Pencarian

Kelana Buana 3

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 3


Menghadapi seluk beluk dan urusan dalam laskar memang dia jauh lebih bersemangat dan
gairahnya memang lebih besar dari pada Song Theng-siau.
Membawa hati yang menyala dan gembira Song Theng-siau meninggalkan pedalaman yang
penuh ditaburi salju dan semak belukar itu, langsung kembali ke Soh-ciu, kebetulan ia tiba di
Kanglam pada musim semi. Lima tahun sudah ia meninggalkan kampung halamannya, apakah Hun Ci-lo masih dalam
keadaan dulu" Tentu dia tumbuh lebih matang lebih cantik" Melihat aku kembali betapa dia akan
kegirangan" Karena ingin segera bisa ketemu dengan Hun Ci-lo belum lagi Song Theng-siau pulang ke
rumah sendiri sudah meluruk ke rumah Ci-lo lebih dulu, sepanjang jalan pikirannya
membayangkan berbagai kemungkinan, akhirnya ia tiba di depan rumahnya.
Kembang buah Tho di halaman rumah sedang mekar semerbak, tapi pintu besar rumah Hun Cilo
tertutup rapat. Song Theng-siau merasa sangat heran, kenapa siang hari bolong kok tutup
pintu" Menekan jantungnya yang berdebur keras, ia menggedor pintu sekeras-kerasnya, "Ci-lo, Ci-lo,
lekas buka pintu! Coba kau lihat siapa yang sudah kembali?"
"Blum, blum, blum!", yang dia dengar cuma suara gedoran pintu melulu, tanpa mendapat
penya-hutan suara Hun Ci-lo.
Entah berapa lama dan berapa kali ia berteriak-teriak dan menggedor semakin keras, akhirnya
ada seseorang kena dikejutkan oleh keributan ini dan memburu keluar. Tapi orang itu bukan Hun
Ci-lo seperti yang diharapkannya. Orang ini adalah Ong-toama, seorang tetangga Hun Ci-lo.
Ong-toama adalah perempuan yang sudah lanjut usia, sekian lama ia mengamat-amati Song
Theng-siau, akhirnya baru mengenalnya, teriaknya merasa di luar dugaan: "Oh, kiranya kau Songsiauya.
Kau sudah pulang!" Cepat Song Theng-siau bertanya: "Ke mana nona Hun?"
Ong-toama menghela napas, sesaat baru ia berkata: "Song-siauya, kau datang terlambat! Nona
Hun, dia, dia..."--Ong-toama tahu akan isi hati Song Theng-siau.
Deburan jantung Song Theng-siau serasa hendak melonjak keluar, tanyanya dengan suara
gemetar: "Kenapa dia?"
"Mereka ibu beranak sudah lama meninggalkan rumah ini!"
"Kapan mereka pergi" Apa dia ada memberitahu hendak pindah ke mana?"
Ong-toama menggeleng kepala, sahutnya: "Setelah kalian pergi kira-kira setengah tahunan,
mereka pun lantas meninggalkan Soh-ciu, aku sendiri tidak tahu ke mana tujuan mereka. Waktu
Hun-toaseng (ibu Ci-lo) hendak berangkat, dia ada berpesan kepadaku supaya menunggu
rumahnya baik-baik. Setiap bulan aku pasti kemari untuk membersihkan rumah ini."
"Kenapa mereka pergi?"
"Ini, ini..." "Ong-toama kau mesti tahu, harap suka beritahu aku, beritahu kepadaku!"
"Ai," Ong-toama menghela, napas lagi, akhirnya ia membuka kata: "Nona Hun sudah menikah!"
Seketika Song Theng-siau melongo dan menjublek seperti patung, hampir ia tidak mau percaya
akan pendengaran kupingnya.
Ong-toama menggeleng kepala, dengan lemah lembut ia membujuk: "Sudah lima tahun dia
menikah. Song-siauya, kau tidak perlu bersedih. Masih banyak perempuan cantik di kolong langit
ini..." Song Theng-siau menenangkan pikirannya, lalu berkata: "Tidak, aku ingin tahu kepada siapa
dia menikah?" "Kabarnya seorang yang dipanggil Nyo-toaya."
"Orang macam apakah orang she Nyo itu?"
Ong-toama menggeleng kepala lagi, sahutnya: "Aku tidak tahu. Nyo-toaya itu menetap dua
malam di rumah ini, hari ketiga mereka bertiga lantas berangkat bersama. Semula kusangka Nyotoaya
itu adalah famili jauh mereka, waktu mereka hendak berangkat, Hun-toaseng baru
memberitahu bahwa dia adalah calon mantunya. Kuduga mereka pergi karena mendapat
perlindungan mantunya itu. Sayang aku nenek tua ini tidak suka campur urusan orang lain, aku
tidak mencari tahu orang manakah sebenarnya Nyo-toaya itu, maka aku pun tidak bisa memberi
jawaban kepadamu." Inilah suatu kejadian yang tidak bisa dibayangkan sebelummnya, selamanya Song Theng-siau
tidak pernah mendengar keluarga Hun mempunyai seorang sahabat kental she Nyo, kalau begitu
berarti Hun Ci-lo baru berkenalan dua hari lamanya, mana bisa begitu gampang lantas-menikah
begitu saja dengan orang itu"
Kira-kira setengah tahun yang lalu baru dia berhasil mencari tahu. Ternyata Nyo-toaya yang
dimaksud itu adalah guru silat kenamaan di Siok-ciu yang bernama Nyo Bok.
Cepat-cepat ia menyusul ke Siok-ciu tujuannya adalah hendak berjumpa dengan Hun Ci-lo, tak
terduga kejadian justru sudah berubah sama sekali, hal ini benar-benar di luar dugaannya.
Entah Nyo Bok ini benar-benar mati atau hanya pura-pura, tapi paling tidak untuk sementara
jejaknya menghilang. Dari kenyataan yang dianalisa oleh Kwi-hwe-thio, peristiwa yang misterius
ini tentu ada sangkut paut yang erat dengan Beng Goan-cau.
Tapi kenapa Hun Ci-lo rela menikah dengan Nyo Bok" Teka-teki ini masih belum dapat ia
pecahkan. Lalu ke mana pula sekarang ibunda Hun Ci-lo" Semula ia pun punya pikiran yang sama dengan
Ong-toama, sangkanya Hun-hujin tentu menetap bersama mantunya, setelah tiba di Siok-ciu baru
ia tahu, bahwa tahun itu Nyo Bok cuma membawa pulang mempelai atau istrinya yang baru saja
menikah, bahwasanya ia tidak pernah membawa pulang ibu mertuanya.
Akan tetapi persoalan ini sekarang dia pun tidak keburu hendak mengetahui, sebab sekarang ia
sudah paham orang yang dicintai Hun Ci-lo bahwasanya bukan dirinya, maka bila dia sudah
menikah dengan Nyo Bok atau menikah dengan Thio Sam atau Li Si tiada sangkut pautnya lagi
dengan dirinya. Sudah tentu dalam hal ini sedikit banyak ia masih rada ingin tahu seluk-beluk yang
sesungguhnya. Pula ia pun merasa rada penasaran bagi sahabat karibnya itu. Meski Nyo Bok
adalah seorang guru silat yang cukup tenar, tapi dalam pandangan hatinya, Hun Ci-lo menikah
dengan Nyo Bok berarti burung cenderawasih ikut dengan burung gaok.
Bagi Song Theng-siau, tugas yang terpenting sekarang dia harus lekas-lekas menemukan Hun
Ci-lo untuk menyerahkan putranya kembali. Kalau tidak tugas untuk mengasuh dan membimbing
bocah sekecil ini sampai besar, wah tugas ini terasa amat berat bagi dia. Soalnya sekarang dia
sendiri tiada punya pegangan dapat menemukan jejak Hun Ci-lo.
Setelah perutnya kenyang Nyo Hoa menggayut di atas batang pohon, mungkin saking lelah
tanpa sadar ia jadi tertidur pulas, waktu ia bangun siuman pula dilihatnya Song Theng-siau masih
berdiri di tempatnya dengan menjublek, tapi mukanya mengulum senyum manis, tidak seperti tadi
berwajah kaku tidak punya perasaan. Nyo Hoa jadi heran, sambil mengucek-ucek matanya ia
melompat bangun seraya berseru: "Paman, apa yang sedang kau pikirkan, sekarang kita bisa
berangkat bukan?" "Baik, sekarang juga kubawa kau mencari ibumu."
Nyo Hoa berjingkrak girang, serunya: "Apa benar" Jadi tidak lama lagi aku sudah bisa ketemu
ibu?" "Jangan kau tergesa-gesa, kutanggung kau bakal ketemu dengan ibumu. Kalau hari ini tidak
berhasil, paling lama satu bulan pasti sudah dapat kita ketemukan."
Beng Goan-cau sudah pulang ke Soh-ciu, ia tahu Hun Ci-lo pasti juga akan pulang ke Soh-ciu
untuk menemui Beng Goan-cau. Bukan mustahil di waktu ia sampai di rumah kebetulan mereka
pun sedang menunggu kedatangannya.
-ooo00d0w00k0z0ooo- Hari sudah magrib, cahaya matahari yang kekuning-kuningan menyinari sebuah pedesaan kecil
di luar kota Soh-ciu, pancaran cahaya emas yang kemilau membuat pedesaan yang nyaman dan
menyegarkan ini laksana terdapat di dalam sebuah lukisan belaka.
Seorang perempuan yang mengenakan pakaian hitam sedang berlenggang di jalanan desa
yang berlika-liku itu seorang diri. Pemandangan pedesaan kecil yang indah ini memang sudah
sangat dikenalnya, sekali berpisah delapan tahun sudah berselang, hari ini kembali ia pulang ke
kampung halaman, pemandangan masih tetap seperti sedia kala, tapi perasaan hatinya sekarang
jauh berlainan. Dugaan Song Theng-siau memang tidak meleset, perempuan berpakaian hitam ini memang
bukan lain adalah Hun Ci-lo. Soalnya Song Theng-siau menempuh perjalanan sambil membawa
anak kecil sudah tentu jauh lebih lambat kedatangannya. Waktu itu Song Theng-siau masih berada
di tengah jalan, sementara dia sudah beranjak di kampung halaman, di mana dia dulu dibesarkan,
tempat dia bermain di waktu kecil.
Delapan tahun yang lalu sambil menahan air mata ia keluar dari pedesaan kecil ini, tatkala itu
pujaan hatinya berada jauh di ujung barat sana. malah mati hidupnya juga tidak diketahui sama
sekali. Hari ini dia kembali, keadaan masih tetap indah, meski orang yang selalu dipuja dan dikenang
itu berada di depan mata, namun perasaannya tidak segembira dan seriang dulu.
Selama delapan tahun ini, setiap saat setiap waktu, malah dalam impian pun ia sangat
mengharap dapat berjumpa kembali dengan Beng Goan-cau! Tapi di kala harapan yang selalu
dinanti-nanti itu bakal terlaksana, sekarang sebaliknya dia menjadi takut bertemu dengan Beng
Goan-cau. "Aku tahu Goan-cau akan dapat memaafkan aku, tapi kejadian masa silam yang merunyamkan
ini, cara bagaimana aku harus menjelaskan kepadanya?"-Matahari sudah terbenam, cuaca sudah
remang-remang, perasaan hati Hun Ci-lo, bak umpama pandangan mata yang gelap ini. Semakin
dekat dengan rumahnya, hatinya semakin gundah dan gelisah.
Dia sudah ingin melupakan kejadian masa silam, tapi mau tidak mau ia harus mengenangnya
pula. Dua bulan setelah Goan-cau berangkat, perutnya yang semakin membesar sudah tidak
mungkin dapat mengelabui orang lagi, terpaksa ia memberitahukan hubungan rahasia itu kepada
ibunya. Sebetulnya umpama dia tidak memberitahu, ibunya pun sudah lama mengetahui
keadaannya. Tapi ibunya tidak menyalahkan atau memarahi dia, sebab waktu pertama kali Beng Goan-cau
datang, sejak itu pula ibunya sudah mengharap pada suatu ketika Beng Goan-cau bakal, menjadi
mantunya. Tapi sebelum menikah secara resmi putrinya lantas melahirkan anak, kejadian ini
membuat ibunya serba susah.
Untung Beng Goan-cau ada janji paling lama satu tahun akan kembali, terpaksa ia hanya
berharap-harap dalam setengah tahun mendatang Beng Goan-cau benar-benar sudah pulang, dan
sebelum dia keburu pulang, terpaksa dia suruh putrinya selalu sembunyi di dalam kamar supaya
tidak dilihat orang luar.
Tak nyana belum lagi Beng Goan-cau pulang, secara tak terduga mereka mendapat sebuah
berita, berita yang jelek mengenai dirinya. Orang yang membawa berita buruk ini adalah murid
Kaypang yaitu Goan lt-tiong.
Dari itu waktu Goan lt-tiong tiba di rumah mereka ia ada memberitahu. katanya Song Thengsiau
dan Beng Goan-cau sama mendapat luka-luka yang amat berat, kalau Song Theng-siau masih
ada harapan, adapun Beng Goan-cau keadaannya sangat menguatirkan, bicara secara terus
terang mungkin saat mana dia sudah tidak berada di dunia fana lagi.
Goan It-tiong adalah seorang tabib sakti yang terkenal ilmu pengobatannya, terutama luka-luka
yang terkena racun berbisa, luka-luka yang dia anggap tidak bisa diobati, pasti orang itu akan
mati, dia adalah sahabat karib Kim-to Lu Siu-gun, soal Lu Siu-gun mewakili muridnya meminang
putri keluarga Hun pernah dibicarakan dengan dia, maka dia merasa dia punya tanggung jawab
untuk menyampaikan berita ini kepada ibu beranak keluarga Hun, supaya Hun Ci-lo tidak tersia-sia
masa remajanya. Namun dia tidak tahu bahwa Beng Goan-cau dan Hun Ci-lo bahwasanya belum lagi
bertunangan secara resmi akan tetapi Hun Ci-lo sudah mengandung anaknya Beng Goan-cau.
Belum selesai Hun Ci-lo mendengar penuturannya lantas jatuh pingsan. Waktu ia siuman pula
Goan It-tiong sudah lama pergi, hanya ibunya yang berada di sisinya.
Sambil mengalirkan air mata ibunya berkata kepadanya: "Anakku, memang nasibmulah yang
jelek, sekarang ada dua jalan harus kau pilih salah satu di antaranya."
"Dua jalan apakah itu?"
Berkatalah ibunya: "Kau tidak mungkin sembunyi untuk selamanya, kalau terpaksa harus pergi
ke tempat yang jauh. meninggalkan kampung halamanmu ini, atau sebaliknya kau harus lekaslekas
mencari suami yang lain, ada lebih baik kalau orang itu dari luar daerah, punya cita-cita
besar dan pandangan yang luas, sudi menjadi ayah bayi dalam kandunganmu pula."
Kedua jalan ini Hun Ci-lo tidak mau melakukannya.
Meskipun menurut penuturan Goan lt-tiong jiwa Beng Goan-cau lebih banyak ajal daripada
selamat, bagaimana juga ia belum lagi sempat melihat kematian Beng Goan-cau sesungguhnya,
maka Hun Ci-lo. masih mempunyai setitik harapan, semoga dia masih tetap hidup. Dia kuatir bila
kelak Beng Goan-cau pulang tidak menemukan dirinya.
Soal menikah dengan orang lain, ia lebih tidak sudi. Kalau dia diharuskan memilih satu di antara
kedua jalan itu, terpaksa dia lebih suka, memilih jalan yang pertama, meninggalkan tempat itu dan
pergi ke tempat nan jauh.
Sebetulnya ibunya pun hanya mengada-ada saja, mana ada orang yang demikian tepat dan
secara kebetulan bisa mereka cari dan dijodohkan kepada putrinya" Adalah di luar dugaan
mereka, kejadian justru sangat kebetulan, malah tanpa mereka cari calon suami Hun Ci-lo yang
diharapkan ini malah datang sendiri bertandang ke rumah mereka.
Di saat mereka sedang bersiap-siap untuk meninggalkan Soh-ciu, mendadak mereka
kedatangan seorang tamu, orang ini adalah Nyo Bok, guru silat ternama dari bilangan Siok-ciu.
Di waktu pertama kali kelana di kangouw dulu Nyo Bok pernah mendapat bantuan dari ayah
Hun Ci-lo, entah bagaimana ia berhasil mencari tahu alamat kediaman keluarga Hun ini, maka
sengaja ia datang bertandang.
Entah berapa banyak orang-orang yang pernah mendapat bantuan dan kebaikan ayah Hun Cilo,
semua kejadian itu boleh dikata Hun-hujin sudah sama melupakannya. Tapi meski ia tidak
punya kesan yang mendalam terhadap Nyo Bok ini, setelah bertemu muka dengan Nyo Bok, mau
tidak mau lantas terpikirlah akan perkawinan putrinya.
Dan yang lebih kebetulan lagi kedatangan Nyo Bok ini justru juga hendak meminang putri
keluarga Hun. Kiranya sejak lama ia sudah pernah dengar bahwa keluarga Hun mempunyai putri
tunggal yang cantik ayu, oleh karena itu meski ia tahu bahwa tuan penolongnya sudah ajal, ia
pura-pura menggunakan berbagai alasan untuk datang menyambangi mereka ibu dan anak.
Belum lagi Hun-hujin menjelaskan keadaan mereka yang serba runyam ini, Nyo Bok lantas
mengutarakan maksud kedatangannya.
Leluhur Nyo Bok juga keluarga persilatan, kepandaian silat Nyo Bok sendiri juga tidak lemah,
perjodohan ini boleh dikata cukup setimpal. Keluarga Nyo bertempat tinggal di Siok-ciu, seluruh
sanak kadang keluarganya belum pernah ada yang melihat Hun Ci-lo, maka di kala ia membawa
istrinya yang baru dinikah ini pulang, asal dia mau mengakui anak dalam kandungan Hun Ci-lo itu
sebagai anaknya, siapa yang akan tahu perihal borok ini.
Segala sesuatunya persis dan tepat atau sesuai dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Hunhujin,
tapi ibu Hun Ci-lo tidak segera memberi persetujuannya karena ada dua persoalan yang
mempersulit dirinya, pertama: ia harus mendapat persetujuan langsung dari putrinya, kedua:
umpama ia mendapat persetujuan dari putrinya, cara bagaimana nanti ia harus memberi
penjelasan soal kejadian yang memalukan ini kepada Nyo Bok.
Meskipun kedaan serba runyam, tapi Hun-hujin tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini,
maka pertama-tama ia harus membujuk putrinya sendiri.
Di bawah bujukan dan penjelasan ibunya, Hun Ci-lo tidak menganggukkan kepala, tapi juga
tidak menolak secara kekerasan seperti semula. Karena terpikir olehnya suatu cara tersendiri. Hari
kedua seorang diri ia langsung menemui Nyo Bok.
Secara terus terang ia membeberkan perihal dirinya bahwa dia sudah mengandung, dan lagi ia
mengajukan satu syarat, kalau Nyo Bok memang masih ingin mengawini dirinya, paling-paling ia
hanya bisa menjadi suami istri tidak resmi dengan Nyo Bok. Tapi harus menunggu selama tiga
tahun, jikalau Beng Goan-cau memang tidak ada kabar beritanya, baru ia menjadi keluarga Nyo
yang sesungguhnya. Semula ia sangka Nyo Bok tidak akan sudi meluluskan permintaannya ini, di luar dugaan, tanpa
ragu-ragu Nyo Bok memberikan persetujuannya, hal ini benar-benar di luar perhitungan Ci-lo
sendiri, tapi syaratnya sudah ia kemukakan sendiri, kalau toh Nyo Bok sudah setuju, terpaksa ia
harus menepati janji sendiri.
Mendapat penyelesaian ini, sudah tentu senang Hun-hujin bukan kepalang. Sebenarnya ia
sangat percaya akan keterangan Goan It-tiong, ia yakin bahwa Beng Goan-cau memang sudah
ajal di perantauan, lagi demi menghilangkan rasa bimbang sanubari putrinya, terpaksa ia
meluluskan permintaan putrinya, seorang diri ia menyusul ke Ki-lian-san untuk mencari tahu akan
kebenaran dari berita Beng Goan-cau.
Hun Ci-lo sudah berjanji kepada Nyo Bok, kalau dalam tiga tahun ia tidak memperoleh berita
Beng Goan-cau, baru dia rela menjadi istri Nyo Bok secara kenyataan.
Tiga tahun sebanyak seribu hari lebih, setiap siang malam, Hun Ci-lo selalu bermimpi sangat
indah, ia mengharap ibunya bisa lekas-lekas pulang bersama Beng Goan-cau, seandainya tidak
pulang bersama, paling tidak membawa berita Beng Goan-cau. ?
Tiga tahun sudah berselang, bukan saja ia tidak mendapat berita Beng Goan-cau, ibunya pun
tidak pernah kembali lagi.
Dalam tiga tahun ini, Nyo Bok dapat menepati janji, entah berada di dalam kamar atau di
hadapan orang banyak, ia tetap berlaku hormat dan sopan santun.
Anak Hun Ci-lo sudah berumur tiga tahun, bisa bicara memanggil ayah ibu, sudah tentu dia
memanggil ayah kepada Nyo Bok.
Demi menepati janjinya sendiri, untuk membalas budi budi kebaikan Nyo Bok, supaya anak
sendiri tidak digoda dan dihina orang lain pula, terpaksa dengan suka rela ia menjadi istri Nyo Bok.
Kenangan itu sangat pahit, tapi ada terselip pula perasaan madu mesra. Tiga tahun sebagai
suami istri pura-pura, lima tahun kemudian baru menjadi suami yang resmi, selama delapan tahun
ini, sikap Nyo Bok terhadapnya tetap sama, menghormatinya, kasih sayang dan melindunginya
dengan mesra, ia hidup serba berkecukupan.
Walaupun bayangan Beng Goan-cau masih tersembunyi di alam sanubarinya, tapi setelah dia
menjadi istri Nyo Bok, lambat laun ia jadi merasa seolah-olah dirinya sudah jatuh cinta kepada Nyo
Bok. Namun hanya seolah-olah belaka, karena pada suatu hari, secara tak terduga ia mendengar
berita mengenai Beng Goan-cau, sanubarinya yang sudah tentram sekian lamanya kini mulai
bergolak dan gelisah,- baru sekarang ia tahu, anggapan 'cinta' terhadap suaminya ini kiranya tidak
lebih cuma perasaan membalas kebaikan belaka, perasaan terima kasih karena iba.
Pergaulan Nyo Bok sangat luas, kawan-kawannya yang pergi datang, terdiri dari berbagai
golongan. Pada suatu hari datanglah seorang tamu, tamu ini adalah seorang piau-thau dari salah
satu piaukiok di kota, menurut ceritanya dua tahun yang lalu ia pernah melindungi bahan obatobatan
milik pedagang obat yang dikirim ke Su-cwan, bicara punya bicara akhirnya mereka
menyinggung suasana pertempuran di perbatasan. Nyo Bok lantas menanyakan beberapa enghiong
yang menonjol di antara pimpinan laskar gerilya, kecuali menyebut dua pimpinan laskar
gerilya yang hebat yaitu Ling Tiat-jiau dan Siau Ci-wan, tamu itu menambahkan lagi: "Konon
kabarnya pihak Siau-kim-jwan sekarang kedatangan banyak bala bantuan yang hebat-hebat,
kecuali Ling dan Siau dua pimpinannya, muncul lagi dua pemuda pendekar yang berkepandaian


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat hebat pula." Kebetulan Hun Ci-lo keluar menyuguhkan teh, mendengar ucapan tamunya ini tergeraklah
hatinya, cepat ia bertanya: "Siapakah nama kedua pendekar muda itu?"
Tamu itu menjawab: "Kabarnya mereka bernama Beng Goan-cau dan Song Theng-siau, sayang
pertempuran di Siau-kim-jwan itu baru saja berlangsung, kami para piau-thau jadi tidak berani
membawa barang terlalu jauh ke arah pedalaman sehingga tiada kesempatan berkenalan dengan
mereka." Belum lagi ucapan sang tamu selesai, "Prak!" tahu-tahu cangkir teh di tangan Hun Ci-lo terjatuh
hancur berantakan, hatinya pun ikut hancur lebur.
Setelah tamu itu pulang, Hun Ci-lo lantas jatuh sakit. Sudah tentu Nyo Bok tahu asal mula dari
penyakit istrinya, ia menghindari menyinggung soal itu, dengan teliti dan cermat ia menjaga
istrinya, setelah sakit Hun Ci-lo sembuh baru dia berkata: "Aku tidak suka melihat kau menderita,
kalau kau ingin menyusul ke Siau-kim-jwan, aku tidak merasa keberatan!"
Bicara sih gampang, namun jarak berlaksa li yang sedemikian jauhnya masa bisa ditempuh
dalam waktu yang pendek, apalagi Hun Ci-lo sendiri pun tidak mau membuat Nyo Bok bersedih
karena hal ini. Selamanya Hun Ci-lo tidak pernah berbohong, tapi dalam keadaan yang terdesak ini, tidak bisa
tidak ia harus mengelabui suaminya. Katanya setelah penyakit ini sembuh, pengalaman yang lalu
anggap saja sudah terpendam, yang dia cintai sekarang hanya suaminya, ia tidak ingin berjumpa
pula dengan Beng Goan-cau.
Nyo Bok pun bukan laki-laki goblok, sudah tentu ia tahu meski lahirnya sang istri berseri tawa
dan pura-pura gembira belaka, namun perasaan hatinya yang masih duka lara kelihatan juga dari
tindak tanduknya. Kalau permainan sandiwara menjadi sungguhan, kedua pihak sama-sama tidak mau
membongkar kepalsuan dirinya, lahirnya mereka masih tetap hidup sebagai suami istri yang saling
cinta mencintai. Kalau istri sedang menderita, sang suami pun sedang sengsara.
Akan tetapi meski Hun Ci-lo berbohong kepada suami, tapi bukan seluruh ucapannya itu hanya
membual belaka, dalam hati kecilnya diam-diam ia sudah berketetapan, kecuali Beng Goan-cau
meluruk datang mencari dia, betapapun ia tidak bakal pergi mencari Beng Goan-cau.
Yang tidak terduga olehnya, Beng Goan-cau tidak datang mencari dia, tapi mengutus si maling
sakti Kwi-hwe-thio mengirim surat kepada Nyo Bok. Surat itu kini berada dalam kantong bajunya.
Sebetulnya surat itu dikirim tanpa sepengetahuan dia, tapi Nyo Bok justru menyerahkan surat itu
kepadanya. Surat Beng Goan-cau itu minta berunding dengan Nyo Bok. Yaitu ia minta anaknya
dikembalikan kepadanya. Untuk permintaannya ini Beng Goan-cau sudah mengatur segala sesuatunya sedemikian
sempurna dan demi kepentingan Nyo Bok pula, dikatakan supaya Nyo Bok pura-pura pergi keluar
melancong, di luar tahu Hun Ci-lo ia bawa anak itu pergi ke Soh-ciu dan mengangkat dia sebagai
guru, dia berjanji tidak akan membocorkan rahasia ini kepada putranya. Kelak bila bocah itu sudah
menanjak dewasa baru menyuruhnya pulang kembali ke keluarga Nyo. Pergaulan Nyo Bok sangat
luas, sembarangan saja ia bisa menyebut salah seorang nama Bulim Cianpwe. katakan saja bahwa
anaknya sudah mengangkat guru dengan beliau, kiranya rencana ini cukup dapat mengelabui Hun
Ci-lo. Adalah sudah menjadi kebiasaan di kalangan kangouw kalau putra sendiri diutus belajar silat
kepada guru lain dan menetap di sana sampai delapan atau sepuluh tahun baru pulang.
Seandainya kelak Hun Ci-lo mengetahui duduk perkara yang sebenarnya juga tidak menjadi soal,
karena masa itu usia mereka pun sudah sama menanjak tua, hal ini tidak akan membawa
pengaruh bagi hubungan mereka suami istri. Maka kalau dikatakan "minta' kembali sebetulnya
istilah ini kurang tepat, tujuan yang sebenarnya ia cuma mohon kepada Nyo Bok untuk memberi
kesempatan supaya mereka ayah beranak bisa menetap bersama selama beberapa tahun belaka.
Rencana ini sebetulnya memang cukup sempurna, tapi mimpi juga Beng Goan-cau tidak akan
menyangka, bahwa Nyo Bok justru menyerahkan suratnya itu kepada istrinya. Soalnya Nyo Bok
sendiri juga mempunyai kesukarannya sendiri yang tidak mungkin bisa dibereskan.
Sang surya sudah terbenam di ufuk barat, seluruh jagat sudah merata ditabiri kabut malam,
bulan sabit pun sudah bercokol setinggi pucuk pohon.
Seorang diri Hun Ci-lo beranjak di jalanan kampung yang berlika-liku, berjalan, berhenti,
berjalan pula lalu berhenti lagi. Surat kiriman Beng Goan-cau yang tersimpan dalam bajunya,
seolah-olah berubah menjadi sebuah batu besar yang amat berat menindih sanubarinya, begitu
berat rasanya sehingga langkah kakinya pun sangat lambat.
Sekonyong-konyong ia merasa kepalanya pening, tubuh pun sempoyongan, lekas-lekas ia
menggayut di atas batang pohon di pinggir jalan, kerongkongannya mengeluarkan suara menguak
tapi tiada yang tertumpah keluar.
Setelah istirahat sebentar, ia baru merasa perasaannya rada enteng dan segar kembali, tapi
perasaaan hatinya semakin gundah dan tidak tentram.
Berdiri di puncak bukit, meski kabut malam semakin tebal, bulan sabit redup, tapi lapat-iapat
dari kejauhan sudah kelihatan kedua pucuk pohon flamboyan di depan pekarangan rumahnya
sudah mulai berkembang. Di waktu bertempat tinggal di Soh-ciu dulu, di kala Beng Goan-cau
menetap di rumahnya, kamar berloteng yang di tem-patinya dulu kebetulan dibangun di sebelah
pohon flamboyan itulah. Sambil meraba-raba surat itu, tanpa merasa, Hun Ci-lo tertawa getir, pikirnya: "Dia sangat
mengharap melihat putranya sendiri, siapa tahu sekarang justru aku datang membawakan anak
orang lain!" Di tengah jalan baru Hun Ci-lo mendapati bahwa dirinya sedang mengandung, Nyo Bok sendiri
pun tidak tahu akan hal ini.
Secara resmi ia menjadi istri Nyo Bok selama lima tahun, selama itu belum melahirkan anak.
Meski Nyo Bok diam saja, tapi di waktu Nyo Hoa memanggil dia 'ayah' mau tidak mau Hun Ci-lo
menjadi runyam dibuatnya, dia merasa dirinya berhutang budi dan bersalah terhadap suaminya, ia
mengharap suatu ketika ia bisa melahirkan seorang bayi bagi suaminya yang baik hati ini.
Sekarang angan-angannya itu bakal terkabul, tapi anak dalam kandungan ini sekarang bukan
membawa rasa senang bagi sanubarinya, adalah lebih membuat batinnya tertekan.
"Aku sudah mengandung anak Nyo Bok, masa enak menemui Beng Goan-cau" Pergi atau
tidak?" Serta merta Hun Ci-lo menjadi bingung dan bimbang.
Pulang ke kampung halaman kejadian masa lalu kembali terbayang di depan mata. Di atas
puncak bukit ini Beng Goan-cau pernah memetik kembang liar untuknya, di bawah pohon
flamboyan sana, untuk pertama kalinya Beng Goan-cau mencurahkan isi hatinya kepadanya.
Kenangan selama delapan tahun laksana sebuah impian belaka, sekarang dia sudah tiba di
depan pintu rumahnya, apakah harus tinggal pergi lagi secara diam-diam, begitu tega tanpa
menjenguk dia" Tapi kalau sudah bertemu muka, cara bagaimana ia harus memberi penjelasan
semua kejadian ini" Dalam hati Hun Ci-lo berpikir: "Keluarga Beng turun temurun hanya tunggal, adalah seharusnya
dia membawa kembali keturunannya. Aku harus memberitahu jejak anak Hoa kepadanya, supaya
dia minta kembali anaknya kepada Nyo-toakoh. Dan lagi apakah ibuku dulu pernah berjumpa
dengan dia, aku pun harus mencari tahu kepadanya."
Sudah tentu kedua alasan ini bukan alasan yang kuat, tapi dalam hati kecil Hun Ci-lo
sebenarnya juga tersimpan suatu keinginan hendak menemuinya. Dengan adanya kedua alasan
itu, maka dia dapat memberanikan diri.
Pelan-pelan Hun Ci-lo turun dari lereng bukit, di saat ia sudah semakin dekat dengan
rumahnya, tiba-tiba dilihatnya sesosok bayangan putih melesat terbang laksana anak panah,
secara tiba-tiba muncul di hadapannya, sekejap saja bayangan itu sudah hinggap di atas tembok
pekarangan belakang. Hun Ci-lo menjadi kaget, batinnya: "Ginkang orang ini cukup tinggi, kelihatannya seperti
seorang perempuan, untuk apa dia hendak menyelundup masuk ke rumahku" Apakah dia, dia,
adalah..." belum lenyap jalan pikirannya, orang itu tiba-tiba memutar tubuh dan terdengarlah
"Ser!" dari atas menyambar sebuah panah terbang seraya membentak: "Siapa?"
Sekali berkelebat Hun Ci-lo bersembunyi ke belakang sebatang pohon, panah terbang itu
melesat lewat dari samping rambutnya dan menancap di atas pohon. Seekor burung gagak yang
berada di pucuk pohon menjadi kaget dan terbang sambil berkaok-kaok.
Sekarang Hun Ci-lo sudah melihat tegas bahwa orang itu memang adalah perempuan
mengenakan pakaian serba putih mulus, berdiri di atas tembok, pakaiannya yang longgar
melambai tertiup angin, di bawah sinar rembulan sabit, gerak geriknya laksana dewi yang turun
dari kahyangan. Pakaian yang dikenakan Hun Ci-lo kebetulan warna hitam, gerak geriknya cukup gesit lagi,
maka kalau dia dapat melihat jelas perempuan berbaju putih di atas tembok itu, sebaliknya gadis
baju putih tidak melihat dirinya yang sembunyi di belakang pohon.
Terdengar gadis baju putih itu tertawa dan bicara sendiri: "Ternyata burung gaok, kukira ada'
orang yang menguntit jejakku. membikin kaget belaka. Oh ya, biar aku membikin kaget Bengtoako
saja." Hun Ci-lo tertawa getir dalam hati: "Dia anggap diriku sebagai gaok, apakah ini pertanda yang
kurang baik bagi diriku?"
Lalu terpikir pula: "Dia memanggil Goan-cau sebagai toako. entah siapakah dia adanya?"
Mendadak terasa sejalur hawa dingin menyesap ke dalam sanubarinya, terpikir pula olehnya:
"Delapan tahun Goan-cau berada di luaran, sekarang dia sudah menanjak tiga puluhan, mungkin,
mungkin... ai, kalau benar demikian, aku jangan membuatnya serba salah. Aku sudah membuat
Nyo Bok sengsara, maka jangan aku membawa derita ini kepadanya pula." Berpikir sampai di sini
Hun Ci-lo merasa hatinya mendelu dan bersedih, akhirnya ia berkeputusan untuk sementara
jangan unjuk diri, seperti maling umumnya dia merunduk-runduk memasuki rumahnya sendiri,
sembunyi di belakang pohon flamboyan, di mana waktu itu dia dan Beng Goan-cau mengikat janji
sehidup semati di sini. -ooo0000ooo- Di pojok loteng kecil itu. masih terlihat sinar pelita yang remang-remang. Beng Goan-cau
sedang membaca buku di kamar bukunya, masih belum tidur. Tapi hatinya sedang gundah, mana
dia ada hati melanjutkan bacaannya"
Saking iseng ia jadi melamun, pikirnya: "Semoga dia anggap aku sudah mati saja tapi kalau dia
tahu kalau aku masih hidup, apakah dia bakal terbang kemari?"--
"Dihitung waktunya seharusnya Kwi-hwe-thio sudah tiba di rumah keluarga Nyo entah cara
bagaimana jalan pikiran N\o Bok, apakah dia mau meluluskan permintaanku" Apakah dia nanti
bakal memberitahu akan rahasia ini kepada Hun Ci-lo?"
Karena pikiran sedang kalut sehingga ia tidak mendengar derap langkah di anak tangga,
sampai gadis baju putih itu mendadak muncul di hadapannya baru dia berjingkrak,kaget. (Gadis
baju putih ini berjalan merunduk-runduk, tapi mengandal ketajaman kupingnya, kalau dalam
keadaan biasa tentu sejak tadi ia sudah mengetahui).
Alam pikiran Beng Goan-cau sedang membayangkan bentuk tubuh Hun Ci-lo, mendadak
melihat seorang gadis sedang berseri tawa kepadanya, tanpa merasa mulutnya lantas berteriak:
"Ci-lo!" Gadis baju putih itu kontan cekikikan geli. Nada tawanya melengking enteng bagai kelintingan.
tapi suara tajam seperti kelintingan ini sudah sangat dikenal oleh Beng
Goan-cau. karena di saat ia sakit keras, entah berapa kali ia pernah dengar suara yang merdu
ini, suara ini pula yang telah membangkitkan semangatnya untuk bertahan melawan elmaut.
sehingga ia berjuang terus untuk hidup.
Kejut dan girang pula Beng Goan-cau dibuatnya, memegang tangan gadis baju putih itu. ia
berkata: "Siau-sumoay. kiranya kau! Cara bagaimana kau bisa kemari?"
Tahun ini Lu Su-bi sudah genap berusia dua puluh dua. tapi dalam pandangan Beng Goan-cau
tidak lebih masih sumoaynya yang 'kecil'.
"Suko!" ujar Lu Su-bi tertawa, "Kau sangka siapa?"
Jengah muka Beng Goan-cau. sahutnya: "Tidak kuduga kau adanya. Aku, aku..."
Lu Su-bi cekikikan lagi. katanya: "Kau kira Hun-cici bukan" Hayo jangan mungkir, kudengar tadi
kau memanggil namanya. Bukankah namanya yang harum adalah Ci-lo" Sudah lama aku tahu!"
Terpaksa Beng Goan-cau mengakui, dengan diam saja ia menuang secangkir air teh untuk
menutupi sikapnya yang kikuk, tanyanya: "Siau-sumoay, kenapa kau pun meninggalkan Siau-kimjwan?"
Setelah menerima cangkir teh itu Lu Su-bi duduk, tapi air teh tidak segera dihirupnya,
pertanyaan Beng Goan-cau pun tidak segera ia jawab, ia menghela napas dulu lalu berkata:
"Suko, apakah kau masih kangen dengan Ci-lo cici" Dia tidak akan kemari mencari kau!"
Beng Goan-cau melengak, tanyanya: "Darimana kau bisa tahu?"
"Aku mendapat cerita tentang dia, apakah kau mau tahu?"
"Berita apa?" "Dia sudah punya suami dan melahirkan seorang putra, menurut kabarnya suaminya adalah
seorang guru silat yang kenamaan di Siok-ciu bernama Nyo Bok, anak mereka tahun ini sudah
berusia tujuh tahun."-Bicara sampai di sini. pelan-pelan ia menundukkan kepala meneguk air
tehnya, seolah-olah masih ada beberapa patah kata yang hendak diucapkan tapi diurungkan.
Beng Goan-cau tahu apa yang hendak dikatakan sumoaynya. Anak Hun Ci-lo sudah berusia
tujuh, jadi berarti dia sudah menikah selama delapan tahun, ini berarti di waktu Beng Goan-cau
berpisah dengan dia. tak lama kemudian dia lantas menikah dengan Nyo Bok. "Mungkin Siausumoay
anggap Hun Ci-lo adalah perempuan yang ingkar janji menjual cintanya kepada orang
lain, dia ingin bujuk aku supaya tidak terpincut dan tergila-gila kepadanya lagi. Ai, mana dia tahu
bahwa anak itu justru adalah putraku sendiri," demikian pikir Beng Goan-cau.
"Suko," ujar Lu Su-bi lagi. "Kau tidak usah bersedih, bukankah kau sering berkata: Seorang
laki-laki harus bisa mengambil dan bisa meletakkan kembali."
Karena Beng Goan-cau sudah sejak lama mengetahui hal ini, maka perasaan sedihnya tidak
seperti yang dibayangkan Lu Su-bi. Adalah Hun Ci-lo yang saat mana sedang sembunyi di
belakang batu gunung mencuri dengar pembicaraan mereka jadi pilu dan mendelu, sanubari
seperti sedang teriris oleh ujung pisau.
Diam-diam Hun Ci-lo menerawang: "Ternyata gadis itu adalah sumoaynya, jadi dia adalah
putrinya Lu Siu-gun. Kelihatannya ia sangat prihatin kepada Beng Goan-cau, demikian juga Goancau
juga senang kepadanya. Ucapannya memang tidak salah, tidak seharusnya aku kemari
mencari Goan-cau." Beng Goan-cau menyeringai getir, katanya: "Siapa yang beritahu berita itu kepadamu?"
"Seorang Piauthau she Liok," sahut Lu Su-bi. Piauthau ini adalah orang yang pernah bertamu ke
rumah Nyo Bok dulu. "Piauthau itu sering pergi ke Sucwan membawa dagangan obat orang, dia adalah kenalan Nyo
Bok, pernah melihat Hun Ci-lo di rumah Nyo Bok," demikian sambung Lu Su-bi. "Di waktu dia
menyinggung namamu dan nama Song Theng-siau, agaknya Nyo-hujin itu sangat kaget, cangkir
teh yang dia pegangi sampai terlepas jatuh. Piauthau she Liok ini merasa sangat heran, setelah
pulang ia mencari tahu, akhirnya baru dia tahu bahwa, istri Nyo Bok itu adalah orang berasal dari
Soh-ciu, bernama Hun Ci-lo. Song Theng-siau ada pernah beritahu kepadaku, katanya dia dan kau
bersama sangat baik terhadapnya, kelihatannya dia pun tidak akan melupakan kalian. Cuma belum
diketahui adalah karena Song Theng-siau atau karena kau sehingga dia memecahkan cangkir teh
itu?" "Bagaimana bisa dia menyinggung nama Theng-siau dan aku?"
"Sudah lama orang itu sangat kagum dan kenal nama kalian, waktu itu dengan menempuh
bahaya dia berkunjung ke Siau-kim-jwan untuk menyambangi Ling Tiat-jiau, tujuannya adalah
hendak berkenalan dengan kalian, sayang kalian sudah lama tidak berada di Siau-kim-jwan lagi.
Hari itu, ibu kebetulan juga ikut hadir dalam pertemuan itu, maka aku dapat tahu dengan jelas."
"Jadi kau sengaja menyusul kemari untuk memberi kabar ini kepadaku?", sudah tentu ini hanya
ucapan kelakar belaka. Di waktu Beng Goan-cau kembali ke dalam perguruan, usia Lu Su-bi masih kecil, mereka
bertiga seumpama tiga saudara-serangkai, bicara dan kelakar tiada batas-batasnya. Tapi setelah
Lu Su-bi tumbuh dewasa, Beng Goan-cau jadi jarang main kelakar dengan dia.
Melihat sang suko tidak menjadi sedih seperti yang dibayangkan sebelumnya, malah bisa main
kelakar lagi, segera ia pun jadi girang, katanya tertawa: "Ibu suruh aku kemari ikut kau, supaya
kau melindungi dan menjaga diriku, aih, kau takut menghadapi kesukaran tidak?"
Sejenak Beng Goan-cau me-lengak, lalu tertawa gelak-gelak, serunya: "Kau kan bukan nona
kecil lagi, masa perlu perlindungan dan dijaga apa segala?"--
Dalam hati sebaliknya ia berpikir: "Jikalau sunio memang punya maksud demikian, wah,
mempersulit diriku saja!"
"Suko," ujar Lu Su-bi. "Biarlah aku bicara sesungguhnya. Aku membawa kabar Ling-toasiok
untuk kau!" "O, jadi Ling Tiat-jiau menarik diriku supaya lekas pulang?"
"Tidak, adalah sebaliknya, kata Ling-toasiok kau boleh sementara tidak usah kembali ke Siaukim-
jwan. Pasukan laskar gerilya perlu seseorang kurir untuk menghubungi para orang-orang
gagah di berbagai tempat, dia hendak menyerahkan tugas ini kepadamu. Umpamanya Kang
Tayhiap, Kang Hay-thian dari kerisidenan Tang-ping di Soatang bersama sutenya Kim Tiok-liu,
Thian-li-kau Kaucu Lim To-kan dari Poting di Hopak, Cong-tocu Ang-ing-hwe Le Lam-sing di
Holam, Kongsun Yan suami istri, majikan besar dari tiga belas peternakan di Koan-tang Utti Keng
dan Ki Seng-in suami istri, Ling-toasiok ingin supaya kau pergi mencari hubungan dengan mereka.
Dia pun mengharap supaya kau kelana saja di kangouw, setiap saat selalu berhati-hati dan
waspada untuk memilih dan mencari para tunas-tunas muda yang punya cita-cita dan tujuan yang
sama untuk membantu gerakan laskar gerilya. Tugas ini tidak diberi batas waktu tertentu,
memberi kesempatan bagi kau untuk lebih banyak berkenalan dengan para enghiong dari manamana,
baik tidak menurut penda-patmu?"
Beng Goan-cau sangat kegirangan, serunya: "Sungguh baik sekali!"
"Kalau dibicarakan, kau harus mengucap terima kasih kepadaku, karena akulah maka Lingtoasiok
teringat untuk memberi tugas yang berat ini kepadamu!"
"Masa benar" Tapi ada sebab apa lagi?"
"Pada suatu hari, paman Ling dan Siau berdua ada mengobrol dengan ibu, mendadak ibu
kangen rumah dan kampung halaman, katanya hendak pulang untuk menjenguk famili. Dikatakan
pula sudah lama tidak mendapat kabar beritamu, sungguh sangat kangen, ia pun hendak ke Sohciu
untuk menjengukmu. Paman Ling dan Siau membujuk, katanya meski peristiwa sudah terjadi
lama, tapi tujuh di antara jagoan yang mengepung ayah dulu cuma lima yang ditumpas, siapa lagi
yang tidak kenal akan nama kebesaran istri Kim-to Lu Siu-gun yang kenamaan" Sekali muncul
tentu akan menimbulkan perhatian orang banyak, kiranya kurang setimpal untuk menempuh
bahaya ini." "Setelah mendengar percakapan itu aku segera ikut menimbrung, lebih baik biar aku seorang
saja yang pergi, di waktu aku ikut ayah kelana, usiaku masih sangat kecil, sekarang sudah tumbuh
dewasa, kalau muncul di muka umum belum tentu dapat dikenali oleh kawanan cakar alap-alap."
"Tapi Siau-sioksiok masih kuatir, katanya, seorang diri aku pergi mencari kau ke Soh-ciu sih
tidak menjadi soal, tapi kalau pulang rumah menyambangi sanak kadang ke kampung halaman
adalah sangat berbahaya. Soalnya Sam-ho berada di propinsi Hopak, tempatnya terlalu dekat
dengan kota raja, daerah itu merupakan daerah penting yang dijaga ketat oleh bhayangkari istana
raja." "Akhirnya Ling-toasiok mendapat suatu akal, yaitu tugas yang kuberitahukan kepadamu tadi.
Menurut katanya kalau kau mau menerima tugas ini, di waktu kau menuju ke utara untuk


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemui Lim-kaucu dari Thian-li-hwe, sekaligus kau bisa bawa aku ikut serta. Poting dan
kerisidenan Sam-ho sama berada dalam wilayah Hopak, jaraknya hanya ratusan li. Seumpama kau
harus mengantar aku pulang baru meneruskan ke utara menuju ke Koantang menemui Utti Keng
suami istri juga masih belum terlambat, kesempatan ini sekaligus dapat kita menunaikan dua
tugas, kepentingan umum dan keperluan pribadi bukan?"
"Suko, sekarang giliranku tanya kau, apakah kau tidak merasa kesulitan membawa beban
seperti diriku ini?"
Lapat-lapat Beng Goan-cau dapat menerka ke mana juntrungan maksud hati sunionya, sudah
tentu ia merasa serba sulit, tapi tak enak untuk menolak tugas ini, terpaksa ia berkata: "Siausumoay,
kepan-daianmu sekarang sudah tidak kalah olehku, jalan bersama aku mungkin akulah
yang harus minta bantuanmu, mana boleh dikata menjadi bebanku" Hehehe, kita berpisah baru
setahun lebih, kenapa kau bicara begitu sungkan kepadaku?" Beng Goan-cau mengeluarkan tawa
kering, tapi nada tawanya terdengar kurang wajar.
Lu Su-bi adalah seorang gadis polos yang tidak berprasangka, mendengar ucapan sukonya ia
malah sangat kegirangan, katanya: "Jadi kau mau meluluskan permintaanku! Ha, aku bakal bisa
bertemu dengan Kang Hay-thian, Kim Tiok-liu, Le Lam-sing, Kongsun Yan dan lain-lain para orangorang
gagah yang kenamaan, sungguh senang sekali hatiku!"
Kalau Lu Su-bi sedang kegirangan adalah Hun Ci-lo yang mendekam di luar jendela sebaliknya
sedang mendelu, air mata tak tertahan mengalir keluar, batinnya sedih sekali. "Ada sumoaynya
sebagai kawan jalan, kenapa aku harus menemui dia" Urusan Hoa-ji biarlah diselesaikan lain
kesempatan saja atau pesan pada lain orang untuk menyampaikan kepadanya," demikian Hun Cilo
berpikir. Kalau toh hati ingin segera tinggal pergi, adalah kedua kakinya sudah tidak mau
dengar perintah dan tidak kuasa mengerahkan tenaga. Apalagi ia kuatir mengeluarkan suara,
terpaksa ia tenangkan pikiran dan tekan perasaan, setelah gejolak hatinya sudah menjadi tenang
baru bertindak lebih lanjut.
Baru saja ia melayangkan pikirannya, tiba-tiba didengarnya suara Beng Goan-cau berkata:
"Siau-sumoay, aku ingin menetap beberapa hari lagi di sini, apa kau bisa bersabar menanti
aku?" "Ibu suruh aku ikut kau, ke mana kau pergi ke situ aku tiba. Kalau kau belum berangkat sudah
tentu aku harus tetap tinggal di sini."
Mendengar percakapan ini lagi-lagi pedih hati Hun Ci-lo, pikirnya: "Goan-cau tidak mau segera
berangkat, mungkin sedang menunggu si maling sakti membawa berita soal diriku, ai, dia tidak
akan menduga bahwa sekarang justru aku sudah berada di bawah jendelanya, tapi dia sudah
berkawan Siau-sumoaynya. Tapi terhadapku dia masih belum melupakan cintanya, apa pula yang
harus kumohon kepadanya" Sebetulnyalah aku sudah harus merasa sangat puas!" Memang dalam
hati ia berpikir demikian, tapi tak tertahan hati masih sangat pedih, pikirnya pula: "Kalian tidak
mau pergi, dalam beberapa hari ini ke mana aku harus menempatkan diriku?"
Mendengar jawaban Siau-sumoaynya, mau tidak mau Beng Goan-cau mengerutkan kening,
katanya tertawa getir: "Apakah sunio ada pesan apa pula kepadamu?"
"Ibu cuma suruh aku ke Soh-ciu mencari kau, kalau ketemu boleh ikut kau saja dan dengar
perintahmu. Coba kau katakan betapa ibu sangat percaya kepadamu, beliau serahkan putrinya
yang tunggal kepadamu untuk melindunginya!" -Lu Su-bi seorang gadis pegunungan yang tidak
punya pikiran sempit dan berhati lapang, dia melansir seluruh kata-kata ibunya tanpa tedeng
aling-aling, di luar tahunya bahwa sebetulnya dia sudah menyerahkan jiwa raganya seumur hidup
ini kepada Beng Goan-cau.
Tapi kalau dikata dia tidak tahu isi hati ibunya adalah tidak benar, karena sebelum ia berangkat
ibunya ada berpesan kepadanya: "Sepuluh tahun yang lalu ayahmu suruh Goan-cau pergi ke Sohciu
menetap di rumah keluarga Hun, tatkala itu usiamu masih kecil, maka kami tidak pernah
berpikir demi hari depanmu. Paman Hun adalah saudara angkat ayahmu, putrinya berusia sebaya
dengan Goan-cau, ayahmu pernah menulis sepucuk surat kepada paman Hun, tapi paman Hun
sudah meninggal, menurut laporan Goan-cau katanya dia serahkan surat itu kepada bibi Hun.
Dalam surat itu ayahmu ada menyinggung lamaran Goan-cau kepada putrinya. Semula aku duga
bibi Himmu itu tentu akan setuju akan perjodohan ini, tapi tidak duga kejadian justru di luar
perhitungan manusia, kabarnya nona Hun itu kini sudah menikah dengan orang lain dan punya
seorang putra. Kalau Goan-cau mendapat kabar ini mungkin dia sangat sedih. Maka kau harus
membujuk dan menghibur hatinya, pada suatu hari bila kalian bisa pulang bersama menemui aku,
tentu aku teramat girang." " " Meski ia tidak utarakan maksudnya secara jelas, tapi sebagai
gadis yang sudah berusia dua puluh satu, sudah tentu Lu Su-bi sudah dapat menangkap maksud
kata-kata ibunya itu. Bukan Lu Su-bi tidak pernah memikirkan hari depannya, tapi sebelum ibunya membicarakan
pesannya itu, dalam benaknya ada terbayang dua bentuk laki-laki, di antara bayangan Beng Goancau
dan Song Theng-siau ia masih sulit menentukan pilihannya.
Terhadap sukonya ia menaruh hormat tapi watak dan perangai Song Theng-siau justru lebih
cocok dengan sifat-sifatnya. Kedua orang ini sama menanam budi kepada keluarganya, demi jiwa
mereka ibu beranak, hampir saja mereka mengorbankan jiwa sendiri, lain halnya Beng Goan-cau
adalah sukonya sendiri, hubungan cukup dekat, tapi ada kalanya ia merasa sikap Goan-cau yang
terlalu serius sehingga ia tidak berani banyak dekat padanya, tapi seolah-olah pula jauh lebih
dapat dipercaya dari Song Theng-siau. Maka setelah ia dapat meresapi isi hati ibunya, dalam hati
sudah mengambil keputusan, asal suko suka kepadaku, dia pun akan rela meninggalkan Song
Theng-siau yang jauh lebih cocok dalam perangai dan pikiran.
Mendapat bimbingan dan asuhan dari perguruan membuat Goan-cau menaruh sayang kepada
Siau-sumoaynya ini, tapi kini Lu Su-bi sudah seperti kuntum kembang yang sudah mekar sedang
berdiri di hadapannya, mau tidak mau membuat hatinya gundah dan pikiran keruh. Diam-diam ia
mengeluh dalam hati. "Sunio menyerahkan putri tunggalnya kepadaku, sayang aku seorang yang
sudah pernah mengalami pahit getirnya asmara, bagaimana aku bisa mengobarkan semangat
mudaku lagi?" "Tidak apa-apa," kata Beng Goan-cau kemudian. "Sudah sekian lama kau mengobrol, tapi kau
tidak pernah menyinggung Song Theng-siau, apakah sunio hanya menyuruh kau mencari aku dan
tidak suruh kau mencari dia?"
"Kalian kan tinggal dalam satu kampung, kalau ketemu, tanpa kutanya tentu kau pun akan
membawa aku menemui dia. Apa perlunya ibu harus memberi pesan soal hal ini?"
"Sebetulnya aku pun mengira Song Theng-siau ada di rumah, tapi waktu aku kembali, ternyata
tidak berhasil menemukan dia. Semoga dia lekas kembali dalam beberapa hari ini!"
"Jadi kau hendak tinggal beberapa hari lagi untuk menunggu kedatangannya?" demikian tanya
Lu Su-bi. " Dalam batin Beng Goan-cau berpikir: "Mana kau tahu yang kutunggu justru berita mengenai
Hun Ci-lo." Selamanya ia belum pernah berbohong kepada Siau-sumoaynya, tapi Hun Ci-lo
seorang nyonya yang sudah punya suami, mana bisa dia menjelaskan duduk perkara sebenarnya"
Terpaksa ia mengada-ada dan menjawab sambil tertawa dibuat-buat: "Masa kau sendiri tidak ingin
jumpa dengan Theng-siau?"
Dasar polos dan jujur Lu Su-bi tidak bisa menutupi isi hatinya, katanya tertawa: "Dulu kita
selalu bermain bersama, kalau bisa ketemu dengan Song-suko sungguh menggirangkan. Kita
bertiga bisa berkesempatan tamasya ke Telaga Barat!"
Sontak teringat oleh Beng Goan-cau pengalaman dulu, di kala ia bersama Ci-lo dan Theng-siau
tamasya di Telaga Barat, serta merta hatinya jadi rawan dan tertekan.
"Suko, kenapakah kau" Aku sedang bicara dengan kau, kelihatannya kau sedang memikirkan
urusan lain!", demikian desak Lu Su-bi aleman.
Tiba-tiba Beng Goan-cau seperti tersentak kaget oleh sesuatu yang didengarnya, cepat
mulutnya mendesis lalu pasang kuping sekian saat baru ia berkata: "Siau-sumoay, sepanjang jalan
tadi adakah kau melihat seseorang menguntit di belakangmu?" "Tidak!"
"Benarkah kau tidak ketemu dengari seseorang yang rada mencurigakan?"
Lu Su-bi berpikir sebentar lalu berkata:-"Beberapa hari yang lalu di tengah jalan aku ada
bertemu dengan empat orang, keadaan mereka memang rada menyolok, tapi akhirnya aku tidak
menemukan jejak mereka .apakah mengutit diriku."
"Orang macam apa keempat orang itu?"
"Empat orang yang bentuk muka dan dandanannya sama dan mirip sekali. Keempat orang ini
bertubuh tinggi berkaki panjang, badan mereka kelihatan bergoyang gontai di atas tunggangan
seperti sebuah galah. Bentuk mereka itu memang jarang terlihat, apalagi sekaligus muncul empat
orang yang bersamaan. Maka wafttu bersua dengan mereka tidak tertahan lagi aku lantas tertawa
geli." Beng Goan-cau pernah dengar perihal Tiam-lam-su-hou yang berbentuk aneh itu, maka dalam
hati ia lantas berpikir: "Bukan mustahil keempat orang yang dilihat oleh Siau-sumoay adalah
mereka" Tapi bagaimana keempat mustika itu bisa sekaligus muncul di daerah Kanglam ini?"--
Tanyanya: "Akhirnya bagaimana?"
"Keempat orang itu sama mendelikkan mata mengawasi aku, agaknya kurang senang, tapi
mereka tidak bertindak apa-apa. Kuda tunggangan mereka berlari sangat pesat, sekejap saja
sudah lewat dan lari jauh, selanjutnya aku tidak pernah melihat jejak mereka lagi."
"Waktu kau masuk kampung tadi, adakah orang yang menguntit di belakangmu?"
Saat mana Hun Ci-lo sedang menghimpun semangat menekan perasaan, ia sudah siap begitu
perasaan longgar dan pikiran jernih dan dapat mengembangkan ginkang segera akan tinggal
pergi. Mendadak ia mendengar pertanyaan Goan-cau kepada sumoaynya ia jadi terkejut, pikirnya:
"Apakah waktu aku masuk tadi Goan-cau sudah tahu kedatanganku?"
Teringat kejadian tadi tak tertahan Lu Su-bi segera tertawa geli, katanya: "Waktu aku lompat
masuk ke taman bunga tadi, seolah-olah ada orang menguntit aku, kontan aku persen sebatang
panah terbang. Ha, coba kau terka" Kiranya seekor burung gaok!"
"Seekor burung gaok" Apa kau tidak salah lihat?"
Lu Su-bi melengak heran, tanyanya: "Bukan burung gaok, lalu apa?"-Sementara dalam hati ia
membatin: "Masa burung gaok kau anggap aku tidak mengenalnya?"
Pelan-pelan Beng Goan-cau berkata: "Kukira adalah empat ekor harimau." Lalu ia meninggikan
suara dan berteriak lantang: "Julukannya empat harimau, kenapa sembunyi di tempat gelap dan
tidak berani unjuk muka, terhitung orang gagah macam apa" Hayo menggelundung keluar!"
Maka terdengarlah empat pekik panjang seperti lolong serigala di malam buta rata di bawah
sinar rembulan yang remang-remang, tampak di semak rumput sana beruntun melompat keluar
empat sosok bayangan manusia. Seorang laki-laki yang menjadi pimpinan di antara mereka segera
berseru lantang: "Beng Goan-cau, terhitung matamu tajam, kau kenal kita Tiam-lam-su-hou,
hayolah menyerah saja ikut kami ke kota raja!"
Diam-diam Hun Ci-lo mengeluh dalam hati, pikirnya: "Ternyata bukan diriku yang dimaksud
oleh Goan-cau. Tapi entah kapan ke empat orang ini masuk kemari, sedikit pun aku tidak merasa,
dibanding Goan-cau aku memang terpaut jauh sekali!"
Sebetulnya ginkang Hun Ci-lo jauh lebih tinggi dibanding keempat Orang ini, kepandaian
mendengar angin membedakan senjata pun terpaut tidak jauh dengan Beng Goan-cau, soalnya
setelah dia masuk taman bunga seluruh perhatiannya ia tumpahkan untuk mencuri dengar
percakapan Beng Goan-cau dengan sumoaynya, maka kapan Tiam-lam-su-hou masuk sedikit pun
ia tidak tahu. Beng Goan-cau terbahak-bahak, serunya: "Tiam-lam-su-hou (empat harimau dari Tiam-lam)
dalam pandanganku tidak lebih merupakan empat ekor kerbau yang dungu!"-Seiring dengan gelak
tawa dan kata-katanya, ia dorong jendela terus melompat keluar. Bergegas Lu Su-bi mengintil di
belakangnya, dan sengaja hendak pamer ginkangnya, di tengah udara tubuhnya berputar seperti
burung dara jumpalitan, dengan ringan tanpa bersuara hinggap di tanah dan berdiri berjajar
dengan Beng Goan-cau. Tertua dari Tiam-lam-su-hou menjengek dingin, sindirnya: "Di sini bukan Siau-kim-jwan. Beng
Goan-cau, kunasehati supaya kau jangan terlalu pongah! Kalau kau tidak sudi terima arak suguhan
dan lebih senang arak hukuman, baiklah kita tentukan dengan kepandaian silat siapa lebih
unggul!" Lo-ji atau harimau kedua dari Tiam-lam ini adalah hidung belang yang suka kepincut paras
cantik, melihat gerak-gerik Lu Su-bi yang lemah gemulai dan cantik rupawan lagi, tak tertahan ia
bersorak memuji: "Betina ini sungguh ayu, kami kuntit kau kemari, terpaksa nanti kau pun harus
kuseret pulang. Tapi kalian harus serahkan betina ini kepadaku."
Lo-sam tertawa, katanya: "Belum lagi mangsamu kau dapatkan, lagi-lagi kau sudah saling rebut
dengan kami!" Lo-su juga menimbrung: "Masih ada lagi Song Theng-siau, terpaksa kita harus cari dan kompes
keterangan Beng Goan-cau nanti."
Bertaut alis Lu Su-bi, bentaknya: "Suko, keempat kerbau dungu ini, berikan kepadaku biar
kusembelih mereka!" "Nanti dulu, biar kutanya mereka," demikian ujar Goan-cau kalem. "Hai, sarang kalian ada di
Tiam-lam, kenapa hendak membawa aku ke kota raja?"
Lo-toa berkata: "Kami mendapat perintah Sa-congkoan untuk mengundangmu ke sana, seorang
lagi yang bernama Song Theng-siau juga termasuk orang yang diundang. Asal kalian mau
menyerah dan berbakti pada pemerintah kerajaan, kutanggung kalian bakal memperoleh
kedudukan dan pangkat yang tinggi."-Mendengar ucapan Beng Goan-cau tidak seketus tadi, ia
sangka orang suka berkompromi.
Sa-congkoan yang dimaksud adalah Komandan Bhayangkari di istana raja yang bernama Sa
Hok-ting, bukan saja dia menjadi Komandan Bhayangkari, malah dia pun punya kaki tangan dari
sampah persilatan yang sudi mengabdi kepadanya, umumnya kaki tangannya ini disebut cakar
alap-alap yang punya tugas khusus yaitu tukang meringkus kaum pendekar dan cendekiawan yang
melawan pemerintah. Beng Goan-cau menyeringai dingin, ejeknya: "Maaf, maaf. Ternyata Tiam-lam-su-hou sekarang
sudi menjadi anjing pemburu dari Sa Hok-ting yang lalim itu. Aku justru paling suka menggebuk
anjing buduk yang malas, tidak perlu kalian susah payah mencari Song Theng-siau, marilah
dengar kata terima kuhajar saja, aku seorang sudah lebih dari cukup untuk menundukkan kalian
bersama." Keruan Tiam-lam-su-hou berjingkrak gusar, serempak mereka sama melolos senjata serta
melompat berpencar mengurung Beng Goan-cau.
"Suko," seru Lu Su-bi. "Tadi kau berkata hendak beri kesempatan kepadaku!"-Sebetulnya
permintaan Lu Su-bi tadi belum lagi diluluskan oleh Beng Goan-cau.
"Siau-sumoay, keempat ekor anjing ini sama gila, pepatah ada bilang, mulut anjing tidak bakal
tumbuh gading, kenapa kau harus bertingkah seperti mereka ?"
"Anjing gila menggigit orang, maka dia harus dibikin mampus, sudah lama kita tidak bertemu,
silakan kau tonton apakah ilmu golokku sudah banyak maju tidak?"
Lotoa segera membentak: "Kalian jangan banyak cerewet! Yang terang kalian tidak akan bisa
lolos, kalau kalian tidak mau turun tangan, kamilah yang segera harus membekuk kamu!?"Harus
diketahui Tiam-lam-su-hou ini pun merupakan tokoh yang punya nama dan kedudukan di
kalangan kangouw, betapapun mereka harus menjaga gengsi.
Dalam hati Beng Goan-cau berpikir: "Kabarnya Tiam-lam-su-hou masing-masing membekal
kepandaian yang berlainan, dengan empat orang maju bersama, entahlah apa aku mampu
melawan mereka. Tapi, Siau-sumoay merengek-rengek kalau tidak kuberi kesem-.patan tentu dia
akan marah-marah kepadaku nanti."-Terpaksa ia tertawa dan berkata: "Baiklah, kuberi
kesempatan kepadamu, kau harus hati-hati, awas jangan sampai digigit anjing gila."
Lu Su-bi kegirangan, serunya: "Baik, kau minggir dan jangan ikut turun tangan."
"Ya, terserah kepadamu." Lahirnya ia berkata demikian, umpama nanti Lu Su-bi menghadapi
bahaya, tentu dia tidak akan berpeluk tangan saja.
Tertua dari Tiam-lam-su-hou kuatir Beng Goan-cau melarikan diri, bentaknya: "Jangan harap
kau bisa lari!"- Ilmu latihannya adalah Pun-Iui-ciang, baru saja Beng Goan-cau bergerak hendak
mundur, kontan ia merangsak dengan sekali pukulan kepada Beng Goan-cau.
Siapa tahu serangan ini sudah cukup cepat, tapi Lu Su-bi lebih cepat lagi, sekonyong-konyong
tampak sinar golok kemilau berkelebat laksana kilat menyambar, kesiur angin dingin pun
berkembang, tahu-tahu Lu Su-bi sudah menyekal sepasang golok di tangannya, satu panjang satu
pendek, golok panjang di tangan kiri menahas ke pergelangan tangan Lotoa, sementara golok
pendek di tangan kanan menusuk miring ke arah Loji yang menyerang tiba dari arah sampingi
Lotoa dan Loji sama terkejut, batinnya: "Tak diduga budak kecil ini merupakan lawan yang
cukup tangguh juga."-Tanpa berjanji terpaksa kedua orang ini sama menggeser langkah serta
mengubah permainan. Beng Goan-cau bergelak tertawa, dengan berlenggang ia berjalan lewat
dari samping mereka berdiri di luar gelanggang.
Dikata lambat kenyataan sangat cepat, sementara itu Losam dan Losu sudah merangsak tiba
pula kepada Lu Su-bi. Di mana sinar hijau berkilat, "sret" pedang panjang Losam tahu-tahu sudah menusuk ke ulu
hati Lu Su-bi dari sebelah punggung. Beng Goan-cau tersentak kaget, batinnya: "Cepat benar
orang ini melancarkan serangannya!"
Dengan gaya naga melingkar kaki berputar sebat sekali Lu Su-bi berkelit, menghindar seraya
balas menyerang, cepat sekali ia pun sudah lancarkan jurus Jay-hong-toh-ou (burung hong
merebut sarang), badan bergerak mengikuti serangan goloknya, dari terdesak menjadi pihak yang
menyerang dan berada di posisi yang lebih menguntungkan, sekejap saja ia berada di samping
kanan Losam, kontan ia kembangkan serangan kedua golok bersama, seketika sinar kemilau dari
sambaran goloknya beterbangan menari-nari di tengah udara laksana kembang salju.
Belum lenyap jalan pikiran Beng Goan-cau maka terdengarlah suara "Trang, tring" beberapa
kali seperti orang bermain musik, kiranya dalam waktu yang sekejap itu, golok dan pedang kedua
pihak beruntun saling bentur dan beradu tujuh delapan belas kali.
Losam ini dapat memainkan pedangnya secepat angin menyambar, tapi kecepatan permainan
ilmu golok Lu Su-bi adalah jauh lebih cepat lagi dari ilmu pedang lawan.
Baru sekarang Beng Goan-cau merasa lega. diam-diam ia bersorak bagi permainan siausumoaynya
yang hebat ini. batinnya: "Ternyata siau-sumoay sudah sempurna melatih ginkang
Menyelinap Kembang Mengitari Pohon, demikian pula Yu-sin-pat-kvva-to-hoat pun sudah
memperoleh ajaran suhu yang murni dan sudah mencapai tingkat yang boleh dibanggakan, dapat
menambah dan memberi variasi lagi. Yang diperlukan sekarang harus berlatih lwekang lebih
lanjut, bicara mengenai kehebatan permainan golok serta kelincahannya, mungkin aku sendiri
belum bisa mengungkuli dia. Naga-naganya umpama dia tidak mampu mengalahkan Tiam-lam-suhou
ini, kiranya juga tidak nanti sampai kena dikalahkan.
Losam dan Losu merangsak datang dalam waktu yang bersamaan. Losam setindak datang lebih
cepat sehingga ia bergebrak lebih dulu dengan Lu Su-bi, maka, kilasan yang lain Losu pun sudah
menubruk tiba. Tiba-tiba Lu Su-bi menegakkan golok panjangnya, sementara golok pendek
dibolang balingkan di depan mata Losam, keruan Losam merasa silau dan kabur pandangannya,
cepat ia melompat mundur setindak. Maka seenteng cengcorang menutul di atas air gesit sekali Lu
Su-bi melesat lewat di sampingnya.
"Rebahlah!" Losu membentak dari samping, dua batang senjata boan-koan-pitnya yang hitam
mengkilap mendadak menyelo-nong tiba menotok jalan darah Ki-bun-hiat di bawah ketiak Lu Subi.
Lu Su-bi menjengek dingin, cemoohnya: "Jangan takabur!" -
'Trang" di mana golok panjangnya menabas tiba lengan baju Losu kena tertabas sebagian
besar dan beterbangan seperti kupu-kupu. Kiranya tabastenaga pelintiran, kelihatannya hanya sekali tabas saja, sebetulnya tajam goloknya sudah berputar
beberapa kali. maka lengan baju itu menjadi tertabas hancur beterbangan.


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka disusul lagi dengan suara "Trang" yang lebih nyaring, kali ini lelatu api berpercik. tampak
langkah Lu Su-bi sempoyongan mundur tujuh delapan langkah baru bisa berdiri tegak lagi.
Ternyata meski permainan goloknya, cukup hebat dan lincah, sayang tenaganya jauh tidak
memadai. Dalam pada itu Lotoa dan Loji yang terpukul mundur tadi sementara itu sudah menubruk tiba
lagi, tangan Loji sudah menyekal sebuah cambuk lemas. "Wut, wut" angin deras menyambar
memetakan bayangan pecut yang bergulung-gulung. Sementara Lotoa sencfiri tidak menggunakan
senjata, tapi kedua telapak tangannya beruntun ditarikan dengan gesit dan cukup liehay pula,
lapat-lapat terdengarlah suara gemuruh seperti bunyi geledek. Kedua golok Lu Su-bi dapat
bergerak rapat melindungi badan, kaki bergerak selincah kera menari berputar dan berloncatan
seenteng daun melayang, laksana perahu terombang ambing di tengah samudra, timbul
tenggelam terapung dan bergoyang gontai tidak menetap.
Semula Beng Goan-cau bisa berlega hati, kini mau tidak mau ia merasa kuatir bagi sumoaynya,
pikirnya: "Tiam-lam-su-hou ternyata memang punya kepandaian khusus masing-masing, samasama
liehay dan hebat. Tak heran Ling Tiat-jiau ada pesan supaya bila aku kebentur mereka tidak
boleh memandang enteng. Penilaianku terhadap mereka tadi, mungkin sudah menyalahi
peringatan itu, memandang enteng mereka."
Ternyata Tiam-lam-su-hou ini merupakan dua pasang anak kembar yang sekandungan, Lotoa
bernama Kiau Lui, ia kenamaan karena Iwekangnya yang hebat, kepandaian tunggalnya adalah
Pun-lui-ciang. Loji Kiau Tian, menggunakan cambuk lemas, julukannya Bu-ing-pian (cambuk tanpa
bayangan), Losam bernama Kiau Hong, ia mempelajari Cui-hong-kiamhoat (ilmu pedang pengejar
angin). Losu bernama Kiau Hun, seorang ahli menutup jalan darah, senjata yang digunakan adalah
sepasang potlot baja. Tiam-lam-su-hou sama-sama berkaki dan bertangan panjang, tinggi badan Lu Su-bi hanya
sedada lawan. Maka empat orang ini menggasak lawan kecilnya ini dari atas ke bawah,
sekonyong-konyong melancarkan gempuran bersama. "Kena!" serempak mereka membentak.
Cambuk panjang Kiau Tian mendadak melingkar-lingkar, yang digunakan adalah jurus Ko-thungjan-
siok (menjalin menggubat pohon), tujuannya hendak membelit sepasang mata kaki Lu Su-bi.
Adalah Kiau Hong melancarkan ilmu pedangnya yang cukup lincah itu, dengan jurus Menyingkap
Rumput Mencari Ular, tajam pedangnya rada miring menabas turun mengarah pahanya.
Sementara sepasang boan-koan-pit Kiau Hun mcnotok tiba mengarah dada dari sebelah depan,
kedua senjata ini bersilang masing-masing menotok ke jalan darah Hian-ki-hiat dan Yo-toh-hiat.
Lebih liehay lagi serangan telapak tangan Kiau Lui yang mengepruk ke atas batok kepala Lu Su-bi.
Pukulan tangan, cambuk, pedang dan potlot baja tiga macam senjata empat macam rangsakan
yang dilancarkan dalam berbagai variasi dan permainan, seketika batok kepala, dada, kaki dan
paha Lu Su-bi dalam incaran senjata musuh, keadaan ini boleh dikata teramat berbahaya sekali.
Beng Goan-cau kaget sekali, baru saja ia hendak turun tangan, tiba-tiba didengarnya tawa Lu
Su-bi yang nyaring serta menyahut lantang: "Belum tentu !", di mana tubuhnya berkelebat dan
melayang pergi datang, kain bajunya melambai-lambai, tahu-tahu tubuhnya sudah menyelinap
keluar dari kepungan berbagai senjata yang mematikan itu, demikian juga pukulan telapak tangan
Kiau Lui mengenai tempat kosong, jangan kata kena, ujung bajunya saja tidak berhasil mereka
sentuh. "Ke mana mau lari!" Kiau Lui membentak gusar seraya mengejar.
Lu Su-bi cekikikan, ujarnya: "Siapa hendak lari" Kau sendiri tidak mampu pukul aku, kenapa
salahkan orang lain?"
Tampak ia menusuk ke sebelah kiri, tahu-tahu membacok sebelah kanan, kedua goloknya
ditarikan gesit sekali, menunjuk timur menggempur barat, menuding selatan merangsak ke utara.
Keruan Tiam-lam-su-hou sama mencak-mencak dan ikut berputar-putar. Pemainan macam ini jauh
lebih dapat memegang posisi yang menguntungkan dalam penyerangan, sambil berlari berputarputar
dia menggempur dan menggasak musuh-musuhnya ganti berganti, dalam sekejap saja ia
sudah merubah kedudukan dan posisi ratusan kali banyaknya, bukan saja Tiam-lam-su-hou tidak
berhasil memukul lawan kecilnya ini, malah mereka sendiri harus berlaku waspada oleh sergapan
lawan yang mendadak sudah mengancam dirinya.
Baru sekarang Beng Goan-cau benar-benar lega. Pikirnya: "Kukira penilaianku semula tidak
tepat, ternyata penilaianku terhadap siau-sumoay juga kurang tepat. Gin-kangnya memang hebat,
meski Kiau Tian dan Kiau Hong dua lawan cukup tangguh, kalau dibanding dia masih terpaut
terlalu jauh. Kalau musuh menggunakan cara yang sama menghadapi permainannya ini, meski ia
tidak gampang memperoleh kemenangan, tapi jelas sudah terdesak di bawah angin!"
Mau tidak mau Hun Ci-lo yang mencuri lihat dari belakang gunung-gunungan palsu pun memuji
dalam hati: "Bicara mengenai ginkang belum tentu aku kalah, tapi kalau harus bertempur
melawan empat keroyokan dengan masih bisa bergerak begitu lincah dan wajar, dengan gaya dan
gerak gerik yang elok lagi, mungkin aku tidak mampu!"
Dengan berlega hati, Beng Goan-cau berdiri di luar gelanggang sambil menikmati permainan v
Siau-sumoaynya yang sedang mengembangkan ilmu ginkangnya. Lu Su-bi bergerak cepat,
semakin putar semakin cepat, tapi permainan goloknya sedikit pun tidak menjadi terpengaruh
karenanya, laksana menari saja ia bergaya di tengah gelanggang. Mendadak ia lancarkan
serangan golok kilat memukul mundur musuh, tiba-tiba pula membalik menabas dengan
rangsakan yang cukup hebat pula. Saking terpesona Beng Goan-cau sampai melamun, pikirnya:
"Lincah laksana naga terbang, gesit seperti belut." Pujian ini kiranya cukup setimpal bagi siausumoay.
Sayang Song Theng-siau tidak berada di sini, kalau tidak betapa ia akan berjingkrak
kegirangan melihat gin-kang siau-sumoay sudah dilatihnya sedemikan sempurna"
Ternyata ilmu ginkang Lu Su-bi yang elok dan lincah ini hasil latihan waktu masih berada di
Siau-kim-jwan di bawah bantuan dan petunjuk Song Theng-siau.
Setiap musim semi datang, kembang liar bertaburan di seluruh Siau-kim-jwan. Meski tidak
seindah di Kanglam, tapi kembang-kembang liar yang tumbuh di dalam pegunungan sini cukup
banyak dan menyegarkan pula. Selama beberapa tahun waktu berada di Siau-kim-jwan, begitu
musim semi tiba, maka Lu Su-bi lantas merecoki Beng Goan-cau dan Song Theng-siau untuk
menemaninya pergi ke hutan untuk melatih ginkang Coan-hoa-yau-su-sin-hoat (gerak-gerik
memutari pohon menyelinap di antara bunga-bunga). Tapi Beng Goan-cau sering menyingkir
dengan berbagai alasan, ia biarkan Song Theng-siau seorang menemani sumoaynya ini berlatih.
Waktu permulaan melatih gin-kangnya ini, kedua mata Lu Su-bi masih terpentang lebar, dia
berlari-lari mengitari pohon menyelinapi kembang-kembang, sampai pada tingkatan dapat berlari
bagai terbang di antara semak-semak kembang itu tanpa menyentuh sekuntum bunga atau
menyentuh rontok daun pohonnya, baru terhitung berhasil dalam latihan permulaan. Untuk latihan
tingkat kedua, maka ia harus menutupi matanya, bila dengan mata tertutup ia pun dapal berlari
dan bergerak sesuka hati dengan sama cepat dan gesitnya tanpa menjatuhkan atau menyentuh
kembang dan daun, baru dia mulai dengan latihan tingkat ketiga. Untuk tingkat ketiga ini
diperlukan dua orang. Dengan menutupi matanya Lu Su-bi harus berlari kencang ke mana saja ia
menyelinap sambil dikejar oleh Beng Goan-cau atau Song Theng-siau, sampai ia kena ditangkap
baru berhenti. Beng Goan-cau pernah beberapa kali menemani siau-sumoaynya ini latihan, namun
selanjutnya adalah menjadi tugas Song Theng-siau.
Sudah tentu Beng Goan-cau dan Song Theng-siau bisa gampang saja menangkap dia. Setiap
kali kena tertangkap mereka pasti bergelak tawa terpingkal-pingkal.
Kini sepasang golok Lu Su-bi melawan Tiam-lam-su-hou, ia pun kembangkan ginkangnya yang
hebat itu, saking terpesona pikiran Beng Goan-cau jadi melayang mengenang pengalaman pada
masa silam, "Sayang Song Theng-siau sekarang tidak di sini."-Tak tertahan lagi diam-diam Beng
Goan-cau menghela napas. Pemandangan yang dilihat di hadapannya ini mendadak berubah, Siau-sumoay yang lincah
jenaka ini seolah-olah berubah menjadi Hun Ci-lo. Delapan tahun yang lalu bukankah Hun Ci-lo
juga selincah dan nakal seperti siau-sumoaynya sekarang" Bukankah mereka sama-sama elok
seperti kembang mekar di musim semi"
"Dulu aku pernah mengikat janji setia bersama Ci-lo di bawah pagar kembang, kini aku sudah
pulang, pagar sudah keropos kembang pun sudah layu, taman bunga ini menjadi liar tak terurus,
penghuninya pun sudah lama pergi. Ci-lo, oh, Ci-lo, di mana kau" Di mana kau?"
Di kala Beng Goan-cau ter-longong-longong itulah mendadak didengarnya benturan senjata
yang keras, menyadarkan lamunannya. Waktu ia angkat kepala, tampak Lu Su-bi sudah terkepung
dalam libatan permainan Tiam-lam-su-hou yang sudah semakin ketat bekerja sama.
Lotoa Kiau Lui adalah seorang gembong silat yang cukup punya pengalaman, begitu merasa
posisi tidak menguntungkan segera ia berseru memberi peringatan: "Jangan ikut berlarian dengan
budak busuk ini!"-Kiau Tian, Kiau Hong dan Kiau Hun seketika sadar cepat mereka meniru
perbuatan toakonya sama menghentikan kaki dan menduduki sebuah posisi. Dengan demikian,
meski mereka sudah mengendorkan rangsakan terhadap Lu Su-bi, tapi posisi mereka jadi
mengepung Lu Su-bi di tengah, untuk menjebol kepungan ini kiranya Lu Su-bi harus memeras
keringat. Tapi Lu Su-bi masih berlaku wajar, makinya: "Goblok! Benar-benar goblok! Baru sekarang
kalian hendak mengepung aku" Kini tibalah giliranku menghajar anjing-anjing gila."
Kiranya meski Kiau lotoa benar merubah strategi tempurnya, tapi toh sudah terlambat. Untung
dia berkepandaian tinggi dan cukup mending bagi dia, adalah ketiga adiknya yang kena dibikin
pusing tujuh keliling mengikuti Lu Su-bi berputar-putar tak hentinya, keadaan mereka sudah cukup
payah. Bagi Lu Su-bi, dia rada rugi karena Iwekangnya belum matang, kini Tiam-lam-su-hou sudah
dalam keadaan pusing, maka dia tidak perlu takut lagi kepada mereka.
Seiring dengan lengking tawanya. Lu Su-bi berputar sambil memainkan goloknya, seketika
timbul ah cahaya kemilau membundar dari atas ke bawah membelit tubuhnya, kedua goloknya
panjang pendek laksana pelangi seperti sambaran kilat, sekaligus mengembangkan permainan
golok yang keras dan, menyerang dengan ganas, kontan Tiam-lam-su-hou kena dibikin kocarkacir.
Berbagai penjuru yang terlihat adalah bayangan Lu Su-bi, kedua bilah golok panjang pendek
yang dinamakan Liu-yap-to (golok daun liu) beterbangan hantam kanan bacok kiri, tusuk utara
membabat selatan, berputar dan menari dengan gaya yang sangat indah dan semakin cepat pula,
yang terlihat cuma cahaya golok yang kemilau tidak terlihat bentuk badannya. Dua jalur sinar
golok saling berkutat bergulung-gulung seperti air tumpah dari langit, laksana kuntum kembang
berterbangan di tengah angkasa! Tak tertahan lagi Beng Goan-cau sampai berseru memuji:
"Siausumoay! Ilmu golok yang hebat!"
Lu Su-bi masih sempat cekikikan, ujarnya: "Beng-suko, tadi kukatakan tidak perlu kau ikut
turun tangan, nih lihat, aku tidak membual bukan?""Lenyap suara tawanya golok pendeknya pun
menabas miring, kontan terdengar jerit kesakitan. Losam Kiau Hong dari Tiam-lam-su-hou ke lima
jari tangan kirinya kena terpapas kutung tiga di antaranya. Tersipu-sipu Loji Kiau Tian
menyabetkan cambuknya datang menolong. Tapi sekali injak Lu Su-bi berhasil mematahkan
serangan orang, seraya bentaknya: "Lepas tangan!" menyelusuri cambuk orang golok panjangnya
mengiris ke atas, meski Kiau Tian cepat-cepat lepas tangan dan berkelit dengan cepat, tak urung
lengan kanannya kena tergores oleh ujung golok Lu Su-bi sampai lima senti panjangnya.
Sekali kembangkan ilmu golok ajaran ayahnya yang murni sekaligus Lu Su-bi berhasil melukai
Kiau Tian dan Kiau Hong, sekali berputar lagi kebetulan ia menyam-buti sepasang boan-koan-pit
Losu Kiau Hun yang menolok tiba. Lu Su-bi menyeringai dingin: "Diberi tidak membalas tentu
kurang hormat, nih kau pun merasakan ilmu totokku." la putar balik punggung goloknya dan sekali
ketuk secara tepat ia kena menotok jalan darah pelemas di bawah ketiak Kiau Hun. Kau Hun
terhuyung mundur seperti sebatang kayu terus terbanting roboh.
Sigap sekali Kiau Lui meraihkan tangan memeluk pinggang Kiau Hun lalu dikempit di bawah
ketiak, bentaknya: "Budak busuk, biar aku adu jiwa dengan kau!" Di mulut ia menggertak hendak
adu jiwa, adalah kakinya seolah-olah sudah dilumuri minyak sehingga kakinya melangkah cepat
melarikan diri. Sudah tentu Kuu Tian dan Kiau Hong yang sudah terluka itu meniru perbuatan
toakonya ikut melarikan diri.
Sambil membolang-balingkan kedua goloknya, Lu Su-bi maju mengejar seraya membentak:
"Lari ke mana?"
"Siau-sumoay, mereka sudah keok, sudah jangan dikejar lagi!" lekas-lekas Beng Goan-cau
berteriak memanggilnya kembali.
"Tidak." sahut Lu Su-bi. "Anjing gila ini kalau tidak dihajar kelak tentu bakal menggigit orang
lagi." Ginkang Kiau Lui memang kalah dibanding kepandaian Lu Su-bi, dia harus mengempit adiknya
lagi, sudah tentu larinya semakin lambat, baru saja ia berlari sampai di bawah batu-batu gunung
di mana Hun Ci-lo sedang sembunyi, ia sudah terkejar oleh Lu Su-bi.
Baru saja Lu Su-bi ayunkan goloknya hendak membacok, sekonyong-konyong didengarnya
sebuah suara berkata dingin: "Nona cilik, jangan kau sombong akan kepandaianmu!". Suaranya
terdengar orangnya pun sudah tiba. Tampak dari gunung-gunungan palsu sebelah depan sana
beruntun lompat keluar dua sosok bayangan orang. Satu di antaranya langsung menubruk ke arah
Lu Su-bi sementara seorang yang lain memapak ke arah Kiau Lui dan memberi bantuan, orang ini
bantu membebaskan jalan darah Kiau Hun yang tertotok.
Kedua orang ini melompat masuk ke dalam taman melampaui batu gunung-gunungan, gerak
geriknya amat gesit seperti burung terbang. Melihat kehebatan ilmu ginkang mereka mau tidak
mau Beng Goan-cau terperanjat dibuatnya.
Orang yang menubruk ke arah Lu Su-bi itu berwajah kuning kurus kering, di bawah sinar
rembulan yang remang-remang kelihatannya seperti mayat hidup. Sekali bacok Lu Su-bi
menyerang kepadanya, "Trang" goloknya kena kesampuk miring oleh selentikan jari orang itu.
Cepat Beng Goan-cau berseru:
"Sumoay mundur!"- Dengan gaya Sip-hiong-kiau-hoan-in Lu Su-bi mencelat mundur jumpalitan
ke belakang sejauh satu tombak, sementara Beng Goan-cau sudah memapak ke depan,
bentaknya: "Siapa kalian?"
Kedua orang aneh itu masing-masing sama mengacungkan tangannya, jengeknya dingin:
"Beng Tayhiap, kau bukan keroco yang tidak ternama di kangouw. Kukira kau pun sudah kenal
pada kami Tiam-jong-siang-sat bukan?"
Beng Goan-cau angkat kepala pandang ke depan, ia pernah melatih ilmu "mata malam", sinar
bulan remang-remang, tapi ia cukup melihat jelas telapak tangan kedua orang aneh ini sama
berwarna merah darah dan yang lain berwarna hitam seperti arang.
Setelah tahu bahwa kedua orang ini adalah Tiam-jong-siang-sat, meski Beng Goan-cau
berkepandaian tinggi dan bernyali besar pun tak urung terkejut juga.
Kiranya Tiam-jong-siang-sat adalah dua tokoh terliehay dari Tiam-jong-pay di daerah Hun-lam.
Yang tua bernama Pok Thian-tiau, yang muda bernama Toan Siu-si. Berlainan dengan Tiam-lamsu-
hou yang serupa dan sebentuk itu, adalah mereka berlainan satu sama lain, bukan saja bentuk
muka dan perawakan mereka lain, kelahiran pun tidak sama.
Pok Thian-tiau adalah bayi buangan yang ditemukan gurunya Tiam-jong Siang-jin di gunung
Tiam-jong-san, kabarnya bapaknya orang liar di hutan dan ibunya adalah seekor lutung besar,
cuma benar tidak berita ini kurang jelas, yang terang bentuk rupanya memang tiga bagian seperti
manusia, tujuh bagian seperti lutung, bermulut runcing berdagu panjang, kulit kuning bertubuh
kurus, sekilas pandang seperti orang penyakitan yang baru saja sembuh dari atas pembaringan.
Orang yang menyergap ke arah Lu Su-bi adalah orang aneh ini.
Lain halnya Toan Siu-si adalah putra dari keluarga besar yang ternama di negeri Tayli, leluhur
keluarga Toan pada jaman kerajaan Song pernah menjabat raja di negeri Tayli yang kecil itu,
meski negara Tayli sudah musnah, tapi selama beratus tahun mendatang, keluarga Toan ini masih
merupakan tuan tanah yang terbesar di daerah barat itu. Wajah Toan Siu-si cukup cakap ganteng,
bermuka halus berkulit putih, kelihatannya bersikap sopan santun, siapa yang melihat tentu sama
memuji akan pemuda perlente yang bagus ini" Tapi entah kenapa, justru dia benci akan
kehidupan yang serba mewah dan berkecukupan ini, meninggalkan keluarga menghilang ke atas
gunung menjadi murid Tiam-jong Siangjin, menjadi gembong iblis yang sangat disegani dan
ditakuti oleh kaum persilatan. Konon kabarnya sebetulnya dia punya nama lain yang diberikan oleh
leluhurnya, oleh karena benci akan kehidupan yang serba palsu dan berhati dengki serta culas
lagi, maka ia tinggalkan nama aslinya dan mengganti dengan namanya sekarang. Selama sepuluh
tahun ini dia sudah malang melintang di kalangan kangouw sehingga namanya cukup tenar, orang
luar sama tahu Tiam-jong-pay ada seorang gembong iblis bernama Toan Siu-si, nama aslinya
malah dilupakan orang. Pok Thian-tiau dan Toan Siu-si sepasang suheng-tc ini punya asal usul dan wajah yang
berlainan tapi mereka punya persatuan yang nyata, yaitu sama kejam dan telengas, setrap turun
tangan tidak kenai kasihan, malah mereka juga sama melatih semacam ilmu pukulan yang
beracun. Tiam-jong-pay memang berdiri di antara kesesatan dan kemurnian, sepak terjang kedua
suheng-te ini juga teramat aneh, mereka bekerja menurut keisengan hati melulu.
Pada suatu ketika guru Beng Goan-cau, Lu Siu-gun, pernah pergi ke Tiam-jong-san mencari
bahan obat-obatan, secara kebetulan pernah bentrok dengan kedua orang ini, waktu itu pukulan
beracun mereka belum lagi sempurna, hanya beberapa gebrak saja, mereka kena digebah lari
ketakutan oleh ilmu Bian-ciang Lu Siu-gun yang dapat meremukkan batu gunung yang keras itu,
tapi Lu Siu-gun sendiri juga terkena sekali pukulan Toan Siu-si, setiba di rumah ia rebah sakit
beberapa lamanya. Menurut penuturan Lu Siu-gun, ilmu pukulan yang dilatih Pok Thian-tiau bernama Hek-sa-ciang,
kalau pukulan ini dilatih sempurna, cukup mengandal tenaga pukulan dapat memecah hancurkan
sebuah batu besar. Sementara pukulan yang dilatih Toan Siu-si bernama Ce-sa-ciang, kabarnya
jauh lebih liehay dari Hek-sa-ciang yang dilatih suhengnya. Keliehayan Pok Thian-tiau cuma
terletak pada tenaga luarnya, adalah Toan Siu-si kecuali tenaga luar, lwekangnya pun cukup
hebat. Karena memandang rendah kedua musuhnya inilah Lu Siu-gun hanya menggunakan
pukulan Bian-ciang tanpa menggunakan golok emasnya, maka ia kena kecundang oleh Toan Siusi.
Teringat akan kata-kata gurunya itu, diam-diam terkejut hati Beng Goan-cau, dalam hati ia
menerawang: "Ilmu pukulan Tiam-jong-siang-sat kini sudah sempurna, mungkin aku pun tidak
akan mampu menghadapi mereka. Bagaimana juga aku tidak bisa membiarkan siau-sumoay
menempuh bahaya." Baru saja pikirannya bekerja, terdengarlah Lu Su-bi sudah men-jengek dingin: "Kukira siapa"
Kiranya adalah dua pecundang yang pernah dibikin keok oleh ayahku."
Pok Thian-tiau menyeringai iblis, ujarnya: "Sayang ayahmu mampus terlalu cepat." Maksud
katanya jelas menganggap bahwa Lu Su-bi tidak setimpal menjadi lawannya.
Tadi Lu Su-bi kena dirugikan sedikit oleh Pok Thian-tiau, rasa amarahnya belum lagi terlampias.
seketika berkobar amarahnya, semprotnya: "Kunyuk macam kau ini juga berani memandang
rendah diriku!" "Siau-sumoay!" lekas-lekas Beng Goan-cau berseru mencegah. *'Kau sudah menang satu
babak, babak selanjutnya sudah menjadi bagianku."--Sesuai dengan kebiasaan kaum bulim ia
lintang-kan goloknya ke samping sambil unjuk soja tanda penghormatan kepada lawan serta
serunya lantang:- "Tak beruntung guruku sudah meninggal, tapi masih ada aku. Kalau kalian
hendak membalas sekali pukulan guruku dulu, aku yang rendah tidak becus ini suka mewakili
guruku membual perhitungan dengan kalian!"
Toan Siu-si bergelak tertawa, ujarnya: "Beng Tayhiap kenapa sungkan. Beng Tayhiap sudah
memperoleh ajaran murni perguruan, siapa yang tidak kenal akan kebesaran namamu" Bicara
terus terang, jikalau kami tidak tahu bahwa Beng Tayhiap berada di sini, masa kami sudi meluruk
kemari?" "Baik, mari silakan kalian memberi petunjuk!" '


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dua lawan satu, tidak adil!" Lu Su-bi berteriak, "suheng, aku..."
"Siau-sumoay!" tukas Beng Goan-cau cepat. "Babak kedua ini kularang kau ikut campur
tangan!" "Kau kenapa?" jengek Pok Thian-tiau. "Kalau tidak takut mati, ayo maju!"
"Sret," kontan Lu Su-bi mencabut golok seraya berteriak: "Suko, kau sendiri mendengar orang
menantang kepadaku!"
"Siau-sumoay," cegah Beng Goan-cau tertawa kalem. "Kau sudah mengalahkan Tiam-lam-suhou,
tadi aku kan tidak berebutan dengan kau, kini aku cuma menghadapi dua orang, kenapa kau
hendak saling rebut dengan aku" Oh, ya, coba kau ke rumah Song-toako saja, mungkin sekarang
dia sudah kembali." Lu Su-bi memonyongkan mulut, katanya cemberut: "Kau hendak mengalihkan diriku, masa
begitu gampang aku kau tipu. Baiklah, babak ini kuserahkan kepadamu, tapi aku harus berdiri di
sini untuk menjaga segala kemungkinan." " " Tadi Lu Su-bi kena dirugikan oleh Pok Thian-tiau.
ia tahu bahwa Tiam-jong-siang-sat ini entah berapa lipat lebih lichay dari Tiam-lam-su-hou karena
tidak mau memberi hati kepada musuh dan merendahkan derajat diri sendiri, maka ia tidak berani
bicara terang-terangan. Lotoa Kiau Lui dari Tiam-lam-su-hou tidak terluka, losu Kiau-hun pun sudah dibebaskan jalan
darahnya dan mampu bertempur lagi, dengan adanya Tiam-jong-siang-sat sebagai tulang
punggung, nyali mereka menjadi besar, kata Kiau Lui: "Budak busuk ini berani mentang-mentang,
kebetulan dibereskan sekalian!"
Membalik kedua mata Pok Thian-tiau, jengcknya: "Jangan bikin lelucon dan mengganggu
gerak-gerik tangan saja, hayo pergi!"
Bahwasanya Toan Siu-si sedikit pun tidak menghiraukan mereka lagi, sambil soja ia berkata
kepada Beng Goan-cau: "Kukira Beng Tayhiap pernah mendapat tahu dari gurumu, kami Tiamjong-
siang-sat selamanya masuk dan keluar bersama. Melawan seorang musuh kami maju
bersama, melawan seratus orang kami pun maju bersama." " " Sebetulnya kata-katanya ini
hanya untuk menutupi rasa malu belaka, sebab yang sebenarnya karena mereka merasa jeri
kepada Beng Goan-cau. Beng Goan-cau muncul di percaturan dunia persilatan baru beberapa tahun terakhir ini, namun
namanya sudah menggetarkan kangouw, Tiam-jong-siang-sat pernah dengar orang lain
memperbincangkan dirinya, dikatakan bahwa kepandaian silat Beng Goan-cau sekarang tidak di
sebelah bawah gurunya dulu. Toan Siu-si kuatir bila bertempur satu lawan satu, dia bukan
tandingan lawannya. Karena umpakannya tidak berhasil malah dimaki dan dihardik lagi. keruan Kiau Lui merasa
malu, terpaksa menyeret adik-adiknya ngeloyor pergi.
Sambil menghunus golok emasnya Beng Goan-cau tertawa besar, serunya: "Kalian jangan
anggap ucapan siau-sumoayku masuk dalam hitungan. Silakan mulai saja!"
Pok Thian-tiau menyeringai sadis, ejeknya: "Beng Goan-cau, kenapa kau cepat-cepat ingin
menghadap Giam-lo-ong, baiklah biar kusempurnakan kau."-Seiring dengan seringainya lengan
panjangnya terjulur maju, kelima jarinya laksana cakar, mencengkeram dengan ganasnya.
"Beng Goan-cau berdiri sekokoh gunung, sedikit pun ia tidak bergerak, sekonyong-konyong ia
menggentakkan lengannya mengayun tangan, sinar emas kontan berkelebat menyilaukan mata,
dengan jurus Tay-bing-can-sip (burung elang pentang sayap), golok emasnya menabas miring ke
samping. Jurus permainan goloknya dilancarkan tepat pada waktunya, di saat cakar beracun Pok
Thian-tiau hampir mengenai sasarannya, dan belum lagi serangannya mencapai^ujuan yang
sebenarnya, tenaga serangannya sudah terkuras sedikit demi sedikit. Sebaliknya Beng Goan-cau
sudah menghimpun tenaga dan semangat pun bergelora, tajam goloknya untuk pertama dijajal
melawan musuh, sesuai benar dengan ajaran ilmu tempur yang berbunyi: menghindari kekuatan
pokok, menggempur tempat kelemahan musuh.
Gerak serangan kedua pihak adalah sedemikian cepatnya, jelas dalam sedetik lagi seluruh
lengan Pok Thian-tiau bakal kena tertabas kutung oleh golok emas Beng Goan-cau. Sekonyongkonyong
terdengar Toan Siu-si memuji "Bagus!", belum lenyap suaranya, tahu-tahu ia sudah
menubruk maju, telapak tangannya pun sudah mengepruk datang. Setelah melancarkan
serangannya baru ia buka bicara: "Ilmu golok Beng Tayhiap memang bukan olah-olah hebatnya,
aku orang she Toan terpaksa harus memperlihatkan kebodohan-ku, harap jangan ditertawakan!"
Bahwasanya ia orang yang pernah membaca buku tahu adat istiadat, tidak seperti Pok
Thian-tiau orang liar berdarah campuran, cara bicaranya sungkan dan tahu merendahkan diri.
Tapi meski ucapan Toan Siu-si jauh lebih lemah lembut dan kenal tata krama, tapi cara turun
tangannya justru lebih ganas dan culas dari suhengnya. Pukulan tangannya ini kelihatannya
dilancarkan secara enteng dan tidak bertenaga, sebenarnyalah dia sudah kerahkan tenaga Siauthian-
sing-ciang dari aliran Lwekeh. Kekuatan Siau-thian-sing-ciang dapat melukai urat nadi dan
jalan darah, pukulannya ini mengincar ulu hati Beng Goan-cau lagi, kalau sampai kena terpukul,
urat nadi jantungnya pasti hancur lebur. Memang hebat Beng Goan-cau, begitu merasa kesiur
angin menyambar datang, tajam goloknya kontan berputar arah, tahu-tahu ia kibatkan goloknya
membabat ke sebelah belakang, menuju arah yang berlawanan. Lagi-lagi Toan Siu-si berseru
memuji. Lekas-lekas kakinya berputar dengan langkah naga berputar mengitari pohon, tahu-tahu
ia sudah merubah tempat beralih kedudukan, kini tubuhnya sudah berkelebat memutar ke
samping kiri Beng Goan-cau. Kontan hidung Beng Goan-cau mengendus bau amis darah yang
memualkan. Itulah bau amis dari pukulan beracun di telapak tangan Toan Siu-si. Cepat-cepat
Beng Goan-cau menahan napas dan mengerahkan hawa murni.
Untung Pok Thian-tiau mendapat bantuan dari sutenya, di kala bacokan golok membalik Beng
Goan-cau mengarah kepada Toan Siu-si, cepat sekali ia sudah menggeser kedudukan berganti
tempat, lolos dari kurungan cahaya sinar golok Beng Goan-cau. Tapi rang-sakan Beng Goan-cau
itu serba guna, dapat menyerang sekaligus untuk membela diri pula, di kala membalikkan tangan
membacok, tajam goloknya menyambar lewat rada miring, meski Pok Thian-tiau mundur dengan
cepat, tak urung lengan bajunya kena terpapas sebagian oleh tajam goloknya.
Dengan kena sedikit dirugikan Pok Thian-tiau jadi beringas, bagai binatang buas yang
kelaparan segera ia melejit setinggi tiga tombak, seraya menggerung keras tubuhnya menukik
turun seperti burung elang mengembangkan kesepuluh cakar tangannya mencengkeram ke batok
kepala Beng Goan-cau. Cepat Beng Goan-cau menggunakan Hong-tiam-thau golok emasnya diputar kencang di atas
kepala, menyusul dengan jurus Ki-hwe-liau-thian tangannya sebelah menusuk ke atas, di samping
ia menangkis dengan putaran goloknya ia pun balas menyerang dengan pukulan tangan kepada
Toan Siu-si, pukulan yang menyerang Toan Siu-si ini adalah ajaran murni perguruannya yang
terkenal yaitu Bian-ciang yang dapat meremukkan batu menjadi bubuk. Seperti diketahui gurunya
Li Siu-gun terkenal karena Kim-to (golok emas) dan Bian-ciangnya (pukulan kapas).
Dulu Toan Siu-si pernah merasakan kehebatan dari Bian-ciang ini, maka ia tidak berani
menyerang terlalu bernafsu dengan kekerasan, cepat ia merubah permainannya. Karena
tubrukannya luput di tengah udara Pok Thian-tiau jumpalitan terus meluncur turun di samping
kanan Beng Goan-cau, ia mengambil posisi berlawanan dengan Toan Siu-si untuk mengepung
Beng Goan-cau dari dua jurusan.
Melihat ginkang orang liehay, gerak-geriknya gesit seperti setan gentayangan, sulit dijaga dan
diperhatikan, diam-diam Goan-cau memuji dalam hati.
Beberapa jurus serang menyerang adu jiwa yang sangat berbahaya ini, membuat Lu Su-bi yang
menonton di pinggir gelanggang, serta Hun Ci-lo yang mengintip sama kabur pandangan dan
menahan napas. Di bawah cahaya sinar bintang-bintang, di dalam taman kembang yang belukar tidak terurus
lagi terjadilah pertempuran yang amat seru dan menegangkan urat syaraf.
Tiam-jong-siang-sat maju mundur bekerja sama sangat serasi dan ketat, gerak-gerik mereka
bagai angin lagi, ada kalanya melejit ke udara menubruk dari atas tiba-tiba menggelinding di
tanah menyerang tidak kalah hebatnya. Boleh dikata di kala merangsak tiba seperti kera memanjat
pohon, di waktu mundur selicin belut, bila melejit seperti burung rajawali terbang ke langit, dan
menubruknya laksana harimau kelaparan. Maka terlihatlah bayangan tubuh seliweran datang pergi
simpang siur, bayangan kedua orang ini seketika seperti menjadi bayangan puluhan orang yang
merangsak dan menyerbu berbareng ke arah Beng Goan-cau dari delapan penjuru angin.
Dengan tenang dan mantap Beng Goan-cau melayani rang-sakan hebat kedua musuhnya, ia
jaga diri dengan rapat. Peduli lawan menyerang dengan kekerasan atau dengan pancingan belaka,
ia masih berlaku tenang dan sabar, sedikit pun ia tidak terpengaruh dan terburu nafsu.
Pertahanannya kokoh dan kuat laksana tanggul besar membendung air bah, betapapun besar
damparan gelombang pasang, ia masih tetap bercokol di tempatnya tanpa bergeming sedikit pun.
Cara tempur Beng Goan-cau adalah menjaga diri, lebih banyak bertahan daripada menyerang,
jauh berlainan dengan cara tempur Lu Su-bi yang mempermainkan Tiam-lam-su-hou tadi. Tapi
setiap kali musuh memperlihatkan lubang kelemahan dan kesempatan balas menyerang tentu
tidak disia-siakan, sinar goloknya lantas bergerak malang melintang, daya kekuatan goloknya
kiranya tidak lebih asor dari permainan Lu Su-bi menggasak Tiam-lam-su-hou tadi.
Selama menyecar musuhnya dengan serbuan yang gencar tanpa memperoleh hasil, diam-diam
Tiam-jong-siang-sat juga merasa terkejut dalam hati, pikirnya: "Bocah ini ternyata tidak lebih asor
dibanding gurunya dulu, agaknya terpaksa harus menggunakan pukulan berbisa untuk menempuh
kemenangan." Dari samping menonton pertempuran yang sengit dan seru ini, sungguh Lu Su-bi girang tapi
tegang, dalam hati ia membatin: "Tak heran di waktu ayah masih hidup setiap kali menyinggung
suko tentu ia memujinya tidak kepalang tanggung, meski aku adalah putri keluarga Lu, tapi yang
benar-benar memperoleh ajaran murni kepandaian ayah adalah suko. Aku tekun dan giat belajar
beberapa tahun, kukira sudah dapat menyandak kemampuan suko, siapa tahu kiranya masih
terpaut sedemikian jauhnya!"
Demikian pula Hun Ci-lo yang mengintip dari belakang batu gunung, hatinya ikut berdebar
keras dan was-was. Malah perhatiannya lebih besar dari Lu Su-bi, sedemikian tekun dan cermat ia
menonton setiap jurus dan tipu-tipu permainan adu kepandaian ini seolah-olah kuatir ketinggalan.
Memang jalan pikiran dan keadaannya berlainan dengan Lu Su-bi, Lu Su-bi pernah berkumpul
lima tahun selama di Siau-kim-jwan dengan sukonya, entah berapa kali pula mereka mengalami
pertempuran besar kecil dan berjuang berdampingan. Adalah di kala masih di Soh-ciu dulu. meski
Hun Ci-lo sering latihan bersama dengan Beng Goan-cau, tapi pertempuran Beng Goan-cau
menghadapi musuh tangguh yang benar-benar baru pertama kali ini ia saksikan. Bukan saja takjub
ia pun terpesona dibuatnya.
Sayang Hun Ci-lo hanya tumplek perhatian pada permainan ilmu golok pujaan hatinya yang
hebat itu, namun tidak pernah ia perhatikan permainan kedua lawan Beng Goan-cau yang
menyerang begitu culas dan ganas, meski saat itu kelihatannya Beng Goan-cau masih kuat
bertahan dan balas menyerang dengan sama kuatnya, tapi tenaga dan kemauan hati lama
kelamaan terpaut semakin jauh.
Mengukur kepandaian silat .mungkin kemampuan Lu Su-bi belum tentu melebihi Hun Ci-lo, tapi
pengalaman bertempur melawan musuh mungkin dia lebih luas dari Hun Ci-lo. Kalau Hun Ci-lo
belum dapat meraba keadaannya, adalah Lu Su-bi sudah melihat titik kelemahan ini dan ia tahu
bahwa sang suko sedang menghadapi el-maut yang bisa merenggut nyawanya setiap waktu.
Memang permainan ilmu golok Beng Goan-cau cukup tangguh, mantap dan lincah, meski
pukulan berbisa lawan sangat ganas dan berbahaya, bicara dalam permainan tipu-tipu dan
variasinya mungkin dia tidak kalah, tapi yang menjadi kekuatiran hatinya adalah bahwa pukulan
musuh berbisa, di samping mengerahkan lwekang untuk melandasi permainan goloknya, ia pun
harus mengerahkan hawa murni untuk menolak hawa beracun dari sambaran pukulan lawan, lama
kelamaan, betapapun tenaga akan terkuras dan ini secara langsung akan mempengaruhi ilmu
goloknya, sehingga hati ada niat melawan tapi tenaga sudah terkuras habis.
Adalah semakin mengikuti jalannya pertempuran hati Lu Su bi semakin terkejut, diam-diam ia
membatin: "Lwekangku jauh tidak ungkulan dibanding suheng, cara bagaimana baru aku bisa
membantu dia?"-Tiba-tiba tergerak pikirannya, karena sekonyong-konyong terbayang olehnya
semacam ilmu permainan golok yang diajarkan oleh ayahnya, yaitu Kwi-to (permainan golok
cepat). Ajaran ilmu golok ini memang khusus diciptakan oleh Lu Siu-gun untuk menjaga dan
menghadapi Tiam-jong-siang-sat yang sewaktu-waktu bakal meluruk datang menuntut balas,
setelah memeras keringat dan jerih payah puluhan tahun, di masa tuanya baru terpikir dan
terciptalah ilmu golok cepat ini. Tatkala itu Beng Goan-cau berada di Soh-ciu, maka hanya Lu Su-bi
seorang saja yang mempelajari ilmu golok ini. Tak lama sesudah ia sempurna mempelajari imu
golok ini, tak beruntung ayahnya pun wafat.
Dasar dan inti dari ilmu golok ini adalah kecepatan, dan lagi harus dilancarkan dalam jarak yang
amat dekat dengan bacokan dan tabasan seperti membabat benang rami yang serabutan,
menabas kutung pergelangan tangan musuh baru berhasil meruntuhkan pukulan berbisa musuh.
Masih segar dalam ingatan Lu Su-bi di waktu ayahnya mengajar ilmu golok ini, pernah
berpesan wanti-wanti kepadanya, yaitu setelah sepuluh tahun kemudian baru boleh menggunakan
ilmu golok ini. Lu Su-bi pernah mengajukan keheranannya, sang ayah menjawab: "Ilmu golok ini
perlu dikombinasikan dengan Iwekang yang kuat, kalau tidak mana mampu mendekati musuh"
Mengandal lwekang-mu sekarang, jangan kata mendekati musuh, cukup kau tersambar hawa
beracun dari pukulan berbisa lawan kau tidak akan kuat bertahan. Meskipun sepuluh tahun
mendatang, kau pun perlu bernyali besar cermat dan hati-hati!-Waktu itu ayahnya tidak secara
langsung menyebut nama Tiam-jong-siang-sat, Lu Su-bi menyangka bahwa ilmu goloknya ini
cuma khusus untuk mematahkan pukulan beracun belaka. Karena ada batas sepuluh tahun
kemudian baru boleh digunakan maka biasanya Lu Su-bi segan melatih ilmu golok cepat ini secara
tekun dan rajin. Sekarang baru ia insyaf bahwa ilmu golok ciptaan ayahnya itu kiranya adalah khusus untuk
melawan ilmu pukulan dari Tiam-jong-siang-sat ini. Namun menyesal pun sudah terlambat.
Bahwa dia kurang latihan bukan soal yang penting. Yang penting adalah bahwa kini baru
berselang lima tahun, ini berarti bahwa bekal lwekangnya untuk melandasi ilmu goloknya ini dia
baru mencapai separahnya. Kalau secara nckad dan menempuh bahaya melancarkan ilmu golok
ini untuk membunuh Tiam-jong-siang-sat, bukan saja ia belum pasti mampu melukai musuh malah
akibatnya ia sendiri yang kena terbunuh atau terluka oleh pukulan berbisa lawan.
Begitulah Lu Su-bi menjadi bimbang dan sulit mengambil keputusan, waktu ia angkat kepala,
tampak Beng Goan-cau sudah mandi keringat, di atas kepalanya terhimpun uap putih yang
bergulung-gulung, maklum dengan mengerahkan seluruh Iwekang dan tenaga murninya Beng
Goan-cau harus menempur mati-matian Tiam-jong-siang-sat, betapapun ia tidak mungkin selalu
menahan napas selama itu. sedikit atau banyak dia harus bernapas dan ini berarti ia harus
menghirup hawa beracun dari pukulan berbisa musuh, untuk ini ia perlu menghimpun hawa mumi
mengubah hawa beracun itu menjadi keringat dan dikeluarkan dari badannya.
Melihat keadaan sukonya ini. Lu Su-bi insyaf bahwa sukonya sudah di ambang ancaman
elmaut. mau tidak mau ia harus mengambil putusan nekad. "Demi kita ibu beranak, suko hampir
saja mengorbankan jiwanya, kini dia sendiri terancam bahaya, masa aku tega berpeluk tangan
menonton saja" Seandainya pukulan beracun Tiam-jong-siang-sat membinasakan aku. betapapun
aku harus coba-coba menempuh bahaya ini." Untuk mengejar waktu, di saat Beng Goan-cau
masih kuat bertahan mati-matian, dalam hati selintasan ia membayangkan jalan permainan ilmu
golok cepat itu. Pengalaman' tempur menghadapi musuh memang Hun Ci-lo tidak seluas Lu Su-bi. namun dasar
pengertiannya dalam ajaran silat jauh melebihi Lu Su-bi. Maka di kala ia melihat uap putih yang
bergulung di atas kepala Beng Goan-cau itu. mau tidak mau hatinya mencelos. Tepat di kala Lu
Su-bi teringat akan ilmu golok ajaran ayahnya itu berbareng Hun Ci-lo juga teringat akan tiga
jurus ilmu pedang ajaran ayahnya.
Seperti diketahui ayah Lu Su-bi >aitu Lu Siu-gun dan ayah Hun Ci-lo yaitu Hun Ciong-san
adalah sahabat karib, di waktu Lu Siu-gun terlibat dalam perkelahian dengan Tiam-jong-siang-sat
dulu. kebetulan mereka masih bergaul maka Lu Siu-gun pernah ajak Hun Ciong-san tukar pikiran
mencari akal. menghadapi ilmu silat Tiam-jong-siang-sia.
Kedua orang ini sama-sama ahli dalam bidangnya, masing-masing. Hun Ciong-san seorang
tokoh ahli pedang, sementara ilmu golok Lu Siu-gun tiada tandingan, kepandaian mereka sama
setingkat dan setanding. Tapi karena Lu Siu-gun sering mengembara dan lari sana sembunyi sini.
beberapa tahun terakhir mengalami kehidupan dalam kejaran musuh, sulit memperoleh waktu
untuk memperdalam ilmu goloknya. Maka di kala Hun Ciong-san berhasil menciptakan tiga jurus
ilmu pedang yang khusus dapat memecahkan ilmu pukulan tangan Tiam-jong-siang-sat. itu terjadi
beberapa tahun sebelum Lu Siu-gun berhasil menciptakan ilmu golok cepatnya ini. Tatkala itu Hun
Ci-lo masih berusia empat belas tahun. Beng Goan-cau pun belum datang ke Soh-ciu.
Intisari ketiga jurus ilmu pedang ini senyawa dengan inti permainan ilmu golok cepat itu. Yaitu
harus dilancarkan dalam waktu yang singkat dan cepat seperti kilat. Tapi permainan pedang jauh
lebih ganas dan keji dari ilmu golok, ketiga jurus ilmu pedang ini sama mengarah ke jalan darah
mematikan di tubuh lawan, cukup sejurus mengenai sasarannya, kontan ilmu pukulan beracun
lawan tentu kena dipecahkan.
Akan tetapi ilmu pedang ini cuma tiga jurus, kalau dikatakan memang gampang, bahwasanya
setiap jurusnya justru mengandung banyak perubahan yang sangat rumit, kini di kala Hun Ci-lo
berniat menggunakannya, serta merta ia pun merasa menyesal kenapa ia malas berlatih selama
ini. Persoalan yang mempersulit Hun Ci-lo adalah, sekarang dia tidak suka muncul dan dilihat oleh
Beng Goan-cau. Karena ia hendak merangkap perjodohan Beng Goan-cau dan Lu Su-bi, bilamana
Beng Goan-cau sampai melihat dirinya, hal ini akan membawa pengaruh besar bagi hubungan
mereka. Soal Iwekang dia malah tidak perlu kuatir seperti keadaan Lu Su-bi sekarang. Karena usianya
enam tahun lebih tua dari Lu Su-bi, mengandal latihan Iwekangnya sekarang, paling pendek
dalam sesulutan dupa ia masih mampu bertahan tidak sampai kena terpengaruh oleh hawa
berbisa dari pukulan beracun musuh.
Keluar membantu Beng Goan-cau atau harus tetap sembunyi di tempatnya saja. Kalau tidak
lekas keluar Beng Goan-cau mungkin bakal melayang jiwanya.
Di saat Hun Ci-lo memperhitungkan cara yang sempurna dan menguntungkan bagi kedua
pihak, yaitu cara bagaimana ia keluar tanpa dikenal oleh Beng Goan-cau akan dirinya, dan baru
saja ia bersorak dalam hati, tepat pada saat itulah mendadak didengarnya Lu Su-bi berseru:
"Suko, mari kubantu menggebah kedua musuh laknat ini."-Melolos golok secepat kilat ia terjun ke
dalam gelanggang pertempuran.
Di mana sinar goloknya berkelebat kontan terdengar jeritan orang, lalu disusul tubuh Lu Su-bi
terpental mudur sempoyongan beberapa langkah ke belakang.
Ternyata tangan Pok Thian-tiau kena sejurus tusukan goloknya, tapi Lu Su-bi sendiri tak urung
kena didorong mundur oleh sebuah pukulan Toan Siu-si.
Betapapun Iwekang Lu Su-bi merupakan kunci yang menentukan, tabasan goloknya tidak
berhasil mengutungi pergelangan tangan Pok Thian-tiau, tapi dia kena dipukul mundur
sempoyongan oleh tenaga dalam Toan Siu-si, kontan darah bergolak di rongga dadanya, isi perut
seperti dipelintir dan jungkir balik, sakit bukan buatan.
Keruan Beng Goan-cau kaget sekali, serunya: "Siau-sumoay, bagaimana kau?"
Lu Su-bi mengertak gigi, serunya lantang: "Tidak apa. Kunyuk tua itu sudah terluka. Mari kita
gempur mereka bersama."
Meskipun ia menahan sakit sekuat-kuatnya dan bicara meninggikan nada, tapi mana bisa ia
mengelabui kuping Beng Goan-cau. Sebagai seorang ahli dalam bidangnya, suara siau-sumoay


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sedikit gemetar itu, terutama beberapa kata terakhir bukan saja gemetar bahkan terdengar
sumbang dan semakin lemah, sekilas memperhatikan lantas Beng Goan-cau tahu bahwa hawa
murninya sudah terganggu dan kurang terpusatkan, ini pertanda bahwa dia sudah terluka dalam.
Dalam pada itu, Pok Thian-tiau menggerung sekeras-kerasnya sambil menubruk maju,
hardiknya: "Budak liar yang tidak tahu mati hidup, berani kau melukai aku, aku ingin mencabut
jiwamu!" Sungguh culas dan kejam amat, pada hal sebelah tangan kirinya sudah tergantung berayunayun
hampir putus berlepotan darah oleh bacokan golok Lu Su-bi, hampir saja sudah ambil
perpisahan dengan badannya, tapi sedikit pun ia tidak mengerut alis atau mengeluh kesakitan,
dengan kalap ia menubruk datang pula.
Di bawah penerangan cahaya rembulan yang redup, kelihatan rona wajahnya beringas dan
menyeringai sadis, seperti setan ganas yang hendak menebus jiwa manusia. Tangan kanannya
terangkat tinggi, telapak tangannya menjadi hitam legam. Meski lengan kiri sudah terluka pukulan
beracunnya masih ada, maka seluruh kekuatan pukulan berbisanya ia kerahkan ke telapak tangan
kanan. Betapapun besar nyali Lu Su-bi, melihat wajahnya yang sedemikian mengerikan, tak urung ia
bergidik ketakutan. Lekas-lekas ia berpaling muka tidak berani melihat lagi, di samping lekas-lekas
ia kembangkan ginkangnya yang hebat diselingi permainan ilmu golok cepat. Ilmu goloknya masih
bisa dilancarkan secara baik, namun setelah terluka dalam, ada niat tenaga tidak memadai, sekali
kakinya gentayangan tabasan goloknya tidak mengenai Pok Thian-tiau. Untung gerak-geriknya
cukup gesit, maka pukulan berbisa Pok Thian-tiau pun tidak mengenai dia.
Lekas Beng Goan-cau memelintir dan membolang-balingkan golok emasnya, dengan sejurus
Tiang-ho-loh-jit bagaikan hujan badai goloknya merangsak melindungi sumoaynya sembari
menjaga serbuan musuh lebih lanjut. Sekali gentak Toan Siu-si mendorong Pok Thian-tiau ke
samping menghindari serangan golok Beng Goan-cau, sementara telapak tangan yang lain
bergerak membundar setengah lingkaran, ia bergaya hendak menyerang kepada Lu Su-bi, gerakan
ini sekaligus dapat memancing perhatian Beng Goan-cau untuk menyelamatkan sumoaynya. Dan
cepat sekali ia sudah melejit mundur juga beberapa langkah, terdengar ia bergelak tertawa.
"Apa yang kau tertawakan?" bentak Beng Goan-cau.
"Kutertawakan budak ini bisa berpura-pura dan bermuka-muka, memang persis sekali... Tapi
kuperingatkan jangan kau mengeraskan kepala berusaha bertahan secara kekerasan."
"Kau membual apa?" sentak Lu Su-bi sambil mengacungkan pedangnya, sebetulnya ia hendak
Pendekar Kelana 2 Pusaka Para Dewa Karya Lovely Dear Sepasang Garuda Putih 4
^