Kelana Buana 31
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 31
dingin ia tatap Tong Thian-chong, sembari menjalankan pernapasan mengatur hawa mumi, sedikit
pun ia tidak menunjukkan rasa jeri pada sorot matanya.
Melihat Miao Tiang-hong pun berada di sini, sekilas Tong Thian-chong amat kaget. Maklum dia
pernah terjungkal di tangan orang, kini dia belum tahu bahwa lawan terluka parah, melihat sikap
dan rona mukanya yang tenang hatinya sudah gugup sendiri. Untung Pakkiong Bong bicara
dengan cepat, kalau tidak mungkin dia sudah putar badan melarikan diri lebih dulu.
"Tong-locianpwe, kau seorang ahli silat, memangnya tidak bisa melihat keadaannya" Dia
kupukul luka parah, jangan kata lari berjalan pun tak mampu, cukup sebatang senjata rahasiamu
dari kejauhan sudah cukup menamatkan jiwanya!"
Baru sekarang Tong Thian-chong melihat tegas raut muka orang memang pucat lesi.
Sementara dengan tatapan tajam Miao Tiang-hong awasi orang, selekasnya ia kerahkan hawa
murninya menjebol jalan darahnya yang buntu, Thay-ceng-khi-kangnya sudah pulih tiga bagian,
asal hawa murninya bisa tersalur jalan, maka dia boleh mengadu jiwa sama Tong Thian-chong,
meski bukan tandingan, paling tidak bisa bertahan beberapa jurus.
Sayang di saat hawa murninya sudah tersalur hampir menjebol Hoan-tiau-hiat, senjata rahasia
Tong Thian-chong sudah melesat datang, Miao Tiang-hong kerahkan tenaga pada ujung jari terus
menjentik "Creng" sebutir Thi-lian-cu timpukan Tong Thian-chong ia jentik mencelat jatuh,
jengeknya dingin: "Sebutir senjata rahasia dapat mengapakan jiwaku?"
Keruan Tong Thian-chong berjingkrak kaget, namun betapapun ia cukup pengalaman, melihat
Miao Tiang-hong tidak menubruk maju, dari jatuhnya Thi-lian-cu itu, dapatlah dia menjajaki
tenaganya, meski lwekang Miao Tiang-hong tidak terkuras habis seperti keadaan Pakkiong Bong,
tapi sisa tenaganya pun tak seberapa lagi, jelas orang bukan tandingannya.
Tong Thian-chong tergelak-gelak senang, serunya: "Hebat memang kepandaian Tan-ci-sinthong,
ingin lohu melihat berapa banyak kau kuasa menyambuti senjata rahasiaku?" Sekaligus ia
timpukkan pula dua butir Thi-lian-cu.
Miao Tiang-hong berhasil menjentik jatuh Thi-lian-cu yang di atas, namun yang meluncur ke
bawah tak berhasil dia kelit, walau tidak mengenai hiat-to, namun telak mengenai lututnya.
Kebetulan hawa murninya baru tersalur ke tempat ini, begitu hawa murni buyar, seketika
badannya tergeliat sempoyongan akhirnya jatuh terduduk di atas tanah.
Tong Thian-chong tertawa kesenangan, ejeknya: "Sudah tak mampu menangkis lagi?" Kembali
ia ayun tangan, tiga butir peluru berduri ia timpukkan bersama, bobot peluru besi ini rada berat,
meski tidak bisa menamatkan jiwa Miao Tiang-hong, kalau kena cukup membuat Miao Tiang-hong
menjadi cacat. Sekonyong-konyong terdengar seruan memanggil- "Miao-toako, Miao-toako!" ?" "Tring, tring"
entah dari mana melesat datang tiga butir mata uang sekaligus membentur jatuh ketiga peluru
besi berduri Tong Thian-chong.
Sesaat Miao Tiang-hong seperti tersentak sadar dari impian, teriaknya kaget: "Ci-lo, kaukah
itu!" Teriak Hun Ci-lo: "Benar, inilah aku, jangan kuatir! Sebentar kawan-kawan datang kemari,
kedua bangsat tua ini takkan bisa lolos lagi!"
Pakkiong Bong balas berteriak: "Jangan kena tipu gertakannya! Hanya perempuan jalang saja
yang datang, perempuan jalang ini pun bukan tandinganmu!"
Tong Thian-chong bergelak tertawa, serunya: "Kau hendak menggertak aku supaya lari" Aku
justru tidak pergi. Kalau rombongan besar kawan-kawanmu meluruk kemari, memangnya kami
tidak bisa lolos, biar kubekuk kau lebih dulu untuk sandera."
Di tengah gelak tawanya, cepat ia membalik badan seraya kembangkan kepandaian menimpuk
senjata rahasia tunggal dari keluarga Tong mereka yaitu Hoan-pi-im-piau, sebatang pisau baja
langsung memapak ke arah datangnya Hun Ci-lo, tepat mengarah Hun-tai-hiat di perutnya.
Jarak cukup dekat, bobot piau ini cukup berat lagi. Lekas Hun Ci-lo ayun pedang menyampuk
jatuh, seketika tangan terasa linu kemeng. Memangnya tenaganya sudah jauh susut, bukan saja
senjata rahasia Tong Thian-chong lihay, lwekang orang pun lebih tinggi dari dirinya. Cepat sekali
piau kedua, ketiga sambitan Tong Thian-chong beruntun menyambar datang, satu mengarah Sinthing-
hiat bagian atas, yang lain mengarah Hoan-ma-hiat di bagian bawah badan.
Badan berputar sambil berkelit, piau menyambar lewat menyerempet pahanya, disusul ia
kembangkan ginkangnya dengan It-ho-ciong-thian, badannya melambung tinggi ke atas, sekaligus
Hun Ci-lo luputkan diri dari sambaran piau yang mengarah dari bawah.
Meski berhasil lolos dan selamat, Hun Ci-lo cukup kepayahan juga. Sekonyong-konyong teringat
olehnya cara Toan Siu-si menghadapi timpukan senjata rahasia Tong Thian-chong di Pak-bong-san
tempo hari, menyedot napas, badan melesat terbang, secepat kilat ia menubruk ke arah Tong
Thian-chong lebih dulu. Jarak cukup dekat, badan Hun Ci-lo mengapung di tengah udara, dengan sejurus Ya-can-pathong
ia pukul jatuh dua senjata rahasia Tong Thian-chong, disusul jurus Ing-kik-tiang-khong,
belum lagi ujung kakinya menyentuh bumi, ujung pedangnya sudah mengancam dada Tong
Thian-chong. Terpaksa Tong Thian-chong angkat tanduk menjangan untuk menyampuk pedang, bentaknya:
"Perempuan galak yang kejam, hendak adu jiwa ya?"
"Ya, biar aku adu jiwa dengan bangsat tua macam kau ini!" Pedang diputar bagai kitiran,
sekaligus ia serang tujuh delapan belas jurus. Dengan pertempuran jarak dekat ia cecar sekuatnya
sehingga lawan tak berkesempatan menggunakan senjata rahasianya.
Miao Tiang-hong dapat melihat tenaga Hun Ci-lo yang lemah, teriaknya: "Ci-lo, lekas kau pergi,
jangan hiraukan aku!" Mana Hun Ci-lo mau menurut seruannya, serangannya malah semakin
gencar. Mendengar teriakan Miao Tiang-hong tergerak hati Tong Thian-chong, mendadak timbul
sebuah akal dalam benaknya, lekas ia lintangkan tanduk menjangan sambil mundur dua langkah,
berbareng tangan kiri menyambitkan senjata rahasia, dua batang panah meluncur mengarah Miao
Tiang-hong. Senjata rahasia alat menyerang dari tempat jauh, karena tidak menduga, Hun Ci-lo
hanya sempat mengetuk jatuh satu di antaranya, sebatang yang lain melesat ke arah lutut Miao
Tiang-hong. Keruan Hun Ci-lo gugup dan kerepotan dibuatnya, untung serangannya dipergencar
sehingga sambitan tiga buah senjata rahasia susulan Tong Thian-chong kehilangan arah.
Berkerut alis Hun Ci-lo, tiba-tiba terpikir sebuah akal, "Sret, sret" ia desak Tong Thian-chong
mundur dua langkah, mendadak ia membalik tubuh menubruk ke sana. Belum lagi Pakkiong Bong
melihat jelas, tengkuknya tiba-tiba terasa kencang sakit, tahu-tahu Hun Ci-lo sudah mencengkram
tulang pundaknya. Tulang pundak merupakan bagian yang lemah dan berbahaya, jangan kata
Pakkiong Bong sudah terluka parah, seumpama dalam keadaan biasa, sekali tulang pundaknya
kena dicengkram, betapapun tinggi ilmu silatnya takkan mampu dikembangkan lagi.
"Tong Thian-chong!" bentak Hun Ci-lo mengancam. "Kau ingin selamatkan jiwanya tidak?"
"Tong locianpwe," mohon Pakkiong Bong dengan muka kecut, "biarlah saling tukar tawanan
saja!" "Baik!" sahut Tong Thian-chong, namun tangannya kembali terayun, ia sambitkan senjata
rahasianya ke arah Miao Tiang-hong.
Waktu itu Hun Ci-lo berada di samping belakang, Miao Tiang-hong kebetulan berhadapan
dengan dirinya. Tong Thian-chong ayun tangan ke depan, namun senjata rahasia justru
menyambar balik ke belakang. Dalam anggapan Hun Ci-io senjata rahasia musuh menyerang Miao
Tiang-hong, di luar tahunya malah dirinya yang menjadi sasaran.
Betapapun Hun Ci-lo tidak menyangka Tong Thian-chong bertindak selicik itu, melihat orang
menyambitkan senjata rahasia ke arah Miao Tiang-hong, keruan bukan kepalang terkejut hatinya,
dalam gugupnya tak sempat ia meremas tulang pundak Pakkiong Bong, cepat ia melesat lari ke
sana. Tapi baru saja kakinya melangkah kontan ia rasakan dadanya sakit kesemutan, tahu-tahu
sebatang jarum berbisa Tong Thian-chong menembus dadanya. Sambitan jarum beracun ini tak
bersuara, kalau Hun Ci-lo berhadapan dengan penuh perhatian, mungkin sempat menangkis atau
mengelak, kini orang menggunakan akal licik serta membokong, sudah tentu tak bisa
mengelakkan diri. Begitu Hun Ci-lo lepas tangan, lekas Pakkiong Bong jatuhkan diri menggelundung ke bawah
lereng. Jiwa berhasil lolos, namun ia masih belum tahu perubahan apa yang terjadi, dengan
mengerahkan sisa tenaga Thian-mo-kay-the-tay-hoat, ia menggelundung sampai di lamping
gunung terus merangkak bangun melarikan diri.
Melihat Pakkiong Bong sudah melarikan diri, Tong Thian-chong semakin lega hati. Kembali ia
ayun tangan, segenggam jarum berbisa ia tebarkan ke arah Miao Tiang-hong, dengan pukulan
Bik-khong-ciang sedapat mungkin Miao Tiang-hong meruntuhkan jarum-jarum yang menyambar
tiba, sayang ia pun terluka tenaganya amat lemah, tak urung pundak kanan dan lengan kirinya
kena dua batang jarum berbisa. Begitu pandangan menjadi gelap sekeras-kerasnya ia berteriak:
"Ci-lo, lekas kau lari!"
Pakkiong Bong sudah lolos, Hun Ci-lo tak mungkin lari. Badannya gentayangan hampir roboh,
dengan kertak gigi ia lari menghampiri. Bentaknya: "Bangsat tua tak tahu malu, biar aku adu jiwa
dengan kau!" Tong Thian-chong tergelak-gelak, serunya: "Kalian berdua sudah terkena jarum beracunku,
masih berani kau hendak adu jiwa sama aku" Hehe, biarlah kutunggu pada penirisanmu yang akan
datang!" Hun Ci-lo berlari ke samping Miao Tiang-hong, dilihatnya Miao Tiang-hong rebah kaku, kedua mata terpejam, raut mukanya sudah diliputi hawa hitam. Dilihat keadaannya memang sudah mati.
Sungguh sakit seperti di ris-iris ulu hati Hun Ci-lo, tiba-tiba terasa mata berkunang-kunang, kepala semakin berat, sekujur badan menjadi lemas lunglai, tak tahan ia menunjang badan, segera ia pun meloso jatuh.
Saking kesenangan Tong Thian-chong tergelak-gelak, ujarnya: "Pakkiong Bong akhirnya toh
takkan lolos jiwanya. Haha, jasa ini hanya aku sendiri yang akan memilikinya!" Selangkah demi
selangkah ia maju menghampiri. Saking kesenangan Tong Thian-chong lupa diri membayangkan
pahala muluk-muluk yang bakal diperolehnya, baru saja ia menghampiri hendak memenggal kepala
kedua orang ini, tak nyana belum lagi gelak tawanya sirap, tiba-tiba dilihatnya selarik sinar menyambar,
kontan dada terasa sakit luar biasa dan napas seketika sesak, tak sempat bersuara tiba-tiba badannya
terjungkal roboh dan melayanglah jiwanya.
Tiba-tiba Miao Tiang-hong merangkak duduk sambil tertawa dingin, jengeknya: "Bangsat tua, pergilah
menghadap raja akhirat untuk minta persen!"
Ternyata kemurnian dan peryakinan lwekang Miao Tiang-hong jauh lebih tinggi dari penilaian Tong Thian-
chong. Sebelumnya dia sudah berhasil memusatkan sebagian hawa murninya, walau terkena jarum
berbisa, dalam waktu dekat tenaganya masih kuat bertahan, maka dia pura-pura sudah ajal untuk melancarkan serangan terakhir, dengan Pek-hong-koan-jit ia lempar pedangnya
dan telah menembus dada Tong Thian-chong.
Tapi lemparan pedang ini betul-betul menghabiskan seluruh kekuatannya, hawa murni tak kuat lagi menahan menjalarnya racun, maka suara tawanya pun semakin lemah.
Sebelum terkena jarum berbisa Hun Ci-lo masih segar bugar cuma tenaganya saja yang lemah, tapi
terasa racun mulai bekerja membuat selebar dadanya terasa gatal dan linu, makin lama menjalar ke
seluruh badan, ia insyaf jiwanya takkan tertolong lagi, namun ia mengharap Miao Tiang-hong masih kuat
bertahan untuk hidup. Ia kira kalau toh dia kuat menimpuk pedang membunuh musuh, mungkin masih
kuat bertahan beberapa kejap pula, sambil menunggu kedatangan Lau Khong dan lain-lain untuk
menolongnya. Begitu roboh terjengkang sambung menyambung Miao Tiang-hong tertawa puas, ujarnya:
"Dengan tanganku sendiri aku bunuh musuh besar, mati pun tak menyesal. Hun-moay, tak nyana aku
bisa mati bersama kau, ini, ini..."
Dingin hati Hun Ci-lo, katanya dengan tertawa kecut: "Benar, Miao-toako, kita tidak dilahirkan
pada tahun bulan dan hari yang sama, namun bisa mati bersama dalam waktu ini juga, tidak siasia
persahabatan kita selama ini." Pelan-pelan ia menggeser badan merambat mendekati Miao Tianghong,
dcni-an ki-nciiu; ia genggam kedua tangannya. Terasa tapak tangan kanan sedingin es dan berkeringat
pula, namun detak jantung orang masih berdebar keras.
Berkala Miao Tiang-hong pula: "Tapi aku tidak ingin kau mati bersama aku, aku akan berusaha supaya
kau bertahan hidup. Kau masih punya Goan-cau, dia, dia..." entah dari mana datangnya tenaga, tiba-tiba
ia membalik badan menindih ke atas badan Hun Ci-lo, lalu ulur tangan menotok jalan pelemas di bawah
ketiaknya, katanya: "Hun-moay, maaf akan perbuatanku yang kurang sopan ini, aku harus membuka
pakaianmu baru bisa menghisap darah beracun dalam dadamu."
Sudah tentu Hun Ci-lo terperanjat, baru sekarang ia paham, kiranya Miao Tiang-hong rela berkorban demi
menolong dirinya, maka teriaknya: "Tidak, tidak, Miao-toako, jangan kau lakukan." Namun Miao Tiang-
hong sudah mulai menarik pakaiannya, katanya: "Hun-moay, maafkanlah aku, kali ini aku tidak akan
menurut kata-katamu. Hidup seorang diri akan merana dan sedih, namun lebih baik daripada dua-duanya
mati." Diam-diam Hun Ci-lo menarik napas dan mengempos semangat, mendadak ia meronta
sekuatnya dengan gaya Ikan Lele Meletik, ia membalik dan menindih Miao Tiang-hong malah, hiatto pele-
masnya ditotoknya pula sehingga orang tak bisa berkutik, katanya: "Miao toako, memang tidak salah
ucapanmu, hidup seorang pun lebih mending daripada keduanya sama-sama mati!"
Agaknya setelah menimpukkan pedang tadi tenaga Miao Tiang-hong sudah terkuras habis, meski
belakangan ia kuat meronta dan menotok hiat-to Hun Ci-lo, namun tenaganya teramat lemah, sehingga
hiat-to yang tertotok tidak membawa faedah apa-apa.
Miao Tiang-hong menjerit-jerit dalam hati: "Ci-lo, biar aku mati. Kau harus hidup, kau harus hidup! Kau
masih punya Goan-cau, sudah selayaknya kau rujuk kembali dengan dia." Namun mulutnya tak mampu
bergerak. Dia sudah pertahankan sisa tenaganya yang penghabisan, seumpama Hun Ci-lo tidak menotok
hiat-tonya, dia pun sudah jatuh semaput.
Hun Ci-lo meraih pedang, pelan-pelan dengan ujung pedang ia korek kulit daging di pundak
dan lengan kiri Miao Tiang-hong. Sekitar luka-luka sudah melepuh besar kehitam-hitaman. Hanya
sebentar saja, sebatang jarum sekecil itu, racunnya bekerja demikian cepat dan lihay, agaknya ancaman
Tong Thian-chong tentang jarum beracunnya yang paling jahat bukanlah gertakan belaka.
Namun Hun Ci-lo berpikir: "Tapi tidak pernah dia bayangkan Miao-toako ada melatih Thayceng-
khi-kang, meski badan keracunan jiwanya masih kuat bertahan, tak terpikir pula olehnya aku bakal menghisap darahnya, mengurangi kadar racun yang mengeram dalam badannya." Menyusul ia berpikir
pula: "Kenapa tadi tidak terpikir olehku akan cara ini" Terang betapa cinta Miao-toako terhadapku, agaknya ratusan kali lebih mendalam dari cintaku kepadanya!"
Beruntun Hun Ci-lo menghisap puluhan kali darah beracun, sampai darah yang merembes keluar dari
kedua luka-luka Miao Tiang-hong berwarna merah segar, rasanya di mulut pun tidak begitu busuk dan
amis. Barulah Hun Ci-lo merasa lega, dengan sisa tenaganya ia keluarkan obat dan membubuhi luka-luka
serta membalutnya pula, barulah dia menarik napas panjang.
Lambat laun Miao Tiang-hong siuman dari pingsannya, namun ia tak bertenaga untuk bicara.
Dia cuma bisa menentang dengan sorot matanya.
Hun Ci-lo unjuk tawa pilu, katanya rawan: "Miao-toako, maafkan aku, kau harus hidup dan mengasuh
anakku, kau akan lebih baik mendidiknya. Bicara soal kepandaian silat sejati, soal pengalaman dan pengetahuan lainnya, kau jauh lebih unggul dari aku, kau hidup jauh lebih berguna dari diriku!"
Miao Tiang-hong menjerit dalam hati: "Tapi kau masih punya Goan-cau! Aku sebaliknya tiada sanak tiada
kadang!" Agaknya Hun Ci-lo dapat meraba pikirannya, ia menghirup hawa dan bertahan sekuatnya, katanya lebih
lanjut: "Goan-cau sudah punya Bu-siang, mereka adalah pasangan setimpal, aku tidak ingin merusak
hubungan mereka. Memang aku masih mencintai Goan-cau, dulu dia kekasihku, tapi aku pun
mencintaimu, kau adalah saudaraku satu-satunya. Kalian orang-orang baik, harus tetap hidup dalam
dunia ini." "Semalam, aku menolong Goan-cau, hampir saja jiwaku ikut melayang. Waktu itu aku sudah berpikir,
kalau yang terluka parah adalah kau, aku pun akan menolongmu meski harus mengorbankan jiwaku
sendiri." "Kau menghisap darah beracun dalam badanku, walau tidak berhasil, terhitung sudah menolongku juga.
Miao-toako, kau sering bilang, hidup manusia mendapatkan teman karib yang paling intim, mati pun takkan menyesal, demikianlah akan diriku, mati pun aku tak menyesal.
Sementara jangan kau beritahu kepada Beng Goan-cau, aku harap kau, kau jangan bersedih karena
kematianku!" Sekaligus Hun Ci-lo keluarkan kata-katanya, seumpama dian yang sudah kehabisan minyak, pelan-pelan
ia meloso roboh. Pada tarikan napasnya yang terakhir, terbayang olehnya akan sumpah setia sehidup
semati dengan Beng Goan-cau dulu, teringat pula akan kasih sayang Miao Tiang-hong serta
perlindungannya terhadap dirinya. Hatinya dirundung tiga bagian sedih, namun lebih banyak merasa
senang dan terhibur. Dia berdoa bagi Beng Goan-cau, berdoa pula bagi kesehatan Miao Tiang-hong,
pada raut mukanya yang diliputi hawa hitam terkulum senyuman mekar bak sekuntum bunga. Seingat
Miao Tiang-hong, belum pernah dia melihat kecantikan orang yang begitu elok rupawan sekejap ini.
Lambat laun Miao Tiang-hong siuman dan kembali tenaganya, pelan-pelan ia mengelus kaki tangan Hun
Ci-lo, kaki tangan yang sudah dingin kaku. Menghadapi pujaan hati yang amat dicintai rebah tak bernyawa lagi di sampingnya, ingin rasanya menangis meng-gerung-gerung sepuasnya, namun air mata
tak bisa meleleh keluar, maka hatinya berpikir: "Apa artinya aku hidup seorang diri?"
Hun Ci-lo sudah ajal, senyuman yang menghias raut mukanya masih belum pudar, seolah-olah ia
memberi ingat kepada Miao Tiang-hong supaya selalu ingat akan pesan terakhirnya sebelum mangkat.
Di seberang puncak sana sorak sorai laskar gerilya yang mencapai kemenangan gilang gemilang gegap
gempita menggetarkan tanah pegunungan, Miao Tiang-hong tersentak sadar, segera ia angkat sumpah di
hadapan jenazah Hun Ci-lo: "Ya, walau aku hidup belum tentu lebih berguna darimu, tapi kalau toh aku
masih hidup, maka selamanya aku harus ingat pesanmu!
Dengan hayat yang masih dikandung badan ini barulah aku dapat membalas budi kebaikanmu."
Entah berapa lama berselang tiba-tiba didengarnya langkah kaki mendatangi, lekas Miao ianghong
merangkak duduk bertopang pedangnya, pikirnya: "Semoga yang datang bukan musuh!"
Sesuai dengan harapannya, yang berlari datang lebih dulu adalah Bu Toan kakak beradik, disusul Lau
Khong berada jauh di belakang.
Tangan Bu Toan menjinjing batok kepala seseorang, dari kejauhan mereka belum melihat Hun Ci-lo yang
rebah di semak rumput yang tumbuh tinggi, begitu melihat Miao Tiang-hong sungguh girangnya bukan
main, teriaknya senang dari kejauhan: "Miao-susiok, ternyata kaulah yang membuat Pakkiong Bong terluka parah, kami sudah berhasil membunuhnya, coba lihat, inilah batok kepalanya yang ku-penggal!
Lho, Miao-susiok kenapa kau, kau, kau pun terluka?"
Cepat sekali Lau Khong pun sudah menyusul tiba, matanya lebih tajam, sekilas ia melihat keadaan Hun
Ci-lo lebih dulu, namun ia sangka orang hanya terluka saja, teriaknya: "O, kau berada di sini bersama Hun
lihiap. Beratkah luka-lukamu" Goan-cau pun sedang merawat lukalukanya di Siau-kim-jwan, marilah
kubawa kalian ke sana menemuinya."
Miao Tiang-hong tertawa getir, ujarnya: "Ya memang Goan-cau harus melihat muka Hun Lihiap yang
penghabisan kali, bikin susah kalian untuk mengurus jenazahnya, aku tidak akan menemui Goan-cau
lagi!" Baru sekarang Lau Khong terkejut, tanpa berjanji bersama Bu Toan bertiga mereka berteriak:
"Kau, apa katamu?"
Berkata Miao Tiang-hong pelan-pelan: "Hun Ci-lo, dia, dia sudah meninggal!" Habis katakatanya kembali
ia tersungkur jatuh dengan lemas lunglai tak sadarkan diri.
---ooo00ooo--- Pada jalan raya yang menuju ke luar perbatasan, tampak seseorang sedang berjalan dengan langkah
lebar dan gagah, orang itu adalah Miao Tiang-hong, dia sedang menempuh perjalanan menuju ke
Thiansan memikul beban mengasuh dan mendidik anak Hun Ci-lo.
Satu bulan lebih sejak Hun Ci-lo meninggal dunia, namun rasa sedih, rawan dan kepiluan hatinya masih
belum luntur. Sambil jalan ia tarik suara bersenandung dengan suara lantang dan mengalun tinggi menjelajah gunung
menyusuri lembah sungai, darah panas masih bergolak di dalam rongga dadanya, ini dapat didengar dari
nada suaranya. Sekali lagi lewat senandungnya, ia berjanji dan bersumpah kepada almarhum teman
karibnya, selama hayat masih di kandung badan dia akan tetap ingat akan pesannya dan memikul beban
tanggung jawab yang dipasrahkan dirinya.
TAMAT CATATAN 5) halaman 1078. Kejadian tsb diceritakan dalam Pendekar Jembel.
6) halaman 1273. Kejadian ini ada dalam cerita San Hoa Liehiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga). Thi
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
King-sim = Tiat Keng Sim 7) halaman 1273. Bok Ling=Bhok Lin. Kakak perempuan Bhok Lin yang menikah dengan Thi King-sim (Tiat
Keng Sim) adalah Bhok Yan. Bhok Lin dan Bhok Yan adalah murid Thio Tan Hong, tapi hanya beberapa bulan
saja. Cerita selengkapnya dapat diikuti dalam San Hoa Liehiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga) dan Lian
Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu).
Sumpah Palapa 24 Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan 6
dingin ia tatap Tong Thian-chong, sembari menjalankan pernapasan mengatur hawa mumi, sedikit
pun ia tidak menunjukkan rasa jeri pada sorot matanya.
Melihat Miao Tiang-hong pun berada di sini, sekilas Tong Thian-chong amat kaget. Maklum dia
pernah terjungkal di tangan orang, kini dia belum tahu bahwa lawan terluka parah, melihat sikap
dan rona mukanya yang tenang hatinya sudah gugup sendiri. Untung Pakkiong Bong bicara
dengan cepat, kalau tidak mungkin dia sudah putar badan melarikan diri lebih dulu.
"Tong-locianpwe, kau seorang ahli silat, memangnya tidak bisa melihat keadaannya" Dia
kupukul luka parah, jangan kata lari berjalan pun tak mampu, cukup sebatang senjata rahasiamu
dari kejauhan sudah cukup menamatkan jiwanya!"
Baru sekarang Tong Thian-chong melihat tegas raut muka orang memang pucat lesi.
Sementara dengan tatapan tajam Miao Tiang-hong awasi orang, selekasnya ia kerahkan hawa
murninya menjebol jalan darahnya yang buntu, Thay-ceng-khi-kangnya sudah pulih tiga bagian,
asal hawa murninya bisa tersalur jalan, maka dia boleh mengadu jiwa sama Tong Thian-chong,
meski bukan tandingan, paling tidak bisa bertahan beberapa jurus.
Sayang di saat hawa murninya sudah tersalur hampir menjebol Hoan-tiau-hiat, senjata rahasia
Tong Thian-chong sudah melesat datang, Miao Tiang-hong kerahkan tenaga pada ujung jari terus
menjentik "Creng" sebutir Thi-lian-cu timpukan Tong Thian-chong ia jentik mencelat jatuh,
jengeknya dingin: "Sebutir senjata rahasia dapat mengapakan jiwaku?"
Keruan Tong Thian-chong berjingkrak kaget, namun betapapun ia cukup pengalaman, melihat
Miao Tiang-hong tidak menubruk maju, dari jatuhnya Thi-lian-cu itu, dapatlah dia menjajaki
tenaganya, meski lwekang Miao Tiang-hong tidak terkuras habis seperti keadaan Pakkiong Bong,
tapi sisa tenaganya pun tak seberapa lagi, jelas orang bukan tandingannya.
Tong Thian-chong tergelak-gelak senang, serunya: "Hebat memang kepandaian Tan-ci-sinthong,
ingin lohu melihat berapa banyak kau kuasa menyambuti senjata rahasiaku?" Sekaligus ia
timpukkan pula dua butir Thi-lian-cu.
Miao Tiang-hong berhasil menjentik jatuh Thi-lian-cu yang di atas, namun yang meluncur ke
bawah tak berhasil dia kelit, walau tidak mengenai hiat-to, namun telak mengenai lututnya.
Kebetulan hawa murninya baru tersalur ke tempat ini, begitu hawa murni buyar, seketika
badannya tergeliat sempoyongan akhirnya jatuh terduduk di atas tanah.
Tong Thian-chong tertawa kesenangan, ejeknya: "Sudah tak mampu menangkis lagi?" Kembali
ia ayun tangan, tiga butir peluru berduri ia timpukkan bersama, bobot peluru besi ini rada berat,
meski tidak bisa menamatkan jiwa Miao Tiang-hong, kalau kena cukup membuat Miao Tiang-hong
menjadi cacat. Sekonyong-konyong terdengar seruan memanggil- "Miao-toako, Miao-toako!" ?" "Tring, tring"
entah dari mana melesat datang tiga butir mata uang sekaligus membentur jatuh ketiga peluru
besi berduri Tong Thian-chong.
Sesaat Miao Tiang-hong seperti tersentak sadar dari impian, teriaknya kaget: "Ci-lo, kaukah
itu!" Teriak Hun Ci-lo: "Benar, inilah aku, jangan kuatir! Sebentar kawan-kawan datang kemari,
kedua bangsat tua ini takkan bisa lolos lagi!"
Pakkiong Bong balas berteriak: "Jangan kena tipu gertakannya! Hanya perempuan jalang saja
yang datang, perempuan jalang ini pun bukan tandinganmu!"
Tong Thian-chong bergelak tertawa, serunya: "Kau hendak menggertak aku supaya lari" Aku
justru tidak pergi. Kalau rombongan besar kawan-kawanmu meluruk kemari, memangnya kami
tidak bisa lolos, biar kubekuk kau lebih dulu untuk sandera."
Di tengah gelak tawanya, cepat ia membalik badan seraya kembangkan kepandaian menimpuk
senjata rahasia tunggal dari keluarga Tong mereka yaitu Hoan-pi-im-piau, sebatang pisau baja
langsung memapak ke arah datangnya Hun Ci-lo, tepat mengarah Hun-tai-hiat di perutnya.
Jarak cukup dekat, bobot piau ini cukup berat lagi. Lekas Hun Ci-lo ayun pedang menyampuk
jatuh, seketika tangan terasa linu kemeng. Memangnya tenaganya sudah jauh susut, bukan saja
senjata rahasia Tong Thian-chong lihay, lwekang orang pun lebih tinggi dari dirinya. Cepat sekali
piau kedua, ketiga sambitan Tong Thian-chong beruntun menyambar datang, satu mengarah Sinthing-
hiat bagian atas, yang lain mengarah Hoan-ma-hiat di bagian bawah badan.
Badan berputar sambil berkelit, piau menyambar lewat menyerempet pahanya, disusul ia
kembangkan ginkangnya dengan It-ho-ciong-thian, badannya melambung tinggi ke atas, sekaligus
Hun Ci-lo luputkan diri dari sambaran piau yang mengarah dari bawah.
Meski berhasil lolos dan selamat, Hun Ci-lo cukup kepayahan juga. Sekonyong-konyong teringat
olehnya cara Toan Siu-si menghadapi timpukan senjata rahasia Tong Thian-chong di Pak-bong-san
tempo hari, menyedot napas, badan melesat terbang, secepat kilat ia menubruk ke arah Tong
Thian-chong lebih dulu. Jarak cukup dekat, badan Hun Ci-lo mengapung di tengah udara, dengan sejurus Ya-can-pathong
ia pukul jatuh dua senjata rahasia Tong Thian-chong, disusul jurus Ing-kik-tiang-khong,
belum lagi ujung kakinya menyentuh bumi, ujung pedangnya sudah mengancam dada Tong
Thian-chong. Terpaksa Tong Thian-chong angkat tanduk menjangan untuk menyampuk pedang, bentaknya:
"Perempuan galak yang kejam, hendak adu jiwa ya?"
"Ya, biar aku adu jiwa dengan bangsat tua macam kau ini!" Pedang diputar bagai kitiran,
sekaligus ia serang tujuh delapan belas jurus. Dengan pertempuran jarak dekat ia cecar sekuatnya
sehingga lawan tak berkesempatan menggunakan senjata rahasianya.
Miao Tiang-hong dapat melihat tenaga Hun Ci-lo yang lemah, teriaknya: "Ci-lo, lekas kau pergi,
jangan hiraukan aku!" Mana Hun Ci-lo mau menurut seruannya, serangannya malah semakin
gencar. Mendengar teriakan Miao Tiang-hong tergerak hati Tong Thian-chong, mendadak timbul
sebuah akal dalam benaknya, lekas ia lintangkan tanduk menjangan sambil mundur dua langkah,
berbareng tangan kiri menyambitkan senjata rahasia, dua batang panah meluncur mengarah Miao
Tiang-hong. Senjata rahasia alat menyerang dari tempat jauh, karena tidak menduga, Hun Ci-lo
hanya sempat mengetuk jatuh satu di antaranya, sebatang yang lain melesat ke arah lutut Miao
Tiang-hong. Keruan Hun Ci-lo gugup dan kerepotan dibuatnya, untung serangannya dipergencar
sehingga sambitan tiga buah senjata rahasia susulan Tong Thian-chong kehilangan arah.
Berkerut alis Hun Ci-lo, tiba-tiba terpikir sebuah akal, "Sret, sret" ia desak Tong Thian-chong
mundur dua langkah, mendadak ia membalik tubuh menubruk ke sana. Belum lagi Pakkiong Bong
melihat jelas, tengkuknya tiba-tiba terasa kencang sakit, tahu-tahu Hun Ci-lo sudah mencengkram
tulang pundaknya. Tulang pundak merupakan bagian yang lemah dan berbahaya, jangan kata
Pakkiong Bong sudah terluka parah, seumpama dalam keadaan biasa, sekali tulang pundaknya
kena dicengkram, betapapun tinggi ilmu silatnya takkan mampu dikembangkan lagi.
"Tong Thian-chong!" bentak Hun Ci-lo mengancam. "Kau ingin selamatkan jiwanya tidak?"
"Tong locianpwe," mohon Pakkiong Bong dengan muka kecut, "biarlah saling tukar tawanan
saja!" "Baik!" sahut Tong Thian-chong, namun tangannya kembali terayun, ia sambitkan senjata
rahasianya ke arah Miao Tiang-hong.
Waktu itu Hun Ci-lo berada di samping belakang, Miao Tiang-hong kebetulan berhadapan
dengan dirinya. Tong Thian-chong ayun tangan ke depan, namun senjata rahasia justru
menyambar balik ke belakang. Dalam anggapan Hun Ci-io senjata rahasia musuh menyerang Miao
Tiang-hong, di luar tahunya malah dirinya yang menjadi sasaran.
Betapapun Hun Ci-lo tidak menyangka Tong Thian-chong bertindak selicik itu, melihat orang
menyambitkan senjata rahasia ke arah Miao Tiang-hong, keruan bukan kepalang terkejut hatinya,
dalam gugupnya tak sempat ia meremas tulang pundak Pakkiong Bong, cepat ia melesat lari ke
sana. Tapi baru saja kakinya melangkah kontan ia rasakan dadanya sakit kesemutan, tahu-tahu
sebatang jarum berbisa Tong Thian-chong menembus dadanya. Sambitan jarum beracun ini tak
bersuara, kalau Hun Ci-lo berhadapan dengan penuh perhatian, mungkin sempat menangkis atau
mengelak, kini orang menggunakan akal licik serta membokong, sudah tentu tak bisa
mengelakkan diri. Begitu Hun Ci-lo lepas tangan, lekas Pakkiong Bong jatuhkan diri menggelundung ke bawah
lereng. Jiwa berhasil lolos, namun ia masih belum tahu perubahan apa yang terjadi, dengan
mengerahkan sisa tenaga Thian-mo-kay-the-tay-hoat, ia menggelundung sampai di lamping
gunung terus merangkak bangun melarikan diri.
Melihat Pakkiong Bong sudah melarikan diri, Tong Thian-chong semakin lega hati. Kembali ia
ayun tangan, segenggam jarum berbisa ia tebarkan ke arah Miao Tiang-hong, dengan pukulan
Bik-khong-ciang sedapat mungkin Miao Tiang-hong meruntuhkan jarum-jarum yang menyambar
tiba, sayang ia pun terluka tenaganya amat lemah, tak urung pundak kanan dan lengan kirinya
kena dua batang jarum berbisa. Begitu pandangan menjadi gelap sekeras-kerasnya ia berteriak:
"Ci-lo, lekas kau lari!"
Pakkiong Bong sudah lolos, Hun Ci-lo tak mungkin lari. Badannya gentayangan hampir roboh,
dengan kertak gigi ia lari menghampiri. Bentaknya: "Bangsat tua tak tahu malu, biar aku adu jiwa
dengan kau!" Tong Thian-chong tergelak-gelak, serunya: "Kalian berdua sudah terkena jarum beracunku,
masih berani kau hendak adu jiwa sama aku" Hehe, biarlah kutunggu pada penirisanmu yang akan
datang!" Hun Ci-lo berlari ke samping Miao Tiang-hong, dilihatnya Miao Tiang-hong rebah kaku, kedua mata terpejam, raut mukanya sudah diliputi hawa hitam. Dilihat keadaannya memang sudah mati.
Sungguh sakit seperti di ris-iris ulu hati Hun Ci-lo, tiba-tiba terasa mata berkunang-kunang, kepala semakin berat, sekujur badan menjadi lemas lunglai, tak tahan ia menunjang badan, segera ia pun meloso jatuh.
Saking kesenangan Tong Thian-chong tergelak-gelak, ujarnya: "Pakkiong Bong akhirnya toh
takkan lolos jiwanya. Haha, jasa ini hanya aku sendiri yang akan memilikinya!" Selangkah demi
selangkah ia maju menghampiri. Saking kesenangan Tong Thian-chong lupa diri membayangkan
pahala muluk-muluk yang bakal diperolehnya, baru saja ia menghampiri hendak memenggal kepala
kedua orang ini, tak nyana belum lagi gelak tawanya sirap, tiba-tiba dilihatnya selarik sinar menyambar,
kontan dada terasa sakit luar biasa dan napas seketika sesak, tak sempat bersuara tiba-tiba badannya
terjungkal roboh dan melayanglah jiwanya.
Tiba-tiba Miao Tiang-hong merangkak duduk sambil tertawa dingin, jengeknya: "Bangsat tua, pergilah
menghadap raja akhirat untuk minta persen!"
Ternyata kemurnian dan peryakinan lwekang Miao Tiang-hong jauh lebih tinggi dari penilaian Tong Thian-
chong. Sebelumnya dia sudah berhasil memusatkan sebagian hawa murninya, walau terkena jarum
berbisa, dalam waktu dekat tenaganya masih kuat bertahan, maka dia pura-pura sudah ajal untuk melancarkan serangan terakhir, dengan Pek-hong-koan-jit ia lempar pedangnya
dan telah menembus dada Tong Thian-chong.
Tapi lemparan pedang ini betul-betul menghabiskan seluruh kekuatannya, hawa murni tak kuat lagi menahan menjalarnya racun, maka suara tawanya pun semakin lemah.
Sebelum terkena jarum berbisa Hun Ci-lo masih segar bugar cuma tenaganya saja yang lemah, tapi
terasa racun mulai bekerja membuat selebar dadanya terasa gatal dan linu, makin lama menjalar ke
seluruh badan, ia insyaf jiwanya takkan tertolong lagi, namun ia mengharap Miao Tiang-hong masih kuat
bertahan untuk hidup. Ia kira kalau toh dia kuat menimpuk pedang membunuh musuh, mungkin masih
kuat bertahan beberapa kejap pula, sambil menunggu kedatangan Lau Khong dan lain-lain untuk
menolongnya. Begitu roboh terjengkang sambung menyambung Miao Tiang-hong tertawa puas, ujarnya:
"Dengan tanganku sendiri aku bunuh musuh besar, mati pun tak menyesal. Hun-moay, tak nyana aku
bisa mati bersama kau, ini, ini..."
Dingin hati Hun Ci-lo, katanya dengan tertawa kecut: "Benar, Miao-toako, kita tidak dilahirkan
pada tahun bulan dan hari yang sama, namun bisa mati bersama dalam waktu ini juga, tidak siasia
persahabatan kita selama ini." Pelan-pelan ia menggeser badan merambat mendekati Miao Tianghong,
dcni-an ki-nciiu; ia genggam kedua tangannya. Terasa tapak tangan kanan sedingin es dan berkeringat
pula, namun detak jantung orang masih berdebar keras.
Berkala Miao Tiang-hong pula: "Tapi aku tidak ingin kau mati bersama aku, aku akan berusaha supaya
kau bertahan hidup. Kau masih punya Goan-cau, dia, dia..." entah dari mana datangnya tenaga, tiba-tiba
ia membalik badan menindih ke atas badan Hun Ci-lo, lalu ulur tangan menotok jalan pelemas di bawah
ketiaknya, katanya: "Hun-moay, maaf akan perbuatanku yang kurang sopan ini, aku harus membuka
pakaianmu baru bisa menghisap darah beracun dalam dadamu."
Sudah tentu Hun Ci-lo terperanjat, baru sekarang ia paham, kiranya Miao Tiang-hong rela berkorban demi
menolong dirinya, maka teriaknya: "Tidak, tidak, Miao-toako, jangan kau lakukan." Namun Miao Tiang-
hong sudah mulai menarik pakaiannya, katanya: "Hun-moay, maafkanlah aku, kali ini aku tidak akan
menurut kata-katamu. Hidup seorang diri akan merana dan sedih, namun lebih baik daripada dua-duanya
mati." Diam-diam Hun Ci-lo menarik napas dan mengempos semangat, mendadak ia meronta
sekuatnya dengan gaya Ikan Lele Meletik, ia membalik dan menindih Miao Tiang-hong malah, hiatto pele-
masnya ditotoknya pula sehingga orang tak bisa berkutik, katanya: "Miao toako, memang tidak salah
ucapanmu, hidup seorang pun lebih mending daripada keduanya sama-sama mati!"
Agaknya setelah menimpukkan pedang tadi tenaga Miao Tiang-hong sudah terkuras habis, meski
belakangan ia kuat meronta dan menotok hiat-to Hun Ci-lo, namun tenaganya teramat lemah, sehingga
hiat-to yang tertotok tidak membawa faedah apa-apa.
Miao Tiang-hong menjerit-jerit dalam hati: "Ci-lo, biar aku mati. Kau harus hidup, kau harus hidup! Kau
masih punya Goan-cau, sudah selayaknya kau rujuk kembali dengan dia." Namun mulutnya tak mampu
bergerak. Dia sudah pertahankan sisa tenaganya yang penghabisan, seumpama Hun Ci-lo tidak menotok
hiat-tonya, dia pun sudah jatuh semaput.
Hun Ci-lo meraih pedang, pelan-pelan dengan ujung pedang ia korek kulit daging di pundak
dan lengan kiri Miao Tiang-hong. Sekitar luka-luka sudah melepuh besar kehitam-hitaman. Hanya
sebentar saja, sebatang jarum sekecil itu, racunnya bekerja demikian cepat dan lihay, agaknya ancaman
Tong Thian-chong tentang jarum beracunnya yang paling jahat bukanlah gertakan belaka.
Namun Hun Ci-lo berpikir: "Tapi tidak pernah dia bayangkan Miao-toako ada melatih Thayceng-
khi-kang, meski badan keracunan jiwanya masih kuat bertahan, tak terpikir pula olehnya aku bakal menghisap darahnya, mengurangi kadar racun yang mengeram dalam badannya." Menyusul ia berpikir
pula: "Kenapa tadi tidak terpikir olehku akan cara ini" Terang betapa cinta Miao-toako terhadapku, agaknya ratusan kali lebih mendalam dari cintaku kepadanya!"
Beruntun Hun Ci-lo menghisap puluhan kali darah beracun, sampai darah yang merembes keluar dari
kedua luka-luka Miao Tiang-hong berwarna merah segar, rasanya di mulut pun tidak begitu busuk dan
amis. Barulah Hun Ci-lo merasa lega, dengan sisa tenaganya ia keluarkan obat dan membubuhi luka-luka
serta membalutnya pula, barulah dia menarik napas panjang.
Lambat laun Miao Tiang-hong siuman dari pingsannya, namun ia tak bertenaga untuk bicara.
Dia cuma bisa menentang dengan sorot matanya.
Hun Ci-lo unjuk tawa pilu, katanya rawan: "Miao-toako, maafkan aku, kau harus hidup dan mengasuh
anakku, kau akan lebih baik mendidiknya. Bicara soal kepandaian silat sejati, soal pengalaman dan pengetahuan lainnya, kau jauh lebih unggul dari aku, kau hidup jauh lebih berguna dari diriku!"
Miao Tiang-hong menjerit dalam hati: "Tapi kau masih punya Goan-cau! Aku sebaliknya tiada sanak tiada
kadang!" Agaknya Hun Ci-lo dapat meraba pikirannya, ia menghirup hawa dan bertahan sekuatnya, katanya lebih
lanjut: "Goan-cau sudah punya Bu-siang, mereka adalah pasangan setimpal, aku tidak ingin merusak
hubungan mereka. Memang aku masih mencintai Goan-cau, dulu dia kekasihku, tapi aku pun
mencintaimu, kau adalah saudaraku satu-satunya. Kalian orang-orang baik, harus tetap hidup dalam
dunia ini." "Semalam, aku menolong Goan-cau, hampir saja jiwaku ikut melayang. Waktu itu aku sudah berpikir,
kalau yang terluka parah adalah kau, aku pun akan menolongmu meski harus mengorbankan jiwaku
sendiri." "Kau menghisap darah beracun dalam badanku, walau tidak berhasil, terhitung sudah menolongku juga.
Miao-toako, kau sering bilang, hidup manusia mendapatkan teman karib yang paling intim, mati pun takkan menyesal, demikianlah akan diriku, mati pun aku tak menyesal.
Sementara jangan kau beritahu kepada Beng Goan-cau, aku harap kau, kau jangan bersedih karena
kematianku!" Sekaligus Hun Ci-lo keluarkan kata-katanya, seumpama dian yang sudah kehabisan minyak, pelan-pelan
ia meloso roboh. Pada tarikan napasnya yang terakhir, terbayang olehnya akan sumpah setia sehidup
semati dengan Beng Goan-cau dulu, teringat pula akan kasih sayang Miao Tiang-hong serta
perlindungannya terhadap dirinya. Hatinya dirundung tiga bagian sedih, namun lebih banyak merasa
senang dan terhibur. Dia berdoa bagi Beng Goan-cau, berdoa pula bagi kesehatan Miao Tiang-hong,
pada raut mukanya yang diliputi hawa hitam terkulum senyuman mekar bak sekuntum bunga. Seingat
Miao Tiang-hong, belum pernah dia melihat kecantikan orang yang begitu elok rupawan sekejap ini.
Lambat laun Miao Tiang-hong siuman dan kembali tenaganya, pelan-pelan ia mengelus kaki tangan Hun
Ci-lo, kaki tangan yang sudah dingin kaku. Menghadapi pujaan hati yang amat dicintai rebah tak bernyawa lagi di sampingnya, ingin rasanya menangis meng-gerung-gerung sepuasnya, namun air mata
tak bisa meleleh keluar, maka hatinya berpikir: "Apa artinya aku hidup seorang diri?"
Hun Ci-lo sudah ajal, senyuman yang menghias raut mukanya masih belum pudar, seolah-olah ia
memberi ingat kepada Miao Tiang-hong supaya selalu ingat akan pesan terakhirnya sebelum mangkat.
Di seberang puncak sana sorak sorai laskar gerilya yang mencapai kemenangan gilang gemilang gegap
gempita menggetarkan tanah pegunungan, Miao Tiang-hong tersentak sadar, segera ia angkat sumpah di
hadapan jenazah Hun Ci-lo: "Ya, walau aku hidup belum tentu lebih berguna darimu, tapi kalau toh aku
masih hidup, maka selamanya aku harus ingat pesanmu!
Dengan hayat yang masih dikandung badan ini barulah aku dapat membalas budi kebaikanmu."
Entah berapa lama berselang tiba-tiba didengarnya langkah kaki mendatangi, lekas Miao ianghong
merangkak duduk bertopang pedangnya, pikirnya: "Semoga yang datang bukan musuh!"
Sesuai dengan harapannya, yang berlari datang lebih dulu adalah Bu Toan kakak beradik, disusul Lau
Khong berada jauh di belakang.
Tangan Bu Toan menjinjing batok kepala seseorang, dari kejauhan mereka belum melihat Hun Ci-lo yang
rebah di semak rumput yang tumbuh tinggi, begitu melihat Miao Tiang-hong sungguh girangnya bukan
main, teriaknya senang dari kejauhan: "Miao-susiok, ternyata kaulah yang membuat Pakkiong Bong terluka parah, kami sudah berhasil membunuhnya, coba lihat, inilah batok kepalanya yang ku-penggal!
Lho, Miao-susiok kenapa kau, kau, kau pun terluka?"
Cepat sekali Lau Khong pun sudah menyusul tiba, matanya lebih tajam, sekilas ia melihat keadaan Hun
Ci-lo lebih dulu, namun ia sangka orang hanya terluka saja, teriaknya: "O, kau berada di sini bersama Hun
lihiap. Beratkah luka-lukamu" Goan-cau pun sedang merawat lukalukanya di Siau-kim-jwan, marilah
kubawa kalian ke sana menemuinya."
Miao Tiang-hong tertawa getir, ujarnya: "Ya memang Goan-cau harus melihat muka Hun Lihiap yang
penghabisan kali, bikin susah kalian untuk mengurus jenazahnya, aku tidak akan menemui Goan-cau
lagi!" Baru sekarang Lau Khong terkejut, tanpa berjanji bersama Bu Toan bertiga mereka berteriak:
"Kau, apa katamu?"
Berkata Miao Tiang-hong pelan-pelan: "Hun Ci-lo, dia, dia sudah meninggal!" Habis katakatanya kembali
ia tersungkur jatuh dengan lemas lunglai tak sadarkan diri.
---ooo00ooo--- Pada jalan raya yang menuju ke luar perbatasan, tampak seseorang sedang berjalan dengan langkah
lebar dan gagah, orang itu adalah Miao Tiang-hong, dia sedang menempuh perjalanan menuju ke
Thiansan memikul beban mengasuh dan mendidik anak Hun Ci-lo.
Satu bulan lebih sejak Hun Ci-lo meninggal dunia, namun rasa sedih, rawan dan kepiluan hatinya masih
belum luntur. Sambil jalan ia tarik suara bersenandung dengan suara lantang dan mengalun tinggi menjelajah gunung
menyusuri lembah sungai, darah panas masih bergolak di dalam rongga dadanya, ini dapat didengar dari
nada suaranya. Sekali lagi lewat senandungnya, ia berjanji dan bersumpah kepada almarhum teman
karibnya, selama hayat masih di kandung badan dia akan tetap ingat akan pesannya dan memikul beban
tanggung jawab yang dipasrahkan dirinya.
TAMAT CATATAN 5) halaman 1078. Kejadian tsb diceritakan dalam Pendekar Jembel.
6) halaman 1273. Kejadian ini ada dalam cerita San Hoa Liehiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga). Thi
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
King-sim = Tiat Keng Sim 7) halaman 1273. Bok Ling=Bhok Lin. Kakak perempuan Bhok Lin yang menikah dengan Thi King-sim (Tiat
Keng Sim) adalah Bhok Yan. Bhok Lin dan Bhok Yan adalah murid Thio Tan Hong, tapi hanya beberapa bulan
saja. Cerita selengkapnya dapat diikuti dalam San Hoa Liehiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga) dan Lian
Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu).
Sumpah Palapa 24 Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan 6