Pencarian

Sepasang Naga Penakluk Iblis 5

Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


engkau! Disuruh membunuh seorang gadis saja tidak becus, bahkan
kalah olehnya! Hemm, apakah gadis itu memiliki tiga kepala dan
enam tangan?" "Maaf, Beng-cu, ia memang lihai sekali bagiku, akan tetapi aku yakin
bahwa ia bukan apa-apa kalau berhadapan dengan Beng-cu. Ia adalah
murid dari bibi guruku sendiri, yaitu Huang-ho Kui-bo. Ia ahli ilmu
langkah ajaib Liu-seng-pouw, ilmu silat tangan kosong Bi-jin-kun,
pukulan sakti Hiat-tok-ciang dan di samping itu, ia agaknya mewarisi
keahlian permainan tongkat dari bibi guru Huang-ho Kui-bo."
"Hemm, sudahlah, kita lupakan dulu gadis itu. Kalau sepasang pokiam (pedang pusaka) itu telah selesai, baru kita cari lagi gadis itu dan
biarlah aku yang akan menangkapnya sendiri."
"Beng-cu, serahkan saja nona manis itu kepadaku, akan kutangkap ia
dan akan kutaklukkan ia!" kata Jai-hwa Kongcu Lui Teng sambil
tersenyum. Wajahnya yang tampan nampak manis akan tetapi juga
kejam sekali sinar matanya,
282 "Biarkan kami yang akan menghancurkan gadis sombong itu, Bengcu!" kata pula Can Siang dan Can Siong, dua orang kembar itu hampir
berbareng. "Kalian jangan tekebur," kata Tok-gan-liong Yauw Ban yang lebih
berhati-hati. "Kalau ia dapat ntengalahkan Kiu-bwe Mo-li, berarti ia
memang lihai sekali dan kita lihat saja nanti kalau sampai kita
berhadapan dengannya. Bagaimanapun juga, kita harus membasminya
karena ia telah berani menentang dan melanggar wibawa Beng-cu
kita." Demikianlah, Hek-sim Lo-mo tidak mau diganggu oleh urusan lain
lagi sebelum sepasang pedangnya itu selesai dibuat dan dia bersama
semua pembantu utamanya yang berkumpul di dusun Gi-ho-cung,
mengamati gerak-gerik kakek Thio Wi Han dan isterinya dan menjaga
dengan ketat agar jangan sampai sepasang pedang itu diganggu orang
lain. Memang terjadi hal yang amat aneh di dusun Gi-ho-cung itu.
Demikian banyaknya para tokoh sesat, bahkan datuknya yang ditakuti
semua orang kang-ouw, berada di dusun itu, akan tetapi anehnya,
tidak ada seorangpun penghuni dusun itu yang tahu bahwa di dusun
mereka terdapat seorang datuk sesat seperti raja setan dengan lima
orang pembantu utamanya seperti iblis, dan tigabelas orang anak buah
seperti binatang-binatang liar yang buas, yaitu Cap-sha-kwi! Hal ini
adalah karena mereka semua tidak pernah melakukan suatu kejahatan
atau kekerasan dalam bentuk apapun!
Dan hal ini tentu saja berkat sikap Thio Wi Han! Kakek ahli pembuat
pedang yang gagah perkasa dan tidak mengenal takut ini memesan
283 dengan sungguh kepada Hek-sim Lo-mo bahwa dia dan anak buahnya
tidak boleh sedikitpun mengganggu penduduk dusun itu. Kalau
sampai terjadi gangguan, pedang itu tidak akan diselesaikan bahkan
akan dihancurkan! Karena ancaman ini, betapupun mendongkol rasa hati Hek-sim Lomo, namun dia khawatir kalau sampai kakek yang keras hati itu akan
melaksanakan ancamannya, maka dia pun mengancam semua anak
buahnya agar tidak mengganggu sedikitpun keamanan di dusun itu.
Bahkan dilarang memperkenalkan diri kepada mereka.
Larangan ini dipatuhi oleh semua kaki tangan Hek-sim Lo-mo, akan
tetapi amat menyiksa hati Jai-hwa Kongcu Lui Teng. Penjahat muda
yang amat lihai ini memang mempunyai satu kelemahan, yaitu dia
tidak tahan hidup tanpa wanita, dan sekali dia melihat wanita yang
menarik hatinya, dia tidak akan berhenti berusaha sebelum wanita itu
jatuh ke dalam pelukannya. Watak inilah yang membuat dia menjadi
gila perempuan dan entah berapa banyaknya wanita yang
diganggunya, baik dengan halus maupun secara kasar sehingga dia
dijuluki Jai-hwa Kongcu (Pemuda Pemetik Bunga).
Larangan Hek-sim Lo-mo agar dia tidak mengganggu penduduk
dusun itu sama saja dengan melarangnya mengganggu wanita dan dia
mulai merasa gelisah. Boleh saja menyuruh dia menganggur berbulanbulan asal ada wanita di dekatnya! Tanpa adanya wanita, baru
beberapa hari saja dia sudah merasa tersiksa, apa lagi ketika pada
suatu hari dia melihat dua orang wanita dusun itu sedang mencuci
pakaian di sungai kecil yang mengalir bening di luar dusun.
284 Seorang wanita berusia tigapuluh tahun lebih dan puterinya berusia
limabelas tahun. Ibu muda dan puterinya itu nampak menarik sekali
dalam pakaian mereka yang basah dan dengan jantung berdebar dan
gairah mulai merangsang batinnya, Lui Teng menghampiri mereka.
Dua orang wanita itu terkejut melihat munculnya seorang laki-laki
asing dan mereka tahu bahwa pria itu tentulah seorang di antara
beberapa orang asing yang kabarnya menjadi tamu kakek Thio untuk
memesan pembuatan senjata tajam. Karena selama ini mereka tidak
pernah mengganggu penduduk, dua orang wanita inipun tidak merasa
takut, hanya malu dan cepat mereka berusaha menutupi dada mereka
dengan kain yang mereka cuci karena basahnya baju mereka membuat
pakaian itu melekat ketat dan buah dada mereka nampak membayang.
Jai-hwa Kongcu Lui Teng tersenyum dan memang dia berwajah
tampan, bersikap halus dan senyumnya amat menarik hati wanita.
Dengan sopan dia memberi hormat kepada mereka.
"Maafkan, kedua nona-nona manis yang baik budi, bukan maksudku
untuk mengganggu kalian, akan tetapi aku ingin mandi dan aku tidak
akan mengganggu kalian. Teruskan saja pekerjaan kalian, nona-nona
manis......" Dua orang wanita itu saling pandang, kemudian yang lebih tua
tersenyum geli dan menutupi muka dengan tangan. Gerakan ini
membuat pakaian yang menutupi dadanya pindah ke mulut dan
nampaklah buah dadanya membayang, membuat Jai-hwa Kongcu Lui
Teng menelan ludah dan memandang kagum.
"Hi-hi, kongcu, jangan panggil aku nona. Aku sudah bersuami dan ini
adalah A Kim, puteriku, anak tunggal kami."
285 Lui Teng bukan seorang laki-laki bodoh yang tidak berpengalaman.
Tentu saja dia tahu bahwa wanita ini sudah bersuami walaupun dia
tidak mengira bahwa yang remaja puteri itu anaknya. Akan tetapi dia
berpura-pura nampak terkejut dan heran, dan dengan pandang mata
penuh kagum diapun berseru.
"Aihhh......, sungguh mati! Siapa dapat menyangka hal itu" Siapapun
akan mengira bahwa engkau masih seorang gadis yang sudah dewasa,
dan usiamu tentu takkan lebih dari duapuluh tahun lebih sedikit, enci!
Siapa akan percaya kalau engkau sudah bersuami, bahkan sudah
mempunyai seorang anak seperti nona yang cantik manis ini?"
Sikap dan ucapan itu saja sudah amat menarik hati kedua orang wanita
itu. Mereka adalah dua orang wanita dusun sederhana dan selamanya
mereka belum pernah mendengar rayuan semanis itu keluar dari mulut
seorang pria, apa lagi pria ini seorang pemuda kota yang demikian
tampan dan berpakaian indah! Seketika wajah wanita itu menjadi
kemerahan, dan puterinya juga memandang dengan malu-malu.
"Ah, kongcu sungguh terlalu memuji.....!" kata wanita itu dengan
suara merdu dan kerling serta senyumnya memberi tanda kepada Lui
Teng yang berpengalaman bahwa umpannya mengena dan kalau dia
mau, "ikan" itu tinggal menariknya saja.
Akan tetapi dia tidak mau tergesa-gesa, dan dia harus bermain dengan
hati-hati dan aman agar jangan sampai ada orang tahu, karena dia
sungguh ngeri kalau membayangkan kemarahan Hek-sim Lo-mo
kepadanya kalau sampai dia melanggar larangannya.
Memang sudah memuncak berahinya dan kalau saja menuruti suara
hatinya, tentu sudah ditubruknya dua orang wanita ibu dan anak itu
286 untuk memuaskan hatinya, seperti seekor harimau yang menerkam
dua ekor kelinci gemuk. Akan tetapi, dia menahan diri. Dua orang
wanita ini harus ditundukkannya sehingga mereka tidak menolak, dan
pula, dia harus dapat memiliki mereka tanpa ada orang tahu, secara
rahasia dan hal ini baru mungkin dilakukan kalau mereka berdua itu
sudah tunduk dan takluk kepadanya!
"Ah, tidak, enci, aku tidak terlalu memuji. Kalian seperti enci dan adik
saja, dan memiliki persamaan, keduanya cantik jelita seperti bunga
yang mulai dan sudah mekar, kalau puteri enci ini, adik A Kim ini,
seperti buah yang ranum dan segar, maka enci seperti buah yang
sudah matang, keduanya membuat orang kegilaan. Bukan main seperti
dua orang dewi dari kahyangan yang sedang bermain-main di air."
Sambil berkata demikian, Lui Teng sudah menanggalkan bajunya dan
mau tidak mau, dua orang wanita itu memandangnya dengan kagum.
Pemuda kota itu bukan saja tampan wajahnya, akan tetapi juga
memiliki tubuh yang indah, kekar berotot namun kulitnya putih halus!
Akan tetapi ketika mereka melihat betapa pemuda tampan itu hendak
menanggalkan celana, sudah meraba ke arah ikat pinggang, keduanya
tergesa-gesa menyambar cucian mereka dan sambil menahan ketawa
karena geli, mereka lalu lari ke tepi dan hendak meninggalkan anak
sungai itu. Melihat betapa ibu dan anak itu melarikan diri karena malu
melihat dia hendak mandi telanjang, dengan beberapa langkah saja
Lui Teng sudah mengejar dan mendahului mereka, dan dua orang
wanita itu terpaksa berhenti ketika melihat Lui Teng sudah berdiri di
depan mereka, dengan wajah memperlihatkan penyesalan. Dia segera
menjura kepada ibu dan anak itu dan suaranya terdengar memelas.
287 "Aih, enci yang baik, dan kau nona yang manis. Sungguh mati, aku
merasa menyesal sekali telah mengganggu kalian dan membuat kalian
lari meninggalkan sungai ini. Aku mengaku telah berdosa besar dan
biarlah kalian menghukum aku kalau kalian menganggap aku
mengganggu dan kurang ajar." Berkata demikian, Lui Teng menjatuh
diri berlutut di depan mereka!
Tentu saja dua orang wanita itu terkejut dan si ibu muda cepat
membalas penghormatan itu dengan gugup, "Jangan, kongcu......,
berdirilah dan jangan berlutut kepada kami seperti itu......"
"Tidak, aku merasa berdosa dan kalau kalian belum mau mengampuni
aku, biar aku akan berlutut di sini sampai mati! Sebagai tanda bahwa
kalian benar-benar sudi mengampuni aku, hanya kalian berdualah
yang dapat membuat aku bangun dari sini......" Lui Teng lalu
mengulurkan kedua tangannya yang direntang ke kanan kiri.
Ibu dan anak itu saling pandang, lalu sang ibu muda mengangguk dan
kedua orang wanita itu menurunkan keranjang cucian mereka,
masing-masing memegang tangan Lui Teng dan menariknya bangun.
Lui Teng bangkit berdiri, matanya melahap pakaian bagian dada
mereka yang basah itu. "Terima kasih...... ah, terima kasih! Kalian adalah dewi-dewi cantik
penolongku!" Dan dengan hati-hati dia lalu menarik kedua tangan itu
dan menciumi jari-jari tangan mereka itu bergantian.
Ibu muda itu menjadi malu, dan puterinya ketakutan. Mereka menarik
kembali tangan mereka dan dilepas oleh Lui Teng yang bersikap hatihati.
288 "Aku telah berhutang budi kepada kalian. Nah, sedikit tanda
peringatan ini, tanda terima kasih dan tanda cintaku kepada kalian,
terimalah sedikit hadiah ini!" Dan diapun sudah mempersiapkan dua
buah hiasan rambut dari emas berbentuk bunga, memberikannya
kepada ibu dan anak itu, masing-masing sebuah.
Ibu dan puterinya itu, wanita-wanita dusun yang belum pernah
menerima pemberian seindah itu, menerimanya dengan wajah berseri
dan mereka sudah lupa lagi akan kekagetan mereka ketika jari tangan
mereka diciumi hergantian oleh pemuda itu.
"Terima kasih, kongcu......" kata sang ibu muda yang diturut oleh
puterinya. "Tidak usah berterima kasih...... malam nanti saja aku akan
berkunjung ke kamar kalian dan aku akan menerima terima kasih
kalian. Usahakan agar kalian tinggal sekamar, tanpa ada orang lain.
Tunggulah kunjunganku, malam nanti......" Setelah membisikkan katakata itu, Lui Teng lalu lari meninggalkan mereka, kembali ke sungai
dan menanggalkan semua pakaiannya lalu mandi.
Dua orang wanita itu terbelalak, wajah mereka berubah merah sekali,
dan mereka saling pandang. Kalau ada sedikit rasa takut dan tidak
setuju sehingga mereka ingin menolak, perasaan itu dihilangkan oleh
rasa malu kalau harus menghampiri pemuda yang mandi telanjang itu.
Akhirnya, keduanya pulang dengan jantung berdebar penuh
ketegangan. Di tengah jalan, sang ibu memesan kepada puterinya agar
peristiwa itu tidak diceritakan kepada siapapun juga, bahkan kepada
ayahnyapun jangan sekali-kali diceritakan.
289 Lui Teng merasa yakin akan kemenangannya. Ketika dia menciumi
tangan kedua orang wanita itu dan melihat mereka tidak menjerit atau
menolak, dia sudah tahu bahwa mereka itu sudah bertekuk lutut, dan
takkan menolak, atau setidaknya, takkan melawan kalau dia
mencurahkan rasa cinta berahinya kepada mereka!
Ketika A Kim dan ibunya tiba di rumah mereka, ternyata suami ibu
muda yang bernama Souw Kun sedang menerima dua orang tamu.
Mereka adalah dua orang laki-laki muda yang berwajah tampan dan
berpakaian seperti sastrawan. Perasaan ibu muda dan puterinya
menjadi semakin berdebar karena dua orang itu mengingatkan mereka
akan orang muda yang mereka jumpai di tepi sungai dan yang
bersikap manis kepada mereka, bahkan telah menghadiahkan hiasan
rambut dari emas dan berjanji akan datang menjenguk mereka malam
nanti! Akan tetapi, dua orang muda ini bersikap amat sopan dan sinar mata
mereka sama sekali tidak "nakal" seperti sinar mata pemuda yang
mereka jumpai di sungai. Dua orang pemuda ini cepat bangkit dan
memberi hormat kepada ibu dan anak itu, dan Souw Kun segera
memperkenalkan isteri dan anaknya kepada mereka, sebaliknya dia
memberitahu kepada isterinya untuk cepat mempersiapkan masakan
dan menyembelih ayam untuk hidangan dua orang tamu mereka.
Dia memperkenalkan dua orang tamu itu kepada isterinya sebagai dua
orang dari kota raja yang melakukan perjalanan dan singgah di dusun
itu. Karena di dusun itu tidak ada rumah penginapan, maka mereka
tadi bertanya kepada Souw Kun yang sedang bekerja di ladang,
berkenalan, kemudian mereka berdua menyatakan ingin bermalam di
rumahnya selama beberapa hari dengan membayar sewa secukupnya
290 karena mereka berdua tertarik oleh pemandangan indah dan hawa
sejuk dusun di kaki Pegunungan Fu-niu-san itu.
Dua orang itu bukan lain adalah Cin Hay dan Tek Hin. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, Cin Hay mencegah Song Tek Hin yang
membunuh diri, kemudian dia mendengar dari Tek Hin tentang
mustika naga yang dirampas oleh Hek-sim Lo-mo dari tangan calon
mertua pemuda pelajar itu, dan betapa tunangan Tek Hin yang
bernama Bi Hwa diperkosa sampai tewas, sedangkan ayahnya juga
dibunuh Hek-sim Lo-mo. Kemudian dua orang muda itu menuju ke dusun Gi-ho-cung untuk
mencari Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya yang menurut hasil
penyelidikan Tek Hin, kabarnya berada di dusun itu. Karena ingin
bersikap hati-hati, maklum akan kelihaian pihak lawan, Cin Hay
mengajak Tek Hin untuk memasuki dusun itu tanpa membuat banyak
gaduh. Mereka lalu berkenalan dengan seorang petani yang sedang
menggarap sawahnya, dan kebetulan petani itu adalah Souw Kun.
Dengan sikap yang sopan dan ramah, juga dengan memberikan uang
muka yang cukup banyak, mereka berhasil menarik simpati petani itu
yang segera mengajak mereka ke rumahnya dan menjamu mereka
sebagai tamu-tamu agung. Dalam percakapan antara mereka, dengan
menyinggung tentang keadaan di dusun itu.
cerdik Cin

Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hay "Dusun yang begini indah dengan pemandangan alamnya dan sejuk
nyaman hawanya, tentu sering dikunjungi tamu dari luar daerah.
Tidakkah begitu, Souw-toako?"
291 Souw Kun mengerutkan alisnya, lalu mengangguk. "Memang
seringkali ada tamu luar daerah datang berkunjung, akan tetapi sama
sekali bukan karena keindahan pemandangan alam atau kesejukan
hawa di dusun ini." "Ehh" Kalau bukan untuk itu, lalu untuk apa mereka datang
berkunjung ke sebuah dusun yang sunyi ini?" Song Tek Hin yang
mengerti akan pancingan Cin Hay, menyambung.
"Ah, yang datang bukanlah pelancong-pelancong seperti ji-wi (anda
berdua) yang suka akan tempat indah, melainkan orang-orang kangouw, ahli-ahli silat dan orang-orang kasar."
Jelas bahwa petani itu tidak suka mereka yang suka berdatangan ke
dusun mereka. Dia adalah seorang petani sederhana yang usianya
sudah empatpuluh tahun dan sudah banyak ulah orang-orang kangouw yang merugikan penduduk dusun dengan tingkah laku mereka
yang kasar dan kadang-kadang sewenang-wenang dan kejam.
Tentu saja Souw Kun sama sekali tidak tahu bahwa dua orang
tamunya yang kelihatan demikian halus dan seperti dua orang
terpelajar yang tidak mengenal kekerasan, adalah dua orang muda
yang ahli dalam ilmu silat, apa lagi yang berpakaian serba putih itu!
Mereka berdua juga tidak membawa senjata apapun.
"Orang-orang kang-ouw" Ahli-ahli silat" Mau apa mereka datang ke
sini?" tanya Cin Hay pura-pura heran.
"Di dusun kami tinggal seorang ahli pembuat senjata tajam yang amat
terkenal, nama- nya Thio Wi Han. Dia tinggal di tepi dusun, berdua
saja dengan isterinya dan dialah yang seringkali didatangi orang-orang
292 kang-ouw yang hendak membuatkan senjata. Bahkan sekarang inipun
di dusun kami terdapat banyak orang kang-ouw yang agaknya sedang
menunggu senjata pesanan mereka. Sudah berpekan-pekan mereka
tinggal di sini." Souw Kun lala menceritakan tentang orang-orang kang-ouw yang
berkeliaran di dusun itu, juga tentang adanya tigabelas orang yang
kelihatan buas, yang membuat pondok darurat tak jauh dari rumah
Thio Wi Han, juga tentang seorang kakek raksasa yang menyewa
sebuah rumah terbesar di dusun itu di mana dia tinggal bersama
beberapa orang yang kelihatannya aneh dan buas, akan tetapi yang
tidak pernah mengganggu penghuni dusun.
Dari mulut Souw Kun, Cin Hay dan Tek Hin mendapatkan keterangan
yang cukup jelas, akan tetapi petani itu tidak tahu senjata apa yang
dipesan oleh orang-orang kang-ouw itu. Juga dia sama sekali tidak
tahu tentang Hek-sim Lo-mo, apa lagi tentang mustika naga.
Dalam rumah sederhana dari Souw Kun itu hanya terdapat dua buah
kamar. Sebuah kamar besar dari Souw Kun dan isterinya, dan sebuah
kamar yang tidak begitu besar dari A Kim, puteri mereka. Dengan
adanya dua orang tamu itu, isteri Souw Kun mendapat alasan yang
cukup baik untuk tidur di kamar puterinya, bahkan hal ini dikehendaki
oleh suaminya karena kamar besar dipergunakan oleh Souw Kun dan
dua orang tamunya. Souw Kun memberikan pembaringannya kepada dua orang tamunya
sedangkan dia sendiri tidur di kursi panjang di sudut kamarnya itu.
Isterinya tidur bersama puterinya dan dua orang wanita itu merasa
293 tegang sekali, teringat akan pesan pemuda tampan yang memberi
hadiah kepada mereka. Malam itu sunyi sekali. Malam yang gelap dan hawa udara di luar
rumah amatlah dinginnya. Cin Hay dan Tek Hin yang sehari tadi
melakukan perjalanan jauh dan merasa lelah, sudah rebah di atas
pembaringan, bahkan Tek Hin segera jatuh pulas. Cin Hay masih
belum dapat pulas, rebah dengan gelisah. Dia melihat kehidupan tuan
rumah dan diam-diam dia merasa agak iri.
Betapa bahagianya kehidupan keluarga petani dusun miskin seperti
Souw Kun itu! Memang miskin sekali untuk ukuran kota, akan tetapi
jelas bahwa tidak banyak persoalan yang harus mereka pikirkan
kecuali bekerja setiap hari mencari makan, dan tidak ada kesulitan
apapun dalam kehidupan mereka. Tidak ada yang mereka butuhkan
kecuali makan kenyang setiap hari, pakaian yang setiap hari dapat
diganti, tempat tinggal yang cukup melindungi mereka dari panas,
angin dan hujan. Apa lagi"
Di dusun tidak ada restoran besar yang serba mahal, tidak ada tokotoko yang memamerkan barang-barang mewah pakaian indah, tidak
ada tontonan-tontonan yang menghamburkan uang, tidak ada tempat
perjudian dan lain kesenangan lagi yang hanya akan menambah besar
kebutuhan manusia hidup. Lalu dia ingat akan keadaannya sendiri.
Diapun tidak butuh apa-apa, akan tetapi juga tidak punya apa-apa!
Tidak ada keluarga, tidak ada orang-orang yang dicintanya, dan
hidupnya terasa hampa. Dia menoleh kepada Tek Hin yang tidur pulas. Orang inipun tidak
bahagia, pikirnya. Kehilangan orang yang dicintanya, dan kini hatinya
294 hanya penuh dengan dendam! Hanya dendam yang masih membuat
dia mempertahankan hidupnya, dendam dan harapan karena bertemu
dengan dia yang menimbulkan harapan akan dapat membalas
dendamnya! Kasihan Song Tek Hin ini, pikir Cin Hay, lupa akan
keadaan dirinya sendiri. Duka timbul dari iba diri sebagai hasil dari pementingan diri pribadi.
Karena itu, begitu pikiran ditujukan kepada orang lain sehingga timbul
rasa iba kepada orang lain, dengan sendirinya duka yang timbul dari
iba diri itupun menghilang atau menipis. Perubahan dan jalan pikiran
ini, ulah tingkah pikiran seperti ini, seyogianya selalu diperhatikan,
diamati tanpa pamrih, tanpa tindakan apapun, hanya pengamatan saja
yang ada. Pengamatan inilah yang akan mendatangkan suatu keadaan yang lain
sama sekali, pengamatan tanpa si-aku yang mengamati karena si-aku,
yaitu pikiran, sudah lebur dan bersatu ke dalam pengamatan itu,
seluruh pikiran, hati dan perasaan menjadi satu dalam pengamatan
sehingga tidak ada lagi si-aku yang menimbang, yang menilai, yang
ingin menyenangkan dan ingin disenangkan yang keduanya berpamrih
dan bersumber kepada pementingan si-aku pula.
Tidak adanya si-aku ini bukan berarti diri menjadi kosong dan tumpul.
Sebaliknya malah! Tanpa adanya si-aku, maka pengamatan itu murni
dan penuh, tidak diselewengkan oleh si-aku yang berpendapat. seperti
penuhnya pengamatan seorang tukang jam yang sedang menyelidiki
kerusakan jam itu. Yang ada hanya pengamatan yang mendalam, yang
menimbulkan pengertian dan kewaspadaan.
295 Cin Hay menoleh kepada tuan rumah. Juga sudah tidur pulas, bahkan
dalam tidurnya pun, terdapat perbedaan antara pulasnya Tek Hin dan
pulasnya Souw Kun petani itu. Dari cahaya sinar lilin, Cin Hay dapat
melihat betapa garis-garis wajah Tek Hin yang tampan itu masih
dibayangi sisa keruwetan pikiran, dan mungkin saja dalam keadaan
seperti itu, di dalam tidurnya Tek Hin akan bermimpi sebagai sisa
celoteh pikiran di siang hari, tidak seperti Souw Kun yang tidur
demikian nyenyak, dengan wajah yang polos dan begitu bebas!
Malam semakin larut dan akhirnya Cin Hay mulai diselimuti
ketidaksadaran orang yang menyeberang ke alam tidur. Akan tetapi,
belum lama dia tertidur, dia yang memiliki pendengaran amat tajam
berkat latihan yang tekun, tergugah oleh suara yang tidak wajar.
Kelopak matanya tergetar, lalu terbuka dan kesadarannya mulai
masuk. Dia tidak bergerak, melirik ke arah dua orang kawan sekamar
itu. Terdengar dengkur halus Souw Kun, dan Tek Hin juga masih tidur
pulas, kini miring ke kiri.
Kesadarannya sudah pulih dan dia memasang telinganya. Terdengar
isak tangis tertahan! Tangis wanita yang ditahan-tahan, datangnya dari
kamar sebelah! Memang lirih sekali, namun cukup menembus dinding
dan tertangkap oleh pendengarannya yang tajam.
Dua orang wanita, ibu dan anak itu, sejak memasuki kamar sudah
merasa gelisah dan tegang. Kalau mengenangkan pesan pemuda yang
menarik itu, mereka menjadi tegang, dan si ibu muda yang merasa
amat tertarik kepada orang muda tampan dan pandai merayu itu,
diam-diam mengharapkan kedatangannya. Akan tetapi kalau ia
teringat akan suaminya dan dua orang tamunya yang tidur di kamar
sebelah, ia merasa ngeri kalau sampai kedatangan pemuda tampan itu
296 ketahuan dan diam-diam ia mengharapkan orang itu agar jangan
muncul dan bahwa pesannya tadi hanya bualan saja!
Adapun A Kim yang baru berusia limabelas tahun, masih gadis
remaja, hanya menduga-duga dengan jantung berdebar tegang, apakah
pemuda itu benar akan datang ke dalam kamarnya dan apa gerangan
yang akan dilakukan oleh pemuda itu kepadanya dan kepada ibunya.
Sampai tengah malam, keduanya belum juga tidur, menanti dengan
jantung berdebar. Akan tetapi, semakin larut malam, hati mereka
menjadi semakin lega karena pemuda itu tidak muncul. Tentu hanya
bualan saja, pikir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba jendela kamar mereka
terbuka dari luar tanpa mengeluarkan suara! Dan sebuah kepala
nampak di jendela itu, diterangi lampu gantung di sudut rumah, dan
terdengar suara. "Sssssshhhh......!" isyarat bagi mereka agar jangan bersuara.
Ibu muda dan gadisnya itu terbelalak, dan A Kim merasa betapa
jantungnya berdetak keras sampai terdengar meledak-ledak di
telinganya. Ia tidak tahu bahwa ibunya juga mengalami hal yang sama
ketika ia memegang tangan ibunya. Tangan mereka dingin dan
gemetar! Mereka mengenal kepala dan muka itu, muka pemuda
tampan yang berjumpa dengan mereka di sungai siang tadi! Wajah
yang tampan tersenyum manis dan pandang matanya yang nakal!
Bagaikan seekor kucing saja, tanpa menimbulkan suara, pemuda yang
bukan lain adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng, sudah melompat ke
dalam kamar itu. 297 "Sstttt, aku datang memenuhi janji......" bisiknya lirih, "harap jangan
mengeluarkan suara......"
Dan diapun langsung saja menutupkan kembali daun jendela yang tadi
dibukanya dari luar dengan mudah, mempergunakan tenaga dan
kepandaiannya. Kamar itu kembali menjadi gelap seperti tadi, hanya
remang-remang saja karena ada sedikit sinar lampu menyorot masuk
dari ruangan di luar kamar itu melalui celah-celah di atas daun pintu
yang tinggi. Nyonya Souw Kun, ibu A Kim, dengan tubuh gemetar menurut saja
seperti seekor domba digiring ke jagal ketika Lui Teng merangkulnya
dan menariknya ke pembaringan. Tangan ibu ini memegang lengan A
Kim yang ikut pula terbawa dan begitu mereka berada di atas
pembaringan, Lui Teng menerkam wanita itu dengan penuh gairah,
namun juga dengan kelembutan, disertai bisikan-bisikan merayu yang
memang menjadi keahliannya.
Ibu muda itu seperti lumpuh. Bermacam perasaan membuatnya
lumpuh. Perasaan gembira, malu, ingin tahu, juga tegang dan takut,
semua itu didorong oleh rangsangan yang timbul oleh rayuan dan
cumbuan Lui Teng yang berpengalaman, berubah menjadi penyerahan
dengan penuh kepasrahan seorang yang mabok nafsu! Ibu ini lupa
keadaan, lupa di mana ia berada, lupa siapa dirinya, dan lupa bahwa di
dekatnya ada puterinya yang masih remaja, yang menggigil karena ia
sudah cukup besar untuk mengerti apa yang sedang terjadi.
Dan Lui Teng tidak akan dijuluki Jai-hwa Kongcu kalau dia merasa
puas dengan hasil yang diperolehnya, puas dengan penyerahan diri
Nyonya Souw Kun penuh kepasrahan itu. Tidak, dia sama sekali
298 belum puas. Masih ada A Kim di situ, setangkai bunga yang sedang
mekar, belum tersentuh tangan, setangkai kembang yang belum
tercium kumbang. Setelah menaklukkan sang ibu, diapun mulai menerkam puterinya!
Dan ibu A Kim tidak dapat berbuat apapun, tidak berani melarang
karena khawatir kalau rahasianya terbuka. Terpaksa ia harus
merelakan puterinya digauli Jai-hwa Kongcu, bahkan ia membujukbujuk agar puterinya tidak menangis terlalu keras, agar jangan sampai
diketahui suaminya bahwa di kamar itu, ibu dan anak sedang tidur
bersama seorang laki-laki asing!
Dan tangis tertahan-tahan dari A kim itulah yang terdengar oleh
telinga Cin Hay yang peka terlatih. Setelah dia merasa yakin bahwa
yang merintih dan menangis lirih itu adalah suara seorang wanita di
kamar sebelah, Cin Hay lalu bangkit duduk, dengan hati-hati dia turun
dari atas pembaringan lalu menghampiri Souw Kun yang masih tidur
nyenyak. Dirabanya pundak orang itu dan diguncangnya perlahan
sampai Souw Kun terbangun. Cin Hay menaruh telunjuknya di depan
mulut lalu berkata lirih,
"Souw-toako, aku mendengar suara tangisan di kamar sebelah.
Sebaiknya kalau engkau jenguk anak isterimu, jangan-jangan ada
yang sedang sakit. Tangis itu merintih seperti orang kesakitan."
Souw Kun bangkit duduk dan dia mencoba mendengarkan, akan tetapi
pendengarannya tidak setajam pendengaran Cin Hay, maka dia
menggeleng kepalanya. "Aku tidak mendengar apa-apa," katanya.
299 "Coba kautempelkan telingamu di dinding itu, mungkin kau akan
mendengar juga," kata Cin Hay.
Souw Kun lalu menghampiri dinding yang memisahkan kamar itu
dengan kamar puterinya, lalu menempelkan telinganya. Benar saja
lapat-lapat dia mendengar suara rintihan dalam tangisan lirih, bahkan
lapat-lapat dia mengenal tangis itu seperti suara puterinya.
"Ah, aku dapat mendengarnya sekarang! Anakku tentu sakit......"
katanya. "Toako, sebaiknya kalau engkau menjenguk mereka, siapa tahu
anakmu membutuhkan pertolonganmu," kata Cin Hay yang merasa
tidak enak hatinya. Puteri tuan rumah itu jelas menangis dengan tertahan-tahan, seolaholah ia merasa malu untuk mengganggu para tamunya. Hal ini
membuat hatinya tidak enak, karena ia merasa telah mengganggu
keluarga tuan rumah yang demikian ramahnya. Mungkin gadis itu
mengalami sakit yang hebat, dan menahan tangisnya agar jangan
mengganggu para tamu. Souw Kun merasa khawatir juga mendengar ucapan Cin Hay. Dia lalu
membuka pintu kamar itu dan keluar. Tak lama kemudian Cin Hay
yang masih berada di dalam kamar mendengar tuan rumah menggedor
daun pintu kamar sebelah dan memanggil-manggil isteri dan anaknya.
Dia tidak ikut karena merasa tidak patut untuk menjenguk ke kamar
isteri dan gadis tuan rumah.
Tiba-tiba Cin Hay terkejut. Terdengar suara gaduh di kamar sebelah
itu, dan yang terakhir terdengar teriakan Souw Kun, disusul robohnya
300 tubuh orang dan selanjutnya sunyi. Cin Hay cepat melompat keluar
dari dalam kamar dan dia masih melihat berkelebatnya orang, cepat
sekali, keluar dari ruangan itu. Dia hendak mengejar, akan tetapi
melihat tubuh Souw Kun menggeletak di ambang pintu kamar yang
terbuka lebar, sebuah lampu gantung yang agaknya tadi dibawa Souw
Kun, menggeletak miring dan hampir padam di sebelahnya.
Cin Hay tidak jadi mengejar, melainkan cepat menyambar lampu
gantung itu sehingga tidak jadi mati, dan ketika dia mengangkat
lampu itu mendekati tubuh Souw Kun, dia terkejut melihat betapa
orang itu telah tewas dengan leher terluka lebar hampir putus!
Agaknya leher itu terbabat senjata tajam yang dilakukan dengan
tenaga besar sehingga Souw Kun tewas seketika. Tentu teriakan tadi
dilakukan Souw Kun sebelum dia roboh, dan mungkin karena dia


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat sesuatu di dalam kamar.
Dengan hati berdebar tegang, Cin Hay melangkah ke dalam kamar,
mengangkat lampu itu tinggi-tinggi di tangannya dan dia menahan
teriakannya! Ibu dan gadis itu menggeletak di atas pembaringan,
dengan telanjang bulat dan tubuh mereka penuh berlepotan darah!
Sepintas lalu saja Cin Hay tahu bahwa mereka telah tewas dengan
dada tertusuk senjata tajam dan mungkin menembus jantung dan
mereka tewas seketika tanpa sempat mengeluarkan suara! Cin Hay
menjadi pening. Wajah ibu dan gadisnya itu nampak seperti wajah
mendiang isterinya, Ci Sian, yang juga tewas dalam keadaan yang
tidak jauh berbeda dari ibu dan anak itu!
"Keparat......!" bentaknya dan tubuhnya berkelebat keluar dari rumah
itu, untuk mengejar bayangan yang tadi dilihatnya berlari keluar.
301 Akan tetapi, sunyi saja di luar. Sunyi dan gelap. Dia tidak tahu ke
mana penjahat biadab itu melarikan diri.
Souw Kun telah tewas, demikian pula isterinya dan puterinya. Mereka
bertiga tewas terbunuh di depan hidungnya tanpa dia mampu
mencegahnya. Dalam sekelebatan saja dia tahu apa yang terjadi.
Tentu penjahat itu tadi mengganggu ibu dan anak gadisnya itu di
dalam kamar mereka, mungkin memperkosanya. Kemudian Souw
Kun menggedor daun pintu, mengejutkan penjahat itu dan untuk
menghilangkan jejak, penjahat keji itu membunuh dua orang wanita
yang menjadi korbannya, kemudian membunuh pula Souw Kun.
Dengan demikian, tidak ada orang yang sempat melihat mukanya dan
tidak akan ada yang tahu siapa yang memperkosa dua orang wanita itu
dan melakukan pembunuhan atas diri mereka dan Souw Kun.
Cin Hay kembali ke rumah Souw Kun, lalu menyelinap ke dalam
kamar di mana dia melihat Song Tek Hin baru saja terbangun dan
pemuda itu memandang kepadanya dengan heran.
"Tai-hiap, dari mana engkau dan apakah yang terjadi" Aku seperti
mendengar suara ribut-ribut di sebelah," katanya.
"Saudara Song, telah terjadi hal yang hebat dalam rumah ini," kata
Cin Hay dan dengan singkat namun jelas dia menceritakan apa yang
terjadi. "Ahhh! Souw-toako, isterinya, dan puterinya dibunuh orang?" Song
Tek Hin terbelalak. "Akan tetapi, mengapa?" Lalu dia meloncat turun
dari atas pembaringan dalam keadaan siap siaga, "Apakah karena kita
302 menginap di sini" Apakah penjahat itu sebetulnya menginginkan
nyawa kita?" Cin Hay menggeleng kepala dan menceritakan pendapatnya.
"Agaknya penjahat itu memperkosa ibu dan anak itu. Aku mendengar
rintihan mereka dan aku membangunkan Souw-toako yang segera
menggedor pintu kamar mereka. Penjahat itu lalu membunuh dua
orang wanita itu, keluar dari kamar dan membunuh pula Souw-toako.
Aku sempat melihat bayangannya berkelebat melarikan diri. Tentu dia
seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika aku mencari
jejaknya keluar, aku tidak menemukan lagi bayangannya."
"Ah, tidak salah lagi! Tentu ini perbuatan kaki tangan Hek-sim Lomo! Mereka memang tokoh-tokoh sesat yang jahat seperti iblis! Dan
melihat kejahatan ini, tentu keselamatan kakek ahli pembuat pedang
itu terancam bahaya pula."
"Memang sebaiknya kalau kita pergi menemuinya, selain untuk
menjaga keselamatannya, juga untuk melihat apakah benar Hek-sim
Lo-mo membawa mustika naga yang dirampas dari Pouw Sianseng
untuk dibuatkan senjata oleh kakek Thio Wi Han," kata Cin Hay.
"Lalu mereka itu......" Song Tek Hin menunjuk ke luar kamar,
"Bagaimana dengan mayat-mayat mereka?"
Cin Hay menarik napas panjang. "Tidak ada orang lain melihat kita di
sini, sebaiknya kita pergi diam-diam agar tidak mendatangkan banyak
ribut dan prasangka buruk. Biarlah besok mayat mereka ditemukan
para tetangga. Kita sekarang juga pergi menyelidiki keadaan rumah
kakek Thio Wi Han." 303 Song Tek Hin mengangguk dan mereka lalu membawa semua bekal
pakaian dan meninggalkan kamar itu. Mereka berhenti sebentar di
depan kamar sebelah dan Song Tek Hin mengerutkan alisnya ketika
melihat mayat-mayat itu, terutama keadaan mayat ibu dan anak yang
telanjang bulat itu. Diapun membayangkan keadaan tunangannya yang
juga tewas diperkosa oleh anak buah Hek-sim Lo-mo, maka sambil
mengepal tinju dia menyumpahi datuk sesat dan kaki tangannya.
Cin Hay dan Tek Hin menyelidiki keadaan sekitar rumah tinggal
kakek Thio Wi Han. Pondok itu sunyi dan gelap, tanda bahwa
penghuninya sedang tidur. Cin Hay dan Tek Hin melihat bahwa kaki
tangan Hek-sim Lo-mo yang membuat bangunan darurat yang tidak
jauh dari pondok ahli pembuat pedang itu berada di dalam pondok
darurat mereka. Ada dua orang yang duduk berjaga, yang lain agaknya juga tertidur di
sebelah dalam. Karena merasa tidak enak mengganggu kakek Thio Wi
Han dan isterinya yang masih tidur, dua orang pemuda itu tidak mau
berkunjung, melainkan menanti sampai pada pagi harinya.
Setelah kelihatan kesibukan di pondok itu, barulah Cin Hay dan Tek
Hin berjalan menuju ke pondok. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring dari belakang mereka.
"Haiiii! Siapa kalian" Berhenti dan perkenalkan diri kepada kami
lebih dulu!" Cin Hay dan Tek Hin membalik dan mereka melihat ada tigabelas
orang yang bersikap kasar dan rata-rata memiliki wajah bengis,
berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun, telah berdiri di
depan mereka dengan sikap mengancam. Pemimpin mereka yang
304 berperut gendut dan bermuka bopeng, maju menghampiri dan
sikapnya angkuh sekali ketika dia memandang Cin Hay dan Tek Hin.
Agaknya, orang inilah yang tadi membentak kepada mereka.
Song Tek Hin yang dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan
kaki tangan Hek-sim Lo-mo yang jahat dan berbahaya, membiarkan
Cin Hay maju melayani mereka. Dia hanya mengandalkan kepada
Pendekar Naga Putih ini untuk melawan Hek-sim Lo-mo dan kaki
tangannya, maklum betapa lihainya pendekar ini.
Cin Hay bersikap tenang, mengamati tigabelas orang itu dan diapun
maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang jahat namun
tentu memiliki ilmu silat yang tangguh. Siapa tahu, pembunuh Souw
Kun dan anak isterinya mungkin juga seorang di antara mereka ini.
"Kami berdua hendak berkunjung kepada Thio Wi Han, ahli pembuat
pedang," kata Cin Hay, "Harap cu-wi (anda sekalian) tidak melarang
kami." "Tidak bisa! Siapapun yang hendak berkunjung kepada Thio Wi Han,
harus melalui kami dan memperoleh ijin dari kami! Hayo katakan,
siapa kalian?" Si gendut bopeng itu adalah Kwa Ti, orang pertama
dari Wei-ho Cap-sha-kwi dan dia bersikap congkak sekali.
Cin Hay mengerutkan alisnya, namun dia tetap sabar. "Sebetulnya
kami berdua sama sekali tidak ada urusan dengan cu-wi, maka tidak
semestinya kami memperkenalkan diri dan minta ijin. Tidak tahu
siapakah cu-wi dan ada hak apa cu-wi mengharuskan orang yang
hendak bertemu kepada paman Thio barus mendapat ijin dari cu-wi
lebih dulu?" 305 "Pemuda sombong!" bentak seorang di antara mereka.
"Kwa-toako, hantam saja bocah lancang mulut itu!" bentak orang
kedua. Akan tetapi Kwa Ti tersenyum menyeringai. "Daa orang bocah kutu
buku, agaknya kalian tidak tahu siapa kami, ya" Kami adalah Wei-ho
Cap-sha-kwi dan kami yang pada saat ini menguasai seluruh wilayah
ini! Hayo kalian berlutut minta ampun, lalu berterus terang siapa
kalian dan apa perlunya kalian mencari Thio Wi Han, baru kami akan
mengampuni kalian." Tidak menjadi watak Kwa Ti untuk bersikap demikian sabar terhadap
orang lain. Hal ini adalah karena dia teringat akan larangan keras dari
Hek-sim Lo-mo agar selama mereka menanti selesainya pedang
pusaka yang dibuat Thio Wi Han, mereka tidak diperkenankan
mengganggu orang di daerah itu.
Cin Hay maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang
biasa mempergunakan kekerasan untuk bertindak sewenang-wenang,
akan tetapi dia tetap dapat menguasai diri dan tidak memperlihatkan
kemarahan, melainkan menjawab dengan tenang. "Namaku Tan Cin
Hay dan urusanku dengan paman Thio Wi Han adalah urusan pribadi
yang tidak dapat kuceritakan kepada orang lain. Harap cu-wi
membuka jalan dan tidak menghalangi kami!"
"Toako, kutu buku ini kurang ajar sekali, berani memandang rendah
kepada kita. Biar kuhantam saja mulutnya!" bentak seorang di antara
Cap-sha-kwi, akan tetapi Song Tek Hin yang tidak sabar melihat
betapa pendekar yang diandalkannya itu bersikap demikian lemah dan
mengalah, segera membentak.
306 "Cap-sha-kwi atau Seribu Setan sekalipun tidak ada artinya dan tidak
berharga bagi Tan-taihiap! Kalian yang tidak mengenal orang! Tantaihiap ini adalah Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), sebaiknya
kalian yang cepat berlutut minta ampun kepadanya!"
Mendengar teriakan Song Tek Hin ini, Kwa Ti menjadi marah sekali
dan melompat ke depan, siap menyerang pemuda tunangan mendiang
Pouw Bi Hwa itu. Song Tek Hin cepat meloncat ke belakang,
berlindung di belakang Cin Hay. Kwa Ti tidak perduli dan dia sudah
mencabut goloknya menyerang ke arah Song Tek Hin. Akan tetapi,
Cin Hay menggerakkan kakinya maju ke depan dan kaki kirinya
menyambar ke arah lutut kaki kanan orang pertama dari Wei-ho Capsha-kwi itu.
Kwa Ti melihat tendangan ke arah lututnya, cepat dia menahan
serangannya dan mengayun golok besar yang tadi diangkat ke atas
kepala itu ke bawah, membabat ke arah kaki Cin Hay yang
menendang. Gerakannya cepat dan amat kuat sehingga kini berbalik
Cin Hay yang terancam kakinya! Akan tetapi, tentu saja Cin Hay
melihat ancaman bahaya ini dan diapun sudah menarik kembali
kakinya dan pada saat golok itu menyambar lewat, secepat kilat kaki
kanannya bergerak menendang ke arah lutut kaki kiri Kwa Ti.
Tendangan ini selain cepat sekali, juga tidak terduga datangnya. Kwa
Ti terkejut dan mencoba untuk meloncat ke belakang, namun dia
kalah cepat sehingga ujung sepatu Cin Hay masih sempat mencium
pinggir lututnya. Kwa Ti terhuyung dan hampir jatuh! Hal ini
membuat dia dan kawan-kawannya menjadi marah sekali. Mereka
semua mencabut golok dan segera tigabelas orang penjahat itu sudah
mengepung Cin Hay dengan golok di tangan dan sikap mengancam.
307 Song Tek Hin sudah menjauhkan diri dan hanya menjadi penonton
karena dia maklum bahwa kepandaian silatnya belum memadai untuk
menghadapi pengeroyokan orang-orang yang lihai seperti Wei-ho
Cap-sha-kwi. Tigabelas orang jagoan itu baru saja mengalami kepahitan ketika
mereka dikalahkan dengan mudah oleh Hek-sim Lo-mo. Mereka itu
adalah segerombolan orang yang terbiasa memaksakan kehendak dan
selama ini merasa diri mereka paling jagoan. Akan tetapi sungguh
mengejutkan hati mereka betapa mereka dengan amat mudahnya
dibuat tak berdaya oleh Hek-sim Lo-mo. Hal ini menyadarkan mereka
bahwa di dunia ini terdapat banyak orang yang lebih pandai dari pada
mereka. Pengalaman itu membuat mereka kini lebih berhati-hati dan
menghadapi pemuda yang katanya berjuluk Pendekar Naga Putih ini,
mereka mengepung ketat dan mempergunakan Cap-sha-tin (Barisan
Tigabelas) yang rapi dan kuat. Mereka membuat gerakan melingkari
Cin Hay, melangkah perlahan-lahan mengelilinginya, makin lama
gerakan kaki mereka semakin cepat dan mereka kini bahkan berlarilari mengitari pemuda itu. Lingkaran merekapun berubah-ubah,
kadang-kadang melebar dan kadang-kadang menyempit.
Cin Hay maklum bahwa dia dikepung oleh tigabelas orang yang selain
jahat dan kejam, juga amat pandai mempergunakan golok, terutama
sekali agaknya mereka sudah terlatih baik dalam bekerja sama dan
membentuk barisan golok. Dia dapat menduga akan bahayanya
barisan seperti ini, maka, diapun berdiri di tengah dengan tegak,
sikapnya tenang sekali dan dia membiarkan mereka itu
mengelilinginya, tanpa bergerak, hanya kedua matanya saja yang
308 memandang ke kanan kiri dengan sikap waspada, juga kedua
telinganya dipasang dengan penuh perhatian untuk berjaga diri.
Dari mendiang gurunya, Pek I Lojin, dia mempelajari berbagai ilmu
silat yang tinggi, yang membuat dia tidak khawatir menghadapi
pengepungan tigabelas orang bersenjata golok itu walaupun dia
sendiri bertangan kosong. Dari gurunya dia memperoleh kepandaian
yang istimewa, yang membuat segala benda yang ada, bahkan pasir
dan tanah, dapat menjadi senjata yang ampuh. Juga kaki tangannya
merupakan senjata yang ampuh.
Tiba-tiba Kwa Ti mengeluarkan bentakan nyaring sebagai aba-aba
untuk memulai serangan. Barisan itu membalik dan menyerang Cin
Hay secara tiba-tiba dan serentak. Tigabelas batang golok
menyambar-nyambar, setiap kali serangan maju tiga batang golok,
bergelombang sampai empat kali, didahului oleh gerakan bacokan
golok di tangan Kwa Ti! Sungguh merupakan gelombang serangan
yang dahsyat dan teratur baik sekali.
Namun, Cin Hay bersikap tenang. Dia melihat datangnya seranganserangan itu dan dengan kelincahan tubuhnya yang luar biasa, dia
menggerakkan tubuhnya menyelinap di antara sinar golok. Kaki
tangannya tidak tinggal diam. Kecepatannya jauh melampaui gerakan
para pengeroyoknya dan diapun dapat mengelak, menangkis atau
mendahului lawan dengan sambaran kakinya. Gagallah gelombang
serangan pertama itu, bahkan sebaliknya, beberapa orang di antara
mereka ada yang mengaduh karena paha atau perut mereka kena
dicium sepatu Cin Hay! 309 Serangan kedua datang dengan cara yang lebih dahsyat lagi karena
kini tigabelas batang golok itu menyerang secara bertubi dan
bersambung, juga mereka itu saling menjaga. Seorang penyerang
selalu dijaga oleh dua orang kawan sehingga mereka menyerang
dengan tenaga penuh tanpa membagi tenaga untuk berjaga diri karena
dirinya telah dilindungi dua orang kawan.
Cin Hay menghadapi gelombang serangan kedua ini dengan cara lain.
Dia mengelak dari serangan lawan dengan loncatan-loncatan tinggi,
kemudian dia membalas menyerang, bukan pada penyerangnya
melainkan kepada dua orang pelindung penyerang itu. Dengan
demikian, kembali barisan menjadi kacau balau, apa lagi gerakan Cin
Hay menyambar-nyambar dari atas sungguh mengejutkan mereka.
Seolah-olah pemuda itu berubah menjadi seekor naga yang melayanglayang dan menyerang dari angkasa.
Kini, gelombang serangan kedua itu mengakibatkan Cap-sha-kwi
menderita rugi lebih besar lagi karena dua orang di antara mereka
roboh dengan kesakitan dan untuk sementara tidak mampu melakukan
penyerangan lagi. Tentu saja barisan tigabelas orang ini menjadi
pincang dan kacau balau. Tiba-tiba Wei-ho Cap-sha-kwi mundur dan membuka kepungan,
memberi jalan bagi mereka yang baru datang untuk menghadapi Cin
Hay. Pemuda baju putih ini mengangkat muka, memandang penuh
perhatian. Lima orang yang muncul dan perlahan-lahan melangkah
maju menghampirinya itu sungguh menarik sekali, mendatangkan
perasaan seram dan Cin Hay segera dapat menduga bahwa lima orang
itu tentulah orang-orang yang lihai dan merupakan calon-calon lawan
yang tangguh sekali. 310 Dugaan Cin Hay memang tidak keliru. Lima orang yang muncul itu


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah pembantu-pembantu utama dari Hek-sim Lo-mo!
Di hari-hari terakhir pembuatan pedang pusaka, para pembantu utama
Hek-sim Lo-mo sudah berkumpul di tempat itu, ikut melakukan
penjagaan seperti yang diperintahkan oleh Hek-sim Lo-mo. Mereka
tadi mendengar akan keributan ketika Cap-sha-kwi mengeroyok Cin
Hay, dan mereka segera datang ke tempat itu. Diam-diam mereka
terkejut juga melihat betapa seorang pemuda berpakaian putih
membuat kepungan Cap-sha-kwi menjadi kacau balau.
Cin Hay mengamati mereka dengan penuh perhatian. Yang
melangkah di sudut kiri adalah seorang laki-laki tinggi kurus, berusia
kurang lebih limapuluh tahun, dan mata kirinya buta, tertutup dan
tidak ada biji matanya lagi. Itulah Yauw Ban yang berjuluk Tok-ganliong (Naga Mata Satu), seorang yang amat lihai dengan pedang
tunggalnya. Di sampingnya berjalan Kiu-bwe Mo-li. Wanita berusia empatpuluh
dua tahun yang pesolek dan genit, akan tetapi di balik bedak tebal itu
terdapat wajah yang keriput. Sebatang cambuk ekor sembilan nampak
berjuntai di balik punggungnya, seperti sebuah panji. Ia merupakan
pembantu kedua yang amat tangguh, kejam dan dipercaya oleh Heksim Lo-mo.
Orang ketiga adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng, seorang pria berusia
tigapuluh tahun lebih yang tampan dan gagah, bersikap halus seperti
seorang pelajar. Biarpun tingkat kepandaiannya tidak setinggi Yauw
Ban atau Kiu-bwe Mo-li, namun pria cabul yang sudah banyak
mengganggu wanita ini lihai bukan main. Adapun orang keempat dan
311 kelima adalah sepasang orang kembar yang terkenal dengan julukan
He-nan Siang-mo (Sepasang Iblis He-nan), terkenal sekali dengan
golok mereka, apalagi kalau mereka maju bersama.
Yauw Ban merupakan pembantu utama atau orang nomor satu di
antara semua pembantu Hek-sim Lo-mo. Kini dia sudah berada di
depan Cin Hay dan mengamati pemuda ini dengan penuh perhatian,
dan memandang kepada Song Tek Hin, hanya sepintas saja lalu
kembali menghadapi Cin Hay.
Dia melihat seorang laki-laki muda yang tampan, bertubuh sedang
saja dan sama sekali tidak kelihatan mengesankan atau menakutkan,
kecuali bahwa sepasang mata itu nampak penuh ketenangan, penuh
keberanian dan mencorong seperti mata seekor naga atau harimau.
Akan tetapi karena Yauw Ban percaya akan kepandaiannya sendiri,
apa lagi di situ terdapat kawan-kawannya yang merupakan orangorang lihai, sedikit banyak dia memandang rendah kepada Cin Hay.
"Orang muda, siapakah engkau berani membikin ribut di tempat ini?"
Cin Hay memang hendak menyelidiki keadaan Hek-sim Lo-mo dan
anak buahnya di tempat itu, dan menyelidiki pula tentang Kim-san
Liong-cu yang terjatuh ke tangan Hek-sim Lo-mo, maka diapun
bersikap tenang dan sabar.
"Namaku Tan Cin Hay dan sahabatku ini bernama Song Tek Hin.
Kami hendak mengunjungi paman Thio Wi Han, akan tetapi kami
dihalang-halangi oleh mereka yang mengaku bernama Cap-sha-kwi
ini." 312 Mendengar pemuda itu menyebut "paman" kepada Thio Wi Han,
Yauw Ban mengerutkan alisnya. Kalau pemuda ini masih keponakan
Thio Wi Han, tentu saja sama sekali tidak boleh diganggu sebelum
pedang pusaka itu jadi. "Apakah kalian keponakan dari Thio Wi Han?" tanyanya sambil
memandang wajah Cin Hay penuh perhatian.
Cun Hay mengangguk. "Benar, kami adalah keponakan beliau."
"Yauw-toako, jangan parcaya! Dia tadi disebut Pek-liong-eng. dan
jelas dia datang bukan dengan maksud baik!" teriak Kwa Ti.
Mendengar julukan itu, Yauw Ban memandang kepada Cin Hay
dengan sikap berubah dan tidak senang, Dia selalu merasa tidak
senang bertemu dengan golongan pendekar yang dianggap musuhnya.
Betapapun juga, dia masih takut kepada Hek-sim Lo-mo dan tidak
mau sembarangan mengganggu keponakan dari Thio Wi Han.
"Keponakan atau bukan, kalian harus menyerah kepada kami untuk
kami bawa menghadap pimpinan kami dan kami tanyakan kepada
Thio Wi Han apakah benar kalian adalah keponakannya."
Tentu saja Cin Hay tidak mau menyerah. Thio Wi Han takkan mau
mengakui mereka sebagai keponakan. Kenalpun belum!
"Tidak, kami tidak mau menyerah. Kami tidak bersalah apa-apa
terhadap kalian, mengapa kami harus menyerah" Biarkan kami pergi
dan mengunjungi paman Thio Wi Han, karena kamipun tidak
mempunyai urusan dengan kalian," katanya.
313 "Orang muda, beranikah engkau menentang kami?" Yauw Ban
menghardik, marah dan mengancam.
"Aku tidak bersalah apapun dan tidak menentang siapapun!" Cin Hay
balas menghardik. "Lui-te, kau hajar dia!" teriak Yauw Ban, memberi perintah kepada
kawannya. Jai-hwa Kongcu Lui Teng tersenyum, memandang rendah kepada Cin
Hay dan sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah meloncat dengan
gerakan indah ke depan Cin Hay, langsung saja dia menampar dengan
tangan kirinya, dilanjutkan dengan pukulan telapak tangan pada dada
Cin Hay. "Wuuutt...... plakkk!" Cin Hay mengelak dari tamparan pertama dan
menangkis pukulan kedua. Tamparan dan pukulan itu mengandung
tenaga yang kuat sehingga mendatangkan angin. Akan tetapi
tangkisan Cin Hay membuat tubuh penjahat cabul itu hampir
terpelanting! Lui Teng terkejut bukan main dan diapun sudah melepas
sabuk kain putihnya, lalu menyerang Cin Hay dengan totokan ujung
sabuk, tamparan tangan kiri dan diseling tendangan bertubi-tubi yang
kesemuanya merupakan serangan maut.
Namun, yang diserang bertubi-tubi menghadapi semua serangan itu
dengan tenang sekali. Hanya dengan gerakan kedua kaki bergeser ke
belakang, kanan atau kiri, dan dengan kedua tangan menangkis, semua
serangan Lui Teng dapat dipatahkan dan ketika dari samping lengan
Cin Hay membalas dengan pukulan melengkung, pundak Lui Teng
kena disentuh dan tubuhnya terjengkang keras!
314 Untung si penjahat cabul ini memiliki gin-kang yang baik sekali
sehingga dia mampu membuat salto tiga kali ke belakang untuk
mematahkan kekuatan yang mendorongnya dan dia tidak sampai
terbanting dan terjengkang. Akan tetapi mukanya berubah pucat dan
berkeringat. "Siang-mo, bantu dia!" bentak Yauw Ban kepada He-nan Siang-mo.
Dua orang kembar ini sudah menggerakkan golok di tangan mereka
dan bagaikan dua orang satu otak mereka bergerak maju menyerang
Cin Hay. Jai-hwa Kongcu Lui Teng juga sudah maju lagi memutar
sabuk putihnya dengan penuh semangat terdorong oleh rasa marah
dan penasaran. Cin Hay dikeroyok oleh tiga orang lawan yang tangguh. Namun, tidak
sia-sia mendiang Pek I Lojin, kakek sakti itu, menggembleng Cin Hay
selama tujuh tahun dan mewariskan semua ilmu simpanan dan
andalannya. Dengan gerakan yang mantap, penuh tenaga sakti, dan dengan
keringanan tubuhnya, pemuda berpakaian putih itu berkelebatan dan
bentuk tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan putih yang
menyelinap di antara gulungan sinar golok dan sabuk putih, selalu
dapat menghindarkan diri dari sambaran senjata tiga orang
pengeroyoknya, bahkan setiap kali dia membalas, tiga orang
pengeroyok itu terdesak dan terancam hebat. Beberapa kali He-nan
Siang-mo terhuyung, dan Lui Teng telah terkena tendang pahanya
sehingga gerakan kakinya agak terpincang dan tidak leluasa lagi.
Yauw Ban dan Kiu-bwe Mo-li diam-diam terkejut, terutama sekali
Kiu-bwe Mo-li. Baru saja ia bertemu dengan Liong-li yang terhitung
315 sumoinya sendiri, yang memiliki ilmu kepandaian hebat sehingga ia
sendiri kewalahan menghadapi Liong-li, dan kini muncul Pendekar
Naga Putih yang demikian lihainya sehingga dikeroyok tiga oleh Lui
Teng dan He-nan Siang-mo sama sekali tidak kewalahan bahkan
membuat tiga orang lihai itu selalu terdesak!
Tanpa dikomando lagi, Kiu-bwe Mo-li menggerakkan cambuk ekor
sembilan di tangannya, cambuk itu meledak-ledak dan berubah
menjadi gulungan sinar hitam yang amat berbahaya. Juga Yauw Ban
sudah mencabut pedangnya dan ikut pula mengeroyok.
Melihat gerakan kedua orang ini, diam-diam Cin Hay terkejut. Dua
orang ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan tiga orang
pengeroyok pertama, pikirnya. Mereka ini sudah memiliki tingkat
kepandaian yang tinggi. Maka diapun mengeluarkan suara melengking
dan gerakannya menjadi semakin cepat, kaki tangannya mengeluarkan
angin pukulan yang semakin kuat.
Timbul kekhawatiran di hati Cin Hay ketika dia melihat betapa Song
Tek Hin juga sudah dikeroyok oleh tiga orang dari Cap-sha-kwi.
Pemuda itu melawan sekuatnya dan mengamuk, namun setelah lewat
belasan jurus, dia menjadi bulan-bulan pukulan dan akhirnya
ditangkap dan dibelenggu!
Hal ini menimbulkan kekhawatiran di dalam hati Cin Hay dan dia
mengamuk. Sebuah tendangan keras mengenai dada Can Siong, orang
kedua dari He-nan Siang-mo. Can Siong terjungkal dan terengahengah, tidak dapat melanjutkan serangan. Sementara itu, Cap-sha-kwi
juga mulai mengepung dan mengeroyok.
316 Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Mundur semua! Mundur dan
jangan lanjutkan pengeroyokan ini!"
Melihat bahwa yang membentak itu adalah Thio Wi Han, Yauw Ban
lalu berteriak menyuruh kawan-kawannya mundur. Sementara itu, Cin
Hay memandang dan dia tidak tahu siapa adanya kakek gagah yang
menghentikan pengeroyokan itu. Dia seorang yang cukup cerdik. Dia
tidak percaya bahwa datuk sesat yang disebut Hek-sim Lo-mo begini
gagah dan lembut, dan karena dia tidak yakin siapa adanya kakek itu,
dia lalu menghadapi kakek itu, memberi hormat dan berkata,
"Saya Tan Cin Hay ingin sekali berkunjung ke rumah Paman Thio Wi
Han, akan tetapi, mereka ini menghalangiku."
"Thio locianpwe, benarkah pemuda ini adalah keponakanmu?" Yauw
Ban bertanya dan pertanyaannya ini menunjukkan bahwa Yauw Ban
lebih pandai menggunakan pedangnya dari pada otaknya. Tentu saja
Cin Hay menjadi girang karena dia kini yakin bahwa dia berhadapan
dengan Thio Wi Han, pembuat pedang pusaka itu.
"Paman Thio, lihat, mereka bahkan telah menawan Song Tek Hin,
seorang keponakanmu yang lain," katanya menunjuk ke arah Song
Tek Hin yang sudah dibelenggu kedua tangannya dan dikawal oleh
Cap-sha-kwi. Kakek itu sejenak memandang kepada Cin Hay, lalu kepada Tek Hin
dan dia mengangguk. "Benar, mereka adalah keponakankeponakanku, dan aku minta agar dia dibebaskan dari belenggu."
Yauw Ban dan kawan-kawannya ragu-ragu, akan tetapi kakek itu
membentak lagi walaupun suaranya tetap halus, "Cepat bebaskan dia!
317 Kalian ini tamu-tamu yang sama sekali tidak tahu aturan, keluarga
tuan rumah bahkan diganggu dan ditawan!"
Yauw Ban menjadi serba salah dan terpaksa dia memberi isyarat
kepada Kwa Ti, orang pertama Cap-sha-kwi, untuk membebaskan Tek
Hin. Akan tetapi pada saat itu ada angin menyambar dan muncullah
seorang kakek lain yang membuat Cin Hay terkejut sekali.
Kakek tinggi besar, bermuka hitam menyeramkan, matanya lebar,
kumis, cambang dan jenggotnya lebat sekali, pakaiannya seperti
pakaian hartawan dengan jubah pendeta berwarna merah, usianya
lebih dari enampuluh tahun. Seorang yang menyeramkan dan tanpa
diperkenalkan diapun dapat menduga bahwa tentu inilah yang disebut
Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Sembilan Datuk Iblis! Dari
kemunculannya saja yang demikian tiba-tiba mendatangkan angin
keras, dapat diketahui bahwa kakek ini berilmu tinggi!
"Jangan bebaskan dia dulu!" katanya dan dia menghadapi Thio Wi
Han. Thio Wi Han menghadapi Hek-sim Lo-mo dengan sikap dingin.
"Hemmm, kiranya engkau yang datang. Hek-sim Lo-mo. Lihat, orangorangmu mengganggu dua orang keponakanku yang datang untuk
berkunjung kepada paman dan bibinya."
Hek-sim Lo-mo tidak kelihatan membuka mulutnya, namun terdengar
suara ketawa dari dalam dadanya. "Ha-ha-ha-ha! Thio Wi Han, saat
ini engkau sedang mengerjakan sesuatu yang amat penting dan
sebelum pekerjaan itu selesai, tidak boleh ada orang lain
mengganggumu. Biarlah kedua orang keponakanmu ini menjadi tamu318
tamuku lebih dulu. Setelah pekerjaanmu selesai, barulah mereka akan
kulepaskan dan beramah-tamah denganmu."
Cin Hay mendapatkan kesempatan untuk mencoba sampai di mana
kelihaian pimpinan dari gerombolan jahat yang kini menguasai Kimsan Liong-cu itu, maka sebelum Thio Wi Han menjawab, dia sudah
mendahului dan melangkah maju menghadapi kakek raksasa hitam itu
dalam jarak dua meter. "Hek-sim Lo-mo!" katanya dengan lantang. "Paman Thio adalah
seorang tua yang terhormat dan kini menjadi tuan rumah di tempat
tinggal sendiri. Engkau dan anak buahmu hanya tamu-tamu,
bagaimana kalian yang kini hendak menetapkan peraturan" Sungguh
tidak tahu diri. Aku berani bertaruh bahwa kedatanganmu inipun tentu
hanya untuk minta tolong kepada paman Thio untuk membuatkan
sesuatu. Kalau kalian sebagai tamu tidak setuju dengan peraturan
paman Thio yang menjadi tuan rumah, silakan kalian angkat kaki dan
pergi dari sini sekarang juga!"
Semua orang, termasuk Thio Wi Han sendiri, terbelalak mendengar
ucapan pemuda pakaian putih itu. Betapa lancangnya! Betapa
beraninya! Juga Hek-sim Lo-mo sendiri melotot, bukan karena marah
melainkan lebih karena heran ada orang berani bersikap dan berkata
seperti itu kepadanya, dan yang bicara itu seorang muda lagi!
Kemudian dia tertawa, sekali ini dia membuka mulut sehingga suara
ketawanya mendatangkan getaran dahsyat sekali. Beberapa orang
anak buah Cap-sha-kwi sampai terjungkal karena lutut mereka seperti
lumpuh mendengar suara ketawa yang getarannya amat kuat itu!
Tentu saja Cin Hay maklum bahwa datuk ini mengerahkan tenaga khi319
kang dalam suara ketawa itu, akan tetapi dia mengerahkan tenaga dan
tidak berpengaruh sedikitpun juga.
"Hoa-ha-ha-ha! Engkau orang muda, anak kecil yang masih ingusan,
tentu engkau belum mengenal siapa aku maka berani bersikap seperti
ini!" Dengan sengaja Cin Hay mengeluarkan kata-kata keras yang
dimaksudkan untuk memancing kemarahan datuk itu.
"Engkau keliru, Hek-sim Lo-mo. Aku mengenal siapa engkau. Aku
sudah mendengar bahwa Kiu Lo-mo, Sembilan Iblis Tua, telah turun
ke dunia untuk membikin kacau dan engkau adalah seorang di antara
mereka. Tadinya kusangka bahwa Kiu Lo-mo adalah iblis-iblis tua
yang melakukan hal-hal besar, tidak tahunya engkau seorang di antara
mereka, hanyalah seorang penjahat kecil saja yang mengandalkan
banyak anak buah untuk menekan seorang bijaksana seperti paman
Thio ini dan bertindak sewenang-wenang. Hemm, kalau begitu, nama
besarmu hanya akan menjadi buah tertawaan orang sedunia kang-ouw,
Hek-sim Lo-mo!" Wajah Thio Wi Han menjadi pucat. Celaka, pikirnya. Pemuda ini
sudah gila rupanya, terlalu berani dan tentu dia akan mati setelah
berani mengeluarkan ucapan menghina seperti itu kepada Hek-sim
Lo-mo yang sakti! Wajah yang hitam dari Hek-sim Lo-mo menjadi semakin hitam ketika
darah naik ke kepalanya. Ada uap mengepul dari kepala itu, tanda
bahwa kepalanya panas dan dia marah bukan main.
320 "Anjing kecil, engkau layak mampus!" katanya dan tiba-tiba dia


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendorongkan kedua tangannya ke depan, telapak tangannya
menghadap ke arah Cin Hay.
Pemuda ini sudah menduga bahwa kakek datuk itu sakti, maka dia
tidak berani memandang rendah. Cepat diapun menekuk kedua
kakinya, mengerahkan sinkang sekuatnya dan diapun mendorongkan
kedua telapak tangan ke depan.
Dua tenaga raksasa bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Cin Hay
terdorong mundur sampai beberapa meter sedangkan tubuh Hek-sim
Lo-mo bergoyang-goyang! Akan tetapi, Cin Hay tidak terluka dan
tidak terjengkang. Dia tadi mengerahkan sinkang dan menggunakan
tenaga lemas untuk menahan dorongan yang amat kuat itu, maka dia
terdorong mundur namun tidak terluka.
Hek-sim Lo-mo yang tadinya sudah tersenyum kemenangan, kini
terbelalak dan mulutnya ternganga melihat betapa pemuda yang
terdorong mundur itu masih dalam keadaan memasang kuda-kuda dan
bahkan tersenyum, sedikitpun tidak terluka atau roboh! Dia
menurunkan kedua tangannya dan memandang, matanya mencorong
penuh rasa marah dan penasaran. Cin Hay meloncat lagi ke depan,
kini dalam jarak kurang dari dua meter di depan kakek itu.
"Tenagamu memang kuat Hek-sim Lo-mo, akan tetapi belum cukup
kuat untuk merobohkan aku. Apakah engkau masih memiliki ilmu lain
yang lebih hebat?" Cin Hay memang sengaja menantang, dan tadipun
dia sengaja menyebut tentang penggunaan anak buah agar datuk itu
tersinggung dan menyerangnya tanpa mengandalkan pengeroyokan
anak buahnya. 321 Dan bakarannya ini berhasil baik sekali. Hek-sim Lo-mo menjadi
marah dan dari kedua matanya seperti keluar api, hidungnya
mendengus tiga kali seperti seekor kuda yang marah.
"Bocah sombong, makin lama semakin kurang ajar engkau! Kalau
belum dihajar, takkan tahu siapa sesungguhnya Hek-sim Lo-mo!"
katanya dan tubuhnya menerjang ke depan.
Biarpun usianya sudah enampuluh tiga tahun lebih, dan tubuhnya
tinggi besar, namun serangan ini sungguh mengejutkan karena
gerakannya cepat bukan main, seperti seekor biruang yang marah.
Tahu-tahu dia telah menyerang dari kanan kiri dengan kedua tangan
yang berlengan panjang. Melihat gerakan kedua lengan itu, sungguh mirip dua ekor ular besar
yang menyambar mangsanya dengan moncong dibuka lebar. Dan
memang kakek ini seorang yang memiliki ilmu silat ular yang amat
berbahaya. Lengannya dapat bergerak cepat sekali seperti ular,
meliak-liuk dan tangannya membentuk kepala ular dengan moncong
dibuka, kuku-kuku kedua tangan itu seperti gigi-gigi ular yang
beracun. Cin Hay tidak berani memandang rendah. Pernah mendiang gurunya
bercerita tentang nama besar Kiu Lo-mo yang merupakan sembilan
orang datuk sesat yang amat tinggi ilmunya. Diapun cepat
mengerahkan tenaga sin-kang dan mempergunakan kelincahan
tubuhnya dan langkah-langkah kaki untuk menghindarkan semua
serangan lawan dan membalas secepatnya dengan totokan-totokan dan
pukulan-pukulan maut. 322 Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Angin pukulan menyambarnyambar, bahkan kadang-kadang mengeluarkan suara angin bercuitan,
orang-orang mundur teratur, tidak berani mendekat karena amat
berbahaya kalau kena disambar pukulan sehebat itu.
Tubuh kedua orang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi dua
bayangan orang yang saling serang, bayangan putih dan bayangan
merah. Kadang-kadang terdengar dua benda bertemu, yaitu kedua
lengan mereka saling bertemu membawa tenaga sin-kang yang kuat
sekali sehingga benturan kedua tengan itu terasa getarannya oleh
semua orang. Namun, Cin Hay sungguh merupakan seorang pendekar muda yang
hebat dan gigih sekali. Gerakan-gerakannya mantap, dan sama sekali
dia tidak sampai terdesak karena dia membalas setiap serangan lawan
dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Beberapa kali kalau
serangannya nyaris mengenai lawan namun tetap dapat terelakkan,
atau kalau lengan mereka saling bertemu dengan dahsyatnya, Hek-sim
Lo- mo mengeluarkan suara gerengan seperti suara binatang buas.
"Hyaattt!" tiba-tiba Hek-sim Lo-mo membentak dan tangan kanannya
memukul dengan kuatnya ke arah kepala Cin Hay. Pemuda ini cepat
mengelak ke kiri sambil membuat tangkisan melingkar dengan tangan
kanannya. Akan tetapi, tangan kanan Hek-sim Lo-mo membalik ke
bawah dan menangkap pergelangan tangan Cin Hay.
Cin Hay segera mengerahkan sin-kangnya untuk menjaga lengan yang
tertangkap, memutar kaki dan tangan kirinya mencuat ke arah mata
kanan lawan! Serangan ini berbahaya sekali sehingga Hek-sim Lo-mo
terpaksa melepaskan cengkeramannya dan menangkis, tangan kirinya
323 menyambar dari bawah ke arah ulu hati lawan. Cin Hay memapaki
serangan tangan kiri itu dengan tangan kanannya.
"Plakkkk!" kedua tangan bertemu saling dorong dan tubuh Cin Hay
terdorong mundur sampai setombak. Dia cepat membalikkan
tubuhnya karena pada saat itu dia mendengar angin pukulan lawan
kembali datang. Dengan melangkah mundur, Cin Hay merasa yakin bahwa pukulan itu
tidak akan dapat mencapai tubuhnya. Akan tetapi lengan lawan itu
terus mulur dan biarpun jarak mereka ada dua meter, tangan itu masih
menyambar ke arah mukanya! Baru tahulah Cin Hay bahwa lawannya
memiliki ilmu yang aneh itu, yaitu lengannya dapat mulur seperti
karet! "Ihhhh!" Dia melempar diri ke belakang dan berjungkir balik. Nyaris
mukanya kena dicengkeram sehingga keringat dingin membasahi
leher Cin Hay yang merasa ngeri. Lawannya sungguh lihai bukan
main! Ketika dia melompat lagi menghadapi lawan, Cin Hay lalu melakukan
gerakan aneh dan dia mulai mainkan jurus-jurus aneh dari ilmu silat
Pek-liong Sin-kun (Silat Sakti Naga Putih) ciptaan gurunya yang telah
dikuasainya dengan sempurna dan yang jarang dia mainkan. Kini,
bertemu dengan lawan yang demikian saktinya, yang dalam segala hal
bahkan lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dengannya, terpaksa dia
mengeluarkan ilmu silat simpanannya itu.
Kembali terjadi saling serang yang hebat dan dengan ilmu silat Pekliong Sin-kun ini, Cin Hay bukan saja dapat membendung semua
gerakan lawan, bahkan dapat membalas dan membuat datuk itu agak
324 kerepotan karena Hek-sim Lo-mo sama sekali tidak mengenal ilmu
silat yang aneh dan berbahaya itu.
"Plakkk!" Dengan desakan sebuah jurus yang ampuh, tangan kiri Cin
Hay berhasil menampar pundak lawan.
Tidak hebat memang, namun cukup membuat Hek-sim Lo-mo
menggereng karena malu dan marah! Dia membalas dengan dorongan
tangan kirinya ke arah leher Cin Hay. Pemuda ini memiringkan tubuh
sehingga dorongan tangan itu lewat di atas pundaknya, akan tetapi
tiba-tiba tangan yang mulur panjang itu membalik dan menyerangnya
dari belakang dengan cengkeraman!
Cin Hay terkejut, namun tidak gugup karena dia sudah tahu bahwa
lengan lawannya dapat mulur. Sambil miringkan tubuh, dia menangkis
tangan yang datang dari belakang tadi, dan tangan yang lain
menusukkan jari ke arah mata lawan.
Hek-sim Lo-mo semakin marah karena semua akalnya dapat
dipunahkan oleh Cin Hay. Dia mencabut pedangnya dan tanpa banyak
cakap lagi dia memutar pedang dan menyerang dengan dahsyatnya!
Cin Hay cepat mengelak dan berloncatan, namun ilmu pedang kakek
itu sungguh dahsyat bukan main, membuat Cin Hay segera terdesak!
Cin Hay kini terdesak dan terkurung oleh sinar pedang yang
bergulung-gulung dan dia maklum bahwa kini dia benar-benar
terancam. Ketika dia meloncat untuk menghindarkan babatan pedang ke arah
kakinya, dia disambut tangan kiri yang mulur dan pukulan
menyerempet bahunya, membuat dia terjatuh! Pedang menyambar
325 ganas dan Cin Hay masih berhasil menghindarkan diri dengan
bergulingan, dikejar oleh gulungan sinar pedang!
Pada saat itu, Thio Wi Han meloncat ke depan. "Tahan, Hek-sim Lomo!"
Melihat kakek ini menghadang, hampir saja Hek-sim Lo-mo
membabatkan pedangnya. Akan tetapi dia teringat akan pesanan
pedang pusaka, maka dia menahan pedangnya dan memandang
kepada pembuat pedang itu dengan mata melotot.
"Minggirlah, Thio Wi Han. Akan kubunuh setan cilik itu!" bentaknya.
"Tidak, Hek-sim Lo-mo. Kalau engkau membunuh kedua orang
pemuda itu, aku tidak akan menyelesaikan pesanan pedangmu, biar
kaubunuh pun aku tidak akan mau menyelesaikan!" katanya ketika
melihat betapa Yauw Ban sudah berada di sampingnya dan
menempelkan pedang di lehernya. Sikap kakek ini gagah dan
berwibawa, sedikitpun tidak memperlihatkan kekhawatiran atau
ketakutan. "Tan Cin Hay, menyerah kau, atau kami akan lebih dulu membunuh
kakek Thio Wi Han dan saudaramu itu!" kata Yauw Ban.
Cin Hay melirik dan melihat betapa sebatang golok ditempelkan pula
di leher Song Tek Hin. Melihat Cin Hay menoleh kepadanya, Tek Hin
yang sudah ditempeli golok di lehernya itu berteriak, "Taihiap, jangan
perdulikan aku. Aku tidak takut mampus! Sebaiknya engkau basmi
srigala-srigala jahat ini sebelum mereka menyebar kejahatan kepada
orang lain!" 326 "Plakk!" Seorang di antara Cap-sha-kwi menampar mulutnya dan
bibir pemuda itu penuh berdarah. Namun, Tek Hin tidak menjadi
gentar. "Biar mereka menyiksaku, membunuhku, aku tidak takut. Jangan mau
menyerah, taihiap! Mereka ini curang dan licik!" kembali dia
berteriak. "Hek-sim Lo-mo! Kalau engkau tidak membebaskan kedua orang
pemuda itu, sungguh mati aku tidak sudi menyelesaikan pedangmu!"
Thio Wi Han berteriak lagi mengancam.
Sejenak saja Hek-sim Lo-mo bimbang, lalu dia menyimpan
pedangnya. "Aku tidak akan membunuh mereka, akan tetapi mereka berdua itu
harus menjadi tawananku dan baru akan kubebaskan setelah engkau
menyelesaikan pedang-pedangku!"
Thio Wi Han bimbang, akan tetapi Cin Hay yang mengkhawatirkan
keselamatan kakek itu dan Tek Hin, berkata kepadanya, "Paman Thio,
biarlah aku dan Tek Hin menjadi tawanan. Sebagai seorang datuk
besar, tentu Hek-sim Lo-mo tidak akan melanggar janjinya."
THIO WI HAN mengangguk. Dia tadipun melihat bahwa betapa
lihainya pun Cin Hay, pemuda itu masih belum dapat mengalahkan
Hek-sim Lo-mo yang amat lihai ilmu pedangnya. Untuk sementara
ini, yang penting adalah menghindarkan dua orang pemuda itu dari
maut. 327 "Baiklah, Hek-sim Lo-mo. Akan tetapi engkau berjanjilah dulu bahwa
engkau dan anak buahmu tidak akan membunuh kedua orang pemuda
ini, dan akan membebaskan mereka setelah pedang-pedang itu
kuselesaikan." Hek-sim Lo-mo menyeringai. "Aku berjanji."
Lalu kepada Yauw Ban dan kawan-kawannya dia memerintah,
"Tangkap mereka, belenggu kaki tangan mereka, akan tetapi jangan
disiksa dan jangan diganggu!"
Cin Hay tidak melihat jalan lain kecuali menyerah, ketika kaki dan
tangannya dipasangi rantai baja. Kalau dia melawan, tentu Thio Wi
Han dan Song Tek Hin mereka bunuh. Juga dia tadi sudah merasakan
kelihaian Hek-sim Lo-mo. Datuk itu saja dia tidak mampu kalahkan,
apa lagi kalau datuk itu dibantu oleh semua anak buahnya yang ratarata amat lihai. Akan tetapi Song Tek Hin marah-marah dan kecewa
sekali melihat Cin Hay menyerah.
"Tai-hiap, engkau kena ditipu! Kalau engkau menyerah, akhirnya
mereka ini tentu akan membunuh pula engkau, aku dan paman Thio!
Sia-sia saja pengorbananmu. Kalau engkau melawan, biarlah mereka
memhunuhku, aku tidak penasaran karena engkau tentu akan berhasil
membasmi mereka." Cin Hay tersenyum dan menggeleng kepala. "Tenang dan bersabarlah,
saudara Song Tek Hin." Diam-diam dia suka sekali kepada pemuda
yang biarpun ilmu silatnya tidak begitu tinggi, namun amat gagah
perkasa ini. 328 Dua orang pemuda itu dimasukkan ke dalam sebuah pondok darurat di
belakang rumah Thio Wi Han, dan kamar mereka dipasangi jeruji besi
yang kokoh kuat. Para pembantu utama Hek-sim Lo-mo bergiliran
melakukan penjagaan di luar kamar tahanan itu.
Thio Wi Han sendiri kembali ke tempat kerjanya. Dibantu isterinya,
dia melanjutkan penyelesaian pembuatan sepasang pedang. Yang
sebatang berwarna keputihan, yang kedua berwarna kehitaman. Yang
putih agak lebih panjang dari pada yang hitam.
Kakek yang ahli ini telah berhasil memisahkan dua macam baja yang
terkandung dalam benda aneh yang disebut Kim-san Liong-cu itu,
mencampurnya dengan baja yang dibawa oleh Cap-sha-kwi dan
membuatnya menjadi sepasang pedang itu. Menurut keterangannya
kepada Hek-sim Lo-mo, pedang yang panjang itu adalah pedang
jantan dan diberi nama Pek-liong-kiam (Pedang Naga Putih)
sedangkan yang hitam adalah pedang betina dan diberi nama Hekliong-kiam (Pedang Naga Hitam).
Kini, kedua pedang itu sudah terbentuk, sudah hampir jadi, tinggal
memperhalusnya lagi saja. Nampak indah sekali.
Malam itu, di dalam kamar mereka, Thio Wi Han dan isterinya bicara
dalam bisik bisik. Mereka bersikap waspada sekali dan baru setelah
mereka yakin bahwa tidak ada orang lain yang akan mampu
menangkap percakapan mereka, suami isteri ini berbisik-bisik dengan
saling mendekatkan mulut dengan telinga, di atas pembaringan.
"Tidak ada lain jalan, kita harus melarikan sepasang pedang itu,
sekali-kali kedua pusaka itu tidak boleh jatuh ke tangan mereka."
329 "Akan tetapi, itu berbahaya sekali!" bantah isterinya. "Kalau kita
ketahuan, kita takkan mampu melawan mereka dan kita tentu akan
mereka bunuh!" "Kaukira mereka tidak akan membunuh kita kalau pedang itu sudah
selesai" Aku tahu orang-orang macam apa mereka itu. Hal ini sudah
sejak semula kurencanakan, karena itu, aku membuat sepasang pedang
palsu itu, sedangkan yang aseli diam-diam kuselesaikan. Engkau
masih menyimpan Hek-liong-kiam yang aseli itu, bukan?"
Isterinya mengangguk, "Di tempat yang aman."
"Bagus! Sekarang, kebetulan muncul dua orang pemuda itu. Yang
bernama Tan Cin Hay dan berpakaian putih itu memiliki ilmu
kepandaian yang amat hebat. "Hanya Hek-sim-lo-mo yang mampu
menandinginya, dan kalau dia memegang Pek-liong-kiam, kukira dia
akan mampu menandingi Hek-sim Lo-mo. Kita pergunakan
kesempatan baik ini untuk melarikan diri bersama mereka."
"Tapi......, mereka sendiri tidak berdaya, dalam tawanan......"
"Aku akan membebaskan mereka."
"Ah, itu berbahaya sekali...... aku khawatir akan keselamatanmu......"
Thio Wi merangkul isterinya. "Jangan khawatir. Dalam saat terakhir
dari usia kita yang sudah tua ini, kita harus melakukan hal yang tepat
dan baik. Menyerahkan sepasang pedang ini ke tangan mereka berarti
kita membuat dosa besar karena di tangan mereka, sepasang pedang
ini hanya akan mendatangkan banjir darah. Kita harus berdaya upaya


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agar pedang ini jatuh ke tangan pendekar yang layak menerimanya
330 agar sepasang pedang ini dapat dipergunakan untuk menentang
kejahatan. Setidaknya sebuah di antara kedua pedang ini, harus jatuh
ke tangan orang yang layak."
Isterinya mengangguk, "Engkau benar. Kita sudah tua, kematian
bukan apa-apa bagi kita, akan tetapi dosa akan memberatkan batin.
Apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Begini, mereka tidak mencurigaimu dan engkau tidak pernah
diawasi. Yang diawasi hanya aku. Maka, besok pagi engkau seperti
biasa bawalah keranjang untuk mencari sayur ke ladang kita, dam
sembunyikan Hek-liong-kiam di balik bajumu sampai tidak kentara
dari luar. Larikanlah pedang itu keluar dusun. Sebaiknya engkau
mengambil jalan jurusan timur, memasuki hutan cemara itu.
Mengerti?" Isterinya mengangguk. "Dan engkau?"
"Aku akan lari ke barat. Kita harus berpencar agar setidaknya
sebatang di antara dua pedang itu dapat diselamatkan."
"Tapi itu berbahaya sekali. Mereka mengawasimu dan engkau tentu
tidak akan dapat lari jauh......"
"Jangan khawatir. Sudah kurencanakan semua. Sebelum lari, aku akan
membebaskan kedua orang pemuda itu. Akan kuserahkan Pek-liongkiam kepada Cin Hay agar dia mampu menahan mereka. Kalau Thian
menghendaki, tentu aku akan selamat dan kita akan dapat saling
berjumpa kembali." 331 Suara kaki dan orang-orang bicara memberitahu mereka bahwa ada
anak buah Hek-sim Lo-mo meronda, maka merekapun tidak bicara
lagi. Semalam itu mereka hampir tidak tidur, merencanakan tekad
mereka itu dan membayangkan apa yang akan terjadi.
"Y" Pada keesokan harinya, tanpa menimbulkan kecurigaan, isteri Thio Wi
Han meninggalkan pondok. Ia mengenakan baju rangkap karena hawa
udara memang dingin di pagi itu, membawa sebuah keranjang sayur.
Dengan sikap biasa nenek ini berjalan perlahan menuju ke timur.
Cap-sha-kwi melihat ia meninggalkan pondok, akan tetapi mereka
tidak menaruh perhatian karena tugas mereka hanya menjaga agar
Thio Wi Han tidak pergi dan berhubungan dengan orang luar. Nenek
itu sendiri tidak ada artinya bagi mereka, dan memang satu-dua hari
sekali nenek itu keluar membawa keranjang sayur untuk membeli
sayur di pasar dusun itu.
Sementara itu, kakek Thio Wi Han sibuk di bengkelnya. Suara
palunya sudah berdenting sejak pagi tadi. Dia sedang menempa
pedang yang keputihan, tinggal menghaluskannya saja, sedangkan
pedang yang lebih pendek, yang kehitaman, berada di atas meja
bengkelnya, juga belum halus benar, masih memerlukan penghalusan
selama beberapa hari lagi.
"Kakek Thio, masih belum jadi jugakah sepasang pedang itu?"
Thio Wi Han terkejut. Munculnya Yauw Ban si mata satu itu sungguh
mengejutkan hatinya karena selain munculnya tanpa suara, juga dia
332 sudah sejak tadi merasa tegang menghadapi rencananya yang sudah
diatur semalam bersama isterinya.
"Tinggal sedikit lagi, dalam waktu dua-tiga hari lagi pasti selesai,"
jawabnya acuh. Tentu saja diapun mengetahui akan perubahan sikap
pembantu utama Hek- sim Lo-mo ini. Biasanya, si mata satu ini
menyebutnya Thio-locianpwe, dan bersikap hormat. Akan tetapi
sekarang sikapnya sudah berbeda, juga sebutannya. Hal ini saja jelas
membuktikan bahwa mereka memang mempunyai niat jahat terhadap
dirinya. Hampir dia berani memastikan bahwa kalau sepasang pedang
itu sudah jadi dan sudah diserahkan kepada mereka, dia dan isterinya,
juga dua orang pemuda itu, tentu akan dibunuh.
Yauw Ban mendekat dan melihat kedua batang pedang itu dengan
penuh perhatian. Kakek Thio Wi Han tidak khawatir kalau sampai
ketahuan bahwa dua batang pedang itu palsu. Hek-sim Lo-mo sendiri
tidak akan mengetahuinya! Dia membuat pedang itu dengan baja
murni pula, dan memberi campuran yang membuat kedua batang
pedang itu berwarna hitam dan putih.
Pedang yang aseli sudah jadi, yang betina berwarna hitam kini sudah
dibawa pergi isterinya, sedangkan yang jantan berwarna putih
disimpannya dengan aman di dalam kamarnya, di tempat rahasia
bawah pembaringan. Betapapun juga, melihat betapa mata yang
tinggal satu dari Yauw Ban mengamati kedua pedang itu dengan sinar
mencorong, hati kakek ini berdebar juga. Untuk meredakan
ketegangannya, sambil melanjutkan tempaannya dia berkata.
"Kuharap saja kalian tidak melanggar janji dan kedua keponakanku
itu diperlakukan dengan baik dan tidak diganggu. Kalau sampai
333 mereka diganggu, sungguh mati, aku tidak akan melanjutkan
pembuatan pedang-pedang ini."
Yauw Ban mengeluarkan suara seperti sapi mendengus. "Huh, siapa
yang akan menganggu mereka! Mereka itu bagaimanapun juga tidak
akan mungkin dapat membuat ribut lagi. Mereka dikurung dalam
kamar berjeruji besi, siang malam dijaga secara bergilir dan andaikata
mereka membuat keributanpun, kami semua akan datang dan
menundukkannya. Apa lagi Beng-cu kami tidak jauh dari sini!"
Berkata demikian, Yauw Ban meninggalkan tempat kerja itu karena
diapun tidak mau lama-lama mengganggu kakek itu, hal yang amat
dilarang oleh majikan atau pemimpinnya.
Diam-diam kakek Thio Wi Han merasa senang mendengar keterangan
tadi. Dua orang pemuda itu masih selamat, dikurung dalam kamar
yang diberi jeruji besi, dijaga secara bergiliran. Secara bergiliran ini
berarti bahwa penjaganya tidaklah terlalu banyak.
Kalau dia dapat bertindak cepat, besar kemungkinan dia akan mampu
membebaskan dua orang pemuda itu sebelum melarikan diri
membawa pedang pusaka. Kalau terjadi pengeroyokan, dia dapat
mengandalkan pemuda bernama Tan Cin Hay itu dan menyerahkan
Pedang Naga Putih kepadanya.
Setelah Yauw Ban keluar, kakek Thio Wi Han menyelinap ke balik
jendela dan mengintai. Pembantu utama yang paling lihai dari Heksim Lo-mo itu pergi ke arah utara, meninggalkan rumah, berarti tidak
ikut berjaga di tempat tahanan yang berada di belakang rumah. Berarti
pula satu bahaya telah menjauh.
334 Keadaan pagi itu sunyi dan kakek yang sudah selama beberapa hari
memperhatikan kebiasaan para anak buah penjahat itu maklum bahwa
kebanyakan dari mereka itu suka bangun siang, dan sepagi itu tentu
masih mendengkur. Yang sudah bangunpun masih bermalas-malasan
dan saat inilah mereka lengah.
Dengan hati-hati kakek itu lalu memasuki kamarnya. Dia mengenakan
sebuah baju luar yang panjang dan dengan menggeser kaki dipan,
terbukalah sebuah lubang di lantai bawah pembaringan itu dan
diambilnya sebatang pedang yang bersarung kayu buruk dan kasar.
Disimpannya pedang itu di balik jubah panjangnya dan diapun
menyelinap keluar dari pintu belakang. Karena sudah bersiap siaga
sebelumnya, sejak bangun pagi-pagi tadi, kakek itu sudah
mengenakan pakaian yang ringkas dan sepatu yang kuat.
Tepat seperti dugaannya, tidak nampak seorangpun dari Cap-sha-kwi
di situ. Tentu tigabelas orang kasar itu masih tidur mendengkur. Dia
menyelinap masuk ke dalam pondok tempat tahanan. Barulah dia
merasa terkejut sekali melihat dua orang duduk saling berpelukan di
atas bangku panjang di depan kamar tahanan!
Ketika dua orang itu mendengar langkahnya dan mereka mengangkat
muka menengok, dia mengenal bahwa dua orang yang tadi
bermesraan itu bukan lain adalah Kiu-bwe Mo-li si iblis betina genit
dan Lui Teng si penjahat cabul! Sungguh dua orang itu seperti cacing
dan sampah, begitu cocok! Berjaga di depan kamar tahanan, mereka
masih sempat bermesraan, tidak perduli betapa dua orang pemuda
tahanan itu dapat melihat perbuatan mereka melalui jeruji besi.
Sungguh orang-orang yang sudah tidak lagi mengenal kesusilaan,
tidak mengenal malu. 335 Akan tetapi tentu saja kakek Thio tidak sempat memikirkan hal ini.
Dia sudah terlalu kaget mengenal dua orang lihai itu, apa lagi karena
merekapun sudah melihatnya. Untuk mundur lagi. sudah terlambat
karena mereka tentu akan mencurigainya. Benar saja dugaannya, Kiubwe Mo-li sudah meloncat turun dari atas pangkuan Lui Teng dan
sekali meloncat ia sudah berada di depan kakek Thio Wi Han.
"Heii, kakek Thio! Mau apa engkau pagi-pagi datang ke sini?"
bentaknya penuh curiga. "Dia meninggalkan bengkelnya dan pergi ke sini, tentu berniat
buruk!" kata pula Lui Teng yang juga sudah meloncat dekat.
Menghadapi dua orang itu, kakek Thio Wi Han bersikap tenang. "Aku
sengaja datang untuk menjenguk dua orang keponakanku. Hendak
kulihat apakah benar kalian memegang janji dan tidak mengganggu
mereka. Kalau kalian mengganggu mereka, aku tidak akan
menyelesaikan pedang-pedang itu dan kalian tentu akan disalahkan
oleh Hek-sim Lo-mo."
Sikapnya yang tenang dan kata-katanya yang tepat itu mengusir
kecurigaan dua orang tokoh sesat itu dan Kiu-bwe Mo-li tersenyum
mengejek dengan sikap genit. Tadi memang ia sengaja merayu Lui
Teng sehingga pria muda yang menjadi hamba nafsu itu melayani di
depan kamar tahanan dan hal ini dilakukan oleh si genit untuk
menarik hati Tan Cin Hay karena diam-diam ia merasa amat tertarik
kepada pemuda tampan yang gagah perkasa itu.
"Hemm, kau lihat saja sendiri! Dua orang pemuda keponakanmu itu
tidur dengan enaknya, sama sekali tidak terganggu."
336 "Boleh lihat sebentar dan segera pergi lagi ke bengkelmu!" kata Lui
Teng yang merasa mendongkol karena keasyikannya tadi terganggu.
Thio Wi Han lalu menghampiri jeruji besi dan benar saja. Dua orang
pemuda itu dalam keadaan selamat dan sehat. Bahkan Song Tek Hin
tidak lagi terbelenggu. Cin Hay nampak duduk bersila seperti sedang
samadhi sedangkan Tek Hin duduk bersandar dinding.
Cin Hay membuka matanya dan dia terbelalak memandang kepada
kakek itu. Kalau dia menghendaki, kiranya tidak akan sukar baginya
untuk menjebol jeruji besi itu dan membebaskan diri. Akan tetapi, dia
teringat keselamatan Tek Hin, kakek Thio Wi Han dan isterinya. Dia
ingin menyelamatkan mereka bertiga dari tangan orang-orang jahat
itu, juga dia ingin menyelidiki tentang Kim-san Liong-cu yang
agaknya oleh Hek-sim Lo-mo sedang dijadikan pedang, dikerjakan
oleh kakek Thio Wi Han. Kalau mungkin, dia ingin merampas pedang
pusaka itu agar jangan terjatuh ke tangan seorang datuk jahat seperti
Hek-sim Lo-mo. "Cin Hay, ini kubawakan makanan untukmu," kata Thio Wi Han.
Biarpun Kiu-bwe Mo-li dan Lui Teng memperhatikan gerak-gerik
kakek itu ketika menghampiri tempat tahanan, akan tetapi mendengar
bahwa kakek itu membawakan makanan, mereka tidak menaruh
curiga. Kakek Thio Wi Han menyingkap jubah luarnya dan
mengeluarkan pedang yang bersarung kayu buruk itu, memasukkan
melalui jeruji besi dan melemparkannya kepada Cin Hay!
"Heiiiii! Apa yang kaulemparkan itu!" Kiu-bwe Mo-li membentak.
337 Akan tetapi kakek Thio Wi Han sudah membalikkan tubuh
menghadapi dua orang tokoh sesat itu dengan sepasang pedang
telanjang di tangan! Itulah pedang pendek hitam dan pedang panjang
putih yang selama ini digarapnya dalam bengkel, yang sudah hampir
jadi, tinggal menghaluskannya saja, pedang-pedang yang dibuat dari
bahan Kim-san Liong-cu! Dan tanpa banyak cakap lagi, Thio Wi Han sudah menggerakkan
kedua pedang itu, yang putih panjang di tangan kanan, yang lebih
pendek hitam di tangan kiri, langsung dia menyerang Kiu-bwe Mo-li!
Ketika wanita itu dengan kaget meloncat ke samping sambil
mengelak, kakek Thio Wi Han menyerang Jai-hwa Kongcu Lui Teng
dengan pedang hitam pendek yang mengeluarkan sinar hitam!
Lui Teng terkejut dan agak gentar menghadapi pedang pusaka itu,
maka diapun meloncat ke belakang sambil melolos sabuk putihnya.
Kiu-bwe Mo-li juga sudah menggerakkan cambuk ekor sembilan di
tangannya dan menyerang dengan ganas dan marah. Sementara itu,
Lui Teng juga menyerang dengan sabuk putihnya yang lihai.
Melawan Lui Teng seorang diri saja kakek Thio Wi Han takkan
mampu mengalahkannya, apa lagi melawan Kiu-bwe Mo-li yang lebih
lihai lagi. Dan kini dia dikeroyok dua! Cambuk ekor sembilan itu
meledak-ledak dan mengancam seluruh jalan darah di tubuh kakek itu,
sedangkan sabuk putih di tangan Lui Teng sudah membentuk
gulungan sinar putih yang berbahaya sekali. Tentu saja kakek ini
segera terdesak hebat. Akan tetapi dengan gigihnya dia memutar
kedua pedang di tangannya dan melindungi dirinya sambil berusaha
untuk membalas. 338 Sementara itu, Cin Hay menyambar benda panjang yang dilemparkan
oleh kakek Thio Wi Han dari luar kamar tahanan itu kepadanya.
Sebatang pedang yang sarungnya butut! Heran dia, mengapa kakek itu
melemparkan sebatang pedang padanya" Tanpa pedangpun dia akan
mampu, melawan musuh. Apa lagi pedang butut ini, apa manfaatnya"
Dicabutnya pedang itu dan diapun semakin kecewa. Sebatang pedang
yang warnanya kotor kehitaman, seperti besi biasa yang dicat!
"Tai-hiap, mari kita keluar dan kita bantu Paman Thio!" kata Tek Hin
dengan sikap gagah. Mengingat bahwa ilmu silat pemuda ini tidak
berapa tinggi, Cin Hay lalu menyerahkan pedang buruk itu kepadanya.
"Jangan banyak bergerak, saudara Song. Kau pegang pedang ini untuk
berjaga diri, dan kalau aku sudah membuka jeruji tahanan ini,
sebaiknya engkau cepat melarikan diri biar aku yang membantu
Paman Thio." Akan tetapi Tek Hin sudah menerima pedang itu dan berkata dengan
suara lantang. "Aku" Disuruh lari sedangkan engkau dan Paman Thio
dikepung musuh" Lebih baik aku mati!" Berkata demikian, pemuda
ini dengan marah lalu menggunakan pedang kotor kehitaman itu untuk
membabat jeruji besi tempat tahanan mereka.
Dan pedang itu dapat membabat putus semua jeruji, seolah-olah jeruji
itu bukan dibuat dari besi melainkan dari bahan yang lunak saja! Cin
Hay terkejut melihat ini dan baru dia tahu bahwa pedang buruk itu
oleh kakek Thio diberikan kepadanya agar dia dapat menghadapi Heksim Lo-mo dan kawan-kawannya. Sekali melompat dia sudah berada
di dekat Tek Hin dan pedang itupun berpindah tangan.
339 "Cepat, saudara Song. Engkau larilah menyelamatkan diri lebih dulu!
Dengan pedang ini aku akan menghajar mereka dan menyelamatkan
Paman Thio dan isterinya!"
Akan tetapi, Song Tek Hin adalah seorang pemuda yang tabah dan
berani mati, apa lagi dia merasa sakit hati sekali kepada Hek-sim Lomo dan anak buahnya atas kematian tunangan dan calon mertuanya.
Mana dia mau melarikan diri begitu saja"
"Aku akan mengadu nyawa dengan iblis itu!" bentaknya, dan melihat
betapa tigabelas orang Cap-sha-kwi telah bermunculan, dia segera
menerjang orang yang terdekat sambil melompat keluar dari kamar
yang jerujinya telah patah-patah itu.
"Tek Hin, jangan......!" Cin Hay mencegah, akan tetapi pemuda itu
tidak memperdulikan cegahannya, bahkan sudah mengamuk,
memukul dan menendang. Akan tetapi, kepandaiannya masih jauh
untuk dapat melawan Cap-sha-kwi yang rata-rata memiliki ilmu silat
tinggi itu sehingga dalam beberapa jurus saja, tubuh Tek Hin telah
menjadi bulan- bulan pukulan sehingga dia terjungkal roboh!
Akan tetapi dasar dia sudah nekat, dia bangkit kembali ketika seorang
di antara Cap-sha-kwi menubruknya dan dia menyambut orang itu


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tendangan kuat. Orang itu tidak menyangka dan perutnya kena
ditendang sehingga dia terjengkang dan mengaduh. Tek Hin mendapat
hati dan menyerang terus, dihadang oleh beberapa orang anggauta
Cap-sha-kwi. Ketika Cin Hay melompat keluar, dia sempat merobohkan dua orang
anggauta Cap-sha-kwi yang mengancam Tek Hin, akan tetapi pada
saat itu dia mendengar Kakek Thio mengeluh. Cepat dia menengok
340 dan melihat betapa kakek itu roboh terluka dan kedua pedang di
tangan kakek itu telah terampas oleh Kiu-bwe Mo-li dan Jai-hwa
Kongcu Lui Teng! Cin Hay meloncat dan pedangnya menyambar. Kiu-bwe Mo-li dan
Jai-hwa Kongcu Lui Teng menggerakkan senjata mereka, yaitu
cambuk ekor sembilan dan sabuk putih untuk menyambut serangan
Cin Hay. "Bret Brettt!" Cambuk ekor sembilan dan sabuk putih itu terbabat oleh
pedang buruk di tangan Cin Hay dan kedua senjata itu putus!
Dua orang tokoh sesat itu terkejut sekali dan mereka meloncat jauh ke
belakang dengan muka pucat! Senjata mereka adalah senjata lemas
yang tidak akan mudah dibikin putus begitu saja oleh sebatang
pedang, namun kini sekali bertemu dengan pedang pemuda pakaian
putih itu, senjata mereka telah menjadi buntung!
Cin Hay melihat betapa kakek Thio telah terluka parah, mukanya
kehitaman tanda bahwa dia terkena luka beracun, maka cepat diangkat
dan dipanggulnya tubuh kakek itu. Ketika dia menengok untuk
menolong Tek Hin, pemuda ini telah diringkus dan diikat tangannya,
akan tetapi dia masih meronta dan memaki.
"Tek Hin......!" Cin Hay berseru kaget.
"Tan Taihiap, pergilah, bawalah Paman Thio pergi. Selamatkan dia
dan jangan perdulikan diriku!" teriak Song Tek Hin sebelum sebuah
pukulan mengenai lehernya dan membuat dia roboh pingsan dengan
mulut berdarah. 341 Cin Hay merasa khawatir sekali, akan tetapi diapun maklum bahwa
dengan memanggul tubuh Thio Wi Han, tidak mungkin dia dapat
menolong Tek Hin, apa lagi pemuda itu telah diringkus dan sebelum
dia turun tangan, bisa saja pihak penjahat membunuh Tek Hin. Maka,
diapun melompat dan melarikan kakek Thio Wi Han.
Kiu-bwe Mo-li dan Jai-hwa Kongcu Lui Teng tidak berani mengejar
pemuda pakaian putih yang luar biasa lihainya itu. Apa lagi mereka
sudah berhasil merampas dua batang pedang pusaka, dan itulah yang
terpenting. Kalau sepasang pedang pusaka itu lenyap dilarikan orang, tentu Heksim Lo-mo akan marah sekali. Akan tetapi sepasang pedang itu telah
mereka rampas dari tangan Thio Wi Han, maka larinya Thio Wi Han,
yang sudah terluka parah dan pemuda berpakaian putih itu tidak
menjadi persoalan lagi. Masih ada Song Tek Hin dalam tawanan
mereka, dan pemuda ini tentu dapat dijadikan umpan untuk
memancing kembalinya pemuda berpakaian putih, kalau hal ini
dikehendaki oleh Hek-sim Lo-mo. Kalau tidak, pemuda itu akan
dibunuh begitu saja dan mereka akan meninggalkan dusun Gi-hocung.
"Y" Nyonya Thio Wi Han yang usianya masih terbilang amat muda
dibandingkan dengan suaminya, baru empatpuluh dua tahun
dibandingkan suaminya yang sudah tujuhpuluh tahun lebih. Akan
tetapi, ia amat mencinta suaminya. Biarpun ketika ia menikah dengan
Thio Wi Han, suaminya itu telah menjadi seorang duda berusia
setengah abad lebih dan ia masih seorang gadis, namun suaminya
342 sungguh merupakan seorang suami yang amat baik, yang memenuhi
semua syarat seorang suami yang mencinta isterinya.
Bahkan setelah mereka menjadi suami isteri lebih dari duapuluh tahun
lamanya dan mereka tidak mendapatkan keturunan, cinta kasih
suaminya terhadap dirinya tak pernah berkurang sedikitpun juga.
Mereka selalu berdua, selalu hidup saling mencinta dan merasakan
kebahagian berdua. Akan tetapi sekarang, ia harus pergi meninggalkan suaminya! Untuk
pertama kali sejak mereka menjadi suami isteri, mereka saling
berpisah dan sekali berpisah, ia harus meninggalkan suaminya yang
terancam bahaya maut! Tak terasa lagi nyonya itu menangis sambil
melanjutkan perjalanannya memasuki hutan setelah ia berhasil
meninggalkan dusun Gi-ho-cung.
Bagaimana kalau suaminya gagal menyelamatkan diri" Kalau sampai
ketahuan mereka, bagaimana mungkin suaminya akan mampu
menyelamatkan diri" Membayangkan suaminya mereka bunuh,
nyonya itu menangis semakin mengguguk. Ingin ia berlari kembali
untuk membantu suaminya atau mati bersama suaminya kalau perlu,
dan pikiran ini membuat ia menahan kedua kakinya
"Hemm, Nyonya Thio, kenapa engkau menangis dan mengapa pula
engkau meninggalkan kampung?"
Wanita itu terkejut. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa sejak ia
meninggalkan dusun tadi, ia telah menarik kecurigaan Yauw Ban,
Naga Mata Satu pembantu utama Hek-sim Lo-mo!
343 Yauw Ban merasa curiga melihat wanita itu meninggalkan dusun Giho-cung dan dia lalu mengajak He-nan Siang-mo untuk membayangi
nyonya itu dari jauh. Ketika melihat wanita itu memasuki hutan,
kemudian herjalan sambil menangis, kecurigaan hati Yauw Ban
semakin kuat dan akhirnya dia lalu menegur wanita itu yang menjadi
terkejut sekali. Nyonya Thio Wi Han maklum bahwa ia tidak akan mampu lari. Ia
teringat kembali akan bahaya yang mengancam suaminya, maka tibatiba saja ia menjadi marah sekali. Tangannya merahi ke balik
jubahnya dan ia telah menghunus sebatang pedang yang rupanya kotor
dan hitam. "Kalian manusia-manusia iblis yang menyengsarakan suamiku!"
bentaknya dan langsung saja ia menggerakkan pedangnya menyerang
tiga orang di depannya itu dengan bacokan-bacokan nekat.
Terdengar bunyi mendesing nyaring dan angin yang mengandung
hawa dingin menyambar. Tiga orang itu terkejut bukan main, tak
mereka sangka bahwa nyonya itu demikian dahsyat serangannya.
Mereka tidak tahu bahwa kedahsyatan serangan itu sebagian besar
karena keampuhan pedang yang berada di tangan nyonya itu. Sebuah
pedang yang kelihatan buruk, akan tetapi sesungguhnya itulah Hekliong-kiam yang aseli!
Yauw Ban mencabut pedangnya, dan kedua orang kembar He-nan
Siang-mo mencabut golok mereka. Wanita ini sebaiknya dibunuh saja,
pikir mereka. Pedang-pedang itu sudah hampir jadi dan kalau sudah
jadi, kakek Thio Wi Han dan isterinya ini akan dibunuh, juga dua
orang pemuda tawanan, demikian perintah Hek-sim Lo-mo.
344 Dan sekarang, wanita ini sikapnya mencurigakan, agaknya hendak
melarikan diri, mungkin ingin minta bantuan dan hal ini amat
berbahaya. Apa lagi kini Nyonya Thio Wi Han agaknya nekat hendak
melakukan perlawanan mati-matian.
Begitu Yauw Ban dan He-nan Siang-mo memainkan pedang dan
golok mereka, wanita itu segera terdesak hebat! Namun, Nyonya Thio
memutar pedangnya melindungi diri.
"Trang-tranggg!" Pedangnya menangkis dua batang golok dari si
kembar, dan dapat dibayangkan betapa kaget hati He-nan Siang-mo
melihat betapa ujung golok mereka yang bertemu dengan pedang itu
menjadi buntung! "Awas, pedangnya kuat sekali, jangan mengadu senjata!" teriak Yauw
Ban. Dia seorang ahli pedang dan dia segera mengenal pedang ampuh
walaupun pedang itu kelihatan demikian buruknya. Hal ini tidak
mengherankan hatinya mengingat bahwa Thio Wi Han adalah seorang
ahli pedang yang amat pandai.
Kini, dua orang kembar He-nan Siang-mo menggunakan golok yang
ujungnya sudah buntung. Mereka bersikap hati-hati dan tidak mau
mengadu senjata, demikian pula Yauw Ban. Karena memang tingkat
kepandaian mereka lebih tinggi, tentu saja kini wanita itu makin
terdesak hebat, ia terpaksa berloncatan ke sana sini dan berusaha
membalas dengan sambaran pedangnya.
Namun, karena dikeroyok tiga, akhirnya pundak kirinya tergores
golok buntung dan paha kanannya tertusuk pedang Yauw Ban! Ia
terhuyung dan sebelum ia mampu mengatur keseimbangan dirinya,
tangan kiri Yauw Ban berhasil memukul dadanya.
345 "Desss!" Pukulan itu hebat sekali. Nyonya Thio Wi Han terpental dan
terbanting roboh dalam keadaan nanar dan setengah pingsan. Namun
ia tetap memegangi pedang buruk dengan erat.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan wanita itu, tiba-tiba
nampak bayangan hitam berkelebat dan seorang gadis berpakaian
hitam telah menghadang ketika Gin Siong, orang kedua dari He-nan
Siang-mo sudah mengangkat golok buntungnya untuk menghabiskan
nyawa Nyonya Thio. Kaki gadis itu mencuat dan menendang ke arah
lengan yang mengayunkan golok.
Gan Siong maklum bahwa ada orang yang datang menolong wanita
yang sudah menggeletak tak berdaya itu. Dia marah dan mengubah
gerakan goloknya, kini membabat ke arah kaki gadis berpakaian hitam
itu. Akan tetapi, gerakan gadis itu cepat bukan main. Kaki kirinya
yang menendang tadi tiba-tiba saja ditarik kembali dan pada saat
golok menyambar tempat kosong, kaki kanannya sudah melayang dari
samping. "Dukkk!" Tubuh Gan Siong terjengkang ketika perutnya kena
ditendang dari samping dan dia terkejut, juga kesakitan maka diapun
bergulingan untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi, gadis itu tidak
mengejarnya melainkan cepat menyambar tubuh Nyonya Thio yang
sudah payah, lalu memanggulnya.
"Kau...... pakai... pedang pusaka ini......!" Nyonya Thio sempat
berkata sambil menyerahkan pedangnya kepada gadis itu sebelum ia
pingsan di atas pundak gadis itu.
Gadis berpakaian hitam itu bukan lain adalah Lie Kim Cu atau Hekliong-li! Melihat keadaan wanita setengah tua itu yang pingsan dan
346 lukanya parah, Kim Cu menerima pedang itu. Sebatang pedang yang
buruk, akan tetapi ketika dipegangnya, ternyata gagangnya enak sekali
digenggam, dan berat pedang itupun seimbang dan enak pula untuk
dimainkan. Sementara itu, melihat kehebatan gadis yang dalam segebrakan saja
mampu menendang jatuh Gan Siong, Yauw Ban terkejut dan
memandang tajam penuh selidik dengan sebelah matanya. Dia teringat
akan cerita Kiu-bwe Mo-li dan diapun membentak, "Apakah engkau
yang berjuluk Dewi Naga Hitam?"
Kim Cu tersenyum mengejek. "Benar, dan sekali ini aku datang untuk
membasmi orang-orang berwatak iblis seperti kalian!"
Yauw Ban sudah marah sekali dan diapun cepat menyerang dengan
pedangnya. Si mata satu ini memang seorang ahli pedang dan
serangannya dahsyat bukan main, pedangnya berkelebat seperti kilat
menyambar. Namun, yang diserangnya sekarang adalah seorang gadis
yang amat lihai, yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari
Huang-ho Kui-bo, maka menghadapi serangan itu, Liong-li atau Kim
Cu tidak menjadi gugup dan iapun menggerakkan pedang butut itu
untuk menangkis. "Wuuss......!" Liong-li terkejut dan heran. Lawannya yang demikian
pandai bermain pedang, juga dari sambaran pedang tadi dapat
diketahui bahwa tenaga sin-kangnya juga amat kuat, ternyata
mengelak dan tidak mau mengadukan pedangnya dengan pedang butut
yang dipegangnya. Pada saat itu, ia melihat sepasang orang kembar sudah menyerangnya
dan iapun melihat betapa ujung kedua golok mereka itu buntung. Kim
347 Cu yang lihai dan cerdik segera dapat menduga mengapa lawannya
yang bermata satu dan lihai itu tidak mau beradu pedang. Tentu
karena pedang di tangannya itu, yang nampak buruk, adalah sebatang
pedang pusaka ampuh dan bahwa kedua golok dari orang kembar
itupun mungkin telah buntung oleh pedang di tangannya itu! Maka
iapun cepat menggerakkan pedangnya untuk menangkis atau
membabat ke arah sepasang golok yang menyerangnya dari kanan
kiri. Gerakannya cepat dan pedang itu mengeluarkan suara mencicit
nyaring, juga mendatangkan angin yang dingin, berubah menjadi
gulungan sinar yang melebar dari kanan ke kiri. Dan seperti juga si
mata satu, dua orang kembar itu cepat menarik kembali golok mereka,
jelas bahwa mereka gentar dan tidak berani mengadukan golok
mereka dengan pedang di tangan Liong-li.
Hal ini menggembirakan hati Liong-li. Dari gerakan tiga orang itu, ia
tahu bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang berilmu tinggi,
terutama sekali si mata satu itu. Ia tidak akan gentar menghadapi
mereka dan yakin akan mampu mengalahkan mereka bertiga kalau
saja tidak ada wanita pingsan yang berada di atas pundak kirinya.
Dengan adanya beban itu, tentu saja ia tidak dapat bergerak dengan
leluasa, bahkan amat berbahaya baginya kalau harus menghadapi
pengeroyokan tiga orang itu sambil memanggul orang pingsan. Akan
tetapi, dengan pedang pusaka ampuh itu di tangan, ia akan mampu
melindungi dirinya sendiri dan wanita yang dipanggulnya, dan akan
dapat menyelamatkannya. 348 "Haiiiitttt......!" Wanita berpakaian hitam itu mengeluarkan suara
melengking nyaring sekali, jeritan yang mengandung khi-kang ini
membuat He-nan Siang-mo dan Yauw Ban terkejut dan merasa betapa
jantung mereka terguncang hebat. Cepat mereka menggerakkan
senjata melindungi tubuh mereka, karena mereka melihat wanita
pakaian hitam itu memutar pedang seperti baling-baling dan tubuhnya
meluncur dengan serangan yang dahsyat. Hawa dingin menyambarnyambar dan terpaksa tiga orang ini berloncatan mundur.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Liong-li untuk meloncat jauh ke
kiri dan melarikan diri untuk menyelamatkan wanita yang pingsan di
atas pundaknya itu. Melihat ini, Yauw Ban dan He-nan Siang-mo
tidak berani mengejar, hanya mereka menggerakkan tangan kiri dan
beberapa batang senjata rahasia piauw dan paku beterbangan ke arah
tubuh Liong-li yang sedang melarikan diri.
Liong-li mendengar suara angin sambaran senjata-senjata rahasia kecil
itu. Tanpa menoleh, ia meloncat ke atas sambil memutar pedangnya
ke arah belakang. Semua senjata rahasia yang menyambar bagian
bawah lewat di bawah kakinya dan yang menyambar bagian atas
runtuh oleh tangkisan sinar pedang Hek-liong-kiam.
Tiga orang pembantu utama Hek-sim Lo-mo hanya memandang
dengan mata terbelalak, kagum dan juga jerih melihat wanita baju
hitam itu melarikan tubuh Nyonya Thio dengan kecepatan bagaikan
terbang saja. Mereka bertiga lalu bergegas menuju ke rumah Thio Wi
Han, dan Yauw Ban sendiri cepat mengunjungi Hek-sim Lo-mo di
tempat peristirahatannya untuk melaporkan peristiwa yang baru saja
terjadi itu. 349 Hek-liong-li Lie Kim Cu berlari cepat untuk meninggalkan tempat
berbabaya itu. Kalau saja ia tidak menerima pedang pusaka ampuh
dari wanita itu, agaknya tidak akan demikian mudah ia dapat
menyelamatkan wanita itu. Biarpun ia tidak gentar menghadapi tiga
orang lawannya, namun untuk merobohkan mereka, membutuhkan
waktu. Apa lagi kalau ia harus memanggul tubuh orang, mungkin saja
ia malah akan mengalami kekalahan.
Ia lari masuk ke dalam hutan yang lebat dan merasa yakin bahwa tiga
orang lawan itu tidak melakukan pengejaran. Tiba-tiba ia berhenti dan
cepat ia menyelinap ke balik sebatang pohon besar. Ada langkah kaki
orang berlari ke arahnya! Agaknya ada pula yang melakukan


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengejaran! Dengan pedang di tangan kanan dan tubuh Nyonya Thio
dipanggul di atas pundak kiri, Liong-li siap siaga, seluruh urat syaraf
di tubuhnya menegang. Suara langkah kaki orang berlari itu semakin dekat dan kini orang itu
memperlambat larinya, bahkan berjalan biasa ketika tiba di dekat
tempat Liong-li bersembunyi. Wanita ini melihat seorang laki-laki
yang usianya sekitar duapuluh lima tahun, berpakaian putih, tangan
kanan memegang sebatang pedang yang buruk, tangan kiri
memanggul tubuh seorang kakek yang kelihatannya menderita luka
parah. Tak salah lagi, tentu seorang anak buah Hek-sim Lo-mo pula yang
entah telah menangkap siapa. Tanpa banyak cakap lagi, Liong-li lalu
melompat keluar dan menerjang dengan bacokan pedangnya ke arah
kepala orang berpakaian putih itu.
350 "Singgg......!" Pedang di tangannya menyambar dahsyat dan
mengeluarkan hawa dingin.
Orang muda itu nampak terkejut, akan tetapi tidak menjadi gugup dan
dengan gerakan yang cepat diapun mengangkat pedang di tangannya
untuk menangkis. Melihat ini, girang rasa hati Liong-li karena ia
merasa yakin bahwa pedang pusakanya tentu akan membabat buntung
pedang lawan itu. "Trangggg......!!" Nampak bunga api berpijar dan keduanya merasa
betapa lengan tangan mereka tergetar hebat sampai menembus ke
dalam dada dan keduanya terdorong mundur sampai lima langkah!
Liong-li terkejut bukan main! Pedang orang itu sama sekali tidak
buntung, bahkan selain mampu menahan pedang pusaka di tangannya,
juga tenaga yang terkandung di balik pedang itu amat kuatnya!
Di lain pihak, orang berpakaian putih itu yang bukan lain adalah Tan
Cin Hay, juga terkejut bukan main. Tadi dia sedang melarikan tubuh
Thio Wi Han yang pingsan ketika tiba-tiba ada orang menyerangnya.
Tak disangkanya bahwa penyerangnya itu seorang gadis berpakaian
hitam yang selain memiliki pedang pusaka yang kuat pula, juga
memiliki sin-kang yang mampu menandinginya! Keduanya kini saling
pandang dengan penuh perhatian dan keduanya kagum.
Liong-li melihat seorang pemuda yang berwajah tampan dan lembut,
nampaknya seperti seorang sastrawan lemah saja, sepasang matanya
mencorong dan pakaiannya yang serba putih itu nampak bersih,
dengan potongan sederhana. Kakek yang dipanggul pemuda itu
nampaknya terluka berat dan pingsan, dengan muka agak kehitaman
seperti keracunan. 351 Sebaliknya, Cin Hay juga kagum melihat seorang wanita muda
berpakaian serba hitam yang cantik manis. Wajah itu bulat telur,
dengan dagu meruncing, mulutnya kecil dengan bibir yang merah
basah tanpa gincu. Di bawah mata kiri ada tahi lalat di atas pipi dan
wanita itu memiliki sepasang mata yang tajam, mulutnya yang indah
itu menyungging senyuman sinis sehingga nampak lesung pipit di tepi
mulut. Manis sekali, akan tetapi sepasang mata itu membayangkan
ketabahan, keberanian, kegalakan dan juga kecerdikan, membuat Cin
Hay yang terkagum-kagum itu menjadi waspada. Seorang lawan yang
amat berbahaya, pikirnya.
Liong-li mempunyai watak yang tidak mau kalah. Begitu tadi beradu
pedang, iapun tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan
tangguh yang memiliki sebatang pedang pusaka ampuh. Ini bukan
lawan seperti tiga orang yang mengeroyoknya tadi, jauh lebih lihai.
Akan tetapi tentu saja ia tidak merasa gentar, apa lagi melihat betapa
orang inipun memanggul tubuh seorang yang pingsan. Jadi keadaan
mereka sama benar! Hal ini membuat ia merasa penasaran kalau
belum dapat mengalahkan laki-laki tampan itu.
"Lihat pedang!" bentak Liong-li dan kembali ia menyerang dengan
dahsyatnya. Pedang- nya membuat lingkaran di atas kepalanya, makin
Bara Diatas Singgasana 2 Si Dungu Karya Chung Sin Raja Naga 7 Bintang 4
^