Pencarian

Sepasang Naga Penakluk Iblis 3

Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


ketakutan itu. Selir itu masih berteriak-teriak, bahkan semakin keras
melihat betapa suaminya roboh mandi darah.
Liong-li berdiri di tengah kamar itu, bertolak pinggang dengan sikap
tenang sekali, memandang kepada delapan orang pengawal yang
142 memasuki kamar. Para pengawal terkejut bukan main melihat tubuh
majikan mereka yang kehilangan kedua tangan dan kedua kaki itu,
berkelojotan sambil merintih-rintih.
"Perempuan jahat berani mati dari mana yang membikin kacau di sini,
berani menyerang Pangeran!" bentak seorang di antara mereka.
"Aku Dewi Naga Hitam, datang untuk menghukum orang yang jahat
dan kejam seperti Pangeran Coan Siu Ong. Kalau kalian hendak
membelanya, mari keluar, di sini terlalu sempit!" Berkata demikian,
Liong-li meloncat dan tubuhnya sudah melayang keluar dari kamar itu
melalui jendela. Tentu saja para pengawal segera mengejarnya.
Liong-li menanti di pekarangan depan yang luas. Ia berdiri tegak,
tanpa memegang senjata, menanti pengejaran para pengawal. Kini
semua pengawal muncul, jumlah mereka ada duabelas orang. Mereka
semua telah tahu bahwa majikan mereka dibuntungi kaki tangannya
oleh wanita berpakaian hitam yang mengaku bernama Hek-liong-li
itu, maka duabelas orang pengawal mengepungnya dengan senjata di
tangan ketika melihat ia berdiri menanti di tengah pekarangan depan.
Liong-li menghadapi para pengawal itu dengan sikap tenang saja, dan
ketika mereka mulai menyerbu dari depan belakang, kanan dan kiri,
tubuhnya tiba-tiba bergerak amat cepatnya sehingga para pengepung
itu kehilangan lawan, yang nampak hanya bayangan hitam
berkelebatan di antara mereka dan berturut-turut, duabelas orang
pengawal itu rebah malang melintang, ada yang patah lengannya,
tulang pundak atau tulang kaki, ada pula yang pingsan. Ketika mereka
yang terluka ini merangkak bangun, bayangan Dewi Naga itu sudah
lenyap dari situ! 143 Tentu saja peristiwa hebat ini membuat nama Dewi Naga Hitam
menjadi terkenal di seluruh Lok-yang dan daerahnya. Pangeran Coan
Siu Ong tidak mati, akan tetapi dia hidup dalam keadaan yang
sengsara sekali. Karena kakinya buntung sebatas pergelangan, untuk
berjalan pun sukar dan dia harus memakai tongkat sebagai kaki
ketiga! Dan kedua tangannya tidak ada. Dia menjadi seorang
tapadaksa yang selalu harus dirawat dan dibantu orang.
Pangeran itu menjadi pemurung, hilang semua kesenangan dan dia
lebih banyak termenung di atas pembaringan kamarnya seorang diri.
Tidak lagi dia pernah mendekati wanita karena tidak tahan melihat
pandang mata jijik mereka terhadap dirinya. Baru sekarang dia merasa
menyesal dan seringkali membayangkan semua perbuatannya yang
sesat di waktu lalu. Dari kota Lok-yang inilah mulai dikenal nama Dewi Naga Hitam yang
kemudian terkenal di dunia kang.ouw. Seorang wanita yang masih
muda, cantik menarik, namun memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi, dengan pakaian yang serba hitam!
Bagi dunia persilatan, nama Dewi Naga Hitam yang baru muncul ini
masih merupakan teka-teki, kecuali bahwa nama julukan itu adalah
nama seorang wanita muda yang cantik jelita dan berilmu tinggi.
Dunia kang-ouw tidak tahu orang macam apa adanya Hek-liong-li,
apakah termasuk golongan pendekar yang menentang kejahatan pada
umumnya, ataukah golongan sesat yang memaksakan keinginan hati
demi keuntungan sendiri dengan mengandalkan kekerasan dan
kekuatan. 144 Liong-li tidak pernah menentang kejahatan, tidak mencampuri urusan
orang lain dan hanya menghajar orang yang berani menentang dan
memusuhinya. Karena itu, namanya yang baru muncul itu disegani,
baik oleh golongan pendekar, maupun oleh golongan hitam.
"Y" Sejak sepuluh tahun yang lalu, dunia persilatan telah digemparkan
oleh munculnya datuk-datuk sesat yang terkenal dengan nama julukan
Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua)!
Mereka dikenal sebagai Sembilan Iblis Tua, akan tetapi sesungguhnya
mereka itu bergerak secara terpisah, bahkan tidak ada hubungannya
satu sama lain, kecuali beberapa orang di antara mereka yang ada
hubungan saudara seperguruan atau sahabat. Bahkan di antara mereka
ada yang tidak saling mengenal bahkan tak pernah saling berjumpa.
Kalau mereka disebut Sembilan Iblis Tua adalah karena pada jaman
itu, mereka merupakan datuk-datuk kaum sesat yang paling tinggi
ilmunya dan ditakuti lawan disegani kawan. Mereka mempunyai latar
belakang kehidupan yang berbeda-beda, bahkan tidak ada yang
tinggal di satu propinsi. Kelihaian sembilan orang datuk sesat ini
ramai dibicarakan di dunia persilatan, bahkan di dunia hitam, mereka
itu seperti tokoh-tokoh dalam dongeng saja!
Seorang di antara mereka berjuluk Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati
Hitam). Seperti delapan orang rekannya yang lain, diapun baru
muncul sejak sepuluh tahun yang lalu. Tadinya, Kiu Lo-mo tak pernah
muncul di dunia ramai, bahkan nama mereka seperti sudah tenggelam
di samudera luas atau melayang lenyap di langit yang lebih luas lagi.
Dan mungkin sekali kemunculan mereka karena saling tertarik.
145 Mendengar yang seorang muncul, yang lainpun agaknya tidak mau
kalah sehingga dunia hitam menyambut kemunculan mereka dengan
hangat, merasa telah memperoleh pimpinan yang boleh diandalkan.
Segera para tokoh sesat menyatakan diri sebagai pengagum dan
"berlindung" di bawah pengaruh datuk sesat itu, di wilayah masingmasing.
Demikian pula dengan Hek-sim Lo-mo. Begitu dia muncul, para
tokoh sesat, kepala-kepala perampok, ketua-ketua perkumpulan gelap,
bahkan hartawan dan bangsawan, banyak yang berbondong-bondong
menghadap atau mengirim utusan disertai barang bingkisan atau
hadiah yang amat berharga. Tentu saja bingkisan atau hadiah itu
bukan diberikan dengan hati rela dan berdasarkan persahabatan yang
murni. Sama sekali tidak. Pemberian itu adalah semacam sogokan atau
suapan, diberikan dengan pamrih agar nama si pemberi dimasukkan
dalam daftar orang-orang yang dilindungi oleh pengaruh dan
kekuasaan Hek-sim Lo-mo. Dan sebentar saja, datuk yang berjuluk
Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo, telah menjadi kaya
raya! Perkumpulan-perkumpulan sesat yang menguasai tempat-tempat
perjudian, pelacuran dan menyediakan tenaga bayaran untuk menjadi
tukang-tukang pukul para hartawan, tergopoh-gopoh menyambut
datuk ini, membuatkan rumah dan mencukupi segala keperluannya.
Hek-sim Lo-mo menjadi datuk yang wilayahnya meliputi dua
propinsi, yaitu He-nan dan Shan-tung! Amat luas wilayah ini dan dia
memilih Lok-yang sebagai tempat tinggalnya. Rumahnya besar dan
mewah, seperti rumah seorang hartawan saja, di pinggir kota Lokyang, di atas tanah yang luas. Rumah itu diperlengkapi dengan taman
146 yang lebar dan indah, ruangan yang luas untuk tempat bermain silat,
rekreasi, pesta dan sebagainya.
Rumah induknya menjadi tempat tinggalnya dan Hek-sim Lo-mo
ditemani oleh lima orang selir, wanita-wanita muda yang cantik
manis, berusia antara delapanbelas sampai duapuluh lima tahun, dan
belasan orang pelayan! Hidupnya makmur dan penuh kesenangan dan
dia boleh dibilang sama sekali tidak bekerja. Namanya saja yang
dipergunakan oleh dunia kang- ouw sebagai pelindung.
Tentu saja Hek-sim Lo-mo mempunyai banyak sekali pembantu, yaitu
tokoh-tokoh lihai yang menjadi pelaksana dari semua perintahnya.
Jarang datuk ini turun tangan sendiri. Kalau ada sesuatu hal yang perlu
diselesaikan dengan kekerasan, dia hanya menyuruh seorang di antara
para pembantunya dan dia hanya tahu bares saja. Beberapa hari sekali,
para pembantu itu datang menghadap dan membuat laporan-laporan
kepada datuk itu, yang kemudian mengatur rencana dan menentukan
apa yang harus dilakukan oleh mereka.
Setelah menjadi datuk yang kekuasaannya meliputi wilayah dua
propinsi itu, hampir semua tokoh dunia hitam tunduk kepada Hek-sim
Lo-mo. Ada memang beberapa orang tokoh yang belum pernah
mengenal kelihaiannya, merasa kurang percaya dan enggan untuk
tunduk atau takluk. Dan ada beberapa tokoh yang cukup tangguh
sehingga terpaksa Hek-sim Lo-mo harus turun tangan sendiri
menaklukkannya dengan ilmu kepandaiannya yang luar biasa!
Dan kabarnya, tidak ada seorangpun tokoh sesat pembangkang yang
sanggup menandinginya lebih dari sepuluh jurus! Beberapa orang
tokoh yang dinilai cukup lihai dan berharga untuk menjadi
147 pembantunya, yang tadinya membangkang, tidak dibunuhnya
melainkan ditundukkan dan diangkat menjadi pembantu yang boleh
diandalkan. Pada suatu malam, para pembantu Hek-sim Lo-mo datang menghadap
seperti biasa. Pertemuan seperti itu diadakan sedikitnya sebulan sekali,
dan malam itu, atas permintaan Hek-sim Lo-mo, mereka datang untuk
membuat laporan. Hek-sim Lo-mo yang seolah-olah menjadi raja di
antara kaum sesat itu, menerima paras pembantunya dengan gembira,
dengan pesta pora. Ruangan yang luas itu dipergunakan untuk menjamu para
pembantunya, bahkan mengundang gadis-gadis panggilan, juga
rombongan gadis pemain musik, tari dan nyanyi, untuk menghibur
pertemuan antara dia dan para pembantunya itu. Memang, terhadap
para pembantunya, Hek-sim Lo-mo bersikap royal, dan diapun
melimpahkan banyak barang berharga untuk mereka.
Ruangan yang luas itu terang benderang karena banyaknya lampu
yang dipasang. Juga ruangan itu dihias dengan kain sutera warnawarni, dan karena banyak gadis cantik melayani, maka pesta itu
meriah bukan main. Seperti biasa, sebelum menerima laporan dan
merundingkan urusan yang timbul dalam wilayah kekuasaan Hek-sim
Lo-mo, datuk ini lebih dulu menjamu para pembantunya dengan
makanan yang mewah, dan minum arak nomor satu, juga menghibur
mereka dengan tarian dan nyanyian yang dilakukan oteh rombongan
gadis penari yang muda-muda dan cantik.
Terjadilah pesta mabok-mabokan dan penuh kecabulan. Para tokoh
sesat yang menjadi pembantu Hek-sim Lo-mo itu sebagian besar
148 adalah tokoh-tokoh jahat terkemuka di dunia kang-ouw, dan mereka
adalah orang-orang kasar yang tidak segan-segan melakukan
perbuatan tanpa susila di depan siapa saja.
Melihat para gadis panggilan yang melayani mereka itu muda-muda
dan cantik-cantik, maka merekapun tanpa malu-malu lagi menggoda
dan mempermainkan mereka, mencubit, mencolek, meraba, bahkan
ada yang memangku dan menciumi seorang gadis panggilan yang
hanya terkekeh genit! Tentu saja tidak sampai berkelanjutan ke
hubungan yang lebih intim.
Untuk kesempatan itu, akan diberikan oleh Hek-sim Lo-mo setelah
rapat selesai sehingga pesta ini juga merupakan "pemanasan" bagi
para pembantu yang diam-diam telah memilih gadis pilihan masingmasing untuk menemani mereka malam nanti. Kamar-kamar untuk
para pembantu itu telah disediakan di bagian belakang, kamar-kamar
yang cukup mewah untuk menyenangkan hati para pembantunya.
Setelah makan minum selesai, rapatpun dimulai. Tempat itu
dibersihkan dari sisa-sisa pesta, meja-meja disingkirkan, diganti meja
yang panjang di kelilingi kursi-kursi untuk para pembantu, sedangkan
kursi besar berada di kepala meja, tempat duduk Hek-sim Lo-mo.
Ruangan itu menjadi lega dan luas, dan para gadis itupun disuruh
mundur. Hek-sim Lo-mo nampak duduk di kepala meja. Dia seorang laki-laki
yang usianya sudah lebih dari enampuluh tahun, sedikitnya
enampuluh tiga tahun. Namun, tubuhnya yang tinggi besar itu masih
nampak tegap dan kokoh kuat seperti batu karang. Wajahnya kasar,
berbentuk segi empat dengan kulit muka kasar menghitam yang
149 setengahnya, di bagian bawah, penuh dengan kumis jenggot dan
cambang. Sepasang matanya bulat dan besar, memiliki sinar tajam mencorong
dan mulutnya selalu menyeringai karena bibirnya terlalu pendek untuk
dapat menutup pintu mulutnya. Hidungnya juga besar dan bulat
seperti buah terong muda. Bagian tubuh yang kelihatan seperti leher,
sebagian lengan karena dia menggulung lengan bajunya, dilingkari
otot-otot yang menonjol dan menggembung, membayangkan kekuatan
yang dahsyat. Pakaiannya seperti pakaian hartawan, mewah, dari sutera mahal
beraneka warna, dan kepalanya ditutupi sebuah topi yang indah pula,
sulaman bunga dan burung Hong. Di luar bajunya, dia mengenakan
jubah panjang berwarna mortal seperti yang biasa dipakai oleh
pendeta-pendeta. Dia tidak nampak membawa senjata, akan tetapi
orang tidak tahu apa yang tersembuyi di balik jubah lebar itu.
Sepatunya mengkilat, dari kulit tebal yang kuat. Biarpun usianya
sudah enampuluh tiga tahun, namun kumis, jenggot dan rambut
kepalanya masih hitam, kaku dan keras seperti kawat-kawat saja.
Tidak ada yang tahu dari mana asalnya Hek-sim Lo-mo dan tidak ada
yang berani menanyakannya. Melihat bentuk muka dan kulitnya,
mungkin dia peranakan India atau Nepal, setidaknya dia tentu berasal
dari daerah barat. Namanya menjulang tinggi dan ditakuti ketika
tersiar berita betapa Hek-sim Lo-mo pada puluhan tahun yang lalu,
pernah bermusuhan dengan perkumpulan Kui-san-pang dan kabarnya,
dalam perkelahian di mana Hek-sim Lo-mo dikeroyok oleh semua
pimpinan dan anak buah Kui-san-pang, datuk ini telah menewaskan
150 seluruh anggauta Kui-san-pang yang jumlahnya tidak kurang dari
seratus limapuluh orang! Belum ada yang membuktikan kebenaran berita ini, akan tetapi
kenyataannya, Kui-san-pang terbasmi dan tidak tersisa lagi
anggautanya, pada hal perkumpulan itu terkenal sekali sebagai
perkumpulan yang memiliki banyak orang pandai! Kemudian,
berulang kali tokoh-tokoh dunia persilatan menentang Hek-sim Lomo, namun seorang demi seorang roboh, tidak kuat menandingi datuk
ini. Di antara para pembantu Hek-sim Lo-mo yang dipercaya dan
diandalkan, terdapat lima orang yang dianggap sebagai tangan kanan
dan yang paling lihai di antara belasan orang itu. Yang pertama dan
duduk di sebelah kanan Hek-sim Lo-mo adalah Yauw Ban yang
berjuluk Tok-gan-liong (Naga Mata Satu).
Dia seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, tinggi kurus dengan
leher panjang dan yang menarik adalah matanya yang tinggal sebelah.
Mata sebelah kiri telah buta, tertutup dan tidak ada biji matanya. Mata
itu tertusuk senjata lawan dan dia menjadi buta ketika masih muda
dalam suatu perkelahian. Tok-gan-liong Yauw Ban ini lihai sekali,
memiliki ilmu pedang tunggal yang sukar dicari tandingannya, dan
diapun seorang ahli ginkang yang memiliki kecepatan gerakan seperti
terbang saja. Dia pendiam dan berdarah dingin, dapat membunuh
tanpa mengedipkan mata tunggalnya, dan cerdik sekali.
Dia menjadi pembantu nomor satu dari Hek-sim Lo-mo setelah dia
dikalahkan oleh datuk itu karena tadinya diapun tidak sudi takluk
sebelum menguji kepandaian datuk itu. Dan dalam perkelahian inilah
151 Hek-sim Lo-mo dapat melihat kelihaian Naga Mata Satu ini, maka
diapun menarik Yauw Ban menjadi pembantu utama, maklum bahwa
para pembantu yang lain masih kalah dibandingkan dengan Yauw
Ban. Sebelum menjadi pembantu pertama Hek-sim Lo-mo, Tok-gan-liong
Yauw Ban ini menjadi perampok tunggal yang dianggap sebagai


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datuk para perampok di wilayah Propinsi Shan-tung. Dia malang
melintang dan para perampok lainnya selalu memberi semacam
"upeti" kepadanya. Akan tetapi kemunculan Hek-sim Lo-mo menarik
nama besarnya ke bawah sehingga dia penasaran dan menantang datuk
itu untuk mengadu ilmu silat. Tanpa banyak kesukaran, Hek-sim Lomo yang memang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya, mengalahkan
Yauw Ban dan Si Naga Mata Satu ini lalu takluk dan dengan senang
hati menjadi pembantunya yang paling setia.
Bahkan Hek-sim Lo-mo berkenan memperdalam ilmu pembantunya
ini sehingga Yauw Ban menjadi semakin setia karena menganggap
Hek-sim Lo-mo selain atasannya, juga seperti gurunya sendiri. Dan
datuk sesat itupun pandai menyenangkan hati Tok- gan-liong Yauw
Ban sehingga pada waktu itu, andaikata disuruh menyeberangi lautan
api sekalipun kalau yang memerintahnya Hek-sim Lo-mo, tentu Yauw
Ban akan mentaatinya! Pembantu kedua yang juga amat lihai dan duduk di sebelah kiri Heksim Lo-mo adalah seorang wanita! Ia juga seorang tokoh sesat yang
amat terkenal di Propinsi He-nan dan Shan-tung, terutama sekali di
sepanjang Sungai Kuning dan wanita ini terkenal ganas sekali. Ia
terkenal dengan julukannya, yaitu Kiu-bwe Mo-li (Iblis Betina Ekor
Sembilan) sehingga nama aselinya tak pernah diketahui orang.
152 Iapun suka disebut Mo-li (Iblis Betina) saja! Selain ganas, kejam dan
sadis, wanita ini terkenal gila laki-laki, cabul dan setiap orang laki-laki
yang disenanginya, diculik dan dipaksa untuk melayani gairah nafsu
berahinya. Yang menolak, dibunuh seketika. Yang mau melayaninya,
kalau memuaskan hatinya, ia beri hadiah yang royal sekali, akan tetapi
kalau mengecewakan, juga dibunuhnya!
Tujuh tahun yang lalu, Kiu-bwe Mo-li berani menentang kekuasaan
Hek-sim Lo-mo yang mengutus Tok-gan-liong Yauw Ban untuk
menundukkannya. Dalam adu kepandaian yang amat seru, Tok-ganliong Yauw Ban menemui kesulitan untuk mengalahkan wanita itu,
walaupun kehebatan ilmu pedangnya juga membuat Kiu-bwe Mo-li
kewalahan untuk dapat mendesak lawannya.
Melihat betapa wanita itu lihai, dapat mengimbangi kepandaian
pembantu utamanya, timbul perasaan sayang pada Hek-sim Lo-mo
dan dia lalu maju menggantikan Yauw Ban. Tanpa banyak kesulitan,
akhirnya dia mampu menundukkan Kiu-bwe Mo-li yang kemudian
takluk dan menjadi pembantunya yang nomor dua.
Wanita itu kini berusia empatpuluh dua tahun, akan tetapi karena
terlampau menurutkan nafsu berahi yang diumbarnya tanpa batas,
wajahnya nampak lebih tua dan keriputan. Wajahnya yang dulu cantik
itu masih meninggalkan bekas, namun kulitnya keriputan dan
rambutnya banyak yang putih. Kenyataan ini hendak disembunyikan
dengan bedak tebal dan dandanan yang pesolek sekali, juga sikap
yang amat genit! Sesuai dengan nama julukannya, Kiu-bwe Mo-li (Iblis Betina Ekor
Sembilan), wanita ini memiliki senjata yang istimewa, yaitu sebatang
153 cambuk yang berekor sembilan. Ia pandai sekali memainkan senjata
cambuk ekor sembilan ini dan julukannya pun diambil dari senjata itu.
Orang ketiga yang menjadi pembantu utama Hek-sim Lo-mo adalah
seorang pria yang usianya kurang lebih tigapuluh tahun. Baru lima
tahun dia menjadi pembantu Hek-sim Lo-mo. Dia bertubuh sedang
dan wajahnya tampan dan menarik, gerak-geriknya halus lembut dan
sopan peramah, pakaiannya seperti pakaian seorang terpelajar. Orang
akan tidak percaya kalau mendengar bahwa dia adalah seorang yang
memiliki hati yang amat kejam dan jahat, tidak percaya bahwa dia
adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang suka
memperkosa wanita dan membunuhnya!
Namanya Lui Teng dan dia dijuluki Jai-hwa Kongcu (Tuan Muda
Pemetik Bunga). Sebenarnya, Jai-hwa Kongcu Lui Teng ini adalah
seorang murid yang pandai dari perguruan Pek-tiauw-pang
(Perkumpulan Rajawali Putih) yang berada di puncak Gunung Lu-san,
sebuah perkumpulan para orang gagah. Akan tetapi, Lui Teng
diperhamba oleh nafsu berahinya sendiri sehingga dia melakukan
perbuatan jahat, yaitu memaksa wanita yang membangkitkan gairah
berahinya dengan cara memperkosa, bahkan sering kali dia
membunuh wanita yang menolaknya atau melawannya ketika dia
memperkosanya. Karena perbuatan ini, dia menjadi seorang pelarian, melarikan diri dari
Pek-tiauw-pang. Bahkan setelah mendengar akan sepak terjang Lui
Teng, para pimpinan Pek- tiauw-pang mengutuknya dan tidak lagi
mengakuinya sebagai murid, walaupun hal ini dilakukan oleh para
pimpinan dengan hati menyesal karena sesungguhnya Lui Teng adalah
seorang murid yang mewarisi ilmu-ilmu perguruan itu dengan baik
154 dan kepandaiannya yang tinggi dapat menjunjung tinggi nama
perguruan Pek-tiauw-pang.
Lui Teng juga penasaran melihat munculnya Hek-sim Lo-mo sebagai
datuk. Diapun menantangnya dan biarpun dengan susah payah, dia
dapat dikalahkan oleh Tok-gan-liong Yauw Ban. Dia takluk dan
diangkat menjadi pembantu ketiga oleh Hek-sim Lo-mo.
Pembantu keempat dan kelima adalah saudara kembar. Mereka
bernama Gan Siang dan Gan Siong, dan keduanya selalu maju
bersama. Oleh karena itu mereka mendapat julukan He-nan Siang-mo
(Sepasang Iblis dari He-nan). Mereka berusia sekitar empatpuluh
tahun dan baru dua tahun mereka menjadi pembantu-pembantu yang
dipercaya oleh Hek-sim Lo-mo. Kedua orang kembar ini berwajah
serupa benar sehingga sukarlah bagi orang lain untuk dapat
membedakan antara mereka.
Wajah mereka bulat, dan bukan hanya bentuk wajah dan tubuh
mereka yang serupa benar, akan tetapi bahkan pakaian merekapun
sama, seolah-olah lipatan-lipatannya sama, bentuk rambut, kumis dan
jenggot mereka tiada bedanya. Juga keduanya suka tertawa, suka
memandang rendah orang lain dan berhati kejam.
Mereka terkenal sekali bukan hanya karena kekejaman mereka,
melainkan terutama sekali karena kelihaian mereka memainkan
sebatang golok. Kalau menghadapi bahaya atau lawan, jarang mereka
maju satu demi satu, pasti mereka maju bersama, biar lawannya hanya
seorang ataupun ada sepuluh orang. Dan kalau kedua orang kembar
ini sudah memainkan golok mereka, dengan ilmu golok Siang-mo Sinto (Golok Sakti Sepasang Iblis), maka dua batang golok itu seolah155
olah digerakkan oleh satu orang saja yang memiliki dua pasang tangan
dan dua pasang kaki! Kerja sama mereka mengagumkan dan mengherankan sekali, karena
masing-masing seperti dapat mengetahui apa yang berada di dalam
hati dan pikiran saudara kembarnya. Inilah yang membuat mereka
menjadi lihai dan berbahaya sekali. Kalau mereka itu maju seorang
demi seorang, mereka masih kalah oleh Jai-hwa Kongcu Lui Teng,
akan tetapi kalau mereka maju bersama, biar Tok-gan-liong Yauw
Ban sendiri akan repot melawan mereka.
Di samping lima orang ini, masih ada sepuluh orang lain yang
diangkat menjadi pembantu-pembantunya, akan tetapi yang menjadi
tangan kanan hanyalah lima orang itu. Tentu saja tingkat kepandaian
para pembantu lain juga tinggi dan mereka adalah tokoh-tokoh
golongan hitam atau kaum sesat, namun masih kalah kalau
dibandingkan dengan lima orang pembantu utama tadi.
"Nah, sekarang mulailah kalian membuat laporan dan hasil dari
pekerjaan kalian selama sebulan ini. Harap cepat karena aku merasa
lelah, ingin beristirahat. Kalianpun tentu ingin beristirahat dengan
pasangan kalian yang sudah kalian pilih tadi, di kamar kalian masingmasing seperti yang sudah-sudah."
Mulailah para pembantu itu membuat laporan seorang demi seorang.
Kebanyakan di antara mereka memberi pelaporan tentang hasil
pemasukan uang "pajak" yang mereka tarik dari rumah-rumah judi,
rumah-rumah pelacuran, dan bingkisan dari mereka yang merasa dan
mengharapkan perlindungan, juga dari kepala-kepala perampok,
156 bajak, copet, maling yang merasa berada di bawah kedaulatan datuk
ini dan sekedar mengirim "bagi hasil".
Di antara mereka, yang paling banyak mengumpulkan uang hasil
tarikan ini adalah He-nan Siang-mo sehingga Hek-sim Lo-mo merasa
girang sekali dan memuji dua orang pembantunya ini. Semua hasil
berupa emas perak dan barang berharga itu segera diangkut oleh Henan Siang-mo yang dipercaya oleh datuk itu untuk membuka gudang
harta dan menyimpan semua harta baru itu ke dalam gudang.
Kini tiba giliran Kui-bwe Mo-li yang membuat laporan. "Laporan
yang saya bawa agak tidak menyenangkan, Beng-cu," memang Heksim Lo-mo memerintahkan semua bawahannya untuk menyebut dia
beng-cu (pemimpin rakyat), membandingkan dirinya dengan para
pahlawan rakyat yang berjuang demi rakyat jelata!
"Seorang di antara bangsawan yang berada di bawah perlindungan
kita, telah disiksa orang, bahkan dibuntungi kaki tangannya. Dia
adalah Pangeran Coan Siu Ong! Bukan itu saja, juga orang yang
membuntunginya itupun telah mengadakan pengacauan di Lok-yang,
menghajar para jagoan dari rumah pelesir Bibi Ciok!"
Sepasang alis tebal Hek-sim Lo-mo berkerut. "Hemm, mengganggu
orang-orang yang kita lindungi sama artinya dengan mengganggu
kita! Siapa orangnya demikian berani mati" Tentu dia bukan orang
sini dan tidak tahu akan kekuasaan kita!"
"Sudah saya selidiki, Beng-cu. Ia adalah seorang gadis yang usianya
sekitar duapuluh tiga tahun, cantik jelita dan ilmu kepandaiannya
tinggi, selalu mengenakan pakaian serba hitam dan mengaku
julukannya Hek-liong-li!"
157 "Dewi Naga Hitam" Hemmm, betapa sombongnya. Cari dan segera
bunuh ia, jangan beri ampun!" Bentak Hek-sim Lo-mo. "Kuserahkan
tugas ini kepadamu, Mo-li!"
"Harap Beng-cu jangan khawatir. Saya akan mencarinya, kalau perlu
dibantu anak buah, dan kalau sudah dapat ditemukan, akan kupenggal
kepalanya!" kata Kiu-bwe Mo-li sambil terkekeh genit.
Yauw Ban, tangan kanan pertama itu melaporkan bahwa dia telah
berhasil menemukan seorang ahli pembuat pedang yang amat pandai.
"Namanya Thio Wi Han, usianya sudah tujuhpuluh tahun. Akan tetapi
dia tidak mau dibawa ke sini, Beng-cu."
"Ehh" Kalau tidak mau, seret saja!"
"Dia adalah seorang tua yang kukuh. Katanya, dia hanya mampu
membuat pedang pusaka kalau di rumahnya sendiri, menggunakan
alat-alatnya sendiri. Kalau disuruh membuat di luar rumahnya, di
tempat lain, dia tidak sanggup dan biar dibunuh mati sekalipun, dia
tidak sanggup mengerjakannya."
"Keparat, keras kepala! Akan tetapi sudahlah, yang penting adalah
bahannya lebih dulu. Sudah mendapatkan seorang ahli pembuat
pedang, sudah baik, dan membuat di sanapun tidak mengapa. Nah, Lui
Teng, bagaimana dengan pelaksanaan tugasmu?"
"Sudah saya laksanakan, Beng-cu. Dia memang keras kepala. Segala
siksaan sudah saya lakukan, akan tetapi dia tetap membungkam. Saya
khawatir kalau dia akan mati oleh siksaan yang lebih berat, maka saya
lalu mencari akal yang baik sekali. Saya melakukan penyelidikan dan
mengetahui bahwa dia meninggalkan seorang anak gadis di dusunnya.
158 Saya lalu menangkap gadis itu dan membawanya ke sini, sekarang
telah saya masukkan kamar tahanan. Saya kira kalau dia melihat
anaknya disiksa, dia akan membuka mulut!"
Wajah yang hitam menyeramkan dari Hek-sim Lo-mo berseri dan dia
tertawa bergelak. "Ha-ha, bagus, bagus sekali! Engkau memang
cerdik, Lui Teng! Aku ingin cepat mendapatkan Liong-cu (mustika
naga) itu. Bawa sasterawan kepala batu itu ke sini bersama anak
gadisnya. Ha-ha, kita nonton pertunjukan sambil menanti keluarnya
rahasia tempat penyimpanan Liong-cu itu!"
"Baik, Beng-cu," kata Jai-hwa Kongcu Lui Teng dengan gembira.
Dia lalu meninggalkan ruangan itu dan tak lama kemudian dia datang
kembali bersama seorang kakek yang jalannya terpincang-pincang,
dipapah oleh seorang gadis berusia tujuhbelas tahun yang menuntun
kakek itu sambil menangis. Kakek itu berpakaian sasterawan,
pakaiannya kotor dan dekil karena semenjak ditahan dan disiksa, dia
tidak pernah berganti pakaian.
Usianya kurang lebih enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus. Dia
adalah seorang sasterawan yang amat pandai dalam hal baca dan tulis,
terkenal dengan sebutan Pouw Sianseng.
Dia ditangkap oleh Hek-sim Lo-mo karena datuk ini juga merupakan
seorang di antara mereka yang mencari-cari Kim-san Liong-cu,
mustika naga yang berada di kuburan tua seorang pangeran di jaman
dahulu. Ternyata kemudian bahwa mustika yang diperebutkan itu
tidak ada di dalam makam setelah makam dibongkar, sudah ada orang
lain yang mendahului para tokoh dunia persilatan yang
memperebutkannya. 159 Hek-sim Lo-mo yang ingin sekali mendapatkan mustika itu, tidak
patah semangat dan dia terus melakukan penyelidikan, dibantu oleh
banyak anak buahnya. Akhirnya dia menemukan rahasia kehilangan
mustika itu. Kiranya seorang sastrawan yang terkenal amat pandai
dalam ilmu sastra kuno, terkenal dengan sebutan Pouw Sianseng,
orang yang suka melakukan penyelidikan mengenai sejarah dari
peninggalan dan tulisan-tulisan kuno, telah menemukan tulisan kuno
rahasia. Bagi orang lain yang tidak mengerti, bahkan bagi ahli-ahli sastra
kebanyakan saja, benda itu tidak ada harga dan artinya. Namun, Pouw
Sianseng dapat menterjemahkannya dan diapun girang membaca
bahwa tulisan kuno itu menunjukkan tempat penyimpanan mustika
yang disebut Kim-san Liong-cu yang ternyata telah diambil orang
jauh sebelum para tokoh persilatan memperebutkannya!
Pouw Sianseng lalu mencari tempat rahasia itu dan berhasil
menemukan mustika itu! Akan tetapi, rahasianya ini akhirnya bocor
ketika isterinya yang masih muda, jatuh cinta kepada seorang laki-laki
muda. Isterinya itu membisikkan rahasia ini kepada kekasihnya.
Perbuatan mereka tertangkap basah dan Pouw Sianseng membunuh
isterinya, tidak tahu bahwa rahasianya tentang mustika sudah
diketahui oleh kekasih isterinya yang melarikan diri.
Semenjak isteri yang melakukan penyelewengan itu dibunuhnya,
Pouw Sianseng hidup berdua dengan puterinya yang kini berusia
tujuhbelas tahun, bernama Pouw Bi Hwa. Ketika dia membunuh
isterinya, Bi Hwa baru berusia lima tahun dan selama belasan tahun
ini, Pouw Sianseng berhasil menyimpan rahasianya tentang mustika
naga yang disimpannya di tempat rahasia.
160 Celakanya, kekasih mendiang isterinya itu tidak dapat menutup mulut
dan dari mulut ke mulut, akhirnya berita itu sampai juga ke telinga
Hek-sim Lo-mo. Sudah beberapa kali Pouw Sianseng diserbu pencuri,
perampok, bahkan pernah diancam oleh tokoh- tokoh sesat untuk
menyerahkan mustika itu, namun Pouw Sianseng tetap menyangkal
sehingga akhirnya para tokoh itu berkesimpulan bahwa berita tentang
mustika naga yang berada dalam kekuasaan Pouw Sianseng itu hanya
kabar bohong belaka. Namun tidak demikian anggapan Hek-sim Lo-mo. Dia lalu mengutus
orang kepercayaannya yang ketiga, yaitu Jai-hwa Kongcu Lui Teng,
untuk menyiksa dan mengorek keterangan dari Pouw Sianseng yang
sudah diculiknya. Hasilnyapun sia-sia, dan seperti yang sudah-sudah,
Pouw Sianseng tetap menyangkal dan tidak mau membuka rahasia
tentang Liong-cu (mustika naga) yang disembunyikannya itu.
Hek-sim Lo-mo sudah demikian yakin bahwa dia akan dapat
menguasai mustika naga itu, maka diapun sudah menyuruh pembantu
utamanya, Tok-gan-liong Yauw Ban, untuk mencari seorang ahli
pembuat pedang yang berilmu tinggi dan akan membuatkan pedang
dari mustika naga itu! Ternyata kemudian dari laporan itu bahwa Pouw Sianseng benarbenar keras kepala sehingga Jai-hwa Kongcu Lui Teng


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempergunakan akal lain, yaitu menculik puteri Pouw Sianseng. Dan
kini, Jai-hwa Kongcu Lui Teng membawa Pouw Sianseng dan anak
gadisnya ke dalam ruangan itu.
Biarpun keadaan Pouw Sianseng sudah payah karena mengalami
siksaan yang mengerikan, namun ketika dia masuk ruangan dipapah
161 puterinya, dia menahan semua rasa nyeri dan menegakkan tubuh dan
kepalanya, dengan sikap gagah dia hendak menentang semua
pemaksaan para penculiknya.
Sementara itu, puterinya memandang sekeliling dengan wajah pucat.
Gadis berusia tujuhbelas tahun ini berwajah manis, tidak terlalu
cantik, berpakaian sederhana namun sepasang matanya membayangkan kelembutan dan kecerdasan. Tubuhnya montok
sebagai seorang gadis yang mulai dewasa, seperti setangkai bunga
yang mulai mekar. Namun, gadis itu jelas kelihatan ketakutan dan
gelisah sekali, juga berduka melihat keadaan ayahnya.
Ayahnya menghilang sejak beberapa hari lamanya dan selagi ia
kebingungan, malam itu muncul laki-laki tampan dan halus
berpakaian pelajar itu yang mengatakan bahwa dia tahu di mana
adanya ayahnya yang bilang dan mengajak ia untuk pergi bersama
mengunjungi ayahnya. Karena khawatir akan keselamatan ayahnya,
Pouw Bi Hwa terpaksa ikut dengan laki-laki yang bukan lain adalah
Jai-hwa Kongcu Lui Teng itu! Kalau saja ia tahu bahwa pria tampan
itu adalah seorang tukang perkosa wanita yang amat keji!
Akan tetapi, pria itu sama sekali tidak mengganggunya. Hal ini adalah
karena gadis itu diajak pergi bukan untuk diperkosa, melainkan untuk
keperluan lain lagi yang lebih penting, yaitu memaksa ayah gadis itu
mengaku di mana adanya Liong-cu! Pula, selera Lui Teng dalam
urusan wanita memang agak tinggi dan hanya wanita cantik jelita
pilihan saja yang dapat menggerakkan hati dan membangkitkan
gairahnya. Sedangkan Bi Hwa, biarpun tidak jelek, hanya memiliki
kemanisan yang umum saja!
162 Melihat sikap Pouw Sianseng yang angkuh, Hek-sim Lo-mo
mengerutkan alisnya. Orang seperti ini memiliki kegagahan tersendiri,
pikirnya, dan kalau dipaksanya, tentu dia lebih baik mati dari pada
menyerahkan mustika itu. Kemudian dia memandang gadis itu dan dia
pun tersenyum. Memang pembantunya yang nomor tiga itu cerdik
sekali. Orang yang mempertahankan kehormatan lebih dari pada nyawanya
seperti Pouw Sianseng itu, harus dilawan dengan ancaman terhadap
kehormatannya pula. Dan kehormatan apakah yang lebih tinggi bagi
seorang ayah dari pada kehormatan diri anak gadisnya" Tentu tidak
lebih rendah dari pada kehormatan mempertahankan milik dan
haknya, seperti mustika naga itu!
Jai-hwa Kongcu mendorong ayah dan anak itu ke depan Hek-sim Lomo. Ayah dan anak itu jatuh tersungkur di atas lantai dan mereka
berlutut di depan Hek-sim Lo-mo. Akan tetapi, Pouw Sianseng sudah
mengangkat mukanya lagi dan menegakkan kepala, memandang
kepada Hek-sim Lo-mo dengan penuh ketabahan.
Hek-sim Lo.mo menyeringai. "Pouw Sianseng, keberanianmu
mengagumkan hatiku. Biarlah aku tidak akan membunuhmu dan aku
menukar nyawamu dengan Liong-cu itu!"
Baru satu kali Pouw Sianseng dibawa menghadap Hek-sim Lo-mo,
sebelum dia disiksa dan diapun tahu bahwa raksasa muka hitam inilah
yang menjadi kepala di tempat itu, bahkan yang menyuruh orang
menangkap dan menyiksa untuk merampas Liong-cu. Kini, ucapan
Hek-sim Lo-mo disambutnya dengan senyum mengejek.
163 "Hek-sim Lo-mo, tidak perlu banyak cakap lagi dan tidak perlu lagi
membujuk atau mengancam aku. Aku tidak takut mati dan biar
kaubunuh sekalipun aku tidak akan bicara tentang Liong-cu!"
"Aku akan menukar puterimu dengan Liong-cu!" Tiba-tiba Hek-sim
Lo-mo berkata. Sepasang mata kakek sastrawan itu terbelalak sejenak, lalu diapun
tersenyum. "Anakkupun tidak takut mati. Engkau tidak perlu mengancam. Biar
kaubunuh kami berdua, Liong-cu tidak akan kuserahkan kepadamu!"
"Orang she Pouw, jangan sombong engkau! Ada yang lebih menyiksa
dari pada sekedar kematian. Panggil Hek-wan (Lutung Hitam) ke
sini!" perintahnya kepada Jai-hwa Kongcu Lui Teng.
Pria tampan ini tersenyum-senyum lalu keluar dari ruangan itu. Tak
lama kemudian dia muncul kembali dengan seorang laki-laki berusia
kurang lebih empatpuluh tahun yang wajah serta tubuhnya amat
menyeramkan. Dialah Tiat-pi Hek-wan (Lutung Hitam Lengan Besi)
yang terkenal sebagai tukang siksa yang kejam dan sadis. Mukanya
mirip seekor monyet, kulit tubuhnya hitam, dan kedua lengannya
berbulu seperti lengan lutung besar, tubuh atasnya tidak memakai
pakaian sehingga nampak dada yang lebar, membusung, hitam dan
penuh otot-otot besar, juga ditumbuhi bulu tebal.
Begitu memasuki ruangan, Tiat-pi Hek-wan ini memandang ke
sekeliling sambil tersenyum dan kelihatan bangga bahwa dia dipanggil
oleh Hek-sim Lo-mo, berarti dia dibutuhkan. Setelah berada di depan
datuk itu, dia memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya.
164 "Hek-wan, aku akan memberi pekerjaan kepadamu, sekali ini
pekerjaan yang amat menyenangkan!" kata Hek-sim Lo-mo.
Si Lutung Hitam itu tertawa bergelak dan dia membuka mulut
selebarnya sehingga nampak gigi yang besar-besar tidak rata dan
kekuning-kuningan menjijikkan. "Ha-ha-ha, saya selalu siap sedia,
Beng-cu. Menyiksa dan membunuh orang adalah pekerjaanku,
kesenanganku. Siapa lagi yang harus saya patah-patahkan kaki
tangannya, saya cabut lidah atau matanya, atau saya puntir batang
lehernya?" Pouw Sianseng memandang kepada raksasa berbulu itu dengan
pandang mata acuh, akan tetapi puterinya terbelalak dengan muka
pucat dan jelas nampak bahwa ia merasa ngeri dan ketakutan.
"Sekali ini tidak yang seperti itu, Hek-wan. Aku ingin memberi hadiah
kepadamu. Lihat, gadis ini kuberikan kepadamu, akan tetapi engkau
harus memperkosanya di sini, kami dan ayah gadis ini ingin sekali
melihat bagaimana engkau akan melakukannya," kata Hek-sim Lo-mo
dan para pembantunya tertawa dengan hati penuh ketegangan yang
menggembirakan karena mereka akan disuguhi pertunjukan yang
mereka anggap amat menyenangkan dan menarik hati.
Mendengar ini, Tiat-pi Hek-wan menyeringai dan menganggukangguk, lalu dia menoleh kepada Bi Hwa yang sudah merangkul
ayahnya sambil menangis. Pouw Sianseng kini juga terbelalak dan
mukanya pucat, kedua lengannya merangkul puterinya seperti hendak
melindunginya dari bahaya yang mengerikan.
165 "Heh-heh, manis, engkau mendengar perintah Beng-cu tadi" Ke
sinilah manis, dan engkau akan mengalami sesuatu yang selama
hidupmu takkan pernah dapat kaulupakan! Marilah......"
Dia melangkah maju. Bi Hwa menggeleng kepala keras-keras,
menutupi mulut untuk menahan jeritnya saking merasa ngeri dan
takut, merangkul ayahnya semakin kuat. Akan tetapi, sekali tangan
kirinya menyambar, Tiat-pi Hek-wan sudah menangkap lengan kanan
gadis itu dan menariknya.
Ketika gadis itu menahan, dan ayahnya mempertahankan puterinya
dengan kedua tangan merangkul kuat-kuat. Akan tetapi, Tiat-pi Hekwan menendang dan tubuh kakek itupun terjengkang, dan pegangan
antara ayah dan anak itupun terlepas. Bi Hwa menjerit ketika
tubuhnya ditarik dan dipondong oleh raksasa itu. Ia meronta dan
mencakar, menjerit-jerit dan menangis.
Tiat-pi Hek-wan adalah seorang manusia yang wataknya sudah seperti
binatang buas. Menyiksa orang merupakan kesenangan baginya, maka
untuk menyenangkan majikannya, diapun hendak memamerkan
pertunjukan yang semenarik mungkin. Tanpa memperdulikan cakaran
dan pukulan kedua tangan Bi Hwa, seolah-olah cakaran dan pukulan
itu bahkan merupakan belaian dan elusan baginya, dia menciumi
muka gadis itu, pipinya, hidungnya, bibirnya barulah dia melepaskan
Bi Hwa. Sengaja dilepaskan begitu saja.
Bi Hwa yang sudah ketakutan setengah mati itu, dengan rambut riapriapan karena terlepas dari sanggulnya ketika meronta-ronta tadi,
ketika merasa betapa dirinya terlepas, segera bergegas hendak
melarikan diri menuju ke pintu ruangan itu. Satu-satunya keinginan
166 hatinya adalah keluar dari tempat jahanam itu, seperti seekor burung
yang ingin sekali terbebas dari sebuah sangkar yang amat
menakutkan. Dan sambil tertawa-tawa Tiat-pi Hek-wan membiarkan gadis itu lari!
Setelah Bi Hwa lari sampai dekat pintu, barulah dia berloncatan
mengejar dan menangkap rambut gadis yang berkibar itu. Bi Hwa
terkejut sekali. "Ihhhhh......! Lepaskan...... lepaskaaaaan......" Ia menjerit akan tetapi
tubuhnya sudah terseret di atas lantai, dibawa kembali oleh raksasa itu
ke tempat tadi, di depan Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya yang
menonton sambil tersenyum-senyum. Mereka tahu bahwa Tiat-pi
Hek-wan sengaja mempermainkan gadis itu, seperti seekor kucing
mempermainkan seekor tikus sebelum menerkam dan mengganyangnya. Kembali Tiat-pi Hek-wan merangkul dan menciumi gadis itu, merabaraba dengan cara yang kurang ajar dan kasar sekali. Kembali Bi Hwa
meronta-ronta, mencakar dan memukul untuk melepaskan diri. Dan
seperti tadi, Hek-wan pura-pura kewalahan dan pegangannya terlepas.
Bi Hwa cepat melarikan diri, tidak tahu bahwa Hek-wan sudah
mengcengkeram bajunya bagian belakang. Ketika ia berlari, manusia
berwatak binatang itupun merenggut.
"Breeeeetttt......!" Baju itupun koyak di bagian belakangnya.
Sambil menyeringai Hek-wan sudah mengulur tangan, siap untuk
merenggut sisa pakaian Bi Hwa. Pada saat itu, terdengar teriakan
Pouw Sianseng. "Tahan......!!"
167 Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Hek-sim Lo-mo. Sejak tadi,
semenjak Hek-wan mempermainkan Bi Hwa. Kalau semua
pembantunya menonton pertunjukan menarik itu, dia sendiri tak
pernah melepaskan pandang matanya dari Pouw Sianseng. Dengan
hati gembira dia melihat betapa kakek itu tersiksa batinnya. Hal ini
mudah dilihat dari keadaan muka dan pandang matanya dan pada saat
baju puterinya direnggut terlepas, Pouw Sianseng tidak kuat menahan
lagi dan dia berteriak untuk minta siksaan itu dihentikan.
"Hek-wan, minggirlah dan aku senang sekali dengan pekerjaanmu.
Duduklah di sana bersama rekan-rekanmu."
Hek-wan menyeringai, sama sekali tidak memperlihatkan muka
kecewa seperti yang nampak pada wajah para pembantu yang gagal
menyaksikan pertunjukan menarik. Hek-wan yang buas itu memang
setia kepada Hek-sim Lo-mo yang sudah menundukkannya.
"Bagaimana, Pouw Sianseng" Mengapa engkau minta agar
pertunjukan yang menarik ini dihentikan?" tanya Hek-sim Lo-mo,
membiarkan ayah dan anak itu kembali saling rangkul. Pouw Sianseng
melepas jubahnya yang kusut dan dekil, dia menyelimuti tubuh
puterinya dengan jubah itu, kemudian dia memandang kepada Heksim Lo-mo.
"Hek-sim Lo-mo, aku mengaku kalah. Kehormatan puteriku lebih
berharga dari apapun juga di dunia ini. Engkau menang dan aku mau
menukar Liong-cu dengan kebebasan anakku. Kalau aku menyerahkan
Liong-cu, maukah engkau melepaskan puteriku ini?"
"Heh-heh, tentu saja, Pouw Sianseng. Berikan Liong-cu, dan aku akan
melepaskan puterimu."
168 "Lo-mo, aku tidak dapat percaya kepada orang sepertimu.
Bersumpahlah dulu sebagai seorang datuk, baru aku mau percaya!"
Kalau saja dia tidak sangat menginginkan Liong-cu, tentu ucapan
Pouw Sianseng itu sudah merupakan alasan yang cukup untuk dia
turun tangan membunuh kakek itu. Wajahnya yang hitam menjadi
lebih hitam lagi dan matanya mencorong, akan tetapi dia menahan
kemarahannya, dia menyeringai.
"Ha-ha, baiklah. Aku, Hek-sim Lo-mo, datuk dari segala datuk yang
merajai seluruh wilayah He-nan dan Shan-tung, bersumpah bahwa
kalau Pouw Sianseng menyerahkan Liong-cu kepadaku, maka aku
akan melepaskan puterinya. Kalau aku melanggar sumpahku, biarlah
Bumi dan Langit yang akan menghukumku!"
Pouw Sianseng merasa lega mendengar sumpah itu dan diapun
berkata kepada puterinya. "Bi Hwa, anakku, hentikan tangismu dan
dengarlah baik-baik pesanku. Kalau nanti aku sudah menyerahkan
Liong-cu kepada Hek-sim Lo-mo, dan aku tidak dapat menemanimu,
engkau keluarlah dari sini, tinggalkan tempat ini dan pulanglah. Lalu
kaucari pamanmu di dusun Teng-cun dan ikutlah keluarganya.
Mengertikah engkau?"
Sambil bercucuran air mata, Bi Hwa mengangguk, Pouw Sianseng
lalu melepaskan puterinya yang bangkit berdiri sambil menyelimuti
tubuh atas dengan jubah ayahnya, dan Pouw Sianseng bangkit berdiri
menghadapi Hek-sim Lo-mo.
Semua mata kini ditujukan kepadanya, memandang dengan penuh
perhatian karena mereka semua ingin mendengar pengakuan kakek
itu, di mana dia menyembunyikan Liong-cu yang diperebutkan oleh
169 hampir seluruh tokoh dunia kang-ouw itu sejak ratusan tahun yang
lalu dan kemudian lenyap tanpa bekas.
"Hek-sim Lo-mo, mustika naga ini adalah milikku dan hakku, yang
kudapatkan secara kebetulan melalui tulisan dan peta rahasia yang
kuno dan yang hanya dapat kubaca. Sejak dahulu sudah diperebutkan
orang, dan aku sudah mengambil keputusan untuk kubawa mati
bersama. Akan tetapi engkau yang curang dan licik telah
mempergunakan puteriku untuk memaksaku. Apa boleh buat, agaknya
memang sudah ditentukan oleh Thian bahwa Liong-cu akan jatuh ke
tangan seorang datuk sesat sepertimu. Kalau aku tidak membuat
pengakuan, sampai dunia kiamat engkau tidak akan mampu
menemukan Liong-cu. Aku telah minta tolong kepada sahabatku,
mendiang Yok-sian (Dewa Obat) untuk menyimpan Liong-cu di sini,
melalui pembedahan!"
Kakek itu lalu menanggalkan bajunya dan menunjuk ke perutnya.
Karena dia kurus, perutnya kecil, akan tetapi di bagian kanan perutnya
ada tonjolan aneh, seperti bengkak.
"Liong-cu itu kausimpan di dalam perut?" tanya Hek-sim Lo-mo,
hampir tak percaya. Pouw Sianseng mengangguk. Mendiang Yok-sian amat pandai, dia
dapat menyimpan mustika ini ke dalam perutku, membedah kulit perut
lalu menjahitnya kembali. Dan karena Liong-cu merupakan mustika
yang ampuh, maka sama sekali tidak mengganggu kesehatan
badanku." "Dan untuk mengambilnya......"
170 "Harus memanggil seorang ahli bedah untuk mengeluarkannya dari
perutku." "Ah, akupun bisa mengambilnya!" Tiba-tiba tangan Hek-sim Lo-mo


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meluncur dan sekali totok saja tubuh kakek itu roboh terlentang dalam
keadaan lumpuh. "Ayah......?" Bi Hwa menjerit.
"Jangan mendekat, Bi Hwa," kata kakek itu dengan lemah. Dia tidak
mampu menggerakkan kaki tangan, akan tetapi masih dapat bicara.
"Sudah kuduga ini...... kalau aku mati...... kau pulanglah sendiri dan
hati-hatilah......" Hek-sim Lo-mo lalu menggunakan kuku jari tangannya menggores ke
arah tonjolan pada perut kakek itu dan kulit perut itupun tergores
robek! Di saat lain, dia sudah mengeluarkan sebuah benda bulat
sebesar kepalan tangannya yang berlumuran darah, dan diapun
membebaskan totokannya. "Ayah......!" Bi Hwa menubruk ayahnya dan membantu ayahnya
membalut luka pada perut itu dengan robekan kain dari bawah
bajunya sendiri setelah Yauw Ban, atas perintah Hek-sim Lo-mo,
memberi obat bubuk pada luka di perut dan menutupnya dengan
koyok. Semua orang tidak, memperhatikan ayah dan anak itu karena semua
memperhatikan sebuah benda bulat yang sudah dibersihkan dari
darah, yang berada di tangan Hek-sim Lo-mo. Benda itu berwarna
putih kebiruan, seperti batu, dan sukar dipercaya bahwa benda itu
171 adalah benda pusaka yang disebut Liong-cu (mustika naga) yang
kabarnya terdapat pada rongga dalam kepala seekor naga!
"Mustika ini harus diuji dulu keasliannya! Mo-li, keluarkan senjata
rahasiamu yang paling ampuh, hendak kucoba khasiat mustika ini
melawan racun yang bagaimana kuatpun!"
Kiu-bwe Mo-li mengeluarkan sebuah paku yang kehitaman. Itulah
senjata rahasia paku yang luar biasa ampuhnya, karena telah direndam
racun yang amat jahat sehingga sekali mengenai tubuh lawan, tentu
akan membuat lawan tewas dengan tubuh bengkak menghitam!
"Cobakan kepadanya!" kata Hek-sim Lo-mo. "Hitung-hitung untuk
menghukumnya kalau dia membohong!" Dia menuding ke arah Pouw
Sianseng yang sudah bangkit duduk, masih kesakitan karena kulit
perutnya dibedah secara paksa oleh datuk itu tadi.
Kiu-bwe Mo-li juga termasuk seorang yang amat keji dan sadis.
Mendapat perintah ini, ia menyeringai dan secepat kilat, tangan
kirinya yang memegang paku itu bergerak dan nampak sinar hitam
kecil menyambar ke arah Pouw Sianseng.
"Cappp! Aduhhh......!" Pouw Sianseng memekik dan mendekap
pundak kirinya yang terkena paku, lalu tubuhnya berkelojotan karena
merasa nyeri dan panas bukan main.
"Bagus, racunnya telah bekerja!" kata Hek-sim Lo-mo. "Cabut
kembali paku itu, biar kucobakan Liong-cu ini!"
Kiu-bwe Mo-li menghampiri Pouw Sianseng yang berkelojotan,
mendorong tubuh Bi Hwa yang menangisi ayahnya ke samping lalu
172 mencabut paku itu. Begitu dicabut, rasa nyeri semakin menggigit dan
menusuk sehingga kakek itu merintih-rintih.
Hek-sim Lo-mo cepat memeriksa luka itu. Hitam membengkak dan
sebentar lagi racunnya akan terbawa aliran darah ke seluruh tubuh dan
akan matilah orang itu. Cepat dia lalu menempelkan mustika naga itu
ke atas pundak yang terluka dan terjadilah keanehan. Warna hitam
pada luka itu dalam waktu singkat saja lenyap dan pada permukaan
benda itu nampak cairan hitam!
Ternyata dengan mudahnya, benda itu telah menyerap dan menghisap
semua racun yang berada di dalam luka itu sebelum menjalar ke
seluruh tubuh! Bukan main! Belum pernah Hek-sim Lo-mo
menyaksikan keampuhan benda seperti yang terdapat pada Liong-cu
itu. Dan kini Pouw Sianseng tidak mengeluh lagi karena sama sekali tidak
lagi merasa nyeri. Pundaknya yang tadi terkena paku kini hanya
tinggal luka kecil kemerahan yang tidak ada artinya lagi, sudah bersih
sama sekali dari racun, bahkan seperti sudah sembuh!
"Hemm, sudah percayakah kau sekarang, Lo-mo" Aku bukan orang
yang suka menipu atau berbohong!" kata Pouw Sianseng mendongkol.
Hek-sim Lo-mo girang luar biasa dan seperti anak kecil memperoleh
mainan baru, dia mendekap Liong-cu itu ke dadanya.
"Liong-cu......! Aku telah mendapatkan Liong-cu...... ha-ha-ha! Ini
semua berkat jasamu, Tiat-pi Hek-wan. Sebagai hadiah jasamu,
kuberikan gadis ini kepadamu, boleh kauperbuat sesuka hatimu!"
173 "Ha-ha-ha, terima kasih. Bengcu!" Tiat-pi Hek-wan sekali sambar
sudah merenggut tubuh Bi Hwa dari ayahnya dan memondong gadis
itu, lalu dibawa keluar, tanpa memperdulikan gadis itu menjerit-jerit,
mencakar dan menggigit, diikuti senyum dan pandang mata rekanrekannya.
Melihat ini Pouw Sianseng terkejut sekali dan diapun memaksa diri
bangkit dan berteriak kepada Hek-sim Lo-mo. "Lo-mo, apa artinya
ini" Engkau melanggar sumpahmu" Engkau telah bersumpah akan
melepaskan puteriku setelah......"
"Akupun melepaskannya. Siapa melanggar sumpah" Aku tadi
bersumpah bahwa kalau kau menyerahkan Liong-cu aku akan
melepaskan puterimu, bukan" Nah, ia sudah kulepaskan, tidak
kutahan, tidak kuganggu! Aku melepaskannya kepada Tiat-pi Hekwan, dan kalau dia yang mengganggunya, itu urusan dia, bukan
urusanku. Aku tidak mengganggu puterimu, sudah kulepaskan! Hehheh!"
"Terkutuk kau, Hek-sim Lo-mo!" Pouw Sianseng marah sekali dan
dengan nekat dia menubruk ke depan, hendak mencekik datuk itu.
Akan tetapi, Hek-sim Lo-mo menggerakkan kakinya menyambut.
"Dukkk!" Ujung kaki datuk itu mengenai ulu hati Pouw Sianseng dan
tubuh tinggi kurus itupun terjengkang, terbanting dan tewas seketika,
mulutnya mengeluarkan darah, matanya terbelalak. Dia mati dalam
penasaran! Agaknya Hek-sim Lo-mo masih ingin membela diri dengan sikapnya
itu kepada para pembantunya.
174 "Orang ini memang harus dibunuh, kalau tidak, tentu dia akan
membocorkan rahasia ini, akan memberitahu bahwa Liong-cu sudah
berada padaku dan kalau demikian, celaka! Tentu semua orang dari
dunia persilatan akan mencoba merampasnya dan kita menghadapi
lawan yang banyak sekali dan lihai pula. Beritahu kepada Hek-wan,
kalau dia sudah selesai dengan gadis itu, agar dibunuhnya pula. Buang
mayat mereka ke dalam jurang agar tidak ada yang dapat mengikuti
jejak mereka!" Hek-sim Lo-mo membubarkan persidangan dan dia membawa Liongcu yang selalu didekapnya itu ke kamarnya setelah memesan kepada
Yauw Ban bahwa besok pagi dia bersama Yauw Ban akan berkunjung
kepada ahli pembuat pedang itu. Para pembantu kini menyambar gadis
panggilan yang menjadi pilihan hati mereka tadi dan membawanya ke
kamar masing-masing. Kalau dari kamar-kamar para pembantu ini terdengar suara cekikikan
dan senda gurau, di sebuah kamar di belakang terdengar ratap tangis
yang memilukan. Ratap tangis Bi Hwa yang dipermainkan oleh Tiatpi Hek-wan yang sadis. Dan menjelang tengah malam, ketika ratap
tangis itu akhirnya tidak terdengar lagi, gadis itupun telah tak
bernyawa lagi dan mayatnya menyusul mayat ayahnya, dilempar ke
dalam jurang yang amat curam, di mana kedua mayat itu akan hancur
membusuk tanpa ada yang mengetahuinya!
Manusia adalah mahluk tertinggi derajatnya di antara semua mahluk
yang hidup di dunia ini, satu-satunya mahluk yang berakal budi, yang
dikaruniai otak dan ingatan sehingga dapat berpikir, mempunyai
pengertian dan dapat membedakan antara baik dan buruk. Akan tetapi,
sekali manusia menjadi hamba nafsu, bukan sebaliknya menguasai
175 nafsu, maka dia menjadi mahluk yang sebuas-buasnya dan sekejamkejamnya.
Binatang yang kita sebut bagaimana buaspun, selalu mendasarkan
semua perbuatannya pada kebutuhan hidup. Binatang harimau
menerkam kelinci dan dimakannya, nampaknya memang buas dan
kejam, akan tetapi sesungguhnya perbuatannya itu sama sekali tidak
mengandung kejahatan, melainkan karena kebutuhan hidupnya,
tuntutan perutnya. Binatang melakukan hubungan kelamin karena
kebutuhan perkembangbiakan, tuntutan naluri seksuilnya.
Akan tetapi manusia yang menjadi hamba nafsunya sendiri, dia makan
demi memuaskan nafsu aluamahnya, ingin mencari kesenangan
melalui makan, seolah-olah makan itu bukan suatu kebutuhan hidup
melainkan kebutuhan kenikmatan yang membuatnya menjadi loba,
tamak dan mau melakukan kejahatan apapun demi tercapainya
pengejaran kesenangan melalui makan dan apa saja. Juga seorang
yang diperhamba nafsunya sendiri akan mengejar kesenangan melalui
seks, dan dia dapat melakukan kejahatan dan kekejaman yang luar
biasa demi pemuasan nafsunya itu.
"Y" Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-sim Lo-mo sudah
mengajak pembantu utamanya nomor satu, yaitu Tok-gan-liong Yauw
Ban untuk pergi berkunjung ke rumah kakek Thio Wi Han, ahli
pembuat pedang yang tinggal di dusun Gi-ho-cung di kaki
Pegunungan Fu-niu-san. Orang akan merasa heran kalau melihat keadaan rumah tinggal Thio
Wi Han ini. Dia seorang ahli pembuat pedang yang kenamaan, bukan
176 hanya pedang biasa seperti yang dapat dibeli di pasar, melainkan
pedang buatannya selalu merupakan senjata pilihan, bahkan banyak
sudah pedang-pedang pusaka dari bahan-bahan yang aneh-aneh dan
langka dibuat oleh kedua tangannya yang ahli.
Orang dengan keahlian seperti dia ini sesungguhnya akan mudah saja
menjadi kaya raya. Bahkan pernah dia ditawari kedudukan di kota raja
oleh istana, namun dia menolaknya! Dan dia tidak menghargai
keahliannya dengan harta benda. Dia seorang seniman sejati yang
melakukan pekerjaan membuat pedang itu sebagai sesuatu yang suci,
sesuatu yang membahagiakan hatinya, tiada bedanya dengan para
seniman lain, seniman sejati yang menganggap pckerjaan seninya itu
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya, merupakan
sumber kebahagiaannya. Dia hanya berdua dengan isterinya yang berusia empatpuluh tahun
lebih, jauh lebih muda dari Thio Wi Han yang sudah berusia
tujuhpuluh tahun. Di dalam sebuah rumah kecil sederhana sekali, Thio
Wi Han tinggal berdua saja tanpa pembantu dengan isterinya. Rumah
itu hanya mempunyai tiga ruangan, ruangan depan yang menjadi
ruang tamu, lalu kamar tempat tidur mereka, dan di belakang adalah
dapur yang besar, tempat isterinya masak dan tempat dia bekerja
membuat pedang dan senjata lainnya, merupakan bengkel tempat dia
bekerja. Thio Wi Han tidak pernah membuat pedang atau pisau yang biasa di
jual di pasar. Setelah tua ini, dia hanya bekerja kalau ada pesanan, dan
pesanan itu haruslah pesanan pembuatan senjata yang istimewa.
Pemesannya harus menyediakan bahan yang baik, baja pilihan, dan
harus memperlihatkan kemampuan memainkan senjata yang dipesan
177 itu dengan lebih dulu mendemonstrasikannya di depan Thio Wi Han!
Kalau tidak begini, dia tidak akan mau membuatkannya!
Dan biarpun dia sendiri belum pernah memperlihatkan
kepandaiannya, namun semua orang kang-ouw menduga bahwa kakek
ahli pembuat pedang ini tentu memiliki ilmu kepandaian silat tinggi.
Hal terbukti karena dia dapat mengetahui apakah benar pemesannya
patut memegang senjata yang dipesannya, sesuai dengan
kepandaiannya. Gi-ho-cung boleh jadi hanya sebuah dusun yang kecil sekali di kaki
Fu-niu-san, sebuah dusun yang tidak ada artinya dengan penduduk
hanya beberapa puluh rumah yang kesemuanya adalah petani-petani
sederhana. Namun bagi dunia kang-ouw, dusun ini amat terkenal dan
nama Thio Wi Han dikenal oleh semua tokoh kang-ouw, bahkan dia
dihormati dan disuka oleh semua golongan karena Thio Wi Han tidak
pernah membeda-bedakan golongan.
Bagi dia, tidak perduli orang dari golongan apa, yang datang
kepadanya akan dilayani asal memenuhi syaratnya, yaitu pertama,
harus membawa bahan yang benar-benar pilihan, dan kedua, harus
mampu memperlihatkan kepandaian yang sesuai untuk mempergunakan senjata ampuh buatannya! Tanpa adanya dua syarat
ini, biar diancam dan dibujuk bagaimanapun, dijanjikan upah besar
berapapun, atau diancam akan dibunuh sekalipun, jangan harap dapat
memaksanya bekerja! Soal biaya pembuatan pedang, dia tidak pernah membicarakan dan hal
itu terserah kepada pemesan, bahkan tidak diberi sekalipun dia tidak
akan menagih! Memang Thio Wi Han seorang seniman yang aneh.
178 Akan tetapi, sungguh di luar dugaan semua orang karena dia tidak
pernah memperlihatkannya, dia hidup berbahagia di samping isterinya
karena ada pertalian kasih sayang besar antara mereka!
Agaknya inilah yang menjadi rahasia besar kehidupan Thio Wi Han.
Cinta kasih yang amat mendalam yang didapatkannya dari isterinya
membuat dia tidak membutuhkan apa-apa lagi! Dalam kehidupan
sederhana sekalipun dia merasa berbahagia di samping isterinya!
Betapa menyedihkan kalau dilihat kenyataan bahwa jarang ada
pasangan suami isteri seperti Thio Wi Han ini. Dia dan isterinya tidak
mempunyai anak, selisih usia mereka hampir tigapuluh tahun, keadaan
hidup merekapun sederhana, hidup di dusun pegunungan yang sunyi,
namun mereka dapat hidup berbahagia karena ada ikatan tali kasih
sayang besar di antara mereka.
Bukan ikatan nafsu. Ikatan nafsu akan luntur dan tak meninggalkan
bekas kalau nafsu itu sendiri sudah melemah. Dalam usia yang
semakin tua, tentu saja nafsu tidak lagi memegang peran besar dan
kalau cinta yang ada antara suami isteri hanya cinta nafsu, maka cinta
itu akan hambar dan bahkan lenyap kalau mereka sudah menjadi tua.
Betapa banyak dapat dilihat keadaan hubungan suami isteri seperti ini.
Kehilangan kemesraan, kalaupun ada kemesraan itu dibuat-buat,
bukan timbul dari hati yang mencinta dan menyayang. Bahkan tidak
jarang timbul pertikaian, kejemuan yang membuat kedua suami isteri
seringkali bertengkar dan saling merasa betapa kehadiran kawan hidup
hanya merupakan gangguan yang menjengkelkan!
Ini adalah karena ketidakadanya kasih sayang yang mendalam. Kalau
ada kasih sayang antara manusia, cahaya cinta kasih dalam dada,
179 maka tentu perasaan kasih sayang itu pertama-pertama terasa kepada
orang lain yang paling dekat dengan dirinya, suami atau isteri, anakanak dan keluarga. Dan mengapakah tidak ada kasih sayang ini"
Mengapa tidak ada cinta kasih di dalam hati"
Cinta kasih bukanlah perasaan dari seseorang kepada orang lain
tertentu! Itu adalah cinta nafsu, tertarik oleh sesuatu yang dianggap
indah dan menyenangkan! Cinta kasih tidak mengenal subyek, cinta
kasih adalah sinar Tuhan yang menerangi batin. Cinta kasih ini tidak
nampak selama diri dikuasai oleh si-aku! Begitu si-aku ini merajalela
dalam batin, maka kasih sayang pun, cinta kasih yang murni itupun
tidak ada, yang ada hanyalah cinta nafsu karena cinta nafsu ini
menyenangkan diri pribadi.
Mari kita periksa diri sendiri, menjenguk isi hati dan pikiran, dan kita
akan melihat kenyataan itu. Tidak ada gunanya mencari cinta kasih
yang tidak nampak di dalam batin. Cinta kasih tidak pernah lenyap,
selalu ada. Yang penting melihat ke akuan diri yang demikian besar
dan berkuasa. Begitu si aku berhenti berkuasa, maka cinta kasih akan


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampak bersinar terang! Tuhan tidak pernah pergi meninggalkan kita. Sesungguhnya kitalah
yang pergi menjauhkan diri dan meninggalkannya! Pementingan diri
karena si aku yang merajalela dalam batin, membuat mata batin kita
buta dan tidak melihat Tuhan. Lenyapnya si-aku akan membuka mata
kita dan menyadarkan bahwa Tuhan selalu ada pada diri kita,
sedetikpun tak pernah meninggalkan kita!
Ketika Hek-sim Lo-mo dan Tok-gan-liong Yauw Ban tiba di depan
pondok sederhana tempat tinggal Thio Wi Han, mereka melihat bahwa
180 di pekarangan itu terdapat tigabelas orang yang melihat pakaian,
keadaan diri dan sikap mereka, sudah diketahui bahwa mereka itu
adalah orang-orang kang-ouw yang kasar dan biasa mempergunakan
kekerasan. Sambil berbisik Tok-gan-liong Yauw Ban memberitahu
kepada Hek-sim Lo-mo yang tidak mengenal mereka, bahwa tigabelas
orang itu adalah Wei-ho Cap-sha-kwi (Tigabelas Setan dari Sungai
Wei) yang berkedudukan di sekitar kota Sian di Propinsi Shensi.
Sungai Wei adalah sebatang sungai yang menjadi anak sungai dari
Sungai Kuning, dan nama Tigabelas Setan ini terkenal sekali di
seluruh wilayah itu, bahkan di seluruh Propinsi Shensi. Mereka adalah
tokoh-tokoh sesat yang mengepalai seluruh kaum bajak sungai dan
perampok. Dan mereka belum menyatakan takluk kepada kekuasaan
Hek-sim Lo-mo, maka kini datuk ini bersama pembantu utamanya
memandang ke arah mereka dengan alis berkerut.
Tigabelas orang itu ditemui oleh tuan rumah di pekarangan depan
karena ruangan tamunya tidak cukup lebar untuk menerima tigabelas
orang tamu itu, atau setidaknya, Thio Wi Han merasa enggan
menerima tigabelas orang yang kasar itu di dalam ruangan itu.
Kakek Thio Wi Han itu nampak tenang sekali menghadapi mereka.
Seorang kakek berusia tujuhpuluh tahun, rambutnya sudah putih
semua, akan tetapi mukanya bersih tidak memelihara kumis atau
jenggot. Sinar matanya lembut namun kadang mencorong penuh
wibawa dan mulutnya terhias senyuman penuh kesabaran ketika dia
berhadapan dengan tigabelas orang jagoan itu.
"Sudah kukatakan, aku hanya mau membuatkan pedang dengan dua
syarat utama, yaitu pertama pemesan harus membawa bahan yang
181 pilihan, dan kedua pemesan harus dapat membuktikan bahwa dia
pantas memiliki senjata yang baik buatanku. Kalian hanya datang
membawa bahan yang baik untuk sebuah golok saja, dan tidak
mungkin aku membuatkan tigabelas batang golok dari bahan yang
hanya untuk sebatang saja itu. Bahan yang lain ini tidak baik dan aku
tidak mau membuat golok dari bahan ini. Nah, kalian tinggal pilih.
Kubuatkan sebatang golok setelah pemesannya memperlihatkan ilmu
goloknya, atau kalian boleh bawa pergi lagi saja dan menyuruh orang
lain membuatkannya."
Kata-kata itu teratur dan halus, namun juga mengandung ketegasan
dan wibawa yang tidak dapat dibengkokkan lagi. Tigabelas orang itu
rata-rata bertubuh besar dan kuat, sikap mereka kasar dan pakaian
mereka dari kain yang tebal dan kuat, nampak kotor karena agaknya
mereka jarang bertukar pakaian. Namun ini bukan berarti bahwa
mereka miskin. Sebaliknya, Wei-ho Cap-sha-kwi adalah sekumpulan
tokoh sesat yang sudah berhasil mengepalai semua bajak dan
perampok yang selalu memberi "bagian hasil" kepada mereka.
Kalau mereka kini berpakaian kotor adalah karena mereka sedang
melakukan perjalanan jauh dan tidak membawa ganti pakaian. Mereka
terkenal sekali dengan Cap-sha Kwi-tin (Barisan Tigabelas Setan) dan
dengan golok di tangan, mereka merupakan lawan ampuh walaupun
kalau maju seorang demi seorang, mereka tidaklah sehebat kalau
membentuk Cap-sha Kwi-tin.
Seorang di antara tigabelas jagoan itu, yang menjadi pemimpin
mereka bernama Kwa Ti, tubuhnya juga tinggi besar, dengan perut
gendut sekali, mukanya bopeng dan hitam. Mendengar ucapan tuan
rumah, dia melangkah maju, lalu menghardik.
182 "Thio Wi Han! Tidak tahukah engkau siapa yang kauhadapi ini" Kami
adalah Wei-ho Cap-sha-kwi, dan kami tidak biasa dibantah orang!
Kami datang dengan baik, memesan tigabelas batang golok dan kami
juga tidak minta gratis, melainkan mau membayar berapa saja biaya
pembuatan tigabelas batang golok itu! Jangan engkau menolak, karena
penolakanmu sama dengan penghinaan dan siapa berani menghina
Wei-ho Cap-sha-kwi, akan mampus dengan tubuh hancur lebur
dicacah golok kami!"
Thio Wi Han masih tetap tenang dan memandang kepada kepala
gerombolan itu dengan matanya yang halus namun berwibawa.
"Seorang manusia harus memiliki pendirian, kalau tidak dia hanya
akan menjadi seorang pengecut yang munafik. Syarat-syaratku itu
sudah kupakai selama puluhan tahun dan akan kupertahankan sampai
mati." "Toa-ko (kakak), pukul saja orang keras kepala ini, baru dia akan
menurut perintah kita!" beberapa orang anggauta gerombolan itu
berkata dengan marah kepada Kwa Ti dan si gendut inipun sudah
marah sekali. Semua perampok dan bajak sungai di sepanjang Sungai
Wei-ho, siap untuk melakukan setiap perintahnya, dan kakek lemah
ini berani membantah! "Engkau memang minta dihajar baru taat!" bentaknya dan diapun
menggerakkan tangan kanan menampar ke arah muka kakek itu
sekedar untuk menakut-nakuti dan memaksanya agar mentaati
perintahnya. Akan tetapi, tangannya menampar tempat kosong karena
dengan gerakan halus namun tepat sekali, kakek Thio Wi Han sudah
mundur selangkah dan tamparan itupun hanya lewat di depan
mukanya! 183 Melihat pukulannya luput karena dielakkan orang, Kwa Ti yang tidak
biasa dibantah dan dilawan ini menjadi semakin marah dan penasaran.
"Engkau berani melawan aku, ya?" bentaknya dengan sikap ingin
benar dan menang sendiri. "Nah, rasakan ini!" Dia kini menyerang
dengan pukulan bertubi, dengan gerakan silat, bukan sekedar
menampar seperti tadi. Akan tetapi, alangkah herannya tigabelas
orang jagoan itu ketika melihat kakek itu hanya menggeser kaki dan
melangkah ke sana-sini dan semua pukulan Kwa Ti hanya mengenai
tempat kosong saja! Pada saat itu, dari dalam pondok muncul seorang wanita. Usianya
empatpuluh tahun lebih tetapi ia masih nampak cantik dan tubuhnya
masih padat dan ramping, pakaianaya sederhana namun rapi, juga
rambutnya yang masih hitam itu tersisir rapi. Seorang wanita yang
anggun. Begitu ia keluar dan melihat kakek Thio diserang orang,
iapun cepat maju dan menghadang di tengah.
Kwa Ti tertegun melihat munculnya seorang wanita dan biarpun dia
penasaran sekali melihat serangannya tidak pernah mengenai sasaran,
dia menahan diri dan memandang wanita itu dengan alis berkerut.
"Engkau siapa berani menghalangiku?"
Dengan sikap seperti melindungi kakek itu, ia berkata. "Aku adalah
isterinya! Kalian ini orang-orang sungguh tidak tahu malu sama
sekali. Bukankah kalian ini tamu-tamu yang tidak diundang" Mengapa
sikap kalian bukan seperti tamu melainkan seperti perampok saja,
hendak memaksakan kehendak sendiri" Tamu yang sopan semestinya
memenuhi peraturan tuan rumah!"
184 Setelah mendengar ucapan itu dan tahu bahwa dia berhadapan dengan
nyonya rumah, Kwa Ti menyeringai dan dia menoleh kepada kawankawannya. "Kawan-kawan, kalau kita paksa si tua sampai mati, kita
tidak akan berhasil memiliki golok pusaka yang ampuh. Si tua itu
keras kepala, aku mempunyai akal untuk memaksanya tanpa
membunuhnya!" Duabelas orang kawannya tertawa-tawa dan seorang di antara mereka
bahkan berkata, "Benar, tangkap saja isterinya, biarkan aku yang akan
menemaninya. Heh-heh, ia masih manis dan bahenol, heh-heh!"
Kwa Ti yang menjadi kepala dari Cap-sha-kwi, bukan orang yang
suka menggoda wanita, maka mendengar ini, dia tertawa. Memang
maksudnya untuk menangkap isteri Thio Wi Han dan menjadikannya
sebagai sandera agar kakek itu terpaksa memenuhi permintaan mereka
membuatkan tigabelas batang golok.
"Baiklah, kau tangkap wanita itu!" katanya kepada kawan yang bicara
tadi. Orang itu matanya besar sekali, hidungnya pesek dan mulutnya lebar
dengan bibir tebal, juga mukanya hitam dan kasar. Mendengar ucapan
toakonya, dia tersenyum menyeringai dan melangkah. maju, tubuhnya
yang tinggi besar itu menyeramkan, langkahnya seperti langkah
seekor binatang buas. "Heh-heh, nyonya manis, mari ikut denganku sementara suamimu
membuatkan golok untuk kami." Berbareng dengan habisnya katakata itu, kedua lengannya sudah menyambar dari kanan kiri hendak
menangkap kedua pundak isteri Thio Wi Han. Anehnya, Thio Wi Han
yang dari elakan-elakannya tadi jelas menunjukkan bahwa dia seorang
185 yang memiliki kepandaian silat, kini melihat isterinya diserang orang,
bersikap diam saja dan menonton dengan tenang.
"Wuuut! Wuuuttt!" Sambaran kedua tangan yang berlengan panjang
dan besar itu lewat dan sama sekali tidak menyentuh pundak Nyonya
Thio Wi Han yang sudah menggeser kaki dengan gerakan indah dan
ringan sekali. Si penyerang yang tadinya bermaksud menangkap dan merangkul
nyonya itu, menjadi penasaran dan kini, sambil mengeluarkan suara
gerengan seperti seekor binatang buas. kedua tangannya
mencengkeram dengan tubrukan, yang kanan mencengkeram leher,
yang kiri mencengkeram ke arah dada! Serangan yang berbahaya dan
juga kurang ajar! Wanita itu bersikap tenang, akan tetapi secepat kilat kedua kakinya
secara beruntun menyambar ke depan, menyambut tubuh
penyerangnya dan ujung sepatu kedua kakinya lebih dulu mengenai
tubuh lawan sebelum kedua tangan yang mencengkeram itu tiba.
"Dukkk......! Dessss.....!!" Ujung sepatu kiri nyonya itu menyentuh
sambungan lutut kaki kanan, sedangkan ujung sepatu kanan dengan
kerasnya menghantam ulu hati ketika tubuh tinggi besar itu agak
membungkuk karena lututnya tertendang. Tak dapat dihindarkan lagi,
tubuh tinggi besar itu terjengkang dan roboh terbanting!
"Kurang ajar.....!" bentak orang kedua yang kepalanya besar sekali.
Melihat kawannya roboh, dia sudah menerjang ke depan, akan tetapi
dia dihadapi Thio Wi Han sendiri yang sudah menghadang dan
melindungi isterinya. Karena marah, si kepala besar ini lalu memukul
ke arah kakek itu dengan kerasnya. Kepalan tangan sebesar kepala
186 orang itu menonjok ke arah dada Thio Wi Han. Akan tetapi, kakek itu
hanya miringkan tubuh dan ketika pukulan itu lewat, dia menampar
dengan tangan miring ke arah leher samping lawannya.
"Pergilah!" bentaknya lirih dan orang pun terjungkal karena lehernya
terkena "ba?cokan" tangan miring yang membuat napasnya sesak dan
kepalanya pening. Melihat betapa suami isteri itu ternyata lihai, Kwa Ti terkejut dan
marah sekali. Dia mengeluarkan bentakan sebagai aba-aba dan
menyusul ini, nampak sinar berkilauan dan terdengar suara berdesing
ketika semua orang itu telah mencabut golok besar mereka dari
punggung! Juga mereka berdua yang tadi telah roboh, kini bangkit
sambil mencabut golok. Suami isteri itu dikepung oleh tigabelas orang
Wei-ho Cap-sha-kwi yang sudah membentuk barisan Cap-sha-kwi-tin
dengan golok besar di tangan!
SEMENTARA itu, sejak tadi Hek-sim Lo-mo menonton saja dengan
sikap tenang. Pembantunya, Tok-gan-liong Yauw Ban juga diam saja.
Orang ini tidak akan berani bergerak tanpa perintah dari kepalanya
dan dia hanya menanti saja sampai Hek-sim Lo-mo memberi perintah
dan petunjuk. Tadi, melihat gerakan tuan dan nyonya rumah, Hek-sim Lo-mo
tertarik dan diam-diam mentertawakan tigabelas orang yang agaknya
tidak melihat kenyataan bahwa tuan dan nyonya rumah itu tidak boleh
dibuat main-main. Kini, melihat cara mereka membentuk barisan
mengepung, timbul kekhawatirannya kalau-kalau tigabelas orang
kasar itu akan mengeroyok dan membunuh Thio Wi Han yang amat
187 dibutuhkan tenaganya untuk membuatkan pedang pusaka. Hek-sim
Lo-mo lalu berkata kepada pembantu utamanya.
"Cegah mereka membunuh kakek itu!"
Mendengar perintah atasannya ini, Tok-gan-liong Yauw Ban
mengangguk dan sekali dia meloncat, tubuhnya sudah melayang dan
bagaikan seekor burung terbang saja, dia sudah melewati atas kepala
para pengepung lalu tubuhnya melayang turun di tengah kepungan, di
depan suami isteri yang siap menghadapi pengeroyokan itu.
Tigabelas orang itu terkejut sekali melihat kehebatan gin-kang (Ilmu
meringankan tubuh) dari orang ini. Sementara itu, Yauw Ban menjura
kepada Thio Wi Han dan isterinya sambil berkata, "Harap Saudara
Thio dan nyonya suka mundur, biarkan aku menghadapi setan-setan
ini!" Tok-gan-liong Yauw Ban adalah seorang tokoh sesat yang terkenal
sekali, apa lagi orangnya mudah dikenal, yaitu dari keadaan matanya
yang tinggal sebuah saja. Maka, biarpun belum pernah saling bertemu,
melihat laki-laki tinggi kurus bermata satu, yang membawa sebatang
pedang di punggungnya dan memiliki gin-kang yang luar biasa itu,
Kwa Ti yang memimpin rombongan Cap-sha-kwi segera berkata
dengan suaranya yang kasar.
"Benarkah dugaan kami bahwa engkau adalah Tok-gan-liong Yauw
Ban?" Yauw Ban memandang tajam dengan mata tunggalnya yang
mengeluarkan sinar mencorong. "Benar, akulah Yauw Ban. Sekali ini
Cap-sha-kwi bertindak ngawur! Saudara Thio Wi Han adalah seorang
188 yang dihormati dan dibutuhkan oleh seluruh tokoh dunia persilatan,
dari golongan manapun juga. Jasanya sudah amat banyak, kenapa
kalian begitu rendah untuk mengganggu dia dan isterinya" Kalau
kalian tidak mampu memenuhi syarat yang diajukannya, sepatutnya
kalian mundur, tidak memaksanya seperti ini!"
Kwa Ti sudah mendengar akan kelihaian Naga Mata Satu ini, akan
tetapi dia berbesar hati karena dia bersama duabelas orang saudaranya,
dan kalau mereka maju bersama, mereka tidak gentar menghadapi
siapapun juga. "Tok-gan-liong, jangan sombong engkau! Di antara kita mempunyai
wilayah kekuasaan sendiri-sendiri, dan selama ini kita tidak saling
mengganggu! Bagaimana sekarang engkau hendak mengganggu kami
dan menghalangi kami yang hendak memaksa orang she Thio itu
membuatkan golok untuk kami" Harap jangan engkau ikut-ikut! Kami
tidak ingin bermusuhan dengan orang segolongan, akan tetapi kalau
engkau memaksa, jangan dikira kami takut menghadapi Tok-ganliong!"
"Singggg......!" Nampak sinar berkilat dan tahu-tahu Tok-gan-liong
Yauw Ban sudah mencabut pedangnya, melintangkan pedang di depan
dada dan dua jari tangan kirinya menuding ke arah muka Kwa Ti
sambil membentak, suaranya nyaring.
"Wie-ho Cap-sha-kwi, hari ini kalian akan runtuh!"
Kwa Ti marah dan sambil memberi isyarat kepada kawan-kawannya,
diapun menyerang dengan goloknya. Golok itu digerakkan dengan
cepat dan kuat sekali, membacok ke arah leher lawan. Namun, dengan
gerakan ringan sekali Yauw Ban mengelak, menarik tubuh ke
189 belakang lalu cepat membalik sambil memutar pedang ketika


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar suara angin dari belakang. Benar saja, dua orang teman
Kwa Ti sudah menyerang dengan golok mereka secara berbareng,
hampir bersamaan waktunya dengan serangan yang dilakukan Kwa Ti
tadi. "Trang... tranggg......!" Bunga api berpijar dan dua orang itu meloncat
ke belakang karena merasa betapa telapak tangan mereka tergetar
hebat. Begitu mereka meloncat ke belakang, tempat mereka sudah
diduduki dua orang kawan dan merekapun memutar berganti tempat.
Sementara itu, empat batang golok sudah menyambar dari kanan kiri
depan dan belakang Yauw Ban!
Hebat bukan main kerja sama dari Cap-sha-kwi itu, namun, Yauw Ban
tidak memalukan menjadi pembantu pertama Hek-sim Lo-mo, seorang
di antara Sembilan Setan Tua! Sambil berlompatan dia mengelak,
kadang-kadang tubuhnya mencelat ke atas dan setiap kali pedangnya
menangkis, tentu golok lawan terpental dan diapun masih sempat pula
untuk membalas serangan lawan dengan tusukan atau bacokan
pedangnya! Namun, penjagaan Cap-sha-kwi amat rapat karena mereka saling
membantu. Setiap serangan pedang Yauw Ban pasti ditangkis oleh
sedikitnya tiga batang golok dan empat batang yang lain sudah
menyerangnya dari berbagai sudut, masih dilapis oleh enam orang lain
di kepungan belakang yang siap menggantikan kepungan depan kalau
sampai terdesak atau terancam!
Golok-golok itu bersimpangan dan menggunting dari kanan kiri dan
depan belakang, makin lama semakin cepat dan bertubi-tubi sehingga
190 betapapun lihainya permainan pedang di tangan Tok-gan-liong Yauw
Ban, tetap saja dia mulai terdesak dan terhimpit, sukar mendapatkan
kesempatan untuk membalas serangan pihak pengeroyok yang
mendatangkan gelombang serangan bertubi-tubi dan susul menyusul
itu. Melihat betapa pembantu utamanya terdesak, sepasang alis tebal di
muka hitam Hek-sim Lo-mo berkerut, dan sepasang mata yang besar
itu mengeluarkan sinar merah.
"Yauw Ban, mundurlah!" bentaknya.
Mendengar perintah ini, Yauw Ban cepat meloncat ke belakang.
Semua lawannya mendapat angin dan dengan garang tigabelas orang
Cap-sha-kwi memainkan golok mereka dan membentuk barisan tiga
lapis, setiap jajar empat orang dan Kwa Ti si gendut bopeng itu berada
di samping sebagai pemimpin dan pengatur barisan.
Memang Wei-ho Cap-sha-kwi ini selain terkenal sebagai tigabelas
orang yang masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga
kalau mereka maju berbareng, maka, mereka membentuk barisan Capsha-kwi-tin (Barisan Tigabelas Setan) yang amat tangguh! Karena
barisan ini dapat bekerja sama dengan baik, maka Yauw Ban yang
memiliki tingkat lebih tinggi dari masing-masing anggauta Wei-ho
Cap-sha-kwi juga tidak kuat menahan pengeroyokan mereka.
Hek-sim Lo-mo diam-diam mengerahkan tenaga sakti di tubuhnya dan
mempergunakan pula kekuatan sihir yang terkandung dalam suara dan
pandang matanya. Datuk sesat peranakan Nepal ini memang selain
pandai ilmu silat, juga pandai ilmu sihir!
191 "Wei-ho Cap-sha-kwi!" terdengar dia berkata, suaranya berwibawa
dan sikapnya angkuh. "Apakah mata kalian sudah buta maka tidak
mau tunduk kepadaku" Berlututlah kalian dan minta ampun sebelum
aku turun tangan dan terlambat bagi kalian!"
Akan tetapi tigabelas orang yang sudah biasa melakukan kekerasan itu
tentu saja tidak memperdulikan ancaman kakek tinggi besar muka
hitam yang tidak mereka kenal ini. Di dalam dunia ini, kalau mereka
maju bersama, tidak ada yang mereka takuti, apa lagi hanya seorang
kakek asing yang mukanya jelas menunjukkan bahwa dia seorang dari
barat itu. "Siapakah engkau!" Si gendut Kwa Ti membentak dan mengelebatkan
goloknya dengan sikap mengancam. "Sombongmu bukan main, berani
menghina kami, berarti engkau akan mampus dengan tubuh menjadi
empatbelas potong!" Dengan ucapan ini Kwa Ti hendak mengatakan
bahwa masing-masing temannya akan membacok satu kali sehingga
dengan tigabelas kali bacokan, tubuh kakek hitam itu akan menjadi
empatbelas potong. Setelah berkata demikian, dia memberi isyarat kepada para temannya
dan merekapun menyerbu dengan teratur karena bagaimanapun juga,
melihat sikap sombong kakek hitam itu, Kwa Ti dan teman-temannya
dapat menduga hahwa kakek hitam itu tentu lihai. Maka, begitu maju,
Wei-ho Cap-sha-kwi sudah menyerang dengan bentuk barisan yang
teratur dan saling melindungi, juga saling melanjutkan atau
menyambung serangan teman di depan.
Akan tetapi, begitu Hek-sim Lo-mo bergerak, terjadilah keanehan.
Kakek ini berdiri tegak dengan kedua kaki terbentang lebar, kedua
192 lutut agak ditekuk, kepala ditegakkan dan kedua lengannya saja yang
bergerak. Kedua tangan terbuka dengan telapak tangan menghadap ke
depan, membuat gerakan-gerakan seperti mendorong-dorong dan dari
mulutnya keluar pekik yang dahsyat seperti gerengan binatang buas
dan...... setiap orang anggauta Cap-sha-kwi yang menyerangnya,
dimulai oleh Kwa Ti, begitu terkena dorongan dari jauh ini, terpental
dan terjengkang roboh seperti ditumbuk kekuatan yang amat hebat!
Gerengan itu membuat jantung mereka tergetar dan tubuh mereka
seperti lumpuh, kemudian angin dorongan yang menyambar keluar
dari kedua telapak tangan kakek hitam itu membuat mereka
terjengkang dan terbanting keras! Berturut-turut, tigabelas orang itu
bergelimpangan dan tentu saja mereka terkejut bukan main.
Kwa Ti adalah seorang tokoh sesat yang banyak pengalaman. Melihat
kenyataan ini, diapun maklum bahwa dia dan kawan-kawannya
berhadapan dengan orang yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga
kalau mereka masih nekat melakukan perlawanan, akhirnya mereka
akan mati konyol! Karena itu, diapun mendahului teman-temannya,
bangkit dan berlutut di depan kakek hitam itu dan tanpa ragu-ragu lagi
diapun berkata dengan suara lantang.
"Locianpwe, mohon ampun......, kami takluk dan menyerah......, harap
lociapwe sudi mengampuni kami....."
Duabelas orang saudara seperguruannya itu terkejut dan heran. Akan
tetapi merekapun maklum bahwa kakek hitam itu memang hebat, apa
lagi orang selihai Tok-gan-liong Yauw Ban saja agaknya hanya
menjadi pembantu orang itu dan nampaknya demikian taat dan takut.
Merekapun ikut berlutut minta ampun.
193 Sejenak Hek-sim Lo-mo tidak bergerak, kedua lengannya tetap
diluruskan ke depan, kedua tangan terbuka, siap untuk memukul.
Akan tetapi dia memandang kepada tigabelas orang yang berlutut itu
dan perlahan-lahan kemarahannya mereda.
Bagaimanapun juga, dia membutuhkan pembantu-pembantu yang
pandai dan Wei-ho Cap-sha-kwi ini dapat menjadi pembantu yang
berguna. Dia lalu berdiri tegak kembali, kemudian menurunkan kedua
lengannya dan berkata kepada Tok-gan-liong Yauw Ban.
"Urus dan nasihati mereka sebagai bawahanmu!"
Yauw Ban mengangguk dan diapun melangkah maju, lalu berkata
kepada Kwa Ti, "Kalian sungguh masih untung bahwa Beng-cu
mengampuni kalian. Ketahuilah bahwa Beng-cu adalah Hek-sim Lomo yang kini menjadi Beng-cu di seluruh wilayah He-nan dan Shantung. Mulai sekarang, kalian menjadi pembantunya dan bekerja di
bawah perintahku. Nah, sekarang beri hormat kepada Beng-cu kita!"
Yauw Ban memimpin mereka menghadap ke arah Hek-sim Lo-mo
dan memberi hormat sambil menyebut "Beng-cu". Cap-sha-kwi
mentaati karena mereka terkejut dan takluk benar ketika mendengar
disebutnya nama Hek-sim Lo-mo. Tanpa dijelaskanpun mereka
mengerti bahwa mereka berhadapan dengan seorang di antara Kiu Lomo (Sembilan Iblis Tua).
"Bagus, sekarang menjauhlah dan menanti perintah Beng-cu
selanjutnya di bawah pohon-pohon di sana itu!" kata Yauw Ban.
Tigabelas orang itupun memberi hormat dan dengan taat mereka
menjauh dan duduk di atas rumput di bawah segerombolan pohon.
194 Melihat ini, Hek-sim Lo-mo tersenyum puas. Pembantunya, Yauw
Ban, memang pandai dan dapat diandalkan.
Sementara itu, kakek Thio Wi Han dan isterinya masih berdiri di
pinggir dan sejak tadi mengikuti perkelahian antara Wei-ho Cap-shakwi dengan dua orang pendatang baru itu. Ketika mendengar bahwa
kakek tinggi besar muka hitam itu adalah Hek-sim Lo-mo, seorang di
antara Sembilan Iblis Tua, diam-diam Thio Wi Han terkejut sekali
walaupun tidak nampak perubahan pada wajahnya. Apa lagi melihat
cara kakek hitam itu menundukkan Wei-ho Cap-sha-kwi, tahulah dia
bahwa Iblis Tua ini benar-benar lihai bukan main dan dia berada
dalam kesulitan. Namun, bukan watak Thio Wi Han untuk merasa gentar menghadapi
setiap kesulitan hidup, maka diapun bersikap tenang saja ketika kini
Hek-sim Lo-mo dan Yauw Ban menghadapi dia dan isterinya, dan
sepasang mata Iblis Tua yang tajam dan liar seperti mata binatang
buas itu memandang penuh selidik. Thio Wi Han diam saja, tidak
menegur, seolah-olah hendak memperlihatkan bahwa dia berada di
rumah sendiri dan dia tidak kalah berwibawa dibandingkan dua orang
tamunya yang tidak diundang.
Melihat betapa suami isteri di depannya itu tidak bergerak dan tidak
menyapa, kerut merut nampak di kening Hek-sim Lo-mo. Akhirnya
dia mengalah dan bertanya dengan suaranya yang berat dan dalam.
"Engkau yang bernama Thio Wi Han?"
"Benar, aku Thio Wi Han."
195 Kerut merut di antara kedua alis kakek hitam itu makin jelas. Dia yang
selama beberapa tahun ini sudah terbiasa ditaati dan dihormati orang,
kini melihat sikap Thio Wi Han yang begitu tenang bersahaja,
sedikitpun tidak merendah, menjilat atau takut-takut, merasa tidak
enak hatinya. "Engkau ahli pembuat senjata pusaka?"
Thio Wi Han mengangguk, sekali ini bahkan tidak menjawab.
Betapa angkuhnya! Melihat ini, Yauw Ban merasa khawatir kalau
ketuanya marah, dan dia sendiripun merasa penasaran melihat sikap
kakek itu, maka diapun membentak,
"Thio Wi Han! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau
berhadapan" Beliau ini adalah Beng-cu kami, Hek-sim Lo-mo yang
disembah oleh ribuan tokoh kang-ouw!"
Thio Wi Han tersenyum. "Tentu saja aku tahu dengan siapa aku
berhadapan, yaitu dengan seorang tamu yang tidak diundang. Aku
berada di rumahku sendiri, dan aku tidak mengundang kalian semua
untuk datang ke sini. Tidak perlu berbelit-belit, ada keperluan apakah
kalian datang berkunjung ke sini dan membikin ribut di tempatku
ini?" Sikapnya tenang sekali dan diam-diam Hek-sim Lo-mo kagum. Bukan
main kakek ini. Sikap yang dimilikinya itu adalah sikap seseorang
yang yakin akan kekuatan dirinya, dan dalam hal ini, agaknya Thio
Wi Han yakin akan kemampuannya membuat senjata pusaka dan tahu
pula bahwa orang-orang lain membutuhkan dia, sedangkan dia sama
sekali tidak membutuhkan kehadiran semua orang itu.
196 Tiba-tiba Hek-sim Lo-mo tertawa bergelak. Memang watak datuk ini
aneh sekali. Sukar menyelami wataknya karena dia dapat berubahubah sesuai dengan jalan pikirannya di saat itu.
"Thio Wi Han, engkau memang pantas menjadi seorang ahli. Aku
kagum kepadamu dan kedatanganku ini adalah untuk minta
bantuanmu membuatkan sebuah pedang pusaka untukku."
Diam-diam Tok-gan-liong Yauw Ban mendengarkan dengan mata
terbelalak keheranan. Belum pernah dia melihat sikap dan mendengar
kata-kata yang demikian halus merendah dari ketuanya seperti
sekarang ini! Dan agaknya Thio Wi Han bukan seorang sombong,
melainkan seorang yang memiliki harga diri tinggi dan tidak suka
membedakan orang, tidak suka merendahkan diri atau menghina
terhadap siapapun. Kini, melihat sikap tamunya ramah dan halus,
diapun segera merobah sikap, tersenyum ramah.
"Hek-sim Lo-mo, aku suka membuatkan pedang untuk siapa saja asal
memenuhi syarat yang sudah kuadakan selama puluhan tahun. Syarat
pertama, pemesan pedang harus membawa bahan yang baik dan dapat
kuterima dan kunilai sebagai cukup berharga untuk kutangani. Syarat
kedua, pemesan harus memperlihatkan kemampuannya apakah dia
patut memiliki pedang pusaka buatanku!"
Kembali datuk itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Thio Wi Han,
syaratmu memang tepat. Dan sebaiknya kalau lebih dulu engkau
melihat apakah aku pantas memiliki sebuah pedang pusaka buatanmu.
Yauw Ban, beri pinjam pedangmu!"
Yauw Ban mencabut pedangnya dan begitu dicabut, tangan Hek-sim
Lo-mo bergerak dan tahu-tahu lengan kanannya itu mulur sampai
197 hampir dua meter panjang dan sebelum Yauw Ban sempat mengelak,
pedangnya sudah dapat dirampas oleh tangan kanan Hek-sim Lo-mo!
Ini saja sudah membuat Thio Wi Han mengangguk-angguk, maklum
bahwa datuk itu memang sakti.
Yauw Ban sendiri yang biarpun sudah maklum akan kesaktian
ketuanya, namun baru pertama kali itu melihat betapa lengan datuk itu
dapat mulur demikian panjang dan pedangnya terampas tanpa dia
dapat berkutik sama sekali, terbelalak penuh kaget dan kagum.
"Thio Wi Han, lihatlah ilmu pedangku!" Berkata demikian, Hek-sim
Lo-mo lalu menggerakkan pedang di tangannya. Pedang itu lenyap
menjadi gulungan sinar pedang yang berkilauan, makin lama
gulungan sinar itu semakin lebar dan tiba-tiba gulungan itu berubah
menjadi sinar meluncur ke atas. Terdengar bunyi keras dan dahan
sebatang pohon di situ patah, sedangkan pedang yang sudah meluncur
mematahkan dahan itu kini turun kembali dan sudah disambut oleh
Hek-sim Lo-mo. "Bagaimana" Cukup memenuhi syaratkah?" tanyanya kepada Thio Wi
Han sambil tersenyum. "Kiam-sut (ilmu pedang) yang bagus, cukup memenuhi syarat!" kata
Thio Wi Han dengan jujur karena diam-diam diapun kagum sekali
melihat ilmu pedang tadi, walaupun dia tahu bahwa ilmu pedang itu
merupakan ilmu pedang golongan sesat yang penuh dengan gerakan
tipu muslihat dan kecurangan. "Akan tetapi, syarat pertama harus
dipenuhi, yaitu bahan untuk membuat pedang pusaka, dan terus terang
saja, Lo-mo, aku agak cerewet dan pilihan dalam hal ini."
198 Hek-sim Lo-mo kembali tertawa. Agaknya dia gembira sekali karena
dia bertemu dengan orang yang memang patut berhubungan dengan
dia. Seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, semangat tinggi
dan sikap yang gagah perkasa pula. Sungguh, Thio Wi Han patut
disejajarkan dengan para datuk dan mereka yang berkedudukan tinggi.
Dia tidak tahu bahwa Thio Wi Han memang seorang yang mempunyai
harga diri amat tinggi sehingga kalau ada seorang pembesar tinggi
tingkat menteri dari kota raja datang untuk pemesan senjata, diapun
menerimanya biasa saja! Bahkan diundang ke kota raja diapun tidak
mau pergi! "Thio Wi Han, kalau engkau menganggap bahan yang kubawa ini
kurang pantas untuk dijadikan pedang pusaka, maka aku percaya
bahwa engkau sudah menjadi gila! Nah, lihatlah, bahan apakah ini"
Aku ingin mengujimu, apakah engkau mengenal benda ini!"
Dikeluarkannya sebuah benda bulat sebesar kepalan tangannya. Benda
itu warnanya abu-abu, seperti batu akan tetapi agak berat dan ketika
digerakkan mengeluarkan sinar aneh.
Melihat benda itu, Thio Wi Han menahan seruannya. "Ahhh......
mungkinkah ini......?" bisiknya dan diapun menerima benda itu di atas
telapak tangannya. Diperiksanya benda itu, diciumnya, bahkan


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didekatkan telinga kirinya sambil dipukul-pukul dengan kuku jari
tangannya. Sementara itu, Hek-sim Lo-mo, memandang sambil
tersenyum bangga. Akhirnya Thio Wi Han memandang wajah kakek hitam itu yang
menyeringai kepadanya. "Thio Wi Han, dapatkah engkau mengenal
benda ini?" 199 Thio Wi Han mengangguk. "Demi Tuhan! Entah bagaimana benda ini
dapat terjatuh ke tanganmu, Hek-sim Lo-mo. Pada hal, seluruh
pendekar dan tokoh kang-ouw memperebutkannya dan mencarinya
selama puluhan tahun! Ini adalah Liong-cu, kalau tidak salah inilah
Kim-san Liong-cu yang diperebutkan itu!"
"Hebat! Engkau sudah tua akan tetapi penglihatanmu semakin tajam
saja, Thio Wi Han. Hal ini menunjukkan bahwa engkau memang ahli
dan aku semakin percaya untuk menyerahkan benda ini kepadamu
agar dibuatkan sebatang pedang pusaka yang ampuh." Dia berhenti
sebentar lalu menatap wajah kakek itu, "Katakanlah, apakah benda ini
memenuhi syaratmu yang pertama tadi?"
Thio Wi Han mengangguk-angguk. "Tentu saja memenuhi syarat!
Lebih dari itu malah. Aku merasa terhormat untuk menangani benda
mustika keramat ini! Akan tetapi, untuk menentukan benda ini
sebaiknya dibuat menjadi senjata apa, lebih dulu akan kuuji dia. Mari,
ikutlah dengan aku ke dalam tempat kerjaku, Lo-mo."
Hek-sim Lo-mo mengangguk dan berkata dengan lantang kepada
pembantunya, "Yauw Ban, engkau tunggu di sini saja!"
Yauw Ban mengangguk dan Hek-sim Lo-mo mengikuti tuan rumah
memasuki pondok itu, diantar pula oleh isteri Thio Wi Han yang sejak
tadi diam saja akan tetapi ikut mengagumi Liong-cu (mustika naga)
yang dibawa tamu itu untuk dibuatkan pedang pusaka. Mereka
memasuki bagian dapur atau bagian bengkel pembuatan senjata
pusaka. Alat-alatnya sederhana saja di tempat itu. Perapian, martil,
landasan baja, penjepit, dan lain-lain peralatan pandai besi.
"Liok Hwa, kaunyalakan api," kata kakek itu kepada isterinya.
200 Nyonya berusia empatpuluh dua tahun yang masih cantik ini tanpa
bicara mentaati perintah suaminya dan menyalakan api di perapian.
Sedangkan Thio Wi Han yang meletakkan mustika naga itu dengan
hati-hati di atas meja kerjanya, lalu mengambil sepanci air dingin.
Hek-sim Lo-mo hanya berdiri saja dan mengikuti semua gerak gerik
suami isteri itu dengan pandang matanya yang tajam.
Thio Wi Han lalu memegang mustika naga itu dengan jepitan baja,
dan menaruhnya di atas nyala api untuk beberapa menit lamanya.
Kemudian dia mengangkatnya kembali dan mendekatkan benda itu di
bawah hidungnya, dicium-ciumnya uap yang keluar dari situ. Lalu
dibenamkan benda itu ke dalam air di panci, dan kembali dia
mencium-cium bau benda itu. Setelah benda itu menjadi dingin,
dipegangnya dan dikepal-kepal, ditekan-tekan dan diperiksa di bawah
sinar matahari yang menyorot masuk melalui jendela.
Barulah dia menarik napas panjang dan duduk di atas bangku,
mempersilakan tamunya duduk pula di atas bangku di depannya. Heksim Lo-mo duduk dan mereka berhadapan, sama-sama memandang
benda yang berada di atas telapak tangan kanan Thio Wi Han.
Kembali Thio Wi Han menarik napas, lalu berkata lirih, suaranya
seperti orang terharu. "Tepat seperti yang pernah kubaca dalam kitab
kuno mengenai benda yang disebut mustika naga ini, Lo-mo. Entah
dia terdapat dalam kepala naga atau tidak, tidak ada yang tahu, akan
tetapi kalau benar dia terdapat dalam kepala naga, maka tidak
mengherankan kalau naga menjadi mahluk suci yang sakti. Benda ini
merupakan campuran dari dua logam yang saling berbedaan, bahkan
berlawanan, yaitu logam yang telah menyerap kekuatan Im selama
ribuan tahun dan mengandung warna hitam, dan logam kedua telah
201 menyerap kekuatan Yang selama ribuan tahun dan mengandung warna
putih. Untuk dijadikan sebatang pedang pusaka, logam ini terlalu
banyak karena harus dicampur dengan baja biru yang aseli. Pula,
kalau dicampur, tidak akan menjadi sebuah pusaka yang baik."
"Lalu, bagaimana baiknya?" tanya Hek-sim Lo-mo.
"Sebaiknya harus dipisahkan dulu sehingga merupakan dua logam
terpisah. Dan sebaiknya kalau dibuat menjadi dua batang pedang, satu
bersifat jantan dan yang kedua bersifat betina. Barulah akan menjadi
dua batang pedang pusaka yang amat ampuh dan baik sekali."
"Bagus, kalau begitu, buatkanlah dua pedang itu untukku!"
"Harus dicampur dengan baja biru yang baik. Logam itu agak sukar
didapat akan tetapi kau tentu bisa memperolehnya, Lo-mo.
"Baja biru?" "Seperti yang dibawa oleh Wei-ho Cap-sha-kwi tadi."
Kakek hitam itu melompat keluar dan beberapa lompatan saja
membuat dia berdiri dekat tigabelas orang yang menanti di bawah
gerombolan pohon. Mereka terkejut melihat kakek hitam ita tiba-tiba
muncul dan berada di dekat mereka.
"Beng-cu, ada...... ada perintah apakah?" Kwa Ti bertanya dengan
muka agak pucat ketakutan.
"Kalian tadi membawa baja biru" Keluarkan!"
202 Kwa Ti membuka sebuah buntalan dan nampaklah lempengan baja
yang warnanya kebiruan. "Benda ini kuperlukan!" kata Hek-sim Lo-mo sambil matanya
memandang tajam kepada Kwa Ti dan kawan-kawan.
"Ah, kalau Beng-cu memerlukannya, silakan ambil saja, Beng-cu."
Hek-sim Lo-mo mengangguk-angguk. "Bagus, kalian tidak akan
menyesal telah membantu aku."
Berkata demikian, dia menyambar buntalan baja biru itu dan sekali
berkelebat dia telah melompat ke dalam rumah kembali, meletakkan
buntalan itu di atas meja.
"Inikah benda itu?"
Thio Wi Han tidak perduli dari mana kakek hitam itu
mendapatkannya. Dia membukanya dan mengangguk-angguk, "Benar,
inilah baja biru dan sudah cukup untuk campuran dua batang pedang.
Baiklah, Lo-mo, aku akan membuatkan dua batang pedang itu dari
benda keramat ini." "Kapan selesainya?" tanya Hek-sim Lo-mo penuh gairah.
Dia membayangkan betapa kalau dia sudah memiliki sepasang pedang
pusaka itu, bagaikan harimau dia akan mendapatkan sayap!
Kekuasaannya tentu akan semakin meluas dan kelihaiannya
bertambah. Tidak akan ada senjata lawan yang akan mampu
menandingi dua batang pedang yang dibuat dari Mustika Naga
Gunung Emas! 203 Thio Wi Han mengerutkan alisnya, berpikir sejenak lalu menjawab.
"Sedikitnya tiga bulan, Lo-mo."
"Begitu lamanya!" Hek-sim Lo-mo nampak kecewa.
"Hemm, kaukira membuat dua batang pedang pusaka seperti membuat
dua batang pisau dapur saja yang akan selesai dalam waktu beberapa
jam" Baru menghancurkan mustika naga ini di atas api membutuhkan
waktu lama dan ramu-ramuan yang sukar didapatkan. Belum lagi
memisahkan dua logam Im dan Yang itu, dan mencampurinya dengan
baja biru. Setelah itu barulah membentuk dua batang pedang dan lainlain. Kalau bagimu terlalu lama, bawalah kembali benda ini dan cari
saja orang lain yang akan mampu membuatkan lebih cepat."
Kalau saja orang lain yang bicara kepadanya seperti itu, tentu Hek-sim
Lo-mo akan menggunakan tangan saktinya mencabut nyawa
pembicara itu. Akan tetapi dia membutuhkan tenaga Thio Wi Han,
maka diapun tersenyum dan mengalah.
"Baiklah! Orang-orangku akan berjaga di luar dan sekitar rumahmu
untuk menjaga keamanan mustika naga yang kuserahkan kepadamu.
Dan awas kalau sampai benda milikku ini hilang atau kalau sampai
dua batang pedang yang kaujanjikan itu tidak jadi!"
"Huh, aku bukan orang yang suka melanggar janji seperti kamu!"
bentak Thio Wi Han dan isterinya lalu berkata dengan sinar mata
marah. "Lo-mo, sudah cukup kau bicara. Pergilah dan tinggalkan suamiku
bekerja!" 204 Hek-sim Lo-mo menyeringai dan mengangguk sambil bangkit berdiri.
"Baiklah. Aku pergi sekarang. Tiga bulan lagi aku datang ke sini
untuk mengambil dua batang pedangku itu atau...... dua batang nyawa
kalian!" Tanpa berkata apa-apa lagi diapun meloncat keluar dan Yauw
Ban segera menyambutnya. "Bagaimana, Beng-cu?"
"Suruh Wei-ho Cap-sha-kwi berjaga di sekeliling rumah ini setiap
hari, jangan sampai Thio Wi Han terganggu pekerjaannya dan jangan
sampai mustika naga itu dirampas orang. Ingat, mereka harus tutup
mulut dan tidak boleh banyak bicara tentang kunjungan kita ke sini.
Dan engkau sendiri, sedikitnya seminggu dua kali harus menjenguk
dan melihat keadaan di sini. Setelah tiga bulan, dua pedang itu selesai
dan barulah aku sendiri yang akan datang mengambilnya. Mengerti?"
"Baik, Beng-cu!" kata Yauw Ban.
Hek-sim Lo-mo lalu berkelebat lenyap dan Yauw Ban segera
memanggil Wei-ho Cap-sha-kwi yang kini menjadi anak buah Heksim Lo-mo, memerintahkan mereka untuk melaksanakan tugas
pertama mereka dengan baik.
"Ingat, menjadi pembantu-pembantu Beng-cu hanya ada dua pilihan.
Bekerja dengan baik akan mendapatkan imbalan yang amat berharga
dan kalian akan dapat hidup berkecukupan, juga terhormat dan
terpandang. Sebaliknya, kalau kalian berkhianat, biar kalian lari ke
dalam neraka sekalipun, Beng-cu akan dapat menangkap kalian dan
kalian akan mengalami siksaan yang akan membuat kalian merasa
menyesal telah hidup di dunia ini. Mengerti?"
205 Demikianlah, Wei-ho Cap-sha-kwi membuat gubuk darurat tak jauh
dari rumah Thio Wi Han dan mereka itu setiap saat berjaga dengan
bergiliran sehingga tidak pernah gerak gerik suami isteri itu luput dari
pengamatan mereka. Tiga-empat hari sekali, Yauw Ban muncul dan
menjenguk mereka dan baru pergi lagi setelah merasa puas bahwa
tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan, dan bahwa Thio Wi Han
setiap hari sibuk di dalam bengkelnya.
"Y" Kita tinggalkan dulu Thio Wi Han yang sedang sibuk memenuhi
pesanan Hek-sim Lo-mo membuatkan dua batang pedang dari benda
keramat bernama Liong-cu itu dan mari kita mengikuti perjalanan Lie
Kim Cu atau yang kini dikenal di daerah Lok-yang sebagai Hek-liongli (Dewi Naga Hitam)!
Setelah melakukan balas dendam kepada musuh-musuhnya, Hekliong-li meninggalkan Lok-yang dan hendak pergi ke Kim-san (Bukit
Emas) untuk mencari kuburan tua di mana menurut subonya dahulu
disimpan Kim-san Liong-cu yang diperebutkan.
Kim Cu melakukan perjalanan dengan wajah cerah. Hatinya dipenuhi
kegembiraan karena dengan hasil yang baik sekali baginya, ia telah
melakukan balas dendam dan menghajar orang-orang yang dahulu
membuat hidupnya sengsara.
Kini ia mengambil keputusan untuk mencari mustika naga seperti
yang dipesankan gurunya dan kalau sudah mendapatkannya, ia akan
menyuruh seorang ahli membuatkan sebatang pedang dari mustika
naga seperti yang pernah didengar dari subonya. Kalau sudah begitu,
ia benar-benar siap untuk menentang segala kejahatan di dunia ini. Ia
206 sengsara, kehilangan ayah ibu karena kejahatan yang dilakukan
manusia. Kini ia tidak mempunyai apa-apa lagi, tiada sanak keluarga,
tiada rumah tinggal, hidup bebas lepas seperti seekor burung di udara.
Dan ia akan menempuh segala macam petualangan hidup dan akan
selalu menentang penjahat-penjahat, juga untuk menyenangkan
dirinya yang sudah banyak mengalami pahit getir kehidupan dunia.
Wajahnya cerah dan langkahnya ringan karena kini tidak ada beban
dalam batinnya. Ia benar benar merasa seperti seekor burung yang
beterbangan melayang-layang di angkasa!
Kalau orang berjumpa di jalan dengan wanita ini, tentu dia tidak akan
menyangka sedikitpun juga bahwa ia adalah seorang yang memiliki
kepandaian tinggi, seorang yang sakti, murid tunggal Huang-ho Kuibo, seorang datuk wanita yang namanya sudah hampir dilupakan
orang karena puluhan tahun wanita tua renta ini bertapa.
Siapa yang akan mengira bahwa wanita cantik jelita, yang usianya
baru duapuluh tiga tahun itu, memiliki ilmu kepandaian yang hebat"
Tubuh ramping dengan lekuk lengkung tubuh wanita yang sudah
matang, padat berisi, dengan kulit yang putih mulus dihias warna
kemerahan dan kekuningan.
Kulit yang nampaknya tipis dan halus namun yang sesungguhnya
kalau sudah dialiri sinkang yang dikuasai wanita itu, akan menjadi
kebal dan tidak akan mudah terluka oleh bacokan senjata tajam!
Rambutnya hitam panjang dan halus, agak ikal dan digelung secara
sederhana di atas kepala, ditusuk dengan tusuk sanggul dari perak
yang dihias ukiran naga kecil di antara bunga teratai.
207 Wajahnya berbentuk bulat telur, dagunya agak meruncing dengan
mulut yang kecil dan manis bentuknya. Sepasang bibir itu, terutama
yang bawah, nampak selalu merah membasah, merah aseli bukan
karena gincu pemerah bibir. Bibir yang selalu tersenyum itu dihias
lesung pipit yang menjadi semakin dalam dan jelas kalau senyumnya
melebar, dan di bawah mata kiri terdapat sebuah tahi lalat hitam kecil
di atas pipi. Lesung pipit dan tahi lalat kecil menjadi penambah
kemanisan yang menggairahkan hati setiap orang pria yang
melihatnya. Sepasang mata yang kadang-kadang mencorong penuh wibawa dan
kekuatan itu, hampir selalu nampak bersinar dan jeli sehingga
wajahnya seperti orang yang gembira, berseri-seri. Namun, lekukan
kecil di tengah dagu membayangkan betapa di balik semua keramahan
dan kemanisan itu terdapat kekerasan yang menggiriskan.
Ia tidak membawa senjata apapun, maka orang takkan mengira bahwa
ia adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, walaupun kenyataan bahwa
seorang wanita muda cantik jelita melakukan perjalanan seorang diri
sudah menunjukkan bahwa wanita itu tentulah seorang kang-ouw dan
tentu pandai ilmu silat untuk menjaga diri.
Dari Lok-yang ia menuju ke tepi Sungai Kuning dan dari sini ia lalu
menyusuri sepanjang pantai sungai yang besar dan panjang ini karena
Kim-san atau Bukit Emas berada di lembah Sungai Kuning. Tidak ada
peristiwa penting terjadi selama ia melakukan perjalanan itu, akan
tetapi pada suatu hari, tibalah ia di dusun Cia-siang teng, sebuah
dusun yang menjadi bandar sungai karena di situ orang mengangkut
segala macam dagangan seperti rempa-rempa, kayu, bambu dan hasil
pertanian lain yang diangkut dengan perahu menuju ke kota-kota di
208 sebelah hilir. Juga terdapat banyak perahu nelayan karena di daerah itu
terdapat banyak ikannya. Karena kesibukan para pengangkut barang dagangan dan para
nelayan, maka dusun itu cukup ramai dan pada hari itu, masih cukup
pagi, ketika Kim Cu tiba di Cia-siang-teng. Orang-orang sedang sibuk
mengangkat barang dagangan ke dalam perahu-perahu dan para
nelayan juga sibuk mempersiapkan perahu mereka untuk pergi
berlayar mencari ikan. Karena perkampungan itu juga merupakan perkampungan nelayan,
maka ketika memasuki dusun itu, oleh Kim Cu sudah tercium bau
amis ikan membusuk, dan nampak banyak ikan-ikan kecil dijemur di
depan rumah untuk dijadikan ikan asin. Melihat ini, Kim Cu
membayangkan adanya ikan segar dan perutnya yang sejak kemarin
siang tidak diisi itu mendadak terasa lapar. Ia lalu pergi ke tepi sungai
yang ramai dengan maksud mencari dan membeli ikan segar yang
baru ditangkap nelayan.

Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu Kim Cu tiba di tempat ramai, banyak pasang mata laki-laki
melekat kepadanya, bahkan ada pula yang berbisik-bisik dan mereka
yang agak nakal dan berani ada yang mengeluarkan suara suitan
kagum. Namun, sambil tersenyum manis, Kim Cu tidak
memperdulikan mereka semua dan mencari-cari sampai akhirnya ia
melihat seorang wanita tua menghadap sekeranjang ikan-ikan segar.
Ketika Kim Cu melihat betapa di dalam keranjang itu, selain ikan,
juga terdapat belasan ekor udang besar, timbul seleranya. Sudah lama
ia tidak makan udang seperti itu dan ia tahu betapa lezatnya daging
udang itu, kalau pandai memasaknya.
209 Ia membungkuk untuk memeriksa apakah udang-udang itu masih
segar, disambut oleh nenek yang memuji-muji dagangannya.
Pada saat itu, tak jauh dari situ Kim Cu mendengar suara ribut-ribut.
Ia memutar tubuh memandang dan ternyata seorang laki-laki tinggi
kurus sedang memukuli seorang laki-laki setengah tua berpakaian
nelayan. Laki-laki tinggi kurus itu berpakaian ringkas seperti pakaian
japo silat, dan melihat cara dia memukul dan menendang, Kim Cu
maklum bahwa orang itu sedikit banyak menguasai ilmu silat.
Laki-laki yang dipukuli itu berusia kurang lebih limapuluh tahun dan
dia kini berlutut dalam keadaan babak belur sambil minta ampun.
Laki-laki tinggi kurus yang usianya sekitar tigapuluh lima tahun,
berdiri di depannya, bertolak pinggang. Sebuah tas tergantung di
pinggangnya. Melihat orang yang dipukulinya berlutut minta ampun,
dia menyeringai. "Heh-heh, setelah dihajar, baru minta ampun, ya" Tidak ada ampun,
engkau telah menipuku! Kaubilang semalam hanya memperoleh dua
keranjang ikan dan kau hanya menyerahkan harga sekeranjang ikan
kepadaku! Pada hal, menurut penyelidikanku, engkau semalam
memperoleh tiga keranjang! Engkau harus dihajar dan dipatahkan kaki
tanganmu agar semua nelayan melihatnya dan hukuman ini menjadi
contoh!" Berkata demikian, si tinggi kurus itu kembali menendang.
"Bukkk!" dada nelayan itu tertendang, tubuhnya terjengkang dan
terguling-guling. Nelayan itu merangkak bangkit dan berlutut
kembali. Dari mulutnya keluar darah segar.
210 "Ampunkan saya...... benar memang saya telah menyembunyikan
hasil yang sekeranjang itu. Akan tetapi...... saya butuh uang, anak saya
sakit dan sekeranjang ikan itn untuk pembeli obat......"
"Alasan! Sesudah mencuri dan ketahuan baru mencari alasan!"
"Saya........ saya tidak mencuri...... ikan itu hasil pekerjaan saya sendiri
semalam suntuk....."
"Mulut busuk! Semua hasil di sungai ini, setengah bagian adalah milik
Beng-cu, mengerti" Kami hanya petugas untuk mengumpulkan hasil
dan bagian itu, dan engkau berani sekali mencuri, menipu!" Dan kini
tangan kaki orang tinggi kurus itu bekerja dengan cepat, memukul dan
menendang sehingga nelayan setengah tua itu kembali tergulingguling dan mukanya bengkak-bengkak.
Tiba-tiba terdengar jerit wanita, "Ayaaahh......!" Seorang gadis berusia
kurang lebih limabelas tahun datang berlari-lari dan iapun menubruk
ayahnya yang disiksa itu. "Ayahhh.......! Ia merangkul ayahnya, lalu
memandang kepada si tinggi kurus yang menyiksa, "Jangan......
jangan pukuli ayahku! Sekeranjang ikan itu untuk membeli obat
karena aku sakit " Si tinggi kurus memandang gadis itu dan dia menyeringai. "Hemm, ini
anakmu, ya" Hemm, manis juga!"
Memang gadis itu cukup manis, dengan tubuh yang mulai menjadi
dewasa, bagaikan setangkai bunga yang sedang mulai mekar.
"Sudahlah, kulupakan sekeranjang ikan itu, asal anakmu mau
menemani aku, semalam!" Dia lalu menangkap pergelangan tangan
211 anak perempuan itu dan menariknya bangkit berdiri. "Hayo, manis,
ikut bersama aku, heh-heh!"
"Tidak......! Lepaskan aku.....!" Gadis itu meronta, akan tetapi tak
mampu menarik lepas tangannya.
"Ah, jangan...... jangan ganggu anakku. Biarlah besok akan kuganti
sekeranjang ikan itu!" Nelayan yang sudah payah itu bangkit dan
mencoba untuk melindungi anaknya. Akan tetapi sebuah tendangan
membuat dia terjungkal kembali.
Rahasia Peti Wasiat 5 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Seruling Sakti 10
^