya dengan senjata nenggala
tangan. Ia berusaha untuk bergerak, namun usahanya sia-
sia. Ketika ia mengerahkan seluruh tenaga batin dan hawa
sakti di tubuhnya, mencoba meronta, ia malah terjerembab,
roboh terguling. Seluruh tubuhnya seperti telah dikuasai
dalam sebuah jaring halus yang tidak tampak, yang
membuat ia tidak mampu bergerak. Kini ia hanya dapat
memandang Ki Kolohangkoro dengan mata terbelalak
marah, sedikitpun tidak takut, menanti datangnya tusukan
maut dengan senjata nenggala itu, sambil menduga-duga
apakah hawa sakti yang ia kerahkan akan dapat menahan
hantaman nenggala. Ia maklum bahwa pengaruh kesaktian
Wasi Bagaspati yang membuat ia tidak mampu bergerak ini
dan tahu pula bahwa sekali ini ia tidak akan dapat lolos
daripada bahaya maut yang mengancam dari tangan
banyak lawan yang amat sakti, terutama dari tangan Wasi
Bagaspati yang ia tahu jauh lebih sakti daripada dirinya
sendiri. Namun merupakan pantangan besar bagi seorang
perkasa seperti dia untuk menyerah kalah, maka dalam saat
terakhir itupun ia tidak memperlihatkan sedikitpun rasa
takut dan menentang datangnya maut dengan sikap tetap
gagah perkasa. Dengan mata tidak berkedip, Tejolaksono
yang sudah roboh itu memandang berkelebatnya senjata
nenggala yang meluncur turun dad atas mengarah
tubuhnya. "Cuiiittt .............. cringgg .............. Aduhh ?"?"..!!"
Tejolaksono terbelalak. Jelas tampak olehnya ada sinar
putih menyambar turun dari sebelah kiri atas, sinar yang
mengeluarkan suara bercuit nyaring, dan kemudian sinar ini
menghantam nenggala yang sedang meluncur turun ke arah
tubuhnya, membuat senjata itu terlempar dari tangan Ki
Kolohangkoro, terlepas, dan raksasa itu sendiri terjengkang
ke belakang, mengaduh-aduh memegangi tangannya. Dan
tampak oleh Tejolaksono betapa betapa di atas puncak
sebelah kiri itu, cukup jauh dari situ, berdiri dua orang,
seorang kakek tua berpakaian putih panjang, namun wajah
kakek ini sama sekali tidak jelas karena mukanya seolah-
olah tertutup sinar atau uap seperti embun bermandi cahaya
matahari pagi. Dan di samping kiri kakek ini berdiri seorang
pemuda tanggung, berusia kurang lebih lima belas tahun,
berpakaian sederhana dan menggigillah seluruh tubuh
Tejolaksono ketika ia melihat wajah pemuda itu. Biarpun
sudah berpisah lima tahun, namun mana mungkin ia
melupakan wajah yang siang malam selalu terbayang di
hatinya ini" "Bagus Seta .............. !!" Ia berseru penuh keheranan dan
mencoba untuk bangkit berdiri, namun tidak berhasil
karena pengaruh kesaktian Wasi Bagaspati masih menguasainya. Melihat keadaan KI Kolohangkoro, teman-temannya
menjadi heran dan juga penasaran dan marah. Musuh besar
mereka, Tejolaksono sudah tak berdaya, sudah roboh dan
tinggal bunuh saja, bagaimana Ki Kolohangkoro sampai
gagal" Serentak Ni Dewi Nilamanik, -Cekel Wisangkoro,
Sariwuni mencelat maju dan hendak membunuh musuh
yang sudah tak berdaya, bahkan Ki Kolohangkoro yang
merasal marah sudah bangkit lagi dan hendak mengulangi
serangannya dengan tangan kosong. Keempat orang itu
maju seperti berlumba, hendak menjadi orang pertama yang
menjatuhkan tangan maut. Akan tetapi tiba-tiba keempatnya terpekik dan .......... berdiri seperti arca, tak
dapat bergerak sama sekali, seperti keadaan Tejolaksono
sendiri! Tejolaksono melihat hal ini semua, dapat menduga
bahwa ini tentulah perbuatan kakek yang mukanya tertutup
kabut di puncak itu, karena kakek itu mengangkat tangan
kiri ke atas. Keadaan sekeliling menjadi hening sekali,
seolah-olah dunia berhenti bergerak. Suara pertempuran
yang tadinya amat hiruk-pikuk kini lenyap sama sekali.
Tejolaksono belum dapat bangkit, akan tetapi masih dapat
menggerakkan leher menoleh. Alangkah heran dan
kagetnya ketika melihat para perajurit kedua fihak yang
tadinya berperang mati-matian di sebelah bawah, di lereng
yang rata, kini semua diam tak bergerak, seakan-akan telah
berubah menjadi batu atau arca semua! Peristiwa ini seperti
mimpi saja bagi Tejolaksono. Mimpikah dia" Benar-benar
Bagus Setakah yang berada di puncak itu" Ataukah hanya
dalam mimpi" Atau barangkali ia benar-benar telah tewas di
tangan musuh dan sekarang tidak lagi berada di atas dunia"
Akan tetapi suara-suara yang didengarnya kemudian
menyatakan kepadanya bahwa dia bukanlah mimpi, bukan
pula berada di alam baka.
"Sadhu-sadhu-sadhu .............. Terdengar suara yang
mengejutkan Tejolaksono, apalagi ketika tampak olehnya
betapa kini di samping Wasi Bagaspati muncul seorang
kakek lain, yang berkepala gundul, bertubuh gendut pendek,
memegang tasbih dan tongkat, seorang kakek yang sudah
pernah dilihatnya, yaitu Sang Biku Janapati yang entah
bagaimana tahu-tahu telah muncul di atas puncak sebelah
kanan itu! Suaranya perlahan dan halus namun seolah-olah
suara itu berada di dekat telinga Tejolaksono! "Semoga
Sang Triratna selalu melindungi kita, memberkahi yang
benar dan menuntun yang sesat ke jalan kebenaran!
Siapakah gerangan andika, wahai saudara yang sakti1
mandraguna" Adakah andika golongan dewa" Kalau dewa,
mengapa mencampuri urusan manusia" Kalau manusia
mengapa menggunakan kekuasaan seperti dewa" Ataukah
andika hendak mengandalkan aji kesaktian untuk
menyombong dan menganggap bahwa di dunia ini tidak
ada lagi lain manusia yang dapat menandingi andika"
Mengakulah andika, wahai saudara yang berada di puncak
depan!" Tejolaksono terbelalak memandang. Jelas tampak wajah
puteranya yang kini telah membayangkan kedewasaan,
tampan dan gagah akan tetapi tampak keterangan dan
keagungan, dengan sinar mata redup namun menyembunyikan sinar tajam, tubuhnya sedang, sedikitpun
tidak membayangkan sesuatu perasaan pada wajah yang
muda itu. Di sampingnya, kakek aneh yang tidak tampak
mukanya, masih saja diam tak bergerak, juga tidak
mengeluarkan suara, seolah-olah tidak mendengar atau
memperdulikan teguran dan pertanyaan Biku Janapati yang
halus namun penuh teguran itu.
"Hemmm .............. babo-babo! Heh, si tua bangka yang
berada di puncak depan!" Wasi Bagaspati berkata marah,
suaranya nyaring sekali, terdengar menggema di seluruh
Gunung Merak, tanda bahwa dalam kemarahannya
pendeta ini telah mengerahkan tenaga dalam yang dahsyat.
"Biarpun kita sudah sama-sama tua bangka, akan tetapi
tidak selayaknya andika menyombongkan kesaktian di
depan kami! Apakah matamu buta telingamu tuli sehingga
tidak mengenal, kami berdua dan berani berlancang tangan
mencampuri urusan kami" Benarkah itu sikap seorang
pendeta yang sudah bijaksana untuk membela satu fihak
saja dan memilih kasih" Hayo mengaku andika sebelum
disempurnakan oleh kedua tangan Wasi Bagaspati!"
Akan tetapi, kakek aneh itu tetap diam saja, sama sekali
tidak bergerak, juga sama sekali tidak menjawab.
Tejolaksono kini secara tiba-tiba sekali dapat menggerakkan
kaki tangannya, akan tetapi ada getaran sesuatu yang aneh,
yang membuat semua api perang yang membakar
semangatnya padam. Ia lalu berjalan perlahan karena
khawatir kalau-kalau membikin marah kakek itu, khawatir
pula kalau puteranya itu hanya bayangan mimpi dan akan
lenyap kalau ia bergerak cepat. Ia berjalan perlahan
mendaki puncak di sebelah kiri di mana puteranya dan
kakek aneh itu berdiri seperti arca.
Juga para perajurit kedua fihak kini dapat bergerak
kembali, akan tetapi seperti juga Tejolaksono, api perang
yang mendorong mereka saling gempur tadi kini telah
padam, mereka itu kini bengong memandang dan
memperhatikan kakek aneh, hendak mendengar dan
melihat sikapnya menghadapi ,dua orang kakek sakti dari
Sriwijaya dan Cola itu. Cekel Wisangkoro dan tiga orang
temannya juga bangkit berdiri di belakang Wasi Bagaspati,
hati mereka gentar dan dengan mata terbelalak memandang
ke puncak depan. "Inilah akibat daripada kekerasan yang andika lakukan,
saudaraku Wasi Bagaspati," Sang Biku Janapati menegur
temannya setelah menghela napas panjang, seolah-olah
dalam suasana yang diam itu ia mendapat jawaban.
Kemudian ia menghadap ke arah puncak dan merangkap
kedua tangan yang dibuka jarinya di depan dada sebagai
penghormatan sambil berkata,
"Wahai sang pertapa yang sidik paningal dan bijaksana!
Kalau saya menyatakan tidak mengenal andika, seolah-olah
buta kedua mata ini. Sebaliknya kalau, saya mengatakan
tahu, seakan-akan saya hendak mendahului andika. Karena
kita sudah saling berjumpa dan jalan kita bersilang, harap
andika sudi berwawancara dengan saya, Biku Janapati dari
Kerajaan Sriwijaya."
Kakek di puncak kiri itu masih tidak bergerak, wajahnya
tidak tampak sama sekali karena ada semacam kabut
menyelimuti mukanya, akan tetapi kini terdengar suara
halus menembus keluar dari kabut itu,
"Biku Janapati, setengah abad lebih yang lalu pernah kita
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saling berjumpa. Andika masih tetap bijaksana, sayang
belum dapat membebaskan diri daripada belenggu kencana
yang melibatkan diri andika dengan Kerajaan Sriwijaya!"
Semua perajurit kedua fihak yang tadi bermusuhan, kini
tertegun, tidak ada yang bergerak, semua memandang
bergantian ke puncak kanan dan puncak kiri di mana Biku
Janapati dan Wasi Bagaspati mengadakan "percakapan"
dengan seorang kakek yang mukanya terselimut kabut dan
yang suaranya begitu halus bergema dan menggetarkan hati
semua pendengarnya. Betapa orang-orang yang berada di
kedua puncak yang berhadapan dapat saling bicara,
sungguh hal yang amat mengherankan dan mengejutkan.
"Sadhu-sadhu-sadhti,.............. betapa mungkin saya
dapat melupakan suara ini" Bukankah andika ini Sang Sakti
Jitendrya?" berkata Biku Janapati sambil menggoyang
tangan kirinya dan terdengarlah suara berdencingan nyaring
menyakitkan telinga. Semua perajurit tercengang keheranan
melihat betapa seuntai tasbih digerakkan perlahan dapat
mengeluarkan suara seperti itu!
Suara dari dalam kabut terdengar lagi, "Terserah kepada
andika, Biku Janapati, hendak menyebut dengan nama
apapun boleh. Memang bukan hanya menjadi kewajibanku
seorang, bahkan seluruh manusia di atas bumi ini harus
melatih diri dengan jitendrya (menahan nafsu)!"
"Wahai Sang Sakti Jitendrya yang arif bijaksana! Andika
menyatakan bahwa saya belum terbebas daripada belenggu
kencana yang melibatkan diri saya dengan Kerajaan
Sriwijaya! Sebaliknya, semenjak setengah abad yang lalu,
andika selalu berfihak kepada keturunan Mataram!
Bagaimana pula ini" Adakah seorang sakti mandraguna dan
arif bijaksana seperti andika masih juga memiliki sifat
menyalahkan orang lain tanpa menengok cacad sendiri?"
Suara di balik kabut itu kini terdengar lagi, angker dan
penuh wibawa, seperti suara seorang guru menasehati dan
menegur muridnya, "Sang Biku Janapati, seorang biku tidak
hanya hafal akan isi kitab-kitab pelajaran agama, melainkan
terutama sekali mentaati dan mengerjakan semua isi
pelajaran itu untuk memberi contoh dan menuntun para
umatnya. Aku sama sekali tidak memihak atau pilih kasih,
tidak membela keturunan Mataram hanya membela yang
benar mengingatkan yang keliru. Andika khilaf dalam
memilih sahabat sehingga andika telah menyalahi makna
pelajaran yang berbunyi demikian : ' Hendaknya orang
tidak berteman dengan orang jahat atau tercela, sebaliknya
bertemanlah dengan orang yang melakukan kebajikan dan
yang berjiwa luhur. Orang bijaksana tenang menghadapi
apapun yang menimpa dirinya, tidak merengek-rengek
menginginkan kesenangan duniawi, tidak memperlihatkan
perubahan, dalam suka atau duka, tidak terikat oleh
kebahagiaan ataupun penderitaan. Namun, andika masih
menghambakan diri kepada Sriwijaya sehingga tidak
mungkin andika bebas daripada duniawi!"
Merah wajah Biku Janapati mendengar ucapan ini. Dia
diserang dengan ujar-ujar dari Agama Buddha sendiri!
Dengan suara gemetar karena menahan peluapan perasaan
tersinggung, pendeta ini berkata,
"Wahai Sang Sakti Jitendrya! Faham kita berselisih
karena pandangan kita berbeda, seperti bedanya kedudukanmu sekarang. Andika berada di puncak itu,
sebaliknya saya berada di puncak ini. Tentu saja
pemandangan menjadi berlainan kalau dipandang dari situ
dengan kalau dipandang dari sini. Saya hanya seorang
manusia, tidak lepas daripada kewajiban terhadap negara
dan bangsa. Saya menghambakan diri di Sriwijaya dan
agama, demi untuk kebaikan di dunia ini."
Kakek aneh itu tidak menjawab dan pada saat itu,
Tejolaksono sudah tiba di puncak. Ia melihat cahaya terang
menyelimuti wajah kakek itu, membuat matanya menjadi
silau dan serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut dan
bersembah sujut. Jelas kini bahwa pemuda yang, berdiri di
samping kakek itu adalah Bagus Seta yang memandangnya
dengan pandang mata penuh keharuan dan cinta kasih yang
terpendam dan tertindas, sehingga wajah anak itu
mengeluarkan( sinar lembut, akan tetapi anak itupun tidak
berkata-kata apa-apa. Sebagai seorang sakti, Tejolaksono
maklum bahwa puteranya tidak berani mengganggu kakek
sakti yang sedang berwawancara secara aneh itu,
menghadapi dua orang kakek yang berdiri di puncak jauh di
sebelah depan. "Hah, Biku Janapati! Perlu apa banyak berbantah dengan
dia" Sekarang akupun teringat siapa dia itu!" Sang Wasi
Bagaspati kini berkata, suaranya penuh ejekan dan
kemarahan. "Hei, engkau pertapa sombong yang berada di
depan! Bukankah engkau ini yang dahulu disebut
Bhagawan Sirnasarira . yang pernah menyelamatkan
Airlangga di Wonogiri dari tanganku" Engkau memang
selalu membela keturunan Mataram akan tetapi lidahmu
yang tak bertulang pandai mengelak dan menyangkal, itu
bukan perbuatan orang gagah dan kalau kau memang
berkepandaian, mari kita mengadu kesaktian! Sang Hyang
Bathara Shiwa yang maha kuasa melebur seisi jagad akan
menghancurkan pula orang berlagak dewa seperti engkau!"
Ucapan yang kasar penuh tantangan dari Wasi Bagaspati
ini dikeluarkan dengan suara yang nyaring sehingga semua
orang yang mendengarnya menjadi gentar dan tegang
hatinya. Makin terasalah kesunyian di puncak itu setelah
Sang Bagaspati menghentikan kata-katanya. Sejenak ikakek
aneh itu tidak menjawab, sesaat kemudian barulah
terdengar lagi suara halus dari balik kabut itu,
"Hemmmm, Wasi Bagaspati, seperti tadi Biku Janapati
menyebut aku Jaendrya, engkaupun boleh menyebutku
sesuka hatimu, Sirnasarira atau apa saja terserah, tiada
bedanya. Kalau dahulu aku menyelamatkan Airlangga,
bukan sekali-kali aku menyelamatkan keturunan Mataram
atau seorang yang bernama Airlangga, melainkan
menyelamatkan seorang manusia yang sedang dilanda
kesengsaraan dan mencegah manusia lain yang hendak
menggunakan kekuatan dan kelebihan untuk bersikap
sewenang-wenang seperti yang kaulakukan, Wasi Bagaspati!" "Heh, Bhagawan Sirnasasira yang sombong! Engkau
memiliki wawasan sendiri, apa kaukira aku tidak
mempunyai pendapat sendiri pula" Engkau tahu aku
pemuja Sang Hyang Bathara Shiwa, dan aku berhak
mengabdi kepadaNya. Memanglah menjadi kekuasaanNya
untuk menghancurkan isi jagat. Apakah kau hendak
menentang dan berani melawan kekuasaanNya?"
"Wahai, Wasi Bagaspati, sungguh menyeleweng wawasanmu! Memang kita sama tahu bahwasanya ada tiga
sifat Yang Maha Kuasa, yaitu mencipta, memelihara, dan
menghancurkan. Ketiga sif at yang saling menyusul, saling
bersambung dan saling meinghidupkan sehingga terbentuk
lingkaran sempurna. Memang betul bahwa Sang Hyang
Bathara Shiwa yang menguasai sifat terakhir tadi, berhak
dan berkuasa menghancurkan. Akan tetapi betapapun juga,
tidak akan melanggar, mendahului atau tertinggal oleh
Dharma! Segala macam kehancuran yang dilaksanakan
oleh Sang Hyang Shiwa demi pelaksanaan tugas adalah
selaras dengan Dharma (kebenaran), tak lebih tak kurang.
Adapun Dharma daripada para Dewata merupakan rahasia
bagi manusia, Wasi Bagaspati, karena itulah maka
seringkali timbul persangkaan daripada manusia betapa
tidak adilnya kehancuran yang menimpa dirinya. Padahal,
semua itu sudah adil, sudah tepat, sudah semestinya karena
berlandaskan Dhar ma. Adapun untuk kita manusia, yang
tahu akan baik buruk, akan benar salah menurut
pertimbangan dan pendapat serta pengetahuan kita adalah
tentu saja menurut pertimbangan ini, yang baik, yang benar,
menjunjung kebajikan. Lupakah engkau akan nasehat
dalam ajaran agamamu yang berbunyi begini :.............. "
"Prihen temen dharma dhumaranang sarat.
Saraga sang sadhu sireka tutana,
Tan artha tan kama pidonya tan yasa,
Ya shakti sang sayana dharma raksaka."
(Carilah) sungguh-sungguh kebenaran
untuk mengatur masyarakat.
Bagi orang jujur Itulah yang diturut,
Bukan harta bukan kasth bukan pula jiasa
Kuat sang budiman karena berpegang kepada
Dharma.) "Huah-ha-ha-ha-ha! Kau pertapa tua bangka yang
sombongi Lagakmu seperti hendak memberi wejangan para
dewata di Suralaya! Semenjak muda, puluhan tahun aku
memuja Sang Hyang Bathara Shiwa, apa kaukira aku
belum dapat mengenal isi daripada pelajarannya?"
"Wasi Bagaspati! Mengenal tanpa pengertian tiada
gunanya. Mengerti tanpa pelaksanaan juga kosong
melompong. Yang dipuja isinya, bukan kulitnya. Engkau
tidak memuja keadilan Sang Hyang Shiwa, melainkan
memuja kekuatannya. Kekuatan yang dipergunakan bukan
dengan landasan kebenaran, sesungguhnya hanyalah
kelemahan yang amat lemah. Mengandalkan kekuatan,
kekuasaan, dan kelebihan untuk berlaku sewenang-wenang,
hanya menimbun racun yang akhirnya akan meracuni dan
merusak diri pribadi. Suro diro jayaningrat lebur dening
pangastuti! Lupakah engkau akan hal itu, Sang Wasi
Bagaspati?" "Aaaauuuurrggghhhh .............. !!!" Pekik yang keluar
dari dalam dada Wasi Bagaspati melalui kerongkongannya
ini hebat-nya bukan main. Para perajurit sampai jatuh
bertekuk lutut karena tidak dapat bertahan, mereka berlutut
dan menggigil. "Bhagawan Sirnasarira! Mari kita mengadu
kesaktian! Lihat kekuasaan Sang Hyang Bathara Shiwa,
keparat!" Wasi Bagaspati menggerakkan tangannya dan tiba-tiba di
tangan kanannya sudah memegang sebuah senjata yang
mengeluarkan cahaya gemilang menyilaukan mata. Senjata
ini bentuknya seperti sebuah senjata cakra, bergagang
tombak akan tetapi ujungnya berbentuk lingkaran yang
mempunyai banyak mata tombak. Tiba-tiba angin besar
datang bertiup ketika pendeta ini mengangkat senjata itu ke
atas kepalanya. Ia kelihatan menyeramkan sekali! Mukanya
yang selalu merah itu kini seolah-olah berubah menjadi bara
api yang mengeluarkan asap yang menyelubungi mukanya,
namun masih ditembusi sinar matanya yang seperti kilat
menyambar. Ketika angin bertiup, rambutnya yang panjang
putih itu melambai berkibar-kibar seperti bendera. Angin
makin besar dan tiba-tiba langit tertutup mendung, disusul
geledek menyambar-nyambar diiringi kilat. Para perajurit
makin ketakutan dan kini semua orang, termasuk para
perwira, bertekuk lutut dan menyembunyikan muka di balik
kedua tangan, penuh ketakutan dan kengerian. Dunia
seolah-olah hendak kiamat, bumi bergetar dan pohon-
pohon besar seperti akan tumbang.
Kembali Wasi Bagaspati mengeluarkan pekik dahsyat.
Kilat dan geledek makin hebat mengamuk dan turunlah air
hujan seperti dituang dari langit, air hujan yang besar-besar
dan berjatuhan menimpa kulit menimbulkan rasa nyeri.
Makin ributlah para perajurit kedua fihak.
"Sadhu-sadhu-sadhu .............. , kembali kau tak dapat
menguasai nafsu kemarahanmu, saudaraku Wasi Bagaspati
.............. !" terdengar suara Biku Janapati yang halus akan
tetapi mengatasi suara ribut dan ledakan-ledakan petir.
Anehnya, tidak ada air hujan yang menimpa tubuh pendeta
Buddha ini. Tubuhnya seakan-akan terlindung sebuah
kurungan yang tak tampak sehingga air hujan yang menimpa dari atas menyeleweng semua ke sekeliling tubuhnya! Hal ini membuktikan pendapat Ki Tunggaljiwa dahulu kepada Tejolaksono bahwa tingkat ilmu kesaktian Sang Biku Janapati masih lebih tinggi daripada Sang Wasi Bagaspati. Akan tetapi yang lebih aneh lagi adalah kenyataan bahwa puncak di mana kakek aneh bersama Bagus Seta dan Tejolaksono berada, sama sekali
tidak terganggu oleh keadaan yang menyeramkan ini.
Jangankan hujan dan kilat, bahkan anginpun yang lewat
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanyalah angin gunung sumilir sejuk! Awan hitam yang
tampaknya hendak menyerang daerah ini, membalik lagi,
demikian pun angin dan geledek!
"Wasi Bagaspati!" terdengar suara kakek di Batik kabut
itu dengan suaranya yang halus namun menembus semua
kegaduhan dan terdengar oleh semua orang yang berada di
situ. "Kekuasaan dan kesaktian yang didasari oleh sifat
tidak benar, tidak adil, dan sewenang-wenang, hanya akan
meracuni diri pribadi!" Tangan kiri kakek itu terangkat ke
atas dan .............. semua keadaan yang menakutkan itupun
lenyaplah. Keadaan menjadi terang kembali, tidak ada
angin, tidak ada awan, tidak ada hujan maupun kilat. Akan
tetapi bekas-bekas amukannya masih tampak, pakaian para
perajurit basah semua, pohon-pohon tumbang.
"Pertapa keparat! Berani engkau menghina murid
terkasih Sang Hyang Bathara Shiwa .............. ?" Wasi
Bagaspati berteriak-teriak marah dan dilontarkannyalah
senjata cakra di tangannya itu ke udara. Senjata itu
mengaung dan meluncur cepat bagaikan bernyawa, menuju
ke puncak depan. Tampak oleh semua perajurit betapa
senjata yang kini merupakan cahaya merah itu melayang-
layang dan turun hendak menerjang tubuh si kakek aneh di
seberang puncak. Akan tetapi, senjata itu hanya melayang-
layang dan mengitari tubuh sang pertapa, seakan-akan tidak
kuasa menembus cahaya berembun, kemudian terbang
kembali menuju Wasi Bagaspati yang menerima pusakanya
sambil membanting-banting kaki.
"Sadhu-sadhu-sadhu .............. , dia amat sakti mandraguna, senjata dewatapun tidak akan mempan.
Saudaraku, tiada gunanya melawan. Seorang bijaksana
dapat menyadari keadaan sebelum terlambat. Lebih baik
kita mundur sebelum hancur. Sang Sakti Jitendrya
bukanlah lawan kita."
Setelah berkata demikian, Biku Janapati lalu melangkah
turun dari puncak itu tanpa menoleh lagi, pergi secara
terburu-buru. Melihat betapa temannya yang dapat ia
andalkan telah pergi, hati Wasi Bagaspati mulai menjadi
gentar. Ia mengerahkan seluruh tenaga batinnya, disalurkan
ke dalam sinar matanya dan dengan kekuatan gaib ini ia
memandang ke puncak depan dan berhasil menembus
kabut yang menyelimuti wajah lawan. Begitu ia dapat
memandang wajah kakek di depan itu, mukanya menjadi
pucat dan ia segera membuang muka, lalu melambaikan
tangannya memberi isyarat kepada semua anak buahnya
dan hanya satu kata-kata yang keluar dari mulutnya, namun
cukup jelas dan lantang, "Mundur ..............
Bagaikan rombongan semut ditiup, bergeraklah semua
perajurit anak buahnya, dipimpin oleh Cekel Wisangkoro
dan kawan-kawannya yang juga pucat wajahnya, tanpa
mengeluarkan suara mereka semua pergi dari situ, seolah-
olah takut bahwa sedikit suara akan mendatangkan
malapetaka bagi mereka. Tidak sampai terlalu lama,
Gunung Merak telah ditinggalkan Wasi Bagaspati dan
seluruh pasukan pengikutnya, tinggal para perajurlt Panjalu
yang masih berlutut sambil memandang ke arah puncak di
mana kakek aneh itu masih berdiri tegak. Di sampingnya
berdiri Bagus Seta dan di depan-nya berlutut Tejolaksono.
Setelah semua lawan pergi, Bagus Seta kini pun
menjatuhkan diri berlutut, menghadapi ayahnya dan
terdengar suaranya memanggil, "Kanjeng rama .............. !!"
"Anakku Bagus Seta .............. "
Mereka saling pandang dan dari pandang mata ini saja
tercurah kasih sayang yang amat besar. Adipati Tejolaksono
maklum bahwa puteranya telah menjadi seorang gagah dan
sakti, yang tentu saja tidak mau tunduk terhadap perasaan
dan nafsu sehingga rasa rindu yang membuatnya ingin
sekali memeluk ayahnya telah ditekannya dengan kuat.
Tejolaksono sendiri seorang yang sakti mandraguna, ia
tidak mau memperlihatkan kelemahan dan keharuan, maka
ia hanya memandang wajah puteranya dengan sepasang
mata terasa panas karena menahan keluarnya air mata.
Tiba-tiba dari balik kabut yang menyelimuti wajah kakek
itu terdengar suara halus, "Sang adipati, dharma bakti
menuntut pengorbanan. Relakan puteramu untuk lima
tahun lagi agar kelak berguna bagi tegaknya kebenaran dan
keadilan." Tejolaksono memandang dan ia melihat seperti apa yang
disaksikan Wasi Bagaspati tadi, melihat wajah yang
cemerlang, sukar ditentukan bentuknya, hanya tampak
sebuah wajah seperti bayangan, wajah yang terlalu lembut,
terlalu halus, terlalu cemerlang seperti keadaan langit
bermandi cahaya matahari pagi, indah dipandang namun
tak kuat mata lama-lama memandang, sehingga ia
menundukkan muka dan tidak berani mengeluarkan suara.
Di sudut hatinya, ia mengakui kebenaran kata-kata yang
ditujukan kepadanya itu. Memang tiada dharma bakti dapat
terlaksana dengan baik tanpa pengorbanan, tiada kebpjikan
dapat dilaksanakan tanpa pengorbanan. Namun pengorbanan lahir belaka! Betapapun juga, ia tetap seorang
manusia biasa yang ada kelemahannya, seorang ayah yang
rindu kepada putera tunggalnya. Biarpun dengan kebijaksanaan ia yakin akan kebenaran pendapat kakek itu,
namun perasaan hatinya menjadi trenyuh dan terharu.
Haruskah ia berpisah selama llma tahun lagi dengan
puteranya yang baru sekarang ia jumpai setelah berpisah
lima tahun" Tergetar seluruh tubuh Tejolaksono ketika ia
memandang puteranya. Akan ia serahkan keputusannya
kepada puteranya sendiri. Seorang ayah berkewajiban
membimbing puteranya kalau putera itu masih kecil. Akan
tetapi Bagus Seta bukan kanak-kanak lagi, sudah dewasa
dan kalau si anak sudah dewasa, si ayah harus
menyerahkan kekuasaan kepada si anak sendiri. Dia kini
hanya menjadi pengawas, penasehat, dan pelindung agar
langkah-langkah anaknya tidak menyeleweng daripada
kebenaran. Kakek itu menggerakkan kedua kakinya, membalikkan
tubuh dan melangkah pergi perlahan-lahan, tanpa sepatah
kata-pun kepada Tejolaksono dan puteranya. Agaknya
kakek ini pun tidak menggunakan paksaan kepada ayah dan
anak. Ayah dan anak ini saling pandang; dengan sinar mata
seolah-olah hendak menembus dada masing-masing,
menjenguk hati masing-masing. Lalu Bagus Seta tersenyum,
menggerakkan tangan mengambil bunga cempaka putih
yang tadi terselip di atas telinganya.
"Kanjeng rama, hamba mohon maaf bahwa sampai
sekarang hamba belum juga dapat berdharma bakti kepada
rama ibu. Hamba harus memperdalam ilmu selama lima
tahun lagi, dan mohon paduka sudi menyerahkan bunga ini
kepada kanjeng ibu sebagai pengganti jasmani hamba."
Dengan jari-jari tangan tergetar Tejolaksono menerima
kembang cempaka putih dari tangan puteranya, hatinya
penuh kekaguman dan kecintaan. Ia dapat meraba dengan
perasaan dan kewaspadaannya bahwa puteranya kelak akan
menjadi seorang yang luar biasa, bahkan kini sentuhan
ujung jari tangan mereka saja sudah mendatangkan getaran
hawa yang mendatangkan rasa nyaman, pandang mata
yang halus itu begitu penuh wibawa dan pengaruh murni.
"Baik, puteraku .............. aku .............. aku mengerti
.............. " Hanya demikian Tejolaksono dapat mengeluarkan kata-kata sambil menekan keharuan hatinya.
Bagus Seta meninggalkan senyum yang membuat hati
ayahnya makin terharu karena pada senyum itu selain
Tejolaksono dapat melihat pengertian yang mendalam, juga
senyum itu sama benar dengan senyum Ayu Candra! Bagus
Seta sudah melangkah pergi mengikuti bayangan gurunya
dan biarpun guru dan murid itu melangkah perlahan,
namun dalam sekejap mata saja mereka telah turun dari
puncak! Setelah bayangan kedua orang. itu lenyap, Tejolaksono
menggoyang-goyang kepalanya seperti orang baru bangun
dari mimpi. Ia menoleh dan melihat betapa para
perajuritnya yang kehilangan musuh itu masih berlutut
semua seperti orang-orang yang kehilangan semangat,
bengong dan tak tahu harus berbuat apa. Semua yang
mereka saksikan tadi adalah terlalu besar, terlalu aneh dan
terlalu menyeramkan bagi mereka sehingga mereka hampir
tidak dapat mempercayai kedua mata sendiri.
Tejolaksono bangkit, memandang cempaka putih dan
mencium bunga yang harum ini. Keharuman bunga itu
meresap terus sampai di hati dan aneh sekali rasanya,
keharuman bunga ini seolah-olah menyiram hatinya dan
membuat hatinya kuat, mengusir keharuan dan kekecewaan. Bukan main kagum hati Tejolaksono, kagum
dan bangga. Puteranya begini hebat, pikirnya. Dengan
penuh rasa sayang ia menyimpan bunga itu ke dalam saku
dalam, kemudian ia menuruni puncak. Barulah pasukannya
mendapatkan kembali semangat mereka ketika melihat
pimpinan mereka berada di antara mereka. Segera mereka
memenuhi perintah Tejolaksono, mengurus yang gugur dan
merawat yang luka. Kemudian Tejolaksono membawa
pasukannya kembali ke Selopenangkep. Dalam perjalan
pulang ini saja sudah tampak perubahan besar sekali. Tidak
pernah mereka bertemu lawan dan di sepanjang jalan
Tejolaksono mendengar dari para penduduk bahwa
pengacau-pengacau yang tadinya mengganggu dusun-dusun
di sekitar perbatasan daerah Panjalu kini telah pergi semua!
Makin ke timur, makin baiklah keadaannya, tidak terjadi
gangguan-gangguan lagi. Penduduk yang tidak mengerti
apa yang sesungguhnya telah terjadi di puncak Gunung
Merak, menganggap bahwa larinya semua musuh ini
adalah akibat "pembersihan" yang dilakukan oleh
Tejolaksono, maka dimana-mana rakyat menyambut
pasukan Tejolaksono dengan penuh syukur dan kegembiraan. Namun, para perajurit dan Tejolakscno
sendiri khususnya, mengerti bahwa semua ini adalah jasa
kakek sakti luar biasa yang disebut Bhagawan Jitendrya
oleh Biku Janapati dan disebut Bhagawan Sirnasarira oleh
Wasi Bagaspati. Pengaruh pertapa luar biasa inilah yang
membuat dua orang pucuk pimpinan musuh itu menjadi
gentar dan memerintahkan penarikan mundur semua anak
buah mereka. Tejolaksono menanti sampai sebulan di Selopenangkep.
Setelah mendapat kenyataan bahwa semua daerah benar-
benar sudah aman, berangkatlah ia membawa sisa
pasukannya ke Panjalu, menghadap sang prabu dan
membuat laporan selengkapnya, juga ia melaporkan tentang
munculnya Biku Janapati dan Wasi Bagaspati sebagai
utusan-utusan Kerajaan Sriwijaya dan Cola dan betapa
kedua orang ini telah dapat ditundukkan dan ditaklukkan
oleh seorang kakek sakti yang oleh kedua orang itu disebut
Bhagawan Jitendrya dan juga Bhagawan Sirnasarira.
Jilid XVIII "JAGAT Dewa Bathara ............ !" Sang Prabu Panjalu
berseru kaget dan juga tercengang keheranan. "Tidak bisa
keliru lagi, Adipati Tejolaksono! Kakek pertapa sakti itu
bukan lain tentulah eyang Bhagawan Ekadenta! Biarpun
aku sendiri belum pernah berjumpa dengan beliau, namun
pernah dahulu aku mendengar penuturan mendiang Rama
Prabu Airlangga yang pernah ditolong oleh eyang
Bhagawan Ekadenta ketika rama prabu mengungsi ke
Wonogiri dan terancam keselamatannya oleh musuh, yaitu
pasukan-pasukan Sriwijaya yang juga dibantu oleh tokoh-
tokoh dari Cola. Sungguh luar biasa. Semenjak setengah
abad yang lalu, beliau sudah menjadi seorang kakek sakti,
dan selama ini tidak pernah terdengar namanya, bahkan
ada berita bahwa Eyang Bhagawan Ekadenta telah
meninggalkan dunia Ini tanpa jejak; murca berikut raganya.
Itulah sebabnya maka dijuluki Sirnasarira (lenyap
tubuhnya)." Juga para senopati kagum mendengar ini dan
menyatakan suka cita bahwa Panjalu dibantu oleh seorang
yang sakti itu, menjadi pertanda bahwa Kerajaan Panjalu
masih dilindungi para dewata.
"Betapapun juga, para senopati dan ponggawaku yang
setia. Kita tidak boleh mabuk oleh kemenangan, karena
betapa-pun sukarnya merebut kemenangan, menjaganya
adalah lebih sukar lagi. Justeru kemenangan yang ajaib ini
malah harus menjadi cambuk bagi kita untuk mempertebal
kewaspadaan. Oleh karena itu, Tejolaksono, engkau tidak
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
usah kembali ke Selopenangkep, biarlah aku akan
mengangkat orang lain untuk mengurus Selopenangkep.
Adapun engkau dan isterimu tinggallah di sini, karena
engkau kuangkat menjadi patih muda, membantu Kakang
Patih Suroyudo dan kuserahi tugas bagian pertahanan.
Engkaulah sebagai wakilku sendiri mengatur semua
senopati dan seluruh barisan Panjalu!"
Tejolaksono terkejut, girang dan juga bersyukur sekali
karena anugerah ini amatlah besar baginya. Semenjak saat
itu ia disebut Patih Tejolaksono dan mendapat sebuah
istana di kepatihan Panjalu. Setelah menghaturkan terima
kasih dan mendapat perkenan sang prabu, bergegas
Tejolaksono pulang ke pesanggrahan menemui isterinya.
Ayu Candra menyambut suaminya dengan tangis dan
tawa saking gembira dan bahagianya. Tidak saja suaminya
berhasil mengusir musuh negara dan membalas dendam
atas kehancuran Selopenangkep dan kematian kedua orang
bibi mereka, akan tetapi terutama sekali karena suaminya
dapat pulang dalam keadaan selamat, mengingat akan
beratnya tugas yang diplkulnya dan saktinya lawan-lawan
yang dihadapinya. "Nimas, sungguh terjadi hal yang sama sekali tak pernah
kuduga ............ , di puncak Gunung Merak aku bertemu
dengan Bagus seta!" Terbelalak mata Ayu Candra Memandang suaminya,
berseri-seri penuh kebahaglaan dan dua titik air mata
bahagia meloncat keluar ke atas pipinya. "A ............ anak
............ kita ............ " Bagaimana dia" Kenapa tidak ikut
pulang ............ "Il
Pertanyaan itu penuh harap dan dengan tenang
Tejolaksono lalu menceritakan pengalamannya di puncak
Pegunungan Merak, di mana hampir saja ia tewas kalau
saja tidak ditolong oleh kakek sakti yang bernama
Bhagawan Jitendrya, juga Bhagawan Sirnasarisa atau oleh
sang prabu disebut Bhagawan Ekadenta. Ia ceritakan
tentang keadaan Bagus Seta yang sehat dan betapa putera
mereka Itu telah menjadi seorang pemuda yang gagah dan
tampan. "Aahhh ............ , mengapa dia tidak diajak pulang"
Bagaimana dia harus dipisahkan dari aku sampai lima
tahun lagi?" Ibu yang sudah amat rindu kepada puteranya
itu mengeluh dan mulailah Ayu Candra menangis.
Tejolaksono mengeluarkan bunga cempaka putih darI
saku dalam bajunya. Ia makin kagum menyaksIkan betapa
bunga itu tIdak layu. Tahulah ia bahwa puteranya telah
memiliki kesaktian yang mujijat, maka. cepat-cepat ia
menyerahkan bunga itu kepada isterinya sambil berkata,
"Nimas, kaulihat ini. Puteramu itu menitipkan bunga ini
kepadaku dengan pesan agar diberikan kepada ibunya ...... "
"Aduh, anakku ............ !" Ayu Candra terbelalak
memandang dan menerkam, lalu merampas bunga itu dari
tangan suaminya dengan penuh gairah, lalu sambil tersedu-
sedu ia menciumi bunga Itu, mendekapnya di dada. "Aduh,
Bagus Seta ............ angger ............ anakku tercinta ............
kau masih ingat kepada ibumu ............ "
Tejolaksono menahan perasaannya agar tidak sampai
menitikkan air mata karena terharu. "Nimas, dia sama
sekali tidak pernah melupakan ayah bundanya. Akan tetapi
Bagus Seta berjiwa ksatria utama, mengesampingkan
kesenangan pribadi untuk menggembleng diri agar kelak
dapat berdharma bhakti kepada sesama manusIa."
Ayu Candra hanya sebentar diamuk gelombang perasaan
rindu dan terharu, .kini ia sudah tenang, memegangi bunga
cempaka putih dengan bengong seperti orang melamun,
kemudian ia mengangguk-angguk perlahan. "Benar sekali,
Kakanda, memang putera kita harus berjiwa ksatria. Biarlah
kurelakan dia lima tahun lagi, biarlah kita sebagai orang
tuanya berprihatin agar dia menjadi seorang manusia
utama, seperti ramandanya."
Tejolaksono makin terharu, memeluk dan mengecup
ubun-ubun isterinya yang terkasih. "Engkau seorang ibu
yang bijaksana, seorang isteri yang hebat ............ ! Dan
Bagus Seta ............ putera kita yang mengagumkan
............!" Memang ia kagum sekali karena bunga cempaka
putih itu ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa
sekali, yang dalam waktu sebentar telah dapat mengobati
kerinduan hati Ayu Candra.
Mulailah Tejolaksono melaksanakan tugasnya yang
baru, sebagai patih muda di Kerajaan Panjalu. Dengan
amat tekunnya menggembleng barisan Panjalu melalui para
senopati dan semenjak dia menjadi patih muda yang
berkuasa di bagian pertahanan negara, maka keadaan
menjadi aman tenteram, pengaruh Kerajaan Panjalu makin
besar, tidak ada lagi raja-raja muda yang berani menentang
dan melakukan penyerangan.
Akan tetapi benar-benarkah SriwIjaya dan Cola
menghentikan usaha mereka untuk menanam pengaruh di
Panjalu" Benar-benarkah mereka itu mundur teratur dan
tidak berani lagi melakukan kekacauan"
Sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Tepat seperti
yang dikatakan oleh sang prabu di Panjalu agar mereka
semua mempertebal kewaspadaan, karena sesungguhnya,
Kerajaan Panjalu, dan terutama sekali Jenggala yang tidak
lagi diganggu kerusuhan-kerusuhan, belum terbebas
daripada bahaya yang mengancam. Secara halus Kerajaan
Sriwijaya masih mencoba untuk memperlebar pengaruhnya
sampai di kedua kerajaan ini melalui Agama Buddha yang
disebarluaskan, dipimpin oleh Biku Janapati yang
bijaksana. Karena sang biku menggunakan cara yang halus,
tidak memakai kekerasan, maka usahanya ini lebih
berhasih. Namun yang menjadi ancaman bahaya besar
adalah usaha yang dijalankan oleh Wasi Bagaspati. Sang
wasi yang merasa penasaran akan gagalnya usahanya, kini
menyebar kaki tangannya, terutama sekali di Jenggala,
dengan secara cerdik dan halus ia menyuruh mereka
menyelundup ke dalam kerajaan,, menggunakan pengaruh
harta benda dan ilmu hitam sehingga banyak di antara anak
buahnya yang berhasil menduduki tempat-tempat terpenting dalam pemerintahan. Bahkan kuku-kuku
cengkeraman yang tidak tampak oleh mata ini menyelundup sampai ke dalam istana Kerajaan Jenggala!
Memang hebat sekali usaha Sang Wasi Bagaspati yang
mengadakan penyelundupan-penyelundupan
rahasia, terutama sekali di istana Kerajaan Jenggala. Banyak di
antara anak buahnya yang sakti, laki-laki dan terutama
wanita-wanita cantik, dijadikan senjata untuk usaha ini.
Pada waktu itu memang harus diakui bahwa Kerajaan
Jenggala amat lemah kedudukannya. Kerajaan Jenggala
masih dapat berdiri tegak dan tidak ada musuh berani
mengganggu hanya karena mereka itu sungkan dan takut
kepada Kerajaan Panjalu. Mereka maklum bahwa
memusuhi Jenggala berarti akan berhadapan dengan
Panjalu pula, karena sebagai saudara, Panjalu tentu akan
membela Jenggala. Sebetulnya, sebagai putera mendiang Sang Prabu
Airlangga yang arif bijaksana, raja di Jenggala bukanlah
seorang yang jahat atau lalim. Sang prabu di Jenggala
cukup baik dalam arti kata sebagai raja, cukup mencinta
rakyatnya dan bukan seorang raja yang menindas rakyat.
Akan tetapi, sang prabu mempunyai sebuah kelemahan
sebagai seorang pria, yaitu bahwa sang prabu mudah
tergoda oleh wanita cantik. Kalau para wanita yang banyak
jumlahnya itu menggoda sang prabu hanya dengan pamrih
agar menjadi selir dan mendapat kedudukan mulia, hal itu
tidak mengapa. Akan tetapi, akhir-akhir ini sang prabu di
Jenggala amat berubah sikapnya setelah dia mendapatkan
seorang selir baru. Celakanya, berbeda dengan selir-selir
lainnya yang puluhan orang banyaknya, selir baru ini tidak
hanya terbatas pada kemuliaan pamrihnya, melainkan lebih
tinggi lagi. Selir baru ini ingin mendapatkan kekuasaan
tertinggi sesudah raja, dan untuk mencapai hal ini, ia
mempergunakan segala kecantikan wajahnya, segala
kesegaran tubuh mudanya, segala bujuk rayu yang
menggairahkan sehingga hati sang prabu di Jenggala yang
masih muda biarpun tubuhnya sudah tua itu menjadi jatuh
dan tunduk. Siapakah selir baru yang muda belia, segar menggairahkan ini" Dia seorang wanita masih muda belia,
tujuh belasatau delapan belas tahun usianya, bagaikan
setangkai bunga yang sedang mekar semerbak mengharum,
bagaikan buah mangga sedang ranum matang hati, manis
segar dan renyahl Wajahnya manis sekali, terutama kerling
matanya yang tajam melebihi mata pedang, kerling yang
menyambar-nyambar membetot hati membuat sukma pria
melayang-layang karena dalam kerling ini terkandung
tantangan dan ajakan kepada pria untuk bertamasya ke
dalam surga kenikmatan. Selain sepasang mata indah yang
memiliki kerling "maut" ini, juga mulutnya membuat setiap
mata laki-laki memandang bagaikan tergantung dan lekat
pada sepasang bibir itu! Bibir itu merah segar, berkulit tipis
seperti kulit kentang, seperti buah tomat masak,
menggemaskan hati, membuat orang ingin sekali menggigitnya, menantang dan selain dapat mencipta
senyum memikat dan memabukkan, juga bibir yang basah
dapat bergerak-gerak menggairahkan sehingga selalu
tampak memberahikan ketika dicemberutkan, atau dijebikan, atau bergerak-gerak seperti menggigil. Deretan
gigi putih seperti pagar mutiara melindungi rongga mulut
yang merah penuh tantangan. Wajah yang manis sekali,
yang bagaikan besi semberani menarik pandang mata setiap
orang pria yang berjumpa dengannya. Rambutnya hitam
panjang dan agak berombak, membentuk sinom halus di
dahi dan anak rambut melengkung di depan telinga, kalau
dibiarkan terurai, panjangnya sampai ke bawah pinggul.
Tubuhnya tingi ramping, padat penuh dengan lekuk-
lengkung sempurna dalam pandangan setiap orang pria,
dan ia dapat menggerak-gerakkan setiap bagian tubuhnya
dengan gerakan yang luwes dan memikat. Kulitnya yang
agak hitam tidak menjadi cacat, bahkan menambah
kemanisannya. Siapakah dia" Kita sudah mengenalnya. Namanya
Suminten! Di bagian depan cerita ini telah dituturkan
bahwa Suminten adalah abdi dalem (pelayan) mendiang
Pangeran Panjirawit dan Endang Patibroto. Suminten
ketika menjadi abdi dalem di istana pangeran itu, seringkali
mengintai dan menyaksikan adegan mesra antara Pangeran
Panjirawit dan isterinya. Suami isteri itu selalu berkasih-
kasihan dan akhirnya terbangunlah berahi dalam tubuh
Suminten dan pelayan inl jatuh cinta kepada sang pangeran!
Cinta berahi yang ditahan-tahan .dan akhirnya tercetus
menjadi cemburu, iri hati, dan kebencian terhadap Endang
Patibrotol Ia mengharapkan untuk menjadi selir Pangeran
Panjirawit yang tampan, akan tetapi semua pengharapan
.dan usahanya sia-sia belaka karena sang pangeran terlalu
mencinta isterinya, tidak mau mempunyai selir. Telah
diceritakan betapa kebencian ini membuat Suminten diam-
diam larI kepada Ki Patih Brotomenggala, menceritakan
perbuatan Endang Patibroto yang melukal ayam dengan
ilmu hitam sehingga makin besarlah kecurigaan dan dugaan
ki patih bahwa Endang Patibroto agaknya yang melakukan
pembunuhan-pembunuhan terhadap para ponggawa dengan
ilmu hitam. Suminten dihadapkan kepada sang prabu di
Jenggala, kemudian oleh sang prabu dijadikan abdi dalem
istana. Semenjak saat itulah tampak Suminten yang sesungguhnya, yaitu seorang dara muda belia yang
mempunyai pamrih besar sekali, tidak akan puas kalau
belum mencapaI kedudukan setinggi-tingginya. Terhadap
Pangeran Panjirawit ia memang menaruh kasih sayang
yang sesungguhnya, yang murni dan andaikata terlaksana
keinginan hatinya menjadi selir Pangeran Panjirawit,
agaknya ia akan merasa puas dan bahagia, tidak akan
mencita-citakan hal lain lagi. Akan tetapi, la mendengar
akan keadaan Pangeran Panjirawit, akan kesengsaraan dan
akhirnya akan kematiannya. Hatinya hancur dan ia
bertekad untuk menyalurkan semua cinta bercampur duka
ini menjadi cita-cita untuk menjadi manusia paling berkuasa
di Jenggala agar ia dapat membalas dendam atas kematian
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pangeran Panjirawit, pria yang pernah cinta sepenuh
hatinya. Gadis ini selain cantik manis, juga amat cerdik. Setelah
menjadi abdi dalem di Istana Kerajaan Jenggala, cepat
sekali ia dapat mempelajari keadaan dan dapat pula
mengambil hati para selir, bahkan sampai permaisuri
sendiri menaruh kepercayaan kepadanya dan memberinya
tugas melayani sang prabu. Kesempatan ini dipergunakan
sebaiknya oleh Suminten. Dengan daya tariknya yang luar
biasa, ditambah kelemahan sang prabu terhadap wanita
muda, dalam waktu beberapa hari saja ia berhasil
menjatuhkan hati sang prabu yang usianya sudah
mendekati enam puluh tahun Itu! Akhirnya, dengan resmi
Suminten diangkat menjadi selir termuda Sang Prabu
Jenggalal Semenjak ia diangkat menjadi selir, mulailah Suminten
menggunakan kecerdikannya meniasang jerat, merayu dan
mengambil hati para selir lain untuk mencapai cita-cita
hatinya. Makin pandai ia merayu sang prabu, menggoda
dan melakukan segala macam akal wanita sehingga sang
prabu menjadi makin mabuk dan cinta kepadanya. Sang
prabu menganggap bahwa di antara semua selirnya,
Suminten inilah yang paling mencinta dirinya yang sudah
tua. Hanya Suminten inilah yang mempunyai rasa cinta
kasih yang "murni" terhadap dirinya.
Selain mempermainkan sang prabu seperti pandainya ia
mempermainkan rambutnya, Suminten juga mengambil
hati dan bermuka-muka kepada permaisuri sehingga sang
ratu ini merasa lebih sayang kepadanya daripada kepada
para selir lainnya. Di depan sang ratu, Suminten bersikap
amat merendah diri, amat tekun merawat dan melayani
segala keperluan sang ratu, pandai menghibur dengan kata-
kata manis, memuji-muji dan menjilat-jilat. Sebentar saja
naiklah derajat Suminten, karena ia dikasihi sang prabu dan
disayang sang ratu, maka kedudukan atau derajatnya boleh
dibilang meningkat tinggi di atas derajat semua selir sri
baginya. Kalau diingat betapa dalam waktu beberapa bulan saja ia
telah dapat menanjak dari seorang abdi dalem pangeran
menjadi selir terkasih sang prabu, sesungguhnya kenaikan
derajat ini sudahhal yang luar biasa sekali, apalagi kalau
diingat bahwa Suminten hanyalah seorang yang berasal dari
desa. Namun, bagi Suminten hal ini masih belum
memuaskan hatinya, masih jauh daripada memuaskan. Ia
melihat ada hal-hal yang masih menjadi rintangan baginya
untuk mencapai anak tangga tertinggi.
Hal pertama adalah sang ratu atau permaisuri sendiri.
Betapapun juga tinggi kedudukannya, ia hanya seorang selir
termuda, tentu tidak akan dapat mengalahkan pengaruh
sang ratu, maka sang ratu merupakan sebuah perintang
baginya. Akan tetapi, ia tidak begitu memusingkan hal ini
karena sang ratu harus dianggap rintangan terakhir. Yang
amat menyakitkan hatinya adalah rintangan di depan mata,
yang membuat Suminten gemas sekali. Rintangan ini
berupa seorang selir lain yang sebelum Suminten diangkat
menjadi selir, merupakan selir tercinta dari sang prabu. Selir
ini adalah Puteri Sekarmadu yang baru berusia dua puluh
lima tahun dan sudah lima tahun menjadi selir sang prabu.
Puteri Sekarmadu memang cantik jelita, pendiam, pandai
segala macam kesenian, berwatak halus dan memang dia
adalah puteri seorang adipati di Kanigoro yang dipersembahkan kepada sang prabu oleh sang adipati.
Puteri Sekarmadu adalah yang tercantik di antara semua
selir, namun setelah di situ ada Suminten, puteri ini biarpun
pada dasarnya menang cantik, namun kalah pandai. dalam
keluwesan dan gaya memikat. Puteri Sekarmadu maklum
akan segala polah tingkah Suminten, maklum betapa selir
termuda ini, berbeda dengan lain-lain selir, berusaha sekuat
tenaga untuk menjatuhkan hati, sang prabu, sebagai seorang
puteri yang pandai membawa sikap, Sekarmadu tidak
membuat reaksi apa-apa. Betapapun juga, sang prabu tidak
pernah dapat melupakan Sekarmadu dan biarpun ia kini
seolah-olah menjadi selemas rambut yang dipermainkan
oleh jari-jari tangan Suminten yang cekatan, namun sang
prabu masih saja mendekati Sekarmadu dan membagi
waktunya secara bergilir.
Bagi Suminten, tentu saja ia tidak mencinta sang prabu
setulus hatinya. Mana mungkin dia, seorang dara remaja
berusia tujuh belas tahun, dapat mencurahkan kasih sayang
yang setulusnya terhadap seorang kakek berusia enam
puluh tahun" Tidak, ia muak terhadap belaian kasih sayang
dan pencurahan cinta asmara sang prabu, dan dia sama
sekali tidak cemburu atau iri hati terhadap Sekarmadu.
Yang membuat ia gemas. adalah karena Sekarmadu
dianggapnya sebuah rintangan yang harus dienyahkan
kalau ia mau cepat-cepat mencapai cita-citanya. Namun,
bagaimana ia dapat menjatuhkan Sekarmadu yang
demikian pendiam, halus tutur sapanya, lemah lembut
budinya, dan sukar dicari kesalahannya itu" Namun dengan
sabar dan tekun Suminten mengatur semua rencana,
mendekati semua selir, berbaik dan mengambil hati mereka,
sambil menanti saat dan kesempatan yang baik untuk
menghalau rintangan-rintangan itu, satu demi satu!
Kalau ada orang mengira bahwa selir-selir raja di jaman
dahulu yang begitu banyaknya itu dapat hidup rukun, dia
mengira keliru. Memang pada lahirnya mereka ini tampak
rukun, namun sesungguhnya tidak demikianlah di dalam
hati. Kalau mereka tampak rukun, dan tidak pernah
bertengkar, adalah karena mereka ini takut kepada raja dan
kebencian mereka satu sama lain hanya diutarakan secara
diam-diam dan dengan jalan saling membicarakan
keburukan masing-masing di belakang punggung. Karena
maklum akan keadaan para selir sang prabu di Jenggala ini,
maka secara cerdik sekali Suminten mendekati mereka
semua dengan sikapnya yang mengambil hati dan
merendah sehingga mereka semua merasa suka kepadanya
dan menganggap selir termuda ini sebagai sahabat baik.
Mulai-lah Suminten mengorek-ngorek rahasia pribadi
masing-masing selir itu melalui selir-selir lainnya, membuat
mereka saling membicarakan rahasia dan keburukan
masing-masing sehingga Suminten dapat mengetahui
sebagian besar cacad dan keburukan para selir yang menjadi
saingannya. Pada suatu malam terang bulan yang amat indah. Hawa
malam itu sejuk sekali di dalam taman, berbeda dengan
hawa di dalam kamar yang panas. Suminten duduk
sendirian di dalam taman sari yang sunyi. Malam sudah
mendekati tengah malam, semua penghuni keputren di
mana para selir tinggal, telah tidur pulas, demikian pula
para abdi dalem. Namun Suminten masih duduk melamun
di taman sari. Hatinya tidak puas. Malam itu sang prabu
menjatuhkan giliran kepada Sekarmadu. Hatinya panas.
Bukan karena cemburu, karena dia sendiri sesungguhnya
tidak pernah merasa senang apalagi cinta kepada sang
prabu yang sudah tua. Hanya ia merasa panas dan tidak
senang karena kenyataan bahwa sang prabu masih melekat
kepada Sekarmadu itu berarti bahwa cita-citanya untuk naik
ke tangga tertinggi menghadapi rintangan berat.
"Gilang-gemilang bulan purnama
taman sari bermandi cahaya kencana
termenung sendiri dewi jelita
seperti Bathari Komaratih
Dewl Asmara." Suminten kaget dan ketika ia menoleh dan melihat siapa
orangnya yang berpantun dengan suara merdu dan penuh
rayuan itu, bibirnya yang manis berjebi, matanya
mengerling tajam. Lalu dengan gerakan yang genIt ia
membuang muka. Laki-laki itu masIh muda, tampan dan tubuhnya tinggi
besar. Uslanya antara dua puluh lima tahun, pakaiannya
indah. Dia ini adalah Pangeran Kukutan, seorang di antara
banyak pangeran putera sang prabu terlahir dari para selir.
Pangeran Kukutan ini adalah putera selir yang kini telah tua
dan "tidak terpakai lagi" oleh sang prabu, seolah-olah telah
di "pensiun". Namun sebagai selir raja mempunyai seorang
putera, tentu hidupnya terjamtn, juga Pangeran Kuktuan
mendapat kedudukan terhormat seperti para pangeran lain.
Berdebar jantung Suminten, biarpun ia pura-pura
membuang muka sambil berjebi., Pangeran Kukutan ini
sudah lama menaruh hati kepadanya, semenjak ia menjadi
abdi dalem dan belum dIselir sang prabu.
Kalau ia mau, ia tidak akan menjadi selir sang prabu,
tentu didahului dan diselir pangeran ini. Akan tetapi,
Suminten yang bercita-cita tinggi selalu menolaknya dan
lebih suka menjadi selir sang prabu, sungguhpun di dalam
hatinya seringkali mengenangkan pangeran yang muda dan
tampan ini. Namun, ia seorang wanita yang amat cerdik
dan la tidak mau membiarkan dirinya terseret oleh
perasaannya karena hal ini akan membahayakan kedudukannya dan dapat menyeretnya turun kembali ke
tingkat paling bawah! Maka ia selalu menghadapi Pangeran
Kukutan seperti seekor burung dara yang sukar ditangkap,
jinak-jinak merpati. Rasa sukanya kepada pangeran muda
dan tampan gagah ini membuat ia jika bertemu melempar
kerling memperlihatkan senyum, akan tetapi kewaspadaannya untuk mencapai cita-cita membuat ia
selalu mengelak dari perangkap-perangkap asmara yang
dipasang oleh sang pangeran.
"Aduhai juita ............ jelita yang tiada bandingnya di
atas permukaan bumi ini ............ , agaknya para dewata
memang telah menjodohkan kita, siapa mengira bahwa
hamba yang tak dapat tidur dan berjalan-jalan di sini akan
bertemu dengan dewi pujaan hati ............ !" kata sang
pangeran dengan suara merayu dan duduklah pangeran itu
di atas bangku, dekat Suminten.
Suminten merasa akan kehadiran tubuh pria itu yang
duduk begitu dekat di sampingnya. Kedua kakinya
menggigil, jantungnya berdebar tegang, dan rasa bahagia
menyelundup di hati mendengar kata-kata yang amat indah
baginya itu. Selama menjadi selir sang prabu, ia tidak
pernah mendengar rayuan seperti itu, melainkan suara sang
prabu yang berwibawa dan memerintah, kasih sayang sang
prabu yang kaku dan tidak merayu, dengus napas tuanya
yang terengah-engah, tubuh tuanya yang lemah dan terlalu
sering membutuhkan pijat sehingga melelahkan kedua
tangannya. Kekerasan hatinya mulai mencair seperti lilin
kepanasan dan seluruh urat syarafnya tegang dilanda
berahi, membuat ia ingin sekali menjatuhkan dirinya dalam
dekapan lengan yang kuat, bersandar pada dada yang
bidang itu. Akan tetapi, Suminten menekan perasaannya
dan tanpa menoleh ia berkata, suaranya diketus-
ketuskan, "Pangeran, mau apa engkau ke sini" Dan mengapa berani mengeluarkan kata-kata seperti itu, duduk bersanding dengan aku"
Lupakah engkau bahwa aku adalah ibumu juga, selir daripada ramandamu?" "Heh-heh," sang pangeran terkekeh perlahan, "kalau begitu,
aku adalah anak-mu?"
"Tentu saja engkau anakku! Anak tiri, karena engkau
putera sang prabu!" kata Suminten yang belum berani
menoleh karena ia mendengar suara pangeran itu amat
dekat di telinga kanannya sehingga kalau ia menoleh, muka
mereka akan berhadapan dan berdekatan sekali.
Kembali Pangeran Kukutan terkekeh, suara ketawanya
merdu terdengar oleh telinga Suminten, berbeda dengan
suara tertawa sang prabu yang serak terbabah diseling
batuk! "Ha-ha-ha ............ , kalau begitu, biarlah aku menjadi
puteramu, dan engkau ibuku. Duhai ibunda yang cantik
manis seperti dewi kahyangan, terimalah sembah bakti
puteranda!" Pangeran muda itu sambil tersenyum-senyum
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suminten,
menyembah dan mencium ujung kainnya.
Mau tidak mau Suminten kini memandang dan
menunduk. Alangkah bagusnya kepala yang berambut
hitam tebal itu, tidak seperti kepala sang prabu yang sudah
botak dan rambutnya yang jarang dan memutih. Pundak
yang lebar, dada yang bidang dan menonjol kekar, oto-totot
melingkar kuat, perut yang rata dan kuat, semua tampak di
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balik baju pemuda itu yang terbuka di sebelah depan. Kulit
yang halus padat, sama sekali tidak ada keriput. Berbeda
dengan tubuh sang prabu dengan perutnya yang gendut,
dadanya yang kerempeng, pundak yang menunduk, otot-
ototnya sudah layu! Suminten yang cerdik tidak membiarkan dirinya terseret
oleh berahi, namun ia mempergunakan perhitungan dalam
otaknya, perhitungan untung ruginya, kalau ia menuruti
nafsunya menerima bujuk rayu pemuda ganteng ini. Ah,
memang dia membutuhkan pembantu-pembantu untuk
dapat mencapai cita-citanya. Dan agaknya Pangeran
Kukutan ini dapat ditarik menjadi pembantu pertama dan
pembantu utama. Pertama karena dia seorang pangeran
yang selalu berada di istana, dekat dengannya. Ke dua,
karena ia telah mengetahui rahasia ibunda pangeran ini,
selir ke tiga sang prabu sehingga ia dapat menggenggam
pangeran ini dalam kekuasaannya, apalagi kalau ia berhasil
menundukkannya dengan keindahan wajah dan tubuhnya.
Banyak sekali keuntungan didapat kalau ia melayani
pangeran ini, pikir otaknya yang cerdik sementara
jantungnya makin berdebar keras dan mulai terbakar nafsu
berahi ketika pangeran itu sesudah menyembah lalu
memegang kedua kakinya dan mengelus-elus kedua kaki
kecil itu dengan jari-jari tangan yang nakal dan pandai
membelai. Ketika ia merasa betapa jari-jari tangan itu dad
kaki makin merayap naik, ia menegur dan mengibaskan
tangannya, "Ihhhh ............ Pangeran, engkau tak tahu susila!"
Pangeran Kukutan yang masih berlutut itu menengadahkan mukanya, memandang wajah Suminten
dengan sepasang mata memancarkan sinar kasih sayang
yang tenggelam dalam nafsu berahi yang berkobar-kobar,
mulutnya tersenyum penuh ajakan dan ia berkata, suaranya
tetap halus merdu dan jenaka,
"Elhoo ............ Bukankah aku puteramu dan kau ibuku"
Aduh, Kanjeng Ibu, aku minta dipangku!" Dan pangeran
itu lalu betul-betul menjatuhkan mukanya dl atas pangkuan
Suminten, kedua lengannya memeluk pinggang yang
ramping itu. "Aiihhh ............ I" Suminten menjerit lirlh karena geli,
pinggangnya menggeliat. Akan tetapi Pangeran Kukutan
yang sudah sepenuhnya dikuasai nafsu berahi itu, makin
menggila. "Ibunda yang cantik jelita, anakmu ini minta cium, minta
emik (menyusu), minta kelon (ditemani tidur)!" Berkata
demikian, pangeran itu melanjutkan belaiannya dan
menciumi Suminten. "Iihhhh ............ aaahhh "............ ; Pangeran Kukutan,
berhenti atau ............ aku akan menjerit!"
Ancaman ini berhasil. Pangeran Kukutan tentu saja
merasa takut karena kalau sampai "ibu tirinya" ini benar-
benar menjerit sehingga perbuatannya diketahui oleh sang
prabu, ia tentu akan celaka. Akan tetapi pada saat itu, nafsu
berahi telah memuncak sampai ke ubun-ubunnya, maka
serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut dan suaranya
menggigil ketika ia berbisik,
"Duhai Adinda Suminten, telah terlampau lama aku
menyimpan cinta asmara di dalam hati terhadap Adinda,
tak tertahankan lagi ..... ah, adinia, kasihanilah kakanda ini
............ Suminten juga menggigil seluruh tubuhnya. Perbuatan
nakal pangeran tadi seolah-olah telah membakar tubuhnya,
membuat nafsunya sendiri menyala-nyala, matanya
setengah terpejam, bibirnya ditarik seperti orang tersiksa
nyeri, hidungnya yang kecil mancung kembang-kempis,
tarikan napasnya terdengar, tersendat-sendat, kedua
tangannya digenggam erat-erat. Hanya kecerdikan otaknya
sajalah yang tadi dapat membuat ia kuasa menahan diri.
Kemudian la menunduk, memandang tubuh pangeran yang
berlutut di depannya itu, tersenyum puas dan girang. Satu
hal sudah nyata, ia dapat menggenggam pangeran ini dalam
kekuasaannya dengan pengaruh asmara. Akan tetapi ia
masih belum puas. Pengaruh itu belum meyakinkan karena
ia mau agar supaya pangeran muda ini benar-benar bersetia
kepadanya, setia sampai mati. Maka ia lalu berkata
perlahan, "Pangeran Kukutan, sebelum aku membiarkan kau
menurutkan keinginan hatimu itu, lebih dulu kaudengarkan, baik-baik kata-kataku. Mataku juga tidak
buta dan aku dapat melihat bahwa sudah lama engkau
mencintaku. Akan tetapi, pangeran. Cinta kasih seorang
pria terhadap wanita adalah cinta kasih sementara saja
seperti orang mencinta setangkai bunga yang harum. Kalau
sudah kenyang menikmati keharuman bunga sampai bunga
itu layu dan tidak harum lagi, akan berhentilah cinta
kasihnya dan bunga layu itu akan dibuang begitu saja!
Berahi seorang pria seperti orang makan tebu. Setelah
kenyang mengunyah, menghisap sampai habis sari
manisnya, dia akan mencampakkan sepahnya begitu saja!
Aku tidak sudi kelak kauperlakukan seperti setangkai bunga
atau sebatang tebu ......"
"Aduh, kekasih hati pujaan kalbu! Demi Sang Hyang
Bathara Kamajaya, dewa segala cinta asmara di jagat ini,
aku bersumpah akan bersetia dalam cinta kasihku
terhadapmu ............ "
"Bukan hanya kesetiaan yang kukehendaki, pangeran,
melainkan juga ketaatan. Terutama sekali ketaatan. Engkau
akan melakukan segala permintaanku?"
"Demi para dewata! Perintahkan apa saja, juwitaku,
akan kulaksanakan. Engkau menghendaki aku menyeberangi lautan api" Bilamana saja, aku siap!".
Suminten tersenyum, sengaja membuat senyuman
mengejek tidak percaya. "Sesungguhnyakah?"
"Demi nyawaku ............ !" Pangeran Kukutan hendak
memeluk lagi akan tetapi Suminten menahan dengan kedua
tangannya. "Nanti dulu, pangeran. Aku bersungguh-sungguh dalam
hal ini. Andaikata ............ ini umpamanya saja untuk
mengukur besarnya kesetiaanmu kepadaku, andaikata
sekali waktu aku minta engkau ............ membunuh sang
prabu, bagaimana jawabmu?"
Pangeran Kukutan terbelalak dan meloncat mundur
dalam keadaan berjongkok saking kagetnya. Sejenak ia
tidak kuasa menjawab, hanya memandang wanita jelita itu
dengan mata terbelalak, kaget dan khawatir. Bahkan ia
sudah menoleh ke kanan-kiri, khawatir kalau-kalau ucapan
tadi terdengar lain telinga.
"Apa ............ " Apa yang kaukatakan ini ............ "
Harap kau jangan main-main, adinda Suminten ............ "
Suminten tetap tersenyum, lalu berkata sambil memandang tajam, "Engkau pun tidak perlu berpura-pura,
Pangeran Kukutan. Kita harus berterus terang, saling
membuka kartu. Biarpun aku selir termuda dan tersayang,
namun tentu saja aku yang muda dan cantik ini tidak
mencinta sang prabu yang tua dan lemah, bahkan aku
............ aku membenci tua bangka itu! Dan engkau ............
, engkau sama juga. Jangan kaukira bahwa aku tidak tahu.
Engkau ............ bukan putera sang prabu. Aku sudah tahu
bahwa dahulu ibumu melakukan hubungan rahasia dengan
ki juru taman (penjaga taman) dan engkau adalah
keturunan ki juru taman. Nah, sekarang katakan terus
terang, bersediakah engkau bersekutu denganku dalam
segala hal dan selalu akan tunduk terhadap perintahku?"
Wajah Pangeran Kukutan menjadi pucat sekali. Sejenak
ia ketakutan dan hampir saja timbul kenekatan hatinya
untuk membunuh wanita yang tahu akan rahasia ibunya
akan hal itu. Akan tetapi mendengar kalimat-kalimat
selanjutnya, hatinya lega. Memang dia pun selalu menanti
kesempatan untuk dapat merampas kekuasaan karena
maklum bahwa kelak kedudukan raja tentu tidak akan
diturunkan kepadanya. Hatinya lega, wanita ini cerdik
bukan main, dan amat dekat dengan raja, mungkin tidak
akan ada ruginya kalau ia bersekutu lengannya. Apalagi
dengan hadiah balasan cinta kasih!
"Aku bersedia dan bersumpah akan bersetia kepadamu,
adinda Suminten yang cerdik pandai. Bahkan aku girang
sekali mendapat sekutu seperti adinda, karena dalam segala
hal tentu adinda lebih pandai mengaturnya daripada aku."
Suminten girang sekali, ia bangkit berdiri dan tertawa
lirih. "Bagus sekali, pangeran. Aku percaya akan
kesetiaanmu, apalagi karena sekali kau berbuat curang,
engkau dan ibumu akan celaka. Kau cukup tahu akan
kekuasaanku atas diri sang prabu. Nah, kini lega hatiku dan
terimalah hadiahku. Mari ............ !" Wanita muda jelita itu
mengulurkan dan mengembangkan kedua lengannya ke
arah Pangeran Kukutan. Pemuda itu mengeluarkan sorak perlahan saking
girangnya, lalu bangkit dan menubruk Suminten seperti
seekor singa kelaparan menubruk seekor domba. Mereka
berdekapan dan berciuman dengan buas, seperti orang-
orang kelaparan menghadapi nasi.
"Hushhhh ............ kau gila, pangeran" Jangan di sini!
Balwa aku ke pondok taman ............ !" bisik Suminten di
dekat telinga pangeran itu.
Pangeran Kukutan tidak menjawab karena sukar baginya
untuk mengeluarkan kata-kata di antara napasnya yang
tersendat-sendat dan terengah-engah. Ia lalu memondong
tubuh yang baginya amat ringan itu dan membawanya lari
ke dalam gelap, menyelinap antara pohon-pohon dan
rumpun bunga, kemudian menghilang ke dalam sebuah
pondok kecil mungil yang memang sengaja dibangun di
dalam taman itu sebagai tempat istirahat raja dan para
selirnya. -oo0dw0oo- Memang tidaklah mengherankan apabila semenjak
malam hari penuh gairah nafsu iblis itu, Suminten selalu
mengadakan pertemuan dan perhubungan gelap dengan
Pangeran Kukutan, setiap malam apabila sang prabu tidak
tidur di kamarnya. Semenjak masih perawan, Suminten
diselir sang prabu dan selama itu ia hanya mengenal belaian
kasih asmara sang prabu yang sudah berusia enam puluh
tahun lebih, yang tentu saja tidak sesuai dengan keadaan
jasmaninya sendiri yang masih muda belia. Namun, wanita
muda yang amat cerdik ini biarpun terbuai gelombang
asmara, tetap ia masih dapat menguasai keadaan dan
bukanlah dia yang dipermainkan oleh sang pangeran,
melainkan si pangeran inilah yang makin lama makin
mabuk dan jatuh terkulai, tunduk di bawah pengaruh
Suminten. Sedemikian hebat kekuasaan wanita ini atas diri
pangeran yang menjadi kekasihnya sehingga sang pangeran
akan mentaati segala macam perintahnya secara membuta,
biar disuruh mencuci kaki Suminten akan dilakukan dengan
penuh kesungguhanl Betapapun juga, nafsu berahi yang menguasai hati
Suminten membuat wanita ini alpa. Dia lupa bahwa semua
gerak-geriknya tidak terluput daripada pengintaian wanita
yang menjadi saingannya, yaitu Sekarmadu. Selir inipun
menggunakan seorang emban (pelayan) untuk mengawasi
gerak-gerik Suminten dan pada suatu hari ia mendapat
pelaporan mata-matanya bahwa Suminten seringkali
mengadakan pertemuan gelap dengan Pangeran Kukutan di
dalam pondok taman. Mendengar ini, Sekarmadu tertawa lebar, kemudian
mengepal tangannya menjadi tinju kecil dan berkata, "Nah,
sekarang mampuslah engkau, perempuan rendah!"
Sekarmadu menanti saat balk. Ketika sang prabu
kebetulan bergilir kepada selir lain, suatu hal yang jarang
sekali terjadi semenjak Suminten menjadi selirnya, dan
emban yang menjadi mata-mata Sekarmadu melaporkan
bahwa Pangeran Kukutan dan Suminten sudah berada di
pondok taman, selir ini sendiri bersama embannya
menyelinap memasuki taman, menghampiri pondok
dengan hati-hati. Sang emban yang merasa takut karena
urusan ini menyangkut selir sang prabu yang terkasih dan
seorang pangeran muda, berjongkok di luar pondok:.
dengan tubuh menggigil karena ia maklum bahwa tentu
akan terjadl peristlwa hebat. Adapun Sekarmadu dengan
hati panas penuh kemarahan lalu mendekati jendela,
mengintai dan mendengarkan.
Di dalam pondok itu gelap remang-remang, hanya
tampak bayangan dua orang yang tidak jelas. Akan tetapi
suara percakapan mereka jelas mudah dikenal, yaitu suara
Suminten dan Pangeran Kukutan. Dengan jantung
berdebar-debar, Sekarmadu mendengarkan percakapan
mereka yang dilakukan lirih-lirih,
"............ kekasihku wong bagus (orang tampan), betapa
kuatnya engkau tidak seperti sang prabu yang loyo"
"........... dan engkau wanita tercantik di dunia ini,
pujaan hatiku ............ "
Sekarmadu tidak dapat menahan kemarahan hatinya
lagi. Dari luar jendela, ia memaki,
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suminten perempuan rendah, perempuan hinna! Berani
engkau bermain gila dengan Pangeran Kukutan dan masih
menghina sang prabu lagi. Tunggu saja, habiskan
kesenanganmu malam ini karena besok engkau akan
mampus!" Setelah berkata demikian, Sekarmadu dengan
muka merah saking marahnya meninggalkan tempat itu,
kembali ke kamarnya, diikuti emban yang masih ketakutan.
Betapapun juga, Sekarmadu tidak mau menimbulkan
keributan malam hari itu karena sang prabu sedang
bermalam di kamar sellr ke tujuh. Karena hal ini amat
memalukan, juga bagi sang prabu sendiri, maka Sekarmadu
yang menghormati suaminya menahan gelora kemarahannya malam itu, hendak menanti sampai besok
baru ia akan melapor secara diam-diam kepada junjungannya. Adapun Suminten dan Pangeran Kukutan yang sedang
langen asmara (bermain cinta) di dalam pondok taman,
seolah-olah berubah menjadi arca saking kagetnya. Kalau di
malam hari yang terang tiada mendung itu tiba-tiba
terdengar Halilintar menyambar, agaknya mereka tidak
akan sekaget ketika mendengar suara Sekarmadu di luar
jendela. Pangeran Kukutan menjadi pucat dan tak dapat
berkata sesuatu. Sumintenlah yang lebih dulu sadar dan
dapat menguasai hatinya. Wanita ini mendorong tubuh
kekasihnya dan melompat turun dari pembaringan,
berkemas sambil berkata, "Hayo cepat, kita harus turun tangan lebih dulu!"
Mendengar suara kekasihnya yang sedikitpun tidak
membayangkan rasa takut itu, barulah hati Pangeran
Kukutan menjadi tenang. Mereka lalu berbisik-bisik dan
Suminten yang cerdik itu mengatur rencananya. Cepat
sekali Suminten mengatur rencana dan segera mereka
melakukan siasat yang diatur Suminten malam itu juga.
Pangeran Kukutan pergi ke pondok kediaman para juru
taman, diam-diam memanggil pembantu juru taman yang
muda bernama Jagaloka. Adapun Suminten pergi menemui
tujuh orang emban pelayan yang menjadi kaki tangannya.
Mereka berdua bekerja cepat sesuai dengan siasat Suminten
dan tak lama kemudian, Suminten sudah bertemu lagi
dengan Pangeran Kukutan yang datang bersama. Jagaloka
yang muda dan cukup tampan, akan tetapi pada saat itu
Jagaloka kelihatan bingung dan takut.
Sekarmadu masih belum tidur. Dia sama sekali tidak
dapat tidur, bahkan semenjak memasuki kamarnya, puteri
ini berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya, hatinya penuh
ketegangan. Ingin sekali ia sekarang juga melapor sang
prabu, namun kalau ia melakukan hal ini, tentu banyak selir
dan abdi dalem yang mendengar, juga sang prabu dapat
menjadi tidak senang hati karena terganggu. Hatinya sudah
tidak sabar dan ingin ia malam cepat-cepat berganti pagi
agar ia dapat segera melapor dan wanita hina itu segera
dihukum! Emban pembantunya yang tadi ketakutan sudah
tidur melingkar di atas lantai.
Tiba-tiba ia mendengar suara kaki di luar pintu
kamarnya. Sekarmadu berhenti melangkah, memutar tubuh
menoleh ke arah pintu kamar dan bertanya, "Siapa di luar?"
Sebagai jawaban pertanyaannya, tiba-tiba pintu kamarnya yang terkunci itu didobrak orang dari luar.
Agaknya orang yang mendobraknya itu kuat sekali karena
sekali tendang, daun pintu itu terbuka dan muncullah
Jagaloka yang wajahnya pucat.
"Ehh ............ , si Jagaloka, mau apa engkau ............ ?""
Sekarmadu membentak, heran dan marah.
"Hamba ............ hamba ............ bukankah hamba
dipanggil ............ ?"
"Keparat! Jangan kurang ajar engkau! Berani membuka
pintu kamarku?" Pada saat itu, berkelebat masuk bayangan Pangeran
Kukutan yang membentak, "Juru taman bedebah, kau harus mati!" Ucapan
Pangeran Kukutan ini disusul terjangannya dengan keris di
tangan. Sekali tusuk saja si juru taman yang tentu saja
bukan lawan pangeran yang perkasa itu mengeluh dan
terhuyung, darah muncrat-muncrat keluar dari ulu hatinya.
Sekarmadu memandang dengan mata terbelalak, hendak
menjerit, akan tetapi dengan gerakan sigap sekali Pangeran
Kukutan sudah meloncat ke dekatnya dan sekali
menggerakkan tangan, pangeran itu sudah merangkulnya
dan membungkam mulutnya. Sekarmadu meronta-ronta
dan berusaha menjerit, namun sia-sia karena pangeran itu
kuat sekali merangkulnya dan kuat pula tangan yang
menutupi mulut. Pada saat berikutnya, muncul Suminten
yang tersenyum-senyum. Wanita ini sambil tersenyum genit
mendekati Sekarmadu lalu merenggut pakaian yang
menempel di tubuh Sekarmadu, satu demi satu sampai
Sekarmadu menjadi telanjang bulat! Setelah itu barulah
Pangeran Kukutan melepaskan rangkulannya dan mendorong tubuh wanita yang telanjang itu sampai
terlempar dan tertelungkup dalam pembaringannya. Emban
yang terbangun oleh suara gaduh ini, memandang
terbelalak, saking kaget dan takutnya sampai tak dapat
bersuara. "Bagus sekali engkau perempuan hina-dina, perempuan
rendah, pelacur yang terseret memasuki istana!" Suara
Suminten terdengar lantang karena ia sengaja mengeluarkan suara seperti menjeri-tjerit, telunjuknya
menuding ke arah tubuh Sekarmadu yang telanjang bulat di
atas pembaringan. "Sungguh menjijikkan! Tak tahu malu!
Berjina dengan si juru tamanl"
"Apa kau bilang" Kau perempuan keji ............ kau
............ kau!" Akan tetapi wanita yang malang itu tak dapat
melanjutkan kata-katanya dan ia menangis dan berusaha
menutupi tubuh telanjangnya dengan alas sutera pembaringan karena pada saat itu, para abdi dalem dan
beberapa orang selir yang mendengar suara ribut-ribut itu
sudah membanjir masuk ke dalam kamar. Mereka berdiri
dengan muka pucat dan mata terbelalak, sejenak
memandang ke atas pembaringan di mana puteri
Sekarmadu rebah dalam keadaan telanjang bulat terbungkus
alas pembaringan, kemudian memandang tubuh Jagaloka
yang kini juga sudah telanjang bulat dan menjadi mayat
berlepotan darahnya sendiri. Melihat keadaan ini, melihat
Pangeran Kukutan yang berdiri dengan keris di tangan,
tanpa diberitahu sekali-pun mereka dapat menduga apa
yang telah terjadi! Tentu Sekarmadu berjina dengan si juru
taman, akan tetapi dipergoki Pangeran Kukutan dan
Suminten yang berakibat kematian juru taman di tangan
sang pangeran. "Tidak ............ ! Tidaaaaaaaakkk ............ Aku tidak
............ !" Sekarmadu menjerit-jerit karena iapun dapat
mengerti akan bahaya yang mengancam dirinya. Gegerlah
istana pada malam itu sehingga sang prabu sendiri sampai
terkejut, terbangun dan mendengar apa yang terjadi di
kamar selirnya yang terkasih, Sekarmadu.
Mendengar ini sang prabu marah sekali. Setelah
berpakaian rapi, sang prabu duduk di ruangan dalam dan
memerintahkan menyeret Sekarmadu menghadapi juga
memerintahkan agar Suminten dan Pangeran Kukutan
menghadap sebagai saksi. Sekarmadu menangis terisak-isak ketika dua orang
pengawal istana menyeretnya, karena ia hampir tidak
mampu berdiri, dengan tubuh masih terbungkus sutera
merah alas pembaringan, rambutnya terural dan wajahnya
pucat. Di belakangnya, Suminten dan Pangeran Kukutan
melangkah tenang, namun berbeda dengan wajah Suminten
yang berseri-seri tersenyum, wajah Pangeran Kukutan pucat
dan kedua kaki tangannya terasa dingin.
Mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan menyembah sang raja. Suminten yang pandai merayu itu
segera berjalan jongkok menghampiri sang prabu,
menyembah dan menyentuh kakinya sambil berkata lirih,
suaranya serak-serak basah amat mengharukan,
"Hamba mohon beribu ampun bahwa hamba telah
menimbulkan keributan, akan tetapi mohon paduka
memaklumi betapa panas hati hamba penyaksikan
perbuatan tak tahu malu dari perempuan itu yang menghina
paduka." Dengan gerakan halus dan penuh kasih sayang, tangan
sang prabu menjamah rambut yang halus berikal mayang
itu, kemudian berkata, "Engkau malah berjasa, Suminten.
Mundurlah, biar kuperiksa perkara menjijikkan ini!" Akan
tetapi Suminten tidak mundur jauh, menyembah lagi dan
berkata, "Mohon ampun. Junjungan hamba. Perempuan ini amat
keji dan palsu, sebelum ia sempat bercerita bohong, harap
paduka sudi mendengar dulu kesaksian hamba dan
puteranda Pangeran Kukutan."
Sang prabu mengelus-elus jenggotnya sambil memandang selirnya yang terkasih itu.
"Duhai, gusti pujaan hamba ............ sudilah paduka
mendengarkan penuturan hamba ............ , hamba kena
fitnah ............ hamba tidak bersalah ............ dialah
perempuan rendah yang hamba yakin menjadi biang keladi
fitnah ini! Dia ............ dia dan Pangeran Kukutan ............
!!" "Diam kau, perempuan terkutukk !! Sang prabu
membentak dan pucatlah muka Sekarmadu, maklum bahwa
nasibnya sudah ditentukan dengan sikap sri baginda raja
itu. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani membantah,
hanya menunduk dan menangis, meratap di dalam hati
mohon pertolongan dewata. "Berceritalah kau, Suminten."
Dengan suara lantang Suminten bercerita, "Malam tadi
hamba tidak dapat tidur ............ " Ia mengerling tajam
kepada sang prabu yang memandangnya dan sang prabu
mengangguk-angguk, mulutnya tersenyum maklum, karena
ia tahu bahwa seperti biasanya menurut pengakuan
Suminten, tiap kali sang prabu tidur dengan selir lain, selir
termuda dan tercinta ini tentu tak dapat tidur! "............
karena gelisah dan merasa gerah, hamba keluar dari kamar
dengan maksud mencari angin sejuk di taman. Akan tetapi,
seperti paduka maklum, jalan menuju ke taman melalui
belakang kamar ............ perempuan rendah ini. Hamba
mendengar suara-suara di dalam kamar, suara kekeh
tertawa genit dan cumbu rayu pria. Hamba curiga dan
mendengarkan di luar jendela, kemudian hamba yakin
bahwa itu adalah suara si perempuan rendah dan si juru
taman keparat itu. Kebetulan sekali, pada saat itu, hamba
melihat berkelebatnya bayangan orang di taman, dan ketika
hamba mengenal bayangan itu adalah puteranda Pangeran
Kukutan, hamba lalu memanggilnya dan menceritakan
bahwa di kamar perempuan ini ada seorang duratmoko
(maling). Demikianlah, Gusti, puteranda pangeran lalu
turun tangan membunuh si bedebah juru taman."
Sang prabu menjadi merah mukanya, mengepal tinju dan
giginya yang sudah banyak ompongnya berkerot.
"Kukutan, ceritakan kesaksianmu!"
Setelah menyembah, Pangeran Kukutan bercerita yang
tentu saja memperkuat cerita Suminten, yaitu bahwa karena
hawa terasa panas ia pergi ke tamansari, di-panggil
"ibunda" dan diberi tahu kejadian di kamar Sekaremadu,
dan saking marahnya, ia menendang daun pintu kamar,
melihat betapa selir yang berjina itu berada di atas
pembaringan bersama Jagaloka.
"Si bedebah itu hendak melarikan diri, akan tetapi hamba
menerjangnya dan menikam ulu hatinya dengan keris
hamba." Demikian sang pangeran menutup ceritanya.
Sang prabu makin marah dan pada saat itu,
"persidangan" kecil ini diganggu dengan munculnya Ki
Patih Brotomenggala yang tergopoh-gopoh menghadap
karena mendengar akan kekacauan di istana. Ia
menyembah dan diberi isyarat tangan sang prabu agar
duduk. Ki patih yang sudah tua ini pun duduk bersila dan
mendengarkan dengan hati tegang dan wajah berkerut.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Perempuan tak tahu malu, perempuan rendah! Apa
yang dapat kauceritakan sekarang?" bentak sri baginda
kepada Sekarmadu yang mendengarkan semua tuduhan itu
dengan wajah pucat akan tetapi sepasang matanya
menyinarkan kebencian dan kemarahan kepada Suminten
dan Pangeran Kukutan. "Fitnah! Semua itu fitnah belaka, Gusti! Tidak tahukah
Paduka betapa jahat dan palsu dua orang manusia terkutuk
ini" Hamba tidak bersalah. Hamba sedang berada di kamar,
tahu-tahu pintu tertendang dan masuk si juru taman, disusul
Pangeran Kukutan yang serta-merta membunuhnya,
kemudian manusia keparat ini memeluk hamba, si
perempuan tak tahu malu itu menelanjangi hamba dan ......
" "Eh, Sekarmadu, sungguh mulutmu lancang sekali!"
Suminten memotong. Hanya dialah satu-satunya orang
yang berani berlancang mulut di depan sang prabu. "Sudah
berdosa, mengapa tidak mengaku dan memohon ampun
kepada sri baginda" Dengan bicara membabi-buta, dosamu
bertambah berat. Engkau sudah kubantu, kurahasiakan
kata-katamu yang kudengar, akan tetapi engkau malah
menyebar fitnah ............ !!"
"Suminten, apa yang dia katakan" Hayo kau mengaku,
apa yang ia katakan kepada juru taman keparat itu?" Sri
baginda menjadi tertarik dan ingin sekali mendengar
"rahasia" itu. Suminten menggeser duduknya makin dekat depan kaki
sang prabu, lalu menunduk, memasang tubuh sedemikian
rupa sehingga kelihatan amat menggairahkan dalam
pandangan sri baginda yang sudah tua itu. Kemudian ia
berkata, suaranya menggetar,
"Hamba ............ hamba tidak berani"
"Eh, kenapa tidak berani" Takut kepada siapa" Jangan
takut, tidak ada seorang setan pun yang akan berani
menganggu seujung rambutmu, Suminten!" kata sri baginda
penuh kasih sayang sehingga ia diupah sekilas senyum dan
kerling tajam kekasihnya.
"Hamba ............ hamba takut kalau-kalau akan
membuat paduka marah ............ "
"Tidak, Suminten. Kalaupun marah, tentu tidak
kepadamu yang bersih daripada dosa."
"Kalau begitu, sebelumnya hamba mohon ampun.
Hamba mendengar jelas ucapan yang keluar dari mulut
busuk perempuan hina itu begini, ............ kekasihku wong
bagus, betapa kuatnya engkau ............ tidak seperti sang
prabu, si tua bangka yang loyo ............ "
Tidak hanya wajah Sekarmadu yang menjadi pucat,
bahkan wajah Pangeran Kukutan sendiri menjadi pucat dan
matanya terbelalak memandang Suminten yang tersenyum.
Alangkah beraninya wanita itu! Padahal, ucapan itu adalah
persis seperti apa yang diucapkan Suminten sendiri
kepadanya ketika mereka berlangen asmara! Sekarmadu
terbelalak, kemarahannya memuncak dan ia bangkit berdiri,
menjerit, "Perempuan iblis............ ! Engkaulah yang mengatakan
itu ............ ! Engkau ............ engkau keji ............ "
Akan tetapi sang prabu yang sudah tak dapat menahan
kemarahannya, meloncat turun dari atas kursinya. Biarpun
usianya sudah enam puluh tahun lebih, namun dia masih
kuat dan tangkas. Keris pusaka di tangannya berkilat dan di
lain detik, tubuh Sekarmadu roboh mandi darahnya sendiri
yang muncrat keluar dari dadanya. Tangan kiri Sekarmadu
mendekap luka di dada, ia berusaha bangkit, berlutut dan
tangan kanannya menunjuk ke arah Suminten, matanya
terbelalak, mulutnya mengeluarkan kata-kata lemah,
"............ engkau ............ Suminten perempuan keji
............ dan engkau Pangeran Kukutan laki-laki pengecut
............ terkutuklah kalian ............ aduhhh ............ sang
prabu telah khilaf, mudah terbujuk ............ semua ini fitnah
............ mereka ............ merekalah yang berjina, harap
tanyakan kepada emban ............ auuughhhl" Robohlah
kembali tubuh Sekarmadu, terkulai miring tak bernapas
lagi. Alas pembaringan sutera merah menjadi lebih merah
lagi dan kini terlepas, terbuka, sehingga tampaklah tubuh
yang berkulit putih berslh itu, sebersih hatinya, namun
ternoda warna merah, darahnya sendiri!
"Aduhhhh, gusti puteri ............ I" Emban pelayan
pribadi Sekarmadu menubruk mayat itu dan menangis.
"Heh, emban! Apa artinya ucapan terakhir gustimu yang
berdosa tadi?"' Sang prabu bertanya kepada emban itu,
hatInya agak terharu dan kemarahannya mereda ketika ia
melihat betapa tubuh muda yang blasanya amat
dikasihaninya itu kini sudah menggeletak tak bernyawa
lagi. Emban itu terengah-engah, menyembah-nyembah sampai dahinya terbentur lantai. "Ampun, kanjeng gusti
............ sesungguhnya gusti puteri tidak berdosa ............
gusti putri mulus dan murni tanpa cacad ............
sesungguhnyalah yang berjina adalah ............ gusti puteri
Suminten dan gusti Pangeran Kukutan ............ hamba
menyaksikan sendiri ............ !!"
"Keparat ............ "
Pangeran Kukutan melompat dan sebelum dapat
dicegah, kerisnya telah menembus lambung emban itu yang
seketika roboh, berkelojotan dan tewas! Sang prabu
mengerutkan kening dan menghardik.
"Kukutan! Apa yang kaulakukan ini?"
Pangeran itu segera menjatuhkan diri menyembah.
"Mohon ampun, Kanjeng Rama! Bagaimana hati hamba
kuat mendengar fitnah yang keluar dari mulut si bedebah
ini. Tentu saja ia berusaha membalas dendam gustinya dan
berusaha menjatukan fitnah. Kedosaan Sekarmadu sudah
terbukti, adapun tuduhan tanpa bukti terhadap hamba
adalah fitnah belaka. Hamba tidak dapat menahah
kemarahan, mohon paduka sudi memberi ampun."
"Memang bujang hina itu tak patut dibiarkan hidup!"
Suminten menyambung sambil mencium kaki sri baginda.
"Betapa dia boleh menghina hamba begitu saja. Seorang
emban! Dan tentang hubungan antara Sekarmadu dengan
Jagaloka bukan hal yang aneh lagi. Hamba mempunyai
banyak saksi ............ !" Suminten melambaikan tangannya
ke dalam, memanggil para emban keputren. Mereka ini
adalah kaki tangannya yang tadi sudah ia pesan dan beri
hadiah, tentu saja tujuh orang pelayan ini segera
menerangkan dengan suara seragam bahwa mereka pernah
menyaksikan Sekarmadu mengadakan pertemuan- pertemuan rahasia dengan Jagaloka, dan yang menjadi
perantara adalah si emban yang terbunuh Pangeran
Kukutan! Marahlah sri baginda. "Sudahlah, lekas enyahkan
bangkai terkutuk kedua orang itu!"
Tergopoh-gopoh para pengawal dan pelayan mengangkut dua mayat wanita itu dan membersihkan lantai
sehingga tidak ada lagi bekas-bekas darah.
"Kakang Patih Brotomenggala, engkau jaga agar
peristiwa .kotor ini tidak sampai tersiar keluar."
"Hamba akan mentaati perintah paduka, Gusti," jawab ki
patih yang wajahnya masih keruh dan alisnya berkerut.
"Eh, Kakang patih, kau kelihatan tidak senang hatimu.
Bukankah sudah tepat sekali dua orang manusia jahanam
itu dibunuh?" "Maafkan hamba, gusti. Memang sudah sepatutnya yang
salah dihukum. Akan tetapi ............ , tidak seyogianya
kalau paduka sendiri yang menjatuhkan hukuman. Selain
itu, barulah adil namanya kalau si terdakwa diberi
kesempatan untuk membela diri dan perkara diselidiki
terlebih dahulu kebenarannya sebelum menjatuhkan
hukuman. Hukuman pun harus dilaksanakan oleh petugas
yang sudah ada." "Eh, ki patih! Apakah andika tidak percaya akan
keterangan hamba dan puteranda Pangeran Kukutan?"
Terdengar Suminten bertanya, suaranya lantang penuh
tantangan. "Bukan begitu, sang puteri. Bukan soal percaya atau
tidak percaya, akan tetapi hamba hanya menyatakan hal
yang sernestlnya menurut adilnya hukum. Menurut
penglihatan hamba, biasanya Sang Puterl Sekarmadu
berwatak baik dan berbudi berslh."
"Kakang patih, apakah seorang manusia itu dinilai
daripada sikapnya yang baik" Siapa tahu akan isi hati
seseorang?" Sang prabu membantah karena merasa ikut
tersinggung bahwa patihnya ini agaknya menyangsikan
kesaksian selirnya yang tercinta.
Patih Brotomenggala menyembah kepada sang prabu
lalu berkata, "Memang benar sekali sabda paduka, gusti.
Akan tetapi, sedikit banyak .gerak-gerik seseorang
mencerminkan dasar wataknya
"Hemm, Paman patih, agaknya andika adalah seorang
ahli mengenal watak wanita!" Pangeran Kukutan mengejek.
Ki Patih Brotomenggala yang tua itu memandang tajam
ke arah wajah pangeran itu dan berkata, suaranya perlahan
dan hormat namun mengandung getaran berwibawa,
"Sedikitnya pengetahuan hamba akan watak wanita lebih
banyak daripada yang paduka ketahui, gusti pangeran,
karena sebelum paduka terlahir, hamba sudah banyak
mengenal wanita." "Sudahlah, Kakang patih," kata sang prabu dengan suara
kesal, "sudah terang akan dosa Sekarmadu, saksinyapun
bukan sembarang orang melainkan selirku dan puteraku,
juga tujuh orang emban. Tentu saja mereka tidak mau
mengaku, si bedebah juru taman dan perempuan laknat itu.
Akan tetapi mereka sudah dihukum, dan hal ini sudah adil
dan sudah habis, tidak perlu dipercakapkan lagi. Yang perlu
dijaga agar hal seperti ini jangan sampai terdengar keluar,
karena hanya akan mendatangkan aib belaka."
"Hamba mentaati perintah paduka, gusti," jawab ki patih
sambil menyembah. Sang prabu lalu membubarkan persidangan kecil itu,
kemudian kembali ke tempat peraduan, akan tetapi sekali
ini bukan kembali ke tempat selir yang digiliri malam tadi,
melainkan menggandeng lengan Suminten yang berkulit
halus dan padat itu, memasuki kamar Suminten yang indah
bersih dan berbau harum. Dengan sikap manja sambil
berjalan perlahan, Suminten menggenggam tangan junjungannya, berjalan mepet dan menggosok-gosokkan
tubuhnya agar bersentuhan dengan tubuh sang prabu,
senyum manisnya melebar, kerling matanya makin tajam!
Demikianlah, dengan amat cerdik, Suminten dapat
membalikkan kenyataan, dari keadaan terancam bahaya
karena perjinaannya, menjadi pemenang atas diri saingannya yang terberat, yaitu Sekarmadu, berhasil
membunuh wanita tak berdosa itu dan mempertebal
kepercayaan dan kecintaan sang prabu kepadanya.
Pada pertemuan berikutnya dengan Pangeran Kukutan,
ia menegur pangeran itu, "Pangeran, engkau benar-benar ceroboh! Kalau tidak ada aku yang bersikap hati- hati, tentu akan celakalah kita di tangan Ki Patih Brotomenggala!" Pangeran Kukutan merangkul, mendekap dan mencium bibir yang menantang itu sebelum bertanya, "Ah, datang-datang aku dIsambut makianl Apa salahanku kali ini, dewi jelita" Mengapa kau menyebut aku ceroboh?"
Jilid XIX "DASAR bodoh!" Suminten melepaskan diri daripada
pelukan. "Lupakah engkau betapa engkau menelanjangi
juru taman?" "Eh, mengapa ceroboh" Bukankah perbuatan itu
menunjukkan kecerdikanku, sesuai dengan siasatmu yang
amat sempurna?" "Memang benar, akan tetapi baju juru taman itu
berlubang dan berdarah bekas tusukanmu!"
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pangeran Kukutan masih tidak mengerti dan memandang kekasihnya dengan mata penuh pertanyaan.
"Habis, mengapa?"
"Mengapa" Benar-benar kau tidak mengerti" Kalau kau
bermain cinta dan bertelanjang bulat ketika. kau
menusuknya, bagaimana pakaiannya dapat berlubang dan
berdarah" Kalau kau menusuknya dalam keadaan
berpakaian, mengapa pakaiannya terlepas semua dan ia
telanjang" Perbuatanmu itu dapat membuka rahasia kita,
seolah-olah pakaian berlubang dan berdarah si juru taman
itu dapat bercerita bahwa si juru taman itu kautusuk lebih
dulu, baru kemudian ditelanjangi! Kaukira ki patih orang
bodoh" Dia telah mencari-cari bekas pakaian si juru taman
itu!" Seketika pucat wajah Pangeran Kukutan. Suaranya
gemetar ketika ia bertanya, "lalu .......... , bagaimana ..........
" Di mana .......... eh, pakaian itu.......... ?"
Suminten tersenyum, lalu melangkah dan duduk di atas
pembaringan, memasukkan kedua kakinya di dalam
tempayan berisi air bunga mawar untuk mencuci kakinya.
Kemudian ia mengangkat mukanya memandang pangeran
itu dan berkata, "Kalau tidak ada aku, sekarang engkau
tentu telah digantung! Untung aku melihat kebodohanmu
itu dan sudah kusuruh singkirkan pakaian itu oleh
embanku." Pangeran Kukutan yang sudah merangkul pundak itu,
melangkah mundur dengan senyum dikulum. Sudah biasa
ia menyanjung dan menjilat untuk menyenangkan hati
kekasihnya ini. Apalagi sekarang, ia anggap bahwa
kekasihnya telah menyelamatkan nyawanya. Tanpa sangsi
lagi ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suminten.
"Pangeran, benar-benarkah engkau berterima kasih
kepadaku bahwa aku telah menolong dan menyelamatkan
nyawamu?" "Demi para dewata di Suralaya, adinda Suminten. Aku
bersyukur dan berterima kasih sekali, juga makin
mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku."
"Engkau mau melakukan apa saja yang kuminta?"
"Siap sedia!" "Kalau begitu, aku ingin melihat kesetiaanmu, Pangeran
Kukutan. Kau minumlah air mawar bekas kakiku."
Pangeran Kukutan mengangkat muka memandang.
Melihat betapa mulut itu tersenyum manis dan mata itu
memandang penuh berahi, ia tertawa, lalu menunduk,
mengangkat tempayan berisi air mawar bekas pencuci kaki
Suminten, mendekatkan ke mulutnya dan .......... ia minum
beberapa teguk air itu. "Aahhhh .......... segar sekali!"
Pangeran Kukutan menaruh tempayan di atas lantai.
Melihat Suminten tertawa girang, iapun tertawa dan
merangkul pinggang, menyembunyikan mukanya di atas
pangkuan wanita itu. Sejenak Suminten diam saja,
berdongak meramkan mata, kedua tangan menjambak
rambut kepala di atas pangkuannya, kemudian perlahan ia
mendorong pangeran itu mundur.
"Cukup, pangeran. Malam ini kita tidak boleh .......... !!"
"Tapi .......... tapi .......... , mengapa .......... ...!?"
Pangeran Kukutan terkejut. Minum air bekas cucian kaki
masih ringan, akan tetapi kalau wanita ini menolak
cintanya, benar-benar hal ini amat berat baginya.
"Kita harus hati-hati. Bukan hanya Sekarmadu musuh
kita. Masih banyak tugas menanti. Kesenangan dapat kita
lakukan segala waktu dan masih panjang bagi kita.
Pangeran, mulai sekarang kita atur rencana menyusun
kekuatan mengumpulkan sekutu yang boleh dipercaya,
melenyapkan musuh-musuh yang berada di istana dan di
luar istana. Adapun tentang pertemuan kita .......... hemm,
mulai sekarang, akulah yang akan menentukan waktu dan
saatnya. Jangan sekali-kali kau berani datang menemuiku
kalau tidak kupanggil. Mengerti?"
Kekecewaan besar yang tadinya membayang di wajah
pangeran itu, perlahan-lahan lenyap, terganti oleh
kesungguhan dan pengertian. Pangeran itu mengangguk-
angguk dan berkata lirih,
"Aku mengerti, Diajeng. Memang seharusnya aku
mentaati segala perintah-mu, karena kaulah yang mempunyai kecerdikan luar biasa."
"Nah, kalau begitu, pergilah sekarang juga. Siapa tahu ki
patih selalu memasang mata-mata. Aku akan mengganti
semua emban menjadi orang-orang yang tunduk kepadaku."
Pangeran Kukutan bangkit berdiri, mendekati hendak
merangkul dan mencium seperti yang Ia selalu lakukan di
saat mereka hendak berpisah. Akan .tetapi Suminten juga
bangkit berdiri dan mendorong dengan kedua tangan.
"Jangan!" "Hanya cium perpisahan, Diajeng ..... "
"Itupun harus aku yang menentukan!"
Sejenak sang pangeran meragu, lalu menunduk dan
mengangguk, membalikkan diri dan melangkah keluar ke
arah pintu pondok. "Pangeran .......... " Panggilan lirih itu membuat ia
berhenti dan membalikkan tubuh. Suminten menggapai dan
ia melangkah maju mendekat.
"Nah, berilah cium perpisahan itu," kata Suminten
sambil tertawa dan mengangkat mukanya.
Bagaikan kucing kelaparan Pangeran Kukutan meraih,
merangkul dan mencium mulut yang masih tertawa itu,
penuh cinta kasih dan berahi. Suminten mendorongnya
perlahan dan menjauhkan muka. "Cukuplah, ingat, masih
banyak waktu bagi kita. Nah, pergilah, pangeran."
Pangeran Kukutan memandang sejenak, tersenyum
penuh kasih sayang dan terima kasih, lalu pergi keluar dari
pondok memasuki taman gelap. Suminten yang ditinggal
seorang diri di atas pembaringan di pondok, meramkan
matanya dan tertawa. Ia mengepal tangan kanan-nya dan
merasa seolah-olah Pangeran Kukutan berada di dalam
kepalan tangannya itu. Ia telah menguasai pangeran itu
seluruhnya, dan ia puas. Bahkan dalam hal cinta sekalipun
ia yang berkuasa dan pangeran itu hanya seperti seekor
anjing penjaga yang akan datang apabila ia menjentikkan
jari tangannya. Demikianlah, makin lama, secara teratur dan pandai
sekali, Suminten makin menaik derajatnya di dalam istana,
makin dalam sang prabu tenggelam ke dalam pelukan dan
makin mabuk dalam belaiannya. Tidak hanya memabukkan
sang prabu sehingga raja tua itu tunduk kepadanya, juga
wanita cerdik ini mulai-lah memperluas pengaruh dan
kekuasaannya sehingga seringkali sang prabu merundingkan soal-soal pemerintahan dengan selir terkasih
ini dan tidak jarang sang prabu mengambil keputusan
berdasarkan nasehat Suminten!
Tahun demi tahun lewat dan kekuasaan Suminten makin
terasa oleh semua keluarga istana. Diam-diam Ki Patih
Brotomenggala menjadi cemas sekali. Bersama beberapa
orang ponggawa tinggi lainnya, Ki Patih Brotomengala
seringkali mengadakan perundingan dan diam-diam mereka
ini menyusun kekuatan ke tiga untuk menandingi pengaruh
Suminten yang mereka anggap meracuni Kerajaan
Jenggala. Akan tetapi, ki patih dan para ponggawa tinggl tidak
berani secara terang-terangan menentang Suminten karena
mereka semua mengerti betapa besar cinta kasih sang prabu
kepada selir termuda ini yang makin lama makin
mempengaruhi junjungan mereka. Suminten sendiri secara
cerdik sekali juga tidak memperlihatkan permusuhan,
bahkan di luarnya ia bersikap amat manis dan baik terhadap
mereka, namun secara diam-diam Suminten dibantu oleh
Pangeran Kukutan memperluas kekuasaannya dan memperbesar persekutuannya dengan para ponggawa muda
yang merasa tidak puas dengan kedudukan mereka. Makin
lama makin menjalarlah pengaruh dan kekuasaan Suminten
di Kerajaan Jenggala, dan makin tunduklah sang prabu
yang sudah tua itu sehingga dalam waktu lima tahun, dapat
dikatakan bahwa segala keputusan perkara pemerintahan
yang keluar dari mulut sang prabu adalah keputusan
berdasar kehendak Suminten!
-oo0dw0oo- Kita tinggalkan dulu Suminten, wanita muda cantik jelita
yang berasal dari dusun namun berkat kecerdikan dan
ambisinya telah mencapai kedudukan tinggi, lebih tinggi
dari sang permaisuri sendiri itu. Lebih baik kita menengok
dan mengikuti pengalaman Endang Patibroto yang sudah
terlalu lama kita tinggalkan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, yaitu kurang
lebih lima tahun yang lalu, Endang Patibroto mengajak
Setyaningsih adik kandungnya, pergi secara diam-diam
meninggalkan Selopenangkep. Ia pergi membawa hati yang
perih, seperti disayat-sayat pisau rasanya, betapapun ia
menguatkan hati, air matanya bercucuran terus kalau ia
teringat akan Adipati Tejolaksono, suaminya yang amat
dikasihinya. Tadinya ia amat berbahagia, belum pernah
selama hidupnya ia merasa sebahagia ketika ia pergi
menyusul suaminya itu ke Selopenangkep. Ia dahulu
pernah bahagia menjadi isteri Pangeran Panjirawit, namun
tidak seperti ketika menjadi isteri Tejolaksono, karena hal
itu berarti bahwa ia telah menemukan cinta kasihnya
kembali, cinta kasih yang ditanamnya semenjak ia masih
remaja dahulu. Mendiang Pangeran Panjirawit hanya
merupakan tempat pelarian, hanya merupakan obat
penawar yang menyejukkan hati. Akan tetapi, bertemu dan
menjadi isteri Tejolaksono berarti terpenuhi segala
keinginannya sehingga ia dapat menumpahkan semua kasih
sayangnya kepada pria idaman hatinya itu. Apalagi ketika
ia mendapat kenyataan bahwa ia telah mengandung, cinta
kasihnya terhadap Tejolaksono makin kuat berakar di
dalam hatinya. Akan tetapi, dia harus meninggalkan kebahagiaan itu,
harus meninggalkan Tejolaksono, tidak ingin menyaksikan
pria terkasih itu menderita sengsara. Dan ia maklum setelah
mendengar percakapan antara suaminya dan Ayu Candra,
bahwa kalau dia tetap tinggal di Selopenangkep sebagai
isteri muda, akan timbul hal-hal yang tidak baik antara dia
dan Ayu Candra, dan akhirnya akan menyeret Tejolaksono
ke dalam lembah kedukaan. Selain itu iapun tidak mau lagi
mengulang perbuatannya yang dahulu, ia sudah terlalu
banyak mendatangkan kesengsaraan kepada Ayu Candra.
Dan terutama sekali, ia tidak sudi berebut cinta dengan
wanita lain. Betapapun hancur hatinya, ia lebih baik pergi,
bahkan lebih baik mati daripada memperebutkan cinta yang
dianggapnya merupakan hal yang amat memalukan.
Mereka berdua, Endang Patibroto dan Setyaningsih,
terus melakukan perjalanan tanpa tujuan ke timur. Di
sepanjang jalan, Endang Patibroto menangis sedih, dan
Setyaningsih selalu berusaha menghibur ayundanya dengan
ucapan-ucapan halus dan tenang. Sungguh mengherankan
sekali kalau diingat betapa dahulu Endang Patibroto adalah
seorang wanita yang pantang tangis, wanita yang sakti
mandraguna, yang keras hati melebihi baja, kini menjadi
wanita cengeng yang menangis sepanjang jalan! Memang,
betapapun juga, dia tetap wanita dan sekali tersentuh dan
terbangkit cinta kasihnya, ia akan menjadi seorang yang
perasa sekali. Lebih aneh lagi kalau dilihat betapa
Setyaningsih, gadis cilik yang baru berusia sebelas tahun itu,
bersikap tenang dan seperti seorang dewasa saja, selalu
menghibur Endang Patibroto. Seringkali, apabila Endang
Patibroto teringat akan pengalamannya berkasih mesra
dengan Tejolaksono, ia tidak dapat menahan diri dan
menangis sesenggukan, menjatuhkan diri di pinggir jalan
tak dapat melanjutkan langkah kakinya. Dan pada saat
seperti itu, Setyaningsih yang segera memeluknya,
merangkul dan menciuminya, dan berbisik-bisik menghibur,
membesarkan hati, seperti seorang ibu menghibur anaknya
yang rewell Kalaupun ada kalanya Setyaningsih sebagai seorang
anak perempuan tak dapat menahan karena terharu melihat
ayundanya menangis seperti itu sehingga air matanya
sendiri runtuh, dia cepat-cepat mengusap air matanya dan
menekan hatinya, berkeras menyembunyikan tangisnya
agar ayundanya tidak menjadi makin berduka.
"Sudahlah, ayunda Endang Patibroto, perlu apa ayunda
menangisi terus hal yang telah lewat" Bukankah lebih baik
kalau kita melihat ke depan, ke masa depan yang lebih
gemilang" Kalau ayunda tidak dapat melupakan masa lalu,
baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan sambil bercakap-
cakap tentang masa lalu. Aku ingin sekali mendengarkan
semua kisah ayunda yang pasti akan menarik sekali."
Kalau sudah dihibur oleh adik kandungnya, Endang
Patibroto menekan hati dan perasaannya yang hancur,
kagum menyaksikan sikap adiknya yang masih kecil namun
tenang dan berpemandangan luas seperti orang tua ini.
lapun agak terhibur dan berceritalah ia kepada adiknya
sambil melanjutkan perjalanan. Karena sikap Setyaningsih
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti seorang tua, lupalah Endang Patibroto bahwa
adiknya ini baru berusia sebelas tahun. Ia bercerita seperti
kepada orang dewasa saja, dan ia menceritakan semua
pengalamannya tanpa tedeng aling-aling lagi, diceritakan
semua kepada Setyaningsih. Tentang pengalamannya
dahulu, tentang pertentangannya dengan Joko Wandiro,
dan Ayu Candra, kemudian betapa hampir ia membunuh
diri karena terpencil dibenci semua orang dan dihibur oleh
Pangeran Panjirawit yang menjadi suaminya selama
sepuluh tahun. Kemudian diceritakan semua pengalaman
akhir-akhir ini, tentang kematian suaminya dan tentang
pertemuannya dengan Adipati Tejolaksono di Blambangan,
pengalaman mereka di dalam sumur yang membuat mereka
menjadi suami isteri dan seterusnya.
Setyaningsih mendengarkan semua penuturan ayundanya dengan hati penuh keharuan. Akan tetapi, anak
ini memang mempunyai pembawaan sikap tenang,
pendiam, luas pandangan, hati-hati dan angkuh, tinggi hati
namun berdasarkan jiwa satria. la dapat memaklumi
keadaan ayundanya, dapat merasakan kedukaan yang
menimpa diri ayundanya, namun juga di dalam hati ia
Pendekar Sejagat 3 Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Pendekar Pengejar Nyawa 23