Pencarian

Kelana Buana 20

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 20


maka setelah melihat anak panah itu, rasa permusuhannya seketika buyar, katanya: "Entah ada
urusan genting apa di Siau-kim-jwan sehingga kita diminta segera pulang?"
"Hal itu aku tidak tahu. Tapi dari nada bicara orang suruhan itu, agaknya sudah didapat kabar
angin, bahwa tentara kerajaan dalam tahun ini juga akan dipersiapkan untuk menggempur Siaukim-
jwan secara besar-besaran. Pendatang itu pun berkata, bila urusan Beng Tayhiap belum
selesai, boleh ditunda beberapa waktu lagi baru pulang, tapi jangan sampai terlambat, sampai
permulaan musim semi tahun yang akan datang."
Setelah melahirkan, Hun Ci-lo amat letih, sedang ia tiduran sambil memejamkan mata,
didengarnya suara asing sedang bicara di luar, tanyanya: "Siapakah yang sedang bicara di luar?"
"Han-congpiauthau dari Tin-wan Piaukiok," sahut Lu Su-bi.
"Ah, kiranya dia Apa yang dia katakan?"
Lu Su-bi tidak berani bicara terus terang, maka ia menjawab samar-samar saja: "Tidak apa-apa
dia bersahabat dengan Beng-toako, di kota raja ia dengar kabar Beng-suko di sini, maka ia
menyusul kemari untuk menyambanginya. Yang dibicarakan sih bukan soal-soal penting. Kau tidak
perlu banyak pikiran, tidurlah saja!"
Hun Ci-lo tahu urusan tentu tidak segampang itu, mana dapat ia pulas, sambil pura-pura tidur
ia pasang kuping, kebetulan didengarnya pembicaraan di luar menyinggung soal Siau-kim-jwan
yang mulai genting, minta Beng Goan-cau lekas pulang ke sana, keruan hatinya terkejut, pikirnya:
"Jangan lantaran urusanku di sini sampai mereka menelantarkan urusan besar."
Orok yang baru lahir belum bisa minum air susu, baru saja disuapi beberapa tetes air setengah
hangat, mendadak menangis lagi. Kata Hun Ci-lo: "Aku tidak bisa tidur, mari biar aku yang
menyuapi." Mendengar suara tangis bayi, semakin gundah hati Beng Goan-cau, batinnya: "Ci-lo belum
mendapat tempat yang betul-betul aman, bagaimana aku bisa meninggalkan dia pada waktu ini?"
Tak nyana Han Wi-bu malah yang membereskan persoalan ini, katanya: "Kukira tempat ini
kalian tidak bisa menetap lama-lama lagi. Siau-hujin, maaf akan kecero-bohanku, adakah kau
sudah punya tempat tujuan lainnya?"
Siau-hujin melengak, meski ia punya rasa permusuhan, namun orang baik hati bertanya,
terpaksa ia menyahut tawar: "Aku seorang nyonya tua yang sempit pergaulan, terpaksa bertindak
menurut keadaan, pasrah akan nasib saja!"
Berkata Han Wi-bu: "Aku punya seorang teman yang ada sedikit hubungan juga dengan Siau
dan Leng dua Toako dari Siau-kim-jwan. Orang ini bernama Lau Im-long, tinggal di Pak-bong-san,
dari sini kira-kira dua hari perjalanan. Dia menetap di tempat yang sepi jarang bergaul dengan
para sahabat kangouw umumnya, Pakkiong Bong dan anak buahnya pastilah tidak akan tahu akan
dirinya Lebih baik sementara kalian menyingkir ke sana dulu."
"Ada tempat sebaik itu, sudah tentu baik sekali. Tapi entah dia mau percaya tidak kepada kita?"
tanya Beng Goan-cau. "Hal ini Beng-heng tidak usah kuatir, aku sudah menulis sepucuk surat bagi kalian."
Sebetulnya Siau-hujin tidak sudi menerima kebaikan orang, tapi Beng Goan-cau sudah
menerima suratnya itu serta menyatakan terima kasih. Terpaksa Siau-hujin berkata: "Hancongpiauthau
demikian simpatik membantu kita, sungguh hatiku menjadi tidak enak." Kata Han
Wi-bu: "Mendiang ayah dulu ada permusuhan dengan almarhum suamimu, setiap waktu wanpwe
selalu ingin menyelesaikan pertikaian ini, pernah pula mohon bantuan Cau Siok-toh losiansing
untuk menjelaskan kepada hujin, sekarang aku hanya berkesempatan mohon maaf saja, harap
hujin tidak berkecil hati."
Betapapun Siau-hujin seorang yang berjiwa lapang berwatak jujur, setelah mendapat muka,
dengan riang hati ia berkata: "Kejadian lalu kami sendiri pun punya kesalahan, urusan lama tidak
perlu diungkit-ungkit lagi."
Han Wi-bu menjura hormat katanya: "Terima kasih akan budi kebaikan hujin tidak mengulur
panjang persoalan ini, aku mohon diri lebih dulu."
Tersipu-sipu Siau-hujin membalas hormat, katanya: "Beng-ya, harap wakilkan aku mengantar
tamu." Beng Goan-cau mengantar sampai di luar pintu, katanya: "Han-congpiauthau, adakah orang
tahu kau datang kemari?"
"Hanya dua piausu tua yang tahu, mereka adalah orang-orang lama sejak Cay-cong-piauthau
dulu, pastilah tidak akan membocorkan rahasia ini."
"Aku sih kuatir bila sampai diketahui oleh Pakkiong Bong, kau pasti kerembet urusan."
Han Wi-bu bergelak tertawa, katanya: "Dulu aku banyak melakukan perbuatan gegabah, kini
mendapat peneranganmu, hatiku sungguh senang sekali, siapa lagi yang peduli akan kawanan
anjing alap-alap itu" Seumpama Pakkiong Bong menyegel Tin-wan Piaukiok-ku, aku pun tidak
peduli lagi." Selanjutnya ia berkata pula: "Dulu demi keselamatan perusahaan, aku banyak berbuat
yang tidak-tidak, merendahkan diri terima ditekan dan melakukan banyak kesalahan. Kini aku
sudah sadar, seseorang hidup dalam masa-masa perjuangan seperti ini, yang terpenting bukan di
mana kita berdiri, akan tetapi ke jurusan manakah kita akan pergi. Seumpama tidak bisa
membawa nama harum bagi generasi mendatang, paling tidak biarlah sebelum menjelang ajal ini,
janganlah sampai menjadi menyesal bila teringat akan perbuatan sendiri selama ini. Kalau Tin-wan
Piaukiok bisa dipertahankan itulah baik, kalau tidak bisa ya apa boleh buat!"
Sekembali dari mengantar tamu Beng Goan-cau tuturkan kata-kata Han Wi-bu kepada semua
orang, hadirin sama terharu. Katanya pula: "Soal pindah tidak boleh berlarut-larut. Apa perlu
menyiapkan sebuah kereta untuk Hun Ci-lo?"
"Aku memang hendak masuk melihat keadaannya, tapi bukankah kalian pun sudah siap untuk
berangkat?" Di saat Beng Goan-cau masih bimbang, mendadak terdengar suara Lu Su-bi berkata: "Angin di
"luar menghembus keras, tak usah kau keluar."
Lalu disusul suara Hun Ci-lo berkata: "Baik, kalau begitu singkaplah kerainya, biar aku bicara
beberapa patah kata kepada mereka."
Waktu kerai tersingkap, tampaklah seraut wajah Hun Ci-lo yang pucat lesi, hanya sepasang
matanya saja yang masih berkilat terang, agaknya membawa sedikit haru dan bersemangat.
Berkata Hun Ci-lo pelan-pelan: "Goan-cau, Theng-siau, aku berterima kasih akan persahabatan
kalian, aku tahu kalian tidak akan mau meninggalkan aku dalam waktu demikian ini, aku sendiri
pun mengharap bisa berkumpul sedikit lama dengan kalian, tapi kalian punya urusan yang lebih
penting, jangan lantaran aku sampai menggagalkan urusan besar. Kata-kata Han Wi-bu memang
patut dicontoh, seseorang paling tidak janganlah sampai membuat diri sendiri menyesal menjelang
ajalnya, kalau toh aku menahan kalian demi kepentingan pribadiku, aku pun akan menyesal
seumur hidupku." Beng Goan-cau amat terharu, katanya tegas: "Baik, setelah kuantar kau sampai di Pak-bongsan
segera aku pulang. Theng-siau dan Siau-sumoay boleh berangkat lebih dulu".
Tapi Hun Ci-lo tetap tidak setuju. Akhirnya Lu Su-bi membujuk: "Dari sini ke Pak-bong-san
hanya memakan dua hari perjalananan, Han Wi-bu pernah berkata, Beng-toako boleh pulang
sedikit terlambat. Biarlah sekali ini ia membantu kau untuk yang terakhir."
Siau-hujin ikut membujuk: "Kau sendiri baru melahirkan dan dilarang menggunakan tenaga, di
dalam perjalanan ke Pak-bong-san ini perlu ada orang yang harus melindungi. Aku seorang nenek
tua masakah mampu melindungi kalian ibu beranak. Ci-lo, jangan kau terlalu kukuh."
"Aku mendapat tugas dari Ling dan Siau dua Toako untuk mencari hubungan dengan berbagai
eng-hiong dari segala kalangan, sebetulnya aku hendak pergi ke karesi-denan Bit-hun untuk
menyambangi seorang Tian-loenghiong, kebetulan seperjalanan, tertunda satu dua hari kukira
tidak menjadi soal." Ternyata dari karesidenan Sam-ho ke karesidenan Bit-hun memang harus
lewat Pak-bong-san. Hun Ci-lo sendiri betapa tidak ingin berkumpul lebih lama dua hari dengan Beng Goan-cau,
mendengar penyelesaiannya ini, ia pun tidak banyak kata lagi.
"Bibi, silakan kau masuk menjaga Hun-cici, sekarang juga aku minta diri," Lu Su-bi berkata.
Memang dalam sehari ini Hun Ci-lo beruntun mengalami beberapa kali pukulan batin sehingga ia
melahirkan sebelum waktunya, meski ia punya dasar silat yang lumayan, tak urung kondisi
badannya menjadi lemah juga, saat mana napasnya sudah memburu dan tidak kuat berdiri tegak
pula. "Ci-lo," ujar Siau-hujin menghela napas, "kau harus menjaga dan merawat badanmu sendiri,
urusan lain tidak perlu kau pikirkan!" Belum habis ucapannya mendadak suaranya melengking
tinggi, berteriak berbarengan dengan Beng Goan-cau: "Di atap rumah ada orang!"
Karena kedua kakinya terluka, Beng Goan-cau tidak leluasa mengembangkan ginkang, Siauhujin
sendiri harus menjaga keponakannya, maka mereka berdua tidak bisa memburu keluar.
Berseru Song Theng-siau: "Hanya anjing alap-alap saja biar wanpwe seorang yang
membereskan." Ia mengira yang datang pastilah kawanan anjing alap-alap pula kalau tidak
kenapa harus main sembunyi-sembunyi mencuri dengar pembicaraan orang di atap rumah" Maka
sambil melolos pedang, bersama Lu Su-bi segera ia mengejar ke luar.
Diam-diam Beng Goan-cau merasa heran, batinnya: "Jago-jago Pakkiong Bong atau Sat Hokting
rasanya tiada yang punya ginkang sedemikian tingginya. Tapi meski ginkangnya tinggi belum
tentu lwekangnya ampuh. Theng-siau dan Siau-sumoay terang tidak akan berhasil mengejarnya,
tapi dengan gabungan mereka berdua rasanya tidak gampang dikalahkan." Maklumlah bagi
seorang yang lwekangnya sudah tinggi, pernapasannya pasti ringan tidak mengeluarkan suara.
Mungkin orang itu sudah sekian lamanya mencuri dengar di atap rumah, ada beberapa kali
pernapasannya rada berat bersuara, maka ketahuan,oleh Siau-hujin dan Beng Goan-cau yang
memiliki ketajaman pendengaran.
Dugaan Beng Goan-cau memang tepat, ginkang orang itu memang jauh lebih tinggi dari Song
Theng-siau dan Lu Su-bi. Begitu mereka mengejar keluar, hanya tampak sesosok bayangan putih
berkelebat hilang masuk ke hutan, gerak badannya gesit dan cepat luar biasa, sampai pun gemuk,
kurus, tinggi atau rendah perawakan orang itu pun tidak mereka lihat jelas, apalagi mengenali
lelaki atau perempuan. Song Theng-siau segera membentak: "Berani main selundupan, kenapa tidak berani unjukkan
diri?" Sekejap mata, bayangan putih itu sudah tidak kelihatan pula. Timbul rasa curiganya,
katanya: "Ginkang orang ini sedemikian lihay, mungkinkah dia orang yang diam-diam membantu kami
menggebah lari Boh Cong-tiu itu?"
"Biarlah kukejar lebih cepat." Ginkang Lu Su-bi memang lebih unggul dari Song Theng-siau,
tanpa merasa kejar punya kejar, akhirnya Song Theng-siau ketinggalan di belakang.
Tapi meski ginkangnya lebih tinggi dari Song Theng-siau, bila dibanding bayangan putih itu,
terpautnya masih cukup jauh, setelah mengejar sekian lamanya, masih juga tidak terlihat
bayangan putih itu. Waktu ia berpaling ke belakang bayangan Song Theng-siau pun tidak
kelihatan pula. Tiba-tiba ia tersentak sadar, karena terlalu bernafsu, ia sudah mengejar paling
sedikit ada puluhan li jauhnya.
"Cianpwe kosen itu tidak sudi unjukkan diri, kukejar terus pun tiada gunanya, lebih baik pulang
saja, supaya Song-Suko tidak kuatir." Baru saja Lu Su-bi berniat kembali, bayangan putih itu
mendadak meluncur balik pula bagaikan angin lesus berputar-putar, tahu-tahu sudah berada di
hadapannya. Lu Su-bi kegirangan serunya: "Terima kasih akan budi pertolongan cianpwe,
terimalah hormat terima kasihku!"
Setelah bayangan putih itu meluncur tiba di hadapannya, dilihatnya seorang gadis remaja
berpakaian serba putih berparas ayu molek usianya paling-paling sebaya dengan dirinya sungguh
tidak ia sangka, Cianpwe kosen yang dianggap sebagai penolong itu ternyata adalah seorang gadis
remaja, keruan ia melengak dibuatnya.
Gadis baju putih itu juga tercengang, tanyanya: "Apa katamu?"
"Tadi pagi di sini kami bertemu dengan seorang anjing alap-alap yang berilmu silat tinggi,
beruntunglah ditolong oleh seorang kosen, entah apakah cici?"
"O, ada kejadian itu" Orang macam apakah lawanmu itu!" balas tanya gadis baju putih, secara
tidak langsung ia sudah menjawab bahwa penolong secara diam-diam itu terang bukan dirinya.
"Seorang laki-laki yang berpakaian seperti sastrawan, tangannya menyekal kipas lipat. Kipas
lipat itu dia gerakkan sebagai senjata."
Gadis baju putih itu bersuara heran sambil mengerut alis matanya: "Kiranya dia!"
"Jadi cici kenal orang itu, apakah dia anjing alap-alap?"
"Aku pun tidak tahu betul tidak, bukankah kau siau-sumoay Beng Goan-cau yang bernama Lu
Su-bi?" "Hah, kau pun kenal dengan Beng-sukoku, siapa kau?"
Gadis baju putih manggut-manggut, katanya: "Benar, aku kenal Beng-sukomu. Aku kembali
memang ingin tanya kau apakah Beng Goan-cau terluka, lukanya berat tidak?" Melihat Beng Goancau
tidak ikut mengejar keluar, maka ia mengira pastilah luka-lukanya tidak ringan.
"Dia hanya terluka ringan saja, cuma sementara tidak bisa mengembangkan ginkang, setelah
diobati kira-kira dua hari pasti sudah sembuh."
Gadis baju putih menghela napas, agaknya ia menjadi lega.
"Cici, kau kenal Beng-suko, dia terluka, kenapa kau tidak pergi menengoknya?" tanya Lu Su-bi.
Gadis baju putih menggeleng, seakan-akan ada sesuatu yang sedang dipikirkan, katanya
perlahan: "Nona Lu, aku mohon kepada kau, kuharap jangan kau beritahu kepada Beng-suko, bila
aku sudah datang dan bertemu kau di sini."
"Kau sudah amat kenal dengan Beng-suko bukan?" tanja Lu Su-bi.
Gadis baju putih manggut-manggut. Lu Su-bi menjadi heran, tanyanya pula: "Lalu kenapa pula
kau harus main sembunyi-bunyi?"
Sesaat melenggong baru gadis baju putih berkata: "Hun-cici itu patut dihargai dan dipuji
bukan" Sayang aku hanya mendengar suaranya, namun tidak sempat melihat atau bertemu
dengan dia," kembali bicaranya ngelantur. Meski kata-katanya bukan jawaban langsung bagi
pertanyaan Lu Su-bi, tapi gadis remaja yang mulai dimabuk cinta pertama, perasaan hatinya pasti
sama, kilas lain Lu Su-bi seolah-olah mendadak dapat 'memahami' jalan pikiran orang.
Katanya terkikik geli sambil angkat kepala: "Tapi aku masih belum tahu siapakah kau
sebenarnya." "Aku boleh beritahu kepada kau, tapi kuharap kau tidak mem-beritahu orang lain. Aku she Lim,
bernama Bu-siang." "Hah, kiranya dia!" Lu Su-bi amat terkejut, batinnya: "Ternyata dia inilah Lim Bu-siang, ciangbunjin
Hu-siang-pay yang memegang peranan penting di dalam pertemuan besar orang-orang
gagah di Thay-san, tak heran ilmu silatnya sedemikian lihaynya."
"Ai, aku paham sekarang. Mungkin dia ada dengar kawanan anjing alap-alap akan meluruk
kemari, maka secara diam-diam melindungi Beng-suko. Baru sekarang ia mengerti bahwa hati
Beng-suko sudah diserahkan kepada Hun-cici." Setelah mengetahui jalan pikiran Lim Bu-siang,
mau tidak mau hati Lu Su-bi ikut men-delu juga, pikirnya: "Sungguh seorang nona yang lincah dan
mungil, seperti Hun-cici, selalu memikirkan kepentingan orang lain lebih dulu."
Waktu ia tersentak sadar dari lamunannya ternyata Lim Bu-siang sudah tidak kelihatan
bayangannya. -ooo0dw0ooo- Tiga hari kemudian, di atas pegunungan Pak-bong-san Beng Goan-cau sedang menempuh
perjalanan seorang diri. Cuaca hari ini kelihatan amat cerah dan sejuk sekali. Tapi kabut gelap
yang menyelimuti sanubari Beng Goan-cau masih belum sirna juga. Sungguh ia tidak menduga
dalam keadaan seperti itu dirinya bisa bersua dengan Hun Ci-lo, berkumpul hanya dua tiga hari
saja. Sudah tentu ia merasa gegetun dan sedih pula.
Di saat Beng Goan-cau beranjak dengan pikiran melayang itulah, mendadak didengarnya
seseorang bergelak tertawa, serunya: "Beng Tayhiap, selamat bertemu, selamat bertemu."-
Tampak dari depan mendatangi seorang tua berbaju hijau. Beng Goan-cau kenal kakek tua baju
hijau ini bukan lain adalah tokoh kenamaan dari Tong-keh-sam-lo di Sucwan yang bernama Tong
Thian-chong. Keluarga Tong di Sucwan turun-temurun merupakan ahli-ahli senjata rahasia, keluarga mereka
terbagi tiga marga, yang tertua bernama Tong Thian-heng, yang kedua adalah Tong Thian-chong
ini, sementara yang ketiga bernama Tong Thian-ce. Tiga bersaudara ini dijuluki Tong-keh-sam-lo.
Terutama kepandaian senjata rahasia Tong Thian-chong justru yang paling lihay di antara tiga
bersaudara ini. Beng Goan-cau pernah melihatnya sekali waktu pertemuan di Thay-san tempo
hari. Tahu bahwa orang sudah terima menjadi antek kerajaan, segera Beng Goan-cau
menghadapinya dengan sikap dingin: "Tong-losian-sing, kukira pertemuan kita kali ini bukan
secara kebetulan saja bukan?"
Tong Thian-chong menyeringai dingin, katanya sinis: "O, bukan kebetulan" Lalu bagaimana
anggapanmu?" "Seorang laki-laki sejati tidak perlu main bohong, bicaralah saja terus terang. Tong-losiansing,
bukankah kau kemari untuk mencegat aku?"
Tong Thian-chong berkakakan, serunya: "Beng Tayhiap, tepat sekali terkaanmu. Hari itu aku
belum sempat mohon pengajaran ilmu silatmu, hari ini kebetulan dapat bertemu di sini, biarlah
hari ini aku mohon petunjukmu."
Naik darah Beng Goan-cau, jengeknya sambil melolos golok: "Baik, silakan maju, memangnya
kau sangka aku orang she Beng takut?"
Tanpa banyak bacot lagi mereka segera berhantam. Tong Thian-chong bersenjata sebatang
cangkul garu, yang peranti untuk menotok jalan darah juga, dalam tiga puluh jurus mendatang,
"Trang" salah satu gigi dari cangkul garunya kena terpapas kutung oleh golok pusaka Beng Goancau.
Sebat sekali Tong Thian-chong melompat keluar tiga tombak jauhnya dari gelanggang
pertempuran, melihat Beng Goan-cau tidak merangsak maju, setelah berdiri tegak ia bergelak
tertawa; serunya: "Golok cepat Beng Tayhiap memang tidak bernama kosong. Tapi aku orang tua
bukan seorang ahli dalam main senjata tajam, beranikah kau bertanding senjata rahasia dengan
aku?" Ternyata Tong Thian-chong melihat gerak-gerik Beng Goan-cau yang kurang gesit dan tangkas,
maka rasa takutnya menjadi berkurang, ia yakin bahwa Beng Goan-cau pasti tidak akan mampu
lolos dari taburan senjata rahasianya.
Beng Goan-cau tertawa dingin: "Selama hidupku belum pernah menggunakan senjata rahasia,
silakan kau keluarkan seluruh keahlian warisan leluhurmu."
"Baik sekali. Beng Tayhiap, perlu kuperingatkan kepada kau, semua senjata rahasiaku sudah
kububuhi racun jahat jang mematikan lho!"
Lenyap suaranya, kedua tangannya lantas terayun bersama. Bwe-hoa-ciam, Toh-kut-ting, paser
besi, Ouw-tiap-piau dan berbagai senjata rahasia lainnya, sekaligus ia berondong keluar laksana
hujan deras meluruk ke arah Beng Goan-cau.
Beng Goan-cau berdiri membelakangi sebuah pohon besar, untuk mengurangi kekuatan dan
tekanan serangan senjata rahasia musuh yang mengurung dirinya dari berbagai penjuru, ia
kembangkan ilmu goloknya yang cepat, sinar goloknya berkelebat naik turun ke empat penjuru,
beruntun terdengar suara trang-tring yang sambung menyambung tak putus-putus, Bwe-hoa-ciam
terpapas hancur, Toh-kut-ting terpukul jatuh menjadi dua potong, paser besi dan Ouw-tiap-piau
serta senjata berat lainnya kena disampuk dan ditangkis balik. Semua senjata rahasia yang
disambitkan Tong Thian-chong tiada satu pun yang mengenai dirinya.
"Kepandaian bagus! Nih sambutlah Thi-lian-cuku ini!" Beruntun tiga kali tangannya terayun,
namun tidak tampak ada senjata rahasia yang menyerbu datang.
"Apa yang sedang kau lakukan!" hardik Beng Goan-cau. Belum lenyap suaranya, beruntun


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar suara "Creng, creng", bagaikan bintang sapu tiga Thi-lian-cu menerjang tiba, yang atas
mengarah Hun-bun-hiat, tengah mengarah Ciat-im-hiat di bawah pusar paling bawah mengincar
Ih-gi-hiat di bawah ketiak kiri. Tiga sasaran ini menjadi formasi segi tiga, ketiga Thi-lian-cu ini
meluncur sama cepatnya, melesat tiba bersama pula, sehingga membikin dia kerepotan juga, tidak
mungkin di dalam satu jurus ilmu pedangnya ia berhasil memukul jatuh ketiga Thi-lian-cu itu
sekaligus. "Serangan bagus!" Beng Goan-cau menghardik memuji, goloknya membabat miring, cepat pula
terus disendai, sementara jarinya mendorong di punggung goloknya, maka goloknya itu dengan
sendirinya berputar dari kiri ke kanan setengah lingkaran, dan secara kebetulan menangkis jatuh
Thi-lian-cu yang mengincar Ih-gi-hiat di bawah ketiak kirinya, tahu-tahu golok sudah kembali di
tangannya pula. Sementara dua Thi-lian-cu yang mengincar bagian tengah dan atas, sudah
terpukul jatuh pula di saat goloknya memapas miring dan berputar tadi. Ternyata Thi-lian-cu yang
mengarah Hun-bun-hiat itu terletak pada puncak dari formasi segi tiga itu, merupakan sudut
mematikan dari posisi serangan itu, kecuali menggunakan tipu goloknya yang menakjubkan itu,
tidak mungkin dirinya bisa luput dari ancaman elmaut.
Karena serbuan senjata rahasia yang gencar ini Beng Goan-cau sampai mencak-mencak
dibuatnya, jiwanya hampir saja disambar elmaut. Di saat-saat keadaan yang kritis menghadapi
bahaya ini, tiba-tiba didengarnya Tong Thian-chong berteriak: "Bocah keparat, berani kau bermain
kampakdi depan seorang ahli!"
Keruan Beng Goan-cau melengak heran, batinnya: "Siapakah yang dia maksudkan?" Maka
terdengarlah suara tang tang ting ting yang bersambungan, belum lagi enam senjata rahasia Tong
Thian-chong tiba di depan mukanya, tahu-tahu sudah terpukul jatuh di tengah jalan.
Lekas Tong Thian-chong berpaling muka, kebetulan sebutir kerikil sedang menyambar tiba ke
arah mukanya, sejak mula Tong Thian-chong sudah mengenakan sarung tangan yang terbuat dari
kulit menjangan, sekali raih, ia sambut kerikil kecil itu, lalu dengan seksama ia pandang ke arah
datangnya kerikil ini, bentaknya: "Kalau berani silakan keluar, marilah kita coba-coba kepandaian
siapa lebih tinggi!"
Tampak sesosok bayangan putih berkelebat di dalam hutan. Tong Thian-chong segera
membentak keras, tujuh macam senjata rahasia yang berlainan segera diberondong ke arah sana.
Tapi kejadian seperti terjadi berulang kembali, baru saja sambitan senjata rahasianya tiba di
tengah jalan, dari dalam hutan sekaligus terbang keluar tujuh butir batu kecil-kecil, kebetulan
memukul rontok ketujuh senjata rahasianya.
Keruan Tong Thian-chong menjadi heran, bukan saja ia heran akan kelihayan timpukan senjata
rahasia lawan yang hebat, ia pun heran akan kekuatan timpukan lawan. "Memangnya pertama
tadi orang sengaja hendak mengelabui aku, lwekangnya belum dikerahkan betul-betul?"
Ternyata waktu ia menyambuti kerikil pertama tadi, ia sudah dapat mengukur sampai di mana
kekuatan lawan. Maka tiga di antara ketujuh senjata rahasia yang dia sambitkan tadi, ia kerahkan
tenaga lebih kuat, ia gunakan gerakan tunggal dari ajaran keluarga Tong mereka, sebelumnya
sudah dia perhitungkan dengan sempurna begitu senjata rahasia kedua pihak saling bentur di
tengah jalan, ia pinjam tenaga pantulan dari benturan keras itu untuk melukai lawan. Siapa tahu,
justru di luar perhitungannya, kekuatan timpukan senjata rahasia lawan ternyata jauh lebih besar
dari rekaannya semula, maka semua senjata rahasia timpukannya semua kena dipukul rontok oleh
sambitan kerikil lawan sedikit pun tidak menimbulkan tenaga pantulan yang diharapkan.
Sudah tentu kejut Tong Thian-chong bukan kepalang, tidak berani menimpukkan senjata
rahasianya pula, ia malah ngacir terbirit-birit ke arah yang berlawanan. Maklumlah kepandaian
senjata rahasia lawan tidak lebih asor dari dirinya, apalagi lwekang orang jelas lebih unggul,
seumpama mereka harus bertanding ilmu senjata rahasia, Tong Thian-chong akhirnya pasti
dikalahkan juga. Keruan Beng Goan-cau kegirangan, teriaknya: "Apakah Utti-toaso di sana?" Tiada suara
sambutan dari dalam hutan, sekali berkelebat bayangan putih itu lantas tidak kelihatan lagi.
Keruan Beng Goan-cau menjadi heran, pikirnya: "Apakah pandanganku yang kabur, kalau benar
dia seorang perempuan, kecuali Utti-toaso, siapa pula dia?"
Pandangan mata Beng Goan-cau memang teramat jeli, di waktu bayangan putih itu berkelebat,
lapat-lapat ia sudah lihat bayangan itu seperti bentuk perempuan. Soalnya jaraknya lebih jauh dari
Tong Thian-chong, maka ia tidak melihat jelas. Seperti diketahui istri Utti Keng yaitu Jian-jiu-koanim
Ki Seng-in merupakan tokoh kosen yang ahli dalam bidang senjata rahasia, perempuan yang
dapat mengalahkan Tong Thian-chong dalam bidang senjata rahasia, menurut perkiraan Beng
Goan-cau tiada lain kecuali Ki Seng-in.
Sesaat Beng Goan-cau melongo, batinnya: "Kalau Utti-toaso tidak mungkin, dia main sembunyibunyi
tidak mau menemui aku." Maka segera ia berseru lantang pula: "Entah cianpwe manakah
yang sudi membantu, harap sudilah keluar supaya Beng Goan-cau unjuk hormat dan
menyampaikan terima kasih!" Beruntun tiga kali, hutan masih sunyi lengang, tiada terdengar
penyahutan orang. Beng Goan-cau tahu orang itu tidak mau muncul, dikejar ke dalam hutan pun belum tentu bisa
ketemu, terpaksa dengan rasa kecewa ia, menjura dua kali ke arah hutan, dengan hambar ia
meninggalkan tempat itu. Mendadak terdengar seorang bergelak tertawa sambil melangkah keluar, serunya: "Panggilan
sebagai cianpwe kosen segala mana aku berani menerima" Beng-heng, kau terlalu banyak
hormat." Sembari bicara orang itu balas hormat kepada Beng Goan-cau.
Jauh di luar dugaan Beng Goan-cau, orang yang muncul ini ternyata adalah Boh Cong-tiu.
Keruan Beng Goan-cau terkejut, batinnya: "Kenapa bisa dia!" Walau hatinya serba bingung dan
curiga, tapi kenyataan yang muncul di hadapannya ini adalah Boh Cong-tiu, terpaksa ia
kesampingkan berbagai kecurigan-nya, katanya: "Terima kasih akan bantuan Boh-heng, kenapa
Boh-heng bisa datang di tempat ini, sungguh siaute tidak habis mengerti."
"Di kota raja aku bertemu dengan Utti Keng, kukira Beng-heng sudah tahu akan hal ini?"
"Betul, dari berita yang didengar oleh Cay Kin katanya malam itu Utti Tayhiap kepergok oleh
kawanan anjing alap-alap di sebuah rumah makan dan terkepung, untunglah mendapat
pertolongan Boh-heng." Dalam hal ini Beng Goan-cau hanya mengatakan separuh persoalannya
saja, soal yang tidak dia singgung adalah Cay Kin mendapat berita ini dari Kwi-hwe-thio dan Lima-
cu. Sedang menurut berita rahasia yang diketahui Li-ma-cu adalah bahwa sebelumnya Boh
Cong-tiu memang sudah berunding dan main sekongkol dengan Pakkiong Bong, untuk menipu
kepercayaan Utti Keng saja.
"Ah, urusan kecil kenapa harus dipersoalkan" Kejadian waktu itu juga kebetulan saja. Tapi
untung juga ada kejadian kebetulan itu, sebetulnya Utti Tayhiap ada sedikit ganjalan hati dan
sedikit salah paham kepada siaute, salah paham ini akhirnya dapat dibikin terang pula."
Beng Goan-cau masih raguragu, ia tahu salah paham apa yang dimaksud oleh Boh Cong-tiu,
maka ia pura-pura bertanya: "Kabarnya Boh-heng dan Utti Tayhiap akhirnya menerjang masuk ke
markas besar Sat Hok-ting hendak menolong orang, entah di mana sekarang Utti Tayhiap
berada?" "Sungguh mengecewakan, semula kami hendak menolong Li Kong-he, Li Kong-he tidak berhasil
ditolong, Utti Tayhiap malah terluka, situasi di kota raja sedang hangat dan genting, malam itu
juga lantas dia meninggalkan Pakkhia. Kali ini memang aku hendak pergi ke Sam-ho untuk
menyampaikan kabar Utti Tayhiap kepadamu, tak nyana malah bertemu denganmu di sini,
sungguh kebetulan." Lalu ia menambahkan: "Utti Tayhiap sangat kangen kepadamu. Oh, ya, kuda
suri merah pemberiannya itu kenapa tidak kau tunggangi?"
"Kuda itu sudah kuberikan kepada seorang temanku," sahut Beng Goan-cau. Ternyata ia
tinggalkan kuda suri merah itu kepada Hun Ci-lo, tapi karena terhadap Boh Cong-tiu ia masih
belum percaya betul, maka ia tidak menyebut langsung nama Hun Ci-lo, kuatir orang terlalu
banyak tanya. "Beng-heng, apa kau sudah bertemu dengan Song Theng-siau?" Boh Cong-tiu kira kuda itu ia
berikan kepada Song Theng-siau. "Song Theng-siau sudah pergi lebih dulu. Apa Boh-heng ada
melihat dia?" "Betul, beberapa hari yang lalu aku ada melihatnya bersama seorang nona, kudengar nona itu
memanggilnya Song-suko, maka kukira tentulah dia Song Theng-siau adanya. Sayang karena tidak
leluasa waktu itu aku tidak berani menyapa mereka."
"Nona itu adalah sumoayku."
Tahu bahwa orang tidak tahu akan perbuatan dirinya terhadap Song Theng-siau dan Lu Su-bi
tempo hari, Boh Cong-tiu berlega hati, katanya: "Beng-heng, kau hendak ke mana?"
"Aku hendak mencari seorang teman."
"Siapa dia?" "Li-ma-cu, maling sakti yang dijuluki nomor dua di seluruh jagat ini."
Boh Cong-tiu melongo, cepat sekali ia sudah unjuk tawa katanya: "Kiranya Li-ma-cu. Aku tahu
dia, tapi mungkin dia pun ada sedikit salah paham kepadaku?"
"Ada kesalahan paham apa Boh-heng dengan dia?"
"Kalau dibicarakan cukup panjang, marilah bicara sambil berjalan," sembari bicara ia mendekati
Beng Goan-cau lalu berjalan berendeng, pikirnya: "Entah berapa banyak soal yang diketahui oleh
Li-ma-cu tentang hubungan rahasiaku dengan Pakkiong Bong" Apakah
Beng Goan-cau mau percaya akan penjelasanku" Kalau tidak berhasil menipu dia, terpaksa
bekerja tidak kepalang tanggung membekuk dia saja. Setelah kutotok Hiat-tonya, biar kukurung
dia di balai kota karesidenan Bit-hun yang terdekat. Sekaligus aku bisa mendapat pahala dari
Pakkiong Bong." Boh Cong-tiu tahu ilmu silat Beng Goan-cau masih lebih rendah dari dirinya, kini sedang terluka
pula, asal dia bekerja hati-hati lalu membokongnya secara mendadak tentu berhasil. Tapi ia pun
memperhitungkan rencana jangka panjang, lebih baik bila dapat menipu Beng Goan-cau percaya
akan cerita bohongnya, jauh lebih berharga daripada meringkusnya.
Tengah hati menimang-nimang, Boh Cong-tiu mendadak mendengar ada orang seolah-olah
tertawa dingin di pinggir kupingnya, keruan ia tersentak kaget, lekas ia celingukan kian kemari,
batinnya: "Suara tawa ini tidak mirip suara budak busuk itu, memangnya orang misterius itu
pula?" Ternyata orang yang membantu Beng Goan-cau secara diam-diam tadi, sebetulnya bukan Boh
Cong-tiu. Memang waktu itu Boh Cong-tiu sembunyi di dalam hutan, semula ia hendak membantu
Tong Thian-chong secara diam-diam, namun mendadak dilihatnya pula Lim Bu-siang sedang
sembunyi di dalam hutan pula.
Boh Cong-tiu pernah dikalahkan oleh Lim Bu-siang, begitu melihat jejaknya, sudah tentu ia
tidak berani unjukkan diri.
Dia melihat Lim Bu-siang me-nyambitkan batu, sehingga Tong Thian-chong lari ketakutan,
diam-diam ia amat heran dan kaget bahwa Lim Bu-siang ternyata mem-bekal kepandaian senjata
rahasia yang sedemikian lihaynya, saking takut, napas pun ia tidak berani keras-keras.
Setelah melihat Lim Bu-siang pergi jauh, barulah dia berani keluar memalsu diri sebagai
penolong untuk menipu Beng Goan-cau. Tak nyana di saat ia sudah berencana hendak turun
tangan, lapat-lapat kupingnya mendengar tawa dingin itu, keruan Boh Cong-tiu semakin kebatkebit
dan tidak berani sem-barangan bertindak.
Melihat orang celingukan dengan rasa was-was, Beng Goan-cau menjadi heran, tanyanya:
"Boh-heng, apa yang sedang kau cari?"
"Beng-heng, kau tidak mendengar suara apa-apa yang aneh?"
"Ah, tidak!" sahut Beng Goan-cau tercengang, mendadak tergerak hatinya, katanya pula: "Bohheng,
apa kau kira ada orang sembunyi di dalam hutan, mari kita lihat ke sana."
Terang sekali Boh Cong-tiu mendengar suara tawa itu, namun Beng Goan-cau bilang tidak,
keruan rasa kejutnya menjadi-jadi. Di dalam kalangan ilmu silat ada semacam ilmu yang
dinamakan Joan-im-jip-bit (mengirim gelombang suara tinggi), kalau ilmu ini dilatih sampai puncak
yang tertinggi, dalam jarak ratusan langkah dapat mengirim suara kepada sasarannya tanpa bisa
didengar oleh orang ketiga meski orang ini berada di dekatnya. Karena kagetnya itu, Boh Cong-tiu
,lantas berpikir: "Pada jaman ini kecuali Kang Hay-thian dan Kim Tiok-liu, tokoh siapa lagi yang
memiliki kepandaian setinggi ini" Kalau Beng Goan-cau memang sengaja pura-pura tidak
mendengar, itu berarti dia sengaja hendak memancing aku masuk ke sana, supaya mereka
bergabung untuk menghadapi aku."
Boh Cong-tiu menilai jiwa orang dengan watak seorang rendah, mana dia berani masuk ke
dalam hutan" Melihat Beng Goan-cau sedang berdiri di dekatnya, mendadak ia angkat tangannya
terus mencengkeram ke pundak Beng Goan-cau. Dia kira Beng Goan-cau sudah mengetahui kedok
palsunya, oleh karena itu semula ia tidak berani bertindak secara sembrono, kini terpaksa harus
turun tangan dulu lebih menguntungkan.
Keruan Beng Goan-cau amat kaget, bentaknya: "Apa maumu?"
Untung Beng Goan-cau cukup berjaga-jaga, sebagai seorang ahli golok cepat, gerak-geriknya
sudah tentu amat cepat, belum lagi cengkeraman tangan Boh Cong-tiu mengenai tulang
pundaknya, tahu-tahu ia sudah menggunakan Joan-ciang, menepuk ke Ih-gi-hiat di bawah ketiak
Boh Cong-tiu, inilah jurus serangan lihay yang mendesak lawan untuk menyelamatkan diri lebih
dulu. Tepat di saat itu pula, terasa se-gulung angin menyamber tiba, daun pohon beterbangan, ada
beberapa lembar daun yang menyambar lewat menyerempet kulit muka Boh Cong-tiu, sehingga
terasa pedas dan panas. Inilah kepandaian silat tinggi yang dinamakan Memetik Daun Melukai Orang, Kembang Terbang
Menyerang Musuh, beberapa hari yang lalu, di waktu ia bergebrak melawan Song Theng-siau,
dirinya pernah digebah lari terbirit-birit karena timpukan daun terbang oleh tokoh kosen yang
misterius itu. Tak nyana, beberapa hari kemudian, adegan yang sama kini dialaminya pula.
Mana Boh Cong-tiu berani meneruskan niat jahatnya, begitu telapak tangan kedua pihak saling
bentur, "Blang", Boh Cong-tiu hanya tergeliat sedikit, cepat sekali ia sudah angkat langkah seribu.
Kepandaian sejati Boh Cong-tiu memang lebih tinggi dari Beng Goan-cau, untunglah dia
terkejut oleh serangan daun itu, apalagi kaget di saat ia melancarkan serangannya, maka tenaga
dalamnya belum sempat dikerahkan, kalau tidak dengan benturan kedua telapak tangan ini, paling
tidak Beng Goan-cau pasti terluka ringan.
Kepandaian lihay macam Memetik Daun Kembang Terbang itu, hanya bisa dirasakan langsung
oleh orang yang terkena serangan. Oleh karena itu meski Beng Goan-cau mengira ada orang
secara diam-diam membantu dirinya, namun ia masih belum tahu dengan cara apa orang itu
menggebah lari Boh Cong-tiu.
"Siapakah penolong itu?" Beng Goan-cau mereka-reka dalam hati, setelah berpikir sebentar,
mendadak ia mendapat suatu akal.
Dengan langkah pincang dan sempoyongan Beng Goan-cau masuk ke dalam hutan, mulutnya
menggumam: "Celaka, lukaku kambuh lagi, obat tidak kubawa. Ai, terpaksa mencari tempat sepi
untuk istirahat sebentar." Pura-pura tidak hati-hati tersandung batu, tiba-tiba ia menjerit sambil
tersungkur ke depan. Sesuai dengan dugaan Beng Goan-cau, di dengarnya di dalam hutan orang bersuara kuatir,
seorang gadis baju putih segera memburu keluar. Kejut dan girang pula
Beng Goan-cau, teriaknya: "Bu-siang, kaukah ini!" Ia sudah menduga orang sembunyi di dalam
hutan, namun sedikit pun tidak mengira bila Lim Bu-siang adanya.
Kata Lim Bu-siang: "Jangan berdiri, bagaimana luka-lukamu" Biar kuperiksa dulu. Ai, kenapa
kau tidak dengar..."
Beng Goan-cau sudah berdiri, katanya tertawa: "Luka-lukaku sudah sembuh."
Sekilas Lim Bu-siang melengak, akhirnya ia sadar, katanya cemberut: "Ternyata kau sedang
menipu aku." "Kalau tidak kutipu kau, masakah kau mau keluar" Bu-siang, kenapa kau menghindari aku?"
"Sungguh tidak nyana Boh Cong-tiu bisa berubah sedemikian jahat. Untung dia masih belum
tahu bila Hun-lihiap ada sembunyi di Pak-bong-san." Sengaja ia bicarakan soal lain tanpa hiraukan
pertanyaan Beng Goan-cau. Tapi dalam nada perkataannya ini lapat-lapat sudah memberi kisikan
juga kepada Beng Goan-cau, bahwa di dalam beberapa hari ini jejaknya dengan Hun Ci-lo selalu
berada di dalam pengawasannya, secara tidak langsung pula ia sudah menjawab kenapa ia selalu
menyingkir dari hadapan Beng Goan-cau.
"Ah, kiranya kau selalu melindungi aku secara diam-diam, kukira kau adalah Utti-toaso malah."
"Memangnya kau sangka aku memiliki kepandaian senjata rahasia selihay itu?"
"Bu-siang, kenapa kau menjadi sungkan terhadapku" Menurut pendapatku, kepandaianmu
senjata rahasia mungkin sudah lebih unggul dari Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in."
"Jangan kau mengumpak diriku, untung di sini tiada orang ketiga, kalau tidak bikin orang geli
dan copot giginya." "Tanpa kau unjukkan diri, kau gebah Tong Thian-chong yang kenamaan sebagai ahli senjata
rahasia, masih main sungkan-sungkan terhadapku?"
"Aku sendiri sedang heran!"
"Apanya heran" Memangnya bukan kau?"
"Betul, orang yang betul-betul mengalahkan Tong Thian-chong itu bukan aku!"
"Memangnya siapa dia?"
"Aku sendiri tidak melihatnya, aku hanya menimpukkan sebutir batu, kena disambuti oleh Tong
Thian-chong. Yang memukul jatuh semua senjata rahasia Tong Thian-chong itu, adalah orang
lain." "Heran, kecuali Utti-toaso, kepandaian senjata rahasia siapakah yang begitu lihay" Bu-siang,
siapa menurut dugaanmu?"
"Aku memang menyangka seseorang. Kau masih ingat kejadian di Thay-san dulu waktu aku
terpancing masuk ke gua oleh seekor burung, akhirnya menemukan ajaran silat peninggalan cikal
bakal Hu-siang-pay kami di atas dinding. Akhirnya orang memindah batu besar penyumbat gua,
mengeluarkan aku, aku curiga bahwa burung itu adalah peliharaannya dan orang itu pula yang
barusan menggebah lari Tong Thian-chong dan Boh Cong-tiu berdua."
"Betul, aku pun jadi teringat kejadian di Thay-san yang lalu, hampir saja aku menjadi korban
sambitan dahan pohon Boh Cong-tiu, untung Kim Tay-hiap bantu aku meruntuhkan dua di antara
sembilan sambitan senjata rahasianya, sehingga aku tidak terluka. Kini kalau dipikir-pikir orang
yang berseru memuji waktu itu, mungkin pula adalah orang yang menolongku barusan. Mungkin
orang ini punya hubungan erat dengan Hu-siang-pay kalian, malah jauh lebih dulu sudah
mengetahui kedok palsu Boh Cong-tiu yang sebenarnya."
Lim Bu-siang manggut-mang-gut. katanya: "Aku pun berpikir demikian."
"Sayang beberapa kali ada kesempatan bertemu, cianpwe kosen itu tidak mau unjukkan diri,
mungkin memang kami belum berjodoh."
Waktu mereka keluar dari hutan, sinar matahari sudah cemerlang menerangi jagat raya, hati
mereka pun terasa hangat dan mesra. Sedikit kabut yang menyelimuti hati Beng Goan-cau pun
seketika buyar sirna tersorot oleh cahaya matahari.
Mendadak Lim Bu-siang berkata: "Musim semi sudah akan tiba, kabarnya musim semi di Siaukim-
jwan indah, apa betul?"
"Ya, musim semi di sana jauh lebih indah, lebih liar dan alamiah dari Kanglam."
"Bagaimana kalau aku ikut ke Siau-kim-jwan?"
Beng Goan-cau melenggong, katanya: "Kenapa mendadak kau punya pikiran ini?"
"Sudah lama aku berangan-angan, Tiok-Iiu toako dan Ang-ing cici sudah berangkat ke Siaukim-
jwan, apa kau tahu?"
"O, jadi kau ingin menyusul ke Siau-kim-jwan untuk berkumpul dengan mereka suami-istri?"
Lim Bu-siang ada sahabat kental dengan istri Kim Tiok-liu yang bernama Su Ang-ing, hal ini sejak
lama diketahui oleh Beng Goan-cau.


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa kau tidak suka menerima kedatanganku?"
Sesaat Beng Goan-cau menepekur, katanya: "Pasukan gerilya di Siau-kim-jwan sedang
membutuhkan bantuan banyak tenaga orang pandai, kau suka ke sana sungguh merupakan
keuntungan besar bagi kita. Tapi belum lama kau menjabat ciangbun, kalau pergi terlalu lama,
kukira tidak leluasa."
"Aku menjabat ciangbun ini toh gara-gara petunjukmu. Tujuannya supaya Boh Cong-tiu tidak
berhasil melaksanakan maksud jahatnya. Sekarang tujuan sudah tercapai, kedudukan ciangbun
ini, kujabat atau tidak kukira sama saja."
"Bu-siang, sebagai ciangbun dari suatu aliran, betapa penting dan besar artinya, jangan kau
anggap kedudukanmu itu sebagai permainan belaka..."
"Aku toh belum selesai bicara, kau tidak usah kuatir, aku sudah serahkan kepada Ciok-suheng
sebagai wakilku sementara. Ciok Heng suheng dan Siang-cing suso cerdik pandai dan pintar
bekerja pula, semua urusan perguruan kita, kurasa jauh lebih baik mereka yang mengatur dan
mengurusnya dari-padaku yang belum pengalaman ini."
Sebetulnya Beng Goan-cau memang mengharap dia suka berangkat bersama, mendengar
penjelasan ini, hatinya jadi lega, katanya tertawa: "Nah, kan begitu, hatiku lega."
Sebaliknya Lim Bu-siang seperti mempunyai pikiran apa-apa, sekilas ia melirik kepadanya,
katanya tiba-tiba: "Beng-toako, aku punya sebuah permintaan, maukah kau meluluskan?"
"Urusanmu adalah urusanku juga, apa yang kau ingin aku lakukan, kenapa aku tidak
meluluskannya. Ayolah katakan!"
"Baik, kau sudah meluluskan, silakan kau duduk di sebelah atas, terimalah hormat siaumoay."
Beng Goan-cau melongo, katanya: "Main-main apa kau, kenapa mendadak harus menyembah
hormat kepadaku ?" "Aku dilahirkan sebatangkara, tiada punya kakak, tidak punya adik, Beng-toako, kau sudi tidak
menerima aku sebagai adikmu?"
Baru sekarang Beng Goan-cau paham, kiranya Lim Bu-siang berkehendak supaya mereka
mengikat persaudaraan. Seketika terketuk sanubarinya, ia paham dan haru akan kegetiran hati
Lim Bu-siang. Mendadak terbayang olehnya, kata-kata Hun Ci-lo sebelum mereka berpisah.
Sambil membopong bayinya yang baru lahir, Hun Ci-lo berkata kepadanya: "Goan-cau tiada
perjamuan yang tidak bubar dalam kehidupan kita ini, aku dapat bertemu dan berkumpul
beberapa hari dengan kau, hatiku sudah amat puas. Kelak boleh kau minta putra kita dari Tiamjong-
siang-sat, berarti pula aku selalu berada di sampingmu. Anak ini, tidak bisa aku memberi
beban kepadamu. Akan kuasuh dan kudidik dia menjadi manusia yang berguna, terang hubungan
kita tidak mungkin terangkap kembali."
"Kalau kau tidak menikah pula, selama hidupku ini aku pun tidak akan kawin."
"Tidak, jangan begitu. Soalnya aku terdesak oleh keadaan yang membatasi gerak-gerikku,
maka tidak mungkin untuk rujuk kembali. Sebaliknya aku tidak mengharap kau hidup
sebatangkara sampai hari tua, kau harus punya seorang istri yang sepaham dan sehaluan untuk
teman hidupmu." "Istri sepaham dan sehaluan, kecuali kau siapa pula yang harus kutemukan?" Waktu
mengutarakan kata-katanya ini, bukan tidak terpikir olehnya akan Lim Bu-siang, namun dalam
pandangannya, Lim Bu-siang dia anggap sebagai adik cilik yang sepaham dan sehaluan.
Betul juga Hun Ci-lo lantas menyambung: "Waktu di Thay-san kulihat kau berkumpul dengan
Lim Bu-siang, bukankah dia itu nona yang sepaham dan sehaluan dengan kau" Jangan kau
mendebatku dulu, aku tahu hatimu hanya ada aku, maka kau begitu saja ke-sampingkan cirfta
murni nona Lim itu. Bicara dari hati ke hati, nona itu serba bisa, otak cerdik, pandai bekerja
berparas ayu pula, kepandaian silatnya malah lebih unggul dari aku, aku betul-betul amat tertarik
dan amat menyukainya. Jikalau dia menjadi istrimu, aku boleh merasa lega hati."
Kini teringat akan kata-kata Hun Ci-lo itu, dan yang berdiri di hadapannya justru Lim Bu-siang
adanya, sementara Lim Bu-siang sedang minta dirinya mengangkat saudara. "Ai, kedua orang ini
sama mempunyai sanubari yang lapang dan terbuka, masing-masing berpikir demi kepentingan
orang lain. Tidak boleh aku mengecewakan harapan Ci-lo, namun bagaimana pula aku harus
mengecewakan cinta Lim Bu-siang?"
Sepasang biji mata Lim Bu-siang yang bening bundar itu sedang menatap dirinya, katanya
pelan-pelan: "Kau tidak sudi punya adik seperti aku ini?"
Beng Goan-cau bergelak tertawa, ujarnya: "Aku sendiri adalah anak tunggal, sungguh sulit
mendapat adik seperti kau, baiklah aku tidak sungkan lagi memanggilmu 'adik'." Di tempat itu juga
mereka berlutut dan menyembah kepada langit, angkat saudara sebagai engkoh dan adik.
Meski hati membawa luka-luka yang belum sembuh, kenangan lama sulit dilupakan, tali asmara
masih melibat dirinya dan sulit membebaskan diri. Tapi Beng Goan-cau adalah seorang laki-laki
yang berjiwa ksatria, seorang patriot sejati, setelah bersaudara dengan Lim Bu-siang, berkumpul
beberapa hari, hubungan mereka semakin intim dan wajar.
Tanpa terasa mereka seperjalanan sudah beberapa hari lamanya, musim dingin berlalu, musim
semi pun menjelang, kalau salju mulai mencair di daratan luas daerah utara, adalah rumput dan
pepohonan mulai bersemi dan tumbuh di Kanglam.
Hari itu mereka sudah menyeberangi Tiangkang. Beng Goan-cau berjalan menunduk sambil
melayangkan pikiran pada kejadian masa lampau, pikirnya: "Sayang aku tiada tempo kembali ke
Soh-ciu, kebun bunga itu entah masih belukar seperti tahun yang lalu?"
Agaknya Lim Bu-siang dapat merasakan pikirannya, tanyanya tertawa: "Toako, apa yang
sedang kau pikirkan?"
"Tidak apa-apa. Betapa indah musim semi di Kanglam, sayang kita tidak bisa tinggal menetap
di sini." "Bukankah Leng Thiat-jiau mengijinkan kau pulang sedikit terlambat?"
"Ya, kalau urusanku belum kubereskan, boleh pulang rada terlambat, tapi aku tidak bisa
menunda-nunda urusan sebagai alasan belaka."
"Bukan aku menganjurkan kau mencari alasan untuk menemani aku tamasya, aku teringat
sebuah urusan yang betul-betul serius."
"Urusan apa?" "Di Yang-ciu ada seorang lo-enghiong yang bernama julukan Kim-to Ong Thian-thong, apa kau
tahu?" "Apakah cong-piauthau Tin-wan Piaukiok dari cabang Yang-ciu" Hah, kau pun kenal beliau?"
"Tanggal tujuh belas bulan pertama tahun ini adalah hari ulang tahunnya yang ke 60, beliau
adalah sahabat ayahku, ada persahabatan juga dengan para suheng perguruan kami. Hari ini
tanggal tiga belas, kalau sekarang putar ke Yangciu kebetulan tiba di sana tepat pada hari ulang
tahunnya. Di sana aku ingin bertemu dengan Ciok-suheng, akan kuberitahu padanya persoalan
Boh Cong-tiu." "Benar, ini pun urusan yang cukup penting. Sekarang kau belum sempat membersihkan anasiranasir
perguruan, adalah pantas kau memberitahu anak murid perguruan, supaya mereka tidak
tertipu dan hati-hati akan muslihat mereka."
"Jadi kau suka menemani aku ke sana?"
"Ong-lopiauthau itu pun ada hubungan dengan Siau dan Leng dua toako, meski aku tidak
ditugaskan untuk berhubungan dengan beliau, tapi toh aku sudah berada di sini, kebetulan
kebentur hari ulang tahunnya pula, biarlah aku mewakili Siau dan Leng dua Toako, mencari
hubungan padanya kan tiada jeleknya."
Waktu Beng Goan-cau hendak meninggalkan Siau-kim-jwan, Leng Thiat-jiau pernah berpesan
kepadanya, supaya ia mencari hubungan seluas mungkin dengan para enghiong dari berbagai
golongan dan aliran, supaya lebih leluasa bergerak. Pengalaman dan pergaulan Ong Thian-thong
amat luas, teman-temannya terdiri dari aliran putih dan golongan hitam, beritanya cepat dan gesit.
Tapi tujuan Beng Goan-cau untuk menyampaikan selamat hari ulang tahun ke Yangciu sebetulnya
masih ada sebab musabab lain.
Seperti diketahui, beberapa bulan yang lalu, waktu Miao Tiang-hong berpisah dengannya di
rumah kediaman keluarga Hun dulu, pernah mengatakan hendak pergi ke Yangciu untuk
menyampaikan selamat kepada Ong Thian-thong, dengan alasan ini Miao Tiang-hong beri
kesempatan supaya seorang diri ia bisa bertemu dengan Hun Ci-lo. Kini setelah bertemu dan
berpisah dengan Hun Ci-lo, pada saat ia menuju ke Kanglam, mau tidak mau ia teringat kepada
Miao Tiang-hong. "Aku mengikat saudara dengan Bu-siang, demikian pula Miao Toako mengikat saudara juga
dengan Hun Ci-lo, pastilah dia pun ingin mengetahui beritanya?" Lalu terpikir pula oleh Beng
Goan-cau: "Aku sudah pasrah jiwa ragaku untuk negara, hidupku selanjutnya pastilah tidak akan
tenteram dan sejahtera. Ci-lo harus merawat dan mengasuh anak kecilnya, tidak mungkin ikut
bersamaku berjuang dalam kancah peperangan, malah Miao toako sebagai kelana bebas, jauh
lebih baik dan cocok untuk melindungi dia. Em, lepas dari persoalan cinta asmara muda mudi,
sebagai seorang sahabat kental, aku wajib pula menyampaikan kabar baik Ci-lo kepadanya."
"Toako, apa yang sedang kau pikirkan" Kenapa diam saja?" Lim Bu-siang bertanya.
Beng Coan-cau angkat kepala memandang ke langit yang terang benderang oleh cahaya
matahari, sahutnya: "Tidak apa-apa, marilah lekas melanjutkan perjalanan!"
Kalau Beng Goan-cau sedang kangen kepada Miao Tiang-hong. Miao Tiang-hong pun sedang
terkenang kepada Beng Goan-cau.
Hari itu Miao Tiang-hong sudah sampai di Yangciu, rumah kediaman Ong Thian-thong terletak
di luar kota, dua hari lagi baru tepat hari ulang tahunnya, karena senggang dan terlalu iseng, Miao
Tiang-hong berpikir: "Tempat tamasya di Yang-ciu yang terkenal dengan pemandangan alamnya
yang indah cukup banyak, mumpung tiada kerjaan, biarlah aku keluyuran saja mencari angin."
Waktu masih terlalu pagi, maka Miao Tiang-hong memasuki sebuah rumah makan yang terkenal di
Yangciu, Bong-kang-lau. Miao Tiang-hong mencari tempat duduk yang dekat jendela, dari tempat ketinggian di dekat
jendela ini ia bisa melihat pemandangan alam di sungai Tiangkang, pikirnya: "Sayang Goan-cau
tidak di sini, entah dia sudah bertemu dengan Hun Ci-lo tidak?"
Setelah menenggak beberapa cawan arak, Miao Tiang-hong berpaling ke dinding sekitarnya,
dilihatnya di kedua dinding belakang sana tergantung dua lembar papan panjang yang terukirkan
dua bait syair ciptaan pujangga dinasti Song. Tengah Miao Tiang-hong merenungkan arti dari
kedua bait syair ini, didengarnya pula dua orang tamu laki-laki di meja sebelah sana juga sedang
memperbincangkan kedua bait syair itu.
Salah seorang itu manggut-manggut dan berkata: "Han-heng, suatu ketika boleh kau pergi ke
Hian-bu-ouw di Lamkhia, di sana "pun ada dua bait syair lain yang merupakan pelengkap dari
kedua bait di sini."
Kata orang she Han sambil tertawa: "Lau-heng, kiranya kau pun amat jelas mengenai cerita
patriot ini, bagaimanakah bunyi syair di Hian-bu-ouw itu?"
Orang she Lau itu lantas bersenandung, katanya menambahkan: "Syair ciptaan Pek-ciok Lojin
ini ditulis setelah peperangan negeri Kim dengan Song berakhir. Tiga belas tahun pada dinasti
Sau-hin, Wanyen Liang dari negeri Kim memimpin pasukannya menyerang Lamsiong dan kena
dikalahkan habis-habisan di Jay-ciok-ki oleh Loh Ing-bun. Yang-ciu secara langsung pun ikut
tertimpa oleh akibat peperangan ini. Dari syair-syair tulisan Pek-ciok Lojin itu, dapatlah kita
membayangkan betapa hebat peperangan waktu itu. Maka kalau kita harus membaca syair ini,
tidak bisa tidak harus mengetahui pula awal cerita sebenarnya. Tapi aku berpikir..."
"Apa yang Lau-heng pikirkan?"
"Tujuh ratus tahun yang lalu, negeri Kim menjajah tanah air kita, Yangciu mengalami bencana
yang amat besar, selama enam belas tahun belum pulih membangun kembali kotanya. Tapi
peperangan waktu itu bila dibanding dengan peristiwa sepuluh hari di Yangciu dan tragedi di Kating,
kukira masih belum apa-apa."
Orang she Han itu terkejut, katanya berbisik: "Lau-heng, di tempat terbuka ini jangan kau
sangka di rumah sendiri, di sini cuma tempat mengobrol, kenapa kau bicarakan urusan negara"
Bukankah peristiwa itu sudah terjadi sejak seratus tahun yang lalu?"
Orang she Lau itu tertawa dingin, katanya: "Arak menjadi dingin darahku justru belum dingin,
kau kan tahu tabiatku, apa yang bergejolak dalam sanubariku, berani pula kulimpahkan dalam
perbuatan. Meski bencana datang dari mulut, aku pun tidak peduli lagi. He, he!"
Orang she Han itu menjadi kebingungan saking takut, tak enak pula ia mencegah orang tutup
mulut, terpaksa ia angkat cawan dan berkata berulang-ulang: "Lau-heng, mari minum arak,
minum arak!" Di sebelah sana, diam-diam Miao Tiang-hong berpikir: "Orang she Han ini bernyali kecil seperti
tikus. Adalah orang she Lau itu patut dipuji dan pantas diajak bersahabat." Baru saja ia hendak
berdiri dan menghampiri ke sana untuk mengajak bicara, tiba-tiba didengarnya langkah kaki ramai
yang berat di atas tangga, ternyata datang pula empat orang tamu.
Waktu Miao Tiang-hong memandang ke sana, terlihat tiga laki-laki di sebelah depan bertubuh
tinggi kekar, laki-laki yang terakhir justru bertubuh kecil kurus bermuka kuning.
Begitu keempat orang ini memilih tempat, lantas gebrak meja dan berkaok-kaok. Tersipu-sipu
pelayan berlari datang, katanya: "Tuan-tuan ingin makan apa?"
"Bawa dulu seguci arak yang paling baik," kata laki-laki yang duduk di sebelah atas.
Pelayan itu terperanjat, katanya: "Satu guci Sau-hin-ciu milik kita paling sedikit ada dua puluh
kati beratnya lho!" "Berapa berat guci yang besar?"
"Empat puluh kati!"
Orang itu bergelak tertawa, ujarnya "Guci kecil tidak mencukupi, bawakan guci besar saja.
Bikinkan juga lima ekor ayam panggang, sepuluh kati daging rebus!"
Dengan meleletkan lidah lekas si pelayan mengundurkan diri menyiapkan apa yang dipesan.
"Entah orang-orang dari golongan mana keempat orang ini?" demikian pikir Miao Tiang-hong.
Kebetulan laki-laki itu pun sedang mengawasi dirinya, tapi Miao Tiang-hong menghirup araknya
tanpa peduli orang lain. Orang she Han yang duduk di meja sebelah itu sedang menarik lengan orang she Lau itu
secara diam-diam, maksudnya supaya orang tidak bicara ngelantur lagi. Kini laki-laki yang agaknya
pimpinan di antara mereka berempat sedang memandang ke arah dirinya pula, mendadak ia
berbangkit dan berseru lantang: "Bukankah kau Han Bing, Han-toako" Apakah masih ingat kepada
siaute?" Tahu tidak bisa menyembunyikan diri, terpaksa Han Bing berdiri, pura-pura baru ingat lagi,
katanya: "Ah, kiranya Ngo-toako, sungguh amat kebetulan!"
Laki-laki yang disebut Ngo-toako itu bergelak tertawa, ujarnya: "Tanpa terasa sudah tiga tahun
sejak berpisah waktu minum arak di Gi-ciau-lau dulu. Tak nyana bertemu pula di sini. Mari, mari,
biar kuperkenalkan beberapa teman. Dia ini Sebun Hou toako, dia adalah Kim Toa-king, dan dia
adalah Gui Khing." Han Bing merangkap tangan sambil menjura satu persatu kepada tiga orang ini, katanya
berbasa basi: "Para toako, selamat bertemu!"
Sementara orang she Lau itu masih tetap duduk di tempatnya sambil minum arak. Temannya
sedang repot dikenalkan oleh orang-orang itu sebaliknya ia tidak ambil peduli seperti tidak melihat
dan tidak mendengar. Ngo-toako itu unjuk rasa kurang senang, tanyanya: "Han-toako, temanmu ini adalah...!"
Terpaksa Han-Bing unjuk tawa dibuat-buat, katanya kepada orang she Lau: "Lau-toako mari
kukenalkan pada beberapa teman."
Terpaksa orang she Lau itu berdiri, katanya tawar: "Aku ini seorang pelajar rudin yang tidak
tahu pergaulan, harap tuan-tuan tidak salah sangka! Aku yang rendah she Lau, bernama tunggal
'Khong'." Ngo-toako segera juga memperkenalkan diri: "Aku she Ngo, bernama Hong. Aku orang kasar
tidak suka mengikat persahabatan. Lau-toako, kau tidak suka pergaulan watakmu memang cocok
dengan aku. Kalau mau berkenalan harus mengikat sahabat yang betul-betul sejati!"
"Terima kasih akan penghargaan kalian kepadaku, sebaliknya aku tidak berani menjajarkan
diri," ujar orang she Lau tawar.
"Ah, Lau-heng terlalu sungkan, berkenalan lebih baik dari bersua di jalan, mari kusuguh Lauheng
satu cawan arak." Berkata Lau Khong dingin: "Minum arak dengan cawan kurang mantap, kalau mau minum ya
seguci saja. Hai pelayan, bawakan juga seguci arak seberat empat puluh kati!"
Laki-laki kurus kecil bermuka kuning itu bernama Gui Khing, katanya tertawa: "Ngo-toako
biasanya kau agulkan diri tiada tandingan dalam minum arak, hari ini agaknya kau kebentur lawan
tangguh!" Seguci arak yang diminta Ngo Hong itu sudah dihantar tiba, katanya terbahak-bahak: "Bagus,
bagus sekali! Sungguh menggirangkan Lau-heng suka mengiringi aku minum sepuasnya. Baik,
Siaute pasti iringi setiap kehendakmu. Lo-gui, takaran minummu juga tidak jelek, marilah kita
minum bersama Lau-heng berapa banyak yang kau minum, berapa banyak pula akan kami minum, bagaimana?"
Ternyata Gui Khing membekal lwekang yang amat ampuh, meski takaran minumnya tidak lebih
unggul dari Ngo Hong, tapi seribu cawan pun ia tidak akan bisa mabuk, dengan menarik Gui Khing
dalam adu minum ini, karena ia kuatir dirinya bukan tandingan Lau Khong, tapi Gui Khing pasti
bisa mengalahkan orang. "Baik sekali," ujar Lau Khong. "Tapi kalian berdua adu minum dengan aku, terpaksa aku harus
cari teman juga. Kita masing-masing boleh minum seguci arak sendiri-sendiri."
"Minum araknya sendiri" itu berarti kau minum arak bersama temanmu aku minum bersama
temanku, tidak sudi aku ikat persahabatan dengan kau.
Berkerut alis Ngo Hong, tapi ia pura-pura tidak tahu maksud kata-kata orang, katanya sambil
tertawa lebar: "Bagus, cara ini kukira akan lebih ramai Lau-heng menarik teman, ternyata takaran
minum Han-heng juga amat baik. Kalau begitu baiklah kita dua lawan dua."
Lekas Han Bing menggoyangkan tangan, katanya: "Kalian boleh adu minum arak, takaran
minumku sebetulnya kurang baik."
Sekali jinjing Gui Khing angkat guci arak besar itu, katanya: "Samasama teman sendiri, tidak
perlu sungkan. Seguci arak ini, silakan kalian minum dulu!" Sembari bicara tiba-tiba ia angkat
tangan dan mendorong ke atas, guci arak itu kontan mencelat terbang ke arah Lau Khong.
Lau Khong ulurkan sepasang sumpit, begitu guci arak tiba ia mengetuk ringan di pinggir guci,
lalu diulurkan ke belakang, guci arak besar itu mengikuti gerakan sepasang sumpitnya berputarputar,
dan terjatuh di atas meja dengan ringan dan tenang, Tutup guci sudah terbuka, namun
setetes pun tidak kelihatan arak muncrat ke luar.
Inilah kepandaian silat tingkat tinggi yang dinamakan Su-liang-poh-jian-kin, Ngo Hong dan lainlain
seketika mengkeret kaget melihat pertunjukan yang hebat ini. Bukan saja Lau Khong pamer
kepandaian silat, dia tidak menyambut dengan tangan, itu berarti tidak sudi bersahabat dengan
mereka. Adu minum ya adu minum, untuk berkenalan sih nanti dulu.
Miao Tiang-ho.ng jadi berpikir: "Orang-orang ini mungkin dari golongan tidak beres, maka Lau
Khong tidak memberi muka pada mereka. Orang she Han itu sebaliknya rada mengumpak kepada
keempat orang itu, Lau Khong menarik dia sebagai teman mana bisa menang."
Tengah ia berpikir, guci arak yang diminta Lau Khong pun. sudah diantar tiba. Lau Khong
segera mengangkatnya ke atas sembari berkata: "Diberi tidak membalas tentunya kurang hormat,
seguci arak biar kuberikan kepada kalian pula." Tetapi cara melempar guci jauh berlainan, ia
lempar dulu guci arak itu ke atas, lalu menepuknya sekali, sehingga guci arak itu terpental terbang
ke arah Ngo Hong. Di antara keempat orang ini, sebetulnya latihan lwekang Gui Khing paling tinggi, tapi sebagai
orang yang tertua, sudah tentu Ngo Hong malu bila diwakili Gui Khing. Terpaksa ia keraskan


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala, kerahkan setaker tenaga pada kedua tangannya menyambuti guci arak itu.
"Krak, peletak!" beruntun empat kali, Ngo Hong sudah menyambut guci arak itu dan
meletakkannya di atas meja, tapi empat kaki kursi yang dia duduki sudah patah semua. Kiranya
Lau Khong mengirim guci arak itu dengan kekuatan pukulannya, waktu Ngo Hong menyambuti
guci itu, bila tenaga pukulannya ia papak ke depan, guci itu pasti pecah, maka begitu tenaga
membentur guci arak itu lantas ia tarik mundur, dua tenaga raksasa tergabung, celaka adalah
kursi yang ia duduki itu seketika patah keempat kakinya.
Untung dia sendiri sudah siaga, sebelum kaki kursinya patah, dia sudah pasang kuda-kuda
sehingga tidak sampai terjengkang jatuh. Tapi toh sudah kalah sejurus.
Merah padam muka Ngo Hong, katanya memuji: "Hebat benar kepandaian Lau-heng!"
"Kekuatan sakti Ngo-heng lebih mengejutkan." jengek Lau Khong dingin. "Kursi besar yang
terbuat dari kayu merah yang kokoh ini ternyata tidak kuat, siaute lebih-lebih kagum!"
Kedengarannya memuji, bahwasanya dia sedang menyindir dengan pedas. Memang Ngo Hong
kalah satu jurus, terpaksa ia telan kekalahan ini dengan penasaran.
Gui Khing berkata seperti tidak terjadi apa-apa: "Sudah kami katakan tadi hanya adu minum
bukan adu ilmu silat. Mari, mari, kita mulai minum saja!"
Hati kedua pihak sama paham, adu minum arak bahwasanya juga adu kepandaian sejati. Katakata
Gui Khing ini tidak lebih hanya untuk menutupi rasa malu Ngo Hong saja.
Lekas Han Bing berkata: "Lau-toako aku tidak bisa minum banyak, kau kan tahu..."
Belum selesai ia bicara, Lau Khong sudah berdiri, langsung menghampiri ke depan Miao Tianghong,
tanyanya: "Siapa she dan nama besar saudara?"
Miao Tiang-hong melengak, sahutnya: "Aku yang rendah she Miao. Lau-heng, ada petunjuk
apa?" Berkata Lau Khong pelan-pelan: "Minum seorang diri mengurangi selera, Miao-heng, aku ingin
mengikat persahabatan dengan kau, entah Miao-heng sudi tidak mengiringi aku minum arak?"
Kelakuan Lau Khong ini sudah tentu amat di luar dugaan Miao Tiang-hong. Tapi wataknya
memang terbuka dan lapang dada, memang sebelumnya ia ingin berkenalan dengan Lau Khong,
maka ia pun tidak menolak, lekas ia ikut duduk ke meja Lau Khong, katanya tertawa lebar: "Sifat
gagah Lau-heng sungguh menundukkan hati orang. Pinjam arak ikat persahabatan merupakan
kejadian yang menggembirakan dalam kehidupan ini. Ikatan ini sudah pasti. Ambilkan cawan
besar, biar kusuguh dulu kau secawan arak."
Miao Tiang-hong seret guci arak itu, guci arak tinggi tiga kaki dari permukaan meja, tapi waktu
Miao Tiang-hong menuang arak ke dalam dua cawan besar sampai penuh, tiada setetes pun arak
yang muncrat keluar, begitu dua jarinya menggantol lalu menyeret cawan itu ke pinggir meja
cawan yang penuh arak itu berputar-putar mendekati bibirnya, sekali sedot ia hirup habis sampai
kering seluruh arak, sedikit pun tidak tercecer ke luar.
Lau Khong berpikir: "Dugaanku ternyata tidak meleset, lwekang orang ini ternyata lebih tinggi
dari aku." Segera ia berseru memuji, meniru perbuatan orang ia pun hirup habis secawan besar
arak itu. Perlu diketahui dengan ketinggian guci tiga kaki itu, bila menuang arak ke bawah tentu ada
daya mencurah yang besar, mengisi secawan arak penuh sulit bila tidak sampai menciprat keluar.
Untuk itu harus dikendalikan oleh kekuatan yang ampuh. Dalam hal ini Gui Khing percaya, sedapat
mungkin ia dapat meniru perbuatan orang, tapi latihan Ngo Hong adalah kepandaian Lwekeh,
kekuatan kasarnya memang sudah cukup tinggi, tapi untuk menggunakan tenaga lunak yang
hebat mengendalikan kekuatan luar itu terang ia tidak mampu.
"Toako," kata Gui Khing dingin. "Minum ya minum saja, buat apa harus main sulapan segala."
"Betul biar lihat siapa jatuh mabuk lebih dulu, Lau-heng, kini giliran kalian minum." Waktu
berkata-kata, bersama Gui Khing beruntun mereka sudah menghabiskan dua"'cawan.
Lau Khong tertawa, ujarnya: "Kita minum dengan cara bagaimana terserah masing-masing
pihak. Tapi setelah menenggak habis seguci arak ini, semua sama tidak mabuk lantas
bagaimana?" Ngo Hong terkejut, tapi ia licik dan licin, tidak mengejar menang ia bertahan untuk kalah,
sahutnya: "Kalau sama-sama tidak mabuk terpaksa lihat saja pihak mana yang menghabiskan dulu
seguci arak masing-masing."
Begitulah kedua pihak sama bergiliran, satu cawan demi satu cawan dalam sekejap saja, empat
orang masing-masing sudah menghabiskan puluhan cawan, setiap cawan berisi setengah kati
arak, jadi kira-kira sudah sepuluh kati arak yang masuk ke dalam perut mereka.
Diam-diam Miao Tiang-hong menaruh perhatian, dilihatnya di atas kepala Gui Khing menguap
kabut putih yang semakin tebal, terang orang menggunakan lwekang merembeskan arak menjadi
uap dan keringat keluar dari badannya, pikirnya: "Lwekang orang ini agaknya tidak lemah, dengan
cara minumnya itu mungkin seguci arak itu tidak akan mempersulit dirinya."
Waktu ia melihat Ngo Hong, orang mempunyai caranya sendiri, sembari minum tangannya
tidak henti-hentinya memainkan dua butir bola besinya, kedua tangannya menggosok bola besi itu
di antara kedua telapak tangannya. Ternyata latihannya adalah kepandaian lwekeh, harus banyak
mengeluarkan tenaga baru bisa minum semakin banyak. Menurut kebiasaannya, setelah puas
minum arak lalu berlatih silat, begitulah bergantian sampai kuat minum dua puluh kati. Kini karena
mengadu minum arak sudah tentu tidak bisa bersilat, terpaksa ia mainkan kedua bola besinya
untuk menguras tenaga. Terdengarlah bola besi itu berkerotakan dan memercikkan kembang api,
kekuatan gosokan kedua telapak tangannya itu, ternyata cukup hebat dan mengejutkan juga.
Masing-masing pihak saling memperhatikan permainan pihak lawan, tapi Miao Tiang-hong
melihat sampai di mana tingkat kepandaian mereka, sebaliknya mereka tidak kuasa mengukur
tingkat kepandaian Miao Tiang-hong dan Lau Khong. Dilihatnya sikap mereka tetap wajar meski
sudah menghabiskan puluhan cawan, bukan saja di atas kepala tidak mengepulkan uap, tangan
masing-masing juga tidak mempermainkan sesuatu benda. Keruan Gui Khing dan Ngo Hong sama
terkejut, pikirnya: "Supaya tidak kalah, terpaksa harus lekas-lekas tenggak habis seguci arak ini."
Dipikir sih mudah, tapi pelaksanaannya yang sulit, apalagi minum terlalu gugup bisa melukai
badan. Meski Gui Khing memiliki latihan lwekang yang ampuh toh memerlukan waktu untuk
memanaskan arak yang berada di dalam perut menguap melalui keringat dan kabut putih itu, baru
bisa minum pula. Mendadak Miao Tiang-hong berkata: "Minum secawan lagi secawan kukira kurang
menyenangkan, Lau-heng, tinggal setengah guci arak ini, marilah kita bagi minum bersama. Kita
minum sekaligus bikin habis."
"Baik. Miao-heng, biar aku suguh kau dulu." Guci besar itu ia angkat, telapak tangannya terus
menepuk di pantat guci, kontan sejalur arak muncrat keluar dari mulut guci, kebetulan Miao Tianghong
duduk di depannya terus buka mulut menyedot, seperti ikan paus menghirup hawa, arak
yang menyemprot itu tertehggak habis ke dalam perutnya.
Kapan orang-orang itu pernah melihat orang minum dengan cara aneh seperti itu, seketika
mereka menonton dengan melongo. Ngo Hong mendadak tersentak sadar, serunya membanting
kaki: "Site, lekas minum." Gui Khing angkat guci arak itu terus dituang ke dalam mulut sendiri.
Miao Tiang-hong tertawa, ujarnya: "Aku sudah minum setengah. Ayolah jangan kau lupa dirimu
sendiri." "Betul," sahut Lau Khong. "Kita sedang mengadu minum arak sama orang, masing-masing
harus sebagian baru dikata adil." Lalu ia angsurkan guci arak itu kepada Miao Tiang-hong. Guci
berputar balik mulutnya tertuju ke muka Lau Khong,
meniru perbuatan orang, Miao Tiang-hong menepuk sekali
di pantat guci, rantai arak yang menyemprot panjang itu
tersedot masuk juga seluruhnya ke mulut Lau Khong.
Miao Tiang-hong lantas menjungkirkan guci arak itu,
setetes pun tidak ketinggalan lagi. Miao Tiang-hong
berseru tertawa: "Maaf ya, arak kami sudah habis."
Meski Gui Khing sedang repot menuang arak dalam
guci itu ke dalam mulutnya, namun sisa arak dalam guci
itu masih cukup banyak. Dan lagi adu minum tadi sudah
dijanjikan diminum bersama dua orang, seumpama dia
seorang bisa menghabiskan sisa arak itu, toh sudah boleh
dianggap kalah. Sambil menjinjing guci arak itu, sikap Gui Khing amat
kikuk dan serba runyam Ngo Hong menjadi lemas dan
patah semangat, katanya: "Site, sudahlah mengaku kalah
saja!" Mendadak seseorang bergelak tertawa sambil mendatangi: "Hai, Han-heng, Lo-ngo, kiranya
kalian semua berada di sini, jadi sudah bertemu muka. Eh, Gui-losu, sedang apa sih kau?"
Orang yang masuk ini adalah laki-laki pertengahan umur yang berperawakan tinggi, semula ia
menghadap ke arah Han Bing, waktu matanya melirik, dilihatnya Gui Khing sedang memeluk
sebuah guci besar, keruan ia heran dan mendelu.
Tersipu-sipu Ngo Hong memberi kedipan mata kepada orang itu, lalu katanya menyengir getir:
"Cong-toako, kita sedang adu minum dengan kedua kawan itu, kepandaian kami memang tidak
becus, terpaksa terima kalah saja."
Cong-toako yang baru datang ini lantas tujukan matanya kepada Miao dan Lau berdua ujarnya:
"Kedua kawan ini adalah..."
"Ini Lau-heng dan itu Miao-heng, mereka adalah sahabat Han-toako," Ngo Hong
memperkenalkan. Miao Tiang-hong segera menjengek dingin: "Maaf aku orang rendah tidak berani bersahabat."
Waktu melihat orang she Cong ini masuk, sikap Han Bing kelihatan gugup dan takut-takut,
selama ini ia tutup mulut, sekarang terpaksa ia berdiri dan buka suara sambil tertawa dibuat-buat:
"Miao-heng ini baru hari ini siaute mengenalnya."
Pengalaman orang she Cong ini amat luas dan mendalam, diam-diam ia perhatikan suasana
sebentar, dalam hati lantas paham, pikirnya: "Kedua orang ini jelas tidak sehaluan dengan Han
Bing." Segera ia tertawa tergelak-gelak, ujarnya: "Selamat bertemu, selamat bertemu. Dengan
arak menghadapi sahabat, sungguh suatu hal yang amat menyenangkan. Biarlah aku pun ikut
meramaikan suasana, baik kusuguh arak juga kepada kalian berdua!"
Mendadak ia renggut guci arak di tangan Gui Khing, sekali telapak tangan kiri memukul, cepat
sekali ia bikin guci arak itu mental naik ke tengah udara. Maka terdengarlah suara "Brak", seperti
terpapas oleh kampak tajam saja mendadak guci arak itu terbelah menjadi dua di tengah udara,
sisa arak di dalamnya seketika muncrat berjatuhan. Sementara gesit sekali orang she Cong ini
sudah menyambar dua cawan besar, kedua cawan itu ia angsurkan ke depan dan diobat-abitkan
cepat sekali, tahu-tahu sudah penuh terisi arak, sekali ayun pula dua cawan besar yang berisi arak
itu langsung terbang ke arah Lau Khong dan Miao Tiang-hong.
Sambil melemparkan cawan, orang itu berkata: "Aku ini orang berangasan, tidak sabar
menuang arak pelan-pelan, harap kalian tidak menertawakan kekasaranku."
. Waktu cawan itu menyambar tiba, Lau Khong menegakkan sebatang sumpit terus
menyanggah ke atas, cawan besar itu lantas berputar-putar di atas sumpitnya, begitu pentang
mulut ia hirup habis secawan arak itu.
Sebaliknya Miao Tiang-hong punya caranya sendiri, tampak ia meluruskan telapak tangannya,
seakan-akan telapak tangannya itu punya daya sedot yang besar seperti besi sembrani, waktu
cawan besar itu terbang datang, langsung jatuh ke atas telapak tangannya. Tapi dia tidak segera
meminumnya. Guci yang terbelah di tengah udara oleh pukulan orang she Cong itu kebetulan sedang
melayang jatuh, terbagi dua sisi yang sama besarnya tanpa menjadi pecah berantakan.
Menggunakan pedang pusaka pun belum tentu dapat membelah guci itu sedemikian rapinya tanpa
pecah sedikit pun. Sementara sisa arak yang lain masih berjatuhan.
Berkata Miao Tiang-hong: "Diberi tidak membalas kurang hormat, nih aku pun suguh secawan
kepada kau!" "Betul!" Lau Khong ikut menimbrung, "jangan sia-siakan arak sebagus ini."
Sembari bicara, kedua orang sama menepukkan sebuah pukulan, kedua tenaga pukulan
bertemu di tengah jalan terus menerjang ke depan, "Blang" guci yang terbelah menjadi dua itu
seketika terpukul hancur beterbangan ke mana-mana. Lekas orang she Cong itu mengebutkan
lengan bajunya, menjaring seluruh pecahan guci itu ke dalam lengan bajunya. Jengek-nya dingin:
"Kawan, memangnya kalian ingin adu senjata rahasia dengan aku?"
Bersamaan dengan tepukan tangannya itu, Miao Tiang-hong lemparkan juga sebuah cawan,
cawan ini tepat dan persis jatuh di tengah-tengah meja yang diduduki Gui Khing berempat. Sisa
arak yang berjatuhan dari tengah udara itu, kebetulan sama meluncur ke dalam cawan. Ternyata
dengan kekuatan tenaga pukulan mereka berdua tadi, sekaligus mereka kekang sisa arak yang
betebaran di tengah udara itu menjadi jalur arak, dan kebetulan terdorong turun jatuh masuk ke
dalam cawan, persis secawan penuh.
Baru sekarang Miao Tiang-hong tertawa dan berkata: "Kawan, kaulah yang salah paham, tidak
lebih kami hanya balas menyuguh kau secawan arak. Mari, mari, minum, minum!"
Mencelos hati orang she Cong itu, batinnya: "Lwekang orang she Lau ini mungkin tidak unggul
dari aku. Lwekang orang she Miao ini agaknya malah lebih tinggi dari aku. O, jarang ada orang
she Miao, bukan mustahil dia inilah pendekar kelana yang kenamaan bernama Miao Tiang-hong
itu." Ia insyaf, meski bergabung dengan Ngo Hong berempat belum tentu bisa unggul, daripada
terjungkal di tangan orang, terpaksa ia bertindak melihat gelagat, maka katanya tertawa: "Baik,
secawan arak ini biar kuminum. Gunung menghijau air tetap mengalir, kita jumpa lain
kesempatan." Ngo Hong, Gui Khing berempat segera mengintil di belakangnya turun dari atas
loteng. Di waktu beranjak di anak tangga, Ngo dan Gui berdua berpaling ke arah Han Bing,
seolah-olah memberi isyarat, seperti pula sedang mendelik kepadanya.
Pelayan rumah makan segera tampil ke depan, katanya: "Tuan-tuan tamu, rekening arak belum
kalian lunasi!" Orang she Cong itu lantas meng-gentak lengan bajunya. Terdengar suara berisik di dalamnya
entah apa saja yang tersimpan di dalam lengan bajunya, begitu ia membalik badan, sekeping uang
perak besar melesat terbang dan amblas masuk di meja kasir, katanya: "Rekening arak tamu di
meja sana boleh dihitung sekalian."
"Kenapa aku harus minum arak traktiranmu?" Miao Tiang-hong segera berseru.
Melihat mereka sudah pergi, barulah Han Bing merasa lega hati, kuatir Miao Tiang-hong
menarik perkara, segera ia berkata: "Ngo-toako itu adalah sahabat baikku, anggap saja siaute
yang mentraktir kalian."
Di luar bawah sana Ngo Hong bergelak tertawa, serunya: "Tidak salah ucapanmu, Han-toako,
kau betul-betul seorang sahabat sejati!"
Berubah air muka Han Bing, katanya perlahan: "Lau-heng, siaute ada sedikit urusan, sekarang
juga harus kuselesaikan, besok boleh kita bertemu pula di tempat ini." Baru saja ia hendak berdiri,
tiba-tiba terasa pergelangan tangannya sakit kesemutan, tangannya seperti terjepit tanggem besi,
kiranya tangannya kena dicengkeram erat-erat oleh Lau Khong. Bertambah kejut hati Han Bing,
katanya gemetar: "Lau-heng, kau, kau ini..."
Lau Khong bergelak tertawa, katanya: "Han-heng, meski sekian tahun kita berpisah, betapapun
kita pernah menjadi sahabat kental yang paling dekat bukan?"
Semakin mencelos hati Han Bing, sahutnya: "Ya, beberapa tahun terakhir ini aku pun selalu
terkenang kepada Lau-heng. Meski usia kita sudah menanjak, namun persahabatan kita masih
belum berubah." "Bagus, itulah bagus sekali. Sudah lama kudengar Ji-cap-si-kio yang kenamaan di Yang-ciu,
ingin aku bermain-main di sana. Kita kan sahabat lama, kau harus menemani aku tamasya ke
sana." Han Bing tergagap, katanya: "Kini, ini..."
Lau Khong menarik muka, katanya dingin: "Kau punya urusan penting apa, silakan katakan,
mungkin aku bisa wakili kau membereskan."
Maka Han Bing menyengir lucu, roman mukanya berubah dari hijau ganti merah lalu pucat lesi,
terpaksa ia menyahut samar: "Sebetulnya bukan persoalan penting..."
"Kalau bukan soal penting, besok saja diurus toh masih belum terlambat. Lihatlah bulan
bersinar cemerlang, cuaca begini baik lagi. Sahabat lama bertemu, janganlah kita sia-siakan
kesempatan baik ini."
Tahu tidak bisa membebaskan diri, terpaksa Han Bing menyengir getir, katanya: "Begitu besar
selera Lau-heng untuk tamasya, baiklah siaute pasti mengiringi, pasti mengiringi."
"Miao-heng," kata Lau Khong, "di mana kau tinggal" Setelah kenyang bertamasya dengan Han-
"heng nanti kucari kau."
Mereka keluar dari rumah makan itu tangan bergandengan tangan sambil bercakap-cakap,
orang luar yang tidak tahu, pasti menganggap teman karib yang sedang asyik bicara. Tapi tidaklah
bisa mengelabui pandangan Miao Tiang-hong sebagai seorang ahli silat.
Berpikir Miao Tiang-hong: "Mungkin dia mencari tempat sepi untuk mengompes keterangan
orang she Han ini." Setelah meninggalkan alamat tempat tinggalnya, segera ia pun mohon diri.
Waktu itu hari sudah gelap, di mana-mana sudah pasang lampu, Miao Tiang-hong langsung
pulang ke hotelnya dan masuk ke kamar, begitu melangkah masuk terasa olehnya sesuatu yang
ganjil, sekilas ia memeriksa dengan teliti, didapatinya barang sesuatu yang berada dalam kamar
itu pernah disentuh dan dipindah orang. Demikian pula bekal buntalannya, pakaiannya
berantakan, namun uangnya masih utuh tidak kurang sepeser pun.
"Terang bukan perbuatan maling biasa, hm, bukan mustahil perbuatan kawanan orang-orang
she Ngo itu" Ataukah jejakku sudah dibuntuti agen musuh?" demikian Miao Tiang-hong berpikirpikir.
Sekonyong-konyong jendela sebelah belakang membuka tanpa disentuh atau dihembus angin,
berbareng melompat masuk seorang laki-laki besar.
Kontan Miao Tiang-hong memakinya: "Bangsat keparat, kebetulan kau datang lagi, belum
kube-kuk batang lehermu, malah melunak datang pula." Sembari bicara, secepat kilat ia sudah
melancarkan Tay-kim-na-jiu-hoat, mencengkeram ke tulang pundak orang itu.
Lekas orang itu membungkukkan badan menarik pundak, sekali kibas, ringan sekali ia
punahkan cengkraman tangan Miao Tiang-hong, pujinya: "Kepandaian bagus, kau she apa, nama
siapa" Lekas bicara terus terang!"
Tay-kim-na-jiu-hoat yang dilancarkan Miao Tiang-hong ini adalah kepandaian tunggalnya yang
amat dia banggakan, namun kena dipunahkan cukup dengan kibasan saja, keruan kagetnya bukan
main. Lekas ia mundur setapak, kedua tangan melintang di depan dada sambil mengamat-amati
lawan. Dilihatnya orang ini berjambang bauk tebal dan kaku, raut mukanya kasar dan gagah serta
kereng. Karena keistimewaan raut muka orang inilah, mendadak Miao Tiang-hong ingat seseorang,
teriaknya kaget: "Kaukah Liau-tang Tayhiap Utti Keng?"
Orang itu bergelak tertawa, katanya: "Tidak berani. Cayhe memang Utti Keng. Sungguh
menyesal, aku tidak ingat lagi di mana pernah melihat kau."
"Beng Goan-cau adalah teman baikku, sering dia menyinggung tuan kepadaku. Dua bulan yang
lalu, aku bersamanya di Pakkhia, pernah bertemu dengan Kwi-hwe-thio, aku tahu waktu itu Utti
Tayhiap pun berada di Pakkhia, sayang tidak sempat bertemu."
"O, kalau demikian aku tahu sekarang. Jadi kau adalah Miao Tiang-hong, Miao Tayhiap?"
"Sebutan Tayhiap tidak berani kuterima. Peristiwa yang menggegerkan Pakkhia..."
"Kita tidak usah sungkan-sungkan. Soal Pakkhia bicarakan-lain kesempatan, Miao-heng, kau
beri tahu aku dulu, barusan kau datang dari mana" Adakah kau bentrok dengan kawanan anjing


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alap-alap?" "Aku hanya minum-minum di Bong-kang-lau dengan seorang teman yang baru kukenal.
Memang ada kulihat beberapa orang yang mencurigakan, entah mereka apakah kawanan anjing
alap-alap?" Segera ia tuturkan pengalamannya di Bong-kang-lau kepada Utti Keng.
"Temanmu Lau Khong itu pernah kudengar namanya. Dia adalah salah seorang tokoh dari
Thian-li-hwe, bergelar Giok-bin-boan-koan, lahirnya seperti sastrawan umumnya, tapi berwatak
keras dan benci kejahatan, bertangan gapah lagi. Mengenai Han Bing itu, aku tidak tahu."
"Kalau orang she Ngo itu, adakah Utti Tayhiap tahu asal-usul mereka?"
"Aku tahu keempat orang itu dari golongan hitam, cuma belum pernah ketemu." Berpikir
sebentar, tiba-tiba ia bertanya pula: "Apakah orang she Cong itu berumur sekitar lima puluhan,
bertubuh tinggi lencir, berparas begini?"
"Sedikit pun tidak salah, Utti Tayhiap kenal dia?"
"Bukan saja kenal, pernah bentrok beberapa kali malah! Orang ini adalah murid durhaka Husiang-
pay yang bernama Cong Sin-liong, secara diam-diam ia menjadi antek Sat Hok-ting."
"Tak heran ilmu silat orang itu sedemikian lihay. Utti Tayhiap, cara bagaimana kau bisa sampai
di sini?" "Benar, kedatanganku tanpa diundang ini, tentu mengherankan kau, biarlah kujelaskan."
"Congpiauthau dari Tin-wan Piaukiok cabang Yangciu ini punya persahabatan yang kental
dengan aku, besok lusa adalah hari ulang tahunnya yang ke enam puluh, aku hendak
menyampaikan selamat ulang tahun kepadanya."
"Siaute memang juga ingin menghaturkan selamat ulang tahun kepada beliau, besok lusa kita
bisa berangkat bersama."
"Kamarku kebetulan berada di depan kamarmu, kira-kira satu jam yang lalu, tiba-tiba kudengar
lambaian pakaian orang berjalan malam lewat di atas genteng, kau tahu aku seorang buronan
yang barusan membuat geger di kota raja, maka tidak bisa tidak aku harus hati-hati, kukira adalah
anjing alap-alap yang meluruk datang hendak mencari gara-gara kepadaku."
"Tak nyana orang ini tidak meluruk ke kamarku, malah menyelundup masuk ke kamarmu.
Kudengar dia menggeledah sana-sini dalam kamar ini, pastilah dia sudah tahu bila kau tidak akan
segera kembali, maka begitu besar nyalinya. Tapi karena aku belum tahu asal-usulnya tidak enak
aku turun tangan secara ceroboh."
"Ginkang orang itu memang lumayan, kukira pastilah dia bukan maling sembarangan. Maka
kutunggu di luar kamarmu."
"Mungkin kau mengira hitam makan hitam bukan?"
"Semula kukira demikian. Sudah kubayangkan beberapa kemungkinan, akhirnya aku
berkeyakinan bahwa kau pasti bukan sembarang orang."
Tiba-tiba Miao Tiang-hong tersentak sadar, katanya: "Celaka!" "Apa yang celaka?" "Lau Khong
ajak Han Bing tamasya di Ji-cap-si-kio, kulihat Han Bing itu bukan orang baik."
"Kau kuatir Lau Khong terjebak oleh perangkap mereka?"
"Ya. Coba pikir, Cong Sin-liong adalah antek Sat Hok-ting yang terpercaya, adanya tokoh
macam dia di Yangciu ini, pastilah tidak mengandung maksud baik, malah dia pun kenal baik
dengar Han Bing." "Benar, kita harus berjaga-jaga dari segala kemungkinan. Lalu kita..."
"Biar kususul ke sana sambil melihat keadaan, Utti-heng, kau boleh tinggal di sini saja."
Utti Keng tahu maksud hati orang, katanya tertawa:."Kau kuatir aku kena perkara bukan"
Begitu pun baik, biar aku, berjaga di sini saja, bila ada kawanan anjing alap-alap kemari, pasti
akan kubekuk batang lehernya." Ia serahkan sebatang Coa-yam-cian kepada Miao Tiang-hong
sambil menambahkan: "Ji-cap-si-kio hanya tiga li dari sini, kalau musuh terlalu banyak, boleh kau
lepas panah ini ke tengah udara, aku akan melihatnya"
---ooo0dw0ooo--- Dengan jantung kebat kebit Han Bing mengikuti langkah Lau Khong beranjak ke Ji-cap-si-kio.
Ji-cap-si-kio memang salah satu tempat tamasya yang terkenal di Yangciu, namanya saja Jicap-
si-kio (dua puluh empat jembatan), kenyataan jembatan di sini tidak sesuai dengan namanya.
Nama aslinya adalah Ang-loh-kio.
"Han-heng," kata Lau Khong. "Masihkah kau ingat percakapan di malam hari pada jembatan
putus di Se-ouw beberapa tahun yang lalu?"
Memang Han Bing sudah waswas, tidak tahu tindakan apa yang akan dilakukan oleh Lau Khong
terhadapnya. Mendengar Lau Khong menyinggung urusan lama, rada lega hatinya, sahutnya:
"Coba biar kuingat-ingat, kejadian ini sudah dua belas tahun yang lalu. Hari kedua seorang diri kau
lantas melanjutkan perjalanan ke utara, mencari guru menemui teman, betul tidak?"
"Untunglah kau masih ingat demikian jelas. Kalau begitu pasti kau ingat juga, malam itu di
jembatan itu, kita memandang jauh ke seberang sana, bernyanyi dan bersenandung membawakan
syair-syair gubahan-gubahan Gak Hwi. Tatkala itu dalam sanubari kita berkobar bara perjuangan
dengan cita-cita tinggi untuk kemerdekaan, kita berjanji, janganlah menyia-nyiakan hidup njasa
remaja kita ini." Han Bing tertawa dibuat-buat, ujarnya: "Hampir sudah kulupakan kalau tidak kau ungkit pula.
Benar, memang ada kejadian itu. Ai, kalau dikatakan amat mengecewakan, Lau-heng, sekarang
kau sudah tenar dan menjagoi kangouw, siaute sebaliknya tenggelam dalam kehidupan tanpa
menghasilkan sesuatu yang berarti bagi nusa dan bangsa."
"Kukira tidak demikian halnya, kabarnya beberapa tahun terakhir ini kau mendapat untung
besar, hidupmu cukup senang."
Mencelos hati Han Bing, katanya: "Dari siapa kau dengar" Beberapa tahun ini siaute hidup di
kampung halaman, mana bisa dikatakan mendapat keuntungan besar segala."
"Apa yang dinamakan 'keuntungan' itu, pandangan masing-masing orang berlainan, biarlah kita
tidak usak membicarakan hal ini. Han-heng, bagaimana menurut pendapatmu mengenai Ji-cap-sikio
dengan Toan-kio (jembatan buntung) itu?"
Heran Han Bing dibuatnya, sahutnya: "Dua tempat ini merupakan tempat tamasya yang
berlainan. Menurut hematku masing-masing mempunyai keindahan sendiri-sendiri, sukar
dibandingkan dan tidak perlu dibandingkan."
"Tepat sekali?Tapi tunjuk sungai dan gunung, membicarakan perjuangan tokoh-tokoh sejarah
yang kenamaan. Menurut pandanganku, Yangciu dan Hangciu mempunyai persamaannya."
"Dalam hal apa yang sama?"
"Di kedua tempat ini, sama-sama pernah muncul pahlawan bangsa yang meninggalkan nama
harum untuk generasi mendatang, demikian juga dalam lembaran sejarah! Gak Hwi di Hangciu
dan Su Khek-hwat di Yangciu, mereka sama-sama adalah patriot bangsa yang gugur demi nusa
dan bangsa. Legenda perjuangan mereka melawan penjajah, patut dijadikan teladan bagi generasi
mendatang bukan?" Han Bing tidak berani bersuara, dengan tutup mulut mereka terus beranjak mulai menaiki
undakan batu Ji-cap-si-kio.
Berkata pula Lau Khong sambil mendongak: "Kabarnya Su Khek-hwat pernah bersumpah di
atas jembatan ini untuk melawan penjajah Boan sampai titik darah penghabisan, malam ini
sengaja kau kuajak ke Ji-cap-si-kio ini, adalah karena aku kuatir kau melupakan perjuangan para
patriot bangsa ini."
"Lau-heng," Han Bing tertawa getir. "Siaute hidup tentram di kampung halaman, kini sudah
tidak berdarah panas seperti masa mudaku dulu. Orang macamku ini, sebetulnya memang bukan
enghiong segala." "Tidak perlu kita harus menjadi enghiong, tapi paling tidak jangan lupa bahwa kita ini orang
bangsa Han. Sekarang hidup kita masih berada di Yangciu, memangnya kau sudah melupakan
peristiwa sepuluh hari di Yangciu dan tragedi Ka-ting yang meninggalkan lembaran hitam dalam
sejarah itu?" Berkata Han Bing dengan suara bergetar: "Aku hanya ingin hidup bersahaja selama hayatku.
Kalau ingat kenapa, kalau tidak ingat kenapa pula?"
"Aku tidak ingin memaksamu untuk menempuh bahaya sehingga keluargamu hancur dan jiwa
melayang secara sia-sia Tapi kalau masih ingat dendam negara dan sakit hati keluarga, seumpama
tidak berdiri di pihakku, tidak patut kau bantu kelaliman menindas bangsa sendiri." Suaranya
semakin pedas dan bengis.
"Meski siaute tidak becus, rasanya tidak sampai hati berbuat serendah itu."
"Baik, kalau begitu beritahukan sejujurnya kepadaku, siapakah sebenarnya orang she Cong
itu?" "Dia adalah seorang tokoh dari Hu-siang-pay, she Cong bernama Sin-liong."
"Cara bagaimana kau bisa berkenalan dengan dia?"
Agaknya Han Bing rada dongkol, katanya: "Lau-heng, jadi kau hendak mengompes aku"
Ataukah hendak bicara persoalan lama" Jelek-jelek Cong Sin-liong itu adalah seorang bulim
cianpwe, berkenalan dengan seorang tokoh cianpwe memangnya ada jeleknya?"
Lau Khong mendengus, jengeknya: "Ketahuilah, Cong Sin-liong sudah lama diusir dari Husiang-
pay, kau tidak tahu apa pekerjaannya sekarang?"
Han Bing melengak kaget, tanyanya: "Aku tidak tahu."
"Sekarang dia menjadi antek paling setia dari komandan Gi-lim-kun dari kerajaan Ceng di
bawah pimpinan Sat Hok-ting."
Diam-diam Han Bing mengeluh dalam hati, batinnya: "Kiranya dia sudah tahu rahasianya Cong
Sin-liong. Ai, sebetulnya aku tidak ingin terseret ke dalam pertikaian ini, tapi meski kukatakan
secara terus terang pun belum tentu dia suka memaafkan aku."
Dengan mendelik tajam Lau Khong menatapnya lekat-lekat, Han Bing pura-pura terperanjat,
tanyanya: "Apa betul?"
"Han-heng, kau seorang sekolahan, seharusnya kau tahu sekali terperosok jatuh kau akan
menyesal selamanya, kalau tidak lekas berpaling demi hidup dan keluargamu, kau bisa celaka
setelah terlambat. Kalau kau memang tertipu oleh Cong Sin-liong, biar sekarang kuberi tahu terus
terang kepadamu, waktunya masih belum terlambat. Kalau tidak, hm, hm, meski aku masih ingat
akan persahabatan lama, para orang-orang gagah dari kaum pendekar di kangouw pasti tidak
akan memberi ampun kepadamu."
Keringat dingin bercucuran membasahi badan, kata Han Bing ketakutan: "Lau-heng, apa yang
harus kukatakan sekarang?"
"Cong Sin-liong mengundang kau untuk bertemu di Yangciu, sebetulnya apa rencananya,
orang-orang dari golongan mana pula kawanan orang she Ngo itu?"
Han Bing tergagap, katanya:
"Ai, tidak. Aku hanya bertemu secara kebetulan saja. Aku hanya tahu bahwa Ngo Hong adalah
salah seorang pentolan dari kalangan hitam, yang lain-lain sama sekali tidak kukenal mereka."
"Han Bing, hari ini banyak yang sudah kukatakan kepadamu, tidak lain aku mengharap supaya
kau lekas berpaling dan insyaf akan kesalahanmu, jangan sampai terperosok ke jalan sesat. Kalau
kau berkukuh dan tidak bertobat, janganlah kau salahkan aku tidak ingat persahabatan lama kita.
Akan datang suatu ketika aku dapat menyelidiki dengan terang seluk-beluk sepak terjangmu dan
mereka selama ini. Sudahlah, kata-kataku sampai di sini saja, jagalah dirimu baik-baik, selamat
tinggal!" Kaget sekali Han Bing dibuatnya, teriaknya: "Lau-heng. tunggu sebentar. Biarlah kuberi tahu
duduk persoalan sebenarnya."
Tak nyana belum lagi suaranya lenyap, serangan senjata rahasia tiba-tiba sudah menyerang
tiba. Malah senjata rahasia yang menyerang datang ini bukan hanya satu saja. "Wut" lekas Lau
Khong puj kulkan telapak tangannya menyam-puk jatuh dua batang, sekali raih pula, ia
menyambuti dua batang, tapi toh masih ada satu batang melesat ke arah Han Bing.
Waktu Lau Khong menegasi kedua senjata rahasia yang ditangkapnya itu tidak lebih hanyalah
dahan pohon liu sepanjang tiga dim. Agaknya orang, itu meraih dahan pohon liu lalu
memotongnya menjadi lima kutungan untuk dibuat senjata rahasia. Ilmu senjata rahasia tingkat
tinggi dapat menggunakan daun atau kelopak kembang untuk melukai orang, meski oraag baru
bisa menggunakan dahan pohon sebagai bahan senjata rahasia, tapi toh ilmunya dicangkokkan
dari aliran yang sama, boleh dikata sudah mencapai tingkat yang mengejutkan pula.
Kontan Han Bing menjerit ngeri dan jatuh semaput. Sebagai seorang ahli silat, meski
mendengar orang menjerit, tapi dari suara orang ia dapat membedakan walau luka-lukanya tidak
ringan namun masih tidak sampai membahayakan jiwanya. Keruan gusarnya bukan main,
bentaknya: "Membokong dengan senjata rahasia terhitung orang gagah macam apa" Kalau berani
silakan keluar mengukur kepandaian sejati dengan aku." Sembari bicara cepat ia melesat terbang
menubruk ke arah orang yang menyambitkan senjata rahasia.
Orang itu memutar badan sambil menghentikan langkah, katanya dengan nada berat: "Jiwamu
sendiri belum tentu bisa selamat, masih main..." Dari nada bicaranya jelas ia hendak melabrak Lau
Khong habis-habisan, tapi di saat ia memutar badan itulah dari gerombolan pohon kelapa sana
mendadak dilihatnya sesosok bayangan hitam menerjang keluar, maka sebelum ucapannya selesai
dikatakan, lekas ia putar badan pula terus lari sipat kuping.
Orang yang menerobos keluar dari hutan kelapa ini bukan lain adalah Miao Tiang-hong.
Hanya terpaut tiga langkah lebar saja Lau Khong tidak berhasil me-nyandak orang, sekejap
mata orang sudah berlari puluhan tombak jauhnya, diam-diam hatinya mengeluh.
Ternyata Miao Tiang-hong sudah mencegat jalan lari orang itu, bentaknya: "Lari ke mana?" "
" "Sret" pedangnya lantas menusuk. Dia tahu bahwa lawan cukup tangguh, maka tusukannya ini
menggunakan seluruh tenaganya, lihay dan ganas pula.
Langkah orang itu tidak terganggu sedikit pun, tahu-tahu tangannya mengembang tutupkan
sebatang kipas, "Serrr" dengan enteng ia mengebut, menyanggah miring batang pedang, tusukan
pedang Miao Tiang-hong seketika kena tertuntun miring ke samping menusuk tempat kosong.
Kejadian berlangsung teramat cepat, begitu mengatupkan kipas, senjata kipasnya ia gunakan
sebagai Boan-koan-pit, dengan ganas balas menotok ke Hiat-to berbahaya di badan Miao Tianghong.
Meski kaget Miao Tiang-hong tidak menjadi gugup, lekas ia putar pedang memantulkan tujuh
kuntum kembang pedang, sejurus dua tipu, di samping menjaga diri sekaligus ia balas menyerang.
Begitu ketujuh kuntum kembang pedangnya me-rangsak turun, dapat berubah pula menjadi tujuh
kali totokan ujung pedang yang berbahaya, sekaligus balas menusuk tujuh Hiat-to di badan lawan.
Tak nyana serangan kipas orang itu hanya gerakan gertak sambal belaka, sedikit mengebut dan
me-nyampuk, sebat sekali tahu-tahu ia sudah lolos dari kepungan ketujuh kuntum kembang sinar
pedang yang mengurungnya.
"Sambut pukulanku!" mendadak Lau Khong menghantam ke arah jalan lari orang itu, sambil
melangkah lebih cepat satu tapak lebar. Sambil mendengus orang itu menepukkan tangan kiri,
sementara kipas lipat di tangan kanannya ikut menyambar balik ke belakang.
Begitu telapak tangan kedua pihak saling bentur, Lau Khong tergeliat sekali dan tergentak
mundur setapak. Sementara kipasnya yang membalik tepat menangkis tusukan pedang Miao
Tiang-hong, secepat kilat tahu-tahu sudah meluncur lewat dari samping badan Lau Khong. Kuatir
melukai Lau Khong sendiri terpaksa tiga serangan berantai Miao Tiang-hong hanya sempat
ditusukkan sekali saja, sekejap mata orang itu pun sudah lari jauh.
"Kita tilik dulu keadaan Han Bing!" lekas Miao Tiang-hong berkata.
Han Bing terkena timpukan dahan pohon liu itu tepat pada lambungnya, lekas Miao Tiang-hong
menggunakan ilmu totok menghentikan darah keluar, lalu ia cabut keluar dahan pohon itu, serta
dibubuhi Kim-jong-yok pula. Tak lama kemudian perlahan-lahan Han Bing siuman dari pingsannya.
Begitu sadar Han Bing lantas berseru memaki: "Cong Sin-liong, kau, kau sungguh kejam!"
Soalnya tadi ia tidak melihat jelas siapa yang menyerang dirinya, maka ia beranggapan pastilah
perbuatan Cong Sin-liong.
"Orang itu bukan Cong Sin-liong," kata Lau Khong. "Miao-toako, tahukah kau siapa dia itu ?" "
"Orang itu aku pun belum pernah melihatnya. Tapi..."
"Tapi bagaimana..."
Miao Tiang-hong termenung sebentar, katanya sesaat kemudian: "Tokoh yang bisa
menggunakan kipas lipat sebagai Ngo-heng-kiam, dalam kalangan bulim cuma beberapa orang
saja. Tipu permainan silat orang itu jauh berlainan pula dengan ajaran silat dari golongan
Tionggoan umumnya. Dalam hati aku sudah curiga kepada seseorang, tapi lebih baik kita pulang
dulu ke hotel saja, biar kita bicarakan pula dengan Utti Keng lebih lanjut."
Kaget dan girang Lau Khong dibuatnya, serunya: "Ah, jadi Utti Tayhiap juga sudah tiba di sini?"
"Betul, kebetulan dia menginap di hotel yang sama dengan aku. Dia pernah menyinggung
dirimu, dia pun sudah tahu asal-usulmu. Han-heng terluka cukup berat, perlu mencari tempat
untuk istirahat merawat luka-lukanya ini, lebih baik kita kembali saja ke hotelku itu!"
Lau Khong tertawa, ujarnya: "Kita masuk hotel sambil membawa orang terluka, mungkin bisa
bikin kaget pemilik hotel. Tapi ya, apa boleh buat!" Segera ia gendong Han Bing, bersama Miao
Tiang-hong kembali ke hotel.
Waktu tiba di luar hotel itu, kebetulan Utti Keng sedang mengantar seorang tamu keluar.
Melihat mereka menggendong seorang terluka pulang, Utti Keng kaget, tanyanya: "Apakah
saudara ini Lau-heng?"
"Siaute memang Lau Khong adanya. Dia adalah sahabatku, namanya Han Bing."
"Bagus, marilah masuk bicara di dalam saja," ajak Utti Keng.
Tamu itu lantas berkata: "Wah, kiranya tuan ini adalah Lau-ya, Utti
Tayhiap, kalian ada urusan, aku tidak mengganggu kalian lagi. Besok harap datang bersama
para kawan-kawan ini!"
Setelah tamu itu pergi, Miao Tiang-hong bertanya: "Siapakah tamumu ini?"
Utti Keng menjelaskan: "Dia adalah murid Ong Thian-thong. Kabar yang didapat Ong Thianthong
sungguh cepat dan tepat, tahu aku akan menyampaikan selamat ulang tahun, belum lagi
aku tiba di pintu rumahnya, dia sudah mengutus orangnya menyambut aku. Kukatakan hendak
menunggu seorang teman, sudah kujanjikan besok pagi-pagi, pasti akan datang bersama kau."
Pemilik hotel memang amat kaget, tapi ia tahu bahwa Utti Keng beramai adalah kawan Ong
Thian-thong, terpaksa ia terima juga kedatangan mereka. Untunglah waktu itu sudah hampir
kentongan ketiga, banyak tamu-tamu sudah tutup pintu dan tidur, tiada orang yang melihat. Utti
Keng pun menyogoknya dengan sekeping uang perak, katanya: "Kau jangan ribut dan banyak
mulut, besok pagi pasti kami pindah dari sini."
Setelah berada di dalam kamar, dengan hawa murni Utti Keng yang ampuh, dia mengurut dan
bantu melancarkan jalan darah Han Bing yang terluka, maka darah mati yang sudah mengental di
luka-lukanya dengan cepat sudah dibikin normal, setelah dibubuhi obat luka lagi, jiwanya tidak
perlu dibuat kuatir. Setelah repot setengah harian, berkata Utti Keng: "Biarlah Han-toako istirahat dulu, sekarang
coba kalian terangkan kepadaku, siapakah yang melukainya" Bentuk luka-lukanya itu rada aneh
sekali." "Dalam hal apa yang aneh?" tanya Miao Tiang-hong tertawa.
"Ini bukan luka-luka panah biasa. Menurut penglihatanku senjata rahasia ini sedikit lebih besar
dari Toh-kut-ting, sedikit kecil dari panah tangan, tapi pasti bukan senjata rahasia yang terbuat
dari besi atau baja. Di daerah Ji-cap-si-kio banyak terdapat pohon Liu, mungkin orang itu memetik
dahan pohon, lalu ditimpukkan ke arah Han Bing dengan tenaga lwekang yang hebat bukan"
Meskipun latihan ilmunya belum mencapai tingkatan tertinggi, sudah boleh dikatakan setaraf
dengan kepandaian Menimpuk Daun Menerbangkan Kembang Melukai Orang. Cara sambitan
senjata rahasia orang ini pun agaknya berlainan dengan kepandaian kaum persilatan di Tionggoan
umumnya. Ou, apakah orang itu Cong Sin-liong?"
Melihat orang menganalisa sedemikian tepat dan persis seakan-akan dirinya menyaksikan
sendiri, sungguh Miao Tiang-hong amat kagum dibuatnya, katanya tertawa:
"Utti-toako, meski rekaanmu meleset tapi tidak berbeda banyak. Aku pun curiga bila orang itu


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasti salah seorang tokoh kosen dari Hu-siang-pay."
Miao Tiong-hong lalu melukiskan bentuk muka dan perawakan orang itu, katanya: "Dia
mengenakan topi rumput yang lebar, ditarik rendah sehingga menutupi setengah mukanya, tapi
toh masih sempat kulihat juga, kira-kira berusia tiga puluhan, agaknya berdandan seperti anak
sekolahan." Utti Keng melengak kaget, katanya: "Orang sekolahan berusia tiga puluhan tahun,
menggunakan sebatang kipas sebagai senjata" Ini, ini..."
"Siapakah orang itu?" "Kalau benar seperti apa yang kau katakan, pastilah orang itu adalah Boh
Cong-tiu. Em, wah, sungguh membuat aku rada tidak percaya."
"Utti-toako, aku perlu memberi tahu sesuatu kepada kau. Waktu di Pakkhia aku bertemu
dengan Kwi-hwe-thio dan Li-ma-cu. Dengan mata kepala mereka sendiri pernah melihat Boh
Cong-tiu mondar-mandir di markas besar komandan pasukan Bhayangkari." Lalu ia ceritakan intrik
antara Boh Cong-tiu dengan Pakkiong Bong kepada Utti Keng.
Utti Keng menghela napas, ujarnya: "Semula aku memang sudah curiga, soalnya dia pernah
membantu aku di saat aku terkepung oleh kawanan anjing alap-alap, maka kukira aku salah
mencurigai orang sendiri. Tak nyana kejadian tempo hari itu justru tipu yang memang sudah
direncanakan bersama Pakkiong Bong lebih dulu."
Baru sekarang Lau Khong paham maksud tujuan Miao Tiang-hong, kenapa sampai sekarang
baru dia mau membeber rahasia orang itu, tidak lain supaya Utti Keng sendiri mau percaya dan
membuktikan bahwa orang itu pastilah Boh Cong-tiu adanya. Katanya: "Pernah kudengar,
kabarnya Boh Cong-tiu dan Cong Sin-liong tidak akur, entah benar tidak kabar ini"
"Betul," sahut Miao Tiang-hong. "Boh Cong-tiu ada sekongkol sama Pakkiong Bong, sementara
Cong Sin-liong terima menjadi antek Sat Hok-ting, banyak kaum persilatan yang sudah tahu akan
hal ini." "Kalau begitu, bukan mustahil Pakkiong Bong dan Sat Hok-ting sama-sama mengutus jago-jago
silatnya meluruk ke Yangciu semua. Memangnya mereka pun hendak menyampaikan selamat
ulang tahun kepada Ong Thian-thong" Tidak lebih Ong Thian-thong hanyalah seorang pimpinan
cabang sebuah piaukiok, buat apa Sat Hok-ting dan Pakkiong Bong harus mengambil hatinya.
Kukira di belakang persoalan ini pasti ada latar belakangnya."
Saat itu Han Bing sudah pulih sebagian besar kesehatannya, katanya menyeletuk: "Miao
Tayhiap, Lau-toako, kalian sudah menolong jiwaku, kalian tidak mengompes aku, adalah pantas
bila aku bicara terus terang kepada kalian. Ai, sungguh mengecewakan. Lau-toako, kau, sudikah
kau memaafkan aku?" "Tahu salah mau bertobat, paham inilah yang sering diajarkan oleh Nabi kita. Han-toako,
memang aku menunggu kata-katamu ini."
Berkata Han Bing: "Untuk membeber persoalan ini aku harus mulai dari ayah mertuaku. Tahun
lalu baru siaute melangsungkan pernikahan, dalam hal ini Lau-toako tentu sudah tahu bukan?"
"Kabarnya Han-heng mendapat isteri cantik dari keluarga hartawan besar, hidup bahagia,
siaute belum sempat menyuguhkan arak kegirangan kepada kau."
"Keluarga hartawan besar apa segala," ujar Han Bing tertawa kecut. "Ayah mertuaku memang
punya simpanan uang, itulah benar. Dia adalah pedagang garam di Tiang-loh."
Kota Tiang-loh terletak di kare-sidenan Jiang-ciu di wilayah Ho-pak. Jiang-ciu merupakan
daerah penghasil garam terbesar di sepanjang sungai Tiangkang sebelah utara, Tiang-lok-tin
merupakan pusat transpot dari hasil semua garam-garam setempat. Lima besar propinsi utara
kebanyakan memerlukan jatah garam dari Tiang-loh.
"Kalau demikian," Utti Keng ikut bicara, "ayah mertuamu kan bukan golongan persilatan,
kenapa pula ada sangkut pautnya dengan urusan saudara hari ini?"
"Meskipun dia bukan kaum persilatan, tapi dia ada hubungan dagang dengan para pedagang
garam di Yangciu ini, maka beliau pun menjadi langganan tetap dari Tin-wan Piaukiok cabang
Yangciu ini. Siaute bisa berkenalan dengan Ong-congpiauthau adalah karena hubungan dagang
ayah mertuaku ini, ya bolehlah dikatakan sebagai kenalan baik."
"Memangnya kenapa?" "Suatu hari, pengurus besar dari pengangkutan garam di Tiang-loh ada
memanggil ayah mertuaku ke kantornya, semula kukira hanya panggilan biasa saja, tak nyana
Cong Sin-liong itu pun ada hadir di sana."
"Kalau begitu, sebetulnya sudah lama kau tahu asal usul Cong Sin-liong?" Lau Khong menegas.
Merah muka Han Bing, katanya malu: "Tidak sepantasnya aku mengelabui kau. Memang sejak
pertemuan kali itu, dia sudah lantas menerangkan asal-usul dirinya." "Apa yang dia kehendaki?"
"Dia minta aku sebagai perantara."
"Perantara, perantara apa?"
"Dia tahu aku ada kenal baik dengan Ong Thian-thong, katanya dia ingin memberikan selamat
hari ulang tahun kepada Ong Thian-thong di Yangciu ini, minta supaya aku memperkenalkan
dirinya. Dan lagi ada sebuah urusan penting, minta supaya aku membujuk Ong Thian-thong
membantu dia menyelesaikan."
"Tidak lepas dari dugaan semula, mengucapkan selamat hari ulang tahun tidak lebih hanyalah
alasan belaka. Memangnya urusan rahasia apa yang begitu penting, bisakah kau menjelaskan?"
"Katanya di dalam perayaan hari ulang tahunnya itu, Cong Sin-liong hendak menangkap
seorang buronan, oleh karena itu dia harus rpemberi tahu lebih dulu kepada Ong Thian-thong,
seumpama Ong Thian-thong tidak bisa membantu urusannya itu, orang pun tidak bisa menolak
keinginannya ini." "Dia tidak takut membeber rahasia pribadinya sendiri?" tanya Utti Keng.
"Perhitungan dan rencana Cong Sin-liong cukup masak, tiba pada waktunya dia hendak
menantang kepada orang itu, pura-pura hendak menyelesaikan urusan menurut aturan kangouw,
lalu meringkus orang itu dan dibawa pergi. Kalau toh orang itu memang benar seorang buronan,
tentulah dia takut urusannya merembet Ong Thian-thong, maka dia sendiri pun tentunya tidak
berani menerangkan asal usul pribadi sendiri. Dengan demikian, bila Ong Thian-thong mau tutup
mulut dan tidak membeber rahasianya, maka orang lain pun tidak akan tahu seluk beluk urusan
Si Kumbang Merah 18 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk 5
^