Kabut Di Bumi Singosari 1
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana Bagian 1
Karya Ki "Kompor" Sandikala
Jilid 01 Bagian 1 PAGI itu langit begitu cerah, matahari bersinar gilang
gemilang memancarkan warna kuning yang hangat
bersembul di tepi ujung timur bumi diatas Sungai Brantas
yang sudah ramai dilalui kapal-kapal kayu membawa
berbagai barang dagangan. Angin sedikit semilir tidak
menimbulkan riak gelombang. Sungai Brantas seperti
cermin panjang, segala apapun pemandangan diatasnya
menjadi dua lukisan yang indah, hutan yang hijau
dinaungi langit pagi yang cerah berawan putih.
Bila kita menyusuri sungai Brantas melawan arusnya
masuk lagi lebih ke hilir, maka kita akan menjumpai
sebuah Bandar yang cukup besar, banyak kapal layar
besar tengah menambatkan jangkarnya disana. Terlihat
beberapa buruh kasar tengah mengangkut barang
keatas kapal. Satu dua kedai yang ada disekitar Bandar
Cangu itu terlihat sudah penuh dan ramai, terlihat juga
2 beberapa awak kapal duduk di depan luar sebuah kedai,
mungkin menunggu saat kapalnya sarat barang untuk
berangkat kesebuah tujuan yang jauh.
Terlihat tiga orang lelaki keluar dari sebuah kedai,
melihat dari kulit tubuh dan wajahnya menandakan
bahwa ketiga orang itu adalah bukan penduduk asli.
Mereka berkulit putih cerah.
Keberadaan orang asing di bandar Cangu memang
sudah biasa, berbagai bangsa dengan beraneka warna
kulit sudah menjadi pemandangan umum sehari-hari di
Bandar Cangu. "Silahkan tuan menyusuri Sungai Brantas ini menuju
kearah Benteng Cangu itu, tuan akan menemui sebuah
rumah panggung besar menghadap ke arah sungai.
Itulah kediaman Senapati Agung Raden Wijaya", berkata
seorang lelaki memberi petunjuk arah kepada ketiga
lelaki asing itu. "Terima kasih", berkata salah seorang dari ketiga orang
asing itu sambil menyelipkan sebuah uang logam perak
ke tangan orang yang telah memberikannya petunjuk
arah. Terlihat ketiga orang asing itu telah berjalan sesuai
petunjuk arah yang disampaikan oleh seorang lelaki yang
mengiringinya dengan pandangan matanya.
"Mimpi apa aku semalam, masih pagi sudah dapat
setengah karung beras", berkata lelaki itu sambil
memandang uang logam perak di tangannya.
Sementara itu ketiga orang asing itu telah melihat sebuah
rumah panggung besar menghadap kearah sungai
Brantas, dibelakangnya berjejer puluhan barak prajurit.
"Mungkin rumah panggung itulah yang dimaksud",
3 berkata salah seorang diantara mereka yang nampaknya
sangat berpengaruh terlihat dari sikap kedua orang yang
bersamanya seperti sikap seorang bawahan kepada
atasannya. Ketiga orang asing itu pun terlihat mendekati rumah
panggung besar itu, beberapa orang prajurit yang
bersimpangan dengan mereka hanya melihat selintas.
Kedatangan orang asing memang bukan sebuah
pemandangan baru. "Apakah aku berhadapan dengan Senapati Agung
bernama Raden Wijaya?", berkata salah seorang dari
ketiga orang asing yang paling berpengaruh ketika sudah
naik keatas pendapa Balai Tamu.
"Tuan tidak salah menyebut nama, hanya orang
dimaksudkan adalah disebelahku ini", berkata Kebo
Arema yang saat itu ada bersama Raden Wijaya dan
Ranggalawe. "Ternyata Senapati Agung Raden Wijaya masih begitu
muda, salam hormat dari kami", berkata lelaki itu sambil
menjura penuh hormat kepada Raden Wijaya. Kedua
orang yang mengiringi juga ikut memberi hormat.
"Pasti ada sebuah kepentingan besar yang membawa
langkah kaki tuan hingga sampai di rumah ini", berkata
Raden Wijaya kepada lelaki itu.
"Kami berasal dari kerajaan pusat bumi, memang ada
kepentingan besar hingga kami harus menempuh
perjalanan yang panjang ini", berkata lelaki itu.
"Aku sering mendengar kerajaan pusat bumi, sebuah
kerajaan besar yang saat ini telah hampir menguasai
separuh daratan bumi", berkata Raden Wijaya kepada
lelaki itu. 4 "Ternyata pengetahuan tuan Senapati begitu luas",
berkata lelaki asing itu mengagumi pengetahuan Raden
Wijaya. "Penguasa kerajaan pusat bumi itu menjuluki dirinya
sendiri sebagai manusia terakhir dari khannya, Kaisar
Kubilai Khan", berkata Raden Wijaya kepada lelaki asing
itu yang diam-diam mengagumi pengetahuan senapati
muda dihadapannya yang sangat luas.
"Ditempat yang begitu jauh ini ada orang yang dapat
menyebut gelar kaisarku dengan benar, sebagai tanda
sudah begitu besarnya nama dan keagungannya. Atas
kehendaknya, Kaisar Agung Kubilai Khan mengutus aku
datang ke bumi tuan", berkata lelaki asing itu sambil
mengeluarkan sebuah kayu hitam bersimbul ukiran emas
dua naga sebagai pertanda diri utusan resmi dari Kaisar
Kubilai Khan. "Ternyata aku berhadapan dengan utusan resmi Kaisar
Kubilai Khan yang namanya sudah sampai menjungjung
ke langit bumi", berkata Raden Wijaya kepada orang
asing itu yang tersenyum mendengar Raden Wijaya
memuji Kaisarnya. "Aku yang rendah ini hanya seorang utusan, perkenalkan
namaku Mengki", berkata orang asing itu yang
memperkenalkan dirinya bernama Mengki tanpa
memperkenalkan kedua orang yang menemaninya.
"Utusan Kaisar sama derajatnya menghadap kaisar itu
sendiri, maafkan bila kami tidak berlaku hormat kepada
utusan Kaisar Kubilai Khan", berkata Raden Wijaya
sambil menjura penuh hormat kepada Mengki yang
ternyata adalah seorang utusan Kaisar Kubilai Khan,
sebuah nama yang saat itu sangat menggetarkan hati
para raja-raja didunia. Hampir separuh dunia telah
5 ditaklukkan oleh pasukannya yang terkenal kuat dan
sangat berani di segala medan pertempuran. Pasukan
Burma dengan pasukan gajahnya pernah hancur lebur
luluh lantak dihancurkan oleh pasukan Kubilai Khan.
Raden Wijaya memperkenalkan
Rangga Lawe kepada tamunya itu.
Kebo Arema dan "Perkenalkan Pamanku dan saudaraku", berkata Raden
Wijaya memperkenalkan Kebo Arema dan Rangga Lawe
yang menemaninya di pendapa Balai Tamu.
"Aku mendapat kabar bahwa tuan Senapati adalah orang
yang paling dekat dan dipercaya oleh Maharaja
Singasari, untuk itulah aku datang menghadap tuan
Senapati", berkata Mengki menyampaikan maksud dan
tujuannya menemui Raden Wijaya.
"Bila itu tujuannya, aku dapat mengantar tuan Mengki
menghadap Sri Baginda Maharaja Singasari", berkata
Raden Wijaya. "Aku tidak akan melupakan kebaikan tuan Senapati",
berkata Mengki kepada Raden Wijaya.
"Apakah aku boleh mengetahui, apa yang akan tuan
sampaikan kehadapan Sri baginda Maharaja Singasari",
berkata dan bertanya Raden Wijaya kepada Mengki.
Terlihat Mengki menarik nafas panjang, sepertinya
tengah mencari sebuah kata-kata yang tepat yang akan
disampaikan untuk menjawab pertanyaan dari Raden
Wijaya. "Sudah hampir separuh dunia telah tunduk patuh kepada
Kaisar Agung Kubilai Khan, hampir seluruh raja-raja di
separuh dunia ini setiap tahunnya mengirim upeti
sebagai tanda bergabung dibawah panji kebesaran
Kaisar Mongolia yang dipertuan agung Kubilai Khan",
6 berkata Mengki berhenti sebentar memandang Raden
Wijaya, Kebo Arema dan Ranggalawe menilik sejauh
mana tanggapan mereka terhadap apa yang
disampaikannya. Ternyata tidak ada perubahan apapun di wajah ketiga
orang itu dalam pandangan Mengki.
"Kamipun bermaksud membawa Kerajaan Singasari,
penguasa Selat Malaka, Tanjungpura, Celebes sampai
ke Tanah Gurun untuk bergabung dibawah panji
kebesaran Kaisar yang dipertuan Agung Kubilai Khan",
berkata Mengki sambil memandang Raden Wijaya penuh
harap Senapati muda ini tidak merasa terusik atas apa
yang telah disampaikannya dengan bahasa yang sangat
halus. "Kami paham apa yang akan tuan sampaikan kepada Sri
Baginda Maharaja Singasari. Bahasa tuan begitu lembut,
semoga Sri baginda Maharaja Singasari dapat
memahami dan dapat berpikir jernih memberikan
keputusannya", berkata Raden Wijaya kepada Mengki
yang sepertinya dapat membaca apa yang ada didalam
pikiran utusan Kubilai Khan ini.
"Terima kasih atas pemahamannya, aku hanya sebatas
seorang utusan yang wajib menjalankan tugas ini",
berkata Mengki kepada Raden Wijaya yang diam-diam
mengagumi ketenangan dan cara berpikir Senapati muda
dihadapannya itu. "Kami akan membantu membawa tuan kepada Sri
Maharaja Singasari", berkata Raden Wijaya kepada
Mengki. "Terima kasih tak terhingga, semoga jalan terang selalu
menaungi tuan Senapati", berkata Mengki sambil
menjura penuh rasa terima kasih.
7 "Besok kita berangkat, aku dan Paman Kebo Arema akan
mengantar kalian", berkata Raden Wijaya kepada Mengki
dan Kebo Arema. Kebo Arema tercenung sejenak, namun akhirnya
memahami kenapa dirinya diajak serta ke Kotaraja.
"Perlu pengorbanan yang besar, bayarannya adalah
harga diri Sri Baginda Maharaja Kertanegara. Mudahmudahan kehadiranku di Kotaraja dapat membantunya
lebih jernih untuk mengambil sebuah keputusan", berkata
Kebo Arema dalam hati sambil menganggukkan
kepalanya kepada Raden Wijaya sebagai tanda
persetujuannya ikut bersama ke Kotaraja.
"Sudah lama aku tidak mengunjungi Kotaraja", berkata
Rangga Lawe kepada Raden Wijaya.
"Bila saja ini perjalanan pesiar, aku pasti mengajakmu",
berkata Raden Wijaya sambil tersenyum kepada Rangga
Lawe. "Siap menjalankan tugas, mewakili Senapati Agung di
Balai Tamu", berkata Rangga Lawe dengan sikap tegak
hormat sebagaimana seorang prajurit rendah menghadap perwiranya. "Bila ada tamu asing, katakan dirimu sebagai Senapati
agung. Aku tidak akan menghukummu", berkata Raden
Wijaya menanggapi canda Rangga Lawe.
Pembicaraan mereka terhenti manakala dari balik pintu
pendapa keluar pelayan tua sambil membawa beberapa
hidangan. "Mudah-mudahan hidangan ini berkenan dilidah tuantuan", berkata Raden Wijaya mempersilahkan tamunya.
"Yang paling susah adalah menyamakan perasaan hati,
sementara lidah sangat bergantung kepada keadaan dan
8 suasana hati", berkata Mengki sambil mengisi
mangkuknya dengan nasi putih yang masih hangat.
"Kadang perasaan hati dapat berubah seiring dengan
keadaan dan suasana yang berubah", berkata Raden
Wijaya sambil ikut memenuhi mangkuknya.
"Ternyata orang Mongol dan orang jawa punya cara yang
sama, makan dengan tangannya", berkata Mengki ketika
melihat Raden Wijaya tengah menyuap sejumput nasi
dengan tangannya. "Apakah ada orang yang memakan tidak dengan
tangannya ?", bertanya Rangga Lawe kepada Mengki.
"Orang Cina tembok besar memakan apapun dengan
dua sumpit kayunya", berkata Mengki kepada Rangga
lawe. "Kudengar Kaisar Kubilai Khan sangat membenci orang
Cina, tak satu pun pejabatnya berasal dari bangsa Cina",
berkata Raden Wijaya yang sering mendengar banyak
cerita dari saudagar-saudagar besar yang sering datang
dan berhubungan dengannya.
"Bangsa Cina sering menyebut kami sebagai bangsa liar
tidak beradab, tapi bukan itu yang menyebabkan Kaisar
kami membenci orang Cina, ada seorang pejabatnya
yang berasal dari bangsa Cina yang diam-diam telah
menghianatinya", berkata Mengki memberikan penjelasannya. "Aku mulai banyak mengenal bangsamu, sekelompok
orang yang punya cita-cita dan semangat tinggi, dan
kaisarmu telah mampu menghimpunnya dalam sebuah
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesetia-kawanan yang kuat", berkata Raden Wijaya
kepada Mengki. "Seperti semut hitam berbagi rasa dan kesetiaan",
9 berkata Kebo Arema ikut memberikan tanggapannya.
Ternyata pembicaraan mereka yang panjang telah
mengikat mereka untuk saling mengenal dan saling
menghargai. "Kalian baru saja tiba dari perjalanan yang jauh,
beristirahatlah", berkata Raden Wijaya kepada Mengki
mempersilahkan Mengki dan dua orang yang
bersamanya untuk beristirahat.
Terlihat seorang pelayan tua mengantar mereka
ketempat yang biasa dipergunakan untuk para tamu
yang datang dari tempat yang jauh untuk bermalam.
"Mudah-mudahan Sri baginda Maharaja dapat berpikir
jernih, membuat keputusan dengan bijaksana", berkata
Kebo Arema kepada Raden Wijaya ketika Mengki dan
pengiringnya sudah meninggalkan pendapa Balai Tamu.
"Mengakui kebesaran kaisar Kubilai Khan berarti
hilangnya sebuah harga diri bangsa. Sementara bila
menolaknya, kita akan berhadapan dengan sebuah
kekuatan besar, sebuah peperangan besar", berkata
Raden Wijaya menyampaikan pandangannya.
"Bila kamu adalah Sri Baginda Maharaja, apa yang akan
kamu putuskan?", bertanya kebo Arema kepada Raden
Wijaya. Raden Wijaya tidak langsung menjawab, terlihat
menarik nafas panjang untuk mencoba mendengar
sendiri kata hatinya. "Apa artinya sebuah harga diri bila harus dibayar dengan
banyak darah. Sementara sebuah upeti tidak akan
membuat kita jatuh miskin", berkata Raden Wijaya
berbicara mengikuti perasaan hatinya.
"Ternyata kita punya perasaan dan pemikiran yang
sama", berkata Kebo Arema menanggapi pernyataan
10 Raden Wijaya. "Mudah-mudahan Sri baginda Maharaja mempunyai
perasaan dan pemikiran yang sama juga", berkata Raden
Wijaya dengan wajah penuh harap
"Bagaimana dengan dirimu Rangga Lawe?", berkata
Kebo Arema kepada Rangga Lawe yang sedari tadi
hanya banyak mendengar. Terlihat Rangga Lawe layaknya seorang pemikir berat,
lama sekali berpikirnya sambil memandang kapal layar
besar jung Singasari yang tengah bersandar di
dermaganya. "Angkatan perang laut kita begitu kuat, prajurit kita tidak
pernah terkalahkan. Apa yang harus kita takutkan dari
mereka?", berkata Rangga lawe memberikan tanggapannya. "Aku tidak menyalahkan pendapatmu, yang kukhawatirkan bahwa Sri Baginda Maharaja mempunyai
pikiran yang sama denganmu", berkata Kebo Arema.
"Paman Kebo Arema terlalu berputar-putar, katakan saja
bahwa pendapatku berseberangan", berkata Rangga
Lawe. Terlihat Kebo Arema tersenyum mendengar pernyataan
yang langsung dari Rangga Lawe. Diam-diam memahami
watak dan pembawaan anak muda dihadapannya itu
yang polos dan tidak mengenal tedeng aling-aling, apa
yang dirasakan dan dipikirkan langsung diucapkan.
"Anak muda ini berbeda sekali dengan Raden Wijaya,
apalagi bila disandingkan dengan Mahesa Amping. Tapi
justru perbedaan itulah yang mengikat persahabatan
mereka bertiga", berkata Kebo Arema dalam hati.
"Kekuatan angkatan perang laut kita memang kuat,
11 prajurit kita punya pengalaman bertempur yang tangguh.
Yang belum kita miliki adalah keyakinan bahwa apakah
ada kesetiaan diantara para raja-raja diseluruh Singasari
Raya?", berkata Kebo Arema kepada Rangga Lawe.
Terlihat Rangga Lawe dan Raden Wijaya tercenung
sebentar membenarkan pandangan Kebo Arema.
"Mengalah bukan kalah, dan tidak semua masalah harus
diselesaikan dengan sebuah peperangan", berkata Kebo
Arema kepada raden Wijaya dan Rangga Lawe yang
nampaknya menerima pandangan Kebo Arema.
Sementara itu matahari diufuk barat sudah mulai
tergelincir terpotong setengahnya mengintip diujung
tepian bumi. Angin deras bertiup meliuk-liuk daun dan
ranting pepohonan yang tumbuh disekitar Rumah Balai
Tamu. Terlihat seorang pelayan tua keluar dari rumah Balai
Tamu lewat pintu butulan. Tidak seorang pun yang
memperdulikan orang tua yang sudah lama bekerja
melayani penghuni rumah Balai Tamu. Orang tua yang
sudah dipenuhi warna putih hampir seluruh rambut
kepalanya itu terus berjalan ke arah sebuah dusun
terdekat yang tidak jauh dari Bandar Cangu.
"Lama sekali Ki Widura tidak nyambat kegubukku",
berkata seorang lelaki yang terlihat seumuran dengan
pelayan tua yang dipanggil Ki Widura oleh pemilik rumah
itu."pasti ada hal penting yang kamu bawa", berkata
kembali lelaki itu ketika Ki Widura sudah duduk di balebale rumahnya.
"Kabar yang kubawa ini mungkin dapat membangunkan
orang-orang Kediri yang masih setia kepada Raja dan
keturunannya", berkata Ki Widura berhenti sebentar
mengatur nafasnya. 12 Terlihat lelaki tua itu memperbaiki letak duduknya
mendengar perkataan Ki Widura, sepertinya takut ada
yang tertinggal. "Di Balai tamu saat ini ada kedatangan tamu penting,
mereka adalah utusan langsung dari Kaisar Kubilai Khan,
penguasa besar pemilik separuh bumi ini yang
mempunyai pasukan kuda yang kuat yang membawa
guntur dalam setiap peperangannya", berkata Ki Widura
kepada lelaki dihadapannya.
"Dari mana Ki Widura mendapatkan keterangan itu?",
bertanya lelaki itu kepada Ki Widura.
"Aku mendapatkan semua itu langsung dari dua orang
budak utusan itu, dikatakan juga bahwa Singasari akan
dibakar habis bila tidak mengakui kebesaran Kaisar
Agung Kubilai Khan", berkata Widura kepada lelaki itu.
"Aku belum dapat menangkap hubungan utusan itu
dengan kepentingan kita", berkata lelaki itu kepada Ki
Widura. "Kita bunuh utusan itu, kematian utusan itu akan menjadi
api kemarahan Kaisar Kubilai Khan", berkata Ki Widura
kepada lelaki itu. "Ternyata uban dikepalamu tidak merapuhkan otakmu.
Aku akan menyampaikan hal ini kepada kawan-kawan
kita", berkata lelaki itu kepada Ki Widura.
"Hari sudah mulai gelap, aku kembali ke Balai Tamu",
berkata Ki Widura sambil beranjak turun dari bale-bale
bambu. "Malam ini juga aku akan menyampaikan keteranganmu
kepada kawan-kawan kita", berkata lelaki itu sambil
mengantar Ki Widura yang akan kembali ke rumah Balai
Tamu tempat dimana dirinya bertugas sebagai seorang
13 pelayan. Tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa
jauh dikehidupannya adalah sebagai seorang abdi dalem
istana Kediri yang setia kepada Raja Kertajasa dan
keturunannya. "Darimana saja Pak tua", bertanya seorang prajurit yang
mengenalnya ketika Ki Widura sudah sampai di rumah
Balai Tamu. "Mengantar sedikit makanan untuk keponakanku di
Dusun Ceger", berkata ki Widura sambil tersenyum
ramah. Terlihat Ki Widura telah masuk kembali ke rumah Balai
Tamu lewat pintu butulan.
Sementara itu hari memang sudah jatuh malam, terlihat
dua ekor kuda melesat di kegelapan malam.
"Besok mereka baru berangkat, kita harus mendahului
mereka tiba di Kotaraja", berkata seorang lelaki kepada
temannya sambil menghentakkan kakinya ke perut
kudanya agar berlari lebih cepat lagi.
Malam itu jalanan antara Bandar Cangu dan Kutaraja
memang sudah terlihat begitu sepi, para saudagar lebih
banyak memilih perjalanan siang. Bukan karena takut
adanya perampokan, yang mereka takutkan adalah
masih banyak binatang buas berkeliaran di malam hari,
terutama dijalan yang membelah hutan yang harus
mereka lalui. Tapi kedua penunggang itu sepertinya tidak menghiraukan apapun, apalagi hanya binatang buas
seperti harimau dan srigala. Keduanya hanya takut bila
sampai terlambat memasuki Kotaraja.
Sukar sekali mencirikan kedua penunggang kuda itu
yang melarikan kudanya seperti angin. Kegelapan malam
14 mengaburkan wajah mereka.
Ketika menemui jalan yang membelah hutan, justru
mereka melambatkan jalan kudanya. Terlihat keduanya
turun meloncat dari punggung kudanya.
Hutan di kiri kanan jalan itu telah membuat suasana
malam menjadi begitu pekat. Terlihat kedua orang itu
menuntun kudanya kearah parit kecil yang ada mengalir
membelah jalan. Dibiarkan kuda-kuda mereka memuaskan dahaganya diparit kecil yang berair jernih
memercik batu-batu kecil.
Tidak lama kemudian mereka telah berada dipunggung
kuda kembali, awalnya perlahan, namun kembali
terdengar suara ringkik kuda yang kaget merasakan
perutnya dihentakkan oleh kaki tuannya langsung berlari
kencang. Kembali dua ekor kuda seperti berpacu membelah angin
malam didalam kepekatan hutan malam. Suara derap
langkah kaki kuda memecahkan kesunyian malam yang
dingin dijalan yang terus menanjak.
Kabut menutupi gerbang Kotaraja Singasari di malam
yang sudah menjadi tua, namun masih jauh datangnya
pagi. Terlihat dua orang berkuda telah memasuki
gerbang kota, berjalan perlahan menapaki jalan Kotaraja
yang lengang. Dibawah naungan langit malam dijalan Kotaraja, wajah
kedua penunggang kuda itu mulai dapat terlihat jelas.
Penunggang pertama bertubuh tinggi kekar, wajahnya
terlihat kaku dan keras dengan tulang rahang yang
nampak menonjol. Melihat dari wajahnya dapat
diperkirakan sebagai lelaki yang sudah tidak muda lagi,
namun tidak juga dikatakan sudah tua.
15 Sementara itu penunggang kedua bertubuh pendek dan
kekar. Wajahnya bulat dengan kening agak lebar.
Rambut sebelah depan sudah terlihat menipis, hanya
bagian bawahnya yang masih nampak gembal.
Terlihat kedua orang itu memasuki sebuah rumah besar
dipinggir jalan, nampaknya sebuah rumah pejabat
kerajaan dengan empat buah pilar kayu yang tinggi
berukir menyanggah pendapa rumahnya.
"Siapa?", berkata seorang penjaga yang mengintip dri
regol pintu gerbang halaman muka rumah itu.
"Aku Prastaka", berkata seorang yang bertubuh pendek
dan kekar kepada penjaga itu.
Rupanya penjaga itu cukup mengenali suara orang yang
menyebut dirinya bernama Prastaka, maka segera
membuka palang pintu gerbang.
"Bangunkan tuanmu, bila dia marah katakan bahwa ini
sangat penting sekali", berkata Prastaka ketika sudah
masuk kedalam rumah itu kepada seorang penjaga.
Sepertinya Prastaka sudah cukup sering datang kerumah
itu. Terlihat Prastaka dan kawannya tengah mengikat
kudanya disebuah dahan pohon kweni yang ada sebalah
pendapa dan langsung menaiki anak pendapa yang
hanya diterangi cahaya pelita di dua sudut pendapa yang
sudah semakin meredup menyisakan sedikit minyak
buah jarak. Terdengar derit suara pintu ditarik, pintu utama pendapa
terkuak lebar. Keluar dari pintu itu seorang lelaki dengan
wajah cukup bersih. Kerut-kerut didahi dan dibawah
matanya menandakan usianya yang sudah cukup tua.
"Ternyata kamu Prastaka", berkata lelaki itu menyapa
16 tamunya. "Pasti ada sesuatu yang sangat penting sekali
hingga tidak bisa diundur menunggu pagi", berkata
kembali lelaki itu sedikit menyinggung Prastaka yang
telah membangunkan tidurnya.
"Maafkan aku Malendra, urusan yang kubawa ini
memang tidak bisa menunggu pagi", berkata Prastaka
kepada lelaki itu yang dipanggilnya sebagai Malendra
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang ternyata adalah seorang pejabat kerajaan yang
bertugas menerima pajak dan upeti kerajaan.
Maka Praskata langsung menyampaikan urusannya yang
dikatakan sangat penting itu kepada Malendra.
"Membunuh utusan Kaisar Kubilai Khan?", berkata
Malendra setelah mendengar penjelasan Prastaka yang
dikatakan sebagai urusan yang sangat penting itu.
"Kita hancurkan kerajaan Tumapel ini lewat kekuatan
lain", berkata Prastaka yang enggan menyebut Singasari
tapi masih tetap mengatakan Kerajaan Tumapel kepada
Malendra. "Apakah sudah disiapkan orang yang mampu melakukan
tugas pembunuhan itu?", bertanya Malendra kepada
Prastaka. "Ki Ambeg Kulon bersedia menjalankan tugas itu",
berkata Prastaka sambil menunjuk kawan disebelahnya
yang disebutnya bernama Ki Ambeg Kulon.
Malendra memperhatikan Ki Ambeg Kulon dari bawah
sampai keatas kepala, namun ketika bertemu pandang
mata Ki Ambeg Kulon, terkesiap Malendra merasa jerih
karena membentur sebuah mata yang tajam dan dingin.
Seketika Malendra melemparkan pandangannya menghindari tatapan mata Ki Ambeg Kulon.
Prastaka tersenyum melihat ada rasa jerih Malendra
17 kepada Ki Ambeg Kulon, orang yang tidak diragukan lagi
dan sudah dikenalnya sebagai seorang pembunuh
bayaran yang tidak pernah gagal menjalankan tugasnya,
dan memang mempunyai pandang mata yang dingin,
memandang nyawa manusia senilai harga upah yang
diterima. "Junjungan kita Raja Jayakatwang akan merasa bangga
bilasaja urusan kita ini berhasil", berkata Prastaka
kepada Malendra. "Bantuan apa yang kamu inginkan dariku?", bertanya
Malendra yang sebenarnya sudah merasakan kehidupan
yang tenang sebagai pejabat kerajaan dan menganggap
kelompok perjuangan orang-orang yang masih setia
kepada Raja Kertajasa dan keturunannya hanya sebagai
kecemburuan nasib. Sebagai orang asli dari tanah Kediri
yang hidup di Kotaraja, dirinya tidak merasakan adanya
perbedaan. Sebagai pejabat kerajaan dirinya melihat
bahwa Sri Maharaja Singasari tidak pernah membedakan
orang Tumapel dan orang Kediri.
Tapi dihadapan Prastaka dirinya tidak bisa menolak,
kawannya inilah yang membawanya kepada Raja
Jayakatwang untuk dijadikan sebagai kaki tangannya di
Istana Singasari. "Aku ingin kamu menyusupkan Ki Ambeg Kulon kedalam
istana", berkata Prastaka kepada Malendra.
Perkataan Prastaka dirasakan sebagai todongan pedang
panjang menempel di lehernya, Malendra seperti tidak
ada daya dan kekuatan apapun untuk mengatakan
"tidak".Bahkan secara tidak sadar dirinya berucap
berbeda dari keinginan hatinya.
"Besok pagi kubawa kawanmu ini ke istana, kudengar
ada seorang pengalasan yang sudah cukup tua untuk
18 digantikan", berkata Malendra kepada Prastaka.
"Tidak sia-sia kubawa dirimu ke Istana Tumapel ini",
berkata Prastaka kepada Malendra.
Pembicaraan mereka terhenti ketika seorang pelayan
perempuan tua datang membawa hidangan pagi yang
hangat. Diluar rumah Malendra yang besar dan megah
langit memang sudah mulai berwarna kemerahan
sebagai tanda sebentar lagi sang fajar akan datang
mewarnai wajah pagi dibumi.
Sementara itu di bandar Cangu diwaktu yang sama,
terlihat lima ekor kuda perlahan meninggalkan bandar
Cangu, mereka adalah Raden Wijaya, Kebo Arema,
Mengki dan dua orang budaknya. Mereka tengah
melakukan perjalanan menuju Kotaraja.
"Aku terlahir di bumi yang tandus, siang hari panas begitu
mencekam membakar kulit sementara bila malam datang
angin dingin seperti menjerat sekujur tubuh. Disini aku
seperti melihat surga ada di sepanjang mata
memandang", berkata Mengki kepada Raden Wijaya
dengan wajah penuh kegembiraan melihat pemandangan alam disekitarnya, sawah ladang, lereng
dan bukit yang hijau sejauh pandangan mata.
"Keindahan yang kita lihat tergantung perasaan hati,
kadang di sebuah tempat yang gersang sekalipun akan
menjadi suasana yang indah manakala persaan hati
penuh kebahagiaan", berkata Raden Wijaya kepada
Mengki yang beriring berkuda bersamanya.
Dan matahari sepertinya mengikuti mereka melewati
batang-batang pohon disepanjang perjalanan. Kadang
diperjalanan mereka bersisipan dengan para pedagang
yang tengah membawa barang dengan kereta kuda
menuju arah Bandar Cangu. Atau kadang juga melewati
19 kereta barang yang sarat muatan menuju Kotaraja.
Mereka memang tidak memacu kudanya berlari,
sepertinya mereka tidak berpacu dengan waktu dan
membiarkan kuda mereka berjalan setengah berlari.
Kita tinggalkan dulu perjalanan Raden Wijaya dan Kebo
Arema yang tengah mengantar utusan Kaisar Kubilai
Khan menuju Kotaraja, seiring waktu yang sama di
Kotaraja terlihat Malendra dan Ki Ambeg Kulon tengah
memasuki gerbang istana. Terlihat dua orang prajurit
pengawal istana membiarkan Malendra yang sudah
mereka kenal membawa seorang asing bersamanya.
Kedua prajurit itu mungkin berpikiran sama bahwa
Malendra membawa saudara atau kerabatnya untuk
suatu urusan di istana. "Sebelumnya kami ke rumah Kangmas Gontar, tapi
orang dirumah mengatakan Kangmas Gontar sudah
berangkat ke Istana", berkata Malendra kepada
kawannya yang dipanggilnya sebagai Kangmas Gontar.
"Pasti ada urusan penting hingga Dimas Malendra
datang kerumahku", berkata lelaki yang bernama Gontar
itu kepada Malendra. "Aku mendapat kabar bahwa di Istana ini membutuhkan
seorang pengalasan, aku membawa saudaraku ini.
Mudah-mudahan kangmas Gontar dapat mempekerjakannya", berkata Malendra kepada Gontar
yang ternyata adalah Pejabat istana yang bertugas
mengatur segala urusan rumah tangga istana.
"Benar, kami membutuhkan seorang pengalasan untuk
menggantikan Ki Broto yang sudah tua. Apakah ini
saudaramu ?", bertanya Gontar kepada Malendra.
"Benar, saudara dari istriku", berkata Malendra kepada
20 Gontar memperkenalkan Ki Ambeg Kulon.
"Aku terima saudaramu ini. Mari ikut bersamaku ke
tempat Ki Broto untuk mengetahui tugas-tugas
pengalasan istana", berkata Gontar kepada Malendra.
"Terima kasih Kangmas Gontar, aku berharap saudaraku
ini secepatnya dapat belajar dari Ki Broto", berkata
Malendra kepada Gontar yang terlihat melangkah pergi
membawa Ki Ambeg Kulon menemui Ki Broto seorang
pengalasan istana yang sebentar lagi akan purnabhakti
kembali kekampung halamannya.
Sementara itu diwaktu yang sama, Raden Wijaya dan
rombongannya masih dalam perjalanan menuju Kotaraja.
Setengah berlari mereka memacu kudanya diatas tanah
keras berdebu. Ketika matahari sudah berada diatas kepala, mereka
berhenti sebentar disebuah kedai sekedar melepas penat
dan mengistrahatkan kuda-kuda mereka. Hanya
sebentar, tidak lama kemudian terlihat mereka sudah
keluar dari kedai untuk melanjutkan perjalanan kembali.
"Kotaraja Singasari sudah semakin dekat", berkata
Raden Wijaya kepada Mengki ketika jalan yang mereka
lalui terus menanjak kadang berkelok mengitari
perbukitan. Kita kembali lagi ke Istana Kotaraja, disebuah
Pasanggrahan Kaputrian terlihat dua orang lelaki tengah
membongkar sebuah rumpun pohon pinang merah.
Ternyata mereka adalah dua orang Pengalasan yang
sedang bekerja, terlihat seorang diantaranya sudah
begitu tua dengan warna rambut sudah merata putih
memenuhi kepalanya terlihat diantara ikatan kain
kepalanya. 21 Kawan pengalasan yang tua itu ternyata adalah Ki
Ambeg Kulon yang mulai hari itu juga sudah diterima
bekerja di Istana sebagai seorang Pengalasan.
"Memindahkan anak pohon Pinang tidak bisa langsung,
kita harus menyapihnya terlebih dahulu beberapa hari",
berkata pengalasan tua itu kepada Ki Ambeg Kulon.
"Kukira hanya anak bayi saja yang disapih dari ibunya",
berkata Ki Ambeg Kulon dengan wajah bosan
mendengar uraian pengalasan tua tentang berbagai
tanaman. "Merawat tanaman memang tidak ubahnya dengan
merawat seorang bayi, harus penuh hati-hati dan penuh
kasih sayang", berkata pengalasan tua itu kepada Ki
Ambeg Kulon. "Ternyata tanaman juga perlu kasih sayang, tidak
sekedar disiram?", berkata Ki Ambeg Kulon menahan
kekesalannya. "Kamu benar, tanaman seperti berjiwa. Tidak semua
orang dapat memelihara tanaman. Hanya orang
bertangan dingin saja yang dapat memelihara tanaman
terus hidup, subur dan berkembang", berkata pengalasan
tua itu kepada Ki Ambeg Kulon.
"Ternyata aku jodoh bekerja sebagai Pengalasan, hampir
semua orang yang mengenalku mengatakan aku ini
berdarah dingin"berkata Ki Ambeg Kulon asal bunyi
untuk melepas kejemuannya.
Pengalasan tua itu terlihat tertawa mendengan ucapan Ki
Ambeg Kulon sambil memandang Ki Ambeg Kulon dari
bawah sampai kekepala. "Bila kamu berdarah dingin, harusnya kamu membegal
atau menjadi pembunuh bayaran, bukan bekerja disini
22 sebagai juru pengalasan", berkata Pengalasan tua itu
sambil tertawa lama hingga sampai mengeluarkan air
mata. Sementara itu diwaktu yang sama dan ditempat yang
berbeda, Raden Wijaya dan rombongannya telah
memasuki sebuah kawasan jalan yang dipenuhi hutan
dikanan kirinya. "Beri kesempatan kuda-kuda kita mendahagakan dirinya
minum air segar", berkata Kebo Arema sambil melompat
dari punggung kudanya, menuntun kudanya menuju
kesebuah parit kecil yang membelah jalan yang diteduhi
hutan yang kerap. Terlihat semua mengikuti Kebo Arema, menuntun
kudanya dan membiarkannya meminum air segar yang
terlihat mengalir jernih diatas batu-batu kecil.
Suasana jalan itu sendiri terasa begitu teduh karena
tertutup hutan yang kerap dengan banyak pohon besar
menutupi langit diatas jalan yang memaksa siapapun
untuk beristirahat lama bahkan dapat terkantuk-kantuk
menikmati sejuknya semilir angin yang berhembus.
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita", berkata Raden
Wijaya sambil tersenyum melihat dua orang budak
Mengki hampir pulas rebahan bersandar disebuah
batang pohon besar. "Kita sampai di Kotaraja sebelum senja", berkata kebo
Arema kepada Mengki sambil melompat keatas
punggung kudanya untuk melanjutkan perjalanannya.
Senja memang masih perlu waktu yang panjang untuk
mendatangi bumi, diatas langit jalan menuju Kotaraja,
juga diatas langit istana Singasari yang megah dipenuhi
taman yang indah terpelihara.
23 Terlihat dua orang lelaki tengah berjalan dari arah
Pesanggrahan Kaputrian menuju Pasanggrahan Sentanu, sebuah pasangrahan yang baru dipugar dan
diperbaruhi sebagai tempat beristirahat para tamu dan
kerabat keluarga istana yang datang dari tempat yang
jauh. "Hanya di dua tempat ini tugas dan tanggung jawab kita,
taman yang ada di Pasanggrahan Kaputrian dan
Pasanggrahan Sentanu", berkata pangalasan tua kepada
Ki Ambeg Kulon ketika mereka tiba pasanggrahan
Sentanu. "Sebuah patung yang indah", berkata Ki Ambeg Kulon
ketika pandangannya menyapu seisi halaman yang
cukup luas dibatasi oleh dinding batu, sebuah patung
orang berkuda terlihat berdiri ditengah-tengah halaman.
"Itulah patung pahlawan Mahesa Agni, dipasanggrahan
inilah beliau pernah tinggal", berkata Pangalasan tua itu
kepada Ki Ambeg Kulon. Pangalasan tua itupun memberi
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perintah apa yang harus dilakukan di taman halaman
Pasanggrahan Sentanu. Terlihat kedua orang ini telah bekerja membersihkan
beberapa daun yang berserakan, menyirang tanaman
bunga serta menggemburkan tanahnya.
"Hari sudah mendekati senja", berkata Pangalasan tua
sambil menatap langit dimana matahari sudah mulai
tergelincir diufuk barat bumi.
Disaat itu pula terlihat lima orang berkuda telah tiba di
gerbang batas Kotaraja. Mereka adalah Raden Wijaya,
Kebo Arema bersama Mengki dan dua orang budaknya.
"Sebuah hunian yang cukup ramai", berkata Mengki
kepada Raden Wijaya ketika kudanya telah memasuki
24 dan menapaki jalan Kotaraja yang masih ramai di saat
menjelang senja itu. Sementara itu didalam istana, dua orang lelaki tengah
berjalan keluar regol halaman pasanggrahan, mereka
adalah Ki Ambek Kulon dan pangalasan tua yang telah
menyelesaikan tugasnya kembali kebilik mereka yang
ada di belakang istana yang disediakan untuk beberapa
abdidalem. "Bilik ini akan menjadi milikmu", berkata Pangalasan tua
kepada Ki Ambeg Kulon ketika mereka tiba di biliknya.
Ki Ambeg Kulon tidak menjawabnya, terlihat
menyandarkan dirinya diatas bale-bale bambu. Yang ada
didalam pikirannya adalah gambaran pasanggrahan
Sentanu dimana utusan Kubilai Khan akan bermalam
beberapa hari di Pasanggrahan itu.
Sementara itu dipintu gerbang depan istana, terlihat lima
orang penunggang kuda telah turun dan menuntun
kudanya. "Selamat datang di istana Singasari", berkata seorang
prajurit yang sudah sangat mengenal Raden Wijaya dan
Kebo Arema. Terlihat Raden Wijaya tengah berbicara kepada seorang
kepala prajurit pengawal.
"Antarkan tamu kita ini ke Pasanggrahan Sentanu untuk
beristirahat", berkata Raden Wijaya kepada kepala
prajurit pengawal istana itu.
"Secepatnya akan kuberi kabar, kapan saatnya
menghadap Sri Baginda Maharaja", berkata Raden
Wijaya kepada Mengki Terlihat Mengki dan dua orang pengiringnya telah diantar
oleh seorang prajurit ke Pasanggrahan Sentanu.
25 Sementara itu Raden Wijaya dan Kebo Arema langsung
ke Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
"Kesibukan kalian membuat jarak Kotaraja dan Bandar
Cangu menjadi begitu jauh", berkata Ratu Anggabhaya
ketika menyambut kedatangan Raden Wijaya dan Kebo
Arema bersama Pangeran Lembu Tal.
Seperti biasa, kehadiran Raden Wijaya menjadikan
suasana pasanggrahan itu menjadi begitu hangat.
Terlihat pelita malam di pendapa agung Pasanggrahan
terang benderang. Setelah menyampaikan berita keselamatan masingmasing, Raden Wijaya menjelaskan tentang kehadiran
mereka di Kotaraja kepada Ayah dan Kakeknya.
"Perlu sebuah kebijaksanaan yang luas untuk
memutuskannya", berkata Ratu Anggabhaya setelah
mendengar semua keterangan dari Raden Wijaya
tentang kedatangan utusan dari Kerajaan Mongolia.
"Kapan cucunda menghadap Sri Baginda Maharaja?",
bertanya Ratu Anggabhaya kepada Raden Wijaya.
"Besok pagi cucunda akan menghadap Sri baginda
Maharaja bersama Paman Kebo Arema", berkata Raden
Wijaya kepada Ratu Anggabhaya.
Namun belum habis perkataan Raden Wijaya, terlihat
iring-iringan prajurit pengawal istana memasuki regol
halaman pasanggrahan.Ternyata para prajurit itu datang
bersama Sri Baginda Maharaja Singasari.
"Baru saja cucundaku berkata bahwa besok pagi akan
menghadap Tuanku Baginda", berkata Ratu Anggabhaya
kepada Sri Baginda Maharaja yang telah duduk di
pendapa Agung bersama mereka.
"Aku melihat ada asap besar di Pasanggrahan ini,
26 panggraitaku mengatakan ada tamu agung yang datang
kemari", berkata Sri Baginda Maharaja penuh
senyum."Pasti ada kabar sangat penting yang dibawa
oleh sepupuku dan pamanku ini", berkata kembali Sri
Baginda Maharaja sambil memandang kearah Raden
Wijaya dan Kebo Arema. Maka dengan singkat Raden Wijaya bercerita tentang
maksud dan tujuannya datang ke Kotaraja, dan yang
penting adalah perihal kedatangan utusan resmi Kaisar
Kubilai Khan. Suasana di pendapa agung ketika Raden Wijaya
menyelesaikan penjelasannya menjadi begitu hening,
semua mata mengarah kepada Sri Baginda Maharaja,
sepertinya menunggu sebaris kata-kata penghatur
sabda. Terlihat Sri Baginda Maharaja menarik nafas panjang,
pandangannya mengarah kepada Kebo Arema.
"Sebelum aku mengambil keputusanku, aku
mendengar pandangan dari Paman Kebo Arema.
ingin Maka segenap mata kini beralih tertuju kepada Kebo
Arema. "Sebuah kehormatan besar untuk hamba yang bodoh,
tuli, papa dan hina ini dihadapan jungjungan hamba
menghaturkan sebuah kejelian mata, maka perkataan
hamba ini janganlah dicela. Bukanlah kita kawan kaum
srigala yang haus akan peperangan, bukanlah kita
kawan sekumpulan kelinci yang hanya bisa berlari.
Namun harus diperdulikan nasib para jelata. Pasukan
lawan sungguh tak tercela, telah menunjukkan
kekuatannya mampu merobohkan tembok besar orangorang cina daratan, membantai pasukan gajah prajurit
Burma serta meluluh lantakkan benteng-benteng kota
27 bangsa arab. Dan mereka selalu membawa guntur dalam
setiap peperangannya. Saat ini hampir separuh dunia
tunduk dibawah kekuasaannya. Pasukan mereka begitu
kuat sebagaimana kuatnya kesetiaan mereka kepada
Kaisarnya, Sementara itu kita belum dapat memegang
kesetiaan dari para raja sedarah di seluruh Singasari
Raya. Mengalah bukan berarti kalah namun sebuah cara
menunggu datangnya saat kemenangan. Demikian
kejelian mata hamba yang bodoh ini, mohon Sri Baginda
Junjungan hamba ampuni tutur kata hamba bila didengar
tercela", berkata Kebo Arema menyampaikan pandangannya dihadapan Sri Baginda Maharaja.
"Yang kutahu Paman Kebo Arema adalah pemanah
ulung, selalu memilih burung terbelakang di sekumpulan
barisan burung yang tengah terbang. Jiwa Paman Kebo
Arema begitu kasih sesama. Kejelian mata Paman Kebo
Arema tidak disangsikan lagi, menjadi pegangan jalanku,
sumber cahaya penerang hatiku", berkata Sri Baginda
Maharaja. Terlihat suasana kembali menjadi begitu hening, semua
mata tertuju kepada Sri Baginda Maharaja menunggu
kata-kata penghatur sabda, keputusan seorang Raja.
Sri Baginda Maharaja menyapu pandangannya kesemua
orang yang hadir di Pendapa Agung pasanggrahan Ratu
Anggabhaya, mengerti bahwa semua orang menunggu
keputusannya. Tiba-tiba pandangan mata Sri baginda Maharaja berhenti
tertuju kepada Raden Wijaya.
"Bagaimana pendapatmu wahai sepupuku?", bertanya
Sri Baginda Maharaja kepada Raden Wijaya.
Maka saat itu juga semua pandangan tertuju kepada
Raden Wijaya. 28 "Pendapatku tidak banyak berbeda sebagaimana
pandangan Paman Kebo Arema, mengakui kebesaran
Kaisar Kubilai Khan tidak akan mengurangi nilai martabat
diri kita bilamana yang kita berikan hanya sebatas
sebuah upeti yang tidak akan mengurangi kekayaan kita,
pada saatnya kita rebut kembali semuanya ketika kita
siap memiliki tanduk yang kuat dan sepasang sayap
yang kokoh", berkata Raden Wijaya memberikan
pandangannya sebagaimana diminta oleh Sri Baginda
Maharaja. Kembali semua pandangan tertuju kepada Sri Baginda
Maharaja, menantikan sebuah keputusan mengalir dari
kata-katanya. Pelita malam yang ada di pendapa agung pasanggrahan
itu ikut menerangi hampir semua wajah dalam kesan
yang sama, wajah penuh harap dengan garis dahi yang
tertarik menegang kebelakang.
Terlihat Sri Baginda Maharaja menyapu pandangannya
kesemua orang yang hadir di Pendapa Agung
pasanggrahan Ratu Anggabhaya, mengerti bahwa
semua orang tengah menunggu keputusannya. Sri
Baginda Maharaja hanya tersenyum melihat semua
orang di pendapa agung itu menatap wajahnya.
Tiba-tiba pandangan mata Sri baginda Maharaja berhenti
tertuju kepada Ratu Anggabhaya.
"Cinta dan hormatku pada Paman Anggabhaya,
sebagaimana cinta dan hormatku kepada Ayahandaku.
Di hari Maguntur Raya Paman Anggabhaya selalu hadir
menemani Ayahandaku, selalu memberi jalan memecahkan kebuntuan, memberi cahaya didalam
kegelapan. Malam ini keponakanmu meminta kemurahanmu, memberikan sedikit pitutur luhur untuk
29 paugeran hidupku, agar keputusanku tidak tercela",
berkata Sri baginda Maharaja dengan penuh hormat
sebagai seorang kemenakan kepada pamandanya, Ratu
Anggabhaya. Maka seperti sebelumnya, semua mata beralih kearah
Ratu Anggabhaya. Ratu Anggabhaya tidak langsung menjawab, terlihat
senyumnya dilemparkannya kesemua orang di pendapa
agung itu yang tengah memandangnya.
"Badan dan semangatku sudah semakin rapuh, langkah
kakiku tidak lebih jauh berkisar antara Kotaraja. Aku
belum tahu betul kekuatan Kerajaan bangsa Mongolia,
namun darah yang mengalir di dalam tubuh kita adalah
darah para leluhur kita yang tidak pernah gentar
menghadapi musuh dimanapun. Diriku tidak pernah takut
kepada siapapun. Hanya satu yang kutakutkan, hujaman
pisau dari belakang milik saudara dan kerabat kita
sendiri. Wahai kemenakanku Maharaja Singasari yang
terkasih, hanya ada satu kebenaran sebelum Baginda
membuat sebuah keputusan besar, dengarkanlah kata
hatimu. Dia tidak pernah salah menilai apapun, karena
dialah kebenaran hakiki", berkata Ratu Anggabhaya
dengan wajah terang penuh senyum.
"Terima kasih wahai Pamanda, nasehat dan pandangan
Pamanda akan kupusakai", berkata Sri Baginda
Maharaja dengan penuh hormat.
Kembali semua pandangan mata telah beralih ke wajah
Sri Baginda Maharaja. Terlihat Baginda Maharaja tersenyum melihat semua
wajah memandangnya. "Besok adalah hari Maguntur Raya, aku ingin mendengar
30 pandangan para pejabat istana. Namun semua yang
kudengar malam ini akan menjadi pijakan yang kuat
untuk membuat sebuah langkah", berkata Sri baginda
Maharaja dengan wajah penuh senyum."Aku akan
mengabarkan, kapan utusan Kaisar Kubilai Khan itu
datang menghadap", berkata kembali Sri Baginda
Maharaja. Sementara itu langit malam sudah terlihat tua, begitu
pekat dan senyap mengurung pendapa agung yang
masih diterangi pelita malam.
"Masih ada banyak waktu", berkata Sri Baginda sambil
mengangkat badan berdiri untuk pamit diri.
Tidak lama kemudian terlihat iring-iringan pengawal
prajurit istana telah keluar dari regol halaman
pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
"Semoga Sri Baginda Maharaja dapat mendengarkan
perkataan hatinya", berkata Ratu Anggabhaya sambil
mengajak semua yang ada untuk beristirahat.
Sementara itu di Pasanggrahan Sentanu, Mengki dan
kedua pengiringnya sudah lama tertidur lelap. Suasana
malam di istana Singasari yang sejuk telah membuat
mereka seperti dibuai angin sorga sudah sejak sore
masuk keperduannya masing-masing.
Pasanggrahan Sentanu yang berada ditengah-tengah
istana memang tidak dijaga oleh seorang prajurit
pengawal, dianggap penjagaan di sekitar istana sudah
cukup aman bagi siapapun yang bermaksud tidak baik,
dan akan berhadapan dengan para prajurit pengawal
istana sebelum memasuki area Pasanggrahan Sentanu.
Bertambah malam, bertambah pekat kabut perlahan
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
turun menyelimuti istana Singosari. Di kegelapan malam
31 terlihat bayangan melesat mendekati dinding batu
Pasanggrahan Sentanu. Perlahan bayangan itu mendekati regol halaman
Pasanggrahan Sentanu merapatkan diri menyatu pagar
dinding batu dibagian dalam. Lama bayangan itu tidak
bergerak, keremangan malam melindungi dirinya ketika
dua orang prajurit peronda melewati regol pintu halaman
pasanggrahan yang sunyi dan terus menjauh
meninggalkan pasanggrahan Sentanu untuk berkeliling
ketempat lain. Perlahan bayangan itu berendap menyelinap di
kerimbunan tanaman bambu kuning disamping sisi
bangunan. Lama bayangan itu tidak bergerak, mungkin
untuk meyakini apakah keberadaannya masih belum
disadari oleh siapapun. Kabut yang pekat dan dinginnya malam sepertinya
bersahabat dengan sosok bayangan yang masih
merapat di gerumbul tanaman bambu kuning. Begitu
lama bayangan itu tidak bergerak, sebuah kesabaran
dan kehati-hatian yang luar biasa yang memerlukan
keahlian yang tinggi. Tiada gerak dan tiada terdengar
nafas sedikitpun. Namun setelah berlangsung cukup lama, tiba-tiba saja
bayangan itu bergerak melesat melenting tinggi seperti
terbang meloncat kearah atap bangunan utama
Pasanggrahan Sentanu yang gelap dan sunyi.
Tanpa suara sedikit pun, bayangan itu telah hinggap
diatas atap bangunan utama Pasanggrahan Sentanu.
Perlahan bayangan itu menyibak atap bangunan dengan
mudahnya. Masih dalam keadaan merapat pada atap bangunan,
32 wajahnya terlihat mendekati lubang atap yang dibuatnya.
Pelita malam didalam ruangan telah menyinari wajahnya.
Sebuah wajah yang angker dengan sinar mata yang
begitu dingin menjadi terlihat jelas. Ternyata bayangan
itu adalah Ki Ambeg Kulon, seorang pembunuh bayaran
yang tidak pernah gagal menjalankan tugasnya.
"Tugas yang mudah", berkata Ki Ambeg Kulon dalam hati
ketika di dalam ruangan itu melihat seorang yang
berselimut diatas peraduannya.
"Besok pagi di istana ini akan menjadi heboh besar,
seorang utusan dari kerajaan besar telah mati bersibak
darah", berkata Ki Ambeg Kulon dalam hati
memperlihatkan senyum dingin, senyum yang hanya
dimiliki oleh orang yang berdarah dingin, yang
membunuh manusia dengan mata terbuka.
Bagian 2 Tiba-tiba saja tubuh Ki Ambeg Kulon sudah tidak terlihat
lagi lenyap ditelan atap bangunan.
Ternyata Ki Ambeg turun dengan cara meluncur
langsung kebawah dengan begitu ringannya. Dan tidak
ada bunyi sedikit pun manakala kakinya jatuh menginjak
lantai kamar itu. "Orang ini besok tidak lagi menemui pagi", berkata Ki
Ambeg dalam hati sambil mengangkat goloknya yang
tajam terlihat sangat berkilat terkena cahaya pelita
malam yang ada di kamar itu.
Sekilas Ki Ambeg Kulon masih sempat melihat wajah
orang yang masih tertidur pulas, yang ternyata adalah
33 Mengki utusan Kaisar Kubilai Khan.
Golok di tangan Ki Ambeg Kulon terlihat meluncur
dengan cepatnya ke arah leher Mengki.
Tapi apa yang selanjutnya terjadi ?"
Diluar perhitungan Ki Ambeg Kulon tiba-tiba saja tubuh
Mengki bergeser. Slebb !! Golok tajam Ki Ambeg nyasar ketempat kosong. Bukan
main kaget gusarnya Ki Ambeg Kulon melihat
sasarannya telah bergerak menghindari tebasan
goloknya. Namun belum habis rasa kagetnya, sebuah
tendangan yang berasal dari kaki Mengki telah telah
bergerak dengan cepatnya langsung tertuju ke arah
rusuk samping Ki Ambeg Kulon.
Bukkk!! Tendangan Mengki langsung mengenai sasaran.
Terlihat tubuh Ki Ambeg Kulon limbung menabrak
dinding kamar. Terdengar suara keras beberapa barang
yang tertabrak tubuh besar Ki Ambeg Kulon.
Malam itu Ki Ambeg Kulon benar-benar salah dugaan,
sasarannya ternyata bukan orang sembarangan.
Ternyata Mengki memang sedang menunggu Ki Ambeg
Kulon masuk ke kamarnya dengan berpura-pura tidur
pulas. Ternyata Mengki sudah melihat Ki Ambeg Kulon
jauh sebelum Ki Ambeg Kulon melompat ke atas atap
Bangunan. Mengki sudah mendengar dan mengetahui
kehadiran Ki Ambeg Kulon ketika mulai masuk
mengendap di dinding dalam dekat regol pintu halaman
Pasanggrahan Sentanu. Dalam waktu singkat, Ki Ambeg Kulon sudah dapat
34 menguasai dirinya. Sementara itu Mengki dengan
tangkasnya sudah melompat dari peraduannya.
"Aku tidak akan memberikan leherku begitu saja kawan",
berkata Mengki kepada Ki Ambeg Kulon yang telah
berdiri kembali dengan tangan masih menggenggam
senjatanya sebuah golok tajam.
"Sebenarnya aku lebih senang membunuh orang dalam
keadaan mata terbuka", berkata Ki Ambeg Kulon sambil
melepaskan sambaran goloknya kearah dada Mengki.
Mengki yang masih bertangan kosong itu terlihat
bergeser dengan cepatnya kesamping.
Ternyata Mengki bukan hanya menghindar, bersamaan
pula balas menyerang Ki Ambeg Kulon dengan sebuah
tendangan tinggi kearah kepala.
Melihat lawannya telah keluar dari serangannya dan
balas menyerang, Ki Ambeg Kulon dengan tenang
memiringkan kepalanya, sementara itu goloknya telah
bergerak berputar mengejar kaki Mengki yang masih
belum sempat turun kebawah.
Luar biasa !!!, meski kakinya masih belum menyentuh
bumi, kaki yang satunya sudah dapat membuat
tendangan menyerang tangan Ki Ambeg Kulon yang
tengah mengayunkan goloknya.
Melihat tangannya akan terkena sasaran hantaman kaki
Mengki, Ki Ambeg kulon segera merubah arah goloknya
langsung berbalik arah menjemput kaki lawannya yang
lain. Mengki tidak membiarkan kakinya menjadi makanan
golok lawan, dengan cepat menarik kakinya jatuh ke
lantai. Ternyata kaki yang menginjak lantai itu adalah
sebagai tumpuan sumbu bagi kaki yang lainnya untuk
35 melakukan tendangan berputar seperti gasing menerjang
bagian bawah Ki Ambeg Kulon.
Demikianlah, Mengki dengan tangan kosong terus
bertempur menghadapi Ki Ambeg Kulon yang bersenjata
golok di ruang kamar utama yang terbatas itu. Mengki
masih dapat mengimbangi serangan golok Ki Ambeg
Kulon dengan serangan balasan yang sama
berbahayanya. Brakk !!! Terdengar suara pintu di tabrak dari arah luar, pintu
kamar utama itupun terkuak. Terlihat dua orang budak
Mengki menerobos kedalam dan langsung mengurung Ki
Ambeg Kulon dengan masing-masing menghunus
sebuah pedang panjang. "Tempat ini menjadi begitu sempit", berkata Ki Ambeg
Kulon sambil mengenjot tubuhnya melompat terbang
menerobos lewat lubang atap.
"Jangan biarkan orang itu lolos", berkata Mengki sambil
menyambar pedangnya yang tergantung didinding dan
langsung mengenjotkan tubuhnya melompat tinggi
menyusul Ki Ambeg Kulon lewat atap bangunan.
"Aku belum lari jauh", berkata Ki Ambeg Kulon di
halaman Pasanggrahan sambil bertolak pinggang
menanti Mengki yang berlari mengejarnya.
Sementara itu dua orang budak Mengki sudah terlihat
keluar dari dalam rumah langsung turun ke halaman
mengepung Ki Ambeg Kulon.
"Pedang-pedang yang bagus", berkata Ki Ambeg Kulon
menyeringai memandang tiga orang yang mengepungnya dengan tiga buah pedang terhunus
kedepan. 36 "Habisi orang ini", berkata Mengki memberi aba-aba
kepada dua orang budaknya menyerang Ki Ambeg Kulon
secara bersamaan. Ternyata ilmu pedang kedua orang budak Mengki ini
tidak begitu jauh dibawah majikannya.
Terlihat tiga buah pedang seperti berpacu kearah Ki
Ambek Kulon. Tapi ternyata Ki Ambeg Kulon tidak
menjadi gentar menghadapi tiga serangan bersamaan
itu, dengan sigap tubuh Ki Ambeg bergerak menyergap
salah seorang budak Mengki yang paling dekat
dengannya. Bukan main kagetnya salah seorang budak Mengki
menghadapi sergapan yang tiba-tiba itu. Sementara
pedang yang menyerang Ki Ambeg Kulon masih
meluncur. Maka tidak ada jalan lain selain membenturkan
pedangnya menangkis serangan Ki Ambeg Kulon.
Tranggg !!! Terdengar benturan dua senjata dengan kerasnya.
Salah seorang budak itu meringis merasakan tangannya
terasa panas dan kesemutan. Untungnya Mengki dan
kawannya telah membantunya menyerang Ki Ambeg
Kulon, sehingga dirinya tidak menjadi makanan empuk
serangan Ki Ambeg Kulon selanjutnya yang keras dan
cepat. Demikianlah, Ki Ambeg Kulon masih dapat mengimbangi
ketiga lawannya meski dengan kerja keras dan kehatihatian.
Sementara itu langit diatas halaman pasanggrahan
Sentanu telah menjadi begitu suram dan gelap. Keempat
orang yang tengah bertempur itu seperti bayangan yang
37 tersamar saling mengejar, melompat dan terkadang
melenting tinggi. Puluhan jurus telah terlewati, Mengki dan kedua orang
budaknya masih belum dapat melumpuhkan Ki Ambeg
Kulon. Sementara itu keringat sudah mengucur membasahi
keempat orang yang tengah bertempur di halaman
pasanggrahan Sentanu. "Tangguh benar orang ini", berkata Mengki dalam hati
sambil melakukan penyerangan bersama kedua orang
budaknya. Kembali Ki Ambeg Kulon dapat keluar dari serangan
serentak itu sambil membalas dengan serangan yang
tidak kalah berbahayanya.
Demikianlah pertempuran itu terus berlangsung dengan
serunya, belum ada tanda-tanda siapa yang akan kalah.
Ki Ambeg Kulon selalu saja dapat keluar dari setiap
kepungan dan balas menyerang tidak kalah dahsyatnya
mengimbangi ketiga orang lawannya.
Namun pada sebuah serangan berikutnya, ketika Ki
Ambeg Kulon menghindari sekaligus dua buah pedang
dari dua orang budak Mengki yang bersamaan
mengincar pinggangnya dari arah kanan dan kirinya
memaksa Ki Ambeg Kulon maju selangkah kedepan.
Mata Mengki yang tajam melihat kesempatan itu untuk
membuat mati langkah Ki Ambeg Kulon.
"Habislah kau sekarang", berkata Mengki didepan Ki
Ambeg Kulon dengan serangan menusuk arah jantung.
Bukan main kagetnya Ki Ambeg Kulon melihat pedang
Mengki meluncur deras kearah jantungnya. Darahnya
terasa mendesir membayangkan pedang itu menancap
38 tepat dijantungnya, sementara langkah kakinya sudah
seperti terkunci. Terlintas dihati Ki Ambeg untuk menggunakan golok
yang masih tergenggam erat ditangannya untuk mengkis
serangan pedang Mengki, namun kedua orang budak
Mengki sudah datang menjepitnya dengan serangan
serentak mengarah pada kiri dan kanan pinggangnya.
"Matilah aku", berkata Ki Ambeg Kulon dalam yang
sudah merasa buntu apa yang harus dilakukannya.
Ki Ambeg memang sudah pasrah, sudah buntu dan
sudah bisa berpikir jernih lagi membayangkan dirinya
harus mati ditangan orang yang seharusnya menjadi
korbannya. Namun ternyata kejadiannya tidak sesuai yang
dibayangkan oleh Ki Ambeg Kulon, tidak juga yang ada
dalam pikiran Mengki dan kedua budaknya itu.
Apa yang selanjutnya terjadi ?"
Mengki yang sudah merasakan kemenangan didepan
matanya, merasa yakin bahwa lawannya tidak akan
mungkin dapat menghindari serangannya telah
melupakan kesiagaannya. Kaget bukan kepalang ketika Mengki merasakan sebuah
angin berdesir dibelakang kepalanya. Namun Mengki
sudah kehilangan kecepatan dan kesiagaannya,
untungnya masih dapat sedikit memiringkan kepalanya.
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bresss !!! Sebuah paser pisau kecil menembus dan merobek daun
telinga Mengki, tapi ternyata paser itu dilepas oleh
tenaga yang sangat kuat hingga terus melaju menancap
tepat dileher Ki Ambeg Kulon.
39 Ki Ambeg Kulon langsung roboh tanpa mampu berpikir
kenapa bukan jantungnya yang tertancap, tapi lehernya
yang menjadi sasaran ".
Sementara itu Mengki terlihat tengah memegang daun
telinganya yang robek, darah segar terlihat mengalir
ditelapak tangan yang tengah menutupi daun telinganya
itu. "Tuan terluka?", bertanya salah seorang budaknya.
Tapi Mengki tidak menjawabnya, melainkan membalikkan badannya menyapu setiap arah dengan
pandangannya seperti mencari sesuatu.
Mata Mengki yang terlatih dapat menembus keremangan
malam akhirnya menemukan sesuatu yang mencurigainya berada di gerumbul rumpun bambu
kuning disamping bangunan Pasanggrahan.
Tapi langkah Mengki terlambat, belum sempat berbuat
apapun sebuah bayangan melesat kearah dinding pagar
pasanggrahan dan menghilang dibalik dinding bersama
keremangan malam yang sunyi dan senyap.
"Luka tuan harus segera diobati", berkata salah seorang
budaknya sambil membalurkan bubuk obat pengering
luka. "Apa yang harus kita lakukan atas orang itu", berkata
seorang lagi budaknya sambil menunjuk kearah Ki
Ambeg Kulon yang sudah tidak bernyawa tergeletak di
halaman Pasanggrahan Sentanu.
"Biarkan apa adanya sampai datang orang Singasari
melihatnya, untuk sebagai bukti bahwa bukan kita yang
membunuhnya", berkata Mengki yang merasakan rasa
pedih lukanya sudah semakin berkurang.
Seperti yang diharapkan oleh Mengki, beberapa saat
40 kemudian terlihat dua orang prajurit peronda melewati
regol pintu halaman Pasnggrahan Sentanu. Dua orang
prajurit peronda itu merasa heran bahwa tiga orang tamu
penghuni Pasanggrahan Sentanu berada di halaman.
Maka bertambah kaget lagi kedua prajurit peronda itu
manakala masuk ke halaman mendapatkan sesosok
tubuh terbaring tak bernyawa dengan sebuah paser
menancap di batang lehernya.
"Apa yang telah terjadi?", bertanya salah seorang prajurit
peronda itu. Maka dengan terinci jelas Mengki menceritakan
semuanya tanpa ada yang dikurangi sedikitpun kepada
kedua prajurit peronda itu.
"Laporkan semua ini kepada Ki Lurah, sementara aku
menunggu disini", berkata salah seorang prajurit peronda
itu kepada kawannya. "Baiklah, aku akan menemui Ki Lurah secepatnya",
berkata kawan prajurit itu sambil melangkah pergi keluar
dari pasanggrahan Sentanu.
Sementara itu malam sudah mendekati pagi, cahaya
merah tua terlihat memancar terang diujung timur bumi.
Terlihat beberapa prajurit pengawal istana dihalaman
Pasanggrahan Sentanu. Semakin datang terang pagi,
semakin banyak orang istana yang datang.
"Maafkan kami yang tidak dapat menjaga keamanan tuan
Mengki dengan baik", berkata Raden Wijaya kepada
Mengki yang langsung menemuinya di Pasanggrahan
Sentanu. Mengki pun bercerita kembali apa yang telah terjadi
semalam kepada Raden Wijaya yang datang bersama
dengan Kebo Arema. 41 "Beristirahatlah, kami akan mengusut dibalik semua ini",
berkata Raden Wijaya kepada Mengki dan kedua orang
budaknya. Akhirnya dihari itu juga ditunjuk beberapa perwira prajurit
untuk mengusut tuntas apa dibalik peristiwa usaha
pembunuhan utusan kaisar Kubilai Khan itu.
Para perwira prajurit mulai mengusut peristiwa di
Pasanggrahan Sentanu dengan penuh ketelitian. Dan
pengusutan benang merah pun akhirnya menemui
ujungnya. Tertuju kepada seorang pejabat istana
Singasari, seorang pejabat yang dipercayakan untuk
mengurus upeti. Seorang pejabat istana bernama
Rakrian Bala Malendra. Sungguh malang nasib Malendra, semua tanggung
jawab atas peristiwa percobaan pembunuhan atas
utusan Kaisar Kubilai Khan dibebankan hanya
kepadanya seorang. Malendra memang tidak dapat mengelak bahwa
dirinyalah yang membawa Ki Ambeg Kulon ke istana
yang jati dirinya begitu cepat diketahui sebagai seorang
pembunuh bayaran. Malendra juga tidak dapat membuka
rahasia besar dibalik semua itu, dirinya lebih baik
mengakui sebagai orang yang bertanggung jawab atas
peristiwa itu ketimbang melihat seluruh keluarganya yang
tak berdosa habis binasa sengsara.
Namun masih ada rahasia yang belum terungkap,
siapakah gerangan orang yang membunuh Ki Ambeg
Kulon dan melukai daun telinga Mengki".
Untuk mengetahuinya, marilah kita mundur kembali
kebelakang saat Mengki melihat sesosok bayangan
berkelebat menghilang dibalik dinding pagar batu
Pasanggrahan Sentanu. 42 Sosok bayangan itu tidak berjalan di lorong-lorong istana,
sepertinya sangat hapal untuk melewati jalan lain yang
jarang sekali dilewati para prajurit peronda. Terlihat
sosok bayangan itu menuju arah belakang istana.
Malam saat itu begitu gelap, sosok bayangan itu
berkelebat diantara gerumbul tumbuhan dan akhirnya
tiba di sebuah pondokan bilik para abdi dalem istana.
Sosok bayangan itu masuk kesebuah bilik seorang
Pangalasan tua dimana Ki Ambeg Kulon juga ada
menginap bersamanya. Pelita malam yang menerangi bilik itu terlihat sudah mulai
redup, namun masih dapat menerangi wajah orang yang
baru masuk kedalam bilik itu. Ternyata sosok wajah itu
adalah Ki Broto sang Pangalasan tua yang sudah
menjelang purnabhakti. Tidak seorang pun yang mengetahui jati diri Ki Broto
yang sebenarnya adalah seorang prajurit delik sandi
yang ditugaskan di dalam istana Singasari. Dan pada
malam itu Ki Broto telah mendapat sebuah perintah
rahasia, perintah untuk menghabisi nyawa seorang
utusan Kaisar Kubilai Khan.
Pagi itu terlihat Ki Broto tengah mengemasi barangbarangnya ketika seorang prajurit perwira datang
menemuinya. "Jadi orang itu telah mati di halaman Pasanggrahan
Sentanu?", berkata Ki Broto sambil pura-pura terkejut
mendengar berita yang dibawa oleh prajurit perwira itu
kepadanya. "Aku yakin Ki Broto tidak ada sangkutan apapn dalam
peristiwa ini, aku hanya sekedar melengkapi beberapa
keterangan", berkata prajurit perwira itu kepada Ki Broto.
43 "Kemarin kami seharian bekerja merawat taman di
Pasanggrahan Kaputrian dan Pasanggrahan Sentanu",
berkata Ki Broto memberi keterangan kepada prajurit
perwira itu. "Terima kasih untuk keterangannya, kami hanya ingin
melengkapi apa yang sudah kami dapat dalam
pengusutan peristiwa ini", berkata prajurit perwira itu
sambil pamit untuk kembali ke istana.
Tidak lama setelah prajurit perwira keluar dari rumah Ki
Broto, seorang lelaki datang menemuinya. Ternyata
orang itu adalah seorang penghubungnya dalam jalur
prajurit sandi. "Secepatnya kamu tinggalkan Kotaraja ini, semoga di
kampung halamanmu memberikan ketenangan hidup
untukmu", berkata penghubung itu sambil menyerahkan
beberapa keping emas kepada Ki Broto untuk bekal
hidupnya dikampung halamannya.
"Aku tidak dapat melakukan tugas terakhirku dengan
baik", berkata Ki Broto kepada penghubungnya.
"Tidak perlu disesali, siapapun pernah melakukan
kesalahan dalam tugasnya", berkata penghubung itu
menghibur Ki Broto. Demikianlah, setelah berpamitan dengan orang-orang
terdekatnya selama bekerja dilingkungan Istana, Ki Broto
meninggalkan Istana, kembali kekampung halamannya.
Membawa rahasia besar yang tidak mungkin terungkap
sepanjang hidupnya. Sementara itu di ruang Magunturan, Sri Baginda
Maharaja tengah mendengarkan beberapa pendapat dari
pejabat istana tentang utusan Kaisar Kubilai Khan.
Sebagian menyetujui mengakui kebesaran Mongolia,
44 namun sebagian lagi menentang dengan keras untuk
tunduk dan patuh dibawah kekuasaan Kaisar Kubilai
Khan. "Sampai saat ini aku belum dapat memutuskannya,
apapun pendapat kalian akan menjadi pegangan bagiku",
berkata Sri Baginda Maharaja sambil berdiri berkenan
untuk meninggalkan ruang Magunturan.
Namun Sri Baginda Maharaja tidak langsung ke
pasanggrahannya untuk beristirahat, tapi menuju ruang
Mentanu, sebuah tempat khusus untuk menerima tamu
dan para pejabat istana. "Panggil Kuda Cemani untuk menghadap kepadaku",
berkata Sri Baginda Maharaja kepada seorang prajurit
pengawalnya. Seperti diketahui bahwa Kuda Cemani adalah seorang
perwira tinggi yang paling dipercaya oleh Sri baginda
Maharaja, seorang pejabat istana dibidang telik sandi
yang sangat setia. Maka tidak lama berselang Kuda Cemani sudah datang
menghadap Sri Baginda Maharaja di ruang Mentanu.
"Ada beberapa pejabat istana yang harus diselidiki
kesetiaannya, aku ingin mereka dibersihkan", berkata Sri
Baginda Maharaja sambil menyampaikan siapa saja
pejabat istana yang perlu dicurigai kesetiaannya.
"Hamba siap menjunjung tinggi perintah tuanku Baginda",
berkata Kuda Cemani dengan penuh hormat.
"Sudah saatnya pula untuk membenahi jalur pasukan
telik sandimu, yang kukhawatirkan sudah banyak yang
tercemar", berkata Sri Maharaja Singasari kepada Kuda
Cemani. Kuda Cemani tanggap atas kekhawatiran Sri Baginda
45 Maharaja, sebagai seorang pemimpin tertinggi pasukan
telik sandi kerajaan memang dapat membaca
perkembangan terakhir terutama berhubungan dengan
kedatangan utusan Kaisar Kubilai Khan.
"Jalur perintah menjadi tak mudah untuk dikendalikan,
ada kerajaan bayangan didalam istana ini. Apakah kamu
dapat merasakannya?", bertanya Sri Baginda Maharaja
kepada Kuda Cemani. Kuda Cemani tidak langsung menjawab, diam-diam
memuji kejelian Sri Baginda Maharaja mengamati
perkembangan dilingkungan istananya.
"Ketika pertama kali dinobatkan sebagai seorang Raja,
kubayangkan bahwa diriku tidak lebih dari seorang
nachoda yang dapat mengatur kemana arah jung besar
berlayar dan berlabuh. Ternyata tidak semudah itu,
kerajaan besar ini seperti seperangkat gamelan, dan aku
rajanya hanya sebagai pemukul degung yang baik yang
harus mempunyai kepekaan yang tinggi agar dapat
mengikuti setiap irama yang sudah tercipta", berkata Sri
baginda Maharaja kepada Kuda Cemani.
"Perkataan Tuanku Baginda begitu dalam, mengikuti
irama gending mereka agar mengetahui kemana arah
permainan mereka", berkata Kuda Cemani yang
menangkap kemana arah perkataan Sri Baginda
Maharaja. "Kita bermain diatas permainan mereka",
berkata kembali Kuda Cemani yang merasa paham betul
apa yang diinginkan oleh junjungannya Sri Baginda
Maharaja. Sementara itu langit diatas istana Singasari sudah
hampir menjelang senja, terlihat beberapa prajurit
pengawal istana bergilir berkeliling istana dengan penuh
ketelitian, mereka tidak ingin peristiwa pasanggrahan
46 Sentanu terulang lagi. Penjagaan didalam istana menjadi
begitu ketat, siapapun yang memasuki istana harus
melewati banyak gardu penjagaan dan juga banyak
pertanyaan yang harus mereka jawab dengan baik dan
benar. "Maaf Ki Barep, ikatan kayu bakarmu harus kami
periksa", berkata seorang prajurit pengawal istana
disebuah gardu jaga kepada seorang pembawa kayu
bakar yang sudah biasa keluar masuk istana.
"Didepan gardu jaga pertama, ikatan kayu bakarku ini
sudah diurai, apakah kalian akan mengurai kembali
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ikatannya?", berkata Ki Barep dengan perasaan kurang
senang. "Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu ada yang
terlewat", berkata prajurit pengawal itu sambil tertawa
getir, mungkin dirinya sendiri tidak senang dengan aturan
baru itu yang juga ikut disusahkan.
Sementara itu di Pasanggrahan Sentanu sendiri mulai
hari itu menjadi perhatian yang khusus, terlihat lima
orang prajurit pengawal tidak pernah meninggalkan
tempat itu. Tapi sikap dan perlakuan Mengki bersama
kedua budaknya yang ramah membuat mereka sedikit
terhibur. Mereka merasa tidak sedang bertugas,
sepanjang hari banyak makanan dan minuman mengalir
dari dapur belakang Pasanggrahan Sentanu untuk
mereka. "Tugas Jaga di Pasanggrahan ini seperti istirahat
dirumah sendiri, perutku tidak pernah kelaparan", berkata
seorang prajurit pengawal kepada kawannya yang tidak
langsung menjawab, hanya tersenyum membenarkan
perkataan kawannya itu. Dan malam pun akhirnya datang perlahan menyelimuti
47 istana Singasari dan Kotaraja. Seperti kemarin,
sepanjang malam Kotaraja dikelilingi kabut tebal
menjadikan suasana yang dingin menjadi lebih dingin
lagi. Namun sepanjang malam itu tidak terjadi apapun,
keadaan istana yang terjaga lebih ketat lagi dari hari
sebelumnya itu sepertinya begitu langgeng, aman dan
damai. Para penghuninya tertidur dengan pulasnya di
peraduan mereka. Hanya para prajurit yang karena
tugasnya harus bertahan merasakan dinginnya malam,
terus menyemangati diri bergilir berkeliling menjaga
setiap sisi istana. Dan sang malam pun akhirnya telah menyelesaikan
waktunya dengan sempurna tidak lebih dan tidak kurang
sedikit pun seperti malam-malam sebelumnya yang
dibatasi oleh datangnya sang pagi mewarnai hari di bumi.
Dan awal pagi diistana Singasari ditandai dengan kabut
yang belum juga menghilang. Beberapa penghuninya
masih begitu enggan untuk turun dari peraduannya,
sementara itu para inang sudah sibuk di dapur
menyiapkan sarapan pagi untuk majikannya.
"Hari ini Sri Baginda Maharaja telah berkenan untuk
menerima utusan Kubilai Khan", berkata Raden Wijaya
kepada Ratu Anggabhaya di pendapa agung bersama
Kebo Arema dan ayahnya Pangeran Lembu Tal.
"Semoga Sri Baginda Maharaja telah mendapatkan
keputusan yang terbaik", berkata Ratu Anggabhaya.
Akhirnya ketika pagi sudah mulai terlihat terang, kabut
sudah mulai menghilang. Terlihat Raden Wijaya dan
Kebo Arema telah keluar dari regol halaman
Pasanggrahan. Pagi itu mereka akan menghadap Sri
Baginda Maharaja di ruang Mentanu bersama dengan
48 Mengki utusan Kaisar Kubilai Khan.
"Apakah telingamu sudah merasa lebih baik?",bertanya
Sri Baginda Maharaja di ruang Mentanu kepada Mengki
merasa ikut prihatin atas peristiwa yang telah terjadi.
"Hari ini sudah menjadi lebih baik, hanya robek dan
terpotong sedikit", berkata Mengki dengan tersenyum
getir. "Aku sudah mendapat beberapa keterangan dari
Senapati Raden Wijaya perihal maksud kedatanganmu
ke istana Singasari ini. Namun alangkah baiknya bila hari
ini aku dapat mendengarnya langsung darimu sebagai
utusan resmi Kaisar Kubilai Khan", berkata Sri Baginda
Maharaja kepada utusan Kaisar Kubilai Khan.
"Terima kasih sebelumnya atas penerimaan kami di
istana yang indah ini, hamba hanya sebatas utusan resmi
dari Yang Dipertuan Agung Kaisar Kubilai Khan untuk
menyampaikan sebuah permintaan agar kiranya
Kerajaan Singasari Raya ini ikut bergabung bersama
kebesaran Yang Dipertuan Agung Kaisar Kubilai Khan",
berkata Mengki penuh hormat dihadapan Sri Baginda
Maharaja Singasari. "Kuhargai dirimu sebagai utusannya yang berani datang
dari tempat yang begitu jauh hanya berbekal nama dan
kebesarannya", berkata Sri Baginda Maharaja.
"Sampaikan salamku kepadanya bahwa aku penguasa
Singasari akan ikut bergabung bersama kebesarannya.
Sebagai bukti kedatanganmu, bawalah sedikit hadiah
dariku yang mungkin tidak begitu bernilai, namun
kuberikan dengan hati yang tulus", berkata Sri Baginda
Maharaja Singasari sambil mengeluarkan sebuah kotak
kecil dan memberikannya kepada Mengki sebagai bukti
kedatangan seorang utusan raja telah diterima dengan
49 baik. Seperti itulah kebiasaan yang berlaku pada jaman
itu sebuah perlakuan seorang raja yang menerima
kedatangan seorang utusan raja lainnya.
"Bukalah, agar kamu mengetahui apa yang kau bawa",
berkata Sri Baginda Maharaja Singasari kepada Mengki.
Terlihat Mengki membuka kotak kecil itu.
"Sebuah mutiara putih yang indah", berkata Mengki
dengan wajah yang bersinar.
"Sampaikan salamku kepada junjunganmu, bahwa aku
akan membawakan hadiah yang lain sebagai tanda
kesetiaanku", berkata Sri Baginda Maharaja Singasari.
"Hormat hamba atas tuan, segala kebaikan dan
kemurahan hati tuan akan hamba sampaikan kepada
junjungan hamba Yang Dipertuan Agung Kaisar Kubilai
Khan", berkata Mengki dengan penuh hormat.
Demikianlah, setelah tidak ada yang perlu dibicarakan
lagi, Mengki bersama Raden Wijaya dan Kebo Arema
terlihat bermaksud untuk pamit mohon diri kepada Sri
Baginda Maharaja Singasari.
"Tugas telah hamba laksanakan, perkenan diri hamba
untuk berpamit diri", berkata Mengki yang bermaksud
untuk pamit diri meninggalkan ruang Sentanu.
Terlihat Sri Baginda Maharaja berdiri dan menganggukkan kepalanya sebagai tanda menerima
permintaan pamit diri tamunya itu.
Matahari diatas Singasari belum sampai diatas puncak
cakrawala langit, awan pagi menjelang siang itu nampak
begitu cerah bersama hembusan angin yang sejuk
membelai genit daun dan ranting pohon yang banyak
tumbuh merimbuni setiap sisi taman dan jalan setapak
lorong-lorong istana Singasari.
50 "Beristirahatlah, besok kita berangkat meninggalkan
Kotaraja Singasari", berkata raden Wijaya kepada
Mengki di persimpangan jalan menuju pasanggrahan
masing-masing. Ketika Raden Wijaya dan Kebo Arema tiba di
Pasanggrahannya, terlihat Ratu Anggabhaya dan
Pangeran Lembu Tal telah menunggunya di Pendapa
Agung. "Akhirnya Sri Baginda Maharaja telah memutuskan",
berkata Ratu Anggabhaya setelah mendengar berita
yang disampaikan Raden Wijaya ketika mengantar
Mengki utusan Kubilai Khan.
"Keputusan yang bijaksana", berkata Pangeran Lembu
Tal memberikan tanggapannya.
Ketika malam datang menyelimuti istana Singasari,
seperti malam kemarinnya Sri Baginda muncul kembali di
Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
"Semula aku berharap akan berbesanan dengan
keluarga ini", berkata Sri Baginda Maharaja sambil
tersenyum memandang kepada Raden Wijaya. "Aku
masih punya tiga orang putri, mudah-mudahan pada
suatu waktu datang lamaran dari keluarga ini meminta
salah satu putriku", berkata kembali Sri Baginda
Maharaja masih dengan penuh senyum
"Ternyata pikiran tuan Paduka ada juga terlintas didalam
pikiranku", berkata ratu Anggabhaya sambil tersenyum
ikut memandang kepada Raden Wijaya yang tersipu
malu dipandang Sri Baginda Maharaja dan kakeknya.
"Kutunggu kedatangan Pamanda melamar salah seorang
putriku, namun untuk saat ini aku meminta Pamanda
mewakiliku menyampaikan keinginanku kepada 51 penguasa Gelang-gelang", berkata Sri Maharaja kepada
ratu Anggabhaya. "Raden Ardharaja adalah seorang lelaki yang baik, Ratu
Turukbali pasti akan senang. Dan mudah-mudahan
penguasa Gelang-Gelang bersedia berbesan dengan
tuan Paduka", berkata Ratu Anggabhaya kepada Sri
Baginda Maharaja. "Secepatnya aku akan datang ke
Tanah Gelang-Gelang", berkata kembali Ratu Anggabhaya kepada Sri Baginda Maharaja.
"Terima kasih untuk kesediaan Pamanda", berkata Sri
Baginda Maharaja kepada Ratu Anggabhaya.
Sementara itu waktu terus berlalu, malam terlihat begitu
kelam dan senyap di sekitar pendapa agung.
Terlihat Sri Baginda Maharaja bangkit berdiri bermaksud
untuk pamit diri meninggalkan pasanggrahan Ratu
Anggabhaya. Malam berkabut di sekitar pasanggrahan telah
mengantar Sri Baginda Maharaja bersama para prajurit
pengawalnya keluar dari regol Pasanggrahan Ratu
Anggabhaya. "Beristirahatlah, besok kalian akan meninggalkan
Kotaraja", berkata Ratu Anggabhaya kepada Raden
Wijaya dan Kebo Arema. Akhirnya pendapa agung itu telah menjadi begitu senyap
hanya ditemani cahaya pelita dan dinginnya malam.
Sepanjang malam kabut turun menyelimuti Kotaraja yang
berada diatas dataran tinggi perbukitan, yang dikitari oleh
empat gunung-gunung tinggi menyanggah langit, laksana
empat raksasa hitam menjaga dan melindungi tanah dan
bumi kotaraja dengan setianya. Angin dan kabut dingin
telah memaksa penghuninya naik ke peraduan
52 melepaskan segala kepenatan hari-hari dan bermimpi.
Dan pagi pun akhirnya datang juga bersama sinar
cahaya matahari mengusir kabut dingin dan semua
mimpi-mimpi. Terlihat para petani sudah mulai turun ke sawahnya.
Beberapa pedagang di pasar sudah menyiapkan barangbarangnya. Dan jalan Kotaraja terlihat sudah mulai ramai
dilalui oleh orang-orang yang mungkin akan ke pasar
atau kegiatan lainnya. Kotaraja sudah terbangun dari
tidurnya. "Semoga keselamatan dan kebahagiaan selalu menyertai
kalian", berkata Ratu Anggabhaya ketika mengantar
Raden Wijaya dan rombongannya keluar dari gerbang
istana Singasari. Angin sepoi dingin sejuk menyapu kelima orang berkuda
yang terlihat belum begitu lama meninggalkan regol pintu
gerbang batas kotaraja. Kepulan debu di belakang kakikaki kuda mereka mengiringi setiap langkah perjalanan
mereka yang setengah berlari memacu kudanya di jalan
tanah yang kering menuju Bandar Cangu.
Di pagi yang cerah itu jalan antara Kotaraja dan Bandar
Cangu memang sudah terlihat ramai. Para pedagang
dengan gerobak berkuda tengah mengangkut barang
dagangannya, atau beberapa pejalan kaki para
pengembara yang tengah mencari pengalaman hidup
baru di berbagai tempat dimana saat itu sudah menjadi
pemandangan yang biasa. "Sebuah pemandangan yang indah", berkata Mengki
kepada Raden Wijaya yang berjalan berdampingan
ketika menuruni jalan perbukitan hijau dikelilingi gununggunung yang indah berwarna biru."Sayangnya aku harus
meninggalkan tempat yang indah ini", berkata kembali
53 Mengki sambil menikmati udara sejuk dingin berhembus
menyapu wajahnya. Ketika matahari tepat diatas kepala mereka, jarak
tempuh mereka sudah begitu jauh meninggalkan
Kotaraja melewati sebuah pasar yang masih cukup ramai
dan sinar matahari di siang itu seperti membakar kulit.
"Mari kita beristirahat sambil melewatkan matahari siang
yang panas", berkata Raden Wijaya kepada Mengki
menunjuk ke sebuah kedai.
Terlihat Raden Wijaya bersama Mengki telah turun dari
kudanya dan menuntunnya kearah sebuah kedai diikuti
oleh Kebo Arema bersama kedua budak Mengki.
Cukup lama mereka beristirahat didalam kedai, hingga
ketika matahari telah mulai turun terlihat mereka baru
melanjutkan perjalanan mereka menuju Bandar Cangu.
Akhirnya menjelang senja mereka telah tiba di Bandar
Cangu langsung menuju Balai Tamu.
"Selamat datang kembali di Bandar Cangu", berkata
Rangga Lawe menyambut kedatangan mereka dengan
penuh gembira. Setelah menyampaikan keselamatan masing-masing,
Raden Wijaya sempat bercerita mengenai beberapa hal
ketika di Kotaraja kepada Rangga Lawe.
"Sri Baginda Maharaja akan mengangkat mantu dari
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang putra penguasa Gelang-gelang", berkata Raden
Wijaya bercerita kepada Rangga Lawe.
Sementara itu malam mulai turun merambat
mengaburkan pandangan kearah sungai Brantas
didepan pendapa Balai Tamu. Cahaya pelita malam
mulai dapat dirasakan cukup menerangi dengan warna
sinarnya yang lembut temaram memenuhi pendapa Balai
54 Tamu. Terdengar suara berderit sebuah pintu kayu ditarik,
ternyata dari pintu utama keluar seorang pelayan tua
yang tidak lain adalah Ki Widura membawa minuman
hangat dan beberapa potong jagung rebus yang terlihat
masih mengepul. "Duduklah bersama kami", berkata Kebo Arema kepada
Ki Widura yang dilihatnya sudah selesai meletakkan
makanan dan minuman hangat.
Terlihat perubahan di wajah Ki Widura seperti menjadi
agak tegang, sementara tangannya yang masih
membawa wadah makanan sepertinya nampak gemetar.
"Saya masih ada pekerjaan di belakang", berkata Ki
Widura dengan bibir seperti bergetar.
"Urusan di belakang abaikan dulu, duduklah bersama
kami. Ada yang ingin kutanyakan kepada Ki Widura",
berkata Kebo Arema dengan suara yang tidak seperti
biasanya, halus namun penuh dengan penekanan yang
membuat Ki Widura tidak dapat mengelaknya untuk
duduk bersama mereka. Masih dengan wajah yang pucat
menunduk tidak berani mengangkat wajahnya.
"Dinding rumah ini tak bertelinga. Tidak ada seorang pun
yang mengetahui selain kami bahwa seorang utusan
Kubilai Khan telah datang di Bumi Singasari ini", berkata
Kebo Arema masih dengan suara yang halus sambil
memperhatikan Ki Widura yang terlihat semakin
menundukkan wajahnya. "Aku ingin Ki Widura berkata
dengan sejujurnya. Benarkah Ki Widura telah
menyebarkan rahasia ini ?", berkata kembali Kebo Arema
dengan nada yang masih tidak berubah, halus dan datar.
"Maafkanlah diri hamba yang tua ini, yang tidak
55 mengenal arti budi. Tuan-tuan telah memperlakukan diri
hamba ini dengan begitu baik, tidak selayaknya seorang
pelayan, tapi seperti layaknya seorang keluarga. Sejak
mengenal tuan-tuan diri ini telah terbagi dua dalam
banyak keraguan, dalam banyak kebingungan. Benarkah
diri hamba ini". Benarkah perjuangan hamba ini"
Benarkah menganggap tuan-tuan yang penuh kasih ini
sebagai musuh yang berseberangan". Sejak keberangkatan tuan-tuan ke Kotaraja, hati kecilku selalu
mencela perselingkuhan ini, selalu mencaci sebagai
manusia yang tak berbudi. Hari ini hamba pasrah atas
apapun perlakuan terhadap hamba yang berdosa ini.
Hamba pasrah atas hukuman apapun yang tuan
jatuhkan", berkata Ki Widura dengan wajah menunduk
penuh rasa malu dan penyesalan yang sangat.
"Diantara kita memang tidak ada permusuhan, hanya
secara kebetulan kita berdiri ditempat yang berbeda.
Kami tidak akan menjatuhkan hukuman apapun. Hanya
saja ada satu pengharapan dari kami, lupakanlah
perbedaaan dimanapun saat ini kamu berdiri, karena
sudah tidak ada lagi perbedaan diantara kita, tidak ada
Tumapel, tidak ada Kediri. Yang ada saat ini adalah
Singasari Raya yang bersatu menatap dunia untuk maju
bersama. Dari dulu kita adalah satu keluarga, dan tetap
satu keluarga sampai kapan pun", berkata Kebo Arema
kepada Ki Widura yang sepertinya telah tersentuh
hatinya. "Jiwa tuan-tuan begitu penuh kasih, hamba menjadi malu
bercermin diri atas kekerdilan hati ini. Ijinkanlah hamba
mengabdi disini dalam kesetiaan, menjadi bagian dari
keluarga ini. Selamanya", berkata Ki Widura penuh
permohonan. "Permohonan Ki Widura kami terima, kembalilah ke
56 belakang. Mungkin masih ada yang perlu kamu
selesaikan", berkata Kebo Arema kepada Ki Widura.
"Terima kasih, terima kasih", berdiri Ki Widura sambil
menjura penuh kebahagian dan kembali masuk lewat
pintu utama. Dan hari pun terus berlalu, malam semakin gelap
menghalangi aliran sungai Brantas di depan Balai Tamu.
Hanya terkadang beberapa pelita perahu para nelayan
terlihat berkelip-kelip. Suara angin datang dari arah tanah
hutan seberang. "Kami beristirahat lebih dulu", berkata Mengki sambil
berdiri diikuti dua orang pengawalnya.
Tidak lama berselang, Raden Wijaya dan Kebo Arema
diikuti Rangga Lawe masuk ke peraduannya masingmasing untuk beristirahat.
Malam itu hamparan sungai Brantas begitu sepi dan
senyap. Masih terlihat beberapa nelayan yang mencari
udang masih menunggu jaringnya meski pelita yang
bergelantungan sudah menjadi begitu redup.
"Malam ini rejeki simbok dan adikmu sedang mujur
besar, baru sepertiga malam sudah banyak udang
terkumpul", berkata melayan tua kepada anak lelakinya.
"Kalau begitu kita segera pulang saja, bukankah kita
masih bisa tidur disisa malam?", berkata anak lelakinya.
"Yang kamu pikirkan hanya tidur", berkata nelayan tua itu
sambil melipat jaringnya menuruti keinginan anak
lelakinya. Dan malam memang masih menyisakan waktunya diatas
sungai Brantas di tepian dermaga Balai Tamu tempat
Jung Singasari terlihat merapat dan bergoyang dihempas
ombak sungai. Semakin mendekati pagi, hawa malam
57 menjadi semakin dingin. Dan semakin mendekati pagi, kesibukan sudah mulai
terlihat disekitar dermaga Balai Tamu itu. Hari itu setelah
dua pekan merapat di dermaga, Jung Singasari itu akan
kembali berlayar mengarungi laut biru.
"Aku akan bercerita kepada semua orang bahwa di
Singasari ini aku mendapat perlakuan yang baik.
Terutama tentang dirimu wahai tuan Senapati Wijaya",
berkata Mengki ketika bersiap akan naik ke jung
Singasari kepada Raden Wijaya yang mengantarnya.
"Semoga persahabatan kita terus terjalin dan panjang",
berkata Raden Wijaya kepada Mengki.
"Selamanya", berkata Mengki melanjutkan ucapan Raden
Wijaya. Matahari telah bersembul dibalik hutan seberang sungai
Brantas ketika jung Singasari itu mulai terlihat bergerak
meninggalkan dermaga. Jung Singasari itu telah
membawa Mengki dan dua orang pengiringnya,
membawa berita perdamaian.
Terlihat Raden Wijaya, Kebo Arema dan Rangga Lawe
berdiri melambaikan tangannya ke arah Mengki dan dua
orang pengiringnya diatas pagar dag kayu jung Singasari
yang telah mulai menjauhi dermaga.
Jung Singasari itu pun terus menjauh dibawa aliran
sungai Brantas dibawah matahari pagi yang cerah.
Terlihat Raden Wijaya, Kebo Arema dan Rangga Lawe
telah beranjak dari dermaga kembali ke pendapa Balai
Tamu. Sementara itu pada waktu yang sama, sebuah kapal
kayu telah merapat di sebuah dermaga Bandar Cangu.
Terlihat dua orang anak lelaki kecil menuruni tangga
58 kapal kayu dengan gembiranya. Usia kedua anak itu
sekitar tujuh tahunan. Dibelakangnya mengikuti kedua
anak itu seorang lelaki muda. Wajahnya cukup tampan.
Berturut-turut dibelakang lelaki muda itu adalah seorang
pendeta, terlihat dari pakaian yang dikenakannya serta
kepala yang tercukur bersih.
"Kita telah sampai di Bandar Cangu, di tanah Singasari
Raya", berkata lelaki muda itu kepada seorang pendeta
ketika mereka telah menginjakkan kakinya di dermaga
Bandar Cangu yang sudah cukup ramai di pagi yang
cerah itu. "Paman Arga Lanang, perutku sangat lapar", berkata
salah seorang anak lelaki sambil memegang lengan
lelaki muda itu yang ternyata adalah Arga Lanang.
Seorang pemuda putra Minak Gajah penguasa daerah
pasir seputih yang pernah bersama Raden Wijaya dan
Mahesa Amping mengembara ke Tanah Melayu.
"Mari kita ke kedai, pamanmu juga lapar", berkata Arga
Lanang sambil menggandeng kedua anak lelaki itu diikuti
oleh pendeta dibelakangnya menuju kesebuah kedai
didekat dermaga. Terlihat mereka berempat telah memasuki sebuah kedai.
"Pak tua, dapatkah ditunjukkan kepada kami letak Balai
Tamu?", bertanya Arga Lanang kepada pelayan tua yang
datang membawa pesanan makanan mereka.
"Telusuri saja tepian sungai ini, tuan akan melihat sebuah
benteng besar prajurit Singasari. Tidak jauh dari benteng
itu berdiri sebuah rumah panggung yang cukup besar di
tepian sungai Brantas yang mempunyai sebuah dermaga
sendiri. Itulah Balai Tamu yang tuan maksudkan",
berkata pelayan tua itu memberikan arah petunjuk
menuju Balai Tamu kepada Arga Lanang.
59 "Makanlah yang banyak agar tubuh kalian sehat dan
kuat, sebentar lagi kita akan bertemu dengan kedua ayah
kalian", berkata Arga Lanang kepada kedua anak lelaki
dihadapannya. "Aku melihat tulang kedua anak ini sangat bagus, tidak
salah bila kamu katakan bahwa kedua orang ayah
mereka adalah pendekar besar yang berilmu tinggi.
Kedua anak ini mewarisi tulang tubuh yang sangat
sempurna", berkata pendeta disebelah Arga Lanang
memuji kedua anak lelaki yang sedang menikmati
hidangan di kedai itu. Matahari terlihat sudah mulai beranjak naik, terlihat dua
anak lelaki dan dua orang lelaki tengah menyusuri sungai
Brantas dari arah Bandar Cangu.
"Sebuah benteng yang cukup besar", berkata pendeta itu
kepada Arga Lanang ketika mereka melihat sebuah
benteng berdiri ditepian sungai Brantas.
"Itulah Balai Tamu", berkata Arga Lanang menunjuk
sebuah rumah panggung yang cukup besar menghadap
sungai Brantas dan mempunyai dermaga sendiri yang
juga cukup besar. "Apakah tuan-tuan ada keperluan di Balai Tamu ini",
berkata seorang prajurit kepada Arga Lanang dan
pendeta disebelahnya ketika mereka telah memasuki
halaman Balai Tamu yang cukup luas. Prajurit itu merasa
heran terutama melihat pendeta asing disebelah Arga
lanang. Tidak pernah selama ini ada seorang pendeta,
apalagi berwajah asing datang ke Balai Tamu.
"Aku ingin bertemu dengan Raden Wijaya", berkata Arga
Lanang penuh kebanggaan menyebut nama Raden
Wijaya 60 "Nama yang tuan sebutkan adalah Senapati kami",
berkata Prajurit itu sambil memandang Arga Lanang dari
ujung kaki sampai kepala seperti masih menyangsikan
bahwa lelaki muda itu mengenal Senapatinya.
"Senapatimu itu adalah sahabatku", berkata Arga lanang
dengan penuh kebanggaan. "Silahkan tuan naik ke pendapa Balai Tamu", berkata
prajurit itu penuh hormat mempersilahkan langsung naik
ke pendapa Balai Tamu. Terlihat Arga Lanang dikuti kedua anak lelaki dan
pendeta asing tengah naik anak tangga pendapa Balai
Tamu. "Arga Lanang!", berkata Rangga Lawe yang melihat
pertama kali Arga Lanang yang muncul dari anak tangga
pendapa Balai Tamu seperti tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya. "Ternyata kamu masih mengenalku Lawe", berkata Arga
Lanang sambil tersenyum kepada Rangga Lawe.
"Arga Lanang!!", berkata Raden Wijaya yang telah berdiri
bersama Kebo Arema telah mengenali orang yang
tengah berpelukan erat bersama Rangga Lawe.
"Sahabatku", berkata Raden Wijaya sambil memeluk erat
Arga Lanang. "Jayanagara kemarilah nak, inilah ayahmu", berkata Arga
Lanang kepada salah seorang dari dua anak lelaki yang
sudah naik keatas pendapa Balai Tamu.
"Raden Wijaya, inilah anakmu, putra Dara Petak",
berkata Arga Lanang kepada Raden Wijaya.
Bukan main terharunya Raden Wijaya menatap seorang
anak lelaki kecil yang juga sedang menatapnya.
61 "Putraku", berkata Raden Wijaya langsung memeluk erat
anak lelaki itu yang bernama Jayanagara.
"Apakah lelaki itu ayahku?", bertanya anak lelaki yang
lain kepada Arga Lanang menunjuk kearah Kebo Arema.
Kebo Arema yang mendengar pertanyaan anak itu
langsung mendekatinya, tahu siapa sebenarnya anak
lelaki yang bermata bulat dan terang itu yang
menandakan kecerdasan yang luar biasa.
"Kamu pasti putra Dara Jingga, siapa namamu nak",
berkata Kebo Arema sambil berjongkok memegang
kedua bahu anak itu. "Namaku Adityawarman", berkata anak itu tegas kepada
orang dihadapannya yang dianggapnya seorang penuh
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kasih dan dapat dipercaya.
"Namaku Kebo Arema, kamu boleh memanggilku dengan
sebutan Eyang Kebo Arema karena ayahmu
memanggiku sebagai paman", berkata Kebo Arema
kepada anak lelaki itu yang ternyata adalah putra Dara
Jingga. "Dimana ayahku?", bertanya Adityawarman kepada Kebo
Arema yang ternyata bukan ayahnya.
"Ayahmu seorang senapati besar, saat ini ditugaskan
oleh Sri Maharaja di Balidwipa", berkata Kebo Arema
kepada Adityawarman. Terlihat Adityawarman menoleh kepada Jayanagara
yang masih dekat dengan ayahnya Raden Wijaya.
"Kamu sangat tampan seperti ayahmu", berkata Raden
Wijaya mendekati Adityawarman mencoba menyelami
perasaan anak itu dan sekedar menghiburnya.
"Apakah aku dapat menemui ayahku?", bertanya 62 Adityawarman kepada Raden Wijaya menatapnya
dengan bola mata yang begitu terang membuat siapapun
akan segera akan menyukainya.
Belum sempat Raden Wijaya menjawab, Jayanegara
sudah ikut mendekati Adityawarman.
"Aku akan bersamamu mencari ayahmu", berkata
Jayanera penuh kesetiakawanan yang tinggi.
Raden Wijaya tersenyum menatap dua anak itu,
terbayang kesetiakawanan yang tinggi antara dirinya dan
Mahesa Amping. Ternyata anak-anak mereka mempunyai naluri yang
sama. "Mereka adalah saudara sepupu", berkata Raden
Wijaya dalam hati penuh kebanggaan dan kebagiaan.
"Balidwipa tidak begitu jauh, kita akan menemui ayahmu
disana", berkata Raden Wijaya kepada Adityawarman.
"Maaf, aku belum memperkenalkan teman perjalanan
kami", berkata Arga Lanang memperkenalkan seorang
pendeta yang dikatakannya sebagai teman perjalanannya. "Namaku Gunakara, aku berasal dari sebuah biara di
Tibet. Atas kebaikan tuan Arga Lanang telah
membawaku sampai disini", berkata pendeta itu sambil
menjura penuh hormat memperkenalkan dirinya. Tujuan
perjalananku adalah sebuah tanah datar bernama
Balidwipa", berkata kembali Pendeta Gunakara
menyampaikan tujuan perjalanannya.
Bagian 3 Setelah menyampaikan keselamatan masing-masing,
63 Arga Lanang yang memulai cerita perjalanannya.
"Enam bulan yang lalu, aku mendapat tugas dari Ayahku
untuk berangkat ke Tanah Melayu. Dalam tugasku itu
kusempatkan diri untuk mengunjungi Istana Melayu. Dara
Petak dan Dara Jingga memaksa aku untuk membawa
kedua anak ini menemui ayahnya di Jawadwipa,
tentunya atas restu dari Eyangnya Baginda Raja
Melayu", berkata Arga Lanang bercerita tentang
perjalanannya. "Dalam perjalanan pelayaran itulah aku
bertemu dengan pendeta Gunakara yang bermaksud
akan menuju Balidwipa", berkata kembali Arga Lanang
bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta
Gunakara dari Tibet. "Pasti tuan pendeta Gunakara punya maksud dan tujuan
tertentu, hingga harus menempuh perjalanan yang begitu
jauh dari Tibet", berkata Kebo Arema kepada Pendeta
Gunakara. Terlihat Pendeta Gunakara tidak langsung menjawab,
hanya sedikit tersenyum melihat semua wajah yang ada
di pendapa Balai Tamu itu.
"Aku merasa berbahagia bahwa dalam perjalananku ini
berkenalan dengan orang-orang baik seperti kalian",
berkata Pendeta Gunakara dengan sinar mata
senyumnya yang terlihat begitu tulus. "Aku sedang
mengemban sebuah tugas yang sangat aneh dari semua
saudaraku di biara kami di Tibet", berkata kembali
pendeta Gunakara. "Setahun yang lalu, guru besar kami
Jamyang Dawa Lama telah jatuh sakit. Beliau memberi
kami sebuah wasiat, bahwa bila sukmanya telah
meninggalkan raganya, maka beliau akan terlahir
kembali disebuah tempat yang begitu indah seperti sorga
bernama Balidwipa. Bayi itu mempunyai sebuah
pertanda di pundaknya. Beliau juga meminta kami untuk
64 membawa bayi itu untuk menggantikan kedudukannya
sebagai guru besar tertinggi di Biara Tibet", berkata
Gunakara mengakhiri ceritanya.
"Mencari seorang bayi yang lahir bertepatan hari
kematian Jamyang Dawa Lama di Balidwipa?", bertanya
Raden Wijaya setelah menyimak semua cerita Pendeta
Gunakara. "Benar, seorang bayi yang lahir tahun lalu dengan
sebuah tanda khusus di pundaknya", berkata Pendeta
Gunakara membenarkan perkataan Raden Wijaya.
"Sebuah tugas yang begitu rumit, seperti mencari sebuah
pengait benang ditumpukan jerami", berkata Kebo Arema
menanggapi cerita Pendeta Gunakara.
"Guru besar kami Jamyang Dawa Lama selalu dinaungi
awan dalam setiap perjalanannya. Saat ini awan itu pasti
selalu menaungi kemanapun bayi itu berada. Itulah
pertanda yang akan membawa kami menemukan bayi
itu", berkata Pendeta Gunakara dengan penuh
keyakinan. Sementara itu jauh dari Bandar Cangu di hari yang sama
disebuah hutan di Balidwipa yang jarang sekali dijamah
oleh manusia, para pengembara biasa menyebutnya
sebagai hutan Mada. Disebuah tanah bergumuk yang
cukup lapang ditengah hutan itu terlihat sebuah
pertempuran yang sangat seru dan dahsyat. Seorang
lelaki sambil menggendong seorang bayi ditangan kirinya
dan sebuah pedang panjang ditangan kanannya tengah
menghadapi lima orang yang begitu bernafsu untuk
segera menghabisinya. "Serahkan bayi itu", berkata seorang bertubuh tinggi
besar sambil mengancam dengan sebuah golok besar
kepada lelaki yang menggendong seorang bayi itu.
65 "Sudah kukatakan bahwa bayi ini bukan anaknya, kalian
masih juga belum percaya", berkata lelaki yang masih
menggendong bayi dengan eratnya tidak ingin
menyerahkannya kepada kelima orang penyerangnya.
"Anak itu anak seorang penghianat, harus dihabisi
sampai ke akar-akarnya", berkata seorang pengeroyok
lainnya sambil mengayunkan sebuah golok panjangnya
kearah kepala lawannya. Tapi lelaki itu dapat dengan baik mengelak serangan itu
dan balas menyerang dengan pedangnya menyabet
pangkal paha orang itu. Bukan main kagetnya orang itu
mendapatkan serangan balik yang lebih cepat dari yang
diduganya. Orang itu terlihat mundur jauh.
Namun lelaki yang masih menggendong seorang bayi itu
masih saja menyerangnya dengan sebuah tusukan
pedang ke arah perut orang itu.
Trang !!! Untung saja kawannya yang lain menghantam pedang itu
sehingga harus melenceng dari sasarannya.
Akhirnya pengeroyokanpun kembali terjadi, lima orang
melawan satu orang sambil memegang erat seorang bayi
ditangan kirinya. Crasss !!! Sebuah sabetan golok mengenai punggung belakang
lelaki itu yang tidak dapat menghindarinya karena
menghadapi serangan lawan dari berbagai arah. Terlihat
segaris darah memanjang dibelakang punggungnya.
"Kamu memang keras kepala, matilah kamu bersama
bayi itu", berkata orang yang tengah menyerang dari
hadapannya. 66 Trang !!! Hanya itu yang dilakukan lelaki itu menangkis kibasan
golok panjang dengan pedangnya sambil melompat
menghindari sabetan golok lawan dari arah samping dan
sekaligus menyerang lawan disisi lain. Namun sebuah
sabetan dari arah belakang tidak dapat dihindarinya.
Srettt !!! Sebuah sabetan tipis berhasil melukai paha belakangnya. Namun semangat lelaki itu begitu keras,
sepertinya tidak merasakan darah menetes lewat
punggung dan paha belakangnya. Lelaki itu masih dapat
menghindar bahkan balas menyerang dengan tidak kalah
berbahayanya. Namun dalam beberapa jurus kemudian, mulailah terlihat
tenaga lelaki itu mulai menurun, lompatan dan
serangannya tidak segesit dan setangkas sebelumnya.
Matanya terlihat sudah lamur akibat banyak darah yang
keluar dari punggung dan belakang pahanya, tapi
genggaman tangannya masih erat memegang bayi di
tangan kirinya. Kembali lima buah serangan sekaligus menyudutkannya.
Trang !!! Sabetan golok besar berhasil ditahan dari arah samping
kanan, sekaligus melompat menghindari sabetan
dibawah kakinya dari arah kiri. Namun dua serangan
menusuk dari arah depan dan bacokan golok dari arah
belakang pada kali ini sudah tidak bisa dihindari lagi.
Lelaki itu sepertinya sudah tidak punya harapan lagi,
langkahnya sudah terkunci mati tidak dapat menghindari
tiga buah serangan sekaligus.
Tapi umur manusia kadang sangat aneh, tidak selalu
67 dapat ditebak dan diatur. Ketiga penyerang itu sudah
merasa yakin bahwa lelaki itu pasti akan termakan oleh
masing-masing golok besar mereka. Keajaiban apa yang
terjadi " Tring ! tring ! tring ! Terdengar tiga buah benda besi beradu dalam waktu
yang hampir bersamaan, dan tiga buah golok besar
terlihat terpental dari tangannya.
Ketiga orang itu melongo melihat tangannya yang
kosong tidak memegang senjata lagi dan merasakan
rasa nyeri seperti kesemutan pada jemari tangan
mereka. "Aku tidak akan turut campur bila dihadapanku adalah
pertempuran yang adil satu lawan satu", berkata seorang
lelaki muda yang sudah berdiri didekat lelaki yang hampir
mati binasa itu. "Siapa kamu!!", berkata salah seorang dari kelima
pengeroyok itu yang merasa hampir saja dapat
membinasakan lawannya. "Tidak perlu tahu siapa aku sebagaimana aku juga tidak
peduli siapa kalian. Yang jelas dihadapannku adalah lima
orang berhati tikus yang tidak punya keberanian jiwa
satria", berkata lelaki muda itu dengan tenang tidak
sedikitpun terlihat kegentarannya menghadapi kelima
orang yang berwajah bringas.
"Habisi orang ini yang mencampuri urusan kita!!", berkata
seorang yang bertubuh tinggi besar sepertinya pemimpin
mereka memberi perintah untuk menghabisi lelaki muda
yang datang mencampuri urusan mereka.
"Menyingkirlah", berkata lelaki muda itu kepada seorang
lelaki yang baru saja diselamatkannya itu.
68 Lima buah serangan kini beralih kepada lelaki muda yang
baru datang itu. Kelima orang itu seperti lima ekor srigala
buas menerjang dengan golok besarnya kearah lelaki
muda itu. Entah dengan apa caranya, sudah terjurai sebuah
cambuk di tangan lelaki muda itu.
Tarrrr !!! Terdengar lima buah bunyi ledakan sebuah cambuk yang
dihentakkan hampir berbarengan. Terlihat lima orang itu
semuanya terjengkang mundur kebelakang dengan
merasakan dada yang sesak.
Ternyata cambuk itu hanya beberapa mili saja
menghentak didepan dada mereka tidak mengenai
sedikitpun, tapi suara hentakan itu telah membuat dada
mereka terasa sesak sukar bernafas serta mendorong
tubuh mereka seperti berasal dari sebuah tenaga yang
sangat kuat melempar tubuh mereka.
"Enyahlah dari hadapanku sebelum kesabaranku habis",
berkata lelaki muda itu dengan sorot mata yang begitu
mengerikan membuat siapapun yang melihatnya akan
merasa jantungnya lepas menjadi begitu ciut.
Maka tanpa perintah dan aba-aba sekalipun, terlihat
kelima orang itu bangkit berlari penuh rasa jerih
meninggalkan arena itu dan menghilang dikerimbunan
hutan Mada yang rimbun dan pekat itu.
"Terima kasih telah menyelamatkan aku", berkata lelaki
itu sambil melepaskan bayi ditangannya dengan hati-hati
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meletakkannya di hamparan tanah berumput.
"Jangan banyak bergerak, aku akan mengobati lukamu",
berkata lelaki muda bersenjata cambuk itu sambil
mengeluarkan dari balik pakaiannya sebuah bubuk obat
69 luka. Ketika bubuk itu telah merata menutup hampir semua
luka di punggung dan pangkal paha belakangnya, lelaki
itu merasakan nyeri yang sangat. Namun rasa nyeri itu
hanya sebentar. Lukanya sudah langsung mampat tidak
mengeluarkan darah lagi. "Ceritakanlah apa yang telah terjadi", berkata lelaki muda
itu kepada orang yang terluka itu yang terlihat duduk
diatas rumput di tanah bergumuk disamping seorang bayi
yang sepertinya begitu nyenyak tidurnya tidak terganggu.
"Sebulan yang lalu seorang kawanku datang kepadaku
membawa bayi ini. Kawanku itu merasa keamanannya
terancam dan ia meminta diriku untuk merawat bayi ini.
Kawanku itu berpesan agar aku dan bayi ini bersembunyi
di hutan Mada ini sampai waktu sebulan dimana ia akan
datang mengambil bayi ini kembali", bercerita lelaki itu.
"Namun sebulan kemudian kawanku tidak juga muncul di
hutan ini melainkan kelima orang itu yang datang
bermaksud merebut bayi ini dari tangannya untuk
dibunuhnya", berkata kembali orang itu.
"Apa hubungannya kelima orang itu dengan kawanmu?",
bertanya lelaki muda bersenjata cambuk itu.
"Kawanku itu dulunya adalah sekelompok orang di
Balidwipa ini yang setia kepada Raja Adidewalancana.
Karena sudah tidak sepaham lagi, kawanku berbalik arah
bergabung dengan pihak lawan. Kawanku dianggap
sebagai penghianat oleh kelompoknya dan dikejar untuk
dimusnahkan seluruh keluarganya. Itulah sebabnya ia
datang menitipkan bayi ini", berkata orang itu kepada
lelaki muda. "Siapakah nama kawanmu itu, mungkin aku mengenalnya", berkata lelaki muda bersenjata cambuk
70 itu kepada orang yang terluka.
"Made Santu dari Tejakula, kelima orang itu mungkin
telah berhasil membunuhnya", berkata orang yang
terluka itu. "Aku pernah mendengar namanya, seorang pribumi yang
berani yang membocorkan sebuah gerakan pemberontakan di Kademangan Tejakula beberapa
bulan yang lalu", berkata lelaki muda bersenjata cambuk
itu. "Apakah aku boleh tahu nama tuan, agar aku dapat
mengingat nama orang yang pernah menyelamatkan
selembar nyawaku ini", berkata orang terluka itu kepada
lelaki muda bersenjata cambuk itu.
"Namaku Mahesa Amping", berkata lelaki muda yang
bersenjata cambuk itu dengan senyum yang selalu
menghias wajahnya penuh kesejukan siapapun yang
melihatnya. "Melihat senjata cambuk ditangan tuan, sejak semula aku
sudah menduga-duga. Ternyata dugaanku tidak salah.
Hari ini aku merasa bangga telah ditolong oleh Senapati
Mahesa Amping. Hampir setiap orang di Balidwipa ini
mengenal nama tuan", berkata orang itu.
"Jadi bayi ini putra Made Santu?", bertanya Mahesa
Amping kepada orang itu. Orang itu tidak langsung menjawab tapi tersenyum getir
sambil melirik bayi yang ada disampingnya sepertinya
merasa iba atas nasib bayi itu.
"Made Santu tidak pernah punya anak seorang pun,
sementara kelima orang itu masih mengira bahwa bayi ini
adalah putranya", berkata orang itu kepada Mahesa
Amping. 71 "Bila bayi ini bukan putranya, kenapa dia datang
kepadamu menitipkan bayi ini?", bertanya Mahesa
Amping penuh ketidak mengertian hubungan bayi itu
dengan Made Santu. "Ketika menitipkan bayi ini, kawanku Made Santu
bercerita bahwa bayi ini adalah putra seorang Brahmana
yang telah berniat meninggalkan keramaian dunia,
menyepi mensucikan dirinya di suatu tempat yang
dirahasiakannya, jauh dari kehidupan manusia", berkata
orang itu." Kawanku Made Santu juga menjujukkan
sebuah keajaiban atas bayi ini kepadaku", berkata
kembali orang itu kepada Mahesa Amping.
"Keajaiban apakah yang ada pada bayi ini?", bertanya
Mahesa Amping penuh rasa ingin tahu.
"Tidakkah tuan merasakan bahwa ada awan diatas kita
yang tidak pernah bergerak sedikitpun sepertinya terus
meneduhi kemanapun bayi ini berada", berkata orang itu
sambil menunjuk kearah awan di atas mereka yang
memang sepertinya terus meneduhi dari sinar matahari
disiang itu diatas tanah bergumuk ditengah hutan Mada.
Mahesa Amping melihat keatas awan yang memang
sedari tadi menjadikan sekitar mereka menjadi begitu
teduh. Mahesa Amping mulai percaya bahwa bayi itu
memang mempunyai keajaiban yang tidak dimiliki oleh
siapapun, bayi itu sepertinya dilindungi oleh banyak
tangan dewa-dewi yang tak terlihat yang selalu
mengasuhnya, dan menjaganya dengan penuh kasih.
Dan diam-diam ada perasaan hati yang kuat untuk
memiliki bayi itu, sebuah perasaan yang sangat aneh
yang dirasakan oleh Mahesa Amping
"Tuan telah menolong jiwaku, dapatkah tuan meluluskan
sebuah permintaanku?", berkata orang itu penuh
72 pengharapan kepada Mahesa Amping.
"Apakah gerangan permintaanmu?", bertanya Mahesa
Amping. "Merawat bayi ini", berkata orang itu kepada Mahesa
Amping. "Ditangan tuan aku yakin musuh-musuh Made Santu
akan berpikir sepuluh kali lipat untuk berniat mencelakai
bayi ini", berkata kembali orang itu.
Entah kenapa Mahesa Amping sepertinya merasakan
hatinya penuh suka cita yang meletup-letup, permintaan
orang itu seperti mewakili keinginan hatinya, memiliki
bayi itu dengan segenap hati.
"Aku menerima permintaanmu, entah apa yang ada pada
diriku. Sebelum kamu menawarkan kepadaku, hati ini
begitu sarat dipenuhi keinginan untuk memiliki dan
merawat bayi ini", berkata Mahesa Amping kepada orang
itu. "Perasaan itu pun juga pernah memenuhi perasaaanku
manakala Made Santu membawa bayi ini kepadaku.
Namun perasaan memiliki ini telah berganti dengan
perasaan kekhawatiran untuk tidak dapat menjaganya.
Diri ini sepertinya berharap bayi ini berada ditempat yang
aman. Dan saat ini tempat yang paling aman untuk bayi
ini adalah diri tuan Senapati", berkata orang itu kepada
Mahesa Amping. "Aku berjanji untuk menjaganya dengan sepenuh hati",
berkata Mahesa Amping kepada orang itu.
"Terima kasih tuan Senapati, perkenalkan namaku Putu
Rantu yang akan selalu mengenang pertolongan tuan
Senapati", berkata orang itu sambil menjura penuh rasa
terima kasih yang tak terhingga.
73 "Tidak usah berterima kasih kepadaku secara berlebihan,
semua sudah digariskan, kebetulan sekali aku lewat
hutan ini", berkata Mahesa Amping kepada orang itu
yang memperkenalkan dirinya bernama Putu Rantu.
"Tuan Senapati benar, semua memang sudah digariskan
sebagaimana nyawaku hari ini yang masih tetap utuh
melekat di raga ini", berkata Putu Rantu penuh
kegembiraan masih dalam keadaan selamat dari sebuah
bahaya kematian atas dirinya.
"Lukamu masih perlu perawatan, sebaiknya kita mencari
padukuhan terdekat untuk istirahat sementara agar
dirimu dapat pulih seperti sediakala", berkata Mahesa
Amping kepada Putu Rantu mengajaknya keluar dari
hutan Mada untuk mencari sebuah padukuhan terdekat.
Namun ketika mereka akan beranjak, Mahesa Amping
menahan Putu Rantu untuk tetap ditempatnya.
"Siapapun yang tengah mencuri dengar, keluarlah",
berkata Mahesa Amping dengan suara menggema
kesegala penjuru. Maka tidak lama kemudian, muncullah
sesosok tubuh seorang tua berjubah putih keluar dari
persembunyiannya dibalik semak dan belukar hutan
Mada. "Ternyata tuan Senapati Mahesa Amping punya
pendengaran yang tajam", berkata orang itu sambil
tertawa panjang. "Aku sudah melihat dirimu yang tidak berbuat apapun
ketika saudara Putu Rantu ini dalam bahaya", berkata
Mahesa Amping kepada orang itu.
"Ternyata nama besar Senapati Mahesa Amping bukan
nama kosong, aku Jabarantas yang tua ini tidak
mendengar sedikitpun kehadiran tuan Senapati", berkata
74 orang itu yang mengaku bernama Jabarantas.
"Kalau boleh tahu, ada kepentingan apakah sehingga Ki
Jabarantas bersusah diri mengintai begitu lama di semak
belukar", berkata Mahesa Amping kepada Ki Jabarantas
yang sudah datang mendekat.
"Kemarin malam aku melihat ada bintang jatuh di hutan
Mada ini, hal itulah yang memaksa diriku datang kehutan
ini. Tidak sengaja menyaksikan pertempuran itu dan
mendengar cerita tentang bayi itu", berkata Ki Jabarantas
sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Aku jadi tertarik untuk
memiliki bayi itu", berkata kembali Ki Jabarantas.
"Apa yang Ki Jabarantas inginkan dari bayi ini?",
bertanya Mahesa Amping kepada Ki Jabarantas.
"Aku tertarik untuk menjadikannya
tunggalku", berkata Ki Jabarantas.
sebagai murid "Putu Rantu telah menyerahkannya kepadaku", berkata
Mahesa Amping dengan suara yang keren berwibawa.
"Nama besarmu tidak akan menciutkan keinginanku
untuk mengambil bayi itu", berkata Ki Jabarantas dengan
suara menantang. "Bagaimana bila aku tetap mempertahankannya", berkata
Mahesa Amping dengan suara yang tenang.
"Aku akan merebutnya dengan paksa", berkata Ki
Jabarantas kepada Mahesa Amping.
"Mungkin bukan hanya Ki Jabarantas seorang yang
begitu menginginkan bayi ini, masih ada banyak orang
yang masih senang bermain sembunyi-sembunyian",
berkata Mahesa Amping dengan suara yang sengaja
dikeraskan karena pendengarannya yang tajam telah
mendengar masih ada beberapa orang lagi tengah
bersembunyi disekitar hutan Mada.
75 Ternyata ucapan Mahesa Amping telah membuat
beberapa orang yang bersembunyi terpaksa keluar dari
persembunyiannya. Terlihat keluar tiga orang yang muncul dari balik sebuah
pohon besar. Dari wajah ketiga orang itu dapat dikatakan
ketiganya sudah cukup berumur namun belum dapat
dikatakan sudah cukup tua sebagaimana Ki Janarantas.
Diam-diam Ki Jabarantas memuji ketajaman pendengaran Mahesa Amping karena dirinya sendiri
tidak mengetahui ada orang lain yang sedang mengintai.
"Nama besar Senapati Mahesa Amping ternyata bukan
omong kosong, diam-diam telah mengetahui kehadiran
kami", berkata salah seorang dari ketiga orang itu yang
baru saja muncul. "Apakah kalian bertiga juga punya kepentingan dengan
bayi itu", berkata Mahesa Amping kepada ketiga orang
yang baru muncul itu. "Ibu dari bayi itu adalah putri guru kami, sudah lama kami
mencari-cari. Serahkanlah kepada kami untuk membawanya pulang ke Padepokan Teratai Putih",
berkata salah seorang dari mereka yang paling tua.
"Tuan Senapati, jangan serahkan bayi ini kepada
mereka, kawanku Made Santu juga berpesan jangan
sampai bayi ini jatuh ke tangan orang-orang dari
Padepokan Teratai Putih", berkata Putu Rantu kepada
Mahesa Amping. "Kalian dengar sendiri, bayi ini tidak akan kuserahkan
kepada kalian", berkata Mahesa Amping kepada ketiga
orang itu dari Padepokan Teratai Putih.
"Terpaksa kami akan melakukannya dengan kekerasan",
berkata salah seorang yang paling tua diantara ketiga
76 orang itu "Berbuat kekerasan kepadaku", apakah kalian tidak takut
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan berurusan dengan prajurit Singasari?", berkata
Mahesa Amping menggertak.
"Jangan kamu campur adukkan masalah ini, urusan ini
adalah urusan seorang bayi", berkata orang tertua itu
yang sedikit gentar bila saja Mahesa Amping
mengaitkannya dengan keadaan dirinya sebagai seorang
Senapati Singasari. "Baiklah aku tidak akan mengaitkan urusan ini dengan
kedudukanku sebagai seorang Senapati. Aku akan
bertanggung jawab bahwa ini adalah urusan pribadi",
berkata Mahesa Amping dengan sebuah senyum
menangkap kekhawatiran ketiga orang yang berasal dari
Padepokan Teratai Putih. "Kami tidak suka kekerasan, kamilah yang berhak atas
bayi itu", berkata orang itu kembali kepada Mahesa
Amping. "Kalian baru datang sudah bicara tentang hak, akulah
yang berhak atas bayi itu yang telah berjodoh kepadaku
untuk kujadikan murid tunggalku", berkata Ki Jabarantas
ikut menyela pembicaraan orang dari Padepokan Teratai
Putih. Ketiga orang Jabarantas. itu semuanya menoleh kearah Tujuh Pedang Tiga Ruyung 9 Ikat Pinggang Kemala Sabuk Kencana Karya Khu Lung Memanah Burung Rajawali 1
Karya Ki "Kompor" Sandikala
Jilid 01 Bagian 1 PAGI itu langit begitu cerah, matahari bersinar gilang
gemilang memancarkan warna kuning yang hangat
bersembul di tepi ujung timur bumi diatas Sungai Brantas
yang sudah ramai dilalui kapal-kapal kayu membawa
berbagai barang dagangan. Angin sedikit semilir tidak
menimbulkan riak gelombang. Sungai Brantas seperti
cermin panjang, segala apapun pemandangan diatasnya
menjadi dua lukisan yang indah, hutan yang hijau
dinaungi langit pagi yang cerah berawan putih.
Bila kita menyusuri sungai Brantas melawan arusnya
masuk lagi lebih ke hilir, maka kita akan menjumpai
sebuah Bandar yang cukup besar, banyak kapal layar
besar tengah menambatkan jangkarnya disana. Terlihat
beberapa buruh kasar tengah mengangkut barang
keatas kapal. Satu dua kedai yang ada disekitar Bandar
Cangu itu terlihat sudah penuh dan ramai, terlihat juga
2 beberapa awak kapal duduk di depan luar sebuah kedai,
mungkin menunggu saat kapalnya sarat barang untuk
berangkat kesebuah tujuan yang jauh.
Terlihat tiga orang lelaki keluar dari sebuah kedai,
melihat dari kulit tubuh dan wajahnya menandakan
bahwa ketiga orang itu adalah bukan penduduk asli.
Mereka berkulit putih cerah.
Keberadaan orang asing di bandar Cangu memang
sudah biasa, berbagai bangsa dengan beraneka warna
kulit sudah menjadi pemandangan umum sehari-hari di
Bandar Cangu. "Silahkan tuan menyusuri Sungai Brantas ini menuju
kearah Benteng Cangu itu, tuan akan menemui sebuah
rumah panggung besar menghadap ke arah sungai.
Itulah kediaman Senapati Agung Raden Wijaya", berkata
seorang lelaki memberi petunjuk arah kepada ketiga
lelaki asing itu. "Terima kasih", berkata salah seorang dari ketiga orang
asing itu sambil menyelipkan sebuah uang logam perak
ke tangan orang yang telah memberikannya petunjuk
arah. Terlihat ketiga orang asing itu telah berjalan sesuai
petunjuk arah yang disampaikan oleh seorang lelaki yang
mengiringinya dengan pandangan matanya.
"Mimpi apa aku semalam, masih pagi sudah dapat
setengah karung beras", berkata lelaki itu sambil
memandang uang logam perak di tangannya.
Sementara itu ketiga orang asing itu telah melihat sebuah
rumah panggung besar menghadap kearah sungai
Brantas, dibelakangnya berjejer puluhan barak prajurit.
"Mungkin rumah panggung itulah yang dimaksud",
3 berkata salah seorang diantara mereka yang nampaknya
sangat berpengaruh terlihat dari sikap kedua orang yang
bersamanya seperti sikap seorang bawahan kepada
atasannya. Ketiga orang asing itu pun terlihat mendekati rumah
panggung besar itu, beberapa orang prajurit yang
bersimpangan dengan mereka hanya melihat selintas.
Kedatangan orang asing memang bukan sebuah
pemandangan baru. "Apakah aku berhadapan dengan Senapati Agung
bernama Raden Wijaya?", berkata salah seorang dari
ketiga orang asing yang paling berpengaruh ketika sudah
naik keatas pendapa Balai Tamu.
"Tuan tidak salah menyebut nama, hanya orang
dimaksudkan adalah disebelahku ini", berkata Kebo
Arema yang saat itu ada bersama Raden Wijaya dan
Ranggalawe. "Ternyata Senapati Agung Raden Wijaya masih begitu
muda, salam hormat dari kami", berkata lelaki itu sambil
menjura penuh hormat kepada Raden Wijaya. Kedua
orang yang mengiringi juga ikut memberi hormat.
"Pasti ada sebuah kepentingan besar yang membawa
langkah kaki tuan hingga sampai di rumah ini", berkata
Raden Wijaya kepada lelaki itu.
"Kami berasal dari kerajaan pusat bumi, memang ada
kepentingan besar hingga kami harus menempuh
perjalanan yang panjang ini", berkata lelaki itu.
"Aku sering mendengar kerajaan pusat bumi, sebuah
kerajaan besar yang saat ini telah hampir menguasai
separuh daratan bumi", berkata Raden Wijaya kepada
lelaki itu. 4 "Ternyata pengetahuan tuan Senapati begitu luas",
berkata lelaki asing itu mengagumi pengetahuan Raden
Wijaya. "Penguasa kerajaan pusat bumi itu menjuluki dirinya
sendiri sebagai manusia terakhir dari khannya, Kaisar
Kubilai Khan", berkata Raden Wijaya kepada lelaki asing
itu yang diam-diam mengagumi pengetahuan senapati
muda dihadapannya yang sangat luas.
"Ditempat yang begitu jauh ini ada orang yang dapat
menyebut gelar kaisarku dengan benar, sebagai tanda
sudah begitu besarnya nama dan keagungannya. Atas
kehendaknya, Kaisar Agung Kubilai Khan mengutus aku
datang ke bumi tuan", berkata lelaki asing itu sambil
mengeluarkan sebuah kayu hitam bersimbul ukiran emas
dua naga sebagai pertanda diri utusan resmi dari Kaisar
Kubilai Khan. "Ternyata aku berhadapan dengan utusan resmi Kaisar
Kubilai Khan yang namanya sudah sampai menjungjung
ke langit bumi", berkata Raden Wijaya kepada orang
asing itu yang tersenyum mendengar Raden Wijaya
memuji Kaisarnya. "Aku yang rendah ini hanya seorang utusan, perkenalkan
namaku Mengki", berkata orang asing itu yang
memperkenalkan dirinya bernama Mengki tanpa
memperkenalkan kedua orang yang menemaninya.
"Utusan Kaisar sama derajatnya menghadap kaisar itu
sendiri, maafkan bila kami tidak berlaku hormat kepada
utusan Kaisar Kubilai Khan", berkata Raden Wijaya
sambil menjura penuh hormat kepada Mengki yang
ternyata adalah seorang utusan Kaisar Kubilai Khan,
sebuah nama yang saat itu sangat menggetarkan hati
para raja-raja didunia. Hampir separuh dunia telah
5 ditaklukkan oleh pasukannya yang terkenal kuat dan
sangat berani di segala medan pertempuran. Pasukan
Burma dengan pasukan gajahnya pernah hancur lebur
luluh lantak dihancurkan oleh pasukan Kubilai Khan.
Raden Wijaya memperkenalkan
Rangga Lawe kepada tamunya itu.
Kebo Arema dan "Perkenalkan Pamanku dan saudaraku", berkata Raden
Wijaya memperkenalkan Kebo Arema dan Rangga Lawe
yang menemaninya di pendapa Balai Tamu.
"Aku mendapat kabar bahwa tuan Senapati adalah orang
yang paling dekat dan dipercaya oleh Maharaja
Singasari, untuk itulah aku datang menghadap tuan
Senapati", berkata Mengki menyampaikan maksud dan
tujuannya menemui Raden Wijaya.
"Bila itu tujuannya, aku dapat mengantar tuan Mengki
menghadap Sri Baginda Maharaja Singasari", berkata
Raden Wijaya. "Aku tidak akan melupakan kebaikan tuan Senapati",
berkata Mengki kepada Raden Wijaya.
"Apakah aku boleh mengetahui, apa yang akan tuan
sampaikan kehadapan Sri baginda Maharaja Singasari",
berkata dan bertanya Raden Wijaya kepada Mengki.
Terlihat Mengki menarik nafas panjang, sepertinya
tengah mencari sebuah kata-kata yang tepat yang akan
disampaikan untuk menjawab pertanyaan dari Raden
Wijaya. "Sudah hampir separuh dunia telah tunduk patuh kepada
Kaisar Agung Kubilai Khan, hampir seluruh raja-raja di
separuh dunia ini setiap tahunnya mengirim upeti
sebagai tanda bergabung dibawah panji kebesaran
Kaisar Mongolia yang dipertuan agung Kubilai Khan",
6 berkata Mengki berhenti sebentar memandang Raden
Wijaya, Kebo Arema dan Ranggalawe menilik sejauh
mana tanggapan mereka terhadap apa yang
disampaikannya. Ternyata tidak ada perubahan apapun di wajah ketiga
orang itu dalam pandangan Mengki.
"Kamipun bermaksud membawa Kerajaan Singasari,
penguasa Selat Malaka, Tanjungpura, Celebes sampai
ke Tanah Gurun untuk bergabung dibawah panji
kebesaran Kaisar yang dipertuan Agung Kubilai Khan",
berkata Mengki sambil memandang Raden Wijaya penuh
harap Senapati muda ini tidak merasa terusik atas apa
yang telah disampaikannya dengan bahasa yang sangat
halus. "Kami paham apa yang akan tuan sampaikan kepada Sri
Baginda Maharaja Singasari. Bahasa tuan begitu lembut,
semoga Sri baginda Maharaja Singasari dapat
memahami dan dapat berpikir jernih memberikan
keputusannya", berkata Raden Wijaya kepada Mengki
yang sepertinya dapat membaca apa yang ada didalam
pikiran utusan Kubilai Khan ini.
"Terima kasih atas pemahamannya, aku hanya sebatas
seorang utusan yang wajib menjalankan tugas ini",
berkata Mengki kepada Raden Wijaya yang diam-diam
mengagumi ketenangan dan cara berpikir Senapati muda
dihadapannya itu. "Kami akan membantu membawa tuan kepada Sri
Maharaja Singasari", berkata Raden Wijaya kepada
Mengki. "Terima kasih tak terhingga, semoga jalan terang selalu
menaungi tuan Senapati", berkata Mengki sambil
menjura penuh rasa terima kasih.
7 "Besok kita berangkat, aku dan Paman Kebo Arema akan
mengantar kalian", berkata Raden Wijaya kepada Mengki
dan Kebo Arema. Kebo Arema tercenung sejenak, namun akhirnya
memahami kenapa dirinya diajak serta ke Kotaraja.
"Perlu pengorbanan yang besar, bayarannya adalah
harga diri Sri Baginda Maharaja Kertanegara. Mudahmudahan kehadiranku di Kotaraja dapat membantunya
lebih jernih untuk mengambil sebuah keputusan", berkata
Kebo Arema dalam hati sambil menganggukkan
kepalanya kepada Raden Wijaya sebagai tanda
persetujuannya ikut bersama ke Kotaraja.
"Sudah lama aku tidak mengunjungi Kotaraja", berkata
Rangga Lawe kepada Raden Wijaya.
"Bila saja ini perjalanan pesiar, aku pasti mengajakmu",
berkata Raden Wijaya sambil tersenyum kepada Rangga
Lawe. "Siap menjalankan tugas, mewakili Senapati Agung di
Balai Tamu", berkata Rangga Lawe dengan sikap tegak
hormat sebagaimana seorang prajurit rendah menghadap perwiranya. "Bila ada tamu asing, katakan dirimu sebagai Senapati
agung. Aku tidak akan menghukummu", berkata Raden
Wijaya menanggapi canda Rangga Lawe.
Pembicaraan mereka terhenti manakala dari balik pintu
pendapa keluar pelayan tua sambil membawa beberapa
hidangan. "Mudah-mudahan hidangan ini berkenan dilidah tuantuan", berkata Raden Wijaya mempersilahkan tamunya.
"Yang paling susah adalah menyamakan perasaan hati,
sementara lidah sangat bergantung kepada keadaan dan
8 suasana hati", berkata Mengki sambil mengisi
mangkuknya dengan nasi putih yang masih hangat.
"Kadang perasaan hati dapat berubah seiring dengan
keadaan dan suasana yang berubah", berkata Raden
Wijaya sambil ikut memenuhi mangkuknya.
"Ternyata orang Mongol dan orang jawa punya cara yang
sama, makan dengan tangannya", berkata Mengki ketika
melihat Raden Wijaya tengah menyuap sejumput nasi
dengan tangannya. "Apakah ada orang yang memakan tidak dengan
tangannya ?", bertanya Rangga Lawe kepada Mengki.
"Orang Cina tembok besar memakan apapun dengan
dua sumpit kayunya", berkata Mengki kepada Rangga
lawe. "Kudengar Kaisar Kubilai Khan sangat membenci orang
Cina, tak satu pun pejabatnya berasal dari bangsa Cina",
berkata Raden Wijaya yang sering mendengar banyak
cerita dari saudagar-saudagar besar yang sering datang
dan berhubungan dengannya.
"Bangsa Cina sering menyebut kami sebagai bangsa liar
tidak beradab, tapi bukan itu yang menyebabkan Kaisar
kami membenci orang Cina, ada seorang pejabatnya
yang berasal dari bangsa Cina yang diam-diam telah
menghianatinya", berkata Mengki memberikan penjelasannya. "Aku mulai banyak mengenal bangsamu, sekelompok
orang yang punya cita-cita dan semangat tinggi, dan
kaisarmu telah mampu menghimpunnya dalam sebuah
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesetia-kawanan yang kuat", berkata Raden Wijaya
kepada Mengki. "Seperti semut hitam berbagi rasa dan kesetiaan",
9 berkata Kebo Arema ikut memberikan tanggapannya.
Ternyata pembicaraan mereka yang panjang telah
mengikat mereka untuk saling mengenal dan saling
menghargai. "Kalian baru saja tiba dari perjalanan yang jauh,
beristirahatlah", berkata Raden Wijaya kepada Mengki
mempersilahkan Mengki dan dua orang yang
bersamanya untuk beristirahat.
Terlihat seorang pelayan tua mengantar mereka
ketempat yang biasa dipergunakan untuk para tamu
yang datang dari tempat yang jauh untuk bermalam.
"Mudah-mudahan Sri baginda Maharaja dapat berpikir
jernih, membuat keputusan dengan bijaksana", berkata
Kebo Arema kepada Raden Wijaya ketika Mengki dan
pengiringnya sudah meninggalkan pendapa Balai Tamu.
"Mengakui kebesaran kaisar Kubilai Khan berarti
hilangnya sebuah harga diri bangsa. Sementara bila
menolaknya, kita akan berhadapan dengan sebuah
kekuatan besar, sebuah peperangan besar", berkata
Raden Wijaya menyampaikan pandangannya.
"Bila kamu adalah Sri Baginda Maharaja, apa yang akan
kamu putuskan?", bertanya kebo Arema kepada Raden
Wijaya. Raden Wijaya tidak langsung menjawab, terlihat
menarik nafas panjang untuk mencoba mendengar
sendiri kata hatinya. "Apa artinya sebuah harga diri bila harus dibayar dengan
banyak darah. Sementara sebuah upeti tidak akan
membuat kita jatuh miskin", berkata Raden Wijaya
berbicara mengikuti perasaan hatinya.
"Ternyata kita punya perasaan dan pemikiran yang
sama", berkata Kebo Arema menanggapi pernyataan
10 Raden Wijaya. "Mudah-mudahan Sri baginda Maharaja mempunyai
perasaan dan pemikiran yang sama juga", berkata Raden
Wijaya dengan wajah penuh harap
"Bagaimana dengan dirimu Rangga Lawe?", berkata
Kebo Arema kepada Rangga Lawe yang sedari tadi
hanya banyak mendengar. Terlihat Rangga Lawe layaknya seorang pemikir berat,
lama sekali berpikirnya sambil memandang kapal layar
besar jung Singasari yang tengah bersandar di
dermaganya. "Angkatan perang laut kita begitu kuat, prajurit kita tidak
pernah terkalahkan. Apa yang harus kita takutkan dari
mereka?", berkata Rangga lawe memberikan tanggapannya. "Aku tidak menyalahkan pendapatmu, yang kukhawatirkan bahwa Sri Baginda Maharaja mempunyai
pikiran yang sama denganmu", berkata Kebo Arema.
"Paman Kebo Arema terlalu berputar-putar, katakan saja
bahwa pendapatku berseberangan", berkata Rangga
Lawe. Terlihat Kebo Arema tersenyum mendengar pernyataan
yang langsung dari Rangga Lawe. Diam-diam memahami
watak dan pembawaan anak muda dihadapannya itu
yang polos dan tidak mengenal tedeng aling-aling, apa
yang dirasakan dan dipikirkan langsung diucapkan.
"Anak muda ini berbeda sekali dengan Raden Wijaya,
apalagi bila disandingkan dengan Mahesa Amping. Tapi
justru perbedaan itulah yang mengikat persahabatan
mereka bertiga", berkata Kebo Arema dalam hati.
"Kekuatan angkatan perang laut kita memang kuat,
11 prajurit kita punya pengalaman bertempur yang tangguh.
Yang belum kita miliki adalah keyakinan bahwa apakah
ada kesetiaan diantara para raja-raja diseluruh Singasari
Raya?", berkata Kebo Arema kepada Rangga Lawe.
Terlihat Rangga Lawe dan Raden Wijaya tercenung
sebentar membenarkan pandangan Kebo Arema.
"Mengalah bukan kalah, dan tidak semua masalah harus
diselesaikan dengan sebuah peperangan", berkata Kebo
Arema kepada raden Wijaya dan Rangga Lawe yang
nampaknya menerima pandangan Kebo Arema.
Sementara itu matahari diufuk barat sudah mulai
tergelincir terpotong setengahnya mengintip diujung
tepian bumi. Angin deras bertiup meliuk-liuk daun dan
ranting pepohonan yang tumbuh disekitar Rumah Balai
Tamu. Terlihat seorang pelayan tua keluar dari rumah Balai
Tamu lewat pintu butulan. Tidak seorang pun yang
memperdulikan orang tua yang sudah lama bekerja
melayani penghuni rumah Balai Tamu. Orang tua yang
sudah dipenuhi warna putih hampir seluruh rambut
kepalanya itu terus berjalan ke arah sebuah dusun
terdekat yang tidak jauh dari Bandar Cangu.
"Lama sekali Ki Widura tidak nyambat kegubukku",
berkata seorang lelaki yang terlihat seumuran dengan
pelayan tua yang dipanggil Ki Widura oleh pemilik rumah
itu."pasti ada hal penting yang kamu bawa", berkata
kembali lelaki itu ketika Ki Widura sudah duduk di balebale rumahnya.
"Kabar yang kubawa ini mungkin dapat membangunkan
orang-orang Kediri yang masih setia kepada Raja dan
keturunannya", berkata Ki Widura berhenti sebentar
mengatur nafasnya. 12 Terlihat lelaki tua itu memperbaiki letak duduknya
mendengar perkataan Ki Widura, sepertinya takut ada
yang tertinggal. "Di Balai tamu saat ini ada kedatangan tamu penting,
mereka adalah utusan langsung dari Kaisar Kubilai Khan,
penguasa besar pemilik separuh bumi ini yang
mempunyai pasukan kuda yang kuat yang membawa
guntur dalam setiap peperangannya", berkata Ki Widura
kepada lelaki dihadapannya.
"Dari mana Ki Widura mendapatkan keterangan itu?",
bertanya lelaki itu kepada Ki Widura.
"Aku mendapatkan semua itu langsung dari dua orang
budak utusan itu, dikatakan juga bahwa Singasari akan
dibakar habis bila tidak mengakui kebesaran Kaisar
Agung Kubilai Khan", berkata Widura kepada lelaki itu.
"Aku belum dapat menangkap hubungan utusan itu
dengan kepentingan kita", berkata lelaki itu kepada Ki
Widura. "Kita bunuh utusan itu, kematian utusan itu akan menjadi
api kemarahan Kaisar Kubilai Khan", berkata Ki Widura
kepada lelaki itu. "Ternyata uban dikepalamu tidak merapuhkan otakmu.
Aku akan menyampaikan hal ini kepada kawan-kawan
kita", berkata lelaki itu kepada Ki Widura.
"Hari sudah mulai gelap, aku kembali ke Balai Tamu",
berkata Ki Widura sambil beranjak turun dari bale-bale
bambu. "Malam ini juga aku akan menyampaikan keteranganmu
kepada kawan-kawan kita", berkata lelaki itu sambil
mengantar Ki Widura yang akan kembali ke rumah Balai
Tamu tempat dimana dirinya bertugas sebagai seorang
13 pelayan. Tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa
jauh dikehidupannya adalah sebagai seorang abdi dalem
istana Kediri yang setia kepada Raja Kertajasa dan
keturunannya. "Darimana saja Pak tua", bertanya seorang prajurit yang
mengenalnya ketika Ki Widura sudah sampai di rumah
Balai Tamu. "Mengantar sedikit makanan untuk keponakanku di
Dusun Ceger", berkata ki Widura sambil tersenyum
ramah. Terlihat Ki Widura telah masuk kembali ke rumah Balai
Tamu lewat pintu butulan.
Sementara itu hari memang sudah jatuh malam, terlihat
dua ekor kuda melesat di kegelapan malam.
"Besok mereka baru berangkat, kita harus mendahului
mereka tiba di Kotaraja", berkata seorang lelaki kepada
temannya sambil menghentakkan kakinya ke perut
kudanya agar berlari lebih cepat lagi.
Malam itu jalanan antara Bandar Cangu dan Kutaraja
memang sudah terlihat begitu sepi, para saudagar lebih
banyak memilih perjalanan siang. Bukan karena takut
adanya perampokan, yang mereka takutkan adalah
masih banyak binatang buas berkeliaran di malam hari,
terutama dijalan yang membelah hutan yang harus
mereka lalui. Tapi kedua penunggang itu sepertinya tidak menghiraukan apapun, apalagi hanya binatang buas
seperti harimau dan srigala. Keduanya hanya takut bila
sampai terlambat memasuki Kotaraja.
Sukar sekali mencirikan kedua penunggang kuda itu
yang melarikan kudanya seperti angin. Kegelapan malam
14 mengaburkan wajah mereka.
Ketika menemui jalan yang membelah hutan, justru
mereka melambatkan jalan kudanya. Terlihat keduanya
turun meloncat dari punggung kudanya.
Hutan di kiri kanan jalan itu telah membuat suasana
malam menjadi begitu pekat. Terlihat kedua orang itu
menuntun kudanya kearah parit kecil yang ada mengalir
membelah jalan. Dibiarkan kuda-kuda mereka memuaskan dahaganya diparit kecil yang berair jernih
memercik batu-batu kecil.
Tidak lama kemudian mereka telah berada dipunggung
kuda kembali, awalnya perlahan, namun kembali
terdengar suara ringkik kuda yang kaget merasakan
perutnya dihentakkan oleh kaki tuannya langsung berlari
kencang. Kembali dua ekor kuda seperti berpacu membelah angin
malam didalam kepekatan hutan malam. Suara derap
langkah kaki kuda memecahkan kesunyian malam yang
dingin dijalan yang terus menanjak.
Kabut menutupi gerbang Kotaraja Singasari di malam
yang sudah menjadi tua, namun masih jauh datangnya
pagi. Terlihat dua orang berkuda telah memasuki
gerbang kota, berjalan perlahan menapaki jalan Kotaraja
yang lengang. Dibawah naungan langit malam dijalan Kotaraja, wajah
kedua penunggang kuda itu mulai dapat terlihat jelas.
Penunggang pertama bertubuh tinggi kekar, wajahnya
terlihat kaku dan keras dengan tulang rahang yang
nampak menonjol. Melihat dari wajahnya dapat
diperkirakan sebagai lelaki yang sudah tidak muda lagi,
namun tidak juga dikatakan sudah tua.
15 Sementara itu penunggang kedua bertubuh pendek dan
kekar. Wajahnya bulat dengan kening agak lebar.
Rambut sebelah depan sudah terlihat menipis, hanya
bagian bawahnya yang masih nampak gembal.
Terlihat kedua orang itu memasuki sebuah rumah besar
dipinggir jalan, nampaknya sebuah rumah pejabat
kerajaan dengan empat buah pilar kayu yang tinggi
berukir menyanggah pendapa rumahnya.
"Siapa?", berkata seorang penjaga yang mengintip dri
regol pintu gerbang halaman muka rumah itu.
"Aku Prastaka", berkata seorang yang bertubuh pendek
dan kekar kepada penjaga itu.
Rupanya penjaga itu cukup mengenali suara orang yang
menyebut dirinya bernama Prastaka, maka segera
membuka palang pintu gerbang.
"Bangunkan tuanmu, bila dia marah katakan bahwa ini
sangat penting sekali", berkata Prastaka ketika sudah
masuk kedalam rumah itu kepada seorang penjaga.
Sepertinya Prastaka sudah cukup sering datang kerumah
itu. Terlihat Prastaka dan kawannya tengah mengikat
kudanya disebuah dahan pohon kweni yang ada sebalah
pendapa dan langsung menaiki anak pendapa yang
hanya diterangi cahaya pelita di dua sudut pendapa yang
sudah semakin meredup menyisakan sedikit minyak
buah jarak. Terdengar derit suara pintu ditarik, pintu utama pendapa
terkuak lebar. Keluar dari pintu itu seorang lelaki dengan
wajah cukup bersih. Kerut-kerut didahi dan dibawah
matanya menandakan usianya yang sudah cukup tua.
"Ternyata kamu Prastaka", berkata lelaki itu menyapa
16 tamunya. "Pasti ada sesuatu yang sangat penting sekali
hingga tidak bisa diundur menunggu pagi", berkata
kembali lelaki itu sedikit menyinggung Prastaka yang
telah membangunkan tidurnya.
"Maafkan aku Malendra, urusan yang kubawa ini
memang tidak bisa menunggu pagi", berkata Prastaka
kepada lelaki itu yang dipanggilnya sebagai Malendra
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang ternyata adalah seorang pejabat kerajaan yang
bertugas menerima pajak dan upeti kerajaan.
Maka Praskata langsung menyampaikan urusannya yang
dikatakan sangat penting itu kepada Malendra.
"Membunuh utusan Kaisar Kubilai Khan?", berkata
Malendra setelah mendengar penjelasan Prastaka yang
dikatakan sebagai urusan yang sangat penting itu.
"Kita hancurkan kerajaan Tumapel ini lewat kekuatan
lain", berkata Prastaka yang enggan menyebut Singasari
tapi masih tetap mengatakan Kerajaan Tumapel kepada
Malendra. "Apakah sudah disiapkan orang yang mampu melakukan
tugas pembunuhan itu?", bertanya Malendra kepada
Prastaka. "Ki Ambeg Kulon bersedia menjalankan tugas itu",
berkata Prastaka sambil menunjuk kawan disebelahnya
yang disebutnya bernama Ki Ambeg Kulon.
Malendra memperhatikan Ki Ambeg Kulon dari bawah
sampai keatas kepala, namun ketika bertemu pandang
mata Ki Ambeg Kulon, terkesiap Malendra merasa jerih
karena membentur sebuah mata yang tajam dan dingin.
Seketika Malendra melemparkan pandangannya menghindari tatapan mata Ki Ambeg Kulon.
Prastaka tersenyum melihat ada rasa jerih Malendra
17 kepada Ki Ambeg Kulon, orang yang tidak diragukan lagi
dan sudah dikenalnya sebagai seorang pembunuh
bayaran yang tidak pernah gagal menjalankan tugasnya,
dan memang mempunyai pandang mata yang dingin,
memandang nyawa manusia senilai harga upah yang
diterima. "Junjungan kita Raja Jayakatwang akan merasa bangga
bilasaja urusan kita ini berhasil", berkata Prastaka
kepada Malendra. "Bantuan apa yang kamu inginkan dariku?", bertanya
Malendra yang sebenarnya sudah merasakan kehidupan
yang tenang sebagai pejabat kerajaan dan menganggap
kelompok perjuangan orang-orang yang masih setia
kepada Raja Kertajasa dan keturunannya hanya sebagai
kecemburuan nasib. Sebagai orang asli dari tanah Kediri
yang hidup di Kotaraja, dirinya tidak merasakan adanya
perbedaan. Sebagai pejabat kerajaan dirinya melihat
bahwa Sri Maharaja Singasari tidak pernah membedakan
orang Tumapel dan orang Kediri.
Tapi dihadapan Prastaka dirinya tidak bisa menolak,
kawannya inilah yang membawanya kepada Raja
Jayakatwang untuk dijadikan sebagai kaki tangannya di
Istana Singasari. "Aku ingin kamu menyusupkan Ki Ambeg Kulon kedalam
istana", berkata Prastaka kepada Malendra.
Perkataan Prastaka dirasakan sebagai todongan pedang
panjang menempel di lehernya, Malendra seperti tidak
ada daya dan kekuatan apapun untuk mengatakan
"tidak".Bahkan secara tidak sadar dirinya berucap
berbeda dari keinginan hatinya.
"Besok pagi kubawa kawanmu ini ke istana, kudengar
ada seorang pengalasan yang sudah cukup tua untuk
18 digantikan", berkata Malendra kepada Prastaka.
"Tidak sia-sia kubawa dirimu ke Istana Tumapel ini",
berkata Prastaka kepada Malendra.
Pembicaraan mereka terhenti ketika seorang pelayan
perempuan tua datang membawa hidangan pagi yang
hangat. Diluar rumah Malendra yang besar dan megah
langit memang sudah mulai berwarna kemerahan
sebagai tanda sebentar lagi sang fajar akan datang
mewarnai wajah pagi dibumi.
Sementara itu di bandar Cangu diwaktu yang sama,
terlihat lima ekor kuda perlahan meninggalkan bandar
Cangu, mereka adalah Raden Wijaya, Kebo Arema,
Mengki dan dua orang budaknya. Mereka tengah
melakukan perjalanan menuju Kotaraja.
"Aku terlahir di bumi yang tandus, siang hari panas begitu
mencekam membakar kulit sementara bila malam datang
angin dingin seperti menjerat sekujur tubuh. Disini aku
seperti melihat surga ada di sepanjang mata
memandang", berkata Mengki kepada Raden Wijaya
dengan wajah penuh kegembiraan melihat pemandangan alam disekitarnya, sawah ladang, lereng
dan bukit yang hijau sejauh pandangan mata.
"Keindahan yang kita lihat tergantung perasaan hati,
kadang di sebuah tempat yang gersang sekalipun akan
menjadi suasana yang indah manakala persaan hati
penuh kebahagiaan", berkata Raden Wijaya kepada
Mengki yang beriring berkuda bersamanya.
Dan matahari sepertinya mengikuti mereka melewati
batang-batang pohon disepanjang perjalanan. Kadang
diperjalanan mereka bersisipan dengan para pedagang
yang tengah membawa barang dengan kereta kuda
menuju arah Bandar Cangu. Atau kadang juga melewati
19 kereta barang yang sarat muatan menuju Kotaraja.
Mereka memang tidak memacu kudanya berlari,
sepertinya mereka tidak berpacu dengan waktu dan
membiarkan kuda mereka berjalan setengah berlari.
Kita tinggalkan dulu perjalanan Raden Wijaya dan Kebo
Arema yang tengah mengantar utusan Kaisar Kubilai
Khan menuju Kotaraja, seiring waktu yang sama di
Kotaraja terlihat Malendra dan Ki Ambeg Kulon tengah
memasuki gerbang istana. Terlihat dua orang prajurit
pengawal istana membiarkan Malendra yang sudah
mereka kenal membawa seorang asing bersamanya.
Kedua prajurit itu mungkin berpikiran sama bahwa
Malendra membawa saudara atau kerabatnya untuk
suatu urusan di istana. "Sebelumnya kami ke rumah Kangmas Gontar, tapi
orang dirumah mengatakan Kangmas Gontar sudah
berangkat ke Istana", berkata Malendra kepada
kawannya yang dipanggilnya sebagai Kangmas Gontar.
"Pasti ada urusan penting hingga Dimas Malendra
datang kerumahku", berkata lelaki yang bernama Gontar
itu kepada Malendra. "Aku mendapat kabar bahwa di Istana ini membutuhkan
seorang pengalasan, aku membawa saudaraku ini.
Mudah-mudahan kangmas Gontar dapat mempekerjakannya", berkata Malendra kepada Gontar
yang ternyata adalah Pejabat istana yang bertugas
mengatur segala urusan rumah tangga istana.
"Benar, kami membutuhkan seorang pengalasan untuk
menggantikan Ki Broto yang sudah tua. Apakah ini
saudaramu ?", bertanya Gontar kepada Malendra.
"Benar, saudara dari istriku", berkata Malendra kepada
20 Gontar memperkenalkan Ki Ambeg Kulon.
"Aku terima saudaramu ini. Mari ikut bersamaku ke
tempat Ki Broto untuk mengetahui tugas-tugas
pengalasan istana", berkata Gontar kepada Malendra.
"Terima kasih Kangmas Gontar, aku berharap saudaraku
ini secepatnya dapat belajar dari Ki Broto", berkata
Malendra kepada Gontar yang terlihat melangkah pergi
membawa Ki Ambeg Kulon menemui Ki Broto seorang
pengalasan istana yang sebentar lagi akan purnabhakti
kembali kekampung halamannya.
Sementara itu diwaktu yang sama, Raden Wijaya dan
rombongannya masih dalam perjalanan menuju Kotaraja.
Setengah berlari mereka memacu kudanya diatas tanah
keras berdebu. Ketika matahari sudah berada diatas kepala, mereka
berhenti sebentar disebuah kedai sekedar melepas penat
dan mengistrahatkan kuda-kuda mereka. Hanya
sebentar, tidak lama kemudian terlihat mereka sudah
keluar dari kedai untuk melanjutkan perjalanan kembali.
"Kotaraja Singasari sudah semakin dekat", berkata
Raden Wijaya kepada Mengki ketika jalan yang mereka
lalui terus menanjak kadang berkelok mengitari
perbukitan. Kita kembali lagi ke Istana Kotaraja, disebuah
Pasanggrahan Kaputrian terlihat dua orang lelaki tengah
membongkar sebuah rumpun pohon pinang merah.
Ternyata mereka adalah dua orang Pengalasan yang
sedang bekerja, terlihat seorang diantaranya sudah
begitu tua dengan warna rambut sudah merata putih
memenuhi kepalanya terlihat diantara ikatan kain
kepalanya. 21 Kawan pengalasan yang tua itu ternyata adalah Ki
Ambeg Kulon yang mulai hari itu juga sudah diterima
bekerja di Istana sebagai seorang Pengalasan.
"Memindahkan anak pohon Pinang tidak bisa langsung,
kita harus menyapihnya terlebih dahulu beberapa hari",
berkata pengalasan tua itu kepada Ki Ambeg Kulon.
"Kukira hanya anak bayi saja yang disapih dari ibunya",
berkata Ki Ambeg Kulon dengan wajah bosan
mendengar uraian pengalasan tua tentang berbagai
tanaman. "Merawat tanaman memang tidak ubahnya dengan
merawat seorang bayi, harus penuh hati-hati dan penuh
kasih sayang", berkata pengalasan tua itu kepada Ki
Ambeg Kulon. "Ternyata tanaman juga perlu kasih sayang, tidak
sekedar disiram?", berkata Ki Ambeg Kulon menahan
kekesalannya. "Kamu benar, tanaman seperti berjiwa. Tidak semua
orang dapat memelihara tanaman. Hanya orang
bertangan dingin saja yang dapat memelihara tanaman
terus hidup, subur dan berkembang", berkata pengalasan
tua itu kepada Ki Ambeg Kulon.
"Ternyata aku jodoh bekerja sebagai Pengalasan, hampir
semua orang yang mengenalku mengatakan aku ini
berdarah dingin"berkata Ki Ambeg Kulon asal bunyi
untuk melepas kejemuannya.
Pengalasan tua itu terlihat tertawa mendengan ucapan Ki
Ambeg Kulon sambil memandang Ki Ambeg Kulon dari
bawah sampai kekepala. "Bila kamu berdarah dingin, harusnya kamu membegal
atau menjadi pembunuh bayaran, bukan bekerja disini
22 sebagai juru pengalasan", berkata Pengalasan tua itu
sambil tertawa lama hingga sampai mengeluarkan air
mata. Sementara itu diwaktu yang sama dan ditempat yang
berbeda, Raden Wijaya dan rombongannya telah
memasuki sebuah kawasan jalan yang dipenuhi hutan
dikanan kirinya. "Beri kesempatan kuda-kuda kita mendahagakan dirinya
minum air segar", berkata Kebo Arema sambil melompat
dari punggung kudanya, menuntun kudanya menuju
kesebuah parit kecil yang membelah jalan yang diteduhi
hutan yang kerap. Terlihat semua mengikuti Kebo Arema, menuntun
kudanya dan membiarkannya meminum air segar yang
terlihat mengalir jernih diatas batu-batu kecil.
Suasana jalan itu sendiri terasa begitu teduh karena
tertutup hutan yang kerap dengan banyak pohon besar
menutupi langit diatas jalan yang memaksa siapapun
untuk beristirahat lama bahkan dapat terkantuk-kantuk
menikmati sejuknya semilir angin yang berhembus.
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita", berkata Raden
Wijaya sambil tersenyum melihat dua orang budak
Mengki hampir pulas rebahan bersandar disebuah
batang pohon besar. "Kita sampai di Kotaraja sebelum senja", berkata kebo
Arema kepada Mengki sambil melompat keatas
punggung kudanya untuk melanjutkan perjalanannya.
Senja memang masih perlu waktu yang panjang untuk
mendatangi bumi, diatas langit jalan menuju Kotaraja,
juga diatas langit istana Singasari yang megah dipenuhi
taman yang indah terpelihara.
23 Terlihat dua orang lelaki tengah berjalan dari arah
Pesanggrahan Kaputrian menuju Pasanggrahan Sentanu, sebuah pasangrahan yang baru dipugar dan
diperbaruhi sebagai tempat beristirahat para tamu dan
kerabat keluarga istana yang datang dari tempat yang
jauh. "Hanya di dua tempat ini tugas dan tanggung jawab kita,
taman yang ada di Pasanggrahan Kaputrian dan
Pasanggrahan Sentanu", berkata pangalasan tua kepada
Ki Ambeg Kulon ketika mereka tiba pasanggrahan
Sentanu. "Sebuah patung yang indah", berkata Ki Ambeg Kulon
ketika pandangannya menyapu seisi halaman yang
cukup luas dibatasi oleh dinding batu, sebuah patung
orang berkuda terlihat berdiri ditengah-tengah halaman.
"Itulah patung pahlawan Mahesa Agni, dipasanggrahan
inilah beliau pernah tinggal", berkata Pangalasan tua itu
kepada Ki Ambeg Kulon. Pangalasan tua itupun memberi
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perintah apa yang harus dilakukan di taman halaman
Pasanggrahan Sentanu. Terlihat kedua orang ini telah bekerja membersihkan
beberapa daun yang berserakan, menyirang tanaman
bunga serta menggemburkan tanahnya.
"Hari sudah mendekati senja", berkata Pangalasan tua
sambil menatap langit dimana matahari sudah mulai
tergelincir diufuk barat bumi.
Disaat itu pula terlihat lima orang berkuda telah tiba di
gerbang batas Kotaraja. Mereka adalah Raden Wijaya,
Kebo Arema bersama Mengki dan dua orang budaknya.
"Sebuah hunian yang cukup ramai", berkata Mengki
kepada Raden Wijaya ketika kudanya telah memasuki
24 dan menapaki jalan Kotaraja yang masih ramai di saat
menjelang senja itu. Sementara itu didalam istana, dua orang lelaki tengah
berjalan keluar regol halaman pasanggrahan, mereka
adalah Ki Ambek Kulon dan pangalasan tua yang telah
menyelesaikan tugasnya kembali kebilik mereka yang
ada di belakang istana yang disediakan untuk beberapa
abdidalem. "Bilik ini akan menjadi milikmu", berkata Pangalasan tua
kepada Ki Ambeg Kulon ketika mereka tiba di biliknya.
Ki Ambeg Kulon tidak menjawabnya, terlihat
menyandarkan dirinya diatas bale-bale bambu. Yang ada
didalam pikirannya adalah gambaran pasanggrahan
Sentanu dimana utusan Kubilai Khan akan bermalam
beberapa hari di Pasanggrahan itu.
Sementara itu dipintu gerbang depan istana, terlihat lima
orang penunggang kuda telah turun dan menuntun
kudanya. "Selamat datang di istana Singasari", berkata seorang
prajurit yang sudah sangat mengenal Raden Wijaya dan
Kebo Arema. Terlihat Raden Wijaya tengah berbicara kepada seorang
kepala prajurit pengawal.
"Antarkan tamu kita ini ke Pasanggrahan Sentanu untuk
beristirahat", berkata Raden Wijaya kepada kepala
prajurit pengawal istana itu.
"Secepatnya akan kuberi kabar, kapan saatnya
menghadap Sri Baginda Maharaja", berkata Raden
Wijaya kepada Mengki Terlihat Mengki dan dua orang pengiringnya telah diantar
oleh seorang prajurit ke Pasanggrahan Sentanu.
25 Sementara itu Raden Wijaya dan Kebo Arema langsung
ke Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
"Kesibukan kalian membuat jarak Kotaraja dan Bandar
Cangu menjadi begitu jauh", berkata Ratu Anggabhaya
ketika menyambut kedatangan Raden Wijaya dan Kebo
Arema bersama Pangeran Lembu Tal.
Seperti biasa, kehadiran Raden Wijaya menjadikan
suasana pasanggrahan itu menjadi begitu hangat.
Terlihat pelita malam di pendapa agung Pasanggrahan
terang benderang. Setelah menyampaikan berita keselamatan masingmasing, Raden Wijaya menjelaskan tentang kehadiran
mereka di Kotaraja kepada Ayah dan Kakeknya.
"Perlu sebuah kebijaksanaan yang luas untuk
memutuskannya", berkata Ratu Anggabhaya setelah
mendengar semua keterangan dari Raden Wijaya
tentang kedatangan utusan dari Kerajaan Mongolia.
"Kapan cucunda menghadap Sri Baginda Maharaja?",
bertanya Ratu Anggabhaya kepada Raden Wijaya.
"Besok pagi cucunda akan menghadap Sri baginda
Maharaja bersama Paman Kebo Arema", berkata Raden
Wijaya kepada Ratu Anggabhaya.
Namun belum habis perkataan Raden Wijaya, terlihat
iring-iringan prajurit pengawal istana memasuki regol
halaman pasanggrahan.Ternyata para prajurit itu datang
bersama Sri Baginda Maharaja Singasari.
"Baru saja cucundaku berkata bahwa besok pagi akan
menghadap Tuanku Baginda", berkata Ratu Anggabhaya
kepada Sri Baginda Maharaja yang telah duduk di
pendapa Agung bersama mereka.
"Aku melihat ada asap besar di Pasanggrahan ini,
26 panggraitaku mengatakan ada tamu agung yang datang
kemari", berkata Sri Baginda Maharaja penuh
senyum."Pasti ada kabar sangat penting yang dibawa
oleh sepupuku dan pamanku ini", berkata kembali Sri
Baginda Maharaja sambil memandang kearah Raden
Wijaya dan Kebo Arema. Maka dengan singkat Raden Wijaya bercerita tentang
maksud dan tujuannya datang ke Kotaraja, dan yang
penting adalah perihal kedatangan utusan resmi Kaisar
Kubilai Khan. Suasana di pendapa agung ketika Raden Wijaya
menyelesaikan penjelasannya menjadi begitu hening,
semua mata mengarah kepada Sri Baginda Maharaja,
sepertinya menunggu sebaris kata-kata penghatur
sabda. Terlihat Sri Baginda Maharaja menarik nafas panjang,
pandangannya mengarah kepada Kebo Arema.
"Sebelum aku mengambil keputusanku, aku
mendengar pandangan dari Paman Kebo Arema.
ingin Maka segenap mata kini beralih tertuju kepada Kebo
Arema. "Sebuah kehormatan besar untuk hamba yang bodoh,
tuli, papa dan hina ini dihadapan jungjungan hamba
menghaturkan sebuah kejelian mata, maka perkataan
hamba ini janganlah dicela. Bukanlah kita kawan kaum
srigala yang haus akan peperangan, bukanlah kita
kawan sekumpulan kelinci yang hanya bisa berlari.
Namun harus diperdulikan nasib para jelata. Pasukan
lawan sungguh tak tercela, telah menunjukkan
kekuatannya mampu merobohkan tembok besar orangorang cina daratan, membantai pasukan gajah prajurit
Burma serta meluluh lantakkan benteng-benteng kota
27 bangsa arab. Dan mereka selalu membawa guntur dalam
setiap peperangannya. Saat ini hampir separuh dunia
tunduk dibawah kekuasaannya. Pasukan mereka begitu
kuat sebagaimana kuatnya kesetiaan mereka kepada
Kaisarnya, Sementara itu kita belum dapat memegang
kesetiaan dari para raja sedarah di seluruh Singasari
Raya. Mengalah bukan berarti kalah namun sebuah cara
menunggu datangnya saat kemenangan. Demikian
kejelian mata hamba yang bodoh ini, mohon Sri Baginda
Junjungan hamba ampuni tutur kata hamba bila didengar
tercela", berkata Kebo Arema menyampaikan pandangannya dihadapan Sri Baginda Maharaja.
"Yang kutahu Paman Kebo Arema adalah pemanah
ulung, selalu memilih burung terbelakang di sekumpulan
barisan burung yang tengah terbang. Jiwa Paman Kebo
Arema begitu kasih sesama. Kejelian mata Paman Kebo
Arema tidak disangsikan lagi, menjadi pegangan jalanku,
sumber cahaya penerang hatiku", berkata Sri Baginda
Maharaja. Terlihat suasana kembali menjadi begitu hening, semua
mata tertuju kepada Sri Baginda Maharaja menunggu
kata-kata penghatur sabda, keputusan seorang Raja.
Sri Baginda Maharaja menyapu pandangannya kesemua
orang yang hadir di Pendapa Agung pasanggrahan Ratu
Anggabhaya, mengerti bahwa semua orang menunggu
keputusannya. Tiba-tiba pandangan mata Sri baginda Maharaja berhenti
tertuju kepada Raden Wijaya.
"Bagaimana pendapatmu wahai sepupuku?", bertanya
Sri Baginda Maharaja kepada Raden Wijaya.
Maka saat itu juga semua pandangan tertuju kepada
Raden Wijaya. 28 "Pendapatku tidak banyak berbeda sebagaimana
pandangan Paman Kebo Arema, mengakui kebesaran
Kaisar Kubilai Khan tidak akan mengurangi nilai martabat
diri kita bilamana yang kita berikan hanya sebatas
sebuah upeti yang tidak akan mengurangi kekayaan kita,
pada saatnya kita rebut kembali semuanya ketika kita
siap memiliki tanduk yang kuat dan sepasang sayap
yang kokoh", berkata Raden Wijaya memberikan
pandangannya sebagaimana diminta oleh Sri Baginda
Maharaja. Kembali semua pandangan tertuju kepada Sri Baginda
Maharaja, menantikan sebuah keputusan mengalir dari
kata-katanya. Pelita malam yang ada di pendapa agung pasanggrahan
itu ikut menerangi hampir semua wajah dalam kesan
yang sama, wajah penuh harap dengan garis dahi yang
tertarik menegang kebelakang.
Terlihat Sri Baginda Maharaja menyapu pandangannya
kesemua orang yang hadir di Pendapa Agung
pasanggrahan Ratu Anggabhaya, mengerti bahwa
semua orang tengah menunggu keputusannya. Sri
Baginda Maharaja hanya tersenyum melihat semua
orang di pendapa agung itu menatap wajahnya.
Tiba-tiba pandangan mata Sri baginda Maharaja berhenti
tertuju kepada Ratu Anggabhaya.
"Cinta dan hormatku pada Paman Anggabhaya,
sebagaimana cinta dan hormatku kepada Ayahandaku.
Di hari Maguntur Raya Paman Anggabhaya selalu hadir
menemani Ayahandaku, selalu memberi jalan memecahkan kebuntuan, memberi cahaya didalam
kegelapan. Malam ini keponakanmu meminta kemurahanmu, memberikan sedikit pitutur luhur untuk
29 paugeran hidupku, agar keputusanku tidak tercela",
berkata Sri baginda Maharaja dengan penuh hormat
sebagai seorang kemenakan kepada pamandanya, Ratu
Anggabhaya. Maka seperti sebelumnya, semua mata beralih kearah
Ratu Anggabhaya. Ratu Anggabhaya tidak langsung menjawab, terlihat
senyumnya dilemparkannya kesemua orang di pendapa
agung itu yang tengah memandangnya.
"Badan dan semangatku sudah semakin rapuh, langkah
kakiku tidak lebih jauh berkisar antara Kotaraja. Aku
belum tahu betul kekuatan Kerajaan bangsa Mongolia,
namun darah yang mengalir di dalam tubuh kita adalah
darah para leluhur kita yang tidak pernah gentar
menghadapi musuh dimanapun. Diriku tidak pernah takut
kepada siapapun. Hanya satu yang kutakutkan, hujaman
pisau dari belakang milik saudara dan kerabat kita
sendiri. Wahai kemenakanku Maharaja Singasari yang
terkasih, hanya ada satu kebenaran sebelum Baginda
membuat sebuah keputusan besar, dengarkanlah kata
hatimu. Dia tidak pernah salah menilai apapun, karena
dialah kebenaran hakiki", berkata Ratu Anggabhaya
dengan wajah terang penuh senyum.
"Terima kasih wahai Pamanda, nasehat dan pandangan
Pamanda akan kupusakai", berkata Sri Baginda
Maharaja dengan penuh hormat.
Kembali semua pandangan mata telah beralih ke wajah
Sri Baginda Maharaja. Terlihat Baginda Maharaja tersenyum melihat semua
wajah memandangnya. "Besok adalah hari Maguntur Raya, aku ingin mendengar
30 pandangan para pejabat istana. Namun semua yang
kudengar malam ini akan menjadi pijakan yang kuat
untuk membuat sebuah langkah", berkata Sri baginda
Maharaja dengan wajah penuh senyum."Aku akan
mengabarkan, kapan utusan Kaisar Kubilai Khan itu
datang menghadap", berkata kembali Sri Baginda
Maharaja. Sementara itu langit malam sudah terlihat tua, begitu
pekat dan senyap mengurung pendapa agung yang
masih diterangi pelita malam.
"Masih ada banyak waktu", berkata Sri Baginda sambil
mengangkat badan berdiri untuk pamit diri.
Tidak lama kemudian terlihat iring-iringan pengawal
prajurit istana telah keluar dari regol halaman
pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
"Semoga Sri Baginda Maharaja dapat mendengarkan
perkataan hatinya", berkata Ratu Anggabhaya sambil
mengajak semua yang ada untuk beristirahat.
Sementara itu di Pasanggrahan Sentanu, Mengki dan
kedua pengiringnya sudah lama tertidur lelap. Suasana
malam di istana Singasari yang sejuk telah membuat
mereka seperti dibuai angin sorga sudah sejak sore
masuk keperduannya masing-masing.
Pasanggrahan Sentanu yang berada ditengah-tengah
istana memang tidak dijaga oleh seorang prajurit
pengawal, dianggap penjagaan di sekitar istana sudah
cukup aman bagi siapapun yang bermaksud tidak baik,
dan akan berhadapan dengan para prajurit pengawal
istana sebelum memasuki area Pasanggrahan Sentanu.
Bertambah malam, bertambah pekat kabut perlahan
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
turun menyelimuti istana Singosari. Di kegelapan malam
31 terlihat bayangan melesat mendekati dinding batu
Pasanggrahan Sentanu. Perlahan bayangan itu mendekati regol halaman
Pasanggrahan Sentanu merapatkan diri menyatu pagar
dinding batu dibagian dalam. Lama bayangan itu tidak
bergerak, keremangan malam melindungi dirinya ketika
dua orang prajurit peronda melewati regol pintu halaman
pasanggrahan yang sunyi dan terus menjauh
meninggalkan pasanggrahan Sentanu untuk berkeliling
ketempat lain. Perlahan bayangan itu berendap menyelinap di
kerimbunan tanaman bambu kuning disamping sisi
bangunan. Lama bayangan itu tidak bergerak, mungkin
untuk meyakini apakah keberadaannya masih belum
disadari oleh siapapun. Kabut yang pekat dan dinginnya malam sepertinya
bersahabat dengan sosok bayangan yang masih
merapat di gerumbul tanaman bambu kuning. Begitu
lama bayangan itu tidak bergerak, sebuah kesabaran
dan kehati-hatian yang luar biasa yang memerlukan
keahlian yang tinggi. Tiada gerak dan tiada terdengar
nafas sedikitpun. Namun setelah berlangsung cukup lama, tiba-tiba saja
bayangan itu bergerak melesat melenting tinggi seperti
terbang meloncat kearah atap bangunan utama
Pasanggrahan Sentanu yang gelap dan sunyi.
Tanpa suara sedikit pun, bayangan itu telah hinggap
diatas atap bangunan utama Pasanggrahan Sentanu.
Perlahan bayangan itu menyibak atap bangunan dengan
mudahnya. Masih dalam keadaan merapat pada atap bangunan,
32 wajahnya terlihat mendekati lubang atap yang dibuatnya.
Pelita malam didalam ruangan telah menyinari wajahnya.
Sebuah wajah yang angker dengan sinar mata yang
begitu dingin menjadi terlihat jelas. Ternyata bayangan
itu adalah Ki Ambeg Kulon, seorang pembunuh bayaran
yang tidak pernah gagal menjalankan tugasnya.
"Tugas yang mudah", berkata Ki Ambeg Kulon dalam hati
ketika di dalam ruangan itu melihat seorang yang
berselimut diatas peraduannya.
"Besok pagi di istana ini akan menjadi heboh besar,
seorang utusan dari kerajaan besar telah mati bersibak
darah", berkata Ki Ambeg Kulon dalam hati
memperlihatkan senyum dingin, senyum yang hanya
dimiliki oleh orang yang berdarah dingin, yang
membunuh manusia dengan mata terbuka.
Bagian 2 Tiba-tiba saja tubuh Ki Ambeg Kulon sudah tidak terlihat
lagi lenyap ditelan atap bangunan.
Ternyata Ki Ambeg turun dengan cara meluncur
langsung kebawah dengan begitu ringannya. Dan tidak
ada bunyi sedikit pun manakala kakinya jatuh menginjak
lantai kamar itu. "Orang ini besok tidak lagi menemui pagi", berkata Ki
Ambeg dalam hati sambil mengangkat goloknya yang
tajam terlihat sangat berkilat terkena cahaya pelita
malam yang ada di kamar itu.
Sekilas Ki Ambeg Kulon masih sempat melihat wajah
orang yang masih tertidur pulas, yang ternyata adalah
33 Mengki utusan Kaisar Kubilai Khan.
Golok di tangan Ki Ambeg Kulon terlihat meluncur
dengan cepatnya ke arah leher Mengki.
Tapi apa yang selanjutnya terjadi ?"
Diluar perhitungan Ki Ambeg Kulon tiba-tiba saja tubuh
Mengki bergeser. Slebb !! Golok tajam Ki Ambeg nyasar ketempat kosong. Bukan
main kaget gusarnya Ki Ambeg Kulon melihat
sasarannya telah bergerak menghindari tebasan
goloknya. Namun belum habis rasa kagetnya, sebuah
tendangan yang berasal dari kaki Mengki telah telah
bergerak dengan cepatnya langsung tertuju ke arah
rusuk samping Ki Ambeg Kulon.
Bukkk!! Tendangan Mengki langsung mengenai sasaran.
Terlihat tubuh Ki Ambeg Kulon limbung menabrak
dinding kamar. Terdengar suara keras beberapa barang
yang tertabrak tubuh besar Ki Ambeg Kulon.
Malam itu Ki Ambeg Kulon benar-benar salah dugaan,
sasarannya ternyata bukan orang sembarangan.
Ternyata Mengki memang sedang menunggu Ki Ambeg
Kulon masuk ke kamarnya dengan berpura-pura tidur
pulas. Ternyata Mengki sudah melihat Ki Ambeg Kulon
jauh sebelum Ki Ambeg Kulon melompat ke atas atap
Bangunan. Mengki sudah mendengar dan mengetahui
kehadiran Ki Ambeg Kulon ketika mulai masuk
mengendap di dinding dalam dekat regol pintu halaman
Pasanggrahan Sentanu. Dalam waktu singkat, Ki Ambeg Kulon sudah dapat
34 menguasai dirinya. Sementara itu Mengki dengan
tangkasnya sudah melompat dari peraduannya.
"Aku tidak akan memberikan leherku begitu saja kawan",
berkata Mengki kepada Ki Ambeg Kulon yang telah
berdiri kembali dengan tangan masih menggenggam
senjatanya sebuah golok tajam.
"Sebenarnya aku lebih senang membunuh orang dalam
keadaan mata terbuka", berkata Ki Ambeg Kulon sambil
melepaskan sambaran goloknya kearah dada Mengki.
Mengki yang masih bertangan kosong itu terlihat
bergeser dengan cepatnya kesamping.
Ternyata Mengki bukan hanya menghindar, bersamaan
pula balas menyerang Ki Ambeg Kulon dengan sebuah
tendangan tinggi kearah kepala.
Melihat lawannya telah keluar dari serangannya dan
balas menyerang, Ki Ambeg Kulon dengan tenang
memiringkan kepalanya, sementara itu goloknya telah
bergerak berputar mengejar kaki Mengki yang masih
belum sempat turun kebawah.
Luar biasa !!!, meski kakinya masih belum menyentuh
bumi, kaki yang satunya sudah dapat membuat
tendangan menyerang tangan Ki Ambeg Kulon yang
tengah mengayunkan goloknya.
Melihat tangannya akan terkena sasaran hantaman kaki
Mengki, Ki Ambeg kulon segera merubah arah goloknya
langsung berbalik arah menjemput kaki lawannya yang
lain. Mengki tidak membiarkan kakinya menjadi makanan
golok lawan, dengan cepat menarik kakinya jatuh ke
lantai. Ternyata kaki yang menginjak lantai itu adalah
sebagai tumpuan sumbu bagi kaki yang lainnya untuk
35 melakukan tendangan berputar seperti gasing menerjang
bagian bawah Ki Ambeg Kulon.
Demikianlah, Mengki dengan tangan kosong terus
bertempur menghadapi Ki Ambeg Kulon yang bersenjata
golok di ruang kamar utama yang terbatas itu. Mengki
masih dapat mengimbangi serangan golok Ki Ambeg
Kulon dengan serangan balasan yang sama
berbahayanya. Brakk !!! Terdengar suara pintu di tabrak dari arah luar, pintu
kamar utama itupun terkuak. Terlihat dua orang budak
Mengki menerobos kedalam dan langsung mengurung Ki
Ambeg Kulon dengan masing-masing menghunus
sebuah pedang panjang. "Tempat ini menjadi begitu sempit", berkata Ki Ambeg
Kulon sambil mengenjot tubuhnya melompat terbang
menerobos lewat lubang atap.
"Jangan biarkan orang itu lolos", berkata Mengki sambil
menyambar pedangnya yang tergantung didinding dan
langsung mengenjotkan tubuhnya melompat tinggi
menyusul Ki Ambeg Kulon lewat atap bangunan.
"Aku belum lari jauh", berkata Ki Ambeg Kulon di
halaman Pasanggrahan sambil bertolak pinggang
menanti Mengki yang berlari mengejarnya.
Sementara itu dua orang budak Mengki sudah terlihat
keluar dari dalam rumah langsung turun ke halaman
mengepung Ki Ambeg Kulon.
"Pedang-pedang yang bagus", berkata Ki Ambeg Kulon
menyeringai memandang tiga orang yang mengepungnya dengan tiga buah pedang terhunus
kedepan. 36 "Habisi orang ini", berkata Mengki memberi aba-aba
kepada dua orang budaknya menyerang Ki Ambeg Kulon
secara bersamaan. Ternyata ilmu pedang kedua orang budak Mengki ini
tidak begitu jauh dibawah majikannya.
Terlihat tiga buah pedang seperti berpacu kearah Ki
Ambek Kulon. Tapi ternyata Ki Ambeg Kulon tidak
menjadi gentar menghadapi tiga serangan bersamaan
itu, dengan sigap tubuh Ki Ambeg bergerak menyergap
salah seorang budak Mengki yang paling dekat
dengannya. Bukan main kagetnya salah seorang budak Mengki
menghadapi sergapan yang tiba-tiba itu. Sementara
pedang yang menyerang Ki Ambeg Kulon masih
meluncur. Maka tidak ada jalan lain selain membenturkan
pedangnya menangkis serangan Ki Ambeg Kulon.
Tranggg !!! Terdengar benturan dua senjata dengan kerasnya.
Salah seorang budak itu meringis merasakan tangannya
terasa panas dan kesemutan. Untungnya Mengki dan
kawannya telah membantunya menyerang Ki Ambeg
Kulon, sehingga dirinya tidak menjadi makanan empuk
serangan Ki Ambeg Kulon selanjutnya yang keras dan
cepat. Demikianlah, Ki Ambeg Kulon masih dapat mengimbangi
ketiga lawannya meski dengan kerja keras dan kehatihatian.
Sementara itu langit diatas halaman pasanggrahan
Sentanu telah menjadi begitu suram dan gelap. Keempat
orang yang tengah bertempur itu seperti bayangan yang
37 tersamar saling mengejar, melompat dan terkadang
melenting tinggi. Puluhan jurus telah terlewati, Mengki dan kedua orang
budaknya masih belum dapat melumpuhkan Ki Ambeg
Kulon. Sementara itu keringat sudah mengucur membasahi
keempat orang yang tengah bertempur di halaman
pasanggrahan Sentanu. "Tangguh benar orang ini", berkata Mengki dalam hati
sambil melakukan penyerangan bersama kedua orang
budaknya. Kembali Ki Ambeg Kulon dapat keluar dari serangan
serentak itu sambil membalas dengan serangan yang
tidak kalah berbahayanya.
Demikianlah pertempuran itu terus berlangsung dengan
serunya, belum ada tanda-tanda siapa yang akan kalah.
Ki Ambeg Kulon selalu saja dapat keluar dari setiap
kepungan dan balas menyerang tidak kalah dahsyatnya
mengimbangi ketiga orang lawannya.
Namun pada sebuah serangan berikutnya, ketika Ki
Ambeg Kulon menghindari sekaligus dua buah pedang
dari dua orang budak Mengki yang bersamaan
mengincar pinggangnya dari arah kanan dan kirinya
memaksa Ki Ambeg Kulon maju selangkah kedepan.
Mata Mengki yang tajam melihat kesempatan itu untuk
membuat mati langkah Ki Ambeg Kulon.
"Habislah kau sekarang", berkata Mengki didepan Ki
Ambeg Kulon dengan serangan menusuk arah jantung.
Bukan main kagetnya Ki Ambeg Kulon melihat pedang
Mengki meluncur deras kearah jantungnya. Darahnya
terasa mendesir membayangkan pedang itu menancap
38 tepat dijantungnya, sementara langkah kakinya sudah
seperti terkunci. Terlintas dihati Ki Ambeg untuk menggunakan golok
yang masih tergenggam erat ditangannya untuk mengkis
serangan pedang Mengki, namun kedua orang budak
Mengki sudah datang menjepitnya dengan serangan
serentak mengarah pada kiri dan kanan pinggangnya.
"Matilah aku", berkata Ki Ambeg Kulon dalam yang
sudah merasa buntu apa yang harus dilakukannya.
Ki Ambeg memang sudah pasrah, sudah buntu dan
sudah bisa berpikir jernih lagi membayangkan dirinya
harus mati ditangan orang yang seharusnya menjadi
korbannya. Namun ternyata kejadiannya tidak sesuai yang
dibayangkan oleh Ki Ambeg Kulon, tidak juga yang ada
dalam pikiran Mengki dan kedua budaknya itu.
Apa yang selanjutnya terjadi ?"
Mengki yang sudah merasakan kemenangan didepan
matanya, merasa yakin bahwa lawannya tidak akan
mungkin dapat menghindari serangannya telah
melupakan kesiagaannya. Kaget bukan kepalang ketika Mengki merasakan sebuah
angin berdesir dibelakang kepalanya. Namun Mengki
sudah kehilangan kecepatan dan kesiagaannya,
untungnya masih dapat sedikit memiringkan kepalanya.
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bresss !!! Sebuah paser pisau kecil menembus dan merobek daun
telinga Mengki, tapi ternyata paser itu dilepas oleh
tenaga yang sangat kuat hingga terus melaju menancap
tepat dileher Ki Ambeg Kulon.
39 Ki Ambeg Kulon langsung roboh tanpa mampu berpikir
kenapa bukan jantungnya yang tertancap, tapi lehernya
yang menjadi sasaran ".
Sementara itu Mengki terlihat tengah memegang daun
telinganya yang robek, darah segar terlihat mengalir
ditelapak tangan yang tengah menutupi daun telinganya
itu. "Tuan terluka?", bertanya salah seorang budaknya.
Tapi Mengki tidak menjawabnya, melainkan membalikkan badannya menyapu setiap arah dengan
pandangannya seperti mencari sesuatu.
Mata Mengki yang terlatih dapat menembus keremangan
malam akhirnya menemukan sesuatu yang mencurigainya berada di gerumbul rumpun bambu
kuning disamping bangunan Pasanggrahan.
Tapi langkah Mengki terlambat, belum sempat berbuat
apapun sebuah bayangan melesat kearah dinding pagar
pasanggrahan dan menghilang dibalik dinding bersama
keremangan malam yang sunyi dan senyap.
"Luka tuan harus segera diobati", berkata salah seorang
budaknya sambil membalurkan bubuk obat pengering
luka. "Apa yang harus kita lakukan atas orang itu", berkata
seorang lagi budaknya sambil menunjuk kearah Ki
Ambeg Kulon yang sudah tidak bernyawa tergeletak di
halaman Pasanggrahan Sentanu.
"Biarkan apa adanya sampai datang orang Singasari
melihatnya, untuk sebagai bukti bahwa bukan kita yang
membunuhnya", berkata Mengki yang merasakan rasa
pedih lukanya sudah semakin berkurang.
Seperti yang diharapkan oleh Mengki, beberapa saat
40 kemudian terlihat dua orang prajurit peronda melewati
regol pintu halaman Pasnggrahan Sentanu. Dua orang
prajurit peronda itu merasa heran bahwa tiga orang tamu
penghuni Pasanggrahan Sentanu berada di halaman.
Maka bertambah kaget lagi kedua prajurit peronda itu
manakala masuk ke halaman mendapatkan sesosok
tubuh terbaring tak bernyawa dengan sebuah paser
menancap di batang lehernya.
"Apa yang telah terjadi?", bertanya salah seorang prajurit
peronda itu. Maka dengan terinci jelas Mengki menceritakan
semuanya tanpa ada yang dikurangi sedikitpun kepada
kedua prajurit peronda itu.
"Laporkan semua ini kepada Ki Lurah, sementara aku
menunggu disini", berkata salah seorang prajurit peronda
itu kepada kawannya. "Baiklah, aku akan menemui Ki Lurah secepatnya",
berkata kawan prajurit itu sambil melangkah pergi keluar
dari pasanggrahan Sentanu.
Sementara itu malam sudah mendekati pagi, cahaya
merah tua terlihat memancar terang diujung timur bumi.
Terlihat beberapa prajurit pengawal istana dihalaman
Pasanggrahan Sentanu. Semakin datang terang pagi,
semakin banyak orang istana yang datang.
"Maafkan kami yang tidak dapat menjaga keamanan tuan
Mengki dengan baik", berkata Raden Wijaya kepada
Mengki yang langsung menemuinya di Pasanggrahan
Sentanu. Mengki pun bercerita kembali apa yang telah terjadi
semalam kepada Raden Wijaya yang datang bersama
dengan Kebo Arema. 41 "Beristirahatlah, kami akan mengusut dibalik semua ini",
berkata Raden Wijaya kepada Mengki dan kedua orang
budaknya. Akhirnya dihari itu juga ditunjuk beberapa perwira prajurit
untuk mengusut tuntas apa dibalik peristiwa usaha
pembunuhan utusan kaisar Kubilai Khan itu.
Para perwira prajurit mulai mengusut peristiwa di
Pasanggrahan Sentanu dengan penuh ketelitian. Dan
pengusutan benang merah pun akhirnya menemui
ujungnya. Tertuju kepada seorang pejabat istana
Singasari, seorang pejabat yang dipercayakan untuk
mengurus upeti. Seorang pejabat istana bernama
Rakrian Bala Malendra. Sungguh malang nasib Malendra, semua tanggung
jawab atas peristiwa percobaan pembunuhan atas
utusan Kaisar Kubilai Khan dibebankan hanya
kepadanya seorang. Malendra memang tidak dapat mengelak bahwa
dirinyalah yang membawa Ki Ambeg Kulon ke istana
yang jati dirinya begitu cepat diketahui sebagai seorang
pembunuh bayaran. Malendra juga tidak dapat membuka
rahasia besar dibalik semua itu, dirinya lebih baik
mengakui sebagai orang yang bertanggung jawab atas
peristiwa itu ketimbang melihat seluruh keluarganya yang
tak berdosa habis binasa sengsara.
Namun masih ada rahasia yang belum terungkap,
siapakah gerangan orang yang membunuh Ki Ambeg
Kulon dan melukai daun telinga Mengki".
Untuk mengetahuinya, marilah kita mundur kembali
kebelakang saat Mengki melihat sesosok bayangan
berkelebat menghilang dibalik dinding pagar batu
Pasanggrahan Sentanu. 42 Sosok bayangan itu tidak berjalan di lorong-lorong istana,
sepertinya sangat hapal untuk melewati jalan lain yang
jarang sekali dilewati para prajurit peronda. Terlihat
sosok bayangan itu menuju arah belakang istana.
Malam saat itu begitu gelap, sosok bayangan itu
berkelebat diantara gerumbul tumbuhan dan akhirnya
tiba di sebuah pondokan bilik para abdi dalem istana.
Sosok bayangan itu masuk kesebuah bilik seorang
Pangalasan tua dimana Ki Ambeg Kulon juga ada
menginap bersamanya. Pelita malam yang menerangi bilik itu terlihat sudah mulai
redup, namun masih dapat menerangi wajah orang yang
baru masuk kedalam bilik itu. Ternyata sosok wajah itu
adalah Ki Broto sang Pangalasan tua yang sudah
menjelang purnabhakti. Tidak seorang pun yang mengetahui jati diri Ki Broto
yang sebenarnya adalah seorang prajurit delik sandi
yang ditugaskan di dalam istana Singasari. Dan pada
malam itu Ki Broto telah mendapat sebuah perintah
rahasia, perintah untuk menghabisi nyawa seorang
utusan Kaisar Kubilai Khan.
Pagi itu terlihat Ki Broto tengah mengemasi barangbarangnya ketika seorang prajurit perwira datang
menemuinya. "Jadi orang itu telah mati di halaman Pasanggrahan
Sentanu?", berkata Ki Broto sambil pura-pura terkejut
mendengar berita yang dibawa oleh prajurit perwira itu
kepadanya. "Aku yakin Ki Broto tidak ada sangkutan apapn dalam
peristiwa ini, aku hanya sekedar melengkapi beberapa
keterangan", berkata prajurit perwira itu kepada Ki Broto.
43 "Kemarin kami seharian bekerja merawat taman di
Pasanggrahan Kaputrian dan Pasanggrahan Sentanu",
berkata Ki Broto memberi keterangan kepada prajurit
perwira itu. "Terima kasih untuk keterangannya, kami hanya ingin
melengkapi apa yang sudah kami dapat dalam
pengusutan peristiwa ini", berkata prajurit perwira itu
sambil pamit untuk kembali ke istana.
Tidak lama setelah prajurit perwira keluar dari rumah Ki
Broto, seorang lelaki datang menemuinya. Ternyata
orang itu adalah seorang penghubungnya dalam jalur
prajurit sandi. "Secepatnya kamu tinggalkan Kotaraja ini, semoga di
kampung halamanmu memberikan ketenangan hidup
untukmu", berkata penghubung itu sambil menyerahkan
beberapa keping emas kepada Ki Broto untuk bekal
hidupnya dikampung halamannya.
"Aku tidak dapat melakukan tugas terakhirku dengan
baik", berkata Ki Broto kepada penghubungnya.
"Tidak perlu disesali, siapapun pernah melakukan
kesalahan dalam tugasnya", berkata penghubung itu
menghibur Ki Broto. Demikianlah, setelah berpamitan dengan orang-orang
terdekatnya selama bekerja dilingkungan Istana, Ki Broto
meninggalkan Istana, kembali kekampung halamannya.
Membawa rahasia besar yang tidak mungkin terungkap
sepanjang hidupnya. Sementara itu di ruang Magunturan, Sri Baginda
Maharaja tengah mendengarkan beberapa pendapat dari
pejabat istana tentang utusan Kaisar Kubilai Khan.
Sebagian menyetujui mengakui kebesaran Mongolia,
44 namun sebagian lagi menentang dengan keras untuk
tunduk dan patuh dibawah kekuasaan Kaisar Kubilai
Khan. "Sampai saat ini aku belum dapat memutuskannya,
apapun pendapat kalian akan menjadi pegangan bagiku",
berkata Sri Baginda Maharaja sambil berdiri berkenan
untuk meninggalkan ruang Magunturan.
Namun Sri Baginda Maharaja tidak langsung ke
pasanggrahannya untuk beristirahat, tapi menuju ruang
Mentanu, sebuah tempat khusus untuk menerima tamu
dan para pejabat istana. "Panggil Kuda Cemani untuk menghadap kepadaku",
berkata Sri Baginda Maharaja kepada seorang prajurit
pengawalnya. Seperti diketahui bahwa Kuda Cemani adalah seorang
perwira tinggi yang paling dipercaya oleh Sri baginda
Maharaja, seorang pejabat istana dibidang telik sandi
yang sangat setia. Maka tidak lama berselang Kuda Cemani sudah datang
menghadap Sri Baginda Maharaja di ruang Mentanu.
"Ada beberapa pejabat istana yang harus diselidiki
kesetiaannya, aku ingin mereka dibersihkan", berkata Sri
Baginda Maharaja sambil menyampaikan siapa saja
pejabat istana yang perlu dicurigai kesetiaannya.
"Hamba siap menjunjung tinggi perintah tuanku Baginda",
berkata Kuda Cemani dengan penuh hormat.
"Sudah saatnya pula untuk membenahi jalur pasukan
telik sandimu, yang kukhawatirkan sudah banyak yang
tercemar", berkata Sri Maharaja Singasari kepada Kuda
Cemani. Kuda Cemani tanggap atas kekhawatiran Sri Baginda
45 Maharaja, sebagai seorang pemimpin tertinggi pasukan
telik sandi kerajaan memang dapat membaca
perkembangan terakhir terutama berhubungan dengan
kedatangan utusan Kaisar Kubilai Khan.
"Jalur perintah menjadi tak mudah untuk dikendalikan,
ada kerajaan bayangan didalam istana ini. Apakah kamu
dapat merasakannya?", bertanya Sri Baginda Maharaja
kepada Kuda Cemani. Kuda Cemani tidak langsung menjawab, diam-diam
memuji kejelian Sri Baginda Maharaja mengamati
perkembangan dilingkungan istananya.
"Ketika pertama kali dinobatkan sebagai seorang Raja,
kubayangkan bahwa diriku tidak lebih dari seorang
nachoda yang dapat mengatur kemana arah jung besar
berlayar dan berlabuh. Ternyata tidak semudah itu,
kerajaan besar ini seperti seperangkat gamelan, dan aku
rajanya hanya sebagai pemukul degung yang baik yang
harus mempunyai kepekaan yang tinggi agar dapat
mengikuti setiap irama yang sudah tercipta", berkata Sri
baginda Maharaja kepada Kuda Cemani.
"Perkataan Tuanku Baginda begitu dalam, mengikuti
irama gending mereka agar mengetahui kemana arah
permainan mereka", berkata Kuda Cemani yang
menangkap kemana arah perkataan Sri Baginda
Maharaja. "Kita bermain diatas permainan mereka",
berkata kembali Kuda Cemani yang merasa paham betul
apa yang diinginkan oleh junjungannya Sri Baginda
Maharaja. Sementara itu langit diatas istana Singasari sudah
hampir menjelang senja, terlihat beberapa prajurit
pengawal istana bergilir berkeliling istana dengan penuh
ketelitian, mereka tidak ingin peristiwa pasanggrahan
46 Sentanu terulang lagi. Penjagaan didalam istana menjadi
begitu ketat, siapapun yang memasuki istana harus
melewati banyak gardu penjagaan dan juga banyak
pertanyaan yang harus mereka jawab dengan baik dan
benar. "Maaf Ki Barep, ikatan kayu bakarmu harus kami
periksa", berkata seorang prajurit pengawal istana
disebuah gardu jaga kepada seorang pembawa kayu
bakar yang sudah biasa keluar masuk istana.
"Didepan gardu jaga pertama, ikatan kayu bakarku ini
sudah diurai, apakah kalian akan mengurai kembali
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ikatannya?", berkata Ki Barep dengan perasaan kurang
senang. "Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu ada yang
terlewat", berkata prajurit pengawal itu sambil tertawa
getir, mungkin dirinya sendiri tidak senang dengan aturan
baru itu yang juga ikut disusahkan.
Sementara itu di Pasanggrahan Sentanu sendiri mulai
hari itu menjadi perhatian yang khusus, terlihat lima
orang prajurit pengawal tidak pernah meninggalkan
tempat itu. Tapi sikap dan perlakuan Mengki bersama
kedua budaknya yang ramah membuat mereka sedikit
terhibur. Mereka merasa tidak sedang bertugas,
sepanjang hari banyak makanan dan minuman mengalir
dari dapur belakang Pasanggrahan Sentanu untuk
mereka. "Tugas Jaga di Pasanggrahan ini seperti istirahat
dirumah sendiri, perutku tidak pernah kelaparan", berkata
seorang prajurit pengawal kepada kawannya yang tidak
langsung menjawab, hanya tersenyum membenarkan
perkataan kawannya itu. Dan malam pun akhirnya datang perlahan menyelimuti
47 istana Singasari dan Kotaraja. Seperti kemarin,
sepanjang malam Kotaraja dikelilingi kabut tebal
menjadikan suasana yang dingin menjadi lebih dingin
lagi. Namun sepanjang malam itu tidak terjadi apapun,
keadaan istana yang terjaga lebih ketat lagi dari hari
sebelumnya itu sepertinya begitu langgeng, aman dan
damai. Para penghuninya tertidur dengan pulasnya di
peraduan mereka. Hanya para prajurit yang karena
tugasnya harus bertahan merasakan dinginnya malam,
terus menyemangati diri bergilir berkeliling menjaga
setiap sisi istana. Dan sang malam pun akhirnya telah menyelesaikan
waktunya dengan sempurna tidak lebih dan tidak kurang
sedikit pun seperti malam-malam sebelumnya yang
dibatasi oleh datangnya sang pagi mewarnai hari di bumi.
Dan awal pagi diistana Singasari ditandai dengan kabut
yang belum juga menghilang. Beberapa penghuninya
masih begitu enggan untuk turun dari peraduannya,
sementara itu para inang sudah sibuk di dapur
menyiapkan sarapan pagi untuk majikannya.
"Hari ini Sri Baginda Maharaja telah berkenan untuk
menerima utusan Kubilai Khan", berkata Raden Wijaya
kepada Ratu Anggabhaya di pendapa agung bersama
Kebo Arema dan ayahnya Pangeran Lembu Tal.
"Semoga Sri Baginda Maharaja telah mendapatkan
keputusan yang terbaik", berkata Ratu Anggabhaya.
Akhirnya ketika pagi sudah mulai terlihat terang, kabut
sudah mulai menghilang. Terlihat Raden Wijaya dan
Kebo Arema telah keluar dari regol halaman
Pasanggrahan. Pagi itu mereka akan menghadap Sri
Baginda Maharaja di ruang Mentanu bersama dengan
48 Mengki utusan Kaisar Kubilai Khan.
"Apakah telingamu sudah merasa lebih baik?",bertanya
Sri Baginda Maharaja di ruang Mentanu kepada Mengki
merasa ikut prihatin atas peristiwa yang telah terjadi.
"Hari ini sudah menjadi lebih baik, hanya robek dan
terpotong sedikit", berkata Mengki dengan tersenyum
getir. "Aku sudah mendapat beberapa keterangan dari
Senapati Raden Wijaya perihal maksud kedatanganmu
ke istana Singasari ini. Namun alangkah baiknya bila hari
ini aku dapat mendengarnya langsung darimu sebagai
utusan resmi Kaisar Kubilai Khan", berkata Sri Baginda
Maharaja kepada utusan Kaisar Kubilai Khan.
"Terima kasih sebelumnya atas penerimaan kami di
istana yang indah ini, hamba hanya sebatas utusan resmi
dari Yang Dipertuan Agung Kaisar Kubilai Khan untuk
menyampaikan sebuah permintaan agar kiranya
Kerajaan Singasari Raya ini ikut bergabung bersama
kebesaran Yang Dipertuan Agung Kaisar Kubilai Khan",
berkata Mengki penuh hormat dihadapan Sri Baginda
Maharaja Singasari. "Kuhargai dirimu sebagai utusannya yang berani datang
dari tempat yang begitu jauh hanya berbekal nama dan
kebesarannya", berkata Sri Baginda Maharaja.
"Sampaikan salamku kepadanya bahwa aku penguasa
Singasari akan ikut bergabung bersama kebesarannya.
Sebagai bukti kedatanganmu, bawalah sedikit hadiah
dariku yang mungkin tidak begitu bernilai, namun
kuberikan dengan hati yang tulus", berkata Sri Baginda
Maharaja Singasari sambil mengeluarkan sebuah kotak
kecil dan memberikannya kepada Mengki sebagai bukti
kedatangan seorang utusan raja telah diterima dengan
49 baik. Seperti itulah kebiasaan yang berlaku pada jaman
itu sebuah perlakuan seorang raja yang menerima
kedatangan seorang utusan raja lainnya.
"Bukalah, agar kamu mengetahui apa yang kau bawa",
berkata Sri Baginda Maharaja Singasari kepada Mengki.
Terlihat Mengki membuka kotak kecil itu.
"Sebuah mutiara putih yang indah", berkata Mengki
dengan wajah yang bersinar.
"Sampaikan salamku kepada junjunganmu, bahwa aku
akan membawakan hadiah yang lain sebagai tanda
kesetiaanku", berkata Sri Baginda Maharaja Singasari.
"Hormat hamba atas tuan, segala kebaikan dan
kemurahan hati tuan akan hamba sampaikan kepada
junjungan hamba Yang Dipertuan Agung Kaisar Kubilai
Khan", berkata Mengki dengan penuh hormat.
Demikianlah, setelah tidak ada yang perlu dibicarakan
lagi, Mengki bersama Raden Wijaya dan Kebo Arema
terlihat bermaksud untuk pamit mohon diri kepada Sri
Baginda Maharaja Singasari.
"Tugas telah hamba laksanakan, perkenan diri hamba
untuk berpamit diri", berkata Mengki yang bermaksud
untuk pamit diri meninggalkan ruang Sentanu.
Terlihat Sri Baginda Maharaja berdiri dan menganggukkan kepalanya sebagai tanda menerima
permintaan pamit diri tamunya itu.
Matahari diatas Singasari belum sampai diatas puncak
cakrawala langit, awan pagi menjelang siang itu nampak
begitu cerah bersama hembusan angin yang sejuk
membelai genit daun dan ranting pohon yang banyak
tumbuh merimbuni setiap sisi taman dan jalan setapak
lorong-lorong istana Singasari.
50 "Beristirahatlah, besok kita berangkat meninggalkan
Kotaraja Singasari", berkata raden Wijaya kepada
Mengki di persimpangan jalan menuju pasanggrahan
masing-masing. Ketika Raden Wijaya dan Kebo Arema tiba di
Pasanggrahannya, terlihat Ratu Anggabhaya dan
Pangeran Lembu Tal telah menunggunya di Pendapa
Agung. "Akhirnya Sri Baginda Maharaja telah memutuskan",
berkata Ratu Anggabhaya setelah mendengar berita
yang disampaikan Raden Wijaya ketika mengantar
Mengki utusan Kubilai Khan.
"Keputusan yang bijaksana", berkata Pangeran Lembu
Tal memberikan tanggapannya.
Ketika malam datang menyelimuti istana Singasari,
seperti malam kemarinnya Sri Baginda muncul kembali di
Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
"Semula aku berharap akan berbesanan dengan
keluarga ini", berkata Sri Baginda Maharaja sambil
tersenyum memandang kepada Raden Wijaya. "Aku
masih punya tiga orang putri, mudah-mudahan pada
suatu waktu datang lamaran dari keluarga ini meminta
salah satu putriku", berkata kembali Sri Baginda
Maharaja masih dengan penuh senyum
"Ternyata pikiran tuan Paduka ada juga terlintas didalam
pikiranku", berkata ratu Anggabhaya sambil tersenyum
ikut memandang kepada Raden Wijaya yang tersipu
malu dipandang Sri Baginda Maharaja dan kakeknya.
"Kutunggu kedatangan Pamanda melamar salah seorang
putriku, namun untuk saat ini aku meminta Pamanda
mewakiliku menyampaikan keinginanku kepada 51 penguasa Gelang-gelang", berkata Sri Maharaja kepada
ratu Anggabhaya. "Raden Ardharaja adalah seorang lelaki yang baik, Ratu
Turukbali pasti akan senang. Dan mudah-mudahan
penguasa Gelang-Gelang bersedia berbesan dengan
tuan Paduka", berkata Ratu Anggabhaya kepada Sri
Baginda Maharaja. "Secepatnya aku akan datang ke
Tanah Gelang-Gelang", berkata kembali Ratu Anggabhaya kepada Sri Baginda Maharaja.
"Terima kasih untuk kesediaan Pamanda", berkata Sri
Baginda Maharaja kepada Ratu Anggabhaya.
Sementara itu waktu terus berlalu, malam terlihat begitu
kelam dan senyap di sekitar pendapa agung.
Terlihat Sri Baginda Maharaja bangkit berdiri bermaksud
untuk pamit diri meninggalkan pasanggrahan Ratu
Anggabhaya. Malam berkabut di sekitar pasanggrahan telah
mengantar Sri Baginda Maharaja bersama para prajurit
pengawalnya keluar dari regol Pasanggrahan Ratu
Anggabhaya. "Beristirahatlah, besok kalian akan meninggalkan
Kotaraja", berkata Ratu Anggabhaya kepada Raden
Wijaya dan Kebo Arema. Akhirnya pendapa agung itu telah menjadi begitu senyap
hanya ditemani cahaya pelita dan dinginnya malam.
Sepanjang malam kabut turun menyelimuti Kotaraja yang
berada diatas dataran tinggi perbukitan, yang dikitari oleh
empat gunung-gunung tinggi menyanggah langit, laksana
empat raksasa hitam menjaga dan melindungi tanah dan
bumi kotaraja dengan setianya. Angin dan kabut dingin
telah memaksa penghuninya naik ke peraduan
52 melepaskan segala kepenatan hari-hari dan bermimpi.
Dan pagi pun akhirnya datang juga bersama sinar
cahaya matahari mengusir kabut dingin dan semua
mimpi-mimpi. Terlihat para petani sudah mulai turun ke sawahnya.
Beberapa pedagang di pasar sudah menyiapkan barangbarangnya. Dan jalan Kotaraja terlihat sudah mulai ramai
dilalui oleh orang-orang yang mungkin akan ke pasar
atau kegiatan lainnya. Kotaraja sudah terbangun dari
tidurnya. "Semoga keselamatan dan kebahagiaan selalu menyertai
kalian", berkata Ratu Anggabhaya ketika mengantar
Raden Wijaya dan rombongannya keluar dari gerbang
istana Singasari. Angin sepoi dingin sejuk menyapu kelima orang berkuda
yang terlihat belum begitu lama meninggalkan regol pintu
gerbang batas kotaraja. Kepulan debu di belakang kakikaki kuda mereka mengiringi setiap langkah perjalanan
mereka yang setengah berlari memacu kudanya di jalan
tanah yang kering menuju Bandar Cangu.
Di pagi yang cerah itu jalan antara Kotaraja dan Bandar
Cangu memang sudah terlihat ramai. Para pedagang
dengan gerobak berkuda tengah mengangkut barang
dagangannya, atau beberapa pejalan kaki para
pengembara yang tengah mencari pengalaman hidup
baru di berbagai tempat dimana saat itu sudah menjadi
pemandangan yang biasa. "Sebuah pemandangan yang indah", berkata Mengki
kepada Raden Wijaya yang berjalan berdampingan
ketika menuruni jalan perbukitan hijau dikelilingi gununggunung yang indah berwarna biru."Sayangnya aku harus
meninggalkan tempat yang indah ini", berkata kembali
53 Mengki sambil menikmati udara sejuk dingin berhembus
menyapu wajahnya. Ketika matahari tepat diatas kepala mereka, jarak
tempuh mereka sudah begitu jauh meninggalkan
Kotaraja melewati sebuah pasar yang masih cukup ramai
dan sinar matahari di siang itu seperti membakar kulit.
"Mari kita beristirahat sambil melewatkan matahari siang
yang panas", berkata Raden Wijaya kepada Mengki
menunjuk ke sebuah kedai.
Terlihat Raden Wijaya bersama Mengki telah turun dari
kudanya dan menuntunnya kearah sebuah kedai diikuti
oleh Kebo Arema bersama kedua budak Mengki.
Cukup lama mereka beristirahat didalam kedai, hingga
ketika matahari telah mulai turun terlihat mereka baru
melanjutkan perjalanan mereka menuju Bandar Cangu.
Akhirnya menjelang senja mereka telah tiba di Bandar
Cangu langsung menuju Balai Tamu.
"Selamat datang kembali di Bandar Cangu", berkata
Rangga Lawe menyambut kedatangan mereka dengan
penuh gembira. Setelah menyampaikan keselamatan masing-masing,
Raden Wijaya sempat bercerita mengenai beberapa hal
ketika di Kotaraja kepada Rangga Lawe.
"Sri Baginda Maharaja akan mengangkat mantu dari
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang putra penguasa Gelang-gelang", berkata Raden
Wijaya bercerita kepada Rangga Lawe.
Sementara itu malam mulai turun merambat
mengaburkan pandangan kearah sungai Brantas
didepan pendapa Balai Tamu. Cahaya pelita malam
mulai dapat dirasakan cukup menerangi dengan warna
sinarnya yang lembut temaram memenuhi pendapa Balai
54 Tamu. Terdengar suara berderit sebuah pintu kayu ditarik,
ternyata dari pintu utama keluar seorang pelayan tua
yang tidak lain adalah Ki Widura membawa minuman
hangat dan beberapa potong jagung rebus yang terlihat
masih mengepul. "Duduklah bersama kami", berkata Kebo Arema kepada
Ki Widura yang dilihatnya sudah selesai meletakkan
makanan dan minuman hangat.
Terlihat perubahan di wajah Ki Widura seperti menjadi
agak tegang, sementara tangannya yang masih
membawa wadah makanan sepertinya nampak gemetar.
"Saya masih ada pekerjaan di belakang", berkata Ki
Widura dengan bibir seperti bergetar.
"Urusan di belakang abaikan dulu, duduklah bersama
kami. Ada yang ingin kutanyakan kepada Ki Widura",
berkata Kebo Arema dengan suara yang tidak seperti
biasanya, halus namun penuh dengan penekanan yang
membuat Ki Widura tidak dapat mengelaknya untuk
duduk bersama mereka. Masih dengan wajah yang pucat
menunduk tidak berani mengangkat wajahnya.
"Dinding rumah ini tak bertelinga. Tidak ada seorang pun
yang mengetahui selain kami bahwa seorang utusan
Kubilai Khan telah datang di Bumi Singasari ini", berkata
Kebo Arema masih dengan suara yang halus sambil
memperhatikan Ki Widura yang terlihat semakin
menundukkan wajahnya. "Aku ingin Ki Widura berkata
dengan sejujurnya. Benarkah Ki Widura telah
menyebarkan rahasia ini ?", berkata kembali Kebo Arema
dengan nada yang masih tidak berubah, halus dan datar.
"Maafkanlah diri hamba yang tua ini, yang tidak
55 mengenal arti budi. Tuan-tuan telah memperlakukan diri
hamba ini dengan begitu baik, tidak selayaknya seorang
pelayan, tapi seperti layaknya seorang keluarga. Sejak
mengenal tuan-tuan diri ini telah terbagi dua dalam
banyak keraguan, dalam banyak kebingungan. Benarkah
diri hamba ini". Benarkah perjuangan hamba ini"
Benarkah menganggap tuan-tuan yang penuh kasih ini
sebagai musuh yang berseberangan". Sejak keberangkatan tuan-tuan ke Kotaraja, hati kecilku selalu
mencela perselingkuhan ini, selalu mencaci sebagai
manusia yang tak berbudi. Hari ini hamba pasrah atas
apapun perlakuan terhadap hamba yang berdosa ini.
Hamba pasrah atas hukuman apapun yang tuan
jatuhkan", berkata Ki Widura dengan wajah menunduk
penuh rasa malu dan penyesalan yang sangat.
"Diantara kita memang tidak ada permusuhan, hanya
secara kebetulan kita berdiri ditempat yang berbeda.
Kami tidak akan menjatuhkan hukuman apapun. Hanya
saja ada satu pengharapan dari kami, lupakanlah
perbedaaan dimanapun saat ini kamu berdiri, karena
sudah tidak ada lagi perbedaan diantara kita, tidak ada
Tumapel, tidak ada Kediri. Yang ada saat ini adalah
Singasari Raya yang bersatu menatap dunia untuk maju
bersama. Dari dulu kita adalah satu keluarga, dan tetap
satu keluarga sampai kapan pun", berkata Kebo Arema
kepada Ki Widura yang sepertinya telah tersentuh
hatinya. "Jiwa tuan-tuan begitu penuh kasih, hamba menjadi malu
bercermin diri atas kekerdilan hati ini. Ijinkanlah hamba
mengabdi disini dalam kesetiaan, menjadi bagian dari
keluarga ini. Selamanya", berkata Ki Widura penuh
permohonan. "Permohonan Ki Widura kami terima, kembalilah ke
56 belakang. Mungkin masih ada yang perlu kamu
selesaikan", berkata Kebo Arema kepada Ki Widura.
"Terima kasih, terima kasih", berdiri Ki Widura sambil
menjura penuh kebahagian dan kembali masuk lewat
pintu utama. Dan hari pun terus berlalu, malam semakin gelap
menghalangi aliran sungai Brantas di depan Balai Tamu.
Hanya terkadang beberapa pelita perahu para nelayan
terlihat berkelip-kelip. Suara angin datang dari arah tanah
hutan seberang. "Kami beristirahat lebih dulu", berkata Mengki sambil
berdiri diikuti dua orang pengawalnya.
Tidak lama berselang, Raden Wijaya dan Kebo Arema
diikuti Rangga Lawe masuk ke peraduannya masingmasing untuk beristirahat.
Malam itu hamparan sungai Brantas begitu sepi dan
senyap. Masih terlihat beberapa nelayan yang mencari
udang masih menunggu jaringnya meski pelita yang
bergelantungan sudah menjadi begitu redup.
"Malam ini rejeki simbok dan adikmu sedang mujur
besar, baru sepertiga malam sudah banyak udang
terkumpul", berkata melayan tua kepada anak lelakinya.
"Kalau begitu kita segera pulang saja, bukankah kita
masih bisa tidur disisa malam?", berkata anak lelakinya.
"Yang kamu pikirkan hanya tidur", berkata nelayan tua itu
sambil melipat jaringnya menuruti keinginan anak
lelakinya. Dan malam memang masih menyisakan waktunya diatas
sungai Brantas di tepian dermaga Balai Tamu tempat
Jung Singasari terlihat merapat dan bergoyang dihempas
ombak sungai. Semakin mendekati pagi, hawa malam
57 menjadi semakin dingin. Dan semakin mendekati pagi, kesibukan sudah mulai
terlihat disekitar dermaga Balai Tamu itu. Hari itu setelah
dua pekan merapat di dermaga, Jung Singasari itu akan
kembali berlayar mengarungi laut biru.
"Aku akan bercerita kepada semua orang bahwa di
Singasari ini aku mendapat perlakuan yang baik.
Terutama tentang dirimu wahai tuan Senapati Wijaya",
berkata Mengki ketika bersiap akan naik ke jung
Singasari kepada Raden Wijaya yang mengantarnya.
"Semoga persahabatan kita terus terjalin dan panjang",
berkata Raden Wijaya kepada Mengki.
"Selamanya", berkata Mengki melanjutkan ucapan Raden
Wijaya. Matahari telah bersembul dibalik hutan seberang sungai
Brantas ketika jung Singasari itu mulai terlihat bergerak
meninggalkan dermaga. Jung Singasari itu telah
membawa Mengki dan dua orang pengiringnya,
membawa berita perdamaian.
Terlihat Raden Wijaya, Kebo Arema dan Rangga Lawe
berdiri melambaikan tangannya ke arah Mengki dan dua
orang pengiringnya diatas pagar dag kayu jung Singasari
yang telah mulai menjauhi dermaga.
Jung Singasari itu pun terus menjauh dibawa aliran
sungai Brantas dibawah matahari pagi yang cerah.
Terlihat Raden Wijaya, Kebo Arema dan Rangga Lawe
telah beranjak dari dermaga kembali ke pendapa Balai
Tamu. Sementara itu pada waktu yang sama, sebuah kapal
kayu telah merapat di sebuah dermaga Bandar Cangu.
Terlihat dua orang anak lelaki kecil menuruni tangga
58 kapal kayu dengan gembiranya. Usia kedua anak itu
sekitar tujuh tahunan. Dibelakangnya mengikuti kedua
anak itu seorang lelaki muda. Wajahnya cukup tampan.
Berturut-turut dibelakang lelaki muda itu adalah seorang
pendeta, terlihat dari pakaian yang dikenakannya serta
kepala yang tercukur bersih.
"Kita telah sampai di Bandar Cangu, di tanah Singasari
Raya", berkata lelaki muda itu kepada seorang pendeta
ketika mereka telah menginjakkan kakinya di dermaga
Bandar Cangu yang sudah cukup ramai di pagi yang
cerah itu. "Paman Arga Lanang, perutku sangat lapar", berkata
salah seorang anak lelaki sambil memegang lengan
lelaki muda itu yang ternyata adalah Arga Lanang.
Seorang pemuda putra Minak Gajah penguasa daerah
pasir seputih yang pernah bersama Raden Wijaya dan
Mahesa Amping mengembara ke Tanah Melayu.
"Mari kita ke kedai, pamanmu juga lapar", berkata Arga
Lanang sambil menggandeng kedua anak lelaki itu diikuti
oleh pendeta dibelakangnya menuju kesebuah kedai
didekat dermaga. Terlihat mereka berempat telah memasuki sebuah kedai.
"Pak tua, dapatkah ditunjukkan kepada kami letak Balai
Tamu?", bertanya Arga Lanang kepada pelayan tua yang
datang membawa pesanan makanan mereka.
"Telusuri saja tepian sungai ini, tuan akan melihat sebuah
benteng besar prajurit Singasari. Tidak jauh dari benteng
itu berdiri sebuah rumah panggung yang cukup besar di
tepian sungai Brantas yang mempunyai sebuah dermaga
sendiri. Itulah Balai Tamu yang tuan maksudkan",
berkata pelayan tua itu memberikan arah petunjuk
menuju Balai Tamu kepada Arga Lanang.
59 "Makanlah yang banyak agar tubuh kalian sehat dan
kuat, sebentar lagi kita akan bertemu dengan kedua ayah
kalian", berkata Arga Lanang kepada kedua anak lelaki
dihadapannya. "Aku melihat tulang kedua anak ini sangat bagus, tidak
salah bila kamu katakan bahwa kedua orang ayah
mereka adalah pendekar besar yang berilmu tinggi.
Kedua anak ini mewarisi tulang tubuh yang sangat
sempurna", berkata pendeta disebelah Arga Lanang
memuji kedua anak lelaki yang sedang menikmati
hidangan di kedai itu. Matahari terlihat sudah mulai beranjak naik, terlihat dua
anak lelaki dan dua orang lelaki tengah menyusuri sungai
Brantas dari arah Bandar Cangu.
"Sebuah benteng yang cukup besar", berkata pendeta itu
kepada Arga Lanang ketika mereka melihat sebuah
benteng berdiri ditepian sungai Brantas.
"Itulah Balai Tamu", berkata Arga Lanang menunjuk
sebuah rumah panggung yang cukup besar menghadap
sungai Brantas dan mempunyai dermaga sendiri yang
juga cukup besar. "Apakah tuan-tuan ada keperluan di Balai Tamu ini",
berkata seorang prajurit kepada Arga Lanang dan
pendeta disebelahnya ketika mereka telah memasuki
halaman Balai Tamu yang cukup luas. Prajurit itu merasa
heran terutama melihat pendeta asing disebelah Arga
lanang. Tidak pernah selama ini ada seorang pendeta,
apalagi berwajah asing datang ke Balai Tamu.
"Aku ingin bertemu dengan Raden Wijaya", berkata Arga
Lanang penuh kebanggaan menyebut nama Raden
Wijaya 60 "Nama yang tuan sebutkan adalah Senapati kami",
berkata Prajurit itu sambil memandang Arga Lanang dari
ujung kaki sampai kepala seperti masih menyangsikan
bahwa lelaki muda itu mengenal Senapatinya.
"Senapatimu itu adalah sahabatku", berkata Arga lanang
dengan penuh kebanggaan. "Silahkan tuan naik ke pendapa Balai Tamu", berkata
prajurit itu penuh hormat mempersilahkan langsung naik
ke pendapa Balai Tamu. Terlihat Arga Lanang dikuti kedua anak lelaki dan
pendeta asing tengah naik anak tangga pendapa Balai
Tamu. "Arga Lanang!", berkata Rangga Lawe yang melihat
pertama kali Arga Lanang yang muncul dari anak tangga
pendapa Balai Tamu seperti tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya. "Ternyata kamu masih mengenalku Lawe", berkata Arga
Lanang sambil tersenyum kepada Rangga Lawe.
"Arga Lanang!!", berkata Raden Wijaya yang telah berdiri
bersama Kebo Arema telah mengenali orang yang
tengah berpelukan erat bersama Rangga Lawe.
"Sahabatku", berkata Raden Wijaya sambil memeluk erat
Arga Lanang. "Jayanagara kemarilah nak, inilah ayahmu", berkata Arga
Lanang kepada salah seorang dari dua anak lelaki yang
sudah naik keatas pendapa Balai Tamu.
"Raden Wijaya, inilah anakmu, putra Dara Petak",
berkata Arga Lanang kepada Raden Wijaya.
Bukan main terharunya Raden Wijaya menatap seorang
anak lelaki kecil yang juga sedang menatapnya.
61 "Putraku", berkata Raden Wijaya langsung memeluk erat
anak lelaki itu yang bernama Jayanagara.
"Apakah lelaki itu ayahku?", bertanya anak lelaki yang
lain kepada Arga Lanang menunjuk kearah Kebo Arema.
Kebo Arema yang mendengar pertanyaan anak itu
langsung mendekatinya, tahu siapa sebenarnya anak
lelaki yang bermata bulat dan terang itu yang
menandakan kecerdasan yang luar biasa.
"Kamu pasti putra Dara Jingga, siapa namamu nak",
berkata Kebo Arema sambil berjongkok memegang
kedua bahu anak itu. "Namaku Adityawarman", berkata anak itu tegas kepada
orang dihadapannya yang dianggapnya seorang penuh
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kasih dan dapat dipercaya.
"Namaku Kebo Arema, kamu boleh memanggilku dengan
sebutan Eyang Kebo Arema karena ayahmu
memanggiku sebagai paman", berkata Kebo Arema
kepada anak lelaki itu yang ternyata adalah putra Dara
Jingga. "Dimana ayahku?", bertanya Adityawarman kepada Kebo
Arema yang ternyata bukan ayahnya.
"Ayahmu seorang senapati besar, saat ini ditugaskan
oleh Sri Maharaja di Balidwipa", berkata Kebo Arema
kepada Adityawarman. Terlihat Adityawarman menoleh kepada Jayanagara
yang masih dekat dengan ayahnya Raden Wijaya.
"Kamu sangat tampan seperti ayahmu", berkata Raden
Wijaya mendekati Adityawarman mencoba menyelami
perasaan anak itu dan sekedar menghiburnya.
"Apakah aku dapat menemui ayahku?", bertanya 62 Adityawarman kepada Raden Wijaya menatapnya
dengan bola mata yang begitu terang membuat siapapun
akan segera akan menyukainya.
Belum sempat Raden Wijaya menjawab, Jayanegara
sudah ikut mendekati Adityawarman.
"Aku akan bersamamu mencari ayahmu", berkata
Jayanera penuh kesetiakawanan yang tinggi.
Raden Wijaya tersenyum menatap dua anak itu,
terbayang kesetiakawanan yang tinggi antara dirinya dan
Mahesa Amping. Ternyata anak-anak mereka mempunyai naluri yang
sama. "Mereka adalah saudara sepupu", berkata Raden
Wijaya dalam hati penuh kebanggaan dan kebagiaan.
"Balidwipa tidak begitu jauh, kita akan menemui ayahmu
disana", berkata Raden Wijaya kepada Adityawarman.
"Maaf, aku belum memperkenalkan teman perjalanan
kami", berkata Arga Lanang memperkenalkan seorang
pendeta yang dikatakannya sebagai teman perjalanannya. "Namaku Gunakara, aku berasal dari sebuah biara di
Tibet. Atas kebaikan tuan Arga Lanang telah
membawaku sampai disini", berkata pendeta itu sambil
menjura penuh hormat memperkenalkan dirinya. Tujuan
perjalananku adalah sebuah tanah datar bernama
Balidwipa", berkata kembali Pendeta Gunakara
menyampaikan tujuan perjalanannya.
Bagian 3 Setelah menyampaikan keselamatan masing-masing,
63 Arga Lanang yang memulai cerita perjalanannya.
"Enam bulan yang lalu, aku mendapat tugas dari Ayahku
untuk berangkat ke Tanah Melayu. Dalam tugasku itu
kusempatkan diri untuk mengunjungi Istana Melayu. Dara
Petak dan Dara Jingga memaksa aku untuk membawa
kedua anak ini menemui ayahnya di Jawadwipa,
tentunya atas restu dari Eyangnya Baginda Raja
Melayu", berkata Arga Lanang bercerita tentang
perjalanannya. "Dalam perjalanan pelayaran itulah aku
bertemu dengan pendeta Gunakara yang bermaksud
akan menuju Balidwipa", berkata kembali Arga Lanang
bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta
Gunakara dari Tibet. "Pasti tuan pendeta Gunakara punya maksud dan tujuan
tertentu, hingga harus menempuh perjalanan yang begitu
jauh dari Tibet", berkata Kebo Arema kepada Pendeta
Gunakara. Terlihat Pendeta Gunakara tidak langsung menjawab,
hanya sedikit tersenyum melihat semua wajah yang ada
di pendapa Balai Tamu itu.
"Aku merasa berbahagia bahwa dalam perjalananku ini
berkenalan dengan orang-orang baik seperti kalian",
berkata Pendeta Gunakara dengan sinar mata
senyumnya yang terlihat begitu tulus. "Aku sedang
mengemban sebuah tugas yang sangat aneh dari semua
saudaraku di biara kami di Tibet", berkata kembali
pendeta Gunakara. "Setahun yang lalu, guru besar kami
Jamyang Dawa Lama telah jatuh sakit. Beliau memberi
kami sebuah wasiat, bahwa bila sukmanya telah
meninggalkan raganya, maka beliau akan terlahir
kembali disebuah tempat yang begitu indah seperti sorga
bernama Balidwipa. Bayi itu mempunyai sebuah
pertanda di pundaknya. Beliau juga meminta kami untuk
64 membawa bayi itu untuk menggantikan kedudukannya
sebagai guru besar tertinggi di Biara Tibet", berkata
Gunakara mengakhiri ceritanya.
"Mencari seorang bayi yang lahir bertepatan hari
kematian Jamyang Dawa Lama di Balidwipa?", bertanya
Raden Wijaya setelah menyimak semua cerita Pendeta
Gunakara. "Benar, seorang bayi yang lahir tahun lalu dengan
sebuah tanda khusus di pundaknya", berkata Pendeta
Gunakara membenarkan perkataan Raden Wijaya.
"Sebuah tugas yang begitu rumit, seperti mencari sebuah
pengait benang ditumpukan jerami", berkata Kebo Arema
menanggapi cerita Pendeta Gunakara.
"Guru besar kami Jamyang Dawa Lama selalu dinaungi
awan dalam setiap perjalanannya. Saat ini awan itu pasti
selalu menaungi kemanapun bayi itu berada. Itulah
pertanda yang akan membawa kami menemukan bayi
itu", berkata Pendeta Gunakara dengan penuh
keyakinan. Sementara itu jauh dari Bandar Cangu di hari yang sama
disebuah hutan di Balidwipa yang jarang sekali dijamah
oleh manusia, para pengembara biasa menyebutnya
sebagai hutan Mada. Disebuah tanah bergumuk yang
cukup lapang ditengah hutan itu terlihat sebuah
pertempuran yang sangat seru dan dahsyat. Seorang
lelaki sambil menggendong seorang bayi ditangan kirinya
dan sebuah pedang panjang ditangan kanannya tengah
menghadapi lima orang yang begitu bernafsu untuk
segera menghabisinya. "Serahkan bayi itu", berkata seorang bertubuh tinggi
besar sambil mengancam dengan sebuah golok besar
kepada lelaki yang menggendong seorang bayi itu.
65 "Sudah kukatakan bahwa bayi ini bukan anaknya, kalian
masih juga belum percaya", berkata lelaki yang masih
menggendong bayi dengan eratnya tidak ingin
menyerahkannya kepada kelima orang penyerangnya.
"Anak itu anak seorang penghianat, harus dihabisi
sampai ke akar-akarnya", berkata seorang pengeroyok
lainnya sambil mengayunkan sebuah golok panjangnya
kearah kepala lawannya. Tapi lelaki itu dapat dengan baik mengelak serangan itu
dan balas menyerang dengan pedangnya menyabet
pangkal paha orang itu. Bukan main kagetnya orang itu
mendapatkan serangan balik yang lebih cepat dari yang
diduganya. Orang itu terlihat mundur jauh.
Namun lelaki yang masih menggendong seorang bayi itu
masih saja menyerangnya dengan sebuah tusukan
pedang ke arah perut orang itu.
Trang !!! Untung saja kawannya yang lain menghantam pedang itu
sehingga harus melenceng dari sasarannya.
Akhirnya pengeroyokanpun kembali terjadi, lima orang
melawan satu orang sambil memegang erat seorang bayi
ditangan kirinya. Crasss !!! Sebuah sabetan golok mengenai punggung belakang
lelaki itu yang tidak dapat menghindarinya karena
menghadapi serangan lawan dari berbagai arah. Terlihat
segaris darah memanjang dibelakang punggungnya.
"Kamu memang keras kepala, matilah kamu bersama
bayi itu", berkata orang yang tengah menyerang dari
hadapannya. 66 Trang !!! Hanya itu yang dilakukan lelaki itu menangkis kibasan
golok panjang dengan pedangnya sambil melompat
menghindari sabetan golok lawan dari arah samping dan
sekaligus menyerang lawan disisi lain. Namun sebuah
sabetan dari arah belakang tidak dapat dihindarinya.
Srettt !!! Sebuah sabetan tipis berhasil melukai paha belakangnya. Namun semangat lelaki itu begitu keras,
sepertinya tidak merasakan darah menetes lewat
punggung dan paha belakangnya. Lelaki itu masih dapat
menghindar bahkan balas menyerang dengan tidak kalah
berbahayanya. Namun dalam beberapa jurus kemudian, mulailah terlihat
tenaga lelaki itu mulai menurun, lompatan dan
serangannya tidak segesit dan setangkas sebelumnya.
Matanya terlihat sudah lamur akibat banyak darah yang
keluar dari punggung dan belakang pahanya, tapi
genggaman tangannya masih erat memegang bayi di
tangan kirinya. Kembali lima buah serangan sekaligus menyudutkannya.
Trang !!! Sabetan golok besar berhasil ditahan dari arah samping
kanan, sekaligus melompat menghindari sabetan
dibawah kakinya dari arah kiri. Namun dua serangan
menusuk dari arah depan dan bacokan golok dari arah
belakang pada kali ini sudah tidak bisa dihindari lagi.
Lelaki itu sepertinya sudah tidak punya harapan lagi,
langkahnya sudah terkunci mati tidak dapat menghindari
tiga buah serangan sekaligus.
Tapi umur manusia kadang sangat aneh, tidak selalu
67 dapat ditebak dan diatur. Ketiga penyerang itu sudah
merasa yakin bahwa lelaki itu pasti akan termakan oleh
masing-masing golok besar mereka. Keajaiban apa yang
terjadi " Tring ! tring ! tring ! Terdengar tiga buah benda besi beradu dalam waktu
yang hampir bersamaan, dan tiga buah golok besar
terlihat terpental dari tangannya.
Ketiga orang itu melongo melihat tangannya yang
kosong tidak memegang senjata lagi dan merasakan
rasa nyeri seperti kesemutan pada jemari tangan
mereka. "Aku tidak akan turut campur bila dihadapanku adalah
pertempuran yang adil satu lawan satu", berkata seorang
lelaki muda yang sudah berdiri didekat lelaki yang hampir
mati binasa itu. "Siapa kamu!!", berkata salah seorang dari kelima
pengeroyok itu yang merasa hampir saja dapat
membinasakan lawannya. "Tidak perlu tahu siapa aku sebagaimana aku juga tidak
peduli siapa kalian. Yang jelas dihadapannku adalah lima
orang berhati tikus yang tidak punya keberanian jiwa
satria", berkata lelaki muda itu dengan tenang tidak
sedikitpun terlihat kegentarannya menghadapi kelima
orang yang berwajah bringas.
"Habisi orang ini yang mencampuri urusan kita!!", berkata
seorang yang bertubuh tinggi besar sepertinya pemimpin
mereka memberi perintah untuk menghabisi lelaki muda
yang datang mencampuri urusan mereka.
"Menyingkirlah", berkata lelaki muda itu kepada seorang
lelaki yang baru saja diselamatkannya itu.
68 Lima buah serangan kini beralih kepada lelaki muda yang
baru datang itu. Kelima orang itu seperti lima ekor srigala
buas menerjang dengan golok besarnya kearah lelaki
muda itu. Entah dengan apa caranya, sudah terjurai sebuah
cambuk di tangan lelaki muda itu.
Tarrrr !!! Terdengar lima buah bunyi ledakan sebuah cambuk yang
dihentakkan hampir berbarengan. Terlihat lima orang itu
semuanya terjengkang mundur kebelakang dengan
merasakan dada yang sesak.
Ternyata cambuk itu hanya beberapa mili saja
menghentak didepan dada mereka tidak mengenai
sedikitpun, tapi suara hentakan itu telah membuat dada
mereka terasa sesak sukar bernafas serta mendorong
tubuh mereka seperti berasal dari sebuah tenaga yang
sangat kuat melempar tubuh mereka.
"Enyahlah dari hadapanku sebelum kesabaranku habis",
berkata lelaki muda itu dengan sorot mata yang begitu
mengerikan membuat siapapun yang melihatnya akan
merasa jantungnya lepas menjadi begitu ciut.
Maka tanpa perintah dan aba-aba sekalipun, terlihat
kelima orang itu bangkit berlari penuh rasa jerih
meninggalkan arena itu dan menghilang dikerimbunan
hutan Mada yang rimbun dan pekat itu.
"Terima kasih telah menyelamatkan aku", berkata lelaki
itu sambil melepaskan bayi ditangannya dengan hati-hati
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meletakkannya di hamparan tanah berumput.
"Jangan banyak bergerak, aku akan mengobati lukamu",
berkata lelaki muda bersenjata cambuk itu sambil
mengeluarkan dari balik pakaiannya sebuah bubuk obat
69 luka. Ketika bubuk itu telah merata menutup hampir semua
luka di punggung dan pangkal paha belakangnya, lelaki
itu merasakan nyeri yang sangat. Namun rasa nyeri itu
hanya sebentar. Lukanya sudah langsung mampat tidak
mengeluarkan darah lagi. "Ceritakanlah apa yang telah terjadi", berkata lelaki muda
itu kepada orang yang terluka itu yang terlihat duduk
diatas rumput di tanah bergumuk disamping seorang bayi
yang sepertinya begitu nyenyak tidurnya tidak terganggu.
"Sebulan yang lalu seorang kawanku datang kepadaku
membawa bayi ini. Kawanku itu merasa keamanannya
terancam dan ia meminta diriku untuk merawat bayi ini.
Kawanku itu berpesan agar aku dan bayi ini bersembunyi
di hutan Mada ini sampai waktu sebulan dimana ia akan
datang mengambil bayi ini kembali", bercerita lelaki itu.
"Namun sebulan kemudian kawanku tidak juga muncul di
hutan ini melainkan kelima orang itu yang datang
bermaksud merebut bayi ini dari tangannya untuk
dibunuhnya", berkata kembali orang itu.
"Apa hubungannya kelima orang itu dengan kawanmu?",
bertanya lelaki muda bersenjata cambuk itu.
"Kawanku itu dulunya adalah sekelompok orang di
Balidwipa ini yang setia kepada Raja Adidewalancana.
Karena sudah tidak sepaham lagi, kawanku berbalik arah
bergabung dengan pihak lawan. Kawanku dianggap
sebagai penghianat oleh kelompoknya dan dikejar untuk
dimusnahkan seluruh keluarganya. Itulah sebabnya ia
datang menitipkan bayi ini", berkata orang itu kepada
lelaki muda. "Siapakah nama kawanmu itu, mungkin aku mengenalnya", berkata lelaki muda bersenjata cambuk
70 itu kepada orang yang terluka.
"Made Santu dari Tejakula, kelima orang itu mungkin
telah berhasil membunuhnya", berkata orang yang
terluka itu. "Aku pernah mendengar namanya, seorang pribumi yang
berani yang membocorkan sebuah gerakan pemberontakan di Kademangan Tejakula beberapa
bulan yang lalu", berkata lelaki muda bersenjata cambuk
itu. "Apakah aku boleh tahu nama tuan, agar aku dapat
mengingat nama orang yang pernah menyelamatkan
selembar nyawaku ini", berkata orang terluka itu kepada
lelaki muda bersenjata cambuk itu.
"Namaku Mahesa Amping", berkata lelaki muda yang
bersenjata cambuk itu dengan senyum yang selalu
menghias wajahnya penuh kesejukan siapapun yang
melihatnya. "Melihat senjata cambuk ditangan tuan, sejak semula aku
sudah menduga-duga. Ternyata dugaanku tidak salah.
Hari ini aku merasa bangga telah ditolong oleh Senapati
Mahesa Amping. Hampir setiap orang di Balidwipa ini
mengenal nama tuan", berkata orang itu.
"Jadi bayi ini putra Made Santu?", bertanya Mahesa
Amping kepada orang itu. Orang itu tidak langsung menjawab tapi tersenyum getir
sambil melirik bayi yang ada disampingnya sepertinya
merasa iba atas nasib bayi itu.
"Made Santu tidak pernah punya anak seorang pun,
sementara kelima orang itu masih mengira bahwa bayi ini
adalah putranya", berkata orang itu kepada Mahesa
Amping. 71 "Bila bayi ini bukan putranya, kenapa dia datang
kepadamu menitipkan bayi ini?", bertanya Mahesa
Amping penuh ketidak mengertian hubungan bayi itu
dengan Made Santu. "Ketika menitipkan bayi ini, kawanku Made Santu
bercerita bahwa bayi ini adalah putra seorang Brahmana
yang telah berniat meninggalkan keramaian dunia,
menyepi mensucikan dirinya di suatu tempat yang
dirahasiakannya, jauh dari kehidupan manusia", berkata
orang itu." Kawanku Made Santu juga menjujukkan
sebuah keajaiban atas bayi ini kepadaku", berkata
kembali orang itu kepada Mahesa Amping.
"Keajaiban apakah yang ada pada bayi ini?", bertanya
Mahesa Amping penuh rasa ingin tahu.
"Tidakkah tuan merasakan bahwa ada awan diatas kita
yang tidak pernah bergerak sedikitpun sepertinya terus
meneduhi kemanapun bayi ini berada", berkata orang itu
sambil menunjuk kearah awan di atas mereka yang
memang sepertinya terus meneduhi dari sinar matahari
disiang itu diatas tanah bergumuk ditengah hutan Mada.
Mahesa Amping melihat keatas awan yang memang
sedari tadi menjadikan sekitar mereka menjadi begitu
teduh. Mahesa Amping mulai percaya bahwa bayi itu
memang mempunyai keajaiban yang tidak dimiliki oleh
siapapun, bayi itu sepertinya dilindungi oleh banyak
tangan dewa-dewi yang tak terlihat yang selalu
mengasuhnya, dan menjaganya dengan penuh kasih.
Dan diam-diam ada perasaan hati yang kuat untuk
memiliki bayi itu, sebuah perasaan yang sangat aneh
yang dirasakan oleh Mahesa Amping
"Tuan telah menolong jiwaku, dapatkah tuan meluluskan
sebuah permintaanku?", berkata orang itu penuh
72 pengharapan kepada Mahesa Amping.
"Apakah gerangan permintaanmu?", bertanya Mahesa
Amping. "Merawat bayi ini", berkata orang itu kepada Mahesa
Amping. "Ditangan tuan aku yakin musuh-musuh Made Santu
akan berpikir sepuluh kali lipat untuk berniat mencelakai
bayi ini", berkata kembali orang itu.
Entah kenapa Mahesa Amping sepertinya merasakan
hatinya penuh suka cita yang meletup-letup, permintaan
orang itu seperti mewakili keinginan hatinya, memiliki
bayi itu dengan segenap hati.
"Aku menerima permintaanmu, entah apa yang ada pada
diriku. Sebelum kamu menawarkan kepadaku, hati ini
begitu sarat dipenuhi keinginan untuk memiliki dan
merawat bayi ini", berkata Mahesa Amping kepada orang
itu. "Perasaan itu pun juga pernah memenuhi perasaaanku
manakala Made Santu membawa bayi ini kepadaku.
Namun perasaan memiliki ini telah berganti dengan
perasaan kekhawatiran untuk tidak dapat menjaganya.
Diri ini sepertinya berharap bayi ini berada ditempat yang
aman. Dan saat ini tempat yang paling aman untuk bayi
ini adalah diri tuan Senapati", berkata orang itu kepada
Mahesa Amping. "Aku berjanji untuk menjaganya dengan sepenuh hati",
berkata Mahesa Amping kepada orang itu.
"Terima kasih tuan Senapati, perkenalkan namaku Putu
Rantu yang akan selalu mengenang pertolongan tuan
Senapati", berkata orang itu sambil menjura penuh rasa
terima kasih yang tak terhingga.
73 "Tidak usah berterima kasih kepadaku secara berlebihan,
semua sudah digariskan, kebetulan sekali aku lewat
hutan ini", berkata Mahesa Amping kepada orang itu
yang memperkenalkan dirinya bernama Putu Rantu.
"Tuan Senapati benar, semua memang sudah digariskan
sebagaimana nyawaku hari ini yang masih tetap utuh
melekat di raga ini", berkata Putu Rantu penuh
kegembiraan masih dalam keadaan selamat dari sebuah
bahaya kematian atas dirinya.
"Lukamu masih perlu perawatan, sebaiknya kita mencari
padukuhan terdekat untuk istirahat sementara agar
dirimu dapat pulih seperti sediakala", berkata Mahesa
Amping kepada Putu Rantu mengajaknya keluar dari
hutan Mada untuk mencari sebuah padukuhan terdekat.
Namun ketika mereka akan beranjak, Mahesa Amping
menahan Putu Rantu untuk tetap ditempatnya.
"Siapapun yang tengah mencuri dengar, keluarlah",
berkata Mahesa Amping dengan suara menggema
kesegala penjuru. Maka tidak lama kemudian, muncullah
sesosok tubuh seorang tua berjubah putih keluar dari
persembunyiannya dibalik semak dan belukar hutan
Mada. "Ternyata tuan Senapati Mahesa Amping punya
pendengaran yang tajam", berkata orang itu sambil
tertawa panjang. "Aku sudah melihat dirimu yang tidak berbuat apapun
ketika saudara Putu Rantu ini dalam bahaya", berkata
Mahesa Amping kepada orang itu.
"Ternyata nama besar Senapati Mahesa Amping bukan
nama kosong, aku Jabarantas yang tua ini tidak
mendengar sedikitpun kehadiran tuan Senapati", berkata
74 orang itu yang mengaku bernama Jabarantas.
"Kalau boleh tahu, ada kepentingan apakah sehingga Ki
Jabarantas bersusah diri mengintai begitu lama di semak
belukar", berkata Mahesa Amping kepada Ki Jabarantas
yang sudah datang mendekat.
"Kemarin malam aku melihat ada bintang jatuh di hutan
Mada ini, hal itulah yang memaksa diriku datang kehutan
ini. Tidak sengaja menyaksikan pertempuran itu dan
mendengar cerita tentang bayi itu", berkata Ki Jabarantas
sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Aku jadi tertarik untuk
memiliki bayi itu", berkata kembali Ki Jabarantas.
"Apa yang Ki Jabarantas inginkan dari bayi ini?",
bertanya Mahesa Amping kepada Ki Jabarantas.
"Aku tertarik untuk menjadikannya
tunggalku", berkata Ki Jabarantas.
sebagai murid "Putu Rantu telah menyerahkannya kepadaku", berkata
Mahesa Amping dengan suara yang keren berwibawa.
"Nama besarmu tidak akan menciutkan keinginanku
untuk mengambil bayi itu", berkata Ki Jabarantas dengan
suara menantang. "Bagaimana bila aku tetap mempertahankannya", berkata
Mahesa Amping dengan suara yang tenang.
"Aku akan merebutnya dengan paksa", berkata Ki
Jabarantas kepada Mahesa Amping.
"Mungkin bukan hanya Ki Jabarantas seorang yang
begitu menginginkan bayi ini, masih ada banyak orang
yang masih senang bermain sembunyi-sembunyian",
berkata Mahesa Amping dengan suara yang sengaja
dikeraskan karena pendengarannya yang tajam telah
mendengar masih ada beberapa orang lagi tengah
bersembunyi disekitar hutan Mada.
75 Ternyata ucapan Mahesa Amping telah membuat
beberapa orang yang bersembunyi terpaksa keluar dari
persembunyiannya. Terlihat keluar tiga orang yang muncul dari balik sebuah
pohon besar. Dari wajah ketiga orang itu dapat dikatakan
ketiganya sudah cukup berumur namun belum dapat
dikatakan sudah cukup tua sebagaimana Ki Janarantas.
Diam-diam Ki Jabarantas memuji ketajaman pendengaran Mahesa Amping karena dirinya sendiri
tidak mengetahui ada orang lain yang sedang mengintai.
"Nama besar Senapati Mahesa Amping ternyata bukan
omong kosong, diam-diam telah mengetahui kehadiran
kami", berkata salah seorang dari ketiga orang itu yang
baru saja muncul. "Apakah kalian bertiga juga punya kepentingan dengan
bayi itu", berkata Mahesa Amping kepada ketiga orang
yang baru muncul itu. "Ibu dari bayi itu adalah putri guru kami, sudah lama kami
mencari-cari. Serahkanlah kepada kami untuk membawanya pulang ke Padepokan Teratai Putih",
berkata salah seorang dari mereka yang paling tua.
"Tuan Senapati, jangan serahkan bayi ini kepada
mereka, kawanku Made Santu juga berpesan jangan
sampai bayi ini jatuh ke tangan orang-orang dari
Padepokan Teratai Putih", berkata Putu Rantu kepada
Mahesa Amping. "Kalian dengar sendiri, bayi ini tidak akan kuserahkan
kepada kalian", berkata Mahesa Amping kepada ketiga
orang itu dari Padepokan Teratai Putih.
"Terpaksa kami akan melakukannya dengan kekerasan",
berkata salah seorang yang paling tua diantara ketiga
76 orang itu "Berbuat kekerasan kepadaku", apakah kalian tidak takut
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan berurusan dengan prajurit Singasari?", berkata
Mahesa Amping menggertak.
"Jangan kamu campur adukkan masalah ini, urusan ini
adalah urusan seorang bayi", berkata orang tertua itu
yang sedikit gentar bila saja Mahesa Amping
mengaitkannya dengan keadaan dirinya sebagai seorang
Senapati Singasari. "Baiklah aku tidak akan mengaitkan urusan ini dengan
kedudukanku sebagai seorang Senapati. Aku akan
bertanggung jawab bahwa ini adalah urusan pribadi",
berkata Mahesa Amping dengan sebuah senyum
menangkap kekhawatiran ketiga orang yang berasal dari
Padepokan Teratai Putih. "Kami tidak suka kekerasan, kamilah yang berhak atas
bayi itu", berkata orang itu kembali kepada Mahesa
Amping. "Kalian baru datang sudah bicara tentang hak, akulah
yang berhak atas bayi itu yang telah berjodoh kepadaku
untuk kujadikan murid tunggalku", berkata Ki Jabarantas
ikut menyela pembicaraan orang dari Padepokan Teratai
Putih. Ketiga orang Jabarantas. itu semuanya menoleh kearah Tujuh Pedang Tiga Ruyung 9 Ikat Pinggang Kemala Sabuk Kencana Karya Khu Lung Memanah Burung Rajawali 1