Pencarian

Sepasang Naga Penakluk Iblis 2

Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Setiap malam harus melayani sedikitnya seorang tamu dan memang
jarang ada tamu yang tidak mau memenuhi permintaannya untuk
tinggal di kamarnya semalam penuh. Ia merasa muak, jijik dan benci
sekali. Akan tetapi semua itu ditelannya dengan senyum, dan Kim Cu
sekarang jauh berbeda dengan Kim Cu sebulan yang lalu.
Kini ia telah menjadi seorang wanita yang matang segala-galanya,
penuh perhitungan, dan amat cerdik. Sama sekali tidak dipengaruhi
oleh perasaan dan kuat sekali menahan derita, diam bukan karena
kalah, melainkan mengalah karena dia menyusun perhitungan masak
untuk menyerang kembali, bagaikan seekor ular yang melingkar dan
diam, nampaknya tak berdaya namun amat berbahaya karena
memperhitungkan segalanya dan mengatur tipu muslihat dan
merencanakan siasat. Karena sikapnya yang amat baik sehingga semua tamu memujinya
dan para tamu langganannya tidak sayang menghamburkan uang
71 banyak sehingga amat menguntungkan Bibi Ciok, maka Kim Cu kini
menjadi kesayangan Bibi Ciok pula. Dipercaya penuh. Mengapa
tidak" Kasih sayang orang seperti Bibi Ciok ini selalu berdasarkan
untung rugi. Siapa mendatangkan untung baginya, apalagi keuntungan
besar seperti yang didatangkan Kim Cu, akan disayangnya, di sanjung
dan dipujinya. Uang yang ia keluarkan untuk membeli Kim Cu dari tangan Pangeran
Coan Siu Ong tidak berapa banyak, dan kini, dalam waktu hampir satu
bulan saja ia sudah menerima pengembalian yang lebih dari seratus
kali banyaknya! Dan ia membayangkan bahwa sumber uang ini masih
akan mengalirkan uang selama bertahun-tahun karena, bukankah Kim
Cu cantik jelita dan muda belia, juga pandai menjaga diri, semalam
hanya melayani seorang tamu, tidak menghamburkan tenaga sehingga
tidak akan menjadi cepat tua"
Malam itu Kim Cu menerima tamu yang sudah menjadi
langganannya. Putera mantu seorang jaksa tinggi di Lok-yang! Tentu
saja putera mantu ini dihormati semua orang. Bayangkan saja Putera
mantu jaksa tinggi! Siapa berani menentangnya" Baru nama "jaksa
tinggi" itu saja sudah membuat semua orang bergidik dan merasa
dirinya kecil. Sekali tuding dengan telunjuknya, dia akan mampu
membuat seseorang ditangkap dan dijatuhi hukuman buang atau mati,
bersalah atau tidak! Putera mantu jaksa tinggi ini berusia empatpuluh tahun, sikapnya
halus dan sopan seperti biasanya orang terpelajar tinggi dan
bangsawan. Dia bukan seorang yang suka melacur, hanya ketika
mendengar betapa Kim Cu, kembang kota Lok-yang yang terkenal itu
kini menjadi pelacur, dia iseng-iseng mengunjunginya. Dan dialah
72 yang dipilih oleh Kim Cu seperti yang disiasatkannya semenjak ia
menyerah kepada Bibi Ciok di dalam sel ketika ia hampir kelaparan
itu! Sudah empat kali Bhok Hin, mantu jaksa itu, datang berkunjung dan
setiap kali dilayani Kim Cu, dia semakin terpikat dan semakin jatuh
cinta. Hampir seminggu sekali dia datang berkunjung dan setiap kali
berkunjung, tentu dia tidak akan meninggalkan Kim Cu dan
pembaringannya selama semalam suntuk, bahkan kadang-kadang
sampai besok sore baru dia pergi!
Bagaikan seekor laba-laba menjerat mangsanya, Kim Cu
mempergunakan segala keahliannya yang diperolehnya selama hampir
satu bulan itu, mengeluarkan semua kemanjaan dan kemesraan yang
hangat, untuk memikat hati Bhok Hin yang menjadi semakin tergilagila. Bahkan Bhok Hin membujuk Kim Cu untuk mau menjadi
selirnya dan dia bersedia untuk menebusnya dari Bibi Ciok.
Akan tetapi, dengan cerdik Kim Cu masih mengulur waktu,
mengatakan bahwa hutangnya kepada Bibi Ciok terlalu besar, bukan
hanya hutang uang, melainkan hutang budi sehingga ia belum tega
untuk meninggalkannya. Ia minta waktu sebulan lagi dan tentu saja
Bhok Hin yang sedang tergila-gila itu berbaik hati untuk menanti
dengan sabar. Malam itu, Kim Cu memperlihatkan kesedihan pada mukanya. Hal ini
segera diketahui oleh Bhok Hin. Tergesa-gesa dia bertanya apa yang
menyusahkan hati kekasihnya. Dia siap menolong. Uangkah" Atau
apa" 73 "Biarpun saya hidup serba kecukupan di sini, dan menerima budi
kecintaan yang berlimpahan dari kongcu, akan tetapi, saya kadangkadang merasa seperti seekor burung dalam kurungan. Saya sejak
kecil mendengar betapa indahnya Lembah Sungai Kuning, dengan
taman alamnya yang mempesona, dengan ribuan macam bunga. Ingin
sekali saya merasakan betapa nikmatnya naik perahu di tepi sungai
itu, dan berjalan-jalan di taman alam di Lembah Huang-ho (Sungai
Kuning). Akan tetapi, ahhh...... itu hanya mimpi dan sampai matipun
takkan dapat terlaksana......"
Bhok Hin merangkul sambil tertawa. "Ha-ha, apa sukarnya untuk
berpesiar ke sana" Besok, kalau engkau menghendaki, aku akan
mengajakmu ke sana, naik kereta!"
"Benarkah?" Kim Cu nampak gembira bukan main dan ia segera
merangkul dan menciumi kedua pipi itu dengan mesra. "Ah, terima
kasih, kongcu! Akan tetapi, jangan...... jangan katakan kepada Bibi
Ciok bahwa kita berpesiar ke sana......!"
"Kenapa" Kalau aku yang mengajakmu, apakah dia berani
menghalangi?" "Bukan begitu, kongcu. Tentu saja ia tidak berani, akan tetapi kalau
mendengar bahwa kita pergi terlalu jauh, tentu ia akan merasa
khawatir dan kelak saya yang akan mendapat marah."
"Hemm, begitukah" Lalu bagaimana?"
"Sebaiknya kalau kongcu katakan bahwa kongcu mengajak saya jalanjalan untuk seharian besok, terserah kepada kongcu mau diajak jalan74
jalan ke mana." Kembali Kim Cu merangkul dan menciumi sehingga
sambil tertawa dan merangkul kekasihnya itu, Bhok Hin menyetujui.
Malam itu Kim Cu menghadiahi kemesraan yang lebih dari biasanya
kepada Bhok Hin sehingga tentu saja orang ini merasa puas dan
senang sehingga pagi-pagi sekali dia sudah menemui Bibi Ciok untuk
menyampaikan niatnya, yaitu ingin mengajak Kim Cu berjalan-jalan
dengan keretanya. Mendengar ini, Bibi Ciok mengerutkan alisnya. Tentu saja ia tidak
setuju mendengar bahwa Kim Cu hendak keluar dari rumahnya, akan
tetapi untuk membantah, ia tidak berani.
"Ke manakah, kongcu?"
"Putar-putar saja, ke taman-taman, mungkin singgah ke rumahku.
Sore nanti kami kembali ke sini, harap bibi jangan khawatir."
"Khawatir tidak. Bhok kongcu, hanya saya perlu memberitahukan
kongcu bahwa nona Lie itu pernah memberontak dan kalau sudah
begitu, ia bisa berbahaya sekali."
Mendengar ini, Bhok Hin tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, makin hebat ia
memberontak di pembaringan, makin hebat pula, bibi! Jangan
khawatir, Kim Cu telah menjadi kekasihku, dan iapun cinta padaku.
Tidak akan mengherankan kalau pada suatu hari aku akan
menebusnya dari tanganmu, berapapun tinggi harganya."
Bibi Ciok senang sekali mendengar ini. Tentu ia akan minta uang
tebusan yang luar biasa tingginya, yang akan dapat membuat ia kaya
75 raya dan uang itu dapat ia pakai untuk modal berusaha. Akan tetapi,
wanita yang cerdik tidak mau lengah begitu saja.
Ketika Bhok Hin menggandeng tangan Kim Cu yang sudah berdandan
memasuki keretanya, diam-diam Bibi Ciok ini menyuruh lima orang
tukang pukulnya yang pilihan dan jagoan, untuk membayangi kereta
itu dari jauh, menjaga segala kemungkinan kalau-kalau Kim Cu akan
memberontak dan melarikan diri Bagaimanapun juga, ia harus
menjaga agar sumber emas berupa gadis cantik itu jangan sampai
terlepas dari tangannya! Lima orang jagoan ini mengikuti dari jauh dengan menunggang kuda,
dan mereka mulai khawatir ketika melihat betapa kereta yang
ditumpangi Bhok Hin dan Kim Cu bersama seorang kusir itu dilarikan
keluar kota sebelah utara. Keluar kota!
Tentu saja lima orang jagoan yang diutus Bibi Ciok menjadi semakin
curiga dan mereka terus membayangi dari jauh. Bahkan ketika kereta
tiba di Lembah Huang-ho, karena khawatir kehilangan, mereka
berlima membayangi dari jarak lebih dekat sehingga mereka dapat
terus mengamati kereta. Girang bukan main rasa hati Kim Cu karena berhasil membujuk Bhok
Hin untuk membawanya keluar dari rumah pelacuran milik Bibi Ciok,
bahkan membawanya keluar kota yang sunyi, berdua saja, bertiga
dengan kusir. Kesempatan yang amat baik dan lebar untuk
membebaskan diri, melarikan diri dan orang lelaki tukang pelesir yang
lemah seperti Bhok Hin, dan kusirnya yang kerempeng itu tentu tidak
akan mampu menghalanginya melarikan diri.
76 Ia sudah bersiap-siap ketika kereta memasuki daerah lembah yang
luas dan banyak hutannya itu. Tentu saja ia berbohong ketika
mengatakan kepada Bhok Hin bahwa ia tidak pernah melihat lembah
ini. Ia ketika kecil seringkali diajak ayahnya untuk berburu di daerah
ini sehingga ia hapal dan mengenal betul daerah ini! Akan tetapi, Kim
Cu kini telah menjadi seorang wanita yang matang dan penuh
perhitungan, cerdik bukan main dan kecerdikannya ini membuat ia
selalu waspada dan hati-hati.
Sebelum ia melaksanakan rencananya melarikan diri, ia pura-pura
melongok keluar kereta, melihat ke arah belakang dan terkejutlah ia
melihat ada lima orang penunggang kuda membayangi kereta itu!
Celaka, pikirnya. Ulah siapakah ini" Apakah diam diam Bhok Hin
menyuruh para pengawalnya untuk melindunginya" Kalau benar
demikian, lenyaplah harapannya. Ataukah mereka itu utusan Bibi
Ciok" "Ihhh......!" Ia sengaja menjerit kecil dan Bhok Hin cepat memegang
lengannya. "Ada apakah?" "Bhok-kongcu...... aku takut........ di belakang itu ada lima orang
penunggang kuda. Jangan-jangan mereka itu perampok!"
Dan memang ada dugaan ketiga dalam hati Kim Cu, yaitu bahwa lima
orang itu mungkin saja perampok yang hendak mengganggu mereka.
Dan kalau benar demikian, ia sudah siap melawan untuk membela
diri. Kalau ia berhasil mengusir perampok, berarti ia akan
memperoleh kepercayaan dan perhatian yang lebih besar dari Bhok
Hin. 77 Mendengar ucapan itu, Bhok Hin melongok keluar dan diapun melihat
lima orang itu. Dia lalu bertanya kepada kusirnya yang duduk di
depan, di tempat terbuka sehingga mungkin kusirnya lebih tahu akan
lima orang itu. Kusirnya segera menjawab. "Sejak tadi hamba telah melihat mereka,
kongcu. Dan melihat betapa seorang di antara mereka yang berkumis
itu hamba kenal sehagai jagoan pengawal Bibi Ciok, maka hamba
yakin mereka adalah orang-orangnya Bibi Ciok yang sengaja diutus
oleh majikan mereka untuk mengawal perjalanan kongcu dan nona."
Bhok Hin mengangguk-angguk. Hatinya senang mendengar ini karena
dia merasa aman dengan adanya pengawalan. Akan tetapi Kim Cu
memperlihatkan wajah tak senang, bahkan marah.
"Ini namanya penghinaan bagi kongcu!" katanya setengah berteriak.
"Eh" Apa maksudmu" Mengapa penghinaan?" Bhok Hin bertanya
heran. "Tentu saja! Bibi Ciok sungguh tidak memandang orang! Jelas bahwa
ia tidak percaya kepada kongcu, mengira bahwa kongcu tentu akan
membawa lari saya, maka karena tidak percaya itulah ia menyuruh
lima orang jagoannya untuk selalu membayangi kereta ini. Kalau
memang hendak mengawal, kenapa tidak terang-terangan saja?"
Ucapan ini membakar hati Bhok Hin dan dia meneriaki kusir untuk
berhenti. Dia menjenguk keluar, memandang ke belakang dan benar
saja, begitu kereta berhenti, lima orang penunggang kuda itupun
berhenti. Bhok Hin lalu turun dari kereta, memandang ke arah lima
orang jagoan itu, lalu memanggil mereka dengan teriakan nyaring
78 sambil melambaikan tangan, menggapai agar mereka datang dekat.
Melihat ini, lima orang jagoan itu lalu melarikan kuda mereka
menghampiri dan sama sekali mereka tidak mengira bahwa mantu
jaksa tinggi itu memanggil mereka untuk marah-marah!
"Heii! Kenapa kalian membayangi dan memata-matai aku" Hayo
katakan, mengapa kalian membayangi kereta ini?" bentak Bhok Hin
marah. Lima orang itu saling pandang, meloncat turun dari punggung kuda
dan mereka memberi hormat. Si kumis tebal, pemimpin mereka segera
berkata dengan suara penuh hormat karena dia mengenal siapa adanya
kongcu ini. "Harap kongcu sudi memaafkan karena kami hanya menerima
perintah Bibi Ciok untuk mengawal kereta ini agar selamat di dalam
perjalanan." "Bohong! Apakah kalian ingin merasakan hukum cambuk sampai
kulit punggung kalian terkupas semua" Hayo katakan! Bukankah
kalian disuruh Bibi Ciok untuk mengamati kereta ini agar aku tidak
melarikan nona Lie Kim Cu?"
"Hamba...... hamba hanya diperintah......"
Lima orang jagoan itu kini saling pandang dengan muka pucat
mendengar ancaman hukum cambuk itu. Mereka maklum bahwa
ancaman mantu jaksa tinggi bukan hanya gertak kosoog belaka.
Melihat betapa siasatnya berhasil, Kim Cu lalu berkata seolah-olah di
depan Bhok Hin ia membela lima orang jagoan yang sudah dikenalnya
79 sebagai orang-orang kepercayaan Bibi Ciok dan mereka berlima itu
memiliki ilmu silat yang tak mungkin dapat dilawannya.
"Sudahlah, kongcu. Biarkan mereka pulang" kelak kongcu dapat
menegur Bibi Ciok. Mereka ini hanyalah petugas."
Bhok Hin mengangguk. "Nah, kalian pergilah dan awas, jangan
membayangi kami lagi!"
Lima orang itu mengangguk menyanggupi dan Bhok Hin lalu naik
lagi ke dalam keretanya. Kereta meluncur perlahan, diikuti pandang
mata lima orang jagoan itu.
"Sialan!" dengus seorang di antara mereka. "Bagaimana baiknya
sekarang?" "Bagaimana lagi" Pulang tentu saja!" kata orang kedua.
"Dan kita mendapat marah besar dari Bibi Ciok" Mungkin dipecat?"
cela orang ketiga. "Jangan ribut!" kata si kumis tebal pemimpin mereka. "Aku tetap
curiga kepada wanita itu. Ia cerdik dan juga kuat. Kita bukan
membayangi Bhok-kongcu, melainkan wanita itu. Kalau-kalau ia
melarikan diri. Kalau ia melarikan diri di tempat sunyi ini, siapa yang
akan mampu menghalanginya" Siapa tahu ia membujuk Bhok-kongcu
membawanya ke sini agar ia dapat melarikan diri."
"Wah, celaka kalau begitu!"
80 "Dan Bhok-kongcu melarang kita mengawal, dengan ancaman
hukuman cambuk!" "Jangan bodoh," kata pula si kumis tebal. "Kita tinggalkan kuda kita
di sini, seorang di antara kita menjaga kuda dan menyembunyikannya
dari jalan raya, dan empat dari kita melanjutkan pengamatan dengan
jalan kaki dan secara diam-diam."
Demikianlah, si kumis tebal dan tiga orang temannya melanjutkan
tugas mereka membayangi kereta dengan jalan kaki, dan seorang di


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

antara mereka menjaga lima ekor kuda di dalam hutan.
Sementara itu, semenjak meninggalkan lima orang penunggang kuda,
beberapa kali Kim Cu menjenguk dan melihat ke belakang, sehingga
kelakuannya ini menjadi bahan tertawaan dan godaan Bhok Hin. Kini
kereta mereka tiba di hutan cemara yang amat sunyi, sudah termasuk
Lembah Huang-ho. Sungai itu tidak berapa jauh lagi dari situ. Tibatiba Kim Cu berseru kepada kusir kereta.
"Berhenti dulu! Hentikan kereta!"
Bhok Hin dan kusirnya memandang heran, akan tetapi kusir yang
menoleh ke belakang itu segera menghentikan kudanya yang menarik
kereta. Kim Cu lalu meloncat keluar dari kereta.
"Bhok-kongcu, aku berhenti di sini. Pergilah engkau dengan
keretamu!" kata Kim Cu. Kini suaranya terdengar kaku dingin, lenyap
semua kemesraan dan kehangatan dari suaranya.
Tentu saja Bhok Hin terkejut bukan main, juga terheran-heran. Dia
juga meloncat keluar dari dalam kereta. Teringat dia akan kata-kata
81 peringatan Bibi Ciok yang mengatakan bahwa Kim Cu pernah
berontak! Akan tetapi dia tetap tidak percaya dan mengira bahwa Kim
Cu hanya main-main dan menggodanya saja.
"Eh, Kim Cu, nanti kalau engkau hendak berontak, di dalam kamar.
Bukan di sini tempatnya......" katanya sambil tertawa
Kim Cu mengerutkan alisnya. Semua kemuakannya selama ia
diharuskan melayani pria-pria itu, termasuk Bhok Hin, kini memenuhi
dadanya. Ingin rasanya ia membunuh laki-laki yang menyeringai di
depannya ini. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan kanannya.
"Plakk......!" Tangan kanannya dengan amat kerasnya menyambar dan
menampar pipi Bhok Hin. "Aduhhh......!" Bhok Hin terhuyung dan tangan kirinya cepat meraba
pipi kirinya yang terasa nyeri sekali. Mulutnya berdarah dan tiga buah
giginya tanggal, juga pipinya menjadi matang biru!
"Kau...... kau......!"
"Dukkkk!" Kini kaki Kim Cu menyambar, menendang dan mengenai
perut yang agak gendut itu, dan tubuh Bhok Hin terjengkang.
Melihat ini, kusir kereta menjadi marah. Tadi dia terkejut dan
terheran-heran, memandang dengan mata terbelalak. Kini, melihat
majikannya ditampar dan ditendang sampai roboh, diapun meloncat
turun. "Heiii, apa yang kaulakukan ini......?" bentaknya.
82 Akan tetapi, ia disambut dengan tamparan dua kali yang mengenai
leher dan mukanya dan tubuh yang kerempeng itupun terpelanting
roboh. Pada saat itu, muncullah si kumis tebal dengan tiga orang kawannya.
Mereka berempat masih membayangi kereta dan ketika kereta itu
berhenti, mereka berempat mempercepat lari mereka menghampiri
dan mereka dapat melihat betapa Kim Cu merobohkan Bhok Hin dan
kusir kereta, tepat seperti yang mereka khawatirkan.
"Ia benar memberontak seperti yang kuduga!" teriak si kumis tebal
dan empat orang jagoan itu lalu mengepung dan menyerang. Mereka
menyerang untuk menangkap, maka mereka tidak mempergunakan
senjata, hanya mempergunakan tangan kosong untuk mencengkeram
dan menangkap. Melihat munculnya empat orang jagoan itu, Kim Cu terkejut bukan
main. Ternyata perhitungannya meleset dan para jagoan itu ternyata
juga cerdik sekali. Ia tidak memperhitungkan kecerdikan mereka dan
kemungkinan mereka akan melanjutkan pengintaian secara diam-diam
seperti itu. Melihat dirinya dikepung dan si kumis tebal yang paling
lihai di depannya, tiba-tiba Kim Cu membalik dan kakinya
menendang dengan cepat dan kuatnya ke arah jagoan yang tadinya
berada di belakangnya. "Plak! Plak! Desss......!"
Dua kali jagoan itu menangkis, akan tetapi tendangan bertubi yang
ketiga kalinya mengenai pahanya sehingga jagoan itu terhuyung
kehilangan keseimbangannya. Pada saat itu, seorang di antara mereka
berhasil menangkap lengan kiri Kim Cu. Wanita ini mencoba menarik
83 lengannya, sia-sia saja. Maka iapun lalu menunduk dan menggigit
tangan yang memegang lengannya. Jagoan itu berteriak kesakitan,
pegangannya terlepas dan Kim Cu lalu meloncat keluar kepungan dan
lari secepatnya! "Kejar! Tangkap!" teriak si kumis tebal dan empat orang jagoan
itupun lalu melakukan pengejaran.
Kim Cu menyumpahi pakaiannya yang mewah dan merasa menyesal
mengapa ia tidak siap dengan pakaiannya. Pakaian ini terlalu sempit
sehingga ketika ia pakai untuk berlari dengan langkah lebar, gaun
sempit itu terkuak dan robek-robek di bagian bawahnya,
memperlihatkan kulit pahanya yang putih mulus. Namun ia tidak
perduli dan berlari terus secepatnya.
Namun, empat orang pengejarnya itu dapat bertari lebih cepat
sehingga kurang lebih satu lie dari kereta tadi, mereka sudah dapat
menyusulnya. Ia dikepung lagi dan kini mereka berada di daerah yang
berbatu-batu. "Ha-ha-ha, nona manis. Tidak ada gunanya engkau lari, dan tidak ada
gunanya engkau melawan. Lebih baik menyerah dan kami bawa
kembali kepada Bibi Ciok untuk mempertanggungjawabkan
kelakuanmu ini!" Si kumis tebal mengejek.
Diam-diam Kim Cu bergidik, teringat akan ancaman Bibi Ciok
bahwa, kalau memberontak lagi, ia tentu akan dijual obral dan
diserahkan kepada siapa saja yang mau membayar murah untuk
memperkosanya! Ia akan diperkosa bertubi-tubi oleh banyak orang
sampai mati. 84 "Tidak! Lebih baik aku mati!" teriaknya dan iapun mengamuk,
menyerang si kumis tebal itu dengan sekuat tenaganya.
Dengan mudah si kumis tebal mengelak dan tangan kanannya
mencengkeram ke arah pundak Kim Cu. Wanita yang sudah nekat ini
dapat meloncat ke samping, mengelak dari cengkeraman itu. Akan
tetapi dari belakang, tiba-tiba rambutnya dicengkeram orang dan
ketika ia meronta, cengkeraman itu terlepas berikut sanggul
rambutnya yang terlepas pula. Rambut yang hitam panjang itu terurai
sampai ke pinggang. Sambil berteriak-teriak marah Kim Cu mengamuk lagi dan kini ia
menggunakan segala kemampuannya untuk melawan. Menampar,
menghantam, menendang, mencakar bahkan menggigit! Empat orang
jagoan itu yang tidak berniat merobohkannya atau melukainya,
menjadi kerepotan juga melihat kenekatan wanita yang sudah berubah
seperti seekor harimau betina buas yang sukar ditangkap itu. Kembali
Kim Cu berhasil melompat keluar dari kepungan.
Empat orang lawannya mengejar dan kaki Kim Cu tergelincir pada
batu-batu kerikil. Ia roboh bergulingan. Kini bukan hanya rambutnya
yang terurai, juga pakaiannya sudah robek di sana-sini.
Sambil bergulingan, wanita yang cerdik ini menggunakan kedua
tangannya untuk meraih batu-batu kerikil dan begitu empat orang
lawan mendekat hendak menubruknya, iapun melompat bangun
sambil melempar-lemparkan batu ke arah kepala empat orang
lawannya! Sambitan itu tentu saja ngawur, akan tetapi sebuah batu
sebesar telur ayam tepat mengenai dahi seorang jagoan sehingga dahi
85 itu tumbuh telur yang rasanya berdenyut-denyut, membuat orang itu
marah bukan main. Kim Cu berhasil lari lagi dan kini mereka tiba di lembah di mana
terdapat banyak batu gunung dan juga guha-guha. Dan empat orang
lawannya sudah pula menyusul dan mengepungnya.
"Biar kurobohkan ia dengan totokan!" kata si kumis tebal yang merasa
penasaran juga. Empat orang jagoan seperti mereka mengalami
kesulitan untuk menangkap seorang wanita saja! Kini, mereka
berempat mengepung ketat dan mengambil keputusan untuk tidak
memberi kesempatan kepada Kim Cu untuk melarikan diri lagi!
Bahkan ketika Kim Cu hendak mengamuk dan menerobos kepungan,
mereka tidak segan-segan untuk mendorong atau menampar sehingga
beberapa kali Kim Cu terhuyung, bahkan pernah terjatuh. Akan tetapi
wanita ini meloncat bangkit kembali. Rambutnya riap-riapan,
mukanya babak belur, pakaiannya robek-robek. Ia kini berteriak
dengan suara lantang dan penuh amarah.
"Kalian laki-laki semuanya adalah binatang buas! Iblis bertampang
manusia! Akan kubunuh kalian semua, atau aku yang akan mati!"
Teriakan ini bergema di sekitar tempat itu, agaknya suaranya
dipantulkan kembali oleh guha-guha yang banyak terdapat di situ.
Di antara pantulan suara itu, ada suara lain, suara wanita tertawa
terkekeh-kekeh, lalu disambung dengan suaranya yang mencicit
seperti suara tikus terjepit.
"Hi-hi-hi-hik, benar sekali! Laki-laki adalah binatang buas dan kita
wanita selalu menjadi mangsa dan korbannya, hi-hi-hik!"
86 Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah muncul seorang
nenek tua renta yang pakaiannya serba hitam. Nenek ini sudah
keriputan, tubuhnya kecil kurus seperti tulang-tulang dibungkus kulit
saja. Tangan kirinya bertopang pada sebuah tongkat hitam yang
bentuknya melingkar-lingkar seperti ular kering.
"Jangan khawatir, anakku. Jangan takut! Hajar saja mereka, binatangbinatang buas itu, hi-hi-hik!" katanya sambil menggerak-gerakkan
tangan kanannya, ke arah Kim Cu dan empat orang pengeroyoknya.
Dan terjadilah hal yang luar biasa anehnya! Kim Cu mengamuk dan
kini semua tamparannya, semua tendangannya, semua pukulannya,
tepat mengenai sasaran! Sedangkan gerakan balasan empat orang itu,
setiap kali hendak menangkapnya, mencengkeramnya, atau
menotoknya, gerakan itu tiba-tiba tertahan seolah-olah ada dinding tak
nampak yang melindungi tubuh Kim Cu!
Tentu saja Kim Cu menjadi girang bukan main. Ia sendiri tidak tahu
mengapa empat orang lawannya tiba-tiba saja berubah seperti orangorang tolol yang memberikan tubuh mereka untuk ia hajar tanpa
mereka membalas sedikitpun juga.
"Mampuslah!" bentaknya ketika kakinya menendang ke arah perut si
kumis tebal. "Desss......!" tendangan itu tepat mengenai sasaran dan si
kumis tebal yang biasanya lihai sekali itu mengaduh dan tubuhnya
terjengkang. Kim Cu membagi-bagi pukulan dan tendangan dan anehnya, semua
serangan itu mengenai sasaran dengan tepat sekali. Maka bercucuran
darahlah sebuah hidung, sebuah mata menjadi hitam, beberapa buah
87 gigi tanggal dan ada perut yang mulas mendadak karena dimasuki
ujung sepatu dengan keras!
Empat orang itu dihajar jatuh bangun dan akhirnya, walaupun dengan
penuh rasa penasaran, mereka berempat yakin bahwa mereka
menghadapi hal yang tidak wajar, dan bahwa kemunculan nenek
seperti iblis itulah yang menjadi sebabnya. Maka, mereka merasa
ketakutan dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, menjadi bulan-bulan
pukulan dan tendangan tanpa mampu membalas sama sekali, akhirnya
mereka mungkin mati di tangan Kim Cu! Mereka lalu merangkak dan
melarikan diri, jatuh bangun dengan ketakutan seperti dikejar setan!
Kim Cu sudah kehabisan tenaga, maka iapun tidak mengejar. Ia
membalik dan memandang kepada nenek itu. Iapun bukan orang
bodoh. Ia maklum bahwa tentu nenek aneh ini telah membantunya
secara aneh sehingga ia yang tadinya sudah terancam dan nyaris
tertangkap kembali, tiba-tiba saja keadaannya terbalik dan ia yang
menghajar empat orang yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi dari
padanya itu. Dengan tubuh lemas dan lelah sekali, juga nyeri di sanasini, Kim Cu terhuyung menghampiri nenek itu, lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan nenek berpakaian hitam, dan roboh pingsan.
Ketika Kim Cu siuman kembali, ia mendapatkan dirinya rebah di
lantai sebuah guha yang lebar dan tinggi, di ruangan dalam karena ia
tidak melihat mulut guha. Akan tetapi ada sinar matahari masuk dari
langit-langit guha yang tinggi itu, melalui celah-celah yang banyak
terdapat di antara batu-batu pedang yang bergantungan di langit-langit
guha itu. Seluruh tubuhnya masih terasa nyeri dan ketika ia hendak
bangkit duduk, suara mencicit seperti tikus itu terdengar.
88 "Jangan bergerak, aku sedang merawatmu."
Kim Cu melihat nenek itu duduk bersila di belakangnya karena ia tadi
rebah miring, dan ternyata nenek itu menempelkan telapak tangan
kirinya pada punggungnya, sedangkan telapak tangan kanan nenek itu
menempel pada lantai guha. Ada hawa panas-panas hangat keluar dari
telapak tangan kiri nenek itu, menjalar ke dalam tubuhnya!
Aneh sekali, ia merasa seolah-olah ada uap panas masuk ke dalam
tubuhnya, menjalar ke seluruh bagian tubuhnya dan semua rasa nyeri
yang diterjang uap itu lenyap, terganti oleh rasa nyaman yang makin
lama semakin panas. Hampir ia tidak tahan dan akan bergerak kalau
saja suara nenek itu tidak melarangnya.
"Pertahankan, aku akan mengisi kekuatan pada pusat-pusat jalan
darah di tubuhmu!" Kim Cu merasa heran sekali dan tidak mengerti. Memang pernah
ketika kecil ia belajar silat dengan tekun dan penuh semangat, namun
yang dipelajarinya hanyalah ilmu silat luar, dan para gurunya belum
pernah menceritakan kepadanya tentang tenaga-tenaga yang dapat
dibangkitkan dari dalam tubuh, kecuali tenaga otot dan kelenturan,
juga kekuatan yang timbul karena latihan.
Ia diam saja dan merasakan betapa hawa panas itu kini memenuhi
seluruh tubuhnya, membuat kepalanya berdenyut-denyut dan semakin
panas, seolah-olah kepalanya dimasukkan ke dalam perapian besar!
Terdengar bunyi berkeretekan pada tulang-tulangnya, akan tetapi, Kim
Cu pasrah. Ia percaya kepada nenek yang jelas telah menolongnya itu,
seorang nenek yang entah manusia, dewa ataukah setan karena
89 memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Ia sudah pasrah dan
andaikata ia harus matipun, ia akan menerimanya tanpa membantah!
Akhirnya, siksaan itupun berhenti dan hawa panas itu berangsur turun,
kembali menjadi hangat dan nyaman sekali. Dan akhirnya nenek itu
melepaskan tempelan telapak tangan kirinya, terkekeh dan berkata,
"Sekarang barulah engkau pantas untuk mempelajari ilmu dariku.
Bangkit dan duduk- lah."
Kim Cu bangkit dan merasa heran karena tubuhnya terasa ringan dan
segar sekali, seperti ada kekuatan yang luar biasa terkandung di dalam
semua anggauta tubuhnya. Maka, tanpa banyak cakap lagi iapun
berlutut di depan nenek itu, membenturkan dahinya berkali-kali pada
lantai guha. "Nenek yang baik, saya menghaturkan banyak terima kasih atas
semua pertolongan nenek, dan kalau nenek sudi mengambil saya
sebagai murid, saya bersumpah, selama hidup saya akan mentaati
perintah nenek dan akan berbakti kepada nenek sampai titik darah
terakhir!" Nenek itu terkekeh-kekeh, nampaknya girang sekali. "Hi-hi-hik!
Memang kau sudah menjadi muridku sejak aku mendengar engkau
memaki-maki kaum pria itu, hi-hik!"
Bukan main girangnya rasa hati Kim Cu. Ia kini telah bebas dari
cengkeraman manusia-manusia berhati iblis seperti Bibi Ciok dan kaki
tangannya, dari cengkeraman kaum pria yang hanya menganggap
wanita sebagai benda permainan saja, bebas dari penghinaan yang
dialaminya setiap hari, harus melayani tiap orang pria yang tidak
90 dikenalnya, apa lagi dicintanya, melayani dengan menyerahkan
seluruh badannya, kehormatannya! Ia telah bebas!
Kenyataan ini saja selalu bersorak di dalam hatinya. Apa lagi
ditambah bahwa ia kini menjadi murid seorang yang sakti. Kalau ia


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat memiliki ilmu seperti ilmu yang dimiliki nenek ini, ia akan
mampu menghadapi semua tantangan di dunia ini! Ia akan menghajar
semua orang, terutama kaum pria, yang jahat! Akan menumpas
mereka, membasmi mereka yang suka berbuat jahat! Saking
girangnya, Kim Cu lalu merangkul nenek itu dan dengan air mata
berlinangan, ia menciumi pipi yang keriput itu.
Nenek itu menjerit kecil. "Ihhhhhh......! Apa-apaan ini" Jangan
berbuat cabul kau! Masa seorang murid berbuat begini kepada
subonya?" Kim Cu cepat berlutut, "Subo (Ibu Guru), harap maafkan teecu
(murid). Saking girang dan berterima kasih, maka teecu merangkul
dan menciumi subo!" Nenek itu mengusap kepala Kim Cu. "Murid macam apa kau ini?"
nadanya menegur, namun di dalam suara itu terkandung keharuan oleh
kelakuan Kim Cu tadi. "Hal pertama yang paling penting belum
kaulakukan, yaitu memperkenalkan diri, memperkenalkan nama dan
menceritakan riwayat hidupmu kepada gurumu."
Kim Cu tertawa dan mendengar suara ketawanya, iapun merasa heran
bukan main, bahkan terkejut! Belum pernah ia mendengar suara
ketawanya seperti itu! Begitu bebas, begitu terlepas, bahkan terdengar
binal! 91 Dan ia teringat betapa sesungguhnya, semenjak ia diboyong oleh
Pangeran Coan Siu Ong, ia telah kehilangan semua kegembiraan
hidup, sudah kehilangan semua tawa. Kalau ia tersenyum manis dan
tertawa merdu selama ini di rumah pelacuran milik Bibi Ciok, suara
ketawa itu adalah buatan, hanya menutupi rintih dan tangis
sanubarinya. Dan kini, secara tiba-tiba saja, ia telah menemukan
kembali kehidupannya, harapannya, kegembiraannya, dan juga
tawanya! "Aih, maafkan teecu, subo. Teecu sampai lupa, saking gembiranya
hati ini! Subo, teecu bernama Lie Kim Cu......."
"Hemmm! Kim Cu (Mustika Emas)" Menjadi mustika emas hanya
menjadi rebutan orang, terutama para pria saja. Tidak, namamu terlalu
lemah. Setelah menjadi muridku, engkau tidak boleh menjadi wanita
lemah, namamu juga harus diganti agar sesuai dengan keadaan dirimu
dan watakmu kelak. Namamu mulai sekarang adalah Liong Li
(Wanita Naga), seperti seekor naga yang menaklukkan semua iblis di
dunia ini!" Kim Cu girang sekali dan ia cepat memberi hormat. "Teccu menerima
dengan gembira, subo. Mulai sekarang, teecu akan dikenal sebagai
Liong Li, sedangkan nama Kim Cu tidak akan teecu perkenalkan
sebagai nama teecu, kecuali untuk keperluan yang penting."
"Bagus, teruskan cerita tentang dirimu."
Kim Cu menceritakan tentang keluarganya, kemudian betapa ayahnya
tergila-gila dengan permainan judi sampai habis-habisan. "Akhirnya,
karena ayah korupsi, mempergunakan uang negara dan banyak hutang
bahkan semua itu diketahui oleh atasannya, Pangeran Coan Siu Ong,
92 maka pangeran itu menekan dan menggertaknya akan menuntutnya.
Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan keluarga ayah, yaitu kalau
dia menyerahkan teecu sebagai selir Pangeran Coan Siu Ong."
"Heh-heh-heh, cerita lama itu. Sejak jaman dahulu kala, semua kaum
bangsawan seperti itu, haus kedudukan, haus kemuliaan, haus
kekayaan dan haus wanita cantik."
Kim Cu menceritakan segala hal yang terjadi di dalam kamar mewah
sang pangeran itu. Betapa setelah melihat pangeran itu, timbul
kejijikannya dan ia melawan, memukul pangeran itu. Karena marah,
pangeran itu lalu menyuruh para pengawalnya untuk membelenggu
kaki tangannya dan iapun diperkosa sampai pingsan.
"Karena sakit badan dan batin, teecu menggunakan akal. Teecu purapura menyerah sehingga pangeran jahanam itu melepaskan ikatan kaki
tangan teecu. Begitu bebas, teecu menghajarnya dan tentu akan
membunuhnya kalau saja tidak muncul para pengawalnya. Pangeran
Coan marah. Teecu dihajar, diikat dan dijual murah ke rumah
pelacuran milik Bibi Ciok."
Nenek itu menyeringai, memandang kepada Kim Cu dengan sinar
mata kadang-kadang kagum karena dalam menceritakan semua
pengalaman pahit ini, Kim Cu sama sekali tidak menangis. Seorang
gadis yang amat tabah, pikirnya, makin suka kepada muridnya ini.
"DI SANA, teecu disiksa dan diancam akan dijual murah agar
diperkosa mereka yang mau membayar sampai teecu mati. Untuk
memberontak, tidak ada gunanya karena Bibi Ciok juga mempunyai
tukang-tukang pukul yang kuat. Terpaksa, untuk mencari peluang agar
dapat membebaskan diri dan tidak mati konyol, teecu menyerah.
93 Ah, betapa tersiksanya hati ini, betapa terhinanya badan ini ketika
teecu harus melayani para tamu selama hampir satu bulan! Teecu
terpaksa menjual senyum dan pelayanan yang mesra, pada hal di
dalam hati, teecu menjerit dan menangis, apa lagi ketika dari para
langganan itu teecu mendengar akan nasib ayah dan ibu teecu......"
Sampai di sini, kedua mata yang jeli dan bagus itu menjadi basah dan
beberapa titik air mata menetes turun ke atas sepasang pipi. Akan
tetapi, tetap saja Kim Cu tidak mengeluarkan suara tangisan.
"Apa yang terjadi dengan mereka" Bukankah setelah kau diserahkan
kepada pangeran itu, orang tuamu telah bebas?"
"Tidak, subo. Agaknya pangeran itu sakit hati kepada teccu dan bukan
saja ia menjual teecu kepada rumah pclacuran, juga ayah ditangkap
lagi dan dihukum buang. Di dalam perjalanan, demikian teecu dengar,
ayah nekat membunuh diri dengan terjun ke dalam jurang. Adapun ibu
teecu, karena diusir keluar dari rumah dan tidak kuat menahan derita,
jatuh sakit dan meninggal pula."
Nenek itu mengangguk-angguk, di dalam hatinya merasa gembira
karena dengan kenyataan bahwa gadis ini telah yatim piatu, tidak
mempunyai siapapun di dunia ini, berarti ialah yang memilikinya.
Sebagai murid, juga sebagai keluarga!
"Lalu, pelarian sekarang ini yang kau rencanakan?"
"Benar, subo. Teecu berhasil memikat hati putera mantu jaksa tinggi,
dan membujuknya untuk mengajak teecu pesiar ke tempat di lembah
Huang-ho. Dan di sini teecu berhasil melarikan diri. Akan tetapi, tibatiba muncul empat orang jagoan kaki tangan Bibi Ciok melakukan
94 pengejaran. Kalau tidak ada subo, tentu sekarang teecu sudah dipaksa
kembali ke rumah pelacuran itu dan mengalami siksaan yang lebih
hebat dari pada maut. Karena itu, terima kasih, subo."
Kembali Kim Cu merangkul dan mencium pipi keriput itu dan sekali
ini nenek itu tidak menolak, hanya mendorong tubuh Kim Cu untuk
duduk kembali ke atas lantai.
"Muridku, engkau sungguh seorang gadis yang beruntung telah dapat
bertemu dengan aku di sini. Bukan hanya beruntung karena dapat
terhindar dari penangkapan mereka, akan tetapi beruntung karena
engkau dapat menjadi muridku karena ribuan orang gagah di dunia ini
yang ingin sekali menjadi muridku dan mewarisi ilmu kepandaian dari
Huang-ho Kuibo (Nenek Iblis Sungai Kuning)!" Nenek itu terkekeh.
"Heh-heh-heh, memang engkau anak yang beruntung sekali, Liongli!"
Kim Cu atau yang kini bernama atau berjuluk Liong-li (Wanita Naga)
mengamati wajah nenek itu penuh perhatian. Wajah itu masih
memperlihatkan bekas wanita cantik. Biarpun pakaiannya serba hitam
sederhana dan tubuh itu kurus sekali, namun nenek itu agaknya
menjaga diri sehingga bersih, bahkan tidak berbau apak.
"Subo, mengapa subo disebut Kuibo (Nenek Iblis)" Subo sama sekali
tidak kelihatan seperti nenek iblis! Siapakah nama subo yang
sesungguhnya?" "Hik-hik, aku sudah lupa lagi siapa namaku. Orang-orang menyebutku
Huang-ho Kuibo karena aku selalu berkeliaran di sepanjang sungai
ini, dan karena aku tidak pernah mau mengampuni orang-orang jahat,
maka kaum kang-ouw menjuluki aku Kuibo. Mulai sekarang, engkau
95 harus berlatih dengan tekun, Liong-li. Aku akan membuat engkau
menjadi seorang wanita yang ditakuti, dan tidak ada seorangpun lakilaki di dunia ini yang akan mampu menghina dan mempermainkanmu
lagi, heh-heh-heh!" Demikianlah, mulai hari itu, Kim Cu atau Long Li menjadi murid
Huang-ho Kuibo, seorang nenek yang sakti dan berilmu tinggi. Dan
tepat seperti julukannya, nenek itu mengajak muridnya berkeliaran di
sepanjang lembah Huang-ho.
"Y" Waktu tujuh tahun bukan merupakan waktu yang cukup panjang bagi
seseorang untuk mempelajari ilmu silat tinggi sampai berhasil dengan
baik. Akan tetapi, menjadi murid seorang sakti seperti Pek I Lojin lain
lagi. Dalam waktu tujuh tahun, Cin Hay digembleng oleh Pek I Lojin
dengan ilmu silat yang bermacam-macam dan yang kesemuanya
merupakan ilmu-ilmu silat tinggi.
Memang Cin Hay telah memiliki dasar yang kuat dan bakat yang amat
baik. Maka, setelah selama setahun penuh siang malam dia
digembleng ilmu menghimpun, memperkuat dan mempergunakan
tenaga dalam dengan hawa sakti yang dibangkitkan dalam tubuh
sehingga dalam waktu setahun itu dia telah mengumpulkan kekuatan
yang dahsyat, yang dapat dipergunakan sebagai dasar atau modal
mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang serba sukar, maka enam tahun
selanjutnya dia dengan amat tekunnya melatih diri dengan ilmu-ilmu
yang diwariskan oleh Pek I Lojin kepadanya!
Bukan hanya ilmu silat tingkat tinggi yang diajarkan oleh kakek tua
renta itu kepada Cin Hay, akan tetapi juga gemblengan batin sehingga
96 terbentuklah watak penuh kesabaran, tahan derita, tidak terbawa oleh
perasaan, dalam diri Cin Hay dan menjadikan dia seorang laki-laki
yang jantan, pendiam, tenang, tabah dan matang. Gurunya juga
mengajarkan dia ilmu untuk melakukan penyamaran, beralih rupa
dengan alat-alat istimewa, mengubah suara dan sebagainya.
Pendeknya, dalam waktu tujuh tahun, kakek ita menurunkan semua
ilmunya yang paling hebat kepada Cin Hay.
Pada suatu pagi, selagi memberi petunjuk untuk jurus terakhir yang
amat sukar dari ilmu silat Naga Terbang, Pek I Lojin memberi contoh
kepada Cin Hay bagaimana memainkan jurus terakhir itu dengan baik.
Untuk jurus ini, harus dikerahkan tenaga sekuatnya dan kakek itu
bersilat dengan penuh semangat. Cin Hay memperhatikan dan
mengerti, lalu dia menirukan gerakan gurunya, memainkan jurus itu
dengan baiknya. "Bagaimana, suhu" Apakah sekarang sudah tepat?" tanyanya begitu
dia selesai menggerakkan bagian terakhir.
Akan tetapi gurunya tidak menjawab dan ketika dia menengok, dia
terkejut sekali melihat gurunya sudah duduk bersila dengan muka
pucat dan napas terengah-engah. Ketika dia berlutut mendekati,
gurunya masih dapat memberi isyarat dengan tangan agar murid itu
memondongnya dan membawanya pulang ke pondok. Cin Hay
dengan hati-hati dan cepat melaksanakan permintaan ini dan tak lama
kemudian kakek itu sudah rebah di atas pembaringannya di dalam
kamar pondok itu. Cin Hay melakukan pemeriksaan dengan teliti. Dia telah menerima
pelajaran dari gurunya untuk memeriksa dan mengobati luka-luka
97 sebelah dalam akibat pukulan atau salah penggunaan hawa sakti. Dan
dia mendapat kenyataan betapa gurunya seperti orang yang kehabisan
tenaga dan keadaannya lemah sekali. Dia merasa heran dan tidak
mengerti. "Sudahlah......, Cin Hay....... salahku sendiri......"
"Tapi, mengapakah, suhu?" Dia bertanya.
"Tidak semestinya aku...... aku yang tua...... memainkan jurus itu......,
tapi ini agaknya sudah kehendak Tuhan...... sudah tiba saatku......"
"Suhu......!" Tiba-tiba kakek memperingatkan. itu mengangkat tangannya dan telunjuknya Cin Hay segera teringat bahwa tanpa disadarinya, dia telah
menunjukkan kelemahan! Maka, dalam waktu sedetik saja telah dapat
melenyapkan perasaan khawatir dan dukanya.
"Maafkan teecu, suhu."
"Ingatlah, iangan sekali-kali engkau menunjukkan kelemahan dalam
keadaan apapun juga," tiba-tiba saja kakek itu bersemangat. "Nyawa
manusia bukan berada di tangannya, melainkan di tangan Tuhan.
Agaknya memang latihan tadi yang menjadi jalan ke arah kematianku.
Aku sudah.tua sekali, sudah sepatutnya meninggalkan dunia ini, akan
tetapi ada pesanku......" kakek itu nampak lemah kembali.
98 Cin Hay mendekatkan mukanya. "Suhu, tee-cu mendengarkan.
Apakah pesan suhu itu?"
"Masukilah dunia sebagai seorang jantan, seorang gagah yang selalu
membela kebenaran dan keadilan. Dan jangan lupa, engkau pergilah
ke Kim-san (Gunung Emas) yang berada di lembah Huang-ho di
perbatasan Propinsi Honan sebelah utara...... di sana ada sebuah
kuburan tua seorang pangeran dari jaman Dinasti Han, ratusan tahun
yang lalu. Dalam kuburan itulah terdapat mustika naga yang disebut
Kim-san Liong-cu, sebuah pusaka yang amat luar biasa. Dahulu
pernah menjadi perebutan para pendekar, dan aku telah gagal.
Sekarang, engkau wakili aku pergilah ke sana, carilah sampai
dapat...... Kim-san Liong-cu......"
Kakek itu telah terlalu banyak bicara, agaknya dia telah menggunakan
seluruh tenaga terakhir dan kini dia terkulai. Ketika Cin Hay
memeriksanya, maka ternyata jantungnya tidak berdetak lagi,
napasnya putus dan nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.
Cin Hay bersila sambil termenung sampai lama, tetap memegang nadi
pergelangan tangan gurunya, memejamkan mata dalam samadhi,
seolah-olah dengan semangatnya dia hendak mengantar suhunya yang
berangkat pulang ke tempat asalnya itu. Kemudian dia sadar dan dia
teringat betapa suhunya pernah berpesan bahwa kalau dia mati, ia
ingin jenazahnya diperabukan, dan abu jenazahnya di buang ke sungai
manapun juga. Semua sungai menuju ke lautan, demikian kata
gurunya, maka membuang abu ke sungai berarti juga membuangnya
ke lautan. 99 Dengan tabah, Cin Hay lalu mengatur pembakaran jenazah gurunya.
Diletakkan jenazah gurunya di atas pembaringannya, di tengah
pondok. Dikumpulkannya semua milik suhunya yang tidak banyak,
hanya beberapa potong pakaian, kemudian mengumpulkan kayu
kering, menumpuknya di dalam pondok dan di sekeliling
pembaringan, menutupi jenazah gurunya dengan pakaiannya. Dia
memilih kayu yang mengandung damar agar pembakaran itu dapat
sempurna. Diruntuhkan dan dibuangnya atap pondok agar jangan
menimpa dan merusak abu jenazah suhunya. Setelah siap dan
melakukan sembahyang terakhir untuk menghormati gurunya, Cin
Hay lalu membakar pondok itu.
Sehari penuh pondok itu terbakar. Cin Hay duduk bersila agak jauh,
mengenang suhunya. Semua manusia akan mengalami hal yang sama,
yaitu kematian. Karena itu, setiap kematian adalah hal yang wajar
saja. Siapa terlalu membesarkan akunya, terlalu menghargai akunya,
dialah yang takut akan kematian dan akan menderita kalau
menghadapi kematian, menderita karena khawatir membayangkan
bahwa aku-nya yang amat dijunjung tinggi itu akan hilang begitu saja!


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada hal, sepandai-pandainya orang, sebaik-baiknya orang, sesaktisaktinya orang, dia hanyalah seorang manusia biasa yang lahir
kemudian mati menurut kekuasaan Alam yang mengaturnya. Manusia
timbul tenggelam seperti ombak-ombak lautan, nampak kemudian
menghilang tanpa bekas, dan terlupakan! Suhunya pernah bicara
mengenai ini. Yang penting adalah karya yang baik, demikian kata
suhunya. Karya yang baik dapat dinikmati orang lain, baik si
karyawan masih hidup ataupun sudah mati.
100 Jangan mengira bahwa nama atau orangnya yang akan dikenang,
melainkan karyanya yang baik. Orangnya akan dilupakan. Mungkin
akan dikenang, secara paksa, oleh sekelompok orang, akan tetapi
itupun hanya merupakan suatu upacara belaka, yang hanya berlaku
beberapa menit. Kemudian terlupa sudah! Maka, siapa mengharapkan
nama kekal, siapa mengharapkan agar aku-nya selalu diingat, dia akan
kecewa kelak! Karya baikpun bukanlah ciptaan si orang itu. Orang itu
hanyalah menyalurkan berkah Tuhan melalui tangannya, melalui
pikirannya. Tanpa berkah dan kekuasaan Tuhan, manusia tidak ada
artinya sama sekali. Setelah api padam, Cin Hay mencari abu jenazah gurunya. Dia merasa
gembira bahwa pembakaran itu ternyata sempurna, tidak ada sepotong
pun tulang yang tidak menjadi arang dan mudah dia hancurkan,
kemudian dibungkusnya abu jenazah itu dengan sebuah jubah lebar.
Setelah itu, berangkatlah dia meninggalkan tempat itu, membawa
miliknya yang juga tidak berapa banyak, hanya beberapa potong
pakaian, dan memanggul bungkusan abu dan pakaiannya, lalu
melangkah lebar dengan wajah tenang, tanpa menengok lagi. Masa
lalunya di pondok itu sudah lewat dan tidak akan dikenangnya
kembali! Beberapa hari kemudian, nampak Cin Hay duduk bersila di depan
sebuah makam, di lereng bukit kecil yang menghadap ke Telaga Seeouw. Makam tunggal yang sunyi, makam Gu Ci Sian, isterinya yang
tewas secara menyedihkan di waktu mereka berperahu di telaga itu.
Tujuh tahun yang lalu! Ketika hal itu terjadi, dia baru berusia
delapanbelas tahun dan kini dia telah berusia duapuluh lima tahun.
101 Cin Hay tidak bersedih, apa lagi menangis. Dia hanya duduk bersila
dengan wajah tetap tenang, termenung untuk mengingat isterinya
dengan penghormatan, dengan doa semoga isterinya sekarang, di
manapun ia berada, dalam keadaan bahagia dan damai. Tanpa
dirasakannya, sudah dua jam dia berada di depan makam isterinya,
dan tahu-tahu ada air hujan menitik turun dari atas. Hal ini
menyadarkan Cin Hay dan diapun bangkit, di dalam batin berpamit
kepada isterinya lalu meninggalkan makam itu dengan cepat menuruni
bukit untuk mencari tempat duduk di tepi telaga.
Ketika tiba di bandar di mana perahu-perahu berkumpul untuk
menampung para pelancong yang hendak pelesir di telaga dengan
perahu, dia melihat ribut-ribut. Bukan keributan karena turunnya
hujan gerimis, melainkan keributan terjadi, bahkan dia melihat
seorang wanita meronta-ronta ketika ditarik oleh seorang laki-laki
menuju ke sebuah kereta. Wanita itu masih muda sekali, baru belasan tahun usianya dan
agaknya ia bukan seorang pelancong, melainkan seorang gadis
kampung di sekitar telaga, dan ia meronta sambil menjerit-jerit,
namun tidak berdaya karena pria yang menyeretnya itu kuat sekali.
Akhirnya gadis itu dilemparkan ke dalam kereta yang tertutup dan
agaknya ada yang menerima dan meringkusnya dari dalam. Hanya
tangisnya yang terdengar dan kereta itupun lalu bergerak pergi. Tiga
orang laki-laki berkuda mengikuti dari belakang sambil tertawa-tawa.
Melihat tiga orang itu, berkerut alis Cin Hay. Tak salah lagi, kini dia
mengenal laki-laki muka hitam. gendut pendek yang tadi menyeret
gadis itu 102 Dan si muka kuning pucat yang tinggi kurus, dan seorang lagi yang
tinggi besar dan mukanya penuh berewok. Biarpun mereka itu kini
lebih tua dari pada dahulu, namun dia masih ingat wajah ketiga orang
jagoan yang pernah mengeroyoknya di atas perahu besar milik Koan
Ki Sek! Merekalah See-ouw Sam-houw dan mungkin Koan Wan-gwe
berada pula di dalam kereta itu. Mereka berempat yang telah
menyebabkan kematian isterinya dan yang nyaris membunuhnya pula.
Dan kini, agaknya mereka menculik seorang gadis kampung!
Gemblengan batin yang diterimanya dari Pek I Lojin membuat semua
bentuk dendam hilang dari dalam hatinya. Akan tetapi kini melihat
mereka melakukan kejahatan di depan matanya, tentu saja Cin Hay
tidak mau tinggal diam. Kedua kakinya berloncatan dan bagaikan
seekor kijang muda, diapun berlari cepat melakukan pengejaran ke
arah kereta yang dilarikan cepat meninggalkan bandar itu tanpa ada
seorangpun yang berani melakukan pengejaran.
Kereta itu telah tiba di tengah hutan ketika tiba-tiba dua ekor kuda
yang menarik kereta, meringkik kaget dan berhenti berlari,
mengangkat kaki depan ketakutan. Kusir kereta itu terkejut, apa lagi
melihat bahwa tiba-tiba saja nampak seorang pemuda berpakaian
serba putih yang menahan kuda itu dari depan.
"Heii! Mau apa kau?" bentak kusir itu mengangkat cambuknya
mengancam untuk memukul. Ketika cambuk menyambar, Cin Hay
menyambut, menangkap ujung cambuk dan sekali tarik dengan
sentakan kaget, kusir itu berteriak dan tubuhnya tertarik jatuh dari atas
kereta! 103 "Ada apa......?" bentak suara dari dalam kereta. Tiba-tiba pintu kereta
yang sudah berhenti itu terbuka dari luar dan tirainya tersingkap.
Cin Hay melihat seorang laki-laki setengah tua sedang menggeluti
gadis tadi yang pakaiannya sudah tidak karuan. Gadis itu meronta dan
menangis. Cin Hay tidak pangling melihat laki-laki ini, maka sekali
sambar, tangannya sudah menangkap lengan Koan Ki Sek dan
ditariknya orang itu keluar dari dalam kereta.
"Ehhh......! Ohhh......! Tolong......!" teriak Koan Ki Sek ketika
tubuhnya terbanting ke atas tanah. Gadis itupun cepat turun, dengan
ketakutan mencoba untuk membereskan pakaiannya yang cabik-cabik.
"Dukkk!" Kaki kiri Cin Hay melayang dan tepat menyambar dagu
Koan Ki Sek yang sedang merangkak hendak bangun. Tendangan itu
keras sekali, mematahkan tulang rahang dan membuat gigi di sebelah
kiri copot semua. Koan Ki Sek menjerit dan hendak lari, akan tetapi
sambaran kaki Cin Hay tepat mengenai lututnya dan diapun
terjengkang dan terpelanting tak dapat bangkit kembali karena
sambungan lututnya terlepas!
"Heiii......! Siapakah engkau berani mati memukul majikan kami"
Apakah engkau sudah bosan hidup?" Tiga orang jagoan yang bukan
lain adalah See-ouw Sam-houw sudah berloncatan turun dari atas
kuda mereka dan mengepung Cin Hay.
Cin Hay memandang mereka dengan alis berkerut. Tiga orang ini
jahat bukan main, pikirnya. Tujuh tahun yang lalu sudah menjadi
penjahat kejam, sekarang sama sekali tidak berubah, bahkan semakin
jahat, berani di tempat ramai menculik seorang gadis dusun! Koan
Wan-gwe juga seorang yang berwatak jahat dan kejam, akan tetapi
104 tanpa adanya jagoan-jagoannya seperti tiga orang ini, belum tentu
hartawan itu berani melakukan kejahatan seperti itu.
"Hemm, tujuh tahun yang lalu kalian hampir membunuhku, dan kalian
berhasil membunuh isteriku. Kini, setelah tujuh tahun, ternyata kalian
semakin jahat saja. Entah berapa banyak sudah orang-orang tak
berdosa menjadi korban kekejian kalian."
"Siapa engkau?" bentak Hek-bin-houw Ban Sun yang bermuka hitam,
masih memandang rendah lawannya. "Mengakulah sebelum kami
mencabut nyawamu!" Cin Hay tidak ingin memperkenalkan namanya. Dia ingin meniru
gurunya yang hanya mempunyai nama julukan, seperti juga dia
meniru gurunya yang suka mengenakan pakaian serba putih. Teringat
akan pakaiannya yang serba putih, dan akan tugasnya mencari Mutiara
Naga dari Gunung Emas, diapun segera memperkenalkan diri,
"Sebut saja aku Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) selagi kalian
masih sempat, karena tugasku adalah melenyapkan manusia-manusia
jahat macam See-ouw Sam-houw!"
"Wah, bukankah dia ini orang yang naik perahu kecil bersama
isterinya beberapa tahun yang lalu itu?" Phang Ek berseru, "Bantoako, apakah engkau lupa" Engkau melemparkan perahu kecilnya
kepadanya setelah dia kulukai dengan pisau terbangku. Dan kita
mengira dia mampus!"
"Ha-ha-ha, benar sekali!" Siang-kiam-houw Kim Lok tertawa. "Dan
isterinya yang cantik dan seperti kuda binal, kuda yang bunting
muda....., ha-ha, sayang sekali, ia tidak kuat dan......"
105 "Wuuuutttt, plakkk!" Kim Lok menangkis ketika Cin Hay maju
menyerang dengan tamparan tangannya.
Tangkisan itu mengenai tangan Cin Hay, akan tetapi akibatnya, tubuh
Kim Lok terpelanting saking kerasnya tamparan itu dan lengannya
terasa seperti akan patah! Dia terbanting keras dan selain terkejut,
diapun merasa heran bukan main melihat betapa kuatnya tamparan
pemuda itu. Melihat betapa dalam segebrakan saja Kim Lok terbanting keras, Ban
Sun dan Phang Ek juga terkejut. Maklumlah tiga orang jagoan ini
bahwa pemuda yang berada di depan mereka kini tidak boleh
disamakan dengan ketika mereka menghajarnya tujuh tahun yang lalu.
"Singgg......!" Hek-bin-houw Ban Sun sudah mencabut golok
besarnya. "Srattt.......!" juga Siang-kiam-houw Kim Lok mencabut sepasang
pedangnya dan Hui- to-houw Phang Ek mencabut dua batang pisau
yang dipegang oleh kedua tangannya. Mereka mengepung Cin Hay
dengan senjata di tangan, siap untuk mencincang tubuh lawan ini.
Sementara itu, Koan Ki Sek masih merintih-rintih, ditolong oleh
kusirnya yang juga babak bundas ketika terlempar dari atas kereta
tadi. Mereka hanya menonton, mengharapkan tiga orang jagoan
mereka akan dapat membunuh pemuda berpakaian putih itu.
Cin Hay mengeraskan hatinya, menulikan telinganya yang masih saja
mendengar ucapan-ucapan tiga orang jagoan itu tadi. Kini dia
mengerti betapa isterinya dahulu tewas. Tentu setelah diperkosa oleh
Koan-wangwe, lalu diberikan kepada tiga orang jagoan ini yang
106 memperkosa isterinya sampai tewas, pada hal mereka tahu bahwa
isterinya mengandung! Dia mengusir dendamnya. Orang-orang ini amat jahat, kalau tidak
disingkirkan, tentu kelak hanya akan mencelakakan kehidupan orangorang lain yang tidak berdosa, demikian suara hatinya, sedikitpun
tidak mengingat atau mengenang lagi akan perbuatan mereka terhadap
dirinya dan terhadap isterinya.
"Mampus kau......!" Hek-bin-houw Ban Sun sudah menyerang dengan
bacokan goloknya. Bacokannya itu cepat dan kuat sekali, dari atas ke
bawah, mengarah kepala Cin Hay, agaknya dalam kemarahannya, si
muka hitam itu ingin membacok kepala pemuda baju putih itu agar
terbelah menjadi dua! Dan pada detik berikutnya, sepasang pedang di
tangan Kim Lok juga menusuk ke arah leher dan lambung!
Cin Hay mengelak dengan mudah terhadap bacokan golok dan
melihat tusukan dua batang pedang itu, kakinya menendang,
mendahului tangan kanan lawan sehingga sebelum pedang datang
menusuk, pergelangan tangan Kim Lok tertendang, tepat mengenai
urat nadinya sehingga pedangnya terlepas, tepat pada saat Cin Hay
mengelak dari tusukan kedua. Cepat tangan Cin Hay menyambar
pedang yang terpental lepas dari tangan kanan Kim Lok.
Pada saat itu, Phang Ek datang menyerang dari belakangnya,
menusukkan kedua batang pisaunya ke arah lambung dan punggung.
Gerakannya cepat dan kuat sekali. Cin Hay mendengar gerakan ini
dan dia memutar tubuh, mendahului dengan sambaran pedang
rampasannya. 107 "Cring! Trang......!" Dua batang pisau di tangan Phang Ek itu terpental
dan patah-patah ketika bertemu dengan sambaran pedang yang amat
kuat itu. Phang Ek mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke
belakang dengan mata terbelalak.
Saat itu, Ban Sun sudah menyerang lagi dengan bacokan golok
besarnya, membacok ke arah leher. Golok itu membabat dengan cepat,
mengeluarkan suara berdesing saking kuatnya. Cin Hay
menggerakkan pedang rampasannya, menangkis dan memutar pedang
itu sambil mengerahkan sin-kangnya untuk menempel.
Ban Sun terkejut. Goloknya seperti melekat dan ikut terputar
walaupun dia mencoba untuk mempertahankan sekuatnya. Tiba-tiba
Cin Hay mengeluarkan bentakan pendek, pedangnya membuat
gerakan memutar dan menyentak dan...... golok itu membalik, tidak
dapat dikuasai oleh tangan Ban Sun dan tanpa dapat dicegah lagi,
golok yang membalik itu menyambar ke arah perut yang gendut itu.
"Cappp......!" Ban Sun terbelalak memandang ke arah perutnya yang
dimakan goloknya sendiri, lalu terjengkang!
Melihat ini, Kim Lok menusukkan pedangnya yang tinggal sebatang,
akan tetapi tusukan itu dapat ditangkis oleh pedang Cin Hay yang
membuat lengan Kim Lok tergetar hebat dan dia terpaksa melangkah
mundur agar tidak sampai jatuh.
Phang Ek sudah mengambil dua batang pisau lagi dan kini dia
menyambitkan dua batang pisau itu ke arah Cin Hay sambil
mengerahkan seluruh tenaganya. Cin Hay menangkis sebatang pisau
sehingga runtuh ke atas tanah, dan pisau kedua disambarnya dengan
tangan, kemudian, dengan tangan kiri yang menyambut pisau tadi, dia
108 menyambit. Nampak sinar terang berkelebat dan tahu-tahu pisau itu
telah menembus leher Phang Ek. Orang ini mengeluarkan suara aneh,
mencoba untuk mencabut pissu itu, namun agaknya pisau itu terjepit
tulang kerongkongan, dan diapun roboh terkulai!
Kim Lok terbelalak dengan muka pucat. Dalam satu dua gebrakan
saja, dua orang kawannya telah roboh dan tewas, sedangkan
majikannya masih mengerang kesakitan bersama kusir yang
ketakutan. Dia maklum bahwa nyawanya terancam maut, maka tanpa
banyak pikir lagi, secara pengecut Kim Lok lalu membalikkan
tubuhnya dan mengambil langkah seribu, melarikan diri!
Akan tetapi baru saja kakinya melangkah beberapa kali, nampak sinar
terang berkelebat dan sebatang pedang, pedangnya sendiri yang tadi
terampas lawan, telah meluncur dan menghujam punggungnya sampai
tembus ke dadanya! Dia tersentak, terbelalak, lalu jatuh menelungkup.
Melihat betapa tiga orang jagoannya tewas semua, Koan Ki Sek yang
sudah menderita nyeri dan ketakutan itu hampir pingsan. Kusir kereta
juga ketakutan dan dia sudah berdiri dan hendak melarikan diri, akan
tetapi Cin Hay membentak.
"]angan lari!" Kusir kereta itu berhenti dan celananya menjadi basah! Dia
terkencing-kencing saking takutnya. Koan Wan-gwe sendiri lalu
merangkak dan berlutut menghadap pemuda itu, mulutnya berkeluh
kesah minta dikasihani dan diampuni.
Cin Hay tersenyum dingin. "Kau masih ingat padaku?" tanyanya.
109 Koan Ki Sek merasa mulutnya remuk dan nyeri sekali, akan tetapi dia
memaksa diri mengangguk dan berkata, "......ampunkan...... aku......
ampunkan......" "Engkau masih ingat isteriku...... wanita muda berpakaian kuning
yang mengandung muda itu?"
Koan Ki Sek semakin ketakutan. "Ampun..... ampun...... bukan aku
yang membunuhnya ...... ia... ia mencakari aku...... kuberikan kepada
mereka bertiga dan... dan....... ampunkan aku......"


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hemm, orang semacam ini memang tidak ada gunanya diberi
kesempatan hidup lagi. Paling-paling akan mengulangi perbuatannya
yang sesat. Tidak akan sukar bagi hartawan itu untuk mencari
pengganti jagoan yang lebih kuat lagi karena dia mampu membayar,
dan makin merajalela mengumbar nafsu-nafsunya. Akan tetapi dia
teringat akan keadaannya. Dia melakukan perjalanan jauh dan dia
membutuhkan biaya. Dari mana dia akan memperoleh uang" Paling
baik memperoleh dari hartawan kejam ini!
"Hayo naik ke kereta!" bentaknya, lalu menoleh kepada kusir.
"Engkau juga! Bawa aku ke rumahmu, Koan Wan-gwe dan aku ingin
menukar nyawamu dengan tigaratus tail emas!"
"Baik...... baik..... terima kasih......" Hartawan itu mengangguk, lalu
dengan tubuh gemetar dia naik ke dalam kereta, seperti seekor tikus
berdekatan dengan kucing ketika dia duduk berdampingan dengan Cin
Hay yang nampak tenang saja. Kereta lalu dijalankan oleh kusir yang
juga ketakutan itu. 110 Setelah kereta berhenti di depan gedung tempat tinggal Koan Ki Sek,
Cin Hay memegang lengan pria berusia hampir enampuluh tahun itu
dan berkata dengan nada suara mengancam, "Cepat suruh orang
mengambilkan tigaratus tail emas. Kalau engkau banyak tingkah, akan
kubunuh seketika!" Setelah berkata demikian, Cin Hay menarik
hartawan itu turun dari keretanya.
Melihat betapa majikan mereka turun bersama seorang pemuda
sederhana yang tampan, dan majikan itu nampak ketakutan, para
penjaga dan pelayan saling pandang dengan heran dan bingung.
Setelah tiba di rumahnya sendiri, walaupun masih takut menghadapi
Cin Hay, namun hartawan itu memperoleh kembali kegalakannya dan
dia mendamprat para pelayannya.
"Kenapa kalian bengong saja seperti orang-orang tolol" Cepat panggil
nyonya majikan!" Dengan muka manis dia mempersilakan Cin Hay
ikut masuk ke ruangan depan.
Ketika seorang wanita berusia hampir limapuluh tahun yang
berpakaian mewah, yaitu isteri dari hartawan itu muncul dari dalam,
Koan Wan-gwe cepat berkata, "Kumpulkan tigaratus tail emas dan
bawa ke sini. Cepat!"
Agaknya hartawan ini memang biasa bersikap keras, karena biarpun di
wajah wanita itu jelas menunjukkan keheranan besar, namun ia tidak
berani banyak bertanya, hanya mengangguk dan mengundurkan diri
lagi. Hartawan itu duduk dan menyusut keringatnya di muka dan lehernya
dengan ujung lengan baju, sedangkan Cin Hay berdiri termenung,
111 tidak memperdulikan penawaran tuan rumah yang mempersilakan dia
duduk. Dia terkenang kepada isterinya dan kebenciannya terhadap
Koan Ki Sek timbul. Akan tetapi kesadarannya membuat dia melihat
kenyataan bahwa hartawan ini hanyalah seorang yang lemah, yang
menjadi hamba nafsunya sendiri.
Tak lama kemudian, isteri hartawan itu muncul lagi, diikuti oleh dua
orang pelayan pria yang menggotong sebuah karung yang agaknya
terisi benda yang berat. Nyonya majikan itu berkata kepada suaminya,
nada suaranya takut-takut. "Sudah kukumpulkan semua, hanya ada
seratus enampuluh tail emas, tidak ada lagi......"
Koan Wan-gwe nampak pucat ketika dia menoleh kepada Cin Hay
dan sambil mengangkat kedua tangan di depan dada diapun berkata.
"Harap tai..... taihiap maafkan......, kami hanya mempunyai seratus
enampuluh tail...... harap taihiap bersabar, akan kami usahakan......
dalam beberapa hari ini...... meminjam dari teman-teman di kota......"
Cin Hay merasa bahwa jumlah itu sudah lebih dari cukup untuk bekal
hidupnya. Dia menghampiri karung itu, membukanya dan setelah
memeriksa bahwa isinya memang benar potongan-potongan emas
yang berkilauan, dia lalu memanggul karung itu dengan tangan
kirinya. Benda yang beratnya duapuluh kati itu, nampak ringan saja
baginya ketika dia mengangkat karung itu ke atas pundaknya,
kemudian dia berkata, suaranya lantang.
"Koan Ki Sek, sekarang di depan isterimu, ceritakan apa yang telah
kaulakukan terhadap isteriku, tujuh tahun yang lalu."
Hartawan itu mengerutkan alisnya, memandang kepada isterinya dan
kepada dua orang pelayannya, lalu menghardik dua orang pelayan itu,
112 "Kalian pergilah dari sini!" Tentu saja dia tidak menghendaki
ceritanya yang memalukan itu akan didengar oleh oleh dua orang
pelayan itu. "Tidak! Kalian juga mendengarkan di sini!" Cin Hay berkata kepada
mereka. Akan tetapi, dua orang pelayan itu tidak mengenal Cin Hay, tentu saja
mereka lebih taat kepada majikan mereka dan mereka membalikkan
tubuh hendak pergi dari ruangan itu. Cin Hay melompat dan kedua
tangannya memegang pundak mereka, sekali tarik dia membuat
mereka terpelanting dan di lain saat, dua orang itu sudah tidak mampu
menggerakkan kaki karena telah ditotok oleh Cin Hay.
Barulah mereka ketakutan dan maklum bahwa pemuda itu lihai sekali,
dan mereka kini dengan tubuh rebah miring terpaksa ikut
mendengarkan. Nyonya Koan terkejut melihat kekerasan yang
dilakukan Cin Hay dan iapun lari mendekati suaminya.
"Nah, Koan Ki Sek, sekarang berceritalah!" Cin Hay berkata lagi
dengan suara keren. Dengan suara gemetar dan muka pucat akan tetapi penuh keringat,
Koan Wan-gwe lalu menceritakan peristiwa tujuh tahun yang lalu di
Telaga See-ouw. Kadang-kadang dibantu dan diingatkan oleh Cin
Hay, hartawan itu dengan singkat namun jelas menceritakan apa yang
telah dilakukannya terhadap Cin Hay dan isterinya.
Betapa See-ouw Sam-houw atas perintahnya telah melukai dan
melempar Cin Hay ke dalam telaga, dan merampas isterinya yang
cantik. Betapa dia memperkosa wanita muda yang sedang
113 mengandung muda itu di dalam bilik perahu, kemudian menyerahkan
wanita yang melawan itu kepada See-ouw Sam-houw. Kemudian
betapa tiga orang jagoannya itu memperkosa isterinya Cin Hay
bergantian sampai mati dan menguburkan jenazah nyonya muda itu di
lereng bukit dekat telaga.
Mendengar cerita yang mengerikan itu, Nyonya Koan menjerit dan
menangis. Dia tahu betapa suaminya hidung belang dan mata
keranjang, akan tetapi tidak pernah menyangka suaminya akan
melakukan perbuatan yang demikian kejamnya.
"Dan tujuh tahun kemudian, baru tadi, dia telah menculik pula seorang
gadis dusun yang hendak diperkosanya di dalam kereta!" kata Cin
Hay yang kemudian bertanya, "Nyonya, apakah tidak adil namanya
kalau sekarang aku datang, merampok hartanya dan mencabut
nyawanya?" Sambil menangis nyonya itu mengangguk-angguk. "Adil....... sudah
adil...... akan tetapi ampunkanlah suamiku ini, tai-hiap......"
Cin Hay menghela napas panjang, lalu memandang hartawan itu.
"Manusia tak kenal budi! Isterimu demikian setia dan baik, akan tetapi
engkau melakukan perbuatan yang kejam dan jahat di luar rumah!
Sepatutnya engkau kubunuh, akan tetapi mengingat isterimu, biarlah
kuampuni nyawamu, akan tetapi engkau harus diberi hukuman yang
setimpal dengan kejahatanmu!" Berkata demikian, dengan
perhitungan yang tepat, Cin Hay menggerakkan kedua tangannya,
menotok pinggang dan punggung Koan Ki Sek. Hartawan itu
mengeluarkan teriakan panjang dan diapun roboh terpelanting,
pingsan. Isterinya menjerit dan menubruknya sambil menangis.
114 "Nyonya, jangan khawatir, dia tidak akan mati, akan tetapi tidak akan
mampu mengganggu wanita lagi. Selamat tinggal," kata Cin Hay yang
melangkah keluar sambil memanggul karung berisi duapuluh kati
emas itu. Tak seorangpun penjaga berani menghalangi pemuda yang
datang bersama majikan mereka itu.
Tubuh Koan Ki Sek lalu diangkat ke dalam kamarnya dan benar
seperti yang diucapkan Cin Hay kepada isteri hartawan itu, Koan Ki
Sek tidak mati melainkan jatuh sakit sampai hampir sebulan lamanya
dan setelah sembuh, ternyata bahwa anggauta kelaminnya menjadi
lumpuh! Hal ini membuat dia terkejut dan berduka sekali, dan berusaha
mengobati dirinya. Dipanggilnya semua tabib pandai, bahkan dia
pergi ke kota raja untuk berobat, namun sia-sia saja karena urat
syarafnya telah hancur dan rusak oleh totokan yang dilakukan Cin
Hay. Selamanya dia tidak akan dapat lagi menggauli wanita dan
akhirnya, hartawan inipun sadar akan semua dosanya dan dia merobah
cara hidupnya sama sekali.
Semua jagoannya dia keluarkan, dan dia hidup damai dengan para
penghuni dusun, bahkan dia kemudian terkenal sebagai seorang
dermawan yang agaknya hendak menghabiskan hartanya untuk
menolong sesama manusia. Perlahan-lahan, terhapuslah nama
buruknya. Kalau tadinya dia ditakuti semua orang, kini mulai berubah
pandang mata orang-orang kepadanya, tidak lagi takut, melainkan
hormat dan segan, juga berterima kasih!
Sementara itu, Cin Hay melakukan perjalanan cepat keluar dari dusun
Tiang-cin, memanggul emas dalam karung. Dia kini telah membalas
115 kematian isterinya. Perhitungan dengan para pembunuh isterinya telah
selesai dan kini diapun sudah memiliki modal yang cukup untuk hidup
secara pantas. Akan tetapi pikiran ini segera dibuangnya. Dia
mengambil harta dari Koan Ki Sek hanya untuk menghukum orang
itu, dan kini dia bahkan mulai merasa repot dengan beban di
pundaknya itu. Untuk apa emas sebanyak itu" Dia teringat akan keluarga isterinya,
maka kakinya lalu melangkah cepat menuju ke dusun tempat tinggal
ibunya dan ayahnya. Dia akan pulang dulu ke rumah ayah bundanya,
baru dia akan berkunjung kepada keluarga mertuanya. Mereka, orang
tuanya sendiri dan mertuanya, tentu membutuhkan emas-emas ini!
Setidaknya, setelah meninggalkan mereka selama tujuh tahun, kini dia
dapat memberikan sesuatu kepada mereka, sebagai sekedar balas jasa
atas segala kebaikan mereka, juga sebagai sekedar hiburan bagi orang
tua isterinya yang telah kehilangan anak.
Ibunya menyambut kedatangan Cin Hay dengan tangis keharuan dan
kebahagiaan. Ibunya hidup di rumah pamannya, adik ibunya, karena
ayah Cin Hay telah meninggal dunia karena sakit. Melihat betapa
pamannya itu baik hati, mau menampung ibunya dan bersikap amat
baik terhadap ibunya, Cin Hay bersyukur dan dia lalu menyerahkan
sepuluh kati emas kepada ibunya.
Uang sebanyak itu merupakan harta yang amat besar bagi orang
dusun. Ibunya segera menyerahkan emas itu kepada adiknya dan
mereka sekeluarga lalu membeli tanah dan membangun rumah, dan
selanjutnya hidup sebagai petani yang beruntung dan serba cukup.
116 Cin Hay berpamit kepada ibuya untuk melanjutkan perantauannya.
Tadinya, sang ibu menahannya, bahkan membujuk seorang gadis
dusun untuk menjadi isteri Cin Hay, namun pemuda ini tersenyum dan
menolak dengan halus. "Ibu, bertahun-tahun aku mempelajari ilmu dan sekaranglah saatnya
aku harus mempergunakan ilmu itu dalam dunia ramai. Aku hendak
merantau dan tinggallah ibu bersama paman di sini."
Ibunya tidak dapat menahannya lagi dan pergilah Cin Hay berkunjung
ke rumah mertuanya. Seperti juga keluarga ibunya, keluarga
mertuanya menerima Cin Hay dengan ramah dan baik. Biarpun kini
anak mereka telah meninggal dan Cin Hay hanya merupakan bekas
mantu saja, namun keluarga lurah Gu itu menganggap Cin Hay seperti
anak sendiri. Menerima penyambutan yang ramah Cin Hay merasa terharu dan
girang sekali. Tidak percuma dia berniat baik memberi separuh
emasnya kepada keluarga mertuanya, ka- rena ternyata keluarga
mertuanya ini masih amat baik kepadanya. Dia lalu menceritakan
betapa dia telah membalas dendam, membunuh See-ouw Sam-houw
yang menyebabkan kematian Gu Ci Sian dan menghukum Koan Ki
Sek. Mendengar cerita ini, lurah Gu dan isterinya menangis, merasa
bersyukur bahwa kematian anak mereka telah terbalas. Apa lagi ketika
Cin Hay menyerahkan sepuluh kati emas kepada mereka, lurah Gu
tadinya menolak. "Anakku, mengapa kauberikan harta kepada kami! Sebaiknya
kaubawa pulang saja, dan kauserahkan kepada ibumu. Bukankah
117 setelah ayahmu meninggal dunia, ibumu tinggal bersama pamanmu"
Belikan tanah dan rumah untuk ibumu dan uang ini dapat
dipergunakan untuk modal."
Cin Hay tersenyum dan semakin mantap hatinya untuk menyerahkan
sebagian harta itu kepada mertua yang baik ini. "Saya sudah memberi
kepada ibu, harap ayah mertua suka menerimanya."
Akhirnya Cin Hay berpamit dan diantar oleh keluarga mendiang
isterinya itu dengan hati terharu. Setelah meninggalkan dusun itu, Cin
Hay teringat akan pesan mendiang gurunya. Kim-san Liong-cu
(Mustika Naga dari Gunung Emas)! Dia harus memenuhi pesan
gurunya itu. Berangkatlah dia untuk mencari Kim-san (Gunung Emas)
di Lembah Huang-ho itu, dengan bekal pakaian secukupnya dan
beberapa potong emas untuk biaya di perjalanan.
"Y" Wanita itu sungguh cantik jelita. Usianya sekitar duapuluh tiga tahun,
pakaiannya tidak sangat mewah, akan tetapi karena bentuk tubuhnya
yang ramping padat, maka nampak pakaian itu serasi dan indah.
Rambutnya hitam panjang dan halus, digelung di atas kepala dengan
hiasan bunga teratai emas. Wajahnya bulat telur, dan kulit mukanya
segar kemerahan, putih mulus seperti dibedaki pada hal jelas bahwa
dia tidak memakai bedak. Sepasang matanya jeli dan lebar, tajam sinarnya dan kerlingnya
nampak tajam menikam. Sepasang alis matanya seperti dilukis.
Hidung kecil mancung dan mulutnya merupakan bagian yang paling
menarik dari mukanya. Mulut itu selalu terhias senyuman, dan bibir
yang merah dan selalu segar basah itu seperti menantang. Lesung pipit
118 menghias tepi mulutnya, dan lesung pipit itu menjadi semakin jelas
kalau ia tersenyum lebar. Di bawah mata kiri, di bagian pipi atas
nampak ada tahi lalat hitam kecil yang menjadi penambah kemanisan
wajah itu. Seorang wanita yang memiliki daya tarik besar sekali,
memberahikan setiap orang pria yang melihatnya.
Dan wanita itu pada suatu pagi melangkahkan kakinya masuk ke
pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Dan perbuatannya inilah
yang amat menarik perhatian orang, terutama kaum prianya, karena
rumah itu adalah sebuah rumah pelesir, sebuah rumah pelacuran milik
Bibi Ciok, seorang mucikari yang terkenal di Lok-yang karena rumah
pelesirnya merupakan tempat pelesiran terbesar di Lok-yang.
Bibi Ciok terkenal sebagai mucikari yang biasa menyediakan pelacurpelacur kelas tinggi! Langganannya terdiri dari para bangsawan dan
hartawan di Lok-yang. Oleh karena itulah, masuknya wanita cantik
menarik itu di pekarangan rumah ini membuat semua orang menengok
dan memandang kepadanya dan segera tersiar berita desas-desus yang
segera meluas bahwa di rumah pelesir Bibi Ciok terdapat seorang
"anggauta baru" yang amat cantik jelita! Kedatangan orang baru
merupakan berita paling menggemparkan dari sebuah rumah
pelacuran dan dalam waktu singkat saja, para bangsawan dan
hartawan yang menjadi langganan Bibi Ciok segera mencari tahu


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebenaran berita itu. Di dalam rumah besar itu sendiri terjadi hal-hal yang amat hebat.
Wanita cantik itu langsung membuka pintu depan dan memasuki
rumah itu seperti orang memasuki rumah sendiri saja!
119 Seorang penjaga pintu terkejut melihat kedatangannya dan berusaha
menghadang. Dia mengenal semua pelacur yang menjadi langganan
rumah pelesir itu dan wanita ini sama sekali tidak dikenalnya. Akan
tetapi, penjaga ini tidak berani sembrono karena siapa tahu wanita ini
adalah isteri seorang bangsawan yang mencari suaminya!
"Nona siapakah dan ada keperluan apa?" tanyanya sambil
menghadang di depan wanita itu.
"Tak perlu engkau tahu siapa aku, lekas panggil Bibi Ciok agar ia
keluar menemuiku!" kata wanita itu dengan sikap dingin.
Tentu saja penjaga itu tidak mau menuruti permintaan ini. Dia
bertugas sebagai penjaga pintu dan tentu saja tidak dapat mengijinkan
setiap orang masuk. "Tapi...... harap jelaskan dulu nona ini siapa dan ada keperluan apa
masuk......" Tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangannya perlahan sambil
berkata, "Jangan banyak cerewet kau!"
Sungguh luar biasa sekali. Ia hanya menggerakkan tangan seperti
mendorong, akan tetapi tanpa menyentuh tubuh, penjaga itu sudah
terjengkang dan tubuhnya, menabrak dinding. Penjaga itu berteriakteriak dan muncullah lima orang laki-laki dari dalam. Mereka adalah
lima orang jagoan yang menjadi tukang pukul di rumah pelacuran itu,
jagoan-jagoan yang diandalkan oleh Bibi Ciok.
120 "Hai, siapa engkau, berani mati membikin ribut di sini dan memukul
penjaga pintu?" Sentak seorang di antara mereka yang berkumis tebal
dan yang menjadi kepala dari rombongan jagoan itu.
Wanita cantik itu berdiri tegak dan matanya melirik tajam ketika
muncul lima orang itu. Senyumnya melebar sehingga nampak sedikit
kilatan giginya yang putih berderet rapi. Kini ia mengangkat muka
memandang laki-laki berkumis tebal itu.
"Kalau kalian berlima tidak ingin kuhajar seperti dia ini, cepat
menggelinding pergi dam panggil Bibi Ciok ke sini!" katanya.
Tentu saja lima orang jagoan itu menjadi marah melihat sikap dan
terdengar ucapan yang nadanya memerintah dan memandang rendah
itu. Mereka adalah jagoan terkenal di daerah itu, bahkan Bibi Ciok
sendiri yang menjadi majikan, sumber penghasilan mereka, tidak
berani bersikap secongkak itu. Mereka dianggap sebagai kacungkacung saja yang boleh disuruh seenaknya oleh wanita yang baru
muncul ini. Tadinya merekapun berhati-hati, khawatir kalau kalau wanita itu
adalah isteri seorang bangsawan yang datang menyusul dan mencari
suaminya. Akan tetapi melihat sikap wanita itu dengan congkak,
merekapun lupa akan kekhawatiran itu.
"Hemm, perempuan sombong! Siapakah engkau ini" Mengaku dulu
siapa engkau dan apa keperluanmu datang mencari Bibi Ciok, baru
kami akan mempertimbangkan sikapmu yang congkak!" bentak si
kumis tebal. 121 Wanita itu tersenyum. "Kalian ini tukang-tukang pukul murahan,
masih banyak lagak" Cepat panggil Bibi Ciok ke sini atau terpaksa
aku akan membuat kalian menguik- nguik seperti anjing-anjing
dipukul!" Habislah kesabaran si kumis tebal. "Kurang ajar!" bentaknya dan
tangan kirinya menampar ke arah pipi wanita itu. Berapapun
cantiknya wanita itu, tentu saja dia tidak sudi dihina seperti itu!
Akan tetapi, dengan mudah wanita itu hanya menarik tubuhnya bagian
atas ke belakang dan tamparan itu luput, dan pada detik itu juga, kaki
wanita itu sudah bergerak menendang dengan kecepatan kilat ke
depan. Tendangan itu cepat bukan main sehingga tidak dapat
dielakkan pula oleh si kumis tebal.
"Dukk!" Perutnya tercium ujung sepatu wanita itu dan si pemilik
perutpun terjengkang dan terbanting keras. Dia merangkak bangun
sambil memegangi perut karena merasa nyeri seolah-olah usus
buntunya yang kena tendang. Dengan muka mengernyit karena nyeri,
dia memerintahkan anak buahnya dengan suara penuh geram.
"Bunuh perempuan jahat ini!"
Empat orang jagoan yang lain merasa penasaran dan marah.
Merekapun segera mencabut golok masing-masing dan mengepung
wanita itu yang masih berdiri tegak sambil tersenyum mengejek. Si
kumis tebal memaksa diri bangkit dan mencabut goloknya pula.
Biarpun perutnya masih terasa mulas, dia yang menjadi marah karena
malu, kini ikut mengepung.
122 Kalau saja lima orang jagoan itu tidak terlalu tekebur, tentu mereka
dapat melihat bahwa sikap wanita itu sudah jelas menunjukkan bahwa
ia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dikepung
lima orang jagoan yang memegang golok, wanita itu masih
tersenyum, sedikitpun tidak gentar bahkan sikapnya memandang
rendah! Akan tetapi lima orang itu sudah buta karena kesombongan
mereka dan karena mereka sudah biasa mempergunakan kekerasan
untuk memaksakan kehendak mereka.
"Mampuslah!" bentak seorang di antara mereka yang berada di
belakang wanita itu, goloknya menyambar ke arah tengkuk wanita itu
dari belakang! Tanpa menoleh, wanita itu mengelak, seolah-olah ada mata di
tengkuknya. Ia mengelak ke kiri sehingga bacokan golok itu lewat dan
seperti kilat saja, tubuhnya membalik ke kanan mengikuti tangannya
yang sudah menyambar ke belakang,
"Krekkk!" tangan yang kecil mungil itu menyambar dan mengenai
pundak si penyerang dan seketika orang itu terjungkal sambil
mengaduh-aduh karena tulang pundaknya remuk diketuk oleh jari-jari
tangan kecil mungil itu. Sebuah tendangan menyusul dan membuat
tubuh itu terjengkang dan terlempar sampai ke sudut ruangan!
Empat orang jagoan, yang lain menjadi semakin marah dan mereka
menyerang secara berbareng, mengeroyok wanita yang tidak
bersenjata itu dengan bacokan golok mereka secara ganas sekali. Akan
tetapi, wanita itu menyambut serangan empat batang golok itu dengan
tenang saja. 123 Sikapnya tenang, namun gerakan tubuhnya demikian cepat sehingga
tiba-tiba saja mata empat orang itu berkunang dan mereka telah
kehilangan wanita itu. Demikian cepat gerakannya ketika melesat
keluar dari kepungan sehingga ia seolah-olah pandai menghilang saja
seperti iblis! Hanya nampak bayangan hitam karena pakaiannya yang
serba hitam berbunga abu-abu itu
Dan ketika empat orang itu menyadari bahwa wanita itu sudah keluar
dari kepungan dan mereka membalik, tiba-tiba saja wanita itu
menyerang. Tendangan dan tamparan kedua tangannya menyambar
bertubi-tubi dan robohlah empat orang itu dengan tulang lengan atau
tulang kaki patah-patah! Dalam waktu beberapa detik saja, lima orang
itu telah roboh berserakan sambil mengaduh-aduh dan tidak mampu
bangkit kembali karena kaki atau lengan yang patah tulangnya!
Pada saat itu, dari dalam muncul Bibi Ciok, wanita yang usianya
sudah limapuluh lima tahun dan tubuhnya semakin gembrot itu. Ia
mendengar suara ribut-ribut dan karena di tempat itu ia seperti seorang
ratu atau majikan yang ditakuti, dan karena ia terlalu percaya bahwa
lima orang jagoannya pasti akan mampu membereskan semua
persoalan, maka iapun bergegas keluar dan matanya terbelalak melihat
betapa lima orang jagoannya roboh dan mengaduh-aduh, sedangkan di
tengah ruangan berdiri seorang wanita yang cantik sekali.
Ia memandang penuh perhatian. Wanita yang amat cantik manis,
kulitnya menjadi lebih putih mulus karena pakaiannya yang serba
hitam, dari sutera halus, namun dengan potongan sederhana itu.
Usianya kurang lebih duapuluh tiga tahun, seorang gadis yang sudah
matang, dengan tubuh menggairahkan. Sebagai seorang mucikari yang
124 pekerjaannya mengumpulkan wanita-wanita muda yang cantik, tentu
saja Bibi Ciok pandai menilai kecantikan seorang gadis, baik bentuk
wajahnya maupun keadaan tubuhnya. Gadis seperti itu akan menjadi
sumber uang yang baik sekali baginya, pikir wanita tua ini. Akan
tetapi, ketika ia memandang dengan teliti, tiba-tiba ia terbelalak.
"Kim Cu......!" teriaknya.
Ia mengenal wanita cantik berpakaian serba hitam itu. Tak salah lagi,
ia adalah Lie Kim Cu, bekas selir Pangeran Coan Siu Ong yang dijual
kepadanya. Gadis yang pernah menjadi pelacur di rumah pelesirnya,
yang selama sebulan telah mendatangkan uang yang cukup banyak
dan menjadi rebutan para kongcu hidung belang yang berani
membayar mahal untuk dapat tidur semalam di kamar gadis itu! Dan
gadis itu lalu melarikan diri ketika dibawa pesiar oleh Bhok-kongcu,
mantu jaksa agung! "Kim...... Kim Cu......?" Jagoan berkumis tebal berseru kaget bukan
main, demikian pula teman-temannya. Kini baru mereka mengenal
wanita cantik berpakaian serba hitam yang lihai itu dan mereka
bergidik. Teringat peristiwa tujuh tahun yang lalu ketika mereka mengepung
gadis itu, muncul seorang nenek dan terjadi keanehan ketika mereka
berempat ketika itu, dihajar habis-babisan oleh gadis ini, tanpa mereka
mampu membalas sama sekali! Dan kini wanita itu muncul kembali
dengan ilmu kepandaian yang hebat sekali!
Wanita itu memang Lie Kim Cu! Seperti telah kita ketahui, ketika ia
dikejar-kejar kemudian dikeroyok empat orang jagoan, yaitu si kumis
tebal dan tiga orang kawannya ketika ia melarikan diri dari kereta
125 Bhok Hin, muncul Huang-ho Kuibo, nenek yang berpakaian serba
hitam dan yang memiliki ilmu kepandaian amat hebat itu. Ia kemudian
menjadi murid datuk dunia kang-ouw itu dan selama tujuh tahun ia
digembleng oleh Huang-ho Kuibo.
Setelah berkeliaran di sepanjang Sungai Huang-ho selama tujuh tahun
dan menggembleng muridnya dengan semua ilmu yang dimilikinya,
akhirnya Huang-ho Kuibo yang sudah amat tua itu hampir
sembilanpuluh tahun usianya, memilih sebuah guha untuk tempat
pertapaannya. Ia telah terlalu tua untuk berkeliaran lagi dan ingin
menghabiskan sisa hidupnya dengan bertapa di guha itu. Ia mengusir
muridnya untuk mempergunakan ilmu-ilmunya di dunia ramai.
"Kalau engkau ingin menjadi seorang yang paling menonjol dalam
dunia persilatan, pergilah ke Bukit Emas (Kim San). Engkau tentu
masih ingat Kim-san yang pernah kutunjukkan kepadamu dari jauh
dalam perantauan kita itu, bukan?"
"Maksud subo (ibu guru) Bukit Emas di sebelah selatan Sungai
Kuning, yang dari jauh nampak kuning berkilauan itu di waktu
senja?" "Benar, itulah Kim San!"
"Kata subo, di sana pernah terjadi pertempuran besar di antara orangorang pandai dan di sana banyak orang pandai di dunia persilatan
roboh dan binasa." "Bagus kau masih ingat akan ceritaku itu. Memang, di sana kini
menjadi kuburan banyak orang pandai, bahkan aku sendiri nyaris
tewas di sana ketika ikut memperebutkan Kim-san Liong-cu."
126 "Kim-san Liong-cu" Benda apakah itu, subo?" tanya Kim Cu ingin
tahu sekali. Nenek itu menarik napas panjang. "Siapa pernah melihatnya" Akan
tetapi banyak sudah dunia kang-ouw mendengar nama benda itu.
Sesuai dengan namanya, benda itu adalah sebutir liong-cu (mustika
naga) yang kabarnya ratusan tahun yang lalu menjadi milik seorang
pangeran dan kemudian benda itu ikut dikubur bersama jenazah
pangeran itu. Kuburan kuno itu berada di puncak Kim-san."
"Akan tetapi, kalau benda itu sudah dikubur dengan jenazah pangeran
itu, mengapa untuk rebutan" Apa sih gunanya benda itu?"
"Aih, engkau sungguh tidak tahu. Di dunia ini terdapat banyak benda
aneh, pusaka-pusaka yang mujijat dan Mustika Naga merupakan
sebuah di antara pusaka-pusaka yang amat hebat khasiatnya. Kalau
benda itu dikubur bersama jenazah, maka jenazah itu akan dapat
bertahan dan tidak rusak sampai ratusan tahun! Kalau dibikin bubuk
dan diminum, akan membuat orang menjadi kuat dan panjang usia
sampai lebih dari seratus tahun."
"Akan tetapi bagaimana kalau dia dibunuh orang?"
"Ah, kalau begitu tentu lain lagi. Akan tetapi, penyakit tidak akan
dapat menyerangnya, dan selain itu, makan liong-cu akan membuat
tubuh kuat dan mendatangkan tenaga sin-kang yang luar biasa. Juga
dapat menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan sanggup
menolak segala macam racun!"
"Ih, sungguh hebat!"
127 "Bukan hanya itu. Kalau mustika itu dilebur dan dicampur dengan
logam yang akan dijadikan senjata, maka senjata itu akan menjadi
senjata pusaka yang ampuh bukan main. Nah, karena banyak sekali
khasiatnya, maka begitu terdapat berita bahwa di dalam kuburan kuno
itu terdapat liong-cu, para tokoh dunia persilatan berdatangan dan
berebutan." "Lalu bagaimana, subo?" Kim Cu mendesak karena ia tertarik sekali.
"Siapa yang berhasil mendapatkan pusaka itu ketika terjadi perebutan
di sana?" Nenek itu menggeleng kepalanya. "Tidak ada seorangpun yang
mendapatkan, dan sudah begitu banyak orang pandai yang tewas, ada
puluhan orang yang mati dan akhirnya, tidak ada seorangpun yang
berhasil mendapatkan Kim-san Liong-cu!"
Tiba-tiba Kim Cu dapat membayangkan keadaan yang amat lucu itu
dan iapun tertawa. Gurunya memandang kepadanya dengan alis berkerut. "Kenapa
engkau tertawa?" "Hi-hik, alangkah lucunya, subo. Setelah puluhan orang tewas dalam
perebutan, kuburan itu dibongkar oleh mereka yang menang; dan tentu
saja isinya hanya tengkorak karena mustika naga itu hanya dongeng
bohong belaka." "Bodoh!" Nenek itu membentak sehingga Kim Cu terkejut dan
kembali ia memusat perhatian. "Bukan begitu! Akan tetapi kuburan
itu telah ada yang lebih dulu membongkarnya dan ada orang yang
telah mengambil Kim-san Liong-cu itu sebelum para tokoh datang
128 memperebutkannya! Pusaka itu memang ada, sebesar kepala bayi
yang baru lahir, akan tetapi telah lebih dulu diambil orang!"
Kim Cu kembali tertarik sekali. "Siapa yang mengambilnya, subo?"
"Itulah! Tidak ada yang tahu. Karena itu engkau harus pergi ke Kimsan, melakukan penyelidikan dan siapa tahu engkau akan dapat
mengetahui siapa orang yang mencuri pusaka itu, kemudian engkau
harus merebutnya agar engkau, muridku, menjadi orang paling lihai di
dunia ini!" Tanpa disuruh sekalipun, setelah mendengar cerita yang amat menarik
itu. Kim Cu sudah mengambil keputusan untuk menyelidiki dan
mencari orang yang telah mengambil mustika itu. Ia mengangguk
menyanggupi kemudian ia turun dari bukit di mana terdapat guha itu,
meninggalkan gurunya. Iapun condong mengikuti kebiasaan gurunya,
suka memakai pakaian yang serba hitam.
Demikianlah, setelah meninggalkan gurunya, Kim Cu langsung
menuju ke Lok-yang dan tempat yang pertama kali dikunjunginya
adalah rumah pelesir milik Bibi Ciok di mana ia pernah menjadi
pelacur secara terpaksa. Dan terjadi keributan di mana ia merobohkan
lima orang jagoan Bibi Ciok yang kini mengenalnya setelah Bibi Ciok


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebut namanya. Melihat betapa Bibi Ciok dan lima orang jagoan yang telah
dirobohkannya itu mengenalnya, Kim Cu lalu membentak dengan
suara lirih namun penuh wibawa, "Hayo kalian cepat berlutut!"
Bibi Ciok sudah melihat betapa lima orang jagoannya roboh oleh Kim
Cu. Iapun bukan orang bodoh dan tahulah ia bahwa wanita cantik itu
129 kini menjadi seorang yang amat berbahaya maka iapun menjatuhkan
diri berlutut seperti yang dilakukan oleh lima orang jagoannya yang
kini memandang ketakutan.
"Ingat, dari sekarang jangan menyebut namaku yang lama lagi. Aku
kini adalah Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam) dan kalian harus mentaati
semua perintahku. Sekali saja melanggar akan kucabut nyawanya!"
Mendengar ucapan itu, enam orang itu bergidik, dan Bibi Ciok yang
mengumpulkan seluruh keberaniannya, sambil berlutut menyembahnyembah dan berkata dengan suara gemetar.
"Nona....... Liong-li......, harap ampunkan kami yang bodoh. Saya
berjanji akan memenuhi semua perintah nona. Sebenarnya...... apakah
yang nona kehendaki datang ke tempat yang buruk ini......?"
"Bibi Ciok, tujuh tahun yang lalu, ketika engkau memaksa aku
melayani para pria hidung belang di sini, aku mempunyai langganan
sebanyak duabelas orang. Aku ingin agar engkau mengundang mereka
semua itu untuk datang ke sini, katakan bahwa aku telah kembali dan
aku akan mengadakan pertunjukan yang manis untuk mereka, bahkan
akan kutentukan, siapa yang boleh menemani aku tidur semalam di
sini, yaitu dia yang membawa emas paling banyak.
"Nah, aturlah itu, agar tiga hari kemudian mereka semua datang ke
sini, pada senja hari. Ruangan pertunjukan di belakang itu harus
kauhias sebaik-baiknya, sediakan kursi-kursi untuk duabelas orang
tamuku, dan aku akan menari di sana. Awas, kurang seorang saja
berarti sekali tamparan untukmu, dan engkau sudah melihat sendiri
akan kerasnya tamparanku. Mereka semua harus selengkapnya berada
di sini! Untuk membuktikan kerasnya tamparanku, kaulihat ini!" Kim
130 Cu menghampiri sebuah meja tebal dan sekali tangan kirinya bergerak
membacok, meja itu telah pecah berantakan! Tentu saja lima orang
jagoan dan Bibi Ciok memandang dengan mata terbelalak dan muka
pucat. "Akan kami usahakan...... akan kami lakukan perintah nona......" kata
Bibi Ciok dengan tubuh gemetar.
"Bagus, dengan begitu nyawamu akan tetap tinggal dalam tubuhmu.
Tiga hari lagi, pada sore hari aku datang ke sini. Mereka harus sudah
berkumpul dan panggil serombongan pemain musik wanita untuk
mengiringi aku menari!"
Setelah berkata demikian, Lie Kim Cu atau yang lebih baik kita sebut
saja nama barunya, yaitu Hek-liong-li atau Liong-li saja,
meninggalkan Bibi Ciok dan lima orang jagoannya yang masih
berlutut ketakutan. Baru setelah gadis itu pergi dan tidak nampak lagi, Bibi Ciok bangun
dan sumpah serapah keluar dari mulutnya yang nyerocos memakimaki lima orang jagoannya yang dianggapnya tidak becus! Akan
tetapi, lima orang jagoan itu tidak mampu berbuat apa- apa lagi,
karena mereka harus berobat untuk menyambung tulang kaki atau
lengan yang patah-patah untuk beberapa bulan lamanya, lima orang
jagoan ini tidak akan dapat berlagak jagoan lagi karena harus
beristirahat. Biarpun ia masih merasa heran atas sikap Lie Kim Cu yang kini
beralih nama menjadi Hek-liong-li, nama yang menyeramkan itu,
namun Bibi Ciok sama sekali tidak berani membangkang terhadap
perintah gadis itu. Tadinya memang ada niat di hatinya untuk
131 memanggil jagoan-jagoan yang lebih pandai, yang banyak terdapat di
Lok-yang, akan tetapi lima orang jagoannya menasihati agar Bibi
Ciok jangan melakukan hal itu. Mereka mengaku bahwa tingkat ilmu
kepandaian Hek-liong-li luar biasa sekali dan guru merekapun tidak
akan mampu menandingi gadis itu!
Mendengar ini, Bibi Ciok tidak berani mengambil resiko. Apa lagi,
perintah itu tidak berbahaya, bahkan akan menguntungkan dirinya!
Agaknya bekas anak buahnya itu masih teringat akan para
langganannya yang menyayanginya maka kini hendak menjamu
mereka dengan pesta dan tari. Dan menjanjikan tidur seorang di antara
mereka yang membawa emas paling banyak! Hampir Bibi Ciok
bersorak kalau membayangkan betapa Hek-liong-li akan suka
melayani pria-pria hidung belang lagi di situ, karena hal ini berarti
mengalirnya banyak emas ke dalam sakunya!
Tiga hari lewat dengan cepatnya. Bibi Ciok sibuk selama tiga hari itu,
akan tetapi ia masih ingat kepada duabelas orang langganan Lie Kim
Cu. Mereka adalah orang orang muda, ada yang putera hartawan, ada
pula putera bangsawan. Memang dahulu, Lie Kim Cu tidak mau
mengobral dirinya, dan setiap malam hanya melayani seorang pria
sampai pagi. Dengan demikian, selama berada di situ sebulan lebih,
gadis itu hanya mempunyai duabelas orang langganan yang
kesemuanya tergila-gila kepadanya.
Oleh karena itu, ketika Bibi Ciok menghubungi mereka dan
mengabarkan bahwa Lie Kim Cu yang cantik jelita dan pandai
menghibur hati mereka dengan segala kehangatan dan kemesraan itu
telah kembali, para pria hidung belang itu menjadi gembira sekali. Di
antara mereka termasuk Bhok Hin! Mereka semua berjanji akan
132 datang pada senja hari itu dan mereka akan berlumba memenangkan
hati wanita cantik itu agar dipilih.
Pada hari yang ditentukan, sejak sore hari duabelas orang kongcu
hidung belang itu sudah bergiliran datang dengan kereta mereka yang
mewah. Mereka disambut dengan penuh keramahan oleh Bibi Ciok
dan mereka dipersilakan langsung saja masuk ke ruangan belakang
yang luas. Tempat ini memang biasa dipergunakan untuk pesta, taritarian dan sebagainya dan keadaan tempat itu kini amat meriah, dihias
dengan rapi dan bersih. Kursi-kursi berjajar merupakan setengah lingkaran menghadap ke
sebuah panggung di mana wanita cantik yang mereka rindukan itu
akan muncul. Rombongan musik yang terdiri dari gadis-gadis cantik
sudah siap, bahkan atas isyarat dari Bibi Ciok, mereka sudah
memainkan alat musik mereka perlahan-lahan untuk menyambut para
tamu yang berdatangan. Kini duabelas orang tamu itu sudah datang semua. Yang paling akhir
adalah Bhok Hin dan begitu mantu jaksa agung itu hadir, langsung dia
bertanya kepada Bibi Ciok, "Bibi Ciok, mana si cantik Kim Cu?"
Pertanyaan ini disambut oleh para tamu lainya yang juga sudah tidak
sabar untuk cepat bertemu dan melihat bagaimana keadaan wanita
yang pernah membuat mereka tergila-gila tujuh tahun yang lalu. Hal
ini adalah karena pandainya Bibi Ciok berpromosi, mengabarkan
bahwa kini wanita itu jauh lebih cantik, matang dan menarik
dibandingkan tujuh tahun yang lalu!
Selagi mereka riuh-rendah bertanya kepada Bibi Ciok, tiba-tiba kain
tirai sutera di belakang panggung itu tersibak dan semua mata
133 ditujukan ke sana, percakapan pun seketika terhenti! Di sana, di atas
panggung, muncul seorang wanita yang memang nampak cantik luar
biasa. Kulitnya yang putih mulus kemerahan nampak lebih putih lagi
karena ia mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera hitam.
Pakaian itu ringkas dan ketat sehingga tubuhnya yang padat langsing
itu nampak jelas lekuk lengkungnya yang menggairahkan. Sepasang
matanya jernih dan tajam, sedangkan mulut itu tersenyum-senyum
ramah dan manis sekali, nampak lesung pipit di dekat mulut.
Semua tamu terpesona dan mereka mengenal wanita yang pernah
membuat mereka mabok dan tergila-gila, hanya kini nampak lebih
cantik dan lebih matang, tepat seperti yang dipromosikan Bibi Ciok!
Seperti dikomando saja, duabelas orang itu bertepuk tangan sambil
tersenyum-senyum, memasang lagak agar nampak tampan dan
menarik. Liong-li mengangkat kedua tangan ke atas, memberi isyarat agar
mereka tidak gaduh. Mereka pun duduk diam dan memandang penuh
kagum, dan suasana menjadi hening. Liong-li memperlebar
senyumnya sehingga nampak deretan giginya berkilat.
Biarpun mulutnya tersenyum dan matanya mengerling tajam dan
memikat, namun wanita ini merasa betapa hatinya panas. Teringat ia
betapa tujuh tahun yang lalu, dengan hati menderita dan terpaksa
menelan semua kejijikan dan penghinaan, ia harus melayani duabelas
orang ini, menyerahkan dirinya dan segala-galanya, bahkan harus
berpura-pura menikmatinya dan menyenanginya! Semua ingatan ini
membuat hatinya terbakar oleh dendam dan kemarahan.
134 "Cu-wi Kong-cu (Tuan-tuan Muda Sekalian)," ia berkata dengan
suara merdu merayu dan kerling mata penuh daya tarik, "selamat sore
dan selamat berjumpa kembali! Sungguh saya merasa rindu sekali
kepada cu-wi (anda sekalian). Tentu cu-wi telah melupakan saya, apa
lagi rindu......" Ia berhenti dan senyumnya melebar.
"Wah, akupun rindu sekali!" teriak seseorang.
"Aku juga!" "Aku rindu setengah mati!"
Bhok Hin berteriak, "Kim Cu, kami semua rindu kepadamu. Ke mana
saja selama tujuh tahun ini engkau pergi?"
Liong-li mengerling tajam. "Hal itu akan saya ceritakan kepada cu-wi
seorang demi seorang, bukan di sini akan tetapi di dalam kamar di
mana kita berdua saja......"
Kembali mereka bersorak dan baru keadaan menjadi hening setelah
Liong-li memberi isyarat.
"Akan tetapi karena cu-wi berjumlah belasan orang, tentu saja saya
tidak dapat melayani semua. Satu malam untuk satu orangg seperti
dulu, dan malam ini saya akan memilih seorang dengan melihat siapa
di antara cuwi yang paling rindu kepada saya. Hal itu dapat saya lihat
berapa besarnya hadiah yang cuwi berikan untuk saya! Harap cuwi
menaruh hadiah itu di sini!" Ia mengeluarkan sehelai kain hitam yang
lebar dan mengembangkan kain itu di atas panggung.
135 Mendengar ini, duabelas orang itu kembali tertawa-tawa dan suasana
menjadi gaduh ketika mereka maju dam meletakkan bermacam barang
berharga, kebanyakan potongan emas ke atas bentangan kain hitam
itu. Liong-li sambil tersenyum memandang dan melihat betapa setiap
orang memberi paling sedikit tiga tail emas dan paling banyak sepuluh
tail emas sehingga menurut taksirannya, setelah semua orang
menyerahkan hadiah, tidak kurang dari limapuluh tail emas
terkumpul! Setelah semua orang kembali dipersilakan duduk, Liong-li berkata
lantang. "Sebelum saya umumkan siapa yang menang dan berhak
menemani saya malam ini, saya akan mempersembahkan sebuah
tarian untuk cuwi yang tercinta!"
Liong-li menyuruh para pemain musik membunyikan musik mereka
lebih keras, dan iapun mulai dengan tariannya! Dikeluarkannya
sebatang pedang dan iapun mulai menari pedang! Memang Liong-li
tidak dapat disamakan dengan Lie Kim Cu. Ia kini seorang ahli silat
yang hebat, dan kini ia dapat memainkan tari pedang yang lemah
gemulai, namun di balik gerakan pedang yang nampak indah itu
terkandung kekuatan dahsyat yang hanya akan dikenal oleh ahli silat
tinggi. Duabelas orang kongcu hidung belang itu mana mungkin
mengenalnya" Mereka terpesona, bukan oleh tarian pedang,
melainkan oleh tubuh yang bergerak-gerak amat menggairahkan dan
seperti tertarik besi semberani, mereka bangkit dari tempat duduk
mereka dan mendekati panggung agar dapat melihat lebih jelas.
Melihat betapa duabelas orang itu kini berdiri membuat setengah
136 lingkaran di depan panggung, senyum Liong-li melebar dan iapun
sambil menari berkata-kata dengan suara lantang.
"Kalian adalah kongcu-kongcu hidung belang. Biarlah kusingkirkan
hidung-hidung itu agar tidak nampak belangnya lagi!" berkata
demikian tiba-tiba saja pedang itu lenyap berubah menjadi sinar
bergulung-gulung menyambar ke bawah panggung. Terdengar
teriakan-teriakan dan nampak darah muncrat-muncrat.
Keadaan menjadi gaduh dan gempar. Para gadis penabuh musik
menjerit ketakutan dan lari cerai berai. Hanya sebentar saja keributan
itu terjadi. Ketika kegaduhan berhenti, keadaan sungguh mengerikan.
Duabelas orang pria itu menggunakan tangan mendekap muka
mereka, terutama di bagian hidung. Darah mengalir dari celah antara
jari tangan yang mendekap dan mulut mereka merintih kesakitan.
Kiranya, duabelas orang itu benar-benar telah kehilangan batang
hidung mereka. Bukit hidung itu disambar gulungan sinar pedang dan
buntung! Dan di sudut nampak Bibi Ciok melolong dan menangis
sambil menggunakan tangan kiri memegangi lengan kanannya yang
buntung! Tadi sinar pedang itu menyambar ke arah tangan kanannya
dan terdengar bentakan Liong-li.
"Engkau harus menebus dosamu kepadaku dengan menyerahkan
tanganmu yang kotor!" Dan begitu sinar menyambar, tangan
kanannya sebatas pergelangan menjadi buntung!
Dan ketika semua orang memandang ke arah panggung, Liong-li
sudah tidak nampak bayangannya lagi, dan tumpukan emas di atas
kain hitam yang terbentang tadipun lenyap. Liong-li telah pergi
setelah menghukum orang-orang yang pernah menyakiti hatinya.
137 Tentu saja peristiwa itu mendatangkan geger di kota Lok-yang. Semua
orang membicarakannya dan nama Hek-liong-li menjadi buah bibir
orang. Dewi Naga Hitam menjadi terkenal di Lok-yang. Apa lagi
setelah pada malam hari itu juga terjadi peristiwa lain di Lok-yang
yang amat mengerikan pula. Terjadi di rumah gedung Pangeran Coan
Siu Ong! Malam itu sunyi meliputi rumah gedung yang seperti istana itu, milik
Pangeran Coan Siu Ong. Pangeran yang kini usianya sudah limapuluh
tujuh tahun itu, sudah tidur mendengkur kelelahan setelah menggilir
selir barunya yang nomor lima!
Tengah malam telah lewat dan para peronda di gedung itu sudah
mulai meronda. Mereka terdiri dari lima orang pengawal yang
meronda di sekeliling gedung, memasuki taman dan memeriksa semua
sudut. Seorang di antara mereka memegang sebuah lentera. Namun,
sunyi saja dan nampaknya aman sehingga mereka setelah berkeliling
lalu kembali ke gardu penjagaan mereka yang berada di pekarangan
depan gedung itu. Udara dingin dan mereka berlima lebih hangat kalau berada di dalam
gardu. Tiga orang segera rebah di atas kursi panjang, yang dua orang
sibuk bermain catur. Tak seorangpun di antara mereka yang tahu
bahwa sepasang mata jeli dari atas genteng sejak tadi mengamati
gerak-gerik mereka ketika meronda.
Setelah mereka memasuki gardu, pemilik mata itu bangkit dari
keadaannya yang mendekam tadi, lalu nampak bayangannya yang
hitam ramping berloncatan di atas wuwungan, kemudian melayang
138 turun di taman dalam gedung dan menyelinap di antara kamar-kamar
gedung besar itu. Beberapa menit kemudian, bayangan hitam itu sudah membuka
jendela sebuah kamar dengan mudahnya, lalu bagaikan seekor burung
saja ia melompat masuk ke dalam kamar itu. Di atas meja masih
bernyala penerangan sebatang lilin yang dikerudung kain merah
sehingga cuaca dalam kamar itu kemerahan remang-remang, romantis
sekali.

Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayangan itu seorang wanita yang cantik, berpakaian serba hitam dan
dalam penerangan lilin, nampaklah bahwa ia bukan lain adalah Hekliong-li! Setelah menghajar para kongcu hidung belang yang pernah
menjadi langganannya, yang pernah dilayaninya secara terpaksa dan
dengan hati tersiksa, kini Liong-li memasuki kamar orang yang paling
dibencinya, yaitu kamar Pangeran Coan Siu Ong! Pangeran inilah
yang pertama kali memperkosanya, dan pangeran ini pula yang
mengakibatkan ayah kandungnya membunuh diri dan ibu kandungnya
meninggal dunia karena kedukaan.
Liong-li membuka kerudung lilin, bahkan memasang pula tiga buah
lilin yang dipadamkan, di tempat lilin di atas meja. Kini kamar itu
tidak remang-remang lagi, melainkan terang dan Liong-li yang
menoleh ke arah tempat tidur, dapat melihat betapa di balik kelambu
yang putih halus itu terdapat dua sosok tubuh manusia yang tidur
pulas dalam keadaan saling berpelukan dan tertutup selimut merah.
Liong-li segera membayangkan keadaannya ketika itu, tujuh tahun
yang lalu, di dalam kamar ini, bahkan di atas pembaringan itu. Betapa
ia terbelenggu kaki tangannya, diperkosa oleh Pangeran Coan Siu
139 Ong. Wajahnya menjadi merah, akan tetapi ia dapat menenangkan
hatinya dan ketika ia mengerling ke dinding, ia melihat bahwa pedang
pendek yang dulu pernah ia pergunakan untuk mencoba membunuh
pangeran itu kini masih juga tergantung di situ.
Ia mengambil pedang itu dan menghunusnya. Ia tidak pernah
membawa pedang dan pedang yang dipergunakan untuk "menari" dan
menghajar para pria hidung belang di rumah pelesir Bibi Ciok juga
merupakan pedang biasa yang dibelinya dari penjual pedang di pasar.
"Brettt......, bretttt......!" Kelambu itu disambar pedang dan robek
terkuak lebar, namun dua orang yang saling berpelukan di atas tempat
tidur itu tidak bergerak. Mereka sudah tidur nyenyak sekali.
"Brukkkk......!" Liong-li membacok kaki pembaringan itu sehingga
pembaringan itu roboh miring. Barulah dua orang itu terkejut, selimut
tersingkap dan Liong-li memalingkan muka melihat bahwa mereka itu
sama sekali tidak berpakaian.
"Apa...... apa...... siapa......?" Pangeran Coan Siu Ong yang terkejut itu
gelagapan dan bersama selirnya, dia menyambar pakaian dan
mengenakan pakaiannya secara tergesa-gesa, sejadinya saja.
Lalu dia meloncat turun dari pembaringan yang miring itu, matanya
terbelalak kemerahan karena dia melihat seorang wanita berdiri
membelakangi pembaringan. Dia mengira bahwa tentu seorang
diantara selirnya yang sengaja datang membikin ribut karena iri hati
dan panas melihat dia lebih sering tidur di kamar selir terbaru ini. Dia
marah sekali dan siap untuk memaki dan menghajar selir kurang ajar
itu. 140 KEPARAT, berani kau mengganggu aku......"
Tiba-tiba dia menghentikan kalimatnya itu ketika Liong-li
membalikkan tubuh menghadapinya. Pangeran Coan Siu Ong terkejut
dan bengong memandang kepada wanita berpakaian serba hitam yang
amat cantik itu. Cantik dan menyeramkan karena kemunculannya
yang tiba-tiba, pakaiannya yang serba hitam, dan tangannya yang
memegang pedang telanjang.
"Siapa...... siapa kau......?" akhirnya dia bertanya, suaranya agak
gemetar karena dia merasa seram. Sementara itu, selirnya yang juga
sudah menutupi tubuh dengan pakaian sekenanya, turun dari
pembaringan dan bersembunyi di sudut kamar, di balik lemari pakaian
dengan muka pucat dan tubuh gemetar.
Liong-li tersenyum manis. "Pangeran Coan Siu Ong, sudah lupakah
kau kepadaku" Ingat tujuh tahun yang lalu! Lupakah engkau kepada
keluarga Lie, bawahanmu yang kaubikin hancur keluarganya itu"
Engkau memperkosa aku, lalu menjualku ke rumah pelesir, engkau
membuat ayahku membunuh diri dan ibuku mati karena duka."
"Ahhh......!" mata pangeran itu terbelalak ketika dia teringat. "Kau......
Kim Cu......!" "Sekarang bukan Lie Kim Cu lagi, melainkan Hek-liong-li yang
datang untuk membasmi manusia-manusia jahat dan keji macam
engkau!" "Tolonggg......! Tolooongggg......!" Tiba-tiba selir yang bersembunyi
di sudut dekat almari itu berteriak-teriak mendengar ucapan wanita
baju hitam itu. 141 Sementara itu, Pangeran Coan Siu Ong sudah jatuh berlutut karena
takutnya. Dia mengenal Kim Cu, gadis yang pernah dijadikan selir,
dan karena gadis itu menolak untuk digauli, bahkan memukulnya,
maka dia menyuruh pengawalnya untuk membelenggu gadis itu,
kemudian diperkosanya! Dia sudah tahu bahwa gadis itu kuat sekali
dan andaikata dia melawan pun akan sia-sia, maka saking takutnya,
dia sudah jatuh berlutut dengan tubuh menggigil ketakutan.
"Ampun...... ampunkan aku......" katanya berulang kali dengan bibir
gemetar. Akan tetapi diam-diam dia melirik ke arah pintu,
mengharapkan munculnya para pengawalnya atas teriakan minta
tolong selirnya tadi. Akan tetapi, Liong-li sama sekali tidak perduli
akan teriakan selir yang ketakutan itu.
"Mintalah ampun kepada Tuhan!" kata Liong-li dan tangannya
bergerak, pedangnya berkelebat menjadi sinar menyambar ke arah
Pangeran Coan Siu Ong. "Crak-crak-crak-crakk!" Nampak darah muncrat-muncrat dan tubuh
pangeran itu terguling mandi darahnya sendiri yang bercucuran keluar
dari kedua lengan dan kedua kakinya yang buntung! Buntung sebatas
pergelangan, terbabat oleh pedang di tangan Liong-li!
Wanita itu lalu melontarkan pedang menancap pada dinding, tepat
pada saat pintu kamar itu jebol karena dibuka secara paksa dari luar
oleh para pengawal yang berdatangan karena teriakan selir yang
Ikat Pinggang Kemala 3 Pantang Berdendam Serial Tujuh Manusia Harimau (1) Karya Motinggo Boesye Lentera Maut 11
^