Pencarian

Kabut Di Bumi Singosari 2

Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana Bagian 2


Ki "Kamilah yang berhak, buyut bayi ini adalah guru kami",
berkata orang tertua kepada Ki Jabarantas
"Seandainya yang datang buyut bayi ini sendiri, aku tetap
berkeras untuk membawanya", berkata Ki Jabarantas
kepada ketiga orang dari Padepokan Teratai Putih.
"Terpaksa kami akan merebutnya dengan kekerasan",
77 berkata orang tertua itu dari Padepokan Teratai Putih
kepada Ki Jabarantas. "Aku ada usul, bagaimana bila kalian menunggu lima
tahun lagi untuk menanyakan langsung kepada bayi ini,
siapakah diantara kalian yang dipilih. Sementara itu
selama lima tahun bayi ini kurawat dengan baik", berkata
Mahesa Amping dengan penuh senyum.
"Itu akal-akalan tuan Senapati saja, setelah lima tahun
mungkin ada lagi akal-akalannya", berkata orang tertua
dari Padepokan Teratai Putih tidak menerima usulan
Mahesa Amping. "Aku setuju dengan usulan tuan Senapati, tapi bedanya
selama lima tahun bayi ini berada dalam perawatanku",
berkata Ki Jabarantas. "Kami juga tidak percaya kepadamu", berkata orang
tertua dari Padepokan Teratai Putih.
"Bila kalian tidak menyetujui usulku, apakah kalian sendiri
punya usul?", bertanya Mahesa Amping kepada ketiga
orang dari Padepokan Teratai Putih.
"Terpaksa kita harus bertempur, siapa yang menang
dalam pertempuran ini maka dialah yang berhak atas
bayi ini", berkata orang tertua dari Padepokan Teratai
Putih memberikan sebuah usul.
"Kalian curang, jumlah kalian lebih banyak. Tapi aku tidak
akan takut", berkata Ki Jabarantas siap-siap membuat
kuda-kuda. "Aturan permainannya, satu melawan dua kubu?",
bertanya Mahesa Amping meminta penjelasan.
"Benar, disini ada tiga kubu. Tuan Senapati, Ki
Jabarantas dan kami bertiga", berkata orang tertua dari
Padepokan Teratai putih. 78 "Sudah kubilang mereka curang, tapi aku tidak akan
mundur", berkata Ki Jabarantas sambil memberi tanda
sebuah isyarat mata kepada Mahesa Amping.
Ternyata Mahesa Amping dapat menangkap isyarat itu.
"Aku terima usul kalian", berkata Mahesa Amping sambil
menjurai cambuknya dengan wajah tersenyum penuh arti
kepada Ki Jabarantas. Terlihat ketiga orang dari Padepokan Teratai Putih
mengeluarkan senjatanya, sebuah senjata cakra dengan
pegangan besi yang semuanya terbuat dari besi putih
pilihan. "Senjataku ini adalah tongkatku ini", berkata Ki
Jabarantas langsung menyerang orang tertua dari
Padepokan Teratai Putih. Melihat Ki Jabarantas sudah menyerang salah seorang
dari Padepokan Teratai Putih, maka Mahesa Amping
mendekati dua orang dari Padepokan Teratai Putih.
"Mari kita mengisi permainan ini, aku sudah siap",
berkata Mahesa Amping kepada keduanya.
Kedua orang itu seperti terpojok, tidak dapat membantu
kawannya yang tengah menghadapi Ki Jabarantas.
Sementara Mahesa Amping sudah siap menantangnya.
"Ternyata otak kalian cukup cemerlang", berkata salah
seorang yang bertubuh jangkung kepada Mahesa
Amping. "Kamu pikir kalian saja yang punya perhitungan?",
berkata Mahesa Amping sambil tersenyum.
"Kita habisi senapati sombong ini, lalu kita keroyok orang
itu", berkata kawannya yang satu lagi kepada kawannya
yang bertubuh jangkung. 79 "Kamu benar, secepatnya kita selesaikan", berkata orang
yang bertubuh jangkung itu sambil melangkah mendekati
Mahesa Amping diikuti kawannya.
Sementara itu orang tertua dari Padepokan Teratai Putih
sudah saling menyerang dengan Ki Jabarantas, senjata
cakra ditangannya berdesing-desing mengejar Ki
Jabarantas yang melayaninya dengan tongkatnya.
Terjadilah saling mengelak dan saling meyerang diantara
keduanya. Diwaktu yang sama, kedua orang Padepokan Teratai
Putih telah menyerbu Mahesa Amping dengan senjata
cakranya. Dua buah cakra menyambar-nyambar tubuh
Mahesa Amping. Terlihat Mahesa Amping berlompatan
kesana kemari menghindari kedua serangan cakra itu
tidak berusaha balas menyerang. Mungkin hanya untuk
mengikuti dan mempelajari sejauh mana kehebatan
serangan kedua orang itu dengan senjata cakranya.
Namun sikap Mahesa Amping dianggap lain oleh kedua
orang itu, mereka mengira Mahesa Amping tidak dapat
banyak berbuat atas serangan senjata cakra mereka
yang kuat dan cepat menyambar-nyambar tidak pernah
putus. "Serangan yang hebat", berkata Mahesa Amping dengan
penuh senyum melompat menghindari serangan mereka.
Sementara itu pertempuran antara Ki Jabarantas dan
lawannya terlihat sudah semakin seru. Mereka dengan
cepat sudah meningkatkan tataran ilmunya masingmasing.
Saling menyerang untuk secepatnya menyelesaikan pertempuran.
"Orang ini pasti murid pilihan dari Padepokan Teratai
Putih", berkata Ki Jabarantas dalam hati melihat kelihaian
lawannya yang terus meningkatkan tataran ilmunya.
80 "Sukar sekali menundukkan orang ini", berkata pula
orang tertua dari Padepokan Teratai Putih yang merasa
penasaran tidak juga dapat melumpuhkan Ki Jabarantas.
Sementara itu Putu Rantu yang masih duduk diluar arena
kedua pertempuran itu mengkhawatirkan keadan Mahesa
Amping yang tengah menghadapi dua orang lawan dari
Padepokan Teratai Putih. Dalam penglihatannya Mahesa
Amping tidak sempat membalas serangan kedua
lawannya. "Bila tuan Senapati tidak dapat mengalahkan keduanya,
bayi ini akan jatuh ke Padepokan Teratai Putih", berkata
Putu Rantu mengkhawatirkan keadaan Mahesa Amping.
Namun kekhawatiran Putu Rantu tidak berlasan sama
sekali, sebab yang terjadi adalah Mahesa Amping
membiarkan dirinya diserang untuk sekedar mengetahui
kemampuan ilmu mereka kelebihan dan kekurangannya,
terutama senjata cakra mereka yang terus berdesing
kemanapun Mahesa Amping mengelak.
"Hemm", bergumam Mahesa Amping dengan sedikit
tersenyum, sepertinya telah menemukan sebuah
gambaran mengenai ilmu cakra dari kedua lawannya itu.
Terlihat dalam sebuah serangan yang bersamaan,
Mahesa Amping bukan cuma sekedar mengelak, kali ini
membalasnya dengan membuat sebuah serangan ganda
yang cepat kepada kedua lawannya. Betapa terkejutnya
kedua lawannya itu, sebuah serangan yang tidak terduga
datangnya dan begitu cepat.
Terlihat kedua lawan Mahesa Amping mundur beberapa
langkah dengan mata terkesima.
"Kenapa kalian melotot mata seperti itu ?", berkata
Mahesa Amping kalem sambil berdiri memegang ujung
81 cambuknya. "Jangan girang dulu, kami hanya sedikit terkejut", berkata
orang yang bertubuh jangkung menyadari keterkejutannya langsung menyerang kembali diikuti
kawannya. Mendapatkan serangan dari kedua lawannya itu, Mahesa
Amping hanya mundur selangkah dan balas menyerang
salah seorang lawannya yang bertubuh jangkung yang
langsung mundur selangkah, serangan berikutnya dari
Mahesa Amping adalah menyentakkan cambuknya
kearah kawannya yang satu lagi, orang itu memang
sudah siap menerima serangan dari Mahesa Amping,
tapi tidak menduga serangan itu lebih cepat dari yang
diduganya. Terpaksa orang itu berguling kesamping.
Mahesa Amping tidak mengejarnya karena kawannya
yang bertubuh jangkung sudah kembali menyerangnya.
Tapi Mahesa Amping sudah memperhitungkannya, maka
sambil sedikit menjauh, cambuknya sudah balas
menyerang. Kembali lawannya yang bertubuh jangkung
mundur beberapa langkah. Putu Rantu yang melihat perkembangan itu menarik
nafas lega. "Ternyata tuan Senapati selama ini tengah mengukur
kemampuan lawannya", berkata Putu Rantu dalam hati.
Mahesa Amping memang sudah dapat mengukur sejauh
mana ilmu cakra lawannya. Dan Mahesa Amping sudah
dapat menentukan cara menghadapi ilmu lawannya
dengan menjaga jarak serang mereka.
Maka yang terlihat saat itu berbeda dari sebelumnya,
kedua lawan Mahesa Amping sepertinya telah menjadi
bulan-bulanan Mahesa Amping yang masih belum ingin
82 mengakhiri pertempurannya, masih ingin bermain-main.
Terlihat kedua lawannya itu nyaris tidak mampu balas
menyerang Mahesa Amping yang terus menjaga jarak
serang sambil mengejar kedua lawannya itu dengan
cambuknya. "Gila!!", berkata lawan Mahesa Amping yang bertubuh
jangkung sambil melompat kesamping menghindari ujung
cambuk Mahesa Amping yang seperti bermata.
Sementara itu pertempuran Ki Jabarantas dan orang
tertua dari Padepokan Teratai Putih semakin seru dan
menegangkan. Keduanya sudah berada dalam tataran
tertinggi dari ilmunya masing-masing. Ternyata ilmu
mereka hanya berbeda tipis, terlihat keduanya saling
menyerang dengan serangan ilmunya masing-masing
yang sangat berbahaya. Bila dibandingkan dengan dua orang yang tengah
berhadapan dengan Mahesa Amping, ilmu cakra orang
tertua dari Padepokan Teratai Putih terlihat jauh lebih
tinggi. Beberapa kali Ki Jabarantas nyaris menjadi
sasaran senjata cakra ditangan orang itu yang berdesing
cepat menyambar tubuh Ki Jabarantas. Tapi Ki
Jabarantas juga bukan orang sembarangan, sepertinya
punya banyak pengalaman bertempur. Itulah sebabnya
pertempuran keduanya nampak menjadi semakin sengit.
Kembali kepertempuran antara Mahesa Amping yang
sudah berada diatas angin, kedua orang lawannya
berkali-kali harus mengeluarkan sumpah serapah nyaris
menjadi sasaran empuk ujung cambuk Mahesa dAmping.
"Kucing kurap edan!!", berkata salah seorang lawan
Mahesa Amping yang terjungkir mencium tanah basah
ketika harus berguling di atas tanah menghindari ujung
cambuk Mahesa Amping yang nyaris mengenai dadanya.
83 Untungnya Mahesa Amping tidak segera mengejarnya,
tapi mengalihkan serangannya kearah lawannya yang
lain yang bertubuh jangkung.
"Ilmu cambuk edan!!", berkata lawan Mahesa Amping
yang tidak menduga serangan Mahesa Amping begitu
cepat datangnya langsung mundur kebelakang.
Tapi dengan mudahnya Mahesa Amping melanjutkan
serangannya, cambuknya yang berputar setengah
lingkaran itu berhenti seketika dan ganti bergerak seperti
ular hidup mengejar lawannya yang baru saja
menjejakkan kakinya mundur.
"Akhhh", ujung cambuk Mahesa Amping berhasil
mematuk pangkal paha lawannya yang bertubuh
jangkung. Terlihat orang itu meringis merasakan kakinya seperti
remuk dihantam batu besar. Orang itu terjatuh duduk di
tanah. Melihat kawannya dalam keadaan bahaya bila saja
Mahesa Amping melanjutkan serangannnya, maka
terlihat lawan Mahesa Amping langsung sudah meloncat
menyerang Mahesa Amping. Sebenarnya bisa saja Mahesa Amping langsung
menyerang dengan cambuknya, tapi itu tidak
dilakukannya. Dibiarkan orang itu menghujamkan
cakranya tertuju bagian pinggangnya. Dengan sedikit
gerak kebelakang cakra itu lewat sebatas jari tangan
dihadapannya. Tiba-tiba saja tangan Mahesa
punggung tangan orang itu.
Amping menjentik Luar biasa !! Hanya dengan sedikit jentikan tangan, senjata cakra di
84 genggaman orang itu terlempar.
Sementara orang itu masih merasakan tangannya nyeri
dan kaku, sebuah kaki Mahesa Amping berhasil
menerjang perut orang itu.
Bukk !!! Terlihat orang itu terjengkang jatuh di tanah, untungnya
Mahesa Amping hanya mempergunakan sedikit


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekuatannya. Tapi itu saja telah membuat orang itu
sesak nafas. Melihat kawannya seperti sudah tidak berdaya, maka
orang yang bertubuh jangkung langsung menyerang
Mahesa Amping dengan maksud melindungi kawannya
dari serangan Mahesa Amping.
"Aku masih sanggup melawanmu", berkata orang
bertubuh jangkung itu sambil menerjang Mahesa Amping
dengan senjatanya cakranya. Pandangan mata Mahesa
Amping masih menghadap lawannya, namun pendengaran dan penciumannya yang sangat tajam
telah mendengar suara berdesing dibelakang dirinya.
"Awas pisau beracun!!", berkata Mahesa Amping sambil
menundukkan tubuhnya yang nyaris tersambar lehernya
oleh sebuah pisau beracun yang melesat tipis diatas
kepalanya. Ternyata ucapan Mahesa Amping itu ditujukan untuk
lawannya. Terlihat pisau terbang itu masih meluncur dengan
derasnya kearah lawan Mahesa Amping yang berada
tepat dihadapannya. Orang yang bertubuh jangkung itu seperti melihat
malaikat terbang yang akan mencabut nyawanya. Tidak
ada kesempatan untuk dirinya mengelak dan
85 menghindari pisau terbang itu yang tengah bergerak
begitu cepatnya, sementara langkah kakinya sudah mati
langkah. Dengan wajah dan mata terperolok menatap tanpa dapat
bergerak dan berbuat apapun.
Tarrr !! Ujung cambuk Mahesa Amping telah bergerak begitu
cepat menghentak pisau terbang itu kearah yang
berbeda, tidak jadi menembus leher orang jangkung itu
yang sudah seperti pasrah.
Seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya,
Mahesa Amping dengan kecepatan yang tidak dapat
diduga, sebuah kecepatan yang tidak pernah dilihat
selama hidupnya, cambuk lawannya telah menyelamatkan jiwanya. Sementara itu hari di hutan Mada sudah mendekati
senja, sinar matahari sudah mulai condong kebarat
terhalang kerimbunan daun dan ranting pohon di hutan
Mada yang tinggi menjulang.
Dikeremangan hutan Mada diawal senja itu terlihat
muncul beberapa orang keluar mendekati arena
pertempuran. "Guru..", berkata kedua orang lawan Mahesa Amping
menatap seseorang diantara beberapa orang yang baru
datang mendekati mereka. Ternyata mereka adalah orang-orang dari Padepokan
Teratai Putih. Seorang yang dipanggil guru oleh kedua
orang lawan Mahesa Amping terlihat berwajah pucat
seperti tidak punya darah dengan rambut terurai tidak
diikat sudah berwarna putih merata. Hanya orang yang
dipanggil guru ini saja yang mengenakan jubah berwarna
86 hitam, sementara beberapa orang yang mengiringinya
memakai pakaian orang kebanyakan.
"Guru macam apa yang hampir saja mencelakai
muridnya sendiri", berkata Mahesa Amping kepada orang
yang baru datang itu. "Ternyata Senapati dari Singasari yang terkenal itu masih
begitu muda", berkata orang itu yang dipanggil sebagai
guru menatap Mahesa Amping dari bawah sampai
keatas. "Sayangnya aku disini bukan sebagai seorang Senapati,
hanya mewakili diri pribadi untuk membawa bayi itu",
berkata Mahesa Amping mencoba menebak maksud
kedatangan orang-orang dari Padepokan Teratai Putih.
Sementara itu orang tertua dari Padepokan Teratai Putih
yang tengah bertempur melawan Ki Jabarantas ketika
melihat guru dan rombongan orang-orang dari
Padepokannya langsung menghentikan pertempurannya
melompat jauh mendekati gurunya.
"Permainan kita belum selesai", berkata Ki Jabarantas
sambil mengejar orang itu, namun berhenti menghadap
kepada orang-orang yang baru datang itu.
"Habisi orang itu!!", berkata orang berjubah serba hitam
itu memberi perintah. Tanpa bertanya lagi, sepuluh orang yang ada bersama
orang yang dipanggil guru itu sudah langsung
mengepung Ki Jabarantas. Ketiga orang dari Padepokan
Teratai Putih yang datang sebelumnya ikut juga
mengepung Ki Jabarantas, maka lengkaplah tiga belas
orang telah mengepung Ki Jabarantas.
Meski baru kenal di hutan Mada itu, ada rasa ketidak
senangan melihat Ki Jabarantas dikeroyok oleh tiga
87 belas orang dari Padepokan Teratai Putih. Namun belum
lagi kaki Mahesa Amping melangkah, orang yang disebut
sebagai guru itu telah menghadangnya.
"Biarkanlah mereka, aku ingin mencoba sejauh mana
nama besarmu yang menghebohkan jagad Balidwipa ini",
berkata orang berjubah serba hitam itu menghadang
Mahesa Amping. Sejenak Mahesa Amping memperhatikan orang
dihadapannya itu, dari wajahnya yang pucat sekilas
Mahesa Amping dapat pertanda bahwa orang
dihadapannya telah menguasai kekuatan hawa dingin
yang tinggi. "Ternyata hari ini aku berjodoh dapat berkenalan dengan
Ki Karmapala dari Padepokan Teratai Putih", berkata
Mahesa Amping sebagai seorang Senapati yang banyak
mengetahui banyak orang tersohor di Balidwipa dari para
prajurit delik sandinya. "Aku sudah melihat sedikit kemampuanmu ketika
berhadapan dengan dua orang pengikutku, jangan
anggap bahwa kamu akan mudah menghadapiku",
berkata orang yang dipanggil Ki Karmapala oleh Mahesa
Amping. "Mudah-mudahan sedikit kemampuanku ini tidak
mengecewakan Ki Karmapala", berkata Mahesa Amping
sambil menjurai cambuknya.
Sementara tiga belas orang dari Padepokan Teratai Putih
sudah mengepung Ki Jabarantas. Tetapi tidak
mengurangi ketenangan dirinya. Ternyata Ki Jabarantas
mempunyai ketabahan yang tinggi, meski masih sangsi
apakah dirinya akan mampu menghadapi keroyokan tiga
belas orang dari Padepokan Teratai Putih.
88 Demikianlah, tanpa aba-aba apapun, ketiga belas orang
dari Padepokan Teratai Putih sudah langsung
mengeroyok Ki Jabarantas seperti sekumpulan srigala
buas mengejar mangsanya. Ternyata Ki Jabarantas punya sedikit kemampuan, tidak
langsung gentar dan langsung menghadapi setiap
serangan orang-orang bersenjata cakra itu dengan
tongkat panjangnya. Maka terjadilah sebuah pengeroyokan yang menggetarkan hati siapapun yang
melihatnya. Juga menggetarkan hati Mahesa Amping yang telah di
hadang oleh Ki Karmapala tanpa dapat bisa membantu.
"Hari ini akan ada dua mayat dihutan Mada ini, tanpa
pemakaman", berkata Ki Karmapala sambil mengeluarkan senjata cakranya langsung menyambar
menyerang kearah tubuh Mahesa Amping.
"Pukulan yang kuat", berkata Mahesa Amping dalam hati
ketika berhasil mengelak serangan cakra Ki Karmapala
yang berdesing lewat beberapa jengkal dari kepalanya.
Mahesa Amping tidak menganggap remeh lawannya itu,
dan tidak ingin menjadi sasaran empuk terus menerus
dari senjata cakra di tangan Ki Karmapala. Maka sambil
menunduk menghindari serangan Ki Karmapala,
cambuknya telah dihentakkannya melecut kearah tubuh
Ki Karmapala. Ternyata Ki Karmapala telah memperhitungkan keadaan
itu, dirinya tidak mundur kebelakang, malahan bergeser
sedikit sambil maju kedepan mendekati Mahesa Amping
tentunya dengan menusukkan cakranya ke perut Mahesa
Amping. Diam-diam Mahesa Amping kagum atas kecerdikan
89 lawannya itu mengelak serangannya yang tidak terbawa
arus permainan cambuk Mahesa Amping dalam
pertempuran jarak jauh. Kembali Mahesa Amping mundur selangkah sambil
menghentakkan ujung cambuknya, tapi tetap saja Ki
Karmapala merangsek maju balas menyerang.
Sementara itu Mahesa Amping masih sempat
memperhatikan keadaan Ki Jabarantas, meski baru
mengenalnya dihati Mahesa Amping sudah ada rasa
kekhawatiran atas diri Ki Jabarantas.
Ternyata Ki Jabarantas masih sanggup bertahan meski
dengan mengeluarkan tenaga yang hampir terkuras
habis. Maka ada timbul keinginan hati untuk
mempercepat pertempurannya dengan Ki Karmapala.
Bukan main kagetnya Ki Karmapala ketika hampir saja
cakranya menyambar kepala Mahesa Amping, ternyata
Mahesa Amping tidak mundur bahkan seperti menjemput
cakra itu. Keterkejutan Ki Karmapala dimanfaatkan oleh
Mahesa Amping dengan sambil merunduk menghindari
cakra diatas kepalanya, sebuah kaki Mahesa Amping
langsung merangsek menembus perut Ki Karmapala.
Bukkk !!! Tendangan Mahesa Amping berhasil bersarang diperut
Ki Karmapala. Untungnya Mahesa Amping tidak
menyalurkan tenaga cadangannya yang dahsyat, hanya
seperlima kekuatannya. Namun tetap saja Ki Karmapala
seperti merasakan perutnya terhantam bongkahan batu
besar. Terlihat Ki Karmapala terjungkal jatuh kebumi. Mahesa
Amping tidak mengejarnya, malahan langsung terbang
menerjang tiga belas orang Padepokan Teratai Putih.
90 Maka dengan sekali terjangan itu langsung tiga orang
Padepokan Teratai Putih terjengkang terkena ujungujung cambuk Mahesa Amping. Ketiga orang dari
Padepokan Teratai Putih itu sudah menjadi pingsan tidak
dapat bangkit berdiri. "Terima kasih telah mengurangi lawanku", berkata Ki
Jabarantas kepada Mahesa Amping sambil menghalau
sebuah serangan dan balas menyerangnya.
Namun disaat yang bersamaan, pendengaran Mahesa
Amping dapat mendengar angin mendesir dibelakang
punggungnya. "Pisau terbang!!", berkata Mahesa Amping sambil
memeringkan badannya. Serrrr !! Sebuah pisau terbang lewat hanya sebatas dua jari dari
punggungnya dan terus melaju begitu cepat sepertinya
dilempar oleh seorang ahli dengan kekuatan yang nyaris
sempurna. Bressss !! Pisau terbang itu telah menembus salah seorang dari
Padepokan Teratai Putih yang paling dekat dengan
Mahesa Amping, tepat didadanya.
"Terlalu!!!", berkata Mahesa Amping dalam hati dengan
perasaan hati geram mengetahui siapa pemilik pisau
terbang itu. Namun ketika Mahesa Amping berbalik
badan, dilihatnya sebuah bayangan melesat dibelakang
Ki Karmapala. Hari memang sudah mulai gelap,
mengaburkan pandangan di sekitar padang gumuk hutan
Mada itu. Belum sempat Mahesa Amping berpikir apa yang
dilakukan oleh bayangan hitam itu, ternyata bayangan
91 hitam itu tidak berbuat apapun kepada Ki Karmapala,
bayangan hitam itu terus melesat mendekati Putu Rantu.
Mahesa Amping berpikir cepat, tahu apa yang diinginkan
oleh bayangan hitam itu. Ternyata dugaan Mahesa Amping tidak meleset jauh,
bayangan hitam itu sudah menyambar bayi yang berada
disamping Putu Rantu yang masih terluka tidak dapat
berbuat apapun. Ki Karmapala ternyata juga ikut melihat semua yang
terjadi. Tapi, kejadian itu terjadi dengan begitu cepat.
Tidak ada seorang pun yang dapat mencegah bayangan
hitam itu yang melesat seperti terbang langsung
menyambar bayi disamping Putu Rantu dan terus
melesat lagi begitu cepatnya hilang dikegelapan malam
dikerepatan dan kerimbunan hutan Mada.
"Kepung mereka, jangan sampai meninggalkan tempat
ini", berteriak Ki Karmapala kepada para pengikutnya
untuk mengepung Mahesa Amping dan Ki Jabarantas.


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara Ki Karmapala sudah melesat berlari mengejar
kearah menghilangnya bayangan hitam itu.
Mahesa Amping yang ingin mengejar bayangan hitam itu
tidk dapat berbuat apa-apa selain menghadapi orangorang dari Padepokan Teratai Putih.
Mahesa Amping tidak dapat lagi bermain-main,
kekhawatiran dirinya terhadap bayi itu telah memenuhi
perasaan dan pikirannya. Maka sesuatu yang luar biasa
telah terjadi, Ki jabarantas sempat tercenung melihat
bagaimana Mahesa Amping merobohkan lima orang
pengeroyoknya dengan sekali serangan, lima orang
sudah seperti tersapu terhantam tangan, kaki dan
cambuk Mahesa Amping yang bergerak dengan begitu
cepatnya telah menghajar lima orang dari padepokan
92 Teratai Putih yang langsung terjengkang jatuh tidak
bergerak pingsan. "Lawanmu sudah sedikit berkurang, layanilah mereka.
Aku mengejar orang yang mencuri bayi itu", berkata
Mahesa Amping kepada Ki jabarantas sambil melesat
terbang masuk kedalam hutan pada arah bayangan
hitam dan Ki Karmapala menghilang.
"Aku akan menyusulmu", berkata Ki jabarantas sambil
mengayunkan tombaknya kesana kemari menghadapi
lawannya yang sudah berkurang.
Sementara itu Mahesa Amping sudah masuk kedalam
kegelapan hutan Mada yang pekat.
Untunglah pendengaran Mahesa Amping yang sangat
tajam dan terlatih dapat membedakan suara jerit
binatang kecil di hutan yang panik terusik. Kearah itulah
langkah kaki Mahesa Amping berlari dikegelapan malam
hutan Mada. Sementara itu diwaktu yang sama dipedalaman hutan
Mada telah terjadi pertempuran yang begitu mencekam,
sebuah pertempuran antara Ki Karmapala dengan
seorang wanita yang masih saja mendekap erat seorang
bayi ditangannya. "Mengapa Ayah masih saja memburuku ", apakah ayah
belum puas telah memisahkan ayah bayi ini dari kami ?",
berkata wanita itu mengelak sambaran senjata cakra
yang ternyata adalah putri Ki Karmapala sendiri.
"kalian telah memalukan aku", berkata Ki Karmapala
sambil menerjang wanita yang ternyata putrinya sendiri.
Tapi dengan gesit wanita itu dapat menghindari serangan
Ki Karmapala yang terlihat begitu bernafsu untuk
menghabisi nyawanya. 93 "Aku tidak mau keturunanku berpindah arah berpegang
kepada panutan lain, itulah sebabnya bahwa malam ini
lebih baik melihat kalian mati", berkata Ki Karmapala
yang kembali melakukan serangan yang semakin
dahsyat. Akhirnya setelah beberapa jurus berlalu, terlihat wanita
yang tidak bersenjata dan masih mendekap erat bayi itu
mulai kewalahan. Tenaganya mulai tiris menyusut.
"Anak durhaka", berkata Ki Karmapala kepada wanita itu
ketika tangannya yang tidak memegang cakra berhasil
menghantam rahang kanan wanita itu.
Terlihat wanita itu terjungkal jatuh kebumi, namun tetap
mempertahankan bayi yang ada didalam dekapannya
dengan memilih badan disisi lain yang harus membentur
tanah dan batu di pedalaman hutan Mada itu.
"Malam ini aku harus membunuh darah dagingku sendiri,
selamanya", berkata Ki Karmapala berjalan perlahan
mendekati wanita itu. Terlihat wanita itu menatap nanar wajah Ki Karmapala,
ayahnya sendiri. Mencoba membuka matanya ingin
membuktikan sejauh mana perasaan seorang ayah yang
dulu sangat mencintainya, memanjakannya. Mata wanita
itu masih terbuka, meski seluruh tubuhnya terasa begitu
lemah. "Jangan kamu kira aku tidak dapat melakukannya",
berkata Ki Karmapala yang sudah berada dekat dengan
wanita itu sambil mengangkat senjata cakranya siap
diayunkan kearah kepala wanita itu.
"Cepat ayunkan cakramu wahai ayahku. Bunuhlah
putrimu ini yang dulu begitu kau manjakan, yang dulu
pernah kau kasihi sebagaimana aku mengasihimu",
94 berkata wanita itu dengan suara yang datar dan mata
yang masih terbuka lebar tidak ingin berkedip sedikitpun
menatap wajah Ki Karmapala ayahnya.
Jilid 02 Bagian 1 CAKRA ditangan Ki Karmapala sudah siap segera
diayunkan. "Jangan kira aku akan menjadi lemah", berkata Ki
Karmapala sambil mengayunkan cakranya.
Sementara mata wanita itu masih tetap terbuka menatap
wajah ayahnya Ki Karmapala. Bukan main tabahnya
wanita itu. Namun garis hidup memang kadang berjalan lain,
kadang keluar dari hal-hal yang bersifat wajar. Karena
tiba-tiba saja dua buah batu kecil telah membentur cakra
ditangan Ki Karmapala. Tring ! Tring !! Terdengar suara cakra yang beradu dengan dua buah
kerikil yang datang bersamaan waktunya, sepertinya
dilemparkan dengan kekuatan penuh dan oleh dua orang
yang sangat mumpuni. Akibatnya lemparan dua buah kerikil itu memang luar
biasa !! Cakra itu terlempar jauh, sementara itu tangan Ki
Karmapala merasakan nyeri yang luar biasa, seketika
tangannya menjadi seperti kaku tak bertenaga.
95 Ternyata salah seorang pelempar kerikil itu adalah
Mahesa Amping yang sudah berhasil mengikuti Ki
Karmapala dan bayangan hitam yang terakhir diketahui
sebagai putri Ki Karmapala.
Namun siapakah pelempar kerikil kedua ?"
Mahesa Amping juga ikut bertanya dalam hati, siapa
gerangan pelempar kerikil selain dirinya. Tapi pikiran itu
hanya diendapnya dalam hati, hal yang utama adalah
menyelamatkan wanita itu dari tangan Ki Karmapala.
"Hanya orang yang sudah tidak punya hati saja yang
berani membunuh seorang wanita yang sudah tidak
berdaya", berkata Mahesa Amping yang sudah
mendekati Ki Karmapala. "Jangan urusi persoalan kami, ini adalah urusan keluarga
kami", berkata Ki Karmapala kepada Mahesa Amping
penuh kemarahan. "Saat ini sudah menjadi urusanku juga, karena yang
kusaksikan adalah sebuah ketidak adilan", berkata
Mahesa Amping kepada Ki Karmapala.
"Jangan harap aku akan gentar meski kamu adalah
seorang Senapati Singasari", berkata Ki Karmapala
bersikap menantan kepada Mahesa Amping.
"Begitulah seharusnya sikap seorang lelaki", berkata
Mahesa Amping memancing kemarahan Ki Karmapala
berharap Ki Karmapala beralih dari wanita didekatnya itu.
Ternyata pancingan Mahesa Amping berhasil, Ki
Karmapala terlihat wajahnya yang pucat putih semakin
memutih. Sebuah wajah yang sangat menyeramkan di
kegelapan malam di hutan Mada. Sementara matanya
seperti ingin menelan Mahesa Amping bulat-bulat.
"Mulutmu memang harus dibungkam", berkata Ki 96 Karmapala yang langsung menyerang Mahesa Amping
dengan tangan kosong. Tapi Mahesa Amping memang sudah siap, dengan cepat
bergerak menghindar dan balas menyerang. Hati
Mahesa Amping agak lega, perhatian Ki Karmapala
sudah tidak ke wanita itu.
Sementar itu hati Ki Karmapala menjadi semakin panas
melihat Mahesa Amping dengan begitu mudah
menghindari serangannya dan langsung balas menyerang. Serangan Mahesa Amping memang sangat cepat dan
kuat, tapi Ki Karmapala bukan orang sembarangan, guru
yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi di Padepokan
Teratai Putih itu bukan hanya dapat lepas dari serangan
Mahesa Amping, tapi langsung membalas dengan
serangan yang lebih kuat dari sebelumnya, ternyata Ki
Karmapala telah meningkatkan tataran ilmunya selapis
lagi lebih tinggi. Demikianlah pertempuran antara Ki karmapala dan
Mahesa Amping semakin lama semakin menjadi begitu
seru, begitu cepat dan menegangkan, keduanya selapis
demi selapis telah meningkatkan tataran ilmunya masingmasing.
Sementara itu wanita yang masih mendekap bayi itu
perlahan sudah dapat bergerak, perlahan bergerak
mencari tempat yang aman untuk dirinya dan bayinya.
Ternyata perhitungan wanita itu beralasan. Karena tidak
lama kemudian terdengar banyak pohon tumbang
terkena sasaran pukulan dan tendangan dari kedua
orang yang bertempur dengan dahsyatnya.
Pertempuran antara Ki Karmapala dan Mahesa Amping
97 memang sudah begitu mengerikan, mereka sudah tidak
lagi menggunakan tenaga wadagnya, pukulan dan
tendangan mereka telah dilambari tenaga cadangan
tingkat tinggi. Terlihat debu mengepul, tanah sekitar
mereka seperti menjadi rata terkena benturan kaki-kaki
mereka. Dan beberapa pohon besar langsung retak
bahkan ada yang langsung roboh menimbulkan suara
bergemuruh. "Orang ini telah mengeluarkan kekuatan puncaknya",
berkata Mahesa Amping dalam hati merasakan angin
pukulan hawa dingin yang luar biasa yang dapat
membekukan dirinya bila saja tidak melambari dirinya
dengan kekuatan yang berlawanan.
"Nama besar Senapati ini memang bukan omong
kosong", berkata Ki Karmapala yang terus meningkatkan
tataran ilmunya namun belum juga dapat menundukkan
lawannya. Mahesa Amping masih dapat mengimbanginya, bahkan kadang melampauinya dengan
merasakan hawa panas angin pukulan Mahesa Amping.
Demikianlah, pertempuran mereka semakin lama
semakin cepat dan keras. Suasana disekitar
pertempuran mereka menjadi porak poranda, beberapa
pohon menjadi tumbang. Sementara itu wanita yang ternyata putri Ki Karmapala
sendiri sudah berada di tempat yang aman menyaksikan
pertempuran dengan penuh kekhawatiran dan kebimbangan, siapakah yang diharapkan memenangkan
pertempuran yang dahsyat itu.
Wanita itu memang menjadi bimbang, di satu sisi
berharap pemuda penolongnya itu dapat mengalahkan
ayahnya agar dirinya tidak lagi dikejar-kejar sebagai
buronan, sebagai pendosa yang harus dihukum mati oleh
98 orang-orang Padepokan Teratai Putih. Namun disisi lain,
ada rasa sayang kepada Ki Karmapala sebagai seorang
anak kepada ayahnya yang masih dicintainya, seorang
ayah yang dulu begitu memanjakannya.
Wanita itu masih menatap pertempuran dengan hati
penuh kebimbangan, sebagai seorang putri dari seorang
guru Padepokan Teratai Putih, sedikit banyak wanita itu
sudah dapat mengenal kanuragan bahkan dapat
dikatakan hanya satu tingkat dibawah ayahnya. Namun
ketika menyaksikan pertempuran antara ayahnya dan
Mahesa Amping, dirinya tidak mampu menentukan
siapakah yang lebih unggul diantara keduanya.
Sebagaimana yang disaksikan oleh wanita itu, Mahesa
Amping dan Ki Karmapala masih terus bertempur dengan
dahsyatnya. Mereka bergerak begitu cepatnya seperti
dua bayangan di keremangan malam hutan Mada, saling
menyerang melesat kesana kemari.
Sementara itu waktu terus berlalu, hari sudah masuk
tengah malam, pertempuran antara Mahesa Amping dan
Ki Karmapala masih terus berlangsung seperti tidak akan
selesai, masih juga tidak terlihat siapa yang lebih unggul
diantara keduanya. "Baru kali ini aku mendapat lawan seperti Senapati ini",
berkata Ki Karmapala yang telah meningkatkan tataran
ilmunya namun selalu saja dapat diimbangi oleh Mahesa
Amping. Ternyata Mahesa Amping masih terus mengimbangi ilmu
Ki Karmapala, masih belum berada diatas puncak
ilmunya yang sebenarnya. Mahesa Amping masih ingin
menjajaki sampai dimana kekuatan daya tahan Ki
Karmapala sambil berusaha menguras tenaganya.
"Orang ini bermaksud menguras tenagaku", berkata Ki


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

99 Karmapala dalam hati yang mengetahui siasat dari
Mahesa Amping. Tiba-tiba saja Ki Karmapala melompat menjauh, Mahesa
Amping mengetahui bahwa pasti Ki Karmapala akan
melontarkan ilmu andalannya.
"Aku harus berhati-hati", berkata Mahesa Amping dalam
hati ketika melihat Ki Karmapala melakukan sebuah
gerakan merangkapkan kedua tangannya didepan
dadanya dengan kedua kaki agak merenggang.
Wuuttt !!! Benar saja yang dipikirkan oleh Mahesa Amping, sebuah
pukulan jarak jauh yang mengandung hawa dingin yang
sangat kuat melesat disampingnya, hawa dinginnya
begitu keras. Untungnya Mahesa Amping sudah
bergerak cepat tidak lagi berdiri ditempatnya.
Terlihat sebuah pokok batang pohon yang besar
tumbang terkena pukulan Ki karmapala yang dahsyat itu.
Namun belum lagi Mahesa Amping menjejakkan kakinya
dibumi, kembali pukulan jarak jauh menyambar
kearahnya. Hanya dengan melipat gandakan kecepatan
gerakannya saja maka Mahesa Amping dapat lolos dari
sambaran pukulan jarak jauh yang kedua dari Ki
Karmapala. Kembali Ki Karmapala menyerang dengan pukulan jarak
jauhnya yang ketiga, keempat dan seterusnya seperti
mengejar kemanapun Mahesa Amping menghindar.
Mahesa Amping seperti tidak diberi kesempatan
bernafas, selalu sambaran pukulan jarak jauh Ki
Karmapala mengejarnya. Namun selalu saja Mahesa
Amping dapat lolos dari sambaran maut itu.
Hingga akhirnya pada sebuah serangan yang 100 dilancarkan oleh Ki Karmapala, terlihat Mahesa Amping
tidak dapat lagi menghindar, Ki Karmapala begitu cerdik
dapat membaca langkah berikutnya dari Mahesa Amping
yang mengunci langkahnya, Mahesa Amping telah mati
langkah. Mahesa Amping tidak dapat lagi menghindar, satusatunya jalan adalah membenturkan kekuatan lawan
dengan kekuatan ilmunya sendiri.
Gelegarrrrrrr !!!! Terjadi benturan kekuatan dari dua kekuatan raksasa
menimbulkan suara menggelegar seperti suara guntur.
Begitu kerasnya suara itu telah membuat daun dan
ranting disekitarnya jatuh hangus berguguran. Bahkan di
beberapa tempat daun dan ranting kering disekitar hutan
nyaris terbakar. Ternyata Mahesa Amping dengan sorot matanya telah
menghentakkan kekuatan ilmu kesaktiannya, sebuah
ilmu sakti gabungan aji Gundala Bama dan Aji Kala
Bama yang sudah luluh melebur didalam dirinya telah
terlontar membentur ilmu kekuatan lawan.
Terlihat Mahesa Amping terpental beberapa langkah dari
tempatnya berdiri. Apa yang terjadi dan dialami oleh Ki Karmapala sendiri
dalam benturan dua kekuatan raksasa itu ".
Ternyata kekuatan ilmu sakti Mahesa Amping telah
berada diatas puncaknya, dihentakkan dalam keadaan
terpaksa dan untuk melindungi diri sendiri telah
membawa akibat yang benar-benar mengerikan.
Terlihat Ki Karmapala terlempar begitu deras
menghantam sebuah pokok kayu besar dibelakangnya.
Dadanya terasa sesak, beberapa pembuluh darah halus
101 di sepanjang tubuhnya telah pecah terhantam dorongan
pukulan saktinya sendiri dan ditambah kekuatan ilmu
sakti Mahesa Amping yang sangat dahsyat.
Ki Karmapala terlihat tidak bergerak lagi, wajahnya yang
putih pucat menjadi berwarna merah darah. Seluruh
tubuhnya mengeluarkan titik-titik darah lewat pori-pori
kulitnya. Ternyata nyawa Ki Karmapala telah tidak ada
lagi, tewas seketika itu juga.
"Ayahhhhh !!!!".
Terlihat wanita itu yang menyaksikan seluruh jalannya
pertempuran berlari kearah Ki Karmapala.
Perasan wanita itu seperti pecah luluh dalam kesedihan
yang sangat menatap ayahnya Ki Karmapala. Meski di
akhir hidupnya telah mencoba untuk membunuhnya, hati
seorang anak kepada ayahnya lebih menguasai
perasaannya. Yang terbayang adalah kasih sayang
ayahnya yang sangat memanjakannya, mencintainya
melebihi apapun. Tapi kini orang yang dicintainya itu
sudah tidak bernyawa lagi, sudah dingin membeku.
Terlihat wanita itu sambil mendekap bayinya, terus
menangis memilukan meratapi kepergian ayahnya yang
tidak akan mungkin dapat kembali lagi didunia ini.
Sementara itu Mahesa Amping terlihat duduk bersila
sempurna, mengatur pernapasannya dan menutup
segala rasa dan citra. Dalam beberapa saat nafasnya
sudah tidak memburu lagi, perlahan merasakan
kesegaran tubuhnya tumbuh seperti sedia kala. Ketika
Mahesa Amping membuka matanya, masih dilihatnya
wanita yang telah ditolongnya itu tengah menangis
meratap tersedu-sedu didekat mayat Ki Karmapala.
"Aku terpaksa membentur ilmunya yang dahsyat, aku
tidak dapat berbuat lain", berkata Mahesa Amping
102 kepada wanita itu dengan perasaan bersalah sambil ikut
duduk di dekat mayat Ki Karmapala.
Mendengar ucapan Mahesa Amping yang tertuju
kepadanya, seketika wanita itu memandang Mahesa
Amping. Sebagai seorang yang mengerti ilmu kanuragan,
wanita itu tidak menyalahkan lelaki muda dihadapannya
itu. Dirinya juga menyaksikan apa yang terjadi diakhir
pertempuran itu. "Jangan persalahkan dirimu, aku menyaksikan apa yang
telah terjadi. Tuan Senapati hanya membela diri", berkata
wanita itu kepada Mahesa Amping dengan mata dan
wajah masih basah penuh air mata.
Sementara itu malam di pedalaman hutan Mada sudah
berlalu menyisakan waktunya yang sedikit. Pagi
nampaknya akan segera datang menjelang.
"Terima kasih telah menolongku", berkata wanita itu
sambil merangkapkan kedua tangannya di dadanya
perlahan kepada Mahesa Amping.
Mahesa Amping membalas dengan sikap dan laku yang
sama. "Aku tidak sendiri, ada orang lain yang juga telah
membantu menolongmu", berkata Mahesa Amping
kepada wanita itu. "Dan orang itu masih ada disekitar
kita", berkata kembali Mahesa Amping yang dengan
pendengarannya yang tajam dapat mengetahui ada
orang lain yang masih bersembunyi tidak ingin
menampakkan dirinya. Mahesa Amping merasa yakin
bahwa orang yang bersembunyi itulah yang melemparkan kerikil kedua selain dirinya.
Ternyata ucapan Mahesa Amping bukan cuma kepada
wanita itu, tapi sebenarnya ditujukan kepada orang yang
103 masih bersembunyi tidak ingin menampakkan dirinya.
Tiba-tiba saja sekitar hutan Mada seperti berputar,
ternyata ada angin berputar seperti angin puyuh
mendera seluruh daun dan tangkai disekitarnya ikut
berputar bergerak. "Maafkan aku Nariratih, aku belum dapat menampakkan
diriku dihadapanmu", terdengar suara yang menggema
datang diatas suara angin yang menderu.
"Baktikanlah dirimu kepada Tuan Senapati dari Singasari
ini, para Dewata telah memilih dirinya untuk
membesarkan bayi kita. Pada saatnya aku akan
menjemputmu", Terdengar kembali suara yang
menggema datang diatas suara angin yang menderu.
"Kakang Dharmayasa", bergumam wanita itu yang
bernama Nariratih menyebut sebuah nama.
Perlahan suara angin tidak terdengar lagi, suasana
malam menjelang pagi itu di hutan Mada menjadi begitu
sepi dan sunyi. Para penghuni hutan Mada mungkin
masih meringkuk di sarangnya masing-masing.
"Orang-orang Padepokan Teratai Putih pasti tidak akan
menerima kembali diriku. Dapatkah aku berbakti
kepadamu wahai tuan Senapati?", bertanya Nariratih
penuh keraguan kepada Mahesa Amping.
Mahesa Amping tersenyum menatap wajah Nariratih
yang masih basah air mata. Hati Mahesa Amping merasa
kasihan dan iba melihat apa yang telah dialami oleh
wanita itu. "Aku akan melindungi dirimu, juga akan membesarkan
bayimu sebagaimana keinginan suamimu", berkata
Mahesa Amping dengan wajah penuh senyum berharap
wanita itu akan terhibur.
104 Benar saja yang diharapkan oleh Mahesa Amping, begitu
gembiranya mendengar kesanggupan Mahesa Amping,
terutama kesanggupan Mahesa Amping untuk membesarkan bayinya. "Terimakasih tuan Senapati, aku akan berbakti
kepadamu", berkata wanita itu penuh kegembiraan.
Sementara itu temaram warna malam sudah semakin
menyusut, wajah pagi di hutan Mada perlahan mengisi
tiap sudut. Sayup-sayup terdengar suara ayam alas
saling bersahutan. Beberapa burung kecil sudah mulai
mencicit. Akhirnya suara hutan pagipun nyaris sempurna,
begitu ramainya menyambut datangnya sinar matahari,
sinar kehidupan pagi. "Jasad Ki Karmapala harus disempurnakan", berkata
Mahesa Amping kepada Nariratih yang hanya
menganggukkan kepalanya, dirinya masih dicekam rasa
sedih mengenang kepergian Ayahnya untuk selamalamanya.
Terlihat Mahesa Amping dengan peralatan apa adanya
tengah mencoba membuat sebuah lubang.
"Jasad Ki Karmapala telah kita sempurnakan, semoga
arwahnya dapat tenang di alam keabadian", berkata
Mahesa Amping ketika telah selesai menyempurnakan
jasad Ki Karmapala dalam sebuah pemakaman
sederhana dibawah sebuah pohon besar di hutan Mada.
"Terima kasih telah menyempurnakan jasad Ayahku",
berkata Nariratih penuh rasa terima kasih kepada
Mahesa Amping. "Apakah bayimu sudah memiliki sebuah nama?",
bertanya Mahesa Amping sambil menatap bayi didalam
dekapan Nariratih yang masih nampak tidur nyenyak
105 "Belum", berkata Nariratih ikut memandang bayinya.
"Kuserahkan tuan Senapati memberi hadiah nama untuk
bayi ini", berkata kembali Nariratih kepada Mahesa
Amping. "Bolehkah aku memegangnya?" berkata Mahesa Amping
kepada Nariratih. "Silahkan", berkata Nariratih
kepada Mahesa Amping. menyerahkan bayinya "Mulai hari ini aku akan menjadi ayah angkatmu", berkata
Mahesa Amping menimang-nimang bayi didalam
dekapannya penuh rasa suka kepada bayi itu.
"Bayi itu sudah tidak sabar menunggu sebuah nama dari
ayah angkatnya", berkata Nariratih merasa gembira
melihat Mahesa Amping begitu menyukai bayinya.
"Kelak bayi ini akan menjadi orang besar" Berkata
Mahesa Amping sambil menatap keatas langit, dilihatnya
sebuah awan yang sepertinya tidak mau pergi tetap
berada diatas kepala mereka. "Gajah Mada, mudahmudahan dengan nama ini akan menjadi manusia
berguna, mengantar kejayaan, kesejahteraan dan
kemakmuran di bumi ini", berkata Mahesa Amping
kepada Nariratih. "Nama yang bagus", berkata Nariratih gembira
mendapatkan sebuah hadiah nama untuk bayinya.
Namun ketika Mahesa Amping hendak menyerahkan
bayi itu, dilihatnya ada sebuah tanda titik berderet tiga
dua buah sangat rata dipundak belakang kanannya,
sehingga bila dijumlahkan titik itu berjumlah enam titik.
"Apakah kalian telah memberi jarah kepada bayi ini?",
bertanya Mahesa Amping kepada Nariratih tentang tanda
yang ada di tubuh Gajah Mada.
106 "Kami tidak menjarahnya, tanda itu ada sejak lahir",
berkata Nariratih kepada Mahesa Amping tentang tanda
di tubuh Gajah Mada. "Apakah bayi ini terlahir disaat gerhana matahari?",
bertanya Mahesa Amping kepada Nariratih.
"Benar, aku melahirkannya disaat gerhana matahari
setahun yang lalu", berkata Nariratih.
"Menurut cerita para orang tua, bayi yang lahir disaat
gerhana matahari akan menjadi manusia pilihan, sangat
cerdas dan kuat, dan mempunyai sebuah tanda", berkata
Mahesa Amping kepada Nariratih.


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah tanda itu akan menyusahkannya?", bertanya
Nariratih kepada Mahesa Amping penuh kekhawatiran.
"Tanda itu akan menyusahkannya, orang-orang sakti
pasti akan menginginkannya, memperebutkannya
dengan berbagai alasan", berkata Mahesa Amping
kepada Nariratih. "Kita harus menyembunyikan tanda itu", berkata Nariratih
kepada Mahesa Amping. "Bukan hanya menyembunyikannya, tapi menghilangkannya", berkata Mahesa Amping kepada
Nariratih "Menghilangkannya?",
bertanya keraguan kepada Mahesa Amping.
Nariratih penuh "Bila Nyi Nariratih menyetujuinya, aku dapat melakukannya", berkata Mahesa Amping tersenyum atas
keraguan Nariratih. "Menurut cerita para orang tua, bayi yang lahir di saat
gerhana matahari harus menyembunyikan namanya
dengan nama lain", berkata Mahesa Amping kepada
107 Nariratih. "Aku serahkan kepada tuan Senapati memberi nama lain
yang kedua", berkata Nariratih kepada Mahesa Amping.
"Kelak bila telah dewasa, ketika menemui jodohnya, baru
nama aslinya dibuka diketahui oleh semua orang",
berkata kembali Mahesa Amping.
"Siapa nama kedua dari putraku ini wahai tuan
senapati?", bertanya Nariratih tidak sabar.
"Karena Gajah Mada putra angkatku, kuberi nama lain
sebagai Mahesa Muksa", berkata Mahesa Amping penuh
kegembiraan mendapatkan sebuah nama lain untuk
Gajah Mada. "Dua nama yang sama bagusnya", berkata Nariratih juga
penuh kegembiraan. "Ini adalah rahasia besar yang harus kita tutup rapatrapat", berkata Mahesa Amping kepada Nariratih.
"Aku akan menjaganya", berkata Nariratih dengan penuh
kesungguhan. "Saatnya menghilangkan tanda di tubuh Mahesa Muksa",
berkata Mahesa Amping sambil meminta Nariratih
menyerahkan Mahesa Muksa kepadanya.
Terlihat Mahesa Amping berjalan mendekati sebuah batu
besar yang datar di sekitar hutan Mada diikuti oleh
Nariratih yang berjalan dibelakangnya.
Diletakkannya Mahesa Muksa diatas batu itu
tertelungkap, anehnya Mahesa Muksa tidak menangis
sebgaimana seorang bayi pada umumnya.
Maka dengan kekuatan hawa panasnya, Mahesa Amping
meletakkan satu telapak tangannya diatas pundak
Mahesa Muksa, menutupi tanda yang ada ditubuh
108 Mahesa Muksa. Perlakuan itu berlangsung begitu cepatnya, ketika
Mahesa Amping mengangkat telapak tangannya, tanda
yang ada di tubuh Mahesa Muksa telah tidak ada lagi,
hanya ada sebuah tanda kulit yang terbakar.
"Dalam beberapa hari, kulit yang terbakar itu akan
kembali seperti sedia kala", berkata Mahesa Amping
sambil menyerahkan kembali Mahesa Muksa kepada
ibunya, Nariratih. "Rahasia tanda ini hanya kita berdua yang
mengetahuinya", berkata Mahesa Amping kepada
Nariratih. "Aku akan menjaganya", berkata Nariratih dengan wajah
penuh kesanggupan sebagaimana pada saat untuk
merahasiakan nama Gajah Mada.
"Tanda lahir pada Mahesa Muksa sudah tidak ada lagi,
namun tanda awan dilangit yang selalu menaunginya
tidak juga menghilang", berkata Mahesa Amping sambil
menunjuk awan yang masih saja tidak pergi, selalu
berada diatas mereka. "Semoga tidak ada yang melihat tanda awan itu", berkata
Nariratih kepada Mahesa Amping.
Sementara itu matahari pagi sudah mulai beranjak naik,
sinarnya masuk menembus celah-celah ranting dan daun
di hutan Mada yang pekat itu.
"Mari ikut bersamaku ke Padepokan Pemecutan, selama
ini aku tinggal disana", berkata Mahesa Amping kepada
Nariratih. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Amping
tentang tempat tinggalnya selama itu yaitu di sebuah
Padepokan Pemecutan, sebuah Padepokan yang
109 dibangunnya bersama Empu Dangka. Sebagai seorang
prajurit Senapati khusus, tidak ada kewajiban atas dirinya
untuk berdiam di sebuah tempat. Bersama Empu
Dangka, Mahesa Amping dan pasukannya telah banyak
membina para pecalang muda di seluruh Balidwipa
sebagai prajurit Balidwipa yang mandiri. Sebuah
kekuatan yang mengakar dari setiap padukuhanpadukuhan diseluruh Balidwipa. Atas perkenan dari
Rakrian Demung Sasanabungalan, Mahesa Amping dan
Empu Dangka telah mendirikan sebuah Padepokan baru,
sebuah Padepokan yang akan menjadi kekuatan baru di
selatan Balidwipa. Sebuah Padepokan yang akan
melahirkan manusia-manusia yang berbudi dan berilmu.
Di padepokan ini para cantrik disamping mendalami ilmu
kajiwan, mereka juga diajarkan ilmu kanuragan dengan
garis ilmu murni perguruan Empu Dangka yang
mempunyai ciri khas sebagai perguruan orang
bercambuk. Itulah sebabnya Pedepokan mereka dinamai
sebagai Padepokan Pemecutan.
Terlihat Mahesa Amping melangkah perlahan beriring
berjalan bersama Nariratih yang berjalan sambil
menggendong anaknya Mahesa Muksa. Tidak mudah
memang berjalan di tengah hutan yang pekat dipenuhi
semak belukar sambil menggendong seorang bayi.
Ketika matahari menjelang diatas puncaknya, mereka
baru dapat keluar dari hutan itu.
"Padepokan Pemecutan ada dibelakang bukit itu",
berkata Mahesa Amping sambil menunjuk sebuah bukit
yang jauh. Nariratih tidak menjawab, hanya tersenyum menatap
arah sebuah bukit yang ditunjuk oleh Mahesa Amping.
Ketika matahari diatas puncaknya, panas begitu 110 menyengat. Tapi mereka tidak merasakannya, karena
sepanjang perjalanan mereka selalu dilindungi oleh
gumpalan awan tebal yang selalu mengiringi kemanapun
mereka melangkah. "Kita beristirahat sejenak", berkata Mahesa Amping
kepada Nariratih ketika di dekat mereka terlihat sebuah
sungai kecil berbatu. Airnya mengalir begitu jernih.
"Dipinggir sungai biasanya banyak tumbuh tanaman
kimpul", berkata Mahesa Amping kepada Nariratih yang
sudah duduk meluruskan kakinya dibawah sebuah pohon
besar yang akarnya terlihat menyembul diatas tanah.
Sementara itu Mahesa Moksa telah direbahkannya disisi
dua akar kayu. Terlihat Mahesa Amping tengah menyusuri tepian
sungai, akhirnya ditemuinya serumpun tanaman kimpul
yang ternyata banyak tumbuh di sekitar sungai kecil itu.
"Seorang Senapati yang bersahaya", berkata Nariratih
dalam hati melihat Mahesa Amping tengah membuat
sebuah perapian, menyiapkan makanan untuk sekedar
pengganjal perut mereka disiang itu.
Akhirnya setelah merasa cukup beristirahat, mereka
segera melanjutkan perjalanan menuju ke Padepokan
Pemecutan. Ternyata mereka tidak mendaki bukit itu, hanya melintas
jalan memutarinya. Sementara itu angin sepoi basah
kadang datang membelai rambut dan pakaian mereka
dalam perjalanan ditengah hijaunya alam perbukitan
yang teduh. "Padepokan Pemecutan sudah dekat", berkata Mahesa
Amping ketika mereka memasuki sebuah Kademangan
yang cukup ramai. 111 Setelah melewati beberapa pematang sawah dan bulak
yang panjang, akhirnya mereka telah melihat sebuah
Padepokan yang cukup besar berdiri di sebuah lereng
perbukitan yang cukup luas, terlihat dari tempat
kejauhan. "Itukah Padepokan Pemecutan ?", berkata Nariratih
ketika melihat sebuah bangunan yang cukup besar
dikelilingi pagar kayu yang cukup tinggi terlihat dari
kejauhan. Terlintas dalam gambaran pikiran Nariratih
Padepokan Teratai Putih, sebuah tempat yang tidak akan
pernah dilupakannya karena disanalah dirinya dibesarkan. Terbayang pula saat-saat dirinya bersama
Ayahnya Ki Karmapala yang begitu memanjakannya
serta mencintainya sebagaimana dirinya. Namun terlintas
pula saat-saat yang begitu memilukan, penuh duka dan
nestapa ketika dirinya harus dipisahkan, harus dijauhkan
dari ayah dan bayinya. "Benar, itulah Padepokan Pemecutan", berkata Mahesa
Amping memecahkan semua lamunan dan pikiran
Nariratih. Terlihat mereka telah sampai di regol pintu Padepokan
Pemecutan. Seorang cantrik yang ada dihalaman
menyambut kedatangan mereka.
"Selamat datang tuan Senapati", berkata seorang cantrik
itu kepada Mahesa Amping.
"Selamat berjumpa kembali Putu Risang", berkata
Mahesa Amping kepada pemuda itu sambil menepuk
pundaknya yang tegap dan bidang, terlihat beberapa otot
yang berisi di seluruh tubuhnya sebagai pertanda
pemuda itu sering berlatih di sanggar membangun
kekuatan wadagnya. "Dimana Empu Dangka dan para cantrik?", bertanya
112 Mahesa Amping kepada cantrik itu.
"Empu Dangka dan para cantrik tengah berada di
sanggar, terpaksa aku disini sendiri menjaga gabah
basah agar tidak habis dicuri burung dan ayam", berkata
cantrik itu kepada Mahesa Amping sambil menunjuk
hamparan gabah padi yang tengah dijemur di halaman
itu. "Ternyata hasil panen kita cukup bagus", berkata Mahesa
Amping sambil menjumput gabah yang tengah dijemur
itu, memeriksa dan melepaskannya kembali.
Terlihat Mahesa Amping tersenyum ketika Putu Risang
memperhatikan Nariratih yang tengah mendekap Mahesa
Muksa. "Ini Nyi Nariratih dan putranya Mahesa Muksa, mereka
akan tinggal bersama kita", berkata Mahesa Amping
memperkenalkan Nariratih dan putranya kepada Putu
Risang. "Perkenalkan namaku Putu Risang, mudah-mudahan Nyi
Nariratih dan putranya menjadi betah tinggal bersama
kami", berkata Putu Risang memperkenalkan dirinya
dengan merangkapkan kedua tangannya didepan
dadanya sebagai tanda kehormatannya.
Nyi Nariratih membalasnya dengan sedikit membungkukkan badannya dengan wajah penuh
keramahan dan sangat menyenangi sikap Putu Risang
yang terlihat masih begitu lugu layaknya seorang
pemuda yang baru beranjak dewasa. Namun sikapnya
sepertinya seorang yang terdidik. Diam-diam Nariratih
mengagumi orang-orang yang telah membina salah satu
dari beberapa cantrik yang ada di Padepokan
Pemecutan itu. 113 "Silahkan kamu melanjutkan tugasmu, kami akan bersihbersih diri", berkata Mahesa Amping kepada Putu Risang
sambil mengajak Nariratih untuk mengikutinya.
Sementara itu hari masih terang, matahari sore di atas
Padepokan Pemecutan masih terlihat memancarkan
cahayanya yang teduh. Sore itu langit diatas Padepokan
Pemecutan begitu cerah. Udarapun sangat sejuk dingin
menyegarkan karena Padepokan itu berdiri diatas lereng
perbukitan yang cukup tinggi.
"Pemandangan dari pendapa ini begitu indah", berkata
Nariratih kepada Mahesa Amping ketika sore itu setelah
bersih-bersih diri mereka sudah berada di Pendapa
Pemecutan menikmati pemandangan alam di depan
Pendapa Pemecutan yang begitu indah, terlihat
hamparan sawah yang berjenjang bertingkat-tingkat dan
bukit yang hijau sejauh mata memandang.
Mahesa tidak menjawabnya, hanya sedikit tersenyum.
Dalam hati merasa gembira melihat Nariratih sepertinya
menyenangi kehidupan di Padepokan Pemecutan.
Terdengar suara derit pintu yang terbuka, ternyata dari


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balik pintu itu muncul Putu Risang, seorang pemuda
yang selalu penuh ceria dan bersemangat menyampaikan kabar bahwa dirinya telah menyiapkan
bilik untuk Nariratih dan putranya Mahesa Muksa.
"Putu Risang telah menyiapkan bilik untuk kalian,
beristirahatlah", berkata Mahesa Amping kepada
Nariratih memintanya untuk beristirahat meski hari masih
sore. "Bila perlu apapun, katakanlah kepada Putu
Risang", berkata kembali Mahesa Amping.
Terlihat Nariratih bersama putranya masuk kedalam
diantar oleh Putu Risang. Dan tidak lama berselang
muncul Empu Dangka yang sudah selesai memberikan
114 beberapa pengarahan kepada para cantrik di sanggar
tertutup. "Kami disini sangat mengkhawatirkan tuan Senapati",
berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping.
"Dari Pura Indrakila, aku mampir ke beberapa tempat",
berkata Mahesa Amping bercerita tentang perjalanannya,
termasuk tentang peristiwa di Hutan Mada.
"Mudah-mudahan kehadirannya disini dapat menenteramkan hatinya", berkata Empu Dangka setelah
mendengar cerita dari Mahesa Amping tentang Nariratih.
"Terima kasih atas kesediaan Empu Dangka menerima
mereka di Padepokan ini", berkata Mahesa Amping
kepada Empu Dangka. "Padepokan ini adalah rumah kita, siapapun yang ada di
Padepokan ini adalah keluarga kita", berkata Empu
Dangka dengan senyumnya yang sareh.
Sementara itu waktu terus berlalu, Mahesa Amping dan
Empu Dangka masih terlihat masih berbincang-bincang
di pendapa Padepokan Pemecutan itu. Banyak hal yang
mereka perbincangan, mulai dari suasana keamanan dan
kesejahteraan di Balidwipa sejak kekuasaan dikendalikan
oleh Rakrian Demung Sasanabungalan, mereka juga
membicarakan beberapa hal mengenai kemajuan para
cantrik di Padepokan Pemecutan.
Tidak terasa waktu terus berlalu, senja telah berganti
malam. Dan malam pun berlalu dalam kesepiannya.
Langit malam telah memayungi Padepokan Pemecutan,
menjaganya bersama bintang-bintang yang bersinar jauh
sepanjang malam. "Pagi yang indah", berkata Mahesa Amping kepada
Empu Dangka yang sudah terbangun di awal pagi.
115 "Pagi yang cerah", berkata Empu Dangka sambil
memandang batas ujung cakrawala.
Terlihat beberapa cantrik tengah melaksanakan berbagai
tugasnya masing-masing, beberapa cantrik yang
mendapat tugas mengolah sawah dan ladang terlihat
dipagi itu sudah keluar dari regol pintu halaman
Padepokan Pemecutan. Terdengar suara langkah kaki diatas panggung kayu,
ternyata Putu Risang yang datang membawa minuman
hangat dan beberapa potong jagung rebus.
"Selesai sarapan, kita ke tepian sungai di hutan cemara",
berkata Mahesa Amping kepada Putu Risang.
Bukan main gembiranya hati Putu Risang diajak oleh
Mahesa Amping ke tepian sungai di hutan Cemara yang
tidak begitu jauh letaknya berada disisi kanan
Padepokan Pemecutan. Disitulah pada saat-saat tiap
sepekan Putu Risang berlatih kanuragan dibawah
pengawasan langsung dari Mahesa Amping.
"Aku akan menyiapkan diri", berkata Putu Risang dengan
penuh gembira. "Kulihat anak itu punya bakat yang kuat serta semangat
yang besar, aku menyukainya", berkata Mahesa Amping
kepada Empu Dangka ketika Putu Risang sudah tidak
terlihat lagi masuk kedalam.
"Kita perlu orang-orang seperti Putu Risang yang akan
menjadi penerus mempertahankan keberadaan Padepokan ini", berkata Empu Dangka.
"Perlihatkan kemajuanmu selama kutinggalkan", berkata
Mahesa Amping kepada Putu Risang.
Terlihat Putu Risang maju menghadap Mahesa Amping.
Perlahan sudah melakukan gerakan jurus-jurusnya.
116 Namun perlahan juga gerakannya menjadi semakin
cepat. Akhirnya lambat-laun gerakannya menjadi
perlahan kembali. "Gerakanmu sudah hampir sempurna, sekarang
hadapilah aku", berkata Mahesa Amping sambil maju
menghadapan. "Seranglah aku", berkata kembali Mahesa
Amping kepada Putu Risang.
Terlihat Putu Risang tidak ragu lagi menyerang kearah
Mahesa Amping. Namun dengan mudahnya Mahesa
Amping mengelak serangan itu dan tidak balas
menyerang tapi menunggu serangan Putu Risang
selanjutnya. Dalam beberapa serangan, terlihat Mahesa Amping
membalas Serangan Putu Risang, maka dalam sekali
serangan itu telah langsung telak menghajar Putu Risang
yang terlihat terjerembab diatas tanah lunak berumput.
"Bangkitlah wahai anak muda", berkata Mahesa Amping
dengan wajah penuh senyum kepada Putu Risang.
"Kesalahanmu adalah tidak memikirkan kemungkinan
bahwa seranganmu akan dibalas, sekarang lakukan
serangan dengan menambah beberapa kemungkinan
balasan dari lawanmu", berkata Mahesa Amping kepada
Putu Risang. "Seperti permainan macanan?", berkata Putu Risang
dengan gembira menangkap arahan bimbingan Mahesa
Amping. Otak Putu Risang memang termasuk encer, apa yang
dimaksudkan oleh Mahesa Amping langsung dapat
dicernanya. Namun dalam beberapa gebrakan, terlihat
Putu Risang kembali tersungkur di tanah lunak berumput.
"Kesalahan kamu kedua adalah bahwa kamu tidak
117 memikirkan bahwa lawanmu akan membaca tipu
muslihatmu", berkata Mahesa Amping sambil tersenyum
menatap Putu Risang yang manggut-manggut mengerti
kesalahannya. Sementara itu matahari diatas hutan cemara terlihat
sudah mulai beranjak naik kepuncaknya. Namun
kerimbunan pohon di sekitar tepian sungai itu menjadikan
suasana disitu tetap teduh dan sejuk, terutama manakala
angin semilir datang membawa udara segar yang
menyejukkan. "Bersihkan dirimu, kita kembali ke Padepokan", berkata
Mahesa Amping kepada Putu Risang.
Namun ketika Putu Risang sudah membersihkan dirinya
mandi di Sungai yang jernih itu, ternyata Mahesa Amping
tidak memperlihatkan keinginannya untuk meninggalkan
tepian sungai itu. "Siapapun yang masih ingin bermain sembunyisembunyian, sebaiknya keluar", berkata Mahesa Amping
dengan suara bergema kesegala penjuru.
Putu Risang yang mendengar suara Mahesa Amping
terkejut dibuatnya, matanya menatap berkeliling
kesemua tempat, tidak juga ditemukan sesuatu yang
mencurigakan. Namun tidak lama berselang muncul dari sebuah belukar
seorang lelaki berjubah putih datang mendekati Mahesa
Amping. "Selamat berjumpa kembali Ki Jabarantas", berkata
Mahesa Amping berdiri dari duduknya menyambut
kedatangan orang itu yang ternyata Ki Jabarantas.
"Aku jadi malu, tuan Senapati pasti telah mengetahui
kedatanganku sejak lama", berkata Ki Jabarantas
118 dengan senyumnya. "Terima kasih telah mengurangi
beban lawanku di Hutan Mada", berkata kembali Ki
Jabarantas. "Pasti ada hal yang sangat penting sekali yang
membawa langkah Ki Jabarantas datang kesini", berkata
Mahesa Amping kepada Ki Jabarantas.
"Mengenai bayi itu", berkata Ki Jabarantas singkat.
"Jadi Ki Jabarantas masih menginginkan bayi itu",
berkata Mahesa Amping kepada Ki Jabarantas.
"Tidak ada lagi keinginan itu, apalagi setelah melihat
sepak terjang tuan Senapati melumpuhkan lima orang
Padepokan Teratai Putih dengan satu gebrakan", berkata
Ki Jabarantas sambil tersenyum. "Aku jadi malu bahwa
dengan ilmuku yang cetek ini masih ingin merebutnya
darimu", berkata kembali Ki Jabarantas. "Kedatanganku
kesini adalah untuk memberitahukan tuan Senapati,
bahwa orang-orang Padepokan Teratai Putih telah
mengundang delapan pimpinan kshetra alirannya dari
Balidwipa dan Jawadwipa", berkata kembali Ki
Jabarantas menyampaikan maksud kedatangannya yang
sebenarnya. Ki Jabarantas sekilas bercerita yang dimulai dengan
pertempurannya dengan orang-orang dari Padepokan
Teratai Putih. Ternyata Ki Jabarantas tidak menuntaskan
pertempurannya, melainkan langsung meninggalkan sisa
orang Padepokan Teratai Putih yang bermaksud
menahannya. Ki Jabarantas bermaksud ikut mengejar
orang yang membawa lari bayi itu. Tapi ternyata Ki
Jabarantas kehilangan jejak. Semalaman dirinya
berputar-putar di sekitar hutan Mada, tapi tidak
menemukan apapun. Namun Akhirnya keesokan harinya,
dirinya menemukan empat orang dari Padepokan Teratai
119 Putih yang tengah membongkar kembali sebuah makam
baru. Ki Jabarantas bersembunyi dan berhasil
mendengar beberapa hal. Antara lain bahwa makam
baru itu adalah mayat guru mereka.
"Hal lain yang kudengar dari mereka adalah bahwa
mereka akan mengundang delapan Kshetra aliran
mereka merebut kembali bayi itu darimu", berkata Ki
Jabarantas mengakhiri ceritanya.
"Aku tidak menyangka bahwa masalah ini akan menjadi
panjang dan berlarut", berkata Mahesa Amping kepada
Ki Jabarantas. "Maaf bila aku tidak dapat berbuat banyak", berkata Ki
Jabarantas kepada Mahesa Amping.
"Ki Jabarantas telah berbuat banyak, setidaknya
memungkinkan diriku untuk berjaga-jaga", berkata
Mahesa Amping kepada Ki Jabarantas.
"Terima kasih telah menyampaikannya
berkata kembali Mahesa Amping.
kepadaku", "Tadinya aku akan kepadepokan Pemecutan, ternyata
menemuimu di hutan ini", berkata Ki Jabarantas kepada
Mahesa Amping. "Kami akan senang sekali bila Ki Jabarantas singgah
sebentar ke Padepokan Pemecutan", berkata Mahesa
Amping menawarkan Ki Jabarantas singgah.
"Terima kasih, mungkin pada waktu yang lain", berkata Ki
Jabarantas menolak secara halus permintaan Mahesa
Amping untuk singgah di Padepokan Pemecutan.
"Sampai berjumpa kembali, pintu Padepokan Pemecutan
akan selalu terbuka untuk Ki Jabarantas", berkata
Mahesa Amping kepada Ki Jabarantas yang telah
bermaksud pamit diri meninggalkan hutan Cemara itu.
120 Demikianlah, setelah Ki Jabarantas meninggalkan Hutan
Cemara, Mahesa Amping dan Putu Risang kembali ke
Padepokan Pemecutan. "Padepokan Teratai Putih adalah salah satu dari
sembilan kshetra aliran agama penyembah bulan dan
matahari yang ada di Balidwipa dan Jawadwipa", berkata
Empu Dangka yang mengenal beberapa hal dari aliran
agama ini kepada Mahesa Amping.
"Artinya delapan orang setingkat ilmunya dengan Ki
Karmapala akan mendatangiku", berkata Mahesa
Amping kepada Empu Dangka.
"Kita akan menghadapinya bersama", berkata Empu
Dangka kepada Mahesa Amping.
"Benar, kita berdua tanpa melibatkan siapapun di
Padepokan Pemecutan ini", berkata Mahesa Amping
kepada Empu Dangka. Terlihat diatas halaman sekawanan burung prenjak
melintas, mungkin akan kembali ke sarangnya setelah
sepanjang hari bergembira mendapatkan makanan yang
cukup. Namun tiba-tiba saja seekor burung gelatik batu
menyambar salah satu dari burung prenjak itu. Meski
tubuh mereka sama besar, burung gelatik itu dapat
membawa burung prenjak naas itu turun ke halaman
Padepokan Pemecutan dengan menancapkan paruhnya
dileher burung prenjak. Maka dengan beberapa pentelan
paruhnya yang tajam, burung prenjak kecil itu langsung
tidak berdaya. Terlihat burung gelatik batu itu tengah
memakan bangkai burung prenjak yang kurang
beruntung itu, disaksikan oleh Mahesa Amping dengan
mata tidak berkedip. "Aku tidak ingin satu pun cantrik Padepokan Pemecutan
menjadi korban sia-sia sebagaimana burung prenjak kecil
121

Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu", berkata Mahesa Amping sambil terus menyaksikan
burung Gelatik batu yang masih terus mengoyak tubuh
burung prenjak kecil di depan halaman Padepokan
Pemecutan. "Kita pasrahkan diri kita semua didalam perlindungan
Gusti Yang Maha Agung", berkata Empu Dangka.
Langit sore diatas Padepokan Pemecutan hari itu sangat
begitu cerahnya, awan putih seputih kapas menghiasi
cakrawala langit biru. Cahaya matahari bersinar teduh
menerangi hutan cemara,tanah sawah ladang dan bukitbukit biru seperti lukisan alam yang indah penuh keasrian
menghiasi pandangan sejauh mata memandang didepan
pendapa Padepokan Pemecutan.
Terdengar suara langkah kaki yang lembut keluar dari
pintu utama. Ternyata Nariratih yang muncul keluar dari
balik pintu itu sambil membawa sebuah baki kayu berisi
minuman dan beberapa jagung rebus yang masih
hangat. "Mahesa Muksa sedang tidur, jadi aku dapat membantu
menyiapkan hidangan ini untuk kalian", berkata Nariratih
sambil meletakkan baki kayu yang dibawanya dengan
penuh senyum. "Terima kasih", berkata Empu Dangka kepada Nariratih.
"Di Padepokan Teratai Putih aku biasa melayani ayahku,
disini aku merasa terhibur dapat melayani kalian berdua",
berkata Nariratih penuh kegembiraan.
"Mudah-mudahan Nyi Nariratih dapat kerasan tinggal di
Padepokan ini", berkata Empu Dangka kepada Nariratih
yang telah memindahkan minuman dan makanan dari
bakinya. "Penghuni Padepokan ini sangat baik kepadaku", berkata
122 Nariratih yang sudah berdiri sambil mendekap bakinya
yang sudah kosong. "Aku akan kembali ke dalam", berkata kembali Nariratih
sambil membalikkan tubuhnya melangkah dan menghilang dibalik pintu utama.
Sementara itu matahari di Padepokan Pemecutan itu
sudah terlihat bergeser surut di ujung tepian barat bumi,
lengkung langit sudah berwarna senja bening kelabu di
hiasi dengan beberapa kalelawar yang sudah keluar
melintas terbang penuh kegembiraan menyambut malam
yang sebentar lagi akan datang mengganti warna hari
dan kehidupan. Di halaman Padepokan Pemecutan, dua orang cantrik
masih terlihat tengah mengumpulkan gabah padi kering
yang sudah sejak pagi dijemur dibawah cahaya matahari
yang akan dibawa dan disimpan di lumbung sebagai
persediaan makanan hingga datangnya panen yang
akan datang. "Malam akan datang mengganti warna hari dan
kehidupan", berkata Mahesa Amping kepada Empu
Dangka sambil menatap regol pintu halaman Padepokan
Pemecutan. "Warna hari dan kehidupan selalu berubah, tidak pernah
langgeng. Hari ini dan hari esok corak dan geraknya tidak
akan pernah sama", berkata Empu Dangka menaggapi
perkataan Mahesa Amping yang masih menatap regol
pintu halaman Pedepokan Pemecutan.
"Ada tamu yang datang", berkata Mahesa Amping
berbisik kepada Empu Dangka yang sama-sama tengah
memandang regol pintu halaman Padepokan Pemecutan. 123 Keremangan di ujung senja itu tidak mengurangi
ketajaman penglihatan Mahesa Amping dan Empu
Dangka. Mereka melihat dua orang cantrik yang ada
dihalaman Padepokan Pemecutan itu datang menghampiri orang-orang yang baru datang itu.
Bagian 2 "ADA tamu yang hendak menemui tuan Senapati",
berkata salah seorang cantrik yang baru datang dari
regol halaman depan. "Bawalah ke pendapa ini", berkata Mahesa Amping tanpa
menanyakan siapa dan apa tujuannya.
Maka cantrik itu segera kembali keregol halaman depan,
memberitahukan kepada tamu yang datang itu bahwa
Mahesa Amping menerima kunjungan mereka.
Dari pendapa Mahesa Amping dan Empu Dangka
melihat ada dua orang lelaki dan dua anak kecil bersama
mereka. Terlihat dua orang cantrik mengantar dan
mengiringi mereka menuju pendapa.
"Arga Lanang !", terkejut Mahesa Amping setelah
mengetahui salah satu diantara mereka ternyata adalah
Arga Lanang. "Selamat berjumpa kembali wahai sahabatku", berkata
Arga Lanang ketika sudah naik keatas tangga pendapa
Padepokan Pamecutan. Bukan main terharu dan senangnya Mahesa Amping dan
Arga Lanang, terlihat mereka saling berpelukan
sebagaimana dua orang sahabat yang sudah lama tidak
berjumpa. 124 "Berterima kasihlah padaku, aku telah jauh-jauh
mengantarkan putramu dari Tanah Melayu", berkata Arga
Lanang sambil menepuk pundak Mahesa Amping
menunjuk salah seorang lelaki kecil yang bersamanya.
"Adityawarman, inilah ayahmu", berkata pula Arga
Lanang kepada Adityawarman.
Mahesa Amping dengan mata tidak berkedip melihat
seorang lelaki kecil datang mendekatinya.
"Putraku", berkata Mahesa Amping memeluk Adityawarman penuh keharuan dan kegembiraan
bercampur aduk memenuhi seluruh perasaan hatinya.
"Bundaku sering bercerita tentang ayah, apakah ayah
merindukan bunda?", berkata Adityawarman kepada
Mahesa Amping. "Aku sangat merindukan kalian, bersama kalian adalah
mimpi-mimpiku yang paling indah", berkata Mahesa
Amping tersenyum memandang putranya Adityawarman.
Sementara itu seorang lelaki kecil yang lain, yang
ternyata adalah Jayanagara ikut merasa bergembira
melihat saudara sepupunya telah menemui ayah
kandungnya sendiri. "Ternyata ayahmu sama gagahnya dengan ayahku",
berkata Jayanagara kepada Adityawarman yang masih
merapat disamping ayahnya Mahesa Amping.
"Jayanagara ini adalah putra Raden Wijaya", berkata
Arga Lanang kepada Mahesa Amping.
"Mendekatlah wahai putra sahabatku", berkata Mahesa
Amping kepada Jayanagara.
Terlihat Jayanagara mendekati Mahesa Amping.
"Wajahmu sangat mirip dengan ayahmu, sama-sama
125 tampan", berkata Mahesa Amping sambil mengusap
lembut rambut kepala anak itu.
Arga Lanang tidak lupa juga memperkenalkan Pendeta
Gunakara kepada Mahesa Amping.
"Selamat datang di Padepokan Pemecutan", berkata
Mahesa Ampung penuh hormat kepada Pendeta
Gunakara. Dan akhirnya Empu Dangka mendapat
kesempatan untuk diperkenalkan oleh semua tamutamunya Mahesa Amping.
"Perkenalkan Empu Dangka, orang tuaku di Balidwipa
ini", berkata Mahesa Amping memperkenalkan Empu
Dangka kepada Arga lanang dan Gunakara, juga kepada
Jayanagara dan Adityawarman.
Demikianlah, suasana di pendapa Padepokan itu
menjadi begitu ramai. Mahesa Amping mempersilahkan
semua tamunya untuk bersih-bersih diri setelah
melakukan perjalanan panjang. Setelah itu diadakanlah
perjamuan besar menyambut kedatangan mereka.
Setelah perjamuan telah selesai, hari sudah mulai
memasuki malam. Mahesa Amping meminta Putu Risang
membawa Adityawarman dan Jayanagara ketempat yang
telah disiapkan untuk beristirahat.
"Hari sudah menjadi malam, ajaklah kedua adikmu ini
untuk beristirahat", berkata Mahesa Amping kepada Putu
Risang. Setelah Putu Risang bersama Adityawarman dan
Jayaraga masuk kedalam untuk beristirahat, Arga
Lanang memulai cerita perjalanannya. Mulai dari Tanah
Melayu ke Bandar Cangu dan akhirnya sampai juga ke
Balidwipa. Arga Lanang juga bercerita tentang kawan
perjalanannya Pendeta Gunakara.
126 Bukan main kagetnya Mahesa Amping ketika mendengar
cerita tentang Pendeta Gunakara yang datang ke
Balidwipa hanya untuk mencari seorang bayi lelaki yang
dipercaya adalah titisan dari guru besarnya yang terlahir
kembali di dunia ini. "Hari ini umur bayi itu telah berusia dua belas purnama
sembilan hari", berkata Pendeta Gunakara menambahkan cerita Arga lanang.
"Apakah bayi itu punya sebuah pertanda?", bertanya
Mahesa Amping dengan hati berdebar kepada Pendeta
Gunakara. "Bayi itu mempunyai sebuah tanda dipundaknya",
berkata Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping.
Terlihat Mahesa Amping manggut-manggut sendiri,
berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar
perkataan Pendeta Gunakara tentang pertanda bayi
yang sedang dicarinya itu.
Sementara itu malam sudah semakin larut, Mahesa
Amping mempersilahkan Arga Lanang dan Pendeta
Gunakara untuk beristirahat.
"Beristirahatlah, kalian pasti sangat lelah", berkata
Mahesa Amping kepada kedua tamunya.
Demikianlah, pendapa Padepokan Pemecutan itu sudah
menjadi lengang. Pelita malam yang tergantung cahaya
kuning melenggut terkantuk-kantuk. Semua penghuninya
sudah masuk ke biliknya masing-masing.
Sementara itu Mahesa Amping di biliknya masih juga
belum dapat memejamkan matanya. Terbayang wajah
Pendeta Gunakara yang tengah mencari seorang bayi
dengan pertanda yang sama pada Mahesa Muksa. Ingin
rasanya hari menjadi lekas pagi, berharap segera
127 memberitahukan Nariratih untuk lebih berhati-hati.
Bergerak perputar diantara kesuraman bayang-bayang
perasaan hati Mahesa Amping, ada kegembiraan yang
mendalam telah dipertemukan dengan Adityawarman
putranya. Ingin rasanya menjelang pagi untuk melihat
kembali anak itu, mengajaknya bermain bersama mengisi
hari-hari sepanjang hari.
"Aku akan membesarkan putraku, menjaganya hingga
sayapnya tumbuh", berkata Mahesa Amping dalam hati
sambil berbaring diperaduannya.
Akhirnya perlahan Mahesa Amping
memejamkan matanya dan tertidur.
sudah dapat Angin dingin dan kabut putih perlahan turun menyelimuti
Padepokan Pemecutan yang berada disebuah lereng
perbukitan. Langit diatasnya berwarna hitam kelam
ditumbuhi beberapa bintang. Bulan sabit redup terhalang
awan masih menjaga bumi malam yang sunyi.
Dan waktu pun terus berlalu, sekelompok kalelawar telah
kembali kesarangnya. Sang fajar telah mulai bangun
mengintip bumi, perlahan mengusir kegelapan malam
diatas langit Padepokan Pemecutan.
Pagi itu Mahesa Amping sudah terbangun langsung
keluar dari biliknya menuju pakiwan untuk bersih-bersih.
Ternyata disana sudah ditemuinya Putu Risang yang
telah terbangun lebih awal tengah mengisi gentonggentong air.
"Adityawarman dan Jayanagara belum bangun?",
bertanya Mahesa Amping kepada Putu Risang.
"Tidurnya sangat lelap, aku meresa kasihan untuk
membangunkan mereka", berkata Putu Risang kepada
Mahesa Amping. 128 "Mereka pasti sangat begitu lelah setelah melakukan
perjalanan panjang", berkata Mahesa Amping kepada
Putu Risang. "Silahkan tuan Senapati bersih-bersih lebih dulu", berkata
Putu Risang kepada Mahesa Amping
Demikianlah, setelah bersih-bersih Mahesa Amping
langsung ke bilik Adityawarman dan Jayanagara. Terasa
hati Mahesa Amping penuh kebahagiaan memandang
wajah putranya "Hari memang masih begitu pagi, di Istanah Tanah
Melayu mereka pasti sangat dimanjakan", berkata


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahesa Amping tersenyum melihat kedua anak itu masih
tertidur pulas. Ketika Mahesa Amping hendak menuju ke pintu utama,
bersisipan dirinya dengan Nariratih yang baru saja keluar
dari biliknya hendak ke dapur.
"Datanglah ke hutan cemara disaat pagi sudah menjadi
terang, ada yang ingin aku bicarakan disana", berkata
Mahesa Amping kepada Nariratih.
"Tunggulah aku disana", berkata Nariratih kepada
Mahesa Amping sambil melanjutkan langkahnya menuju
dapur belakang. Sementara itu Mahesa Amping langsung keluar menuju
pendapa Padepokan Pemecutan.
Ternyata Mahesa Amping tidak lama seorang diri,
berturut-turut muncul Empu Dangka, Arga Lanang dan
Pendeta Gunakara. Ketika pagi sudah menjadi terang,
Mahesa Amping mempersilahkan Arga Lanang dan
pendeta Gunakara untuk melihat-lihat ke Sanggar
dimana para cantrik tengah berlatih.
"Empu Dangka akan menemani kalian, sementara aku
129 pagi ini akan mengajak kedua putraku bermain-main",
berkata Mahesa Amping kepada Arga Lanang dan
Pendeta Gunakara. "Selamat menikmati hari pertamamu sebagai seorang
ayah", berkata Empu Dangka penuh senyum kepada
Mahesa Amping ketika telah turun lebih dulu di tangga
Padepokan Pemecutan yang disusul oleh Arga Lanang
dan Pendeta Gunakara. Kembali Mahesa Amping seorang diri di pendapa
Padepokan Pemecutan. Tapi itu pun tidak begitu lama,
dari balik pintu utama telah keluar Putu Risang yang
diikuti oleh Adityawarman dan Jayagiri.
"Hari ini aku akan mengajak kalian ke tepian sungai di
hutan cemara", berkata Mahesa Amping kepada Putu
Risang, Jayanagara dan Adityawarman.
Terlihat wajah mereka bertiga begitu gembira mendengar
perkataan Mahesa Amping, terutama Adityawarman yang
baru mengenal Ayahnya yang selama ini selalu
dirindukannya, dan dibanggakan tentunya meski hanya
lewat cerita dari Bundanya Dara Jingga bahwa ayahnya
adalah seorang kstria yang berilmu sangat tinggi. Di
Tanah Melayu telah dikenal dengan sebutan Manusia
Dewa. "Bila aku kelak dewasa, aku akan seperti ayahku",
berkata Adityawarman dalam hati sambil memandang
Mahesa Amping dari sebelahnya yang erat menggenggam tangannya membawanya melangkah ke
arah hutan cemara. "Adityawarman sangat bahagia sekali berada disisi
ayahnya", berkata pula Jayanagara dalam hati berjalan
menggandeng tangan kiri Mahesa Amping ikut merasa
bahagia. 130 Jayanagara dapat merasakan perasaan saudara
sepupunya itu yang terlihat sangat bahagia. Dan dirinya
sepertinya tidak menjadi iri, bahkan sebaliknya merasa
ikut berbahagia sebagaimana kebahagiaan yang
dirasakan oleh saudara sepupunya itu.
Ternyata perasaan iri itu sempat melekat singgah di hati
Putu Risang, tapi pemuda itu segera menepisnya dengan
mengatakan pada dirinya bahwa kedua anak lelaki itu
adalah putra dan kemenakan Mahesa Amping, mereka
berhak mendapatkan kasih sayang yang tak terhingga
dari Mahesa Amping. "Aku ingin melihat jurus-jurus kalian", berkata Mahesa
Amping kepada Adityawarman dan Jayanagara ketika
mereka telah sampai di tepian sungai hutan cemara.
Maka terlihat tanpa malu-malu lagi kedua anak lelaki itu
berdiri bersama di hadapan Mahesa Amping. Keduanya
langsung menggerakkan tangan dan kaki mereka yang
mungil itu seperti tengah menari menunjukkan kepada
Mahesa Amping dengan penuh semangat.
"Pasti Panglima perang Prastawa yang melatih mereka",
berkata Mahesa Amping dalam hati yang sudah dapat
membaca dan mengenal gerak kedua anak lelaki kecil
dihadapannya itu sebagai aliran perguruan dari Datuk
Belang, ayah Prastawa di Tanah Melayu.
"Kalian telah melakukannya dengan sempurna", berkata
Mahesa Amping memuji kedua anak lelaki itu. "Putu
Risang, ajaklah kedua adikmu ini berlari diatas batu
sungai sebagaimana biasa kamu lakukan", berkata
mahesa Amping kepada Putu Risang untuk membawa
Adityawarman dan Jayanagara berlatih keseimbangan
diatas batu sungai yang bertebaran menyembul
dipermukaan air sungai yang jernih dan Dangkal itu.
131 Bukan main senangnya hati Mahesa Amping melihat
kedua saudara sepupu itu berlari dan melompat dari satu
batu sungai ke batu lainnya mengikuti Putu Risang yang
berada didepan mereka. "Ternyata tuan Senapati telah mempunyai seorang putra
sudah sebesar itu", berkata Nariratih kepada Mahesa
Amping yang telah datang di tepian sungai sambil
menggendong putranya Mahesa Muksa.
"Hari ini pertama kali kurasakan sebagai seorang ayah",
berkata Mahesa Amping kepada Nariratih tanpa
memalingkan wajahnya terus memandang Adityawarman
yang tengah melompat dan berlari diatas batu sungai itu.
"Apakah ada perbedaan rasa, sebagai ayah kandung
dan sebagai ayah angkat?", bertanya Nariratih kepada
Mahesa Amping. Mahesa Amping seperti tersentak mendengar pertanyaan
itu, diam-diam dapat merasakan sebuah kecemburuan.
Mahesa Amping tidak segera menjawab, dipandangnya
Nariratih yang memalingkan wajahnya lurus sepertinya
tengah memandang Putu Risang, Adityawarman dan
Jayanagara yang masih berlari dan melompat diatas batu
sungai. Sekilas Mahesa Amping melihat kecantikan Nariratih
yang sempurna, beberapa helai rambutnya yang panjang
terlepas dari ikatannya tergerai tertiup angin.
"Ayah kandung dan ayah angkat adalah dua kata yang
terpisah, sementara kasih sayang tidak dapat
dipisahkan", berkata Mahesa Amping kepada Nariratih
dengan suara yang tenang dan datar.
"Maaf, aku memang terlalu banyak menuntut darimu",
berkata Nariratih yang telah menyadari perkataannya
132 terlalu menusuk. Diam-diam mengutuk kebiasaan diri
sendiri yang selalu menjadi perhatian sebagai wanita
satu-satunya di Padepokan Teratai Putih dan juga sangat
dimanjakan. "Aku harus merubah sikapku", berkata
dalam hati Nariratih. "Percayalah, aku akan menjaga Mahesa Muksa sebagai
aku akan menjaga putraku sendiri", berkata Mahesa
Amping kepada Nariratih. "Terima kasih", berkata Nariratih kepada Mahesa penuh
senyum. "Mudah-mudahan Nyi Nariratih tidak berkeberatan untuk
meluangkan sedikit waktu memberikan perhatian kepada
putraku dan putra sahabatku itu", berkata Mahesa
Amping kepada Nariratih. "Aku akan menjaganya sebagaimana aku menjaga
putraku", berkata Nariratih dengan penuh senyum
menggetarkan perasaan Mahesa Amping disampingnya.
Tapi Mahesa Amping segera menepis perasaan itu,
melemparkan pandangannya jauh diantara tawa
Adityawarman dan Jayanagara yang sangat menikmati
latihan mereka bersama Putu Risang.
"Orang-orang Padepokan Teratai Putih akan membawa
delapan pemimpin Kshetra merebut Mahesa Muksa dari
tangan kita", berkata Mahesa Amping kepada Nariratih.
"Orang-orang Padepokan Teratai Putih pasti telah
memutar balikkan kejadian yang sebenarnya kepada
mereka", berkata Nariratih merasa cemas ketika Mahesa
Amping menyebut tentang para pemimpin delapan
kshetra yang diketahuinya telah mengikat janji darah
kepada ayahnya Ki Karmapala.
Dalam kesempatan itu pula Mahesa Amping 133 menyampaikan bahwa Pendeta Gunakara juga tengah
mencari seorang bayi yang mempunyai pertanda
sebagaimana pertanda yang ada di pundak Mahesa
Muksa. "Pendeta dari Tibet itu?", bertanya Nariratih seperti tidak
percaya. "Benar, kita harus merahasiakan pertanda itu darinya",
berkata Mahesa Amping kepada Nariratih.
Sementara itu mentari pagi sudah mulai merangkak naik,
Mahesa Amping mengajak semuanya untuk kembali ke
Padepokan Pemecutan. Terlihat Mahesa Amping menuntun Jayaraga dan
Adityawarman diikuti Nariratih dan Putu Risang berjalan
keluar dari hutan Cemara.
Ketika mereka tiba di Padepokan Pemecutan, dilihatnya
para cantrik tengah berlatih di sanggar terbuka
disaksikan oleh Empu Dangka, Arga Lanang dan
Pendeta Gunakara. Nariratih masih mengendong putranya langsung menuju
pendapa, sementara itu Mahesa Amping bersama
Adityawarman, Jayanagara dan Putu Risang mendekati
para cantrik yang tengah berlatih.
Terlihat Putu Risang langsung bergabung dengan para
cantrik yang tengah berlatih.
"Pemuda itu punya semangat luar biasa", berkata
Mahesa Amping melihat Putu Risang yang telah
bergabung bersama para cantrik.
"Aku ingin seperti mereka", berkata Adityawarman
kepada Mahesa Amping. Mahesa Amping tersenyum mendengar perkataan 134 putranya. "Bila kalian ingin seperti mereka, kalian harus punya
semangat seperti mereka", berkata Mahesa Amping
kepada Adityawarman dan Jayaraga.
Terlihat Mahesa Amping mempersilahkan Adityawarman
dan Jayanegara bergabung dengan para cantri
Padepokan Pemecutan. Mahesa Amping tersenyum
bangga melihat tangan dan kaki kecil mereka tengah
mengikuti gerak jurus para cantrik yang tengah berlatih.
"Kelak mereka akan menjadi para kstria yang mumpuni
seperti ayah-ayah mereka", berkata Arga Lanang kepada
Mahesa Amping yang ikut memperhatikan kedua anak
lelaki kecil itu berlatih.
Ketika matahari sudah mulai beranjak diatas puncaknya,
Empu Dangka mempersilahkan para cantrik untuk
beristirahat. Mahesa Amping mengajak Arga Lanang dan
Pendeta Gunakara naik ke pendapa Padepokan
Pemecutan. "Mari kita beristirahat di atas pendapa", berkata Mahesa
Amping kepada Arga Lanang dan Pendeta Gunakara.
Terlihat Mahesa Amping berjalan bersama Adityawarman
dan Jayanagara diikuti dibelakangnya Arga Lanang,
Pendeta Gunakara, Empu Dangka tengah menuju
pendapa Padepokan Pemecutan.
Ternyata ketika mereka tiba di pendapa, Nyi Nariratih
sudah menyiapkan hidangan makan siang untuk mereka.
"Terima kasih Nariratih, pasti masakanmu sangat luar
biasa", berkata Empu Dangka kepada Nariratih yang
sudah mempersiapkan hidangan dan bermaksud kembali
ke dalam rumah. "Jangan memuji dulu, nanti bisa kecewa", berkata
135 Nariratih sambil pamit untuk kembali ke dalam.
Demikianlah, mereka menikmati hidangan makan siang
itu di pendapa Padepokan Pemecutan dengan penuh
kegembiraan. "Ternyata aku datang di saat yang tepat", berkata
seseorang yang tiba-tiba saja muncul naik keatas
pendapa Padepokan Pemecutan.
"Langsung saja bergabung Ki Bancak", berkata Mahesa
Amping kepada orang itu yang sepertinya sudah sangat
dikenalnya dengan baik dan sepertinya sudah tidak asing
lagi di Padepokan Pemecutan.
Maka orang itu yang dipanggil Ki Bancak langsung
bergabung. Ketika melihat Arga Lanang dan Pendeta
Gunakara dengan penuh hormat dan keramahan Ki
Bancak menganggukkan kepalanya sebagai tanda
sebuah perkenalan. "Perkenalkan ini sahabatku Ki bancak", berkata Mahesa
Amping kepada Arga Lanang dan Pendeta Gunakara.
"Ki Bancak pasti keluar rumah dengan kaki kanan",
berkata Empu Dangka dengan penuh senyum kepada Ki
Bancak. "Jika tidak pakai kaki kananku, aku tidak akan sampai di


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padepokan ini", berkata Ki Bancak yang disambut tawa
oleh semua yang ada di pendapa Padepokan
Pemecutan. Siapakah Ki Bancak itu?"
Ki Bancak adalah seorang prajurit telik sandi, orang
kepercayaannya Mahesa Amping yang menjadi
penghubung jalur sandinya. Lewat Ki Bancak situasi dan
keadaan di Balidwipa dapat diterima oleh Mahesa
Amping sebagai seorang Senapati. Lewat Ki Bancak juga
136 garis perintah Mahesa Amping dapat dijalankan dengan
baik. Sementara itu matahari diatas Padepokan Pemecutan
sudah mulai bergeser turun. Terlihat semua orang di
pendapa Padepokan Pemecutan sudah menyesaikan
makan siangnya. "Adityawarman dan Jayanagara, perkenalkan diri kalian
kepada pamanmu ini", berkata Mahesa Amping kepada
Adityawarman dan Jayanagara meminta mereka
memperkenalkan diri kepada Ki Bancak.
"Mereka berdua adalah putraku dan putra sahabatku
Senapati Raden Wijaya", berkata Mahesa Amping
kepada Ki Bancak. Terlihat Adityawarman dan Jayanagara merangkapkan
kedua tangannya didada menghadap dan menganggukkan kepalanya kepada Ki Bancak.
"Anak-anak yang tampan", berkata Ki Bancak penuh
senyum memandang Adityawarman dan Jayanagara.
"Yang ada disini semua adalah keluarga, silahkan Ki
Bancak menyampaikan berita", berkata Mahesa Amping
kepada Ki Bancak. Maka dengan perlahan Ki Bancak menyampaikan
beberapa hal tentang keadaan dan situasi di Balidwipa.
Ada satu berita yang cukup mengundang perhatian dari
Mahesa Amping, yaitu tentang kedatangan sekitar dua
puluh orang dari Jawadwipa.
"Berita terakhir yang dapat kami terima, mereka adalah
para tamu dari Padepokan Teratai Putih", berkata Ki
Bancak menyampaikan beritanya.
"Ternyata orang-orang dari Padepokan Teratai Putih
masih ingin memperpanjang urusannya kepadaku",
137 berkata Mahesa Amping perlahan sepertinya kepada diri
sendiri. "Apakah tuan Senapati punya urusan dengan orangorang dari Padepokan Teratai Putih?", bertanya Ki
Bancak kepada Mahesa Amping.
Terlihat Mahesa Amping menarik nafas panjang. Ada
keraguan untuk menyampaikan apa sebenarnya yang
terjadi antara dirinya dan orang-orang dari Padepokan
Teratai Putih kepada Ki Bancak, terutama di pendapa
ada Pendeta Gunakara yang juga punya kepentingan
dengan putra angkatnya, Mahesa Muksa.
Namun akhirnya Mahesa Amping melepas keraguannya.
Dalam penilaiannya, hari ini atau nanti Pendeta
Gunakara pasti akan mengetahuinya juga. Mahesa
Amping dapat merasakan bahwa Pendeta Gunakara
bukan orang sembarangan, langkah kakinya yang
membawanya ke Padepokan Pemecutan adalah sebuah
gambaran dirinya bukan orang bodoh, pasti tengah
mengikuti suara hati kebenaran, mengikuti panggraitanya
yang tajam. Akhirnya Mahesa Amping menceritakan tentang peristiwa
di Hutan Mada, peristiwa yang membawanya hingga
harus berurusan dengan orang-orang Padepokan Teratai
Putih. Namun Mahesa Amping tidak bercerita tentang
awan dan tanda dipundak Mahesa Muksa yang telah
dihilangkannya. "Persoalan Nariratih dan putranya sudah selesai disaat Ki
Karmapala menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Yang dipersoalkan sekarang dari orang-orang Padepokan Teratai Putih adalah ketidak relaan mereka
bahwa gurunya dapat dikalahkan olehku", berkata
Mahesa Amping mengakhiri ceritanya tentang peristiwa
138 di Hutan Mada beberapa hari yang lalu.
"Pada saat Raja Adidewalancana berkuasa, mereka
adalah salah satu pendukung setianya. Mungkin saja
persoalan ini merupakan saat yang tepat bagi mereka
untuk membalas rasa sakit hatinya lewat cara dan
persoalan yang berbeda", berkata Empu Dangka
memberikan tanggapannya. "Aku sependapat dengan Empu Dangka", berkata Ki
Bancak membenarkan pendapat dari Empu Dangka.
"Kita cegat mereka sebelum datang ke Padepokan
Pemecutan ini", berkata Empu Dangka.
"Aku sependapat dengan Empu Dangka, siapkan dua
puluh prajurit yang terbaik tanpa tanda-tanda kebesaran
seorang prajurit, kita bertemu di bukit Karang Gajah",
berkata Mahesa Amping kepada Ki Bancak.
Maka terlihat Ki bancak bangkit berdiri untuk pamit diri.
"Sampai berjumpa kembali di Bukit Karang Gajah",
berkata Mahesa Amping sambil mengantar Ki Bancak
turun dari tangga pendapa Padepokan Pemecutan.
"Aku akan turun ke sanggar, para cantrik pasti sudah
menunggu", berkata Empu Dangka yang berpamit diri
untuk melihat para cantrik berlatih di sanggar.
"Adityawarman dan Jayanagara, ikutlah bersama Empu
Dangka ke sanggar", berkata Mahesa Amping kepada
Adityawarman dan Jayanagara yang langsung dengan
gembiranya mengikuti Empu Dangka.
Akhirnya hanya ada Mahesa Amping, Arga lanang dan
Pendeta Gunakara di pendapa Padepokan Pemecutan.
"Sudah hampir dua hari aku di sini, tapi belum melihat
ada seorang bayi di Padepokan ini", berkata Pendeta
139 Gunakara kepada Mahesa Amping yang telah duduk
kembali bersama. "Bayi itu sekarang ada dibiliknya bersama ibunya",berkata Mahesa Amping kepada Pendepa
Gunakara dengan hati dan perasaan yang berdebardebar.
"Aku tamu disini, perkenankan diriku ini ikut bersamamu
ke bukit Karang Gajah", berkata Pendeta Gunakara
kepada Mahesa Amping. Ada perasaan lega dihati Mahesa Amping, perkiraannya
bahwa Pendeta Gunakara berkeinginan untuk melihat
Mahesa Muksa, namun perkiraan itu ternyata hanya ada
dalam bayang-bayang perasaannya saja.
"Sebagai seorang tuan rumah, sudah sewajarnya untuk
melindungi tamunya. Tapi bila ini adalah keinginan dari
tuan pendeta, kami sangat berterima kasih atas
kepedulian dan perhatian tuan pendeta", berkata Mahesa
Amping dengan wajah penuh senyum kepada Pendeta
Gunakara. "Aku sahabatmu, ijinkan pula aku ikut bersamamu ke
Bukit Karang Gajah", berkata Arga Lanang penuh
semangat. "Terima kasih atas perhatian kalian semuanya", berkata
Mahesa Amping kepada Arga lanang dan Pendeta
Gunakara. "Malu rasanya bila tidak berbuat apapun kepada tuan
rumah yang begitu baik dan ramah menerima kehadiran
kami", berkata Pendeta Gunakara kepada Mahesa
Amping. "Meski ilmuku belum seberapa, setidaknya menambah
jumlah pasukanmu", berkata Argalanang dengan wajah
140 penuh senyum. Sementara itu terdengar suara langkah
yang halus berjalan diatas papan kayu panggung,
terdengar suara berderit pintu utama yang terbuka.
Berdebar perasaan Mahesa Amping ketika mengetahui
siapa yang keluar dari pintu utama itu. Ternyata adalah
Nariratih sambil membawa putranya Mahesa Muksa.
"Aku mendengar semua percakapan kalian", berkata
Nariratih yang telah duduk bersimpuh bersama di
pendapa Padepokan Pemecutan. "Semua berawal dari
masalahku dan bayiku ini yang membawa tuan Senapati
harus terseret didalamnya", berkata Nariratih kepada
Mahesa Amping dengan suara penuh ketenangan.
Pendeta Gunakara dan Arga Lanang yang telah
mendengar cerita Mahesa Amping tentang peristiwa di
Hutan Mada langsung dapat menebak bahwa inilah
wanita yang ada dihadapan mereka pastilah Nariratih
putri Ki Karmapala, pemimpin Padepokan Teratai Putih
itu. "Aku tidak bisa berdiam diri disini, sementara kalian
bertempur untuk kepentinganku. Aku ingin ikut ke bukit
Karang Gajah", berkata Nariratih dengan suara penuh
kemanjaan membuat Mahesa Amping bingung
menghadapinya. "Siapa yang menjaga Mahesa Muksa bila Nyi Nariratih
ikut ke Bukit Karang Gajah?", bertanya Mahesa Amping
dengan suara perlahan mulai mencoba mengimbangi
sikat dan watak wanita dihadapannya itu.
"Putu Risang dapat menjaganya", berkata Nariratih
kepada Mahesa Amping. "Aku pernah melihat kamu bertempur di Hutan Mada,
ilmu kepandaianmu dapat diandalkan. Tapi hatiku akan
141 merasa tentram bila Mahesa Muksa berada dalam
perlindunganmu", berkata Mahesa Amping kepada
Nariratih. Diam-diam Nariratih merasa tersanjung mendengar
perhatian Mahesa Amping terhadap Mahesa Muksa,
putranya. "Aku setuju apa yang dikatakan tuan Senapati, seorang
bayi lebih aman berada dalam perlindungan ibunya
sendiri. Setidaknya disaat seperti ini musuh dapat saja
berbuat hal-hal yang mengejutkan, misalnya dengan
memecah kekuatan menyerang Padepokan Pemecutan
disaat kita sudah berada di Bukit Karang Gajah", berkata
Pendeta Gunakara memberikan pandangannya.
"Terima kasih Tuan Pendeta, hal itu memang belum
pernah terpikirkan olehku", berkata Mahesa Amping
kepada Pendeta Gunakara. Sementara itu Nariratih juga ikut memahami apa yang
dikatakan oleh Pendeta Gunakara.
"Lama aku berada di lingkungan Padepokan Teratai
Putih, aku memahami apa yang mereka pikirkan, meraka
akan melakukan begitu banyak siasat, meski kadang
harus melepaskan rasa kemanuasiaan", berkata Nariratih
mencoba memberi gambaran tentang orang-orang
Padepokan Teratai Putih."Dan aku menerima untuk tetap
disini, melindungi putraku", berkata Nariratih dengan
wajah penuh riang. Mahesa meresa lega dengan sikap Nariratih yang
terakhir, menerima untuk tidak ikut ke bukit Karang
Gajah. "Aku gembira, Nyi Nariratih dapat menerima untuk tidak
ikut bersama kami", berkata Mahesa Amping kepada
142 Nariratih. "Mudah-mudahan mereka tidak berpikir tentang apa yang
dipikirkan tuan pendeta, tapi setidaknya ada aku disini
menjaga putraku sendiri", berkata Nariratih sambil
mendekap Mahesa Muksa dengan lebih erat lagi,
sepertinya takut akan kehilangan buah hatinya itu.
"Bolehkah aku mengendong putramu?", berkata Pendeta
Gunakara kepada Nariratih.
Terlihat Nariratih menatap Mahesa Amping sekejab,
mohon pertimbangannya. Namun belum lagi Mahesa
Amping memberikan tanggapannya, Pendeta Gunakara
sudah bangkit berdiri mendekati Nariratih dan putranya
yang masih didekapnya. Nariratih tidak dapat berbuat apapun ketika Pendeta
Gunakara dengan penuh senyum mengulurkan
tangannya bermaksud memindahkan Mahesa Muksa
yang masih tertidur. Anehnya Nariratih seperti tersihir, melepaskan Mahesa
Muksa berpindah tangan berada dalam dekapan
Pendeta Gunakara. Mungkin wajah dan senyum yang
sareh dan penuh ketulusan itulah yang telah menyihir
perasaan Nariratih untuk begitu percaya melepaskan
putranya kepada seseorang yang diketahui punya
kepentingan yang besar terhadap putranya Mahesa
Muksa. "Parasnya begitu cemerlang, siapapun akan kasih
kepadanya", berkata Pendeta Gunakara sambil
mengembalikan Mahesa Muksa ke pangkuan ibunya.
Nariratih dan Mahesa Amping terlihat menarik nafas
dalam setelah beberapa saat dipenuhi perasaan penuh
kekhawatiran yang sangat.
143 Ternyata Pendeta Gunakara tidak melakukan apapun.
Tapi sepintas Mahesa Amping dapat melihat mata
Pendeta Gunakara yang memperhatikan kearah pundak
belakang Mahesa Muksa. Sementara itu langit sore diatas Padepokan Pemecutan


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlihat cerah bersinar dengan cahayanya yang kuning
teduh. Dua ekor kepodang kuning terlihat berlompatan
diantara dahan-dahan pohon kemboja yang berada di
pojok halaman Padepokan Pemecutan.
"Aku akan kembali kedalam", berkata Nariratih berpamit
untuk kembali kedalam rumah.
"Mari kita ke sanggar melihat para cantrik berlatih",
berkata Mahesa Amping kepada Arga Lanang dan
Pendeta Gunakara. "Mari", berkata Arga Lanang yang langsung bangkit dari
duduknya. Terlihat Mahesa Amping, Arga Lanang dan Pendeta
Gunakara telah menuruni tangga pendapa Padepokan
Pemecutan. "Kedua anak itu punya daya ingat yang luar biasa",
berkata Arga Lanang kepada Mahesa Amping ketika
melihat Adityawarman dan Jayanagara ikut berlatih di
sanggar terbuka disisi samping sebelah kanan
Padepokan Pemecutan. Akhirnya di pertengahan senja, Empu Dangka
menyudahi latihan bersama itu sambil menyampaikan
beberapa pesan, diantaranya tentang rencana mereka
besok yang akan berangkat ke bukit Karang Gajah.
"Mudah-mudahan kalian dapat melindungi diri kalian
sendiri", berkata Empu Dangka kepada para cantriknya.
"Kenapa kami tidak diikutkan bersama kalian ke Bukit
144 Karang Gajah?", bertanya Putu Risang mewakili para
cantrik yang merasa penasaran tidak diikutkan ke Bukit
Karang Gajah. "Saat ini kalian masih belum waktunya untuk menghadiri
pertempuran yang sebenarnya. Tetaplah kalian berlatih
meski kami tidak ada di Padepokan Pemecutan ini. Aku
yakin dalam waktu dekat ini kalian pasti sudah dapat
diandalkan", berkata Empu Dangka kepada para
cantriknya. Terlihat beberapa cantrik dapat menerima alasan yang
disampaikan oleh Empu Dangka. Justru pernyataan dari
Empu Dangka telah memecut semangat mereka untuk
berlatih lebih giat lagi.
Ketika hari sudah dipenghujung senja, semua cantrik
terlihat sudah kembali ke bilik-bilik mereka untuk
beristirahat. Sementara itu Empu Dangka, Mahesa
Amping, Pendeta Gunakara dan Arga Lanang bersama
Adityawarman dan Jayanagara kembali beristirahat di
Bangunan utama Padepokan Pemecutan.
***** Kita tinggalkan dulu Mahesa Amping bersama orangorangnya yang tengah bersiap-siap esok hari untuk
menuju ke Bukit Karang Gajah dimana pasukannya telah
menunggu mereka disana. Mari kita menjenguk sebentar suasana di Kotaraja
Singasari, diujung senja yang sama matahari diatas
istana Singasari sudah hampir terbenam diufuk barat.
Diruang Mentanu, tempat Sri Baginda Maharaja
Kertanegara menerima tamu dan pejabatnya baru saja
melepas kepergian tiga orang tamu kepercayaannya.
Mereka adalah Ratu Anggabhaya, Pangeran Lembu Tal
dan Kuda Cemani. 145 Ratu Anggabhaya dan Pangeran Lembu Tal baru saja
melaporkan tentang tugasnya mewakili Sri Baginda
Maharaja untuk meminang putra Raja Gelang-gelang.
Betapa gembiranya hati Sri Baginda mendapatkan
laporan bahwa pinangannya atas Raden Ardharaja
diterima dengan baik. Sementara itu Kuda Cemani yang datang bersamaan
dengan Ratu Anggabhaya dan Pangeran Lembu Tal
telah melaporkan beberapa nama pejabat kerajaan yang
telah terbukti ikut berhianat berkaitan dengan peristiwa
utusan resmi Maharaja Mongol. Dalam laporan itu Kuda
Cemani juga menyampaikan bahwa hampir semua
pejabat Istana itu sudah diamankan, kecuali seorang
pejabat Istana yang bernama Wirondaya yang berhasil
melarikan diri. Ketika hari sudah menghampiri diujung senja, barulah Sri
Baginda Maharaja melepas ketiga tamunya itu.
"Besok pagi aku akan meminta kalian datang kembali
kemari, masih banyak hal yang ingin kubicarakan
bersama kalian", berkata Sri Baginda Maharaja kepada
Kuda Cemani, Ratu Anggabhaya dan Pangeran Lembu
Tal. Sementara itu di penghujung senja yang sama, terlihat
seorang tengah berlari dengan kudanya disebuah
bulakan panjang. Sepertinya orang itu tengah berpacu
dengan waktu. Siapakah orang berkuda itu" Tidak lain bahwa orang itu
ternyata adalah Wirondaya, seorang pejabat istana
Singasari yang berhasil melarikan diri.
Wirondaya berhasil meloloskan dirinya jauh sebelum
Kuda Cemani mencium penghianatan di istana berkaitan
dengan peristiwa Mengki, utusan resmi Maharaja Yang
146 Dipertuan Agung Kubilai Khan.
Wirondaya telah pergi jauh dari Kotaraja Singasari
sebelum datangnya para prajurit untuk menangkapnya.
Hari itu dipenghujung senja yang sama, Wirondaya
tengah memacu kudanya disebuah bulakan panjang.
Sebuah tempat yang tidak begitu jauh lagi berbatasan
dengan sebuah Tanah Perdikan Sunginap, sebuah tanah
perdikan yang dipimpin oleh seorang mantan pejabat
istana yang setia dan banyak berjasa di kerajaan
Singasari bernama Ki Gede Banyak Wedi. Atas
kesetiaannya pula Ki Gede banyak Wedi telah
dianugerahkan oleh Sri Baginda Maharaja Singasari
sebagai pejabat perwakilan kerajaan di Madhuradwipa
dengan gelar anugerah nama Aria Wiraraja.
Wirondya ternyata kalah satu langkah dengan Kuda
Cemani. Ketika mengetahui bahwa Wirondaya telah meloloskan
dirinya, segera pada hari itu juga Kuda Cemani telah
mengutus orangnya untuk segera berangkat ke
Madhuradwipa. Utusannya itu telah berhasil datang
menghadap Aria Wiraraja dan menceritakan peristiwa
utusan Maharaja Mongol, juga tentang larinya seorang
pejabat istana bernama Wirondaya.
Terlihat Wirondaya memperlambat kudanya ketika
memasuki regol pintu gerbang Tanah Perdikan
Sunginep. Malam sudah menutup pemandangan
disepanjang jalan Tanah Perdikan Sunginep, satu dua
orang masih terlihat di beberapa gardu ronda. Pada saat
itu hampir semua rumah disepanjang jalan yang dilalui
sudah menyalakan pelita malam.
Akhirnya kuda Wirondaya berhenti disebuah rumah besar
yang didepannya berdiri sebuah Banjar Desa. Beberapa
147 prajurit pengawal Tanah Perdikan Sunginep terlihat
tengah berbincang-bincang di Banjar Desa itu.
"Bukankah kamu Wirondaya?", berkata seorang prajurit
pengawal tanah Perdikan yang masih mengenal
Wirondaya. "Benar, aku Wirondaya. Ternyata matamu masih dapat
mengenaliku", berkata Wirondaya kepada prajurit
pengawal Tanah Perdikan itu. "Apakah Paman Aria
Wiraraja ada dirumah?", bertanya Wirondaya kepada
prajurit pengawal Tanah Perdikan itu.
"Ki Aria Wiraraja ada dirumah, aku akan menyampaikan
kedatanganmu", berkata prajurit pengawal itu sambil
melangkah ke arah pendapa rumah besar itu diikuti oleh
Wirondaya di belakangnya.
Terlihat prajurit itu masuk lewat pintu butulan, sementara
Wirondaya terus melangkah menaiki tangga pendapa
rumah besar itu. Wirondaya tidak menunggu terlalu lama. Terdengar pintu
utama berderit terbuka lebar, dari dalamnya terlihat
seseorang yang sudah cukup berumur, terlihat dari
warna putih di semua rambut dikepalanya. Namun tubuh
orang itu masih cukup kokoh dan kuat sebagai tanda
bahwa orang itu masih sering berlatih olah kanugaran.
"Ternyata kamu Wirondaya", berkata orang itu menyapa
Wirondaya. "Ampun Pamanda, kesibukan diistana membuat aku
tidak sempat berkunjung ke kampung halaman sendiri",
berkata Wirondaya yang memanggil orang itu dengan
sebutan Pamanda langsung berdiri dan berlutut
dihadapan pamannya. "Aku sudah mengetahui apa yang terjadi atas dirimu
148 Wirondaya", berkata orang itu yang ternyata adalah Ki
Aria Wiraraja. Bukan main kagetnya Wirondaya, ternyata Ki Aria
Wiraraja telah mengetahui tentang dirinya.
"Mari kita duduk bersama berbicara sebagai orang
dewasa", berkata Ki Aria Wiraraja kepada Wirondaya
yang langsung kembali duduk ditempatnya semula diikuti
oleh Ki Aria Wiraraja yang juga telah duduk berhadaphadapan.
"Pamanda baru mendengar dari orang-orang Tumapel,
belum mendengar apa yang sebenarnya terjadi", berkata
Wirondaya kepada Ki Aria Wiraraja.
"Dari awal pembicaraanmu saja tentang Tumapel, aku
sudah dapat menebak dimana kamu berdiri", berkata Ki
Aria Wiraraja kurang senang ketika Wirondaya menyebut
kata Tumapel. "Pamanda harus banyak mendengar, bahwa Kotaraja
Singasari memang telah dikuasai oleh orang-orang
Tumapel. Kotaraja hanya milik orang Tumapel, bukan
orang Kediri dan lainnya, juga bukan orang Madhura.
Tidakkah Pamanda merasakan bahwa orang-orang
Tumapel telah menjajah kita semua?", berkata Wirondaya
kepada Ki Aria Wiraraja. "Dengarlah wahai Wirondaya kemenakanku, aku
mengenal mereka sebagaimana aku mengenal anakku
sendiri. Perlu kamu ketahui, Pamandamu pernah
berseberangan jalan dengan mereka, atas kebesaran
jiwa mereka aku dapat hidup sebagaimana yang kamu
lihat sampai saat ini. Jadi kamu salah langkah bila punya
pikiran berlindung di Tanah Perdikan ini. Karena Tanah
Perdikan Sunginep ini adalah anugerah dari mereka.
Jadi, siapapun yang memusuhi mereka, adalah
149 musuhku. Siapapun yang berdiri berseberangan dengan
mereka, bukan orang Tanah perdikan Sunginep ini.
Mudah-mudahan kamu dapat mengerti dimana aku
berdiri", berkata Ki Aria Wiraraja kepada Wirondaya.
Pucat pasi wajah Wirondaya mendengar perkataan dari
Pamandanya Ki Aria Wirondaya. Awalnya Wirondaya
berharap datang ke Madhuradwipa untuk mempengaruhi
Pamandanya ikut memusuhi orang-orang Singasari dan
bersekutu dengan mereka, namun kenyataannya Ki Aria
Wiraraja tidak dapat dipengaruhinya.
"Tidakkah kamu sadari, kutitipkan dirimu di Istana
Singasari sebagai perwakilan pengabdianku kepada
mereka. Kuharapkan kesetiannmu sebagaimana kesetianku kepada mereka. Tapi ternyata kamu telah
mencoreng namaku", berkata kembali Ki Aria Wiraraja
kepada Wirondaya. Terlihat wajah Wirondaya semakin pucat pasi. Tidak
pernah dirinya melihat Pamandanya berkata sekeras itu
kepadanya. Dulu Pamandanya begitu sangat memanjakannya, terutama ketika Lawe putranya
meninggalkannya. "Harusnya kamu mengikuti jejak saudara sepupumu
Lawe, aku bangga dengannya yang mengerti apa yang
kuinginkan, sebagai pengganti diriku mengabdi seluruh
jiwa dan raga untuk penguasa tahta Singasari. Itulah
takdir diri kita atas jiwa mereka yang tidak dapat dirubah
oleh apapun. Inilah titah para dewata atas diri kita dan
mereka yang bertahta", berkata kembali Ki Aria Wiraraja
kepada Wirondaya. Wirondaya tidak dapat berkata apapun, mulutnya seperti
tersumbat. Wajahnya sudah semakin pucat pasi bersama
dengan lemasnya seluruh persendiannya. Wirondaya
150 seperti pasrah menerima apapun perlakuan dari
Pamandanya Ki Aria Wiraraja yang terlihat sangat
kecewa dengan dirinya. "Kemana lagi diri ini berlindung selain kepada Pamanda.
Disemua tanah Singasari diriku tidak akan dapat
diterima", berkata Wirondaya penuh belas kasihan
memohon perlindungan Pamandanya Ki Aria Wiraraja.
"Dengan sangat menyesal, aku tidak dapat melindungimu. Aku masih bermurah hati tidak memanggil
para prajurit pengawal Tanah Perdikan untuk
merangkengmu, membawamu sebagai buronan yang
sedang dicari oleh orang-orang Kotaraja Singasari.
Pergilah sebelum kemurahanku ini berubah", berkata Ki
Aria Wiraraja kepada Wirondaya.
Wirondaya merasakan hatinya remuk retak berkepingkeping. Punah sudah segala harapan dan anganangannya. Ki Aria Wiraraja yang diharapkan akan
menjadi sandarannya, kini sudah berbalik membencinya.


Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Timbul rasa keangkuhan dan ketinggian hatinya yang
membangunkan kembali kekuatan dirinya.
Terlihat Wirondaya bangkit berdiri perlahan.
"Baiklah bila Pamanda menginginkan aku pergi dari
tempat ini. Aku bukan anak kecil lagi yang merengekrengek minta sesuatu. Dengarlah wahai Pamanda, aku
tidak akan dan tidak mungkin seperti Pamanda yang
tunduk patuh kepada orang-orang Tumapel, merendahkan dirinya sebagai hamba sahayanya yang
setia. Aku berjanji pada diriku ini bahwa suatu waktu
nanti aku akan berdiri dihadapan mereka, menyuruh
mereka menyembah dan mencium kakiku ini", berkata
Wirondaya kepada ki Aria Wiraraja yang tidak bergeming
sedikitpun memandangnya. Sepertinya tidak mendengar
151 apapun yang diucapkan oleh Wirondaya dengan suara
cukup keras dan tajam. "Maafkan aku Pamanda, aku tidak dapat menjadi dirimu.
Karena aku tidak akan merendahkan diriku", berkata
Wirondaya yang langsung melangkah menuju tangga
pendapa. Di keremangan malam yang mulai menyelimuti Tanah
Perdikan Sunginep itu, terlihat bayangan Wirondaya yang
tengah keluar dari regol pintu gerbang rumah besar Ki
Aria Wiraraja. Sementara itu Ki Wiraraja masih tetap duduk di pendapa
rumahnya. Dadanya terasa sesak menahan amarah yang
meluap-luap. Ucapan Wirondaya seperti belati yang
menikam rongga dadanya. Seorang anak kemenakan
yang dibesarkannya telah mengecewakan hatinya. Dan
mereka nampaknya mulai hari itu ada di persimpangan
jalan yang berbeda. Mereka berdua telah berdiri
berseberangan jalan, bahkan suatu saat nanti mungkin
akan berhadapan sebagai dua musuh di kubu dan sekutu
yang berbeda. Kemanakah arah kuda Wirondaya melangkah?"
Dikeremangan malam yang telah gulita, kuda Wirondaya
masih terlihat menyusuri bulak-bulak malam, semakin
menjauh dari Tanah Perdikan Sunginep. Sebuah tanah
kampung halamannya sendiri, tempat dimana dirinya
dibesarkan, bermain bersama sanak kandang dan
kemanjaan Pamandanya yang dicintai dan mencintainya.
Ketika terusir dari istana Kotaraja Singasari, dirinya tidak
merasakan kepedihan hati yang begitu dalam. Namun
ketika terusir dari rumah Pamandanya sendiri, hatinya
sepertinya merasakan kepedihan yang sangat.
Pamandanya yang selama ini diakuinya sebagai ayahnya
152 sudah tidak mempedulikannya lagi, bahkan telah begitu
sangat membencinya sebagai manusia yang tidak punya
arti. Diperjalanan malam itu, hati dan perasaan Wirondaya
telah membeku menjadi sebuah kebencian.
Kebencian Wirondaya sepenuhnya ditumpahkan kepada
orang-orang Tumapel. Kebencian itu pula yang
membawa langkah kaki kudanya untuk menempuh
perjalanan jauh, menuju Tanah Gelang-gelang.
Bagian 3 KITA tinggalkan dulu Wirondaya yang telah gelap hati,
mata dan pikiranya yang tengah melakukan perjalanan
malam. Mari kita kembali ke padepokan Pemecutan di
malam yang sama. Malam itu seluruh penghuni Padepokan Pemecutan telah
tertidur terlelap dalam mimpinya masing-masing.
Sementara itu tiga orang yang ditugaskan berjaga-jaga
dimalam itu terlihat secara bergiliran berkeliling disekitar
Padepokan untuk memastikan tidak ada apapun yang
perlu dicurigai. Dan ketiga peronda itu memang tetap waspada
sepanjang malam, meski selama ini tidak ada gangguan
apapun atas hal yang mengganggu kehidupan mereka di
Padepokan Pemecutan. Akhirnya ketiga cantrik yang meronda sepanjang malam
itu cukup bernafas lega manakala sang malam mulai
bergeser berganti pagi yang ditandai warna merah
menyala memenuhi langit diatas Padepokan Pemecutan.
153 Dan ketika sang fajar memenuhi warna pagi di
Padepokan Pemecutan, suara kehidupan pun akhirnya
sudah terdengar. Dimulai dengan suara air yang
memenuhi senthong-senthong di Pakiwan. Suara-suara
para cantrik di dapur belakang yang tengah membuat
perapian. "Kutitipkan Padepokan ini kepadamu", berkata Mahesa
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 1 Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H Pendekar Penyebar Maut 4
^