Pencarian

Kelana Buana 13

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 13


pembi-. caraan hubungan pribadi, aku adalah pemilik dari restoran ini, kalian sama berkelahi dan
menindas kedua tamuku ini, adalah hak dan kewajibanku untuk menyelesaikan pertikaian ini.
Akulah yang suruh mereka pergi, kalau Ki-losiansing tidak terima, boleh berurusan saja dengan
aku." Meski sudah berusia lanjut, namun watak Ki Kian-ya masih berangasan dan kasar, mendengar
omongan orang seketika ia menjadi murka, serunya: "Bagus, terpaksa aku mohon belajar kenal
kepandaian Yan-kan-kay-pi Tan-loko. Cuma kedua orang ini belum boleh sekarang juga tinggal
pergi!" Tan Tek-thay melintangkan pipanya, katanya: "Asal kau mampu meringkus mereka! Tapi, kau
harus melewati rintanganku dulu!"
Dasar watak tinggi hati, Song Theng-siau pun tidak mau kalah angker, jengeknya tertawa
dingin: "Demi kawan apa halangannya pundak tertusuk pisau" Ki-losiansing, kau tidak usah kuatir,
aku orang she Song berani tampil ke muka demi sahabat masakah takut tiga golok enam lubang.
Memangnya kau suruh aku pergi pun aku tidak akan sudi melarikan diri. Tan-lopek, terima kasih
akan perlindunganmu terhadap siautit, silakan minggir biar aku saja yang menyelesaikan
persoalan ini. Kebaikan lopek, siautit terima setulus hati."
"Tidak bisa!" tukas Tan Tek-thay. "Kejadian di dalam restoranku, tidak bisa tidak aku harus ikut
campur!" Keadaan menjadi berubah, kini menjadi perdebatan antara Song Theng-siau dengan Tan Tekthay,
kedua pihak sama berebut hendak saling hantam dengan Ki Kian-ya, hal ini benar-benar
menjadi di luar dugaan Ki Kian-ya malah.
Setelah bergebrak yang saling menjajaki tadi, Ki Kian-ya sudah tahu bahwa lwekang Tan Tekthay
tidak di sebelah bawah dirinya, dalam hati ia menimbang bila bertempur satu lawan satu
dengan Tan Tek-thay mungkin masih ada harapan bisa menang, bila lawan ditambah seorang
Song Theng-siau, dirinya jelas pasti kalah.
Sudah tentu dengan kedudukan Tan Tek-thay tidak mungkin mau bergabung dengan Song
Theng-siau, namun bila dirinya turun tangan menyerang Song Theng-siau, Tan Tek-thay sudah
memberikan ancamannya, maka terpaksa dia akan mengeroyok dirinya bersama Song Theng-siau.
Meski amarah sedang bergolak dalam rongga dada Ki Kian-ya, namun menghadapi situasi yang
tidak menguntungkan ini, ia jadi bimbang dan tidak berani bertindak secara ceroboh.
Maka Miao Tiang-hong lantas keluar dari rumah makan, serunya: "Lo-siansing berdua apakah
sudi mendengar penjelasanku dulu?"
"Lo-tang-keh," seru si pelayan' ikut bicara. "Tadi waktu mereka berkelahi, tuan tamu ini sedang
minum arak, hampir saja dia kena kemplang kepalanya. Kejadian sebenarnya tuan tamu ini pun
menyaksikan dengan jelas!"
Diam-diam kaget hati Tan Tek-thay, pikirnya: "Orang ini bersikap kereng bermata tajam, jelas
adalah seorang tokoh yang ahli dalam ilmu silat. Entah pihak mana dia akan membantu?" Maka
segera ia maju menyapa, katanya: "Tuan tamu ini, entah ada petunjuk apa?"
"Menurut pendapatku yang rendah, permusuhan gampang di kat sulit dilerai, sudahi saja
persoalan ini sampai di sini!"
"Aku sih tidak suka berkelahi dan banyak urusan, cuma entah bagaimana pendapat Kilosiansing.
Kata-kata ini seharusnya kau tujukan kepada Ki-losiansing," demikian sahut Tan Tekthay.
Baru saja Ki Kian-ya sedang berpikir-pikir, teringat oleh Nyo Bok akan kerugian yang dialaminya
tadi, segera ia menyemprot gusar: "Kau ini orang apa berani turut campur urusan orang lain?"
Miao Tiang-hong tertawa besar, ujarnya: "Orang di kolong langit mengurus urusan di dalam
jagat ini, meski aku seorang Bu-bing-siau-cut (orang tidak bernama), betapapun masih bisa bicara
demi kebenaran. He, he, menurut hematku, lebih baik kalian minta damai saja."
"Kalau tidak mau damai memangnya kau mau apa?" tantang Nyo Bok.
"Jikalau setiap orang harus menuntut balas sakit hatinya, ada hutang harus dibayar, jadi aku
pun harus menuntut perhitungan kepada kau! Oh, ya, bukankah tadi kau menantang ajak aku
membuat perhitungan" Tapi aku masih mengharap lebih baik dua pihak damai saja."
Secara tidak langsung ia mau bicara, kalau Ki Kian-ya dan Nyo Bok tidak mau mendengar
nasehatnya, apa boleh buat dia pun hendak membuat perhitungan kepada Nyo Bok.
Karena ada Ki Kian-ya menjadi sandarannya, Nyo Bok jadi mentang-mentang, baru saja ia
hendak mengumbar adat, lekas Ki Kian-ya melotot kepadanya, katanya: "Biar aku yang bicara."
Sembari bicara sementara ia kerahkan tenaga dalam ke ujung kakinya.
Jalan raya di luar rumah makan ini dibangun dengan papan-papan batu keras, dengan
mengerahkan tenaga dalam, setiap kakinya berpindah maju ke depan seketika meninggalkan
sebuah jalur garis yang cukup dalam, begitulah berturut-turut ia membuat garis palang
berlawanan. Garis-garis itu seperti tatahan seorang ahli saja yang sama dalam dan besarnya.
Menginjak batu menjadi hancur adalah tidak sulit, namun membuat garis melintang di atas batu
dengan dalam dan bentuk yang sama tanpa memecahkan batu pinggirnya, membutuhkan
himpunan tenaga dalam yang amat ketat dan besar, dapat dikendalikan seenak hatinya lagi baru
bisa terlaksana dengan sempurna.
Melihat orang mendemonstrasikan lwekang yang hebat ini, diam-diam mencelos hati Tan Tekthay,
pikirnya: "Tua bangka ini kiranya memang tidak bernama kosong, lwekangnya sudah
mencapai puncak kesempurnaannya. Jikalau hanya bertanding lwekang, belum tentu aku dapat
mengalahkan dia." Miao Tiang-hong cuma berkata tawar: "Kami suka mendengar pendapat Ki-losiansing."
Sembari menggeser kaki berkata Ki Kian-ya pelan-pelan: "Permusuhan dapat di kat sukar
dilerai, ucapanmu memang betul, tapi sesuatu urusan tidak bisa disimpulkan sama seperti urusan
umum. Ada kalanya sesuatu kejadian, umpamanya memecahkan cangkir dan menggores batu
yang berbekas tajam, mungkin sulit untuk dapat menambal atau memulihkannya seperti
sediakala." Kata-katanya mengandung arti, bicara soal cangkir yang pecah tidak lebih hanyalah sebagai
alasan saja, batu yang tergores pecah justru adalah tujuannya yang utama sebagai ujian sejati.
Jadi maksudnya kecuali Miao Tiang-hong dapat menyapu menjadi halus kembali batu yang
tergores itu, kalau tidak bagaimana juga pertikaian kali ini tidak mungkin bisa dilerai.
Jelas sekali ia mengajukan persoalan rumit kepada Miao Tiang-hong. Supaya Miao Tiang-hong
bisa mundur teratur menghadapi kesulitan ini.
Ternyata Ki Kian-ya pun seorang ahli pula dalam bidangnya, bahwa Tan Tek-thay bisa melihat
Miao Tiang-hong adalah seorang tokoh liehay, sudah tentu ia pun sudah tahu sejak tadi. Cuma dia
belum menjajal sampai di mana tingkat kepandaian Miao Tiang-hong yang sejati, maka dia
mengeluarkan persoalan ini untuk menjajalnya.
Acuh tak acuh Miao Tiang-hong menggerakkan kakinya melangkah ke depan, ia berjalan
melalui batu yang tergores itu, katanya: "Dalam kolong langit ini, kecuali permusuhan besar
membunuh ayah ibunda, segala pertikaian apapun sebenarnya bisa diselesaikan dengan damai."
Di mana kakinya bergerak, kedua garis yang melintang itu kena dihapusnya hilang tanpa bekas,
bukan saja menghapus halus kedua goresan itu, malah seluruh permukaan batu itu seperti
dipapas rata lapisan bagian atasnya.
Kepandaian macam ini, bila dikata tidak lebih unggul dari kemampuan Su-hay-sin-liong Ki Kianya,
paling tidak boleh dinilai seimbang atau setaraf.
Diam-diam mencelos hati Ki Kian-ya, batinnya: "Betul-betul gelombang sungai Tiangkang
terjang menerjang dari belakang ke depan, patah tumbuh hilang berganti, tunas-tunas muda
tumbuh pesat dan melampaui yang lebih tua. Tak nyana, dalam angkatan muda ternyata telah
muncul tokoh liehay sedemikian banyaknya."
Bila bertanding satu lawan satu dengan Tan Tek-thay saja belum tentu dia bisa menang, jikalau
tidak mau dilerai oleh Miao Tiang-hong, pasti orang akan membuat perhitungan pula kepada Nyo
Bok, maka kekalahan jelas bakal berada di pihak mereka. Apalagi pihak sana masih ada Song
Theng-siau dan Lu Su-bi. Walau watak Ki Kian-ya tinggi hati dan gengsi terlalu tinggi, di dalam keadaan dan situasi yang
tidak menguntungkan ini, apa boleh buat dia harus mandah menerima penyelesaian damai.
Setelah mendemonstrasikan kepandaiannya, sikap Miao Tiang-hong masih merendah diri,
katanya sopan santun: "Entah bagaimana pendapat Ki-losiansing mengenai usulku tadi?"
"Tuan ini siapakah namamu yang besar?"
"Aku yang rendah Miao Tiang-hong dari Honglai!" Karesidenan Hong-lai di Soatang adalah
tempat kelahirannya. Terperanjat Ki Kian-ya, pikirnya: "Tak heran Tan Thian-ih suka memuji dia, kiranya dia adanya."
Meski sudah tahu sengaja ia bertanya: "Tan Tayhiap dari Kanglam apakah sahabatmu?"
"Tan Tayhiap sudi berkenalan dengan aku yang muda, belum setimpal aku menjadi
sahabatnya." Ki Kian-ya terbahak-bahak, ujarnya: "Baik. Kupandang muka dua Tan-toako, urusan hari ini
boleh dianggap selesai sampai di sini saja. Selamat bertemu di kesempatan lain." Dia
menyinggung Tan Thian-ih lebih dulu, lalu menyebut dua Tan-toako segala. Meski dalam dua Tantoako
ini termasuk Tan Tek-thay, jelas dalam persoalan ini dia membedakan tinggi dan rendahnya
gengsi kedua orang ini. Dan yang terpenting dia hanya mengatakan 'urusan hari ini boleh
dianggap selesai sampai di sini', tanpa menyinggung persoalannya dengan Song Theng-siau,
sudah tentu maksudnya hanya sementara tidak menarik panjang urusan, lain kali bila ketemu akan
membuat perhitungan pula.
Tan Tek-thay tahu kata-kata orang hanya untuk menutupi rasa malunya saja, diam-diam
hatinya amat geli. Tapi Tan Tek-thay sendiri juga mengharap urusan tidak berbuntut panjang,
maka ia pun tidak mempersulit orang lagi. Segera katanya: "Aku belum lagi menjadi tuan rumah,
silakan Ki-losiansing mampir dulu dan minum barang satu dua cangkir arak."
Ki Kian-ya menyahut dingin: "Terima kasih, tidak perlulah!" Begitu berpaling ia kebutkan lengan
bajunya terus tinggal pergi. Lekas Nyo Bok memburu di belakangnya.
Tak tertahan Lu Su-bi tertawa cekikikan, ujarnya: "Tua bangka ini masih pemarah juga,
sungguh menggelikan. Jelas bahwa dirinya bukan tandingan, masih pura-pura memandang muka
Tan Tayhiap segala. Apa sih hubungannya urusan ini dengan Tan Thian-ih?"
Tan Tek-thay pun tertawa, katanya: "Ternyata Miao Tayhiap, aku orang tua sudah lama kagum
akan ketenaranmu. Untunglah Miao Tayhiap sudi mendemonstrasikan kepandaian yang tiada
taranya ini, kalau tidak mungkin sulit menggertak lari Su-hay-sin-liong si tua bangka itu."
"Tan-locianpwe menempel lapisan emas saja di mukaku, mana aku berani terima pujian
semuluk itu," demikian Miao Tiang-hong merendah.
Karena sudah lama menetap di Siau-kim-jwan yang belukar dan di perbatasan nan jauh, Song
Theng-siau tidak tahu akan kebesaran nama Miao Tiang-hong, namun melihat Tan Tek-thay begitu
memuji dan mengindahkannya, mau tidak mau ia menaruh pandangan lain pula. Akan tetapi
karena tadi dalam rumah makan Miao Tiang-hong ada membantu Toan Siu-si, mau tidak mau
timbul juga rasa kurang senangnya.
Berkata Tan Tek-thay tertawa lebar: "Kejadian memang amat kebetulan, bukan saja hari ini
bertemu dengan putra almarhum sahabat karibku, mendapat kunjungan Miao-heng lagi, mari
silakan kalian minum bersama didalam."
Mendadak Song Theng-siau berkata tawar: "Miao-siansing, kepandaian yang kau pertunjukkan
di dalam rumah makan tadi, betul-betul membuat aku takluk!"
Tan Tek-thay tidak tahu duduknya perkara, segera ia menyela bicara: "Miao Tayhiap, tadi kau
mendemonstrasikan kepandaian apa, sayang aku tidak bisa menyaksikan."
"Tiada apa-apa," sahut Miao Tiang-hong. "Tadi orang she Nyo itu hampir saja menyerang aku,
maka kupermainkan dia dengan menyiram arak ke mukanya."
Tan Tek-thay tertawa terbahak-bahak, serunya: "Orang she Nyo itu memang jahat, Miao-heng,
permainanmu memang cukup setimpal buat dia."
Dasar cerewet segera Lu Su-bi menimbrung: "Miao-siansing, tak nyana Tiam-jong-siang-sat
kiranya juga kenalanmu."
"Sebagai kelana buana, tidak sedikit aku berkenalan dengan orang-orang berbagai golongan
atau aliran. Tapi Tiam-jong-siang-sat bukanlah temanku. Tapi jikalau ada kesempatan memang
ingin aku belajar kenal dan mengikat persahabatan padanya."
"Benar,"timbrung Tan Tek-thay, "kabarnya Tiam-jong-siang-sat tokoh aneh yang bukan lurus
tapi juga tidak sesat, meski sepak terjangnya tidak lurus, namun tidak punya kejahatan yang
keluar batas. Terutama Ling-bin-suseng Toan Siu-si, kepandaian silat dan sastranya sama
jempolan, memang seorang tokoh yang patut diajak bersahabat, kenapa kalian menyinggung dia?"
Pertama karena persoalan itu ada menyangkut pribadi Beng Goan-cau, Song Theng-siau tidak
enak menjelaskan kepada Tan Tek-thay, kedua, mendengar ucapan Tan Tek-thay agaknya
mengagumi dan memuji Toan Siu-si malah, maka Song Theng-siau lebih tidak enak menjelaskan.
Secara diam-diam ia memberi lirikan mata kepada Lu Su-bi, supaya orang tidak banyak bicara, lalu
dengan samar-samar saja ia menyahut: "Tidak apa-apa, cuma Ling-bin-su-seng Toan Siu-si yang
lopek katakan tadi kebetulan berada di sini, maka secara sambil lalu aku menanyakannya saja."
"O, dia tadi kemari, sayang aku datang terlambat. Mungkin dia sudah pergi jauh," demikian ujar
Tan Tek-thay menghela napas.
"Belum lagi dia sempat duduk minum arak, Ki-lothau itu sudah menerjang masuk dan hendak
melabraknya," demikian si pelayan memberi penjelasan. "Untunglah Miao-siansing secara diamdiam
membantu dia, baru bisa lolos dan melarikan diri." Sengaja ia tidak menyinggung
pertengkaran Song Theng-siau dengan Toan Siu-si.
"O, kiranya begitu," ujar Tan Tek-thay. "Sepak terjang Ling-bin-su-seng ini memang rada aneh,
tidaklah perlu diherankan kalau dia berbuat suatu kesalahan terhadap Su-hay-sin-Iiong. Hahaha,
kalau begitu, meski kalian tidak berkenalan sebelumnya, ternyata satu haluan dan sama dendam
terhadap musuh!" Karena kata-kata Tan Tek-thay ini, lebih tidak enak Song Theng-siau menyinggung hal itu.
Maka dengan rada kikuk ia mengiakan seadanya: "Ya, aku pun mengharap ada kesempatan lain
bisa bertemu pula dengan dia!"
Miao Tiang-hong tersenyum, katanya: "Song-heng dan nona Lu, seorang teman kalian justru
sudah kukenal baik."
Song Theng-siau melengak, tanyanya: "Siapa?"
"Hun Ci-lo!" sahut Miao Tiang-hong.
Lu Su-bi berjingkrak kegirangan, serunya: "Ternyata kau tadi mendengar percakapan kami.
Memang kami sedang berusaha mencari Hun-cici, di mana dia, apa kau tahu?"
"Dia menetap di rumah Siau-hujin, bibinya!"
"Dia punya seorang bibi, aku kok belum tahu," demikian ujar Song Theng-siau heran. "Di mana
dia menetap?" "Di Tong-thing-san barat dalam wilayah Thay-ouw," Miao Tiang-hong menjelaskan, "tapi
apakah mereka sekarang masih di sana, aku belum tahu juga."
"Kenapa sih?" tanya Lu Su-bi.
"Kalau dibicarakan amat panjang..."
"Nah, kalau pembicaraan cukup panjang, marilah masuk ke dalam minum arak sambil bicara,"
demikian ajak Tan Tek-thay.
Sementara itu si pelayan sudah membersihkan ruangan restoran yang kocar-kacir tadi, sebuah
meja perjamuan segera dipersiapkan. Maka mulailah Miao Tiang-hong menutur cara bagaimana ia
bisa berkenalan dengan Hun Ci-lo, serta pengalaman Hun Ci-lo di Tong-thing-san tempo hari,
kepada Song Theng-siau. "Kabar ini kita harus secepatnya memberitahukan kepada Beng-toako," demikian Lu Su-bi
menye-letuk. Lalu sambungnya pula: "Miao-siansing, kau membantu kesulitan Hun-cici, sungguh
kami amat berterima kasih kepada kau. Kalau Beng-toako tahu, betapa dia akan berterima kasih
pula kepada kau!" Kata Miao Tiang-hong: "Beng-toako yang kau maksudkan apakah Beng Goan-cau Beng
Tayhiap" Dia dan Hun-lihiap..."
"Hun-cici, Beng-toako dan dia, Song-suko, adalah teman bermain sejak kecil yang tumbuh
dewasa bersama," Lu Su-bi menerangkan.
"O, kiranya begitu," ujar Miao Tiang-hong.
"Miao-siansing," mendadak Song Theng-siau berkata dingin. "Agaknya kau amat
memperhatikan Hun Ci-lo."
Sebetulnya Miao Tiang-hong hendak mencari tahu hubungan Hun Ci-lo dengan Beng Goan-cau
dari mulut usil Lu Su-bi. Sungguh tidak enak rasanya mendengar kata-kata Song Theng-siau,
maka ia jadi batal bertanya lebih lanjut. Dengan tertawa getir ia berkata: "Aku ini memang suka
turut campur urusan orang lain."
"Cocok dengan aku," Tan Tek-thay menyela bicara. "O, ya, bicara mengenai Beng Goan-cau,
aku jadi ingin memberi tahu suatu kejadian kepada kalian. Peristiwa ini sungguh amat
menggelikan!" Lu Su-bi melenggong, katanya: "Peristiwa menggelikan apa yang menyangkut diri Beng-toako
sampai menjadi bahan tertawaan orang banyak?"
"Yang melakukan perbuatan menggelikan ini bukanlah Beng Goan-cau, namun dia terseret saja
di dalam peristiwa lucu itu," demikian Tan Tek-thay berkata.
"Siapakah orang itu?" tanya Lu Su-bi tidak sabar.
Tan Tek-thay menenggak araknya dulu, katanya: "Song-siheng, jadi kalian hendak menyusul ke
Thay-san. Benar tidak?"
"Benar. Tapi mungkin sudah terlambat untuk menghadiri pertemuan besar itu."
"Memang upacara besar berdirinya Hu-siang-pay sudah berakhir, namun masih banyak tamutamu
undangan yang belum lagi bubar," demikian tutur Tan Tek-thay, lalu melanjutkan: "Kejadian
itu, terjadi dalam pertemuan besar itu. Yang melakukan kejadian lucu dan menggelikan adalah
Nyo Bok. Aku mendengar dari seorang sahabat yang hadir dalam pertemuan di Thay-san itu,
kemarin kebetulan ia mampir ke warungku ini dan memberitahukan kejadian lucu itu.
"Dengan Ki Kian-ya sebagai tulang punggungnya Nyo Bok mentang-mentang menuduh Beng
Goan-cau berlaku serong dan membawa lari istrinya, akhirnya duduk perkaranya dibikin terang,
baru diketahui bahwa Hun Ci-lo kini sedang berada di Tong-thing-san sebelah barat, hakikatnya
tidak atau belum pernah berjumpa dengan Beng Goan-cau."
"Keburukan rumah tangga pantang menjadi buah bibir khalayak ramai, ujar-ujar ini sudah sejak
jaman kuno dimengarti oleh golongan kita. Apalagi di hadapan sekian banyak enghiong yang hadir
dalam pembukaan berdirinya suatu partai" Dan lagi kejadian cuma main tuduh dan meraba-raba
saja seperti menubruk bayangan! Masakah di dunia ini ada laki-laki yang begitu besar rasa
curiganya sampai-sampai gengsi dan nama baik tidak dihiraukan sama sekali. Coba kalian katakan,
lucu tidak?" Memang lucu dan menggelikan, tapi Song Theng-siau tidak bisa tertawa. Kalau Tan Tek-thay
menggunakan istilah menubruk angin menangkap bayangan dalam peristiwa ini adalah dia justru
tahu seluk beluk kejadian ini sebenarnya. Bahwa kejadian ini sudah terjadi, sungguh ia ikut
bersedih bagi pengalaman Beng Goan-cau.
Kalau Song Theng-siau hanya sedih dan rawan, adalah berbagai perasaan sedang sama
bergelora dalam rongga dada Miao Tiang-hong.
Memangnya Song Theng-siau sudah merasa sirik terhadapnya, maka ia tinggal bicara panjang
lebar dengan Tan Tek-thay tanpa menghiraukan kehadiran orang. Miao Tiang-hong pun diam saja,
secangkir demi secangkir ia menenggak habis beberapa cangkir arak, lambat laun ia sudah mulai
rada sinting. Arak bergoyang di dalam cangkir, maka bayangan Hun Ci-lo pun bergoyang-goyang
di dalam arak. Pertemuan pertama kali di permukaan danau, berlatih pedang di dalam hutan kembang Bwe


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan bicara dari hati ke hati di bawah rumpun bunga. Berbagai kejadian mengenai Hun Ci-lo
kembali terbayang dalam benaknya.
Tan Tek-thay adalah seorang kawakan kangouw yang sudah kenyang makan asam garam,
melihat sikap Miao Tiang-hong, diam-diam merasa sesuatu firasat yang tidak enak, segera ia
angkat cangkir dan berkata: "Miao-heng, kebetulan hari ini bisa jumpa, mari kusuguh kau
secangkir arak. Setelah minum arak, aku masih ada sebuah persoalan mohon penjelasanmu."
Sekali tenggak Miao Tiang-hong habiskan secangkir arak itu, katanya: "Tan-lo-siansing ada
petunjuk apa" Silakan katakan saja!"
"Sejak lama kudengar Miao-heng seorang cendekia serba pandai. Konon kabarnya, Miao-heng
belum menikah, apa benar?"
Miao Tiang-hong melengak, sesaat ia jadi bingung dan tidak paham juntrungan pertanyaan
orang, belum lagi ia bicara, Tan Tek-thay sudah menambahkan: "Sebagai pendekar kelana demi
kesejahteraan umat manusia umumnya, ada kalanya diri pribadi sampai melupakan masa depan
dan masa rema-ja. Karena berbagai kesibukan perjuangan sampai Miao-heng tidak sempat
memikirkan berumah tangga. Tapi jikalau bisa mendapatkan seorang pujaan hati yang mencocoki
hati, dapat hidup sampai di hari tua, sungguh merupakan kejadian bahagia yang menyenangkan."
Miao Tiang-hong tertawa, ujarnya: "Seorang laki-laki kelewat umur empat puluh belum
menikah, lebih baik tidak kawin. Apalagi pujaan hati yang cocok segala, masakah begitu gampang
bisa dicari?" "Ah, itukan teori lapuk jaman kuno, kenapa kau jadikan pedoman hidupmu!"
"Tan-locianpwe!" tiba-tiba Lu Su-bi menyela bicara, "Kau membujuk Miao-siansing menikah,
apakah kau bersedia menjadi comblang?"
Adalah Song Theng-siau segera menyeletuk dingin: "Kukira dalam relung hati Miao-siansing
sejak lama sudah terisi bayangan seseorang."
Miao Tiang-hong sudah terpengaruh oleh air kata-kata yang terlalu banyak ia tenggak, maka
pikirannya rada kabur, seolah-olah ia seperti tidak mendengar percakapan mereka. Memang
pikirannya sedang tenggelam menyelusuri jejak bayangan Hun Ci-lo.
Melihat orang seperti sedang memikirkan apa-apa, berkata Tan Tek-thay tertawa: "Miao-heng,
apakah kau sedang mengenang pujaan hatimu itu?"
Mendadak didengarnya derap langkah orang mendatangi, di ambang pintu masuklah seorang
tamu perempuan. Si pelayan segera maju menyambut, katanya tertawa manis: "Restoran kami sedang diadakan
perbaikan, hari ini tidak buka. Harap nyonya muda suka maafkan." Si pelayan ini sebenarnya
adalah murid Tan Tek-thay, dia tahu bahwa gurunya tentu tidak suka diganggu oleh kedatangan
tamu-tamu lain. maka tanpa diberitahu, ia sudah menampik kedatangan tamu-tamu lainnya.
Semula ia pikir harus banyak putar lidah untuk memberi penjelasan, karena saat mana Tan
Tek-thay dan Miao Tiang-hong beramai sedang makan minum di dalam, adalah lumrah bila tamu
perempuan ini tidak terima dan mengajukan pertanyaan. Di luar dugaan, tamu perempuan ini
sekilas seperti kena ilmu sihir mendadak mematung, baru saja kakinya sebelah menginjak ambang
pintu, tiba-tiba berdiri menjublek tidak bergerak.
Tamu perempuan ini mengenakan pakaian berkabung warna hitam dengan ikat sanggul kain
blaco, air mukanya tidak menunjukkan sesuatu mimik perubahan. Berdiri di ambang pintu, seakanakan
sebuah patung kayu belaka.
Keruan si pelayan menjadi kaget, tanyanya segera: "Nyonya ini, kenapakah kau?"
Belum lenyap kata-katanya, tamu perempuan itu mendadak putar tubuh terus tinggal pergi
dengan langkah tergesa-gesa. Sejak mula sampai terakhir sepatah pun ia tidak bicara atau
mengeluarkan suara. Keruan si pelayan menjadi kebingungan, setelah mendengus ia menggerundel sambil tertawa
geli: "Tamu perempuan ini kalau tidak sinting tentulah seorang bisu!"
Sebagai ahli silat, dari langkah tamu perempuan yang ringan dan gesit itu, diam-diam timbul
rasa curiga Tan Tek-thay. Baru saja ia hendak bertanya siapa di antara hadirin yang kenal
perempuan itu, mendadak Miao Tiang-hong bergegas bangun, katanya: "Aku punya urusan
penting. Maaf aku tidak bisa mengiring minum arak lebih lanjut. Kelak dalam kesempatan lain
biarlah aku mampir kemari lagi" Tanpa menunggu jawaban tersipu-sipu ia memburu keluar dan
menghilang di ujung jalan raya.
"Eh, apakah yang terjadi?" tanya Lu Su-bi kebingungan.
"Sungguh tidak punya aturan," jengek Song Theng-siau tertawa dingin. "Kulihat mungkin dia
kepincut pada janda muda tadi itu."
"Song-suko," tukas Lu Su-bi, "Tidak kuijinkan kau bicara ngelantur tidak keruan!"
Merah muka Song Theng-siau, angkat cangkir ia menenggak araknya untuk menutupi sikap
kikuknya, katanya: "Lebih baik dia pergi, marilah kita minum sendiri!"
Sementara dalam hati Tan Tek-thay sedang membatin: "Pasti dia kenal dengan tamu
perempuan itu." Sebagai angkatan tua sudah tentu ia segan membicarakan persoalan pribadi
seseorang, maka ia pun angkat cangkirnya, katanya tersenyum: "Betul! Marilah kita habiskan poci
arak ini!" Lu Su-bi juga sudah angkat cangkirnya, namun ia tidak segera meminumnya, agaknya ia
sedang memikirkan sesuatu, sesaat kemudian mendadak ia berkata: "Song-suko, perempuan tadi
agaknya pemah kulihat entah di mana?"
Tadi Song Theng-siau tidak begitu memperhatikan, setelah Lu Su-bi menyinggung hal ini,
setelah ia bayangkan pula, serta merta ia berseru heran, katanya: "Tidak salah, memang seperti seorang
yang kukenal, siapakah dia" Tidak benar, tidak benar."
Tan Tek-thay melenggong, tanyanya: "Apanya yang tidak benar?"
"Song-suko, kau sangka Hun Ci-lo adanya?" tanya Lu Su-bi.
Song Theng-siau manggut-manggut, lalu menggeleng pula, katanya: "Memang rada mirip. Tapi
seumpama Hun Ci-lo berubah menjadi abu pun bisa kukenali, kenapa bisa berubah menjadi manusia
lain?" Di luar tahunya bahwa tamu perempuan tadi memang Hun Ci-lo adanya.
Ternyata Hun Ci-Jo mengenakan kedok muka pemberian Miao Tiang-hong itu, maka hanya Miao Tiang-
hong seorang saja yang tahu akan dirinya, Song Theng-siau sendiri pun menjadi pangling dan ragu-ragu
akan penglihatannya. "Theng-siau masih mirip dengan keadaan dulu, adalah aku sudah berada di persimpangan
jalan, dan mengalami pahit getir kehidupan. Ai, impian lama sudah berselimut debu, hatiku
laksana aliran air sungai menuju ke lautan timur takkan kembali lagi. Di pesisir danau, tamasya di
alam pegunungan, kenangan kami bertiga pada masa remaja dulu, selama hidup ini mungkin tidak
bisa kuresapi pula."
Persahabatan kental tidak bisa terlupakan, kenangan lama justru hanya bisa dirasakan dalam
relung hati. Karena tidak ingin jejaknya diketahui oleh Beng Goan-cau, maka Song Theng-siau pun
Hun Ci-lo tidak mau menemuinya.
"Seperti anak seriti yang meninggalkan sarang, terbang menuju ke arahnya sendiri-sendiri.
Yang harus dibuat senang bahwa mereka masing-masing sudah menemui tambatan hati. Goancau
berwatak teguh dan pendiam, sederhana dan polos, berjodoh dengan Lim-ciang-bun itu tentu
mereka bisa mendirikan sebuah hikayat besar di dalam lembaran sejarah persilatan. Theng-siau
serba romantis dan perlente, sifatnya bebas tidak suka terkekang, mendapat jodoh nona Lu yang
lincah dan periang itu, agaknya memang lebih setimpal," begitulah Hun Ci-lo berdoa dalam hati.
Lebih lanjut terbayang juga olehnya akan Miao Tiang-hong. "Semula kuharap dia bisa menjadi
sahabat Goan-cau, tak nyana kini sudah berkenalan dengan Theng-siau. Mungkin Miao Tiang-hong
bakal tahu siapa aku adanya, apakah dia akan memberitahu kepada Theng-siau?"
Belum lagi pikirannya kabur dari benaknya, mendadak didengarnya seseorang berseru
memanggil dirinya: "Cilo! Ci-lo!" Yang datang ternyata Miao Tiang-hong.
Hati Hun Ci-lo sedang gundah dan risau, ia berjalan sambil menunduk kepala. Miao Tiang-hong
menyusul tiba dan berjalan di sampingnya, katanya tertawa: "Ci-lo, apa kau pun hendak
menghindari aku" Kau ada ganjalan hati apa, bolehkah bagikan di antaranya supaya ikut
kuresapi!!" Meski hanya beberapa patah kata saja, namun mengandung arti yang amat mendalam, betapa
besar perhatian serta betapa mendalam perasaan hatinya" Begitu pandangan mereka bentrok,
seolah-olah ada sejalur hawa hangat yang mengalir menyusup ke seluruh badannya, terasakan
oleh Hun Ci-lo kehangatan dari ikatan suatu persahabatan yang kokoh mendalam.
"Betapapun aku tidak bisa mengelabui matamu," akhirnya Hun Ci-lo bersuara dengan tertawa
getir. "Mana Theng-siau" Seorang diri kau mengejarku kemari, masakah mereka tidak curiga?"
"Begitu melihat kami tanpa bersuara kau lantas angkat langkah. Kukira pastilah kau tidak mau
Song Theng-siau mengenali dirimu bukan" Maka aku pun tidak rriem-beritahu kepada mereka,"
demikian Miao Tiang-hong menjelaskan sembari tertawa. "Mengenai apakah mereka curiga, aku
sih tidak peduli lagi."
Hun Ci-lo menarik napas panjang, katanya: "Sepantasnya aku bertemu dengan Song Thengsiau,
waktu kecil kami adalah sahabat karib yang sering bermain bersama..."
"Aku tahu!" tukas Miao Tiang-hong. "Theng-siau sudah memberitahu kepada aku."
"Tapi setelah kupikir-pikir, ada lebih baik aku tidak menemui dia saja!" demikian sambung Hun
Ci-lo sambil menunduk. "Ci-lo, cara bagaimana kau bisa tiba di sini?"
Mendadak merah muka Hun Ci-lo, agaknya hendak bicara apa, cuma sulit dikatakan, entah dia
mendengar tidak pertanyaan Miao Tiang-hong, sorot matanya menampilkan kekosongan hati dan
segan menjawab, matanya mendelong mengawasi Miao Tiang-hong.
"Ci-lo, apa yang ingin kau utarakan, katakan saja!"
Hun Ci-lo kertak gigi, akhirnya ia berkeputusan, katanya: "Persoalanku lambat laun pasti akan
kuberi tahu kepada kau. Sekarang kutanya kau lebih dulu, apakah kau sudah ketemu dengannya?"
Melihat sikap kecewa dan sorot matanya yang merah itu, semula Miao Tiang-hong melengak,
akhirnya ia menjadi paham, tanyanya: "Maksudmu suamimu?"
Hun Ci-lo menggigit bibir, katanya dengan suara sember: "Yang kutanyakan memang Nyo Bok!
Dia sudah anggap aku bukan istrinya lagi, aku pun tidak akan menganggapnya sebagai suamiku!"-
Kata-kata 'suamimu' kedengarannya rada menusuk perasaan, kekesalan hati yang selama ini
mengganjal di dalam lubuk hati Hun Ci-lo seolah-olah didampar air bah dan hanyut tanpa bekas.
Miao Tiang-hong terkejut, tanyanya: "Ci-lo, apakah yang telah terjadi" Kalian..."
"Hatiku sekarang sedanjg kalut, kau jangan tanya dulu kepadaku. Jawablah dulu pertanyaanku.
Aku ingin tahu apakah Nyo Bok dan Song Theng-siau sudah bersua, apa pula yang terjadi di
antara mereka?" Ternyata waktu Hun Ci-lo memasuki kota kecil ini, tepat pada saat Nyo Bok dan Ki Kian-ya lari
keluar. Untung Hun Ci-lo mengenakan kedok muka dan lekas-lekas sembunyi di pinggir jalan, Nyo
Bok sendiri sedang melarikan diri dengan tergesa-gesa, agaknya tidak menaruh perhatian
kepadanya. "Cobalah kau tenangkan hatimu, biar perlahan-lahan kuberitahu kepada kau!" demikian ujar
Miao Tiang-hong. Begitulah mereka berjalan berjajar berendeng cukup jauh, perasaan Hun Ci-lo
pun sudah tidak bergejolak seperti tadi, barulah dengan ringkas jelas Miao Tiang-hong
menjelaskan apa yang terjadi di dalam rumah makan tadi.
Sesaat kemudian Hun Ci-lo menghela napas, katanya: "Dia menghina dan mencemooh aku sih
tidak menjadi soal, berani pula dia menista sahabatku, malah membual melempar kabar bohong di
luaran, menonjolkan lagi Su-hay-sin-liong untuk mempersulit temanku lagi. Coba kau katakan,
mana bisa kami rujuk kembali menjadi suami istri?"
"Perpisahan suami istri memang suatu hal yang menyedihkan, tapi persoalan tidak bisa dipukul
sama rata. Seperti badan tumbuh sebuah bisul rasa sakit luar biasa, tapi kalau dipotong mungkin
jauh lebih mending. Ci-lo, kau pun tidak perlu terlalu bersedih. Bolehkah kau tuturkan
persoalanmu kepadaku?"
Hun Ci-lo menghapus air matanya, katanya: "Aku tahu masih banyak pertanyaan yang
mengganjal dalam lubuk hatimu. Baiklah, kau ingin tahu, biarlah kuberitahu!"
Sambil menahan kepiluan hati, Hun Ci-lo menceritakan kejadian masa lalu sejak masih kecil
sampai kejadian yang terakhir kepada Miao Tiang-hong sejelasnya. Ada di antara persoalan yang
dulu ditanyakan oleh ibunya ia segan menjelaskan, sekarang ia beber secara terbuka di hadapan
Miao Tiang-hong. Maklumlah setelah mengalami kejadian yang menusuk perasaan dan memukul
hatinya, betul-betul dia memerlukan seorang teman yang bisa betul-betul memahami keadaannya,
tahu akan kesulitan dan perasaannya supaya ia bisa melampiaskan bayangan gelap yang selalu
membelenggu sanubarinya. Kira-kira setengah jam lebih barulah Hun Ci-lo selesai menceritakan duduk perkara sebenarnya.
Setelah bicara mendadak ia merasa heran sendiri, Miao Tiang-hong tidak lebih adalah sahabat
yang baru saja dikenalnya, kenapa tanpa tedeng aling-aling ia sudi membuka rahasia pribadinya di
hadapan orang" Kalau dikatakan memang aneh, setelah ia melimpahkan ganjalan hatinya kepada
Miao Tiang-hong, meski air matanya masih merembes keluar, perasaan hati menjadi jauh lebih
lapang, tenang dan nyaman.
Berkata Miao Tiang-hong pelan-pelan: "Ada sebuah perkataan baik berbunyi, berbagai kejadian
masa lalu seumpama sudah terbenam kemarin sore. Yang sudah lalu, biarlah lewat dan tidak perlu
dipikirkan." "Tapi, tapi, ai!"
Miao Tiang-hong rada salah paham akan maksud kata-katanya ini, katanya gemetar:
"Hubungan suami istri memang sulit dalam waktu singkat diputuskan demikian saja, tapi..."
Belum habis kata-katanya, air mata Hun Ci-lo sudah tidak tertahan lagi bercucuran deras,
katanya sesenggukan: "Ada hubungan suami istri apa lagi antara aku dengan Nyo Bok! Kau tidak
tahu, ai, kau tidak akan mengerti! Aku, aku... aku sudah punya... suami istri boleh putuskan
hubungan, hubungan ibu beranak betapapun sulit diputuskan. Kau, apakah kau mengerti?"
Miao Tiang-hong tersentak sadar, katanya: "Kau sedang mengandung anak Nyo Bok, hal ini
sudah kuketahui. Kau tidak perlu kuatir kelak anakmu ini bakal menjadi piatu, kalau sudi dan tidak
merasa direndahkan, aku, aku..."
Betapapun Miao Tiang-hong seorang yang sudah menanjak umur empat puluhan, di saat
menghadapi perjodohan, sikapnya jauh lebih kikuk dan malu-malu dari anak muda umumnya,
sesaat ia jadi kehilangan kontrol untuk mengucapkan kata-kata manis. Terhadap Hun Ci-lo
memang sejak lama ia sudah menaruh cinta, mimpi juga ia tidak pernah membayangkan kejadian
akan berlangsung begitu cepat untuk melamarnya secara berhadapan.
Hati Hun Ci-lo berdebar seperti tambur ditabuh bertalu-talu, sementara mukanya menjadi
panas, untung ia mengenakan kedok muka, bagaimana mimik wajahnya Miao Tiang-hong jadi
tidak melihat. Kejadian berlangsung teramat mendadak, dalam waktu singkat Hun Ci-lo sendiri merasa
bingung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Tapi setelah dia menenangkan hati, akhirnya
mendapat suatu keputusan, ia pura-pura tidak paham akan ucapan Miao Tiang-hong, katanya:
"Miao-toako, terima kasih akan perhatianmu, anak ini memang kelak aku hendak minta
bantuanmu untuk mengasuh dan merawatnya, kalau kau tidak merasa direndahkan, aku ingin
angkat saudara dengan kau. Bicara terus terang, aku tidak punya saudara tua atau muda, di
dalam hatiku, sejak lama sudah kuanggap kau sebagai abangku."
Keruan Miao Tiang-hong melenggong, sungguh tidak nyana akan jawaban orang, sama-sama
menggunakan istilah "kalau tidak direndahkan", namun maknanya justru jauh berlainan.
Hun Ci-lo menahan hati, katanya tersenyum dibuat-buat: "Miao-toako, kenapa kau tidak bicara"
Apakah kau anggap aku tidak setimpal menjadi adik perempuan angkatmu?"
"Tidak, tidak," ujar Miao Tiang-hong tersipu-sipu sambil tertawa getir. "Punya seorang adik
seperti kau ini betul-betul kuharapkan pun sukar didapat."
"Baik, kita anggap tanah ini sebagai dupa, bersumpah terhadap bumi dan langit."
Setelah upacara sederhana pengangkatan persaudaraan selesai, lekas Hun Ci-lo bertanya:
"Miao-toako, kau hendak ke mana?"
"Aku sudah biasa berkelana ke mana saja, sekarang tidak punya tujuan tertentu. Kau hendak
ke mana?" "Aku hendak pulang kampung halaman menengok bibi."
"Bagaimana kalau kuantar kau pulang?"
Sejenak Hun Ci-lo tercengang, katanya: "Ini, kukira kurang leluasa" Obrolan orang paling
menakutkan..." Kembali sikap jantan dan bebas Miao Tiang-hong, ia tertawa terbahak-bahak, katanya: "Ci-lo,
kau adalah pahlawan srikandi, masalah kau pun punya pikiran dan kekua-tiran begitu. Kita
sekarang sudah menjadi saudara angkat, kenapa harus takut menghadapi obrolan orang lain" Asal
kau percaya bahwa aku laki-laki sejati yang jujur, setia dan terang-terangan, omongan orang
kenapa dipedulikan?"
Tengah Hun Ci-lo bimbang dan belum mengambil keputusan, mendadak didengarnya derap
langkah orang berlari mendatangi. Disusul suara percakapan pun kumandang ke dalam telinga
mereka. Kedua orang yang itu terang adalah Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya dan Nyo Bok, suaminya!
Terdengar Ki Kian-ya sedang berkata: "Nyo Bok, kukira hanyalah rasa curigamu saja, bukankah
istrimu berada di Tong-thing-san, mana bisa mendadak'berada di daerah ini?"
Kata Nyo Bok: "Kau orang tua mungkin tadi tidak melihat jelas, perempuan itu memang betul
mirip sekali dengan Hun Ci-lo."
"Mungkin kau sudah gila memikirkan binimu" Perempuan yang kau maksudkan tadi jelas adalah
perempuan desa, dalam hal apa dia mirip Hun Ci-lo" Bagaimanapun Hun Ci-lo tidak akan bisa
berubah menjadi begitu rupa."
"Wajah mereka memang berlainan, tapi kami sudah menjadi suami istri delapan tahun, gayanya
berjalan serta gerak-gerik yang biasa dia lakukan masa bisa mengelabui mataku. Begitu melihat
dia, lantas aku merasa seolah-olah pernah kenal, bagaimana aku tidak akan curiga?"
Untunglah jarak mereka masih terpaut sebuah selat, jejak Hun Ci-lo dan Miao Tiang-hong
masih belum mereka ketemukan.
Diam-diam Hun Ci-lo mengeluh dalam hati: "Kukira dia tidak ambil perhatian, ternyata dia pun
mengamati sedemikian cermatnya, sejak mula sudah merasa curiga padaku."
Miao Tiang-hong menggenggam tangannya, katanya berbisik: "Jangan gugup, sekarang kau
masih segan bertengkar dengan mereka bukan?"
Hun Ci-lo sedang kebingungan tak punya pegangan lagi, ia hanya manggut-manggut saja.
"Bagus, marilah kita sembunyi sementara waktu, untunglah kalau tidak kepergok, biar aku
sendiri yang menghadapi mereka."
Mereka sedang menyelusuri sebuah jalan pegunungan, kebetulan mereka bisa sembunyi ke
dalam hutan. Sementara Ki Kian-ya pun sudah melewati selat dan tiba di mana tadi mereka bicara.
Agaknya Ki Kian-ya sudah tidak sabar lagi, katanya: "Untuk keluar dari kota kecil itu hanya
terdapat dua jalan. Jalan ke timur itu kita sudah mengejar sepuluhan li tanpa menemukan jejak
mereka. Sekarang jalan kedua ini pun sudah kita tempuh sepuluh li lebih, bayangan setan pun
tidak kita lihat. Kukira perempuan desa itu tentu sudah pulang ke rumahnya."
"Aku tahu kau orang tua tidak percaya bahwa perempuan itu adalah Hun Ci-lo, tapi kalau aku
belum melihatnya sekali lagi, rasanya kecurigaanku ini belum terlampias."
Tiba-tiba Ki Kian-ya menghela napas, katanya: "Bukan aku suka bicara ngelantur, binimu itu
sudah berubah hati, kau seret dia kembali juga tidak berguna. Kunasehatkan lepas tangan saja!"
"Ada lebih baik kutemukan dulu baru kulempar pula, rasa penasaran ini bagaimana juga harus
kulampiaskan. Dan lagi keluarga Nyo kami terdapat perempuan jalang yang begitu rendah budi,
membikin nama jelek dan menghina leluhur lagi, kami keluarga Nyo dan Ki sama-sama kehilangan
muka juga!" Mendengar ucapan ini, saking marah Hun Ci-lo sampai gemetar.


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lekas Miao Tiang-hong berbisik di pinggir telinganya: "Tahanlah kesabaranmu, mereka segera
akan pergi jauh!" Tak nyana, mendadak mereka menghentikan langkah. Kata Nyo Bok: "Di sini terdapat hutan
siong, bukan mustahil dia sembunyi di dalam, marilah kita geledah ke sana."
Berkata Ki Kian-ya apa boleh buat: "Baiklah, kalau begitu besar rasa curigamu tiada
halangannya aku ikut kau memeriksa ke sana!"
Berkeringat telapak tangan Hun Ci-lo, katanya: "Miao-toako, aku tidak bisa merembet kau, biar
aku sendiri keluar!"
Miao Tiang-hong menggenggam erat tangannya, katanya: "Langit ambruk pun aku tidak takut,
yang kutakuti hanyalah merusak namamu! Kau tidak boleh bergerak, biar aku saja yang keluar!"
"Namaku memangnya sudah dibikin rusak olehnya, biar aku saja yang keluar!"
Di saat mereka saling debat, sementara Nyo Bok berdua sudah sampai di pinggir hutan,
mendadak terdengar seseorang berteriak dari kejauhan: "Ki-toako, kenapa kau masih di sini,
sungguh kebetulan pertemuan kita!"
Girang Miao Tiang-hong bukan main, katanya: "Penolong sudah tiba, yang datang itu adalah
Kanglam Tayhiap Tan Than-ih, dia adalah sahabat karibku, pastilah suka membantu aku!"
"Kalau begitu kau pun tidak perlu keluar, mari dengar percakapan mereka!"
Di saat mereka bicara dengan suara berbisik di dalam hutan, sementara Tan Thian-ih dengan
kedua putranya sudah datang dekat.
"Ki-toako!" kata Tan Thian-ih, "tempo hari kau pergi begitu tergesa-gesa, sebetulnya aku
hendak ajak kau ngobrol berduaan. Tapi kebetulan hari ini bersua pula. Kalau familimu tiada
urusan penting, marilah silakan ikut sekalian." Ternyata Tan Thian-ih ayah beranak hari kedua
baru turun gunung, mereka mengira Ki Kian-ya tentu sudah pergi jauh, maka begitu ketemu ia
merasa di luar dugaan. "Terima kasih akan maksud baik Tan-heng," demikian Ki Kian-ya berdiplomasi, "soalnya aku
masih punya sedikit urusan, lain kesempatan saja biar aku berkunjung ke rumahmu!"
"Ki-toako, kau masih punya urusan apa lagi, bolehkah beri tahu kepadaku?"
Memangnya Ki Kian-ya tidak percaya bahwa perempuan desa itu adalah Hun Ci-lo tulen, kalau
diceritakan kuatir ditertawai oleh Tan Thian-ih ayah beranak. Sebab kedua, di dalam pertemuan
besar di Thay-san hari itu, Tan Thian-ih ikut bicara membela kebaikan Beng Goan-cau, secara
tidak langsung tidak percaya akan obrolan Nyo Bok. Maka Ki Kian-ya lebih merasa tidak leluasa.
Terpaksa ia berkata: "Bukan soal urusan penting, hanya karena keponakan besanku ini sedikit
terluka, kupikir akan mengantarnya pulang ke rumah untuk berobat lebih dulu!"
"Luka Nyo-heng tidak terlalu berat bukan?" tanya Tan Thian-ih, "Lebih baik ikut ke rumahku
saja, di sana aku bisa tolong mengobati, daripada pulang ke rumahmu yang harus menempuh
perjalanan jauh." Nyo Bok tahu keadaan dirinya tidak mungkin bisa mengelabui mata Tan Thian-ih yang ahli,
segera ia berkata: "Terima kasih akan maksud baik Tan Tayhiap, luka-lukaku amat ringan saja"
"Kalau toh tiada urusan penting lainnya, marilah silakan kalian jalan bersama biar aku
mentraktir sebagai tuan rumah. Ki-toako, aku tahu kau paling suka mengikat persahabatan, ada
dua sahabat, kuharap kau bisa berkenalan dengan mereka, maka kau harus menerima
undanganku ini!" Terpaksa Ki Kian-ya bertanya: "Siapakah kedua sahabatmu itu?"
"Yang seorang adalah Yan-kan-kay-pi Tan Tek-thay. Kukira Ki-toako masih belum kenal
padanya, Tan Tek-thay bersemayam di dalam kota kecil di depan sana membuka warung arak.
Kedatanganku memang hendak bertandang ke rumahnya!"
Ki Kian-ya serba kikuk dibuatnya, katanya: "Yan-kan-kay-pi yang kau maksud ini aku sudah
bertemu dengan dia."
"O, jadi kau sudah bertemu dengan dia, itu lebih baik. Mari kita ke sana bersama mencari dia
ajak minum arak sepuasnya."
"Masih seorang lagi siapakah dia?"
"Yaitu Miao Tiang-hong yang pernah kukatakan kepada kau itu. Bulan yang lalu dia pergi ke
Tongthing-san, katanya masih ingin berkunjung ke rumahku."
Ki Kian-ya lebih kikuk dan malu pula, katanya: "Miao Tiang-hong yang kau maksud ini aku pun
sudah pernah melihatnya."
Tan Thian-ih merasa di luar dugaan, katanya: "Kapan dan di mana kau bertemu dia?"
"Barusan saja di warung arak Yan-kan-kay-pi yang kau katakan tadi."
Melihat air muka orang tidak enak dipandang, diam-diam Tan Thian-ih terkejut, katanya:
"Agaknya di antara kalian terjadi salah paham?"
Tak tahan meledaklah tabiat Ki Kian-ya, katanya: "Salah paham sih tidak. Hanya kedua
sahabatmu itu ada sedikit perselisihan dengan Nyo Bok."
"Wah, perselisihan apa, dapatkah pandang mukaku urusan dibikin beres saja?"
"Tidak perlu disinggung lagi, perselisihan ini sudah dilerai."
Mencampuri urusan pribadi atau persoalan keluarga orang memangnya merupakan pantangan
bagi kaum persilatan, kalau Nyo Bok tidak mau menjelaskan, sudah tentu Tan Thian-ih tidak enak
bertanya lebih lanjut, segera ia tertawa lebar dan katanya: "Kalau begitu tentu bukan urusan besar
yang mengua-tirkan, pepatah memang ada berkata, tidak berkelahi tidak akan kenal. Kukira kalian
belum sampai saling labrak bukan" Seumpama sudah turun tangan mengerjakan kaki pun tidak
menjadi soal. marilah kita kembali bersama di sana minum arak, masing-masing angkat cawan
dan tertawa riang, ^anggaplah persoalan selesai. Eh, bagaimana, kalian tidak sudi memberi muka
kepadaku?" Tan Thian-ih mendapat gelar Kanglam Tayhiap, sudah tentu ia sebagai pimpinan kaum
persilatan di daerah selatan ini. bicara soal kedudukan dan tingkatan dalam bulim. dia masih
berada di atas Ki Kian-ya, bahwa dia sampai bicara demikian, tidak bisa tidak Ki Kian-ya harus
memberi muka kepadanya, dalam hati ia berpikir: "Bocah she Song itu, saat ini tentu sudah pergi.
Hm, meski belum pergi, memangnya aku Su-hay-sin-liong takut berhadapan dengan dia."
Terpaksa ia menerima undangan Tan Thian-ih.
Suasana yang menegangkan akhirnya berlalu dengan tanpa terjadi suatu apa. Setelah
mendengar langkah kaki mereka cukup jauh, barulah Miao Tiang-hong menghela napas lega.
katanya tertawa: "Ci-lo, marilah kita pun berangkat!"
Hun Ci-lo menanggalkan kedok mukanya, lalu menarik napas dalam-dalam. Melihat muka orang
begitu pucat laksana kertas, Miao Tiang-hong terkejut, katanya: "Cilo. kau kenapa?"
"Biar aku istirahat sebentar." Ternyata baru saja ia gusar dan gemetar, rasa gusar belum lagi
menurun, waktu berdiri seketika ia rasakan seluruh badan lemas lunglai.
Kata Miao Tiang-hong: "Seseorang hanya mengejar keluhuran budi dan kesucian hati, orang
memfitnah, kenapa pula harus dihiraukan" Tapi, Ci-lo, kau sedang mengandung, aku jadi kuatir,
marilah biar kuantar kau pulang, kita kan sudah sebagai kakak beradik, aku yang menjadi engkoh
adalah jamak merawat adiknya, kenapa harus takut menghadapi kenyataan?"
Hun Ci-lo lantas meloncat bangun, katanya: "Ucapanmu memang benar, aku tahu dan dapat
mengukur akan keluhuran budiku sendiri, kenapa harus takut mendengar obrolan orang!"
Sebenarnya dia masih kuatir dan takut-takut, setelah mendengar kata-kata yang menusuk hati ini,
semangatnya malah bangkit dan mengambil keputusan tegas.
Hun Ci-lo mengibas kotoran di badannya, lalu berjalan keluar hutan bersama Miao Tiang-hong,
mereka menempuh perjalanan menyongsong sinar matahari, ganjalan hati yang diliputi kabut
tebal seketika sirna di bawah pancaran cahaya terang.
Sejak itu mereka membahasakan kakak adik bersaudara dalam melakukan perjalanan cukup
jauh. Hubungan yang aneh ini, semula kedua pihak merasa rikuh dan risi, namun lambat laun
menjadi biasa, pergaulan semakin intim dan erat sebagai kakak adik sungguhan. Bahwa Miao
Tiang-hong memang seorang kelana bebas yang berjiwa besar dan berlapang dada, namun ia pun
bisa bersikap sopan santun dan mengekang segala tindak tanduk dirinya. Hun Ci-lo semakin segan
dan menaruh hormat kepadanya, lama kelamaan hati pun lapang dan longgar.
Sepanjang jalan mereka selamat tiba di Siok-ciu. Kampung halaman Hun Ci-lo memang berada
di daerah Siok-ciu yang termasuk di dalam karesidenan Sam-ho, jarak kedua tempat cuma dua
hari perjalanan. Mereka harus melewati Pak-bong-san yang masih termasuk dalam wilayah Siokciu,
pegunungan ini memanjang ratusan li menuju ke timur, kampung halaman Hun Ci-lo justru
terletak di ujung pegunungan sebelah sana, saat mana mereka sedang lewat dari bawah gunung.
Tengah mereka berjalan, tiba-tiba didengarnya orang berteriak: "Wibawa menggetarkan daerah
utara, kenamaan di mana-mana." Itulah perpaduan suara empat orang, selanjutnya terdengarlah
suara tembang sanjung yang tengik kedengarannya. Waktu mereka angkat kepala, tampak jauh di
depan serombongan orang terdiri dari puluhan orang sedang mendatangi, yang terdepan
membawa panji besar yang disulam gambar burung elang hitam, itulah panji kebesaran dari suatu
perusahaan ekspedisi. "Ternyata rombongan dari Tin-wan Piaukiok," demikian kata Miao Tiang-hong.
Tin-wan Piaukiok adalah perusahaan ekspedisi yang terbesar di lima propinsi daerah utara.
Sudah menjadi kebiasaan setiap perusahaan piaukiok, setiap melewati daerah yang mungkin
bermukim kawanan brandal, empat orang pelopor yang berjalan paling depan harus tarik suara
menyanyikan nama-nama piaukiok mereka.
Tapi Miao Tiang-hong rada heran, pikirnya: "Selamanya belum pernah daerah Pak-bong-san ini
bermukim kawanan brandal, apalagi dekat kota raja, merupakan daerah kekuasaan pihak Tin-wan
Piaukiok lagi (Tin-wan Piaukiok berpangkalan di Peking), buat apa mereka harus menggunakan
tradisi yang tengik ini?"
Waktu berpaling dilihatnya muka Hun Ci-lo berubah, lekas-lekas ia mengenakan kedok palsunya
lagi. Miao Tiang-hong pernah dengar ceriteranya bahwa bibinya ada sedikit perselisihan dengan
pihak Tin-wan Piaukiok, sedang mereka tidak tahu asal-usul dirinya, toh kejadian sudah lama,
kenapa takut dilihat mereka" Demikian ia bertanya-tanya dalam hati. Di luar tahunya bahwa
kelakuan Hun Ci-lo ini lantaran ada sebab lain.
Belum sempat Miao Tiang-hong bertanya, rombongan Tin-wan Piaukiok itu sudah dekat di
hadapan mereka. Kejadian aneh segera berlangsung pula!
Tiba-tiba rombongan piaukiok itu serempak berdiri berjajar memenuhi jalan mencegat di
hadapan mereka. Keruan Miao Tiang-hong heran, tanyanya: "Kami rakyat biasa yang menempuh perjalanan,
bukan perampok. Kalian mencegat jalan agaknya melarang kami lewat, apa-apaan sih maksud
kalian?" Seorang piausu muda berwajah burik segera tampil ke depan, katanya dingin: "Perempuan ini
pernah apa dengan kau?"
Seketika berkobar amarah Miao Tiang-hong, sentaknya gusar: "Peduli apa sama kau?"
Seorang seperti yang menjadi pemimpin mereka segera mencela: "Seng-liong jangan kau
terlaku kasar. Tuan ini bukankah Miao Tiang-hong Tayhiap?"
"Tayhiap segala aku tidak berani terima, Miao Tiang-hong memang aku yang rendah. Harap
tanya apakah tuan adalah Han-cong-piauthau dari Tin-wan Piaukiok?"
Orang itu menyahut: "Benar, akulah Han Wi-bu."
"Sudah lama aku kagum dan ingin berkenalan," demikian ujar Miao Tiang-hong. "Harap tanya
Han-congpiauthau, untuk apa kau menahan kami" Kurasa selama ini belum pernah aku berbuat
salah terhadap piaukiok kalian!"
"Terlalu berat kata-kata Miao Tayhiap, mana berani kami menahan kau. Aku hanya ingin tahu,
nyonya ini siapakah dia sebetulnya?"
"Dia adalah adikku, memangnya kenapa?"
Laki-laki burikan itu tiba-tiba tertawa dingin, jengeknya: "Aku tidak percaya!"
"Percaya atau tidak memangnya ada sangkut paut apa dengan kau" Apa maksudmu
sebenarnya, bicara saja terus terang!"
Han Wi-bu masih bersikap hormat dan sopan, katanya tersenyum: "Miao Tayhiap, janganlah
kau salah paham, maksudnya pun baik."
Sedang Miao Tiang-hong heran, tampak laki-laki burikan itu sudah melangkah ke hadapan Hun
Ci-lo, dengan laku hormat ia menjura memberi salam: "Tecu Bun Seng-liong menghadap kepada
sunio, maafkan kami tidak cepat menyambut."
Ternyata laki-laki burikan ini adalah murid terbesar Nyo Bok yang bernama Bun Seng-liong.
Semula dia pun seorang pemuda yang cakap dan ganteng. Terjadi pada waktu Song Theng-siau
membuat keributan di ruang layon Nyo Bok. di mana ia menempur Nyo-toakoh, mendadak Bun
Seng-liong membokong, maka selebar mukanya menjadi burikan karena timpukan Bwe-hoaciamnya
di-sampuk balik mengenai muka sendiri.
Meski yang melukai mukanya dulu adalah Song Theng-siau, namun peristiwa itu gara-gara Hun
Ci-lo, apalagi waktu ia berusaha mengusut buku pelajaran silat gurunya, pernah bertengkar dan
kena ditempeleng sekali oleh sunionya, sudah tentu ia amat dendam dan sakit hati kepada Hun Cilo.
Sungguh dongkol, kaget dan marah pula Hun Ci-lo dibuatnya, ia berpikir: "Nyo Bok sendiri tidak
bisa segera mengenali aku, cara bagaimana dia bisa kenal aku?" Keadaan sudah terlanjur, tidak
mau mengakui pun tidak mungkin lagi, apalagi kalau ia buka mulut, maka kedoknya bakal
terbongkar di hadapan orang banyak.
Tengah ia ragu-ragu, didengarnya Bun Seng-liong berkata pula sambil tertawa dingin: "Kenapa
sunio harus menutupi muka sendiri, apakah karena sudah lari dari keluarga Nyo dan mendapat
orang baru, maka malu dilihat oleh sahabat lama" Sunio, meski kau sudah bukan keluarga Nyo
lagi, tidak berani tecu tidak mengakui kau sebagai sunio. Sunio kenapa pula kau harus berbuat
demikian?" Hampir meledak dada Hun Ci-lo saking gusar oleh olok-olok orang, segera ia" meraup
menanggalkan kedok mukanya serta dampratnya: "Bun Seng-liong, kau menggelindinglah pergi!"
Baru saja tangannya terangkat hendak menempeleng, mendadak didengarnya sebuah suara yang
amat dikenalnya membentak: "Kau perempuan jalang masih berani main pukul, hayo hentikan!"
Tergentak sanubari Hun Ci-lo, marah kaget dan penasaran lagi, sehingga tangan gemetar,
"Plak!" tempelengan tangannya yang mengarah muka Bun Seng-liong jadi tergeser mengenai
bawah tulang pundaknya, saking kesakitan Bun Seng-liong menjerit sambil menyemburkan darah
segar dan terbanting satu tombak jauhnya. Untung tulang pundaknya tidak sampai remuk, kalau
tidak dapatlah dibayangkan akibatnya.
Laki-laki yang memaki Hun Ci-lo itu segera tampil kc hadapan rombongan orang banyak,
seringainya dingin: "Kau punya kedok muka, aku pun punya kedok muka, memangnya kau kira
bisa mengelabui aku" Hm, hm, menangkap perjinahan harus sepasang, menangkap maling harus
ada buktinya, kini bukti keduanya sudah kepergok olehku, masih bilang apa pula kau. Cuma yang
di luar dugaanku, ternyata gendakmu bukan Beng Goan-cau, sebaliknya adalah Miao Tiang-hong
ini. Perempuan rendah yang menjual cinta murah, sungguh memalukan!"
Orang yang mencaci maki ini bukan lain adalah suami Hun Ci-lo, Nyo Bok adanya.
Ternyata setelah pencariannya hari itu gagal menemukan Hun Ci-lo, hatinya semakin uringuringan
dan selalu mengganjal dalam hati. Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya diajak Tan Thian-ih pergi
tamasya, apalagi dia sebagai tetua bulim yang punya kedudukan dan gengsi, masakah harus turut
campur segala urusan tetek bengek, ia tinggalkan Nyo Bok seorang diri untuk mencari Hun Ci-lo.
Apa boleh buat, mendadak Nyo Bok teringat pada muridnya terbesar Bun Seng-liong yang
bekerja di Tin-wan Piaukiok menjadi piausu, hubungannya dengan Han-cong-piauthau pun cukup
mendalam, maka langsung ia menuju ke kota raja, pikirnya hendak minta bantuan pihak Tin-wan
Piaukiok untuk ikut menyelidiki.
Di pihak lain, Han Wi-bu juga memerlukan bantuan Nyo Bok, kedua memang dia pun hendak
melakukan suatu pekerjaan besar yang menggetarkan seluruh bulim, supaya nama dan gengsinya
menjulang semakin tinggi. Alasan ketiga karena dia dengar bahwa bibi Hun Ci-lo yang
melindunginya itu adalah istri musuh besarnya, maka dengan senang hati segera ia setuju untuk
membantu. Bahwa mereka sudah tahu bahwa, Hun Ci-lo akan kembali ke kampung halamannya di Sam-ho
sementara daerah Pak-bong-san adalah jalan satu-satunya yang harus mereka tempuh, maka Han
Wi-bu lantas membawa beberapa piausu yang paling diandalkan, bersama Nyo Bok dan muridnya,
menyusul datang untuk mencegat jalan. Betul juga kebetulan Hun Ci-lo dan Miao Tiang-hong yang
sedang melakukan perjalanan kepergok oleh mereka. Sebelumnya Nyo Bok sudah mengatur
dengan rencana yang cukup sempurna, pertama-tama ia suruh Bun Seng-liong muncul untuk
memaksa Hun Ci-lo untuk menunjukkan muka aslinya, barulah sebagai suami yang resmi Nyo Bok
keluar menangkap sepasang laki perempuan yang berbuat jina ini.
Saking marah hampir saja Hun Ci-lo jatuh pingsan, untung ia masih kuasa mengendalikan diri,
makinya dengan suara gemetar: "Kau... kau memfitnah semena-mena..."
"Fitnah. He, he, gendakmu ini berdiri dengan gamblang di hadapanmu," demikian damprat Nyo
Bok sembari mendesak maju terus mencengkeram ke pundak Hun Ci-lo.
Miao Tiang-hong menguatirkan Hun Ci-lo yang sedang hamil, segera ia membentak keras: "Nyo
Bok, mulut anjingmu tidak akan tumbuh gading, berani kau mengganggu usik seujung rambutnya,
aku tidak akan memberi ampun kepada kau."
"Dunia ini belum pernah kulihat gendak yang begini garang, tapi kelakuanmu ini lebih
menunjukkan kedok aslimu, para saudara bolehlah menjadi saksi, meski aku hari ini binasa di
tangan seorang laki perempuan jina ini, betapapun aku akan menuntut keadilan supaya kalian
tidak melepas peradilan umum." Sembari bicara, lagi-lagi tangannya membalik mencengkeram
pula kepada Hun Ci-lo. Gusar Miao Tiang-hong tidak tertahankan, bentaknya: "Baik buruk suatu perkara akan tiba
suatu ketika bisa dibikin terang. Persetan dengan segala tuduhan dan ocehan umum, memangnya
aku takut!" Dengan sengit segera ia menubruk maju, belum lagi ia menerjang tiba, angin
pukulannya sudah membuat Nyo Bok tergentak mundur satu tindak.
Mendadak terasa angin berkesiur keras di belakangnya, bercekat hati Miao Tiang-hong, ia tahu
bahwa tenaga pukulan menyerang dari belakang ini tidaklah rendah. Sebetulnya dia tidak ingin
mengambil jiwa Nyo Bok, begitu memukul mundur orang, sebat sekali ia membalikkan tangan
berusaha menandingi musuh di sebelah belakang.
"Blang" kedua telapak tangan beradu dengan kekerasan menerbitkan ledakan yang keras
laksana guntur menggelegar. Badan Miao Tiang-hong tergeliat dan melompat ke samping tiga
langkah, waktu ia berpaling, tampak yang menyerang dirinya ini ternyata adalah cong-piauthau
Tin-wan Piaukiok, Han Wi-bu adanya.
Han Wi-bu membentak marah: "Kau sudah menculik istri orang masih berani main gagahgagahan,
meski aku orang she Han berkepandaian rendah, demi keadilan dan kebenaran, aku
harus turut campur menyelesaikannya.
Keadaan Hun Ci-lo sedang terancam bahaya, mana Miao Tiang-hong punya minat main debat
padanya" Lekas ia hanya mendengus dan menggerung sekali, jengeknya: "Kau memainkan anjing
berjoget kera, terserah kepada kau!"
Maksud perkataan Miao Tiang-hong bahwa kau suka campur urusan orang lain. Mendengar
orang mengolok dengan logat perkataan orang daerah utara, seketika murka Han Wi-bu
dibuatnya. Maklumlah selamanya dia anggap dirinya sebagai pimpinan kaum persilatan di daerah
lima propinsi utara, kini orang menyamakan dirinya sebagai anjing, siapa yang tidak akan marah.
Damprat Han Wi-bu: "Berani membuka mulut kotor menghina aku!" Belum lenyap suaranya
terdengar suara gedebukan yang keras. Ternyata dua piausu anak buahnya tampil ke muka
berusaha merintangi Miao Tiang-hong, celaka mereka kena tendangan berantai Miao Tiang-hong
dan jungkir balik. Miao Tiang-hong segera berteriak: "Para saudara dari piaukiok, urusan ini tiada sangkut paut


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kalian, kalau kalian ingin campur tangan, jangan salahkan aku tidak main sungkan lagi!"
Bicara lambat kejadian berlangsung amat cepatnya. Di saat Miao Tiang-hong menerjang ke
arah Nyo Bok, Han Wi-bu pun sudah memburu tiba dan melontarkan pukulan mengarah
punggungnya. Hati Miao Tiang-hong bertambah gugup, pikirnya: "Kalau toh dia tidak tahu diuntung, kalau
tidak diberi sedikit hajaran, agaknya dia belum kapok." Sebat sekali ia menggeser langkah dan
memasang kuda-kuda membalikkan badan, badannya berdiri melengkung seperti gendewa.
sementara kedua telapak tangan terdorong ke depan dengan kecepatan seperti anak panah.
Telapak tangan kiri menggunakan tenaga positif sementara tangan kanan menggunakan tenaga
negatif, dua jalur tenaga yang berlawanan saling kerja sama dan bertalian.
Tenaga pukulan Han Wi-bu yang cukup keras itu seketika kena dipatahkan tanpa berbekas,
malah mendadak ia sendiri merasa tenaga pukulan lawan laksana gugur gunung menerpa balik ke
arah dirinya. Meski Han Wi-bu membekal lwekang tinggi dan dalam, seketika ia rasakan dadanya
sesak seperti ditindih batu ribuan kati. tanpa kuasa, ia tergeliat mundur'dan berputar satu
lingkaran. Terdengar Han Wi bu menggerung sekali, belum lagi kakinya berdiri tegak, begitu berkisar,
tahu-tahu ia sudah menubruk maju pula dari samping Miao Tiang-hong. Bentaknya dengan suara
serak: "Miao Tiang-hong, biar aku adu jiwa dengan kau!"
Semula Miao Tiang-hong menyangka pukulannya dapat menyengkelit roboh lawan, tak nyana
secepat itu lawan malah sudah balas menyerang pula, keruan bercekat hatinya. "Memang tidak
malu dia sebagai cong-piauthau yang kenamaan di daerah utara, agaknya aku sulit terhindar dari
pertempuran dahsyat dan sengit yang mengadu jiwa!"
Badan Han Wi-bu kelihatannya miring dan hampir terpeleset dengan gerak langkah yang
sempoyongan, bahwasanya dia sedang mengembangkan gerak tubuh Cui-"pat-sian yang amat
sulit diyakinkan. Han Wi-bu sudah menjajal kepandaiannya sejati, kini ia sudah siap siaga, maka
pukulannya dimainkan begitu rupa, isi kosongnya sulit diraba dan diduga, mencelat sana tiba-tiba
geser ke sini, dalam sekejap tampak delapan penjuru sekelilingnya hanya bayangan yang
berkelebatan dengan cepatnya. Bila Miao Tiang-hong berlaku sedikit lena, pastilah akan tertipu.
Dalam pada itu, kedua piausu yang ditendang mencelat oleh Miao Tiang-hong, cepat-cepat
melejit bangun dengan gaya Ikan Gabus Mencelat, terasa badan tidak begitu sakit, mereka jadi
sama keheranan dan berpandangan lucu. Ternyata tenaga tendangan Miao Tiang-hong
menggunakan tenaga yang diperhitungkan, memang sengaja dia tidak mau melukai mereka.
Akan tetapi sudah sekian lama para piausu Tin-wan Piaukiok malang melintang di kalangan
kangouw, mengandal kebesaran dan wibawa Tin-wan Piaukiok yang menggetarkan lima daerah
propinsi utara, biasanya mereka suka bersikap semena-mena, siapa saja yang tidak memberi
muka kepada mereka, kapan pula pernah mendapat kerugian dan malu begitu rupa" Oleh karena
itu, meski kedua piausu ini tidak terluka, para piausu dan pegawai yang lain sudah sama gusar
dan berkaok-kaok, serempak mereka merubung maju.
Miao Tiang-hong pun tidak gentar, jengeknya tertawa dingin: "Piaukiok kalian memang benarbenar
menggetarkan daerah utara, setiap kerabat kalian memang sama jempolan, semua gagah
dan disegani!" secara tidak langsung ia mengolok Tin-wan Piaukiok ternyata sudi main keroyok
untuk menjaga nama baik sendiri.
Merah padam muka Han Wi-bu, bentaknya: "Menumpas sampah persilatan macam tampangmu
ini, perlu apa menuruti aturan kangouw segala!" Sebagai tokoh kosen dalam permainan Ngo-hengkun,
di mulut bicara, sementara gerak-gerik kaki tangannya sedikit pun tidak menjadi lambat,
kepalan melayang, telapak tangan menampar, jari menotok atau mencengkeram, semuanya
merangsak dengan hebat dan gencar. Belum lagi jurus di depan ditarik balik, tipu pukulan di
belakang sudah menyusul tiba, beruntun menggunakan lima variasi penyerangan yang amat rumit,
mengandung gerak perlawanan dari inti ilmu pukulan tingkat tinggi, begitu permainan
dikembangkan, gencar dan rapat laksana aliran sungai besar yang berbondong-bondong dengan
gulungan ombak yang deras.
Sebaliknya Miao Tiang-hong bertahan sekokoh gunung, sedikit pun tidak bergeming oleh damparan
gelombang pasang, di dalam perlawanannya ia pun mengembangkan ilmu Kim-na-jiu-hoat
untuk mematahkan setiap rangsakan lawan. Beruntun Han Wi-bu melancarkan lima puluh jurus
serangan membadai, sedikit pun tidak mengambil keuntungan apa-apa. Malah dua piausu yang
mendesak maju terlalu dekat, kena diremas dengan ilmu Hun-kin-joh-kut oleh Miao Tiang-hong,
terdengar suara "Krak-rak!" dua kali, hampir dalam waktu yang bersamaan, kedua lengan mereka
kena dipelintir patah. Sekonyong-konyong angin tajam berkesiur dari kedua samping, sebuah golok dan satu tombak
membacok dan menusuk dari kiri kanan, kedua serangan ini pun tiba hampir dalam waktu yang
sama pula. Lekas Miao Tiang-hong kibaskan lengan bajunya menyam-puk miring ujung tombak,
tepat sekali membentur bacokan golok yang menyambar turun. Namun tak urung lengan baju
tertusuk berlubang oleh ujung tombak lawan, sampai kulitnya pun tergores luka berdarah.
Latihan Thi-siu-kang (lengan baju besi) Miao Tiang-hong sudah hampir mencapai titik
kesempurnaan, dia sangka kibasan lengan bajunya amat tepat dan kebetulan bisa mengambil
keuntungan, paling tidak tenaga kibasannya tadi sudah bisa menggentak lepas golok dan tombak
kedua musuhnya. Tak nyana meski ia berhasil memunahkan serangan musuh, tak urung diri
sendiri kena cedera pula. Keruan mencelos hatinya.
Ternyata musuh yang menyerang menggunakan golok dan tombak ini adalah dua pembantu
Han Wi-bu yang paling diandalkan, yang bersenjata tombak bernama Ji Cu-kah, yang
menggunakan golok besar bernama Ciok Tiong, mereka sama tokoh-tokoh bulim yang sudah lama
kenamaan juga. Terdengar Han Wi-bu berteriak: "Ciu, Lo, Teng dan Ong para saudara, kalian mundur dan
berjaga di luar kalangan." Maklum jalan kecil di pegunungan ini kalau terlalu banyak orang
berjubel, gerak-gerik melancarkan serangan menjadi kurang leluasa. Setelah Han Wi-bu menyuruh
keempat piausu pembantu yang berkepandaian rada rendah berpencar, rangsakannya, semakin
ganas dan beringas. Miao Tiang-hong pun kertak gigi bertempur dengan sengit, bagaimana juga ia
berusaha, selama itu selalu gagal lolos dari kepungan musuh.
Di sebelah sini Hun Ci-lo terhindar dari beberapa cengkeraman
Nyo Bok yang gencar, hatinya luluh, gusar dan gegetun, pikirnya: "Begitu kasar dia terhadapku,
kenapa aku harus ingat hubungan suami istri segala." Akhirnya ia nekad dan berkeputusan, sebat
sekali, mendadak ia berputar dan bergeser, lengannya tertekuk sementara jari-jarinya menotok ke
arah dada Nyo Bok. Gerak permainannya ini dinamakan Menekuk Gendewa Memanah Rajawali,
itulah salah satu jurus khusus untuk mengambil jiwa musuh dari ajaran Sip-hun-kiamhoat warisan
keluarganya. Ternyata meski ia amat benci dan dendam kepada suami, namun hubungan suami
istri selama delapan tahun sedikit banyak masih melekat dan sulit dilupakan begitu saja. Maka
setelah ia sendiri terdesak dan kerepotan oleh kekejian Nyo Bok barulah ia berkeputusan dan
bertindak tegas. Akan tetapi meski sudah bertekad tidak mengenal kasihan, di saat ujung jarinya hampir
mengenai Hian-ki-hiat di dada Nyo Bok, bagaimana juga ia tidak tega menurunkan tangan kejinya.
Karena Hian-ki-hiat merupakan jalan darah yang mematikan, kalau sampai kena tertotok dengan
Jong-jiu-huat, seandainya tidak binasa, paling ringan menjadi cacat seumur hidup.
Karena tidak tega, sedapat mungkin ia, menarik balik tenaga totokannya, katanya dengan suara
gemetar: "Nyo Bok! Jangan kau menghina orang keterlaluan!"
Tak nyana belum lagi ia selesai bicara, telapak tangan Nyo Bok malah menyelonong ke atas dan
menabok ke batok kepalanya.
Walau sedang menghadapi kerubutan tiga lawan tangguh, namun panca indra Miao Tiang-hong
masih cukup tajam, keruan ia amat terkejut, mendadak ia menghardik: "Nyo Bok, berani kau
melukai dia, kubunuh kau!"
Hardikannya ini menggunakan Say-cu-hiong-kang dari aliran Hudbun, seketika kuping semua
orang mendengung pekak. Demikian juga hati Nyo Bok tergetar, meski tabokan tangannya masih dilancarkan, namun
tenaganya sudah jauh lebih kendor, lekas Hun Ci-lo menggunakan Hong-tiam-thau berkelit. Bukan
karena dia takut akan ancaman Miao Tiang-hong, adalah lantaran hatinya menjadi tergetar oleh
hardikan Miao Tiang-hong yang keras itu.
Ilmu Say-cu-hiong-kang mengutamakan melukai tenaga murni, karena hardikan keras bagai
guntur mengguntur ini, anak buah Han Wi-bu sama tergetar sempoyongan dengan kuping seperti
pecah, tenaga menjadi lemas lunglai, tanpa sadar mereka menyurut mundur semua. Tapi lwekang
Han Wi-bu cukup tangguh, sedikit pun ia tidak terpengaruh dan tidak perlu kuatir pada
Say-cu-hiong-kang, keadaan ini menjadi kesempatan baik bagi dia, "wut" kepalannya
menghantam dengan telak mengenai Miao Tiang-hong.
Walaupun pukulan ini mengenai sasarannya, Han Wi-bu sendiri pun tidak mengambil
keuntungan. Miao Tiang-hong ada melatih ilmu Hou-te-sin-kang, maka kepalan Han Wi-bu seperti
mengenai setumpukan kapas, sekonyong-konyong segu-lung tenaga memantul menerjang balik,
sehingga ia tcrgentak mundur beberapa langkah, kagetnya bukan kepalang. "Hari ini kami main
keroyok, kalau tidak bisa menang, kebesaran nama dan gengsi Tin-wan Piaukiok bakal kubikin
ludes di tanganku!" Di luar tahunya, kalau dia terkejut, Miao Tiang-hong sendiri pun mengeluh. Lwekangnya hanya
lebih unggul sedikit dibanding Han Wi-bu, di saat ia mengerahkan tenaga melancarkan Say-cuhiong-
kang, punggungnya kena digebuk sekali, terasa isi perut seperti jungkir balik, untung Han
Wi-bu tidak tahu akan keadaannya, begitu tergentak mundur tidak lekas-lekas menubruk maju
pula, maka Miao Tiang-hong berkesempatan ganti napas dan menyalurkan hawa murni tiga
putaran, melancarkan jalan darah dan menghimpun semangat. Sedikit banyak ia memperingan
kemungkinan dirinya terluka dalam yang amat parah.
Bagaimana juga Han Wi-bu adalah seorang ahli silat, melihat Miao Tiang-hong tidak merangsak
maju lebih lanjut, mendapat kesempatan yang baik ini, segera ia sadar: "Jadi dia sudah terluka
dalam?" -Meski dugaannya tidak tepat, namun kelemahan Miao Tiang-hong sudah kelihatan.
Segera ia bergelak tertawa bentaknya: "Miao Tiang-hong, kau sendiri sudah cukup payah,
menyerah kalah sajalah!" Di tengah gelak tawanya, ia menyerbu lagi bersama anak buahnya.
Terhindar dari tabokan yang mematikan, seketika Hun Ci-lo berjingkrak gusar, makinya sambil
kertak gigi: "Bagus ya, Nyo Bok, aku tidak ingin melukaimu kau, sebaliknya kau hendak bunuh
aku!" "Sret, sret, sret!" beruntun ia, lancarkan tiga serangan pedang berantai, kali ini ia sudah
tidak memberi kelonggaran lagi.
Memang kepandaian sejati Hun Ci-lo masih lebih tinggi dari Nyo Bok, sementara, Nyo Bok
mendapat sandaran teman-teman dari Tin-wan Piaukiok baru berani melabrak bininya, tak nyana
Han Wi-bu dan para piausu yang berkepandaian tinggi semua terlibat pertempuran sengit
melawan Miao Tiang-hong, empat yang lain berjaga di empat penjuru, tiada seorang pun yang
berani meluruk kemari membantu dirinya.
Mencelos dingin hati Nyo Bok, ia berpikir: "Celaka dua belas keadaanku sekarang!" Jika minta
ampun dan damai saja, ke mana pula ia harus menaruh mukanya. Kejadian justru berlangsung
amat cepat, "Sret" lagi-lagi pedang Hun Ci-lo sudah menusuk tiba.
Lekas Nyo Bok jumpalitan mundur ke belakang, teriaknya: "Ci-lo, am..." belum lagi kata-kata
'ampun' habis diucapkan, dilihatnya gerak langkah Hun Ci-lo sempoyongan hampir roboh, maka luputlah
tusukannya. Kalau tusukan ini mengenai sasarannya, meski jiwa tidak binasa, paling ringan tak bisa bangun beberapa
bulan lamanya. Beruntung jiwanya selamat, seluruh badan Nyo Bok basah kuyup oleh keringat dingin.
Sementara dalam hati ia menjadi keheranan: "Mengandal kepandaiannya, tusukannya tadi tidak patut
tergeser miring, apakah mungkin dia mengingat hubungan suami istri selama delapan tahun?"
Dalam pada itu, Bun Seng-liong sudah merangkak bangun, dan napas pun tidak memburu lagi, hati
menjadi tenang kembali. Tadi ia' hanya terkena tamparan Hun Ci-lo, meski terbanting jatuh, namun tidak
terluka apa-apa, melihat gurunya lambat laun menyerang di atas angin, segera bangkit pula
keberaniannya, sembari menenteng Ngoheng-lun, senjata andalannya, segera ia menjengek dingin: "Hun
Ci-lo, dalam matamu sudah tiada suhu, maka jangan kau salahkan aku, dalam pandanganku pun tiada
kau sebagai sunio lagi!"
Nyo Bok mendengus, katanya menanggapi: "Betul! Seharusnya sejak tadi kau katakan."
Perut Hun Ci-lo terasa sakit, melihat guru dan murid maju bersama mengeroyok dirinya,
penasaran hatinya betul-betul sukar ter-lampias, pikirnya: "Tidak menjadi soal aku mati, apa dosa anak
dalam kandunganku, sehingga dia harus menjadi korban keganasan ayahnya! Ai, hubungan suami istri
aku tidak perdulikan lagi, jiwa anak dalam kandungan ini harus aku pertahankan!"
Pinggiran dan Ngo-heng-lun bergigi tajam dan merupakan semacam alat senjata yang liehay dan aneh. Di
saat Hun Ci-lo terkurung oleh ribuan pukulan Nyo Bok, secara diam-diam Bun SengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
liong menyelundup ke belakangnya terus menghantamkan kedua alat senjata bundarnya ke
punggung orang. "Kau bocah keparat ini juga berani mengganas, menghina aku!" damprat Hun Ci-lo seraya
berkelebat menghindar, berbareng pedangnya membalik kc belakang menusuk ke dada orang.
Maka terdengarlah suara "peletak!" dua gigi dari Ngo-heng-lun Bun Seng-liong gumpil. Tapi Cengkong-
kiam di tangan Hun Ci-lo juga sedikit rusak, tusukannya tidak mengenai Bun Seng-liong.
Sementara itu Nyo Bok sudah melihat tenaga Hun Ci-lo semakin lemah, heran dan senang pula
hatinya, bentaknya: "Hun Ci-lo, terang tidak akan tercapai kau mencelakai suamimu, kalau kau
bisa menyesal dan bertobat suka ikut pulang denganku, mungkin aku masih bisa memberi ampun
dan menerima kau kembali."
Hun Ci-lo mengalami pukulan batin yang begitu hebat, pikirannya sudah kabur dan urat
syarafnya sudah membeku, mendengar kata orang ia tidak menjadi marah, cuma tertawa dingin:
"Nyo Bok, yang perlu menyesal dan bertobat kukira bukan aku sebaliknya adalah kau!"
"Apa maksud perkataanmu?" damprat Nyo Bok berjingkrak gusar, kalau wajahnya menunjukkan
kemarahan, sementara hati sudah mulai jerih. "Mungkinkah dia sudah tahu persekongkolanku
dengan Ciok Tio-ki?" Karena ingat hal ini seketika timbul niatnya membunuh. Hun Ci-lo sendiri
juga sudah nekad dan menempurnya mati-matian dengan sengit. Akan tetapi rasa sakit dalam
perutnya semakin hebat, lambat laun tenaga semakin lemas dan semangatnya pun luluh.
Di bawah kerubutan Han Wi-bu dan para piausunya, Miao Tiang-hong tidak mampu menjebol
keluar, dilihatnya keadaan Hun Ci-lo sudah amat berbahaya, mungkin jiwanya sudah tak mungkin
diselamatkan lagi, keruan ia menjadi murka dan memaki: "Harimau tidak makan anaknya sendiri.
Nyo Bok, kau, masihkah kau terhitung manusia?" Karena berbicara sehingga perhatian terpencar,
sigap sekali Han Wi-bu menyerang dengan jurus Liong-hing-cwan-ciang "Blang" lagi-lagi Miao
Tiang-hong terkena pukulannya. Meski ini ilmu pelindung badannya masih bekerja, tenaga yang
memantul balik sudah jauh lemah, badan Han Wi-bu paling-paling cuma tergeliat berdiri tegak
pula. Mendengar ucapan itu, tak urung Nyo Bok tertegun, batinnya: "Harimau ganas tidak makan
anaknya sendiri, apakah maksudnya?"
Sebaliknya mendengar kata-kata Miao Tiang-hong yang terdahulu, kontan badan Hun Ci-lo
gemetar hebat, air mukanya pun menjadi pucat pias seperti kertas. Untung saat mana Nyo Bok
sendiri sedang menjublek, sehingga tidak menggunakan kesempatan baik ini melabraknya dengan
kekerasan pula. "Apa maksud perkataan Miao Tiang-hong?" Nyo Bok sedang menimang-nimang dalam hati,
sekilas ia melirik, kebetulan dilihatnya sorot mata Hun Ci-lo yang tajam dingin laksana dua ujung
pisau menghunjam ke uluhatinya, terkandung rasa kemarahan dan rasa "kebencian yang meluapluap.
Serta merta Nyo Bok bergidik dibuatnya, terasa hatinya menjadi hampa dan kosong.
Nyo Bok sendiri bukanlah tidak punya perasaan cinta kasih terhadap istri yang menikah selama
delapan tahun, meski waktu dia menikah dengan Hun Ci-lo punya maksud-maksud tertentu, meski
ia tahu bahwa istrinya sebetulnya mencintai laki-laki lain, namun hidup berdampingan selama
delapan tahun sebagai suami istri, bagaimana juga meninggalkan kenangan manis dan hangat
dalam lubuk hatinya, sudah tentu dalam manis dan kehangatan itu juga terkandung pahit getir.
Antara cinta dan benci kadang kala hanya terpaut sebuah garis melulu, tapi ada kalanya pada
titik permulaannya justru sudah salah langkah, dan langkah-langkah selanjutnya semakin porak
poranda. Dan pada akhirnya semakin terjeblos dalam dan sukar menolong diri sendiri.
Semula Nyo Bok mengagulkan diri sebagai suami yang lapang dada berjiwa besar dan patriotik,
menurut perhitungan semula dalam jangka waktu yang pendek tentu ia akan berhasil menambat
hati istrinya! Siapa tahu yang ia peroleh hanyalah rasa hormat dan segan sang istri terhadapnya.
Sudah tentu dari rasa hormat simpatik bisa tumbuh rasa cinta, cuma sayangnya, di saat-saat yang
menentukarirli mana perubahan jiwa Hun Ci-lo sudah mulai berkembang, hampir saja ia,
memperoleh tambatan hati istrinya, diketahui olehnya bahwa Beng Goan-cau masih hidup dalam
dunia fana ini. Betapapun baik dan liehay penyamarannya tidak akan selamanya langgeng dan abadi. Apalagi
rasa cinta Nyo Bok terhadap istrinya masih terkandung maksud-maksud tertentu yang banyak
ragamnya. Rasa cemburu atau jelus sudah mengelabui kesadaran jiwanya, sehingga Nyo Bok yang
biasanya amat mengagulkan kepintarannya berbuat keteledoran. Dengan berbuat pura-pura mati
ia hendak mencoba kesetiaan istrinya, sehingga langkah-langkahnya yang salah semakin
tenggelam dan tidak mungkin tertolong lagi, sedemikian bejat jiwanya sehingga ia mengatur tipu
daya hendak mencelakai Beng Goan-cau. Akhirnya titik kelemahan ini tergenggam di tangan Ciok
Tio-ki sehingga ia terima tunduk menjadi anteknya yang setia.
Menghadapi sorot pandangan mata Hun Ci-lo yang memilukan dan mengandung kemarahan
lagi, seketika timbul juga rasa menyesal dan tobat dalam relung hati Nyo Bok. "Mana boleh aku
begini kasar terhadap Ci-lo, apakah betul-betul aku akan membunuhnya" Meski selama ini ia tidak
pernah mencintai aku, sedikitnya ia pernah menjadi istriku yang sayang dan amat prihatin
terhadapku," demikian batin Nyo Bok.
Saat-saat ia terlongong seolah-olah ia mendengar seringai tawa Ciok Tio-ki yang sadis,
terbayang olehnya akibat bila dirinya berani membangkang perintahnya, mau tidak mau Nyo Bok
bergidik seram! Sekarang baru ia insyaf bahwa dirinya bak umpama boneka yang telah
tergenggam di tangan Ciok Tio-ki, bagaimana juga lenyap keberaniannya untuk melawan
kehendak orang. "Hm, bicara soal harimau tidak makan anaknya sendiri" Kau orang she Miao
masa tahu bahwa Nyo Hoa memang bukan putra kandungku, apalagi Nyo Hoa kini sudah terjatuh
ke tangan Tiam-jong-siang-sat, hal itu kan bukan kesalahanku." Nyo Bok menyangka yang
dikatakan anak oleh Miao Tiang-hong adalah Nyo Hoa, mana dia tahu bahwa anak yang
terkandung di dalam perut Hun Ci-lo, justru betul-betul adalah anak kandungnya yang tulen.
Di samping takut menghadapi ancaman Ciok Tio-ki hatinya pun terbakar karena jelus, sekilas ia
kertak gigi dan pikiran pun menjadi gelap, dengan nekad ia berkepu-tusan untuk menghadapi
istrinya dengan kekerasan dan keji.
"Bagus ya, kau bunuh aku saja!" dengan kalap Hun Ci-lo segera menerjang dengan kekerasan,
demi melindungi anak dalam kandungannya, terpaksa ia harus membuat perhitungan secara
nekad untuk melarikan diri dalam keadaan yang berbahaya.
Di mana sinar pedang berkelebat disertai pcrcikan cahaya merah, tahu-tahu bahu Bun Sengliong
sudah tergores luka panjang lima dim, darah menyembur deras bagai air leding, sementara
Ngo-heng-lun di tangannya pun mendadak menghantam keras ke punggung Hun Ci-lo.
"Bangsat, kau tidak akan bisa lolos!" Nyo Bok mendadak maju menghadang, berbareng
sikutnya bekerja, ia tumbuk Bun Seng-liong terpental jatuh terguling. Tanpa menghiraukan
muridnya, lengan kanan lekas terjulur keluar terus mencengkeram ke dada Hun Ci-lo, serangan
yang digunakan adalah Kim-na-jiu-hoat yang teramat liehay, namun meski ia melancarkan
serangan liehay, tak urung hatinya berpikir: "Hidup lebih baik dari yang mati, asal aku bisa
memunahkan ilmu silatnya, aku akan kuasa mengawasi dia, supaya tidak lari lagi! Hm, meski dia


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membenciku seumur hidup, tidak menjadi soal bagiku. Jauh lebih baik daripada dia ikut Beng
Goan-cau atau orang she Miao ini!"- Kiranya bila ia tidak mendorong Bun Seng-liong, jiwanya pasti
melayang di ujung pedang Hun Ci-lo, sementara Hun Ci-lo sendiri yang gerak geriknya sudah tidak
begitu lincah pastilah termakan juga oleh Ngo-heng-lun Bun Seng-liong, paling ringan luka parah.
Akan tetapi, walau perhitungan Nyo Bok cukup matang dan kelihatannya bisa berjalan lancar,
kejadian selanjutnya justru benar-benar di luar dugaannya.
Tepat di saat kelima jari-jarinya hampir saja mencengkeram tulang pundak Hun Ci-lo,
terdengarlah suara mendengung yang keras menyambar datang, sebuah tameng laksana piring
terbang mendadak terbang melesat mengarah batok kepalanya. Keruan Nyo Bok kaget bukan
kepalang, tidak sempat lagi melukai istrinya, lekas ia merebahkan badan terus menggelundung,
tameng terbang itu hampir saja menyerempet di atas kepalanya.
Ternyata dalam perlawanannya menghadapi keroyokan musuh-musuhnya, Miao Tiang-hong
masih sempat memperhatikan keadaan Hun Ci-lo yang gawat, saking gugupnya, entah darimana
tiba-tiba ia memperoleh kekuatan, kebetulan saat mana seorang piausu menggunakan tameng
besinya yang dimiringkan membacok ke punggungnya. Piausu ini adalah seorang tokoh yang
kenamaan dengan julukan Thiat-pi-jiu, tameng besinya itu pun seberat tiga puluh kati, sekali
bacokannya paling tidak mengandung ribuan kati tenaganya.
Sebat sekali Miao Tiang-hong membalikkan tangan meraih ke belakang, telak sekali ia
cengkeram pergelangan tangan orang, ia gunakan tenaga keras melawan kekerasan pula,
sehingga telapak tangan pihak sana tergetar pecah berdarah, sudah tentu tameng berat itu tidak
kuasa dipegangnya lagi dan terebut oleh Miao Tiang-hong. Tanpa ayal Miao Tiang-hong lantas
melontarkan tameng besi itu ke arah Nyo Bok, meski dia bukan seorang ahli dalam bidang senjata
rahasia, cara timpukannya ternyata cukup liehay dan hebat benar.
Sudah tentu piausu yang bergelar Thiat-pi-jiu itu bukan tandingan Miao Tiang-hong, walau
telapak tangan Miao Tiang-hong sendiri terlecet, namun luka-luka yang diderita Thiat-pi-jiu jauh
lebih berat. Bukan saja seluruh telapak tangannya pecah, malah "krak" menyusul pergelangan
tangannya pun remuk, mulut pun menguak memuntahkan darah segar. Seorang piausu lainnya
bergegas menariknya ke samping, namun ia sudah lemas dan tak mampu bergerak, mungkin
jiwanya sulit diselamatkan lagi.
Han Wi-bu menjadi murka, bentaknya: "Bagus ya, kau bunuh piausuku, aku pun harus
menebus nyawanya!" Saking marah Miao Tiang-hong malah bergelak tertawa, serunya: "Orang she Miao hanya
punya satu nyawa, kalau kalian mampu silakan kalian renggut!" Mendadak ia menghardik, kedua
telapak tangan berkelebat menari naik turun, dua piausu lainnya kena tergetar oleh perbawa
sambaraan angin pukulannya, sehingga jatuh terguling-guling seperti bola sejauh tiga tombak.
Namun cepat sekali Han Wi-bu sudah melompat menubruk, dari tengah udara ia menukik
turun, tangan kiri menggaris sebuah lingkaran, sementara kelima jari tangan kanan laksana kaitan
mencengkeram tulang pundak. Jurus kombinasi ini cukup liehay dan dinamakan Burung Elang
Menyerang Mangsa di Tengah Udara, itulah ilmu tunggal Kim-na-jiu-hoat Han Wi-bu yang paling
liehay dan telengas. "Blang" telapak tangan kedua pihak saling bentrok mengeluarkan suara ledakan yang dahsyat,
kontan Han Wi-bu mencelat terbang jumpalitan di tengah udara, waktu kakinya menyentuh tanah
badannya laksana dahan pohon liu yang lemah gemulai tertiup angin tergeliat sempoyongan,
tampak ujung mulutnya melelehkan darah segar.
Miao Tiang-hong maju setapak, dengan suara serak ia membentak: "Han-congpiauthau, apakah
kau masih ingin mengadu jiwa?"
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan, Ji Cu-kah menyangka Miao Tiang-hong hendak
melabrak maju mengambil keuntungan melukai jiwa Han-cong-piauthaunya, sebat sekali ia
menggeser membundar, sementara ujung tombaknya bergerak melintang dari kiri ke kanan
"Serrr" ia menusuk ke Ih-khi-hiat di bawah ketiak Miao Tiang-hong, di saat ujung tombaknya
sudah hampir mengenai sasarannya barulah ia bersuara me-bentak: "Bangsat jangan temberang!"
Jurus serangan ini memaksa lawan menyelamatkan diri sendiri lebih dulu sebelum melukai
lawan. Bicara menurut teori ilmu silat umumnya, sebetulnya Miao Tiang-hong tidak perlu membuang
tenaga melayani rangsakan ini, tak nyana Miao Tiang-hong sudah nekad untuk gugur bersama
musuh, mendadak ia menggunakan jurus-jurus berbahaya, badan sedikit mendak ke bawah
menghindarkan diri dari tusukan tombak berbareng tangannya membalik tepat sekali memegang
batang tombak, sembari membentak: "Lepaskan!" ia menggen-tak dengan kerasj di bawah
gencetan dua tenaga raksasa, "krak" batang tombak itu patah menjadi dua potong, potongan sisa
di tangan Ji Cu-kah membalik menghantam tulang rusuknya sehingga patah dua, dengan
memuntahkan darah segar ia terjengkang roboh dengan kaki tangan menghadap langit.
Ujung mulut Miao Tiang-hong sendiri juga melelehkan darah segar, muka pucat pasi, jelas ia
pun terkena luka dalam yang cukup parah.
Ternyata setelah mengadu kekuatan dengan Han Wi-bu, meski Han Wi-bu sendiri mendapat
luka dalam yang tidak ringan, dia sendiri pun mendapat luka dalam yang lumayan, kini harus
mengadu kekuatan pula dengan Ji Cu-kah, luka-luka dalamnya jadi lebih parah dari Han Wi-bu.
Sebagai cong-piauthau nomor satu di seluruh negeri, sudah tentu Han Wi-bu amat penasaran
dikalahkan oleh Miao Tiang-hong, lekas ia telan kembali darah yang sudah menerjang naik ke
tenggo-rokan, bentaknya: "Benar, memang aku hendak adu jiwa dengan kau."
Miao Tiang-hong tertawa panjang dengan nada getir, sahutnya: "Baik sekali, marilah gugur
bersama." Sembari bicara potongan tombak di tangannya segera ia timpukan sebagai senjata
rahasia. Tapi yang diarah bukan Han Wi-bu, timpukan ditujukan kepada salah seorang
pembantunya yang paling diandalkan yaitu Ciok Tiong, karena saat mana Ciok Tiong sedang
menarikan golok besarnya menyerbu ke arah dirinya.
"Trang!" potongan tombak itu membentur golok besar lawan, kontan golok itu terpental jatuh
sementara luncuran kutungan tombak itu masih cukup keras menghantam ke depan. "Krak" telak
sekali menerjang ke dada Ciok Tiong. Meski Ciok Tiong ada melatih ilmu weduk yang kebal, tak
urung karena terjangan tenaga dahsyat ini, kutungan tombak itu sampai terkutung pula menjadi
dua, namun tulang rusuk Ciok Tiong sekaligus patah empat potong. Luka-lukanya jauh lebih berat
dari Ji Cu-kah. Di waktu yang amat singkat itu, Han Wi-bu sudah menubruk tiba pula dari tengah udara. Lekas
Miao Tiang-hong mendorongkan kedua tangannya ke atas, seketika terdengar suara gedebukan,
kedua orang sama terjungkal jatuh. Namun sigap sekali Miao Tiang-hong segera melejit bangun,
sementara Han Wi-bu masih terguling-guling di tanah.
"Uwahh!" tak tertahan sekumur darah segar tumpah dari mulut Miao Tiang-hong, matanya
mendelik bundar dan membara, bentaknya bengis: "Siapa lagi yang ingin adu jiwa mari majulah!"
Kali ini Han Wi-bu membawa tujuh piausu pembantu, empat di antaranya yang paling
diandalkan sudah luka-luka, sisa tiga piausu yang lain, dua di antaranya pada babak pertama tadi
sudah merasakan tendangan Miao Tiang-hong yang liehay, setelah disuruh menjaga di luar
kalangan oleh Han Wi-bu, mana berani tampil ke muka pula" Seorang piausu pula yang
berkepandaian cukup lumayan segera memburu kepada kawan-kawannya untuk memberi
pertolongan. Sebetulnya asal mereka cukup punya nyali dan maju melabrak Miao Tiang-hong, tentu Miao
Tiang-hong tidak akan mampu melarikan diri. Ternyata setelah mengalami adu pukulan tiga kali
dengan Han Wi-bu, luka-luka yang dideritanya paling-paling hanya sedikit lebih ringan dibanding
Han Wi-bu, meski ia kuasa bertahan sekuat tenaga, lama kelamaan tenaganya akan terkuras habis
dalam waktu singkat. Soalnya pihak musuh laksana burung yang ciut nyalinya kena gertak anak
panah, nyali sudah pecah, mana berani maju lebih lanjut"
Lekas Miao Tiang-hong meng-empos semangat dan mengatur napas, sembari menerjang ke
sebelah sana ia membentak: "Nyo Bok, kau masih berani melukai orang?"
Nyo Bok tidak tahu bahwa Miao Tiang-hong sudah terluka dalam yang cukup parah, melihat
orang meluruk kepada dirinya ia jadi gugup dan ketakutan sendiri, lekas ia melompat mundur
hendak melarikan diri, namun Miao Tiang-hong keburu mengejar tiba, ia melancarkan tipu Siaukim-
na-jiu yang khusus untuk berkelahi dalam jarak dekat, sekali cengkeram ia meremas tulang
pundak Nyo Bok. Untunglah Hun Ci-lo lekas berteriak: "Ampunilah jiwanya!"
Tulang pundak merupakan tulang terpenting di dalam badan manusia, kalau sampai diremas
remuk, meski kepandaian silat setinggi langit pun tidak berguna lagi, ia akan menjadi cacat
seumur hidup. Akan tetapi bagi setiap insan persilatan begitu tempat-tempat penting terancam
bahaya secara reflek tentu akan mengadakan reaksi. Di saat tenaga perlawanan Nyo Bok hampir
melepaskan cengkeraman tangannya, lekas Miao Tiang-hong menggelincir telapak tangannya
mendorongnya ke depan, jengeknya dingin: "Ci-lo sudah cukup bajik dan bijaksana terhadap
kelakuanmu yang amat buruk, namun kau masih berusaha mencelakainya, apakah kau tidak
menyesal dan bertobat?"
Sudah tentu Nyo Bok tidak kuasa berdiri lagi, setelah berputar dua lingkaran akhirnya ia
tersungkur jatuh. Dalam serangan ini bila Miao Tiang-hong menggunakan Jiong-jiu-hoat untuk meremas tulang
pundak Nyo Bok, dia sendiri tentu juga akan terluka pula oleh tenaga perlawanan orang yang
cukup kuat pula. Tapi bukan karena Miao Tiang-hong sayang pada badan sendiri dan takut
terluka, adalah dia pandang muka dan mendengar permintaan Hun Ci-lo barulah dia mau melepas
orang cuma dengan mendorongnya jatuh saja.
Dilihatnya muka Hun Ci-lo pucat pasi, badan pun tergeliat hampir roboh. Miao Tiang-hong amat
kaget, lekas ia maju memapahnya, katanya: "Kenapa kau?"
"Miao-toako kau pun terluka, bukan" Aku tidak bisa membuat kau terlibat semakin parah dalam
persoalan ini, mohon bantuanmu saja pergi memberi kabar kepada bibiku, aku mungkin tidak
kuasa jalan lagi!" Ternyata keadaannya seumpama pelita yang sudah kekeringan minyak, tapi
sekuat tenaga ia berusaha bertahan. Kini setelah hati merasa lega, terasa perutnya sakit bukan
main, kedua kaki sudah tidak bisa bergerak saking lemas.
"Jangan bicara yang begitu mematahkan semangat, kau tidak bisa jalan apa halangannya"
Masakah sampai detik ini kau masih membeda-bedakan hubungan laki perempuan segala"
Bagaimana mereka suka berpikir, biarkan saja!" Membalik tubuh ia angkat tubuh Ci-lo terus
dibopongnya di punggungnya dan tinggal pergi dengan langkah lebar.
Pertempuran ini makan waktu setengah harian, cuaca sudah mendekati magrib. Perlahan-lahan
Nyo Bok merangkak bangun, dengan mendelong ia awasi bayangan punggung mereka menghilang
ditelan tabir malam yang mulai mendatang, tanpa sadar matanya berlinang air mata, berdiri
mematung, tiada seorang pun yang tahu apa yang sedang dipikirkan.
"Suhu," kata Bun Seng-liong. "Kekalahan dalam pertempuran adalah jamak, permusuhan Miao
Tiang-hong dengan piaukiok kami sudah gamblang takkan bisa dicuci bersih. Kita pun tidak usah
kuatir tiada kesempatan untuk membalas dendam kepadanya!"
Mata Nyo Bok melek tapi seperti tidak melihat, kupingnya masih tajam namun seperti tidak
mendengar, sesaat kemudian "barulah mulutnya menggumam: "Membalas dendam, ai, membalas
dendam?" Selamanya Bun Seng-liong belum pernah melihat kelakuan suhunya yang linglung begini,
keruan ia terkejut, lekas ia berseru: "Suhu, memangnya kau sudah gila?"
Dengan membopong Hun Ci-lo, Miao Tiang-hong berlari pesat bagai terbang, terasa darah
dalam dadanya bergolak, kontan kepala terasa pening dan pandangan rada-rada gelap
berkunangkunang, sedapat mungkin ia kerahkan hawa murni mengempos semangat bertahan, pikirnya:
"Untung tadi tidak mengadu kekerasan pula dengan Nyo Bok, kalau tidak mungkin sekarang aku
sudah tidak kuat bertahan lagi. Aku mati tidak menjadi soal. Lalu kepada siapa Hun Ci-lo harus
menyandarkan diri" Kubunuh Nyo Bok pun tidak akan setimpal membayar kerugian besar ini!"
Untunglah orang-orang piaukiok tiada yang berani mengejar, setelah Miao Tiang-hong lari naik
ke atas Pak-bong-san, memasuki sebuah hutan lebat, pelan-pelan ia menurunkan Hun Ci-lo, baru
sekarang ia mendapat kesempatan menarik napas dan istirahat.
"Miao toako, demi kami ibu beranak, kau menempuh bahaya, aku, sungguh aku tidak tahu cara
bagaimana untuk membalas kebaikanmu. Beruntung sekarang kita bisa mendapat kesempatan
istirahat dengan aman, kau mengasolah sebentar, biar aku mencari barang makanan!"
Duduk bersimpuh di tanah, Hun Ci-lo memandang punggung Miao Tiang-hong, pikirannya mulai
timbul tenggelam lagi, di samping girang ia pun amat berduka, la senang karena mendapat
seorang sahabat sejati, duka mengingat nasibnya yang jelek. "Miao-toako, aku tahu perasaanmu
tarhadapku, sayang hatiku sudah lama mati, aku sudah membuat Goan-cau sengsara, aku tidak
boleh membuat kau pun menderita," berpikir sampai di sini tanpa kuasa Hun Ci-lo bergidik dan
menarik napas dalam. Entah berapa lama ia layangkan pikirannya, tampak Miao Tiang-hong mendatangi sambil
menjinjing seekor kelinci dan kantong air, langkah kakinya lamban dan tidak bertenaga, setapak
demi setapak menghampiri ke hadapannya.
Dilihatnya badan Miao Tiang-hong basah kuyup seperti ayam tercebur sungai, pakaiannya pun
berlepotan lumpur, kotor sekali, keruan ia kaget dan bertanya: "Miao-toako, kenapa keadaanmu
jadi begitu kotor?" Miao Tiang-hong tertawa getir, sahutnya: "Waktu mengambil air kurang hati-hati dan terpeleset
ke dalam selokan. Cuma terluka lecet saja, tidak menjadi soal." Lalu ia menambahkan: "Aku hanya
menangkap seekor kelinci, untuk menangkap yang lain sudah tidak kuasa mengejarnya lagi."
Ternyata tenaga Miao Tiang-hong sudah terkuras habis-habisan, untuk menangkap seekor
kelinci saja dia harus memeras keringat dan jatuh bangun, apalagi harus mengambil air,
semangatnya sudah tidak kuat bertahan lagi.
Perih hati Hun Ci-lo, katanya: "Kau mengaso saja, biar aku yang membuat api untuk
memanggang kelinci."
"Nanti dulu, keadaanmu juga kurang baik, nih aku masih punya sebutir Siau-hoan-tan, kau
telanlah lebih dulu!"
"Kau sendiri" Kulihat luka-lukamu pun tidak ringan bukan?"
"Aku sudah menelannya sebutir." Sebetulnya Siau-hoan-tan tinggal sebutir saja, bahwa
terpaksa dia harus menipu Hun Ci-lo, supaya orang tak usah kuatir dan bersedih bagi dirinya.
Setelah menelan Siau-hoan-tan berkata Hun Ci-lo: "Budi kebaikan ini sulitlah aku membalasnya,
kelak bila anak dalam kandunganku ini bisa lahir dengan selamat, apakah kau sudi menjadi ayah
angkatnya?" "Legakan hatimu," ujar Miao Tiang-hong tertawa getir. "Selama hidup ini aku tidak akan punya
anak istri, pasti aku pandang anakmu sebagai anak kandungku sendiri."
Muka pucat Hun Ci-lo seketika mengulum senyum manis, laksana kembang kecil yang mekar
dan basah oleh air embun. Itulah senyum yang tulus dan limpahan dari relung hatinya yang paling
dalam, namun ia sendiri tidak tahu apakah ia harus senang atau bersedih. Sesaat kemudian baru
ia bersuara dengan sendu:
"Miao-toako, perkataanmu membuat hatiku amat lega. Em, cuaca sudah gelap, sudah tiba
saatnya makan malam. Biar kubuat api dan memanggang kelinci, kau istirahatlah. Ai, Miao-toako,
hari ini kau betul-betul terlalu letih!"
Hati Miao Tiang-hong menjadi syur dan hangat, baru sekarang ia betul-betul menikmati
keprihatinan Hun Ci-lo kepada dirinya, serta terasakan perasaan lain yang melebihi keprihatinan
itu! Tapi perasaan macam apakah itu" Dalam hati ia maklum, namun tidak kuasa melimpahkan
dengan kata-kata. Sudah tentu bukan perasaan persahabatan antar sesama kawan, persaudaraan
kakak beradik pun rasanya lain ragamnya, tapi jelas itu pun bukan rasa asmara.
Hun Ci-lo masuk ke hutan mengambil kayu bakar, tabir malam semakin gelap, biji mata Miao
Tiang-hong berputar mengikuti langkah Hun Ci-lo, lama kelamaan bayangan punggungnya tinggal
remang-remang. Segera Miao Tiang-hong duduk bersamadi mengerahkan tenaga mumi
memulihkan kesehatan, tanpa sadar ia terlelap di dalam latihannya.
Entah berapa lama kemudian, waktu Miao Tiang-hong membuka mata,, dilihatnya Hun Ci-lo
sedang memegangi kelinci panggang yang sudah matang berdiri di hadapannya sambil mengulum
senyum! "Wah, kelincinya sudah matang, kenapa tidak kau makan lebih dulu?" demikian katanya.
"Barusan keadaanmu membuat aku amat kaget, kulihat di atas kepalamu mengepul uap putih
yang bergulung-gulung, aku tahu kau sedang berlatih mencapai titik puncak yang amat genting,
sayang kepandaianku tidak becus tidak bisa membantu kau seperlunya."
"Untunglah saat-saat genting sudah berlalu, coba lihat apakah semangatku sekarang tidak jauh
lebih baik?" "Miao-toako, sungguh aku kagum akan lwekangmu yang tinggi, air mukamu memang jauh lebih
segar, tapi kau perlu segera mengisi perutmu!"
"Sekarang aku tidak merasa lapar malah!"
"Mana boleh tidak makan" Kalau tidak makan masakah kau punya tenaga sampai ke rumah
bibiku. Apakah aku harus ganti membopong kau" Ai, yang kuharapkan lekaslah tiba di rumah bibi,
di sana bisa hidup tentram beberapa lamanya."
Miao Tiang-hong tertawa geli mendengar kata-katanya, maka kelinci segera dibagi dua dan
mereka makan bersama. Mereka sangka setelah berada di rumah bibi Hun Ci-lo, paling tidak bisa mengecap kehidupan
aman dan tentram sementara waktu, siapa tahu kejadian justru seolah-olah memang seperti
sengaja mencari gara-gara kepada mereka.
Hari kedua pagi-pagi benar mereka sudah berangkat, karena dalam pertempuran kemarin
mereka banyak menguras tenaga murni sehingga terluka dalam, maka sekarang mereka tidak
berani mengembangkan ginkang, maka setelah hari menjelang magrib barulah mereka memasuki
kampung halaman Hun Ci-lo di karesidenan Sam-ho.
Kampung halaman ditinggalkan puluhan tahun, mengandal ingatannya yang samar-samar,
dengan susah payah akhirnya mereka menemukan tempat tinggal bibinya, saat mana sudah lewat
kentongan ketiga. Tengah malam buta rata mengetuk pintu, kedatangan mereka yang mendadak
ini, membuat bibinya kaget dan kegirangan pula.
"E, eh, kenapa kalian menjadi begini rupa?"
"Amat panjang bila diceritakan, di mana piaumoay?"
Siau-hujin menarik muka, katanya gegetun: "Kukira kau kemari hendak memberitahu kabar
berita mereka, memangnya kau pun tidak ketemu mereka?"
Kaget Hun Ci-lo dibuatnya, katanya: "Kenapa, bukankah mereka ikut kau pulang kemari?"
Siau-hujin menghela napas, ujarnya: "Marilah bicara di dalam rumah saja!"
Setelah duduk, berkata Siau-hujin lebih lanjut: "Apakah kau masih ingat, di waktu masih ada di
Tong-thing-san, bukankah mereka merengek-rengek minta ke Thay-san" Setelah kumaki barulah
mereka tidak membuatku marah, kukira mereka sudah membatalkan niatnya semula, siapa nyana
di tengah jalan secara sembunyi-sembunyi mereka lari tanpa pamit. Hari itu kami menginap di
sebuah penginapan di kota kecil, mereka minta ijin mau beli barang di pasar, siapa tahu begitu
pergi tidak kembali lagi."
Hun Ci-lo kaget, katanya: "Di Thay-san aku tidak melihat mereka."
"Kau bertemu dengan paman Cau tidak?"
"Paman Cau sih aku ada melihat, cuma aku tidak bisa bicara dengan dia, terpaksa aku titip
memberi kabar ini kepada seorang teman yang dapat dipercaya."
Siau-hujin menghela napas, ujarnya: "Kehilangan kedua budak liar itu sih tidak menjadi soal,
kalau Ci-hwi si budak aleman itu mengalami apa-apa, cara bagaimana aku harus berhadapan
dengan ayahnya?"

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terpaksa Hun Ci-lo menghibur bibinya, katanya: "Mereka bukan anak-anak kecil lagi,
kepandaian pun cukup lumayan. Kukira tidak akan mengalami sesuatu."
"Semogalah begitu," ujar Siau-hujin dongkol dan hambar. "Untunglah kalian datang, kalau dua
hari terlambat, mungkin kalian hanya melihat surat yang kutinggalkan."
"Bibi hendak pindah ke mana lagi?"
"Tempat tinggalku ini hanya satu setengah hari perjalanan dari kota raja, meski kali ini aku
pulang secara sembunyi-sembunyi, tapi kabarnya pihak Tin-wan piaukiok sudah mendapat kabar
tentang pulangku ini. Tapi bukan aku takut pada mereka, aku ingin mencari putriku sembari
menghindari kesulitan juga."
Tak terasa Miao Tiang-hong mendengus, katanya: "Lagi-lagi persoalan dengan Tin-wan
piaukiok, ingin rasanya aku menyapu kecongkakan dan wibawa mereka."
"Lho, masakah kau pun ada permusuhan dengan Tin-wan piaukiok?" tanya Siau-hujin heran.
"Ah, Ci-lo, sebetulnya apakah yang kalian alami, sampai keadaanmu begini rupa, silakan sekarang
ceritakan kepadaku!"
Hun Ci-lo melirik kepada Miao Tiang-hong, lalu katanya: "Biarlah Miao-toako istirahat lebih dulu,
soal ini perlahan-lahan bisa kubicarakan dengan kau."
"Benar," ujar Siau-hujin, "aku sampai lupa menyambut tamu."
Waktu Siau-hujin ajak keponakan perempuannya ini memasuki kamar tidur, tampak belum lagi
Hun Ci-lo bicara, air mata sudah berlinang di kelopak matanya. Berkata Siau-hujin lemah lembut:
"Ci-lo, kenapa kau, bicaralah kepada bibi supaya perasaanmu tidak tertekan!"
Tak nyana apa yang diuraikan oleh Hun Ci-lo justru jauh di luar dugaannya. Sebetulnya dia
sudah menyiapkan serangkaian kata-kata untuk menghibur dan membujuk keponakannya ini, baru
setengah ia mendengar cerita orang, hatinya sudah terkesiap!
"Apa, jadi Nyo Bok masih hidup dalam dunia fana ini" Kenapa tidak sejak dulu kau katakan
kepada aku?" "Benar, memang Nyo Bok masih hidup! Tapi di dalam hatiku sudah sejak dulu dia mati."
"Ai, kalau kau tidak mau merangkap jodoh dengan Miao Tiang-hong, kenapa tidak sudi rujuk
kembali dengan Nyo Bok" Bukankah dulu pernah kau katakan, bahwasanya Nyo Bok tidak tahu
bahwa dia sudah meninggalkan bibit di dalam perutmu" Meski salah paham kali ini di antara kalian
cukup besar, namun hubungan suami istri bila satu pihak mau mengalah, keadaan yang serba
salah ini pastilah dapat dibikin jelas."
"Bibi, kau belum paham seluruhnya, ini, ini bukan salah paham!"
"Memangnya kenapa?"
Hun Ci-lo serba sulit untuk menjelaskan, bahwa pertikaiannya dengan Nyo Bok memang amat
rumit, soal Beng Goan-cau ia tidak suka menyinggungnya pula, ia pun tidak mau mengungkitungkit
hubungan rahasia Nyo Bok dan Ciok Tio-ki, dan persoalan-persoalan ini justru menjadi
pukulan yang berat dari persoalan pribadinya dengan Nyo Bok. Cuma ia mengharap akan datang
suatu ketika Nyo Bok bakal insyaf, supaya tidak menjerumuskan nama baik Nyo Bok selama hidup.
Tengah mereka bercakap-cakap di dalam kamar tidur itulah, sekonyong-konyong didengarnya
di luar rumah percakapan orang dan derap langkah kaki. Siau-hujin kaget, cepat ia mengenakan
pakaian dan berdiri, katanya: "Tengah malam di kampung sepi di pegunungan, dari mana
datangnya orang sebegitu banyak, mungkin musuh-musuh kita sudah meluruk tiba."
Belum habis ia bicara, terdengar dua suara berkata bersama: "Ki Kian-ya Han Wi-bu mohon
bertemu dengan Siau-hujin!" Mereka sama menggunakan ilmu mengirim gelombang suara jarak
jauh, di kesunyian malam berkumandang masuk ke kamar tidur Siau-hujin, kedengarannya sih
tidak begitu keras, namun setiap patah kata diucapkan amat jelas.
Waktu Siau-hujin membuka pintu rumahnya, tampak di luar pintu berjajar empat orang, kecuali
Ki Kian-ya dan Han Wi-bu, Siau-hujin kenal satu di antaranya adalah "sute Han Wi-bu bernama
Pek Bu-cu, seorang lagi adalah laki-laki bermuka kuning seperti berpenyakitan yang tidak ia kenal
Segera Siau-hujin menyapa dengan dingin: "Ki-losiansing dan Han-congpiauthau malam-malam
sudi berkunjung ke gubukku yang reyot ini, sungguh membuat tempat sepi dan kotor ini menjadi
semarak terang dan membanggakan keluarga kami. Sayang suamiku sudah lama wafat sehingga
tidak bisa menyambut para tamu agung. Tapi meski aku seorang perempuan tua, kiranya masih
kuat memikul tanggung jawab ini, soal permusuhan dengan suamiku dulu, silakan mencari
perhitungan kepadaku saja!"
Ki Kian-ya bergelak tertawa, katanya: "Siau-toaso, jangan kau salah paham. Persoalan dulu aku
Walet Emas Perak 9 Munculnya Jit Cu Kiong ( Istana Mustika Matahari) Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Pendekar Kembar 4
^