Pencarian

Kelana Buana 15

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 15


ternyata sudah terbuka perekatnya dan isinya tinggal separuh saja.
Koki besar segera mengadakan pemeriksaan sekadarnya, didapatinya beberapa potong daging
memang ikut hilang, seketika seri wajahnya menjadi kaku, cepat ia berbisik: "Jangan kau bersuara
terlalu keras, kalau didengar orang pasti kita akan ditertawakan benar-benar bermata buta!"
Dalam pada itu pemeriksaan para busu masih terus berlangsung dari bilik ke kamar yang lain,
dalam waktu dekat tidak mungkin menuju ke bilangan sebelah dalam sana, dengan merundukrunduk
Kwi-hwe-thio menguntit di belakang pelayan kecil itu, entah berapa jauh mereka
menyelusuri serambi panjang yang berlika-liku, akhirnya pelayan kecil itu memasuki sebuah
bangunan berloteng. Kwi-hwe-thio tahu Pakkiong Bong tidak akan sudi menemui pelayan kecil ini, paling-paling
menunggu pengurus rumah tangganya yang memberikan laporan dari bawah loteng, maka ia
mengembangkan ginkangnya secara diam-diam melejit ke atas. Ada sebuah kamar tampak
menyorotkan cahaya lampu dari sebelah dalam, Kwi-hwe-thio menggantolkan kedua kakinya di
payon lalu badannya membalik bergelantungan mengintip ke dalam. Tampak di dalam kamar itu
hanya terdapat satu orang, dia kenal orang itu karena bukan lain adalah Nyo Bok.
"Aneh, apakah tamu agung yang mereka maksudkan adalah Nyo Bok?" Kwi-hwe-thio menjadi
keheranan. "Ternyata bajingan ini belum mati," demikian pikirnya. "Tapi untuk apa ia muncul di
markas besar Gi-lim-kun" Pakkiong Bong melayaninya sebagai tamu agung lagi" Sungguh heran
bin ajaib!" Maklumlah Nyo Bok tidak lebih hanya seorang guru silat dari sebuah kota kecil, meski punya
nama betapapun ia adalah rakyat jelata. Sebagai komandan pasukan Gi-lim-kun, menurut
lazimnya tidak mungkin akan sudi menemui dia, apalagi di tengah malam buta rata, merundingkan
urusan rahasia di kamar pribadinya" Sebagai kelana kangouw yang kawakan, lapat-lapat Kwi-hwethio
merasa di balik hal ini ada sesuatu yang janggal, ia merasa di belakang pertemuan rahasia ini
pasti ada apa-apanya yang pantang diketahui orang luar.
Tiba-tiba didengarnya suara orang batuk-batuk, seseorang beranjak memasuki kamar itu, dia
bukan lain adalah Komandan Gi-lim-kun Pakkiong Bong. Nyo Bok kelihatannya terkejut, tersipusipu
ia bangkit berdiri dengan muka kurang tentram dan gugup.
Pakkiong Bong tersenyum manis, sapanya: "Kau inikah Nyo Bok. Akulah Pakkiong Bong!"
Bergegas Nyo Bok menekuk lutut menyembah, serunya tergagap: "Tidak tahu Tayjin telah tiba,
aku, aku..." Sikap Nyo Bok kelihatannya gugup dan takut. Kwi-hwe-thio yang mengintip di luar
menjadi sungguh-sungguh heran, batinnya: "Ternyata mereka sebelumnya belum berjanji, ini lebih
aneh lagi. Kalau tamu agung itu bukan Nyo Bok memangnya siapa lagi?"
Lekas Pakkiong Bong mengulurkan kedua tangannya, sedikit mengangkat, Nyo Bok merasa
segulung tenaga besar menyanggah badannya, serta merta ia diangkat berdiri. Kata Pakkiong
Bong tertawa: "Nyo busu, siapa yang kau sangka?"
Nyo Bok masih gugup dan takut seolah-olah arwahnya hampir copot, sekian lama mulutnya
megap-megap tak mampu bersuara. Tanpa menanti jawabannya Pakkiong Bong melanjutkan:
"Kau sangka Ciok Tio-ki, wakil komandanku itu bukan?"
"Orang yang membawa hamba kemari katanya mendapat perintah dari Ciok-tayjin, maka
hamba mengira Ciok tayjin yang minta hamba kemari menemui beliau!" demikian sahut Nyo Bok
dengan suara tergetar. Pakkiong Bong tersenyum pula, katanya: "Jadi aku yang menemui kau, maka merasa di luar
dugaan?" Nyo Bok menjura dan menjawab sambil membungkuk-bungkuk: "Hamba benar-benar kaget
dan girang pula!" "Kau suka menjadi orang kepercayaanku atau ingin menjadi begundal Ciok Tio-ki?" demikian
tanya Pakkiong Bong. Nyo Bok merasa was-was dan serba curiga, sahutnya: "Terima kasih akan penghargaan Tayjin,
meski hamba harus mengorbankan badan sampai hancur lebur pun sulit membalas kebaikan
Tayjin." Pakkiong Bong bergelak tertawa, ujarnya: "Pangkat dan kekayaan apa yang Ciok Tio-ki bisa
berikan kepadamu, aku pun bisa memberi berlipat ganda kepada kau. Bagus, kalau kau suka
menjadi orangku, bicaralah terus terang. Ciok Tio-ki ajak kau ke kota raja, adakah dia membawa
kau menemui Sat-congkoan?"
"Baru kemarin kami tiba, Ciok Tayjin sendiri sampai saat ini belum lagi kutemui pula!"
Pakkiong Bong segera mengunjuk rasa girang, ujarnya: "Bagus, bagus. Kalau begitu ada
beberapa urusan kau harus mendengar petunjukku!"
Tersipu-sipu Nyo Bok membungkuk-bungkuk sambil mengia-kan.
"Pertama, pertemuanmu denganku malam ini, tidak perlu kau beritahu kepada Ciok Tio-ki.
Sikapmu pun harus tetap biasa seperti dulu, terutama bila mendapatkan kepercayaannya lebih
baik, sekali-kali jangan sampai timbul kecurigaannya kepada kau. Tahu!" demikian pesan Pakkiong
Bong. Baru sekarang Nyo Bok tahu bahwa busu yang mengundangnya masuk ke dalam markas besar
ini ternyata atas perintah Pakkiong Bong yang mencatut nama wakilnya.
Sudah tentu Nyo Bok tidak tahu latar belakang dari persoalan ini yang lebih rumit, tapi sebagai
seorang yang berotak encer, lapat-lapat ia sudah merasakan di antara komandan dan wakilnya ini
ada perselisihan yang sulit diketahui orang luar. Bahwa Pakkiong Bong sebagai komandan, di
dalam jalan pikiran Nyo Bok sudah tentu jauh lebih baik bila dia langsung main kontak dengan dia
daripada dengan Ciok Tio-ki, maka bukan kepalang senang hatinya mendengar tawaran Pakkiong
Bong tadi. Terdengar Pakkiong Bong melanjutkan: "Kelak aku akan mengutus seorang lain untuk
berhubungan dengan kau, berita apa saja yang kau dapatkan kau harus sampaikan dulu
kepadaku, berita yang tidak begitu penting boleh kau beritahukan juga kepada Ciok Tio-ki. Dan
lagi apa saja yang Ciok Tio-ki bicarakan dengan kau, atau kau mendapatkan info apa-apa dari
pihak mereka, harus cepat-cepat secara jujur dan terang-terangan beritahu kepadaku, kalau main
sembunyi-sembunyi atau membocorkan segala rahasiaku, aku tidak sungkan-sungkan lagi
mencabut nyawamu!" "Mana hamba berani?" sambil membungkuk-bungkuk Nyo Bok mengiakan pula.
"Memangnya kau tidak akan berani!" demikian jengek Pakkiong Bong.
"Tayjin masih ada petunjuk apa lagi?" tanya Nyo Bok.
"Biar kupikir sebentar. Ou, Han-congpiauthau dari Tin-wan Piaukok amat kental berhubungan
dengan kau bukan?" "Benar, entah Tayjin ada petunjuk apa?"
Baru sampai di sini pembicaraan mereka, Sebun Soh memasuki kamar itu hendak melaporkan
ribut-ribut soal maling di luar tadi. Kwi-hwe-thio cepat mengkeretkan badan sembunyi di lekukan
payon di mana buat jalan air, kebetulan badannya teraling-aling dan tidak kelihatan dari segala
jurusan. Terdengar Pakkiong Bong berkata: "Aku pun dengar anjing menyalak, agaknya jejak maling itu
sudah ketahuan oleh kalian, sekarang sudah melarikan diri. Kalian tidak berhasil meringkusnya
bukan?" Pakkiong Bong hanya mengandal pendengaran saja, namun kejadian apa yang berlangsung di
taman kembang dapat diketahui seperti menyaksikan sendiri. Keruan Kwi-hwe-thio yang sembunyi
di atas rumah kaget, pikirnya: "Untung dia hanya tahu jejak orang yang melarikan diri saja."
Kepandaian pergi datang Kwi-hwe-thio memang sudah mencapai puncaknya yang tertinggi, dia
percaya waktu membuntuti pelayan tadi sedikit pun dirinya tidak mengeluarkan suara, tapi
sekarang ia amat terkejut dan tak berani bernapas terlalu keras, kuatir dengus napasnya bisa
terdengar oleh kuping Pakkiong Bong yang tajam.
"Kuatirnya pencuri itu ada kaki tangannya, tapi aku sudah mengadakan pemeriksaan serentak,
tidak mendapatkan apa-apa," demikian tutur Sebun Soh.
"Pencuri tidak akan berani menyatroni tempatku ini. Kalian tidak perlu bikin ribut-ribut lagi,
supaya tidak ditertawakan oleh tamu kita," demikian ujar Pakkiong Bong.
Sebun Soh percaya akan kepandaian suhengnya, katanya: "Ya, masakah ada pencuri yang
bernyali besar berani datang kemari, jejaknya tentu tidak akan bisa mengelabui mata kuping
suheng." demikian umpak Sebun Soh. "Aku hanya memberi sekedar laporan saja!"
"Sekarang sudah mendekati kentongan ketiga, tamu kita segera bakal tiba."
"Ya, biar aku mewakili suheng menyambut kedatangan tamu agung."
"Tidak, jangan, tamu kita itu tidak mau diketahui orang lain, dia akan datang sendiri. Kau tidak
perlu mewakili aku menyambut kedatangannya. Adalah Nyo-siansing ini, wakilkan aku
mengantarnya pulang saja." Sementara dalam hati Pakkiong Bong membatin: "Meski Nyo Bok
kenal orang itu, ada lebih baik mereka jangan dipertemukan di tempatku ini."
"Tayjin, tadi kau ada menyinggung soal Han-congpiauthau dari Tin-wan Piaukiok..."
Pakkiong Bong berpikir sebentar, lalu katanya: "Soal Han Wi-bu kelak kita bicarakan lebih
lanjut. Di saat aku perlu tenagamu aku akan mengutus orang memberitahu kepada kau. Sute,
bawalah Nyo-siansing keluar dari pintu belakang."
Setelah Sebun Soh pergi bersama Nyo Bok, Pakkiong Bong memanggil seorang pengawal
pribadinya, katanya: "Seluruh hidangan mungkin sudah selesai dimasak, kau suruh koki
membawanya kemari selekas mungkin!"
Sebetulnya Kwi-hwe-thio hendak pergi, mendengar ucapannya ini, ia menjadi tertarik pula.
"Entah siapa tamu agung yang dia maksudkan, ingin aku melihatnya."
Belum lenyap jalan pikirannya, mendadak dilihatnya sesosok bayangan orang laksana burung
terbang hinggap di ujung loteng, serunya: "Sengaja Boh Cong-tiu datang memenuhi undangan
Tayjin, maaf membuat Tayjin lama menunggu!"
Pakkiong Bong bergelak tertawa, lekas ia membuka lebar pintu kamarnya terus melangkah
keluar menyambut, katanya: "Boh-heng ternyata dapat dipercaya, selamat datang, selamat
bertemu!" Melonjak jantung Kwi-hwe-thio saking kaget dan terbelalak: "Bagaimana mungkin Boh Cong-tiu
adanya?" Meski ia belum pernah melihat Boh Cong-tiu, namun ia tahu bahwa Boh Cong-tiu salah
seorang tokoh kosen dari Hu-siang-pay yang paling terkenal, gengsi dan ketenaran namanya
malah lebih unggul dari pejabat ciangbunnya yang baru, banyak mengikat hubungan dengan para
pendekar besar dari kalangan bulim yang kenamaan.
Kata Pakkiong Bong: "Sudah lama aku amat kagum akan pribadi Boh-heng, beruntung hari ini
dapat berkenalan, kuharap Boh-heng tidak perlu sungkan-sungkan, hanya kebetulan saja Pakkiong
Bong menjabat komandan Gi-lim-kun, Boh-heng sebagai tokoh kelas atas sungguh membuat aku
malu diri." "Baik, aku menerima perintah saja, harap tanya Pakkiong-heng mengundang siaute kemari,
entah ada urusan apa yang hendak dirundingkan?"
"Sebetulnya tiada apa-apa, cuma aku ingin berkenalan lebih dekat dengan Boh-heng, kalau sudi
malam ini kuharap Boh-heng sudi menemani aku mengobrol semalam suntuk. Siaute kebetulan
mendapat anugrah junjungan beberapa botol arak kelas satu, kebetulan bisa kusuguhkan kepada
Boh-heng untuk dirasakan bersama sampai mabuk."
"Pakkiong-heng sudi merendahkan diri berkenalan dengan siaute sungguh membuatku amat
girang dan bangga. Maafkan bila siaute berlaku sedikit kurang adat, apakah dalam gedungmu
barusan ada terjadi perkara kemalingan?"
Sejenak Pakkiong Bong me-lenggong, kejap lain ia tertawa terbahak-bahak, sahutnya: "Benar,
tidak perlu kita bicara sungkan-sungkan, aku pun ingin bertanya kepada kau, apakah tadi kau ada
bergebrak dengan maling itu?" Ternyata Boh Cong-tiu mengenakan jubah putih terbuat dari sutra
yang mulus, tapi di atas jubah putihnya itu tampak dua titik kotoran tanah liat.
Melihat sorot pandangan Pakkiong Bong lekas Boh Cong-tiu menunduk, baru sekarang ia
melihat noda kotoran di atas pakaiannya, keruan tercekat hatinya, seketika merah panas selebar
mukanya, katanya sambil tertawa dibuat-buat: "Sungguh tajam pandangan Pakkiong-heng,
memang, waktu aku datang, di pengkolan jalan sana kebetulan kebentur dengan maling yang
melarikan diri itu. Ginkang orang itu sungguh liehay, aku memukulnya sekali, entah kena tidak,
cengkeramanku luput pula sehingga ia melarikan diri."
Pakkiong Bong bergelak tertawa, serunya: "Boh-heng membekal ilmu tingkat tinggi, kukira
maling itu pasti terluka dalam, meski ia dapat melarikan diri apa halangannya" Tapi apakah Bohheng
tahu asal-usul orang itu?"
Boh Cong-tiu sudah membersihkan noda kotoran di atas jubahnya, sahutnya: "Bergebrak hanya
sejurus, sulit aku mengetahui dari aliran mana ilmu silatnya"
Ternyata di waktu Boh Cong-tiu hampir sampai di markas pusat Gi-lim-kun, masih terpaut
sebuah jalanan, tiba-tiba dilihatnya sesosok bayangan melesat terbang lewat sampingnya, dari
sebelah belakang dilihatnya ada beberapa busu mengejar keluar. Betapa cerdik Boh Cong-tiu,
begitu melihat keadaan ini, ia tahu bahwa orang tentu melarikan diri dari markas pusat Gi-lim-kun,
bukan mustahil tawanan penting, maka tanpa bicara ia melontarkan pukulan ke arah bayangan
itu. Pikirnya kalau berhasil meringkus orang ini, hitung-hitung sebagai kado pada pertemuan kali
ini. Pukulan yang dia lancarkan ini mengandung Siau-thian-sing-ciang-lat, merupakan ilmu keji dari
Hu-siang-pay yang tiada taranya, dianggapnya, sekali pukulannya mengenai lawan, tenaga Siauthian-
sing-ciang pasti kuasa membuat orang tergetar jungkir balik.
Tak nyana begitu telapak tangan mengenai kulit daging orang, terasa tangannya seperti
menggempur tumpukan kapas yang empuk, tenaga Siau-thian-sing-ciang yang dikerahkan sehebat
itu kena dipunahkan tanpa bekas. Orang itu berkelebat lewat dari samping tubuhnya, meski
terkena pukulannya, kakinya masih beranjak cepat tanpa berhenti atau terganggu, kejap lain
bayangannya sudah pergi jauh. Di kegelapan malam hanya terdengar suara tawanya yang
berkumandang dari kejauhan.
Gema tawa itu amat menusuk kuping, seperti bunyi gembreng pecah atau bahan logam yang
keras beradu. Serta merta mengkirik dan serasa dingin lubuk hati Boh Congtiu. Ternyata gelak
tawa yang aneh ini, dulu sudah pernah beberapa kali ia dengar.
Karena tidak berhasil membekuk orang itu, lagi pula kejadian ini cukup memalukan bila sampai
diketahui oleh anak buah Pakkiong Bong, maka sengaja ia memutar sebuah lingkaran besar, lalu
menyelundup masuk ke markas Gi-lim kun dari arah lain. Malam itu cuaca amat gelap, sedikit pun
ia tidak menyadari bahwa di atas badannya, orang telah, meninggalkan sualu tanda, dengan dua
titik noda kotoran lumpur, kini di bawah penerangan yang terang benderang barulah ditunjuk oleh
Pakkiong Bong. "Tokoh kosen yang misterius ini kebetulan muncul pada malam ini, entah secara kebetulan saja
atau memang disengaja?" demikian Boh Cong-tiu bertanya-tanya dalam hati, maklum pertemuan
rahasia dengan Pakkiong Bong ini memang dia rahasiakan terhadap orang luar, bahwa tokoh
misterius itu sengaja sudah mempermainkan dirinya, mau tidak mau hatinya menjadi gundah dan
was-was kurang tentram, mau tidak mau ia berprasangka bahwa orang memang sengaja hendak
mengintip dan membongkar intriknya dengan Pakkiong Bong.
Kwi-hwe-thio sendiri yang berada di atas rumah pun sedang keheranan, batinnya: "Di dalam
urutan tokoh-tokoh bulim, Boh Cong-tiu termasuk salah satu dari sepuluh tokoh kosen tertinggi,
malam ini ternyata ia kena terjungkal meski hanya kena dirugikan sedikit saja, entah tokoh macam
apa yang mempermainkan dirinya itu?"
Dalam pada itu meja perjamuan sudah disiapkan, segera Pakkiong Bong berkata kepada anak
buahnya: "Aku hendak makan minum bersama Boh-siansing, pergi kalian menjaga di bawah
loteng, siapapun tidak diperbolehkan naik kemari."
Setelah anak buahnya mengundurkan diri berkata Pakkiong Bong sambil berpaling kepada Boh
Cong-tiu: "Betapa banyak anak buahku toh tidak mampu menangkap maling kecil itu, kalau
dikatakan sungguh memalukan. Eh, kita tidak perlu membicarakan soal kecil ini, mari silakan
minum dan makan sekadarnya. Boh-heng marilah coba kau nikmati arak pemberian sang
junjungan!" Boh Cong-tiu menenggak habis satu cangkir, katanya memuji: "Bagus, arak enak! Pakkiongheng,
terima kasih akan penghargaanmu terhadapku, tapi perlu sebelumnya kutandaskan, malam
ini kita minum arak sambil mengobrol saja tanpa membicarakan urusan negara!"
"Bagaimana kalau membicarakan ilmu silat?"
"Sebagaimana kaum persilatan, adalah jamak orang-orang seperti kita membicarakan soal ilmu
silat!" "Ya, bicara soal ilmu silat, Boh-heng, secara terus terang sebetulnya aku merasa sayang bagi
kau!" Boh Cong-tiu melengak, katanya: "Apa maksud kata-katamu" Maaf aku orang she Boh memang
berotak tumpul." "Boh-heng, kau adalah keturunan murni dan langsung dari Jan-bau-khek, mcmbekal ilmu silat
perguruan murni yang teramat tinggi, siapa yang tidak tahu di seluruh kolong langit ini! Tak nyana
sejak perguruan kalian mendirikan partai dan pangkalan di Tionggoan, kedudukan ciangbunjinmu
justru kena direbut oleh seorang budak kecil yang tidak ternama, apakah tidak pantas aku merasa
sayang bagi kau?" "Tujuanku hanya hendak mengangkat derajat perguruan dan mengembang luaskan ilmu silat,
sedikit pun aku tidak peduli jabatan ciangbun segala!"
"Watak Boh-heng ternyata cukup sederhana dan lapang dada, sungguh mengagumkan! Tapi
bicara soal mengangkat derajat dan mengembangkan ilmu silat perguruan, semestinya
memerlukan tokoh yang setimpal untuk memikul tugas berat ini, Lim Bu-siang hanyalah budak
hijau yang masih berbau pupuk bawang. Hehe, kukira belum tentu ia mampu melaksanakan tugas
mulia ini" Dan lagi masih ada sebuah gejala yang mengancam keselamatan perguruan kalian
dengan kedudukan Lim Bu-siang sekarang sebagai ciangbunjin!"
Boh Cong-tiu pura-pura tidak paham, tanyanya: "Apakah sebabnya" Mohon penjelasan."
"Kabarnya Lim Bu-siang berhubungan erat dengan Beng Goan-cau, malah mungkin ada
mengikat pertunangan, seperti diketahui Lim Bu-siang mengandal dia sebagai tulang punggung
baru berani dan mampu menjabat ciangbunjin itu. Boh-heng, orang she Beng itu adalah tokoh
ketiga dari komplotan pemberontak di Siau-kim-jwan, kukira hal ini kau toh sudah tahu!"
"Pakkiong-heng, tadi sudah kukatakan aku tidak suka membicarakan urusan negara, kalau
sekarang kau bicara sebagai pejabat dari Gi-lim-kun dengan aku, maaf aku segera mohon diri
saja!" Pakkiong Bong bergelak tertawa, serunya: "Boh-heng, bicara terus terang, kau kuatir aku
membujukmu supaya terima tunduk dan suka bekerja bagi kerajaan bukan?"
"Benar, aku sudah biasa hidup bebas berkelana ke mana aku suka, cita-citaku yang utama
hanyalah ingin memperlebar perguruan, kalau Pakkiong Tayjin suka memahami cita-citaku ini, aku
orang she Boh berani merendahkan diri bersahabat dengan kau, kalau tidak silakan Tayjin
meringkus aku saja meski mampus aku pun tidak akan tunduk!"
"Boh-heng, apa-apaan ucapan, mu ini" Boh-heng sebagai tokoh kosen pada jaman ini, mana
aku berani memaksakan sesuatu pekerjaan yang tidak suka kau kerjakan?"
"Terima kasih, kiranya Tayjin masih bisa mengerti akan kesulitanku, marilah kita lanjutkan
makan minum ini dengan lebih bebas." Lalu ia angkat cangkir dan menenggaknya habis.
Pakkiong Bong pun menenggak habis secangkir arak, lalu katanya: "Boh-heng, kau dari
golongan pendekar bukan saja aku tidak mempersulit sepak terjang dan usahamu, malah ingin
aku memberi sebuah .hadiah kepada kau, supaya di dalam golongan kependekaran nama dan
gengsimu semakin besar dan menjulang, seluruh Enghiong di kolong langit bakal menyanjung dan
kagum kepada kau!" Sekilas melengak berkata Boh Cong-tiu: "Bahwa kau sudi mengundang aku kemari untuk


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menikmati arak sebagus ini, aku sudah teramat terima kasih, masa aku berani terima hadiah apa
segala?" "Tapi hadiah yang kumaksudkan bukan hadiah sembarang hadiah lho!"
Timbul rasa ingin tahu Boh Cong-tiu, tanyanya: "Memangnya hadiah apa?"
"Wakil thocu Thian-te-hwe Li Kong-he telah tertawan oleh orang kita, apa kau tahu?"
"Memangnya kenapa?"
"Li Kong-he tertawan oleh anak buah Sat Hok-ting, kini dikurung di dalam markasnya. Menurut
apa yang kuketahui, Utti Keng sudah berada di Pakkhia, kini sedang menyirapi berita dan jejaknya
siap hendak menolongnya keluar."
Mendengar pembicaraan sampai di sini diam-diam bercekat hati Kwi-hwe-thio, batinnya: "Berita
keparat ini ternyata amat cepat, bahwa kita sembunyi di rumah juragan arang she Cui entah
diketahuinya pula belum?"
Terdengar Pakkiong Bong melanjutkan: "Di mana Utti Keng bertempat tinggal, aku masih
belum tahu. Tapi untuk mengetahui jejaknya kukira Boh-heng tidak perlu banyak membuang
tenaga. Anak buah Kaypang tentu tahu di mana ia berada, kalau Boh-heng suka mencari tahu
kepada mereka, sudah tentu mereka akan memberitahu."
Berkata Boh Cong-tiu dingin: "Jadi maksudmu supaya aku mencari tahu jejak Utti Keng?"
Cepat Pakkiong Bong menggoyang tangan, ujarnya: "Tidak, bukan begitu maksudku, Boh-heng,
kau jangan salah paham!"
Sebetulnya Boh Cong-tiu sudah tahu ke mana juntrungan kata-kata orang, namun ia pura-pura
tidak tahu,, katanya: "Tapi tadi kau minta aku menyirapi jejak Utti Keng, lalu apa pula
kemauanmu?" "Bukan demi kepentinganku, sebaliknya demi kebaikanmu!"
"Pakkiong-heng, maaf akan ketumpulan otakku, aku belum mengerti maksudmu!"
"Kau cukup cerdik masakah belum tahu" Persoalan ini menyangkut hadiah yang tadi
kumaksudkan itu." "Menyangkut bagaimana" Ingin aku mengetahui, harap Pakkiong-heng menjelaskan."
"Begini jelasnya! Hadiah yang hendak kuberikan kepada kau adalah Li Kong-he, wakil thocu dari
Thian-te-hwe itu!" Boh Cong-tiu pura-pura kaget, katanya menyengir: "Pakkiong-heng, jangan kau berkelakar
dengan aku?" Berkata Pakkiong Bong dengan sikap sungguh-sungguh: "Pakkiong Bong selamanya tidak
pernah membual!" "Jangan kau lupa jabatanmu adalah sebagai komandan Gi-lim-kun!"
"Ya, justru karena itu baru aku bisa melimpahkan ketulusan hatiku untuk bersahabat dengan
Boh-heng!" "Baik, ketulusan Pakkiongheng, kuterima dengan setulusnya. Tapi harap tanya, cara bagaimana
pula kau bisa memberikan Li Kong-he kepadaku" Ada sangkut paut apa hal ini dengan Utti Keng?"
Berkata Pakkiong Bong lebih lanjut: "Meski Sat Hok-ting punya anak buah yang cukup kosen,
dengan tenaga gabungan Boh-heng dengan Utti Keng, untuk keluar masuk sarangnya kukira
bukan soal yang sulit bagi kalian!"
Baru sekarang Boh Cong-tiu pura-pura menjadi paham, ujarnya: "O, jadi maksud Pakkiongheng
supaya aku bergabung dengan Utti Keng untuk menolong orang di sana?"
"Malah aku bisa memberikan gambar lukisan mengenai seluk-beluk rumah Sat Hok-ting dan
letak penjara di mana Li Kong-he dikurung kepada kau. Tanggung kau akan mendapat hasil yang
memuaskan." "Apa kau tidak takut raja junjunganmu menyalahkanmu" Pakkiong-heng, terima kasih akan
ketulusan hatimu untuk bersahabat, namun aku tidak bisa membikin susah dan merembet kau!"
"Asal kau tidak membocorkan rahasia ini, memangnya siapa yang tahu bahwa akulah yang
membantu kau secara diam-diam. Hehe, Utti Keng sedang mohon bantuan para enghiong dari
berbagai kalangan untuk menyirapi jejak Li Kong-he, kalau kau bisa menolong Li Kong-he, seluruh
enghiong di kolong langit ini siapa yang tidak akan menaruh hormat dan kagum kepada kau,
jangan kata hanya jabatan ciangbunjin Hu-siang-pay yang kecil dan rendah, seandainya Bu-limbeng-
cu yang bakal berkuasa di seluruh jagat ini pun bisa Boh-heng duduki."
"Hadiahmu ini memang luar biasa, betapapun siaute tidak akan suka menerima hadiah ini tanpa
sebab!" Emangnya kata-katanya ini yang sedang diharapkan oleh Pakkiong Bong, segera ia berseri
tawa, katanya: "Persahabatan kita sudah sekental ini, masakah aku mengharap balas budi segala,
jangan sekali-kali kau singgung pula soal ini. Tapi ada sebuah persoalan memang rada membawa
manfaat bagi kita berdua!"
"Persoalan apa, silahkan jelaskan!"
"Beng Goan-cau bocah keparat itu memang bukan orang baik-baik, bukan saja ia melarikan
isteri Nyo Bok, kini memincut sumoaymu lagi, coba kau katakan, apakah orang macam demikian
masih boleh dikatakan sebagai golongan pendekar?"
"Benar, bicara tentang Beng Goan-cau aku pun jengkel dibuatnya. Tapi ciangbun sumoayku
memang menyukainya, apa boleh buat."
"Memangnya kau tidak pernah berpikir untuk menyingkirkannya?"
"Mana boleh jadi?" seru Boh Cong-tiu pura-pura kaget.
"Kenapa tidak boleh" Tekadmu ini adalah demi menegakkan keadilan bagi golongan pendekar,
seumpama kau memberantas sampah persilatan, kenapa pula kau harus merasa sangsi dan raguragu?"
"Pakkiong-heng, ada segi-segi lain yang tidak kau ketahui. Beng Goan-cau bocah keparat itu
meski tidak boleh dipandang golongan pendekar, namun ia ada hubungan kental dengan beberapa
tokoh kosen kenamaan dari angkatan tua golongan pendekar!"
"Aku tahu! Umpamanya Kim Tiok-liu dan Utti Keng, dan lain-lain memang adalah sahabat
kentalnya Justru karena hubungan kental mereka itulah maka mereka tidak enak turun tangan
sendiri, maka aku mohon bantuan Boh-heng untuk menegakkan kebenaran melenyapkan
kebejatan!" Dalam hati Boh Cong-tiu sudah meraba ke mana akal muslihat dan kelicikan orang, namun
lahirnya ia pura-pura, serunya: "Tidak mungkin, buat aku serba sulit untuk turun tangan!"
"Sudah tentu bukan kau sendiri yang harus turun tangan," demikian ujar Pakkiong Bong. "Akan
kusuruh dua orangku menjadi murid partai kalian, hanya soal kecil ini, kukira kau bisa
mempertanggung jawabkan bukan?"
"Orang macam apa kedua anak buahmu itu?"
"Jangan kuatir, sudah tentu tidak akan kukirim anak buahku dari Gi-lim-kun. Kaum persilatan
pun tidak akan ada orang yang tahu asal-usul mereka."
"Bagaimana pula setelah mereka tiba?"
"Kalau Beng Goan-cau dan sumoaymu sama-sama menaruh hati, pastilah mereka sering
bergaul dan berkencan, sementara kedua orangku itu pasti bisa mendapat kesempatan untuk
turun tangan. Dan lagi aku sudah mengatur rencana dengan baik, sehingga kau terlepas dari
persoalan ini!" "Ingin aku dengar rencana muslihatmu itu."
"Kalau Boh-heng memang tidak percaya, baiklah kuberitahu!"
Kwi-hwe-thio yang sedang mencuri dengar percakapan mereka di atap rumah tengah
memasang kuping, tak nyana di saat-saat yang menentukan ini, mendadak ia tidak mendengar
kelanjutan pembicaraan mereka. Ternyata sifat Pakkiong Bong memang cukup cermat dan hatihati,
walau ia tidak tahu bahwa di luar ada orang sedang mencuri dengar, namun di kala
membicarakan urusan yang amat penting dan serba rahasia, dia tetap bertindak menurut
kebiasaan bicara bisik-bisik di pinggir kuping orang!
Sesaat kemudian baru terdengar Boh Cong-tiu terbahak-bahak, serunya: "Bagus, memang
muslihat yang bagus sekali!"
"Terima kasih akan pujianmu. Bagaimana Boh-heng sudah lega belum. Boh-heng setelah kau
menolong keluar Li Kong-he, setelah rencanaku berhasil, tanggung tidak akan ada orang yang
bakal curiga terhadap kau!" Kejap lain mereka bergelak tawa riang.
Gelak tawa panjang dan kesenangan ini membuat bulu kuduk Kwi-hwe-thio mengkirik, walau ia
tidak dengar rencana muslihat apa yang sedang mereka bicarakan, tapi dari gelak tawa mereka
yang kepuasan dan kegirangan ini tidak sulit diraba, pastilah tipu muslihat keji untuk mencelakai
jiwa Beng Goan-cau. Dan yang penting bahwa Boh Cong-tiu sudah menerima usul dan mengikat
persekongkolan dengan Pakkiong Bong.
Berdiri bulu roma Kwi-hwe-thio, batinnya: "Tak nyana Boh Cong-tiu yang terkenal di seluruh
dunia kiranya begitu gampang kena dikibuli dan berintrik dengan Pakkiong Bong, aku tidak bisa
membiarkan Utti Keng terjebak di dalam tipu muslihat mereka, terlebih penting aku harus
membongkar dan mencegah mereka mencelakai jiwa Beng Goan-cau!"
Sebetulnya Kwi-hwe-thio sudah berniat pulang memberi tahu kepada Utti Keng, tapi kilas lain ia
berpikir mungkin masih ada rahasia penting lainnya yang bisa dicuri dengar pula, maka ia
membatalkan niatnya. Tengah ia bimbang, didengarnya Boh Cong-tiu sedang berkata: "Pakkiong-heng, terima kasih
akan hadiah yang kau berikan kepadaku, kini aku pun punya sebuah hadiah biar kuberikan juga
kepada kau." "Hadiah apa?" tanya Pakkiong Bong.
Jari Boh Cong-tiu menuding ke atap rumah serta memberi isyarat dengan gerakan tangan. Tapi
Kwi-hwe-thio yang sembunyi di atap rumah sedikit pun tidak tahu dan tidak melihat gerak-gerik
mereka, di saat ia pasang kuping untuk mendengar hadiah apa yang akan diberikan oleh Boh
Cong-tiu, sekonyong-konyong ia dengar sebuah suara lain yang asing baginya seperti berbisik di
pinggir kupingnya: "Lekas lari, lekas lari!"
Kwi-hwe-thio terkejut bukan kepalang, tanpa banyak pikir cepat ia melejitkan badan serta
mengembangkan ginkang tingkat tinggi melesat terbang ke arah sebuah pohon di depan sana.
Tepat pada saat itu pula, didengarnya suara dobrakan yang bergemuruh memekakkan telinga.
Tahu-tahu atap rumah seperti diterjang bom meledak dan ambrol berantakan, tepat di tempat
di mana tadi Kwi-hwe-thio menyembunyikan diri.
Ternyata karena terlalu asyik mendengar, sehingga Kwi-hwe-thio lupa menahan napas,
sehingga deru napasnya rada kasar dan terdengar oleh Boh Cong-tiu. Memang Boh Cong-tiu ingin
pamer kepandaian di hadapan Pakkiong Bong, isyarat tangannya adalah menyuruh Pakkiong Bong
bergabung dengannya memukul jebol atap rumah.
Di luar dugaannya, meski atap rumah sudah jebol berhamburan, namun tidak terlihat adanya
orang terjungkal jatuh. Sebat sekali Boh Cong-tiu sudah melesat keluar melalui lubang atap yang
dihantamnya jebol. Tatkala itu, Kwi-hwe-thio sudah melesat terbang ke pucuk pohon yang lain, begitulah dengan
berlarian memantul dari satu dahan ke lain dahan, sekejap saja ia sudah berhasil melarikan diri.
Lapat-lapat Boh Cong-tiu hanya melihat berkelebatnya sesosok bayangan hitam, waktu
Pakkiong Bong memburu keluar hanya melihat dahan pohon bergoyang, sekelilingnya gelap gulita
dan sunyi senyap tiada terjadi sesuatu apa.
Boh Cong-tiu tidak tahu bahwa yang mencuri dengar adalah Kwihwe-thio, dalam sekejap saja ia
sudah kehilangan jejak orang, keruan mencelos hatinya, batinnya: "Mungkinkah orang itu pula?"
Sementara Pakkiong Bong sendiri pun terkejut dan serba curiga, katanya: "Boh-heng, apakah
kau yang salah dengar?"
Boh Cong-tiu menghela napas, ujarnya: "Betapa tinggi ginkang orang itu, selama hidupku
belum pernah kusaksikan!"
Para busu mendengar suara gemuruh dari rontoknya atap rumah di sebelah sini sama
memburu datang. Lekas Pakkiong Bong berseru: "Tiada apa-apa, aku sedang berlatih silat
bersama tamuku. Kalian boleh kembali ke masing-masing tempatnya!"- Maklumlah pertemuannya
dengan Boh Cong-tiu serba rahasia, sudah tentu ia harus menjaga supaya kejadian malam ini
tidak tersiar keluar. Apalagi sebagai komandan Gi-lim-kun, pencuri bisa pergi datang seenaknya
sendiri dari ketajaman matanya, kalau diketahui orang masakah tidak ditertawakan.
Setelah kembali ke kamar rahasia, berkata Pakkkiong Bong: "Boh-heng, siapa yang kau
curigai?" "Mungkin orang yang melarikan diri dari sini tadi. Hm, betapa angker dan ditakuti orang markas
besar Gi-lim-kun, orang ternyata bisa pergi datang seperti berada di rumah sendiri. Kalau orang ini
tidak dilenyapkan, pasti merupakan bibit bencana di kelak kemudian hari."
"Kalau toh ilmu silat orang itu sedemikian liehaynya, tentu dia punya asal-usul. Boh-heng, kau
ada mengikat hubungan luas dengan para pendekar dan orang-orang gagah dari kaum persilatan,
adakah kau bisa mencari sumber penyelidikan dari mereka?"
"Para tokoh kosen dari berbagai partai dan golongan besar aku sama kenal baik. Tapi menurut
apa yang kuketahui, di antara golongan pendekar agaknya tiada orang macam ini."
"Kalau dia bukan golongan pendekar, hal ini membuat hatiku banyak lega."
"Tapi dengan adanya orang macam demikian secara diam-diam bermusuhan dengan kita,
betapapun harus berusaha untuk menyingkirkannya, baru terasa lega dan aman."
"Sudah tentu," ujar Pakkiong Bong. "Bahwa orang ini berada di kota raja, kukira tentu
mempunyai maksud-maksud tertentu, dia akan secepat itu meninggalkan Pakkhia. Akan
kuhubungi komandan pengawas kota supaya dia mengutus para opasnya yang paling diandalkan
untuk memperhatikan setiap orang yang dicurigai di dalam kota raja!"
"Tapi ada seorang jangan kau mengganggu usik dia lho!" demikian ujar Boh Cong-tiu tertawa.
"Kalau kau ganggu dia mungkin rencana kita berantakan."
"Sebaliknya aku ingin mengganggunya!"
"Bukankah mengejutkan malah, cara bagaimana pula aku bisa meminta bantuannya nanti?"
"Kalau benar dapat menemukan jejaknya, sudah tentu aku punya rencana yang cukup rapi,
sehingga rencana kita lebih sempurna dilaksanakan, kutanggung dia tidak akan menaruh curiga
kepada kau." "Sementara jangan kau terangkan dulu, biar kutebak. Hah, begini bukan rencanamu?" lalu ia
berbisik di pinggir kuping Pakkiong Bong.
Pakkiong Bong lantas bergelak tertawa, serunya: "Boh-heng, kau betul-betul cerdik luar biasa,
ternyata sekali tebak tepat mengenai sasaran."
"Tapi mungkin tidak bakal bisa terjadi begitu kebetulan!"
"Bicara terus terang, sejak beberapa lama anak buahku sudah menemukan jejaknya. Baru saja
aku menerima berita, di tempat tak jauh dari sini didapati seorang yang mencurigakan, bukan
mustahil orang itu adalah Utti Keng!"
Sementara itu Utti Keng sedang menghadapi cawan araknya dan sudah menghabiskan
beberapa cawan seorang diri, tanpa terasa didengarnya kentongan tiga kali sudah lewat beberapa
waktu berselang. Warung arak itu memang luar biasa, setiap peminum di situ semua adalah penjudi yang getol
main dadu. Mereka terdiri dari berbagai kalangan yang tidak menentu. Keadaan cukup ramai dan
gaduh, kadang-kadang terdengar sorak gembira dan caci maki yang saling bersahutan. Asap
tembakau dan bau yang kurang sedap memenuhi seluruh ruangan.
Sudah tentu Utti Keng segan menyaksikan tingkah laku dan keadaan para penjudi yang serba
menjemukan, keributan dan asap yang semakin tebal mengganggu pernapasan membuat hatinya
semakin risau dan gundah.
"Kentongan ketiga sudah lewat, kenapa Kwi-hwe-thio belum datang juga?" demikian ia sedang
mengharap-harap. Mendadak dilihatnya dari luar masuk tiga orang. Para tamu pergi datang tidak
berkeputusan, sebetulnya Utti Keng tidak peduli akan kedatangan mereka, tapi ketiga orang ini
lain dari yang lain, mau tidak mau keadaan mereka yang rada ganjil ini menimbulkan
perhatiannya. Ketiga orang ini salah satu di antaranya adalah laki-laki kekar berbadan kasar, seorang lagi
adalah nyonya genit yang merias wajahnya seperti sundel bolong, sementara orang ketiga adalah
hwesio gundul. "Perempuan suka judi tidak perlu dibuat heran," demikian batin Utti Keng, "Orang beribadah
ternyata juga suka main judi dan minum arak, entah hwesio liar yang keluyuran dari biara mana?"
Tengah ia berpikir, ketiga orang itu sama mendekati sebuah meja, berpencar pada tiga penjuru
berposisi mengepung. Meja kursi itu sedang diduduki seorang tamu yang sedang minum sendirian,
mukanya mengkerut kaku, sedikit pun ia tidak menunjukkan reaksi apa-apa akan kedatangan
ketiga orang ini. Setelah ketiga orang itu mengepung dirinya, mendadak orang itu meletakkan cangkir araknya
dan bergelak tertawa, katanya: "Sungguh kebetulan kedatangan kalian, mari kutraktir kalian
minum arak!" Hwesio ittu mendengus hidung, serunya: "Kau sudah menggasak uang kita, sekarang sedang
foya-foya di sini ya?"
"Menang kalah adalah jamak, nanti sebentar kita boleh melanjutkan, kenapa toa-suhu marah?"
demikian ujar laki-laki itu.
Perempuan genit itu mendadak memukul meja, bentaknya: "Kau penipu ini memangnya sudah
buta, berani menipu kami bertiga!"
Laki-laki itu menjadi gusar, semprotnya: "Tio Jini! Setelah kalah kau hendak main fitnah
kepadaku?" Belum habis ia bicara, laki-laki kasar yang lain sudah mengeluarkan tiga butir dadu. Cukup
dengan ketiga jarinya meremas, terdengarlah suara seperti pecahan sesuatu benda logam, ketiga
dadu itu ternyata teremas hancur berkeping-keping oleh ketiga jarinya dan sama berhamburan di
atas meja. Mengandal kekuatan jari meremas hancur dadu sebetulnya tidak perlu dibuat heran, tapi bagi
seorang penjudi, mempunyai kepandaian setinggi itu, hal ini rada-rada di luar dugaan. Utti Keng
mengerut kening, pikirnya: "Kalau mereka sampai berkelahi aku menjadi serba berabe."
Maklumlah kalau terjadi keributan tentu para opas penjaga keamanan akan meluruk datang
mengadakan penangkapan. Setelah meremas hancur ketiga dadu itu, laki-laki kasar berkata dingin: "Coba kalian lihat,
bukankah dadu ini palsu?"-Warung arak itu penuh sesak, yang bernyali kecil segera mundur
teratur begitu melihat gelagat jelek, yang bernyali besar sama merubung maju malah, ada
beberapa di antaranya segera mengiakan.
Maka terdengarlah suara "Brak", perempuan genit itu memukul meja pula, makinya: "Bajingan,
kalau kau menang secara jujur, anggap akulah yang bernasib jelek. Tapi kau gunakan dadu palsu
untuk menipu uangku. Nyonya besarmu ini masa harus berpeluk tangan?"
Orang itu segera menjengek dingin: "Kalau kalian tahu dadu itu palsu, kenapa tidak sejak
permulaan membongkar kesalahan ini" Sekarang kau meluruk kemari hendak mencari gara-gara,
memangnya siapa yang tahu dari mana kalian mengambil dadu palsu itu hendak memeras aku"
Katanya aku menipu kau, sebaliknya aku menuduh kau hendak memeras uangku!"
Hweshio gendut itu segera membentak: "Bajingan berani kau menuduh kami malah" Kalau
tidak dihajar, memangnya kau sangka kami gampang dipermainkan?"
Mendadak orang itu berdiri, katanya tertawa lebar: "Setelah minum arak memang ingin aku
melemaskan otot-ototku. Kalian hendak berkelahi, sungguh kebetulan malah!"
Belum habis ia bicara mendadak "blang" meja sudah ditendang jumpalitan, ternyata orang itu
turun tangan lebih dulu. Kontan hwesio gendut mengirim sebuah jotosan, sehingga meja tebal itu
retak dan menggelundung di tanah, maka berterbangan pecahan cangkir, poci dan arak ke manamana.
Tamu-tamu dalam warung arak sama berteriak dan banyak yang lari keluar menyingkirkan diri,
sementara pemilik warung berkaok-kaok: "Hai, hai, kalian belum-lagi membayar! Hayo bayar dulu
uang arak kalian!"

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan genit itu mengeluarkan sepasang golok serta menarikannya dengan gesit dan
tangkas, golok di tangan kanan panjang sementara pendek di tangan kiri, dengan gencar ia
menyerang dengan bacokan kepada orang itu. Sementara laki-laki kasar itu mengeluarkan
sepasang mistar besi, secara diam-diam ia menusuk punggung orang itu dari belakang.
Para tamu sudah lari pontang panting, kecuali pemilik warung dan pelayan, hanya tinggal Utti
Keng seorang yang masih seenaknya menikmati araknya.
Sebagai seorang pemberani, sedikit menerawang situasi segera Utti Keng berpikir: "Kentongan
ketiga sudah lalu, sudah saatnya Kwi-hwe-thio segera tiba. Biarlah kutunggu sebentar lagi." Maka
ia jinjing meja dan kursi ke tempat pojokan yang rada gelap, dengan nyaman ia menikmati
araknya lagi. Orang yang dituduh menipu itu tetap bermuka dingin kaku, tanpa bersuara ia layani keroyokan
ketiga lawannya dengan tabah dan mantap. Lama-lama Utti Keng mengerut kening, pikirnya:
"Kepandaian penipu ini jauh lebih tinggi dari ketiga lawannya, namun untuk mengalahkan ketiga
musuhnya, paling cepat memakan setengah jam. Semoga Kwi-hwe-thio lekas menyusul datang
sebelumnya." Penipu itu mengembangkan kaki tangannya dengan lincah dan gesit, sehingga ketiga lawannya
mencak-mencak dan mundur berulang-ulang, entah sengaja atau tidak, lama kelamaan
pertarungan mereka menggeser ke arah Utti Keng.
Dengan dingin Utti Keng segera berkata: "Kalian berkelahi jangan sampai menjotos kepalaku,
minggir rada jauh sana!" Mulut bicara sementara tangannya mendorong ke arah hwesio gendut
itu. la lihat kepandaian hwesio gemuk ini biasa saja, maka dorongannya ini hanya menggunakan
dua bagian tenaganya saja, cukup asal orang menyingkir ke sana.
Tak nyana dorongannya ternyata tidak membuat si hwesio bergeming dari tempatnya. Malah
hwesio gendut itu membentak gusar: "Bagus ya, kau sendiri yang turun tangan lebih dulu, jangan
kau salahkan aku." "Wut" kontan ia menampar ke arah Utti Keng, angin pukulannya ternyata menderu panas,
seolah-olah semburan hawa panas dari dalam tungku yang sedang membara apinya. Terang
kepandaian ini bukanlah ilmu silat rendahan, jelas orang adalah jago silat kelas wahid dari
kangouw. Untung pengalaman tempur Utti Keng cukup luas dan tenang, meski kejadian ini berada di luar
dugaannya, hampir saja ia terkena pukulan lawan, betapapun ia masih sempat dan kuasa
menghadapi bo-kongan lawan sehingga sedikit pun tidak kena dirugikan.
Maka terdengarlah "Blang", tenaga pukulan Utti Keng sudah terlatih begitu sempurna sehingga
dalam melancarkan pukulan dapat dimainkan maju mundur sesuka hatinya, begitu merasa gelagat
jelek, mendadak ia tambah tenaga tujuh delapan bagian, keruan hwesio gendut itu tersurut
mundur tujuh delapan langkah, belum lagi bisa berdiri tegak badannya berputar lagi dua putaran
baru bisa memunahkan daya pukulan Utti Keng.
Perempuan genit itu segera membentak: "Keparat kau ini berani turut campur urusan orang
lain, hayolah labrak dia saja, kita orang sendiri bisa menyelesaikan urusan nanti!" Sembari bicara
kedua golok panjang pendeknya sudah berputar-putar terus membacok serabutan kepada Utti
Keng. Demikian juga sepasang mistar laki-laki kasar itu sudah mengemplang ke batok kepala Utti
Keng dari arah lain. "Bagus ya, memangnya kalian hendak mencari gara-gara kepadaku!" demikian damprat Utti
Keng. Golok cepatnya laksana kilat, sebat sekali ia sampuk minggir sepasang mistar laki-laki kasar
serta memukul jatuh golok panjang perempuan genit itu. Begitu cepat dan telak sekali ia melolos
golok serta menangkis dan menyerang musuh, betul-betul kepandaian maha tinggi yang jarang
terlihat pada golongan tokoh kosen di bulim. Tapi kedua lawannya ternyata tidak sampai cedera,
maka kepandaiannya tentu tidak ringan.
Penipu itu segera bergelak tertawa, ujarnya: "Sedikit pun tidak salah, memangnya kami hendak
melabrak engkau! Hehe, kau anggap kami kaum keroco, kukira matamu perlu dicuci biar bersih!"
di tengah gelak tawanya tiba-tiba ia julurkan sebuah jarinya terus menotok ke arah Utti Keng.
Seketika Utti Keng merasa Ih-khi-hiat seperti kena diselomot oleh api dupa, meski tidak terkena
totokan secara telak, namun rasanya tidak enak.
Berubah air muka Utti Keng, bentaknya: "Ternyata kau inilah Ouwyang Kian!"
Ternyata Ouwyang Kian satu-satunya pewaris dari ilmu tunggal Lui-sin-ciang, meski Utti Keng
belum pernah melihatnya, namun ia kenal baik akan kepandaiannya ini.
Ouwyang Kian terbahak-bahak, ujarnya: "Tidak salah penglihatanmu, sungguh kagum!"
"Ouwyang Kian, di kalangan kangouw kau termasuk tokoh yang cukup punya nama, tak nyata
sudi melakukan cara yang rendah dan hina demikian" Hehe."
Mulut Ouwyang Kian masih terbahak-bahak, sementara kulitnya kaku seperti tertawa tidak
tertawa, katanya: "Kepandaianmu terlalu tinggi, kalau toh kami menghadapimu dengan cara ini
berarti menghargaimu juga, seharusnya kau merasa bangga karenanya! Sekarang kau
membalikkan kenyataan memaki aku, apa tidak merendahkan derajatmu malah?"
Merah muka Utti Keng mendengar debat orang yang masuk di akal, segera ia bergelak tertawa,
serunya: "Terima kasih akan penghargaanmu, bagus, terpaksa Utti Keng harus menghadapi kalian
dengan sekuat tenaga supaya tidak menyia-nyiakan pandangan dan penghargaanmu!" Sambaran
goloknya laksana kilat berkelebat, di saat ia bicara goloknya sudah bergerak menyerang tiga puluh
enam jurus tabasan dan bacokan keempat musuhnya seolah-olah merasa tajam golok lawan
seperti mengincar tempat-tempat mematikan di tubuh sendiri, sinar golok menyilaukan mata,
membawa kesiur angin dingin seolah-olah membekukan badan.
Diam-diam Ouwyang Kian terkejut dibuatnya, pikirnya: "Keparat ini ternyata tidak takut
menghadapi Lui-sin-ciku, betapa tinggi lwekangnya agaknya di luar perhitunganku. Untung aku
membawa tiga teman, kalau tidak mungkin aku bisa terluka oleh golok cepatnya ini!"
Perempuan genit menggantol goloknya dengan ujung kakinya menjemput golok panjang yang
terpukul jatuh oleh Utti Keng tadi, segera ia ikut terjun ke tengah gelanggang.
Kata Utti Keng: "Golok pusakaku ini selamanya tidak membunuh kaum hawa, tapi kau tidak
tahu diuntung, jangan kau salahkan aku melanggar kebiasaanku ini!"
"Kau hendak membunuh aku, kukira tidak begitu gampang seperti omongan bacotmu,"
demikian cemooh perempuan genit itu. Belum habis ia bicara, tampak setabir sinar golok tahutahu
datang, meski ia menggunakan sepasang golok, namun sedikit pun tidak mampu
membendung atau menangkis tabasan golok tunggal Utti Keng.
Berpikir Utti Keng: "Membunuh seorang perempuan hanya membikin kotor golok dan nama
baikku," baru saja ia hendak membacok putus lengan kanan perempuan genit serta mengampuni
jiwanya, mendadak terasa angin keras berkesiur dari belakang, ternyata laki-laki bersenjata mistar
menggunakan senjatanya sebagai Boan-koan-pit, dengan nekad ia merang-sak maju, kedua
senjatanya berbareng menusuk ke Ih-khi-hiat Utti Keng.
Serangan ini membuat musuh harus menyelamatkan diri lebih dulu sebelum melukai lawan,
lekas Utti Keng membalikkan golok menyampuk miring sepasang mistar orang. Tapi saat itu juga
Ouwyang Kian merangkap kedua jari menotok dari depan, sementara hwesio gendut melancarkan
pukulan dari sebelah samping. Pukulan dan totokan jari ini adalah ilmu silat yang cukup liehay dan
tinggi dari aliran sesat, terpaksa Utti Keng harus membalikkan goloknya untuk menghadapi
rangsakan mereka bersama. Beruntung perempuan itu berhasil menyelamatkan sebelah
lengannya, namun saking terkejut badan basah kuyup oleh keringat. Namun ia sendiri belum
menginsyafi jikalau bacokan Utti Keng tadi sedikit dipercepat, jiwanya pasti sudah melayang.
Utti Keng membentak: "Pemah kudengar Tin-wan Piaukiok katanya punya seorang piauthau
bernama Lau Hien-goan, mahir menggunakan mistar menotok hiat-to, apakah kau ini?"
Laki-laki itu tertawa, ujarnya: "Aku seorang yang tidak ternama, kiranya Utti Tayhiap juga
mengenal nama rendahku, sungguh aku amat bangga!"
"Tidak jelek nama Tin-wan Piaukiok, tak nyana punya kaki tangan bejat dan rendah macam
tampangmu ini, aku harus merasa sayang akan merk Tin-wan Piaukiok yang kenamaan."
"Utti Keng, tahukah kau, siapa pula aku ini?" demikian jengek Ouwyang Kian.
"Dulu tidak begitu jelas, kini aku sudah tahu, kau adalah sampah persilatan."
Ouwyang Kian tertawa, ujarnya: "Aku tidak perlu main debat dengan kau mengenai pribadiku.
Ketahuilah, kedudukanku sekarang adalah wakil cong-piauthau dari Tin-wan Piaukiok!"
Sekilas Utti Keng melengak, namun golok di tangannya sedikit pun tidak menjadi kendor,
sembari menyerang ia berkata dingin: "Oho, jadi kau sudah menjabat wakil cong-piauthau dari
Tin-wan Piaukiok. Memangnya pihak Tin-wan Piaukiok kalian sengaja mencari gara-gara
kepadaku" Hehe, almarhum Han-cong-piauthau dulu ada sedikit persahabatan dengan aku, namun
kalian bersikap bermusuhan kepadaku, ingin aku tahu sebab musababnya!"
Ouwyang Kian tertawa lebar, sahutnya: "Kau ingin tahu, baiklah biar kujelaskan, supaya kau
mati tidak penasaran. He, he, tahukah kaj Taysu ini?"
"Siapa tahu hwesio liar dari kelenteng mana yang ngeloyor keluar?"
"Utti Tayhiap sekali lagi kau salah lihat. Tempat tinggal Yam-yam Taysu ini bukan kelenteng
bobrok, ia menempati sebuah kamar mewah di dalam markas besar gi-lim-kun, dialah tamu
terhormat dari Pakkiong Bong Tayjin!"
Baru sekarang Utti Keng sadar, bentaknya: "Tak nyana Tin-wan Piaukiok yang didirikan oleh
Han-lopiauthau bakal runtuh di tangan manusia-manusia rendah macam kalian! Hm, jadi kau
menggunakan Tin-wan Piaukiok sebagai modal untuk menyerah kepada kerajaan, mengikat
kontrak dagang dengan Pakkiong Bong."
"Memangnya Tin-wan Piaukiok didirikan di kota raja, kalau kita tidak bekerja bagi kerajaan,
masakah harus bekerja bagi begal kuda dari Kwan-tang macammu ini" Biarlah kujelaskan
seluruhnya, Han-cong-piauthau, Han Wi-bu segan unjuk muka sendiri maka suruh aku yang
mewakili dia!" Ucapan Ouwyang Kian ini separuh benar separuh ngelantur, ternyata Pakkiong Bonglah yang
menyuruhnya menjadi wakil cong-piauthau Tin-wan Piaukiok, namun Han Wi-bu sendiri tidak tahu
menahu. Di dalam Tin-wan Piaukiok ia pun hanya berhasil menarik Lau Hien-goan suami istri.
Bahwa dia mengatur bualannya ini adalah untuk melemparkan bencana ke pihak lain.
Utti Keng semakin murka, dampratnya: "Baik, kalian hendak membunuh aku, kukira juga tidak
begitu gampang." Bahna gusarnya goloknya bergerak semakin cepat, Lau Hien-goan suami istri
berkepandaian rada lemah, mereka terhuyung mundur terdesak oleh sambaran angin golok yang
deras sampai setombak lebih.
Tapi kepandaian Ouwyang Kian dan Yam-yam Taysu bukanlah tergolong rendah. Hwe-liongkang
yang dilatihnya meski belum ungkulan dibanding Lui-sin-ci Ouwyang Kian, namun merupakan
ilmu tunggal dari aliran tersendiri pula.
Meski Utti Keng tidak gentar menghadapi empat pengeroyoknya, betapapun lambat laun ia
menjadi kehabisan tenaga, kira-kira sesulutan dupa kemudian semula ia banyak menyerang,
akhirnya ia bertahan saja.
Dalam pada itu, setelah melarikan diri dari markas besar Gi-lim-kun, berpikir Kwi-hwe-thio:
"Akhirnya aku mendapat tahu jejak Li Kong-he, aku bisa memberikan pertanggungan jawab
tugasku kepada Utti Keng." Tak nyana waktu ia tiba di luar warung arak terdengar benturan
senjata menusuk kuping, bentakan suara Utti Keng pun terdengar pula dari luar. Diam-diam Kwihwe-
thio mengeluh dalam hati.
Ilmu silat Kwi-hwe-thio rada rendah, namun kepandaian mendekam di tanah mendengarkan
suara nomor wahid di seluruh jagat, pertempuran di dalam warung arak sedang sengit, dia tidak
berani masuk maka ia merunduk ke kaki tembok di sebelah luar mencuri dengar.
"Satu, dua, tiga, empat. Ah, empat jagoan kosen sedang mengepung Utti Tayhiap. Aduh,
tabasan golok ini cepat dan berat sekali, tentulah Utti Tayhiap menyerang dengan bernafsu
kepada musuh. Sayang, sayang, tabasan goloknya ini sebetulnya bisa melukai perempuan bawel
itu, kenapa tidak mengenai sasaran" Perempuan bawel itu menggunakan Liu-yap-to, laki-laki yang
lain kalau tidak bersenjata tongkat tentu menggunakan mistar besi. Kedua orang ini agaknya tidak
begitu liehay. Eh, dua orang yang lain ternyata tidak menggunakan senjata, mereka berani
bertangan kosong menghadapi golok cepat Utti Tayhiap, kejadian ini kalau tidak kudengar sendiri,
sungguh aku tidak berani percaya. Celaka, celaka, gerak golok cepat Utti Tayhiap agaknya jauh
lebih lambat dari biasanya, mungkin keadaannya amat terdesak!"
Semakin mendengarkan semakin ciut nyali Kwi-hwe-thio, tiba-tiba didengarnya derap langkah
tergesa-gesa mendatangi, waktu ia angkat kepala, tampak sesosok bayangan hitam muncul di
pcnj-kolan jalan sana, sekejap saja ia sudah berlari tiba di depan warung arak. Malam itu cuaca
amat gelap, tiada bintang lagi, namun sejak dilahirkan Kwi-hwe-thio dikumui sepasang mata
tajam, di malam gelap ia masih bisa melihat jelas orang itu, dia bukan lain adalah Boh Cong-tiu
yang tadi dilihatnya sedang berunding di kamar rahasia Pakkiong Bong.
Kwi-hwe-thio tahu akan kelihayan Boh Cong-tiu, tadi waktu di markas besar Gi-lim-kun, Boh
Cong-tiu pula yang mengetahui jejaknya, saking kaget ia tidak berani bernapas keras-keras.
Pikirnya dalam hati: "Pakkiong Bong memperalat dirinya supaya Utti Tayhiap masuk
perangkapnya, dalam waktu dekat mungkin ia tidak akan bakal mencelakai Utti Tayhiap. Hm, ingin
aku lihat tipu muslihat apa yang ingin dia lakukan."
Sementara itu, keadaan Utti Keng memang sudah cukup gawat, gerak golok cepatnya sudah
semakin kendor, ada hati namun tenaga semakin terkuras habis. Sebagai ka-wakan kangouw,
meski melawan musuh dengan sengit, namun panca inderanya masih tetap tajam, mendengar
derap langkah mendatangi, ia kira bala bantuan musuh sudah tiba, tak urung ia tertawa getir
dalam hati: "Tak nyana nyawaku bakal mampus dalam warung arak kecil ini. Selama hidup aku
sudah malang melintang, malam ini menghadapi lima jagoan kosen, meski mati pengorbananku
cukup setimpal." Ouwyang Kian bergelak tertawa, serunya: "Utti Keng, keadaanmu sudah jompo! Aku jadi tidak
tega membunuh kau. He, he, Utti Keng, kuanjurkan kau menyerah saja!"
"Kentutmu busuk!" demikian damprat Utti Keng. "Berapa banyak pihak kalian silakan suruh
keluar semua. Dapat aku membunuh satu sebagai imbalan modal, membunuh dua sebagai rente!"
Sebelum ia habis bicara, Boh Cong-tiu sudah berlari masuk, dia pura-pura amat terkejut dan
berteriak sambil memburu maju: "Utti Tayhiap, kiranya kau! Jangan gugup, biar kubantu kau
melabrak kawanan berandal ini!"
Yam-yam Taysu pura-pura tidak mengenalnya, bentaknya: "Siapa kau, berani turut campur
urusan kami" Rasakan pukulanku ini!" Kedua orang ini bermain sandiwara sungguhan, segera
mereka saling hantam. Boh Cong-tiu tahu Utti Keng adalah ahli silat yang berpengalaman luas, sedikit pun dirinya tidak
boleh menunjukkan lubang kelemahan, maka meski sedang main sandiwara, permainan yang
dilancarkan terpaksa tidak kepalang tanggung.
Begitu memukul, angin pukulan Yam-yam Taysu menderu membawa suhu panas membara.
Boh Cong-tiu mandah tertawa dingin: "Hwe-liong-kang memangnya bisa berbuat apa atas diriku?"
Di mana kipasnya mengebas, ia gunakan ajaran lwekang mumi dari ciptaan cikal bakal Hu-siangpay
Jan-bau-khek, seketika terjadilah hembusan angin sepoi-sepoi yang nyaman di tengah hawa
panas. Utti Keng yang sedang bertempur sengit dan merasa gerah pun mendadak merasa nyaman
dan bangkit pula semangatnya.
Sandiwara ini dilakukan sesungguhnya, sudah tentu Yam-yam Taysu yang menderita rugi dan
tertimpa getahnya, deru angin panas kena disampuk balik oleh kibasan Boh Cong-tiu, seketika
membuat ia kepanasan mencak-mencak sendiri, dalam sekejap saja badan basah kuyup oleh
keringat. Lau Hien-goan suami isteri segera ikut menubruk maju, sepasang mistar sang suami menotok
ke Hiat-to Hong-hu-hiat di punggung Boh Cong-tiu, sementara kedua golok istrinya menari-nari
naik turun, dengan jurus Soat-hoa-kay-ting (bunga salju menutup kepala) membacok dan
menabas ke batok kepala Boh Cong-tiu.
Sudah tentu Utti Keng tidak tinggal diam membiarkan mereka mengalihkan sasaran menyerang
kepada Boh Cong-tiu, sebat sekali ia gunakan Ih-sing-hoan-wi, ia berkelit dari totokan Lui-sin-ci
Ouwyang Kian dari sebelah depan, sementara golok cepatnya laksana kilat bergerak sembari
membentak: "Kena!"
"Kelontang!" sepasang mistar Lau Hien-goan kena terbacok kutung menjadi empat potong oleh
bacokan golok pusaka Utti Keng, untung kepandaiannya cukup lumayan dan bisa bergerak
tangkas, meski senjatanya kutung, namun ia sendiri tidak kurang suatu apa.
Hampir dalam waktu yang bersamaan, Boh Cong-tiu pun membentak: "Lepas golok!" Kipasnya
mendadak terangkat dan mengetuk dengan ringan, kedua Liu-yap-to istri Lau Hien-goan kontan
bersuara nyaring jatuh di lantai. Sebetulnya tajam golok Utti Keng sudah berputar hendak
menabas kedua lengan perempuan genit ini, sementara Boh Cong-tiu sedang merangsak dengan
kipasnya, maka ia urungkan tabasan goloknya.
"Pergilah!" Boh Cong-tiu susuli lagi dengan bentakan, di mana kakinya terangkat, ia tendang
terpental terbang istri Lau Hien-goan dan terlempar keluar pintu.
Lekas Lau Hien-goan memburu keluar dan memapah bangun istrinya terus dipanggul, istrinya
pura-pura patah kedua kakinya sambil mengerang-erang kesakitan. Sebetulnya tendangan Boh
Cong-tiu ini menggunakan tenaga yang sudah diperhitungkan, kelihatannya cukup keras dan
ganas, bahwasanya perempuan genit itu sedikit pun tidak terluka.
Boh Cong-tiu menjengek dingin: "Kupandang kau seorang perempuan, tidak kulukai jiwamu."
Utti Keng menyangka perempuan itu betul-betul patah kakinya, ia jadi tidak tega, katanya:
"Benar, biarkan mereka pergi!"
Ouwyang Kian merangkap kedua jari menotok ke arah Boh Cong-tiu, "Cras" kipas Boh Cong-tiu
tertotok tembus berlubang. Waktu Utti Keng melancarkan golok cepatnya pula, lekas-lekas
Ouwyang Kian dan Yam-yam Taysu melarikan diri sipat kuping.
Boh Cong-tiu masih hendak mengejar, lekas Utti Keng berseru mencegah: "Tak jauh dari sini
adalah markas besar Gi-lim-kun, kalau kita menampakkan diri kukira kurang leluasa. Boh-heng,
tidak perlu kau kejar mereka!"
Boh Cong-tiu segera membatalkan niatnya, katanya: "Benar, memangnya aku sedang mencari
kau!" "Lui-sin-ci Ouwyang Kian cukup liehay, coba biar kuperiksa apakah kau terluka?"
"Tidak menjadi soal," sahut Boh Cong-tiu. "Untung totokannya tidak mengenai hiat-toku."
Waktu Utti Keng menegasi, dilihatnya di sebelah Hian-ki-hiat di depan dada Boh Cong-tiu
kedapatan setitik merah, terang itulah bekas tanda-tanda totokan Lui-sin-ci. Meski Utti Keng
berwatak tabah dan gagah, tak urung mencelos hatinya.
Kwi-hwe-thio yang sembunyi di luar jadi berpikir dan menerawang: "Kalau sekarang kubongkar
kedok Boh Cong-tiu, mungkin Utti Tayhiap belum tentu mau percaya. Sekitar sini entah ada tidak
pasukan Gi-lim-kun yang menyembunyikan diri, kalau jejakku sampai ketahuan, tentu jiwaku sulit
kuselamat-kan." Tengah ia berpikir, didengarnya Utti Keng berkata: "Boh-heng, cara bagaimana kau pun tiba di
kota raja?" "Memangnya aku sedang mencari kau. Dari Kim Tiok-liu kudengar katanya kau datang ke kota
raja, maka kususul kau kemari."
Utti Keng menjadi heran, katanya: "Kalau begitu, sungguh amat kebetulan kejadian malam ini.
Entah ada keperluan apa Boh-heng mencari aku?"--Meski ia merasa kedatangan Boh Cong-tiu
terlalu kebetulan, namun kenyataan Boh Cong-tiu barusan sudah membantu dirinya menggebah
lari kawanan penjahat, malah hampir saja terluka parah, maka ia hanya merasa kebetulan saja,
sedikit pun tidak merasa curiga kepadanya.
Tatkala itu pemilik warung dan pelayan serta beberapa pengunjung lainnya yang
menyembunyikan diri sudah sama menongol keluar, cuma mereka masih merunduk-runduk tidak
berani keluar terang-terangan.
Kata Boh Cong-tiu: "Utti-heng, tempat ini tidak leluasa untuk bicara, marilah cepat tinggalkan


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat ini saja!" Waktu itu kentongan ke empat sudah menjelang, Utti Keng menjadi sadar, pikirnya: "Kwi-hwethio
cukup cerdik, dia tidak meluncurkan panah berapi, terang jejaknya tidak ketahuan. Mungkin
melihat aku kena perkara di sini, sekarang dia sudah pulang ke rumah juragan Cui untuk
memberikan laporan!"
"Baik," ujar Utti Keng, "mari kita mencari tempat lain!"
Lekas Kwi-hwe-thio mengundurkan diri dan sembunyi di ujung gang yang gelap sana, dilihatnya
Utti Keng berjalan berjajar bersama Boh Cong-tiu, arah yang dituju ternyata berlawanan dengan
tempat tinggal juragan Cui. Ternyata Utti Keng memang bernyali besar dan cukup cermat dan
teliti. Warung arang milik juragan Cui itu adalah salah satu cabang rahasia yang didirikan di dalam
kota raja oleh Thian-te-hwe, sebelum mendapat ijin dan memberitahukan lebih dulu kepada
juragan Cui, sekali-kali ia tidak berani membawa orang luar ke tempat itu.
Kwi-hwe-thio menjadi lega hati, pikirnya: "Boh Cong-tiu tidak akan turun tangan malam ini,
maka Utti Tayhiap pasti akan kembali besok pagi. Biar aku pulang merundingkan hal ini kepada
juragan Cui saja." Di waktu ia kembali sampai di jalan letak warung arang tempat tinggal juragan Cui itu, cuaca
sudah terang benderang. Setelah dekat dan waktu ia angkat kepala seketika ia melenggong dan
mengeluh dalam hati. Ternyata di depan pintu warung arang milik juragan Cui itu tengah terjaga oleh dua tentara,
pintu besarnya tertutup rapat dan sudah tersegel oleh dua kertas merah bersilang yang dicap oleh
pemerintah. Meski jalan raya sudah kelihatan orang berlalu lalang, namun tiada seorang pun yang
berani maju mendekat, sudah tentu Kwi-hwe-thio pun tidak berani unjuk diri.
Berpikir Kwi-hwe-thio: "Agaknya perusahaan arang juragan Cui sudah digrebek dan disegel oleh
pemerintah, biarlah aku menyingkir dulu dan membuat perhitungan lain." Baru saja ia menyelinap
memasuki sebuah gang kecil, tiba-tiba pundaknya dipegang oleh seorang dari belakang.
Kwi-hwe-thio ada melatih Suh-kut-kang (ilmu mengkeretkan tulang), dengan kemahirannya ini,
meski ia dibelenggu betapapun ketatnya dengan mudah bisa membebaskan diri, apalagi kini hanya
dipegang secara mendadak dari belakang, meski terkejut namun ia masih berlaku tabah dan
tenang. Lekas ia merendahkan pundak mengkeretkan badan berusaha lolos ke bawah dan
melarikan diri, tak nyana sedikit pun ia tidak berhasil membebaskan diri dari cengkeraman orang
itu. Baru saja hatinya mencelos dan mengeluh, tiba-tiba didengarnya orang itu tertawa geli dan
berkata: "Jangan gugup, inilah aku!" Suara ini sudah amat dikenalnya, waktu ia berpaling ke
belakang, kiranya Beng Goan-cau adanya.
Keruan kejut dan girang pula Kwi-hwe-thio, serunya: "Beng-ya, kelakarmu ini sungguh
mengejutkan hatiku. Tapi cara bagaimana kau bisa berada di tempat ini?"
"Memang aku hendak bicara dengan kau. Aku menetap di sebuah hotel kecil di Tay-cian-bun
sana." Setelah berada di hotel tempat penginapan Beng Goan-cau, Kwi-hwe-thio segera menutup
pintu kamar dan berkata.: "Aku pun punya banyak urusan yang perlu dibicarakan dengan kau, tapi
biar aku mendengar penjelasanmu lebih dulu!"
Beng Goan-cau tertawa, katanya: "Kalau dikatakan memang amat kebetulan, sebetulnya aku
memang sengaja menuju kemari!"
"Memangnya kau sudah tahu rahasia dari perusahaan arang milik juragan Cui?"
"Ya, Li Kong-he kena perkara pun sudah kuketahui, alamat ini kudapat tahu dari Kim Tiok-liu.
Semula aku hendak mencari Utti Keng, tak nyana di sini aku bertemu kau lebih dulu!"
Lekas Kwi-hwe-thio bertanya: "Tahukah kau bagaimana keadaan juragan Cui dan yang lainlain?"
"Waktu aku tiba kebetulan kulihat serombongan tentara menggiring beberapa pesakitan yang
di-borgol, jumlahnya tiga belas orang, entah di antara mereka apakah terdapat juragan Cui?"
"Termasuk Utti Tayhiap dan aku seluruhnya berjumlah lima belas orang. Kalau begitu seluruh
penghuni perusahaan arang itu telah kena ditangkap."
"Kau si setan licin ini cara bagaimana pula bisa meloloskan diri?"
"Semalam aku bersama Utti Tayhiap ke tempat lain menjalankan tugas, jadi tidak berada di
dalam perusahaan." "O, kiranya begitu, kukira bila Utti-toako berada di rumah, masakah dia sudi membiarkan
pasukan pemerintah itu berlaku sewenang-wenang" Ke mana semalam kalian pergi?"
Kwi-hwe-thio menyahut sambil berbisik: "Markas besar Gi-lim-kun!"
Beng Goan-cau melengak kaget, serunya menegas: "Markas besar Gi-lim-kun" Apa Li Kong-he
disekap di dalam sana?"
"Tidak, ia dikurung di tempat kediaman Sat Hok-ting," demikian sahutnya sambil tertawa dan
menyambung: "Masih ada sebuah kejadian yang bisa membuatmu kaget. Semalam di tempat
kediaman Pakkiong Bong aku melihat seseorang, coba kau terka siapa dia?"
"Aah, main jual mahal, lekas katakan!"
"Kau tebak pun tidak akan kena sasaran. Orang itu adalah Boh Cong-tiu!"
Sungguh terkejut Beng Goan-cau bukan kepalang. "Boh Cong-tiu!" ia berseru menegas. "Untuk
apa dia berada di sana?"
"Sudah tentu untuk pekerjaan gelap. Oh, ya, hampir aku lupa memberi tahu kepada kau,
kecuali Boh Cong-tiu aku pun melihat Nyo Bok, mereka datang bergiliran menghadap Pakkiong
Bong!" Lalu ia ceritakan sejelas-jelasnya kejadian malam itu secara singkat.
Beng Goan-cau menghela napas, ujarnya: "Terhadap Nyo Bok sudah lama aku menaruh curiga,
tidak perlu dibuat heran bila dia main sekongkol dan mengadakan pertemuan rahasia dengan
Pakkiong Bong. Bahwa Boh Cong-tiu pun berbuat demikian ini betul-betul di luar dugaanku."
"Karena kemaruk pangkat atau kedudukan dan harta benda, entah berapa banyak orang-orang
gagah yang terjungkal, sehingga nama jatuh dan badan hancur. Pakkiong Bong menggunakan
kedudukan ciangbunjin Hu-siang-pay sebagai umpan, tidaklah heran bahwa Boh cong-tiu pun kena
dikailnya. Tapi tugas kita penting sekarang, tidak perlu merasa sayang bagi sepak terjang Boh
Cong-tiu, adalah harus secepatnya menemukan Utti Tay-hiap, supaya dia tidak tertipu dan
terjebak oleh Boh Cong-tiu."
Mendadak teringat oleh Beng Goan-cau akan Lim Bu-siang, pikirnya: "Kalau hal ini
diketahuinya, betapa dia akan sedih. Walau kita harus waspada supaya Utti Keng tidak terjebak
oleh musuh, kita pun harus bertindak supaya Lim Bu-siang tidak masuk perangkapnya. Jiwa Busiang
terlalu polos dan jujur, tidak tahu seluk beluk kehidupan manusia yang serba licik, jahat dan
busuk, keadaannya jauh lebih menguatirkan dari Utti Keng."
"Beng-heng, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Ucapanmu memang benar, aku sudah punya akal."
"Akal apa?" "Katamu bahwa Pakkiong Bong hendak membantu Boh Cong-tiu secara diam-diam untuk
menolong orang di vil a Sat Hok-ting?"
"Itulah sebuah muslihat, kalau Boh Cong-tiu berhasil menolong Li Kong-he, ia bakal mendapat
pujian dan kepercayaan dari seluruh eng-hiong di kolong langit, kelak bukan saja kedudukan
ciangbunjin Hu-siang-pay, mungkin kedudukan Bu-lim-bing-cu pun hendak diraihnya!"
"Aku tahu, tapi bukankah kita bisa mengatur sedemikian rupa, tipu dibalas dengan tipu pula?"
"Ingin aku mendengar penjelasanmu!"
"Li Kong-he tentu harus kita tolong, bahwa Pakkiong Bong sedang memperalat Boh Cong-tiu,
masakah kita tidak bisa memperalat dia juga. Bersama Utti Keng dia meluruk ke dalam vil a Sat
Hok-ting untuk menolong orang, maka ia tidak akan bisa terlalu lama mengulur waktu, kukira
kejadian bakal terjadi pada malam nanti."
"Memangnya bagaimana?"
"Untuk ini kau perlu menyerempet bahaya pula."
"Semakin berbahaya semakin menggairahkan semangatku hal ini adalah biasa bagi
pekerjaanku!" "Mulai nanti malam, setiap malam kau harus menyelundup ke dalam vil a Sat Hok-ting untuk
membuat penyelidikan, begitu kau melihat sesuatu yang ganjil, segera kau lepaskan panah berapi
memberi tanda kepadaku."
"Benar!" seru Kwi-hwe-thio sambil menepuk paha. "Dengan cara ini kita tidak usah menunggu
atau menemukan Utti Tayhiap lagi."
"Bukan saja begitu, di kala aku menerjang masuk bantu Utti Keng menolong Li Kong-he,
sekaligus aku bisa membongkar persekongkolan Pakkiong Bong dengan Boh Cong-tiu."
"Aku kuatir Uti Tayhiap tidak akan mau percaya!"
"Hubunganku lain dari yang lain dengan Utti Keng, ucapan orang lain belum tentu dia mau
percaya, tapi kata-kataku seratus persen pasti dia mau percaya. Dan lagi, mungkin dalam waktu
dekat memang Utti Keng tidak akan mau percaya, tapi Sat Hok-ting sebagai komandan pasukan
Bhayangkari mau tidak mau harus percaya!"
Kwi-hwe-thio menjadi kegirangan, serunya tertawa lebar: "Benar, dari merebut kekuasaan dan
keuntungan pribadi, Sat Hok-ting dan Pakkiong Bong saling menaruh dendam dan bermusuhan,
seumpama tiada orang membocorkan rahasia ini, dia pun pasti akan curiga, cara bagaimana
mungkin Utti Keng bisa tahu bahwa Li Kong-he ada disekap di dalam rumahnya" Begitu kita
membongkar tipu muslihatnya ini, sudah tentu dia akan percaya. Ha, ha, adegan sandiwara
sungguhan bakal terjadi cukup sengit dan seru dari akibatnya. Akal bagus, sungguh akal bagus!"
"Tapi dengan cara itu kita sendiri pun harus menyerempet bahaya. Bahwa Sat Hok-ting dan
Pakkiong Bong terang pasti akan membunuh kita, maka Boh Cong-tiu pun tentu akan membunuh
kita pula. Aku sendiri memangnya seorang buronan, mati hidup sudah tidak kuhiraukan, sedang
kau lebih baik jangan sampai terseret ke dalam pusaran ini, sehingga kehilangan obyekmu.
Apakah kau tidak menyesal nanti?"
Kwi-hwe-thio tinggal diam seperti ada sesuatu yang dipikirkan, mendadak ia berkata: "Betul,
kita masih bisa mencari seorang pembantu!"
"Tugas yang harus kita lakukan teramat berbahaya, orang yang kita mintai bantuannya adalah
sahabat kental yang harus dapat dipercaya, siapa maksudmu?"
"Orang ini sudah sejak lama menjadi sahabat kentalmu. Masakah kau masih belum bisa
menerka?" "Siapa sebetulnya?"
Kwi-hwe-thio tertawa lebar ujarnya: "Song Theng-siau!"
Terkejut dan girang pula Beng Goan-cau dibuatnya, serunya: 'Song Theng-siau juga sudah
tiba" Kau sudah ketemu dia?"
"'Malah siau-sumoaymu juga datang. Mereka menetap di rumah Cay Kin. Cay Kin bersaudara
bukan mustahil juga bisa membantu usaha kita."
"Cay Kin bersaudara punya rumah ada usaha, sekali-kali kita tidak boleh merembet mereka.
Aku tidak ingin siau-sumoay ikut menyerempet bahaya yang begini besar. Kalau Song Theng-siau
sih bolehlah diajak berunding!"
"Dengan bertambahnya seorang tenaga kosen, bila Boh Cong-tiu hendak mungkir dan
menunjukkan kedok aslinya, kita pun masih bisa melawan dan melarikan diri dari sana. Apalagi
Utti Tayhiap seorang sudah cukup menghadapi Boh Cong-tiu."
"Jangan kau terlalu optimis, aku tidak bisa menanggung keselamatanmu lho. Apakah kita perlu
mengundang Theng-siau, aku sendiri masih -sangsi."
"Kalau tidak kuasa melawan, memangnya aku tidak bisa lari" Apalagi aku sudah cukup puas
foya-foya sekian tahun, kurasa sudah lebih dari cukup puas."
"Sudah tentu, bagaimanapun siau-sumoay dan Song Theng-siau sudah tiba di sini, aku harus
mencari ketika untuk bertemu dengan mereka."
"Bagus, urusan jangan diulur panjang, sekrang juga mari kita menemui mereka."
-ooo0dw0ooo- Song Theng-siau dan Lu Su-bi menetap di rumah Cay Kin, tanpa merasa beberapa hari sudah
berselang, namun selama ini mereka tidak berhasil mendapatkan berita mengenai diri Beng Goancau.
Hari itu Cay Kin pulang seperti biasa, katanya: "Berita Beng Tayhiap tidak kudapat, sebaliknya
kudengar sebuah kejadian aneh.','
"Kejadian aneh bagaimana?"
"Bahwa di dekat markas besar Gi-lim-kun kedapatan sebuah warung arak dan sarang judi yang
serba aneh." Ternyata sejak kakek moyangnya Cay Kin sudah menjadi penduduk lama warga
Pakkhia, peristiwa semalam yang terjadi di dalam warung arak itu, secara diam-diam sudah ada
orang yang memberilah u kepadanya.
Setelah Cay Kin menutur berita apa yang dia dengar, lalu ia menambahkan: "Cukong yang
membuka warung arak itu adalah seorang pejabat militer bawahan Pakkiong Bong, bahwa ada
orang berani membuat keributan di sana sudah cukup mengherankan. Tapi masih ada keanehan
lain pula terjadi!" "O, keanehan apa lagi?"
"Semula ada, empat orang mengepung seorang laki-laki berewok, ada orang kenal satu di
antara mereka adalah wakil cong-piauthau dari Tin-wan Piau-kiok yang baru, yaitu Ouwyang
Kian." Song Theng-siau terkejut, katanya: "Ouwyang Kian, ilmu silat orang ini cukup liehay! Pernah
aku bantu Miao Tiang-hong melabraknya."
Berkata Cay Kin dengan menghela napas: "Setelah ayahku almarhum, segala urusan Tin-wan
Piaukiok aku sudah tidak pernah turut campur. Tapi berita yang kudengar hari ini, betul-betul
menyakiti hatiku." Song Theng-siau terheran-heran, katanya: "Ouwyang Kian membuat keributan di warung arak
sudah tentu menurunkan derajat dan gengsi perusahaan, tapi kukira kejadian ini tidak perlu dibuat
perhatian!" "Song siauhiap agaknya tidak tahu seluk beluknya. Kecuali Ouwyang Kian, di antara mereka
berempat terdapat pula seorang hwesio gendut. Meski orang yang memberi kabar aku tidak
mengenal hwesio gendut itu tapi begitu ia menuturkan, lantas aku tahu siapa dia sebenarnya!"
"Tokoh macam apa hwesio liar itu?"
"Dia tak lain tak bukan adalah salah satu jagoan terkuat dari Gi-lim-kun yang bernama Yamyam
Hwesio!" Song Theng-siau melongo, katanya: "Jadi Ouwyang Kian ada sekongkol dan kerjasama dengan
cakar alap-alap kerajaan, tak heran Cay-toako merasa sakit hati."
Lu Su-bi ikut tertarik, selanya: "Ouwyang Kian sudah termasuk tokoh kelas satu, bahwa hwesio
gendut itu dihargai pula oleh Pakkiong Bong tentulah bukan kaum keroco, adalah siapa pula lakilaki
berewok yang mereka keroyok itu" Begitu hebat dan tinggi kepandaiannya mampu
menghadapi keroyokan empat tokoh-tokoh liehay?"
"Orang itu bersenjata sebilah golok tunggal, katanya keempat lawannya sedikit pun tidak
mampu menghadapinya, akhirnya datang pula seorang sastrawan yang membantunya, terpaksa
Ouwyang Kian berempat mencawat ekor melarikan diri. Tokoh silat yang bersenjatakan golok
dalam dunia persilatan apalagi dapat dimainkan sedemikian liehaynya tiada keduanya, dia
tentulah..." Sampai di sini tiba-tiba Lu Su-bi menyela bersama Cay Kin, serunya: "Utti Keng!"
Song Theng-siau menjadi girang, katanya: "Nama besar Utti Keng sudah lama kukagumi tak
kira dia pun sudah tiba di kota raja. Kalau ada kesempatan bisa berkenalan sungguh baik sekali!"
"Utti Keng pun ada sedikit hubungan dengan mendiang ayahku," demikian timbrung Lu Su-bi.
"Waktu kecil aku pernah melihatnya. Tapi setelah dia menimbulkan keonaran ini, kukira sudah lari
jauh meninggalkan kota raja."
"Benar, menurut kebiasaan, setelah adanya keributan macam ini, Pakkiong Bong tentu tidak
akan berpeluk tangan, bukan mustahil sekarang ia sudah perintahkan patroli pengawas kota untuk
memperkuat penjagaan dan mengawasi orang-orang yang dicurigai."
Betapa cerdik Song Theng-siau, mendengar ucapan orang tergerak hatinya, segera ia berkata:
"Cay-heng, kau dari keluarga persilatan, tokoh yang cukup terkenal di dalam kota raja mungkin
segala gerak-gerikmu bakal menjadi perhatian mereka" Kukira kehadiran kami di sini bisa
membawa kesulitan bagi kau!"'
"Tidak sedikit aku kenal pejabat pemerintah, sedikit banyak mereka harus memberi muka
kepadaku. Kalian tidak usah kuatir dan tetap tinggal di sini saja, sudah tentu kalian memang harus
lebih hati-hati." "Sebetulnya bersama siau-sumoay kami ingin tamasya ke Ban-li-tiang-shia, ada lebih baik biar
kami berdarmawisata ke sana, sekaligus untuk menghindari kesulitan di sini."
Cay Kin berpikir sebentar lalu katanya: "Setelah berada di Pakkhia, memang kalian harus
tamasya di tembok besar, kalau kalian hendak pergi beberapa hari juga ada baiknya. Sayang aku
tidak bisa menemani kalian!"
"Kabarnya di bawah Pat-tat-nia terdapat rumah penginapan bagi para pelancongan, biar kami
mencari penginapan di sana untuk tinggal beberapa hari, Cay-heng tidak usah kuatir!"
"Tinggal di hotel kukira kurang leluasa dan kurang bebas, di sana aku punya sebuah tempat,
bolehlah kalian menetap di sana saja!"
"Kalau begitu lebih baik. Entah di mana letak tempatmu itu?"
"Di atas Pat-tat-nia terdapat sebuah biara, pengurus atau Tosu penghuni biara itu adalah
kenalan baikku, kalau kalian menyebut namaku, tentu mereka akan menerima kedatangan kalian!"
-ooo0dw0ooo- Ban-li-tiang-shia dibangun di antara pegunungan yang sambung menyambung turun naik dan
berliku-liku seperti ular panjang sejauh dua belas ribu li, entah berapa banyak tempat-tempat
curam dan berbahaya di sepanjang tembok besar yang panjang itu. Umpamanya Ki-eng-koan dan
Pat-tat-nia adalah dua di antaranya. Bagi setiap pelancong yang ingin tamasya di tembok besar
dari Pakkhia, mereka biasanya harus melewati Pat-tat-nia ini.
Sebelum terang tanah Song Theng-siau dan Lu Su-bi sudah berangkat, waktu tiba di Pat-tat-nia
sang surya sudah doyong ke barat dan hampir tenggelam di peraduannya, tak lama lagi cuaca
sudah akan gelap. Begitu berada di puncak Pat-tat-nia, tampak tembok besar berada di kaki bukit sana laksana
seekor naga yang melingkar-lingkar kelihatan badan dan ekornya tanpa kelihatan kepalanya,
selepas pandang membuat rasa hati lapang dan nyaman. Sedemikian indah pemandangan alam
semesta di sini, sehingga Lu Su-bi berdiri terpesona, serta merta ia berseru memuji: "Ah,
panorama di sini jauh lebih indah dari Siau-kim-jwan, marilah kita melancong sampai cuaca gelap
baru mencari biara itu untuk menginap."
"Siau-sumoay sedemikian senang, sudah tentu aku selalu mengiringi keinginanmu," demikian
ujar Song Theng-siau tertawa. "Di sebelah depan sana, masih ada tempat yang lebih
menyenangkan." "Apa iya?" seru Lu Su-bi, demikian mereka berputar kayun menjelajah berbagai pelosok, tibatiba
terdengar oleh mereka suara "Crang-creng" yang nyaring terbawa hembusan angin
pegunungan yang sepoi-sepoi. "Eh!" seru Lu Su-bi heran, "dari mana ada terdengar suara harpa di
sini?" "Itu bukan suara petikan harpa," demikian Song Theng-siau coba menjelaskan. "Tempat ini
memang dinamakan Tan-ceng-kiap (selat memetik harpa), itulah karena aliran air yang gemerincik
di atas pegunungan dan berkumandang seperti suara harpa."
"Benar, suara ini jelas adalah petikan senar harpa," seru Lu Su-bi.
Terpaksa Song Theng-siau pasang kuping mendengarkan dengan cermat, memang di antara
gemericiknya suara aliran air lapat-lapat terdengar suara harpa. Suara harpa yang tulen dan palsu
berpadu, namun bila diperhatikan masih bisa dibedakan secara nyata.
"Orang ini memetik harpa di Tan-ceng-kiap, mungkin dia pun seorang seniman."
"Petikan harpanya sungguh bagus sekali," demikian puji Lu Su-bi. "Song-suko, serulingmu ada


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau bawa tidak?" "Sayang tidak kubawa, meski kubawa masakah aku berani pamer di depan seorang ahli musik."
Terdengar petikan harpa itu mengalun mengambang dengan suara bulat dan berisi, pertanda
bahwa orang yang memetiknya memang seorang ahli, kejap lain terdengar pula suara orang
bersenandung membawakan syair-syair ciptaan pujangga pada jaman Tong yang bernama Li Gisan,
syair itu mengenang sahabat lama yang sudah sekian lama berpisah.
Begitulah sambil menikmati alunan suara harpa, Song Theng-siau beranjak ke depan dan tak
lama kemudian di kejauhan sana dilihatnya seorang pemuda berpakaian serba putih duduk di atas
sebuah batu marmer bundar menyerupai kaca di atas batu cadas yang berlubang-lubang, dari
lubang-lubang itu memancar keluar air yang gemericik memperdengarkan suara "Crang-creng"
pula, lapat-lapat kedua suara ini berpadu dan serasi.
Tak terasa Song Theng-siau berseru memuji: "Petikan harpa heng-tai ini sungguh bagus
sekali!" Pemuda itu menghentikan petikannya dan angkat harpa serta bergegas berdiri, katanya:
"Pelancong datang dari jauh, maaf aku di sini mengganggu kesenangan kalian!"
"Kami sendiri sebetulnya yang harus minta maaf karena mengganggu keasyikan saudara. Harap
maaf akan kelancangan kami, mohon tanya nama besar saudara."
Pemuda baju putih membungkukkan badan dan menyahut: "Siaute Tan Kong-si dari Koh-su."
"O," Song Theng-siau berseru kaget. "Apakah Kanglam Tayhiap Tan Thian-ih Tan-Iosiansing
adalah ayahmu?" "Terima kasih," sahut Tan Kong-si merendah. "Kalian adalah..."
"Aku berasal dari Soh-ciu, aku she Song, mendiang ayahku bernama Sip-lun, aku sendiri
bernama Theng-siau. Dia adalah siau-sumoayku Lu Su-bi."
Tan Kong-si menjadi girang, katanya tertawa: "Kiranya saudara Song, sudah lama aku pun
ingin berkenalan dengan kau. Tak nyana kita sama-sama warga kota Soh-ciu, baru hari ini bisa
berkenalan. Kabarnya Song-heng berada di Siau-kim-jwan, kenapa berada di tempat ini?"
"Kami ke kota raja untuk mencari seorang sahabat, hari ini sengaja kami melancong di Ban-litiang-
shia. Syair yang dibawakan Tan-heng tadi agaknya juga sedang mengenang seorang
kenalan, apakah kau juga sedang mencari temanmu?"
Tan Kong-si mengiakan lalu tambahnya: "Aku sudah ke Pakkhia, namun temanku itu tidak
kutemukan, Song-heng apakah hari ini baru kau keluar dari kota Pakkhia?"
Song Theng-siau mengiakan sambil manggut-manggut.
Kata Tan Kong-si: "Aku sudah datang tiga hari yang lalu, sekarang aku siap hendak pulang.-
Song-heng, siapakah orang yang kau cari?"
"Beng Goan-cau," sahut Song Theng-siau. "Entah siapa pula sahabat yang kau cari?"
"Entah apakah Song-heng pernah mendengar nama Miao Tiang-hong?"
"Ah, jadi orang yang kau cari adalah Miao Tiang-hong."
"Agaknya Song-heng juga sudah kenal baik dengan dia?"
"Kenalan baik sih tidak, tapi di jalan kami pernah dua kali jumpa sama dia." Song Theng-siau
tahu Tan Kong-si dan Miao Tiang-hong adalah kenalan baik, maka ada beberapa persoalan tidak
enak ia kemukakan. Adalah jiwa Lu Su-bi yang polos dan lugu, segera ia menimbrung sambil tertawa: "Tan-toako,
temanmu itu sudah menimbulkan perkara yang bukan kecil artinya, dia sudah bertengkar dengan
Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya dan Han cong-piauthau dari Tin-wan Piaukiok!"
"Ada kejadian itu, kenapa?"
Lekas Song Theng-siau berkedip kepada Lu Su-bi, katanya: "Di tengah jalan kami pernah lihat
dia berkelahi dengan para piausu dari Tin-wan Piaukiok, entah apa sebab musababnya!"
"Adakah yang terluka?"
"Hal ini, aku tidak menanyakan kepadanya!"
Tak.tahan Lu Su-bi menyela lagi: "Dia sedang seperjalanan bersama Hun Ci-lo. Bibi Hun Ci-lo
menetap di Sam-ho. Lebih baik kau ke sana saja mencarinya!"
"Terima kasih akan petunjuk ini," demikian ujar Tan Kong-si. "Sam-ho tidak jauh dari Pakkhia,
biar kucari mereka di Sam-ho, kuharap dalam waktu dekat kami bisa bertemu pula di kota raja.
Oh, ya, hampir kulupa tanya kalian, di mana tempat tinggal kalian di Pakkhia?"
"Semula kami menetap di rumah Cay Kin."
"O, Cay Kin" Aku tahu dia! Kalau begitu sekembalinya ke Pakkhia biar kucari kalian di rumah
Cay Kin." Setelah Tan Kong-si pergi, berkata Theng-siau tertawa: "Bicara terhadap orang sedapat
mungkin membatasi diri, jangan kau limpahkan segala apa yang kau tahu. Siau-sumoay, bicara
sama dia kenapa kau tidak tahu akan pantangan ini?"
Lu Su-bi lantas merengut dan bersungut-sungut, omelnya: "Memangnya dia kan putra kedua
Kanglam Tayhiap, toh bukan orang jahat."
"Tapi dia adalah sahabat baik Miao Tiang-hong, tahukah kau tadi aku kuatir kau membicarakan
hubungan pribadi antara Miao Tiang-hong dengan Hun Ci-lo, kedengarannya tentu rada janggal."
"Memangnya aku peduli akan persoalan orang lain. Kukira hatimu sendiri tidak baik dan punya
penyakit!" "Kembali kau merengek dan menggodaku, sudahlah jangan kita bertengkar, cuaca sudah
hampir gelap, marilah kita mencari biara itu!"
Seorang diri Tan Kong-si turun gunung, hatinya gundah dan berpikir: "Ki Kian-ya adalah
sahabat ayah, Han-congpiauthau dari Tin-wan Piaukiok juga punya hubungan erat dengan
keluarga kami, kenapa Miao Tiang-hong mengikat permusuhan dengan mereka" Tapi dia
melakukan perjalanan sama Hun Ci-lo, hal ini harus dibuat girang."
Begitulah sambil beranjak pikiran Tan Kong-si melayang dan putar kayun tidak menentu, tanpa
disadari ia sudah tiba di deretan batu-batu tebal berukir, tempat ini adalah bangunan peninggalan
jaman kuno yang terdapat di Pat-tat-nia pula, salah satu tempat tamasya yang dinamakan Huntai.
Hun-tai ini dibangun dengan batu-batu han-pek yang amat jarang terdapat pada bangunanbangunan
kuno di Tiongkok, setiap papan batunya yang tegak dengan sebelah atasnya terpapas,
berjajar lima terukir indah berbagai gambar kembang dan lukisan Budha yang beraneka
ragamnya. Di tengah-tengah adalah barisan syair-syair yang diukir dengan gaya yang indah
menggunakan tulisan kuno pula.
Di dalam buku tamasya ciptaan pujangga-pujangga kuno, Tan Kong-si pernah membaca perihal
Hun-tai ini, cuma beberapa hari ini ia terlalu sibuk melancong ke tempat lain sehingga belum
sempat menemukan Hun-tai ini, tak kira dalam perjalanan pulang kebetulan ia lewat dari sini.
Baru saja ia hendak menikmati gambar-gambar ukiran dan syair-syair ciptaan pujanggapujangga
ternama, mendadak matanya bentrok pada tumpukan batu yang awut-awutan di tanah,
dikatakan awut-awutan sebetulnya kurang tepat karena batu-batu itu tertumpuk satu demi satu
meruncing ke atas, tumpukan batu itu terbagi dalam tiga kelompok, batu paling bawah berjumlah
sembilan, semakin ke atas semakin kurang dan yang paling atas adalah sebuah tengkorak
manusia. Kaget dan heran Tan Kong-si dibuatnya, pikirnya: "Masakah permainan anak-anak" Yah, bukan
mustahil pertanda sesuatu perkumpulan rahasia atau tokoh-tokoh kaum sesat, mereka sudah
berjanji hendak bertemu dan berkumpul di sini."
Belum lenyap pikirannya, tiba-tiba didengarnya suara orang, Tan Kong-si kaget. "Agaknya
dugaanku tidak meleset, pertemuan rahasia dari golongan hitam paling pantang diketahui orang
luar, untuk menghindari kesulitan, terpaksa aku harus menyingkir dan sembunyi saja." Sigap sekali
ia melompat turun dan sembunyi di belakang papan batu ukiran.
Baru saja ia bersembunyi, tampak seorang hwesio gendut dan seorang laki-laki pendek yang
bergerak gesit dan tangkas mendatangi dari arah berlawanan, mereka tiba berbareng. Tergerak
hati Tan Kongsi: "Hwesio gendut ini agaknya adalah Yam-yam Hwesio yang pernah diceritakan
oleh Miao-toako itu!" Betul juga segera ia mendengar laki-laki pendek itu berseru menyapa: "Yamyam
Taysu, cepat juga kedatanganmu, aku kuatir kau tidak akan bisa datang!"
Yam-yam Taysu tertawa berkakak, sahutnya: "Kat-loji, memangnya kau sangka aku ini seorang
yang suka ingkar janji?"
Laki-laki pendek yang dipanggil Kat-loji berkata: "Bukan begitu maksudku. Kudengar katanya
situasi di kota raja cukup genting, kemarin malam terjadi huru-hara lagi. Kukira kau tiada waktu
senggang untuk kemari."
"Kupingmu cukup tajam juga untuk mendengar berita! Memang, kejadian kemarin malam ada
juga bagianku. Kalau dikatakan sungguh amat berbahaya, hampir saja aku termakan oleh golok
cepat Utti Keng!" "Jadi kau berkelahi dengan Utti Keng, dapat meringkusnya tidak?" tanya Kat-loji.
"Memang sengaja kami melepas dia, kalau tidak masakah dia mampu lolos dari genggaman
tanganku dan Ouwyang Kian?" Ucapannya ini hanya menempel emas di mukanya, namun
bukanlah bualan belaka. Kat-loji heran, tanyanya: "Kenapa begitu?"
"Itulah muslihat yang memang sudah direncanakan oleh Pakkiong Tayjin, mengulur benang
untuk mengail ikan besar. Biar kuberitahu sebuah rahasia kepadamu, Boh Cong-tiu sudah
termasuk orang kita sendiri, kelak dialah yang bakal menjadi lakon utama dalam sandiwara besar
ini!" "Apa betul" Lalu sandiwara apa yang sedang kalian lakukan?"
Yam-yam Taysu tertawa penuh arti dan jual mahal, sahutnya: "Pendek kata kelak kau akan bisa
menonton sandiwara hebat ini, biar kesempatan lain kujelaskan kepadamu."
Tan Kong-si yang mencuri dengar pembicaraan mereka menjadi kaget dan keheranan pula,
hampir tidak percaya akan pendengaran kuping sendiri. "Boh Cong-tiu adalah sahabat baik Kim
Tayhiap, mana mungkin sehaluan dengan cakar alap-alap" Tapi bila Utti Tayhiap benar sudah
berada di kota raja, aku harus segera menemuinya."
Terdengar pula Kat-loji berkata: "Baiklah, bicara lebih lanjut bila Hian-hong Totiang tiba. Aneh,
setiap janji bertemu, biasanya dia pasti tiba lebih dulu, kenapa sampai sekarang masih belum
kelihatan bayangannya, mungkin terjadi sesuatu atas dirinya?"
Yam-yam Taysu berpikir sebentar lalu katanya: "Menurut apa yang kuketahui dia sedang pergi
ke Sam-ho, kepandaian Loan-pi-hong-kiamhoatnya dapat menandingi tokoh kosen kelas wahid
jaman ini. Tapi kepandaian Miao Tiang-hong pun bukan olah-olah liehaynya, mungkin malah lebih
tinggi tingkatannya. Bicara terus terang, aku rada kuatir bagi dirinya."
Tak urung terkejut pula Tan Kong-si dibuatnya. "Bagaimana mereka bisa membicarakan paman
Miao malah?" Baru saja mereka bicara sampai di sini, dari kejauhan lantas terdengar seseorang berkata
sambil tertawa: "Terima kasih akan kekuatiran kalian, pinto sedikit pun tidak kurang suatu apa." Di
tengah gelak tawa, tampak seorang tosu berjenggot kambing sedang mendatangi.
Yam-yam segera bertanya: "Apa kau sudah bergebrak dengan Miao Tiang-hong?"
"Bayangan setan pun tidak kutemui!" demikian sahut Hian hong-Totiang.
"Tak heran seujung rambut pun kau tidak kurang suatu apa, ternyaia perjalananmu sia-sia,"
demikian olok Yam-yam Taysu.
Hian-hong unjuk rasa kurang senang, katanya: "Kau menilai orang dari pandangan sela-sela
pintu (memandang rendah), memangnya aku ingin benar bisa ketemu dengan Miao Tiang-hong
dan menjajal kepandaiannya. Kau sendiri yang pernah dikalahkan olehnya, belum tentu aku bisa
terjungkal di tangannya."
Hubungan Yam-yam Taysu dengan Hian-hong Totiang cukup erat dan sudah puluhan tahun
lamanya, gengsi dan ketenaran Hian-hong Totiang memang jauh lebih tinggi dari Yam-yam
Hwesio, maka setelah mendengar cemooh Hian-hong Tojin, meski rasa hati mendongkol, terpaksa
ia unjuk seri tawa yang dibuat-buat. Segera ia berka-kakan, serunya: "Toheng, aku hanya
berkelakar saja, kenapa kau jadi uring-uringan" Tapi bicara terus terang, Pakkiong Tayjin sendiri
tidak mengharap kau bentrok langsung dengan Miao Tiang-hong."
"Aku tahu beliau takut aku menggebah rumput menakutkan ular, kali ini memang dia hanya
menyuruh aku menyirapi berita saja!"
"Ya, aku belum tanya kau, kabar apa saja yang kau bawa pulang?" tanya Yam-yam Hwesio.
"Kisikan dari Ouwyang Kian memang tidak salah, Miao Tiang-hong memang pernah berada di
Sam-ho, tinggal di rumah keluarga Hun. Sayang kedatanganku terlambat dua hari, isteri Siau Kinghi
dan keponakan perempuannya atau isteri Nyo Bok itu sudah lama meninggalkan rumah!"
Berpikir Tan Kong-si: "Ternyata Siau-hujin dan Miao-sioksiok serta Hun Ci-lo sudah tidak berada
di Sam-ho, untung aku mencuri dengar kabar ini sehingga tidak menubruk tempat kosong!"
"Entah ke mana mereka pindah?"
"Ke mana mereka, aku belum sempat menyirapi, tapi perjalananku kali ini juga tidak terhitung
sia-sia, meski tidak berhasil mendapat tahu jejak Miao Tiang-hong, namun aku mendapat suatu
hasil di luar dugaan."
"Oho, hasil di luar dugaan apa?"
"Rumah keluarga Hun itu sudah kosong melompong, malam itu aku bersama Lo-ha, Lo-li Loliau
menginap di rumahnya itu. Ha, sungguh kebetulan, kira-kira kentongan ketiga, ternyata kami
memergoki dua gadis remaja yang masuk ke dalam perangkap sendiri."
"Ha, betul-betul rejeki nomplok kalian, siapakah kedua gadis remaja itu?" tanya Yam-yam
Hwesio. Mendengar sampai di sini tanpa merasa berdetak keras jantung Tan Kong-si. "Mungkinkah Siau
Gwat-sian dan Cau Ci-hwi, dua nona nakal yang tidak tahu betapa licik dan berbahayanya kelana
di kangouw" Tapi kenapa mereka tidak pergi bersama Siau-hujin?"
Maka didengarnya Hian-hong menutur lebih lanjut: "Seorang adalah putri nyonya galak itu yang
bernama Siau Gwat-sian, seorang lain adalah puteri Cau Siok-toh yang bernama Cau Ci-hwi."
"Bagaimana mungkin kedua gadis remaja itu tidak ikut pergi sama orang tuanya"
"Setelah kami ringkus semula mereka tutup mulut, tapi akhirnya toh dapat kita kompres
keterangannya. Ternyata mereka melarikan diri di tengah jalan karena ingin melihat keramaian di
puncak Thay-san. Mungkin setelah mengalami pahit getir sepanjang jalan dan menjadi kapok,
mereka ingin pulang saja ikut orang tua."
"Agaknya kedua gadis hijau itu tidak menyangka bahwa rumahnya sudah dijadikan sarang alapalap.
Begitu mereka pulang kandang, Haha, kalianlah yang mengecap untungnya!"
Hian-hong Tojin berludah, semprotnya: "Jangan kau menduga yang tidak senonoh,
memangnya kau sangka aku seperti kau, hwesio liar yang tidak tahu aturan dan hidung belang."
"Tak usah kau pura-pura alim, ingin aku tahu, setelah kau ringkus gadis-gadis ayu menggiurkan
itu untuk apa?" "Aku orang beribadat, sudah tentu tidak akan mengganggu nona-nona cilik itu. Tapi kalau aku
tidak mau, orang lain tentu mau melalapnya."
"Aku tahu. Akan kau berikan kepada siapa untuk mengambil hatinya?"
"Aku sendiri sedang kebingungan dan belum ambil putusan, entah kuberikan kepada Pakkiong
Tayjin saja atau kuserahkan kepada Sam-pwelek (putra raja ketiga)."
"Ya, hal ini memang perlu kau pertimbangkan." Dia sendiri pun sulit memberikan pertimbangan.
Kata Hian-hong Totiang lebih lanjut: "Kalau kuserahkan kepada Pakkiong Tayjin dapat kuperas
Cau Siok-toh dan nyonya bawel itu untuk menyerah, malah bisa pula kugunakan muslihat untuk
menjebak Miao Tiang-hong. Tapi kalau kuserahkan Sam-pwelek, mungkin lebih banyak manfaat
yang kita peroleh." "Yang terang mereka sudah berada di tanganmu, masih banyak waktu untuk
mempertimbangkan secara masak. Kau belum membawa kedua nona cilik itu ke kota raja bukan?"
"Aku sendiri terburu-buru pulang untuk menepati janji kalian, mana ada waktu mengantar
mereka ke kota raja" Dan lagi aku sendiri belum lagi mengambil keputusan, masakah begitu
goblok lantas membawa mereka ke kota raja. Lo-ha dan Lo-liau kutinggalkan di sana untuk
menjaga dan mengawasi mereka."
"Kau mendapat obyek yang menguntungkan ini, jangan lupa pada teman lama lho!"
"Sudah tentu. Bahwa hal ini kujelaskan kepada kau, memangnya aku ingin mendengar
pendapat-mu!" "Baik, setelah pulang ke kota raja, biar kita bicarakan lebih lanjut. Sekarang kedapatan sebuah
tugas harus mempertaruhkan jiwa perlu kita laksanakan bersama."
"Tugas berat apa itu?"
Maka Yam-yam Hwesio lantas menjelaskan peristiwa yang terjadi kemarin malam, kali ini ia
menjelaskan lebih jelas terperinci, berapa banyak yang dia ketahui mengenai pembicaraan
Pakkiong Bong dan Boh Cong-tiu di dalam kamar rahasia ia tuturkan seluruhnya. Akhirnya ia
berkata: "Pagi hari ini kami mendapat kabar pula, katanya Beng Goan-cau pun sudah tiba di kota
raja. Maka sengaja Pakkiong Tayjin menyuruh mengundang kalian pulang, bukan mtistahil kita
harus bertempur secara besarbesaran melawan Utti Keng dan Beng Goan-cau. Kali ini kita harus
benar-benar mengadu jiwa, bukan permainan sandiwara lho!"
Dapat mencuri dengar kedua rahasia ini, jantung Tan Kong-si serasa hampir meloncat keluar
dari rongga dadanya, batinnya: "Menolong orang lebih penting ataukah memberi laporan kepada
Utti Tayhiap lebih penting" Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi terjatuh ke tangan musuh, Siau-hujin
terang belum tahu, satu hari lebih lama bahayanya tentu lebih besar bagi mereka. Tapi kalau Utti
Tayhiap sampai terperangkap oleh muslihat mereka urusan mungkin akan lebih besar lagi."
Baru saja pikirannya kacau dan gundah, tiba-tiba didengarnya Hian-hong Tojin membentak:
"Sahabat dari kalangan mana itu, kenapa main sembunyi-sembunyi, keluarlah secara terangterangan!"
Tan Kong-si menyangka jejaknya sudah ketahuan oleh mereka, baru saja ia hendak bersuara
dan keluar, terdengar sebuah gelak tawa bergema dan serunya: "Sejak tadi aku sudah berada di
sini, memangnya mata kalian yang buta melek, masa salahkan aku?"
Yam-yam Hwesio bertiga segera menengadah ke arah datangnya suara, tampak di atas sebuah
pohon di depan mereka, berdiri seorang laki-laki berpakaian serba hitam dengan sikap gagah dan
kereng, badannya memantul-mantul turun naik mengiringi gerakan dahan pohon.
Kat-loji adalah seorang ahli senjata rahasia, bahwa ada orang sembunyi di dekatnya tanpa
diketahui ia merasa malu diri, maka segera ia hendak pamer kepandaian sekaligus ia keluarkan
tujuh macam am-gi yang berlainan terus disambitkan sambil membentak: "Menggelindinglah
turun!" Entah orang baju hitam itu menggunakan cara apa, terdengarlah suara "trang-tring" yang riuh
dan ramai seperti petikan harpa yang cepat, tahu-tahu ke tujuh macam senjata rahasia yang
ditim-pukan Kat-loji semua meluncur balik.
Walau Kat-loji ahli menyambut senjata rahasia, kali ini dibuat kerepotan dan mencak-mencak,
timpukan balik dari orang baju hitam itu tenaganya jauh lebih besar dari sambitannya sendiri, dia
hanya mampu menyambut sebuah panah dan Thi-lian-cu, sementara bor besi yang meluncur
datang pula ia sudah tidak berani menyambut, terpaksa dengan gaya Keledai Malas Menggelinding
lekas ia merebahkan badan terus menggelundung ke samping, beruntung ia selamat dari am-ginya
sendiri yang hampir saja makan tuannya sendiri. Namun demikian bor besi itu toh terbang
menyerempet dahinya. Melihat gelagat jelek, lekas Hian-hong Totiang melolos pedang, dengan
sejurus Pi-hong-kim-hoat ia bantu menyampuk jatuh empat senjata rahasia lainnya.
Belum lagi Kat-loji sempat merangkak bangun, orang itu sudah melompat turun di ringi gelak
tawanya, pakaiannya melambai dan hinggap di tanah tanpa bersuara, katanya: "Aku datang
menurut perintah, kenapa kau rebah di tanah malah" Ada petunjuk apa silahkan berdiri!"
Diam-diam Tan Kong-si mengintip dari tempat sembunyinya, setelah melihat tegas laki-laki baju
hitam itu, sungguh girang dan kaget hatinya. Ternyata orang itu adalah Le Lam-sing, Thocu Anging-
hwe. Ang-ing-hwe adalah sebuah sindikat besar nomor dua di dunia kangouw setelah Liok-hap-pang,
pejabat pangcunya yang terdahulu Kongsun Hong sudah tua mengundurkan diri dan pensiun. Le


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lam-sing adalah menantunya, mewarisi jabatan pangcunya itu. Usianya sebaya dengan Kim Tiokliu,
hubungan mereka pun amat kental, di dalam bulim nama mereka pun sama tenar dan sejajar.
Waktu pertemuan besar di Thay-san tempo hari Tan Kong-si pernah bertemu dengan dia.
Adalah Hian-hong Totiang tidak kenal siapa Le Lam-sing, dengan gusar ia membentak: "Siapa
kau, berani kau curi dengar pembicaraan kami!"
Cepat Yam-yam Hwesio menyela: "Hian-hong To-heng, tuan ini adalah Le-cong-thocu dari Anging-
hwe!" Merah berganti hijau dan legam muka Hian-hong Totiang, namun kata-kata yang sudah
diucapkan tidak mungkin dijilat kembali, terpaksa ia mengeraskan kepala, jengeknya dingin:
"Kalau Cong-thocu dari Ang-ing-hwe, lebih tidak pantas lagi dia main sembunyi mencuri dengar
pembicaraan orang lain."
Le Lam-sing berkata tawar: "Siapa suruh kalian buta melek, banyak tempat lain cocok untuk
kalian bicara, sebaliknya kasak-kusuk di sebelahku membuatku sebal juga. Hehe, aku tidak ingin
dengar toh sudah dengar, urusan yang kalian rundingkan toh juga bukan urusan gamblang, kalian
hendak main rampok dan main bunuh bukan" Kalau aku sudah dengar semua, memangnya kalian
mau apa?" Hian-hong Totiang dan Yam-yam Hwesio saling pandang dan memberi kedipan mata, akhirnya
mereka membentak bersama: "Kalau begitu harus dibunuh untuk tutup mulut!"
Le Lam-sing tertawa panjang, nadanya dingin, jengeknya:
"Mengandal kepandaian keroco kalian juga berani hendak membunuh aku" Begitupun baik,
mari buktikan siapa yang bakal lapor ke hadapan Giam-lo-ong nanti!" Seiring dengan gelak
tawanya, ia melolos pedang, seketika tiga kuntum sinar kembang dari kilatan pedangnya
berpencar ketiga jurusan masing-masing menusuk ketiga lawannya.
Waktu itu Kat-loji sudah berdiri, senjatanya adalah sepasang Boan-koan-pit, segera ia ikut
melabrak maju ke tengah gelanggang.
Hian-hong Totiang sengaja hendak pamer Pi-hong-kiamhoat-nya, ke timur menusuk sekali, lalu
menusuk ke barat sekali pula, kelihatannya gerak pedangnya awut-awutan tanpa mengenal teori
ilmu pedang umumnya, namun gagang pedangnya bergetar mengiringi gerak pergelangan
tangannya, sekonyong-konyong sebatang pedangnya seolah-olah berubah menjadi dua batang,
dua batang berkembang lebih lanjut menjadi empat dan demikianlah berkembang terus berlipat
ganda, akhirnya tampak lapisan pedang ribuan batang banyaknya, seketika Le Lam-sing terkurung
di dalam kilasan bayangan pedangnya.
Tan Kong-si yang mencuri lihat dari balik batu sembunyinya menjadi berkunang-kunang dan
pusing, batinnya: "Tak heran si Tosu busuk hidung kerbau ini berani bermulut besar, ilmu
pedangnya ini ternyata memang cukup liehay. Perlukah aku keluar membantu paman Le?"
Baru saja ia membatin, maka didengarnya Le Lam-sing tertawa dingin, cemoohnya: "Loan-pihong
kiamhoat sebetulnya boleh terhitung ilmu pedang tingkat tinggi, sayang latihanmu masih
jauh dari sempurna."-Maklum Le Lam-sing adalah seorang ahli pedang yang kenamaan, ilmu
pedang yang dianggap liehay dalam pandangan Tan Kong-si, bagi dirinya sebaliknya tidak
terhitung apa-apa. Tampak dia mainkan tipu-tipu pedangnya, dengan gerakan yang amat lamban, ujung
pedangnya seakan-akan diganduli barang berat ribuan kati, ujung pedangnya pun tunjuk timur
tuding ke barat, namun setiap gerak pedangnya di ringi dengan gemuruhnya suara geledek. Kalau
dikatakan memang aneh, ilmu pedang Hian-hong Tojin yang dimainkan sedemikian cepat dan
aneh seperti main sulapan belaka, namun ujung pedangnya tidak mampu mendekat dalam jarak
delapan kaki, belum lagi mampu menyentuh badan lawan tahu-tahu sudah terpental miring. Ujung
bajunya saja tidak mampu menyentuhnya.
Yam-yam Hwesio segera menghardik: "Biar kau rasakan Hwei-liong-kangku!" Beruntun kedua
telapak tangannya ditarikan melancarkan pukulan berantai sekaligus ia lontarkan tiga puluh enam
jurus pukulan, angin panas seperti badai prahara di gurun pasir bergulung-gulung menerpa
dengan dahsyat, sampai Tan Kong-si yang sembunyi di belakang batu pun merasa kepanasan.
Namun Le Lam-sing mandah tertawa dingin, ejeknya: "Cuaca sudah gelap hawa pegunungan
mulai dingin, terima kasih akan Hwe-liong-kangmu yang menghangatkan badanku malah!" Dengan
ringan ia tepukkan sebelah telapak tangannya, seketika segulung angin dingin yang nyaman dan
menyegarkan menghembus lewat membuat semangat orang ogah-ogahan dan mengantuk.
Kepandaian Kat-loji rada rendah, namun ilmu Boan-koan-pitnya yang peranti menotok Hiat-to
pun cukup liehay juga, dengan satu melawan tiga meski Le Lam-sing tidak perlu takut, tapi di
dalam waktu singkat ia pun sulit mengambil kemenangan.
Dalam keadaan sengit dan seru ini, Le Lam-sing melawan pukulan dengan pukulan, serangan
pedang dilawan dengan jurus pedang pula, dengan sejurus Ing-kik-tiang-khong (burung elang
menyerang di tengah udara), ia bikin Yam-yam Hwesio membalikkan pukulannya untuk
menyelamatkan diri, sementara pedang panjang di tangan kanan berputar satu lingkaran,
sekaligus dapat memunahkan rangsakan jurus pedang Hian-hong Totiang yang melancarkan
jurus-jurus Pi-hong-kiamhoatnya yang rumit dan beraneka ragamnya. Kat-loji menyangka ia
mendapat peluang untuk menyergap, lekas kedua potlotnya ia rangkap ke tengah terus berpencar
menotok ke Ki-bun-hiat di kiri kanan bawah ketiaknya. Le Lam-sing menjadi gusar, bentaknya:
"Mutiara sebesar beras juga berani bersinar!" Lekas ia membalikkan pedangnya, gerak pedangnya
yang lamban berat mendadak meluncur dengan kecepatan kilat, maka terdengarlah suara "trang"
yang nyaring, bunga api berpercik potlot baja di tangan kanan Kat-loji tinggal separuh dan ia
tergentak sempoyongan, saking kaget pucat selebar mukanya.
Tepat pada saat itu pula terdengar Hian-hong Totiang membentak: "Lepaskan pedangmu!"
Sinar hijau berkelebat, ujung pedangnya menusuk ke pergel angan tangan Le Lam-sing. Memang
Loan-pi-hong-kiamhoat ini khususnya untuk menyelusupi lubang kelemahan musuh, begitu
mendapat peluang maka tusukannya ini boleh dikata dilancarkan dengan cepat dan telak. Baru
saja Le Lam-sing berhasil menabas kutung potlot baja Kat-loji, posisinya belum lagi bisa dikontrol
secara sempurna untuk balas menyerang atau bertahan saja.
Tan Kong-si sendiri sedang berpikir: "Sudah saatnya aku keluar membantu paman Le." Tak
nyana gerak-gerik Le Lam-sing ternyata lebih cepat dari jalan pikirannya.
Di dalam keadaan yang gawat itulah, terdengarlah Le Lam-sing menjengek dingin: "Belum
tentu!" Tiba-tiba badannya melambung naik ke tengah udara, pedang panjangnya tertuju lurus ke
depan mengetuk di atas sebuah tonggak batu beberapa kaki di depannya, meminjam ketukan
ujung pedangnya ini, laksana burung elang menyusup ke dalam hutan, badannya lantas
jumpalitan melewati tonggak batu hinggap di belakang sana, di mana tempat itu kebetulan adalah
tempat persembunyian Tan Kongsi.
Tan Kong-si sudah membuka mulut, belum lagi teriakan kejutnya keluar, tahu-tahu mulutnya
sudah didekap oleh Le Lam-sing. Katanya berbisik di pinggir kupingnya: "Jangan sampai jejakmu
diketahui oleh mareka!" Begitu lepas tangan ia putar tubuh terus melompat keluar pula.
Hian-hong Totiang dan Yam-yam Hwesio kebetulan sedang melompat ke atas, Le Lam-sing
Seruling Sakti 2 Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Pendekar Aneh Dari Kanglam 5
^