Pencarian

Kelana Buana 22

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 22


Ong Giu adalah murid tertua Ong Thian-thong, kepandaian silatnya sebetulnya tidak lemah, tak
nyana dengan gampang Beng Goan-cau berhasil merebut barang dari tangannya, keruan kaget
dan gusar pula, katanya dingin: "Jadi kalian sengaja datang hendak mempermainkan orang?"
Leng Thiat-jiau cukup cerdik dan cermat, semula ia pun tertegun, lalu dilihatnya Beng Goan-cau
dan Nyo Bok sama-sama berubah air muka, ia lantas tahu bahwa tamu di hadapannya ini tentu
kurang beres, segera ia menimbrung: "Harap saudara Ong jangan salah paham, kalau toh saudara
Ong merasa kartu nama ini kurang hormat, biarlah kami menyediakan kado yang lain saja."
Memang Leng Thiat-jiau berdua tidak membawa kado, bahwa dia mengatakan kado lain itu
berarti mereka harus keluar membelinya dulu. Ong Giu berpikir: "Kalau toh mereka tahu diri dan
mundur teratur, biarlah mereka pergi saja." Ong Giu menyangka mereka kenal Nyo Bok, karena
gentar akan nama besar Nyo Bok, mereka tahu gelagat dan mengundurkan diri.
Nyo Bok segera tampil ke depan, katanya: "Saudara sudah berada di sini, kenapa harus pergi"
Mari kita berkenalan!"
Kiranya melihat roman muka Beng Goan-cau berubah, diam-diam Nyo Bok sudah curiga, maka
ia mencari alasan hendak menjajal kepandaian Beng Goan-cau, beberapa kali ia pernah bergebrak
dengan Beng Goan-cau, sekali jajal lantas dia akan tahu apakah betul orang ini adalah Beng Goancau.
Leng Thiat-jiau maju selangkah, katanya sambil mengulur tangan:
"Baik, mari kita berkenalan!"-
Nyo Bok tidak langsung ajak Beng Goan-cau berkenalan, untuk mundur tidak mungkin lagi,
terpaksa ia berjabatan tangan dengan Leng Thiat-jiau.
Begitu kedua tangan saling genggam, Nyo Bok diam-diam kerahkan kekuatan Kim-kong-liokyang-
jiu kebanggaannya maksudnya hendak bikin Leng Thiat-jiau mendapat malu di muka umum,
tak nyana begitu lwekangnya dikerahkan, seketika membanjir keluar seperti hanyut ke dalam
lautan tanpa bekas, sedikit pun ia tidak berhasil menjajaki sampai di mana taraf kepandaian orang.
Karena kaget Nyo Bok lekas menarik tangan. Leng Thiat-jiau tidak bikin susah orang, ia pun
lepas tangan, katanya tertawa lebar: "Jadi tuan adalah Nyo-busu dari Siok-ciu."
Nyo Bok tidak berhasil meraba kepandaian orang, sebaliknya Leng Thiat-jiau tahu asal-usul
dirinya, keruan semakin mencelos hatinya, katanya: "Tidak berani, siapakah tuan ini" A... aduh,
aduh..." Leng Thiat-jiu tertawa dingin, ujarnya: "Aku orang gunung dari kalangan jagal anjing, mana
dapat dibanding Nyo-busu yang terkenal di bulim, tidak perlulah kusebut namaku yang rendah."
Sembari bicara matanya menatap tajam kepada Nyo Bok.
Dilihat Nyo Bok berdiri bergetar, keringat dingin membanjir di atas jidatnya, gigi pun gemeretak
kencang. Ternyata lwekang yang dikerahkan Leng Thiat-jiau membawa gelombang susulan yang
bertenaga luar biasa, baru sekarang kekuatan remasan tangannya kumat di dalam badan orang.
Bun Seng-liong terperanjat, lekas ia berteriak: "Suhu kenapa kau?" Lekas ia maju hendak
mema-yang gurunya. Di luar tahunya, Nyo Bok sedang mengerahkan hawa murni untuk
memunahkan sisa tenaga lawan yang mengeram dalam badannya, baru saja kedua tangan Bun
Seng-liong menyentuh kulit badan Nyo Bok, seketika ia tergetar mencelat dan roboh terjengkang.
Melihat Bun Seng-liong terbanting roboh, Ong Giu tidak berani menariknya bangun, segera ia
mengulurkan pedangnya bersama sarungnya ke depan orang, Bun Seng-liong mencelat bangun
sambil menangkap ujung pedangnya, matanya melotot gusar
ke arah Leng Thiat-jiau. Leng Thiat-jiau tertawa geli, ujarnya: "Buat apa kau"
melotot kepadaku" Gurumu sendiri yang membanting kau,
peduli apa dengan aku?"
Betapapun Nyo Bok seorang persilatan yang punya
lwekang yang tangguh, tiga kali ia salurkan hawa murninya
berputar dalam badannya, darah sudah berjalan normal
kembali, rasa sesak dan mual di rongga dadanya seketika
sirna. Demi menjaga nama dan gengsi, meski kena dirugikan
mentah-mentah, namun ia tidak berani sesumbar, terpaksa
tertawa getir, katanya: "Hebat benar kepandaian tuan ini."
"Nyo-busu, apa yang kau katakan aku tidak mengerti. Aku
hanya bisa bunuh anjing jagal babi, punya kepandaian apa
segala?" Di saat situasi serba kaku dan kikuk, untunglah dari luar ada orang berseru melapor: "Tamu
datang!" Tampak sepasang suami istri pertengahan umur beranjak masuk. Ternyata Ciok Heng
dan Siang Ceng suami istri dari Hu-siang-pay.
Ciok Heng pernah bertemu muka dengan Nyo Bok di Thay-san tempo hari, melihat keadaan
orang yang serba runyam itu, dilihatnya muridnya pun sedang melotot gusar kepada laki-laki
kekar, keruan ia heran dan tak habis mengerti. Lekas ia maju dan menyapa: "Nyo-busu, kau pun
sudah datang di sini, tadi..."
"Tiada apa-apa, silakan duduk!" segera Ong Giu menyela bicara. Sengaja ia tidak hiraukan Leng
dan Beng berdua, tujuannya supaya orang tahu diri dan lekas mengundurkan diri.
Leng Thiat-jiau berpikir: "Tanpa sebab dan tujuan pasti Nyo Bok tidak akan datang memberi
selamat ulang tahun kepada Ong Thian-thong, mungkin ada anjing alap-alap yang mengikuti di
belakangnya." Segera ia berdiri ke depan dan hendak pamitan.
Tak nyana baru saja ia hendak membuka mulut, terdengar pula seseorang berseru di ambang
pintu: "Lo-pangcu telah tiba!"
Kaget dan senang pula Leng Thiat-jiau, lekas ia telan kembali kata-kata yang sudah sampai di
ujung lidahnya, ia mundur kembali ke tempat semula. Dilihatnya seorang laki-laki berperawakan
tinggi kasar melangkah lebar ke dalam pintu, begitu melangkah masuk suaranya yang serak keras
itu lantas berkumandang: "Orang she Lo datang menyampaikan selamat ulang tahun kepada
sahabat karib! Em, Ong Giu, mana gurumu" Lekas suruh gurumu keluar menerima
persembahanku." Pendatang ini bukan lain adalah Hay-soa-pang Pangcu Lo Kim-ou yang hendak diajak berunding
oleh Leng Thiat-jiau. Ong Giu menjawab: "Harap Lo-pangcu suka tunggu sebentar, suhu ada sedikit urusan.
Sebentar biar aku masuk memberi laporan."
Bertaut alis Lo Kim-ou, katanya: "Bukan aku tidak tahu aturan, mendesak gurumu untuk keluar
menemui aku. Soalnya aku pun ada urusan penting, mungkin tidak bisa minum arak perjamuan
gurumu. Adakah urusan yang terlalu penting melibat gurumu?"
Semula Leng Thiat-jiau hendak mengundurkan diri, mendengar kata-kata Lo Kim-ou ini, segera
ia urungkan niatnya. Ong Giu serba susah, katanya: "Aku pun tidak tahu ada urusan apa. Lo-pangcu, kalau kau
segera hendak pergi, silakan duduk sebentar, biar aku masuk laporan kepada Suhu!" Kebetulan Jisutenya
Ho Siu dan Si-sutenya Teng Ping berjalan masuk bersama
Ho Siu adalah seorang bera-ngasan, waktu tiba di undakan batu, lantas dia bertanya kepada
seorang penjaga pintu: "Tamu galak itu sudah pergi belum?" Penjaga pintu itu lekas mendesiskan
mulut, barulah Ho Siu maklum sambil manggut dan tidak bertanya lebih lanjut
Walau pertanyannya tidak begitu keras, tapi orang-orang di dalam ruang tamu adalah tokohtokoh
silat yang punya dasar latihan lwekang tinggi, semua mendengar jelas.
Lo Kim-ou heran dan curiga, pikirnya: "Tamu galak yang dimaksud bukan aku kiranya?" Serta
merta pandangannya lantas ditujukan ke arah Nyo Bok, pikirnya: "Melihat keadaan dan sikapnya,
lwekang laki-laki pertengahan umur ini agaknya cukup lihay, mungkinkah dia?"
"Sute, kebetulan kalian sudah datang, bantulah menemani para tamu," Ong Giu segera berkata.
"Em, Lo-pangcu, inilah Nyo-busu dari Siok-ciu. Bun-toako ini adalah seorang kerabat dari piaukiok
kami, dia pun murid terbesar dari Nyo-busu." Ia hanya memperkenalkan Nyo Bok berdua, sengaja
bersikap dingin dan tidak ambil peduli kepada Leng dan Beng, secara diam-diam ia mau berkata
bahwa tamu galak bukanlah Nyo Bok berdua.
Nyo Bok segera tampil ke depan, "Lo-pangcu, selamat bertemu, selamat bertemu."
Lo Kim-ou berkata: "Nama besar Nyo-busu sudah lama kukenal." Mereka lantas berjabatan
tangan, seketika Lo Kim-ou merasakan sesuatu yang ganjil, katanya "Apakah Nyo-heng barusan
adu lwekang dengan seseorang?"
Nyo Bok tertawa getir, sahutnya: "Adu lwekang sih tidak, cuma barusan aku mencoba
kepandaian dengan saudara tamu ini."
Sorot mata Lo Kim-ou beralih kepada Leng Thiat-jiau dan Beng Goan-cau, katanya: "Kedua
sahabat ini adalah..."
"Kedua sahabat ini tidak mau memperkenalkan diri, mereka sudah datang setengah jam yang
lalu, minta bertemu dengan suhu, namun sayang mereka tidak sudi memperkenalkan diri," lekas
Ong Giu menjelaskan. "O, kiranya tokoh-tokoh kosen, maaf aku tidak tahu diri, aku orang she Lo ingin berkenalan.
Kawan, mari kita berkenalan!"
Leng Thiat-jiau bergelak tertawa, ujarnya: "Lo-pangcu, kau sudah tidak kenal kepadaku lagi?"
Wajah Leng Thiat-jiau sudah dirias dan menyamar, namun suaranya tetap semula, tapi urusan
sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, sesaat Lo Kim-ou tidak mengingatnya, cuma ia rasa suara
orang seperti sudah dikenalnya. Tapi ia tetap ulurkan tangannya, katanya: "O" Maaf akan mataku
yang sudah lamur ini, aku tidak kenal saudara lagi, di manakah kita pernah bertemu?"
Leng Thiat-jiu ulur tangan berjabatan, diam-diam ia salurkan hawa murninya, memunahkan
tenaga dalam orang yang memberondong tiba, namun tidak balas menyerang. Keruan Lo Kim-ou
melengak kaget, serunya: "Kau, kau adalah..."
"Dua puluh tahun yang lalu," ujar Leng Thiat-jiau, "Siaute pernah bertemu dengan Lo-pangcu di
Hap-kiang. Tapi waktu itu ada tujuh delapan orang yang hadir, kejadian sudah berselang sekian
lamanya, tidak heran kalau Lo-pangcu tidak ingat lagi."
Dua puluh tahun yang lalu Lo Kim-ou baru saja keluar kandang dan mengembara, di Hap-kiang
dia mengalami sergapan dari tujuh orang musuh tangguhnya, kebetulan Leng Thiat-jiau berhasil
menolong jiwanya, Leng Thiat-jiau menyinggung kejadian lama, sudah tentu Lo Kim-ou lantas
paham dan tahu. Kaget dan senang pula Lo Kim-ou, pikirnya: "Dia sudah menjadi pimpinan tertinggi dari laskar
gerilya di Siau-kim-jwan, untuk urusan apa dia muncul di sini" Tapi aku tidak boleh membongkar
asal usulnya di tempat ini."
Nyo Bok segera maju mendekat, katanya: "O, jadi kalian adalah sahabat lama."
"Ya, aku pun tidak mengira bakal bertemu sahabat lama di tempat ini. Thio-toako, apa kau
sengaja datang hendak menyampaikan selamat ulang tahun kepada Ong-lopiauthau" Kalau toh
berada di Yangciu, kenapa tidak memberi kabar dulu kepadaku?" Lo Kim-ou berwatak berangasan,
namun ia cukup cerdik dan cermat, seenaknya saja ia pura-pura memberi nama palsu kepada
Leng Thiat-jiau. Maklumlah orang yang she Leng amat jarang, ilmu silat Leng Thiat-jiau pun
sedemikian tinggi, kalau dia langsung memanggil "Leng-toako", mungkin Nyo Bok akan segera
tahu siapa dia sebenarnya.
Ong Giu menjadi rikuh, katanya: "Kiranya kalian adalah sahabat lama, itulah lebih baik. Thiosiansing,
tidak perlu kau siapkan kado lain lagi, biarlah kulaporkan kepada suhu!"
Begitu Ong Giu mengundurkan diri, Lo Kim-ou lantas berkata: "Thio-toako, aku tidak tahu bila
kau pun bersahabat baik dengan Ong-lopiauthau, sayang aku tidak bisa mengiringi kau makan
minum di sini." Leng Thiat-jiau maklumi kata-kata orang, sahutnya: "Aku datang secara kebetulan saja,
sebetulnya mana berani aku menjajarkan diri bersahabat dengan Ong-lopiauthau, tadi mereka toh
tidak mau melaporkan kedatanganku."
Ji-sute Ong Giu, Ho Siu segera maju mohon maaf: "Tadi hanyalah salah paham saja, harap
Thio-siansing tidak berkecil hati."
Leng Thiat-jiau tertawa, ujarnya: "Kalian tidak maki aku si 'tamu galak' ini, aku sudah berterima
kasih. Gurumu sedang punya urusan, aku pun datang karena kagum akan nama besarnya, kini
aku sudah berada di sini, anggap sebagai pelimpahan rasa kagumku, tidak perlu bikin susah
gurumu untuk menemui kami. Kami mohon diri saja!"
"Lebih baik kalau tamu-tamu galak ini pergi," demikian batin Ho Siu, namun ia pura-pura
menahan dengan bujukan kata-kata halus, namun toh ia mengiringi tamu-tamunya keluar.
Tak nyana Lo Kim-ou segera ikut berkata: "Ho-lote, aku pun hendak pergi, di hadapan gurumu,
sampaikan permohonan maafku."
Keruan Ho Siu terperanjat, katanya: "Ong-suheng sudah memberi laporan kepada suhu, Lopangcu,
betapapun repot urusanmu, kiranya tidak menjadi halangan kau menunggunya sebentar."
"Besok aku bisa datang lagi, hari ini aku harus menemani sahabat lamaku ini," demikian ujar Lo Kim-ou
tertawa. Lo Kim-ou beranjak keluar bersama Leng dan Beng, Ho Siu tidak berani menghalangi, namun
diam-diam timbul rasa curiga Nyo Bok. Pikirnya: "Satu di antara kedua tamu itu pasti Beng Goancau
adanya. Kenapa Lo Kim-ou segera hendak membawa mereka pergi" Dalam hal ini tentu ada
latar belakangnya." Cepat ia memburu maju dan berteriak: "Saudara-saudara harap tunggu
sebentar!" Leng Thiat-jiau belum lagi sampai di luar pintu, katanya dingin sambil berpaling: "Apakah Nyobusu
masih ingin jajal kepandaian dengan aku?"
Merah muka Nyo Bok, "Kalian mau pergi begini saja. Ong-piau-thau mungkin bisa menyalahkan
aku berbuat dosa terhadap para tamunya."
Lo Kim-ou mendengus sekali, "Nyo-busu, bicara sesungguhnya, memang kau sendiri yang
banyak hati. Akulah yang membawa kedua teman ini pergi, tiada sangkut pautnya dengan kau."
Sambil bicara Leng Thiat-jiau, Beng Goan-cau dan Lo Kim-ou sudah keluar dari ruang tamu itu,
namun Nyo Bok tetap mengikuti di belakang mereka. Kebetulan pada saat itu, dari luar ada dua
tamu mendatangi. Orang tua yang berjalan di depan melihat keadaan yang rada ganjil ini, lantas
ia tahu gelagat tidak menguntungkan, segera ia bersuara: "Nyo-busu, bukankah kau sudah
berjanji hendak memberi selamat ulang tahun kepada Ong-lopiauthau bersama, kenapa begini
cepat sudah hendak pergi?"
Begitu melihat kedatangan kedua orang ini, girang Nyo Bok seperti ketiban rejeki nomplok,
sahutnya: "Aku wakili tuan rumah menahan para tamu ini, para sahabat ini berkukuh hendak
pergi, aku kuatir tidak bisa memberi penjelasan di hadapan Ong-lopiau-thau."
Ternyata kedua pendatang ini bukan lain adalah Cong Sin-liong dan Ciok Tio-ki yang baru saja
melarikan diri dari Su-kong-se.
Kebetulan pula murid tertua Ong Thian-thong, Ong Giu, tersipu-sipu berlari keluar, teriaknya:
"Lo-pangcu, suhu suruh aku mohon maaf kepada kau, bagaimana juga harap kau sudi menunggu
sebentar, segera beliau akan keluar."
Cioi Tio-ki beranjak maju, katanya: "O, tuan ini adalah..."
Baru sekarang Ong Giu melihat jelas kedua tamu barunya ini, keruan kagetnya bukan kepalang,
batinnya: "Kenapa wakil komandan Gi-lim-kun pun datang juga?" Terpaksa dengan mengeraskan
kepala ia tampil ke depan, sambutnya: "Ciok-tayjin juga datang, maaf kami tidak menyambut
semestinya. Inilah Lo-pangcu dari Hay-soa-pang, Lo-pangcu inilah Ciok-tayjin dari Gi-lim-kun."
Ciok Tio-ki belum mengenali Beng Goan-cau, dan Leng Thiat-jiau, ia sangka kedua orang ini
hanyalah thaubak dari Hay-soa-pang. Pikirnya: "Nyo Bok berulang kali memberi kedipan mata
kepadaku, pastilah Lo Kim-ou ini kurang beres, dia minta supaya aku menahannya." Segera ia
bergelak tertawa, katanya: "Sudah lama kudengar nama besar Pangcu, kebetulan bisa bertemu di
sini. Tuan rumah hendak menahan tamu agung, aku pun mengharap bisa berkenalan dengan Lopangcu."
Dulu Cong Sin-liong pernah bertemu sekali dengan Lo Kim-ou, segera ia menimbrung bicara:
"Lo pangcu, kebetulan bisa berkumpul di sini, mana boleh kau pergi begini saja, mari, mari, kita
ngobrol saja di dalam." Mulut bicara, sementara tangannya tahu-tahu sudah menarik tangan Lo
Kim-ou dengan jurus Kim-na-jiu-hoat. Tapi bagi orang lain, kelihatannya mereka tarik menarik
tangan sebagai kawan lama.
Lwekang Cong Sin-liong mengutamakan tenaga lunak, Lo Kim-ou kerahkan tenaga hendak
berontak, namun terasa badannya seperti dibungkus oleh segulung kapuk yang empuk, ternyata
tak berhasil ia membebaskan diri.
Nyo Bok berkata: "Thio-toako ini adalah sahabat lama Lo-pangcu. Siapa nama besar kawan ini
aku belum sempat menanyakan."
Dengan tawar Beng Goan-cau berkata: "Aku orang rendah dari gunung, mana berani
berkenalan dengan tuan-tuan besar." Kali ini suaranya dia ubah. Dalam waktu dekat Ciok Tio-ki
masih belum tahu siapa dia sebenarnya, namun rasa curiga Nyo Bok semakin tebal.
Ciok Tio-ki tertawa terbahak-bahak, "Kalau toh sama-sama sahabat baik, marilah kita masuk
bersama. Aku orang she Ciok paling suka berkenalan dengan orang-orang gagah, saudara ini,"
kuharap kau tidak berkata begitu merendah diri."
Lekas Beng Goan-cau melangkah lebar ke depan, sebenarnya Ciok Tio-ki hendak menarik
tangannya, mencoba kepandaian orang, perbuatan Beng Goan-cau ini keruan membuat sikap Ciok
Tio-ki kikuk dan runyam. Dalam hati diam-diam ia mengumpat caci akan kekurangajaran orang.
Beng Goan-cau tahu dirinya sudah pernah berkelahi melawan Cong Sin-liong, Ciok Tio-ki dan
Nyo Bok, demi urusan besar, betapapun ia tidak boleh membongkar asal-usul diri sendiri. Kalau
toh sudah tidak bisa pergi, terpaksa ia menurut saja balik ke dalam.
Sebaliknya Leng Thiat-jiau membatin: "Aku tidak boleh membiarkan Lo Kim-ou kena
dipermainkan." Segera ia melangkah maju dua langkah, katanya: "Tuan rumah begitu simpatik,
terpaksa biar kami pergi setelah bertemu dengan tuan rumah." Di saat bicara tangannya sudah
menggenggam tangan kiri Lo Kim-ou, di sebelah kanan Lo Kim-ou adalah Cong Sin-liong, sebelah
kiri adalah Leng Thiat-jiau, mereka jalan berjajar memasuki ruang tamu.
Semula Cong Sin-liong menggenggam tangan kanan Lo Kim-ou, mendadak segulung tenaga
besar yang kuat dan keras menerjang ke telapak tangannya, tenaga dalamnya memang
mengutamakan kelunakan, meski lunak dapat menundukkan kekerasan, tapi harus dinilai,
bagaimana perbandingan kekuatan kedua pihak. Lwekang Cong Sin-liong kira-kira setanding
dengan Leng Thiat-jiau, ditambah kekuatan Lo Kim-ou sendiri, sudah tentu ia tidak kuasa bertahan
diri. Seketika ia rasakan telapak tangannya panas seperti dibakar, tanpa terasa lekas ia lepaskan
genggaman tangannya. Ternyata Leng Thiat-jiau sudah mengembangkan ilmu tingkat tinggi yang
dinamakan Kek-san-ta-gu (dari balik gunung memukul kerbau).
Sebetulnya meski Lo Kim-ou kena teringkus oleh Cong Sin-liomg secara halus, Cong Sin-liong
tidak akan berani melukainya. Kua-tir temannya itu kena dirugikan, karena demonstrasi kekuatan
lwekangnya ini, terpaksa Leng Thiat-jiau harus buka kedoknya sendiri. Cuma Ciok dan Cong masih
belum tahun asal-usulnya, namun sudah tahu bahwa orang punya kepandaian yang hebat.
Cong Sin-liong kaget, pikirnya: "Kepandaian orang ini jauh lebih tinggi dari Lo Kim-ou, siapakah
dia?" Ciok Tio-ki lebih seksama, pikirnya: "Orang ini jelas bukan thaubak, tak heran. Nyo Bok amat
serius supaya aku bantu menahan mereka, mungkinkah dia kakap gede yang sedang kami buru?"
Rombongan mereka kembali masuk ke dalam ruang perjamuan, Ciok Heng suami isteri melihat
Cong Sin-liong datang berteman Ciok Tio-ki, seketika berubah air muka mereka, namun mereka
sengaja bersikap acuh tak acuh.
Sebaliknya Cong Sin-liong sengaja hendak berolok-olok, tanyanya: "Mana budak Lim Bu-siang
itu" Apakah pihak Hu-siang-pay hanya kalian berdua saja yang datang?"
Ciok Heng menjengek dingin, "Urusan Hu-siang-pay orang luar tidak perlu tahu. Kau ini siapa
berani bermulut kotor terhadap ciangbunjin kami?"
Keruan Cong Sin-liong berjingkrak gusar, serunya: "Hu-siang-chit-cu akulah yang tertua, kalian
tidak pandang orang yang lebih tua, hukuman apa atas dosa kalian?"


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tetua dari golongan mana" Hu-siang-pay kami tiada kurcaci macam kau ini."
Para murid Ong Thian-thong lekas tampil memisah dan membujuk, kata Ong Giu bersama Ho
Siu: "Para cianpwe sukalah memberi sedikit muka kepada suhu!"
Tiba-tiba Ciok Tio-ki bergelak tertawa, katanya: "Benar, kita datang untuk memberi selamat
kepada Ong-lopiauthau, urusan dalam partai kalian biar diselesaikan lain kesempatan saja Siapa
salah siapa benar, kelak pasti dapat ditegakkan keadilan."
Meminjam alasan mencuci bersih nama perguruan, melenyapkan Ciok Heng suami istri,
muslihat ini sebelumnya sudah dirundingkan secara rahasia oleh Boh Cong-tiu dengan Cong Sinliong,
Ciok Tio-ki sendiri pun memberi persetujuan dan menjanjikan bantuan. Kini mendadak Cok
Tio-ki putar angin ganti haluan, keruan Cong Sin-liong menjadi bingung dan uring-uringan.
Ternyata Ciok Tio-ki mempunyai perhitungannya sendiri, dia sendiri punya urusan yang lebih
penting perlu segera diselidiki biar terang, yaitu hendak mengetahui asal-usul Leng Thiat-jiau,
karena sekarang dia sudah mulai curiga bahwa 'kakap gede' yang mereka incar bukan lain pasti
Leng Thiat-jiau adanya. Dia pun mempertimbangkan bahwa Cong Sin-liong sudah diusir dari perguruan Hu-siang-pay.
Boh Cong-tiu sendiri yang memimpin pengusiran ini. Sebetulnya Boh Cong-tiu harus hadir di sini
mencabut dan menghapus putusan pengusiran dulu, baru Cong Sin-liong punya hak untuk bicara
dalam urusan perguruan, tapi kenyataan Boh Cong-tiu belum kunjung tiba. Keadilan yang
dimaksud Ciok Tio-ki, adalah menanti dukungan Boh Cong-tiu sendiri.
Sekilas Cong Sin-liong meleng-gong, namun cepat sekali ia sudah memaklumi juntrungan katakata
Ciok Tio-ki, katanya sambil mendengus: "Kupandang muka Ciok-tayjin dan tuan rumah,
sekarang sementara kukesampingkan persoalan ini."
Siang Ceng tertawa, timbrung-nya: "Sudah setengah harian aku pasang kuping, hanya
beberapa patah kata ini yang betul dia ucapkan. Toako, benar tidak?"
Siang Ceng adalah istri Ciok Heng, Beng Goan-cau dan lain-lain menjadi heran, batinnya:
"Kenapa dia bantu bicara ke pihak Cong Sin-liong malah?"
Tanpa menunggu jawaban suaminya, Siang Ceng menjawab pertanyaannya sendiri: "Hu-siangpay
sudah lama membersihkan diri dari anasir-anasir jahat. Terhadap manusia-manusia kecil dan
rendah, tidak setimpal kita layani permainan badut mereka. Toako, ucapanku betul tidak?"
Ciok Heng bergelak tertawa, ujarnya: "Betul memang tepat dan masuk akal kata-katamu."
Sudah tentu cemooh dan olok-olok mereka suami istri membuat Cong Sin-liong berjingkrak
gusar seperti kebakaran jenggot, namun, dia tidak berani mengumbar amarah, batinnya: "Tunggu
setelah Boh Cong-tiu datang, biar nanti mereka merasakan kekejaman tanganku."
Ciok Tio-ki sengaja duduk di samping Leng Thiat-jiau, ia ajak orang bicara dan ngobrol. Leng
Thiat-jiau tahu orang sudah mulai curiga terhadap dirinya, namun ia tidak leluasa main kekerasan
terhadap orang. Di saat ia serba kesulitan melayani orang, tiba-tiba terdengar sebuah suara tua
keras dan serak berkata: "Para tamu agung sudi berkunjung, harap maaf akan keterlambatan aku
orang tua keluar menyambut."-Ternyata Ong Thian-thong telah keluar.
Setelah berunding di kamar rahasia dengan Utti Keng dan Miao Tiang-hong, Ong Thian-thong
sudah tahu bahwa Cong Sin-liong dan Ciok Tio-ki hendak meluruk ke rumahnya untuk membekuk
buronan penting yang dimaksud. Ong Thian-thong serba bimbang dan ragu-ragu, pikirnya:
"Benarkah Han-congpiauthau tahu seluk beluk persoalan ini" Ataukah kena ditipu oleh Ciok Tio-ki,
disangkanya mereka memang benar hendak menangkap maling terbang?" Sedikit pun ia tidak
menyangka bahwa cerita ini hanyalah bualan dari karangan Nyo Bok dan muridnya yang
meminjam perintah palsu Han Wi-bu.
Di saat ia masih bingung dan curiga itulah, didengarnya suara Siang Ceng sedang bertengkar
dengan Cong Sin-liong dan Ciok Tio-ki.
Berubah air muka Utti Keng, katanya: "Cepat benar keparat Ciok Tio-ki itu datang!"
Lekas Ong Thian-thong berkata: "Kalian jangan keluar, biar aku yang menyelesaikan urusan
ini." Melihat Ong Thian-thong hanya keluar seorang diri, diam-diam bertambah tebal rasa curiga Nyo
Bok, katanya tertawa kering: "Ong-loyacu, tidak kecil kehormatan yang kau terima, coba lihat,
Ciok-tayjin dari kota raja, Cong-locian-pwe dari Hu-siang-pay, Lo-pangcu dari Hay-soa-pang semua
datang memberi selamat kepadamu. Oh, ya, masih ada dua tamu agung yang lain, kenapa tidak
diundang keluar untuk bertemu dengan kami semua?"
Ong Thian-thong merangkap tangan sambil sedikit membungkuk badan memberi hormat
kepada semua hadirin, ujarnya tersipu-sipu: "Terima kasih, terima kasih." Lalu ia lanjutkan:
"Kedua teman itu adalah orang dagang, tidak biasa mengikat hubungan dengan kaum persilatan,
setelah tanda tangan kontrak, mereka segara berlalu."
"O, begitu" Wah sayang sekali," demikian ujar Nyo Bok, lalu ia menuding Beng Goan-cau dan
Leng Thiat-jiau, katanya pula: "Kedua sahabat ini belum pernah kau lihat bukan" Mereka adalah
tamu-tamu yang begitu keras keinginannya hendak bertemu dengan kau orang tua. Kalau
dikatakan memang kebetulan, ternyata mereka adalah kenalan lama Lo-pangcu." Dalam berkatakata
dengan satu kedipan mata, diam-diam ia memberitahu bahwa si maling terbang mungkin
mereka ini. Tiba-tiba Leng Thiat-jiau melangkah ke depan terus menjura hormat, katanya: "Ong-toasiok,
apa kau masih ingat padaku?"
Ong Thian-thong melengak sebentar, ujarnya: "Maafkan mataku sudah lamur, siapakah loko
ini..." Leng Thiat-jiau tertawa, katanya: "Ong-toasiok, aku adalah Siau-kut-cu tetanggamu dulu itu,
waktu kecil malah kau sering menggendong aku."
Betapa cerdik luas pengalaman Ong Thian-thong, mendengar kata-kata orang dia lantas tahu
orang pura-pura mengaku sebagai tetangga di kampung dulu, pasti dalam hal ini ada selukbeluknya
yang berbelit-belit, segera ia berkakakan, "Betul, kini aku ingat, waktu kecil ingusmu
selalu meleleh keluar, nakal sekali, entah berapa kali pernah kumaki dan kuhajar. Tak nyana
sekarang sudah begini besar."
Leng Thiat-jiau tertawa, "Kau orang tua meninggalkan kampung menjadi piausu di kota raja,
hal itu terjadi tiga puluhan tahun berselang."
"Thio-toako," Nyo Bok menimbrung, "bukankah tadi kau mengatakan tidak kenal Ong-loyacu,
kau datang karena mengagumi nama besarnya dan hendak memberi selamat saja?"
"Sedikit pun tidak salah. Waktu Ong-toasiok masih di kampung halaman, aku masih bocah
ingusan, sampai sekarang mana boleh dikata kenalan segala" Bicara terus terang, orang rudin
seperti aku ini, datang-datang lantas mengaku sebagai kenalan sekampung, entah Ong-toasiok
masih sudi kenal kepadaku tidak, kenapa aku harus menjelaskan semua ini kepadamu?"
"Siau-kut-cu, ucapanmu perlu segera diralat. Aku bisa bertemu dengan orang sekampung,
betapa senang hatiku, apalagi kau tetanggaku terdekat. Mana boleh dikatakan tidak kenal" Em,
beberapa tahun terakhir, mungkin kau luntang-lantung saja" Sampai logat suaramu pun sudah
banyak berubah." Bahwasanya Leng Thiat-jiau orang Sujwan, sebaliknya Ong Thian-thong orang Soatang, logat
kampung mereka jauh berbeda. Sebagai orang yang sudah kenyang makan pahit getirnya
kehidupan, Ong Thian-thong berpikiran cermat lagi, maka sengaja ia carikan alasan untuk
menutupi kelemahan ini. Betul juga Ciok Tio-ki menjadi bimbang dan ragu, tak berani ia
berkepastian begitu saja akan tulen atau palsu.
Kata Ong Thian-thong: "Sahabat ini agaknya pernah kukenal, dia adalah..." Dia menghadapi
Beng Goan-cau, namun pertanyaan ia tujukan kepada Leng Thiat-jiau.
Leng Thiat-jiau tahu maksud orang, hatinya menjadi geli: "Ong-toasiok, kali ini pandanganmu
tidak kabur lagi, memang dia kenalan lama juga Apa kau orang tua sudah ingat, dia bukan lain
Siau-goan-cu dari kampung sebelah."
Ong Thian-thong berkakakan, "Ternyata Siau-goan-cu, bibimu kemarin masih menyinggung kau
kepadaku." Lalu ia menambahkan: "Istriku satu kampung dengan dia, kalau dikatakan agaknya
masih ada ikatan famili."
Lo Kim-ou ikut tertawa, tim-brungnya: "Ternyata kalian sama orang sekampung halaman,
sungguh amat kebetulan." .
Beng Goan-cau ikut bersandiwara, tanyanya: "Apakah bibi baik-baik saja" Aku ingin masuk bersujut
kepada dia orang tua."
"Benar," Leng Thiat-jiau menanggapi, "Aku pun harus masuk menyampaikan selamat kepada
beliau." "Wah terima kasih sekali. Tapi bibimu memang amat kangen kepada kalian, melihat kalian
datang tentu amat senang. Marilah biar kuantar kalian ke dalam, bersujud sih tidak usah!"
Nyo Bok tahu kejadian rada janggal, karena terdesak, segera ia menyela: "Ong-lopiauthau,
Ciok-tayjin berdua datang dari tempat jauh untuk memberi selamat kepadamu kenapa kau tinggal
masuk malah?" Ong Thian-thong unjuk rasa kurang senang, katanya tawar: "Ciok-tayjin sudi memberi muka
kepadaku, sebagai rakyat jelata, memangnya kau anggap aku tidak tahu kebaikan" Tapi harap
ijinkan aku mengundurkan diri sebentar, lekas aku akan keluar menemani kalian, bagaimana?"
Mendadak Lo Kim-ou berkata: "Ong-toako, kita sudah lama kenal sama-sama warga sekota
lagi, mereka toh juga teman-teman baikku, aku sendiri pun hendak menemui toaso, biar aku saja
yang menemani mereka masuk. Hari ini kau sebagai tuan rumah, sebentar para tamu akan
berdatangan, mana kami berani dan tidak pantas menyibukkan kau saja."
Ong Thian-thong segera sadar, katanya tertawa: "Betul, betul, betul, inilah cara yang terbaik,
losiu jadi tidak kurang hormat kepada para tamu. Baiklah, mereka kuserahkan kepadamu."
Sekarang Ciok Tio-ki pun merasa keadaan rada ganjil. Tapi alasan yang mereka kemukakan
cukup beralasan, tidak mungkin dia ikut masuk mencegah keinginan mereka.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Nyo Bok berteriak.
Ong Thian-thong kaget, tanyanya: "Nyo-busu ada petunjuk apa?"
"Ong-loyacu" kukira kau kena ditipu orang secara mentah-mentah."
"Aku ditipu apa?"
"Harap tanya di mana asal kampung kelahiranmu?"
"Aku dilahirkan di Honglaydi Soatang, kenapa?"
"Siok-ciu terletak di karesidenan Sam-ho, dengan karesidenan Honglay di Soatang, entah
terpaut berapa ribu li jauhnya."
Diam-diam mencelos hati- Ong Thian-thong, dengusnya kurang senang: "Apa maksud
perkataanmu ini?" "Dia ini bukan lain adalah Beng Goan-cau yang angkat nama di Siau-kim-jwan beberapa tahun
terakhir ini, tempat kelahirannya adalah Sam-ho," demikian Nyo Bok coba menjelaskan.
Kata-kata ini seketika membuat seluruh ruang perjamuan sunyi senyap, semua hadirin kaget
dibuatnya. Mendadak Ciok Tio-ki berjingkrak berdiri, bentaknya: "Beng Goan-cau, besar benar
nyalimu, kau memberontak di Siau-kim-jwan sih terserah, hari ini berani kau lari kemari memalsu
diri sebagai sanak sekampung Ong-loyacu."
Namun sikap Beng Goan-cau amat tenang dan wajar, sahutnya tawar: "Apa kau tidak keliru
mengenali orang?" Ciok Heng ikut berdiri, serunya: "Beng Goan-cau aku pernah melihatnya, jelas sekali orang ini
tidak mirip dengan Beng Goan-cau."
Melihat ada orang membela dirinya, timbul keberanian Ong Thian-thong, katanya: "Ya, kulihat
dia memang Siau-goan-cu, masa bisa berubah siapa itu Beng Goan-cau" Nyo-busu, tidak menjadi
soal kau salah mengenali orang, aku orang tua kampungan ini tidak berani terima dosa dengan
tuduhan menyembunyikan buronan penting lho."
Lapat-lapat Ciok Tio-ki pun sudah mengenali Beng Goan-cau, timbrungnya: "Ong-lopiauthau,
urusan ini tiada sangkut pautnya dengan kau, Siau-goan-cu dari kampung tetangga sudah tiga
puluh tahun berpisah dengan kau, bukan mustahil kau yang salah mengenalinya. Kamipun tidak
akan salahkan kau. Tapi orang she Beng ini menyaru diri sebagai sanak kampungmu, terang tidak
bermaksud baik, atau mungkin sengaja hendak mencelakai kau." Kata-kata ini amat licin dan licik,
berarti ia memberi peringatan kepada Ong Thian-thong, kalau kau tidak ikut campur dalam urusan
ini, kami pun boleh tidak usah merembet kepada kau.
"Ong-loyacu," kata Nyo Bok, "dia pasti Beng Goan-cau. Dia bersekongkol dengan temannya
hendak menipu kau." Jelas ia tarik Leng Thiat-jiau dan Lo Kim-ou di dalam tuduhan
persekongkolan, kalau Siau-goan-cu Beng Goan-cau palsu, maka Siau-kut-cu samaran Leng Thiatjiau
pun pasti palsu. Namun Ong Thian-thong masih berusaha mengendalikan suasana, katanya: "Ciok Tayhiap,
kapan kau pernah melihat Beng Goan-cau?"
"Tiga bulan yang lalu, dalam pertemuan besar di puncak Thay-san."
"Orang yang kau lihat tiga bulan yang lalu, kukira tidak akan bisa salah kau lihat bukan" Nyobusu,
dari mana kau bisa tahu kalau dia ini Beng Goan-cau?"
Nyo Bok kertak gigi, katanya gemas: "Beng Goan-cau adalah durjana yang memelet istri dan
menculik anakku, meski dia menjadi abu pun aku tetap mengenalnya."
"Beng Goan-cau, kalau kau seorang laki-laki sejati, seorang gagah, janganlah kau mungkir."
Begitu garang sikap Nyo Bok, Beng Goan-cau tahu kalau dirinya mengakui, urusan besar pasti
menjadi berantakan, tapi keadaan agaknya memaksa dia untuk mengakui penyamarannya. Segera
ia berkata dingin: "O, ternyata kau punya dendam begitu besar dengan Beng Goan-cau! Baik, coba
kutanya kau dulu, kalau aku benar adalah Beng Goan-cau, kau mau apa?"
"Persoalan dendam pribadi belaka, tiada sangkut pautnya dengan Ong-lopiauthau."
Dia menekankan sebagai persoalan pribadi, sepihak dia hendak menyingkirkan Ong Thianthong,
di pihak lain ia pun tidak suka menyeret Ciok Tio-ki dalam pertikaiannya ini. Karena dia
masih harus berkecimpung di dalam golongan kaum pendekar, Ciok Tio-ki hendak membekuk
buronan adalah urusannya, sebaliknya dia sendiri hendak menuntut balas kepada Beng Goan-cau
pun urusannya sendiri. Kalau kedua urusan ini diselesaikan bersama, cara bagaimana selanjutnya
dirinya bisa bergaul dengan para pendekar dan orang-orang gagah" Sebaliknya tujuan Ciok Tio-ki
adalah supaya dirinya berusaha melibat Beng Goan-cau, supaya dirinya bersama Cong Sin-liong
menghadapi kakap gede yang kemungkinan adalah Leng Thiat-jiau. Cukup asal bisa mengulur
waktu sebentar saja, walau Nyo Bok bukan tandingan Beng Goan-cau, setelah Nyo Bok dikalahkan
barulah Ciok Tio-ki akan turun tangan, tentunya sepak terjangnya ini tiada sangkut pautnya lagi
dengan Nyo Bok. Betul juga, begitu Nyo Bok bikin suasana menjadi tegang, Cong Sin-liong lantas memburu ke
depan, mencegat ke jalan belakang, katanya: "Ong-lopiauthau memang bijaksana, jelas kena tipu
toh dia tidak ambil perkara, sebaliknya tingkah laku mereka ini terlalu me-nyolok mataku, terpaksa
aku harus turun tangan menyelesaikan persoalan ini."
Ciok Tio-ki segera menanggapi: "Betul, Nyo-busu menuntut balas, kami tidak usah ikut-ikutan,
namun begundal yang sekongkol dengan Beng Goan-cau, mau tidak mau kami harus wakilkan
tuan rumah untuk meringkus mereka."
"Nanti dulu," cepat Ong Thian-thong berseru, "apakah dia Siau-goan-cu atau Beng Goan-cau
toh belum kita buktikan."
Kunci persoalan ini terletak pada Beng Goan-cau, kalau permainan sandiwara Beng Goan-cau
berhasil baik tiada menunjukkan titik kelemahan apa-apa, maka penyamaran Siau-kut-cu yang
diperankan Leng Thiat-jiau berarti sukses pula. Kalau satu gagal maka semua samaran mereka
pun bakal terbongkar semua.
Di saat Beng Goan-cau gundah dan serba kesulitan untuk mengambil putusan itulah mendadak
terdengar seseorang berseru lantang: "Siapa hendak mencari Beng Goan-cau?"
Seketika Ong Thian-thong berjingkrak kegirangan, ternyata orang yang bersuara ini bukan lain
adalah tokoh yang dianggap berkepandaian paling tinggi di seluruh jagat, Kim Tiok-liu adanya.
Kalau Ong Thian-thong dan lain-lain kegirangan, sebaliknya Ciok Tio-ki dan' lain-lain tersirap
darahnya. Nyo Bok segera menjengek dingin: "Kim Tayhiap, kebetulan kau datang, kuminta kau suka
menegakkan keadilan. Beng Goan-cau memelet istri dan menculik anakku, aku menuntut balas
kepadanya, tindakanku tidak salah bukan?"
"Sementara aku tidak peduli siapa salah siapa benar di antara kalian, yang jelas Nyo-busu,
terang kau salah mencari orang," demikian kata Kim Tiok-liu tertawa.
"Orang ini adalah samaran Beng Goan-cau, tidak sukar untuk membongkar kedoknya."
Belum habis Nyo Bok bicara, Kim Tiok-liu sudah tertawa lebar, katanya: "Coba kau -lihat siapa
orang itu?" Tampak seorang laki-laki bermata besar berkilat dan beralis lentik tegak sedang melangkah
masuk, berseru lantang: "Beng Goan-cau di sini!"
Keruan Nyo Bok berjingkrak kaget, matanya terbelalak, pikirnya: "Memangnya aku salah
melihat orang, siapakah Beng Goan-cau tulen di antara kedua orang ini?" " " Laki-laki yang
berdiri di hadapannya ini, bukan saja raut muka dan perawakannya mirip sekali dengan Beng
Goan-cau yang pernah dilihatnya, malah logat suaranya pun sama.
Beng Goan-cau yang baru datang ini, mendelikkan mata, katanya dingin: "Nyo-busu, masa kau
tidak kenal aku lagi!i"
Nyo Bok tertawa nyengir, "Kim Tayhiap, apa kau selalu berada sama dia?"
"Pertanyaaamu ini tidak benar. Apa yang kau maksud dengan selalu" Setahun yang lalu,
sepuluh tahun yang lalu, sudah tentu aku tidak mungkin selalu bersama dia."
"Yang kumaksud kejadian hari ini."
"Nah, kan begitu pertanyaanmu. Memang, hari ini aku datang bersama dia hendak memberi
selamat ulang tahun kepada Ong-lopiauthau. Bukan saja bersama dia, masih ada beberapa teman
lainnya pula." Kim Tiok-liu sudah berkata demikian, siapa yang berani menaruh curiga pula"
Ong Thian-thong terbahak-bahak. "Jadi kedua sanak dari kampungku ini bukan samaran toh.
Lo-pangcu, harap kau suka mencapai-kan diri antar mereka ke dalam."
Di saat Ong Thian-thong bicara itulah, dari luar masuk pula serombongan orang. Mereka bukan
lain adalah Tan Kong-si, Song Theng-siau, Lu Su-bi dan Lim Bu-siang.
Ternyata karena tidak menemukan jejak Lim Bu-siang, Kim Tiok-liu sudah mulai curiga,
akhirnya ia insyaf bahwa dirinya kena tipu Boh Cong-tiu. Maka lekas ia menyusul balik-ke Su-kongse,
kebetulan Tan Kong-si beramai masih di sana. Barulah Kim Tiok-liu bertemu dengan Lim Busiang,
dengan sendirinya ia pun tahu duduk perkara sesungguhnya.
Mengenai orang yang menyamar menjadi Beng Goan-cau, secara kebetulan mereka berjumpa
di tengah jalan. Orang ini bukan lain adalah ahli rias tukang menyamar dan pencopet sakti nomor
dua di seluruh jagat, bukan lain Li-macu adanya. Memang Li-ma-cu serba bisa, sampai pun logat
suara orang pun dapat ditirunya sedemikian persis.
Waktu itu dia datang bersama teman karibnya Kwi-hwe-thio. Yang-ciu sebagai kota dagang,
tidak sedikit hartawan-hartawan besar di dalam kota, bersama Kwi-hwe-thio mereka meluruk
kemari hendak melakukan usaha tanpa modal secara besar-besaran.
Dari mulut Lim Bu-siang, Kim Tiok-liu tahu bahwa Leng Thiat-jiau dan Beng Goan-cau sudah
berangkat ke rumah Ong Thian-thong lebih dulu, kuatir mereka menghadapi bahaya, sedang ia
kesulitan mencari akal untuk menghadapi situasi. Kebetulan di tengah jalan bersua dengan Limma-
cu dan Kwi-hwe-thio, seketika timbul akal cerdiknya, segera ia suruh Li-ma-cu menyamar
menjadi Beng Goan-cau lalu berangkat bersama dia. Sementara Kwi-hwe-thio beroperasi sendiri,
tidak ikut datang. Sungguh amat kebetulan, mereka datang tepat pada waktunya, sekaligus bantu
kesulitan Beng Goan-cau yang sudah terjepit oleh keadaan.
Melihat sekian banyak orang datang, malah mereka adalah teman-teman Kim Tiok-liu, sungguh
kaget Ciok Tio-ki bukan kepalang. Di antara rombongan orang-orang itu, Song Theng-siau adalah
buronan yang harus ditangkap juga, namun dengan kehadiran Kim Tiok-liu, meski Ciok Tio-ki


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punya nyali setinggi langit, masakah dia berani sembarangan bertindak. Terpaksa dengan mata
mendelong ia awasi Lo Kim-ou membawa kedua sanak dari kampung Ong Thian-thong masuk ke
dalam. Nyo Bok masih berusaha memperjuangkan posisinya yang semakin terdesak, katanya: "Setiap
urusan tidak akan lepas dari keadilan. Kim Tayhiap, aku tahu Beng Goan-cau adalah sahabatmu..."
"Baik, akan kutegakkan keadilan menurut keinginanmu."
Mencelos hati Nyo Bok, terpaksa dia mengeraskan kepala: "Kim Tayhiap sudi menegakkan
keadilan bagi kami, itulah baik sekali. Hehe, Beng Goan-cau memelet istriku, memangnya
perbuatannya itu boleh dikatakan benar?"
Li-ma-cu yang menyamar sebagai Beng Goan-cau segera men-jengek dingin: "Siapa tahu
karena hal apa kalian suami istri bertengkar dan berpisah, apa sangkut pautnya dengan aku" Soal
anakmu, aku memang tahu, dia kan diculik oleh Tiam-jong-siang-sat dan sekarang dijadikan
muridnya. Kalau kau mampu silakan meluruk ke Tiam-lam dan minta kepada Siang-sat, mana
boleh perhitungan ini kau perhitungkan pada diriku."
"Coba kalian jangan ribut dulu,"
Ong Thian-thong menyela bicara, "Dengar dulu bagaimana keputus-an Kim Tayhiap."
Kim Tiok-liu berkata kalem" "Persoalan ini adalah pertikaian kaum persilatan, terpaksa aku
hanya bisa menyelesaikan urusan ini menurut aturan kangouw. Nyo-busu, apa kau berkukuh
hendak menuntut balas kepada Beng Goan-cau?"
"Tidak salah!" "Hari ini adalah perayaan hari ulang tahun Ong-lopiauthau, para tamu sudah memenuhi seluruh
ruang perjamuan, sekali-kali kita tidak boleh berkelahi di sini. Kalau toh kalian tidak mau dipisah
dan menyelesaikan secara damai, silakan Nyo-busu menentukan waktu dan menunjukkan
tempatnya, aku tanggung Beng Goan-cau pasti akan datang tepat pada waktunya."
Mendengar dirinya harus menantang Beng Goan-cau bertanding silat, seketika hati Nyo Bok jeri
dan kalut. Maklumlah sebelum Kim Tiok-liu datang, kalau dia turun tangan menantang Beng Goancau
di tempat ini juga, ia tidak perlu merasa takut, sebaliknya kalau menentukan hari dan tempat
lain, bertanding satu lawan satu melawan Beng Goan-cau, jelas dirinya pasti kalah total, mana dia
berani" Berkata Kim Tiok-liu lebih lanjut: "Tiba saatnya biar aku yang menjadi saksi dan juri. Meski
Beng Goan-cau sahabatku, aku pasti tidak akan berat sebelah membelanya. Tapi kalau ada orang lain
yang ikut turun tangan, terpaksa aku harus bertindak."
Jelas kata-katanya ini secara tidak langsung ia tujukan kepada Ciok Tio-ki dan Cong Sin-liong.
Sudah tentu kedua orang itu tidak berani banyak bacot dan bertingkah, namun dalam hati diamdiam
mereka mengeluh. Merandek sebentar Kim Tiok-liu lalu melanjutkan: "Bagaimana, Nyo-busu, kau sudah
menentukan waktu dan tempatnya belum?"
Roman muka Nyo Bok berubah-ubah, dari pucat menjadi merah, lalu menghijau, sahutnya
tergagap: "Ini, ini..."
Mendadak terdengar sebuah suara serak tua berkata: "Apa ini itu, Nyo Bok, jangan kau bikin
malu mukaku di hadapan sekian banyak orang!"
"Haya!" Ong Thian-thong lantas berteriak, "Ki-Iocianpwe, kau pun sudi datang, sungguh
merupakan kehormatan besar bagiku."-
Ternyata yang datang adalah besan tua Nyo Bok, yaitu Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya adanya.
Kaget dan girang pula hati Nyo Bok, girang karena pihaknya bertambah satu tenaga yang amat
diandalkan, kaget karena datang-datang Ki Kian-ya sudah memakinya, orang yang dianggap
sebagai tulang punggung dan sandaran ini mungkin tidak akan sudi bantu dirinya.
Sambil melangkah masuk Ki Kian-ya berkata pula: "Apa yang kau ributkan di sini, mau
menuntut balas kepada Beng Goan-cau?"
"Kau orang tua kan tahu, Beng Goan-cau membawa lari istriku!"
"Ki-locianpwe," Kim Tiok-liu menimbrung, "Urusan keluarga kalian aku tidak mau turut campur,
terpaksa harus diselesaikan menurut aturan kangouw, maka kuminta mereka menentukan waktu
dan tempatnya untuk bertanding."
"Baik, urusan kekeluargaan ini biar aku yang mengurusnya," Ki Kian-ya segera mengambil alih
persoalan ini untuk diselesaikan sendiri.
Ki Kian-ya adalah mertua dari kakak Nyo Bok, dia tampil ke depan untuk menyelesaikan
persoalan dalam keluarga Nyo, memang hanya dia seorang yang paling tepat, maka orang banyak
tiada yang memberi komentar. Mendengar nada bicaranya, lantas Ciok Tio-ki tahu urusan semakin
runyam, namun ia masih punya setitik harapan, pikirnya: "Memangnya tua bangka ini bakal
membela kepentingan orang luar malah?"
Terdengar Ki Kian-ya berkata pelan-pelan: "Benarkah Hun Ci-lo pernah melakukan perbuatan
tercela yang bikin malu keluarga, dulu aku hanya mendengar tuduhan sepihak saja, bagaimana
duduk persoalan sebenarnya aku tidak menyelidiki secara cermat, tapi seumpama hal itu benar,
kini persoalan sudah tiada sangkut pautnya pula dengan kau!"
Kim Tiok-liu dan Li-ma-cu yang menyamar sebagai Beng Goan-cau tidak tahu seluk beluk
persoalan ini, keruan mereka melenggong. Nyo Bok, Ciok Tio-ki dan Bun Seng-liong menutup
mulut tak berani " berkutik, sebaliknya Cong Sin-liong tidak sabar lagi, katanya: "Ki-losiansing,
ucapanmu ini apa tidak keliru" Kejadian yang memalukan keluarga dan merendahkan derajat,
mana boleh dianggap sepele" Kalau tidak bersangkut paut dengan suami, memangnya bersangkut
paut dengan siapa?" Ki Kian-ya menarik muka, katanya: "Sebelum ayah Nyo Bok ajal dia pernah berpesan kepadaku
untuk mendidik dan mengawasi putranya, urusan dari keluarga Nyo tidak perlu orang luar turut
campur!" Cong Sin-liong merasa malu katanya menyengir: "Semua urusan tidak lepas dari keadilan, baik,
ingin aku dengar apa yang Lo-siansing hendak katakan?"
Melirik pun Ki Kian-ya tidak kepada Cong Sin-liong, katanya lebih lanjut: "Hun Ci-lo sudah
bukan istrimu lagi, bukankah kau sudah menulis surat cerai, aku sendiri yang menyerahkan surat
cerai itu, di mana diterangkan pihak laki-laki kawin atau perempuan menikah masing-masing tiada
sangkut paut satu sama yang lain. Seumpama dia benar menikah dengan orang she Beng ini, kau
pun tiada hak mencampuri! Kenapa urusan diulur panjang dan bertele-tele tidak berkesudahan."
Merah padam muka Nyo Bok, katanya: "Justru aku amat penasaran!"
"Seorang laki-laki bisa mengangkat rela meletakkan, kau sendiri suka bikin surat talak kepada
Hun Ci-lo, sekarang kau menyesal dan bikin ribut mencari gara-gara, apa tidak bikin malu."
Di dalam rumah, Beng Goan-cau mendengar kata-kata Ki Kian-ya, hatinya girang dan kaget
pula. "Tua bangka ini mendadak berubah tahu urusan dan pegang peradatan, sungguh di luar
dugaan." "Sungguh tidak nyana, kukira dia bakal menjadi sandaran Nyo Bok, siapa tahu dia malah
membela kepentingan orang luar," demikian Ciok Tio-ki malah mengeluh dalam hati.
Tak tahunya kejadian selanjutnya jauh lebih membuat dia pun serba runyam, terdengar Ki
Kian-ya berkata pula: "Nyo Bok, karena aku tetua maka aku berani mengatai kau, sepak
terjangmu sendiri tidak benar, masih berani pura-pura menjadi laki-laki gagah, kaum ksatria
segala, apakah tidak menggelikan?"
Nyo Bok tahu diri, meski kaget dan gusar namun ia tidak berani main debat dengan Ki Kian-ya,
terpaksa mulutnya berkata terputus-putus: "Yanpek (panggilan), aku, aku dalam hal apa aku
berbuat salah, kenapa kau mengatai aku?"
Ki Kian-ya mendengus katanya keras: "Belakangan ini dengan siapa saja kau bergaul" Kau tidak
belajar baik, malah suka luntang-lantung dengan kawanan sampah persilatan, kau kira aku tidak
tahu?" "Sampah persilatan", terang Ciok Tio-ki dan Cong Sin-liong pun termasuk dalam makiannya,
sudah tentu berubah hebat air muka mereka.
Kiranya justru karena tahu Nyo Bok bergaul dengan Ciok Tio-ki dan lain-lain, maka Ki Kian-ya
sengaja menyusul ke Yangciu, hendak menggusurnya pulang untuk diawasi dan dididik.
Setelah dicaci maki, meski amat malu, namun hati Nyo Bok menjadi lega malah, pikirnya:
"Untung dia hanya maki aku bergaul tidak benar, toh dia belum tahu kalau aku sudah menjadi
antek Pakkiong Bong."
"Nyo Bok," kata Ki Kian-ya lebih lanjut, "kalau kau masih tahu diri, segera ikut aku pulang.
Kalau tidak aku pun tidak peduli lagi dk.m mati hidupmu."
Seperti ayam jago yang sudah keok, berkata Nyo Bok menunduk: "Baik, siautit patuh akan
petuah Lopek." "Ki-locianpwe," kata Ong Thian-thong, "Apa kau tidak minum arak dulu baru berangkat?"
Berkata Ki Kian-ya: "Nyo Bok membuat keributan di dalam perayaan ulang tahunmu, sungguh
aku tidak enak hati, tiada muka aku berdiam lama-lama di sini. Lain kesempatan biar aku datang
mohon maaf kepadamu saja," dengan marah-marah ia seret Nyo Bok pergi.
Kim Tiok-liu terbahak-bahak, ujarnya: "Tua bangka ini jujur polos tidak punya perasaan egois,
sungguh harus dipuji. Ong-loyacu, kini tiada urusanku, mari kuiringi kau minum arak."
Ciok Tio-ki dan Cong Sin-liong menjadi serba salah dan terasing oleh keramaian yang
menggembirakan ini, keruan mereka amat kikuk dan rikuh, berpikir Ciok Tio-ki: "Kim Tiok-liu dan
Lim Bu-siang sama di sini, lebih baik kalau Boh Cong-tiu tidak datang, kalau dia datang pasti
celaka. Ong Thian-thong si tua bangka ini jelas berdiri di pihak mereka, hari ini terang kami tidak
kuasa menggunakan kekerasan, apa artinya berdiam di sini terlalu lama?" Maka setelah
Nyo Bok pergi, segera mereka pun minta diri.
Suasana kembali menjadi tenang dan riang gembira. Lim Bu-siang dan lain-lain segera maju
memberi salam dan hormat kepada Ong Thian-thong. Kata Ong Thian-thong tertawa: "Hian-titli,
kau sudah tumbuh begini besar. Dulu waktu bertamu di rumahmu, kau masih kecil dan suka
ngompol. Masih ingat tidak?"
Lim Bu-siang tertawa malu-malu, "Tentu masih ingat, itu terjadi sepuluhan tahun yang lalu."
"Kabarnya kau sudah menjabat ciangbunjin Hu-siang-pay, sungguh patut dihargai dan diberi
selamat. Tadi melihat Ciok Tayhiap suami istri dari partai kalian datang, kukira kau tidak datang."
Kim Tiok-liu menimbrung: "Semua orang yang hadir dalam ruang perjamuan ini termasuk orang
sendiri, biarlah aku terus terang saja. Apa kau tahu untuk apa nona Lim datang kemari?"
Merah muka Lim Bu-siang, katanya: "Kim-toako suka menggoda saja. Paman Ong adalah
sahabat lama ayahku, sudah tentu aku kemari memberi selamat kepada paman Ong."
"Benar, bukan saja kau hendak memberi selamat kepada paman Ong, di samping itu kau pun
hendak mencari orang bukan?" Ong Thian-thong melengak, tanyanya: "Bu-siang, siapa yang kau
cari?" Li-ma-cu bergelak tertawa, serunya: "Tidak perlu aku menyamar lagi. Kini tiba saatnya
mengundang Beng Goan-cau keluar."
Baru sekarang Ong Thian-thong tahu yang dicari Lim Bu-siang kiranya Beng Goan-cau,
katanya: "Kalian tunggu sebentar," segera ia menyuruh muridnya Ong Giu: "Kalau ada tamu
datang, kau layani saja di piaukiok."
Tempat tinggal keluarga Ong Thian-thong berada di bagian belakang, kalau ada tamu-tamu
biasa berkunjung, biasanya disambut atau dilayani di kantor piaukiok saja. Kuatir terjadi sesuatu
yang tidak di nginkan, maka Ong Thian-thong berpesan wanti-wanti. Supaya para muridnya tahu,
meski ada tamu-tamu agung semacam Ciok Tio-ki, mereka cukup dilayani di bagian luar saja.
Sementara itu, Lo Kim-ou membawa Leng Thiat-jiau dan Beng Goan-cau ke dalam, warga Tinwan
Piaukiok semua kenal baik kepada Lo Kim-ou, maka segera ia mengundang kacung tua dan
berbisik: "Pinjamkan ruang tamu majikanmu sebentar."
Kacung tua itu menyahut: "Sudah ada dua tamu lain di sana, kukira kurang leluasa."
"Baik, biar kupinjam kamar tidurmu sebentar untuk bicara."
Sudah tentu kacung tua ini menjadi bingung dan tidak habis mengerti, namun sudah puluhan
tahun ia menjadi pembantu di rumah Ong Thian-thong ini, pengalaman cukup dan tahu seluk
beluk rahasia orang-orang kangouw, tahu ia bahwa dalam hal ini tentu ada sebab-sebab rahasia,
maka ia pun tidak banyak tanya lagi.
Persoalan yangg hendak dirundingkan Leng Thiat-jiau dengan Lo Kim-ou adalah urusan besar
yang menyangkut kepentingan nusa dan bangsa, Lo Kim-ou sudi tidak membantu, masih
merupakan tanda tanya besar. Beng Goan-cau baru pertama kali ini bersua dengan Lo Kim-ou, di
dalam perundingan rahasia seperti ini, bila orang ketiga yang tidak dikenal ikut hadir mungkin
menimbulkan kekuatiran Lo Kim-ou. Maka secara diam-diam Leng Thiat-jiau mengedipkan mata
kepada Beng Goan-cau. Beng Goan-cau mengerti maksudnya, segera ia berkata: "Toako biar aku
berjaga di luar saja."
Tatkala itu, Ciok Tio-ki dan Cong Sin-liong bersama mohon diri kepada Ong Thian-thong, Beng
Goan-cau pasang kuping mendengarkan, lapat-Iapat ia dengar percakapan mereka, hatinya sedikit
lega, namun ia tetap waspada dan hati-hati mondar-mandir meronda di sekitar pekarangan
belakang. Tiba-tiba sebuah pintu kamar di tengah serambi sana terbuka pelan-pelan, ada seorang
menyelinap keluar menghampiri ke samping Beng Goan-cau, mendadak ia mencengkeram dan
menariknya, Beng Goan-cau sudah kaget dan waspada, namun mengandal kepandaiannya, toh ia
tidak berhasil mengelak atau membebaskan diri dari cekalan orang.
Keruan kaget Beng Goan-cau bukan kepalang, baru saja ia hendak menggunakan tipu Kim-tantoh-
ka jurus-jurus permainan jarak dekat untuk membebaskan diri dari cekalan orang, tiba-tiba
orang itu sudah berbisik di pinggir telinganya: "Goan-cau, inilah aku!" Tanpa memberi kesempatan
Beng Goan-cau bersuara dan melihat tegas dirinya, ia seret Beng Goan-cau ke dalam kamar.
Beng Goan-cau berjingkrak senang, serunya: "Kau, siapa kau..."
Orang itu bergelak tertawa, katanya: "Beng-lote, apa kau tidak kenal suaraku" Coba lihat masih
ada seorang temanmu berada di sini!"
Seketika Beng Goan-cau amat girang seperti kejatuhan rejeki nomplok, katanya tertawa: "Uttitoako,
aku sudah curiga kau adanya, cuma aku belum percaya masakah kau bakal muncul
mendadak di sini. Miao-toako, cara bagaimana kau bisa berada bersama dengan Utti-toako?"
"Duduklah dulu, mari ngobrol pelan-pelan," Miao Tiang-hong menjawab. "Ceritakan dulu, cara
bagaimana kau bisa datang kemari?"
"Aku datang bersama Leng-toako, dia sedang memikul tugas besar, kini sedang merundingkan
urusan rahasia dengan Hay-soa-pang Pangcu Lo Kim-ou."
"Leng Thiat-jiau maksudmu?" Utti Keng menegas dengan kegirangan.
"Benar!" "Jadi buronan atau kakap gede yang di ncar kawanan anjing alap-alap itu kiranya dia!" kata Utti
Keng pula. "Hal ini amat panjang kalau diceritakan!" ujar Beng Goan-cau.
Tiba-tiba Utti Keng menggoyangkan tangan kepadanya, mukanya seperti tertawa tidak tertawa
sambil menatapnya. Beng Goan-cau melengak, tanyanya: "Utti-toako, ada omongan apa yang perlu kau katakan?"
"Kalau toh Leng Thiat-jiau merundingkan urusan rahasia besar, kau pun tidak perlu jelaskan
kepada kami. Tapi kau bukan hanya datang bersama dia toh!"-Tatkala itu Lim Bu-siang sedang
bicara di bagian luar, samar-samar Beng Goan-cau pun ada mendengar suaranya.
"Benar, aku datang bersama nona Lim, setelah tiba di Yangciu baru bersua dengan Lengtoako."
"Beng-lote, aku orang polos yang suka bicara terus terang, ada isi hati yang ingin kukatakan
kepadamu." Beng Goan-cau tertegun, "Toako, ada omongan apa silakan katakan!"
"Dengan ayah Bu-siang aku kenalan baik, berarti dia adalah keponakanku juga, dan kau adalah
saudaraku yang baik, maka jangan sekali-kali kau berbuat sesuatu yang merugikan keponakanku
itu." Merah muka Beng Goan-cau, katanya: "Toako, kau rada salah paham. Dengan Bu-siang
sekarang aku pun sudah menjadi kakak adik angkat."
Utti Keng bergelak tertawa, katanya: "Kalau begitu, bukankah derajatmu setingkat lebih rendah
dari aku malah?" "Utti-toako, sebenarnya kau toh bulim cianpwe, sebetulnya aku harus..."
"Lain aku lain dia, aku hanya berkelakar saja, kenapa kau anggap sungguhan?" Tiba-tiba ia
menarik muka, katanya serius: "Beng-lote, meski aku ini laki-laki kasar, namun aku lebih kenal isi
hati anak perempuan. Bu-siang menyukai kau dengan hatinya yang suci murni, memangnya kau
tidak tahu" Apa yang kukatakan ini bukan kelakar lho!"
Beng Goan-cau tertawa getir dalam hati, "Mana mungkin aku tidak tahu, ai, sebaliknya mana
kau tahu akan kesulitanku?"
"Eh, kenapa kau tidak bicara" Kau tidak menyenangi Bu-siang?"
"Aku anggap dia sebagai adik, kenapa tidak suka" Tapi sekarang aku harus lekas kembali ke
Siau-kim-jwan, marilah kita bicarakan urusan penting lainnya saja!"
"Laki-laki kawin perempuan menikah, toh urusan besar dan penting juga Tapi omonganmu
memang benar, kepentingan umum harus diutamakan, soal jodoh kalian kalau masih terlalu pagi
dibicarakan, biarlah kelak kita lanjutkan lagi. Oh, ya, Ong-lopiauthau belum tahu bila Nyo Bok dan
muridnya sudah menjadi antek musuh. Bun Seng-liong menggunakan perintah palsu Hancongpiauthau
pun dia percaya begitu saja, nanti sebentar kita harus menjelaskan kepadanya."
Miao Tiang-hong yang sejak tadi diam saja, sekarang menimbrung: "Memang tidak malu Nyo
Bok itu mencari keributan di sini, menista Ci-lo lagi, sungguh rendah dan hina dina."
"Manusia seperti Nyo Bok, perbuatan apa saja yang tidak berani dia lakukan. Sedikit pun aku
tidak percaya akan omongan kotornya itu mengenai kejelekanmu," demikian sela Utti Keng.
Tiba-tiba tergerak hati Beng Goan-cau, katanya: "Miao-hcng, ada sebuah hal aku ingin mohon
bantuanmu!" "Kenapa Beng-heng main sungkan-sungkan segala, katakan saja."
"Untuk ini aku perlu tanya dulu kepada kau, sekarang kau punya urusan penting lainnya tidak?"
"Aku ini tukang kelayapan, kau ada urusan apa, silakan serahkan kepadaku saja."
"Hun Ci-lo dan bibinya sekarang sudah pindah ke rumah seorang bulim cianpwe she Lau di Pakbong-
san, bisa tidak kau pergi ke sana menengok dia?"
Miao Tiang-hong melengak, "Ah, ini..." sikapnya rada kikuk dan rikuh.
"Beginilah persoalannya. Bulan yang lalu Ci-lo sudah melahirkan seorang putra, kondisi
badannya amat lemah, aku kuatir kawanan anjing alap-alap mencari kesulitan kepadanya. Karena
menghindari kejaran kawanan anjing alap-alap itulah maka terpaksa dia pindah ke Pak-bong-san.
Meski tempat itu amat tersembunyi, tapi untuk menjaga segala kemungkinan, tidak bisa tidak kita
harus siap-siap lebih dulu." Lalu ia ceritakan pengalaman pahit getir Hun Ci-lo hari itu kepada Miao
Tiang-hong, terakhir ia menambahkan: "Kau adalah sahabat baikku, juga teman baik Hun Ci-lo,
aku harus kembali ke Siau-kim-jwan, maka tugas untuk melindungi dia kuserahkan kepadamu."
"Baiklah," setelah berpikir-pikir Miao Tiang-hong menerima tugas mulia ini. "Setelah perjamuan
di sini selesai segera aku pamit dan langsung menuju ke Pak-bong-san."
"Tepat, penyelesaian begini memang cocok. Goan-cau, boleh kau berangkat ke Siau-kim-jwan
bersama Bu-siang dengan lega hati," demikian goda Utti Keng.
Beng Goan-cau tahu orang salah paham akan maksud tujuannya, namun sulit ia membuka
mulut menjelaskan, terpaksa hanya tertawa getir saja.
Tengah mereka bicara, tiba-tiba terdengar langkah kaki mendatangi, Utti Keng segera
membentak: "Siapa itu?"
Ong Thian-thong melangkah masuk, katanya tertawa: "Kiranya kalian sudah sama bertemu.
Goan-cau, Bu-siang ada urusan yang hendak dirundingkan dengan kau, marilah kita keluar."
Tak lama setelah Ong Thian-thong mengantar Ciok Tio-ki berdua pergi, muridnya, Ong Giu


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantas masuk melapor: "Suhu, ada seorang tamu ingin benar bertemu dengan kau."
Ong Thian-thong mengerutkan alis. "Bukankah sudah kupesan kepada kau, sementara aku
tidak terima tamu, supaya kau saja yang melayani mereka di bagian luar?"
"Tamu itu adalah Kanglam Tayhiap Tan Thian-ih, katanya ada sebuah kejadian aneh yang ingin
dituturkan pada kau orang tua."
Ong Thian-thong terkejut, serunya menegas: "Apa, Tan Thian-ih" Kenapa tidak lekas kau bawa
dia masuk?" Segera ia berpaling dan berkata kepada Tan Kong-si: "Bukankah tadi kau berkata
ayahmu tidak akan datang?"
Tan Kong-si keheranan, sahutnya: "Ya, ayah minta aku mewakili dia, entah kenapa sekarang
dia menyusul datang?"
Sambil berjalan masuk Tan Thian-ih bergelak tertawa: "Kim-hiantit, nona Lim, kalian semua
berada di sini, sungguh kebetulan."
Kata Kim Tiok-liu: "Kali ini kami datang secara tergesa-gesa, sebelumnya tidak sempat memberi
kabar kepada lopek, harap dimaafkan. Pikirku setelah perjamuan di sini selesai, baru aku akan
berkunjung ke rumah paman."
"Bahwa kau pun datang kemari, aku sudah tahu. Beberapa hari yang lalu aku sedang
seperjalanan bersama Tiong-pangcu dari Kaypang. Tapi dia punya tugas lain, maka tidak datang
kemari bersamaku." Kiranya dalam perjalanan rahasia ke Yangciu kali ini, sebelumnya Leng Thiat-jiau sudah
mengadakan kontak rahasia dengan pihak Kaypang. Bahwa dia mengundang Kim Tiok-liu bertemu
di dalam perjamuan ulang tahun Ong Thian-thong tiada orang luar tahu, hanya Tiong-pangcu dari
Kaypang saja yang mengetahuinya.
Berkata pula Kim Tiok-liu: "Jadi lopek sengaja memang hendak mencari aku?"
Tan Thian-ih mengiakan. Pepatah ada bilang, tiada sebab tidak akan datang, apalagi dengan
kedudukan dan pamor Tan Thian-ih sengaja kemari untuk mencari Kim Tiok-liu, maka dapatlah
Kim Tiok-liu membayangkan, pastilah Tan Thian-ih mengemban urusan besar yang hendak
dirundingkan bersama dirinya.
Terdengar Tan Thian-ih sedang berkata: "Memang ada sebuah urusan besar, tapi bukan urusan
tergesa-gesa. Biarlah aku ceritakan kejadian aneh yang kualami kepada Ong-toako. Baru saja aku
alami sendiri, mohon Ong-toako suka menjelaskan kepadaku."
Kata Ong Thian-thong: "Tan Tayhiap melihat keparat Ciok Tio-ki itu keluar dari rumahku, maka
kau merasa heran?" "O, Ciok Tio-ki keparat itu bermuka tebal berani datang memberi selamat ulang tahun kepada
kau. Tapi bukan dia yang kutemui, di tengah jalan aku bertemu dengan seorang yang katanya
hendak kemari memberi selamat kepada kau, tapi setelah tiba di depan rumahmu, mendadak ia
lari pergi." "Hah, siapa dia?" "Dialah Boh Cong-tiu!" tutur Tan Thian-ih. "Boh Cong-tiu hendak memberi selamat ulang tahun kepadamu, toh tidak perlu diherankan. Anehnya aku bertemu dia di
ujung jalan sana, lantas berjalan berjajar kemari tanpa membicarakan urusan-urusan penting
lainnya, sikapnya masih segar bugar dan riang gembira, katanya ingin berkenalan dengan para
enghiong dari berbagai tempat. Tak nyana setiba di o'pan rumahmu, mendadak ia berkata ingat
suatu urusan lain yang harus dia selesaikan selekasnya, belum lagi kakinya melangkah masuk,
tahu-tahu sudah putar badan berlari pergi. Kalau toh sudah tiba di ambang pintu, berapa lama sih
memberi selamat kepadamu. Coba katakan aneh tidak?"
Kim Tiok-liu berkata: "Waktu itu adakah kalian mendengar suaraku yang sedang bicara di
dalam sini?" "Mendengar jelas. Tadi mungkin kau sedang mengobrol soal apa yang menggembirakan" Aku
mendengar suara tawamu."
"Itulah sebabnya," ujar Kim Tiok-liu. "Boh Cong-tiu tahu aku sudah tiba di sini lebih dulu, mana
berani dia masuk kemari?"
Tan Than-ih melenggong, tanyanya: "Kenapa, bukankah dia teman baikmu?"
"Dulu memang, mulai hari ini sudah bukan lagi."
Lalu Kim Tiok-liu tuturkan cara bagaimana Boh Cong-tiu menipu dirinya dalam mengejar jejak
Lim Bu-siang yang diburu oleh Coh Thian-hiong. "Semula aku masih bingung kenapa dia berbuat
demikian, setelah bertemu dengan nona Lim dan Song-siauhiap dan lain-lain, baru aku tahu
bahwa dia ternyata sudah menjadi antek kerajaan secara diam-diam."
"Boh Cong-tiu sebetulnya tunas muda yang berbakat, sayang dia kemaruk oleh kemewahan,
merusak diri sendiri," kata Tan Thian-ih menyesalkan.
"Tan Tayhiap," sela Ong Thian-thong. "Katamu tadi ada urusan besar, entah..."
"Urusan ini ada sangkut pautnya dengan Hu-siang-pay. Tiong-pangcu dari Kaypang mendapat
sebuah berita, kabarnya Cong Sin-liong mengundang banyak orang-orang persilatan dari berbagai
aliran dan golongan, pada upacara besar sembahyangan di Giok-hong-ting, mereka pura-pura
sebagai jemaah hendak menyelundup ke Giok-hong-ting di Thay-san. Coba kalian pikir apakah
kejadian ini tidak rada ganjil?"
"Markas pusat Hu-siang-pay justru berada di puncak sebelah di depan Giok-hong-ting," ujar
Kim Tiok-liu "Cong Sin-liong adalah murid murtad yang sudah terusir dari Hu-siang-pay, kejadian ini
tidak perlu diragukan, pastilah mereka siap-siap hendak mencari gara-gara menghadapi Hu-siangpay."
"Dan lagi, Cong Sin-liong kembali dari luar lautan, masakah dalam tempo hanya sepuluhan
tahun saja, dia mampu berkenalan dengan begitu banyak orang-orang persilatan?"
"Ah, masa lopek belum tahu" Jauh lebih dulu dari Boh Cong-tiu, Cong Sin-liong sudah menjadi
anjing alap-alap kerajaan."
"Begitulah Tiong-pangcu menjelaskan kepadaku, maka menurut dugaannya, pasti ada orang
lain yang menjadi tulang punggung Cong Sin-liong mengendalikan persoalan ini."
"Benar, Ciok Tio-ki semula memang begal besar dari golongan hitam, orang-orang sebanyak
itu, pastilah hasil undangan Ciok Tio-ki."
"Hiantit justru karena persoalan inilah maka aku kemari. Kalian suami istri adalah teman baik
Lim-ciangbun, sebetulnya aku hendak minta bantuanmu untuk memberi kabar kepada Limciangbun,
siapa tahu Lim-ciangbun berada di sini juga, itulah baik. Urusan sudah jelas, Cong Sinliong
dengan mengandal kekuatan dukungan pihak kerajaan, pinjam tenaga orang-orang dari
golongan hitam yang sesat itu, hendak merebut kekuasaan ciang-bun Hu-siang-pay."
Lim Bu-siang serba salah, katanya: "Tan Tayhiap, yang ingin merebut kedudukan ciang-bun
bukan Cong Sin-liong, tapi adalah Boh Cong-tiu. Mereka berdua sudah bersekongkol, Cong Sinliong
yang tampil, sedang Boh Cong-tiu sembunyi di belakang untuk menyaru sebagai orang dari
golongan pendekar tulen!"
Tan Thian-ih heran, tanyanya: "Dari mana kau bisa tahu begini jelas?"
"Kalau diceritakan pun hanya kebetulan saja, pagi tadi bersama Beng Goan-cau kami
bertamasya di Su-kong-se, kebetulan Cong Sin-liong, Boh Cong-tiu dan Ciok Tio-ki mengadakan
pertemuan rahasia di sana, tanpa sengaja kami mencuri dengar pembicaraan mereka." Lalu ia
jelaskan tipu muslihat apa saja yang mereka rundingkan.
"Tak nyana mereka begitu keji dari apa yang kubayangkan, keparat benar!!"
Ciok Heng berkata: "Ulang tahun berdirinya Giok-hong-koan sudah tidak lama lagi, kami harus
selekasnya pulang untuk mempersiapkan segalanya. Lim-ciangbun, kau..."
"Kim-toako," ujar Lim Bu-siang. "Pada waktunya mohon bantuanmu lho."
"Sudah tentu aku harus bantu kau, cuma bagaimana juga aku ini orang luar, maka urusan ini,
mungr kin kau sendiri yang harus mengendalikan -dan membereskan."
Ciok Heng menimbrung: "Betul, urusan ini penting artinya, aku sendiri mungkin tidak kuasa
memikul tugas seberat ini. Dan lagi, Boh Cong-tiu mendurhakai perguruan, banyak murid-murid
perguruan kita yang belum tahu. Bersama Cong Sin-liong, yang satu berbuat jahat yang lain purapura
berbuat baik, mengandal kata-kataku saja, semua murid-murid perguruan kita belum tentu
suka percaya. Urusan mencuci bersih perguruan dari anasir-anasir jahat ini, kukira Lim-ciangbun
sendiri yang harus memimpinnya."
Kim Tiok-liu tahu kesulitan Lim Bu-siang, segera ia berkata dengan tertawa: " Bu-siang apakah
kau punya urusan lain dengan Goan-cau?"
"Katanya Siau-kim-jwan memerlukan tenaga, aku sudah berjanji ke sana untuk membantu
kesulitan mereka," sahut Lim Bu-siang.
"Memang Siau-kim-jwan amat memerlukan banyak bantuan, tapi urusan dalam perguruanmu
ini, kau sendiri pula yang harus menyelesaikan. Em, ya, begini saja, terpaksa kita undang Goancau
keluar untuk berunding bersama."
Ong Thian-thong mengira-ngira, Leng dan Beng berdua masuk kira-kira sudah sesulutan dupa,
maka segera ia berkata: "Benar, beberapa persoalan ini memang perlu dirundingkan bersama
supaya beres. Leng Tayhiap dan Lo-pangcu mungkin juga sudah selesai dalam perundingannya,
lebih baik kita undang mereka keluar semua untuk berunding bersama."
Tidak lepas dari dugaan Kim Tiok-liu, Beng Goan-cau yang berpandangan obyektif lebih
mementingkan keseluruhannya, katanya: "Semua urusan ada perbedaan berat dan enteng, Busiang,
pulanglah kau lebih dulu menyelesaikan urusan ini, baru kau menyusul ke Siau-kim-jwan."
"Baik, tapi aku pun ada sebuah hal, kuharap Ciok-suko suka bantu aku."
"Ciangbun sumoay, ada pesan apa katakan saja."
"Setelah mencuci bersih perguruan, kedudukan ciangbun perguruan kita kuminta kau
menjabatnya." Ciok Heng melongo, katanya: "Hah, ini aku tidak berani terima. Apalagi urusan sebesar ini,
harus diputuskan oleh suara banyak para murid perguruan kita"
Kim Tiok-liu tertawa, ujarnya: "Aku tahu benar watak Bu-siang, urusan sudah di depan mata,
pasti dia berani bertanggung jawab untuk menghadapinya. Untuk mengurus pekerjaan sehari-hari
dari perguruan, terang kau jauh lebih kuat lebih berpengalaman dari dia. Kalau toh dia punya
maksud mulia ini, maka kau harus menerimanya. Yang terang, bila kelak ada urusan-urusan besar,
toh dia tidak akan berpeluk tangan. Sudah tentu urusan penting ini harus diputuskan oleh anak
murid perguruan kalian sendiri, tapi toh harus mendapat persetujuanmu sendiri, barulah bisa
diusulkan kepada murid-murid lainnya."
Siang Ceng sebagai perempuan yang sudah ahli dalam meraba isi hati perempuan, apalagi
gadis mekar seperti Lim Bu-siang yang menanjak dewasa, maka setelah tahu ke mana juntrungan
pikiran Lim Bu-siang, segera ia berkata kepada suaminya sambil tersenyum penuh arti: "Wi-ko,
Kim Tayhiap sudah berkata demikian, maka terimalah saja, supaya ciangbun sumoay berlega hati
pulang ke gunung bersama kita!"
"Baik, persoalan ini diputuskan begini saja. Marilah kita bicarakan urusan lainnya." Seperti
pemimpin sidang rapat Kim Tok-liu bersuara.
Baru sampai di sini pembicaraan, tampak Leng Thiat-jiau beranjak keluar beradu pundak
bersama Lo Kim-ou. Leng Thiat-jiau sudah kembali pada wajah aslinya, katanya tertawa tergelakgelak:
"Tan-locianpwe, Kim-toako, maaf bila kalian tunggu terlalu lama."
Melihat air mukanya, lantas Kim Tiok-liu tahu, terang bantuan yang dia minta kepada Lo Kim-ou
sudah mendapat persetujuannya, segera ia berkata: "Hari ini kita kawan-kawan lama bisa
berkumpul, dapat berkenalan dengan tunas-tunas muda lagi, boleh dikata tidak sia-sialah
perjalanan kita semua, betul tidak?"
"Benar," ujar Leng Thiat-jiau. "Lo-pangcu memang berjiwa luhur dan berhati lapang, sudah dua
puluh tahun kami tidak pernah bertemu, namun hubungan persahabatan kita sedikit pun tidak
menjadi luntur, memang tidak sia-sia perjalananku kali ini." Secara tidak langsung dia memberi
kisikan kepada Kim Tiok-liu bahwa Lo Kim-ou sudah setuju memberikan bantuannya
"Ong-lopiauthau," ujar Kim Tiok-liu, "perjamuan ulang tahunmu kami terima di hati. Mumpung
di sini ada arak biarlah aku pinjam tempatmu ini, di samping memberi selamat kepadamu, aku pun
haturkan secawan arak kepada semua teman-teman yang hadir."
Ong Thian-thong tertawa getir, ujarnya: "Mungkin aku pun tidak bisa menetap lama di dalam
piaukiok lagi. Baik, ambil arak, mari kita semua minum sepuas-puasnya."
Ong Giu masuk membawa arak, katanya: "Suhu, ada sebuah hal perlu kulaporkan kepada kau
orang tua, entah mengapa Bun-suheng itu, tahu-tahu sudah ngeloyor pergi tanpa pamit."
Kata Beng Goan-cau: "Ong-lopiauthau, memang aku hendak memberi tahu kepadamu, Nyo
Bok, Bun Seng-liong guru dan murid sudah menjadi antek kerajaan, sedang Bun Seng-liong sudah
lama diusir dari piaukiok oleh Han-congpiauthau."
"Memang aku pun sudah melihat gejala-gejala yang kurang sehat, masakah Han-congpiauthau
sudi membungkuk-bungkuk kepada pejabat. Jadi begitu kiranya duduk perkara sebenarnya," ujar
Ong Thian-thong paham. "Ong-toako," timbrung Lo Kim-ou, "bukan mustahil Ciok Tio-ki masih ingin mencari gara-gara
kepadamu, sejak hari ini, lebih baik kau menetap di Pang kami saja sementara menghindari
kesulitan, bagaimana?"
"Ya, maksudku memang demikian, piaukiok ini sementara hendak kuserahkan kepada Ong Giu
untuk mengurusnya." "Masih ada sebuah hal yang penting," ujar Beng Goan-cau pula, "Miao-toako, dalam hal ini bikin
capai kau saja." "Memangnya aku ini tukang luntang-lantung, sedikit pun aku tidak perlu takut terlalu banyak
urusan, katakan saja," sahut Miao Tiang-hong.
"Ciok Tio-ki mengutus Ngo Hong, Gui Khing dan Sebun Hou bertiga mengejar dan hendak
menangkap Lau Khong, kabarnya Lau Khong mengantar peti mati Han Bing ke Utara, kebetulan
seperjalanan ke arah tujuamu," Beng Goan-cau menjelaskan.
"Han Bing pura-pura mati, Lau Khong mengantar peti mati, kejadian ini memangnya aku dan
Utti-toako yang mengatur, soal ini biar serahkan kepadaku saja."
---ooo0dw0ooo--- Hari menjelang magrib, di sebelah utara pesisir Ko-yu-ouw tampak seorang menunggang kuda
tinggi kekar sedang menjalankan tunggangannya pelan-pelan. Penunggangnya adalah seorang
laki-laki pertengahan umur, dia bukan "lain adalah pendekar kelana yang kenamaan Miao Tianghong
adanya. Setelah berpisah dengan para pendekar di rumah keluarga Ong, seorang diri ia berangkat ke
utara menunggang kuda pemberian Ong Thian-thong, tujuannya mengejar rombongan Lau Khong
yang mengantar peti mati ke utara. Hari pertama tidak terkejar, sekarang hari kedua sudah
hampir berselang pula. Sebelum berangkat Lau Khong sudah menjelaskan kepada Miao Tiang-hong jalan mana yang
akan dia tempuh ke arah utara ini, meski jalan darat lebih jauh dan berputar, soalnya
menggunakan perahu kurang leluasa dan lebih banyak bahayanya, maka ia pilih jalan-jalan
pegunungan yang jarang dilalui manusia.
Kuda tunggangan Miao Tiang-hong adalah kuda pilihan, setelah dua hari perjalanan belum juga
menyusul Lau Khong, keruan ia menjadi keheranan. Kereta yang digunakan Lau-Khong diseret dua
ekor kuda biasa saja. Lau Khong sendiri yang pegang kendali. Menurut perhitungan Miao Tianghong,
sekarang dirinya pasti sudah berhasil menyusulnya.
Begitulah sambil memperhatikan keadaan sekitarnya Miao Thiang-hong keprak kudanya, hari
sudah mulai gelap, namun sang rembulan sebentar bakal menongol keluar, sekitar sini tiada
perumahan rakyat lagi, terpaksa dia berkepu-tusan hendak melanjutkan perjalanan di tengah
malam. "Kenapa bayangan Lau Khong belum tampak juga?" demikian pikir Miao Tiang-hong. "Kabarnya
dia berasal dari karesidenan Tiong-boh di Soatang, setelah dewasa baru kelana dan belajar di
Hangciu, sayang aku tidak berkesempatan banyak bicara sama dia, asalnya dari Tiong-boh,
mungkin dia pernah bertemu dengan suciku."
Angin malam menghembus sepoi-sepoi dari arah danau, Miao Tiang-hong tersentak sadar dari
lamunannya, teringat kepada sang suci, mau tidak mau pikirannya melayang kembali kepada
kenangan tiga puluh tahun yang lalu, meski kejadian dulu sudah samar-samar, tapi pengalaman
hidup dirinya selama ini yang pahit getir, betul-betul berkesan amat mendalam dalam lubuk
hatinya. Waktu itu dirinya baru berusia dua belas atau tiga belas tahun.
Sang suci adalah putri gurunya yang terkecil, meski putri yang terkecil, usianya toh lebih tua
empat tahun dari dirinya Waktu pertama kali dia masuk perguruan, sucinya sudah merupakan
anak gadis yang rada tahu urusan. Masih segar dalam ingatannya, tahun-tahun permulaan, ilmu
silat yang dia pelajari justru hasil ajaran sang suci yang mewakili ayahnya.
Karena begitu masuk perguruan, lantas mendapat didikan dan asuhan dari sang suci, maka di
antara sesama saudara seperguruan, hubungannya paling akrab dengan sucinya. Bagi orang lain,
seolah-olah mereka adalah dua saudara sekandung layaknya. Tahun ketiga barulah suhunya mulai
mendidiknya secara langsung, namun hubungannya dengan suci tetap kekal dan erat, akhirnya
menjadi kebiasaan begitu ada senggang pasti dia mencari dan berlatih sama sang suci.
Terkenang masa kanak-kanak sungguh amat. manis mesra dan lucu sekali, tanpa sadar teringat
olehnya suatu kejadian, pertama kali ia berkelahi dengan orang, adalah gara-gara membela sang
suci. Hal itu terjadi karena salah seorang suhengnya yang berusia lebih tuaan amat sirik akan
hubungannya dengan sang suci, maka sore hari itu dia menggoda dan mengejek sutenya yang
dikatakan sebagai kodok buduk ingin mencaplok daging bangau, ingin menjadi suami kecil sang
suci segala. Karena naik pitam, ia cengkeram suhengnya terus menghajarnya dengan sengit.
Muka suhengnya sampai matang biru, namun hidungnya pun terpukul bocor. Karena
perkelahian ini, mereka sama dihukum berat oleh sang guru, namun mereka sama tidak berani
mengaku gara-gara persoalan apa mereka sampai berkelahi. Teringat akan kejadian lucu itu, tak
terasa Miao Tiang-hong tertawa geli. "Untung suhu keburu datang, kalau tidak pasti aku akan
berhantam lebih sengit dengan suheng."
"Kenapa hanya digoda begitu saja oleh suheng aku lantas marah-marah. Mendengar suci sudah
mendapat jodoh, beberapa hari aku menjadi uring-uringan, tidak enak makan tidak bisa tidur?"
Dia masih ingat waktu itu dirinya berusia lima belas, dalam masa seusia itu, bocah kampung
masih belum tahu soal hubungan asmara laki perempuan.-'Tapi apakah aku hanya menyukainya
saja" Sudah tentu tidak. Setiap kali bersama suci pasti hatiku riang, sedikit pun aku tidak merasa
sungkan dan takut-takut terhadapnya, mungkin inilah rasa cinta yang samar-samar dalam lubuk
hati remaja yang mulai mekar?"
Tiba-tiba ia teringat: "Kenapa pula aku begitu asyik tehadap Hun Ci-lo" Ah, pahamlah aku
sekarang. Karena dia mirip benar dengan suciku dulu. Bukan mirip bentuk wajahya, adalah mereka
punya persamaan watak dan perangai. Pintar ' tahu urusan, punya pandangan luas dan bijak.
Sayang suci sekarang sudah meninggal, kalau tidak bila dia berkenalan dengan Hun Ci-lo, pastilah
mereka menjadi sahabat karib."
Dua tahun kemudian sejak perkelahian itu, sucinya betul-betul menikah dengan keluarga she
Bu di Tiong-boh, Santung, sejak itu mereka berpisah dan tidak pernah bertemu lagi. Suami
sucinya adalah seorang pahlawan bangsa menentang penjajah kerajaan, dalam suatu peperangan
di medan laga, mereka suami istri akhirnya gugur bersama. Hitung-hitung kejadian ini sudah dua
puluh tahun berselang. "Selama dua puluh tahun ini aku belum pernah berziarah ke pusara suci, semoga aku bisa
menemukan Lau Khong, kuminta dia bawa aku ke tempat pusara suci, untuk menunaikan
angananganku." Cuaca sudah mulai gelap, hembusan angin lalu lamat-lamat membawa suara beradunya roda
kereta dengan batu-batu gunung, seketika lamunan Miao Tiang-hong buyar. Kejut dan girang pula
Miao Tiang-hong dibuatnya, hari sudah mulai malam, jalan pegunungan sesepi ini dari mana
datangnya kereta berkuda" Tentulah kereta yang memuat peti mati yang dikendalikan Lau Khong
itulah. Lekas Miao Tiang-hong keprak kudanya menyusul ke depan, remang-remang dilihatnya di
depan, sebuah kereta besar yang diseret dua ekor kuda sedang mencong-klang di antara semaksemak


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daun weling. Larinya tidak cepat, agaknya kereta itu memuat barang berat.
Walau Miao Tiang-hong menduga kereta itu tunggangan Lau Khong, tapi demi keselamatan dan
harus waspada, maka ia tidak berteriak memanggil nama Lau Khong. Jarak kereta sudah
disusulnya semakin dekat, meski orang yang pegang kendali kereta tidak menoleh ke belakang,
namun bayangan punggungnya sudah kelihatan dengan jelas. Jauh di luar dugaan Miao Tianghong,
terasa bayangan punggung orang itu jelas tidak mirip dengan Lau Khong!
Miao Tiang-hiong menjadi kecewa, seketika timbul rasa curiganya: "Kereta ini pasti ada apaapanya,
apapun yang terjadi aku harus memeriksanya dulu biar jelas."
Kudanya ia keprak lebih cepat berlari lewat dari samping kereta, meniru perbuatan laki-laki
kasar umumnya, dia ayun pecutnya seperti mengeprak kuda, tapi dengan sengaja ujung pecutnya
menjungkit kain penutup di depan kereta.
Kejadian berlangsung teramat cepatnya, tiba-tiba terdengar "Cras", ujung pecut Miao Tianghong
tahu-tahu tertabas kutung oleh golok orang. Menyusul seorang gadis segera melompat ke
luar dari dalam kereta. Kereta itu pun segera berhenti. Yang menjadi kusir kereta adalah pemuda
yang bertubuh kekar sehat, dari raut mukanya agaknya mereka bersaudara.
Gadis itu segera memaki: "Kenapa kau mempermainkan orang?" Sementara pemuda itu
mengendalikan kedua kudanya.
Begitu kain penutup itu terangkat naik, meski hanya sekilas saja, bagi Miao Tiang-hong sudah
cukup jelas melihat keadaan di dalam kereta, tidak lepas dari dugaannya, kiranya kereta ini pun
memuat sebuah peti mati. Terpaksa Miao Tiang-hong turun dari tunggangannya dan minta maaf: "Maaf, aku tidak sengaja
menyentuh kereta kalian!"
"Tidak sengaja?" jengek si pemuda. "Siapa kau?"
Pecut Miao Tiang-hong kena ditabas kutung, ia tahu kepandaian si gadis ini tentu tidak lemah,
setelah mengamati si pemuda ia tahu pula bahwa orang tentu berkepandaian lebih tinggi, semakin
tebal rasa curiga Miao Tiang-hong, pikirnya: "Memangnya bisa begini kebetulan! Kereta ini pun
memuat sebuah peti mati" Memangnya mereka berhasil merampas kereta ini dari tangan Lau
Khong?" Segera Miao Tiang-hong berketetapan, bagaimana juga ia harus menyelidiki dan bikin
jelas persoalan, katanya: "Aku sedang mengejar seorang kawan."
"Siapa kawanmu itu?" tanya si pemuda.
"Kau menanyai aku, timbal balik, aku pun perlu tanya kepadamu, harap tanya siapakah yang^
meninggal di dalam peti mati ini?"
Berubah air muka si pemuda, bentaknya: "Untuk apa kau tanya hal ini?"
"Bicara terus terang, kawanku itu pun sedang mengantar peti mati."
"Apakah temanmu itu she Lau?" tanya pula si pemuda.
"Benar. Dia bernama Lau Khong. Kau kenal dia" Apakah kereta ini miliknya?"
Seketika berubah hebat air muka kakak beradik ini, si gadis berkata: "Koko, tidak perlu banyak
cing-cong, ayolah turun tangan saja!" " " "Sret-sret" goloknya lantas membacok lebih dulu.
Dengan gerakan Ih-sing-hoan-wi (merubah bentuk pindah kedudukan), Miao Tiang-hong
membalikkan tangan balas mencengkeram ke golok orang, ujarnya: "Persoalan belum dibikin jelas,
kenapa kau lantas turun tangan?"
Si pemuda memang curiga: "Ya, keparat ini mengudak Lau Khong, pastilah dia kaki tangan
anjing alap-alap." - Melihat Liu-yap-to adiknya hampir saja terampas oleh Khong-jiu-jip-peh-to
lawan, dalam keadaan yang gawat tidak bisa banyak pikir lagi, segera pedangnya terlolos keluar,
dengan sejurus Tit-ci-thian-lam (menuding lurus ke langit selatan), pedangnya tepat sekali
menusuk Hong-hu-hiat di punggung Miao Tiang-hong.
"Sebenarnya siapa kalian, lekas bicara terus terang, supaya tidak menyesal setelah terlambat!"
Kiranya ia pun curiga bahwa kedua kakak beradik ini pun cakar alap-alap.
Sepasang kakak beradik ini hanya tahu bahwa ada cakar alap-alap yang mengejar jejak Lau
Khong, sedikit pun mereka tidak mengira bahwa orang yang
menyusul datang ini adalah sahabat karib Lau Khong.
(Soalnya Lau Khong pernah berkata kepada mereka berdua,
bahwa semua teman-teman baiknya pergi ke rumah Onglopiauthau
untuk memberikan selamat hari ulang
tahunnya). Sudah tentu kepandaian silat mereka tidak ungkulan
melawan Miao Tiang-hong, pertama mereka kira Miao
Tiang-hong sebagai cakar alap-alap yang hendak
mengompes keterangan mereka, kedua mereka tidak berani
pecah perhatian untuk bicara seperti Miao Tiang-hong. Di
saat Miao Tiang-hong mengajukan pertanyaannya tadi,
sepasang Liu-yap-to dan sebatang Ceng-kong-kiam mereka
sudah menyerang dengan serangan gencar.
Untung meski Miao Tiang-hong rada curiga, namun toh
hanya "sedikit" saja. Pengalaman dan pandangannya jauh
lebih tajam dan luas dari kedua kakak beradik ini, meski ia curiga mereka sebagai cakar alap-alap,
tapi toh ia memikirkan adanya kemungkinan lain, bukan mustahil mereka adalah teman-teman Lau
Khong, maka sebelum persoalan dibikin jelas, maka Miao Tiang-hong pasti tidak akan menurunkan
tangan keji. Ilmu silat kedua kakak beradik ini memang bukan tingkat rendah, kedua golok berputar-cepat
dan lincah, sementara pedang menari naik turun dengan amat aneh dan serba rumit dengan
berbagai variasi yang berisi. Mengandal sepasang kepalan kosongnya, Miao Tiang hong
menghadapi rangsakan kedua lawannya, lama kelamaan ia rada terdesak juga.
Sekonyong-konyong, jantung Miao Tiang-hong berdebar keras: "Ilmu golok dan ilmu pedang
mereka kenapa seperti amat kukenal, namun tidak teringat olehnya ajaran silat dari perguruan
mana" Nona cilik ini pun seperti pernah dilihatnya entah di mana, aneh benar!"
Karena timbul rasa curiganya ini, Miao Tiang-hong segera melancarkan jari saktinya, Tam-cisin-
thong, "Creng" ia selentik miring pedang si pemuda. Jurus ini dia mainkan dengan
menyerempet bahaya, cuma waktu dan gerakannya amat persis dan tepat sekali, demikian pula
kekuatan jentikan-nya pun sudah diperhitungkan, kalau tidak pasti lawan kena dibikin terluka.
Secara tidak terduga-duga pedangnya kena dijentik mental ke belakang, keruan kaget si
pemuda bukan kepalang, seketika ia pun menjadi heran dan bertanya-tanya:
"Kepandaian orang ini jauh lebih unggul dari kami, kenapa tidak menurunkan tangan jahat?",
Belum lenyap pikirannya, dilihatnya Miao Tiang-hong sudah melompat naik ke atas kereta dan
sedang membuka tutup peti mati. Ternyata dia hendak periksa apakah betul yang rebah di dalam
peti mati adalah jenazah Han Bing. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam hatinya, namun
jawaban teka-teki ini tidak perlu dia minta dari kedua kakak beradik ini, terpaksa dia bekerja untuk
membuktikan sendiri. Begitu tutup peti terbuka, tampak isinya cuma batu bata melulu, mana ada jenazah Han Bing"
"Eh ke manakah Han Bing?" Belum habis ia pikir, terasa sambaran senjata di belakang
punggungnya. Ternyata si gadis itu sudah memburu tiba sambil mem-babatkan kedua goloknya,
dengan serangan berantai menyerang kedua kakinya.
Dengan angkat sebelah kakinya dari sebelah atas Miao Tiang-hong menyepak balik ke belakang
mengarah muka si gadis, lekas si gadis menggunakan Hong-tiam-thau, golok pendek di tangan kiri
buat melindungi muka, sementara golok panjang di tangan kanan dipuntir miring terus mengiris.
Terdengar suara "Biang", kiranya sepakan kaki Miao Tiang-hong yang sulit diduga isi kosongnya
itu, tujuannya bukan menyepak muka si gadis sungguh-sungguh. Begitu ia desak si gadis
membalikkan golok pendek melindungi mukanya, begitu kaki menjejak dinding kereta, tubuhnya
lantas melenting terbang ke depan beberapa meter jauhnya.
"Koko, ayo lekas turun tangan!" si gadis segera berteriak.
Si pemuda masih tertegun, begitu mendengar teriakan adiknya seketika ia tersentak sadar,
orang ini musuh atau teman belum lagi dibikin terang, mana boleh bekerja ayal-ayalan.
Miao Tiang-hong sudah bersiap bila dirinya diserang dari depan dan belakang, begitu kakinya
baru saja menutul tanah, tangannya berbareng menepuk ke belakang. Kebetulan si gadis
menyerang datang dari belakang, melihat gaya serangannya ini, tanpa terasa timbul juga rasa
herannya, batinnya: "Bagaimana mungkin orang ini pun bisa melancarkan Tay-kim-na-jiu-hoat
ajaran gwakong (kakek luar) yang dinamakan Pit-bok-hoan-ciang (mengganti pukulan dengan
mata terpejam)?" Gerakan Tay-kim-na-jiu dari Pit-bok-hoan-ciang ini, sebetulnya khusus
digunakan di waktu menghadapi musuh dalam malam buta rata, kini tanpa membalikkan kepala
Miao Tiang-hong menyerang, berarti pula seperti memejamkan mata melayani serangannya.
Mendengar daya luncuran serangan golok si gadis menjadi ken-dor, Miao Tiang-hong tahu
orang sudah mulai curiga, sebat sekali ia lancarkan sejurus Tiang-kun, sekaligus ia punahkan
serangan pedang si pemuda. Menyusul badan berputar, seolah-olah ia sudah memperhitungkan
dengan tepat dari arah mana si gadis bakal menyerang dirinya, begitu putar badan, kebetulan ia
memapaki sepasang golok si gadis.
Kedua golok si gadis berpadu menjadi gerakan bundar, Miao Tiang-hong merangkap kedua
jarinya, mendadak menotok ke tengah lingkaran golok orang, teriaknya: "Jurus Tiang-ho-loh-jitwan
yang kau mainkan ini tidak benar, lekas diubah dengan Tat-mo-toh-kang, baru kau akan
mampu menghadapi sejurus Tay-boh-hou-wan-titku ini." Dengan gerakan jari sebagai pedang,
tipu yang dimainkan Miao Tiang-hong adalah sejurus ilmu pedang warisan keluarga si gadis,
belum lagi habis kata-katanya, secara reflek si gadis segera mengubah permainannya terus
membacok, jurus ini adalah Tat-mo-toh-kang seperti yang diserukan oleh Miao Tiang-hong tadi.
Tanpa sadar si gadis lantas berteriak: "Dari mana kau bisa tahu ilmu pedang tunggalku ini?"
Ternyata ilmu pedang tunggal warisan leluhurnya ini telah digubah menjadi jurus-jurus ilmu golok.
Di dalam golongan senjata, golok merupakan senjata keras, sementara pedang mengutamakan
kelunakan, maka jarang sekali tokoh-tokoh silat dalam bulim yang mampu melancarkan jurusjurus
ilmu pedang dengan senjata golok. Kini bukan saja Miao Tiang-hong kenal ilmu pedang
tunggal perguruannya, memberi petunjuk lagi.
Miao Tiang-hong sendiri kala itu pun teramat senang dan kaget, lekas ia bertanya: "Pernah apa
kau dengan Tio Bun-ki?" Kedua pihak sama-sama mengajukan pertanyaan, tampak si gadis amat
terperanjat mendapat pertanyaannya ini.
"Kau tahu ibuku, siapa kau?"
Si pemuda mendadak berteriak: "Kau Miao-susiok bukan?"
Baru sekarang Miao Tiang-hong menghela napas lega, ujarnya tertawa: "Benar, akulah Miao
Tiang-hong, ibu kalian adalah suciku."
Si gadis segera menyimpan kedua goloknya, tersipu-sipu ia maju memberi hormat, katanya:
"Kiranya Miao-susiok, tak heran Pit-bok-hoan-ciang yang kau mainkan begini lihay. Dulu ibu sering
menyinggung kau." "Ilmu pukulan itu, di waktu pertama kali aku masuk perguruan, ibumu yang mewakili gwakong
mengajarkan kepadaku," demikian tutur Miao Tiang-hong.
"Tidak salah," seru si pemuda. "Ibu pun pernah menyinggung soal ini. Katanya di antara
sesama suheng-te, Miao-susuiok adalah murid gwakong yang terpandai. Waktu kami masih kecil,
ibu sudah menurunkan ilmu pukulan ini kepada kami, adik sih mending, sebaliknya aku rada
ketinggalan meski sudah melatihnya dengan susah payah."
"Koko, jangan kau puji aku di hadapan Miao-susiok. Ibu berkata waktu Miao-susiok meyakinkan ilmu
pukulan ini hanya memerlukan waktu satu bulan, hasilnya sungguh luar biasa. Sebaliknya aku
memerlukan tiga bulan baru boleh dikata mahir. Dan lagi, ilmu ajaran ayah, terang aku tidak ungkulan
dibanding kau." Si pemuda berkata dengan tertawa: "Sudahlah jangan kita saling umpak saja. Bikin geli Miaosusiok saja."
"Ya, pantasnya kami mohon petunjuk kepada Miao-susiok. Miao-susiok, waktu kami berusia sebelas atau
dua belas tahun sudah melatih ilmu pukulan ini, waktu kau melatih ilmu pukulan ini juga seusia itu bukan"
Kenapa kau bisa berhasil begitu cepat, pastilah dalam hal ini ada kuncinya rahasianya, mohon kau suka
ajarkan kepada kami."
"Iya, kejadian itu sudah tiga puluh tahun berselang," ujar Miao
Tiang-hong menghela napas. "Dulu berkat didikan suci yang tidak mengenal lelah dan memberi petunjuk
dengan tekun, aku sih tidak punya kunci rahasia segala. Wah, aku toh masih belum tahu siapa nama-
nama kalian?" Si gadis tertawa cekikikan, katanya: "Memang kami terlalu ceroboh, sudah setengah harian,
nama belum lagi kami perkenalkan. Aku bernama Bu Cheng, koko bernama Bu Toan." Sampai di
sini tiba-tiba biji matanya menjadi merah, senyum tawanya pun sirna, katanya lebih lanjut dengan
rawan: "Miao-susiok, ibu sudah meninggal sepuluhan tahun lamanya, beliau gugur bersama ayah
di medan laga. Kejadian ini, tentunya Miao-susiok sudah tahu?"
"Beritanya memang sudah lama kudengar, bagaimana kejadian sebenarnya aku belum paham
betul. Menjadi korban keganasan siapakah ayali bunda kalian?"
"Ayah punya seorang teman baik she Lau, waktu itu kumpul bersama dengan ayah dan bunda,"
demikian tutur Bu Toan. "Menurut cerita paman Lau setelah kejadian itu, katanya mereka kena
terperangkap oleh sergapan para jago-jago pemerintah kerajaan yang mengeroyok ayah dan ibu
semua ada tiga orang, satu adalah Pakkiong Bong, seorang lagi adalah sute Pakkiong Bong yang
bernama Sebun Soh, dan orang ketiga adalah murid murtad dari Siau-lim-si yang bernama Sa Miwan.
Kabarnya karena berhasil membunuh ayah dan ibu itulah, karena nilai jasa-jasanya yang
besar, akhirnya Pakkiong Bong mendapat kenaikan pangkat dan terus menjulang tinggi sampai
menjabat kedudukan komandan pasukan Gi-lim-kun sekarang."
"Baik, nama ketiga orang ini kucatat dalam hati," ujar Miao Tiang-hong. "Pakkiong Bong dan
sutenya memang aku ingin mencari perhitungan dengan mereka, dan seorang lagi yang bernama
Sa Mi-wan itu, kelak pasti akan kucari dia, untuk membalas sakit hati ayah bunda kalian. Sekarang
tiba saatnya membicarakan urusan Lau Khong, kereta yang memuat peti mati ini semula
kepunyaannya bukan" Silakan kalian tuturkan kepadaku apa sebenarnya yang terjadi!"
"Lau-toako adalah tetangga kami," demikian Bu Toan menutur pula, "Lau-pepek yang
kukatakan tadi adalah ayahnya "
"O, jadi kalian bertetangga dengan Lau Khong, betapa baiknya kalau sejak lama aku tahu akan
hal ini," ujar Miao Tiang-hong.
"Miao-susiok," Bu Cheng menimbrung, "Jadi kau sudah lama kenal dengan Lau-toako, aku kok
belum pernah dengar Lau-toako menyinggung hal ini."
"Baru beberapa hari yang lalu aku berkenalan dengan Lau Khong, tapi sekali bertemu laksana
teman lama saja layaknya. Setelah kutahu dia kelahiran dari kabupaten Tiong-boh, sebenarnya
hendak mencari tahu tentang keluarga kalian, namun sampai sekarang belum ada kesempatan."
Secara ringkas lalu ia ceritakan cara bagaimana ia berkenalan dengan Lau Khong di loteng rumah
makan dulu. "Moay-moay lebih baik terhadap Lau-toako daripada aku eng-kohnya ini," demikian goda Bu
Toan. "Setiap persoalan tentu dia beritahukan kepada Lau-toako, kalau ada urusan Lau-toako
selalu juga ceritakan kepadanya."
Merah muka Bu Cheng. "Kau memang cerewet," omelnya. "Bukankah Lau-toako teramat baik
juga terhadapmu?" "Tak heran begitu aku mencari tahu tentang Lau Khong lantas kalian curiga. Kiranya Lau Khong
belum memberi tahu tentang teman barunya sepert aku ini. Apakah kalian ikut dia datang ke
Yangciu?" Bu Cheng memonyongkan mulut, katanya: "Semula memang kami hendak ikut dia, tapi dia
tidak mengijinkan." "Memangnya," sela Bu Toan tertawa, "Moaymoay segan berpisah dengan Lau-toako, terpaksa
dia menyeret aku untuk menemani melihat keramaian."
"Kau membual apa lagi?" rengek Bu Cheng. "Memangnya aku tidak terima kenapa dia tidak
mau bawa kami. Memangnya kami tidak bisa pergi sendiri?" Lalu ia tertawa: "Tapi akhirnya toh
kami tidak berhasil melihat keramaian di rumah Ong-lopiauthau."
"Jadi kalian bertemu Lau Khong di tengah jalan?"
"Masa begitu kebetulan. Di tengah jalan memang kami ada bertemu dengan si maling sakti
Kwi-hwe-thio, dia adalah sahabat karib ayah di masa hidupnya. Miao-susiok, kau kenal
kepadanya?" "Di Pakkhia aku pernah melakukan sesuatu bersama dia. Aku pun tahu dia berada di Yangciu.
Di sana aku ada bertemu dengan temannya sejawat Li-ma-cu, cuma kali ini aku sendiri tidak
bertemu dengan dia."
"Dia memberi tahu kepada kami, katanya Lau-toako mengantar peti mati ke utara, katanya pula
ada beberapa cakar alap-alap yang sedang membuntuti jejaknya, dia minta supaya kami berusaha
membantunya. Sebetulnya kami tidak jalan lewat sini. Kwi-hwe-thio bawa kami menemui dia,
kemarin malam kami bertemu di sebuah rumah makan kecil di dalam Ceng-Iiong-tin." ?" Cengliong-
tin adalah sebuah kota kecil di pinggiran Ko-yu-ouw, kira-kira dua ratus li dari Yangciu, tadi
pagi Miao Tiang-hong pun ada lewat dari kota itu, karena terburu-buru maka dia tidak mencari
tahu di dalam kota. Bu Toan berkata lebih lanjut: "Waktu itu terdesak oleh tempo, kami tidak bicara sejelasnya.
Maka Kwi-hwe-thio mengajukan tipu dayanya ini, menyuruh kami berdua mewakili Lau-toako
membawa kereta ini, untuk mengalihkan kejaran para cakar alap-alap. Han Bing dikeluarkan dari
dalam peti mati, lalu suruh Lau-toako membawa Han Bing yang masih belum sadar itu, menuju ke
suatu tempat persembunyian lain."
"Ke mana mereka pergi, apa kalian tahu?" tanya Miao Tiang-hong.
"Ke sebuah desa kecil puluhan li di luar kota Ceng-liong-tin, dalam desa itu ada seorang
thaubak dari pihak Hay-soa-pang. Orang itu adalah teman baik Kwi-hwe-thio. Menurut rencana
Kwi-hwe-thio, setelah tiba di rumah temannya itu, segera naik perahu milik Hay-soa-pang,
melepaskan diri dari kejaran pihak cakar alap-alap."
"Benar, cara ini jauh lebih aman," puji Miao Tiang-hong.
"Apakah Hay-soa-pang adalah orang kita sendiri?" tanya Bu Cheng.
"Hay-soa-pang Pangcu Lo Kim-ou adalah sahabat karib dari salah satu pimpinan tertinggi dari
laskar gerilya di Siau-kim-jwan. Soal ini, Kwi-hwe-thio sudah mendapat tahu, mungkin Lau Khong
sendiri yang belum mengetahui."
Tiba-tiba teringat sesuatu, Miao Tiang-hong bertanya: "Menurut Kwi-hwe-thio melihat jejak
cakar alap-alap yang mengejar datang, semalam kawanan cakar alap-alap itu sudah tiba di Cengliong-
tin belum?" "Dalam Ceng-liong-tin hanya terdapat sebuah rumah penginapan kecil itu, di sana tiada orangorang
yang mencurigakan. Menurut perhitungan Kwi-hwe-thio, kawanan cakar alap-alap itu pasti
akan turun tangan di tempat-tempat yang sepi terpencil, mereka hanya tahu membuntuti kereta
ini, waktu itu kereta berada di luar rumah, Kwi-hwe-thio bersama Lau-toako mengembangkan
ginkang, lari keluar lewat pintu belakang. Seumpama semalam kawanan cakar alap-alap itu sudah
sampai di Ceng-liong-tin, pastilah mereka tidak akan tahu."
Mendadak Miao Tiang-hong berkata: "Kukira urusan rada ganjil!"
"Apanya yang ganjil?" tanya Bu Cheng kaget.
"Sehari ini adakah kalian ke-bentur dengan kawanan cakar alap-alap yang mengejar?"
"Ya, tidak!" "Nah itulah! Kalian tidak bentrok dengan cakar alap-alap, itulah keganjilannya."
Bu Toan menjadi sadar, katanya:
"Omongan Miao-susiok tidak salah, memang rada ganjil. Moay-moay, coba pikir. Seharian ini
kita menempuh jalan pegunungan yang sepi dan terpencil, kenapa kawanan cakar alap-alap itu
tidak turun tangan?"


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bu Cheng berjingkrak kaget, serunya: "Maksudmu mereka sudah tahu tipu daya ini, lalu
mengejar jejak Lau-toako?"
"Semoga tidak seperti yang kau duga ini." Sikap Miao Tiang-hong rada kuatir.
Tengah mereka bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar suara kelintingan kuda, di dalam kegelapan
malam, tampak tiga ekor kuda yang dibedal kencang tiba-tiba muncul di antara semak daun-daun
welingi sana, arahnya kebetulan menuju ke tempat mereka.
Miao Tiang-hong menghela napas lega, katanya: "Nah, itulah, kawanan cakar alap-alap itu
akhirnya datang juga. Hehe, kali ini aku harus betul-betul mengukur sampai di mana kelihayan
mereka." "Apakah Miao-susiok kenal dengan kawanan cakar alap-alap itu?" tanya Bu Cheng.
"Benar. Mereka adalah orang-orang yang bertanding minum di atas loteng rumah makan itu.
Mereka masing-masing bernama Ngo Hong, Gui Khing dan Sebun Hou. Di antara ketiga orang ini
kepandaian Gui Khing paling tinggi, nanti biar aku sendiri yang membereskan mereka. Lho, wah,
tidak benar!" "Apa yang tidak benar?" teriak Bu Cheng. "Wah, ya memang tidak benar, ketiga orang ini
agaknya bukan serombongan!" Belum lenyap suaranya, tiba-tiba dilihatnya Miao Tiang-hong sudah
melompat naik ke punggung kuda, teriaknya: "Dua orang di depan adalah kawan kita, yang paling
belakang adalah musuh. Biar kucegat musuh, lekas kalian menolong orang."
Sungguh di luar dugaan Miao Tiang hong, di antara ketiga pendatang ini, yang dia kenal hanya
Sebun Hou seorang, dua orang yang lain kelihatan malah terluka berat mendekam di atas
punggung kuda. Sekilas pandang sudah jelas bahwa mereka sedang dikejar dan hendak diringkus
atau dibunuh oleh Sebun Hou.
Di tempat yang sunyi sepi ini mendadak melihat Miao Tiang-hong muncul, keruan kejut Sebun
Hou bukan kepalang. Sampai di mana tingkat kepandaian silat Miao Tiang-hong ia tahu jelas,
terang dirinya bukan tandingan orang, segera ia putar balik tunggangannya, melarikan diri.
Jantung Miao Tiang-hong berdetak keras, batinnya: "Kepandaian silat Sebun Hou paling rendah
di samping Ngo Hong dan Gui Khing, kini hanya terlihat dia seorang, ke mana pula dua orang yang
lain?" Maklumlah bila mereka bertiga sekaligus muncul di sini, maka dapat dipastikan bahwa jejak Lau
Khong belum sampai ketahuan mereka, kini Gui Khing dan Ngo Hong yang berkepandaian lebih
tinggi tidak kelihatan datang, maka persoalan ini sulit diraba bagaimana perkembangan
selanjutnya. Besar hasrat Miao Tiang-hong membekuk musuh untuk dikompes keterangannya, segera ia
membentak keras: "Lari ke mana?" Kontan ia sambitkan tiga biji mata uang dengan gerakan Liusing-
kan-gwat (bintang sapu mengejar rembulan) ia timpukkan kepada Sebun Hou, di samping itu
ia keprak kudanya lari mengejar.
Teknik menunggang kuda Sebun Hou ternyata luar biasa, tiba-tiba badannya memberosot turun
bersembunyi di bawah perut kuda, menghindar timpukan mata uang pertama, biji kedua
mengenai pelana kuda. Meski Sebun Hou sudah bersembunyi di bawah perut kuda dengan kedua
kaki menjepit kencang perut kuda, toh ia tidak berhasil meluputkan diri dari sambaran mata uang
ketiga, kebetulan dengan telak mengenai batok kepalanya yang tergantung turun ke bawah.
Sayang jarak mereka sudah ratusan langkah, kalau tidak batok kepalanya itu pasti pecah. Namun
demikian, toh kepala terasa sakit dan mata berkunang-kunang, batok kepalanya seperti hampir
pecah. Tunggangan Miao Tiang-hong berlari amat pesat, sekejap saja jarak kedua pihak sudah ditarik
pendek menjadi tiga puluhan tombak. Karena terdesak oleh keadaan, timbul akal licik Sebun Hou,
tiba-tiba ia menjatuhkan diri menggelundung di atas tanah, terus lompat bangun dan terjun ke
dalam Ko-yu-ouw. Sementara kedua kuda tunggangan lain sudah berlari dekat di depan Bu Toan berdua, orang
yang berada di depan seorang pemuda segera berteriak: "Apakah kau Bu-kongcu?"
"Benar," sahut Bu Toan. "Akulah Bu Toan teman Lau toako, kau adalah..."
Belum habis ia bicara dilihatnya kedua orang itu sudah menggelinding jatuh dari punggung
tunggangannya. Begitu tahu orang yang harus mereka cari sudah ketemu, hati menjadi lega,
maka mereka tidak tahan lagi bertahan dari siksaan luka-luka di atas badan mereka, lalu jatuh
pingsan. Miao Tiang-hong sedikit bisa berenang, tapi bertempur di dalam air bukan keahliannya.
Mendengar teriakan kaget Bu Toan berdua, segera ia berpikir: "Keparat itu terkena sambitan
sebuah mata uangku, meski dia bisa lari dengan menyelam dalam air, deritanya pasti cukup
menyiksanya." Maka tanpa hiraukan mati hidup Sebun Hou lagi, cepat ia putar kudanya, kembali
dulu untuk menolong orang.
Segera Miao Tiang-hong memijit dan mengurut badan kedua orang ini, tak lama kemudian si
pemuda siuman lebih dulu, namun masih belum punya tenaga untuk bicara, tampak tangannya
pelan-pelan menyingkap ujung bajunya, tampak di balik bajunya itu tersulam seekor ikan cucut.
Bu Toan berjingkrak kaget, serunya: "Jadi kalian anak buah Hay-soa-pang Pangcu?"
Pemuda itu manggut-manggut. Ternyata nama akhir dari Pangcu Hay-soa-pang Lo Kim-ou
berarti ikan, maka semua anak buahnya mengenakan gambar ikan cucut sebagai tanda pengenal.
Bu Cheng amat kaget dan senang, lekas ia bertanya: "Jadi Lau-toako semalam berada di rumah
kalian" Apa yang terjadi dengan mereka?"
Setelah istirahat si pemuda sudah bisa mulai bicara, katanya lemah: "Kami menyusul kemari
untuk memberi kabar kepada kalian. Dia adalah ayahku, ai, luka-luka ayali lebih berat dari aku."
Tatkala itu kakek itu pun sudah siuman, Miao Tiang-hong sudah membubuhi Kim-jong-yok,
katanya: "Meski luka-luka loyacu tidak ringan, untung luka dalamnya tidak begitu parah, istirahat
beberapa hari pasti bisa sembuh. Tidak usah kuatir!"
Bu Cheng segera memberi air minum kepada si pemuda, tanyanya: "Bagaimana, lebih segar
tidak?" "Ya, jauh lebih enak, nona, banyak terima kasih."
"Baik, ceritakan perlahan-lahan. Apa yang telah terjadi di sana?"
Tutur si pemuda: "Semalam kira-kira kentongan ketiga, Kwi-hwe-thio dan Lau Khong membawa
Han Bing datang ke rumahku. Han-toako berbadan kaku tidak bernapas, keadaannya mirip orang
sudah mati." Bu Cheng amat gugup, segera ia menukas: "Dia memang pura-pura mati. Hal itu kami sudah
tahu, katakan saja kejadian selanjurnya."
Si pemuda menarik napas, katanya: "Ya. Lau-toako juga ada menjelaskan kepada kami.
Pertemuan Di Kotaraja 13 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Pedang Berkarat Pena Beraksara 7
^