Kelana Buana 23
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 23
Katanya Han-toako menelan obat tertidur tiga hari, setelah minum obat pemunahnya sebentar
bakal siuman kembali. Pagi hari ini kebetulan adalah hari ketiga."
"Begitu mereka tiba, ayah segera mengutus orang mencari dan menyediakan sebuah perahu
milik pang kami. Baru saja kentongan keempat lewat, musuh sudah keburu datang. Lau Khong
sudah memberi obat pemunah kepada Han Bing, memang teramat untung, kebetulan Han-toako
sempat siuman sebelum musuh berhasil menerjang masuk dari pintu besar."
Miao Tiang-hong ikut mencucurkan keringat dingin dan amat kuatir, tanyanya: "Siapa saja
musuh-musuh yang datang?"
"Sebun Hou tadi itu adalah salah satu di antaranya," tutur si pemuda. "Kecuali itu masih ada
tiga orang lainnya. Menurut kata Lau-toako, seorang bernama Ngo Hong, dan yang lain bernama
Gui Khing, seorang lagi adalah wakil komandan Gi-lim-kun yang bernama Ciok Tio-ki."
Tiga orang yang tersebut di depan sudah dalam dugaan Miao Tiang-hong, adalah Ciok Tio-ki
yang tersebut terakhir itu sungguh di luar dugaannya, keruan ia amat kaget, katanya: "Ciok Tio-ki
baru saja kembali dari rumah keluarga Ong dengan gagal dan mendapat malu, memangnya dia
sendiri langsung ikut turun tangan" Aih, Lau Khong dan Kwi-hwe-thio berdua sekaligus harus
menghadapi empat lawan tangguh, sungguh amat berbahaya."
"Memangnya, Han-toako baru saja siuman, tenaganya belum pulih, sudah tentu tidak bisa
bersilat," demikian tutur si pemuda pula. "Terpaksa kami menurut petunjuk Kwi-hwe-thio,
melarikan diri terbagi dua rombongan ke dua jurusan. Mereka mengutus Sebun
Hou seorang untuk mengejar kami, tiga orang yang lain sama mengejar Lau-toako dan lainlain."
"Tahukah kau ke arah mana Lau Khong beramai melarikan diri?" tanya Miao Tiang-hong.
"Aku dan ayah menerjang keluar lebih dulu, bagaimana keadaan mereka akhirnya, kami tidak
tahu. Tapi, bila mereka berhasil lolos, pasti lari ke jurusan Ceng-liong-tam, di sana ada perahuperahu
milik kami dapat menolong, Ceng-liong-tam (pesisir naga hijau) terletak di selatan Cengliong-
tin. Miao Tiang-hong berpaling, katanya kepada Bu Toan berdua: "Baik, biar aku lekas menyusul ke
sana bantu mereka, kalian tinggal di sini menolong mereka."
Si kakek setelah dibubuhi obat dan menelan pil, keadaannya sudah lebih baik, katanya: "Musuh
teramat tangguh, kalian tidak usah membagi tenaga mengurus kami berdua, lekaslah kalian pergi
menolong Lau-tayhiap saja."
"Tidak, mana kami bisa meninggalkan kalian begini saja," tukas Miao Tiang-hong.
"Begini saja," Bu Toan mengusulkan. "Biar aku tinggal di sini menemani mereka, Moay-moay,
kau ikut pergi bersama Miao-susiok."
Miao Tiang-hong sadar, pikirnya geli: "Aku memang sudah pikun, dari pembicaraan mereka
tadi, naga-naganya Lau Khong dan Bu Cheng sudah saling jatuh cinta, kenapa aku melarang dia
ikut." Maka segera ia berkata: "Baiklah, mari segera berangkat." Belum habis ia bicara, Bu Cheng
sudah cem-plak ke atas kudanya.
Kepandaian silat Kwi-hwe-thio memang biasa saja, tapi otaknya cerdik banyak akalnya. Kedua
anggota Hay-soa-pang ayah beranak ini berhasil menjebol kepungan dan melarikan diri, adalah
berkat tipu dayanya. Bahwa akhirnya Lau Khong dan Han Bing bisa lolos dari marabahaya juga
mendapat bantuan tenaganya yang tidak kecil artinya.
Waktu musuh menerjang masuk menjebol pintu, Han Bing sudah siuman dan sadar, cuma ilmu
silatnya masih belum pulih, Lau Khong harus melindunginya.
Musuh kuat pihak sendiri lemah, Kwi-hwe-thio melihat situasi yang tidak seimbang ini, terpaksa
harus menempuh bahaya, maka ia gunakan cara melarikan diri berpencar, dapat lolos seorang pun
syukur. Bersama Lau Khong ia melindungi Han Bing menerjang keluar dari pintu besar memapaki
kedatangan musuh, sementara kedua ayah beranak anggota Hay-soa-pang itu naik kuda
melarikan diri dari pintu belakang. Dalam rumah itu sebetulnya sudah disiapkan dua ekor kuda
diperuntukkan Lau Khong, namun Lau Khong menjelaskan kepada mereka: "Ciok Tio-ki dan
kawan-kawannya meluruk kemari menunggang kuda, kalau aku tidak kuasa melawan dia, apa
gunanya ada kuda tunggangan, sulit juga melarikan diri. Tapi sasaran musuh bukan kalian,
dengan menunggang kuda, kalian pun punya harapan untuk menerjang keluar dan meloloskan
diri." Tidak meleset dugaan Lau Khong, Ciok Tio-ki hanya mengutus Sebun Hou untuk mengejar dan
membunuh kedua ayah beranak ini. Sementara Ngo Hong dan Gui Khing dia ajak mencegat di
pintu besar, mereka siap meringkus Lau Khong dan Han Bing hidup-hidup.
Lau Khong melabrak Ciok Tio-ki lebih dulu, kepandaian kedua pihak setanding, Lau Khong tidak
berhasil menerjang keluar, namun Ciok Tio-ki pun sulit menangkapnya.
Sementara Gui Khing menerobos maju hendak menangkap Han Bing, lekas Lau Khong
menghadang di depan Han Bing beradu sekali pukulan dengan Gui Khing. Lwekang Gui Khing rada
lemah, kontan ia tergentak mundur dua langkah'. Tapi karena harus memecah perhatian beradu
pukulan dengan Gui Khing, Ciok Tio-ki jadi mendapat peluang untuk merang-sak maju, sebat
sekali sepasang potlotnya menyelonong maju me-notok Hiat-to Lau Khong. Dengan gerakan naga
melingkar kaki melangkah Lau Khong meluputkan diri, Hiat-to tidak sampai tertutup, namun
pundak kirinya tergores luka oleh ujung potlot lawan yang runcing dan tajam itu.
Pihak Ciok Tio-ki dan Gui Khing di sebelah sini berada di atas angin. Di pihak lain Ngo Hong
berusaha menangkap Kwi-hwe-thio, bukan saja tidak berhasil malah dia kena sedikit dirugikan.
Ngo Hong pentang telapak tangannya yang gede hendak men-cengkram, tak nyana jari-jarinya
menangkap tempat kosong, tahu-tahu "plak" pipinya terasa panas pedas dan mata berkunangkunang,
ternyata mukanya kena digampar oleh Kwi-hwe-thio.
Keruan Ngo Hong menjerit gusar dan mengumpat caci, belum lagi ia berdiri tegak Kwi-hwe-thio
sudah lari ke arah pintu besar, langsung menuju ke arah tiga kuda tunggangan mereka. Ketiga
ekor kuda ini ditambat di batang pohon di luar pintu. Saking gugup Ngo Hong lantas berteriak:
"Celaka, maling keparat itu hendak mencuri kuda kita!"
Kuda tunggangan Ciok Tio-ki adalah kuda pilihan hadiah dari Sat Hok-ting, sudah tentu ia tidak
rela kudanya dicuri orang, terpaksa ia menyusul keluar, bentaknya: "Dia tidak akan bisa lolos!"
Sekali ayun tangan dia sambitkan tiga batang panah kepada Kwi-hwe-thio. Lau Khong harus
melindungi Han Bing yang sedang kehilangan tenaga dan ilmu silatnya, Ciok Tio-ki berpendapat
pihaknya pasti akan berhasil membekuk lawan-lawannya, maka dia putar haluan hendak
membunuh Kwi-hee-thio lebih dulu, sebentar putar, balik untuk menghadapi mereka pula.
"Aduh, celaka. Sakitnya bukan main!" Kwi-hwe-thio berteriak, cepat ia menggelundung di atas
tanah tiba-tiba mencelat bangun pula sembari tertawa tergelak-gelak, serunya: "Supaya hatimu
senang, haha, tidak kena!" Dengan menggelundung ini, ia malah tiba di bawah pohon dan sudah
berhasil memotong tali kendali.
Ciok Tio-ki gusar, dampratnya sambil mengejar datang: "Lari ke mana?" Langsung ia menubruk
ke arah Kwi-hwe-thio. Asal kuda tunggangan tidak sampai kena terebut oleh musuh, ia duga Lau
Khong berdua pasti tidak akan lari.
Tanpa gugup Kwi-hwe-thio berkata: "Diberi tidak membalas kurang hormat, nih, kau pun
terimalah senjata rahasiaku." Sekali lempar dia sambitkan dua buntalan. Ciok Tio-ki berpikir:
"Senjata rahasia apa ini" Jangan aku kena dikelabui." Lekas ia ayun tangan melancarkan Bikkhong-
ciang, supaya senjata rahasia musuh tidak terbang mendekat.
Tak nyana, masih untung kalau tidak memukul senjata rahasia ini, begitu tergetar oleh tenaga
pukulannya, maka dia betul-betul terjebak oleh tipu daya Kwi-hwe-thio. Kiranya senjata rahasia
timpukan Kwi-hwe-thio ini adalah dua buntalan kapur. Sisa kapur milik tuan rumah untuk
mengapur dinding, kebetulan Kwi-hwe-thio sekarang dapat menggunakan manfaatnya.
Menyebar kapur untuk membikin pedas mata orang, biasanya adalah perbuatan maling rendah
untuk melarikan diri. Lawan-lawan Ciok Tio-ki selama ia malang melintang boleh dikata adalah
tokoh-tokoh persilatan yang punya kedudukan tinggi, hakikatnya tidak pernah terpikir olehnya
Kwi-hwe-thio bakal menggunakan perbuatan kotor seperti ini. Sigap sekali ia kebutkan lengan
bajunya mengebut buyar kapur yang beterbangan itu. Ngo Hong tidak membekal lwekang
setingkat itu, terpaksa dia pejamkan mata sembari membo-lang balingkan goloknya untuk
melindungi badan. Meski dia sudah buru-buru memejamkan mata, tak urung matanya sudah
terasa pedas dan mencucurkan air mata.
Hebat memang kepandaian Ciok Tio-ki, dengan memejamkan mata, mengandal pendengaran
kupingnya, sedikit pun ia tidak menjadi kehilangan sasaran, dengan beberapa kali lompatan
langsung dia melompat ke arah kuda tunggangannya sendiri.
Di saat kapur masih betci bangan, pandangan semua orang masih kabur, lekas Lau Khong tarik
Han Bing melarikan diri. Gui Khing tidak kuasa merintangi.
Belum lagi Kwi-hwe-thio berhasil naik ke punggung kuda, Ciok Tio-ki sudah keburu menubruk
tiba, seru Kwi-hwe-thio tertawa: "Ciok tayjin, kenapa marah-marah, kan hendak menunggang
kuda, nih kukembalikan kepadamu." Sekali menerobos lewat perut kuda, sebuah belati di
tangannya segera dihunjamkan ke pantat sang kuda.
Kebetulan kuda itu sedang berlari ke arah tuannya, mendadak terasa pantatnya kesakitan oleh
tusukan belati Kwi-hwe-thio, kontan ia berjingkrak sambil melompat tinggi ke depan, kaki
depannya tepat menindih ke batok kepala Ciok Tio-ki.
Ciok Tio-ki amat sayang kepada kudanya ini, ia tidak tega memukulnya mampus atau
melukainya, terpaksa ia menjatuhkan diri terus menggelundung ke samping. Kejadian berlangsung
dengan cepat, sementara itu Lau Khong dan Han Bing sudah berhasil merebut dua ekor kuda yang
lain. Ciok Tio-ki amat gusar, lekas ia sambitkan panah berantai. Ilmu silat Han Bing belum pulih,
terpaksa ia merebahkan badan di atas punggung kuda untuk menyelamatkan diri. Di luar tahunya,
Cok Tio-ki bukan mengincar orang, sebaliknya tunggangannyalah yang menjadi sasaran. Salah
sebatang panah sam-bitannya dengan telak mengenai paha belakang kuda tunggangan Han Bing,
karena kesakitan kuda itu berjingkrak. Han Bing kontan terbanting jatuh.
Lau Khong berpaling ke belakang sambil menarik kekang, sementara sebelah tangannya
memutar golok menyampuk jatuh tiga panah yang mengarah dirinya. Melihat Han Bing terbanting
jatuh, lekas ia putar kudanya datang menolong.
Kebetulan Ciok Tio-ki sudah menubruk datang ke arah dirinya. Kwi-hwe-thio melejit minggir ke
samping, sekali raih ia sambar Han Bing terus dilempar ke arah Lau Khong. Sigap sekali Lau Khong
menyambuti badan Han Bing, dua orang satu tunggangan, lekas ia keprak kudanya untuk
melarikan diri. Kebetulan setindak lebih cepat dari Ciok Tio-ki, maka Ciok Tio-ki menubruk tempat
kosong. Keruan Ciok Tio-ki berjingkrak gusar, bentaknya: "Biar kutangkap dulu maling keparat ini!" Kwihwe-
thio jumpalitan ke belakang, "Bret" tak urung bajunya kena tercengkram sobek sebagian,
namun ia berhasil lolos juga. Gui Khing dan Ngo Hong lekas meluruk datang dari kanan kiri,
namun tidak berhasil menangkapnya. "Hendak menangkap aku si maling kecil ini, kukira tidaklah
mudah. Tidak percaya mari kau coba!" demikian ejeknya.
"Ciok-tayjin!" Gui Khing berseru membujuk. "Buronan lebih penting, buat apa marah-marah
kepada maling keparat ini?"
Ciok Tio-ki sadar, katanya sambil menahan amarah: "Ngo Hong, pergilah cari seekor kuda, ikuti
jejakku. Gui Khing, mari kejar dulu buronan itu." Lekas ia keluarkan obat luka buatan istana yang
selalu dibawanya, kedua kuda yang terluka itu dia bubuhi Kim-jong-yok, terpaksa mereka naik
.kuda-kuda terluka ini mengejar ke arah Lau Khong dan Han Bing yang menunggang seekor kuda
tadi. Kuda Ciok Tio-ki adalah kuda pilihan yang hebat dari daerah barat, meski baru saja lukalukanya
dibubuhi obat, memang kecepatan larinya tidak seperti biasanya, tapi toh lebih cepat dari
kuda tunggangan biasanya. Lau dan Han naik seekor kuda biasa lagi, tak lama kemudian Gui
Khing sudah jauh ketinggalan di belakang, tak jauh di depan bayangan Lau dan Han sudah
kelihatan. Ginkang Kwi-hwe-thio teramat tinggi, dalam jarak sepuluhan li ia masih kuasa berlari pesat
melebihi kuda kekar. Di saat Ciok Tio-ki hampir menyandak Lau dan Han berdua, entah dari mana
mendadak Kwi-hwe-thio menerobos keluar, mencegat lari kuda Ciok Tio-ki, "Ciok Tayjin, masa kau
tidak sayang kepada kudamu ini?"
Diolok-olok dan digoda sedemikian rupa sudah tentu bertambah murka Ciok Tio-ki dibuatnya,
"Sret" pecutnya kontan ia sabetkan sembari membentak: "Maling keparat, kau cari mampus, biar
kubunuh kau lebih dulu."
Kwi-hwe-thio melompat ming-gir, katanya: "Sengaja aku datang hendak buat kontrak dagang
sama kau, kau malah hendak bunuh aku, hehe, air susu hendak kau balas dengan air tuba, tidak
tahu kebaikan." Sebetulnya Ciok Tio-ki sudah menahan amarah dan tidak mau pedulikan dia lagi, serta
mendengar kata-katanya ini, tanpa sadar matanya melirik ke arahnya. Dilihatnya Kwi-hwe-thio
sedang mengeluarkan serenteng mutiara sebesar ke-Iengkeng yang bercahaya kemilau, serunya
sambil cengar cengir: "Serenteng mutiara ini, kukira masih cukup berharga ribuan tail bukan?"
Kaget dan gusar seketika Ciok Tio-ki dibuatnya, dampratnya: "Maling keparat, berani kau
mencuri mutiaraku." Kiranya serenteng mutiara itu adalah hadiah sang raja, karena jasa-jasanya
tahun yang lalu waktu ia ikut menyerbu ke Siau-kim-jwan.
Kwi-hwe-thio bergelak tertawa, "Benar, kau maki aku maling rendah, biar sekarang kau
merasakan kelihayan si maling rendah ini! Kau pun harus mengerti aturan dari kalangan pencopet
seperti kami ini, hasil yang sudah berada di tangan tidak akan mudah dilepaskan begitu saja, kalau
si pemilik ingin minta kembali, boleh saja, kau harus membungkuk-bungkuk dulu lho! Berapa duit
kau berani menebusnya?"
Serenteng mutiara ini, meski bukan mestika yang tidak ternilai harganya, tapi itu hadiah pribadi
sang raja kepadanya, jika sampai hilang bagaimana kalau sang raja nanti menanyakan, sungguh
Ciok Tio-ki tidak berani membayangkan akibatnya. Keruan Ciok Tio-ki naik pitam, kuda diputar
balik cepat ia mengejar dengan sengit.
Sengaja Kwi-hwe-thio lari berputar-putar mengitari pohon dan berlompatan di antara semak
belukar. Kalau lari lurus terang Kwi-hwe-thio bisa terkejar, dengan cara bermain petak begini Ciok
Tio-ki menjadi kewalahan menghadapi Kwi-hwe-thio yang memiliki ginkang tinggi.
Ciok Tio-ki bertekad hendak merampas balik mutiaranya, terpaksa ia melompat turun dari
tunggangannya, diraihnya segenggam mata uang terus disambitkan. Panah tangannya sudah
habis, dengan mengerahkan tenaga, maka sambaran mata uangnya cukup deras juga.
Sambil meluputkan diri dari sambaran senjata rahasia, Kwi-hwe-thio terus lari berputar-putar
dengan lincahnya, pikirnya: "Tenagaku tidak akan bertahan lama, cukup sekian saja kiranya
permainan ini." Dengan sekuat tenaga segera ia lemparkan serenteng mutiara itu ke tempat nan
jauh sembari berseru tertawa: "Ciok Tay-jin, kau ini memang kikir! Nah, kukembalikan saja, kalau
tidak tentu kau menangis nanti, tapi ambil ah sendiri. Perlu juga kuperingatkan sekali ini saja aku
memberi kelonggaran kepada kau, lain kali tiada ampun lagi!"
Sudah tentu Ciok Tio-ki amat murka, tapi terpaksa dia harus patuh akan kata-kata Kwi-hwethio,
cepat lari ke arah sana untuk mengambil mutiaranya. Kebetulan rentengan mutiaranya itu
jatuh masuk ke dalam lumpur di pinggir danau, meski berhasil menemukan mutiaranya, tapi kaki
tangan dan badannya menjadi kotor berlepotan lumpur, menghabiskan banyak waktu lagi. Waktu
ia kembali ke tempat semula Kwi-hwe-thio sudah tidak kelihatan pula bayangannya.
Dalam pada itu Lau Khong dan Han Bing sudah tiba di Ceng-liong-tam, di sana mereka
mendapat sambutan anak buah Hay-soa-pang dan langsung naik ke atas perahu. Tapi bayangan
Kwi-hwe-thio tidak kunjung datang, mereka menjadi kuatir.
Seorang thaubak pemilik perahu itu berkata: "Kwi-hwe-thio cukup cerdik dan banyak akal. Pasti
dia tidak akan kena dirugikan. Musuh sedang mengejar kemari, mari kita lekas berangkat saja."
Lau Khong berkata: "Kwi-hwe-thio tentu memancing Ciok Tio-ki ke tempat lain, demi kawan dia
begitu simpatik,' semoga dia berhasil lolos dari marabahaya." Apa boleh buat, terpaksa mereka
berangkat lebih dulu. Suasana di tengah Ko-yu-ouw amat tenang, tiada angin tiada ombak. Thaubak itu berdiri di
ujung perahu, katanya setelah melihat cuaca: "Angin bakal datang. Dengan mendapat bantuan
angin buritan, laju perahu akan lebih cepat." Betul juga tak lama kemudian, angin timur datang
menghembus cukup kencang.
Tengah perahu berlaju dengan kencang, tiba-tiba si thaubak berseru heran, "Eh, di belakang
mendatangi sebuah perahu, sekarang bukan musim menangkap ikan, begitu cepat perahu kecil itu
berlaju, apakah perahu Pang kita yang menyambut?"
Lau Khong angkat kepala ke belakang, dilihatnya sebuah perahu kecil yang pasang layar juga,
sedang berlaju lebih cepat ke arah mereka. Tak lama kemudian setelah jarak kedua perahu
semakin dekat, Lau Khong menjadi kaget, serunya: "Celaka, itulah Ciok Tio-ki."
Gelak tawa Ciok Tio-ki berkumandang di permukaan danau, teriaknya: "Sengaja aku orang she
Ciok mengantar perjalanan kalian. Hehe, coba hendak ke mana kalian lari?" Ciok Tio-ki berdiri di
depan perahu, Gui Khing berada di belakang.
"Tabahkan hati dan lawan dengan tenang." Lau Khong memberi semangat.
Han Bing kertak gigi, ujarnya: "Betul, paling-paling gugur bersama mereka."
"Jangan, kalau tidak berhasil lolos baru adu jiwa sama mereka."
Maklum meski kedua pihak sama dua orang, namun ilmu silat Han Bing belum pulih seluruhnya,
menghadapi Gui Khing yang memang setingkat lebih tinggi kepandaian silatnya, sudah tentu
teramat berbahaya. Sementara Lau Khong tahu, dirinya hanya setan-ding dengan Ciok Tio-ki,
siapapun sulit mengambil kemenangan.
Si thaubak itu mendadak berkata: "Coba kalian lihat, perahu mereka mendadak menjadi
kendor. Ah, pahamlah aku!"
"Paham apa?" tanya Lau Khong.
"Perahu yang dinaiki Ciok Tio-ki itu hasil rampasan, sudah tentu pemilik perahu tidak mau jual
tenaga kepadanya." Memang tidak salah dugaan si thaubak, pemilik perahu adalah nelayan tua yang hidup
sebatang kara setelah kedua putranya ditarik jadi tentara oleh penguasa setempat, istrinya pun
akhirnya menggantung diri karena sakit-sakitan dan tidak punya uang untuk beli obat dan periksa
tabib, pajak membumbung tinggi dua kali lipat dalam jangka tiga tahun. Maka kesannya terhadap
para pejabat dan pegawai pemerintah jajahan boleh dikatakan teramat buruk, kalau tidak mau
dikatakan amat mendendam.
Secara kekerasan Ciok Tio-ki merampas perahu milik nelayan tua ini, memaksanya menggayuh
dengan cepat dan sekuat tenaga. Kini ia tahu bahwa Ciok Tio-ki hendak menangkap orang-orang
di atas perahu di depan itu, maka semakin berkobar amarahnya, pikirnya: "Lebih baik aku
mengorbankan jiwa tuaku ini, sekali-kali aku tidak sudi bantu orang jahat membunuh orang baik."
Melihat perahu berlaju semakin lambat, Ciok Tio-ki membentak gusar: "Eh, bekerja ayal-ayalan,
kenapa kau?" Nelayan tua menyengir kecut, sahutnya: "Tayjin toh tahu, aku yang kecil memang tidak punya
tenaga lagi, aku belum makan perut amat lapar."
"Omong kosong, terang kau sengaja ayal-ayalan. Tidak kau bekerja sekeras tenaga. Biar
kubunuh kau." Nelayan tua tidak kena gertak, ujarnya: "Kau bunuh aku pun tiada jalan lain. Aku betul-betul
sudah bekerja sekuat tenaga.
"Bunuh dia tidak akan bantu usaha kita," Gui Khing menyela. "Serahkan biar kugayuh sendiri.
Pergi kau pegang kemudi dan jangan bertingkah. Jiwamu tidak akan kubunuh, tapi delapan belas
macam siksaan bisa kucoba atas dirimu."
Mengandal kekuatan lwekang Gui Khing sudah tentu perahu dapat digayuhnya lebih laju
berlipat ganda, akhirnya Ciok Tio-ki sendiri pun ikut bantu menggayuh, sekejap saja jarak kedua
perahu menjadi semakin dekat. Diam-diam Ciok Tio-ki memperhitungkan jarak satu sama lain,
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera senjata rahasia dia siapkan terus disambitkan seraya membentak: "Coba ke mana kalian
hendak lari?" Tiga pisau terbangnya berbareng menyambar ke depan, maka tiang layar perahu
Lau Khong seketika kena disambar patah tiga bagian.
Karena tiang patah dan layar menjadi kuncup dan melayang jatuh ke bawah, lekas Lau Khong
menyingkap layar itu ke samping, sudah tentu laju perahu mereka menjadi terhambat. Ciok Tio-ki
bergelak tertawa, sekali melompat badannya langsung mencelat terbang ke depan.
Tak nyana di saat ia melompat itulah, tiba-tiba si nelayan tua itu meraih penggayuh yang dia
tinggalkan terus menyapu kedua kakinya. Begitu keras hantaman penggayuh ini dan telak
mengenai tulang betisnya sampai terasa sakit dan retak. Kontan Ciok Tio-ki menjerit dan
terjungkal jatuh ke dalam air. Sementara dengan sekuat tenaga nelayan tua gunakan penggayuhnya
untuk menahan daya laju perahu sehingga oleng ke samping. Tindakan nelayan tua
yang berani ini sungguh di luar dugaan Gui Khing, waktu ia menghantam ke arah nelayan tua,
orang tahu-tahu sudah terjun ke dalam air dan tidak kelihatan bayangannya pula.
Untung Ciok Tio-ki masih sempat menangkap galah yang diulurkan oleh Gui Khing, waktu ia
merayap naik ke atas perahu badannya sudah basah kuyup, saking gusar kontan ia mencaci maki
kalang kabut. Dalam pada itu, karena perahu sudah kehilangan layar, kalau melarikan diri lewat jalan air
cepat ataa lambat pasti tersusul juga oleh musuh, terpaksa Lau Khong berkeputusan cepat,
katanya: "Kayuh perahu menepi, kita naik ke darat, lalu kau kembali menolong nelayan tua itu.
Sementara itu Gui Khing kerahkan tenaga mengayuh perahu mengejar dengan ketat, kedua
perahu hampir bersamaan menepi ke darat. Si thaubak lekas-lekas mengayuh perahunya ke
tengah danau pula, sementara Lau Khong menggandeng tangan Han Bing melompat ke atas
darat. Tenaga Han Bing sudah rada pulih, tapi masih belum kuasa mengerahkan ginkang untuk lari
di dalam rawa-rawa lumpur di pinggir danau.
Kejap lain Ciok Tio-ki dan Gui Khing pun sudah mengejar tiba, bentaknya keras: "Lari ke mana!"
Ciok Tio-ki langsung menubruk kepada Han Bing lebih dulu, sementara Gui Khing maju merintangi
Lau Khong. Han Bing sudah nekad dan pasrah nasib, begitu merasa angin merangsak datang dari
belakang, kontan ia balikkan tangan memukul ke belakang.
Melihat orang nekad, Ciok Tio-ki tidak berani pandang ringan musuh. Setelah bergebrak
beberapa jurus, didapatinya suatu titik lubang kelemahan permainan lawan, dengan sejurus hoaytiong-
po-gwat (menyikap rembulan dalam pelukan) kelima jarinya dirangkapkan, telapak tangan
menghadap ke atas, menyanggah sikut lawan, terus ditarik dan didorong, ia berhasil menangkap
pergelangan tangan Han Bing, hardiknya: "Ayolah kemari!"
Saking murka, entah dari mana datangnya tenaga, mendadak Han Bing menjatuhkan diri ke
atas tanah, ia pun menarik diri sekuat tenaga. Ciok Tio-ki malah kena terseret maju dan ikut
tersungkur jatuh. Sekali pukul Lau Khong bikin Gui Khing tergentak mundur, untung ia keburu datang menolong
tepat pada waktunya. Sudah tentu Ciok Tio-ki tidak sempat berkutat dengan Han Bing pula, lekas
ia menangkap tungkak kaki Han Bing terus ditarik ke samping. Sekali lompat ia menghadapi Lau
Khong yang lari mendatangi.
Karena lemparan tenaga orang yang kuat, Han Bing dibikin terbang tiga tombak jauhnya,
untung daerah itu rawa-rawa yaug bertanah empuk, meski terbanting rada keras, badannya tidak
terluka sedikit pun. Cuma badannya terjeblos masuk ke dalam lumpur, dalam waktu dekat terang
sulit ia mengeluarkan kedua kakinya.
Gui Khing tertawa dingin, je-ngeknya: "Semula kau janji kepada Ciok-tayjin untuk bantu
bekerja, asal kau suka berpaling muka, kita masih terhitung teman sendiri."
Kontan Han Bng memakinya: "Aku tidak punya teman macam tampangmu, lebih baik aku mati
di tanganmu saja. "Kau tidak sadar dan tidak mau bertobat, apa boleh buat, terpaksa aku bertindak tidak tahu
kasihan lagi." Kepandaian Lau Khong setan-ding dengan Ciok Tio-ki, sekali gebrak kedua pihak sama sulit
membebaskan diri dari libatan lawan masing-masing.
Baru saja Gui Khing maju hendak menawan Han Bing hidup-hidup, tiba-tiba terdengar sebuah
suitan panjang berkumandang dari jauh, begitu keras dan melengking tinggi suitan ini sampai
kupingnya mendengung sakit. Gui Khing amat kaget, batinnya: "Lwekang orang ini sungguh
hebat, entah kawan atau lawan?"
Waktu ia angkat kepala dilihatnya dua ekor kuda membedal datang. Yang di depan ditunggangi
seorang gadis berpakaian serba putih, yang di belakang adalah seorang "laki-laki pertengahan
umur, dia bukan lain adalah Miao Tiang-hong yang bertanding minum arak di rumah makan
Yangciu tempo hari. Dalam adu kekuatan minum waktu itu, Gui Khing pernah dikalahkan oleh Miao Tiang-hong, kini
melihat orang datang, keruan nyalinya kuncup seketika, mana dia berani berayal lagi" Tanpa
memper-dulikan kawan sendiri lekas ia angkat langkah seribu berlari naik ke atas perahunya.
Dalam waktu dekat Ciok Tio-ki tidak mungkin membebaskan diri dari libatan lawan. Sementara
Bu Cheng pecut kudanya supaya berlari lebih kencang, sekejap saja ia sudah tiba di pinggir danau.
Kuda tunggangan Miao Tiang-hong berlari rada lambat, maka ia datang rada ketinggalan.
Tanah berlumpur sehingga kuda tidak leluasa berlari. Terpaksa Bu Cheng melompat turun,
teriaknya: "Lau-toako, aku sudah datang. Kau tidak apa-apa bukan?" Mengembangkan ginkang,
sembari melolos golok ia berlari ke arah Lau Khong.
"Tidak perlu gugup!" teriak Lau Khong. "Keparat ini aku masih mampu menghadapinya."
Melihat gadis ini datang bersama Miao Tiang-hong, keruan Ciok Tio-ki terkejut bukan main.
Namun ia cukup pengalaman di medan laga, meski kaget tidak menjadi gugup pikirnya: "Betapa
sih tinggi kepandaian nona cilik ini. Biar ku-ringkus dia untuk dijadikan sandera, dari terdesak aku
bisa balas mengancam mereka." Segera ia menghardik seraya menubruk ke arah Bu Cheng tanpa
hiraukan pukulan Lau Khong.
Siapa tahu Bu Cheng hanya pura-pura angkat golok membacok, begitu sinar goloknya
berkelebat tahu-tahu dia sudah angkat langkah berkisar dengan gaya Naga Melingkar Mengubah
Langkah. Begitu cengkraman Ciok Tio-ki mengenai tempat kosang, "Biang" telak sekali ia terima
pukulan Lau Khong secara kekerasan. Sambil menahan sakit Ciok Tio-ki membarengi menubruk
maju pula ke arah Bu Cheng, cuma ia lupa tulang betisnya rada retak, maka bukan saja
tubrukannya tidak berhasil, malah di tengah jalan dia terbanting jatuh. Sigap sekali Bu Cheng
membalikkan badan seraya membacokan golok, lekas Ciok Tio-ki menggelundung ke samping
sambil menendang kotoran lumpur, biasanya Bu Cheng suka kebersihan, secara reflek ia melejit
menyingkir, sementara Ciok Tio-ki sudah berhasil menggelundung beberapa tombak jauhnya, tibatiba
ia timpukan kedua batang potlotnya, begitu keras timpukannya sampai mengeluarkan suara
menderu, langsung melesat mengarah Bu Cheng.
Lau Khong keburu menubruk datang, ia berhasil menangkap sebuah potlot, sebatang yang lain
berhasil diketuk jatuh oleh golok Bu Cheng. Terasa telapak tangan pedas kesemutan.
Lau Khong bergelak tertawa, serunya: "Kau lempar senjata apa hendak menyerah" Baiklah,
lekas kau berlutut dan menyembah minta ampun saja."
Menyelamatkan jiwa lebih penting, mana Ciok Tio-ki sempat hiraukan olok-olok orang, begitu
merayap bangun, dengan badan kotor tersipu-sipu ia lari ke pinggir danau, kebetulan Gui Khing
mendorong perahu dan mengulurkan galah, menangkap ujung galah itu, sebat sekali Ciok Tio-ki
melompat naik ke atas perahu. Waktu Bu Cheng datang mengejar, perahu sudah berlaju ke
tengah danau. Bu Cheng membanting kaki dan mengeluh: "Sayang, sayang mereka berhasil lolos. Malah
kedua sepatuku dibikin kotor oleh keparat itu."
Lau Khong tertawa lebar, ujarnya: "Meski mereka berhasil lolos, mereka cukup konyol juga. Kau
hanya kena kotoran sedikit saja, sebaliknya dia mengorbankan kedua senjata andalannya."
Lalu Lau Khong memburu ke sana bantu Han Bing yang terbenam dalam lumpur. Kebetulan
Miao Tiang-hong pun sudah menyusul tiba. Sahabat karib berkumpul sudah tentu mereka sama
senang. Lau Khong amat senang dan heran pula, tanyanya: "Cara bagaimana kalian bisa kenal dan
datang bersama?" Miao Tiang-hong menjelaskan: "Ibunya adalah suciku, baru kemarin kami bertemu di tengah
jalan!" Tengah mereka bicara, di tengah Ko-yu-ouw sana tiba-tiba muncul beberapa buah perahu.
Semua sedang mengejar ke arah perahu yang ditumpangi Ciok Tio-ki berdua. Tak berapa lama
tampak hujan panah dari beberapa perahu itu meluruk ke arah Ciok Tio-ki dan Gui Khing. Ciok Tioki
berdari di haluan perahu sambil memukul jatuh panah-panah yang memberondong datang,
gerak geriknya kelihatan gugup dan kalang kabut.
"Nah lihat, perahu Ciok Tio-ki itu terbakar," tiba-tiba Bu Cheng berjingkrak kegirangan.
Ternyata di antara panah-panah itu ada beberapa batang adalah panah berapi.
Gui Khing kerahkan setaker tenaga menggayuh lebih cepat, sementara Ciok Tio-ki tarikan
pengayuhnya terus menerjang dengan kekerasan. Tak lama kemudian, di antara jilatan api yang
membara itu, kelihatan Gui Khing menggendong Ciok Tio-ki terjun ke dalam air. Dengan susah
payah akhirnya Gui Khing berhasil me-.nyeret Ciok Tio-ki naik ke darat di seberang sana dan
melarikan diri. "Nah lihat, perahu kita itu pun sudah balik kembali. Agaknya perahu-perahu itu adalah
rombongan dari orang-orang Hay-soa-pang," demikian ujar Lau Khong.
Dugaan Lau Khong memang tidak meleset, rombongan perahu itu memang adalah orang-orang
dari Hay-soa-pang yang diutus Pangcu Lo Kim-ou untuk menyambut kedatangan mereka.
Pemimpin rombongan ini adalah wakil Pangcu mereka yang bernama Thio Goan.
Sementara thaubak tadi sudah berhasil menolong nelayan tua itu. Terlebih dulu Lau Khong
menyatakan terima kasih kepadanya, lalu ia bicara lebih lanjut dengan Thio Goan wakil Pangcu
Hay-soa-pang. "Pangcu kami sudah berkepu-tusan untuk kerja sama dengan laskar gerilya dari Siau-kim-jwan,
sekarang kita sedang mempersiapkan diri untuk merampas kapal-kapal ransum pemerintah.
Pangcu tiada tempo menyambut sendiri, Lau-toako, Han-toako, bikin kalian kaget dan capai saja.
Menurut maksud pangcu, bila kalian tiada urusan penting lainnya, diharap kalian suka mampir dan
ikut kami pulang bantu operasi kita kali ini."
"Ada kesempatan ikut melakukan pekerjaan besar seperti ini, meski kalian tidak mencari kami,
kami ingin mengajukan diri juga," demikian kelakar Lau Khong.
Han Bing tambah senang, katanya: "Jiwaku ini dijemput kembali, entah cara bagaimana aku
harus membalas budi kebaikan ini. Lo-pangcu sudi pandang diriku, sudah sepantasnya aku
menyumbang tenaga, aku harap dapat diberi tugas."
"Lau-toako, aku mau ikut," lekas Bu Cheng menyeletuk.
"Sudah tentu kau tidak akan ketinggalan," sahut Lau Khong. "Di mana engkohmu?"
"Dia sedang bantu mengobati kedua anggota Hay-soa-pang ayah beranak itu, boleh kau ajak
dia serta Pasti dia suka ikut. Miao-susiok, kau bagaimana?"
"Aku punya urusan lain, mungkin tidak bisa sejalan dengan kalian," demikian sahut Miao Tianghong.
"Lo-pangcu memang tahu bila Miao Tayhiap punya tugas penting lainnya, beliau amat menyesal
tidak bisa mengantar Miao Tayhiap, sengaja suruh aku mohon maaf dan menyampaikan salam
kepadamu." "Lau-toako, keponakanku ini kuserahkan kepada kau, lho," ujar Miao Tiang-hong berkelakar.
"Kalau aku kelak kembali kutunggu undangan pesta kalian." Lalu ia berpisah dengan orang
banyak. Seorang diri Miao Tiang-hong menempuh perjalanan naik kuda, seharian ini hatinya tidak
pernah merasa tentram, tanpa terasa hari sudah lewat Iohor dan hampir magrib. Tiba-tiba
didengarnya derap langkah kuda yang berlari menyusul dari belakang mengikuti di belakangnya.
Miao Tiang-hong curiga, pikirnya: "Mungkin orang ini hendak mencari gara-gara kepadaku?" Lekas
ia minggir ke samping jalan, memberi jalan orang supaya lewat. Tak nyana setelah melampaui
dirinya, tiba-tiba orang itu menghentikan kuda serta berpaling ke bekakang.
"Apa kehendakmu?" bentak Miao Tiang-hong. Waktu itu mereka sudah berhadapan muka,
keduanya sama-sama melengak, orang itu segera tertawa, sapanya: "Miao-sute, memangnya kau
tidak kenal aku lagi?"
Miao Tiang-hong kaget, seketika ia pun berteriak: "Kau, kau adalah Ci-suheng?"
Orang itu bergelak tertawa, ujarnya: "Kau sudah ingat. Miao-sute hampir saja aku pun tidak
kenal lagi pada kau. Dulu waktu kau masuk perguruan masih bocah kecil yang masih ingusan,
malah dulu kita pernah berkelahi, kalau dikatakan sang waktu berlalu dengan cepat, sekejap saja
dua puluhan tahun sudah berlalu." Kiranya orang ini bernama Ci Coh, dia bukan lain adalah
suheng Miao Tiang-hong yang dulu ia ajak berkelahi gara-gara olok-olok soal pernikahan sucinya
itu. Meski dalam perguruan dulu mereka tidak akur, namun setelah berselang sekian lama berpisah,
kini tiba-tiba berjumpa, segera Miao Tiang-hong unjuk senyum tawa, ujarnya: "Sungguh tak
nyana, di sini dapat bertemu dengan kau, dari mana kau datang?"
"Semula aka hendak ke Yangciu memberi selamat ulang tahun kepada Ong Thian-thong,
namun satu hari sudah terlambat, ternyata Ong
Thian-thong sudah tiada di rumahnya. Dan kau dari mana?"
"Aku malah sudah memberi selamat ulang tahun kepada Ong Thian-thong," sahut Miao Tianghong
sejujurnya. "Apa kau bersahabat karib dengan Ong Thian-thong" Memangnya aku sedang heran dan ingin
tanya kepada kau, kenapa Ong Thian-thong tahu-tahu sudah menghilang pada hari kedua setelah
perayaan hari ulang tahunnya."
Miao Tiang-hong sudah berpisah hampir tiga puluh tahun, sudah tentu dia segan bicara
sejelasnya, maka dengan samar-samar ia menjawab: "Pergaulan Ong lopiauthau amat luas, aku
sendiri sih tidak kenal padanya, aku ke sana ikut teman. Ci-suheng, apakah kau kenal baik dengan
Ong-lopiauthau?" "Seperti kau, aku pun tidak kenal dia. Soalnya aku hendak mencari dua orang, terpaksa hendak
kutemui di sana." "Siapa kedua orang-yang hendak kau cari itu?"
"Masih segar dalam ingatanku waktu masih dalam perguruan, kau berhubungan paling intim
dengan Bun-ki suci, malah gara-gara dia kita pernah berkelahi. Tentunya kau tidak lupa akan
kejadian itu bukan" Dan yang hendak kucari adalah putra putrinya."
"Dari mana kau bisa tahu bila mereka bisa berada di rumah Onglopiauthau memberi selamat?"
"Kabar duka cita mengenai suci suami istri tentunya kau pun sudah tahu. Selama beberapa
tahun terakhir ini, aku berkeinginan menjenguk putra putri mereka, namun sampai bulan yang lalu
baru aku ada tempo, sengaja aku pergi ke kabupaten Tiong-boh hendak mencari mereka. Menurut
para tetangga, katanya mereka sudah pergi ke Yangciu hendak memberi selamat ulang tahun
kepada Ong Thian-thong. Putra suci itu bernama Bu Toan dan putrinya bernama Bu Cheng.
Tidakkah kau ketemu mereka di rumah keluarga Ong?"
"Di sana tidak pernah kulihat muda mudi she Bu," jawaban Miao Tiang-hong memang tidak
bohong, seperti diketahui di tengah'jalan baru dia bersua dengan mereka.
"Mungkin mereka menggunakan nama palsu. Tamu yang datang hari itu tentunya amat banyak,
seumpama kau melihat mereka toh kau tidak tahu bila mereka adalah putra putri suci. "
Miao Tiang-hong manggut-manggut, sahutnya tertawa: "Ya, memang begitulah kiranya."
Selanjutnya Ci Coh berkata pula: "Aku masih ingin mencari tahu seseorang, orang ini adalah
seorang tokoh yang terkenal di bulim, dia pun datang ke rumah keluarga Ong."
"Siapa orang itu?"
"Namanya Lau Khong, tentu kau pernah dengar orang menyebut namanya bukan" Beberapa
tahun terakhir ini dia malang melintang di kangouw sehingga namanya amat tenar. Dia ini pun
kelahiran kabupaten Tiong-boh, rumahnya bertetangga dengan keluarga Bu, kabarnya Bu Toan
dan adiknya ikut oral g she Lau itu pergi ke Yangciu. Pertama karena aku kagum akan namanya
yang tenar, kedua aku pun ingin tahu jejak dari kedua kakak beradik dari keturunan keluarga Bu
itu, maka aku mengharap bisa bertemu dengan dia."
Uraiannya ini memang masuk di akal, tapi Mao Tiang-hong tidak berani percaya seratus persen,
katanya: "Banyak tamu-tamu dalam perjamuan ulang tahun Ong lopiau-thau memang sama
membicarakan tentang Lau Khong, tapi dia sendiri tidak kelihatan batang hidungnya."
"Apakah hari itu terjadi sesuatu, maka hari kedua Ong Thian-thong sudah menghilang dari
rumahnya?" Untuk kedua kalinya Ci Coh sudah mengajukan pertanyaan yang sama ini, meski curiga
terpaksa Miao Tiang-hong menjelaskan: "Aku hanya ikut teman untuk melihat keramaian saja,
setelah menyampaikan selamat aku lantas berlalu. Belakangan ada terjadi apa di sana, sedikit pun
aku tidak tahu. Ci-suheng, beberapa tahun ini, di mana kau tinggal?" Sengaja ia putar pokok
pembicaraan, menghindan pertanyaan Ci Coh lebih lanjut.
"Kalau dikatakan sungguh amat menyesal, sejak keluar dari perguruan, sekejap saja dua
puluhan tahun sudah berselang, aku tiada memperoleh hasil apa-apa yang patut kukemukakan.
Sebaliknya kau Miao-sute, kau sudah tenar sebagai pendekar kelana, sungguh aku malu dan iri
kepada kau." "Ah, suheng terlalu sungkan. Siaute kelana di kangouw, apa pula yang kuhasilkan?"
"Aku bicara sejujurnya, selama dua puluhan tahun ini, aku tutup pintu dan bercocok tanam di
desa, tidak ikut mencampuri urusan dunia. Kabar beberapa teman lama hanya kadang kala saja
kudengar. Suci dan suaminya berjuang demi kepentingan nusa dan bangsa, aku pun hanya bisa
berdoa saja demi kesuksesan mereka. Sungguh aku terlalu mementingkan pribadiku sendiri."
"Suheng tekun mempelajari ilmu silat, demi kejayaan dan perkembangan perguruan, citacitamu
pun mulia dan patut dihargai."
"Dibanding kau, aku tertinggal terlalu jauh. Oh, ya, aku belum tanya kau, kau sudah
berkeluarga belum?" "Selama ini aku masih tetap sebatang kara. Suheng sudah punya berapa anak?"
"Kau harus lekas-lekas mendirikan keluarga. Aku punya dua orang anak, yang besar berumur
dua puluh, yang kecil pun sudah hampir genap delapan belas. Dulu karena anak-anak belum
dewasa, maka tidak leluasa aku luntang-lantung di Iuaran. Kini boleh dikata mereka sudah tamat
belajar, maka " kupikir sudah tiba saatnya aku keluar mengembara lagi."
"Iya, sudah sekian lama suheng menyekap diri berpisah dengan kangouw, sudah tiba saatnya
keluar melihat-lihat keramaian dunia fana ini."
"Miao-sute, kau hendak ke mana?"
"Aku hendak ke karesidenan Sam-ho mencari seorang teman."
"Kerisidenan Samho bukankah terletak di Hopak" Tidak jauh dari kota raja bukan?"
"Benar, letaknya di sebelah utara kota raja. Kira-kira dua hari perjalanan."
Ci Coh berkakakan, ujarnya: "Wah amat kebetulan sekali, kalau begitu kita bisa seperjalanan."
Mencelos hati Miao Tiang-hong, tanyanya: "Kau pun hendak pergi ke Sam-ho?"
"Terlalu lama aku menyekap diri di desa, ingin aku ke kota raja untuk mencuci mata. Kalau toh
Sam-ho tidak jauh dari kota raja, aku bisa mengiringi kau ke sana."
"Agaknya suheng belum tahu, bahwa aku ada mengikat permusuhan dengan komandan Gi-limkun
Pakkiong Bong, berada di daerah yang berdekatan dengan kota raja mau tidak mau segala
gerak-gerik harus berlaku hati-hati. Kepergianku ke Sam-ho ini pun sedikit menyerempet bahaya,
mana berani aku bikin susah suheng mengiringi aku dalam perjalanan."
"Miao-sute kau tidak usah kuatir bagi aku, anak-anakku sudah besar, tiada yang menjadi
bebanku lagi, perjuangan besar suci suami istri harus menjadi cermin bagi kita, seperti yang dulu
kau pemah katakan, seseorang mana boleh hidup asal hidup belaka tanpa menghasilkan sesuatu
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sumbangan bhakti demi nusa dan bangsa" Kini aku sudah tahu keadaanmu, lebih besar tekadku
mengiringi kau ke sana. Ilmu silatku memang tidak sebanding kau, tapi bila bentrok dengan cakar
alap-alap sedikit banyak aku bisa bantu kau."
"Terima kasih akan maksud baik suheng, tapi siaute benar-benar tidak berani bikin susah
suheng." Berkerut-alis Ci Coh, katanya: "Sute, kata-katamu ini terlalu menganggap aku menjadi orang
luar. Hehe, memangnya kau masih dendam akan kejadian di masa muda dulu?"
"Ah, suheng berkelakar saja. Urusan yang dilakukan bocah kecil, siapa mau menaruh dalam
hati?" "Nah, sekarang aku bukan sedang berkelakar sama kau. Kalau kau tidak anggap aku orang
luar, kau berani menghadapi maraba-haya, memangnya tidak mengijin-kan aku bantu kau
menanggulangi kesui tanmu."
Miao Tiang-hong menepekur tidak bersuara, Ci Coh berkata lebih lanjut: "Aku tidak tahu siapa
temanmu yang kau cari di Sam-ho, aku pun tidak suka tanya kau. Kalau perjalanan ke Sam-ho kau
tidak leluasa seperjalanan dengan aku, biar aku tidak usah ikut ke sana. Kita bisa berpisah di Siokciu,
namun kita masih bisa seperjalanan dan berkumpul beberapa hari lagi. Miao sute, kebetulan
hari ini kita bisa bertemu setelah berpisah dua puluhan tahun, di samping untuk menceritakan
pengalaman hidup selama ini, sepanjang jalan ini aku bisa minta petunjukmu dalam ilmu silat."
Melihat orang bicara setulus hati, Miao Tiang-hong membatin: "Dua puluhan tahun berpisah
entah bagaimana martabatnya selama ini" Kalau dia betul-betul ingin menjadi kaum pendekar,
kenapa aku harus mengesampingkan maksud luhurnya ini?" Terpaksa ia manggut-manggut setuju.
Memang sepanjang jalan mereka asyik mengobrol dan saling menceritakan pengalaman hidup
selama ini, di samping membicarakan juga berbagai ilmu silat perguruan, meski perjalanan jauh,
mereka tidak merasa kesepian. Semula Miao Tiang-hong rada waswas dan berjaga-jaga terhadap
su-hengnya, lambat laun kewaspadaannya ini mulai luntur dan kendor.
Hari itu mereka tiba di kabupaten Thay-an xli Soatang, sebelah barat kabupaten Thay-an
adalah Thay-san, sebelah timur adalah Cu-lay-san. Miao Tiang-hong tahu Ciok Tio-ki dan Cong
Sin-liong serta kambrat-kambratnya sedang meluruk ke Thay-san, maka perjalanan bersama Ci
Coh ini ia berusaha menghindar bentrokan dengan rombongan musuh, sengaja ia belok ke arah
timur lewat jalan pegunungan di daerah Cu-lay-san, pikirnya dari sini lebih aman dan dekat.
Malam itu mereka menginap semalam di kota Thay-an, setelah mendapatkan penginapan, Ci
Coh pernah keluar seorang diri katanya mau beli ransum untuk perbekalan di tengah jalan.
Sementara Miao Tiang-hong tetap tinggal dalam kamar mengobrol dengan pemilik hotel. Sedikit
pun ia tidak menaruh curiga pula akan suhengnya yang keluar sendirian itu.
Hari kedua pagi-pagi benar mereka sudah menempuh perjalanan pula, kira-kira menjelang
lohor mereka sudah mulai memasuki daerah pegunungan Cu-lay-san.
Jauh di barat sana Miao Tiang-hong memandang puncak Thay-san, seketika timbul rasa kangen
terhadap Beng Goan-cau, dalam hati ia berdoa akan keselamatan Beng Goan-cau dalam
perjalanan ke Siau-kim-jwan bersama Leng Thiat-jiau.
"Sute, kenapa kau jalan begini lambat" Apa sih yang sedang kau pikirkan?"
"Tidak apa-apa, panorama di puncak pegunungan ini amat mem-pesona, aku sampai lupa
daratan." "Ya, pemandangan di sini memang amat permai, tapi kita perlu melanjutkan perjalanan, kelak
kalau kembali boleh kau menikmatinya sepuas hatimu."
"Omongan suheng memang benar." Lekas ia lecut kudanya supaya membedal cepat lari ke
depan, tak nyana semakin dipecut sang kuda berlari semakin lambat akhirnya malah berjalan dan
berhenti sendiri. Keruan Miao Tiang-hong kaget, katanya tertawa getir: "Kudaku ini "sedang
ngambek agaknya, mogok tidak mau jalan lagi."
"Biar kuperiksa, ih, agaknya rada janggal, coba kau turun memeriksanya."
Waktu Miao Tiang-hong melompat turun dilihatnya mulut kudanya mengeluarkan buih kental,
napas pun ngos-ngosan. Heran dan tidak mengerti Miao Tiang-hong dibuatnya. "Aneh, kudaku ini
hadiah dari teman, yang dipilihnya paling baik, semalam masih segar bugar, kenapa mendadak
bisa terserang penyakit?"
Ci Coh. diam-diam tertawa geli, katanya: "Manusia pun punya nasib dan kodrat yang sulit
diduga, apalagi kuda tunggangan" Tapi kudamu ini jelas tidak mampu berjalan lagi, kita harus
lekas mencari daya upaya."
"Di tempat seperti ini ada daya apa, aku tidak tega meninggalkannya demikian saja." Maka
dengan ringan Miao Tiang-hong lantas menepuk kepalanya, seketika kuda tunggangannya tergetar
mati oleh pukulan tangannya yang hebat itu.
Pukulan tangan tadi kelihatan dilakukan seenaknya saja, namun tanpa bersuara kuda pilihan itu
kontan roboh binasa. Ci Coh terkejut, katanya: "Miao-sute, kau sudah berhasil meyakinkan Thayceng-
khi-kang" Selama puluhan tahun suhu sendiri pun tidak berhasil meyakinkannya!"
Sikap Miao Tiang-hong pun menunjukkan rasa kaget yang dibuat-buat, sesaat lamanya baru dia
menjawab: "Thay-ceng-khi-kang mana bisa diyakinkan demikian saja, aku baru belajar kulitnya
saja, masih jauh dari sempurna."
"Ayolah berangkat, buat apa kau awasi terus kudamu?"
"Coba lihat, kudaku ini seperti keracunan." Ternyata setelah roboh binasa kuda itu terbalik
keempat kaki menghadap langit, sekeliling perutnya tampak sudah berwarna hitam bersemu
kebiru-biruan. "Memangnya penginapan itu adalah hotel gelap?"
"Kalau hotel gelap, pantasnya meracun orang, kenapa meracun kuda?"
"Mungkin kudamu ini yang terjangkit penyakit aneh?"
"Aku sendiri bukan tabib hewan, tapi benar tidak keracunan masih dapat kubedakan. Sekarang
aku jadi curiga memang penginapan itu memang hotel gelap seperti katamu, entah karena apa
terlebih dulu ia meracun kuda, mungkin di tengah jalan hendak menyusul dan membuat kesulitan
kepada kita." "Peduli hotel gelap atau hotel terang, mengandal kekuatan kita berdua, apa yang perlu
ditakuti?" Tiba-tiba Miao Tiang-hong mengerutkan kening, ujarnya: "Masih ada satu hal yang
mencurigakan, kenapa mereka tidak meracun sekalian kuda tungganganmu?"
Mencelos hati Ci Coh, namun lahirnya ia bersikap wajar, katanya tertawa lebar: "Itu hanya
dugaan kita saja, tak usah kau main terka, biarlah kita hadapi saja kenyataan nanti. Waktu amat
berharga, marilah lekas melanjutkan perjalanan."
Seorang diri Miao Tiang-hong menggumam: "Kejadian aneh, kejadian aneh!"
Sembari jalan Ci Coh, berkata: "Kejadian di luar dugaan sering terjadi, tidak perlu dibuat
heran!" Baru saja ia bicara habis, seolah-olah terjadi sesuatu peristiwa yang amat menakutkan,
mendadak ia menjerit sekeras-kerasnya.
Miao Tiang-hong melengak heran, tanyanya: "Suheng kenapa kau pun gembar-gembor seperti
melihat hantu?" "Tuh lihat!" kata Ci Coh sambil menunjuk ke sana. Miao Tiang-hong memandang ke arah yang
ditunjuk, tampak di semak rumput alang-alang di sana, bertumpuk tiga buah kerangka kepala
manusia dengan formasi segi tiga.
"Ini mungkin pertanda khas dari kaum hitam yang mengadakan janji pertemuan di sini."
"Pakai kerangka manusia sebagai tanda, mungkin mereka dari golongan sesat."
"Benar, begitu pula menurut hematku. Tapi kita tidak perlu banyak turut campur urusan
mereka. Ayo jalan terus!"
"Sute, kau banyak pengalaman, coba kau ke sana memeriksanya, dari golongan mana saja
mereka itu?" Miao Tiang-hong tertawa, ujarnya: "Suheng, memangnya kau jadi tertarik akan permainan dari
orang-orang golongan sesat?"
"Hanya melihat-lihat saja apa sih halangannya" Kalau dari ketiga kerangka itu kita dapat
membedakan golongan pemiliknya, tanpa turut campur urusan mereka, hati kita pun sudah
maklum." Miao Tiang-hong rasa omongan orang rada masuk akal, maka katanya: "Baiklah, mari kita
periksa bersama." Siapa tahu baru saja kakinya melangkah memasuki semak belukar itu, tiba-tiba
kakinya menginjak tempat kosong, ternyata tanah di depan ketiga kerangka itu merupakan sebuah
lubang jebakan. Sementara Ci Coh di belakangnya mendorong dengan sekuat tenaga seraya
membentak: "Turunlah!"
Kejadian amat mendadak. Miao Tiang-hong tidak pernah menduganya lagi, meski Miao Tianghong
membekal kepandaian tinggi, toh sulit terhindar dari bokongan ini. Dalam sekilas itu, dia
masih belum jelas siapa yang membokong dirinya masuk ke dalam jebakan, sekali terjungkal
kontan ia jatuh ke bawah.
Dalam keadaan gawat lekas Miao Tiang-hong mengempos hawa mumi, belum lagi kepalanya
menyentuh tanah, kedua tangan sudah menepuk ke bawah. Baru saja Ci Coh mengangkat sebuah
batu besar hendak dilempar ke bawah, "Brak" tiba-tiba debu dan tanah beterbangan, seperti bola
yang memantul ke atas tahu-tahu Miao Tiang-hong sudah mencelat naik pula.
Sudah tentu kejadian selanjutnya serta perubahan yang di luar dugaan ini, membuat kedua
pihak sama-sama melengak dan me-lenggong.
Meskipun Miao Tiang-hong sejak mula menaruh curiga terhadap sang suheng, namun mimpi
pun ia tidak menduga orang akan menggunakan cara sekotor dan serendah ini untuk membokong
dirinya. Sebaliknya Ci Coh kuatir kepandaian Miao Tiang-hong teramat tinggi, begitu terjeblos jatuh bisa
lantas melompat naik pula, maka ia kerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong serta hendak
menindihnya dengan batu besar lagi. Jikalau orang tergetar luka dalam, Ci Coh menyangka
seumpama Miao Tiang-hong tidak sampai terluka berat, paling tidak pasti terbanting pingsan,
siapa tahu orang justru secepat itu sudah kuasa melejit keluar pula.
Setelah sama-sama meleng-gong, Miao Tiang-hong segera membentak: "Mendapat perintah
siapa kau hendak membokong aku?"
"Sute," Ci Coh bergelak tertawa, "jangan kau kaget tidak karuan, aku hanya mencoba Pit-bakhoan-
ciangmu saja. Dulu suci berat sebelah mengajarkan kepadamu, aku tahu kau pasti tdak
kurang suatu apa." Dengan mengada-ada ia coba mungkir, nada tawanya sumbang dan dibuatbuat,
jangan kata Miao Tiang-hong seorang ahli yang banyak pengalaman, meski anak ingusan
pun akan tahu apa yang dikatakan ini adalah bohong belaka.
"Siapa yang beri petunjuk kepada kau, lekas katakan! Mengingat kau sebagai saudara
seperguruan dulu, aku bisa memberi ampun kepada kau."
"Aku hanya main-main saja dengan kau, kenapa kau marah-marah?"
"Main-main dengan cara sekeji ini" Kau membokong dan hendak melukai orang, kalau aku tidak
membekal kepandaian, sejak tadi sudah mampus di bawah pukulan-mu."
"Justru karena tahu kau membekal kepandaian, maka aku berani main-main dengan kau. Kalau
tidak demikian, cara bagaimana aku bisa menjajal tingkat kepandaianmu?"
Melihat jawaban orang yang tidak karuan, serta mata orang yang jelilatan, mencelos hati Miao
Tiang-hong, selangkah demi selangkah ia mendesak ke arah Ci Coh, bentaknya: "Tulang
punggungmu Pakkiong Bong atau Sat Hok-ting" Kau datang ke Tiong-boh dulu lalu menyusul ke
Yangciu, bukankah kau hendak menyelidiki keturunan suci dan akan membereskan mereka
bersama Lau Khong?" Kaget dan gugup serta gentar lagi hati Ci Coh, hatinya semakin gelisah lagi, "Kenapa orangorang
yang sudah kujanjikan itu belum juga kelihatan?" ia menyurut mundur berulang-ulang.
Miao Tiang-hong membentak pula: "Sampai sekarang kau masih pantang bicara terus terang,
hendak mungkir lagi, jangan kau salahkan aku turun tangan tidak kenal kasihan kepadamu."
Rona muka Ci Coh berubah bergantian, terang kata-kata Miao Tiang-hong tepat mengorek
borok hatinya. Tahu dirinya tidak dapat mungkir lagi, terpaksa dia menjawab: "Sute, kau tidak sudi
memaafkan aku", yah, apa boleh buat. Selama dua puluhan tahun ini, ajaran silat perguruan kita,
aku pun berhasil memperdalam dan mendapat hasil, sekarang biar aku mohon petunjuk darimu."
"Baik, kuberi ekstra tiga jurus kepada kau."
Ci Coh menyeringai dingin, jengeknya! "Kau sendiri yang bilang lho!" Tiba-tiba ia mencelat naik
terus menubruk dengan jurus Beng-pik-kiu-siau (elang berkelahi di tengah mega), jarinya bagai
cakar garuda terus mencengkeram ke batok kepalanya.
Dengan gerak Hong-tiam-thau Miao Tiang-hong meluputkan diri, pakaian yang dipakainya tibatiba
melembung besar seperti layar yang terhembus angin kencang, "Blum" tangan Ci Coh dengan
telak mengenai punggungnya, kontan terasa segulung tenaga memantul yang besar dan dahsyat
memukul balik, Ci Coh tahu orang mengembangkan ilmu Tiam-ih-cap-pwe-thia tingkat tinggi, lekas
tangan kiri ikut bergerak, tidak memukul Miao Tiang-hong, tapi tangan kirinya ini menekan ke
tangan kanannya sendiri, sehingga dua tenaga gabungan yang dikembalikan kena dia punahkan,
dengan sekali jumpalitan ia berhasil meluncur turun dan berdiri tegak, tidak sampai jatuh. Kiranya
ilmu silat macam Tiam-ih-cap-pwe-thia ini, khusus digunakan meminjam tenaga pukulan lawan
untuk menggempur lawan pula.
"Bagus, terhitung satu jurus," seru Miao Tiang-hong.
Dari malu Ci Coh menjadi gusar, tanpa bicara lagi, kedua jari ia rangkap seperti jepitan, ia
menotok ke Hiat-to Ih-gi-hiat Miao Tiang-hong. Terang lawan tidak akan bisa menggempur balik
dirinya. Miao Tiang-hong mendekuk dada menyedot perut, badannya tidak bergeming namun kulit
badannya sudah tertekuk mundur setengah inci. Ilmu totokan biasanya mengutamakan telak
mengenai sasaran, dengan dikurangi jarak setengah inci ini, meski jari-jari Ci Coh mengenai kulit
badan Miao Tiang-hong, paling-paling hanya menotok berlubang kain pakaiannya saja.
Mendadak Ci Coh menghardik laksana geledek, telapak tangannya menyusul menghantam ke
dada Miao Tiang-hong. Tergerak hati Miao Tiang-hong, pikirnya: "Jelas dia tahu aku sedang
mengembangkan ilmu Tiam-ih-cap-pwe-thia, kenapa dia masih berani menggempur dengan
kekerasan begini?" Tengah ia membatin, tiba-tiba dilihatnya telapak tangan Ci Coh yang terbalik
itu, lapat-lapat ada terselip sebatang jarum warna hitam, dengan gerakan yang cepat dan lihay
menusuk dengan keras ke dada Miao Tiang-hong.
Untung Miao Tiang-hong sudah curiga dan bersiap-siap. Serangan ini cukup cepat, tapi Miao
Tiang-hong lebih cepat lagi,- sebat sekali mendadak ia berkisar badan, maka jarum itu hanya
mengenai lengan bajunya saja Sambil mengerahkan hawa murni, Miao Tiang-hong kebutkan
lengan bajunya, maka jarum itu kena dikebutnya melesat balik. Jarum menancap di lengan baju,
orang dapat mengerahkan tenaga untuk balas menyerang dirinya, hal ini benar-benar di luar tahu
Ci Coh. Lekas ia menjatuhkan diri terus menggelundung sejauh-jauhnya "Cret" jarum sendiri yang
berbisa itu hampir saja menyerempet atas kepalanya menancap di atas tanah.
"Suhu biasanya melarang para muridnya menggunakan senjata rahasia yang berbisa,
sedemikian rendah dan hina dina martabatmu sekarang," Miao Tiang-hong membentak.
Ci Coh lekas merangkak bangun, katanya: "Kau sendiri bilang memberi ekstra tiga jurus
kepadaku, toh kau tidak melarang aku menggunakan senjata rahasia."
"Baik, tiga jurus sudah kuberi kelonggaran, sejak detik ini, aku tiada punya suheng macam
tampangmu lagi." Baru sekarang Ci Coh tahu, bahwa sang sute memberi tiga jurus kelonggaran kiranya bertindak
menurut aturan bu-lim cianpwe, bila murid yang tingkatannya rada rendah hendak mencuci bersih
nama baik perguruan", memberi kelonggaran tiga jurus sebagai pertanda bahwa hubungan
sesama perguruan sudah putus.
Pucat pias muka Ci Coh, batinnya: "Kedua orang itu kenapa tidak kunjung tiba?" Bicara lambat,
kejadian teramat cepat, tangan kanan Miao Tiang-hong sudah bergerak membundar, tahu-tahu
sudah mencegat jalan mundur dirinya
Jurus ini dinamakan Tiang-ho-loh-jit, gaya Siau-kin-na-jiu-hoat yang mengandung jurus-jurus
Hun-kifl-joh-kut yang tersembunyi. Ci Coh tahu akan kehebatan ilmu ini, lekas kedua tangannya
tersilang di depan dada lalu didorong ke depan, ia punahkan sejurus permainan Miao Tiang-hong
ini, namun tidak urung tanpa kuasa ia tergetar sempoyongan tiga langkah ke belakang.
Hanya sejurus saja Miao Tiang-hong sudah membuat dirinya terdesak mundur, namun orang
tidak berhasil ditangkapnya. Pikirnya: "Kiranya tidak bohong selama dua puluh tahun ini dia
berhasil memperdalam ajaran perguruan."
Kiranya Ci Coh insyaf dirinya bukan tandingan sang sute, maka begitu bergebrak ia
kembangkan ilmu pukulan yang dilandasi kekuatan lunak, lingkungan gerak ge-riknya diperketat
dan kecil, bertahan saja tanpa balas menyerang, berapa lama ia kuat bertahan berapa lama pula
ia mengulur waktu. Ilmu pukulan lunak yang dia yakinkan ini memang khusus untuk memunahkan
kekuatan pukulan lawan, naga-naganya memang mempunyai keistimewaannya sendiri, di samping
Miao Tiang-hong mengingat orang sebagai saudara seperguruan, ia pun berniat menawannya
hidup-hidup, maka ilmu-ilmu keji atau lihay yang mampu untuk mencabut nyawanya tidak dia
lancarkan. Kira-kira tiga puluhan jurus kemudian, Ci Coh sudah mandi keringat, mukanya pucat
pias, Miao Tiang-hong sendiri pun sudah mulai memhuru napasnya Ternyata waktu terjeblos jatuh
tadi, dorongan Ci Coh di punggungnya tadi amat berat, meski ia mengandal Thay-ceng-khi-kang
melindungi badan, tidak sampai terluka dalam, namun hawa murninya sedikit banyak terganggu
juga, dengan sendirinya mempengaruhi lwekang dirinya.
Di saat Ci Coh sudah kepayahan dan tidak kuat bertahan lagi, tiba-tiba dilihatnya Miao Tianghong
melompat mundur selangkah, kedua tangan melintang di depan dada, kaki pun berhenti
tanpa merangsak lagi. Ci Coh berkesempatan ganti napas, katanya: "Nah, kan begitu, jelek-jelek kita ini kan saudara
seperguruan?" Miao Tiang-hong menjengek dingin: "Bala bantuan undanganmu sudah datang semua belum?"
Seiring pandangan orang Ci Coh berpaling ke sana, baru sekarang ia melihat kedua orang yang
diharap-harapkannya sudah tiba.
Kedua orang ini bukan lain adalah Boh Cong-tiu dan seorang yang lain tidak dikenal oleh Miao
Tiang-hong. Sambil menggoyang kipasnya Boh Cong-tiu tertawa lebar, katanya: "Miao-siansing, kebetulan
kami lewat di sini, tak nyana kebentur kalian suheng-te sedang menjajal ilmu silat, sungguh
membuka mata dan menambah pengalaman kami. Hehe, tentunya kau tidak membenci tamutamu
tidak diundang seperti kami bukan?"
Laki-laki yang tidak dikenal itu pun menimbrung: "Benar, jangan lantaran kedatangan tamutamu
tak diundang seperti kami bikin se-.mangat tempur kalian luluh, silakan latihan diteruskan."
Dugaan Miao Tiang-hong memang tidak salah, kedua orang ini sebelum ini memang sudah
berjanji dengan Ci Coh membuat perangkap di sini untuk menawan dirinya hidup-hidup. Ketiga
kerangka manusia itu adalah pertanda dari perjanjian mereka, menurut rencana semula, mereka
harus sembunyi di tempat itu, setelah Miao Tiang-hong terjeblos jatuh, segera mereka akan keluar
hendak menawannya bersama.
Ci Coh pun seorang yang licik dan banyak tipu dayanya, melihat mereka tidak menepati janji
semula, kini hendak berpeluk tangan menonton di pinggiran, masakah ia tidak tahu tujuan mereka
yang hendak menguras habis dulu tenaga Miao Tiang-hong baru akan turun tangan dengan
mudah, celaka adalah dirinya yang dijadikan umpan, segera ia mundur ke samping mereka,
katanya: "Latihan sesama perguruan tiada artinya, ilmu cakar kucing yang kulatih ini masakah
pantas dipertontonkan di hadapan kalian, ilmu silat suteku ini jauh lebih tinggi dari aku, kalian hari
ini kebetulan bersua di sini, pastilah kalian ada minat untuk mencoba-coba kepandaian bukan?"
Di saat mereka bicara, diam-diam Miao Tiang-hong kerahkan hawa murni berputar tiga
lingkaran, menambah sedikit semangat dan gairahnya, katanya dingin: "Tak usah kalian cerewet,
ayolah maju bersama saja."
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Miao-siansing, jangan kau salah paham," Boh Cong-tiu berdiplomasi. "Bicara terus terang,
memang aku ada minat saling mengukur kepandaian, mana boleh turun tangan secara keroyokan
terhadapmu" Miao-siansing, kau adalah pendekar kelana yang ternama di kangouw, aku dan
saudara Sa ini pun bukan tokoh-tokoh tak bernama, kata-katamu ini bukankah pandang orang
terlalu rendah?" "Aku orang she Miao hanya punya satu jiwa, kalian maju bersama aku lawan, satu persatu
maju pun kulayani, selalu aku mengiringi kehendak kalian, bicara saling mengukur kepandaian
segala, tutup saja mulutmu, aku tidak punya teman seperti kalian untuk mengukur kepandaian!"
Boh Cong-tiu bergelak tertawa, ujarnya: "Salah paham Miao-siansing menjadi-jadi, mungkin
sulit aku memberi penjelasan. Apa boleh buat kami terima tantanganmu saja. Ci-heng, dulu aku
sudah pernah bertemu dengan sutemu ini, saudara Sa ini baru sekarang bertemu. Sa-heng, ilmu
silat ajaran Siau-lim yang kau yakinkan adalah aliran murni, kebetulan aliranmu sama murninya
dengan ajaran Miao-heng, adalah pantas kuberi kesempatan kau untuk main-main dulu."
Mendengar orang dari Siau-lim-pay, tergerak hati Miao Tiang-hong, katanya dingin: "Siapa she
dan namamu" Murid Hoatsu yang mana dari Siau-lim-pay?"
Ci Coh mewakili orang, sahutnya: "Saudara Sa ini bernama Mi-wan, murid preman Thong-hian
Siansu dari Siau-lim-si."
Seketika Miao Tiang-hong naik darah, bentaknya: "Bagus ya, jadi kau ini murid murtad dari
Siau-lim yang sekongkol dengan Pakkiong Bong membunuh suciku."
Sa Mi-wan mendengus sekali, sahutnya: "Tidak salah, kau sudah tahu, aku pun tidak perlu
merahasiakan lagi. Apakah kau hendak menuntut balas bagi sucimu, ayolah maju!" Belum lagi
ucapannya selesai, tiba-tiba pandangan matanya silau, "sret" tahu-tahu Miao Tiang-hong sudah
menusukkan pedangnya. Meskipun murid preman Siau-lim-pay, namun senjata Sa Mi-wan adalah tongkat besar yang
biasa dipakai kaum hwesio. Sekali ditegakkan, "Trang" ia tangkis pedang Miao Tiang-hong miring
ke samping. Gebrakan pertama kali ini cukup buat mengukur kepandaian lawan oleh Miao Tiang-hong,
tanpa menanti Sa Mi-wan menggerakkan tongkatnya lebih lanjut, laksana angin puyuh dan
seringan awan berkembang Miao Tiang-hong putar pedangnya merangsak maju, dari kiri
menggunakan jurus Bok-ong-sin-cun, kanan dengan jurus Giok-tam-ceng-cin, sekali tusuk ia arah
bagian bawah badan orang, sekali gentak pula ujung pedangnya bergetar meluncur naik menusuk
muka orang. Kedua jurus atas dan bawah ini, dalam prakteknya teramat sulit digunakan, namun
jurus-jurus ini merupakan tipu-tipu tunggal yang hebat dari ilmu pedang perguruan Miao Tianghong.
Pedang yang digunakan adalah sebatang Ceng-kong-kiam panjang, tapi saking cepat
permainannya, penonton menjadi silau dan hanya melihat dua jalur sinar hidup laksana naga
perak timbul tenggelam sedang menari di tengah angkasa, dengan serangan atas dan bawah
secara beruntun itu, sekaligus ia sudah bikin Sa Mi-wan terkurung di dalam sinar pedangnya.
Diam-diam mencelos hati Ci Coh melihat permainan pedang sutenya yang hebat ini, diam-diam
terasa dingin dan berdiri bulu kuduknya, batinnya: "Kalau tadi dia menggunakan senjata, mungkin
sejak tadi aku sudah mampus di tangannya."
Akan tetapi kepandaian silat Sa Mi-wan pun bukan olah-olah lihay-nya, dengan gaya meliuk
pinggang seperti orang bercocok dahan pohon liu dengan badan miring, pinggangnya tertekuk ke
belakang, sebaliknya tongkatnya ia dorong ke depan. Di dalam saat-saat yang gawat itu ia
meluputkan diri dari tusukan yang mengarah muka, terdengar "Trang" kembang api memercik,
tusukan ke bagian bawah sekaligus ia punahkan pula.
Tapi toh Sa Mi-wan hanya mampu membela diri belaka, sekali gebrak Miao Tiang-hong
berinisiatif menyerang lebih dulu, seketika ia kembangkan ilmu silat yang ia pelajari selama ini,
dalam jurus tersembunyi jurus, dalam tipu ada tipu pula, isi kosongnya susah diduga,
perubahannya teramat rumit. Bukan saja ia mainkan jurus-jurus pedang ajaran perguruannya,
sekaligus ia kombinasikan pula dengan tipu-tipu pedang hasil ciptaannya sendiri. Meskipun Ci Coh
adalah suhengnya, banyak gerak tipu pedang yang masih asing dan belum pernah dilihatnya.
Sekaligus Miao Tiang-hong menyerang tiga puluh enam jurus pedang, saking gencar dan
dahsyat sampai Sa Mi-wan kerepotan dan sesak napasnya, baru sekarang ia insyaf akan kelihayan
Miao Tiang-hong, diam-diam hatinya mengeluh. Akan tetapi di saat-saat yang amat gawat itulah,
entah mengapa tiba-tiba terlihat gaya permainan ilmu pedang Miao Tiang-hong menjadi kendor
dan lamban, cepat Sa Mi-wan menggunakan kesempatan baik ini, tenaga ia kerahkan di batang
tongkatnya, dengan sejurus Siang-ji-pang-bik, ia tahan dan kunci pedang Miao Tiang-hong di luar
kalangan. Ternyata walaupun Miao Tiang-hong tidak terluka oleh dorongan Ci Coh, betapapun ia sedikit
terluka. Thay-ceng-khi-kang yang dia salurkan harus dilandasi dengan kekuatan tenaga murni
yang terpusat di pusar, sekaligus ia menyerang tiga puluh enam jurus tanpa ganti napas, akhirnya
toh dia kehabisan napas, sedikit peluang ini, memberi kesempatan kepada Sa Mi-wan untuk balas
menyerang. Dalam seribu kesibukannya, lekas Sa Mi-wan menarik napas, serunya memuji: "Ilmu pedang
bagus!" Di mana tongkat bajanya terayun, lapat-Iapat seperti terdengar guntur menggelegar.
Walau Miao Tiang-hong membekal kepandaian tinggi, di bawah serangan balasan musuh yang
gencar, berba-lik ia terdesak mundur beberapa langkah. Sa Mi-wan begelak tertawa, serunya:
"Diberi tidak membalas kurang hormat, sekarang tiba giliranmu belajar kenal dengan Hu-mo-tiohoatku
ini!" Hu-mo-tio-hoat atau ilmu tongkat penakluk iblis adalah ilmu muji-jat aliran Siau-lim-pay,
perbawanya memang bukan kepalang hebatnya. Tadi karena terdesak di bawah angin, Sa Mi-wan
tidak berkesempatan mengembangkan ilmu tongkatnya ini Kini mendapat kesempatan bermain,
maka kalangan pertempuran semakin melebar luas, lama kelamaan Miao Tiang-hong tidak kuasa
mendesak maju mendekati lawan. Dengan arena pertempuran menjadi besar, tongkat panjang
dan pedang pendek, sudah tentu Sa Mi-wan mengambil banyak keuntungan.
Saking terpesona Ci Coh sampai melongo dan menari-nari sambil berkaok-kaok memberi
semangat kepada Sa Mi-wan. Sebaliknya Boh Cong-tiu tersenyum dan berkata: "Dengan
mengembangkan enam puluh empat jalan Hu-mo-tio-hoat, Sa Mi-wan cukup membuat lawan
kewalahan, naga-naganya aku tidak berkesempatan minta petunjuk kepada sutemu lagi." Secara
tidak langsung ia mau berkata, bahwa Miao Tiang-hong sebentar bakal dikalahkan oleh Sa Mi-wan.
Dalam pertempuran sengit itu, tiba-tiba Miao Tiang-hong rasakan tenggorokannya panas dan
getir, darah sudah membubung naik, hampir saja tak kuat dan ia hendak memuntahkannya.
Dengan kertak gigi Miao Tiang-hong menelannya pula bulat-bulat, tak urung darah sudah meleleh
keluar dari ujung mulutnya.
Girang Sa Mi-wan dibuatnya, tongkat baja sebesar kepalan tangan itu diputar secepat kitiran
menyapu pulang pergi, semakin diputar semakin kencang. Boh Cong-tiu enak-enak menggerakan
kipasnya, katanya kepada Ci Coh: "Agaknya Sa Mi-wan tidak sampai habis mengembangkan Humo-
tio-hoatnya itu!" Belum habis ia bicara, "Trang" tahu-tahu pedang Miao Tiang-hong sudah mencelat lepas dari
pegangannya. Boh Cong-tiu tertawa, ujarnya pula: "Ilmu tongkat bagus saudara Sa, kau bisa
menang jauh lebih cepat dari yang kuduga. Aduh, celaka!" Semula ia berseri tawa dan bicara
dengan angkuh dan sombong, mendadak mukanya mengunjuk rasa kaget dan mimik tawanya
menjadi kaku. Ternyata meski pedang Miao Tiang-hong terlepas dari cekalan, namun pedangnya itu terbang
menyambar ke arah Sa Mi-wan. Dengan gerakan tergesa-gesa Sa Mi-wan melintangkan
tongkatnya untuk menangkis, terlihat sinar pedang lawan bagai gelombang pasang, dengan titiktitik
kemilau yang tidak terhitung banyaknya sama meluruk kepada dirinya.
Kontan terdengar Ci Coh berteriak kaget dan ketakutan: "Hwibou-liu-cwan!"
Ternyata jurus Hwi-bou-liu-cwan (air terjun terbang sumber air berpusar) merupakan ilmu
pedang tunggal ajaran suhunya yang paling hebat dan dahsyat, waktu menusuk seluruh kekuatan
dipusatkan pada ujung pedang sehingga batang pedang bergetar hebat, bila latihan sudah
mencapai puncak kesempurnaan, meski hanya satu jurus, begitu meluncur tiba di depan musuh,
seketika bisa berubah laksana ratusan titik-titik ujung pedang. Tapi dulu waktu suhu mereka
melancarkan jurus ini, beliau toh masih memegangi gagang pedangnya, tidak seperti Miao Tianghong
sekarang, melemparkan pedang, namun ia tetap dapat berbuat sehebat dan selihay itu
dalam jurus yang sama Dalam kagetnya Ci Coh berkata dalam hati: "Umpama suhu hidup kembali,
dalam jurus ilmu pedang ini mungkin jauh ketinggalan daripada apa yang dimainkan olehnya tadi.
Kapan Sa Mi-wan pernah melihat atau menghadapi ilmu pedang yang begini aneh dan lihay"
Walau dia sudah putar tongkatnya begitu kencang dan rapat seumpama tidak tertembus oleh
hujan dan angin, tak urung pergelangan tangannya terkena sekali tusuk oleh ujung pedang, maka
terdengarlah "Trang" sekali lagi, kali ini tongkat baja Sa Mi-wan malah yang terlepas jatuh dari
tangannya. Sementara pedang itu tergetar terpental kembali oleh tangkisan tongkat, sigap sekali Miao
Tiang-hong melompat ke depan serta meraihnya, katanya dingin: "Apa kau masih ingin bertanding
lebih lanjut?" Membesi hijau muka Sa Mi-wan, seperti ayam jago yang keok ia jemput tongkatnya, katanya
dengan lesu: "Ilmu pedang Miao Tayhiap memang hebat dan tinggi, kagum, kagum, aku yang
rendah mengaku kalah!" Pergelangan tangannya sudah terluka, meski luka ringan, sebagai tokoh
silat tingkat tinggi seperti dia, senjata sendiri dibikin terlepas jatuh oleh lawan, masakah ada muka
ia meneruskan pertempuran" Apalagi kekalahan itu sudah membuat semangat tempurnya luluh,
kalau dilanjutkan terang dia bukan tandingan Miao Tiang-hong.
Bahwasanya dalam melancarkan jurus pedangnya ini Miao Tiang-hong pun sudah kerahkan
seluruh tenaganya, hawa muminya banyak terkuras dan terluka pula, kalau jurus tadi tidak
berhasil melukai Sa Mi-wan, bagaimana kesudahan pertempuran ini, ia tidak berani
membayangkannya. Sambil kertak gigi, lagi-lagi ia telan bulat-bulat darah yang sudah membanjir
keluar di tenggorokannya.
Sambil mengibaskan kipasnya, Boh Cong-tiu melangkah maju, katanya tersenyum: "Miaosiansing,
tadi sudah kami katakan bertanding ilmu silat terhadap sesama sahabat, aku yang
rendah pun ingin mohon petunjuk beberapa jurus, entah Miao-siansing ada semangat memberi
pengajaran kepadaku?"
Miao Tiang-hong menarik nafas, sejenak ia menenangkan hati, katanya dingin: "Boh Cong-tiu,
jangan kau berpura-pura di hadapanku, kalian memang hendak menggunakan cara bergiliran
untuk menghadapi aku, sekarang bukankah menepati keinginanmu, paling aku orang she Miao
pasrah nasib dan mempertaruhkan jiwa, kau tidak takut dibuat tertawaan para enghio,ng seluruh
jagat, marilah silahkan maju."
Mendengar olok-olok yang sekaligus membongkar boroknya, dari malu Boh Cong-tiu menjadi
gusar, jengeknya dingin: "Sebetulnya aku tiada niat membunuhmu, karena ucapanmu ini biar
kututup saja bacotmu. He he, di tempat seperti ini, bila kubunuh kau, siapa pula yang akan tahu"
Takut ditertawakan siapa aku?"
Miao Tiang-hong mendengus, katanya: "Kau hendak bunuh aku, kukira tidak sedemikian
mudah. Ayo majulah!" Diam-diam ia sudah bertekad, begitu turun tangan lantas melancarkan ilmu
keji mengadu jiwa biar gugur bersama. Seumpama karena dirinya bukan tandingan lawan, setelah
kehabisan tenaga dan terluka dalam, akhirnya terbunuh oleh Boh Cong-tiu, paling tidak harus
membuatnya terluka parah juga.
Boh Cong-tiu menjadi bimbang malah, batinnya ragu-ragu: "Apa sih yang dia andalkan, berani
bicara besar. Hm, mungkin hanya menggertak saja, memangnya dia masih mampu melukai aku?"
Untunglah dia pun dirundung rasa bimbangnya ini, kalau tidak bila lantas bergebrak, pastilah
bakal terjadi tragedi seperti yang dibayangkan oleh Miao Tiang-hong, satu mati yang lain terluka
berat Di saat ia kibas-kibaskan kipas dan hendak melangkah maju itulah, tiba-tiba didengarnya derap
langkah berlari mendatangi. Boh Cong-tiu segera membentak: "Siapa itu?"
Tampak dari pengkolan gunung sebelah sana, muncul seseorang yang berlari bagai terbang,
sekali pandang seketika Boh Cong-tiu melongo dibuatnya.
Waktu Miao Tiang-hong menoleh, dan melihat tegas, ia pun ikut terkejut.
Kiranya orang yang berlari datang ini bukan lain adalah Cong Sin-liong yang sekomplotan
dengan Boh Cong-tiu. Bahwa Cong Sin-liong mendadak muncul seharusnya Boh Cong-tiu merasa
girang. Tapi keadaan Cong Sin-liong kali ini tidak seperti biasanya, selebar mukanya berlepotan
darah, mukanya pucat dan tingkah lakunya amat ketakutan seperti lari dikejar setan.
Memang Miao Tiang-hong sudah bertekad untuk adu jiwa, meski terkejut, namun ia tidak
menjadi gugup. Segera ia lintangkan pedang di depan dada, jengeknya dingin: "Kalian paman
keponakan guru maju bersama pun bolehlah!"
Setelah melongo, segera Boh Cong-tiu berteriak memanggil: "Susiok, kenapa kau?"
Agaknya saking ketakutan dikejar orang, Cong Sin-liong sudah seperti lupa daratan dan tidak
ingat diri pula, seolah-olah ia tidak mendengar teriakan Boh Cong-tiu. Malah larinya dipercepat
lewat samping Miao Tiang-hong.
Pada saat itulah terdengar sebuah suara serak tua berkumandang: "Aku belum lagi berkelahi
dengan puas, siapa yang hendak bertempur bergiliran, biar aku yang melayani."
Suara orang ini adalah suara orang yang berseru memuji di dalam kabut gelap waktu Boh
Cong-tiu dan Kim Tiok-liu bertanding pedang waktu di Thay-san dulu. Dan orang ini justru orang
yang paling ditakuti oleh Boh Cong-tiu.
Sa Mi-wan berteriak: "Kalian ini ada apa" Siapa orang yang datang ka... kalian..." Ternyata
mengikuti jejak Cong Sin-liong, Boh Cong-tiu pun ngacir pergi.
Pada saat itu pula terdengar suara seorang gadis yang nyaring berkumandang terbawa
hembusan angin: "Locianpwe harap tunggu sebentar. Beberapa kali wanpwe mendapat budi
pertolonganmu, berilah kesempatan wanpwe ber-sembah sujut."
Girang hati Miao Tiang-hong, pikirnya: "Ternyata Lim Bu-siang ikut datang, tak heran Boh
Cong-tiu dibikin kaget dan melarikan diri."
Miao Tiang-hong tahu, waktu di pertemuan besar di Thay-san dulu, dalam sepuluh jurus
pertandingan ilmu pedang perebutan kedudukan ciangbun, Boh Cong-tiu pernah dikalahkan oleh
Lim Bu-siang. Di luar tahunya bahwa yang amat ditakuti oleh Boh Cong-tiu bukanlah Lim Bu-siang,
tapi adalah tokoh aneh yang belum pernah muncul di kalangan kangouw itu.
Tapi setelah mendengar suara Lim Bu-siang, memang Boh Cong-tiu semakin ketakutan dan
berlari lebih kencang lagi. Soalnya rencana merebut kedudukan ciangbun, sekarang belum tiba
saatnya, kejadian persekongkolannya hari ini dengan para pentolan orang-orang jahat untuk
membunuh Miao Tiang-hong, cepat atau lambat akhirnya toh bakal diketahui oleh Lim Bu-siang
juga, mana sudi ia dibikin malu di hadapan orang banyak.
Melihat Boh Cong-tiu melarikan diri mengikuti jejak Cong Sin-liong, kaget Ci Coh bukan main,
katanya lirih: "Yang datang mungkin musuh tangguh, Sa-heng lekas kita menyingkir." Sa Mi-wan
hanya mendengus, tanpa bersuara dan tidak bergerak.
Pada saat itulah tampak seorang kakek tua berpakaian serba hitam bertubuh kurus kering tahutahu
sudah muncul dari pengkolan gunung sebelah sana
Sa Mi-wan membekal ilmu tunggal kepandaian Siau-lim-pay, selama malang melintang di
kangouw belum pernah menemukan tandingan, tak nyana hari ini kena dikalahkan oleh Miao
Tiang-hong, di saat ia merasa malu dan gengsinya disapu, dilihatnya yang datang cuma seorang
kakek tua renta yang lemah, dalam hati ia membatin: "Luka-luka Miao Tiang-hong cukup berat,
kalau bertempur lagi, pasti aku kuasa merobohkan dia. Mungkin karena Boh Cong-tiu masih harus
menyamar sebagai golongan pendekar, maka dia harus menghindar diri untuk bertemu dengan
budak she Lim itu. Dia takut adalah urusannya, kenapa aku harus gentar terhadapnya" Mengenai
kakek tua ini, sekali kemplang aku pasti bisa bikin dia terjungkal roboh, apa pula yang harus
kutakuti?" Segera ia menyeringai dingin, "Kau hendak lari silakan lari saja."
Kakek tua baju hitam itu berge-lak tertawa, ujarnya: "Yang dua sudah lari, masih ada dua
belum ngacir. Haha, aku tua bangka ini suka berkelahi bergiliran, kamu siapa yang maju lebih
dulu" Sa Mi-wan tudingkan tongkatnya seraya membentak: "Tua bangka yang terobosan dari mana
kau, berani mengganggu di sini, rasakan pentungku irfi!"
Kakek tua baju hitam berkata tawar: "Kukira siapa, ternyata hwe-sio liar yang melarikan diri
dari Siau-lim-si. Kau sudah tidak jadi hwesio, buat apa masih pakai tongkat, berikan saja
kepadaku!" Pandangan Miao Tiang-hong jauh lebih tajam dari Sa Mi-wan, sekali lihat gerak langkah si
kakek tua ini, lantas dia tahu lwekangnva teramat tinggi luar biasa. Namun melihat orang
bertangan kosong, tak urung ia merasa kuatir. Hu-mo-tio-hoat Sa Mi-wan tidak boleh dipandang
ringan, masakah kakek tua ini mampu melawannya hanya bertangan kosong saja" Apa lagi
hendak merebut senjata orang?"
Sedang ia membatin, dilihatnya kakek tua baju hitam itu sudah menyendat keluar seutas tali
panjang, katanya: "Aku tidak enak mengurus dan menghajar kau, terpaksa biar kuringkus kau dan
diantar ke Siau-lim-si. Lepas tongkatmu!"
Sa Mi-wan menggerung menggeledek, dengan jurus Ou-liong-yu-hay (naga hitam mengaduk
lautan) tongkatnya lantas mengemplang. Sekali sendai tali panjangnya, kakek tua berhasil
menggubat tongkat orang, baru saja suaranya keluar dari mulut, betul juga tongkat baja Sa Miwan
yang sebesar kepalan tangan itu tahu-tahu sudah kena direbut.
Tahu-tahu Sa Mi-wan rasakan jari-jarinya kaku dan lemas tak bertenaga, badan pun tersuruk
maju ke depan. Entah bagaimana, secara gaib tongkat bajanya itu sudah kena direbut oleh
musuh. Keruan kagetnya bukan main, lekas ia putar badan melarikan diri. Miao Tiang-hong
seorang persilatan yang cukup ahli dalam bidang ini, melihat jurus permainan orang untuk
merebut tongkat Sa Mi-wan, tidak bisa tidak ia. merasa takjub dan kagum dalam hati, pikirnya:
"Ilmu silat memang di luar langit ada langit, orang pandai ada yang lebih pandai pula. Teori ilmu
pinjam tenaga memanfaatkan tenaga aku pun cukup paham, tapi untuk memanfaatkan dalam
praktek selihay seperti yang dilakukan lo-cianpwe tadi paling cepat aku harus berlatih sepuluh
tahun lagi." Tengah ia membatin itu, dilihatnya si kakek tua baju hitam sedang menggentakkan lengan
mengayun tali, tali panjangnya itu seketika disendai lurus memanjang, maka tongkat yang
tergubat itu seketika melesat terbang ke depan. Sa Mi-wan sedang lari pontang-panting,
mendengar angin menderu di belakang, lekas ia gunakan Hong-tiam-thau, tongkat bajanya
melesat lewat dari atas kepalanya dan "Trak!" menancap amblas separuh lebih di atas dinding
gunung. Saking keras getarannya, sampai ujung tongkatnya mendengung keras, berayun turun
naik. Kakek tua baju hitam bergelak tertawa, serunya: "Menantu jelek pun akhirnya toh harus
bertemu dengan mertua, meski kau tidak bisa menjadi hwesio lagi, paling tidak kau akan kembali
ke Siau-Iim-si juga kelak!" Sambil bicara badannya tiba-tiba melejit tinggi meluncur ke depan, tali
panjangnya lagi-lagi melingkar membundar terus menjerat ke atas kepala Sa Mi-wan.
Tahu dirinya tidak akan bisa meloloskan diri, Sa Mi-wan malah membentak gusar: "Aku sudah
mengaku kalah, jangan kau terlalu menghina orang." Sekali raih ia tangkap tali orang, kali ini
kedua gelombang tenaga masing-masing saling adu kekuatan ke arah yang berlawanan tarik
menarik, yang kuat menang dan lemah kalah. Saking keras tarikan kedua pihak, tali itu sampai
mengencang seperti tali busur yang dipentang. Seketika merah padam air muka Sa Mi-wan, tanpa
kuasa kakinya tersuruk maju beberapa langkah.
Kakek tua itu menggeleng kepala dan ujarnya menghela napas: "Lweekang Siau-lim-si sudah
kau pelajari secara murni, sayang tidak belajar baik bertindak benar, sayang, sayang!" Mendadak
Sa Mi-wan lepas tangan terus menjatuhkan diri menggelundung ke lereng gunung di bawah sana
Kakek tua baju hitam berseru lantang: "Semula aku hendak menggusur kau kembali ke Siaulim-
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
si, tapi aku sendiri pernah menegakkan aturan, menghadapi angkatan muda, aku hanya boleh
sekali turun tangan, hari ini terhitung kau mendapat keuntunganku, jagalah dirimu berbuatlah baik
dan bertindak benar. Kalau tidak bertobat dan insyaf, biarlah para hwesio dari Siau-lim-si yang
akan mengurus kau." Waktu Sa Mi-wan bergebrak dengan kakek tua baju hitam, Ci Coh lekas mencemplak naik ke
punggung kuda melarikan diri ke bawah gunung. Kakek tua baju hitam berpaling dan katanya
tertawa: "Celaka, satu yang lain pun melarikan diri, aku memang sudah terlalu tua, tidak berguna lagi. Ah,
apakah kau ini Miao Tayhiap Miao Tiang-hong?"
Tersipu-sipu Miao Tiang-hong maju memberi hormat, katanya:
"Mana berani wanpwe disebut Tayhiap. Terima kasih akan budi pertolongan cianpwe, harap tanya, siapa
nama besar lo-cianpwe?"
"Aku tiada tempo mengobrol dengan kau, Lim Bu-siang kau kan kenal dia bukan?"
"Lo-cianpwe ada pesan apa?"
"Nanti sebentar boleh kau beri-tahu kepadanya, sekarang aku belum bisa menemui dia, suruh dia lekas
pulang ke Thay-san. Soal kau dan aku, kelak kalau ada kesempatan bertemu, biarlah bicara lain kesempatan saja." Tanpa menyebut namanya, tahu-tahu bayangannya sudah
menghilang dalam sekejap mata. Miao Tiang-hong tahu, tokoh-tokoh kosen sering kali mempunyai watak
yang aneh, meski ia merasa kecewa, namun ia tidak heran dibuatnya.
(Bersambung ke Jilid 4) Jilid 4 Tiba-tiba didengarnya kicauan seekor burung yang nyaring merdu, waktu ia angkat kepala dilihatnya
seekor burung berbulu hijau mulus sedang terbang di atas kepalanya. Dari kejauhan terdengar suara
suitan melengking tinggi, jelas itulah suitan si kakek tua tadi, burung itu segera pentang sayap terbang
lebih cepat ke arah datangnya suara, sebentar saja sudah tak kelihatan
lagi. Tak lama kemudian betul juga dilihatnya Lim Bu-siang sedang lari mendatangi. Melihat Miao Tiang-hong
sudah tentu Lim Bu-siang amat girang, namun ia tidak sempat ajak bicara urusan lain, tanyanya: "Miao-
toako, kiranya kau berada di sini, apa kau melihat burung hijau?"
"Nona Lim, kau lari-lari di Cu-lay-san ini, hanya untuk menangkap burung berbulu hijau itu?"
"Burung hijau itu adalah peliharaan seorang tokoh misterius, tokoh kosen ini pernah menolong aku, aku
ingin bertemu dengan beliau."
"Kalau begitu tidak usah kau pergi mengejarnya."
"Hah, jadi kau sudah bertemu dengan beliau?"
"Dia suruh aku memberitahu kepadamu, katanya sekarang belum waktunya dia menemui kau, suruh kau
segera pulang ke Thay-san."
"Kali ini burung hijau itu yang menuntun jalanku kemari, kukira cianpwe itu hendak menemui aku.
Ternyata hanya mengajakku kemari untuk bertemu denganmu."
"Burung hijau itu yang membawa kau kemari?"
"Burung hijau itu amat cerdik, tahun lalu waktu aku di Thay-san karena petunjuknya pula sehingga aku
berhasil menemukan ajaran silat cosu cikal bakal perguruan kami."
"Apa kau sudah tahu nama dan asal-usul cianpwe kosen itu?"
"Sejak itu beliau pernah dua kali membantu aku pula, namun selama ini laksana naga yang kelihatan
ekornya tidak kelihatan kepalanya. Tapi menurut hematku tokoh kosen yang misterius ini kemungkinan
adalah cianpwe dari perguruan kami sendiri."
"Lalu apa yang terjadi kali ini?"
"Apa tadi kau pun melihat Cong Sin-liong?"
"Ya, kulihat selebar mukanya berlepotan darah, naga-naganya dia dikejar oleh cianpwe itu sampai lari
terbirit-birit untuk menyelamatkan diri."
"Kejadian kali ini memang Cong Sin-liong hendak menjebak dan membokong aku, cianpwe itu sekali lagi
menolong jiwaku." Ternyata setelah berpisah dengan orang banyak di Yangciu, bersama Ciok Heng suami-istri Lim Bu-siang
langsung kembali ke Thay-san. Sepanjang jalan memang tiada terjadi apa-apa, tapi begitu mereka mulai
memasuki pedalaman pegunungan Thay-san, di luar dugaan mereka mengalami sesuatu.
Pada saat mereka tiba di daerah Cap-pwe-ban yang berliku-liku itulah mendadak disergap oleh musuh
yang sebelumnya memang sudah bersembunyi di sana.
Baru saja Lim Bu-siang sampai pada pengkolan gunung ketiga, para murid Hu-siang-pay sudah
mendapat kabar, dua orang di antaranya segera turun gunung hendak menyambut kedatangan
mereka, di saat mereka bertemu di pengkolan gunung yang melekuk itulah, dari pengkolan ke
empat di sebelah atasnya, tiba-tiba menggelundung turun dua batu sebesar meja. Salah seorang
murid itu karena tidak menduga dan terlambat menyingkir, seketika kena terjang roboh dan
tertindih luka parah. Batu masih terus menggelundung ke bawah dan akhirnya menyumbat jalan
mundur yang rada sempit itu.
Lim Bu-siang menceritakan kejadian tegang yang mendebarkan ini. Miao Tiang-hong pun
mendengarkan dengan kesima dan jantung berdebar, katanya: "Sepak terjang yang begini keji,
orang-orang yang hendak membokong kalian, kukira tidak melulu hanya Cong Sin-liong seorang
bukan?" "Ya, di samping itu ada tiga tokoh kosen dari aliran sesat yang bekerja sama dengan dia, dan itu baru
kami ketahui belakangan."
Lim Bu-siang melanjutkan ceritanya: "Keadaan waktu itu sungguh amat berbahaya, jalan gunung amat
sempit, lawan menyerang dari atas pada posisi yang menguntungkan, begitu batu besar digelundungkan
ke bawah, kami tiada tempat untuk mengembangkan ginkang menyelamatkan diri. Dalam sekejap saja,
Ciok-suso pun terluka keterjang oleh batu besar itu sampai terpental jatuh, di saat aku berlaku nekad
hendak menerjang ke atas mengadu jiwa sama
musuh, mendadak batu-batu berhenti tidak menggelundung lagi, terdengarlah di sebelah atas ada sebuah
suara serak tua lagi membentak: 'Cong Sin-liong, kalian mau*bertingkah dan sewenangwenang di tempat
lain, aku tidak perlu tahu, di Thay-san ini kalian berani mencelakai anak murid
Hu-siang-pay, aku tidak akan memberi kelonggaran lagi kepada kalian.', disusul terdengarlah
suara "plak, plak" yang nyaring dan keras beberapa kali, mungkin cianpwe itu sedang menghajar
Cong Sin-liong." "Sungguh menyenangkan!" tak kuasa Miao Tiang-hong bertepuk tangan. "Tamparan pada
pipinya itu memang cukup membuat Cong Sin-liong amat menderita, waktu aku melihat dia,
selebar mukanya berlepotan darah."
Lim Bu-siang berkata pula: "Setelah suara tamparan nyaring itu, lalu terdengar pula jeritan
keras berulang kali, seperti babi hendak disembelih. Waktu aku memburu naik ke atas, tampak ketiga
tokoh kosen dari aliran sesat itu sudah rebah di atas tanah, sedang Cong Sin-liong sudah melarikan diri.
Dari tempat yang tinggi, lapat-lapat sempat kulihat Ciangpwe itu sedang mengejarnya dengan kencang."
"Siapa ketiga tokoh-tokoh dari aliran sesat itu?"
"Aku hanya kenal satu di antaranya yang bernama Lau Coan-yu dari Khong-tong-pay."
Miao Tiang-hong menghela napas, katanya: "Dari lekukan ke tiga lari ke lekukan ke empat, jarak dekat
yang hanya memerlukan beberapa detik saja. Cong Sin-liong sebagai seorang kosen kelas wahid, dua
orang yang lain tidak diketahui, namun kepandaian silat Lau Coan-yu itu teramat
lihay, namun cianpwe itu ternyata dalam waktu singkat berhasil menampar Cong Sin-liong, merobohkan
ketiga tokoh aliran sesat itu pula, maka dapatlah dibayangkan sampai di mana tingkat kepandaian silatnya. Menurut dugaanku, kalau cianpwe itu mau mengambil jiwa Cong Sinliong. pastilah segampang
beliau membalikkan tangan, memang sengaja dia pura-pura tidak berhasil mengejarnya, maka beliau
tidak menamatkan riwayat Cong Sin-liong."
"Memang kuduga cianpwe itu adalah angkatan tua perguruan kami. Apa yang beliau lakukan hanyalah
hajaran setimpal terhadap murid yang murtad, tapi karena mengingat sesama perguruan maka dia tidak
tega membunuh Cong Sin-liong."
"Cong Sin-liong dibuat begitu ketakutan sampai lari pontang-panting, kukira hukuman ini sudah cukup
setimpal bagi dirinya."
"Semoga sejak sekarang dia suka bertobat dan insyaf akan kese-satannya." Lalu Lim Bu-siang
melanjutkan ceritanya. "Dari tempat yang tinggi sempat kulihat cianpwe itu sedang mengejar
Cong Sin-liong, sekejap mata mereka sudah pergi jauh dan tidak kelihatan lagi."
"Di saat aku mengeluh sayang kehilangan kesempatan untuk bertemu muka dengan cianpwe
itu, tiba-tiba burung hijau itu muncul di hadapanku, terbang rendah pelan-pelan, naga-naganya
sengaja hendak menuntun jalan."
"Untung luka Ciok-suso tidak berat, setelah murid yang terluka berat itu kuserahkan kepada
mereka suami istri untuk merawatnya, kuminta pula mereka menggusur ketiga tawanan dari aliran sesat
itu. Segera aku lari menguntit sampai tiba di sini, siapa tahu aku tetap gagal untuk bertemu dengan
beliau." "Dari nada bicara cianpwe itu, kelak pasti dia akan menemui kau sendiri. Cong Sin-liong, Boh Cong-tiu
dan Ciok Tio-ki dan lain-lain bukankah berintrik hendak membuat keonaran pada upacara sembahyang
besar di Giok-hong-ting, bukan mustahil cianpwe kosen itu bakal muncul pada saat itu."
"Semoga seperti katamu, oh, ya, aku belum sempat tanya kau. Waktu aku naik gunung tadi,
agaknya kudengar suara beradunya senjata tajam, dengan siapa kau sedang berkelahi?"
"Dengan Piaukomu Boh Cong-tiu itu. Tapi aku belum sempat bergebrak sama dia, yang sudah kulabrak
tadi adalah komplotannya, yaitu murid murtad dari Siau-lim-si yang bernama Sa Mi-wan.
Di saat aku hendak bertanding dengan Piaukomu itulah, cianpwe itu kebetulan tiba."
Bertaut alis Lim Bu-siang, ujarnya: "Lagi-lagi dia! Mungkin dia lari ketakutan melihat
kedatangan cianpwe itu."
"Sedikit pun tidak salah, mendengar suaranya saja dia lantas lari terbirit-birit, rasa takutnya agaknya jauh
lebih besar dari Cong Sin-liong. Mungkin setelah kejadian hari ini, rencana mereka
untuk membuat onar di Giok-hong-ting itu mereka batalkan."
"Kejadian hari ini kukira memang sengaja dilakukan oleh cianpwe itu untuk memberi peringatan kepada
mereka, selama ini beliau selalu membantu segala kesulitanku secara sembunyi. Tapi tiada jeleknya aku
tetap mempersiapkan segalanya, menunggu kedatangan mereka." Lalu ia berkata pula: "Miao Tayhiap,
sejak berpisah secara tergesa-gesa di Yangciu tempo hari, memang aku ingin bisa bertemu pula denganmu. Ada sebuah urusan hendak aku mohon bantuanmu. Locianpwe itu sengaja membawaku
kemari untuk bertemu denganmu, seolah-olah beliau sudah tahu isi hatiku."
Miao Tiang-hong melengak, katanya: "Urusan apa nona Lim, silakan katakan saja."
"Bukankah kau hendak pergi menemui Ci-lo cici?"
"Benar ada omongan apa yang ingin kau katakan kepadanya?"
"Dia adalah teman baikmu dengan Beng-toako, aku pun amat mengaguminya. Tempo hari aku pernah
pergi ke Sam-ho, sayang tidak sempat bertemu muka. Ada sebuah kado yang tidak berarti, hendak kumohon bantuanmu untuk memberikan kepadanya."
Sembari bicara ia keluarkan sebuah kotak dari kayu cendana, katanya lebih lanjut: "Inilah sebatang jinsom pemberian bibi Utti kepadaku, setelah melahirkan badan Hun-cici amat lemah, dia amat
memerlukan obat ini."
Miao Tiang-hong menerima kado itu, katanya: "Terima kasih akan perhatianmu terhadapnya!"
"Kalau aku sendiri belum sempat bertemu muka langsung dengan dia, apa lagi bicara, namun hatiku
merasa dekat sekali di sampingnya. Kalian amat memperhatikan keadaannya, aku pun amat prihatin akan
kesehatannya." Miao Tiang-hong rada jengah akan kelepasan omongnya sendiri, katanya menyengir: "Ci-lo pun amat
ingin berkenalan denganmu, sedemikian tebal rasa persahabatanmu terhadapnya aku pasti
akan menyampaikan kebaikanmu ini kepadanya. Ada omongan apa lagi?"
"Tolong beritahukan kepadanya, Beng-toako amat rindu kepadanya, setelah badannya sehat kembali,
diharap dia suka pergi ke Siau-kim-jwan."
"Apakah Goan-cau yang suruh kau menyampaikan hal ini?"
"Dia tidak berkata demikan, tapi aku tahu maksud hatinya. Percaya aku tidak salah mengatakan isi hatinya ini."
Miao Tiang-hong jadi terharu, sesaat ia kemekmek dan tak kuasa bersuara.
"Miao Tayhiap di samping itu masih ada sebuah hal, kuminta kau mencari tahu sepintas lalu."
"Dengan Goan-cau aku sudah sebagai saudara angkat, aku tidak perlu sungkan terhadap kau.
Boleh kau meniru Goan-cau panggil aku Miao toako saja, jangan selalu memanggilku "Tayhiap"
membuat kuping gatal saja. Hal apa yang kau katakan?"
"Baik, aku tidak sungkan lagi memanggilmu Miao-toako. Di dalam bulim ada seorang cianpwe bernama
Cau Siok-toh, kabarnya kau punya hubungan yang intim dengan beliau?"
"Memang, dia sahabatku lama sejak aku masih dalam perguruan dulu."
"Cau-cianpwe punya seorang putra bernama Cau Ho-lian, kabarnya sudah menghilang hampir satu tahun. Cau-cianpwe hanya punya seorang putra ini, beliau amat gugup gelisah dan sedang mencarinya
ke mana-mana." "Ya, kejadian itu aku pun tahu jelas. Apa kau sudah berhasil mendapat tahu jejak Cau Ho-lian
itu?" "Beginilah persoalannya, Cau-cianpwe ada minta para kawan dari berbagai aliran untuk
menyirapi kabar berita anaknya itu, partai kami pun pernah mendapat pesan langsung dari Kim
Tiok-liu toako. Waktu aku kembali ke Thay-san kali ini, ada murid kami yang memberi lapor
sebuah kabar, mungkin ada sangkut pautnya dengan Cau Ho-Iian itu."
Miao Tiang-hong menjadi girang, tanyanya: "Kabar apa itu?"
"Miao-toako, dalam perjalananmu ke utara kali ini, apa boleh kau lewat Bo-seng, menyeberangi
Huangho." Bo-seng adalah sebuah kota kecil yang terletak di pinggir Huang-ho sebelah selatan.
"Ya, memang aku hendak menempuh ke jalan sana."
"Di Huang-ho ada sebuah sindikat gelap bernama Ngo-Iiong-pang, markas pusatnya didirikan di
Bo-seng, pangcunya bernama Yu Tay-coan. Apa Miao-toako kenal orang ini?"
"Aku kenal namanya saja, belum pernah bertemu. Kenapa, apa dia tahu jejak Cau Ho-lian?"
"Mungkin Cau Ho-lian justru berada di dalam Ngo-liong-pang-nya itu."
"Cau Siok-toh adalah teman baikku, menurut apa yang kutahu, selamanya dia tidak pernah
bergaul dengan orang-orang dari golongan sesat. Cau Ho-lian adalah putranya, sebagai bocah
hijau yang belum pernah keluar pintu, dia belum tahu sampai di mana pergaulan ayahnya, mana
mungkin berhubungan dengan pihak Ngo-liong-pang?"
"Urusan ini sampai sekarang belum dibikin jelas, lebih baik biar kujelaskan sejak mula
kejadiannya saja." "Ciok-suheng punya seorang murid asal dari Bo-seng, bulan yang lalu dia pulang ke rumah
menengok keluarga, beberapa hari itu dia terlalu iseng, maka mengundang beberapa teman
makan minum di rumah makan Gi-ciau-lau yang paling terkenal di Bo-seng. Arak dari Gi-ciau-lau
amat ternama di seluruh dunia. Miao-toako, tentunya kau sudah tahu."
"Bukan saja tahu, aku sendiri pernah dua kali menikmatinya di sana. Sepuluh tahun yang lalu,
di Gi-ciau-lau pernah terjadi suatu peristiwa besar yang menggetarkan kangouw, salah satu orang
yang melakukan peranan utama pada kejadian itu adalah Kim-toakomu itu. Tentunya kau tahu
lebih jelas dari aku bukan?"
"Maksudmu waktu Kim-toako dan Le Lam-sing toako bergabung menempur Liok-hap-pang
Pangcu Su Pek-toh itu."
"Tepat. Pertama kali aku menikmati arak Gi-ciau-lau adalah tiga hari setelah peristiwa besar itu.
Waktu itu aku belum kenal Kim Tayhiap, kudengar cerita orang lain, aku sudah menaruh simpati
dan ingin berkenalan. Maka sengaja aku bekunjung ke Gi-ciau-lau itu untuk menikmati araknya.
Kedua kalinya terjadi pada tahun yang lalu, seperti kejadian kali ini, aku pun sedang dalam
perjalanan ke utara menuju ke kota raja. Karena ingin menikmati arak enak dari Gi-ciau-lau,
sengaja aku putar lewat Bo-seng. "Ah, kenapa jadi aku yang ngelantur, ayolah kau lanjutkan
ceritamu." "Kejadian yang dilaporkan oleh murid perguruan kami itu, seolah-olah kejadian sepuluh tahun
yang lalu itu diulang kembali. Sudah tentu dalam hal ini, tokoh-tokoh orangnya sudah ganti."
Miao Tiang-hong kaget, tanyanya: "Apa Cau Ho-lian memerankan diri seperti Kim Tayhiap dulu"
Siapa yang jadi Su Pek-toh" Memangnya Ngo-liong-pang Pangcu Yu Tay-coan?"
"Duduk perkaranya belum dibikin terang, hanya diketahui bahwa hari itu pernah terjadi
seseorang berkelahi dengan orang-orang Ngo-liong-pang di Gi-ciau-lau, apakah orang itu benar
Cau Ho-lian pun belum berani dipastikan."
"Apakah murid perguruannju itu yang melihatnya sendiri?"
"Bukan. Dia pun mendengar cerita temannya. Hari itu dia pergi ke Gi-ciau-lau untuk menepati
undangan perjamuan itu, waktu ia tiba di simpang jalan, dari kejauhan terdengar di atas loteng Giciau-
lau terjadi keributan, orang saling bentak dan maki, disusul suara barang pecah belah yang
jatuh berantakan, sepintas dengar jelas, bahwa ada orang berkelahi di atas loteng."
"Di saat ia ragu-ragu apa terus menuju ke Gi-ciau-lau, tiba-tiba dilihatnya teman undangannya
itu lari tersipu-sipu menghampiri dirinya, katanya ada seorang pemuda sedang berkelahi dengan
Yu Tay-coan di atas Gi-ciau-lau. Temannya itu seorang penakut, maka lekas-lekas mencegat di
tengah jalan serta menariknya ke tempat lain."
"Memangnya kenapa mereka bisa curiga bila pemuda itu adalah Cau Ho-lian?"
"Teman itu memang penakut, namun dia pun seorang kaum persilatan, begitu pemuda itu
turun tangan, dia lantas mengenal ilmu yang dia mainkan adalah Hou-jiau-kin-na-jiu."
Miao Tiang-hong manggut-manggut. "Benar, Hou-jiau-kin-na-jiu memang ilmu tunggal dari
keluarga Cau, yang berkelahi dengan Yu Tay-coan seorang pemuda lagi, tak heran timbul rasa
curiga kalian." "Namun kami masih belum berani memastikan kalau pemuda itu Cau Ho-lian adanya, hanya
berani mengatakan kemungkinan besar adalah dia. Untuk ini harap di waktu kau tiba di Bo-seng,
ikut menyi-rapinya biar terang duduk persoalannya."
"Bagaimana akhir dari perkelahian itu" Apakah mendapat kabar kelanjutannya?"
"Setelah kejadian itu mereka pernah pergi mencari tahu, kabarnya pemuda itu sudah tertawan
oleh orang-orang Ngo-liong-pang."
"Tertawan?" alis Miao Tiang-hong berkerut, "Yu Tay-coan aku tidak kenal, tapi bagaimana
martabatnya aku pernah dengar, sepak terjangnya pun tidak terlalu jahat, demikian pula aku amat
jelas mengetahui watak Cau Ho-lian, dia bukan pemuda bangor dan tidak congkak, tidak mungkin
tanpa alasan dia berkelahi dengan orang. Apa kalian tahu sebab musabab dari perkelahian itu?"
"Hari itu banyak orang yang sedang minum di atas Gi-ciau-lau, teman itu semula tidak menaruh
perhatian, maka dia pun tidak tahu kenapa mendadak mereka menjadi bentrok" Belakangan
mencari tahu kepada orang, namun tiada orang yang berani menerangkan. Meski Ngo-liong-pang
bukan suatu sindikat jahat yang besar kekuasaannya, namun di sepanjang sungai Huang-ho
mereka memang punya sedikit pengaruh."
"Persahabatanku dengan Cau Siok-toh lain daripada yang lain, urusan ini serahkan saja
kepadaku, pasti akan kuselidiki biar terang. Kukira Yu Tay-coan itu pun tidak akan berani
membunuh putranya Cau Siok-toh."
Tiga hari kemudian, Miao Tiang-hong sudah tiba di Bu-seng, karena waktu masih terlalu pagi,
maka langsung ia menuju ke Gi-ciau-lau dulu, sekaligus untuk mencari berita di sana baru akan
berkepu-tusan bagaimana bertindak selan-jutnya.
Waktu ia tiba di Gi-ciau-lau, lohor sudah lewat, namun sang surya belum tenggelam. Pada saat
mana merupakan suasana yang paling sepi dan jarang ada tamu makan minum di Gi-ciau-lau. Di
atas loteng Gi-ciau-lau hanya terdapat seorang tamu belaka.
"Miao-toaya, angin apa yang menghembusmu kemari?" pelayan segera menghampiri dan
menyapa lebih dulu. Kiranya sejak dua kali berkunjung ke Gi-ciau-lau ini dulu, dia sudah
bersahabat dengan pelayan satunya ini.
"Siau-ji-ko, tak nyana kau masih ingat aku."
"Kami sekeluarga selalu terkenang kepadamu, semalam istriku berdoa entah kapan bisa
bertemu dan mengharap kedatangan Miao-toaya minum arak di sini, ternyata hari ini kenyataan
kau orang tua datang. Tahun yang lalu untunglah kau suka membantu..."
"Kau sudah lupa apa pesanku dulu," tukas Miao Tiang-hong tertawa. "Lekaslah kau bawakan
arak yang paling enak."
Pelayan itu mengiakan dan terus berlalu. Karena iseng Miao Tiang-hong menikmati tulisan dan
gambar-gambar yang terpajang di sekeliling tembok, dasar hobbynya memang sastra MiaoTianghong
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampai asyik menikmati syair-syair ciptaan pujangga-pujangga kuno yang tergantung di
sekelilingnya. Di saat ia menikmati gambar-gambar tulisan itulah, pandangannya bentrok pada
sesuatu yang menarik perhatiannya, seketika Miao Tiang-hong melenggong.
Pada sebuah baris syair yang tulisannya rada renggang, dilihatnya pada kertas putih yang halus
itu ada bekas goresan kuku jari yang dalam. Di sebelah bawahnya lagi pada dinding lapat-lapat
kelihatan ada bekas telapak tangan orang, meski tidak menyolok, tapi bagi pandangan seorang
ahli, jelas diketahui bahwa itulah telapak tangan manusia.
Miao Tiang-hong kaget, semula ia sangka perbuatan Cau Ho-lian yang kurang hati-hati, hampir
saja dia merusak tulisan peninggalan kuno yang berharga ini. Maklum Hou-jiau-kin-na-jiu
mengutamakan gerakan mencengkeram dan menyobek, kalau salah satu orang yang berkelahi itu
benar adalah Cau Ho-lian, maka bekas-bekas telapak tangan ini terang peninggalan tangannya.
Tapi dengan seksama segera ia perhatikan lagi, seketika timbul pula curiganya, pikirnya: "Agaknya
seperti kepandaian Toa-jiu-in dari ajaran para pendeta dari aliran Mi-ciong di Tibet, Yu Taycoan
Pangcu dari Ngo-liong-pang jelas tidak mahir ilmu seperti ini, keahliannya pun bukan pada pukulan
tangan. Dan lagi bagi orang yang mahir menggunakan Toa-jiu-in, meski tingkatannya masih
rendah, sekali pukul dia pun bisa menghancurkan batu hijau, telapak tangan menekan dinding,
bekas telapak tangannya pasti cukup dalam, tidak mungkin seringan ini."
Baru saja Miao Tiang-hong hendak maju mendekat, pelayan itu sudah mendatangi, membawa
makanan dan minuman, ujarnya tertawa: "Miao-toaya, inilah Loan-hoa-pek simpananku sendiri,
coba kau rasakan wangi tidak" Inilah ikan lehi segar dari Huang-ho yang paling kau sukai."
Baru sekarang Miao Tiang-hong berpaling, dilihatnya seorang tamu yang lain itu entah kapan
sudah tiada di tempatnya. Miao Tiang-hong tertawa, katanya: "Untunglah keadaan sedang sepi.
Siau-ji-ko, sekarang kau rada senggang bukan?"
"Kau orang tua ada pesan apa?"
"Ayolah duduk temani aku makan minum." Tanpa banyak rewel ia tarik orang duduk di
depannya. Ternyata pelayan ini seorang periang, ia pun tidak sungkan-sungkan lagi.
Setelah minum dua cangkir, mulailah Miao Tiang-hong bicara secara langsung: "Kabarnya
beberapa waktu yang lalu, di tempat ini ada tamu-tamu yang berkelahi, apa benar?"
"Siapa bilang tidak benar, lihatlah di atas dinding masih ada bekas-bekas perkelahian itu!"
"Aku ingin tahu kejadian hari itu, sudikah kau menceritakan kepadaku?"
"Terhadap orang lain aku tidek berani bicara, kepada Miao-toaya yang pernah menolong kami
sekeluarga, akan kujelaskan. Peristiwa itu terjadi tanggal delapan belas bulan yang lalu, ada
seorang tamu muda berkelahi dengan orang-orang Ngo-liong-pang di sini."
"Karena soal apa mereka sampai berkelahi?"
"Waktu itu tamu penuh sesak, semula aku sendiri tidak memperhatikan. Belakangan kulihat Hupangcu
Ngo-liong-pang menghampiri si pemuda itu, waktu itu pemuda itu sedang duduk
bercakap-cakap dengan seorang tamu lain, apa yang dikatakan aku sih tidak memperhatikan.
Begitu tiba di samping, Hu-pangcu Ngo-liong-pang itu mendadak berseru dengan suara keras:
'Kau hendak tahu kejadian dalam pertemuan besar di Thay-san" Mari kau ikut aku, biar kututurkan
kepada kau.' Sembari bicara tangannya diulur menangkap si pemuda. Begitulah mereka lantas
berkelahi." "Menurut apa yang kau lihat, sikap bicaranya itu mengandung maksud baik atau jahat?"
"Agaknya bermaksud tidak baik. Karena matanya mendelik mukanya menyeringai dingin!"
Golok Sakti 8 Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Anak Berandalan 10
Katanya Han-toako menelan obat tertidur tiga hari, setelah minum obat pemunahnya sebentar
bakal siuman kembali. Pagi hari ini kebetulan adalah hari ketiga."
"Begitu mereka tiba, ayah segera mengutus orang mencari dan menyediakan sebuah perahu
milik pang kami. Baru saja kentongan keempat lewat, musuh sudah keburu datang. Lau Khong
sudah memberi obat pemunah kepada Han Bing, memang teramat untung, kebetulan Han-toako
sempat siuman sebelum musuh berhasil menerjang masuk dari pintu besar."
Miao Tiang-hong ikut mencucurkan keringat dingin dan amat kuatir, tanyanya: "Siapa saja
musuh-musuh yang datang?"
"Sebun Hou tadi itu adalah salah satu di antaranya," tutur si pemuda. "Kecuali itu masih ada
tiga orang lainnya. Menurut kata Lau-toako, seorang bernama Ngo Hong, dan yang lain bernama
Gui Khing, seorang lagi adalah wakil komandan Gi-lim-kun yang bernama Ciok Tio-ki."
Tiga orang yang tersebut di depan sudah dalam dugaan Miao Tiang-hong, adalah Ciok Tio-ki
yang tersebut terakhir itu sungguh di luar dugaannya, keruan ia amat kaget, katanya: "Ciok Tio-ki
baru saja kembali dari rumah keluarga Ong dengan gagal dan mendapat malu, memangnya dia
sendiri langsung ikut turun tangan" Aih, Lau Khong dan Kwi-hwe-thio berdua sekaligus harus
menghadapi empat lawan tangguh, sungguh amat berbahaya."
"Memangnya, Han-toako baru saja siuman, tenaganya belum pulih, sudah tentu tidak bisa
bersilat," demikian tutur si pemuda pula. "Terpaksa kami menurut petunjuk Kwi-hwe-thio,
melarikan diri terbagi dua rombongan ke dua jurusan. Mereka mengutus Sebun
Hou seorang untuk mengejar kami, tiga orang yang lain sama mengejar Lau-toako dan lainlain."
"Tahukah kau ke arah mana Lau Khong beramai melarikan diri?" tanya Miao Tiang-hong.
"Aku dan ayah menerjang keluar lebih dulu, bagaimana keadaan mereka akhirnya, kami tidak
tahu. Tapi, bila mereka berhasil lolos, pasti lari ke jurusan Ceng-liong-tam, di sana ada perahuperahu
milik kami dapat menolong, Ceng-liong-tam (pesisir naga hijau) terletak di selatan Cengliong-
tin. Miao Tiang-hong berpaling, katanya kepada Bu Toan berdua: "Baik, biar aku lekas menyusul ke
sana bantu mereka, kalian tinggal di sini menolong mereka."
Si kakek setelah dibubuhi obat dan menelan pil, keadaannya sudah lebih baik, katanya: "Musuh
teramat tangguh, kalian tidak usah membagi tenaga mengurus kami berdua, lekaslah kalian pergi
menolong Lau-tayhiap saja."
"Tidak, mana kami bisa meninggalkan kalian begini saja," tukas Miao Tiang-hong.
"Begini saja," Bu Toan mengusulkan. "Biar aku tinggal di sini menemani mereka, Moay-moay,
kau ikut pergi bersama Miao-susiok."
Miao Tiang-hong sadar, pikirnya geli: "Aku memang sudah pikun, dari pembicaraan mereka
tadi, naga-naganya Lau Khong dan Bu Cheng sudah saling jatuh cinta, kenapa aku melarang dia
ikut." Maka segera ia berkata: "Baiklah, mari segera berangkat." Belum habis ia bicara, Bu Cheng
sudah cem-plak ke atas kudanya.
Kepandaian silat Kwi-hwe-thio memang biasa saja, tapi otaknya cerdik banyak akalnya. Kedua
anggota Hay-soa-pang ayah beranak ini berhasil menjebol kepungan dan melarikan diri, adalah
berkat tipu dayanya. Bahwa akhirnya Lau Khong dan Han Bing bisa lolos dari marabahaya juga
mendapat bantuan tenaganya yang tidak kecil artinya.
Waktu musuh menerjang masuk menjebol pintu, Han Bing sudah siuman dan sadar, cuma ilmu
silatnya masih belum pulih, Lau Khong harus melindunginya.
Musuh kuat pihak sendiri lemah, Kwi-hwe-thio melihat situasi yang tidak seimbang ini, terpaksa
harus menempuh bahaya, maka ia gunakan cara melarikan diri berpencar, dapat lolos seorang pun
syukur. Bersama Lau Khong ia melindungi Han Bing menerjang keluar dari pintu besar memapaki
kedatangan musuh, sementara kedua ayah beranak anggota Hay-soa-pang itu naik kuda
melarikan diri dari pintu belakang. Dalam rumah itu sebetulnya sudah disiapkan dua ekor kuda
diperuntukkan Lau Khong, namun Lau Khong menjelaskan kepada mereka: "Ciok Tio-ki dan
kawan-kawannya meluruk kemari menunggang kuda, kalau aku tidak kuasa melawan dia, apa
gunanya ada kuda tunggangan, sulit juga melarikan diri. Tapi sasaran musuh bukan kalian,
dengan menunggang kuda, kalian pun punya harapan untuk menerjang keluar dan meloloskan
diri." Tidak meleset dugaan Lau Khong, Ciok Tio-ki hanya mengutus Sebun Hou untuk mengejar dan
membunuh kedua ayah beranak ini. Sementara Ngo Hong dan Gui Khing dia ajak mencegat di
pintu besar, mereka siap meringkus Lau Khong dan Han Bing hidup-hidup.
Lau Khong melabrak Ciok Tio-ki lebih dulu, kepandaian kedua pihak setanding, Lau Khong tidak
berhasil menerjang keluar, namun Ciok Tio-ki pun sulit menangkapnya.
Sementara Gui Khing menerobos maju hendak menangkap Han Bing, lekas Lau Khong
menghadang di depan Han Bing beradu sekali pukulan dengan Gui Khing. Lwekang Gui Khing rada
lemah, kontan ia tergentak mundur dua langkah'. Tapi karena harus memecah perhatian beradu
pukulan dengan Gui Khing, Ciok Tio-ki jadi mendapat peluang untuk merang-sak maju, sebat
sekali sepasang potlotnya menyelonong maju me-notok Hiat-to Lau Khong. Dengan gerakan naga
melingkar kaki melangkah Lau Khong meluputkan diri, Hiat-to tidak sampai tertutup, namun
pundak kirinya tergores luka oleh ujung potlot lawan yang runcing dan tajam itu.
Pihak Ciok Tio-ki dan Gui Khing di sebelah sini berada di atas angin. Di pihak lain Ngo Hong
berusaha menangkap Kwi-hwe-thio, bukan saja tidak berhasil malah dia kena sedikit dirugikan.
Ngo Hong pentang telapak tangannya yang gede hendak men-cengkram, tak nyana jari-jarinya
menangkap tempat kosong, tahu-tahu "plak" pipinya terasa panas pedas dan mata berkunangkunang,
ternyata mukanya kena digampar oleh Kwi-hwe-thio.
Keruan Ngo Hong menjerit gusar dan mengumpat caci, belum lagi ia berdiri tegak Kwi-hwe-thio
sudah lari ke arah pintu besar, langsung menuju ke arah tiga kuda tunggangan mereka. Ketiga
ekor kuda ini ditambat di batang pohon di luar pintu. Saking gugup Ngo Hong lantas berteriak:
"Celaka, maling keparat itu hendak mencuri kuda kita!"
Kuda tunggangan Ciok Tio-ki adalah kuda pilihan hadiah dari Sat Hok-ting, sudah tentu ia tidak
rela kudanya dicuri orang, terpaksa ia menyusul keluar, bentaknya: "Dia tidak akan bisa lolos!"
Sekali ayun tangan dia sambitkan tiga batang panah kepada Kwi-hwe-thio. Lau Khong harus
melindungi Han Bing yang sedang kehilangan tenaga dan ilmu silatnya, Ciok Tio-ki berpendapat
pihaknya pasti akan berhasil membekuk lawan-lawannya, maka dia putar haluan hendak
membunuh Kwi-hee-thio lebih dulu, sebentar putar, balik untuk menghadapi mereka pula.
"Aduh, celaka. Sakitnya bukan main!" Kwi-hwe-thio berteriak, cepat ia menggelundung di atas
tanah tiba-tiba mencelat bangun pula sembari tertawa tergelak-gelak, serunya: "Supaya hatimu
senang, haha, tidak kena!" Dengan menggelundung ini, ia malah tiba di bawah pohon dan sudah
berhasil memotong tali kendali.
Ciok Tio-ki gusar, dampratnya sambil mengejar datang: "Lari ke mana?" Langsung ia menubruk
ke arah Kwi-hwe-thio. Asal kuda tunggangan tidak sampai kena terebut oleh musuh, ia duga Lau
Khong berdua pasti tidak akan lari.
Tanpa gugup Kwi-hwe-thio berkata: "Diberi tidak membalas kurang hormat, nih, kau pun
terimalah senjata rahasiaku." Sekali lempar dia sambitkan dua buntalan. Ciok Tio-ki berpikir:
"Senjata rahasia apa ini" Jangan aku kena dikelabui." Lekas ia ayun tangan melancarkan Bikkhong-
ciang, supaya senjata rahasia musuh tidak terbang mendekat.
Tak nyana, masih untung kalau tidak memukul senjata rahasia ini, begitu tergetar oleh tenaga
pukulannya, maka dia betul-betul terjebak oleh tipu daya Kwi-hwe-thio. Kiranya senjata rahasia
timpukan Kwi-hwe-thio ini adalah dua buntalan kapur. Sisa kapur milik tuan rumah untuk
mengapur dinding, kebetulan Kwi-hwe-thio sekarang dapat menggunakan manfaatnya.
Menyebar kapur untuk membikin pedas mata orang, biasanya adalah perbuatan maling rendah
untuk melarikan diri. Lawan-lawan Ciok Tio-ki selama ia malang melintang boleh dikata adalah
tokoh-tokoh persilatan yang punya kedudukan tinggi, hakikatnya tidak pernah terpikir olehnya
Kwi-hwe-thio bakal menggunakan perbuatan kotor seperti ini. Sigap sekali ia kebutkan lengan
bajunya mengebut buyar kapur yang beterbangan itu. Ngo Hong tidak membekal lwekang
setingkat itu, terpaksa dia pejamkan mata sembari membo-lang balingkan goloknya untuk
melindungi badan. Meski dia sudah buru-buru memejamkan mata, tak urung matanya sudah
terasa pedas dan mencucurkan air mata.
Hebat memang kepandaian Ciok Tio-ki, dengan memejamkan mata, mengandal pendengaran
kupingnya, sedikit pun ia tidak menjadi kehilangan sasaran, dengan beberapa kali lompatan
langsung dia melompat ke arah kuda tunggangannya sendiri.
Di saat kapur masih betci bangan, pandangan semua orang masih kabur, lekas Lau Khong tarik
Han Bing melarikan diri. Gui Khing tidak kuasa merintangi.
Belum lagi Kwi-hwe-thio berhasil naik ke punggung kuda, Ciok Tio-ki sudah keburu menubruk
tiba, seru Kwi-hwe-thio tertawa: "Ciok tayjin, kenapa marah-marah, kan hendak menunggang
kuda, nih kukembalikan kepadamu." Sekali menerobos lewat perut kuda, sebuah belati di
tangannya segera dihunjamkan ke pantat sang kuda.
Kebetulan kuda itu sedang berlari ke arah tuannya, mendadak terasa pantatnya kesakitan oleh
tusukan belati Kwi-hwe-thio, kontan ia berjingkrak sambil melompat tinggi ke depan, kaki
depannya tepat menindih ke batok kepala Ciok Tio-ki.
Ciok Tio-ki amat sayang kepada kudanya ini, ia tidak tega memukulnya mampus atau
melukainya, terpaksa ia menjatuhkan diri terus menggelundung ke samping. Kejadian berlangsung
dengan cepat, sementara itu Lau Khong dan Han Bing sudah berhasil merebut dua ekor kuda yang
lain. Ciok Tio-ki amat gusar, lekas ia sambitkan panah berantai. Ilmu silat Han Bing belum pulih,
terpaksa ia merebahkan badan di atas punggung kuda untuk menyelamatkan diri. Di luar tahunya,
Cok Tio-ki bukan mengincar orang, sebaliknya tunggangannyalah yang menjadi sasaran. Salah
sebatang panah sam-bitannya dengan telak mengenai paha belakang kuda tunggangan Han Bing,
karena kesakitan kuda itu berjingkrak. Han Bing kontan terbanting jatuh.
Lau Khong berpaling ke belakang sambil menarik kekang, sementara sebelah tangannya
memutar golok menyampuk jatuh tiga panah yang mengarah dirinya. Melihat Han Bing terbanting
jatuh, lekas ia putar kudanya datang menolong.
Kebetulan Ciok Tio-ki sudah menubruk datang ke arah dirinya. Kwi-hwe-thio melejit minggir ke
samping, sekali raih ia sambar Han Bing terus dilempar ke arah Lau Khong. Sigap sekali Lau Khong
menyambuti badan Han Bing, dua orang satu tunggangan, lekas ia keprak kudanya untuk
melarikan diri. Kebetulan setindak lebih cepat dari Ciok Tio-ki, maka Ciok Tio-ki menubruk tempat
kosong. Keruan Ciok Tio-ki berjingkrak gusar, bentaknya: "Biar kutangkap dulu maling keparat ini!" Kwihwe-
thio jumpalitan ke belakang, "Bret" tak urung bajunya kena tercengkram sobek sebagian,
namun ia berhasil lolos juga. Gui Khing dan Ngo Hong lekas meluruk datang dari kanan kiri,
namun tidak berhasil menangkapnya. "Hendak menangkap aku si maling kecil ini, kukira tidaklah
mudah. Tidak percaya mari kau coba!" demikian ejeknya.
"Ciok-tayjin!" Gui Khing berseru membujuk. "Buronan lebih penting, buat apa marah-marah
kepada maling keparat ini?"
Ciok Tio-ki sadar, katanya sambil menahan amarah: "Ngo Hong, pergilah cari seekor kuda, ikuti
jejakku. Gui Khing, mari kejar dulu buronan itu." Lekas ia keluarkan obat luka buatan istana yang
selalu dibawanya, kedua kuda yang terluka itu dia bubuhi Kim-jong-yok, terpaksa mereka naik
.kuda-kuda terluka ini mengejar ke arah Lau Khong dan Han Bing yang menunggang seekor kuda
tadi. Kuda Ciok Tio-ki adalah kuda pilihan yang hebat dari daerah barat, meski baru saja lukalukanya
dibubuhi obat, memang kecepatan larinya tidak seperti biasanya, tapi toh lebih cepat dari
kuda tunggangan biasanya. Lau dan Han naik seekor kuda biasa lagi, tak lama kemudian Gui
Khing sudah jauh ketinggalan di belakang, tak jauh di depan bayangan Lau dan Han sudah
kelihatan. Ginkang Kwi-hwe-thio teramat tinggi, dalam jarak sepuluhan li ia masih kuasa berlari pesat
melebihi kuda kekar. Di saat Ciok Tio-ki hampir menyandak Lau dan Han berdua, entah dari mana
mendadak Kwi-hwe-thio menerobos keluar, mencegat lari kuda Ciok Tio-ki, "Ciok Tayjin, masa kau
tidak sayang kepada kudamu ini?"
Diolok-olok dan digoda sedemikian rupa sudah tentu bertambah murka Ciok Tio-ki dibuatnya,
"Sret" pecutnya kontan ia sabetkan sembari membentak: "Maling keparat, kau cari mampus, biar
kubunuh kau lebih dulu."
Kwi-hwe-thio melompat ming-gir, katanya: "Sengaja aku datang hendak buat kontrak dagang
sama kau, kau malah hendak bunuh aku, hehe, air susu hendak kau balas dengan air tuba, tidak
tahu kebaikan." Sebetulnya Ciok Tio-ki sudah menahan amarah dan tidak mau pedulikan dia lagi, serta
mendengar kata-katanya ini, tanpa sadar matanya melirik ke arahnya. Dilihatnya Kwi-hwe-thio
sedang mengeluarkan serenteng mutiara sebesar ke-Iengkeng yang bercahaya kemilau, serunya
sambil cengar cengir: "Serenteng mutiara ini, kukira masih cukup berharga ribuan tail bukan?"
Kaget dan gusar seketika Ciok Tio-ki dibuatnya, dampratnya: "Maling keparat, berani kau
mencuri mutiaraku." Kiranya serenteng mutiara itu adalah hadiah sang raja, karena jasa-jasanya
tahun yang lalu waktu ia ikut menyerbu ke Siau-kim-jwan.
Kwi-hwe-thio bergelak tertawa, "Benar, kau maki aku maling rendah, biar sekarang kau
merasakan kelihayan si maling rendah ini! Kau pun harus mengerti aturan dari kalangan pencopet
seperti kami ini, hasil yang sudah berada di tangan tidak akan mudah dilepaskan begitu saja, kalau
si pemilik ingin minta kembali, boleh saja, kau harus membungkuk-bungkuk dulu lho! Berapa duit
kau berani menebusnya?"
Serenteng mutiara ini, meski bukan mestika yang tidak ternilai harganya, tapi itu hadiah pribadi
sang raja kepadanya, jika sampai hilang bagaimana kalau sang raja nanti menanyakan, sungguh
Ciok Tio-ki tidak berani membayangkan akibatnya. Keruan Ciok Tio-ki naik pitam, kuda diputar
balik cepat ia mengejar dengan sengit.
Sengaja Kwi-hwe-thio lari berputar-putar mengitari pohon dan berlompatan di antara semak
belukar. Kalau lari lurus terang Kwi-hwe-thio bisa terkejar, dengan cara bermain petak begini Ciok
Tio-ki menjadi kewalahan menghadapi Kwi-hwe-thio yang memiliki ginkang tinggi.
Ciok Tio-ki bertekad hendak merampas balik mutiaranya, terpaksa ia melompat turun dari
tunggangannya, diraihnya segenggam mata uang terus disambitkan. Panah tangannya sudah
habis, dengan mengerahkan tenaga, maka sambaran mata uangnya cukup deras juga.
Sambil meluputkan diri dari sambaran senjata rahasia, Kwi-hwe-thio terus lari berputar-putar
dengan lincahnya, pikirnya: "Tenagaku tidak akan bertahan lama, cukup sekian saja kiranya
permainan ini." Dengan sekuat tenaga segera ia lemparkan serenteng mutiara itu ke tempat nan
jauh sembari berseru tertawa: "Ciok Tay-jin, kau ini memang kikir! Nah, kukembalikan saja, kalau
tidak tentu kau menangis nanti, tapi ambil ah sendiri. Perlu juga kuperingatkan sekali ini saja aku
memberi kelonggaran kepada kau, lain kali tiada ampun lagi!"
Sudah tentu Ciok Tio-ki amat murka, tapi terpaksa dia harus patuh akan kata-kata Kwi-hwethio,
cepat lari ke arah sana untuk mengambil mutiaranya. Kebetulan rentengan mutiaranya itu
jatuh masuk ke dalam lumpur di pinggir danau, meski berhasil menemukan mutiaranya, tapi kaki
tangan dan badannya menjadi kotor berlepotan lumpur, menghabiskan banyak waktu lagi. Waktu
ia kembali ke tempat semula Kwi-hwe-thio sudah tidak kelihatan pula bayangannya.
Dalam pada itu Lau Khong dan Han Bing sudah tiba di Ceng-liong-tam, di sana mereka
mendapat sambutan anak buah Hay-soa-pang dan langsung naik ke atas perahu. Tapi bayangan
Kwi-hwe-thio tidak kunjung datang, mereka menjadi kuatir.
Seorang thaubak pemilik perahu itu berkata: "Kwi-hwe-thio cukup cerdik dan banyak akal. Pasti
dia tidak akan kena dirugikan. Musuh sedang mengejar kemari, mari kita lekas berangkat saja."
Lau Khong berkata: "Kwi-hwe-thio tentu memancing Ciok Tio-ki ke tempat lain, demi kawan dia
begitu simpatik,' semoga dia berhasil lolos dari marabahaya." Apa boleh buat, terpaksa mereka
berangkat lebih dulu. Suasana di tengah Ko-yu-ouw amat tenang, tiada angin tiada ombak. Thaubak itu berdiri di
ujung perahu, katanya setelah melihat cuaca: "Angin bakal datang. Dengan mendapat bantuan
angin buritan, laju perahu akan lebih cepat." Betul juga tak lama kemudian, angin timur datang
menghembus cukup kencang.
Tengah perahu berlaju dengan kencang, tiba-tiba si thaubak berseru heran, "Eh, di belakang
mendatangi sebuah perahu, sekarang bukan musim menangkap ikan, begitu cepat perahu kecil itu
berlaju, apakah perahu Pang kita yang menyambut?"
Lau Khong angkat kepala ke belakang, dilihatnya sebuah perahu kecil yang pasang layar juga,
sedang berlaju lebih cepat ke arah mereka. Tak lama kemudian setelah jarak kedua perahu
semakin dekat, Lau Khong menjadi kaget, serunya: "Celaka, itulah Ciok Tio-ki."
Gelak tawa Ciok Tio-ki berkumandang di permukaan danau, teriaknya: "Sengaja aku orang she
Ciok mengantar perjalanan kalian. Hehe, coba hendak ke mana kalian lari?" Ciok Tio-ki berdiri di
depan perahu, Gui Khing berada di belakang.
"Tabahkan hati dan lawan dengan tenang." Lau Khong memberi semangat.
Han Bing kertak gigi, ujarnya: "Betul, paling-paling gugur bersama mereka."
"Jangan, kalau tidak berhasil lolos baru adu jiwa sama mereka."
Maklum meski kedua pihak sama dua orang, namun ilmu silat Han Bing belum pulih seluruhnya,
menghadapi Gui Khing yang memang setingkat lebih tinggi kepandaian silatnya, sudah tentu
teramat berbahaya. Sementara Lau Khong tahu, dirinya hanya setan-ding dengan Ciok Tio-ki,
siapapun sulit mengambil kemenangan.
Si thaubak itu mendadak berkata: "Coba kalian lihat, perahu mereka mendadak menjadi
kendor. Ah, pahamlah aku!"
"Paham apa?" tanya Lau Khong.
"Perahu yang dinaiki Ciok Tio-ki itu hasil rampasan, sudah tentu pemilik perahu tidak mau jual
tenaga kepadanya." Memang tidak salah dugaan si thaubak, pemilik perahu adalah nelayan tua yang hidup
sebatang kara setelah kedua putranya ditarik jadi tentara oleh penguasa setempat, istrinya pun
akhirnya menggantung diri karena sakit-sakitan dan tidak punya uang untuk beli obat dan periksa
tabib, pajak membumbung tinggi dua kali lipat dalam jangka tiga tahun. Maka kesannya terhadap
para pejabat dan pegawai pemerintah jajahan boleh dikatakan teramat buruk, kalau tidak mau
dikatakan amat mendendam.
Secara kekerasan Ciok Tio-ki merampas perahu milik nelayan tua ini, memaksanya menggayuh
dengan cepat dan sekuat tenaga. Kini ia tahu bahwa Ciok Tio-ki hendak menangkap orang-orang
di atas perahu di depan itu, maka semakin berkobar amarahnya, pikirnya: "Lebih baik aku
mengorbankan jiwa tuaku ini, sekali-kali aku tidak sudi bantu orang jahat membunuh orang baik."
Melihat perahu berlaju semakin lambat, Ciok Tio-ki membentak gusar: "Eh, bekerja ayal-ayalan,
kenapa kau?" Nelayan tua menyengir kecut, sahutnya: "Tayjin toh tahu, aku yang kecil memang tidak punya
tenaga lagi, aku belum makan perut amat lapar."
"Omong kosong, terang kau sengaja ayal-ayalan. Tidak kau bekerja sekeras tenaga. Biar
kubunuh kau." Nelayan tua tidak kena gertak, ujarnya: "Kau bunuh aku pun tiada jalan lain. Aku betul-betul
sudah bekerja sekuat tenaga.
"Bunuh dia tidak akan bantu usaha kita," Gui Khing menyela. "Serahkan biar kugayuh sendiri.
Pergi kau pegang kemudi dan jangan bertingkah. Jiwamu tidak akan kubunuh, tapi delapan belas
macam siksaan bisa kucoba atas dirimu."
Mengandal kekuatan lwekang Gui Khing sudah tentu perahu dapat digayuhnya lebih laju
berlipat ganda, akhirnya Ciok Tio-ki sendiri pun ikut bantu menggayuh, sekejap saja jarak kedua
perahu menjadi semakin dekat. Diam-diam Ciok Tio-ki memperhitungkan jarak satu sama lain,
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera senjata rahasia dia siapkan terus disambitkan seraya membentak: "Coba ke mana kalian
hendak lari?" Tiga pisau terbangnya berbareng menyambar ke depan, maka tiang layar perahu
Lau Khong seketika kena disambar patah tiga bagian.
Karena tiang patah dan layar menjadi kuncup dan melayang jatuh ke bawah, lekas Lau Khong
menyingkap layar itu ke samping, sudah tentu laju perahu mereka menjadi terhambat. Ciok Tio-ki
bergelak tertawa, sekali melompat badannya langsung mencelat terbang ke depan.
Tak nyana di saat ia melompat itulah, tiba-tiba si nelayan tua itu meraih penggayuh yang dia
tinggalkan terus menyapu kedua kakinya. Begitu keras hantaman penggayuh ini dan telak
mengenai tulang betisnya sampai terasa sakit dan retak. Kontan Ciok Tio-ki menjerit dan
terjungkal jatuh ke dalam air. Sementara dengan sekuat tenaga nelayan tua gunakan penggayuhnya
untuk menahan daya laju perahu sehingga oleng ke samping. Tindakan nelayan tua
yang berani ini sungguh di luar dugaan Gui Khing, waktu ia menghantam ke arah nelayan tua,
orang tahu-tahu sudah terjun ke dalam air dan tidak kelihatan bayangannya pula.
Untung Ciok Tio-ki masih sempat menangkap galah yang diulurkan oleh Gui Khing, waktu ia
merayap naik ke atas perahu badannya sudah basah kuyup, saking gusar kontan ia mencaci maki
kalang kabut. Dalam pada itu, karena perahu sudah kehilangan layar, kalau melarikan diri lewat jalan air
cepat ataa lambat pasti tersusul juga oleh musuh, terpaksa Lau Khong berkeputusan cepat,
katanya: "Kayuh perahu menepi, kita naik ke darat, lalu kau kembali menolong nelayan tua itu.
Sementara itu Gui Khing kerahkan tenaga mengayuh perahu mengejar dengan ketat, kedua
perahu hampir bersamaan menepi ke darat. Si thaubak lekas-lekas mengayuh perahunya ke
tengah danau pula, sementara Lau Khong menggandeng tangan Han Bing melompat ke atas
darat. Tenaga Han Bing sudah rada pulih, tapi masih belum kuasa mengerahkan ginkang untuk lari
di dalam rawa-rawa lumpur di pinggir danau.
Kejap lain Ciok Tio-ki dan Gui Khing pun sudah mengejar tiba, bentaknya keras: "Lari ke mana!"
Ciok Tio-ki langsung menubruk kepada Han Bing lebih dulu, sementara Gui Khing maju merintangi
Lau Khong. Han Bing sudah nekad dan pasrah nasib, begitu merasa angin merangsak datang dari
belakang, kontan ia balikkan tangan memukul ke belakang.
Melihat orang nekad, Ciok Tio-ki tidak berani pandang ringan musuh. Setelah bergebrak
beberapa jurus, didapatinya suatu titik lubang kelemahan permainan lawan, dengan sejurus hoaytiong-
po-gwat (menyikap rembulan dalam pelukan) kelima jarinya dirangkapkan, telapak tangan
menghadap ke atas, menyanggah sikut lawan, terus ditarik dan didorong, ia berhasil menangkap
pergelangan tangan Han Bing, hardiknya: "Ayolah kemari!"
Saking murka, entah dari mana datangnya tenaga, mendadak Han Bing menjatuhkan diri ke
atas tanah, ia pun menarik diri sekuat tenaga. Ciok Tio-ki malah kena terseret maju dan ikut
tersungkur jatuh. Sekali pukul Lau Khong bikin Gui Khing tergentak mundur, untung ia keburu datang menolong
tepat pada waktunya. Sudah tentu Ciok Tio-ki tidak sempat berkutat dengan Han Bing pula, lekas
ia menangkap tungkak kaki Han Bing terus ditarik ke samping. Sekali lompat ia menghadapi Lau
Khong yang lari mendatangi.
Karena lemparan tenaga orang yang kuat, Han Bing dibikin terbang tiga tombak jauhnya,
untung daerah itu rawa-rawa yaug bertanah empuk, meski terbanting rada keras, badannya tidak
terluka sedikit pun. Cuma badannya terjeblos masuk ke dalam lumpur, dalam waktu dekat terang
sulit ia mengeluarkan kedua kakinya.
Gui Khing tertawa dingin, je-ngeknya: "Semula kau janji kepada Ciok-tayjin untuk bantu
bekerja, asal kau suka berpaling muka, kita masih terhitung teman sendiri."
Kontan Han Bng memakinya: "Aku tidak punya teman macam tampangmu, lebih baik aku mati
di tanganmu saja. "Kau tidak sadar dan tidak mau bertobat, apa boleh buat, terpaksa aku bertindak tidak tahu
kasihan lagi." Kepandaian Lau Khong setan-ding dengan Ciok Tio-ki, sekali gebrak kedua pihak sama sulit
membebaskan diri dari libatan lawan masing-masing.
Baru saja Gui Khing maju hendak menawan Han Bing hidup-hidup, tiba-tiba terdengar sebuah
suitan panjang berkumandang dari jauh, begitu keras dan melengking tinggi suitan ini sampai
kupingnya mendengung sakit. Gui Khing amat kaget, batinnya: "Lwekang orang ini sungguh
hebat, entah kawan atau lawan?"
Waktu ia angkat kepala dilihatnya dua ekor kuda membedal datang. Yang di depan ditunggangi
seorang gadis berpakaian serba putih, yang di belakang adalah seorang "laki-laki pertengahan
umur, dia bukan lain adalah Miao Tiang-hong yang bertanding minum arak di rumah makan
Yangciu tempo hari. Dalam adu kekuatan minum waktu itu, Gui Khing pernah dikalahkan oleh Miao Tiang-hong, kini
melihat orang datang, keruan nyalinya kuncup seketika, mana dia berani berayal lagi" Tanpa
memper-dulikan kawan sendiri lekas ia angkat langkah seribu berlari naik ke atas perahunya.
Dalam waktu dekat Ciok Tio-ki tidak mungkin membebaskan diri dari libatan lawan. Sementara
Bu Cheng pecut kudanya supaya berlari lebih kencang, sekejap saja ia sudah tiba di pinggir danau.
Kuda tunggangan Miao Tiang-hong berlari rada lambat, maka ia datang rada ketinggalan.
Tanah berlumpur sehingga kuda tidak leluasa berlari. Terpaksa Bu Cheng melompat turun,
teriaknya: "Lau-toako, aku sudah datang. Kau tidak apa-apa bukan?" Mengembangkan ginkang,
sembari melolos golok ia berlari ke arah Lau Khong.
"Tidak perlu gugup!" teriak Lau Khong. "Keparat ini aku masih mampu menghadapinya."
Melihat gadis ini datang bersama Miao Tiang-hong, keruan Ciok Tio-ki terkejut bukan main.
Namun ia cukup pengalaman di medan laga, meski kaget tidak menjadi gugup pikirnya: "Betapa
sih tinggi kepandaian nona cilik ini. Biar ku-ringkus dia untuk dijadikan sandera, dari terdesak aku
bisa balas mengancam mereka." Segera ia menghardik seraya menubruk ke arah Bu Cheng tanpa
hiraukan pukulan Lau Khong.
Siapa tahu Bu Cheng hanya pura-pura angkat golok membacok, begitu sinar goloknya
berkelebat tahu-tahu dia sudah angkat langkah berkisar dengan gaya Naga Melingkar Mengubah
Langkah. Begitu cengkraman Ciok Tio-ki mengenai tempat kosang, "Biang" telak sekali ia terima
pukulan Lau Khong secara kekerasan. Sambil menahan sakit Ciok Tio-ki membarengi menubruk
maju pula ke arah Bu Cheng, cuma ia lupa tulang betisnya rada retak, maka bukan saja
tubrukannya tidak berhasil, malah di tengah jalan dia terbanting jatuh. Sigap sekali Bu Cheng
membalikkan badan seraya membacokan golok, lekas Ciok Tio-ki menggelundung ke samping
sambil menendang kotoran lumpur, biasanya Bu Cheng suka kebersihan, secara reflek ia melejit
menyingkir, sementara Ciok Tio-ki sudah berhasil menggelundung beberapa tombak jauhnya, tibatiba
ia timpukan kedua batang potlotnya, begitu keras timpukannya sampai mengeluarkan suara
menderu, langsung melesat mengarah Bu Cheng.
Lau Khong keburu menubruk datang, ia berhasil menangkap sebuah potlot, sebatang yang lain
berhasil diketuk jatuh oleh golok Bu Cheng. Terasa telapak tangan pedas kesemutan.
Lau Khong bergelak tertawa, serunya: "Kau lempar senjata apa hendak menyerah" Baiklah,
lekas kau berlutut dan menyembah minta ampun saja."
Menyelamatkan jiwa lebih penting, mana Ciok Tio-ki sempat hiraukan olok-olok orang, begitu
merayap bangun, dengan badan kotor tersipu-sipu ia lari ke pinggir danau, kebetulan Gui Khing
mendorong perahu dan mengulurkan galah, menangkap ujung galah itu, sebat sekali Ciok Tio-ki
melompat naik ke atas perahu. Waktu Bu Cheng datang mengejar, perahu sudah berlaju ke
tengah danau. Bu Cheng membanting kaki dan mengeluh: "Sayang, sayang mereka berhasil lolos. Malah
kedua sepatuku dibikin kotor oleh keparat itu."
Lau Khong tertawa lebar, ujarnya: "Meski mereka berhasil lolos, mereka cukup konyol juga. Kau
hanya kena kotoran sedikit saja, sebaliknya dia mengorbankan kedua senjata andalannya."
Lalu Lau Khong memburu ke sana bantu Han Bing yang terbenam dalam lumpur. Kebetulan
Miao Tiang-hong pun sudah menyusul tiba. Sahabat karib berkumpul sudah tentu mereka sama
senang. Lau Khong amat senang dan heran pula, tanyanya: "Cara bagaimana kalian bisa kenal dan
datang bersama?" Miao Tiang-hong menjelaskan: "Ibunya adalah suciku, baru kemarin kami bertemu di tengah
jalan!" Tengah mereka bicara, di tengah Ko-yu-ouw sana tiba-tiba muncul beberapa buah perahu.
Semua sedang mengejar ke arah perahu yang ditumpangi Ciok Tio-ki berdua. Tak berapa lama
tampak hujan panah dari beberapa perahu itu meluruk ke arah Ciok Tio-ki dan Gui Khing. Ciok Tioki
berdari di haluan perahu sambil memukul jatuh panah-panah yang memberondong datang,
gerak geriknya kelihatan gugup dan kalang kabut.
"Nah lihat, perahu Ciok Tio-ki itu terbakar," tiba-tiba Bu Cheng berjingkrak kegirangan.
Ternyata di antara panah-panah itu ada beberapa batang adalah panah berapi.
Gui Khing kerahkan setaker tenaga menggayuh lebih cepat, sementara Ciok Tio-ki tarikan
pengayuhnya terus menerjang dengan kekerasan. Tak lama kemudian, di antara jilatan api yang
membara itu, kelihatan Gui Khing menggendong Ciok Tio-ki terjun ke dalam air. Dengan susah
payah akhirnya Gui Khing berhasil me-.nyeret Ciok Tio-ki naik ke darat di seberang sana dan
melarikan diri. "Nah lihat, perahu kita itu pun sudah balik kembali. Agaknya perahu-perahu itu adalah
rombongan dari orang-orang Hay-soa-pang," demikian ujar Lau Khong.
Dugaan Lau Khong memang tidak meleset, rombongan perahu itu memang adalah orang-orang
dari Hay-soa-pang yang diutus Pangcu Lo Kim-ou untuk menyambut kedatangan mereka.
Pemimpin rombongan ini adalah wakil Pangcu mereka yang bernama Thio Goan.
Sementara thaubak tadi sudah berhasil menolong nelayan tua itu. Terlebih dulu Lau Khong
menyatakan terima kasih kepadanya, lalu ia bicara lebih lanjut dengan Thio Goan wakil Pangcu
Hay-soa-pang. "Pangcu kami sudah berkepu-tusan untuk kerja sama dengan laskar gerilya dari Siau-kim-jwan,
sekarang kita sedang mempersiapkan diri untuk merampas kapal-kapal ransum pemerintah.
Pangcu tiada tempo menyambut sendiri, Lau-toako, Han-toako, bikin kalian kaget dan capai saja.
Menurut maksud pangcu, bila kalian tiada urusan penting lainnya, diharap kalian suka mampir dan
ikut kami pulang bantu operasi kita kali ini."
"Ada kesempatan ikut melakukan pekerjaan besar seperti ini, meski kalian tidak mencari kami,
kami ingin mengajukan diri juga," demikian kelakar Lau Khong.
Han Bing tambah senang, katanya: "Jiwaku ini dijemput kembali, entah cara bagaimana aku
harus membalas budi kebaikan ini. Lo-pangcu sudi pandang diriku, sudah sepantasnya aku
menyumbang tenaga, aku harap dapat diberi tugas."
"Lau-toako, aku mau ikut," lekas Bu Cheng menyeletuk.
"Sudah tentu kau tidak akan ketinggalan," sahut Lau Khong. "Di mana engkohmu?"
"Dia sedang bantu mengobati kedua anggota Hay-soa-pang ayah beranak itu, boleh kau ajak
dia serta Pasti dia suka ikut. Miao-susiok, kau bagaimana?"
"Aku punya urusan lain, mungkin tidak bisa sejalan dengan kalian," demikian sahut Miao Tianghong.
"Lo-pangcu memang tahu bila Miao Tayhiap punya tugas penting lainnya, beliau amat menyesal
tidak bisa mengantar Miao Tayhiap, sengaja suruh aku mohon maaf dan menyampaikan salam
kepadamu." "Lau-toako, keponakanku ini kuserahkan kepada kau, lho," ujar Miao Tiang-hong berkelakar.
"Kalau aku kelak kembali kutunggu undangan pesta kalian." Lalu ia berpisah dengan orang
banyak. Seorang diri Miao Tiang-hong menempuh perjalanan naik kuda, seharian ini hatinya tidak
pernah merasa tentram, tanpa terasa hari sudah lewat Iohor dan hampir magrib. Tiba-tiba
didengarnya derap langkah kuda yang berlari menyusul dari belakang mengikuti di belakangnya.
Miao Tiang-hong curiga, pikirnya: "Mungkin orang ini hendak mencari gara-gara kepadaku?" Lekas
ia minggir ke samping jalan, memberi jalan orang supaya lewat. Tak nyana setelah melampaui
dirinya, tiba-tiba orang itu menghentikan kuda serta berpaling ke bekakang.
"Apa kehendakmu?" bentak Miao Tiang-hong. Waktu itu mereka sudah berhadapan muka,
keduanya sama-sama melengak, orang itu segera tertawa, sapanya: "Miao-sute, memangnya kau
tidak kenal aku lagi?"
Miao Tiang-hong kaget, seketika ia pun berteriak: "Kau, kau adalah Ci-suheng?"
Orang itu bergelak tertawa, ujarnya: "Kau sudah ingat. Miao-sute hampir saja aku pun tidak
kenal lagi pada kau. Dulu waktu kau masuk perguruan masih bocah kecil yang masih ingusan,
malah dulu kita pernah berkelahi, kalau dikatakan sang waktu berlalu dengan cepat, sekejap saja
dua puluhan tahun sudah berlalu." Kiranya orang ini bernama Ci Coh, dia bukan lain adalah
suheng Miao Tiang-hong yang dulu ia ajak berkelahi gara-gara olok-olok soal pernikahan sucinya
itu. Meski dalam perguruan dulu mereka tidak akur, namun setelah berselang sekian lama berpisah,
kini tiba-tiba berjumpa, segera Miao Tiang-hong unjuk senyum tawa, ujarnya: "Sungguh tak
nyana, di sini dapat bertemu dengan kau, dari mana kau datang?"
"Semula aka hendak ke Yangciu memberi selamat ulang tahun kepada Ong Thian-thong,
namun satu hari sudah terlambat, ternyata Ong
Thian-thong sudah tiada di rumahnya. Dan kau dari mana?"
"Aku malah sudah memberi selamat ulang tahun kepada Ong Thian-thong," sahut Miao Tianghong
sejujurnya. "Apa kau bersahabat karib dengan Ong Thian-thong" Memangnya aku sedang heran dan ingin
tanya kepada kau, kenapa Ong Thian-thong tahu-tahu sudah menghilang pada hari kedua setelah
perayaan hari ulang tahunnya."
Miao Tiang-hong sudah berpisah hampir tiga puluh tahun, sudah tentu dia segan bicara
sejelasnya, maka dengan samar-samar ia menjawab: "Pergaulan Ong lopiauthau amat luas, aku
sendiri sih tidak kenal padanya, aku ke sana ikut teman. Ci-suheng, apakah kau kenal baik dengan
Ong-lopiauthau?" "Seperti kau, aku pun tidak kenal dia. Soalnya aku hendak mencari dua orang, terpaksa hendak
kutemui di sana." "Siapa kedua orang-yang hendak kau cari itu?"
"Masih segar dalam ingatanku waktu masih dalam perguruan, kau berhubungan paling intim
dengan Bun-ki suci, malah gara-gara dia kita pernah berkelahi. Tentunya kau tidak lupa akan
kejadian itu bukan" Dan yang hendak kucari adalah putra putrinya."
"Dari mana kau bisa tahu bila mereka bisa berada di rumah Onglopiauthau memberi selamat?"
"Kabar duka cita mengenai suci suami istri tentunya kau pun sudah tahu. Selama beberapa
tahun terakhir ini, aku berkeinginan menjenguk putra putri mereka, namun sampai bulan yang lalu
baru aku ada tempo, sengaja aku pergi ke kabupaten Tiong-boh hendak mencari mereka. Menurut
para tetangga, katanya mereka sudah pergi ke Yangciu hendak memberi selamat ulang tahun
kepada Ong Thian-thong. Putra suci itu bernama Bu Toan dan putrinya bernama Bu Cheng.
Tidakkah kau ketemu mereka di rumah keluarga Ong?"
"Di sana tidak pernah kulihat muda mudi she Bu," jawaban Miao Tiang-hong memang tidak
bohong, seperti diketahui di tengah'jalan baru dia bersua dengan mereka.
"Mungkin mereka menggunakan nama palsu. Tamu yang datang hari itu tentunya amat banyak,
seumpama kau melihat mereka toh kau tidak tahu bila mereka adalah putra putri suci. "
Miao Tiang-hong manggut-manggut, sahutnya tertawa: "Ya, memang begitulah kiranya."
Selanjutnya Ci Coh berkata pula: "Aku masih ingin mencari tahu seseorang, orang ini adalah
seorang tokoh yang terkenal di bulim, dia pun datang ke rumah keluarga Ong."
"Siapa orang itu?"
"Namanya Lau Khong, tentu kau pernah dengar orang menyebut namanya bukan" Beberapa
tahun terakhir ini dia malang melintang di kangouw sehingga namanya amat tenar. Dia ini pun
kelahiran kabupaten Tiong-boh, rumahnya bertetangga dengan keluarga Bu, kabarnya Bu Toan
dan adiknya ikut oral g she Lau itu pergi ke Yangciu. Pertama karena aku kagum akan namanya
yang tenar, kedua aku pun ingin tahu jejak dari kedua kakak beradik dari keturunan keluarga Bu
itu, maka aku mengharap bisa bertemu dengan dia."
Uraiannya ini memang masuk di akal, tapi Mao Tiang-hong tidak berani percaya seratus persen,
katanya: "Banyak tamu-tamu dalam perjamuan ulang tahun Ong lopiau-thau memang sama
membicarakan tentang Lau Khong, tapi dia sendiri tidak kelihatan batang hidungnya."
"Apakah hari itu terjadi sesuatu, maka hari kedua Ong Thian-thong sudah menghilang dari
rumahnya?" Untuk kedua kalinya Ci Coh sudah mengajukan pertanyaan yang sama ini, meski curiga
terpaksa Miao Tiang-hong menjelaskan: "Aku hanya ikut teman untuk melihat keramaian saja,
setelah menyampaikan selamat aku lantas berlalu. Belakangan ada terjadi apa di sana, sedikit pun
aku tidak tahu. Ci-suheng, beberapa tahun ini, di mana kau tinggal?" Sengaja ia putar pokok
pembicaraan, menghindan pertanyaan Ci Coh lebih lanjut.
"Kalau dikatakan sungguh amat menyesal, sejak keluar dari perguruan, sekejap saja dua
puluhan tahun sudah berselang, aku tiada memperoleh hasil apa-apa yang patut kukemukakan.
Sebaliknya kau Miao-sute, kau sudah tenar sebagai pendekar kelana, sungguh aku malu dan iri
kepada kau." "Ah, suheng terlalu sungkan. Siaute kelana di kangouw, apa pula yang kuhasilkan?"
"Aku bicara sejujurnya, selama dua puluhan tahun ini, aku tutup pintu dan bercocok tanam di
desa, tidak ikut mencampuri urusan dunia. Kabar beberapa teman lama hanya kadang kala saja
kudengar. Suci dan suaminya berjuang demi kepentingan nusa dan bangsa, aku pun hanya bisa
berdoa saja demi kesuksesan mereka. Sungguh aku terlalu mementingkan pribadiku sendiri."
"Suheng tekun mempelajari ilmu silat, demi kejayaan dan perkembangan perguruan, citacitamu
pun mulia dan patut dihargai."
"Dibanding kau, aku tertinggal terlalu jauh. Oh, ya, aku belum tanya kau, kau sudah
berkeluarga belum?" "Selama ini aku masih tetap sebatang kara. Suheng sudah punya berapa anak?"
"Kau harus lekas-lekas mendirikan keluarga. Aku punya dua orang anak, yang besar berumur
dua puluh, yang kecil pun sudah hampir genap delapan belas. Dulu karena anak-anak belum
dewasa, maka tidak leluasa aku luntang-lantung di Iuaran. Kini boleh dikata mereka sudah tamat
belajar, maka " kupikir sudah tiba saatnya aku keluar mengembara lagi."
"Iya, sudah sekian lama suheng menyekap diri berpisah dengan kangouw, sudah tiba saatnya
keluar melihat-lihat keramaian dunia fana ini."
"Miao-sute, kau hendak ke mana?"
"Aku hendak ke karesidenan Sam-ho mencari seorang teman."
"Kerisidenan Samho bukankah terletak di Hopak" Tidak jauh dari kota raja bukan?"
"Benar, letaknya di sebelah utara kota raja. Kira-kira dua hari perjalanan."
Ci Coh berkakakan, ujarnya: "Wah amat kebetulan sekali, kalau begitu kita bisa seperjalanan."
Mencelos hati Miao Tiang-hong, tanyanya: "Kau pun hendak pergi ke Sam-ho?"
"Terlalu lama aku menyekap diri di desa, ingin aku ke kota raja untuk mencuci mata. Kalau toh
Sam-ho tidak jauh dari kota raja, aku bisa mengiringi kau ke sana."
"Agaknya suheng belum tahu, bahwa aku ada mengikat permusuhan dengan komandan Gi-limkun
Pakkiong Bong, berada di daerah yang berdekatan dengan kota raja mau tidak mau segala
gerak-gerik harus berlaku hati-hati. Kepergianku ke Sam-ho ini pun sedikit menyerempet bahaya,
mana berani aku bikin susah suheng mengiringi aku dalam perjalanan."
"Miao-sute kau tidak usah kuatir bagi aku, anak-anakku sudah besar, tiada yang menjadi
bebanku lagi, perjuangan besar suci suami istri harus menjadi cermin bagi kita, seperti yang dulu
kau pemah katakan, seseorang mana boleh hidup asal hidup belaka tanpa menghasilkan sesuatu
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sumbangan bhakti demi nusa dan bangsa" Kini aku sudah tahu keadaanmu, lebih besar tekadku
mengiringi kau ke sana. Ilmu silatku memang tidak sebanding kau, tapi bila bentrok dengan cakar
alap-alap sedikit banyak aku bisa bantu kau."
"Terima kasih akan maksud baik suheng, tapi siaute benar-benar tidak berani bikin susah
suheng." Berkerut-alis Ci Coh, katanya: "Sute, kata-katamu ini terlalu menganggap aku menjadi orang
luar. Hehe, memangnya kau masih dendam akan kejadian di masa muda dulu?"
"Ah, suheng berkelakar saja. Urusan yang dilakukan bocah kecil, siapa mau menaruh dalam
hati?" "Nah, sekarang aku bukan sedang berkelakar sama kau. Kalau kau tidak anggap aku orang
luar, kau berani menghadapi maraba-haya, memangnya tidak mengijin-kan aku bantu kau
menanggulangi kesui tanmu."
Miao Tiang-hong menepekur tidak bersuara, Ci Coh berkata lebih lanjut: "Aku tidak tahu siapa
temanmu yang kau cari di Sam-ho, aku pun tidak suka tanya kau. Kalau perjalanan ke Sam-ho kau
tidak leluasa seperjalanan dengan aku, biar aku tidak usah ikut ke sana. Kita bisa berpisah di Siokciu,
namun kita masih bisa seperjalanan dan berkumpul beberapa hari lagi. Miao sute, kebetulan
hari ini kita bisa bertemu setelah berpisah dua puluhan tahun, di samping untuk menceritakan
pengalaman hidup selama ini, sepanjang jalan ini aku bisa minta petunjukmu dalam ilmu silat."
Melihat orang bicara setulus hati, Miao Tiang-hong membatin: "Dua puluhan tahun berpisah
entah bagaimana martabatnya selama ini" Kalau dia betul-betul ingin menjadi kaum pendekar,
kenapa aku harus mengesampingkan maksud luhurnya ini?" Terpaksa ia manggut-manggut setuju.
Memang sepanjang jalan mereka asyik mengobrol dan saling menceritakan pengalaman hidup
selama ini, di samping membicarakan juga berbagai ilmu silat perguruan, meski perjalanan jauh,
mereka tidak merasa kesepian. Semula Miao Tiang-hong rada waswas dan berjaga-jaga terhadap
su-hengnya, lambat laun kewaspadaannya ini mulai luntur dan kendor.
Hari itu mereka tiba di kabupaten Thay-an xli Soatang, sebelah barat kabupaten Thay-an
adalah Thay-san, sebelah timur adalah Cu-lay-san. Miao Tiang-hong tahu Ciok Tio-ki dan Cong
Sin-liong serta kambrat-kambratnya sedang meluruk ke Thay-san, maka perjalanan bersama Ci
Coh ini ia berusaha menghindar bentrokan dengan rombongan musuh, sengaja ia belok ke arah
timur lewat jalan pegunungan di daerah Cu-lay-san, pikirnya dari sini lebih aman dan dekat.
Malam itu mereka menginap semalam di kota Thay-an, setelah mendapatkan penginapan, Ci
Coh pernah keluar seorang diri katanya mau beli ransum untuk perbekalan di tengah jalan.
Sementara Miao Tiang-hong tetap tinggal dalam kamar mengobrol dengan pemilik hotel. Sedikit
pun ia tidak menaruh curiga pula akan suhengnya yang keluar sendirian itu.
Hari kedua pagi-pagi benar mereka sudah menempuh perjalanan pula, kira-kira menjelang
lohor mereka sudah mulai memasuki daerah pegunungan Cu-lay-san.
Jauh di barat sana Miao Tiang-hong memandang puncak Thay-san, seketika timbul rasa kangen
terhadap Beng Goan-cau, dalam hati ia berdoa akan keselamatan Beng Goan-cau dalam
perjalanan ke Siau-kim-jwan bersama Leng Thiat-jiau.
"Sute, kenapa kau jalan begini lambat" Apa sih yang sedang kau pikirkan?"
"Tidak apa-apa, panorama di puncak pegunungan ini amat mem-pesona, aku sampai lupa
daratan." "Ya, pemandangan di sini memang amat permai, tapi kita perlu melanjutkan perjalanan, kelak
kalau kembali boleh kau menikmatinya sepuas hatimu."
"Omongan suheng memang benar." Lekas ia lecut kudanya supaya membedal cepat lari ke
depan, tak nyana semakin dipecut sang kuda berlari semakin lambat akhirnya malah berjalan dan
berhenti sendiri. Keruan Miao Tiang-hong kaget, katanya tertawa getir: "Kudaku ini "sedang
ngambek agaknya, mogok tidak mau jalan lagi."
"Biar kuperiksa, ih, agaknya rada janggal, coba kau turun memeriksanya."
Waktu Miao Tiang-hong melompat turun dilihatnya mulut kudanya mengeluarkan buih kental,
napas pun ngos-ngosan. Heran dan tidak mengerti Miao Tiang-hong dibuatnya. "Aneh, kudaku ini
hadiah dari teman, yang dipilihnya paling baik, semalam masih segar bugar, kenapa mendadak
bisa terserang penyakit?"
Ci Coh. diam-diam tertawa geli, katanya: "Manusia pun punya nasib dan kodrat yang sulit
diduga, apalagi kuda tunggangan" Tapi kudamu ini jelas tidak mampu berjalan lagi, kita harus
lekas mencari daya upaya."
"Di tempat seperti ini ada daya apa, aku tidak tega meninggalkannya demikian saja." Maka
dengan ringan Miao Tiang-hong lantas menepuk kepalanya, seketika kuda tunggangannya tergetar
mati oleh pukulan tangannya yang hebat itu.
Pukulan tangan tadi kelihatan dilakukan seenaknya saja, namun tanpa bersuara kuda pilihan itu
kontan roboh binasa. Ci Coh terkejut, katanya: "Miao-sute, kau sudah berhasil meyakinkan Thayceng-
khi-kang" Selama puluhan tahun suhu sendiri pun tidak berhasil meyakinkannya!"
Sikap Miao Tiang-hong pun menunjukkan rasa kaget yang dibuat-buat, sesaat lamanya baru dia
menjawab: "Thay-ceng-khi-kang mana bisa diyakinkan demikian saja, aku baru belajar kulitnya
saja, masih jauh dari sempurna."
"Ayolah berangkat, buat apa kau awasi terus kudamu?"
"Coba lihat, kudaku ini seperti keracunan." Ternyata setelah roboh binasa kuda itu terbalik
keempat kaki menghadap langit, sekeliling perutnya tampak sudah berwarna hitam bersemu
kebiru-biruan. "Memangnya penginapan itu adalah hotel gelap?"
"Kalau hotel gelap, pantasnya meracun orang, kenapa meracun kuda?"
"Mungkin kudamu ini yang terjangkit penyakit aneh?"
"Aku sendiri bukan tabib hewan, tapi benar tidak keracunan masih dapat kubedakan. Sekarang
aku jadi curiga memang penginapan itu memang hotel gelap seperti katamu, entah karena apa
terlebih dulu ia meracun kuda, mungkin di tengah jalan hendak menyusul dan membuat kesulitan
kepada kita." "Peduli hotel gelap atau hotel terang, mengandal kekuatan kita berdua, apa yang perlu
ditakuti?" Tiba-tiba Miao Tiang-hong mengerutkan kening, ujarnya: "Masih ada satu hal yang
mencurigakan, kenapa mereka tidak meracun sekalian kuda tungganganmu?"
Mencelos hati Ci Coh, namun lahirnya ia bersikap wajar, katanya tertawa lebar: "Itu hanya
dugaan kita saja, tak usah kau main terka, biarlah kita hadapi saja kenyataan nanti. Waktu amat
berharga, marilah lekas melanjutkan perjalanan."
Seorang diri Miao Tiang-hong menggumam: "Kejadian aneh, kejadian aneh!"
Sembari jalan Ci Coh, berkata: "Kejadian di luar dugaan sering terjadi, tidak perlu dibuat
heran!" Baru saja ia bicara habis, seolah-olah terjadi sesuatu peristiwa yang amat menakutkan,
mendadak ia menjerit sekeras-kerasnya.
Miao Tiang-hong melengak heran, tanyanya: "Suheng kenapa kau pun gembar-gembor seperti
melihat hantu?" "Tuh lihat!" kata Ci Coh sambil menunjuk ke sana. Miao Tiang-hong memandang ke arah yang
ditunjuk, tampak di semak rumput alang-alang di sana, bertumpuk tiga buah kerangka kepala
manusia dengan formasi segi tiga.
"Ini mungkin pertanda khas dari kaum hitam yang mengadakan janji pertemuan di sini."
"Pakai kerangka manusia sebagai tanda, mungkin mereka dari golongan sesat."
"Benar, begitu pula menurut hematku. Tapi kita tidak perlu banyak turut campur urusan
mereka. Ayo jalan terus!"
"Sute, kau banyak pengalaman, coba kau ke sana memeriksanya, dari golongan mana saja
mereka itu?" Miao Tiang-hong tertawa, ujarnya: "Suheng, memangnya kau jadi tertarik akan permainan dari
orang-orang golongan sesat?"
"Hanya melihat-lihat saja apa sih halangannya" Kalau dari ketiga kerangka itu kita dapat
membedakan golongan pemiliknya, tanpa turut campur urusan mereka, hati kita pun sudah
maklum." Miao Tiang-hong rasa omongan orang rada masuk akal, maka katanya: "Baiklah, mari kita
periksa bersama." Siapa tahu baru saja kakinya melangkah memasuki semak belukar itu, tiba-tiba
kakinya menginjak tempat kosong, ternyata tanah di depan ketiga kerangka itu merupakan sebuah
lubang jebakan. Sementara Ci Coh di belakangnya mendorong dengan sekuat tenaga seraya
membentak: "Turunlah!"
Kejadian amat mendadak. Miao Tiang-hong tidak pernah menduganya lagi, meski Miao Tianghong
membekal kepandaian tinggi, toh sulit terhindar dari bokongan ini. Dalam sekilas itu, dia
masih belum jelas siapa yang membokong dirinya masuk ke dalam jebakan, sekali terjungkal
kontan ia jatuh ke bawah.
Dalam keadaan gawat lekas Miao Tiang-hong mengempos hawa mumi, belum lagi kepalanya
menyentuh tanah, kedua tangan sudah menepuk ke bawah. Baru saja Ci Coh mengangkat sebuah
batu besar hendak dilempar ke bawah, "Brak" tiba-tiba debu dan tanah beterbangan, seperti bola
yang memantul ke atas tahu-tahu Miao Tiang-hong sudah mencelat naik pula.
Sudah tentu kejadian selanjutnya serta perubahan yang di luar dugaan ini, membuat kedua
pihak sama-sama melengak dan me-lenggong.
Meskipun Miao Tiang-hong sejak mula menaruh curiga terhadap sang suheng, namun mimpi
pun ia tidak menduga orang akan menggunakan cara sekotor dan serendah ini untuk membokong
dirinya. Sebaliknya Ci Coh kuatir kepandaian Miao Tiang-hong teramat tinggi, begitu terjeblos jatuh bisa
lantas melompat naik pula, maka ia kerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong serta hendak
menindihnya dengan batu besar lagi. Jikalau orang tergetar luka dalam, Ci Coh menyangka
seumpama Miao Tiang-hong tidak sampai terluka berat, paling tidak pasti terbanting pingsan,
siapa tahu orang justru secepat itu sudah kuasa melejit keluar pula.
Setelah sama-sama meleng-gong, Miao Tiang-hong segera membentak: "Mendapat perintah
siapa kau hendak membokong aku?"
"Sute," Ci Coh bergelak tertawa, "jangan kau kaget tidak karuan, aku hanya mencoba Pit-bakhoan-
ciangmu saja. Dulu suci berat sebelah mengajarkan kepadamu, aku tahu kau pasti tdak
kurang suatu apa." Dengan mengada-ada ia coba mungkir, nada tawanya sumbang dan dibuatbuat,
jangan kata Miao Tiang-hong seorang ahli yang banyak pengalaman, meski anak ingusan
pun akan tahu apa yang dikatakan ini adalah bohong belaka.
"Siapa yang beri petunjuk kepada kau, lekas katakan! Mengingat kau sebagai saudara
seperguruan dulu, aku bisa memberi ampun kepada kau."
"Aku hanya main-main saja dengan kau, kenapa kau marah-marah?"
"Main-main dengan cara sekeji ini" Kau membokong dan hendak melukai orang, kalau aku tidak
membekal kepandaian, sejak tadi sudah mampus di bawah pukulan-mu."
"Justru karena tahu kau membekal kepandaian, maka aku berani main-main dengan kau. Kalau
tidak demikian, cara bagaimana aku bisa menjajal tingkat kepandaianmu?"
Melihat jawaban orang yang tidak karuan, serta mata orang yang jelilatan, mencelos hati Miao
Tiang-hong, selangkah demi selangkah ia mendesak ke arah Ci Coh, bentaknya: "Tulang
punggungmu Pakkiong Bong atau Sat Hok-ting" Kau datang ke Tiong-boh dulu lalu menyusul ke
Yangciu, bukankah kau hendak menyelidiki keturunan suci dan akan membereskan mereka
bersama Lau Khong?" Kaget dan gugup serta gentar lagi hati Ci Coh, hatinya semakin gelisah lagi, "Kenapa orangorang
yang sudah kujanjikan itu belum juga kelihatan?" ia menyurut mundur berulang-ulang.
Miao Tiang-hong membentak pula: "Sampai sekarang kau masih pantang bicara terus terang,
hendak mungkir lagi, jangan kau salahkan aku turun tangan tidak kenal kasihan kepadamu."
Rona muka Ci Coh berubah bergantian, terang kata-kata Miao Tiang-hong tepat mengorek
borok hatinya. Tahu dirinya tidak dapat mungkir lagi, terpaksa dia menjawab: "Sute, kau tidak sudi
memaafkan aku", yah, apa boleh buat. Selama dua puluhan tahun ini, ajaran silat perguruan kita,
aku pun berhasil memperdalam dan mendapat hasil, sekarang biar aku mohon petunjuk darimu."
"Baik, kuberi ekstra tiga jurus kepada kau."
Ci Coh menyeringai dingin, jengeknya! "Kau sendiri yang bilang lho!" Tiba-tiba ia mencelat naik
terus menubruk dengan jurus Beng-pik-kiu-siau (elang berkelahi di tengah mega), jarinya bagai
cakar garuda terus mencengkeram ke batok kepalanya.
Dengan gerak Hong-tiam-thau Miao Tiang-hong meluputkan diri, pakaian yang dipakainya tibatiba
melembung besar seperti layar yang terhembus angin kencang, "Blum" tangan Ci Coh dengan
telak mengenai punggungnya, kontan terasa segulung tenaga memantul yang besar dan dahsyat
memukul balik, Ci Coh tahu orang mengembangkan ilmu Tiam-ih-cap-pwe-thia tingkat tinggi, lekas
tangan kiri ikut bergerak, tidak memukul Miao Tiang-hong, tapi tangan kirinya ini menekan ke
tangan kanannya sendiri, sehingga dua tenaga gabungan yang dikembalikan kena dia punahkan,
dengan sekali jumpalitan ia berhasil meluncur turun dan berdiri tegak, tidak sampai jatuh. Kiranya
ilmu silat macam Tiam-ih-cap-pwe-thia ini, khusus digunakan meminjam tenaga pukulan lawan
untuk menggempur lawan pula.
"Bagus, terhitung satu jurus," seru Miao Tiang-hong.
Dari malu Ci Coh menjadi gusar, tanpa bicara lagi, kedua jari ia rangkap seperti jepitan, ia
menotok ke Hiat-to Ih-gi-hiat Miao Tiang-hong. Terang lawan tidak akan bisa menggempur balik
dirinya. Miao Tiang-hong mendekuk dada menyedot perut, badannya tidak bergeming namun kulit
badannya sudah tertekuk mundur setengah inci. Ilmu totokan biasanya mengutamakan telak
mengenai sasaran, dengan dikurangi jarak setengah inci ini, meski jari-jari Ci Coh mengenai kulit
badan Miao Tiang-hong, paling-paling hanya menotok berlubang kain pakaiannya saja.
Mendadak Ci Coh menghardik laksana geledek, telapak tangannya menyusul menghantam ke
dada Miao Tiang-hong. Tergerak hati Miao Tiang-hong, pikirnya: "Jelas dia tahu aku sedang
mengembangkan ilmu Tiam-ih-cap-pwe-thia, kenapa dia masih berani menggempur dengan
kekerasan begini?" Tengah ia membatin, tiba-tiba dilihatnya telapak tangan Ci Coh yang terbalik
itu, lapat-lapat ada terselip sebatang jarum warna hitam, dengan gerakan yang cepat dan lihay
menusuk dengan keras ke dada Miao Tiang-hong.
Untung Miao Tiang-hong sudah curiga dan bersiap-siap. Serangan ini cukup cepat, tapi Miao
Tiang-hong lebih cepat lagi,- sebat sekali mendadak ia berkisar badan, maka jarum itu hanya
mengenai lengan bajunya saja Sambil mengerahkan hawa murni, Miao Tiang-hong kebutkan
lengan bajunya, maka jarum itu kena dikebutnya melesat balik. Jarum menancap di lengan baju,
orang dapat mengerahkan tenaga untuk balas menyerang dirinya, hal ini benar-benar di luar tahu
Ci Coh. Lekas ia menjatuhkan diri terus menggelundung sejauh-jauhnya "Cret" jarum sendiri yang
berbisa itu hampir saja menyerempet atas kepalanya menancap di atas tanah.
"Suhu biasanya melarang para muridnya menggunakan senjata rahasia yang berbisa,
sedemikian rendah dan hina dina martabatmu sekarang," Miao Tiang-hong membentak.
Ci Coh lekas merangkak bangun, katanya: "Kau sendiri bilang memberi ekstra tiga jurus
kepadaku, toh kau tidak melarang aku menggunakan senjata rahasia."
"Baik, tiga jurus sudah kuberi kelonggaran, sejak detik ini, aku tiada punya suheng macam
tampangmu lagi." Baru sekarang Ci Coh tahu, bahwa sang sute memberi tiga jurus kelonggaran kiranya bertindak
menurut aturan bu-lim cianpwe, bila murid yang tingkatannya rada rendah hendak mencuci bersih
nama baik perguruan", memberi kelonggaran tiga jurus sebagai pertanda bahwa hubungan
sesama perguruan sudah putus.
Pucat pias muka Ci Coh, batinnya: "Kedua orang itu kenapa tidak kunjung tiba?" Bicara lambat,
kejadian teramat cepat, tangan kanan Miao Tiang-hong sudah bergerak membundar, tahu-tahu
sudah mencegat jalan mundur dirinya
Jurus ini dinamakan Tiang-ho-loh-jit, gaya Siau-kin-na-jiu-hoat yang mengandung jurus-jurus
Hun-kifl-joh-kut yang tersembunyi. Ci Coh tahu akan kehebatan ilmu ini, lekas kedua tangannya
tersilang di depan dada lalu didorong ke depan, ia punahkan sejurus permainan Miao Tiang-hong
ini, namun tidak urung tanpa kuasa ia tergetar sempoyongan tiga langkah ke belakang.
Hanya sejurus saja Miao Tiang-hong sudah membuat dirinya terdesak mundur, namun orang
tidak berhasil ditangkapnya. Pikirnya: "Kiranya tidak bohong selama dua puluh tahun ini dia
berhasil memperdalam ajaran perguruan."
Kiranya Ci Coh insyaf dirinya bukan tandingan sang sute, maka begitu bergebrak ia
kembangkan ilmu pukulan yang dilandasi kekuatan lunak, lingkungan gerak ge-riknya diperketat
dan kecil, bertahan saja tanpa balas menyerang, berapa lama ia kuat bertahan berapa lama pula
ia mengulur waktu. Ilmu pukulan lunak yang dia yakinkan ini memang khusus untuk memunahkan
kekuatan pukulan lawan, naga-naganya memang mempunyai keistimewaannya sendiri, di samping
Miao Tiang-hong mengingat orang sebagai saudara seperguruan, ia pun berniat menawannya
hidup-hidup, maka ilmu-ilmu keji atau lihay yang mampu untuk mencabut nyawanya tidak dia
lancarkan. Kira-kira tiga puluhan jurus kemudian, Ci Coh sudah mandi keringat, mukanya pucat
pias, Miao Tiang-hong sendiri pun sudah mulai memhuru napasnya Ternyata waktu terjeblos jatuh
tadi, dorongan Ci Coh di punggungnya tadi amat berat, meski ia mengandal Thay-ceng-khi-kang
melindungi badan, tidak sampai terluka dalam, namun hawa murninya sedikit banyak terganggu
juga, dengan sendirinya mempengaruhi lwekang dirinya.
Di saat Ci Coh sudah kepayahan dan tidak kuat bertahan lagi, tiba-tiba dilihatnya Miao Tianghong
melompat mundur selangkah, kedua tangan melintang di depan dada, kaki pun berhenti
tanpa merangsak lagi. Ci Coh berkesempatan ganti napas, katanya: "Nah, kan begitu, jelek-jelek kita ini kan saudara
seperguruan?" Miao Tiang-hong menjengek dingin: "Bala bantuan undanganmu sudah datang semua belum?"
Seiring pandangan orang Ci Coh berpaling ke sana, baru sekarang ia melihat kedua orang yang
diharap-harapkannya sudah tiba.
Kedua orang ini bukan lain adalah Boh Cong-tiu dan seorang yang lain tidak dikenal oleh Miao
Tiang-hong. Sambil menggoyang kipasnya Boh Cong-tiu tertawa lebar, katanya: "Miao-siansing, kebetulan
kami lewat di sini, tak nyana kebentur kalian suheng-te sedang menjajal ilmu silat, sungguh
membuka mata dan menambah pengalaman kami. Hehe, tentunya kau tidak membenci tamutamu
tidak diundang seperti kami bukan?"
Laki-laki yang tidak dikenal itu pun menimbrung: "Benar, jangan lantaran kedatangan tamutamu
tak diundang seperti kami bikin se-.mangat tempur kalian luluh, silakan latihan diteruskan."
Dugaan Miao Tiang-hong memang tidak salah, kedua orang ini sebelum ini memang sudah
berjanji dengan Ci Coh membuat perangkap di sini untuk menawan dirinya hidup-hidup. Ketiga
kerangka manusia itu adalah pertanda dari perjanjian mereka, menurut rencana semula, mereka
harus sembunyi di tempat itu, setelah Miao Tiang-hong terjeblos jatuh, segera mereka akan keluar
hendak menawannya bersama.
Ci Coh pun seorang yang licik dan banyak tipu dayanya, melihat mereka tidak menepati janji
semula, kini hendak berpeluk tangan menonton di pinggiran, masakah ia tidak tahu tujuan mereka
yang hendak menguras habis dulu tenaga Miao Tiang-hong baru akan turun tangan dengan
mudah, celaka adalah dirinya yang dijadikan umpan, segera ia mundur ke samping mereka,
katanya: "Latihan sesama perguruan tiada artinya, ilmu cakar kucing yang kulatih ini masakah
pantas dipertontonkan di hadapan kalian, ilmu silat suteku ini jauh lebih tinggi dari aku, kalian hari
ini kebetulan bersua di sini, pastilah kalian ada minat untuk mencoba-coba kepandaian bukan?"
Di saat mereka bicara, diam-diam Miao Tiang-hong kerahkan hawa murni berputar tiga
lingkaran, menambah sedikit semangat dan gairahnya, katanya dingin: "Tak usah kalian cerewet,
ayolah maju bersama saja."
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Miao-siansing, jangan kau salah paham," Boh Cong-tiu berdiplomasi. "Bicara terus terang,
memang aku ada minat saling mengukur kepandaian, mana boleh turun tangan secara keroyokan
terhadapmu" Miao-siansing, kau adalah pendekar kelana yang ternama di kangouw, aku dan
saudara Sa ini pun bukan tokoh-tokoh tak bernama, kata-katamu ini bukankah pandang orang
terlalu rendah?" "Aku orang she Miao hanya punya satu jiwa, kalian maju bersama aku lawan, satu persatu
maju pun kulayani, selalu aku mengiringi kehendak kalian, bicara saling mengukur kepandaian
segala, tutup saja mulutmu, aku tidak punya teman seperti kalian untuk mengukur kepandaian!"
Boh Cong-tiu bergelak tertawa, ujarnya: "Salah paham Miao-siansing menjadi-jadi, mungkin
sulit aku memberi penjelasan. Apa boleh buat kami terima tantanganmu saja. Ci-heng, dulu aku
sudah pernah bertemu dengan sutemu ini, saudara Sa ini baru sekarang bertemu. Sa-heng, ilmu
silat ajaran Siau-lim yang kau yakinkan adalah aliran murni, kebetulan aliranmu sama murninya
dengan ajaran Miao-heng, adalah pantas kuberi kesempatan kau untuk main-main dulu."
Mendengar orang dari Siau-lim-pay, tergerak hati Miao Tiang-hong, katanya dingin: "Siapa she
dan namamu" Murid Hoatsu yang mana dari Siau-lim-pay?"
Ci Coh mewakili orang, sahutnya: "Saudara Sa ini bernama Mi-wan, murid preman Thong-hian
Siansu dari Siau-lim-si."
Seketika Miao Tiang-hong naik darah, bentaknya: "Bagus ya, jadi kau ini murid murtad dari
Siau-lim yang sekongkol dengan Pakkiong Bong membunuh suciku."
Sa Mi-wan mendengus sekali, sahutnya: "Tidak salah, kau sudah tahu, aku pun tidak perlu
merahasiakan lagi. Apakah kau hendak menuntut balas bagi sucimu, ayolah maju!" Belum lagi
ucapannya selesai, tiba-tiba pandangan matanya silau, "sret" tahu-tahu Miao Tiang-hong sudah
menusukkan pedangnya. Meskipun murid preman Siau-lim-pay, namun senjata Sa Mi-wan adalah tongkat besar yang
biasa dipakai kaum hwesio. Sekali ditegakkan, "Trang" ia tangkis pedang Miao Tiang-hong miring
ke samping. Gebrakan pertama kali ini cukup buat mengukur kepandaian lawan oleh Miao Tiang-hong,
tanpa menanti Sa Mi-wan menggerakkan tongkatnya lebih lanjut, laksana angin puyuh dan
seringan awan berkembang Miao Tiang-hong putar pedangnya merangsak maju, dari kiri
menggunakan jurus Bok-ong-sin-cun, kanan dengan jurus Giok-tam-ceng-cin, sekali tusuk ia arah
bagian bawah badan orang, sekali gentak pula ujung pedangnya bergetar meluncur naik menusuk
muka orang. Kedua jurus atas dan bawah ini, dalam prakteknya teramat sulit digunakan, namun
jurus-jurus ini merupakan tipu-tipu tunggal yang hebat dari ilmu pedang perguruan Miao Tianghong.
Pedang yang digunakan adalah sebatang Ceng-kong-kiam panjang, tapi saking cepat
permainannya, penonton menjadi silau dan hanya melihat dua jalur sinar hidup laksana naga
perak timbul tenggelam sedang menari di tengah angkasa, dengan serangan atas dan bawah
secara beruntun itu, sekaligus ia sudah bikin Sa Mi-wan terkurung di dalam sinar pedangnya.
Diam-diam mencelos hati Ci Coh melihat permainan pedang sutenya yang hebat ini, diam-diam
terasa dingin dan berdiri bulu kuduknya, batinnya: "Kalau tadi dia menggunakan senjata, mungkin
sejak tadi aku sudah mampus di tangannya."
Akan tetapi kepandaian silat Sa Mi-wan pun bukan olah-olah lihay-nya, dengan gaya meliuk
pinggang seperti orang bercocok dahan pohon liu dengan badan miring, pinggangnya tertekuk ke
belakang, sebaliknya tongkatnya ia dorong ke depan. Di dalam saat-saat yang gawat itu ia
meluputkan diri dari tusukan yang mengarah muka, terdengar "Trang" kembang api memercik,
tusukan ke bagian bawah sekaligus ia punahkan pula.
Tapi toh Sa Mi-wan hanya mampu membela diri belaka, sekali gebrak Miao Tiang-hong
berinisiatif menyerang lebih dulu, seketika ia kembangkan ilmu silat yang ia pelajari selama ini,
dalam jurus tersembunyi jurus, dalam tipu ada tipu pula, isi kosongnya susah diduga,
perubahannya teramat rumit. Bukan saja ia mainkan jurus-jurus pedang ajaran perguruannya,
sekaligus ia kombinasikan pula dengan tipu-tipu pedang hasil ciptaannya sendiri. Meskipun Ci Coh
adalah suhengnya, banyak gerak tipu pedang yang masih asing dan belum pernah dilihatnya.
Sekaligus Miao Tiang-hong menyerang tiga puluh enam jurus pedang, saking gencar dan
dahsyat sampai Sa Mi-wan kerepotan dan sesak napasnya, baru sekarang ia insyaf akan kelihayan
Miao Tiang-hong, diam-diam hatinya mengeluh. Akan tetapi di saat-saat yang amat gawat itulah,
entah mengapa tiba-tiba terlihat gaya permainan ilmu pedang Miao Tiang-hong menjadi kendor
dan lamban, cepat Sa Mi-wan menggunakan kesempatan baik ini, tenaga ia kerahkan di batang
tongkatnya, dengan sejurus Siang-ji-pang-bik, ia tahan dan kunci pedang Miao Tiang-hong di luar
kalangan. Ternyata walaupun Miao Tiang-hong tidak terluka oleh dorongan Ci Coh, betapapun ia sedikit
terluka. Thay-ceng-khi-kang yang dia salurkan harus dilandasi dengan kekuatan tenaga murni
yang terpusat di pusar, sekaligus ia menyerang tiga puluh enam jurus tanpa ganti napas, akhirnya
toh dia kehabisan napas, sedikit peluang ini, memberi kesempatan kepada Sa Mi-wan untuk balas
menyerang. Dalam seribu kesibukannya, lekas Sa Mi-wan menarik napas, serunya memuji: "Ilmu pedang
bagus!" Di mana tongkat bajanya terayun, lapat-Iapat seperti terdengar guntur menggelegar.
Walau Miao Tiang-hong membekal kepandaian tinggi, di bawah serangan balasan musuh yang
gencar, berba-lik ia terdesak mundur beberapa langkah. Sa Mi-wan begelak tertawa, serunya:
"Diberi tidak membalas kurang hormat, sekarang tiba giliranmu belajar kenal dengan Hu-mo-tiohoatku
ini!" Hu-mo-tio-hoat atau ilmu tongkat penakluk iblis adalah ilmu muji-jat aliran Siau-lim-pay,
perbawanya memang bukan kepalang hebatnya. Tadi karena terdesak di bawah angin, Sa Mi-wan
tidak berkesempatan mengembangkan ilmu tongkatnya ini Kini mendapat kesempatan bermain,
maka kalangan pertempuran semakin melebar luas, lama kelamaan Miao Tiang-hong tidak kuasa
mendesak maju mendekati lawan. Dengan arena pertempuran menjadi besar, tongkat panjang
dan pedang pendek, sudah tentu Sa Mi-wan mengambil banyak keuntungan.
Saking terpesona Ci Coh sampai melongo dan menari-nari sambil berkaok-kaok memberi
semangat kepada Sa Mi-wan. Sebaliknya Boh Cong-tiu tersenyum dan berkata: "Dengan
mengembangkan enam puluh empat jalan Hu-mo-tio-hoat, Sa Mi-wan cukup membuat lawan
kewalahan, naga-naganya aku tidak berkesempatan minta petunjuk kepada sutemu lagi." Secara
tidak langsung ia mau berkata, bahwa Miao Tiang-hong sebentar bakal dikalahkan oleh Sa Mi-wan.
Dalam pertempuran sengit itu, tiba-tiba Miao Tiang-hong rasakan tenggorokannya panas dan
getir, darah sudah membubung naik, hampir saja tak kuat dan ia hendak memuntahkannya.
Dengan kertak gigi Miao Tiang-hong menelannya pula bulat-bulat, tak urung darah sudah meleleh
keluar dari ujung mulutnya.
Girang Sa Mi-wan dibuatnya, tongkat baja sebesar kepalan tangan itu diputar secepat kitiran
menyapu pulang pergi, semakin diputar semakin kencang. Boh Cong-tiu enak-enak menggerakan
kipasnya, katanya kepada Ci Coh: "Agaknya Sa Mi-wan tidak sampai habis mengembangkan Humo-
tio-hoatnya itu!" Belum habis ia bicara, "Trang" tahu-tahu pedang Miao Tiang-hong sudah mencelat lepas dari
pegangannya. Boh Cong-tiu tertawa, ujarnya pula: "Ilmu tongkat bagus saudara Sa, kau bisa
menang jauh lebih cepat dari yang kuduga. Aduh, celaka!" Semula ia berseri tawa dan bicara
dengan angkuh dan sombong, mendadak mukanya mengunjuk rasa kaget dan mimik tawanya
menjadi kaku. Ternyata meski pedang Miao Tiang-hong terlepas dari cekalan, namun pedangnya itu terbang
menyambar ke arah Sa Mi-wan. Dengan gerakan tergesa-gesa Sa Mi-wan melintangkan
tongkatnya untuk menangkis, terlihat sinar pedang lawan bagai gelombang pasang, dengan titiktitik
kemilau yang tidak terhitung banyaknya sama meluruk kepada dirinya.
Kontan terdengar Ci Coh berteriak kaget dan ketakutan: "Hwibou-liu-cwan!"
Ternyata jurus Hwi-bou-liu-cwan (air terjun terbang sumber air berpusar) merupakan ilmu
pedang tunggal ajaran suhunya yang paling hebat dan dahsyat, waktu menusuk seluruh kekuatan
dipusatkan pada ujung pedang sehingga batang pedang bergetar hebat, bila latihan sudah
mencapai puncak kesempurnaan, meski hanya satu jurus, begitu meluncur tiba di depan musuh,
seketika bisa berubah laksana ratusan titik-titik ujung pedang. Tapi dulu waktu suhu mereka
melancarkan jurus ini, beliau toh masih memegangi gagang pedangnya, tidak seperti Miao Tianghong
sekarang, melemparkan pedang, namun ia tetap dapat berbuat sehebat dan selihay itu
dalam jurus yang sama Dalam kagetnya Ci Coh berkata dalam hati: "Umpama suhu hidup kembali,
dalam jurus ilmu pedang ini mungkin jauh ketinggalan daripada apa yang dimainkan olehnya tadi.
Kapan Sa Mi-wan pernah melihat atau menghadapi ilmu pedang yang begini aneh dan lihay"
Walau dia sudah putar tongkatnya begitu kencang dan rapat seumpama tidak tertembus oleh
hujan dan angin, tak urung pergelangan tangannya terkena sekali tusuk oleh ujung pedang, maka
terdengarlah "Trang" sekali lagi, kali ini tongkat baja Sa Mi-wan malah yang terlepas jatuh dari
tangannya. Sementara pedang itu tergetar terpental kembali oleh tangkisan tongkat, sigap sekali Miao
Tiang-hong melompat ke depan serta meraihnya, katanya dingin: "Apa kau masih ingin bertanding
lebih lanjut?" Membesi hijau muka Sa Mi-wan, seperti ayam jago yang keok ia jemput tongkatnya, katanya
dengan lesu: "Ilmu pedang Miao Tayhiap memang hebat dan tinggi, kagum, kagum, aku yang
rendah mengaku kalah!" Pergelangan tangannya sudah terluka, meski luka ringan, sebagai tokoh
silat tingkat tinggi seperti dia, senjata sendiri dibikin terlepas jatuh oleh lawan, masakah ada muka
ia meneruskan pertempuran" Apalagi kekalahan itu sudah membuat semangat tempurnya luluh,
kalau dilanjutkan terang dia bukan tandingan Miao Tiang-hong.
Bahwasanya dalam melancarkan jurus pedangnya ini Miao Tiang-hong pun sudah kerahkan
seluruh tenaganya, hawa muminya banyak terkuras dan terluka pula, kalau jurus tadi tidak
berhasil melukai Sa Mi-wan, bagaimana kesudahan pertempuran ini, ia tidak berani
membayangkannya. Sambil kertak gigi, lagi-lagi ia telan bulat-bulat darah yang sudah membanjir
keluar di tenggorokannya.
Sambil mengibaskan kipasnya, Boh Cong-tiu melangkah maju, katanya tersenyum: "Miaosiansing,
tadi sudah kami katakan bertanding ilmu silat terhadap sesama sahabat, aku yang
rendah pun ingin mohon petunjuk beberapa jurus, entah Miao-siansing ada semangat memberi
pengajaran kepadaku?"
Miao Tiang-hong menarik nafas, sejenak ia menenangkan hati, katanya dingin: "Boh Cong-tiu,
jangan kau berpura-pura di hadapanku, kalian memang hendak menggunakan cara bergiliran
untuk menghadapi aku, sekarang bukankah menepati keinginanmu, paling aku orang she Miao
pasrah nasib dan mempertaruhkan jiwa, kau tidak takut dibuat tertawaan para enghio,ng seluruh
jagat, marilah silahkan maju."
Mendengar olok-olok yang sekaligus membongkar boroknya, dari malu Boh Cong-tiu menjadi
gusar, jengeknya dingin: "Sebetulnya aku tiada niat membunuhmu, karena ucapanmu ini biar
kututup saja bacotmu. He he, di tempat seperti ini, bila kubunuh kau, siapa pula yang akan tahu"
Takut ditertawakan siapa aku?"
Miao Tiang-hong mendengus, katanya: "Kau hendak bunuh aku, kukira tidak sedemikian
mudah. Ayo majulah!" Diam-diam ia sudah bertekad, begitu turun tangan lantas melancarkan ilmu
keji mengadu jiwa biar gugur bersama. Seumpama karena dirinya bukan tandingan lawan, setelah
kehabisan tenaga dan terluka dalam, akhirnya terbunuh oleh Boh Cong-tiu, paling tidak harus
membuatnya terluka parah juga.
Boh Cong-tiu menjadi bimbang malah, batinnya ragu-ragu: "Apa sih yang dia andalkan, berani
bicara besar. Hm, mungkin hanya menggertak saja, memangnya dia masih mampu melukai aku?"
Untunglah dia pun dirundung rasa bimbangnya ini, kalau tidak bila lantas bergebrak, pastilah
bakal terjadi tragedi seperti yang dibayangkan oleh Miao Tiang-hong, satu mati yang lain terluka
berat Di saat ia kibas-kibaskan kipas dan hendak melangkah maju itulah, tiba-tiba didengarnya derap
langkah berlari mendatangi. Boh Cong-tiu segera membentak: "Siapa itu?"
Tampak dari pengkolan gunung sebelah sana, muncul seseorang yang berlari bagai terbang,
sekali pandang seketika Boh Cong-tiu melongo dibuatnya.
Waktu Miao Tiang-hong menoleh, dan melihat tegas, ia pun ikut terkejut.
Kiranya orang yang berlari datang ini bukan lain adalah Cong Sin-liong yang sekomplotan
dengan Boh Cong-tiu. Bahwa Cong Sin-liong mendadak muncul seharusnya Boh Cong-tiu merasa
girang. Tapi keadaan Cong Sin-liong kali ini tidak seperti biasanya, selebar mukanya berlepotan
darah, mukanya pucat dan tingkah lakunya amat ketakutan seperti lari dikejar setan.
Memang Miao Tiang-hong sudah bertekad untuk adu jiwa, meski terkejut, namun ia tidak
menjadi gugup. Segera ia lintangkan pedang di depan dada, jengeknya dingin: "Kalian paman
keponakan guru maju bersama pun bolehlah!"
Setelah melongo, segera Boh Cong-tiu berteriak memanggil: "Susiok, kenapa kau?"
Agaknya saking ketakutan dikejar orang, Cong Sin-liong sudah seperti lupa daratan dan tidak
ingat diri pula, seolah-olah ia tidak mendengar teriakan Boh Cong-tiu. Malah larinya dipercepat
lewat samping Miao Tiang-hong.
Pada saat itulah terdengar sebuah suara serak tua berkumandang: "Aku belum lagi berkelahi
dengan puas, siapa yang hendak bertempur bergiliran, biar aku yang melayani."
Suara orang ini adalah suara orang yang berseru memuji di dalam kabut gelap waktu Boh
Cong-tiu dan Kim Tiok-liu bertanding pedang waktu di Thay-san dulu. Dan orang ini justru orang
yang paling ditakuti oleh Boh Cong-tiu.
Sa Mi-wan berteriak: "Kalian ini ada apa" Siapa orang yang datang ka... kalian..." Ternyata
mengikuti jejak Cong Sin-liong, Boh Cong-tiu pun ngacir pergi.
Pada saat itu pula terdengar suara seorang gadis yang nyaring berkumandang terbawa
hembusan angin: "Locianpwe harap tunggu sebentar. Beberapa kali wanpwe mendapat budi
pertolonganmu, berilah kesempatan wanpwe ber-sembah sujut."
Girang hati Miao Tiang-hong, pikirnya: "Ternyata Lim Bu-siang ikut datang, tak heran Boh
Cong-tiu dibikin kaget dan melarikan diri."
Miao Tiang-hong tahu, waktu di pertemuan besar di Thay-san dulu, dalam sepuluh jurus
pertandingan ilmu pedang perebutan kedudukan ciangbun, Boh Cong-tiu pernah dikalahkan oleh
Lim Bu-siang. Di luar tahunya bahwa yang amat ditakuti oleh Boh Cong-tiu bukanlah Lim Bu-siang,
tapi adalah tokoh aneh yang belum pernah muncul di kalangan kangouw itu.
Tapi setelah mendengar suara Lim Bu-siang, memang Boh Cong-tiu semakin ketakutan dan
berlari lebih kencang lagi. Soalnya rencana merebut kedudukan ciangbun, sekarang belum tiba
saatnya, kejadian persekongkolannya hari ini dengan para pentolan orang-orang jahat untuk
membunuh Miao Tiang-hong, cepat atau lambat akhirnya toh bakal diketahui oleh Lim Bu-siang
juga, mana sudi ia dibikin malu di hadapan orang banyak.
Melihat Boh Cong-tiu melarikan diri mengikuti jejak Cong Sin-liong, kaget Ci Coh bukan main,
katanya lirih: "Yang datang mungkin musuh tangguh, Sa-heng lekas kita menyingkir." Sa Mi-wan
hanya mendengus, tanpa bersuara dan tidak bergerak.
Pada saat itulah tampak seorang kakek tua berpakaian serba hitam bertubuh kurus kering tahutahu
sudah muncul dari pengkolan gunung sebelah sana
Sa Mi-wan membekal ilmu tunggal kepandaian Siau-lim-pay, selama malang melintang di
kangouw belum pernah menemukan tandingan, tak nyana hari ini kena dikalahkan oleh Miao
Tiang-hong, di saat ia merasa malu dan gengsinya disapu, dilihatnya yang datang cuma seorang
kakek tua renta yang lemah, dalam hati ia membatin: "Luka-luka Miao Tiang-hong cukup berat,
kalau bertempur lagi, pasti aku kuasa merobohkan dia. Mungkin karena Boh Cong-tiu masih harus
menyamar sebagai golongan pendekar, maka dia harus menghindar diri untuk bertemu dengan
budak she Lim itu. Dia takut adalah urusannya, kenapa aku harus gentar terhadapnya" Mengenai
kakek tua ini, sekali kemplang aku pasti bisa bikin dia terjungkal roboh, apa pula yang harus
kutakuti?" Segera ia menyeringai dingin, "Kau hendak lari silakan lari saja."
Kakek tua baju hitam itu berge-lak tertawa, ujarnya: "Yang dua sudah lari, masih ada dua
belum ngacir. Haha, aku tua bangka ini suka berkelahi bergiliran, kamu siapa yang maju lebih
dulu" Sa Mi-wan tudingkan tongkatnya seraya membentak: "Tua bangka yang terobosan dari mana
kau, berani mengganggu di sini, rasakan pentungku irfi!"
Kakek tua baju hitam berkata tawar: "Kukira siapa, ternyata hwe-sio liar yang melarikan diri
dari Siau-lim-si. Kau sudah tidak jadi hwesio, buat apa masih pakai tongkat, berikan saja
kepadaku!" Pandangan Miao Tiang-hong jauh lebih tajam dari Sa Mi-wan, sekali lihat gerak langkah si
kakek tua ini, lantas dia tahu lwekangnva teramat tinggi luar biasa. Namun melihat orang
bertangan kosong, tak urung ia merasa kuatir. Hu-mo-tio-hoat Sa Mi-wan tidak boleh dipandang
ringan, masakah kakek tua ini mampu melawannya hanya bertangan kosong saja" Apa lagi
hendak merebut senjata orang?"
Sedang ia membatin, dilihatnya kakek tua baju hitam itu sudah menyendat keluar seutas tali
panjang, katanya: "Aku tidak enak mengurus dan menghajar kau, terpaksa biar kuringkus kau dan
diantar ke Siau-lim-si. Lepas tongkatmu!"
Sa Mi-wan menggerung menggeledek, dengan jurus Ou-liong-yu-hay (naga hitam mengaduk
lautan) tongkatnya lantas mengemplang. Sekali sendai tali panjangnya, kakek tua berhasil
menggubat tongkat orang, baru saja suaranya keluar dari mulut, betul juga tongkat baja Sa Miwan
yang sebesar kepalan tangan itu tahu-tahu sudah kena direbut.
Tahu-tahu Sa Mi-wan rasakan jari-jarinya kaku dan lemas tak bertenaga, badan pun tersuruk
maju ke depan. Entah bagaimana, secara gaib tongkat bajanya itu sudah kena direbut oleh
musuh. Keruan kagetnya bukan main, lekas ia putar badan melarikan diri. Miao Tiang-hong
seorang persilatan yang cukup ahli dalam bidang ini, melihat jurus permainan orang untuk
merebut tongkat Sa Mi-wan, tidak bisa tidak ia. merasa takjub dan kagum dalam hati, pikirnya:
"Ilmu silat memang di luar langit ada langit, orang pandai ada yang lebih pandai pula. Teori ilmu
pinjam tenaga memanfaatkan tenaga aku pun cukup paham, tapi untuk memanfaatkan dalam
praktek selihay seperti yang dilakukan lo-cianpwe tadi paling cepat aku harus berlatih sepuluh
tahun lagi." Tengah ia membatin itu, dilihatnya si kakek tua baju hitam sedang menggentakkan lengan
mengayun tali, tali panjangnya itu seketika disendai lurus memanjang, maka tongkat yang
tergubat itu seketika melesat terbang ke depan. Sa Mi-wan sedang lari pontang-panting,
mendengar angin menderu di belakang, lekas ia gunakan Hong-tiam-thau, tongkat bajanya
melesat lewat dari atas kepalanya dan "Trak!" menancap amblas separuh lebih di atas dinding
gunung. Saking keras getarannya, sampai ujung tongkatnya mendengung keras, berayun turun
naik. Kakek tua baju hitam bergelak tertawa, serunya: "Menantu jelek pun akhirnya toh harus
bertemu dengan mertua, meski kau tidak bisa menjadi hwesio lagi, paling tidak kau akan kembali
ke Siau-Iim-si juga kelak!" Sambil bicara badannya tiba-tiba melejit tinggi meluncur ke depan, tali
panjangnya lagi-lagi melingkar membundar terus menjerat ke atas kepala Sa Mi-wan.
Tahu dirinya tidak akan bisa meloloskan diri, Sa Mi-wan malah membentak gusar: "Aku sudah
mengaku kalah, jangan kau terlalu menghina orang." Sekali raih ia tangkap tali orang, kali ini
kedua gelombang tenaga masing-masing saling adu kekuatan ke arah yang berlawanan tarik
menarik, yang kuat menang dan lemah kalah. Saking keras tarikan kedua pihak, tali itu sampai
mengencang seperti tali busur yang dipentang. Seketika merah padam air muka Sa Mi-wan, tanpa
kuasa kakinya tersuruk maju beberapa langkah.
Kakek tua itu menggeleng kepala dan ujarnya menghela napas: "Lweekang Siau-lim-si sudah
kau pelajari secara murni, sayang tidak belajar baik bertindak benar, sayang, sayang!" Mendadak
Sa Mi-wan lepas tangan terus menjatuhkan diri menggelundung ke lereng gunung di bawah sana
Kakek tua baju hitam berseru lantang: "Semula aku hendak menggusur kau kembali ke Siaulim-
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
si, tapi aku sendiri pernah menegakkan aturan, menghadapi angkatan muda, aku hanya boleh
sekali turun tangan, hari ini terhitung kau mendapat keuntunganku, jagalah dirimu berbuatlah baik
dan bertindak benar. Kalau tidak bertobat dan insyaf, biarlah para hwesio dari Siau-lim-si yang
akan mengurus kau." Waktu Sa Mi-wan bergebrak dengan kakek tua baju hitam, Ci Coh lekas mencemplak naik ke
punggung kuda melarikan diri ke bawah gunung. Kakek tua baju hitam berpaling dan katanya
tertawa: "Celaka, satu yang lain pun melarikan diri, aku memang sudah terlalu tua, tidak berguna lagi. Ah,
apakah kau ini Miao Tayhiap Miao Tiang-hong?"
Tersipu-sipu Miao Tiang-hong maju memberi hormat, katanya:
"Mana berani wanpwe disebut Tayhiap. Terima kasih akan budi pertolongan cianpwe, harap tanya, siapa
nama besar lo-cianpwe?"
"Aku tiada tempo mengobrol dengan kau, Lim Bu-siang kau kan kenal dia bukan?"
"Lo-cianpwe ada pesan apa?"
"Nanti sebentar boleh kau beri-tahu kepadanya, sekarang aku belum bisa menemui dia, suruh dia lekas
pulang ke Thay-san. Soal kau dan aku, kelak kalau ada kesempatan bertemu, biarlah bicara lain kesempatan saja." Tanpa menyebut namanya, tahu-tahu bayangannya sudah
menghilang dalam sekejap mata. Miao Tiang-hong tahu, tokoh-tokoh kosen sering kali mempunyai watak
yang aneh, meski ia merasa kecewa, namun ia tidak heran dibuatnya.
(Bersambung ke Jilid 4) Jilid 4 Tiba-tiba didengarnya kicauan seekor burung yang nyaring merdu, waktu ia angkat kepala dilihatnya
seekor burung berbulu hijau mulus sedang terbang di atas kepalanya. Dari kejauhan terdengar suara
suitan melengking tinggi, jelas itulah suitan si kakek tua tadi, burung itu segera pentang sayap terbang
lebih cepat ke arah datangnya suara, sebentar saja sudah tak kelihatan
lagi. Tak lama kemudian betul juga dilihatnya Lim Bu-siang sedang lari mendatangi. Melihat Miao Tiang-hong
sudah tentu Lim Bu-siang amat girang, namun ia tidak sempat ajak bicara urusan lain, tanyanya: "Miao-
toako, kiranya kau berada di sini, apa kau melihat burung hijau?"
"Nona Lim, kau lari-lari di Cu-lay-san ini, hanya untuk menangkap burung berbulu hijau itu?"
"Burung hijau itu adalah peliharaan seorang tokoh misterius, tokoh kosen ini pernah menolong aku, aku
ingin bertemu dengan beliau."
"Kalau begitu tidak usah kau pergi mengejarnya."
"Hah, jadi kau sudah bertemu dengan beliau?"
"Dia suruh aku memberitahu kepadamu, katanya sekarang belum waktunya dia menemui kau, suruh kau
segera pulang ke Thay-san."
"Kali ini burung hijau itu yang menuntun jalanku kemari, kukira cianpwe itu hendak menemui aku.
Ternyata hanya mengajakku kemari untuk bertemu denganmu."
"Burung hijau itu yang membawa kau kemari?"
"Burung hijau itu amat cerdik, tahun lalu waktu aku di Thay-san karena petunjuknya pula sehingga aku
berhasil menemukan ajaran silat cosu cikal bakal perguruan kami."
"Apa kau sudah tahu nama dan asal-usul cianpwe kosen itu?"
"Sejak itu beliau pernah dua kali membantu aku pula, namun selama ini laksana naga yang kelihatan
ekornya tidak kelihatan kepalanya. Tapi menurut hematku tokoh kosen yang misterius ini kemungkinan
adalah cianpwe dari perguruan kami sendiri."
"Lalu apa yang terjadi kali ini?"
"Apa tadi kau pun melihat Cong Sin-liong?"
"Ya, kulihat selebar mukanya berlepotan darah, naga-naganya dia dikejar oleh cianpwe itu sampai lari
terbirit-birit untuk menyelamatkan diri."
"Kejadian kali ini memang Cong Sin-liong hendak menjebak dan membokong aku, cianpwe itu sekali lagi
menolong jiwaku." Ternyata setelah berpisah dengan orang banyak di Yangciu, bersama Ciok Heng suami-istri Lim Bu-siang
langsung kembali ke Thay-san. Sepanjang jalan memang tiada terjadi apa-apa, tapi begitu mereka mulai
memasuki pedalaman pegunungan Thay-san, di luar dugaan mereka mengalami sesuatu.
Pada saat mereka tiba di daerah Cap-pwe-ban yang berliku-liku itulah mendadak disergap oleh musuh
yang sebelumnya memang sudah bersembunyi di sana.
Baru saja Lim Bu-siang sampai pada pengkolan gunung ketiga, para murid Hu-siang-pay sudah
mendapat kabar, dua orang di antaranya segera turun gunung hendak menyambut kedatangan
mereka, di saat mereka bertemu di pengkolan gunung yang melekuk itulah, dari pengkolan ke
empat di sebelah atasnya, tiba-tiba menggelundung turun dua batu sebesar meja. Salah seorang
murid itu karena tidak menduga dan terlambat menyingkir, seketika kena terjang roboh dan
tertindih luka parah. Batu masih terus menggelundung ke bawah dan akhirnya menyumbat jalan
mundur yang rada sempit itu.
Lim Bu-siang menceritakan kejadian tegang yang mendebarkan ini. Miao Tiang-hong pun
mendengarkan dengan kesima dan jantung berdebar, katanya: "Sepak terjang yang begini keji,
orang-orang yang hendak membokong kalian, kukira tidak melulu hanya Cong Sin-liong seorang
bukan?" "Ya, di samping itu ada tiga tokoh kosen dari aliran sesat yang bekerja sama dengan dia, dan itu baru
kami ketahui belakangan."
Lim Bu-siang melanjutkan ceritanya: "Keadaan waktu itu sungguh amat berbahaya, jalan gunung amat
sempit, lawan menyerang dari atas pada posisi yang menguntungkan, begitu batu besar digelundungkan
ke bawah, kami tiada tempat untuk mengembangkan ginkang menyelamatkan diri. Dalam sekejap saja,
Ciok-suso pun terluka keterjang oleh batu besar itu sampai terpental jatuh, di saat aku berlaku nekad
hendak menerjang ke atas mengadu jiwa sama
musuh, mendadak batu-batu berhenti tidak menggelundung lagi, terdengarlah di sebelah atas ada sebuah
suara serak tua lagi membentak: 'Cong Sin-liong, kalian mau*bertingkah dan sewenangwenang di tempat
lain, aku tidak perlu tahu, di Thay-san ini kalian berani mencelakai anak murid
Hu-siang-pay, aku tidak akan memberi kelonggaran lagi kepada kalian.', disusul terdengarlah
suara "plak, plak" yang nyaring dan keras beberapa kali, mungkin cianpwe itu sedang menghajar
Cong Sin-liong." "Sungguh menyenangkan!" tak kuasa Miao Tiang-hong bertepuk tangan. "Tamparan pada
pipinya itu memang cukup membuat Cong Sin-liong amat menderita, waktu aku melihat dia,
selebar mukanya berlepotan darah."
Lim Bu-siang berkata pula: "Setelah suara tamparan nyaring itu, lalu terdengar pula jeritan
keras berulang kali, seperti babi hendak disembelih. Waktu aku memburu naik ke atas, tampak ketiga
tokoh kosen dari aliran sesat itu sudah rebah di atas tanah, sedang Cong Sin-liong sudah melarikan diri.
Dari tempat yang tinggi, lapat-lapat sempat kulihat Ciangpwe itu sedang mengejarnya dengan kencang."
"Siapa ketiga tokoh-tokoh dari aliran sesat itu?"
"Aku hanya kenal satu di antaranya yang bernama Lau Coan-yu dari Khong-tong-pay."
Miao Tiang-hong menghela napas, katanya: "Dari lekukan ke tiga lari ke lekukan ke empat, jarak dekat
yang hanya memerlukan beberapa detik saja. Cong Sin-liong sebagai seorang kosen kelas wahid, dua
orang yang lain tidak diketahui, namun kepandaian silat Lau Coan-yu itu teramat
lihay, namun cianpwe itu ternyata dalam waktu singkat berhasil menampar Cong Sin-liong, merobohkan
ketiga tokoh aliran sesat itu pula, maka dapatlah dibayangkan sampai di mana tingkat kepandaian silatnya. Menurut dugaanku, kalau cianpwe itu mau mengambil jiwa Cong Sinliong. pastilah segampang
beliau membalikkan tangan, memang sengaja dia pura-pura tidak berhasil mengejarnya, maka beliau
tidak menamatkan riwayat Cong Sin-liong."
"Memang kuduga cianpwe itu adalah angkatan tua perguruan kami. Apa yang beliau lakukan hanyalah
hajaran setimpal terhadap murid yang murtad, tapi karena mengingat sesama perguruan maka dia tidak
tega membunuh Cong Sin-liong."
"Cong Sin-liong dibuat begitu ketakutan sampai lari pontang-panting, kukira hukuman ini sudah cukup
setimpal bagi dirinya."
"Semoga sejak sekarang dia suka bertobat dan insyaf akan kese-satannya." Lalu Lim Bu-siang
melanjutkan ceritanya. "Dari tempat yang tinggi sempat kulihat cianpwe itu sedang mengejar
Cong Sin-liong, sekejap mata mereka sudah pergi jauh dan tidak kelihatan lagi."
"Di saat aku mengeluh sayang kehilangan kesempatan untuk bertemu muka dengan cianpwe
itu, tiba-tiba burung hijau itu muncul di hadapanku, terbang rendah pelan-pelan, naga-naganya
sengaja hendak menuntun jalan."
"Untung luka Ciok-suso tidak berat, setelah murid yang terluka berat itu kuserahkan kepada
mereka suami istri untuk merawatnya, kuminta pula mereka menggusur ketiga tawanan dari aliran sesat
itu. Segera aku lari menguntit sampai tiba di sini, siapa tahu aku tetap gagal untuk bertemu dengan
beliau." "Dari nada bicara cianpwe itu, kelak pasti dia akan menemui kau sendiri. Cong Sin-liong, Boh Cong-tiu
dan Ciok Tio-ki dan lain-lain bukankah berintrik hendak membuat keonaran pada upacara sembahyang
besar di Giok-hong-ting, bukan mustahil cianpwe kosen itu bakal muncul pada saat itu."
"Semoga seperti katamu, oh, ya, aku belum sempat tanya kau. Waktu aku naik gunung tadi,
agaknya kudengar suara beradunya senjata tajam, dengan siapa kau sedang berkelahi?"
"Dengan Piaukomu Boh Cong-tiu itu. Tapi aku belum sempat bergebrak sama dia, yang sudah kulabrak
tadi adalah komplotannya, yaitu murid murtad dari Siau-lim-si yang bernama Sa Mi-wan.
Di saat aku hendak bertanding dengan Piaukomu itulah, cianpwe itu kebetulan tiba."
Bertaut alis Lim Bu-siang, ujarnya: "Lagi-lagi dia! Mungkin dia lari ketakutan melihat
kedatangan cianpwe itu."
"Sedikit pun tidak salah, mendengar suaranya saja dia lantas lari terbirit-birit, rasa takutnya agaknya jauh
lebih besar dari Cong Sin-liong. Mungkin setelah kejadian hari ini, rencana mereka
untuk membuat onar di Giok-hong-ting itu mereka batalkan."
"Kejadian hari ini kukira memang sengaja dilakukan oleh cianpwe itu untuk memberi peringatan kepada
mereka, selama ini beliau selalu membantu segala kesulitanku secara sembunyi. Tapi tiada jeleknya aku
tetap mempersiapkan segalanya, menunggu kedatangan mereka." Lalu ia berkata pula: "Miao Tayhiap,
sejak berpisah secara tergesa-gesa di Yangciu tempo hari, memang aku ingin bisa bertemu pula denganmu. Ada sebuah urusan hendak aku mohon bantuanmu. Locianpwe itu sengaja membawaku
kemari untuk bertemu denganmu, seolah-olah beliau sudah tahu isi hatiku."
Miao Tiang-hong melengak, katanya: "Urusan apa nona Lim, silakan katakan saja."
"Bukankah kau hendak pergi menemui Ci-lo cici?"
"Benar ada omongan apa yang ingin kau katakan kepadanya?"
"Dia adalah teman baikmu dengan Beng-toako, aku pun amat mengaguminya. Tempo hari aku pernah
pergi ke Sam-ho, sayang tidak sempat bertemu muka. Ada sebuah kado yang tidak berarti, hendak kumohon bantuanmu untuk memberikan kepadanya."
Sembari bicara ia keluarkan sebuah kotak dari kayu cendana, katanya lebih lanjut: "Inilah sebatang jinsom pemberian bibi Utti kepadaku, setelah melahirkan badan Hun-cici amat lemah, dia amat
memerlukan obat ini."
Miao Tiang-hong menerima kado itu, katanya: "Terima kasih akan perhatianmu terhadapnya!"
"Kalau aku sendiri belum sempat bertemu muka langsung dengan dia, apa lagi bicara, namun hatiku
merasa dekat sekali di sampingnya. Kalian amat memperhatikan keadaannya, aku pun amat prihatin akan
kesehatannya." Miao Tiang-hong rada jengah akan kelepasan omongnya sendiri, katanya menyengir: "Ci-lo pun amat
ingin berkenalan denganmu, sedemikian tebal rasa persahabatanmu terhadapnya aku pasti
akan menyampaikan kebaikanmu ini kepadanya. Ada omongan apa lagi?"
"Tolong beritahukan kepadanya, Beng-toako amat rindu kepadanya, setelah badannya sehat kembali,
diharap dia suka pergi ke Siau-kim-jwan."
"Apakah Goan-cau yang suruh kau menyampaikan hal ini?"
"Dia tidak berkata demikan, tapi aku tahu maksud hatinya. Percaya aku tidak salah mengatakan isi hatinya ini."
Miao Tiang-hong jadi terharu, sesaat ia kemekmek dan tak kuasa bersuara.
"Miao Tayhiap di samping itu masih ada sebuah hal, kuminta kau mencari tahu sepintas lalu."
"Dengan Goan-cau aku sudah sebagai saudara angkat, aku tidak perlu sungkan terhadap kau.
Boleh kau meniru Goan-cau panggil aku Miao toako saja, jangan selalu memanggilku "Tayhiap"
membuat kuping gatal saja. Hal apa yang kau katakan?"
"Baik, aku tidak sungkan lagi memanggilmu Miao-toako. Di dalam bulim ada seorang cianpwe bernama
Cau Siok-toh, kabarnya kau punya hubungan yang intim dengan beliau?"
"Memang, dia sahabatku lama sejak aku masih dalam perguruan dulu."
"Cau-cianpwe punya seorang putra bernama Cau Ho-lian, kabarnya sudah menghilang hampir satu tahun. Cau-cianpwe hanya punya seorang putra ini, beliau amat gugup gelisah dan sedang mencarinya
ke mana-mana." "Ya, kejadian itu aku pun tahu jelas. Apa kau sudah berhasil mendapat tahu jejak Cau Ho-lian
itu?" "Beginilah persoalannya, Cau-cianpwe ada minta para kawan dari berbagai aliran untuk
menyirapi kabar berita anaknya itu, partai kami pun pernah mendapat pesan langsung dari Kim
Tiok-liu toako. Waktu aku kembali ke Thay-san kali ini, ada murid kami yang memberi lapor
sebuah kabar, mungkin ada sangkut pautnya dengan Cau Ho-Iian itu."
Miao Tiang-hong menjadi girang, tanyanya: "Kabar apa itu?"
"Miao-toako, dalam perjalananmu ke utara kali ini, apa boleh kau lewat Bo-seng, menyeberangi
Huangho." Bo-seng adalah sebuah kota kecil yang terletak di pinggir Huang-ho sebelah selatan.
"Ya, memang aku hendak menempuh ke jalan sana."
"Di Huang-ho ada sebuah sindikat gelap bernama Ngo-Iiong-pang, markas pusatnya didirikan di
Bo-seng, pangcunya bernama Yu Tay-coan. Apa Miao-toako kenal orang ini?"
"Aku kenal namanya saja, belum pernah bertemu. Kenapa, apa dia tahu jejak Cau Ho-lian?"
"Mungkin Cau Ho-lian justru berada di dalam Ngo-liong-pang-nya itu."
"Cau Siok-toh adalah teman baikku, menurut apa yang kutahu, selamanya dia tidak pernah
bergaul dengan orang-orang dari golongan sesat. Cau Ho-lian adalah putranya, sebagai bocah
hijau yang belum pernah keluar pintu, dia belum tahu sampai di mana pergaulan ayahnya, mana
mungkin berhubungan dengan pihak Ngo-liong-pang?"
"Urusan ini sampai sekarang belum dibikin jelas, lebih baik biar kujelaskan sejak mula
kejadiannya saja." "Ciok-suheng punya seorang murid asal dari Bo-seng, bulan yang lalu dia pulang ke rumah
menengok keluarga, beberapa hari itu dia terlalu iseng, maka mengundang beberapa teman
makan minum di rumah makan Gi-ciau-lau yang paling terkenal di Bo-seng. Arak dari Gi-ciau-lau
amat ternama di seluruh dunia. Miao-toako, tentunya kau sudah tahu."
"Bukan saja tahu, aku sendiri pernah dua kali menikmatinya di sana. Sepuluh tahun yang lalu,
di Gi-ciau-lau pernah terjadi suatu peristiwa besar yang menggetarkan kangouw, salah satu orang
yang melakukan peranan utama pada kejadian itu adalah Kim-toakomu itu. Tentunya kau tahu
lebih jelas dari aku bukan?"
"Maksudmu waktu Kim-toako dan Le Lam-sing toako bergabung menempur Liok-hap-pang
Pangcu Su Pek-toh itu."
"Tepat. Pertama kali aku menikmati arak Gi-ciau-lau adalah tiga hari setelah peristiwa besar itu.
Waktu itu aku belum kenal Kim Tayhiap, kudengar cerita orang lain, aku sudah menaruh simpati
dan ingin berkenalan. Maka sengaja aku bekunjung ke Gi-ciau-lau itu untuk menikmati araknya.
Kedua kalinya terjadi pada tahun yang lalu, seperti kejadian kali ini, aku pun sedang dalam
perjalanan ke utara menuju ke kota raja. Karena ingin menikmati arak enak dari Gi-ciau-lau,
sengaja aku putar lewat Bo-seng. "Ah, kenapa jadi aku yang ngelantur, ayolah kau lanjutkan
ceritamu." "Kejadian yang dilaporkan oleh murid perguruan kami itu, seolah-olah kejadian sepuluh tahun
yang lalu itu diulang kembali. Sudah tentu dalam hal ini, tokoh-tokoh orangnya sudah ganti."
Miao Tiang-hong kaget, tanyanya: "Apa Cau Ho-lian memerankan diri seperti Kim Tayhiap dulu"
Siapa yang jadi Su Pek-toh" Memangnya Ngo-liong-pang Pangcu Yu Tay-coan?"
"Duduk perkaranya belum dibikin terang, hanya diketahui bahwa hari itu pernah terjadi
seseorang berkelahi dengan orang-orang Ngo-liong-pang di Gi-ciau-lau, apakah orang itu benar
Cau Ho-lian pun belum berani dipastikan."
"Apakah murid perguruannju itu yang melihatnya sendiri?"
"Bukan. Dia pun mendengar cerita temannya. Hari itu dia pergi ke Gi-ciau-lau untuk menepati
undangan perjamuan itu, waktu ia tiba di simpang jalan, dari kejauhan terdengar di atas loteng Giciau-
lau terjadi keributan, orang saling bentak dan maki, disusul suara barang pecah belah yang
jatuh berantakan, sepintas dengar jelas, bahwa ada orang berkelahi di atas loteng."
"Di saat ia ragu-ragu apa terus menuju ke Gi-ciau-lau, tiba-tiba dilihatnya teman undangannya
itu lari tersipu-sipu menghampiri dirinya, katanya ada seorang pemuda sedang berkelahi dengan
Yu Tay-coan di atas Gi-ciau-lau. Temannya itu seorang penakut, maka lekas-lekas mencegat di
tengah jalan serta menariknya ke tempat lain."
"Memangnya kenapa mereka bisa curiga bila pemuda itu adalah Cau Ho-lian?"
"Teman itu memang penakut, namun dia pun seorang kaum persilatan, begitu pemuda itu
turun tangan, dia lantas mengenal ilmu yang dia mainkan adalah Hou-jiau-kin-na-jiu."
Miao Tiang-hong manggut-manggut. "Benar, Hou-jiau-kin-na-jiu memang ilmu tunggal dari
keluarga Cau, yang berkelahi dengan Yu Tay-coan seorang pemuda lagi, tak heran timbul rasa
curiga kalian." "Namun kami masih belum berani memastikan kalau pemuda itu Cau Ho-lian adanya, hanya
berani mengatakan kemungkinan besar adalah dia. Untuk ini harap di waktu kau tiba di Bo-seng,
ikut menyi-rapinya biar terang duduk persoalannya."
"Bagaimana akhir dari perkelahian itu" Apakah mendapat kabar kelanjutannya?"
"Setelah kejadian itu mereka pernah pergi mencari tahu, kabarnya pemuda itu sudah tertawan
oleh orang-orang Ngo-liong-pang."
"Tertawan?" alis Miao Tiang-hong berkerut, "Yu Tay-coan aku tidak kenal, tapi bagaimana
martabatnya aku pernah dengar, sepak terjangnya pun tidak terlalu jahat, demikian pula aku amat
jelas mengetahui watak Cau Ho-lian, dia bukan pemuda bangor dan tidak congkak, tidak mungkin
tanpa alasan dia berkelahi dengan orang. Apa kalian tahu sebab musabab dari perkelahian itu?"
"Hari itu banyak orang yang sedang minum di atas Gi-ciau-lau, teman itu semula tidak menaruh
perhatian, maka dia pun tidak tahu kenapa mendadak mereka menjadi bentrok" Belakangan
mencari tahu kepada orang, namun tiada orang yang berani menerangkan. Meski Ngo-liong-pang
bukan suatu sindikat jahat yang besar kekuasaannya, namun di sepanjang sungai Huang-ho
mereka memang punya sedikit pengaruh."
"Persahabatanku dengan Cau Siok-toh lain daripada yang lain, urusan ini serahkan saja
kepadaku, pasti akan kuselidiki biar terang. Kukira Yu Tay-coan itu pun tidak akan berani
membunuh putranya Cau Siok-toh."
Tiga hari kemudian, Miao Tiang-hong sudah tiba di Bu-seng, karena waktu masih terlalu pagi,
maka langsung ia menuju ke Gi-ciau-lau dulu, sekaligus untuk mencari berita di sana baru akan
berkepu-tusan bagaimana bertindak selan-jutnya.
Waktu ia tiba di Gi-ciau-lau, lohor sudah lewat, namun sang surya belum tenggelam. Pada saat
mana merupakan suasana yang paling sepi dan jarang ada tamu makan minum di Gi-ciau-lau. Di
atas loteng Gi-ciau-lau hanya terdapat seorang tamu belaka.
"Miao-toaya, angin apa yang menghembusmu kemari?" pelayan segera menghampiri dan
menyapa lebih dulu. Kiranya sejak dua kali berkunjung ke Gi-ciau-lau ini dulu, dia sudah
bersahabat dengan pelayan satunya ini.
"Siau-ji-ko, tak nyana kau masih ingat aku."
"Kami sekeluarga selalu terkenang kepadamu, semalam istriku berdoa entah kapan bisa
bertemu dan mengharap kedatangan Miao-toaya minum arak di sini, ternyata hari ini kenyataan
kau orang tua datang. Tahun yang lalu untunglah kau suka membantu..."
"Kau sudah lupa apa pesanku dulu," tukas Miao Tiang-hong tertawa. "Lekaslah kau bawakan
arak yang paling enak."
Pelayan itu mengiakan dan terus berlalu. Karena iseng Miao Tiang-hong menikmati tulisan dan
gambar-gambar yang terpajang di sekeliling tembok, dasar hobbynya memang sastra MiaoTianghong
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampai asyik menikmati syair-syair ciptaan pujangga-pujangga kuno yang tergantung di
sekelilingnya. Di saat ia menikmati gambar-gambar tulisan itulah, pandangannya bentrok pada
sesuatu yang menarik perhatiannya, seketika Miao Tiang-hong melenggong.
Pada sebuah baris syair yang tulisannya rada renggang, dilihatnya pada kertas putih yang halus
itu ada bekas goresan kuku jari yang dalam. Di sebelah bawahnya lagi pada dinding lapat-lapat
kelihatan ada bekas telapak tangan orang, meski tidak menyolok, tapi bagi pandangan seorang
ahli, jelas diketahui bahwa itulah telapak tangan manusia.
Miao Tiang-hong kaget, semula ia sangka perbuatan Cau Ho-lian yang kurang hati-hati, hampir
saja dia merusak tulisan peninggalan kuno yang berharga ini. Maklum Hou-jiau-kin-na-jiu
mengutamakan gerakan mencengkeram dan menyobek, kalau salah satu orang yang berkelahi itu
benar adalah Cau Ho-lian, maka bekas-bekas telapak tangan ini terang peninggalan tangannya.
Tapi dengan seksama segera ia perhatikan lagi, seketika timbul pula curiganya, pikirnya: "Agaknya
seperti kepandaian Toa-jiu-in dari ajaran para pendeta dari aliran Mi-ciong di Tibet, Yu Taycoan
Pangcu dari Ngo-liong-pang jelas tidak mahir ilmu seperti ini, keahliannya pun bukan pada pukulan
tangan. Dan lagi bagi orang yang mahir menggunakan Toa-jiu-in, meski tingkatannya masih
rendah, sekali pukul dia pun bisa menghancurkan batu hijau, telapak tangan menekan dinding,
bekas telapak tangannya pasti cukup dalam, tidak mungkin seringan ini."
Baru saja Miao Tiang-hong hendak maju mendekat, pelayan itu sudah mendatangi, membawa
makanan dan minuman, ujarnya tertawa: "Miao-toaya, inilah Loan-hoa-pek simpananku sendiri,
coba kau rasakan wangi tidak" Inilah ikan lehi segar dari Huang-ho yang paling kau sukai."
Baru sekarang Miao Tiang-hong berpaling, dilihatnya seorang tamu yang lain itu entah kapan
sudah tiada di tempatnya. Miao Tiang-hong tertawa, katanya: "Untunglah keadaan sedang sepi.
Siau-ji-ko, sekarang kau rada senggang bukan?"
"Kau orang tua ada pesan apa?"
"Ayolah duduk temani aku makan minum." Tanpa banyak rewel ia tarik orang duduk di
depannya. Ternyata pelayan ini seorang periang, ia pun tidak sungkan-sungkan lagi.
Setelah minum dua cangkir, mulailah Miao Tiang-hong bicara secara langsung: "Kabarnya
beberapa waktu yang lalu, di tempat ini ada tamu-tamu yang berkelahi, apa benar?"
"Siapa bilang tidak benar, lihatlah di atas dinding masih ada bekas-bekas perkelahian itu!"
"Aku ingin tahu kejadian hari itu, sudikah kau menceritakan kepadaku?"
"Terhadap orang lain aku tidek berani bicara, kepada Miao-toaya yang pernah menolong kami
sekeluarga, akan kujelaskan. Peristiwa itu terjadi tanggal delapan belas bulan yang lalu, ada
seorang tamu muda berkelahi dengan orang-orang Ngo-liong-pang di sini."
"Karena soal apa mereka sampai berkelahi?"
"Waktu itu tamu penuh sesak, semula aku sendiri tidak memperhatikan. Belakangan kulihat Hupangcu
Ngo-liong-pang menghampiri si pemuda itu, waktu itu pemuda itu sedang duduk
bercakap-cakap dengan seorang tamu lain, apa yang dikatakan aku sih tidak memperhatikan.
Begitu tiba di samping, Hu-pangcu Ngo-liong-pang itu mendadak berseru dengan suara keras:
'Kau hendak tahu kejadian dalam pertemuan besar di Thay-san" Mari kau ikut aku, biar kututurkan
kepada kau.' Sembari bicara tangannya diulur menangkap si pemuda. Begitulah mereka lantas
berkelahi." "Menurut apa yang kau lihat, sikap bicaranya itu mengandung maksud baik atau jahat?"
"Agaknya bermaksud tidak baik. Karena matanya mendelik mukanya menyeringai dingin!"
Golok Sakti 8 Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Anak Berandalan 10