Pencarian

Kelana Buana 12

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 12


gamblang tiada kejadian itu atas diriku. Kenapa kau selalu mencari gara-gara?"
Suara Nyo Bok juga makin keras, serunya: "Apakah toaciku dan keenam muridku semua sama
buta" Mereka melihat jelas kau adanya!"
Beng Goan-cau tertawa dingin, katanya: "Mereka benar-benar melihat aku sendiri" Sungguh
kejadian lucu yang paling menggelikan di seluruh kolong langit! Kapan kau dikebumikan?"
"Tanggal empat bulan tujuh!"
"Tanggal empat bulan tujuh aku masih berada di Soh-ciu. Kalau kau tidak percaya bisa kucari
saksi sebagai bukti kebenaran kata-kataku."
Tan Thian-ih menyela bicara: "Manusia memang ada yang berbentuk hampir mirip. Ki-toako,
bukan mustahil menantu keponakanmu itu salah lihat orang lain."
Terpaksa Ki Kian-ya menerangkan: "Orang itu mengenakan kedok. Tapi kecuali Beng Goan-cau,
siapa pula yang bisa merebut anak Nyo Bok?"
Beng Goan-cau menjengek dingin, ujarnya: "Hakikatnya kalian tidak melihat jelas mukaku
sendiri, bagaimana bisa menuduhku dengan sewenang-wenang?"
Ki Kian-ya menjadi gusar, teriaknya: "Beng Goan-cau, jelek-jelek kau pun seorang tokoh dari
Siau-kim-jwan, kenapa berkelakuan begitu tidak tahu malu main mungkir segala" Kecuali kau bisa
meringkus orang berkedok itu ke hadapanku, kalau tidak kecurigaan ini betapapun tidak bisa kau
cuci bersih meski air sungai kuning menjadi kering."
Di saat kedua pihak sama ngotot dan berdebat seru, mendadak terdengar seseorang berseru
lantang: "Di mana putra Nyo Bok, aku tahu! Siapakah orang berkedok itu, aku pun tahu!"
Tampak seorang laki-laki berdandan seperti pelajar membawa kipas berjalan keluar dari
rombongan orang banyak. Sampai di hadapan Nyo Bok ia unjuk seri tawa geli, katanya: "Nyo
busu, kukira kau masih kenal padaku bukan! Meski hari itu kau menyamar dan mengenakan
kedok, tapi aku masih bisa mengenali dirimu."
Dalam kejap lain, betapapun licik dan licin serta besar ketabahan Nyo Bok, tidak urung ia
tersentak kaget dan pucat pasi selebar mukanya.
Ternyata laki-laki pertengahan umur yang berdandan seperti sastrawan ini tak lain tak bukan
adalah salah satu dari Tiam-jong-siang-sat yaitu Toan Siu-si.
Biasanya Tiam-jong-siang-sat malang melintang di daerah barat daya yang angker dan sepi,
namun banyak hadirin yang mengenalnya. "Lho, bukankah dia orang kedua, dari Tiam-jong-siangsat,
Ling-bin-su-sing Toan Siu-si?"
"Orang macam apakah Tiam-jong-siang-sat?"
"Mereka tokoh-tokoh aneh di antara sesat dan lurus, orang ini nomor dua, masih seorang lagi
bernama Pok Thian-tiau bergelar Pat-pi-Iing-wan. Kabarnya jejak mereka jarang keluar dari Tiamlam,
hari ini sejauh ribuan li meluruk ke Thay-san, sungguh aneh dan mengherankan."
"Tidak, dua bulan yang lalu kabarnya dia pernah muncul di Soh-ciu, malah pernah berkelahi
pula dengan Beng Goan-cau!"
"Lha, kan seharusnya dia membantu pihak Nyo Bok, namun gelagatnya malah kebalikannya!"
"Watak Ling-bin-su-seng Toan Siu-si memang aneh dan tersendiri, sepak terjang tidak
menentu, pihak mana yang hendak dia bantu, sulit diraba dan diketahui!"
Begitulah timbul kegemparan di antara hadirin yang sama kenal siapakah sebenarnya Tiamjong-
siang-sat itu, mereka sedang membicarakan dirinya.
Beng Goan-cau yang berdiri di tengah gelanggang dan Hun Ci-lo yang menyendiri di pojokan
sana jauh lebih kaget dan tidak habis mengerti.
"Darimana dia bisa tahu jejak anak Hoa" Mungkin karena malam itu dia terluka di bawah
pedangku, maka sengaja hendak merebut putraku sebagai pembalasan" Tapi cara bagaimana dia
bisa tahu orang yang membokongnya malam itu aku adanya?" demikian pikir Hun Ci-lo.
"Tiam-jong-siang-sat mengikat permusuhan yang cukup mendalam dengan aku, kenapa Toan
Siu-si ini sudi tampil ke depan mencuci kecurigaan orang atas diriku?" Begitulah Beng Goan-cau
pun bertanya-tanya di dalam hati.
Di saat semua orang ribut-ribut sama mengutarakan pendapatnya, Toan Siu-si menggerakgerakkan
kipasnya seperti orang kepanasan, sementara itu dia sudah berhadapan dengan Nyo
Bok. Muka Nyo Bok membesi hijau, bentaknya: "Kau ini membual apa" Selamanya aku belum pernah
kenal dan melihat siapakah kau ini?"
"Kau tidak pernah melihat aku" Hahahaha, kau tidak kenal aku" Nyo Busu memang kau ini
seorang pelupa ataukah pura-pura pikun" He, he, belum lagi kau dengar kata-kataku, dengan
alasan apa pula kau tadi mengatakan aku membual?"
"Nyo busu, bukankah tadi kau ingin mengetahui jejak putramu?" demikian timbrung Kim Tiokliu.
"Cobalah kau dengar apa yang dia ucapkan, kukira tiada jeleknya!"
Saking geregeten ingin rasanya Nyo Bok bisa menyobek badan Toan Siu-si menjadi dua potong.
Tapi Kim Tiok-liu ikut menimbrung bicara dan menjadi hakim yang menegakkan keadilan, maka
dia tidak berani sembarang bergerak, terpaksa ia mengeraskan kepala, sementara jantungnya
berdebur keras, dengan perasaan tidak tentram ia mendengarkan penjelasan Toan Siu-si.
Berkata Toan Siu-si perlahan-lahan: "Ki-Losiansing, kau pun salah terka. Orang berkedok yang
merebut Nyo Hoa di rumah keluarga Nyo bukan Beng Goan-cau, tapi adalah Song Theng-siau."
"Darimana kau tahu?" tanya Ki Kian-ya.
Beng Goan-cau pun terkejut, tanpa sadar ia berteriak: "Aku tidak percaya, kenapa Song Thengsiau
bisa merebut anak itu?"
Nyo Bok menggerutu: "Beng Goan-cau atau Song Theng-siau, sama saja. Siapa tidak tahu
bahwa mereka sahabat kental" Katakan saja orang berkedok itu benar Song Theng-siau adanya,
pasti dia mendapat petunjuk langsung dari Beng Goan-cau."
"Sebab musabab kejadian itu aku sudah menyelidiki dengan jelas," demikian tutur Toan Siu-si
lebih lanjut. "Bahwa Nyo Bok pura-pura mati, semula Nyo-toakoh masih belum mendapat tahu, dia
menyangka istrinya, Hun Ci-lo, yang mencelakai suaminya. Nyo-toakoh mengusir Hun Ci-lo keluar
dari rumah keluarga Nyo dan diharuskan meninggalkan putranya. Anak itu tidak mau ikut
padanya, lalu disiksa dan disakiti, Song Theng-siau merasa penasaran melihat perbuatannya yang
kasar itu, maka merebut anak itu dari tangannya."
"Kejadian ini berhasil kau selidiki belakangan, bukan?" tanya Ki Kian-ya.
Toan Siu-si mengiakan. "Semula cara bagaimana kau bisa tahu bahwa anak itu terjatuh ke
tangan Song Theng-siau?" demikian desak Ki Kian-ya.
Toan Siu-si merangkap kipasnya untuk menuding Nyo Bok, sahutnya: "Dialah yang beritahu
kepadaku. Hm, jelas dia sudah tahu siapakah orang berkedok itu, sebaliknya hendak memfitnah
Beng Goan-cau, aku amat sebal dan tidak senang melihat tingkah lakunya yang hina dina, maka
walaupun aku punya permusuhan dengan Beng Goan-cau, mau tidak mau aku harus tampil ke
depan menjadi saksi akan kebersihan namanya!"
Dengan mengeraskan kepala, Nyo Bok mungkir mentah-mentah: "Membual belaka, agaknya
kau sedang melihat setan di siang hari bolong!"
Toan Siu-si membuka kipasnya pula dan dikibas-kibaskan, katanya tertawa: "Sedikit pun tidak
salah, hari itu memang aku melihat setan di siang hari bolong, dan setan itu adalah kau!"
"Kejadian baru berselang dua bulan, Nyo busu, kukira kau masih belum lupa atau pura-pura
sudah pikun" Hari itu, kau ajak aku membicarakan urusan hitung dagang, kau minta kami Tiamjong-
siang-sat merebut anak itu bukan!" Kedua matanya dengan dingin menatap Nyo Bok,
sementara mulutnya selalu mengatakan 'anak itu' dan bukan 'anakmu'. Pandangan orang
membuat Nyo Bok merinding dan berdiri bulu romanya.
Beng Goan-cau sendiri juga ragu-ragu, pikirnya: "Apakah dia sudah tahu asal-usul bocah itu?"
Gusar dan kaget pula Nyo Bok, bentaknya: "Siapa mau percaya obrolan setanmu, kenapa aku
bisa suruh kau merebut putraku?"
Toan Siu-si bergelak tertawa pula kipasnya menuding Nyo Bok lagi, katanya: "Bukan saja kau
minta kami merebut anak itu, ingin pula supaya aku menggunakan anak itu membantu kau
menuntut balas." Ki Kian-ya keheranan, tanyanya: "Menuntut balas kepada siapa?"
Toan Siu-si menjelaskan: "Dia menyangka Beng Goan-cau adalah musuh bersama kami dan
dia! Di luar tahunya meski aku orang she Toan bermusuhan dengan orang she Beng, tapi aib
bagiku melakukan perbuatan kotor dan hina dina macam itu!"
"Penjelasanmu ini amat mengherankan," demikian ujar Ki Kian-ya. "Cara bagaimana Nyo Bok
bisa menggunakan anak sendiri untuk menuntut balas kepada Beng Goan-cau."
"Latar belakang persoalan ini, Nyo Bok cukup jelas mengetahui! Dalam hal ini aku bertindak
cukup baik dan bajik, tidak enak kubongkar secara gamblang di hadapan umum. Hm, Nyo Bok,
kalau kau paksa aku harus membongkar rahasia ini, baiklah..."
Hati Nyo Bok menjadi risau dan gelisah, bentaknya: "Kau sedang ngelantur dan ngoceh apa di
sini. Betapapun obrolanmu sulit dipercaya!"
Sebagai angkatan tua yang banyak pengalaman, Tan Thian-ih tahu bahwa dalam hal ini pasti
ada latar belakang yang menyangkut rahasia pribadi orang lain, maka segera ia menyela bicara:
"Sudah jangan bicara ngelantur menarik panjang urusan. Di mana anak itu sekarang?"
Jawab Toan Siu-si kalem: "Aku berhasil merebut anak itu dari tangan Song Theng-siau,
sekarang dia sudah menjadi murid kami!" Sudah tentu kata-katanya ini menimbulkan kegemparan
hadirin. Nyo Bok berteriak: "Omong kosong! Anakku cara bagaimana boleh angkat .guru kepada kau?"
Ki Kian-ya menggeleng kepala, katanya: "Bocah itu tidak kau bawa kemari, katamu dia menjadi
muridmu, cara bagaimana kami bisa tahu kebenaran kata-katamu?"
"Aku punya bukti!" sahut Toan Siu-si. Lalu dari bajunya ia mengeluarkan sebentuk mainan
kalung dari jade putih. Ternyata mainan kalung ini adalah peninggalan Beng Goan-cau kepada Hun Ci-lo sebelum
mereka berpisah dulu. Barang itu sebagai tanda pengenal di kelak kemudian hari bila terjadi
sesuatu sehingga mereka terpisah jauh, kelak bila anak mereka besar biarlah mengandal batu
mainan kalung itu untuk mencari orang tuanya.
Tak nyana hari ini ia melihat kembali batu mainan kalung, tanpa melihat putranya. Meski Beng
Goan-cau biasanya bisa berlaku tabah dan tenang sekeras batu, tak urung terketuk sanubarinya,
rasa pilu dan sedih membuat air mata berlinang di kelopak matanya. Untunglah dia masih kuasa
menahannya hingga tidak sampai menetes keluar.
Gejolak perasaan Beng Goan-cau lebih rasa haru daripada kaget. Bagi Nyo Bok rasa terkejut
jauh lebih besar dari rasa harunya.
"Entah rahasia apa pula yang hendak dibongkar oleh keparat ini?" Mau tidak mau bergetar
sanubari Nyo Bok. Seorang lagi yang perasaannya jauh lebih gejolak haru dari Beng Goan-cau serta rasa kejutnya
pun jauh lebih besar dari Nyo Bok, dia bukan lain adalah Hun Ci-lo yang duduk di pinggiran sana.
Haru dan sedih karena setapak dia lebih mendalami keaslian dari martabat suaminya,
sedemikian bejat sampai tidak terkirakan olehnya sebelumnya. "Selama delapan tahun ini, di
hadapanku selalu dia berpura-pura sebagai seorang laki-laki bajik yang punya pandangan luas dan
bijaksana, mulutnya yang manis dan anggap anak Hoa sebagai anak kandung sendiri. Siapa tahu
secara diam-diam ternyata dia hendak mencelakai anak Hoa!" Hal ini jauh lebih menyakitinya
daripada sang suami hendak mencelakai Beng Goan-cau, yang dia kagetkan adalah anaknya kini
terjatuh ke tangan Tiam-jong-siang-sat, sedang Tiam-jong-siang-sat punya permusuhan dengan
dirinya. Ki Kian-ya melenggong sebentar, lalu katanya: "Batu mainan ini rasanya memang bukan palsu
adanya!" Timbul nafsu membunuh Nyo Bok, katanya: "Tiam-jong-siang-sat adalah gembong iblis yang
kenamaan dari aliran sesat, dia merebut anakku tentu tidak salah lagi, di sini berani buka mulut
jelas hendak menjebloskan diriku. Boh-heng, apakah keparat ini tamu undangan-mu?"
Betapa cerdik Bok Cong-tiu, cepat ia sudah dapat menangkap arti kata-katanya, segera ia
geleng kepala, katanya: "Mana mungkin aku sudi mengundang gembong aliran sesat macam dia
ini!" Toan Siau-si dapat melihat sorot mata Boh Cong-tiu memancarkan sinar aneh, jengeknya
dingin: "Orang she Boh, kau hendak main bunuh..." belum selesai ia bicara, tanpa berjanji Nyo
Bok dan Boh Cong-tiu mendadak turun tangan bersama, sekali raih Boh Cong-tiu mengincar tulang
pundaknya seraya membentak: "Orang yang-membokong dengan jarum berbisa tadi apakah kau?"
Dia hendak membunuh Toan Siu-si sudah tentu harus mencari alasan. Sebaliknya Nyo Bok pun
amat benci dan geram tanpa bersuara, menggunakan Kimkong-lak-yang-jiu ia menghantam
tempat penting di punggung orang.
Terdengar "blang" dua telapak tangan beradu dengan keras, Boh Cong-tiu tergeliat dan mundur
dua tapak. Tapi orang yang menangkis mundur Boh Cong-tiu ini bukan Toan Siu-si, adalah Utti
Keng. Kiranya Utti Keng juga sudah melihat sorot mata Boh Cong-tiu yang memancarkan sorot
buas mengandung hawa membunuh. Tapi dia hanya bisa menjaga Boh Cong-tiu, sebaliknya tidak
menduga akan perbuatan licik Nyo Bok.
Beng Goan-cau amat terperanjat, untuk menolong sudah terlambat. Tampak pukulan Nyo Bok
menyambar deras dan "Blum" kontan seseorang jatuh terpelanting. Yang roboh justru adalah Nyo
Bok sendiri. Sementara Toan Siu-si sudah melejit terbang tinggi laksana seekor burung bangau melampaui
batu panggung terus lari ke belakang gunung. Tampak cuilan kain beterbangan di tengah udara,
baju di bagian punggungnya berlubang sebesar telapak tangan.
Dari kejauhan Toan Siu-si membentak: "Orang she Nyo, sakit hati pukulanmu ini, biar kucatat
di dalam hati. Hm, kau..." kiranya sejak tadi ia sudah berjaga akan sergapan Nyo Bok. di waktu
Nyo Bok melancarkan serangannya, siang-siang sudah mengerahkan tenaga Iwekangnya untuk
melindungi punggungnya. Tapi pukulan Kim-kong-lak-yang-jiu Nyo Bok memang cukup liehay,
akibatnya meski Nyo Bok tergentak jatuh sendiri sampai kaki tangan menghadap langit, tak urung
ia sendiri pun menderita luka dalam, tidak berani ia pecah perhatian untuk banyak bicara lagi.
Sebenarnya dia hendak membongkar habis-habisan tipu muslihat Nyo Bok yang sekongkol dengan
orang lain. Terpaksa urung.
Lwekang Boh Cong-tiu amat ampuh, namun tak kuasa ia menandingi tenaga raksasa Utti Keng,
setelah tergeliat belum lagi ia berdiri tegak, kuatir Utti Keng merangsak lebih lanjut, lekas ia
lintangkan kedua tangan di depan dada, bentaknya: "Kenapa kalian tidak lekas ringkus orang itu"
Gembong iblis dari aliran sesat tidak diundang berani datang, bunuh saja' habis perkara!"
'Boh Cong-tiu!" jengek Utti Keng sambil tertawa dingin. "'Apakah kau hendak bunuh orang
untuk menutup mulutnya"'" Kata-kata Toan Siu-si yang tidak sempat diucapkan tadi, akhirnya
tercetus dari mulutnya. Boh Cong-tiu berjingkrak gusar, serunya: "Utti Keng. apa maksudmu?" Kedua orang sudah
sama mendelik dan melotot, dilihat gelagatnya sudah siap baku hantam. Kaum Hu-siang-pay
pandang Boh Cong-tiu sebagai ciangbunjin, setiap perkataannya adalah perintah dan semua orang sudah
biasa mendengar kata-katanya. Maka begitu ia memerintahkan untuk meringkus Toan Siu-si,
bukan saja para murid-murid bawahan sama mengiakan, sampai Ciok Heng suami istri yang
biasanya berkesan jelek terhadapnya pun tanpa sadar ikut mengejar menurut perintah. Malah ada
beberapa orang di antaranya jauh-jauh sudah melontarkan senjata rahasia.
Untunglah Lim Bu-siang bisa bertindak tegas dan keras, bentaknya: "Semua dilarang melukai
tamu, lekas kembali!"
Ciok Heng tersentak sadar, lekas ia berseru lantang: "Patuh akan perintah ciangbun!" Kata-kata
"ciangbun" ia suarakan lebih keras, semua murid-murid sama mendengar, baru sekarang semua
orang teringat. "Benar, Boh Cong-tiu sekarang sudah bukan ciangbun lagi sudah sepantasnya kita
mendengar petunjuk ciangbun!" Maka berbondong-bondong mereka mundur pula bersama Ciok
Heng suami istri. Waktu Lim Bu-siang berpaling, Boh Cong-tiu segera unjuk tawa getir, katanya: "Ciangbun
sumoay, harap maaf akan dosaku sembarangan mengeluarkan perintah, tapi aku pun demi
perguruan kita." Merandek sebentar, Bok Cong-tiu melanjutkan: "Pembukaan berdirinya perguruan kita, berani
gembong iblis dari aliran Sia-pay menyelundup kemari, kalau tidak diberi sedikit hajaran, mana
bisa menegakkan wibawa dan gengsi kita?"
Kata Lim Bu-siang: "Menurut aku, lebih baik kita menundukkan orang dengan kebijaksanaan,
meski datang tanpa diundang betapapun dia termasuk tamu kita!"
Boh Cong-tiu tertawa dingin, katanya: "Terhadap tamu tidak boleh kurang ajar, tapi terhadap
orang jahat kukira tidak perlu memberi kelonggaran. Kukira, pasti dialah durjana yang membunuh
saksi hidup tadi!" "Kenapa dia harus bunuh orang menutup mulutnya?" tanya Lim Bu-siang. "Bukankah
terbunuhnya saksi hidup itu menguntungkan Nyo busu malah" Tapi terang gamblang dia bukan
membantu pihak Nyo Bok!"
Dasar polos dan lapang hati, kata-kata Lim Bu-siang tepat mengenai kunci rahasia dari
persoalan ini. Saat mana Nyo Bok sudah merangkak bangun dibimbing Ki Kian-ya, mendengar
ucapannya ini, sungguh kejut dan gugup pula, katanya tertawa dingin: "Lim-ciangbun, katakatamu
ini, secara langsung mendesak kita untuk segera menggusur si pembokong yang
membunuh saksi hidup itu, kalau tidak, mungkin aku orang she
Nyo sulit mencuci bersih kecurigaan yang ditumplekkan atas diriku."
"Nyo busu jangan kau terlalu menaruh dalam hati, bukan maksudku hendak mengatakan kau,"
demikian sahut Lim Bu-siang.
Beng Goan-cau segera menimbrung bicara: "Aku pernah bertempur melawan Tiam-jong-siangsat,
menurut apa yang kuketahui, Tiam-jong-siang-sat bukan ahli dalam bidang senjata rahasia."
Boh Cong-tiu segera mendebat: "Bukan mustahil mereka sengaja menyembunyikan
keahliannya. Mengenai pertanyaan ciangbun sumoay kenapa dia harus bunuh saksi hidup, mana
aku bisa tahu" Yang terang dia adalah gembong iblis dari Sia-pay, siapa tahu jika dia sengaja
meluruk kemari hendak menimbulkan huru hara. Membunuh saksi hidup supaya kita golongan
lurus sama saling menaruh curiga."
Utti Keng segera menyanggah dengan nada dingin: "Tapi yang hendak bunuh orang menutup
mulutnya kan bukan dia!"
Boh Cong-tiu berjingkrak gusar, dampratnya: "Utti Keng, siapa maksudmu?"
"Siapa punya hati mengandung maksud-maksud jahat, terhadap dialah kata-kataku kutujukan!"
Demikian jawab Utti Keng tidak kalah pedasnya. Air muka kedua pihak sudah kaku dan merah
padam, seperti ayam aduan yang sudah siap di medan laga, keduanya hampir saling labrak lagi,
lekas Lim Bu-siang tampil memisah.
Dalam pada itu Toan Siu-si sudah lari mencapai puncak di samping Giok-hong-koan, tapi suara
pertengkaran Boh Cong-tiu, Utti Keng dan Nyo Bok masih dapat didengarnya dengan jelas. Karena
simpatik dan terima kasih akan pembelaan Lim Bu-siang akan dirinya, ia berpikir: "Paling-paling
aku menanggung resiko bermusuhan dengan pihak keluarga Tong, biarlah aku bantu mereka
menggebah pembunuh gelap itu keluar."
Lim Bu-siang baru maju membujuk dan melerai tiba-tiba didengarnya Toan Siu-si berseru
lantang di atas gunung: "Pembunuh yang menyambitkan jarum beracun ada di sana!" Menjemput
sebutir batu gunung terus ditimpukkan ke suatu tempat di sebelah kanan panggung sana. Maka
tampaklah dari belakang batu besar tiba-tiba menerobos keluar satu orang, seorang tua
berpakaian warna hijau. Begitu menerobos keluar laki-laki tua berbaju hijau segera mengudak ke arah Toan Siu-si,
bentaknya: "Ling-bin-su-sing, berani kau mencari permusuhan dengan lohu, agaknya kau memang


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah bosan hidup!" Selarik sinar putih berkelebat, sebatang pisau terbang sudah ditimpukkan
melesat ke atas gunung. Toan Siu-si menderita sedikit luka dalam, tapi menggunakan ilmu
mengirim gelombang jarak jauh, sedikit menguras tenaga murninya, sudah tentu ia tidak berani
menyambuti timpukan pisau terbangnya, terpaksa ia mempercepat langkah kakinya berlari
semakin kencang. Untung yang di ncar berada di atas puncak sementara yang menyerang berada di bawah, pisau
terbang laki-laki tua baju hijau menanjak naik dan tidak bisa mencapai sedemikian jauhnya.
"Tring" menancap amblas ke dalam dinding batu. Tapi sasaran di mana pisau terbang itu
menancap tepat adalah tempat berdiri Toan Siu-si tadi. Kalau Toan Siu-si sedikit ayal pasti dia
terkena sambitan senjata rahasia orang. Betapa hebat timpukan senjata rahasia laki-laki tua baju
hijau ini, semua hadirin sama kaget dan mencelos hatinya, namun melihat Toan Siu-si masih bisa
berlari sedemikian lincah dan cepat setelah terluka dalam, mereka diam-diam pun amat kagum.
Cau Siok-toh kenal siapa laki-laki tua baju hijau itu, katanya terkejut: "Bukankah kakek tua itu
adalah Tong Thian-chong salah satu dari Tong-keh-sam-lo" Eh, bagaimana bisa dia melakukan
komplotan yang memalukan ini?"
Keluarga Tong di Sucwan turun temurun adalah tokoh-tokoh yang kenamaan dalam bidang
scnj.it.i rahasia. Mereka terdiri dari tigj keluarga, keluarga tertua adalah Tong Thian-heng,
keluarga ketiga adalah Tong Thian-ce dan keluarga kedua adalah Tong Thian-chong ini. Mereka
bertiga dijuluki Tong-keh-sam-lo, terutama kepandaian senjata rahasia Tong Thian-chong adalah
yang terliehay. Tapi meski keluarga Tong amat kenamaan karena keahliannya dalam bidang senjata rahasia,
namun mereka jarang berkecimpung dan menimbulkan gara-gara atau melakukan perbuatan jahat
di kangouw, maka Cau Siok-toh mengutarakan rasa herannya.
Kaypang Pangcu Tiong Tiang-thong yang sejak tadi berdiri bersama Cau Siok-toh menimbung
bicara: "Benar, dia Tong-loji adanya. Jadi berita yang kuterima itu ternyata menjadi kenyataan
sekarang." "Berita apa?" tanya Cau Siok-toh.
Tiong Tiang-thong menjelaskan: "Konon dia kemaruk harta dan pangkat, menerima sogok dan
undangan Sat Hok-ting menjadi pendidik membuat berbagai peralatan senjata rahasia. Semula
aku tidak percaya akan kabar ini."
Tatkala itu, ada puluhan anak murid Hu-siang-pay yang ginkang-nya cukup lumayan segera
mengejar ke sana, di antara para tamu ada pula yang tampil membantu. Kedua putra Tan Thianih,
yaitu Tan Kong-ciau dan Tan Kong-si pun ikut mengudak. Tan Thian-ih berpesan: "Kalian harus
hati-hati!" Terdengar Tong Thian-chong bergelak tertawa, serunya: "Maaf aku minta diri saja." Di tengah
gelak tawanya mendadak ia mengayun tangan, Bwe-hoa-ciam, Hwi-hong-ciok, Toh-kut-ting, Thilian-
ci, Ouw-tiap-piauw, dan banyak macam senjata rahasia lainnya ditaburkan kemari. Kontan
empat lima murid Hu-siang-pay jatuh terguling kena sambitan senjata rahasia.
Tan Kong-ciau dan Tan Kongsi segera membentak: "Diberi tidak membalas kurang hormat, nih
kau rasakan senjata rahasia keluarga Tan kami!"
Senjata rahasia keluarga Tan ini dinamakan Ping-hun-sin-tan, merupakan senjata rahasia
teraneh di seluruh kolong langit, senjata ini terbuat dari kristal salju yang teramat dingin yang
digali dari dalam gua di Tong-ku-lo-na-san di Tibet. Senjata rahasia umumnya mengutamakan
timpukan yang jitu dan harus tepat mengenai sasaran baru bisa melukai musuh. Hanya Ping-hunsin-
tan ini khusus menggunakan hawa dingin dari kristal es yang tidak bisa lumer itu untuk
melukai orang, tidak perlu mesti mengenai badan sasarannya. Sudah tentu bila telak mengenai
sasarannya, kekuatannya pasti lebih hebat.
Begitu Ping-hun-sin-tan ditimpukkan baru pecah berhamburan, di atas kepala Tong Thianchong
berubah menjadi segulung kabut dingin, betapapun tinggi lwekang Tong Thian-chong, tak
urung seketika ia bergidik kedinginan!
Tong Thian-chong gusar, serunya: "Mutiara sebesar beras juga berani memancarkan cahaya!
He he, Ping-hun-sin-tan bisa mengapa-kan aku, biarlah kau rasakan Hwe-liong-cuku ini!"
Maka terdengarlah suara ledakan yang beruntun, tiga butir Hwe-liong-cu telah ditimpukkan ke
bawah. Hwe-liong-cu sebetulnya adalah peluru belirang, di dalamnya di si bahan-bahan peledak,
begitu ditimpukkan menerjang angin lantas meledak menyemburkan asap tebal. Meski tidak
seaneh dan seliehay Ping-hun-sin-tan, tapi jauh lebih ganas dan jahat dari Ping-hun-sin-tan.
Lekas Tan Kong-ciau melompat menyingkir tiga tombak jauhnya. Tan Kong-si bergerak sedikit
lamban, ujung bajunya terjilat api, lekas ia menjatuhkan diri ke tanah baru berhasil memadamkan
api. Meski tidak terluka, namun keadaannya cukup runyam.
Kejadian berlangsung amat cepatnya, Utti Keng suami istri sudah keburu mengudak tiba.
Bentak Ki Seng-in: "Bagus, biar aku berkenalan dengan kepandaian senjata rahasia dari
keluarga Tong kalian!"
Tong Thian-chong mendengus sekali, jengeknya: "Apakah kau ini yang diberi julukan Jian-jiukoan-
im Ki Seng-in di kalangan kang-ouw" Lohu memang ingin melihat betapa sih
kemampuanmu?" Belum lenyap suaranya, Hwe-liong-cu sudah disambitkan pula memapak
kedatangan mereka suami isteri.
Utti Keng menghardik keras, badannya melambung tinggi terus menekuk pinggang seperti anak
panah melenting sembari mendorong kedua telapak tangannya ke depan. Pukulan Bik-khong-ciang
ini mengerahkan sepuluh bagian tenaganya, sudah tentu perbawanya hebat bukan olah-olah,
terdengarlah ledakan riuh, ketiga butir Hwe-liong-cu kena disampuk balik oleh damparan Bikkhong-
ciangnya dan meledak di sebelah belakang Tong Thian-chong malah. Untung jarak kedua
pihak masih cukup jauh, tenaga pukulan yang menyampuk balik tidak bisa mencapai jarak yang
begitu jauh, sehingga meledak di sebelah belakang, kebetulan ia bisa menyelamatkan diri.
Keruan Tong Thian-chong mengalirkan keringat dingin, tidak berani ia timpukkan Hwe-liong-cu
yang ganas itu. Tapi kedua tangan masih tidak berhenti, beruntun ia ayun tangan ke arah Utti
Keng suami isteri menimpukkan berbagai macam am-gi.
Kepandaian senjata rahasia dari keluarga Tong memang tidak bernama kosong, tampak ada
senjata rahasia yang melesat lurus ke depan, ada pula senjata rahasia yang bergerak legat-legot
bergerak melengkung, ada pula yang berputar-putar menyambar ke depan, ada pula yang
berbunyi melengking, sementara ada juga yang terbang tanpa mengeluarkan suara tahu-tahu
sudah tiba di depan mata.
Di antara sekian banyak hadirin tidak sedikit yang ahli dalam bidang senjata rahasia, hati
mereka sama mencelos dan keheranan, pikirnya: "Jikalau aku yang menghadapi langsung
serangan senjata rahasia yang begini liehay dan hebat, mungkin aku tidak mampu berkelit atau
menyelamatkan diri."
Menjaga senjata rahasia lawan mengandung racun berbisa, Ki Seng-in sudah mengenakan
sarung tangan dari kulit menjangan, dia sambut dan ditimpukkan pula setiap senjata rahasia yang
menyambar ke arah dirinya. Semakin cepat timpukan senjata lawan, dia menyam-buti semakin
cepat pula, malah ada kalanya ia gunakan sebelah tangannya merogoh senjata rahasia sendiri
terus disambitkan juga kepada musuh. Sementara Utti Keng melindungi badan dengan pukulan
jarak jauhnya. Pertunjukan adu senjata rahasia yang menakjubkan ini sungguh membuat semua hadirin takjub
dan lega hati mereka. Semua sama membatin: "Utti Hujin memang tidak malu diberi gelar Jian-jiukoan-
im!" Tapi Tong Thian-chong pun tidak menunjukkan kelemahan, dia pun seperti Ki Seng-in
menerima serta menimpukkan balik, bila tidak sempat disambut lekas ia gunakan senjata rahasia
untuk menangkis jatuh timpukan senjata rahasia Ki Seng-in, seluruhnya dapat diruntuhkan dengan
sempurna. Bagi para penonton yang melihat jelas, kecepatan gerak-gerik tangannya memang rada
asor, tapi kelincahan serta kehebatan serta timpukannya yang tepat dan telak, seolah-olah masih
lebih unggul di atas Ki Seng-in.
Keduanya sesama ahli dalam satu bidang, masing-masing mempunyai kelebihan dan
keunggulan sendiri-sendiri. Senjata rahasia berterbangan pergi datang di tengah udara, sungguh
merupakan pemandangan yang aneh dan menakjubkan.
Tadi Nyo Bok selalu mendesak Utti Keng untuk segera menggusur pembunuh saksi hidup itu,
dalam hati ia mengira si pembunuh tentu sudah lama pergi, memang sengaja ia mengajukan
persoalan pelik ini kepada Utti Keng, tak nyana kini pembunuh itu sudah dapat diketahui, mau
tidak mau hatinya menjadi gugup dan gelisah pula. Batinnya: "Tong-lothau ini berkedudukan sama
tingkat dengan Ciok Tio-ki di bawah pimpinan Sat Hok-ting, rahasiaku tentu diketahui juga
olehnya. Semoga Thian maha pengasih dan melindungiku, jangan sampai dia sampai kena
diringkus oleh Utti Keng serta mengompes keterangannya."
Belum lenyap pikirannya, dilihatnya badan Ki Seng-in tiba-tiba melesat terbang ke depan
mengejar ke balik selat gunung sebelah sana, sambil menghardik ia gunakan gaya serangan Boanthian-
hoa-hi (hujan kembang memenuhi angkasa), ia tebarkan segenggam mata uang tembaga.
Cara serangannya menggunakan Boan-thian-hoa-hi, namun begitu mata-mata uang tembaga
sama beterbangan, ternyata gaya dan permainannya jauh berlainan dengan aliran dan golongan
lain. Mata uang tembaga itu ternyata saling bentur dan sentuh sendiri di tengah udara, tidak
langsung menerjang ke sasarannya di sebelah depan.
Tapi kejadian hanya sekejap saja lantas berubah sama sekali. Terdengarlah suara crang-cring
yang memekakkan telinga, dua belas mata uang tembaga saling bentur di tengah udara, namun
tidak sebuah pun yang terpental jatuh. Ada yang berputar dengan gerakan melingkar terbang ke
depan, ada yang melesat langsung seperti anak panah, setiap biji mata uang itu sama meluruk ke
arah Tong Thian-Chong. Tong Thian-chong bergerak sama lincah dam sebat, entah berkelit atau menyambuti, malah
sempat pula menyambitkan senjata rahasia menangkis jatuh senjata rahasia yang menyerang
datang di tengah jalan, malah ada peluang lagi balas menyerang juga. Di antara kedua belas mata
uang tembaga itu, empat dapat dia kelit, disambut tiga, dipukul jatuh tiga. Dua yang lain semula
meluncur dengan daya amat lamban, sekilas Tong Thian-chong tidak menaruh perhatian, tak
nyana justru kedua mata uang yang disambitkan belakangan ini malah meluncur tiba lebih dulu,
begitu Tong Thian-chong tersipu-sipu gunakan Hong-tiam-thau untuk berkelit, waktunya sudah
amat mendesak dan tidak terhindar lagi. Sebuah di antaranya menyerempet dahinya membuat
luka lecet berdarah. Sedang sebuah yang lain telak sekali mengenai Jian-kin-hiat di pundak kirinya,
untung dia mahir ilmu menutup jalan darah, jaraknya cukup jauh pula, meski kena hanya terasa
sakit dan kesemutan saja.
Akan tetapi sebagai tokoh ahli senjata rahasia yang kenamaan, mengadu kepandaian senjata
gelap kena dikalahkan oleh Jian-jiu-koan-im, masakah ada muka ia meneruskan pertandingan ini"
Tanpa hiraukan lereng gunung tumbuh semak-semak yang berduri tajam, terpaksa ia
menggelundung ke bawah melarikan diri sambil mendekap kepala.
Ki Seng-in terloroh-loroh panjang, tiba-tiba didengarnya sang suami mendengus pendek,
keruan ia terkejut dan lekas berpaling serta bertanya: "Kenapa kau?"
Utti Keng tertawa getir, katanya: "Setiap hari menangkap belibis, tak nyana kena dipatuk sekali
olehnya. Tapi juga tidak menjadi soal, senjata gelap beracun bangsat tua itu masakah mampu
mengapakan diriku?" Ternyata saking senang menonton pertarungan adu senjata istrinya, Utti Keng sedikit lena,
telak sekali ia kena sebutir Toh-kut-ting sambitan Tong Thian-chong. Utti Keng mahir ilmu Can-icap-
pwe-tiat, jago silat biasa cukup menyentuh ujung bajunya bisa terbanting sendiri, senjata
rahasia menyentuh bajunya juga bisa terpental jatuh. Tapi lwekang Tong Thian-chong terpaut
tidak banyak dengan dia, maka Toh-kut-ting itu menembusi sedikit bajunya baru terpental jatuh,
ujung paku sedikit melukai lecet kulitnya, mengandal lwekang Utti
Keng yang maha tinggi, meski racun di atas Toh-kut-ting milik Tong Thian-chong agak jahat
juga tidak menjadikan halangan bagi dirinya.
Utti Keng kembali ke hadapan Boh Cong-tiu, katanya dingin: "Sayang bangsat tua itu berhasil
melarikan diri, kini tiada seorang pun yang bisa dijadikan saksi." Sembari bicara matanya melirik
ke arah Nyo Bok. Diam-diam bergirang hati Nyo Bok, katanya: "Sayang kepandaianku tidak becus, tidak mampu
membantu Utti Tayhiap."
Boh Cong-tiu pun menjengek dingin: "Ya, yang melepasnya lari kan bukan aku!"
Jelas pertengkaran akan terjadi lagi, lekas Lim Bu-siang membujuk: "Suatu ketika urusan pasti
dapat dibongkar menjadi jelas, mereka bisa lolos hari ini, takkan lari besok pagi. Orang sendiri
janganlah bertengkar merenggangkan hubungan."
Tan Thian-ih campur bicara: "Ucapan Tiam-jong-siang-sat tadi sudah tentu belum tentu dapat
dipercaya, tapi kalau toh dia mengatakan putra Nyo-heng berada di tangannya, silakan Nyo-heng
dan Ki-locianpwe pergi menyelidiki kebenarannya."
"Betul," timbrung Utti Keng, "jangan nanti kau katakan pula Beng Goan-cau tersangkut paut
dengan urusan itu." Diam-diam Nyo Bok bersyukur dapat terhindar dua kali kesulitan, sudah tentu dia pun tidak
berani menarik panjang urusan. Dia tahu malu dan jnerasa di pihak yang salah, maka katanya:
"Baik, segera kususul Tiam-jong-siang-sat untuk menyelesaikan urusan ini. Beng Goan-cau,
memang salahku menuduh kau, maaf aku mohon diri lebih dulu!" Setelah sekedar basa-basi,
tersipu-sipu ia mengeloyor pergi.
"Lim-ciangbun!" ujar Ki Kian-ya. "Upacara besar berdirinya partai kalian sudah selesai, losiu
juga mohon diri saja."
Lim Bu-siang melengak, katanya: "Ki-locianpwe sudah berkesempatan datang kemari, kenapa
harus buru-buru, apakah mungkin sambutan dan pelayanan kami tidak memuaskan?"
Kata Ki Kian-ya: "Nyo Bok adalah aku yang bawa kemari, dia mengikat permusuhan dengan
pihak cakar alap-alap, luka-lukanya belum lagi sembuh, bilamana di tengah jalan terjadi sesuatu
yang merugikan dirinya, bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada cicinya. Maka aku harus
pulang bersama dia." Nada bicaranya seolah-olah merasa penasaran bagi Nyo Bok, tanpa hiraukan
kata-kata Lim Bu-siang yang menahannya, ia terus melangkah lebar, mengejar Nyo Bok terus
turun gunung bersama. Utti Keng mendengus, jengek-nya: "Tua bangka ini bukan salahkan kau, dia tidak puas
terhadapku karena dianggapnya aku memfitnah Nyo Bok, hm, ia berkata seolah-olah Nyo Bok
teramat penasaran, akan datang suatu hari kubongkar kedok mukanya yang asli, supaya tua
bangka ini terbuka matanya."
Tan Thian-ih menimbrung: "Ki-lothau memang rada teledor, namun hatinya sebetulnya cukup
baik." Gelombang pertikaian sudah tenang, setelah hujan udara cerah. Lim Bu-siang berkata tertawa:
"Hari sudah hampir lohor, tak nyana terjadi serangkaian urusan ini hingga waktu terulur
sedemikian lama, tentulah para hadirin sudah kelaparan, sungguh aku amat menyesal." Cepat ia
suruh Ciok Heng mengumumkan upacara sudah selesai dan diharap semua hadirin pulang ke Giokhong-
koan untuk mengisi perut seadanya.
Ki Seng-in teringat pada Hun Ci-lo, cepat ia berkata: "Aku pun harus menemani temanku itu,
tadi badannya kurang enak, entah sudah sembuh belum."
Tergerak hati Beng Goan-cau, katanya: "Utti Hujin, mari kutemani kau ke sana. Oh ya, siapa
nama temanmu itu, aku belum lagi tahu." "Bukankah tadi sudah kuberitahu kepada Bu-siang,
waktu itu kau berada di sampingnya, masakah tidak mendengar" Namanya kenapa kau lupakan
begitu cepat?" "Waktu itu aku memperhatikan pidato Nyo Bok, apa yang kalian perbincangkan aku tidak begitu
jelas, kalau tidak.salah kau katakan dia she Beng?"
"Ya, shenya sama dengan kau, namanya adalah Beng Hoa-nio." Seenaknya saja Hun Ci-lo
menyebut sebuah nama palsu ini. Ki Seng-in tidak paham akan maknanya, lain pula bagi Beng
Goan-cau, seketika tergerak hatinya, mau tidak mau hatinya merasa bimbang dan curiga.
"Beng Hoa-nio, nama ini rada-rada aneh! Em, entah hanya kecurigaanku belaka, ataukah dia
benar-benar Hun Ci-lo adanya?" Demikian pikir Beng Goan-cau.
Waktu Ki Seng-in tiba di tempatnya tadi, Hun Ci-lo sudah tidak kelihatan lagi bayangannya,
keruan ia kaget, ujarnya heran: "Eh, ke mana dia" Tadi sudah kupesan wanti-wanti supaya tunggu
aku di sini saja." Baru saja ia celingukan, tiba-tiba dilihatnya seseorang mendatangi ke arahnya, katanya: "Utti
Hujin, temanmu itu meninggalkan sepucuk surat kepada kau." Orang inilah yang duduk di sebelah
Hun Ci-lo tadi. Tanya Ki Seng-in: "Kenapa harus meninggalkan surat padaku, apa dia sudah pergi?"
"Memang, sejak tadi dia pergi, katanya kau tidak perlu pergi mencari dia."
Ki Seng-in geleng-geleng kepala, katanya: "Sungguh aneh dia itu, pergi begitu tergesa-gesa
entah kenapa?" Waktu ia terima dan baca tulisan di sampul surat, kiranya minta dia
menyampaikan surat itu kepada Cau Siok-toh.
Tersentak sanubari Beng Goan-cau, seketika ia paham akan duduknya perkara.
Sebaliknya Ki Seng-in bersuara heran, ujarnya: "Kenapa air mukamu begitu pucat, kau pun
tidak enak badan?" "Tidak apa-apa, mungkin perutku sudah kelaparan!"
Ki Seng-in tertawa, katanya: "Baiklah, mari kita susul Cau Siok-toh menyerahkan surat ini. Baru
pulang makan siang!"
Waktu mendengar teman Ki Seng-in berkirim surat kepadanya, Cau Siok-toh juga terheranheran,
maklum dia seorang pengasingan yang lama tidak bergaul dengan dunia ramai. Sementara
Utti Keng dan Ki Seng-in adalah begal kuda besar dari Kwantang, biasanya tidak pernah saling
hubungan. Maka tidak mungkin mereka bisa kenal atau punya teman yang sama. "Siapa nama
temanmu itu?" "Namanya Beng Hoa-nio. Dia seorang janda."
"Beng Hoa-nio" Seorang janda" Aneh, seingatku tidak pernah aku punya teman janda yang
bernama Beng Hoa-nio!" demikian ujar Cau Siok-toh.
Ki Seng-in juga mendelu, katanya: "Tulisan di sampul surat itu jelas ditujukan kepada kau,
silakan kau buka saja surat itu, tentu kau akan tahu siapa pengirimnya."
Setelah membaca surat itu, baru Cau Siok-toh tahu bahwa 'Beng Hoa-nio' kiranya adalah Hun
Ci-lo. Karena Hun Ci-lo tidak suka unjuk muka aslinya di hadapan umum, maka sejak lama ia sudah
persiapkan suratnya ini. Dia sudah memperhitungkan bila tiada kesempatan dapat bicara secara
berhadapan langsung dengan Cau Siok-toh, ia hendak titipkan surat itu supaya disampaikan
kepadanya. Tapi sekali-kali ia sendiri tidak menduga bahwa dirinya bisa tinggal pergi dengan
tergesa-gesa, maka dia tidak sempat menyerahkan surat itu kepada Ki Seng-in sendiri supaya
menyampaikan surat itu, sebagai pertanda bahwa ia harus cepat-cepat pergi tanpa pamit lagi.
Surat Hun Ci-lo amat singkat, di mana ia menceritakan segala peristiwa yang terjadi setelah
keberangkatan Cau Siok-toh, demi menghindari kejaran cakar alap-alap dan demi keselamatan
keluarga mereka, Siau-hujin membawa putrinya dan putri Cau Siok-toh kembali ke desa
kelahirannya di keresidenan Sam-ho. Surat itu tidak dibubuhi tanda tangan. Tapi setelah Cau Sioktoh
membaca surat itu, sudah tentu ia tahu Beng Hoa-nio yang dimaksud itu adalah Hun Ci-lo
adanya. "Siapakah sebenarnya Beng Hoa-nio itu, kini kau sudah tahu bukan?" tanya Ki Seng-in.
Bahwa surat itu tidak dibubuhi nama si pengirim, Cau Siok-toh maklum orang tidak suka dirinya
menjelaskan namanya, sekilas ia melirik ke arah Beng Goan-cau, untuk buka mulut tidak enak,
tapi tidak enak pula berbohong kepada Utti Hujin, terpaksa ia merendahkan suara dan berbisik:
"Dia bukan janda, dia, dia adalah istri Nyo Bok, Hun Ci-lo itu."
Ki Seng-in tersadar dan paham, ujarnya: "Tak heran dia tinggal pergi diam-diam tanpa pamit,


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata dia adalah istri Nyo Bok. Ai, punya suami macam demikian, betul-betul lebih baik dia
menjadi seorang janda saja."
Meski sejak tadi Beng Goan-cau sudah menduga bahwa perempuan samaran itu adalah Hun Cilo
adanya, namun setelah mendapat kesaksian nyata dari mulut Cau Siok-toh, betapapun gejolak
hatinya masih sukar dikekang. "Putra kami bernama Nyo Hoa, sebetulnya dia harus dipanggil Beng
Hoa. Tak heran nama palsu yang dia gunakan bernama Beng Hoa-nio (ibu Beng Hoa ). Ai, dari
kejadian ini dapatlah aku berketetapan bahwa selamanya dia tidak akan melupakan diriku. Ai, Cilo,
Ci-lo, kenapa pula kau tidak sudi bertemu muka lagi dengan aku?"
Serta merta rawan, risau dan pedih pula perasaan Beng Goan-cau.
Begitu risau dan rawan sanubari Beng Goan-cau, pikirnya: "Ci-lo mengalami pukulan batin yang
begini berat, entah betapa pedih dan duka hatinya sekarang! Ai, seorang diri dia tinggal pergi,
entah siapa pula yang bisa membujuk dan menghibur hatinya?"
"Tuh lihat, Kim-tayhiap dan Lim Bu-siang sedang menunggu kita di depan sana, lekaslah kita
susul ke sana," demikian seru Ki Seng-in. tersenyum, la dapat merasakan perasaan hati orang
yang ditinggalkan kekasih, namun ia pun tahu usaha suaminya yang hendak menjadi comblang
Beng Goan-cau. Setelah mereka berempat bergabung, Ki Seng-in memberi lirikan tanda mata, Kim Tiok-liu
dapat menangkap maksudnya, sengaja ia lambatkan langkah kakinya, bersama Ki Seng-in mereka
berjalan di sebelah belakang.
Tanpa sadar Beng Goan-cau dan Lim Bu-siang berjalan berjajar di sebelah depan, di kala hati
Beng Goan-cau gundah dan risau, mendadak didengarnya Lim Bu-siang berkata dengan suara
lirih: "Beng-toako, masikah kau ingat dua bait syair yang kau senandungkan tempo hari?"
Beng Goan-cau melengak, tanyanya: "Dua bait yang mana?"
Kata Lim Bu-siang perlahan-lahan: "Hari itu kau menemani aku naik ke puncak Thay-san,
bukankah di tengah jalan kau melihat syair-syair pujangga kuno yang terukir di atas papan batu?"
"O, syair karangan To Boh yang berjudul "Bong-gak" itu maksudmu?"
"Ya, aku senang dua bait di antaranya yang berbunyi:
'pada saat kau tiba di puncak gunung tertinggi, pandangan pegunungan menjadi kecil',
waktu itu kau pernah memberi kesan-kesanmu terhadap kedua bait syair ini, katamu:
'Berdiri di tempat yang tinggi pandangan bisa amat jauh!'
Itulah petuah berharga dan tak ternilai dari peninggalan kuno."
Tersentak sadar pikiran Beng Goan-cau, katanya: "Ya, seseorang harus berdiri di tempat yang
tinggi baru bisa melepas pandangannya yang jauh dan luas!"
"Kurasa masih perlu lagi ditambah dua patah kata, maksudnya akan lebih sempurna," demikian
usul Lim Bu-siang. Tanpa sadar timbul hasrat Beng Goan-cau, tanyanya: "Dua patah kata apa?"
"Hanya memandang ke depan, tidak berpaling ke belakang!"
Benak Beng Goan-cau seperti dikemplang dengan keras, mulutnya menggumam: "Hah, hanya
melihat ke depan, tidak berpaling ke belakang?"
Lim Bu-siang menghela napas, ujarnya: "Adalah jamak seseorang sering risau dan tidak
tentram perasaan hatinya oleh kenangan lama yang pahit, benar tidak?"
Sekonyong-konyong teringat oleh Beng Goan-cau akan ejekan dan cemoohan Cong Sin-liong
kepada Lim Bu-siang tempo hari, pikirnya: "Dia dan Boh Cong-tiu dulu pun teman bermain sejak
kecil yang tumbuh dewasa bersama, mungkin dia masih belum bisa melupakan rasa cintanya
terhadap sang piauko?" Serta merta timbul rasa simpatiknya terhadap sesama teman yang sama
menderita dan sengsara dalam bidang yang sama, maka ia rasa bisa menerima ucapan susulan
Lim Bu-siang ini. Segera ia rnanggut-manggut dan berkata: "Ucapanmu memang benar, seseorang
harus bisa berpandangan ke depan tanpa berpaling ke belakang, baru bisa terhindar dari
kerisauan dan penderitaan macam itu."
Lim Bu-siang tersenyum, ujarnya: "Bicara terus terang, dulu aku pernah mengalami kerisauan
macam itu, tapi sekarang sudah hilang sirna sama sekali."
Beng Goan-cau terpengaruh akan kata-katanya ini, kabut dalam hatinya pun menjadi buyar
tersorot pancaran sinar matahari pagi yang cerlang cemerlang.
"Dia merebut ciangbun dari tangan Boh Cong-tiu, entah berapa keberanian yang harus dia
limpahkan" Dia adalah seorang perempuan, bisa membebaskan diri dari kekangan perasaan yang
membelenggu sanubarinya, sebaliknya aku seorang laki-laki sejati, masakah harus lebih asor
daripada dia?" Kerisauan memang banyak lebih enteng, namun untuk begitu saja melupakan Hun
Ci-lo betapa sulitnya. Serta merta pandangannya menjelajah ke bawah gunung, kabut masih berkembang dan cukup
tebal di lamping gunung, mana bisa bayangan Hun Ci-lo kelihatan. Kalau kabut masih bergulunggulung,
timbul tenggelam seperti gelombang badai turun naik, hati Beng Goan-cau pun sedang
bergejolak susah tentram.
Melihat air muka orang berubah tidak menentu, berkata Lim Bu-siang seraya tertawa: "Bengtoako,
apa yang sedang kau pikirkan?"
Beng Goan-cau menenangkan hati, sahutnya: "Tiada apa-apa. Em, Bu-siang, Bu-siang, aku,
aku..." "Kau kenapa?" "Bu-siang, aku amat terima kasih terhadapmu, terima kasih akan perhatianmu terhadapku. Tapi
sekarang juga aku harus pamitan dengan kau."
Lim Bu-siang tertegun, lenyap seketika seri tawanya, katanya: "Bukankah urusanmu di sini
belum selesai, kenapa begitu cepat hendak tinggal pergi?"
"Urusanku yang belum selesai bisa kuminta bantuan Utti Tayhiap untuk menyelesaikannya."
Kebetulan Utti Keng saat mana sedang mendatangi, melihat mereka menghentikan langkah
segera ia memburu datang dan berkata menggoda: "Nah, apa yang sedang kalian bicarakan
mengenai diriku?" "Ada sebuah urusan hendak kumohon bantuanmu," demikian sahut Beng Goan-cau.
Utti Keng terbahak-bahak, ujarnya: "Lote, tidak usah sungkan-sungkan, apa yang harus
kukerjakan, katakan saja." Sementara dalam hati ia membatin: "Lebih baik kalau kau minta aku
menjadi comblang." Tapi melihat sikap Beng Goan-cau yang serius, maka tidak enak ia menggoda
orang. Kata Beng Goan-cau: "Kim Tayhiap, Le-thocu dan lain aku sudah menemui mereka, masih ada
beberapa cianpwe yang belum sempat kutemui, maka kuharap toako suka menyampaikan maksud
hati dan tujuan Siau dan Ling toako." Siau adalah Siau Ci-wan. Ling adalah Ling Thiat-jiau, mereka
adalah pimpinan tertinggi dari laskar gerilya di Siau-kim-jwan.
Utti Keng mengerutkan alis, katanya: "Itu soal gampang, tapi kenapa kau harus pergi begini
cepat?" "Masih ada urusan lain yang harus segera kuselesaikan, kalau sekarang juga tidak segera
kukerjakan, mungkin bisa terbengkalai nanti."
Anggapan Utti Keng orang melakukan tugas-tugas dari pasukan laskar gerilya, maka ia tidak
tanya lebih lanjut, katanya: "Kalau begitu makan siang dulu baru berangkat, kan belum
terlambat?" Di luar tahunya, bahwa tujuan Beng Goan-cau adalah hendak menguntit Hun Ci-lo. Maka
katanya: "Tidak usah, kukira sekarang juga aku harus berangkat. Selamat jumpa kelak!"
"Dengan perut lapar beranjak di jalan pegunungan yang sulit ini, mungkin akan membuat kau
banyak menghadapi kesulitan. Biarlah kau bawa saja rangsum keringku ini," demikian kata Utti
Keng sembari mengangsurkan buntalan rangsum keringnya.
Setelah berpisah dengan orang banyak Beng Goan-cau turun gunung seorang diri melalui jalan
yang dipanjatnya semula. Setiba di Lam-thian-bun ia turun lebih lanjut melewati Cap-pwe-ban,
teringat olehnya waktu tempo hari naik kemari bersama Lim Bu-siang, mau tidak mau terguncang
pula perasaannya, serta merta ia menghela napas panjang, pikirnya: "Kecuali menjalankan tugas,
aku bisa berkenalan dengan banyak sahabat kangouw, terhitung tidak sia-sia perjalananku kemari.
Ai, entah kapan aku baru bisa membalas kebaikan dan bantuan yang mereka berikan kepadaku."
Sudah tentu yang dimaksud mereka termasuk Utti Keng dan Lim Bu-siang dan lain-lain.
Setelah bayangan Lim Bu-siang berkelebat hilang dari benaknya, disusul muncul ah bayangan
Hun Ci-lo. Pikir Beng Goan-cau: "Yang penting sekarang aku harus cepat-cepat menemukan Hun
Ci-lo, ai, hutang budiku jauh lebih besar terhadapnya daripada terhadap orang lain."
Begitulah, dengan langkah lebar ia berlari-lari turun tanpa berhenti atau istirahat, namun
sepanjang jalan ini tidak dilihatnya bayangan Hun Ci-lo. Terpaksa di penginapan di bawah gunung
ia mengambil kuda merah pemberian Utti Keng, pikirnya tentu Hun Ci-lo pasti pulang ke
karesidenan Sam-ho ke rumah bibinya, maka cepat-cepat ia bedal kudanya menuju ke arah jalan
raya yang menuju ke karesidenan Sam-ho.
-ooo0dw0ooo- Saat mana Hun Ci-lo sedang berlenggang di sebuah jalan kecil seorang diri.
Dia turun gunung dari sebelah utara, jadi berlawanan dengan arah yang ditempuh Beng Goancau.
Berpaling ke belakang memandang ke puncak gunung, tampak Lam-thian-bun, Giok-hong-ting
dan tempat-tempat lain yang indah pemandangannya sama terbungkus di dalam kabut nan tebal,
hanya air terjun di dalam Hek-liong-tam sebelah sana dengan tabir air yang mencurah ke bawah
seperti kerai mutiara sama berkilau memancarkan sinar reflek berbagai warna tertimpa sorot sinar
matahari, meski jarak sudah sangat jauh namun masih bisa kelihatan cukup jelas.
Sudah tentu Hun Ci-lo sendiri pun amat berduka dan mendelu, cuma tidak begitu lemah dan
harus dikasihani seperti apa yang dibayangkan Beng Goan-cau.
"Meski aku tidak sebanding batu cadas gunung Thay-san, namun aku harus kuat menghadapi
terjangan air terjun yang dahsyat itu. Ai, bicara soal remaja dan kenangan lama yang pahit getir
segala. Yang sudah lalu biarlah pergi." Pikiran tidak tenang perasaan bergejolak pula, terpikir pula
oleh Hun Ci-lo: "Kali ini kusaksikan sendiri kedok asli dari Nyo Bok, meski suatu pukulan yang
memilukan bagi diriku. Tapi bila selamanya aku kena dikelabuinya demikian saja, mungkin aku
jauh lebih harus dikasihani dan lebih menyedihkan dari keadaanku sekarang."
"Bila anaknya sudah lahir kelak, biarlah kutitipkan bibi supaya diserahkan kepadanya. Selama
hidup ini terang aku tidak akan sudi berjumpa pula dengannya."
Kejap lain teringat olehnya akan Beng Goan-cau, setiap kali teringat akan pujaan hati di waktu
mudanya dulu, hati Hun Ci-lo teramat sedih menyesal dan girang pula. "Dilihat gelagatnya, Goancau
dan Bu-siang sudah menjadi sahabat yang amat intim. Em, memang mereka adalah jodoh
yang setimpal. Kalau Goan-cau bisa memperoleh istri yang begitu baik dan cantik, bolehlah lega
hatiku!" Terpikir sampai di sini, meski hati masih terasa was-was dan ragu-ragu, seperti pula kabut pagi
yang menyongsong cahaya matahari yang menyala terang. Perasaan Hun Ci-lo menjadi enteng
dan longgar, di bawah cahaya matahari nan cerah kakinya melangkah semakin cepat.
Yang selalu terkenang dan sedang berputar-putar mencari Hun Ci-lo, kecuali Beng Goan-cau,
masih ada seorang lain pula.
Orang ini adalah Miao Tiang-hong.
Meski baru bergaul beberapa hari, Hun Ci-lo sudah memberi kesan yang amat mendalam di
lubuk hatinya. Hari itu ia meninggalkan Thong-thing-san sebelah barat, setelah menyeberangi
Thay-ouw, mengandal ginkangnya yang hebat, dengan mudah akhirnya dia meloloskan diri dari
libatan Sebun Soh dan hwesio gemuk itu. Tapi bayangan Hun Ci-lo yang selalu membelenggu
sanubarinya, betapapun sulit untuk melepaskannya. Mau tidak mau Miao Tiang-hong tertawa geli
sendiri mengingat perasaan hatinya ini.
Semula ia sudah berjanji dengan Tan Thian-ih ayah beranak untuk bertemu di Thay-san, tapi
karena adanya peristiwa ini sehingga perjalanannya tertunda, dihitung waktunya sudah tidak
keburu lagi menyusul tiba mengikuti pertemuan besar di Thay-san.
"Dapat berkenalan satu dua orang dengan orang-orang gagah dari seluruh dunia sudah
merupakan hal yang menyenangkan. Tujuanku bukan melihat keramaian, meski pertemuan sudah
bubar, apa pula halangannya?" la duga meski pertemuan sudah selesai namun orang-orang gagah
tentu belum bubar seluruhnya. Maka ia tetap melanjutkan perjalanan.
Dia tidak tahu bahwa Hun Ci-lo juga hadir dalam pertemuan besar itu, dia cuma mengharap
ada kesempatan bisa berkenalan dengan Utti Keng, Kim Tiok-liu dan lain-lain.
Hari itu ia tiba di sebuah kota kecil, hari sudah lewat lohor, karena tergesa-gesa menempuh
perjalanan sampai belum sempat makan siang, terasa perut amat lapar, maka dicarinya sebuah
rumah makan yang kelihatan rada bersih dan nyaman dari luar.
Maklum kota kecil, orang jarang suka buang ongkos makan minum di dalam restoran, saat
mana sudah lewat lohor, saat-saat yang paling sepi, maka hanya dia seorang diri saja yang berada
di dalam. Bukan saja bersih, meja kursi teratur rapi, pajangan juga amat serasi dan enak dipandang
mata, keadaan ini sungguh di luar dugaan Miao Tiang-hong.
"Beberapa hari ini aku melulu mengejar waktu menempuh perjalanan, baiklah aku melepaskan
lelah dan makan minum sepuasnya di sini," demikian pikir Miao Tiang-hong.
"Ada arak apa yang baik, bawakan tiga kati kemari!" Setelah minta beberapa macam makanan
ia suruh pelayan cepat menyediakan. Semula ia tidak berani mengharap rumah makan kecil di
dalam kota sepi ini terdapat arak baik apa.
Di luar dugaannya pula, arak yang disuguhkan oleh pelayan ternyata amat harum dan sedap
rasanya. "Hah, arak bagus!" setelah meneguk secangkir tak terasa Miao Tiang-hong lantas berseru
memuji. "Arak ini adalah buatan majikan kami sendiri, banyak tamu-tamu dari luar daerah sama memuji
akan 'kelezatannya," demikian tutur si pelayan sambil tersenyum senang.
"Siapa she dan nama besar majikanmu" Apakah dia ada?"
"Majikan she Tan bernama Tek-thay. Dia tinggal di kampung. Karena suka mengikat
persahabatan, maka beliau membuka rumah makan ini."
"O, kiranya begitu," ujar Miao Tiang-hong manggut-manggut. Lalu ditenggaknya beberapa
cangkir arak. Tengah ia makan minum, mendadak terasa pandangannya menjadi terang, dilihatnya sepasang
muda-mudi memasuki rumah makan ini. Yang laki beralis tebal bermata besar tajam, sikapnya
gagah dan kereng. Yang perempuan hanya mengenakan pakaian sederhana, mukanya putih halus
mengulum seri tawa, membuat semua orang yang melihatnya timbul rasa simpatiknya.
"Betul-betul pasangan yang setimpal! Sungguh tak nyana dalam rumah makan kecil yang sepi
ini bisa bertemu dengan orang-orang seperti mereka!" diam-diam Miao Tiang-hong memuji dalam
hati. Sepasang muda-mudi ini mencari tempat duduk di pinggir jendela, yang laki-laki berkata
sembari tertawa: "Tempat ini cukup nyaman dan bersih, araknya tentu boleh juga. siau-sumoay,
marilah kau ikut minum sedikit."
Siau-sumoay itu tertawa, sahutnya: "Kalau mabok nanti tidak bisa melanjutkan perjalanan.
Song-suko, silakan kau minum sendiri. Aku minum teh saja!"
"Takut apa, yang terang kita sudah tidak keburu menyusul ke Thay-san lagi."
Miao Tiang-hong jadi melengak, batinnya: "Jadi mereka juga hendak pergi ke Thay-san."
Gadis itu tertawa geli, ujarnya: "Aku tidak kuat minum arak. Sayang Beng-suko tidak di sini,
kalau tidak kalian bisa makan minum sepuas-puasnya."
"Takaran arakku juga tidak sebanding Beng-toako. Em, siau-sumoay, kedatangan kita ke Thaysan
ini mungkin bisa bertemu dia di sana!"
Gadis itu mendadak tertawa cekikikan, katanya: "Song-suko, bicaralah terus terang, kau
menyusul datang ke Thay-san sebetulnya hendak menemui siapa" Kukira bukan melulu hendak
mencari Beng-suko bukan?"
"Siau-sumoay, kau menggoda aku lagi. Kalau tidak mencari Beng Goan-cau memangnya
mencari siapa?" Siau-sumoay itu terkikik geli sambil menutup mulutnya, katanya: "Belum kukatakan, darimana
kau bisa tahu bila aku menggoda kau" Terang lubuk hatimu memang ada penyakitnya."
Pemuda itu geleng-geleng kepala, katanya: "Mulut kecilmu ini semakin liehay, baik, silakan kau
katakan saja, menurut anggapanmu aku punya penyakit apa?"
"Kukira lantaran Hun Ci-lo, maka kau buru-buru hendak menyusul ke Thay-san bukan?"
Mendengar nama Hun Ci-lo disebut oleh gadis itu, seketika tergetar hati Miao Tiang-hong,
tanpa merasa ia meletakkan cangkir araknya, pikirnya: "Ternyata mereka adalah sahabat Hun Cilo,
dari nada bicara gadis itu, mungkinkah, mungkinkah Song-suko yang dihadapinya itu adalah
kekasih lama Hun Ci-lo" Juga karena Hun Ci-lo pula sehingga ia terserang penyakit rindu?"
Rekaan Miao Tiang-hong ini hanya benar separuh. Ternyata muda mudi ini bukan lain adalah
Song Theng-siau dan Lu Su-bi.
Memang dulu Song Theng-siau pernah terserang penyakit rindu lantaran cintanya tidak terbalas
terhadap Hun Ci-lo. Tapi sejak dia mengetahui hubungan rahasia yang begitu mendalam antara
Beng Goan-cau dengan Hun Ci-lo, terutama setelah ia bersua kembali dengan Lu Su-bi, perasaan
hatinya terhadap Hun Ci-lo boleh dikata sudah tersapu bersih.
Sudah tentu kenangan lama sulit dilupakan, maka bayangan Hun Ci-lo selalu masih terbayang
dalam relung hatinya. Cuma rasa kangen sudah jauh berlainan dari penyakit rindunya dulu, adalah
kangen terhadap sahabat kental yang sudah lama berpisah.
Song Theng-siau tertawa dibuat-buat, katanya: "Kali ini kata-katamu kurang masuk di akal."
"Kenapa dikatakan tidak masuk akal?"
"Cara bagaimana Hun Ci-lo bisa hadir dalam pertemuan besar di Thay-san" Dia kan bukan
seorang yang suka turut campur urusan orang lain dan suka keramaian."
"Lalu, kenapa pula kau begitu yakin bahwa Beng-suko pasti hadir dalam pertemuan besar di
Thay-san ini?" "Sudah tentu Beng-toako jauh berlainan. Tujuannya adalah hendak berkenalan dengan para
eng-hiong dari seluruh jagad."
"Katamu kata-kataku tidak masuk di akal, sebaliknya kukatakan kau ini pintar-pintar ceroboh
dan teledor!" "Aku teledor dan ceroboh bagaimana?"
"Hun Ci-lo tidak suka menemui orang lain, hanya Beng-suko sajalah orang yang selalu ingin
ditemuinya. Kalau kita bisa menduga Beng-suko pasti datang ke Thay-san apakah dia tidak bisa
berpikiran demikian juga?"
"Seolah-olah kau dapat meraba dan tahu segala jalan pikiran Hun Ci-lo?"
"Meski aku belum pernah melihat Hun-cici, tapi dari kejadian malam itu, dapatlah kuperkirakan
bahwa tidak mungkin dia bisa melupakan Beng-suko begitu saja!"
"Malam itu bukankah dia bisa bertemu dengan Beng Goan-cau, namun sengaja tidak mau
menemuinya?" "Kata-katamu ini kurang benar!"
"Apanya yang tidak benar?"
"Bukankah dia sudah melihat Beng-suko" Cuma Beng-toako tidak melihat muka aslinya.
Memang dia tidak suka dilihat oleh Beng-toako, namun dia ingin mencuri lihat Beng-toako. Bicara
terus terang, aku jadi terharu dan amat simpatik akan sepak terjangnya ini."
Song Theng-siau tidak bicara lagi, ia tenggak satu cawan arak penuh.
Lu Su-bi meliriknya sekilas, lalu katanya pula lirih: "Song-toako, maaf, aku mengetuk luka-luka
hatimu dan membuat kau sedih saja!"
"Tidak! Aku tidak bersedih karena diriku, aku cuma menyesal kenapa nasib mempermainkan
orang. Hun Ci-lo dan Beng Goan-cau sebetulnya adalah jodoh yang setimpal. Kejadian justru
berakhir seperti sekarang!"
"O, jadi kau bersedih demi sahabat karib, kukira kau ini pun perindu cinta yang harus


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikasihani. Masa begitu cepat kau bisa melupakan Hun-cici?"
Song Theng-siau menghela napas, katanya: "Setiap insan hidup tentu dibekali rasa cinta, cuma
apakah cinta itu, orang tidak akan bisa mengetrapkan secara paksaan. Memang aku masih teringat
kepada Hun Ci-lo, tapi kuharap kau percaya akan ucapanku, di dalam relung hatiku tiada pikiran
muluk-muluk yang tidak benar lagi!"
Raut muka Lu Su-bi tiba-tiba bersemu merah malu, setengah merengek setengah girang ia
berkata: "Kau punya pikiran muluk-muluk yang tidak benar atau tidak, peduli apa sih dengan aku,
kenapa aku harus percaya segala?"
Mengawasi wajah orang yang tersenyum senang merengek itu, tiba-tiba tergerak sanubari
Song Theng-siau, pikirnya: "Kenapa siau-sumoay selalu suka menggoda aku" Ah, memang dia
mengatakan aku teledor, memang aku ini amat ceroboh. Kenapa aku lupa bahwa Su-bi sekarang
bukan lagi siau-sumoay dulu yang tidak tahu urusan itu." Menghadapi wajah Lu Su-bi yang berseri
tawa manis seperti kembang mekar, tanpa merasa terasa syuur hati Song Theng-siau, sesaat ia
jadi terlongong dan memegang cangkir araknya sambil menjublek.
"Song-suko, apa lagi yang sedang kau pikirkan?"
"Tiada yang kupikirkan, siau-sumoay, sudahlah jangan kita bicara perihal yang tidak
menyenangka hati saja."
"Baiklah, lalu bicara apa baiknya" Oh ya, belakangan ini kau ada mempelajari lagu baru apa
yang enak didengar, aku jadi ingin mendengar tiupan serulingmu."
"Di sini jangan kau samakan dengan Siau-kim-jwan, mana bisa di dalam rumah makan
kumeniup seruling untuk kau dengar?"
Lu Su-bi tertawa cekikikan, serunya: "Benar, di waktu berada di Siau-kim-jwan, masih segar
kuingat kau suka meniup serulingmu di kala kembang mekar berbau semerbak di musim semi nan
subur. Ai, sayang hari-hari nan indah dan mengesankan seperti itu sudah lama berselang."
Kecuali mereka berdua hanya Miao Tiang-hong seorang yang mendengarkan percakapan
mereka di dalam rumah makan itu, tanpa terasa perasaannya ikut menjadi hampa dan sendu.
"Tak nyana ternyata Hun Ci-lo sudah punya kekasih."
Di saat pikirannya melayang-layang dan hati sedang kesal inilah, dari luar berjalan masuk pula
seorang tamu, tangannya membekal sebuah kipas dan berdandan sebagai sastrawan.
Begitu melihat orang ini, kontan Song Theng- siau berjingkrak bangun.
Kiranya sastrawan ini bukan lain adalah Toan Siu-si yang pernah merebut Nyo Hoa dari
tangannya. Sembari berjingkrak gusar, Song Theng-siau membentak: "Bagus ya, memang aku sedang
mencari kau untuk membuat perhitungan."
Cepat Lu Su-bi menariknya serta bertanya: "Siapakah orang ini?"
"Keparat ini adalah Toan Siu-si, orang kedua dari Tiam-jong-siang-sat yang pernah kuceritakan
kepada kau dulu." Sembari berkata Song Theng-siau sudah bergerak hendak melabrak kepada
Toan Siu-si. Toan Siu-si tertawa dingin, jengeknya: "Kukira kau masih belum tahu kejadian di Thay-san.
Memang akulah yang merebut putra mereka, tapi sekarang kuangkat dia sebagai muridku. Beng
Goan-cau dan Hun Ci-lo malah harus berterima kasih kepadaku!
Sukakah kau dengar penjelasanku mengenai seluk beluk persoalan ini?"
Mana Song Theng-siau sudi mendengar obrolannya, bentaknya: "Siapa sudi mendengar obrolan
bacotmu?" "Baiklah, kau tidak mau percaya, marilah kita bertempur lagi, memangnya kau anggap aku
takut terhadap tampangmu?"
Dalam rumah makan itu terdapat beberapa meja dan kursi, Song Theng-siau merasa meja kursi
mempersempit gerak-geriknya saja, maka beruntun ia angkat kaki menendang, kursi besar di
tengah ruangan dan beberapa kursi di antaranya kena tendang jumpalitan. Meja bundar itu
menggelundung menuju ke arah Toan Siu-si.
Lekas Toan Siu-si menekan kedua telapak tangannya, "Biang" meja bundar itu dipukulnya
hancur berantakan, pecahan kayu beterbangan sehingga cangkir piring dan mangkok sumpit sama
beterbangan jatuh di lantai. Ada pecahan mangkok yang mencelat terbang menerjang ke arah
Miao Tiang-hong, lekas Miao Tiang-hong mengebaskan lengan bajunya, pecahan mangkok itu
sebelum tersentuh ujung lengan bajunya sudah sama runtuh berjatuhan.
Meski sedang menghadapi musuh, namun pandangan dan pendengaran Toan Siu-si cukup
tajam dan waspada, diam-diam bercekat hatinya, pikirnya: "Entah siapa orang ini, lwekang Can-ihcap-
pwe-thiatnya ini mungkin masih berada di atas Song Theng-siau, kalau dia teman Song
Theng-siau, celakalah aku!"
Sementara itu, dengan cepat Song Theng-siau sudah menubruk tiba, lekas Toan Siu-si
tudingkan kipasnya menotok ke urat nadinya, sigap sekali Song Theng-siau memutar tubuh,
tangannya meraih mencengkeram ke kipasnya. Lekas Toan Siu-si menepuk telapak tangan kiri,
Song Theng-siau takut menghadapi pukulan lawan yang beracun, telapak tangannya lekas
dimiringkan mengiris maju mendesak ke tempat kelemahan lawan.
Begitulah badan mereka jadi sama saling bersinggungan, serangan masing-masing tiada yang
mengenai lawannya. Celakanya dua meja kursi menjadi sasaran pula dan terpental jungkir balik.
Begitu Song Theng-siau melabrak musuh, Lu Su-bi segera mencabut pedang, lekas ia memburu
ke samping dan menghadang di ambang pintu, menjaga bila Toan Siu-si melarikan diri. Bahwa
Tiam-jong-siang-sat amat mahir dalam bidang ginkang, hal ini sudah dia ketahui dari cerita Song
Theng-siau. Saking ketakutan si pelayan sembunyi di pojokan, teriaknya dengan suara gemetar: "Tuan-tuan
tamu, kalian berkelahi silakan keluar saja, dan jangan merusak perabot dalam rumah makan kami,
kami yang menjadi pegawai tidak mampu mengganti! Silakan berkelahi di luar saja!"
Song dan Toan berdua sedang berhantam dengan sengit, mana sudi mendengar seruan si
pelayan" Malah Lu Su-bi yang membujuk: "Kau tak usah takut, barang-barang yang rusak nanti
akan kuganti lipat ganda!"
Sikap Miao Tiang-hong acuh tak acuh duduk di tempatnya sambil makan minum, dalam hati
diam-diam ia menerawang: "Perlukah aku turut campur dalam persoalan mereka?"
Ternyata kalau Toan Siu-si tidak mengenal dia, sebaliknya ia tahu siapa Toan Siu-si. Dia punya
seorang teman karib adalah Tiam-lam Tayhiap Koan Gun-ngo, pernah menceriterakan perihal
sepak terjang Toan Siu-si ini. Tahun yang lalu sengaja dia tamasya ke Tayli, sebetulnya dia minta
Koan Gun-ngo menjadi perantara untuk mengikat persahabatan dengan Toan Siu-si, sayang
kebetulan Tiam-jong-siang-sat sedang keluar.
Koan Gun-ngo pernah menjelaskan, meski Tiam-jong-siang-sat dipandang sebagai gembong
iblis, hakikatnya mereka tidak pernah melakukan kejahatan yang keliwat takaran, cuma tabiatnya
saja yang aneh serta berbuat menurut adat sendiri. Suhengnya katanya kelahiran orang liar yang
dibesarkan kera maka wataknya rada liar dan kasar, maka orang memberi julukan Pat-pi-ling-wan
Pok Thian-tiau, cuma orang ini pun punya pikirannya yang sederhana dan cukup punya kewelasan
hati pula. Diam-diam berpikir Miao Tiang-hong: "Entah perhitungan apa di antara pertikaian mereka"
Song Theng-siau menuduh Toan Siu-si menculik anak Beng Goan-cau dan Hun Ci-lo, bukankah Cilo
janda Nyo Bok, bagaimana bisa punya anak dengan Beng Goan-cau" Entah apa pula yang
terjadi pada pertemuan di Thay-san, sayang Song Theng-siau tidak sudi mendengar
penjelasannya, aku orang luar ini menjadi tidak enak mengorek keterangan pribadi orang lain.
Tapi kedua orang cukup setimpal untuk diajak bersahabat, perlukah aku bertindak sama tengah
memisah mereka?" Miao Tiang-hong tengah keheranan dan tak habis mengerti. Karena duduk perkaranya belum
terang, maka dia tidak berani menampilkan diri. Tengah ia kebingungan, mendadak didengarnya
seseorang membentak: "Nah, akan kulihat ke mana kau hendak lari sekarang!"
--Tampak dua orang tamu menerjang masuk ke dalam rumah makan, seorang adalah kakek tua
yang beruban bertubuh tinggi kekar, seorang lain adalah laki-laki pertengahan umur bertubuh
tegak rada pendek. Orang yang membentak adalah laki-laki pertengahan itu.
Miao Tiang-hong terkejut, batinnya: "Kakek tua yang bertubuh kekar ini mungkinkah Su-haysin-
liong Ki Kian-ya yang menggetarkan kangouw itu?" Maklumlah ketenaran nama Ki Kian-ya
memang cukup besar, meski Miao Tiang-hong tidak pernah melihatnya, sedikitnya pernah dengar
perawakan tubuh dan raut mukanya yang luar biasa.
Memang terkaan Miao Tiang-hong tidak meleset, kakek tua yang bertubuh tinggi besar ini
memang Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya adanya. Sedang laki-laki pertengahan yang pendek tegap dan
cekatan itu bukan lain adalah Nyo Bok.
Nyo Bok berlari di sebelah depan, dengan napas memburu ia terus menerjang ke dalam rumah
makan. Maka Lu Su-bi yang berdiri di ambang pintu menjadi sasaran terjangannya yang utama.
Karena dua pihak sama tidak tahu asal-usul pihak lain, mendadak melihat Nyo Bok menerjang
ke arah dirinya, sudah tentu Lu Su-bi bercekat hatinya. Ia sangka orang adalah cakar alap-alap
pihak kerajaan. Maklumlah dia dan Song Theng-siau adalah anggauta laskar gerilya, dulu entah
berapa kali mereka pernah bentrok langsung dengan cakar alap-alap musuh. Sudah tentu mereka
harus waspada dan hati-hati.
Nyo Bok tidak tahu siapa gadis remaja ini, kontan telapak tangannya mendorong ke arahnya
seraya membentak: "Budak kecil minggirlah kau!" Lekas Lu Su-bi mengembangkan gerak tubuh
Menyelinap Rumpun Kembang Mengitari Semak Pohon, keruan Nyo Bok menubruk tempat kosong,
sehingga tubuhnya terjungkal ke depan, "sret" lekas Lu Su-bi menusukkan pedangnya seraya
memaki: "Siapa kau, tidak tahu aturan?"
Tusukan ini cukup liehay dan ganas, namun tidak lebih hanyalah serangan mengaraji jalan
darah belaka. Soalnya Lu Su-bi belum berani memastikan bahwa lawannya ini adalah musuh dari
cakar alap-alap, maka meski hati rada curiga, serangannya tidak berani segera mengambil jiwa
lawan. Ilmu silat Nyo Bok sudah tentu bukan kelas rendahan, karena hampir saja dia jatuh
terjerembab, keruan hatinya menjadi gusar, dampratnya: "Ternyata kau budak liar ini adalah
komplotan Tiam-jong-siang-sat!" Kontan ia lancarkan Kim-kong-lak-yang-jiu, "Wut" telapak
tangannya melayang deras.
Sudah tentu tenaga pukulannya ini bukan olah-olah besarnya, kontan Lu Su-bi merasa dadanya
seperti ditindih barang ribuan kati beratnya, hampir saja susah bernapas. Untung ia berhasil
berlatih ilmu ringan tubuhnya yang lincah dan tangkas, mengikuti damparan angin pukulan Nyo
Bok, ia berlompatan dengan lincah, sudah tentu pukulan dahsyat itu tidak berhasil mengenai
dirinya. Lu Su-bi pun menjadi murka, serunya: "Omong kosong, siapa yang menjadi komplotan Tiamjong-
siang-sat!" Di mana ujung pedangnya menggores "cras" baju Nyo Bok kena ditabasnya sobek
sebagian. Maka terdengarlah Ki Kian-ya membentak: "Tanyakan dulu biar jelas baru turun tangan!" Lekas
ia kebutkan lengan bajunya, pedang panjang Lu Su-bi kontan mencelat terbang dari cekalannya,
"Trang!" tepat sekali pedangnya jatuh di atas meja makan Miao Tiang-hong.
Miao Tiang-hong pura-pura amat kaget dan tersipu-sipu, poci arak, cangkir dan seluruh
hidangan di atas meja sama tersapu jatuh, malah dia pun pura-pura terjengkang bersama
kursinya, duduk di lantai ia berteriak: "Kalian berkelahi, kenapa kepalaku ikut-ikutan hendak kalian
hantam!" Memang Nyo Bok sedang menerjang ke arah Toan Siu-si, kebetulan cangkir arak Miao Tianghong
yang mencelat jatuh itu melayang ke arah mukanya, Nyo Bok tidak sempat berkelit pula,
seluruh muka dan dadanya menjadi basah kuyup. Celakanya mata dan kulit mukanya terasa amat
pedas dan sakit, sesaat lamanya dia tidak mampu membuka mata.
Sebagai orang persilatan yang melatih lwekang, orang biasa memukul dia belum tentu terasa
sakit. Kini mukanya hanya tersiram secawan arak namun rasanya pedas dan sakit, sudah tentu
hatinya mencelos dan kaget, kuatir orang membokong lebih lanjut, lekas ia lintang-kan kedua
tangannya di depan mukanya.
Terdengar Ki Kian-ya berseru lantang: "Kalau kalian memang bukan komplotan Tiam-jongsiang-
sat, silakan mundur ke samping saja!" Sembari bicara kakinya melangkah ke depan
sementara cakar tangannya mencengkeram ke punggung Toan Siu-si.
Miao Tiang-hong tahu akan keliehayan ilmu silat Ki Kian-ya, maka dia tidak bisa menggunakan
cara yang sama terhadap Nyo Bok untuk menghadapi dia, kalau hendak membantu Toan Siu-si,
tidak bisa tidak ia harus tampil sendiri berhadapan langsung dengan orang. Tadi ia pura-pura
kaget dan jatuh terjerembab, sampai sekarang belum lagi bangun, untuk menolong Toan Siu-si
juga tidak keburu lagi. Di saat ia mengucurkan keringat dingin bagi keselamatan Toan Siu-si, terjadilah sesuatu
kejadian yang di luar dugaannya.
Si pelayan yang semula sembunyi di pojokan itu mendadak memburu keluar terus menyikap Ki
Kian-ya seraya berteriak: "Tuan-tuan tamu! Kumohon kepada kalian, janganlah berkelahi dalam
rumah makan kami!" Betapa tinggi kedudukan dan gengsi Ki Kian-ya, mana sudi turun tangan memukul pelayan
rumah makan yang tidak mengenal ilmu silat" Dan karena itu, maka dia sampai kena dipeluk oleh
si pelayan. Terpaksa Ki Kian-ya menariknya pelan dan mendorongnya ke samping, namun si pelayan masih
mementang tangannya merintangi dan membuat ribut padanya. Sungguh jengkel dan geli pula Ki
Kian-ya dibuatnya. "Kau tidak usah takut, berapa banyak barangmu yang rusak, nanti kuganti
seluruhnya!" Kata si pelayan: "Nona cilik itu tadi pun berkata demikian, mana aku tahu kata-kata kalian
apakah bisa dipercaya?"
Dalam pada itu Nyo Bok sudah mengusap air arak di mukanya, bentaknya kepada Miao Tianghong
dengan gusar: "Siapa kau?"
Miao Tiang-hong merangkak bangun, jengeknya dingin: "Aku adalah tamu yang minum arak di
sini, toh aku tidak mengganggu kalian, kalian berkelahi justru memecah dan menumpahkan
hidanganku, kini mentang-mentang main marah segala, hm, hm, masa ada keadilan macam
demikian di kolong langit ini!"
Mendelik mata Nyo Bok, hidungnya mendengus lalu tertawa dingin, katanya: "Agaknya kau
memang seorang yang menyembunyikan diri, aku orang she Nyo salah mata menilai dirimu. Biar
nanti aku mohon pelajaran kepandaian tuan!"
Miao Tiang-hong berkata tawar: "Nyo-siansing, jangan kau berkelakar dengan aku, aku punya
kepandaian apa!" Saat mana pelayan masih merecoki Ki Kian-ya, Miao Tiang-hong menjadi geli dan heran pula,
pikirnya: "Pelayan ini tadi tadi pura-pura takut sedemikian rupa, kini mengapa menjadi begitu
bernyali besar?" Dalam pada itu Lu Su-bi sudah minggir ke samping, Song Theng-siau tahu yang baru datang ini
adalah Ki Kian-ya dan Nyo Bok, serta merta ia menjadi tertegun, gerak geriknya menjadi rada
lamban. Dalam situasi yang gawat dan mendesak ini tiba-tiba timbul akal licik Toan Siu-si, serunya:
"Song Theng-siau bencana ini kaulah yang menimbulkannya, kini orang meluruk datang, kau tidak
memikul beban ini bersama aku malah hendak mempersulit diriku, apakah ini perbuatan seorang
kuncu" Hehe, kau memang tidak kenal artinya setia kawan!"
"Kau membual apa?" damprat Song Theng-siau dengan gusar, belum lenyap suaranya, sigap
sekali Toan Siu-si mengembangkan gerak badan Mengubah Bentuk Berpindah Kedudukan
menghindarkan diri dari rangsakan Song Theng-siau, laksana burung walet melintasi gelombang,
ringan sekali badannya berkelebat lewat dari samping badannya terus melompat keluar lewat
jendela. Apa boleh buat, terpaksa Ki Kian-ya menggunakan gerak tangan yang ringan menotok jalan
darah pelemas si pelayan, dengan caranya ini baru dia berhasil membebaskan diri dari recokan si
pelayan. Bentaknya: "Lari ke mana!"- Namun sudah terlambat, waktu ia memburu tiba di pinggir
jendela dan melongok keluar, bayangan punggung Toan Siu-si sudah tidak dilihatnya lagi. Entah
menyelinap ke jalan atau gang mana.
Sejenak Nyo Bok mendelong, tiba-tiba ia membentak: "Jadi kau inilah Song Theng-siau?"
"Tidak salah! Kau mau apa?" tantang Song Theng-siau.
"E, eh, kau merebut anakku, mengobrak-abrik layonku dan menghina muridku, itu sih belum
masuk hitungan, ternyata berani pula menganiaya toaciku. Kini kebentur di tanganku, masakah
kau hendak cuci tangan" Hm, hah, Toan Siu-si sudah lari, jangan harap kau bisa lolos!"
"Anakmu?" jengek Song Theng-siau. "He, he, he, ya anggap saja memang anakmu. Toacimu
menyiksa bocah itu sedemikian rupa, aku sebagai sahabat karib Hun Ci-lo, masa harus berpeluk
tangan?" "Sungguh menjengkelkan!" damprat Nyo Bok. "Berani kau di hadapanku mengaku terus terang
dengan perempuan jalang... dengan perempuan jalang itu..." Bahna gusarnya, mulutnya jadi
menyerocos tidak karuan, meski kata-kata sudah di ujung mulut, betapapun kata-kata 'berlaku
serong' tidak berani diucapkan.
Hun Ci-lo adalah pujaan dan orang yang dihormati oleh Song Theng-siau, mendengar tuduhan
orang keruan ia berjingkrak murka, "Nyo Bok, jangan kan memfitnah orang semena-mena.
Fitnahanmu ini hanya mengotori mulutmu sendiri!" Kedua orang sudah berhadapan dengan
bersitegang leher hendak saling labrak, senjata sudah dihunus siap bertempur.
Dulu toaci Nyo Bok yaitu Loak-jiu-koan-im Nyo-toakoh pernah mendapat rugi besar oleh Song
Theng-siau, setelah pulang dia lapor kepada Ki Kian-ya dengan bertangisan, mohon kepada Ki
Kian-ya supaya menuntutkan balas. Cuma waktu itu dia sendiri belum tahu bahwa laki-laki
berkedok itu adalah Song Theng-siau. Ki Kian-ya sendiri pun baru tahu setelah berlangsungnya
pertemuan besar di Thay-san.
Dalam hati berpikir Ki Kian-ya: "Ginkang Toan Siu-si amat hebat, kukejar pun belum tentu
terkejar, lebih baik biar kuringkus bocah she Song ini, supaya dua pihak tidak menjadi gagal."
Di saat kedua orang sudah saling melotot dan melangkah maju hendak saling labrak itulah
mendadak Ki Kian-ya membentak: "Tahan dulu!"
Song Theng-siau berkata dingin: "Ada petunjuk apa Ki-losiansing?"
Kata Ki Kian-ya pelan-pelan: "Nyo-toakoh adalah marga keluarga kami, persoalan ini pantasnya
akulah yang menyelesaikan. Nyo Bok, kau mundur ke samping!"
Kiranya waktu di Thay-san ia saksikan sendiri kepandaian silat Beng Goan-cau, maka ia
beranggapan Song Theng-siau sejajar dengan Beng Goan-cau, kepandaian silat bocah she Song ini
tentu tidak lebih lemah dari Beng Goan-cau, mungkin Nyo Bok bukan lawannya yang setimpal.
Kalau Nyo Bok kena dikalahkan dan dirinya baru maju betapapun akan menurunkan gengsi dan
wibawanya. Maka lekas ia tampil ke depan dan tumplek urusan kepada diri sendiri.
Nyo Bok mengiakan sambil mundur ke samping, katanya: "Ya, harap kau orang tua suka
menegakkan keadilan!"
"Ya, aku punya perhitunganku sendiri," demikian ujar Ki Kian-ya lalu berpaling katanya
menunjuk Song Theng-siau: "Kupandang kau pun tokoh pendekar yang disegani kaum persilatan,
maka aku pun tidak akan mempersulit kau. Pinjamlah tempat rumah makan ini mengadakan
perjamuan untuk perdamaian kedua pihak, cukup asal kau suka berlutut dan menyembah minta
maaf, bolehlah urusan ini dianggap selesai sampai di sini."
Keruan bergolak amarah Song Theng-siau, jengeknya tertawa dingin: "Seorang laki-laki sejati
tahu diri dan bisa menimbang urusan. Aku orang she Song tidak merasa bersalah dan hutang budi
pada kau, kenapa harus berlutut minta maaf segala?"
"Kalau begitu terpaksa kita gunakan cara aturan kangouw, menggunakan kepalan untuk
menegakkan keadilan. Jangan kau salahkan lohu menganiaya yang lemah, menindas si kecil!"


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selamanya Song Theng-siau berwatak tinggi hati dan temberang, ia paling benci orang
menghina dan memandang rendah dirinya, mendengar kata-kata orang segera ia balas menyindir:
"Ki-locianpwe jauh lebih tua dari aku, adalah patut kalau aku menghormat dan mengindahkan
pada kau. Silakan kau yang lebih tua turun tangan lebih dulu." Maksud katanya bahwa dia hanya
mengakui Ki Kian-ya berusia jauh lebih tua, istilah menganiaya si lemah dan menindas si kecil
segala sedikit pun ia tidak ambil peduli.
Sudah tentu Ki Kian-ya pun menjadi murka oleh sikapnya yang temberang ini, bentaknya:
"Bocah takabur, berani kau bergebrak dengan lohu, berani bermulut besar lagi, menantang aku
turun tangan lebih dulu! Tahukah kau sekali lohu turun tangan kedua kepalanku ini tidak akan
mengenal kasihan!" "Memangnya pedangku ini juga tidak tumbuh mata!" demikian ejek Song Theng-siau. "Marilah
bertempur di luar, supaya tidak merusak barang dan menakuti orang di dalam rumah makan ini!"
"Baik, masakah kau bisa melarikan diri!" sahut Ki Kian-ya tertawa dingin.
Song Theng-siau dan Lu Su-bi berjalan keluar lebih dulu, Ki Kian-ya ikut di belakangnya. Nyo
Bok berpaling dulu mendelik ke arah Miao Tiang-hong, akhirnya dia pun mengintil keluar.
Setelah Nyo Bok berada di luar, baru Miao Tiang-hong mendekati si pelayan dan membuka hiattonya
yang tertotok, katanya tertawa: "Nyalimu sungguh besar, kagum, kagum!"
Si pelayan mengurut-urut badannya yang lemas dan linu, katanya: "Tuan tamu ternyata
kepandaianmu pun amat liehay, sungguh mataku ini buta melek tidak tahu bahwa seorang ahli di
depan mata!" Mendengar kata-kata orang yang tidak mengenal batas, diam-diam heran Miao Tiang-hong
dibuatnya. Baru saja ia hendak tanya lebih lanjut, Ki Kian-ya dan Song Theng-siau di luar sudah
mulai bergebrak. "Loloslah pedangmu!" bentak Ki Kian-ya. Sebagai bu-lim cian-pwe, apalagi sejak usia
pertengahan umur dia tidak pernah menggunakan alat senjata lagi setiap menghadapi musuh, hal
ini sudah banyak diketahui umum, maka dia cukup menggunakan sepasang kepalan untuk
menghadapi ilmu pedang Song Theng-siau, hal ini tidaklah terhitung sebagai penghinaan. Meski
Song Theng-siau tinggi hati, betapapun harus memberi sedikit muka kepada orang, segera ia
mencabut pedang, serunya: "Baik, wanpwe mohon petunjuk." Seiring dengan lenyap suaranya
"sret" pedangnya tiba-tiba menusuk ke depan.
Serangan pedang ini menusuk lurus ke dada, ujung pedangnya bergetar ringan dua kali. Itulah
serangan yang dinamakan Tang-gak-tio-cong, merupakan jurus pembukaan terhadap lawan yang
lebih tua. Tapi meski hanya jurus pembukaan yang sepele, tapi begitu ujung pedangnya bergetar,
tak urung mengeluarkan suara mendengung yang lirih cukup jelas didengar, ini menandakan
bahwa lwekang Song Theng-siau bahwasanya pun tidaklah lemah.
Nyo Bok yang menonton di pinggir diam-diam mencelos hatinya, pikirnya: "Untung tadi aku
tidak lantas melabraknya, kalau tidak mungkin aku dulu yang ketimpa bencana dan kena dirugikan
olehnya." "Tidak usah sungkan!" cemooh Ki Kian-ya tertawa dingin, kebetulan lengan bajunya
mengeluarkan deru angin yang keras, kontan ujung pedang Song Theng-siau yang bergetar itu
kena disampuk-nya miring, tindakannya ini pertanda bahwa dia menolak pemberian hormat dari
jurus permulaan lawan. Keruan bercekat hati Song Theng-siau, batinnya: "Tua bangka ini ternyata
membekal lwekang yang ampuh, memang tidak bernama kosong belaka."
Bicara lambat kejadian justru amat cepat, terdengar angin menderu-deru, kiranya Ki Kian-ya
sudah bergerak mulai balas menyerang. Meski serangannya tidak mengenai badan Song Thengsiau,
tenaga pukulannya sudah cukup membuatnya sesak dada dan sukar bernapas.
Lekas Song Theng-siau memutar pedangnya membuat garis bundaran; sementara badannya
ikut berputar, sedang kaki pun bergeser pindah kedudukan, seketika pancaran sinar pedangnya
menyala terang, berkelebat cepat menari-nari di tengah udara, begitu cepat putaran pedangnya
sampai bentuk badannya lenyap tergubat oleh cahaya pedangnya.
Begitu pertempuran mencapai puncak ketegangan, tampak di empat penjuru angin tertampak
sosok bayangan Song Theng-siau, seolah-olah ada puluhan bayangan yang merangsak bersama
dari berbagai penjuru, semuanya serempak menerjang dengan dahsyat kepada Ki Kian-ya.
Saking terpesona Lu Su-bi tak sadar bersorak memuji, pikirnya: "Dulu Song-suko menemani
aku berlatih ginkang Menyusup Kembang Mengitari Pohon, agaknya dalam bidang ini dia jauh
lebih matang dari aku. Tua bangka ini hanya punya nama kosong belaka, belum tentu dia kuasa
mengalahkan Song-suko." Betapapun tingkat kepandaiannya masih setingkat lebih rendah, sedikit
pun ia tidak dapat menilai dan melihat titik penentuannya bahwa sebenarnya Ki Kian-ya sedang
bersiasat menggunakan ketenangan mengatasi gerakan, dia harus bersabar setelah jelas akan titik
kelemahan Song Theng-siau, baru dia akan menggunakan sergapan yang paling menentukan
balas menyerang dan mengalahkan musuh.
Terasa oleh Song Theng-siau bahwa tenaga pukulan lawan seperti aliran gelap yang tidak
kelihatan mengekang badannya, semakin lama semakin kencang, namun betapapun ia tidak bisa
mengutarakan penderitaannya ini. Terpaksa ia mengandal gerak-gerik kelincahan tubuhnya serta
permainan ilmu pedangnya yang aneh dan liehay, terus merangsak dengan berbagai serangan. Ia
insyaf sedikit gerak pedangnya menjadi lamban, maka sulitlah dia membendung gempuran
balasan lawan. Belum lenyap pikiran Lu Su-bi, tiba-tiba didengarnya Ki Kian-ya menghardik, kedua telapak
tangannya menari turun naik, seketika cahaya pedang pecah tercerai berai meluncur ke empat
penjuru, bayangan badan dari berbagai penjuru itu seketika sirna tak berbekas. Kejap lain
dilihatnya Song Theng-siau terhuyung mundur beberapa langkah.
"Bocah keparat, masih tidak lekas menyerah kalah?" bentak Ki Kian-ya.
"Seorang laki-laki lebih baik gugur di medan laga, jangan harap aku terima dihina semenamena,
memangnya aku sudi berlutut minta ampun kepada kau!" dalam dia berkata-kata ini
beruntun Ki Kian-ya sudah melancarkan tujuh kali pukulan, tapi tiada yang mengenai Song Thengsiau,
sementara Song Theng-siau juga balas menyerang lima jurus.
Baru sekarang Lu Su-bi melihat keadaan sebenarnya, bahwa Song Theng-siau memang bukan
tandingannya Su-hay-sin-liong, untunglah dia mengandal ilmu ginkangnya yang serba rumit itu
berhasil menghindari setiap pukulan keras, maka sebegitu jauh dia masih kuat bertahan, dalam
waktu dekat memang tidak mudah dia kena dikalahkan.
Menonton di samping, Nyo Bok' selalu bersorak dan memberi semangat kepada Ki Kian-ya.
Lu Su-bi sedang mengerut kening mencari akal cara bagaimana untuk membantu kesulitan
Song Theng-siau, mendadak timbul suatu akalnya yang jenaka. Dengan mengerling mata ia
melirik ke arah Nyo Bok, dengusnya tertawa dingin: "Nyo busu, konon kabarnya kau juga pernah
angkat nama di daerah Siok-ciu, apakah pintarmu hanya bersorak memberi semangat pada tulang
punggungmu saja?" "Apa maksudmu?" bentak Nyo Bok gusar.
Kata Lu Su-bi: "Dalam kampung kami ada sebuah dongeng lucu, terjadilah dua orang berkelahi,
satu di antaranya mencincing lengan baju dengan sikap garang, seolah-olah hendak menggencet
remuk lawannya. Tapi di kala lawan memberanikan diri menghadapi tantangannya, dia tidak
berani segera turun tangan, malah sambil mencaci maki kaki melangkah mundur, setiap langkah
kakinya mulutnya mencaci maki kalang kabut, dia minta orang menunggu, menunggu dia pulang
menyeret paman besannya datang!"
Dongeng lucu ini sebetulnya terdapat di mana-mana, tapi kebanyakan sama dikatakan pulang
mengundang 'engkohnya', kini Lu Su-bi sengaja mengatakan mengundang 'paman besannya'
(maksudnya Ki Kian-ya), sudah tentu maksudnya hendak mengolok-olok Nyo Bok.
Nyo Bok berjingkrak gusar, dampratnya: "Kupandang kau budak cilik yang masih bau bawang,
kalau tidak kuhajar kau biar kapok!"
"O, jadi kau ajak berkelahi, lebih baik malah! Ayolah! Mau berkelahi segeralah dimulai,
mumpung paman besanmu masih berada di sini, kau bisa minta bantuannya nanti!"
"Siau-sumoay!" segera Song Theng-siau berteriak. "Ini bukan urusanmu, lekas kau pergi saja!"
"Memangnya kau anggap aku suka menjadi tokoh tertawaan dalam dongeng tadi. Kalian
berkelahi begitu menyenangkan, masakah aku tidak boleh ikut meramaikan" Haha, Nyo busu,
marilah, berilah hajaran kepadaku!" lenyap suaranya pedang pun sudah diloloskan keluar,
langsung ia obat-abitkan di depan muka Nyo Bok.
Sudah tentu Nyo Bok semakin naik pitam. "Kaulah yang mencari kematian sendiri," damprat
Nyo Bok, lekas kedua telapak tangannya bergerak membundar ke dua samping terus bertemu di
sebelah depan dada, dengan jurus Yu-liong-tam-jiau, telapak tangan, kiri menepuk ke depan,
sementara tangan kanan mencengkeram ke pundak Lu Su-bi.
Jurus serangan ini adalah salah satu jurus mematikan yang paling ampuh dari Kim-kong-lakyang-
jiu warisan keluarganya, telapak tangan kiri menggunakan tenaga kekerasan menyampuk
miring ujung pedang lawan, maka tangan kanannya tentu1 berhasil mencengkeram tulang pundak
lawan. Waktu berada di dalam rumah makan tadi Lu Su-bi kena didorongnya ke pinggir,
sangkanya meski Lu Su-bi pandai main pedang, kepandaiannya tentu masih terbatas, bahwasanya
dia tidak pandang sebelah mata kepada lawan ciliknya ini. Anggapnya cukup dengan sekali
serangan tentu berhasil menawan musuh, malah hatinya sedang membayangkan cara bagaimana
nanti dia akan menganiaya dan menyiksa gadis cilik ini.
Siapa tahu Lu Su-bi justru sudah mempersiapkan diri dan bekerja menurut rencana dan tipu
daya, sejak tadi ia sudah siap. Bertempur di lapangan terbuka sudah tentu jauh lebih' leluasa
dibanding dalam ruang makan yang berserakan meja kursi, begitu cakar tangan Nyo Bok
mencengkeram tiba, siang-siang dia sudah berkelebat menyingkir, dengan mengembangkan
ginkang Menyelinap Kembang Mengitari Pohon tahu-tahu dia sudah berkisar ke belakang Nyo Bok.
Begitu cengkeramannya mengenai tempat kosong, seketika itu pula Nyo Bok merasakan angin
tajam mengancam dari belakang, ia tahu bahaya sedang mengancam jiwanya serta merta telapak
tangannya terus menggempur balik ke belakang, berbareng badan doyong ke depan seraya
berputar satu lingkaran. Kepandaian silatnya memang tidak lemah, caranya menghindar ini memang tepat dan indah
sekali gerakannya. Lwekang Lu Su-bi memang setingkat di bawahnya, ujung pedangnya
tergoncang miring, seumpama tusukannya mengenai sasarannya, lawan pun tidak akan terluka
parah, malah dia sendiri harus berjaga terhadap cengkeraman balasan lawan yang hebat.
Lu Su-bi bisa bekerja dan lekas mengambil keputusan dan bisa melihat situasi, mengandal
kesehatan gerak tubuhnya, dia cepat-cepat merubah serangannya. Baru saja Nyo Bok berputar
satu lingkaran, belum lagi kakinya berdiri tegak, tampak sinar pedang menyilaukan mata, tahutahu
pedang Lu Su-bi sudah menusuk tiba dari sebelah depan.
Lu Su-bi menggunakan siasat menuding di timur menggempur di barat, menunjuk selatan
menyerang dari utara, saat ini di sebelah depan, kejap lain mendadak di belakang lawan,
sekonyong-konyong di sebelah kiri mendadak di sebelah kanan pula, begitulah dia kembangkan
ilmu ginkangnya yang tinggi untuk mempermainkan Nyo Bok, seperti kucing mempermainkan tikus
saja layaknya. Gerak-geriknya begitu sebat dan enteng, seperti kecapung menutul air, laksana
kupu-kupu menari di atas kuntum bunga, bajunya melambai, di kala kecepatan kitaran tubuhnya
mencapai titik tertinggi, yang kelihatan hanyalah segulung bayangan putih melulu.
Meski lwekang Nyo Bok setingkat lebih tinggi, namun pukulannya tidak bisa mengenai tubuh Lu
Su-bi, maka dia sendiri tidak kuasa menundukkan lawan.
Di antara berkelebatnya sinar pedang dan bayangan pukulan tangan, mendadak Nyo Bok
merangsak dengan sejurus Im-yang-siang-jong-ciang, tangan kiri menggunakan tenaga negatif,
sementara tangan kanan menggunakan kekuatan positif. Antara lemas dan keras kedua macam
tenaga ini saling bekerja sama dan tuntun menuntun, Lu Su-bi berputar lincah seperti gangsingan,
katanya sambil tertawa dingin: "Kim-kong-Iak-yang-jiu paling-paling hanya begini saja, aku cukup
berkenalan!" Begitu pukulannya mengenai tempat kosong, seketika sinar pedang berkelebat menyala di
depan mata, meski Nyo Bok sudah berusaha berkelit secepat mungkin, tak urung terdengarlah
suara "Bret" ujung jubahnya terpapas oleh sambaran pedang lawan, untunglah tidak sampai
melukai kulitnya. "Wut" lekas Ki Kian-ya memukul, Song Theng-siau tergentak mundur dua tindak, teriaknya:
"Nyo Bok, mendekatlah kemari!" Begitu mendesak mundur Song Theng-siau segera ia menggeser
badan mendekati ke arah Nyo Bok.
Tak tahan Lu Su-bi terkikik geli, serunya: "Benar, lekaslah kau minta perlindungan paman
besanmu." Tadi hampir saja Nyo Bok terluka oleh ujung pedangnya, keringat dingin bercucuran
tanpa terasa. demi jiwa tanpa hiraukan olok-olok orang, lekas ia menerjang ke sana.
Bagai bayangan mengikuti bentuknya, Lu Su-bi mengejar di belakangnya, kejadian berlangsung
amat cepat, dengan sejurus Giok-li-to-soh, ujung pedangnya yang berkilau itu tahu-tahu sudah
menusuk tiba ke punggung Nyo Bok.
Kebetulan Nyo Bok sudah mencapai dekat di samping Ki Kian-ya, sudah tentu Ki Kian-ya tidak
mau orang lain melukainya, lekas jari tengahnya menjentik "creng" tepat sekali jarinya menjentik
punggung pedang Lu Su-bi.
Ki Kian-ya mengembangkan ilmu Tam-ci-sin-thong, meski hanya menggunakan lima bagian
tenaganya, Lu Su-bi sudah tidak kuasa lagi bertahan, begitu telapak tangan menjadi linu dan
pedas, kontan pedang mencelat terbang ke tengah udara.
Sebat sekali pedang Song Theng-siau pun sudah menusuk ke arah Nyo Bok, caranya justru
menyerang titik kelemahan lawan, memaksa musuh harus menyelamatkan diri lebih dulu sebelum
melukai lawan, sudah tentu terasa melayang arwah Nyo Bok, apalagi gerak badannya belum lagi
tetap, mana kuasa melawan serangan telak ini" Sudah tentu ia hanya mengandal tenaga Ki Kianya
lagi untuk menyelamatkan jiwanya. Tiga belah pihak bergerak sama cepatnya, lekas sikut Ki
Kian-ya bekerja menyodok Nyo Bok, yang digunakan tenaga sendai ringan, sehingga Nyo Bok
tersuruk ke pinggir, sementara telapak tangannya terkembang miring seperti golok, dengan jurus
Hiat-jiat-ou, telapak tangannya menusuk ke sikut Song Theng-siau. Serangan ini pun mendesak
lawan untuk menyelamatkan diri lebih dulu, lincah sekali Song Theng-siau menggunakan Banliong-
jiau-poh menarik pedang seraya membalikkan badan.
Kesempatan yang sekejap itu, badan Lu Su-bi sudah melejit ke atas kebetulan menangkap
Ceng-kong-kiamnya yang meluncur jatuh.
Song Theng-siau lantas mengomelinya: "Siau-sumoay, kenapa kau turun campur urusan orang.
Seorang laki-laki berani berbuat berani bertanggung jawab, urusanku tidak usah kau turut
campur." "Memangnya aku suka mencampuri urusan orang lain, apalagi menghadapi urusanmu mana
bisa dikatakan tiada sangkut pautnya dengan aku?"
Song Theng-siau tahu akan tabiat orang, apa boleh buat terpaksa ia berkata: "Kim-na-jiu Kilothau
amat liehay, kau harus waspada!"
"Aku tahu," ujar Lu Su-bi tertawa. "Tadi aku sudah belajar kenal. He, he, aku toh wanpwe yang
baru unjuk gigi, amat kebetulan bisa memperoleh petunjuk dari Su-hay-sin-liong yang
menggetarkan kangouw, terluka parah juga setimpal dan tidak perlu diambil menyesal."
Betapa tinggi kedudukan dan gengsi Ki Kian-ya, kontan merah padam mukanya, batinnya:
"Kalau aku menggunakan Jong-jiu-hoat melukai gadis cilik yang baru keluar kandang ini, mungkin
bakal menjadi buah tertawaan seluruh enghiong sejagat." Segera ia berkata: "Siapa suruh kau
budak kecil ini tidak tahu diuntung, kalau kau tidak mencari perkara kepada Nyo Bok, aku pun
tidak akan mencari gara-gara kepada kau. Lekaslah kau pergi saja!"
"Pihak kalian ada dua, demikian juga kami berdua. Kalau aku tinggal pergi, bukanlah kalian
hendak mengambil keuntungan?" mulut bicara sementara pedang di tangannya menyerang gencar
ke tubuh Nyo Bok, yang diarah adalah tempat-tempat yang mematikan. Dengan bertangan kosong
sudah tentu Nyo Bok tidak mampu melawan pedangnya, apa boleh buat terpaksa Ki Kian-ya harus
mencari kesempatan untuk menolong dan menyelamatkan jiwanya. Karena terdesak Nyo Bok tidak
berani meninggalkan sandarannya, maka menjadi sama kuat alias seri, kedua pihak sama
bertempur cara keroyokan. Bahwasanya Ki Kian-ya didesak untuk melayani serangannya, kini
keadaan diputar balik, sudah tentu ia menjadi serba salah tertawa geli sendiri dalam hati.
Beruntun Nyo Bok menghadapi bahaya beberapa kali, dari malu akhirnya menjadi gusar,
serunya: "Budak liar ini memang minta digebuk, janganlah kau salahkan kami tidak mengenal
kasihan. Yan-peh (paman besan), silakan kau gebah dia lebih dulu, supaya tidak merecoki saja!"
Lu Su-bi tertawa cekikikan, serunya: "Ternyata dongeng lucu itu tidak cuma ada di kampung
kami." Mengarah lambung Nyo. Bok, pedangnya menusuk tiba pula.
"Aku punya perhitungan sendiri," Ki Kian-ya mendengus, lalu ia menarik muka dan membentak:
"Gadis cilik, jangan kau tidak tahu diri, aku tidak akan mengenal sungkan lagi lho!"
"Kakek tua, jenggotmu sudah ubanan, kalau marah jenggotmu bisa bergerak juga, sungguh
lucu sekali!" demikian goda Lu Su-bi.
Ki Kian-ya menjadi kewalahan, pikirnya: "Anak perempuan ini memang rada keterlaluan,
baiklah, biar kucari' cara, tanpa melukai badannya kutotok saja hiat-tonya."
Tapi ginkang Menyelinap Kembang Mengitari Pohon yang dikembangkan Lu Su-bi aneh dan
gesit lagi, seolah-olah dia dapat meraba jalan pikiran Ki Kian-ya, selicin belut selincah kera
tubuhnya berputar-putar menyelinap mengitari Nyo Bok saja, secara tidak sengaja seakan-akan ia
menggunakan Nyo Bok sebagai tameng, sehingga Ki Kian-ya tidak kuasa menotok Hiat-tonya.
Lama kelamaan Ki Kian-ya naik pitam, mendadak ia menghardik keras, tenaga pukulannya
ditambah berlipat ganda, serempak ia memberondong kepada Song Theng-siau, ia alihkan sasaran
utama, batinnya: "Biar kubinasakan dulu bocah ini, masakah budak liar ini tidak terima diringkus
saja!" Begitu tekanan menjadi kendor, Lu Su-bi pun serempak menyerbu lebih gencar kepada Nyo
Bok, sehingga Ki Kian-ya tidak bisa menumpahkan seluruh perhatiannya menghadapi Song Thengsiau.
Dengan demikian, dua pihak satu sama lain sama mengandal bantuan teman sendiri. Akan
tetapi betapapun lwekang Lu Su-bi terpaut teramat jauh dibanding Ki Kian-ya, sebaliknya meski
Nyo Bok bertangan kosong, sejauh itu dia masih kuasa bertahan diri dan main berkutet padanya,
maka sejak mula bagaimana juga pihak Nyo Bok dan Ki Kian-ya berada di pihak yang unggul dan
di atas angin. Song Theng-siau juga sulit bernapas oleh tekanan pukulan Ki Kian-ya, namun hatinya terasa
hangat dan syuur. "Tak nyana siau-sumoay rela mengadu jiwa bagi diriku, kalau kali ini berhasil
lolos, entah cara bagaimana aku harus membalas budi kebaikannya ini."
Duduk di dalam rumah makan, Miao Tiang-hong menonton pertempuran mereka, hatinya
menjadi gelisah dan gugup, baru saja ia hendak memburu keluar membantu kesulitan Song
Theng-siau, mendadak dilihatnya seorang kakek tua yang mengenakan jubah kain katun
memegang pipa cangklong muncul di ujung jalan sana, orang tua ini sedang beranjak mendatangi
ke tempat pertempuran. Si pelayan seketika berjingkrak keluar sambil bersorak kegirangan, serunya: "Nah itu dia,
majikan kami sudah tiba!"
Tergerak hati Miao Tiang-hong, pikirnya: "Mungkinkah kakek tua renta ini adalah tokoh aneh
yang mengasingkan diri, untuk mengikat persahabatan dengan kaum kangouw, maka dibukanya
rumah makan ini?" Belum lenyap jalan pikirannya, kakek tua itu sudah datang dekat. Berdiri di undakan batu di
luar pintu rumah makan, jauh-jauh si pelayan lantas berteriak: "Lo-tang-keh (majikan tua), lekas
kemari, sungguh menyebalkan, para tamu ini saling berkelahi di dalam restoran kita, dari dalam
sampai di luar segala perabot menjadi korban, lebih celaka lagi kalau terjadi perkara jiwa!"
Nyo Bok segera membentak: "Yang tahu diri segera menyingkir jauh, jangan turut campur
urusan kami. Berapa perabotmu yang rusak nanti kuganti seluruhnya." Waktu itu pertempuran
sedang memuncak sengit, pihak Nyo Bok berada di atas angin. Song Theng-siau terkekang oleh
libatan angin pukulan Ki Kian-ya, meski sekuat tenaga berusaha membendung dan mematahkan


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rangsakan musuh, namun tenaga sudah tidak kuasa melandasi keinginan hati. Lu Su-bi apalagi,
tenaganya jauh lebih lemah, setelah kehabisan tenaga gerak-geriknya pun menjadi lamban tidak
segesit dan setangkas tadi.
Si kakek tua menghisap pipa cangklongnya lalu mengepulkan asapnya ke depan, serta berkata
pelan-pelan: "Loheng, kata-katamu ini harus diralat kembali. Kalian berkelahi di dalam restoranku,
mana bisa dikatakan aku banyak campur urusan orang" Barang rusak bisa diganti jiwa manusia
masakah bisa dibeli. Kalau sampai membunuh orang, kalian bisa tinggal pergi mencawat ekor,
urusan justru bakal menjadi tanggung jawab kami bukan?" Sembari bicara, langkah kakinya
mendadak dipercepat semakin dekat. Mendadak ia mendesak masuk ke tengah gelanggang
pertempuran. Sebagai kawakan kangouw Ki Kian-ya menduga kakek tua ini tentu bukan sembarang orang.
Baru saja dia hendak bertanya, belum lagi sempat bersuara orang sudah turun tangan.
Kebetulan saat itu Nyo Bok sedang melayangkan kepalannya memukul ke arah Lu Su-bi,
sementara Lu Su-bi sepenuh tenaga dan tumplek seluruh perhatiannya membantu Song Thengsiau
untuk membendung rangsakan Ki Kian-ya yang hebat, maka pukulan Nyo Bok kelihatannya
bakal menghancurkan tulang pundaknya, untunglah kakek tua itu mendadak mendesak maju ke
tengah arena pertempuran, dengan enteng ia mendorong badan Lu Su-bi sampai terpental tiga
tombak jauhnya. Tenaga yang digunakan amat tepat dan lunak, Lu Su-bi merasa seolah-olah
dirinya ditarik ke samping saja. Badannya hanya berputar satu kali lantas berdiri tegak lagi.
Ki Kian-ya menjadi amat terkejut, lekas ia berseru: "Nyo Bok, tahan!" belum lenyap suaranya,
tahu-tahu Nyo Bok sudah terpental jatuh terjengkang dengan kaki tangan menghadap ke langit.
Dan suara "blang" yang keras itu adalah lantaran badannya terbanting keras di tanah berbatu.
Saking kejutnya, tanpa hiraukan apakah Nyo Bok terluka atau tidak, tanpa pikir tangan Ki Kianya
segera meraih ke depan, ia mencengkeram ke pipa cangklong si kakek. Terdengarlah kakek tua
itu berkata tertawa: "Ki-lo-siansing, apakah kau pun suka menghisap rokok?"
Mengandal lwekang Ki Kian-ya, cengkeramannya itu dapat meremukkan batu cadas, sangkanya
pipa cangklong orang tentu dapat dicengkeram patah menjadi dua, di luar dugaan, terasa telapak
tangannya panas dan segulung tenaga menerjang kuat telapak tangannya pula, tanpa kuasa jarijarinya
menjadi lemas dan kendor tidak kuasa memegangi pipa cangklong jtu lebih lanjut. Dengan
gebrak percobaan ini baru Ki Kian-ya insyaf bahwa lwekang orang kiranya tidak lebih asor dari
dirinya. Mendadak teringat oleh Ki Kian-ya seseorang, cepat ia bertanya: "Bukankah kau adalah Yankan-
kay-pi Tan Tek-thay Tan-losian-sing?"
Ternyata pipa cangklong milik Tan Tek-thay ini adalah barang pusaka, luarnya kelihatan seperti
terbuat dari kayu, bahwasanya terbuat dari tembaga hijau yang dicampur dengan Hian-tiat. Hiantiat
merupakan logam yang jarang terdapat, bobotnya juga puluhan kali lebih berat dari besi biasa.
Pernah suatu ketika Tan Tek-thay minum arak dengan beberapa teman, saking banyak
menenggak air katakata timbul ah hasratnya mendemonstrasikan ilmu silatnya dengan
menggunakan pipa cangklongnya itu, sekali ketuk batu sebesar gantang kena dipukul sampai
pecah berhamburan, maka sejak itu ia mendapat julukan Yan-kan-kay-pi.
Tan Tek-thay tertawa ngakak, ujarnya: "Nama busuk hanya menusuk pendengaran saja, aku
orang she Tan amat berkecil hati. Nama besar Ki-losiansing sudah lama kukagumi. Kali ini sudi
berkunjung ke restoran kami, harap maaf akan penyambutan dan pelayanan yang tidak sempurna.
Entah kenapa Ki-losiansing mempersulit kedua tamu ini, sudikah pandang muka tuaku ini, bikin
selesai saja sampai di sini."
"Enak benar kau membuka mulut?" demikian batin Ki Kian-ya, sambil mengerutkan alis ia
berkata: "Soal ini sulit dijelaskan, sebetulnya demi gengsi dan muka Tan-loenghiong aku harus
menyudahi sampai di sini saja. Tapi amat kebetulan hari ini kami memergoki kedua orang ini,
kalau urusan dibikin selesai begini saja, kelak mungkin tiada kesempatan membuat penyelesaian.
Maka maaf kami tidak bisa turuti kemauanmu."
Kata Tan Tek-thay tawar: "Ki-losiansing tidak sudi memberi muka kepadaku, aku pun tidak bisa
berbuat apa-apa." "Bukan aku tidak suka memberi muka..." kata Ki Kian-ya. Tapi Tan Tek-thay segera
mengulapkan tangannya, ujarnya: "Sudah tidak perlu banyak bicara!" Tanpa perdu-likan orang
segera ia berpaling dan berkata kepada Song Theng-siau: "Harap tanya, saudara pernah apa
dengan Song Sip-lun?"
"Beliau adalah ayahku almarhum!" sahut Song Theng-siau.
Tan Tek-thay bergelak tertawa, ujarnya: "Tak heran Cui-hong-kiamhoatmu sudah begitu mahir,
ternyata benar putra Song Sip-lun adanya. Jadi kau inilah Song Theng-siau yang angkat nama
sejajar dengan Beng Goan-cau dari Siau-kim-jwan?"
"Benar, jadi Tan-losiansing adalah kenalan lama ayah almarhum?" tanya Song Theng-siau.
Mendengar pembicaraan ini, diam-diam mencclos hati Ki Kian-ya, betul juga lantas didengarnya
Tan Tek-thay berkata: "Dua puluh tahun yang lalu, aku pernah berkenalan dengan ayahmu, sejak
itu lantas tidak pernah ketemu lagi, tak nyana dia sudah mendahului pulang ke alam baka, ai
sungguh sayang. Baik, hari ini kebentur kejadian ini, biar aku saja yang mewakili kau
menyelesaikan urusanmu. Jangan banyak omong lagi lekas kalian pergi saja!"
Sebagai tokoh angkatan tua yang kenamaan, sudah tentu Ki Kian-ya tidak sudi kehilangan
muka begitu saja, segera ia membentak: "Tidak boleh pergi!"
Tan Tek-thay tertawa dingin, ujarnya: "Semua urusan tidak lepas dari keadilan. Lepas dari
Memanah Burung Rajawali 20 Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Pendekar Penyebar Maut 17
^