Pencarian

Perawan Lembah Wilis 9

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


"Huah-ha-ha-ha! Bocah ini seperti seekor singa betina!"
Ki Kolohangkoro tertawa bergelak ketika melihat betapa
Pusporini yang terbanting jatuh itu telah meloncat bangun
dengan sigapnya dan sama sekali tidak tampak ketakutan
membayang di wajah yang manis itu, bahkan wajah itu
membayangkan kebencian dan kemarahan besar ketika dara
ini melangkah maju dan siap menerjang lagi.
"Kolohangkoro, engkau jangan tertawa-tawa saja. Hayo
kauwakili aku tangkap bocah ini!" Ni Dewi Nilamanik
berkata kepada temannya itu dengan suara memerintah.
"Baiklah, Ibunda Dewi! Eh, bocah perawan galak!
Kenapa kau tidak lekas-lekas tunduk akan perintah Ibunda
Dewi" Hayo berlutut kau!" Sambil berseru demikian, Ki
Kolohangkoro menubruk kedepan, ke arah Pusporini. Dara
yang sudah siap siaga ini dengan kemarahan memuncak
menyambut tubrukan Ki Kolohangkoro dengan pukulannya, kini ia menggunakan kedua tangannya,
mengerahkan Aji Pethit Nogo, tangan kiri menampar ke
arah leher dan tangan kanan menghantam ke arah dada.
"Plak-plak ..............
Dua pukulan Pethit Nogo itu tepat mengenai leher dan
dada Ki Kolohangkoro. Akan tetapi raksasa itu hanya
terkekeh tertawa dan dua pukulan itu membalik, bahkan
Pusporini merasa betapa kedua telapak tangannya menjadi
sakit-sakit dan panas, seakan-akan memukul baja yang amat
kuatnya. Sebelum ia sempat mengelak, kedua pundaknya
sudah dipegang oleh tangan-tangan yang besar itu dan ia
dipaksa berlutut dengan tekanan seperti gunung beratnya.
Tak dapat lagi Pusporini menahan tubuhnya dan kedua
lututnya sudah tertekuk, ia berlutut di atas tanah.
"Keparat, lepaskan dial"
Tiba-tiba tubuh Koko Pramono menerjang maju.
Pemuda ini sebetulnya tadi hanya berpura-pura saja ketika
ditawan Pusporini. Kalau ia mau, dengan tenaga saktinya ia
mampu membebaskan diri daripada ikatan kaki tangannya.
Kini, melihat betapa dua orang yang dipandang rendah itu
ternyata sakti bukan main, ia terkejut dan cepat-cepat ia
meronta dan membebaskan diri. Melihat betapa Pusporini
tidak berdaya menghadapi Ni Dewi Nilamanik dan kini
bahkan ditekan dan dipaksa berlutut oleh Ki Kolohangkoro,
ia sudah menerjang maju dan mengirim serangan pukulan
ke arah punggung Ki Kolohangkoro.
Kakek raksasa yang sakti mandraguna inipun memandang rendah. Ia tahu bahwa ada orang memukulnya
dari belakang, akan tetapi karena ia tadi sudah melihat
bahwa orang yang terbelenggu dan kini terlepas dan
menyerangnya itu hanyalah seorang pemuda, maka ia
sengaja diam saja, mengerahkan tenaga ke arah punggung
untuk menyambut pukulan. "Desss ..............
Joko Pramono berseru kaget dan memegangi tangan
kanannya yang serasa remuk tulang-tulangnya, akan tetapi
Ki Kolohangkoro juga berseru kaget karena tubuhnya
terhuyung ke depan dan pegangannya pada pundak
Pusporini terlepas. Tak disangkanya bahwa pukulan
pemuda itu sedemikian kuatnya!
Melihat ini, Ni Dewi Nilamanik menjadi kagum dan
tertarik. "Aihhh, boleh juga bocah ini!" Kedua kakinya tidak
tampak bergerak, akan tetapi tubuhnya sudah melayang ke
arah Joko Pramono. Pemuda ini maklum bahwa wanita ini
amat sakti, bahkan agaknya lebih sakti daripada si raksasa
tua, maka iapun cepat menahan rasa nyeri pada tangannya
dan menyambut datangnya Ni Dewi Nilamanik dengan
sebuah pukulan tangan kiri. Tubuhnya agak merendah,
hampir berjongkok dan tangan kirinya dengan tenaga penuh
menonjok ke arah perut lawan.
"Ceppp.............. !!"
Pukulan Joko Pramono itu bukanlah pukulan sembarangan. Itulah aji pukulan yang amat tua dan ampuh,
yang sudah jarang dikenal orang. Aji ini disebut aji pukulan
Cantuka Sekti yang hebat sekali. Akan tetapi begitu
mengenai perut Ni Dewi Nilamanik, tangan kirinya itu
amblas ke dalam perut, masuk ke perut sampai ke
pergelangan tangan dan tak dapat ditarik kembali! Joko
Pramono terkejut, cepat ia memukul dengan tangan
kanannya yang masih sakit, akan tetapi tiba-tiba kebutan
ekor kuda di tangan Ni Dewi Nilamanik berkelebat, ujung
kebutan mengenai pundak laIu berkelebat lagi mencium
punggung dan .............. seketika lemaslah tubuh Joko
Pramono! Tidak hanya kedua lengannya yang tumpuh, juga
kedua kakinya kehilangan tenaga dan ia tentu sudah roboh
terguling kalau saja tangan kirinya tidak terjepit di perut
wanita itu! Kini sambil tersenyum dan mengeluarkan suara
memuji kagum, Ni Dewi Nilamanik mempergunakan
tangan kirinya, meraba-raba seluruh tubuh Joko Pramono,
dari kepala terus turun, ke lehernya, dadanya, pundaknya,
lambungnya, pusarnya, terus turun sampai ke kakinya.
"Bagus .............. , bagus .............. , sukar mendapatkan
bocah sebaik ini ............!" katanya memuji. Joko Pramono
bergidik seluruh tubuhnya, menggigil dan ngeri sekali.
"Kaulepaskan dia, perempuan tak tahu malu!"
Kini Pusporini yang menerjang maju menyerang Ni
Dewi Nilamanik. Memang aneh watak dara ini. Tadi ia
membenci Joko Pramono, gemas dan ingin menyiksanya,
ingin menyakitkan hatinya. Akan tetapi, begitu melihat
pemuda itu tadi membelanya dan kini terjatuh ke dalam
tangan wanita iblis yang Sakti itu ia melupakan kelemahan
sendiri dan menyerang dengan nekat. Akan tetapi,
gerakannya terhenti ketika tiba-tiba pinggangnya disambar
orang dari belakang dan ia hanya dapat meronta-ronta
dalam kempitan dengan tangan Ki Kolohangkoro yang
amat kuat. "Ha-ha-ha, Ibunda Dewi. Engkau mendapatkan si bagus
itu dan ramanda wasi mendapatkan si manis ini, benar-
benar pasangan yang cocok, memenuhi selera kalian. Heh,
adapun aku .............. ha-ha, aku akan puas kalau Ibunda
dapat memberi sepertl kemarin itu satu lagi saja."
Ni Dewi Nilamanik menggerakkan tangan klrinya dan
tubuh Joko Pramono juga sudah dikempitnya, lalu menoleh
kepada Ki Kolohangkoro. "Engkau rakus sekali, Kolohangkoro! Marilah, jangan kita membuat rakanda wasi
terlalu lama menanti. Kalau kau menghaturkan bocah itu
kepadanya, tentu dia akan senang hati dan mungkin suka
menurunkan ilmu yang kauidam-idamkan itu."
"Aji Werjit Kencana" Aha, aku akan rela menukar ilmu
itu dengan lengan kiriku, Ibunda Dewi. Akan tetapi tidak
mungkin ramanda wasi sudi menurunkan aji itu kepadaku,
kecuali kalau Ibunda suka membantuku membujuknya."
"Bagaimana nanti sajalah, Kolohangkoro. Hayo kita
pergi!" Dua orang yang sakti mandraguna, keduanya adalah
pemimpin dari agama pecahan yang terdiri dari orang-
orang penyembah Bhatari Durga dan Bathara Kala, dengan
gerakan luar biasa cepatnya telah berkelebat meninggalkan
tempat itu sambil mengempit tubuh dua orang muda yang
setengah pingsan dan sama sekali tidak mampu berkutik
lagi. Waktu itu, hari telah mulai ditelan senja, keadaan
menjadi remang-remang. Bayangan dua orang sakti itu
seperti bayangan iblis sendiri, berkelebat keluar dari dalam
hutan. Tiba-tiba terdengar suara yang halus, suara orang
membaca mantera, suara yang mengandung getaran halus
yang bergelombang dan seketika tubuh dua orang sakti itu
menggigil dan otomatis kaki mereka berhenti melangkah.
Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro seperti terpaku
pada tanah, mata mereka memandang seorang kakek yang
duduk bersila di depan mereka, di pinggir jalan yang
mereka lalui, seorang kakek yang pakaiannya seperti
pakaian seorang pertapa akan tetapi robek-robek dan butut
seperti pakaian seorang jembel. Kakek ini duduk bersila
dengan tubuh tegak lures, matanya meram, rambutnya riap-
riapan, tangan kiri memegang sebuah batok kelapa dan
tangan kanan memegang sebuah sapu, yaitu seikat sapu lidi.
Kakek ini seperti tidak tahu akan kehadiran mereka dan
terus membaca mantera dengan suaranya yang halus
mengandung getaran mujijat,
"Om, Ksantawya kayika dosah, Ksantawya wacika
mama, Ksantawya manasa dosah, Tat pranadam ksama
swamam. Shanti.............. shanti .............. shanti"
(Ya Tuhan, ampunilah kesalahan kami yang timbul dari
tingkah laku, ampunilah kesalahan kami dari kata-kata,
ampunilah kesalahan kami yang timbul dart fikiran.
Damai.............. damai .............. .)
Ki Kolohangkoro mendengus dan membuat gerakan
hendak melanjutkan perjalanan, akan tetapi Ni Dewi
Nilamanik mengangkat tangan kanan yang memegang
kebutan, memberi isyarat kepada raksasa itu untuk berhenti
dulu. Kemudian, Ki Kolohangkoro memandang dengan
mata terbelalak heran ketika ia melihat Ni Dewi Nilamanik
melempar tubuh Joko Pramono ke atas tanah, kemudian
wanita sakti ini menghampiri kakek yang duduk bersila,
menekuk lutut di depan kakek itu dan menyembah! Selagi
ia terheran-heran dan bingung, ia mendengar Ni Dewi
Nilamanik berkata, "Paman resi, mohon maaf sebesarnya bahwa hamba
berlaku kurang hormat karena tidak mengira akan bertemu
dengan Paman di sini. Hamba mohon diperkenankan
lewat." Ki Kolohangkoro membelalakkan kedua matanya. Inilah
suatu keanehan yang tak pernah ia saksikan atau dengar
selama hidupnya, Ni Dewi Nilamanik bersikap begini
merendah! Menyembah-nyembah dan mohon diperkenankan lewat! Apa-apaan ini" Siapakah jembel tua
ini" Kakek itu membuka kedua pelupuk matanya dan Ki
Kolohangkoro makin terkejut. Mata itu tidak ada
maniknya, hanya putih saja. Kakek jembel tua renta yang
buta! Akan tetapi, suara kakek ini penuh getaran yang
berwibawa ketika ia berkata,
"Wahai, Nilamanik. Makin tebal saja uap kotor
menyelimuti dirimu. Ahhhh .............. betapa sedih hatiku
karena ini, Nilamanik. Sesal kemudian tiada guna,
mengapa tidak juga mau bertaubat sebelum terlambat?"
Ni Dewi Nilamanik tidak menjawab, hanya mengangkat
muka memandang penuh rasa takut. Hal ini membuat Ki
Kolohangkoro marah sekali. Kakek tua bangka jembel buta
begini saja mengapa ditakuti" Sekali tiup juga akan roboh!
Mengapa mendadak saja Ni Dewi Nilamanik yang ia tahu
amat sakti mandraguna, tidak kalah olehnya itu kini
menjadi begini penakut" Karena kemarahannya, Ki
Kolohangkoro juga melempar tubuh Pusporini ke atas
tanah, lalu menggeleng-geleng kepalanya sehingga anting-
anting telinganya bergoyang-goyang dan mengeluarkan
suara berdering. "Ibunda Dewi! Apa-apaan ini" Mengapa ibunda
merendahkan diri sedemikian rupa terhadap seorang tua
bangka jembel buta yang hina-dina" Seorang jembel lebih
hina daripada seorang sudera, biar dia berpakai resi akan
tetapi keadaannya melebihi jembel yang paling miskin!
Harap ibunda suka mundur, biar kuhancurkan dia sekali
pukul, kurobohkan dia sekali tiup dan kulemparkan . dia
sekali tendang! Mundurlah, Ibunda Dewi!"
"Kolohangkoro .............. Jangan sembrono kau !"
Biarpun mulutnya berkata demikian, akan tetapi Ni Dewi
Nilamanik sudah bangkit berdiri dan mengundurkan diri,
memandang dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Kakek ini mengangkat muka, dihadapkan ke arah Ki
Kolohangkoro, lalu tersenyum dan keluarlah suara ketawa
halus dari kerongkongannya. "Bahkan Sang Hyang Bathara
Kala sendiri, hanya dapat bergerak untuk memenuhi tugas,
tidak akan mampu mengganggu selembar rambut manusia
apabila tidak dikehendaki Sang Hyang Widhi Wasesa!
Andika ini siapakah, begini berani hendak mendahului dan
memperkosa kehendak Sang Hyang Trimurti?"
"Ha-ha-ha-ha! Kakek jembel tua bangka, sikap dan kata-
katamu sombong bukan main, seolah-olah hanya engkau
seorang di dunia ini yang paling tahu! Agar engkau tidak
mati penasaran sehingga nyawamu akan menjadi setan
gentayangan, dengarlah bahwa calon pembunuhmu ini
adalah Ki Kolohangkoro!"
Kakek

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu mengangguk-angguk. "Sudah kuduga .............. sudah kuduga .............. waaah, Nilamanik,
engkau benar-benar jauh tersesat .............. "
Ki Kolohangkoro tak dapat menahan kemarahannya
lagi. Mukanya menjadi merah, hidungnya mendengus
seperti mengeluarkan hawa panas berapi, otot-otot di
tubuhnya menggembung. Diapun bukan seorang yang
sembrono dan bodoh. Ia dapat menduga bahwa sedikit
banyak, kakek jembel itu tentu memiliki kepandaian,
sungguhpun ia tidak memandang sebelah mata. Maka ia
lalu mengerahkan aji kesaktiannya, seluruh tubuhnya
mengeluarkan bunyi berkerotokan seolah-olah semua
tulangnya saling beradu. Kemudian ia membentak,
"Terimalah kematianmu!" dan tubuh yang tinggi besar itu
menerjang maju, menubruk kakek yang masih duduk
bersila itu dan kedua tangannya dengan kepalan sebesar
buah kelapa menyambar dari kanan kiri ke arah kepala si
kakek jembel. Kakek tua renta itu tidak mengelak, hanya menggerakkan tangan kanan yang memegang sapu lidi lambat-lambat dan perlahan ke atas. "Heeeitttt .............. auuggggghhh?"?"
Tubuh raksasa Ki Kolohangkoro tergetar dan terdorong ke belakang, kedua kakinya menggigil-gigil dan dengan susah payah akhirnya ia berhasil mencegah tubuhnya terdorong roboh. Ia membelalakkan
matanya memandang kakek yang masih duduk bersila itu.
Tadi ia hanya merasa betapa kedua pukulannya terbentur
oleh hawa yang menyambar keluar dari sapu lidi dan tanpa
menyentuh sapu lidi itu, apalagi tubuh si kakek, ia telah
terdorong oleh hawa sakti yang mujijat sehingga hampir
roboh! Tentu saja ia menjadi marah dan penasaran sekali.
"Tua bangka keparat! Berani kau main-main terhadap Ki
Kolohangkoro" Jangan mengira bahwa kau sudah menang,
terimalah pusakaku ini!" Berkata demikian, Ki Kolohangkoro sudah mencabut senjatanya yang hebat,
yaitu senjata berat berbentuk tombak pendek yang ia sebut
senjata Nenggala. Kemudian dengan gerakan seperti seekor
gajah mengamuk, ia menerjang maju, menghantamkan
senjatanya ke arah kepala kakek itu.
"Kolohangkoro .............. , jangan .............. !" terdengar
jerit Ni Dewi Nilamanik, akan tetapi karena melihat
kawannya sudah menerjang maju, iapun lalu meloncat
dengan gerakan ringan mendekati kakek itu dari samping,
kemudian menggerakkan senjatanya yang aneh dan dahsyat
keampuhannya, yaitu kebutan merah buntut kuda,
mengarah leherl "Plakkk .............. Brettt.............. !!"
Hebat bukan main serangan Ki Kolohangkoro dan Ni
Dewi Nilamanik tadi, dan kedua serangan itu tiba hampir
berbareng. Dari depan menyambar nenggala Ki Kolohangkoro yang menusuk ubun-ubun, dari samping
menyambar kebutan mengarah pusat jalan darah di leher.
Dan menghadapi dua serangan ini, kakek tua renta itu sama
sekali tidak mengelak. Seperti tadi, ia hanya mengangkat
kedua tangan, batok kelapa di tangan kiri menangkis senjata
nenggala, sedangkan sapu lidi di tangan kanan menyampok
kebutan. Dan akibatnya .............. ujung kebutan putus
sedangkan nenggala di tangan Ki Kolohangkoro patah! Dua
orang sakti itu terhuyung-huyung mundur dengan muka
pucat, kemudian tanpa dikomando lagi, Ki Kolohangkoro
mencontoh Ni Dewi Nilamanik yang melarikan diri tanpa
pamit! Bagaikan dikejar-kejar iblis, kedua orang sakti ini lari
sampai jauh dan setelah merasa yakin bahwa kakek tua
renta itu tidak mengejar, barulah Ni Dewi Nilamanik
berhenti, menyusut keringat dan berkata perlahan, "Aduhhh
.............. berbahaya sekali .............. ! Si tua itu makin tua
makin mengerikan kesaktiannya!"
Muka Ki Kolohangkoro menjadi merah sekali. Kini
barulah ia mengerti mengapa Ni Dewi Nilamanik tadi
menyembah-nyembah dan bersikap amat takut dan hormat
kepada kakek jembel itu. Kiranya kakek itu memiliki
kesaktian seperti dewa sendiri!
"Ibunda Dewi, siapakah .............. dia tadi..............?"
tanyanya sambil bergidik.
Ni Dewi Nilamanik menghela napas panjang. "Ah,
rakanda wasi tentu akan terkejut dan marah bahwa tua
bangka itu telah menampakkan diri pula. Kolohangkoro,
dia itu adalah paman guruku sendiri, dialah Resi
Mahesapati .............. "
"Wahhh .............. !" Barulah Ki Kolohangkoro terkejut
seperti disambar petir. Tentu saja ia pernah mendengar
nama besar Resi Mahesapati yang kabarnya dahulu,
puluhan tahun yang lalu, setelah menggegerkan Kerajaan
Sriwijaya di seberang lautan, telah lenyap dan kabarnya
bertapa di pantai laut Banten. Kiranya orang sakti yang
amat luar biasa itu kini telah memperlihatkan diri sebagai
seorang kakek yang berpakaian jembel.
"Kesaktiannya memang hebat dan agaknya hanya
rakanda wasi saja yang akan mampu menandinginya.
Mendiang guruku sendiri dahulu selalu memuji-muji paman
Resi Mahesapati, bahkan selalu berpesan agar dalam
keadaan apapun juga, aku selalu harus mentaatinya.
Biasanya dia itu keras dan galak, masih untung tadi kita
terbebas daripada maut."
Ki Kolohangkoro membanting-banting kedua kakinya
yang sebesar kaki gajah. Wajahnya keruh dan ia marah,
penasaran, juga menyesal. "Celaka! Kedua orang tawanan
itu mengapa kita tinggalkan?"
"Tentu saja! Kausangka mengapa Resi Mahesapati
menghadang kita di sana tadi?"
"Mengapa?" "Apalagi kalau bukan karena dua orang tawanan kita.
Sudahlah, kita bukan lawan dia. Biar rakanda Wasi
Bagaspati sendiri yang memutuskan. Setelah kakek itu
muncul, kita harus lebih berhati-hati lagi." Dua orang itu
melanjutkan perja lanan dengan cepat dan hati kesal.
Joko Pramono yang tadi dilemparkan ke atas tanah oleh
Ni Dewi Nilamanik dan menyaksikan semua peristiwa
dengan mata terbelalak kagum, kini melihat betapa dua
orang iblis jahat itu pergi, cepat ia menghampiri kakek yang
duduk bersila tadi sambil menjatuhkan diri berlutut dan
menyembah. "Duhai eyang resi yang sakti mandraguna dan
arif bijaksana. Tak terkatakan betapa besar rasa syukur dan
terima kasih hamba akan pertolongan eyang. Dapatkah
hamba mengetahui nama eyang resi yang mulia?"
Sebelum kakek itu menjawab, secara tiba-tiba ada suara
menyambung di belakang Joko Pramono, suara Pusporini
yang juga sudah berlutut menyembah, agak berjauhan
dengan pemuda itu. Suaranya lantang mengatasi suara Joko
Pramono, "Eyang resi yang budiman tentu hanya menolong
manusia baik-baik, dan harap eyang ketahui bahwa bocah
ini masih disangsikan kebaikannya! Hamba menghaturkan
sembah sujud dan terima kasih kepada Eyang dan hamba
rasa Eyang tentu telah mengenaI rakanda Adipati
Tejolaksono, atau mendiang ayah hamba Pujo dan
mendiang eyang hamba Resi Bhargowo."
Kakek itu sudah sejak tadi tersenyum, mengelus
jenggotnya dan mengejap-ngejapkan matanya yang putih.
Kini ia mengangguk-angguk. "Nini Pusporini bocah kewek,
tentu saja aku mengenal eyangmu Resi Bhargowo dan tahu
akan rakandamu dan mendiang ayahmu."
Mendengar ini, Pusporini memandang kepada Joko
Pramono sambil mencebirkan bibirnya dan berkata, "Nah,
kau dengar tidak" Eyang resi ini mengusir dua orang iblis
tadi hanya karena aku, karena eyang resi ini telah mengenal
keluargaku, keluarga Selopenangkep! Kau hanya kebetulan
saja terbawa-bawa! Kalau tidak ada aku, engkau tentu telah
mampus! Masih hendak berlagak lagi?"
Joko Pramono tersenyum. Ia mulai mengenal watak dara
remaja ini. Biarpun lagaknya galak dan menyakitkan hati,
namun itu hanyalah watak lahirnya saja, padahal batinnya
tidaklah begitu buruk. Bukankah dara ini tadi sudah jelas
memperlihatkan sikap membelanya kdtika ia tertawan oleh
Ni Dewi Nilamanik" Dara ini tidak membencinya seperti
yang hendak diperlihatkannya! Karena sudah mulai
mengenal watak dara ini, maka sikapnya itu tidaklah
menyakitkan hatinya lagi. Ia malah ingin menggodanya
terus. "Wah, engkau ini memang seorang bocah yang sombong
dan banyak lagak! Sudahlah, perlu apa melayani orang
seperti engkau?" Joko Pramono menengok lagi ke arah
kakek itu dan berkata, "Eyang resi, mohon Eyang sudi
memberitahu nama dan julukan Eyang yang mulia."
"Eyang resi! Jangan ladeni bocah itu! Dia bocah busuk
hatinya, berani ia memaki-maki keluarga Selopenangkep!"
teriak Pusporini yang kini meloncat bangun dan
memandang Joko Pramono dengan sinar mata mengancam.
"Eyang resi, hamba yang mohonkan ampun bagi
perawan kasar tak kenal susila dan berani bersikap tidak
semestinya di depan paduka Eyang resi," kata pula Joko
Pramono dan biarpun kata-katanya ini ditujukan kepada
kakek itu namun pada hakekatnya seperti memaki-maki
Pusporini! Tentu saja dara ini menjadi makin marah,
mukanya merah sekali, matanya berapi-api dan hidungnya
kembang-kempis. "Heh, keparatl Aku bersikap kasar kepadamu, setanl
Bukan kepada eyang resi yang kuhormati! Jangan kau
mencoba untuk membakar hati eyang resi! Bangkitlah dan
mari kita bertanding sampai selaksa jurus! Biar eyang resi
yang menjadi saksi dan juri!"
"Boleh, memang kau bocah sombong. Apa kaukira aku
takut padamu?" Joko Pramono juga seorang pemuda yang
masih remaja, darahnya masih panas, maka kini ditantang
di depan kakek sakti itu, ia merasa malu kalau tidak
menerimanya. lapun bangkit berdiri menghadapi Pusporini
dan dua orang muda ini sudah siap seperti dua ekor jago
aduan saling mengereki untuk segera bertanding.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha .............. !" Tiba-tiba kakek itu
tertawa. Suara ketawanya halus akan tetapi mengandung
getaran yang :membuat kedua orang muda itu seketika
menjadi lemas, lenyap segala kemarahan dan tanpa dapat
mereka cegah lagi, keduanya menoleh ke arah kakek itu dan
tersenyum lebar! Tak mungkin dapat menahan ketawa
melihat dan mendengar suara ketawa kakek seperti itu.
Andaikata api membara kemarahan mereka tadi, suara
ketawa itu seolah-olah merupakan air wayu yang amat
dingin dan yang membuat kemarahan seperti api membara
itu menjadi padam sama sekali!
"Ha-ha-ha, Joko Pramono! Apa kaukira gurumu Resi
Adiluhung akan suka melihat sikapmu terhadap keluarga
Kadipaten Selopenangkep" Tidak, Kulup, sebaliknya
engkau tentu akan ditegur habis-habisan kalau Resi
Adiluhung mengetahuinya. Dan engkau, nini Pusporini,
apa kaukira rakandamu Adipati Tejolaksono suka melihat
sikapmu terhadap Joko Pramono" Padamkan kemarahan
kalian dan dengarkan kata-kataku."
Joko Pramono terkejut bukan main. Kakek aneh ini telah
mengetahui namanya, bahkan nama gurunya! Cepat ia
menjatuhkan lagi dirinya di depan kakek itu, berlutut dan
menyembah. Akan tetapi gerakan ini didahului Pusporini
sehingga mereka seperti berlomba menghormat kakek itu,
bahkan menyembah dengan berbareng saling berdampingan. Sehabis menyembah, mereka saling lirik
dengan mata melotot! "Hamba mentaati perintah Eyang resi," kata Pusporini.
"Hamba sendika (sanggup mematuhi) akan dawuh
(perintah) paduka Eyang resi, selanjutnya hamba mohon
petunjuk," kata pula Joko Pramono dan kata-katanya
inipun bercampuran dengan ucapan Pusporini tadi karena
dilakukan berbareng.

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembali kakek itu tersenyum lebar. Ia yang telah
waspada akan segala peristiwa di dunia, yang awas dan
tahu akan gerak-gerik manusia, seakan-akan dapat
membaca isi hati kedua orang muda itu dan karenanya ia
merasa kagum akan kegaiban kekuasaan Hyang Widhi
Wasesa, kagum dan ikut bergembira.
"Ha-ha-ha, kalian berdua ini selalu tidak mau saling
mengalah, tidak mau kalah dan bersaingan. Bagus sekali!
Joko Pramono dan engkau nini Pusporini, sudah ditentukan
oleh Hyang Jagad Pratingkah bahwasanya kalian berdua
berjodoh untuk menjadi murid-muridku. Ketahuilah bahwa
aku adalah Resi Mahesapati dan karena getaran gaib yang
berupa perintah belakalah yang memaksaku turun ke dunia
ramai dan menjumpai kalian di sini. Akan tetapi sebelum
aku melanjutkan keteranganku, aku ingin mendengar lebih
dulu kesanggupan kalian. Kalian harus ikut bersamaku,
menjauhkan diri daripada dunia ramai, sebentarpun tidak
boleh keluar dari tempat pertapaan selama lima tahun dan
kemudian setelah lima tahun aku ingin melihat siapa di
antara kalian yang lebih menang dan maju. Bagaimana,
sanggupkah?" Memang pintar sekali Sang Resi Mahesapati ini.
Tadinya, mendengar bahwa mereka akan diambil murid
dan harus mengasingkan diri selama lima tahun, terasa
berat sekali di hati kedua orang muda itu. Akan tetapi
kalimat terakhir itu membuat mereka panas hati dan
bangkit semangat. Kakek ini ingin melihat siapa di antara
mereka yang lebih maju setelah lima tahun, berarti mereka
berdua disuruh berlomba dan bersaing!
"Hamba setuju! Biar dia belajar penuh semangat sampai
lima tahun juga, tidak nanti dia dapat mengalahkan
hamba," kata Joko Pramono.
Jilid XVI *HAMBA pun setuju! Dia ini boleh saja belajar mati-
matian, kaki dibuat kepala dan kepala dibuat kaki, setelah
lima tahun, akhirnya dia tentu akan keok (kalah) melawan
hamba!" kata Pusporini.
Kembali kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha!
Ucapan seorang gagah, sekali keluar dari mulut tidak akan
dijilat kembali. Ketahuilah, aku tidak akan menyeret kalian
menyeleweng daripada ajaran-ajaran yang telah kalian
terima dari guru-guru kalian. Engkau, Joko Pramono, telah
mempelajari Ilmu Cantuka Sekti dari gurumu Resi
Adiluhung. Aji itu cukup hebat dan selama lima tahun, aku
hanya ingin menuntunmu agar ajimu itu dan aji-ajimu yang
lain makin matang. Semua aji itu tiada banyak bedanya. Yang dilatih dengan
penuh kematangan, tentu akan menjadi ampuh. Dan
engkau, Pusporini, engkau telah banyak menerima aji-aji
kesaktian yang hebat dari rakandamu Adipati. Tejolaksono,
seperti Pethit Nogo dan Bojro Dahono. Biarlah aku akan
membimbingmu agar semua ajimu menjadi matang dan
ampuh." Dua orang muda yang tadinya tergesa-gesa menyanggupi
karena panas hati dan tidak mau saling dikalahkan, kini
menjadi kaget dan merasa betapa berat-nya syarat yang
diajukan kakek itu. Lima tahun mengasingkan diri! Tanpa
terasa, mereka saling menoleh, saling pandang dengan
pandang mata sayu, akan tetapi begitu pandang mata
mereka saling beradu, timbul kembali semangat di hati
mereka! "Joko Pramono dan Pusporini, ketahuilah bahwa
sesungguhnya seperti kukatakan tadi, aku muncul di dunia
ramai karena mendapat getaran perintah gaib. Awan gelap
dan hawa jahat bergulung datang hendak mengeruhkan
suasana,mendatangkan perang dan malapetaka kepada
manusia. Untuk menghalau perusuh itu, akan muncul
seorang satria muda yang sakti mandraguna. Akan tetapi
dia seorang diri masih belum kuat untuk mengusir
marabahaya, harus disandingi tenaga-tenaga muda lain
yang cukup kuat. Kalian ini berjodoh untuk menjadi murid-
muridku, kalianlah yang akan menjadi dua orang di antara
mereka yang bertugas membantu satria muda itu. Kalianlah
yang kelak akan ikut mencerahkan suasana, mengusir
kegelapan, menentang kejahatan yang merajalela dan
mengancam keselamatan rakyat. Karena itu, di pundak
kalian terletak tugas yang suci dan luhur sehingga kelak
tidak akan percumalah kalian sebagai keturunan orang-
orang gagah perkasa."
Dua orang itu termenung. Baru mereka mengerti bahwa
mereka diambil murid oleh kakek sakti ini bukan hanya
kebetulan belaka. "Eyang Resi, bolehkan hamba mengetahui siapa
gerangan satria muda yang harus hamba bantu kelak?"
Kakek itu tersenybm. "Itu masih merupakan rahasia.
Kelak kalian akan mengerti sendiri karena sesungguhnya
satria muda itu adalah paman gurumu sendiri. Ketahuilah
bahwa saat ini, guruku yang bagi , dunia sudah dianggap
meninggal dunia, telah berkenan mengambil satria itu
sebagai murid. Dialah yang akan bertugas memberantas
segala kesesatan dan kalian akan menjadi pembantu-
pembantunya. Cukup sekian saja keteranganku, murid-
muridku, dan sekarang, meramkanlah matamu dan jangan
dibuka sebelum kusuruh."
Dalam keadaan masih berlutut, Pusporini dan Joko
Pramono meramkan kedua mata mereka. Tiba-tiba mereeka
merasa betapa lengan mereka dipegang, kemudian tubuh
mereka serasa melayang, padahal mereka masih dalam
keadaan duduk bersila! Mimpikah mereka" Benar-benar
seperti orang dalam mimpi. Namun, mereka patuh kepada
perintah guru mereka dan sama sekali tidak berani
membuka mata sebelum guru mereka , menyuruh. Mereka
tidak melIhat sesuatu, hanya bunyi angin semilir memenuhi
kedua telinga. -oo0dw0oo- "Pusporini............ ' Anakku ............ Heh, manusia-
manusia biadab, lepaskan puteriku! Hayo, lawanlah Roro
Luhito ............ !"
"Bibi, ingat, Bibi ............ !" Tejolaksono terpaksa
melompat dan menangkap lengan tangan Roro Luhito yang
seperti orang kesurupan setan, hendak berlari mengejar
puterinya yang telah dilarikan entah ke mana. Roro Luhito
tadinya meronta-ronta, akan tetapi setelah berkali-kali
Tejolaksono dan Ayu Cancra membujuknya, ia menjadi
tenang. Wajahnya pucat sekali, matanya menyinarkan
kemarahan, dan suaranya terdengar dingin ketika ia
berkata, "Anakku Tejolaksono, engkau tahu bahwa aku tidak
akan dapat hidup kalau membiarkan Pusporini begitu saja
terjatuh ke tangan lawan. Tidak, biar sampai mati aku harus
mencarinya sampai dapat. Engkau tentu maklum apa yang
akan terjadi pada diri puteriku kalau tidak lekas ditolong.
Biarkanlah aku pergi mengejar mereka."
"Berbahaya sekali, Bibi. Biarlah saya yang mengejarnya."
"Kakangmas............ !" Ayu Candra berseru dengan
suara gemetar. "Benar isterimu, Tejolaksono anakku. Kadipaten tidak
boleh kautinggalkan, hal itu berbahaya sekali. Biarlah aku
yang mencari adikmu sampai dapat atau ............ aku
takkan kembali sebelum dapat menolongnya. Selamat
tinggal!" "Nanti dulu, Bibi. Tak mungkin Kanjeng Bibi pergi
seorang diri saja." Adipati Tejolaksono lalu memanggil dua
losin orang pengawal untuk membantu bibinya yang
memaksa diri hendak nekat mencari Pusporini. Ia maklum
akan genting dan sulitnya keadaan. Ia harus mengakui
bahwa memang amatlah berbahaya nasib Pusporini terjatuh
ke tangan orang-orang biadab itu, dan memang amat
membutuhkan pertolongan dengan segera. Dan ia tahu
bahwa mungkin penangkapan atas diri Pusporini itu
disengaja untuk memancingnya keluar. Kalau ia keluar dari
kadipaten, tentu kadipaten akan menjadi lemah dan akan
diserbu musuh. Memang satu-satunya jalan untuk
menolong Pusporini hanyalah bibinya, Roro Luhito. Akan
tetapi iapun ragu-ragu. Musuh terlampau banyak dan di
antara mereka terdapat banyak orang sakti. Biarpun bibinya
bukan wanita sembarangan, namun ia sangsi apakah
bibinya akan berhasil menolong Pusporini" Jangan-jangan
malah membahayakan dirinya sendiri. Betapapun juga,
tidak mungkin ia dapat mencegah kehendak bibinya itu.
Maka terpaksa ia lalu menyuruh dua losin orang pengawal
yang cukup tangguh untuk mengawal bibinya. Rombongan
ini lalu berangkat melakukan pengejaran.
Adipati Tejolaksono bersama isterinya lalu mencurahkan
perhatiannya kepada penjagaan di Selopenangkep yang
sudah terkepung musuh dari segenap jurusan. Kegelisahan
hati mereka tentang keselamatan Pusporini dan bibi mereka
terpaksa mereka kesampingkan lebih dulu.
"Nimas, keadaan kita amat berbahaya. Engkau tidak
boleh berpisah dari sampingku dan harus selalu waspada."
Ayu Candra hanya mengangguk lesu. Terlalu banyak
peristiwa sedih yang susul menyusul melemahkan semangat
wanita ini. Mula-mula puteranya secara terpaksa dipisahkan dari sampingnya, ditambah tewasnya bibinya,
Kartikosari. Kemudian disusul dengan munculnya Endang
Patibroto yang membawa pergi Setyaningsih entah ke
mana. Kini ditambah terculiknya Pusporini oleh musuh dan
perginya Roro Luhito yang secara nekat melakukan
pengejaran, padahal musuh amat besar jumlahnya dan
memiliki banyak orang sakti. Sekarang, Kadipaten
Selopenangkep dikepung musuh dan ia tahu bahwa hal
yang paling menggelisahkan hati suaminya adalah karena
melihat betapa banyaknya penduduk Selopenangkep yang
kini datang bersama musuh, menjadi sekutu dan anak buah
musuh! Malam itu Adipati Tejolaksono mengumpulkan dan
mencacahkan jumlah seluruh pasukannya. Tidak lebih
hanya tiga ratus orang perajurit, termasuk para pengawal,
para abdi dalem dan rakyat penduduk kadipaten yang setia.
Banyak di antara penduduk yang siang-siang sudah diam-
diam melarikan diri keluar kadipaten. Tigaratus orang,
harus menghadapi kepungan musuh yang entah berapa
banyaknya! Dan pembantunya, Mundingyudo, baru saja
berangkat ke kota raja Panjalu. Ia sangsi apakah bantuan
dari Panjalu dapat diharapkan datang sebelum terlambat.
Adipati Telolaksono membagi tugas, mengumpulkan para
kepala pasukan yang ia bagi menjadi lima. Ia segera
mengatur siasat. Penjagaan dilakukan sekeliling kadipaten,
merupakan lima kelompok yang selalu bergerak, berpindah-
pindah saling bertukar tempat. Kalau sewaktu-waktu
pasukan lawan melakukan penyerbuan, pasukan kadipaten
harus membentuk barisan Kalajengking Sakti. Barisan
dengan gaya inilah yang paling tepat untuk melakukan
penjagaan kadipaten dan menghadapi musuh yang besar
jumlahnya. Barisan bergaya Kalajengking Sakti ini dibagi
menjadi lima. Dua barisan kepala di depan merupakan
sepasang sapit kalajengking yang menghadapi musuh
terbesar dari depan, dari kanan kiri datangnya, menyerang
ke arah lambung pasukan besar lawan yang datang
menyerbu. Dua barisan lain yang lebih kecil menjaga
lambung di kanan kiri merupakan deretan kaki kalajengking, dua pasukan ini mencegah penyerbuan gelap
dari jurusan kanan kiri dan mereka ini terdiri daripada
barisan panah. Ke lima adalah barisan terbesar yang berada
di belakang, merupakan sengat kalajengking. Barisan inilah
sebetulnya yang menjadi barisan inti, barisan penyerang
yang dipimpin sendiri oleh Adipati Tejolaksono dan
isterinya. Barisan ini tugasnya melakukan penyerangan tiba-
tiba kepada pasukan penyerbu, dan cepat mundur lagi jika
barisan sepasang sapit sudah kuat kembali, untuk menyusun
tenaga dan secara tiba-tiba menyerang lagi. Karena
gerakannya cepat tak terduga dan di dalam pasukan ini
terletak inti penyerangan yang amat kuat, maka dapat
diharapkan fihak penyerbu akan dapat dihancurkan.
Semua telah siap di kadipaten. Penjagaan dilakukan
secara bergilir dan tepat, agar semua anggauta pasukan
mendapat giliran mengaso dan tidur. Bagian dapur umum
juga sudah sibuk, mempersiapkan ransum bagi para
pasukan yang bertugas berat. Juga bagian perlengkapan
senjata selalu sibuk, mempersiapkan senjata-senjata cadangan, mengasah dan menambah jumlah anak panah
darurat. Pendeknya, Kadipaten Selopenangkep telah siap
sedia dengan semangat tempur yang tinggi.
Akan tetapi, malam itu fihak musuh tidak ada yang
melakukan serangan, bahkan tidak melakukan gerakan
sama sekali. Dari atas menara kadipaten yang juga
dipergunakan sebagai pusat penjagaan, Adipati Tejolaksono
melakukan penyelidikan. Hanya tampak obor dan barisan
musuh yang padat, tidak bergerak namun mengambil posisi
mengurung kadipaten. Hatinya gelisah kalau teringat akan
Pusporini dan Roro Luhito. Tidak ada kabarnya sama
sekali bibinya dan adik misannya itu. Juga tidak ada
seorangpun di antara pasukan pengawal bibinya datang
melapor. Menjelang pagi, ketika ayam jago mulai berkeruyuk,


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

burung-burung mulai berkicau menyambut datangnya fajar,
tampaklah pasukan musuh bergerak makin mendekati
kadipaten. Pasukan-pasukan kadipaten siap sedia dan kini
di pintu gerbang bagian barat terdapat pasukan yang
bersorak-sorak. Agaknya pasukan di pintu gerbang barat
inilah merupakan pasukan inti lawan, karena di situ tampak
Cekel Wisangkoro, Sariwuni, bahkan kelihatan pula Ni
Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro yang mengepalai
barisan masing-masing. Pasukan Ni Dewi Nilamanik
sendiri daripada wanita-wanita cantik dan muda, yang
berbaris rapi dengan pakaian indah, dibagi menjadi tiga
kelompok, kelompok pertama adalah pasukan wanita
bersenjata gendewa dan anak panah, kelompok ke dua
adalah pasukan wanita bertombak, dan ke tiga pasukan
wanita berpedang. Juga barisan yang dipimpin Ki
Kolohangkoro amat menyeramkan, terdiri daripada laki-
laki tinggi besar seperti raksasa, ada pasukan tombak, ada
pasukan penggada dan kesemuanya kelihatan kuat-kuat
menyeramkan. Yang mengerikan adalah pasukan raksasa
gundul yang seperti boneka hidup. Mereka ini dipimpin
oleh Cekel Wisangkoro. Raksasa-raksasa gundul yang
seperti boneka atau mayat hidup ini tidak bersenjata, akan
tetapi mereka ini kelihatan lebih mengerikan. Dan
bercampur dengan bermacam pasukan ini tampaklah para
petani, rakyat wilayah Selopenangkep yang kena terbujuk
atau terpikat sehingga mereka ini ikut menyerbu kadipaten
mereka sendiri! Mereka ini terdiri daripada orang-orang
yang memang pada dasarnya tidak memiliki kesetiaan, yang
bodoh, yang kena terbujuk karena pengaruh wanita-wanita
penyembah Durga yang genit-genit, yang kena pikat oleh
harta benda, atau yang terbujuk melalui pelajaran kebatinan
dan Agama Shiwa. Akan tetapi, para perajurit Selopenangkep tidak
memperhatikan keadaan pasukan musuh, bahkan tidak
gentar melihat mereka. Yang membuat mereka terbelalak
adalah ketika fihak musuh mengeluarkan dua buah gala
bambu yang panjang dan di ujung gala bambu ini tampak
dua buah kepala. Yang sebuah adalah kepala Mundingyudo, pemimpin pasukan Selopenangkep! Adapun
yang ke dua adalah kepala Roro Luhito!
"Aduh, kanjeng bibi I" Ayu Candra yang memeriksa
bersama suaminya dari atas menara, tiba-tiba mengeluh dan
terhuyung roboh, akhirnya pingsan di dalam pelukan
suaminya. Adipati Tejolaksono sambil memeluk isterinya yang
pingsan, memandang ke bawah, keluar pintu gerbang dan
ke arah kepala bibinya dan pembantunya. Matanya
menyinarkan api kemarahan, dadanya serasa hendak
meledak, giginya berkerot, tangan kanannya mengepal
tinju. Jelas bahwa bibinya terbunuh, gagal merampas
kembali Pusporini yang entah berada dimana. Terbunuhnya
bibinya itu berarti terbunuhnya dua losin pengawal yang
membantunya. Dan Mundingyudo juga terbunuh, hal ini
berarti bahwa usahanya minta bantuan ke Panjalu gagal
pula. Tidak ada jalan lain, ia harus melawan mati-matian!
Cepat ia menyadarkan isterinya, lalu menghiburnya,
"Nimas, Kanjeng Bibi tewas sebagai seorang pahlawan.
Namanya akan dipuja sepanjang masa sebagai seorang
perajurit yang membela Selopenangkep sampai mengorbankan nyawa. Tidak perlu kiranya disedihkan lagi,
lebih penting kita siap-siap menggempur musuh untuk
membalaskan kematian Kanjeng Bibi Roro Luhito dan yayi
dewi Pusporini!" Bangkit semangat Ayu Candra mendengar ucapan
suaminya ini. Dengan muka beringas ia melompat bangun,
meraba gagang kerisnya. "Mari kita hajar mereka,
Kakangmas!" Pagi hati itu dimulailah perang campuh yang hebat.
Melihat betapa kadipaten dijaga kuat, barisan musuh yang
kini dipimpin langsung oleh Ni Dewi Nilamanik
menantang dan mengatur barisan di luar kadipaten. Barisan
yang merupakan penggabungan macam-macam pasukan
itu, terdiri dari lima ratus orang lebih, hampir dua kali
jumlah seluruh perajurit Selopenangkep. Perang tanding ini
terjadi amat seru, berlangsung dari pagi sampai petang.
Namun ternyata, siasat barisan Selopenangkep dengan gelar
Kalajengking Sakti ini benar-benar ampuh. Apalagi karena
bagian intinya, yaitu bagian sengat kalajengking , penyerang
utama barisan itu, dipimpin sendiri oleh sang adipati
bersama isterinya. Barisan Selopenangkep mengamuk dan
banjir darah terjadi di medan yuda. Sang Adipati
Tejolaksono dan bersama Ayu Candra mengamuk seperti
banteng-banteng terluka, dan hanya setelah para pimpinan
pasukan musuh yang terdiri dari Ni Dewi 'Nilamanik, Ki
Kolohangkoro, Cekel Wisangkoro, Sariwuni dan dibantu
oleh dua orang Gagak, maju menyambut, barulah Adipati
Tejolaksono dan isterinya terdesak hebat. Namun gerak
barisan Kalajengking Sakti tidak membiarkan barisan
"sengat" ini terdesak. - Pasukan-pasukan yang merupakan
sapit membantu dari kanan kiri dan pasukan inti itu
mundur lagi untuk menyusun tenaga baru.
Setelah hari menjadi petang, perang tanding dihentikan,
barisan musuh mundur dan pasukan kadipaten juga
kembali memasuki kadipaten. Kedua fihak, bagaikan dua
ekor harimau bertanding dan kini menjilat-jilati luka-luka di
tubuh masing-masing, kini menghitung-hitung sisa pasukan.
Hebat memang akibat perang sehari itu. Di fihak
Selopenangkep kehilangan lima puluh orang lebih perajurit
yang tewas dan terluka berat, belum terhitung yang luka-
luka ringan. Tiga orang kepala pasukan tewas pula. Akan
tetapi di fihak musuh, kerugian yang diderita ternyata lebih
besar lagi. Lebih dari seratus orang perajurit tewas, tidak
terhitung yang terluka, dan Ki Kolohangkoro terpaksa
harus beristirahat sedikitnya tiga hari karena dalam perang
tanding tadi, ketika ia ikut mengeroyok Adipati
Tejolaksono dan beradu lengan yang dipenuhi getaran hawa
sakti, ia kalah kuat dan hawa sakti yang dilancarkan lewat
pukulannya membalik dan melukai isi dadanya sendiri
sehingga ia harus beristirahat untuk memulihkan tenaga.
Sungguhpun melihat jumlah korban, dalam pertandingan
itu boleh dikatakan fihak Selopenangkep mendapat
kemenangan, namun kenyataannya tidak demikian. Jumlah
pasukan Selopenangkep lebih kecil, dan dengan jatuhnya
korban-korban itu, kini keadaan mereka menjadi makin
payah dan lemah. Apalagi, kadipaten sudah dikurung
sehingga mereka tidak dapat mengirim permintaan bantuan
ke Panjalu. Kalau mereka terus dikurung, tanpa
diperangipun mereka akhirnya akan kalah sendiri karena
kehabisan ransum. Agaknya siasat ini pula dijalankan oleh Cekel
Wisangkoro yang menjadi penasehat dalam barisan itu,
seorang yang banyak mengerti akan siasat perang karena
Cekel Wisangkoro ini dahulunya bekas senopati Kerajaan
Cola. Cekel Wisangkoro tidak hanya melakukan pengurungan yang amat ketat dengan menambah jumlah
pasukan, bahkan setiap malam ia menyuruh barisan panah
untuk menghujankan anak panah ke arah kadipaten, anak
panah yang disertai api sehingga setiap malam, Kadipaten
Selopenangkep sibuk memadamkan kebakaran dan hanya
dapat membalas dengan anak panah ke arah yang
mengawur karena fihak musuh selalu berpindah tempat di
tengah malam gelap itu! Siasat yang dipergunakan musuh itu benar-benar
melemahkan keadaan para perajurit Selopenangkep. Setelah
pengurungan dilakukan selama sepekan, keadaan mereka
benar-benar dalam bahaya karena beras telah habis tinggal
sehari lagi! Menyelundupkan dari luar tidak mungkin
karena penjagaan amat ketat dan untuk menyerbu mati-
matian keluar, berarti mengosongkan kadipaten. Malam itu,
sebelum musuh melakukan penyerangan dengan anak
panah berapi seperti biasa, Tejolaksono memanggil semua
pembantunya, para perwira dan kepala pasukan.
Ketika ditanya pendapat mereka, seorang panglima tua
mewakili kawan-kawannya berkata dengan suara penuh
kegagahan, "Gusti adipati, hamba sekalian bersedia mempertahankan Selopenangkep sampai titik darah
terakhir!" Para perwira menyambut pernyataan ini dengan suara
.tak seorang pun di antara mereka yang gentar menghadapi
kematian dalam mempertahankan Selopenangkep. Adipati
Tejolaksono terharu sekali, akan tetapi suaranya sungguh-
sungguh dan tegas ketika ia berkata,
"Tidak benar pendapat kalian ini, para Paman dan
Kakang senopati. Kita harus mencari siasat untuk
mengosongkan kadipaten dan menyelamatkan diri."
"Meninggalkan kadipaten, membiarkan kadipaten jatuh
ke tangan musuh" Maaf, Gusti adipati! Akan tetapi
sungguh-sungguh hamba tidak dapat menerima pendapat
ini. Musuh baru boleh menduduki kadipaten, akan tetapi
hanya melalui mayat hamba!" bantah panglima tua yang
sudah puluhan tahun menjadi hulubalang di Kadipaten
Selopenangkep. Pernyataan yang gagah ini kembali
disetujui semua kawannya.
Adipati Tejolaksono yang duduk di dekat isterinya,
mengangguk-angguk dan berkata kembali "Aku dapat
menghargai kesetiaan kalian, dan jangan mengira bahwa
aku sendiri kurang mencinta Kadipaten Selopenangkep.
Aku terlahir di tempat ini, dan sudah menjadi kewajibanku
untuk mempertahankan Selopenangkep. Akan tetapi,
hendaknya andika sekalian mengerti bahwa gerakan musuh
ini bukanlah sekedar untuk memusuhi Selopenangkep.
Sama sekali bukan, Selopenangkep hanya merupakan
awalan yang kecil saja. Gerakan mereka merupakan
ancaman untuk seluruh Nuswantara, dan tujuan mereka
adalah menundukkan Panjalu dan Jenggala. Kalau sekali
ini kita kalah, bukan berarti kita kalah perang. Sama sekali
tidak, Paman dan Kakang senopati. Kekalahan kita
sekarang ini dapat kita tebus kelak dalam pertempuran di
lain kesempatan, bukan kalah perang melainkan hanya
kalah dalam suatu pertempuran karena kalah banyak
jumlah perajurit kita. Kita harus mencari siasat dan jalan
untuk keluar dari sini dalam keadaan selamat."
"Maaf, Gusti adipati. Sungguhpun benar apa yang
Paduka katakan, akan tetapi hamba tetap berpendapat
bahwa amatlah tidak layak bagi seorang perajurit untuk
tinggalkan gelanggang perang, melarikan diri seperti orang-
orang penakut dan pengecut! Hamba tidak takut mati di
tangan musuh, Gusti. Hamba tidak akah membiarkan
musuh menduduki Selopenangkep sebelum hamba mati!"
Demikian kata panglima tua yang amat setia. Kawan-
kawannya mengangguk membenarkan. Marahlah Adipati
Tejolaksono. Dengan pandang mata tajam ia menatap
wajah para pembantunya, seorang demi seorang. Demikian
tajam berpengaruh pandang rriata Adipati Tejolaksono
sehingga mereka itu menundukkan muka tidak berani
menentang pandang., "Andika sekalian terlalu mabuk kegagahan sehingga lupa
akan tugas terutama dan terpenting seorang perajurit.
Apakah tugas pertama seorang perajurit"
Patuh dan taat akan perintah atasan! Dan sekarang,
andika sekalian sudah hendak melanggar tugas pertama ini!
Apakah andika semua sudah tidak mengakui lagi aku
sebagai atas kalian?"
Suara yang marah dan berwibawa ini tidak ada yang
membantah. Semua perwira hanya menundukkan muka
dan biarpun mereka masih merasa penasaran, namun
teguran ini membuat mereka merasa malu sekali.
Adipati Tejolaksono menghela napas panjang, lalu
berkata, "Paman dan Ka-kang senopati semua. Jangan
sekali-kali mengira bahwa aku Tejolaksono takut menghadapi maut dalam perang melawan musuh. Sama
sekali tidak, seujung rambutpun tidak! Dan jangan mengira
aku mengajak andika semua menyelamatkan diri karena
takut kepada musuh, sama sekali tidak! Aku mengambil
keputusan ini setelah kuwawas dengan matang, setelah
kupertimbangkan semasak-masaknya. Hanyalah orang
bodoh yang berlaku nekad dan membunuh diri tanpa ada
manfaatnya. Kita terkepung, jumlah musuh jauh terlalu
banyak sehingga kalau kita berkeras melawan, kita akan
membuang nyawa secara sia-sia belaka. Kita tidak boleh
buta akan kenyataan, dan dapat mengetrapkan keberanian
kita pada saat yang tepat. Kalau kita berkeras
mempertahankan Selopenangkep, akhirnya kita akan tewas
semua dan apakah andika kira bahwa kalau kita tewas
Selopenangkep tidak akan diduduki musuh" Siasia belaka


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita nekat tanpa perhitungan. Sebaliknya, kalau kita dapat
menyelamatkan diri membebaskan diri daripada kepungan,
benar bahwa Selopenangkei akan diduduki musuh. Akan
tetapi kita masih hidup dan tentu saja kita tidak akan tinggal
diam. Kita akan menyatukan diri dengan pasukan Panjalu
dan kembali ke sini. Nah, saat itulah kita boleh
mempertaruhkan nyawa dalam perang yang seimbang.
Selain itu, jangan andika sekalian mengira akan mudah saja
membebaskan diri daripada kepungan musuh ini. Sama
sekali tidak! Kita harus menerobos dan membuka jalan
darah, bertanding mati-matian, mungkin sekali banyak di
antara kita akan tewas, akan tetapi setidaknya, sebagian
daripada kita akan selamat dan kelak akan membalaskan
kematian kawan-kawan yang gugur. Kalau kita nekat
mempertahankan di sini, kita semua mati. Siapa kelak yang
akan membalaskan kematian kita?"
Ucapan sang adipati yang panjang lebar ini menyadarkan
para senopati. Mereka mengangguk-angguk dan menyatakan setuju. Maka diaturlah siasat. Malam itu, kalau
para musuh menyerang dengan anak panah, pasukan
diharuskan membiarkan saja dan tidak terlalu membuang
tenaga memadamkan api, bahkan lebih baik menyimpan
tenaga dan beristirahat sambil berlindung. Kemudian, jauh
lewat tengah malam, ketika diperkirakan lawan yang lelah
itu mengaso, mereka akan menyerbu keluar melalui pintu
gerbang sebelah utara. Seperti pada malam-malam yang lalu, malam itu fihak
musuh juga menghujankan panah api. Para perajurit
Selopenangkep, sesuai dengan perintah sang adipati, hanya
memadamkan api yang sekiranya berbahaya saja. Mereka
lebih sibuk bersiap untuk menyerbu keluar pagi nanti dan
beristirahat mengumpulkan tenaga. Keluarga para perajurit
yang sudah dikumpulkan di kadipaten, berikut anak-anak
mereka, telah pula bersiap-siap melarikan diri bersama-
sama karena mereka maklum bahwa wanita yang tertinggal
di situ pasti kelak akan menjadi korban kebiadaban para
musuh. Daripada tinggal dan terancam bahaya mengerikan,
mereka ini lebih suka ikut melarikan diri dengan taruhan
nyawa di samping suami dan ayah mereka.
Lewat tengah malam, serangan dari luar berhenti dan
keadaan menjadi sunyi di luar kadipaten. Di sana-sini, di
dalam kadipaten, masih ada api menyala. Adipati
Tejolaksono melakukan persiapan bersama isterinya. Suami
isteri ini sama .sekali tidak memperdulikan isi gedung
kadipaten. Hanya keris pusaka yang mereka bawa, di
samping benda-benda perhiasan yang kecil-kecil saja.
Sedikitpun mereka tidak merasa berduka meninggalkan
barang-barang mereka, hanya berduka karena kini mereka
terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal mereka berdua
saja, sedangkan putera mereka masih belum mereka ketahui
keadaannya, juga Pusporini yang diculik musuh. Mereka
berduka menyaksikan kematian Roro Luhito yang begitu
mengerikan, tanpa mendapat kesempatan untuk mengurus
dan menyempurnakan jenazah orang tua itu.
Tejolaksono menanti sampai jauh lewat tengah malam.
Setelah mendekati fajar dan diperkirakan fihak musuh
sedang enak mengaso dan tidur, Tejolaksono memberi
isyarat kepada para pembantunya. Bergeraklah sisa pasukan
Selopenangkep yang berjumlah hanya kurang lebih dua
ratus orang itu bersama keluarga mereka yang mereka
lindungi dan dikumpulkan di tengah-tengah mereka.
Adipati Tejolaksono dan isterinya, Ayu Candra, keduanya
mengenakan pakaian ringkas berwarna hitam, keris pusaka
terselip di pinggang, berjalan berdampingan paling depan,
merupakan pelopor. Sikap mereka yang gagah perkasa dan
sedikitpun tidak membayang takut dan menambah
semangat para perajurit dan di dalam hati setiap orang
perajurit bersumpah untuk sehidup-semati dengan junjungan mereka ini. "Kita menyerbu keluar dengan mati-matian! Ketahuilah
kalian semua bahwa kalau kita tetap berlindung di
kadipaten akhirnya kita semua akan mati kelaparan atau
mati terbakar. Daripada mati konyol seperti itu, adalah
lebih baik kelak kita menyerbu keluar dan berusaha
melarikan diri ke Panjalu untuk mencari bala bantuan.
Ingat, yang tewas dalam penyerbuan ini adalah perajurit-
perajurit gagah perkasa dan
setia karena kematiannya adalah demi menyelamatkan
sebagian kawan-kawan dan mereka yang berhasil selamat
melarikan diri sampai ke Panjalu adalah perajurit- perajurit perkasa pula yang
kelak akan membalaskan kematian kawan-kawan yang
tewas dalam usaha ini. Karena
itu, marilah kita bertempur
mati-matian, demi untuk keselamatan kita sendiri, teman-teman dar keluarga kita, juga demi nama dan
kehormatan kita sebagai perajurit-perajurit Selopenangkep
yang lebih balk mati daripada menakluk kepada musuh!"
Demikian pesan terakhir Adipati Selopenangkep itu ketika
hendak melakukan penyerbuan keluar.
Fajar yang sunyi dan dingin sekali itu, secara tiba-tiba
dipecahkan suara gaduh dan hiruk-pikuk ketika para
penyerbu dari dalam ini ketahuan. Terjadi-lah perang yang
amat hebat, perang kacau-balau karena biarpun fihak
pengurung kadipaten jumlahnya jauh lebih banyak, akan
tetapi mereka tadi tengah tidur nyenyak dan sama sekali
tidak pernah menyangka bahwa sisa perajurit-perajurit
Selopenangkep yang sudah dikurung berhari-hari itu masih
ada kemampuan untuk menyerbu dan menerobos keluar.
Sepak terjang Tejolaksono dan Ayu Candra amat
menggiriskan hati para perajurit musuh. Bagaikan sepasang
garuda sakti saja, suami isteri yang menjadi pelopor
terdepan ini mengamuk dan barang siapa berani
menghadang di depan mereka, tentu akan terjungkal roboh
tak bernyawa lagi! Jauh berbeda perasaan suami isteri ini
ketika mereka mengamuk dan membabati musuh seperti
dua orang penggembala berlumba membabat rumput saja.
Semangat Tejolaksono meluap-luap karena sang adipati ini
ingin sekali melihat sebanyak mungkin perajuritnya dapat
berhasil lolos dari kepungan. Adapun Ayu Candra
mengamuk berdasarkan dorongan rasa hati yang sakit,
marah dan dendam karena musuh inilah yang menyebabkan pelbagai malapetaka menimpa keluarganya,
bahkan yang memaksanya meninggalkan kadipaten tanpa
menanti kembalinya puteranya, Bagus Seta, dan Pusporini
yang hilang entah ke mana perginya. Namun, betapapun
jauh bedanya gelora yang bergejolak di hati masing-masing,
akibatnya amat celaka bagi lawan yang berani menghadang
di depan suami isteri perkasa ini.
Betapapun gagahnya para perajurit Selopenangkep yang
mengamuk sambil bersorak menggegap-gempita, namun
jumlah lawan terlalu banyak. Di bawah pimpinan
Tejolaksono dan Ayu Candra, akhirnya sebelum matahari
terbit dan sebelum fihak musuh dapat menghimpun
kekuatan dan pulih daripada kekacauan karena penyerbuan,
tiba-tiba itu, sebagian kecil prajurit Selopenangkep dan
keluarganya berhasil lolos dari kepungan dan melarikan diri
ke arah Panjalu. Dari dua ratus orang perajurit yang dapat
lolos hanya lima puluh lebih orang saja, dan keluarga para
perajurit hilang tiga perempatnyal Kematian di fihak
mereka banyak, akan tetapi mereka akan berbesar hati kalau
dapat menghitung jumlah korban di fihak musuh yang telah
mereka roboh dan tewaskan, karena jumlah ini sedikitnya
ada tiga kali lebih besar daripada jumlah korban mereka!
Tidak ada seorang pun di antara mereka yang tidak
membunuh musuh sedikitnya dua orang, dan mereka yang
gugur tentu telah merobohkan lebih banyak musuh pula!
Perjalanan melarikan diri ke Panjalu ini amatlah
sengsara. Karena khawatir akan pengejaran musuh yang
berjumlah besar, mereka melakukan perjalanan siang
malam sehingga dalam perjalanan yang dipaksa Ini kembali
jatuh beberapa orang korban, yaitu di antara mereka yang
terluka dalam penyerbuan keluar itu. Namun akhirnya,
dalam keadaan lelah iahir batin, Adipati Tejolaksono
bersama isteri berhasil juga membawa rombongan pelarian
ini sampai ke Kota Raja Panjalu di mana sang adipati
dengan suara pilu melaporkan segala peristiwa yang terjadi
kepada sang prabu di Panjalu.
Bukan main marahnya sang prabu di Panjalu ketika
mendengar pelaporan Adipati Tejolaksono. Sang prabu
masih duduk terhenyak di atas singgasana, akan tetapi jari-
jari tangan yang memegang lengan kursi itu menegang dan
mengepal-ngepalkan tinju. Wajah yang tampan dan biasa-
nya tenang dan agung itu kini menjadi merah, seolah-olah
mengeluarkan cahaya berapi, giginya berkerot dan dadanya
bergelombang, sepasang mata yang masih tajam berpengaruh itu memandang penuh kemarahan kepada
musuh. "Babo-babo ............ si keparat! Tidak ada habisnya nafsu
kemurkaan diumbar oleh Sriwijaya! Begitu buta matanya
sehingga tidak melihat bahwa sesungguhnya agama
diciptakan untuk mendatangkan perdamaian di atas bumi!
Akan tetapi dia malah berani memperalat agama untuk
mengumbar nafsu, mempergunakan pendeta-pendeta palsu
dan agama-agama sesat untuk mempengaruhi rakyat
Panjalu dan untuk menyebar kematian dan kerusakan! Hei,
para senopati dan perwiraku! Jangan kehilangan akal.
Kerahkan semua barisan, perhebat gemblengan dan latihan
mulai saat ini juga. Aku mengangkat Tejolaksono menjadi
senopati perang untuk memimpin barisan Panjalu dengan
tugas membasmi sampai habis benalu-benalu yang datang
dari Sriwijaya dan Cola!"
-oo0dw0oo- Perang............ ! Perang ............ ! Perang ?""!
Tidak ada seorang pun manusia kalau ditanya menjawab
bahwa dia suka akan perang. Tidak! Semua orang tidak
suka, bahkan membenci perang, karena siapakah orangnya
yang akan dapat menikmati kesenangan dari perang"
Kematian merajalela, harta benda mawut, hidup tak
terjamin keamanannya. Semua orang membenci perang.
Akan tetapi kenyataannya, semenjak dunia berkembang
sampai sekarang, dunia penuh dengan perang. Berhenti di
sini, muncul di sana. Tenang di sana, meletus di sini! Terus-
menerus begitu, abad demi abad, sehingga manusia menjadi
terbiasa karenanya, seolah-olah perang merupakan hiasan
dunia, merupakan keharusan dalam penghidupan manusia.
Perang untuk memperebutkan kemenangan! Ciri khas
mahluk yang disebut manusia! Dan agaknya, selama ciri
ini, yaitu ingin menang sendiri, tidak terhapus daripada
watak umum manusia, sampai dunia kiamat sekalipun
perang takkan pernah dapat terhapus dari pada lembaran
sejarah. Perang! Bunuh-membunuh! Perjuangan antara hidup
dan mati. Mengerikan! Mengerikan" Sesungguhnya tidak,
karena bukankah pada hakekatnya hidup ini perjuangan
antara hidup dan mati" Bukankah hanya ada dua di dunia
ini, yaitu hidup atau mati" Yang mati untuk memberi
kesempatan kepada yang hidup untuk menggantikan yang
mati, apa bedanya Menang atau Kalah, apa nilainya"
Panggung sandiwara itu tetap terbuka" Layar itu
berulang kali dikerek turun naik. Berganti-ganti pelakunya,
bertukar sri panggungnya, namun dimulai dan ditutup
dengan naik dan turunnya layar. Yang lama turun yang
baru naik. Layar dikerek naik lagi untuk kemudian ditutup
kembali. Begitu dan begitu seterusnya. Yang tinggal hanya
kenangan! Inipun akan terhapus. Dunia sebagai panggung
sandiwara lapuk dengan manusia-manusianya sebagai
pelaku-pelaku yang selalu haus

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan hal baru. Dipertontonkanlah bermacam gaya dan permainan,
semuanya palsu. Drama dan lawak, terutama sekali lawak
dengan dagelan-dagelan bermacam gaya!
Perang mengamuk di perbatasan sebelah barat Kerajaan
Panjalu. Pasukan-pasukan Kerajaan Panjalu yang amat
kuat dan terlatih, mengadakan operasi pembersihan di
mana-mana. Tidaklah ringan tugas ini. Di mana-mana
mereka mendapat sambutan, dan terjadilah perang tanding.
Namun pasukan-pasukan Panjalu memang terlatih dan
kuat, apa-lagi jumlahnya besar dan di mana-mana
mendapat dukungan rakyat. Terutama sekali induk barisan
yang dipimpin sendiri oleh Tejolaksono. Menggempur sana
menerjang sini, dan di mana saja pasukan-pasukan liar
musuh tentu dibikin kocar-kacir, kalau tidak dibasmi sama
sekali. Barisan Panjalu terus bergerak ke barat. Banyak sudah
pasukan lawan dapat dihancurkan, namun belum pernah
idam-idaman hati Tejolaksono terpenuhi, yaitu menangkap
atau membunuh tokoh-tokoh yang menggerakkan pasukan-
pasukan asing itu. Ingin sekali ia dapat berhadapan dengan
anak buah Biku Janapati dan Wasi Bagaspati. Ingin sekali
ia dapat menangkap Cekel Wisangkoro, Ni Dewi
Nilamanik, Ki Kolohangkoro, Sariwuni dan kawan-kawan
mereka itu. Namun tak pernah ia berkesempatan bertanding
yuda dengan mereka itu yang agaknya bergerak di balik
tabir hitam dan selalu melarikan diri kalau melihat pasukan
mereka terpukul mundur. Akhirnya, setelah menghalau penghalang-penghalang
yang berupa pasukan-pasukan liar musuh, barisan yang
dipimpin Tejolaksono berhasil menduduki kembali Selopenangkep. Hati sang adipati remuk redam ketika ia
menyaksikan keadaan Selopenangkep. Rakyatnya mengalami penderitaan hebat. Banyak wanita diperkosa,
laki-laki dibunuh dan mereka semua diharuskan menjadi
penyembah-penyembah Durga dan Bathara Kala.
Keadaan istana kadipaten sendiri rusak dan hancur.
Barang-barang berharga sudah lenyap, bahkan sebagian
besar bangunannya ambruk dan terbakar. Tejolaksono
makin sakit hatinya. Ia terus mengadakan pembersihan di
sekitar daerah Selopenangkep, setiap hari memimpin
pasukan keluar untuk melakukan pengejaran dan pembersihan. Sesungguhnya tidak ringan tugas yang dipikul oleh
Tejolaksono dan perajurit-perajurit Panjalu, karena fihak
lawan kadang-kadang mengadakan perlawanan hebat
sehingga menimbulkan banyak korban pula di fihak
Panjalu. Ketika pasukan Panjalu mengadakan penyerbuan di
Gunung Mentasari yang menjadi markas besar Ni Dewi
Nilamanik, pasukan Panjalu menghadapi perlawanan yang
luar biasa beratnya dan hampir saja pasukan Panjalu
mengalami bencana besar. Pasukan ini dipimpin sendiri
oleh Tejolaksono, berjumlah tiga ratus orang, karena
menurut para penyeliclik, puncak Mentasari itu hanya
dihuni oleh wanita-wanita penyembah Durga yang
jumlahnya tidak banyak. Dan memang keterangan para
penyelidik ini tidak salah. Puncak Mentasari dijadikan
tempat pusat atau markas besar untuk sementara waktu
oleh Ni Dewi Nilamanik dan di sini ia mempunyai anak
buah sebanyak sembilah puluh sembilan orang, kesemuanya wanita-wanita yang cantik-cantik dan genit-
genit. Tejolaksono yang selalu bersikap hati-hati dan waspada
tidak mau memandang rendah fihak lawan. Selain ini, juga
ia ingin sekali dapat menangkap hidup atau mati pimpinan
pasukan penyembah Bathari Durga itu, yakni Ni Dewi
Nilamanik. Maka ia lalu membagi pasukannya menjadi
lima , dan mendaki Bukit Mentasari dari lima jurusan. Dari
empat jurusan masing-masing terdiri dari lima puluh orang
perajurit sedangkan seratus orang perajurit lagi ia pimpin
sendiri, mendaki dari jalan biasa, langsung ke puncak.
Inilah kesalahan Tejolaksono. Ia terlalu hati-hati dan
mengambil jalan mengurung, akan tetapi hal ini malah
menjadi berbahaya karena berarti bahwa sebagian daripada
perajurit-perajuritny terpisah daripadanya. Inilah bahayanya Menghadapi perlawanan kasar yang menggunakan kekerasan, tentu saja para perajurit itu sudah
terlatih dan tergembleng dan kiranya akan dapat
menanggulangi musuh. Akan tetapi menghadapi sambutan
halus yang didasari kesaktian ilmu hitam, tentu saja hanya
Tejolaksono yang akan dapat menghadapinya.
Demikianlah, setelah memecah pasukannya menjadi
lima, Tejolaksono sendiri lalu memimpin sisa pasukan
mendaki Gunung Mentasari yang tidak berapa tinggi itu. Ia
sudah memperhitungkan bahwa penghuni gunung itu tentu
tidak akan dapat meloloskan diri karena pasukan-
pasukannya mengepung dan memasuki dari lima jurusan.
Maka untuk mencapai puncak, ia sengaja membawa
pasukannya lambat-lambat saja menuju sarang musuh.
setelah hampir tiba di puncak, Tejolaksono menyuruh
pasukannya bersembunyi dan menanti tanda rahasia
pasukan-pasukan lain yang mengepung puncak. Tanda
rahasia itu adalah bunyi emprit gantil yang diulang sampai
tiga kali. Puncak di mana berdiri bangunan-bangunan para
penyembah Bathari Durga tampak sunyi-sunyi saja,
sungguhpun asap yang mengepul menjadi tanda bahwa
penghuninya masih ada dan mungkin asap itu adalah asap
dari dapur mereka. Telah lama Tejoiaksono menanti,
namun belum juga ada tanda-tanda dari empat pasukannya
yang lain. Padahal menurutkan perhitungannya, pasti
mereka telah tiba di puncak, atau sedikitnya satu di antara
empat tentu sudah sampai.
Ia menjadi tidak sabar dan juga gelisah. Tidak
munculnya empat pasukan kecil itu boleh jadi berarti bahwa
mereka mendapatkan bencana yang tak terduga-duga. Oleh
karena itu, Tejolaksono lalu memberi tanda dan dia sendiri
lebih dulu menyerbu naik ke atas puncak, menuju
bangunan-bangunan yang sudah kelihatan dari tempat
mereka bersembunyi tadi. Pasukannya yang seratus orang
banyaknya itupun bersorak dan menyerbu ke puncak.
Sudah gatal-gatal tangan mereka dan kesal hari mereka
karena sejak tadi bersembunyi dan berdiam diri saja.
Tiba-tiba dari dalam bangunan itu bermunculan banyak
sekali wanita cantik dan ............ sorak-sorai para perajurit
Panjalu itu seketika terhenti. Sebagian besar.di antara
mereka terhenyak di tempatnya seperti berubah menjadi
arca dengan mata terbelalak memandang ke depan dan
mulut ternganga, tidak tahu apa yang harus dilakukan!
Bermacam-macam perasaan tampak pada wajah para
perajurit yang tadinya bersernangat penuh untuk bertanding
ini. Ada yang tersipu-sipu malu, ada yang terbelalak dan
terpesona penuh gairah, ada yang mengeluarkan kutuk, dan
ada pula yang menjadi pucat pasi mukanya. Betapa mereka
tidak akan tercengang ketika mendapat kenyataan bahwa
musuh yang mereka serbu ini ketika muncul merupakan
sekumpulan wanita muda cantik dan berpakaian tipis
setengah telanjang, yang berlari-lari menyambut mereka
dengan rambut panjang terurai lepas, pakaian sutera tipis
berkibar setengah terbuka, mata bergerak genit dan mulut
tersenyum-senyum memikat penuh daya rangsang.
Akan tetapi tiga perajurit terdepan yang bergerak maju
dengan pandang mata penuh gairah terpikat dan hendak
merangkul wanita-awanita itu, tiba-tiba roboh terguling
oleh kilatan keris-keris yang berada di tangan wanita-wanita
itu dan yang disembunyikan di balik pakaian yang berkibar-
kibar ! Menyaksikan keadaan ini, Tejolaksono maklum bahwa
fihak lawan mempergunakan pikatan berupa anggauta-
anggautanya yang muda dan cantik, diperkuat oleh
pengaruh ilmu hitam yang melemahkan semangat para
perajuritnya. Maka ia lalu mengerahkan hawa sakti di
dadanya dan mengeluarkan pekik Dirodo Meto yang
mempunyai pengaruh dan wibawa besar dan hebat sehingga
sejenak buyarlah kekuatan ilmu hitam guna-guna yang
dibawa oleh wanita-wanita setengah telanjang itu dan
terkejutlah semua perajurit Panjalu seperti mendengar
halilintar di dekat telinga. Karena terkejut, mereka sadar
dan sejenak mereka terbebas daripada cengkeraman hawa
ilmu hitam yang mempesonakan hati mereka tadi.
"Semua perajurit perkasa maju! Mereka adalah iblis-iblis
betina yang harus dihancurkan!" teriakan Tejolaksono
menggema di seluruh puncak bukit itu dan kini semangat
para perajurit terbangun kembali. Tubuh-tubuh setengah
telanjang dan wajah cantik tersenyum-senyum tidak lagi
tampak cantik menarik dan lemah gemulai, melainkan
tampak seperti wajah Bathari Durga di kala marah,
mengerikan dan menjijikkan. Seketika mereka serentak
maju dan menggerakkan senjata dan terjadilah perang
tanding karena kini para penyembah Durga, anak buah Ni
Dewi Nilamanik itu maklum bahwa pengaruh ilmu guna-
guna yang disebar guru mereka sudah kehilangan
kekuatannya dan mereka tidak lagi dapat mengandalkan
ilmu itu, melainkan harus mengandalkan senjata dan
ketangkasan. Namun, dalam hal ketangkasan bertanding
mempergunakan tenaga dan senjata, para anak buah Di
Dewi Nilamanik ini tidak dapat mengimbangi kegagahan
para perajurit Panjalu sehingga mulailah terdengar jerit-jerit
kesakitan disusul robohnya wanita-wanita itu.
Adapun Tejolaksono sendiri setelah dengan hati lega
menyaksikan kepulihan semangat para perajuritnya, lalu
meloncat ke depan dan langsung ia menyerbu Ni Dewi
Nilamanik yang baru muncul keluar dari pintu. Ia tidak
mengenal wanita ini, namun melihat pakaiannya yang
indah, kecantikannya yang mengagumkan dan mengerikan
karena mata batinnya yang waspada dapat melihat betapa
kecantikan itu tidak wajar dan di balik kecantikan yang
menonjol oleh daya ilmu hitam ini bersembunyi kekejaman
yang amat luar biasa, dapatlah ia menduga dengan cepat
siapa adanya wanita ini. Apalagi melihat betapa wanita itu
memegang sebuah pengebut lalat yang terbuat daripada
benang semacam serat berwarna, merah dan berbentuk
seperti buntut kuda. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu
menerjang maju, menggunakan sepasang goloknya yang
sengaja dibuat oleh adipati ini dan menjadi senjatanya yang
ampuh selama ia melakukan tunas pembersihan menghalau
musuh dari daerah Panjalu.
Akan tetapi, Ni Dewi Nilamanik pada saat itu menjadi
terkejut dan marah ketika memperhatikan anak buahnya.,
Tadi ia telah mempergunakan ilmu hitamnya, meniupkan aji guna-guna kepada para muridnya sehingga
setiap orang pria yang bertemu tentu akan luluh
semangatnya dan tergila-gila. Bagaimana sekarang murid-
muridnya itu dihajar sampai banyak yang roboh tewas oleh
para perajurit Panjalu" Kini melihat berkelebatnya tubuh
Tejolaksono yang didahului dengan gulungan dua sinar
golok berkilauan, Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan
teriakan nyaring dan tubuhnya sudah melesat ke samping.
Dalam mengelak ini, Ni Dewi Nilamanik membarengi
dengan gerakan pengebutnya. Sinar merah menyambar dari
samping ke arah Tejolaksono, mengeluarkan bunyi "Tarrrr
..... !!" keras sekali.
Tejolaksono yang sudah menduga akan kesaktian wanita
ini, tidak berani memandang rendah dan cepat pergelangan
tangannya bergerak memutar, membuat golok kanannya
membentuk lingkaran menangkis sinar merah itu. Akan
tetapi sinar tak kunjung datang dan ketika ia memandang,
ternyata wanita itu sudah melesat jauh ke depan dan tangan
kiri wanita itu dengan gerakan kuat sekali, melempar-
lemparkan sesuatu ke atas. Seketika tempat itu menjadi
gelap oleh debu putih yang disebar oleh Ni Dewi Nilamanik
itu dan dapat dibayangkan betapa marah dan kaget hati
Tejolaksono ketika melihat para perajuritnya yang terdepan
menjadi terhuyung-huyung dan terengah-engah sehingga
mereka ini dengan mudah dapat dirobohkan oleh anak
buah Ni Dewi Nilamanik yang tertawa terkekeh-kekeh
karena girang hati menyaksikan anak buahnya membunuhi
perajurit-perajurit Panjalu.


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bedebah, iblis betina !" Adipati Tejolaksono berseru
marah sekali dan tubuhnya mencelat ke atas, menyambar
ke arah Ni Dewi Nilamanik. Sebuah teriakan keras
menggema keluar dari mulutnya dan dua gulungan sinar
goloknya menyilaukan mata, menyambar dengan gerakan
menyilang seperti dua ekor ular naga menukik turun dari
angkasa. "Heeeiiiiittt............ !!" Ni Dewi Nilamanik terkejut sekali
sehingga tanpa disadarinya ia mengeluarkan jerit ini dan
tubuhnya dilempar ke belakang, terjengkang dan rebah terus
bergulingan di atas tanah untuk menyelamatkan diri
daripada dua gulungan sinar maut yang keluar dari
sepasang golok di tangan Tejolaksono. Kemudian dari
bawah, sinar merah kebutannya meluncur ke arah perut
Tejolaksono dengan kecepatan kilat sehingga pendekar sakti
ini terpaksa menghentikan serangannya dan menangkis
dengan golok disilang, dengan maksud menggunting putus
ujung kebutan. Akan tetapi ternyata jurus-jurus yang
dimainkan wanita itu penuh tipu muslihat karena kali ini
kembali luncuran senjatanya hanya merupakan gerak tipu
belaka dan sudah melejit ke bawah. Dengan tubuh masih di
atas tanah, mendekam, wanita itu kini menyambarkan
kebutannya hendak menyerimpung kedua kaki Tejolaksono
yang kagum bukan main. Dari keadaan terdesak, ternyata
dalam satu dua jurus saja wanita itu sudah membalikkan
keadaan, menjadi balas mendesak. Terpaksa Tejolaksono
meloncat ke atas dan terjadilah perang tanding yang amat
seru dan hebat antara Ni Dewi Nilamanik dan Tejolaksono.
Sementara itu karena kini didesak Tejolaksono, Ni Dewi
Nilamanik tidak dapat lagi mengacaukan para perajurit dan
kembali para perajurit Panjalu menerjang para wanita anak
buah Ni Dewi Nilamanik sehingga terdengar pekik susul-
menyusul yang keluar dari mulut para wanita yang roboh
oleh senjata para perajurit.
Melihat keadaan tidak menguntungkan, tiba-tiba Ni
Dewi Nilamanik mengeluarkan teriakan menyayat hati,
tangan kanan digerakkan dan ............ tiba-tiba semua bulu
kebutan yang berwarna merah itu terlepas dari gagangnya
dan bagaikan ratusan ekor ular merah yang kecil
menyambar ke depan, sebagian ke arah Tejolaksono dan
sebagian lagi ke arah perajurit-perajurit yang berdekatan.
Tejolaksono memutar sepasang goloknya dengan jurus
pertahanan dari ilmu Golok Lebah Putih sehingga sepasang
goloknya mengeluarkan suara mendengung seperti sekumpulan lebah keluar dari sarang. Runtuhlah semua
bulu kebutan yang tadi menyambar bagaikan anak-anak
panah itu, akan tetapi terdengar jerit-jerit mengerikan
disusul robohnya tujuh orang perajurit yang tubuhnya
tertembus oleh bulu-bulu kebutan yang beracun! Tejolaksono yang terkejut memandang anak buahnya,
menjadi marah, cepat membalikkan tubuh dan slap
menerjang lawan. Akan tetapi ternyata Ni Dewi Nilamanik
telah lenyap. Wanita itu mempergunakan kesempatan tadi
untuk menyelinap di antara anak buahnya yang mulai
terdesak. Tejolaksono mengejar, mengamuk dan merobohkan banyak musuh, namun tidak kelihatan pula
bayangan Ni Dewi Nilamanik.
Kacau-balaulah kini pertahanan anak buah Ni Dew!
Nilamanik setelah ditinggalkan pemimpinnya. Amukan
para perajurit Panjalu makin menghebat dan akhirnya
mereka lari cerai-berai, dikejar oleh perajurit-perajurit
Panjalu. Di antara sembilan puluh sembilan orang perajurit
wanita anak buah Ni Dewi Nilamanik, hanya ada sebelas
orang saja yang lolos dan entah lari ke mana, mungkin
melalui jalan rahasia bersama pemimpin mereka. Yang lain
telah tewas sehingga mayat mereka berserakan memenuhi
tempat itu, malang melintang bersama mayat-mayat para
perajurit Panjalu yang banyak jumlahnya pula.
Kemudian ternyata oleh Tejolaksono bahwa empat
rombongan pasukannya yang mendaki dari lain jurusan
untuk mengepung markas musuh itu, ternyata telah
berantakan karena disambut oleh pasukan musuh yang
mempergunakan ilmu hitam. Mereka itu terpikat dan
mabuk di bawah pengaruh guna-guna yang amat kuat
sehingga di antara dua ratus orang dalam empat rombongan
itu, hampir semua tewas, hanya ada dua puluh orang lebih
saja yang berhasil menyelamatkan diri. Dengan demikian,
ditambah dengan jumlah korban dari pasukannya yang
.menyerbu tadi, jumlah korban semua dari perajurit Panjalu
ada dua ratus orang. Mereka berhasil membasmi pasukan
penyembah Bathari Durga dan menewaskan hampir semua
anggautanya, namun dengan pengorbanan yang jauh lebih
besar! Pembersihan dilakukan terus-menerus oleh Tejolaksono.
Kadang-kadang pasukannya terancam bahaya besar. Ketika
pasukannya bertemu dengan barisan musuh di Kulon Progo
(sebelah barat Sungai Progo), juga terjadi perang yang amat
hebat. Pasukan musuh itu jumlahnya seimbang dengan
pasukannya, namun pasukan musuh diperkuat oleh tiga
puluh orang raksasa gundul, anak buah Cekel Wisangkoro.
Pasukan raksasa gundul ini-lah yang amat hebat, membuat
para perajuritnya kewalahan, karena mereka ini rata-rata
memiliki kekebalan dan tenaga yang dahsyat! Gerakan
mereka seperti robot, dan memang keadaan pasukan ini
seperti bukan manusia-manusia lagi. Semangat mereka
dikendalikan oleh Cekel Wisangkoro dengan pengaruh ilmu
hitam. Tejolaksono maklum bahwa kalau ia tidak cepat turun
tangan, tentu para perajuritnya akan celaka. Maka ia lalu
mainkan sepasang goloknya dan tubuhnya sampai lenyap
terbungkus dua gulungan sinar putih yang mengeluarkan
suara mbrengengeng seperti ratusan ekor lebah mengamuk.
Gulungan sinar putih ini seperti tangan maut sendiri,
mengamuk di antara orang-orang gundul tinggi besar yang
dengan nekat dan tidak mengenal takut mengeroyoknya.
Lima orang gundul mengeroyok Tejolaksono. Begitu
pendekar sakti ini merobohkan mereka dengan kepala
remuk dan tubuh .terpelanting ke dalam Sungai Progo, lima
orang lagi maju menggantikan dan demikianlah, terus-
menerus Tejolaksono mengamuk, sementara itu pasukannya kocar-kacir karena tidak sanggup menghadapi
fihak lawan yang dibantu reksasa-raksasa gundul yang amat
tangguh itu. Setelah dengan tubuh lelah sekali Tejolaksono
akhirnya berhasil menewaskan tiga puluh orang raksasa
gundul itu, barulah perajurit perajuritnya yang sudah
banyak kehilangan kawan itu bangkit semangatnya dan
terjadi perang yang amat dahsyat yang berakhir dengan
kemenangan fihak Panjalu. Akan tetapi juga dalam perang
tanding di pantai Progo ini, Tejolaksono kehilangan banyak
perajurit dan dengan kecewa ia tidak dapat menangkap atau
menewaskan Cekel Wisangkoro yang berhasil menyelamatkan diri bersama sisa pasukannya.
-oo0dw0oo- Berbulan-bulan lamanya Tejolaksono memimpin pasukan Panjalu menghalau musuh yang ternyata telah
menanam kuku di sekitar Selopenangkep, di sebelah barat
dan utara. Berkat ketekunannya dan kegagahan para
perajurit Panjalu, musuh dapat dihalau dan banyak pula
yang dapat dihancurkan dan dibasmi.
Setelah setahun ia memerangi musuh, pada suatu hari ia
mendapat keterangan dari penyelidiknya bahwa di sekitar
Gunung Merak terlihat gerakan musuh yang terdiri dari
para penyembah Bathara Kala, dipimpin oleh Ki
Kolohangkoro. Tejolaksono mengertak gigi karena di
antara para musuhnya, Ki Kolohangkoro ini termasuk
tokoh besar yang dicari-carinya. Ia mendengar bahwa Ki
Kolohangkoro ini adalah adik tunggal guru dengan Wiku
Kalawisesa yang telah membunuh banyak ponggawa
Panjalu dan Jenggala dan yang kemudian terbunuh di
tangan Endang Patibroto. Ia lalu mengumpulkan sejumlah
besar pasukan, kemudian memimpin sendiri pasukan
Panjalu itu, berangkat ke Gunung Merak untuk membasmi
musuh yang ia kira merupakan kekuatan terakhir dari para
pengacau. Tiga hari kemudian, menjelang senja, sampailah pasukan
Panjalu ini di kaki Gunung Merak. Gunung Merak adalah
sebuah gunung yang kecil di antara Pegunungan Kidul, dan
karena di situ terdapat banyak burung meraknya maka
dinamakan Gunung Merak. Tejolaksono memerintahkan
pasukannya untuk beristirahat di kaki gunung, menyusun
tenaga untuk penyerbuan yang akan dilakukan esok hari.
Malam itu amat gelap dan pasukannya belum mengenal
daerah ini, maka amatlah berbahaya untuk menyerbu
malam-malam ke atas, apalagi kalau diingat bahwa pasukan
lawan yang sekarang dihadapi adalah pasukan penyembah
Bathara Kala yang ia duga tentu lebih kuat daripada yang
sudah-sudah. Dugaan Tejolaksono ini memang benar, akan tetapi ia
hanya dapat menduga setengahnya saja. Kalau saja
Tejolaksono tahu akan keadaan seluruhnya di puncak
Gunung Merak itu, tentu ia akan membawa mundur
pasukannya dan baru akan berani menyerbu kalau disertai
orang-orang sakti dan pasukan yang amat kuat. Dia sama
sekali tidak pernah mimpi bahwa pada malam hari itu,
puncak Gunung Merak dijadikan tempat bertemuan dan
perundingan oleh tokoh-tokoh besar yang menjadi utusan
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola! Lengkap hadir
semua tokoh besar musuh Panjalu, di antaranya Ni Dewi
Nilamanik, Cekel Wisangkoro, Kolohangkoro, Sariwuni
dan yang lain. Bahkan dua orang tokoh puncaknya yang menjadi
puncak pimpinan dan wakil kedua kerajaan, hadir pula.
Siapakah kedua orang itu" Bukan lain adalah dua orang
kakek sakti mandraguna, yaitu Sang Biku Janapati yang
mewakili Kerajaan Sriwijaya dan Sang Wasi Bagaspati
yang mewakili Kerajaan Cola!
"Sadhu-sadhu-sadhu ! Sayang sekali bahwa andika masih
belum sadar sepenuhnya bahwa kekerasan itu tiada guna,
hancur oleh kelemasan, Wasi Bagaspati! Penggunaan
kesaktian akan sia-sia belaka di sini adalah gudangnya
orang-yang sakti mandraguna, keturunan orang-orang
Mataram yang tak mungkin dapat ditundukkan dengan aji
kedigdayaan." Demikian antara lain Biku Janapati
memperingatkan temannya, Sang Wiku Bagaspati.
Dua orang pendeta sakti ini memikul tugas yang sama,
hanya bedanya kalau Biku Janapati mewakili Kerajaan
Sriwijaya, adalah Wasi Bagaspati mewakili Kerajaan Cola.
Terdapat perbedaan besar dalam sepak terjang mereka
menunaikan tugas. Biku Janapati yang bergerak dari utara,
menyebar Agama Buddha dengan cara halus dan sama
sekali tidak mempergunakan kekerasan, sesuai pula dengan
sifat agama itu sendiri yang mendasarkan kasih sayang dan
menghapus kebencian dalam tindakannya. Sebaliknya,
Wasi Bagaspati yang bergerak dari barat, selain dibantu
oleh anak buahnya sendiri para penyembah dan pemuja
Sang Hyang Shiwa, juga dibantu oleh para penyembah
Bathara Kala dan Bathari Durga, seringkali menggunakan
kekerasan, bahkan kini secara berterang anak buahnya
mengadakan perang terhadap pasukan Panjalu.
Muka Wasi Bagaspati yang sudah merah itu kini menjadi makin merah, kepalanya digerakkan ketika ia tertawa dan rambutnya yang panjang putih itu berkibar-kibar, tampak makin putih seperti benang-benang perak ketika menyentuh pundak bajunya yang berwarna merah darah. "Heh-heh-heh, Sang Biku Janapati! Kekalahan-kekalahan

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil yang diderita oleh anak buahku menghadapi pasukan Panjalu, bukan apa-apa!
Semua adalah gara-gara si adipati cilik Tejolaksono, bocah
yang masih ingusan itu! Lihat sajalah, dia dan pasukannya
sudah tiba,.. besok aku sendiri akan menghancurkannya,
kemudian aku sendiri akan memimpin pasukan menyerbu
Panjalu!" "Wahai ............ saudaraku Wasi Bagaspati!" kata Biku
Janapati, sepasang matanya terbelalak memandang penuh
kekagetan. "Sebelum berangkat dari Sriwijaya, kita sudah
bersepakat tidak akan menggunakan kekerasan, setidaknya,
andika tidak akan turun tangan sendiri. Apakah andika
akan melanggar janji kita itu?"
Sejenak sepasang mata Wasi Bagaspati memandang
tajam dan dua orang sakti itu saling bertentang pandang.
Mereka itu dahulu pernah menjadi lawan, yaitu ketika
Kerajaan Cola berperang melawan Kerajaan Sriwijaya. Kini
setelah kedua kerajaan itu bersabahat, mereka pun menjadi
sahabat, namun watak dan sifat kedua orang ini memang
jauh berbeda. Biku Janapati suka akan kehalusan dan
keramahan, sebaliknya Wasi Bagaspati suka akan
kekerasan, suka berkelahi, dan berdarah panas. Namun
akhirnya Wasi Bagaspati menghela napas pan jang dan
lebIh dahulu menundukkan mukanya.
Jilid XVII IA MAKLUM bahwa tiada untungnya untuk berselisih
faham dengan sahabatnya ini dalam keadaan menghadapi
lawan kuat seperti pasukan-pasukan Panjalu.
"Baiklah,, Biku Janapati. Andika tidak perlu khawatir.
Aku tidak akan turun tangan sendiri. Pula, betapa
rendahnya kalau aku berlawan dengan seorang bocah
macam Tejolaksono. Tidak, aku dan andika tidak akan
turun tangan, hanya akan menjadi penonton. Biarlah para
pembantuku yang akan menghadapi Tejolaksono."
"Sadhu-sadhu-sadhu .............. begitu barulah lega
hatiku! Dan perlu sekali lagi kuperingatkan, saudaraku
Wasi Bagaspati bahwa tadi andika telah berjanji bahwa
selanjutnya kita akan bekerja sama mempergunakan cara
halus demi berhasilnya tugas kita. Dan jangan lupa janji
kita dengan Ki Tunggaljiwa, orang-orang tua macam kita
tidak perlu turun tangan, biarlah kita serahkan kepada yang
muda-muda." "Ha-ha-ha-ha! Jangan khawatir, sang biku! Murid-
muridku sudah banyak, dan manakah murid yang kau
ajukan?" Pendeta Itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang
gundul. "Buah yang saya imbu (sekap) masih belum dalu
(matang)." "Ha-ha-ha-ha! Kuharap saja tidak mengecewakan kelak."
"Mudah-mudahan begitu, sang wasi."
Demikianlah antara lain percakapan antara dua orang
pendeta sakti mandraguna itu di sebuah pondok di puncak
Gunung Merak. Kemudian Sang Wasi Bagaspati memanggil dan mengumpulkan anak buahnya dan
berungdinglah kakek ini dengan Cekel Wisangkoro
muridnya, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, Sariwuni
dan beberapa orang pimpinan pasukan yang menjadi anak
buahnya. Setelah mengatur siasat untuk menghadapi
pasukan Panjalu, Sang Wasi Bagaspati lalu memasuki
kamar untuk beristirahat, ditemani oleh si cantik genit
Sariwuni. Pada keesokan harinya, kokok ayam jantan merupakan
pertanda bagi pasukan Panjalu, seperti yang telah
direncanakan Tejolaksono, dan mulailah pasukan ini
mendaki dituntun sinar matahari yang mulai semburat
merah. Karena mereka melakukan penyerbuan dari sisi
timur bukit, maka sepagi itu tempat yang mereka lalui
sudah kebagian sinar matahari.
Ketika pasukan-pasukan Panjalu itu sudah tiba di sebuah
lereng yang rata dan luas, barulah mereka mendapat
sambutan musuh yang turun berbondong-bondong dari
puncak. Mereka ini adalah pasukan penyembah Bathara
Kala, rata-rata orangnya tinggi besar dan senjata mereka
adalah golok-golok besar dan penggada. Mereka itu
menyerbu turun, menyambut pasukan Panjalu sambil
bersorak-sorak, melompat-lompat dan bergulingan, dengan
gerak-gerak kasar seperti barisan raksasa.
"Serbuuuu !!!" Tejolaksono meneriakkan aba-aba ini
untuk menambah semangat pasukannya yang begitu kedua
fihak bertemu, terjadilah perang tanding yang dahsyat
sekali. Fihak barisan Kala ini adalah anak buah Ki
Kolohangkoro, rata-rata memiliki tenaga besar dan ilmu
tata kelahi yang ganas dan kuat. Akan tetapi pasukan yang
dipimpin Tejolaksono pada saat itu pun merupakan
pasukan pilihan dari Panjalu, maka pertandingan itu
merupakan pertandingan yang amat seru dan seimbang.
Tejolaksono sendiri menyerbu paling depan dan seperti
biasa, sepak terjang orang sakti ini hebat bukan main.
Sepasang goloknya menderu-deru, mengeluarkan bunyi
berdesingan dan "mbrengengeng" seperti suara sekumpulan
lebah mengamuk. Celakalah fihak musuh yang berdekatan,
karena sepasang goloknya itu tak dapat dihindari lagi,
dielak terlalu cepat, ditangkis terlalu kuat sehingga senjata
penangkis patah disusul robohnya lawan!
Akan tetapi tiba-tiba Tejolaksono mengeluarkan seruan
marah. Ia melihat banyak anak buahnya roboh secara tidak
wajar. Ada uap hitam melayang-layang dan bergerak-gerak,
keluar dari fihak musuh dan uap hitam yang seperti hidup
ini setiap kali menyentuh perajuritnya, perajurit itu tentu
roboh pingsan dan tentu saja dengan mudah menjadi
korban senjata lawan. Tejolaksono lalu meloncat dan
sambil meneriakkan pekik Dirodo Meto ia lalu menyerbu ke
arah uap hitam. Golok kanannya ia pegang dengan tangan
kiri, sedangkan kini tangan kanannya ia hantamkan ke arah
asap hitam itu dengan aji pukulan. Bojro Dahono. Berkali-
kali ia memukul dan asap hitam itu terpukul buyar sampai
akhirnya lenyap. Menyaksikan pemimpin mereka yang
berhasil melenyapkan asap hitam yang mengerikan, para
perajurit Panjalu bersorak dan timbul kembali semangat
mereka. Perang menjadi makin dahsyat dan sengit.
"Tar-tar-tar.............. II"
Tejolaksono yang pada saat itu berhasil menancapkan
sepasang goloknya memasuki perut gendut dua orang
musuh, terkejut dan cepat ia merendahkan diri terus
menyelinap melalui bawah tubuh dua orang musuh yang
roboh. Ketika la meloncat bangun, ia melihat betapa
hantaman kebutan merah itu yang tadinya menyambar
kepalanya, kini mengenai kepala dua orang lawan yang
telah ia tusuk. Dua buah kepala itu pecah berantakan dan
dua batang tubuh roboh tanpa kepala lagi. la bergidik dan
memandang kepada Ni Dewi Nilamanik dengan marah.
"Iblis betina! Kiranya engkau berada di sini pula.
Bersiaplah engkau untuk memasuki neraka jahanam!"
bentak Tejolaksono. Ni Dewi Nilamanik yang tadinya terkejut dan kecewa
menyaksikan betapa serangannya yang dahsyat tadi dapat
dihindarkan lawan, bahkan mengenai kepala dua orang
perajurit anak buah sendiri, kini tersenyum lebar menindas
kemarahannya. Wanita yang berusia empat puluh tahun ini
masih amat cantik, apa-lagi kini ia tersenyum, kecantikannya dapat memabukkan hati pria. Sepasang
matanya menyambar penuh kemesraan, seolah-olah ia
hendak memikat hati Tejolaksono. Pakaiannya yang
mewah itu tipis membayangkan bentuk tubuhnya yang
masih padat dan ramping. Sesungguhnya, kalau ia teringat
akan penyerbuan Tejolaksono belum lama ini di Gunung
Mentasari, membunuh hampir semua anak, buahnya dan
membasmi sarangnya, hatinya merasa amat mendendam
dan sakit hati kepada Tejolaksono. Akan tetapi pada saat
itu, Ni Dewi Nilamanik sama sekali tidak memperlihatkan
kebenciannya, malah kini ia berkata dengan suara merdu,
"Tejolaksono, harus kuakui bahwa engkau memang
seorang pria yang hebat! Sungguh aku merasa sayang sekali
bahwa di antara kita sampai terdapat permusuhan.
Tejolaksono, agaknya masih belum terlambat kalau engkau
suka menerima uluran tanganku. Untuk apakah mengobarkan permusuhan dan perang, bunuh-membunuh
yang tidak ada gunanya" Bukarkkah lebih baik saling
mencinta daripada saling membenci" Tejolaksono, kaupandanglah aku. Ni Dewi Nilamanik kalau perlu dapat
pula menjadi Dewi Cinta. Masih kurang cantikkah aku"
Pandanglah balk-balk .............. "
Kata-kata yang keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik
yang berbibir merah itu bukanlah sembarang kata-kata
melainkan kata-kata yang diterapkan sebagai bagian
daripada ilmu guna-guna sehingga terdengar merayu-rayu
dan amat merdu. Tejolaksono yang memandang wanita itu,
merasakan getaran hebat yang menerjangnya, yang
menggetarkan jantung dan yang amat kuat seperti hendak
menguasai hati dan pikirannya, yang menciptakan
pandangan indah sehingga wanita itu tampak cantik
melebihi dewi kahyangan sendiri, yang membuat suara itu
terdengar merdu, pendeknya getaran itu menciptakan segala
yang serba indah, menyenangkan hati, menghilang}can
semua rasa benci dan marah, membangkitkan nafsu berahi!
Tentu saja sebagai ksatria gemblengan yang sakti
mandraguna, dan yang tahu akan seperti ini, Tejolaksono
dapat menguasai hatinya dalam beberapa detik saja. Akan
tetapi diam-diam ia merasa terkejut dan harus ia akui
bahwa kekuatan yang terkandung dalam ilmu semacam aji
guna asmara yang dikerahkan wanita ini benar-benar amat
mujijat dan kuat. Jarang kiranya ada pria, betapapun
gagahnya, yang akan dapat menahan diri daripada
pengaruh, guna-guna yang hebat ini.
"Ni Dewi Nilamanik, tidak perlu lagi engkau
mengeluarkan aji-ajimu yang kotor dan rendah! Betapapun
cantiknya engkau, tetap saja tampak olehku betapa kotor
dan hitam hatimu. Kecantikanmu hanyalah bungkus indah
yang menyembunyikan sesuatu yang busuk dan kotor!"
Senyum manis di bibir Ni Dewi Nilamanik perlahan-
lahan berubah menjadi seringai yang kejam. Mata yang tadi
bersinar-sinar mesra dan redup kini menyala-nyala seperti
mengeluarkan api. "Tar-tar!!" Pengebut merah yang baru karena pengebut
yang lama telah rusak ketika ia melawan Tejolaksono di
Mentasari, kini bergerak di atas kepala Ni Dewi Nilamanik,
mendahului kata-katanya yang terdengar ketus,
"Tejolaksono! Engkau sudah bosan hidup! Apa engkau
kira akan dapat lolos dari tanganku?"
"Tidak perlu bersombong, iblis betina. Engkaulah yang
kini takkan lolos daripada tanganku untuk menebus dosa-
dosamu dengan kematian!"
"Bagus! Hayo kita mencari tempat yang lapang agar
dapat menentukan siapa di antara kita yang akan mampusI"
Sambil berkata demikian, Ni Dewi Nilamanik berkelebat
dan tubuhnya dengan gerakan yang amat ringan seperti
terbang saja sudah berlari atau setengah melayang mendaki
bagian yang lebih tinggi dekat puncak, menjauhi tempat
yang telah menjadi medan perang itu.
Tejolaksono memang ingin sekali merobohkan musuh ini
karena ia maklum bahwa robohnya Ni Dewi, Nilamanik
akan mempengaruhi kemenangan pasukannya. Maka ia
tidak menjadi gentar dan cepat ia pun menggunakan Aji
Bayu Sakti untuk mengejar lawannya.
Setelah tiba di bawah puncak, tiba-tiba Ni Dewi
Nilamanik membalikkan tubuhnya dan tangan kirinya
bergerak melepaskan jarum-jarum beracun yang berwarna
merah pula. Inilah senjata rahasia yang halus sekali, terbuat
dat'ipada besi yang besarnya hanya serambut panjangnya
setengah jari. Namun justru karena kecilnya inilah maka
jarum-jarum, ini amat berbahaya, jika dipakai menyerang,
disambitkan dengan dorongan hawa sakti tidak tampak
namun apabila mengenai tubuh lawan akan menembus
masuk kulit daging sehingga sukar untuk dikeluarkan lagi.
Lebih mengerikan lagi karena jarum-jarum ini sebelumnya
telah direndam racun yang dibuat daripada air liur ular
bandotan! Tejolaksono yang sudah waspada dapat menduga akan
datangnya serangan ini, apalagi pandang matanya yang
tajam dapat melihat berkelebatnya benda-benda halus yang
menyambar ke arahnya itu, juga pendengaran telinganya
yang terlatih dapat menangkap suara berdesir, halus dari
jarum-jarum. Maka ia cepat memutar goloknya depan
tubuh tanpa menghentikan pengejarannya. Terdengar suara
berdencing dan jarum-jarum itu terpukul runtuh ke kanan
kiri. Dengan marah dan penuh semangat Tejolaksono
meloncat ke depan, mengejar lawannya yang kini sudah
berdiri menantinya dengan senyum mengejek dan kebutan
merah di tangan. Akan tetapi pada saat itu, muncul tiga


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang memiliki gerakan gesit dan mereka ini segera
berdiri di empat penjuru sehingga Tejolaksono terkurung di
tengah-tengah. Ketika adipati yang sakti mandraguna ini
memandang, ia segera mengenal mereka dan kemarahannya tersinar dari pandang matanya yang tajam.
Mereka itu bukan lain adalah Cekel Wisangkoro, Ki
Kolohangkoro, dan Sariwuni si wanita cantik genit yang
sudah menggodanya. "Hemm, bagus sekali! Memang kalian inilah yang
menjadi biang keladi dan sudah lama kucari-cari!" kata
Tejolaksono sambil mengangkat dada dan siap dengan
sepasang goloknya. Ia tahu bahwa empat orang itu
bukanlah lawan lemah, dan maklum pula bahwa ia tentu
akan dikeroyok, maka ia bersikap tenang dan tidak berani
memandang rendah, hanya menanti empat lawannya
bergerak. "Heh-heh-heh-heh, Tejolaksono, kau sombong benar!" kata
Cekel Wisangkoro, kakek berusia lima puluh tahun yang rambutnya terurai penuh uban ini. Karena merasa yakin bahwa kali ini dia dan teman- temannya akan berhasil membunuh Tejolaksono, maka kakek ini tertawa-tawa gembira. Seperti biasa rambut kakek yang penuh uban ini terurai sampai ke pinggang. Jubahnya kuning panjang dan kakinya
telanjang. Mukanya yang merah itu berkulit halus seperti
muka kanak-kanak, dan tubuhnya yang kurus tinggi masih
kelihatan kuat. Tongkat hitam berbentuk ular di tangannya
mengkilat seperti hidup, dilintangkan depan dada. Dia ini
adalah murid yang tekun dari Wasi Bagaspati, maka tentu
saja memiliki ilmu yang tinggi.
"Hemm, Cekel Wisangkoro! Biasa saja seorang musuh
menganggap lawannya sombong! Persoalannya bukan
tentang sikap, melainkan karena sepak terjang kalian yang
menerjang dan melanggar batas wilayah Panjalu, yang
menyebar kekacauan sehingga kalian ini bagi kami lebih
jahat daripada penyakit menular maka harus dibasmi
sampai ke akar-akarnya!"
"Babo-babo! Sumbarnya seperti engkau seorang satu-
satunya jantan di dunia ini, keparat!" bentak Ki
Kolohangkoro dengan muka merah saking marahnya.
Raksasa ini adalah adik seperguruan Sang Wiku Kalawisesa
si penyembah Bathara Kala yang tewas di tangan Endang
Patibroto. Hanya bedanya, kalau Wiku Kalawisesa lebih
memperdalam ilmu gaib dan ilmu hitam, adik seperguruannya yang bertubuh raksasa ini memperdalam
ilmu-ilmu pertempuran sehingga dalam hal kedigdayaan, Ki
Kolohangkoro ini malah melampaui kakak seperguruannya
itu. Namun hal ini bukan berarti dia tidak tahu akan ilmu
hitam. Sebaliknya, karena akhir-akhir ini malah melatih
ilmu gaib yang berdasarkan ilmu hitam dan cara
menghimpun tenaga dalam ilmu ini amat mengerikan, yaitu
dengan minum darah dan makan daging seorang anak kecil
hidup-hidup! Pakaian raksasa berusia kurang lebih lima
puluh tahun inipun mewah sehingga ia tampak gagah dan
menakutkan, sepasang anting-anting di telinga terbuat
daripada emas, dan senjatanya berbentuk sebuah nenggala
dengan gaganq di tengah dihias emas permata.
"Terserah bagaimana wawasan kalian!" kata pula
Tejolaksono dengan sikap tenang.
"Tejolaksono, engkau pernah menghinaku, kini tiba
saatnya engkau merasakan pembalasanku, keparat!" teriak
Sariwuni yang juga sudah mencabut pedangnya.
"Sariwuni, engkau bukan perempuan baik-baik, dan
sekali ini aku berusaha melemparmu ke neraka jahanam
agar engkau dapat menebus dosa-dosamu," jawab
Tejolaksono. "Waduh-waduh, sumbarmu seperti hendak memecahkan
Gunung Semeru! Kematian sudah berada di ujung hidung,
masih banyak berlagak. Kaurasakan ke-ampuhan tongkat
ularku. Cekel Wisangkoro berseru dan tubuhnya bergerak
ke depan, cepat sekali gerakan tubuhnya ini, tahu-tahu ia
telah menerjang Tejolaksono dengan tongkatnya yang
hitam berbentuk ular menusuk ke arah leher.
"Wuuutttt .............. , trangggg .............. !!"
Tangkas sekali gerakan Tejolaksono. Biarpun kelihatannya Cekel Wisangkora yang lebih dahulu
menyerangnya dari depan, namun perhatian Tejolaksono
tidak terpikat dan masih saja pendekar ini memperhatikan
keadaan semua orang lawannya sehingga ia dapat
mengetahui bahwa biarpun Cekel Wisangkoro lebih dahulu
bergerak, namun senjata nenggala di tangan Ki Kolohangkoro lebih dahulu menyambar lambungnya dari
sebelah kanan. Oleh karena itu, sambaran senjata nenggala
inilah yang leblh dulu ia elakkan sehingga senjata itu
menyambar dahsyat di pinggir tubuhnya, sementara itu
tusukan tongkat Cekel Wisangkoro ia tangkis dengan golok
tangan kirinya. Bunga api - muncrat-muncrat menyilaukan
mata dan cekel itu meringis ketika merasa betapa telapak
tangannya yang memegang tongkat seperti dibakar rasanya.
"Tar-tar-tar !" Ni Dewi Nilamanik tidak mau
ketinggalan. Kebutan lalat yang berambut merah itu sudah
berbunyi nyaring dan menyambar-nyambar seperti halilintar di atas kepala Tejolaksono. Namun sang adipati
yang sakti mandraguna ini sudah menggerakkan golok di
tangan kiri, dlputarnya sedemikian rupa, mempergunakan
pergelangan tangan sehingga golok ini berubah bentuknya
menjadi segulungan sinar yang melingkar-lingkar di atas
kepalanya dan saking cepat gerakannya sampai kelihatan
seperti sebuah payung yang melindungi tubuh sang adipati
dari atas. Adapun golok yang sebuah lagi, di tangan kanan,
bergerak seperti seekor naga sakti mengamuk. Pedang
Sariwuni yang menyambar diterjangnya sampai menyeleweng ke kiri membawa serta tubuh Sariwuni yang
terhuyung-huyung, kemudian berputar cepat dan bertubi-
tubi menyerang Cekel Wisangkoro dan Ki Kolohangkoro
yang menjadi kaget sekali dan cepat menangkis dengan
senjata masing-masing. Memang hebat sekali sepak terjang sang Adipati
Tejolaksono. Dikeroyok em.pat orang lawan yang
kesemuanya memiliki ilmu kepandaian tinggi, masih
sempat untuk membalas, hal ini benar-benar membuktikan
bahwa tingkatnya memang sudah amat tinggi.
Namun sekali ini, empat orang yang mengeroyoknya
adalah orang-orang yang memang sakti mandraguna dan
memiliki kepandaian tinggi. Cekel Wisangkoro adalah
murid yang paling tangguh dari Sang Wasi Bagaspati,
seorang peranakan bangsa Hindu yang pernah lama tinggal
di hindu dan sebelum menjadi murid Sang Wasi Bagaspati
telah memiliki kesaktian yang hebat. Cekel Wisangkoro
inilah yang berhasil membentuk pasukan terdiri dari orang-
orang yang bergerak seperti robot itu, orang-orang yang
telah kehilangan semangat dan kemauan karena semangat
dan kemauannya telah dirampas oleh Cekel Wisangkoro,
diganti dengan pengaruh daripada kemauannya sendiri,
membuat pasukan ini melakukan apa saja yang diperintahkan Cekel Wisangkoro, tidak mengenal takut,
tidak merasa nyeri, kebal dan tidak kenal bahaya. Pasukan
macam ini tentu saja hebat luar biasa dan banyak perajurit
Panjalu yang tewas ketika menghadapi pasukan manusia
robot ini. Selain sakti dan mahir akan ilmu hitam, juga ilmu
silat Cekel Wisangkoro aneh dan dahsyat, apalagi. kalau ia
mainkan tongkat hitamnya yang merupakan senjata yang
benar-benar ampuh. Tongkatnya bukan hanya berbentuk
ular, melainkan memang sungguh-sungguh terbuat daripada
seekor ular kobra hitam yang hanya terdapat di sebuah
lereng dari Pegunungan Himalaya. Ular kobra hitam ini
sudah kering dan kerasnya melebihi kayu, seperti baja saja.
Darah dan racun ular yang hebat ini sudah meresap ke
seluruh bagian tubuh ketika dikeringkan sehingga tongkat
Itu menjadi tongkat beracun, baik bagIan ekornya maupun
bagian kepalanya! Ni Dewi Nilamanik, biarpun kelihatannya hanya
seorang wanita yang halus gemulai dan cantik jelita, namun
dalam hal kekejian dan kedigdayaan, agaknya tidak berada
di sebelah bawah Cekel Wisangkoro! Bahkan ada
kelebihannya, yaitu dalam aji meringankan tubuh yang
membuat wanita itu dapat bergerak cepat laksana kilat.
Sebagai orang yang mengaku titisan Sang Batharl Durga
dan menjadI kekasih utama Sang Wasi Bagaspati, tentu saja
wanita ini hebat kepandaiannya, dan menerima pula
beberapa macam aji kesaktian dari Sang Wasi Bagaspati.
Dalam hal ilmu hitam, malah lebih keji daripada Cekel
Wisangkoro. Senjata kebutan lalat merah itu kalau sudah
dimainkan sebagai senjata, mengerikan sekali. Rambut-
rambutnya yang merah dan berbentuk buntut kuda itu tak
boleh dipandang rendah karena setiap bulunya saja dapat
menusuk jalan darah menembus kulit daging membawa
racun yang mematikan. Apalagi kalau sampai kena
dihantam! Kepala bisa remuk, dada bisa pecah!
Ki Kolohangkoro mungkin masih kalah seusap oleh Ni
Dewi Nilamanik dalam hal ilmu silat, akan tetapi dalam hal
kekejaman ia menang banyak! Kalau Ni Dewi Nilamanik
dapat membunuh orang dengan mata meram, Ki
Kolohangkoro ini dapat membunuh dengan mata melek
dan tertawa-tawa. Sudah beberapa kali, setiap tahun, ia
menggigit leher untuk menghisap darah seorang anak kecil,
kemudian mengganyang dagingnya, sambil terkekehkekeh
melihat anak itu menjerit-jerit ketakutan dan kesakitan!
Senjatanya merupakan senjata yang hanya dipergunakan
oleh tokoh pewayangan Sang Prabu Baladewa, yaitu sebuah
senjata nenggala atau tombak pendek, yang meruncing
kedua ujungnya, dipegang di tengah-tengah. Nenggala ini
bukanlah sembarang senjata, baru beratnya saja tak
terangkat oleh empat orang laki-laki dewasa biasa.
Demikian pula seperti ketiga kawannya, Sariwuni juga
bukan sembarang orang. Wanita yang cantik genit dan
cabul ini tadinya adalah seorang pembantu Ni Dewi
Nilamanik, seorang penyembah Bathari Durga, akan tetapi
karena ia pandai merayu dan mengambil hati, maka ia
"terpakai" oleh Sang Wasi Bagaspati, malah menjadi
kekasihnya dan menghiburnya sehingga kepada Sariwuni
ini diturunkan banyak aji kesaktian, di antaranya adalah Aji
Wisakenaka yang amat keji. Ayi Wisakenaka ini adalah
sebuah aji yang didorong oleh hawa sakti di dalam tubuh,
yang kalau dikerahkan membuat kuku-kuku tangan wanita
cantik ini berubah menjadi kuku-kuku beracun, lebih jahat
daripada taring ular bandotan. Sekali gores saja cukup
untuk menyeret nyawa lawan ke jurang maut. Selain ini,
juga permainan pedangnya amat cepat dan kuat.
Sang Adipati Tejolaksono memang harus diakui bahwa
pada waktu itu ia merupakan seorang perkasa yang sukar
dicari tandingnya. Sebagai murid Sang Sakti Narotama,
bahkan pernah pula menerima petunjuk dan gemblengan
Sang Prabu Airlangga, dia memiliki aji-aji kesaktian yang
amat kuat. Namun, kini menghadapi pengeroyokan empat


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu, ia benar-benar telah bertemu tanding yang
mengharuskan ia mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua aji kesaktiannya.
Pertandingan hebat itu sudah berlangsung hampir dua
jam dan keadaan masih seru, bahkan makin lama makin
seru dan sengit. Aji-aji dikeluarkan silih berganti, serang-
menyerang, kadang-kadang hanya seujung rambut selisihnya daripada sambaran tangan maut. Kedua golok di
tangan Tejolaksono sudah rompal-rompal, akan tetapi
keadaan lawan juga tampak bekas tangan dan kehebatan
sang adipati. Pedang Sariwuni tinggal sepotong, kebutan Ni
Dewi Nilamanik terbabat ujungnya, juga nenggala di
tangan Ki Kolohangkoro kelihatan rompal-rompal ujungnya. Hanya tongkat ular Cekel Wisangkjoro yang
masih utuh, karena memang tubuh ular kering ini memiliki
daya tahan yang hebat sekali.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai yang hebat. Tejolaksono
memandang ke bawah dan alangkah kagetnya k?tika ia
menyaksikan betapa pasukannya terdesak hebat, banyak
yang roboh dan kini sisanya sedang digencet dari segala
jurusan oleh pasukan lawan yang menggunakan ilmu
hitam. Karena kaget dan cemas inilah maka Tejolaksono kurang
kewaspadaannya. Pada saat itu, senjata-senjata lawannya
datang menyambar dan biarpun hanya beberapa detik saja
tadi perhatiannya terbagi ke arah pasukannya yang
tergencet dan terjepit, namun yang beberapa detik ini
dipergunakan baik-baik oleh empat lat wannya.
Tejolaksono maklum akan datangnya bahaya maut yang
mengancam dirinya. Ia cepat mengerahkan hawa sakti dari
pusar, mendorongnya keluar melalui kerongkongannya
menjadi pekik Dirodo Meto yang dahsyat itu. Biarpun
empat orang lawannya merupakan orang-orang sakti yang
tidak akan roboh hanya oleh getaran pekik sakti ini, namun
setidaknya membuat mereka tergetar dan telah mengurangi
kecepatan dan kekuatan serangan mereka yang serentak dan
berbahaya itu. Sambil mengeluarkan pekik sakti ini,
Tejolaksono mainkan goloknya, yang kiri menyambut
bacokan pedang Sariwuni ke arah leher, yang kanan
menangkis tusukan nenggala Ki Kolohangkoro ke arah
lambungnya dari sebelah kanan. Dengan mengerahkan
hawa sakti melalui kedua lengannya ia menggunakan
tenaga "melekat" sehingga senjata kedua orang ini seakan-
akan melekat pada sepasang goloknya, kemudian pada
detik berikutnya ia miringkan tubuh, menarik pedang
buntung Sariwuni yang melekat goloknya ke bawah
menyambut tongkat ular Cekel Wisangkoro yang menusuk
perutnya dan berusaha menarik nenggala Ki Kolohangkoro
untuk menangkis kebutan Ni Dewi Nilamanik!
Hebat bukan main gerakan Tejolaksono ini, sekaligus
menghadapi serangan empat orang lawan yang merupakan
cengkeraman-cengkeraman maut. Terdengar Sariwuni
menjerit karena wanita ini tidak kuasa lagi mempertahankan pedangnya yang seolah-olah melekat
Istana Kumala Putih 14 Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik Memburu Iblis 8
^