Perawan Lembah Wilis 24
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 24
hitam mulus, dari jauh ia tampak seperti seorang wanita
muda yang selain cantik jelita, juga gagah perkasa!
Saking hebatnya gelora dalam hatinya mendengar bahwa
puterinya yang hilang, yang selama ini membuat hidupnya
merana, kini telah kembali ke Wilis dan menjadi ratu yang
hendak menaklukkan semua kerajaan, Endang Patibroto
tidak lagi mau berhenti untuk mencari berita. Terus saja ia
membalapkan kudanya menuju ke gunung Wilis. Hatinya
penuh dengan rasa rindu, kegirangan yang bercampur
dengan kemarahan sehingga ia lupa pula bahwa kudanya,
betapapun baiknya, tidak memiliki daya tahan seperti
tubuhnya yang terlatih. Setelah kudanya itu roboh terguling
barulah Endang Patibroto teringat bahwa ia telah
membalapkan kudanya selama sehari semalam tanpa henti.
ia meloncat ketika kudanya terguling dan melihat bahwa
kuda itu tak dapat tertolong lagi. Akan tetapi gairah hatinya
membuat ia enggan menghentikan perjalanannya karena
kuda ini. Ia menyambar buntalan bekal pakaiannya lalu
melanjutkan perjalanan dengan menggunakan aji kesaktian
herlari secepat kijang. Dua hari kemudian tibalah Endang Patibroto di kaki
gunung Wilis. Hari masih pagi sekali dan dia merasa
tubuhnya amat lelah, akan tetapi karena keinginan hatinya
untuk segera berhadapan dengan puterinya, ia tidak
berhenti dan terus mendaki gunung itu.
Ketika ia berlari sampai ke lereng bukit, ia bertemu
dengan sepasukan perajurit Wilis. Sungguh sial bagi nasib
pasukan yang jumlahnya sepuluh orang ini karena mereka
adalah perajurit-perajurit baru yang tidak mengenal Endang
Patibroto. Ketika mereka melihat seorang wanita cantik
berjalan cepat mendaki lereng, mereka lalu menghadang
dan seorang di antara mereka berseru,
"Heh, engkau ini wanita dari mana dan siapa berani
mendaki lereng Wilis?"
Endang Patibroto memandang penuh perhatian. ia
melihat sepuluh orang laki-laki tinggi besar berpakaian
serba hijau yang gagah, akan tetapi sikap mereka jauh sekali
bedanya dengan anak buahnya dahulu. Dahulu ia
menanamkan watak satria, melarang keras anak buahnya
dengan ancaman hukuman mati bagi anak buahnya yang
berani mengganggu wanita. Akan tetapi sepuluh orang ini
memandangnya dengan sinar mata penuh nafsu dan gairah.
Bahkan yang memimpin pasukan itu menyeringai
kepadanya. "Aku hendak bertemu dengan Ratu Wilis. Kalian ini
siapakah?" Endang Patibroto balas tanya tanpa menyebutkan namanya, sikapnya angkuh dan galak.
Mendengar ada orang wanita yang begitu saja hendak
bertemu dengan ratu mereka, tanpa menyebut gusti dan
sama sekali tidak memperlihatkan sikap menghormat,
sepuluh orang itu menjadi marah dan pemimpin mereka
tertawa bergelak. "Wah-wah, dari mana datangnya wanita
yang miring otaknya ini" Eman-eman (sayang) sekali,
begini cantik jelita kok miring otaknya. Marilah manis, mari
kuobati penyakitmu, mari sini, engkau akan terobati dalam
pelukanku. Apakah sudah terlalu lama engkau menjanda
sehingga kekeringan dan kesepian membuatmu menjadi
gila?" Laki-laki itu mengulurkan tangannya hendak meraih
tubuh Endang Patibroto. Endang Patibroto hanya mengeluarkan suara mendengus
"hemmm ........ !!", kakinya bergerak seperti kilat
menyambar dan terdengar suara "krekkk!" disusul
menjeritnya laki-laki itu karena tulang lengannya patah-
patah dan remuk di bagian yang dicium kaki Endang
Patibroto! "Aduh tanganku ....... lenganku !" Laki-Iaki itu
mengeluh dan memegangi lengan kanannya dengan tangan
kiri. "Keparat, mampuslah!" Endang Patibroto membentak
dan kembali tubuhnya bergerak, kini jari tangannya yang
menyambar dengan tempilingan keras ke arah kepala orang
itu. "Prokk!" Kepala itu remuk dan otaknya muncrat bersama
darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa lagi!
Melihat ini, sembilan orang anak buah pasukan itu
menjadi marah bukan main. Mereka membentak,
"Perempuan gila!" Dan mereka telah menerjang maju
dengan senjata golok mereka. Endang Patibroto menjadi
makin marah. Sebenarnya wanita ini sudah banyak berubah
semenjak ia berdekatan dengan suaminya, Ki Patih
Tejolaksono. Wataknya yang keras sudah agak jinak, dan
kalau saja ia tidak berada dalam keadaan begitu marah
terhadap puterinya, kiranya ia akan dapat mengampuni
orang-orang ini. Akan tetapi ia sedang marah dan kecewa
mendengar tentang puterinya, apalagi ketika melihat
kenyataan betapa anak buah puterinya begini buruk
wataknya, kemarahannya terhadap puterinya memuncak
dan ia timpakan semua kepada orang-orang sial itu. Melihat
mereka maju dengan golok terhunus, ia mengeluarkan
pekik nyaring, tubuhnya berkelebat menyambar-nyambar
dan terdengarlah pekik-pekik mengerikan ketika tubuh
sembilan orang itu berturut-turut roboh dengan kepala
pecah semua dan tewas di saat itu juga. Betapa mereka
dapat bertahan menghadapi tamparan-tamparan yang
mengandung Aji Pethit Nogo yang ampuhnya menggila itu"
Tubuh orang itu mati dalam keadaan utuh, akan tetapi
kepalanya hancur semua sehingga sukar untuk mengenal
mereka lagi. Darah dan otak mengotori rumput-rumput
hijau dan keadaan di situ sungguh amat mengerikan.
Munculnya pasukan lain yang lebih besar, ada tiga puluh
orang jumlahnya, membuat Endang Patibroto menjadi lebih
beringas lagi. Kalau perlu, akan dibasminya semua orang-
orang yang mencemarkan nama Wilis ini! Dia sudah
meloncat ke depan dan berseru,
"Manusia-manusia biadab, majulah kalian semua! Saat
ini adalah saat kematian kalian semua!"
Tiba-tiba seorang di antara mereka berseru, "Gusti Puteri
Endang Patibroto ........ !!" orang itu segera menjatuhkan
diri berlutut, diturut oleh teman-temannya yang segera
mengenal wanita sakti itu. Mereka yang tidak pernah
melihat Endang Patibroto karena mereka adalah orang-
orang baru, begitu mendengar disebutnya nama ini dan
melihat teman-temannya berlutut, segera membuang golok
dan berlutut pula. Mereka sudah mendengar bahwa Endang
Patibroto adalah pendiri Padepokan Wilis, dan bahkan
menjadi ibu dari ratu, mereka!
Dengan napas terengah-engah saking marahnya, Endang
Patibroto memandang beberapa wajah yang dikenalnya dan
ia membentak, "Bedebah kalian semua! Di mana
Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis" Hayo suruh
mereka cepat menghadap aku di sini!"
Sementara itu dari jarak yang jauh, ada orang yang
menonton peristiwa ini dengan wajah pucat dan keringat
dingin membasahi seluruh tubuhnya. Kemudian orang ini
diam-diam menyelinap di antara gerombolan pohon dan
melarikan diri dari tempat itu. Orang ini bukan lain adalah
Ki Patih Adiwijaya atau Warutama atau Sindupati! Dari
jauh ia mendengar suara ribut-ribut dan dia sudah lari
menghampiri. Akan tetapi begitu melihat Endang Patibroto,
ia merasa seolah-olah jantungnya menjadi beku dan hampir
ia terkencing-kencing saking takutnya.
Kebetulan sekali ketiga orang tokoh Wilis yang dulu
menjadi pembantu Endang Patibroto, yaitu Limanwilis,
Lembuwilis dan Nogowilis, berada tidak jauh dari lereng
itu. Mendengar suara ribut-ribut mereka cepat berlari
menghampiri dan ketika melihat Endang Patibroto berdiri
tegak dan didekatnya ada mayat sepuluh orang perajurit
Wilis yang kepalanya remuk semua, mereka menjadi pucat
dan cepat lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut
di depan Endang Patibroto.
"Gusti Puteri ........ !!"
Melihat ketiga orang bekas pembantunya yang ia pasrahi
Padepokan Wilis Endang Ptibroto menggeget giginya
menahan marah. "Hemm, apakah yang kalian bertiga telah
lakukan" Apakah yang merubah keadaan Wilis" Beginikah
kalian menjalankan kewajiban kalian membawa para satria
Wilis, menjadi gerombolan-gerombolan manusia biadab?"
Sambil berkata demikian, kaki Endang Patibroto
bergerak dan cepat sekali kaki itu sudah menendangi tubuh
ketiga orang tokoh Wilis itu sehingga mereka bertiga jatuh
bergulingan. Tentu saja Endang Patibroto tidak mempergunakan seluruh tenaga, karena kalau hal ini ia
lakukan, tentu ketiga orang itu telah tewas dengan sekali
tendang saja. Namun tendangan yang bagi Endang
Patibroto perlahan saja itu, bagi ketiga orang saudara Wilis
ini merupakan sambaran halilintar yang membuat mereka
mengaduh-aduh sambil memegangi kepala mereka.
"Aduh, Gusti Puteri ........ !" Mereka bersambat.
"Plak-plak-plak!" Kembali Endang Patibroto menendang
disusul makian-makiannya, "Kalian semestinya dibunuh!
Kalian tidak patut dibiarkan hidup. Keparat kalian,
Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis!"
"Aduh tobat ......!" Limanwilis mengeluh dan roboh
terlentang. "Ampun, Gusti ........ , ampunkan hamba !" Lembuwilis
juga roboh terlentang dan menutupi mukanya seperti orang
menangis. "Aduhhh ........ Gusti Puteri ........ aduh, bunuh saja
hamba ?" Nogowilis meraung-raung karena hampir tidak
kuat menahan rasa nyeri terkena tendangan kedua kalinya
ini. "Memang aku akan bunuh kalian! Aku akan bunuh
kalian dengan tendangan ke tiga kalau kalian tidak lekas
menceritakan apa yang telah kalian perbuat di sini!"
Tiga orang itu masih mengaduh-aduh karena belum
mampu bercerita ketika pada saat itu terdengar bentakan
nyaring, "Eh-eh, iblis dari mana berani datang mengacau di
sini?" Endang Patibroto memandang dengan mata beringas.
Yang muncul ini adalah ki patih muda dari Wilis, yaitu Ki
Walangkoro sendiri. Ketika laki-laki tinggi besar ini melihat
seorang wanita menghajar ketiga orang pembantunya dan
melihat sepuluh orang anak buahnya menggeletak dengan
kepala pecah, melihat puluhan orang perajur itu Wilis
lainnya berlutut dengan mata terbelalak dan muka pucat
ketakutan, ia menjadi marah sekali.
"Setan alas! Engkaulah yang menjadi biang keladi di
sini" Engkau kepala di sini, keparat jahanam?" Endang
Patibroto memaki dengan suara mendesis-desis saking
marahnya. "Eh-eh, babo-babo si wanita keparat! Berani engkau
menghina Ki Walangkoro, patih muda Kerajaan Wilis?" Ki
Walangkoro marah sekali dan menerjang maju. Akan tetapi
Endang Patibroto tidak menanti dia diserang, karena dia
pun sudah menerjang maju memapaki dengan pukulan
tangannya, sedangkan tangan yang kiri menangkis lengan
lawan. "Plak-desss ......!!"
"Aduhhhh ........ !" Ki Walangkoro terjengkang dan
menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas. Memang
panas rasa dadanya yang terkena pukulan tangan Endang
Patibroto karena wanita sakti ini menggunakan Aji
Wisangnolo yang panasnya melebihi kawah Candradimuka! Kalau saja Ki Walangkoro tidak memandang rendah, tentu dia lebih berhati-hati menghadapi wanita sakti itu. Betapapun hebatnya, terkena
pukulan Wisangnolo ia seperti cacing terkena abu panas,
menggeliat-geliat dan mengaduh-aduh, sukar untuk bangun
kembali sungguhpun kekebalannya telah melindunginya.
Kalau ia tidak kebal sekali, tentu telah gosong dadanya dan
melayang nyawanya terkena pukulan ampuh itu.
"Aduh, Gusti Puteri, ampunkan hamba ........ sesungguhnya, hamba bertiga hanyalah terpaksa. Mula-
mula, setelah paduka pergi, kami melakukan tugas seperti
yang paduka perintahkan ........ " Lembuwilis mulai
bercerita setelah ia berhasil bangkit dan duduk bersila
sambil menyembah-nyembah. "Akan tetapi kemudian
muncul Ki Walangkoro ini, kami tidak sanggup
melawannya. Kami dikalahkan dan kedudukan di Wilis dia
rampas. Padepokan Wilis diganti menjadi Gerombolan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wilis. Kami tidak berdaya ........
Melihat betapa raksasa tinggi besar ini tidak tewas oleh
pukulannya. Endang Patibroto percaya bahwa ketiga orang
Wilis ini tidak akan mampu menandingi si tinggi besar itu.
"Kemudian bagaimana '......?" bentaknya.
"Lalu, aduhhh ........ dada hamba ?".." Limanwilis
tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Melihat ini
Lembuwilis yang sudah bangkit lalu melanjutkan,
"Hamba bertiga dipaksa menjadi anak buahnya.
Kemudian, beberapa bulan yang lalu muncullah Gusti
Puteri Retna Wilis ........ ya ........ puteri paduka yang
lenyap dulu ........ "
"Lanjutkan!" bentak Endang Patibroto seolah-olah
mendengar pernyataan bahwa Retna Wilis adalah puterinya
membuat hatinya tertusuk.
"Beliau telah menjadi seorang yang amat sakti, Gusti.
Dengan mudah Ki Walangkoro ditaklukkan, kemudian
malah dijadikan patih muda dan sekarang gusti Retna Wilis
membangun sebuah kerajaan Wilis ........"
"Hemmm ........ , keparat ini pun bertanggung jawab!"
Endang Patibroto berseru marah, sekali meloncat ia telah
berada dekat tubuh Ki Walangkoro yang kini sudah
merangkak bangun. Akan tetapi sebelum Ki Walangkoro
sempat berdiri, Endang Patibroto mengayun tangannya.
Sebuah pukulan dengan Aji Pethit Nogo menyambar kepala
bekas pemimpin Gerombolan Wilis.
"Dukkk!" Berkat aji kekabalan yang amat kuat, kepala itu
tidak remuk, akan tetapi tubuh itu terpelanting dalam
keadaan tidak bernyawa karena pukulan sakti itu
menggocang otaknya yang menjadi awut-awutan di dalam kepala. Pada saat itu terdengar seruan-seruan, "Gusti Puteri
datang ......!" Endang Patibroto mengangkat mukanya, memandang sesosok tubuh ramping yang datang bagaikan terbang cepatnya.
Seorang gadis yang amat cantik, berpakaian serba hijau, gilang-gemilang perhiasan yang terpasang di
telinga dan ikat pinggangnya, seorang dara remaja yang luar
biasa cantiknya, membuat Endang Patibroto ternganga.
Sejenak hatinya penuh kebanggaan, namun segera terganti
kepahitan dan kekecewaan.
Yang datang adalah Retna Wilis. ia mendapat laporan
seorang anak buahnya bahwa ada orang mengamuk
membunuhi perajuritnya. Dengan kemarahan meluap dara
ini meninggalkan istana dan berlari cepat menuju ke lereng
itu. "Siapa berani ........ " Tiba-tiba kata-katanya terhenti dan
bagaikan kena pesona ia memandang Endang Patibroto
yang berdiri tegak di depannya, kemudian kakinya
melangkah maju menghampiri Endang Patibroto.
"Ibu ........ ! Ibu ........ ?"" Panggilan pertama amat mesra,
penuh kerinduan, panggilan ke dua bernada ragu-ragu dan
agak dingin. "Retna Wilis ........ !!!" Bentakan Endang Patibroto amat
janggal didengar. Mengandung pencetusan rasa rindu,
dicampur kemarahan, teguran, dan kedukaan.
Retna Wilis memandang ibunya, kemudian pandang
matanya bergerak, memandang ke arah tubuh sepuluh
orang perajurit yang kepalanya hancur, memandang mayat
Ki Walangkoro yang tidak terluka, kemudian melihat
kepada tiga orang kakak beradik Wilis yang mukanya
bengkak-bengkak dan masih merintih-rintih, kepada para
perajurit yang berlutut di depan ibunya, akhirnya ia kembali
memandang ibunya. "Ah, kiranya Kanjeng Ibu yang datang mengamuk.
Hemmm, orang-orang sial itu memang patut dibunuh,
berani menentang Ibu ........"
"Retna Wilis! Apa yang telah kaulakukan di sini?""
Retna Wilis yang sudah menghampiri ibunya untuk
memeluk, menghentikan langkahnya dan dengan sikap
dingin menggerakkan pundaknya. Ibunya datang-datang
marah kepadanya dan tidak ada sikap mesra, maka
kerinduannya pun menipis dan kegirangannya lenyap.
"Apa yang kulakukan, Ibu" Tidak ada hal yang
menyusahkan hatimu telah kulakukan. Bahkan sebaliknya.
Anakmu datang sebagai seorang ratu besar yang berhasil
menghimpun tenaga dan berhasil menundukkan banyak
kadipaten ?"." "Retna Wilis! Mengapa engkau menyeleweng seperti
ini?" "Eh, Ibu. Menyeleweng bagaimanakah yang Ibu
maksudkan" Aku membentuk kerajaan dan akan kutaklukkan seluruh kerajaan, termasuk Panjalu dan
Jenggala! Kelak akulah yang akan menjadi ratu dari seluruh
Jawa-dwipa! Dan ibu akan menjadi ibu suri yang disembah-
sembah manusia sejagat!"
"Gila! Apakah engkau sudah gila, Retna Wilis" Tidak
boleh engkau melakukan hal ini! Ibumu adalah kawula
Panjalu dan ayahmu adalah Patih Panjalu. Bagaimana
engkau berani memberontak terhadap Panjalu" Engkau
tidak boleh melakukan hal ini!"
"Hemm! Siapa yang hendak melarangku, Ibu" Tidak ada
orang yang dapat melarangku!"
"Aku yang melarangmu! !"
"Ibu, engkau sungguh tidak adil. Ingatlah semenjak kecil
aku Ibu bawa lari dalam kandungan sampai besar di Wilis
ini, jauh dari ayah yang tidak memperdulikan nasib kita.
Ibu terlunta-lunta, dan bukan itu saja. Aku mendengar
riwayat Ibu sebagai mantu Jenggala yang disia-siakan,
dimusuhi oleh Kerajaan Jenggala dan Panjalu, difitnah,
bahkan pangeran yang menjadi suami ibu dibunuh! Ibu
telah dihina dan dibikin sengsara hidup Ibu, dan Ibu masih
mau menjadi kawula Panjalu" Apakah kita ini kalah oleh
keluarga Kerajaan Panjalu dan Jenggala" Apakah kita harus
merangkak-rangkak di depan ayah yang telah menyia-
nyiakan Ibu" Tidak, seribu kali tidak! Aku berhasil
mendapatkan ilmu, dan ilmu ini akan kupergunakan untuk
membalas dendam penderitaan Ibu. Akan kutaklukkan
Panjalu dan Jenggala. Akan kupaksa ayah bertekuk lutut di
depan ibu. Akan kuangkat Ibu menjadi ibu suri yang
dimuliakan orang sejagat! Akan ........ "
"Cukup omongan gila itu! Retna Wilis, anak siapakah
engkau?" "Anak Ibu, tentu saja kalau Ibu mau mengakuinya."
"Hemm, kalau engkau masih ingat bahwa engkau adalah
anakku, engkau harus mentaati perintahku! Mulai hari ini
juga, bubarkan Gerombolan Wilis ini, bubarkan kerajaanmu dan engkau ikutlah bersamaku ke Panjalu,
bertemu dengan ayahmu, berkumpul dengan semua
keluarga. Tahukah engkau bahwa bibimu Setyaningsih kini
telah menjadi ratu di Jenggala" Dia telah menjadi
permaisuri raja di Jenggala! Dan kita semua sekeluarga
akan menjadi satu, betapa bahagianya, Nak ........ " Leher
Endang Patibroto serasa tercekik oleh keharuan ketika ia
mengeluarkan ucapan ini. Akan tetapi Retna Wilis tersenyum pahit dan
menggeleng kepalanya. "Tidak, Ibu. Aku tidak sudi
mengemis-ngemis anugerah orang lain. Aku tidak sudi
membonceng kemuliaan orang lain. Sebaiknya kalau Ibu
merestui cita-citaku dan ikut membantuku. Ingat, Ibu.
Dahulu Endang Patibroto merupakan tokoh wanita tanpa
tanding. Kalau kini Endang Patibroto bergerak di samping
puterinya, Retna Wilis, kutanggung dunia ini akan berada
di telapak tangan kita!"
"Dan engkau hendak melawan dan menentang ayahmu
yang menjadi patih di Panjalu" Menentang bibimu yang
menjadi permaisuri di Jenggala?"
"Kalau perlu, apa boleh buat. Aku akan terpaksa
melawan dan menundukkan siapa saja yang menentangku,
yang menghalangi cita-citaku."
"Anak durhaka, kalau begitu, apakah engkaupun hendak
menentang aku?" Endang Patibroto sudah mulai marah
lagi. "Ibu, aku tidak akan menentang siapa saja, apalagi Ibu.
Aku hanya melawan siapa pun juga yang menentangku."
"Bagus! Kalau aku melarangmu melanjutkan cita-cita
gila ini" Kalau aku, ibumu sendiri, menentangmu" Apakah
engkau juga hendak melawan aku?"
Retna Wilis tersenyum dingin sehingga Endang
Patibroto sendiri yang biasanya amat digentari orang, kini
merasa mengkirik. Senyum puterinya itu amat manis, akan
tetapi seperti senyum iblis yang mengandung ancaman
maut! "Tidak ada seorang pun di dunia ini, juga lbu sendiri
tidak, yang akan dapat menghalangi cita-citaku, yang akan
menghentikkan usahaku menundukkan dunia, kecuali
kematian." "Anak durhaka, kalau begitu aku lebih suka melihat
anakku mati daripada melihatnya hidup tersesat!"
"Ibu hendak membunuhku" Tidak akan bisa, Ibu. Ibu
takkan dapat menangkan aku. Lebih baik Ibu hidup mulia
dan bahagia di sini, kusembah-sembah menjadi junjunganku. Atau kalau Ibu lebih suka menjauhiku,
kembalilah saja Ibu kepada suami Ibu, dan harap jangan
mencampuri urusanku."
"Bocah iblis! Aku sudah melahirkan engkau, aku pula
yang membunuh engkau!" Endang Patibroto membentak
dan meloncat maju mengirim serangan maut. Wanita
perkasa ini dengan hati hancur melihat kenyataan betapa
anaknya benar-benar telah terpengaruh watak yang aneh
dan seperti iblis, dan kalau dibiarkan, tentu akan
menimbulkan malapetaka dan terutama sekali akan
merusak dan mencemarkan nama baik orang tuanya. Dia
mengenal puterinya dan tahu bahwa bujukan-bujukan
takkan berhasil lagi kalau Retna Wilis sudah mengambil
keputusan seperti itu. Daripada melihat puterinya yang
tercinta menyeleweng, menjadi pemberontak, mengacaukan
kerajaan-kerajaan, menimbulkan malapetaka dan pembunuhan-pembunuhan akibat perang yang ditimbulkan,
mendatangkan kedukaan kepada semua keluarga, lebih baik
ia melihat puterinya itu mati di depan kakinya sendiri.
Karena ia dapat menduga bahwa sebagai murid Nini
Bumigarba, puterinya ini tentu memiliki kesaktian yang luar
biasa, maka sekali menyerang Endang Patibroto sudah
meloncat dengan gerakan Bayutantra dan tangan kanannya
yang terbuka telah menampar muka Retna Wilis dengan Aji
Gelap Musti. "Plakkk!" Pipi kiri Retna Wilis yang berkulit halus itu kena
ditampar karena memang dara perkasa ini sama sekali tidak
mengelak, hanya mengerahkan kekuatan saktinya melindungi kepalanya. Akan tetapi ia tidak roboh, hanya
bergoyang sedikit. ia telah menerima tamparan sakti ibunya
itu dengan mata terbuka, berkedip pun tidak. Bibirnya
sedikit pecah ujungnya sehingga meneteslah darah dari
ujung mulut. "Retna Wilis ........ Anakku ........!"
Endang Patibroto menjerit dan menubruk puterinya,
merangkul, menciumi muka anaknya, mencium beberapa
tetes darah yang menitik di pipi itu. "Retna Wilis ........ ah,
betapa engkau menyiksa hati ibumu! Anakku, mengapa
engkau tidak mentaati permintaan ibumu" Marilah, Angger,
anakku bocah ayu, marilah engkau ikut bersama
ibumu........ !" Dua titik air mata menetes dari sepasang mata Retna
Wilis. Akan tetapi mulutnya tersenyum dingin dan biarpun
ia dipeluk dan dibelai, diciumi ibunya, ia tetap tenang,
hanya mengelus pundak ibunya. "Ibu, mengapa pula ibuku
sendiri yang hendak menghalangi cita-citaku" Mengapa Ibu
hendak merusak kebahagiaanku?"
"Engkau keliru, Retna. Cita-cita itu tidak akan
membawamu kepada kebahagiaan, melainkan kesengsaraan
karena pelaksanaannya akan menimbulkan bencana hebat.
Kebahagiaanmu adalah bersama ibumu, bersama ayah dan
keluargamu. Marilah Retna, percayalah bahwa ibu
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menentang kehendakmu ini demi cintanya kepadamu.
Marilah, Anakku, sebelum terlambat ........ "
"Tidak Ibu. Terserah penilaian Ibu, akan tetapi aku tetap
akan melanjutkan cita-citaku ini."
Perlahan-lahan Endang Patibroto melepaskan pelukannya dan melangkah mundur. ia terisak menahan
tangis, memandang tajam lalu berkata lirih, "Kalau begitu,
sebelum engkau menyebar kematian di antara manusia-
manusia yang tidak berdosa, lebih dulu kaubunuhlah ibumu
ini!" Endang Patibroto kini sudah marah kembali, kemarahan
yang bercampur dengan putus asa. Hatinya sakit sekali,
seperti ditusuk-tusuk keris. Anaknya yang begini cantik
jelita, begini gagah perkasa, begini sakti sehingga tamparan
Gelap Musti diterimanya tanpa berkedip dan hanya
membuat ujung bibirnya berdarah sedikit. Betapa akan
bangga hatinya, betapa akan bahagia hatinya kalau dapat
menuntun anaknya ini dan memperkenalkannya kepada
ayah anak ini, Ki Patih Tejolaksono. Akan tetapi
kenyataannya adalah sebaliknya, amat pahit dan menyakitkan hatinya. "Ibu, lebih baik Ibu pulang kembali saja ke Panjalu."
Retna Wilis berkata dan sikapnya dingin sekali.
"Engkau atau aku harus mati di sini!"
Endang Patibroto membentak dan kini ia maju
menyerang sambil mengeluarkan pekik dahsyat. Wanita ini
telah mengeluarkan Aji Sardulo Bairowo dan pekiknya
melengking tinggi menggetarkan permukaan lembah
gunung Wilis. Semua anak buah Wilis yang berdatangan di
tempat itu, terkejut mendengar pekik ini, jantung mereka
tergetar dan mereka yang tidak kuat sudah jatuh berlutut
dengan tubuh menggigil, yang agak kuat masih berdiri
dengan muka pucat dan mata terbelakak memandang ibu
dan puterinya yang hebat itu.
Pekik Sakti Sardulo Bairowo sama sekali tidak
mempengaruhi Retna Wilis, dan melihat pukulan ibunya
yang amat hebat dan ampuh menghantam kepalanya, Retna
Wilis menggerakkan lengan menangkis. Dua lengan yang
sama halusnya bertemu dahsyat dan akibatnya tubuh
Endang Patibroto terpelanting! Wanita perkasa itu
mendepgus marah dan penasaran, meloncat bangun dan
menerjang kembali. Retna Wilis yang maklum akan
kesaktian ibunya, sudah mengerahkan aji kesaktiannya ke
dalam kedua lengannya, lalu menangkis kembali. Dan
sekali lagi tubuh ibunya terpelanting.
Namun Endang Patibroto sudah bangkit dan menyerang
lagi. Wanita yang hancur hatinya ini sudah mengambil
keputusan nekat untuk mengadu nyawa dengan anaknya. Ia
menyerang secara bertubi-tubi. Retna Wilis hanya mengelak
dan setiap kali ia menangkis ibunya tentu terguling, akan
tetapi tidak pernah ia balas memukul ibunya. Pertandingan
ini berjalan seru dan lama sekali, akan tetapi setiap kali
bertemu lengan, selalu Endang Patibroto yang terguling
roboh. Makin lama Endang Patibroto menjadi makin
penasaran dan marah, akhirnya ia menjadi mata gelap.
Sambil menyerang, ia melepaskan banyak panah tangan
yang menyambar seperti kilat cepatnya menuiu tubuh
anaknya. Retna Wilis mengeluarkan suara pekik melengking dan semua anak panah yang mengenai
tubuhnya runtuh, tidak sebatang pun dapat melukai
kalitnya! "Ibu takkan menang melawanku, lebih baik ibu pergi."
"Anak durhaka!" Endang Patibroto menyerang lagi, kini
pukulan Wisangnolo yang ia pergunakan amat dahsyatnya
karena ia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Retna
Wilis mendorongkan tangannya memapaki telapak, tangan
ibunya. "Desss!!" Dua tenaga mujijat bertemu dan terdengar
Endang Patibroto mengeluarkan rintihan lirih dan tubuhnya
yang terguling lagi tak dapat bangun kembali karena ia telah
roboh pingsan, tergetar oleh hawa pukulannya sendiri yang
membalik ketika terbentur hawa sakti dari tangan Retna
Wilis. Sejenak Retna Wilis berdiri termangu memandang tubuh
ibunya. Ia menggunakan ujung baju menghapus keringat di
dahinya. Ibunya adalah seorang lawan yang tangguh dan
andaikata dia tidak memiliki tenaga sakti yang hebat, tentu
dia sendiri sudah terluka parah di sebelah dalam tubuhnya.
Perlahan-lahan dihampirinya tubuh ibunya, dipondong dan
diangkatnya, dipeluk dan diciumnya dahi ibunya dengan
kemesraan seorang anak kepada ibunya. Akan tetapi ia
segera menekan perasaan dan pandang matanya berubah
dingin kembali ketika ia berkata memerintah.
"Keluarkan kereta, dan antarkan ibu ini turun gunung.
Tinggalkan kereta di bawah kaki gunung."
Perintah ini ia tujukan kepada Limanwilis, Lembuwilis
dan Nogowilis. Biarpun tiga orang ini masih sakit-sakit
tubuhnya akibat tendangan-tendangan Endang Patibroto
tadi, mendengar perintah itu cepat mereka bertiga
mengambil kereta. Retna Wilis memondong tubuh ibunya,
membawanya ke dalam kereta, membaringkan tubuh
ibtunya di dalam kereta, sekali lagi mencium dahi ibunya
dan berbisik lirih, "Ibu !" kemudian ia turun dari kereta
memberi isyarat kepada ketiga orang tokoh Wilis itu untuk
berangkat. Lembuwilis dan Nogowilis duduk mengendarai kuda penarik kereta, sedangkan
Limanwilis yang ter tua duduk menjaga Endang Patibroto di dalam kereta,
kemudian kereta pun berangkat menuruni gunung
Wilis. Retna Wilis berdiri
tegak memandang, dua titik
air mata menetes turun. Akan
tetapi setelah menghela napas
ia lalu menghapus air matanya, memutar tubuhnya memandang anak buahnya
yang berlutut dan berkata,
"Mulai hari ini, siapkan semua pasukan. Hei!, di mana
Paman Patih?"" Tak seorang pun di antara para anak buah Wilis tahu ke
mana perginya Patih Adiwijaya.
"Mungkin gusti patih sedang melakukan pemeriksaan di
perbatasan, Gusti Puteri!" akhirnya terdengar jawaban
seorang perwira. "Biarlah, kalau sudah datang suruh ia menghadap.
Beritahukan kepada semua pasukan agar berkumpul, juga
kerahkan seluruh rakyat yang sudah takluk untuk siap
membantu gerakan kita. Secepatnya kita akan menyerbu
Ponorogo!" Para anak buah Wilis bersorak gembira. Penyerbuan ke
suatu tempat berarti perang, dan perang berarti pula
kemungkinan-kemungkinan dan kesempatan-kesempatan
bagi mereka untuk menikmati kesenangan, selain membunuh musuh di bawah pimpinan orang-orang sakti,
juga kesempatan itu dapat mereka pergunakan untuk
memperoleh barang-barang berharga dan wanita-wanita
cantik. Di bawah sorak-sorai anak buahnya, Retna Wilis lalu lari
naik ke puncak, memasuki taman sari yang baru saja.
dibangun, kemudian menjatuhkan diri ke atas bangku di
tengah-tengah taman sari. Air matanya deras mengucur.
Setelah berada seorang diri, tak dapat ia menahan
kekecewaan dan kedukaan hatinya mengenangkan sikap
ibunya. Ia menangis dan akhirnya karena tekanan batin dan
kelelahan, ia tertidur pulas di atas bangku taman sari, kedua
pipinya masih basah air mata.
Sehari semalam Retna Wilis tertidur di taman itu. Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia terbangun dengan isak
tertahan. Ia melihat Patih Adiwijaya duduk bersila tak jauh
dari bangku sambil menundukkan muka.. Wajah orang tua
ini kelihatan berduka. Retna Wilis bangkit duduk dan baru
tahu ia bahwa tubuhnya telah diselimuti jubah luar
patihnya. "Paman Adiwijaya, ah, aku tertidur di sini ........ "
suaranya masih mengandung isak, "berapa lama aku
tertidur?" ia menyerahkan kembali jubah luar patihnya.
"Duh Gusti Puteri yang malang. Paduka tertidur
semenjak kemarin siang."
"Kenapa engkau tidak membangunkan aku, Paman?"
Patih itu memandang wajah Retna Wilis dengan
pandang mata penuh iba hati dan prihatin. "Hamba baru
pulang siang kemarin dari memeriksa keadaan penjagaan di
tapal batas timur, untuk mendengarkan gerak-gerik
Ponorogo. Baru hamba mendengar akan kunjungan Ibunda
Paduka dan ........ ah, sungguh kasihan sekali Paduka,
Gusti. Hamba ........ ikut berduka dengan peristiwa yang
menyedihkan itu ........"
Retna Wilis tersenyum, memandang pembantunya itu
dengan sinar mata berterima kaksih. "Dan semenjak
kemarin siang, engkau menungguku di sini?"
"Hamba tak berani membangunkan Paduka yang tidur
pulas sambil kadang-kadang terisak. Ampunkan hamba
yang berani menyelimuti Paduka dan hamba menjaga di
sini, menanti Paduka terbangun."
Retna Wilis mengulurkan tangan dan menyentuh
pundak patihnya. "Paman, engkau baik sekali. Agaknya
engkaulah orang yang paling baik terhadap diriku. Adapun
ibuku ........ ah, benar-benar aku bingung, Paman."
"Mengapa Paduka bingung" Hendaknya Paduka tenang
karena setelah hamba mendengar akan semua peristiwa,
hamba merasa yakin akan kebenaran paduka. Setiap
manusia di dunia ini berhak untuk mencari kemuliaan,
apalagi seorang sakti mandraguna seperti paduka. Hanya si
manusia sendiri yang akan dapat menetukan nasib
hidupnya. Paduka benar, dan hamba bersumpah untuk
bersetia, untuk membela dan membantu paduka dengan
taruhan nyawa hamba." Ucapan ini keluar dari hati nurani
Adiwijaya karena entah bagaimana, baru sekali ini selama
hidupnya ia mencinta seseorang, mencinta yang sungguh-
sungguh murni, bukan cinta nafsu, melainkan cinta seorang
ayah terhadap puterinya. ia merasa kagum akan kesaktian
dara ini, merasa kagum akan kecantikannya, dan timbullah
rasa sayang dan setia yang belum pernah ia rasakan selama
hidupnya. "Terma kasih, Paman. Aku tidak akan melupakan
kebaikan hatimu." "Aduh Gusti Puteri Retna Wilis yang bijaksana dan sakti
mandraguna. Hamba hanyalah seorang yang rendah,
hamba seorang yang penuh dosa, hamba seorang yang
banyak dimusihi orang lain, seorang yang jahat dalam
pandangan orang lain."
"Bagiku, engkau seorang yang baik, dan itu bagiku sudah
cukup. Aku tidak perduli pendapat orang lain."
"Mungkin ibunda paduka pun menganggap hamba
seorang jahat, Gusti."
"Hemm, mengapa, Paman?"
"Mungkin ........ hamba disangka sebagai orang yang
membujuk-bujuk paduka ?"?"
"Ah, biarlah. Biar andaikata ibuku sendiri membencimu
dan menganggapmu orang jahat, aku tetap menganggapmu
seorang baik. Sekarang, Paman. Siapkan bala tentara kita.
Kita serbu Ponorogo, terus ke timur."
"Terus menyerbu Jenggala, Gusti?" tanya Adiwijaya
penuh gairah., "Benar, Paman. Ke Jenggala! Kita tundukkan Jenggala
secara baik-baik, mengingat bahwa yang menjadi raja di
sana adalah Paman Pangeran Panji Sigit, dan permaisurinya adalah Bibi Setyaningsih, adik ibu sendiri.
Kalau mereka menghadapi kita dengan kekerasan, terpaksa
akan kutundukkan Jenggala dengan kekerasan pula. Setelah
itu, baru kita menengok ke Panjalu!"
"Balk sekali, Gusti. Hamba siap dan sekarang juga
hamba akan mengumpulkan seluruh barisan Wilis!" kata
Adiwijaya penuh kegembiraan.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu, jauh dari puncak Wilis, di sebelah timur
kaki gunung Wilis, sebuah kereta berhenti di dalam sebuah
hutan. Limanwilis, Lembuwilis, dan NogoWilis duduk di
atas tanah bersila dan tak bergerak seperti arca. Tadi
mereka menghentikan kereta, melepaskan kuda yang
mereka biarkan makan rumput, kemudian mereka duduk
menanti di bawah kereta. Retna Wilis, dan juga Ki Walangkoro sendiri, ternyata
hanya dapat mempengaruhi Lembuwilis, Limanwilis dan
Nogowilis untuk sementara saja. Mereka bertiga ini tunduk
karena terpaksa dan tidak berani melawan. Akan tetapi
begitu melihat Endang Patibroto, hati ketiga orang ini
tergetar dan watak baik mereka yang sudah lama dipupuk
oleh Endang Patibroto selama wanita itu memimpin
Padepokan Wilis, bangkit kembali. Mereka merasa terharu
sekali, apalagi menyaksikan nasib bekas junjungan mereka
yang amat menyedihkan. Memang harus diakui bahwa
sebelum menjadi anak buah Endang Patibroto, tiga orang
ini adalah tokoh-tokoh Wilis yang bekerja sebagai
perampok. Namun, kekejaman hati mereka sudah menipis
oleh gemblengan-gemblengan Endang Patibroto dan kini
menyaksikan kekejaman hati Retna Wilis yang tega
melawan ibunya sendiri, mereka menjadi penasaran dan di
dalam hati, mereka berpihak kepada Endang Patibroto.
Begitu siuman dari pingsannya, Endang Patibroto
teringat akan puterinyaj dan ia mengerang, lalu menangis
tersedu-sedu. Sampai lama ia menangis, kemudian baru ia
mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah kereta yang
berhenti. Cepat ia meloncat keluar dari dalam kereta dan
melihat Limanwilis dan kedua orang adiknya duduk bersila
dengan kepala tunduk. "Eh, kalian bertiga mengapa berada di sini?"
Limanwilis menyembah dan berkata, "Hamba bertiga
diutus oleh Gusti Puteri Retna Wilis untuk mengantar
Paduka dengan kereta sampai di kaki Wilis, kemudian
hamba bertiga disuruh meninggalkan kereta. Akan tetapi,
hamba tidak tega meninggalkan Paduka di sini, Gusti. Dan,
jika kiranya Paduka sudi mengampuni hamba bertiga
kakak-beradik, hamba ingin bersuwita (menghamba)
kepada Paduka, ingin mengiringkan Paduka kembali ke
Panjalu. Hamba tidak sanggup lagi menjadi kawula Wilis
yang ternyata menyeleweng daripada kebenaran, Gusti."
Endang Patibroto menarik napas panjang dan menghapus air matanya. "Kehendak Hyang Widdhi Wisesa
tak dapat diubah dan dibantah. Retna Wilis telah
menyeleweng jauh sekali setelah dia menjadi murid Nini
Bumigarba dan memiliki kesaktian yang tidak lumrah
manusia. Kalian bertiga telah mengalami dan melihat
perkembangan semenjak dia lahir di puncak Wilis sampai
dia diculik Nini Bumigarba. Aduh, Kakang Limanwilis
........ apakah yang harus kulakukan ...... ?" Endang
Patibroto menangis lagi, menutupi muka dengan kedua
tangannya. Tiga orang tokoh Wilis itu memandang bekas junjungan,
mereka dengan muka keruh, penuh keharuan. Belum
pernah selama mereka menghamba kepada wanita sakti ini
yang terkenal keras hati, mereka melihat wanita ini
menangis seperti itu. "Duh, Gusti Puteri Endang Patibroto. Memang
sesungguhnyalah Sang Hyang Widdhi tak dapat diubah dan
dibantah, karena itu manusia hanya dapat menyerahkan
kepada kekuasaanNya. Akan tetapi, manusia berwenang
untuk berusaha dan berikhtiar. Kalau Paduka suka menurut
anjuran hamba, lebih baik Paduka hamba antar kembali ke
Panjalu dan melaporkan hal ini kepada Kerajaan Panjalu."
Endang Patibroto mengangguk, lalu memasuki kereta
kembali. Tiga orang kakek itu pun naik ke atas kereta
seperti tadi dan kuda-kuda yang telah dipasang di depan
kereta sebelum mereka naik, dijalankan melaju ke timur.
"Andika bertiga belum tahu, Kakang Wilis. Suamiku,
ayah Retna Wilis adalah Ki Patih Tejolaksono di Panjalu."
"Ahhh ........ !!" Tiga orang itu mengangguk-angguk.
Tentu saja mereka sudah mendengar akan nama
Tejolaksono, seorang tokoh yang memiliki kesaktian lebih
tinggi daripada Endang Patibroto sendiri. Ibunya seorang
wanita yang tiada bandingnya, ayahnya seorang tokoh sakti
di kedua Kerajaan Panjalu dan Jenggala, gurunya seorang
nenek sesakti iblis sendiri, pantas saja Retna Wilis menjadi
seorang dara yang hebatnya sampai mengerikan hati para
jagoan Wilis ini! -oo(mch-dwkz)oo- Dengan sikap yang amat gagah, Retna Wilis berdiri di
tempat yang menonjol tinggi. Di bagian bawah, memenuhi
lereng sekitar puncak, berkumpullah ribuan orang perajurit
Wilis yang sudah bergabung dengan sebagian rakyat dari
daerah-daerah yang sudah ditaklukkan.
"Para perajuritku yang setia!" Suara dara itu melengking
tinggi dan dapat terdengar sampai jauh sehingga perajurit
yang berdiri paling belakang dapat mendengar dengan jelas.
"Karena Ponorogo menentang kekuasaan kerajaan kita, kini
tiba saatnya bagi kita untuk menggempur Ponorogo! Kita
harus dapat membuktikan bahwa Kerajaan Wilis adalah
kerajaan terbesar di seluruh jagat!"
Sorak-sorai gegap-gempita, menyambut ucapan Retna
Wilis ini. Setelah semua persiapan dilakukan, berangkatlah
barisan besar ini turun dari lereng Wilis, dipimpin oleh
Retna Wilis yang didampingi oleh Patih Adiwijaya.
Biarpun kehilangan pembantu-pembantu yang pandai, yaitu
Ki Walangkoro yang tewas di tangan Endang Patibroto,
juga Lembuwilis dan kedua orang adiknya yang tidak
kembali ke Wilis ketika mengantar Endang Patibroto turun
dari puncak, namun sedikit pun Retna Wilis tidak menjadi
gentar. Melihat sikap dara ini, Adiwijaya yang tadinya
merasa ragu-ragu apakah mereka akan dapat menundukkan
Ponorogo yang terkenal memiliki barisan kuat dan banyak
orang sakti, menjadi besar hati dan yakin bahwa di bawah
pimpinan seorang seperti Retna Wilis, mereka akan dapat
mengalahkan Ponorogo. Mula-mula Retna Wilis tidak mau menunggang kuda.
Semenjak kecil ia belum pernah naik kuda dan ketika
menjadi murid Nini Bumigarba di pantai Taut, yang biasa
dijadikan binatang tunggangan hanyalah seekor kura-kura
raksasa! Akan tetapi Adiwijaya menasehatinya, "Paduka
pada saat seperti ini merupakan panglima besar barisan
Wilis. Bagaimanakah seorang panglima memimpin bala
tentaranya dengan berjalan kaki. Hal ini akan merendahkan
nama Paduka, Gusti." Karena nasehat ini, terpaksalah
Retna Wilis menunggang seekor kuda putih dan biarpun ia
tampak makin gagah mengagumkan, namun sesungguhnya
ia merasa kurang leluasa harus menunggang kuda. Akan
tetapi setelah menunggang sehari lamanya, ia mulai terbiasa
dan merasa lebih enak, sungguhpun ia akan seribu kali
memilih jalan kaki dalam menghadapi lawan daripada di
punggung seekor kuda. Sementara itu, Kadipaten Ponorogo yang tentu saja tidak
sudi tunduk terhadap perintah Retna Wilis yang amat hina,
sudah pula melakukan persiapan untuk berperang. Barisan-
barisan telah disiapkan, bala bantuan sudah datang, hanya
bantuan dari Panjalu yang belum datang karena Ki Patih
Tejolaksono menahan pengiriman bantuan spasukan ke
Ponorogo, menanti kembalinya Endang Patibroto yang
hendak mencegah puterinya melakukan penyerbuan-
penyerbuan yang merupakan pemberontakan itu. Di
Ponorogo telah berkumpul orang-orang sakti untuk
membantu perjuangan kadipaten ini menghadapi ancaman
Kerajaan Wilis yang baru sekali itu mereka dengar. Akan
tetapi para orang sakti ini tidak lagi berani memandang
rendah dara remaja yang kabarnya menjadi ratu di Wilis
ketika mereka mendengar sendiri dari mulut Panembahan
Ki Ageng Kelud betapa saktinya dara itu di waktu masih
kecil dahulu. Apalagi ketika mendengar bahwa dara itu
adalah murid Nini Bumigarba, tengkuk mereka meremang
dan tahulah mereka bahwa bukan hanya Ponorogo yang
terancam, juga nyawa mereka sendiri. Akan tetapi, sebagai
orang-orang berilmu yang membela kebenaran, mereka
tidak merasa gentar dan siap menghadapi lawan.
Bentrokan pertama antara kedua pasukan Ponorogo dan
Wilis terjadi di tapal batas. Ternyata oleh barisan Wilis
bahwa ketenaran nama barisan Ponorogo memang tidak
kosong belaka. Semenjak bentrokan pertama, pasukan-
pasukan Ponorogo mengadakan perlawanan sengit dan
mereka itu selain memiliki anak buah yang kuat-kuat dan
pantang mundur, juga dipimpin oleh perwira-perwira yang
berpengalaman dan pandai mengatur barisan.
Untung bagi bala tentara Wilis bahwa di pihak mereka
ada Ki Patih Adiwijaya. Seperti telah diketahui, patih ini
adalah seorang perajurit kawakan yang sudah mempunyai
banyak pengalaman dalam perang. Pernah menjadi perwira
Jenggala, menjadi panglima Blambangan, kemudian
menjadi patih di Jenggala pula. Maka Patih Adiwijaya
dapat mengimbangi siasat perang pihak lawan. Adapun
untuk pertandingan perang campuh itu sendiri, semua
perajurit Wilis menjadi besar hatinya menyaksikan sepak
terjang ratu mereka, Retna Wilis. Dara ini benar-benar
mengerikan sekali sepak terjangnya. Ke mana saja ia
mengajukan kudanya, pasti barisan lawan cerai-berai dan
korban jatuh bertumpang-tindih dan bertumpuk-tumpuk!
-oooo0dw0ooo- Jilid XLIV HAL ini banyak sekali pengaruhnya, terhadap lawan dan
anak buah sendiri. Fihak lawan menjadi gentar sekali dan
fihak anak buah menjadi besar hati.
Karena sepak terjang Retna Wilis yang selain
mempergunakan kesaktian kedua tangannya juga menggunakan ilmu hitam semacam sihir, maka buyarlah
fihak musuh. Setiap siasat dan pasangan barisan diimbangi
dengan pasangan lain oleh Patih Adiwijaya dan selalu
pasangan barisan lawan buyar oleh amukan Retna Wilis
dan para pasukannya. Pertempuran itu hanya berlangsung setengah hari. Pihak
pasukan Ponorogo terdesak mundur dan biarpun semangat
tempur para perajurit masih tinggi, namun para perwira
yang menyaksikan betapa pasukan mereka hancur seperti
rumput dibabat di bawah amukan Retna Wilis dan anak
buahnya, segera memberi aba-aba kepada pasukan-
pasukannya untuk mundur. Retna Wilis berteriak nyaring, meneriakkan aba-aba
kepada para barisannya untuk mengejar dan menyerbu
terus. Di sepanjang perjalanan menuju ke Kadipaten
Ponorogo, mereka bertemu dengan pasukan-pasukan baru,
namun mereka maju terus sehingga tubuh semua perajurit
berlumuran darah lawan. Mereka bergerak seperti
kemasukan iblis, tertawa-tawa dan bersorak-sorak, apalagi
karena sepak-terjang Retna Wilis makin buas dan ganas.
Segenggam pasir di tangan Retna Wilis, sekali disambitkan
dapat merobohkan puluhan orang lawan! ltulah Aji Pasir-
sekti. Masih baik bagi para perajurit Ponorogo bahwa
gerakan-gerakan dara perkasa itu dihalangi oleh kedudukannya di atas kuda. Andaikata dia mengamuk
tanpa menunggang kuda, tentu akan lebih mengerikan lagi
akibatnya. Retna Wilis yang menyetujui nasehat patihnya, tidak
pernah turun dari punggung kudanya.
Makin dekat serbuan para perajurit Wilis ke kadipaten,
makin kuatlah perlawanan perajurit-perajurit Ponorogo,
bahkan kini orang-orang sakti di fihak barisan Ponorogo
sudah mulai membantu pula. Begitu orang-orang sakti yang
dipimpin oleh Panembahan Ki Ageng Kelud dan para
warok yang jumlahnya ada lima puluh orang itu menyerbu,
barisan Wilis menjadi kacau-balau. Tidak kuat mereka
menandingi serbuan orang-orang sakti ini yang mengamuk
seperti api menjalar, makin lama makin ganas dan
merobohkan banyak korban.
Melihat ini, Patih Adiwijaya memberi aba-aba kepada
pasukan yang menghadapi rombongan orang sakti itu untuk
mundur dan ia mendekati junjungannya memberi laporan
karena maklum bahwa dia sendiri tidak akan kuat
menanggulangi amukan orang-orang sakti itu. Satu-satunya
orang yang akan dapat menghancurkan mereka hanyalah
Sang Ratu Wilis sendiri. Mendengar laporan patihnya, Retna Wilis mengeluarkan
teriakan garang lalu membedal kudanya ke depan,
membuka jalan berdarah merobohkan setiap lawan yang
menghadangnya sampai ia tiba berdepan dengan rombongan warok yang dipimpin oleh Panembahan Ki
Ageng Kelud dan Ki Warok Surobledug!
"Ha, kita bertemu lagi untuk yang terakhir kalinya,
Surobledug dan engkau Ki Ageng Kelud. Terakhir kali
kataku karena sekali ini kalian semua takkan terlepas dari
maut di tanganku!" kata Retna Wilis sambil menudingkan
cambuk di tangan kirinya. Semenjak mengamuk tadi, Retna
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wilis hanya menggunakan cambuk kuda, kedua tangan dan
kakinya saja, tidak pernah menyentuh gagang pedangnya.
"Retna Wilis, engkau perempuan berwatak iblis!
Kematian hanya berada di tangan Sang Hyang Widdhi,
sekali-kali bukan di tangan iblis seperti engkau!" Ki Warok
Surobledug membentak. "Retna Wilis, kejahatanmu melampaui takaran, terpaksa
kami turun tangan!" Panembahan Ki Ageng Kelud juga
berkata sambil menudingkan tongkatnya.
Retna Wilis tertawa, suara ketawanya dingin mengejek,
membuat mereka yang mendengar menjadi mengkirik.
Akan tetapi diam-diam Surobledug telah memberi isyarat
dan tiba-tiba terdengar suara bersautan dan ratusan anak
panah menyambar ke arah tubuh Retna Wilis!
Melihat ini, Retna Wilis cepat memutar cambuknya
sehingga anak-anak panah yang menyambar ke arah
tubuhnya runtuh semua. Akan tetapi tiba-tiba kuda yang
ditungganginya meringkik keras dan roboh terguling. Retna
Wilis kaget dan marah. Kudanya telah menjadi korban
anak panah musuh. ia meloncat dari punggung kuda. Akan
tetapi karena ia kurang pandai menunggang kuda dank
tidak biasa, ia lupa bahwa kakinya masih terkait dan ketika
ia meloncat tentu saja tubuhnya terpelanting dan ia terbawa
roboh bersama kuda, sebelah kakinya terhimpit tubuh
kudanya yang berkelojotan. Pada saat itu, Patih Adiwijaya
meloncat dari atas kudanya langsung menolong sang puteri,
menarik tubuh kuda dan membantu Retna Wilis yang
hendak disambarnya dari tempat berbahaya itu karena kini
banyak anak panah melayang lagi diikuti para warok yang
dipimpin Ki Warok Surobledug menerjang dengan senjata
mereka. Adiwijaya berhasil menyambar tubuh Retna Wilis, akan
tetapi ia merupakan perisai dan biarpun Retna Wilis yang
melihat datangnya anak panah itu cepat menggerakkan
tangan memukul anak-anak panah itu dengan hawa sakti,
tetap saja ada sebatang anak panah menancap di pundak
Adiwijaya! "Ah, Paman, mengapa engkau menoIongku" Engkau
terluka sendiri .......". Retna Wilis berkata penuh sesal.
Kalau hanya jatuh tertindih tubuh kuda begitu saja, bukan
apa-apa baginya dan tidak ditolong sekali pun dia mampu
menolong diri sendiri. Adiwijaya terhuyung dan menggigit bibir ketika Retna
Wilis mencabut anak panah itu yang ternyata mengandung
racun! "Cepat mundurlah dan obati lukamu!" kemudian
sekali tangannya bergerak ke belakang, ia telah mencabut
pedang dan tampaklah sinar berkilat menyilaukan mata.
Pedang Sapudenda telah berada di tangannya, dan sekali
memekik nyaring tubuh dara perkasa ini sudah mencelat ke
depan, disambut oleh rombongan warok. Kini dara itu tidak
lagi menunggang kuda, maka gerakannya makin dahsyat
mengerikan. Tampak sinar pedangnya seperti kilat
menyambar-nyambar di musim hujan dan terdengarlah
jerit-jerit kematian dari tujuh orang warok termasuk Ki
Surobledug sendiri yang putus batang lehernya disambar
pedang Sapudenta! "Sungguh kejam ........ !"
Ki Ageng Kelud berseru dan
menerjang maju dengan gerakannya yang seperti garuda melayang. Serangannya hebat sekali dan
kali ini kakek itu menggerakkan sebatang tongkat akar cendana yang
menyambar ke arah kepala Retna Wilis. Selain hantaman
tongkat di tangan Ki Ageng
Kelud ini, masih ada sambaran senjata-senjata pusaka yang berupa kolor ajimat, digerakkan oleh tangan Ki Warok Dwipasekti dan
tiga orang warok sakti lainnya.
Retna Wilis kini sudah marah sekali, wajahnya yang
cantik jelita berubah beringas, matanya bersinar-sinar
seperti memancarkan api, hidungnya berkembang kempis,
mulutnya tersenyun dingin penuh ejekan. Melihat
datangnya serangan lima orang sakti itu, ia hanya
menyambut tongkat Ki Ageng Kelud. Tangan kirinya
bergerak menangkap tongkat, tangan kanan yang memegang pedang menusuk dan ........ darah muncrat dari
dada kakek itu yang ditembusi pedang Sapudenta sampai ke
punggung. Biarpun sudah tua dan kini pedang pusaka yang luar
biasa ampuhnya menembus dadanya, namun Ki Ageng
Kelud adalah seorang yang gentur tapa, seorang sakti
mandraguna yang sudah dapat mengatasi perasaan nyeri. Ia
seperti tidak merasakan nyeri sama sekali, malah tertawa
dan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan
leher Retna Wilis! Dara perkasa ini berseru kagum, tidak
memperdulikan empat buah senjata kolor yang menghantam tubuhnya, bahkan terus membelit kaki dan
pinggangnya, namun ia menyambut cengkeraman Ki
Ageng Kelud dengan pukulan tangan kiri, menggunakan
Aji Wisalangking. Pukulannya cepat sekali, membuat kedua
tangan kakek itu terpental, terus menghantam kepala dan
sekali ini Ki Ageng Kelud tidak kuat bertahan, tubuhnya
terpental, pedang tercabut dan robohlah tubuh kakek itu
dalam keadaan hangus bagian mukanya!
Retna Wilis tadi sengaja menghadapi Ki Ageng Kelud
yang ia tahu amat sakti, tidak memperdulikan hantaman
empat buah kolor jimat di tangan empat orang warok sakti.
Biarpun hanya kolor, akan tetapi bukan kolor sembarangan
karena dengan senjata kolor ini, warok-warok sakti itu
sanggup untuk sekali pukul menghancurkan batu karang
dan menumbangkan pohon jati sebesar orang! Akan tetapi
betapa kaget hati mereka ketika kolor mereka mengenai
tubuh Retna Wilis, dara itu sama sekali tidak mengelak atau
menangkis, dan kolor-kolor itu mengenai tubuhnya sama
sekali tidak dirasakannya, seolah-olah hanya empat ekor
lalat yang hinggap di tubuh. Melihat dara itu menusuk dada
Ki Ageng Kelud dengan pedang, kemudian memukul
hangus kepala kakek itu, empat orang warok itu menjadi
marah dan penasaran. Kolor mereka yang tadi memukul
tanpa hasil, terus melibat. Dua buah melibat pinggang, dan
yang dua buah lagi membelit kedua kaki gadis itu,
kemudian- mereka mengerahkan seluruh tenaga dan
bersama-sama mereka membetot untuk membikin tubuh
dara itu terguling. Tenaga Ki Warok Dwipasekti dan tiga
orang kawannya itu amat besar. Tarikan mereka tidak akan
kalah oleh tenaga tarikan empat ekor kerbau jantan. Akan
tetapi Retna Wilis tetap berdiri tegak dengan kedua kaki
terpentang lebar, tangan kanan memegang pedang
melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas dan
tubuhnya sedikit pun tidak bergeming!
Jangankan baru empat warok sakti, biar ditambah
sepuluh kali lipat, belum tentu akan kuat menggeser gadis
itu yang mengerahkan Aji Argoselo. Kalau sudah
mengerahkan aji seperti itu, tubuh dara itu seolah-olah
berubah menjadi gunung batu, kedua kakinya seperti telah
berakar di bumi! Empat orang warok itu mendengus-dengus
mengerahkan tenaga dan ketika Retna Wilis menggerakkan
pedang Sapudenta, pedang itu berubah menjadi sinar
berkelebat dan empat buah kepala warok itu mencelat
terlepas dari tubuh mereka yang masih menarik-narik kolor!
Retna Wilis meloncat mundur menghindarkan darah yang
muncrat-muncrat dan robohlah empat batang tubuh yang
sudah tidak berkepala lagi itu.
Para warok menjadi marah bukan main, akan tetapi kini
Retna Wilis sudah mengamuk dengan pedangnya. Senjata
berupa apapun juga dari para pengeroyoknya pasti terbabat
putus oleh pedang Sapudenta, dan disusul muncratnya
darah dari bagian tubuh yang ikut terbabat dan menjadi
buntung. Sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan
mayat para tokoh sakti yang membantu Ponorogo.
Sementara itu, setelah mengobati lukanya di pundak,
Adiwijaya terus memimpin tentaranya menghajar pasukan-
pasukan musuh. Karena pihak Ponorogo melihat betapa
para warok dan orang-orang sakti terbasmi oleh Retna
Wilis, hati mereka menjadi gentar sekali. Akhirnya, ketika
pasukan Wilis menyerbu kadipaten, sisa pasukan Ponorogo
bersama Adipati Diroprakosa melarikan diri menuju ke
Panjalu. Ketika Retna Wilis dan pasukannya memasuki
kadipaten, di depan istana kadipaten, Adiwijaya roboh
pingsan. Luka di pundaknya memang tidak hebat, akan
tetapi karena luka itu terkena racun yang terkandung di
ujung anak panah, dan dia tidak beristirahat melainkan
memimpin terus barisannya, kini racun mulai bekerja dan
dia roboh pingsan. Retna Wilis cepat memerintahkan
beberapa orang perwira untuk menggotong tubuh patihnya
itu memasuki kadipaten dan dia sendiri yang merawat luka
patihnya yang setia itu. Ketika siuman dan mendapatkan dirinya dirawat sendiri
oleh Retna Wilis, Adiwijaya menjadi terharu. Baru pertama
kali ini selama hidupnya ia merasa terharu, perawatan
Retna Wilis menyentuh hatinya, seolah-olah ia menjadi
seorang ayah yang dirawat seorang puterinya.
"Ah, harap Paduka jangan melelahkan diri. Sudah
sepatutnya hamba terluka, memang hamba sendiri yang
salah dan lancang. Hamba lupa bahwa biarpun jatuh,
Paduka tidak akan mungkin dapat celaka di tangan musuh.
Hamba kaget dan panik sehingga lancang menolong
sehingga hamba sendiri yang terluka. Sudah sepatutnya,
memang hamba bodoh sekali ........ " katanya, hatinya
merasa sungkan juga melihat betapa dara perkasa yang
dipuja dan dikaguminya itu mencuci sendiri luka di
pundaknya, memberi obat dan membalutnya.
"Eh, Paman Adiwijaya, mengapa sungkan-sungkan"
Biarlah kubalut baik-baik lukamu. Engkau terkena racun.
Engkau telah menolongku, dan hal itu kuanggap bahwa
Paman telah menolong nyawaku, telah melepas budi
besar." "Paduka terlampau sakti, tak mungkin akan dapat
dicelakai lawan. Luar biasa sekali. Selama hidupku, belum
pernah hamba menyaksikan sepak terjang seorang panglima
perang seperti Paduka"
Setelah pasukan Ponorogo melarikan diri, pasukan-
pasukan Wilis berpesta-pora dalam melakukan pengejaran.
Pengejaran itu hanya sebagai alasan belaka, sesungguhnya
mereka itu berpesta-pora melakukan perampokan- perampokan, bukan hanya harta benda yang direnggut, juga
kehormatan-kehormatan wanita cantik. Demikianlah keadaan perang. Yang menang mabuk kemenangan dan
memperlakukan yang kalah sesukanya sendiri. Merampok
barang, memperkosa wanita, membunuh, menyiksa! Di
antara sorak-sorai gembira, sorak kemenangan itu
tertutuplah isak tangis dan lengking kematian dari rakyat
yang tinggal di sekitar Ponorogo.
-oo(mch-dwkz)oo- "Aduh, Kakangmas ........ , apa yang harus kulakukan
........ Aduh dewata, lebih baik dicabut saja nyawa Endang
Patibroto daripada menderita batin seperti ini .......".
Endang Patibroto mengeluh dan menangis di dalam kereta
sehingga Limanwilis yang duduk pula di situ hanya
melongo dan menghela napas panjang dengan hati penuh
iba. Dia tidak dapat menghibur, maklum betapa hancur hati
junjungannya itu. Ketika akhirnya kereta itu memasuki halaman Kepatihan
Panjalu, Endang Patibroto meloncat turun dan lari
memasuki kepatihan dengan agak terhuyung. Patih
Tejolaksono bersama Ayu Candra dengan kaget sekali
menyambut kedatangan Endang Patibroto yang masuk
sambil menangis. Lebih-lebih lagi rasa kaget dan cemas hati
Patih Tejolaksono ketika Endang Patibroto menubruk
kakinya dan menangis, "Aduh, Kakangmas ........ bagaimana dengan anak kita
itu ........ , apakah yang harus kulakukan, Kakangmas
.......?" Ayu Candra cepat merangkul pundak madunya. "Dinda
Endang ........ ada apakah" Apa yang terjadi" Bagaimana
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Retna Wilis .......?" Ayu Candra sudah pula menangis
melihat madunya tersedu-sedu seperti itu.
Patih Tejolaksono menghela napas dan menekan
batinnya, lalu ia mengangkat bangun tubuh Endang
Patibroto sehingga wanita itu bangkit berdiri, lalu kedua
tangannya memegang pipi kiri kanan, memaksa wajah yang
basah air mata itu bertemu pandang dengannya.
Tejolaksono tcrsenyum, senyum penuh ketenangan dan ia
berkata, "Adinda Endang Patibroto, ke manakah ketenanganmu"
Pandanglah aku, apakah dunia sudah begitu sempit
sehingga engkau kehilangan akal" Tenanglah dan mari kita
duduk di dalam untuk membicarakan persoalan yang
menyusahkan hatimu." Tejolaksono merangkul pundak
isterinya dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. Ayu
Candra memegang tangan Endang Ptibroto yang masih
terisak dan memandang wajah madunya yang pucat itu
dengan hati cemas. Endang Patibroto merasa makin seperti diremas-remas
hatinya setelah ia bertemu dengan suami dan madunya. ia
menjatuhkan diri di atas pembaringan, menyembunyikan
mukanya pada bantal dan menangis lagi. Ayu Candra juga
menangis dan hendak menubruknya, akan tetapi Tejolaksono memegang pundaknya dan memberi isyarat
dengan gelengan kepala agar Ayu Candra membiarkan
Endang Patibroto menangis dulu. Hal ini akan melepaskan
kerisauan hatinya. Ia mengerutkan kening memandang
tubuh Endang Patibroto yang bergoyang-goyang dalam
tangisnya. Bukan watak Endang Patibroto untuk menangis
seperti itu. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat dengan
Retna Wilis. Benar saja, setelah dibiarkan menangis sejenak, Endang
Patibroto akhirnya dapat meredakan gelora hatinya dan ia
bangkit duduk menghapus air matanya. "Maafkan aku,
Kakangmas, maafkan Ayunda ........"
"Dinda Endang Patibroto, sekarang ceritakanlah apa
yang telah terjadi?" tanya Tejolaksono sambil memegang
tangan kiri isterinya. Ayu Candra memegang tangan kanan
madunya. Pegangan suami dan madunya itu memberi
kekuatan kepada Endang Patibroto, mengertilah ia bahwa
betapapun keadaannya, kedua orang itu tidak akan
membiarkan dia sengsara seorang diri. Maka diceritakanlah
semua pengalamannya, bercerita diseling isak tertahan.
Mendengar cerita Endang Patibroto, Ayu Candra
memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Juga
Tejolaksono terkejut sekali, merasa dadanya seperti ditusuk
dan ia menghela napas panjang sambil menggelengkan
kepalanya. "Duh Jagat Dewa Bathara ..... ! Mengapa dia bisa
menjadi begitu" Anakku ?""!" dengan wajah pucat
Tejolaksono mengeluh. "Urusan ini hebat sekali, harus kita
laporkan kepada sang prabu dan kita rundingkan dengan
kakangmas Pangeran Darmokusumo. Dan untuk membujuk Retna Wilis, agaknya aku sendiri yang harus
menemuinya ........ "
Endang Patibroto menggeleng kepala dengan sedih.
"Agaknya akan sia-sia, Kakangmas. Dia tidak dapat
dibujuk, wataknya keras melebihi baja ........"
Mendengar ini, Tejolaksono dan Ayu Candra saling
pandang. Anak Endang Patibroto, bagaimana tidak sakti
mandraguna dan keras hati, demikian bisik hati mereka.
"Dan mempergunakan kekerasan juga percuma. Kesaktiannya mengerikan. Segala aji kesaktian kukeluarkan
dan pada waktu itu saya sudah bertekad untuk
membunuhnya saja. Akan tetapi tidak ada pukulanku yang
dapat merobohkannya, sama sekali aku tidak berdaya
melawannya! Dia memiliki kesaktian seperti Nini
Bumigarba ........ mengerikan!" Tiba-tiba Endang Patibroto
mengangkat muka memandang Ayu Candra dan berkata,
"Ah, Bagus Seta! Dialah yang akan dapat menundukkannya! Mengapa aku melupakan anak kita itu"
Bagus Seta ........ , di mana dia" Dialah satu-satunya orang
yang boleh diharapkan untuk menundukkan Retna Wilis,
anak durhaka seperti iblis itu!"
"Husshhhh ........ Adinda jangan berkata begitu."
Tejolaksono merangkul isterinya. "Betapapun juga, dia
anak kita, anak yang kita sayang ........ kita harus berusaha
menginsyafkannya. Memang Bagus Seta yang agaknya
memiliki kesaktian untuk menundukkannya, seperti juga
Sang Sakti Bhagawan Ekadenta tentu akan dapat
menundukkan Nini Bumigarba."
"Di mana Bagus Seta" Harap panggil dia agar kita dapat
merundingkan dan minta nasehat serta pendapatnya," kata
Endang Patibroto. Terdengar suara Ayu Candra, sayu dan sedih karena
memang ibu ini pun berduka melihat puteranya lebih pantas
menjadi pendeta daripada seorang satria.
"Berhari-hari dia hanya mengeram diri dalam sanggar
pamujan, bersamadhi ...... "
"Sekali ini perlu kita panggil dia," kata Tejolaksono.
"Biar aku sendiri yang akan memanggilnya." Patih yang
diam-diam merasa prihatin sekali itu lalu melangkah keluar
kamar meninggalkan kedua isterinya, menuju ke sanggar
pamujan di ujung taman untuk memanggil puteranya yang
berhari-hari bersamadhi di tempat itu. Endang Patibroto
teringat akan Limanwilis dan dua orang adiknya, maka
bersama Ayu Candra ia segera keluar dan menemui mereka
bertiga yang masih menunggu di pendopo, kemudian
memerintahkan para abdi untuk memberi tempat istirahat
bagi tiga orang tokoh Wilis itu.
Setelah tiba di tempat pemujaan atau tempat samadhi,
Tejolaksono melihat pintu pondok tertutup dan dari celah-
celah jendela pondok ia melihat puteranya tekun
bersamadhi, duduk bersila dan berada dalam keadaan yang
hening. Hatinya menjadi tidak tega untuk mengganggu
puteranya secara kasar. Dia sendiri sebagai seorang yang
ahli dalam samadhi, mengerti betapa tidak enaknya orang
yang sedang bersamadhi dibangunkan secara kasar. Maka
ia lalu bersila di luar pondok, mengheningkan cipta dan
mengarahkan seluruh kehendaknya untuk menghubungi
puteranya melalui getaran perasaannya. Tak lama
kemudian, terdengarlah suara puteranya,
"Saya datang, Kanjeng Rama!"
Tejolaksono bangkit berdiri dan puteranya keluar pula
dari tempat samadhi itu, kemudian Tejolaksono menggandeng tangan puteranya sambil berkata, "Bagus
Seta, ibumu Endang Patibroto sudah pulang dan ada urusan
penting sekali yang ingin dibicarakan dan minta
pertimbanganmu." Bagus Seta mengangguk dan dengan tenang sekali
keduanya memasuki istana kepatihan. Ayu Candra dan
Endang Patibroto sudah menanti si ruangan dalam di mana
mereka mereka berempat dapat bicara tanpa gangguan para
abdi yang dilarang memasuki ruangan itu. Endang
Patibroto sudah agak tenang dan tidak menangis lagi,
sungguhpun jelas tampak kerisauan hatinya membayang di
wajahnya yang masih pucat dan matanya yang masih
merah kebanyakan menangis. Juga Ayu Candra masih
mengerutkan alis dan ada berbekas di wajahnya bahwa dia
habis menangis. "Selamat datang, Kanjeng Ibu!" Bagus Seta menghaturkan sembah kepada ibu tirinya yang diterima
oleh Endang Patibroto dengan rangkulan.
"Anakku Bagus Seta, ibumu amat mengharapkan
pertolonganmu untuk menyelamatkan adikmu si Retna
Wilis." Patih Tejolaksono dan kedua orang isterinya lalu
menceritakan secara bergantian tentang keadaan Retna
Wilis yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Bagus
Seta. Setelah ia mendengar seluruhnya, pemuda yang amat
tenang sikapnya ini mengangguk-angguk dan berkata,
"Patut dikasihani keadaan adikku Retna Wilis yang
dicengkeram oleh pengaruh sesat. Akan tetapi, kalau watak
adinda Retna Wilis sedemikian keras seperti yang
diceritakan Ibunda, agaknya amat tidak baik kalau
dipergunakan kekerasan untuk membujuk atau mempengaruhinya. Sedangkan Kanjeng Ibu Endang
Patibroto sendiri tidak diturut bujukannya, apalagi orang
lain. Adapun digunakannya pasukan Panjalu untuk
memukul Kerajaan Wilis, sungguhpun hal ini kelak
agaknya tak dapat dihindarkan lagi, namun tentu akan
mendatangkan korban amat banyak. Betapapun juga,
karena urusan Wilis ini bukan hanya urusan pribadi
keluarga kita, melainkan urusan kerajaan, akan terlalu
sembrono bagi kita kalau kita menanggulanginya sendiri.
Sudah menjadi kewajiban Kanjeng Rama untuk melaporkan hal ini kepada sang prabu untuk dirundingkan
bagaimana sebaiknya menghadapi ancaman Kerajaan
Wilis. Adapun tentang diri adinda Retna Wilis sendiri,
biarlah saya akan berusaha untuk membantunya mendapatkan kesadaran. Sekarang saya mohon diri dari
Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu berdua, hari ini juga saya
akan pergi menemui adinda Retna Wilis."
"Aduh, terima kasih, anakku angger Bagus Seta. Lapang
rasa dadaku setelah engkau sanggup untuk menemui Retna
Wilis. Kalau engkau yang turun tangan, aku yakin pasti
akan berhasil, Anakku!" kata Endang Patibroto dan
wajahnya yang tadinya suram itu kini berseri gembira.
Bagus Seta menundukkan mukanya. "Segala keputusan
berada sepenuhnya di tangan Sang Hyang Widdhi, Kanjeng
Ibu. Manusia hanya wajib berikhtiar, menjalankan tugas
sebagaimana mestinya. Hamba mohon doa restu Paduka
bertiga." "Berangkatlah, Bagus. Aku membekali pangestu!" kata
Tejolaksono dengan Pandang mata kagum kepada
puteranya. "Hati-hati di jalan, Anakku!" kata Ayu Candra, agak
terharu. "Bagus Seta, kau tolonglah adikmu Retna Wilis ........ "
berkata Endang Patibroto dengan suara memohon.
Setelah Bagus Seta berangkat, hanya berjalan kaki dan
tidak membawa bekal apa-apa, dengan pakaian tetap putih
sederhana sungguhpun kini ia dibuatkan pakaian putih dari
kain sutera halus oleh ibunya, Tejolaksono lalu menemui
Liman-Wilis bertiga, kemudian bersama kedua isterinya ia
langsung menghadap sang prabu yang segera membuka
persidangan untuk membicarakan Kerajaan Wilis yang
mengancam keselamatan daerah Panjalu. Baru saja
persidangan dibuka, datang punggawa yang membawa
pelaporan bahwa Ponorogo telah diserbu dan telah jatuh ke
tangan Kerajaan Wilis! Tak lama kemudian datanglah
menghadap Sang Adipati Diroprakosa sendiri yang
bercerita dengan air mata bercucuran akan hancurnya
Ponorogo dan tewasnya para tokoh Ponorogo dan para
pembantu-pembantu sakti di tangan Ratu Wilis yang
memiliki kesaktian yang luar biasa.
Mendengar ini, terdengar isak tangis dan Endang
Patibroto cepat menyembah sang prabu dan mohon
diizinkan mengundurkan diri. Sang prabu yang arif
bijaksana maklum akan isi hati Endang Patibroto. Tentu
saja wanita ini merasa sungkan dan tidak enak hatinya
mendengar betapa puterinya, Ratu Wilis, akan menjadi
bahan percakapan, maka sang prabu memberi izin. Endang
Patibroto mohon maaf kepada suaminya dan kepada para
hadirin lainnya, kemudian meninggalkan persidangan
dengan hati remuk. Ia langsung memasuki kepatihan,
masuk ke dalam kamarnya dan membanting tubuhnya ke
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atas pembaringan, merintih-rintih di dalam hatinya,
bersambat kepada mendiang ibunya. Tiba-tiba ia bangkit
duduk dan memandang dinding dengan mata terbelalak dan
muka pucat. "Aduh, Ibunda ........ ampunkan hamba ........
ampunkan anakmu yang berdosa ........ !" Dan ia menutupi
muka dengan kedua tangan lalu menangis sedih. Terbayang
di depan matanya yang dipejamkan akan semua
pengalamannya di waktu dia muda dahulu. Betapa ia pun
sudah banyak mendatangkan sakit hati kepada ibunya
sendiri (baca Badai Laut Selatan). Bukankah sekarang ini
dia hanya memetik buah yang dahulu ditanamnya sendiri"
Bukankah dahulu ibunya sendiri, yang mengandungnya dan
melahirkannya, juga mengalami derita batin karena dia,
seperti yang ia alami sekarang"
Sementara itu, di dalam persidangan sang prabu dengan
bijaksana minta pendapat Tejolaksono tentang Kerajaan
Wilis yang jelas hendak melanggar kedaulatan Jenggala dan
Panjalu, bahkan telah menyerbu dan merampas Ponorogo
yang menjadi daerah Panjalu atau setidaknya menjadi
kadipaten yang tunduk kepada Panjalu. Sang prabu yang
maklum bahwa Retna Wilis adalah puteri Tejolaksono dan
Endang Patibroto, mengharapkan pendapat dari patih
mudanya yang menjadi senopati pula, dan yang menjadi
ayah dari Retna Wilis yang menggegerkan itu.
"Duh, Gusti Sinuwun sesembahan hamba," Tejolaksono
berkata dengan suara tegas tanpa ragu-ragu. "Sungguhpun
Ratu Wilis adalah puteri hamba, akan tetapi urusan ini
adalan urusan kerajaan, dan biarpun puteri hamba sendiri,
kalau mendatangkan kekacauan dan kalau hamba akan
diperintah oleh Paduka, hamba akan berangkat dan
menggempur Wilis!" Sang prabu mengangguk-angguk. "Aku percaya akan
kesetiaanmu, wahai patihku yang perkasa. Akan tetapi
Kerajaan Wilis hanya kerajaan baru yang kecil, dan karena
ratunya adalah puterimu, maka sebaiknya dicari jalan lain
untuk menghindarkan perang yang akan menimbulkan
malapetaka dan kesengsaraan belaka bagi rakyat. Baru saja
rakyat menderita oleh kekacauan Jenggala, maka sebaiknya
kalau kita mencoba untuk menghindarkan perang baru.
Puteraku, Pangeran Darmokusumo, bagaimana pendapatmu?" "Kanjeng Rama, perkenankanlah hamba berwawancara
dengan yayi Patih Tejolaksono." Putera mahkota itu
menyembah. Sang prabu mengangguk dan Pangeran Darmokusumo
lalu menghadapi Tejolaksono,
"Yayi Patih Tejolaksono. Usaha apakah yang telah
kaulakukan menghadapi urusan Wilis ini?"
"Rakanda Pangeran, isteri hamba Endang Patibroto
sudah mengunjungi Retna Wilis dan membujuknya, bahkan
ketika puteri kami itu tidak menurut, telah pula
menyerangnya, akan tetapi anak itu yang telah menerima
pendidikan Nini Bumigarba, amat sakti sehingga Endang
Patibroto sendiri tidak mampu mengalahkannya. Kini
hamba mengutus Bagus Seta untuk mencoba untuk
membujuknya." jawab Tejolaksono.
"Hemm, kalau begitu sebaiknya kita bersabar, menanti
hasil yang dicapai Bagus Seta. Sementara itu, penjagaan di
tapal batas harus diperkuat, dan hubungan para kadipaten
di sebelah barat harus dipererat sehingga setiap perubahan
dan setiap gerakan Wilis akan dapat segera kita ketahui."
kata sang prabu. Setelah para tokoh Kerajaan Panjalu
diminta pendapatnya, dan ternyata pendapat mereka juga
cocok, persidangan dibubarkan dan Tejolaksono bersama
Ayu Candra cepat kembali ke kepatihan untuk menghibur
hati Endang Patibroto. Adapun Limanwilis dan dua orang
adiknya yang lebih mengenal keadaan di Wilis, ditugaskan
untuk pergi menyelidik untuk mengikuti perkembangan dan
gerakan-gerakan Kerajaan Wilis.
-oo(mch-dwkz)oo- Kita tinggalkan dulu keadaan di Panjalu yang tetap
tenang berkat kebijaksanaan sang prabu yang amat sayang
kepada keluarga Tejolaksono, dan mari kita menengok
keadaan di Kerajaan Wilis.
Biarpun Kerajaan Wilis sudah berhasil mengalahkan
Ponorogo, akan tetapi dalam peperangan itu Wilis
kehilangan pula banyak perajurit. Ada seperempatnya yang
tewas atau terluka parah dalam perang dan untuk
menghimpun tenaga baru, Wilis membutuhkan waktu.
Ketika Ratu Wilis menyampaikan niatnya untuk menyerbu
terus ke Jenggala, hal ini disetujui oleh Adiwijaya.
"Harap Paduka suka bersabar, Gusti Puteri. Selain
perajurit kita banyak yang gugur sehingga kekuatan kita
berkurang, juga Kerajaan Jenggala tidaklah selemah
Ponorogo. Di sana memiliki bala tentara besar, apalagi
tentu Kerajaan Panjalu membantunya, juga banyak terdapat
orang-orang sakti mandraguna." Adiwijaya cukup cerdik
untuk tidak menyebut nama Tejolaksono dan Endang
Patibroto untuk tidak melukai hati orang yang disayangnya.
"Selain itu, juga Ponorogo hanya menyerah karena
terpaksa. Amat sukar mengharapkan bantuan dari rakyat
Ponorogo, maka kita harus menghimpun dan memperbesar
jumlah perajurit dari daerah-daerah lain yang sudah kita
taklukkan. Perajurit-perajurit baru perlu dilatih. Pendeknya,
untuk menggempur Jenggala membutuhkan persiapan yang
lebih matang, Gusti."
Retna Wilis yang ingin sekali melihat cita-citanya cepat
terkabul, mengerutkan alisnya. "Kalau aku menuruti
rencanamu, bukankah hal itu akan makan waktu bertahun-
tahun" Terlalu lama, Paman. Kalau perlu, aku sanggup
dengan seorang diri menaklukkan kerajaan-kerajaan itu!"
Adiwijaya memandang junjungannya itu penuh kagum.
Sepasang matanya bersinar-sinar dan ia membayangkan
betapa kalau dara perkasa ini melakukan serbuan seorang
diri saja ke Jenggala! Dia tahu bahwa hal itu tidak mungkin
karena mana bisa seorang diri saja, betapapun saktinya,
menghadapi bala tentara yang laksaan jumlahnya" Pula,
banyak sekali orang sakti di sana! Ia cepat menyembah dan
berkata, "Maafkan hamba, Hamba percaya akan kesaktian dan
kesanggupan Paduka, akan tetapi menyerbu seorang diri
bukanlah menjadi kebiasaan seorang ratu yang besar. Harap
Paduka bersabar, dan kalau Paduka menganggap bahwa
menghimpun dan melatih pasukan kuat akan memakan
waktu terlalu lama, hamba masih mempunyai jalan lain
yang kiranya lebih singkat dan akan lebih menghasilkan."
"Bagus sekali, Paman. Aku percaya akan daya upaya dan
kecerdikanmu. Jalan apakah yang kau maksudkan itu"
Lekas beritahukan," kata Retna Wilis dengan wajah
gembira. "Paduka tentu maklum bahwa keadaan Jenggala
sekarang jauh lebih kuat daripada sebelum sang prabu yang
sepuh diganti oleh Pangeran Panji Sigit yang kini telah
menjadi raja. Bahkan gusti permaisuri Jenggala adalah bibi
Paduka sendiri yang sakti mandraguna. Belum lagi diingat
bahwa patihnya yang menjadi benteng Jenggala sekarang
adalah Joko Pramono dan isterinya yang perkasa."
Kembali alis yang kecil hitam itu berkerut. "Paman, tidak
perlu Paman menyebut nama-nama mereka. Mereka itu
benar para paman dan bibiku, akan tetapi kalau mereka
tidak suka tunduk kepadaku, aku akan menghadapi mereka
sebagai lawan!" Adiwijaya mengangguk-angguk. "Hamba juga percaya
bahwa Paduka akan sanggup mengalahkan lawan yang
mana pun juga. Akan tetapi, bukankah kalau terjadi hal itu,
akan amat tidak enak, Gusti" Sebaiknya kalau kita
mengadakan persekutuan dengan pihak Sriwijaya dan Cola.
Kedua kerajaan itu mempunyai wakil-wakil yang sakti dan
yang sudah menyusun barisan yang cukup kuat pula. Kita
ajak mereka bersekutu untuk menggempur Jenggala dan
kalau hal itu terjadi, tidak perlu Paduka sendiri yang harus
menghadapi para paman dan bibi Paduka di Jenggala."
"Ihh, Paman Adiwijaya, omongan apa yang kau
keluarkan ini?" Retna Wilis membentak marah dan
mengangkat kedua alisnya, matanya terbelalak memandang
tajam kepada patihnya. "Aku tidak takut menghadapi
kerajaan mana pun juga, mengapa mesti bersekutu" Aku
tidak sudi bersekutu apalagi dengan kerajaan-kerajaan asing
itu. Bersekutu hanya menunjukkan bahwa kita lemah, dan
kemenangan yang dicapai seolah-olah mengandalkan
bantuan sekutu-sekutu itu!"
"Maksud hamba tidak demikian, Gusti. Pertama,
penyerangan terhadap Jenggala dan Panjalu di mana
terdapat keluarga Paduka yang menjadi senopati, amat
tidak enak bagi Paduka sendiri, maka sebaiknya meminjam
tenaga orang-orang Sakti dari kerajaan asing itu. Ke dua,
dan hal ini penting sekali, orang-orang dari Sriwijaya dan
Cola itu merupakan ancaman kelak bagi Paduka. Mereka
adalah musuh-musuh rakyat dan mereka itu menyusun
tenaga secara nyiluman (seperti siluman, bersembunyi dan
rahasia) sehingga amat sukar untuk membasmi mereka.
Kalau mereka diajak bersekutu, tentu mereka akan tampak
dan kelak kalau kita sudah mempergunakan tenaga mereka
sehingga berhasil, mudah saja bagi kita untuk membasmi
mereka dari permukaan bumi!"
Retna Wilis termenung sampai lama. ia mempertimbangkan usul pembantunya yang setia ini.
Memang ada benarnya. Biarpun ia tidak perduli kalau
terpaksa harus melawan para bibi dan pamannya, akan
tetapi kalau ia teringat akan bibinya Setyaningsih, ia ragu-
ragu juga apakah akan tega menurunkan tangan kepada
bibinya itu. Apalagi kalau ia ingat akan ayah bundanya
yang berada di Panjalu. Kalau mereka itu maju, dan hal ini
tak dapat disangsikan lagi mengingat bahwa ayah bundanya
adalah hamba-hamba setia dari Panjalu, biarpun dia tidak
takut dan pasti akan menentang mereka kalau ayah
bundanya berusaha menghalangi cita-citanya, namun tetap
saja ada sedikit perasaan tidak enak di hatinya. Dan para
wakil kedua kerajaan asing itu, tentu kelak hanya akan
menjadi gangguan yang memusingkan. Usul patihnya amat
baik, sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat.
Menggunakan mereka untuk menggempur dan menaklukkan Jenggala dan Panjalu, kemudian setelah
berhasil, membasmi mereka sebelum mereka sadar akan
muslihat ini. "Usulmu menarik sekali, Paman. Akan tetapi, benar-
benarkah Sriwijaya dan Cola mempunyai tokoh-tokoh yang
sakti, yang boleh dipercaya akan dapat kita pergunakan
untuk menggempur dan menaklukkan Jenggala dan
Panjalu?" "Banyak sekali tokoh mereka, Gusti. Dan terutama sekali
pucuk pimpinan yang sengaja dikirim dari Kerajaan
Sriwijaya dan Cola. Hamba mengenal pemimpin utusan
Kerajaan Cola yang bernama Sang Wasi Bagaspati. Kakek
ini memiliki kesaktian yang amat hebat, Gusti, yang sukar
dicari bandingnya pada saat ini ........ "
"Hemm, aku pernah mendengar dari guruku nama itu.
Manusia sombong yang mengaku sebagai penitisan Sang
Hyang Shiwa! Lalu, siapa lagi, Paman?"
"Masih banyak tokoh Kerajaan Cola yang menjadi
pembantu Sang Wasi Bagaspati, dan yang memiliki aji
kesaktian luar biasa. Adapun pemimpin utusan Kerajaan
Sriwijaya belum pernah hamba jumpai, akan tetapi
kabarnya juga memiliki kesaktian yang tidak kalah oleh
kesaktian Sang Wasi Bagaspati sendiri, namanya Sang Biku
Janapati." Retna Wilis mengangguk-angguk. Nama-nama ini
pernah ia dengar dari Nini Bumigarba. "Paman, apakah
Paman dapat menghubungi mereka?"
"Hamba kira akan dapat mencari tokoh-tokoh Kerajaan
Cola, Gusti. Dan melalui mereka kiranya hamba akan
dapat menghubungi pula tokoh-tokoh Sriwijaya. Apakah
Paduka dapat menyetujui kalau kita bersekutu dengan
mereka?" "Kalau Paman merasa sebaiknya demikian, aku pun
dapat menerima. Sekarang Paman pergilah menghubungi
mereka dan panggil Sang Wasi Bagaspati dan Sang Biku
Janapati datang menghadap aku!"
Adiwijaya membelalakkan mata dan wajahnya berubah.
Akan tetapi mulutnya tidak berani membantah. Ia hanya
merasa khawatir apakah kedua orang tokoh sakti itu akan
sudi datang kalau disuruh menghadap seorang ratu muda
belia seolah-olah mereka itu adalah orang-orang taklukan
atau orang-orang yang tingkatnya lebih rendah. ia
menyanggupi, kemudian menyembah dan berpamit untuk
segera melaksanakan perintah puteri sakti itu, mencari dan
menghubungi Wasi Bagaspati dan Biku Janapati.
Adiwijaya maklum atau dapat menduga bahwa tentu
tokoh-tokoh besar yang dicarinya itu masih belum
meninggalkan daerah Jenggala. Biarpun mereka itu telah
gagal dalam usaha mereka menguasai Jenggala dengan
jalan halus, namun mereka itu tentu tidak mau sudah begitu
saja. Tentu Wasi Bagaspati diam-diam sedang menyusun
tenaga untuk melanjutkan usahanya menguasai Jenggala
dan agaknya bersembunyi di dalam hutan-hutan, di
gunung-gunung yang sunyi.
Mulailah Adiwijaya merantau, seorang diri karena untuk
melakukan tugas rahasia ini ia tidak menghendaki
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rombongan pembantu atau pengawal yang selain dapat
mudah membocorkan rahasia, juga akan membuat ia
kurang leluasa saja. Ia tahu dari siapa ia harus mencari
berita tentang tempat persembunyian tokoh-tokoh dari
kerajaan Cola itu. Maka ia lalu masuk keluar hutan dan
akhirnya ia bertemu dengan serombongan perampok yang
ia kenal sebagai bekas anak buah pasukan Jenggala yang
melarikan diri. Ketika ia memasuki sebuah hutan yang lebat
pada suatu pagi, tiba-tiba dari balik pohon-pohon dan
semak-semak berloncatan belasan orang yang dikepalai
seorang tinggi besar yang berkumis tebal melintang sekepal
sebelah. Adiwijaya mengenal pemimpin perampok itu dan
beberapa orang anggauta perampok sebagai bekas anak
pasukan yang dahulu menjadi pengawal Pangeran
Kukutan, akan tetapi mereka tidak mengenalnya karena
memang kini bekas Patih Warutama sudah banyak
berubah. "Heh, kisanak, berhenti dulu! Tanggalkan semua pakaian
dan tinggalkan semua bawaanmu sebagai pengganti
nyawamu!" Si kumis melintang membentak garang.
Adiwijaya tersenyum, berdiri tegak dan berkata, "Kakang
Jodi, apakah engkau tidak lagi mengenal aku" Aku adalah
bekas Ki Patih Warutama, orang sendiri, bukan lawan."
Beberapa orang bekas anak buah Jenggala, juga Ki Jodi,
memandang dengan mata terbelalak diikuti oleh anak
buahnya. "Ha-ha-ha, engkau pandai membadut, Kisanak! Akan
tetapi kami tidak mempunyai waktu untuk mendengar
ocehanmu. Lekas tanggalkan pakaian atau terpaksa aku
akan membunuhmu lebih dulu, baru melucuti pakaianmu!"
Kepala perampok itu membentak dengan sikap mengancam. "Hemm, memang wajahku sudah berubah. Akan tetapi
apakah engkau tidak lagi mengenal suara dan bentuk
tubuhku" Baiklah, sebelum diberi bukti kalian tentu tidak
percaya. Nah, Kakang Jodi, majulah!"
Ki Jodi menjadi marah. Orang ini yang mengaku bekas
Patih Jenggala adalah seorang yang tubuhnya tidak
membayangkan kekuatan, agaknya sekali pukul saja ia akan
mampu membikin remuk kepala itu. Maka ia lalu berteriak
keras dan menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram
ke arah leher dan kepalan tangan kanannya menjotos
kepala. Tentu saja serangan yang hanya berdasarkan tenaga
kasar ini dipandang rendah oleh Adiwijaya yang sakti.
Tubuhnya hanya miring sedikit, kemudian kedua tangannya bergerak, menyambar pinggang yang besar itu,
diangkatnya tubuh Ki Jodi ke atas lalu dibanting ke atas
tanah. "Brukkk ........ ngekkk!"
"Aduhhhh ........ tohobaattt ........ !" Ki Jodi terengah-
engah dan merintih, tulang punggungnya serasa patah dan
ia tidak dapat bangkit. Kawan-kawannya menjadi marah,
akan tetapi sebelum mereka bergerak maju, Ki Jodi sambil
terengah-engah berkata, "Mundur kalian semua! Apakah kalian buta" Beliau
adalah Gusti Patih Warutama!"
Semua anak buah perampok mundur dan memandang
dengan jerih. Adiwijaya menghampiri Ki Jodi, menepuk
punggungnya dan menariknya bangun. Ki Jodi menyeringai
dan bangkit dengan tubuh bongkok, kedua tangannya
menekan pinggang dan pantat yang rasanya nyeri sekali.
"Ampun, Gusti Patih ........"
"Tidak mengapa, Kakang Jodi. Aku pun tidak berniat
mengganggu kalian, hanya kebetulan saja pertemuan ini
karena memang aku sedang mencari teman-teman bekas
perajurit Jenggala. Aku ingin bertanya ke mana kiranya aku
dapat menemui tokoh-tokoh Cola, Wasi Bagaspati dan para
pembantunya." "Hamba ........ hamba tidak tahu, Gusti. Semenjak
melarikan diri dari Jenggala, hamba bersama kawan-kawan
bersembunyi di hutan ini. Hanya ada hamba mendengar
berita bahwa pasukan wanita penyembah Sang Bhatari
Durgo bermarkas di lereng gunung Arjuna. Kiranya dari
mereka itu Paduka akan dapat mendengar lebih jelas
tentang para tokoh yang Paduka cari."
Adiwijaya mengangguk-angguk. "Baik. Aku akan
mencari ke sana. Kakang Jodi, engkau kumpulkan kawan-
kawan bekas perajurit Jenggala dan bawa mereka sebanyak
mungkin pergi ke lereng Wilis. Di sana kalian boleh
menghambakan diri menjadi perajurit Wilis."
Ki Jodi membelalakkan matanya. "Kerajaan Wilis"
Ahhh, hamba sudah mendengar akan kerajaan baru itu.
Hamba ........ takut, Gusts. Jangan-jangan begitu sampai di
sana, hamba segerombolan akan dibasmi oleh pasukan
Wilis yang terkenal kuat."
Adiwijaya tersenyum bangga. "Jangan khawatir. Katakan bahwa Gusti Patih Adiwijaya yang menyuruh
kalian datang. Kalian pasti akan cliterima sebagai anggauta
pasukan. Aku sekarang adalah Ki Patih Adiwijaya,
patih dari Kerajaan Wilis
yang jaya. Ingat, Ki Patih
Adiwijaya, bukan lagi Patih
Warutama. Mengerti?"
"Baik, Gusti Patih." Ki
Jodi menjawab dan dengan girang ia menerima beberapa
potong emas dari Adiwijaya.
Adiwijaya melanjutkan perjalanannya dan beberapa
hari kemudian tibalah ia di
lereng gunung Arjuna. Karena hari telah menjelang
senja dan ia merasa lelah dan lapar sekali, Adiwijaya
berhenti mengaso di bawah sebatang pohon cemara,
membuka bungkusan daun jati dan makan nasi bekalnya
yang tadi ia beli di dalam dusun di kaki gunung. Baru saja
ia habis makan dan minum air yang memancur keluar dari
celahan batu sambil mencuci tangan, tiba-tiba ia melihat
berkelebatnya bayangan orang. ia maklum bahwa ada orang
sakti datang, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan
melanjutkan mencuci tangan, akan tetapi diam-diam ia
bersikap waspada. "Wirrrr ........ Adiwijaya miringkan kepala, tangan kirinya meraih dan
sebatang tusuk konde cepat ia tangkap dari samping dengan
jari tangannya. Ia menoleh ke arah datangnya senjata
rahasia tusuk konde itu sambil berkata,
"Saya Adiwijaya bukanlah musuh, ha-rap Andika sudi
keluar dan bicara." "Ihhhh ........ Terdengar seruan tertahan seorang wanita
disusul jerit melengking yang agaknya menjadi tanda
bahaya, kemudian dari balik semak-semak muncul keluar
seorang wanita cantik manis dengan sinar mata genit dan
pakaian tipis membayangkan tubuh yang ramping padat,
berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Sekali pandang
Adiwijaya dapat menduga bahwa wanita ini tentulah anak
buah Ni Dewi Nilamanik, seorang penyembah Bathari
Durgo. Cepat ia menjura dengan sikap hormat dan berkata,
"Saya bernama Adiwijaya dan datang dengan niat baik,
harap Andika jangan lagi main-main dengan senjata yang
bahaya ini. Kurasa tusuk konde ini lebih pantas untuk
menghias rambut Andika yang hitam halus itu." Sambil
berkata demikian, Adiwijaya menggerakkan tusuk konde di
tangannya yang melesat cepat dan menancap di konde
(sanggul) rambut wanita itu yang menjadi terkejut sekali.
"Apa niatmu datang ke tempat kami" Apakah Andika
sudah bosan hidup?" Wanita itu menatap wajah dan tubuh
Adiwijaya dengan penuh selidik, juga merasa sayang kalau
pria ini terbunuh. Biarpun sudah setengah tua, pria ini amat
menarik, dan membayangkan kejantanan, di samping
kedigdayaan yang sudah diperlihatkan tadi ketika
menangkap senjata rahasianya dan mengembalikannya
dengan cara mengagumkan. "Saya datang untuk minta menghadap Sang Wasi
Bagaspati, atau Ni Dewi Nilamanik. Bukankah Andika ini
anak buah Ni Dewi Nilamanik?"
Kembali wanita itu kelihatan kaget dan tercengang. Baik
Wasi Bagaspati maupun Ni Dewi Nilamanik berada di
tempat itu secara sembunyi dan tempat ini dirahasiakan.
Bagaimana orang ini dapat mengetahuinya" Akan tetapi
sebelum ia men jawab, terdengar suara halus seorang
wanita, "Ki Warutama, mau apa Andika datang ke sini?"
Adiwijaya membalikkan tubuh dan melihat Ni Dewi
Nilamanik telah berdiri di situ dengan sikap angkuh.
Wanita ini masih cantik menarik penuh daya pikat dan
biarpun dahulu sudah beberapa kali wanita ini melayaninya
sebagai seorang kekasih, namun kini bersikap angkuh dan
dingin. Di tangannya tampak pengebut lalat dari serat
merah buntut kuda, kebutan yang mungkin lebih banyak
mengebut melayang nyawa manusia daripada nyawa lalat.
Kagumlah Adiwijaya. Benar-benar wanita ini selain sakti
juga amat awas sehingga begitu bertemu telah mengenalnya. "Ni Dewi Nilamanik, selamat berjumpa. Sungguh
pertemuan ini amat membahagiakan hati saya karena
membuktikan betapa perjalanan saya tidak sia-sia dan
harapan saya untuk dapat menghadap Sang Wasi Bagaspati
terpenuhi." "Hemm, tidak begitu mudah, Ki Warutama. Kecuali
anggauta kami, siapa pun juga yang sudah lancang naik ke
sini tidak akan dapat turun lagi. Dan Andika bukanlah
anggauta kami. Apa kehendakmu?"
"Ahh, Ni Dewi. Tentu Andika mengerti bahwa kalau
membawa niat buruk, saya tidak akan begitu lancang berani
naik ke sini. Saya sekarang telah menjadi Ki Patih
Adiwijaya dari Kerajaan Wilis, dan kedatangan saya ini
sebagai utusan Kerajaan Wilis untuk menghadap Sang
Wasi Bagaspati." Ni Dewi Nilamanik memandang tajam, menggerak-
gerakkan kedua alisnya. Diam-diam ia merasa kaget dan
juga kagum. Benar-benar laki-laki ini amat cerdik. Baru saja
terguling dari kedudukannya sebagai Patih Jenggala, kini
telah muncul lagi sebagai patih Kerajaan Wilis dan
mempunyai nama baru lagi, Ki Patih Adiwijaya! Benar-
benar seorang laki-laki yang hebat!
"Ikutlah aku, akan tetapi aku tidak mau kau salahkan
kalau nanti rakanda Wasi marah-marah dan membunuhmu!" Tanpa menanti jawaban Ni Dewi
Nilamanik mengebutkan kebutannya dan membalikkan
tubuh, kemudian melesat ke depan, lari cepat mendaki
puncak, Adiwijaya tersenyum dan mengerahkan aji
kesaktianya mengejar. Ia melihat betapa di balik semak-
semak dan pohon-pohon kini telah berkumpul puluhan
orang wanita cantik yang bersenjata lengkap. Tentu anak
buah Ni Dewi Nilamanik yang berdatangan karena jerit
melengking kawan mereka tadi. Ah, memang hebat anak
buah Kerajaan Cola di bawah pimpinan Sang Wasi
Bagaspati ini, pikirnya. Kalau Retna Wilis dapat bersekutu
dengan mereka, tentu bukanlah hal yang sukar lagi untuk
menggempur dan menaklukkan Jenggala, bahkan Panjalu
sekali pun. Hanya seorang tokoh yang amat dikhawatirkan,
yaitu Bagus Seta, putera Ki Patih Tejolaksono yang
memiliki kesaktian luar biasa itu sehingga Sang Wasi
Bagaspati sendiri kabarnya kalah oleh pemuda itu. Diam-
diam ia seringkali membandingkan Bagus Seta dan Retna
Wilis dan bergidik. Retna Wilis puteri Ki Patih
Tejolaksono! Entah bagaimana jadinya kelak kalau kakak
beradik satu ayah lain ibu itu bertemu sebagai lawan!
Jalan mendakl puncak itu melalui tempat-tempat rahasia
yang sukar dilalui, dan di dekat puncak menuruni sebuah
jurang yang amat curam sehingga kalau orang luar takkan
mungkin dapat mengira bahwa jurang seperti ini dijadikan
markas sementara bagi Wasi Bagaspati dan anak buahnya.
Kiranya di dekat dasar jurang itu terdapat terowongan
dan setelah melalui terowongan, mereka berada di dasar
jurang lain yang tidak tampak dari atas, dasar yang rata dan
amat luas. Di tempat inilah Sang Wasi Bagaspati tinggal
bersama Ni Dewi Nilamanik dan anak buahnya yang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjumlah hampir seratus orang wanita. Di situ telah
dibangun pondok-pondok bambu yang sederhana namun
cukup besar dan biarpun tempatnya sederhana, karena
dikelilingi puluhan orang wanita muda dan cantik, bagi
seorang laki-laki yang menjadi hamba nafsu berahi
merupakan surga dunia. Pasukan yang menjaga pondok terbesar juga merupakan
perajurit-perajurit wanita yang bersenjata lengkap, memegang tombak dan menyarungkan pedang. Mereka
nampak cantik dan gagah, akan tetapi mereka semua
memiliki pandang mata yang bersinar penuh kegenitan
seperti yang terdapat pada pandang mata Ni Dewi
Nilamanik. Adiwijaya memasuki pondok itu di belakang Ni Dewi
Nilamanik dan begitu ia berhadapan dengan Sang Wasi
Bagaspati yang duduk bersama seorang kakek lain yang
memandangnya penuh perhatian, dia merasa bulu
tengkuknya meremang. Selalu ia merasa ngeri kalau
bertemu pandang dengan kakek yang berpakaian merah
darah, bertubuh tinggi kurus dan mukanya merah
mengingatkan dia akan tokoh Raja Alengkapura, yaitu
Maharaja Dasamuka dalam cerita Ramayana.
"Heh, Warutama, manusia yang berhati penuh khianat!
Inginkah engkau mendapat kehormatan tewas di tanganku
maka engkau berani datang ke sini?" Wasi Bagaspati
membentak dan Adiwijaya yang berdiri menunduk penuh
hormat itu gemetar kedua kakinya. ia lalu memberi hormat
dan duduk bersila di depan kakek itu.
"Duhai Sang Wasi yang arif bijaksana dan sakti
mandraguna. Mohon ampun akan kebodohan saya, akan
tetapi saya tidak merasa telah melakukan khianat," bantah
Adiwijaya, menekan hatinya agar suaranya tidak gemetar.
Ia mengingat akan junjungannya, Retna Wilis, dan seketika
rasa gentarnya lenyap. Puteri junjungannya itu tidak akan
meninggalkannya, tidak akan membiarkannya diganggu,
biar oleh seorang sakti seperti kakek ini sekalipun. Dan
dalam hal kesaktian, ia merasa yakin bahwa ratunya itu
tidak akan kalah oleh kakek ini. Keyakinan ini
menimbulkan ketabahan di hatinya, mengusir rasa takut
sehingga ia dapat mempergunakan akal budi dan
kecerdikannya. "Heh, Warutama. Andika telah membunuh Suminten
dan Pangeran Kukutan, masih mengatakan Andika tidak
berkhianat" Andika melarikan diri meninggalkan sekutu,
bukankah hal itu membuktikan hatimu yang khianat?"
Adiwijaya sudah menduga akan datangnya tuduhan itu,
maka ia sudah siap dengan jawabannya yang keluar dengan
suara tenang, "Duh Sang Wasi yang mulia. Saya tidak
berkhianat ketika membunuh Pangeran Kukutan dan
menyerahkan Suminten kepada para perajurit yang
melarikan diri. Mereka berdualah yang berkhianat, karena
bukankah kegagalan di Jenggala terjadi karena kebodohan
dan kelancangan mereka berdua" Setelah gagal karena
kecerobohan mereka, kedua orang manusia palsu itu
melarikan diri. Saya muak melihat mereka maka saya
membunuh Pangeran Kukutan dan menyerahkan Suminten
kepada para perajurit yang melarikan diri. Kalau tidak
karena kebodohan mereka, tentu saya masih menjadi patih
di Jenggala dan usaha Sang Wasi yang dihimpun dan
dipupuk secara susah payah tidak akan sirna begitu saja."
Wasi Bagaspati mengelus rambutnya yang putih dan
terurai ke pundak. Matanya tidak beringas lagi dan
suaranya ketika bicara menunjukkan bahwa kemarahannya
reda mendengar alasan Adiwijaya yang kuat.
"Engkau pandai bicara dan mungkin engkau benar.
Kami pun tidak lagi membutuhkan mereka. Akan tetapi
kami pun sama sekali tidak membutuhkan engkau,
Warutama. Apa kehendakmu datang menghadap aku?"
Adiwijaya tersenyum tenang dan sabar. "Tentu saja Sang
Wasi tidak membutuhkan saya, dan kedatangan saya ini
pun karena teringat akan budi Sang Wasi dan teringat
bahwa kita dahulu pernah bekerja sama. Saya menyesal
akan kegagalan kita yang disebabkan oleh kebodohan
Pangeran Kukutan dan Suminten. Maka sekarang saya
hendak memberi jalan kepada Sang Wasi untuk menebus
kekalahan yang lalu, bersama menggempur dan menaklukkan Jenggala dan Panjalu."
Terdengar suara menggereng seperti harimau dan tempat
itu menjadi tergetar hebat. Adiwijaya terkejut sekali dan
memandang kakek ke dua yang duduk di sebelah kiri Sang
Wasi Bagaspati, yang mengeluarkan suara menggereng
hebat, mengandung daya kekuatan dan wibawa ampuh itu.
"Hhrrrrrggg ........ Manusia yang begini mudah
menggerakkan lidah mana dapat dipercaya" Kakang Wasi,
biar kuganyang jantungnya!'
Melihat wajah Adiwijaya berubah pucat, Wasi Bagaspati
mengangkat tangan mencegah kakek itu sambil berkata,
"Biarkan dia bicara lebih dulu." Kemudian ia menoleh
kepada Adiwijaya, "Warutama, kau bicaralah yang benar,
kalau tidak, aku akan membiarkan adikku Wasi Bagaskolo
mengganyang jantungmu. Apa yang kau maksudkan
dengan ucapanmu tadi" Adikku ini benar kalau mengatakan
bahwa engkau terlalu mudah menggoyang Iidah hendak
menaklukkan Jenggala dan Panjalu."
Hati yang kaget dan gentar dari Adiwijaya berubah
girang ketika mendengar bahwa kakek yang hebat dan jelas
memiliki kesaktian tinggi itu adalah adik Wasi Bagaspati.
Cepat ia berkata, "Saya tidak berani membohong atau
menipu, Sang Wasi. Sekali ini kita pasti akan berhasil
menghancurkan Jenggala. Hendaknya Sang Wasi mengetahui lebih dulu bahwa saya sekarang telah menjadi
Ki Patih Adiwijaya dari Kerajaan Wilis."
"Hemmm ........ !" Sungguhpun Wasi Bagaspati hanya
mengeluarkan suara menggeram, akan tetapi seperti juga Ni
Dewi Nilamanik, ia menjadi kagum akan kecerdikan laki-
laki ini. "Aku sudah mendengar akan Kerajaan Wilis yang
baru berdiri dart sudah banyak menaklukkan kadipaten.
Lalu bagaimana?" "Saya sengaja datang menghadap sebagai utusan
junjungan saya, Sang Ratu Wilis, untuk mengajak Sang
Wasi bersama-sama menyerbu Jenggala dan Panjalu."
"Ha-ha-ha-ha! Andika benar-benar seorang yang amat
cerdik, Warutama ........ eh, siapa nama barumu tadi" Ki
Patih Adiwijaya" Akan tetapi kecerdikanmu tidak cukup
besar untuk mudah saja membujuk kami, Ki Patih
Adiwijaya! Apa artinya sebuah kerajaan kecil seperti Wilis
yang baru saja muncul?"
"Harap Sang Wasi tidak memandang rendah Kerajaan
Wilis. Kadipaten Ponorogo dalam waktu singkat dan
dengan mudah saja dapat kami taklukkan dan kini Kerajaan
Wilis telah mempunyai pasukan yang tidak kurang dari dua
laksa orang besarnya, semua merupakan pasukan pilihan.
Selain itu, junjungan saya, Sang Ratu Wlilis memiliki aji
kesaktian yang amat hebat!"
"Hemm, masih belum meyakinkan akan dapat menghadapi Jenggala," kata Wasi Bagaspati yang
termenung kalau teringat akan kesaktian Bagus Seta. Dia
sengaja mendatangkan adik seperguruannya, Wasi Bagaskolo, dari Kerajaan Cola untuk membantunya karena
dari pihak Biku Janapati tidak ada bantuan. Namun dia
masih ragu-ragu apakah kedudukannya cukup kuat untuk
menyerbu Jenggala. "Siapa nama ratumu dan berapa
usianya?" Dengan bangga lahir batin Adiwijaya menjawab, "Ratu
kami bernama Retna Wilis, masih dara remaja, usianya
tidak akan lebih dari delapan belas tahun."
"Weh! Bedes monyet keparat!" Wasi Bagaskolo meloncat
dari tempat duduknya dan membanting kaki kanannya di
atas tanah. Tubuh Adiwijaya sampai hampir mencelat ke
atas karena tanah itu tergetar hebat. "Bocah perempuan
cilik, perawan berusia delapan belas tahun kau pamerkan di
sini" Kau hendak menghina kami, ya?"
Adiwijaya mengangkat kedua tangan, digerak-gerakkan
sebagai tanda bahwa dia tidak menghina, di dalam hatinya
memaki-maki kakek yang amat galak ini. "Sama sekali
tidak, Sang Wasi. Hendaknya diingat bahwa Bagus Seta
yang amat sakti mandraguna itu pun masih muda remaja.
Dan Gusti Ratu Retna Wilis adalah adik seayah Bagus
Seta." "Apa ........ ?" Benarkah itu ?".?" Wasi Bagaspati
bertanya kaget. "Benar Sang Wasi. Gusti Ratu Wilis adalah puteri Ki
Patih Tejolaksono dan ........ Puteri Endang Patibroto,
bahkan beliau adalah murid tunggal Nini Bumigarba
........!" "Ooommmm ........ Sang Hyang Bathara Shiwa penguasa
jagad raya ........ !!" Wasi Bagaskolo berseru, mukanya
berubah dan kini dia tidak berani lagi memandang rendah
"perawan remaja" itu setelah ia mendengar bahwa Ratu
Wilis yang masih muda remaja itu adalah murid Nini
Bumigarba. Wasi Bagaspati membelalakkan mata dan hatinya
tertarik sekali. "Hemm, jadi diakah" Akan tetapi dia adalah
puteri Tejolaksono dan Endang Patibroto. Bagaimana
mungkin bekerja sama dengan kami?"
"Biarpun puteri mereka, namun pendirian orang tua dan
puteri tidaklah sama." Adiwijaya lalu menceritakan hal-
ihwal Retna Wilis, betapa ratu muda itu telah menentang
ibunya sendiri dan bertekad untuk menaklukkan Jenggala
dan Panjalu. -ooo0dw0ooo- Jilid XLV KEMUDIAN ia menambahkan untuk membujuk hati
kakek itu, "Justeru karena ayah bunda beliau berada di
Panjalu dan akan berpihak kepada musuh maka gusti ratu
ingin bekerja sama dengan Sang Wasi. Gust puteri sanggup
menghadapi dan mengalahkan siapapun juga, termasuk
Bagus Seta kakaknya sendiri. Akan tetapi untuk
menghadapi rama ibunya, tentu saja merasa tidak enak dan
menyerahkan hal itu kepada Sang Wasi. Dengan kerja sama
antara Sang Wasi berdua berikut semua pembantu Sang
Wasi yang sakti mandraguna dengan gusti ratu yang
memiliki kesaktian tidak lumrah manusia, saya yakin
bahwa Jenggala dan Panjalu akan mudah ditaklukkan."
"Kalau sudah berhasil, bagaimana?" Wasi Bagaspati
memandang tajam, -akan tetapi dalam hal kecerdikan
menggunakan akal dan tipu muslihat, kiranya Adiwijaya
tidak akan kalah terhadap kakek sakti Itu.
"Kalau sudah berhasil" Tentu saja berarti Kerajaan Cola
akan menjadi kerajaan sahabat dan gusti puteri tentu akan
memberi kebebasan kepada Sang Wasi untuk menyebarkan
agama dan kepada Kerajaan Cola untuk menikmati hasil
bumi Nusa Jawa ......."
"Uuhhh ........ ! Kerajaan kami yang besar bersahabat
dengan kerajaan yang diperintah oleh seorang ratu perawan
belasan tahun" Betapa memalukan!" kata Sang Wasi
Bagaspati sambil memandang tajam. Adiwijaya maklum
akan isi hati kakek itu yang mencobanya, maka ia pun balas
memandang dan berkata, "Kalau Sang Wasi berpendirian seperti itu dan andaikata
akan lebih suka kalau kerajaan di sini dipimpin oleh
seorang pria yang mempunyai minat yang sama,
umpamanya seorang pria seperti ........ eh, saya sendiri,
hemmm ........ apa sukarnya mengenyahkan seorang dara
yang belum berpengalaman" Serahkan saja kepada saya,
karena saya sendiri pun tidak begitu bangga menjadi patih
dari seorang ratu wanita yang amat muda. Merendahkan
sekali namanya! Dan beliau amat percaya kepada saya,
maka hal itu kelak akan dapat kita bicarakan lagi, Sang
Wasi." "Ha-ha-ha-ha! Andika memang seorang yang amat
cerdik dan aku suka sekali bersekutu dengan Andika, wahai
Ki Patih Adiwijaya! Kapankah ratumu itu akan
mengunjungi kami di sini?"
"Maaf, Sang Wasi. Gusti ratu minta dengan hormat agar
Sang Wasi yang datang mengunjunginya di Wilis."
Adiwijaya bersikap cerdik tidak menggunakan kata-kata
minta kakek itu datang menghadap ratunya. Akan tetapi
"undangan" yang sudah diperlunaknya ini masih membuat
wajah yang sudah merah itu menjadi lebih merah lagi.
"Apa" Kerajaan kecil Wilis itu minta aku yang datang
berkunjung" Aku utusan Kerajaan Cola yang besar" Dan
ratu bocah itu" Tuanya masih tua aku, saktinya masih sakti
aku, tingginya kedudukan masih tinggi aku!"
"Ratu perawan cilik itu sombong amat!" kata pula Wasi
Bagaskolo geram. Hemm, kalian ini dua orang kakek yang sombong tak
tahu diri, di dalam hatinya Adiwijaya memaki, akan tetapi
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajahnya tersenyum dan suaranya halus ketika berkata,
"Harap Sang Wasi berdua yang mulia sudi bersabar dan
memikirkan secara mendalam. Ratu Wilis adalah seorang
wanita yang masih muda, tentu saja bersikap manja, apalagi
memang sakti mandraguna. Kita saling membutuhkan,
Kerajaan Wilis membutuhkan bantuan Sang Wasi,
sebaliknya Sang Wasi juga membutuhkan bantuan Wilis,
kalau yang tua dan yang bijaksana tidak sudi mengalah,
bagaimana jadinya" Mengalah bukan berarti kalah dan
kalau kelak sudah tercapai cita-cita, masih banyak
kesempatan untuk membalas kesombongan itu, bukan?"
Sang Wasi Bagaspati mengangguk-angguk, kembali
kepanasan hatinya menjadi dingin dan kemarahannya
mereda oleh ucapan Adiwijaya ini. "Baiklah, memang akal
kadang-kadang lebih penting dipergunakan daripada okol
(kekerasan). Andika pulanglah, Patih Adiwijaya dan
sampaikan kepada ratumu bahwa sebulan lagi kami akan
datang berkunjung ke Wilis."
Girang bukan main hati Adiwijaya. Tugasnya berhasil
baik dan demi tercapainya cita-cita yang terkandung dalam
hati ratu gustinya, betapapun sulitnya cita-cita itu, ia siap
sedia untuk melakukan apa juga. Dan dengan bantuan dua
orang kakek itu dan ditambah pembantu-pembantu mereka
yang sakti seperti Ni Dewi Nilamanik, ia merasa yakin
bahwa cita-cita ratu gustinya pasti akan tercapai. Adapun
untuk dia sendiri, sungguh aneh sekali dan ia merasa heran
sendiri. Dia tidak mencita-citakan sesuatu, tidak seperti
dulu lagi, tidak menginginkan wanita cantik, tidak
menghendaki kedudukan tinggi, maupun harta benda dan
kemuliaan. Baginya, kalau ia dapat melihat Retna Wilis
berbahagia, dapat mengabdi kepada dara itu, dapat selalu
memandang wajahnya, melihat dara itu tersenyum bahagia,
ia sudah merasa cukup bahagia hidupnya!
Dengan dada lapang dan hati gembira Adiwijaya lalu
kembali ke Wilis dan setelah menghadap Ratu Wilis, ia lalu
menceritakan pertemuannya dengan Wasi Bagaspati dan
menutup penuturannya dengan kata-kata menasehati,
"Harap Paduka berhati-hati menghadapi Wasi Bagaspati
dan Wasi Bagaskolo. Selain mereka itu memiliki kesaktian
yang luar biasa, ahli ilmu hitam, juga Wasi Bagaspati amat
cerdik dan palsu sedangkan hamba lihat Wasi Bagaskolo
amat keras hati dan kejam. Tentu saja hamba yakin bahwa
Paduka lebih sakti daripada mereka, akan tetapi di samping
Paduka semestinya menahan harga diri sebagai Ratu
Kerajaan Wilis yang jaya dan tidaklah sangat mengharapkan bantuan mereka, namun hendaknya Paduka
tidak menyinggung mereka sehingga mereka mengundurkan diri kembali. Betapapun juga, bantuan
mereka selain amat perlu untuk menghadapi anggauta
keluarga yang mendatangkan rasa hati tidak nyaman
apabila paduka sendiri yang maju, juga agar mereka itu
tidak menaruh curiga dan kelak lebih mudah bagi Paduka
untuk mengenyahkan mereka setelah kita tidak memerlukan lagi tenaga mereka."
Retna Wilis yang mendengarkan penuh perhatian,
mengangguk-angguk. "Baik Paman. Akan kuingat dan
kulaksanakan pesanmu, dan aku girang sekali bahwa
Paman telah berhasil menghubungi mereka."
"Kalau mereka datang menghadap nanti, sebaiknya
Paduka menerima mereka di ruangan besar seorang diri
agar percakapan di antara Paduka dan mereka tidak sampai
bocor keluar. Hamba sendiri dengan diam-diam akan
mengerahkan tenaga-tenaga pilihan untuk memasang baris
pendem sehingga kalau terlihat gejala tidak baik, dengan
mudah dan cepat hamba akan dapat mengerahkan pasukan
menyergap mereka." "Ah, mengapa demikian, Paman" Aku sendiri tidak takut
menghadapi mereka dan tidak memerlukan bantuan barisan
pendam." "Paduka adalah seorang ratu, tidak semestinya turun
tangan sendiri kalau masih ada pasukan pengawal. Biarpun
hamba yakin Paduka tidak memerlukan bantuan, namun
kalau ada marabahaya lalu pasukan pengawal muncul, hal
ini akan menambah wibawa dan keangkeran Kerajaan
Wilis sebagai kerajaan yang besar."
Kembali Retna Wilis mengangguk-angguk dan ia merasa
bersyukur dan girang sekali bahwa dia mendapatkan
seorang patih yang begini pandai dan yang agaknya
mengerti akan seluk-beluk kerajaan. Seorang pembantu
yang tidak saja pandai, akan tetapi juga setia dan boleh
dipercaya. Sebulan kemudian, sepasukan kecil terdiri dari tujuh
orang wanita cantik anak buah Ni Dewi Nilamanik
mendaki puncak Wilis dan menyampaikan berita bahwa
Sang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo datang
berkunjung dan minta berjumpa dengan Ratu Wilis.
Mendengar berita ini, Adiwijaya lalu mempersiapkan
Naga Kemala Putih 5 Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong Jodoh Si Mata Keranjang 12
hitam mulus, dari jauh ia tampak seperti seorang wanita
muda yang selain cantik jelita, juga gagah perkasa!
Saking hebatnya gelora dalam hatinya mendengar bahwa
puterinya yang hilang, yang selama ini membuat hidupnya
merana, kini telah kembali ke Wilis dan menjadi ratu yang
hendak menaklukkan semua kerajaan, Endang Patibroto
tidak lagi mau berhenti untuk mencari berita. Terus saja ia
membalapkan kudanya menuju ke gunung Wilis. Hatinya
penuh dengan rasa rindu, kegirangan yang bercampur
dengan kemarahan sehingga ia lupa pula bahwa kudanya,
betapapun baiknya, tidak memiliki daya tahan seperti
tubuhnya yang terlatih. Setelah kudanya itu roboh terguling
barulah Endang Patibroto teringat bahwa ia telah
membalapkan kudanya selama sehari semalam tanpa henti.
ia meloncat ketika kudanya terguling dan melihat bahwa
kuda itu tak dapat tertolong lagi. Akan tetapi gairah hatinya
membuat ia enggan menghentikan perjalanannya karena
kuda ini. Ia menyambar buntalan bekal pakaiannya lalu
melanjutkan perjalanan dengan menggunakan aji kesaktian
herlari secepat kijang. Dua hari kemudian tibalah Endang Patibroto di kaki
gunung Wilis. Hari masih pagi sekali dan dia merasa
tubuhnya amat lelah, akan tetapi karena keinginan hatinya
untuk segera berhadapan dengan puterinya, ia tidak
berhenti dan terus mendaki gunung itu.
Ketika ia berlari sampai ke lereng bukit, ia bertemu
dengan sepasukan perajurit Wilis. Sungguh sial bagi nasib
pasukan yang jumlahnya sepuluh orang ini karena mereka
adalah perajurit-perajurit baru yang tidak mengenal Endang
Patibroto. Ketika mereka melihat seorang wanita cantik
berjalan cepat mendaki lereng, mereka lalu menghadang
dan seorang di antara mereka berseru,
"Heh, engkau ini wanita dari mana dan siapa berani
mendaki lereng Wilis?"
Endang Patibroto memandang penuh perhatian. ia
melihat sepuluh orang laki-laki tinggi besar berpakaian
serba hijau yang gagah, akan tetapi sikap mereka jauh sekali
bedanya dengan anak buahnya dahulu. Dahulu ia
menanamkan watak satria, melarang keras anak buahnya
dengan ancaman hukuman mati bagi anak buahnya yang
berani mengganggu wanita. Akan tetapi sepuluh orang ini
memandangnya dengan sinar mata penuh nafsu dan gairah.
Bahkan yang memimpin pasukan itu menyeringai
kepadanya. "Aku hendak bertemu dengan Ratu Wilis. Kalian ini
siapakah?" Endang Patibroto balas tanya tanpa menyebutkan namanya, sikapnya angkuh dan galak.
Mendengar ada orang wanita yang begitu saja hendak
bertemu dengan ratu mereka, tanpa menyebut gusti dan
sama sekali tidak memperlihatkan sikap menghormat,
sepuluh orang itu menjadi marah dan pemimpin mereka
tertawa bergelak. "Wah-wah, dari mana datangnya wanita
yang miring otaknya ini" Eman-eman (sayang) sekali,
begini cantik jelita kok miring otaknya. Marilah manis, mari
kuobati penyakitmu, mari sini, engkau akan terobati dalam
pelukanku. Apakah sudah terlalu lama engkau menjanda
sehingga kekeringan dan kesepian membuatmu menjadi
gila?" Laki-laki itu mengulurkan tangannya hendak meraih
tubuh Endang Patibroto. Endang Patibroto hanya mengeluarkan suara mendengus
"hemmm ........ !!", kakinya bergerak seperti kilat
menyambar dan terdengar suara "krekkk!" disusul
menjeritnya laki-laki itu karena tulang lengannya patah-
patah dan remuk di bagian yang dicium kaki Endang
Patibroto! "Aduh tanganku ....... lenganku !" Laki-Iaki itu
mengeluh dan memegangi lengan kanannya dengan tangan
kiri. "Keparat, mampuslah!" Endang Patibroto membentak
dan kembali tubuhnya bergerak, kini jari tangannya yang
menyambar dengan tempilingan keras ke arah kepala orang
itu. "Prokk!" Kepala itu remuk dan otaknya muncrat bersama
darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa lagi!
Melihat ini, sembilan orang anak buah pasukan itu
menjadi marah bukan main. Mereka membentak,
"Perempuan gila!" Dan mereka telah menerjang maju
dengan senjata golok mereka. Endang Patibroto menjadi
makin marah. Sebenarnya wanita ini sudah banyak berubah
semenjak ia berdekatan dengan suaminya, Ki Patih
Tejolaksono. Wataknya yang keras sudah agak jinak, dan
kalau saja ia tidak berada dalam keadaan begitu marah
terhadap puterinya, kiranya ia akan dapat mengampuni
orang-orang ini. Akan tetapi ia sedang marah dan kecewa
mendengar tentang puterinya, apalagi ketika melihat
kenyataan betapa anak buah puterinya begini buruk
wataknya, kemarahannya terhadap puterinya memuncak
dan ia timpakan semua kepada orang-orang sial itu. Melihat
mereka maju dengan golok terhunus, ia mengeluarkan
pekik nyaring, tubuhnya berkelebat menyambar-nyambar
dan terdengarlah pekik-pekik mengerikan ketika tubuh
sembilan orang itu berturut-turut roboh dengan kepala
pecah semua dan tewas di saat itu juga. Betapa mereka
dapat bertahan menghadapi tamparan-tamparan yang
mengandung Aji Pethit Nogo yang ampuhnya menggila itu"
Tubuh orang itu mati dalam keadaan utuh, akan tetapi
kepalanya hancur semua sehingga sukar untuk mengenal
mereka lagi. Darah dan otak mengotori rumput-rumput
hijau dan keadaan di situ sungguh amat mengerikan.
Munculnya pasukan lain yang lebih besar, ada tiga puluh
orang jumlahnya, membuat Endang Patibroto menjadi lebih
beringas lagi. Kalau perlu, akan dibasminya semua orang-
orang yang mencemarkan nama Wilis ini! Dia sudah
meloncat ke depan dan berseru,
"Manusia-manusia biadab, majulah kalian semua! Saat
ini adalah saat kematian kalian semua!"
Tiba-tiba seorang di antara mereka berseru, "Gusti Puteri
Endang Patibroto ........ !!" orang itu segera menjatuhkan
diri berlutut, diturut oleh teman-temannya yang segera
mengenal wanita sakti itu. Mereka yang tidak pernah
melihat Endang Patibroto karena mereka adalah orang-
orang baru, begitu mendengar disebutnya nama ini dan
melihat teman-temannya berlutut, segera membuang golok
dan berlutut pula. Mereka sudah mendengar bahwa Endang
Patibroto adalah pendiri Padepokan Wilis, dan bahkan
menjadi ibu dari ratu, mereka!
Dengan napas terengah-engah saking marahnya, Endang
Patibroto memandang beberapa wajah yang dikenalnya dan
ia membentak, "Bedebah kalian semua! Di mana
Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis" Hayo suruh
mereka cepat menghadap aku di sini!"
Sementara itu dari jarak yang jauh, ada orang yang
menonton peristiwa ini dengan wajah pucat dan keringat
dingin membasahi seluruh tubuhnya. Kemudian orang ini
diam-diam menyelinap di antara gerombolan pohon dan
melarikan diri dari tempat itu. Orang ini bukan lain adalah
Ki Patih Adiwijaya atau Warutama atau Sindupati! Dari
jauh ia mendengar suara ribut-ribut dan dia sudah lari
menghampiri. Akan tetapi begitu melihat Endang Patibroto,
ia merasa seolah-olah jantungnya menjadi beku dan hampir
ia terkencing-kencing saking takutnya.
Kebetulan sekali ketiga orang tokoh Wilis yang dulu
menjadi pembantu Endang Patibroto, yaitu Limanwilis,
Lembuwilis dan Nogowilis, berada tidak jauh dari lereng
itu. Mendengar suara ribut-ribut mereka cepat berlari
menghampiri dan ketika melihat Endang Patibroto berdiri
tegak dan didekatnya ada mayat sepuluh orang perajurit
Wilis yang kepalanya remuk semua, mereka menjadi pucat
dan cepat lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut
di depan Endang Patibroto.
"Gusti Puteri ........ !!"
Melihat ketiga orang bekas pembantunya yang ia pasrahi
Padepokan Wilis Endang Ptibroto menggeget giginya
menahan marah. "Hemm, apakah yang kalian bertiga telah
lakukan" Apakah yang merubah keadaan Wilis" Beginikah
kalian menjalankan kewajiban kalian membawa para satria
Wilis, menjadi gerombolan-gerombolan manusia biadab?"
Sambil berkata demikian, kaki Endang Patibroto
bergerak dan cepat sekali kaki itu sudah menendangi tubuh
ketiga orang tokoh Wilis itu sehingga mereka bertiga jatuh
bergulingan. Tentu saja Endang Patibroto tidak mempergunakan seluruh tenaga, karena kalau hal ini ia
lakukan, tentu ketiga orang itu telah tewas dengan sekali
tendang saja. Namun tendangan yang bagi Endang
Patibroto perlahan saja itu, bagi ketiga orang saudara Wilis
ini merupakan sambaran halilintar yang membuat mereka
mengaduh-aduh sambil memegangi kepala mereka.
"Aduh, Gusti Puteri ........ !" Mereka bersambat.
"Plak-plak-plak!" Kembali Endang Patibroto menendang
disusul makian-makiannya, "Kalian semestinya dibunuh!
Kalian tidak patut dibiarkan hidup. Keparat kalian,
Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis!"
"Aduh tobat ......!" Limanwilis mengeluh dan roboh
terlentang. "Ampun, Gusti ........ , ampunkan hamba !" Lembuwilis
juga roboh terlentang dan menutupi mukanya seperti orang
menangis. "Aduhhh ........ Gusti Puteri ........ aduh, bunuh saja
hamba ?" Nogowilis meraung-raung karena hampir tidak
kuat menahan rasa nyeri terkena tendangan kedua kalinya
ini. "Memang aku akan bunuh kalian! Aku akan bunuh
kalian dengan tendangan ke tiga kalau kalian tidak lekas
menceritakan apa yang telah kalian perbuat di sini!"
Tiga orang itu masih mengaduh-aduh karena belum
mampu bercerita ketika pada saat itu terdengar bentakan
nyaring, "Eh-eh, iblis dari mana berani datang mengacau di
sini?" Endang Patibroto memandang dengan mata beringas.
Yang muncul ini adalah ki patih muda dari Wilis, yaitu Ki
Walangkoro sendiri. Ketika laki-laki tinggi besar ini melihat
seorang wanita menghajar ketiga orang pembantunya dan
melihat sepuluh orang anak buahnya menggeletak dengan
kepala pecah, melihat puluhan orang perajur itu Wilis
lainnya berlutut dengan mata terbelalak dan muka pucat
ketakutan, ia menjadi marah sekali.
"Setan alas! Engkaulah yang menjadi biang keladi di
sini" Engkau kepala di sini, keparat jahanam?" Endang
Patibroto memaki dengan suara mendesis-desis saking
marahnya. "Eh-eh, babo-babo si wanita keparat! Berani engkau
menghina Ki Walangkoro, patih muda Kerajaan Wilis?" Ki
Walangkoro marah sekali dan menerjang maju. Akan tetapi
Endang Patibroto tidak menanti dia diserang, karena dia
pun sudah menerjang maju memapaki dengan pukulan
tangannya, sedangkan tangan yang kiri menangkis lengan
lawan. "Plak-desss ......!!"
"Aduhhhh ........ !" Ki Walangkoro terjengkang dan
menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas. Memang
panas rasa dadanya yang terkena pukulan tangan Endang
Patibroto karena wanita sakti ini menggunakan Aji
Wisangnolo yang panasnya melebihi kawah Candradimuka! Kalau saja Ki Walangkoro tidak memandang rendah, tentu dia lebih berhati-hati menghadapi wanita sakti itu. Betapapun hebatnya, terkena
pukulan Wisangnolo ia seperti cacing terkena abu panas,
menggeliat-geliat dan mengaduh-aduh, sukar untuk bangun
kembali sungguhpun kekebalannya telah melindunginya.
Kalau ia tidak kebal sekali, tentu telah gosong dadanya dan
melayang nyawanya terkena pukulan ampuh itu.
"Aduh, Gusti Puteri, ampunkan hamba ........ sesungguhnya, hamba bertiga hanyalah terpaksa. Mula-
mula, setelah paduka pergi, kami melakukan tugas seperti
yang paduka perintahkan ........ " Lembuwilis mulai
bercerita setelah ia berhasil bangkit dan duduk bersila
sambil menyembah-nyembah. "Akan tetapi kemudian
muncul Ki Walangkoro ini, kami tidak sanggup
melawannya. Kami dikalahkan dan kedudukan di Wilis dia
rampas. Padepokan Wilis diganti menjadi Gerombolan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wilis. Kami tidak berdaya ........
Melihat betapa raksasa tinggi besar ini tidak tewas oleh
pukulannya. Endang Patibroto percaya bahwa ketiga orang
Wilis ini tidak akan mampu menandingi si tinggi besar itu.
"Kemudian bagaimana '......?" bentaknya.
"Lalu, aduhhh ........ dada hamba ?".." Limanwilis
tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Melihat ini
Lembuwilis yang sudah bangkit lalu melanjutkan,
"Hamba bertiga dipaksa menjadi anak buahnya.
Kemudian, beberapa bulan yang lalu muncullah Gusti
Puteri Retna Wilis ........ ya ........ puteri paduka yang
lenyap dulu ........ "
"Lanjutkan!" bentak Endang Patibroto seolah-olah
mendengar pernyataan bahwa Retna Wilis adalah puterinya
membuat hatinya tertusuk.
"Beliau telah menjadi seorang yang amat sakti, Gusti.
Dengan mudah Ki Walangkoro ditaklukkan, kemudian
malah dijadikan patih muda dan sekarang gusti Retna Wilis
membangun sebuah kerajaan Wilis ........"
"Hemmm ........ , keparat ini pun bertanggung jawab!"
Endang Patibroto berseru marah, sekali meloncat ia telah
berada dekat tubuh Ki Walangkoro yang kini sudah
merangkak bangun. Akan tetapi sebelum Ki Walangkoro
sempat berdiri, Endang Patibroto mengayun tangannya.
Sebuah pukulan dengan Aji Pethit Nogo menyambar kepala
bekas pemimpin Gerombolan Wilis.
"Dukkk!" Berkat aji kekabalan yang amat kuat, kepala itu
tidak remuk, akan tetapi tubuh itu terpelanting dalam
keadaan tidak bernyawa karena pukulan sakti itu
menggocang otaknya yang menjadi awut-awutan di dalam kepala. Pada saat itu terdengar seruan-seruan, "Gusti Puteri
datang ......!" Endang Patibroto mengangkat mukanya, memandang sesosok tubuh ramping yang datang bagaikan terbang cepatnya.
Seorang gadis yang amat cantik, berpakaian serba hijau, gilang-gemilang perhiasan yang terpasang di
telinga dan ikat pinggangnya, seorang dara remaja yang luar
biasa cantiknya, membuat Endang Patibroto ternganga.
Sejenak hatinya penuh kebanggaan, namun segera terganti
kepahitan dan kekecewaan.
Yang datang adalah Retna Wilis. ia mendapat laporan
seorang anak buahnya bahwa ada orang mengamuk
membunuhi perajuritnya. Dengan kemarahan meluap dara
ini meninggalkan istana dan berlari cepat menuju ke lereng
itu. "Siapa berani ........ " Tiba-tiba kata-katanya terhenti dan
bagaikan kena pesona ia memandang Endang Patibroto
yang berdiri tegak di depannya, kemudian kakinya
melangkah maju menghampiri Endang Patibroto.
"Ibu ........ ! Ibu ........ ?"" Panggilan pertama amat mesra,
penuh kerinduan, panggilan ke dua bernada ragu-ragu dan
agak dingin. "Retna Wilis ........ !!!" Bentakan Endang Patibroto amat
janggal didengar. Mengandung pencetusan rasa rindu,
dicampur kemarahan, teguran, dan kedukaan.
Retna Wilis memandang ibunya, kemudian pandang
matanya bergerak, memandang ke arah tubuh sepuluh
orang perajurit yang kepalanya hancur, memandang mayat
Ki Walangkoro yang tidak terluka, kemudian melihat
kepada tiga orang kakak beradik Wilis yang mukanya
bengkak-bengkak dan masih merintih-rintih, kepada para
perajurit yang berlutut di depan ibunya, akhirnya ia kembali
memandang ibunya. "Ah, kiranya Kanjeng Ibu yang datang mengamuk.
Hemmm, orang-orang sial itu memang patut dibunuh,
berani menentang Ibu ........"
"Retna Wilis! Apa yang telah kaulakukan di sini?""
Retna Wilis yang sudah menghampiri ibunya untuk
memeluk, menghentikan langkahnya dan dengan sikap
dingin menggerakkan pundaknya. Ibunya datang-datang
marah kepadanya dan tidak ada sikap mesra, maka
kerinduannya pun menipis dan kegirangannya lenyap.
"Apa yang kulakukan, Ibu" Tidak ada hal yang
menyusahkan hatimu telah kulakukan. Bahkan sebaliknya.
Anakmu datang sebagai seorang ratu besar yang berhasil
menghimpun tenaga dan berhasil menundukkan banyak
kadipaten ?"." "Retna Wilis! Mengapa engkau menyeleweng seperti
ini?" "Eh, Ibu. Menyeleweng bagaimanakah yang Ibu
maksudkan" Aku membentuk kerajaan dan akan kutaklukkan seluruh kerajaan, termasuk Panjalu dan
Jenggala! Kelak akulah yang akan menjadi ratu dari seluruh
Jawa-dwipa! Dan ibu akan menjadi ibu suri yang disembah-
sembah manusia sejagat!"
"Gila! Apakah engkau sudah gila, Retna Wilis" Tidak
boleh engkau melakukan hal ini! Ibumu adalah kawula
Panjalu dan ayahmu adalah Patih Panjalu. Bagaimana
engkau berani memberontak terhadap Panjalu" Engkau
tidak boleh melakukan hal ini!"
"Hemm! Siapa yang hendak melarangku, Ibu" Tidak ada
orang yang dapat melarangku!"
"Aku yang melarangmu! !"
"Ibu, engkau sungguh tidak adil. Ingatlah semenjak kecil
aku Ibu bawa lari dalam kandungan sampai besar di Wilis
ini, jauh dari ayah yang tidak memperdulikan nasib kita.
Ibu terlunta-lunta, dan bukan itu saja. Aku mendengar
riwayat Ibu sebagai mantu Jenggala yang disia-siakan,
dimusuhi oleh Kerajaan Jenggala dan Panjalu, difitnah,
bahkan pangeran yang menjadi suami ibu dibunuh! Ibu
telah dihina dan dibikin sengsara hidup Ibu, dan Ibu masih
mau menjadi kawula Panjalu" Apakah kita ini kalah oleh
keluarga Kerajaan Panjalu dan Jenggala" Apakah kita harus
merangkak-rangkak di depan ayah yang telah menyia-
nyiakan Ibu" Tidak, seribu kali tidak! Aku berhasil
mendapatkan ilmu, dan ilmu ini akan kupergunakan untuk
membalas dendam penderitaan Ibu. Akan kutaklukkan
Panjalu dan Jenggala. Akan kupaksa ayah bertekuk lutut di
depan ibu. Akan kuangkat Ibu menjadi ibu suri yang
dimuliakan orang sejagat! Akan ........ "
"Cukup omongan gila itu! Retna Wilis, anak siapakah
engkau?" "Anak Ibu, tentu saja kalau Ibu mau mengakuinya."
"Hemm, kalau engkau masih ingat bahwa engkau adalah
anakku, engkau harus mentaati perintahku! Mulai hari ini
juga, bubarkan Gerombolan Wilis ini, bubarkan kerajaanmu dan engkau ikutlah bersamaku ke Panjalu,
bertemu dengan ayahmu, berkumpul dengan semua
keluarga. Tahukah engkau bahwa bibimu Setyaningsih kini
telah menjadi ratu di Jenggala" Dia telah menjadi
permaisuri raja di Jenggala! Dan kita semua sekeluarga
akan menjadi satu, betapa bahagianya, Nak ........ " Leher
Endang Patibroto serasa tercekik oleh keharuan ketika ia
mengeluarkan ucapan ini. Akan tetapi Retna Wilis tersenyum pahit dan
menggeleng kepalanya. "Tidak, Ibu. Aku tidak sudi
mengemis-ngemis anugerah orang lain. Aku tidak sudi
membonceng kemuliaan orang lain. Sebaiknya kalau Ibu
merestui cita-citaku dan ikut membantuku. Ingat, Ibu.
Dahulu Endang Patibroto merupakan tokoh wanita tanpa
tanding. Kalau kini Endang Patibroto bergerak di samping
puterinya, Retna Wilis, kutanggung dunia ini akan berada
di telapak tangan kita!"
"Dan engkau hendak melawan dan menentang ayahmu
yang menjadi patih di Panjalu" Menentang bibimu yang
menjadi permaisuri di Jenggala?"
"Kalau perlu, apa boleh buat. Aku akan terpaksa
melawan dan menundukkan siapa saja yang menentangku,
yang menghalangi cita-citaku."
"Anak durhaka, kalau begitu, apakah engkaupun hendak
menentang aku?" Endang Patibroto sudah mulai marah
lagi. "Ibu, aku tidak akan menentang siapa saja, apalagi Ibu.
Aku hanya melawan siapa pun juga yang menentangku."
"Bagus! Kalau aku melarangmu melanjutkan cita-cita
gila ini" Kalau aku, ibumu sendiri, menentangmu" Apakah
engkau juga hendak melawan aku?"
Retna Wilis tersenyum dingin sehingga Endang
Patibroto sendiri yang biasanya amat digentari orang, kini
merasa mengkirik. Senyum puterinya itu amat manis, akan
tetapi seperti senyum iblis yang mengandung ancaman
maut! "Tidak ada seorang pun di dunia ini, juga lbu sendiri
tidak, yang akan dapat menghalangi cita-citaku, yang akan
menghentikkan usahaku menundukkan dunia, kecuali
kematian." "Anak durhaka, kalau begitu aku lebih suka melihat
anakku mati daripada melihatnya hidup tersesat!"
"Ibu hendak membunuhku" Tidak akan bisa, Ibu. Ibu
takkan dapat menangkan aku. Lebih baik Ibu hidup mulia
dan bahagia di sini, kusembah-sembah menjadi junjunganku. Atau kalau Ibu lebih suka menjauhiku,
kembalilah saja Ibu kepada suami Ibu, dan harap jangan
mencampuri urusanku."
"Bocah iblis! Aku sudah melahirkan engkau, aku pula
yang membunuh engkau!" Endang Patibroto membentak
dan meloncat maju mengirim serangan maut. Wanita
perkasa ini dengan hati hancur melihat kenyataan betapa
anaknya benar-benar telah terpengaruh watak yang aneh
dan seperti iblis, dan kalau dibiarkan, tentu akan
menimbulkan malapetaka dan terutama sekali akan
merusak dan mencemarkan nama baik orang tuanya. Dia
mengenal puterinya dan tahu bahwa bujukan-bujukan
takkan berhasil lagi kalau Retna Wilis sudah mengambil
keputusan seperti itu. Daripada melihat puterinya yang
tercinta menyeleweng, menjadi pemberontak, mengacaukan
kerajaan-kerajaan, menimbulkan malapetaka dan pembunuhan-pembunuhan akibat perang yang ditimbulkan,
mendatangkan kedukaan kepada semua keluarga, lebih baik
ia melihat puterinya itu mati di depan kakinya sendiri.
Karena ia dapat menduga bahwa sebagai murid Nini
Bumigarba, puterinya ini tentu memiliki kesaktian yang luar
biasa, maka sekali menyerang Endang Patibroto sudah
meloncat dengan gerakan Bayutantra dan tangan kanannya
yang terbuka telah menampar muka Retna Wilis dengan Aji
Gelap Musti. "Plakkk!" Pipi kiri Retna Wilis yang berkulit halus itu kena
ditampar karena memang dara perkasa ini sama sekali tidak
mengelak, hanya mengerahkan kekuatan saktinya melindungi kepalanya. Akan tetapi ia tidak roboh, hanya
bergoyang sedikit. ia telah menerima tamparan sakti ibunya
itu dengan mata terbuka, berkedip pun tidak. Bibirnya
sedikit pecah ujungnya sehingga meneteslah darah dari
ujung mulut. "Retna Wilis ........ Anakku ........!"
Endang Patibroto menjerit dan menubruk puterinya,
merangkul, menciumi muka anaknya, mencium beberapa
tetes darah yang menitik di pipi itu. "Retna Wilis ........ ah,
betapa engkau menyiksa hati ibumu! Anakku, mengapa
engkau tidak mentaati permintaan ibumu" Marilah, Angger,
anakku bocah ayu, marilah engkau ikut bersama
ibumu........ !" Dua titik air mata menetes dari sepasang mata Retna
Wilis. Akan tetapi mulutnya tersenyum dingin dan biarpun
ia dipeluk dan dibelai, diciumi ibunya, ia tetap tenang,
hanya mengelus pundak ibunya. "Ibu, mengapa pula ibuku
sendiri yang hendak menghalangi cita-citaku" Mengapa Ibu
hendak merusak kebahagiaanku?"
"Engkau keliru, Retna. Cita-cita itu tidak akan
membawamu kepada kebahagiaan, melainkan kesengsaraan
karena pelaksanaannya akan menimbulkan bencana hebat.
Kebahagiaanmu adalah bersama ibumu, bersama ayah dan
keluargamu. Marilah Retna, percayalah bahwa ibu
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menentang kehendakmu ini demi cintanya kepadamu.
Marilah, Anakku, sebelum terlambat ........ "
"Tidak Ibu. Terserah penilaian Ibu, akan tetapi aku tetap
akan melanjutkan cita-citaku ini."
Perlahan-lahan Endang Patibroto melepaskan pelukannya dan melangkah mundur. ia terisak menahan
tangis, memandang tajam lalu berkata lirih, "Kalau begitu,
sebelum engkau menyebar kematian di antara manusia-
manusia yang tidak berdosa, lebih dulu kaubunuhlah ibumu
ini!" Endang Patibroto kini sudah marah kembali, kemarahan
yang bercampur dengan putus asa. Hatinya sakit sekali,
seperti ditusuk-tusuk keris. Anaknya yang begini cantik
jelita, begini gagah perkasa, begini sakti sehingga tamparan
Gelap Musti diterimanya tanpa berkedip dan hanya
membuat ujung bibirnya berdarah sedikit. Betapa akan
bangga hatinya, betapa akan bahagia hatinya kalau dapat
menuntun anaknya ini dan memperkenalkannya kepada
ayah anak ini, Ki Patih Tejolaksono. Akan tetapi
kenyataannya adalah sebaliknya, amat pahit dan menyakitkan hatinya. "Ibu, lebih baik Ibu pulang kembali saja ke Panjalu."
Retna Wilis berkata dan sikapnya dingin sekali.
"Engkau atau aku harus mati di sini!"
Endang Patibroto membentak dan kini ia maju
menyerang sambil mengeluarkan pekik dahsyat. Wanita ini
telah mengeluarkan Aji Sardulo Bairowo dan pekiknya
melengking tinggi menggetarkan permukaan lembah
gunung Wilis. Semua anak buah Wilis yang berdatangan di
tempat itu, terkejut mendengar pekik ini, jantung mereka
tergetar dan mereka yang tidak kuat sudah jatuh berlutut
dengan tubuh menggigil, yang agak kuat masih berdiri
dengan muka pucat dan mata terbelakak memandang ibu
dan puterinya yang hebat itu.
Pekik Sakti Sardulo Bairowo sama sekali tidak
mempengaruhi Retna Wilis, dan melihat pukulan ibunya
yang amat hebat dan ampuh menghantam kepalanya, Retna
Wilis menggerakkan lengan menangkis. Dua lengan yang
sama halusnya bertemu dahsyat dan akibatnya tubuh
Endang Patibroto terpelanting! Wanita perkasa itu
mendepgus marah dan penasaran, meloncat bangun dan
menerjang kembali. Retna Wilis yang maklum akan
kesaktian ibunya, sudah mengerahkan aji kesaktiannya ke
dalam kedua lengannya, lalu menangkis kembali. Dan
sekali lagi tubuh ibunya terpelanting.
Namun Endang Patibroto sudah bangkit dan menyerang
lagi. Wanita yang hancur hatinya ini sudah mengambil
keputusan nekat untuk mengadu nyawa dengan anaknya. Ia
menyerang secara bertubi-tubi. Retna Wilis hanya mengelak
dan setiap kali ia menangkis ibunya tentu terguling, akan
tetapi tidak pernah ia balas memukul ibunya. Pertandingan
ini berjalan seru dan lama sekali, akan tetapi setiap kali
bertemu lengan, selalu Endang Patibroto yang terguling
roboh. Makin lama Endang Patibroto menjadi makin
penasaran dan marah, akhirnya ia menjadi mata gelap.
Sambil menyerang, ia melepaskan banyak panah tangan
yang menyambar seperti kilat cepatnya menuiu tubuh
anaknya. Retna Wilis mengeluarkan suara pekik melengking dan semua anak panah yang mengenai
tubuhnya runtuh, tidak sebatang pun dapat melukai
kalitnya! "Ibu takkan menang melawanku, lebih baik ibu pergi."
"Anak durhaka!" Endang Patibroto menyerang lagi, kini
pukulan Wisangnolo yang ia pergunakan amat dahsyatnya
karena ia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Retna
Wilis mendorongkan tangannya memapaki telapak, tangan
ibunya. "Desss!!" Dua tenaga mujijat bertemu dan terdengar
Endang Patibroto mengeluarkan rintihan lirih dan tubuhnya
yang terguling lagi tak dapat bangun kembali karena ia telah
roboh pingsan, tergetar oleh hawa pukulannya sendiri yang
membalik ketika terbentur hawa sakti dari tangan Retna
Wilis. Sejenak Retna Wilis berdiri termangu memandang tubuh
ibunya. Ia menggunakan ujung baju menghapus keringat di
dahinya. Ibunya adalah seorang lawan yang tangguh dan
andaikata dia tidak memiliki tenaga sakti yang hebat, tentu
dia sendiri sudah terluka parah di sebelah dalam tubuhnya.
Perlahan-lahan dihampirinya tubuh ibunya, dipondong dan
diangkatnya, dipeluk dan diciumnya dahi ibunya dengan
kemesraan seorang anak kepada ibunya. Akan tetapi ia
segera menekan perasaan dan pandang matanya berubah
dingin kembali ketika ia berkata memerintah.
"Keluarkan kereta, dan antarkan ibu ini turun gunung.
Tinggalkan kereta di bawah kaki gunung."
Perintah ini ia tujukan kepada Limanwilis, Lembuwilis
dan Nogowilis. Biarpun tiga orang ini masih sakit-sakit
tubuhnya akibat tendangan-tendangan Endang Patibroto
tadi, mendengar perintah itu cepat mereka bertiga
mengambil kereta. Retna Wilis memondong tubuh ibunya,
membawanya ke dalam kereta, membaringkan tubuh
ibtunya di dalam kereta, sekali lagi mencium dahi ibunya
dan berbisik lirih, "Ibu !" kemudian ia turun dari kereta
memberi isyarat kepada ketiga orang tokoh Wilis itu untuk
berangkat. Lembuwilis dan Nogowilis duduk mengendarai kuda penarik kereta, sedangkan
Limanwilis yang ter tua duduk menjaga Endang Patibroto di dalam kereta,
kemudian kereta pun berangkat menuruni gunung
Wilis. Retna Wilis berdiri
tegak memandang, dua titik
air mata menetes turun. Akan
tetapi setelah menghela napas
ia lalu menghapus air matanya, memutar tubuhnya memandang anak buahnya
yang berlutut dan berkata,
"Mulai hari ini, siapkan semua pasukan. Hei!, di mana
Paman Patih?"" Tak seorang pun di antara para anak buah Wilis tahu ke
mana perginya Patih Adiwijaya.
"Mungkin gusti patih sedang melakukan pemeriksaan di
perbatasan, Gusti Puteri!" akhirnya terdengar jawaban
seorang perwira. "Biarlah, kalau sudah datang suruh ia menghadap.
Beritahukan kepada semua pasukan agar berkumpul, juga
kerahkan seluruh rakyat yang sudah takluk untuk siap
membantu gerakan kita. Secepatnya kita akan menyerbu
Ponorogo!" Para anak buah Wilis bersorak gembira. Penyerbuan ke
suatu tempat berarti perang, dan perang berarti pula
kemungkinan-kemungkinan dan kesempatan-kesempatan
bagi mereka untuk menikmati kesenangan, selain membunuh musuh di bawah pimpinan orang-orang sakti,
juga kesempatan itu dapat mereka pergunakan untuk
memperoleh barang-barang berharga dan wanita-wanita
cantik. Di bawah sorak-sorai anak buahnya, Retna Wilis lalu lari
naik ke puncak, memasuki taman sari yang baru saja.
dibangun, kemudian menjatuhkan diri ke atas bangku di
tengah-tengah taman sari. Air matanya deras mengucur.
Setelah berada seorang diri, tak dapat ia menahan
kekecewaan dan kedukaan hatinya mengenangkan sikap
ibunya. Ia menangis dan akhirnya karena tekanan batin dan
kelelahan, ia tertidur pulas di atas bangku taman sari, kedua
pipinya masih basah air mata.
Sehari semalam Retna Wilis tertidur di taman itu. Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia terbangun dengan isak
tertahan. Ia melihat Patih Adiwijaya duduk bersila tak jauh
dari bangku sambil menundukkan muka.. Wajah orang tua
ini kelihatan berduka. Retna Wilis bangkit duduk dan baru
tahu ia bahwa tubuhnya telah diselimuti jubah luar
patihnya. "Paman Adiwijaya, ah, aku tertidur di sini ........ "
suaranya masih mengandung isak, "berapa lama aku
tertidur?" ia menyerahkan kembali jubah luar patihnya.
"Duh Gusti Puteri yang malang. Paduka tertidur
semenjak kemarin siang."
"Kenapa engkau tidak membangunkan aku, Paman?"
Patih itu memandang wajah Retna Wilis dengan
pandang mata penuh iba hati dan prihatin. "Hamba baru
pulang siang kemarin dari memeriksa keadaan penjagaan di
tapal batas timur, untuk mendengarkan gerak-gerik
Ponorogo. Baru hamba mendengar akan kunjungan Ibunda
Paduka dan ........ ah, sungguh kasihan sekali Paduka,
Gusti. Hamba ........ ikut berduka dengan peristiwa yang
menyedihkan itu ........"
Retna Wilis tersenyum, memandang pembantunya itu
dengan sinar mata berterima kaksih. "Dan semenjak
kemarin siang, engkau menungguku di sini?"
"Hamba tak berani membangunkan Paduka yang tidur
pulas sambil kadang-kadang terisak. Ampunkan hamba
yang berani menyelimuti Paduka dan hamba menjaga di
sini, menanti Paduka terbangun."
Retna Wilis mengulurkan tangan dan menyentuh
pundak patihnya. "Paman, engkau baik sekali. Agaknya
engkaulah orang yang paling baik terhadap diriku. Adapun
ibuku ........ ah, benar-benar aku bingung, Paman."
"Mengapa Paduka bingung" Hendaknya Paduka tenang
karena setelah hamba mendengar akan semua peristiwa,
hamba merasa yakin akan kebenaran paduka. Setiap
manusia di dunia ini berhak untuk mencari kemuliaan,
apalagi seorang sakti mandraguna seperti paduka. Hanya si
manusia sendiri yang akan dapat menetukan nasib
hidupnya. Paduka benar, dan hamba bersumpah untuk
bersetia, untuk membela dan membantu paduka dengan
taruhan nyawa hamba." Ucapan ini keluar dari hati nurani
Adiwijaya karena entah bagaimana, baru sekali ini selama
hidupnya ia mencinta seseorang, mencinta yang sungguh-
sungguh murni, bukan cinta nafsu, melainkan cinta seorang
ayah terhadap puterinya. ia merasa kagum akan kesaktian
dara ini, merasa kagum akan kecantikannya, dan timbullah
rasa sayang dan setia yang belum pernah ia rasakan selama
hidupnya. "Terma kasih, Paman. Aku tidak akan melupakan
kebaikan hatimu." "Aduh Gusti Puteri Retna Wilis yang bijaksana dan sakti
mandraguna. Hamba hanyalah seorang yang rendah,
hamba seorang yang penuh dosa, hamba seorang yang
banyak dimusihi orang lain, seorang yang jahat dalam
pandangan orang lain."
"Bagiku, engkau seorang yang baik, dan itu bagiku sudah
cukup. Aku tidak perduli pendapat orang lain."
"Mungkin ibunda paduka pun menganggap hamba
seorang jahat, Gusti."
"Hemm, mengapa, Paman?"
"Mungkin ........ hamba disangka sebagai orang yang
membujuk-bujuk paduka ?"?"
"Ah, biarlah. Biar andaikata ibuku sendiri membencimu
dan menganggapmu orang jahat, aku tetap menganggapmu
seorang baik. Sekarang, Paman. Siapkan bala tentara kita.
Kita serbu Ponorogo, terus ke timur."
"Terus menyerbu Jenggala, Gusti?" tanya Adiwijaya
penuh gairah., "Benar, Paman. Ke Jenggala! Kita tundukkan Jenggala
secara baik-baik, mengingat bahwa yang menjadi raja di
sana adalah Paman Pangeran Panji Sigit, dan permaisurinya adalah Bibi Setyaningsih, adik ibu sendiri.
Kalau mereka menghadapi kita dengan kekerasan, terpaksa
akan kutundukkan Jenggala dengan kekerasan pula. Setelah
itu, baru kita menengok ke Panjalu!"
"Balk sekali, Gusti. Hamba siap dan sekarang juga
hamba akan mengumpulkan seluruh barisan Wilis!" kata
Adiwijaya penuh kegembiraan.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu, jauh dari puncak Wilis, di sebelah timur
kaki gunung Wilis, sebuah kereta berhenti di dalam sebuah
hutan. Limanwilis, Lembuwilis, dan NogoWilis duduk di
atas tanah bersila dan tak bergerak seperti arca. Tadi
mereka menghentikan kereta, melepaskan kuda yang
mereka biarkan makan rumput, kemudian mereka duduk
menanti di bawah kereta. Retna Wilis, dan juga Ki Walangkoro sendiri, ternyata
hanya dapat mempengaruhi Lembuwilis, Limanwilis dan
Nogowilis untuk sementara saja. Mereka bertiga ini tunduk
karena terpaksa dan tidak berani melawan. Akan tetapi
begitu melihat Endang Patibroto, hati ketiga orang ini
tergetar dan watak baik mereka yang sudah lama dipupuk
oleh Endang Patibroto selama wanita itu memimpin
Padepokan Wilis, bangkit kembali. Mereka merasa terharu
sekali, apalagi menyaksikan nasib bekas junjungan mereka
yang amat menyedihkan. Memang harus diakui bahwa
sebelum menjadi anak buah Endang Patibroto, tiga orang
ini adalah tokoh-tokoh Wilis yang bekerja sebagai
perampok. Namun, kekejaman hati mereka sudah menipis
oleh gemblengan-gemblengan Endang Patibroto dan kini
menyaksikan kekejaman hati Retna Wilis yang tega
melawan ibunya sendiri, mereka menjadi penasaran dan di
dalam hati, mereka berpihak kepada Endang Patibroto.
Begitu siuman dari pingsannya, Endang Patibroto
teringat akan puterinyaj dan ia mengerang, lalu menangis
tersedu-sedu. Sampai lama ia menangis, kemudian baru ia
mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah kereta yang
berhenti. Cepat ia meloncat keluar dari dalam kereta dan
melihat Limanwilis dan kedua orang adiknya duduk bersila
dengan kepala tunduk. "Eh, kalian bertiga mengapa berada di sini?"
Limanwilis menyembah dan berkata, "Hamba bertiga
diutus oleh Gusti Puteri Retna Wilis untuk mengantar
Paduka dengan kereta sampai di kaki Wilis, kemudian
hamba bertiga disuruh meninggalkan kereta. Akan tetapi,
hamba tidak tega meninggalkan Paduka di sini, Gusti. Dan,
jika kiranya Paduka sudi mengampuni hamba bertiga
kakak-beradik, hamba ingin bersuwita (menghamba)
kepada Paduka, ingin mengiringkan Paduka kembali ke
Panjalu. Hamba tidak sanggup lagi menjadi kawula Wilis
yang ternyata menyeleweng daripada kebenaran, Gusti."
Endang Patibroto menarik napas panjang dan menghapus air matanya. "Kehendak Hyang Widdhi Wisesa
tak dapat diubah dan dibantah. Retna Wilis telah
menyeleweng jauh sekali setelah dia menjadi murid Nini
Bumigarba dan memiliki kesaktian yang tidak lumrah
manusia. Kalian bertiga telah mengalami dan melihat
perkembangan semenjak dia lahir di puncak Wilis sampai
dia diculik Nini Bumigarba. Aduh, Kakang Limanwilis
........ apakah yang harus kulakukan ...... ?" Endang
Patibroto menangis lagi, menutupi muka dengan kedua
tangannya. Tiga orang tokoh Wilis itu memandang bekas junjungan,
mereka dengan muka keruh, penuh keharuan. Belum
pernah selama mereka menghamba kepada wanita sakti ini
yang terkenal keras hati, mereka melihat wanita ini
menangis seperti itu. "Duh, Gusti Puteri Endang Patibroto. Memang
sesungguhnyalah Sang Hyang Widdhi tak dapat diubah dan
dibantah, karena itu manusia hanya dapat menyerahkan
kepada kekuasaanNya. Akan tetapi, manusia berwenang
untuk berusaha dan berikhtiar. Kalau Paduka suka menurut
anjuran hamba, lebih baik Paduka hamba antar kembali ke
Panjalu dan melaporkan hal ini kepada Kerajaan Panjalu."
Endang Patibroto mengangguk, lalu memasuki kereta
kembali. Tiga orang kakek itu pun naik ke atas kereta
seperti tadi dan kuda-kuda yang telah dipasang di depan
kereta sebelum mereka naik, dijalankan melaju ke timur.
"Andika bertiga belum tahu, Kakang Wilis. Suamiku,
ayah Retna Wilis adalah Ki Patih Tejolaksono di Panjalu."
"Ahhh ........ !!" Tiga orang itu mengangguk-angguk.
Tentu saja mereka sudah mendengar akan nama
Tejolaksono, seorang tokoh yang memiliki kesaktian lebih
tinggi daripada Endang Patibroto sendiri. Ibunya seorang
wanita yang tiada bandingnya, ayahnya seorang tokoh sakti
di kedua Kerajaan Panjalu dan Jenggala, gurunya seorang
nenek sesakti iblis sendiri, pantas saja Retna Wilis menjadi
seorang dara yang hebatnya sampai mengerikan hati para
jagoan Wilis ini! -oo(mch-dwkz)oo- Dengan sikap yang amat gagah, Retna Wilis berdiri di
tempat yang menonjol tinggi. Di bagian bawah, memenuhi
lereng sekitar puncak, berkumpullah ribuan orang perajurit
Wilis yang sudah bergabung dengan sebagian rakyat dari
daerah-daerah yang sudah ditaklukkan.
"Para perajuritku yang setia!" Suara dara itu melengking
tinggi dan dapat terdengar sampai jauh sehingga perajurit
yang berdiri paling belakang dapat mendengar dengan jelas.
"Karena Ponorogo menentang kekuasaan kerajaan kita, kini
tiba saatnya bagi kita untuk menggempur Ponorogo! Kita
harus dapat membuktikan bahwa Kerajaan Wilis adalah
kerajaan terbesar di seluruh jagat!"
Sorak-sorai gegap-gempita, menyambut ucapan Retna
Wilis ini. Setelah semua persiapan dilakukan, berangkatlah
barisan besar ini turun dari lereng Wilis, dipimpin oleh
Retna Wilis yang didampingi oleh Patih Adiwijaya.
Biarpun kehilangan pembantu-pembantu yang pandai, yaitu
Ki Walangkoro yang tewas di tangan Endang Patibroto,
juga Lembuwilis dan kedua orang adiknya yang tidak
kembali ke Wilis ketika mengantar Endang Patibroto turun
dari puncak, namun sedikit pun Retna Wilis tidak menjadi
gentar. Melihat sikap dara ini, Adiwijaya yang tadinya
merasa ragu-ragu apakah mereka akan dapat menundukkan
Ponorogo yang terkenal memiliki barisan kuat dan banyak
orang sakti, menjadi besar hati dan yakin bahwa di bawah
pimpinan seorang seperti Retna Wilis, mereka akan dapat
mengalahkan Ponorogo. Mula-mula Retna Wilis tidak mau menunggang kuda.
Semenjak kecil ia belum pernah naik kuda dan ketika
menjadi murid Nini Bumigarba di pantai Taut, yang biasa
dijadikan binatang tunggangan hanyalah seekor kura-kura
raksasa! Akan tetapi Adiwijaya menasehatinya, "Paduka
pada saat seperti ini merupakan panglima besar barisan
Wilis. Bagaimanakah seorang panglima memimpin bala
tentaranya dengan berjalan kaki. Hal ini akan merendahkan
nama Paduka, Gusti." Karena nasehat ini, terpaksalah
Retna Wilis menunggang seekor kuda putih dan biarpun ia
tampak makin gagah mengagumkan, namun sesungguhnya
ia merasa kurang leluasa harus menunggang kuda. Akan
tetapi setelah menunggang sehari lamanya, ia mulai terbiasa
dan merasa lebih enak, sungguhpun ia akan seribu kali
memilih jalan kaki dalam menghadapi lawan daripada di
punggung seekor kuda. Sementara itu, Kadipaten Ponorogo yang tentu saja tidak
sudi tunduk terhadap perintah Retna Wilis yang amat hina,
sudah pula melakukan persiapan untuk berperang. Barisan-
barisan telah disiapkan, bala bantuan sudah datang, hanya
bantuan dari Panjalu yang belum datang karena Ki Patih
Tejolaksono menahan pengiriman bantuan spasukan ke
Ponorogo, menanti kembalinya Endang Patibroto yang
hendak mencegah puterinya melakukan penyerbuan-
penyerbuan yang merupakan pemberontakan itu. Di
Ponorogo telah berkumpul orang-orang sakti untuk
membantu perjuangan kadipaten ini menghadapi ancaman
Kerajaan Wilis yang baru sekali itu mereka dengar. Akan
tetapi para orang sakti ini tidak lagi berani memandang
rendah dara remaja yang kabarnya menjadi ratu di Wilis
ketika mereka mendengar sendiri dari mulut Panembahan
Ki Ageng Kelud betapa saktinya dara itu di waktu masih
kecil dahulu. Apalagi ketika mendengar bahwa dara itu
adalah murid Nini Bumigarba, tengkuk mereka meremang
dan tahulah mereka bahwa bukan hanya Ponorogo yang
terancam, juga nyawa mereka sendiri. Akan tetapi, sebagai
orang-orang berilmu yang membela kebenaran, mereka
tidak merasa gentar dan siap menghadapi lawan.
Bentrokan pertama antara kedua pasukan Ponorogo dan
Wilis terjadi di tapal batas. Ternyata oleh barisan Wilis
bahwa ketenaran nama barisan Ponorogo memang tidak
kosong belaka. Semenjak bentrokan pertama, pasukan-
pasukan Ponorogo mengadakan perlawanan sengit dan
mereka itu selain memiliki anak buah yang kuat-kuat dan
pantang mundur, juga dipimpin oleh perwira-perwira yang
berpengalaman dan pandai mengatur barisan.
Untung bagi bala tentara Wilis bahwa di pihak mereka
ada Ki Patih Adiwijaya. Seperti telah diketahui, patih ini
adalah seorang perajurit kawakan yang sudah mempunyai
banyak pengalaman dalam perang. Pernah menjadi perwira
Jenggala, menjadi panglima Blambangan, kemudian
menjadi patih di Jenggala pula. Maka Patih Adiwijaya
dapat mengimbangi siasat perang pihak lawan. Adapun
untuk pertandingan perang campuh itu sendiri, semua
perajurit Wilis menjadi besar hatinya menyaksikan sepak
terjang ratu mereka, Retna Wilis. Dara ini benar-benar
mengerikan sekali sepak terjangnya. Ke mana saja ia
mengajukan kudanya, pasti barisan lawan cerai-berai dan
korban jatuh bertumpang-tindih dan bertumpuk-tumpuk!
-oooo0dw0ooo- Jilid XLIV HAL ini banyak sekali pengaruhnya, terhadap lawan dan
anak buah sendiri. Fihak lawan menjadi gentar sekali dan
fihak anak buah menjadi besar hati.
Karena sepak terjang Retna Wilis yang selain
mempergunakan kesaktian kedua tangannya juga menggunakan ilmu hitam semacam sihir, maka buyarlah
fihak musuh. Setiap siasat dan pasangan barisan diimbangi
dengan pasangan lain oleh Patih Adiwijaya dan selalu
pasangan barisan lawan buyar oleh amukan Retna Wilis
dan para pasukannya. Pertempuran itu hanya berlangsung setengah hari. Pihak
pasukan Ponorogo terdesak mundur dan biarpun semangat
tempur para perajurit masih tinggi, namun para perwira
yang menyaksikan betapa pasukan mereka hancur seperti
rumput dibabat di bawah amukan Retna Wilis dan anak
buahnya, segera memberi aba-aba kepada pasukan-
pasukannya untuk mundur. Retna Wilis berteriak nyaring, meneriakkan aba-aba
kepada para barisannya untuk mengejar dan menyerbu
terus. Di sepanjang perjalanan menuju ke Kadipaten
Ponorogo, mereka bertemu dengan pasukan-pasukan baru,
namun mereka maju terus sehingga tubuh semua perajurit
berlumuran darah lawan. Mereka bergerak seperti
kemasukan iblis, tertawa-tawa dan bersorak-sorak, apalagi
karena sepak-terjang Retna Wilis makin buas dan ganas.
Segenggam pasir di tangan Retna Wilis, sekali disambitkan
dapat merobohkan puluhan orang lawan! ltulah Aji Pasir-
sekti. Masih baik bagi para perajurit Ponorogo bahwa
gerakan-gerakan dara perkasa itu dihalangi oleh kedudukannya di atas kuda. Andaikata dia mengamuk
tanpa menunggang kuda, tentu akan lebih mengerikan lagi
akibatnya. Retna Wilis yang menyetujui nasehat patihnya, tidak
pernah turun dari punggung kudanya.
Makin dekat serbuan para perajurit Wilis ke kadipaten,
makin kuatlah perlawanan perajurit-perajurit Ponorogo,
bahkan kini orang-orang sakti di fihak barisan Ponorogo
sudah mulai membantu pula. Begitu orang-orang sakti yang
dipimpin oleh Panembahan Ki Ageng Kelud dan para
warok yang jumlahnya ada lima puluh orang itu menyerbu,
barisan Wilis menjadi kacau-balau. Tidak kuat mereka
menandingi serbuan orang-orang sakti ini yang mengamuk
seperti api menjalar, makin lama makin ganas dan
merobohkan banyak korban.
Melihat ini, Patih Adiwijaya memberi aba-aba kepada
pasukan yang menghadapi rombongan orang sakti itu untuk
mundur dan ia mendekati junjungannya memberi laporan
karena maklum bahwa dia sendiri tidak akan kuat
menanggulangi amukan orang-orang sakti itu. Satu-satunya
orang yang akan dapat menghancurkan mereka hanyalah
Sang Ratu Wilis sendiri. Mendengar laporan patihnya, Retna Wilis mengeluarkan
teriakan garang lalu membedal kudanya ke depan,
membuka jalan berdarah merobohkan setiap lawan yang
menghadangnya sampai ia tiba berdepan dengan rombongan warok yang dipimpin oleh Panembahan Ki
Ageng Kelud dan Ki Warok Surobledug!
"Ha, kita bertemu lagi untuk yang terakhir kalinya,
Surobledug dan engkau Ki Ageng Kelud. Terakhir kali
kataku karena sekali ini kalian semua takkan terlepas dari
maut di tanganku!" kata Retna Wilis sambil menudingkan
cambuk di tangan kirinya. Semenjak mengamuk tadi, Retna
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wilis hanya menggunakan cambuk kuda, kedua tangan dan
kakinya saja, tidak pernah menyentuh gagang pedangnya.
"Retna Wilis, engkau perempuan berwatak iblis!
Kematian hanya berada di tangan Sang Hyang Widdhi,
sekali-kali bukan di tangan iblis seperti engkau!" Ki Warok
Surobledug membentak. "Retna Wilis, kejahatanmu melampaui takaran, terpaksa
kami turun tangan!" Panembahan Ki Ageng Kelud juga
berkata sambil menudingkan tongkatnya.
Retna Wilis tertawa, suara ketawanya dingin mengejek,
membuat mereka yang mendengar menjadi mengkirik.
Akan tetapi diam-diam Surobledug telah memberi isyarat
dan tiba-tiba terdengar suara bersautan dan ratusan anak
panah menyambar ke arah tubuh Retna Wilis!
Melihat ini, Retna Wilis cepat memutar cambuknya
sehingga anak-anak panah yang menyambar ke arah
tubuhnya runtuh semua. Akan tetapi tiba-tiba kuda yang
ditungganginya meringkik keras dan roboh terguling. Retna
Wilis kaget dan marah. Kudanya telah menjadi korban
anak panah musuh. ia meloncat dari punggung kuda. Akan
tetapi karena ia kurang pandai menunggang kuda dank
tidak biasa, ia lupa bahwa kakinya masih terkait dan ketika
ia meloncat tentu saja tubuhnya terpelanting dan ia terbawa
roboh bersama kuda, sebelah kakinya terhimpit tubuh
kudanya yang berkelojotan. Pada saat itu, Patih Adiwijaya
meloncat dari atas kudanya langsung menolong sang puteri,
menarik tubuh kuda dan membantu Retna Wilis yang
hendak disambarnya dari tempat berbahaya itu karena kini
banyak anak panah melayang lagi diikuti para warok yang
dipimpin Ki Warok Surobledug menerjang dengan senjata
mereka. Adiwijaya berhasil menyambar tubuh Retna Wilis, akan
tetapi ia merupakan perisai dan biarpun Retna Wilis yang
melihat datangnya anak panah itu cepat menggerakkan
tangan memukul anak-anak panah itu dengan hawa sakti,
tetap saja ada sebatang anak panah menancap di pundak
Adiwijaya! "Ah, Paman, mengapa engkau menoIongku" Engkau
terluka sendiri .......". Retna Wilis berkata penuh sesal.
Kalau hanya jatuh tertindih tubuh kuda begitu saja, bukan
apa-apa baginya dan tidak ditolong sekali pun dia mampu
menolong diri sendiri. Adiwijaya terhuyung dan menggigit bibir ketika Retna
Wilis mencabut anak panah itu yang ternyata mengandung
racun! "Cepat mundurlah dan obati lukamu!" kemudian
sekali tangannya bergerak ke belakang, ia telah mencabut
pedang dan tampaklah sinar berkilat menyilaukan mata.
Pedang Sapudenda telah berada di tangannya, dan sekali
memekik nyaring tubuh dara perkasa ini sudah mencelat ke
depan, disambut oleh rombongan warok. Kini dara itu tidak
lagi menunggang kuda, maka gerakannya makin dahsyat
mengerikan. Tampak sinar pedangnya seperti kilat
menyambar-nyambar di musim hujan dan terdengarlah
jerit-jerit kematian dari tujuh orang warok termasuk Ki
Surobledug sendiri yang putus batang lehernya disambar
pedang Sapudenta! "Sungguh kejam ........ !"
Ki Ageng Kelud berseru dan
menerjang maju dengan gerakannya yang seperti garuda melayang. Serangannya hebat sekali dan
kali ini kakek itu menggerakkan sebatang tongkat akar cendana yang
menyambar ke arah kepala Retna Wilis. Selain hantaman
tongkat di tangan Ki Ageng
Kelud ini, masih ada sambaran senjata-senjata pusaka yang berupa kolor ajimat, digerakkan oleh tangan Ki Warok Dwipasekti dan
tiga orang warok sakti lainnya.
Retna Wilis kini sudah marah sekali, wajahnya yang
cantik jelita berubah beringas, matanya bersinar-sinar
seperti memancarkan api, hidungnya berkembang kempis,
mulutnya tersenyun dingin penuh ejekan. Melihat
datangnya serangan lima orang sakti itu, ia hanya
menyambut tongkat Ki Ageng Kelud. Tangan kirinya
bergerak menangkap tongkat, tangan kanan yang memegang pedang menusuk dan ........ darah muncrat dari
dada kakek itu yang ditembusi pedang Sapudenta sampai ke
punggung. Biarpun sudah tua dan kini pedang pusaka yang luar
biasa ampuhnya menembus dadanya, namun Ki Ageng
Kelud adalah seorang yang gentur tapa, seorang sakti
mandraguna yang sudah dapat mengatasi perasaan nyeri. Ia
seperti tidak merasakan nyeri sama sekali, malah tertawa
dan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan
leher Retna Wilis! Dara perkasa ini berseru kagum, tidak
memperdulikan empat buah senjata kolor yang menghantam tubuhnya, bahkan terus membelit kaki dan
pinggangnya, namun ia menyambut cengkeraman Ki
Ageng Kelud dengan pukulan tangan kiri, menggunakan
Aji Wisalangking. Pukulannya cepat sekali, membuat kedua
tangan kakek itu terpental, terus menghantam kepala dan
sekali ini Ki Ageng Kelud tidak kuat bertahan, tubuhnya
terpental, pedang tercabut dan robohlah tubuh kakek itu
dalam keadaan hangus bagian mukanya!
Retna Wilis tadi sengaja menghadapi Ki Ageng Kelud
yang ia tahu amat sakti, tidak memperdulikan hantaman
empat buah kolor jimat di tangan empat orang warok sakti.
Biarpun hanya kolor, akan tetapi bukan kolor sembarangan
karena dengan senjata kolor ini, warok-warok sakti itu
sanggup untuk sekali pukul menghancurkan batu karang
dan menumbangkan pohon jati sebesar orang! Akan tetapi
betapa kaget hati mereka ketika kolor mereka mengenai
tubuh Retna Wilis, dara itu sama sekali tidak mengelak atau
menangkis, dan kolor-kolor itu mengenai tubuhnya sama
sekali tidak dirasakannya, seolah-olah hanya empat ekor
lalat yang hinggap di tubuh. Melihat dara itu menusuk dada
Ki Ageng Kelud dengan pedang, kemudian memukul
hangus kepala kakek itu, empat orang warok itu menjadi
marah dan penasaran. Kolor mereka yang tadi memukul
tanpa hasil, terus melibat. Dua buah melibat pinggang, dan
yang dua buah lagi membelit kedua kaki gadis itu,
kemudian- mereka mengerahkan seluruh tenaga dan
bersama-sama mereka membetot untuk membikin tubuh
dara itu terguling. Tenaga Ki Warok Dwipasekti dan tiga
orang kawannya itu amat besar. Tarikan mereka tidak akan
kalah oleh tenaga tarikan empat ekor kerbau jantan. Akan
tetapi Retna Wilis tetap berdiri tegak dengan kedua kaki
terpentang lebar, tangan kanan memegang pedang
melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas dan
tubuhnya sedikit pun tidak bergeming!
Jangankan baru empat warok sakti, biar ditambah
sepuluh kali lipat, belum tentu akan kuat menggeser gadis
itu yang mengerahkan Aji Argoselo. Kalau sudah
mengerahkan aji seperti itu, tubuh dara itu seolah-olah
berubah menjadi gunung batu, kedua kakinya seperti telah
berakar di bumi! Empat orang warok itu mendengus-dengus
mengerahkan tenaga dan ketika Retna Wilis menggerakkan
pedang Sapudenta, pedang itu berubah menjadi sinar
berkelebat dan empat buah kepala warok itu mencelat
terlepas dari tubuh mereka yang masih menarik-narik kolor!
Retna Wilis meloncat mundur menghindarkan darah yang
muncrat-muncrat dan robohlah empat batang tubuh yang
sudah tidak berkepala lagi itu.
Para warok menjadi marah bukan main, akan tetapi kini
Retna Wilis sudah mengamuk dengan pedangnya. Senjata
berupa apapun juga dari para pengeroyoknya pasti terbabat
putus oleh pedang Sapudenta, dan disusul muncratnya
darah dari bagian tubuh yang ikut terbabat dan menjadi
buntung. Sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan
mayat para tokoh sakti yang membantu Ponorogo.
Sementara itu, setelah mengobati lukanya di pundak,
Adiwijaya terus memimpin tentaranya menghajar pasukan-
pasukan musuh. Karena pihak Ponorogo melihat betapa
para warok dan orang-orang sakti terbasmi oleh Retna
Wilis, hati mereka menjadi gentar sekali. Akhirnya, ketika
pasukan Wilis menyerbu kadipaten, sisa pasukan Ponorogo
bersama Adipati Diroprakosa melarikan diri menuju ke
Panjalu. Ketika Retna Wilis dan pasukannya memasuki
kadipaten, di depan istana kadipaten, Adiwijaya roboh
pingsan. Luka di pundaknya memang tidak hebat, akan
tetapi karena luka itu terkena racun yang terkandung di
ujung anak panah, dan dia tidak beristirahat melainkan
memimpin terus barisannya, kini racun mulai bekerja dan
dia roboh pingsan. Retna Wilis cepat memerintahkan
beberapa orang perwira untuk menggotong tubuh patihnya
itu memasuki kadipaten dan dia sendiri yang merawat luka
patihnya yang setia itu. Ketika siuman dan mendapatkan dirinya dirawat sendiri
oleh Retna Wilis, Adiwijaya menjadi terharu. Baru pertama
kali ini selama hidupnya ia merasa terharu, perawatan
Retna Wilis menyentuh hatinya, seolah-olah ia menjadi
seorang ayah yang dirawat seorang puterinya.
"Ah, harap Paduka jangan melelahkan diri. Sudah
sepatutnya hamba terluka, memang hamba sendiri yang
salah dan lancang. Hamba lupa bahwa biarpun jatuh,
Paduka tidak akan mungkin dapat celaka di tangan musuh.
Hamba kaget dan panik sehingga lancang menolong
sehingga hamba sendiri yang terluka. Sudah sepatutnya,
memang hamba bodoh sekali ........ " katanya, hatinya
merasa sungkan juga melihat betapa dara perkasa yang
dipuja dan dikaguminya itu mencuci sendiri luka di
pundaknya, memberi obat dan membalutnya.
"Eh, Paman Adiwijaya, mengapa sungkan-sungkan"
Biarlah kubalut baik-baik lukamu. Engkau terkena racun.
Engkau telah menolongku, dan hal itu kuanggap bahwa
Paman telah menolong nyawaku, telah melepas budi
besar." "Paduka terlampau sakti, tak mungkin akan dapat
dicelakai lawan. Luar biasa sekali. Selama hidupku, belum
pernah hamba menyaksikan sepak terjang seorang panglima
perang seperti Paduka"
Setelah pasukan Ponorogo melarikan diri, pasukan-
pasukan Wilis berpesta-pora dalam melakukan pengejaran.
Pengejaran itu hanya sebagai alasan belaka, sesungguhnya
mereka itu berpesta-pora melakukan perampokan- perampokan, bukan hanya harta benda yang direnggut, juga
kehormatan-kehormatan wanita cantik. Demikianlah keadaan perang. Yang menang mabuk kemenangan dan
memperlakukan yang kalah sesukanya sendiri. Merampok
barang, memperkosa wanita, membunuh, menyiksa! Di
antara sorak-sorai gembira, sorak kemenangan itu
tertutuplah isak tangis dan lengking kematian dari rakyat
yang tinggal di sekitar Ponorogo.
-oo(mch-dwkz)oo- "Aduh, Kakangmas ........ , apa yang harus kulakukan
........ Aduh dewata, lebih baik dicabut saja nyawa Endang
Patibroto daripada menderita batin seperti ini .......".
Endang Patibroto mengeluh dan menangis di dalam kereta
sehingga Limanwilis yang duduk pula di situ hanya
melongo dan menghela napas panjang dengan hati penuh
iba. Dia tidak dapat menghibur, maklum betapa hancur hati
junjungannya itu. Ketika akhirnya kereta itu memasuki halaman Kepatihan
Panjalu, Endang Patibroto meloncat turun dan lari
memasuki kepatihan dengan agak terhuyung. Patih
Tejolaksono bersama Ayu Candra dengan kaget sekali
menyambut kedatangan Endang Patibroto yang masuk
sambil menangis. Lebih-lebih lagi rasa kaget dan cemas hati
Patih Tejolaksono ketika Endang Patibroto menubruk
kakinya dan menangis, "Aduh, Kakangmas ........ bagaimana dengan anak kita
itu ........ , apakah yang harus kulakukan, Kakangmas
.......?" Ayu Candra cepat merangkul pundak madunya. "Dinda
Endang ........ ada apakah" Apa yang terjadi" Bagaimana
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Retna Wilis .......?" Ayu Candra sudah pula menangis
melihat madunya tersedu-sedu seperti itu.
Patih Tejolaksono menghela napas dan menekan
batinnya, lalu ia mengangkat bangun tubuh Endang
Patibroto sehingga wanita itu bangkit berdiri, lalu kedua
tangannya memegang pipi kiri kanan, memaksa wajah yang
basah air mata itu bertemu pandang dengannya.
Tejolaksono tcrsenyum, senyum penuh ketenangan dan ia
berkata, "Adinda Endang Patibroto, ke manakah ketenanganmu"
Pandanglah aku, apakah dunia sudah begitu sempit
sehingga engkau kehilangan akal" Tenanglah dan mari kita
duduk di dalam untuk membicarakan persoalan yang
menyusahkan hatimu." Tejolaksono merangkul pundak
isterinya dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. Ayu
Candra memegang tangan Endang Ptibroto yang masih
terisak dan memandang wajah madunya yang pucat itu
dengan hati cemas. Endang Patibroto merasa makin seperti diremas-remas
hatinya setelah ia bertemu dengan suami dan madunya. ia
menjatuhkan diri di atas pembaringan, menyembunyikan
mukanya pada bantal dan menangis lagi. Ayu Candra juga
menangis dan hendak menubruknya, akan tetapi Tejolaksono memegang pundaknya dan memberi isyarat
dengan gelengan kepala agar Ayu Candra membiarkan
Endang Patibroto menangis dulu. Hal ini akan melepaskan
kerisauan hatinya. Ia mengerutkan kening memandang
tubuh Endang Patibroto yang bergoyang-goyang dalam
tangisnya. Bukan watak Endang Patibroto untuk menangis
seperti itu. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat dengan
Retna Wilis. Benar saja, setelah dibiarkan menangis sejenak, Endang
Patibroto akhirnya dapat meredakan gelora hatinya dan ia
bangkit duduk menghapus air matanya. "Maafkan aku,
Kakangmas, maafkan Ayunda ........"
"Dinda Endang Patibroto, sekarang ceritakanlah apa
yang telah terjadi?" tanya Tejolaksono sambil memegang
tangan kiri isterinya. Ayu Candra memegang tangan kanan
madunya. Pegangan suami dan madunya itu memberi
kekuatan kepada Endang Patibroto, mengertilah ia bahwa
betapapun keadaannya, kedua orang itu tidak akan
membiarkan dia sengsara seorang diri. Maka diceritakanlah
semua pengalamannya, bercerita diseling isak tertahan.
Mendengar cerita Endang Patibroto, Ayu Candra
memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Juga
Tejolaksono terkejut sekali, merasa dadanya seperti ditusuk
dan ia menghela napas panjang sambil menggelengkan
kepalanya. "Duh Jagat Dewa Bathara ..... ! Mengapa dia bisa
menjadi begitu" Anakku ?""!" dengan wajah pucat
Tejolaksono mengeluh. "Urusan ini hebat sekali, harus kita
laporkan kepada sang prabu dan kita rundingkan dengan
kakangmas Pangeran Darmokusumo. Dan untuk membujuk Retna Wilis, agaknya aku sendiri yang harus
menemuinya ........ "
Endang Patibroto menggeleng kepala dengan sedih.
"Agaknya akan sia-sia, Kakangmas. Dia tidak dapat
dibujuk, wataknya keras melebihi baja ........"
Mendengar ini, Tejolaksono dan Ayu Candra saling
pandang. Anak Endang Patibroto, bagaimana tidak sakti
mandraguna dan keras hati, demikian bisik hati mereka.
"Dan mempergunakan kekerasan juga percuma. Kesaktiannya mengerikan. Segala aji kesaktian kukeluarkan
dan pada waktu itu saya sudah bertekad untuk
membunuhnya saja. Akan tetapi tidak ada pukulanku yang
dapat merobohkannya, sama sekali aku tidak berdaya
melawannya! Dia memiliki kesaktian seperti Nini
Bumigarba ........ mengerikan!" Tiba-tiba Endang Patibroto
mengangkat muka memandang Ayu Candra dan berkata,
"Ah, Bagus Seta! Dialah yang akan dapat menundukkannya! Mengapa aku melupakan anak kita itu"
Bagus Seta ........ , di mana dia" Dialah satu-satunya orang
yang boleh diharapkan untuk menundukkan Retna Wilis,
anak durhaka seperti iblis itu!"
"Husshhhh ........ Adinda jangan berkata begitu."
Tejolaksono merangkul isterinya. "Betapapun juga, dia
anak kita, anak yang kita sayang ........ kita harus berusaha
menginsyafkannya. Memang Bagus Seta yang agaknya
memiliki kesaktian untuk menundukkannya, seperti juga
Sang Sakti Bhagawan Ekadenta tentu akan dapat
menundukkan Nini Bumigarba."
"Di mana Bagus Seta" Harap panggil dia agar kita dapat
merundingkan dan minta nasehat serta pendapatnya," kata
Endang Patibroto. Terdengar suara Ayu Candra, sayu dan sedih karena
memang ibu ini pun berduka melihat puteranya lebih pantas
menjadi pendeta daripada seorang satria.
"Berhari-hari dia hanya mengeram diri dalam sanggar
pamujan, bersamadhi ...... "
"Sekali ini perlu kita panggil dia," kata Tejolaksono.
"Biar aku sendiri yang akan memanggilnya." Patih yang
diam-diam merasa prihatin sekali itu lalu melangkah keluar
kamar meninggalkan kedua isterinya, menuju ke sanggar
pamujan di ujung taman untuk memanggil puteranya yang
berhari-hari bersamadhi di tempat itu. Endang Patibroto
teringat akan Limanwilis dan dua orang adiknya, maka
bersama Ayu Candra ia segera keluar dan menemui mereka
bertiga yang masih menunggu di pendopo, kemudian
memerintahkan para abdi untuk memberi tempat istirahat
bagi tiga orang tokoh Wilis itu.
Setelah tiba di tempat pemujaan atau tempat samadhi,
Tejolaksono melihat pintu pondok tertutup dan dari celah-
celah jendela pondok ia melihat puteranya tekun
bersamadhi, duduk bersila dan berada dalam keadaan yang
hening. Hatinya menjadi tidak tega untuk mengganggu
puteranya secara kasar. Dia sendiri sebagai seorang yang
ahli dalam samadhi, mengerti betapa tidak enaknya orang
yang sedang bersamadhi dibangunkan secara kasar. Maka
ia lalu bersila di luar pondok, mengheningkan cipta dan
mengarahkan seluruh kehendaknya untuk menghubungi
puteranya melalui getaran perasaannya. Tak lama
kemudian, terdengarlah suara puteranya,
"Saya datang, Kanjeng Rama!"
Tejolaksono bangkit berdiri dan puteranya keluar pula
dari tempat samadhi itu, kemudian Tejolaksono menggandeng tangan puteranya sambil berkata, "Bagus
Seta, ibumu Endang Patibroto sudah pulang dan ada urusan
penting sekali yang ingin dibicarakan dan minta
pertimbanganmu." Bagus Seta mengangguk dan dengan tenang sekali
keduanya memasuki istana kepatihan. Ayu Candra dan
Endang Patibroto sudah menanti si ruangan dalam di mana
mereka mereka berempat dapat bicara tanpa gangguan para
abdi yang dilarang memasuki ruangan itu. Endang
Patibroto sudah agak tenang dan tidak menangis lagi,
sungguhpun jelas tampak kerisauan hatinya membayang di
wajahnya yang masih pucat dan matanya yang masih
merah kebanyakan menangis. Juga Ayu Candra masih
mengerutkan alis dan ada berbekas di wajahnya bahwa dia
habis menangis. "Selamat datang, Kanjeng Ibu!" Bagus Seta menghaturkan sembah kepada ibu tirinya yang diterima
oleh Endang Patibroto dengan rangkulan.
"Anakku Bagus Seta, ibumu amat mengharapkan
pertolonganmu untuk menyelamatkan adikmu si Retna
Wilis." Patih Tejolaksono dan kedua orang isterinya lalu
menceritakan secara bergantian tentang keadaan Retna
Wilis yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Bagus
Seta. Setelah ia mendengar seluruhnya, pemuda yang amat
tenang sikapnya ini mengangguk-angguk dan berkata,
"Patut dikasihani keadaan adikku Retna Wilis yang
dicengkeram oleh pengaruh sesat. Akan tetapi, kalau watak
adinda Retna Wilis sedemikian keras seperti yang
diceritakan Ibunda, agaknya amat tidak baik kalau
dipergunakan kekerasan untuk membujuk atau mempengaruhinya. Sedangkan Kanjeng Ibu Endang
Patibroto sendiri tidak diturut bujukannya, apalagi orang
lain. Adapun digunakannya pasukan Panjalu untuk
memukul Kerajaan Wilis, sungguhpun hal ini kelak
agaknya tak dapat dihindarkan lagi, namun tentu akan
mendatangkan korban amat banyak. Betapapun juga,
karena urusan Wilis ini bukan hanya urusan pribadi
keluarga kita, melainkan urusan kerajaan, akan terlalu
sembrono bagi kita kalau kita menanggulanginya sendiri.
Sudah menjadi kewajiban Kanjeng Rama untuk melaporkan hal ini kepada sang prabu untuk dirundingkan
bagaimana sebaiknya menghadapi ancaman Kerajaan
Wilis. Adapun tentang diri adinda Retna Wilis sendiri,
biarlah saya akan berusaha untuk membantunya mendapatkan kesadaran. Sekarang saya mohon diri dari
Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu berdua, hari ini juga saya
akan pergi menemui adinda Retna Wilis."
"Aduh, terima kasih, anakku angger Bagus Seta. Lapang
rasa dadaku setelah engkau sanggup untuk menemui Retna
Wilis. Kalau engkau yang turun tangan, aku yakin pasti
akan berhasil, Anakku!" kata Endang Patibroto dan
wajahnya yang tadinya suram itu kini berseri gembira.
Bagus Seta menundukkan mukanya. "Segala keputusan
berada sepenuhnya di tangan Sang Hyang Widdhi, Kanjeng
Ibu. Manusia hanya wajib berikhtiar, menjalankan tugas
sebagaimana mestinya. Hamba mohon doa restu Paduka
bertiga." "Berangkatlah, Bagus. Aku membekali pangestu!" kata
Tejolaksono dengan Pandang mata kagum kepada
puteranya. "Hati-hati di jalan, Anakku!" kata Ayu Candra, agak
terharu. "Bagus Seta, kau tolonglah adikmu Retna Wilis ........ "
berkata Endang Patibroto dengan suara memohon.
Setelah Bagus Seta berangkat, hanya berjalan kaki dan
tidak membawa bekal apa-apa, dengan pakaian tetap putih
sederhana sungguhpun kini ia dibuatkan pakaian putih dari
kain sutera halus oleh ibunya, Tejolaksono lalu menemui
Liman-Wilis bertiga, kemudian bersama kedua isterinya ia
langsung menghadap sang prabu yang segera membuka
persidangan untuk membicarakan Kerajaan Wilis yang
mengancam keselamatan daerah Panjalu. Baru saja
persidangan dibuka, datang punggawa yang membawa
pelaporan bahwa Ponorogo telah diserbu dan telah jatuh ke
tangan Kerajaan Wilis! Tak lama kemudian datanglah
menghadap Sang Adipati Diroprakosa sendiri yang
bercerita dengan air mata bercucuran akan hancurnya
Ponorogo dan tewasnya para tokoh Ponorogo dan para
pembantu-pembantu sakti di tangan Ratu Wilis yang
memiliki kesaktian yang luar biasa.
Mendengar ini, terdengar isak tangis dan Endang
Patibroto cepat menyembah sang prabu dan mohon
diizinkan mengundurkan diri. Sang prabu yang arif
bijaksana maklum akan isi hati Endang Patibroto. Tentu
saja wanita ini merasa sungkan dan tidak enak hatinya
mendengar betapa puterinya, Ratu Wilis, akan menjadi
bahan percakapan, maka sang prabu memberi izin. Endang
Patibroto mohon maaf kepada suaminya dan kepada para
hadirin lainnya, kemudian meninggalkan persidangan
dengan hati remuk. Ia langsung memasuki kepatihan,
masuk ke dalam kamarnya dan membanting tubuhnya ke
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atas pembaringan, merintih-rintih di dalam hatinya,
bersambat kepada mendiang ibunya. Tiba-tiba ia bangkit
duduk dan memandang dinding dengan mata terbelalak dan
muka pucat. "Aduh, Ibunda ........ ampunkan hamba ........
ampunkan anakmu yang berdosa ........ !" Dan ia menutupi
muka dengan kedua tangan lalu menangis sedih. Terbayang
di depan matanya yang dipejamkan akan semua
pengalamannya di waktu dia muda dahulu. Betapa ia pun
sudah banyak mendatangkan sakit hati kepada ibunya
sendiri (baca Badai Laut Selatan). Bukankah sekarang ini
dia hanya memetik buah yang dahulu ditanamnya sendiri"
Bukankah dahulu ibunya sendiri, yang mengandungnya dan
melahirkannya, juga mengalami derita batin karena dia,
seperti yang ia alami sekarang"
Sementara itu, di dalam persidangan sang prabu dengan
bijaksana minta pendapat Tejolaksono tentang Kerajaan
Wilis yang jelas hendak melanggar kedaulatan Jenggala dan
Panjalu, bahkan telah menyerbu dan merampas Ponorogo
yang menjadi daerah Panjalu atau setidaknya menjadi
kadipaten yang tunduk kepada Panjalu. Sang prabu yang
maklum bahwa Retna Wilis adalah puteri Tejolaksono dan
Endang Patibroto, mengharapkan pendapat dari patih
mudanya yang menjadi senopati pula, dan yang menjadi
ayah dari Retna Wilis yang menggegerkan itu.
"Duh, Gusti Sinuwun sesembahan hamba," Tejolaksono
berkata dengan suara tegas tanpa ragu-ragu. "Sungguhpun
Ratu Wilis adalah puteri hamba, akan tetapi urusan ini
adalan urusan kerajaan, dan biarpun puteri hamba sendiri,
kalau mendatangkan kekacauan dan kalau hamba akan
diperintah oleh Paduka, hamba akan berangkat dan
menggempur Wilis!" Sang prabu mengangguk-angguk. "Aku percaya akan
kesetiaanmu, wahai patihku yang perkasa. Akan tetapi
Kerajaan Wilis hanya kerajaan baru yang kecil, dan karena
ratunya adalah puterimu, maka sebaiknya dicari jalan lain
untuk menghindarkan perang yang akan menimbulkan
malapetaka dan kesengsaraan belaka bagi rakyat. Baru saja
rakyat menderita oleh kekacauan Jenggala, maka sebaiknya
kalau kita mencoba untuk menghindarkan perang baru.
Puteraku, Pangeran Darmokusumo, bagaimana pendapatmu?" "Kanjeng Rama, perkenankanlah hamba berwawancara
dengan yayi Patih Tejolaksono." Putera mahkota itu
menyembah. Sang prabu mengangguk dan Pangeran Darmokusumo
lalu menghadapi Tejolaksono,
"Yayi Patih Tejolaksono. Usaha apakah yang telah
kaulakukan menghadapi urusan Wilis ini?"
"Rakanda Pangeran, isteri hamba Endang Patibroto
sudah mengunjungi Retna Wilis dan membujuknya, bahkan
ketika puteri kami itu tidak menurut, telah pula
menyerangnya, akan tetapi anak itu yang telah menerima
pendidikan Nini Bumigarba, amat sakti sehingga Endang
Patibroto sendiri tidak mampu mengalahkannya. Kini
hamba mengutus Bagus Seta untuk mencoba untuk
membujuknya." jawab Tejolaksono.
"Hemm, kalau begitu sebaiknya kita bersabar, menanti
hasil yang dicapai Bagus Seta. Sementara itu, penjagaan di
tapal batas harus diperkuat, dan hubungan para kadipaten
di sebelah barat harus dipererat sehingga setiap perubahan
dan setiap gerakan Wilis akan dapat segera kita ketahui."
kata sang prabu. Setelah para tokoh Kerajaan Panjalu
diminta pendapatnya, dan ternyata pendapat mereka juga
cocok, persidangan dibubarkan dan Tejolaksono bersama
Ayu Candra cepat kembali ke kepatihan untuk menghibur
hati Endang Patibroto. Adapun Limanwilis dan dua orang
adiknya yang lebih mengenal keadaan di Wilis, ditugaskan
untuk pergi menyelidik untuk mengikuti perkembangan dan
gerakan-gerakan Kerajaan Wilis.
-oo(mch-dwkz)oo- Kita tinggalkan dulu keadaan di Panjalu yang tetap
tenang berkat kebijaksanaan sang prabu yang amat sayang
kepada keluarga Tejolaksono, dan mari kita menengok
keadaan di Kerajaan Wilis.
Biarpun Kerajaan Wilis sudah berhasil mengalahkan
Ponorogo, akan tetapi dalam peperangan itu Wilis
kehilangan pula banyak perajurit. Ada seperempatnya yang
tewas atau terluka parah dalam perang dan untuk
menghimpun tenaga baru, Wilis membutuhkan waktu.
Ketika Ratu Wilis menyampaikan niatnya untuk menyerbu
terus ke Jenggala, hal ini disetujui oleh Adiwijaya.
"Harap Paduka suka bersabar, Gusti Puteri. Selain
perajurit kita banyak yang gugur sehingga kekuatan kita
berkurang, juga Kerajaan Jenggala tidaklah selemah
Ponorogo. Di sana memiliki bala tentara besar, apalagi
tentu Kerajaan Panjalu membantunya, juga banyak terdapat
orang-orang sakti mandraguna." Adiwijaya cukup cerdik
untuk tidak menyebut nama Tejolaksono dan Endang
Patibroto untuk tidak melukai hati orang yang disayangnya.
"Selain itu, juga Ponorogo hanya menyerah karena
terpaksa. Amat sukar mengharapkan bantuan dari rakyat
Ponorogo, maka kita harus menghimpun dan memperbesar
jumlah perajurit dari daerah-daerah lain yang sudah kita
taklukkan. Perajurit-perajurit baru perlu dilatih. Pendeknya,
untuk menggempur Jenggala membutuhkan persiapan yang
lebih matang, Gusti."
Retna Wilis yang ingin sekali melihat cita-citanya cepat
terkabul, mengerutkan alisnya. "Kalau aku menuruti
rencanamu, bukankah hal itu akan makan waktu bertahun-
tahun" Terlalu lama, Paman. Kalau perlu, aku sanggup
dengan seorang diri menaklukkan kerajaan-kerajaan itu!"
Adiwijaya memandang junjungannya itu penuh kagum.
Sepasang matanya bersinar-sinar dan ia membayangkan
betapa kalau dara perkasa ini melakukan serbuan seorang
diri saja ke Jenggala! Dia tahu bahwa hal itu tidak mungkin
karena mana bisa seorang diri saja, betapapun saktinya,
menghadapi bala tentara yang laksaan jumlahnya" Pula,
banyak sekali orang sakti di sana! Ia cepat menyembah dan
berkata, "Maafkan hamba, Hamba percaya akan kesaktian dan
kesanggupan Paduka, akan tetapi menyerbu seorang diri
bukanlah menjadi kebiasaan seorang ratu yang besar. Harap
Paduka bersabar, dan kalau Paduka menganggap bahwa
menghimpun dan melatih pasukan kuat akan memakan
waktu terlalu lama, hamba masih mempunyai jalan lain
yang kiranya lebih singkat dan akan lebih menghasilkan."
"Bagus sekali, Paman. Aku percaya akan daya upaya dan
kecerdikanmu. Jalan apakah yang kau maksudkan itu"
Lekas beritahukan," kata Retna Wilis dengan wajah
gembira. "Paduka tentu maklum bahwa keadaan Jenggala
sekarang jauh lebih kuat daripada sebelum sang prabu yang
sepuh diganti oleh Pangeran Panji Sigit yang kini telah
menjadi raja. Bahkan gusti permaisuri Jenggala adalah bibi
Paduka sendiri yang sakti mandraguna. Belum lagi diingat
bahwa patihnya yang menjadi benteng Jenggala sekarang
adalah Joko Pramono dan isterinya yang perkasa."
Kembali alis yang kecil hitam itu berkerut. "Paman, tidak
perlu Paman menyebut nama-nama mereka. Mereka itu
benar para paman dan bibiku, akan tetapi kalau mereka
tidak suka tunduk kepadaku, aku akan menghadapi mereka
sebagai lawan!" Adiwijaya mengangguk-angguk. "Hamba juga percaya
bahwa Paduka akan sanggup mengalahkan lawan yang
mana pun juga. Akan tetapi, bukankah kalau terjadi hal itu,
akan amat tidak enak, Gusti" Sebaiknya kalau kita
mengadakan persekutuan dengan pihak Sriwijaya dan Cola.
Kedua kerajaan itu mempunyai wakil-wakil yang sakti dan
yang sudah menyusun barisan yang cukup kuat pula. Kita
ajak mereka bersekutu untuk menggempur Jenggala dan
kalau hal itu terjadi, tidak perlu Paduka sendiri yang harus
menghadapi para paman dan bibi Paduka di Jenggala."
"Ihh, Paman Adiwijaya, omongan apa yang kau
keluarkan ini?" Retna Wilis membentak marah dan
mengangkat kedua alisnya, matanya terbelalak memandang
tajam kepada patihnya. "Aku tidak takut menghadapi
kerajaan mana pun juga, mengapa mesti bersekutu" Aku
tidak sudi bersekutu apalagi dengan kerajaan-kerajaan asing
itu. Bersekutu hanya menunjukkan bahwa kita lemah, dan
kemenangan yang dicapai seolah-olah mengandalkan
bantuan sekutu-sekutu itu!"
"Maksud hamba tidak demikian, Gusti. Pertama,
penyerangan terhadap Jenggala dan Panjalu di mana
terdapat keluarga Paduka yang menjadi senopati, amat
tidak enak bagi Paduka sendiri, maka sebaiknya meminjam
tenaga orang-orang Sakti dari kerajaan asing itu. Ke dua,
dan hal ini penting sekali, orang-orang dari Sriwijaya dan
Cola itu merupakan ancaman kelak bagi Paduka. Mereka
adalah musuh-musuh rakyat dan mereka itu menyusun
tenaga secara nyiluman (seperti siluman, bersembunyi dan
rahasia) sehingga amat sukar untuk membasmi mereka.
Kalau mereka diajak bersekutu, tentu mereka akan tampak
dan kelak kalau kita sudah mempergunakan tenaga mereka
sehingga berhasil, mudah saja bagi kita untuk membasmi
mereka dari permukaan bumi!"
Retna Wilis termenung sampai lama. ia mempertimbangkan usul pembantunya yang setia ini.
Memang ada benarnya. Biarpun ia tidak perduli kalau
terpaksa harus melawan para bibi dan pamannya, akan
tetapi kalau ia teringat akan bibinya Setyaningsih, ia ragu-
ragu juga apakah akan tega menurunkan tangan kepada
bibinya itu. Apalagi kalau ia ingat akan ayah bundanya
yang berada di Panjalu. Kalau mereka itu maju, dan hal ini
tak dapat disangsikan lagi mengingat bahwa ayah bundanya
adalah hamba-hamba setia dari Panjalu, biarpun dia tidak
takut dan pasti akan menentang mereka kalau ayah
bundanya berusaha menghalangi cita-citanya, namun tetap
saja ada sedikit perasaan tidak enak di hatinya. Dan para
wakil kedua kerajaan asing itu, tentu kelak hanya akan
menjadi gangguan yang memusingkan. Usul patihnya amat
baik, sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat.
Menggunakan mereka untuk menggempur dan menaklukkan Jenggala dan Panjalu, kemudian setelah
berhasil, membasmi mereka sebelum mereka sadar akan
muslihat ini. "Usulmu menarik sekali, Paman. Akan tetapi, benar-
benarkah Sriwijaya dan Cola mempunyai tokoh-tokoh yang
sakti, yang boleh dipercaya akan dapat kita pergunakan
untuk menggempur dan menaklukkan Jenggala dan
Panjalu?" "Banyak sekali tokoh mereka, Gusti. Dan terutama sekali
pucuk pimpinan yang sengaja dikirim dari Kerajaan
Sriwijaya dan Cola. Hamba mengenal pemimpin utusan
Kerajaan Cola yang bernama Sang Wasi Bagaspati. Kakek
ini memiliki kesaktian yang amat hebat, Gusti, yang sukar
dicari bandingnya pada saat ini ........ "
"Hemm, aku pernah mendengar dari guruku nama itu.
Manusia sombong yang mengaku sebagai penitisan Sang
Hyang Shiwa! Lalu, siapa lagi, Paman?"
"Masih banyak tokoh Kerajaan Cola yang menjadi
pembantu Sang Wasi Bagaspati, dan yang memiliki aji
kesaktian luar biasa. Adapun pemimpin utusan Kerajaan
Sriwijaya belum pernah hamba jumpai, akan tetapi
kabarnya juga memiliki kesaktian yang tidak kalah oleh
kesaktian Sang Wasi Bagaspati sendiri, namanya Sang Biku
Janapati." Retna Wilis mengangguk-angguk. Nama-nama ini
pernah ia dengar dari Nini Bumigarba. "Paman, apakah
Paman dapat menghubungi mereka?"
"Hamba kira akan dapat mencari tokoh-tokoh Kerajaan
Cola, Gusti. Dan melalui mereka kiranya hamba akan
dapat menghubungi pula tokoh-tokoh Sriwijaya. Apakah
Paduka dapat menyetujui kalau kita bersekutu dengan
mereka?" "Kalau Paman merasa sebaiknya demikian, aku pun
dapat menerima. Sekarang Paman pergilah menghubungi
mereka dan panggil Sang Wasi Bagaspati dan Sang Biku
Janapati datang menghadap aku!"
Adiwijaya membelalakkan mata dan wajahnya berubah.
Akan tetapi mulutnya tidak berani membantah. Ia hanya
merasa khawatir apakah kedua orang tokoh sakti itu akan
sudi datang kalau disuruh menghadap seorang ratu muda
belia seolah-olah mereka itu adalah orang-orang taklukan
atau orang-orang yang tingkatnya lebih rendah. ia
menyanggupi, kemudian menyembah dan berpamit untuk
segera melaksanakan perintah puteri sakti itu, mencari dan
menghubungi Wasi Bagaspati dan Biku Janapati.
Adiwijaya maklum atau dapat menduga bahwa tentu
tokoh-tokoh besar yang dicarinya itu masih belum
meninggalkan daerah Jenggala. Biarpun mereka itu telah
gagal dalam usaha mereka menguasai Jenggala dengan
jalan halus, namun mereka itu tentu tidak mau sudah begitu
saja. Tentu Wasi Bagaspati diam-diam sedang menyusun
tenaga untuk melanjutkan usahanya menguasai Jenggala
dan agaknya bersembunyi di dalam hutan-hutan, di
gunung-gunung yang sunyi.
Mulailah Adiwijaya merantau, seorang diri karena untuk
melakukan tugas rahasia ini ia tidak menghendaki
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rombongan pembantu atau pengawal yang selain dapat
mudah membocorkan rahasia, juga akan membuat ia
kurang leluasa saja. Ia tahu dari siapa ia harus mencari
berita tentang tempat persembunyian tokoh-tokoh dari
kerajaan Cola itu. Maka ia lalu masuk keluar hutan dan
akhirnya ia bertemu dengan serombongan perampok yang
ia kenal sebagai bekas anak buah pasukan Jenggala yang
melarikan diri. Ketika ia memasuki sebuah hutan yang lebat
pada suatu pagi, tiba-tiba dari balik pohon-pohon dan
semak-semak berloncatan belasan orang yang dikepalai
seorang tinggi besar yang berkumis tebal melintang sekepal
sebelah. Adiwijaya mengenal pemimpin perampok itu dan
beberapa orang anggauta perampok sebagai bekas anak
pasukan yang dahulu menjadi pengawal Pangeran
Kukutan, akan tetapi mereka tidak mengenalnya karena
memang kini bekas Patih Warutama sudah banyak
berubah. "Heh, kisanak, berhenti dulu! Tanggalkan semua pakaian
dan tinggalkan semua bawaanmu sebagai pengganti
nyawamu!" Si kumis melintang membentak garang.
Adiwijaya tersenyum, berdiri tegak dan berkata, "Kakang
Jodi, apakah engkau tidak lagi mengenal aku" Aku adalah
bekas Ki Patih Warutama, orang sendiri, bukan lawan."
Beberapa orang bekas anak buah Jenggala, juga Ki Jodi,
memandang dengan mata terbelalak diikuti oleh anak
buahnya. "Ha-ha-ha, engkau pandai membadut, Kisanak! Akan
tetapi kami tidak mempunyai waktu untuk mendengar
ocehanmu. Lekas tanggalkan pakaian atau terpaksa aku
akan membunuhmu lebih dulu, baru melucuti pakaianmu!"
Kepala perampok itu membentak dengan sikap mengancam. "Hemm, memang wajahku sudah berubah. Akan tetapi
apakah engkau tidak lagi mengenal suara dan bentuk
tubuhku" Baiklah, sebelum diberi bukti kalian tentu tidak
percaya. Nah, Kakang Jodi, majulah!"
Ki Jodi menjadi marah. Orang ini yang mengaku bekas
Patih Jenggala adalah seorang yang tubuhnya tidak
membayangkan kekuatan, agaknya sekali pukul saja ia akan
mampu membikin remuk kepala itu. Maka ia lalu berteriak
keras dan menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram
ke arah leher dan kepalan tangan kanannya menjotos
kepala. Tentu saja serangan yang hanya berdasarkan tenaga
kasar ini dipandang rendah oleh Adiwijaya yang sakti.
Tubuhnya hanya miring sedikit, kemudian kedua tangannya bergerak, menyambar pinggang yang besar itu,
diangkatnya tubuh Ki Jodi ke atas lalu dibanting ke atas
tanah. "Brukkk ........ ngekkk!"
"Aduhhhh ........ tohobaattt ........ !" Ki Jodi terengah-
engah dan merintih, tulang punggungnya serasa patah dan
ia tidak dapat bangkit. Kawan-kawannya menjadi marah,
akan tetapi sebelum mereka bergerak maju, Ki Jodi sambil
terengah-engah berkata, "Mundur kalian semua! Apakah kalian buta" Beliau
adalah Gusti Patih Warutama!"
Semua anak buah perampok mundur dan memandang
dengan jerih. Adiwijaya menghampiri Ki Jodi, menepuk
punggungnya dan menariknya bangun. Ki Jodi menyeringai
dan bangkit dengan tubuh bongkok, kedua tangannya
menekan pinggang dan pantat yang rasanya nyeri sekali.
"Ampun, Gusti Patih ........"
"Tidak mengapa, Kakang Jodi. Aku pun tidak berniat
mengganggu kalian, hanya kebetulan saja pertemuan ini
karena memang aku sedang mencari teman-teman bekas
perajurit Jenggala. Aku ingin bertanya ke mana kiranya aku
dapat menemui tokoh-tokoh Cola, Wasi Bagaspati dan para
pembantunya." "Hamba ........ hamba tidak tahu, Gusti. Semenjak
melarikan diri dari Jenggala, hamba bersama kawan-kawan
bersembunyi di hutan ini. Hanya ada hamba mendengar
berita bahwa pasukan wanita penyembah Sang Bhatari
Durgo bermarkas di lereng gunung Arjuna. Kiranya dari
mereka itu Paduka akan dapat mendengar lebih jelas
tentang para tokoh yang Paduka cari."
Adiwijaya mengangguk-angguk. "Baik. Aku akan
mencari ke sana. Kakang Jodi, engkau kumpulkan kawan-
kawan bekas perajurit Jenggala dan bawa mereka sebanyak
mungkin pergi ke lereng Wilis. Di sana kalian boleh
menghambakan diri menjadi perajurit Wilis."
Ki Jodi membelalakkan matanya. "Kerajaan Wilis"
Ahhh, hamba sudah mendengar akan kerajaan baru itu.
Hamba ........ takut, Gusts. Jangan-jangan begitu sampai di
sana, hamba segerombolan akan dibasmi oleh pasukan
Wilis yang terkenal kuat."
Adiwijaya tersenyum bangga. "Jangan khawatir. Katakan bahwa Gusti Patih Adiwijaya yang menyuruh
kalian datang. Kalian pasti akan cliterima sebagai anggauta
pasukan. Aku sekarang adalah Ki Patih Adiwijaya,
patih dari Kerajaan Wilis
yang jaya. Ingat, Ki Patih
Adiwijaya, bukan lagi Patih
Warutama. Mengerti?"
"Baik, Gusti Patih." Ki
Jodi menjawab dan dengan girang ia menerima beberapa
potong emas dari Adiwijaya.
Adiwijaya melanjutkan perjalanannya dan beberapa
hari kemudian tibalah ia di
lereng gunung Arjuna. Karena hari telah menjelang
senja dan ia merasa lelah dan lapar sekali, Adiwijaya
berhenti mengaso di bawah sebatang pohon cemara,
membuka bungkusan daun jati dan makan nasi bekalnya
yang tadi ia beli di dalam dusun di kaki gunung. Baru saja
ia habis makan dan minum air yang memancur keluar dari
celahan batu sambil mencuci tangan, tiba-tiba ia melihat
berkelebatnya bayangan orang. ia maklum bahwa ada orang
sakti datang, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan
melanjutkan mencuci tangan, akan tetapi diam-diam ia
bersikap waspada. "Wirrrr ........ Adiwijaya miringkan kepala, tangan kirinya meraih dan
sebatang tusuk konde cepat ia tangkap dari samping dengan
jari tangannya. Ia menoleh ke arah datangnya senjata
rahasia tusuk konde itu sambil berkata,
"Saya Adiwijaya bukanlah musuh, ha-rap Andika sudi
keluar dan bicara." "Ihhhh ........ Terdengar seruan tertahan seorang wanita
disusul jerit melengking yang agaknya menjadi tanda
bahaya, kemudian dari balik semak-semak muncul keluar
seorang wanita cantik manis dengan sinar mata genit dan
pakaian tipis membayangkan tubuh yang ramping padat,
berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Sekali pandang
Adiwijaya dapat menduga bahwa wanita ini tentulah anak
buah Ni Dewi Nilamanik, seorang penyembah Bathari
Durgo. Cepat ia menjura dengan sikap hormat dan berkata,
"Saya bernama Adiwijaya dan datang dengan niat baik,
harap Andika jangan lagi main-main dengan senjata yang
bahaya ini. Kurasa tusuk konde ini lebih pantas untuk
menghias rambut Andika yang hitam halus itu." Sambil
berkata demikian, Adiwijaya menggerakkan tusuk konde di
tangannya yang melesat cepat dan menancap di konde
(sanggul) rambut wanita itu yang menjadi terkejut sekali.
"Apa niatmu datang ke tempat kami" Apakah Andika
sudah bosan hidup?" Wanita itu menatap wajah dan tubuh
Adiwijaya dengan penuh selidik, juga merasa sayang kalau
pria ini terbunuh. Biarpun sudah setengah tua, pria ini amat
menarik, dan membayangkan kejantanan, di samping
kedigdayaan yang sudah diperlihatkan tadi ketika
menangkap senjata rahasianya dan mengembalikannya
dengan cara mengagumkan. "Saya datang untuk minta menghadap Sang Wasi
Bagaspati, atau Ni Dewi Nilamanik. Bukankah Andika ini
anak buah Ni Dewi Nilamanik?"
Kembali wanita itu kelihatan kaget dan tercengang. Baik
Wasi Bagaspati maupun Ni Dewi Nilamanik berada di
tempat itu secara sembunyi dan tempat ini dirahasiakan.
Bagaimana orang ini dapat mengetahuinya" Akan tetapi
sebelum ia men jawab, terdengar suara halus seorang
wanita, "Ki Warutama, mau apa Andika datang ke sini?"
Adiwijaya membalikkan tubuh dan melihat Ni Dewi
Nilamanik telah berdiri di situ dengan sikap angkuh.
Wanita ini masih cantik menarik penuh daya pikat dan
biarpun dahulu sudah beberapa kali wanita ini melayaninya
sebagai seorang kekasih, namun kini bersikap angkuh dan
dingin. Di tangannya tampak pengebut lalat dari serat
merah buntut kuda, kebutan yang mungkin lebih banyak
mengebut melayang nyawa manusia daripada nyawa lalat.
Kagumlah Adiwijaya. Benar-benar wanita ini selain sakti
juga amat awas sehingga begitu bertemu telah mengenalnya. "Ni Dewi Nilamanik, selamat berjumpa. Sungguh
pertemuan ini amat membahagiakan hati saya karena
membuktikan betapa perjalanan saya tidak sia-sia dan
harapan saya untuk dapat menghadap Sang Wasi Bagaspati
terpenuhi." "Hemm, tidak begitu mudah, Ki Warutama. Kecuali
anggauta kami, siapa pun juga yang sudah lancang naik ke
sini tidak akan dapat turun lagi. Dan Andika bukanlah
anggauta kami. Apa kehendakmu?"
"Ahh, Ni Dewi. Tentu Andika mengerti bahwa kalau
membawa niat buruk, saya tidak akan begitu lancang berani
naik ke sini. Saya sekarang telah menjadi Ki Patih
Adiwijaya dari Kerajaan Wilis, dan kedatangan saya ini
sebagai utusan Kerajaan Wilis untuk menghadap Sang
Wasi Bagaspati." Ni Dewi Nilamanik memandang tajam, menggerak-
gerakkan kedua alisnya. Diam-diam ia merasa kaget dan
juga kagum. Benar-benar laki-laki ini amat cerdik. Baru saja
terguling dari kedudukannya sebagai Patih Jenggala, kini
telah muncul lagi sebagai patih Kerajaan Wilis dan
mempunyai nama baru lagi, Ki Patih Adiwijaya! Benar-
benar seorang laki-laki yang hebat!
"Ikutlah aku, akan tetapi aku tidak mau kau salahkan
kalau nanti rakanda Wasi marah-marah dan membunuhmu!" Tanpa menanti jawaban Ni Dewi
Nilamanik mengebutkan kebutannya dan membalikkan
tubuh, kemudian melesat ke depan, lari cepat mendaki
puncak, Adiwijaya tersenyum dan mengerahkan aji
kesaktianya mengejar. Ia melihat betapa di balik semak-
semak dan pohon-pohon kini telah berkumpul puluhan
orang wanita cantik yang bersenjata lengkap. Tentu anak
buah Ni Dewi Nilamanik yang berdatangan karena jerit
melengking kawan mereka tadi. Ah, memang hebat anak
buah Kerajaan Cola di bawah pimpinan Sang Wasi
Bagaspati ini, pikirnya. Kalau Retna Wilis dapat bersekutu
dengan mereka, tentu bukanlah hal yang sukar lagi untuk
menggempur dan menaklukkan Jenggala, bahkan Panjalu
sekali pun. Hanya seorang tokoh yang amat dikhawatirkan,
yaitu Bagus Seta, putera Ki Patih Tejolaksono yang
memiliki kesaktian luar biasa itu sehingga Sang Wasi
Bagaspati sendiri kabarnya kalah oleh pemuda itu. Diam-
diam ia seringkali membandingkan Bagus Seta dan Retna
Wilis dan bergidik. Retna Wilis puteri Ki Patih
Tejolaksono! Entah bagaimana jadinya kelak kalau kakak
beradik satu ayah lain ibu itu bertemu sebagai lawan!
Jalan mendakl puncak itu melalui tempat-tempat rahasia
yang sukar dilalui, dan di dekat puncak menuruni sebuah
jurang yang amat curam sehingga kalau orang luar takkan
mungkin dapat mengira bahwa jurang seperti ini dijadikan
markas sementara bagi Wasi Bagaspati dan anak buahnya.
Kiranya di dekat dasar jurang itu terdapat terowongan
dan setelah melalui terowongan, mereka berada di dasar
jurang lain yang tidak tampak dari atas, dasar yang rata dan
amat luas. Di tempat inilah Sang Wasi Bagaspati tinggal
bersama Ni Dewi Nilamanik dan anak buahnya yang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjumlah hampir seratus orang wanita. Di situ telah
dibangun pondok-pondok bambu yang sederhana namun
cukup besar dan biarpun tempatnya sederhana, karena
dikelilingi puluhan orang wanita muda dan cantik, bagi
seorang laki-laki yang menjadi hamba nafsu berahi
merupakan surga dunia. Pasukan yang menjaga pondok terbesar juga merupakan
perajurit-perajurit wanita yang bersenjata lengkap, memegang tombak dan menyarungkan pedang. Mereka
nampak cantik dan gagah, akan tetapi mereka semua
memiliki pandang mata yang bersinar penuh kegenitan
seperti yang terdapat pada pandang mata Ni Dewi
Nilamanik. Adiwijaya memasuki pondok itu di belakang Ni Dewi
Nilamanik dan begitu ia berhadapan dengan Sang Wasi
Bagaspati yang duduk bersama seorang kakek lain yang
memandangnya penuh perhatian, dia merasa bulu
tengkuknya meremang. Selalu ia merasa ngeri kalau
bertemu pandang dengan kakek yang berpakaian merah
darah, bertubuh tinggi kurus dan mukanya merah
mengingatkan dia akan tokoh Raja Alengkapura, yaitu
Maharaja Dasamuka dalam cerita Ramayana.
"Heh, Warutama, manusia yang berhati penuh khianat!
Inginkah engkau mendapat kehormatan tewas di tanganku
maka engkau berani datang ke sini?" Wasi Bagaspati
membentak dan Adiwijaya yang berdiri menunduk penuh
hormat itu gemetar kedua kakinya. ia lalu memberi hormat
dan duduk bersila di depan kakek itu.
"Duhai Sang Wasi yang arif bijaksana dan sakti
mandraguna. Mohon ampun akan kebodohan saya, akan
tetapi saya tidak merasa telah melakukan khianat," bantah
Adiwijaya, menekan hatinya agar suaranya tidak gemetar.
Ia mengingat akan junjungannya, Retna Wilis, dan seketika
rasa gentarnya lenyap. Puteri junjungannya itu tidak akan
meninggalkannya, tidak akan membiarkannya diganggu,
biar oleh seorang sakti seperti kakek ini sekalipun. Dan
dalam hal kesaktian, ia merasa yakin bahwa ratunya itu
tidak akan kalah oleh kakek ini. Keyakinan ini
menimbulkan ketabahan di hatinya, mengusir rasa takut
sehingga ia dapat mempergunakan akal budi dan
kecerdikannya. "Heh, Warutama. Andika telah membunuh Suminten
dan Pangeran Kukutan, masih mengatakan Andika tidak
berkhianat" Andika melarikan diri meninggalkan sekutu,
bukankah hal itu membuktikan hatimu yang khianat?"
Adiwijaya sudah menduga akan datangnya tuduhan itu,
maka ia sudah siap dengan jawabannya yang keluar dengan
suara tenang, "Duh Sang Wasi yang mulia. Saya tidak
berkhianat ketika membunuh Pangeran Kukutan dan
menyerahkan Suminten kepada para perajurit yang
melarikan diri. Mereka berdualah yang berkhianat, karena
bukankah kegagalan di Jenggala terjadi karena kebodohan
dan kelancangan mereka berdua" Setelah gagal karena
kecerobohan mereka, kedua orang manusia palsu itu
melarikan diri. Saya muak melihat mereka maka saya
membunuh Pangeran Kukutan dan menyerahkan Suminten
kepada para perajurit yang melarikan diri. Kalau tidak
karena kebodohan mereka, tentu saya masih menjadi patih
di Jenggala dan usaha Sang Wasi yang dihimpun dan
dipupuk secara susah payah tidak akan sirna begitu saja."
Wasi Bagaspati mengelus rambutnya yang putih dan
terurai ke pundak. Matanya tidak beringas lagi dan
suaranya ketika bicara menunjukkan bahwa kemarahannya
reda mendengar alasan Adiwijaya yang kuat.
"Engkau pandai bicara dan mungkin engkau benar.
Kami pun tidak lagi membutuhkan mereka. Akan tetapi
kami pun sama sekali tidak membutuhkan engkau,
Warutama. Apa kehendakmu datang menghadap aku?"
Adiwijaya tersenyum tenang dan sabar. "Tentu saja Sang
Wasi tidak membutuhkan saya, dan kedatangan saya ini
pun karena teringat akan budi Sang Wasi dan teringat
bahwa kita dahulu pernah bekerja sama. Saya menyesal
akan kegagalan kita yang disebabkan oleh kebodohan
Pangeran Kukutan dan Suminten. Maka sekarang saya
hendak memberi jalan kepada Sang Wasi untuk menebus
kekalahan yang lalu, bersama menggempur dan menaklukkan Jenggala dan Panjalu."
Terdengar suara menggereng seperti harimau dan tempat
itu menjadi tergetar hebat. Adiwijaya terkejut sekali dan
memandang kakek ke dua yang duduk di sebelah kiri Sang
Wasi Bagaspati, yang mengeluarkan suara menggereng
hebat, mengandung daya kekuatan dan wibawa ampuh itu.
"Hhrrrrrggg ........ Manusia yang begini mudah
menggerakkan lidah mana dapat dipercaya" Kakang Wasi,
biar kuganyang jantungnya!'
Melihat wajah Adiwijaya berubah pucat, Wasi Bagaspati
mengangkat tangan mencegah kakek itu sambil berkata,
"Biarkan dia bicara lebih dulu." Kemudian ia menoleh
kepada Adiwijaya, "Warutama, kau bicaralah yang benar,
kalau tidak, aku akan membiarkan adikku Wasi Bagaskolo
mengganyang jantungmu. Apa yang kau maksudkan
dengan ucapanmu tadi" Adikku ini benar kalau mengatakan
bahwa engkau terlalu mudah menggoyang Iidah hendak
menaklukkan Jenggala dan Panjalu."
Hati yang kaget dan gentar dari Adiwijaya berubah
girang ketika mendengar bahwa kakek yang hebat dan jelas
memiliki kesaktian tinggi itu adalah adik Wasi Bagaspati.
Cepat ia berkata, "Saya tidak berani membohong atau
menipu, Sang Wasi. Sekali ini kita pasti akan berhasil
menghancurkan Jenggala. Hendaknya Sang Wasi mengetahui lebih dulu bahwa saya sekarang telah menjadi
Ki Patih Adiwijaya dari Kerajaan Wilis."
"Hemmm ........ !" Sungguhpun Wasi Bagaspati hanya
mengeluarkan suara menggeram, akan tetapi seperti juga Ni
Dewi Nilamanik, ia menjadi kagum akan kecerdikan laki-
laki ini. "Aku sudah mendengar akan Kerajaan Wilis yang
baru berdiri dart sudah banyak menaklukkan kadipaten.
Lalu bagaimana?" "Saya sengaja datang menghadap sebagai utusan
junjungan saya, Sang Ratu Wilis, untuk mengajak Sang
Wasi bersama-sama menyerbu Jenggala dan Panjalu."
"Ha-ha-ha-ha! Andika benar-benar seorang yang amat
cerdik, Warutama ........ eh, siapa nama barumu tadi" Ki
Patih Adiwijaya" Akan tetapi kecerdikanmu tidak cukup
besar untuk mudah saja membujuk kami, Ki Patih
Adiwijaya! Apa artinya sebuah kerajaan kecil seperti Wilis
yang baru saja muncul?"
"Harap Sang Wasi tidak memandang rendah Kerajaan
Wilis. Kadipaten Ponorogo dalam waktu singkat dan
dengan mudah saja dapat kami taklukkan dan kini Kerajaan
Wilis telah mempunyai pasukan yang tidak kurang dari dua
laksa orang besarnya, semua merupakan pasukan pilihan.
Selain itu, junjungan saya, Sang Ratu Wlilis memiliki aji
kesaktian yang amat hebat!"
"Hemm, masih belum meyakinkan akan dapat menghadapi Jenggala," kata Wasi Bagaspati yang
termenung kalau teringat akan kesaktian Bagus Seta. Dia
sengaja mendatangkan adik seperguruannya, Wasi Bagaskolo, dari Kerajaan Cola untuk membantunya karena
dari pihak Biku Janapati tidak ada bantuan. Namun dia
masih ragu-ragu apakah kedudukannya cukup kuat untuk
menyerbu Jenggala. "Siapa nama ratumu dan berapa
usianya?" Dengan bangga lahir batin Adiwijaya menjawab, "Ratu
kami bernama Retna Wilis, masih dara remaja, usianya
tidak akan lebih dari delapan belas tahun."
"Weh! Bedes monyet keparat!" Wasi Bagaskolo meloncat
dari tempat duduknya dan membanting kaki kanannya di
atas tanah. Tubuh Adiwijaya sampai hampir mencelat ke
atas karena tanah itu tergetar hebat. "Bocah perempuan
cilik, perawan berusia delapan belas tahun kau pamerkan di
sini" Kau hendak menghina kami, ya?"
Adiwijaya mengangkat kedua tangan, digerak-gerakkan
sebagai tanda bahwa dia tidak menghina, di dalam hatinya
memaki-maki kakek yang amat galak ini. "Sama sekali
tidak, Sang Wasi. Hendaknya diingat bahwa Bagus Seta
yang amat sakti mandraguna itu pun masih muda remaja.
Dan Gusti Ratu Retna Wilis adalah adik seayah Bagus
Seta." "Apa ........ ?" Benarkah itu ?".?" Wasi Bagaspati
bertanya kaget. "Benar Sang Wasi. Gusti Ratu Wilis adalah puteri Ki
Patih Tejolaksono dan ........ Puteri Endang Patibroto,
bahkan beliau adalah murid tunggal Nini Bumigarba
........!" "Ooommmm ........ Sang Hyang Bathara Shiwa penguasa
jagad raya ........ !!" Wasi Bagaskolo berseru, mukanya
berubah dan kini dia tidak berani lagi memandang rendah
"perawan remaja" itu setelah ia mendengar bahwa Ratu
Wilis yang masih muda remaja itu adalah murid Nini
Bumigarba. Wasi Bagaspati membelalakkan mata dan hatinya
tertarik sekali. "Hemm, jadi diakah" Akan tetapi dia adalah
puteri Tejolaksono dan Endang Patibroto. Bagaimana
mungkin bekerja sama dengan kami?"
"Biarpun puteri mereka, namun pendirian orang tua dan
puteri tidaklah sama." Adiwijaya lalu menceritakan hal-
ihwal Retna Wilis, betapa ratu muda itu telah menentang
ibunya sendiri dan bertekad untuk menaklukkan Jenggala
dan Panjalu. -ooo0dw0ooo- Jilid XLV KEMUDIAN ia menambahkan untuk membujuk hati
kakek itu, "Justeru karena ayah bunda beliau berada di
Panjalu dan akan berpihak kepada musuh maka gusti ratu
ingin bekerja sama dengan Sang Wasi. Gust puteri sanggup
menghadapi dan mengalahkan siapapun juga, termasuk
Bagus Seta kakaknya sendiri. Akan tetapi untuk
menghadapi rama ibunya, tentu saja merasa tidak enak dan
menyerahkan hal itu kepada Sang Wasi. Dengan kerja sama
antara Sang Wasi berdua berikut semua pembantu Sang
Wasi yang sakti mandraguna dengan gusti ratu yang
memiliki kesaktian tidak lumrah manusia, saya yakin
bahwa Jenggala dan Panjalu akan mudah ditaklukkan."
"Kalau sudah berhasil, bagaimana?" Wasi Bagaspati
memandang tajam, -akan tetapi dalam hal kecerdikan
menggunakan akal dan tipu muslihat, kiranya Adiwijaya
tidak akan kalah terhadap kakek sakti Itu.
"Kalau sudah berhasil" Tentu saja berarti Kerajaan Cola
akan menjadi kerajaan sahabat dan gusti puteri tentu akan
memberi kebebasan kepada Sang Wasi untuk menyebarkan
agama dan kepada Kerajaan Cola untuk menikmati hasil
bumi Nusa Jawa ......."
"Uuhhh ........ ! Kerajaan kami yang besar bersahabat
dengan kerajaan yang diperintah oleh seorang ratu perawan
belasan tahun" Betapa memalukan!" kata Sang Wasi
Bagaspati sambil memandang tajam. Adiwijaya maklum
akan isi hati kakek itu yang mencobanya, maka ia pun balas
memandang dan berkata, "Kalau Sang Wasi berpendirian seperti itu dan andaikata
akan lebih suka kalau kerajaan di sini dipimpin oleh
seorang pria yang mempunyai minat yang sama,
umpamanya seorang pria seperti ........ eh, saya sendiri,
hemmm ........ apa sukarnya mengenyahkan seorang dara
yang belum berpengalaman" Serahkan saja kepada saya,
karena saya sendiri pun tidak begitu bangga menjadi patih
dari seorang ratu wanita yang amat muda. Merendahkan
sekali namanya! Dan beliau amat percaya kepada saya,
maka hal itu kelak akan dapat kita bicarakan lagi, Sang
Wasi." "Ha-ha-ha-ha! Andika memang seorang yang amat
cerdik dan aku suka sekali bersekutu dengan Andika, wahai
Ki Patih Adiwijaya! Kapankah ratumu itu akan
mengunjungi kami di sini?"
"Maaf, Sang Wasi. Gusti ratu minta dengan hormat agar
Sang Wasi yang datang mengunjunginya di Wilis."
Adiwijaya bersikap cerdik tidak menggunakan kata-kata
minta kakek itu datang menghadap ratunya. Akan tetapi
"undangan" yang sudah diperlunaknya ini masih membuat
wajah yang sudah merah itu menjadi lebih merah lagi.
"Apa" Kerajaan kecil Wilis itu minta aku yang datang
berkunjung" Aku utusan Kerajaan Cola yang besar" Dan
ratu bocah itu" Tuanya masih tua aku, saktinya masih sakti
aku, tingginya kedudukan masih tinggi aku!"
"Ratu perawan cilik itu sombong amat!" kata pula Wasi
Bagaskolo geram. Hemm, kalian ini dua orang kakek yang sombong tak
tahu diri, di dalam hatinya Adiwijaya memaki, akan tetapi
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajahnya tersenyum dan suaranya halus ketika berkata,
"Harap Sang Wasi berdua yang mulia sudi bersabar dan
memikirkan secara mendalam. Ratu Wilis adalah seorang
wanita yang masih muda, tentu saja bersikap manja, apalagi
memang sakti mandraguna. Kita saling membutuhkan,
Kerajaan Wilis membutuhkan bantuan Sang Wasi,
sebaliknya Sang Wasi juga membutuhkan bantuan Wilis,
kalau yang tua dan yang bijaksana tidak sudi mengalah,
bagaimana jadinya" Mengalah bukan berarti kalah dan
kalau kelak sudah tercapai cita-cita, masih banyak
kesempatan untuk membalas kesombongan itu, bukan?"
Sang Wasi Bagaspati mengangguk-angguk, kembali
kepanasan hatinya menjadi dingin dan kemarahannya
mereda oleh ucapan Adiwijaya ini. "Baiklah, memang akal
kadang-kadang lebih penting dipergunakan daripada okol
(kekerasan). Andika pulanglah, Patih Adiwijaya dan
sampaikan kepada ratumu bahwa sebulan lagi kami akan
datang berkunjung ke Wilis."
Girang bukan main hati Adiwijaya. Tugasnya berhasil
baik dan demi tercapainya cita-cita yang terkandung dalam
hati ratu gustinya, betapapun sulitnya cita-cita itu, ia siap
sedia untuk melakukan apa juga. Dan dengan bantuan dua
orang kakek itu dan ditambah pembantu-pembantu mereka
yang sakti seperti Ni Dewi Nilamanik, ia merasa yakin
bahwa cita-cita ratu gustinya pasti akan tercapai. Adapun
untuk dia sendiri, sungguh aneh sekali dan ia merasa heran
sendiri. Dia tidak mencita-citakan sesuatu, tidak seperti
dulu lagi, tidak menginginkan wanita cantik, tidak
menghendaki kedudukan tinggi, maupun harta benda dan
kemuliaan. Baginya, kalau ia dapat melihat Retna Wilis
berbahagia, dapat mengabdi kepada dara itu, dapat selalu
memandang wajahnya, melihat dara itu tersenyum bahagia,
ia sudah merasa cukup bahagia hidupnya!
Dengan dada lapang dan hati gembira Adiwijaya lalu
kembali ke Wilis dan setelah menghadap Ratu Wilis, ia lalu
menceritakan pertemuannya dengan Wasi Bagaspati dan
menutup penuturannya dengan kata-kata menasehati,
"Harap Paduka berhati-hati menghadapi Wasi Bagaspati
dan Wasi Bagaskolo. Selain mereka itu memiliki kesaktian
yang luar biasa, ahli ilmu hitam, juga Wasi Bagaspati amat
cerdik dan palsu sedangkan hamba lihat Wasi Bagaskolo
amat keras hati dan kejam. Tentu saja hamba yakin bahwa
Paduka lebih sakti daripada mereka, akan tetapi di samping
Paduka semestinya menahan harga diri sebagai Ratu
Kerajaan Wilis yang jaya dan tidaklah sangat mengharapkan bantuan mereka, namun hendaknya Paduka
tidak menyinggung mereka sehingga mereka mengundurkan diri kembali. Betapapun juga, bantuan
mereka selain amat perlu untuk menghadapi anggauta
keluarga yang mendatangkan rasa hati tidak nyaman
apabila paduka sendiri yang maju, juga agar mereka itu
tidak menaruh curiga dan kelak lebih mudah bagi Paduka
untuk mengenyahkan mereka setelah kita tidak memerlukan lagi tenaga mereka."
Retna Wilis yang mendengarkan penuh perhatian,
mengangguk-angguk. "Baik Paman. Akan kuingat dan
kulaksanakan pesanmu, dan aku girang sekali bahwa
Paman telah berhasil menghubungi mereka."
"Kalau mereka datang menghadap nanti, sebaiknya
Paduka menerima mereka di ruangan besar seorang diri
agar percakapan di antara Paduka dan mereka tidak sampai
bocor keluar. Hamba sendiri dengan diam-diam akan
mengerahkan tenaga-tenaga pilihan untuk memasang baris
pendem sehingga kalau terlihat gejala tidak baik, dengan
mudah dan cepat hamba akan dapat mengerahkan pasukan
menyergap mereka." "Ah, mengapa demikian, Paman" Aku sendiri tidak takut
menghadapi mereka dan tidak memerlukan bantuan barisan
pendam." "Paduka adalah seorang ratu, tidak semestinya turun
tangan sendiri kalau masih ada pasukan pengawal. Biarpun
hamba yakin Paduka tidak memerlukan bantuan, namun
kalau ada marabahaya lalu pasukan pengawal muncul, hal
ini akan menambah wibawa dan keangkeran Kerajaan
Wilis sebagai kerajaan yang besar."
Kembali Retna Wilis mengangguk-angguk dan ia merasa
bersyukur dan girang sekali bahwa dia mendapatkan
seorang patih yang begini pandai dan yang agaknya
mengerti akan seluk-beluk kerajaan. Seorang pembantu
yang tidak saja pandai, akan tetapi juga setia dan boleh
dipercaya. Sebulan kemudian, sepasukan kecil terdiri dari tujuh
orang wanita cantik anak buah Ni Dewi Nilamanik
mendaki puncak Wilis dan menyampaikan berita bahwa
Sang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo datang
berkunjung dan minta berjumpa dengan Ratu Wilis.
Mendengar berita ini, Adiwijaya lalu mempersiapkan
Naga Kemala Putih 5 Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong Jodoh Si Mata Keranjang 12