Bara Diatas Singgasana 2
Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 2
Terasa sesuatu bergetar di dada Mahisa Agni. Ia langsung dapat menangkap makna dari kata-kata Pendeta Lohgawe itu.
Justru karena itu, Mahisa Agni diam mematung. Darahnya serasa berjalan semakin lambat. Ditatapnya wajah Pendeta Lohgawe yang kini telah menjadi bening kembali, justru setelah ia mengatakan apa yang tersimpan di dalam hatinya.
Ketika Mahisa Agni akan mengucapkan sepatah kata, Lohgawe mendahului, "Itulah Anakmas. Bukankah kau menghendaki untuk mengetahui kenyataan itu" Dan agaknya Yang Maha Tunggallah yang membawa kau kemari, seperti Yang Tunggal membawa Ken Arok kepadaku."
Lohgawe berhenti sejenak, kemudian, "Terserahlah kepada Anakmas. Apakah yang menurut Anakmas baik dilakukan. Aku menganggap bahwa Anakmas telah mendapat kebijaksanaan yang tidak terbatas."
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, "Tidak sejauh itu Bapa Pendeta. Kini terasa betapa bodohnya aku. Setelah aku mendengar jawaban yang aku tunggu-tunggu itu, justru aku menjadi kehilangan akal. Aku tidak tahu, apa yang sebaiknya aku lakukan."
"Angger memang perlu penenangan. Aku sudah pasrah. Apa yang Angger lakukan adalah yang paling baik."
Mahisa Agni menjadi semakin bingung.
"Jangan kau paksa untuk mengambil kesimpulan sekarang Anakmas. Kalau Anakmas sudah menjadi tenang, maka Anakmas akan melihat cahaya itu di hati Anakmas."
Mahisa Agni masih menundukkan kepalanya.
"Lupakanlah untuk sejenak. Apakah Anakmas mempunyai persoalan yang lain?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, "Tidak. Tidak Bapa Pendeta. Aku tidak mempunyai keperluan apapun."
"Kalau begitu, kita mempunyai waktu untuk berbicara tentang banyak hal. Tentang jalan-jalan yang menjadi semakin rata, bangunan-bangunan yang bertambah megah di atas Singasari ini."
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni menundukkan kepalanya sambil berkata, "Aku mohon diri Bapa Pendeta. Aku kira aku telah berbuat suatu kesalahan. Aku telah didorong oleh perasaan-perasaan yang selama ini terdesak jauh ke sudut hati yang paling tersembunyi. Tetapi aku tidak berhasrat untuk berbuat apapun."
Lohgawe tersenyum. "Jangan mengambil keputusan sekarang."
Kini Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia berkata, "Aku mohon diri Bapa Pendeta."
Sekali lagi Lohgawe tersenyum, "Baiklah Anakmas."
"Aku mohon restu, agar aku tidak dilihat oleh kegelapan, oleh iri dan dengki."
"Kalau kau sadar akan dirimu, maka kau tidak akan terjerumus ke dalamnya."
"Mudah-mudahan Bapa Pendeta."
Mahisa Agni pun kemudian meninggalkan padepokan itu dengan hati yang kisruh. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Setela ia ia mendapat jawaban atas teka-tekinya, maka kini justru ia diharapkan pada suatu teka-teki baru yang lebih sulit.
Mahisa Agni menjadi semakin bingung lagi, karena ia sadar tidak seorang pun yang dapat diajaknya berbicara. Cantrik yang dibawanya dari Lulumbang itu pun tidak.
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni teringat kepada emban tua pemomong Ken Dedes. Ia akan dapat berkata berterus terang kepada ibunya sendiri. Sudah tentu bahwa ibunya tidak akan berbuat apa-apa yang dapat mencelakakannya. Dan bahkan mungkin ibunya, yang selama ini dekat dengan Ken Dedes, dapat mengatakan, apa yang pernah dilihatnya.
Maka ketika ia mendapat kesempatan, pada malam hari ia berkunjung ke bilik emban tua itu tanpa dicurigai oleh para pengawal. Keduanya adalah orang-orang Panawijen, dan emban tua itu adalah pemomong permaisuri.
Dengan hati-hati Mahisa Agni mencoba untuk mengarahkan pembicaraan. Dikatakannya pula bahwa ia telah bertemu dengan janda Kebo Ijo, dengan Lohgawe dan menurut sepengetahuan cantrik yang dibawanya itu.
"Bagaimanakah pendapat ibu?"
Sejenak orang tua itu tidak menjawab. Perlahan-lahan kepalanya menunduk, dan titik-titik air pun berjatuhan satu demi satu.
"Kenapa ibu menangis?" bertanya Mahisa Agni.
"Ceritamu membuat hatiku trenyuh, Agni."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi tangkapan naluriku mengatakannya demikian. Aku melihat hubungan yang tidak wajar sebelumnya antara Ken Dedes dan Ken Arok."
"Apakah ibu percaya bahwa akhir dari peristiwa itu memang demikian."
Perlahan ibunya mengangguk.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kini ia yakin, bahwa ia telah menemukan pembunuh Empu Gandring, pembunuh Akuwu Tunggul Ametung dan jawaban atas pertanyaan, kenapa Ken Arok membunuh Kebo Ijo sebelum ada keputusan dari pemimpin yang tujuh.
Namun kesimpulan itu ternyata telah memukul dadanya, seakan-akan menjadi bengkah. Sekilat dikenangnya akan Witantra, yang terusir dari kedudukannya karena keyakinannya. Kebo Ijo tidak bersalah. Dan ia, Mahisa Agni yang terburu nafsulah yang saat itu naik ke atas arena, untuk memperkuat keputusan, bahwa Kebo Ijo telah bersalah.
Penyesalan yang tiada taranya telah meremas jantungnya. Karena itu maka kebenciannya kepada Ken Arok pun tiba-tiba meledak. Dengan nada yang tajam ia berdesis, "Aku akan membunuh Ken Arok."
Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba saja ibunya meloncat memeluknya. Di antara isak tangisnya ia berkata, "Jangan Agni. Jangan. Bagaimanapun juga, Ken Dedes tidak akan ikhlas melihat suami pilihannya itu terbunuh. Apalagi kaulah yang membunuhnya."
Emban tua itu berhenti sejenak, kemudian, "Apalagi saat ini di mana setiap orang Singasari menggantungkan harapannya kepada Baginda Sri Rajasa."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Pelukan ibunya serta titik-titik air matanya serasa telah menyejukkan hatinya. Meskipun demikian ia tidak dapat menyembunyikan penyesalan yang tiada taranya terhadap sikapnya yang telah menjerumuskan Kebo Ijo ke dalam kehinaan dan telah mengusir Witantra dari Tumapel.
"Seandainya saat itu aku tidak menjadi gila, aku kira keadaan akan berbeda. Kalau Ken Arok sendiri tidak turun ke arena, sudah pasti, sulitlah untuk mencari pimpinan prajurit yang dapat mengalahkannya. Bahkan Ken Arok pun belum pasti," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "tetapi semuanya sudah terlanjur. Aku ikut memberikan tenagaku melanggar nilai-nilai kebenaran."
Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka ibunya berkata seterusnya, "Tenanglah Mahisa Agni. Jangan tergesa-gesa. Kalau kau masih juga tergesa-gesa maka kau akan mengulangi kesalahanmu itu."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepala. Ia mencoba mengerti nasihat ibunya.
"Baiklah, Ibu. Aku akan mempertimbangkannya," sahut Mahisa Agni. "Tetapi aku tidak dapat mengingkari kesalahan itu. Aku harus menemui Witantra."
"Kenapa." "Aku harus minta maaf kepadanya."
"Bagaimana kalau terjadi salah paham?"
"Aku tidak akan berbuat apa-apa."
Ibunya termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Baiklah Mahisa Agni tetapi hati-hatilah. Kita tidak tahu, bagaimana sikap Witantra sekarang."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Besok aku akan berangkat menemuinya."
Keesokan harinya, Mahisa Agni minta diri kepada ibunya, Ken Dedes dan karena ia tidak dapat menemui Sri Rajasa, maka permohonannya disampaikan oleh permaisuri, untuk meninggalkan Singasari. Setelah ia mengembalikan cantrik yang menjadi satu-satunya saksi itu, maka ia pun sejenak menengok padukuhan Panawijen baru.
"Aku akan pergi Ki Buyut," berkata Mahisa Agni.
"Ke mana lagi Anakmas akan pergi?"
"Aku belum tahu. Tetapi sebagai seorang laki-laki aku ingin menambah pengalaman dalam perantauan."
"Tetapi kami selalu menunggu kedatanganmu."
"Tentu Ki Buyut, pada saatnya aku pasti akan kembali."
Maka setelah menyiapkan bekal seperlunya, Mahisa Agni pun berangkat meninggalkan padang Karautan. Beberapa orang dan kawan-kawannya memandangi debu yang terlontar dari kaki-kaki kudanya sampai ke kejauhan.
Berbagai pertanyaan bergolak di dalam hati orang-orang Panawijen baru. Agaknya Mahisa Agni akhir ini selalu gelisah, sehingga agaknya ia mencari ketenteraman di dalam perantauan.
Sementara itu Mahisa Agni berpacu dengan cepatnya. Tetapi tiba-tiba ia sadar, ke mana ia akan pergi.
Karena itu maka ia pun segera menarik kekang kudanya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu.
"Apakah aku harus bertanya kepada Mahendra. Mungkin ia tahu, ke mana Witantra pergi," desisnya.
Tetapi ia menjadi ragu-ragu. Mahendra tidak sedewasa Witantra. Mungkin ia masih menyimpan dendam di dalam hatinya, sehingga akan timbul salah paham seperti yang ditakutkan oleh ibunya.
"Kalau begitu aku akan menemui Panji Bojong Santi," Mahisa Agni pun masih ragu-ragu, "apakah ia masih ada sekarang" Kalau ia masih hidup, maka ia pun pasti sudah semakin tua."
Tetapi Mahisa Agni kemudian memutuskan untuk pergi ke padepokan Panji Bojong Santi. Ia mengharap bahwa Panji Bojong Santi tidak bersikap kekanak-kanakan menghadapi persoalan ini.
Dengan keragu-raguan yang mencengkam dadanya Mahisa Agni memasuki padepokan Panji Bojong Santi. Ketika ia melihat orang tua itu masih ada, meskipun sudah menjadi semakin tua. Ia tidak dapat menahan hatinya. Demikian ia mengikat kudanya pada sebatang pohon, langsung ia memeluk kaki orang tua itu.
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia ragu-ragu, namun kemudian ia berkata lirih, "Angger Mahisa Agni."
"Ya. Bapa. Aku datang kali ini untuk menyerahkan diriku."
Bojong Santi mengerutkan keningnya, "Kenapa?"
"Bapa pasti sudah tahu, apa yang sudah aku lakukan atas Kebo Ijo."
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya, "Sekarang, kenapa Angger ingin menyerahkan diri kepadaku?"
"Aku telah keliru Bapa. Aku waktu itu menjadi gila, dibius oleh sikap Ken Arok yang mengagumkan. Tetapi kini aku yakin seperti Witantra, Mahendra dan Bapa sendiri yakin, bahwa Kebo Ijo tidak bersalah."
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil mengusap pundak Mahisa Agni orang tua itu berkata, "Duduklah. Kita akan berbicara."
Mahisa Agni pun kemudian mengangkat kepalanya dan duduk di hadapan Panji Bojong Santi. Meskipun wajah itu sudah semakin tua tetapi kedalaman dan ketenangan masih nampak jelas di wajah itu.
"Sekarang kau pun yakin, Anakmas?"
"Ya, Bapa" "Apakah kau berhasil menemukan orang yang kain cari?"
Mahisa Agni pun menganggukkan kepalanya.
"Baiklah. Aku ikut bergembira."
"Bapa," berkata Mahisa Agni, "aku telah bertekad untuk menemui Witantra. Aku harus minta maaf kepadanya."
Panji Bojong Santi tersenyum. "Kau memang berjiwa besar Ngger."
"Aku adalah orang yang paling bodoh waktu itu."
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baiklah. Kau akan dapat menemuinya kelak."
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia mengharap untuk dapat segera menemui Witantra. Perasaan bersalah yang serasa meretakkan dadanya itu harus segera ditumpahkannya. Karena itu maka ia mendesaknya, "Bapa, apakah aku tidak segera dapat menemuinya. Kalau Bapa Panji Bojong Santi tidak berkeberatan, memberikan arah tempat tinggalnya, aku akan mencarinya."
"Tempatnya terlampau asing Ngger. Karena itu, sebaiknya seorang mengantarkanmu, kau tidak akan dapat pergi sendiri dan menemukan dengan segera. Waktumu akan habis terbuang melingkar-lingkar mencari jalan untuk sampai ke tempat Witantra sekarang."
"Begitu jauhkah Witantra menyepi diri?"
"Ia mendapatkan ketenangan di tempatnya yang baru. Ia mendapat tempat yang baik untuk menyempurnakan ilmunya lahir dan batin."
"Tetapi kalau ia terpisah dari kehidupan, ilmu itu akan tetap tersimpan di dalam dirinya."
Panji Bojong Santi tersenyum. Katanya, "Mungkin begitu, tetapi mungkin juga tidak. Kadang-kadang kita menemukan arus air yang tidak kita ketahui sumbernya. Apabila kita melihat sumber di pegunungan yang terasing, kita menyangka, bahwa air itu tidak akan berguna. Padahal arus air yang kita lihat yang pertama adalah kelanjutan saluran air dari sumber yang terasing itu."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari bahwa ilmu itu dapat berguna tanpa diamalkannya sendiri. Tetapi ada perantara yang dapat mempergunakan ilmu itu untuk kepentingan yang berarti.
"Angger Mahisa Agni," berkata Panji Bojong Santi kemudian, "apakah yang pernah dilakukan oleh Empu Purwa pada akhir-akhir ini" Setelah ia kecewa karena kehilangan putrinya, seolah-olah ia sama sekali sudah tidak pernah berhubungan dengan dunia lagi. Tetapi di antara Empu Purwa dan dunia ramai ada Angger Mahisa Agni. Ada jalur yang masih menghubungkannya, sehingga ilmu itu tidak sekedar karatan tersimpan tanpa arti."
"Ya. ya Bapa. Aku mengerti sekarang."
"Nah, beristirahatlah di sini sehari dua hari. Aku akan memanggil orang yang pernah melihat tempat itu."
"Kenapa sehari dua hari Bapa."
"Angger tidak terlampau lelah."
"Aku masih segar. Aku dapat berangkat sekarang.. Aku dapat berjalan terus tiga hari tiga malam kalau diperlukan."
"Mungkin Angger yang sedang dikejar oleh perasaan sendiri dapat berbuat demikian. Tetapi kuda Angger akan kepayahan."
"Ya, Bapa. Kudaku memang perlu beristirahat. Tetapi tidak sampai sehari apalagi dua hari."
Panji Bojong Santi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat perasaan Mahisa Agni yang tersiksa. Ia merasa wajib untuk segera bertemu dengan Witantra.
Karena itu Panji Bojong Santi tidak sampai hati untuk memperpanjang siksaan batin Mahisa Agni itu. Karena itu, maka ia pun segera memanggil seorang cantriknya yang pernah pergi ke tempat Witantra untuk mengantarkan Mahisa Agni.
Maka ketika matahari terbit di keesokan harinya, berangkatlah Mahisa Agni diantar oleh seorang cantrik menempuh perjalanan yang berat untuk menemui Witantra. Panji Bojong Santi melepaskannya tanpa waswas karena ia pun sudah yakin pula, bahwa Witantra pasti cukup dewasa menanggapi persoalan itu. Witantra pasti tidak akan sekedar dibakar oleh dendam. Ia akan dapat menanggapi keadaan sewajarnya.
Bersamaan dengan itu, Panji Bojong Santi telah menyuruh seorang cantriknya untuk memanggil Mahendra. Mahendra yang kini hidup di dunianya sendiri. Ia mencoba untuk hidup menjadi manusia kebanyakan, dengan kerja dan usaha, mendirikan rumah tangga.
Tetapi Panji Bojong Santi masih belum yakin, bahwa Mahendra dapat melupakan persoalan Kebo Ijo seperti halnya Witantra. Mahendra yang lebih muda dari Witantra dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya, mungkin akan menentukan sikap yang lain.
"Aku harus memberitahukan kepadanya, bahwa ia tidak boleh berbuat sesuatu yang dapat merugikan dirinya sendiri," berkata Panji Bojong Santi di dalam hatinya, "ia harus dapat menanggapi keadaan ini dengan hati yang lapang."
Sementara itu. Mahisa Agni yang berpacu bersama seorang cantrik kini telah mulai menerobos hutan belukar. Kadang-kadang mereka terpaksa berhenti sejenak, bahkan turun dari kuda-kuda mereka untuk merambah sulur-sulur yang melintang di jalan setapak yang mereka lalui.
"Jalan ini tidak pernah dilalui orang," berkata cantrik itu, "sebenarnya aku takut berjalan hanya berdua saja lewat jalan ini."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Agni.
"Kalau ada penyamun yang kebetulan melihat kita lewat, maka celakalah kita. Kalau bekal kita saja yang dimintanya, beruntunglah kita. Tetapi kalau ini?" cantrik itu menunjuk lehernya.
Betapapun ketegangan membelit hati Mahisa Agni, namun ia sempat juga tersenyum sambil berkata, "Jangan takut tidak ada penyamun yang akan mencegat perjalanan kita. Kita tidak membawa apapun yang berharga."
"Tetapi mereka tidak tahu bahwa kita tidak membawa barang berharga. Setidak-tidaknya kuda kita dapat mereka rampas dan mereka ambil."
"Jangan takut," desis Mahisa Agni, "karena itu, marilah kita berusaha secepat-cepatnya meninggalkan tempat ini."
"Aku tidak tahu kenapa Panji Bojong Santi mempercayai aku seorang diri mengantarkan kau ke tempat Witantra. Kalau terjadi sesuatu atasmu, maka akulah yang akan disalahkannya."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan cantrik yang belum mengenalnya itu. Cantrik itu merasa bertanggung jawab, bahwa ia harus mengantarkan Mahisa Agni sampai ke tempat Witantra. Hanya itulah yang diketahuinya. Agaknya Panji Bojong Santi memang tidak merasa perlu memberitahukan tentang dirinya kepada cantrik itu.
Setiap desir di sebelah jalan setapak itu telah membuat cantrik kawan seperjalanan Mahisa Agni itu bersiaga. Ia selalu meraba-raba hulu pedang pendeknya. Agaknya Panji Bojong Santi memang mengajarinya untuk mempergunakan pedang pendek itu apabila perlu, meskipun ilmu itu sangat terbatas. Tetapi agaknya cantrik itu pun cukup tangkas untuk membela diri terhadap perampokan-perampokan dan penyamun-penyamun.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Agni kemudian, "jangan hiraukan apa-apa lagi. Kita sama sekali tidak bermaksud mengganggu siapa pun. Kita hanya sekedar berjalan, lewat jalan ini."
"Memang kita tidak bermaksud mengganggu siapa pun. Tetapi merekalah yang akan mengganggu kita."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Coba. kalau kau dapat membuat sedikit perhitungan. Banyak orang-orang Kediri yang terpaksa menyingkir dari tempat tinggalnya karena mereka tidak sepaham dengan ketentuan-ketentuan baru di negerinya, terutama mengenai nafas hidup keagamaan. Sementara itu ketegangan di batas kedua negeri Singasari dan Kediri menjadi semakin tegang. Apakah dalam keadaan serupa itu, tidak banyak perampok-perampok yang memancing keuntungan?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya, "Dari mana kau tahu bahwa keadaan Kediri dan Singasari menjadi kian menegang."
"Panji Bojong Santi sering memberi banyak cerita kepada kami tentang keadaan di luar padepokan kami," jawab cantrik itu, "juga Panji Bojong Santi yang memberi aku peringatan, bahwa perampok-perampok selalu mempergunakan segala kesempatan, bahkan orang-orang yang sedang dalam kesulitan sekalipun sama sekali tidak dihiraukannya."
Mahisa Agni masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"He. kau dengar ringkik kuda?" tiba-tiba cantrik itu menjadi tegang.
Mahisa Agni memang mendengar ringkik kuda. Tetapi ia tidak mendengar derap langkahnya. Karena itu menurut perhitungan Mahisa Agni kuda itu bukan kuda yang sedang berpacu, berjalan atau sedang dikendarai oleh seseorang. Kuda itu sedang berhenti atau bahkan dituntun oleh pemiliknya.
Tetapi Mahisa Agni memperlambat kudanya sambil mempertajam telinganya.
"Kalau kita bertemu dengan perampok apa boleh buat. Sebenarnya Panji Bojong Santi selalu berpesan, kami tidak boleh berkelahi. Tetapi sudah tentu kami tidak akan menyerahkan milik kami kepada perampok-perampok."
"Aku kira mereka bukan perampok," berkata Mahisa Agni.
"Kalau bukan perampok, siapakah yang berada di tengah hutan seperti ini?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Memang ada beberapa kemungkinan. Mungkin perampok tetapi mungkin juga tidak. Menilik ceritamu, orang-orang Kediri yang menyingkir itu dapat saja terjerumus ke dalam hutan ini. Bukankah hutan ini ada di sekitar perbatasan, atau katakan, bahwa sebelah menyebelah hutan ini merupakan daerah yang berlainan."
Cantrik itu mengerutkan keningnya.
"Ya, memang mungkin."
Beberapa saat kemudian mereka melihat sekelompok orang yang berdiri termangu-mangu. Dalam sekilas, Mahisa Agni dan cantrik itu pun segera mengetahui, bahwa orang-orang itu benar-benar orang-orang Kediri yang menyingkir dari kampung halamannya oleh ketidakpuasan atas tata kehidupannya yang baru.
Agaknya mereka terkejut sekali ketika mereka melihat Mahisa Agni dan cantrik itu muncul dari balik gerumbul-gerumbul liar. Dengan sigapnya beberapa orang di antara mereka segera mempersiapkan diri, sedang yang lain, perempuan dan anak-anak, melingkar saling berpelukan dengan wajah yang pucat.
"Siapa kalian?" bertanya salah seorang yang agaknya merupakan pimpinan rombongan itu.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia menjawab, cantrik yang merasa dirinya menjadi pemimpin rombongan kecil itu pun menyahut, "Kamilah yang bertanya, siapakah kalian?"
Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Namun pemimpin itu kemudian menjawab, "Tanpa menyembunyikan kenyataan kami. bahwa kami adalah orang-orang Kediri yang menyingkir, karena pendeta kami telah ditangkap."
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Bagus."
"Kenapa bagus?" desis Mahisa Agni perlahan-lahan.
Cantrik itu kemudian dengan serta-merta berkata pula, "Tidak, tidak bagus. Sayang sekali pendeta itu sudah terlanjur ditangkap. Sebaiknya ia pergi ke Singasari. Bukankah kalian juga akan pergi ke Singasari?"
"Ya," jawab pemimpin rombongan itu.
"Pergilah. Kami orang-orang Singasari."
Pemimpin itu menjadi termangu-mangu. Kemudian ia pun bertanya, "Manakah jalan yang harus aku tempuh."
"Lurus. Kau dapat mengikuti jejak kuda-kuda kami dalam arah yang berlawanan. Kau akan keluar dari hutan ini di wilayah Singasari. Mengerti?"
Pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya, "Terima kasih. Tetapi kami tidak dapat memastikan bahwa kami akan dapat memasuki wilayah Singasari."
"Kenapa?" "Aku sadar, bahwa perjalanan kami pasti diikuti. Baginda sudah mengeluarkan perintah, semua orang Kediri, tidak boleh menyeberang perbatasan."
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mahisa Agni pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Mereka sadar bahwa Maharaja Kediri akan menyebar orang-orangnya di segenap perbatasan, untuk mencegah orang-orang yang berusaha menyeberang. Kadang-kadang mereka dapat mencegah, tetapi kadang-kadang beberapa orang berhasil lolos, sehingga para pengawal harus mengejar mereka.
"Apakah kepergianmu diketahui oleh para prajurit Kediri?" bertanya cantrik itu.
"Aku tidak tahu. Tetapi sekarang setiap dahan mempunyai telinga dan setiap tikungan mempunyai mata. Itulah sebabnya sekarang arus orang-orang Kediri agak terbendung."
"Kalau begitu, cepatlah."
"Kami tidak akan dapat berjalan cepat. Di antara kami terdapat perempuan dan anak-anak."
"Tetapi kalian sudah agak jauh dari perbatasan. Mungkin orang Kediri tidak akan menghiraukan kau lagi."
Tetapi belum lagi pembicaraan itu selesai. terdengar derap beberapa ekor kuda. Lamat-lamat mereka mendengar cambuk yang meledak dan ringkik kuda yang berkepanjangan.
Pemimpin kelompok itu menjadi gelisah. Ketika ia berpaling memandangi orang-orangnya, dilihatnya beberapa di antara mereka menjadi pucat.
"Kita tidak akan kembali ke Kediri. Kita akan menjadi pangewan-ewan seperti sekelompok orang dari Padepokan Watu Putih kemarin. Diarak di sekeliling kota dengan cemoohan yang paling hina."
Orang-orangnya tidak menjawab.
"Kita laki-laki, dan kita bersenjata."
Tiba-tiba mereka sadar, bahwa mereka memang bersenjata.
Beberapa orang di antara mereka telah meraba senjata-senjata mereka sambil berdesis, "Ya, kami bersenjata."
"Setidak-tidaknya, enam atau tujuh orang dari kita dapat melawan."
"Aku juga masih mampu berkelahi," berkata seorang laki-laki tua.
"Jadi delapan orang."
Pemimpin itu pun kemudian melangkah maju. Disuruhnya perempuan dan anak-anak agak menjauh.
"Berdoalah. Mudah-mudahan kami dapat melindungi kalian."
Seorang perempuan yang menggenggam patrem tiba-tiba berkata, "Aku ikut bertempur."
"Jagailah anak-anak. Jangan kehilangan akal."
Perempuan itu masih tegak di tempatnya. Namun ketika terpandang olehnya tatapan mata pemimpinnya, maka ia pun kemudian melangkah surut, dan bergabung dengan perempuan-perempuan dan anak-anak yang saling berdesakan dengan wajah yang pucat.
"Apakah yang datang itu para prajurit Kediri," bertanya Cantrik itu.
"Aku kira, mereka adalah orang-orang yang sedang berburu orang. Mereka mengikuti jejak kami. Setiap kepala, mendatangkan hadiah yang baik bagi mereka. Mungkin mereka bukan prajurit-prajurit, dan bahkan kadang-kadang para perampok dan penyamun yang mengetahui kehadiran kami di daerah kerja mereka. Mereka mengejar kami, merampas milik kami, kemudian menyerahkan kami kepada para prajurit untuk mendapatkan hadiah yang cukup baik."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Apakah hal itu dapat terjadi dalam pemerintahan Baginda Kediri yang sekarang" Ataukah memang ada orang-orang yang sengaja menumbuhkan kesan yang sama sekali tidak menguntungkan bagi Kediri?"
"Saat yang tepat bagi Ken Arok," Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, "Ia memang cerdas dan mampu memperhitungkan keadaan yang dihadapinya. Ia akan berhasil menguasai Kediri sebagaimana ia telah berhasil menjerumuskan Kebo Ijo ke dalam kematian sekaligus tuduhan yang paling hina."
Derap kuda yang melingkar-lingkar seakan-akan memenuhi hutan itu pun masih bergema terus. Namun telinga Mahisa Agni segera dapat mengetahui dari mana mereka datang. Mereka tidak berpacu terlampau cepat, tetapi juga tidak terlampau lambat.
"Nah. kita akan berkelahi untuk mempertahankan diri," berkata pemimpin rombongan itu, "aku adalah orang yang paling bertanggung jawab atas rombongan ini. Karena itu, Ki Sanak berdua lebih baik menyingkir, supaya kalian tidak disangka membantu kami. Orang-orang yang sedang berburu itu kadang-kadang sama sekali tidak mempergunakan nalar, apalagi rasa perikemanusiaan."
Mahisa Agni tertegun sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya cantrik kawannya itu berdiri termangu-mangu.
"Silakan Ki Sanak. Terima kasih atas petunjuk kalian jalan ke Singasari."
"Aku orang Singasari," berkata cantrik itu tiba-tiba.
"Jangan mempersulit diri sendiri. Kalian tidak usah terlibat dalam persoalan ini. Kami sudah mempunyai delapan orang yang akan mengangkat senjata kami masing-masing untuk melindungi perempuan dan anak-anak kami."
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni memandang perempuan-perempuan dan anak-anak yang ketakutan. Tiga orang perempuan itu, dua orang setengah baya. Beberapa orang anak-anak, dan tiga orang gadis-gadis muda. Ketika terpandang olehnya sepasang mata yang berkilat. Mahisa Agni berdesir. Ia sudah terlampau tua untuk memandangi wajah-wajah gadis-gadis. Tetapi gadis itu pun tiba-tiba menundukkan kepalanya.
Yang pertama-tama merayap di hati Mahisa Agni adalah sebuah kenangan tentang Ken Dedes. Betapa ia mengalami, ketakutan yang sangat, pada saat Kuda Sempana dan Akuwu Tunggul Ametung mengambilnya.
"Seperti gadis itu," desisnya. Dan tiba-tiba ia mengerutkan keningnya, "He, gadis itu memang mirip dengan Ken Dedes."
"Persetan!" Mahisa Agni tiba-tiba menggeram. Dan ia pun terperanjat ketika ia mendengar pemimpin rombongan itu berkata, "Mereka telah datang. Menyingkirlah."
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni melangkah beberapa langkah surut. Cantrik, kawan seperjalanannya menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun mendekati Mahisa Agni sambil berbisik, "Tinggallah di sini. Aku tidak dapat berdiam diri."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah cantrik yang bersungguh-sungguh itu. Sambil memegangi hulu pedang pendeknya ia siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Mahisa Agni.
"Aku harus membantu orang-orang itu. Mereka berada dalam ketakutan." cantrik itu terdiam sejenak, "lihatlah perempuan dan anak-anak itu."
Sekali lagi Mahisa Agni memandangi perempuan dan anak-anak itu. Sekali lagi matanya membentur sepasang mata yang cerah dari antara mereka. Betapa wajahnya pucat oleh ketakutan yang sangat namun tampak bahwa wajah itu memiliki kelebihan dari wajah-wajah yang lain.
Sementara itu. beberapa orang berkuda telah muncul dari balik dedaunan. Pemimpin dari orang-orang berkuda itu segera memberi isyarat untuk berhenti.
"Nah. Itulah mereka!" teriak salah seorang dari mereka.
Pemimpin rombongan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Hem, kau telah membuat kami gelisah. Kami kira bahwa kami akan kehilangan kalian. Namun akhirnya kami menemukan juga."
Pemimpin rombongan orang-orang Kediri yang akan menyeberang itu masih berdiam diri. Tetapi tangannya telah melekat di hulu pedangnya. Dipandanginya saja orang-orang yang menyusulnya itu dengan wajah yang tegang.
"Jangan banyak tingkah seperti beberapa orang yang lain. Marilah kita kembali ke Kediri, Tidak ada apa-apa. Kalian akan disambut dengan baik."
Pemimpin rombongan orang-orang yang menyeberang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Apakah kalian menyangka bahwa aku tidak tahu, apa yang diperlakukan atas orang-orang yang dapat ditangkap dalam perjalanan menyeberang ke Singasari?"
"Nah. Kalau demikian, kenapa kalian masih juga akan menyeberang?"
"Perlakuan Baginda terhadap para pendeta sangat menyakitkan hati."
Pemimpin rombongan orang-orang yang menyusul itu pun tertawa. Katanya, "Kalian terlampau mementingkan diri kalian sendiri. Kalian merasa bahwa kedudukan kalian jauh lebih tinggi dari rakyat Kediri yang lain. Kalau kalian menganggap diri kalian seperti rakyat kebanyakan, maka perlakuan itu tidak akan terasa terlampau menyakitkan hati."
"Kami tidak minta yang berlebih-lebihan. Tetapi kami tidak akan mungkin mengubah pandangan kami dalam kebaktian kami terhadap sesembahan kami."
Pemimpin orang-orang yang menyusul itu pun kemudian berkata, "kau juga terlampau banyak bicara seperti orang-orang lain. Kami adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman. Menyerahlah, supaya kami tidak memperlakukan kalian, perempuan-perempuan dan anak-anak, apalagi gadis-gadis itu. Seperti yang pernah terjadi."
Pemimpin orang-orang yang menyeberang itu mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia berpaling memandangi perempuan-perempuan yang ketakutan dan anak-anak mulai menangis.
"Menyerahlah!" Tetapi pemimpin itu menggelengkan kepalanya, "Aku sudah terlanjur menempuh perjalanan begini jauh. Aku tidak akan kembali. Lebih baik kami berkubur di sini daripada kami harus menjadi tontonan di sepanjang jalan Kediri."
"Kalian tidak ada bedanya dengan kelinci-kelinci yang terpaksa kami selesaikan sebelumnya," pemimpin rombongan yang menyusul itu tersenyum. Kemudian dipandanginya gadis-gadis di antara perempuan-perempuan yang ketakutan, "ada juga gadis-gadis di antara kalian. Apa boleh buat."
Terasa rambut-rambut di seluruh tubuh gadis-gadis itu meremang.
"Mereka benar-benar serombongan pemburu manusia," desis cantrik itu kepada Mahisa Agni, "Sepuluh orang. Apa boleh buat. Aku tidak akan dapat diam. Mungkin aku akan berkelahi mati-matian."
"Kalau kau mati, bagaimana dengan aku?" bertanya Mahisa Agni.
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Kau dapat menyusur jalan sempit ini. Terus sampai pada suatu saat kau akan terhalang oleh sebuah rawa-rawa yang sempit. Kau berbelok ke kiri. Kemudian kau akan sampai pada lereng pegunungan yang terjal. Kali ini kau berbelok ke kanan. Kau akan segera menjumpai padukuhan-padukuhan kecil. Di situ kau bertanya, di mana rumah Witantra. Kau akan sampai kepadanya."
"Masih amat jauh. Jangan mati."
"Aku akan berusaha untuk tidak mati."
Mahisa Agni tersenyum di dalam hati. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Baiklah. Tetapi hati-hatilah."
(bersambung ke jilid 52).
Koleksi : Ki Arema Scanning: Ki Arema
Retype : Ki Raharga Proofing : Ki Raharga Recheck/Editing: Ki Sunda
---ooo0dw0ooo--- Jilid 52 CANTRIK itu-pun mengangguk-anggukkan. Tetapi ia tidak segera beranjak dari tempatnya.
Orang-orang yang berusaha menyingkir itu-pun segera menyiapkan diri. Kekuatan mereka sebenarnya hanyalah enam orang. Seorang sudah separo baya, dan yang seorang telah lebih tua lagi.
"Apakah kalian benar-benar akan melawan?" bertanya pemimpin rombongan yang menyusul itu.
"Ya. Jangan kecewa, meskipun kau sudah mulai menghitung-hitung berapa kepala yang akan kau dapatkan, kali berapa keping uang."
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau tahu juga hasil yang akan kami peroleh dari buruan-buruan kami. Selain itu, semua harta benda yang kami dapatkan dari buruan-buruan kami menjadi milik kami."
"Kalian hanya akan mendapatkan kepala-kepala kami."
"Baiklah. Kami harus mempergunakan kekerasan. Dua di antara kami adalah prajurit yang memang bertugas bersama kami, supaya kalian yakin, bahwa kami adalah pemburu-pemburu yang sah. Lebih dari itu kedua prajurit ini akan meyakinkan kalian, bahwa perlawanan kalian akan sia-sia."
"Persetan," tiba-tiba cantrik itu berteriak sambil melangkah maju, "aku berdiri di pihak mereka yang sedang diburu."
Kelompok orang-orang yang menyusul orang-orang Kediri itu terheran-heran. Dipandanginya cantrik itu sejenak. Dan sejenak kemudian mereka saling berpandangan.
Pemimpin rombongan itu akhirnya bertanya, "Siapa kau?"
"Itu tidak perlu bagimu."
"Kenapa kau perlu menyatakan diri berpihak kepada mereka yang sedang diburu. Apakah kau bukan termasuk rombongan mereka itu?"
"Aku orang lain."
Pemimpin rombongan orang-orang yang menyusul itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Kalau begitu sebaiknya kau berdiri di luar pagar. Aku kira kau adalah salah seorang dari mereka pula. Tetapi meskipun kau tidak merupakan sekelompok dengan orang-orang itu asal kau juga berasal dari Kediri, maka kau termasuk juga menjadi buruanku."
"Aku orang Singasari."
Pemimpin rombongan itu mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, "Kau tidak usah turut campur. Ternyata orang-orang Singasari memang penghasut. Agaknya kaulah yang telah menghasut orang-orang ini untuk pergi ke Singasari."
"Bertanyalah kepada mereka."
"Kalian telah membicarakannya lebih dahulu. Tidak ada gunanya aku bertanya."
"Baiklah. Kalau begitu memang tidak gunanya kita berbicara. Sekarang aku menyatakan diriku di pihak orang-orang yang sedang diburu. Nah, terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan."
"Sekali lagi aku akan mencoba memperingatkan. Pertentangan antara Singasari dan Kediri agaknya memang menjadi semakin panas. Tetapi aku masih belum berkeinginan untuk berkelahi langsung dengan orang-orang Singasari."
"Kalau begitu urungkan niatmu. Orang-orang ini mempunyai kebebasan untuk memilih. Menurut penilaian mereka, pemerintahan Kediri kurang berlaku bijaksana terhadap para pendeta."
"Omong kosong. Kau jangan turut campur. Ini adalah persoalan Kediri, di daerah Kediri."
"Siapa yang mengatakan kalau hutan ini berada di daerah Kediri?" bertanya cantrik itu.
"Singasari, yang dahulu bernama Tumapel adalah wilayah Kediri. Tetapi orang yang sekarang menyebut dirinya Sri Rajasa telah memberontak."
"Kenapa Kediri tidak mengambil tindakan apapun?"
"Kita memang tidak terlampau tergesa-gesa. Pada saatnya Singasari akan lenyap."
Cantrik itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Singasari adalah suatu kerajaan yang bebas. Sama sekali tidak tunduk kepada negara mana-pun juga."
"Persetan. Tetapi aku menuntut orang-orang ini. Mereka adalah buruanku. Siapa yang mengganggu, ia akan aku hancurkan seperti buruanku itu pula."
Cantrik itu maju beberapa langkah lagi. Kini ia berdiri semakin dekat dengan orang Kediri yang dikejar-kejar itu.
"Ki Sanak," berkata pemimpin mereka, "sebaiknya Ki Sanak memang tidak mencampuri persoalan kami. Kita baru berkenalan di tempat ini, sehingga sebaiknya Ki Sanak tidak usah melibatkan diri dalam persoalan ini."
"Tidak. Aku tidak dapat melihat kebebasan yang diperkosa oleh pemburu-pemburu keuntungan diri sendiri serupa itu. Siapapun Ki Sanak dan siapakah orang yang sedang berburu, sah atau tidak sah, aku terpaksa melibatkan diri."
Pemimpin rombongan itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sempat membuat penilaian atas kekuatan ke dua belah pihak. Dengan jujur pemimpin rombongan itu mengakui, bahwa kekuatan lawan agak lebih besar dari kekuatan mereka sendiri, meskipun cantrik itu ikut bersama mereka.
Tanpa sesadarnya pemimpin rombongan itu memandangi Mahisa Agni yang masih berdiri di tempatnya.
"Biarkan orang itu," berkata cantrik itu seolah-olah ia mencoba menjajagi pikiran pemimpin rombongan itu. "Ia berada di dalam tanggung jawabku. Aku harus mengantarkannya sampai ke tempat tujuan. Karena itu, sebaiknya ia memang tidak ikut campur."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut. Ia ingin melihat apa yang akan terjadi.
"Baiklah," berkata pemimpin dari orang-orang yang sedang memburu mangsanya itu. "Siapapun kalian dan apapun kalian, kami akan menangkap kalian."
Dengan suatu isyarat, maka orang-orang itu-pun segera berloncatan dari punggung-punggung kuda mereka. Arena yang bersemak-semak. dan ditumbuhi pepohonan yang rapat, memang tidak menguntungkan untuk bertempur di atas punggung kuda. Sesaat kemudian mereka-pun telah memencar dan siap menyerang dari segala arah.
"Jangan lukai perempuan dan anak-anak," berkata pemimpin rombongan orang-orang yang sedang menyusul orang-orang Kediri itu, "terutama gadis-gadisnya."
Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Persetan," seseorang yang sudah siap melawan, menggeram. Ia mempunyai seorang gadis beserta isterinya di dalam rombongan perempuan dan anak-anak itu.
Lawannya tertawa, katanya, "Bukankah kami cukup berperikemanusiaan?"
Tidak seorang-pun yang menjawab. Setiap laki-laki di dalam rombongan itu ditambah seorang cantrik, sudah siap menghadapi lawan-lawan mereka. Enam orang, dua orang-orang tua dan seorang cantrik berhadapan dengan delapan orang pemburu manusia dan dua orang prajurit yang berpengalaman.
Setapak demi setapak para pemburu manusia itu-pun maju, sedangkan orang Kediri yang diburu itu-pun bersiaga pula menghadapi setiap kemungkinan yang akan segera terjadi. Senjata-senjata mereka dari ke dua belah pihak sudah siap di tangan masing-masing.
Mahisa Agni menyaksikan ke dua belah pihak dengan berdebar. Benturan senjata di antara mereka memang sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Cantrik yang pergi bersamanya itu langsung telah melibatkan dirinya, karena orang-orang Kediri yang melarikan dirinya, pada umumnya adalah dari lingkungan keagamaan, keluarga dan orang-orang yang terdekat dari pendeta-pendeta yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan keinginan Baginda Maharaja di Kediri.
Sejenak kemudian maka benturan itu-pun terjadilah. Orang-orang yang sedang berburu itu berloncatan sambil mengayunkan senjata mereka, sedang orang-orang yang diburunya, berusaha mempertahankan diri sekuat-kuat tenaga mereka.
Sejenak kemudian Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ternyata cantrik yang pergi bersamanya itu memang mampu bermain dengan pedang pendeknya. Dengan tangkasnya ia berloncatan kian kemari, menyambar-nyambar seperti burung elang. Ialah yang dengan beraninya telah langsung membawa prajurit Kediri yang ada di antara lawan-lawannya. Dan ternyata bahwa ia memang mampu mengimbanginya. Bahkan kadang-kadang ia masih dapat membantu pemimpin rombongan yang harus bertempur melawan dua orang sekaligus.
Perempuan-perempuan dan anak-anak menjadi semakin erat berpelukan satu sama lain. Wajah-wajah mereka menjadi pucat dan darah mereka seakan-akan sudah tidak dapat mengalir lagi. Bahkan beberapa di antara mereka telah terduduk dengan lemahnya di atas rerumputan liar, seakan-akan kehilangan segenap tulang belulang.
Mahisa Agni masih berdiam diri di tempatnya. Tetapi ia menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat dalam waktu yang singkat orang-orang yang sedang diburu itu sudah terdesak. Meskipun demikian mereka masih melawan dengan gigihnya, justru cantrik yang pergi bersamanya itulah yang seakan-akan merupakan puncak perlawanan dari rombongan itu.
Tiba-tiba, tanpa disangka-sangka, seorang dari mereka yang menyusul rombongan orang-orang Kediri itu meloncat meninggalkan gelanggang. Dengan cepatnya ia berlari ke arah Mahisa Agni. Sambil mengacungkan senjatanya ia berdiri dua langkah di hadapannya. Kemudian terdengar ia barteriak, "He, Ki Sanak yang datang dari Singasari. Aku minta kau menghentikan perlawananmu. Kalau tidak, maka orang yang menjadi tanggunganmu ini, entah siapa dia, akan aku habisi nyawanya."
Oleh teriakan itu, perkelahian tiba-tiba terhenti sejenak. Mereka memandang dengan tegang salah seorang dari mereka yang menyusul rombongan orang-orang Kediri itu mengacungkan pedangnya beberapa jengkal kepada Mahisa Agni.
Cantrik, kawan seperjalanannya menjadi tegang sejenak. Ia mendapat perintah dari Kiai Bojong Santi menyampaikan orang itu kepada Witantra. Kalau terjadi sesuatu di perjalanan, maka yang pertama-tama dipersalahkan pasti dirinya.
Dalam termangu-mangu cantrik itu sama sekali tidak menjawab. Keringat yang dingin mengalir membasahi kening dan punggungnya.
"Aku minta, tinggalkan arena. Kalau tidak, orang ini aku bunuh meskipun ia tidak bersalah."
Cantrik itu masih berdiri kaku di tempatnya. Kini ia berdiri di persimpangan jalan. Kalau ia meneruskan perlawanan, maka Mahisa Agni itu terancam. Tetapi kalau ia kemudian meninggalkan arena, maka orang-orang Kediri itu dalam waktu sejenak saja, pasti akan segera terbantai.
Dalam keragu-raguan itu ia mendengar pemimpin orang-orang Kediri yang sedang dikejar-kejar itu berkata, "Tinggalkan kami. Kami sudah siap menghadapi kemungkinan. Kami tidak ingin melihat kalian ke dalam persoalan kami. Lebih daripada itu ke dalam kesulitan yang tidak kalian kehendaki."
Cantrik itu masih berdiri membeku.
"Cepat, ambil keputusan," berkata orang yang memburu mereka sambil mengacu-acukan ujung pedangnya ke dada Mahisa Agni, "jangan menunggu sampai kami kehilangan kesabaran."
"Licik," teriak cantrik itu kemudian, "kalian tidak menghadapi tugasmu dengan jantan."
Tetapi orang itu tertawa. Jawabnya, "Jangan banyak bicara. Kau berdua pergi, atau kau berdua akan mati di tempat ini."
Dengan ragu-ragu cantrik itu masih menjawab, "Kalau kami sudah meninggalkan arena, kau pasti akan mempergunakan cara yang sama dengan mengancam perempuan dan anak-anak."
"Apa pedulimu" Apapun yang akan terjadi, kau sudah tidak akan menyaksikan lagi. Karena itu, cepat, tinggalkan tempat ini."
Cantrik itu benar-benar tidak dapat memilih. Yang manakah yang lebih baik. Bertempur terus, atau menyelamatkan Mahisa Agni.
Namun dalam pada itu terdengar Mahisa Agni berkata, "bertempurlah terus. Jangan hiraukan aku. Aku hanya seorang diri, sedang orang-orang Kediri itu berjumlah lebih dari limabelas kali lipat dari pada itu."
"Diam," orang yang mengacukan senjatanya itu berteriak. Tetapi Mahisa Agni berkata terus, "selesaikan pekerjaan itu. Kalau kau menarik diri dari arena, maka sebentar saja, orang-orang yang berusaha menyebrang ke Singasari itu pasti akan binasa."
Cantrik itu menjadi semakin ragu-ragu. Ia berdiri saja termangu-mangu tanpa dapat mengambil keputusan.
Kini seluruh perhatian di ke dua belah pihak ditujukan kepada Mahisa Agni. Ujung pedang yang mengarah ke dadanya menjadi bergetar oleh kemarahan yang meluap-luap di dada orang yang memeganginya.
"Sebenarnya aku tidak ingin bersungguh-sungguh," berkata orang itu, "tetapi sikapnya benar-benar membuat aku muak."
Mahisa Agni tidak menyahut. Tetapi ketika ujung pedang itu maju mendekati dadanya, ia melangkah surut.
"Jangan," teriak cantrik itu, "akulah yang bertanggung jawab."
Tetapi orang yang mengacukan pedangnya itu tertawa menyakitkan hati untuk melontarkan kemarahannya, "Persetan. Kalian terlampau lambat mematuhi perintahku."
Sebuah desir yang tajam menyambar jantung cantrik itu. Sejenak ia seakan-akan membeku di tempatnya. Sedang orang yang mengancam Mahisa Agni itu maju semakin mendekat.
"Hentikan! Hentikan!"
Tetapi orang itu menggeleng, "Aku bunuh orang ini."
"Jangan curang," yang kemudian berteriak justru pemimpin rombongan orang-orang Kediri yang sedang dikejar-kejar itu. "Tidak ada gunanya kalian membunuhnya. Kepalanya tidak kau tukarkan dengan keping-keping uang."
"Persetan, aku tidak memerlukan uang terlampau banyak. Kepala-kepala kalian sudah cukup. Tetapi aku ingin mendapat kepuasan atas kegilaan orang Singasari ini."
Cantrik yang bersama Mahisa Agni itu-pun hampir saja meloncat menyerbu. Tetapi beberapa orang bersama-sama menghalanginya dengan senjata teracung pula.
"Gila, gila, gila." ia berteriak.
Tetapi suaranya yang parau itu sama sekali sudah tidak dihiraukannya lagi. Agaknya orang Kediri yang mengancam Mahisa Agni itu sudah benar-benar kehilangan kesabaran, sehingga ia sama sekali sudah tidak berminat untuk melepaskannya lagi.
Cantrik padepokan Panji Bojong Santi itu memejamkan matanya ketika ia melihat orang Kediri itu mengayunkan pedangnya. Ia sendiri sudah tidak mempunyai kesempatan untuk mencegahnya, karena tiga orang lawannya masih berjajar di hadapannya dengan senjata siap untuk membelah dadanya.
Tetapi cantrik itu hanya memejamkan matanya sekejap. Ketika ia membuka matanya perlahan-lahan, ia mengerutkan keningnya, kemudian mengejapkan matanya berkali-kali. Ia masih melihat Mahisa Agni melangkah surut. Sedang orang Kediri itu masih saja memegang senjatanya sambil melangkahkan maju.
Sekali lagi cantrik itu melihat orang Kediri itu mengayunkan pedangnya. Deras sekali. Dan sekali lagi matanya setengah terpejam. Tetapi kini ia melihat samar-samar apa yang telah terjadi. Ayunan pedang orang Kediri itu sama sekali tidak menyentuh tubuh Mahisa Agni, meskipun tampaknya ia tidak menghindar.
Kini cantrik itu memandangnya dengan mulut ternganga. Ia hanya melihat Mahisa Agni seakan-akan menggeliat. Tetapi ia sudah bebas dari serangan lawan yang menggetarkan itu.
Lawannya dengan demikian menjadi semakin marah, tetapi juga semakin bernafsu. Senjatanya kemudian terayun-ayun tidak menentu. Tetapi ia masih tetap tidak berhasil mengenai Mahisa Agni. Mahisa Agni-pun kemudian berputar beberapa langkah, dan tiba-tiba saja serangan itu terhenti. Semua mata memandang kedua orang itu dengan tanpa berkedip. Bahkan ada di antara mereka yang tidak percaya kepada matanya sendiri.
Tetapi akhirnya mereka benar-benar harus melihat kenyataan itu. Pedang itu telah beralih tangan. Kini Mahisa Agni lah yang bersenjata.
Seperti lawannya, maka kini Mahisa Agni lah yang mengacukan pedangnya ke arah dada. Tetapi Mahisa Agni tidak mengayun-ayunkan pedang itu membabi buta.
Hal itu benar-benar tidak dapat dimengerti oleh orang-orang Kediri dan bahkan oleh cantrik kawan seperjalanannya. Sejenak mereka tercengang, seakan-akan terpukau menyaksikan suatu keajaiban.
"Sekarang bagaimana" " terdengar suara Mahisa Agni.
Lawannya berdiri tegak seperti patung. Ialah orang yang paling tidak mengerti menghadapi keadaan itu. Tiba-tiba saja ia merasa pergelangan tangannya seakan-akan patah. Kemudian dalam sekejap, senjatanya telah berpindah tangan.
"Apa orang ini mempunyai ilmu hantu atau iblis," desisnya di dalam hati.
"Pertimbangkan baik-baik," berkata Mahisa Agni, "kalian tetap akan menangkap buruan kalian atau tidak?"
Sejenak tidak seorang-pun yang menyahut. Namun kemudian pemimpin rombongan orang-orang yang sedang berburu itu menjawab, "Persetan dengan permainan sihirmu. Kami tetap dalam pendirian kami, orang-orang ini harus kami kuasai."
"Aku tidak sedang bermain sihir," sahut Mahisa Agni, kemudian, "lihat, aku tidak menyihirnya." kedua tangannya-pun kemudian bergerak. Yang satu menggenggam tangkai pedang yang dirampasnya itu, yang lain pada daunnya. Sejenak kemudian pedang itu-pun patah menjadi dua."
Sekali lagi mereka yang menyaksikan hal itu menjadi berdebar-debar. Namun ternyata bahwa kedua orang prajurit yang menyertai rombongan orang-orang yang menyusul itu-pun bukan penakut yang mudah menjadi putus-asa.
"Persetan. Persetan. Ayo, kita binasakan dahulu orang itu."
Kedua orang prajurit itu-pun kemudian bersama-sama menyerbu Mahisa Agni. Senjata-senjata mereka berputaran seperti baling-aling. Sedang orang yang telah kehilangan pedangnya itu-pun melangkah surut beberapa langkah.
Cantrik kawan seperjalanan Mahisa Agni. dan seluruh rombongan orang-orang Kediri yang lain seakan-akan sadar pula dari mimpi mereka. Dengan serta-merta mereka-pun menyiapkan diri, dan menyerang lawan-lawan mereka yang paling dekat.
Perkelahian-pun berkobar kembali. Tetapi kini keadaan menjadi jauh berbeda. Karena kedua prajurit Kediri bersama-sama berkelahi melawan Mahisa Agni, maka kawan-kawannya yang lain tidak segera dapat menguasai lawannya.
Tetapi perkelahian itu-pun tidak berlangsung lama. Mahisa Agni yang kemudian bersenjatakan pedang yang telah patah, dalam waktu yang singkat telah berhasil melemparkan senjata kedua prajurit yang mengeroyoknya. Bahkan, dengan sentuhan tangan kirinya, seorang dari mereka terpelanting jatuh meskipun segera berhasil bangkit kembali.
"Nah, apa katamu?" bertanya Mahisa Agni, "apakah kalian masih akan berkelahi terus?"
Sekali lagi pertempuran itu terhenti. Orang-orang yang sedang memburu mangsanya itu-pun menjadi berdebar-debar. Kini mereka melihat suatu kenyataan, bahwa orang yang dianggapnya tidak mampu untuk ikut di dalam perkelahian. bahkan yang akan dijadikan tanggungan oleh orang-orang yang sedang mengejar mereka yang menyingkir dari Kediri itu, ternyata seorang yang mempunyai kemampuan yang tidak pernah mereka bayangkan. Kini agaknya orang itulah yang akan menentukan akhir dari perkelahian itu.
"Kalian dapat memilih," berkata Mahisa Agni selanjutnya, "bertempur terus, dengan akibat yang paling parah bagi kalian, atau kalian mengurungkan niat kalian dan melepaskan orang-orang yang sedang mencari dunianya yang paling sesuai bagi dirinya."
"Tetapi itu suatu pengkhianatan," potong salah seorang prajurit itu.
"Memang dalam keadaan yang wajar, tindakan mereka tidak dapat dibenarkan," berkata Mahisa Agni, "tetapi Kediri kini menghadapi masa darurat. Tindakan Baginda terlampau menyinggung perasaan para pendeta dan olah tapa. Itulah yang telah memaksa mereka memilih antara dua kerajaan yang bertentangan."
"Singasari ikut dalam kesalahan ini," jawab prajurit itu pula, "kalau Singasari tidak menampung mereka, maka mereka tidak akan berbuat demikian."
"Singasari memandangnya dari segi lain. Singasari mengerti kesulitan para pendeta dan olah tapa itu. Karena itulah maka Singasari dapat menerima mereka."
"Omong kosong. Justru Singasari lah yang menghasut rakyat Kediri, karena Singasari sendiri sudah siap untuk memberontak."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sekilas terbayang wajah Ken Arok yang tegang, duduk di atas Singgasana didampingi oleh kedua isterinya. Ken Dedes duduk sambil menundukkan kepalanya, dan Ken Umang yang menengadahkan wajahnya sambil tersenyum asam.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun ia berkata di dalam hatinya, "Aku tidak dapat mencampur baurkan persoalan-persoalan pribadi dengan persoalan yang jauh lebih besar."
"Ki Sanak," berkata Mahisa Agni kemudian, "memang pandangan kita sukar diketemukan. Kau orang Kediri dan aku adalah orang Singasari. Karena itu, maka marilah kita bicarakan saja apa yang kita hadapi sekarang. Aku minta kau lepaskan orang-orang itu memilih jalannya sendiri." Kedua prajurit itu menggeram. Tetapi mereka sudah tidak bersenjata lagi. Mereka tidak akan mampu melakukan perlawanan terhadap Mahisa Agni. Selagi mereka masih bersenjata, mereka tidak dapat mengalahkannya, apalagi kini.
"Jangan memaksa kami berbuat terlampau jauh," berkata Mahisa Agni.
Pemimpin rombongan orang-orang yang meyusul orang-orang Kediri yang menyingkir itu-pun menjadi ragu-ragu.
Dalam pada itu, orang-orang yang merasa dirinya dikejar-kejar itu-pun hampir serentak berteriak, "Binasakan mereka. Jangan biarkan mereka lolos. Mereka pasti akan membantai pula lain kali."
"Bunuh mereka, bunuh mereka," teriak yang lain.
Orang-orang yang mengejar orang-orang Kediri yang melarikan diri itu kini berada dalam keadaan sebaliknya. Kini merekalah yang merasa diri mereka diburu oleh orang-orang itu. Sedangkan mereka sama sekali tidak akan dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka pasti tidak akan dapat melawan. Orang yang mematahkan pedang itu mampu berkelahi seperti hantu, sehingga kedua prajurit yang bertempur bersama itu-pun tidak mampu berbuat apa-apa menghadapinya, meskipun ia hanya bersenjatakan sebilah pedang yang telah dipatahkannya sendiri.
Tetapi untuk membiarkan diri mereka dibunuh, mereka sama sekali tidak akan rela.
Karena itu, sejenak mereka dicengkam oleh ketegangan. Mereka menunggu, apakah yang akan terjadi selanjutnya.
Namun dalam pada itu terdengar Mahisa Agni berkata, "Biarlah mereka pergi. Kita baru menjumpai mereka untuk pertama kali. Tetapi apabila kita menjumpainya di lain kali dalam tindakan yang serupa, maka kita tidak akan memaafkannya."
"Tidak. Jangan dilepaskan," teriak salah seorang.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ketika terpandang olehnya wajah cantrik yang keheran-heranan dan bahkan kebingungan, ia bertanya, "Bagaimana pendapatmu?"
Cantrik itu terperanjat. Dalam kebingungan ia menjawab, "Terserah kepadamu."
"Nah," berkata Mahisa Agni, "begitulah pendapatku. Biarlah kali ini menjadi peringatan bagi mereka. Peringatan terakhir."
"Tetapi yang mereka lakukan kali ini bukan yang pertama," berkata pemimpin rombongan orang-orang Kediri yang sedang menyingkir itu.
"Kita tidak dapat dengan mutlak menyalahkan mereka. Yang mereka lakukan telah dibenarkan oleh pimpinan pemerintahan Kediri, sehingga dengan demikian, sebagian dari kesalahan dan tanggung jawab mereka atas perbuatan ini telah diambil oleh pimpinan pemerintahan."
"Jika demikian, maka tindakan-akan mereka yang akan datang-pun salah mereka."
"Kami telah memberikan pertimbangan sebagai peringatan terakhir," jawab Mahisa Agni, "Karena itulah, maka untuk yang bakal terjadi, pertimbangan kita akan lain."
Sejenak orang-orang itu terdiam. Tetapi mereka sadar, bahwa apabila orang itu tidak ikut campur dalam persoalan ini, mereka pasti akan berhasil dibinasakan oleh pemburu-pemburu itu. Karena itu, maka akhirnya pemimpin rombongan itu berkata, "Baiklah. Kami serahkan keputusan kepadamu. Apa yang baik menurut pertimbangan Ki Sanak, akan baik pula untuk kami. Tetapi perlu kami peringatkan, bahwa kami masih akan menempuh perjalanan sampai kami memasuki tlatah Singasari. Kami masih belum tahu apakah yang bakal terjadi di perjalanan kami. Kalau orang-orang yang dilepaskan ini, mencari jalan lain, dan mencegat kami selagi kami sudah tidak bersama-sama dengan kalian, maka nasib kamilah yang menjadi terlampau jelek."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia dapat mengerti kekhawatiran orang-orang yang sedang berusaha menyingkir dari Kediri itu. Karena itu, bagaimana-pun juga Mahisa Agni ingin segera bertemu dengan Witantra, namun ia berkata, "Baiklah. Kami akan mengawani kalian sampai ke perbatasan. Sampai kalian keluar dari hutan ini dan berada di lingkungan tlatah Singasari. Kalian akan segera menjumpai pusat penjagaan yang akan dapat menampung kalian."
Pemimpin rombongan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Kalau demikian, aku akan mengucapkan diperbanyak terima kasih. Aku tidak berkeberatan, apapun yang akan kalian putuskan atas orang-orang yang memburu kami ini."
"Biarlah mereka kembali," berkata Mahisa Agni, "mereka akan membawa pengalamannya. Tidak seharusnya mereka berburu manusia. Mengejar harta benda yang dibawanya, dan harga kepalanya."
Mereka yang mengejar orang-orang Kediri itu sama sekali tidak menyahut. Mereka berdiam diri sambil berdiri tegang di tempatnya.
"Nah. kembalilah ke Kediri," berkata Mahisa Agni, "belajarlah menghargai kebebasan seseorang. Kalau kediri tidak bertindak berlebih-lebihan, aku kira tidak akan ada arus manusia yang mengalir ke Singasari."
Tidak seorang-pun yang menjawab. Tetapi tidak semua orang di antara mereka yang dapat mengerti keterangan Mahisa Agni. Ada di antara mereka yang sama sekali terbungkam. Tetapi gejolak di dalam dadanya menyalakan dendam tiada taranya.
Terasa dada mereka membara ketika mereka mendengar Mahisa Agni berkata, "Ki Sanak yang akan melanjutkan perjalanan ke Singasari, silahkan segera berkemas. Waktuku tidak terlampau banyak."
Seperti tergugah dari cengkaman mimpi yang dahsyat, mereka-pun segera mengemasi barang-barang mereka. Orang-orang yang semula menggenggam senjatanya, sebagian telah menyarungkan senjata itu, dan membantu mengatur barang-barang mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak lengah. Di antara mereka masih juga ada yang menggenggam senjata telanjang di tangan.
Mahisa Agni dan cantrik kawan seperjalanannya telah berdiri di antara orang-orang yang akan pergi ke Singasari itu. Mahisa Agni yang mempunyai penglihatan yang tajam bukan saja penglihatan lahiriah, masih melihat beberapa orang yang tidak ikhlas melepaskan buruannya. Namun demikian beberapa orang yang lain perlahan-lahan mulai menilai diri mereka sendiri. Mereka mulai melihat tujuan orang-orang yang menyeberang ke Singasari. Memang orang-orang yang menyingkir dari Kediri ke Singasari. bukanlah jalan yang paling baik. Tetapi mereka tidak dapat memilih. Mereka tidak dapat berbuat lain daripada menyingkir karena keselamatan dan kebebasan mereka terancam.
Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa Sri Rajasa dari Singasari memang berusaha memanfaatkan keadaan. Dibentuknya kelompok-kelompok yang diserahi tugas menampung orang-orang Kediri, dan bahkan agak memanjakannya, sehingga apabila berita tentang orang-orang Kediri itu menggema kembali ke daerah asal mereka maka hal itu akan merupakan rangsang bagi yang masih tinggal untuk pergi ke Singasari. Namun dengan demikian, Ken Arok telah mematangkan kadaan. Pasukannya telah tersebar di segala penjuru. Bukan sekedar mengawasi penampungan orang-orang Singasari, tetapi mereka siap mengalir masuk ke daerah Kediri, seperti air yang tertampung oleh bendungan yang hampir pecah.
Sementara itu. orang-orang yang akan pergi ke Singasari itu telah siap untuk berangkat. Karena itu maka Mahisa Agni berkata sekali lagi kepada orang yang mengejar mereka, yang masih membeku di tempatnya, "Kenapa kalian masih berada di sini" Pergilah, dan jangan kau coba untuk berbuat seperti kali ini. Kalau aku melihat kalian sekali lagi berburu manusia, maka aku tidak akan dapat memaafkan kalian sekali lagi."
"Beberapa pasang mata seakan-akan membara karenanya. Tetapi beberapa pasang yang lain menjadi suram."
"Cepat, pergilah," bentak cantrik kawan Mahisa Agni.
Pemimpin rombongan orang-orang itu-pun mengerutkan keningnya. Ditatapnya cantrik yang bersenjata pedang pendek itu tajam-tajam. Namun cantrik itu maju beberapa langkah, "Kenapa kau memandang aku seperti itu?"
Pemimpin itu tidak menjawab. Tetapi dipalingkannya wajahnya kepada orang-orangnya, "Marilah kita kembali."
Orang-orang itu-pun kemudian melangkah perlahan-lahan ke kuda masing-masing. Tetapi masih juga ada di antara mereka yang berpaling. Sorot matanya memancarkan dendam yang tersimpan di dalam hati. kekecewaan dan kegelisahan bercampur baur.
"He kenapa berpaling?" bertanya cantrik itu.
Tetapi seorang yang berbulu lebat di dadanya justru berhenti. Orang yang kasar itu tidak dapat menahan hatinya mendengar bentakan-akan yang menyakitkan hati.
Namun cantrik itu-pun benar-benar seorang yang cepat digulat oleh perasaannya. Tiba-tiba saja ia memburunya sambil berkata, "Kau masih akan melawan?"
Orang itu tidak menjawab.
"Baik. Baik. Mari kita selesaikan masalah ini. Aku tidak ingin berbuat licik. Kau dan aku. Lepas dari semua persoalan yang pernah terjadi."
Orang itu ragu-ragu sejenak. Ternyata cantrik itu bukan orang kebanyakan pula. Ia sudah menyaksikan bagaimana ia bertempur dengan pedang pendeknya.
Namun sebelum orang berbulu lebat itu mengambil keputusan, pemimpinnya sudah mendahuluinya, "Kita tinggalkan neraka ini."
Orang berbulu lebat itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berbalik dan berjalan ke kudanya. Sejenak kemudian orang itu telah meloncat seorang demi seorang, kemudian berpacu meninggalkan mangsa yang lepas dari mulutnya karena kebetulan sekali ada seseorang yang bernama Mahisa Agni bersama seorang cantrik di antara mereka.
Sesaat mereka yang tinggal menyaksikan debu yang putih mengepul dari kaki-kaki kuda yang berlari kencang itu. Namun sejenak kemudian mereka menyadari keadaan mereka sendiri. Dengan demikian mereka menjadi semakin sibuk mengemasi barang-barang masing-masing.
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni selalu memeperhatikan gadis yang dengan tergesa-gesa menyiapkan beberapa barang-barangnya. Bahkan seperti tergerak oleh tenaga yang tidak dimengertinya Mahisa Agni-pun mendekatinya dan perlahan-lahan ia berkata, "Apakah aku dapat membantu?"
"O," sepercik warna merah membayang di wajah gadis itu. Sambil tersipu-sipu ia berkata, "sudah selesai."
"Tetapi, siapakah yang akan membawa barang-barang itu nanti?"
"Ayah," berkata gadis itu.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia sadar, bahwa gadis itu pasti tidak hanya seorang diri. Ia berjalan di antara rombongan itu bersama ayahnya dan bahkan mungkin ia sama sekali bukan seorang gadis. Tetapi di antara laki-laki itu terdapat suaminya.
Tetapi sebelum Mahisa Agni bertanya lebih lanjut, seorang laki-laki, yang justru sudah terlampau tua, mendekatinya sambil berkata, "Aku akan membawa barang-barangnya selebihnya yang dapat dibawanya sendiri."
"O," Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi orang itu-pun telah terlalu tua untuk membawa barang-barang yang meskipun tidak terlampau banyak.
Namun Mahisa Agni tidak bertanya lebih jauh. Dibiarkannya gadis itu, dan juga orang-orang lain menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Kemudian pemimpin rombongan itu-pun berkata, "Kita sudah selesai. Marilah kita meneruskan perjalanan."
Beberapa orang di dalam rombongan itu segera mengangkat barang masing-masing. Ada di antara mereka yang membawa seekor kuda untuk membawa beban masing-masing. Tetapi laki-laki tua itu membawa barang-barangnya di atas pundaknya. Sebagian dari barang-barangnya telah dibawa pula gadis yang menyebut dirinya anaknya.
Tetapi agaknya barang-barang itu terlampau berat bagi mereka berdua. Sedang orang-orang lain telah sibuk dengan milik mereka sendiri-sendiri.
"Apakah kau berdua bersama ayahmu membawa barang-barang itu dari Kediri?" bertanya Mahisa Agni.
Gadis itu mengangguk. "Kudaku dapat membantu," berkata Mahisa Agni kemudian.
Gadis itu tidak menjawab. Tetapi ditatapnya mata ayahnya yang redup.
Sejenak laki-laki tua itu berpikir. Kemudian katanya, "Apakah dengan demikian kami tidak mengganggu Ki Sanak?"
Mahisa Agni menggeleng, "Tidak. Aku akan berjalan bersama dengan kalian."
"Terima kasih," berkata orang tua itu. yang kemudian meletakkan beberapa potong barang-barangnya dan barang-barang yang dibawa oleh gadisnya di atas punggung kuda Mahisa Agni.
Ketika semuanya sudah mulai melangkahkan kakinya, maka kedua ayah beranak itu-pun berjalan pula. Tetapi kini mereka sudah tidak diberati lagi oleh barang-barangnya yang sebagian sudah mereka letakkan di atas punggung kuda Mahisa Agni.
"Siapa yang akan menitipkan barang-barang kepadaku," cantrik itu berdesis di telinga Mahisa Agni.
Mahisa Agni berpaling. Dilihatnya wajah cantrik yang lucu itu sedang tersenyum. Bahkan kemudian ia berbisik, "Barang-barangnya sudah dititipkan kepadamu. Biarlah pemiliknya naik di atas punggung kudaku. Kalau ia tidak berani seorang diri, aku dapat menjagainya di belakangnya."
"Sst," Mahisa Agni berdesis, dan cantrik itu tersenyum semakin lebar.
Sambil berjalan maka Mahisa Agni, cantrik yang bersamanya dan laki-laki tua itu tidak berhenti-hentinya bercakap-cakap. Sedang anak gadisnya kemudian berjalan di depan bersama perempuan-perempuan yang lain.
"Ia bukan anakku," berkata laki-laki tua itu tiba-tiba. Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tanpa dikehendakinya sendiri ia bertanya, "Jadi, apakah hubungan kalian?"
"Ia sebenarnya adalah cucuku."
"O," Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ayahnya meninggal selagi ia berada di dalam kandungan karena penyakit yang tidak kami ketahui. Ketika ia berumur tiga tahun, ibunya meninggal pula."
"Yatim piatu," desis Mahisa Agni.
Dan tiba-tiba cantrik itu memotong, "Suaminya?"
Orang tua itu mengerutkan keningnya. "Memang ia terlambat kawin. Tetapi ia masih gadis."
"O," cantrik itu mengerutkan keningnya, "tentu belum terlambat. Berapakah umurnya?"
"Aku tidak tahu pasti. Ia lahir ketika ada gempa yang besar menimpa Kediri. Pada saat tanah-tanah bengkah dan gunung-gunug runtuh. Hujan angin seperti dicurahkan dari langit."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kira-kira duapuluh tahun yang lampau."
"Ya, begitulah," sahut orang tua itu. Kemudian suaranya menurun, "karena itulah terlambat kawin. Kawan-kawannya yang berumur tujuh belas tahun sudah dipinang orang."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bahkan yang berumur limabelas tahun," orang tua itu meneruskan. Kemudian, "Sebenarnya anak itu juga sudah dipinang orang. Ia hampir kawin tiga tahun yang lampau. Tetapi yang melukai hati anak itu, calon suaminya mati terbunuh."
"O," Mahisa Agni dan cantrik itu terperanjat.
"Kenapa?" "Itulah yang menyakiti hatinya. Ternyata calon suaminya adalah seorang perampok," jawab orang tua itu, "tidak seorang-pun dari orang sepadepokan kami yang mengetahuinya. Karena itu lamarannya-pun aku terima. Gadis itu-pun telah tidak menolak lagi. Namun berita itu akhirnya sampai pada kami. Laki-laki itu adalah seorang perampok yang sangat dibenci."
Mahisa Agni dan cantrik kawan seperjalanannya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas mereka memandang punggung gadis yang berjalan beberapa langkah di depan mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapat kesan apapun juga.
"Kasihan," desis Mahisa Agni di dalam hatinya.
Dan orang tua itu berkata seterusnya, "Tetapi aku kira lebih baik demikian daripada perkawinan itu sudah berlangsung. Cucuku akan menjadi seorang isteri perampok yang dikutuk orang, meskipun orang-orang di sekitarnya tidak mengetahuinya." orang tua itu berhenti sejenak, lalu, "Sekarang ia bebas, meskipun hatinya luka."
Mahisa Agni hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak menyahut.
Demikianlah perjalanan mereka itu-pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan perbatasan hutan dan langsung masuk ke tlatah Singasari. Mahisa Agni sempat mengantarkan mereka sampai ke tempat yang dianggapnya cukup aman. Mereka tidak akan terganggu lagi oleh orang-orang yang mengejarnya.
"Sekarang aku akan meneruskan perjalananku lagi," berkata Mahisa Agni kepada pemimpin rombongan itu.
"Terima kasih," jawabnya, "aku sudah mengganggu perjalananmu. Apakah kau akan pergi ke Kediri?"
"Tidak," jawab Mahisa Agni, "aku akan pergi ke daerah yang tidak bertuan. Daerah yang jauh tersembunyi di dalam hutan. Yang tidak dijangkau oleh kekuasaan baik Kediri mau-pun Singasari."
"Daerah manakah itu?"
"Daerah yang tidak bernama."
Pemimpin rombongan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang orang tua kakek gadis itu berkata, "Kami sangat berterima kasih akan kebaikanmu."
"Adalah sewajarnya, bahwa kita harus saling membantu," Mahisa Agni menyahut, kemudian, "kalau kelak aku kembali, aku akan mencari kalian. Berpesanlah kepada para petugas, di mana kalian akan menetap."
"Ya, ya. Kami akan menunggu."
Mahisa Agni dan cantrik kawan seperjalanannya itu-pun kemudian minta diri, melanjutkan perjalanan mereka pergi ke rumah Witantra. Mereka telah kehilangan waktu. Mereka telah menempuh jarak rangkap, karena mereka harus kembali lagi mengantarkan para pengungsi dari Kediri itu.
"Kau akan mencarinya kelak?" bertanya cantrik kawan seperjalanannya itu.
Mahisa Agni mengangguk tanpa sesadarnya.
"Kenapa?" Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia sendiri tidak mengerti kenapa"
"Kenapa" " cantrik itu mendesak.
"Tidak apa-apa. Hanya sekedar ingin tahu, apakah mereka sudah mendapat tempat yang wajar."
Cantrik itu tidak menyahut, tetapi ia tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" bertanya Mahisa Agni.
"Tidak apa-apa"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia-pun kemudian berdiam diri.
Sejenak mereka tidak saling berbicara. Kuda mereka telah memasuki semakin dalam jalan setapak di tengah-tengah hutan yang sepi. Tetapi kini matahari telah condong semakin rendah di Barat.
Dan tiba-tiba cantrik itu berkata, "Kita akan kemalaman di jalan."
"Kita jalan terus," berkata Mahisa Agni.
"Berbahaya. Dan aku tidak akan dapat mengenal jalan di malam hari. Kuda-kuda kita juga perlu beristirahat."
"Jadi?" bertanya Mahisa Agni.
"Kita bermalam di jalan."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah. Kita akan bermalam di jalan."
Karena itu, sebelum hutan itu menjadi gelap, mereka-pun segera mencari tempat untuk bermalam. Ketika mereka sudah menemukannya, maka mereka-pun segera mengikat kuda-kuda mereka dan mencari ranting dan dahan-dahan kering.
"Kita membuat perapian," berkata cantrik itu.
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
"Aku membawa pondoh jagung. Apakah kau tidak lapar?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab. "Tentu."
"Tentu apa?" "Tentu lapar." Keduanya-pun kemudian makan pondoh jagung sambil duduk di dekat perapian. Malam yang gelap turun menyelubungi hutan yang menjadi sangat pekat, seakan-akan mata mereka tidak mampu lagi menembus jarak selangkah-pun. Namun cahaya api yang merah, telah menembus beberapa puluh langkah di seputar kedua orang yang duduk sambil berkerudung kain panjang mereka.
Tiba-tiba saja cantrik itu bertanya, "Siapakah sebenarnya kau?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, "Apakah Panji Bojong Santi tidak mengatakannya."
"Panji Bojong Santi hanya mengatakan, agar aku mengantarmu ke tempat Witantra. Tetapi Panji Bojong Santi tidak mengatakan kepadaku, siapakah kau sebenarnya."
"Tidak ada yang aneh. Namaku Mahisa Agni. Itu sudah cukup bagimu."
"Tetapi kau ternyata memiliki kemampuan yang tidak aku duga. Aku kira kau adalah barang titipan, yang harus aku serahkan kepada Witantra." cantrik itu menelan ludahnya, kemudian, "ternyata aku tidak lebih dari seorang penunjuk jalan."
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Jangan hiraukan lagi. Sekarang kita bergantian tidur. Kau dulu, atau aku?"
"Tidurlah, aku belum mengantuk," jawab cantrik itu.
Mahisa Agni-pun kemudian bersandar pada sebatang pohon. Ia mencoba untuk tidur barang sejenak.
Tetapi belum tengah malam Mahisa Agni sudah terbangun. Terasa punggungnya amat lelah. Perlahan-lahan ia berdiri sambil menggeliat. Dilihatnya cantrik kawan seperjalanannya masih duduk terkantuk-kantuk di pinggir perapian. Dengan sebatang dahan ia mempermainkan bara yang merah kekuning-kuningan.
"Apakah kau belum mengantuk," bertanya Mahisa Agni.
Cantrik itu berpaling sambil menjawab, "Sudah."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, "Tidurlah. Biarlah aku yang jaga."
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bersandar sebatang pohon seperti Mahisa Agni. Dengan serta-merta ia berbaring di atas rerumputan liar yang layu oleh panasnya api di perapian.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata-pun. Dibiarkannya saja cantrik itu kemudian jatuh tertidur. Baru ketika fajar menyingsing, ia membuka matanya dan bertanya, "Apakah yang kemerah-merahan itu cahaya fajar?"
"Ya," jawab Mahisa Agni.
"Jadi aku tidur sampai pagi?"
"Ya." "Kenapa aku tidak kau bangunkan?"
"Apakah kau memerlukan sesuatu?"
"Tidak, maksudku, kau duduk sampai semalam suntuk."
"Aku sudah tidur lebih dahulu." "
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia-pun bangkit dan membenahi pakaiannya. dikibas-kibaskannya kain panjangnya, dan dibetulkannya letak ikat pinggangnya.
"Kau berjaga-jaga semalaman. Kau tentu lelah."
Mahisa Agni tersenyum. "Sudahlah," katanya, "marilah kita berkemas. Kita sudah kehilangan waktu sehari. Aku ingin segera bertemu dengan Witantra."
"Baiklah," sahut cantrik itu. Perlahan-lahan ia-pun pergi ke kudanya yang terikat. Membenahi kelengkapannya pula sambil berkata, "Kita perlu air."
"Di sepanjang jalan nanti kita akan bertemu dengan air."
Cantrik itu mengerutkan keningnya. "Baiklah. Aku kira kuda-kuda ini-pun sudah haus."
Sejenak kemudian, ketika mereka sudah selesai berkemas, maka mereka-pun segera berangkat melanjutkan perjalanan. Beberapa puluh langkah kemudian mereka menemukan sumber yang bening memancar dari bawah sebatang pohon preh yang besar.
Setelah mencuci muka, memberi minum kuda-kuda mereka, maka keduanya-pun segera berpacu menuju ke rumah Witantra. Suatu pedukuhan baru yang belum banyak dikenal orang. Mereka masih harus menyusup jalan yang sulit, di antara tetumbuhan hutan yang cukup rapat, meskipun bukan sebuah belukar yang pepat.
"Kau masih ingat jalan ke padukuhan itu?" bertanya Mahisa Agni.
"Tentu. Aku masih ingat."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Masih jauh?" ia bertanya.
Cantrik itu menggeleng, "Tidak terlampau jauh. Sebelum tengah hari kita akan sampai ke daerah yang lebih baik. Kemudian kita akan segera sampai. Lewat sedikit tengah hari."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mahendra pernah tinggal bersama Witantra beberapa saat."
Sekali lagi Mahisa Agni mengangguk. Tiba-tiba saja cantrik itu bertanya, "Apa sebenarnya kepentinganmu dengan Witantra?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa."
Cantrik itu menarik nafas. Tentu ia tidak percaya bahwa seseorang menempuh jalan sejauh itu tanpa suatu keperluan yang penting. Tetapi cantrik itu mengerti, bahwa Mahisa Agni tidak ingin mengatakan kepentingannya kepadanya, sehingga karena itu, maka ia-pun tidak bertanya lagi.
Sejenak mereka menyelusur jalan di hutan yang tidak terlampau lebat itu sambil berdiam diri. Sekali-sekali Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam untuk menenteramkan hatinya yang mulai berdebar-debar. Ia menjadi ragu-ragu, apakah Witantra dapat menanggapi kedatangannya dengan sikap yang lebih dewasa. Kalau dendam atas kematian adik seperguruannya dan kekalahannya itu masih tetap menyala di hatinya, maka ia akan menghadapi keadaan yang sulit. Dalam keadaan yang sewajarnya, mungkin ia tidak akan gentar menghadapinya. Bahkan ia masih dapat percaya kepada dirinya sendiri bahwa Witantra betapa jauh jangkaunya namun ia tidak akan dapat mengalahkannya dengan mudah. Kalau Witantra berhasil mempelajari ilmunya hampir sempurna, seperti gurunya Panji Bojong Santi. maka ia sudah berhasil mencapainya lebih dahulu.
Bahkan selama ini ia masih juga sempat merenungi ilmunya, sehingga ilmu itu menjadi kian matang. Ilmu yang didasari oleh perguruan Empu Purwa, ditambah dengan luluhnya ilmu Empu Sada dan penemuannya sesudah itu, berdasarkan kedua ilmu itu. pasti tidak akan mudah dilampaui oleh Witantra.
Tetapi ia tidak akan dapat mempergunakan ilmunya. Ia datang untuk mengakui semua kesalahannya dan untuk meminta maaf kepadanya. Sudah tentu ia tidak akan melibatkan diri ke dalam kesalahan yang lebih besar lagi.
"Tetapi bagaimana kalau Witantra tidak dapat mengerti perasaannya?" pertanyaan itu kini telah membelit hatinya.
"Panji Bojong Santi mengenalnya dengan baik. Kalau ia tidak berpendapat bahwa Witantra akan mengendapkan perasaannya, maka ia tidak akan membiarkan cantrik ini mengantarkan aku."
"Meskipun demikian Witantra adalah manusia biasa. Ia tidak akan luput dari kekurangan dan kekhilafan."
Ternyata pendirian itu telah membuat dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar.
Meskipun demikian Mahisa Agni berusaha menyembunyikan semua kesan-kesannya, sehingga cantrik yang bersamanya itu sama sekali tidak dapat meraba apa yang terpercik di hatinya.
Demikianlah maka untuk sesaat mereka saling berdiam diri. Semakin lama mereka menjadi semakin dekat. Hutan yang mereka lalui menjadi semakin jarang. sehingga akhirnya, mereka telah melintasi hutan perdu dan ilalang.
Dengan demikian maka kuda-kuda mereka dapat berlari semakin kencang. Sedang matahari menjadi semakin tinggi memanjat kaki langit.
Ketika bayangan mereka telah tepat terinjak di bawah kaki mereka berhenti sejenak pada sebuah mata air yang kecil untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka minum sejenak, sambil berteduh di bawah sebatang pohon yang rindang.
"Kita akan menempuh jalan yang melewati gunduk-gunduk yang keputih-putihan itu," berkata cantrik kawan seperjalanan Mahisa Agni sambil menunjuk segunduk padas putih di hadapan mereka.
Keduanya membiarkan kuda mereka makan rerumputan hijau sejenak, sementara keduanya menyeka keringat mereka yang membasahi seluruh tubuhnya.
Tetapi mereka tidak beristirahat terlampau lama. Sejenak kemudian mereka-pun telah berada di punggung kuda masing-masing, dan berpacu lebih cepat lagi. Tetapi jalan kini sudah menjadi semakin baik. Mereka tidak lagi diganggu oleh pepohonan yang merambat, melintas di atas jalan yang mereka lalui. Kini jalan seakan-akan terbuka meskipun tidak terlampau baik.
Setelah melewati gundukan padas yang keputih-putihan di panasnya matahari, mereka sampai ke daerah yang lebih subur. Daerah yang selalu basah oleh sumber-sumber air dan sebatang sungai yang meskipun tidak terlampau besar, namun mengalirkan air yang cukup.
"Padukuhan Witantra ada di tepi sungai ini," berkata cantrik itu.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sudah dekat. Gerumbul hijau di hadapan kita itu adalah ujung padukuhannya."
"O," Mahisa Agni mengnggukkan kepalanya, dan hatinya-pun menjadi semakin berdebar-debar pula. Meskipun demikian, wajahnya sama sekali tidak mengesankan kegelisahannya itu.
Ternyata jalan yang mereka lalui memang menjadi semakin baik. Meskipun agak berdebu tapi kini mereka telah sampai pada sebuah jalan yang agak terpelihara.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan seseorang yang pernah dilukai hatinya. Ia tidak tahu tanggapan apakah yang akan diberikan oleh Witantra atas kedatangannya ini.
"Tetapi aku harus menemuinya. Apapun yang akan terjadi nanti," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "sekarang atau waktu yang akan datang, hampir tidak ada bedanya. Aku tidak mau tersiksa lebih lama lagi oleh perasaan bersalah ini."
Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan demikian maka Mahisa Agni-pun telah membulatkan tekadnya, untuk bertemu kali ini dengan Witantra meskipun ia tidak tahu akibat apa yang bakal terjadi oleh pertemuan ini.
Sejenak kemudian maka mereka-pun telah sampai di ujung padukuhan yang hijau segar. Meskipun padukuhan itu sebuah padukuhan kecil tetapi tampak bahwa padukuhan itu adalah padukuhan yang hidup.
Dinding-dinding batu yang rapi dan regol yang manis, meskipun tidak terlampau besar. Jalan-jalan yang lurus dan bersih.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas. Desisnya, "Inilah padukuhan itu?"
"Ya, padukuhan yang agak terpencil. Tetapi padukuhan ini berusaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dari bahan makan sampai ke bahan pakaian meskipun tidak begitu baik. Hanya keperluan yang memaksa saja mereka cari keluar daerah padukuhan ini. Garam misalnya," jawab cantrik itu.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, kita akan segera memasuki regol padukuhan itu. Rumah Witantra berada di tempat-tempat padukuhan," cantrik itu berhenti sejenak, "padukuhan ini adalah padukuhan yang paling damai yang pernah aku lihat."
Mahisa Agni masih mengangguk-angguk. Tetapi ia sependapat dengan cantrik itu, bahwa padukuhan ini memang padukuhan yang tampaknya tenteram dan damai.
"Mungkin karena letaknya yang terasing," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "tetapi apakah kedamaian yang asing seperti ini adalah yang paling baik bagi Witantra?"
Sejenak Mahisa Agni merenungi regol padukuhan itu. Kemudian dilihatnya seorang anak melintasi jalan. Anak itu memandanginya sebentar, kemudian ia berlari-lari masuk ke halaman.
"Jarang sekali ada orang lain yang datang kemari," berkata cantrik itu, "kedatangan kita pasti akan menjadi bahan percakapan penduduk padukuhan ini. Satu dua di antara mereka mungkin pernah melihat aku datang kemari, apabila mereka masih ingat. Tetapi kau adalah orang asing sama sekali."
Mahisa Agni tidak Menjawab. Bagi Witantra, mungkin masih dapat dimengerti. Bahwa kekecewaan yang sangat telah menyudutkannya ke tempat yang sepi ini. Tetapi bagaimana dengan anak-anak yang masih harus berkembang"
Ternyata apa yang dikatakan cantrik itu-pun segera ternyata. Bukan sekedar anak-anak sajalah yang kemudian menjengukkan kepala mereka di atas pagar-pagar batu. Dengan herannya mereka melihat cantrik itu bersama Mahisa Agni melewati di jalan yang membelah padukuhan itu. Mereka saling berbisik dan bertanya, siapakah yang datang kali ini"
Tetapi setiap kepala tergeleng lemah, karena tidak seorang-pun yang dapat menjawab pertanyaan itu. Sejenak kemudian. sampailah mereka ke pusat padukuhan kecil itu. Mereka berhenti sejenak di muka sebuah regol halaman yang agak lebih besar dari regol-regol halaman yang lain. Halaman itu adalah halaman rumah Witantra.
Mahisa Agni menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu justru bergeser beberapa langkah surut. Kini ia tidak lagi dapat menyembunyikan perasaannya yang dibakar oleh keragu-raguan.
Cantrik itu menjadi heran. Sejenak ia mengawasi saja tingkah laku Mahisa Agni. Namun sejenak kemudian ia berkata, "Marilah kita masuk. Inilah rumahnya."
Mahisa Agni tidak menjawab. Keringat dinginnya yang mengembun serasa telah membasahi seluruh tubuhnya.
"Kenapa kau?" bertanya cantrik itu, "inilah rumahnya."
Mahisa Agni masih belum menjawab. Dipandanginya saja pintu regol yang terbuka itu, langsung melintasi halaman hingga pada pintu rumah yang masih tertutup.
Tiba-tiba ia berdesis, "Sepi sekali."
"Rumah ini memang sepi. Biasanya memang sepi pula. Witantra dan keluarganya jarang-jarang berada di pendapa. Mereka selalu berada di dalam."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kini Ia seakan-akan membeku di atas punggung kudanya.
"He. kenapa kau sebenarnya?" bertanya cantrik itu.
"Tidak apa-apa."
"Kenapa kau mematung di situ. Marilah masuk."
Sekali lagi Mahisa Agni menyapukan pandangan matanya ke sekelilingnya. Halaman yang bersih. Batang-batang pohon sawo yang tumbuh subur hambir mencapai teritis. Apabila kelak batang-batang sawo itu menjadi semakin besar, maka halaman itu-pun akan bertambah asri.
"Kau sudah menempuh perjalanan yang demikian jauh dan sulit. Sekarang kau ragu-ragu," desis cantrik itu.
"Kau benar," jawab Mahisa Agni, "aku memang ragu-ragu."
"Baiklah. Biarlah aku lebih dahulu masuk. Aku akan mengatakan kepada Witantra bahwa seorang tamu bernama Mahisa Agni sedang menunggu di luar regol."
Mahisa Agni tidak segera menyahut.
"He," cantrik itu menjadi kesal, sehingga tiba-tiba ia berkata tanpa sesadarnya, "apakah kau kesurupan di jalan tadi?"
Mahisa Agni berpaling. Dipandanginya wajah cantrik itu dengan tajamnya, tetapi ia tidak menjawab.
Dalam kebingungannya, cantrik itu-pun kemudian meloncat turun dari kudanya dan membimbing kudanya mendekati regol halaman. Tetapi ia terkejut ketika tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan yang meloncat dan hinggap di atas dinding batu halaman rumah itu. Hampir terpekik ia memandang seseorang yang berdiri tegak di atas sepasang kakinya yang renggang.
Mahisa Agni-pun terkejut bukan kepalang melihat orang yang tiba-tiba saja sudah bertengger di atas dinding halaman. Apalagi setelah ia meyakini, bahwa orang yang berdiri itu adalah Witantra.
Sejenak Mahisa Agni benar-benar terpukau oleh penglihatannya. Witantra berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Di lambungnya tergantung sepasang pedang panjang.
Dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Witantra yang telah menyepi itu masih menyandang pedang di lambungnya. Apalagi kini sepasang.
Karena itu, maka Mahisa Agni melihat seorang tokoh yang aneh menurut penilaiannya. Seorang yang mengenakan pakaian putih melitit di tubuhnya, namun kemudian pakaian itu dibelit oleh sebuah ikat pinggang kulit yang tebal dan digantungi oleh sepasang pedang.
"Nah. aku sudah menduga Agni, bahwa pada suatu ketika kau akan mencari aku. Aku kira kau masih tidak puas dengan kemenanganmu itu. Kau masih belum puas atas kematian Kebo Ijo. Kini kau datang untuk memuaskan hatimu."
Sambutan itu sama sekali tidak disangka-sangkanya. Apalagi cantrik yang bersamanya itu. Dengan mulut ternganga ia melihat Witantra dan Mahisa Agni berganti-ganti.
"Aneh sekali," ia berkata di dalam hati, "kalau yang akan terjadi hanyalah demikian saja, kenapa Panji Bojong Santi menyuruh aku mengantarkannya?"
Dalam kebingungan cantrik itu berdiri membeku di tempatnya. Sekilas terbayang kemampuan Mahisa Agni yang tidak disangka-sangkanya ketika mereka berkelahi melawan orang-orang Kediri. Mahisa Agni benar-benar dapat berbuat sekehendak hatinya atas lawan-lawannya. Memang apa yang dilakukan mirip dengan permainan sihir. Sedang Witantra adalah murid tertua Panji Bojong Santi yang sudah mengasingkan diri menekuni ilmunya. Apabila benar-benar terjadi benturan di antara mereka berdua, maka akibatnya memang akan dahsyat sekali. Karena itu, maka ketika dadanya sudah menjadi agak tenang, ia-pun melangkah maju mendekati Witantra sambil berkata, "Witantra, Panji Bojong Santilah yang menyuruh aku mengantarkannya kemari."
Witantra tertawa. Jawabnya, "Aku kira guru-pun mengetahui, apa yang tersirat di dalam hatinya. Memang tidak ada orang lain yang dapat melawannya di seluruh Tumapel, yang sekarang menyebut dirinya Singasari. Tidak ada orang yang dapat mengalahkan seorang yang bernama Mahisa Agni selain aku. Memang aku pernah di kalahkannya. Tetapi itu sudah lama berlalu. Sekarang keadaan pasti sudah berubah. Dan Witantra tidak akan dapat di kalahkannya lagi." Witantra berhenti sejenak, dan tiba-tiba pertanyaannya sangat mengejutkan Mahisa Agni, "Agni, apakah kau sudah berhasil membunuh Mahendra, sehingga kau sudah datang kepadaku, kepada saudara tertua di perguruan Panji Bojong Santi?"
Mahisa Agni benar-serasa terbungkam. Ia tidak mengerti bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Karena itu, maka ia duduk saja di atas punggung kudanya dengan jantung yang berdentangan.
"Kenapa kau diam saja?" lalu kepada cantrik itu Witantra bertanya, "he. apakah kau tahu. atau guru mengatakan kepadamu, bahwa Mahendra telah terbunuh?"
Cantrik itu menjadi semakin bingung, tetapi kepalanya tergeleng lemah, "Tidak. Aku tidak mengetahuinya."
Suara tertawa Witantra menjadi semakin menyakitkan hati. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Hem, begitu buas kau Mahisa Agni. Apakah kau akan mendapat upah yang terlalu besar dari Ken Arok?"
Mahisa Agni benar-benar serasa terbungkam. Hal yang sama sekati tidak disangka-sangkanya ternyata telah terjadi. Menurut dugaannya Witantra pasti seorang yang sudah menjadi semakin mapan dan mengendap, sehingga ia tidak akan terlalu banyak menjumpai kesukaran.
"Agni, ayo katakan dengan terus-terang. bahwa kau akan membunuhku."
Betapapun juga maka akhirnya Mahisa Agni mencoba untuk menjelaskan maksud kedatangannya, "Witantra, aku sama sekali tidak akan membunuhmu. Mahendra sama sekali juga tidak terbunuh."
Suara tertawa Witantra meninggi. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "O, kau benar-benar seorang buas yang licik. Kau mencoba menipu aku. Kemudian dengan diam-diam kau akan menusuk aku dari belakang." Witantra berhenti sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya, "Tidak Mahisa Agni, kau tidak akan dapat mengelabui aku, kau tidak akan dapat menipu aku lagi. Aku tahu pasti tujuanmu. Karena itu, marilah kita coba sekali lagi. Kau atau aku yang akan binasa kali ini."
"Witantra," potong Mahisa Agni yang menjadi semakin gelisah, "kau salah Witantra. Aku tidak akan berkelahi."
"Jangan kau kelabui aku. Kau tidak akan dapat berbuat curang. Ayo, kita berhadapan dengan jantan."
"Kau keliru." "Tentu tidak. Aku tidak akan keliru. Kebo Ijo itu sudah benar-benar mati. Aku sudah kau kalahkan di arena. Mahendra-pun sudah mati pula. Sekarang kau datang kemari. Apalagi he?"
"Memang, aku telah memperkuat keputusan untuk menetapkan Kebo Ijo bersalah. Aku telah naik ke arena waktu itu. Tetapi aku salah, pada waktu itu. Dan aku ingin minta maaf kepadamu Witantra."
"O," suara tertawa Witantra semakin keras, "kau benar-benar tidak tahu malu. Kenapa kau tidak menempuh jalan seperti yang pernah kau pergunakan" Naik ke arena" Kenapa kini kau lebih senang menjadi seorang yang licik?" Witantra berhenti sejenak, kemudian, "Mungkin karena kau sudah tahu. bahwa kau tidak akan dapat mengalahkan Witantra sekarang. Kau tidak akan dapat berbuat dengan cara yang pernah kau lakukan. Sedang kau masih tetap mendendam semua murid Panji Bojong Santi. Mungkin atas dorongan kegilaanmu, tetapi mungkin juga karena kau akan mendapat upah dari Ken Arok. Tetapi aku tidak peduli. Bagiku akibatnya akan sama saja. Kau dengan nafsu dendammu yang menyala-nyala, atau kau yang akan mendapat upah berlimpah-limpah dengan raja yang licik itu?"
"Tidak Witantra, kau salah sangka. Kau terlampau mendendam kepadaku, sehingga kau diganggu oleh bayangan-bayangan yang selalu menakut-nakuti perasaanmu."
"He," Witantra tiba-tiba terbelalak, "kau terlampau sombong. Apa yang aku takutkan padamu sehingga aku harus dengan gelisah menemuimu sekarang" He, kau kira otakku sudah tidak waras lagi sehingga hidupku selalu dibayangi oleh prasangka-sangka buruk saja" O Agni. betapa sombongnya kau. Kau merasa dirimu tidak terkalahkan sehingga aku yang terpencil ini selalu dibayangi oleh ketakutan yang sangat, sehingga aku menjadi gila."
Dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak mengerti apa yang akan dikatakannya. Ia merasa bahwa ia selalu salah. Apa yang diucapkan pasti menumbuhkan salah paham. Witantra pasti menanggapinya dengan dendam yang menyala di dadanya.
Apalagi ketika kemudian Witantra yang masih berdiri di atas pagar batu itu berkata, "Agni, jangan terlampau banyak bicara. Kita selesaikan saja masalah ini dengan segera. Marilah kita pilih sebuah arena yang dapat memberi kepuasan. Kau setuju?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak Witantra. aku tidak akan berkelahi."
"Lalu apa maksudmu datang kemari" Jangan begitu Agni. Kau adalah kakak seorang Permaisuri. Jagalah nama baik Ken Dedes yang kini bukan saja seorang Permaisuri seorang Akuwu, tetapi Permaisuri dari seorang raja yang besar."
Tetapi Mahisa Agni menggelengkan kepalanya sambil berkata berulang kali, "Kau keliru Witantra, kau keliru."
Dalam pada itu cantrik yang mengantarkannya menjadi bingung. Ia tidak mengerti pembicaraan apakah yang sedang berlangsung. Tetapi ketika ia mendengar Witantra menyebut Mahisa Agni sebagai seorang kakak dari Permaisuri Sri Rajasa. hatinya menjadi bertambah bingung. Tetapi kakak seorang Permaisuri itu kini sama sekali tidak berbuat apapun di hadapan Witantra. Mahisa Agni seakan-akan sama sekali tidak menanggapi tantangan Witantra yang meliliti tubuhnya dengan pakaian yang serba putih, namun di lambungnya tergantung sepasang pedang.
"Mahisa Agni adalah seorang yang luar biasa," berkata cantrik itu di dalam hatinya, "ia dapat bertempur seperti seorang yang dapat bermain sihir. Tanpa diketahui apa yang sudah dilakukannya, ia mampu melepaskan senjata-senjata lawannya. Dan menurut pengakuan Witantra sendiri, Mahisa Agni memang pernah mengalahkannya. Tetapi di hadapan Witantra kini Mahisa Agni seakan-akan seperti seorang yang sama sekali tidak berdaya."
"Agni," berkata Witantra, "ayo, cabut senjatamu!"
Mahisa Agni menggeleng, "Aku tidak bersenjata karena aku memang tidak ingin berkelahi Witantra."
"Jangan omong kosong. Cepat, sebelum aku berkeputusan membunuhmu."
Tetapi sekali lagi Mahisa Agni menggeleng, "Aku tidak bersenjata."
Witantra mengerutkan keningnya. Tiba-tiba dicabutnya sebuah pedang yang tergantung di lambungnya. Tanpa disangka-sangka dilemparkannya pedang itu kepada Mahisa Agni, "Pakai senjata itu."
Sekilas jantung Mahisa Agni disambar oleh keragu-raguan. Pedang itu meluncur terlampau cepat, sehingga waktunya untuk menimbang dan mengambil keputusan terlampau pendek. Tetapi karena kedatangannya memang sudah dilambari oleh kebulatan tekadnya untuk tidak membuat masalah baru, maka pada saatnya Mahisa Agni telah mengambil sikap. Tangannya yang sudah bergetar, sama sekali tidak bergerak untuk menangkap tangkai pedang yang meluncur di sampingnya. Dipandanginya saja pedang yang jatuh di tanah, beberapa langkah dari kudanya.
Sementara itu cantrik yang membawanya menjadi semakin heran. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang dihadapinya. Sejenak dipandanginya pedang yang tergolek di tanah itu dengan mata yang hampir tidak berkedip.
"Kenapa Mahisa Agni tidak memungutnya?" desisnya di dalam hati.
Tetapi Mahisa Agni benar-benar tidak memungutnya. Ia masih tetap duduk di punggung kudanya.
"Agni," berteriak Witantra, "kenapa tidak kau tangkap pedang itu?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku tidak memerlukannya."
"He," Witantra membelalakkan matanya, "kau benar-benar sombong. Kau sudah menghina aku untuk kesekian kalinya. Kau sangka kau sekarang dapat mengalahkan aku tanpa senjata."
"Bukan begitu. Maksudku, aku tidak memerlukannya karena aku memang tidak berhasrat sama sekali untuk berkelahi."
"Persetan," Witantra menggeram, "aku akan segera mengambil sikap. Aku akan membunuhmu. Melawan atau tidak melawan."
"Kalau itu jalan yang paling baik yang dapat kau tempuh Witantra, lakukanlah."
Witantra terdiam sejenak. Direnunginya wajah Mahisa Agni sejenak.
"Kau benar-benar tidak ingin berkelahi?" bertanya Witantra.
"Sudah aku katakan, aku tidak berniat untuk berbuat apapun di sini."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia membuka ikat pinggang kulitnya yang tebal berikut pedangnya. kemudian dilemparkannya ikat pinggang itu sambil berkata, "Aku memang sudah menyangka, bahwa kau sekarang sudah menjadi semakin masak."
Mahisa Agni serasa telah terpukau oleh sikap Witantra itu. Sejenak ia mematung. Detak jantungnya seakan-akan terhenti dan justru karena itu ia menjadi sangat bingung.
Bukan saja Mahisa Agni yang kebingungan. Tetapi cantrik yang datang bersamanya itu-pun sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Sambil menggelengkan kepalanya ia menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia melihat beberapa buah kepala yang tersembul dari balik regol dan pagar-pagar batu. Agaknya beberapa orang dari padukuhan terpencil itu lagi mengintip, apakah yang sebenarnya sudah terjadi di depan halaman rumah Witantra itu. Apalagi Witantra bagi orang-orang di sekitarnya dianggap sebagai seorang tetua dari padukuhan yang kecil itu.
Mahisa Agni dan cantrik itu menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat Witantra itu meloncat turun, dan perlahan-lahan melangkah maju mendekati Mahisa Agni.
"Turunlah Agni," berkata Witantra dalam nada yang jauh berbeda, "aku tidak bersungguh-sungguh. Aku hanya ingin membuktikan, apakah kau benar-benar telah berhasil meyakinkan dirimu sendiri, bahwa selama ini kau telah bertindak dengan tergesa-gesa."
Sesuatu terasa bergejolak di dalam dada Mahisa Agni. Sejenak ditatapnya Witantra dalam pakaian putihnya. Namun sejenak kemudian ia meloncat turun dari kudanya.
Witantra yang sudah menjadi semakin dekat itu-pun segera menangkap lengannya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata seperti kepada adiknya yang nakal, "Apakah kau sudah menemukan jawab tentang Kebo Ijo. Mahisa Agni?"
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Sejenak ia menjadi bingung sekali, namun kemudian ia menjawab, "Ya Witantra. Sekarang aku sudah dapat melihat dan meyakinkan, apa yang sebenarnya sudah terjadi. Aku datang kepadamu untuk menyerahkan diri. Aku merasa bahwa aku sudah terlampau banyak berbuat kesalahan."
Witantra tertawa. Tetapi nada tertawanya-pun jauh berbeda dengan nada tertawanya yang baru-baru saja diperdengarkannya dari atas dinding batu.
"Marilah. Aku memang sengaja menunggumu. Aku ingin mengerti bagaimana kau sekarang. Apakah kau masih juga diburu oleh ketergesa-gesaanmu seperti saat-saat itu."
"Darimana kau tahu bahwa aku akan datang kemari" Dan dari mana kau tahu, bahwa aku datang dengan penyesalan?"
Witantra tertawa pula. Kemudian katanya, "Marilah. Masuklah."
Mahisa Agni berdiri termangu-mangu, sehingga Witantra menariknya untuk melangkah memasuki regol. Ditepuknya pula pundak cantrik yang datang bersama Mahisa Agni itu sambil berkata, "Jangan bingung. Marilah, kita masuk ke dalam."
Mahisa Agni-pun melangkahkan kakinya tanpa sesadarnya. Namun sekali lagi ia bertanya, "Darimana kau tahu bahwa aku akan datang Witantra?"
Witantra mengangkat keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Ia berjalan saja langsung ke pendapa.
"Marilah kita masuk," desisnya.
Mahisa Agni dan cantrik itu-pun kemudian mengikatkan kudanya pada sebatang pohon di halaman. Kemudian dengan ragu-ragu mereka berjalan di belakang Witantra naik ke pendapa.
"Kita masuk ke pringgitan."
Mahisa Agni tidak menyahut. Ia berjalan saja di belakang Witantra bersama cantrik itu.
Sejenak kemudian pintu pringgitan itu-pun terbuka. Witantra segera mempersilahkan keduanya masuk ke dalam.
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu sejenak. Dari luar, pringgitan itu tampak agak gelap, sehingga ia tidak segera dapat melihat dengan jelas, apa yang ada di dalamnya.
"Masuklah," Witantra mempersilahkan.
Mahisa Agni-pun kemudian melangkah masuk. Ia tertegun ketika ia melihat seseorang telah lebih dahulu duduk di sudut pringgitan.
Terasa darah Mahisa Agni hampir terhenti, ketika ia mengenal siapakah yang duduk di pringgitan itu. Sejenak ia berdiri mematung namun kemudian ia membungkukkan kepalanya dalam-dalam sambil berkata lemah, "Jadi inikah sebabnya maka Witantra sudah mengetahui semuanya?"
Panji Bojong Santi yang duduk di pringgitan itu, mengangguk-angguk sambil tersenyum. Jawabnya, "Ya ngger. Aku ternyata datang lebih dahulu."
Cantrik yang datang bersama Mahisa Agni itu-pun mengangguk-angguk pula. "Hem," ia berdesah, "aku menjadi bingung. Kepalaku serasa akan terlepas dari leher ini."
"Duduklah," Panji Bojong Santi mempersilahkan.
Mahisa Agni dan cantrik itu kemudian duduk berhadapan dengan Panji Bojong Santi. Witantra-pun duduk pula di antara mereka.
"Aku menyusul kalian," berkata Panji Bojong Santi. "Bagaimana-pun juga hatiku selalu berdebar-debar sepeninggal angger. Meskipun menurut perhitunganku, Witantra tidak akan mudah terbakar oleh dendam, namun aku ingin juga melihat, apakah sebenarnya demikian." Panji Bojong Santi berhenti sejenak, "Ternyata bahwa aku datang lebih dahulu." Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, "Sebenarnyalah aku memang ingin mendahului, sehingga aku memilih jalan lain yang lebih pendek meskipun agak sulit. Tetapi agaknya kalian berhenti di perjalanan, ternyata kini sekarang kalian sampai."
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya, "Ya, kami memang berhenti di perjalanan. Bahkan kami terpaksa kembali ke kota mengantarkan serombongan pengungsi dari Kediri."
"Kenapa kalian harus mengantarkannya?"
Mahisa Agni menceriterakan sekilas tentang orang-orang Kediri yang saling bekejaran.
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Semula aku menjadi cemas, apakah cantrik ini tidak ingat lagi jalan yang harus kalian lalui, sehingga kalian tersesat."
"Tentu tidak," sahut cantrik itu, "aku adalah orang yang tajam ingatan. Sekali aku mengenal jalan ke mana-pun dan betapapun jauhnya, aku akan ingat seumur hidupku."
Panji Bojong Santi tersenyum, "Bagus, kau adalah seorang penunjuk jalan yang baik."
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu Mahisa Agni berkata kepada Witantra, "Aku sudah menjadi cemas atas sambutanmu. Aku kira aku akan dihadapkan pada keadaan tanpa pilihan."
Witantra tertawa. Katanya, "Aku sudah memperhitungkannya Agni. Namun aku masih ingin meyakinkan, bahwa kau sekarang sudah menjadi semakin matang. Kau tidak mudah lagi dibakar oleh goncangan-angan perasaanmu."
"Aku mengerti Witantra," sahut Mahisa Agni, "karena itulah maka aku datang kemari. Aku ingin minta maaf kepadamu, bahwa aku telah ikut serta, membuat kau kehilangan kesempatan mempertahankan kebenaran yang kau yakini."
"Saat itu kau mempunyai keyakinan yang berbeda."
"Dan agaknya aku telah terjebak dalam perangkap tanpa aku ketahui," jawab Mahhisa Agni, "aku memerlukan waktu untuk melihat kebenaran yang kau pertahankan saat itu. Tetapi agaknya aku terlampau lambat, sehingga keadaan sekarang sudah menjadi jauh berbeda."
"Aku mengerti Agni. Meskipun aku berada jauh dari kota, tetapi aku selalu mengikuti perkembangan yang ada. Kini kau tidak akan sampai hati untuk mengusik kedudukan tertinggi di Tumapel yang kemudian menyebut dirinya Singasari."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Singasari berkembang demikian pesatnya." Witantra berkata selanjutnya, "sehingga dengan demikian, maka kita-pun menganggap bahwa orang yang demikian, yang dapat memimpin pemerintah dengan baik itu, sangat diperlukan."
Mahisa Agni masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Betapapun besar kesalahan yang telah diperbuatnya untuk mencapai tingkat yang didudukinya sekarang, namun Singasari telah menerimanya sebagai seorang perkasa yang memberi harapan."
"Ya," sahut Mahisa Agni. "itulah sebabnya aku lebih dahulu datang kepadamu. Aku lebih mudah minta maaf kepadamu, daripada memperbaiki kesalahan yang telah aku lakukan. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Selain Singasari memang membutuhkannya, adikku-pun memerlukannya."
Witantra tersenyum. "Aku tahu."
"Karena itu, aku menenyerahkan diriku kepadamu. Apapun yang akan kau lakukan. Aku benar-benar ingin menebus kesalahan itu, tetapi aku tidak dapat melakukannya atas sumber kesalahan itu sendiri."
"Jangan kau sesalkan Agni. Kau boleh menyesal, tetapi jangan menjadi duri yang tajam di dalam hidupmu. Apa yang kau lakukan itu sebenarnya adalah akibat yang wajar dari perangkap yang sudah dipersiapkan baik-baik. Aku kagum atas kematangan persiapan yang hampir tidak dapat dihindari lagi oleh setiap orang yang memang dikehendaki. Adalah luar biasa pula ketajaman perasaanmu, sehingga kini kau dapat menemukan dirimu sendiri di dalam perangkap yang sudah sekian lama menjeratmu."
Ilmu Ulat Sutera 4 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Kesatria Baju Putih 15
Terasa sesuatu bergetar di dada Mahisa Agni. Ia langsung dapat menangkap makna dari kata-kata Pendeta Lohgawe itu.
Justru karena itu, Mahisa Agni diam mematung. Darahnya serasa berjalan semakin lambat. Ditatapnya wajah Pendeta Lohgawe yang kini telah menjadi bening kembali, justru setelah ia mengatakan apa yang tersimpan di dalam hatinya.
Ketika Mahisa Agni akan mengucapkan sepatah kata, Lohgawe mendahului, "Itulah Anakmas. Bukankah kau menghendaki untuk mengetahui kenyataan itu" Dan agaknya Yang Maha Tunggallah yang membawa kau kemari, seperti Yang Tunggal membawa Ken Arok kepadaku."
Lohgawe berhenti sejenak, kemudian, "Terserahlah kepada Anakmas. Apakah yang menurut Anakmas baik dilakukan. Aku menganggap bahwa Anakmas telah mendapat kebijaksanaan yang tidak terbatas."
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, "Tidak sejauh itu Bapa Pendeta. Kini terasa betapa bodohnya aku. Setelah aku mendengar jawaban yang aku tunggu-tunggu itu, justru aku menjadi kehilangan akal. Aku tidak tahu, apa yang sebaiknya aku lakukan."
"Angger memang perlu penenangan. Aku sudah pasrah. Apa yang Angger lakukan adalah yang paling baik."
Mahisa Agni menjadi semakin bingung.
"Jangan kau paksa untuk mengambil kesimpulan sekarang Anakmas. Kalau Anakmas sudah menjadi tenang, maka Anakmas akan melihat cahaya itu di hati Anakmas."
Mahisa Agni masih menundukkan kepalanya.
"Lupakanlah untuk sejenak. Apakah Anakmas mempunyai persoalan yang lain?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, "Tidak. Tidak Bapa Pendeta. Aku tidak mempunyai keperluan apapun."
"Kalau begitu, kita mempunyai waktu untuk berbicara tentang banyak hal. Tentang jalan-jalan yang menjadi semakin rata, bangunan-bangunan yang bertambah megah di atas Singasari ini."
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni menundukkan kepalanya sambil berkata, "Aku mohon diri Bapa Pendeta. Aku kira aku telah berbuat suatu kesalahan. Aku telah didorong oleh perasaan-perasaan yang selama ini terdesak jauh ke sudut hati yang paling tersembunyi. Tetapi aku tidak berhasrat untuk berbuat apapun."
Lohgawe tersenyum. "Jangan mengambil keputusan sekarang."
Kini Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia berkata, "Aku mohon diri Bapa Pendeta."
Sekali lagi Lohgawe tersenyum, "Baiklah Anakmas."
"Aku mohon restu, agar aku tidak dilihat oleh kegelapan, oleh iri dan dengki."
"Kalau kau sadar akan dirimu, maka kau tidak akan terjerumus ke dalamnya."
"Mudah-mudahan Bapa Pendeta."
Mahisa Agni pun kemudian meninggalkan padepokan itu dengan hati yang kisruh. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Setela ia ia mendapat jawaban atas teka-tekinya, maka kini justru ia diharapkan pada suatu teka-teki baru yang lebih sulit.
Mahisa Agni menjadi semakin bingung lagi, karena ia sadar tidak seorang pun yang dapat diajaknya berbicara. Cantrik yang dibawanya dari Lulumbang itu pun tidak.
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni teringat kepada emban tua pemomong Ken Dedes. Ia akan dapat berkata berterus terang kepada ibunya sendiri. Sudah tentu bahwa ibunya tidak akan berbuat apa-apa yang dapat mencelakakannya. Dan bahkan mungkin ibunya, yang selama ini dekat dengan Ken Dedes, dapat mengatakan, apa yang pernah dilihatnya.
Maka ketika ia mendapat kesempatan, pada malam hari ia berkunjung ke bilik emban tua itu tanpa dicurigai oleh para pengawal. Keduanya adalah orang-orang Panawijen, dan emban tua itu adalah pemomong permaisuri.
Dengan hati-hati Mahisa Agni mencoba untuk mengarahkan pembicaraan. Dikatakannya pula bahwa ia telah bertemu dengan janda Kebo Ijo, dengan Lohgawe dan menurut sepengetahuan cantrik yang dibawanya itu.
"Bagaimanakah pendapat ibu?"
Sejenak orang tua itu tidak menjawab. Perlahan-lahan kepalanya menunduk, dan titik-titik air pun berjatuhan satu demi satu.
"Kenapa ibu menangis?" bertanya Mahisa Agni.
"Ceritamu membuat hatiku trenyuh, Agni."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi tangkapan naluriku mengatakannya demikian. Aku melihat hubungan yang tidak wajar sebelumnya antara Ken Dedes dan Ken Arok."
"Apakah ibu percaya bahwa akhir dari peristiwa itu memang demikian."
Perlahan ibunya mengangguk.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kini ia yakin, bahwa ia telah menemukan pembunuh Empu Gandring, pembunuh Akuwu Tunggul Ametung dan jawaban atas pertanyaan, kenapa Ken Arok membunuh Kebo Ijo sebelum ada keputusan dari pemimpin yang tujuh.
Namun kesimpulan itu ternyata telah memukul dadanya, seakan-akan menjadi bengkah. Sekilat dikenangnya akan Witantra, yang terusir dari kedudukannya karena keyakinannya. Kebo Ijo tidak bersalah. Dan ia, Mahisa Agni yang terburu nafsulah yang saat itu naik ke atas arena, untuk memperkuat keputusan, bahwa Kebo Ijo telah bersalah.
Penyesalan yang tiada taranya telah meremas jantungnya. Karena itu maka kebenciannya kepada Ken Arok pun tiba-tiba meledak. Dengan nada yang tajam ia berdesis, "Aku akan membunuh Ken Arok."
Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba saja ibunya meloncat memeluknya. Di antara isak tangisnya ia berkata, "Jangan Agni. Jangan. Bagaimanapun juga, Ken Dedes tidak akan ikhlas melihat suami pilihannya itu terbunuh. Apalagi kaulah yang membunuhnya."
Emban tua itu berhenti sejenak, kemudian, "Apalagi saat ini di mana setiap orang Singasari menggantungkan harapannya kepada Baginda Sri Rajasa."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Pelukan ibunya serta titik-titik air matanya serasa telah menyejukkan hatinya. Meskipun demikian ia tidak dapat menyembunyikan penyesalan yang tiada taranya terhadap sikapnya yang telah menjerumuskan Kebo Ijo ke dalam kehinaan dan telah mengusir Witantra dari Tumapel.
"Seandainya saat itu aku tidak menjadi gila, aku kira keadaan akan berbeda. Kalau Ken Arok sendiri tidak turun ke arena, sudah pasti, sulitlah untuk mencari pimpinan prajurit yang dapat mengalahkannya. Bahkan Ken Arok pun belum pasti," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "tetapi semuanya sudah terlanjur. Aku ikut memberikan tenagaku melanggar nilai-nilai kebenaran."
Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka ibunya berkata seterusnya, "Tenanglah Mahisa Agni. Jangan tergesa-gesa. Kalau kau masih juga tergesa-gesa maka kau akan mengulangi kesalahanmu itu."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepala. Ia mencoba mengerti nasihat ibunya.
"Baiklah, Ibu. Aku akan mempertimbangkannya," sahut Mahisa Agni. "Tetapi aku tidak dapat mengingkari kesalahan itu. Aku harus menemui Witantra."
"Kenapa." "Aku harus minta maaf kepadanya."
"Bagaimana kalau terjadi salah paham?"
"Aku tidak akan berbuat apa-apa."
Ibunya termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Baiklah Mahisa Agni tetapi hati-hatilah. Kita tidak tahu, bagaimana sikap Witantra sekarang."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Besok aku akan berangkat menemuinya."
Keesokan harinya, Mahisa Agni minta diri kepada ibunya, Ken Dedes dan karena ia tidak dapat menemui Sri Rajasa, maka permohonannya disampaikan oleh permaisuri, untuk meninggalkan Singasari. Setelah ia mengembalikan cantrik yang menjadi satu-satunya saksi itu, maka ia pun sejenak menengok padukuhan Panawijen baru.
"Aku akan pergi Ki Buyut," berkata Mahisa Agni.
"Ke mana lagi Anakmas akan pergi?"
"Aku belum tahu. Tetapi sebagai seorang laki-laki aku ingin menambah pengalaman dalam perantauan."
"Tetapi kami selalu menunggu kedatanganmu."
"Tentu Ki Buyut, pada saatnya aku pasti akan kembali."
Maka setelah menyiapkan bekal seperlunya, Mahisa Agni pun berangkat meninggalkan padang Karautan. Beberapa orang dan kawan-kawannya memandangi debu yang terlontar dari kaki-kaki kudanya sampai ke kejauhan.
Berbagai pertanyaan bergolak di dalam hati orang-orang Panawijen baru. Agaknya Mahisa Agni akhir ini selalu gelisah, sehingga agaknya ia mencari ketenteraman di dalam perantauan.
Sementara itu Mahisa Agni berpacu dengan cepatnya. Tetapi tiba-tiba ia sadar, ke mana ia akan pergi.
Karena itu maka ia pun segera menarik kekang kudanya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu.
"Apakah aku harus bertanya kepada Mahendra. Mungkin ia tahu, ke mana Witantra pergi," desisnya.
Tetapi ia menjadi ragu-ragu. Mahendra tidak sedewasa Witantra. Mungkin ia masih menyimpan dendam di dalam hatinya, sehingga akan timbul salah paham seperti yang ditakutkan oleh ibunya.
"Kalau begitu aku akan menemui Panji Bojong Santi," Mahisa Agni pun masih ragu-ragu, "apakah ia masih ada sekarang" Kalau ia masih hidup, maka ia pun pasti sudah semakin tua."
Tetapi Mahisa Agni kemudian memutuskan untuk pergi ke padepokan Panji Bojong Santi. Ia mengharap bahwa Panji Bojong Santi tidak bersikap kekanak-kanakan menghadapi persoalan ini.
Dengan keragu-raguan yang mencengkam dadanya Mahisa Agni memasuki padepokan Panji Bojong Santi. Ketika ia melihat orang tua itu masih ada, meskipun sudah menjadi semakin tua. Ia tidak dapat menahan hatinya. Demikian ia mengikat kudanya pada sebatang pohon, langsung ia memeluk kaki orang tua itu.
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia ragu-ragu, namun kemudian ia berkata lirih, "Angger Mahisa Agni."
"Ya. Bapa. Aku datang kali ini untuk menyerahkan diriku."
Bojong Santi mengerutkan keningnya, "Kenapa?"
"Bapa pasti sudah tahu, apa yang sudah aku lakukan atas Kebo Ijo."
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya, "Sekarang, kenapa Angger ingin menyerahkan diri kepadaku?"
"Aku telah keliru Bapa. Aku waktu itu menjadi gila, dibius oleh sikap Ken Arok yang mengagumkan. Tetapi kini aku yakin seperti Witantra, Mahendra dan Bapa sendiri yakin, bahwa Kebo Ijo tidak bersalah."
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil mengusap pundak Mahisa Agni orang tua itu berkata, "Duduklah. Kita akan berbicara."
Mahisa Agni pun kemudian mengangkat kepalanya dan duduk di hadapan Panji Bojong Santi. Meskipun wajah itu sudah semakin tua tetapi kedalaman dan ketenangan masih nampak jelas di wajah itu.
"Sekarang kau pun yakin, Anakmas?"
"Ya, Bapa" "Apakah kau berhasil menemukan orang yang kain cari?"
Mahisa Agni pun menganggukkan kepalanya.
"Baiklah. Aku ikut bergembira."
"Bapa," berkata Mahisa Agni, "aku telah bertekad untuk menemui Witantra. Aku harus minta maaf kepadanya."
Panji Bojong Santi tersenyum. "Kau memang berjiwa besar Ngger."
"Aku adalah orang yang paling bodoh waktu itu."
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baiklah. Kau akan dapat menemuinya kelak."
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia mengharap untuk dapat segera menemui Witantra. Perasaan bersalah yang serasa meretakkan dadanya itu harus segera ditumpahkannya. Karena itu maka ia mendesaknya, "Bapa, apakah aku tidak segera dapat menemuinya. Kalau Bapa Panji Bojong Santi tidak berkeberatan, memberikan arah tempat tinggalnya, aku akan mencarinya."
"Tempatnya terlampau asing Ngger. Karena itu, sebaiknya seorang mengantarkanmu, kau tidak akan dapat pergi sendiri dan menemukan dengan segera. Waktumu akan habis terbuang melingkar-lingkar mencari jalan untuk sampai ke tempat Witantra sekarang."
"Begitu jauhkah Witantra menyepi diri?"
"Ia mendapatkan ketenangan di tempatnya yang baru. Ia mendapat tempat yang baik untuk menyempurnakan ilmunya lahir dan batin."
"Tetapi kalau ia terpisah dari kehidupan, ilmu itu akan tetap tersimpan di dalam dirinya."
Panji Bojong Santi tersenyum. Katanya, "Mungkin begitu, tetapi mungkin juga tidak. Kadang-kadang kita menemukan arus air yang tidak kita ketahui sumbernya. Apabila kita melihat sumber di pegunungan yang terasing, kita menyangka, bahwa air itu tidak akan berguna. Padahal arus air yang kita lihat yang pertama adalah kelanjutan saluran air dari sumber yang terasing itu."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari bahwa ilmu itu dapat berguna tanpa diamalkannya sendiri. Tetapi ada perantara yang dapat mempergunakan ilmu itu untuk kepentingan yang berarti.
"Angger Mahisa Agni," berkata Panji Bojong Santi kemudian, "apakah yang pernah dilakukan oleh Empu Purwa pada akhir-akhir ini" Setelah ia kecewa karena kehilangan putrinya, seolah-olah ia sama sekali sudah tidak pernah berhubungan dengan dunia lagi. Tetapi di antara Empu Purwa dan dunia ramai ada Angger Mahisa Agni. Ada jalur yang masih menghubungkannya, sehingga ilmu itu tidak sekedar karatan tersimpan tanpa arti."
"Ya. ya Bapa. Aku mengerti sekarang."
"Nah, beristirahatlah di sini sehari dua hari. Aku akan memanggil orang yang pernah melihat tempat itu."
"Kenapa sehari dua hari Bapa."
"Angger tidak terlampau lelah."
"Aku masih segar. Aku dapat berangkat sekarang.. Aku dapat berjalan terus tiga hari tiga malam kalau diperlukan."
"Mungkin Angger yang sedang dikejar oleh perasaan sendiri dapat berbuat demikian. Tetapi kuda Angger akan kepayahan."
"Ya, Bapa. Kudaku memang perlu beristirahat. Tetapi tidak sampai sehari apalagi dua hari."
Panji Bojong Santi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat perasaan Mahisa Agni yang tersiksa. Ia merasa wajib untuk segera bertemu dengan Witantra.
Karena itu Panji Bojong Santi tidak sampai hati untuk memperpanjang siksaan batin Mahisa Agni itu. Karena itu, maka ia pun segera memanggil seorang cantriknya yang pernah pergi ke tempat Witantra untuk mengantarkan Mahisa Agni.
Maka ketika matahari terbit di keesokan harinya, berangkatlah Mahisa Agni diantar oleh seorang cantrik menempuh perjalanan yang berat untuk menemui Witantra. Panji Bojong Santi melepaskannya tanpa waswas karena ia pun sudah yakin pula, bahwa Witantra pasti cukup dewasa menanggapi persoalan itu. Witantra pasti tidak akan sekedar dibakar oleh dendam. Ia akan dapat menanggapi keadaan sewajarnya.
Bersamaan dengan itu, Panji Bojong Santi telah menyuruh seorang cantriknya untuk memanggil Mahendra. Mahendra yang kini hidup di dunianya sendiri. Ia mencoba untuk hidup menjadi manusia kebanyakan, dengan kerja dan usaha, mendirikan rumah tangga.
Tetapi Panji Bojong Santi masih belum yakin, bahwa Mahendra dapat melupakan persoalan Kebo Ijo seperti halnya Witantra. Mahendra yang lebih muda dari Witantra dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya, mungkin akan menentukan sikap yang lain.
"Aku harus memberitahukan kepadanya, bahwa ia tidak boleh berbuat sesuatu yang dapat merugikan dirinya sendiri," berkata Panji Bojong Santi di dalam hatinya, "ia harus dapat menanggapi keadaan ini dengan hati yang lapang."
Sementara itu. Mahisa Agni yang berpacu bersama seorang cantrik kini telah mulai menerobos hutan belukar. Kadang-kadang mereka terpaksa berhenti sejenak, bahkan turun dari kuda-kuda mereka untuk merambah sulur-sulur yang melintang di jalan setapak yang mereka lalui.
"Jalan ini tidak pernah dilalui orang," berkata cantrik itu, "sebenarnya aku takut berjalan hanya berdua saja lewat jalan ini."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Agni.
"Kalau ada penyamun yang kebetulan melihat kita lewat, maka celakalah kita. Kalau bekal kita saja yang dimintanya, beruntunglah kita. Tetapi kalau ini?" cantrik itu menunjuk lehernya.
Betapapun ketegangan membelit hati Mahisa Agni, namun ia sempat juga tersenyum sambil berkata, "Jangan takut tidak ada penyamun yang akan mencegat perjalanan kita. Kita tidak membawa apapun yang berharga."
"Tetapi mereka tidak tahu bahwa kita tidak membawa barang berharga. Setidak-tidaknya kuda kita dapat mereka rampas dan mereka ambil."
"Jangan takut," desis Mahisa Agni, "karena itu, marilah kita berusaha secepat-cepatnya meninggalkan tempat ini."
"Aku tidak tahu kenapa Panji Bojong Santi mempercayai aku seorang diri mengantarkan kau ke tempat Witantra. Kalau terjadi sesuatu atasmu, maka akulah yang akan disalahkannya."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan cantrik yang belum mengenalnya itu. Cantrik itu merasa bertanggung jawab, bahwa ia harus mengantarkan Mahisa Agni sampai ke tempat Witantra. Hanya itulah yang diketahuinya. Agaknya Panji Bojong Santi memang tidak merasa perlu memberitahukan tentang dirinya kepada cantrik itu.
Setiap desir di sebelah jalan setapak itu telah membuat cantrik kawan seperjalanan Mahisa Agni itu bersiaga. Ia selalu meraba-raba hulu pedang pendeknya. Agaknya Panji Bojong Santi memang mengajarinya untuk mempergunakan pedang pendek itu apabila perlu, meskipun ilmu itu sangat terbatas. Tetapi agaknya cantrik itu pun cukup tangkas untuk membela diri terhadap perampokan-perampokan dan penyamun-penyamun.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Agni kemudian, "jangan hiraukan apa-apa lagi. Kita sama sekali tidak bermaksud mengganggu siapa pun. Kita hanya sekedar berjalan, lewat jalan ini."
"Memang kita tidak bermaksud mengganggu siapa pun. Tetapi merekalah yang akan mengganggu kita."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Coba. kalau kau dapat membuat sedikit perhitungan. Banyak orang-orang Kediri yang terpaksa menyingkir dari tempat tinggalnya karena mereka tidak sepaham dengan ketentuan-ketentuan baru di negerinya, terutama mengenai nafas hidup keagamaan. Sementara itu ketegangan di batas kedua negeri Singasari dan Kediri menjadi semakin tegang. Apakah dalam keadaan serupa itu, tidak banyak perampok-perampok yang memancing keuntungan?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya, "Dari mana kau tahu bahwa keadaan Kediri dan Singasari menjadi kian menegang."
"Panji Bojong Santi sering memberi banyak cerita kepada kami tentang keadaan di luar padepokan kami," jawab cantrik itu, "juga Panji Bojong Santi yang memberi aku peringatan, bahwa perampok-perampok selalu mempergunakan segala kesempatan, bahkan orang-orang yang sedang dalam kesulitan sekalipun sama sekali tidak dihiraukannya."
Mahisa Agni masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"He. kau dengar ringkik kuda?" tiba-tiba cantrik itu menjadi tegang.
Mahisa Agni memang mendengar ringkik kuda. Tetapi ia tidak mendengar derap langkahnya. Karena itu menurut perhitungan Mahisa Agni kuda itu bukan kuda yang sedang berpacu, berjalan atau sedang dikendarai oleh seseorang. Kuda itu sedang berhenti atau bahkan dituntun oleh pemiliknya.
Tetapi Mahisa Agni memperlambat kudanya sambil mempertajam telinganya.
"Kalau kita bertemu dengan perampok apa boleh buat. Sebenarnya Panji Bojong Santi selalu berpesan, kami tidak boleh berkelahi. Tetapi sudah tentu kami tidak akan menyerahkan milik kami kepada perampok-perampok."
"Aku kira mereka bukan perampok," berkata Mahisa Agni.
"Kalau bukan perampok, siapakah yang berada di tengah hutan seperti ini?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Memang ada beberapa kemungkinan. Mungkin perampok tetapi mungkin juga tidak. Menilik ceritamu, orang-orang Kediri yang menyingkir itu dapat saja terjerumus ke dalam hutan ini. Bukankah hutan ini ada di sekitar perbatasan, atau katakan, bahwa sebelah menyebelah hutan ini merupakan daerah yang berlainan."
Cantrik itu mengerutkan keningnya.
"Ya, memang mungkin."
Beberapa saat kemudian mereka melihat sekelompok orang yang berdiri termangu-mangu. Dalam sekilas, Mahisa Agni dan cantrik itu pun segera mengetahui, bahwa orang-orang itu benar-benar orang-orang Kediri yang menyingkir dari kampung halamannya oleh ketidakpuasan atas tata kehidupannya yang baru.
Agaknya mereka terkejut sekali ketika mereka melihat Mahisa Agni dan cantrik itu muncul dari balik gerumbul-gerumbul liar. Dengan sigapnya beberapa orang di antara mereka segera mempersiapkan diri, sedang yang lain, perempuan dan anak-anak, melingkar saling berpelukan dengan wajah yang pucat.
"Siapa kalian?" bertanya salah seorang yang agaknya merupakan pimpinan rombongan itu.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia menjawab, cantrik yang merasa dirinya menjadi pemimpin rombongan kecil itu pun menyahut, "Kamilah yang bertanya, siapakah kalian?"
Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Namun pemimpin itu kemudian menjawab, "Tanpa menyembunyikan kenyataan kami. bahwa kami adalah orang-orang Kediri yang menyingkir, karena pendeta kami telah ditangkap."
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Bagus."
"Kenapa bagus?" desis Mahisa Agni perlahan-lahan.
Cantrik itu kemudian dengan serta-merta berkata pula, "Tidak, tidak bagus. Sayang sekali pendeta itu sudah terlanjur ditangkap. Sebaiknya ia pergi ke Singasari. Bukankah kalian juga akan pergi ke Singasari?"
"Ya," jawab pemimpin rombongan itu.
"Pergilah. Kami orang-orang Singasari."
Pemimpin itu menjadi termangu-mangu. Kemudian ia pun bertanya, "Manakah jalan yang harus aku tempuh."
"Lurus. Kau dapat mengikuti jejak kuda-kuda kami dalam arah yang berlawanan. Kau akan keluar dari hutan ini di wilayah Singasari. Mengerti?"
Pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya, "Terima kasih. Tetapi kami tidak dapat memastikan bahwa kami akan dapat memasuki wilayah Singasari."
"Kenapa?" "Aku sadar, bahwa perjalanan kami pasti diikuti. Baginda sudah mengeluarkan perintah, semua orang Kediri, tidak boleh menyeberang perbatasan."
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mahisa Agni pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Mereka sadar bahwa Maharaja Kediri akan menyebar orang-orangnya di segenap perbatasan, untuk mencegah orang-orang yang berusaha menyeberang. Kadang-kadang mereka dapat mencegah, tetapi kadang-kadang beberapa orang berhasil lolos, sehingga para pengawal harus mengejar mereka.
"Apakah kepergianmu diketahui oleh para prajurit Kediri?" bertanya cantrik itu.
"Aku tidak tahu. Tetapi sekarang setiap dahan mempunyai telinga dan setiap tikungan mempunyai mata. Itulah sebabnya sekarang arus orang-orang Kediri agak terbendung."
"Kalau begitu, cepatlah."
"Kami tidak akan dapat berjalan cepat. Di antara kami terdapat perempuan dan anak-anak."
"Tetapi kalian sudah agak jauh dari perbatasan. Mungkin orang Kediri tidak akan menghiraukan kau lagi."
Tetapi belum lagi pembicaraan itu selesai. terdengar derap beberapa ekor kuda. Lamat-lamat mereka mendengar cambuk yang meledak dan ringkik kuda yang berkepanjangan.
Pemimpin kelompok itu menjadi gelisah. Ketika ia berpaling memandangi orang-orangnya, dilihatnya beberapa di antara mereka menjadi pucat.
"Kita tidak akan kembali ke Kediri. Kita akan menjadi pangewan-ewan seperti sekelompok orang dari Padepokan Watu Putih kemarin. Diarak di sekeliling kota dengan cemoohan yang paling hina."
Orang-orangnya tidak menjawab.
"Kita laki-laki, dan kita bersenjata."
Tiba-tiba mereka sadar, bahwa mereka memang bersenjata.
Beberapa orang di antara mereka telah meraba senjata-senjata mereka sambil berdesis, "Ya, kami bersenjata."
"Setidak-tidaknya, enam atau tujuh orang dari kita dapat melawan."
"Aku juga masih mampu berkelahi," berkata seorang laki-laki tua.
"Jadi delapan orang."
Pemimpin itu pun kemudian melangkah maju. Disuruhnya perempuan dan anak-anak agak menjauh.
"Berdoalah. Mudah-mudahan kami dapat melindungi kalian."
Seorang perempuan yang menggenggam patrem tiba-tiba berkata, "Aku ikut bertempur."
"Jagailah anak-anak. Jangan kehilangan akal."
Perempuan itu masih tegak di tempatnya. Namun ketika terpandang olehnya tatapan mata pemimpinnya, maka ia pun kemudian melangkah surut, dan bergabung dengan perempuan-perempuan dan anak-anak yang saling berdesakan dengan wajah yang pucat.
"Apakah yang datang itu para prajurit Kediri," bertanya Cantrik itu.
"Aku kira, mereka adalah orang-orang yang sedang berburu orang. Mereka mengikuti jejak kami. Setiap kepala, mendatangkan hadiah yang baik bagi mereka. Mungkin mereka bukan prajurit-prajurit, dan bahkan kadang-kadang para perampok dan penyamun yang mengetahui kehadiran kami di daerah kerja mereka. Mereka mengejar kami, merampas milik kami, kemudian menyerahkan kami kepada para prajurit untuk mendapatkan hadiah yang cukup baik."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Apakah hal itu dapat terjadi dalam pemerintahan Baginda Kediri yang sekarang" Ataukah memang ada orang-orang yang sengaja menumbuhkan kesan yang sama sekali tidak menguntungkan bagi Kediri?"
"Saat yang tepat bagi Ken Arok," Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, "Ia memang cerdas dan mampu memperhitungkan keadaan yang dihadapinya. Ia akan berhasil menguasai Kediri sebagaimana ia telah berhasil menjerumuskan Kebo Ijo ke dalam kematian sekaligus tuduhan yang paling hina."
Derap kuda yang melingkar-lingkar seakan-akan memenuhi hutan itu pun masih bergema terus. Namun telinga Mahisa Agni segera dapat mengetahui dari mana mereka datang. Mereka tidak berpacu terlampau cepat, tetapi juga tidak terlampau lambat.
"Nah. kita akan berkelahi untuk mempertahankan diri," berkata pemimpin rombongan itu, "aku adalah orang yang paling bertanggung jawab atas rombongan ini. Karena itu, Ki Sanak berdua lebih baik menyingkir, supaya kalian tidak disangka membantu kami. Orang-orang yang sedang berburu itu kadang-kadang sama sekali tidak mempergunakan nalar, apalagi rasa perikemanusiaan."
Mahisa Agni tertegun sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya cantrik kawannya itu berdiri termangu-mangu.
"Silakan Ki Sanak. Terima kasih atas petunjuk kalian jalan ke Singasari."
"Aku orang Singasari," berkata cantrik itu tiba-tiba.
"Jangan mempersulit diri sendiri. Kalian tidak usah terlibat dalam persoalan ini. Kami sudah mempunyai delapan orang yang akan mengangkat senjata kami masing-masing untuk melindungi perempuan dan anak-anak kami."
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni memandang perempuan-perempuan dan anak-anak yang ketakutan. Tiga orang perempuan itu, dua orang setengah baya. Beberapa orang anak-anak, dan tiga orang gadis-gadis muda. Ketika terpandang olehnya sepasang mata yang berkilat. Mahisa Agni berdesir. Ia sudah terlampau tua untuk memandangi wajah-wajah gadis-gadis. Tetapi gadis itu pun tiba-tiba menundukkan kepalanya.
Yang pertama-tama merayap di hati Mahisa Agni adalah sebuah kenangan tentang Ken Dedes. Betapa ia mengalami, ketakutan yang sangat, pada saat Kuda Sempana dan Akuwu Tunggul Ametung mengambilnya.
"Seperti gadis itu," desisnya. Dan tiba-tiba ia mengerutkan keningnya, "He, gadis itu memang mirip dengan Ken Dedes."
"Persetan!" Mahisa Agni tiba-tiba menggeram. Dan ia pun terperanjat ketika ia mendengar pemimpin rombongan itu berkata, "Mereka telah datang. Menyingkirlah."
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni melangkah beberapa langkah surut. Cantrik, kawan seperjalanannya menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun mendekati Mahisa Agni sambil berbisik, "Tinggallah di sini. Aku tidak dapat berdiam diri."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah cantrik yang bersungguh-sungguh itu. Sambil memegangi hulu pedang pendeknya ia siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Mahisa Agni.
"Aku harus membantu orang-orang itu. Mereka berada dalam ketakutan." cantrik itu terdiam sejenak, "lihatlah perempuan dan anak-anak itu."
Sekali lagi Mahisa Agni memandangi perempuan dan anak-anak itu. Sekali lagi matanya membentur sepasang mata yang cerah dari antara mereka. Betapa wajahnya pucat oleh ketakutan yang sangat namun tampak bahwa wajah itu memiliki kelebihan dari wajah-wajah yang lain.
Sementara itu. beberapa orang berkuda telah muncul dari balik dedaunan. Pemimpin dari orang-orang berkuda itu segera memberi isyarat untuk berhenti.
"Nah. Itulah mereka!" teriak salah seorang dari mereka.
Pemimpin rombongan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Hem, kau telah membuat kami gelisah. Kami kira bahwa kami akan kehilangan kalian. Namun akhirnya kami menemukan juga."
Pemimpin rombongan orang-orang Kediri yang akan menyeberang itu masih berdiam diri. Tetapi tangannya telah melekat di hulu pedangnya. Dipandanginya saja orang-orang yang menyusulnya itu dengan wajah yang tegang.
"Jangan banyak tingkah seperti beberapa orang yang lain. Marilah kita kembali ke Kediri, Tidak ada apa-apa. Kalian akan disambut dengan baik."
Pemimpin rombongan orang-orang yang menyeberang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Apakah kalian menyangka bahwa aku tidak tahu, apa yang diperlakukan atas orang-orang yang dapat ditangkap dalam perjalanan menyeberang ke Singasari?"
"Nah. Kalau demikian, kenapa kalian masih juga akan menyeberang?"
"Perlakuan Baginda terhadap para pendeta sangat menyakitkan hati."
Pemimpin rombongan orang-orang yang menyusul itu pun tertawa. Katanya, "Kalian terlampau mementingkan diri kalian sendiri. Kalian merasa bahwa kedudukan kalian jauh lebih tinggi dari rakyat Kediri yang lain. Kalau kalian menganggap diri kalian seperti rakyat kebanyakan, maka perlakuan itu tidak akan terasa terlampau menyakitkan hati."
"Kami tidak minta yang berlebih-lebihan. Tetapi kami tidak akan mungkin mengubah pandangan kami dalam kebaktian kami terhadap sesembahan kami."
Pemimpin orang-orang yang menyusul itu pun kemudian berkata, "kau juga terlampau banyak bicara seperti orang-orang lain. Kami adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman. Menyerahlah, supaya kami tidak memperlakukan kalian, perempuan-perempuan dan anak-anak, apalagi gadis-gadis itu. Seperti yang pernah terjadi."
Pemimpin orang-orang yang menyeberang itu mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia berpaling memandangi perempuan-perempuan yang ketakutan dan anak-anak mulai menangis.
"Menyerahlah!" Tetapi pemimpin itu menggelengkan kepalanya, "Aku sudah terlanjur menempuh perjalanan begini jauh. Aku tidak akan kembali. Lebih baik kami berkubur di sini daripada kami harus menjadi tontonan di sepanjang jalan Kediri."
"Kalian tidak ada bedanya dengan kelinci-kelinci yang terpaksa kami selesaikan sebelumnya," pemimpin rombongan yang menyusul itu tersenyum. Kemudian dipandanginya gadis-gadis di antara perempuan-perempuan yang ketakutan, "ada juga gadis-gadis di antara kalian. Apa boleh buat."
Terasa rambut-rambut di seluruh tubuh gadis-gadis itu meremang.
"Mereka benar-benar serombongan pemburu manusia," desis cantrik itu kepada Mahisa Agni, "Sepuluh orang. Apa boleh buat. Aku tidak akan dapat diam. Mungkin aku akan berkelahi mati-matian."
"Kalau kau mati, bagaimana dengan aku?" bertanya Mahisa Agni.
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Kau dapat menyusur jalan sempit ini. Terus sampai pada suatu saat kau akan terhalang oleh sebuah rawa-rawa yang sempit. Kau berbelok ke kiri. Kemudian kau akan sampai pada lereng pegunungan yang terjal. Kali ini kau berbelok ke kanan. Kau akan segera menjumpai padukuhan-padukuhan kecil. Di situ kau bertanya, di mana rumah Witantra. Kau akan sampai kepadanya."
"Masih amat jauh. Jangan mati."
"Aku akan berusaha untuk tidak mati."
Mahisa Agni tersenyum di dalam hati. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Baiklah. Tetapi hati-hatilah."
(bersambung ke jilid 52).
Koleksi : Ki Arema Scanning: Ki Arema
Retype : Ki Raharga Proofing : Ki Raharga Recheck/Editing: Ki Sunda
---ooo0dw0ooo--- Jilid 52 CANTRIK itu-pun mengangguk-anggukkan. Tetapi ia tidak segera beranjak dari tempatnya.
Orang-orang yang berusaha menyingkir itu-pun segera menyiapkan diri. Kekuatan mereka sebenarnya hanyalah enam orang. Seorang sudah separo baya, dan yang seorang telah lebih tua lagi.
"Apakah kalian benar-benar akan melawan?" bertanya pemimpin rombongan yang menyusul itu.
"Ya. Jangan kecewa, meskipun kau sudah mulai menghitung-hitung berapa kepala yang akan kau dapatkan, kali berapa keping uang."
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau tahu juga hasil yang akan kami peroleh dari buruan-buruan kami. Selain itu, semua harta benda yang kami dapatkan dari buruan-buruan kami menjadi milik kami."
"Kalian hanya akan mendapatkan kepala-kepala kami."
"Baiklah. Kami harus mempergunakan kekerasan. Dua di antara kami adalah prajurit yang memang bertugas bersama kami, supaya kalian yakin, bahwa kami adalah pemburu-pemburu yang sah. Lebih dari itu kedua prajurit ini akan meyakinkan kalian, bahwa perlawanan kalian akan sia-sia."
"Persetan," tiba-tiba cantrik itu berteriak sambil melangkah maju, "aku berdiri di pihak mereka yang sedang diburu."
Kelompok orang-orang yang menyusul orang-orang Kediri itu terheran-heran. Dipandanginya cantrik itu sejenak. Dan sejenak kemudian mereka saling berpandangan.
Pemimpin rombongan itu akhirnya bertanya, "Siapa kau?"
"Itu tidak perlu bagimu."
"Kenapa kau perlu menyatakan diri berpihak kepada mereka yang sedang diburu. Apakah kau bukan termasuk rombongan mereka itu?"
"Aku orang lain."
Pemimpin rombongan orang-orang yang menyusul itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Kalau begitu sebaiknya kau berdiri di luar pagar. Aku kira kau adalah salah seorang dari mereka pula. Tetapi meskipun kau tidak merupakan sekelompok dengan orang-orang itu asal kau juga berasal dari Kediri, maka kau termasuk juga menjadi buruanku."
"Aku orang Singasari."
Pemimpin rombongan itu mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, "Kau tidak usah turut campur. Ternyata orang-orang Singasari memang penghasut. Agaknya kaulah yang telah menghasut orang-orang ini untuk pergi ke Singasari."
"Bertanyalah kepada mereka."
"Kalian telah membicarakannya lebih dahulu. Tidak ada gunanya aku bertanya."
"Baiklah. Kalau begitu memang tidak gunanya kita berbicara. Sekarang aku menyatakan diriku di pihak orang-orang yang sedang diburu. Nah, terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan."
"Sekali lagi aku akan mencoba memperingatkan. Pertentangan antara Singasari dan Kediri agaknya memang menjadi semakin panas. Tetapi aku masih belum berkeinginan untuk berkelahi langsung dengan orang-orang Singasari."
"Kalau begitu urungkan niatmu. Orang-orang ini mempunyai kebebasan untuk memilih. Menurut penilaian mereka, pemerintahan Kediri kurang berlaku bijaksana terhadap para pendeta."
"Omong kosong. Kau jangan turut campur. Ini adalah persoalan Kediri, di daerah Kediri."
"Siapa yang mengatakan kalau hutan ini berada di daerah Kediri?" bertanya cantrik itu.
"Singasari, yang dahulu bernama Tumapel adalah wilayah Kediri. Tetapi orang yang sekarang menyebut dirinya Sri Rajasa telah memberontak."
"Kenapa Kediri tidak mengambil tindakan apapun?"
"Kita memang tidak terlampau tergesa-gesa. Pada saatnya Singasari akan lenyap."
Cantrik itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Singasari adalah suatu kerajaan yang bebas. Sama sekali tidak tunduk kepada negara mana-pun juga."
"Persetan. Tetapi aku menuntut orang-orang ini. Mereka adalah buruanku. Siapa yang mengganggu, ia akan aku hancurkan seperti buruanku itu pula."
Cantrik itu maju beberapa langkah lagi. Kini ia berdiri semakin dekat dengan orang Kediri yang dikejar-kejar itu.
"Ki Sanak," berkata pemimpin mereka, "sebaiknya Ki Sanak memang tidak mencampuri persoalan kami. Kita baru berkenalan di tempat ini, sehingga sebaiknya Ki Sanak tidak usah melibatkan diri dalam persoalan ini."
"Tidak. Aku tidak dapat melihat kebebasan yang diperkosa oleh pemburu-pemburu keuntungan diri sendiri serupa itu. Siapapun Ki Sanak dan siapakah orang yang sedang berburu, sah atau tidak sah, aku terpaksa melibatkan diri."
Pemimpin rombongan itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sempat membuat penilaian atas kekuatan ke dua belah pihak. Dengan jujur pemimpin rombongan itu mengakui, bahwa kekuatan lawan agak lebih besar dari kekuatan mereka sendiri, meskipun cantrik itu ikut bersama mereka.
Tanpa sesadarnya pemimpin rombongan itu memandangi Mahisa Agni yang masih berdiri di tempatnya.
"Biarkan orang itu," berkata cantrik itu seolah-olah ia mencoba menjajagi pikiran pemimpin rombongan itu. "Ia berada di dalam tanggung jawabku. Aku harus mengantarkannya sampai ke tempat tujuan. Karena itu, sebaiknya ia memang tidak ikut campur."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut. Ia ingin melihat apa yang akan terjadi.
"Baiklah," berkata pemimpin dari orang-orang yang sedang memburu mangsanya itu. "Siapapun kalian dan apapun kalian, kami akan menangkap kalian."
Dengan suatu isyarat, maka orang-orang itu-pun segera berloncatan dari punggung-punggung kuda mereka. Arena yang bersemak-semak. dan ditumbuhi pepohonan yang rapat, memang tidak menguntungkan untuk bertempur di atas punggung kuda. Sesaat kemudian mereka-pun telah memencar dan siap menyerang dari segala arah.
"Jangan lukai perempuan dan anak-anak," berkata pemimpin rombongan orang-orang yang sedang menyusul orang-orang Kediri itu, "terutama gadis-gadisnya."
Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Persetan," seseorang yang sudah siap melawan, menggeram. Ia mempunyai seorang gadis beserta isterinya di dalam rombongan perempuan dan anak-anak itu.
Lawannya tertawa, katanya, "Bukankah kami cukup berperikemanusiaan?"
Tidak seorang-pun yang menjawab. Setiap laki-laki di dalam rombongan itu ditambah seorang cantrik, sudah siap menghadapi lawan-lawan mereka. Enam orang, dua orang-orang tua dan seorang cantrik berhadapan dengan delapan orang pemburu manusia dan dua orang prajurit yang berpengalaman.
Setapak demi setapak para pemburu manusia itu-pun maju, sedangkan orang Kediri yang diburu itu-pun bersiaga pula menghadapi setiap kemungkinan yang akan segera terjadi. Senjata-senjata mereka dari ke dua belah pihak sudah siap di tangan masing-masing.
Mahisa Agni menyaksikan ke dua belah pihak dengan berdebar. Benturan senjata di antara mereka memang sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Cantrik yang pergi bersamanya itu langsung telah melibatkan dirinya, karena orang-orang Kediri yang melarikan dirinya, pada umumnya adalah dari lingkungan keagamaan, keluarga dan orang-orang yang terdekat dari pendeta-pendeta yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan keinginan Baginda Maharaja di Kediri.
Sejenak kemudian maka benturan itu-pun terjadilah. Orang-orang yang sedang berburu itu berloncatan sambil mengayunkan senjata mereka, sedang orang-orang yang diburunya, berusaha mempertahankan diri sekuat-kuat tenaga mereka.
Sejenak kemudian Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ternyata cantrik yang pergi bersamanya itu memang mampu bermain dengan pedang pendeknya. Dengan tangkasnya ia berloncatan kian kemari, menyambar-nyambar seperti burung elang. Ialah yang dengan beraninya telah langsung membawa prajurit Kediri yang ada di antara lawan-lawannya. Dan ternyata bahwa ia memang mampu mengimbanginya. Bahkan kadang-kadang ia masih dapat membantu pemimpin rombongan yang harus bertempur melawan dua orang sekaligus.
Perempuan-perempuan dan anak-anak menjadi semakin erat berpelukan satu sama lain. Wajah-wajah mereka menjadi pucat dan darah mereka seakan-akan sudah tidak dapat mengalir lagi. Bahkan beberapa di antara mereka telah terduduk dengan lemahnya di atas rerumputan liar, seakan-akan kehilangan segenap tulang belulang.
Mahisa Agni masih berdiam diri di tempatnya. Tetapi ia menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat dalam waktu yang singkat orang-orang yang sedang diburu itu sudah terdesak. Meskipun demikian mereka masih melawan dengan gigihnya, justru cantrik yang pergi bersamanya itulah yang seakan-akan merupakan puncak perlawanan dari rombongan itu.
Tiba-tiba, tanpa disangka-sangka, seorang dari mereka yang menyusul rombongan orang-orang Kediri itu meloncat meninggalkan gelanggang. Dengan cepatnya ia berlari ke arah Mahisa Agni. Sambil mengacungkan senjatanya ia berdiri dua langkah di hadapannya. Kemudian terdengar ia barteriak, "He, Ki Sanak yang datang dari Singasari. Aku minta kau menghentikan perlawananmu. Kalau tidak, maka orang yang menjadi tanggunganmu ini, entah siapa dia, akan aku habisi nyawanya."
Oleh teriakan itu, perkelahian tiba-tiba terhenti sejenak. Mereka memandang dengan tegang salah seorang dari mereka yang menyusul rombongan orang-orang Kediri itu mengacungkan pedangnya beberapa jengkal kepada Mahisa Agni.
Cantrik, kawan seperjalanannya menjadi tegang sejenak. Ia mendapat perintah dari Kiai Bojong Santi menyampaikan orang itu kepada Witantra. Kalau terjadi sesuatu di perjalanan, maka yang pertama-tama dipersalahkan pasti dirinya.
Dalam termangu-mangu cantrik itu sama sekali tidak menjawab. Keringat yang dingin mengalir membasahi kening dan punggungnya.
"Aku minta, tinggalkan arena. Kalau tidak, orang ini aku bunuh meskipun ia tidak bersalah."
Cantrik itu masih berdiri kaku di tempatnya. Kini ia berdiri di persimpangan jalan. Kalau ia meneruskan perlawanan, maka Mahisa Agni itu terancam. Tetapi kalau ia kemudian meninggalkan arena, maka orang-orang Kediri itu dalam waktu sejenak saja, pasti akan segera terbantai.
Dalam keragu-raguan itu ia mendengar pemimpin orang-orang Kediri yang sedang dikejar-kejar itu berkata, "Tinggalkan kami. Kami sudah siap menghadapi kemungkinan. Kami tidak ingin melihat kalian ke dalam persoalan kami. Lebih daripada itu ke dalam kesulitan yang tidak kalian kehendaki."
Cantrik itu masih berdiri membeku.
"Cepat, ambil keputusan," berkata orang yang memburu mereka sambil mengacu-acukan ujung pedangnya ke dada Mahisa Agni, "jangan menunggu sampai kami kehilangan kesabaran."
"Licik," teriak cantrik itu kemudian, "kalian tidak menghadapi tugasmu dengan jantan."
Tetapi orang itu tertawa. Jawabnya, "Jangan banyak bicara. Kau berdua pergi, atau kau berdua akan mati di tempat ini."
Dengan ragu-ragu cantrik itu masih menjawab, "Kalau kami sudah meninggalkan arena, kau pasti akan mempergunakan cara yang sama dengan mengancam perempuan dan anak-anak."
"Apa pedulimu" Apapun yang akan terjadi, kau sudah tidak akan menyaksikan lagi. Karena itu, cepat, tinggalkan tempat ini."
Cantrik itu benar-benar tidak dapat memilih. Yang manakah yang lebih baik. Bertempur terus, atau menyelamatkan Mahisa Agni.
Namun dalam pada itu terdengar Mahisa Agni berkata, "bertempurlah terus. Jangan hiraukan aku. Aku hanya seorang diri, sedang orang-orang Kediri itu berjumlah lebih dari limabelas kali lipat dari pada itu."
"Diam," orang yang mengacukan senjatanya itu berteriak. Tetapi Mahisa Agni berkata terus, "selesaikan pekerjaan itu. Kalau kau menarik diri dari arena, maka sebentar saja, orang-orang yang berusaha menyebrang ke Singasari itu pasti akan binasa."
Cantrik itu menjadi semakin ragu-ragu. Ia berdiri saja termangu-mangu tanpa dapat mengambil keputusan.
Kini seluruh perhatian di ke dua belah pihak ditujukan kepada Mahisa Agni. Ujung pedang yang mengarah ke dadanya menjadi bergetar oleh kemarahan yang meluap-luap di dada orang yang memeganginya.
"Sebenarnya aku tidak ingin bersungguh-sungguh," berkata orang itu, "tetapi sikapnya benar-benar membuat aku muak."
Mahisa Agni tidak menyahut. Tetapi ketika ujung pedang itu maju mendekati dadanya, ia melangkah surut.
"Jangan," teriak cantrik itu, "akulah yang bertanggung jawab."
Tetapi orang yang mengacukan pedangnya itu tertawa menyakitkan hati untuk melontarkan kemarahannya, "Persetan. Kalian terlampau lambat mematuhi perintahku."
Sebuah desir yang tajam menyambar jantung cantrik itu. Sejenak ia seakan-akan membeku di tempatnya. Sedang orang yang mengancam Mahisa Agni itu maju semakin mendekat.
"Hentikan! Hentikan!"
Tetapi orang itu menggeleng, "Aku bunuh orang ini."
"Jangan curang," yang kemudian berteriak justru pemimpin rombongan orang-orang Kediri yang sedang dikejar-kejar itu. "Tidak ada gunanya kalian membunuhnya. Kepalanya tidak kau tukarkan dengan keping-keping uang."
"Persetan, aku tidak memerlukan uang terlampau banyak. Kepala-kepala kalian sudah cukup. Tetapi aku ingin mendapat kepuasan atas kegilaan orang Singasari ini."
Cantrik yang bersama Mahisa Agni itu-pun hampir saja meloncat menyerbu. Tetapi beberapa orang bersama-sama menghalanginya dengan senjata teracung pula.
"Gila, gila, gila." ia berteriak.
Tetapi suaranya yang parau itu sama sekali sudah tidak dihiraukannya lagi. Agaknya orang Kediri yang mengancam Mahisa Agni itu sudah benar-benar kehilangan kesabaran, sehingga ia sama sekali sudah tidak berminat untuk melepaskannya lagi.
Cantrik padepokan Panji Bojong Santi itu memejamkan matanya ketika ia melihat orang Kediri itu mengayunkan pedangnya. Ia sendiri sudah tidak mempunyai kesempatan untuk mencegahnya, karena tiga orang lawannya masih berjajar di hadapannya dengan senjata siap untuk membelah dadanya.
Tetapi cantrik itu hanya memejamkan matanya sekejap. Ketika ia membuka matanya perlahan-lahan, ia mengerutkan keningnya, kemudian mengejapkan matanya berkali-kali. Ia masih melihat Mahisa Agni melangkah surut. Sedang orang Kediri itu masih saja memegang senjatanya sambil melangkahkan maju.
Sekali lagi cantrik itu melihat orang Kediri itu mengayunkan pedangnya. Deras sekali. Dan sekali lagi matanya setengah terpejam. Tetapi kini ia melihat samar-samar apa yang telah terjadi. Ayunan pedang orang Kediri itu sama sekali tidak menyentuh tubuh Mahisa Agni, meskipun tampaknya ia tidak menghindar.
Kini cantrik itu memandangnya dengan mulut ternganga. Ia hanya melihat Mahisa Agni seakan-akan menggeliat. Tetapi ia sudah bebas dari serangan lawan yang menggetarkan itu.
Lawannya dengan demikian menjadi semakin marah, tetapi juga semakin bernafsu. Senjatanya kemudian terayun-ayun tidak menentu. Tetapi ia masih tetap tidak berhasil mengenai Mahisa Agni. Mahisa Agni-pun kemudian berputar beberapa langkah, dan tiba-tiba saja serangan itu terhenti. Semua mata memandang kedua orang itu dengan tanpa berkedip. Bahkan ada di antara mereka yang tidak percaya kepada matanya sendiri.
Tetapi akhirnya mereka benar-benar harus melihat kenyataan itu. Pedang itu telah beralih tangan. Kini Mahisa Agni lah yang bersenjata.
Seperti lawannya, maka kini Mahisa Agni lah yang mengacukan pedangnya ke arah dada. Tetapi Mahisa Agni tidak mengayun-ayunkan pedang itu membabi buta.
Hal itu benar-benar tidak dapat dimengerti oleh orang-orang Kediri dan bahkan oleh cantrik kawan seperjalanannya. Sejenak mereka tercengang, seakan-akan terpukau menyaksikan suatu keajaiban.
"Sekarang bagaimana" " terdengar suara Mahisa Agni.
Lawannya berdiri tegak seperti patung. Ialah orang yang paling tidak mengerti menghadapi keadaan itu. Tiba-tiba saja ia merasa pergelangan tangannya seakan-akan patah. Kemudian dalam sekejap, senjatanya telah berpindah tangan.
"Apa orang ini mempunyai ilmu hantu atau iblis," desisnya di dalam hati.
"Pertimbangkan baik-baik," berkata Mahisa Agni, "kalian tetap akan menangkap buruan kalian atau tidak?"
Sejenak tidak seorang-pun yang menyahut. Namun kemudian pemimpin rombongan orang-orang yang sedang berburu itu menjawab, "Persetan dengan permainan sihirmu. Kami tetap dalam pendirian kami, orang-orang ini harus kami kuasai."
"Aku tidak sedang bermain sihir," sahut Mahisa Agni, kemudian, "lihat, aku tidak menyihirnya." kedua tangannya-pun kemudian bergerak. Yang satu menggenggam tangkai pedang yang dirampasnya itu, yang lain pada daunnya. Sejenak kemudian pedang itu-pun patah menjadi dua."
Sekali lagi mereka yang menyaksikan hal itu menjadi berdebar-debar. Namun ternyata bahwa kedua orang prajurit yang menyertai rombongan orang-orang yang menyusul itu-pun bukan penakut yang mudah menjadi putus-asa.
"Persetan. Persetan. Ayo, kita binasakan dahulu orang itu."
Kedua orang prajurit itu-pun kemudian bersama-sama menyerbu Mahisa Agni. Senjata-senjata mereka berputaran seperti baling-aling. Sedang orang yang telah kehilangan pedangnya itu-pun melangkah surut beberapa langkah.
Cantrik kawan seperjalanan Mahisa Agni. dan seluruh rombongan orang-orang Kediri yang lain seakan-akan sadar pula dari mimpi mereka. Dengan serta-merta mereka-pun menyiapkan diri, dan menyerang lawan-lawan mereka yang paling dekat.
Perkelahian-pun berkobar kembali. Tetapi kini keadaan menjadi jauh berbeda. Karena kedua prajurit Kediri bersama-sama berkelahi melawan Mahisa Agni, maka kawan-kawannya yang lain tidak segera dapat menguasai lawannya.
Tetapi perkelahian itu-pun tidak berlangsung lama. Mahisa Agni yang kemudian bersenjatakan pedang yang telah patah, dalam waktu yang singkat telah berhasil melemparkan senjata kedua prajurit yang mengeroyoknya. Bahkan, dengan sentuhan tangan kirinya, seorang dari mereka terpelanting jatuh meskipun segera berhasil bangkit kembali.
"Nah, apa katamu?" bertanya Mahisa Agni, "apakah kalian masih akan berkelahi terus?"
Sekali lagi pertempuran itu terhenti. Orang-orang yang sedang memburu mangsanya itu-pun menjadi berdebar-debar. Kini mereka melihat suatu kenyataan, bahwa orang yang dianggapnya tidak mampu untuk ikut di dalam perkelahian. bahkan yang akan dijadikan tanggungan oleh orang-orang yang sedang mengejar mereka yang menyingkir dari Kediri itu, ternyata seorang yang mempunyai kemampuan yang tidak pernah mereka bayangkan. Kini agaknya orang itulah yang akan menentukan akhir dari perkelahian itu.
"Kalian dapat memilih," berkata Mahisa Agni selanjutnya, "bertempur terus, dengan akibat yang paling parah bagi kalian, atau kalian mengurungkan niat kalian dan melepaskan orang-orang yang sedang mencari dunianya yang paling sesuai bagi dirinya."
"Tetapi itu suatu pengkhianatan," potong salah seorang prajurit itu.
"Memang dalam keadaan yang wajar, tindakan mereka tidak dapat dibenarkan," berkata Mahisa Agni, "tetapi Kediri kini menghadapi masa darurat. Tindakan Baginda terlampau menyinggung perasaan para pendeta dan olah tapa. Itulah yang telah memaksa mereka memilih antara dua kerajaan yang bertentangan."
"Singasari ikut dalam kesalahan ini," jawab prajurit itu pula, "kalau Singasari tidak menampung mereka, maka mereka tidak akan berbuat demikian."
"Singasari memandangnya dari segi lain. Singasari mengerti kesulitan para pendeta dan olah tapa itu. Karena itulah maka Singasari dapat menerima mereka."
"Omong kosong. Justru Singasari lah yang menghasut rakyat Kediri, karena Singasari sendiri sudah siap untuk memberontak."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sekilas terbayang wajah Ken Arok yang tegang, duduk di atas Singgasana didampingi oleh kedua isterinya. Ken Dedes duduk sambil menundukkan kepalanya, dan Ken Umang yang menengadahkan wajahnya sambil tersenyum asam.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun ia berkata di dalam hatinya, "Aku tidak dapat mencampur baurkan persoalan-persoalan pribadi dengan persoalan yang jauh lebih besar."
"Ki Sanak," berkata Mahisa Agni kemudian, "memang pandangan kita sukar diketemukan. Kau orang Kediri dan aku adalah orang Singasari. Karena itu, maka marilah kita bicarakan saja apa yang kita hadapi sekarang. Aku minta kau lepaskan orang-orang itu memilih jalannya sendiri." Kedua prajurit itu menggeram. Tetapi mereka sudah tidak bersenjata lagi. Mereka tidak akan mampu melakukan perlawanan terhadap Mahisa Agni. Selagi mereka masih bersenjata, mereka tidak dapat mengalahkannya, apalagi kini.
"Jangan memaksa kami berbuat terlampau jauh," berkata Mahisa Agni.
Pemimpin rombongan orang-orang yang meyusul orang-orang Kediri yang menyingkir itu-pun menjadi ragu-ragu.
Dalam pada itu, orang-orang yang merasa dirinya dikejar-kejar itu-pun hampir serentak berteriak, "Binasakan mereka. Jangan biarkan mereka lolos. Mereka pasti akan membantai pula lain kali."
"Bunuh mereka, bunuh mereka," teriak yang lain.
Orang-orang yang mengejar orang-orang Kediri yang melarikan diri itu kini berada dalam keadaan sebaliknya. Kini merekalah yang merasa diri mereka diburu oleh orang-orang itu. Sedangkan mereka sama sekali tidak akan dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka pasti tidak akan dapat melawan. Orang yang mematahkan pedang itu mampu berkelahi seperti hantu, sehingga kedua prajurit yang bertempur bersama itu-pun tidak mampu berbuat apa-apa menghadapinya, meskipun ia hanya bersenjatakan sebilah pedang yang telah dipatahkannya sendiri.
Tetapi untuk membiarkan diri mereka dibunuh, mereka sama sekali tidak akan rela.
Karena itu, sejenak mereka dicengkam oleh ketegangan. Mereka menunggu, apakah yang akan terjadi selanjutnya.
Namun dalam pada itu terdengar Mahisa Agni berkata, "Biarlah mereka pergi. Kita baru menjumpai mereka untuk pertama kali. Tetapi apabila kita menjumpainya di lain kali dalam tindakan yang serupa, maka kita tidak akan memaafkannya."
"Tidak. Jangan dilepaskan," teriak salah seorang.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ketika terpandang olehnya wajah cantrik yang keheran-heranan dan bahkan kebingungan, ia bertanya, "Bagaimana pendapatmu?"
Cantrik itu terperanjat. Dalam kebingungan ia menjawab, "Terserah kepadamu."
"Nah," berkata Mahisa Agni, "begitulah pendapatku. Biarlah kali ini menjadi peringatan bagi mereka. Peringatan terakhir."
"Tetapi yang mereka lakukan kali ini bukan yang pertama," berkata pemimpin rombongan orang-orang Kediri yang sedang menyingkir itu.
"Kita tidak dapat dengan mutlak menyalahkan mereka. Yang mereka lakukan telah dibenarkan oleh pimpinan pemerintahan Kediri, sehingga dengan demikian, sebagian dari kesalahan dan tanggung jawab mereka atas perbuatan ini telah diambil oleh pimpinan pemerintahan."
"Jika demikian, maka tindakan-akan mereka yang akan datang-pun salah mereka."
"Kami telah memberikan pertimbangan sebagai peringatan terakhir," jawab Mahisa Agni, "Karena itulah, maka untuk yang bakal terjadi, pertimbangan kita akan lain."
Sejenak orang-orang itu terdiam. Tetapi mereka sadar, bahwa apabila orang itu tidak ikut campur dalam persoalan ini, mereka pasti akan berhasil dibinasakan oleh pemburu-pemburu itu. Karena itu, maka akhirnya pemimpin rombongan itu berkata, "Baiklah. Kami serahkan keputusan kepadamu. Apa yang baik menurut pertimbangan Ki Sanak, akan baik pula untuk kami. Tetapi perlu kami peringatkan, bahwa kami masih akan menempuh perjalanan sampai kami memasuki tlatah Singasari. Kami masih belum tahu apakah yang bakal terjadi di perjalanan kami. Kalau orang-orang yang dilepaskan ini, mencari jalan lain, dan mencegat kami selagi kami sudah tidak bersama-sama dengan kalian, maka nasib kamilah yang menjadi terlampau jelek."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia dapat mengerti kekhawatiran orang-orang yang sedang berusaha menyingkir dari Kediri itu. Karena itu, bagaimana-pun juga Mahisa Agni ingin segera bertemu dengan Witantra, namun ia berkata, "Baiklah. Kami akan mengawani kalian sampai ke perbatasan. Sampai kalian keluar dari hutan ini dan berada di lingkungan tlatah Singasari. Kalian akan segera menjumpai pusat penjagaan yang akan dapat menampung kalian."
Pemimpin rombongan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Kalau demikian, aku akan mengucapkan diperbanyak terima kasih. Aku tidak berkeberatan, apapun yang akan kalian putuskan atas orang-orang yang memburu kami ini."
"Biarlah mereka kembali," berkata Mahisa Agni, "mereka akan membawa pengalamannya. Tidak seharusnya mereka berburu manusia. Mengejar harta benda yang dibawanya, dan harga kepalanya."
Mereka yang mengejar orang-orang Kediri itu sama sekali tidak menyahut. Mereka berdiam diri sambil berdiri tegang di tempatnya.
"Nah. kembalilah ke Kediri," berkata Mahisa Agni, "belajarlah menghargai kebebasan seseorang. Kalau kediri tidak bertindak berlebih-lebihan, aku kira tidak akan ada arus manusia yang mengalir ke Singasari."
Tidak seorang-pun yang menjawab. Tetapi tidak semua orang di antara mereka yang dapat mengerti keterangan Mahisa Agni. Ada di antara mereka yang sama sekali terbungkam. Tetapi gejolak di dalam dadanya menyalakan dendam tiada taranya.
Terasa dada mereka membara ketika mereka mendengar Mahisa Agni berkata, "Ki Sanak yang akan melanjutkan perjalanan ke Singasari, silahkan segera berkemas. Waktuku tidak terlampau banyak."
Seperti tergugah dari cengkaman mimpi yang dahsyat, mereka-pun segera mengemasi barang-barang mereka. Orang-orang yang semula menggenggam senjatanya, sebagian telah menyarungkan senjata itu, dan membantu mengatur barang-barang mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak lengah. Di antara mereka masih juga ada yang menggenggam senjata telanjang di tangan.
Mahisa Agni dan cantrik kawan seperjalanannya telah berdiri di antara orang-orang yang akan pergi ke Singasari itu. Mahisa Agni yang mempunyai penglihatan yang tajam bukan saja penglihatan lahiriah, masih melihat beberapa orang yang tidak ikhlas melepaskan buruannya. Namun demikian beberapa orang yang lain perlahan-lahan mulai menilai diri mereka sendiri. Mereka mulai melihat tujuan orang-orang yang menyeberang ke Singasari. Memang orang-orang yang menyingkir dari Kediri ke Singasari. bukanlah jalan yang paling baik. Tetapi mereka tidak dapat memilih. Mereka tidak dapat berbuat lain daripada menyingkir karena keselamatan dan kebebasan mereka terancam.
Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa Sri Rajasa dari Singasari memang berusaha memanfaatkan keadaan. Dibentuknya kelompok-kelompok yang diserahi tugas menampung orang-orang Kediri, dan bahkan agak memanjakannya, sehingga apabila berita tentang orang-orang Kediri itu menggema kembali ke daerah asal mereka maka hal itu akan merupakan rangsang bagi yang masih tinggal untuk pergi ke Singasari. Namun dengan demikian, Ken Arok telah mematangkan kadaan. Pasukannya telah tersebar di segala penjuru. Bukan sekedar mengawasi penampungan orang-orang Singasari, tetapi mereka siap mengalir masuk ke daerah Kediri, seperti air yang tertampung oleh bendungan yang hampir pecah.
Sementara itu. orang-orang yang akan pergi ke Singasari itu telah siap untuk berangkat. Karena itu maka Mahisa Agni berkata sekali lagi kepada orang yang mengejar mereka, yang masih membeku di tempatnya, "Kenapa kalian masih berada di sini" Pergilah, dan jangan kau coba untuk berbuat seperti kali ini. Kalau aku melihat kalian sekali lagi berburu manusia, maka aku tidak akan dapat memaafkan kalian sekali lagi."
"Beberapa pasang mata seakan-akan membara karenanya. Tetapi beberapa pasang yang lain menjadi suram."
"Cepat, pergilah," bentak cantrik kawan Mahisa Agni.
Pemimpin rombongan orang-orang itu-pun mengerutkan keningnya. Ditatapnya cantrik yang bersenjata pedang pendek itu tajam-tajam. Namun cantrik itu maju beberapa langkah, "Kenapa kau memandang aku seperti itu?"
Pemimpin itu tidak menjawab. Tetapi dipalingkannya wajahnya kepada orang-orangnya, "Marilah kita kembali."
Orang-orang itu-pun kemudian melangkah perlahan-lahan ke kuda masing-masing. Tetapi masih juga ada di antara mereka yang berpaling. Sorot matanya memancarkan dendam yang tersimpan di dalam hati. kekecewaan dan kegelisahan bercampur baur.
"He kenapa berpaling?" bertanya cantrik itu.
Tetapi seorang yang berbulu lebat di dadanya justru berhenti. Orang yang kasar itu tidak dapat menahan hatinya mendengar bentakan-akan yang menyakitkan hati.
Namun cantrik itu-pun benar-benar seorang yang cepat digulat oleh perasaannya. Tiba-tiba saja ia memburunya sambil berkata, "Kau masih akan melawan?"
Orang itu tidak menjawab.
"Baik. Baik. Mari kita selesaikan masalah ini. Aku tidak ingin berbuat licik. Kau dan aku. Lepas dari semua persoalan yang pernah terjadi."
Orang itu ragu-ragu sejenak. Ternyata cantrik itu bukan orang kebanyakan pula. Ia sudah menyaksikan bagaimana ia bertempur dengan pedang pendeknya.
Namun sebelum orang berbulu lebat itu mengambil keputusan, pemimpinnya sudah mendahuluinya, "Kita tinggalkan neraka ini."
Orang berbulu lebat itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berbalik dan berjalan ke kudanya. Sejenak kemudian orang itu telah meloncat seorang demi seorang, kemudian berpacu meninggalkan mangsa yang lepas dari mulutnya karena kebetulan sekali ada seseorang yang bernama Mahisa Agni bersama seorang cantrik di antara mereka.
Sesaat mereka yang tinggal menyaksikan debu yang putih mengepul dari kaki-kaki kuda yang berlari kencang itu. Namun sejenak kemudian mereka menyadari keadaan mereka sendiri. Dengan demikian mereka menjadi semakin sibuk mengemasi barang-barang masing-masing.
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni selalu memeperhatikan gadis yang dengan tergesa-gesa menyiapkan beberapa barang-barangnya. Bahkan seperti tergerak oleh tenaga yang tidak dimengertinya Mahisa Agni-pun mendekatinya dan perlahan-lahan ia berkata, "Apakah aku dapat membantu?"
"O," sepercik warna merah membayang di wajah gadis itu. Sambil tersipu-sipu ia berkata, "sudah selesai."
"Tetapi, siapakah yang akan membawa barang-barang itu nanti?"
"Ayah," berkata gadis itu.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia sadar, bahwa gadis itu pasti tidak hanya seorang diri. Ia berjalan di antara rombongan itu bersama ayahnya dan bahkan mungkin ia sama sekali bukan seorang gadis. Tetapi di antara laki-laki itu terdapat suaminya.
Tetapi sebelum Mahisa Agni bertanya lebih lanjut, seorang laki-laki, yang justru sudah terlampau tua, mendekatinya sambil berkata, "Aku akan membawa barang-barangnya selebihnya yang dapat dibawanya sendiri."
"O," Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi orang itu-pun telah terlalu tua untuk membawa barang-barang yang meskipun tidak terlampau banyak.
Namun Mahisa Agni tidak bertanya lebih jauh. Dibiarkannya gadis itu, dan juga orang-orang lain menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Kemudian pemimpin rombongan itu-pun berkata, "Kita sudah selesai. Marilah kita meneruskan perjalanan."
Beberapa orang di dalam rombongan itu segera mengangkat barang masing-masing. Ada di antara mereka yang membawa seekor kuda untuk membawa beban masing-masing. Tetapi laki-laki tua itu membawa barang-barangnya di atas pundaknya. Sebagian dari barang-barangnya telah dibawa pula gadis yang menyebut dirinya anaknya.
Tetapi agaknya barang-barang itu terlampau berat bagi mereka berdua. Sedang orang-orang lain telah sibuk dengan milik mereka sendiri-sendiri.
"Apakah kau berdua bersama ayahmu membawa barang-barang itu dari Kediri?" bertanya Mahisa Agni.
Gadis itu mengangguk. "Kudaku dapat membantu," berkata Mahisa Agni kemudian.
Gadis itu tidak menjawab. Tetapi ditatapnya mata ayahnya yang redup.
Sejenak laki-laki tua itu berpikir. Kemudian katanya, "Apakah dengan demikian kami tidak mengganggu Ki Sanak?"
Mahisa Agni menggeleng, "Tidak. Aku akan berjalan bersama dengan kalian."
"Terima kasih," berkata orang tua itu. yang kemudian meletakkan beberapa potong barang-barangnya dan barang-barang yang dibawa oleh gadisnya di atas punggung kuda Mahisa Agni.
Ketika semuanya sudah mulai melangkahkan kakinya, maka kedua ayah beranak itu-pun berjalan pula. Tetapi kini mereka sudah tidak diberati lagi oleh barang-barangnya yang sebagian sudah mereka letakkan di atas punggung kuda Mahisa Agni.
"Siapa yang akan menitipkan barang-barang kepadaku," cantrik itu berdesis di telinga Mahisa Agni.
Mahisa Agni berpaling. Dilihatnya wajah cantrik yang lucu itu sedang tersenyum. Bahkan kemudian ia berbisik, "Barang-barangnya sudah dititipkan kepadamu. Biarlah pemiliknya naik di atas punggung kudaku. Kalau ia tidak berani seorang diri, aku dapat menjagainya di belakangnya."
"Sst," Mahisa Agni berdesis, dan cantrik itu tersenyum semakin lebar.
Sambil berjalan maka Mahisa Agni, cantrik yang bersamanya dan laki-laki tua itu tidak berhenti-hentinya bercakap-cakap. Sedang anak gadisnya kemudian berjalan di depan bersama perempuan-perempuan yang lain.
"Ia bukan anakku," berkata laki-laki tua itu tiba-tiba. Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tanpa dikehendakinya sendiri ia bertanya, "Jadi, apakah hubungan kalian?"
"Ia sebenarnya adalah cucuku."
"O," Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ayahnya meninggal selagi ia berada di dalam kandungan karena penyakit yang tidak kami ketahui. Ketika ia berumur tiga tahun, ibunya meninggal pula."
"Yatim piatu," desis Mahisa Agni.
Dan tiba-tiba cantrik itu memotong, "Suaminya?"
Orang tua itu mengerutkan keningnya. "Memang ia terlambat kawin. Tetapi ia masih gadis."
"O," cantrik itu mengerutkan keningnya, "tentu belum terlambat. Berapakah umurnya?"
"Aku tidak tahu pasti. Ia lahir ketika ada gempa yang besar menimpa Kediri. Pada saat tanah-tanah bengkah dan gunung-gunug runtuh. Hujan angin seperti dicurahkan dari langit."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kira-kira duapuluh tahun yang lampau."
"Ya, begitulah," sahut orang tua itu. Kemudian suaranya menurun, "karena itulah terlambat kawin. Kawan-kawannya yang berumur tujuh belas tahun sudah dipinang orang."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bahkan yang berumur limabelas tahun," orang tua itu meneruskan. Kemudian, "Sebenarnya anak itu juga sudah dipinang orang. Ia hampir kawin tiga tahun yang lampau. Tetapi yang melukai hati anak itu, calon suaminya mati terbunuh."
"O," Mahisa Agni dan cantrik itu terperanjat.
"Kenapa?" "Itulah yang menyakiti hatinya. Ternyata calon suaminya adalah seorang perampok," jawab orang tua itu, "tidak seorang-pun dari orang sepadepokan kami yang mengetahuinya. Karena itu lamarannya-pun aku terima. Gadis itu-pun telah tidak menolak lagi. Namun berita itu akhirnya sampai pada kami. Laki-laki itu adalah seorang perampok yang sangat dibenci."
Mahisa Agni dan cantrik kawan seperjalanannya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas mereka memandang punggung gadis yang berjalan beberapa langkah di depan mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapat kesan apapun juga.
"Kasihan," desis Mahisa Agni di dalam hatinya.
Dan orang tua itu berkata seterusnya, "Tetapi aku kira lebih baik demikian daripada perkawinan itu sudah berlangsung. Cucuku akan menjadi seorang isteri perampok yang dikutuk orang, meskipun orang-orang di sekitarnya tidak mengetahuinya." orang tua itu berhenti sejenak, lalu, "Sekarang ia bebas, meskipun hatinya luka."
Mahisa Agni hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak menyahut.
Demikianlah perjalanan mereka itu-pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan perbatasan hutan dan langsung masuk ke tlatah Singasari. Mahisa Agni sempat mengantarkan mereka sampai ke tempat yang dianggapnya cukup aman. Mereka tidak akan terganggu lagi oleh orang-orang yang mengejarnya.
"Sekarang aku akan meneruskan perjalananku lagi," berkata Mahisa Agni kepada pemimpin rombongan itu.
"Terima kasih," jawabnya, "aku sudah mengganggu perjalananmu. Apakah kau akan pergi ke Kediri?"
"Tidak," jawab Mahisa Agni, "aku akan pergi ke daerah yang tidak bertuan. Daerah yang jauh tersembunyi di dalam hutan. Yang tidak dijangkau oleh kekuasaan baik Kediri mau-pun Singasari."
"Daerah manakah itu?"
"Daerah yang tidak bernama."
Pemimpin rombongan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang orang tua kakek gadis itu berkata, "Kami sangat berterima kasih akan kebaikanmu."
"Adalah sewajarnya, bahwa kita harus saling membantu," Mahisa Agni menyahut, kemudian, "kalau kelak aku kembali, aku akan mencari kalian. Berpesanlah kepada para petugas, di mana kalian akan menetap."
"Ya, ya. Kami akan menunggu."
Mahisa Agni dan cantrik kawan seperjalanannya itu-pun kemudian minta diri, melanjutkan perjalanan mereka pergi ke rumah Witantra. Mereka telah kehilangan waktu. Mereka telah menempuh jarak rangkap, karena mereka harus kembali lagi mengantarkan para pengungsi dari Kediri itu.
"Kau akan mencarinya kelak?" bertanya cantrik kawan seperjalanannya itu.
Mahisa Agni mengangguk tanpa sesadarnya.
"Kenapa?" Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia sendiri tidak mengerti kenapa"
"Kenapa" " cantrik itu mendesak.
"Tidak apa-apa. Hanya sekedar ingin tahu, apakah mereka sudah mendapat tempat yang wajar."
Cantrik itu tidak menyahut, tetapi ia tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" bertanya Mahisa Agni.
"Tidak apa-apa"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia-pun kemudian berdiam diri.
Sejenak mereka tidak saling berbicara. Kuda mereka telah memasuki semakin dalam jalan setapak di tengah-tengah hutan yang sepi. Tetapi kini matahari telah condong semakin rendah di Barat.
Dan tiba-tiba cantrik itu berkata, "Kita akan kemalaman di jalan."
"Kita jalan terus," berkata Mahisa Agni.
"Berbahaya. Dan aku tidak akan dapat mengenal jalan di malam hari. Kuda-kuda kita juga perlu beristirahat."
"Jadi?" bertanya Mahisa Agni.
"Kita bermalam di jalan."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah. Kita akan bermalam di jalan."
Karena itu, sebelum hutan itu menjadi gelap, mereka-pun segera mencari tempat untuk bermalam. Ketika mereka sudah menemukannya, maka mereka-pun segera mengikat kuda-kuda mereka dan mencari ranting dan dahan-dahan kering.
"Kita membuat perapian," berkata cantrik itu.
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
"Aku membawa pondoh jagung. Apakah kau tidak lapar?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab. "Tentu."
"Tentu apa?" "Tentu lapar." Keduanya-pun kemudian makan pondoh jagung sambil duduk di dekat perapian. Malam yang gelap turun menyelubungi hutan yang menjadi sangat pekat, seakan-akan mata mereka tidak mampu lagi menembus jarak selangkah-pun. Namun cahaya api yang merah, telah menembus beberapa puluh langkah di seputar kedua orang yang duduk sambil berkerudung kain panjang mereka.
Tiba-tiba saja cantrik itu bertanya, "Siapakah sebenarnya kau?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, "Apakah Panji Bojong Santi tidak mengatakannya."
"Panji Bojong Santi hanya mengatakan, agar aku mengantarmu ke tempat Witantra. Tetapi Panji Bojong Santi tidak mengatakan kepadaku, siapakah kau sebenarnya."
"Tidak ada yang aneh. Namaku Mahisa Agni. Itu sudah cukup bagimu."
"Tetapi kau ternyata memiliki kemampuan yang tidak aku duga. Aku kira kau adalah barang titipan, yang harus aku serahkan kepada Witantra." cantrik itu menelan ludahnya, kemudian, "ternyata aku tidak lebih dari seorang penunjuk jalan."
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Jangan hiraukan lagi. Sekarang kita bergantian tidur. Kau dulu, atau aku?"
"Tidurlah, aku belum mengantuk," jawab cantrik itu.
Mahisa Agni-pun kemudian bersandar pada sebatang pohon. Ia mencoba untuk tidur barang sejenak.
Tetapi belum tengah malam Mahisa Agni sudah terbangun. Terasa punggungnya amat lelah. Perlahan-lahan ia berdiri sambil menggeliat. Dilihatnya cantrik kawan seperjalanannya masih duduk terkantuk-kantuk di pinggir perapian. Dengan sebatang dahan ia mempermainkan bara yang merah kekuning-kuningan.
"Apakah kau belum mengantuk," bertanya Mahisa Agni.
Cantrik itu berpaling sambil menjawab, "Sudah."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, "Tidurlah. Biarlah aku yang jaga."
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bersandar sebatang pohon seperti Mahisa Agni. Dengan serta-merta ia berbaring di atas rerumputan liar yang layu oleh panasnya api di perapian.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata-pun. Dibiarkannya saja cantrik itu kemudian jatuh tertidur. Baru ketika fajar menyingsing, ia membuka matanya dan bertanya, "Apakah yang kemerah-merahan itu cahaya fajar?"
"Ya," jawab Mahisa Agni.
"Jadi aku tidur sampai pagi?"
"Ya." "Kenapa aku tidak kau bangunkan?"
"Apakah kau memerlukan sesuatu?"
"Tidak, maksudku, kau duduk sampai semalam suntuk."
"Aku sudah tidur lebih dahulu." "
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia-pun bangkit dan membenahi pakaiannya. dikibas-kibaskannya kain panjangnya, dan dibetulkannya letak ikat pinggangnya.
"Kau berjaga-jaga semalaman. Kau tentu lelah."
Mahisa Agni tersenyum. "Sudahlah," katanya, "marilah kita berkemas. Kita sudah kehilangan waktu sehari. Aku ingin segera bertemu dengan Witantra."
"Baiklah," sahut cantrik itu. Perlahan-lahan ia-pun pergi ke kudanya yang terikat. Membenahi kelengkapannya pula sambil berkata, "Kita perlu air."
"Di sepanjang jalan nanti kita akan bertemu dengan air."
Cantrik itu mengerutkan keningnya. "Baiklah. Aku kira kuda-kuda ini-pun sudah haus."
Sejenak kemudian, ketika mereka sudah selesai berkemas, maka mereka-pun segera berangkat melanjutkan perjalanan. Beberapa puluh langkah kemudian mereka menemukan sumber yang bening memancar dari bawah sebatang pohon preh yang besar.
Setelah mencuci muka, memberi minum kuda-kuda mereka, maka keduanya-pun segera berpacu menuju ke rumah Witantra. Suatu pedukuhan baru yang belum banyak dikenal orang. Mereka masih harus menyusup jalan yang sulit, di antara tetumbuhan hutan yang cukup rapat, meskipun bukan sebuah belukar yang pepat.
"Kau masih ingat jalan ke padukuhan itu?" bertanya Mahisa Agni.
"Tentu. Aku masih ingat."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Masih jauh?" ia bertanya.
Cantrik itu menggeleng, "Tidak terlampau jauh. Sebelum tengah hari kita akan sampai ke daerah yang lebih baik. Kemudian kita akan segera sampai. Lewat sedikit tengah hari."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mahendra pernah tinggal bersama Witantra beberapa saat."
Sekali lagi Mahisa Agni mengangguk. Tiba-tiba saja cantrik itu bertanya, "Apa sebenarnya kepentinganmu dengan Witantra?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa."
Cantrik itu menarik nafas. Tentu ia tidak percaya bahwa seseorang menempuh jalan sejauh itu tanpa suatu keperluan yang penting. Tetapi cantrik itu mengerti, bahwa Mahisa Agni tidak ingin mengatakan kepentingannya kepadanya, sehingga karena itu, maka ia-pun tidak bertanya lagi.
Sejenak mereka menyelusur jalan di hutan yang tidak terlampau lebat itu sambil berdiam diri. Sekali-sekali Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam untuk menenteramkan hatinya yang mulai berdebar-debar. Ia menjadi ragu-ragu, apakah Witantra dapat menanggapi kedatangannya dengan sikap yang lebih dewasa. Kalau dendam atas kematian adik seperguruannya dan kekalahannya itu masih tetap menyala di hatinya, maka ia akan menghadapi keadaan yang sulit. Dalam keadaan yang sewajarnya, mungkin ia tidak akan gentar menghadapinya. Bahkan ia masih dapat percaya kepada dirinya sendiri bahwa Witantra betapa jauh jangkaunya namun ia tidak akan dapat mengalahkannya dengan mudah. Kalau Witantra berhasil mempelajari ilmunya hampir sempurna, seperti gurunya Panji Bojong Santi. maka ia sudah berhasil mencapainya lebih dahulu.
Bahkan selama ini ia masih juga sempat merenungi ilmunya, sehingga ilmu itu menjadi kian matang. Ilmu yang didasari oleh perguruan Empu Purwa, ditambah dengan luluhnya ilmu Empu Sada dan penemuannya sesudah itu, berdasarkan kedua ilmu itu. pasti tidak akan mudah dilampaui oleh Witantra.
Tetapi ia tidak akan dapat mempergunakan ilmunya. Ia datang untuk mengakui semua kesalahannya dan untuk meminta maaf kepadanya. Sudah tentu ia tidak akan melibatkan diri ke dalam kesalahan yang lebih besar lagi.
"Tetapi bagaimana kalau Witantra tidak dapat mengerti perasaannya?" pertanyaan itu kini telah membelit hatinya.
"Panji Bojong Santi mengenalnya dengan baik. Kalau ia tidak berpendapat bahwa Witantra akan mengendapkan perasaannya, maka ia tidak akan membiarkan cantrik ini mengantarkan aku."
"Meskipun demikian Witantra adalah manusia biasa. Ia tidak akan luput dari kekurangan dan kekhilafan."
Ternyata pendirian itu telah membuat dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar.
Meskipun demikian Mahisa Agni berusaha menyembunyikan semua kesan-kesannya, sehingga cantrik yang bersamanya itu sama sekali tidak dapat meraba apa yang terpercik di hatinya.
Demikianlah maka untuk sesaat mereka saling berdiam diri. Semakin lama mereka menjadi semakin dekat. Hutan yang mereka lalui menjadi semakin jarang. sehingga akhirnya, mereka telah melintasi hutan perdu dan ilalang.
Dengan demikian maka kuda-kuda mereka dapat berlari semakin kencang. Sedang matahari menjadi semakin tinggi memanjat kaki langit.
Ketika bayangan mereka telah tepat terinjak di bawah kaki mereka berhenti sejenak pada sebuah mata air yang kecil untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka minum sejenak, sambil berteduh di bawah sebatang pohon yang rindang.
"Kita akan menempuh jalan yang melewati gunduk-gunduk yang keputih-putihan itu," berkata cantrik kawan seperjalanan Mahisa Agni sambil menunjuk segunduk padas putih di hadapan mereka.
Keduanya membiarkan kuda mereka makan rerumputan hijau sejenak, sementara keduanya menyeka keringat mereka yang membasahi seluruh tubuhnya.
Tetapi mereka tidak beristirahat terlampau lama. Sejenak kemudian mereka-pun telah berada di punggung kuda masing-masing, dan berpacu lebih cepat lagi. Tetapi jalan kini sudah menjadi semakin baik. Mereka tidak lagi diganggu oleh pepohonan yang merambat, melintas di atas jalan yang mereka lalui. Kini jalan seakan-akan terbuka meskipun tidak terlampau baik.
Setelah melewati gundukan padas yang keputih-putihan di panasnya matahari, mereka sampai ke daerah yang lebih subur. Daerah yang selalu basah oleh sumber-sumber air dan sebatang sungai yang meskipun tidak terlampau besar, namun mengalirkan air yang cukup.
"Padukuhan Witantra ada di tepi sungai ini," berkata cantrik itu.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sudah dekat. Gerumbul hijau di hadapan kita itu adalah ujung padukuhannya."
"O," Mahisa Agni mengnggukkan kepalanya, dan hatinya-pun menjadi semakin berdebar-debar pula. Meskipun demikian, wajahnya sama sekali tidak mengesankan kegelisahannya itu.
Ternyata jalan yang mereka lalui memang menjadi semakin baik. Meskipun agak berdebu tapi kini mereka telah sampai pada sebuah jalan yang agak terpelihara.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan seseorang yang pernah dilukai hatinya. Ia tidak tahu tanggapan apakah yang akan diberikan oleh Witantra atas kedatangannya ini.
"Tetapi aku harus menemuinya. Apapun yang akan terjadi nanti," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "sekarang atau waktu yang akan datang, hampir tidak ada bedanya. Aku tidak mau tersiksa lebih lama lagi oleh perasaan bersalah ini."
Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan demikian maka Mahisa Agni-pun telah membulatkan tekadnya, untuk bertemu kali ini dengan Witantra meskipun ia tidak tahu akibat apa yang bakal terjadi oleh pertemuan ini.
Sejenak kemudian maka mereka-pun telah sampai di ujung padukuhan yang hijau segar. Meskipun padukuhan itu sebuah padukuhan kecil tetapi tampak bahwa padukuhan itu adalah padukuhan yang hidup.
Dinding-dinding batu yang rapi dan regol yang manis, meskipun tidak terlampau besar. Jalan-jalan yang lurus dan bersih.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas. Desisnya, "Inilah padukuhan itu?"
"Ya, padukuhan yang agak terpencil. Tetapi padukuhan ini berusaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dari bahan makan sampai ke bahan pakaian meskipun tidak begitu baik. Hanya keperluan yang memaksa saja mereka cari keluar daerah padukuhan ini. Garam misalnya," jawab cantrik itu.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, kita akan segera memasuki regol padukuhan itu. Rumah Witantra berada di tempat-tempat padukuhan," cantrik itu berhenti sejenak, "padukuhan ini adalah padukuhan yang paling damai yang pernah aku lihat."
Mahisa Agni masih mengangguk-angguk. Tetapi ia sependapat dengan cantrik itu, bahwa padukuhan ini memang padukuhan yang tampaknya tenteram dan damai.
"Mungkin karena letaknya yang terasing," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "tetapi apakah kedamaian yang asing seperti ini adalah yang paling baik bagi Witantra?"
Sejenak Mahisa Agni merenungi regol padukuhan itu. Kemudian dilihatnya seorang anak melintasi jalan. Anak itu memandanginya sebentar, kemudian ia berlari-lari masuk ke halaman.
"Jarang sekali ada orang lain yang datang kemari," berkata cantrik itu, "kedatangan kita pasti akan menjadi bahan percakapan penduduk padukuhan ini. Satu dua di antara mereka mungkin pernah melihat aku datang kemari, apabila mereka masih ingat. Tetapi kau adalah orang asing sama sekali."
Mahisa Agni tidak Menjawab. Bagi Witantra, mungkin masih dapat dimengerti. Bahwa kekecewaan yang sangat telah menyudutkannya ke tempat yang sepi ini. Tetapi bagaimana dengan anak-anak yang masih harus berkembang"
Ternyata apa yang dikatakan cantrik itu-pun segera ternyata. Bukan sekedar anak-anak sajalah yang kemudian menjengukkan kepala mereka di atas pagar-pagar batu. Dengan herannya mereka melihat cantrik itu bersama Mahisa Agni melewati di jalan yang membelah padukuhan itu. Mereka saling berbisik dan bertanya, siapakah yang datang kali ini"
Tetapi setiap kepala tergeleng lemah, karena tidak seorang-pun yang dapat menjawab pertanyaan itu. Sejenak kemudian. sampailah mereka ke pusat padukuhan kecil itu. Mereka berhenti sejenak di muka sebuah regol halaman yang agak lebih besar dari regol-regol halaman yang lain. Halaman itu adalah halaman rumah Witantra.
Mahisa Agni menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu justru bergeser beberapa langkah surut. Kini ia tidak lagi dapat menyembunyikan perasaannya yang dibakar oleh keragu-raguan.
Cantrik itu menjadi heran. Sejenak ia mengawasi saja tingkah laku Mahisa Agni. Namun sejenak kemudian ia berkata, "Marilah kita masuk. Inilah rumahnya."
Mahisa Agni tidak menjawab. Keringat dinginnya yang mengembun serasa telah membasahi seluruh tubuhnya.
"Kenapa kau?" bertanya cantrik itu, "inilah rumahnya."
Mahisa Agni masih belum menjawab. Dipandanginya saja pintu regol yang terbuka itu, langsung melintasi halaman hingga pada pintu rumah yang masih tertutup.
Tiba-tiba ia berdesis, "Sepi sekali."
"Rumah ini memang sepi. Biasanya memang sepi pula. Witantra dan keluarganya jarang-jarang berada di pendapa. Mereka selalu berada di dalam."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kini Ia seakan-akan membeku di atas punggung kudanya.
"He. kenapa kau sebenarnya?" bertanya cantrik itu.
"Tidak apa-apa."
"Kenapa kau mematung di situ. Marilah masuk."
Sekali lagi Mahisa Agni menyapukan pandangan matanya ke sekelilingnya. Halaman yang bersih. Batang-batang pohon sawo yang tumbuh subur hambir mencapai teritis. Apabila kelak batang-batang sawo itu menjadi semakin besar, maka halaman itu-pun akan bertambah asri.
"Kau sudah menempuh perjalanan yang demikian jauh dan sulit. Sekarang kau ragu-ragu," desis cantrik itu.
"Kau benar," jawab Mahisa Agni, "aku memang ragu-ragu."
"Baiklah. Biarlah aku lebih dahulu masuk. Aku akan mengatakan kepada Witantra bahwa seorang tamu bernama Mahisa Agni sedang menunggu di luar regol."
Mahisa Agni tidak segera menyahut.
"He," cantrik itu menjadi kesal, sehingga tiba-tiba ia berkata tanpa sesadarnya, "apakah kau kesurupan di jalan tadi?"
Mahisa Agni berpaling. Dipandanginya wajah cantrik itu dengan tajamnya, tetapi ia tidak menjawab.
Dalam kebingungannya, cantrik itu-pun kemudian meloncat turun dari kudanya dan membimbing kudanya mendekati regol halaman. Tetapi ia terkejut ketika tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan yang meloncat dan hinggap di atas dinding batu halaman rumah itu. Hampir terpekik ia memandang seseorang yang berdiri tegak di atas sepasang kakinya yang renggang.
Mahisa Agni-pun terkejut bukan kepalang melihat orang yang tiba-tiba saja sudah bertengger di atas dinding halaman. Apalagi setelah ia meyakini, bahwa orang yang berdiri itu adalah Witantra.
Sejenak Mahisa Agni benar-benar terpukau oleh penglihatannya. Witantra berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Di lambungnya tergantung sepasang pedang panjang.
Dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Witantra yang telah menyepi itu masih menyandang pedang di lambungnya. Apalagi kini sepasang.
Karena itu, maka Mahisa Agni melihat seorang tokoh yang aneh menurut penilaiannya. Seorang yang mengenakan pakaian putih melitit di tubuhnya, namun kemudian pakaian itu dibelit oleh sebuah ikat pinggang kulit yang tebal dan digantungi oleh sepasang pedang.
"Nah. aku sudah menduga Agni, bahwa pada suatu ketika kau akan mencari aku. Aku kira kau masih tidak puas dengan kemenanganmu itu. Kau masih belum puas atas kematian Kebo Ijo. Kini kau datang untuk memuaskan hatimu."
Sambutan itu sama sekali tidak disangka-sangkanya. Apalagi cantrik yang bersamanya itu. Dengan mulut ternganga ia melihat Witantra dan Mahisa Agni berganti-ganti.
"Aneh sekali," ia berkata di dalam hati, "kalau yang akan terjadi hanyalah demikian saja, kenapa Panji Bojong Santi menyuruh aku mengantarkannya?"
Dalam kebingungan cantrik itu berdiri membeku di tempatnya. Sekilas terbayang kemampuan Mahisa Agni yang tidak disangka-sangkanya ketika mereka berkelahi melawan orang-orang Kediri. Mahisa Agni benar-benar dapat berbuat sekehendak hatinya atas lawan-lawannya. Memang apa yang dilakukan mirip dengan permainan sihir. Sedang Witantra adalah murid tertua Panji Bojong Santi yang sudah mengasingkan diri menekuni ilmunya. Apabila benar-benar terjadi benturan di antara mereka berdua, maka akibatnya memang akan dahsyat sekali. Karena itu, maka ketika dadanya sudah menjadi agak tenang, ia-pun melangkah maju mendekati Witantra sambil berkata, "Witantra, Panji Bojong Santilah yang menyuruh aku mengantarkannya kemari."
Witantra tertawa. Jawabnya, "Aku kira guru-pun mengetahui, apa yang tersirat di dalam hatinya. Memang tidak ada orang lain yang dapat melawannya di seluruh Tumapel, yang sekarang menyebut dirinya Singasari. Tidak ada orang yang dapat mengalahkan seorang yang bernama Mahisa Agni selain aku. Memang aku pernah di kalahkannya. Tetapi itu sudah lama berlalu. Sekarang keadaan pasti sudah berubah. Dan Witantra tidak akan dapat di kalahkannya lagi." Witantra berhenti sejenak, dan tiba-tiba pertanyaannya sangat mengejutkan Mahisa Agni, "Agni, apakah kau sudah berhasil membunuh Mahendra, sehingga kau sudah datang kepadaku, kepada saudara tertua di perguruan Panji Bojong Santi?"
Mahisa Agni benar-serasa terbungkam. Ia tidak mengerti bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Karena itu, maka ia duduk saja di atas punggung kudanya dengan jantung yang berdentangan.
"Kenapa kau diam saja?" lalu kepada cantrik itu Witantra bertanya, "he. apakah kau tahu. atau guru mengatakan kepadamu, bahwa Mahendra telah terbunuh?"
Cantrik itu menjadi semakin bingung, tetapi kepalanya tergeleng lemah, "Tidak. Aku tidak mengetahuinya."
Suara tertawa Witantra menjadi semakin menyakitkan hati. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Hem, begitu buas kau Mahisa Agni. Apakah kau akan mendapat upah yang terlalu besar dari Ken Arok?"
Mahisa Agni benar-benar serasa terbungkam. Hal yang sama sekati tidak disangka-sangkanya ternyata telah terjadi. Menurut dugaannya Witantra pasti seorang yang sudah menjadi semakin mapan dan mengendap, sehingga ia tidak akan terlalu banyak menjumpai kesukaran.
"Agni, ayo katakan dengan terus-terang. bahwa kau akan membunuhku."
Betapapun juga maka akhirnya Mahisa Agni mencoba untuk menjelaskan maksud kedatangannya, "Witantra, aku sama sekali tidak akan membunuhmu. Mahendra sama sekali juga tidak terbunuh."
Suara tertawa Witantra meninggi. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "O, kau benar-benar seorang buas yang licik. Kau mencoba menipu aku. Kemudian dengan diam-diam kau akan menusuk aku dari belakang." Witantra berhenti sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya, "Tidak Mahisa Agni, kau tidak akan dapat mengelabui aku, kau tidak akan dapat menipu aku lagi. Aku tahu pasti tujuanmu. Karena itu, marilah kita coba sekali lagi. Kau atau aku yang akan binasa kali ini."
"Witantra," potong Mahisa Agni yang menjadi semakin gelisah, "kau salah Witantra. Aku tidak akan berkelahi."
"Jangan kau kelabui aku. Kau tidak akan dapat berbuat curang. Ayo, kita berhadapan dengan jantan."
"Kau keliru." "Tentu tidak. Aku tidak akan keliru. Kebo Ijo itu sudah benar-benar mati. Aku sudah kau kalahkan di arena. Mahendra-pun sudah mati pula. Sekarang kau datang kemari. Apalagi he?"
"Memang, aku telah memperkuat keputusan untuk menetapkan Kebo Ijo bersalah. Aku telah naik ke arena waktu itu. Tetapi aku salah, pada waktu itu. Dan aku ingin minta maaf kepadamu Witantra."
"O," suara tertawa Witantra semakin keras, "kau benar-benar tidak tahu malu. Kenapa kau tidak menempuh jalan seperti yang pernah kau pergunakan" Naik ke arena" Kenapa kini kau lebih senang menjadi seorang yang licik?" Witantra berhenti sejenak, kemudian, "Mungkin karena kau sudah tahu. bahwa kau tidak akan dapat mengalahkan Witantra sekarang. Kau tidak akan dapat berbuat dengan cara yang pernah kau lakukan. Sedang kau masih tetap mendendam semua murid Panji Bojong Santi. Mungkin atas dorongan kegilaanmu, tetapi mungkin juga karena kau akan mendapat upah dari Ken Arok. Tetapi aku tidak peduli. Bagiku akibatnya akan sama saja. Kau dengan nafsu dendammu yang menyala-nyala, atau kau yang akan mendapat upah berlimpah-limpah dengan raja yang licik itu?"
"Tidak Witantra, kau salah sangka. Kau terlampau mendendam kepadaku, sehingga kau diganggu oleh bayangan-bayangan yang selalu menakut-nakuti perasaanmu."
"He," Witantra tiba-tiba terbelalak, "kau terlampau sombong. Apa yang aku takutkan padamu sehingga aku harus dengan gelisah menemuimu sekarang" He, kau kira otakku sudah tidak waras lagi sehingga hidupku selalu dibayangi oleh prasangka-sangka buruk saja" O Agni. betapa sombongnya kau. Kau merasa dirimu tidak terkalahkan sehingga aku yang terpencil ini selalu dibayangi oleh ketakutan yang sangat, sehingga aku menjadi gila."
Dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak mengerti apa yang akan dikatakannya. Ia merasa bahwa ia selalu salah. Apa yang diucapkan pasti menumbuhkan salah paham. Witantra pasti menanggapinya dengan dendam yang menyala di dadanya.
Apalagi ketika kemudian Witantra yang masih berdiri di atas pagar batu itu berkata, "Agni, jangan terlampau banyak bicara. Kita selesaikan saja masalah ini dengan segera. Marilah kita pilih sebuah arena yang dapat memberi kepuasan. Kau setuju?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak Witantra. aku tidak akan berkelahi."
"Lalu apa maksudmu datang kemari" Jangan begitu Agni. Kau adalah kakak seorang Permaisuri. Jagalah nama baik Ken Dedes yang kini bukan saja seorang Permaisuri seorang Akuwu, tetapi Permaisuri dari seorang raja yang besar."
Tetapi Mahisa Agni menggelengkan kepalanya sambil berkata berulang kali, "Kau keliru Witantra, kau keliru."
Dalam pada itu cantrik yang mengantarkannya menjadi bingung. Ia tidak mengerti pembicaraan apakah yang sedang berlangsung. Tetapi ketika ia mendengar Witantra menyebut Mahisa Agni sebagai seorang kakak dari Permaisuri Sri Rajasa. hatinya menjadi bertambah bingung. Tetapi kakak seorang Permaisuri itu kini sama sekali tidak berbuat apapun di hadapan Witantra. Mahisa Agni seakan-akan sama sekali tidak menanggapi tantangan Witantra yang meliliti tubuhnya dengan pakaian yang serba putih, namun di lambungnya tergantung sepasang pedang.
"Mahisa Agni adalah seorang yang luar biasa," berkata cantrik itu di dalam hatinya, "ia dapat bertempur seperti seorang yang dapat bermain sihir. Tanpa diketahui apa yang sudah dilakukannya, ia mampu melepaskan senjata-senjata lawannya. Dan menurut pengakuan Witantra sendiri, Mahisa Agni memang pernah mengalahkannya. Tetapi di hadapan Witantra kini Mahisa Agni seakan-akan seperti seorang yang sama sekali tidak berdaya."
"Agni," berkata Witantra, "ayo, cabut senjatamu!"
Mahisa Agni menggeleng, "Aku tidak bersenjata karena aku memang tidak ingin berkelahi Witantra."
"Jangan omong kosong. Cepat, sebelum aku berkeputusan membunuhmu."
Tetapi sekali lagi Mahisa Agni menggeleng, "Aku tidak bersenjata."
Witantra mengerutkan keningnya. Tiba-tiba dicabutnya sebuah pedang yang tergantung di lambungnya. Tanpa disangka-sangka dilemparkannya pedang itu kepada Mahisa Agni, "Pakai senjata itu."
Sekilas jantung Mahisa Agni disambar oleh keragu-raguan. Pedang itu meluncur terlampau cepat, sehingga waktunya untuk menimbang dan mengambil keputusan terlampau pendek. Tetapi karena kedatangannya memang sudah dilambari oleh kebulatan tekadnya untuk tidak membuat masalah baru, maka pada saatnya Mahisa Agni telah mengambil sikap. Tangannya yang sudah bergetar, sama sekali tidak bergerak untuk menangkap tangkai pedang yang meluncur di sampingnya. Dipandanginya saja pedang yang jatuh di tanah, beberapa langkah dari kudanya.
Sementara itu cantrik yang membawanya menjadi semakin heran. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang dihadapinya. Sejenak dipandanginya pedang yang tergolek di tanah itu dengan mata yang hampir tidak berkedip.
"Kenapa Mahisa Agni tidak memungutnya?" desisnya di dalam hati.
Tetapi Mahisa Agni benar-benar tidak memungutnya. Ia masih tetap duduk di punggung kudanya.
"Agni," berteriak Witantra, "kenapa tidak kau tangkap pedang itu?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku tidak memerlukannya."
"He," Witantra membelalakkan matanya, "kau benar-benar sombong. Kau sudah menghina aku untuk kesekian kalinya. Kau sangka kau sekarang dapat mengalahkan aku tanpa senjata."
"Bukan begitu. Maksudku, aku tidak memerlukannya karena aku memang tidak berhasrat sama sekali untuk berkelahi."
"Persetan," Witantra menggeram, "aku akan segera mengambil sikap. Aku akan membunuhmu. Melawan atau tidak melawan."
"Kalau itu jalan yang paling baik yang dapat kau tempuh Witantra, lakukanlah."
Witantra terdiam sejenak. Direnunginya wajah Mahisa Agni sejenak.
"Kau benar-benar tidak ingin berkelahi?" bertanya Witantra.
"Sudah aku katakan, aku tidak berniat untuk berbuat apapun di sini."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia membuka ikat pinggang kulitnya yang tebal berikut pedangnya. kemudian dilemparkannya ikat pinggang itu sambil berkata, "Aku memang sudah menyangka, bahwa kau sekarang sudah menjadi semakin masak."
Mahisa Agni serasa telah terpukau oleh sikap Witantra itu. Sejenak ia mematung. Detak jantungnya seakan-akan terhenti dan justru karena itu ia menjadi sangat bingung.
Bukan saja Mahisa Agni yang kebingungan. Tetapi cantrik yang datang bersamanya itu-pun sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Sambil menggelengkan kepalanya ia menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia melihat beberapa buah kepala yang tersembul dari balik regol dan pagar-pagar batu. Agaknya beberapa orang dari padukuhan terpencil itu lagi mengintip, apakah yang sebenarnya sudah terjadi di depan halaman rumah Witantra itu. Apalagi Witantra bagi orang-orang di sekitarnya dianggap sebagai seorang tetua dari padukuhan yang kecil itu.
Mahisa Agni dan cantrik itu menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat Witantra itu meloncat turun, dan perlahan-lahan melangkah maju mendekati Mahisa Agni.
"Turunlah Agni," berkata Witantra dalam nada yang jauh berbeda, "aku tidak bersungguh-sungguh. Aku hanya ingin membuktikan, apakah kau benar-benar telah berhasil meyakinkan dirimu sendiri, bahwa selama ini kau telah bertindak dengan tergesa-gesa."
Sesuatu terasa bergejolak di dalam dada Mahisa Agni. Sejenak ditatapnya Witantra dalam pakaian putihnya. Namun sejenak kemudian ia meloncat turun dari kudanya.
Witantra yang sudah menjadi semakin dekat itu-pun segera menangkap lengannya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata seperti kepada adiknya yang nakal, "Apakah kau sudah menemukan jawab tentang Kebo Ijo. Mahisa Agni?"
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Sejenak ia menjadi bingung sekali, namun kemudian ia menjawab, "Ya Witantra. Sekarang aku sudah dapat melihat dan meyakinkan, apa yang sebenarnya sudah terjadi. Aku datang kepadamu untuk menyerahkan diri. Aku merasa bahwa aku sudah terlampau banyak berbuat kesalahan."
Witantra tertawa. Tetapi nada tertawanya-pun jauh berbeda dengan nada tertawanya yang baru-baru saja diperdengarkannya dari atas dinding batu.
"Marilah. Aku memang sengaja menunggumu. Aku ingin mengerti bagaimana kau sekarang. Apakah kau masih juga diburu oleh ketergesa-gesaanmu seperti saat-saat itu."
"Darimana kau tahu bahwa aku akan datang kemari" Dan dari mana kau tahu, bahwa aku datang dengan penyesalan?"
Witantra tertawa pula. Kemudian katanya, "Marilah. Masuklah."
Mahisa Agni berdiri termangu-mangu, sehingga Witantra menariknya untuk melangkah memasuki regol. Ditepuknya pula pundak cantrik yang datang bersama Mahisa Agni itu sambil berkata, "Jangan bingung. Marilah, kita masuk ke dalam."
Mahisa Agni-pun melangkahkan kakinya tanpa sesadarnya. Namun sekali lagi ia bertanya, "Darimana kau tahu bahwa aku akan datang Witantra?"
Witantra mengangkat keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Ia berjalan saja langsung ke pendapa.
"Marilah kita masuk," desisnya.
Mahisa Agni dan cantrik itu-pun kemudian mengikatkan kudanya pada sebatang pohon di halaman. Kemudian dengan ragu-ragu mereka berjalan di belakang Witantra naik ke pendapa.
"Kita masuk ke pringgitan."
Mahisa Agni tidak menyahut. Ia berjalan saja di belakang Witantra bersama cantrik itu.
Sejenak kemudian pintu pringgitan itu-pun terbuka. Witantra segera mempersilahkan keduanya masuk ke dalam.
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu sejenak. Dari luar, pringgitan itu tampak agak gelap, sehingga ia tidak segera dapat melihat dengan jelas, apa yang ada di dalamnya.
"Masuklah," Witantra mempersilahkan.
Mahisa Agni-pun kemudian melangkah masuk. Ia tertegun ketika ia melihat seseorang telah lebih dahulu duduk di sudut pringgitan.
Terasa darah Mahisa Agni hampir terhenti, ketika ia mengenal siapakah yang duduk di pringgitan itu. Sejenak ia berdiri mematung namun kemudian ia membungkukkan kepalanya dalam-dalam sambil berkata lemah, "Jadi inikah sebabnya maka Witantra sudah mengetahui semuanya?"
Panji Bojong Santi yang duduk di pringgitan itu, mengangguk-angguk sambil tersenyum. Jawabnya, "Ya ngger. Aku ternyata datang lebih dahulu."
Cantrik yang datang bersama Mahisa Agni itu-pun mengangguk-angguk pula. "Hem," ia berdesah, "aku menjadi bingung. Kepalaku serasa akan terlepas dari leher ini."
"Duduklah," Panji Bojong Santi mempersilahkan.
Mahisa Agni dan cantrik itu kemudian duduk berhadapan dengan Panji Bojong Santi. Witantra-pun duduk pula di antara mereka.
"Aku menyusul kalian," berkata Panji Bojong Santi. "Bagaimana-pun juga hatiku selalu berdebar-debar sepeninggal angger. Meskipun menurut perhitunganku, Witantra tidak akan mudah terbakar oleh dendam, namun aku ingin juga melihat, apakah sebenarnya demikian." Panji Bojong Santi berhenti sejenak, "Ternyata bahwa aku datang lebih dahulu." Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, "Sebenarnyalah aku memang ingin mendahului, sehingga aku memilih jalan lain yang lebih pendek meskipun agak sulit. Tetapi agaknya kalian berhenti di perjalanan, ternyata kini sekarang kalian sampai."
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya, "Ya, kami memang berhenti di perjalanan. Bahkan kami terpaksa kembali ke kota mengantarkan serombongan pengungsi dari Kediri."
"Kenapa kalian harus mengantarkannya?"
Mahisa Agni menceriterakan sekilas tentang orang-orang Kediri yang saling bekejaran.
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Semula aku menjadi cemas, apakah cantrik ini tidak ingat lagi jalan yang harus kalian lalui, sehingga kalian tersesat."
"Tentu tidak," sahut cantrik itu, "aku adalah orang yang tajam ingatan. Sekali aku mengenal jalan ke mana-pun dan betapapun jauhnya, aku akan ingat seumur hidupku."
Panji Bojong Santi tersenyum, "Bagus, kau adalah seorang penunjuk jalan yang baik."
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu Mahisa Agni berkata kepada Witantra, "Aku sudah menjadi cemas atas sambutanmu. Aku kira aku akan dihadapkan pada keadaan tanpa pilihan."
Witantra tertawa. Katanya, "Aku sudah memperhitungkannya Agni. Namun aku masih ingin meyakinkan, bahwa kau sekarang sudah menjadi semakin matang. Kau tidak mudah lagi dibakar oleh goncangan-angan perasaanmu."
"Aku mengerti Witantra," sahut Mahisa Agni, "karena itulah maka aku datang kemari. Aku ingin minta maaf kepadamu, bahwa aku telah ikut serta, membuat kau kehilangan kesempatan mempertahankan kebenaran yang kau yakini."
"Saat itu kau mempunyai keyakinan yang berbeda."
"Dan agaknya aku telah terjebak dalam perangkap tanpa aku ketahui," jawab Mahhisa Agni, "aku memerlukan waktu untuk melihat kebenaran yang kau pertahankan saat itu. Tetapi agaknya aku terlampau lambat, sehingga keadaan sekarang sudah menjadi jauh berbeda."
"Aku mengerti Agni. Meskipun aku berada jauh dari kota, tetapi aku selalu mengikuti perkembangan yang ada. Kini kau tidak akan sampai hati untuk mengusik kedudukan tertinggi di Tumapel yang kemudian menyebut dirinya Singasari."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Singasari berkembang demikian pesatnya." Witantra berkata selanjutnya, "sehingga dengan demikian, maka kita-pun menganggap bahwa orang yang demikian, yang dapat memimpin pemerintah dengan baik itu, sangat diperlukan."
Mahisa Agni masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Betapapun besar kesalahan yang telah diperbuatnya untuk mencapai tingkat yang didudukinya sekarang, namun Singasari telah menerimanya sebagai seorang perkasa yang memberi harapan."
"Ya," sahut Mahisa Agni. "itulah sebabnya aku lebih dahulu datang kepadamu. Aku lebih mudah minta maaf kepadamu, daripada memperbaiki kesalahan yang telah aku lakukan. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Selain Singasari memang membutuhkannya, adikku-pun memerlukannya."
Witantra tersenyum. "Aku tahu."
"Karena itu, aku menenyerahkan diriku kepadamu. Apapun yang akan kau lakukan. Aku benar-benar ingin menebus kesalahan itu, tetapi aku tidak dapat melakukannya atas sumber kesalahan itu sendiri."
"Jangan kau sesalkan Agni. Kau boleh menyesal, tetapi jangan menjadi duri yang tajam di dalam hidupmu. Apa yang kau lakukan itu sebenarnya adalah akibat yang wajar dari perangkap yang sudah dipersiapkan baik-baik. Aku kagum atas kematangan persiapan yang hampir tidak dapat dihindari lagi oleh setiap orang yang memang dikehendaki. Adalah luar biasa pula ketajaman perasaanmu, sehingga kini kau dapat menemukan dirimu sendiri di dalam perangkap yang sudah sekian lama menjeratmu."
Ilmu Ulat Sutera 4 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Kesatria Baju Putih 15