Pencarian

Perawan Lembah Wilis 23

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 23


bahwa di antara kita ada yang mempunyai batu mustika
Ular Wilis!" Pemuda sakti ini lalu menggunakan batu
mustika ditempelkan sebentar di bagian tubuh ketiga orang
yang menjadi korban senjata rahasia itu. Setelah mereka
disadarkan kembali, ketiga orang itu menjadi terheran-
heran dan bertanya, "Mengapa .......... mengapa aku rebah
di sini .......... ?"
Tejolaksono lalu menceritakan bahwa mereka menjadi
korban racun senjata rahasia Wasi Bagaspati, dan tertolong
oleh mustika Ular Wilis. Hati mereka menjadi lega, dan sri
baginda yang tadinya marah dan kecewa, setelah tahu
duduknya perkara, juga tersenyum kembali dan mengutuk
kejahatan Wasi Bagaspati.
Ketika Tejolaksono dan Bagus Seta melakukan
penggeledahan dan pemeriksaan, diantar oleh Pangeran
Panji Sigit yang mengenal semua tempat di istana, tentu
saja mereka tidak menemukan jejak Suminten, Pangeran
Kukutan dan Ki Patih Warutama.
Ke manakah perginya tiga orang yang merupakan
persekutuan yang menjadi biang keladi semua kekacauan
itu" Begitu mendengar akan penyerbuan barisan Panjalu,
mendengar betapa Ki Kolohangkoro tewas, Ni Dewi
Nilamanik dan Wasi Bagaspati melarikan diri, para perwira
kaki tangan mereka tewas dan barisan mereka terdesak
kocar-kacir, tiga orang itu tentu saja tidak tinggal diam.
Tergesa-gesa mereka itu berunding untuk melarikan diri
bersama melalui jalan rahasia dari belakang istana.
Warutama bergegas pulang ke kepatihan untuk meninggalkan pesan kepada kedua isterinya. Akan tetapi
apakah yang ia dapatkan" Kedua isterinya itu, Wulandari
dan Dyah Handini, ibu dan anak, sedang bertengkar ramai!
Ucapan terakhir yang didengarnya ketika ia masuk adalah
ucapan isterinya yang tua, Wulandari,
"Tahukah engkau siapa dia itu" Dia adalah ayahmu
sendirl, ayah kandungmu! Nah, sekarang engkau ketahui
manusia macam apa adanya suamimu, suami kita. Dia
manusia terkutuk yang telah memperisteri anaknya sendiri!
Betapa maluku nanti menghadapi dimas Panji Sigit dan
para pangeran lainnya, betapa aku telah terperosok ke
lembah kehinaan dengan menjadi barang permainan
manusia macam Sindupati! Ya, menjadi benda permainanlah kita berdua ini, Anakku. Ingat saja apa yang
biasa ia lakukan kepada kita berdua selama ini. Tak tahu
malu! Ahhh, lebih baik aku mati saja .......... !"
"Ibu .........!". Dyah Handini menjerit.
"Kalau dia ayahku, mengapa ibu tidak memberi tahu
dahulu" Ahh, kalau aku tahu .......... hemm, akan kubunuh
dia !" Tiba-tiba daun pintu terbuka dan Warutama atau
Sindupati muncul di depan ibu dan anak yang menjadi
pucat wajahnya itu. Tak lama kemudian terdengar jerit-jerit
mengerikan di dalam kamar itu dan ketika Sindupati keluar
dari istana kepatihan membawa benda-benda emas dan
intan yang berharga, ia melirik untuk terakhir kalinya
kepada dua batang tubuh wanita yang menggeletak tak
bernyawa lagi di dalam kamar itu dan ia menyeringai ke
arah mayat Wulandari dan Dyah Handini! Kalau saja ia
tidak mendengar percakapan mereka, tidak perlu ia
membunuh mereka, demikian ia menghibur diri sendiri
ketika ia bergegas pergi ke taman sari milik pribadi
Suminten untuk berkumpul dengan dua orang rekannya di
sana kemudian bersama-sama melarikan diri.
Suminten dan Pangeran Kukutan muncul dengan
tergesa-gesa pula. Pangeran Kukutan membawa sebuah
buntalan besar dan berat, agaknya penuh dengan benda-
benda berharga dan melihat kedua orang itu, Sindupati
tertawa. Dia tidaklah seperti Suminten dan Pangeran
Kukutan yang kelihatan ketakutan. Dalam keadaan seperti
itu, kehilangan kemuliaan dan kemewahan sebagai patih,
Sindupati masih mampu tertawa, mentertawakan Suminten
dan Pangeran Kukutan yang berpakaian seperti petani-
petani biasa! "Lebih aman memakai pakaian rakyat biasa dalam
pelarian," kata Pangeran Kukutan menangkis tertawaan
Sindupati ketika mereka mulai berjalan memasuki lorong
rahasia yang menembus keluar kota raja tanpa melalui
pintu gerbang, melainkan keluar melalui terowongan yang
dibuat menembus di bawah pintu gerbang itu.
"Memang kalian amat pantas berpakaian seperti itu,"
kata Sindupati. Suminten melerok marah, akan tetapi
dalam keadaan seperti itu, ia diam saja hanya mengerutkan
alisnya penuh keprihatinan. Diam-diam ia mengutuk Wasi
Bagaspati dan kaki tangannya yang ternyata tidak mampu
mempertahankan Jenggala, dan diam-diam ia mengutuk
Pangeran Kukutan yang begitu tidak sabar untuk cepat-
cepat menjadi raja sehingga mereka harus memaksa sang
prabu untuk menobatkan Pangeran Kukutan menjadi raja.
Kalau saja tidak terlalu tergesa-gesa dan membiarkan
keadaan berjalan seperti biasa, tentu tidak akan memancing
datangnya serbuan dari Panjalu. Kalau saja .......... kalau
.......... kalau .......... ah, tidak perlu segala penyesalan itu.
Yang penting sekarang melarikan diri agar jangan sampai
tertangkap. ia ngeri memikirkan kalau sampai dia ditawan
oleh Kerajaan Jenggala. Masa depannya tidak terlalu gelap.
Pangeran Kukutan adalah seorang pemuda yang gagah dan
tampan dan mencintanya. Dan mereka membawa bekal
yang cukup banyak untuk kebutuhan mereka.
Kini mereka telah tiba di luar kota raja. Sunyi di sini
karena pertempuran beralih ke dalam kota raja yang masih
terdengar dari situ. Hanya mayat-mayat bergelimpangan
dan rintihan mereka yang terluka saja yang terdapat di luar
dinding kota raja. Suminten bergidik dan mereka
melanjutkan perjalanan ke barat. Setelah agak jauh dari
kota raja, dan tiba di pinggir persawahan yang juga sunyi
karena para penduduknya pergi mengungsi begitu terjadi
perang, hati Suminten agak lapang.
Tiba-tiba Sindupati berkata, "Berikan buntalan itu
kepadaku!" Ucapan ini terdengar oleh Suminten dan Pangeran
Kukutan seperti suara halilintar di tengah hari! Mereka
memandang kepada Sindupati atau Warutama dengan
wajah pucat dan mata terbelalak. Pangeran Kukutan
bertanya kasar dan marah,
"Apakah maksudmu dengan ucapan itu?"
"Apa maksudku" Maksudku jelas! Tidak patut seorang
petani miskin seperti Andika ini membawa-bawa sebuntal
barang-barang berharga milik istana pula. Kesinikan,
berikan kepadaku!" "Jangan main-main, Paman patih ..... "
"Aku bukan patih lagi dan Andika bukan pula pangeran,
melainkan orang-orang pelarian, ha-ha-ha! Ayo berikan,
ataukah harus kupaksa?"
"Tidak! Tidak boleh! Milikku sekarang hanya tinggal ini
.......... tidak boleh!"
Suminten tak dapat berkata apa-apa, hanya memandang
kepada Sindupati penuh kebencian.
"Berani engkau membantah Sindupati" Ha-ha-ha!"
Sindupati meraih untuk merampas buntalan, akan tetapi
Pangeran Kukutan mengelak, bahkan lalu memukul ke arah
lambung Sindupati dengan nekat. Sindupati cepat
menangkis dan balas memukul. Maka berkelahilah kedua
orang bekas sekutu itu memperebutkan sebuntal barang-
barang berharga! Akan tetapi, Pangeran Kukutan tentu saja bukanlah
lawan seimbang dari Sindupati yang telah memiliki
kesaktian, maka dalam beberapa belas gebrakan saja,
buntalan dapat dirampas dan tubuh Pangeran Kukutan
menggeletak di galengan sawah dengan kepala pecah.
Pangeran yang tadinya sudah menjadi putera mahkota,
yang nyaris menjadi raja di Jenggala dalam waktu beberapa
pekan lagi, kini menggeletak mati sebagai seorang petani di
pinggir sawah! Suminten menghampiri Sindupati dan merangkul
pinggang pria itu, menggeser-geserkan tubuh depannya dan
berbisik, "Tepat sekali apa yang kau lakukan ini, Warutama
.......... eh, ataukah Kakang Sindupati" Kakang Sindupati
lebih gagah terdengarnya. Tadi memang aku sudah ada
pikiran untuk minta kepada Andika melenyapkan saja
pangeran menyebalkan ini. Mari kita lekas pergi dari sini,
kekasih pujaan hatiku .......... !!"
Sindupati menunduk dan memandang rambut yang
halus dan harum itu dengan mata terbelalak. Ia bergidik
dan muak. Alangkah berbahayanya perempuan ini,
melebihi seekor ular welang! Akan tetapi ia tertawa
bergelak. "Ha-ha-ha-ha, engkau boleh ikut bersamaku,
Suminten. Engkau masih banyak gunanya bagiku,
bukankah begitu, manis?" Ia menunduk dan mencium pipi
wanita itu, akan tetapi Suminten merangkulnya dan
membalas dengan mencium bibirnya amat mesra ..........
dan penuh nafsu berahi. "Tentu saja, Kakang Sindupati, kita dapat saling bekerja
sama dengan mesra dan cocok untuk waktu yang lama
sekali." Kedua orang itu melangkah lagi ke barat tanpa
menengok satu kali pun kepada mayat Pangeran Kukutan
yang mengelatak di pinggir sawah dengan hidung, mulut,
dan telinga mengalirkan darah itu. Dan tak jauh dari situ, di
sebelah barat, kini mulailah mereka bertemu dengan
rombongan-rombongan tentara yang melarikan diri!
Tentara Jenggala yang lari kacau-balau karena kehilangan
pimpinan. Kalau pasukan sudah tidak ada yang memimpin,
tidak ada yang ditakuti lagi, tidak ada disiplin dan hukum,
tentu saja terjadi perbuatan-perbuatan pelanggaran yang
akibatnya mendatangkan derita bagi rakyat. Demikian pula
sisa-sisa pasukan Jenggalla yang melarikan diri ini, di
sepanjang jalan tentu saja mengganggu dusun-dusun,
mengambil makanan dengan paksa, mengangkut benda-
benda berharga, menculik dan memperkosa gadis-gadis
remaja. Pendeknya, tidak ada perbuatan kekarasan yang
menjadi pantangan bagi mereka.
"Eh .......... Gusti Patih, nih! Hendak pergi ke manakah,
Gusti Patih?" Seorang di antara mereka yang agaknya
mabuk tuak yang dirampasnya dari penduduk dusun,
bertanya secara kurang ajar kepada Sindupati yang segera
dikurung oleh dua puluh orang perajurit yang menyeringai
dan memandang dengan penuh nafsu dan kekaguman
kepada Suminten. "Wah, Gusti Patih pandai sekali mendapatkan seorang
yang begini denok!" seorang lain berkata.
"Dan bekalnya banyak benar, sebuntal besar. Bagi-bagi
dong, Gusti Patih!" Sindupati tertawa. Ia mengenal baik orang-orang kasar
seperti ini sehingga tidak perlu ia tersinggung. Ia malah
tertawa dan berkata, "Kita sudah kalah, tidak perlu main
patih-patihan lagi. Ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha-ha!" Mereka semua tertawa bergelak, mulut
mereka terbuka lebar-lebar sehingga Suminten dapat
melihat rongga mulut yang lebar-lebar dan merah di balik
gigi yang kuning-kuning. "Buntalan ini tak dapat kubagi, kalian boleh mencari
sendiri di jalan. Adapun ini .......... kalau kalian suka, boleh
kalian miliki. Aku sudah bosan dengan dia!" Sindupati
mendorong tubuh Suminten sehingga terhuyung-huyung
dan belasan pasang lengan menerimanya dengan penuh
gairah. "Tidak.......... tidak .......... jangan .......... Sindupati
.......... ah, jangan .........."
Sindupati menengok dan tertawa, lalu pergi tanpa
menoleh lagi biarpun ia mendengar jerit Suminten, malah
berlari makin cepat sehingga akhirnya ia tidak mendengar
apa-apa lagi, baru ia melanjutkan perjalanan dengan
berjalan biasa, memutar otak ke mana ia akan menujukan
kakinya mencari petualangan baru tanpa menyesali
kegagalannya di Jenggala setelah ia hampir tiba di puncak
tertinggi. Ia tidak perlu menyesal, tidak perlu kecewa, hanya
sebuah hal yang selalu menjadi ganjalan hatinya, yaitu
dendam Endang Patibroto terhadap dirinya. Hal inilah yang
membuat ia selalu gelisah dan tidak dapat memkmati
hidup. Ia merasa menyesal sekali dan menyumpahi
kekeliruannya ketika ia tidak dapat menahan nafsu dan
berani memperkosa wanita sakti yang baru mengingatnya
saja sudah membuat bulu tengkuknya meremang itu.
"Jangan .......... Mundur semua kalian, manusia-manusia
biadab! Tidak tahukah kalian siapa aku" Butakah mata
kalian tidak mengenal junjungan kalian" Bedebah kamu
semua, kurang ajar, lepaskan tanganku!" Suminten menjerit
dan memaki. Dua puluh orang laki-laki kasar itu terbelalak, lalu
tertawa bergelak dan menganggap lucu sikap wanita dusun
yang amat cantik jelita ini. Biarpun kulitnya tetap agak
hitam seperti kulit wanita petani, namun halus bukan main.
"Duhai puteri jelita, mohon beribu ampun kalau hamba
sekalian ,tidak mengenal siapa gerangan paduka puteri ini.
Sudilah kiranya paduka puteri berkenan memperkenalkan
diri agar hamba sekalian dapat memberi hormat
sebagaimana layaknya," demikian berkata seorang di antar
mereka dengan suara dan sikap dibuat-buat sehingga semua
temannya tertawa geli dan juga berpura-pura dengan
sembah hormat sambil cekikikan seperti sekumpulan anak-


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak nakal. "Oohhh, kalian ini bukankah para perajurit Jenggala"
Apakah benar kalian tidak mengenal aku ataukah sudah
buta matamu" Aku adalah junjunganmu, selir kinasih
(tersayang) sang prabu, Suminten."
Kembali dua puluh orang itu tertawa bergelak.
Suminten" Baru pakaiannya saja pakaian sederhana,
pakaian. wanita dusun, wanita petani, mengaku sebagai
Suminten" "Wah, jadi paduka ini Gusti Puteri Suminten" Kalau
begitu kebetulan sekali, karena Gusti Puteri terkenal paling
doyan pria-pria muda dan kuat. Kebetulan kami dua puluh
orang adalah pria-pria yang kuat, ha-ha-ha!"
Kembali mereka berebut maju, berlomba dulu untuk
memeluk dan menggerayang tubuh yang padat itu.
Suminten menjerit-jerit, kemaki-maki, meronta-ronta, akan
tetapi apakah dayanya menghadapi dua puluh orang laki-
laki yang kasar" Akhirnya ia menjerit-jerit dan menangis,
namun apapun yang dilakukan malah seakan-akan
menambah gairah dua puluh orang pria yang memperkosanya berganti-ganti itu. Sampai malam tiba
barulah mereka melepaskan Suminten yang menggeletak
pingsan di pinggir hutan, meninggalkan perempuan ini
sambil tertawa-tawa puas dan memuji-muji. Kemudian
mereka melanjutkan perjalanan untuk mengacau kampung-
kampung, mencari rampasan-rampasan baru, mencari calon
korban mereka, wanita-wanita baru. Pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali Suminten merangkak sambil
merintih-rintih, pakaiannya robek-robek, pakaian yang
direnggutkan secara kasar oleh banyak tangan, yang
terpaksa dipakainya untuk menutupi tubuhnya yang
telanjang bulat, untuk menahan serangan hawa dingin pagi
itu. Kemudian, setelah merangkak seperti seekor anjing
sakit untuk beberapa lamanya, kadang-kadang jatuh dan
menangis, akhirnya ia dapat bangkit berdiri, berjalan
terhuyung-huyung. Tiba-tiba ia berhenti, menengadah dan
tertawa kecicikan, kemudian menangis lagi, tertawa lagi.
Menjelang tengah hari ia bertemu dengan dua orang
pemburu di dalam hutan, dua orang pemburu yang lebih
pantas disebut orang hutan daripada manusia, liar dan kasar
karena lebih sering berada di hutan memburu binatang dari
pada hidup di masyarakat ramai.
"Hi-hik, ke sinilah, wong bagus! Ke sinilah kalian
berdua! Lihat, apakah tubuhku tidak denok dan montok"
Apakah rambutku tidak hitam panjang dan halus" Wajahku
cantik dan tubuhnya hangat! Ke sinilah kalian.......... !"
Sejenak dua orang pria itu saling pandang, akan tetapi
kemudian mereka terbelalak memandang ketika Suminten
menanggalkan pakaiannya yang compang-camping, memperlihatkan tubuh yang benar-benar mempesonakan
dua orang pemburu itu. Sungguh, selama hidup mereka,
belum pernah mereka menyaksikan bentuk tubuh seindah
ini! Dan wajah itu, biarpun agak kotor dan rambutnya
kusut, namun harus mereka akui cantik manis dan
rambutnya benar-benar hitam panjang dan berombak.
Setankah wanita itu" Siluman yang menggoda mereka"
Peri" Andaikata mereka tidak berdua, tentu seorang diri saja
mereka akan lari saking ngeri. Akan tetapi karena mereka
berdua, mereka kini malah menghampiri dan begitu tangan
mereka menyentuh lengan Suminten dan mendapat
kenyataan bahwa si cantik itu benar-benar seorang manusia,
keduanya lalu berebut untuk mendapatkan wanita
menggairahkan ini lebih dulu! Suminten menyambut
mereka dengan pelukan mesra dan tertawa terkekeh-kekeh.
Beberapa hari kemudian, setiap orang pria yang
berjumpa dengan Suminten tentu lari dan dikejar-kejarnya
sambil tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata merayu,
menawarkan tubuhnya. Akan tetapi setiap orang laki-laki
yang melihatnya menjadi amat jijik dan melarikan diri.
Siapa orangnya sudi berdekatan dengan seorang wanita
yang kurus kotor, bermuka pucat dan jelas miring otaknya"
Akhirnya, tidak sampai sebulan kemudian, orang mendapatkan tubuh Suminten yang telanjang bulat dan
kurus kering menggetak mati di dekat sungai, agaknya
kelaparan atau kedinginan. Suminten, bekas selir terkasih,
bahkan bekas orang yang paling berkuasa di Jenggala, mati
sebagai seorang pengemis gila yang tak dikenal orang, dan
dikuburkan orang hanya karena orang lain tidak mau
terganggu mayat membusuk, tidak ada yang berkabung
untuknya, tidak ada yang menangisi kematiannya, bahkan
tidak ada yang mengenal siapakah wanita terlantar yang
mati itu. Sungguh akhir hidup yang menyedihkan.
Menyedihkankah" Tentu saja menyedihkan diukur pendapat manusia umumnya. Benarkah pendapat ini"
Belum tentu benar, akan tetapi juga belum tentu benar
pendapat umum bahwa ketika menjadi orang yang paling
berkuasa di Jenggala, Suminten menikmati kehidupan yang
bahagia! Suka atau duka, menyenangkan atau menyedihkan, hanyalah merupakan hasil pendapat dari
pandangan orang lain! Bulan ini menjadi orang yang paling berkuasa di
Jenggala, bulan berikutnya mati seperti seekor anjing
kelaparan di pinggir sungai. Inilah keadaan Suminten.
Demikian pula dengan keadaan hidup manusia ini. Hari ini
tertawa, esok menangis atau sebaliknya. Hari ini berhasil
dan menang, esok bisa saja gagal dan kalah. Memang isi
daripada hidup hanya satu di antara dua yang selalu
berselingan, yang sudah semestinya begitu, seperti
kemestian bahwa yang hidup menghadapi mati. Tak dapat
diubah lagi. Karena itu, manusia yang sadar selalu ingat
akan dua kata-kata yang berbunyi, "Ojo dumeh" yang
artinya manusia tidak boleh tekebur, tidak boleh sombong,
tidak boleh mengandalkan kekayaan, kedudukan dan
kekuasaan karena semua itu hanyalah sekedar "barang
pinjaman" belaka. Kesemuanya itu, kalau Tuhan menghendaki, dapat lenyap meninggalkan manusia atau
ditinggalkan manusia. Orang yang sadar akan menganggap
kesemuanya itu hanya sebagai suatu anugerah yang patut
dinikmati namun yang sama sekali bukan merupakan
tujuan hidupnya, dan sekali-kali tidak boleh menguasai dan
memperhamba batinnya. Orang yang mabuk akan
kemenangan, akan menjadi amat sengsara hatinya kalau
sekali waktu dikalahkan. Orang yang terlalu menyayang
akan keduniawian yang didapatnya, akan sengsara hatinya
kalau kehilangan semua itu. Sebaliknya, orang yang
mendendam kekalahan akan menjadi mata gelap dan
tersiksa oleh dendamnya sendiri. Berbahagialah dia yang
dapat tersenyum di kala kehilangan, dan bersahaja di kala
mendapatkan hasil baik, tidak iri hati kepada yang di atas
selagi dia berada di bawah, juga tidak menghina kepada
yang di bawah selagi dia berada di atas.
Suminten adalah orang yang selalu mengejar kesenangan, oleh karena itu, mengherankankah kalau dia
bertemu dengan kesusahan" Kesenangan dan kesusahan tak
terpisahkan, ada senang tentu ada susah, mencari senang
berarti mencari susah. Orang yang diperhamba oleh nafsu
akan kesenangan takkan dapat menikmati kesenangan,
karena dia selalu haus dan takkan dapat terpuaskan
sehingga akhirnya ia akan tersiksa oleh kehausan akan
kesenangan, dan menjadi mata gelap, tidak segan-segan
melakukan perbuatan kejam terhadap manusia lain yang
bagaimanapun demi untuk mengejar dan mendapatkan cita-
cita yang dianggapnya menjadi sumber kesenangan
hidupnya. Sama sekali tidak tahu atau sadar bahwa yang
dikejar-kejar itu kosong melompong, bagaikan mengejar
bayangan sendiri, makin dikejar makin menjauh, dikata
jauh tak pernah terpisah dari tubuh sendiri! Betapa patut
dikasihani manusia seperti Suminten ini!
-oo(mch-dwkz)oo- Retna Wilis berseru girang sekali ketika ia melihat
bintang yang setiap malam dipandangnya itu melayang
jatuh menjadi sinar yang panjang. Itulah tanda bagi dia
untuk diperbolehkan meninggalkan pantai yang sunyi ini
seperti yang dipesankan gurunya, Nini Bumigarba yang
telah lenyap bersama Bhagawan Ekadenta di Laut Selatan.
Setelah merasa yakin bahwa bintang yang dimaksudkan
gurunya itu betul-betul telah runtuh dan tidak tampak lagi
di angkasa, Retna Wilis lalu melangkah perlahan menuju
tepi laut. Sampai lama ia memandang ke arah laut, seolah-
olah ia hendak minta doa restu gurunya. Ia termenung
seperti telah berubah menjadi arca dewi menjaga pantai dan
baru sadar ketika ada benda berat menindih kakinya. Ia
menunduk dan melihat seekor kura-kura besar di depan
kakinya. Kiranya kura-kura yang pernah membantunya
mengambil pedang pusaka Sapudenta itulah yang tadi
mendekam di kakinya. "Eh, Kukura yang baik, malam ini adalah malam
terakhir aku berada di sini. Bawalah aku berjalan di
sepanjang pantai, Kukura." Retna Wilis lalu duduk di atas
punggung kura-kura raksasa itu dan dengan mendorong-
dorong leher binatang itu, ia dapat mengendarai binatang
Itu berjalan-jalan bersama Kukura menikmati angin laut
dan pemandangan indah ombak-ombak laut ditimpa sinar
bulan yang keemasan. Ketika matahari muncul kemerahan
di permukaan laut sebelah timur, barulah Retna Wilis
menyuruh pergi yang kembali ke laut, kemudian ia pun
mandi sampai puas dan berganti pakaiannya yang serba
hijau. Rambutnya yang hitam panjang ia gelung sebagian di
atas kepala dan membiarkan sisa rambut itu terurai ke
belakang. Pakaiannya ringkas dan ketat, pedangnya ia ikat
di belakang punggung, wajahnya berseri dan segar ketika
akhirnya gadis remaja ini meninggalkan pantai dan berjalan
ke utara. Ia hanya ingat bahwa letak Gunung Wilis adalah
di barat, dan bahwa untuk menuju ke Gunung Wilis ia
harus meninggalkan pantai itu menuju ke utara, kemudian
ia akan membelok ke barat.
Apakah ibunya masih berada di puncak Wilis" Apakah
Padepokan Wilis masih berdiri dan ibunya masih menjadi
pemimpin Padepokan Wilis" Dia teringat akan nasehat
gurunya, "Kelak engkau harus menjadi puteri yang
menguasai seluruh jagad. Dengan demikian, tidak percuma
engkau berpayah-payah belajar di sini dan tidak percuma
menjadi murid Nini Bumigarba. Engkau pergilah ke Wilis,
himpun kekuatan barisanmu dari Wilis dan kemudian
taklukkan semua kerajaan sampai bertekuk di depan
kakimu. Ajaklah ibumu, akan tetapi kalau Endang
Patibroto menghalangi cita-citamu, tantanglah dia! Biar ibu
sendiri kalau menghalangi cita-citamu, tak perlu ditaati,
karena engkau adalah seorang puteri yang paling sakti di
dunia ini, bukan seorang kanak-kanak yang harus menurut
apa saja yang dikatakan ibumu!"
Di dalam sudut hatinya, Retna Wilis tidak setuju kalau
dia harus menentang ibunya, namun sanjungan-sanjungan
gurunya menghidupkan sebuah tekad di hatinya, yaitu
bahwa dia harus menguasai jagad sebagai seorang ratu yang
tiada bandingnya! Kalau ibunya menentang, hemm ..........
bagaimana nanti sajalah. la sudah mendengar dari ibunya betapa ayahnya adalah
Adipati Tejolaksono dan betapa ibunya terpaksa meninggalkan ayahnya itu karena ibunya hanyalah seorang
selir! Ibunya hidup merana, mengasingkan diri di Wilis.
Karena itu, ia akan mengangkat derajat ibunya, akan
membuka mata ayahnya yang bernama Adipati Tejolaksono itu bahwa ibunya bukan seorang wanita
sembarangan, melainkan seorang wanita yang menjadi ibu
Ratu Dunia! Ayahnya dan isteri ayahnya itu kelak akan ia
taklukkan dan ia paksa untuk bertekuk lutut di depan
ibunya, untuk minta ampun!


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan semangat menyala-nyala dan wajah berseri
penuh keyakinan bahwa semua cita-citanya pasti akan
berhasil, Retna Wilis melakukan perjalanan cepat ke utara.
Akan tetapi sebagai seorang yang bertahun-tahun hidup di
pantai, kini di sepanjang memasuki hutan-hutan dan
melihat buah-buahan, Retna Wilis yang sesungguhnya
hanyalah seorang gadis remaja itu seringkali berhenti
memetik buah-buah dan kembang-kembang!
Ketika Retna Wilis sedang duduk di bawah pohon dan
dengan nikmatnya makan buah semangka yang dipetiknya
di jalan tadi, tiba-tiba ia mengerutkan keningnya dan
menghentikan sebentar gerakannya makan semangka. Akan
tetapi ia segera melanjutkan menggerogoti semangka yang
merah dan manis itu, tidak peduli akan bayangan banyak
orang yang sedang memasuki hutan itu dan menuju ke
tempat ia duduk. Rombongan orang itu terdiri dari tiga
puluh orang lebih laki-laki yang kasar dan memegang
bermacam senjata tajam. Mereka berjalan sambil berkelakar
dengan suara kasar dan yang mereka bicarakan adalah
pengalaman-pengalaman mereka di sepanjang perjalanan
melarikan diri dari Jenggala, pengalaman membakar rumah
penduduk, merampok dan terutama sekali tentang wanita-
wanita yang mereka perkosa.
"Ha-ha-ha, lebih senang begini, kawan-kawan!" Terdengar suara yang parau dan paling kasar di antara yang
lainnya. "Dahulu yang manis-manis dihabiskan oleh para
pangeran sendiri, dan para perwira. Kini kita bebas dan
setiap menginginkan wanita tinggal ambil saja, ha-ha-ha!"
"Benar! Selama menjadi perajurit di Jenggala aku tidak
pernah mendapat kesempatan menikmati wanita seperti
malam tadi, ha-ha-ha!"
Mendengar ini, bangkit perhatian Retna Wilis. Hemm,
jadi mereka ini perajurit-perajurit Jenggala yang melarikan
diri! Dia membutuhkan anak buah dan mereka ini baik
sekali dijadikan anak buah ibunya di Wilis. Akan tetapi ia
melanjutkan menghabiskan semangka di tangannya.
"Wahhhh .......... peri kahyangan.......... !!"
Seketika suara ribut-ribut tadi berhenti dan tiga puluh
orang laki-laki itu mengurung Retna Wilis dengan mata
terbelalak kagum dan mulut mengilar seperti macan-macan
kelaparan melihat seekor domba gemuk. Retna Wilis hanya
melirik sebentar, terus menghabiskan semangkanya.
Kemudian sambil memegang kulit semangka ia berdiri dan
kembali terdengar seruan "wah-wah-wah!" saking kagum
mereka. Setelah gadis itu berdiri, bukan hanya wajah cantik
itu yang mereka kagumi, melainkan juga bentuk tubuh yang
ramping padat dan denok. "Kalian ini perajurit-perajurit pelarian dari Jenggala"
Apakah mereka yang berkuasa di Jenggala benar sudah
hancur dan kalian kehilangan pekerjaan" Kalau kalian mau,
mulai saat ini boleh kalian menghambakan diri kepadaku
dan kelak kalian akan dapat menjadi perajurit-perajurit dari
kerajaan terbesar di seluruh dunia!"
Sejenak tiga puluh orang laki-laki kasar itu tercengang,
kemudian saling pandang dan meledaklah suara ketawa
mereka. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi
besar, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, wajahnya
tampan juga dan dia terkenal paling jagoan di antara teman-
temannya, juga paling ganas menghadapi wanita di
sepanjang jalan pelarian mereka yang mereka ganggu,
melangkah maju dan memandang Retna Wilis penuh
perhatian, dengan sepasang mata berkilat penuh nafsu dan
mulut menyeringai. "Eh-eh, engkau ini perawan dari mana bicara begini
besar?" Retna Wilis tidak marah, bahkan tersenyum. "Aku
adalah Perawan Lembah Wilis, atau calon ratu yang akan
menundukkan seluruh kerajaan di Nusa Jawa, termasuk
Jenggala dan Panjalu!"
Kembali mereka tertegun dan kembali meledaklah suara
ketawa mereka. Jagoan yang bertanya tadi lalu berkata,
"Waduh, denok. Apakah otakmu miring" Sayang kalau
miring, engkau begini cantik manis dan denok. Mari
kuobati penyakitmu, ditanggung engkau akan sembuh dari
penyakit gilamu. Marilah manis!" Setelah berkata demikian,
laki-laki itu mengulur tangan kirinya ke arah dada Retna
Wilis sedangkan tangan kanannya hendak merangkul leher.
Akan tetapi Retna Wilis melangkah mundur, memandang
dengan muka merah dan alisnya mulai berkerut.
"Hemm, apakah kalian ini sudah bosan hidup" Lekas
berlutut minta ampun dan menyatakan takluk, atau ..........
hemm, kubunuh kalian semua!"
"Aduh-aduh, hebat sekali kesombonganmu, cah manis!
Biarlah, aku memilih mati, mati dalam pelukanmu, ha-ha-
ha!" Jagoan itu mengejek lagi dan semua kawannya
tertawa-tawa. "Kardi, lekas bereskan dia, setelah engkau baru aku! Ah,
sudah gemas aku ingin menggigit bibirnya yang kenes itu!"
Teriak seorang laki-laki yang berkumis tebal, sekepal
sebelah sambil mengelus kumisnya dan lidahnya menjilat-
jilat bibir seperti orang yang kehausan melihat semangka.
Jagoan yang bernama Kardi itu tertawa, kini meloncat ke
depan menubruk Retna Wilis. Gadis ini marah sekali,
marah yang timbul dari kekecewaan mengapa orang-orang
ini tidak mau mentaati perintahnya. Tangan kirinya yang
memegang kulit semangka itu menyambar ke depan.
"Pratttt!!!" Kardi menjerit dan roboh bergulingan, mengaduh-aduh
berusaha melepas kulit semangka yang melekat di pipinya.
Akan tetapi begitu ditarik, darahnya menyemprot keluar
dan ia menjerit-jerit kesakitan. Ternyata kulit semangka itu
telah menghancurkan kulit dan menempel pada tulang
rahangnya menggantikan kulitnya sehingga kalau dibeset
sama halnya dengan mengupas kulit mukanya. Saking
nyerinya, Kardi roboh dan mengerang kesakitan.
Sejenak kawannya laki-laki kasar itu terkejut dan
tercengang. Akan tetapi kemarahan mereka bangkit dan dua
orang, satu di antaranya adalah si jenggot tebal tadi, sudah
menubruk maju dengan kedua tangan terpentang untuk
menangkap perawan yang mereka anggap selain cantik
manis denok juga sombong dan galak itu. Ingin mereka
merobek-robek pakaian garis itu dan beramai-ramai
melahapnya seperti sekumpulan serigala kelaparan melahap
dan merobek-robek daging seekor domba muda.
"Plak-plak !!" Kembali tangan kiri Retna Wilis bergerak
tanpa ia menggerakkan kedua kakinya yang masih
terpentang dengan tubuh tegak. Karena sekali ini yang
menyambut dada dan kepala kedua orang itu bukan kulit
semangka melainkan jari tangannya, si kumis tebal roboh
dengan tulang dada patah-patah
sedangkan kawannya roboh dengan kepala pecah dan otaknya muncrat bersama darah.
Keduanya tewas seketika dengan
mata mendelik dan dalam keadaan yang mengerikan sekali.
"Hayoh, siapa lagi yang bosan
hidup?" Retna Wilis membentak,
sepasang matanya mengeluarkan
sinar berapi, kedua tangannya
bertolak pinggang dan ia berdiri
tegak, sikapnya gagah dan garang sekali. Akan tetapi sekumpulan perajurit Jenggala itu adalah orang-orang kasar
yang tidak dapat mengenal orang sakti. Melihat tiga orang
kawan mereka roboh, mereka menjadi marah sekali.
Kesempatan itu dipergunakan oleh empat orang anggauta
gerombolan yang berdiri terdekat di belakang Retna Wilis
untuk menggerakkan golok mereka menyerbu dari
belakang, membacokkan senjata mereka ke arah tubuh
belakang dan kepala Retna Wilis.
"Syuuuutttt ..... plak-plak-plak-plakk!!" Tubuh Retna
Wilis diputar membalik, kedua tangannya dengan jari
terbuka menyambar empat kali. Empat batang golok lawan
terbang disusul robohnya tubuh mereka yang tak mungkin
dapat bangun kembali karena sekali tampar saja cukup bagi
Retna Wilis untuk membuat kepala mereka retak dan dada
mereka pecah! Robohnya empat orang ini seolah-olah merupakan tanda
bagi semua laki-laki di situ untuk menerjang maju. Retna
Wilis mengeluarkan seruan marah dan kecewa, akan tetapi
ia tidak pernah menggeser kedua kakinya, hanya tubuh
atasnya saja berputar ke sana ke mari dan kedua tangannya
membagi-bagi tamparan maut. Tidak ada yang harus
dipukul dua kali karena sekali tampar saja nyawa mereka
dipaksa meninggalkan raga. Bagaikan sekumpulan laron
menerjang api, Para bekas perajurit Jenggala itu menyerbu
untuk mati. Setelah lebih dari setengah jumlah mereka roboh binasa,
barulah sisanya seperti terbuka mata mereka, dan serta
merta mereka menjatuhkan diri berlutut, melempar golok
dan menyembah minta ampun. Retna Wilis berdiri di
tengah- tengah tumpukan mayat yang berserakan, wajahnya
berseri, mulutnya tersenyum puas, kedua tangan di
pinggang. ia mengugguk-angguk.
"Bagus, baru kalian mengenal kesaktian Perawan
Lembah Wilis, ya" Mulai sekarang, kalian menjadi anak
buahku, calon anak buah Kerajaan Wilis dan kalian harus
menyebut aku Gusti Puteri Retna Wilis. Sekarang kalian
ikuti aku ke Gunung Wilis, tidak melakukan sesuatu tanpa
ijinku. Siapa membantah?"
Tidak ada yang berani membantah, hanya ada seorang di
antara mereka yang agak tua memandang mayat-mayat itu
dan bertanya dengan suara gemetar. "Maaf, Gusti Puteri.
Bagaimana dengan mayat-mayat ini .......... ?"
"Bagaimana lagi" Tinggalkan saja. Mereka menjadi
bagian binatang-binatang hutan. Hayo berangkat!"
Lima belas orang bekas perajurit Jenggala itu bangkit
berdiri dan memanang junjungan baru itu dengan penuh
kagum dan rasa takut. Tahulah mereka, bahwa wanita
muda, gadis remaja ini dalah seorang yang selain sakti
mandrauna, juga memiliki kekerasan hati yang menggiriskan. Retna Wilis dahulu seringkali mendapat nasehat-nasehat
gurunya tentang memimpin anak buah. Maka kini pun, biar
dia sendiri dapat menahan tidak makan minum sampai
berhari-hari, dia memperhatikan keperluan anak buahnya
dan membolehkan mereka itu mengambil hasil- hasil sawah
di luar dusun-dusun untuk dimakan.
-oo0dw0oo- Jilid XLII AKAN tetapi ia sama sekali melarang mereka
mengganggu pedusunan. "Semua rakyat adalah calon
rakyatku, mulai sekarang mereka harus diberi pengertian
bahwa di Wilis terdapat Kerajaan Wilis yang jaya dan yang
membutuhkan bantuan-bantuan rakyat sebagai pasukan-
pasukan Wilis." Dua hari kemudian, setelah mereka tiba di kaki Gunung
Wilis, rombongan lima belas orang yang dipimpin Retna
Wilis ini bertemu dengan perajurit pelarian lain dari
Jenggala yang berjumlah lima puluhan orang, dikepalai
oleh seorang bekas perwira yang ikut melarikan diri.
Perwira ini bertubuh tinggi besar, dan sepasang matanya
amat menakutkan, lebar dan agaknya tak pernah berkedip,
melotot terus seperti mata orang yang selalu marah.
"Heh, kalian juga berkeliaran sampai di sini?" Laki-laki
bermata lebar itu menegur bekas anak buahnya. "Dan
kalian mendapatkan seorang dara begini hebat" Berikan
kepadaku dan kalian lebih baik menggabung dengan
pasukanku, kami hendak menyerbu Wilis dan menduduki
puncak itu untuk menjadi markas kita." Mata yang melotot
itu memandang Retna Wilis penuh gairah.
"Eh ........ ahh ........ Kakang Barun ........ jangan bicara
begitu ...... beliau ini adalah junjungan dan pemimpin kami
........ Gusti Puteri Retna Wilis. Lebih baik Andika semua
menyerah dan menjadi anak buah Wilis, menyembah
pemimpin kami yang sakti mandraguna ini ......."
"Huah-ha-ha-ha! Apakah kalian sudah gila semua" Aku
menyembah dara ini" Heh-heh, minggirlah biar kutangkap
dia dan menjadi kekasihku!" Barun sudah melangkah maju
akan tetapi Retna Wilis membentak, "Berhenti!!"
Bentakan dara ini mengandung wibawa mujijat sehingga
Barun tersentak kaget, tidak dapat melangkah maju lagi.
Akan tetapi dasar dia seorang yang telah menganggap diri
sendiri amat digdaya, hanya sebentar ia terkejut dan tertawa
lagi. "Ha-ha, engkau sungguh denok akan tetapi galak. Aku
senang akan dara yang penuh semangat sepertimu, manis.


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namamu Retna Wilis" Aduh, terhadap aku jangan galak,
bocah ayu." "Barun dan semua anak buahmu, lekas kalian berlutut
menyembah aku. Akulah calon ratu di Wilis dan calon ratu
kerajaan besar yang menaklukkan seluruh kerajaan!
Menyembahlah sebelum terlambat, karena sekali aku
bergerak, engkau dan teman-temanmu yang melawanku
akan mampus!" Sambil berkata demikian, ibu jari kaki
Retna Wilis mencokel tanah dan segumpal tanah campur
pasir melayang ke atas, disambarnya dengan tangan kanan.
Akan tetapi Barun menoleh ke belakang, memandang
kawan-kawannya dan tertawalah laki ini bergelak-gelak.
Teman-temannya juga karena selama hidup mereka sekali
ini melihat dan mendengar seorang gadis remaja
mengeluarkan ancaman seperti itu.
"Huah-ha-ha-heh-heh, engkau sungguh lucu sekali!
Hayo, kawan-kawan, kita maju dan melihat apa yang akan
dilakukan dara jelita ini!" Sesungguhnya, biarpun hatinya
tidak percaya dan tidak takut akan ancaman Retna Wilis,
namun bertemu pandang dengan dara itu mendatangkan
sesuatu yang menyeramkan hatinya, maka Barun mengajak
teman-temannya maju bersama. Ada tujuh orang yang
dengan penuh gairah meloncat maju mendampingi Barun,
siap untuk menangkap dara yang cantik itu. Delapan orang
itu lalu menghampiri Retna Wilis detigan muka
menyeringai. "Heh-heh-heh, hayo engkau akan dapat berbuat apa,
bocah kewek?" Barun mengejek, hatinya besar karena ada
tujuh orang yang pembantunya mendampinginya. Jarak
antara delapan orang itu dengan Retna Wilis masih ada
empat meter, dan Retna Wilis yang ingin mendapatkan
anak buah sebanyaknya itu membentak lagi,
"Berlututlah sebelum terlambat!"
Namun, tentu saja delapan orang laki-laki tinggi besar itu
tidak suka mentaati perintah ini dan mereka tetap
melangkah maju. "Mampuslah kalau begitu!" Retna Wilis
mengayun tangannya dan sinar hitam ke arah delapan
orang itu. Itulah tanah pasir yang dicongkel ibu jari kakinya
tadi dan biarpun hanya pasir dan tanah biasa, namun
berada di tangan Retna Wilis berubahlah menjadi senjata
yang amat dahsyat mengerikan karena dia mempergunakan
Aji Pasir Sakti! Begitu sinar-sinar hitam itu menyambar,
delapan orang itu menjerit-jerit dan roboh bergulingan,
berkelojotan seperti cacing-cacing terkena abu papas karena
muka mereka telah ditembusi pasir-pasir halus itu sampai
masuk ke dalam otak! Sisa anak buah Barun terbelalak dan pucat sekali.
Barulah mereka kini percaya bahwa gadis remaja ini
amatlah sakti. Seketika kecut dan takutlah hati mereka dan
cepa t-cepat mereka menjatuhkan diri berlutut dan
menyembah-nyembah minta ampun. Retna Wilis tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan, kemudian
berkata, "Akulah Gusti Puteri Retna Wilis, Perawan Lembah
Wilis yang tidak suka dibantah. Siapa lagi yang sudah
bosan hidup?" Kini semua orang, termasuk lima belas orang
pengikutnya tadi, berlutut semua dan tidak berani berkutik.
Baru sekali ini selama hidup mereka, orang-orang kasar ini
benar-benar kagum, tunduk dan takut, juga merasa bangga
bahwa mereka dapat menghambakan diri kepada seorang
yang sesakti ini. Dengan seorang pemimpin seperti dara ini,
mereka percaya akan dapat menaklukkan seluruh kerajaan.
Beramai-ramai mereka menyembah, "Hamba sekalian taat
akan segala perintah Gusti Puteri!" Demikian mereka
berkata. Dari tempat ,yang agak jauh, ada seorang laki-laki yang
bersembunyi di atas pohon dan menyaksikan semua
peristiwa ia memandang dengan rata terbelalak, dan
melihat sepak terjang Retna Wilis ketika membunuh
delapan orang itu, ia bergidik dan menggumam, "Hebat
........ hebat ........ , selama hidupku baru sekali ini
menyaksikan seorang dara remaja sehebat itu ........ Ah,
kiranya Endang Patibroto sendiri tidaklah sehebat itu
kepandaiannya. Barun memiliki kesaktian lumayan, akan
tetapi dengan tujuh orang kawannya terbunuh hanya oleh
sambitan tanah pasir!" Laki-laki ini diam-diam menjadi
kagum sekali dan juga jerih, padahal dia bukanlah seorang
laki-laki biasa. Sama sekali bukan. Dia adalah seorang yang
memiliki kedigdayaan, bahkan dapat disebut seorang yang
sakti mandraguna karena dia ini bukan lain adalah bekas
patih Jenggala, Ki Patih Warutama yang dahulu bernama
Raden Sindupati! "Ah, tidak salah. Tentu dia ini yang dahulu diambil
murid Nini Bumigarba! Dan dia adalah puteri Endang
Patibroto!" Sindupati, sebaiknya kini kita menyebutnya
Sindupati karena nama Warutama dahulu pun hanya nama
samarannya saja, menarik napas panjang. Dia tidak berani
memperlihatkan diri karena biarpun gadis itu murid Nini
Bumigarba, akan tetapi karena puteri Endang Ptibroto, dia
tidak tahu bagaimana sikap gadis itu kalau melihatnya.
Akan tetapi, apakah gadis itu tahu kalau dia musuh Endang
Patibroto" Ia memperkosa Endang Patibroto dan ia tidak
percaya bahwa Endang Patibroto mau menceritakan aib
yang dideritanya itu kepada orang lain, kepada puterinya
sekalipun! Betapapun juga, dia harus berhati-hati dan tidak
berani memperlihatkan diri. Setelah Retna Wilis mengajak
anak buahnya pergi mendaki Gunung Wilis, Sindupati
hanya mengikuti mereka dari jarak yang jauh dan cukup
aman. Pria yang cerdik ini segera mencari akal dan karena
Retna Wilis yang membawa pasukan itu melakukan
perjalanan lambat, ia mengerahkan kesaktiannya dan lari
mendahului rombongan itu untuk mendaki puncak Wilis.
Mudah saja bagi Sindupati untuk mencari keterangan dan
betapa girang hatinya bahwa Endang Patibroto kini tidak
berada lagi di Wilis. Tadinya ketika ia melihat munculnya
Endang Patibroto di Kota Raja Jenggala, ia mengira wanita
itu masih memimpin Pondok Wilis. Akan tetapi setelah
menyelidiki di puncak Wilis, ia mendapatkan berita yang
amat menggirangkan hatinya, yaitu bahwa Wilis telah lama
ditinggalkan wanita yang ditakutinya itu dan kini bahkan
telah dipimpin oleh seorang "raja" baru, yang telah
menaklukkan ketiga orang tokoh Wilis yang dulu menjadi
pembatu-pembantu utama Endang Patibroto, yaitu Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis. Kepala atau "raja"
baru ini adalah seorang manusia bertubuh raksasa yang
bernama Ki Walangkoro, yang kabarnya amat digdaya dan
ditakuti semua anak buah Wilis. Kalau dulu di bawah
pimpinan Endang Patibroto di situ berdiri Padepokan Wilis
dan para anak buahnya disebut satria-satria Wilis, kini
keadaan mereka berubah sama sekali dan kembali mereka
menjadi Gerombolan Wilis yang ditakuti penduduk di
sekitar Gunung Wilis. Mendengar berita ini, Sindupati
cepat membuat per siapan-persiapan.
Demikianlah, ketika Retna Wilis dan lima puluh orang
lebih anak buahnya mendaki sampai di lereng Wilis, tiba-
tiba perjalanan mereka dihadang oleh seorang pria yang
tampan dan gagah dan biarpun usianya sudah lima puluh
tahun, namun masih tampan ganteng dan menarik. Baik
bentuk rambutnya, tarikan mukanya, dan pakaiannya,
semua tidak ada bekas-bekasnya bahwa pria ini adalah
bekas patih di Jenggala! Kini Sindupati telah berubah
menjadi seorang yang sikapnya seperti seorang pertapa,
halus gerak-geriknya, tenang pandang matanya. Bahkan
lima puluhan orang pengikut Retna Wilis itu tidak ada yang
mengenalnya, ketika pria itu berdiri menghadang dengan
sikap tenang. Melihat keadaan dan sikap pria ini, Retna Wilis yang
dapat mengenal orang pandai, melarang anak buahnya
turun tangan dan dia sendiri yang melangkah, maju paling
depan, memandang pria itu penuh perhatian lalu berkata,
"Siapakah Andika dan ada keperluan apakah Andika
menghadang perjalanan kami?"
Sindupati mengambil sikap seperti orang tercengang dan
keheranan, lalu berkata, suaranya halus, "Duhai puteri
remaja yang mempunyai wibawa dan sinar kesaktian,
adakah andika yang memimpin rombongan orang-orang
gagah ini?" Senang hati Retno Wilis mendengar ucapan yang halus
dan penuh hormat ini. ia memandang dengan penuh
perhatian, kemudian menjawab, "Sungguh tepat ucapan
Paman yang awas paningal. Saya Puteri Retna Wilis yang
memimpin pasukan ini, hendak menghadap Ibunda Endang
Patibroto yang menjadi ketua Padepokan Wilis. Siapakah
andika, Paman?" Mendengar ini Sindupati cepat membungkuk dan
menyembah dengan hormat. "Duh Sang Puteri, kiranya
paduka adalah puteri ketua Padepokan Wilis! Pantas saja
menyinarkan cahaya cemerlang, cahaya kesaktian yang
menakjubkan. Saya bernama Adiwijaya, seorang pertapa
biasa yang bertapa di Pagunungan Seribu. Telah beberapa
pekan saya datang ke Wilis dengan maksud mengunjungi
Padepokan Wilis yang amat terkenal, untuk menghaturkan
sembah hormat kepada ketua Wilis yang sakti mandraguna
dan bijaksana, serta menawarkan bantuan tenaga saya yang
tidak seberapa ini untuk perikemanusiaan. Siapa kira,
sampai di sini saya merasa kecewa sekali karena tidak dapat
berjumpa dengan ibunda yang mulia, bahkan menyaksikan
kenyataan yang amat tidak menyenangkan hati."
Retna Wilis mengerutkan alisnya. "Ah Paman Adiwijaya, apakah yang terjadi" Ke manakah perginya
ibuku dan Siapa kini yang berada di puncak?"
"Saya mendengar bahwa telah lama sekali ibunda
meninggalkan Wilis dan semenjak itu, kekuasaan Padepokan Wilis berada di tangan ketiga orang gagah
Limanwilis dan dua orang adiknya."
"Ah, ketiga paman Wilis masih berada di puncak"
Syukurlah!" "Akan tetapi, Sang Puteri, ternyata keadaan tidaklah
begitu menyenangkan seperti yang paduka kira. Kini
puncak telah dikuasai oleh seorang ketua baru, dan
Padepokan Wilis telah berubah menjadi Gerombolan
Wilis!" "Apa" Siapa yang berkuasa di sana?"
"Ketiga orang gagah Wilis telah ditundukkan oleh
seorang tokoh jahat yang bernama Ki Walangkoro, seorang
tokoh hitam yang kabarnya datang dari Madura."
"Apa" Si keparat!" Retna Wilis menoleh ke belakang dan
berkata kepada anak buahnya, "Bersiaplah kalian membuktikan kesetiaan kalian kepadaku! Kita serbu puncak
Wilis!" "Hamba siap, Gusti Puteri!" Teriakan-teriakan ini
terdengar dari mulut para bekas perajurit Jenggala sehingga
hati Sindupati yang kini berganti nama Adiwijaya menjadi
makin kagum. Puteri remaja ini benar-benar hebat,
pikirnya. Tidak saja memiliki kesaktian yang mengerikan,
juga amat berwibawa. "Saya pun siap membantu paduka, Gusti Puteri,"
katanya hormat. Berseri wajah Retna Wilis. "Bagus, Paman Adiwijaya.
Aku girang sekali menerima bantuanmu, dan percayalah,
engkau tidak akan rugi menghambakan diri kepadaku.
Kelak aku akan menaklukkan seluruh kerajaan dan kalau
andika memang benar setia dan berjasa, aku tidak akan
melupakan bantuan-bantuanmu."
"Hamba dapat melihat seorang yang sakti dan pandai,
Gusti Puteri, dan hamba akan mempertaruhkan jiwa raga
hamba untuk membela Paduka."
"Bagus! Hayo kita mendaki terus!"
Sebagai jawaban ucapan Retna Wilis yang penuh
semangat ini terdengarlah sorak sorai lima puluh orang
anak buahnya itu dan tiba-tiba terdengar sorakan jawaban
yang bergemuruh dari atas. Retna Wilis mengangkat tangan
mencegah anak buahnya bergerak maju dan sambil bertolak
pinggang dara perkasa ini memandang ke depan. Adiwijaya
cepat menghampiri Retna Wilis dan berdiri di sebelah
kanannya, juga memandang ke depan.
Pasukan yang turun dari atas puncak itu jumlahnya
seratus orang lebih, dipimpin oleh seorang kakek tinggi
besar seperti raksasa. Sangat besar dan tinggi tubuh kakek
ini sehingga tiga orang tokoh Wilis, yaitu Limanwilis dan
dua orang adiknya yang termasuk orang-orang tinggi besar
kelihatan kecil, hanya setinggi pundak kakek itu!
Rombongan ini bersorak gembira ketika melihat ada
rombongan lain yang mereka anggap sebagai calon-calon
korban yang tentu akan dapat dipreteli pakaian dan
senjatanya, apalagi melihat ada seorang gadis remaja cantik


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali berada di antara mereka. Akan tetapi tiba-tiba mereka
itu berhenti ketika terdengar gadis remaja itu mengeluarkan
suara yang amat nyaring dan membuat jantung mereka
bergetar, "Hai para satria Wilis! Beginikah kalian menyambut
gusti puteri kalian" Paman Limanwilis, Lembuwilis dan
Nogowilis, apakah mata kalian sudah lamur sehingga tidak
mengenal aku?" Limanwilis dan kedua adiknya, juga para bekas anak
buah Endang Patibroto, memandang dengan mata
terbelalak. Anak tetapi anak buah-anak buah baru yang
tadinya merupakan anak buah Ki Walangkoro yang kini
digabungkan dengan anak buah Wilis, tertawa bergelak.
"Waduh, perawan remaja yang genit dan galak!"
Adapun Ki Walangkoro yang juga memiliki kesaktian
dan bermata awas, dapat mengenal sinar kesaktian
memancar keluar dari wajah dara perkasa itu, menudingkan
telunjuknya dan berkata, suaranya seperti geluduk di musim
hujan, "Heh, babo-babo, siapakah andika bocah kemarin sore
yang bermulut besar?"
"Hemm, engkau tentu si Walangkoro yang mengacau di
Wilis! Mau tahu siapa aku" Akulah Perawan Lembah Wilis,
akulah Puteri Retna Wilis. Setelah ibuku Endang Patibroto
meninggalkan Wilis, andika lancang berani mengacau di
sini, ya" Agaknya engkau sudah bosan hidup, Walangkoro!" Kini terdengar seruan-seruan kaget dan heran dari mulut
Limanwilis dan kedua orang adiknya, juga dari anak buah
Wilis. Mereka teringat dan memandang gadis itu dengan
mata terbelalak. Anak perempuan yang dulu lenyap diculik
nenek mengerikan itu kini telah pulang dan menjadi
seorang dara remaja yang serupa benar dengan Endang
Patibroto, sama cantik jelita dan sama gagah, bahkan jauh
lebih galak dan berwibawa! Akan tetapi karena mereka itu
sudah merasa menyeleweng dan menghamba kepada
pemimpin baru, dan karena kehidupan sebagai gerombolan
lebih menyenangkan bagi mereka daripada hidup sebagai
anggauta-anggauta padepokan yang berdisiplin dan tidak
memungkinkan mereka mengumbar nafsu angkara murka,
mereka diam saja dan hendak melihat dulu bagaimana
sikap pemimpin mereka yang baru dan yang sudah mereka
ketahui kesaktiannya itu.
"Babo-babo, si keparat!" Ki Walangkoro memaki.
"Dahulu aku mencari Endang Patibroto untuk kutundukkan
dan kuangkat menjadi permaisuriku, akan tetapi dia telah
minggat. Kini muncul puterinya yang lebih jelita, lebih
denok dan lebih muda. Retna Wilis, eman-eman engkau
bocah ayu kalau berani menentang Ki Walangkoro! Lebih
baik engkau menyerah, menjadi kekasihku, menjadi
permaisuriku, sehingga engkau tetap akan disembah-
sembah seluruh anak buah di Wilis. Menyerahlah, wong
ayu!" Ki Walangkoro bukanlah seorang pria yang mata
keranjang, akan tetapi menyaksikan seorang dara yang
begini denok dan jelita, gairahnya timbul dan ia hampir
tidak kuat menahan gelora nafsunya, ingin terus
memondong dara itu dan dibawa lari ke dalam kamarnya.
"Jahanam bermulut kotor!" Tiba-tiba Adiwijaya meloncat maju, gerakannya trengginas dan sikapnya masih
tenang, namun matanya menyorotkan kemarahan. Sekali
ini Adiwijaya benar-benar marah, bukan pura-pura atau
hendak mencari muka kepada Retna Wilis. Entah
bagaimana, begitu bertemu dengan dara ini, hatinya benar-
benar tunduk dan timbul rasa kagum, menyayang dan
hormat, sehingga ia tidak suka mendengar orang lain
memaki dan menghina gadis itu. Ia lalu menoleh kepada
Retna Wilis dan berkata dengan halus,
"Gusti Puteri, perkenankanlah hamba menghajar buto
(raksasa) yang bermulut lancang dan kotor ini!"
Berseri wajah Retna Wilis. "Paman Adiwijaya, dia
memiliki sedikit kepandaian, apakah andika mampu
melawannya?" "Gusti Puteri, untuk memukul seekor anjing korengan
mengapa harus menggunakan tongkat besar" Sayang tangan
Paduka yang akan menjadi kotor kalau menyentuh
tubuhnya yang menjijikkan. Hamba akan mencobanya dan
hamba rela mati membela Paduka."
Retna Wilis tersenyum. Sikap orang tua ini benar-benar
menyenangkan hatinya. "Jangan khawatir, Paman. Aku
tidak akan membiarkan kadal buduk ini mencelakakan
seorang pembantu sebaik Paman. Maju dan lawanlah!"
Adiwijaya lalu membalikkan tubuhnya lagi menghadapi
Ki Walangkoro, dan dengan sikap tenang ia mencawatkan
sarungnya ke belakang dan mengikatkan ujungnya kuat-
kuat di pinggang. Kemudian ia berkata lantang,
"Ki Walangkoro! Wilis adalah milik Gusti Endang
Patibroto yang menjadi ketua Padepokan Wilis, akan tetapi
engkau telah lancang merampasnya selagi ketuanya tidak
ada. Kini Gusti Puteri Retna Wilis telah pulang dan kalau
memang engkau tahu diri, sebaiknya engkau bertekuk lutut
dan menakluk, bersama semua pengikutmu menghambakan
diri kepada Gusti Puteri. Kalau engkau merasa kuat,
cobalah engkau melawan aku. Adiwijaya siap menghadapimu membela kedaulatan Gusti Puteri Retna
Wilis!" Ki Walangkoro memandang Adiwijaya dengan tertawa
mengejek dan memandang rendah. "Namamu Adiwijaya,
heh" Omonganmu sungguh menjemukan! Dilihat jumlahnya pengikut, pasukanku dua kali lebih banyak
daripada pengikut Retna Wilis! Dilihat pemimpinnya, aku
jauh lebih patut dan lebih gagah daripada engkau yang
mengaku menjadi pembantunya. Adiwijaya, kulihat engkau
lumayan juga, memiliki kesaktian. Apakah tidak lebih baik
engkau menjadi pembantuku saja dan Retna Wilis menjadi
isteriku" Dengan demikian, keadaan kita menjadi lebih
kuat!" "Si bedebah!" Teriakan ini keluar dari mulut Retna Wilis
dan gadis ini saking marahnya sudah mengipatkan lengan
lengannya ke arah Ki Walangkoro, dan anehnya ........
tubuh raksasa yang tinggi besar itu terpelanting seolah-olah
ditumbuk palu godam atau diseruduk banteng. Padahal
jarak antara dia dan gadis itu ada tiga meter dan dia
terpelanting roboh hanya oleh angin kipatan tangan dara
perkasa itu! Kembali Adiwijaya kagum dan ngeri. Dara itu
benar-benar sakti mandraguna dan ia bergidik memikirkan
betapa ngerinya kalau harus bertanding melawan gadis
yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia ini!
Akan tetapi Ki Walangkoro adalah orang kasar. Dia
hanya terbelalak dan merasa heran mengapa dadanya
seperti didorong angin badai yang dahsyat tadi. Dia tidak
mau mengerti bahkan menjadi marah karena malu. Dengan
suara menggereng seperti harimau terluka ia menubruk
maju, maksudnya hendak mencengkeram Retna Wilis akan
tetapi ia disambut oleh pukulan tangan Adiwijaya ke arah
dadanya. "Desss !!" Ki Walangkoro menangkis dan kedua lengan
yang amat kuat bertemu, akibatnya tubuh Adiwijaya
terlempar ke belakang sedangkan Ki Walangkoro terhuyung
saja. "Huah-ha-ha-ha! Adiwijaya, sedemikian saja kekuatanmu dan engkau berani menantang Ki Walangkoro?" Raksasa itu terbahak dan anak buahnya juga
tertawa-tawa girang karena dalam gerakan pertama ini jelas
tampak bahwa pemimpin mereka lebih besar tenaganya.
Namun Retna Wilis memandang tenang dan diam-diam
ia merasa kagum dan senang terhadap pembantunya ini.
Dalam pertemuan tenaga tadi, ia pun maklum bahwa
dalam hal tenaga kasar, Ki Walangkoro memang kuat, akan
tetapi biarpun tubuh pembantunya mencelat ke belakang,
bukan sekali-kali karena terpental, melainkan karena
sengaja pembantunya itu menggunakan tenaga lawan untuk
meloncat ke belakang sehingga mematahkan daya pukulan
lawan. Sebaliknya, Ki Walangkoro yang menerima pukulan
itu dengan tangkisan yang didasari tenaga kasar, biarpun
kelihatannya hanya terhuyung bahkan mengeluarkan
ucapan mengejek, sebetulnya di dalam dada raksasa ini
terasa sesak dan perutnya mual.
"Tertawalah, Ki Walangkoro. Akan tetapi aku belum
kalah!" Adiwijaya menjawab dan tubuhnya sudah
berkelebat ke depan amat cepatnya, kemudian begitu kaki
tangannya bergerak, dia sudah mengirim pukulan bertubi-
tubi dengan kedua tangan disusul tendangan kakinya
mengarah lambung. "Eh-eh ........ !" Ki Walangkoro mendengus, agak
bingung menyaksikan lawannya bergerak begitu cepat
sehingga tubuh lawannya seolah-olah menjadi empat. Dia
menggerakkan kedua lengannya yang panjang dan kekar itu
untuk menangkis, juga untuk balas menyerang dengan
cengkeraman dan pukulan. Akan tetapi ia kalah cepat dan
ketika ia terlambat menangkis, perutnya terkena tendangan
Adiwijaya sehingga terdengar suara "bukkk!" yang keras.
Amat mengherankan ketika terlihat oleh para penonton
akibat tendangan ini karena tubuh Adiwijaya sendiri yang
terlempar ke belakang! Perut itu amat keras dan kuat, dan
memang tubuh Ki Walangkoro memiliki kekebalan yang
mengagumkan. "Ha-ha-ha! Mampuslah kau, Adiwijaya!" Ki Walangkoro
kini menubruk maju seperti seekor gajah menggulingkan
diri. Baru terhimpit tubuh raksasa itu saja sudah akan cukup
membuat tubuh Adiwijaya gepeng. Akan tetapi dengan
cekatan sekali tubuh Adiwijaya bergulingan dan Ki
Walangkoro menubruk tanah sehingga debu mengebul
tebal. "Desss!" Sebelum Ki Walangkoro sempat mengelak
ketika ia menerkam tanah tadi, Adiwijaya yang bergulingan
sudah cepat menghantam ke arah tubuh raksasa itu sambil
bergulingan. Gerakan ini tidak tersangka-sangka, bahkan
Retna Wilis sendiri memandang kagum. Baru sekali ini ia
melihat gaya yang sedemikian anehnya dalam pertempuran,
mengelak sambil bergulingan akan tetapi dalam bergulung-
gulung ini dapat menyerang lawan. Ternyata cara
bergulingan itu bukan sembarang mengelak, melainkan
bergulingan dengan teratur, seperti langkah-langkah yang
diperhitungkan. Retna Wilis tidak tahu bahwa itulah Aji
Trenggilingwesi yang memang menjadi keahlian Adiwijaya
atau Raden Sindupati. Seperti pernah diceritakan dahulu,
Adiwijaya ini dahulunya seorang perwira Jenggala yang
sebetulnya sudah mendapat kepercayaan sang prabu dan
menjadi pengawal istana. Ketika ia berani mengganggu
seorang puteri, maka ia melarikan diri ke Balidwipa dan di
sana dalam perantauannya, dia mempelajari bermacam
ilmu kepandaian sehingga ia menjadi seorang sakti. Setelah
memiliki kepandaian, dia menghambakan diri kepada
Adipati Blambangan yang kemudian hancur oleh serbuan
bala tentara gabungan dari Jenggala dan Panalu, yang
dipimpin oleh Endang Patibroto dan Pangeran Darmokusumo. Kembali Raden Sindupati menjadi seorang
kelana dan setelah berganti nama menjadi Warutama ia
berhasil menduduki pangkat patih di Jenggala, menjadi
sekutu Suminten dan Pangeran Kukutan. Kini, kembali dia
berganti nama Adiwijaya, mukanya telah berubah,
jenggotnya yang rapi dan gemuk menutupi luka di dagu,
kumisnya pendek, sikapnya berubah sama sekali dan
memang Raden Sindupati memiliki kepandaian menyamar.
Kalau perlu, dia dapat menyamar sebagai seorang wanita!
Kepandaian seperti ini pada waktu itu disebut aji mencala-
putera-mencala-puteri. Pukulan Adiwijaya yang mengenai tengkuk Ki
Walangkoro amat hebatnya. Biarpun raksasa ini terkenal
kebal dan kuat, namun pukulan yang datangnya tak
tersangka-sangka dan disertai tenaga sakti yang kuat, juga
mengenai tengkuknya, membuat ia terjungkal dan beberapa
lamanya dunia ini seperti diombang-ambingkan ombak
besar baginya dan di slang hari itu turun hujan bintang!
Ki Walangkoro bangkit dan menggoyang-goyang
kepalanya yang besar, seperti seekor harimau menggoyang
badannya yang basah, kemudian matanya menjadi merah
saking marahnya ketika ia memandang Adiwijaya yang


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri tenang di depannya sambil bertolak pinggang. Ia
menggereng, kemudian menerjang maju seperti badai
mengamuk. Kedua lengannya yang panjang menyambar
dan sebelum Adiwijaya sempat mengelak, ia sudah kena
ditangkap pinggangnya, diangkat dan dibanting.
"Brukkkk ......!!" Tubuh Adiwijaya dibanting, debu
mengebul dan Adiwijaya hanya gelayaran (terhuyung) saja
karena ketika dibanting dia telah dapat menggunakan
kegesitannya sehingga dapat meloncat lagi ke atas.
"Engkau kuat sekali, Walangkoro!" kata Adiwijaya dan
pada saat Walangkoro menubruk lagi, dia sudah melesat ke
samping, menyambar lengan raksasa itu dari kanan dan
memutar lengan, terus mengangkat dan membanting.
"Bresss ....!!" Debu mengebul lebih tebal dan tubuh
raksasa yang terbanting itu sejenak tak dapat bergerak.
Kepala Ki Walangkoro pening dan setengah merangkak,
baru ia dapat bangun kembali. Keheranan mulai terbayang
di sepasang matanya yang lebar.
Tanpa menjawab ia lalu maju memukul Adiwijaya yang
hendak memperlihatkan kedigdayaannya kepada Retna
Wilis, sengaja mengerahkan tenaga dalam dan menerima
pukulan lawan. Dadanya terpukul, tubuhnya bergoyang
dan kakinya mundur dua langkah, akan tetapi mulutnya
tetap tersenyum. Kemudian ia balas memukul dan sekali ini
agaknya Ki Walangkoro juga ingin memamerkan kekebalannya. Ketika kepalan tangan Adiwijaya mengenai
dadanya, tubuhnya hanya bergoyang, ia tidak melangkah
mundur, akan tetapi napasnya menjadi sesak dan tanpa
dapat ditahannya lagi ia menggunakan kedua tangan
menekan-nekan dadanya! Para anak buah kedua pihak bersorak-sorak menyaksikan
pertandingan hebat ini. Dan bagaikan dua ekor ayam
jantan, dua orang perkasa ini lalu saling menerjang lagi,
lebih dahsyat daripada tadi. Mereka saling pukul, saling
tendang, bergumul, piting-memiting, banting-membanting
sehingga debu mengebul tinggi. Diam-diam Retna Wilis
yang memperhatikan jalannya pertandingan, menjadi
girang dan kagum. Dia maklum bahwa keduanya dapat
menjadi pembantu-pembantunya yang cakap, maka dia
tidak ingin melihat seorang di antara mereka tewas. Ketika
melihat betapa makin lama Ki Walangkoro makin terdesak,
makin sering menerima pukulan dan sudah terhuyung, ia
mengerti bahwa kalau dilanjutkan, raksasa yang amat
berani dan pantang mundur itu tentu akan tewas.
"Cukuplah Paman Adiwijaya!" Ia berseru.
Mendengar ini, Adiwijaya yang sudah hampir menang
itu cepat meloncat ke belakang. Ia pun seorang cerdik,
maklum bahwa junjungannya yang baru ini ingin menarik
raksasa itu sebagai pembantu. Ia pun maklum bahwa dalam
menyusun kekuatan, makin banyak pembantu yang digdaya
makin baik, maka ia mundur sambil tersenyum dan berkata
kepada Ki Walangkoro, "Walangkoro, andika mengagumkan sekali! Andika
seorang yang digdaya!"
Ki Walangkoro berdiri dengan napas terengah-engah dan
tubuhnya yang besar dan kokoh seperti batang pohon
beringin itu penuh keringat. Ia pun memandang kagum
kepada Adiwijaya. Biarpun dia seorang yang kasar, namun
dia tidak bodoh dan dia mengenal orang pandai, harus
mengaku bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, dia tidak
akan kuat bertahan lagi. Adiwijaya terlampau kuat baginya.
Pukulan Adiwijaya tidak terlalu keras, akan tetapi
mengandung tenaga mujijat yang seakan-akan menggetarkan isi dadanya. Selain itu, juga Adiwijaya
memiliki kecepatan gerakan yang sukar ia lawan sehingga
dalam pertandingan itu, dia lebih banyak menerima
pukulan daripada memukul.
"Heemmm ........ harus kuakui bahwa andika amat
digdaya. Kalau andika yang hendak merampas kedudukan
di Wilis, aku suka mengalah dan suka menjadi pembantu
andika karena jelas bahwa aku akan kalah kalau
pertandingan dilanjutkan. Akan tetapi kalau dia ini .......
hemmm, bagaimana seorang laki-laki perkasa macam kita
ini harus menghambakan diri kepada seorang wanita yang
masih bocah?" "Ha-ha, Walangkoro, sungguh percuma saja menganggap dirimu digdaya dan berpengalaman kalau
matamu masih begitu buta tidak dapat melihat seorang sakti
mandraguna," kata Adiwijaya sambil tertawa.
Melihat kepala gerombolan Wilis itu agaknya belum
mau tunduk kepadanya, Retna Wilis lalu melangkah maju
dan berkata, "Paman Walangkoro, kalau dalam segebrakan
saja aku dapat merobohkan engkau, apakah engkau masih
belum percaya akan kesaktianku?"
"Apa" Andika akan merobohkan aku dalam segebrakan
saja" Wahai, puteri muda belia yang suaranya nyaring
melebihi halilintar, yang bicaranya tinggi mengatasi puncak
Wilis! Kalau betul demikian, aku Ki Walangkoro akan
menyembah telapak kaki andika!" kata Ki Walangkoro
sambil menyeringai, tidak percaya akan ada orang yang
sanggup merobohkannya dalam segebrakan saja, apalagi
seorang wanita setengah dewasa seperti Retna Wilis.
Retna Wilis tersenyum, akan tetapi senyumnya hanya
sedetik, cemerlang seperti menyambarnya kilat di angkasa.
"Kalau begitu, mari kita coba, Paman Walangkoro.
Seranglah aku!" Walangkoro dapat mengerti bahwa kalau tidak memiliki
kesaktian yang hebat, tidak nanti dara remaja ini berani
menantang seperti itu. Dia tahu bahwa dara ini tentu
digdaya sekali dan agaknya dia tidak akan dapat menang,
buktinya Adiwijaya yang demikian sakti pun menjadi
hambanya. Akan tetapi, kini dia tidak mengharapkan
menang, melainkan hendak mempertahankan diri agar
tidak sampai roboh dalam segebrakan. Betapapun juga, dia
tetap penasaran tidak dapat percaya bahwa dara ini
betapapun saktinya, akan mampu merobohkannya dalam
segebrakan. Maka ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya,
memusatkan perhatiannya dan bersiap menjaga diri
sekokoh mungkin dengan memasang aji kekebalannya di
seluruh tubuh sambil menjaga bagian tubuh yang tak dapat
ia tembusi dengan aji kekebalan.
"Jaga serangan!!" ia berseru keras untuk mengguncang
ketenangan lawan, tubuhnya yang tinggi besar menerjang
ke depan seperti serudukan seeker banteng. Terjangan ini
kuat dan cepat, lengan kanan yang panjang dipergunakan
untuk mendorong atau memukul ke arah perut Retna Wilis,
sedang lengan kiri tetap menjaga depan tubuh sendiri,
kedua kaki kokoh kuat menjaga segala kemungkinan.
Pendeknya, dalam penyerangan ini, Walangkoro hanya
mempergunakan setengah bagian -tenaga dan perhatiannya
untuk menyerang karena yang setengahnya lagi ia
pergunakan untuk menjaga diri agar jangan sampai kena
dirobohkan lawan dalam segebrakan. Retna Wilis memandang lagak lawan dan mulutnya mengembangkan senyum tipis. ia tetap tenang menghadapi terjangan lawannya sambil mengukur jarak. Setelah tubuh lawan yang menerjangnya cukup dekat, hanya satu meter lagi di depannya, dara perkasa in menggerakkan tangan kirinya seperti orang menampar dari kiri. Akan tetapi gerakan ini bukanlah
tamparan biasa saja karena dara ini telah mengerahkan
hawa sakti dari tubuhnya, menyalurkan tenaga mujijat ke
dalam tangan yang menampar dcngan Aji Pancaroba.
Kekuatan yang terkandung dalam aji ini seperti taufan
mengamuk dan memang daya pukulan jarak jauh ini seperti
hembusan angin taufan yang dahsyat sekali. Ketika kena
disambar angin pukulan Pancaroba, seketika tubuh raksasa
itu terpelanting, tak kuasa lagi kedua kakinya menahan
tubuhnya dan ia roboh bergulingan!
Terdengar Adiwijaya tertawa bergelak dan diam-diam ia
memuji diri sendiri yang berpemandangan awas, sudah
percaya dan yakin akan kesaktian luar biasa dari dara ini,
tidak seperti Walangkoro yang hendak mengujinya. Diam-
diam Adiwijaya selain merasa kagum juga ngeri
menyaksikan betapa seorang dara semuda itu telah
memiliki kesaktian sehebat itu!
Akan tetapi Walangkoro adalah seorang yang bodoh dan
kasar. Dia merasa terlalu aneh dapat dirobohkan benar-
benar oleh gadis itu dalam segebrakan saja dan hal ini
membuatnya penasaran sekali. ia meloncat bangun dengan
mata merah saking marah dan penasaran.
"Wahai puteri yang sakti mandraguna! Andika
menggunakan aji setan!"
"Hemm, bagaimanakah kehendakmu, Paman Walangkoro?" "Coba andika merobohkan aku dengan tenaga, dengan
tebalnya kulit dan kerasnya tulang!"
"Andika keras kepala! Majulah!" Retna Wilis menantang. Walangkoro mendengus dan meloncat ke depan, kini ia
menggunakan kedua lengannya yang sebesar kaki manusia
biasa itu untuk memukul sambil mengerahkan tenaganya.
Retna Wilis menyambut dengan tenang, mengangkat kedua
tangannya dengan jari-jari terbilka menangkis kedua
pukulan tangan lawan itu, tangannya yang miring menebas
ke arah kedua lengan lawan yang besar dan kuat.
"Wuut-wuut ........ krek-krekkk!"
Walangkoro menggereng kesakitan dan terhuyung ke
belakang, kedua lengannya tergantung di kanan kiri dengan
tulang patahl ia terbelalak, tidak merintih, memandang
kepada Retna Wilis dengan mata terbelalak penuh
keheranan, kekagetan, dan kekaguman yang mendalam.
Kemudian, kedua kakinya bertekuk lutut dan ia
menggerakkan kedua lengannya yang sudah patah
tulangnya, berusaha menyembah kaku karena lengannya
seperti lumpuh, mulutnya berkata,
"Hamba Walangkoro menghaturkan sembah kepada
Gusti Puteri Retna Wilis yang mulai, saat ini menjadi
junjungan dan sesembahan hamba."
Retna Wilis tersenyum girang melihat Walangkoro yang
berlutut menyembahnya, di belakang raksasa ini semua
anak buah gerombolan Wilis juga berlutut dan menyembah
dengan muka membayangkan rasa takut.
"Baiklah, Paman Walangkoro. Aku menerima engkau
dan semua anak buahmu menjadi pasukanku. Engkau
membantu Paman Adiwijaya, adapun para Paman Wilis
ketiganya menjadi pembantu-pembantumu. Sekarang mari
kita naik ke puncak." Berangkatlah mereka semua mendaki
puncak Wilis setelah Walangkoro dibantu oleh Adiwijaya
membalut kedua lengannya yang patah tulangnya dan oleh
Adiwijaya diberi obat daun-daun yang mempunyai khasiat
mempercepat penyambungan tulang patah.
Mulai hari itu, Retna Wilis menjadi pemimpin pasukan
yang jumlahnya hampir dua ratus orang terdiri dari bekas-
bekas anak buah pasukan Jenggala dan anak buah
Padepokan Wilis yang ditambah anak buah gerombolan
Wilis. Akan tetapi Retna Wilis tidak mempergunakan nama
padepokan, apalagi gerombolan, dia kini mendirikan
sebuah "kerajaan" kecil, yang disebut Kerajaan Wilis.
Adapun Retna Wilis sendiri menjadi ratunya yang oleh para
anak buahnya disebut Gusti Puteri Retna Wilis. Mulailah
dara remaja yang amat luar biasa ini menghimpun kekuatan
dan mulailah ia memimpin sendiri anak buahnya untuk
menaklukkan seluruh daerah yang termasuk wilayah.
Banyak sekali gerombolan perampok ia taklukkan dan
dijadikan anak buahnya, bahkan dusun-dusun di kaki Wilis
mulai ia serbu, yang menentang dibunuh, yang takluk
dijadikan anak buahnya sehingga dalam waktu beberapa


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bulan saja, "kerajaan" Wilis memiliki pasukan yang besar
jumlahnya, ribuan orang, dan di lereng-lereng Wilis kini
dibangun dusun-dusun baru yang dijadikan tempat tinggal
para anak buahnya beserta keluarga mereka.
-oo(mch-dwkz)oo- Retna Wilis sendiri hanya memiliki kesaktian yang luar
biasa. Tentu saja dalam hal memimpin orang sedemikian
banyaknya sebagai seorang ratu, ia tidak mempunyai
pengalaman sama sekali. Tidaklah mudah memimpin
orang-orang yang terdiri dari pelbagai macam golongan itu,
bahkan amat sukar menundukkan orang-orang yang
tadinya adalah gerombolan perampok yang ganas. Akan
tetapi, dengan bantuan Adiwijaya yang berpengalaman
sebagai Patih Jenggala, dan Walangkoro yang sudah biasa
memimpin gerombolan perampok, Kerajaan Wilis ini dapat
berjalan dengan maju pesat. Bukan saja dapat mempergunakan tenaga para rakyatnya, juga dapat
mendatangkan kesejahteraan. Sudah terlalu lama rakyat
tertindas oleh pembesar-pembesar lalim, apalagi ketika
Jenggala mengalami kesuraman, dan banyak terjadi perang
selama beberapa tahun ini. Kini mereka menyaksikan
kemajuan Kerajaan Wilis, timbul harapan mereka untuk
dapat hidup baik dan makin banyaklah rakyat dari daerah-
daerah yang agak jauh berdatangan untuk mencari
perlindungan di bawah pimpinan gusti puteri yang
dikabarkan sebagai penjelmaan seorang Dewi yang turun
dari kahyangan dan, yang bertugas mendatangkan
kebahagian, bagi kehidupan mereka yang tertindas!
Dalam waktu beberapa bulan saja nama Kerajaan Wilis
yang dipimpin oleh puteri sakti mandraguna itu menjadl
terkenal sampai jauh dari Wilis. Daerah yang jauh di
sekeliling Wilis menjadi geger dan gempar karena
munculnya puteri jelita dengan pasukannya yang tidak
berapa besar itu memang hebat sekali, setiap kali keluar
pasti menaklukkan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya
dari kabar tentang kesaktian yang luar biasa dari Puteri
Retna Wilis ditambahi bumbu-bumbu yang berlebihan
mengagetkan semua orang yang mendengarnya.
Di antara daerah yang agak jauh, hanya daerah
Ponorogo yang masih belum takluk kepada Kerajaan Wilis.
Daerah-daerah lain, yang lebih jauh sekali pun dari
Ponorogo, banyak yang takluk tanpa diperangi. Akan tetapi
Ponorogo lain lagi. Daerah ini memang merupakan daerah
yang kuat dan yang sejak dahulu juga tidak tunduk kepada
Kerajaan Mataram lama. Hal ini adalah karena Ponorogo
mempunyai banyak orang sakti dan kerajaan-kerajaan besar
menganggap lebih aman untuk menarik Ponorogo sebagai
kerajaan sahabat daripada sebagal musuh atau taklukan.
Andaikata ditaklukkan sekali pun, sifat tokoh-tokohnya
yang selalu tidak mau ditundukkan akan mengadakan
pemberontakan setiap ada kesempatan. Warok-warok
Ponorogo memiliki kesaktlan yang menggiriskan dan bala
tentaranya amat kuat. Pada waktu itu, yang menjadi adipati di Ponorogo
adalah Adipati Diroprakosa, seorang yang berusia empat
puluh tahun lebih, selain sakti mandraguna, juga pandai
mengatur pemerintahan. Sang adipati ini berhubungan baik
sekali dengan Kerajaan Panjalu dan karena maklum akan
kejayaan Panjalu, maka sungguhpuri tidak secara resmi,
namun Adipati Diroprakosa menganggap Panjalu sebagai
kerajaan induk, atau sebagai kerajaan yang menjadi
atasannya. Apalagi setelah ia menikah dengan puteri Ki
Patih Suroyudo, hubungan antara Kadipaten Ponorogo
dengan Panjalu menjadi makin baik.
Seperti keadaan Ponorogo semenjak dahulu, pada waktu
itu Ponorogo juga mempunyai banyak sekali jagoan-jagoan
yang membantu kadipaten, bahkan mereka itu, warok-
warok yang digdaya, menjadi tulang punggung yang
menegakkan ketenaran nama Kadipaten Ponorogo. Yang
mengepalai para warok yang menjadi tokoh yang
berpengaruh adalah Ki Warok Surobledug. Bukan karena
dia yang paling sakti di antara para warok, sama sekali
tidak karena masih ada yang lebih sakti daripada Ki
Surobledug, akan tetapi karena Ki Surobledug adalah
paman sang adipati, maka tentu saja dia berpengaruh dan
berkuasa. Di samping ini, Surobledug seorang yang
bijaksana dan pandai bersiasat di samping banyak sekali
sahabat-sahabatnya di antara para orang sakti.
Pada waktu itu, Adipati Ponorogo dan para warok sudah
mendengar akan nama kerajaan baru di puncak Wilis, dan
mengikuti perkembangan kerajaan itu dengan penuh
perhatian. Ki Surobledug sudah berkali-kali berunding
dengan sang adipati dan para tokoh lain dan mulailah
Kadipaten Ponorogo mempersiapkan diri untuk menanggulangi Kerajaan Wilis yang makin lama makin
meluas wilayahnya itu. Penjagaan diperkuat, pasukan-
pasukan dipersiapkan di perbatasan yang menjadi wilayah
Ponorogo, setiap pasukan diperkuat oleh beberapa orang
warok yang memiliki ilmu kedigdayaan.
"Dahulu Wilis dipimpin oleh Sang Puteri Endang
Patibroto dan pada saat Padepokan Wilis masih berdiri, kita
tidak pernah bentrok dengan Padepokan Wilis. Bahkan kita
mengalami bantuan-bantuan para ksatria Wilis yang
membersihkan perampok-perampok yang mengacau di
perbatasan," demikian Adipati Diroprakosa berkata.
"Kemudian terdengar berita bahwa Sang Puteri Endang
Patibroto yang namanya sudah terkenal di kolong langit
meninggalkan Wilis, kemudian Wilis dikuasai oleh
gerombolan liar yang dipimpin oleh seorang yang bernama
Ki Walangkoro. Kita sudah mendengar akan keganasan
mereka, akan tetapi karena mereka itu yang menamakan
diri Gerombolan Wilis tidak pernah berani mengganggu
wilayah kita, maka kita pun mendiamkan saja. Sekarang,
terjadi perubahan besar di sana dan telah didirikan kerajaan
yang menaklukkan banyak daerah. Agaknya mereka itu
tentu akan menyerang kita, hanya menanti saatnya saja."
"Benarlah demikian, Puteranda Adipati," kata Ki Warok
Surobledug. "Kabarnya yang memimpin Kerajaan Wilis
juga seorang puteri, malah kabarnya masih remaja akan
tetapi memiliki kesaktian yang dahsyat. Sungguh mengherankan dan saya ingin sekali menyaksikan sampai
di mana kebenaran kabar-kabar yang kita dengar."
"Kakang Suro, aku mendengar bahwa puteri itu memiliki
kepandaian yang tidak lumrah manusia, seperti siluman,
bisa menghilang dan kalau membunuh lawan tidak usah
menyentuh tubuh lawan itu!" kata Ki Warok Dwipasakti,
seorang warok yang bertubuh kecil kurus akan tetapi
sesungguhnya warok ini amat sakti karena dia adalah murid
pertama dari Ki Ageng Kelud, seorang panembahan yang
sakti mandraguna. Biarpun usianya masih muda, akan
tetapi warok kurus ini sesungguhnya memiliki kedigdayaan
yang melebihi Ki Surobledug sendiri.
"Hemm, berita-berita seperti itu sukar dipercaya, suka
dilebih-lebihkan. Betapapun pandainya seorang manusia
kalau dia melakukan hal-hal yang tidak benar, akhirnya
tentu dia akan jatuh. Kita tidak perlu takut," kata Ki
Surobledug penasaran. "Wawasan Paman Suro benar dan tepat sekali," kata
Adipati Diroprakosa. "Memang kita tidak usah gentar
menghadapi kekuasaan yang sewenang-wenang. Apalagi
Kerajaan Panjalu tentu tidak akan tinggal diam kalau
kekuasaan itu makin merajalela. Betapapun juga, kita tidak
boleh lengah dan sebaiknya kalau kita mengadakan
penyelidikan ke sana."
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya para
tokoh Ponorogo itu ketika penyelidikan dilakukan, mereka
mendengar bahwa sang puteri yang kini menguasai Wilis,
yang menjadi ratu di sana dan bernama Puteri Retna Wilis,
adalah puteri dari Endang Patibroto!
"Ajaib!" seru Ki Surobledug ketika sang adipati
mengadakan persidangan lagi. "Puteri Endang Patibroto
adalah seorang puteri sakti mandraguna dan bijaksana,
yang mendirikan Padepokan Wilis dan anak buahnya
adalah satria Wilis, akan tetapi mengapa kini puterinya
menjadi ratu yang menaklukkan seluruh daerah sekitarnya
dan kabarnya amat ganas membunuh orang-orang yang
tidak mau tunduk kepadanya?"
"Mengherankan," kata sang adipati. "Akan tetapi kita
harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono. Sebaiknya
kalau saya mengirim utusan ke sana, selain untuk
memperkenalkan diri juga untuk mengajukan penawaran
persahabatan. Kalau memang benar Kerajaan Wilis adalah
puteri Endang Patibroto, sekali-kali kita tidak boleh
memusuhinya. Apalagi mengingat bahwa puteri Endang
Patibroto yang kita hormati itu adalah seorang tokoh
Jenggala dan Panjalu."
"Benar," Ki Surobledug mengangguk mempenarkan.
"Malah kabarnya dalam perang yang dilakukan oleh
Panjalu untuk menundukkan kekuasaan jahat di Jenggala,
Puteri Endang Patibroto juga ikut berjasa."
"Sekarang begini, Paman Surobledug. Paman sendiri
memimpin pasukan kecil pergi mendaki puncak Wilis,
menghadap sang ratu untuk menyelidiki sendiri, membawa
salam perkenalan dan hormat dari saya disertai beberapa
barang hadiah sebagai tanda persahabatan."
Demikianlah, sebuah pasukan terdiri dari dua losin
orang dibentuk dan pada keesokan harinya, berangkatlah Ki
Warok Surobledug sendiri memimpin pasukannya pergi ke
Wilis. Baru saja tiba di perbatasan, mereka telah dihadang
oleh pasukan Wilis yang pakaiannya serba hijau, terdiri dari
orang-orang kasar yang kelihatannya kuat.
Melihat pasukan yang terdiri dari lima puluh orang yang
berpakaian serba hijau itu, Ki Surobledug lalu memberi
tanda kepada pasukannya yang berpakaian serba hitam
untuk berhenti, kemudian ia melangkah maju dan memberi
hormat kepada komandan pasukan Wilis.
"Hei, pasukan dari manakah ini berani melanggar
wilayah kami" Apakah tidak tahu bahwa wilayah ini adalah
perbatasan yang dikuasai Kerajaan Wilis dan tidak boleh
ada orang asing memasukinya tanpa izin?" berkata
komandan pasukan yang masih muda dan berkumis tebal.
Biarpun komandan pasukan yang berkumis tebal itu
termasuk seorang laki-laki gagah yang tinggi besar bentuk
tubuhnya, namun dibandingkan dengan Ki Warok
Surobledug, ia masih kelihatan kecil! Ki Surobledug
menjawab dengan suara halus akan tetapi dengan sikap
gagah, "Kami adalah pasukan utusan sang adipati di Ponorogo,
bermaksud naik ke puncak Wilis untuk menghadap Sang
Ratu Wilis." Pasukan berpakaian hijau itu mengeluarkan suara berisik
ketika mendengar bahwa pasukan pakaian hitam ini adalah
pasukan Pcnorogo yang terkenal. Kemudian perwira
berkumis itu berkata, "Hemm, ada keperluan apakah pasukan Ponorogo
hendak menghadap ratu junjungan kami?"
Ki Surobledug mengerutkan alisnya yang tebal. "Eh,
kisanak. Aku adalah seorang utusan adipati. Sebagai
utusan, hanya kepada sang ratu di Wilis sajalah aku dapat
menyampaikan apa yang ditugaskan oleh sesembahan
kami. Hendaknya andika mengerti akan peraturan itu dan
suka membawa kami menghadap sang ratu di Wilis."
Perwira itu berpikir sejenak. Dia tidak berani bertindak
sembarangan, apalagi ratunya amat bengis terhadap anak
buah yang salah tindak, sungguhpun di lain kesempatan
ratunya itu amat ramah dan murah tangan terhadap anak
buahnya. Ia tahu pula bahwa biarpun ada desas-desus
bahwa ratu mereka merencanakan untuk menyerbu
Ponorogo, namun kalau belum ada perintah, tidak berani ia
berlancang tangan memusuhi pasukan Ponorogo yang
berpakaian hitam dan rata-rata anak buahnya bertubuh
tinggi besar dan bersikap angker ini.
"Hamm, baiklah, akan tetapi bersumpahlah bahwa
kalian menghadap gusti puteri kami dengan itikad baik!"
Ki Warok Surobledug tertawa bergelak. "Andika ini lucu
sekali, kisanak! Tanpa bersumpah sekali pun mudah dilihat
bahwa kami membawa maksud baik dari junjungan kami.
Kalau dengan niat buruk, masa kami hanya datang dengan
dua losin perajurit yang membawa tiga buah peti besar
berisi barang-barang berharga untuk dipersembahkan
kepada ratu kalian?"
Perwira muda itu mengangguk-angguk dan matanya
ditujukan kepada tiga buah peti berukir yang digotong oleh
perajurit-perajurit berpakaian hitam itu. "Baiklah, mari
kalian ikut bersama kami."
Di sepanjang perjalanan menuju ke gunung Wilis,
rombongan perajurit berpakaian hitam itu menjadi tontonan
orang dan mereka ini lebih tertarik lagi ketika mendengar
bahwa mereka adalah pasukan Ponorogo yang terkenal
digdaya. Namun berkat kawalan pasukan Wilis yang
menjaga perbatasan, perjalanan mereka mendaki gunung
Wilis berjalan dengan lancar tanpa gangguan. Diam-diam
Ki Surobledug memperhatikan keadaan di sepanjang
perjalanan, dan melihat dusun-dusun baru yang dibangun
sepanjang jalan dari kaki sampai ke lereng Wilis, diam-diam


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia kagum dan memuji kebijaksanaan ratu kerajaan baru ini.
Ketika Retna Wilis mendengar dari pelaporan para
penjaga bahwa serombongan utusan Kadipaten Ponorogo
mohon menghadap, dia cepat mempersiapkan penyambutan di pendopo istananya yang baru dibangun,
bahkan yang belum selesai dibangun dan diperbaiki. Selain
dia sendiri, juga Ki Adiwijaya yang ia angkat menjadi patih,
dan Ki Walangkoro yang menjadi patih muda, ikut pula
hadir menyambut rombongan dua losin perajurit yang
dikepalai seorang warok tua yang bertubuh tinggi besar.
Sebagai seorang yang tahu akan tata susila, Ki Warok
Surobledug menghadap Ratu Wilis dengan sembah sujut
dan penuh hormat tanpa berani mengangkat muka
memandang wajah sang ratu. Ia akan mencari kesempatan
nanti untuk memandang dan niengenal wajah junjungan
baru di Wilis yang dikabarkan sakti mandraguna seperti
siluman itu. Di lain pihak, dialah yang menjadi pusat
perhatian dan begitu Retna Wilis memandang wajah warok
itu, dia mengerutkan kening. Dia merasa kenal kakek tinggi
besar ini, akan tetapi dia telah lupa lagi entah di mana dia
pernah berjumpa dengannya. Adapun Adiwijaya dan
Walangkoro memandang warok itu dan diam-diam harus
mengakui bahwa kakek ini akan merupakan lawan yang
berat. Kalau banyak tokoh Ponorogo seperti kakek ini,
benarlah berita bahwa Ponorogo memiliki banyak tokoh
sakti. "Paman, andika siapakah dan apa maksudmu membawa
pasukan menghadap padaku?" Retna Wilis bertanya dan
diam-diam Ki Surobledug tercengang mendengar suara
yang halus, merdu dan sama sekali tidak seperti suara
orang-orang sakti mandraguna itu.
Namun ia menyembah dan menjawab, "Hamba
pemimpin pasukan ini sebagai utusan gusti hamba adipati
di Ponorogo dengan membawa salam persahabatan dan
barang-barang persembahan untuk dihaturkan paduka,
Gusti. Hamba Ki Surobledug menghaturkan sembah."
Sambil berkata demikian, Ki Surobledug menyembah dan
menggunakan kesempatan itu untuk menengadah dan
memandang wajah sang ratu yang demikian menggegerkan
daerah Wilis. Retna Wilis dan Ki Surobledug mengalami guncangan
hati pada saat yang sama. Ketika mendengar nama Ki
Surobledug, teringatlah Retna Wilis kepada kakek ini. Di
lain pihak, begitu menyaksikan wajah sang ratu, Ki
Surobledug menjadi pucat wajahnya karena dia segera
mengenal wajah dara perkasa yang dahulu membunuh
empat orang anak murid Panembahan Ki Ageng Kelud,
dan pernah merobohkannya, bahkan yang hampir saja
membunuh dia dan Ki Ageng Kelud! Kiranya murid Nini
Bumigarba yang menjadi ratu di Wilis! Kenyataan ini
membuat ia termangu penuh kegentaran hati. Pantas saja
dianggap sebagai seorang dara yang memiliki ilmu
kepandaian seperti siluman, kiranya dara siluman itu
sendiri yang menjadi ratu di sini! Akan tetapi, sebagai
utusan kadipaten ia tidak berani mencampurkan urusan
pribadinya dan ia pura-pura tidak mengenal ratu itu.
Retna Wilis tersenyum dan suaranya mengandung hawa
dingin ketika ia berkata,
"Hemm, Ki Surobledug. Kiranya andika yang menjadi
utusan Ponorogo. Hemm, aku menerima baik uluran
tangan Adipati Ponorogo untuk bersahabat. Akan tetapi
persembahan hanya dapat kuterima sebagai persembahan
Kadipaten Ponorogo yang tunduk dan mengakui Kerajaan
Wilis sebagai kerajaan terbesar, mengakui kedaulatanku
sebagai Ratu Wilis. Jika Kadipaten Ponorogo suka mentaati
semua permintaanku, aku akan menganggapnya sebagai
kadipaten yang membantu dan sepatutnya dijadikan
sahabat. Pertama-tama aku akan mengajak barisan
Kadipaten Ponorogo untuk membantuku menaklukkan
semua kerajaan kecil dan kadipaten di sebelah timur sampai
di Kerajaan Panjalu."
"Wah, ini tidak mungkin!" Ki Surobledug berseru kaget.
"Hemm, apanya yang tidak mungkin, Ki Surobledug"
Lanjutkan ucapanmu."
Kini Ki Surobledug yang kaget sekali mendengarkan
ucapan ratu itu, tidak ragu-ragu lagi memandang wajah
cantik jelita dan masih remaja itu, dan sinar mata mereka
saling menentang. Ki Surobledug merasa betapa tengkuknya menjadi dingin ketika bertemu pandang, akan
tetapi dengan penuh semangat ia berkata,
"Ampunkan hamba, Gusti Puteri. Hamba tahu betul
bahwa tidaklah mungkin bagi Kadipaten Ponorogo untuk
menyerang kadipaten-kadipaten dan kerajaan-kerajaan kecil
di sebelah timur, untuk membantu kerajaan paduka. Oleh
karena daerah itu adalah termasuk dalam kekuasaan
Kerajaan Panjalu. Tidak mungkin bagi Kadipaten
Ponorogo untuk menyerang daerah Panjalu, karena
Kerajaan Panjalu merupakan Kerajaan yang dijunjung
tinggi oleh Ponorogo. Tidak mungkin Gusti."
Tiba-tiba terdengar suara Ki Walangkoro yang besar dan
nyaring. "Apa yang tidak mungkin bagi gusti puteri kami"
Tidak ada hal yang tidak mungkin! Engkau lancang mulut,
heh, utusan gemblung!"
Ki Surobledug menoleh dan sejenak kedua orang tinggi
besar itu bertemu pandang. Kemudian terdengar suara Ki
Patih Adiwijaya yang tegas dan mantap, "Heh, utusan
Ponorogo! Andika hanya seorang utusan. Tahukah andika
kewajiban seorang utusan" Hanya menyampaikan pesan
junjunganmu dan menerima balasan dart kerajaan yang
kaukunjungi. Mengapa kini andika lancang sekali berani
mengemukakan pandapat pribadi andika?"
Merah wajah Ki Surobledug ketika ia menatap wajah
Adiwijaya. Merah karena malu. Tentu saja ia maklum
bahwa memang sikapnya tidak dapat dikatakan benar,
bahkan melanggar peraturan yang lajim. Menurut aturan,
seorang utusan tidak boleh diganggu sama sekali, akan
tetapi juga sebagai utusan sama dengan benda mati, hanya
menyampaikan pesan dan menerima balasan. Kini diserang
oleh ucapan Adiwijaya yang tepat, ia menjadi bingung,
tidak tahu harus menjawab bagaimana. Tadi ia kelepasan
bicara saking kaget dan marahnya mendengar Ratu Wilis
menganggap Ponorogo sebagai kerajaan yang lebih rendah
dan mengajak, atau memerintahkan dengan halus, untuk
mengkhianati Panjalu! "Ki Surobledug, apa jawabmu?" Tiba-tiba Retna Wilis
bertanya, suaranya tetap halus namun mengandung
desakan yang tak mungkin dapat ditangkis lagi.
Ki Surobledug menahan napas panjang. Tidak ada jalan
lain baginya untuk mengelak dan menarik kembali kata-
katanya dan karena ia merasa benar, ia tidak menjadi takut
lalu berkata, "Mohon ampun, Gusti Puteri. Sesungguhnya hamba pun
mengerti akan tugas dan kewajiban hamba sebagai utusan,
mengerti bahwa sebagai utusan hamba tidak boleh bicara
mengemukakan pendapat pribadi hamba. Akan tetapi,
hamba yakin bahwa pendapat hamba ini juga menjadi
pendapat gusti adipati di Ponorogo. Kadipaten Ponorogo
mengulurkan tangan kepada Kerajaan Wilis, apalagi
mengingat bahwa kabarnya paduka adalah puteri dari Sang
Puteri Endang Patibroto yang kami hormati, dan tentu saja
Kadipaten Ponorogo mengakui kedaulatan paduka sebagai
ratu di Wilis. Akan tetapi, kalau Kadipaten Ponorogo
diajak untuk diajak menyerang daerah Kadipaten Panjalu,
hal ini sama sekali tidak mungkin dapat dilakukan oleh
Kadipaten Ponorogo."
Hening sejenak setelah ki warok itu bicara dengan suara
lantang. Semua orang menjadi ngeri. Belum pernah ada
orang berani menentang keputusan atau perintah sang ratu,
karena menentang sedikit saja berarti mati dalam keadaan
mengerikan. Semua orang menanti, dan mereka tidak akan
heran kalau pada saat itu sang ratu menggerakkan tangan,
sekali bergerak saja membunuh utusan itu dengan hawa
pukulan tangannya. Akan tetapi, hanya terdengar Retna
Wilis menarik napas panjang dan berkata,
"Ki Surobledug, apakah andika tidak mengenalku?"
Ki Surobledug mengangguk. "Hamba ........ mengenal
paduka, Gusti Puteri yang sakti mandraguna."
"Engkau tahu betul bahwa sekali ada niat di hatiku,
membunuhmu sama mudahnya dengan membalikkan
telapak tanganku?" Kembali........ Surobledug........ mengangguk.
"Hamba mengerti, Gusti."
Suara Retna Wilis meninggi, penuh wibawa, "Kalau
begitu, andika tentunya tidak buta untuk melihat bahwa
Kadipaten Ponorogo tidak mungkin dapat menolak
perintahku, tidak mungkin dapat menentangku" Menentangku berarti hancur lebur, Ki Surobledug!"
"Hamba mengerti, Gusti. Akan tetapi, negara yang besar
harus memiliki pendirian sebagai seorang satria yang juga
menjadi pendirian Sang Adipati Ponorogo. Kami adalah
orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan,
dan kesetiaan. Biarpun hancur lebur, kalau Ponorogo tetap
setia Panjalu, berarti hancur sebagai sebuah kerajaan besar.
Apakah artinya hidup kalau menjadi pengkhianat"
Ponorogo takkan pernah menjadi pengkhianat, Gusti."
"Eh, Ki Surobledug. Apakah pangkatmu di Ponorogo?"
"Hamba hanya seorang penasehat saja yang mengepalai
warok-warok di Ponorogo."
"Bagaimana andika begitu yakin bahwa pendirian
Adipati Ponorogo sama dengan pendirianmu?"
"Sang adipati adalah keponakan hamba dan pendiriannya dalam hal ini tidak ada bedanya dengan
pendirian hamba." "Wah-wah-wah, si keparat Surobledug! Gusti Puteri,
perkenankan hamba menghancurkan kepala warok sombong ini!" tiba-tiba Ki Walangkoro berkata dengan
mata melotot. Retna Wilis mengangkat tangan menyuruh patih muda
itu diam, kemudian ia berkata kepada Surobledug,
"Alangkah mudahnya bagiku untuk membunuh andika
dan anak buah andika, Surobledug. Dan alangkah
mudahnya bagiku untuk menyerbu dan menghancurkan
Ponorogo. Akan tetapi aku tidak akan membunuhmu dan
aku masih memberi kesempatan kepada Ponorogo untuk
mempertimbangkan perintahku. Aku kagum akan keberanianmu, akan tetapi juga geli hatiku menyaksikan
kebodohanmu. -ooo0dw0ooo- Jilid XLIII NAH, sekarang pulanglah, andika, dan sampaikan
kepada junjunganmu, juga keponakanmu, sang adipati di
Ponorogo bahwa aku memberi waktu kepadanya selama
satu bulan, dia sendiri harus datang menghadap padaku dan
menyatakan ketaatannya akan perintahku, mempersiapkan
bala tentara yang harus membantuku menaklukkan
kadipaten-kadipaten lain di sebelah timur. Kalau dalam
waktu sebulan dia tidak menghadap, berarti dia menentang
dan jangan tanya tentang dosa kalau aku akan membikin
Ponorogo menjadi karang abang (lautan api). Nah, pergilah
engkau, bawa kembali barang-barangmu karena aku tidak
membutuhkan persembahan orang yang tidak mau tunduk
kepadaku!" Surobledug maklum bahwa bicara lagi tidak akan ada
gunanya, bahkan sama dengan bunuh diri, maka ia
menyembah lalu memberi isyarat kepada anak buahnya
untuk mengangkat kembali barang-barang persembahan
sebanyak tiga peti itu dan keluar dari halaman istana dan
kembali menuruni lereng Wilis, kembali ke Ponorogo.
Setibanya di Ponorogo, Ki Surobledug langsung
menghadap kadipaten dan betapa kagetnya sang adipati dan
para tokoh Ponorogo ketika mendengar laporan Ki
Surobledug yang berkata dengan suara cemas,
"Waduh, celaka, Puteranda Adipati! Kiranya siluman
betina itu benar-benar siluman murid Nini Bumigarba!
Sungguh mengherankan bagai mana puteri dari Sang Puteri
Endang Patibroto menjadi siluman betina seperti itu!" Dia
lalu menuturkan semua pengalamannya ketika menghadap
Ratu Wilis dan menutup penuturannya dengan kata-kata,
"Kita pasti akan digempur dan agaknya amatlah sukar
mencari orang yang akan sanggup menandingi kesaktian
Retna Wilis!" Sang Adipati Diroprakosa mengerutkan alisnya dan
menarik napas panjang. "Kita harus berusaha. Sikapmu
benar sekali, Paman. Memang bagiku sendiri, lebih baik


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati bersama kadipaten ini yang dihancurkan daripada
hidup menjadi pengkhianat yang menyerang daerah
Panjalu. Tidak ada lain jalan lagi, kita harus mempersiapkan barisan, menjaga kuat-kuat Kadipaten
Ponorogo dan kita harus mencari bala bantuan orang-orang
sakti." Demikianlah, Ponorogo lalu sibuk mengatur persiapan
untuk menanggulangi ancaman bahaya hebat yang
datangnya dari Kerajaan Wilis yang baru itu. Utusan-
utusan dikirim ke pelbagai tempat untuk minta bantuan
orang-orang sakti, di antaranya Panembahan Ki Ageng
Kelud, para pertapa-pertapa dan orang-orang sakti lainnya.
Juga ada utusan yang dikirim ke Kerajaan Panjalu untuk
mencari bala bantuan, disertai surat dari Adipati
Diroprakosa sendiri yang harus disampaikan secara pribadi
kepada Ki Patih Tejolaksono karena menurut pendapat
para tokoh Ponorogo, kiranya hanyalah Ki Patih
Tejolaksono sajalah orangnya yang akan cukup kuat untuk
menandingi Retna Wilis. -oo(mch-dwkz)oo- Ki Patih Tejolaksono baru saja kembali dari Jenggala
bersama kedua orang isterinya dan dengan Bagus Seta.
Setelah kekacauan di Jenggala dapat ditundukkan,
Pangeran Panji Sigit diangkat menjadi raja di Jenggala dan
pesta perayaan untuk menobatkan raja baru ini dimeriahkan
dengan pesta pernikahan antara Joko Pramono dengan
Pusporini. Joko Pramono diangkat menjadi patih di
Jenggala! Setelah pesta selesai, Joko Pramono yang menjadi
patih tinggal di Jenggala, di kepatihan. Permaisuri Jenggala
yang tadinya diasingkan, kini kembali ke keraton sebagai
ibu suri yang dihormati. Berbahagialah penghidupan
Pangeran Panji Sigit yang kini menjadi Prabu Jenggala
bersama Setyaningsih yang menjadi permaisurinya dan
Joko Pramono yang menjadi patih di samping Pusporini.
"Nah, sekarang barulah lega hatiku," kata Tejolaksono
ketika ia bersama Endang Patibroto, Ayu Candra, dan
Bagus Seta duduk di ruangan belakang kepatihan Panjalu.
Tejolaksono menghela napas panjang dan kelihatan
gembira sekali. "Setelah urusan di Jenggala beres, lapang
dadaku dan kehidupan keluarga kita akan aman dan
tenteram. Hanya sayang, anakku Retna Wilis belum juga
dapat diketahui di mana adanya."
Endang Patibroto mengerutkan keningnya. "Setelah
keadaan beres, aku sendiri akan pergi mencarinya."
Ayu Candra memegang lengan madunya dan berkata
membujuk, "Adinda Endang Patibroto, baru saja kita dapat
berkumpul dalam keadaan damai dan tenteram, mengapa
engkau hendak pergi lagi" Janganlah, Adinda. Biar nanti
kita menyebar orang untuk mencari Retna Wilis. Setelah
keadaan aman kembali, kiraku tidak akan begitu sukar lagi
mencarinya. Hendaknya Adinda dapat memenuhi permintaanku ini agar keluarga kita dapat berkumpul dan
kebahagiaan yang baru sekarang dapat kita kenyam ini
tidak akan menjadi hambar."
Endang Patibroto memandang madunya, memandang
suaminya dan memang hatinya merasa berat kalau dia
disuruh berpisah lagi. Melihat keadaan orang-orang tua itu,
Bagus Seta berkata, "Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu berdua. Bagi mereka
yang belum dapat membebaskan diri daripada belenggu,
dunia ini penuh dengan suka duka. Penuh dengan
kedukaan bagi mereka yang mau berduka, dan penuh
dengan kesukaan bagi mereka yang mau bersuka. Suka dan
duka timbul dari hati pribadi. Suka duka merupakan mata
rantai yang sambung-menyambung dan tidak kunjung
putus. Kalau kita sudah mau bersuka, kita harus siap untuk
menerima duka. Segala peristiwa di dunia ini sudah diatur
oleh hukum karma yang menjadi belenggu. Hanya mereka
yang sudah sadar dan bebas barulah dapat melenyapkan
pengaruh hukum karma atas dirinya. Saya harap Rama dan
Ibu berdua suka selalu waspada, di samping ikhtiar, kita
harus selalu menyandarkan segalanya kepada kekuasaan
Maha Tinggi yang sudah mengatur semuanya. Tidak ada
pertemuan tanpa perpisahan, sebaliknya tidak ada pula
perpisahan tanpa pertemuan. Karena ada persatuan maka
timbul perpisahan, juga persatuan timbul dari perpisahan.
Saya percaya akan datang saatnya kita semua bertemu
dengan adinda Retna Wilis. Marilah kita sama berprihatin
dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa semoga segala
kekeliruan-kekeliruan kita diampuni dan semoga kita selalu
diperingatkan agar tidak menyeleweng daripada Darma."
Tejolaksono memegang tangan puteranya dan memandang penuh keharuan.
"Ucapanmu memang benar, Puteraku. Akan tetapi, duh
puteraku Bagus Seta, engkau masih begini muda akan tetapi
seolah-olah sudah menjauhkan duniawi, Bagus Seta,
apakah engkau tidak ingin menikmati kesenangan hidup di
dunia ini?" Ayu Candra juga memandang wajah puteranya dengan
penuh iba. Ia mengerti akan maksud kata-kata suaminya,
juga Endang Patibroto mengerti. Mereka bertiga memandang Bagus Seta yang masih begitu muda akan
tetapi yang sudah mencapai taraf hidup seperti pendeta
linuwih. Bagus Seta tersenyum menyaksikan pandang mata penuh
keprihatinan dan iba dari ketiga orang tua itu. "Wahai,
Kanjeng Rama dan kedua Ibunda yang tercinta! Tentu saja
saya dapat menikmati kebahagiaan hidup. Akan tetapi saya
tidak ingin karena keinginan menimbulkan kekecewaan dan
siapa mengejar kesenangian akan bertemu dengan
kesusahan. Betapapun indahnya api, kalau kita sudah tahu
bahwa api itu panas membakar, mengapa kita hendak
menjangkau dengan tangan" Saya tidak menjauhkan diri
dari duniawi, Kanjeng Rama, karena saya sendiri adalah isi
duniawi. Kalau sudah menjadi satu, mengapa dicari lagi"
Mengapa mengejar bayangan yang menjadi satu dengan
badan?" Tiga orang itu mendengarkan dengan takjub, tak tahu
harus berkata apa karena terpesona oleh ucapan-ucapan
yang begitu dalam maknanya, yang sukar dimengerti oleh
pikiran namun yang dapat menyentuh RASA.
"Duhai Puteraku Bagus Seta. Jawablah dengan
sesungguhnya pertanyaanku ini dan aku akan puas sudah.
Adakah engkau berbahagia, Anakku?"
Bagus Seta tersenyum lebar, lalu menjawab, "Kanjeng
Rama, apakah. baha- gia itu" Aku tidak butuh akan bahagia
itu, Kanjeng Rama." Mendengar javvaban ini, Tejolaksono seperti diingatkan
dan bangkit berdiri dari tempat duduknya, merangkul
puteranya dan berkata dengan suara menggetar,
"Aduh, Puteraku ........ jawabanmu mengingatkan aku
akan jawaban petani sederhana dahulu itu ........ ! Ah, tentu
engkau sudah lupa. Ketika engkau masih kecil, kuajak
berburu binatang, di tengah jalan aku bertemu dengan
seorang petani di tepi sawah. Ketika kutanya apakah dia
berbahagia, dia juga menjawab sepertimu tadi. Tidak
membutuhkan bahagia!"
Bagus Seta memimpin tangan ayahnya agar duduk
kembali, kemudian ia berkata dengan wajah sungguh-
sungguh, "Dan dia itu benar, Kanjeng Rama! Berbahagialah
manusia yang tidak membutuhkan bahagia! Berbahagialah
manusia yang tidak membutuhkan apa-apa! Mengapa
butuh" Mengapa mengharapkan sesuatu" Mengapa menginginkan sesuatu" Barang apa yang diinginkan
memang indah, akan tetapi sekali terdapat akan lenyap
keindahannya. Yang tidak membutuhkan sesuatu berarti
sudah mendapatkan semuanya, Kanjeng Rama! Adakah
manusia yang lebih suci dan lebih bahagia daripada seorang
bayi" Karena bayi tidak menginginkan sesuatu, tidak
membutuhkan sesuatu, dialah manusia paling bahagia.
WAJAR itullah BAHAGIA! HIDUP itulah BAHACIA!
Kalau saya ditanya apakah saya senang atau susah, dengan
segala kesungguhan hati saya akan menjawab bahwa saya
tidak senang juga tidak susah, tidak duka juga tidak suka.
Segala peristiwa yang terjadi adalah wajar dan sudah
semestinya. Untuk menghadapi setiap peristiwa, kita
dianugerahi akal budi dan pikiran yang boleh kita
pergunakan sebagai hak kita: Menghadapi urusan yang
tidak benar boleh kita benarkan dengan alat dan panca
indera kita, dan ini menjadi kewajiban kita. Kalau ada
orang yang suka menikmati kesenangan, boleh saja karena
kesenangan yang dapat dinikmatinya itu pun merupakan
anugerah, hanya dia pun harus siap pula merasakan
kesusahan yang menjadi saudara kembar kesenangannya.
Ah, kiranya Kanjeng Rama dan Kanjeng lbu berdua sudah
cukup maklum akan pengertian ini, karena saya sendiri pun
hanya mengulang saja."
Tejolaksono dan kedua orang isterinya adalah orang-
orang yang selain sakti mandraguna, juga sudah banyak
mempelajari soal-soal kebatinan, maka tentu saja mereka
dapat mengerti ucapan putera mereka itu dan dapat
menyelami isinya. Mereka menjadi kagum sekali dan
sedikitpun tidak dapat menyalahkan pendirian putera
mereka. Dan ternyata kemudian bahwa ucapan putera mereka itu
selain mengandung filsafat yang mempunyai makna amat
dalam, juga mengandung ramalan atau peringatan yang
tepat. Hal ini ternyata ketika tiba utusan dari Ponorogo
yang minta bantuan Panjalu karena kadipaten itu terancam
oleh Kerajaan Wilis. "Kerajaan Wilis?" Endang Patibroto berseru kaget ketika
mendengar berita itu. "Apa artinya ini" Wilis adalah
wilayah Padepokan Wilis, tidak ada kerajaan di sana!"
"Sudah terlalu lama Adinda meninggalkan Wilis, siapa
tahu akan perubahan yang terjadi di sana" Akan tetapi
kurasa surat dari Adipati Diroprakosa yang ditujukan secara
pribadi kepadaku ini akan membuka rahasia itu."
Tejolaksono membaca surat itu, dipandang oleh Bagus
seta yang bersikap tenang sekali dan oleh kedua orang
isterinya yang memandang dengan rasa ingin tahu benar.
Kedua orang wanita itu kaget sekali ketika melihat betapa
wajah suami mereka berubah, sebentar pucat dan sebentar
merah. Setelah selesai membaca surat itu, terdengar ki patih
mengerang perlahan dan kemudian seolah-olah menekan
hatinya ia menarik napas panjang dan memandang kedua
orang isterinya dengan mata seperti orang bingung.
"Apakah yang terjadi?" Endang Patibroto bertanya.
"Apakah isi surat itu?" Ayu Candra juga bertanya.
"Kalian bacalah sendiri, hanya kuminta agar engkau
bersikap tenang dan kuatkan hatimu, Adinda Endang
Patibroto." Endang Patibroto adalah seorang yang berwatak keras
dan penuh semangat yang menyala-nyala. Mendengar
ucapan suaminya itu, secepat kilat ia menerima surat itu
dan membacanya bersama Ayu Candra. Ketika ia membaca
penuturan Adipati Diroprakosa yang minta bantuan
Tejolaksono karena Ponorogo terancam bahaya hebat dari
Wilis yang kini merupakan kerajaan yang dikepalai oleh
Ratu Wilis yang bernama Puteri Retna Wilis, wajah
Endang Patibroto menjadi merah sekali, sedangkan Ayu
Candra membaca dengan wajah pucat, kemudian
memandang suaminya dengan mata terbelalak.
"Bedebah nenek siluman itu!" Endang Patibroto
mengepal tangannya dengan wajah mangar-mangar
(kemerahan). "Dia telah merusak anakku, menyeratnya ke
dalam kesesatan!" "Hemm, harap jangan marah dulu, Diajeng. Kita belum
menyaksikannya dengan mata sendiri. Andaikata benar
terjadi seperti laporan itu, yaitu bahwa Retna Wilis
membentuk kerajaan di Wilis dan hendak menaklukkan
seluruh kadipaten dan kerajaan yang ada, tentu ada sebab-
sebabnya. Sebaiknya mari kita semua berangkat ke Wilis
dan menemuinya. Kurasa setelah bertemu dengan engkau
dan aku, setelah mendengar nasehat-nasehat kita, dia akan
mengubah kemauannya yang aneh itu."
"Tidak, Kakanda. Biarlah sekarang juga saya berangkat
sendiri ke Wilis. Wilis adalah tempatku, dan anak buah di
sana semua tunduk kepadaku. Biar kudatangi Retna Wilis
dan kubawa dia ke sini!"
Tejolaksono yang belum pernah melihat puterinya,
mengangguk-angguk karena dia belum tahu akan watak
puterinya itu, akan tetapi melihat watak ibunya, agaknya
watak Retna Wilis tidak akan jauh bedanya, tentu keras hati
dan keras kepala. Kalau mereka semua datang, mungkin
akan menimbulkan rasa malu sehingga bangkit wataknya
yang keras dan nekat! Watak Endang Patibroto dahulu juga


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu, kalau dilarang dengan kekerasan, siapapun akan
ditantang! "Bagaimana pendapatmu, puteraku Bagus Seta?"
Biarpun pemuda itu puteranya, namun Tejolaksono
maklum bahwa di antara mereka semua, Bagus Seta inilah
merupakan orang yang paling boleh diandalkan pendapatnya. "Ibunda Endang Patibroto benar sekali kalau Ibunda saja
yang pergi membujuk adinda Retna Wilis. Ada akibat tentu
ada sebabnya, dan perbuatan adinda Retna Wilis
membangun kerajaan dan membangkitkan perang tentu ada
sebab-sebabnya pula."
Dengan hati tidak karuan rasanya, kemarahan yang
ditahan-tahan dan juga kegirangan tersembunyi karena
akan bertemu dengan puterinya yang hilang, Endang
Patibroto berangkat ke Wilis. Dia melakukan perjalanan
cepat dengan menunggang seekor kuda yang besar dan baik.
Tidak ada seorang pun pengikut dibawanya karena dalam
keadaan seperti itu, Endang Patibroto kembali menjadi
seorang pendekar wanita yang perkasa. Biarpun usianya
sudah makin tua, sudah empat puluh lima tahun, namun
ketika wanita ini menunggang kuda dan membalapkan
kudanya ini, wajahnya masih halus tanpa keriput dan
kemerah-merahan, rambutnya berkibar panjang dan masih
Suling Naga 22 Misteri Elang Hitam Karya Aryani W Rahasia Kampung Garuda 4
^