Pencarian

Kelana Buana 19

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 19


sementara kawanan manusia rendah yang hendak mencelakaimu."
"Siapa maksudmu?"
"Nyo Bok!" Beng Goan-cau menepekur tak bersuara, pikirnya: "Nyo Bok hendak mancelakai aku, hal ini
sudah lama berada dalam dugaanku."
Betapapun Lu Su-bi adalah perempuan, jalan pikirannya lebih cermat, katanya: "Apakah kau
ada memergoki tipu muslihat keji Nyo Bok yang baru?"
Toan Siu-si manggut-manggut, katanya lebih lanjut: "Soal kenapa aku meluruk kemari
mencarimu, karena aku sudah tahu bahwa hari ini kau pasti datang kemari."
"Dari mana kau bisa tahu?" tanya Beng Goan-cau.
"Soal ini harus dibicarakan dari permulaan, hari ini di tengah jalan beruntun aku bertemu
dengan tiga rombongan orang. Rombongan pertama adalah Li-ma-cu dan Kwi-hwe-thio."
"O, jadi kau bertemu dengan mereka, tak heran kau bisa tahu aku kemari hendak mencari Song
Theng-siau." kata Beng Goan-cau.
"Dengan Kwi-hwe-thio aku sendiri tidak kenal, dengan Li-ma-cu sebaliknya ada mengikat
persahabatan. Kejadian kalian membuat onar di kota raja, mereka pun sudah memberi tahu
kepadaku." Lu Su-bi suka mendengar cerita yang ramai, segera ia menimbrung: "Beng-suko, bagaimana
kau membuat onar di kota raja, apakah kau lakukan bersama Utti Tayhiap, Cay-piauthau dan lainlain?"
"Siau-sumoay, kau sabarlah dulu," sela Song Theng-siau. "Beng-suko nanti pasti akan bercerita
kepadamu." "Ya, kau bicarakan dulu soal Nyo Bok. Beng-suko, kejadian di kota raja biar kelak kalau ada
kesempatan kau tuturkan kepadaku saja."
Berkata Toan Siu-si lebih lanjut: "Setelah aku berpisah dengan Li-ma-cu dan Kwi-hwe-thio, tak
lama kemudian di sebelah depan aku bertemu pula dua orang yang sudah kukenal betul!"
"Satu di antaranya tentunya adalah Nyo Bok?" sela Lu Su-bi.
"Tidak salah, seorang yang lain adalah Thong-thian-hou Coh Thian-hiong."
"O, kiranya tua bangka itu, dia sudah bergaul bersama Nyo Bok."
"Siapa pula Thong-thian-hou itu?" tanya Lu Su-bi.
"Seorang begal tunggal yang malang melintang pada dua puluh tahun yang lalu di daerah
Thian-lam, sudah lama ia mencuci tangan menghentikan usaha tanpa modalnya itu, belum lama
ini turun gunung pula. Pernah aku bergebrak melawan dia di rumah keluarga Hun di Sam-ho,"
Beng Goan-cau menegangkan.
"Rase tua ini sudah lama kukenal di Tiam-lam, kami tidak ingin mencari gara-gara kepadanya,
dia merasa segan juga menghadapi kami berdua, seumpama air sumur tidak menyalahi air
sungai!" "Tapi kali ini kalian pasti sudah bentrok bukan?" tanya Lu Su-bi tertawa.
"Bentrok sih tidak. Waktu itu aku berada di sebuah jalan gunung aku menguntit di belakang
mereka, kudengar suara percakapan mereka, sebaliknya mereka tidak melihat jejakku." "
"Kau mencuri dengar rahasia apa saja di antara percakapan mereka?" sela Lu Su-bi pula.
"Ginkang rase tua itu tidak lebih rendah dari aku, aku tidak ingin jejakku diketahui mereka,
terpaksa aku menyembunyikan diri dalam semak rumput, dari kejauhan kukuntit mereka. Maka
aku hanya mendengar percakapan mereka yang terputus-putus. Ada kudengar mereka ada
menyinggung karesi-denan Sam-ho dan nama Beng Goan-cau serta Hun Ci-lo, agaknya
membicarakan seorang bu inang pula, tentang siapakah bu inang itu, aku tidak begitu jelas."
"Lapat-lapat kudengar pula rase tua itu berkata mengulur benang memancing ikan besar
segala, dikatakan pula hubungan suami istri Nyo Bok tidak bisa dijadikan pegangan, tapi hubungan
ibu dan anak pastilah sulit diputuskan. Ada pula dikatakan meski badan hancur lebur pasti akan
menuntut balas dan lain-lain. Kalau serentetan kata-katanya itu dianalisa, kedua manusia jahat itu
pasti hendak meluruk ke Sam-ho melakukan perbuatan terkutuk yang memalukan, dan yang
terang bahwa urusan di sana itu erat sekali sangkut pautnya dengan Beng Tayhiap!"
Dalam hati, Beng Goan-cau sudah dapat meraba dan paham ke mana tujuan kedua manusia
jahat. Katanya: "Toan-heng, terima kasih akan pemberitahuanmu ini, aku pasti akan lebih
waspada." "Lalu siapa pula rombongan ketiga yang kau temukan di tengah jalan?" tanya Lu Su-bi.
"Perempuan galak itu tadi," sahut Toan Siu-si. "Tujuanku memang meluruk kemari, apa boleh
buat terpaksa kupancing dia ke sini. Tapi kalian tidak akan lama menetap di sini bukan, maka
tidaklah menjadi soal meski jejak kalian ketahuan olehnya di sini. Menurut apa yang kuketahui, dia
ingin menyusul adiknya di kota raja, di luar tahunya bahwa Nyo Bok sudah meninggalkan
Pakkhia!" "Toan-heng betul-betul seorang sahabat yang tinggi budi dan bajik, siaute dapat bersahabat
dengan kau, sungguh amat menggirangkan. Sayang kita sama-sama mempunyai urusan-urusan
penting, semoga kesempatan lain bisa berkumpul lagi lebih lama."
Setelah Toan Siu-si pergi, berkata Beng Goan-cau: "Omongan orang tidak bisa seratus persen
dipercaya, dulu kukira Tiam-jong-siang-sat adalah gembong-gembong iblis yang lalim dan jahat,
tak nyana Ling-bi-su-seng ini kiranya adalah seorang yang supel dan setia kawan."
Song Theng-siau diam saja tidak memberi komentar.
Senyum Lu Su-bi bagai kembang mekar, sambil menarik tangan Beng Goan-cau dia
berlompatan dan terkikik-kikik katanya: "Beng-suko, kau tahu betapa sulit kami mencarimu,
sungguh tidak nyana hari ini bisa bertemu di tempat ini!"
Beng Goan-cau tertawa, ujarnya: "Aku dapat melihat kalian bersama, hatiku girang pula."-
Lu Su-bi paham ke mana maksud kata-kata Beng Goan-cau, seketika merah jengah selebar
mukanya, lekas ia menunduk malu-malu.
"Barusan aku dan siau-sumoay memangnya sedang menyinggung dirimu," kata Song Thengsiau.
"Menyinggung soal apaku?" tanya Beng Goan-cau.
' Sam-ho tidak jauh dari sini, tadi kami baru berunding, jikalau bisa bersama kau pergi ke Samho
mencari Hun-cici, alangkah baiknya! Kami sedang kuatir tidak bisa menemukan kau, tak nyana
Thian mengabulkan keinginan kami, kau betul-betul telah tiba!" demikian tutur Lu Su-bi dengan
riang. "Menurut apa yang dituturkan Toan Siu-si barusan, mungkin Pakkiong Bong sudah mengatur
jebakan di Sam-ho, menunggu kedatangan Beng-heng," demikian kata Song Theng-siau. "Nyo Bok
dan Coh Thian-hiong adalah anjing alap-alap yang mempelopori gerakan ini."
"Kalau begitu tidak bisa tidak aku malah harus ke sana," ujar Beng Goan-cau. "Song-heng,
sudah tiga tahun kau meninggalkan Siau-kim-jwan, Siau-toako dan Ling-toako sama kangen
kepadamu, lebih baik kau ajak siau-sumoay pulang ke Siau-kim-jwan saja."
Lu Su-bi tahu maksudnya, segera ia berkata sambil tertawa: "Beng-suko, aku tahu kau berpikir
demi kebaikan kami, kuatir kami mengalami bahaya benar tidak" Tapi Huncici bukan saja
sahabatmu, dia pun sahabat kami. Tempo hari kami pernah bertemu muka satu kali, cuma tidak
sempat bicara lantas berpisah lagi. Kali ini kau suka atau tidak yang terang aku harus ke sana. He,
he, meski kepandaianku tidak becus, paling tidak bisa membantu kesulitanmu juga bukan?"
"Ah, jadi kalian sudah pernah bertemu sama dia?" seru Beng Goan-cau heran.
"Benar, ada sebuah berita baik memang hendak kuberitahu kepadamu."
Lalu Lu Su-bi menceritakan di jalan pernah bertemu dengan Hun Ci-lo dan Nyo Bok, waktu
mendengar Nyo Bok mengirim surat cerai yang sudah ditulis sebelumnya kepada Hun Ci-lo dan di
hadapan orang banyak Hun Ci-lo merobek-robek surat cerai itu, dan saking marah sampai jatuh
pingsan, tanpa merasa terkesima Beng Goan-cau, air mata berlinang di kelopak matanya, katanya:
"Nyo Bok si bangsat itu memang jahat dan keterlaluan!"
Teringat akan penderitaan lahir batin yang dialami Hun Ci-lo selama beberapa tahun terakhir
ini, ia ikut merasakan sedih dan pilu.
"Benar, memang Nyo Bok itu amat jahat dan harus dihajar adat, tapi apa yang dia lakukan ini
kan putusan baik bagi kita! Beng-suko, aku mengharap semoga kalian bisa rujuk kembali dan
menjadi pasangan yang setimpal "
Beng Goan-cau tertawa getir, ujarnya: "Siau-sumoay kau tidak akan mengerti. Kali ini aku
hanya ingin menengok keadaan Ci-lo saja."
"Kejadian dunia serta perubahannya memang di luar dugaan manusia. Beng-heng, aku ikut
merasakan perasaanmu sekarang."
"Dari mana kau bisa merasakan perasaan Beng-suko?" tanya Lu Su-bi tertawa.
"Kami bertiga sejak kecil tumbuh dewasa bersama, boleh dikata Beng-heng adalah seumpama
saudaraku sekandung. Meskipun berpisah beberapa tahun, isi hatinya sedikit banyak masih dapat
kuraba." "Ucapan Song-heng memang benar," ujar Beng Goan-cau menarik napas.
Song Theng-siau berjalan berendeng bersama Beng Goan-cau, katanya: "Beng-heng, aku tahu
kau dingin di luar dan panas di dalam, seorang yang paling mengutamakan perasaan cinta kasih.
Tapi selama sepuluh tahun ini, setiap orang mengalami gemblengan hidup masing-masing, apa
yang sudah lalu belum tentu bisa kembali lagi."
"Song-suko," timbrung Lu Su-bi, "kata-katamu seperti orang sedang memberi petuah, aku tidak
paham apa maksudmu."
"Umpamanya," tutur Song Theng-siau, "kami masing-masing meninggalkan Siau-kim-jwan
sendiri-sendiri, tak terduga bisa bertemu di sini. Umpamanya pula di dalam setahun ini Beng-toako
berkenalan dengan ciangbunjin Hu-siang-pay yang baru, nona Lim, sebaliknya Hun Ci-lo sudah
menikah sama Nyo Bok dan akhirnya harus meninggalkannya. Semua kejadian ini pasti di luar
dugaan orang. Em, ada seorang pendekar kelana Miao Tiang-hong yang cukup punya nama tenar
di kangouw, apakah Beng-heng tahu?"
Beng Goan-cau tertawa, sahutnya: "Bukan saja tahu, malah aku sudah bersahabat baik sama
dia. Kebetulan kami berkenalan di rumah Hun Ci-lo." Lalu ia ceritakan pengalamannya tempo hari
di rumah Hun Ci-lo. Berkata Song Theng-siau tawar: "Kabarnya Hun Ci-lo belum lama berkenalan dengan orang she
Miao itu, bahwa ia selalu melindungi dan membela kepentingan Hun Ci-lo, sungguh sukar dicari
sahabat sedemikian baiknya."
Sudah tentu Beng Goan-cau maklum akan maksud baik sahabatnya ini, hatinya menjadi geli:
"Hal itu pun sudah kuketahui. Tapi kau tidak akan tahu bahwa aku malah ikut senang bagi Hun Cilo,
senang karena aku bisa berkenalan dengan seorang sahabat yang sedemikian baiknya,"
demikian pikirnya. "Beng-suko, apa yang sedang kau pikir?" tanya Lu Su-bi.
Beng Goan-cau mendongak, katanya: "Kau lihat, hujan salju dari langit!" Tampak kembang
salju bagai bulu angsa bertaburan, menari-nari di tengah angkasa, puncak gunung terbungkus,
memutih seperti perak. "Ah, sungguh indah mempeso-na!" seru Lu Su-bi. "Hujan salju tahun ini agaknya terlalu pagi
datangnya!" Beng Goan-cau tertawa, katanya: "Hari ini tanggal tiga belas bulan sebelas. Di utara kota raja,
pertengahan bulan sepuluh sudah sering turun hujan salju."
"Sudah beberapa tahun aku tidak pernah melihat hujan salju. Waktu kecil aku paling suka
melihat pemandangan hujan salju. Namun demikian Siau-kim-jwan adalah tempat yang paling
kusukai. Beng-suko, kami undang Hun-cici supaya datang ke Siau-kim-jwan."
"Ya, setelah bertemu sama dia boleh kau minta kepadanya," demikian ujar Beng Goan-cau,
sementara dalam hati ia membatin: "Jikalau dia suka pergi ke Siau-kim-jwan, di sana hidup dalam
hari-hari yang panas dalam perjuangan, mungkin bisa menghilangkan noda-noda duka dalam
sanubarinya." "Siau-sumoay," sela Song Theng-siau tertawa, "jangan terlalu asyik melihat hujan salju, kita
harus lekas-lekas kembali ke Siong-hong-koan mengambil bekal kita."
Lu Su-bi sadar, serunya: "Betul, setelah mengambil bekal, hari ini kita masih bisa menempuh
setengah hari perjalanan. Besok malam pasti kita sudah bisa bertemu dengan Hun-cici."
Kalau di perjalanan hati Beng Goan-cau selalu gundah dan terbayang akan kenang-kenangan
lama. Sementara Hun Ci-lo di kampung halamannya pun sedang menunggu kelahiran bayinya,
hatinya pun sedang gundah dan risau tidak bisa tentram.
Bersama bibinya Hun Ci-lo tinggal di rumah bu inangnya, bu inangnya pun seorang janda, cuma
punya seorang putri yang sudah menikah, maka kehidupannya di hari tua rada sengsara dan serba
kekurangan. Rumah yang dibangun dari tanah liat pun sudah bobrok, setelah mereka datang,
barulah mulai dikapur dan diperbarui.
Kehidupan yang sunyi dan tenang di pegunungan Hun Ci-lo masih bisa kerasan, namun sulit dia
dapat mengekang kesunyian hatinya.
Anak Nyo Bok yang terkandung dalam perutnya sudah hampir genap sembilan bulan. Suami
istri sudah putus hubungan, berarti orok yang akan lahir punya ayah seperti tiada punya ayah.
Setiap kali ia teringat akan kedua anak-anaknya ini, meski yang kecil belum lagi lahir, nasibnya
justru hampir sama dengan engkohnya, tak terasa ulu hatinya seakan-akan ditusuk sembilu
sakitnya. Kehidupan nan sunyi tenang dan serba kekurangan di desa pegunungan baru menjadi ramai
dan menyenangkan perasaan setelah Tan Kong-si datang membawa Siau Gwat-sian dan Cau Cihwi.
Setelah menghantar mereka sampai di rumah bu inang Hun Ci-lo, sebetulnya Tan Kong-si ingin
segera berlalu, namun Siau-hujin dengan sangat menahannya, terpaksa ia menetap untuk
beberapa hari lamanya. Siau-hujin mempunyai rencananya sendiri, malam itu lantas ia bertanya kepada putrinya:
"Apakah kau benar menyukai Tan-kongcu ini?"
Sudah tentu merah malu muka Siau Gwat-sian, sahutnya sambil cemberut: "Bu, aku tidak suka
dengar pertanyaanmu ini."
"Tanpa kau katakan pun aku sudah tahu," ujar Siau-hujin. "Waktu di Thong-ting-san tempo
hari, bukankah karena hal ini kau bertengkar dengan Ci-hwi" Dan karena itu pula sampai
engkohnya tinggal minggat bukan?"
"Itulah karena mereka sendiri yang terlalu banyak hati."
"Paman Cau adalah sahabat karib ayahmu semasa hidup, kita sekeluarga pun mendapat
perlindungan dan pengawasannya. Segala persoalan kau harus sedikit mengalah kepada Ci-hwi,
kau tahu tidak?" "Memangnya, setiap kali berlatih ilmu pedang, selalu aku mengalah satu dua jurus kepadanya."
"Kau ini benar-benar tidak tahu atau pura-pura pikun, yang kumaksudkan bukan hal itu."
Sebetulnya Siau Gwat-sian sudah tahu juntrungan kata-kata ibunya, soalnya ia dongkol dan
uring-uringan, maka ia pura-pura bodoh saja, katanya: "Bukan hal itu, memangnya ada urusan
lain?" "Paman Cau ada maksud menjodohkan Ci-hwi kepada Tan-kong-cu, Ci-hwi sendiri pun
menyukainya, apakah kau tidak tahu?"
"Memangnya kenapa kalau tahu?"
"Kalau tahu kau harus sedikit mengalah dan banyak memberi kesempatan kepada mereka!"
Setelah berhenti sebentar, lalu sambungnya: "Sebetulnya Ho-lian kokomu itu pun tidak kalah
bagusnya. Kepandaian silatnya mungkin tidak memadai Tan-kongcu, namun sifatnya polos dan
jujur. Aku dan paman Caumu sudah anggap kalian sebagai pasangan yang setimpal, soalnya
usiamu masih rada kecil, maka belum dipertunangkan secara resmi."
Malu dan jengkel pula Siau Gwat-sian, katanya: "Siapapun aku tidak suka, kau pun jangan
paksa aku jadi menantu keluarga Cau."
"Aku tidak akan memaksa perjodohanmu, tapi adalah soal lain kau menyukai Ho-lian atau tidak,
yang terang Tan-kongcu ini kau harus mengalah kepada Ci-hwi. Jangan kau melukai hati paman
Cau." Setelah mengucapkan kata-katanya ini baru Siau-hujin menyadari sudah omong kelewat
batas, mungkin putrinya tidak akan mau menerima alasannya. Betul juga Siau Gwat-sian jadi
semakin marah dan merengek: "Baik, selanjutnya aku tidak akan bergaul sama Tan-kongcu,
supaya orang tidak menyangka aku ini gadis rendah atau perawan tidak laku kawin, memangnya
aku hendak merebut suami orang lain!"
Pelan-pelan Siau-hujin mengelus rambut putrinya, katanya penuh kasih sayang: "Jangan kau
marah, dengarlah nasehat ibu. Sikapmu ini kurang baik dilihat orang!"
"Bukankah kau sendiri yang minta aku beri kesempatan pada mereka?"
"Kelakuanmu ini terlalu menyo-Jok mata. Cukup asal kau rada menjauhi Tan-kongcu, biarkan
mereka berdekatan lebih mesra, kukira sudah cukup. Kalau sekarang kau tidak mau bergaul sama
mereka, tentu bisa menimbulkan gara-gara, kau tahu tidak?"
"Ya, ya, aku sudah paham. Bu aku mengantuk ingin tidur, sudah jangan kau banyak omong
lagi!" Siau-hujin tahu putrinya masih marah-marah, dengan tertawa ia menarik selimut menutupi
badan putrinya. Dasar anak-anak muda meski semalam Siau Gwat-sian uring-uringan, toh rasa penasaran hati
tidak bisa lama mencekam sanubarinya, dalam dua tiga hari mendatang memang Siau Gwat-sian
sengaja menjauhi Tan Kong-si, namun lambat laun pergaulan mereka, menjadi intim pula seperti
semula. Hari itu cuaca amat baik, berkata Cau Ci-hwi: "Hun-cici tidak bisa menemani kita berlatih
pedang, mari kita cari Kong-si minta dia mengiringi kita berlatih mau tidak?"
Teringat akan pertengkaran mulut waktu berlatih pedang tempo dulu itu, maka berkata Siau
Gwat-sian: "Kalian pergi saja, aku tidak!"
Cau Ci-hwi melengak, katanya tertawa: "Memangnya kau masih marah kepadaku" Baiklah, kau
tidak mau, aku pun tidak jadi pergi, ai, cuma sayang cuaca sebaik ini, terpaksa kita harus
menyekap diri di dalam rumah."
Siau Gwat-sian selalu ingat akan pesan ibunya, katanya: "Soal dulu itu sudah lama kulupakan.
Jangan kau terlalu curiga lho. Baik, baik, aku kewalahan menghadapi kau kalau merengek, ayolah
kuiringi kau!" Di dalam hutan mereka menemukan sebidang tanah kosong, kata Cau Ci-hwi: "Tan-toako, Pingcwan-
kiam-hoatmu sudah pernah kami saksikan sekali, sekarang sudah kami lupakan. Sudikah kau
berlatih sekali lagi buat kami lihat?"
"Kalian saja yang latihan dulu, aku sendiri pun belum lengkap melihat rangkaian ilmu pedang
kalian, biarlah kali ini membuka mataku lebih dulu."
Cau Ci-hwi dan Siau Gwat-sian lantas berebutan, katanya: "Tidak, kau dulu, kau lebih dulu!"
Tan Kong-si tertawa geli melihat keributan lucu ini. Ternyata di dalam hati kecilnya ia anggap
mereka berdua sebagai adik-adik kecil yang belum tahu urusan.
Tan Kong-si seperti sedang mendengarkan sesuatu sesaat tiba-tiba ia berkata: "Kabarnya
tempo hari waktu kalian berlatih silat di hutan kembang Bwe di Thong-ting-san, pernah dicuri lihat
oleh orang, dan terjadilah sedikit keributan?"
"Benar," ujar Cau Ci-hwi, "keparat itu hendak menyelidiki jejak paman Miao, kabarnya dia
adalah orang keluarga Lian yang terkenal dengan julukan Su-pit-tiam-pat-meh, kami kewalahan,
untunglah hari itu kebetulan Hun-cici tiba, barulah berhasil menggebah dia lari!"
Tiba-tiba tergerak hati Siau Gwat-sian, katanya: "Apakah sekarang juga ada orang sedang
mencuri lihat?" Cau Ci-hwi menjadi sadar, untuk memperlihatkan bahwa dirinya lebih cerdik dari Siau Gwatsian,
peduli apa betul ada orang mengintip atau tidak segera ia membentak lebih dulu: "Siapa itu,
hayo lekas keluar!" Belum lenyap suaranya, betul juga dari dalam hutan, menerobos keluar seorang laki-laki
berpakaian ketat. "Sret" Ci-hwi dan Gwat-sian mencabut pedang bersama, terus memapak maju, ujung pedang


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengancam ke arah laki-laki itu.
"Jangan turun tangan, tanyai dulu maksud kedatangannya," seru Tan Kong-si.
Laki-laki itu unjuk tawa dibuat-buat, katanya: "Harap nona jangan marah, aku bukan mengintip
kalian berlatih pedang, aku datang hendak menjenguk famili."
Siau Gwat-sian melongo, tanyanya: "Siapa familimu?"--
Maklum dalam gunung itu cuma ada sepuluhan keluarga, sebaliknya laki-laki ini berpakaian
cukup mewah, tutur kata dan tindak tanduknya seperti orang kota tulen, sekali pandang dapat
diketahui- bahwa dia pasti bukan orang dari gunung ini.
Laki-laki itu mengawasi Siau
Gwat-sian sebentar, mendadak ia bertanya: "Nona, apakah kau She Siau?"
"Dari mana kau bisa tahu?" Siau Gwat-sian heran.
"Hun Ci-lo adalah piaucimu bukan?" kata laki-laki itu pula. "Raut muka kalian ada sedikit sama,
aku hanya menebak semba-rangan saja."
Semakin bingung Siau Gwat-sian dibuatnya, tanyanya pula: "Kau kenal Hun-piauciku?"
Laki-laki itu tertawa lebar, katanya: "Aku she Nyo bernama Bok, kalau dikatakan aku masih
termasuk piau-cihumu!" ,
Siau Gwat-sian memang belum tahu akan perceraian Hun Ci-lo dengan suaminya, ibunya kuatir
gadis yang tidak tahu urusan ini sembarangan omong maka ia tidak memberi tahu kepadanya. Kini
mendengar laki-laki ini ternyata adalah Nyo Bok, seketika ia kaget, serunya: "Bukankah kau sudah
mati?" Kata piauci..."
"Aku terpaksa pura-pura mati karena menghindari kejaran musuh besarku," demikian Nyo Bok
menerangkan. "Apa saja yang dikatakan piaucimu, mungkin dia masih rada salah paham
terhadapku." Siau Gwat-sian sendiri memang tidak tahu seluk beluk persoalan, maka ia berkata: "Tidak apaapa,
kebetulan kau datang, piauci, dia..."
Nyo Bok melengak, tanyanya:
"Dia kenapa" Dia sedang menyinggung aku" Atau sedang mencaci maki aku?"
Siau Gwat-sian tertawa geli, sahutnya: "Memang kau benar, dia sedang kangen padamu.
Baiklah, mari kau ikut aku." Sebetulnya ia hendak memberi tahu bahwa Hun Ci-lo segera bakal
melahirkan, tapi sebagai gadis yang menanjak dewasa ia malu mengutarakan urusan yang
memalukan ini, ia urungkan niatnya. Pikirnya bila sang istri hamil, sebagai suaminya tentu sudah
tahu, cukup asal dia sedikit menyinggung saja Nyo Bok pasti sudah tahu, siapa tahu sikap Nyo Bok
masih bingung seperti linglung.
Cau Ci-hwi memasukkan pedang, katanya: "Marilah kita pulang bersama!" nadanya menjadi
uring-uringan dan sebal. "Tidak, biar aku yang menemani tamu pulang," demikian ujar Siau Gwat-sian, "silakan kalian
lanjutkan latihan sendiri."-Memang
kata-katanya ini yang paling diharapkan oleh Cau Ci-hwi, dengan demikian ia berkesempatan
bermain-main sepuasnya dengan Tan Kong-si.
Melihat Nyo Bok datang, sudah tentu Siau-hujin kaget dan girang pula. Meski ia tahu Nyo Bok
bukan suami yang ideal, betapapun ia mengharap keponakannya bisa rujuk kembali dengan
suaminya. Nyo Bok segera menjura dan katanya: "Siautit hari itu berlaku kurang ajar terhadap kau orang
tua, harap kau orang tua suka memberi maaf."
"Kejadian yang sudah lalu, tidak usah disinggung lagi. Kedatanganmu sangat kebetulan."
Lagi-lagi mendengar ucapan 'kedatanganmu kebetulan', Nyo Bok jadi was-was dan gundah,
tanyanya: "Apakah Ci-lo ada di rumah" Apakah dia masih marah kepadaku?"
Sebentar berpikir lalu Siau-hujin berkata: "Duduklah di sini sebentar. Biar aku masuk..."
Di dalam kamarnya Hun Ci-lo sudah mendengar percakapan mereka, mendengar sampai di sini,
segera ia berseru keras: "Bibi, wakilkan aku mengusir dia dari sini!"
Kebetulan Siau-hujin habis berkata dan hendak melangkah masuk, mendengar seruannya ini ia
sendiri menjadi serba kikuk dan risi, cepat ia memberi tanda dengan ulapan tangan, maksudnya
supaya Nyo Bok jangan banyak omong, duduk saja di luar menunggu.
Setelah berada di dalam kamar, Siau-hujin berbisik di pinggir telinga Hun Ci-lo: "Suami istri
bagaimana juga tetap suami istri, apalagi kau sudah hampir melahirkan anaknya."
Dengan tegas dan tandas Hun
Ci-lo berkata: "Sejak lama aku sudah bukan orang keluarga Nyo lagi, bibi, kalau kau
memberitahu dia soal ini, itu berarti kau mendesak aku meninggalkan tempat ini." Lalu ia
mengeraskan suara membentak: "Nyo Bok, sungguh tidak malu kau berani datang hendak
menemui aku, lekas kau menggelinding pergi!"
Karena mendapat angin akan bantuan Siau-hujin, bukan pergi Nyo Bok malah melangkah maju
ke ruang dalam, katanya: "Ci-lo, kejadian yang sudah lalu memang aku sendiri yang salah, kini
aku sudah amat menyesal, sengaja aku kemari untuk mohon ampun kepada kau. Harap
pandanglah hubungan suami istri selama delapan tahun, baik atau buruk sukalah kau memberi ijin
aku masuk menengokmu," sembari bicara tangannya terulur hendak menyingkap kerai di depan
pintu. Sekonyong-konyong segulung angin menyambar keluar, tahu-tahu kerai itu tergulung terbang
membalik. Kontan Nyo Bok merasa lengannya kesemutan, dan tanpa kuasa ia tersurut mundur
oleh dorongan tenaga keras yang menerjang melalui kerai bambu itu. Ternyata Siau-hujinlah yang
menggulung kerai itu dari sebelah dalam, untunglah dia masih menaruh belas kasihan, kalau tidak
Nyo Bok pasti terluka dan terjengkang jatuh.
Siau-hujin berjalan keluar katanya berbisik : "Ci-lo sedang marah, jangan kau main sembrono,
sekarang kau harus membujuk dan meminta-minta kepadanya."
Nyo Bok manggut-manggut, dari luar kerai segera ia memohon kepada isterinya: "Ci-lo, kalau
kau tidak sudi ingat hubungan kita suami istri, paling tidak kau harus pandang muka anak kita."
Hun Ci-lo kaget, batinnya: "Apakah bibi sudah memberi tahu bahwa aku bakal segera
melahirkan anaknya?"
Terdengar Nyo Bok berkata lebih lanjut: "Ci-lo, kau kan tahu, selama ini aku pandang anak Hoa
sebagai anak kandungku sendiri, setiap hari selalu dia merengek-rengek padaku minta supaya
mencari ibu, memangnya kau pun sudah tidak kangen kepadanya?"
Baru sekarang Hun Ci-lo tahu anak yang dimaksud Nyo Bok adalah Nyo Hoa, sudah menjadi
kodrat alam bahwa ayah bunda menyayangi putra putrinya, meski berita ini rasanya terlalu
mendadak, tak urung ia menjerit kaget. "Apa, maksudmu kau sudah berhasil menemukan kembali
anak Hoa?" "Betul. Hoa-ji semula dibawa lari oleh Tiam-jong-siang-sat, mendapat bantuan Han Wi-bu aku
berhasil meringkus Leng-bin-suseng Toan Siu-si dan paksa suhengnya menyerahkan Hoa-ji
sebagai gantinya. Sepuluh hari yang lalu, Hoa-ji sudah kami antar sampai ke kota raja."
"Apa betul omonganmu?" Hun Ci-lo menegas.
"Masa aku menipu kau! Ilmu silat Toan Siu-si amat tinggi, untunglah secara kebetulan ia tiba di
kota raja seorang diri, bersama dengan para piausu dari Tjn-wan Piaukiok, kami melabraknya
hampir satu jam lamanya, baru berhasil membekuknya, kalau kau tidak percaya aku bisa
menunjukkan sebuah bukti, bukankah di leher Hoa-ji ada sebuah kalung mainan dari batu giok
yang kau berikan kepadanya sebagai tanda mata, betul tidak?"
Di tengah jalan memang Hun Ci-lo pernah bersua dengan Toan Siu-si, ia tahu orang memang
menuju ke kota raja seorang diri. Tapi kejadian di puncak Thay-san di mana Toan Siu-si pernah
mengeluarkan mainan batu giok itu di hadapan Nyo Bok dan Beng Goan-cau tidak diketahui
olehnya, karena waktu itu ia sedang jatuh pingsan.
Kini Nyo Bok menyinggung hal ini, Hun Ci-lo percaya beberapa bagian. "Entah betapa
menderita dan sengsara kehidupan anak Hoa di tangan Tiam-jong-siang-sat, badannya kurus
kuning, aku sendiri tidak bisa merawat anak, memangnya kau tega tidak mau mengasuhnya lagi?"
Hun Ci-lo menjadi pilu dan bersedih, tak tertahan air matanya meleleh keluar. Nyo Bok tahu
bahwa pikiran isterinya sudah berubah dan mungkin mau keluar, karena ia mendengar isak
tangisnya, baru saja ia merasa girang, mendadak didengarnya Hun Ci-lo berkata dingin: "Nyo Bok,
kali ini berapa orang yang kau bawa kemari, kenapa tidak suruh mereka unjukkan diri sekalian?"
Ternyata sejak kecil Hun Ci-lo ada meyakinkan senjata rahasia Bwe-hoa-ciam, pendengarannya
lebih tajam dari orang biasa, lapat-lapat ia dengar di belakang jendela dan di atap rumah, seakanakan
ada jejak suara orang melakukan perjalanan malam.
Keruan Nyo Bok amat kaget katanya: "Tidak! Jangan kau terlalu banyak curiga, marilah pulang
saja bersamaku." "Kau tidak bicara sejujurnya, masih tebal muka kau minta aku pergi bersamamu?"
"Ci-lo," suara Nyo Bok semakin keras. "Kau terlalu banyak curiga, masakah aku menipu kau."
Sengaja suaranya ia bikin keras supaya terdengar oleh Coh Thian-hiong yang mungkin terburu
nafsu dan supaya bersabar serta bertindak menurut rencana semula saja.
Tak nyana, belum lagi ia bicara selesai, mendadak didengarnya seseorang bersuara: "Betul,
jangan ikut dia pergi, dia memang seorang penipu! Anak buah Sat Hok-ting dan Pakkiong Bong
sudah datang bersama!"
Sungguh kejut Nyo Bok bukan alang kepalang, sebaliknya Hun Ci-lo kaget dan kegirangan pula.
Karena orang yang bersuara di luar ini bukan lain adalah Beng Goan-cau.
Sekilas Nyo Bok menenangkan hati, lalu serunya: "Ci-lo, dia kan bukan..." sebelum kata
"sahabatku" sempat diucapkan, terdengarlah suara "Trang" yang keras dari beradunya senjata
tajam. Lalu terdengar pula Beng Goan-cau membentak: "Menggelindinglah turun! Hehe, Nyo Bok,
inilah kawanmu sudah tiba!"
Dua sosok bayangan orang melompat turun dari atap rumah, orang yang di depan bukan lain
adalah Ciok Tio-ki, wakil komandan Gi-lim-kun.
Sekali lagi Nyo Bok dibuat kaget, tanpa sadar ia menjerit kaget: "Ciok-tayjin..."
Ciok Tio-ki bergelak tertawa, katanya: "Betul, aku pun ingin melemaskan tulang dalam
keramaian ini. Beritahukan duduk perkara sebenarnya."
Di saat ia bicara, golok cepat Beng Goan-cau sudah membacok tiba. Lekas Ciok Tio-ki keluarkan
sepasang Boan-koan-pitnya menangkis. Tepat pada saat itu juga pintu besar ditendang pecah dan
terbuka dengan mengeluarkan suara gaduh, laki-laki seragam hitam menerjang masuk. Dari atap
rumah melompat turun pula seseorang, orang ini barulah Thong-thian-hou Coh Thian-hiong
adanya. Ternyata Ciok Tio-ki pun seorang yang cerdas pandai, sejak mula ia pun sudah menduga
bahwa Nyo Bok mungkin kena dipelet dan dirangkul oleh Pakkiong Bong, dan secara sembunyi
pasti datang mencari Hun Ci-lo, maka secara diam-diam ia membawa enam orang jagoan
Bhayangkari menguntit. Kedua orang ini adalah orang-orang kepercayaan Sat Hok-ting, seorang
bernama Ih Tiang-kiat dan yang lain bernama Cheng Gun. Sementara melihat mereka sudah
menerjang masuk ke dalam rumah, terpaksa Coh Thian-hiong ikut unjukkan diri, demi tujuan
majikan masing-masing mereka berlomba mengejar pahala.
Begitu melompat turun Coh Thian-hiong lantas gelak tertawa, katanya: "Tidak salah, memang
tiada halangannya kau beber duduk perkara sebenarnya sekarang. Nyo-hujin, jangan kau takut,
kami hanya meluruk datang untuk membekuk batang leher Beng Goan-cau."
Maka terdengarlah suara keluhan panjang yang kecewa dan putus asa dari dalam kamar.
Kiranya setelah mengetahui duduk perkara sebenarnya, saking marah Hun Cilo jatuh pingsan.
Meskipun ia tahu bahwa Nyo Bok bukanlah seorang suami yang ideal, namun ia tidak menduga
bahwa orang sudah sebejat itu, secara terang-terangan kini> berani menjadi anjing alap-alap bagi
kerajaan Boan. Teringat selama delapan tahun mereka hidup bersama dengan tidur satu bantal,
betapa hatinya takkan pilu, sedih dan malu serta penasaran lagi.
Tergetar hati Beng Goan-cau, teriaknya: "Ci-lo, kenapa kau?"
Ciok Tio-ki segera mengejek dingin: "Istri orang lain, kenapa kau menaruh begitu besar
perhatian!" Beng Goan-cau murka, "Sret sret" beruntun ia membacok tiga kali, sepasang potlot Ciok Tio-ki
tidak mampu menandingi kecepatan dan kehebatan serangannya ini, terpaksa ia main mundur tiga
langkah. Ingin Beng Goan-cau berlari masuk1 menengok keadaan Hun Ci-lo, namun Nyo Bok
sudah bertindak di depannya.
Berkobar rasa sirik dan cemburu Nyo Bok, jengeknya dingin: "Tak heran dia tidak mau pulang
bersamaku, kiranya kau ini gendaknya yang memikat dia, di dalam matanya hanya ada Beng
Goan-cau seorang. Hehe, kalian sepasang gendak cabul ini ternyata cukup setia kawan dan amat
mendalam cintanya, sayang Nyo Bok berada di sini, jangan harap keinginan kalian bisa terkabul!"
Sembari tertawa dingin, ia mengulur tangan sudah akan menyingkap kerai.
"Kau kentut apa!" bentak Beng Goan-cau, tiba-tiba goloknya membacok miring laksana kilat
cepatnya. Ciok Tio-ki berteriak: "Bagus ya, kau hendak mengadu jiwa!" Sembari berteriak ia doyongkan
badan miring ke samping dan menggeser satu langkah, sebat sekali tahu-tahu Beng
Goan-cau sudah berkelebat dari samping tubuhnya, di lain kejap golok cepatnya sudah membacok
ke arah Nyo Bok. Kedua jago Bhayangkari itu segera memburu maju sambil menyerang, Ih Tiang-kiat bersenjata
Cui-mo-pian ruyung baja, Cheng Gun bersenjata golok bergigi, kedua macam senjata ini sama
berbobot berat, tidak takut ditabas atau dibacok kutung oleh golok pusaka. Serempak ruyung dan
golok mereka menyerang bersama menandingi golok cepat Beng Goan-cau.
Baru saja Nyo Bok hendak menyingkap kerai masuk ke dalam kamar, tiba-tiba Siau-hujin
tertawa dingin, jengeknya: "Menggelinding keluar!" Terdengar suaranya orangnya pun tiba, di
mana tangan kanannya terangkat, jari-jarinya mencengkeram ke pundak Nyo Bok. Saking kejutnya
lekas Nyo Bok menekuk lutut merendahkan badan, sementara kedua tangan menyanggah ke atas
melindungi kedua pundaknya. Ia gunakan jurus Koan-ping-pang-in, salah satu jurus peranti
melindungi badan dari tipu-tipu Kim-kong-liok-yang-jiu.
Meskipun latihan Kim-kong-liok-yang-jiu yang diyakinkan sudah cukup matang, paling-paling ia
hanya berhasil melindungi kedua tulang pundaknya hingga tidak sampai tercengkeram remuk,
maka terdengar "Bret" pakaian di atas pundaknya kena tercomot sobek oleh jari-jari Siau-hujin.
Barulah sekarang Coh Thian-hiong melangkah maju sembari memuji: "Ilmu bagus! Siau-hujin
memang tidak malu sebagai ksatria di kalangan perempuan, biarlah aku si tua bangka ini mohon
petunjuk beberapa jurus." Memangnya dia seekor rase tua, setelah menerawang situasi dan
melihat pihak mana lebih unggul barulah ia turun tangan.
Coh Thian-hiong adalah seorang ahli kenamaan di dalam Kim-na-jiu, sekarang ia tidak gunakan
tujuh puluh dua jalan Kim-na-jiu-hoat yang paling diandalkan, malah menggunakan Siau-kim-najiu
yang mengutamakan pertempuran dari jarak dekat, setiap tipu-tipu jurusnya kalau tidak
menangkap, mengunci, menyobek dan meng-gantol, pastilah mencengkeram sendi-sendi tulang
dan urat penting di badan lawan. Soalnya ia kuatir tidak mampu menundukkan Siau-hujin,
bertempur secara merapat dari jarak dekat dengan kaum hawa betapapun banyak pantangannya,
.oleh karena itu barulah dia bisa berkesempatan mengambil kemenangan.
Sudah tentu Siau-hujin juga tahu maksud tujuannya, sigap sekali kakinya melangkah memasuki
Ang-bun, telapak tangannya lantas menepuk ke batok kepala orang, lekas Coh Thian-hiong
menggerakkan telapak tangan kiri membundar, sementara telapak tangan kanan berputar
menotok ke Jian-kin-hiat di pundaknya, totokan jarinya mengeluarkan deru'angin yang keras dan
belum lagi Siau-hujin melihat tegas, Jian-kin-hiat Siau-hujin sudah terasa kesemutan.
Mencelos hati Siau-hujin, sebat sekali ia menggeser langkah berpindah kedudukan, telapak
tangannya tidak ia adu, gerak tangannya malah miring dan menyimpang ke pinggir sementara
jari-jari tangannya terjulur keluar menotok Thay-yang-hiat di pelipis kirinya. Mau tidak mau
bercekat juga hati Coh Thian-hiong, lekas kedua telapak tangannya menggencet tutup
memunahkan totokan lawan.
Tiba-tiba Siau-hujin menggunakan gaya menyedot dada jumpalitan di tengah awan melompat
mundur keluar kalangan. Sudah tentu kelakuannya ini membuat Coh Thian-hiong heran dan tak
mengerti, semula dia kira orang akan menyerang lebih gencar lagi.
Coh Thian-hiong tertawa, katanya: "Betul, dulu kita tiada bermusuhan, sekarang pun tiada
dendam, aku tua bangka ini sudah berkenalan dengan kepandaian Siau-hujin..." Ia mengira Siauhujin
hendak ajak damai padanya, baru saja ia hendak menyampaikan sekedar basa basi seperti
kaum persilatan lazimnya, sekonyong-konyong selarik bayangan putih seperti ruyung lemas tibatiba
menggulung datang dengan mengeluarkan suara menderu, tahu-tahu senjata Siau-hujin
sudah menyerang tiba. Ternyata Siau-hujin melolos ikat pinggang sutranya digunakan sebagai
ruyung lemas untuk menyerang.
Sabuk sutra adalah benda lemas, tapi Siau-hujin dapat menggunakannya sampai mengeluarkan
deraan angin yang keras, maka dapatlah dibayangkan betapa tinggi dan lihay lwekangnya,
terpaksa ia harus meningkatkan kewaspadaan, sembari melayani serbuan lawan, berkata Coh
Thian-hiong: "Hujin seorang terpelajar yang tahu adat istiadat, orang she Beng ini bukan sanak
bukan kadangmu, tidak lebih dia hanyalah kenalan lama keponakanmu saja. Demi nama baik
keponakanmu, janganlah Siau-hujin melindunginya."
Siau-hujin berkata dingin: "Tempatku ini bersih dan tenang, tidak bisa kubenarkan kawanan
anjing alap-alap dan antek kerajaan mengotori tempatku ini, kau menggelindinglah pergi!"
Sabuk sutranya laksana ular sakti seperti naga hidup, beruntun ia sudah menyerang tujuh
delapan jurus. Salah satu jurus di antaranya, sabuk sutranya menyapu miring dari depan
mengarah mukanya. Lekas Coh Thian-hiong menggunakan gerakan Thi-pian-kio (jembatan papan
besi) mendoyongkan badan meliuk pinggang, ia berkelit dan meluputkan diri, tapi tak urung
hidungnya menyedot masuk beberapa helai bulu-bulu sutra dari sabuk lawan, sehingga terasa geli
dan risi, tak tertahan ia berbangkis satu kali.
Kebetulan Siau Gwat-sian berjalan masuk, segera ia bertepuk tangan dan berseru sambil
tertawa: "Bu, jurus permainanmu ini sungguh hebat dan menakjubkan, seperti mempermainkan
joget kera saja layaknya, lekaslah kau hajar pula tua bangka ini supaya mencak-mencak seperti
kera berjoget, pukul hidungnya biar keluar kecap."
Coh Thian-hiong sudah tenar selama puluhan tahun, mendengar olok-olok yang menghina ini,
seketika berkobar amarahnya, katanya: "Siau-hujin, kau tidak tahu kebaikan, maaf, terpaksa aku
tidak main sungkan lagi kepada kau, Hm, hm, bukan saja kau tidak akan kuasa melindungi orang
luar, putrimu sendiri pun jangan harap dapat kau lindungi."
Mendengar orang mengancam putrinya, Siau-hujin menjadi waswas dan kuatir, teriaknya:
"Gwat-sian, keluarlah kau, tiada urusanmu di sini!"
Sementara itu jago Bhayangkari yang bersenjata golok bergigi bernama Cheng Gun itu sudah
menghadang di depan pintu, katanya sambil tertawa: "Budak cilik ini cukup ayu juga, hehe, kalau
toh sudah masuk, jangan harap kau bisa keluar, marilah bermain-main mengiringi Toayamu."
"Sret!" Siau Gwat-sian segera menusukkan pedangnya, makinya: "Mulut anjing tidak tumbuh
gading, nonamu memang ingin menghajar anjing!" Dengan sejurus Di Antara Awan di Atas Sungai
Hong-ho, disusuli pula dengan jurus Kota Terasing di Puncak Ban-kiat-san, hawa pedangnya
menyambar dingin disertai gerak perubahan yang rumit dan sukar diraba. Cheng Gun sendiri tidak
mengenal permainan ilmu pedangnya ini, maka ia tidak berani menyerang terlalu bernafsu.
Sayang betapapun usia Siau Gwat-sian masih terlalu muda, pengalaman menghadapi musuh
masih terlalu hijau, ilmu yang digunakan Cheng Gun adalah Suping-to (golok empat rata), sesuai
dengan namanya, ilmu pedang ini mengutamakan kerataan dan ketenangan yang seimbang,
sementara ilmu pedang Siau Gwat-sian mengutamakan kelincahan, beruntun ia sudah menyerang
sepuluh jurus, namun tidak berhasil merangsak maju, tanpa sadar ia jadi gelisah sendiri.
Mendadak Cheng Gun sengaja memperlihatkan sebuah lowongan, Siau Gwat-sian amat girang,
"Sret" sebat sekali ia menusuk ke tempat lubang kelemahan lawan, adalah di luar tahunya bahwa
musuh sengaja hendak menjebak dirinya.
"Kena!" Siau Gwat-sian menusuk sembari membentak, disangkanya tusukan pedangnya pasti


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat menembusi dada lawan, dia sendiri belum pernah membunuh orang, maka hatinya menjadi
rada takut, ujung pedangnya rada bergetar, maka ia hanya mengerahkan tiga bagian tenaganya
saja, pikirnya dalam hati: "Cukup aku membuatnya sedikit terluka saja, tusukanku ini jangan
terlalu keras dan menghujam terlalu dalam!"
Cheng Gun bergelak tertawa, serunya: "Belum tentu!" Cukup dua patah kata jawaban saja,
seketika Siau Gwat-sian merasa pandangannya kabur, selarik sinar putih berkelebat, tahu-tahu
golok bergigi Cheng Gun sudah menyambar tiba dari bawah ke atas, "krak" telak sekali gigi
goloknya berhasil menggigit dan mengunci ujung pedangnya.
Untunglah mata dan kuping Siau-hujin amat tajam, sambil bertempur ia pun perhatikan
keadaan putrinya, begitu melihat putrinya terancam bahaya, segera ia berteriak: "Ya-ja-tam-hai".
Karena dilibat oleh Coh Thian-hiong ia tidak bisa memburu ke sana menolong putrinya, terpaksa
dari kejauhan ia memberi petunjuk kepada putrinya.
Jurus yang diserukan memang khusus untuk menghadapi jurus gigitan ilmu golok orang yang
bergigi itu, kalau bisa memainkan secara baik mungkin dari terdesak malah bisa balas mendesak
lawan. Tapi karena Siau Gwat-sian mendadak menghadapi kegagalan dan terdesak lagi, sedikit
banyak hatinya menjadi gugup, seumpama jurus ini dapat ia mainkan dengan baik, belum tentu
dapat mengambil keuntungan. Lekas Cheng Gun mengabitkan goloknya, meluputkan diri dari
babatan tajam pedang Siau Gwat-sian yang hampir saja memapas kutung dua jarinya, seiring
dengan gerakan ini, ia gunakan tipu Kunci Emas Jatuh ke Tanah, "Trang!" golok dan pedang
beradu di tengah jalan, seketika Siau Gwat-sian rasakan pergelangan tangannya kesemutan,
Ceng-kong-kiam di tangannya tak kuasa dipegangnya lagi terbang ke tengah udara.
Siang-siang Siau-hujin sudah merogoh dua keping mata uang tembaga, "Ser, ser" kedua uang
tembaga itu terbang menderu, sekeping menerjang ke arah Ceng-kong-kiam yang terpental ke
tengah udara, sehingga pedang itu berputar dan meluncur turun, kebetulan gagang pedangnya
menghadap ke arah Siau Gwat-sian, sigap sekali Siau Gwat-sian meraih dan berhasil
menangkapnya. Sementara uang tembaga kedua membentur golok bergigi Cheng Gun, sehingga
goloknya tersampuk miring, sehingga bacokannya mengenai tempat kosong.
"Kepandaian senjata rahasia yang hebat!" tak urung Coh Thian-hiong berseru memuji.
Serangannya pun lebih dipergencar lagi, kepandaian silatnya memang mempunyai kekhususan
yang ahli dalam bidang masing-masing, tingkat ilmu silatnya memang setanding. Karena
menimpukkan kedua biji mata uang itu, mau tidak mau Siau-hujin harus memecah sedikit
perhatian, maka Coh Thian-hiong mendapat angin untuk merangsak lebih gencar lagi, maka ia
berhasil menempatkan dirinya pada posisi yang lebih menguntungkan. Untuk membebaskan diri
dari libatannya, lebih sulit dan payah lagi bagi Siau-hujin.
Sebetulnya rangsakan Siau Gwat-sian pun dibekali oleh semangat yang angin-anginan saja,
begitu gagal di tengah jalan, setelah menyambut pedangnya dan menghadapi musuh, jurus-jurus
permainan pedang yang dilancarkan sudah tidak sehebat dan selincah semula, selalu menghadapi
kesulitan-kesulitan lagi karena semangat yang semakin luluh. Untunglah lawan pun menjadi jeri
karena timpukan mata uang Siau-hujin, kuatir Siau-hujin akan membokongnya pula secara tibaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tiba sembarang saat, oleh karena harus bersiaga menghadapi senjata rahasia Siau-hujin, barulah
Siau Gwat-sian mampu menghadapi lawannya sama kuat alias seri dan setanding.
Di samping menghadapi sepasang potlot Ciok Tio-ki, golok cepat Beng Goan-cau harus
menghadapi pula ruyung baja Ih Tiang-kiat, namun ia masih lebih unggul dan banyak menyerang
daripada membela diri. Setelah Nyo Bok tersungkur jatuh, rasa kagetnya masih belum hilang,
mencelat bangun, ia hendak menerobos masuk ke dalam kamar Hun Ci-lo pula. Lekas Beng Goancau
mundur beberapa langkah, menghadang di depan pintu, sinar goloknya dikembangkan dengan
rapat dan hebat, lebih sulit lagi untuk*Nyo Bok menerjang ke dalam, saking jengkel terpaksa ia
angkat senjata bergabung dengan Ciok dan Ih mengeroyok Beng
Goan-cau dengan serangan ganas dan sengit. Dengan satu lawan tiga, lambat laun keadaan
Beng Goan-cau menjadi payah dan terdesak di bawah angin.
Beruntun Beng Goan-cau bersuit panjang dua kali, dalam hati ia berpikir: "Theng-siau dan siausumoay
kenapa tidak kunjung datang, mungkinkah mereka pun menghadapi musuh?" Soalnya
sebelum memasuki perkampungan Lu Su-bi yang cerdik ini sengaja minta Beng Goan-cau masuk
kampung menyirapi lebih dulu, sementara ia dan Theng-siau menunggu saja di luar
perkampungan. Sebelumnya sudah dijanjikan, kalau tidak melihat Beng Goan-cau menjemput
mereka keluar, paling lama setengah jam mereka akan segera menyusul masuk. Sudah tentu Beng
Goan-cau tahu maksud tujuan sumoaynya, namun ia diam saja.
Nyo Bok menjadi kaget, teriaknya: "Keparat ini mungkin sedang memanggil bantuan, lekas
bereskan dia!" Ciok Tio-ki bergelak tertawa, ujarnya pongah: "Dia punya bala bantuan, aku pun sudah
memendam kekuatan di luar sana, tidak usah kuatir, aku berani tanggung hari ini kau pasti bisa
membunuh musuhmu ini dengan golokmu sendiri!"
Beng Goan-cau murka, dampratnya: "Orang she Beng hanya punya satu jiwa, siapa di antara
kalian yang ingin menebus jiwaku, silakan maju!" Sinar goloknya bergulung-gulung, sementara
deru angin kepalannya amat keras, di antara permainan goloknya diselipi pukulan dan tendangan,
dengan mengertak gigi ia tempur ketiga lawannya dengan sengit. Nyo Bok bertiga meski lebih
unggul, namun mereka menjadi kewalahan dan harus hati-hati dan waspada menghadapi cara
berkelahi Beng Goan-cau yang nekad siap adu jiwa ini.
Lambat laun tenaga Siau Gwat-sian semakin terkuras habis, hatinya semakin gugup; pikirnya:
"Tan-toako dan Cau-cici masakah tidak mendengar suara pertempuran di sini" Kenapa mereka
tidak kunjung datang" Apakah benar sudah bentrok dengan kekuatan musuh di bagian luar?"
Karena gugup dan pikiran tidak tenang, ilmu pedang yang dimainkan semakin kacau balau dan
awut-awutan. Cheng Gun membacok tegak tiga kali, memapas miring tiga kali pula, sehingga Siau Gwat-sian
terdesak mencak-mencak kerepotan.
Siau-hujin segera membentak: "Berani kau melukai seujung rambut putriku saja, pasti kucabut
nyawamu." Coh Thian-hiong terbahak-bahak lantang, serunya: "Cheng Gun, kau tidak usah takut, dia
sendiri sulit menyelamatkan diri, memangnya masih mampu mengurusi orang lain?"--Lalu ia
menambahkan: "Siau-hujin, kalau kau hendak menyelamatkan putrimu, lekaslah kau
mengundurkan diri, jangan melibatkan diri dalam pertikaian ini."
Siau-hujin masih membandel, jengeknya dingin: "Biar kita lihat jiwa siapa yang tidak mampu
dilindungi sendiri!"- Sabuk sutranya bergerak lincah bagai naga hidup, tiba-tiba melecut datang
dari arah yang tidak terduga oleh Coh Thian-hiong, "plak" telak sekali mengenai punggung telapak
tangannya dengan keras, meski Coh Thian-hiong biasanya amat membanggakan telapak besi
dengan Kim-na-jiu-hoat yang lihay, punggung telapak tangannya itu seketika berwarna merah dan
pedas sekali rasanya. Tapi kepandaian Coh Thian-hiong memang bukan olah-olah hebatnya, begitu punggung telapak
tangannya kena pecutan sabuk sutra musuh, sigap sekali ia membalikkan jari-jari tangan, "Cras"
kedua jari tangannya setajam gunting memotong putus sebagian dari sabuk sutra itu. Memangnya
sabuk sutra itu tidak terlalu panjang, kini menjadi lebih pendek lagi. Siau-hujin masih
menggunakannya sebagai ruyung lemas, lambat laun ia merasakan bahwa permainannya menjadi
tidak sesuai dan kurang mantap.
Kalau dinilai secara keseluruhan, dalam gebrakan sengit ini, kedua pihak sama dirugikan, tapi
kerugian yang diderita oleh Siau-hujin lebih besar, cuma selintas pandang, karena secara telak
punggung tangan Coh Thian-hiong kena disabet, maka kerugiannya ini lebih nyata dan menyolok.
Mau tidak mau Cheng Gun harus berpikir: "Thong-thian-hou belum tentu lebih unggul dari
lawannya, kalau aku betul-betul melukai putrinya, bukan mustahil perempuan galak ini menjadi
kalap, kenapa pula aku harus melibat seorang gadis cilik?""Maka matanya segera dipentang dan
celingukan, dilihatnya Beng Goan-cau berdiri di ambang pintu menghadapi keroyokan tiga
lawannya, sehingga Nyo Bok tidak kuasa menerjang masuk ke dalam kamar, maka ia berpikir lebih
lanjut: "Kabarnya istri Nyo Bok adalah kekasih lamanya, tak heran ia begitu nekad. Hehe, kinilah
tiba saatnya aku mendirikan pahala besar."
Timbul suatu akal dalam benaknya, segera ia desak Siau Gwat-sian mundur ke pojokan rumah,
sigap sekali mendadak ia putar tubuh terus menubruk ke depan, berbareng ujung goloknya
menyingkap kerai, terus menerobos masuk ke kamar tidur Hun Ci-lo.
Beng Goan-cau melompat miring dua langkah, berbareng goloknya membacok, bentaknya:
"Menggelindinglah keluar!"-
Tapi di bawah keroyokan tiga jago-jago tangguh betapapun sulit melompat keluar dari arena
pertempuran, tujuannya hendak merintangi perbuatan Cheng Gun, namun Ciok Tio-ki dan Nyo Bok
berkesempatan pula untuk melukai dirinya. Meski sambaran goloknya amat cepat, betapapun ia
sedikit terlambat, bukan saja bacokannya mengenai tempat kosong, Cheng Gun tidak
menggelinding keluar, malah orang berhasil^menerobos masuk ke kamar Hun Ci-lo.
Kalau dituturkan amat lambat kejadian justru teramat cepat, tahu-tahu sepasang potlot Ciok
Tio-ki sudah menotok ke Hiat-to mematikan di punggungnya, sebat sekali Beng Goan-cau
membalikkan goloknya. "Trang" untung masih berhasil ia menyampuk sepasang potlot lawan,
namun saat itu juga ia rasakan pundaknya kesakitan luar biasa, ternyata pukulan telapak tangan
Nyo Bok sudah mengenai dirinya.
Mendadak Beng Goan-cau menghardik seperti geledek, badannya tiba-tiba berputar seperti
angin lesus, goloknya pun terayun membacok dan membabat ke arah Nyo Bok, di saat ia berputar
pada lingkaran pertama, badannya terkena sabetan ruyung lemas Ih Tiang-kiat lagi, namun ia
seperti tidak merasakan apa-apa, tujuannya yang utama adalah mengejar dan membunuh Nyo
Bok. Melihat rona wajah orang yang beringas dengan mata yang mendelik gusar berwibawa, tanpa
terasa ciut nyali Nyo Bok, meski tahu orang sudah terluka, ia toh menyurut mundur dengan
ketakutan. Sekonyong-konyong terdengar jeritan keras yang menyayat hati dan mendirikan bulu roma,
Cheng Gun dengan selebar muka berlepotan darah, sedang kedua tangan menutupi mata,
menerjang keluar lari lintang pukang dari dalam kamar.
Kiranya ia hanya tahu bahwa Hun Ci-lo adalah kekasih lama Beng Goan-cau, di luar tahunya
bahwa Hun Ci-lo pun seorang pendekar perempuan yang membekal kepandaian silat, disangkanya
nyonya rumah tangga yang gampang dipermainkan, bila ia berhasil meringkus Hun Ci-lo, maka ia
pasti dapat mengancam Beng Goan-cau. Perhitungannya memang terlalu muluk, di luar tahunya
bahwa ia sudah menunjukkan kebodohannya sendiri dan akhirnya mendapat rugi besar.
Dalam keadaan mengandung tua, Hun Ci-lo tidak leluasa bergebrak dengan orang, tapi
kepandaian menimpuk senjata rahasia masih kuasa ia lakukan. Belum lagi Cheng Gun sempat
melihat raut wajahnya, kontan ia menjerit ngeri terkena timpukan segenggam Bwe-hoa-ciam.
Begitu menggelundung keluar, serasa arwah Cheng Gun copot dari badan kasarnya, entah
matanya buta atau tidak, ia coba membuka mata, ternyata daya penglihatannya masih dapat
melihat sesuatu benda, barulah hatinya merasa lega, dan saat itu pula ia merasa sakit pada
selebar muka dan kedua punggung telapak tangannya. Kiranya dengan telapak tangannya ia
menutupi kedua matanya, untung ia bergerak cukup cepat sehingga ujung matanya saja yang
tertusuk luka dan tidak sampai buta matanya, tapi selebar muka dan punggung tangannya penuh
ditusuki jarum-jarum yang tidak terhitung banyaknya.
Nyo Bok menjadi heran dan bertanya-tanya, kenapa Hun Ci-lo tidak segera keluar membantu
bibinya" Ataukah tidak sudi bertemu muka dengan aku" Entah dia sedang sakit" Karena ia sudah
tahu akan watak istrinya segera ia berkata: "Ci-lo, marilah kau ikut aku pulang, boleh nanti
kusuruh mereka memandang mukaku, melepas Beng Goan-cau pergi!"
Sembari bicara ia tutupi mukanya dengan lengan baju terus menyingkap kerai dan menyelinap
masuk ke dalam kamar. Dia berani pastikan bahwa Hun Ci-lo tidak akan melukai dirinya, namun
dalam hati ia merasa kebat kebit dan kuatir juga.
Badan Beng Goan-cau sudah terluka, terutama bekas pukulan Nyo Bok adalah yang paling
berat, kini Ciok Tio-ki dan Ih Tiang-kiat merangsak lebih ketat lagi, meskipun ia masih bertempur
segagah harimau mengamuk, lama kelamaan tenaga tidak memadai dengan tekad juangnya.
Melihat Nyo Bok memasuki kamar Hun Ci-lo, ingin menggeser selangkah kaki saja rasanya sukar
sekali, tak urung ia menghela napas, keluhnya dalam hati: "Ci-lo, akulah yang membuatmu
celaka!" Begitu berada dalam kamar, terlihat oleh Nyo Bok, Hun Ci-lo sedang tidur di atas ranjang,
mukanya menghadap ke dalam, punggungnya membelakangi dirinya. Sebelumnya ia berhati-hati
dan berjaga-jaga bila sang istri mendadak membalik badan, mungkin orang akan melukai dirinya
dengan senjata rahasia. Tak kira agaknya Hun Ci-lo seperti tidak tahu menahu akan kehadirannya
di dalam kamar. Di luar pertempuran masih berjalan sengit dan seru, barusan saja ia
menimpukkan Bwe-hoaciam melukai Cheng Gun, sudah tentu tidak akan begitu cepat ia betulbetul
tidur pulas. "Apakah ia tiada muka bertemu dengan aku?" demikian Nyo Bok bertanya-tanya
dalam hati. Tapi sekilas ia menerawang rasanya rekaannya ini jauh berlainan dengan watak dan
perangai Hun Ci-lo biasanya. Hun Ci-lo adalah seorang perempuan yang lemas di luar keras di
dalam, asal dia sendiri merasa diri tidak bersalah atau berdosa, pastilah ia tidak akan takut
menghadapi gangguan dan campur tangan orang lain.
Dengan rasa was-was dan jantung berdebar keras, pelan-pelan Nyo Bok maju perlahan-lahan,
panggilnya lirih: "Ci-lo, ini aku datang." - Sudah setahun lamanya mereka suami istri tidak pernah
tidur seranjang lagi, kini melihat gaya tidur istrinya yang mempesonakan tergerak dan kepincut
hati Nyo Bok. Hun Ci-lo sedang merasa perutnya sakit seperti di ris-iris, rasa sakit yang bergelombang seperti
dam-paran ombak, tiba-tiba timbul, saat lain tenggelam, di dalam jangka setengah jam ini, sudah
terjadi tiga kali. Dan kali ini, mungkin karena tadi ia menggunakan tenaga menimpukkan Bwe-hoaciam,
meng-goncangkan kandungannya, maka rasa sakitnya lebih hebat, waktunya pun rada lama.
Sejak ia berhasil melukai Cheng Gun sampai sekarang rasa sakit itu masih belum hilang.
Sebagai seorang ibu yang pernah melahirkan sekali, ia tahu inilah gelombang sakit yang
menyerang menjelang kelahiran bayinya, menurut perhitungan bukan hari ini ia bakal melahirkan,
tapi dari rasa sakit yang menggejolak ini, agaknya bayi dalam kandungannya bakal lahir lebih pagi
dari waktu sebenarnya. Di saat itu ia tahu bahwa dirinya bakal segera melahirkan, justru Nyo Bok menerjang masuk ke
kamarnya. Sudah tentu Hun Ci-lo merasa amat malu, jengkel, dan benci serta marah, dalam
keadaan yang serba kritis sambil menahan rasa sakit yang luar biasa ini, terasa oleh Hun Ci-lo kaki
tangan menjadi kejang dan linu, teriaknya: "Aku tidak sudi menemui kau, keluarlah kau dari sini!"
Karena kesakitan, tanpa kuasa ia menggeliat dan membalik badan.
Begitu Hun Ci-lo membalik badan, suami istri ini menjadi beradu muka dan saling
berpandangan. Pertama-tama yang dilihat oleh Nyo Bok bukan raut muka istrinya yang cantik elok
berbentuk bundar telor itu, tapi yang diawasi adalah perutnya yang sudah hamil besar dan
menyolok pandangan. Sejenak Nyo Bok tertegun, rasa cemburu seketika membakar dadanya, seketika ia menyeringai
dingin, katanya dingin: "Kau perempuan sundal ini, tak heran kau malu bertemu dengan aku! Dari
mana kau peroleh orok dalam kandung-anmu ini?"
Waktu berhadapan dengan sang suami, luluh dan lemaslah kekerasan hati Hun Ci-lo,
sebetulnya ia sudah mau menjelaskan duduk perkara sebenarnya kepada Nyo Bok, begitu
mendengar bentakan kasar dan tuduhan yang semena-mena ini, sungguh marahnya bukan
kepalang, mengerahkan seluruh tenaganya, dari sela-sela giginya yang mengertak kencang itu ia
mendesis beberapa patah kata: "Kau, kau, peduli apa padamu, kau pun tidak setimpal menjadi..."
belum habis ia bicara, rasa sakit perutnya merangsang lagi lebih hebat, tak tertahankan lagi
seketika ia jatuh pingsan.
Nyo Bok belum tahu bahwa istrinya jatuh pingsan, sekali raih ia jambak rambut Hun Ci-lo serta
membentak: "Coba katakan aku tidak setimpal jadi apa, tidak setimpal menjadi suamimu bukan"
Kuceraikan kau kemudian sedang kau hamil sebelumnya, ada hak aku tanya kepada kau, dari
mana orok dalam perutmu ini, tidak kau katakan biar kubunuh kau!"
Pada saat itu pula mendadak terdengar jerit tangis jabang bayi yang nyaring, ternyata Hun Cilo
sudah melahirkan. Begitu mendengar jerit tangis orok kecil, seketika Siau-hujin berteriak kaget: "Nyo Bok! Aduh
celaka! Kau bapak yang sembrono ini, tahukah kau..." mulut bicara namun tangannya tetap
bekerja tanpa menjadi kendor! Beruntun ia lancarkan serangan lebih gencar sehingga Coh Thianhiong
terdesak mundur beberapa langkah, setelah Coh Thian-hiong dipukul mundur, ia lantas
putar badan hendak memburu masuk ke dalam kamar tidur.
"Siau-hujin," bentak Coh Thian-hiong. "Menang kalah belum kita tentukan, kenapa hendak
lari?" Belum habis kata-kata Siau-hujin dan sebelum kakinya sempat melangkah masuk ke dalam
kamar, ia sudah dicegat dan dilibat pula oleh Coh Thian-hiong.
Tenaga Beng Goan-cau sudah terkuras habis, badannya sudah lemah lunglai dan kaki pun
sempoyongan hampir roboh, mendadak didengarnya Nyo Bok yang di dalam kamar hendak
membunuh Hun Ci-lo, disusul terdengar pula suara orok menangis keras, dalam waktu dekat ia
masih bingung tidak tahu apa yang telah terjadi, sungguh hatinya gugup dan risau, dan karena
gugupnya ini, entah dari mana datangnya tenaga baru, golok cepatnya mendadak membacok lebih
gencar lagi, alhasil ia melabrak Ciok Tio-ki dan Ih Tiang-kiat mundur beberapa langkah. Lututnya
baru saja kena sabetan ruyung lemas, karena bernafsu melangkah lebar, seketika kaki menjadi
lemas dan tak kuasa ia roboh terjerembab.
Ciok Tio-ki bergelak ketawa. serunya: "Toh bukan kau yang menjadi ayahnya, kenapa tergesagesa?"
Sepasang potlotnya dibarengi ruyung baja sama meluruk ke arah Beng Goan-cau yang
masih duduk di tanah dan belum sempat bangun itu.
"Aku tidak boleh mati!" Beng Goan-cau kertak gigi. Ilmu goloknya serba guna dan dilatih cukup
sempurna, meski belum bisa bangun, maka terpaksa ia lancarkan ilmu goloknya yang dinamakan
Gun-te-tong-to-hoat (ilmu golok sambil bergelindingan di tanah), dengan sengit ia papaki semua
rangsakan musuh yang hebat. Sementara dalam hati ia mengharap-harap cemas: "Theng-siau dan
sumoay kenapa tidak lekas datang" Ai, Nyo Bok keparat itu entah jadi memukul tidak" Semoga
Thian melindunginya, jangan sampai Ci-lo terbunuh oleh suaminya sendiri."
Sudah tentu Song Theng-siau dan Lu Su-bi tidak tahu bahwa mereka ditunggu-tunggu
kedatangannya oleh Beng Goan-cau. Soalnya mereka kuatir datang terlalu cepat dan mengganggu
pertemuan Beng Goan-cau dan Hun Cilo, maka setelah kira-kira Beng Goan-cau pergi setengah
jam, barulah mereka akan menyusul dengan langkah pelan-pelan.
Berkata Lu Su-bi: "Selama ini kau selalu memikirkan semua kepentingan Hun-cici, katanya kau
sejak kecil dibesarkan bersama dia, cobalah kau ceritakan beberapa segi kehidupannya yang
menarik." "Sudah delapan tahun lebih aku berpisah sama dia, baru beberapa waktu yang lalu bertemu
muka dan bicara sebentar. Seluk beluk kehidupan selama delapan tahun belakangan ini, aku pun
tidak banyak tahu." "Baiklah aku tidak tanya kehidupan pribadinya. Kabarnya Sip-hun-kiam-hoat warisan
keluarganya amat bagus, apa benar" Aku jadi berpikir, setelah berkumpul sama dia, apakah dia
sudi bertukar pikiran mendalami ilmu pedangnya itu."
"Ci-lo tentu senang bertemu dengan kau, kenapa pula ia tidak suka saling ukur dan mendalami
ilmu pelajaran silat masing-masing" Cuma ilmu golok warisan keluargamu merupakan ilmu tunggal
dari bulim, di bidang ilmu golok mengutamakan kesempurnaan dan keuletan latihan, bukankah
intisarinya melebihi ilmu pedang!"
"Aku tahu tamak mempelajari berbagai cabang silat merupakan pantangan bagi kaum
persilatan, tapi kulihat kau sendiri juga menggunakan pedang, kalau aku pun mempelajari ilmu


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang, tipu-tipu ilmu pedang itu dapat kukombi-nasikan ke dalam jurus-jurus ilmu golokku,
bukankah kelak kita bisa menyatu padukan ilmu golok dan pedang?"
"Perpaduan ilmu golok dan pedang" kata-kata ini membuat hati Song Theng-siau "syuur" dan
manis mesra, katanya: "Siau-sumoay, kau mempunyai tujuan dan keinginan besar ini, sungguh
mencocoki seleraku. He, he, tak heran..."
Mendengar nada tawa orang yang rada ganjil, Lu Su-bi rada tercengang, katanya: "Tak heran
apa, kenapa tidak kau lanjutkan?"
Song Theng-siau tertawa, ujarnya: "Tak heran waktu bergebrak dengan Toan Siu-si beberapa
hari yang lalu, kulihat permainan golokmu banyak diselingi variasi gerakan jurus-jurus ilmu
pedang, kiranya kau memang sudah ada maksud untuk menyatu padukan ilmu golokmu dengan
ilmu pedangku. Em, siau-sumoay, selama dua tahun belakangan ini, memang tidak sedikit
kemajuan ilmu silatmu!"
Merah malu selebar muka Lu Su-bi, mulutnya menjebir lalu katanya: "Sepatah kata salah
kuucapkan, kau lantas kesenangan setengah mati. Hm, memangnya kau sudah tahu bahwa aku
benarbenar sudi bersatu padu denganmu..." Semakin merah mukanya, lekas ia putar pokok
pembicaraan lain: "Song-suko, ilmu pedangmu pun maju berlipat ganda, kapan kau sudi
mengajarkan beberapa jurus kepadaku" E, eh, apa yang sedang kau pikirkan?" Mendadak
dilihatnya Song Theng-siau seperti tidak memperhatikan ucapannya, matanya pun mendelong ke
arah lain. Berkata Song Theng-siau dengan suara lirih: "Dalam hutan agaknya ada seseorang sedang
bersembunyi di sana, sejak tadi dia menguntit dan mencuri dengar pembicaraan kita."
Waktu Lu Su-bi menegasi ke arah yang ditunjukkan, tiba-tiba dilihatnya seraut wajah laki-laki
yang menongol keluar dari balik batang pohon, sepasang matanya yang berkilat tajam sedang
mengawasi ke arah dirinya.
Seketika Lu Su-bi menarik muka dan menghardik keras: "Siapa itu main sembunyi di belakang
pohon, main intip segala, ayo keluar!"
Orang itu segera bergelak tertawa, dengan langkah kalem ia beranjak keluar dari dalam hutan,
kiranya seorang laki-laki berusia tiga puluhan yang berwajah tampan tangannya memegang
sebatang kipas lipat, selintas pandang orang seperti seorang sastrawan yang gagah dan pandai
main silat. Keluarga yang menempati selokan di bawah gunung sepi ini kebanyakan adalah kaum pemburu
atau petani miskin, takkan mungkin punya warga yang sedemikian gagah dan perlente, apalagi
dalam musim dingin yang sering hujan salju, namun orang ini memegangi sebatang kipas" Mau
tidak mau timbul rasa curiga Song Theng-siau.
Di saat ia berpikir-pikir inilah orang itu sudah mendekat ke depan Lu Su-bi, katanya tertawa:
"Kau takut dilihat orang, lebih baik sembunyi saja di dalam, kamar. Kalau toh menempuh
perjalanan di jalan umum, kenapa pula takut dipandang orang" Nona cilik, ayu dan rupawan benar
kau ini, biasanya nona ayu kalau tidak diperhatikan orang barulah marah. He, he, kau menuduh
aku mengintip, biarlah sekarang aku memandang kau secara terang-terangan saja." Waktu bicara
kedua matanya yang berkilat tajam dengan lekat mengawasi Lu Su-bi dari atas sampai kaki dan
dari kaki sampai kepala lagi, sementara dalam hati ia membatin: "Budak ini ada mirip Lim Busiang.
Mereka tadi membicarakan Beng-suko segala, mungkinkah dia ini sumoay Beng Goan-cau,
atau putri tunggal Kim-to Lu Siu-gun yang bernama Lu Su-bi itu."
Ternyata laki-laki ini bukan lain adalah tokoh nomor satu
dari Hu-siang-pay yaitu Boh Cong-tiu adanya. Setelah
kedudukan ciangbun-nya direbut oleh Lim Bu-siang,
sungguh tidak enak perasaan hatinya. Kali ini ia datang ke
kota raja, secara berhadapan Pakkiong Bong sudah berjanji
untuk bantu dia merebut kedudukan ciangbunnya namun
kapan rencana ini bisa terlaksana masih merupakan tanda
tanya besar, maka sebelum tujuan dan rencana
dipersiapkan dengan sempurna, ia tidak akan kembali ke
perguruan untuk menjabat Jan-bau-tong Tongcu yang
dianugerahkan oleh Lim Bu-siang kepadanya.
Lim Bu-siang sendiri turun dari Thay-san lebih dulu dari
Boh Cong-tiu, ia berhasil mencari tahu bahwa Beng Goancau
hendak datana ke Sam-ho, maka ia menduga bukan
mustahil ia bisa memergoki Lim Bu-siang bermain cinta di
Sam-ho, meskipun ia tidak mau bermusuhan terhadap Beng
Goan-cau secara terang-terangan namun ia bertujuan hendak mencari titik kelemahan mereka,
supaya kelak mempunyai keuntungan di dalam perebutan kembali kedudukan ciangbunnya, maka
secara diam-diam ia pun menguntit di belakang rombongan Coh Thian-hiong dan lain-lain. Tadi
karena ia melihat perawakan Lu Su-bi persis Lim Bu-siang maka sengaja ia menguntit jejak
mereka berdua, untuk melihat biar jelas.
Memangnya Song Theng-siau sudah merasa curiga, melihat orang bersikap begitu kurang ajar
terhadap Lu Su-bi, hatinya jadi marah, bentaknya: "Dari mana datangnya orang gila macam kau
ini, berani kurang ajar kepada sumoayku! Hm, Siau-sumoay, kulihat pastilah dia ini anjing alapalap
kerajaan!" Lu Su-bi punya kecurigaan yang sama, segera ia lolos goloknya, bentaknya pula: "Lekas
sebutkan namamu, untuk apa pula kau datang kemari?"
Waktu Song Theng-siau menuduh dirinya sebagai "anjing alap-alap" seketika berubah hebat air
muka Beh Cong-tiu, setelah dihardik oleh Lu Su-bi lagi, sikap gagah dan perbawa pada air
mukanya seketika sirna tak berbekas, seringainya dingin: "Kongcu-ya, Toa-sio-cia, harap tanya
siapa di antara keluarga kalian yang pegang jabatan tinggi dalam kerajaan?"
Lu Su-bi gusar bentaknya: "Kau membual apa, memangnya kau sangka kami ini anjing alapalap
seperti tampangmu ini?"
Boh Cong-tiu tertawa dingin, katanya: "Kalau toh kalian tidak punya keluarga yang menjabat
pangkat di kerajaan, mengandal apa kau hendak mengorek keteranganku" Kukira kalian putra
putri pejabat mana yang menggunakan kekuasaan main tindas kepada orang lain!"-Maklumlah
Boh Cong-tiu paling takut orang lain memakinya "anjing alap-alap" karena selama ini ia
beranggapan bahwa Pakkiong Bong adalah sahabatnya belaka.
Mendengar kata-kata orang, Lu Su-bi jadi ragu-ragu dan kuatir salah memukul orang baik,
katanya: "Kalau kau bukan anjing alap-alap kerajaan, bolehlah kami bicara secara gamblang,
ayahku adalah Kim-to Lu Siu-gun, dia adalah sukoku Song Theng-siau. Siapa kau, sudilah
mengenalkan dirimu?"
Tak nyana Boh Cong-tiu enak-enak menggoyangkan kipasnya seperti tidak acuh terhadap
ayahnya dan Song Theng-siau, malah katanya dingin: "Lu Siu-gun atau Song Theng-siau apa
segala, aku tidak pernah dengar. Kalian berani menyalahi aku, sekarang baru hendak mencari
muka kepadaku ya" Begitupun baik, lekaslah kalian minta maaf kepadaku, nanti kubiarkan kalian
pergi!" Song Theng-siau menjadi gusar, dampratnya: "Keparat ini tentu bukan orang baik-baik, siausumoay,
kau mundurlah, biar kulabrak dan meringkusnya."
Boh Cong-tiu tertawa lebar, ujarnya: "Kau bocah ini memang pintar mengagulkan diri, berani
kau hendak meringkus aku" Memangnya kau punya kepandaian sejati" Lebih baik kalian berdua
maju bersama saja!" Bukan kepalang gusar Song Theng-siau, "Sret" kontan ia menusuk dengan pedangnya seraya
membentak: "Baik, biar kau belajar kenal akan kepandaianku ini."
Enteng saja kipas Boh Cong-tiu menyampuk, ia tangkis pedang Song Theng-siau miring ke
samping, katanya: "O, ilmu pedangmu ini.lumayan juga, tapi untuk bertanding dengan aku,
sedikitnya kau perlu belajar lagi sepuluh tahun!"
Tujuan Song Theng-siau sebetulnya hendak menusuk Hiat-to lawan dan meringkusnya hiduphidup,
maka ia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Meski demikian, tusukan jurus pedangnya
yang ganas dan cepat ini, kena disampuk miring dan menyelonong ke samping oleh kipas lawan
yang biasa saja, mau tidak mau mencelos hatinya. Dari kaget ia menjadi gusar, sedikit pun ia tidak
berani pandang enteng lawannya lagi, "Sret" beruntun tiga kali pedangnya menyerang dengan
gencar. Kipas Boh Cong-tiu tiba-tiba terbuka, dan mendadak dilipat lagi, dengan mudah satu persatu ia
punahkan serangan gencar pedang Song Theng-siau, meskipun Song Theng-siau sudah
mengerahkan segala kemampuannya, sedikit pun ia tidak bisa mengambil keuntungan.
Sebentar saja Boh Cong-tiu sudah dapat menyelami inti sari permainan pedang dan asalusulnya,
sambil ngakak ia melipat kipasnya, lalu berkata: "Nona ini memuji ilmu pedang warisan
keluargamu, kulihat sedikit pun tiada menunjukkan sesuatu yang menakjubkan! Baik, supaya kau
tahu di luar langit masih ada langit, orang pandai ada yang lebih pandai, biar kuajarkan kau
beberapa jurus!" Kipasnya menotok ke depan, ternyata kipasnya yang pendek itu ia gunakan
sebagai pedang, langsung menusuk Hiat-to Ki-ti-hiat di lengan bawah Song Theng-siau.
Permainannya ini tidak begitu aneh, yang aneh bahwa jurus yang dia mainkan justru baru saja
dilancarkan oleh Song Theng-siau untuk menyerang dirinya, malah kelihatannya lebih matang,
lebih indah dan lihay dari permainan Song Theng-siau sendiri. Ternyata Boh Cong-tiu memang
berotak cerdas, ia paling ahli dan pandai meniru atau mencuri belajar ilmu orang lain.
Song Theng-siau tinggi hati dan angkuh, mana ia sudi dipermainkan begitu rupa" Tapi
kepandaian silat sejati Boh Cong-tiu memang lebih tinggi dari dirinya, terpaksa ia harus
menumpahkan seluruh perhatian untuk menghadapi lawan, meskipun darah bergolak dan amarah
tak tertahankan, tidak sempat lagi ia adu mulut sama musuh.
Lambat laun semangat tempur Song Theng-siau semakin goyah dan hati pun tidak tentram. Lu Subi
berteriak: "Suko, awas!"-
Maka terdengarlah "Cras" lengan bajunya sudah tertusuk berlubang oleh ujung kipas Boh Congtiu, untung
ia sendiri bisa bergerak gesit dan merubah permainan dengan cepat, dengan sejurus Che-heng-to-cwan
sambil berkelit ia balas menyerang, sehingga ia luput dari totokan lawan yang mengarah jalan darahnya.
"Nona Lu," ujar Boh Cong-tiu tertawa, "Sukomu tidak becus lagi, marilah kau maju membantu."
Memang Lu Su-bi sudah bermaksud maju, mendengar kata-katanya ini, tidak ayal lagi ia lantas mencabut
pedang, katanya: "Betul, menghadapi anjing alap-alap seperti kau, kenapa harus bicara aturan kangouw
segala." Ia tahu watak Song Theng-siau, maka sebelum turun tangan, ia harus mencari alasan yang tepat
untuk membantu sukonya ini, supaya orang tidak kehilangan muka dan merasa gengsinya direndahkan.
Boh Ceng-tiu lantas meniru nada perkataannya: "Betul, nona Lu memang berpandangan lebih tajam, tahu
bahwa apa yang kukatakan tidak salah, memang sukomu sekarang sudah kepayahan!"
Lu Su-bi segera berseru memperingatkan: "Song-suko, dia hendak memancing kemarahanmu, jangan
kau tertipu olehnya!"
Kepandaian sejati Lu Su-bi tidak lebih unggul dibanding Song Theng-siau, tapi ginkang dan
gerak-gerik tubuhnya jauh lebih tinggi dan lincah, dari kiri ia menyerang dengan jurus Hong-hongcan-
sik lalu dari kanan merangsak dengan jurus Hian-niau-hoat-sa, kedua golok panjang
pendeknya berbareng membacok Boh Cong-tiu. Terpaksa Boh Cong-tiu harus memecah
perhatiannya untuk menghadapinya, lekas kipasnya mengebas dan terayun keluar, sekaligus ia
punahkan kedua serangan golok panjang pendek Lu Su-bi. Song Theng-siau jadi berkesempatan
balas menyerang lebih gencar juga, kini ia menempatkan diri dalam posisi yang lebih
menguntungkan. Dengan cermat dan penuh perhatian Boh Cong-tiu melayani keroyokan gencar mereka berdua,
diam-diam ia perhatikan jalan permainan ilmu golok Lu Su-bi, batinnya: "Ngo-hun-toan-bun-to
ajaran Kim-to Lu Siu-gun memang tidak bernama kosong, untunglah meski nona cilik ini sudah
mendapat warisan murni ajaran golok keluarganya, kematangan latihannya masih terpaut amat
jauh." Diam-diam ia sudah punya pegangan dan keyakinan akan dirinya, tiba-tiba kipasnya terjulur
ke depan lalu membabat miring, itulah salah satu jurus dari Ngo-hun-toan-bun-to dari warisan
ajaran keluarga Lu yang dinamakan Thi-gu-keng-te.
Sudah tentu Lu Su-bi amat kaget, ilmu goloknya ini sudah dihafalkan betul-betul di luar kepala
secara reflek ia lantas gunakan jurus-jurus untuk melayani dan mengunci serangan ini, tajam
goloknya terjungkit naik terus diganti dengan jurus Ki-hwe-liau- thian.
Tak nyana Boh Cong-tiu memang sefigaja meniru-niru saja, di saat kipasnya hampir saja
beradu dengan golok lawan, mendadak ia pun merubah permainannya, kipasnya dilonjorkan
merata menggunakan tenaga tuntunan, ia sedikit mengetuk di punggung golok Lu Su-bi, tak kuasa
bertahan golok panjang Lu Su-bi ikut terulur keluar dan "Trang" kebetulan membentur pedang
panjang Song Theng-siau. Boh Cong-tiu terbahak-bahak, serunya: "Nona Lu, kenapa kau bantu aku malah" Ah, tahulah
aku, kau benci sukomu dan ingin pinjam golok membunuhnya bukan?"
Merah padam muka Lu Su-bi, bentaknya: "Omong kosong!" Berbareng golok pendek
ditusukkan, tipu serangannya ini sekaligus dikombinasikan dengan gerakan tubuh Menyelinap
Kembang Mengitari Pohon, sebat sekali ia berputar ke belakang Boh Cong-tiu, langsung menusuk
ke Hong-hu-hiat di punggung orang. Punggung Boh Cong-tiu seolah-olah seperti tumbuh mata,
sambil membungkuk badan ke depan, lututnya ditekuk sambil melangkah maju pula, maka
tusukan Lu Su-bi mengenai tempat kosong. Boh Cong-tiu tidak hiraukan dirinya lagi, kipasnya
dikem-bang tutupkan tidak menentu, khusus ia menyerang Song Theng-siau dengan sengit,
sehingga Song Theng-siau mencak-mencak kerepotan.
Dengan mengembangkan gin-kang Mengitari Pohon Menyelinap Kembang, bagai bayangan
mengikuti bentuknya Lu Su-bi mengikuti di belakang Boh Cong-tiu dengan ketat, golok
panjangnya, segera menusuk dengan kekerasan ke punggung orang, namun selalu terpaut satu
dua dim dan tidak mengenai sasarannya.
Melihat ginkaijgnya lumayan, Boh Cong-tiu tidak berani meremehkan dia, kalau terdesak
terpaksa ia balikkan tangannya menyam-puk atau menangkis dengan kipasnya, katanya tertawa:
"Tipu seranganmu ini memang tidak salah, jauh lebih mantap dan baik dari sukomu yang goblok
dan telur busuk ini." Setelah memunahkan sejurus serangan Lu Su-bi, ia membalik mencerca
kepada Song Theng-siau lagi, ternyata ia jengkel karena Song Theng-siau tadi memakinya sebagai
anjing alap-alap, maka ia berkeputusan untuk menghajar adat kepadanya.
Song Theng-siau terdesak kepayahan pula, jengek Boh Cong-tiu dingin: "Orang she Song,
ayolah kau berlutut dan minta maaf kepadaku, biar kuampuni jiwamu!"
Song Theng-siau semakin berang, dampratnya: "Kentutmu busuk, orang she Song bukan tandinganmu
biar adu jiwa saja, memangnya aku sudi minta ampun kepada anjing alap-alap seperti
tampangmu ini?" "Kau kan belum tahu siapa aku sebenarnya berani kau menista orang semena-mena,
sebetulnya jiwamu tidak terampun lagi. Kupandang muka seorang sahabatmu, maka aku memberi
sedikit kelonggaran kepadamu. Baik, kau tidak mau menyerah, biarlah kupersen sekali tamparan di
pipimu saja." Kipasnya tiba-tiba terbentang lebar menyampuk ke mukanya, sementara kakinya
mendesak maju, telapak tangannya terkembang, betul juga ia sudah bergaya hendak menampar
ke arah Song Theng-siau. Sudah tentu Song Theng-siau tidak tahan dihina, akhirnya ia ambil keputusan nekad juga.
Ternyata di dalam ajaran ilmu pedang warisan keluarga Song Theng-siau ada sejurus tipu pedang
yang mematikan, itulah jurus-jurus untuk gugur bersama dengan musuh. Tapi tipu ini harus
dilancarkan bila lawan merangsak dekat dan memukul dirinya barulah tipu jurus ini bisa
dilancarkan. Di saat Song Theng-siau sudah bertekad untuk adu jiwa, sementara Boh Cong-tiu sudah
kesenangan akan menampar pipi Song Theng-siau, sekonyong-konyong sesuatu kejadian nan
ajaib terjadi, daun-daun pohon di samping mereka tiba-tiba sama rontok tanpa ada angin
menghembus. Daun pohon rontok tanpa dihembus angin, kalau terjadi dalam keadaan biasa tidaklah dibuat
heran, justru ajaib karena beberapa lembar daun-daun yang rontok itu, ada beberapa lembar di
antaranya yang terbang ke arah Boh Cong-tiu, seperti tumbuh mata saja tepat berjatuhan di atas
batok kepala Boh Cong-tiu, namun tiada selembar pun yang mengenai Song Theng-siau.
Beruntun tiba-tiba Boh Cong-tiu merasa batok kepalanya seperti terketuk apa-apa dan rasanya
sakit betul, sehingga pandangannya menjadi gelap, kejadian justru teramat cepat, "Sret" pedang
Song Theng-siau sudah menusuk tiba, meskipun kepandaian mendengar angin membedakan
senjatanya sudah cukup tinggi dan lihay dan gerakan kelitnya pun cepat "Cras" lengan kirinya
tergores sobek memanjang oleh pedang Song Theng-siau, malah melukai sedikit kulit lengannya
dan berdarah. Luka-luka ringan ini tidak menjadi soal baginya, yang membuatnya betul-betul terperanjat
adalah beberapa daun pohon yang dapat memukul batok kepalanya dan menimbulkan rasa sakit
ini, mengandal latihan lwekangnya sendiri, orang dapat melukai dirinya cukup dengan hanya daun
pohon saja, itulah semacam ilmu sakti dari bulim yang sering didongengkan orang.
Konon bila lwekang murni seseorang sudah dilatih mencapai puncak kemurnian, segala benda
yang diraih seenaknya, dapat digunakan untuk melukai atau membunuh jiwa orang. Ilmu silat
sakti yang ajaib ini, oleh kaum persilatan sering didongengkan sebagai kepandaian yang
dinamakan Memetik Daun Kembang Beterbangan, melukai orang,Jiwa melayang.
Boh Cong-tiu adalah tokoh silat maha tinggi yang lihay, meskipun tidak sampai terenggut
jiwanya, namun beberapa daun pohon itu cukup membuat kepalanya pusing dan pandangan
menjadi gelap, keruan hatinya amat kaget, pikirnya: "Tokoh manakah yang mampu memiliki
lwekang sedemikian tinggi pada jaman ini?" Dalam jalan pikirannya, hanya dua orang saja yang
mampu memiliki tingkat lwekang setinggi itu, orang pertama adalah suheng Kim Tiok-liu, yaitu
Kang Hay-thian, seorang yang lain adalah tokoh misterius yang berulang kali selalu mempersulit
dirinya dan tidak pernah unjukkan dirinya itu. Sepak terjang Kang Hay-thian biasanya suka
terangterangan, Boh Cong-tiu yakin pasti bukanlah perbuatannya, maka kemungkinan besar adalah
perbuatan tokoh misterius yang menakutkan itu.
Karena terluka oleh tusukan pedang Song Theng-siau, terpaksa Boh Cong-tiu main mundur,
sementara tokoh misterius itu tidak muncul, Boh Cong-tiu jadi berpikir: "Agaknya orang itu hanya
memberi peringatan saja kepadaku, supaya aku mundur teratur. Apa boleh buat, dengan
kehadirannya di sini, terpaksa aku mengaku kalah sekali ini." Karena pikirannya ini, ia tidak berani
bertempur lama-lama lagi, tiba-tiba ia lancarkan serangan gertakan kosong, lalu putar badan
melarikan diri. Song Theng-siau insyaf kemenangannya secara untung-untungan saja, maka ia pun
tidak berniat mengejar. Lu Su-bi menjadi girang, katanya: "Song-suko, memang kau lebih hebat, akhirnja toh dia lari
men-cawat ekor!" Song Theng-siau tertawa getir, ujarnya: "Siau-sumoay, jangan kau tempel emas di mukaku,
memangnya kau tidak lihat, secara diam-diam ada orang membantu kita."
Lu Su-bi pura-pura kaget, katanya: "Apa ya, aku kok tidak tahu."
Sebetulnya dia sudah tahu dan pura-pura pikun saja.
Song Theng-siau segera berseru lantang: "Entah cianpwe manakah yang membantu, silakan
keluar terima pernyataan terima kasih kami." Suasana dalam hutan sunyi lengang, yang terdengar
hanyalah gema suaranya. Setelah kejadian ini barulah mereka teringat untuk menyusul Beng Goan-cau, maka bergegas
mereka kembangkan ilmu ginkang masing-masing, tidak lama kemudian dari balik hutan sebelah
depan sana, mereka mendengar benturan senjata keras. Ternyata Tan Kongsi dan Cau Ci-hwi
yang sedang berlatih itu pun kepergok oleh musuh tangguh.
Musuh yang mereka hadapi adalah dua jagoan kelas tinggi dari pasukan bhayangkari, seorang


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bernama Ang Tay-siang, seorang yang lain bernama Han Ciok, mereka sama menerima perintah
komandan bhayangkari Sat Hok-ting ikut membantu gerakan Ciok Tio-ki.
Di dalam kalangan pasukan bhayangkari Han dan Ang dua orang termasuk jago-jago kelas
satu, kepandaian mereka malah setingkat lebih tinggi dari Cheng dan Ih, dua orang yang
membantu Ciok Tio-ki itu. Ilmu yang diyakinkan Han Ciok adalah Tay-cui-pi-jiu, kekuatan
pukulannya dapat membelah batu cadas yang keras. Sementara Ang Tay-siang mahir
menggunakan Kau-kun, silat kera j ang mempunyai tiga puluh enam jalan, ilmunya ini
mengutamakan kelincahan dan kegesitan untuk merobohkan lawan dengan sergapan yang berarti.
Di saat Cau Ci-hwi kaget, lapat-lapat didengarnya suitan panjang yang dikeluarkan oleh Siau
Gwat-sian, keruan ia tambah kaget, teriaknya: "Tan-toako, kau dengar, agaknya Gwat-sian
mengundang kita, mungkin rumah kami kedatangan musuh juga." Memangnya ia sudah terdesak,
untuk bicara ia harus memecah perhatian lagi, maka jurus permainan pedangnya menjadi kacau
balau. Ang Tay-siang terloroh-loroh, katanya: "Budak mungil, memang tidak salah rekaanmu, sejak
tadi orang-orang kami sudah meluruk ke rumahmu sana! Kupandang mukamu yang ayu ini,
lekaslah menyerah saja, supaya tidak menderita."
"Kentutmu busuk!" maki Cau Ci-hwi gusar. Ingin ia membebaskan diri dari libatan musuh terus
lari ke arah rumah, namun ginkang Ang Tay-siang lebih unggul, tampak empat penjuru
sekelilingnya melulu bayangan Ang Tay-siang yang berkelebatan, ke mana pun ia lari tahu-tahu
mesti dicegat oleh Ang Tay-siang.
Lwekang Tan Kong-si jauh lebih kuat dari Cau Ci-hwi, sifatnya pun lebih tabah dan tenang,
bukan saja ia sudah mendengar suitan minta bantuan Siau Gwat-sian, lapat-lapat ia pun sudah
dengar suara pertempuran seru di dalam rumah sana. Meski ia kaget, namun tidak menjadi
gugup. Dalam pertarungan sengit itu, mendadak telapak tangan Han Ciok memukul datang. Tidak
mundur Tan Kong-si malah memapak maju, "Sret" pedangnya menusuk kepada lawan, jurus ini
dinamakan Sungai Es Mulai Membeku, khusus untuk memunahkan rangsakan keras lawan.
Perubahan tipu-tipu jurus Ping-cwan-kiam-hoat memang tiada batasnya, meskipun Han Ciok
berada di pihak yang lebih unggul, tidak bisa tidak ia harus bertindak hati-hati juga, bentaknya:
"Anak muda, mau adu jiwa ya?" Sebat sekali ia berkelit miring, cepat sekali jari-jari tangannya
sudah mencengkeram dan menangkap, ia tetap me-rangsak lebih dulu, cuma rang-sakannya mau
tidak mau kena terhalang dan menjadi kendor.
Mendapat kesempatan, lekas Tan Kong-si melompat keluar kalangan, sekali ayun tangan,
beruntun ia timpukkan tiga butir peluru es, dua butir disambitkan ke arah Ang Tay-siang, sebutir
lagi mengarah Han Ciok. Ping-pok-sin-tan (peluru es) dibuat dari inti es yang paling keras setelah tertimbun di dalam
lapisan salju yang paling dalam, begitu kena angin lantas lumer, hawanya yang dingin dapat untuk
melukai musuh. "Wut, wut'!" beruntun dua kali Han Ciok lekas hantamkan pukulannya
menyampuk hawa berkabut dingin, namun tak urung berbangkis satu kali. Lwekang Ang Tay-siang
lebih rendah lagi, tak tertahan ia bergidik gemetaran seluruh badan.
Untunglah mendapat bantuan peluru es Tan Kong-si, barulah Cau Ci-hwi kuat bertahan lebih
lama, sehingga tidak sampai teringkus oleh Ang Tay-siang, namun ia tidak kuasa membebaskan
diri dari libatan orang. Lain pula dibanding senjata rahasia umumnya, peluru es ini disambitkan satu hilang satu.
Waktu keluar rumah Tan Kong-si hanya membawa sebotol kecil peluru esnya itu, sampai sekarang
tidak sedikit yang sudah dia gunakan, kini hanya tinggal tujuh butir lagi, peluru es paling-paling
hanya bertahan sementara dan tidak mungkin untuk mengalahkan musuh, kalau pertempuran
semakin lama, akhirnya pasti pihak dirinya yang bakal rugi sendiri. Di saat ia gelisah itulah,
mendadak Han Ciok menyerang dengan jurus gertakan terus melompat mundur tiga langkah,
bentaknya: "Kawan dari mana itu."
Song Theng-siau dan Lu Su-bi memburu datang dengan langkah lebar, belum lagi bentakan
Han Ciok lenyap, mereka berdua sudah muncul bersama.
Theng-siau tahu kepandaian Han Ciok lebih tinggi, segera ia berkata: "Siau-sumoay, bantulah
nona itu." Sembari bicara ia melesat memapak ke arah Han Ciok, "Sret" belum lagi sampai
pedangnya sudah menusuk lebih dulu, jengek-nya: "Aku ini tukang memanah alap-alap dan
menjagal anjing, kau kebentur di tanganku, anggap saja memang saat naasmu telah tiba." Tadi ia
dihina dan diledek oleh Boh Cong-tiu, rasa gusar dan penasarannya, kebetulan ia tumpahkan
kepada Han Ciok seluruhnya, maka pedangnya ia tarikan dengan gencar seperti hujan badai,
setiap jurus serangannya amat ganas.
"Bocah keparat, berani bermulut besar, sudah bosan hidup kau!" Han Ciok membentak gusar,
sementara dalam hati amat kaget menghadapi rangsakan hebat pedangnya. Kalau dalam keadaan
biasa, melawan Song Theng-siau satu persatu, masing-masing mempunyai keahlian sendirisendiri,
mungkin sulit ditentukan pihak mana bakal unggul dalam waktu dekat. Tapi ia sudah
bertempur melawan Tan Kong-si, harus mengerahkan Lwekang untuk menahan serangan Pingpok-
sintan lagi, sedikit banyak hawa murninya sudah terkuras sebagian, seumpama Tan Kong-si
tidak mengeroyok bersama Song Theng-siau, ia pun tidak akan kuat bertahan lama-lama.
Lu Su-bi meluruk kearah Ang Tay-siang, sebentar saja ia sudah unggul di atas angin, silat yang
diyakinkan Ang Tat-siang adalah silat kera yang mengutamakan kelincahan dan kegesitan
berlompatan. Tapi latihan gerak tubuh Menyelinap Kembang Mengitari Pohon Lu Su-bi lebih
enteng dan tangkas lagi, kedua pihak sama mengembangkan kelincahan dan kegesitan bergerak,
selalu Lu Su-bi bisa menempatkan diri pada posisi yang lebih menguntungkan lebih dulu, sehingga
lawan selalu terdesak terkekang gerak geriknya. Peduli ke mana pun ia berputar dan berlompatan,
sinar golok yang menyilaukan mata selalu mengancam kepala dan tenggorokannya.
Setelah menenangkan hati dan menenteramkan napas, Cau Ci-hwi lantas tertawa geli, serunya:
"Bagus, labrak dan gasak dia saja, inilah yang dinamakan membalas dengan caranya sendiri."
Belum lenyap suaranya, terdengarlah Ang Tay-siang berteriak, disusul darah muncrat ke manamana,
larilah dia terbirit-birit. Ternyata ia sudah terkena bacokan golok Lu-Su-bi. Han Ciok sendiri
sudah tidak kuat melawan, melihat temannya ngacir, hatinya makin gugup. Song Theng-siau
membentak: "Lari ke mana?" Dengan sejurus Pek-hong-koan-jit ujung pedangnya bergetar
menusuk, kebetulan kedua telapak tangan Han Ciok menari terbang pulang pergi, telapak tangan
kanan menusuk miring sedang telapak tangan kiri melindungi dada, jurus ini sekaligus ia gunakan
kombinasi pertahanan dan penyerangan, sebetulnya merupakan tipu lihay untuk melayani
serangan dan balas menyerang, namun karena hatinya gugup, maka permainannya tidak sepenuh
hati sehingga hasilnya pun nihil. Justru Song Theng-siau bertindak lebih cepat selangkah,
meskipun tusukan pedangnya tidak menembusi dadanya, tapi telapak tangannya berlubang
ditembusi pedang. Tergentak oleh tenaga pukulan lawan badan Song Theng-siau sendiri pun
tergeliat dan mundur dua tindak. Lekas Han Ciok berlari lintang pukang di belakang Ang Taysiang.
Setelah melampiaskan rasa jengkel dan penasarannya, Song Theng-siau bergelak tertawa.
"Song-toako," kata Tan Kongsi, "musuh tidak usah dikejar. Dengarkah kau suara pertempuran
di sana" Ayolah lekas kita pulang membantu Hun-lihiap!"
Di saat mereka bicara, Lu Su-bi mendekam menempelkan kuping di tanah, mendengarkan
dengan seksama, katanya: "Benar, di sana ada suara pertempuran." Mendadak ia mencelat
bangun, teriaknya: "Celaka, Beng-suko menghadapi musuh tangguh, goloJc cepatnya semakin
kendor dan lamban, mungkin bisa celaka." Sejak kecil Lu Su-bi ikut ayah bundanya kelana di
kangouw, ia sudah berhasil meyakinkan kepandaian mendekam di tanah membedakan suara, di
dalam tanah seluas satu dua li, kalau ada orang bertempur, ia bisa mendengar dan tahu senjata
apa yang digunakan oleh kedua pihak, malah jurus-jurus permainan orang pun dapat ia bedakan
dengan baik. Golok cepat Beng Goan-cau adalah ajaran ayahnya, ilmu yang dia paling hafal, maka
sekali dengar lantas ia tahu pihak mana lebih kuat dan siapa di pihak terdesak, seperti mata
menyaksikan sendiri. Beng Goan-cau yang terluka sudah roboh di tanah, sepasang Boan-koan-pit Ciok Tio-ki dan
ruyung baja Ih Tiang-kiat sudah merangsak tiba bersama. Beng Goan-cau kertak gigi, batinnja
menjerit: "Aku tidak boleh mati!" Maka sambil bergelindingan di tanah ia melancarkan Gun-tetong-
to-hoat untuk menghadapi serbuan kedua musuhnya. Sementara Siau-hujin sedang repot
menghadapi serangan Coh Thian-hiong, tidak sempat datang membantu dirinya. Hanya Siau
Gwat-sian seorang yang sempat menolong, tapi toh bantuannya tidak berarti. Karena di dalam
pertarungan awut-awutan itu, kepandaian Siau Gwat-sian adalah yang terlemah, bahwasanya Ciok
Tio-ki tidak ambil perhatian kepadanya, hanya ruyung Ih Tiang-kiat saja sudah cukup membuat
dirinya terdesak di luar kalangan. Dengan menarikan ruyungnya, bukan saja Ih Tiang-kiat berhasil
menghadang Siau Gwat-sian, malah sesekali masih sempat menyabet ke arah Beng Goan-cau.
Bagaimanapun Beng Goan-cau bukan manusia besi, setelah terluka kehabisan darah harus
bertempur mati-matian sekuat tenaga pula, lambat laun pikirannya semakin kabur, sekonyongkonyong
lambaian baju putih berkibar di depan matanya, lapat-lapat masih sempat dilihatnya
seorang gadis memburu datang ke arah dirinya, tak tertahan Beng Goan-cau lantas berteriak: "Cilo,
kau, kenapa kau keluar?" Seketika semangatnya bangkit, tenaganya pun berlipat ganda, sinar
goloknya laksana kilat menyambar datar berkembang ke empat penjuru, kedua potlot Ciok Tio-ki
yang hampir saja menusuk Hiat-tonya, mendadak kena tersampuk balik oleh golok cepatnya.
Terdengar gadis itu berteriak: "Beng-suko, inilah aku, siau-sumoay, Theng-siau pun sudah
tiba!" Baru sekarang Beng Goancau melihat jelas, ternyata bukan Hun Ci-lo, tapi adalah siau-sumoaynya
Lu Su-bi. Sambil menarikan sepasang goloknya, Lu Su-bi menerjang datang, golok pendek menindih
ruyung lawan, sementara golok panjangnya membacok ke arah Ih Tiang-kiat. Karena kalah cepat
dan tidak terduga, Ih Tiang-kiat tidak berhasil merintangi orang, tahu-tahu lawan sudah menyerbu
ke tengah gelanggang. "Trang, trang" kedua golok panjang pendek itu berbareng menangkis pergi
sepasang potlot Ciok Tio-ki.
Kejadian berlangsung amat cepat, dalam pada itu Song Theng-siau, Tan Kong-si dan Cau Cihwi
pun sudah menyusul tiba. Cau Ci-hwi mencabut pedang membantu Siau Gwat-sian
menghadapi Ih Tiang-kiat. Song Theng-siau dan Tan Kong-si maju bersama membantu Siau-hujin
menempur Thong-thian-hou Coh Thian-hiong.
Senjata yang digunakan Tan Kong-si adalah Peng-pok-ham-kong-kiam, jari tengah Coh Thianhiong
menjentik, "Creng" ia selentik pedang orang mental ke samping, seketika terasa hawa
dingin merembes melalui ujung jarinya sehingga telapak tangannya terasa linu dan mati rasa,
keruan kagetnya bukan main, lekas ia kerahkan hawa murni mengusir hawa dingin itu keluar dari
telapak tangannya. "Sret" pedang Song Theng-siau pun sudah menusuk tiba, keruan ia mencak-mencak kerepotan
dibuatnya. Suara orok jang baru lahir terdengar nyaring dari dalam kamar, Siau-hujin berhasil
membebaskan diri dari libatan Coh Thian-hiong, terus berlari menerobos ke dalam kamar.
Nyo Bok sedang menjambak rambut Hun Ci-lo, tiba-tiba dilihatnya darah berceceran, disusul
orok kecil itu pun lahir menangis, sesaat ia berdiri melongo hambar, telapak tangannya terhenti di
tengah udara, entah harus turun tangan atau tidak. Meskipun rasa curiganya masih menghantui
sanubarinya, rasa jelus membakar dada, tapi harus membunuh seorang yang baru saja melahirkan
betapapun hatinya tidak tega.
Waktu Siau-hujin menerjang masuk, kebetulan melihat adegan yang genting ini, keruan
kagetnya bukan main. Meski Nyo Bok sendiri sedang terlongong kebingungan, tapi sorot matanya
yang mendelik beringas belum lagi padam.
Lekas Siau-hujin menenangkan hati, bentaknya: "Nyo Bok, apa yang kau lakukan" Inilah
anakmu sendiri!" Nyo Bok tersentak kaget, gumamnya: "Anakku, anakku?" Tiba-tiba sedikit pulih kesadarannya,
pikirnya: "Benar, dia meninggalkan aku belum genap delapan bulan, ia bertemu dengan Beng
Goan-cau setelah meninggalkan rumah, seumpama orok ini lahir lebih cepat dari waktunya,
pastilah bukan anaknya Beng Goan-cau."
Delapan tahun sejak menikah dengan Hun Ci-lo, ia tidak dikaruniai seorang anak pun, relung
hatinya yang paling dalam, selalu iri dan jelus kepada putranya Beng Goan-cau. Kini diketahuinya
bahwa anaknya sendiri berada di ujung kakinya, rasa kasih sayang terhadap anak sendiri seketika
berkobar setelah pikirannya sadar.
Lekas ia lepas rambut Hun Ci-lo, baru saja ia membungkuk hendak membopong orok kecil itu,
mendadak terasakan mukanya pedas dan panas, ternyata Siau-hujin sudah menempiling kedua
pipinya, tahu-tahu orok itu pun sudah terebut olehnya.
Siau-hujin, lantas memaki sambil menudingnya: "Kau tidak setimpal menjadi ayah bocah ini,
kau menggelindinglah pergi!"
"Siau-hujin," rengek Nyo Bok memohon, "berilah kesempatan aku melihat anakku!"
Siau-hujin tidak tega, dari keja-' uhan ia angsurkan orok dalam pelukannya, katanya: "Semula
aku ingin bantu kau, siapa tahu ternyata kau betul-betul menjadi bangsat, membawa anjing alapalap
kemari hendak mencelakai jiwa istri dan anakmu sendiri. Memangnya kau setimpal menjadi
suami Ci-lo, setimpal menjadi ayah anak yang baru lahir ini" Sudah, kau sudah melihatnya, lekas
kau menggelinding pergi, aku perlu merawat mereka ibu beranak!"
Nyo Bok meraba kedua pipi sendiri yang bengap, mendadak kedua tangan terayun pula dengan
suara nyaring ia gampar kedua pipi sendiri pula beberapa puluh kali, teriaknya: "Omonganmu
betul, aku tidak setimpal menjadi suaminya, tidak setimpal menjadi ayah anakku sendiri"
"Wut" sekali pukul ia bikin daun jendela semplak berantakan terus menerobos keluar dan
melarikan diri dari belakang rumah.
Beberapa jurus Lu Su-bi menghadapi serangan Ciok Tio-ki, sehingga Beng Goan-cau sempat
ganti napas, bentaknya sambil melompat bangun: "Kalian para anjing alap-alap ini, semua
menggelinding pergi!" Dalam berkata-kata itu, beruntun goloknya membacok cepat berantai
sebanyak tujuh delapan belas kali kepada Ciok Tio-ki. Meski gerak-geriknya tidak leluasa, tapi
bacokan goloknya itu lebih berat dan kuat dari sebelumnya.
Semula Ciok Tio-ki mengharap Nyo Bok keluar membantu dirinya, Beng Goan-cau sudah
terluka, dengan bertambah seorang pembantu, siapa menang siapa kalah toh masih sulit
ditentukan, tak nyana Nyo Bok memang sudah keluar, tapi bukan membantu dirinya malah tinggal
merat alias melarikan diri. Mendengar Nyo Bok menjebol jendela terus lari dari belakang rumah,
sungguh benci dan sengit betul dibuatnya, tapi apa boleh buat, terpaksa ia bertahan beberapa
jurus pula, suatu ketika ia merang-sak dengan serangan gertakan, terus putar tubuh melarikan diri
pula. Dua orang jagoan bhayangkari Cheng Gun sudah terluka dan merat, Ih Tiang-kiat pun tidak
berani bertempur lama-lama, lekas ia pun mengikuti jejak rekan-rekannya, lari sipat kuping.
Kini tinggal Coh Thian-hiong seorang yang masih melawan mati-matian, "Sret" pedang Song
Theng-siau segera menusuk, Coh Thian-hiong mengebutkan lengan bajunya menggubat
pedangnya, sekonyong-konyong cakar jarinya menyelonong tiba hendak men-"cengkeram tulang
pundaknya. Jurus serangan ini dilancarkan dengan resiko besar. Ternyata Coh Thian-hiong sendiri
pun bisa melihat gelagat, situasi sudah tidak menguntungkan, sudah tentu ia pun berusaha lari.
Tapi pertempuran jago-jago kelas tinggi, tidak gampang untuk melarikan diri, maka dalam saatsaat
genting itu, mendadak ia melancarkan serangan berbahaya, bahwasanya ia merangsak maju
untuk mundur, hal ini hanya untuk mengaburkan pandangan dan perhatian lawan supaya dirinya
leluasa mengundurkan diri. Jikalau lawan tidak kuasa menghadapi serangannya, betul-betul kena
tercengkeram, kebetulan malah dirinya bisa menawan musuh sebagai sandera
Saat mana Beng Goan-cau dengan pandangan berkilat sedang mengawasi pertempuran di
sebelah sini, gerak-geriknya memang tidak leluasa, mendadak ia menghardik: "Rase tua, rasakan
golokku ini!" Golok pusakanya segera, ditimpuk-kan dengan sekuat tenaga Bagaikan kilat
menyambar goloknya itu berdesir kuat menerjang ke punggung Coh Thian-hiong.
Coh Thian-hiong tidak berani menangkis atau menyambuti, jiwa sendiri lebih penting, tanpa
sempat melukai lawan, lekas ia miringkan badan. "Brak" tiba-tiba sebelah kakinya menendang
sebuah meja di dekatnya ke belakang untuk menangkis luncuran golok itu. "Cras!" golok pusaka
Beng Goan-cau tembus sampai ke gagangnya. Sementara tabasan pedang Song Theng-siau
berhasil memapas putus lengan bajunya saja, urat nadi di pergelangan tangan orang pun kena
tergores oleh ujung pedangnya sehingga keluar darah. Saking kesakitan Coh Thian-hiong
menggerung keras, tanpa hiraukan kedudukan dan gengsi sendiri sebagai tokoh kenamaan, ia
jatuhkan diri terus menggelundung dua kali keluar pintu, terus angkat langkah seribu.
Lu Su-bi bertepuk sambil bersorak senang: "Beng-suko bagus sekali sambitan golokmu tadi.
Song-suko, meski tabasan pedangmu tidak berhasil menamatkan jiwanya, kiranya cukup
membuatnya kapok juga."
Segera Lu Su-bi mencabut keluar golok pusaka itu terus diangsurkan kepada Beng Goan-cau,
katanya: "Marilah lekas masuk menengok keadaan Hun-cici!"
Beng Goan-cau menerima goloknya, dengan hambar ia mengin-til di belakang orang, Waktu Lu
Su-bi menyingkap kerai, tiba-tiba Beng Goan-cau tersadar: "Aku tidak boleh masuk," lekas ia
menghentikan langkah. Tampak Siau-hujin berdiri di ambang pintu, katanya tertawa: "Ibu beranak sama selamat,
kalian tidak usah kuatir, orok laki-laki yang gemuk sekali, Gwat-sian suruhlah ibu inang membawa
sebaskom air panas kemari."
Pelan-pelan Hun Ci-lo mulai siuman dari pingsannya, begitu sadar ia lantas bertanya:
"Bagaimana keadaan di luar?"
Lu Su-bi menjawab lebih dulu: "Kawanan anjing alap-alap itu sudah digebah lari semua. Aku
adalah Lu Su-bi, hari itu kita pernah bertemu, apa kau masih ingat?"
Hun Ci-lo tersenyum, katanya: "Aku tahu kau adalah Goan-cau punya sumoay, Theng-siau juga
datang bukan?" "Dia sengaja datang kemari bersamaku untuk menengok kau, dia ada di luar."
"Sayang sekarang aku tidak bisa menemui mereka, bibi, bantulah aku melayani para tamu."
"Pekbo, keluarlah tidak usah kuatir, aku bisa menjaga Hun-cici baik-baik."
Hun Ci-lo menggenggam tangannya, katanya: "Siau-sumoay, terima kasih. Goan-cau dan
Theng-siau adalah sahabat baikku, biar aku meniru mereka memanggilmu siau-sumoay puja, kau
tidak marah bukan. Sepuluh tahun yang lalu, Goan-cau sudah sering menyinggung kau kepadaku,
kini setelah bertemu, kau tampak jauh lebih elok dari apa yang pernah dia lukiskan- Theng-siau
dapat hidup sampai tua bersama kau, sungguh beruntung."
"Hun-cici, kau pun jauh lebih cantik lebih rupawan dari Hun-cici yang pernah kubayangkan
sebelum ini." Waktu Siau-hujin keluar dari kamar, dilihatnya Beng Goan-cau berdiri di pojokan sana dengan
mendelong, keruan ia jadi kikuk dan risi, lekas ia pura-pura batukbatuk kecil serta sapanya: "Beng
Tayhiap, terima kasih akan bantuanmu sehingga Ci-lo dan anaknya selamat. Bagaimana lukalukamu
sendiri, aku punya obat mujarab."
Beng Goan-cau tersentak dari lamunannya, setelah menenangkan hati, ia menjawab: "Tidak
jadi soal. Tapi tempat ini kalian tidak bisa tinggal lama-lama lagi. Siau-hujin, adakah tempat lain
untuk pindah sementara waktu?"
"Kawanan anjing alap-alap itu pulang pergi dari dan ke Pakkhia paling tidak memerlukan tiga
empat hari, saat ini belum terpikir olehku tempat yang cocok, tapi tidak perlu dikuatirkan, kalian
istirahat dulu di sini, besok baiklah kita putuskan bersama, Gwat-sian, Ci-hwi, bantulah aku
menanak nasi." Lekas-lekas Beng Goan-cau berkata: "Tidak usah repot-repot, kami sendiri membawa
rangsum." Baru mereka bicara sampai di sini, di luar tiba-tiba terdengar derap langkah kuda yang berlari
kencang dibedal menuju ke tempat kediaman mereka Siau-hujin menegakkan alis, katanya: "Wah,
cepat betul kawanan anjing alap-alap itu kembali!"


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hanya seekor kuda dengan seorang penunggang saja. Kukira belum tentu dari kawanan anjing
alap-alap," demikian ujar Beng Goan-cau.
Belum habis percakapan mereka, derap kuda sudah berhenti di depan rumah, terdengar suara
lantang berkata di luar pintu: "Han Wi-bu sengaja datang mohon bertemu dengan Siau-hujin.
Harap tanya apakah Beng Goan-cau Beng Tayhiap berada di sini?"
Sungguh di luar dugaan semua orang bahwa yang datang ternyata adalah congpiauthau dari
Tin-wan Paukiok Han Wi-bu.
Semasa hidup suami Siau-hujin pernah bermusuhan dengan ayah Han Wi-bu, tempo hari
orang-orang Tin-wan Piaukiok membantu Nyo Bok mengeroyok Hun Ci-lo dan Miao Tiang-hong
lagi, hal itu disaksikan sendiri oleh Song Theng-siau, kalau Siau-hujin mendengus gusar, adalah
Song Theng-siau sudah menyeletuk lebih dulu: "Sungguh kebetulan kedatangan keparat ini, Bengheng,
kau tahu tidak..." Cepat Beng Goan-cau menggoyangkan tangan, katanya lirih: "Kalian belum tahu sekarang Han
Wi-bu sudah menjadi sahabat baik kita. Siau-hujin, harap pandanglah mukaku, sambutlah dia
sebagaimana mestinya."
Siau-hujin serba salah, tapi ucapan Beng Goan-cau tidak bisa tidak harus ia dengar segera ia
manggut-manggut sahutnya lirih: "Biar kulihat dulu apa maksud ke datangannya."
Pintu besar memang terbuka, setelah Coh Thian-hiong dan lain-lain lari, pintu itu masih belum
sempat ditutup. Dari ruang tamu, Siau-hujin sudah melihat bayangan Han Wi-bu yang sedang
menambatkan kudanya dan berdiri di luar pintu. Segera Siau-hujin menyambut dingin: "Entah
angin apa yang menghembus Han-cong-piauthau dari kota raja, silakan masuk!"
Beng Goan-cau segera datang mendekat, katanya: "Dari mana kau bisa tahu aku berada di sini,
apa ada urusan penting?"
"Kau masih ingat murid Nyo Bok yang bernama Bun Seng-liong itu?" ujar Han Wi-bu. "Aku
sudah mengusirnya dari piaukiok. Tapi dari mulutnya aku pun mendapat berita, kuketahui bahwa
mereka akan datang ke Sam-ho untuk menangkap kau." Mereka yang dimaksud oleh Han Wi-bu
sudah tentu adalah para kawanan anjing alap-alap anak buah Sat Hok-ting dan Pakkiong Bong.
"Kiranya begitu, terima kasih akan perhatian dan pemberian tahu Han-congpiauthau."
Sebaliknya, rasa permusuhan Siau-hujin masih belum hilang, katanya tawar: "Wah bikin capai
Han-congpiauthau saja untuk memberi kabar dari tempat jauh, ketahuilah bahwa kawanan anjing
alap-alap itu sudah kita gebah lari semua."
"Aku tahu," ujar Han Wi-bu. "Di depan gunung kulihat mereka lari terbirit-birit, namun mereka
tidak melihat aku." Kiranya, karena melihat mereka melarikan diri dari jurusan sini maka Han Wibu
baru bisa menemui tempat Siau-hujin ini. Berkata Han Wi-bu lebih lanjut: "Tapi bukan saja aku
hendak menyampaikan berita ini, masih ada pula urusan yang lebih penting."
"Urusan penting apa, silakan duduk dan bicara," tanya Beng Goan-cau.
Han Wi-bu duduk sambil celi-ngukan, katanya: "Song Tayhiap juga di sini, kebetulan malah.
Masih ada nona Lu bukan?"
"Untuk apa kau mencari dia?" tanya Song Theng-siau dingin.
"Dia sedang di dalam," Beng Goan-cau memberi tahu, "sedang repot agaknya, biar sebentar
kupanggil dia keluar."
"Tidak perlu susah-susah suruh dia keluar. Nanti saja kau sampaikan kepadanya," kata Han Wibu
lebih lanjut. "Siau Ci-wan Siau-toako dan Leng Thiat-jiau Leng-toako ada titip orang membawa
kabar, karena tidak tahu jejak kalian, maka orang itu minta aku menyampaikan kabar ini kepada
kalian supaya lekas-lekas pulang ke Siau-kim-jwan." Lalu ia keluarkan sebatang anak panah,
membuktikan bahwa omongannya bukan bualan belaka.
Samar-samar Song Theng-siau tahu bahwa Siau Ci-wan ada sedikit persahabatan dengan ex
cong-piauthau dari Tin-wan Piaukiok yang terdahulu (jadi ayah Han Wi-bu, Han Ki-goan), tapi ia
tidak tahu bahwa Han Wi-bu ada hubungan rahasia dengan orang-orang dari Siau-kim-jwan juga,
Eng Djiauw Ong 25 Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen Pendekar Gelandangan 1
^