Pencarian

Kelana Buana 16

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 16


berdiri di lapisan batu yang teratas, dari atas menyerang ke bawah, "sret, sret", tangan kiri
menyerang dengan jurus Li Kong Memanah Batu, sementara tangan kanan menyerang dengan
tipu Burung Sakti Menggaris Pasir, betapa ganas rangsakan pedangnya ini sehingga Hian-hong
terdesak kerepotan dan membalikkan pedang untuk melindungi badan, terdengarlah "Bret" jubah
Hwesio Yam-yam Taysu kena dicomot sobek di depan dadanya. Saking terkejut kedua orang ini
berbareng menyurut mundur tiga undakan batu. Karena posisi Le Lam-sing lebih menguntungkan,
keadaannya masih lebih unggul dan tidak mungkin bisa terkalahkan.
Hian-hong lantas membentak: "Kalau berani marilah turun kemari!"
Le Lam-sing terbahak-bahak, ujarnya: "Kalau kau tidak takut jangan lari!" Ia lantas menubruk
turun, dengan sejurus Eng-kik-tiang-hong lagi, ia desak Hian-hong Tojin dan Yam-yam Hwesio
melompat mundur dari undakan batu, kini mereka bertanding lagi di tanah datar. Soalnya Le Lamsing
harus melindungi Tan Kong-si dan supaya jejaknya tidak ketahuan oleh musuh, maka ia rela
mengorbankan posisinya yang lebih baik untuk melabrak kedua musuhnya dari tempat yang lebih
tinggi. Le Lam-sing harus menghadapi keroyokan ketiga lawannya pula.
Pertempuran berjalan seimbang selama sesulutan dupa, tatkala itu cuaca sudah mulai gelap.
Yam-yam Hwesio dan Hian-hong Totiang sama bertekad, apapun yang terjadi Le Lam-sing tidak
boleh lolos dan melarikan diri turun gunung, maka mereka sama mengeluarkan seluruh kemahiran
masing-masing. Lambat laun gerak pedang Le Lam-sing kelihatan semakin lamban, seperti
kehabisan tenaga. Mau tidak mau Tan Kong-si berpikir: "Meskipun jejakku pantang diketahui oleh mereka, tapi
paman Le terkurung, masakah aku harus berpeluk tangan" Biar kubantu dengan timpukan Pingpok-
sin-tan, kalau betul-betul sampai ketahuan, yah apa boleh buat!"
Adalah di luar tahu Tan Kongsi, bahwa Le Lam-sing hanya main bertahan lantaran dia sedang
mengerahkan lwekang siap untuk balas menyerang.
Ping-pok-sin-tan adalah senjata rahasia tunggal keluarga Tan, merupakan pusaka bulim, karena
dibuat dari inti salju murni yang hanya terdapat dari gua es di puncak Himalaya, cara menyerang
tidak perlu harus tepat mengenai sasarannya, karena mengandal hawa dingin dari Ping-pok-sintan
itu sendiri cukup dapat melukai musuh juga.
Pertempuran di sebelah bawah sedang berlangsung begitu ramai dan sengit, secara diam-diam
Tan Kong-si menjentikkan sebutir Ping-pok-sing-tan, ia membatin: "Paman Le ada meyakinkan
lwekang aliran murni tingkat tinggi, hawa dingin tidak akan dapat melukainya. Sebaliknya Hweliong-
kang hwesio liar itu pastilah dapat dipunahkan oleh Ping-pok-sin-tanku ini!"
Begitu terkena angin Ping-pok-sin-tan lantas lumer, apalagi menerjang ke dalam lingkungan
deru angin yang bersuhu panas seperti hembusan dari tungku membara. Sebutir peluru es itu
ditimpukkan tanpa bersuara sedikit pun, orang-orang yang sedang bertempur itu ternyata tiada
seorang pun yang tahu. Yam-yam Hwesio sedang melancarkan Hwe-liong-kang pada tingkat kemahirannya, mendadak
terasa olehnya segulung hawa dingin menyusup ke dalam badan, begitu dingin sampai menyusup
ke dalam tulang sehingga saluran darahnya terganggu. Di saat ia mengerahkan lwekang di tahap
yang paling genting, mana boleh diganggu oleh serangan tak terduga yang mendadak, maka
tenaga pukulan panas yang sudah terhimpun di telapak tangan Yam-yam Hwesio tidak kuasa
dilancarkan lagi, malah menerjang balik, keruan ia meraung keras sambil menyemprotkan darah
segar. Dua orang yang lain rada mending, Hian-hong Totiang membekal lwekang yang cukup kuat, ia
hanya bergidik dan berbangkis sekali. Sementara lwekang Kat-loji meski lebih rendah dari Yamyam
Hwesio, namun karena Ping-pok-sin-tan kebetulan adalah pemunah Hwe-liong-kang yang
berlawanan, maka kalau Yam-yam Hwesio sendiri terluka parah, sebaliknya Kat-loji masih kuat
bertahan meski serba runyam juga.
Walaupun kuat bertahan, justru Le Lam-sing tidak memberi kelonggaran kepadanya, sekali
angkat kaki ia tendang Kat-loji terpental terbang dan menggelinding jatuh ke lereng gunung sana,
jengeknya dingin: "Keparat macammu tidak setimpal mengotori pedang pusakaku, biar kuampuni
jiwamu, menggelindinglah pergi!"
Yam-yam Hwesio mengira Le Lam-sing melancarkan semacam ilmu tunggal simpanannya pada
babak terakhir. Maka setelah ia menyemburkan darah, kaget dan gusar pula dibuatnya,
bentaknya: "Le Lam-sing, biar locu adu jiwa dengan kau!"-Meski tahu dirinya bukan tandingan ia
jadi nekad dan menyerang dengan mati-matian. Demikian pula Hian-hong To-jin, melancarkan
jurus ilmu pedangnya yang paling ganas menusuk kepada Le Lam-sing.
Tan Kong-si berlega hati bahwa tindakannya tidak sampai ketahuan oleh musuh. Ia tahu Hweliong-
kang Yam-yam Hwesio sudah tidak sehebat tadi, dengan Kat-loji sudah melarikan diri, Le
Lam-sing tidak perlu takut menghadapi kedua lawannya, sementara dirinya tetap
menyembunyikan diri saja.
Tak nyana baru saja ia berpikir, mendadak didengarnya Yam-yam Hwesio meraung seperti
harimau terluka, tahu-tahu ia menerjang keluar dari samping Le Lam-sing terus lari sipat kuping
turun gunung. Tampak lengan baju Hian-hong Tojin merah basah, ia pun tidak ketinggalan ikut
melarikan diri. Agaknya Le Lam-sing hendak mengejar mereka, tapi mendadak badannya limbung,
hanya melangkah dua tindak segera ia menghentikan langkah, agaknya terluka cukup parah.
Sungguh kaget dan menyesal pula Tan Kong-si dibuatnya, batinnya: "Kalau tahu demikian,
seharusnya aku menyambitkan Ping-pok-sin-tan lebih banyak, meski jejakku akhirnya ketahuan,
betapapun aku harus membantu kesulitan paman Le."
Pukulan terakhir Yam-yam Hwesio yang dilancarkan dengan sisa tenaganya dengan tekad
gugur bersama tadi, kesudahannya betul-betul di luar dugaannya pula. Semula ia sangka jiwanya
susah diselamatkan lagi, tak nyana begitu kedua pukulan beradu, mendadak ia merasa tenaga
pukulan Le Lam-sing sendiri pun jauh lebih lemah dari semula, meski dirinya masih kalah kuat,
agaknya musuh pun sudah terluka juga.
Saking kegirangan dari kejauhan Yam-yam Hwesio bergelak tawa dan berseru: "Le Lam-sing,
meski kau dapat melukai locu, sedikitnya kau sendiri harus berbaring setengah tahun. Selamat
bertemu di lain kesempatan, semoga kau bisa menyembuhkan luka-lukamu, janganlah jiwamu ajal
lebih dulu!"- Secara tidak langsung ia mau berkata bahwa kelak ia hendak menuntut balas kepada Le Lamsing.
Le Lam-sing coba mengendalikan napasnya yang memburu, serunya dengan serak: "Bagus,
bagus. Aku pun mengharap luka-lukamu lekas sembuh, supaya kita bisa berhantam lagi." Setelah
mengucapkan kata-katanya, seolah-olah ia sudah tidak kuasa lagi menahan dirinya dan terjatuh
duduk di tanah. Sementara Yam-yam Hwesio dan Hian-hong Tojin sudah lari jauh.
Lekas Tan Kong-si melompat keluar dari tempat sembunyinya, serunya: "Paman Le, bagaimana
keadaanmu?" Baru saja ia hendak maju me-mayangnya bangun, tahu-tahu Le Lam-sing sudah melompat
bangun sembari tertawa bergelak-gelak: "Persis tidak caraku berpura-pura" Tak nyana kau pun
kena kukelabui!" Kejut dan girang pula Tan Kongsi dibuatnya, katanya: "Paman Le, ternyata kau tidak terluka.
Tapi kenapa kau lepaskan mereka?"
"Memang sengaja aku biarkan mereka lari supaya menyangka aku terluka parah pula, barulah
mereka tidak akan berjaga-jaga. Terima kasih akan sambitan Ping-pok-sin-tanmu, tapi turun
tanganmu terlaju terburu nafsu. Sebetulnya setelah ratusan jurus kemudian baru akan kulabrak
mereka dan pura-pura sama terluka parah, supaya mereka tidak merasa curiga."
Diam-diam Tan Kong-si menyesali akan tindakannya yang kurang perhitungan, katanya:
"Paman Le, jadi kau pura-pura terluka, supaya lebih leluasa memasuki kota raja bukan?"
"Benar, bukan aku tidak mampu membunuh mereka, tapi lebih baik kuampuni jiwa mereka.
Supaya Boh Cong-tiu betul-betul membantu Utti Keng menolong keluar Li Kong-he, bukankah hal
itu akan menghemat tenaga kita malah" Kalau kubunuh mereka, mungkin bisa menggebah rumput
mengejutkan ular, sehingga Pakkiong Bong dan Boh Cong-tiu merubah siasatnya semula,
bukankah malah bikin runyam urusan?"
"Jadi percakapan mereka sudah paman dengar semua. Sebaliknya aku merasa kuatir bagi
keselamatan Utti Tayhiap!"
"Apakah kau akan masuk ke kota raja memberi kabar?"
"Benar, tapi aku sendiri sulit ambil putusan. Putri Cau-locianpwe dan Siau-Hujin kena diringkus
mereka, hubungan keluarga kami cukup intim dengan mereka, kalau hal ini sudah kuketahui
masakah aku harus berpeluk tangan menonton saja."
"Nah begini saja. Pergilah kau ke Sam-ho menolong mereka, biar aku yang masuk ke kota raja
menyampaikan berita ini."
"Baik. Biarlah selekasnya aku meluruk ke Sam-ho, semogalah dengan leluasa aku dapat
menolong mereka, setelah itu akan kususul masuk ke kota raja bertemu dengan paman Le dan
Utti Tayhiap." "Setelah berhasil menolong orang, kau harus segera pulang, jangan ke kota raja," demikian
kata Le Lam-sing. "Kenapa?" "Jago-jago anak buah Pakkiong Bong tidak sedikit jumlahnya. Meski Yam-yam Hwesio belum
tahu kaulah yang menyambitkan Ping-pok-sin-tan memecahkan ilmunya, tapi setelah pulang dan
menceritakan jalannya pertempuran serta melihat luka-lukanya itu, bukan mustahil ada orang
yang bisa mengetahui gejala-gejalanya. Kukira ayahmu tentu tidak suka kau membuat onar di
luaran." Baru sekarang Tan Kong-si paham, kenapa tadi Le Lam-sing melarang dirinya mengunjukkan
diri. Kini orang berkata demikian, sebagai angkatan yang lebih muda terpaksa ia harus terima
nasehat-nya, segera ia mengiakan.
"Menolong orang seperti menolong kebakaran, baiklah sekarang kita berpisah."
Tiba-tiba Tan Kong-si ingat sesuatu, katanya: "Paman Le, setelah berada di kota raja, apakah
kau hendak menemui Cay Kin?"
"Cay Kin adalah sahabat lamaku, memang aku hendak menginap di rumahnya sana. Apa kau
punya sesuatu urusan?"
"Ya ada sebuah urusan mohon paman Le suka membantu."
"Coba kau jelaskan!"
"Barusan aku berkenalan dengan seorang teman, dia adalah Song Theng-siau yang sejajar
dengan Beng Goan-cau itu, bersama seorang sumoaynya she Lu mereka pun pernah menetap di
rumah Cay Kin, baru tadi pagi mereka tamasya kemari dan hendak menginap di biara, di atas
gunung sana." "Song Theng-siau, adalah salah seorang tunas muda harapan bulim, aku sudah sering
mendengar pembicaraan beberapa kawan bulim mengenai sepak terjangnya. Adakah urusan yang
perlu kusampaikan kepada Cay Kin?"
"Kedatangan mereka kali ini adalah hendak mencari Beng Goan-cau, entahlah apakah dia
datang!" "Dari pembicaraan Yam-yam si kepala gundul dengan Hian-hong si hidung kerbau tadi, agaknya
Beng Goan-cau memang datang ke kota raja, intrik Boh Cong-tiu dengan Pakkiong Bong memang
bermaksud hendak menghadapi dia."
"Maka itulah mohon paman suka menyampaikan hal ini kepada Cay Kin. Sebagai warga Pakkhia
kawakan, mungkin dia bisa menyampaikan berita ini kepada Beng Goan-cau."
"Baik aku akan bertindak cukup hati-hati. Waktu di puncak Thay-san aku pun pernah
berkenalan dengan dia, aku pun ingin bertemu sekali lagi dengan dia."
Setelah mereka berpisah, malam itu juga langsung Tan Kong-si menuju ke Sam-ho. Di luar
tahunya jauh di depannya sana beranjak pula seorang yang sedang menuju ke Sam-ho juga. Dan
orang itu adalah Beng Goan-cau.
Dalam dua hari ini situasi di kota raja cukup gawat, sebagai seorang yang bernyali besar tapi
cermat dan hati-hati, berpikir Beng Goan-cau: "Aku membawa tugas penting dari Jaskar gerilya,
sekali-sekali aku pantang membuat keributan disini."--Tiba-tiba teringat olehnya bahwa kampung
halaman Hun Ci-lo yaitu Sam-ho tidak jauh dari kota raja. "Lebih baik biar aku pergi ke Sam-ho menilik
ke rumah Hun Ci-lo, apakah ia pernah pulang, sembari menghindari berbagai kesulitan di sini yang
situasinya panas. Dua tiga hari lagi biar kukembali ke kota raja." demikian ia berpikir dan segera
berkepu-tusan, maka ia merubah arah tujuan langsung menuju ke Sam-ho.
Waktu kecil Beng Goan-cau pernah ikut gurunya Kim-to Lu Siu-gun bertamu dan menetap di
rumah Hun Ci-lo, bahwa hari ini ia kembali ke tempat yang dikenalnya ini, tanpa terasa dua puluh
tahun sudah berselang. Kenangan lama kembali mengetuk sanubarinya, sehingga langkah kakinya menjadi lambat,
entah berapa lama ia beranjak di jalan kampung yang sudah hafal benar, tahu-tahu ia sudah tiba
di depan rumah besar keluarga Hun. Tatkala itu kira-kira sudah lewat kentongan ketiga, malam
sudah larut suasana amat sunyi senyap, namun dari dalam rumah didengarnya percakapan orang
dan senda gurau yang ramai.
Jaraknya sebetulnya cukup jauh dan pintu-pintu pun tertutup rapat, percakapan dan senda
gurau orang di sebelah belakang sebetulnya tidak terdengar dari sebelah luar, namun Beng Goancau
sejak kecil sudah melatih permainan senjata rahasia, maka mata kupingnya teramat tajam,
meski belum tiba di depan pintu dari kejauhan ia sudah mendengar keributan di dalam rumah.
Sejenak ia pasang kuping, serta merta alisnya berkerut, pikirnya heran: "Kenapa suara laki-laki
kasar melulu, mereka sedang pesta pora sambil berjudi. Ci-lo dan bibinya biasanya suka
ketenangan dan kebersihan, tak mungkin mereka mengundang tamu-tamu kasar ini berpesta pora
di rumahnya." Beng Goan-cau tahu adanya gelagat yang ganjil ini maka tanpa bersuara diam-diam ia
memutar ke belakang rumah, mengembangkan ginkang menyusup masuk ke dalam pekarangan.
Di luar ruang tamu dalam rumah keluarga Hun ini terdapat sebuah pekarangan luas, dalam
pekarangan ini ada ditanam beberapa pohon beringin raksasa, segera Beng Goan-cau
menyembunyikan diri di atas sebuah pohon beringin, dilihatnya di dalam ruang tamu sana ada
enam tujuh laki-laki kasar ternyata sedang minum arak sambil berjudi.
Tiba-tiba didengarnya salah seorang di antara mereka berkata: "Kita harus bisa membatasi diri,
jangan sampai mabuk lho!"
"Takut apa?" senggak seorang lain.
"Memangnya kau lupa akan pesan Hian-hong Totiang?" tanya orang itu.
Kata-katanya ini menimbulkan gelak tawa teman-temannya yang lain. "Liau-toako, kau terlalu
hati-hati dan penakut, hanya menjaga nona cilik saja, memangnya mereka bisa terbang?"
Orang she Liau itu berkata: "Sudah tentu mereka tidak akan bisa terbang, tapi kita harus
berjaga-jaga, siapa tahu ada orang datang hendak menolong mereka. Apakah kalian tahu
belakangan ini Hun Ci-lo katanya sudah punya kekasih baru, orang itu adalah Miao Tiang-hong."
Mendengar kata-kata ini sungguh terkejut dan marah pula hati Beng Goan-cau, namun untuk
mendapat tahu asal-usul dan sepak terjang kawanan penjudi ini, Beng Goan-cau menahan sabar
dan mendengar lebih lanjut pembicaraan mereka.
Terdengar seorang berkata: "Miao Tiang-hong" Bukankah dia yang bergebrak dengan Yam-yam
Taysu di Tong-theng-san sebelah barat tempo hari" Kabarnya Yam-yam Taysu kena dirugikan
olehnya!" Orang she Liau itu berkata: "Tidak salah, waktu itu Yam-yam Taysu bergabung dengan Sebun
Soh, itu sute Pakkiong Tayjin."
Mendengar percakapan ini tanpa sadar beberapa laki-laki yang sedang berjudi dan minum arak
itu sama menghentikan permainannya dan mendengar dengan tertarik. Kata salah seorang: "Hianhong
Totiang sudah pergi, kalau Miao Tiang-hong benar meluruk kemari hendak mencari
gendaknya itu, bagaimana kita harus menghadapinya?"
Barulah orang she Liau itu menjelaskan: "Kalian pun tidak perlu kuatir, Lo-ha sekarang sudah
pergi mengundang Coh-locianpwe, kemungkinan Ouwyang Kian juga bisa datang bersama
mereka. Kalau malam ini belum tiba, besok pagi tentu sudah datang."
Orang-orang itu menjadi lega, namun untuk menutupi rasa malu dan takutnya, terpaksa
seorang di antaranya mengada-ada: "Apa-apaan ucapanmu ini, dengan tenaga kita beramai
masakah takut menghadapi Miao Tiang-hong seorang?" -Seorang yang lain pun menanggapi:
"Sudah tentu, kalau Coh-locianpwe sudah tiba kita jauh lebih lega hati. Kalau tidak kemari pun,
bukan menjadi soal, marilah kita tenggak arak ini sampai habis."
Orang she Liau itu tertawa riang, ujarnya: "Kuharap kalian jangan terlalu banyak tenggak air
kata-kata, berlaku hati-hati lebih menguntungkan. Kuatirnya sebelum Coh-locianpwe tiba, orang
she Miao itu sudah meluruk datang lebih dulu. Kalau kita sudah mabuk cara bagaimana bisa
berkelahi?" Agaknya nasehatnya ini membawa hasil, apa lagi yang bernyali kecil segera menghentikan
minum. Baru saja Beng Goan-cau merasa geli, tiba-tiba didengarnya berkesiur lambaian ujung pakaian
melesat lewat di atap rumah sebelah sana, di bawah cahaya bulan yang redup terlihat sesosok
bayangan orang mendekam di atas payon, arahnya kebetulan tertuju ke tempat ruang tamu.
Beng Goan-cau mengerut alis, batinnya: "Mungkinkah orang itu Miao Tiang-hong, agaknya
ucapan Tan Tayhiap terlalu mengagulkan dirinya dari kenyataan. Meski ginkang orang itu cukup
tinggi, namun belum termasuk kelas wahid. Dibanding siau-sumoay-ku malah lebih asor." Di luar
tahunya bahwa orang itu bukan Miao Tiang-hong, tapi adalah Tan Kong-si yang baru tiba.
Untunglah penghuni dalam rumah itu sama kaum keroco, maka kesiur lambaian baju Tan Kongsi
yang cukup keras itu tidak ketahuan oleh mereka. Baru saja Beng Goan-cau menertawakan
pembicaraan mereka yang takabur, didengarnya pula derap langkah yang mendatangi, tahu-tahu
seorang laki-laki pertengahan umur memasuki ruang tamu itu sambil menyilakan seorang laki-laki
tua yang berbadan kekar. Orang she Liau itu segera berseru kaget dan kegirangan lalu memburu maju menyambut,
sapanya sambil berseri tawa: "Coh-loyacu, dapat mengundang kedatangan kau orang tua,
sungguh membuat kami girang dan bangga."
Laki-laki tua itu menenteng dua butir bola besi besar, dimainkan di tangan kanannya sehingga
berbunyi kelotakan ujarnya: "Sejak lama Pakkiong Tayjin memang sudah berkirim surat kepadaku,
aku sudah mengasingkan diri beberapa tahun, tak nyana dia masih mengenal namaku. Baru hari
ini aku sempat berangkat menuju ke kota raja, nanti aku harus mohon maaf akan
keterlambatanku ini!"
Tergerak hati Beng Goan-cau, batinnya: "Mungkinkah tua bangka ini adalah Coh Thian-hiong
yang diberi julukan Thong-thian-hou?" Ternyata Coh Thian-hiong adalah bekas begal tunggal yang
sering beroperasi di beberapa propinsi daerah selatan pada tiga puluhan tahun yang lalu, entah
mengapa akhirnya ia mencuci tangan dan mengasingkan diri di Ai-lo-san di Hun-lam. Beng Goancau
pun pernah dengar nama orang dari penuturan Siau Ci-wan, tadi sesaat ia kurang ingat bahwa
orang bakal muncul di sini.
Betul juga segera ia dengar orang she Liau itu berkata: "Kau orang tua jauh-jauh dari Hun-lam
kemari, sepanjang jalan ini tentu terlalfc letih, silakan duduk!"
Laki-laki pertengahan umur yang membawa dia datang itu berkata: "Hian-hong Totiang
mengharap kau orang tua suka menetap satu dua hari dulu di sini, nanti setelah dia datang baru
berangkat bersama beliau masuk ke kota raja."
"Guru Hian-hong adalah saudara angkatku, memang sejak lama aku ingin bertemu dengan dia.
Ke mana dia pergi?" Orang she Liau segera memberi jawaban: "Dia ada janji rahasia dengan Yam-yam Taysu, kalau


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat selesai mungkin besok dia sudah kembali."
"Ouwyang Kian sebetulnya sudah berjanji sama aku untuk datang kemari menyambut
kedatangan Coh-locianpwe, pada saatnya ternyata tidak datang, mungkin ia punya tugas lain di
kota raja, atau mungkin Pakkiong Tayjin menahannya," demikian kata laki-laki pertengahan umur
itu. "Jangan terlalu banyak bicara, Coh-locianpwe baru menempuh perjalanan jauh, biarlah istirahat
dulu." Coh Thian-hiong mendadak tertawa, serunya: "Mungkin dalam waktu dekat ini aku belum bisa
istirahat." Semua orang yang hadir sama melengak dan tidak mengerti ke mana juntrungan kata-katanya,
mendadak Coh Thian-hiong menghardik: "Sahabat di luar itu silakan masuk!"
Beng Goan-cau terkejut, batinnya: "Tua bangka ini ternyata memang liehay." Baru saja ia
hendak melompat turun, tiba-tiba terdengar suara "Brak". Coh Thian-hiong melemparkan kedua
peluru besinya lewat jendela terus menerjang ke arah di mana Tan Kong-si menyembunyikan diri.
Sigap sekali Tan Kong-si mencelat berkelit, genteng di mana ia sembunyi seketika pecah
berhamburan dan atap rumah pun berlubang besar. Meski terpaut sebuah pekarangan yang cukup
jauh, namun sambitan peluru besi Coh Thian-hiong ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa,
mau tidak mau Beng Goan-cau terkejut dibuatnya.
Tan Kong-si menjadi gusar, dampratnya: "Diberi tidak membalas kurang hormat, biar kalian
pun merasakan betapa nikmatnya Ping-pok-sin-tanku!?"Maklum masih berjiwa muda berdarah
panas, hampir saja ia kena dirugikan oleh Coh Thian-hiong, saking gusarnya tanpa banyak pikir,
kontan ia lompat turun terus menerjang ke dalam ruang tamu, tujuh butir Ping-pok-sin-tan ia
sambitkan secara berantai.
Begitu kena angin Ping-pok-sin-tan lantas lumer menjadi uap dingin berkembang melingkupi
udara sekelilingnya, berubah menjadi gulungan kabut putih tebal. Tujuh laki-laki di dalam ruang
tamu seketika bergidik kedinginan dan beradu giginya, mengkeret kaku tak bisa bergerak atau
bersuara. Tapi orang she Liau dan laki-laki pertengahan umur yang datang bersama Coh Thianhiong
itu hanya ber-bangkis dua kali dan gemetar sedikit saja, segera mereka sudah memburu
keluar memapak kedatangan Tan Kong-si, terang kepandaian mereka sedikitnya tidak lebih asor
dari Tan Kong-si. Coh Thian-hong bergelak tertawa, serunya: "Aku sedang merasa gerah di dalam rumah, terima
kasih kau membawa hawa segar dan nyaman ini." Beruntun ke arah timur, barat, selatan, dan
utara ia menepuk empat kali, sekaligus ia sampuk gulungan kabut dingin itu keluar rumah.
Dalam pada itu orang she Liau itu sudah angkat goloknya terus membacok ke arah Tan Kongsi,
goloknya ini dinamakan Ki-ce-to (golok gergaji), senjata serba guna, dapat dibuat menjepit dan
mengatasi berbagai senjata seperti pedang dan golok biasa. Tak nyana Ping-coan-kiamhoat yang
diyakinkan Tan Kong-si jauh berbeda dengan ilmu pedang berbagai partai, "sret" dengan jurus
Ping-coan-ciam-liu ia totokkan pedangnya, hawa dingin segera ikut memberondong tiba, sinar
dingin pun menyilaukan mata, meski orang she Liau ini masih kuat bertahan, tak urung ia tersurut
mundur dua langkah. Seorang yang lain baru saja memburu tiba dan belum sempat turun tangan,
mendadak didengarr nya Coh Thian-hiong membentak: "Berhenti dulu!"
Seumpama anak kambing yang baru lahir tidak takut harimau, dengan pongah Tan Kong-si
berkata: "Kalian hendak main keroyok, memangnya aku takut?"
Coh Thian-hiong terbahak-bahak, ujarnya: "Anak muda. untuk meringkus kau segampang
membalikkan tanganku." Bicara sampai di sini tiba-tiba sebuah peluru besinya melesat datang
"Trang" telak sekali ia menyampuk miring ujung pedang Tan Kong-si yang hampir menusuk ke
perut orang she Liau itu. Seketika Tan Kong-si merasa telapak tangannya tergetar sakit, hampir
saja pedang panjangnya tidak kuasa dipegang.
Hati Tan Kong-si bercekat, namun dengan bertolak pinggang ia berkata: "Aku berani datang
kemari, memangnya sudah tidak ingin pulang dengan hidup. Kalian ada berapa banyak orang,
mari maju bersama." "Anak muda yang keras kepala dan takabur, lohu tidak akan sudi menindas anak muda, biar
kutanya kau, bukankah kau putra Tan Thian-ih?"'
"O, kiranya kau kenal nama besar ayahku, memang benar, lalu mau apa?"
"Meski aku tidak kenal ayahmu, tapi sudah lama dengar ketenaran masing-masing, pulanglah
kau beritahu kepadanya, tentu dia akan tahu siapa aku adanya. Em, kupandang muka ayahmu,
aku tidak menarik panjang urusan, lekaslah kau pergi!"
"Kalau kau menyerahkan putri-putri keluarga Cau dan Siau, sudah tentu aku akan segera
pergi." Coh Thian-hong melengak, ujarnya: "Putri keluarga Cau dan Siau apa segala?"
Orang she Liau segera menimbrung bicara: "Kedua budak hijau itu adalah tawanan Hian-hong
Totiang, Pakkiong Tayjin ada sedikit keperluan atas diri mereka, sekali-kali tidak boleh diserahkan
kepada bocah ini." Laki-laki yang menemani dia datang itu pun menyela: "Coh-loyacu, kalau kau tidak leluasa
bergebrak dengan bocah ini, biar kami saja yang membekuknya. Bagi kami tidak perlu takut Kanglam
Tayhiap Tan Thian-ih segala."' Sudah tentu kata-katanya terakhir ini amat menusuk perasaan
Coh Thian-hiong, segera ia menjengek dingin: "Kalau begitu terpaksa aku harus turun tangan,
kalau tidak, orang menyangka aku takut menghadapi Tan Thian-ih!" Sembari berkata telapak
tangannya sudah bergerak pula dengan sejurus Sin-wan-tam-jiau (lutung sakti menjulurkan
cakar), ia mencengkeram ke pundak Tan Kong-si, sebat sekali Tan Kong-si berputar menyingkir
seperti gangsingan, sementara pedangnya melintang terus balas membabat miring.
Bahwa gerak pedangnya sudah cukup cepat, namun gerakan Coh Thian-hiong lebih cepat lagi,
dengan gaya Teng-san-gua-hou (naik gunung naik harimau), ia mendesak maju seraya
melontarkan kepalan tangannya. Pukulan tangannya ini betul-betul di luar dugaan Tan Kong-si,
karena jarak kedua pihak masih terpaut satu tombak lebih, orang hanya melangkah setindak,
sebetulnya kepalan orang tidak mungkin bisa mengenai sasarannya, tak nyana badan orang
mendoyong ke depan, lengannya itu seolah-olah bisa mulur lebih panjang, secepat kilat tahu-tahu
memukul tiba di depan dada Tan Kong-si.
Tan Kong-si cepat menegakkan pedangnya di depan dada, dalam hati ia membatin:
"Bagaimana juga aku pun harus melukainya!" Maklumlah pertempuran kaum persilatan tingkat
tinggi paling mengutamakan kecepatan, meski hanya terpaut seperseratus detik, jikalau kepalan
Coh Thian-hiong mengenai dada Tan Kong-si lebih dulu, mengandal kekuatan pukulannya itu,
paling ringan Tan Kong-si terluka parah. Walau betapa tinggi dan liehay ilmu pedangnya, juga
tidak akan mampu membuat lawan terluka.
Menurut teori ilmu pukulan, jelas bahwa pukulan Coh Thian-hiong ini lebih dulu mengenai dada
Tan Kong-si, tapi di saat-saat yang menentukan itu tiba-tiba ia merubah jurus, bentaknya: "Lepas
pedang!" Dari kepalan ia ganti menjadi cengkeraman yang di arah adalah pedang Tan Kong-si.
Cengkeraman itu tepat sekali mengenai pedang pusaka Tan Kong-si, jari-jarinya begitu hebat
seperti tanggem besi menjepit kencang batang pedangnya. Ternyata bagaimana juga sedikitnya ia
masih rada jeri menghadapi ayah Tan Kong-si yaitu Kanglam Tayhiap Tan Thian-ih, maka ia tidak
berani sembarangan melukai jiwa orang.
Adalah di luar tahunya bahwa pedang pusaka Tan Kong-si ini justru lain dari pedang pusaka
umumnya, pedang ini dibuat dari batu jade dingin yang paling murni dan berhasil digembleng
menjadi Peng-pok-han-kong-kiam, begitu jari-jari Coh Thian-hiong mencengkeram batang
pedangnya, seketika ia rasakan tangannya dingin luar biasa, bukan saja bergidik kedinginan,
serasa darah dan tulang sumsum hampir beku. Meski lwekangnya tinggi, hawa dingin itu tidak
akan bisa melukai dirinya, soalnya kejadian di luar dugaan, begitu hawa dingin itu menyerang,
secara reflek, mau tidak mau jari-jarinya yang mencengkeram itu menjadi kendor sendirinya.
"Belum tentu!" Tan Kong-si balas membentak, sigap sekali ia gentakkan lengannya terus
menekan turun menyerang kelima jari-jari musuh.
Terpaksa Coh Thian-hiong melepaskan tangan, bentaknya: "Anak muda, kau tidak mau buang
senjata dan mengaku kalah, jangan kau salahkan aku tidak sungkan lagi."
Lengan Tan Kong-si terasa lemas kesemutan, lekas ia melompat mundur beberapa langkah,
pedang melintang di depan dadanya, menunggu reaksi Coh Thian-hiong selanjutnya. Dan di saat
Coh Thian-hiong hendak melabraknya lebih lanjut itulah tiba-tiba didengarnya seseorang
membentak: "Menindas anak kecil terhitung orang gagah macam apa kau. Biar aku jajal
kepandaian kau si rase tua bangka ini!" Dari atas pohon beringin di dalam taman lompat turun
seseorang, tak perlu dijelaskan bahwa orang ini jelas Beng Goan-cau adanya.
Waktu di pertemuan di puncak Thay-san Tan Kong-si pernah bertemu dengan Beng Goan-cau,
keruan kaget dan girang pula hatinya, teriaknya: "Beng Tayhiap!" Hampir bersamaan, laki-laki
pertengahan umur yang menemani kedatangan Coh Thian-hiong tadi pun berteriak: "Hah, itulah
Beng Goan-cau, Coh-loyacu, orang she Beng ini adalah buronan pemerintah, jangan kau lepaskan
dia." Ternyata orang ini bernama Ha Ping, pernah sekali ia ikut pasukan pemerintah menyerbu pangkalan
laskar rakyat di Siau-kim-jwan, maka ia kenal Beng Goan-cau, sebaliknya Beng Goancau tidak kenal
siapa dia. Berpikir Beng Goan-cau: "Thong-pi-kun si rase tua ini sudah dilatih sedemikian sempurna, aku harus
mengalahkannya dengan akal."-Sejak tadi ia mencuri lihat permainan silat orang, sudah ditemukan cara
untuk mengatasi ilmu pukulan orang, maka segera ia menegakkan golok pusakanya, pelan-pelan ia
memutar satu lingkaran lalu memapas ke depan.
Coh Thian-hiong tertawa dingin, jengeknya: "Jadi kau ini Beng Goan-cau yang kenamaan dari Siau-kim-
jwan, memangnya hanya begini saja kemampuanmu?" Segera ia lancarkan ilmu tangan kosong merebut
senjata, secara kekerasan ia hendak merebut golok pusaka Beng Goan-cau.
Mendadak Beng Goan-cau menghardik bagai guntur, sinar goloknya laksana kilat sekonyong-konyong
dari gerakan lamban berkelebat amat cepat, membabat miring membacok lurus, sekaligus ia menyerang
tiga belas kali, maka terdengarlah suara "Cras" bolak-balik, sebelah lengan baju Coh Thian-hiong terpapas hancur beterbangan oleh sambaran golok kilatnya.
Ketiga belas rangsakan golok Beng Goan-cau dilancarkan sekaligus sambung menyambung dengan
dahsyatnya, kecepatannya susah di kuti oleh mata biasa, bahwa serangannya ini tidak sampai melukai
Coh Thian-hiong mau tidak mau ia terkejut juga. Pikirnya: "Kalau Tan Kong-si tidak mampu menghadapi
kedua laki-laki itu, malam ini mungkin kami bisa celaka di sini."
Sebat sekali Coh Thian-hiong merendahkan badan, kedua jarinya terangkap terus menjentik sembari
menubruk maju, "Tring" golok pusaka Beng Goan-cau ternyata kena dijentiknya terpental ke samping.
Selentikannya itu tepat sekali dilancarkan di saat gerak golok Beng Goan-cau mencapai titik gerakan yang
tidak bisa disambung, terus karena dia harus ganti napas, sudah tentu cara dan tujuannya teramat berbahaya, untunglah dia bisa mencari kesempatan baik ini.
Di sebelah sana Ha Ping dan orang she Liau itu sama berseru memuji, keruan Tan Kong-si mencelos
dibuatnya. Namun begitu tajam golok Beng Goan-cau dimiringkan, ia lancarkan tipu Hian-to-sek, di dalam
satu gerakan ini di dalamnya tersembunyi tujuh delapan macam serangan ganas yang mematikan dengan
cara yang serba tak terduga dan rumit lagi. Bahwa lengan bajunya terpapas habis tinggal separuh pun
membuat ciut nyali Coh Thian-hiong, dalam waktu dekat rasanya ia pun tidak berani merangsak terlalu
berani. Coh Thian-hiong melompat mundur selangkah, ia tertawa dan berkata: "Pada jaman ini, yang tersohor
menggunakan golok kilat kecuali Utti Keng, yang kedua adalah kau. He, he, pahlawan dari tunas muda,
kata-kata ini memang tidak salah, tapi untuk mengalahkan lohu, kukira kau belum mampu melakukan
sekarang!" Sembari tertawa ia menubruk pula, keduanya saling serang menyerang pula dengan sengit,
cuma pertarungan kali ini jauh berlainan dari gebrak pertama tadi. Beng Goan-cau menumpahkan seluruh
semangat dan perhatian untuk menghadapi lawan tangguh ini, terasa olehnya bau amis merangsang
hidung sehingga rasanya mual dan
memusingkan kepala. Bahwa kedua lengan Coh Thian-hiong panjang melebihi orang lain, hal ini tidak
perlu dibuat heran, adalah kesepuluh jari-jari tangannya itu laksana cakar elang, kukunya panjang beberapa senti, mengkilap hitam lagi. Setiap kali ke sepuluh jarinya itu berkembang dan mengkeret,
laksana sepuluh batang jarum runcing, semuanya sama menusuk ke Hiat-to mematikan di tubuh Beng
Goan-cau, apa lagi kalau kuku jari-jarinya itu diselentikkan, bau amis yang memualkan segera
merangsang hidung. (Bersambung ke Jilid 3) Jilid 3 Menghadapi pukulan lawan yang mengandung bisa di antara kuku-kuku jarinya itu, lekas Beng
Goan-cau mengerahkan hawa murni untuk menjaga supaya dirinya tidak keracunan. Golok
cepatnya bergerak mengikuti gerak gerik lawan dan berputar laksana baling-baling, namun ia tidak
menyerang dengan bacokan, cukup mengetuk atau mengarah Hiat-to penting di badan musuh.
Kedua laki-laki itu tidak tahu seluk beluk inti permainan goloknya, sebaliknya Coh Thian-hiong
adalah seorang ahli silat yang banyak pengalaman, tidak berani ia berlaku lena dan menjaga diri
dengan rapat. Oleh karena Coh Thian-hiong tidak berani bertempur secara dekat, sementara Beng
Goan-cau sendiri juga jeri akan cakar tangannya yang beracun, maka kedua pihak hanya saling
serang dan sergap dari jarak tertentu, dua pihak punya kekuatiran masing-masing, maka dalam
waktu dekat keadaan masih sama kuat dan setanding.
Baru saja Tan Kong-si hendak maju membantu, laki-laki she Liau itu lantas berkata: "Orang she
Tan, babak kita belum ada ketentuan siapa menang dan kalah, mari kita lanjutkan!" Golok
bergiginya segera ia ayun ke tengah udara, segera ia kembangkan ilmu golok menjepit untuk
menghadapi Peng-pok-han-kong-kiam Tan Kong-si. Tadi secara langsung ia sudah rasakan
keliehayan dari Peng-pok-han-kong-kiamnya, kini sudah siap-siap, tenaga ia pusatkan pada pusar,
sekarang tidak perlu ia takut terserang oleh sambaran hawa-dingin.
Di lain pihak, Ha Ping pun sudah menyilangkan kedua potlot bajanya ikut maju melabrak, ujung
senjatanya terpentang kedua jurusan masing-masing menotok ke Ki-bun-hiat di ketiak Tan Kongsi.
Lekas Tan Kong-si melintangkan pedang menangkis, serta balas menyerang dengan jurus
Heng-hun-toan-hong (awan melintang memotong puncak), sembari menyerang ia pun bisa
menjaga diri dengan rapat.
Tak nyana permainan sepasang potlot Ha Ping ternyata lincah dan licin sekali, tahu-tahu ujung
potlot-nya bergeser menukik ke bawah terus menotok Hoan-tiau-hiat di lututnya. Meski ilmu
pedang Tan Kong-si cukup liehay dan aneh, sayang pengalaman bertempur masih terlalu cetek,
karena diserang secara gencar ia jadi kerepotan dan terdesak mundur berulang-ulang.
Laki-laki tinggi kurus itu bernama Liau Hoan, sejawat dengan Ha Ping, Ki-ce-tonya memang
peranti untuk menundukkan segala senjata pedang atau golok, dengan mendapat bantuan Ha
Ping, maka ia tidak perlu takut menghadapi serangan balasan Tan Kong-si, sudah tentu manfaat
dari senjatanya itu lebih leluasa ia kembangkan.
Untung Ping-pok-ham-kong-kiam Tan Kong-si lain dari yang lain, tapi karena terdesak
perlawanannya menjadi kurang mantap, ' hawa dingin yang merembes keluar dari batang
pedangnya jadi tidak bisa dia kembangkan semaksimal mungkin untuk menyerang kedua
lawannya. Kira-kira tiga puluhan jurus kemudian keadaan Tan Kongsi sudah cukup gawat.
Tiba-tiba Tan Kong-si memutar tubuh, Ha Ping menyangka orang hendak lari segera ia
membentak: "Lari ke mana kau?" belum lagi mulutnya terkatup, tiba-tiba sejalur hawa dingin
merangsang ke dalam badan terus menembus ke uluhati-nya. Ternyata di saat orang kurang
waspada, di waktu ia putar tubuh Tan Kong-si menyambitkann sebu-i r Ping-pok-sin-tan, Ha Ping
sedang membuka mulut, kontan Ping-pok-sin-tan itu masuk dan tertelan ke dalam perutnya. Meski
lwekangnya cukup lumayan tak urung saking gugup dan gelagapan ia tersurut mundur tiga tindak,
lekas kedua potlotnya ia putar kencang untuk melindungi badan, sementara hawa murni segera ia
kerahkan untuk melawan hawa dingin yang menyerang seluruh badannya dari dalam perut,
tekanan serangan mereka seketika menjadi berkurang.
Baru saja Tan Kong-si merogoh ke dalam kotak di mana Ping-pok-sin-tan ia simpan, tiba-tiba ia
mengeluh kaget, maksudnya ia hendak menyerang Liau Hoan dengan Ping-pok-sin-tan pula, tak ia
sadari bahwa senjata rahasianya itu ternyata sudah digunakan habis. Untunglah Ping-pok-sin-tan
terakhir tadi tertelan masuk ke dalam perut Ha Ping, kalau tidak tentu tak akan banyak membawa
bantuan, tapi paling tidak ia sudah punya harapan untuk mengejar kemenangan meski dirinya
terdesak di bawah angin, kini Ping-pok-sin-tan diketahui sudah habis, maka harapan ini menjadi
nihil. Tak lama kemudian Ha Ping sudah kuasa mengendalikan diri, jengeknya dingin: "Bocah
keparat, masih punya akal busuk apa pula kau?" Kedua potlotnya menyerang lebih gencar lagi,
cuma ia tidak tahu bahwa Ping-pok-sin-tan Tan Kongsi sudah habis, serangan gencarnya ini
hanyalah tidak memberi kesempatan supaya orang tidak menyam-bitkan senjata rahasianya pula
membokong mereka. Di bawah rangsakan sebuah golok dan sepasang potlot musuh, Tan Kong-si hanya mampu
menangkis dan membela diri, sedikit pun tidak mampu balas menyerang. Lambat-laun keadaannya
semakin berbahaya. Sementara Beng Goan-cau yang bertanding dengan Coh Thian-hiong, kalau goloknya
berkelebat secepat kilat, adalah lawannya selincah kera bermain petak, tapi karena Beng Goan-cau
harus selalu waspada akan cakar beracunnya, mau tidak mau ia terdesak di bawah angin juga.
Di saat pertempuran berjalan amat sengit dan seru ini, tiba-tiba terdengarlah sebuah lengking
suitan panjang bagai naga memekik di tengah angkasa. Kejadian sungguh berlangsung amat
cepat, belum lagi lenyap gema suitan itu sesosok bayangan orang tahu-tahu sudah muncul di atas
tembok terus melompat turun di pekarangan dalam rumah keluarga Hun.
Sungguh girang Tan Kong-si bukan kepalang, teriaknya: "Paman Miao, amat kebetulan
kedatanganmu!" Adalah Lian Hoan amat terkejut, teriaknya ketakutan: "Celaka, Miao Tiang-hong telah tiba."
Mendengar Tan Kong-si memanggil 'paman Miao' serta merta berkerut alis Beng Goan-cau,
batinnya : "O, jadi dia inilah Miao Tiang-hong adanya!"
Didengarnya Miao Tiang-hong berseru: "Kong-si jangan gugup. Di mana Siau-hujin dan Hun Cilo?"
"Entah mereka ke mana, yang kutahu bahwa Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi sama diringkus
oleh kawanan bangsat keparat ini," demikian sahut Tan Kong-si.
Beng Goan-cau membatin pula: "Begitu datang dia lantas menanyakan Ci-lo, agaknya
hubungan mereka sudah cukup kental!"
Pertarungan tokoh kosen tingkat tinggi mana boleh perhatian terpencar. Coh Thian-hiong
berkesempatan merangsak maju, "Bret" ia berhasil mencakar robek pakaian Beng Goan-cau, yang
menjadi sasaran sebetulnya adalah tulang pundak Beng Goan-cau, untunglah kulitnya tidak
sampai lecet terluka oleh cakar berbisa musuh. Namun demikian lengan kiri Beng Goan-cau
menjadi linu dan kesemutan tak leluasa bergerak lagi, sebat sekali ia lompat mundur menyingkir.
Di dalam waktu singkat itu Miao Tiang-hong sudah melabrak Liau Hoan dan Ha Ping berdua.
Begitu tahu yang datang ini adalah Miao Tiang-hong, Liau Hoan menjadi gugup dan ketakutan,
goloknya terangkat berputar terus membacok secara membabi buta. Cukup Miao Tiang-hong
mengebutkan lengan bajunya menggubat golok orang terus ditarik dan disendai, golok besar Liau
Hoan terbang ke tengah udara, tak tahan lagi Liau Hoan sendiri juga terseret ke depan, begitu
keras sampai jatuh terguling-guling.
Kepandaian Ha Ping lebih lumayan, tapi ia pun tidak kuasa menahan tiga jurus serangan Miao
Tiang-hong. Mendadak Miao Tiang-hong menggunakan gerakan mengangguk menghindari
tusukan ujung potlot lawan, tanpa mencabut pedang, ia gunakan kedua jari tangannya
melancarkan ilmu permainan potlot baja pula, sekali jepit terus didorong, ia membentak: "Diberi
tidak membalas kurang hormat, biar kalian rasakan ilmu totokku!" Lekas Ha Ping angkat kedua
potlotnya untuk menangkis, tak nyana gerakan Miao Tiang-hong yang dikira gertak sambal tibatiba
menyerang sungguhan, yang diarah adalah Jian-kin-hiat di pundaknya, Ha Ping masih
berusaha menggunakan tipu Menanggalkan Jubah Mencopot Pakaian, maksudnya hendak berkelit
sembari balas menyerang, tak nyana totokan jari Miao Tiang-hong yang mengarah Jian-kin-hiat di
pundak kiri itu entah bagaimana, sebelum ja melihat jelas, tahu-tahu pundak kanan yang terasa
kesemutan dan kaku, menyusul Liau Hoan, dia pun terjungkal roboh.
Tatkala itu Beng Goan-cau baru saja kena dirugikan oleh Coh Thian-hiong, ia melompat


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyingkir ke samping. Kebetulan Miao Tiang-hong meluruk datang. Lekas Tan Kong-si berseru:
"Saudara itu adalah Beng Goan-cau Beng Tayhiap!"
Tanpa terasa Miao Tiang-hong mengeluarkan suara, sejenak ia melenggong, batinnya:
"Ternyata orang ini Beng Goan-cau adanya. Ai, mungkin kedatanganku ini salah pula!"
Sebetulnya dia tidak akan kembali melihat Hun Ci-lo, soalnya dalam perjalanan hatinya merasa
tidak tenteram dan kuatir, maka ia putar balik, tujuannya hanya mencari tahu keadaan rumah Hun
Ci-lo dari luar saja, jikalau mereka benar tidak apa-apa, baru dia akan tinggal pergi dengan hati
lega. Tak nyana begitu tiba di ujung kampung lantas ia dengar suara pertempuran di dalam rumah
keluarga Hun, terpaksa ia unjuk diri dan muncul membantu kesulitan mereka. Tak nyana di rumah
keluarga Hun ini ia bertemu dengan Beng Goan-cau. Meski ia tidak begitu jelas mengetahui
hubungan Beng Goan-cau dengan Hun Ci-lo, namun ia sudah dengar bahwa hubungan mereka
dulu cukup intim. Seketika hatinya merasa hampa dan mendelu.
Liau Hoan merangkak bangun terus membebaskan totokan Ha Ping dan berteriak: "Hayo yang
di dalam, lekas gusur keluar kedua budak cilik itu." Pikirnya ia hendak menjadikan Siau dan Cau
kedua gadis itu sebagai sandera untuk mengancam Miao Tiang-hong supaya tidak menggunakan
kekerasan pula kepada mereka.
Tan Kong-si jadi sadar, lekas teriaknya: "Miao-toako, lekas kau labrak bangsat tua itu, marilah
masuk menolong orang!"
Saat lain Miao Tiang-hong sudah dapat menenangkan pikiran dan menguasai hatinya,
teriaknya: "Beng-toako, kau dan Kong-si masuklah ke dalam menolong orang, biar rase tua ini
kuhadapi!" Beng Goan-cau sudah menyaksikan cara orang merobohkan Liau Hoan dan Ha Ping, ia tahu
kepandaian orang cukup mampu untuk menghadapi Thong-thian-hou Coh Thian-hiong, maka ia
berseru: "Baik, bikin susah Miao-toako saja!"
Dengan tergesa-gesa Tan Kongsi menerjang masuk ke dalam rumah, Beng Goan-cau
membuntuti di belakangnya namun hatinya rada kuatir dan was-was. "Entah apakah Ci-lo juga
terjatuh ke tangan musuh" Em, kalau aku tahu Miao Tiang-hong malam ini bakal kemari, lebih
baik aku tidak datang," demikian batin Beng Goan-cau.
Tengah hatinya risau, tiba-tiba didengarnya jeritan suara perempuan. Beng Goan-cau tersentak
sadar dari lamunannya. Dengan hati tegang cepat ia memburu masuk.
Begitu mendengar suara jeritan itu, Tan Kong-si langsung menerjang masuk ke dalam sebuah
kamar, terlihat Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi sudah dibekuk oleh dua laki-laki, di samping mereka
masih berjajar empat orang kaki tangan mereka. Sigap Kong-si gerakan pedangnya, "Sret, sret"
dua kali ujung pedangnya menusuk jalan darah, kontan dua di antara mereka tertotok roboh
dengan luka-luka. Baru saja ujung pedangnya hampir menusuk orang ketiga, kedua laki-laki kekar
itu mendadak membentak: "Berani kau turun tangan lagi, biar kedua budak ini kubunuh di
hadapanmu?", tangan mereka yang satu menekan punggung Cau Ci-hwi, demikian pula yang lain
berbuat sama, tempat di mana telapak tangan mereka menekan adalah Hong-hu-hiat, cukup
sedikit kerahkan tenaga menyodok, jiwa kedua nona itu pasti melayang seketika dan tak tertolong
lagi. "Tan-toako," teriak Cau Ci-hwi. "Jangan pedulikan diriku, bunuh mereka semua, meski jiwaku
melayang aku pun rela."
Laki-laki yang menekan punggungnya itu menyeringai sadis: "Bagus, bagus sekali, jiwa kasar
kami kiranya mendapat teman jalan ke akhirat dengan gadis cantik macam kau ini agaknya cukup
setimpal juga. Orang she Tan, kalau kau suka dengar ocehannya, marilah kita coba-coba." _ Mana
Tan Kong-si berani maju, katanya menahan sabar: "Kalian hendak berbuat apa pada mereka?"
Kedua laki-laki itu membentak bersama: "Kau keluar lebih dulu!"
Pada saat itulah sebuah suara dingin mendadak menanggapi: "Kalian pasti tidak punya
ketulusan hati untuk meneken kontrak perdagangan ini, ketahuilah cara menawarkan harga bukan
begitu caranya." Waktu Beng Goan-cau menerobos masuk sebelumnya dia sudah membunuh dua orang, maka
seluruh pakaiannya berlepotan darah. Matanya mendelik garang lagi dengan memegang gagang
golok, sikapnya gagah penuh wibawa. Meski kedua laki-laki itu punya tawanan dua orang sebagai
sandera, tak urung hati menjadi ciut dan kaki tangan gemetar.
Laki-laki yang menekan Siau Gwat-sian itu berseru: "Maaf saudara, dalam hitung dagang ini
pihak kamilah yang lebih unggul, harga yang kami kemukakan tidak bisa ditawar lagi. Kalian
segera harus keluar, kalau tidak segera kami akan melukai dia!"
Beng Goan-cau tertawa dingin, ujarnya: "Tan Kongcu ini adalah teman baik mereka, sebaliknya
aku tiada hubungan sanak bukan famili dengan mereka tidak perlu aku kuatir akan keselamatan
mereka. Hehe, marilah kita selesaikan hitung dagang ini secara adil dan masing-masing memberi
keuntungan. Berapapun harga yang kalian minta aku tidak perlu perdulikan, aku orang she Beng
bukan hanya mengancam saja, berani kalian melukai seujung rambut mereka, biar kubuat tiga
lubang di atas badan kalian dan kuiris enam belas potongan!"
Tan Kong-si tidak menduga Beng Goan-cau bakal menggunakan akal demikian, keruan ia
menjadi kuatir juga, serunya: "Beng Tayhiap, mana boleh begitu?"
"Kenapa tidak boleh?" ujar Beng Goan-cau.
Kedua laki-laki itu saling pandang, sesaat mereka jadi bingung, apakah mesti mematuhi
ancaman Beng Goan-cau, sekonyong-konyong kilat golok menyambar dengan cepat, belum lagi
kedua laki-laki itu sempat bersuara, lengan kanan masing-masing sudah kena tertabas kutung oleh
sambaran golok Beng Goan-cau. Ternyata Beng Goan-cau memang sengaja pura-pura
mengancam untuk mengalihkan perhatian mereka, lalu sekaligus ia turun tangan dan membawa
hasil yang gemilang. Jarak Beng Goan-cau kira-kira hanya satu tombak lebih di sebelah mereka, sebelumnya ia tidak
menunjukkan gerak-gerik yang mencurigakan, begitu berkata lantas turun tangan. Serangan
laksana kilat itu, belum lagi kedua orang itu sempat mengerahkan tenaga pada telapak tangan
masing-masing, tahu-tahu lengannya sudah tertabas kutung oleh sambaran golok musuh.
Sambil melolong seperti babi dijagai kedua laki-laki itu roboh terguling, darah segar mengotori
pakaian Siau dan Cau kedua gadis, keruan mereka menjerit kaget dan ketakutan.
"Maaf, membuat kalian kaget!" demikian ujar Beng Goan-cau tertawa.
Di dalam kamar itu masih ada dua laki-laki lain yang belum terluka, mereka sudah ketakutan
setengah mati sampai muka pucat pias dan membuka mulut tak mampu mengeluarkan suara,
ingin mereka melarikan diri, sayang kedua kaki tidak menurut perintah lagi.
Beng Goan-cau segera membentak: "Berdiri di tempat kalian, kalau tidak kedua temanmu itu
sebagai contohnya." Setelah lolos dari marabahaya, entah karena kaget atau sebab lainnya, Gwat-sian dan Ci-hwi
jadi limbung dan tidak kuasa berdiri tegak. Lekas Tan Kong-si mema-yang mereka, katanya:
"Kenapa kalian, ada terluka tidak?"
Adalah Beng Goan-cau yang banyak pengalaman segera melihat sesuatu yang ganjil, segera ia
angkat golok dan membentak: "Kalian memberi obat racun apa kepada kedua nona ini, lekas
keluarkan obat penawarnya!"
Kedua laki-laki yang terluka itu menjadi ketakutan, sahutnya gemetar: "Kami tidak, tidak punya
obat penawarnya!" "Siapa yang menyimpan obat pemunahnya?"
"Siapapun tiada yang punya."
"Bohong!" sentak Beng Goan-cau. "Kalau obat pemunahnya tidak kalian serahkan kucabut
nyawa kalian." "Beng Tayhiap, memangnya kami berani dusta pada kau orang tua. Liau Hoan memang
mencampuri Siok-kut-san di air minum yang diberikan mereka, itulah obat bubuk buatan dari
istana raja, khasiatnya bisa membuat lemas tenaga dan semangat orang. Komandan kami hanya
memberi Siok-kut-san tanpa memberi obat penawarnya, cuma kalian pun tidak perlu kuatir, obat
bubuk itu tidak membawa akibat buruk bagi kesehatan badan, sudah tentu lebih baik kalau
mendapat obat penawarnya, kalau tiada juga tidak menjadi halangan."
"Kenapa tiada halangan. Jelas mereka tidak mampu berjalan!"
"Cuma tiga hari saja setelah khasiat obat itu hilang, mereka akan bebas dan bisa berjalan
seperti biasa," demikian kedua laki-laki itu memberi penjelasan pula.
"Tiga hari lagi," keluh Siau Gwat-sian. "Tan-toako, berjalan saja kami tidak mampu cara
bagaimana bisa ikut kau pergi?"
"Aku punya Bik-ling-tan yang terbuat dari Thian-san-soat-lian, khasiatnya bisa menyembuhkan
macam-macam racun, Siok-kut-san bukan merupakan obat beracun yang jahat dan dibuat secara
khusus, mungkin obatku ini bisa membawa hasil," demikian kata Tan Kong-si. "Lekas kalian duduk
samadi biar kubantu kalian dengan saluran tenaga lwekang supaya lekas sembuh."
Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi memangnya merasa seram melihat darah yang berceceran di
mana-mana, lekas mereka pejamkan mata dan duduk samadi seperti petunjuknya.
"Baiklah, kau bantu mereka menyembuhkan luka-luka, biar kugusur mereka ke dalam kamar
kurungan di tempat lain, supaya tidak mengganggu usaha kalian!" demikian kata Beng Goan-cau.
Segera Beng Goan-cau gusur para tawanannya termasuk yang terluka, ia totok jalan darah mereka
lalu dikurung di dalam gudang kayu, katanya: "Sebentar aku akan kembali minta keterangan
kalian." Lalu ia periksa seluruh pelosok rumah Hun Ci-lo itu, dilihatnya tiada bayangan orang
lainnya lagi, demikian juga Hun Ci-lo tidak ditemuinya.
Lekas ia beranjak keluar, saat mana Liau Hoan dan Ha Ping sudah melarikan diri, sementara
Thongthian-hou Coh Thian-hiong juga sudah dikalahkan oleh Miao Tiang-hong, kebetulan ia
hendak melarikan diri. Terdengarlah suara "Crat cret" beberapa kali, mendadak Coh Thian-hiong merendahkan badan
serta berputar beberapa lingkaran, di waktu badannya melompat bangun berdiri pula, baju luarnya
sudah terbuka dan tahu-tahu sudah tergantung di ujung pedang Miao Tiang-hong, baju luarnya itu
berlubang tujuh delapan tusukan pedang, namun dia sendiri tidak sampai terluka, secepat angin
lesus lantas melarikan diri. Ternyata gerakan ini dinamakan Kim-tan-toat-kak (tonggeret melepas
kulit), suatu gerak tipu aneh yang khusus digunakan untuk menolong diri di saat jiwa terancam.
Miao Tiang-hong selamanya belum pernah melihat tipu permainan yang aneh macam itu, sekilas
tercengang, maka lawan berkesempatan lari sipat kuping.
Kata Miao Tiang-hong tertawa: "Rase tua ini memang tidak bernama kosong, licin dan licik
betul!" "Biarlah dia lari," ujar Beng Goan-cau. "Musuh di dalam sudah kubereskan semua, yang terluka
dan yang tidak terluka semua kuku-rung di dalam gudang, sebentar kita bisa kompes dan minta
keterangan mereka." "Di mana Tan Kong-si?" tanya Miao Tiang-hong.
"Di dalam, sedang bantu kedua nona menyembuhkan luka-lukanya."
"Kalau begitu biarlah kita tunggu di sini sebentar lagi," ujar Miao Tiang-hong tertawa penuh
arti. Beng Goan-cau menduga orang ada omongan yang perlu dibicarakan, maka dengan pikiran
kusut ia manggut-manggut, maka mereka jalan mondar-mandir di luar hutan di pinggir rumah.
Masing-masing memikirkan isi hati sendiri, sesaat lamanya mereka membungkam, serba sulit dari
mana mereka harus mulai membuka pembicaraan.
Kira-kira satu lingkaran kemudian Miao Tiang-hong membuka suara lebih dulu: "Beng-heng,
meski baru hari ini kita bertemu, namun sudah lama kudengar nama besarmu. Ci-lo pernah
memberitahu kepadaku, katanya kau adalah sahabatnya yang paling kental."
"Sudah sepuluhan tahun lamanya aku berpisah dengan dia," demikian ujar Beng Goan-cau.
"Apakah Miao-heng juga hendak menjenguk dia" Berapa lama kalian berkenalan?"
"Aku baru mengenalnya waktu berada di rumah Siau-hujin di Tong-thing-san barat, belum lagi
tiga bulan lamanya. Memang aku menyusul kemari hendak mencari beritanya, tapi semula aku
sudah berkeputusan untuk tidak bertemu lagi dengan dia."
Beng Goan-cau melengak, tanyanya: "Apakah sebabnya?"
"Maaf, kalau aku bicara terus terang, ingin aku bicara dari hati ke hati dengan kau, Beng-heng."
Beng Goan-cau rada merasa di luar dugaan bahwa orang hendak bicara secara gamblang dan
terus terang kepadanya, mau tidak mau ia merasa simpatik dan senang akan sikapnya yang supel
ini, katanya: "Apakah mengenai persoalan Ci-lo?"
"Ya, bicara soal persahabatan sudah tentu aku bukan apa-apa dibanding hubungan Beng-heng
dengan dia, tapi sedikit banyak aku tahu juga akan isi hatinya."
"Kukira persahabatan lama atau baru tidak menjadikan halangan bagi ikatan persahabatan
yang kekal bagi sesama kawan yang sepaham."
"Tapi, Beng-heng, bagaimana martabat dan jiwa Hun Ci-lo sudah tentu kau jauh lebih
menyelaminya dari aku. Dia benar-benar seorang perempuan gagah yang berjiwa satria, sayang
pengalaman hidup yang pahit getir membuatnya selalu murung."
"Maksudmu di dalam pernikahannya dengan Nyo Bok?" tanya Beng Goan-cau.
"Beng-heng, ada sebuah peristiwa mungkin masih belum kau ketahui. Nyo Bok sudah
menceraikan dia." Tergetar hati Beng Goan-cau, serunya: "Hah, ada kejadian itu?"
"Resminya Nyo Bok memang sudah menceraikan dia, yang terang bahwa secara kenyataan Cilo
tahu orang macam apa sebenarnya Nyo Bok, suaminya itu." Lalu ia ceritakan bagaimana Suhay-
sin-liong mewakili Nyo Bok menyerahkan surat cerainya itu,-kepada Beng Goan-cau.
Kejut dan girang pula hati Beng Goan-cau mendengar penuturannya ini, katanya: "Suami yang
demikian, bercerai pun lebih baiklah!"
"Benar, seumpama bisul jahat di atas badan, lebih cepat dipotong lebih baik. Tapi Ci-lo
mengalami pukulan yang seberat ini, meski ia masih kuat bertahan, namun hatinya teramat sedih.
Beng-heng, kecuali kau siapa pula yang dapat memberi hiburan menyembuhkan luka-luka hatinya.
Beng-heng, kau atlalah seorang gagah yang berla-pang dada dan bijaksana, kukira kau tidak
berpikiran sesempit itu menganggapnya sebagai seorang janda bukan?"
Mendengar orang bicara jujur dan setulus hati, Beng Goan-cau jadi terharu, namun dalam hati
ia pun tertawa getir, batinnya: "Mungkin dia belum tahu bahwa Ci-lo sudah mempunyai seorang
putraku, buat apa harus dia yang menjadi comblangnya. Urusan duniawi memang sukar diduga
oleh manusia. Meski aku ada niat rujuk kembali, masakah urusan baik ini bisa terlaksana."
"Beng-heng, kenapa kau diam saja, apakah kau merasa omonganku kurang pantas?"
"Miao-heng, kuharap kau pun maklum dan memaafkan kata-kataku yang blak-blakan ini, ada
sebuah pertanyaan entah patut atau tidak kuajukan kepada kau?"
"Beng-heng, sekali bertemu hubungan kita umpama sahabat lama, hati masing-masing sudah
bertaut. Beng-heng ada omongan apa, silakan kemukakan saja."
"Dari nada bicara Miao-heng, agaknya kau pun menaruh simpatik dan memujanya bukan?"
"Benar, memang aku kagum akan jiwanya yang ksatria, lembut di luar keras di dalam hati. Ada
sebuah hal harus kuberitahu kepada Beng-heng, bahwa aku sudah angkat saudara bersama dia!"
"Kenapa pula kau tidak sekaligus melamarnya untuk menjadi istrimu?"
"Soal perjodohan, memangnya bisa dipaksakan" Walau kalian sudah sepuluh tahun berpisah,
tapi aku tahu selama ini dia tidak pernah melupakan kau. Hidup ini sudah ditakdirkan, janganlah
kau sia-siakan perjodohan ini. Beng-heng, perjodohan ini sebetulnya adalah milikmu, janganlah
kau menyia-nyiakan demikian saja."
Beng Goan-cau tertawa getir, katanya: "Terima kasih akan perhatianmu, tapi masih terlalu pagi
untuk membicarakan hal ini. Ah, cuaca sudah larut, tak terasa setengah jam sudah berselang,
mungkin Tan Kong-si sudah selesai memberikan bantuan pengobatan kepada kedua nona itu.
Marilah kita menengok mereka di dalam." Tahu bahwa orang segan melanjutkan pembicaraan ini,
adalah ia tidak tahu kekalutan pikiran orang, katanya: "Betul, orang macam apa saja kawanan
penjahat ini, perlu kita kompes keterangan mereka."
Setelah menelan Bik-ling-tan, dibantu saluran tenaga lwekang Tan Kong-si lagi, lambat laun
tenaga mereka mulai pulih meski belum seperti sedia kala. Begitu melihat Miao Tiang-hong
mereka sama berjingkrak kegirangan, dengan nerocos seperti mitrai iur mereka tanya sana sini tak
henti-hentinya. Mereka tidak tahu hubungan Beng Goan-cau dengan Hun Ci-lo masa silam, maka
setiap pertanyaan mereka selalu berkisar mengenai Hun Ci-lo, sudah tentu Miao Tiang-hong
menjadi kikuk dan risi. "Sudahlah kalian jangan merujuk paman Miao saja," sela Tan Kong-si. "Dia harus mengompes
keterangan kawanan penjahat itu."
Beng Goan-cau membebaskan totokan jalan darah orang-orang itu, lalu bentaknya: "Sebetulnya
kalian pantas dibunuh, tapi mengingat kalian hanya diperalat saja, asal kalian mau mengaku dan
memberi keterangan yang kami perlukan, jiwa kalian boleh diampuni."-
Mereka adalah kawanan penjahat yang takut mati, sebelum dikompes mereka sudah mengaku
terus terang. Setelah mendapat segala keterangan yang diperlukan, berkatalah Beng Goan-cau: "Hukuman
mati boleh diampuni, hukuman hidup harus kalian rasakan. Yang kalian andalkan untuk berbuat
jahat dan sewenang-wenang hanyalah kepandaian cakar ayam belaka, baiklah kupunahkan saja
ilmu silat kalian!" -Satu per satu ia remas remuk semua tulang pundak mereka, tapi ia pun beri
Kim-jong-yok untuk menyembuhkan luka-lukanya, lalu membiarkan mereka pergi.
Miao Tiang-hong menghela napas, katanya: "Tak nyana ada kejadian ini, tapi bukan mustahil
sengaja Pakkiong Bong menyiarkan kabar bohong ini untuk menjebak Boh Cong-tiu."-Ternyata,
keterangan yang mereka dapat adalah bahwa Boh Cong-tiu ada kerjasama dan sekongkol dengan
Pakkiong Bong. "Paman Miao," ujar Tan Kongsi, "masih ada beberapa soal yang belum diketahui oleh kawanan
brandal itu. Setelah kalian dengar tentu lebih kaget dan tercengang."
"Urusan apa?" tanya Miao Tiang-hong.
"Bahwa secara suka rela memang Boh Cong-tiu terima diperalat oleh Pakkiong Bong, pertama
memperalat dia untuk menipu Utti Tayhiap, kedua memperalat dia untuk menjebak dan
mencelakai jiwa seorang buronan yang jauh lebih penting daripada Li Kong-he, coba kalian tebak
siapa orang yang dimaksud ini?"
"Dari mana aku bisa tahu," ujar Miao Tiang-hong.
"Orang itu bukan lain adalah Beng Tayhiap."
Beng Goan-cau berkata sambil tertawa: "Tak nyana Pakkiong Bong sekongkol dengan Boh
Cong-tiu hendak mencelakai aku, aku jadi kaget dan bangga pula."
"Urusan ini amat penting, cara bagaimana kau bisa mendapat kabar ini, apakah dapat
dipercaya?" Miao Tiang-hong menegas.
"Kudengar dari percakapan Yam-yam Taysu dengan Hian-hong Totiang," demikian jawab Tan
Kong-si. "Oh, Yam-yam hwesio, aku tahu kepandaian silat Yam-yam hwesio tidaklah lemah, cara
bagaimana kau bisa mencuri dengar pembicaraan rahasia mereka?"
"Kalau dibicarakan hanya secara kebetulan saja," tutur Tan
Kong-si. Lalu ia ceritakan pengalamannya di Pat-tat-nia tempo hari, untunglah akhirnya Le Lamsing
muncul dan berhasil menggebah mereka lari pontang panting.
"Menurut apa yang kutahu," kata Miao Tiang-hong, "Yam-yam hwesio dan Hian-hong Totiang
adalah jago-jago kelas satu Pakkiong Bong, jauh lebih tinggi tingkatan mereka dari kawanan
keroco yang kita tawan barusan. Kalau begitu kejadiannya tidak perlu disangsikan lagi. Beng-heng,
sejak kini kau harus lebih waspada dan hati-hati."
"Beng Tayhiap," seru Tan Kongsi. "Agaknya kau sendiri tidak merasa kuatir dan heran?"
"Bahwa Boh Cong-tiu hendak mencelakai aku, memang sebelumnya tidak terpikir olehku, tapi
bahwa dia ada intrik dengan Pakkiong Bong, hal itu tidak menjadikan heranku, malah boleh dikata
sudah di dalam dugaanku! Jauh di waktu pertemuan besar di puncak Thay-san tempo hari, aku


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah melihat ambisinya yang besar. Bagi seorang yang sudah gila pangkat dan gengsi pribadi,
sekali dia menyeleweng dan tersesat, meski banyak teman hendak bantu memperbaiki
kesalahannya pun tidak berguna lagi. Tugas kita yang paling penting sekarang adalah cepat-cepat
masuk ke kota raja dan menemukan Utti Tayhiap, sekaligus kita bongkar muslihat Boh Cong-tiu."
"Sudah tentu kita harus bertindak cepat, tapi Beng-heng, tujuan mereka justru hendak
menghadapi kau, maka pastilah mereka, amat memperhatikan segala gerak-gerik dan jejakmu,
kukira, tidak leluasa kau ke sana."
Beng Goan-cau tertawa lantang, ujarnya: "Sebetulnya aku memang hendak menyingkir dulu
dari situasi yang panas ini, sekarang mau tidak mau aku harus berangkat ke sana. Dalam kalangan
kangouw kita harus mengutamakan jiwa ksatria dan hati bijak serta setia kawan, walau
hubunganku dengan Utti Tayhiap tidak begitu mendalam, tapi boleh dikata sebagai kawan
sehaluan dan sepaham, coba kau katakan, apakah aku harus duduk berpeluk tangan membiarkan
orang masuk ke dalam perangkap musuh?"
"Kita harus membagi tugas, masakah kita harus beramai-ramai meluruk ke kota raja bersama,"
demikian usul Miao Tiang-hong.
Maka Cau Ci-hwi dan Siau Gwat-sian merengek-rengek hendak ikut, namun Miao Tiang-hong
menolak, dikatakan supaya mereka pergi mencari ibunya saja.
Berkata Siau Gwat-sian: "Tapi entah ke mana ibu."
"Waktu aku berpisah dengan dia, ibumu ada bilang hendak ke rumah ibu inangmu,
kedatanganku ini memang hendak melihat apakah dia sudah pergi belum."
"Wah, dia pergi ke rumah bu inang, bu inang paling sayang padaku, tapi tempat tinggalnya di
dalam sebuah selokan gunung yang sepi dan belukar, amat jauh dari sini."
"Nah, bu inangmu begitu sayang kepadamu, lekaslah kau susul ke sana saja." demikian bujuk
Miao Tiang-hong. Akhirnya ia berhasil membujuk Siau Gwat-sian berdua supaya tidak ikut ke kota
raja. Berkata Miao Tiang-hong: "Beng-heng, bersama Kong-si antarlah mereka mencari ibunya, biar
aku saja seorang yang menyampaikan kabar ini, bagaimana, tugas ringan ini yakin pasti depat
kukerjakan dengan baik. Sebaliknya kau sudah berpisah sekian lamanya dengan Ci-lo, sudah
saatnya kau melihat keadaannya."
Beng Goan-cau kurang senang, katanya: "Miao- heng, maksudmu memang baik, tapi dengan
demikian berarti kau pandang rendah diriku. Memangnya aku harus membiarkan kau seorang diri
menempuh marabahaya" Dikata aku ingin bertemu dengan Ci-lo, memangnya kau sendiri tidak
ingin berkumpul sama dia" Kenapa tugas yang paling gampang ini kau serahkan kepadaku?"
Tan Kong-si yang tidak tahu seluk beluknya segera menimbrung bicara: "Ucapan Beng Tayhiap
memang benar, tugas mengantar nona Cau dan nona Siau berikan kepadaku saja. Miao-sioksiok,
kau tidak usah kuatir." Lalu ia menyambung pula: "Beng Tayhiap, hampir lupa aku memberitahu
kepada kau, bahwa di Pat-tat-nia tempo hari aku ada bertemu dengan teman baikmu Song Thengsiau
bersama nona Lu, katanya sumoaymu!"
Beng Goan-cau menjadi girang, tanyanya: "Tahukah kau di mana mereka sekarang?"
"Katanya hendak tamasya di Ban-li-tiang-shia dua hari. Mungkin sekarang sudah pulang ke
rumah Cay Kin." "O, mereka menetap di rumah Cay Kin?"
"Ya, Beng Tayhiap, sebelumnya kau pun sudah kenal sama Cay Kin?"
"Kalau begitu aku harus segera ke kota raja untuk bertemu dengan meraka. Cay Kin aku belum
pernah -kenal, tapi dia adalah teman akrab Siau Ci-wan dan Ling Thiat-jiau kedua toako, asal
kuterangkan pasti sudah tahu."
Apa boleh buat terpaksa Miao Tiang-hong berkata: "Beng-heng, marilah kita berangkat
bersama. Tapi harus sedikit hati-hati. Beng-heng, kuberikan sebuah barang kepada kau, mungkin
banyak berguna dalam perjalanan ke kota raja ini." Ia keluarkan selembar kedok mukj palsu.
Bang Goan-cau tertawa, ujarnya: "Betul, aku adalah seorang buronan, kalau memakai
permainan ini, meski agak gerah, tapi bisa menghindari berbagai kesulitan, terpaksa aku menyiksa
diri dengan kedok ini."
Hari kedua pagi-pagi benar mereka lantas berangkat, kira-kira menjelang magrib mereka,
sudah tiba di Pakkhia. Dengan mengenakan kedok palsu Beng Goan-cau berdua mencampurkan
diri di dalam rombongan kaum pedagang, ternyata tidak menimbulkan banyak kesulitan, dengan
gampang ia sudah memasuki kota Pakkhia.
Waktu mereka tiba di rumah keluarga Cay, hari sudah tiba ken-tongan kedua, setelah
mengetuk pintu setengah harian barulah Cay Kin keluar membuka pintu. Beng Goan-cau lantas
mengajukan tanda-tanda rahasia yang dipelajari dari Siau Ci-wan, tahu bahwa orang datang dari
Siau-kim-jwan, keruan Cay Kin amat terkejut, lekas ia berkata: "Beng-heng, amat kebetulan
kedatanganmu, marilah lekas masuk bicara di dalam saja!"
Setelah mereka duduk di dalam kamar, berkata Cay Kin: "Beng-heng, Miao-heng, nama besar
kalian sudah lama kukagumi, tidak perlu aku bicara sungkan terhadap kalian. Dua tiga hari ini
situasi cukup gawat, kukira kalian sudah tahu."
Berkata Beng Goan-cau tegas: "Aku hanya ingin menyirapi berita beberapa teman saja, setelah
tahu keadaan mereka segera kami mohon diri."
"Beng-heng, jangan kau salah paham, memangnya kau anggap aku takut kerembet oleh
persoalanmu, adalah sebaliknya aku kua-tir kau kerembet oleh urusanku. Mungkin malam ini bakal
terjadi sesuatu di sini."
"Ada urusan apa?" tanya Beng Goan-cau.
"Nanti sebentar kuterangkan," kata Cay Kin. "Teman yang hendak kau cari bukankah Song
Theng-siau?" "Benar, dia sudah pulang belum?"
"Belum pulang. Pagi tadi kusuruh seseorang memberi kabar kepadanya, supaya mereka
menetap di Pat-tat-nia dua tiga hari lebih lama."
"Kabarnya Le-thocu dari Ang-ing-hwe juga di sini?" tanya Beng Goan-cau.
Cay Kin merendahkan suaranya, katanya: "Beng-heng, kalau kalian satu jam datang lebih pagi,
bukan saja bisa bertemu dengan Le-thocu, kau pun bisa bertemu dengan seorang teman yang
pasti di luar dugaanmu."
"Siapa dia?" "Si maling sakti Kwi-hwe-thio."
"Hah, Kwi-hwe-thio juga sudah datang."
"Sebetulnya Kwi-hwe-thio kemari mencari Song Theng-siau hendak minta bantuannya, setelah
bertemu dengan Le-thocu, maka dia lantas pergi pula bersama Le-thocu."
"Untuk apa Kwi-hwe-thio minta bantuan orang lain?"
"Kau sudah tahu keributan yang ditimbulkan oleh Utti Keng di kota raja?"
"Tahu, tapi tidak begitu jelas!"
"Kwi-hwe-thio mendapat kabar, katanya Utti Keng bersama Boh Cong-tiu hendak meluruk ke
markas Sat Hok-ting hendak menolong orang, maka dia pun hendak menyusul ke sana secara
diam-diam untuk membantu mereka."
Girang dan kaget pula hati Beng Goan-cau, ujarnya: "Amat kebetulan sekali kedatangan kami,
Cay-toako, di mana letak markas Sat Hok-ting, cobalah kau lukiskan secarik gambar keterangan."
"Kalian baru pertama kali ini masuk kota raja, hanya mengandal selembar gambar hendak main
terobosan bahayanya tentu besar. Dan lagi mereka sudah berangkat satu jam lebih, jikalau sampai
terjadi keributan, sudah terlambat kalian menyusul ke sana, lebih baik kalian tunggu saja di sini
menanti berita." Sampai di sini tiba-tiba ia bertanya dengan suara lirih: "Waktu kalian datang tadi,
adakah dilihat oleh orang?"
"Rumah-rumah sekitar sini sudah tutup pintu semua, tapi adakah orang yang melihat kami, aku
tidak berani mengatakan."
"Aku ada banyak kenalan baik dengan para pejabat, tapi bukan mustahil selalu menjadi
perhatian mereka. Malam nanti bila terjadi sesuatu, kuharap kalian jangan unjukkan diri."
Baru saja mereka bicara, betul juga didengarnya pintu di luar digedor dengan gencar. Cay Kin
tertawa, katanya: "Cepat benar mereka datang!" Lekas ia suruh Beng dan Miao dua orang
sembunyi di dalam kamar rahasia. Bergegas ia keluar membuka pintu, ternyata yang datang ini
adalah sekawanan opas. Cay Kin kenal baik dengan kepala opas itu, katanya sambil merangkap tangan: "Ong-toako
punya keperluan apa?"
Ong-thaubak (kepala opas) menjawab: "Markas Sat-congkoan digemparkan oleh datangnya
pembunuh gelap!" Cay Kin pura-pura terkejut, katanya: "Ada kejadian itu?"
"Cay-piauthau," ujar Ong-thaubak, "Kami menjalankan tugas, kuharap kau tidak kecil hati."
"Memangnya apa sangkut pautnya pembunuh gelap di markas Sat-congkoan dengan aku" Ongtoako,
kau kan tahu beberapa tahun terakhir ini, aku selalu menutup pintu menyekap diri, sudah
lama aku tidak pernah terlibat urusan luar!"
"Cay-piauthau, bicaralah terus terang, kabarnya dua hari ini sering datang orang-orang asing
keluar masuk di rumahmu, siapa saja mereka" Apakah masih menginap di rumahmu?"
"Ong-toako, kukira kau salah terka, memang hari ini ada datang dua orang, mereka adalah
petani yang menyewa sawahku, datang membayar uang sewa, sejak pagi tadi mereka sudah
pulang!" "Cay-piauthau, bukan aku tidak memberi muka kepada kau, kami hanya menjalankan tugas,
terpaksa harus mengadakan pemeriksaan sekadarnya!"
"Boleh, silakan Ong-toako ikut aku!"
Beng Goan-cau dan Miao Tiang-hong sembunyi di kamar rahasia, hati mereka sama kebatkebit.
Sudah tentu kawanan opas itu tidak menjadi ganjalan hati mereka, namun kalau mereka
terpaksa harus turun tangan, urusan bakal merembet Cay Kin yang punya keluarga dan usaha di
Pakkhia. Akhirnya terdengar Cay Kin berkata: "Inilah kamar terakhir, mungkin pembunuh gelap itu
sembunyi di sini, Ong-toako silakan kau periksa dengan seksama!"
Ong-thaubak itu tertawa, katanya: "Cay-piauthau memang suka berkelakar, kami hanya
sekedar menjalankan tugas, masakah kami harus mempersulit kau " Berdiri di luar pintu, ia
melongok-longok saja terus menutupkan pintu kamar itu.
Setelah kawanan opas itu pergi, Cay Kin pun masuk, katanya sambil tertawa: "Beres sudah,
keparat she Ong itu sudah kuberi uang sogok, cukup untuk berfoya-foya puluhan hari dengan para
bawahannya itu." Baru sekarang Beng Goan-cau paham, katanya tertawa: "Kukira kau memang pintar bersiasat,
kiranya uang emasmu yang melicinkan keadaan."
"Keadaan sudah reda, tapi kalian tidak boleh keluar malah," demikian ujar Cay Kin.
"Baik, marilah kita mengobrol semalam suntuk, sambil menunggu berita."
Dalam kesempatan ini Miao Tiang-hong lantas bercerita mengenai pertempurannya dengan Han
Wi-bu di Pak-bong-san tempo hari, Cay Kin amat gegetun dan menarik napas, katanya: "Usaha
besar para leluhur dari Tin-wan Piaukiok agaknya harus berantakan di tangan Han Wi-bu yang
ceroboh itu." Demikian keluh Cay Kin, "yang lebih menggemaskan bahwa katanya Ouw-yang Kian
sudah ditanam pula oleh Pakkiong Bong di dalam Tin-wan
Piaukiok, hari ini baru kutahui berita ini, Han Wi-bu semakin merasa tinggi hati karena dia
mendapat seorang pembantu yang kosen, tanpa disadarinya bahwa dia sudah masuk ke dalam
perangkap musuh." "O, jadi Ouwyang Kian adalah utusan dari Pakkiong Bong, dari mana berita ini diperoleh" Apa
dapat dipercaya?" "Inilah salah satu kabar rahasia yang berhasil dicuri dengar oleh Kwi-hwe-thio dari markas Gilim-
kun. Kukira tidak akan salah!" .
"Kepandaian lain Kwi-hwe-thio memang tidak seberapa, tapi ginkangnya sudah setaraf kelas
wahid, dia sudah pergi kira-kira dua jam, keadaan sudah mulai reda, kenapa sampai sekarang
belum lagi pulang?" Baru saja bicara sampai di sini, terdengarlah genteng di atas rumah terinjak pecah oleh kaki
orang, Beng Goan-cau membatin: "Tentu bukan Kwi-hwe-thio!" Ia kira orang adalah mata-mata
pihak kerajaan, cepat ia memberi isyarat kepada Miao Tiang-hong dengan kedipan mata, baru saja
mereka hendak menyembunyikan diri, orang di atas genteng itu sudah melompat turun. Jauh di
luar dugaan Beng Goan-cau, semula dia menyangka orang bukan Kwi-hwe-thio, tak nyana yang
lompat turun ini adalah Kwi-hwe-thio.
Tampak pakaian Kwi-hwe-thio berlepotan darah, pada lengan kirinya menonjol keluar ujung
sebatang panah, ternyata ia terluka.
Semua orang sama terkejut, cepat memayangnya masuk kedalam kamar rahasia, Kwi-hwe-thio
tertawa getir, katanya: "Sungguh memalukan, gagal total, membuat keributan dan menyusahkan
kalian saja. Em, Beng Tayhiap, kau sudah tiba. Tuan ini..."
Beng Goan-cau lantas membe-ritahu: "Dialah Miao Tiang-hong, Miao Tayhiap. Sudah jangan
bicara dulu, biar kuobati luka-lukamu."
"Luka seringan ini, adalah jamak bagi kaum maling seperti kita ini terluka babak belur. Setahun
yang lalu luka-lukaku jauh lebih parah waktu aku menyampaikan suratmu di rumah Nyo Bok."
Beng Goan-cau menggunakan totokan menghentikan keluarnya darah, lalu ia cabut anak panah
itu dan membubuhi obat luka. Kwi-hwe-thio bicara dan tertawa-tawa seperti biasa, tanpa
mengerutkan kening sedikit pun. Semula Cay Kin rada memandang rendah orang, sekarang ia
harus memuji kekerasan hati orang.
"Sudah, sekarang silakan kau bercerita. Kau sudah ketemu Utti Tayhiap belum?" tanya Beng
Goan-cau. Cay Kin pun mendesak: "Ke mana pula Le-thocu?"
Tutur Kwi-hwe-thio: "Belum lagi kita masuk ke Cong-koanhu, orang-orang di dalam sudah
mengejar keluar, mereka sama berkaok-kaok tangkap pembunuh. Kebetulan kamilah yang
kebentur, tak sempat pula sembunyi, terpaksa kamilah yang menjadi sasaran."
"Jadi kau belum sempat bertemu dengan Utti Tayhiap," kata Beng Goan-cau.
"Benar. Apakah Li Kong-he sudah tertolong, kami pun tidak tahu. Le-thocu suruh aku lari lebih
dulu, insyaf bahwa kepandaianku memang tidak becus terpaksa aku mematuhi perintahnya,
kupancing para pengejar itu sebagian, berarti memperingan tekanan kepadanya juga. Celakanya,
para pengejar yang tidak berhasil mengudak aku menggunakan panah, sekali kurang hati-hati aku
terkena lenganku. Di jalan raya mereka kuajak putar kayun beberapa lingkaran besar seperti main
petak, setelah pusing baru kutinggalkan mereka. Cay-toako, kau tidak usah kuatir, bahwasanya
mereka tidak tahu ke arah mana aku melarikan diri, kukira mereka tidak akan meluruk kemari."
Cay Kin tertawa, ujarnya: "Cakar alap-alap tadi sudah datang, setelah mendapat uang sogokku,
kukira mereka tidak akan datang pula mencari kesulitanku, malah kau yang tidak usah kuatir di
sini. Yang kukuatirkan adalah Le-thocu, meski kepandaiannya tinggi, betapapun ia harus
menghadapi sekian banyak orang!"
Baru sampai di sini mereka bicara, tiba-tiba Kwi-hwe-thio mendesis mulut dan berbisik: "Diam,
ada orang tengah malam mendatangi." Belum lenyap ia bersuara, tampak sesosok bayangan
orang dengan lincah dan seenteng burung terbang melompati tembok pagar turun di pekarangan
dalam di luar kamar rahasia. Cay Kin sembunyi di bawah jendela, meminjam cahaya bulan sabit
yang redup, lapat-lapat ia melihat seorang pemuda tegap berusia dua puluhan.
Setelah Cay Kin melihat tegas barulah dia bersuara kaget dan bergegas berlari keluar
menyambut. Melihat kelakuan orang barulah Beng goan-cau lega hati, orang tentu kawan sendiri,
maka ia ikut keluar, dengan suara lirih ia bertanya kepada Cay Kin: "Siapakah dia?"
"Inilah murid kesayangan Kang Tayhiap, Li Kong-he wakil Thocu dari Thian-te-hwe."
Beng Goan-cau, Miao Tiang-hong dan Kwi-hwe-thio belum pernah melihat Li Kong-he,
mendengar penjelasan Cay Kin, keruan mereka girang dan kaget pula.
Segera Cay Kin ajak semua orang masuk ke kamar rahasia pula, satu per satu ia perkenalkan
Beng, Miao dan Kwi-hwe-thio bertiga. Li Kong-he sekaligus menjura kepada mereka bertiga, lalu
katanya: "Entah siapakah tuan penolong-ku?"
Kata-katanya ini mengejutkan semua orang, kata Cay Kin: "Li-siauhiap, bukankah Utti Tayhiap
yang menolongmu keluar?"
"Meski paman Utti mengenakan kedok muka juga masih kukenal. Orang itu pasti bukan paman
Utti," demikian jawab Li Kong-he tegas.
"Mengenakan kedok, mungkinkah Boh Cong-tiu?" tanya Beng Goan-cau.
"Orang itu suaranya serak dan sudah tua, kukira sedikitnya sudah lima puluhan. Dan lagi Boh
Cong-tiu punya hubungan yang amat kental dengan siau-susiokku (Kim Tiok-liu), tidak perlu dia
mengenakan kedok untuk menolong aku!" demikian Li Kong-he menguraikan keadaan dan
memberikan pendapatnya. "Li-siauhiap," ujar Cay Kin, "coba kau ceritakan keadaan waktu itu, biar kita pikirkan bersama!"
"Kira-kira kentongan kedua, tiba-tiba kudengar pelintiran suara rantai dan tahu-tahu pintu
penjara sudah terbuka, seorang yang mengenakan kedok muka melangkah masuk dan bicara
dengan bisik-bisik kepadaku: 'Jangan banyak tanya, lekas ikut aku."'
"Masakah dalam penjara itu tiada penjaga?" tanya Cay Kin.
"Waktu tiba di luar kulihat empat penjaganya berdiri tegak kaku seperti tonggak kayu, ternyata
mereka sudah tertotok Hiat-tonya oleh si orang berkedok," demikian tutur Li Kong-he.
Mereka jadi heran dan serba curiga. Kata Cay Kin sesaat kemudian: "Sebagai tawanan penting,
tentu Sat Hok-ting menugaskan para penjaga yang berkepandaian tinggi. Orang itu bisa menotok
Hiat-to mereka tanpa diketahui dan disadari oleh mereka sebelumnya, ilmu Tiam-hiat dan ginkang
yang begitu liehay, di dalam kalangan persilatan masa kini, mungkin sulit dicari beberapa tokoh
saja." "Kunci atau gembok berantai dari pintu penjara itu adalah barang pilihan yang tidak mungkin
putus dengan bacokan senjata tajam, untuk memutuskan paling tidak orang itu harus membekal
kepandaian Kim-kong-ci-lat," demikian kata Kong-he.
Mereka sama mereka-reka dan menganalisa tanpa berkesudahan, akhirnya Miao Tiang-hong
ikut bicara: "Pada masa ini yang memiliki kepandaian Kim-kong-ci-lat, di dalam angkatan tua,
menurut apa yang kuketahui hanya ketua Siau-lim-pay dan Bu-tong ciangbun Lui-cun-cu, tapi
mereka berdua tidak mungkin bisa berada di kota raja."
"Benar," sela Cay Kin juga. "Menurut apa yang kuketahui, untuk memelintir putus gembok itu
Utti Keng tidak mungkin dapat melakukan, dan lagi ilmu Tiam-hiat-nya pun tidak mencapai tingkat
yang sedemikian tingginya."
Bertanyalah Kwi-hwe-thio: "Waktu aku tiba di sana, kebetulan mereka sedang ribut hendak
menangkap pembunuh gelap, menurut keadaan yang kulihat, Utti Keng dan Boh Cong-tiu kira-kira
juga tiba pada saat yang sama. Li-siau-hiap, waktu kalian keluar, adakah kau dengar mereka
sedang ribut hendak menangkap pembunuh gelap itu?"
Jawab Li Kong-he: "Waktu orang berkedok itu membawa aku keluar, angin seperti berhenti
menghembus, rumput pun tiada yang bergoyang, setelah cukup jauh baru lapat-lapat kudengar
keributan, orang-orang berlari simpang siur. Wah, aku tidak tahu bahwa paman Utti dan Boh
Cong-tiu malam ini hendak menolong aku, kalau tahu tentu aku akan kembali berkumpul dengan
mereka." "Lalu bagaimana selanjutnya setelah orang berkedok itu membawa kau keluar?" tanya Cay Kin.
"Orang itu bertanya kepadaku, tahukah kau siau-piauthau dari Tin-wan Piau-kiok dahulu yang
bernama Cay Kin" Maka kujawab aku tahu. Orang itu berkata, bagus, kalau begitu setengah jam
lagi pergilah kau ke rumahnya, di sana nanti ada orang-orang dari laskar rakyat yang akan


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyambut kedatanganmu. Aku masih punya urusan yang perlu kukerjakan, maaf aku tidak
menemani kau lebih lanjut," demikian tutur Li Kong-he pula.
Semakin bingung dan heran Cay Kin dibuatnya, katanya: "Cianpwe itu menyuruh kau datang ke
rumahku, mungkinkah dia seangkatan dengan ayahku" Tapi para kenalan ayah boleh dikata
banyak yang kukenal pula dengan baik, rasanya tiada seorang pun yang memiliki kepandaian Kimkong-
ci-lat dan ilmu Tiam-hiat tingkat tinggi."
Berkata Beng Goan-cau: "Dari nada bicara cianpwe itu, agaknya beliau sudah tahu bahwa kirakira
pada kentongan ketiga kita bakal berada di rumahmu ini, ini sungguh mengherankan."
Berkata pula Li Kong-he: "Gin-kang lo-cianpwe itu amat tinggi, setelah mendengar katakatanya,
kukira dia akani datang ke rumah paman Cay ini juga untuk bertemu pula dengan aku.
Malah kemungkinan dia bisa datang lebih dulu setengah jam dari aku."
Cay Kin tertawa, ujarnya: 'Tak heran begitu tiba lantas kau bertanya siapa di antara kami yang
sudah menolong kau. Tapi bahwa dia sudah berkata demikian, kurasa mungkin memang dia akan
datang kemari." Baru sampai di sini, tiba-tiba Kwi-hwe-thio mendesiskan suara dan menekan jari di depan
mulutnya, katanya perlahan: "Kalian coba dengar, ada orang malam datang lagi. Satu dua, ah
semua tiga!" Berkata Cay Kin: "Mungkin cianpwe itu bersama Utti Keng dan Le Lam-sing."
Belum habis ia bicara dari luar terdengar seorang membentak: "Cay Kin, kau menyembunyikan
buronan di rumahmu, lekas keluar menyerah dan mengakui kesalahan!" Itulah suara Ouwyang
Kian yang sekarang sudah menjabat wakil cong-piauthau dari Tin-wan Piaukiok.
Waktu Miao Tiang-hong mengintip keluar dari jendela, dikenalinya pula salah seorang lagi
adalah sute Pakkiong Bong, Sebun Soh. Seorang lagi adalah Tosu yang tidak dia kenal. Tosu ini
adalah Hian-hong Tojin yang kemarin tiba di kota raja.
Ouwyang Kian dan Sebun Soh angkat tangan bersama terus memukul dari jarak jauh. Kedua
angin pukulan Bik-khong-ciang bergabung di tengah jalan terus menerjang ke depan "Biang"
jendela kamar tergetar pecah berantakan.
Ouwyang Kian amat bangga, serunya terbahak-bahak: "Sedikit pun tidak salah, Li Kong-he
ternyata memang benar berada di sini."
Sebaliknya melihat musuh besarnya di sini seketika merah padam mata Sebun Soh, serunya:
"Baik ya Miao Tiang-hong, kiranya kau pun berada di sini! Memang aku hendak mencari kau
membuat perhitungan."
"Ya, memang kebetulan!" je-ngek Miao Tiang-hong, segera ia melompat keluar terus melabrak
Sebun Soh. Kebetulan Hian-hong Totiang melirik ke arah Beng Goan-cau yang baru saja keluar, seketika ia
menjerit: "Di sini masih ada pula buronan yang lebih penting, coba kalian lihat, bukankah orang ini
Beng Goan-cau yang hendak dibekuk oleh Pakkiong Tayjin itu!"
Ternyata mereka bertiga memang belum pernah bertemu muka dengan Beng Goan-cau, tapi di
"dalam markas Gi-lim-kun mereka pernah melihat gambar lukisan Beng Goan-cau yang disebar
luaskan ke mana-mana sebagai buronan penting. Karena perhatian Ouw-yang Kian dan Sebun Soh
tertuju kepada Li Kong-he dan Miao Tiang-hong, maka Hian-hong Totiang malah mengenalinya
lebih dulu. Beng Goan-cau berkata lantang: "Seorang laki-laki sejati tidak perlu menyembunyikan nama,
memang aku inilah Beng Goan-cau, Beng Goan-cau adalah aku!"
Seru Hian-hong Totiang: "Ouw-yang-toako, pergilah kau ringkus Li Kong-he bocah kecil itu."
Melihat orang sudah bertindak lebih dulu, terpaksa Ouwyang Kian berpikir: "Dapat menangkap
Li Kong-he jasaku pun tidak kecil." Sebat sekali ia memutar badan terus menubruk ke arah Li
Kong-he. "Ouwyang Kian," Cay Kin memapak kedatangannya. "Di rumahku jangan kau bertingkah!"
Ouwyang Kian menjengek dingin: "Kau berani menyembunyikan tawanan penting, berani
membangkang dan melawan lagi. Hehehe, kalau tidak kuingat jasa-jasa ayahmu yang besar
terhadap Tin-wan Piaukiok dulu, sejak lama sudah kubunuh kau."
Mendengar orang menyinggung nama Tin-wan Piaukiok seketika berkobar amarah Cay Kin,
dampratnya: "Justru Tin-wan Piaukiok bakal runtuh karena bajingan macammu ini!"
Ouwyang Kian tertawa dingin, katanya: "Ke sorga ada jalan kau tidak mau ke sana, akhirat
tertutup justru kau menerjang masuk. Baiklah, kalau kau memang ingin mampus, biarlah
kusempurnakan kau sekalian!" Dalam bicara itu mereka sudah saling serang tiga jurus dengan
cepat. Tay-kim-na-jiu kemahiran Cay Kin adalah ajaran dari leluhurnya yang merupakan ilmu tunggal
di bulim tapi Lui-sin-ci Ouwyang Kian dari golongan sesat juga amat liehay, beruntun Cay Kin
merang-sak dengan figa tipu serangan, di saat cakar tangannya hampir saja mencengkeram
tulang pundak kiri Ouwyang Kian, mendadak ia rasakan telapak tangannya panas dan sakit,
walaupun telapak tangannya tidak tertotok lawan namun Lou-kiong-hiat di telapak tangannya,
sudah terasa kesakitan karena benturan tenaga dalam lawan yang menggempur keluar. Dari
membela diri, kini Ouwyang Kian merubah siasat balas menyerang, sekonyong-konyong sebelah
telapak tangannya sudah menyambar ke lehernya.
Sekonyong-konyong selarik sinar hijau berkelebat, ternyata Li Kong-he menjemput sebatang
pedang panjangnya dari dalam kamar "sret" dengan Pek-hong-koan-jit, ujung pedangnya
menusuk ke per-gelangan tangan Ouwyang Kian. Lagi-lagi Ouwyang Kian merubah permainannya,
menggunakan ilmu tangan kosong hendak merebut senjata lawan tiba-tiba ia alihkan sasarannya
kepada Li Kong-he untuk merampas pedangnya secara kekerasan. Tak nyana perubahan
permainan Li Kong-he pun tidak kalah sebatnya, dari Pek-hongkoan-jit tiba-tiba ia rubah HengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hun-toan-hong, kalau Ouwyang Kian tidak lekas menarik tangan, berarti ia angsurkan tangannya
untuk ditabas kutung oleh Li Kong-he. Keruan bercekat hati Ouwyang Kian, lekas ia menyurut
mundur dua tindak. Sungguh girang dan terkejut pula Cay Kin dibuatnya, batinnya: "Murid Kang Tayhiap memang
luar biasa tak heran maski usia masih sangat muda, dia sudah berani menjabat wakil Thocu dari
Thian-te-hwe." Cepat ia merangsak maju lebih dulu seraya memperingatkan: "Li-siauhiap, hati-hati
terhadap jari-jarinya yang beracun!"
"Jangan kuatir paman Cay," sahut Li Kong-he. "Lui-sin-cinya itu tidak akan mampu melukai
aku!" Belum lenyap suraranya, tiba-tiba Ouwyang Kian sudah merangkap kedua jarinya dan menotok
ke arah dirinya. Betul juga Li Kong-he ternyata hanya mengerut kening, sementara permainannya
tidak menjadi kendor, beruntun ia lancarkan Pek-hong-koan-jit, Li-Khong-sia-ciok, Eng-kik-tiangkhong,
Kim-ke-toh-siok, beruntun ia lancarkan rangsakan pedang yang cukup ganas. Meski
usianya masih amat muda, namun ia sudah mendapat ajaran Iwekang murni dari Kang Hay-thian,
betul juga Lui-sin-ci Ouwyang Kian ternyata tidak mampu melukai dia. Sayang bekal lwekangnya
masih belum memadai, kalau tidak, satu lawan satu pun dia sudah mampu menghadapi Ouwyang
Kian sama kuat. Beng Goan-cau mendapat tandingan, keduanya sama melancarkan jurus-jurus serangan
secepat kilat. Diam-diam Hian-hong Totiang amat terkejut: "Golok cepat orang she Beng ini
agaknya tidak lebih asor dari Utti Keng, mungkin aku tidak akan kuat menghadapinya."'
Memang Loan-pi-hong-kiam-hoat Hian-hong Tojin mengutamakan gerak cepat, tapi golok Beng
Goan-cau dimainkan jauh lebih cepat lagi, belum sampai setengah jam, mereka sudah bertempur
mencapai ratusan jurus. Seratus jurus kemudian Hian-hong Tojin sudah terdesak di bawah angin.
Dari rak senjata Kwi-hwe-thio mengambil sebatang tombak dijadikan tongkat, dia berjalan
keluar hendak membantu Beng Goan-cau, maka berkata Beng Goan-cau: "Kwi-hwe-thio, untuk
apa kau keluar, Tosu hidung kerbau ini aku kuat menandinginya."
"Beng-ya," kata Kwi-hwe-thio. "Aku hanya sedikit terluka saja, masakah harus berpeluk tangan
menonton saja?" Melihat orang sulit dicegah, sementara goloknya waktu itu sedang melancarkan tipu-tipu ilmu
goloknya yang paling liehay, sebetulnya sebelah lengan Hian-hong Totiang bisa tertabas kutung
oleh sambaran goloknya, kedatangan Kwi-hew-thio justru tepat pada waktunya, Hian-hong
Totiang malah berkesempatan menariknya menjadi tameng.
Mendadak Hian-hong Tojin memutar badan dengan gerakan yang lincah dan meraih, kebetulan
ia berhasil menangkap ujung tombak Kwi-hwe-thio yang menye-lonong tiba. begitu ujung kakinya
menggantol, Kwi-hwe-thio tidak bisa berdiri tegak pula sehingga badannya limbung dan hampir
tersungkur jatuh, arahnya tepat menyelonong ke arah sambaran golok Beng Goan-cau, mana bisa
tabasan golok diteruskan" Untunglah latihan ilmu goloknya sudah mencapai tarap yang tinggi, bisa
ditarik kembali secepatnya menurut keinginan hatinya, sementara tangan kiri menariknya ke
samping sambil melompat tiga tapak. Mendapat peluang ini lekas Hian-hong Tojin melarikan diri.
Keruan Beng Goan-cau mengerut kening, diam-diam ia mengeluh: "Sayang!" lalu batinnya:
"Biasanya Kwi-hwe-thio bisa bertindak cerdik, kenapa kali ini begitu ceroboh tidak tahu diri lagi?"
Dengan muka merah malu berkata Kwi-hwe-thio: "'Kukira luka-lukaku tidak begitu berat, siapa
nyana ternyata begini tidak becus, Beng-ya, kai ini aku malah merepotkan kau saja!"
Tiada tempo Beng Goan-cau memarahi orang, terpaksa ia berkata: "Kau masuk saja istirahat,
sudah jangan keluar lagi!"
Dengan Thay-ceng-khi-kang Miao Tiang-hong menghadapi Hian-im-ciang Sebun Soh, waktu itu
lambat laun ia sudah berhasil mendesak lawannya, kemenangan jelas pada dirinya. Otot hijau di
jidat Sebun Soh sudah menonjol keluar, namun dengan sengit ia terus lontarkan pukulannya yang
ganas. Setiap kali pukulannya tentu menimbulkan gelombang angin dingin. Sebaliknya sikap Miao
Tiang-hong tetap wajar dan menghadapinya tenang-tenang dan seenaknya. Selintas pandang
pukulannya agak tidak sekeras pukulan Sebun Soh, namun tenaga lunak yang empuk cukup ulet
dan liat, seolah-olah hembusan angin sepoi-sepoi di musim semi, membuat Sebun Soh merasa
semakin mengantuk dan ogah-ogahan, semangat sulit dikobarkan. Sebun Soh tahu keadaan tidak
menguntungkan pihaknya, suatu ketika ia menyam-bitkan sebatang panah ular yang
mengeluarkan asap merah menyala di tengah udara. Sebat sekali dia pun jumpalitan ke belakang
terus melompat pula ke atas tembok, serunya dingin: "Miao Tiang-hong, biar kali ini aku mengalah
kepada kau, akhirnya toh kau tidak akan lolos dari genggamanku!" Panah berapi itu adalah tanda
minta bala bantuan. "Tas, tas, tas!" beruntun jari Ouwyang Kian menjentik tiga kali, dengan menyerang dia
membela diri sehingga Cay Kin terdesak mundur dua langkah, begitu putar tubuh, dia mengikuti
jejak Hian-hong dan Sebun Soh melarikan diri. Ketiganya hampir dalam waktu yang sama
melarikan diri tanpa berjanji sebelumnya. Beng Goan-cau sendiri baru saja menurunkan Kwi-hwethio,
maka ia tidak sempat bantu Miao Tiang-hong mencegat musuh.
Kata Beng Goan-cau sesaat kemudian: "Cay-toako, pasukan besar cakar alap-alap musuh
sebentar lagi pasti akan menggerebek tiba, selanjutnya terang kau tidak dapat tinggal lagi di
rumahmu." "Lekaslah kalian menerjang keluar, tak usah hiraukan diriku!" demikian seru Kwi-hwe-thio.
Saat mana juga terdengar suara lengking tanduk ditiup yang saling bersahutan, hanya sekejap
saja, terdengar derap kaki kuda dan langkah orang berlari-lari cepat mendatangi. Segera Cay Kin
berkata: "Menerjang keluar jelas tidak mungkin, hidup atau mati harus kita perjuangkan bersama,
marilah kalian ikut aku!"
"Cay-piauthau!" seru ?vwi-hwe-thio. "Bukankah mempersulit kau malah?"
Cay Kin mengerut alis, katanya: "Waktu amat mendesak, apa-apaan ucapanmu ini." Tanpa
banyak kata lagi ia seret orang terus dibawa lari.
Cay Kin membawa mereka masuk ke kamar tidurnya, di bawah ranjang ia menjungkit dua batu
marmer, maka terlihatlah sebuah lubang di bawah sana, entah berapa dalamnya.
Waktu Kwi-hwe-thio melongok ke bawah terendus bau apek yang merangsang hidung.
Katanya: "Oh, kiranya jalan bawah tanah, agaknya sudah sekian tahun tak pernah digunakan. Tapi
meski jalan rahasia ini amat tersembunyi, bilamana sampai ketahuan oleh musuh, bukankah kita
bakal menjadi kura-kura dalam kurungan?"
Cay Kin lantas menjelaskan: "Jalan rahasia di bawah tanah ini ada jalan keluarnya di ujung
sana, sekarang terdesak oleh keadaan, terpaksa kita harus menyerempet bahaya." Segera ia
menyulut sebatang obor, sambil memayang Kwi-hwe-thio ia turun lebih dulu.
Beng Goan-cau dan Miao Tiang-hong bekerja sama menggotong ranjang ke tempatnya semula
lalu ikut turun serta menutup pula lubangnya. Begitu tiba di bawah keadaan amat gelap, mereka
maju ke arah sebuah lorong panjang yang tidak kelihatan ujungnya.
Berkata Cay Kin sambil berjalan: "Meski mereka berhasil menemukan jalan rahasia ini, paling
tidak mereka harus main geledah setengah harian!"
Bertanya Kwi-hwe-thio: "Menembus ke mana jalan rahasia di bawah tanah ini?"
"Inilah jalan rahasia di bawah tanah yang dibuat oleh ayahku waktu beliau menjabat sebagai
cong-piauthau Tin-wan Piaukiok, ujung keluarnya terletak di sebuah kamar gudang di dalam Tinwan
Piaukiok. Mengenai adanya jalan rahasia di bawah tanah ini, di dalam piaukiok hanya ada dua
orang tua saja yang tahu, sekali-kali mereka tidak akan membocorkan rahasia ini, maka
congpiauthau yang sekarang'Han Wi-bu sendiri pun tak tahu menahu. Setelah ayah wafat, sudah
puluhan tahun belum pernah digunakan lagi!"
Berkata Beng Goan-cau: "Tapi Han Wi-bu sekarang sudah berdiri di pihak yang berlawanan
dengan kau!" "Tidak!" sahut Cay Kin tegas. "Yang betul-betul berlawanan dengan aku hanya Ouwyang Kian.
Han Ki-gwan dan Han Wi-bu ayah beranak meski menyikut ayahku keluar, betapapun mereka
bukanlah manusia yang terlalu bejat. Kita keluar dari piaukiok seumpama sampai ketahuan oleh
Han Wi-bu, aku akan bicara atas hubungan kita yang sudah lalu, kukira dia tidak akan sampai hati
menangkap kita dan diserahkan kepada pemerintah!"
"Hati manusia susah diduga, dari mana kau bisa menduganya begitu tepat?" sela Kwi-hwe-thio
uring-uringan. "Bilamana dia betul-betul hendak mencari kesulitan padaku, /terpaksa kita harus melabraknya
sekalian. Ouwyang Kian sudah pasti akan meluruk datang pula ke rumahku, tidak mungkin begitu
cepat ia lantas pulang ke piaukiok, aku yakin para kerabat dari piaukiok kebanyakan segan turun
tangan terhadapku, meski akhirnya Han Wi-bu mencari perkara kepadaku, orang yang membantu
dia paling-paling hanya Bun Seng-liong seorang, memangnya kita takut menghadapi mereka,"
demikian ujar Cay Kin. Berkata Kwi-hwe-thio: "Kalau sampai turun tangan tentu kejadian tidak begitu menyenangkan.
Lebih baik biar aku keluar dulu menemui Han Wi-bu, kami bisa mencari tahu sikapnya dulu. Yang
terang aku sudah dikenal sebagai maling, paling-paling aku mengaku menggerayangi gudangnya
hendak mencuri barang, bilamana kuketahui dia bukan sehaluan dengan para cakar alap-alap itu,
barulah aku akan bicara secara gamblang kepadanya."
"Jangan," cegah Cay Kin, "mana bisa aku biarkan kau menyerempet bahaya seorang diri?"
"Aku hanyalah seorang maling yang tidak terpandang, Li-hu-thocu dan Beng Tayhiap adalah
buronan penting, urusan menyangkut kepentingan kita semua. Apa artinya aku berkorban demi
kalian, memangnya kita harus menempuh bahaya bersama."
Cay Kin tahu Kwi-hwe-thio cukup cerdik dan pandai bekerja melihat gelagat, setelah dipikir-pikir
memang ucapannya cukup beralasan, sesaat ia menepekur lalu katanya: "Biar nanti kita bicarakan
lebih lanjut." Li Kong-he menentang keras, sementara Beng Goan-cau tinggal adem ayem. Adalah Miao
Tiang-hong merasa heran, batinnya: "Beng Goan-cau adalah seorang laki-laki sejati yang amat
perhatikan kepentingan besar dan rela berkorban, Kwi-hwe-thio adalah sahabat baiknya, kenapa
dia tidak merintangi, sikapnya ini jauh berlawanan dengan watak biasanya."
"Kwi-hwe-thio," tiba-tiba Beng Goan-cau membuka suara. "Luka-lukamu masih sakit tidak, mari
biar kupayang kau berjalan."
"Kim-jong-yok pemberianmu memang mustajab, sekarang sudah tidak terasa sakit lagi,"
demikian sahut Kwi-hwe-thio.
Maka Beng Goan-cau berjalan berjajar beradu pundak, katanya: "Kwi-hwe-thio, sudah setahun
lebih bukan kita berpisah?"
"Ya, setahun tiga bulan, pertemuan kita di Soh-ciu dulu terjadi pada bulan tujuh."
"Apa betul?" tanya Beng Goan-cau. Tiba-tiba ia mencakar ke muka Kwi-hwe-thio seraya
membentuk: "Siapa kau, berani menyaru jadi Kwi-hwe-thio?" Perubahan terjadi begitu mendadak,
seketika Cay Kin berdiri tertegun, akhirnya dia menjerit: "Hah, dia memang bukan Kwi-hwe-thio!"
Tampak kulit muka Kwi-hwe-thio kena dicomot hancur beran-takan oleh cakar tangan Beng
Goan-cau. Ternyata kulit mukanya bagian luar ini terbuat dari malam yang berwarna menyerupai
kulit manusia, cara rias dan samarannya pun sedemikian liehay pula, sehingga bentuk wajahnya
betul-betul persis Kwi-hwe-thio. Setelah kulit kedoknya dibelejeti habis-habisan, maka terlihatlah
kulit muka aslinya yang buruk burikan
Cay Kin amat kaget dan heran, tanyanya: "Beng Tayhiap, cara bagaimana kau bisa tahu kalau
dia palsu?" "Lima hari yang lalu, aku baru saja bertemu dengan Kwi-hwe-thio!" sahut Beng Goan-cau.
"Lima hari yang lalu, bukankah hari itu juragan Cui dan perusahaan arangnya digerebek dan
disegel oleh pasukan Gi-lim-kun?"
"Betul, di waktu warung arang juragan Cui disegel aku ikut menonton keramaian di sana,
kebetulan bertemu dengan Kwi-hwe-thio di sebuah gang sempit. Waktu itu dia sudah berjanji
hendak datang kemari untuk mencari Song Theng-siau bersama aku.
"Memangnya kenapa kalian tidak datang bersama, baru tadi tengah hari aku bertemu dengan
Kwi-hwe-thio, sesuai dengan waktu yang kaujanjikan bukan," ujar Cay. Kin heran.
Beng Goan-cau menutur: "Aku menetap di sebuah hotel kecil di luar kota yang dinamakan Taycian-
bun, pemilik hotel adalah seorang teman kangouw dari Siau Ci-wan Toako. Waktu kami
keluar, kami sudah berjanji dalam waktu satu jam h;u.is kembali. Pagi hari itu aku bertemu
dengan Kwi-hwe-thio, sebetulnya harus segera mengajak dia kemari menemui kau, tapi aku pikir
setelah aku tiba di sini tentu kau tidak akan mengijinkan aku pergi pula. Kalau aku harus pindah
kemari maka sepantasnya memberi tahu dulu kepada pemilik hotel itu supaya tidak membuat dia
kuatir. Mendengar kata-kataku, segera Kwi-hwe-thio juga menyatakan keinginannya untuk
mencari seorang temannya dari Kaypang, untuk memberi tahu perkara ini kepada mereka, maka
lebih baik kami bertemu pula tengah hari lalu bersama berkunjung ke tempatmu ini. Hal ini sudah
kami perhitungkan masak-masak supaya tidak menjadi perhatian orang karena paginya toh sudah
terjadi sesuatu perkara besar di dalam kota."
"Sebetulnya Kwi-hwe-thio sudah berjanji hendak menjemput aku di hotel, tak nyana setelah
waktu yang dijanjikan masih belum kelihatan dia datang, terpaksa pemilik hotel keluar mencari
berita, barulah diketahui bahwa pintu dalam kota sudah ditutup, kabarnya seluruh kota diadakan
pemeriksaan dan razia, terang Kwi-hwe-thio takkan bisa keluar. Waktu dia pulang, sedikit ia
perhatikan lantas dia melihat di sekitar hotelnya terdapat beberapa mata-mata pemerintah yang
tersebar di mana-mana, karena para mata-mata itu banyak yang sudah dia kenal betul."
"Setelah malam tiba, situasi semakin gawat, dari seorang temannya yang bekerja di dalam
komando keamanan kota mendapat dua berita, pertama bahwa teman Kwi-hwe-thio dari Kaypang
itu sudah ditangkap oleh Gi-lim-kun. Berita kedua adalah bahwa komandan keamanan kota
mendapat surat perintah dari Pakkiong Bong diminta bantuannya untuk menangkap seorang yang
bernama Beng Goan-cau."
"Maka pemilik hotel malam itu juga menyuruh aku meninggalkan Pakkhia, setelah situasi reda
dan tenang kembali baru balik kembali. Sebelumnya dia pun berjanji begitu pintu kota terbuka, dia
lantas hendak ke rumahmu sini untuk memberi kabar mengenai diriku. Aku tidak ingin merembet
dirinya, bahwa dia suka rela hendak menyampaikan kabarku, terpaksa aku harus pergi sementara


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu, tujuanku ke Sam-ho untuk menghindari situasi yang panas di sini, sekaligus di sana aku
bisa menengok keadaan seorang teman!"
"Tapi temanmu pemilik hotel itu belum pernah kemari menyampaikan beritamu," demikian kata
Cay Kin heran. "Tadi waktu kami masuk kota kebetulan lewat dari Tay-cian-bun, kulihat hotel kecil itu sudah
disegel oleh pemerintah, mungkin temanku itu sudah ditangkap. Ai, semula aku tidak ingin dia
kena perkara, akhirnya toh membuat kesulitan baginya."
"Jadi sebelumnya kau memang sudah tahu persekongkolan Boh Cong-tiu dengan Pakkiong
Bong" Sungguh menggelikan, semula kuanggap kau belum tahu, maka begitu tiba lantas
kuceritakan kepada kau," demikian kata Cay Kin tertawa geli.
"Sebetulnya sejak tadi akan kujelaskan kepada kau, soalnya baru saja aku mendengar ceritamu
mengenai situasi kota raja, kejadian-kejadian selanjutnja justru tidak memberi kesempatan
kepadaku, dan tak lama kemudian keparat ini pun tiba. Memang sebelumnya aku sudah tahu akan
muslihat Boh Cong-tiu, malah aku sudah berjanji dengan Kwi-hwe-thio untuk menyusulnya ke
Ciong-koanhu, sekaligus hendak membongkar kedok dan muslihatnya."
"O, jadi begitulah kenyataannya, tak heran kau lantas curiga kepada Kwi-hwe-thio palsu ini.
Waktu kau membubuhi obat luka-lukanya tadi, jikalau dia Kwi-hwe-thio tulen tentulah dia
mengajukan persoalan itu kepada kau."
"Bukan hanya itu saja, titik kelemahan samarannya, lagi pula ginkangnya terpaut amat jauh bila
dibanding dengan Kwi-hwe-thio, semula aku mengira karena luka-lukanya itu sehingga ginkangnya
menjadi terganggu. Tapi setelah kupikir lebih lanjut, luka-lukanya berada di lengan, tidak berat
lagi, kalau Kwi-hwe-thio tulen mustahil sampai menginjak pecah genteng. Maka aku
memancingnya dengan kata-kata, sengaja tidak kusing-gung soal pertemuanku lima hari yang lalu
dengan Kwi-hwe-thio. Ternyata aku berhasil mengorek titik kelemahannya."
Mendengar uraian Beng Goan-cau, orang itu amat menyesal, batinnya: "Kukira ginkangku tidak
terpaut jauh dengan Kwi-hwe-thio, genteng yang pecah kupijak pun hanya sebuah, suaranya yang
lirih itu tak nyana dapat didengar oleh Beng Goan-cau. Kalau tahu demikian seharusnya panah itu
kutu-sukkan ke pahaku saja!"
Miao Tiang-hong maju beberapa langkah, dengan seksama ia amat-amati muka orang, katanya
dalam hati: "Kalau tidak salah seperti pernah kulihat orang ini entah di mana?"
Setelah jelas duduk perkaranya, berkatalah Cay Kin: "Samaran orang ini memang amat mirip,
yang aneh suaranya pun persis benar dengan suara Kwi-hwe-thio. Hm, sebetulnya siapa kau, ayo
bicara sejujurnya!" Mendadak Miao Tiang-hong menyela bicara: "Suruh dia bicara menggunakan logat asli dari
tempat kelahirannya. Dia berasal dari Tay-tong-hu di Siam-say."
Insyaf bahwa dirinya tidak akan dapat mengelabui lagi, terpaksa orang itu berkata sejujurnya:
"Aku bernama Li Tong-coan, biasanya orang-orang memanggilku Li-ma-cu. (Li si burikan)." Logat
bicaranya memang betul dari Tay-tong-hu di Siam-say.
"Kau masih punya gelaran lain yaitu Li-coan-tong, bukan?" tanya Miao Tiang-hong.
Li-ma-cu tertawa getir, katanya:
"Miao-toaya, agaknya kau amat tahu segala seluk belukku. Baiklah, aku tidak perlu menutup
keadaan yang sebenarnya, obyekku memang seperti Kwi-hwe-thio, keahli-anku membuat lubang
menembusi tembok." Beng Goan-cau melengak, tanyanya: "Miao-heng, jadi kau sudah kenal padanya?"
"Bukan saja sudah kenal, malah aku pernah menyaksikan kepandaian copetnya. Hal itu terjadi
pada sepuluh tahun yang lalu disebuah rumah makan Gi-ciau-lou di Ko-seng. Orang yang
menggesek biola mengiringi nyanyian nona cilik itu bukankah kau?" demikian tanya Miao Tianghong.
Li-ma-cu tertawa getir pula, katanya: "Sungguh tajam ingatan Miao-ya, nona cilik yang nyanyi
itu adalah muridku. Tapi bicara soal maling sakti, masakah aku berani menerima gelar yang agung
itu, dibanding Kwi-hwe-thio aku masih terpaut cukup jauh."
"Meski kalah bila dibanding Kwi-hwe-thio, namun kau pun cukup hebat, menurut pandanganku,
bolehlah dipandang sebagai maling sakti nomor dua di seluruh jagat." "-" Kata-kata Miao Tianghong
memang betul, ternyata di dalam kalangan pencopet tingkat tinggi, Li-ma-cu memang
dijuluki si maling sakti nomor dua di seluruh kolong langit.
Miao Tiang-hong berkata lebih lanjut: "Hari itu, seorang hartawan sedang mengadakan jamuan
besar, untuk meramaikan suasana ia mengundang seorang nona cilik tukang nyanyi, Sementara
orang ini duduk di pinggir menggesek biolanya, begitu acara selesai mereka terus tinggal pergi
setelah mendapat bayaran yang layak. Di saat perjamuan bubar dan si hartawan hendak
membayar rekening, tangan yang dimasukkan ke dalam sakunya itu sekian lamanya tidak
dikeluarkan, ternyata uang yang dibawanya sudah hilang tanpa bekas, sudah tentu ia menjadi
Ilmu Ulat Sutera 8 Sarang Perjudian Karya Gu Long Kisah Pedang Di Sungai Es 8
^