Pencarian

Kisah Dua Naga Di Pasundan 6

Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana Bagian 6


samparan kepada orang itu.
Terlihat orang itu penuh senyum memandang Bango
Samparan dengan wajah penuh welas asih.
"Aku hanya kebetulan lewat, budi dan karma ini
hanya sebagai sebuah sebab akibat, mungkin saja
leluhurmu pernah berbuat yang sama sebagaimana
kulakukan hari ini. Sudah lama aku melupakan namaku
sendiri, beberapa orang menyebutku sebagai seorang
pertapa dari Gunung Wilis", berkata orang itu kepada
Bango Samparan. Berdesir seluruh bulu roma Bango Samparan, baru
dalam kedipan mata orang itu sudah tidak ada lagi
ditempatnya. "Hanya manusia setengah dewa yang dapat terbang
dan menghilang seperti itu", bergumam dalam hati Bango
Samparan menyaksikan sebuah kesaktian ilmu tingkat
tinggi itu. 361 Terlihat Bango Samparan telah bersiap untuk
melanjutkan kembali perjalanannya menuju lereng
gunung Galunggung yang sudah terlihat membiru di saat
matahari bersinar terang di siang itu.
"Pendeta Rakanata telah mengatakan bahwa Dewi
Kaswari adalah putri kandungnya sendiri. Sementara
orang itu telah meyakinkan ucapan Pendeta Rakanata
yang telah dengan sengaja menukar bayi Raja Rakata",
berkata Bango Samparan dalam hati sambil berjalan.
"Haruskah rahasia besar ini kuceritakan kepada Dewi
Kaswari dan Andini?", berputar-putar pertanyaan di
kepala Bango Samparan mencoba berhitung baik dan
buruknya bila semua rahasia besar itu di ketahui oleh
Dewi Kaswari dan Andini. Dan tidak terasa Bango Samparan sudah berada di
kaki Gunung Galunggung yang terlihat hijau tinggi
menjulang menyentuh awan langit biru. Sang surya
terlihat sudah lama bergeser dari puncaknya tidak lagi
menyengat kulit tubuh Bango Samparan yang telah
memasuki hutan pegunungan di jalan mendaki.
Sementara itu di sebuah hutan lain, sekelompok
orang terlihat tengah berjalan.
Bila ada seseorang yang melihat sekelompok orang
yang berjalan di hutan itu, pasti akan terheran-heran
melihat sepuluh orang diantara mereka berkulit kuning
lebih cerah dari kulit umumnya orang pribumi di bumi
Pasundan. Ternyata mereka adalah Gajahmada dan kelompok
pasukan penyergapnya yang ditugaskan khusus
memata-matai para pemberontak Pasukan Rakata yang
saat itu masih bersembunyi di sekitar hutan timur
Kotaraja Kawali. 362 Dan kesepuluh orang asing itu adalah para biksu
terbaik dari Tibet yang sengaja di ikutkan oleh
Gajahmada. Sementara itu tiga orang muda yang ikut bersama
Gajahmada adalah Pangeran Citraganda, Pangeran
Jayanagara dan seorang lagi yang nampak lebih tua dari
ketiganya yang bertubuh terlihat begitu kokoh, kekar dan
kuat akibat tempaan dan latihan berat selama masa
hidupnya. Siapa lagi orang muda itu kalau bukan Putu
Risang. Seorang muda namun telah memiliki kesaktian
yang sangat tinggi sangat jarang sekali yang dapat
setara dengannya saat itu di jamannya selain seorang
Patih Mahesa Amping yang tidak lain adalah gurunya
sendiri yang saat itu telah di tugaskan menjadi seorang
Patih di tanah Kediri. "Kita berjalan melambung menghindari hutan timur
Kotaraja agar tidak terlihat Pasukan Rakata yang saat ini
masih berada disana", berkata pangeran Citraganda
yang ikut dalam pasukan penyergap itu seperti telah
mengenal betul tiap jengkal tanah di Bumi Pasundan itu.
Semua orang dalam pasukan itu nampaknya sangat
mempercayai Pangeran Citraganda atas penguasaan
dan pengenalannya pada tanah hutan disekitar Kotaraja
Kawali itu. Terlihat mereka telah mengikuti kemanapun
langkah kaki Pangeran Citraganda melangkah.
"Di ujung jalan ini kita akan menemukan sebuah
padukuhan yang terdekat dengan hutan timur Kotaraja",
berkata Pangeran Citraganda memberikan keterangan
tentang arah perjalanan mereka.
"Bukankah kita tidak perlu berada di Padukuhan itu
?", berkata Putu Risang mencoba mengingatkan tentang
tugas mereka sebagai pasukan khusus itu.
363 "Benar, tugas kita adalah menyergap mereka yang
keluar mencari tambahan perbekalan. Dan kita harus
berada diantara padukuhan dan hutan timur itu", berkata
Gajahmada. Demikianlah, akhirnya mereka dapat menemukan
sebuah tempat yang baik untuk mengintai diantara kedua
tempat itu. Namun hingga datang menjelang malam mereka
tidak juga mendapatkan orang-orang Rakata itu keluar
dari hutan persembunyian mereka.
"Nampaknya persediaan mereka masih cukup
banyak", berkata pangeran Citraganda menduga-duga
setelah sekian lama mengintai ditempat tersembunyi.
"Malam masih sangat panjang", berkata Putu Risang
sambil tersenyum melihat kegelisahan hati Pangeran
Citraganda itu. "Atau mereka keluar mencari Padukuhan yang lain",
berkata kembali Pangeran Citraganda.
Mendengar ucapan Pangeran Citraganda, terlihat
Pangeran Jayanagara dan Gajahmada saling beradu
pandang, mungkin telinga mereka sudah menjadi risih
mendengar sikap Pangeran Citraganda penuh keraguan
bahwa mereka berada di tempat yang kurang tepat.
Meski begitu mereka berdua tidak berkata apapun,
mereka masih menghargai Pangeran Citraganda sebagai
seorang tuan rumah di bumi Pasundan itu.
Namun Putu Risang masih menanggapi sikap
keraguan Pangeran Citraganda itu dengan sikap yang
lain, mencoba mengalihkan arah pembicaraannya.
"Pangeran Citraganda pernah berburu Babi hutan?",
bertanya Putu Risang kepada Pangeran Citraganda.
364 "Aku sangat senang sekali berburu babi hutan",
berkata pangeran Citraganda.
"Pangeran Citraganda pernah berburu badak bercula
satu?", bertanya kembali Putu Risang kepada pangeran
Citraganda. Terlihat Pangeran menggeleng-gelengkan kepalanya
sebagai tanda belum pernah melakukannya.
"Berburu Babi hutan harus punya sebuah kesabaran
yang kuat, sementara berburu Badak bercula satu harus
punya kesabaran lebih kuat lagi", berkata Putu Risang
kepada Pangeran Citraganda.
Mendengar perkataan Putu Risang itu, terlihat
Gajahmada dan Pangeran Jayanagara kembali saling
beradu pandang, sepertinya mereka berdua sudah dapat
mengerti kemana arah pembicaraan Putu Risang itu.
"Mengapa harus punya kesabaran yang berbeda
untuk dua perburuan yang berbeda?", bertanya
Pangeran Citraganda. "Perbedaannya adalah bahwa Babi hutan selalu
berjalan setiap malam di tempat yang sama, kita hanya
perlu kesabaran menunggu waktu yang tepat, sementara
Badak bercula satu tidak akan berjalan ke tempat yang
sama setiap harinya, dan kita harus lebih bersabar lagi
menunggu keberuntungan itu datang", berkata Putu
Risang menjelaskan tentang sebuah perburuan.
Kembali Gajahmada dan Pangeran Citraganda saling
beradu pandang sudah dapat mengerti kemana arah
pembicaraan Putu Risang selanjutnya. Mereka berdua
seperti tahu bahwa Putu Risang sedang membuat
sebuah perumpamaan bahwa saat ini mereka tengah
berburu sekelompok manusia yang lebih cerdik dari
365 seekor babi hutan atau seekor badak bercula satu
sekalipun. "Bila ada kesempatan, aku akan mencoba berburu
badak bercula satu", berkata Pangeran Citraganda
merasa tertarik dengan cerita Putu Risang tentang
sebuah perburuan itu. Kembali Gajahmada dan Pangeran Jayanagara
saling beradu pandang, terlihat air muka keduanya telah
menunjukkan wajah kekesalannya melihat Pangeran
Citraganda masih juga tidak mengerti dan paham
perumpamaan dan sindiran Putu Risang yang sangat
halus itu. Meski begitu mereka berdua merasa enggan
menanggapi sikap Pangeran Citraganda itu, tidak berkata
apapun karena takut dapat berbuah menyinggung
perasaan seorang tuan rumah.
"Aku mendengar sebuah
berkata Gajahmada tiba-tiba.
suara mencurigakan", "Aku tidak mendengar suara apapun", berkata
Pangeran Citraganda merasa tidak mendengar suara
apapun. Sementara itu Putu Risang dan Pangeran
Jayanagara sudah mulai dapat menduga Gajahmada
pasti tengah membuat sebuah seloroh saja.
"Aku mendengar suara kera muda gelisah", berkata
Gajahmada nampak seperti mencoba mengarahkan
daun telinganya agar mendengar lebih jelas lagi.
"Benar, aku juga mendengarnya. Kasihan sekali kera
muda itu", berkata pula Pangeran Jayanagara.
Melihat kedua muridnya tengah berbicara iseng dan
nakal hanya ingin mengerjai Pangeran Citraganda,
terlihat Putu Risang tidak berkata apa-apa, hanya ikut
366 tersenyum dalam hati melihat kenakalan kedua muridnya
itu. "Aku tidak mendengar apapun", berkata Pangeran
Citraganda merasa penasaran.
"Sekarang memang sudah semakin menjauh,
mungkin tertinggal oleh kelompoknya yang pergi mencari
buah matang di sebuah tempat baru", berkata
Gajahmada kepada Pangeran Citraganda.
"Menurutku belum pergi jauh, aku mendengar suara
dengkurnya", berkata Pangeran Jayanagara ikut
menanggapi permainan Gajahmada.
"Kalau suara itu aku juga mendengarnya, menurutku
itu hanya suara dengkur salah seorang biksu", berkata
Pangeran Citraganda. "Kamu benar, itu bukan suara kera muda, tapi suara
dengkur salah seorang biksu yang lelah hingga tertidur
diatas pohon", berkata kembali Gajahmada ditanggapi
tawa oleh Pangeran Jayanagara.
Sementara itu Putu Risang meski tidak ikut tertawa,
tapi diam-diam tersenyum dalam hati ikut terhibur dengan
gaya canda kedua muridnya itu.
Malam pun perlahan semakin larut bersama suara
binatang hutan yang kadang terdengar memecah suara
kesenyapan malam. "Para kera dari Rakata nampaknya sudah mulai
kelaparan dimalam ini", berkata Putu Risang.
Mendengar perkataan Putu Risang, terlihat
Gajahmada., Pangeran Jayanagara dan Pangeran
Citraganda dari tempat persembunyiannya telah
memasang telinganya mencoba menangkap lebih peka
lagi agar dapat mendengar apa yang dikatakan oleh Putu
367 Risang. Sementara itu sepuluh orang biksu terlihat semakin
siaga diatas pohon persembunyiannya. Nampaknya
mereka juga telah mendengar suara langkah banyak
orang tengah berjalan. Ternyata suara banyak langkah memang tengah
mendekati mereka. Terlihat Pangeran Citraganda
berusaha menahan nafasnya sendiri ketika melihat dari
arah persembunyiannya banyak orang berjalan di
kegelapan malam. "Nampaknya arah mereka adalah Padukuhan
terdekat di pinggir hutan ini", berkata Pangeran
Citraganda berbisik kepada Putu Risang didekatnya.
"Kita sergap mereka sebelum mencapai Padukuhan
terdekat, kasihan para warga padukuhan itu yang harus
menyerahkan lumbung hasil taninya kepada orang-orang
Rakata itu", berkata Pangeran Jayanagara memberikan
sebuah usulan. "Bagaimana menurutmu Mahesa Muksa, kamulah
pemimpin pasukan ini", berkata Putu Risang meminta
keputusan Gajahmada sebagai seorang yang ditunjuk
langsung oleh Raja Ragasuci menjadi pemimpin pasukan
penyergap itu. "Sebuah usul yang baik. Kita sergap mereka sebelum
membuat susah para warga Padukuhan", berkata
Gajahmada sambil keluar dari persembunyiannya.
Terlihat Putu Risang, Pangeran Citraganda dan
Pangeran Jayanagara mengikuti Gajahmada telah keluar
dari persembunyiannya. Terdengar suara burung hantu
tiga kali, rupanya suara itu berasal dari salah seorang
biksu yang meminta kawan-kawannya untuk keluar dari
368 persembunyian mereka. Melihat pasukan kecilnya sudah berkumpul, terlihat
Gajahmada telah memberi sebuah isyarat agar mereka


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjalan mengikuti arah perginya orang-orang Rakata itu.
Dan dengan langkah cepat tanpa suara sedikitpun
pasukan kecil itu sudah dapat mengejar orang-orang
Rakata itu. Beberapa kali Gajahmada memberi tanda agar
mereka berhenti ketika melihat jarak mereka terlalu dekat
dengan orang-orang Rakata itu.
"Jumlah mereka berkisar sekitar lima puluh orang
lebih", berkata Gajahmada berbisik kepada Putu Risang
di dekatnya. "Kita sergap mereka di tempat agak terbuka di hutan
ini", berkata Putu Risang sambil matanya masih
memandang orang-orang Rakata yang masih juga belum
menyadari bahwa mereka tengah dibuntuti.
Demikianlah, pasukan kecil pimpinan Gajahmada itu
masih saja membayangi orang-orang Rakata di
kegelapan malam hutan itu.
Ketika Gajahmada telah melihat sebuah tempat agak
terbuka di hutan itu, terlihat Gajahmada telah
memberikan sebuah tanda agar pasukan kecilnya
bersiap diri. "Aku akan memberi sebuah kejutan menghentikan
langkah mereka", berkata Gajahmada sambil mengambil
sebuah kerikil kecil. Terlihat Gajahmada sudah menjentikkan kerikil kecil
itu dengan salah satu jari tengahnya.
Ternyata jentikan Gajahmada itu diarahkan ke
369 sebuah dahan pohon tidak jauh di muka orang-orang
Rakata itu yang masih berjalan melangkah.
Bukan main dampak sebuah jentikan kerikil kecil dari
tangan Gajahmada. Rupanya Gajahmada telah
melambari jentikannya itu dengan tenaga sakti sejatinya.
Duarrrr !!!!! Terdengar suara benturan yang amat keras. Terlihat
sebuah dahan besar sepelukan orang dewasa yang
tumbuh melintang retak seperti dibenturkan sebuah
benda amat besar dan kuat.
Brakk ".bummm !!! Batang pohon retak itu sudah terbelah dan jatuh
berdegum di tanah tidak jauh dari orang-orang Rakata
itu. Terlihat orang-orang Rakata itu seperti terkejut dan
langsung menghentikan langkahnya.
"Untung kita tidak tepat di bawahnya", berkata
seorang yang berjalan di deretan terdepan.
"Permisi, permisi, anak bagong mau lewat", berkata
seseorang lagi dekat orang terdepan yang percaya
dengan cerita para hantu dedemit penunggu hutan.
"Ini bukan hantu, tapi ada seseorang yang sengaja
berbuat ulah mengganggu kita", berkata seseorang yang
nampaknya adalah pemimpin diantara orang-orang
Rakata itu. Mendengar ucapan pemimpinnya itu, seketika itu
pula hampir semua orang terlihat sudah meraba gagang
senjatanya masing-masing seperti sebuah sikap akan
menghadapi seorang musuh.
Ternyata mereka salah menghadap, musuh yang
370 akan mereka hadapi itu ada di belakang mereka
manakala terdengar suara orang berasal dari arah
belakang mereka. "Kami bukan dedemit penunggu hutan ini, kami
hanya ingin meminta kalian kembali ke pasukan kalian",
berkata seseorang dari arah belakang orang-orang
Rakata itu. Seketika orang-orang Rakata itu berbalik badan
untuk melihat siapa musuh mereka itu.
Samar-samar orang-orang Rakata itu telah melihat
Gajahmada dan pasukan kecilnya telah berdiri siap
menantang. Kegentaran perasaan hati orang-orang Rakata itu
kembali mengembang manakala melihat musuh mereka
yang akan dihadapi itu hanya beberapa orang jauh lebih
sedikit dari jumlah mereka sendiri.
"Berani sekali kalian meminta prajurit Rakata kembali
ke pasukannya, sekarang kalianlah yang kembali untuk
datang lagi membawa lebih besar lagi orang-orangmu",
berkata pemimpin orang Rakata itu.
"Kami memang tidak perlu banyak orang untuk
meminta kalian kembali ke pasukanmu. Bekerja samalah
diantara kita, kalian tidak terluka apapun", berkata orang
di seberang sana yang ternyata adalah suara
Gajahmada. Terlihat pemimpin orang Rakata itu seperti tengah
memastikan bahwa tidak ada orang lagi yang mungkin
masih bersembunyi. "Habisi mereka, waktu kita sudah banyak terbuang
!!", berteriak pemimpin orang Rakata itu setelah
memastikan musuh mereka hanya sebuah pasukan kecil,
371 kurang dari lima belas orang saja.
Suasana senyap di hutan itu sontak seketika menjadi
seperti riuh bergemuruh oleh langkah kaki puluhan orang
serentak menghentakkan kaki mereka diatas tanah hutan
di malam itu. Terlihat Gajahmada, Putu Risang, Pangeran
Jayanagara dan Pangeran Citraganda telah berpencar
menyongsong lawan-lawan mereka.
Tidak ketinggalan para biksu seperti tahu apa yang
harus mereka lakukan menghadapi lawan yang
jumlahnya lima kali lipat dari kekuatan mereka.
Ternyata mereka adalah sepuluh orang biksu terbaik,
terlihat sepuluh tongkat kayu mereka seperti balingbaling yang berputar begitu kencangnya membuat setiap
lawan mereka tidak dapat menembus dan mendekati
mereka dengan mudah. Satu dua orang terlihat memaksakan diri mencoba
menerobos masuk ke lingkaran daya putar para biksu itu,
maka mereka telah menjadi korban pertama dari
pertempuran itu. Di sisi lain, terlihat Pangeran Citraganda telah
dikepung oleh lima orang Rakata. Semangat dan daya
tempur anak muda itu memang sangat membanggakan
hati dapat mengimbangi kelima orang Rakata bahkan
terkadang permainan pedangnya mampu melakukan
serangan balasan yang membuat kelima orang Rakata
itu jungkir balik menghadapinya.
Yang paling naas adalah orang-orang Rakata yang
telah memilih Gajahmada, Putu Risang dan Pangeran
Jayanagara. Meski mereka bertempur dengan tangan
kosong, ketiga ksatria dari Majapahit itu seperti bola api
372 menerjang semut merah. Siapapun yang mendekati
mereka langsung tersapu dan terpental terkena
tendangan dan pukulan mereka langsung patah dan
remuk terasa tulang mereka tidak mampu berdiri lagi
untuk melakukan pertempurannya. Nampaknya ketiga
orang ksatria satu perguruan itu belum menggunakan
tenaga sejati mereka seutuhnya, namun tetap saja
menjadi lawan yang sangat menggetarkan hati, siapapun
orang Rakata yang mencoba mendekat langsung
terjungkal terkena pukulan dan tendangan mereka
bertiga. Maka tidak heran bila dalam waktu yang begitu
singkat, kekuatan orang-orang Rakata itu sudah susut
setengahnya. "Jangan biarkan seorang pun dapat kembali",
berteriak Gajahmada sambil seperti terbang melesat
begitu cepat kesana kemari membawa korban orangorang Rakata.
Mendengar teriakan Gajahmada, terlihat pangeran
Jayanagara telah mengikuti langkah Gajahmada dengan
tidak menunggu lawan mendekatinya, sebaliknya telah
memburu orang-orang Rakata disekitarnya.
Diam-diam Putu Risang merasa bangga dengan
semangat dan kemampuan kedua muridnya itu.
"Untungnya mereka berdua tidak menggunakan
kekuatan seutuhnya", berkata Putu Risang dalam hati
tersenyum dalam hati melihat kedua muridnya masih
mampu mengendalikan perasaan jiwa muda mereka,
tidak semena-mena menghajar habis lawan mereka itu,
hanya sekedar membuat tulang tubuh lawan remuk tidak
membahayakan jiwanya. Meski tengah menghadapi
lawannya tanpa berusaha sepenuhnya cepat-cepat
373 menjatuhkan mereka, masih sempat pula Putu Risang
melihat pertempuran Pangeran Citraganda.
"Permainan pedang anak muda itu sangat luar biasa",
berkata Putu Risang melihat pertempuran Pangeran
Citraganda. Sebagaimana yang dilihat oleh Putu Risang, pedang
panjang pangeran Citraganda telah beberapa kali
berhasil mengenai sasaran ke tubuh lawannya orangorang Rakata itu. Mata Putu Risang segera beralih
kearah para biksu yang tengah bertempur dengan
sebuah tongkat panjangnya.
"Sebuah permainan tongkat panjang yang indah",
berkata Putu Risang dalam hati terpesona memuji gerak
jurus-jurus tongkat maut para biksu dari Tibet itu.
"Nampaknya pasukan kecil Gajahmada sebentar lagi
akan menguasai pertempuran ini", berkata kembali Putu
Risang dalam hati ketika melihat jumlah orang-orang
Rakata sudah semakin berkurang.
Sebagaimana yang disaksikan oleh Putu Risang,
jumlah orang-orang Rakata itu memang sudah semakin
berkurang. Satu dua orang biksu sudah tidak punya
lawan lagi hanya berdiri menonton kawan mereka yang
masih menghadapi dua tiga orang lawan.
"Aku menyerah", berkata seorang Rakata yang
tinggal sendirian menghadapi seorang biksu sambil
melemparkan pedang besarnya.
"Jangan bunuh aku", berkata seorang Rakata lain
kepada Pangeran Citraganda melihat beberapa orang
kawannya sudah terluka terkena sambaran pedang putra
Mahkota Pasundan itu. "Lempar pedang besarmu, aku akan mengampuni374
mu", berkata Pangeran Citraganda menggertak lawannya
yang sudah sangat takut itu.
Sebagaimana dugaan Putu Risang, dalam waktu
yang tidak begitu lama orang-orang Rakata itu memang
telah berhasil dilumpuhkan.
Terlihat sekitar sepuluh orang yang menyerah tidak
terluka telah diikat dengan kuat, sementara itu beberapa
orang Rakata yang terluka tidak mampu berdiri telah
dikumpulkan menjadi satu.
"Kita bawa mereka ke Padukuhan terdekat, mungkin
orang-orang warga Padukuhan dapat mengurus mereka,
terutama yang terluka", berkata Putu Risang kepada
Gajahmada. Demikianlah, malam di sebuah hutan masih berlalu
sepertiganya ketika terlihat sebuah iring-iringan panjang
sebuah pasukan kecil Gajahmada yang tengah
menggiring orang-orang Rakata yang telah menjadi
tawanan mereka. Akhirnya iring-iringan panjang itu terlihat telah keluar
dari hutan membelah sebuah padang ilalang di jalan
mendaki. "Siapa kalian !!", berkata salah seorang dari kelima
orang peronda malam di sebuah padukuhan terdekat
ketika mereka melihat sebuah iring-iringan panjang
memasuki Padukuhan mereka.
"Aku Pangeran Citraganda", berkata Pangeran
Citraganda kepada kelima peronda malam itu.
"Ampunkan hamba yang tidak mengetahui kedatangan tuanku Pangeran", berkata kelima orang itu
sambil langsung bersujud menyentuh bumi sebagai
tanda penghormatan mereka.
375 "Aku ingin menemui Ki Jagaraga", berkata Pangeran
Citraganda kepada kelima peronda malam itu.
Salah seorang dari kelima peronda malam itu
nampaknya cepat tanggap segera tahu apa yang harus
dilakukannya. "Hamba akan mengantar tuanku Pangeran ke rumah
Ki Bekel yang tidak jauh lagi dari sini, sementara salah
seorang dari kawan hamba akan pergi ke rumah Ki
Jagaraga", berkata orang itu kepada Pangeran
Citraganda. Setelah berkata kepada Pangeran Citraganda,
terlihat orang itu telah berbicara kepada salah seorang
dari kawannya, nampaknya meminta kawannya itu pergi
kerumah Ki Jagaraga. Demikianlah, iring-iringan panjang itu terlihat telah
bergerak kembali menuju rumah Ki Bekel yang memang
tidak begitu jauh lagi sebagaimana dikatakan oleh salah
seorang peronda malam itu.
Terlihat iring-iringan itu telah memasuki pekarangan
rumah Ki Bekel yang cukup luas itu. Sementara rumah Ki
Bekel sendiri nampak lebih besar dan cukup megah
dibandingkan dengan kebanyakan rumah-rumah yang
ada di Padukuhan itu. Itu saja menjadi pertanda bahwa
pemilik rumah itu adalah orang yang cukup makmur.
Karena terlalu banyaknya tawanan, terpaksa orangorang Rakata itu tidak ikut masuk ke pendapa rumah Ki
bekel, mereka dikumpulkan di pekarangan depan dan
dijaga ketat oleh para Biksu.
Sementara itu langit malam di atas Padukuhan itu
sudah mulai memudar kemerahan, waktu yang paling
nyaman untuk tetap berada di peraduan. Dan tidaklah


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

376 heran bila Ki Bekel dan orang-orangnya terlihat masih
sangat mengantuk manakala menerima rombongan
Gajahmada dan pasukan kecilnya itu.
Meski begitu di bagian belakang rumah sudah terlihat
asap perapian mengepul tinggi sebagai tanda sudah ada
kegiatan di dapur mereka.
Ketika terlihat Ki Jagaraga telah datang bersama
beberapa orang Padukuhan, maka Pangeran Citraganda
mewakili Gajahmada telah menuturkan kepentingan
mereka di Padukuhan itu. "Kami membawa beberapa tawanan dan perlu dua
atau tiga hari di Padukuhan ini sebelum datang para
prajurit yang akan membawa mereka ke Kotaraja
Kawali", berkata Pangeran Citraganda.
"Hamba bersama orang-orang di Padukuhan ini
dengan senang hati siap membantu", berkata Ki Bekel.
"Namun maaf bila untuk menjaga begitu banyak tawanan
mungkin orang-orang kami di Padukuhan ini sangatlah
terbatas jumlah maupun kemampuannya", berkata
kembali Ki Bekel. Terlihat Pangeran Citraganda menoleh ke arah
Gajahmada, mungkin meminta pertimbangannya selaku
pimpinan di pasukan kecilnya itu.
"Terima kasih telah menerima kehadiran kami. Hari
ini juga kami akan mengutus salah satu dari kami ke
Istana agar secepatnya mendatangkan para prajurit
untuk membawa para tawanan ke Kotaraja Kawali",
berkata Gajahmada seperti tahu apa yang harus di
katakannya. Pembicaraan mereka terhenti manakala terlihat
beberapa orang datang membawa makanan dan
377 minuman hangat. "Silahkan dinikmati hidangannya", berkata Ki Bekel
kepada para tamunya. Jilid 5 Bagian 1 MATAHARI pagi bersinar menerangi pekarangan
rumah Ki Bekel yang cukup luas itu dimana saat itu
terlihat beberapa warga tengah membangun sebuah
terob sederhana untuk sekedar menjaga para tawanan
tidak terjemur matahari di siang hari.
"Semoga Pangeran Citraganda cepat sampai di
Istana Kawali", berkata Gajahmada kepada Putu Risang
di pendapa rumah Ki Bekel.
"Dengan berkuda pasti akan lebih cepat sampai",
berkata Pangeran Jayanagara.
"Pangeran Citraganda akan melaporkan ke
Ayahandanya tentang keadaan pasukan kecil kita ini",
berkata Putu Risang. "Kita menunggu sikap Raja Ragasuci, apakah
langsung menyergap pasukan Rakata yang nampaknya
sudah menyusut perbekalan pangannya", berkata
Gajahmada. Sementara itu, di pekarangan terlihat beberapa orang
biksu tengah merawat orang-orang Rakata yang terluka
parah. Beberapa orang biksu lagi tetap bersiaga menjaga
para tawanan lain. "Mereka bukan hanya dilatih menggunakan berbagai
senjata, tapi nampaknya juga telah diberikan banyak
pemahaman tentang pengobatan", berkata Putu Risang
378 sambil memperhatikan suasana keadaan di pekarangan
rumah Ki Bekel. Ketika panas matahari sudah mulai menyengat,
untunglah terob sederhana yang dibangun warga
padukuhan itu telah selesai.
"Kasihan orang-orang Rakata itu, seandainya
kemenangan berada di pihak mereka, aku menyangsikan
apakah mereka akan memetik hasil kemenangan itu",
berkata Gajahmada sambil melihat beberapa orang yang
terluka parah tengah dibawa ke terob yang sudah berdiri.
"Dimanapun nasib wong cilik selalu sama, hanya
sebagai sapi perahan para pembesar yang tengah
berjudi di dunia impian mereka sendiri. Kemenangan
tidak akan merubah diri mereka sebagai prajurit, dalam
keadaan perang mereka harus berpeluh, berdarah-darah
bahkan harus kehilangan jiwa, sementara bila datang
saat keadaan damai, mereka hanya para penunggu
ransum di barak masing-masing", berkata Putu Risang
berbicara tentang seorang prajurit.
Terlihat Gajahmada melirik kearah Pangeran
Jayanagara, sementara itu Pangeran Jayanagara
menangkap pandangan matanya itu.
"Jangan kamu katakan bahwa aku pun kelak akan
menjadi seorang pembesar dan penguasa seperti itu,
menyuruh laskar prajurit ke penjuru dunia untuk
meluaskan daerah kekuasaan, sedang aku duduk di
singgasana indah berpesta pora hanya untuk
kesenangan diri sendiri. Kupastikan diriku akan
mengingat semua jasa-jasa yang telah mereka
korbankan. Senang susah aku akan berada bersama
prajuritku", berkata Pangeran Jayanagara seperti merasa
malu dan mencoba membaca apa yang ada dalam
379 pikiran Gajahmada dengan lirikannya itu.
"Aku akan merasa bangga menjadi prajuritmu, wahai
sang putra Mahkota Majapahit", berkata Gajahmada
sambil mengusungkan dadanya merasa terharu
mendengar ucapan dan janji Pangeran Jayanagara itu.
Sementara itu Putu Risang tidak berkata apapun, di
dalam pikirannya telah bergayut berbagai suasana
perang yang pernah di saksikan langsung dengan mata
dan kepalanya sendiri. Terbayang wajah seorang prajurit
yang mengerang menahan rasa sakit yang sangat
manakala sebuah pedang telah merobek perutnya
dengan darah yang mengalir deras membasahi tanah.
"Perang dan kekuasaan ibarat sahabat sejati. Bila
saatnya datang aku akan keluar dari semua ini, hidup
damai jauh dari kekuasaan dan perang. Hidup sebagai
seorang petani biasa", berkata Putu Risang dalam hati
sambil matanya penuh senyum melihat keakraban kedua
muridnya itu. Pandangan mata Putu Risang terlihat beralih kearah
Ki Bekel dan Ki Jagaraga di pekarangan rumah yang
tengah berjalan menuju pendapa. Wajah mereka terlihat
cerah dan penuh kegembiraan hati telah melihat tayub
sederhana telah selesai dan dapat dipergunakan.
"Hamba tidak dapat membayangkan seandainya
tuan-tuan tidak mencegah orang-orang Rakata itu datang
merampok Padukuhan kami", berkata Ki Jagaraga ketika
sudah berada di atas pendapa bersama Ki Bekel.
"Yang pasti kami akan kelaparan karena lumbung
panen kami di rampas mereka", berkata Ki Bekel ikut
bicara. "Gusti Yang Maha Agung masih melindungi kita,
380 berdoalah semoga perang sesama saudara ini cepat
usai, dan kita dapat hidup kembali dalam suasana aman
dan damai", berkata Putu Risang menanggapi
pembicaraan mereka. Sementara itu di saat yang sama, di sebuah barak
darurat sederhana di hutan timur Kotaraja Kawali, terlihat
seorang lelaki berpakaian layaknya seorang bangsawan
tengah menerima sebuah laporan dari seorang
prajuritnya. "Lima puluh orang prajurit yang kami tugaskan
mencari tambahan perbekalan hingga saat ini belum
datang kembali", berkata seorang prajurit kepada lelaki
berwajah bersih sebagai pertanda seseorang yang dalam
hidupnya jarang terkena langsung sengatan matahari
langsung. "Persediaan kita sudah semakin menipis, para prajurit
tidak dapat berperang dengan perut lapar", berkata lelaki
itu dengan suara bergetar menahan rasa amarah yang
sangat. "Pangeran tidak perlu gundah gulana, masih ada
banyak jalan?", berkata seorang lelaki di dekatnya yang
ternyata adalah Patih Anggajaya. "Kita tidak perlu lagi
mencari persediaan makanan, tapi kita pindah ke
lumbung-lumbung mereka", berkata kembali Patih
Anggajaya kepada lelaki yang dipanggil sebagai
Pangeran itu. Mendengar perkataan Patih Anggajaya, wajah lelaki
yang dipanggil Pangeran itu seperti seketika menjadi
cerah gembira. "Kamu benar, kita bertahan di sebuah padukuhan
kaya", berkata lelaki yang dipanggil Pangeran itu dengan
wajah penuh ceria kepada Patih Anggajaya.
381 "Di kepalaku masih ada seribu macam cara
menghadapi Raja Ragasuci", berkata Patih Anggajaya.
Siapakah lelaki yang di panggil Pangeran itu oleh
Patih Anggajaya itu"
Lelaki berpakaian bangsawan itu ternyata adalah
putra Raja Rakata, adik Dewi Kaswari yang berarti
adalah adik ipar Patih Anggajaya sendiri yang bernama
Pangeran Rha Widhu. Pangeran Rha Widhu yang dibesarkan di lingkungan
istana Rakata itu dapat dikatakan sangat dimanja karena
anak lelaki satu-satunya bagi Raja Rakata. Kemanjaan
yang berlebih itu pula yang telah membentuk sifat
Pangeran Rha Widhu menjadi sangat keras kepala,
segala kehendaknya selalu harus dipenuhi.
Dan sebuah kegembiraan hati bagi Patih Anggajaya
ketika dapat membujuk Pangeran Rha Widhu bergabung
dengannya untuk membuat sebuah pemberontakan
besar melawan kekuasaan Raja Ragasuci penguasa di
Pasundan dengan harapan dan janji sangat muluk
bahwa Pangeran Rha Widhu akan menjadi seorang Raja
besar. Keberangkatan Pangeran Rha Widhu membawa
pasukan dari Rakata sebenarnya tidak mendapat restu
dari Ayahandanya. Namun Raja Rakata yang sudah tua
itu akhirnya tidak dapat membendung keinginan putranya
itu yang telah mengancam akan pergi meninggalkan
istana bila tidak mendapat restu dari Ayahandanya.
Akhirnya, dengan sebuah kekhawatiran bahwa
putranya tidak akan menang melawan kekuatan pasukan
Pasundan, Raja Rakata yang sangat sayang kepada
putranya itu telah mengijinkan Pangeran Rha Widhu
membawa seribu prajurit Rakata untuk melakukan
382 sebuah pemberontakan ke Kotaraja Kawali.
"Saat ini juga aku akan menugaskan beberapa orang
berangkat ke padukuhan sebelah timur hutan ini",
berkata Patih Anggajaya kepada Pangeran Rha Widhu.
"Bagus, Pasukan Raja Ragasuci akan gigit jari
menemui hutan ini sudah kosong dan kita telah
membangun kekuatan baru di Padukuhan itu", berkata
Pangeran Rha Widhu sambil tertawa panjang masih
merasa mudah untuk mengalahkan kekuatan Raja
Ragasuci. Demikianlah, sebagaimana yang di katakan oleh
Patih Anggajaya, pada saat itu juga telah memanggil
beberapa orang prajuritnya untuk berangkat ke
Padukuhan di sebelah timur hutan itu, sebuah
padukuhan yang paling dekat.
Maka, tidak lama berselang telah terlihat lima orang
prajurit Rakata telah berjalan menjauhi barak-barak
darurat mereka berjalan kearah timur hutan itu.
Nampaknya memang menuju ke sebuah Padukuhan
yang terdekat dari hutan itu.
"Kita juga ditugaskan untuk mencari tahu mengapa
kelima puluh orang prajurit kita hingga saat ini belum
kembali", berkata salah satu dari kelima prajurit itu yang
nampaknya telah dipilih sebagai pimpinan mereka.
"Jangan-jangan mereka tengah bersenang-senang
dan enggan kembali sebelum perut mereka penuh",
berkata salah seorang dari kelima prajurit itu.
"Jangan berprasangka tidak baik kepada kawan
sendiri", berkata kawan prajurit lainnya menasehati.
"Aku tidak berprasangka buruk, hanya sekedar
menduga-duga", berkata kembali salah seorang prajurit
383 itu membela diri. Ternyata kawan yang menasehati itu mempunyai
saudara kembar yang ikut dalam rombongan ke lima
puluh prajurit itu. Itulah sebabnya pertengkaran mulut
menjadi semakin sengit bila saja tidak segera dilerai oleh
pemimpin mereka sendiri. "Lupakan pertengkaran mulut kalian, kita tengah
bertugas dan berada di hutan asing yang mungkin saja
ada banyak jebakan babi hutan yang dipasang para
pemburu", berkata pemimpin mereka mengingatkan
kawan-kawannya itu untuk lebih berhati-hati.
Mendengar perkataan pemimpin mereka tentang
sebuah jebakan babi hutan telah membungkam mulut
keduanya dan tidak lagi berbicara dan bertengkar.
Terlihat mata mereka dengan penuh kehati-hatian
memperhatikan setiap jalan yang akan mereka langkahi,
takut perkataan pemimpinnya benar-benar terbukti
bahwa ada sebuah jebakan pemburu telah di pasang
disekitar hutan itu. "Ingat, lima puluh orang prajurit belum kembali. Bila
mereka telah dikalahkan oleh musuh, apa artinya kita
yang hanya berlima ini", berkata kembali pemimpin
mereka memberi peringatan untuk meningkatkan
kewaspadaan mereka.

Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah, ketika matahari terlihat bergeser
condong ke barat, mereka telah keluar dari hutan itu.
"Aku melihat banyak jejak langkah kaki menuju
kearah timur sana", berkata seorang prajurit yang ahli
membaca jejak di hutan. "Kita ikuti saja jejak langkah kaki itu", berkata
pemimpin mereka memberi keputusan untuk mengikuti
384 jejak langkah kaki itu. "Nampaknya jejak ini mengarah ke Padukuhan di
seberang sana", berkata seorang prajurit setelah mereka
menyusuri sebuah padang ilalang cukup luas dan telah
melihat hamparan sawah yang baru saja di tanam padipadi muda tidak begitu jauh dari mereka berdiri.
"Kita tunggu saat matahari tenggelam dan hari
menjadi gelap, baru kita masuk ke Padukuhan itu",
berkata pemimpin mereka memberi perintah untuk
berhenti mencari tempat terlindung untuk bersembunyi.
Akhirnya mereka berlima telah menemukan sebuah
tempat yang baik untuk bersembunyi, sebuah batu besar
di dekat sebuah belukar membuat mereka benar-benar
tidak terlihat dari arah manapun.
Sebagaimana yang diperintahkan oleh pemimpin
kelima prajurit Rakata itu, terlihat mereka memang
tengah menunggu hari menjadi gelap untuk memasuki
Padukuhan yang terlihat seperti sebuah pulau kecil di
tengah hamparan sawah yang masih basah ditumbuhi
padi-padi muda itu. Menunggu memang sebuah kata yang sangat
membosankan, terlihat mereka sekali-kali memandang
wajah matahari kuning yang sudah bersinar redup itu
terlihat menjadi begitu lama tenggelam, seperti tengah
menggoda kesabaran mereka.
"Di daerah ini nampaknya matahari lebih lama
bersinar", berkata salah seorang prajurit yang sudah
bosan dan jemu menunggu matahari tenggelam.
"Dimanapun matahari bersinar sesuai waktunya tidak
lebih dan tidak kurang", berkata kawannya merasa risih
mendengar ocehan prajurit itu.
385 Akhirnya yang di nantikan oleh kelima prajurit dari
Rakata itu tiba, terlihat cahaya matahari telah mulai
menipis redup di ujung barat bumi. Perlahan langit diatas
mereka semakin menjadi gelap pertanda sang malam
mulai datang menyelimuti bumi.
"Mari kita berangkat sekarang", berkata pemimpin
mereka sambil berdiri dari tempat persembunyian
mereka. Ketika mereka memasuki Padukuhan di timur hutan
itu, suasana memang telah begitu lengang dan sepi.
Berendap-endap mereka berjalan dari satu rumah ke
rumah lainnya lewat kebun-kebun belakang rumah.
"Ternyata kawan-kawan kita telah menjadi tawanan",
berkata pemimpin mereka manakala telah berada tidak
jauh dari pekarangan Ki Bekel.
"Nampaknya mereka diperlakukan dengan baik",
berkata salah seorang prajurit dari persembunyiannya
yang telah melihat kawan-kawan mereka di sebuah tarub
darurat di pekarangan rumah Ki Bekel.
"Aku tidak melihat seorang pun prajurit Kawali, hanya
ada sepuluh orang biksu asing", berkata kembali
pemimpin mereka itu. "Mungkin para prajurit Kawali berada di tempat lain di
Padukuhan ini", berkata salah seorang prajurit lainnya.
"Kita memang harus memeriksa seluruh keadaan di
padukuhan ini", berkata pemimpin mereka.
Maka kembali mereka berlima menyelinap dari satu
tempat ke tempat lain sampai merasa cukup mengamati
keadaan Padukuhan itu. "Kita tidak menemui satupun prajurit Kawali disini",
berkata pemimpin mereka. 386 "Hanya sepuluh biksu asing menjaga kawan-kawan
kita sebagai tawanan mereka", berkata seorang prajurit
menambahkan. "Juga beberapa rumah dengan lumbung yang cukup
besar tentunya", berkata salah seorang prajurit lainnya
sambil tersenyum. "Mari kita kembali ke pasukan kita di hutan, mereka
pasti sangat menunggu hasil pengamatan kita ini",
berkata pemimpin mereka. Demikianlah, kelima prajurit Rakata itu terlihat
dengan menyelinap dan mengendap-endap di kegelapan
malam telah berusaha untuk keluar dari Padukuhan itu
kembali ke pasukan mereka di hutan sebelah timur
Kotaraja Kawali. Namun hanya berselisih sepenginangan saja
manakala mereka berlima telah keluar dari Padukuhan
itu, terlihat dari arah utara sebuah pasukan segelar
sepapan terdengar begitu riuh memasuki Padukuhan di
saat malam telah menjadi wayah sepi uwong.
"Atas permintaan Eyang Prabu Guru Darmasiksa,
aku telah membawa pasukan prajurit Kawali segelar
sepapan ke Padukuhan ini, jauh melampaui dari sekitar
seratus orang prajurit yang aku pinta untuk membawa
para tawanan ke Kotaraja Kawali", berkata Pangeran
Citraganda ketika sudah berada di atas pendapa rumah
Ki Bekel. "Pasti Prabu Guru Darmasiksa menitipkan beberapa
amanat kepadamu, Pangeran", berkata Putu Risang
kepada Pangeran Citraganda.
"Benar, salah satunya adalah pasukan yang kubawa
ini harus masuk di Padukuhan ini dari arah utara setelah
387 wayah sepi uwong, sebuah amanat yang belum aku
pahami", berkata Pangeran Citraganda bercerita tentang
amanat Prabu Guru Darmasiksa kepada dirinya.
Mendengar cerita dari Pangeran Citraganda itu,
terlihat Putu Risang dan Gajahmada saling beradu
pandang. Nampaknya mereka tengah membaca kemana
arah pikiran dan pesan dari Prabu Guru Darmasiksa
yang dikenal juga seorang yang sangat mumpuni adalah
hal siasat peperangan. "Mahesa Muksa, lekas katakan yang kamu pikirkan",
berkata Putu Risang kepada Gajahmada sambil
tersenyum seperti telah membaca bahwa Gajahmada
sepertinya telah menangkap pesan tersirat dari Prabu
Guru Darmasiksa itu. "Ada satu pelajaran hari ini dari sang Prabu, bahwa
kita harus membaca pikiran seorang musuh dalam
sebuah keadaan tertentu. Dan Sang Prabu telah dapat
menangkap jalan pikiran musuh yang telah mulai
kehabisan perbekalannya pasti akan mencari sebuah
tempat yang dapat mendukung perbekalan mereka.
Nampaknya pikiran pihak musuh telah tertuju di
Padukuhan ini dimana dipastikan secepatnya telah
menyebarkan petugas telik sandinya jauh sebelum
malam. Itulah sebabnya sang Prabu telah meminta
pasukan prajurit Kawali ini masuk dari arah utara setelah
wayah sepi uwong", berkata Gajahmada membaca
pesan tersurat dari Prabu Guru Darmasiksa itu.
"Dapat diterima, dan aku baru memahaminya",
berkata Pangeran Citraganda setelah mendengar
penjelasan dari Gajahmada.
"Pangeran Jayanagara, katakan yang kamu dapat
dari pesan tersirat Prabu Guru Darmasiksa itu", berkata
388 Putu Risang kepada Pangeran Jayanagara.
"Nampaknya beberapa bagian telah diwakilkan oleh
Gajahmada, Aku hanya sedikit menambahkan bahwa
pihak musuh akan berangkat keluar dari hutan
persembunyiannya besok pagi", berkata Pangeran
Jayanagara. "Eyang Prabu Guru juga telah menitipkan pesan
bahwa pasukan segelar sepapan ini diserahkan
sepenuhnya kepada kakang Putu Risang. Besok disaat
matahari terbit sebuah pasukan dari Kotaraja Kawali
akan keluar dari gerbang kotaraja sebelah Timur",
berkata Pangeran Citraganda kepada Putu Risang.
Mendengar perkataan Pangeran Citraganda, terlihat
Gajahmada dan Pangeran Jayanagara langsung
mengarahkan pandangannya ke arah guru mereka itu.
Menangkap pandangan kedua muridnya itu, terlihat
Putu Risang menarik nafas panjang dan sedikit
tersenyum memandang kearah Pangeran Citraganda.
"Pangeran Citraganda, katakanlah sejujurnya.
Apakah kamu ada sedikit rasa cemburu manakala Prabu
Guru Darmasiksa menyerahkan seluruh Pasukan di
Padukuhan ini kepadaku?", bertanya Putu Risang
kepada Pangeran Citraganda.
Terlihat Pangeran Citraganda menangkap sebuah
pandangan mata Putu Risang yang begitu sangat tajam
masuk menembus jiwanya, seketika dirinya seperti
merasa bertelanjang. "Aku tidak dapat membantah atas sedikit rasa
cemburu manakala Eyang Prabu Guru Darmasiksa
menyerahkan pasukan di Padukuhan ini kepada kakang
Putu Risang, dan bukan kepadaku dimana semula aku
389 berharap dapat belajar menjadi seorang senapati sebuah
pasukan besar", berkata Pangeran Citraganda tidak malu
lagi mengungkapkan isi hatinya dan berkata dengan
jujur. "Siapapun seorang Raja pasti akan berlaku sama,
tidak akan membiarkan Sang Putra Mahkota berada di
garis depan sebuah peperangan. Itulah sebuah wujud
cinta kasih seorang Raja kepada putranya. Amanat
Prabu Guru Darmasiksa itu aku terima sepenuhnya.
Sementara itu aku akan meminta kalian bertiga sebagai
senapati pengapitku, semoga peperangan ini menjadi
pelajaran berharga untuk kalian", berkata Putu Risang
kepada Gajahmada, Pangeran Jayanagara dan
Pangeran Citraganda. Demikianlah, terlihat Putu Risang telah memberikan
beberapa penjelasan tentang apa yang harus mereka
lakukan besok pagi. Diam-diam Pangeran Citraganda memuji pemahaman Putu Risang tentang berbagai gelar dan
siasat peperangan. "Besok kita akan menghadapi musuh dengan sebuah
gelar perang Garuda Nglayang. Aku akan berada di
depan sebagai paruh, sementara Gajahmada dan
Pangeran Jayanagara sebagai panglima utama di sayap
masing-masing. Terakhir Pangeran Citraganda akan
menjadi panglima di ekor gelar pasukan siap siaga
berubah sebagai cakar garuda menyapu kekuatan
musuh. Kita juga harus menyimpan sepertiga pasukan
sebagai prajurit cadangan yang siap terjun di medan
pertempuran di waktu yang tepat", berkata Putu Risang
kepada Gajahmada, Pangeran Jayanagara dan
Pangeran Citraganda yang mendengarkannya dengan
penuh perhatian. 390 "Mengapa harus menyisakan sepertiga pasukan
kita?", bertanya Pangeran Citraganda kepada Putu
Risang. "Hanya sebuah muslihat agar pihak musuh menduga
kekuatan kita lemah hingga akan berusaha secepatnya
menyelesaikan peperangan dengan kekuatan penuh.
Disaat nafas mereka berada di ujung kelelahan, kita
kejutkan mereka dengan tenaga cadangan itu", berkata
Putu Risang menjelaskan siasatnya.
Kembali Pangeran Citraganda memuji kemampuan
siasat perang lelaki muda dihadapannya itu.
Sementara itu malam terlihat sudah mendekati pagi
ketika Ki Bekel dan Ki Jagaraga berpamit diri untuk
datang ke rumah Ki Buyut di padukuhan sebelah.
"Hamba pamit diri untuk membangunkan Ki Buyut di
Padukuhan sebelah. Mungkin Ki Buyut dapat
menggerakkan seluruh warga Kabuyutan ini membantu
apa yang dapat kami bantu", berkata Ki Bekel mewakili Ki
Jagaraga pamit diri untuk mengunjungi Ki Buyut di
Padukuhan sebelah. Terlihat Ki Bekel dan Ki Jagaraga telah berjalan
keluar dari pekarangan rumah Ki Bekel. Mereka telah
melihat beberapa prajurit tengah menyiapkan sebuah
dapur umum yang cukup besar. Mereka juga telah
melihat sebagian prajurit tengah beristirahat di berbagai
tempat di sepanjang jalan Padukuhan itu.
Tidak lama berselang terlihat pula beberapa perwira
tinggi naik keatas pendapa rumah Ki bekel. Nampaknya
mereka meminta beberapa penjelasan apa yang harus
mereka lakukan menghadapi musuh yang dipastikan
akan keluar dari hutan persembunyian mereka.
391 Kepada para perwira itu Putu Risang kembali
memberikan penjelasan sekaligus menyatukan bahasa
isyarat yang akan mereka pakai di medan perang nanti.
"Masih ada waktu setelah matahari naik sepenggalah
kita berangkat menyongsong musuh", berkata Putu
Risang memberikan kesempatan para perwira dan
prajurit Kawali untuk beristirahat sejenak.
Sementara itu pagi di Padukuhan itu memang masih
nampak remang-remang meski di ujung timur bumi telah
terlihat sedikit tebaran cahaya kuning di langit.
Setelah para perwira itu pergi menemui para
bawahan masing-masing, terlihat Putu Risang,
Gajahmada, Pangeran Jayanagara dan Pangeran


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Citraganda hanya bersandar di dinding kayu sekedar
melepaskan kepenatan mereka setelah semalaman tidak
tidur. "Sudah ada prajurit yang menangani para tawanan,
biarlah kesepuluh biksu itu ikut bersamaku", berkata
Gajahmada kepada Putu Risang.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Gajahmada, di
pekarangan rumah Ki Bekel terlihat beberapa prajurit
menggantikan para biksu menjaga para tawanan.
Sementara suasana di dapur umum yang baru saja di
dirikan oleh para prajurit sudah terlihat penuh dengan
kesibukannya. Dan asap tebal terlihat telah membumbung tinggi jauh mengisi langit pagi.
Akhirnya saat yang dinantikan itu datang juga,
matahari telah terlihat sudah naik sepenggalah.
Terdengar suara bende mendengung mengisi suasana
pagi di Padukuhan itu. Itulah suara bende pertama sebagai pertanda para
392 prajurit untuk mempersiapkan diri masing-masing.
Dan tidak lama berselang suara bende kembali
berdengung, terlihat para prajurit berlari berkumpul di
kesatuan mereka masing-masing.
Terlihat jalan padukuhan itu sudah dipenuhi para
prajurit lengkap dengan senjata dan perlengkapan
perang mereka. "Siapa pimpinan prajurit disini?", berkata Putu Risang
ketika memeriksa kesiapan seluruh prajuritnya dan
berhenti di sekumpulan kesatuan prajurit cadangan yang
terpisah di barisan paling belakang.
"Aku Rangga Kidang Telangkas, pimpinan pasukan
cadangan ini", berkata seorang lelaki berwajah dipenuhi
kumis tebal dan berjambang lebat mirip tokoh
pewayangan putra Bima datang menghampiri Putu
Risang. "Kamu tahu apa yang menjadi tugas prajurit
cadangan ini?", bertanya Putu Risang kepada lelaki
bertubuh tinggi kekar itu.
"Menunggu panah sanderan melesat tiga kali di
udara, itulah pertanda bagi kami segera turun mengisi
medan pertempuran", berkata lelaki itu yang telah
menyebut jati dirinya bernama Rangga Kidang
Telangkas. "Bagus, selamat bertemu di medan pertempuran",
berkata Putu Risang kepada Rangga Kidang Telangkas
sambil menepuk-nepuk bahunya yang keras dan gempal
itu sebagai pertanda sangat terlatih dalam olah
kanuragan cukup lama. Akhirnya kembali suara bende ketiga kalinya
terdengar berdengung mengisi udara pagi di atas
393 Padukuhan itu. Terlihat beberapa orang warga padukuhan lelaki dan
wanita telah keluar dari rumahnya dan berdiri di pinggir
pagar pekarangan mereka. Beberapa bocah terlihat ikut
bersama mereka dengan tangan rapat bergayut
bersandar di tubuh para orang tua masing-masing.
Nampaknya baru pertama kalinya para warga
Padukuhan itu melihat pasukan segelar sepapan
memenuhi jalan Padukuhan mereka.
"Bila aku besar, aku ingin seperti mereka membawa
pedang dan bertempur di medan perang", berkata
seorang bocah lelaki ketika melihat pasukan prajurit
Kawali itu telah bergerak melangkah.
"Kakek buyutmu dan aku adalah para petani yang
hanya tahu bagaimana mengangkat cangkul dan
membaca bintang di langit menghitung hari tanam. Aku
tidak bisa mengajarmu cara mengangkat sebuah
pedang", berkata ayah bocah lelaki itu sambil mengeluselus rambut kepalanya.
"Aku pernah melihat Ki Jagaraga bermain pedang
bersama putranya di pekarangan rumah mereka",
berkata bocah lelaki itu.
"Tapi pedang Ki Jagaraga tidak sebagus pedang para
prajurit itu", berkata kembali ayah bocah lelaki itu ketika
melihat barisan prajurit terakhir sudah mendekati regol
gerbang Padukuhan mereka.
Demikianlah, pasukan segelar sepapan itu telah
berjalan keluar Padukuhan menuju padang ilalang yang
cukup luas sebagai pembatas jarak antara Padukuhan
dan hutan di seberang sana.
Dan matahari di atas padang ilalang yang cukup luas
394 terbentang itu telan semakin naik menghangatkan wajahwajah para prajurit Rakata yang telah berhenti berjalan.
Nampaknya mereka telah menemukan tempat yang baik
untuk menyongsong kedatangan musuh mereka para
prajurit Rakata yang akan muncul di hutan seberang
sana. Sementara itu, pasukan prajurit Rakata memang
sudah bergerak meninggalkan barak-barak darurat
mereka setelah beberapa hari bersembunyi di hutan itu.
Persediaan pangan yang kurang mencukupi membuat
mereka harus bergerak mencari tempat baru, sebuah
padukuhan yang penuh dengan lumbung-lumbungnya.
"Aku akan mengejar ternak-ternak mereka", berkata
seorang prajurit Kawali penuh semangat membayangkan
suasana di padukuhan. "Aku akan mengejar anak gadis mereka", berkata
seorang prajurit lainnya.
"Mereka datang kembali", berkata Pangeran Rha
Widhu kepada Patih Anggajaya di dekatnya ketika
melihat sepuluh orang prajurit pemantau dengan berkuda
datang kembali. "Mereka membawa kuda seperti dikejar setan gundul,
pasti ada sebuah berita penting", berkata Patih
Anggajaya sambil tidak berkedip memandang prajurit
berkuda itu mendekati mereka.
"Ampun tuanku, kami telah melihat pasukan segelar
sepapan memenuhi padang ilalang", berkata salah
seorang prajurit itu di hadapan Pangeran Rha Widhu dan
Patih Anggajaya. "Gila!!, apakah mereka dapat terbang secepat itu
sudah ada di hadapan kita?", berkata Pangeran Rha
395 Widhu seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja
didengarnya. "Nampaknya langkah pikiran kita sudah terbaca oleh
mereka", berkata Patih Anggajaya sambil berpikir keras
apa yang harus dilakukan.
"Aku Pangeran Rha Widhu tidak akan lari", berkata
lantang Pangeran Rha Widhu sambil menarik pedangnya
dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
Mendengar ucapan Pangeran Rha Widhu, serentak
para prajurit Rakata itu bersama-sama ikut menarik
pedang mereka dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Kami prajurit Rakata pantang menyerah", berkata
para prajurit Rakata serempak bersamaan.
Tanpa berkata apapun terlihat Pangeran Rha Widhu
telah menghentakkan perut kudanya. Seketika itu juga
kuda Pangeran Rha Widhu seperti terkejut langsung
mengangkat kaki depannya dan sudah berlari membawa
tuan majikannya. Terlihat Patih Anggajaya telah mengejar lari kuda
Pangeran Rha Widhu bersama pasukan berkuda lainnya
mengikuti langkah kaki kuda Pangeran Rha Widhu.
Serentak para prajurit Rakata telah berjalan cepat
mengikuti para prajurit berkuda di depan mereka.
"Tidak seperti yang kubayangkan, mereka tidak
sebesar pasukan kita", berkata Pangeran Rha Widhu
ketika mereka telah tiba di bibir hutan dan telah melihat
pasukan Kawali di seberang jauh berjajar seperti tengah
menunggu kedatangan para musuh mereka, prajurit
Rakata. "Kita pukul mereka dengan kekuatan penuh", berkata
Patih Anggajaya manakala telah melihat bahwa pasukan
396 Kawali tidak sebesar pasukan Rakata.
"Raja Ragasuci akan menyesal tidak membawa
pasukan dalam jumlah yang banyak", berkata kembali
Pangeran Rha Widhu merasa akan dapat dengan mudah
mengalahkan musuh mereka yang berjumlah lebih sedikit
dari pasukan yang dibawanya dari Kotaraja Rakata yang
sudah bergabung dengan lima ratus pasukan Patih
Anggajaya. "Kita hancurkan mereka dengan gelar perang
Diradameta!!", berkata Patih Anggajaya dengan suara
penuh semangat untuk secepatnya menghancurkan
musuh didepan mata mereka.
"Siapkan pasukan dengan gelar Diradameta", berkata
Pangeran Rha Widhu kepada seorang penghubungnya
yang sudah tahu apa yang harus dilakukannya
mendengar perintah itu. Sementara itu di seberang lain di padang ilalang yang
cukup luas itu, terlihat Putu Risang dengan sikap gagah
layaknya seorang Senapati besar di punggung kudanya
telah melihat barisan pasukan musuh mereka dengan
gelar perang Diradameta-nya.
"Nampaknya kita akan menghadapi sebuah kekuatan
penuh, ikan telah termakan kail pancing", berkata Putu
Risang kepada seorang perwira didekatnya.
"Jangan bergerak sebelum mendengar perintah
dariku", berkata kembali Putu Risang kepada salah
seorang prajurit penghubung yang bertugas menerjemahkan perintah sang Senapati mereka dengan
tanda-tanda khusus, bendera dan suara bende.
Sementara itu di barisan lain, Gajahmada dengan
dada berdebar diam-diam telah meraba pangkal
397 cambuknya. "Aku tidak akan melukai lawan dengan cakraku",
berkata Gajahmada dalam hati sambil lebih rapat dan
kuat lagi menggenggam pangkal cambuk yang masih
melingkar di pinggangnya itu.
"Mereka sudah bergerak", berkata
Jayanagara dalam hati di barisan lain.
Pangeran Sebagaimana yang dilihat oleh Pangeran Jayanagara, pihak musuh memang telah bergerak
kearah pasukan Kawali. Terlihat batang-batang daun
ilalang langsung rebah terinjak kaki-kaki kuda pasukan
Rakata yang berjumlah besar itu dan bumi disekitar
mereka seperti bergetar terhentak langkah-langkah kaki
secara bersamaan dari sekitar seribu lima ratus prajurit
Rakata yang telah bergerak berlari.
"Mereka telah membuang nafas dan kekuatannya",
berkata Putu Risang dalam hati masih belum
memberikan perintah apapun kepada para prajuritnya.
Akhirnya, manakala jarak diantara mereka hanya
tersisa sekitar dua puluh langkah lagi, barulah Putu
Risang telah memberikan perintahnya untuk menghadang pasukan Rakata itu.
Bukan main terkejutnya pasukan berkuda Rakata di
barisan terdepan. Itulah pukulan pertama dari pasukan
Kawali. Ternyata Putu Risang telah menghalangi
pandangan mata pasukan musuh dengan menempatkan
sebaris pasukan bertombak di belakang mereka. Maka
ketika barisan terdepan menyibak, tombak-tombak kayu
panjang seperti ranjau hidup langsung menembus dada
kuda prajurit Rakata yang mati langkah tidak mampu
menghindar sama sekali. 398 Sepuluh sampai lima orang prajurit Rakata terlempar
dari kuda mereka. Gelegarrr !!! Terdengar suara seperti petir membelah langit di
siang itu. Itulah suara cambuk Putu Risang yang dihentakkan
meski dengan kekuatan sepertiganya telah mampu
membuat suara yang begitu memekakkan telinga,
menggetarkan hati para musuh.
Barisan pasukan musuh yang terkoyak itu kembali
terkejut manakala cambuk Putu Risang telah berputar
begitu cepatnya dan berubah seketika melesat lurus
seperti kepala ular bermata telah mematuk siapapun
yang berada didekatnya. Sepak terjang Putu Risang di barisan tengah dalam
gelar perang Garuda Nglayang itu telah membuat api
semangat para prajurit Kawali seperti terbakar dalam
gelora semangat tempur yang membara.
Terlihat Putu Risang tersenyum manakala

Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didengarnya dari barisan sayap kanan dan sayap kiri
gelar perangnya suara dari dua buah cambuk yang
menggetarkan dada siapapun yang mendengarnya.
"Mereka berdua telah menggunakan cambuknya",
berkata Putu Risang dalam hati merasa yakin bahwa
suara dua buah cambuk itu berasal dari dua orang
muridnya, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara yang
ditugaskan sebagai senapati pengapitnya memimpin
pasukan sayap kanan dan sayap kiri dalam gelar perang
Garuda Nglayang. Sebagaimana barisan tengah pasukan Kawali yang
berada dalam pimpinan Putu Risang telah dapat
399 mengoyak pertahanan lawan. Di barisan sayap kanan
dan sayap kiri di bawah pimpinan Gajahmada dan
Pangeran Jayanagara juga telah berhasil menggempur
lambung pertahanan musuh.
Kecerdikan Putu Risang sebagai seorang Senapati
utama memang telah membuat Patih Anggajaya dan
Pangeran Rha Widhu menjadi sangat penasaran sekali
ingin mengetahui siapa gerangan senapati utama musuh
mereka itu yang telah begitu sempurna membawa dan
mengatur barisan tempur mereka seperti layaknya
sebuah burung Garuda yang melesat kesana kemari
namun tiba-tiba saja turun mematuk dan mencengkeram
dengan cakarnya. Berubah arah serang, sebuah keutamaan dan
keunggulan dari gelar perang Garuda Nglayang memang
telah diperlihatkan oleh Putu Risang dalam gelar
pasukannya itu. Pasukan Rakata seperti seekor gajah limbung,
kekuatannya sudah mulai terpecah namun masih tetap
bertahan. "Aku akan membantu di barisan lambung kiri yang
terkoyak", berkata Pangeran Rha Widhu kepada Patih
Anggajaya diantara suara denting senjata saling beradu
dan teriakan di peperangan yang dahsyat itu.
Ternyata Pangeran Rha Widhu telah melihat barisan
pertahanan prajuritnya di lambung kiri seperti terus saja
tergusur hampir pecah. Ketika Pangeran Rha Widhu telah berada di lambung
kiri gelar Diradameta-nya, bukan main terkejutnya
melihat gerak jurus maut seorang anak muda dengan
sebuah cambuk pendek di tangannya.
400 Tidak satupun dari serangan anak muda itu yang
luput menyentuh maut, satu dua orang prajurit Rakata
selalu terlempar terkena ujung cambuk anak muda itu.
"Dengan sangat terpaksa aku harus melumpuhkanmu, wahai anak muda", berkata Pangeran Rha Widhu
kepada seorang anak muda yang untuk kesekian kalinya
telah merobohkan lawannya.
Mendengar perkataan Pangeran Rha Widhu yang
berada tepat dihadapannya itu, terlihat anak muda itu
hanya tersenyum berdiri sambil mengelus tali cambuknya
dari pangkal sampai ke ujung cambuknya.
"Dengan sangat terpaksa pula aku akan mempertahankan diriku, wahai orang tua", berkata anak
muda itu yang ternyata adalah Gajahmada sambil
melepas jurai cambuknya berdiri berhadapan dengan
Pangeran Rha Widhu. "Seandainya kamu telah mengenalku, pasti kamu
akan lari mencari lawan lain", berkata Pangeran Rha
Widhu sambil diam-diam memuji sikap keberanian anak
muda di depannya itu. "Aku tidak akan lari meski telah mengenalmu",
berkata kembali Gajahmada.
"Bagus, aku akan memperkenalkan diriku lewat
pedang ini", berkata Pangeran Rha Widhu sambil sudah
langsung menerjang Gajahmada dengan pedang lurus
meluncur begitu cepatnya.
Ternyata Pangeran Rha Widhu terlalu percaya diri
dan salah menilai seseorang dari sisi usianya.
Bukan main terkejutnya Pangeran Rha Widhu melihat
serangannya yang sangat cepat itu dengan mudahnya
dapat dielakkan oleh Gajahmada bahkan anak muda itu
401 telah balas menyerangnya dengan sebuah serangan
cambuknya tidak kalah cepat dan berbahayanya.
"Ternyata kamu memang punya taring", berkata
Pangeran Rha Widhu sambil mengelak menghindari
ujung cambuk Gajahmada yang lurus mengancam
samping kanan bahunya. "Aku tidak punya taring, hanya sebuah cambuk
pendek", berkata Gajahmada sambil melompat terbang
menghindari sabetan pedang Pangeran Rha Widhu
kearah kakinya. Demikianlah, pertempuran antara Pangeran Rha
Widhu dan Gajahmada dalam waktu singkat menjadi
semakin sengit karena keduanya telah sama-sama
meningkatkan tataran ilmunya masing-masing.
Untungnya seorang prajurit perwira yang sama-sama
bertugas di sayap kiri telah memaklumi bahwa
Gajahmada telah mendapatkan lawan yang setara. Maka
tanpa ragu lagi telah mewakili Gajahmada mengatur
gerak prajurit di sayap kiri sesuai dengan arah dan irama
gelar perang Garuda Nglayang yang diatur oleh senapati
utama mereka yang sekaligus memimpin di barisan
tengah. "Nampaknya Gajahmada telah menemukan lawan
tanding yang tangguh", berkata Putu Risang dalam hati
sambil terus memimpin jalannya pertempuran.
Ternyata kekuatan daya gempur pasukan Kawali di
sayap kiri itu bukan hanya pada diri Gajahmada seorang.
Meskipun saat itu Gajahmada telah tertahan oleh
seorang lawan yang cukup tangguh yaitu Pangeran Rha
Widhu, tetap saja kekuatan pasukan Kawali di sayap kiri
itu masih saja terus merangsek maju menggempur
pertahanan lambung pasukan lawan dalam gelar perang
402 Diradameta-nya. Rupanya kehadiran kesepuluh orang biksu terbaik
yang ikut memperkuat barisan di sayap kiri itu ikut
mengambil peran menjadikan barisan di sayap kiri itu
begitu kokoh tidak dapat dibendung gempurannya.
Terlihat kesepuluh orang biksu itu dengan begitu tangguh
menyebar dan meruntuhkan musuh yang mencoba
mendekati mereka. Tongkat kayu di tangan mereka
seperti sebuah senjata yang sangat berbahaya.
Sementara itu matahari diatas padang ilalang tempat
pertempuran dua anak manusia itu telah bergeser turun
jauh ke barat. Suara gemerincing senjata beradu dan
suara teriakan amarah bercampur baur dengan bau amis
darah tercecer membasahi tanah merah dari korban dua
kubu yang berseberangan itu. Dan peperangan masih
belum ada tanda-tanda kesudahannya.
"Anak muda ini begitu tangguh", berkata Pangeran
Rha Widhu dalam hati merasa penasaran belum juga
dapat menundukkan Gajahmada.
Ternyata Gajahmada memang selalu dapat
mengimbangi permainan pedang Pangeran Rha Widhu.
Belum ada keinginan untuk mengungkapkan tataran ilmu
puncaknya. Sementara itu Pangeran Rha Widhu sudah mulai
merambat memasuki puncak tataran ilmunya. Namun
tetap saja masih dapat diimbangi oleh Gajahmada
membuat Pangeran Rha Widhu merasa sangat
penasaran hingga telah menghentakkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya. Terlihat angin serangan
pedang Rha Widhu menjadi lebih cepat lagi bergerak,
bahkan angin sambarannya itu seperti sebuah mata
pisau tajam datang mendahului.
403 Gajahmada sudah dapat merasakan angin sambaran
pedang Pangeran Rha Widhu yang sangat berbahaya
itu. Dan diam-diam telah melambari tubuhnya dengan
ajian ilmu setara lembu sekilan bahkan lebih kuat lagi
dari ajian ilmu sejenis di jamannya itu.
Terlihat Gajahmada seperti terbang melayang dan
melesat seperti seekor burung sikatan menghindari
terjangan angin serangan pedang Pangeran Rha Widhu
yang datang bergulung-gulung seperti ombak samudera.
"Pedangku belum juga dapat menyentuhnya", berkata
Pangeran Rha Widhu merasa semakin penasaran belum
juga dapat menuntaskan pertempurannya.
Beberapa prajurit dari dua kubu yang melihat
pertempuran dua naga kanuragan itu benar-benar
terperangah. Tanah ilalang di sekitar pertempuran
mereka sudah menjadi rata tergilas langkah kaki dan
terjangan senjata mereka. Semakin lama gerakan
mereka menjadi semakin cepat hingga hanya terlihat
seperti dua buah bayangan yang saling menyerang dan
balas menyerang. Sementara itu Putu Risang sambil bertempur masih
sempat melihat suasana pertempuran secara keseluruhan, telah melihat semangat prajurit Kawali yang
berjumlah lebih sedikit ternyata dapat mengimbangi
kekuatan prajurit Rakata bahkan dapat dikatakan telah
dapat membuat pertahanan musuh terkoyak-koyak.
"Saatnya memberi kejutan lain, lepaskan tiga buah
panah sanderan", berkata Putu Risang kepada seorang
prajurit penghubungnya. Nampaknya prajurit penghubung itu tidak perlu
perintah kedua langsung menyiapkan tiga buah anak
panah sanderan. 404 Tidak lama berselang terlihat sebuah panah
sanderan mengaung membelah udara dan langit diatas
padang ilalang itu. Tiga kali berturut-turut suara panah
sanderan mengaung terdengar jelas meski dari tempat
yang cukup jauh dari pertempuran yang sedang
berkecamuk itu. Ternyata suara panah sanderan itu memang
terdengar di sebuah tempat persembunyian para prajurit
Kawali yang sudah lama menunggunya.
"Wahai para prajurit Kawali, suara panah sanderan
telah memanggil kita", berkata Rangga Kidang Telangkas
dengan suara lantang kepada pasukan prajurit cadangan
yang sengaja bersembunyi menunggu panggilan untuk
bergabung membuat sebuah serangan yang mengejutkan pihak musuh. Dari tempat pertempurannya Putu Risang telah
melihat pasukan cadangan yang telah berlari mendekati
medan pertempuran. "Saatnya membuat sebuah kejutan baru, geser
barisan tengah kearah sayap kiri", berkata Putu Risang
kepada seorang prajurit penghubungnya.
Maka dalam waktu singkat para pasukan yang
tergabung dalam barisan tengah telah melihat sebuah
umbul-umbul ciri khusus pasukan barisan tengah telah
berkibar dan bergerak kearah samping sayap kiri gelar
perang Garuda Nglayang. Serentak terlihat pasukan barisan tengah itu telah
bergerak mengikuti arah umbul-umbul berwarna merah
itu bergerak. Ternyata gerakan pasukan barisan tengah adalah
sebuah keistimewaan gerak gelar perang dari Garuda
405 Nglayang sebagaimana seekor raja burung Garuda yang
tanpa terduga menyerang musuhnya dengan kedua
cakar kakinya yang tajam.
Ternyata gerakan kesamping pasukan barisan
tengah telah memberikan kesempatan kepada pasukan
Pangeran Citraganda dan pasukan cadangan dibawah
kendali Rangga Kidang Telangkas dapat bertindak
sebagai dua cakar burung yang tajam mencengkeram
musuhnya di muka. Bukan main terkejutnya para prajurit
Rakata yang berada di barisan terdepan itu, pasukan
Pangeran Citraganda dan pasukan cadangan pimpinan
Rangga Kidang Telangkas seperti air bah yang
menerjang sebuah tanggul bendungan.
Tidak dapat dibayangkan suasana porak poranda
pasukan Rakata di bagian terdepan itu tergilas oleh dua
cengkraman kuat dimana salah satunya adalah para
prajurit cadangan yang masih punya tenaga utuh.
Bayangkan bahwa sepertiga lebih pasukan baru itu telah
dapat memporak-porandakan pasukan Rakata yang
sudah kelelahan dalam peperangan mereka.
"Sebuah gelar perang yang cantik", berkata dalam
hati Patih Anggajaya mengakui keunggulan pihak lawan.
Sebagai seorang putra Senapati terbaik pasukan
Kerajaan Rakata di jamannya, Patih Anggajaya telah
mewariskan berbagai siasat peperangan dari ayahnya
itu. Dan Patih Anggajaya tahu apa yang harus dilakukan
untuk menyelamatkan pasukannya dari sebuah
kekalahan besar. "Perintahkan pasukan untuk mundur kembali masuk
ke hutan", berteriak Patih Anggajaya kepada seorang
prajurit penghubungnya.

Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar teriakan Patih Anggajaya, terlihat prajurit
406 penghubung itu telah mendatangi para prajurit
penghubung lainnya dalam setiap kesatuan mereka.
Maka tidak lama berselang, Putu Risang telah
melihat barisan pertahanan pihak musuh telah
membentuk sebuah barisan gelar perang ular serong,
sebuah cara pertahanan membawa para prajurit Rakata
mundur teratur masuk kembali ke hutan persembunyian
mereka. "Jangan kejar mereka", berkata Putu Risang kepada
beberapa prajurit yang bermaksud terus mengejar para
prajurit Rakata yang telah memasuki hutan persembunyian mereka. Sementara itu Pangeran Rha Widhu yang belum juga
dapat mengalahkan Gajahmada terlihat sangat geram
melihat pasukan Rakata telah diperintahkan mundur
masuk ke hutan persembunyian kembali.
"Besok kita tuntaskan pertempuran ini", berkata
Pangeran Rha Widhu kepada Gajahmada sambil
langsung berkelebat pergi kearah hutan persembunyian
mereka. Terlihat Gajahmada tidak menjawab perkataan
Pangeran Rha Widhu, hanya berdiri sambil memegang
ujung jurai cambuk pendeknya dengan tangan kirinya
dan melihat Pangeran Rha Widhu sudah semakin jauh
dan menghilang di kegelapan dan kerapatan hutan di
seberang sana. Sementara itu matahari diatas tanah padang ilalang
terlihat lelah berbaring di ujung tepian bumi sebelah
barat. Cahayanya telah memudar kelabu mewarnai awan
yang bergelantung memenuhi cakrawala langit di ujung
senja. 407 Terlihat beberapa orang prajurit Kawali membawa
kawan-kawan mereka yang terluka maupun yang sudah
tidak bernyawa lagi. Mereka juga telah merawat
beberapa orang pihak musuh yang terluka parah,
sengaja mereka meninggalkan orang-orang Rakata yang
terluka dan mereka yang sudah tidak bernyawa lagi dari
pihak musuh karena mengetahui bahwa sebentar lagi
ada kawan mereka yang pasti akan datang ke padang
ilalang medan pertempuran untuk mencari dan
membawa kawan-kawan mereka sendiri.
Selalu seperti itu sisa setiap ujung sebuah
peperangan antara anak manusia di manapun. Tangis
sedih mewarnai setiap hati para prajurit yang harus
merelakan seorang sahabat sejati pergi dan tidak akan
pernah kembali untuk selama-lamanya.
"Perang nampaknya belum berakhir, siapkan diri kita
untuk hari esok dalam peperangan yang lain", berkata
Putu Risang mengajak Pangeran Jayanagara, Gajahmada dan Pangeran Citraganda kembali ke
Padukuhan. "Ini adalah peperangan pertama mereka. Sebuah
pemandangan yang tidak akan mereka lupakan
sepanjang hidup mereka dalam kesendirian ketika malam
di peraduan, mendengar kembali suara pilu orang yang
terluka, suara pekik perih seorang yang tengah sekarat
menjemput sang maut. Sementara perang tidak akan
pernah berakhir menunggu kehadiran mereka di ujung
hari-hari mereka sebagai para ksatria", berkata Putu
Risang dalam hati sambil memandang kearah dua orang
putra mahkota dan seorang ksatria muda yang telah
memiliki ilmu kesaktian yang mumpuni, Mahesa Muksa.
Demikianlah, awan hitam terlihat mulai bergelayut
pertanda sebentar lagi akan turun hujan.
408 Terlihat Ki bekel telah menerima kedatangan Putu
Risang dan kawan-kawannya di pendapa rumahnya.
Bagian 2 Sementara itu di hutan persembunyiannya, Pangeran
Rha Widhu telah mengunci diri di barak sederhananya,
nampaknya tidak ingin di ganggu oleh siapapun.
Patih Anggajaya yang telah mendengar bahwa
Pangeran Rha Widhu telah mengunci diri di barak
sederhananya merasa maklum atas sifat dan adat adik
iparnya itu yang dikenal sangat mudah menyerah dan
berputus asa. Ternyata benar bahwa Pangeran Rha Widhu di barak
sederhananya seperti tengah merenungi langkahlangkahnya selama ini, terutama keputusan besarnya
bergabung dengan Patih Anggajaya membuat sebuah
pemberontakan kepada penguasa Pasundan itu.
"Pasukanku telah menyusut setengahnya dalam
perang pertama ini, ternyata Raja Ragasuci terlalu kuat
untuk ditumbangkan", berkata Pangeran Rha Widhu
dalam hati seperti penuh dalam keputus asaan.
"Siapa pula anak muda bercambuk itu yang
nampaknya berilmu sangat tinggi hingga dapat
mengimbangi permainan pedangku", berkata kembali
Pangeran Rha Widhu dalam hati mengingat kembali
pertempurannya dengan seorang anak muda bersenjata
cambuk pendek. Ternyata keputus asaan bukan hanya milik Pangeran
Rha Widhu seorang, beberapa perwira prajurit Rakata
juga tengah dirambati perasaan yang sama, kepercayaan
diri mereka seperti tengah terkikis oleh suasana
409 kekalahan perang pertama itu.
"Tahukah kamu apa hukuman bagi seorang
pemberontak seperti kita ini ?", berkata seorang perwira
prajurit Rakata kepada salah seorang kawannya. "Raja
Ragasuci akan menghukum seluruh keluarga kita di
Kotaraja Rakata", berkata kembali perwira itu.
Terlihat kawan perwira itu langsung seperti pucat pasi
wajahnya dengan membayangkan anak dan istrinya
harus menanggung hukuman dari Raja Ragasuci,
penguasa Pasundan. "Bila kita lari dari sini dan menyerahkan diri, apakah
Raja Ragasuci akan meringankan hukumannya ?",
bertanya kawan perwira itu masih dengan wajah yang
sudah sangat pucat pasi. "Ku dengar Raja Ragasuci seorang Raja yang sangat
bijaksana, hukumanmu pasti lebih ringan dari pada yang
lainnya yang dianggap telah mengganggu kedamaian
susana kehidupan di Pasundan ini", berkata perwira itu
menjawab pertanyaan kawannya.
Ternyata perkataan perwira itu sangat berbekas di
diri kawannya itu yang juga seorang perwira di sebuah
kesatuan prajurit Rakata.
Maka ketika dirinya telah berada di kesatuannya,
telah menyampaikan sebuah rencana untuk lari dan
menyerahkan diri ke penguasa Pasundan di Kotaraja
Kawali. "Aku hanya menawarkan sebuah jalan yang lebih
baik dari hari ini untuk kita dan keluarga kita di Kotaraja
Rakata", berkata kawan perwira itu mulai menghasut
para prajurit bawahannya.
Ternyata gayung bersambut, beberapa prajurit 410 terlihat sudah termakan hasutannya itu. Namun masih
ada satu dua orang telah menunjukkan kesetiaan mereka
kepada Pangeran Rha Widhu.
"Hukuman apapun akan kuterima, sementara kita
belum kalah berperang", berkata seorang prajurit
menunjukkan sikap kesatriaannya sebagai seorang
prajurit. "Itu adalah pilihanmu dan jangan halangi kami untuk
keluar dari hutan ini", berkata perwira itu dengan sedikit
mengancam kepada dua tiga orang bawahannya yang
tetap ingin bertahan dan setia kepada Pangeran Rha
Widhu. Maka ketika malam sudah menjadi begitu sepi,
terlihat sekitar seratus orang prajurit Rakata mengendapendap meninggalkan barak-barak mereka, meninggalkan
kawan-kawan mereka sendiri yang telah tertidur terlelap
setelah seharian berperang di padang ilalang.
Gemparlah suasana pagi di hutan persembunyian itu.
"Dengar dan camkan perkataanku, bahwa aku dapat
lebih kejam dari Raja Ragasuci. Aku akan mencari
sampai ke lobang semut pun bersembunyi, siapapun
yang lari dari peperangan ini", berkata Patih Anggajaya
dengan wajah begitu murka di hadapan para perwiranya
yang sengaja dipanggil berkumpul datang menghadapnya di pagi itu.
Kecut hati beberapa perwira itu mendengar ancaman
Patih Anggajaya yang memang sudah sangat dikenal
sangat kejam menghukum siapapun orang yang telah
mengecewakan dirinya. Sementara itu di waktu yang sama di istana Kawali,
Raja Ragasuci telah menerima laporan tentang beberapa
411 orang prajurit Rakata yang telah datang menyerahkan diri
di Kotaraja Kawali. Raja Ragasuci juga telah
mendapatkan berita dari salah seorang yang
menyerahkan diri itu tentang kekalahan peperangan
mereka kemarin hari dengan pasukan prajurit Kawali.
"Keputus asaan nampaknya telah menggayuti para
prajurit Rakata di hutan persembunyiannya itu, apa yang
dapat kita lakukan wahai ayahandaku ?", bertanya Raja
Ragasuci kepada ayahandanya Prabu Guru Darmasiksa.
"Jangan biarkan duri terlalu lama di dalam daging,
perintahkan pasukan Adipati Suradilaga dari Singaparna
untuk membersihkan duri-duri itu di hutan timur Kotaraja
ini", berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Raja
Ragasuci. "Bagaimana dengan pasukan kita di padukuhan
dekat hutan sebelah timur itu?", bertanya Raja Ragasuci
kepada Prabu Guru Darmasiksa.
"Mereka telah melaksanakan tugasnya dengan baik,
biarlah mereka beristirahat merasakan kemenangan
peperangan pertama mereka", berkata Prabu Guru
Darmasiksa. "Ucapan Ayahanda akan ananda pusakai", berkata
Raja Ragasuci kepada ayahandanya yang sangat
dihormatinya itu. Demikianlah, hari itu juga Raja Ragasuci telah
memanggil Adipati Suradilaga dan memerintahkan
pasukannya dari Singaparna yang masih berada di
Kotaraja Kawali itu untuk menghancurkan prajurit Rakata.
"Perintah paduka Raja Ragasuci adalah sebuah
kehormatan untuk hamba", berkata Adipati Suradilaga
ketika akan berpamit diri dari hadapan Raja Ragasuci.
412 Sementara itu di Padukuhan dekat hutan timur
Kotaraja Kawali, terlihat Putu Risang dan beberapa orang
lainnya baru saja kembali dari sebuah upacara
pemakaman. Sebuah upacara pemakaman yang
sederhana mengantar para sahabat sejati pergi untuk
selama-lamanya. "Pasukan mereka telah semakin menyusut, bila kita
hantam mereka hari ini pasti kemenangan besar berada
di pihak kita", berkata Pangeran Citraganda kepada Putu
Risang ketika mereka dalam perjalanan kembali ke
rumah Ki Bekel. Terlihat Putu Risang tidak langsung menjawab, orang
muda yang sangat pendiam itu yang telah dipercayai
menjadi seorang senapati sebuah pasukan besar itu
nampaknya tengah berpikir keras membuat sebuah
langkah-langkah yang sangat bijaksana menghadapi
para musuh dari Rakata yang saat itu masih berada di
hutan persembunyiannya. "Banyak korban berjatuhan di pihak mereka, biarlah
hari ini kita berikan sebuah kesempatan untuk mereka
berpikir jernih apakah peperangan ini masih harus di
lanjutkan", berkata Putu Risang setelah menarik nafas
panjang seperti mendapatkan sebuah keputusan yang
benar sebagai seorang senapati.
"Aku juga berharap yang sama, korban sudah banyak
berjatuhan. Semoga mereka dapat berpikir jernih
mengukur kemampuan mereka menghadapi kekuatan
Pasukan Pasundan", berkata Pangeran Jayanagara ikut
bicara. "Apakah dengan memberikan kesempatan mereka
hari ini sama halnya memberi kesempatan seekor buaya
yang terjepit?", berkata Pangeran Citraganda merasa
413 kurang setuju dengan sikap Putu Risang.
"Hari ini atau besok kita bisa saja membantai mereka
memenangkan peperangan ini. Tapi aku masih berharap
menyelesaikan peperangan ini tanpa ada jatuh banyak
korban lagi, korban para prajurit di pihak manapun",
berkata Putu Risang sambil memandang penuh senyum
kearah Pangeran Citraganda.


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekilas Putu Risang dapat membaca sikap kurang
setuju dari Pangeran Citraganda. Namun Putu Risang
dapat memaklumi jiwa dan darah muda putra Mahkota
Kerajaan Kawali ini yang melihat dan menilai sebuah
peperangan tidak lebih dari sebuah perjudian antara
menang dan kalah. "Laporan terakhir dari para prajurit pemantau, hari ini
pihak musuh belum ada tanda-tanda untuk melanjutkan
peperangan", berkata Gajahmada mencoba mengalihkan
pembicaraan mereka. "Kita memang tidak harus menjadi lengah, para
prajurit pemantau harus tetap berada di tempatnya
menilai setiap perkembangan", berkata Putu Risang.
"Mohon ijin dari kakang Putu Risang, nanti malam
aku akan ikut sebagai prajurit pemantau, mendekati
hutan persembunyian mereka lebih dekat lagi", berkata
Gajahmada kepada Putu Risang.
"Aku ikut Jayanagara. bersamamu", berkata Pangeran "Aku mengijinkan kalian, berhati-hatilah", berkata
Putu Risang kepada kedua muridnya itu.
Tidak terasa langkah mereka sudah mendekati
pekarangan rumah Ki Bekel.
Dan hari itu tidak ada kesibukan apapun di
414 padukuhan dekat hutan timur Kotaraja Kawali, hanya
beberapa prajurit Kawali terlihat tengah merawat kawankawan mereka yang terluka parah. Sementara itu para
warga nampaknya tidak merasa terganggu dengan
kehadiran pasukan Kawali di tempatnya. Beberapa orang
warga tetap melakukan kegiatan rutin mereka seperti
pergi ke sawah untuk menyiangi rumput-rumput liar di
antara tanaman padi yang baru tumbuh.
"Penerimaan para warga disini atas kehadiran para
prajurit adalah sebuah dukungan. Sampai saat ini kami
masih belum memerlukan para warga untuk angkat
senjata membantu kami di medan peperangan", berkata
Putu Risang kepada Ki Bekel ketika menyampaikan
pesan dari Ki Buyut yang menawarkan tenaga para lelaki
warga di kabuyutan itu. "Meski keseharian kami hanya sebagai seorang
petani, namun ada seorang warga disini yang dengan
tulus telah melatih para pemuda olah kanuragan",
berkata Ki Bekel bercerita tentang kesiapan para warga
seandainya diperlukan dapat juga turun mengangkat
senjata. "Pasti mereka dapat diandalkan untuk menjaga tanah
mereka sendiri dari orang-orang yang bermaksud kurang
baik di kabuyutan ini", berkata Putu Risang sekedar tidak
mengecilkan perkataan Ki Bekel itu.
Sementara itu di depan pekarangan rumah Ki Bekel
terlihat beberapa orang tengah membawa padi kering
menuju ke arah dapur umum prajurit yang tidak jauh dari
rumah Ki Bekel sendiri. "Ki Buyut telah memerintahkan warga untuk
menyumbangkan padi kering mereka", berkata Ki Bekel
memberikan penjelasan. 415 "Sampaikan rasa terima kasih kami kepada Ki Buyut,
juga kepada seluruh warga di kabuyutan ini", berkata
Putu Risang kepada Ki Bekel.
Demikianlah, hari itu para prajurit Kawali di
Padukuhan itu memang tidak melakukan apapun selain
beristirahat. Namun Putu Risang tetap memerintahkan
beberapa orang untuk berjaga-jaga di luar padukuhan
disamping juga telah menempatkan beberapa prajurit
pemantau di dekat hutan persembunyian para pasukan
Rakata. Dan tidak terasa waktu pun terus berlalu, terlihat
cahaya matahari semakin redup di ujung barat bumi.
Wajah padukuhan yang dikelilingi hamparan sawah hijau
menjelang senja terlihat begitu bening dan damai.
Beberapa lelaki terlihat baru pulang dari sawah mereka
berjalan sambil memanggul cangkul di pundaknya,
sementara ditangannya ikut berayun sebuah arit
mengikuti arah langkah petani itu.
"Istri-istri mereka pasti tengah menyiapkan sayur
bening untuk makan malam mereka", berkata Putu
Risang dalam hati manakala melihat beberapa petani
lewat di depan pekarangan rumah Ki Bekel.
"Saat ini masih di musim penghujan, namun sudah
dua hari ini tidak juga datang hujan", berkata Ki Bekel
yang tetap selalu menemani tamu-tamunya di pendapa
rumahnya itu. Ketika hari berganti malam, tidak juga terlihat tandatanda hujan akan turun karena terlihat langit malam di
atas padukuhan itu dipenuhi bintang.
Dan malam di padukuhan itu terlihat menjadi begitu
lengang, sunyi dan begitu sepi.
416 Malam itu terlihat Gajahmada dan Pangeran
Jayanagara telah keluar dari Padukuhan berjalan di
sebuah bulakan panjang kearah sebuah padang ilalang
di ujung padukuhan itu. Sebagai seorang guru, nampaknya Putu Risang telah
mengetahui bahwa Gajahmada bukan hanya sekedar
berkeinginan untuk mengamati dari dekat pasukan
Rakata di hutan sebelah timur Kotaraja Kawali itu. Tapi
keinginan Gajahmada itu pasti diawali dengan sebuah
getar naluri panggraitanya yang sudah mulai tajam
terasah. Terlihat Gajahmada dan Pangeran Jayanagara sudah
memasuki padang ilalang yang cukup luas membatasi
jarak antara Padukuhan dan hutan di seberang sana.
Dibawah langit malam mereka berdua seperti hilang
tertelan kerimbunan padang ilalang dan kegelapan
malam. "Kita masuk lebih kedalam lagi mendekati mereka",
berkata Gajahmada kepada Pangeran Jayanagara ketika
langkah mereka telah sampai di tepi muka hutan itu.
Kegelapan hutan malam seperti menelan mereka
yang terus melangkah lebih kedalam lagi memasuki
hutan tempat pasukan Rakata bertahan dan
bersembunyi. "Mari kita bersembunyi", berkata Gajahmada kepada
Pangeran Jayanagara yang sama-sama telah memiliki
ketajaman pendengaran yang tinggi telah sama-sama
mendengar suara banyak langkah kaki orang yang
tengah berjalan tidak jauh dari mereka berdua.
Tidak sukar bagi mereka untuk bersembunyi.
Di kegelapan hutan malam terlihat Gajahmada dan
417 Pangeran Jayanagara seperti sebuah bayangan telah
melesat dengan cepatnya seperti bersayap terbang
meloncat dan telah hinggap di sebuah dahan pohon yang
cukup tinggi. "Siapakah gerangan mereka?", berkata Pangeran
Jayanagara kepada Gajahmada ketika dibawah pohon
telah melihat beberapa orang tengah berjalan berendapendap sangat mencurigakan.
"Nampaknya mereka seperti kita, tengah melakukan
pengintaian kepada para pasukan dari Rakata", berkata
Gajahmada memastikan diri bahwa orang-orang yang
berada di bawah pohon pastinya bukan para prajurit
Rakata. "Apa yang ingin mereka lakukan terhadap pasukan
Rakata itu?",berkata Pangeran Jayanagara
"Kita akan segera tahu", berkata Gajahmada masih
terus mengamati orang-orang yang semakin banyak
berdatangan. "Nampaknya mereka tengah melakukan sebuah
pengepungan", berkata Pangeran Jayanagara dengan
perasaan tegang masih mengamati orang-orang di dalam
hutan itu dari atas sebuah pohon.
"Sebuah panah sanderan", berkata Gajahmada
dengan suara berbisik kepada Pangeran Jayanagara.
Ternyata panah sanderan berupa cahaya api berekor
itu sebuah panggilan kepada kelompok orang-orang
yang belum diketahui berada di pihak mana untuk
menyerang pasukan Rakata.
Dan dengan mata kepala sendiri, Gajahmada dan
Pangeran Jayanagara telah melihat hujan panah berapi
meluncur dari berbagai penjuru kearah barak-barak
418 sederhana milik para prajurit Rakata.
Cahaya dan kilatan api seperti terbang jatuh
membakar apapun di sekitar barak-barak para pasukan
Rakata. Beberapa panah api bahkan telah melukai para
prajurit Rakata yang lengah.
Cahaya dan lidah api telah membakar barak-barak
yang terbuat dari kayu beratap daun kering itu, juga telah
menjalar membakar semak dan batang pohon di hutan
itu. Gajahmada dan Pangeran Jayanagara masih tetap
berada ditempatnya menyaksikan beberapa orang
prajurit Rakata berlari tidak beraturan ke berbagai
penjuru. Malang nasib para prajurit yang bermaksud melarikan
diri dari jilatan kepungan api yang berkobar membakar
sekeliling mereka. Ternyata beberapa orang dengan
senjata terhunus ditangan telah menantikan mereka yang
tengah berlari tak terkendalikan itu.
Gajahmada dan Pangeran Jayanagara telah melihat
sendiri pembantaian itu, ratusan prajurit Rakata tidak
mati terpanggang api, tapi mati terhunus pedang
bermandikan darah segar bersama cahaya api
kebakaran yang menerangi hutan di malam itu.
"Ternyata mereka para prajurit dari Singaparna",
berkata Gajahmada manakala cahaya kebakaran hutan
itu telah menyinari beberapa tanda-tanda keprajuritan
dari orang-orang yang telah mengepung dan membakar
barak-barak prajurit Rakata itu.
Terlihat sebuah bayangan telah melesat keluar dari
kepungan api, ternyata seseorang yang ingin keluar dan
menyelamatkan dirinya dari kobaran api yang semakin
419 membesar itu. Namun tiga sampai empat orang telah
datang mengepungnya. Ternyata orang itu bukan orang sembarangan,
buktinya tiga sampai empat orang lawannya tidak dapat
melumpuhkan dirinya, bahkan sebaliknya dengan
sebuah gerakan yang cepat serta tangkas telah melukai
beberapa orang pengepungnya.
"Pengeran Rha Widhu", berkata Gajahmada yang
telah mengenali wajah orang itu yang terlihat jelas diterpa
cahaya api kebakaran di dekatnya.
"Tidak ada seorang pun yang mampu menahannya",
berkata Pangeran Jayanagara manakala melihat empat
orang prajurit Singaparna telah berjatuhan rebah
termakan mata pedang Pangeran dari Kerajaan Rakata
itu. Gajahmada dan Pangeran Jayanagara masih di
tempatnya manakala telah melihat Pangeran Rha Widhu
meninggalkan lawan-lawannya yang tergeletak di tanah.
Mereka berdua telah melihat Pangeran Rha Widhu telah
melangkah pergi dan menghilang di kegelapan hutan
malam. Api masih saja tetap menyala membakar hutan dan
memaksa Gajahmada dan Pangeran Jayanagara
bergeser dari persembunyiannya mencari tempat
persembunyian baru lebih jauh lagi.
Sementara itu malam masih terus berlalu di hutan
yang telah terbakar itu, terdengar beberapa pohon
tumbang merambati pohon disekitarnya dengan kobaran
apinya. "Sebuah perbuatan keji", berkata Pangeran
Jayanagara yang melihat sendiri seorang prajurit
420 Singaparna dengan pedang telanjang memotong kepala
musuh mereka yang sudah mati terbunuh.
Gajahmada dan Pangeran Jayanagara di tempat
persembunyiannya itu telah melihat beberapa prajurit
yang didatangkan dari Singaparna oleh Adipati
Suradilaga itu telah menebas batang leher para mayat
musuh mereka yang tergeletak di tanah.
Terlihat Gajahmada termenung sejenak mengingat
cerita Pendeta Gunakara bahwa di tempat asalnya ada
sekumpulan orang yang masih percaya bahwa ruh
seorang musuh akan tetap mengganggu. Itulah
sebabnya mereka harus memenggal kepala musuh dan
melakukan sebuah upacara khusus.
Sementara itu api kebakaran di hutan masih berkobar
merobohkan beberapa batang pohon besar di hutan itu.
Cahaya benderang di sekitar hutan terbakar.
Syukurlah kebakaran hutan itu tidak menjalar luas,
mungkin terhalang parit-parit baru yang sengaja di buat
oleh para prajurit Rakata untuk daerah pertahanan
mereka. "Mereka telah pergi ke arah selatan", berkata
Pangeran Jayanagara kepada Gajahmada manakala
melihat pasukan dari Singaparna berduyun-duyun telah
melangkah pergi meninggalkan hutan terbakar.
Kobaran api di atas hutan terbakar itu nampaknya
sudah semakin berkurang seiring dengan berjalannya
sang waktu. Dan malam pun perlahan beranjak pergi menemui
bumi lain. Perlahan pula sang pagi yang dingin datang
menyapu warna cakrawala langit yang buram menjadi
semakin bening.

Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

421 "Hujan datang", berkata Pangeran Jayanagara
kepada Gajahmada ketika merasakan titik-titik air
menyentuh tubuhnya lewat celah-celah dahan dan daun
di atas pohon tempat persembunyian mereka.
"Mari kita turun", berkata Gajahmada kepada
Pangeran Jayanagara manakala melihat di bawah
mereka sudah menjadi begitu sepi tidak terdengar
seorang pun disana. Dan hujan terlihat semakin deras mengguyur hutan
itu, mengguyur sisa-sisa batang pohon yang terbakar.
Ketika hujan menjadi reda, Gajahmada dan Pangeran
Jayanagara hanya melihat sebuah puing-puing batang
dan dahan pohon sisa hutan yang terbakar itu.
Hamparan tanah yang sebelumnya sangat rimbun itu
hanya menyisakan sebuah hamparan tanah gosong
bersama tumpukan sisa abu batang, dahan dan semak
yang terbakar. "Kita harus memanggil beberapa prajurit untuk
menguburkan mayat-mayat itu, meski dengan tanpa
sebuah kepala", berkata Gajahmada sambil menahan
napas begitu berat menyayangkan kekejian sebagian
orang yang telah memperlakukan saudara mereka
sendiri. "Mari kita kembali ke Padukuhan", berkata Pangeran
Jayanagara kepada Gajahmada.
Dan hari di depan langkah mereka telah menjadi
terang tanah memenuhi wajah bumi pagi.
Dan ketika hari pagi sudah mulai beranjak terang
mendekati saat siang, terlihat suasana penuh
kegembiraan di paseban raya dalam sebuah perjamuan
besar. 422 "Kegembiraan hari ini memang sangat layak untuk
dirayakan", berkata Raja Ragasuci kepada para tamunya
para biksu dan para ksatria dari Majapahit.
"Bumi Pasundan telah kembali dalam kedamaian,
prahara dari Rakata telah sirna. Puji Syukur kepada Gusti
Yang Maha Agung yang telah membawa kalian
melangkah ke istana Kawali ini", berkata Prabu Guru
Darmasiksa. Sementara itu di sebuah sudut terlihat sepasang
mata tidak pernah lepas pandangannya ke arah Mahesa
Muksa. Siapa lagi pemilik mata rupawan itu kalau bukan
Dyah Rara Wulan. "Aku akan meminta Ayahandamu untuk menjadikan
Mahesa Muksa sebagai seorang perwira di Bumi
Pasundan ini", berbisik permaisuri Ratu Dara Puspa
kepada sang Putri tercintanya itu.
"Terima kasih Ibunda", berkata Dyah Rara Wulan
dengan wajah penuh kegembiraan melihat sikap ibunya
yang telah berubah terhadap Mahesa Muksa.
Demikianlah, perjamuan besar di atas Paseban Raya
itu memang begitu meriah, wajah-wajah suka cita
mengiringi kegembiraan hati semua yang hadir di atas
Paseban Raya itu. Namun di ujung perjamuan besar itu seketika menjadi
sebuah keharuan manakala Pendeta Gunakara telah
menyampaikan keinginannya untuk kembali ke tanah
leluhur mereka. "Kami datang dari sebuah daratan yang sangat jauh
di seberang lautan sana, hanya berharap untuk dapat
membawa Mahesa Muksa menjadi pemimpin kami,
menjadi guru suci kami. Namun ternyata hasrat dan
423 keinginan kami belum juga segaris dengan ketetapan
dari Gusti Yang Maha Agung. Atas nama para Biksu,
kami menghaturkan ribuan rasa terima kasih atas segala
penerimaan kami di bumi Pasundan ini. Sementara itu
angin laut telah berganti membawa kami untuk segera
meninggalkan bumi Pasundan ini. Dan pintu Vihara kami
di daratan Tibet sana akan selalu terbuka menunggu
kedatangan tuan-tuan", berkata Pendeta Gunakara
mewakili para biksu di Paseban Raya itu.
Suasana di atas Paseban Raya itu seketika menjadi
sepi dicekam keharuan terlebih para ksatria dari
Majapahit yang sudah lama mengenal Pendeta
Gunakara hadir bersama mereka.
"Kami akan menemani kalian hingga ke Bandar
Muara Jati", berkata Prabu Guru Darmasiksa seperti
memecahkan suasana keharuan di atas Paseban Raya
itu. Maka ketika matahari telah bergeser condong sedikit
ke barat, terlihat sebuah rombongan para biksu telah
keluar dari Istana Kawali.
Dan Prabu Guru Darmasiksa bersama para ksatria
dari Majapahit ikut dalam rombongan para biksu itu
mengantarnya hingga sampai di bandar Muara Jati.
Tidak ada gangguan apapun atas perjalanan mereka
menuju Bandar Muara Jati. Sebuah perjalanan yang
cukup jauh terutama bila dilakukan hanya dengan
berjalan kaki. Namun kekuatan para biksu yang sudah
terlatih itu nampaknya bukan sebuah pekerjaan yang
berat, terlihat di wajah mereka tidak sedikitpun terlihat
rasa kelelahan sedikitpun meski mereka telah berjalan
sepanjang hari. Semilir angin laut berhembus basah di ujung malam
424 itu manakala rombongan para biksu telah sampai di
Bandar Muara Jati. "Nampaknya angin laut masih belum berkenan
memisahkan kita, wahai putraku", berkata Pendeta
Gunakara kepada Gajahmada.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Pendeta
Gunakara, mereka memang harus menunggu esok hari.
"Sangat kebetulan sekali, esok hari ada sebuah
perahu dagang yang akan berangkat hingga ke ujung
Tanah Malaka", berkata seorang Syahbandar di Muara
Jati itu sebagai salah seorang pejabat perwakilan
kerajaan Kawali yang sangat menghormati Prabu Guru
Darmasiksa. Demikianlah, akhirnya rombongan itu memang harus
menunggu hingga esok hari.
Bandar Muara Jati memang sebuah pelabuhan
dagang yang cukup ramai saat itu, banyak terlihat
beberapa perahu dagang bersandar di pelabuhan itu.
Setelah seharian menunggu saat angin berubah
haluan menuju laut raya di pantai Muara Jati, akhirnya
ketika matahari mulai condong rebah ke barat bumi
terlihat rombongan para biksu menaiki sebuah perahu
dagang yang akan mengantar mereka sampai di ujung
Tanah Malaka. "Angin yang baik telah membawaku pergi kembali ke
tanah leluhurku setelah begitu lama hidup bersamamu,
wahai putraku", berkata pendeta Gunakara kepada
Gajahmada. "Angin yang baik pula yang akan membawaku dalam
perjumpaan bersamamu, mungkin di ujung sisa usiaku
nanti", berkata Gajahmada seperti tengah berusaha
425 membendung keharuan hatinya melepas pergi pendeta
Gunakara. Suara ombak di pantai Muara Jati itu seperti dengung
irama senja yang terus terdengar mengantar pergi
sebuah perahu dagang membawa Pendeta Gunakara
dan para biksu dari Tibet itu jauh ke lautan luas.
Prabu Guru Darmasiksa, Sang Begawan Jayakatwang dan tiga orang ksatria Majapahit terlihat
seperti mematung di pantai Muara Jati mengikuti gerak
sebuah perahu dagang bertiang layar lima yang perlahan
menjauhi bibir dermaga. "Angin baik dan perahu layar adalah dua sahabat
sejati, semoga kita selalu dipertemukan kembali dengan
sahabat sejati dalam sebuah perjalanan waktu
mengarungi lautan garis hidup ini", berkata Prabu Guru
Darmasiksa seperti memecahkan suasana keharuan di
hati mereka. Dan tidak terasa seiring waktu, perahu layar yang
membawa Pendeta Gunakara dan para biksu terlihat
sudah menjauh mendekati bibir lengkung laut biru di
ujung senja itu. "Mangapa tuan-tuan tidak menunggu pagi dan
bermalam di Bandar Muara Jati ini ?", berkata
Syahbandar Muara Jati yang datang bersama tiga orang
anak buahnya membawa lima ekor kuda.
"Perjalanan malam mungkin dapat menghibur hati
kami", berkata Prabu Guru Darmasiksa sambil tersenyum
kepada Syahbandar Muara Jati yang sangat
menghormatinya itu. Sementara itu langit senja terlihat sudah semakin
pudar memayungi bibir pantai.
426 Dan di bibir malam terlihat bintang bertaburan
memenuhi langit purba. Terlihat lima orang berkuda telah menapaki sebuah
jalan menjauhi pantai Muara Jati.
"Ketika pagi menjelang kita mungkin sudah sampai di
kaki gunung Galunggung", berkata Prabu Guru
Darmasiksa kepada Jayakatwang yang berkuda di
sampingnya. Sementara itu tiga orang ksatria Majapahit, Putu
Risang, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara berkuda
di belakang tanpa berkata apapun, nampaknya masingmasing tengah berada bersama alam pikirannya sendirisendiri.
Tidak terasa kadang mereka memacu kuda-kuda
mereka di atas tanah lapang di kegelapan malam.
Namun kadang mereka harus bersabar membawa kuda
mereka berjalan perlahan ketika menapaki sebuah jalan
berbatu dan berliku di sebuah perbukitan.
Perjalanan dari Bandar Muara Jati menuju Gunung
Galunggung memang cukup jauh. Ketika malam telah
bergulir mendekati warna pagi mereka sudah sampai di
sebuah simpang jalan menuju arah Kotaraja Kawali.
Namun sebagaimana keinginan Prabu Guru
Darmasiksa, mereka tidak berkelok ke arah Kotaraja
Kawali, langsung ke arah Gunung Galunggung.
Demikianlah, ketika warna pagi terlihat mulai
menerangi wajah bumi, kelima orang berkuda itu telah
berada di bawah kaki Gunung Galunggung.
Cerah warna matahari pagi menyinari wajah mereka
ketika langkah kaki kuda mereka telah menapaki jalan
menanjak menuju arah lereng Gunung Galunggung.
427 "Tuan Prabu Guru Darmasiksa telah datang kembali",
berkata seorang cantrik kepada dua orang kawannya
yang tengah berada di muka regol pintu Padepokan,
nampaknya akan berangkat ke sawah mereka.
"Apakah kalian akan berangkat ke sawah ?", berkata
Prabu Guru Darmasiksa kepada ketiga orang cantrik itu
dari atas punggung kudanya ketika telah berada di muka
regol pintu Padepokan. "Kami bermaksud memperbaiki jalan air di sawah",
berkata salah seorang dari ketiga cantrik itu sambil
membungkuk penuh hormat kepada Prabu Guru
Darmasiksa dan empat orang bersamanya itu.
Terlihat seorang cantrik menyambut tali kuda mereka
berlima ketika telah memasuki halaman pekarangan
Padepokan. "Aku sudah menjadi bosan sendiri tiap malam di atas
pendapa ini", berkata Bango Samparan sambil menuruni
anak tangga pendapa menyambut kedatangan mereka
berlima. "Bagaimana keadaan Andini saat ini ?", bertanya
Prabu Guru Darmasiksa kepada Bango Samparan.
"Hari ini sudah mulai belajar berjalan di biliknya",
berkata Bango Samparan dengan wajah penuh ceria.
Demikianlah, setelah bersih-bersih diri di pakiwan,
terlihat mereka telah berkumpul kembali di Pendapa
Padepokan itu bersama Bango Samparan tentunya.
"Semoga aku tidak mengurangi kenikmatan tuantuan", berkata Bango Samparan yang terlihat ingin
membuka sebuah pembicaraan ketika mereka tengah
menikmati sebuah makanan dan minuman hangat di atas
pendapa Padepokan itu. 428 Terlihat Bango Samparan telah
sebuah benda dari balik pakaiannya.
mengeluarkan "Kujang Pangeran Muncang?", berkata Prabu Guru
Darmasiksa ketika melihat benda yang berada di tangan
Bango Samparan itu. "Aku menunggu tuan Prabu untuk menyerahkan
pusaka ini", berkata Bango Samparan sambil
menyerahkan sebuah senjata Kujang kepada Prabu
Guru Darmasiksa. "Berceritalah, bagaimana senjata yang hilang ini bisa
berada di tanganmu", berkata Prabu Guru Darmasiksa
kepada Bango Samparan. Terlihat semua mata yang ada di atas pendapa itu
tertuju kearah Bango Samparan ingin secepatnya
mendengar cerita dari Majikan Rawa Rontek itu.
Terlihat ada sebuah keraguan di dalam hati Bango
Samparan, pikirannya bercabang antara ingin bercerita
kejadian sebenarnya dan sebuah keinginan untuk
merahasiakan asal dan usul jati diri Dewi Kaswari.
"Bila ada sesuatu yang sangat memberatkan hatimu,
kami tidak akan memaksamu", berkata Prabu Guru
Darmasiksa seperti telah dapat membaca apa yang ada


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam pikiran Bango Samparan saat itu.
"Aku akan bercerita seutuhnya", berkata Bango
Samparan yang sudah dapat memerangi hatinya sendiri
untuk bercerita seutuhnya tanpa rasa takut dan malu bila
ceritanya itu akan membuka sebuah rahasia besar
tentang jati diri Dewi Kaswari.
Maka perlahan Bango Samparan telah bercerita
tentang pertemuannya dengan Pendeta Rakanata, juga
pertemuannya dengan seseorang yang telah menolong
429 jiwanya yang nyaris terbunuh oleh pendeta Rakanata.
"Pendeta Rakanata telah membuka rahasia dirinya
kepadaku bahwa dirinya adalah Ayah kandung dari Dewi
Kaswari", berkata Bango Samparan yang tidak ragu lagi
untuk bercerita seutuhnya menyangkut rahasia tentang
penukaran seorang bayi keturunan Raja Rakata.
"Hati Pendeta Rakanata sudah begitu kelam", berkata
Prabu Guru Darmasiksa ketika mendengar cerita sebuah
kejahatan yang dilakukan oleh pendeta Rakanata.
"Kasihan nasib bayi Raja Rakata itu", berkata pula
Pangeran Jayanagara. "Sungguh sebuah kebetulan bahwa yang menyelamatkan nyawaku hingga hidup sampai saat ini
adalah bayi Raja Rakata yang tertukar itu. Dialah putra
Raja Rakata yang sebenarnya penolong jiwaku di hutan
itu. Begitu luas jiwanya meski telah mengetahui
kejahatan Pendeta Rakanata atas dirinya masih tetap
mengampuni Pendeta berhati kelam itu", berkata kembali
Bango Samparan bercerita tentang pertemuannya
dengan sang penolong jiwanya itu.
"Siapakah orang itu, apakah dirinya telah menyebut
sebuah nama kepadamu", berkata Prabu Guru
Darmasiksa merasa penasaran dengan cerita bango
Samparan mengenai sang penolongnya itu.
"Ketika berpisah, orang itu hanya memperkenalkan
dirinya sebagai seorang pertapa dari Gunung Wilis
bernama Dharmaraya", berkata bango Samparan.
Mendengar perkataan bango Samparan itu, terlihat
Putu Risang dan Gajahmada saling berpandangan mata,
mereka tahu betul dan sudah mengenal siapa gerangan
nama yang disebut oleh Bango Samparan itu.
430 "Bila Pendeta Dharmaraya adalah putra Raja Rakata,
berarti bahwa Mahesa Muksa adalah keturunan dari
Kerajaan Rakata", berkata Putu Risang dalam hati
namun masih berdiam diri.
Sementara itu Gajahmada masih termenung
mengulang-ulang perkataan Bango Samparan yang
mengatakan bahwa ayahandanya adalah seorang putra
Raja Rakata. "Apakah aku harus mengatakan kegembiraan hati ini,
mengatakan bahwa diriku inilah putra Pendeta
Dharmaraya sang pertapa dari Gunung Wilis itu ?",
berkata Gajahmada dalam hati menimbang-nimbang
apakah sebuah kelayakan bila kegembiraan hatinya itu di
ketahui oleh semua yang hadir di atas pendapa
Padepokan itu. Namun akhirnya Gajahmada telah
memilih untuk diam. "Biarlah setiap orang mengenal diriku apa adanya,
bukan dari mana dan siapa yang melahirkan diriku ini",
berkata Gajahmada dalam hati memilih diam dan
merahasiakan hubungan dirinya dengan Pendeta
Dharmaraya putra Raja Rakata yang sebenarnya itu.
Melihat Gajahmada tidak berkata apapun, terlihat
Putu Risang ikut tidak mengatakan apapun yang
diketahui tentang hubungan antara Pendeta Dharmaraya
dan Gajahmada. "Nampaknya Mahesa Muksa tidak ingin membuka jati
dirinya", berkata Putu Risang dalam hati menilai sikap
diam dari Gajahmada. Namun tiba-tiba saja suasana di atas pendapa itu
menjadi tercengang manakala Prabu Guru Darmasiksa
telah angkat bicara tentang kujang Pangeran Muncang
yang sudah berada di tangannya itu.
431 "Bukan maksudku tidak percaya dengan semua
ceritamu, katakanlah kepadaku apakah kamu menerima
senjata Kujang ini memang dalam keadaan bertelanjang
tanpa sarung kayu rumahnya ?", bertanya Prabu Guru
Darmasiksa kepada Bango Samparan.
"Ampun tuan Prabu, aku menerima Kujang itu dalam
kedaan telanjang tanpa sarung kayunya", berkata Bango
Samparan merasa terkejut dengan pertanyaan Prabu
Guru Darmasiksa. "Sebenarnya kehilangan sebuah senjata pusaka
bukan menjadi alasan diriku untuk merasa khawatir, yang
kutakutkan adalah bahwa di atas sarung kayu senjata
Kujang ini telah terukir sebuah rahasia ajian ilmu
pamungkas, sebuah rahasia ilmu ajian muncang kuning.
Inilah yang kukhawatirkan bila saja rahasia ilmu ini telah
jatuh di tangan orang yang salah, pasti akan membawa
sebuah malapetaka dan prahara besar di bumi ini",
berkata Prabu Guru Darmasiksa menjelaskan sebuah
rahasia. Suasana diatas pendapa Padepokan itu sejenak
menjadi sepi tanpa suara, semua orang nampaknya
tengah berada di dalam alam pikirannya sendiri-sendiri.
"Menurut cerita dari Bango Samparan, senjata kujang
Pangeran Muncang itu terakhir berada di tangan Pendeta
Pendekar Cacad 20 Panggung Penghukum Dewa Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Golok Bulan Sabit 10
^