Pencarian

Kelana Buana 30

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 30


kuatir bertemu dengan Thiat-bin-su-seng Toan Siu-si itu?"
"Hm memangnya kau sendiri tidak takut" Kau merebut muridnya, membunuh suheng-nya lagi,
jikalau kita sama-sama kebentur dia, kukira dia tidak akan melepas kau seorang."
Kaget Hun Ci-lo mendengar percakapan ini, serasa ia sudah kenal suara salah seorang di
antaranya. "Murid Toan Siu-si yang mereka bicarakan bukankah Hoa-ji anakku?" Segera ia ganti
haluan, ia putar ke belakang kelenteng, lalu mengintip ke dalam melalui lubang di tembok, dilihatnya
seorang laki-laki berbadan kurus tinggi sedang bercakap-cakap dengan seorang tosu pertengahan
umur. Kiranya laki-laki kurus tinggi itu adalah orang ke empat atau termuda dari Tiam-lam-su-hou
yaitu Kiau Hun adanya. Tosu pertengahan itu Hun Ci-lo belum pernah melihatnya, namun setelah
mendengar percakapan mereka, ia tahu bahwa Tosu inilah yang bantu Tiam-lam-su-hou
membunuh Pok Thian-tiau dan merebut putranya, tosu busuk dari Khong-tong-pay itulah.
Memang Hun Ci-lo ingin tahu kabar Toan Siu-si dan putranya, maka sementara ia diam saja
mendekam di tempat persembunyiannya mencuri dengar percakapan mereka.
"Bicara terus terang," sambung si Tosu. "Aku memang rada takut menghadapi si pembunuh
kejam itu, kepandaiannya jauh lebih tinggi dari suhengnya Pok Thian-tiau itu. Kabarnya tiga
saudaramu semua ajal di tangannya, apa betul?"
Gemeratak Kiau Hun saking dendam: "Kau sudah tahu sengaja tanya, sejak kecil kami empat
saudara dibesarkan bersama dan tak pernah berpisah, kalau sekarang tidak ketinggalan aku saja
yang masih hidup, mana sudi aku lari ke pasukan besar menemanimu. Lebih jelasnya aku memang
takut Toan Siau-si membabat rumput seakar-akarnya, maka terpaksa aku menyingkir ke dalam
pasukan besar untuk? menyelamatkan diri."
"Kiau-heng tidak usah kuatir, aku dan kau dihinggapi penyakit sama dan harus saling kasihan.
Cuma kalau tidak kau singgung, aku sendiri tidak enak mengungkit hal ini kepadamu. Bukan saja
aku harus menyingkir dari kejaran Toan Siu-si, kita harus hati-hati kebentur dengan Beng Goancau
di sini." "Memangnya aku tidak seperti kau. Untung kali ini Ui-congping hanya suruh kita berkirim surat
kepada Han-ciangkun, kalau membawa kita ke medan laga, mungkin bisa bentrok dengan Beng
Goan-cau." "Benar, kabarnya Ui-congping kemarin dulu pimpin sepasukan tentara gemblengannya sendiri,
dari Thian-ping-san menuju ke Ho-lou-kok (lembah buli-buli), dia sudah siap menggempur Siaukim-
jwan, tak nyana malah kena terperangkap di dalam lembah, pemimpin laskar gerilya musuh
adalah Beng Goan-cau, Ui-congping sendiri terluka parah. Cuma apa betul dan dapat dipercaya
tidak berita ini?" "Kabar ini kudengar dari perwira di pos terdepan, kukira tidak akan meleset. Tapi kabarnya
Beng Goan-cau sendiri pun terluka, untung pihak kita tidak sampai kalah habis-habisan."
Tosu itu geleng-geleng kepala, ujarnya: "Kabar situasi di medan laga selalu baik, tak pernah
menguatirkan, jikalau kabar itu menyedihkan tentulah tidak akan salah lagi. Maka kalau Uicongping
dikabarkan terluka pasti takkan salah, Beng Goan-cau terluka, hal ini malah belum bisa
dipercaya." Kiau Hun tertawa, katanya: "Untung kau bicara dengan aku, kalau didengar orang lain,
mungkin kau bisa dijatuhi dosa 'menambah semangat musuh melumpuhkan semangat tempur dan
wibawa sendiri'." "Aku toh bicara menurut keadaan, memangnya aku begitu ceroboh sembarangan berkomentar
dengan orang lain. Tapi sekembali kita ke pasukan besar, boleh dikata memberikan laporan yang
menggirangkan." Kiau Hun menepekur sebentar, katanya: "Dalam hal ini kurasa malah ada sesuatu yang
mencurigakan." "Apanya yang kau curigai?"
"Dulu kau belum pernah bertemu dengan Han-ciangkun, sebaliknya aku sudah. Kubanding dari
kedua kali pertemuan ini, perbedaannya jauh sekali satu sama lain."
"Bagaimana tempo hari?"
"Tempo hari aku membawa surat Ciok Tio-ki menghadap padanya di gedung rumahnya,
sikapnya amat simpatik dan ramah tamah, menarikku duduk serta tanya ini itu, malah dia siapkan
meja perjamuan menjamu aku. Kali ini, setelah dia menerima surat Ui-congping hanya bersuara
'aku sudah tahu'. Meski menyiapkan perjamuan juga, namun hanya anak buahnya saja yang
menjamu kita:" "Ciok Tio-ki adalah wakil komandan Gi-lim-kun, orang kepercayaan Sat-congkoan lagi, tempo
hari kau disuruh oleh Ciok Tio-ki, dia tahu hubungan baikmu dengan Ciok Tio-ki, sudah tentu dia
harus memikat dan merangkulmu. Kali ini kita hanya membicarakan urusan dinas dengan dia, di
hadapan anak buahnya sudah tentu dia harus unjuk kewibawaannya sebagai penguasa tinggi,
memangnya kenapa dibuat heran?"
Kiau Hun geleng-geleng kepala, ujarnya: "Kau hanya tahu satu tidak tahu yang kedua."
"Bagaimana yang kedua?" "Ui-congping dan Han-ciangkun sama-sama sebagai panglima tinggi
yang berkuasa di seluruh wilayah Hunlam, hubungan pribadi mereka biasanya amat intim, dinilai
kedudukan jabatan, meski Ciok Tio-ki sebagai wakil komandan Gi-lim-kun, paling-paling
berpangkat kelas empat, apalagi hanya sebagai wakil saja, toh tidak punya hak kekuasaan penuh,
Ui-congping sebaliknya panglima tinggi kelas dua, berkedudukan di ibu kota propinsi Hunlam,
kalau mau dinilai dari jabatan dan hubungan, kali ini kita sebagai utusan langsung dari Uicongpkig,
seharusnya Han-ciangkun jauh lebih ramah dan simpatik kepada kita."
"Sudahlah buat apa kita merisaukan diri memikirkan hal-hal yang tidak perlu ini" Asal dia sudah
memberikan jawaban kapan akan menggerakkan pasukannya, kabar yang kita bawa pulang
adalah kabar baik, benar tidak?"
"Ya, semoga perasaanku saja yang salah menerka, kalau tidak bukan saja kita tiada
kesempatan untuk menuntut balas, malah jiwa pun harus dipertaruhkan pula!"
Mendengar sampai di sini, sedikit banyak Hun Ci-lo sudah dapat berkesimpulan, bahwa Toan
Siu-si sudah berhasil membunuh tiga musuhnya, sementara kedua orang ini sebagai kurir utusan
Ui-congping yang baru saja pulang menemui Han-ciangkun dari Tayli. Keruan dalam hati ia
bertanya-tanya heran, apakah Han-ciangkun yang mereka bicarakan bukan Han-ciangkun yang
sudah terbunuh oleh Thia Sin-gan itu" Sudah tentu Ci-lo tidak akan tahu bahwa Han-ciangkun ini
adalah penyaruan Li-ma-cu. Tapi yang diperhatikan Hun Ci-lo dari tempat persembunyiannya
bukan palsu atau tulennya Hanciangkun, adalah jejak putranya yang ingin diketahui. Toan Siu-si
sudah bunuh tiga saudara keluarga Kiau, entah muridnya berhasil direbut kembali tidak"
Hujan masih turun dengan lebatnya, Hun Ci-lo mencari dengar lebih lanjut, tak lama kemudian,
apa yang dia ingin ketahui pun dapatlah didengarnya dari percakapan kedua orang itu.
Terdengar Kiau Hun berkata dengan tertawa getir: "Tahukah kau bahwa murid she Nyo Toan
Siu-si dan Pok Thian-tiau itu sebenarnya bukan anak Nyo Bok, tapi adalah anak tunggal Beng
Goan-cau?" "Sudah lama kutahu, kenapa?" "Kalau kau bisa melindungi bocah itu dan
membawanya kemari, bisa kita pakai dia sebagai sandera untuk mengancam Beng Goan-cau.
Seumpama tak berhasil menuntut balas, hati pun tak perlu selalu waswas dan kebat-kebit, takut
orang menuntut balas."
Tosu itu menjadi uring-uringan, serunya: "Kau tahu, lantaran bocah itu, sekarang aku sudah
tidak bisa bercokol dalam Khong-tong-pay lagi?"
"Apa hubungan bocah itu dengan pihak Khong-tong-pay kalian?"
"Sudah tentu tiada ikatan apa-apa, tapi Toan Siu-si adalah sahabat karib suhengku Tan Khuseng."
Kiau Hun kaget, katanya: "Kabarnya Tan Khu-seng adalah tokoh kosen nomor satu dari Khongtong-
pay kalian?" "Memangnya, oleh karena itulah meski dia bukan ciangbun, ciangbun pun harus tunduk
kepadanya. Hari itu aku merebut bocah itu dan lari lebih dulu, semula hendak kubawa ke Gunbing
diserahkan kepada Ciok Tio-ki, tak nyana setiba di An-wa-poh kebentur dengan Tan Khu-seng,
entah dari mana ia mendengar kabar, begitu melihat aku lantas maki diriku merebut murid
sahabatnya, untung aku minta-minta ampun, hampir saja ilmu silatku dipunahkan dan badan pun
bakal cacat seumur hidup."
"Hah, bocah itu terebut oleh Tan Khu-seng?"
"Masakah aku berani melawan dia, tentu kuserahkan. Malah dia berani mentang-mentang
mewakili ciangbun segala mengusir aku dari perguruan Khong-tong-pay. Kejadian itu pasti akan
dia ceritakan kepada Toan Siu-si, karena itulah ke sana kemari jalan sudah buntu, terpaksa ikut
Ciok Tio-ki lari ke Siau-kim-jwan sini. Tak duga di dalam pasukan besar bersua denganmu, lebih
tak nyana lagi Ciok Tio-ki mendadak menghilang tak keruan."
"Kabarnya Ciok Tio-ki keluar bersama Coh Thian-hiong, kalau benar Ciok Tio-ki terjadi apa-apa,
berarti kita kehilangan tulang punggung, kukira kalau kita tinggal di sini lama-lama bisa celaka,
lebih baik tinggal ngacir mencari sandaran lain yang lebih kuat saja?"
"Beng Goan-cau berada di Siau-kim-jwan. Apa kau tidak ingin menuntut balas kepadanya lagi?"
tanya si Tosu. "Siau-kim-jwan kalau bobol digempur pasukan pemerintah kerajaan, jiwanya pasti amblas,
menurut pendapatku, surat dari Han-ciangkun ini, tidak usah kita bawa pulang."
"Wah, jangan, kalau menunda-nunda urusan penting kerajaan, bukankah kita bantu pihak Siaukim-
jwan malah?" "Biarlah kita cari jalan lain saja." Tapi cara apa Kiau Hun sendiri tak kuasa mengutarakan.
Hun Ci-lo sudah tahu jejak putranya, tak sabar ia mendengar percakapan mereka lebih lanjut.
Segera ia melompat keluar dari balik tembok seraya tertawa dingin: "Kebentur di tanganku,
memangnya kalian masih bisa pergi?"
Betapa terkejut Kiau Hun, cepat ia berjingkrak bangun, namun "Sret" tahu-tahu ujung pedang
Hun Ci-lo sudah mengancam tenggorokannya. Lekas Kiau Hun gunakan Hong-tiam-thau berkelit,
serempak kedua batang potlotnya terangkat menangkis dengan tipu Ki-hwe-liau-thian, "Trang"
potlot kiri Kiau Hun gumpil tergores, terasa kulit kepala silir dingin, ternyata ujung pedang Hun Cilo
mengelupas sebagian rambut di atas kepalanya.
Tosu dari Khong-tong-pay menghardik: "Perempuan galak dari mana, berani mengganas di
sini?" Lekas ia melolos pedang, namun belum lagi pedang ia mainkan, kaki sudah menendang api
unggun, sebat sekali Hun Ci-lo mengegos miring, sebatang kayu berapi menyambar lewat dari
samping badannya, kebetulan memapak ke arah Kiau Hun.
Hun Ci-lo malas buka mulut, pedang segera ia mainkan menurut ajaran keluarganya,
beterbangan bintik-bintik sinar kunang-kunang dingin, tahu-tahu ujung pedangnya menusuk ke
dada si Tosu. Sekali gebrak Hun Ci-lo menggunakan akal sergapan dari samping yang melanggar
kebiasaan ajaran ilmu pedang yang harus bertempur secara berhadapan, dalam kebiasaan di Bulim
cara tempurnya ini merupakan suatu penghinaan dan memandang rendah musuh. Sudah tentu
si Tosu murka, sekuat tenaga pedang panjangnya lantas mengetuk miring serta disendai naik
pula. Siapa tahu permainan ilmu pedang Hun Ci-lo justru lincah, aneh dan mengandung banyak
perubahan yang sukar diraba arah sasarannya, ternyata serangannya tadi hanya gertak sambal
belaka, maka ketukan pedang si Tosu mengenai tempat kosong, gesit sekali Hun Ci-lo sudah
menekuk lutut menggeser langkah, berkisar ke belakang lawan, berbareng ujung pedangnya
berputar mengganti tipu serangan, cepatnya laksana kilat menyambar, Ceng-kong-kiam terjungkit
naik ia sontek lengan kanan lawan. "Cret" lengan baju si Tosu tertusuk sobek malah lengannya
pun tergores luka panjang. Untung dia masih sempat melompat minggir, kalau tidak seluruh
lengannya ini sudah berpisah dengan badannya.
Kejut dan gusar pula si Tosu dibuatnya, teriaknya: "Perempuan keji, kau, siapa kau?"-Di
sebelahnya Kiau Hun sudah melompat bangun dari tanah setelah memadamkan api yang
membakar bajunya. Sahutnya: "Perempuan busuk ini adalah Hun Ci-lo!"
Hun Ci-lo tertawa dingin, jengeknya: "Kematian sudah di ambang mata masih berani kau
memaki orang!" Ceng-kong-kiam menusuk dengan keras, hilang suaranya orangnya pun
menubruk datang, dengan jurus Pek-hong-koan-jit, ujung pedangnya tahu-tahu sudah
menyelonong ke mulutnya yang masih terbuka lebar. Kedua potlot Kiau Hun sudah tak sempat
untuk menangkis atau mengetuk miring. Untung si Tosu datang menolong dengan cepat,
pedang panjangnya menusuk Hong-hu-hiat di punggung Hun Ci-lo, tusukan ini merupakan
serangan mematikan yang memaksa musuh harus menyelamatkan diri lebih dulu, terpaksa Hun Cilo
mengayun balik pedangnya, mengguncang pergi tusukan pedang lawan, sementara Kiau Hun
berkesempatan meloncat minggir sejauh mungkin. Tapi belum lagi ia berdiri tegak dan sempat
balas menyerang, sekali gebrak Hun Ci-lo sudah memukul mundur si Tosu, gebrakan kedua tahutahu
ujung pedang orang sudah mengancam dadanya pula. Sungguh laksana bayangan mengikuti
wujudnya. Lekas si Tosu menggaris miring dengan pedangnya, dengan kerja sama pedang dan sepasang
potlot, mereka terus menyerang bergantian sekuat tenaga, lambat laun barulah berhasil
membendung rangsakan lihay pedang Hun Ci-lo. Bentak Kiau Hun keras: "Perempuan busuk, biar
aku adu jiwa dengamu!"
Ginkang Hun Ci-lo jauh lebih tinggi, ini sudah pernah ia rasakan sendiri. Ia insyaf dirinya takkan
bisa lolos lagi, maka ia bertindak nekad dan untung-untungan, maka ia mengeraskan kepala untuk
adu jiwa dengan Hun Ci-lo. Demikian pula si Tosu punya maksud yang sama, karena kelakuan
nekad mereka, meski Hun Ci-lo tidak sampai terkalahkan, dalam waktu singkat terang dia takkan
gampang merobohkan kedua musuhnya.
Maklumlah sejak melahirkan kondisi badan Hun Ci-lo belum mendapat perawatan semestinya,
belakangan harus menempuh perjalanan jauh pula, betapapun tinggi ilmu silatnya, sedikit banyak
kesehatannya terganggu juga. Begitulah dengan mati-matian Kiau Hun dan si Tosu bertahan balas
menggempur sekuat tenaga, dalam tiga puluhan jurus mereka hanya mampu bertahan, setelah
tiga puluh jurus lebih, mereka sudah tenang dan bertahan dengan kokoh, lima puluh jurus
kemudian, lambat laun sudah kuasa balas menyerang dengan teratur. Sebaliknya ilmu pedang
permainan Hun Ci-lo semakin lambat dan terasa berat, seolah-olah tenaga tidak memadai
semangat tempurnya pula. Si Tosu kegirangan, teriaknya: "Perempuan busuk ini sudah kehabisan tenaga, ayolah
pergencar serangan, gasak saja dia!" Dari bertahan serempak mereka lancarkan serangan gencar
bertubi-tubi dari kedua sisi, semakin menyerang semakin ganas.
Hun Ci-lo kertak gigi, dengan sekuat tenaga ia bertahan sambil mengempos semangat.
Sekonyong-konyong kedua potlot Kiau Hun terbagi ke kanan kiri, dengan Siang-hong-koan-ni,
potlot kiri pura-pura menutul muka Hun Cilo, sedang potlot kanan langsung menusuk ke Hoa-kayhiat.
Badan Hun Ci-lo tergeliat mundur, sehingga serangan kedua potlot lawan mengenai tempat
kosong, ia pegang kesempatan persis pada waktunya, "Sret" pedangnya balas menusuk. Jurus ini
semestinya amat ampuh perbawanya, sayang ia sudah kehabisan tenaga, terpaut setengah dim
saja ujung pedangnya mengenai sasaran. Celaka adalah potlot Kiau Hun secepat kilat tahu-tahu
sudah menyelonong balik me-notok ke Hun-tai-hiatnya, sementara tosu Khong-tong-pay itu
pedangnya menggaris sebuah lingkaran membundar, cepat sekali sudah mengurung gerak-gerik
badannya. Cara gerak pedangnya ini dinamakan jurus Giok-tai-wi-yau (sabuk kemala membelit
pinggang), salah satu ajaran ilmu pedang Khong-tong-pay yang tak sembarangan bisa dipelajari.
Si Tosu menyangka lawan takkan bisa lolos lagi, teriaknya kegirangan: "Punahkan ilmu silatnya, ampuni
jiwanya!" Pikirnya dia hendak menawan hidup-hidup untuk dijadikan sandera mengancam Beng Goan-
cau. Tak nyana kejadian berlangsung secepat percikan api, tiba-tiba didengarnya Hun Ci-lo menghardik
nyaring, badannya tiba-tiba melambung naik ke atas, sepatunya kebetulan menginjak ujung potlot Kiau
Hun yang menusuk tiba, meminjam tekanan injakan kaki ini, bagai burung raksasa badannya mencelat
lebih tinggi di udara. Begitu Hun Ci-lo melompat lewat dari atas kepala Kiau Hun, belum lagi kakinya menginjak bumi, kembali
pedangnya bergerak dengan Pek-hong-koan-jit yang lihay dari atas menusuk turun.
Lekas Kiau Hun menundukkan kepala sambil menyilangkan kedua po-tlotnya ke atas melindungi kepala.
Tak tahunya tusukan pedang Hun Ci-lo dilandasi seluruh kekuatannya, dari atas ke bawah lagi, betapa
hebat perbawanya. Begitu kedua potlot Kiau Hun kena terketuk dan tergentak nyaring, meski ujung pedang Hun Ci-lo tidak menembusi batok kepalanya, malah kedua potlotnya sendiri yang tergentak balik
menusuk kepalanya sendiri.
Si Tosu mendengar pekik nyaring Kiau Hun menjelang jiwanya melayang, serasa arwahnya sudah copot
terbang dari badan kasarnya, mana ia berani bertempur lebih lanjut" Sekali putar badan, cepat ia angkat
langkah seribu. Hun Ci-lo menjengek dingin: "Bukankah kau hendak punahkan ilmu silatku?" Bagai harimau kelaparan ia
menubruk maju, pedangnya lagi-lagi menyerang dengan jurus Giok-li-toh-so, sasarannya adalah ulu hati
orang dari belakang. Mendengar angin menderu dari belakang, tahu takkan bisa melawan, secara reflek, si Tosu
membalikkan pedang untuk menangkis, "Trang" pedang si Tosu kutung menjadi dua, namun
punggungnya pun tergores luka, dengan luka-luka parah dan kesakitan cepat ia lari sipat kuping.
Hun Ci-lo mengejar ke luar kelenteng, setelah pedangnya melukai si Tosu, baru saja ia hendak
kembangkan ginkangnya Yan-cu-sam-cau-cui, mendadak kakinya terhuyung sempoyongan hampir
saja terjungkal jatuh. Kiranya meski ia berhasil membunuh Kiau Hun, ia sudah kerahkan seluruh kekuatannya, seperti
dian yang hampir kehabisan minyak, hawa murninya sudah tak mau menyambung kekuatan
badannya. Lekas ia menarik napas panjang beberapa kali, pikirnya: "Tosu keparat itu sudah terluka, meski
tenagaku sudah hab.is, yakin aku masih bisa memburunya. Apalagi dia mengundang bala bantuan
pasukan pemerintah, jiwanya lebih tak bisa kuampuni." Dengan mengeraskan hati, dengan
kencang ia mengejar ke luar.
Hujan masih rintik-rintik, cuaca gelap gulita, kelima jari sendiri pun tak terlihat, setelah terluka
derap langkah si Tosu terdengar berat bersuara, maka dengan gampang Hun Ci-lo menguntit jejak
orang melalui gerak langkahnya.
Jalan pegunungan memang tidak rata dan banyak rintangan, apalagi di tengah hujan lagi, lebih
sukar dan licin dilalui. Karena terpeleset si Tosu terperosok jatuh terus menggelundung ke bawah
lereng gunung. "Ke mana kau lari?" bentak Hun Ci-lo mengejar datang. Baru saja ia percepat
larinya hendak menamatkan jiwa orang, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang menubruk
keluar dari balik tumpukan batu-batu gunung sana, sekali ayun ia membacokkan goloknya ke leher
Hun Ci-lo. Hun Ci-lo cukup pengalaman menghadapi pertempuran, meski jiwa terancam, sedikit pun tidak
menjadi gugup, sebat sekali ia balas menyerang dengan Hian-niau-hoat-sa, orang itu berseru
memuji: "Ilmu pedang bagus." Pedang dan golok beradu, kembang api muncrat, orang itu tertolak
mundur setapak, namun ia masih menghalangi jalan Hun Ci-lo. Sementara pergelangan tangan
Hun Ci-lo terasa kemeng linu, hampir saja Ceng-kong-kiam tergetar lepas dari cekalannya.
"Mana kawan-kawan hayo bantulah kemari!" teriak orang itu tiba-tiba, bukan saja berkaok-kaok
malah ia sambitkan sebatang panah berapi, Coa-yan-cian yang dia lepas ini pertanda untuk minta
bantuan, begitu melesat tinggi ke tengah angkasa, dalam beberapa li seluas lingkungannya masih
dapat terlihat jelas. Seperti hujan badai sekaligus Hun Ci-lo merangsak dengan gencar tujuh delapan belas jurus
pedang, agaknya lawan pandai mendengar angin membedakan senjata, di dalam kegelapan, ia
masih kuasa menghadapi rangsak-an pedangnya yang lihay dan ganas ini, sedikit pun tidak kacau
atau gugup, setiap jurus setiap tipu ia patahkan dengan mudah.
Keruan kaget dan heran Hun Ci-lo dibuatnya, namun pedangnya tetap dimainkan secepat
kitiran, dalam sekejap saja Ia sudah menyerang empat lima puluh jurus, namun orang itu hanya
bertahan dengan mantap tanpa balas menyerang, mengikuti gerak pedang Hun Ci-lo, berkelit ke
timur menangkis ke barat, setiap jurus dipunahkan setiap tipu dipatahkan, ia menjaga diri dengan


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketat dan tenang. Tapi bila Hun Ci-lo hendak menerobos lewat dari samping badannya, selalu
kena dihadang pula. Gebrakan permulaan, mungkin karena orang itu belum tahu sampai di mana kekuatan Hun Cilo,
jeri menghadapi ilmu pedangnya pula, terpaksa ia menghadapinya secara serius. Puluhan jurus
kemudian, setelah ia tahu Hun Ci-lo kehabisan tenaga, tenaga yang dia kerahkan pun ikut menjadi
lemah. Tidak lama kemudian tampak dari kejauhan sebarisan pasukan Ceng berkuda dibedal
mendatangi, dari atas tampak barisan obor memanjang bergerak dengan cepat. Tapi malam gelap
hujan lagi, jalan licin dan susah dilalui, apalagi berkuda pula, mereka tidak tahu berapa musuh
yang terpendam di atas gunung, maka mereka tidak berani sembarangan menyerbu naik, setiba di
bawah gunung hanya berteriak-teriak saja.
Tosu Khong-tong-pay itu terus menggelundung ke bawah bukit, teriaknya: Aku di sini, lekas
tolong aku!" Musuh Hun Ci-lo melihat pasukan pemerintah sudah tiba di bawah gunung, tosu itu pun belum
ajal, baru ia menghela napas lega, tiba-tiba ia balas menyerang dengan gertakan, lalu bersuara
rendah lirih: "Hun lihiap, harap mengikuti jejakku!" Putar badan terus lari. Anehnya dia tidak lari
ke bawah bukit yang ada sinar api, malah lari ke arah hutan gelap pekat di atas sana. Sembari lari
mulut berkaok-kaok: "Aduh, perempuan busuk yang lihay, tolong, tolong!" Seolah-olah kehabisan
tenaga dan suara pun serak, persis juga ia berpura-pura terluka parah.
Sudah tentu timbul rasa curiga Hun Ci-lo, batinnya: "Orang ini cukup mampu mengalahkan aku,
untuk membunuhku tak perlu mengatur jebakan. Baik, biar kulihat sandiwara apa yang sedang dia
lakukan?" Sayup-sayup didengarnya derap kuda berlari semakin jauh, kiranya setelah menolong si
Tosu pasukan berkuda itu lantas mundur.
Setiba di dalam hutan, orang itu berkata: "Cukuplah, di sini saja!" la mengetik batu api supaya
Hun Ci-lo melihat jelas raut mukanya. Kini hujan sudah reda.
Tampak orang ini berusia tiga puluhan, mengenakan seragam kemiliteran pasukan pemerintah,
Hun Ci-lo tidak berani lena, tanyanya sambil menyoreng pedang: "Siapa kau?"
"Aku bernama Lau Khong, sahabat baik Beng Goan-cau, Miao Tiang-hong aku pun kenal baik,
kabarnya dia bersama Hun lihiap, kenapa tidak kulihat dia?"
Hun Ci-lo terperanjat, hatinya bimbang, jengeknya: "Kudengar katanya Lau Khong seorang lakilaki
gagah, kenapa kau sudi menjual jiwa bagi Tatcu?"
"Tak heran kalau Hun lihiap curiga, panjang untuk menjelaskan. Biarlah kuberi tahu sebuah hal
kepada Hun lihiap." "Hal apa?" "Bu Toan berdua sudah berada di Siau-kim-jwan, waktu di Tayli berkat bimbingan Hun Lihiap,
waktu berpisah, kau pun memberi petunjuk untuk melakukan sesuatu, perjodohan kami sampai
mendapat perhatian Hun lihiap, aku pun amat berterima kasih."
Kedengarannya kata-kata iseng, namun sengaja Lau Khong mengatakan untuk membuktikan
asal-usul dirinya, ia mengakui sebagai calon suami Bu Cheng, apa yang Hun Ci-lo pernah katakan
kepada Bu Cheng, kecuali kepada bakal suaminya, pastilah takkan diutarakan kepada orang luar.
Baru sekarang Hun Ci-lo mau percaya, katanya: "Kiau Hun dan si Tosu tadi bertugas
mengundang bala bantuan, Kiau Hun sudah kubunuh, tosu itu pun sebetulnya takkan lolos, entah
kenapa Lau tayhiap menolongnya malah?"
"Terus terang, aku mendapat petunjuk dari Siau dan Leng-toako, sedapat mungkin melindungi
jiwa mereka. Untung kau hanya bunuh Kiau Hun, kalau tosu itu kau bunuh sekalian, urusan bakal
gagal berantakan." "Kenapa?" tanya Hun Ci-lo keheranan.
"Mereka membawa surat dinas Han-ciangkun, dalam surat itu menjanjikan Ui-congping untuk
bergabung di suatu tempat, maka sedapat mungkin kita harus biarkan surat dinas itu sampai ke
tangan panglima perang musuh."
"Bukankah Han-ciangkun di Tayli itu sudah terbunuh" Apa kau belum bertemu dengan Thia Singan
ayah beranak?" "Benar, Han-ciangkun yang tulen memang sudah mampus, tapi Han-ciangkun tiruan ini adalah
samaran Li-ma-cu." Baru sekarang Hun Ci-lo sadar, katanya: "O, jadi kalian hendak pancing musuh masuk
perangkap?" "Tidak semua saudara kita tahu akan rahasia ini. Belakangan ini banyak kawan pendekar yang
datang membantu, kalau sampai kedua orang ini kebentur di tangan mereka, mungkin bisa terjadi
di luar dugaan, maka aku ditugaskan melindungi mereka, supaya surat dinas itu tiba sampai di
alamat sebenarnya." "Kiranya begitu, hampir saja aku menggagalkan urusan besar malah."
"Apa Miao tayhiap tidak datang?" tanya Lau Khong pula, karena sejak tadi Hun Ci-lo belum
menjawab pertanyaannya ini.
Hun Ci-lo menekan perasaan hatinya, sahutnya: "Tiang-hong tidak datang, aku sendiri tidak
akan lama di Siau-kim-jwan, setelah kalian menang dengan gemilang, sesudah bertemu dengan
Goan-cau, aku segera akan berlalu."
"Goan-cau tak berada di pangkalan pusat, dua hari mendatang, mungkin dia sedang bertempur
secara besar-besaran dengan pasukan Ceng. Apa kau perlu segera menemui dia?"
"Aku sudah tahu dia tak berada di pangkalan, baru saja kudengar kabar ini dari pembicaraan
Kiau Hun dan si Tosu tadi."
"Bagaimana keadaannya?"
"Dia menang dengan gemilang, tapi dia sendiri pun terluka."
"Apa benar?" tanya Lau Khong terkejut.
"Mereka yang mengatakan, namun mereka pun tidak melihat sendiri, aku sendiri tidak tahu
kebenarannya." "Kalau benar Beng-toako terluka, aku sendiri tak bisa ke sana menjenguknya. Hun lihiap tolong
kau saja yang menjenguknya ke sana sekaligus merawatnya."
"Baik, coba terangkan, di mana letak Beng Goan-cau membuat perangkap menjebak musuh
serta cara jalannya?"
"Dari sini ke arah barat, setelah melampaui sebuah gugusan bukit, kira-kira enam tujuh puluh li,
di mana terdapat sebuah lembah bernama Ho-lou-kok, Goan-cau dengan pasukannya menunggu
musuh di sana." Waktu Hun Ci-lo berpisah dengan Lau Khong beranjak keluar dari hutan, hari sudah mulai
terang tanah, sang surya sudah terbit di ufuk timur, seorang diri Hun Ci-lo beranjak ke barat
sambil menghirup hawa pagi nan sejuk dan nyaman, namun kabut dalam hatinya masih belum
buyar. Enam tujuh puluh li bagi Hun Ci-lo ditempuh dalam waktu cukup singkat, namun sepanjang
jalan ini melulu hutan-hutan lebat, suasana sepi lengang tak terlihat bayangan seorang tentara
pun jua, lapat-lapat Hun Ci-lo merasakan firasat jelek.
Akhirnya ia memasuki lembah buli-buli itu juga, yang terpentang di hadapannya adalah
pemandangan medan laga yang seru sengit dan amat mengenaskan, namun suasana di sini pun
sudah sunyi tak terlihat sesuatu gerakan apa-apa, kiranya peperangan di sini sudah usai, mayat
manusia bertumpuk-tumpuk malang melintang berserakan di mana-mana, darah membasahi bumi
merubah warna rumput, agaknya pertempuran belum berhenti lama, karena darah segar belum
membeku dan masih mengalir. Bau anyirnya darah hampir saja membuatnya muntah saking mual.
Burung gagak beterbangan di atas kepalanya, seolah-olah mereka berkaok-kaok senang bakal
pesta pora. "Goan-cau, Goan-cau!" sekeras-kerasnya Hun Ci-lo keluarkan suaranya. Tak terdengar suara
sahutan, tak terlihat ada reaksi. Dari mulut lembah ia menjelajah.maju terus sambil memeriksa
setiap mayat-mayat yang dia ketemukan, namun jejak Beng Goan-cau tidak diketemukan. Namun
ia tidak putus asa, ia terus mencari kian kemari, pandangan yang mengerikan sudah tidak menjadi
perhatian benaknya, yang terpikir hanyalah dia harus menemukan Beng Goan-cau.
Pada sebuah hutan belantara, lambat laun Beng Goan-cau mulai siuman dan sadar, seolah-olah
ia baru bangun dari sebuah impian buruk.
Rumput alang-alang dan dahan-dahan pohon yang menjulang tinggi ke angkasa terbayang di
kelopak matanya, seperti tombak dan pedang yang tak terhitung banyaknya, hutan lebat nan
gelap seakan-akan terdapat ribuan pasukan berkuda yang siap bertempur. Sudah tentu itu hanya
khayalannya saja, yang terang itulah suara burung gagak yang berkaok-kaok saling bersahutan.
"Apakah aku masih hidup" Tempat apakah ini?" akhirnya ia teringat kembali, waktu ia mengejar
panglima musuh dan di sini terperangkap kena panah-panah musuh. "Ui-cong-ping itu memang
pandai perang, tapi akhirnya dia toh terkalahkan juga oleh kami." Terkulum senyum puas pada
ujung bibir Beng Goan-cau, namun ia tidak kuasa bergerak, entah sudah berapa lama ia jatuh
pingsan di tempat itu. "Ke manakah saudara-saudaraku, kenapa seorang pun tak kelihatan" Apa
mereka terus mengejar musuh?"
Ia tidak tahu bahwa anak buah pimpinannya sudah berhasil menggempur musuh yang
jumlahnya lima kali lipat dari mereka dengan habis-habisan, namun yang gugur pun tidak sedikit,
kuatir bala bantuan musuh tiba, terpaksa mereka mengundurkan diri lebih dulu. Teman-temannya
mengira dengan kepandaian silatnya yang tinggi, tentu sudah lama ia menerjang keluar kepungan
musuh dan mundur kembali ke Siau-kim-jwan menurut rencana yang sudah ditentukan.
"Air, air!" terasa tenggorokan Beng Goan-cau kering dan panas. Orang yang terluka takkan
merasa lapar, namun dahaga terasa amat menyiksa, mulutnya mengeluarkan keluhan lirih, ia
mengharap setitik air pun cukuplah untuk membasahi tenggorokan.
"Air, air, minta air!" Setengah sadar mulutnya mengigau entah berapa lama, tiba-tiba sesuatu
keajaiban terjadi, terasa oleh Beng Goan-cau seluruh tubuh mendadak nyaman segar, luka-luka
panahnya pun berhenti sakit, seperti air perigi nan dingin segar itu betul-betul mengalir masuk
mulutnya, betapa nikmatnya.
Sekuatnya Beng Goan-cau membuka kelopak matanya, karena belum sadar benar, hanya
kelihatan bayangan orang yang remang-remang di depan matanya. Orang itu pelan-pelan
mengelus mukanya, berbisik halus di pinggir kupingnya: "Toako, toako, sadarlah kau!" begitu
merdu dan amat dikenalnya suara ini, siapakah dia"- Tapi ia sudah dapat merasakan jari-jari
tangan halus yang mengelus badannya adalah tangan perempuan.
Apakah Lu Su-bi" Ataukah Lim Bu-siang" Ia coba pentang matanya lebar-lebar, bukan Lu Su-bi,
bukan pula Lim Bu-siang, jauh di luar dugaannya justru adalah Hun Ci-lo adanya! Di saat ia sendiri
sudah cemas akan saat-saat ajalnya dan terbayang-bayang akan Hun Ci-lo, kini ternyata menjadi
kenyataan. Benarkah ini kenyataan" Beng Goan-cau masih ragu-ragu dan menyangka dirinya
sedang mimpi. Lama juga Hun Ci-lo mengharap-harap barulah Beng Goan-cau sadar betul-betul. Namun,
melihat keadaan orang sungguh hati merasa senang dan pedih pula, katanya: "Syukurlah kau
sudah sadar. Coba kau lihat siapa aku, aku inilah Ci-lo!"
Melonjak jantung Beng Goan-cau teriaknya dengan sekuat tenaga: "Hah! Ci-lo, kiranya betul
kau!" Sayang hanya mulutnya saja yang megap-megap, Hun Ci-lo hanya mendengar
tenggorokannya berkerutukan.
"Toako," ujar Hun Ci-lo lembut, "jangan kau bicara, biar kuobati luka-lukamu!" Lubang lukaluka
sudah dia cuci bersih, dengan tangan dan gerakan yang sudah terlatih ia cabut keluar dua
batang panah yang menancap di badan
Beng Goan-cau, lalu membubuhi Kim-jong-yok. Ujung mulut Beng Goan-cau mengulum
senyuman puas, mendengus kesakitan pun tidak.
Hun Ci-lo mengunyah beras goreng yang dia geledah keluar dari kantong mayat-mayat yang
menggeletak lalu dijejalkan ke mulut Beng Goan-cau, dicekoki pula air dingin. Tak lama kemudian
semangat dan tenaga Beng Goan-cau mulai pulih, katanya lirih: "Ci-lo, terima kasih akan
pertolonganmu, mana Miao, Miao-toako?"
"Toako, jangan kau banyak bicara, dengarkan saja kata-kataku," kata Hun Ci-lo sambil
menyelimutkan selembar mantel kulit ke badan Beng Goan-cau. "Anak Hoa kita berada di tangan
Tan Khu-seng Tosu dari Khong-tong-pay. Tan Khu-seng adalah teman baik Toan Siu-si. Mereka
amat sayang kepada Hoa-ji, kelak Hoa-ji, pasti akan tumbuh dewasa. Toako, kau tidak perlu
menguatirkan keadaannya."
Tapi keadaan Beng Goan-cau memang teramat lemah, ia hanya melongo mendengar
penjelasan Hun Ci-lo meski ia tidak tahu siapakah Tan Khu-seng itu. Yang terpikir hanyalah di
manakah sekarang Miao Tiang-hong berada" Tapi Hun Ci-lo tidak memberitahu.
"Toako, kau terlalu letih. Kau harus istirahat, pejamkan mata dan tidurlah. Biar kunyanyikan
sebuah lagu, tidurlah tidur!"
Begitulah dengan mendelong Hun Ci-lo nyanyikan lagunya, tanpa disadarinya bahwa cuaca
sudah mulai gelap, entah berapa lama sudah Beng Goan-cau tertidur lelap dibuai oleh
nyanyiannya, kalau sang surya masih memancarkan cahaya kuning emasnya yang kemilau
menjelang magrib ini, perasaan hati Hun Ci-lo pun ikut berkabut dan menjadi gelap. Seperti
sesosok patung kayu, dia tetap duduk di pinggir Beng Goan-cau dengan terlongong.
Tiba-tiba lamunannya dikejutkan oleh derap langkah kaki yang berkumandang di dalam lembah
nan sunyi ini. Bukan mustahil yang datang adalah musuh, dengan cekatan Hun Ci-lo melompat
bangun, baru saja ia hendak menyembunyikan Beng Goan-cau, namun sudah terlambat, tahu-tahu
dua orang sudah melompat naik ke atas sini.
Seketika kedua pihak sama-sama kepergok dan melengak, ketiganya sama-sama kaget pula!
Kiranya pendatang ini adalah Yam-yam Hwesio dan Lian Kam-peh. Melihat musuh lamanya Hun Cilo
tidak ayal, "sret" ia tusukkan pedangnya lebih dulu.
Tusukan ini amat cepat dan telak, "Trang" potlot baja di tangan kanan Lian Kam-peh
tergoncang miring ke samping, sebetulnya tusukan pedang Hun Ci-lo sudah dilandasi seluruh
kekuatannya, maka daya gerakannya masih kuat tetap menyambar ke arah mukanya. Kepandaian
Lian Kam-peh memang bukan tandingannya, namun kepandaiannya tidak terhitung lemah, cepat
ia mendoyongkan badan tertekuk ke belakang, berkelit sembari balas menyerang, dengan Hengka-
kim-liang, dengan keras ia ketuk tajam pedang orang.
Hun Ci-lo insyaf tenaganya teramat lemah, maka ia harus bergerak cepat dan secara kilat
menyelesaikan pertempuran ini, barulah dia bisa melindungi keselamatan Beng Goan-cau.
Begitulah dengan menyerempet bahaya mendadak ia lancarkan tipu-tipu pedangnya yang aneh
dan berbahaya, badannya tiba-tiba mencelat naik, dengan Beng-pok-kiu-siau, dari atas pedangnya
menusuk ke bawah. Yam-yam Hwesio berjalan di belakang, jaraknya masih rada jauh, di saat Hun Ci-lo merangsak
kepada Lian Kam-peh, kebetulan dia pun melihat Beng Goan-cau yang rebah tak bergerak di atas
tanah. Memangnya dia bersama Lian Kam-peh mendapat perintah Ui-congping untuk mencari
jejak Beng Goan-cau. Hari itu Ui-congping yang terluka hampir saja tertawan hidup-hidup oleh
Beng Goan-cau. Tapi dia pun melihat di atas badan Beng Goan-cau menancap beberapa batang
panah, ia duga luka-luka Beng Goan-cau pasti tidak ringan, apalagi kehabisan darah, tapi
kepandaiannya tinggi, belum tentu sudah ajal, maka ia utus kedua jagonya ini untuk memeriksa
medan laga. Sudah tentu bukan kepalang girang Yam-yam Hwesio, tanpa hiraukan temannya yang
menghadapi bahaya, lekas ia memburu maju seraya berteriak senang: "Sudah kutemukan, sudah
kutemukan! Haha, haha! Inilah Beng Goan-cau di sini!"
Tusukan pedang Hun Ci-lo dari tengah udara ini, sebetulnya bisa memenggal batok kepala Lian
Kam-peh, sekonyong-konyong mendengar seruan Yam-yam Hwesio yang kegirangan itu, keruan
tersirap darahnya, dengan sendirinya tusukan pedangnya menjadi miring. Meski demikian tajam
pedangnya menyerempet kulit kepala Lian Kam-peh serta mencukur gundul separuh rambut
kepalanya. Mati-matian Lian Kam-peh jatuhkan diri terus menggelundung sejauhnya baru melompat
bangun, serasa arwah melayang dari badan kasarnya, saking ketakutan dan kuatir Hun Ci-lo
mencecarnya lebih lanjut, lekas ia berteriak: "Yam-yam Taysu, lekas, lekas tolong aku!"
Baru sekarang Yam-yam Hwesio sadar untuk menolong temannya, ia duga Beng Goan-cau
sudah mampus atau terluka parah, tak perlu kuatir orang bisa melarikan diri. Maka lekas ia putar
balik menolong Lian Kam-peh.
Yang dikuatirkan Hun Ci-lo keselamatan Beng Goan-cau, mana dia sempat pikirkan mati hidup
Lian Kam-peh" Lekas ia pun putar balik memburu ke arah Beng Goan-cau, jadi kedua pihak
bertemu di tengah jalan. Yam-yam hwesio meyakinkan Hwe-liong-kang, sekali tepuk deru anginnya panas membara,
seketika Hun Ci-lo merasa napas sesak seperti tertindih batu, namun ia tetap merangsak dengan
hebat. Sekaligus ia cecar lawan sampai puluhan jurus dengan tipu-tipu ilmu pedang yang lincah
dan cepat, kaki pun bergerak dengan Menyusup Kembang Mengitari Pepohonan, sejurus Pek-hoih-
sip, pedangnya membawa sambaran angin menusuk Hian-ki-kiat di dada lawan. Lekas Yam-yam
tarik tangan melindungi dada, cepat sekali Hun Ci-lo merubah permainannya, kini ganti sasaran
menusuk tapak tangan orang. Perubahan jurus ini amat baik dan aneh, tusukan dilancarkan dari
sudut yang tidak terduga oleh Yam-yam Hwesio.
"Cret" kasa yang dipakai Yam-yam tertusuk berlubang, untung dia berkelit dengan cepat, kalau
tidak mungkin ulu hatinya sudah berlubang. Seperti diketahui Lau-kiong-hiat di pusat tapak tangan
Yam-yam Hwesio merupakan titik terlemah dari ilmu yang dia yakinkan, kalau Lau-kiong-hiat
berlubang, seperti ban yang kempes kehabisan angin, maka Hwe-kiong-kang latihannya pun
pecah dan menjadi cacat. Keruan kaget dan jeri setengah mati.
Untung Lian Kam-peh keburu datang serta berteriak: "Taysu jangan kuatir, perempuan busuk
ini sudah hampir kehabisan tenaga, paling lima puluh jurus pasti kita bisa membekuknya hiduphidup."
Memang Lian Kam-peh pernah jajal kekuatan Hun Ci-lo maka ia tahu letak kelemahannya.
Dengan membesarkan nyali segera ia angkat senjata maju mengembut bersama Yam-yam
Hwesio. Setelah beberapa jurus pula, Yam-yam Hwesio tertawa gelak-gelak: "Lian-lote, memang tidak
salah omonganmu, memang perempuan busuk ini sudah semakin jompo, cuma perempuan
secantik ini, aku orang beragama jadi tidak tega melukainya." Begitulah sambil merangsak
bergantian, kedua orang ini putar bacot keluarkan kata-kata kotor membakar hati Hun Ci-lo,
Dengan kertak gigi Hun Ci-lo bertahan dan menempur dengan sengit, suatu ketika melihat ada
kesempatan, dengan jurus Yu-khong-tam-jiau Yam-yam Hwesio ulurkan cakarnya mencengkram
hendak menawannya hidup-hidup, tak nyana mendadak Hun Ci-lo malah membentak: "Kena!"
cepat sekali kilat pedang menyambar, ia papaki lengan orang terus menggores. Kiranya Hun Ci-lo
memang sengaja unjuk lubang kelemahan memancing serangan musuh.
Semula Yam-yam hendak menawannya hidup, tak nyana malah dirinya kena dilukai, untung
potlot Lian Kam-peh mengetuk pedang Hun Ci-lo sehingga miring, maka jari kelingkingnya saja
yang terpa-pas kutung, namun sakitnya bukan main. Sakit dan gusar hati Yam-yam, dengan
menggerung ia tingkatkan kekuatan Hwe-liong-kang lalu menyerang dengan dahsyat. Hun Ci-lo
sudah kehabisan tenaga, napas pun sudah tersengal-sengal mana kuat melawan pukulan yang
deras dan panas ini" Lekas dengan Hong-biau-loh-hoa ia berkelit menyingkir, belum lagi ia berdiri
tegak, segulung tenaga mendampar bagai gugur gunung hebatnya, seketika badannya mencelat
naik dan terlempar beberapa tombak jauhnya. Walau tidak kena pukulan secara_ telak, namun
sambaran anginnya cukup membuatnya terbanting keras dan tidak mampu merayap bangun pula.
Dingin perasaan Hun Ci-lo, diri sendiri gugur tidak menjadi soal, sekali-kali jangan sampai
musuh mencelakai jiwa Beng Goan-cau, terpaksa ia nekad hendak memutuskan urat nadi sendiri
untuk bunuh diri saja. Tiba-tiba didengarnya gelak tawa Yam-yam yang menggila itu sirap disusul bentakan kagetnya:
"Siapa itu yang datang?"


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cepat sekali kedatangan orang itu, bagai angin puyuh bergulung tiba-tiba, baru saja kata-kata
Yam-yam terakhir diucapkan, tanda tanya hatinya segera terjawab.
Hun Ci-lo rebah di atas tanah sehingga tak bisa melihat siapakah pendatang ini, namun ia
mendengar suara yang sudah amat dikenalnya. Dia bukan lain adalah Lim Bu-siang. Agaknya Lim
Bu-siang mencelos melihat adegan di depan matanya, teriaknya: "Hun-cici, Kenapa kau" Bengtoako,
dia dia..." Terbangkit semangat Hun Ci-lo, ia meronta hendak merangkak bangun, teriaknya: "Beng-toako
masih hidup!" Barulah Lim Bu-siang lega, katanya: "Hun-cici, jangan kau bergerak, biar kubereskan kedua
anjing kurcaci ini."
Yam-yam dan Lian Kam-peh belum tahu kelihayan Lim Bu-siang, melihat seorang gadis jelita
yang lebih muda dari Hun Ci-lo, tanpa berjanji mereka tertawa riang. Yam-yam yang usil mulut,
kontan buka mulut: "Kau budak cilik ini bermulut besar, memangnya kau lebih hebat dari
perempuan busuk itu?" Belum habis ia bicara, sekonyong-konyong sinar kemilau dingin tahu-tahu
menyambar di depan mata Lim Bu-siang membentak: "Baik, silakan kalian tertawa!" Beruntun ia lancarkan tipu-tipu ilmu
pedangnya, hawa pedang laksana pelangi, ke kiri menusuk Lian Kam-peh, ke kanan menusuk
Yam-yam Hwesio. Begitu cepat serangan ini, sehingga keduanya merasa seluruh gerakan pedang
Lim Bu-siang sama menusuk ke berbagai tempat di badannya. Betapapun kuat dan rapat
pertahanan gabungan kedua orang ini, masih tetap dibuat kerepotan di bawah angin.
Baru sekarang Yam-yam insyaf bahwa Lim Bu-siang memang jauh lebih hebat dari Hun Ci-lo,
lekas ia tanggalkan kasanya, sekali gentak ia bikin kasanya berkembang laksana segumpal awan
merah melindungi badan. Lian Kam-peh tidak punya kekuatan sebesar itu, dalam kerepotannya
lekas ia kembangkan Siang-pit-tiam-su-meh, dalam satu jurus beruntun potlotnya sudah
mengincar Thay-yan, Siau-yang, Kiam-im dan Yang-kiau empat urat nadi dari delapan hiat-to
besar di badan manusia. Entah berapa kali jurus permainannya ini pernah melumpuhkan tokohtokoh
kenamaan di bulim, namun menghadapi Lim Bu-siang ujung baju orang saja ia tidak mampu
menyentuhnya. Lim Bu-siang malah menjengek dingin: "Diberi tidak membalas kurang hormat,
kau sangka hanya kau saja yang pintar main totok?"
Badan dan pedang Lim Bu-siang seolah-olah sudah bersatu padu, pedang dimainkan laksana
burung Hong menari dan terbang di angkasa. Ke mana sasaran ujung pedang lawan belum lagi
Lian Kam-peh melihat jelas, empat urat nadi dan delapan jalan darah besarnya tahu-tahu sudah
kena pedang lawan, sasarannya sama yang dia tuju dengan totokan ujung kedua potlotnya.
Melihat ilmu pedang orang begitu tinggi dan lihay, hati Yam-yam sudah ciut dan jeri, berulang
kali ia berusaha menjebol keluar dari kurungan sinar pedang lawan hendak melarikan diri, namun
terjang sana terobos sini selalu gagal, terpaksa mengeraskan kepala melawan mati-matian.
Kasanya ia kembangkan semakin gencar sehingga badannya seolah-olah terbungkus segumpal
awan merah yang menari-nari laksana kitiran di sekeliling badannya. Di luar gulungan awan merah
itu dilingkupi pula oleh sinar dingin kemilau. Memang aneh kalau dikatakan, tadi bersama Lian
Kam-peh mereka terdesak mencak-mencak oleh rangsakan pedang
Lim Bu-siang, kini setelah satu lawan satu, keadaannya jauh lebih mending malah. Walau
selama ini ia selalu gagal membobol kepungan, tapi Lim Bu-siang pun terhalang untuk menyerang
masuk. Bahwasanya ginkang dan kepandaian Lim Bu-siang kira-kira sebanding dengan Hun Ci-lo,
untung kedua lawannya sudah bertempur sekian lamanya, dengan serangan kilat yang lihay maka
dengan mudah ia melukai Lian Kam-peh, apalagi ilmu pedang ajaran Jan-bau-khek yang dia
pelajari ini justru lawan mematikan dari ilmu potlot Lian Kam-peh. Maka pada babak terakhir
setelah mereka kembangkan kepandaian masing-masing untuk bertahan hidup, jelas terlihat
perbedaan dan tingkat kepandaian yang mereka yakinkan, bicara ilmu pedang Yam-yam bukan
tandingan Lim Bu-siang, namun latihan lwekangnya selama puluhan tahun betapapun Lim Busiang
tidak mampu menandingi. Karena pusaran kasa yang kencang itu, maka tenaga membalik yang memantul keluar pun
teramat keras, lambat laun ling-kupan sinar pedang Lim Bu-siang semakin melebar, maka tahulah
dia bahwa lwekang lawan ciliknya masih kalah dibanding latihannya, timbul setitik harapan dalam
benaknya untuk meloloskan diri.
Begitulah dengan menarikan kasanya sekencang kitiran Yam-yam tangkis semua rangsakan Lim
Bu-siang, sekonyong-konyong di antara berputarnya awan merah yang kencang itu tangan
kanannya menyeloriong keluar menepuk tiga kali. Hwe-Iiong-kang sejak tadi sudah ia kerahkan
dan baru sekarang sempat ia kembangkan, laksana hawa panas yang bersuhu tinggi menyembur
keluar dari tungku besar yang membara, agaknya Lim Bu-siang tidak mengira perlawanan musuh
yang nekad ini, tanpa terasa ia tersurut mundur tiga langkah.
Keruan bukan kepalang girang Yam-yam Hwesio, maka ia percepat lagi permainan kasanya
merangsak lebih hebat diselingi pukulan Hwe-Iiong-kang yang dahsyat pula. Tak nyana di saatsaat
ia memperhitungkan langkah-langkah selanjutnya, tiba-tiba didengarnya Hun Ci-lo yang
bersandar di batang pohon itu berseru: "Lewat Kanbun, menerjang ke Tui-wi, tusuk Lau-kionghiatnya!"
Kiranya dua kali sudah Hun Ci-lo bertempur dengan Yam-yam Hwesio, sedikit banyak ia cukup
hafal akan tipu-tipu permainan pukulan Hwe-liong-kangnya, apalagi ginkang Lim Bu-siang
setanding dengan dirinya, sebagai penonton yang jelas akan permainan kedua orang yang lagi
bertarung, segera ia berseru memberi petunjuk kepada Lim Bu-siang untuk mengarah tempat
kelemahan musuh. Memang Lim Bu-siang sedang memancing musuh supaya mendesak gencar dirinya, cuma
belum diketahui di mana titik terlemah dari badan Yam-yam Hwesio, begitu mendapat petunjuk
Hun Ci-lo, sebat sekali ia bergerak menurut petunjuk seraya menusuk dengan jurus Gok-li-toh-so.
Kalau hanya bertahan dengan rapat, meski asor Yam-yam Hwesio tidak akan terkalahkan
dengan konyol, tak nyana karena buru-buru hendak menang dan lekas melarikan diri, perhitungan
yang muluk-muluk malah mendatangkan bencana bagi jiwanya. Maka terdengar "Cret" sekali,
tahu-tahu kasa merahnya melayang tinggi ke tengah udara, telak sekali Lau-kiong-hiat di tapak
tangannya tertusuk tembus oleh pedang Lim Bu-siang. Setelah memunahkan ilmu silat orang, Lim
Bu-siang segera menghardiknya: "Kuampuni jiwamu, tidak lekas kau menggelinding pergi?"
Tampak Yam-yam lari sipat kuping, tapi hanya beberapa langkah saja, mendadak ia
menghentikan langkah. Lim Bu-siang heran dan membentak: "Eh, kuampuni jiwamu, kenapa tidak
lekas lari?" Terdengar tenggorokan Yam-yam berbunyi kerok-kerok, mulut menyemburkan buih, badan
mengejang dan bergetar hebat seperti binatang buas menjelang ajal yang meronta-ronta,
mendadak malah melompat dan mencak-mencak terus menari-nari seperti orang gila.
Maklumlah Hwe-liong-kang yang dilatihnya itu adalah ilmu sesat, begitu Lau-kiong-hiat tembus,
bukan saja ilmu silat punah. Hawa murni dan tenaga dalamnya segera bocor dan racun panas
menerjang 'balik membakar jantung, dia sendiri tidak kuasa menahan dan menguasai diri lagi,
akhirnya racun kumat dan senjata makan tuan, melayanglah jiwanya.
Melihat keadaan orang yang menggiriskan, luluh hati Lim Bu-siang, maka ia tidak tega lagi
membunuh Lian Kam-peh. Apalagi urat nadinya sudah dia putus, berarti takkan bisa main silat
lagi, maka Lim Bu-siang lantas menotok jalan darah penidurnya terus menendangnya ke lereng
bukit, katanya: "Besok pagi kalau kau belum dimakan binatang berarti jiwamu memang masih
cukup panjang." Segala ketegangan sudah berlalu, bau darah yang amis pun terhembus angin pegunungan,
suasana kembali sunyi senyap, kabut malam mulai mendatang, sementara bulan sabit sudah
bercokol di angkasa. Segera Lim Bu-siang menghampiri Beng Goan-cau, seketika timbui rasa kuatirnya, katanya:
"Pertempuran begitu dahsyat, kenapa dia masih enak-enak tidur?"
Kata Hun Ci-lo: "Mungkin dia sudah pingsan dua hari dua malam, barusan siuman sebentar,
namun pikirannya belum sadar lalu terpulas lagi. Tapi kau tak usah kuatir, pernapasannya sudah
lancar dan teratur, keadaannya sudah tidak berbahaya lagi. Coba lihat, bukankah tidurnya begitu
pulas?" Perasaan Lim Bu-siang kembali tentram, katanya: "Aku tidak tahu dia terluka begini berat,
kemarin seharian aku menunggunya di Siau-kim-jwan." Setelah semua anak buah Beng Goan-cau
pulang ke pangkalan dan tidak melihat Beng Goan-cau, barulah Lim Bu-siang menyusul kemari.
"Hanya seorang diri kau kemari?" tanya Hun Ci-lo.
"Semua pasukan yang ada di Siau-kim-jwan sudah dikerahkan untuk menggempur pasukan
musuh yang sudah terjepit di garis timur sana, terpaksa aku tidak ikut karena harus mencari Bengtoako.
Hun-cici, dari mana kau bisa tahu mencari Beng-toako di sini" Mana Miao tayhiap" Aku tahu
dia sudah datang, kenapa tidak bersama kau?"
Hun Ci-lo tertegun sebentar, sahutnya: "Semalam aku bertemu dengan Lau Khong, malah
hampir terjadi salah paham, pagi tadi baru aku berpisah dengan dia. Dari mana pula kau tahu bila
Miao-toako kemari?" "Ada sebarisan kawan-kawan kita yang terluka, mereka mundur kembali ke Siau-kim-jwan, di
tengah jalan terkepung pula oleh barisan ronda musuh, untung Miao tayhiap datang menolong
sehingga mereka lolos keluar kepungan. Malah Miao tayhiap tolong membubuhi obat kepada
mereka." Sekian lama Hun Ci-lo terlo-ngong, tanyanya kurang percaya: "Apa benar dia sudah datang?"
"Kenapa tidak, di tengah jalan aku mendapat keterangan dari dua orang yang dia obati. Dari
gambaran muka orang yang dia lukiskan kepadaku, pasti tidak salah bila dia Miao tayhiap. Semula
kukira kalian datang bersama." Mau tidak mau Lim Bu-siang heran.
"Dia tidak mengatakan hendak ke sini, tapi aku tahu bahwa dia pasti datang."
"Sekarang mungkin dia sudah berada di Siau-kim-jwan. Atau berada di timur sana membantu
Lau Khong, situasi di sini sudah dke-tahui, apalagi Bu Toan dan adiknya pun di sana."
Gundah dan risau pula hati Hun Ci-lo, pikirannya bekerja dengan cepat, tiba-tiba ia berkata:
"Siang-moay, selanjutnya tolong kau saja yang merawat dan menjaga Beng-toako, seorang diri
kau membawa pulang, takut menghadapi bahaya tidak?"
"Seluruh kekuatan kedua pasukan sama dikerahkan ke pertempuran di timur sana, rakyat
simpati kepada kita pula, kukira tidak akan menemui kesulitan. Cuma Hun-cici..."
"Kukira sekarang juga aku harus pergi."
Lim Bu-siang kira orang ingin segera menemui Miao Tiang-hong, katanya tertawa: "Baiklah,
pergilah dengan lega hati. Semoga kalian bisa lekas bertemu di tempat Lau Khong sana. Setelah
kemenangan kita capai, biar kita rayakan bersama di. Siau-kim-jwan."
Hun Ci-lo tersenyum pahit, beberapa langkah kemudian, tiba-tiba ia berpaling pula, katanya:
"Ada sebuah hal lupa kuberi tahu kepadamu."
"Hal apa?" "Kalau Beng-toako bangun, jangan kau katakan kepadanya kau telah bertemu dengan aku,
anggap saja kau sendiri yang menemukan dia di sini."
"Kenapa?"tanya Lim Bu-siang tidak mengerti.
"Supaya dia merawat luka-lukanya baik-baik, jangan banyak pikiran. Entah bisa tidak aku
kembali dan bertemu pula dengan kalian, maka kalau dia tanyakan diriku, katakan saja kau tidak
tahu apa-apa." Pertempuran yang bakal terjadi di sebelah timur sana merupakan medan laga yang paling
dahsyat selama ini. Hun Ci-lo hendak melu-ruk ke sana menemui Miao Tiang-hong, maka dia pasti
terjun pula dalam arena adu jiwa itu. Lim Bu-siang kira Hun Ci-lo kuatirkan nasibnya dalam bahaya
di sana, maka sebelumnya berpesan lebih dulu, maka katanya dengan alis tegak: "Hun-cici, jangan
kau bicara begitu, aku yakin kau akan pulang dengan selamat!" Mana dia tahu bahwa Hun Ci-lo
tidak akan menyingkir dari marabahaya peperangan, namun tujuannya justru hendak menghindari
gelombang asmara. "Semoga aku selamat, tapi kau harus turuti keinginanku tadi."
"Baik, akan kulakukan menurut pesanmu."
"Baik, aku berangkat dulu. Beng-toako kuserahkan kepada-mu.
"Legakan hatimu, aku akan merawatnya."
Beng Goan-cau masih terlelap dalam impiannya, senyum di mukanya masih terkulum segar.
Mungkin dia sedang mimpi dibuai dalam pelukan asmara Hun Ci-lo, di luar tahunya bahwa
selangkah demi selangkah Hun Ci-lo semakin jauh meninggalkan dirinya. Dengan mengeraskan
hati ia percepat langkahnya dan tak berani berpaling lagi.
---ooo0dw0ooo--- Bayangan Hun Ci-lo semakin jauh dan akhirnya tak kelihatan lagi, namun Lim Bu-siang terus
melamun, tanpa terasa tiba-tiba ia bergidik dan serasa dingin hatinya. Tajam memang perasaan
seorang gadis remaja seperti dirinya, lapat-lapat terasa olehnya perasaan pedih dan rawan Hun Cilo
menjelang kepergiannya ini, seolah-olah dia melihat air mata orang bercucuran deras. "Ah,
bahwasanya Hun-cici amat mencintai Beng-toako, kenapa pula dia begitu intim dengan Miao
Tiang-hong" Mungkinkah lantaran aku?" demikian ia bertanya-tanya dalam hati, berbagai pikiran
dan kemungkinan sudah ia pikirkan satu persatu, begitulah ia tenggelam dalam pikirannya
sehingga tak terasa fajar sudah menyingsing, hari sudah pagi.
Hembusan angin pagi nan dingin sejuk menyentak Lim Bu-siang dari lamunannya, seketika
terbangun semangatnya, lekas ia membungkuk memeriksa keadaan Beng Goan-cau, mukanya
yang semula pucat lesi, kini sudah bersemu merah, namun masih tidur nyenyak.
Tiba-tiba Lim Bu-sang sadar akan tugasnya, lekas ia mengumpulkan ranting kayu lalu membuat
api. Menggunakan gembes (tempat air) Beng Goan-cau, ia ambil air di sungai yang tak jauh di
pinggir hutan sana. Lalu dikeluarkannya sepotong kolesom serta di risnya kecil-kecil dengan
pedangnya, terus dimasukkan ke dalam poci air dan dimasak, dia membuat kuah kolesom untuk
dicekokkan kepada Beng Goan-cau.
Entah apa yang di mpikan oleh Beng Goan-cau, senyuman di mukanya tiba-tiba menghilang,
tampak mulutnya komat-kamit seperti berteriak-teriak, lekas Lim Bu-siang mendekat dan
menempelkan kuping ke mulutnya, samar-samar didengarnya suara serak berteriak: "Ci-lo, Ci-lo,
kau, jangan kau pergi!"
Lim Bu-siang kaget, waktu ia tegasi Beng Goan-cau masih tidur nyenyak, jadi ia mengigau
dalam impiannya, keruan pedih hati Lim Bu-siang, segera ia memeluknya serta memanggilnya
pelan: "Beng-toako, bangunlah, bangun!"
Dengan mata sepat akhirnya Beng Goan-cau siuman dan buka mata, bayangan impian masih
membekas dalam pikirannya, tiba-tiba ia pegang kencang tangan Lim Bu-siang yang empuk halus,
waktu ia gigit lidah sendiri terasa sakit, Beng Goan-cau tahu bahwa dirinya bukan mimpi, maka
teriaknya dengan girang: "Ci-lo, kiranya kau masih berada di sampingku!"
Lim Bu-siang mengusap air mata, katanya haru dan pedih dengan suara tersendat: "Bengtoako,
sadarlah kau! Aku ini Bu-siang!"
Walau tidak dalam mimpi, namun ia salah mengenali orang. Setelah pulih kesadaran Beng
Goan-cau, tak terasa amat kaget dan menyesal pula hatinya. Lekas ia berkata: "Kiranya kau, mana
Hun Ci-lo?" Hampir saja Lim Bu-siang menuturkan sebenarnya, namun ia ingat kesehatan orang yang
masih menguatirkan, maka perihal Hun Ci-lo mencari Tiang-hong di medan perang sekali-kali
jangan sampai menyusahkan dan menguatirkan hatinya" Terpaksa hal ini dirahasiakan saja. Maka
katanya: "Beng-toako, kau sudah sadar bukan! Di sini mana ada Hun-cici?"
"Aneh, jelas tadi dia berada di sampingku menina bobok sehingga aku terpulas, kenapa tidak
kelihatan" Jadi waktu kau datang..."
"Waktu aku menyusul tiba, hanya kulihat kau seorang diri yang rebah di sini, tak pernah kulihat
bayangan Hun-cici." Cahaya matahari menyilaukan mata, sinarnya jauh berlainan dengan sinar kuning kemarin sore
menjelang magrib, Beng Goan-cau kucek-kucek mata, mau tidak mau ia jadi curiga dan bertanyatanya,
"Memangnya kejadian semalam kualami dalam mimpi?"
"Aku sudah menemanimu semalam suntuk di sini. Mungkin Hun-cici pernah kemari, cuma aku
tidak tahu. Sekarang semua orang sedang berperang, mungkin sukar untuk menemukan dia. Tapi
asal dia benar-benar datang, akan kubantu kau menemukan dia."
Meski air mata sudah tak berlinang lagi, namun betapa pedih sanubarinya, jelas terlihat dari
rona mukanya. Mendengar kata-kata orang yang penuh penyesalan dan rawan hati, Beng Goancau
jadi risi dan menyesal malah. Maka ia tidak tega bertanya lebih lanjut maka katanya sambil
tertawa: "Mungkin memang aku sendiri yang bermimpi. Memang semua orang sedang berperang,
urusan apa saja harus dikesampingkan dulu. Oh, ya, aku belum tanya kepadamu, bagaimana
keadaan di medan laga" Entah berapa lama aku jatuh pingsan di sini?"
"Sergapan pasukan pimpinanmu kali ini berhasil dengan baik, pihak kita sudah mencapai
kemenangan gilang gemilang. Pihak Lau Khong di sebelah sana malah belum bentrok dengan
musuh, namun menurut rencana sekarang tentu sudah mulai."
"Sayang aku terluka, tidak bisa terjun ke medan perang yang teramat penting sekali artinya."
"Beng-toako, gunung tetap menghijau, tak perlu kau kuatir kehabisan kayu bakar. Tugasmu
yang terpenting sekarang adalah merawat luka-lukamu sembuh secepatnya. Marilah kau minum
kuah kolesom ini." "Dari mana kau peroleh kolesom?"
"Leng-toako menduga kau pasti terluka, maka waktu aku menyusul kau kemari dia memberiku
sepotong kolesom, barusan kumasak menggunakan poci airmu."
Kuah itu masih panas, begitu masuk perut seketika terasa hangat dan segar, sekujur badan
serasa mengalir hawa panas yang menjalar ke seluruh badan. Tapi lebih hangat pula uluran
persahabatan sesama pejuang di medan laga. Seketika perasaannya bergolak dan hampir saja
Beng Goan-cau tidak bisa menahan emosinya, menyesal dan malu diri pula.
"Beng-toako. Sudah baikan tidak?" tanya Lim Bu-siang melihat air muka orang bersemu merah.
"Jauh lebih baik," sahut Beng Goan-cau. "Marilah coba kau payang aku ke tempat yang tinggi!"
Selepas mata memandang, jauh di ufuk timur sana, udara seperti bersemu merah berasap,
cahaya berkilau bergulung-gulung di tengah lautan mega. Beng Goan-cau kaget, katanya: "Busiang,
coba lihat di sana itu agaknya cahaya api."
Dengan seksama Lim Bu-siang memandang jauh ke sana, katanya kemudian: "Aku tak melihat
cahaya api, apakah bukan sinar matahari di waktu fajar?" .
"Bukankah di sana letak medan laga tempat kita membasmi pasukan besar musuh?"
"Ya, jurusannya benar. Tapi jarak medan laga di timur sana kira-kira tujuh delapan puluh li dari
tempat kita ini." Beng Goan-cau seperti memikirkan apa-apa, sesaat kemudian baru berkata setelah menghela
napas: "O, begitu jauh! Meski aku tidak terluka, hari ini tak mungkin aku bisa menyusulnya ke
sana. Bu-siang, coba kau lihat lebih tegas, apa benar bukan cahaya api."
"Jarak sedemikian jauh, seumpama di sana timbul kebakaran besar, toh takkan terlihat dari
tempat sejauh ini." "Sayup-sayup aku seperti mendengar gaduh dari pertempuran orang banyak."
"Itu suara hembusan angin. Hembusan angin yang deras men-dampar hutan lebat dan
menimbulkan banyak pepohonan yang tumbang. Malah diselingi suara burung-burung gaok."
Beng Goan-cau menyengir tertawa geli sendiri, ujarnya: "Benar, cahaya api saja tak kelihatan,
mana bisa mendengar suara pertempuran dari tempat sejauh ini. Aku sedang berkhayal agaknya."
Waktu angin gunung menghembus datang Beng Goan-cau menyedot hawa, mendadak ia
berseru kaget: "Tidak benar!"
"Apanya tidak benar?"
"Coba kau endus sebentar, rasanya hembusan angin lalu ini mengandung bau sesuatu yang
terbakar?"

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, memang mengandung bau yang lain dari biasanya."
"Pastilah terbit kebakaran besar di sebelah sana, bau ini adalah bau mayat-mayat manusia yang
terbakar hangus di sana," kata Beng Goan-cau.
Sesaat bergetar sanubari Beng Goan-cau, seketika terbayang olehnya adegan dalam mimpinya
tadi. Dalam impian buruknya tadi, bayangan Hun Ci-lo menghilang di lautan api yang sedang
berkobar besar. "Eh, Beng-toako, kenapa kau?" tanya Lim Bu-siang kaget melihat perubahan air muka yang jadi
pucat pias. "Tidak apa-apa," sahut Beng Goan-cau, sedapat mungkin ia tekan kekuatirannya. Sambungnya
pula tawar: "Aku hanya sedikit kuatir akan kebakaran besar ini."
Dengan mesra Lim Bu-siang menatapnya, katanya lembut: "Beng-toako, kau tak usah kuatir,
kita pasti menang dalam perang kali ini. Leng dan Siau kedua pimpinan sudah siap dan matang
dalam rencana, kukira pasti pihak kita yang menggempur musuh menggunakan api. Beng-toako,
yang terpenting sekarang kau harus istirahat dan merawat luka-lukamu."
Beng Goan-cau menenangkan hati, diam-diam ia tertawakan diri sendiri: "Kenapa aku jadi
percaya akan khayalan mimpi" Ci-lo sekarang sudah punya Miao-toako, memangnya aku masih
mengharap rujuk kembali dengan dia?"
Melihat orang terlongong, tak tahan Lim Bu-siang bertanya lagi: "Beng-toako, kau tidak apaapa
bukan?" Bangkit gairah Beng Goan-cau, sahutnya: "Bu-siang segera kita pulang!"
"Apa kau bisa jalan" Lebih baik..."
"Aku bisa jalan pelan-pelan," tukas Beng Goan-cau. "Seumpama tidak bisa mencapai medan
pertempuran, di tengah jalan pasti bisa bertemu dengan saudara-saudara kita, baik juga kita cari
tahu kabar baik dari garis depan!"
Begitulah pelan-pelan Lim Bu-siang papah Beng Goan-cau turun dari atas bukit, terbayang para
kawan seperjuangan sedang menggasak musuh habis-habisan, perasaan hatinya ikut diliputi
ketegangan dan gairah yang menyala-nyala, namun di tengah berkobarnya semangat juangnya ini
terselip pula rasa kuatir dan takut. Dia cukup yakin dan optimis akan menang, tapi apakah dia bisa
bertemu pula dengan Hun Ci-lo, sanubarinya tidak yakin akan hal ini. Pikirnya: "Apakah kejadian
semalam hanya impian belaka" Yang kutemui hanyalah bayangan Hun Ci-lo" Tidak, tidak, itu
bukan bayangan belaka! Ci-lo pasti masih berada di Siau-kim-jwan. Ai, Ci-lo, kenapa kau harus
menyingkir dari hadapanku?"
Memang tidak salah dugaan Beng Goan-cau, cahaya merah di ufuk timur yaug cemerlang di
antara lautan mega itu memang benar adalah suatu kebakaran besar.
Demikian pula dugaan Lim Bu-siang tidak meleset, kebakaran besar ini timbul, karena pihak
laskar gerilya dari Siau-kim-jwan sedang membasmi musuh dengan sergapan api.
Pasukan Ceng terjepit di dalam sebuah lembah sempit yang panjang, kedua jalan keluarnya
sudah tersumbat oleh batu-batu gunung dan batang pohon besar. Tak terhitung banyaknya
semburan api seperti naga api melayang turun dari angkasa, itulah untaian kayu-kayu bakar yang
dilempar dari puncak gunung setelah dinyalakan lebih dulu.
Itulah sebuah lembah belukar yang dijepit oleh lamping gunung yang berbentuk amat aneh,
seolaholah lamping gunung dipapas dari atas ke bawah sehingga menjadi lekuk dan mendekuk
dalam ke bawah, bukit-bukit kecil dan gundukan tanah berbatu banyak berserakan di dalam
lembah, mungkin sejak ribuan tahun yang lalu, lembah ini sudah menjadi aliran sungai deras
setiap terjadi hujan lebat sehingga terjadi banjir bandang di sini, lama kelamaan maka tercip-talah
bentuk lembah aneh ini oleh alam. Di dasar lembah banyak tumbuh pohon rotan yang melingkarlingkar
saling libat memanjang, sehingga setelah termakan api, lekas sekali merambat dari satu ke
lain tempat seperti naga api yang mengamuk. Ditambah hembusan angin di sini cukup deras,
sehingga percikan api dan asap membumbung tinggi ke angkasa, seluruh lembah menjadi lautan
api. Ui Tang-seng panglima tertinggi pasukan Ceng menjadi merah matanya, bentaknya: "Lekas
terjang ke atas gunung, siapa takut mati biar kubunuh dia lebih dulu."
Dari puncak gunung, hujan panah terus berlangsung dengan lebatnya, yang paling menakutkan
masih banyak lagi batang pohon besar dan batu-batu gunung segede gajah bergelundungan
menerjang barisan tentara Ceng yang berusaha menerjang naik ke atas.
Leng Thiat-jiau membentak dingin: "Yang ingin hidup lekas lempar senjata dan menyerah
sambil angkat tangan tinggi! Kami takkan bunuh tawanan yang tidak bersenjata."
Bertahan di bawah jelas bakal mati terbakar, menerjang naik melawan dengan kekerasan
akhirnya juga mati, kecuali menyerah tiada jalan lain untuk menyelamatkan diri" Maka
terdengarlah suara ke-rontangan yang ramai, banyak sekali pasukan Ceng yang buang golok, dan
tombak, beramai-ramai mereka angkat tinggi kedua tangan, berebut lari menuju tempat yang
ditunjuk oleh pasukan gerilya. Beberapa perwira kepercayaan Ui Tang-seng pun mengikuti jejak
teman-temannya yang lain.
Keruan Ui Tang-seng amat gusar, sekaligus ia bacok mati dua orangnya, sebelum ia
mengganas lebih lanjut, orang kepercayaannya itu beramai-ramai jemput senjatanya pula serta
berteriak: "Kau suka jual jiwa bagi raja itulah urusanmu, kami hanya ingin hidup, kau melarang
dan merintangi, biarlah aku adu jiwa dulu denganmu!" Terkejut dan gusar pula Ui Tang-seng,
mungkin sebelum bentrok dengan musuh, jiwa sendiri sudah ajal oleh anak buah sendiri, terpaksa
ia tinggalkan pasukan melarikan diri sendiri, ia pilih tempat yang kobaran apinya tidak begitu
besar. Sekonyong-konyong didengarnya bentakan keras: "Antek kerajaan, lari ke mana!" Yang
mengejar datang kiranya Lau Khong.
Setelah dekat Lau Khong lantas menjengek dingin: "Kau kira sampai mati kau tidak mau
menyerah lantas boleh dianggap sebagai enghiong atau pahlawan gagah" Itu tergantung kepada
siapa kau mengabdikan diri, demi siapa kau gugur" Tatcu menjajah negeri kita, menindas rakyat
jelata, kau sebagai orang Han, terima menjadi antek kerajaan penjajah, jual jiwa bagi Tatcu lagi,
he, he, ini namanya bukan enghiong, tapi adalah anjing dan biruang! Masih belum terlambat kau
berpaling, cobalah pikir baik-baik, kau suka jadi enghiong atau anjing?"
Selamanya tidak pernah ada orang bicara seperti itu kepada Ui Tang-seng, sesaat hatinya
menjadi hambar dan kosong melompong. "Apakah aku ingin jadi panglima yang setia kepada
junjungan malah kelakuan yang salah?" Sayang pengertian kolot seperti ini sudah berakar dalam
benaknya, dalam waktu dekat mana ia bisa menginsyafi kesalahan ini"
"Bagaimana, belum terlambat kau berpaling dan insyaf," desak Lau Khong.
"Mulut siluman mengelabui mata orang, jangan harap aku suka mendengar obrolanmu! Orang
she Ui terjebak oleh tipu daya kalian, biar kutebus kegagalan ini dengan kematianku, apa pula
yang harus kutakutkan" Lihat golok!"
"Baik, otakmu memang sudah tumpul dan tak mau sadar, biar kusempurnakan keinginanmu!"
"Sret" pedangnya bergerak, ia kerahkan tiga bagian tenaganya, dengan ringan ia guncang golok Ui
Tang-seng miring ke samping.
Ui Tang-seng lulus dalam ujian kemiliteran, boleh terhitung seorang panglima perang yang lihay
dan perkasa, namun bicara soal ilmu silat sejati, sudah tentu terlampau jauh dibanding Lau Khong.
Apalagi tiga hari yang lalu di lembah buli-buli ia pun pernah kalah dan terluka, meski hanya luka
ringan saja. Enteng dan lincah sekali Lau Khong mainkan pedangnya, hanya berapa jurus saja "Cras" ia
berhasil menusuk pergelangan tangan Ui Tang-seng, kontan golok besarnya jatuh di atas batu
mengeluarkan suara kerontangan. Cepat dan tangkas sekali Lau Khong ulur tangan, sekali raih
dan tarik serta ditelikung pula ia ringkus Ui Tang-seng hidup-hidup.
Tiba-tiba Lau Khong lempar badan Ui Tang-seng ke atas, katanya: "Kau bawa pasukan
menggempur kami,, jangan salahkan kami bertindak ganas." Ia raih badan Ui Tang-seng lalu
melemparnya pula ke atas, begitulah berulang kali turun naik badan Ui Tang-seng jungkir balik di
tengah udara, katanya pula: "Asal tentaramu mau meletakkan senjata, kami tidak akan melukai
tawanan, coba tanya kalian suka melakukan peringatan ini tidak?" Teringat akan janji setia dan
pesan atasannya di waktu dirinya hendak berangkat ke medan perang, berdiri bulu kuduk Ui Tangseng.
"Lihatlah lautan api di bawah sana," kata Lau Khong lebih lanjut, "kalau kami tidak memberi
sedikit peluang, seluruh anak buahmu sudah terbakar hangus seluruhnya, kau sebaliknya masih
kepala batu, menjual jiwa bagi raja anjingmu itu! Cukuplah sampai di sini saja kata-kataku, kau
hendak menjadi pembesar setia kepada rajamu, terpaksa aku menyempurnakan keinginanmu,
melemparmu ke lautan api di bawah sana!"
Berapa kali naik turun di tengah udara, betapa menggiriskan pemandangan yang terlihat di
bawah sana. Meski tujuh delapan puluh persen anak buahnya selamat karena menyerah, namun
tak sedikit pula yang terbakar mampus hidup-hidup di dalam lembah. Betapa ngeri dan
mengenaskan jerit tangis dan lolong kematian mereka, serasa bisa memecahkan jantung manusia
yang berperasaan, Ui Tang-seng mendengar dan melihatnya sendiri, di saat jiwa terancam antara
mati dan hidup, mau tidak mau jeri juga hatinya, jangan toh manusia, semut pun takut mati.
Di saat mulutnya terpentang belum lagi sempat bersuara minta ampun, tiba-tiba terlihat
seorang perwira menerjang datang dari balik pengkolan selat sebelah samping sana, lebih dulu ia
lontarkan pukulan jarak jauh menyerang Lau Khong, begitu melesat datang, tangan kiri lantas
meraih ke badan Ui Tang-seng yang mencelat naik ke udara.
Tujuan Lau Khong hendak menundukkan Ui Tang-seng supaya orang suka menyerah, tak
nyana mendadak menyelonong keluar seorang musuh tangguh, ternyata dalam sekali gebrak
berhasil menolong tawanannya, keruan bukan kepalang terkejutnya.
Perwira tinggi ini berlepotan darah sekujur badan dan mukanya, namun hanya melawan sejurus
saja, Lau Khong sudah tahu siapa musuhnya ini. Setelah hilang rasa terkejutnya segera ia
membentak gusar: "Bagus sekali, kiranya kau..." Cepat sekali perwira tinggi itu sudah turunkan
badan Ui Tang-seng serta mencabut pedang, dengan sejurus Liong-bun-sam-tiap-long (tiga
gelombang ombak di pintu naga) cepat dan keras pedangnya menusuk kepada Lau Khong, jengeknya:
"Kau sudah tahu siapa aku, masih berani turun tangan" Hm, tadi aku tertipu oleh
muslihatmu, sekarang akan kubuat kau tahu akan kelihayanku."
Liong-bun-sam-tiap-long yang dikembangkan ini, dalam jurus sembunyi jurus, ada tipu
mengandung tipu, sejurus tiga gerakan mengandung tiga gelombang dam-paran tenaga yaug
dahsyat, dilontarkan secara menyeluruh dilandasi seluruh kekuatannya lagi, keruan laksana
damparan ombak samudra yang mengamuk, damparan ombak satu lebih hebat dari yang lain.
Terpaksa Lau Khong harus keluarkan seluruh kemampuannya, paling hanya kuat bertahan saja.
Mereka bertempur di dalam hutan lebat di lamping gunung, karena letak dan keadaan di sini
tersembunyi dan berbahaya, rumput tumbuh subur setinggi manusia, batu-batu gunung tersebar
di mana-mana, nyala api di bawah belum merembet sampai di sini, maka pasukan laskar gerilya
yang berjaga di atas bukit belum ada yang melihat jejak mereka, oleh karena itu selama ini belum
kelihatan orang datang membantu.
Agaknya perwira ini tahu, cepat atau lambat pihak musuh pasti akan kedatangan bala bantuan,
maka ia harus gerak cepat mengalahkan lawannya, dengan posisinya yang lebih menguntungkan
di tempat atas, ia lancarkan serangan pedangnya yang lihay bertubi-tubi.
Tampak sesosok bayangan tibatiba melayang turun, sinar pedang memanjang bagai pelangi,
secepat kilat membabat dan membelit ke pinggang Lau Khong. Ternyata serangan hebat dan licik
si perwira adalah sejurus Heng-hun-toan-hong yang lihay, apalagi dilancarkan dari atas ke bawah,
sinar pedang berpadu dengan tubrukan badannya lagi, maka perbawanya pun bertambah berlipat
ganda. Posisi Lau Khong lebih berbahaya, lwekangnya juga kalah kuat lagi, lekas Lau Khong membalas
dengan Heng-ka-kim-liang, kedua pedang saling bentur dengan keras, suaranya yang nyaring
menusuk kuping bergema di lembah pegunungan. Berbareng si perwira pasang kuda-kuda, tumit
kakinya menjejak batu gunung terus mendorong sekuatnya, keruan Lau Khong tak kuasa berdiri
tegak, dalam seribu kerepotannya lekas ia kembangkan Pek-ho-can-ci, gaya pedangnya meluncur
miring ke atas, entah berhasil tidak melukai musuh, segera ia menjatuhkan diri menggelundung ke
lereng bukit. Perwira itu pun kehilangan keseimbangan badannya, namun ginkangnya cukup tinggi, di tengah
udara ia gunakan gaya Burung Dara Jumpalitan meluncur turun dengan enteng, cuma baju di
bawah lambungnya berlubang kecil dan teriris panjang oleh pedang lawan.
Api yang menyala besar sedang menjalar naik ke atas, Lau Khong menggelundung jatuh ke
bawah berarti mengarah ke arah kobaran api. Tiba-tiba Lau Khong kerahkan tenaga, jari-jarinya
mencakar dengan kekuatan Tay-lik-eng-jiau-kang, kesepuluh jarinya amblas ke dalam tanah keras,
barulah badannya berhenti menggelundung, dengan gerakan Ikan Lele Meletik ia melompat
bangun. Dilihatnya perwira itu sudah menyeret Ui Tang-seng melarikan diri.
Pada saat itulah, tiba-tiba didengarnya seruan nyaring: "Lau-toako, kaukah di situ?" Yang
datang ternyata Bu Cheng dan Bu Toan.
Girang dan kaget Lau Khong, lekas ia berteriak: "Lekas kemari, kalian cegat musuh jangan
sampai lari!" Waktu turun dan menginjak bumi dilihatnya bajunya berlubang tergores panjang, perwira itu
pun mencucurkan keringat dingin saking kaget. Untung tusukan Lau Khong dilancarkan setelah dia
kehilangan keseimbangan badannya, tenaganya kurang kuat, kalau tidak tentu perutnya sudah
berlubang sobek dan keluar isi perutnya. Kedua pihak sama-sama menghadapi elmaut dan sama
lolos pula, walau dalam gebrakan ini ia berada di atas angin, namun belum bisa dikatakan bahwa
dia sudah mengalahkan Lau Khong.
Setelah melancarkan serangan berbahaya sehingga Lau Khong jatuh menggelundung ke lereng
bukit sana, sebetulnya dia berniat memburu turun dan membunuh Lau Khong sekalian, serta
dilihatnya Lau Khong kalah tidak mengenaskan seperti yaug dia bayangkan, sementara Bu Toan
berdua sudah menyusul datang, mana dia berani mengejar ke bawah" Terpaksa mengubah
haluan, ia seret Ui Tang-seng melarikan diri.
Dengan kencang Bu Cheng Bu Toan lari mendatangi, namun bayangan perwira itu sudah tidak
kelihatan. Sementara Lau Khong sedang mengejar ke arah sana.
Belum lagi mendekati Lau Khong, dari kejauhan Bu Cheng berteriak tanya: "Lau-toako, siapa
sih yang kau kejar?"
"Ui Tang-seng dan seorang musuh besar pembunuh ayah bundamu."
Sekilas Bu Cheng melengak, teriaknya: "Bagus, memang Thian mentakdirkan kami membalas
dendam hari ini!" "Ya, mereka takkan dapat lolos!" timbrung Bu Toan. "Ser" ia lepas sebatang panah bersuit ke
tengah angkasa, itulah pertanda minta bala bantuan, pasukan laskar gerilya di atas puncak segera
membagi tenaga turut membantu.
Baru saja Ui Tang-seng dibuat mainan Lau Khong seperti melempar bola turun naik, kepala
masih pusing dan mata berkunang-kunang, lari beberapa langkah, luka-lukanya pecah dan
berdarah lagi, tenaga pun habis tak kuat lari pula, keluhnya: "Aku, aku tak mampu lagi, kau...
kau..." "Jangan putus asa, kalah menang sudah biasa dalam peperangan, jangan ingin mati saja,
junjungan ingin kau memikul dosa mendirikan pahala!" Sekali cengkram dan jinjing ia kempit Ui
Tang-seng di bawah ketiaknya terus berlompatan lari bagai terbang. Dalam hati ia berpikir: "Kalau
Hong-siang (raja) tidak pandang berat dirimu yang pandai perang ini, masakah aku peduli mati
hidupmu!" Kepandaian perwira ini memang hebat, dengan mengempit seseorang, dia lari ke jurusan
semak-semak dan tempat-tempat yang berbahaya malah, di atas lereng di pinggir jurang, ternyata
ia masih bisa lari bagai terbang cepatnya. Panah-panah sambitan pasukan gerilya dengan mudah
ia kebut rontok berjatuhan dengan ayunan tangannya. Cepat sekali ia sudah lari tiba di atas bukit
dan menghadapi jurang, setiba di sini baru si perwira sadar dirinya lari menuju ke jalan buntu.
Setiba di pinggir jurang ini, tiada jalan ke depan, di bawah adalah lembah sempit yang dijepit
dua puncak. Sedang di bawah lembah sana sudah jadi lautan api. Lamping yang melekuk ke
bawah jadi jurang ini seolah-olah bikinan manusia, curam dan tinggi, kalau dilihat dari bawah
karena jaraknya terlalu dalam, kelihatan langit tinggal sebuah garis sempit yang memanjang,
seolah-olah berdiri di seberang sini bisa melangkah ke seberang sana dengan sekali lompatan,
bahwasanya meski jurang ini sempit namun jarak antara kedua bibir jurang ini kira-kira enam
tujuh tombak jauhnya. Jarak sedemikian, betapapun tinggi ginkang seseorang, tidak mungkin bisa
lompat ke seberang sana. Menghadapi jalan buntu seketika Ui Tang-seng mencelos dan dingin bulu kuduknya katanya
meratap kepada si perwira: "Pakkiong Tayjin, turunkan aku. Mengandal kepandaian silatmu yang
tinggi, tanpa aku membebani, kau pasti bisa melarikan diri." Bahwasanya ia hanya ingin mencari
hidupnya sendiri, karena ia berpikir: "Lau Khong berjanji tidak akan membunuh aku. Tentaraku
sudah terbunuh sekian banyaknya, kenapa aku harus jual jiwa bagi Hong-siang?"
Tapi si perwira tidak meluluskan permintaannya, ia perkencang kempitannya serta berkata: "Uicongping
jangan kau berpikiran begitu bodoh, Hong-siang masih ingin pakai tenagamu. Hari ini
mati atau hidup biar kita alami bersama. Hehe, kau kira aku tidak mampu lari, coba kau lihat!"
Sambil kertak gigi, ia perkencang kempitan Ui Tang-seng, tumitnya lantas menjejak di pinggir
jurang badan melesat turun ke sana bagai anak panah.
Perbuatan nekad menempuh bahaya ini amat di luar dugaan Lau Khong bertiga. Lekas Lau
Khong merebut busur dan anak panah dari tangan seorang thaubak terus membidik dan
memanah. Bu Toan juga ayun tangan, sebatang panah berapi meluncur pula ke depan.
Perwira itu lompat di tengah udara, ia pun ayun sebelah tangannya. Kiranya ia sedang lempar
seutas tali panjang, ujung yang satunya dia adalah kaitan, dengan lemparan kekuatannya tali tiga
tombak itu menyangkut ke arah sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jurang, panah bidikan
Lau Khong meluncur lewat di belakangnya, dengan sebelah tangan mengempit Ui Tang-seng,
tangan yang lain menyendal dan menarik tali, segera mereka berayun ke depan, sekejap saja
sudah terbang naik dan hinggap di bibir jurang sebelah depan. Panah berapi Bu Toan mengenai
tali panjang itu, sehingga ikut termakan api, sayang si perwira sudah menginjak bumi dan tak
terlukakan. Bu Toan membanting kaki, katanya: "Wah, sayang, lolos juga dia!"
Kobaran api yang besar di bawah lembah menjulang tinggi ke angkasa sehingga langit seperti
terpanggang merah membara. Di tengah kobaran api dan bergulungnya asap, lapat-lapat
kelihatan perwira itu langsung lari masuk ke dalam hutan dan menghilang.
Mendadak Lau Khong berkata: "Eh, di atas bukit di seberang sana kelihatannya ada bayangan
seorang?" "Apa ya, aku kok tidak melihatnya?" tanya Bu Cheng. Waktu Lau Khong menegasi, bayangan
itu sudah menghilang. Kata Lau Khong: "Ginkang orang itu tidak lebih asor dari Pakkiong Bong, pasti bukan
pandanganku yang kabur. Cuma belum tahu dia kawan atau lawan."
"Peduli dia kawan atau lawan, pendek kata kita jangan biarkan musuh melarikan diri!" seru Bu
Cheng uring-uringan. "Sudah tentu. Kita bisa putar ke belakang gunung, cuma..."
"Ya, pertempuran di sini belum selesai," tukas Bu Toan tahu maksud orang. "Lau-toako sebagai
pimpinan yang bertanggung jawab, saat ini belum bisa dia meninggalkan medan laga ini."
"Kalau begitu mari kita dulu ke sana," ajak Bu Cheng tak sabar lagi. "Toako, jangan kau rintangi
kami, meski musuh tangguh, pastilah dia takkan lolos dari keadilan."
Terpaksa Lau Khong kabulkan keinginan mereka, katanya: "Baik, boleh kalian bawa sebarisan
pemanah, lebih baik tawan Ui-congping hidup-hidup. Setelah bergabung dengan Leng dan Siautoako,
segera aku menyusul ke sana."
Hari menjelang magrib cuaca mulai petang, cahaya api besar itu menganga sehingga langit


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwarna merah darah. Untuk sampai di seberang jurang sana harus berputar dan memanjat dari
belakang gunung. Bu Toan sudah bertekad, namun bisa tidak menemukan musuh dan
membunuhnya, dia sendiri belum yakin...
---ooo0dw0ooo--- Di atas gunung di seberang sana, sesosok bayangan sedang berlari bagai terbang menghilang
ditelan bayangan pepohonan. Penglihatan Lau Khong tadi memang bukan kabur, yang dia lihat
memang bukan lain adalah Miao Tiang-hong. Tatkala itu dia sedang kembangkan ginkang tingkat
tinggi, berlari ke atas puncak.
Terendus angin yang menghembus datang berbau amis dan hangus, keruan jantung Miao
Tiang-hong berdetak keras, ia tahu pasukan pimpinan Lau Khong berada di gunung seberang, di
bawah gunung sanalah medan laga. Cuma dia tidak tahu bahwa pasukan gerilya menggunakan api
menyerang musuh, dan kini sudah mencapai kemenangan gilang gemilang.
Karena tidak tahu menang kalah, kini dirinya hampir tiba di garis depan, maka perasaannya
menjadi kurang tentram. Dari nyala api yang membumbung tinggi ke angkasa, ia dapat
membayangkan di bawah sana tentu sudah jadi lautan api. Dirinya tak mungkin bisa terbang ke
seberang sana melewati lautan api ini, terpaksa lari ke atas puncak dan memandang sekelilingnya.
Dari sini dengan jelas ia bisa melihat seluruh arena peperangan. Pasukan Ceng banyak yang
menyerah dan pihak gerilya sudah mencapai kemenangan terakhir. Maka legalah hatinya. Pikirnya:
"Semoga Goan-cau dan Ci-lo selamat tidak kurang suatu apa, kalau aku bisa bersua pula dengan
mereka, betapa baiknya. Ci-lo pasti tidak menduga aku bakal berada di sini!"
Sejak berpisah dengan Hun Ci-lo, tujuan Miao Tiang-hong adalah menyambangi Ciang-bunjin
Thian-san-pay Tong Keng-thian, sekaligus untuk menemui Lau In-long ayah angkat Hun Ci-lo yang
sudah menyingkir ke sana lebih dulu. Di samping hendak mengasuh dan mendidik putra Hun Ci-lo
yang kedua, sebab dia sudah berjanji untuk angkat anak itu jadi ahli warisnya kelak.
Tapi di tengah jalan, setelah dipikir bolak-balik akhirnya ia ber-keputusan mengubah niatnya
semula. Bukan dia ingkar janji kepada Hun Ci-lo, namun karena dia beranggapan perlu dia mampir
dulu ke Siau-kim-jwan. Demi persahabatan dan cintanya, namun yang terpenting demi peperangan yang sedang
berlangsung di Siau-kim-jwan, maka ia berkeputusan menunda dulu perjalanan ke Thian-san. Kini
dia sudah berhadapan di garis depan, namun tak mampu terbang menyeberang ke seberang
lautan api, entah apa benar Hun Ci-lo sudah berada di Siau-kim-jwan. Maka tujuan yang
terpenting sekarang adalah mengetahui situasi sebenarnya dari akhir peperangan ini. Segala
sesuatu yang terjadi dalam dunia ini sering berada di luar dugaan manusia umumnya. Di saat Miao
Tiang-hong menerawang keadaan medan laga di bawah sana, pikiran ikut timbul tenggelam, serta
menyesali diri tak bisa terjun di dalam arena perjuangan ini, suatu yang tak terduga terjadi atas
dirinya. Tiba-tiba didengarnya derap langkah kaki yang mendekat dari dalam hutan yang lebat,
seseorang sedang berlari kencang menuju ke puncak di mana dirinya berada, dibedakan dari
suaranya, kira-kira orang tujuh delapan tombak di depannya. "Orang ini bisa berlari terbang
seperti di tanah datar cepatnya, ginkangnya terang tidak lemah, kenapa derap langkahnya begitu
berat?" Belum hilang pikirannya, tiba-tiba didengarnya suara percakapan orang. Ternyata bukan
satu tapi dua orang. Itulah seorang perwira tinggi yang berbadan tegap kekar menggendong
seseorang berlari ke atas bukit sini.
Maklumlah pepohonan di sini tumbuh lebat, batu-batu gunung mencuat tinggi berserakan,
walau jarak kedua pihak cuma tujuh delapan tombak, kedua orang itu masih belum melihat diri
Miao Tiang-hong. Sebaliknya mendengar percakapan mereka, bukan kepalang kaget Miao Tianghong.
Hampir saja ia tidak percaya akan pendengaran kuping, sendiri.
Kiranya kedua orang ini bukan lain adalah Panglima tertinggi pimpinan pasukan Ceng yang
menggempur Siau-kim-jwan, yaitu Ui Tang-seng, seorang yang menggendongnya jauh lebih tenar
dan besar asal-usulnya, dia bukan lain adalah komandan Gi-lim-kun Pakkiong Bong.
Miao Tiang-hong segera membentak: "Thian memang maha adil, Pakkiong Bong, kau takkan
sangka berjumpa dengan aku di sini!"
Waktu melihat tegas Miao Tiang-hong hanya seorang diri perasaan kaget Pakkiong Bong rada
lega, ia pun menghardik keras: "Miao Tiang-hong, kalau bukan kau yang mati, biar aku yang
mampus!" Di tengah bentakan kedua pihak, kedua orang sama-sama menubruk maju.
Sebagai Komandan Gi-lim-kun, latihan ilmu pedang Pakkiong Bong sudah tentu bukan olah-olah
hebatnya, badannya melejit naik, sinar pedangnya memanjang bagai rantai, menusuk ke Hian-kihiat
di dada Miao Tiang-hong, Kui-ciang-hiat di bawah lambung dan Ih-gi-hiat di bawah ketiak,
sejurus tiga gerakan pedangnya ini teramat cepat dan ganas, inilah ilmu pedang tunggal
perguruannya yang paling dia banggakan kehebatannya, cukup satu di antara tiga hiat-to itu
tertusuk oleh pedangnya, kalau tidak mampus Miao Tiang-hong, pasti terluka parah.
"Trang" alunan benturan senjata bergema di tanah pegunungan, dengan sejurus Liong-yausim-
gan, pedang panjang Miao Tiang-hong meluncur seperti bianglala perak terayun bagai kilat
menyambar, sekaligus ia patahkan sejurus tiga gerakan lawan. Boleh dikata kedua lawan saling
terjang lewat adu pundak di tengah udara, setiba di atas bumi kedua pihak sama tidak terluka
sedikit pun. Setelah jurus gebrakan laksana geledek menyambar ini, kedua pihak tanpa berjanji malah
menenangkan diri, keduanya sama berhadapan seperti ayam aduan yang siap menyerang, tanpa
bergerak. Maklum ilmu pedang mereka sama hebat dan mencapai titik kesempurnaan, bila
serangan pertama tidak mengenai sasaran, harus mencari kesempatan lain pula, oleh karena itu
siapapun tak berani lena dan sembarangan bergerak.
Sebentar saja, di bawah pengawasan Miao Tiang-hong, hati Pakkiong Bong jadi gundah dan
gugup sendiri. Kekuatan kedua pihak kira-kira setanding, bila salah satu pihak sudah dihinggapi
rasa jeri dan hati tidak tenang, jiwa bisa terancam elmaut. Sebagai ahli silat yang kenamaan sudah
tentu Pakkiong Bong tahu akan pantangan ini. Kalau toh dia kuatir musuh kedatangan bala
bantuan, maka dia harus bertindak cepat menyelesaikan pertempuran ini.
Sebagai tokoh kosen yang luas pengalaman, melihat sorot mata orang yang tidak tenang ia
dapat meraba jalan pikiran orang, sekonyong-konyong Miao Tiang-hong bersuit panjang, sigap
sekali ia bergerak pedangnya merangsak lebih dulu. Pakkiong Bong lintang-kan pedang balas
merangsak, dengan sejurus Kim-ciam-toh-sian, pedangnya menusuk miring ke dada musuh,
kelihatannya balas menyerang, bahwasanya gerakannya ini mengandung perubahan pertahanan
yang kokoh untuk mundur. Tapi gerak-gerik badan Miao Tiang-hong di ringi gerakan pedangnya
yang ikut terayun bersama lengannya, ujung pedangnya berbintik-bintik laksana sinar kunangkunang
dingin, bagaikan sambaran kilat, sebat sekali kaki Pakkiong Bong menggeser kedudukan
sehingga badan ikut berputar, gerak pedangnya berubah cepat menggores miring ke tengah udara
melindungi mukanya, di samping berkelit sekaligus ia balas menyerang, hebat benar permainan
pedang dan kelincahan badannya, memang tidak malu sebagai tokoh kosen yang lihay. Siapa tahu
ilmu pedang Miao Tiang-hong ternyata susah dijajaki sampai di mana tingkatannya, di mana
pergelangan terbalik, pedangnya menjungkit naik, dengan sejurus Jun-hun-ka-jan, tahu-tahu
ujung pedangnya menusuk tiba dari arah yang tidak terduga oleh Pakkiong Bong. Lekas Pakkiong
Bong jejakkan kaki, badannya melompat ke atas terus jumpalitan mundur, meski cepat gerak
refleknya ini, "Cret" tak urung lengan bajunya terpotong secuil oleh pedang Miao Tiang-hong.
Kalah sejurus maka dalam gebrakan selanjutnya Pakkiong Bong bertindak cepat dan sengit, ia
pertaruhkan jiwa dan mainkan seluruh kemampuan ilmu pedangnya yang ganas dan hebat. Saking
dahsyat permainannya, boleh dikata laksana gelombang ombak men-dampar pantai, hujan angin
mengamuk sejadi-jadinya. Sebaliknya Miao Tiang-hong perlihatkan kegesitan badannya dan
kelincahan ilmu pedangnya, dengan mantap ia hadapi rangsakan musuh yang sengit. Keduanya
mengeluarkan ilmu pedang tingkat tinggi, serang menyerang dengan seru dan cepat, sulit
ditentukan siapa asor siapa bakal menang. Sekejap saja lima puluh jurus sudah berlalu.
Di tengah pertempuran sengit adu kekuatan, adu tipu, adu kecepatan dan adu kepandaian ini,
tiba-tiba Pakkiong Bong membentak: "Lepas pedang!" Pedang panjang dia gunakan seperti golok
tebal membacok dengan dahsyat. Miao Tiang-hong menjengek dingin, tiba-tiba ia pun
membentak: "Lepas pedang!" Gerak pedangnya belakangan tapi mengincar sasarannya lebih dulu,
kejadian berlangsung teramat cepat, tahu-tahu ujung pedangnya sudah mengancam urat nadi
Pakkiong Bong. Pakkiong Bong kendorkan pegangan kelima jarinya melepas pedang, tangan kiri
ditegakkan tapak tangannya menebas ke depan, di tengah sambaran kilat pedang dan bayangan
tapak tangan, kedua pihak tiba-tiba mencelat berpencar ke dua sisi. Tampak pundak kiri Pakkiong
Bong mengalirkan darah, sementara dada Miao Tiang-hong berpetakan lima jari tangan,
"Klontang!" dua batang pedang jatuh bersama di atas tanah.
Ternyata Pakkiong Bong tidak sabar pertempuran ini terlalu berkepanjangan, maka sengaja ia
lancarkan serangan berbahaya, sekaligus memancing serangan lawan pula. Memang tidak malu
kedua orang ini dijuluki ahli pedang yang kosen, di saat penentuan antara mati hidup jiwa mereka,
masing-masing melontarkan serangan jarak pendek, dan begitu mengenai sasaran cepat
melompat mundur, sehingga keduanya tidak sampai gugur bersama.
Karena pundak tertusuk berlubang, luka-luka Pakkiong Bong tidak ringan, namun dada Miao
Tiang-hong pun terkena pukulan tapak tangannya, meski Hou-teh-sin-kang pelindung badannya
amat hebat, tak urung hawa murninya pun sudah susut dan terluka.
"Miao Tiang-hong, aku tidak mampu kalahkan kau, kau pun takkan bisa kalahkan aku, lebih
baik sampai di sini saja pertempuran hari ini, tiga tahun lagi boleh kau cari aku untuk melanjutkan
pertandingan hari ini."
"Urusan hari ini diselesaikan sekarang juga, siapa sabar menunggu tiga tahun?"
Menyala biji mata Pakkiong Bong, seolah-olah hampir menyemburkan api tiba-tiba menghardik:
"Baik, kalau begitu tanpa salah satu pihak ajal jangan kita hentikan pertempuran ini!" Dengan
ujung kakinya ia cungkil pedangnya yang terjatuh, tapi belum lagi ia meraihnya, dari kejauhan
Miao Tiang-hong sudah melontarkan Bik-khong-ciang sehingga pedang panjangnya itu terguncang
terbang jauh. "Baik, biar aku adu kekuatan kepalan tangan dan tendangan kaki dengan kau!" Di tengah
bentakannya, ia menubruk dengan beringas, sekaligus kedua tapak tangannya menepuk ke depan.
"Serangan bagus!" seru Miao Tiang-hong, seperti acuh tak acuh ia menepukkan sebelah tapak
tangannya dengan enteng, kepalan dan tapak tangan beradu. Pakkiong Bong berteriak keras,
badannya yang segede kerbau terpental balik sungsang sumbel tergentak tenaga pukulan Miao
Tiang-hong, di tengah udara lekas ia gunakan gaya Burung Dara Jumpalitan, meluncur turun tiga
tombak jauhnya. Karena ditumbuk oleh pukulan Lo-han-sin-kun lawan, tak tertahan Miao Tianghong
mendehem sekali, kakinya tersurut mundur tiga tapak, badan pun tergeliat hampir roboh.
Seperti diketahui Thay-ceng-khi-kang yang dilatih Miao Tiang-hong merupakan raja di antara
ilmu-ilmu lwekang, terutama amat bermanfaat untuk menandingi kekerasan dengan kelunakan.
Kelihatannya tadi hanya menepuk seenaknya saja, bahwasanya sudah dilandasi seluruh kekuatan
latihannya selama puluhan tahun.
Demikian pula Lo-han-sin-kun Pakkiong Bong memerlukan lan-dasan lwekang yang ampuh baru
bisa dilontarkan, cuma lwekang yang dia latih merupakan aliran keras dan ganas, kebetulan
berlawanan dengan lwekang latihan Miao Tiang-hong. Lwekang Pakkiong Bong memang rada asor
dibanding Miao Tiang-hong, namun gwakangnya justru sudah dilatihnya amat tinggi, jauh lebih
unggul dari Miao Tiang-hong. Maka adu kekuatan barusan, akhirnya tetap setanding sama kuat,
Miao Tiang-hong cuma unggul sedikit.
"Miao Tiang-hong, Thay-ceng-khi-kangmu memang hebat luar biasa, namun belum tentu dapat
mengalahkan aku." Ternyata ia masih ingin damai menghentikan pertarungan ini.
"Sebelum mati takkan berhenti! Kenapa cerewet!" bentak Miao Tiang-hong. Tangan kiri
terayun, kakinya melayang menendang Pek-hay-hiat di tekukan lututnya.
Pakkiong Bong gusar, dampratnya: "Memangnya kau kira aku takut terhadapmu!" Kepalan kiri
di-sodokkan ke depan, tangan kanan mencengkram tumit kaki orang. Sebat sekali Miao Tianghong
merubah permainannya, ujung kakinya berputar berbalik menutul ke Hoan-tiau-hiat di lutut
lawan. Begitu cengkramannya luput, kelima jarinya tegak memotong ke dada, Miao Tiang-hong
sudah berdiri tegak pula dengan kedua kaki, tangan yang satu melindungi badan, tangan yang lain
memapak serangan musuh, sekaligus ia punahkan Lo-han-kun lawan berbareng memunahkan Thibi-
ba-jiu. Semakin bergerak kedua orang semakin cepat, batu terbang debu mengepul, lingkungan
pertempuran semakin lebar, dahan pohon dan daun-daun sama rontok dan berserakan roboh. Lohan-
kun adalah ilmu kepalan yang paling umum dipelajari dari Siau-lim-pay. Thi-bi-ba-jiu pun tidak
sukar dipelajari, namun dimainkan oleh Pakkiong Bong perbawa dan keampuhannya sungguh lain
dari yang lain. Kepalan dan tapak tangan sekaligus dia mainkan, dua macam ilmu silat yang paling
umum sekaligus ia kombinasikan dalam permainan, bolak-balik saling mengisi dengan dilandasi
perubahan yang tak habis-habisnya. Sebenarnya kepandaian Miao Tiang-hong pun bukan olaholah
hebatnya, namun sedikit pun ia tidak berani lena menghadapi musuhnya. Sebaliknya lama
kelamaan Pakkiong Bong sendiri pun mencelos hatinya.
Seperti diketahui permainan ilmu tapak tangan Miao Tiang-hong justru berlawanan dengan
Pakkiong Bong, perubahannya sih tidak begitu rumit, perbawanya pun sepintas tidak begitu
mengejutkan, betapapun gencar tendangan, pukulan dan serangan tapak tangan musuh, tetap dia
gunakan sebelah tangan melindungi badan, sementara tangan kanan dengan lincah memukul,
setiap gerakan tangannya tidak membawa deru angin, seolah-olah tangannya melayang dan
menari dengan gemulai, namun segulung kekuatan yang ulet dan kokoh membendung rangsakan
kekuatan lawan. Sebaliknya setiap gerakan kaki tangan Pakkiong Bong membawa deru angin, apa
lagi kekuatan pukulan dan tubrukannya, namun ia rasa selalu dihadang oleh selapis tenaga
lunak yang tidak kelihatan seumpama tembok baja kuatnya, tak mampu ia menjebolnya. Lama
kelamaan Pakkiong Bong baru menyadari, terasa mukanya seperti dihembus angin musim semi
yang sejuk nyaman dan segar, semangatnya menjadi ogah-ogahan dan malas serta mengantuk,
susah mengerahkan tenaga.
Keruan Pakkiong Bong tersentak kaget, sebagai ahli silat cepat sekali ia sudah menyadari
bahwa dirinya terpengaruh oleh kekangan lwekang lunak musuh. Seketika ia kerahkan seluruh
kekuatannya, serempak bagai geledek menyambar seperti gelombang badai menerjang pantai,
pukulan dia percepat, sejurus demi sejurus lebih hebat dan dahsyat.
Terasa pukulan Pakkiong Bong bagai gugur gunung hebatnya, meski rada payah juga ia
melawannya, namun hatinya malah senang. Maklumlah adu kekuatan bagi tokoh-tokoh kosen
memerlukan tenaga simpanan terakhir untuk menjaga segala kemungkinan, kalau merangsak dan
mencecar hebat dengan seluruh tenaga tak berhasil, akhirnya tenaga sendiri ludes dan celakalah
kalau sampai balas dicecar oleh musuh.
Pakkiong Bong tahu akan teori ini, soalnya dia terdesak oleh situasi, tidak bisa tidak ia berusaha
percepat akhir pertarungan ini. Namun Miao Tiang-hong tetap melayani dengan mantap dan
tenang, setiap jurus, tipu dan permainan Pakkiong Bong satu persatu dipatahkannya dengan baik.
Di tengah pertempuran sengit itu, Pakkiong Bong menyerang dengan seluruh kekuatan
penghabisan, kelima jarinya menggores, terdengar "Bret" baju di depan dada Miao Tiang-hong
seperti teriris oleh pisau tajam sobek memanjang. Untung lekas Miao Tiang-hong menekuk dada
menarik perut, tanpa menggeser kaki, badan atasnya sudah menyurut satu dim, namun cukup
hanya satu dim saja, Thi-bi-ba-jiu Pakkiong Bong hanya mampu menggores bajunya, kekuatan
dalamnya tak mampu menyentuh kulit badannya. Secepat kilat Miao Tiang-hong malah balas
dengan tepukan tapak tangan yang membalik, telak mengenai Pakkiong Bong.
"Huuuaaah!" Pakkiong Bong memuntahkan sekumur darah segar, bentaknya: "Miao Tianghong,
biar aku adu jiwa sama kau!" Kedua lengan terkembang bagai burung elang ia menubruk
dengan beringas. Tapi karena lawan menggunakan cara ini, mau tidak mau Miao Tiang-hong harus melayaninya
dengan kekerasan pula. Tangan keduanya beradu mengeluarkan suara keras seperti ledakan bom
yang menggetarkan bumi, mendadak keduanya sama seperti patung kayu yang tiba-tiba kaku
kejang, tapak dan tapak menempel, siapa pun tak mampu bergerak sedikit pun.
Sungguh aneh, tenaga tapak tangan Pakkiong Bong bukan susut menjadi lemas karena terluka,
malah sebaliknya semakin kuat berganda.
Semula Miao Tiang-hong sedang heran, pukulan telaknya tadi bikin lawan muntah darah, baru
sekarang ia paham bahwa Pakkiong Bong ternyata sudah menggunakan Thian-mo-kay-teh-tayhoat
dari golongan Sia-pay, menggigit pecah lidahnya sendiri.
Thian-mo-kay-teh-tay-hoat adalah sejenis lwekang dari Sia-pay yang aneh dan jahat, suatu
ilmu yang merusak badan sendiri untuk menimbulkan kekuatan berlipat ganda dari sumber tenaga
dalamnya, paling tidak satu lipat lebih besar dari kekuatan biasanya! Tapi setelah pertempuran
berakhir luka yang dideritanya amat parah, seumpama tidak mati tentu akan jatuh sakit keras.
Agaknya Pakkiong Bong sudah bertekad untuk gugur bersama.
Saluran tenaga dalam Pakkiong Bong mendampar deras bagai ge-lpmbang pasang, bergulunggulung
yang satu lebih keras dan hebat dari yang lain. Tak lama kemudian, dari kepala Miao
Tiang-hong mengepulkan uap putih, terasa mata berkunang-kunang, bumi yang dipijak serasa
berguncang. Lekas Miao Tiang-hong kerahkan sisa tenaganya yang penghabisan, pergelangan tangannya
bergerak hendak menuntun ke samping, pikirnya hendak punahkan terjangan kekuatan lawan,
sayang tenaga tak memadai keinginan hatinya, begitu damparan tenaga bagai gugur gunung
Pakkiong Bong menerjang dadanya, sekelik i badannya diterjang dan jatuh tig.i tombak jauhnya. Seketika
pandangan jadi gelap. Di saat kesadaran mulai pulih dan pandangannya melihat cahaya terang,
badannya sudah lemas lunglai tak mampu bergerak sedikit pun.
Dingin perasaan Miao Tiang-hong, sungguh ia amat menyesal akan usahanya yang gagal dan
sakit hati sang suci agaknya takkan mampu dia balaskan. Tapi ia pun heran, kenapa jiwanya
masih hidup, kenapa Pakkiong Bong tidak membunuhnya sekaligus"
Waktu ia celingukan, tak jauh dari tempatnya, dilihatnya seseorang pun rebah di tanah,
sepasang matanya sedang menatap dirinya. Orang ini bukan lain Pakkiong Bong.
Kiranya serangan dahsyat Pakkiong Bong terakhir tadi pun menguras seluruh kekuatannya.
Setelah berhasil menggempur Miao Tiang-hong, dia sendiri umpama pelita yang kehabisan
minyak, sampaipun bernapas juga teramat berat dan sesak, mana dia mampu menghabisi jiwa
Miao Tiang-hong" Keduanya sama sebagai tokoh silat kosen, selintas pandang lantas paham akan situasi
sekelilingnya: Bilamana ada orang ketiga datang membantu salah satu pihak, maka itu memang
sudah ditakdirkan pihak yang lain pasti akan mampus tanpa mampu melawan.
Miao Tiang-hong sendiri sudah pasrah akan nasib dan berpikir secara bajik, mati pun tak perlu
dibuat menyesal. Lain halnya dengan Pakkiong Bong, dia mengharapkan terjadinya sesuatu
keajaiban sehingga terhindar dari ke-matian. Tiba-tiba ia teringat kepada Ui Tang-seng yang tadi
ditolongnya. Setelah istirahat sebentar, tenaga sudah pulih sedikit, segera Pakkiong Bong berteriak: "Uitayjin,
Ui-tayjin, di mana kau, lekas keluar! Bantulah aku bunuh orang ini, jasamu tentu tidak kecil
artinya!" -Alam pegunungan nan kosong sunyi senyap, tak terdengar penyahutan. Ternyata di saat
mereka berhantam mati-matian tadi, Ui Tang-seng diam-diam sudah melarikan diri.
"Pasti ada orang datang, kau tunggu saja! Hm, semoga kau tidak mampus secepat itu. Bu Toan
kakak beradik masih perlu membuat perhitungan sama kau!"
Tersirap darah Pakkiong Bong, batinnya: "Benar, cepat atau lambat Bu Toan, Lau Khong dan
lain-lain pasti akan menyusul datang, kalau hendak melarikan diri, terlebih dulu aku harus lekas
pulihkan tenaga, lalu melarikan diri."
Apa yang dia pikirkan sudah tentu terpikir pula oleh Miao Tiang-hong, maka kedua orang
segera tutup mulut dan mulai mengerahkan hawa murni memulihkan tenaga, sedikit demi sedikit


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka mengumpulkan tenaga murni. Pihak mana berhasil mengumpulkan tenaga, pasti bisa
membunuh lawannya. Dalam hal lwekang Miao Tiang-hong memang punya landasan yang lebih kuat, dan lagi ia tidak
punya pikiran kusut, kira-kira setengah jam kemudian, hawa murni sudah terbenam turun ke
bawah pusar, tenaganya sudah mulai terkontrol dan semangatnya pun mulai bergairah. Sebaliknya
Pakkiong Bong sedang kebat-kebit, lwekang latihannya tidak semurni itu, pula kuatir pihak musuh
kedatangan bantuan, meski tenaganya mulai pulih satu dua bagian, namun ia belum mampu
bergerak. Dengan dilandasi dua bagian tenaganya ini, dengan kedua sikunya Pakkiong Bong merambat
maju ke arah Miao Tiang-hong. Dia tidak tahu sampai di mana kekuatan Miao Tiang-hong
sekarang, tapi keputusan yang menentukan ini, perlu dia tentukan dengan pertaruhan jiwa sendiri.
Tiba-tiba Miao Tiang-hong bersuit panjang dan nyaring, pelan-pelan ia bangun berduduk,
jengek-nya dingin: "Bagus, tidak mati tidak bubar, mari kau maju!"
Baru sekarang Pakkiong Bong insyaf bahwa tenaga lawan pulih lebih cepat dan lebih besar dari
dirinya, keruan mencelos dan dingin bulu kuduknya. Lekas ia gigit lidahnya menyemburkan
sekumur darah, dua bagian tenaganya yang baru pulih ia gunakan untuk menimbulkan gairah
kekuatannya dengan Thian-mo-kay-teh-tay-hoat. Sebetulnya Thian-mo-kay-teh-tay-hoat harus
dikerahkan dengan kekuatan lwekang tertentu baru bisa memperlihatkan perbawa-nya yang luar
biasa, kekuatan terpendam dalam badannnya boleh dikata sudah ludes, dikuras pun takkan bisa
dikeluarkan lagi. Sekuat tenaga Pakkiong Bong merambat bangun berdiri, badannya limbung dan bergoyang
gontai seperti api lilin dihembus angin. Mempertaruhkan jiwa" Atau melarikan diri di saat Miao
Tiang-hong belum mampu berdiri" Di saat Pakkiong Bong ragu-ragu dan belum berkeputusan,
sementara Miao Tiang-hong sudah memulihkan semangat dan siap beraksi. Sekonyong-konyong
terdengar langkah kaki orang yang sedang datang.
Siapakah dia" Kedua orang sama bertanya-tanya dengan hati cemas.
Maka tampaklah sesosok bayangan orang bagai terbang berlari mendatangi ke puncak sebelah
sini, belum lagi tiba suara orang itu sudah berkumandang dari kejauhan: "Eh, kau, bukankah kau
Pakkiong Tayjin, Pakkiong Tayjin, kenapa kau?"-Waktu Pakkiong Bong menegasi, itu dia orang
yang sedang dia tunggu, Tong Thian-chong penolong yang paling dia harapkan.
Di dalam menggempur Siau-kim-jwan ini Pakkiong Bong tidak ketinggalan membawa Tong
Thian-chong yang paling dia andalkan bantuannya. Waktu pasukan mereka disergap dalam
perangkap musuh, Pakkiong Bong melindungi Ui Tang-seng membobol kepungan, tapi Tong
Thian-chong ketinggalan di dalam keributan itu. Sungguh tidak terduga, di saat-saat jiwanya
terancam bahaya, orang tiba-tiba muncul. Keruan girangnya seperti ketiban rejeki nomplok:
"Lekas, lekas kau bunuh Miao Tiang-hong. Lihat tidak, dia duduk di sana!"
Dengan membelakangi sebatang pohon pelan-pelan Miao Tiang-hong bangkit berdiri, dengan
Pedang Berkarat Pena Beraksara 14 Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 8
^