Pencarian

Sepasang Naga Penakluk Iblis 9

Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


dan tidak minum minuman keras. Akan tetapi keduanya sama-sama
menikmati makanan dan minuman mereka, dan keduanya tetap
bijaksana dan tidak saling mencela.
"Tempat inipun indah sekali untuk melewatkan malam," kata Liongeng. "Enak sekali melepaskan lelah di atas batu-batu yang rata ini,
terlindung oleh pohon-pohon besar. Membuat api unggun juga amat
mudah karena banyak terdapat kayu kering."
"Omitohud, engkau betul, orang muda. Pinceng ingin beristirahat di
sini untuk semalam ini."
"Pinto juga ingin menikmati malam ini di sini. Bertilamkan rumput,
berdinding pohon?pohon, beratap langit dan berlampu sejuta bintang.
Siancai...... adakah yang lebih nikmat dari pada ini?"
Liong-eng tertawa, "Dan aku ingin sekali menambah pengetahuan
tentang hidup ini dari totiang dan losuhu berdua, yakni kalau ji-wi
(anda berdua) berkenan memberi wejangan kepadaku."
"Omitohud......, sudah sepatutnya yang kuat membantu yang lemah,
yang pandai menuntun yang bodoh, yang tua menasihati yang muda."
"Siancai......, kalau pinto dapat memberikan sesuatu kepadamu, orang
muda yang baik, pinto akan senang sekali. Daging ikan panggangmu
tadi jauh lebih bermanfaat dari pada seratus wejangan kosong hampa,
ha-ha!" 569 Mereka bertiga duduk di atas batu yang jaraknya ada dua meter satu
sama lain sehingga mereka dapat bercakap-cakap dengan santai.
Liong-eng lalu memulai dengan pancingannya.
"Ji-wi suhu adalah dua orang pendeta yang telah mengenakan jubah
pendeta dan karena itu tentu telah memiliki kebijaksanaan dan
keadaan hidupnya lain dari pada manusia biasa."
"Siancai......, apa bedanya pinto dengan orang lain" Pinto juga
manusia biasa!" "Omitohud......, benar apa yang dikatakan to-yu (sahabat) ini. Pinceng
juga hanya manusia biasa."
"Akan tetapi, ji-wi (anda berdua) adalah seorang tosu dan seorang
hwesio. Biarpun manusia biasa, telah memiliki pengetahuan luas
tentang kehidupan dan kebatinan. Yang kuherankan adalah melihat
perbedaan yang saling bertolak belakang antara ji-wi ketika kita
bersama-sama makan dan minum tadi. Kulihat bahwa totiang makan
daging ikan dan minum anggur, akan tetapi kulihat bahwa losuhu
tidak makan daging dan tidak minum-minuman keras. Nah, yang ingin
saya ketahui, mengapa ada perbedaan ini?"
Dua orang pendeta itu saling pandang. Api anggun masih bernyala
besar sehingga hawa menjadi hangat dan sinar api cukup menerangi
tempat itu sehingga mereka dapat saling melihat.
"Omitohud......! Hidup penuh penderitaan karena ulah manusia
sendiri. Kami tidak makan daging karena melihat kenyataan bahwa
daging mengandung rangsangan kepada tubuh, memperbesar nafsu
hewani. Selain itu, kami pantang menyiksa, pantang menyakiti dan
570 pantang kekerasan. Dengan demikian, mana mungkin kami harus
membunuh binatang hanya untuk memuaskan selera dan nafsu
hewani" "Adapun minum-minuman keras amat tidak baik untuk ketenangan
batin, karena minuman keras merangsang otak, membuat orang
menjadi mabok dan juga terikat. Kalau sudah melihat bahwa daging
dan arak itu buruk untuk badan dan batin, mengapa kita harus
memakannya dan meminumnya?"
Sambil berkata demikian, hwesio itu memandang kepada tosu di
depannya, akan tetapi dengan senyum yang lebar dan ikhlas, sama
sekali tidak mengejek atau menyalahkan walaupun mengandung
tantangan untuk berdebat.
Liong-eng mendengarkan dengan gembira. Pancingannya mengena
dan dia menanti jawaban tosu itu.
"Siancai......, memang benar bahwa hidup penuh penderitaan karena
ulah manusia sendiri! Alam sudah mempunyai aturan sendiri,
sehingga aturan yang diadakan manusia kadang-kadang malah
berlawanan dengan aturan alam dan ini menimbulkan kekacauan pada
alam yang hanya merugikan manusia sendiri!
"Pinto makan daging karena memang daging itu sudah diatur alam
untuk menjadi makanan manusia. Alam juga mengatur bahwa ada
beberapa macam daging yang tidak boleh dimakan, yang beracun dan
yang berbahaya bagi kesehatan badan manusia. Kekerasan dan
kebencian berada di dalam hati. Makan daging belum tentu berarti
menyiksa atau berkeras hati!
571 "Apakah makan sayur juga tidak berarti membunuh" Siapa berani
mengatakan bahwa pada sayur-sayuran itu tidak terdapat benda-benda
hidup dan bernyawa" Makan sayur berarti juga membunuh dan makan
banyak sekali mahluk hidup dan bernyawa! Jadi sama saja! Yang
penting adalah di dalam hati! Yang penting adalah kebijaksanaan
dalam memilih daging apa yang patut dimakan untuk mengenyangkan
perut dan mempertahankan hidup.
"Adapun tentang anggur...... ha-ha, alangkah bodohnya kalau tidak
mau meminumnya! Anggur merupakan minuman yang amat
menyehatkan. Tentu saja kalau terlalu banyak menjadi racun dan amat
tidak baik. Segala sesuatu yang kita, makan atau minum, betapapun
baiknya, kalau terlalu banyak tentu menjadi tidak baik! Minuman
keras, kalau sedikit, menjadi obat, kalau terlalu banyak menjadi racun.
Tergantung kepada kebijaksanaan kita sendiri, bukan" Bukan salah
minumannya atau makanannya! Pinto sudah puluhan tahun minum
arak atau anggur akan tetapi tidak pernah mabok dan tidak pernah
kecanduan!" "Omitohud...... apa yang dikatakan to-yu memang benar!" kata hwesio
itu menyambut sehingga Liong-eng makin gembira, mendengarkan
dengan penuh perhatian. "Tak dapat disangkal bahwa di dalam sayur, di dalam air, bahkan di
dalam hawa udara ini terdapat banyak mahluk hidup dan bernyawa
dan kalau kita makan sayur dan minum air, bahkan menghirup udara,
kita sudah membunuh dan makan mahluk-mahluk hidup bernyawa
yang amat kecil sehingga tidak nampak oleh mata. Akan tetapi,
setidaknya kita membunuh mahluk kecil tak nampak, yang berarti kita
melakukan pembunuhan tanpa disengaja. Tidak seperti kalau
572 menyembelih sapi, babi atau ayam, sengaja kita sembelih dan kita
makan dagingnya. "Biarpun demikian, pinceng membenarkan pendapat to-yu bahwa
segalanya yang menentukan adalah kebijaksanaan batin. Akan tetapi,
bagaimana batin dapat menjadi bijaksana kalau batin dibiarkan
menjadi hamba nafsu hewani" Nafsu akan menyeret batin sehingga
batin selalu menjadi haus akan kesenangan badani!
"Tepat sekali ucapan itu, to-yu! Ada dua macam dasar ketika kita
makan daging, yang pertama dasarnya adalah kebutuhan hidup, dan
yang kedua dasarnya adalah mencari kenikmatan atau keenakan.
Orang yang mengejar kenikmatan, baik melalui makan daging atau
melalui pertapaan sekalipun, keduanya menyimpang dari jalan
kebenaran!" Liong-eng mendengarkan dengan wajah berseri. Biarpun dua orang
pendeta ini bicara ramah dan agaknya seperti saling membenarkan,
namun pada dasarnya, terdapat perbedaan cara atau pandangan dalam
mengatur langkah hidup menuju kebenaran. Dia ingin menyelidiki
lebih mendalam lagi dan melihat betapa mereka seperti hendak
menghentikan perdebatan itu, diapun melempar umpan lagi.
"Maafkan saya, ji-wi suhu. Saya adalah seorang yang masih bodoh
dan tidak mengerti tentang kehidupan. Kalau mendengar uraian ji-wi
tadi, saya dapat menarik kesimpulan bahwa yang menyeret manusia
ke dalam kesengsaraan adalah perbuatan yang ditunggangi nafsu
rendah. Begitukah?" "Siancai, benar sekali, orang muda."
573 "Omitohud, memang demikianlah adanya," sambung hwesio itu.
Liong-eng mengangguk-angguk. "Kalau begitu, biang keladi
kesengsaraan manusia adalah nafsu-nafsu itu! Dari manakah
datangnya nafsu-nafsu ini, ji-wi suhu?"
"Nafsu" Ha-ha, nafsu terlahir bersama kita, orang muda. Bukankah
demikian, to-yu?" "Omitohud, benar sekali. Nafsu terlahir bersama kita!"
Liong- eng mengerutkan alisnya. "Totiang dan suhu, bukankah kita
dilahirkan di dunia, sebagai manusia ini atas kehendak Tuhan Yang
Maha Kuasa?" "Benar sekali!" kata dua orang pendeta itu hampir berbareng.
"Dan bukankah Tuhan Maha Kasih dan Maha Adil?"
"Benar sekali!" kembali keduanya mengangguk.
"Kalau begitu, mengapa Tuhan melahirkan kita disertai nafsu yang
hanya akan menyeret kita ke dalam perbuatan jahat dan yang
akibatnya membuat kehidupan penuh kesengsaraan?"
"Omitohud......, orang muda, buanglah jauh-jauh pikiran menyalahkan
Tuhan itu!" "Siancai......, Tuhan Maha Kasih. Tuhan telah mengatur segalanya
dengan tertib, dengan sempurna. Segala sesuatu datang dari Dia dan
kembali kepada Dia! Tuhan Maha Sempurna, tidak ada kesalahan
574 setitik debupun, orang muda! Segala yang diciptakannya adalah
sempurna, seperti Sang Penciptanya sendiri!"
"Tapi...... tapi... mengapa Dia menyertakan pula nafsu kepada kita"
Bukankah nafsu hanya akan menyeret kita ke dalam kesengsaraan?"
Liong-eng membantah untuk memancing,
"Nafsu adalah nafsu, seperti juga benda dan mahluk lain. Tidak jahat
dan tidak baik! Kalau bisa disebut buruk, sudah pasti ada
kebaikannya. Di sinilah letaknya rahasia Im-yang. Mana bisa ada
sebutan buruk kalau tidak ada sebutan baik" Kalau kita sudah
mengatakan bahwa nafsu itu buruk, maka sudah pasti di lain pihak
nafsu itu juga baik!" kata tosu itu.
"Akan tetapi, di mana letak kebaikannya, totiang?" Liong-eng
mengejar. "Lihat, orang muda. Tanpa adanya nafsu, bagaimana mungkin kita
dapat hidup di dunia ini" Ketika manusia terlahir sebagai bayi, dia
belum mampu mempergunakan alat pikiran yang sudah ada padanya,
karena itu, hanya nafsu yang membimbingnya agar dapat hidup. Dia
sudah dapat membedakan mana enak mana tidak enak tanpa
menggunakan pikirannya. "Setelah dia mulai memiliki kemampuan menggunakan alat berupa
akal pikirannya, maka nafsu menyusup dan bersatu dengan pikiran,
membentuk si aku yang selalu ingin enak menurut apa yang pernah
dialaminya. Dan kalau orang sudah diperhamba nafsu, maka dia akan
selalu mengejar keenakan tanpa memusingkan hal-hal lain, dan
pengejaran terhadap keenakan atau kesenangan inilah yang
575 membuahkan kejahatan!" perbuatan-perbuatan jahat, penyelewengan dan "Kalau begitu, nafsu itu jahat sekali!" seru Liong-eng. "Dan tidak ada
gunanya!" "Siancai......! Jangan bilang begitu, orang muda. Tanpa ada nafsu,
bagaimana mungkin kita hidup" Ingat, apa yang menyebabkan kita
dapat merasakan enak kalau makan" Kalau mendengarkan sesuatu,
melihat sesuatu, mencium sesuatu, apa yang membuat kita
memperoleh kenikmatan dari pancaindera kita kalau bukan nafsu"
Yang mendorong kita untuk hidup adalah nafsu. Tanpa nafsu, mana
mungkin kita dapat hidup"
"Omitohud......, ucapan itu benar sekali. Nafsu banya menjadi buruk
kalau menjadi majikan dan memperhamba kita, akan tetapi menjadi
suatu rahmat dan nikmat kalau kita yang memperhambanya. Nafsu
seperti air dan api dan angin, menjadi hamba yang baik sekali akan
tetapi menjadi raja yang amat bengis! Nafsu bagaikan kuda-kuda
penarik kereta, kalau terkendali dapat membawa kereta kepada
kemajuan, sebaliknya kalau tak terkendali dan kabur, dapat membawa
kereta terjun ke dalam jurang!" kata hwesio itu.
Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) itu tersenyum dan hatinya
merasa girang bukan main. Tidak percuma dia menjamu dua orang
pendeta ini dengan hidangan yang amat bersahaja, akan tetapi sebagai
imbalannya dia telah mendengarkan percakapan yang amat mendalam
dan amat penting bagi pengertian hidupnya.
576 Dia memandang kedua orang pendeta itu dan tiba-tiba saja dia tertawa
geli, tak tertahankan sehingga dua orang pendeta itu memandang
kepadanya dengan mata bertanya-tanya.
"Eh, orang muda, apanya yang lucu?" tanya si tosu.
"Omitohud, engkaulah yang lucu, orang muda. Kami bicara serius
tentang soal-soal kehidupan yang mendalam, engkau malah tertawa
seperti melihat dan mendengarkan celoteh dua orang badut di
panggung!" sambung si hwesio dengan senyum polos, sama sekali
tidak merasa tersinggung.
Pendekar Naga Putih adalah seorang yang bukan saja gagah perkasa,
memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi dia juga pandai dalam
ilmu sastra dan sudah banyak mempelajari buku-buku suci dan tahu
tentang tata susila dan kebudayaan. Maka diapun menginsyapi
sikapnya yang kurang patut itu maka cepat dia berdiri dan memberi
hormat dengan bersoja kepada mereka berdua.
"Harap ji-wi (kalian berdua) suka memaafkan sikap saya yang lancang
dan kurang patut. Akan tetapi entah mengapa, tiba-tiba saja saya ingin
tertawa dan merasa geli, yaitu setelah melihat keadaan tubuh ji-wi."
"Siancai......! Ada apakah dengan tubuhku yang tinggi kurus ini?"
"Omitohud, agaknya tubuh pinceng yang pendek gendut ini yang
nampak lucu?" sambung si hwesio.
"Sekali lagi maaf, ji-wi losuhu dan totiang, karena entah bagaimana,
melihat bentuk tubuh ji-wi, mendadak saya menjadi geli dan ingin
sekali tertawa. Totiang suka makan daging akan tetapi bertubuh kurus
577 sebaliknya losuhu yang tidak makan daging, hanya makan sayur,
mengapa malah gemuk" Sungguh keadaan yang amat terbalik dan
lucu!" Akan tetapi sekali ini Pek-liong-eng Tan Cin Hay tidak tertawa
lagi karena dia sudah mampu menguasai perasaan hatinya.
Tosu itu tertawa. "Ha-ha-ha, apanya yang aneh, orang muda" Memang
sudah semestinya begitu. Lihat saja, harimau yang suka makan daging
itu tubuhnya kuat dan perutnya kecil, termasuk kurus. Sebaliknya
kerbau yang hanya makan rumput dan daun-daunan, perutnya gendut!
Ha-ha-ha!" Hwesio itupun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, omitohud! Engkau
hendak memaki pinceng seperti kerbau, to-yu" Kalau ingin memaki,
langsung saja, kenapa harus berbelok-belok" He, orang muda,
mengapa engkau tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk. Lihat saja. Semua binatang yang makan sayur dan rumput
saja merupakan binatang yang memenuhi segala segi kebaikan.
"Yang paling kuat di antara binatang" Gajah dan gajah pemakan
rumput dan sayur, tak pernah makan daging! Yang paling tangkas dan
cepat" Kuda, juga pemakan sayur dan rumput, tidak makan daging.
Yang paling berguna bagi manusia" Kerbau, lembu, kambing,
kesemuanya tidak makan daging, hanya rumput dan daun-daunan.


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Burung apa yang paling indah dan paling suaranya" Burung-burung
yang tidak pernah makan daging, melainkan makan biji-bijian.
"Semua binatang yang tidak makan daging pada umumnya lembut dan
baik, jinak dan tidak pernah buas. Sekarang lihat binatang yang makan
daging! Paling buas dan liar" Harimau, pemakan daging. Paling licik
dan menjijikkan" Ular, pemakan daging. Dan burung-burung pemakan
578 daging amat buruk dan suaranya mengerikan, seperti burung gagak,
burung pemakan bangkai, dan lain-lain!"
Tosu itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, memang engkau ini pandai
sekali to-yu. Tapi bagaimanapun juga, pinto lebih suka menjadi seekor
harimau yang perkasa dari pada seekor babi gemuk!"
Melihat suasana menjadi panas dan tidak enak. Pek-liong-eng cepat
melerai dan memberi hormat. "Sudahlah, harap ji-wi suka
menghentikan percakapan mengenai makan daging dan makan sayur
ini. Saya yang tadi bersalah menyinggung soal itu. Akan tetapi, kita
bertiga sudah makan minum bersama, bercakap-cakap dengan akrab,
akan tetapi belum saling mengenal nama......"
"Siancai......! Apa sih artinya nama, kedudukan dan penggolongan
perorangan" Semua itu hanya mendatangkan garis pemisah di antara
manusia!" "Omitohud, tepat sekali ucapan itu! Begitu ada nama, maka si anu
bermusuhan dengan si anu, golongan dengan golongan, bangsa
dengan bangsa. Penggunaan nama adalah suatu kebodohan!" sambung
si hwesio sambil tersenyum lebar.
Pek-liong-eng juga tersenyum. "Biarlah saya masuk ke dalam
golongan yang bodoh saja karena saya ingin sekali mengenal nama jiwi agar saya tahu dengan siapa saya berhadapan. Saya sendiri
bernama Tan Cin Hay, tinggal di dusun luar kota Hang-kouw dekat
Telaga See-ouw......"
"Omitohud, kiranya engkau adalah Pek-liong-eng, pendekar besar
itu?" seru si hwesio.
579 "Tak salah lagi," sambung si tosu. "Pinto (aku) pun sudah mendengar
akan nama besar pendekar muda yang telah menghancurkan
gerombolan Hek-sim Lo-mo!"
Pek-liong-eng tersenyum. Tak disangkanya bahwa namanya yang
sebenarnya belum begitu dikenal itu telah menjadi terkenal karena
sepak terjangnya membasmi Hek-sim Lo-mo bersama Hek-liong-li!
Diapun memberi hormat dengan sikap merendah.
"Saya yang muda dan belum banyak pengalaman masih
mengharapkan banyak petunjuk dari ji-wi. Kalau boleh saya
mengetahui, siapakah nama dan julukan totiang?" tanyanya kepada si
tosu. "Omitohud, siapa lagi tosu rakus ini kalau bukan Tiong Tosu?" seru si
hwesio gendut. Tosu itu tertawa. "Memang benar pinto di-sebut Tiong Tosu tanpa
julukan apapun, dan hwesio gendut pemakan rumput ini tentulah
Yong Hwesio!" Hwesio itupun tertawa dan diam-diam Pek-liong-eng Tan Cin Hay
terkejut. Biarpun dua nama itu sederhana saja, namun pernah dia
mendengar akan nama mereka sebagai orang-orang yang amat pandai,
sambil beribadah mereka berkelakar, sambil berkelakar mereka
menentang kejahatan dan membikin gentar nama para penjahat di
sepanjang pantai utara sampai ke selatan! Cepat dia memberi hormat
kepada kedua orang pendeta itu.
"Ah, kiranya saya berhadapan dengan dua orang locianpwe yang
nama besarnya menggetarkan kolong langit!" katanya dengan kagum.
580 Dua orang pendeta itu saling pandang dan tertawa geli. Tiong Tosu
yang tinggi kurus itu memandang kepada Pek-liong-eng dengan penuh
perhatian, mengamati dari kepala sampai ke kaki, agaknya terheran
dan sukar dapat percaya bahwa pemuda ini mampu membasmi
seorang datuk besar seperti Hek-sim Lo-mo yang merupakan seorang
di antara Kiu Lo-mo atau Sembilan Iblis Tua yang merupakan datukdatuk besar sakti.
"Tidak ada gunanya kita saling puji dan saling merendah. Taihiap
adalah seorang yang gagah perkasa dan berhasil menumbangkan
kekuasaan Hek-sim Lo-mo yang amat jahat dan sakti. Pinto kagum
dan tunduk. Kalau boleh kami ketahui, urusan apakah yang membawa
taihiap dari Telaga See-ouw datang ke Telaga Po-yang ini?"
"Pinceng (aku) juga ingin sekali tahu, karena kalau muncul seorang
pendekar seperti Tan Taihiap, tentu akan terjadi urusan besar!"
sambung Yong Hwesio yang gendut.
Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) atau disingkat Pek-liong (Si
Naga Putih) terse-nyum. "Terus terang saja, ji-wi lo-cianpwe. Saya
tidak mempunyai urusan tertentu di Telaga Po-yang ini. Saya sedang
menganggur di rumah dan merasa kesal, maka saya melakukan
perjalanan merantau dan setiba saya di tempat ini, hati saya tertarik
dan saya berperahu mencari ikan. Tiada kepentingan khusus dan kalau
tidak terjadi sesuatu, besok pagi saya akan melanjutkan perjalanan
meninggalkan telaga ini. Nah, saya sudah berterus terang. Tidak tahu
apakah ji-wi juga mau berterus terang" Tentu kalau dua orang tokoh
besar seperti ji-wi datang ke telaga ini, dapat dipastikan ada sesuatu
yang menarik." 581 Tiong Tosu menghela napas panjang dan dia memandang ke arah
tengah telaga. Bulan telah menerangi permukaan telaga. Air telaga itu
tenang dan sama sekali tidak bergerak, memantulkan bulan dan
sinarnya, nampak indah bukan main, sunyi dan juga penuh rahasia.
"Telaga ini menyembunyikan rahasia besar," kata Tiong Tosu,
suaranya dalam dan penuh kesungguhan, matanya tak pernah berkedip
memandang ke tengah telaga, seolah dia mengharapkan munculnya
mahluk aneh dari sana dengan tiba-tiba. "Pinto mendengar dongeng
menarik sekali tentang telaga ini dan untuk itulah maka pinto kini
datang ke sini." "Nanti dulu, Tiong Tosu! Apakah dongengmu itu ada hubungannya
dengan Patung Emas?"
Tosu itu terbelalak memandang kepada hwesio gendut. "Yong
Hwesio, jadi engkau sudah tahu?"
"Omitohud, tentu saja. Justeru untuk itulah pinceng datang ke sini.
Akan tetapi lanjutkan ceritamu, nanti giliran pinceng bercerita."
Tosu itu mulai bercerita, didengarkan penuh perhatian oleh Pek Liong
dan Yong Hwesio. Dongeng itu menceritakan tentang Kerajaan Cin
pada kurang lebih delapanratus tahun yang lalu.
Raja besar Cin Si Huang-ti adalah seorang raja yang keras dan aneh,
yang suka dan percaya akan ilmu-ilmu gaib dan kesaktian-kesaktian.
Bahkan dia berguru kepada banyak pertapa sakti dengan maksud
untuk mencari ilmu menentang maut, yaitu ingin hidup abadi di dunia
ini! Menurut dongeng itu, pada suatu hari dia mendaki Gunung Thai582
san di Shan-tung, dan di situ dia bertemu dengan seorang pertapa yang
memberikan beberapa butir pel panjang usia kepadanya!
Menurut dongeng, siapa yang minum pel itu, setiap butir, usianya
akan bertambah empatpuluh tahun! Cin Si Huang-ti menerima
duapuluh butir, berarti dia akan dapat menambah umurnya selama
delapanratus tahun! Akan tetapi, menurut pertapa itu, pel itu baru ada
khasiatnya dan manjur kalau dibiarkan menghisap sari air Telaga Poyang selama sepuluh tahun!
Cin Si Huang-ti lalu kabarnya menyembunyikan obat-obat penentang
maut itu dalam sebuah patung emas dan kabarnya patung emas itu
disembunyikan di sekitar telaga, atau mungkin di dalam telaga! Dan
ada berita angin pula bahwa selain obat itu, disimpan pula harta karun
yang amat besar jumlahnya. Akan tetapi seperti diketahui dari sejarah,
Cin Si Huang-ti meninggal dunia sebelum minum obat itu, bahkan dia
meninggal dalam usia yang masih belum tua benar, di bawah
limapuluh tahun! "Dongeng itulah yang membawa pinto datang ke sini," Tiong Tosu
mengakhiri cerita- nya. "Dan ada berita lagi bahwa setelah raja itu
mati, muncul sebuah peta yang katanya menunjukkan di mana adanya
patung emas yang disembunyikan itu."
Pek-liong mendengarkan dengan hati tertarik. Dongeng yang nampak
menarik dan bagus karena diceritakan di tepi Telaga Po-yang, pada hal
dalam dongeng itu disebutkan bahwa harta dan obat sakti itu
disembunyikan di sekitar Telaga Po-yang!
583 "Omitohud...... sungguh kebetulan sekali! Kedatangan pinceng ke sini
justeru ada hubungannya pula dengan peta rahasia penyembunyian
patung emas itu!" "Eh, bagaimana bisa serba kebetulan itu. Ceritakan, Yong Hwesio!"
kata Tiong Tosu dan Pek-liong mendengarkan semakin tertarik.
"Tak jauh dari telaga ini terdapat sebuah kuil kecil. Pinceng mengenal
baik ketuanya. yaitu Loan Khi Hwesio. Baru-baru ini pinceng
kedatangan seorang hwesio dari kuil itu yang minta pertolongan
pinceng untuk mencari Loan Khi Hwesio yang katanya diculik orang
jahat!" "Wah" Untuk apa orang jahat menculik seorang hwesio tua?" Tiong
Tosu berseru kaget dan heran, hampir tidak percaya.
"Menurut keterangan para hwesio, pada suatu hari datang empat orang
penjahat ke kuil mereka dan dengan paksa membawa Loan Khi
Hwesio. Para hwesio di kuil itu, sebanyak lima orang, melawan akan
tetapi mereka semua roboh terluka. Loan Khi Hwesio mereka culik
dan tidak pernah kembali ke kuil."
"Eh, Yong Hwesio, apa hubungannya ceritamu tentang penculikan
Loan Khi Hwesio itu dengan urusan peta patung emas?" tanya Tiong
Tosu, mengerutkan alisnya.
"Hubungannya dekat sekali karena Loan Khi Hwesio itulah yang
tadinya menjadi pemilik peta patung emas."
"Siancai......!"
584 "Ahhh......!" Pek-liong menjadi semakin tertarik sedangkan Tiong
Tosu terbelalak memandang kepada Yong Hwesio. "Sungguh suatu
kebetulan yang menarik sekali!"
"Siapakah orang-orang jahat yang menculik Loan Khi Hwesio itu?"
tanya Tiong Tosu. "Tidak ada yang mengetahuinya, hanya para hwesio itu menceritakan
bahwa mereka itu orang-orang kasar yang amat lihai dan mereka
mengatakan bahwa mereka membawa Loan Khi Hwesio untuk
dihadapkan kepada Beng-cu mereka.
"Dan...... peta itu......?" Pek-liong bertanya.
"Sabarlah, Tan Taihiap. Akan pinceng ceritakan semua. Menurut
keterangan para hwesio kuil itu, Loan Khi Hwesio yang memiliki peta
itu tidak lagi membawa peta itu dengannya, karena peta itu telah dia
berikan kepada orang lain, seorang dermawan yang suka menderma
kepada kuil. Dan sekarang berita yang paling aneh dan amat
mengguncang perasaan pinceng. Yaitu, selagi Loan Khi Hwesio
sendiri belum diketahui bagaimana nasibnya, dermawan itu telah
kedapatan mati terbunuh di atas perahu sewaannya di Telaga Poyang!"
"Siancai......!" Tiong Tosu berseru dan Pek-liong juga terkejut.
Sungguh amat menarik dan penuh rahasia.
"Dermawan itu bernama Thio Kee San, seorang pemilik perahu
sewaan di Telaga Po-yang. Pada suatu pagi dia kedapatan tewas
terbunuh di atas perahunya. Tidak ada yang tahu siapa yang
membunuhnya, hanya ada kabar bisik-bisik bahwa malam itu
585 perahunya dipakai oleh Po-yang Sam-liong, yaitu tiga orang jagoan
yang menguasai Po-yang."
"Dan peta patung emas itu tadinya berada pada Thio Kee San?" tanya
Pek-liong. "Hal itu siapa yang mengetahuinya, taihiap" Mungkin dia bawa,
mungkin pula tidak. Akan tetapi, para hwesio itu menceritakan hal
lain yang lebih aneh, yaitu bahwa di kota Nan-cang, tak jauh dari sini,
terjadi keributan di rumah pelacuran yang bernama Rumah Merah. Poyang Sam-liong di rumah pelesir itu, mengamuk dan menangkap
seorang pelacur bernama Bi Hwa, menyiksanya kemudian membawa
pergi entah ke mana. Menurut keterangan para penghuni rumah pelesir
itu, Po-yang Sam-liong bertanya apakah Bi Hwa itu kekasih dari
mendiang Thio Kee San."
"Siancai, tentu ada hubungannya dengan peta rahasia itu! Agaknya
mereka tidak dapat menemukan peta itu pada Thio Kee San, lalu
mereka mencari orang yang paling disayang oleh Thio Kee San, maka
mereka menyangka bahwa peta itu disimpan oleh pelacur Bi Hwa.
Aih, lalu apa yang terjadi dengan Bi Hwa?"
"Sampai kini tidak ada yang tahu. Bi Hwa lenyap seperti juga Loan
Khi Hwesio," kata Yong Hwesio. "Ini menurut penuturan para hwesio
di kuil itu." Tiba-tiba Pek-liong memberi isyarat kepada dua orang pendeta itu
untuk menghentikan percakapan. Sebuah perahu besar meluncur di
tepi telaga itu, dan di atas perahu itu kelihatan ada lima orang laki-laki
tinggi besar yang agaknya mengamati mereka bertiga yang duduk di
daratan tepi telaga. 586 Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan seekor kuda tinggi besar yang
ditunggangi seorang laki-laki muda lewat pula dekat mereka.
Penunggang kuda ini tentu mahir sekali menunggang kuda. Di malam
hari begini dia berani menunggang kuda dengan cepat dan cara dia
duduk tegak di atas pelana kuda juga membuktikan kemahirannya.
Di bawah sinar bulan yang cukup terang, Pek-liong melihat bahwa
penunggang kuda itu seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah,
berpakaian serba putih seperti dia, hanya bedanya, kalau dia
berpakaian secara sederhana saja, pria itu mengenakan pakaian putih
dari sutera tersulam dan sepatunya mengkilat. Juga sebatang pedang
tergantung di punggungnya, seperti juga lima orang laki-laki tinggi
besar yang naik perahu itu, si penunggang kuda juga menoleh ke arah
mereka dan mengamati mereka penuh perhatian dengan pandang
matanya yang bersinar tajam.
Tiong Tosu dan Yong Hwesio saling pandang. "Agaknya kebetulan
saja mereka itu lewat," kata Tiong Tosu dan Yong Hwesio
mengangguk. "Bagaimanapun juga, pinceng tidak dapat mendiamkan saja Loan Khi
Hwesio lenyap diculik orang. Pinceng mendapat perasaan buruk
bahwa dia sudah tewas."
"Siancai......, agaknya engkau benar, Yong Hwesio. Pinto juga
mempunyai perasaan bahwa pelacur bernama Bi Hwa yang lenyap
dibawa orang itupun agaknya telah tewas. Lalu, apa yang akan
kaulakukan?" "Omitohud, pinceng harus menyelidiki. Bukan hanya untuk merebut
peta itu, karena pinceng tidak membutuhkan semua harta benda itu,
587 melainkan terutama sekali untuk menyelidiki bagaimana nasib Loan
Khi Hwesio. Biarpun para hwesio tidak mengenal empat orang
penyerbu itu dan mereka itu bukan Po-yang Sam-liong, namun jelas
bahwa Po-yang Sam-liong, mempunyai kaitan dengan peristiwa itu.
Maka, pinceng hendak mencari Po-yang Sam-liong dan minta
keterangan dari mereka!"
"Siancai......! Itu bagus sekali dan pinto akan membantumu, Yong
Hwesio. Kita berdua adalah orang-orang tua yang tidak membutuhkan
harta benda, akan tetapi demi menentang kejahatan dan kekejaman,
kita harus bertindak."
"Bagus, Tiong Tosu. Pinceng sudah lama mendengar akan sepak
terjangmu, dan senang sekali bekerja sama denganmu sekali ini!" kata
Yong Hwesio dengan gembira sekali.
Melihat kegembiraan dua orang tua itu, diam-diam Pek-liong merasa
kagum, akan tetapi juga khawatir. "Saya harap ji-wi locianpwe (kedua
orang tua perkasa) suka berhati-hati. Menurut pendapat saya, lima


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang dalam perahu dan si penunggang kuda bukan kebetulan saja
lewat di sini. Cara mereka memandang ke arah kita sungguh tidak
sewajarnya. Saya juga mempunyai perasaan bahwa ada kekuatan besar
tersembunyi di balik semua peristiwa itu dan mungkin saja mereka
yang disebut Po-yang Sam-liong itu hanyalah anak buah belaka."
"Hemm, bagaimana taihiap bisa memperoleh pendapat seperti itu?"
tanya Yong Hwesio. "Seperti yang locianpwe ceritakan tadi, Loan Khi Hwesio diculik dan
tidak nampak kembali" demikian pula Bi Hwa diculik oleh Po-yang
Sam-liong dan tidak pernah kembali, sedangkan orang she Thio itu
588 dibunuh di atas perahunya. Andaikata yang mengejar peta itu empat
orang penyerbu kuil atau juga Po-yang Sam-liong, tentu mereka tidak
akan menculik orang. Kalau mereka menculik, itu hanya berarti bahwa
mereka tidak dapat mengambil keputusan sendiri dan membawa para
korban ttu kepada atasan mereka!"
"Siancai......! Ada benarnya juga keterangan Tan Taihiap ini!" kata
Tiong Tosu. "Ini hanya perkiraan saya saja, belum tentu benar. Betapapun juga,
saya hanya mengharap agar ji-wi suka berhati-hati."
"Bagaimana dengan engkau sendiri, Taihiap" Bagaimana kalau
engkau suka pula bergabung dengan kami dan melakukan
penyelidikan bersama?"
Pek-liong memang sudah tertarik sekali. Akan tetapi dia tidak pernah
bekerja sama dengan orang lain, kecuali tentu saja dengan Hek-liongli.
"Terima kasih, saya kira ji-wi berdua sudah lebih dari cukup untuk
membongkar rahasia itu. Saya...... ah, mungkin saya akan
memperpanjang tinggal saya di daerah ini. Telaga ini memang
menarik sekali, banyak rahasianya," katanya.
Tiba-tiba ketiganya berloncatan bangun dari tempat duduk di atas batu
dan rumput. Sambil melompat mereka sudah mengelak dan ternyata
ada tiga batang piauw, yaitu senjata rahasia runcing menyambar ke
arah mereka. Untung bahwa mereka bertiga adalah ahli-ahli silat yang
sudah lihai, maka dengan mudah mereka mampu menghindari dari
serangan gelap itu. 589 Pek-liong sudah berkelebat ke kiri untuk menangkap orang yang telah
menyerang mereka. Tiga batang piauw itu tadi menyambar dari kiri,
dari balik sebatang pohon besar. Akan tetapi, dia hanya melibat
berkelebatnya bayangan putih disusul derap kaki kuda yang lari
menjauh. Dia kagum bukan main.
Si penunggang kuda baju putih itu ternyata mampu bergerak luar biasa
cepatnya. Mengejar di dalam hutan itu tidak ada gunanya, apa lagi di
malam hari. Dia tidak mengenal daerah itu. Maka diapun kembali dan
menghampiri dua orang pendeta yang masih berdiri di situ.
"Dia adalah si penunggang kuda tadi. Dapat berlari cepat dan
melarikan diri dengan kudanya," kata Pek-liong. "Nah, sekarang
terbukti kekhawatiranku tadi. Harap ji-wi berhati-hati sekali. Baru si
penunggang kuda putih itu tadi saja sudah lihai bukan main! Pertama,
dia mampu melepaskan tiga batang piauw sekaligus ke arah kita dan
lemparannya tadi cukup bertenaga. Lihat, ini yang sebatang menancap
di sini!" Dia mencabut sebatang piauw yang menancap hampir masuk semua
ke dalam sebatang pohon. Piauw itu tercabut dan di bawah sinar
bulan, Pek-eng mengamati. "Ahh, piauw ini bukan saja dilempar
dengan kecepatan tinggi tanda bahwa pelemparnya bertenaga besar,
akan tetapi juga ujungnya mengandung racun berbahaya dan
mematikan. Serangan tadi dimaksudkan untuk membunuh kita! Dan
kedua, orang itu memiliki gin-kang yang amat tinggi sehingga ketika
saya tadi mengejar, dia sudah lari jauh."
Dua orang pendeta itu saling pandang lalu mengangguk-angguk,
kemudian mereka berpamit. "Terima kasih atas peringatan Taihiap.
590 Setelah terjadi serangan tadi, kami berpikir untuk memulai dengan
penyelidikan kami sekarang juga!" kata Yong Hwesio.
"Benar sekali, Taihiap. Kami akan pergi ke bandar dan di sana
mencari keterangan tentang Po-yang Sam-liong, di mana mereka
tinggal dan sebagainya."
Pek-eng membalas penghormatan mereka. "Selamat jalan dan selamat
bekerja, ji-wi lo?cianpwe. Akan tetapi sekali lagi, harap ji-wi berhatihati."
Dua orang pendeta itu membawa buntalan mereka dan meninggalkan
tempat itu, diikuti pandang mata Pek-eng yang diam-diam
mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua. Akan tetapi, tentu saja
tidak mungkin dia harus menjaga keselamatan semua orang, apa lagi
dua orang pendeta itu bukan orang sembarangan dan sudah memiliki
tingkat kepandaian yang tinggi.
Hal ini sudah dibuktikan melihat cara mereka tadi menghindarkan diri
dari sambaran piauw, demikian cekatan dan mudah sekali. Tidak
sembarang penjahat saja akan mampu mengalahkan mereka, apa lagi
kalau mereka maju bersama.
"Y" Pagi itu indah sekali. Sinar matahari sudah membakar langit di timur,
mula-mula sinarnya kemerahan, makin lama semakin pucat dan
akhirnya putih seperti perak dan menyilaukan mata. Tadinya cahaya
kemerahan ikut membakar permukaan telaga yang tenang, kemudian
permukaan itupun menjadi putih menyilaukan dan setelah matahari
muncul di ufuk timur, bayangan matahari kemerahan terpantul di situ.
591 Karena air demikian diam, matahari itu seperti sebutir bola kemerahan
besar yang tenggelam ke dasar telaga.
Makin terang, makin terbentuklah suatu garis putih kemilau di
permukaan air. Bukit-bukit di sekeliling telaga muncul dari kegelapan,
pohon-pohon nampak segar menghijau, bagaikan puteri-puteri yang
baru saja mandi. Butir-butir embun di ujung daun bagaikan mutiara
berkilauan di ujung telinga puteri jelita.
Burung-burung sudah sibuk sekali. Mahluk yang paling sibuk ini
menyambut datangnya hari dengan kicau yang hiruk pikuk, bagaikan
sekelompok wanita genit yang siap-siap pergi ke pasar. Sambil
berkicau mereka beterbangan dan berloncatan dari dahan ke dahan,
seolah-olah hendak meninggalkan pesan yang cerewet sebelum
berangkat bekerja. Akhirnya, berkelompok-kelompok mereka itu
berangkat bekerja! Mencari makan!
Pek-liong-eng Tan Cin Hay menikmati keindahan alam ini. Pagi-pagi
sekali dia sudah terbangun dari tidurnya yang nyenyak di tepi telaga,
lalu menuju ke tengah telaga dengan perahu kecilnya, mendayung
seenaknya dan setelah tiba di tengah telaga, dia membiarkan
perahunya bergerak sendiri menurut aliran air yang lemah. Angin
bersilir lembut sehingga permukaan telaga tidak terlalu terpengaruh.
Tiba-tiba Pek-liong-eng sadar dari lamunannya. Lorong perak yang
dibuat matahari di permukaan telaga itu terguncang dan terputus.
Sebuah perahu meluncur dengan cepatnya. Dia mengangkat muka
memandang dan diapun terpesona. Pandang matanya bertemu dengan
wajah yang amat manis, bentuk tubuh yang amat menggairahkan, dari
seorang gadis yang usianya paling banyak sembilanbelas tahun!
592 Gadis itu mengenakan baju luar semacam mantel atau jubah yang
lebar, diselimutkan menutupi tubuhnya. Namun karena di bagian
pinggangnya diikat dengan tali sutera, maka masih nampak bentuk
tubuhnya yang menggairahkan. Rambutnya digelung ke atas dan
diikat kuat-kuat, wajahnya tanpa bedak dan gincu, nampak segar dan
wajar. Ia berdiri di tengah perahu sambil bertolak pinggang, tak
bergerak bagaikan sebuah patung yang indah.
Jelas bahwa gadis ini sudah biasa berperahu, karena cara ia berdiri
tegak dan dapat mengimbangi gerakan perahu itu saja sudah
membuktikan bahwa ia pandai menguasai diri di atas perahu. Perahu
itu didayung oleh seorang pemuda yang usianya duapuluh dua tahun
kurang lebih, seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah
tampan pula. Dan pemuda itu dapat dikata telanjang, karena hanya sebuah celana
pendek seperti cawat saja yang menutupi tubuhnya. Nampak betapa
otot-otot tubuhnya yang kekar itu menonjol ketika dia mendayung
perahu, dan kulitnya yang agak kecoklatan itu menunjukkan bahwa
dia banyak membiarkan kulit tubuhnya ditimpa sinar matahari. Tubuh
yang amat sehat, penuh dengan gairah hidup, segar dan kokoh kuat.
"Hemm, pasangan yang serasi sekali," pikir Pek-liong sambil
mengelus dagunya mengikuti perahu itu dengan pandang matanya.
Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, akan tetapi kedua tangannya
seperti otomatis menggerakkan dayungnya dan perlahan-lahan diapun
mengikuti perahu yang meluncur cepat ke arah utara itu.
Dia melihat perahu di depan itu berhenti tak jauh dari pantai di ujung
utara yang amat sunyi. Memang telaga itu amat sunyi pagi itu. Masih
593 terlalu pagi bagi para pelancong, dan terlalu siang bagi nelayan
penangkap ikan. Hanya jauh di bandar terdapat banyak perahu yang
belum dijalankan, akan tetapi bandar yang berada di ujung selatan itu
terlalu jauh sehingga tidak nampak dari situ.
Perahu di depan itu membuang jangkar. Hal ini saja menunjukkan
bahwa perahu itu akan lama berhenti di situ. Apakah mereka hendak
mengail ikan" Ataukah...... dua orang muda yang sedang berpacaran
dan mencari tempat sunyi"
Berpikir demikian, berdebar rasa jantung Pek-liong dan mukanya
berubah merah. Ih, celanya kepada diri sendiri, mengapa engkau
mendadak menjadi iri hati" Tak tahu malu! Dia lalu memutar
perahunya, karena dia tidak ingin mengganggu orang yang hendak
berpacaran. Bagaimanapun juga, tak dapat dia menahan diri untuk
tidak melirik ke arah perahu mereka.
Wah! Dia terbelalak dan mulutnya ternganga. Gadis itu telah
menanggalkan jubahnya dan apa yang dia lihat"
Sesosok tubuh yang bukan main indahnya, yang dari jauh nampak
seperti bertelanjang saja. Akan tetapi tidak, gadis itu tidak telanjang,
melainkan mengenakan pakaian yang amat ketat, pakaian berwarna
hitam yang menutupi dari leher sampai ke kaki, akan tetapi pakaian itu
demikian tipis dan ketat sehingga semua bentuk tubuhnya tidak ada
yang tersembunyi! Melihat keanehan ini, Pek-liong tidak jadi pergi, melainkan
mendayung perahunya di sekitar tempat itu saja. Agar tidak
menimbulkan kecurigaan, dia tadi sudah mengeluarkan alat
594 pancingnya sehingga seolah-olah dia sedang mencari tempat yang
enak untuk memancing ikan.
Andaikata gadis itu tadi benar-benar telanjang, tentu dia akan
melarikan diri secepat mungkin, tidak sudi mengintai orang
berpacaran. Akan tetapi karena gadis itu sama sekali tidak telanjang,
melainkan menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian yang amat
ketat, timbul keheranannya dan dia ingin sekali tahu apa yang akan
dilakukan dua orang muda di tempat sunyi itu.
Untung dia membawa sebuah caping untuk menahan panas di atas
perahu yang tidak terlindung itu. Dia mengenakan caping itu dan
dengan mudah dia mengintai ke arah perahu di depan itu dari bawah
capingnya sambil berpura-pura memancing ikan.
Pemuda dan gadis itu tentu melihatnya pula, akan tetapi agaknya
mereka tidak perduli sama sekali. Kemudian, gadis itu bangkit berdiri,
berdiri di kepala perahu. Ia mengeluarkan sebuah pisau belati yang
tajam mengkilat, dan Pek-liong melihat betapa pinggang yang
ramping itu diikat ujung segulung tali hitam yang kuat.
Gadis itu kini menggigit pisaunya dan iapun terjun ke dalam air. Cara
ia terjun saja menunjukkan bahwa ia memang ahli renang. Terjunnya
seperti seekor katak saja dan tidak banyak air yang muncrat ketika ia
terjun, juga tidak mengeluarkan bunyi nyaring seolah-olah sebatang
tombak dilemparkan ke air. Dan pemuda itu duduk di perahu sambil
memegangi gulungan tali, mengulur tali itu perlahan-lahan.
Ah, kini mengertilah Pek-liong. Kiranya gadis itu adalah seorang
penyelam! Pinggangnya diikat tali yang ujungnya berada di perahu,
dan membawa sebatang pisau tajam! Akan tetapi penyelam apakah"
595 Apakah yang diselaminya dan dicarinya" Dia semakin tertarik karena
selama hidupnya belum pernah dia melihat penyelam bekerja.
Lama benar gadis itu menyelam sehingga diam-diam Pek-liong
menjadi khawatir juga. Bagaimana mungkin orang menahan napas di
dalam air sampai demikian lamanya" Dia sendiri, dengan sin-kang dan
khi-kangnya, akan mampu menahan napas sampai selama itu, akan
tetapi di udara terbuka, bukan di dalam air yang amat dalam dan
dingin! Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu menarik tali perlahan-lahan
dan tak lama kemudian, sebelum tali itu habis ditarik, kepala gadis itu
telah tersembul di permukaan air.
Ia membuka mulut seperti seekor ikan, mengambil pernapasan, baru ia
naik ke perahu dibantu oleh pemuda itu. Ternyata gadis itu kini
membawa sebuah kantung yang tadi agaknya dilipat dan diselipkan
pinggangnya, dan pisau itupun kini terselip di pinggang.
Ketika gadis itu berdiri di perahu, kembali Pek-liong terpesona. Kini
pakaian yang ketat dan tipis itu basah lagi! Makin jelaslah bentuk
tubuh yang amat indah itu tercetak! Kedua orang itu kini sibuk
berjongkok di atas perahu dan membuka kantung.
Ternyata terisi batu-batuan! Dan mereka memilih dan memeriksa
batu-batuan itu. Akhirnya, mereka menarik napas kecewa dan batubatuan itu, setelah diteliti, satu demi satu dilempar keluar perahu.
Pek-liong tadinya merasa heran. Akan tetapi lalu dia teringat.
Bukankah banyak orang menyukai batu-batu yang indah dan bahkan
ada batu-batu indah, setelah digosok, berharga mahal" Tentu mereka
itu penyelam batu-batu indah yang mereka dapatkan di dasar telaga!
596 Kini pemuda itu yang menyelam, si gadis manis menjaga di atas
perahu. Pek-liong sudah tidak ragu-ragu lagi. Mereka penyelam batubatu indah. Dan agaknya tidak mudah bagi mereka karena setelah
beberapa kali menyelam, mereka agaknya baru memilih beberapa
buah batu yang belum digosok. Sebagian besar dilempar kembali ke
dalam telaga. Pek-liong-eng Tan Cin Hay mulai merasa jemu karena kini tidak ada
lagi yang perlu diselidiki. Memang, gadis itu merupakan
pemandangan yang amat menarik dan menyenangkan, akan tetapi
gadis itu sama sekali tidak memperdulikannya dan juga lebih sering
berada di dalam air. Kalau timbul di atas, lalu asyik meneliti batubatuan di atas perahu. Dia mulai menggulung tali pancingnya dan
mengambil keputusan untuk pergi saja ke bandar karena matahari
mulai menyengat kulit. Akan tetapi tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada sebuah perahu agak
besar yang datang dengan kecepatan tinggi. Lima orang laki-laki
tinggi besar berada di dalam perahu itu dan jantung dalam dada Pekliong berdebar tegang. Dia mengenal lima orang laki-laki tinggi besar
itu! Bukankah mereka yang semalam lewat dekat pantai dan
memandang ke arah dia dan dua orang pendeta dengan penuh
perhatian" Kembali perhatian Pek-liong dibangkitkan dan kini melihat lima orang
itu mendayung perahu mereka menuju ke arah perahu dua orang
penyelam itu. Dia menjadi semakin tertarik. Kiranya lima orang itu
bukan sedang mencarinya, melainkan langsung saja menghampiri
pemuda dan gadis itu. Dia segera menyembunyikan mukanya di balik
capingnya dan mengintai. 597 Gadis itu kini sedang mendapat giliran menyelam. Baru saja ia
meloncat ke dalam air ketika lima orang itu dengan perahu besar
mereka menghampiri dan ketika pemuda yang hanya mengenakan
celana dalam itu melihat mereka, dia nampak terbelalak dan kaget.
Pek-liong melihat betapa lima orang itu menghentikan perahu mereka


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mengait perahu kecil itu dengan kaitan besi yang bergagang
panjang. "Hayo bawa ke sini semua hasil selamanmu untuk kami pilih yang
baik untuk dipersembahkan kepada Beng-cu!" terdengar seorang di
antara lima laki-laki tinggi besar itu menghardik.
Pemuda itu mengerutkan alisnya. Agaknya dia bukan seorang
penakut, walaupun wajahnya membayangkan kegelisahan karena dia
maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang jahat.
"Kami baru saja menyelam dan baru mendapatkan sedikit batu-batu
yang belum tentu berharga karena belum jelas benar sebelum digosok.
Mengapa kalian mengganggu kami yang mencari nafkah dengan susah
payah?" terdengar pemuda itu membantah dengan suara lantang.
Sikap pemuda ini saja sudah mendatangkan perasaan suka di hati Pekliong. Namun dia juga mengkhawatirkan keselamatannya, mengingat
bahwa lima orang itu kelihatan begitu bengis dan jahat.
"Apa" Kalian berani membantah" Kami diutus oleh Po-yang Samliong!" bentak seorang di antara mereka yang hidungnya besar,
seolah-olah baru saja hidung itu disengat lebah.
Mendengar disebutnya nama ini, wajah pemuda itu berubah pucat,
"Akan tetapi...... biasanya mereka tidak pernah mengganggu kami
598 kakak beradik mencari batu-batu di dasar telaga!" bantahnya dan
entah mengapa, hati Pek-liong merasa lebih suka kepada pemuda itu
setelah mendengar bahwa pemuda itu dan gadis tadi adalah kakak
beradik, bukan pacar! Kini perahunya sudah mendekat tanpa diketahui
mereka yang sedang ribut mulut.
"Sudahlah jangan banyak cerewet! Serahkan hasil selamanmu kepada
kami, setelah kami pilih yang terbaik untuk Beng-cu, sisanya kami
kembalikan padamu!" bentak pula si hidung besar.
Ketika pemuda itu nampak ragu-ragu, si hidung besar memberi abaaba kepada dua orang temannya, "Tangkap dia dan bawa ke sini
bersama hasil selamannya!"
Perahu kecil itu sudah terkait merapat pada perahu besar dan kini dua
orang tinggi besar meloncat ke perahu kecil, tangan mereka
memegang sebatang golok besar. Melihat ini, pemuda itu menjadi
semakin gelisah. Terpaksa dia menyerahkan buntalan kecil berisi
batu-batu yang sudah dia pilih bersama adiknya tadi. Seorang di
antara mereka yang meloncat ke perahunya, menyambar buntalan itu.
"Wah hanya sedikit dan batu-batu ini seperti tidak ada harganya!"
katanya. Si hidung besar menghardik. "Kalau begitu tendang saja dia ke dalam
air, biarkan dia menyelam lagi agar mendapatkan lebih banyak. Kita
tunggu di situ!" Seorang penjahat menendang, akan tetapi pemuda itu sudah
menghindarkan tendangan dengan meloncat ke dalam air! Pada saat
itu, adiknya, gadis manis tadi muncul di permukaan air, mengambil
599 pernapasan dan tanpa menyangka sesuatu, ia memegangi tepi perahu
kecil untuk naik. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia sudah dapat
melihat dengan jelas. Yang menarik tangannya ke atas bukanlah kakaknya, melainkan dua
orang laki-laki tinggi besar yang sudah berada di perahunya,
sedangkan kakaknya entah berada di mana! Dan sebuah perahu besar
merapat dengan perahunya, tiga orang laki-laki tinggi besar lainnya
berada di perahu besar itu. Kini, lima pasang mata itu terbelalak
seperti hendak menelan bulat-bulat gadis yang berpakaian ketat basah
itu. "Ha-ha-ha, ikan ini sungguh mulus dan segar!" kata laki-laki yang
masih memegang lengan gadis itu.
"Bawa ia naik ke sini!" kata si hidung besar, air liurnya membasahi
mulut. Gadis itu meronta, akan tetapi orang yang memegang lengannya amat
kuat sehingga lengannya tidak dapat terlepas. Akan tetapi tiba-tiba
kakinya bergerak menendang.
"Bukk!" Perut gendut itu terkena tendangan, cengkeramannya
melonggar akan tetapi sebelum gadis itu mampu meronta melepaskan
diri, orang kedua sudah merangkul dan memeluknya dari belakang.
Dua lengan besar panjang yang kuat itu memeluk dan gadis itu tidak
mampu bergerak lagi. "Lepaskan aku! Ah, lepaskan aku!" bentaknya, meronta-ronta dengan
sia-sia. 600 Laki.laki yang merangkulnya dari belakang itu terbahak senang karena
makin keras gadis itu meronta, makin terasa kehangatan dan
kelunakan tubuh yang kenyal itu.
Perahu kecil itu bergerak sedikit ketika bayangan putih berkelebat dan
Pek-liong sudah berada di situ.
"Lepaskan gadis itu!" bentaknya, tangannya menampar pundak lakilaki yang merangkul gadis itu.
"Plakk! Aughhh......!"
rangkulannya terlepas. Laki-laki itu berteriak kesakitan dan Pek-liong menendang dan tubuh orang itupun terlempar keluar dari
perahunya, menimpa air telaga. Orang tinggi besar kedua, melihat
temannya terlempar ke air, menjadi marah. Dia memang sudah marah
karena perutnya ditendang gadis itu. Kini kemarahannya memuncak
melihat munculnya seorang laki-laki muda berpakaian putih. Dia
menggerakkan goloknya menyerang sambil memaki.
"Jahanam cilik, berani engkau mencampuri urusan kami?" Goloknya
menyambar dari kanan ke kiri, akan tetapi hanya mengenai tempat
kosong saja dan tiba-tiba tubuhnya juga terlempar oleh tendangan
Pek-liong. "Byurrr......!" untuk kedua kalinya air muncrat tinggi ketika tubuh
yang tinggi besar itu menimpa air.
Gadis itu lalu meloncat pula, terjun dan berenang ke arah orang tinggi
besar yang agaknya hendak menyelamatkan diri berenang ke arah
perahunya. Ia tadi melihat bahwa orang tinggi besar pertama telah
601 disambar oleh kakaknya yang ternyata sudah berada di dalam air dan
yang itu diseret oleh kakaknya, dibawa menyelam!
Iapun kini berenang dengan kecepatan seperti ikan, memutari tubuh
penjahat kedua dan berhasil menangkap rambutnya, lalu iapun
menyelam! Orang itu terbelalak, gelagapan dan berusaha untuk
meronta, namun dia kalah biasa dan kepalanya berulang kali masuk ke
dalam air dan mulut dan hidungnya kemasukan air yang mengalir ke
dalam perut. Sementara itu, Pek-liong sudah meloncat ke atas perahu besar. Tiga
orang penjahat itu menghadapinya dengan golok di tangan.
"Kau....?" bentak si hidung besar yang agaknya mengenal Pek-liong
yang semalam telah dilihatnya di daratan bersama dua orang pendeta
"Siapa kau berani ntencampuri urusan kami"
"Kenapa tidak berani" Kalian orang-orang jahat, terjunlah ke air!"
kata Pek-liong dan ketika tiga orang itu menggerakkan golok mereka,
diapun menyambut dengan tendangan dan tamparan yang amat cepat
sehingga sebelum tiga orang itu tahu apa yang telah terjadi, tubuh
mereka sudah terlempar dari atas perahu besar dan terbanting ke air
telaga! Dan di situ sudah menunggu dua orang kakak beradik yang
menyambutnya dengan cengkeraman dan tariknya sehingga mereka
dibawa menyelam! Tiga orang ini, seperti yang dua tadi, merontaronta, namun karena mereka itu kalah jauh dalam hal ilmu bermain di
dalam air, ketiganya sudah tidak berdaya dan sebentar saja perut
mereka sudah membengkak penuh air dan merekapun sudah pingsan!
602 Melihat betapa dua orang pertama sudah pingsan, dan yang tiga orang
lagi dibenam-benamkan ke air dan juga sudah tidak mampu melawan,
Pek-liong khawatir kalau-kalau mereka itu tewas. Maka diapun cepat
meloncat ke dalam perahu kecilnya sendiri, mendayung perahu dan
menyambar pundak dua orang penjahat yang sudah pingsan, lalu
melontarkan tubuh mereka ke atas perahu.
"Heiii, saudara-saudara yang baik, jangan bunuh mereka! Jangan
bunuh mereka, kata- ku!" dia berteriak kepada kakak beradik yang
masih membenam-benamkan kepala tiga orang itu dengan gemas.
Kakak beradik itu mengangkat muka, memandang kepada Pek-liong.
Mereka tahu bah-wa pemuda berpakaian putih itu lihai bukan main,
pemuda itulah yang telah melempar-lemparkan lima orang jahat itu ke
dalam air. Biarpun wajah mereka masih membayangkan perasaan
marah, mereka mentaati permintaan Pek-liong dan sambil menjambak
rambut tiga orang penjahat yang sudah pingsan itu, mereka menyeret
tiga orang penjahat itu ke dekat perahu Pek-liong.
Pendekar ini kembali mencengkeram pundak mereka satu demi satu
dan melempar-lemparkan mereka ke atas perahu besar. Melihat ini,
dua orang kakak beradik itu terbelalak kagum. Dibutuhkan tenaga
yang luar biasa besarnya untuk melempar-lemparkan tubuh para
penjahat yang tinggi besar seperti itu, dan pemuda pakaian putih itu
melemparkan mereka seolah-olah melemparkan bangkai ayam saja!
Keduanya kini naik ke perahu mereka. Kembali Pek-liong terpesona.
Melihat gadis itu dari dekat, melihat betapa tubuh yang indah itu,
nampak lembut namun kuat, naik ke perahu dan sinar matahari
membuat lekuk lengkung tubuh itu semakin jelas, dia terpesona.
603 Namun dia cepat menundukkan muka karena tidak mau memandangi
tubuh orang seperti orang kelaparan. Gadis itupun cepat mengenakan
baju luarnya dan menutupi pakaian ketat tipis yang basah itu.
"Biarkan saja mereka di perahu mereka. Nanti tentu ada orang-orang
melihat dan menolong mereka. Dan mari kita cepat menyingkir dari
tempat ini, jangan sampai teman-teman mereka datang dan
mengganggu kita," kata pula Pek-liong sambil mendayung perahunya.
Kakak beradik itu mengangguk dan merekapun mendayung perahu
mereka mengikuti Pek-liong yang membawa perahunya mendarat di
pantai yang sunyi, di ujung utara.
Setelah mereka berloncatan ke daratan dan menarik perahu ke tepi,
kakak beradik itu lalu memberi hormat kepada Pek-liong dan si kakak
mengucapkan terima kasih. "Tai-hiap telah menyelamatkan kami dari
gangguan mereka. Terima kasih atas budi pertolongan tai-hiap."
Pek-liong tersenyum dan membalas penghormatan mereka,
"Sudahlah, tidak perlu hal itu dibicarakan lagi. Aku hanya merasa
heran mengapa kalian tadi agaknya berusaha keras untuk membunuh
mereka!" Memang di dalam hatinya, Pek-liong merasa penasaran
mengapa kakak beradik yang pandai dengan ilmu bermain di air itu
tadi bermaksud membunuh para penjahat itu.
Kakak beradik itu saling pandang dan si kakak kembali mewakili
mereka menjawab, "Tai-hiap, kami bukanlah pembunuh-pembunuh
kejam, bahkan selama hidup kami belum pernah kami membunuh
orang. Akan tetapi, lima orang penjahat itu...... kalau mereka tidak
dibunuh, tentu mereka akan mendedam dan melapor kepada Po-yang
Sam-liong dan kami...... kami tentu akan dicari dan akhirnya kamilah
604 yang akan mereka bunuh! Itulah sebabnya mengapa tadi kami
berusaha membunuh mereka, tai-hiap."
Lega rasa hati Pek-liong dan pandang matanya tidak penasaran lagi.
Bahkan dia kini tersenyum dan pada saat dia tersenyum, pandang
matanya bertemu dengan pandang mata gadis itu. Alangkah
manisnya! Dan gadis itupun agaknya terkejut ketika pandang matanya
bertaut dengan sinar mata pemuda yang gagah perkasa dan tampan itu,
dan dengan tersipu ia menundukkan mukanya.
"Ah, kalau begitu kalian tidak merupakan orang-orang yang kejam.
Aku melarang kalian membunuh mereka. Pertama karena tidak baik
membunuh orang, apa lagi orang-orang yang sudah tidak berdaya
seperti mereka tadi. Kedua, karena aku memang ingin menyelidiki
mereka yang berjuluk Po-yang Sam-liong itu. Kalian jangan khawatir,
tentu lima orang itu akan melaporkan bahwa mereka itu roboh oleh
aku, bukan oleh kalian berdua. Siapakah kalian berdua dan mengapa
pula lima orang penjahat itu mengganggu kalian" Apakah benar
mereka itu pun pembantu Po-yang Sam-liong dan si apakah mereka"
Siapa pula yang mereka sebut Beng-cu tadi?"
"Ting-ko, kau berilah keterangan kepada tai-hiap, aku akan mengganti
pakaianku yang basah," kata gadis itu kepada kakaknya yang
mengangguk. Gadis itu lalu membawa buntalan pakaian dan pergi mencari tempat
yang dapat melindungi dan menyembunyikan dirinya untuk berganti
pakaian karena pakaian ketat yang basah di balik mantel itu sungguh
tidak enak. Kakaknya lalu memperkenalkan diri mereka berdua.
605 "Kami adalah kakak beradik yang sudah yatim piatu. Namaku Kam
Sun Ting dan adikku itu bernama Kam Cian Li. Kami tinggal di
sebuah dusun luar kota Nan-cang dan pekerjaan kami adalah mencari
batu-batu indah di dasar telaga, melanjutkan pekerjaan mendiang ayah
kami dan kami mempelajari ilmu menyelam dari mendiang ayah kami.
Hasil kami tidak terlalu banyak, namun cukup untuk biaya hidup kami
berdua dengan pantas. Kamipun tidak pernah berurusan dengan Poyang Sam-liong walaupun kami pernah mendengar nama mereka yang
tersohor, sampai dengan pagi hari ini kami secara langsung mendapat
gangguan dari lima orang yang mengaku sebagai utusan mereka.
Untung ada tai-hiap yang dapat menyelamatkan kami."
Pada saat itu, gadis yang bernama Kam Cian Li itu muncul dan
kembali Pek-liong-eng Tan Cin Hay harus mengakui bahwa gadis itu
memang manis sekali, manis dan segar, tanpa riasan menyolok dan
dengan pakaian yang sederhana saja namun bersih.
Melihat adiknya sudah berganti pakaian, Kam Sun Ting lalu berpamit
kepada Pek-liong untuk berganti pakaian pula. Diapun menghilang ke
balik semak belukar dan kini gadis itu yang berdiri berhadapan dengan
Pek-liong dan gadis itu kelihatan malu-malu.
Ketika ia mengangkat muka dan bertemu pandang dengan pemuda
berpakaian putih itu, mukanya kembali merah dan warna merah itu
menjalar sampai ke leher dan telinganya, ia tersenyum simpul dan
menunduk kembali. Gerakan kewanitaan yang sederhana ini
menggerakkan hati Pek-liong dan diapun tersenyum, hatinya penuh
gairah. 606 "Nona Cian Li, engkau duduklah," katanya mempersilakan melihat
gadis itu berdiri saja dengan sungkan dan malu.
Cian Li memandang dan senyumnya melebar, memperlihatkan kilatan
deretan gigi yang putih. "Terima kasih tai-hiap," katanya lirih dan
iapun memilih tempat duduk di atas sebuah batu datar yang bersih,
empat-lima meter di depan Pek-liong.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay sendiri sebenarnya seorang pria yang
tidak pandai banyak bicara, apa lagi kalau berhadapan dengan seorang
wanita. Akan tetapi melihat sikap Cian Li, dia merasa kasihan dan dia
maklum bahwa kalau tidak diperlihatkan sikap ramah, tentu gadis itu
akan merasa semakin salah tingkah dan canggung.
"Nona, engkau dan kakakmu Kam Sun Ting memiliki ilmu
kepandaian renang dan menyelam yang mengagumkan sekali. Apakah
kalian juga pernah mempelajari ilmu silat?"
Benar saja. Setelah Pek-liong bersikap ramah, gadis itu lebih terbuka
dan berani menentang pandang matanya tanpa canggung lagi.
"Ah, kami berdua hanya menerima pendidikan dari mendiang ayah
kami, tai-hiap. Karena mata pencaharian kami adalah menyelam ke
dalam telaga mencari batu indah, maka kami lebih banyak diajari ilmu
renang dan menyelam dan menahan napas di dalam air, dan hanya
sedikit saja ilmu silat, sekedar untuk membela diri."
"Akan tetapi, kalau berada di air, engkau merupakan seorang yang


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangguh sekali, nona. Penjahat yang kuat itu sama sekali tidak
berdaya, bagaikan anak kecil saja kaubenam-benamkan ke dalam air.
607 Engkau sungguh hebat, dan aku sendiri tidak akan berani melawanmu
kalau di dalam air."
Gadis itu tersenyum cerah dan menutupi mulutnya. "Tai-hiap
terlampau merendahkan diri. Melawan tai-hiap, satu juruspun aku
tidak akan mampu bertahan!"
Pada saat itu, Kam Sun Ting keluar dari balik semak-semak, sudah
mengenakan pakaian kering, dan seperti adiknya, dia berpakaian
sederhana walaupun hal itu tidak mengurangi ketampanan dan
kegagahannya. Kam Sun Ting adalah seorang pemuda yang ganteng.
Kulitnya yang agak kecoklatan karena banyak terbakar matahari itu
bahkan membuat dia semakin menarik.
"Li-moi, apakah engkau sudah mengetahui nama penolong kita?"
begitu keluar, pemuda itu bertanya kepada adiknya. Yang ditanya
menggeleng kepala sambil memandang kepada Pek-liong.
"Aih, benar. Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Tan Cin Hay,
dan aku tinggal di dusun dekat Hang-kouw, dekat Telaga See-ouw."
"Ah, Telaga See-ouw?" seru Kam Cian Li kagum. "Kami sudah sering
mendengar tentang telaga itu, katanya jauh lebih indah dari pada
Telaga Po-yang ini, dan bahkan mungkin sekali di sana terdapat batubatu yang indah dan mahal."
Pek-liong-eng Tan Cin Hay mengangguk dan memandang gadis itu
dengan sinar mata ramah sekali. "Kenapa tidak sekali-kali kalian
berdua ke sana dan mengadu untung" Siapa tahu di sana kalian sekali
menyelam akan menemukan harta terpendam!"
608 Tiba-tiba mereka tersentak kaget mendengar suara teriakan yang
memanjang dan menyeramkan. Kakak beradik itu semakin terkejut
ketika tiba-tiba mereka melihat bayangan putih berkelebat ke arah
dalam hutan dari mana jeritan itu tadi terdengar dan pemuda
berpakaian putih di depan mereka, yang tadi duduk di atas batu, kini
telah lenyap! Mereka saling pandang, dengan mata terbelalak dan penuh kagum.
Pemuda berpakaian putih itu seperti setan saja yang pandai
menghilang begitu saja dari depan mereka! Akan tetapi, mereka tadi
sudah berkenalan dengan Pek-liong dan mereka tahu bahwa pemuda
itu bukan setan, dan mereka semakin yakin bahwa pemuda itu adalah
seorang pendekar yang sakti!
"Ting-koko, mari kita susul dia......" kata Cian Li dan iapun sudah
cepat lari menuju ke arah suara tadi.
Andaikata tidak ada Pek-liong-eng yang tadi lari ke arah suara
teriakan, tentu gadis itu tidak akan mengajak kakaknya menyusul.
Ternyata gadis yang sampai berusia sembilanbelas tahun tidak pernah
tertarik kepada pria ini, begitu bertemu dengan Pek-liong seketika
telah jatuh cinta! Ia merasa kagum dan tertarik sekali, bukan hanya
oleh ketampanan dan kegagahan Tan Cin Hay, melainkan terutama
sekali oleh kesaktiannya dan sikapnya yang ramah.
Sementara itu, dengan mempergunakan ilmunya berlari cepat, Pekliong Si Naga Putih telah tiba di tengah hutan. Teriakan tadi
memberitahu kepadanya bahwa tentu terjadi hal yang hebat,
setidaknya tentu pembunuhan atau siksaan yang mengerikan. Dan
609 tiba-tiba dia menghentikan larinya, berdiri dan memandang dengan
mata terbelalak. Di depannya, di atas rumput, dia melihat dua sosok tubuh
menggeletak mandi darah dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa
hatinya ketika dia mengenal bahwa mereka itu bukan lain adalah
Tiong Tosu dan Yong Hwesio! Dua orang pendeta itu baru semalam
bersama dia makan bersama dan mengobrol di tepi pantai telaga, dan
kini mereka telah menggeletak mandi darah. Tidak salah lagi, tentu
mereka atau seorang di antara mereka yang tadi mengeluarkan
teriakan melengking itu. Dia cepat berlutut dekat tubuh Tiong Tosu yang paling dekat.
Ternyata tosu itu telah tewas dengan leher hampir putus, agaknya
terbabat senjata yang amat tajam. Dia lalu menghampiri tubuh Yong
Hwesio. Pendeta ini terluka tusukan pada dadanya dan darah masih
mengucur dari situ. Dan ketika dia berlutut, hwesio itu mengeluh dan
membuka matanya. "Locianpwe, apa yang terjadi......?" Pek-liong-eng bertanya.
"Syukur...... engkau mendengar...... teriakan pinceng..... Po-yang Samliong..... anak buah Beng-cu...... banyak orang pandai......" Hwesio itu
tersengal-sengal. "Locianpwe, siapa itu Beng-cu?" Pek-liong-eng bertanya sambil
mengguncang pundak hwesio gendut itu.
"Dia...... Siauw-bin
oughhh...!" Ciu-kwi..... sakti banyak yang sakti...... 610 Leher itu terkulai dan tahulah Pek-liong-eng bahwa hwesio itupun
tewas. Dia merebahkannya dan pada saat itu, dia mendengar suara
kaki berlari-lari ke arahnya. Dua orang datang berlarian. Dia bangkit
berdiri. "Saudara Sun Ting dan nona Cian Li, ke sini!" teriaknya memberi
arah dan tak lama kemudian, mereka muncul. Jelas nampak kelegaan
membayang pada wajah manis gadis itu, akan tetapi ia dan kakaknya
terbelalak melihat dua sosok tubuh yang sudah tak bernyawa lagi dan
yang mandi darah itu. "Mereka terbunuh oleh teman-teman Po-yang Sam-liong," katanya
singkat. Dia kini menjadi serius sekali. Kiranya urusan yang dihadapinya ini
menjadi semakin hebat. Perebutan peta Patung Emas itu ternyata telah
mendatangkan banyak korban nyawa. Dan yang berdiri di
belakangnya, yang disebut Beng-cu (Pemimpin) kiranya adalah
seorang sakti bernama atau berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi (Setan Arak
Muka Tertawa), seorang di antara Kiu Lo-mo! Keadaan menjadi
gawat sekali kalau begini, pikirnya.
Dan menurut keterangan Yong Hwesio tadi, gerombolan penjahat itu
mempunyai banyak orang sakti! Hal itu sudah terbukti dengan
tewasnya tosu dan hwesio yang berilmu ini secara demikian
mengerikan. Mungkin oleh pedang yang sama, oleh seorang di antara
mereka. Dan teringatlah dia akan penunggang kuda yang membawa
pedang di punggungnya itu!
611 "Aih, Po-yang Sam-liong demikian jahat......" bisik Kam Cian Li,
"Kami berdua yang tidak berdosapun tadi akan mereka bunuh......"
Dalam suara ini terkandung rasa ngeri dan takut.
Mengertilah Pek-liong-eng Tan Cin Hay apa yang harus
dilakukannya. Dia harus melindungi kakak beradik ini. Dia harus
membongkar rahasia peta Patung Emas itu yang agaknya dengan cara
bagaimanapun akan dicari oleh gerombolan yang dipimpin oleh Bengcu, dan sudah terlalu banyak jatuh korban. Kakak beradik inipun
mungkin menjadi korban berikutnya walaupun mereka tidak tahu
menahu tentang Patung Emas.
Dia harus membongkar rahasia itu, harus menentang gerombolan yang
jahat itu. Dan dia tahu bahwa pihak lawan amatlah berbahaya, selain
memiliki banyak kaki tangan, juga di antara mereka terdapat banyak
orang sakti seperti yang dipesankan oleh mendiang Yong Hwesio.
"Saudara Sun Ting, bantulah aku mengubur dua jenazah ini," katanya.
Kam Sun Ting mengangguk, bahkan Kam Cian Li juga cepat
membantu menggali lubang. "Apakah engkau mengenal mereka, taihiap?" tanya Cian Li ketika mereka menggali lubang bersama.
Pek-liong-eng mengangguk. "Aku mengenal mereka, karena itu, aku
harus mencari Po-yang Sam-liong dan anak buah mereka."
Tiba-tiba gadis itu melepaskan pisau yang tadi dipergunakannya untuk
menggali tanah dan tanpa disadarinya, tangannya yang kotor
berlumpur memegang tangan Pek-liong-eng yang telanjang karena
pemuda ini menggulung lengan bajunya.
612 "Tai-hiap....., mereka...... mereka itu jahat dan berbahaya sekali!
Engkau...... akan terancam bencana......"
Pek-liong tersenyum dan gadis itupun menyadari bahwa tangannya
telah mengotori lengan itu, maka iapun melepaskan pegangannya dan
menggali lagi dengan muka merah.
"Bukan aku yang terancam bahaya, Cian Li, melainkan engkau.
Karena itu, aku harus melindungimu pula......" Gadis itu senang sekali
disebut namanya tanpa nona.
"Terima kasih, tai-hiap......"
"Hushh, sudahlah, jangan menyebut tai-hiap kepadaku. Kita sudah
saling berkenalan, bukan" Namaku Tan Cin Hay, tanpa tai-hiap
(pendekar besar)." "Baik, Hay-twako...... dan terima kasih......"
Kam Sun Ting diam saja mendengarkan percakapan mereka. Setelah
mereka tidak bicara lagi, dia bertanya, "Tai-hiap......"
"Wah, Ting-ko, kenapa menyebut tai-hiap" Hay-ko tidak suka disebut
tai-hiap walaupun dia seorang pendekar yang hebat!" tegur adiknya
yang kini mulai berani dan tidak begitu malu-malu lagi.
Mau tidak mau Kam Sun Ting tersenyum dan diapun dapat menduga
bahwa hati adiknya sudah jatuh oleh pendekar yang tampan dan gagah
ini. "Twako, siapakah mereka ini dan mengapa mereka terbunuh?"
613 "AKUPUN baru bertemu dengan mereka malam tadi. Akan tetapi
terlalu panjang untuk diceritakan. Saudara Sun Ting, kita menghadapi
komplotan penjahat yang amat kejam dan juga amat lihai. Bahkan aku
tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa kita bertiga berada
dalam ancaman bahaya maut! Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita
bekerja sama." "Dengan adanya engkau, aku tidak takut ancaman bahaya, Haykoko!" kata gadis itu sambil tersenyum manis, seolah untuk
membuktikan bahwa ia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri
mendengar ucapan pendekar itu.
"Kami akan merasa beruntung dapat bekerja sama denganmu, toako,"
kata pula Sun Ting dengan sungguh hati.
Diapun mengerti bahwa setelah peristiwa dengan lima orang penjahat
tadi, tentu keselamatan dia dan adiknya terancam bahaya karena
mereka telah berani menentang Po-yang Sam-liong! Dan seperti juga
adiknya, setelah dia menyaksikan kelihaian Pek-liong-eng, hatinya
menjadi besar dan dia siap untuk membantu pendekar itu menentang
gerombolan penjahat. "Kalau begitu kita harus membagi tugas," kata Pek-liong-eng.
"Ketahuilah bahwa gerombolan penjahat ini memiliki banyak orang
sakti, dan dipimpin oleh seorang di antara Kiu Lo-mo, para datuk
sesat yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Oleh karena itu,
untuk menghadapi mereka, aku harus mendapat bantuan seorang
sahabat baikku dan aku minta agar engkau yang menyampaikan
suratku kepadanya untuk mengundangnya, saudara Sun Ting."
614 Sun Ting mengangguk-angguk mengerti. "Siapakah dia dan di mana
tempat tinggalnya?" "Ia seorang pendekar wanita perkasa, bernama Lie Kim Cu dengan
julukan Hek-liong-li, bertempat tinggal di kota Lok-yang. Rumahnya
di sudut barat kota, di tepi jalan raya. Rumah itu mudah dicari karena
di depannya terdapat sebuah kolam ikan dengan arca besar seorang
puteri menunggang angsa, di tengah kolam yang penuh dengan bunga
teratai." "Baik, toako. Akan kucari dan kuserahkan suratmu kepadanya," kata
Sun Ting yang diam-diam merasa heran sekali mendengar bahwa
sahabat baik pendekar itu yang hendak diajak menentang para
penjahat lihai adalah seorang wanita.
Pek-liong lalu membuat surat singkat dan menyerahkannya kepada
Sun Ting sambil berkata, "Engkau berangkatlah sekarang juga.
Biarkan nona Cian Li di sini bersamaku. Kalau pergi berdua, akan
menyolok dan menarik perhatian. Pula, aku ingin nona...... eh, adik
Cian Li bersikap biasa saja, pulang ke rumah untuk memancing
mereka. Jangan khawatir, aku akan melindunginya."
Kakak beradik itu mengangguk, kemudian Kam Sun Ting lalu pergi
meninggalkan mereka. Setelah kakaknya pergi, Cian Li memandang
kepada pendekar itu. "Hay-ko, lalu apa yang menjadi tugasku" Berilah
aku tugas karena akupun ingin sekali membantumu."
Pek-liong-eng tersenyum memandang gadis itu. "Engkau pulanglah,
Li-moi. Engkau bersikaplah biasa agar tidak meacurigakan, dan
bawalah hasil selamanmu tadi pulang, kemudian lakukan pekerjaanmu
sehari-hari seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu."
615 Gadis itu mengerutkan alisnya dan pandang matanya yang jeli itu
nampak kecewa. "Akan tetapi aku aku ingin sekali membantumu,
Hay-ko!" Pemuda itu tersenyum ramah. "Justeru sikapmu yang wajar dan biasa
itulah yang akan banyak membantu padaku."
"Akan tetapi engkau...... engkau sendiri hendak ke mana?"
"Aku akan melakukan penyelidikan."
"Aku ikut......!"
"Jangan, Li-moi. Pekerjaan ini berbahaya bukan main, dan kalau
engkau pulang dan bersikap biasa, hal itu amat menolongku, Li-moi.
Engkau percayalah saja padaku!"
Biarpun hatinya diliputi kekecewaan karena ia ingin sekali selalu
berdekatan dengan pemuda itu, dan iapun siap untuk menempuh
bahaya yang bagaimana besarpun asal berada di samping Pek-liongeng, namun Kam Cian Li tidak berani membantah lagi.
"Baiklah, Hay-ko. Nah, aku akan pulang sekarang......" iapun
memandang tajam dan sejenak pandang matanya melekat pada mata
Pek-liong-eng, kemudian gadis itu membalikkan tubuh dan melangkah
pergi ke arah telaga. Langkahnya gontai dan Pek-liong-eng
memandang kagum. Gadis itu memang memiliki bentuk tubuh yang
hebat, pikirnya, akan tetapi dia lalu membayangkan bahaya yang
mungkin sekali mengancam Cian Li, maka dengan sigap diapun
meloncat pergi. 616 "Y" Rumah gedung itu tidak terlalu besar dan megah, akan tetapi mungil
sekali. Temboknya bersih dan semua tanaman di halaman rumah yang
luas itu terawat rapi. Bermacam bunga sedang mekar dan di tengah
halaman itu nampak sebuah kolam ikan yang berbentuk bulat dengan
garis tengah kurang lebih empat meter. Banyak bunga teratai tumbuh
di kolam ikan dan di tengah-tengahnya terdapat arca batu, seorang
puteri menunggang angsa putih yang besar.
Dengan jantung berdebar karena girang, Kam Sun Ting memasuki
halaman itu. Sunyi saja di situ, tidak nampak seorangpun. Dia masih
terheran-heran dan juga sangsi, mengapa jagoan yang diundang oleh
Pek-liong-eng Tan Cin Hay hanyalah seorang wanita! Betapapun
pandainya seorang wanita, apa artinya kalau menghadapi gerombolan
penjahat seperti Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya"
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya seorang wanita berbaju hijau.
Wanita ini masih muda, usianya kurang lebih tigapuluh tahun, cantik
dan segar, tanpa hanyak riasan, pakaiannya sederhana dan ringkas.
Entah dari mana munculnya wanita itu, seperti setan saja! Inikah
orang yang dicarinya" Dia cepat memberi hormat, sedangkan wanita
itu dengan sinar mata tajam mengamatinya penuh selidik.
"Maafkan saya. Akan tetapi, benarkah saya berada di halaman rumah
tempat tinggal Hek-liong-li Lie Kim Cu?"
Wanita baju hijau itu mengerutkan alisnya mendengar disebutnya
Hek-liong-li Lie Kim Cu. "Siapakah engkau dan ada keperluan apakah


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari Hek-liong-li?"
617 Melihat sikap angkuh itu, Sun Ting menjadi agak bingung. "Maaf,
saya hanyalah seorang suruhan. Saya datang membawa surat dari Pekliong-eng Tan Cin Hay untuk disampaikan kepada Hek-liong-li Lie
Kim Cu." "Ahhh.......!" Sepasang mata yang jeli itu terbelalak dan wajahnya
segera berubah. Lenyaplah kecurigaan dan keangkuhannya, lalu ia
menoleh dan berseru dengan suara melengking nyaring, "Sammoi......! Kesinilah, ada tamu!"
Sun Ting ikut menengok dan ia terkejut ketika tiba-tiba berbelebat
bayangan merah dan tahu-tahu di situ sudah muncul seorang gadis lain
yang berpakaian merah. Gadis ini usianya beberapa tahun lebih muda
dari pada gadis baju hijau, nampak cantik dan segar, dengan senyum
yang manis. "Tamu dari mana, toa-ci (kakak tertua)?" tanya gadis baju merah
sambil menatap wajah tampan Sun Ting dengan penuh selidik.
"Dia adalah utusan Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), membawa
surat beliau untuk Hek-liong-li-hiap (Pendekar Wanita Naga Hitam)!
Cepat hadapkan dia, kalau berlambat-lambat kau akan kena marah
nanti! Ingat, setiap berita yang datang dari Pek-liong-enghiong harus
disampaikan secepat mungkin!"
"Baik, toa-ci. Marilah, kongcu (tuan muda), mari kuantarkan
menghadap Li-hiap," kata si baju merah sambil melepas senyum
manisnya. "Terima kasih," kata Sun Ting dengan jantung semakin berdebar.
618 Kiranya dua orang gadis cantik itu hanya semacam pembantu saja dari
orang yang berjuluk Pendekar Wanita Naga Hitam itu! Kalau
pembantu-pembantunya saja seperti ini, lalu seperti apakah pendekar
wanita itu" Seorang nenek-nenek tua yang menyeramkan" Seorang
wanita setengah tua yang genit" Atau mungkinkah seorang gadis
pula" Dia melangkah mengikuti gadis baju merah itu memasuki lorong
dalam rumah yang ternyata dalamnya juga bersih dan terawat rapi,
hawanya segar karena banyak jendelanya dan di setiap sudut terdapat
sebuah pot bunga atau jambangan terisi tanaman. Akan tetapi gadis
baju merah itu mengajaknya terus menuju ke sebuah bangunan
samping dan setiba mereka di pintu bangunan itu, gadis baju merah
menaruh telunjuknya di depan mulutnya sambil menoleh kepada Sun
Ting. Mereka kini berdiri di ambang pintu dan Sun Ting menjadi
penonton dari adegan yang amat menarik dan mengagumkan hatinya.
Bangunan itu ternyata merupakan sebuah ruangan berlatih silat yang
luas dan terbuka. Di sudut nampak berbagai macam alat olah raga dan
senjata untuk berlatih silat dan dia melihat di ruangan itu terdapat
seorang wanita yang dikepung oleh tujuh orang wanita lain.
Wanita itu berdiri tegak, sedang tujuh orang yang mengepungnya
memasang kuda-kuda, dan mereka itu memegang senjata, ada pedang,
golok, tombak dan cambuk. Adapun wanita yang dikepung itu
bertangan kosong, sikapnya tenang sekali,.
Kam Sun Ting memandang dengan penuh perhatian. Tujuh orang
wanita pengepung itu rata-rata cantik dan usia mereka antara duapuluh
tiga sampai tigapuluh tahun, tubuh mereka ramping dan gesit, seperti
619 gadis baju hijau dan baju merah yang mengantarnya itu. Akan tetapi,
ketika dia melihat wanita yang berada di tengah, yang dikepung, dia
melongo! Wanita itu berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun. Pakaiannya dari
sutera serba hitam yang ketat dan ringkas, dan warna hitam ini
membuat kulit muka, leher dan tangannya nampak semakin putih
mulus. Wajahnya bulat telur kecil dengan dagu meruncing. Mulutnya
kecil dengan bibir yang agaknya selalu tersenyum, bibir yang merah
membasah. Senyum yang tersungging itu dihias lesung pipit yang tidak terlalu
dalam, dan tahi lalat kecil di atas pipi, di bawah mata kirinya,
menambah kemanisannya. Seorang gadis yang luar biasa cantik jelita
dan manisnya. Rambutnya yang hitam tebal itu disanggul tinggi ke
atas, dihias tusuk sanggul perak berukir seekor naga kecil di atas
bunga teratai. Seorang wanita yang luar biasa!
"Kalian mulailah!" tiba-tiba bibir yang tersenyum dan merah basah itu
berseru lirih dan mulailah tujuh orang wanita pengepung itu
menerjang dan menyerang gadis pakaian hitam dengan senjata
mereka. Sun Ting terkejut bukan main. Celaka, pikirnya. Tujuh orang gadis itu
menyerang. Sungguh-sungguh dan gerakan mereka rata-rata gesit dan
kuat! Bagaimana mungkin gadis jelita berpakaian hitam itu akan
mampu bertahan" Setidaknya ia tentu akan menderita luka!
"Heiii, tahan......! Sungguh tidak adil, tujuh orang bersenjata
mengeroyok seorang yang tidak memegang senjata!" teriak Sun Ting
tanpa dapat dicegah lagi dan diapun melompat ke dalam ruangan itu.
620 Si baju merah terkejut, namun sudah terlambat karena pemuda itu
sudah meloncat masuk. "Tahan.......!" Si dara berpakaian serba hitam itu berseru dan tujuh
orang pengeroyoknya menahan senjata. Kini wanita itu memandang
kepada Sun Ting, kemudian kepada gadis baju merah yang kini sudah
menjatuhkan diri berlutut.
"Hemm, Sam-hwa, apa artinya ini?" wanita itu membentak, suaranya
merdu akan tetapi penuh wibawa.
"Maaf, Lihiap...... dia.... dia adalah utusan dari Pek-liong-enghiong
yang membawa surat untuk Lihiap. Saya...... saya melihat lihiap
sedang siap berlatih, maka tidak berani mengganggu dan hendak
menunggu sebentar. Tak saya sangka dia... dia......"
Berubahlah sikap gadis berpakaian hitam itu. Wajahnya menjadi cerah
dan dipandangnya wajah Sun Ting dan seketika ia sudah memaafkan
sikap pemuda itu tadi. Diam-diam hatinya merasa geli melihat betapa
sahabat baiknya, Pek-liong-eng Tan Cin Hay telah menyuruh seorang
pemuda yang begitu bodoh sehingga mengganggu latihannya.
Bagaimanapun juga, ia memandang kagum. Pemuda itu tampan dan
bertubuh tegap sekali, dan melihat betapa dia tadi mencela para
pembantunya yang dianggapnya hendak mengeroyoknya, menunjukkan bahwa betapapun bodohnya, pemuda ini memiliki watak
yang gagah! Ia lalu maju menghampiri, sedangkan Sun Ting sudah menjadi merah
mukanya mendengar ucapan gadis baju merah tadi. Kiranya gadis
berpakaian hitam inilah orang yang dicarinya, dan ternyata bahwa
621 tujuh orang gadis pengepung yang mengeroyok tadi hanyalah
merupakan latihan saja! Cepat dia memberi hormat. "Maafkan kalau saya tadi mengganggu
latihan Lihiap. Akan tetapi saya tidak tahu...... ah, apakah Lihiap, yang
bernama Hek-liong-li Lie Kim Cu?"
Wanita itu memang benar Hek-liong-li Lie Kim Cu. "Benar, akulah
orangnya." "Sekali lagi maaf! Karena Hay-toako, eh...... maksud saya Pek-liongeng tidak menceritakan keadaan Lihiap, karena tergesa-gesa, maka
saya tidak mengenal Lihiap dan telah bersikap lancang. Saya datang
untuk menyerahkan surat ini kepada Lihiap." Dia cepat mengeluarkan
surat itu dari saku bajunya.
Hek-liong-li mengangguk dan tersenyum. Ternyata tidak bodoh,
pikirnya dan ia merasa semakin suka kepada utusan sahabatnya itu. Ia
lalu membuka surat itu dan membacanya dengan tenang.
"Harap engkau suka datang untuk bersamaku menghadapi Siauwbin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo dengan kaki tangannya,
dan membongkar rahasia Patung Emas. Menarik sekali, sudah banyak jatuh korban."
Sampai Pek-liong-eng. jumpa, Sementara wanita itu membaca surat, Kam Sun Ting mengamatinya
penuh perhatian dan dia menjadi semakin kagum saja. Segala-galanya
pada wanita itu nampak kematangan yang mengagumkan. Memang,
622 usianya tentu tidak akan lebih dari duapuluh tiga tahun, akan tetapi
sikapnya, gerak-geriknya, bentuk tubuhnya, pandang mata dan
senyumnya, sungguh membayangkan kematangan seorang wanita,
bagaikan setangkai bunga yang mekar sepenuhnya dan sedang harumharumnya!
Memang penilaian Sun Ting ini tidak jauh meleset dari kenyataannya.
Wanita itu adalah seorang wanita yang sudah matang, baik ilmu
silatnya, maupun kewanitaannya dan pengalamannya segudang! Ia
bernama Lie Kim Cu, berusia duapuluh empat tahun dan ia dikenal
sebagai Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam).
Sejak remaja puteri berusia enambelas tahun, ia telah menderita
dengan hebat. Ayahnya seorang pembesar di Lok-yang, akan tetapi
ayahnya tergila-gila perjudian, melakukan korupsi dan akhirnya dia
dihukum buang dan membunuh diri di tengah jalan.
Adapun Lie Kim Cu sendiri, oleh ayahnya telah dijual atau untuk
pembayaran hutang kepada Pangeran Coan Siu Ong di Lok-yang. Lie
Kim Cu diperkosa, ia mengamuk dan akhirnya dijual oleh pangeran
yang marah itu ke rumah pelacuran.
Di rumah pelacuran ini Kim Cu disiksa dan dipaksa untuk menjadi
pelacur, melayani belasan orang laki-laki! Akhirnya, ia berhasil
melarikan diri dan ia ditolong oleh seorang datuk sesat yang amat
sakti, yaitu yang bernama Huang-ho Kui-bo dan dari nenek sakti ini ia
mewarisi banyak ilmu silat yang tinggi sehingga membuatnya menjadi
seorang wanita yang sakti!
Lie Kim Cu telah menjadi seorang wanita yang hebat setelah
mempelajari ilmu selama enam-tujuh tahun. Ia menghajar para pria
623 yang pernah mempermainkan dirinya. Bahkan ia kemudian menentang
Hek-sim Lo-mo, seorang datuk sesat, seorang di antara Kiu Lo-mo
bekerja sama dengan Pek-liong-eng Tan Cin Hay. Dan sejak mereka
berdua berhasil membasmi dan membinasakan Hek-sim Lo-mo nama
kedua orang pendekar muda ini menjadi amat terkenal!
Ada hubungan istimewa antara Lie Kim Cu dan Tan Cin Hay, atau
antara Si Naga Hitam dan Si Naga Putih ini. Selain mereka berdua
telah mewarisi sepasang pedang yang ampuh, yaitu Pedang Naga
Hitam yang jatuh ke tangan Kim Cu dan Pedang Naga Putih yang
jatuh ke tangan Cin Hay, juga keduanya mempunyai perasaan kasih
sayang luar biasa terhadap satu sama lain.
Perasaan senasib sependeritaan, sepaham dan segolongan,
menumbuhkan suatu pertalian batin, suatu rasa kasih sayang yang luar
biasa, lebih mendalam dari pada kasih sayang antara saudara, bahkan
antara kekasih. Namun, keduanya tidak pernah membiarkan diri
melangkah lebih dekat, tidak membiarkan nafsu berahi memasuki
perasaan kasih di antara mereka, karena mereka khawatir bahwa sekali
nafsu berahi masuk dan mereka menjadi kekasih, maka pertalian batin
yang penuh kesetia-kawanan dan senasib itu akan menjadi berubah
atau luntur! Mereka berhasil, membasmi gerombolan Hek-sim Lo-mo
dan saling berpisah, akan tetapi mereka saling berjanji akan memberi
kabar kalau yang satu membutuhkan bantuan yang lain.
Hek-liong-li Lie Kim Cu tinggal di Lok-yang, bersama sembilan
orang gadis yang menjadi pembantu-pembantunya, juga anak
buahnya. Mereka dilatihnya dengan ilmu silat, dan rata-rata mereka
memiliki kecerdikan sehingga menjadi serba guna. Di Lok- yang dan
sekitarnya, ia terkenal sebagai Hek-liong-li dan biarpun ia tidak
624 mengangkat diri menjadi seorang pendekar, namun nama besarnya
membuat para tokoh jahat menjadi gentar dan Lok-yang dan
sekitarnya menjadi aman karena tidak ada penjahat berani bermain
gila di wilayah yang dipengaruhi nama Hek-liong-li!
Demikianlah, maka Hek-liong-li tidak jadi marah dan perhatiannya
segera tertarik ketika mendengar bahwa pemuda tampan ganteng itu
adalah utusan Pek-liong-eng dan ketika membaca surat Pek-liong-eng,
wajahnya segera berubah berseri-seri.
Bekerja sama lagi dengan Pek-liong-eng menghadapi musuh-musuh
tangguh! Apa lagi musuh itu seorang di antara Kiu Lo-mo! Tidak ada
kesenangan yang lebih mengasyikkan dari pada bekerja sama antara
mereka berdua menghadapi musuh-musuh yang jahat dan tangguh!
"Bagus! Terima kasih, saudara...... eh, siapakah namamu?" kata Hekliong-li kepada Kam Sun Ting.
"Nama saya Kam Sun Ting, lihiap, tinggal di dekat Telaga Po-yang."
"Surat dari Pek-liong-eng telah kuterima dan kubaca dan kita segera
berangkat sekarang juga ke sana setelah aku menyelesaikan latihanku.
Kau duduklah sebentar di bangku sana. Sam-hwa, sediakan minuman
untuk tamu!" Sun Ting mengangguk dan segera duduk di atas sebuah bangku di
dekat dinding, sedangkan Hek-liong-li sudah berdiri lagi di tengah
ruangan, dikepung tujuh orang pembantunya. Sam-hwa, si baju merah,
pergi mengambilkan minuman untuknya. Ketika Sam-hwa datang,
lagi membawa minuman, latihan silat itu telah dimulai dan Sun Ting
625 hampir tidak menyentuh minuman yang disuguhkan karena dia tidak
pernah berkedip menonton latihan silat itu.
Bukan main! Tujuh orang wanita itu melakukan serangan yang
sungguh-sungguh. Bermacam senjata tajam dan runcing berkelebatan
dan menyambar-nyambar ke arah tubuh Hek-liong-li. Akan tetapi
wanita berpakaian hitam ini menggerakkan tubuhnya secara aneh,
kedua kakinya melangkah ke sana-sini, bergeser ke depan belakang,
kanan kiri, dan semua serangan itu tidak mengenai sasaran sedikitpun
juga! Kemudian, Hek-liong-li mengeluarkan suara melengking nyaring.
Tujuh orang pembantunya maklum bahwa majikan dan juga guru
mereka akan membalas serangan. Mereka bersiap siaga dan memutar
senjata, berjaga diri baik-baik.
Namun, tiba-tiba tubuh Hek-liong-li berkelebatan dan lenyap, hanya
nampak bayangan hitam berkelebatan ke sana sini dan nampak
seorang demi seorang para pengeroyok itu terhuyung, senjata mereka
terpental dan dalam waktu sebentar saja, mereka semua telah
terhuyung atau terlempar dan semua senjata terlepas dari tangan!
Hek-liong-li menghentikan gerakannya. Ada sedikit keringat di
dahinya yang putih mulus, akan tetapi pernapasannya biasa saja,
hanya dada yang membusung itu agak naik turun bergelombang.
Sun Ting masih bengong. Alangkah indahnya gerakan tubuh Hekliong-li tadi, pikirnya. Seolah-olah dia dapat melihat otot-otot halus
bergerak-gerak hidup di bawah pakaian hitam ketat itu, dan dari
gerakan halus itu, dari ke dua tangan yang lembut itu, agaknya
memancar kekuatan yang luar biasa. Akhirnya, ketika wanita itu
626 tersenyum kepadanya, mukanya berubah merah sekali. Dan dia tadi
bersikap gagah-gagahan mencegah tujuh orang itu mengeroyok Hekliong-li!
Betapa lucunya, betapa memalukan. Untuk menutupi rasa malunya,
diapun lalu bertepuk tangan memuji. Karena lupa bahwa dia masih
memegang cawan arak, maka ada arak tertumpah menimpa celananya
sehingga dia memakin tersipu.
Tujuh orang pembantu itu keluar setelah memungut senjata masingmasing. Kini Hek-liong-li berdua saja dengan Sun Ting. Wanita itu
masih tersenyum geli. "Saudara Kam Sun Ting, minumlah araknya!"


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, terima kasih, lihiap. Latihan tadi sungguh...... sungguh hebat
sekali." "Ah, engkau terlalu memuji! Bukankah engkau seringkali melihat
Pek-liong-eng berlatih silat dan tentu latihannya lebih hebat lagi?"
Sun Ting menggeleng kepalanya. "Sayang sekali tidak begitu, lihiap.
Terus terang saja, saya dan adik saya baru saja berkenalan dengan
Pek-liong-eng dan saya tidak sempat menyaksikan kelihaian ilmu
silatnya. Saya dan adik saya adalah penyelam di Telaga Po-yang,
mencari batu-batu berharga yang menjadi mata pencaharian kami,
ketika kami diserang orang jahat dan ditolong oleh Pek-liong-eng."
Dengan singkat Sun Ting menceritakan peristiwa itu.
Hek-liong-li mendengarkan penuh perhatian. Mendengar akan
tewasnya seorang hwesio dan seorang tosu di hutan, serangan
627 terhadap kakak beradik itu, iapun menjadi tertarik sekali. Ia
mengamati pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Ganteng dan
bertubuh kokoh kuat. "Hemm, bagaimanapun juga, tentu engkau jauh lebih pandai dari pada
aku kalau berada di air!"
Sun Ting tersenyum dan nampak deretan giginya yang bagus dan
bersih, juga kuat. "Ah, menyelam dan renang adalah pekerjaan kami
sejak kami masih kecil, li-hiap. Akan tetapi mengenai ilmu silat, kami
kakak beradik hanya diajar sedikit saja oleh mendiang ayah kami."
"Hal itu masih harus dibuktikan kelak. Mari kita berangkat, saudara
Kam Sun Ting. Kita berkuda saja agar dapat cepat tiba di sana."
Iapun bertepuk tangan dan dua orang pelayan atau pembantunya
muncul. Mereka diutus untuk menyediakan dua ekor kuda yang baik
sementara Hek-liong-li mengajak tamunya untuk makan bersama.
Sun Ting menjadi semakin kagum. Makin dikenal, makin banyak halhal mengagumkan pada diri wanita itu. Begitu ramah, dan juga tidak
banyak peraturan sehingga mereka berdua makan minum di dalam
ruangan makan dengan bebas, bagaikan dua orang sahabat lama saja.
Wanita itu sama sekali tidak merasa canggung, bahkan dia sendirilah
yang agak salah tingkah, karena selamanya belum pernah dia
berdekatan dengan seorang wanita, apa lagi wanita secantik itu,
bahkan makan bersama! Hal inipun diketahui Hek-liong-li yang
menjadi semakin tertarik. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan
seorang pemuda yang gagah, jujur dan masih hijau, agaknya belum
pernah berdekatan dengan seorang wanita.
628 Kemudian berangkatlah mereka menunggang kuda dan di sepanjang
perjalanan. Hek- liong-li minta penjelasan lebih lanjut tentang semua
peristiwa yang terjadi dan yang diketahui oleh pemuda itu. Sikapnya
demikian ramah dan manis sehingga tak lama kemudian mereka telah
menjadi akrab, bahkan kadang-kadang Kam Sun Ting lupa bahwa dia
melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang selain cantik jelita
juga amat perkasa, diharapkan oleh pendekar Pek-liong-eng untuk
membantunya menghadapi gerombolan penjahat yang kejam dan lihai
sekali! Hati Kam Cian Li agak kecewa. Selama hidupnya, sampai kini berusia
sembilanbelas tahun, belum pernah ia jatuh hati kepada seorang pria
dan baru sekaranglah ia benar-benar amat kagum dan tertarik kepada
seorang pemuda. Biarpun ia dan kakaknya baru saja mengalami hal
yang amat berbahaya dan kini bahkan keselamatan dirinya terancam,
namun ia tidak merasa gentar sedikitpun juga. Ia bukan seorang gadis
penakut. Bahaya bukanlah hal asing baginya. Pekerjaannya sebagai gadis
penyelam selalu diliputi bahaya. Akan tetapi sekarang ia merasa amat
kecewa. Ia disuruh pulang seorang diri.
Kakaknya diberi tugas mengundang seorang sababat yang lihai dari
Pek-liong-eng, dan pendekar itu sendiri katanya akan melakukan
penyelidikan terhadap gerombolan penjahat yang hendak membunuh
ia dan kakaknya tadi. Akan tetapi ia sendiri, ia disuruh pulang tanpa
tugas apapun, disuruh bersikap seperti biasa. Ia merasa amat kecewa,
terutama sekali karena harus berpisah dari pendekar yang
dikaguminya itu. Ia telah jatuh cinta!
629 Ketika ia mendayung perahunya, timbul rasa penasaran dalam hatinya.
Kenapa ia tidak melakukan penyelidikan sendiri" Lima orang
penyerangnya tadi, yang semua telah dibikin pingsan dengan perut
kembung, mungkin masih menggeletak di atas perahu mereka.
Ia dapat menyelidiki mereka, mengancam mereka agar mengaku dan
menyebutkan nama semua orang yang berdiri di belakang mereka,
selain Po-yang Sam-liong! Kalau ia memperoleh keterangan seperti
itu, tentu hal itu amat berguna bagi Pek-liong-eng! Dan ia akan
berjasa, akan membikin senang hati pendekar itu. Mengapa tidak"
Dengan penuh semangat Cian Li mendayung perahunya ke tengah,
menuju ke arah ditinggalkannya perahu besar yang ditumpangi lima
orang penjahat yang sudah pingsan dengan perut kembung tadi. Akan
tetapi, ternyata perahu itu sudah tidak ada lagi.
Cian Li merasa penasaran dan ia terus mendayung perahu berputarputar di sekitar tempat itu. Agaknya tidak mungkin kalau lima orang
telah siuman dan dapat menyingkir dari tempat itu, kecuali kalau
mereka itu ditolong orang lain. Kemudian ia melihat berapa perahuperahu pesiar sudah mulai meninggalkan bandar, bahkan beberapa
buah perahu nelayan telah hilir mudik. Maka iapun segera mendayung
perahunya menuju pulang. Matahari telah naik tinggi ketika ia meninggalkan perahunya dan
berjalan menuju ke rumahnya yang berada di sebuah dusun kecil tak
jauh dari telaga itu. Dari mendiang ayah mereka, ia dan kakaknya
menerima warisan sebuah rumah yang berada di ujung dusun itu,
sebuah rumah yang sederhana namun cukup baik.
630 Sambil membawa buntalan pakaian dan hasil penyelaman mereka pagi
tadi, tidak berapa banyak, Cian Li melenggang dengan langkahnya
yang gontai. Kedua kaki gadis ini berbentuk panjang dan kuat
sehingga kalau melangkah, ia melenggang dengan lemas sekali,
nampak menarik dan menggairahkan. Bentuk tubuh yang panjang
ramping itu tentu saja hasil dari pada pekerjaan menyelam dan renang
itu. Karena rumahnya memang tidak dipenuhi barang berharga, maka
pintu rumahnya ditutup begitu saja tanpa dikunci. Ia mendorong daun
pintu rumahnya dan melangkah masuk. Dengan hati masih kecewa, ia
melemparkan buntalan pakaian dan batu hasil penyelaman itu ke atas
meja, lalu memasuki kamarnya untuk membuka jendela. Rumah
mereka mempunyai dua buah kamar, sebuah untuknya dan sebuah lagi
untuk kakaknya. Begitu ia masuk ke dalam kamarnya, tiba-tiba ia menjerit kecil dan
matanya terbelalak, mukanya berubah pucat sekali. Seorang laki-laki
tinggi besar yang berhidung besar telah berada di dalam kamarnya,
dan orang itu menyeringai kepadanya. Mukanya demikian
menyeramkan, dengan hidung besar, mata melotot dan gigi yang
besar-besar nampak ketika dia menyeringai! Yang membuat ia
terkejut adalah karena ia mengenal orang ini sebagai seorang di antara
lima penjahat tadi, bahkan si hidung besar ini agaknya yang menjadi
pemimpin para penjahat tadi!
"He-he-he, nona manis, engkau baru datang" Sudah kesal aku
menunggumu..... heh- heh-heh!"
631 Cian Li cepat membalikkan tubuhnya hendak berlari keluar, akan
tetapi ia terbelalak melihat betapa empat orang penjahat lainnya sudah
berdiri di depan pintu, menghadangnya sambil menyeringai kejam.
"Ha-ha-ha, engkau tadi menyiksaku, membenam-benamkan aku ke
dalam air. Sekarang tiba saatnya kami membalas dendam. Bersiaplah
untuk menerima siksaan sampai mampus!" kata seorang di antara
mereka yang perutnya gendut.
Cian Li merasa bulu tengkuknya meremang. Setankah mereka ini"
Setan dari mereka yang telah mati dan kini hidup kembali untuk
mengganggunya, membuat pembalasan" Perut gendut ini, bukankah
karena perutnya kembung penuh air"
"Tidak...... tidaaaakk....!" Ia menjerit dengan perasaan ngeri sekali.
Dari pada menghadapi empat orang itu, lebih baik melawan yang
seorang saja di dalam kamar, pikirnya dan iapun membalik lagi ke
dalam kamar dan dengan nekat ia menerjang si hidung besar yang
menyeringai lebar menyambut terjangannya dengan kedua lengan
dikembangkan! Cian Li memang pernah belajar silat dari mendiang ayahnya. Akan
tetapi ilmu silatnya itu tidak ada artinya dibandingkan dengan si
hidung besar itu, seorang penjahat kawakan yang sudah biasa
mampergunakan kekerasan dan sudah seringkali berkelahi. Cian Li
melakukan dorongan dengan kedua tangannya, dengan maksud
membuat si hidung besar itu terpelanting agar ia dapat melarikan diri
lewat jendela kamarnya yang tertutup.
632 "Plakk!" Si hidung besar menangkis dari samping dengan maksud
untuk menangkis dengan satu tangan lalu tangannya yang lain
mencengkeram dari samping: Akan tetapi, biarpun ilmu silatnya tidak
tinggi, Cian Li memiliki tenaga yang kuat sebagai hasil dari
kebiasaannya renang dan menyelam. Pertemuan kedua lengannya
yang ditangkis itu sempat membuat si hidung besar terdorong ke
samping dan terhuyung! Kesempatan ini dipergunakan oleh Cian Li
untuk menggempur daun jendela dengan dorongan kedua tangannya.
"Brakkkkk......!" Daun jendela itu pecah berantakan dan Cian Li
berusaha untuk menerobos keluar. Akan tetapi hanya separuh
tubuhnya saja yang sempat keluar karena tiba-tiba kedua pergelangan
kakinya ditangkap orang dari belakang! Kiranya yang menangkapnya
adalah si hidung besar! Kini Cian Li hanya dapat meronta karena tubuh bagian atas sebatas
pinggang berada di luar jendela, akan tetapi dari pinggang ke bawah
masih berada di dalam kamar. Dengan mudah si hidung besar sambil
tertawa-tawa menarik tubuh Cian Li dan sebelum gadis itu sempat
melepaskan diri, kedua lengan dari si hidung besar yang panjang dan
kuat sekali itu telah memeluknya sehingga kedua tangannya tidak
mampu bergerak. Si hidung besar itu memeluknya dari belakang. Ia meronta-ronta
namun sia-sia belaka. Empat orang kawan si hidung besar, memasuki
kamar sambil tertawa-tawa pula melihat gadis itu meronta dalam
dekapan pemimpin mereka. "Toako, biar kubedah dadanya dan kukeluarkan jantungnya. Enak
diganyang mentah- mentah, untuk obat kuat!" kata yang berewokan
633 dengan sikap bengis dan di tangan kanannya nampak sebatang pisau
tajam mengkilat. "Ia menyiksaku dan membenamkan kepalaku di air. Jangan dibunuh
dulu, biar aku akan balas menyiksanya!" kata si perut gendut, siap
untuk mempergunakan tangannya mencengkeram gadis yang sudah
tidak berdaya itu. Akan tetapi si hidung besar membentak marah.
"Mundur kalian semua! Sebelum aku selesai dengannya, kalian tidak
boleh menyentuhnya! Gadis ini sekarang milikku dan setelah aku
selesai dengannya, baru kuberikan kepada kalian. Nah, kalian cepat
mencari benda itu sampai dapat. Geledah seluruh rumahnya, bawa
semua yang berharga dan bakar saja yang tidak ada artinya!"
Empat orang itu tidak berani membantah dan merekapun keluar dari
kamar itu, meninggalkan si hidung besar berdua saja dengan gadis
yang masih meronta-ronta dengan sia-sia dalam rangkulannya yang
seperti dekapan seekor biruang itu.
"Heh-heh, sejak di perahu itu aku sudah tergila-gila padamu, nona
manis. Engkau cantik manis dan tubuhmu indah!" Si hidung besar
melemparkan tubuh Cian Li ke atas pembaringan gadis itu.
Cian Li terbanting ke atas pembaringannya dan cepat ia bangkit untuk
melompat, melawan atau melarikan diri. Akan tetapi dengan cepat
pula si hidung besar sudah menubruknya sehingga ia terjengkang
kembali dan mereka bergumul di atas pembaringan itu.
Cian Li melawan sekuat tenaga, meronta dan sekali ini berkat
pekerjaannya berenang dan menyelam, ia tertolong. Tubuhnya telah
menjadi kuat dan licin, dengan menggeliat-geliat ia selalu mampu
634 menghindar sehingga biarpun pakaiannya sudah robek di sana-sini,
namun si hidung besar tidak mampu menghimpitnya, bahkan beberapa
kali Cian Li berhasil mencakar, menampar bahkan menggigitnya.
Akhirnya si hidung besar menjadi marah dan penasaran bukan main.
Tubuhnya sakit-sakit karena ulah gadis itu dan agaknya sampai habis
tenaganya, akan sukar ia menundukkan gadis yang seperti seekor kuda
betina liar ini, atau seekor anak harimau yang mengamuk. Dia
melompat ke samping dan dicabutnya golok besarnya yang tadi dia
taruh di atas meja. Golok yang amat tajam itu kini menempel di leher
Cian Li, dan si hidung besar menghardik.
"Hayo diam dan jangan bergerak! Kalau engkau tidak mau
menyerahkan diri, terpaksa akan kusembelih kau!"
Di sinilah letak kesalahan perhitungan si hidung besar. Dia mengira
bahwa gadis ini sama seperti para korbannya yang sudah-sudah, yaitu
merupakan seorang wanita yang takut mati dan akan menyerah bulatbulat karena takut mati! Akan tetapi, Cian Li bukan seorang gadis
penakut. Baginya, lebih baik ia mati dari pada harus menyerahkan
kehormatannya tanpa melawan mati-matian.
Melihat golok tajam itu menempel di lehernya dan si hidung besar
mengancam, tiba-tiba saja ia bergerak ke depan dan kaki kanannya
menendang sekuat tenaga. Yang diarahnya adalah bawah pusar. Akan
tetapi si hidung besar sempat menarik tubuh ke belakang.
"Bukk!" Yang kena tendang adalah perutnya yang gendut. Hampir dia
terjengkang, dan perutnya terasa nyeri juga. Kemarahannya
memuncak dan semua nafsu berahinya terbang entah ke mana, terganti
635 nafsu amarah dan kebencian yang hanya akan mereda kalau dia sudah
melihat darah tersembur dari tubuh yang sekarat.
"Perempuan keparat! Mampuslah!" Bentaknya dan kini goloknya
menyambar ganas ke arah leher Cian Li.
"Tukk!" Golok itu terlepas dari pegangan "i hidung besar dan jatuh ke
atas lantai ketika sebuah tangan menangkis pergelangan lengan si
hidung besar dari samping. Kemudian, tangan itu dilanjutkan dengan
sebuah tamparan dan si hidung besar terpelanting dan terbanting
keras. "Hay koko......!" Cian Li berseru girang sekali melihat munculnya
pendekar muda berpakaian putih itu.
"Biar kubereskan yang lain!" kata Pek-liong sambil berkelebat keluar
dari kamar itu. Akan tetapi, hanya seorang penjahat lagi saja yang dia robohkan
karena tiga orang yang lain sudah melarikan diri, dan bagian belakang
rumah itu sudah terbakar! Pek-liong memadamkan kebakaran itu
sebelum dia kembali ke kamar Cian Li dan matanya terbelalak melibat
betapa tubuh si hidung besar itu telah menjadi mayat dan sebatang
golok besar masih menancap dalam sekali di dadanya. Cian Li berdiri
di sudut kamar itu dengan termenung.
"Li-moi......!" Pek-liong berseru, "Apa yang kaulakukan ini?"
Cian Li sadar dan terisak menangis. "Kubunuh dia......! Dia... dia
terlalu jahat. Ah, kalau engkau tidak segera datang......"
636 Pek-liong menarik napas panjang. "Sudahlah, Li-moi. Mungkin
memang sudah tiba saatnya dia harus menebus kejahatannya dengan
kematian. Akan tetapi, sekarang engkau harus meninggalkan rumah
ini karena mereka tentu tidak akan tinggal diam."
"Tapi...... tapi ke mana aku harus pergi?"
"Untuk sementara kita tinggal di rumah penginapan saja."
"Kita...... berdua.....?" Gadis itu mengerling dan wajahnya berubah


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemerahan, akan tetapi mulutnya tersenyum.
"Ya, kita berdua. Mulai sekarang aku harus selalu melindungimu."
Senyum itu melebar. "Benarkah, Hay-ko" Engkau tidak akan
meninggalkan aku lagi seperti tadi?"
"Tadipun aku diam-diam membayangimu, adik manis. Memang
engkau sengaja kujadikan umpan agar mereka datang. Tidak tahunya
mereka sudah menunggumu di dalam rumahmu, sungguh hal yang
tidak kusangka-sangka. Untung aku tidak terlambat dan melihat ketika
mereka membakar rumahmu."
"Kalau begitu, mari kita ke kota Hay-ko."
"Tentu saja kita akan menggunakan dua buah kamar, Li-moi, sebuah
untukmu dan sebuah untukku."
Gadis itu diam saja, akan tetapi senyumnya berubah masam. Ia sendiri
merasa heran mengapa perasaannya menjadi demikian tak tahu malu,
ingin sekamar dengan pendekar itu dan hatinya merasa kecewa
637 mendengar bahwa mereka akan menggunakan dua buah kamar.
Teringat akan ini, wajahnya menjadi semakin merah.
Mereka lalu meninggalkan perkampungan itu tanpa dilihat orang,
pada saat para penghuni dusun lari berdatangan melihat rumah kakak
beradik itu kebakaran bagian belakangnya. Mereka lalu memadamkan
sisa api dan memeriksa ke dalam. Akan tetapi, mereka terheran-heran
melihat bahwa rumah itu kosong, kakak beradik penyelam batu itu
tidak ada dan mereka hanya menemukan keadaan kamar yang
berserakan. Mereka tidak tahu bahwa baru saja seorang tinggi besar memondong
sesosok mayat melarikan diri dari rumah itu. Dia adalah penjahat yang
tadi dirobohkan Pek-liong. Penjahat ini menemukan mayat si hidung
besar dan melarikan mayat itu tanpa diketahui orang.
Pek-liong mengajak Cian Li pergi ke Telaga Po-yang. Dia bertekad
untuk mencari keterangan tentang Po-yang Sam-liong karena dia
merasa yakin bahwa lima orang penjahat itu adalah anak buah Poyang Sam-liong, maka tentu tiga orang tokoh sesat itu yang menjadi
biang-keladi penyerangan terhadap kakak beradik Kam, juga mereka
pula yang mungkin sekali membunuh dua oraug pendeta, tentu saja
dengan kawan-kawan mereka yang tergabung sebagai para pembantu
Siauw-bin Ciu-kwi! Dari tiga orang itulah dia mungkin akan dapat
membuat kontak dengan beng-cu yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi
itu. Akan tetapi, setiap orang nelayan atau pemilik perahu pelesir di telaga
itu juga sama halnya dengan kakak beradik Kam. Tak seorangpun di
antara mereka yang tidak mengenal nama Po-yang Sam-liong, akan
638 tetapi tak seorangpun mengetahui di mana mereka tinggal. Mungkin
ada yang tahu, akan tetapi siapakah berani membuka rahasia tiga
orang tokoh sesat yang amat mereka takuti itu"
Penyelidikan yang dilakukan Pek-liong sia-sia belaka.
"Mereka tidak pernah muncul sendiri di sini," kata seorang nelayan
yang agak berani. "Mereka menagih pajak melalui kaki tangan mereka
yang banyak sekali. Kami tidak tahu dan tidak pernah berani
menanyakan di mana tempat tinggal mereka."
Ah, tidak ada lain jalan kecuali menanti munculnya seorang kaki
tangan mereka, menangkap orang itu dan memaksanya mengaku di
mana dia dapat bertemu dengan mereka, pikir Pek-liong. Karena hari
mulai gelap, dia lalu mengajak Cian Li pergi ke kota Nan-cang dan
mereka menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan kecil
agar tidak menyolok dan tidak menarik perhatian.
Bagaimanapun juga, Pek-liong masih mengharapkan bahwa Cian Li
tetap merupakan "umpan" yang akan menarik datangnya kakap yang
dia kehendaki. Dengan tewasnya si hidung besar oleh gadis itu, tidak
mungkin mereka melupakan gadis itu demikian saja dan sekali waktu,
pasti mereka yang akan datang mencari Cian Li. Syukur kalau Poyang Sam-liong yang datang sendiri agar dia tidak usah bersusah
payah mencari mereka. Setelah mandi, makan di sebuah restoran terdekat, mereka memasuki
kamar masing-masing untuk beristirahat. "Engkau tidurlah, Li-moi,
dan jangan khawatir, aku selalu menjagamu. Kalau engkau mendengar
sesuatu yang tidak wajar, berdiam sajalah di kamar, jangan membuka
639 jendela atau daun pintu," demikian pesan Pek-liong kepada gadis itu
yang kelihatan lesu dan sedih ketika memasuki kamarnya.
Bagaimana gadis itu tidak berduka" Kakaknya pergi dan ia tidak dapat
kembali ke rumahnya sendiri, selalu terancam keselamatannya oleh
gerombolan penjahat, dan pemuda yang diandalkannya itu, yang
melindunginya berpisah kamar!
Pek-liong-eng Tan Cin Hay tidak merebahkan badannya, melainkan
duduk bersila di atas pembaringan tanpa melepas sepatunya. Dia tahu
bahwa dia harus siap sedia menjaga keselamatan gadis di kamar
sebelah dan dia tidak boleh lengah. Dengan duduk bersila, dia dapat
melepaskan lelah, akan tetapi juga sekaligus dapat berjaga-jaga karena
biarpun dia beristirahat, namun pendengarannya menjadi peka dan
kalau ada suara yang tidak wajar sedikit saja pasti akan terdengar
olehnya dan membuat dia sadar.
Menjelang tengah malam, dia membuka kedua matanya. Telinganya
mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Cepat dia turun dari
pembaringan dan mendekati jendela. Daun jendela itu hanya dia tutup
begitu saja, tidak dipalang agar memudahkan dia keluar kalau perlu.
Kini dia mendorong sedikit kedua daun pintu sehingga terdapat
kerenggangan di antara dua buah daun pintu itu. Kamarnya gelap,
maka dia dapat mengintai ke luar di mana terdapat lampu gantung.
Pek-liong menggigit giginya dengan gemas ketika dia mengenal
empat orang laki-laki tinggi besar berada di luar kamar Cian Li!
Mereka adalah empat orang penjahat yang tadi telah menyerbu rumah
gadis itu. 640 Betapa beraninya mereka itu! Betapa keras kepala dan dia harus
memberi hajaran yang keras sekarang, menangkap mereka atau
seorang di antara mereka untuk dipaksa mengaku di mana dia dapat
bertemu dengan Po-yang Sam-liong.
Jelas bahwa mereka itu datang untuk mengganggu Cian Li. Kasihan
gadis itu. Tidak perlu dibikin kaget lagi, Biarkan ia tidur nyenyak,
demikian pikir Pek-liong dan sekali dorong, daun jendela terbuka dan
di lain saat dia sudah meloncat keluar dari dalam kamarnya.
Kampung Setan 5 Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung Kisah Si Rase Terbang 12
^