Pencarian

Kisah Dua Naga Di Pasundan 8

Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana Bagian 8


Rawidhu sebagaimana nasib ratusan prajurit yang pergi
bersamanya", berkata Ki Lurah Jangkung menjelaskan.
Suasana di atas panggung rumah Ki Jangkung
seketika menjadi sepi manakala mendengar riwayat
sedih tentang prajurit Rakata dan Pangeran Rawidhu,
nampaknya tiga buah kepala di atas panggungan itu
tengah berada didalam pikirannya masing-masing.
Namun suasana sepi itu tidak lama, tertindas hangat
kembali manakala Nyi jangkung datang sambil membawa
makanan dan minuman untuk mereka bertiga.
"Selamat dinikmati, hanya masakan sederhana orang
pulau api", berkata Nyi Jangkung sambil berpamit diri
untuk masuk ke dalam rumah kembali.
Demikianlah, tanpa rasa sungkan terlihat Gajahmada
dan Pangeran Jayanagara menikmati masakan tuan
rumah dengan penuh kegembiraan hati.
"Adikku tinggal bersama di rumah ini, sebentar lagi
pasti akan kembali pulang", berkata Ki Lurah Jangkung
505 kepada Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.
Ketika matahari terlihat mulai tergelincir di ufuk barat
bumi, terlihat seorang lelaki tengah memasuki
pekarangan Ki Lurah Jangkung.
"Perkenalkan inilah adikku", berkata Ki Lurah
Jangkung memperkenalkan seorang lelaki yang baru
datang itu yang ternyata adalah adiknya sendiri.
Ternyata sebagaimana Ki Lurah Jangkung, adiknya
juga adalah seorang prajurit Rakata yang dipercaya
sebagai seorang Rangga di sebuah pasukan khusus
prajurit Rakata. "Kami kakak beradik ini punya nasib berbeda dalam
hal kepangkatan di keprajuritan, adikku ini sudah
melewatiku beberapa jenjang sebagai seorang Rangga",
berkata kembali Ki Lurah Jangkung.
"Di keprajuritan aku memang diatasnya, sementara di
rumah ini dia tetap kakakku", berkata adik Ki Lurah
Jangkung menunjukkan sikap keramahannya kepada
kedua tamu kakaknya itu dan memperkenalkan dirinya
bernama Rangga Sujiwa. Seorang lelaki yang usianya
tidak bertaut jauh dengan Ki Lurah Jangkung sendiri.
"Jadi kalian berdua bermaksud ingin mengabdi
sebagai seorang prajurit Rakata?", berkata Ki Rangga
Sujiwa setelah Ki Lurah Jangkung bercerita tentang
rencana kedua anak muda itu yang ingin mengakhiri
pengembaraan mereka mengabdi sebagai seorang
prajurit. "Tentunya bila kami berdua lulus dalam persyaratan
ujian keprajuritan", berkata Pangeran Jayanagara
kepada Ki Rangga Sujiwa. "Kebetulan akulah yang di percaya menguji para
506 calon prajurit. Hari ini kalian bisa kuuji secara langsung di
pekarangan ini", berkata Ki Rangga Sujiwa kepada
kedua anak muda itu. Mendengar perkataan Ki Rangga Sujiwa membuat
kedua anak muda itu saling berpandangan, tidak
menyangka begitu mudah jalan mereka berdua untuk
menjadi seorang prajurit Rakata.
"Sebagaimana pernah kukatakan, adikku inilah yang
dipercaya oleh pihak istana memutuskan diterima atau
tidaknya seorang calon prajurit", berkata Ki Lurah
Jangkung sambil tersenyum bahwa perkataannya
sebelumnya bukan hanya sebuah sesumbar belaka.
"Aku ingin melihat tataran ilmu kanuragan kalian,
silahkan turun salah seorang diantara kalian ke
pekarangan", berkata Ki Rangga Sujiwa kepada kedua
anak muda itu. "Biarlah, aku yang pertama turun ke pekarangan",
berkata Pangeran Jayanagara mendahului Gajahmada.
Sementara itu Ki Rangga Sujiwa telah meminta Ki
Lurah Jangkung membantunya . "Aku perlu Kakang
Jangkung melayani anak muda itu", berkata Ki Rangga
Sujiwa kepada kakaknya ketika telah melihat Pangeran
Jayanagara sudah turun di pekarangan.
Bulan purnama malam itu terlihat temaram
menerangi pekarangan rumah Ki Lurah Jangkung.
Terlihat dua orang lelaki telah saling berhadapan di
pekarangan rumah itu. "Silahkan anak muda menyerang orang tua ini",
berkata Ki Lurah Jangkung kepada Pangeran
Jayanagara yang sudah bersiap di atas tanah
pekarangan rumah itu. 507 "Baiklah Ki Lurah, aku orang muda yang memulai
serangan", berkata Pangeran Jayanagara sambil
meloncat dan mengembang-kan dua buah tangannya.
"Serangan yang bagus", berkata Ki Lurah Jangkung
sambil bergeser kesamping menghindari pukulan dari
Pangeran Jayanagara dan langsung balas menyerang.
"Serangan balasan yang hebat", berkata Pangeran
Jayanagara sambil meloncat kebelakang sambil
membuat sebuah serangan baru.
Susul menyusul saling balas pun dalam waktu dekat
terus berlangsung dengan serunya antara Ki Lurah
Jangkung dan Pangeran Jayanagara.
"Anak muda ini telah punya bekal kanuragan yang
cukup untuk seorang prajurit Rakata", berkata Ki Rangga
Sujiwa dalam hati sambil matanya tidak pernah berpaling
dari pertempuran di atas pekarangan rumah Ki Lurah
Jangkung itu. "Pangeran Jayanagara belum berbuat apa-apa",
berkata pula Gajahmada dalam hati melihat bahwa
Pangeran Jayanagara memang belum menunjukkan
kemampuannya yang sebenarnya.
Sementara itu melihat bahwa anak muda yang
menjadi lawannya itu telah mampu mengimbangi
serangan-serangannya telah membuat Ki Lurah
Jangkung tanda disadari telah meningkatkan tataran
ilmunya, kali ini dengan mengungkapkan tenaga sakti
sejatinya. Maka kecepatan gerak dan tenaga Ki Lurah
Jangkung terlihat semakin bertambah cepat dan
bertambah kuat. Dengan sangat terpaksa Pangeran Jayanagara telah
ikut meningkatkan tataran ilmunya pula, mengimbangi
508 kecepatan dan kekuatan lawan.
"Hebat !!", berkata Ki Lurah Jangkung yang tidak
menyangka bahwa Pangeran Jayanagara dapat dengan
cepat keluar dari terkamannya bahkan telah balas
menyerangnya pula. "Cukup !!", berteriak Ki Rangga Sujiwa dari atas
panggungan rumah. Mendengar teriakan Ki Rangga Sujiwa itu, terlihat
keduanya telah langsung meloncat kebelakang
menghentikan pertempuran itu.
"Untungnya pertempuran ini di hentikan, bila
diteruskan pasti aku yang sudah tua ini sangat malu
dikalahkan oleh orang muda", berkata Ki Lurah Jangkung
sambil tersenyum. "Ki Lurah Jangkung terlalu merendahkan diri,
pertempuran akhir belum terjadi", berkata Pangeran
Jayanagara kepada Ki Lurah Jangkung.
"Ayo anak muda, sekarang giliran kita mencari
keringat di malam dingin ini", berkata Ki Rangga Sujiwa
kepada Gajahmada. Selang seling dua orang yang naik keatas
panggungan dan dua orang lagi turun dari panggungan
pun terlihat di malam yang masih wayah sepi bocah itu.
"Pastikan pertempuran kita lebih seru dari
pertempuran tadi", berkata Ki Rangga Sujiwa sambil
bersikap bersiap diri dengan sebuah kuda-kuda yang
terlihat kokoh. "Baiklah, aku orang muda menyerang lebih dulu",
berkata Gajahmada dengan wajah cerah penuh
kegembiraan hati menghadapi lawan tandingnya.
509 "Serangan pertama yang hebat", berkata Ki Rangga
Sujiwa sambil meloncat cepat menghindari tendangan
Gajahmada yang meluncur ke arahnya.
"Serangan balasan yang berbahaya", berkata
Gajahmada sambil menghindari serangan balasan dari Ki
Rangga Sujiwa itu. Seperti pertempuran sebelumnya, pertempuran kali
ini juga tidak kalah serunya, saling balas menyerang pun
terjadi dengan sangat hebatnya.
"Sangat cepat sekali", berkata Gajahmada sambil
tersenyum sedikit menundukkan kepalanya dari pukulan
Ki Rangga Sujiwa yang sangat cepat dan kuat.
Ternyata Ki Rangga Sujiwa sudah langsung bergerak
dengan tenaga bukan wadag lagi, tapi sudah
mengungkapkan tenaga sakti sejatinya sendiri sehingga
telah membuat serangannya sangat kuat dan cepat.
Demikianlah, tidak terasa pertempuran mereka terus
berlanjut dengan semakin seru, semakin cepat dan kuat
sehingga mereka berdua selintas hanya seperti dua buah
bayangan yang saling berkejaran diatas tanah
pekarangan di bawah malam bulan purnama itu.
"Cukup!!", berkata Ki Rangga Sujiwa sambil meloncat
kebelakang meminta Gajahmada menghentikan serangannya. ?"Kalian berdua memang layak menjadi seorang
prajurit Rakata", berkata kembali Ki Rangga Sujiwa
dengan nafas yang masih memburu.
"Masih lebih lama dari pertempuran sebelumnya",
berkata Gajahmada dengan wajah masih cerah dan
nafas teratur seperti belum melakukan apa-apa.
"Nafasmu sangat kuat anak muda", berkata Ki rangga
510 memuji kekuatan diri Gajahmada yang melihat nafasnya
tidak memburu sebagaimana dirinya itu.
"Kalian cepat naik, sang permaisuriku telah
membawakan hidangan malam", berkata Ki Lurah
jangkung kepada Gajahmada dan Ki Rangga Sujiwa.
Ternyata diatas panggungan rumah, Nyi Lurah
Jangkung memang telah menyediakan makan malam
mereka. Demikianlah, mereka berempat terlihat tengah
menikmati makanan malam dengan penuh senda gurau
seperti empat sahabat lama yang sudah begitu lama
tidak bertemu, mereka memang terlihat sudah begitu
akrab sekali. Dan malam masih terus bergeser perlahan di atas
panggungan rumah Ki Lurah Jangkung yang masih asyik
berbincang dengan dua orang tamunya dan seorang
adiknya itu. Namun tiba-tiba saja kening Ki Lurah Jangkung
berkerut. Nampaknya ada sesuatu yang dilihatnya di
pekarangan rumahnya, karena kebetulan sekali duduk Ki
Lurah Jangkung memang berhadapan dengan pekarangan rumahnya. Ternyata memang Ki Lurah Jangkung telah melihat
dua orang tengah memasuki pekarangan rumahnya.
Sontak seketika itu semua mata menatap ke arah
pandangan Ki Lurah Jangkung, melihat apa yang dilihat
oleh Ki Lurah Jangkung di halaman pekarangan
rumahnya itu. "Pengawal pribadi Baginda Raja", berkata Ki Lurah
Jangkung mengenali beberapa pertanda yang dipakai
oleh kedua orang yang mulai mendekati tangga
511 rumahnya. Cahaya purnama di malam itu memang telah
menerangi wajah kedua orang pengawal pribadi Baginda
Raja Pulau Api sebagaimana yang dilihat oleh Ki Lurah
Jangkung. "Apakah kami berdua telah memasuki rumah Ki
Lurah Jangkung?", bertanya salah seorang dari prajurit
itu. "Kalian berdua tidak salah masuk", berkata Ki Lurah
Jangkung memperkenalkan dirinya kepada kedua prajurit
itu. Ketika mereka berdua ikut duduk di panggungan,
maka Ki Lurah pun bertanya maksud dan kepentingan
dari kedua prajurit pengawal pribadi Baginda Raja Pulau
Api itu. "Siapakah diantara kalian yang bernama Mahesa
Muksa?", bertanya salah seorang prajurit pengawal itu
tanpa memberitahukan lebih dulu maksud utama
kedatangannya sebagaimana yang ditanyakan oleh Ki
Lurah Jangkung. Mendengar pertanyaan salah seorang prajurit itu
telah membuat kaget semua orang, mereka langsung
berpikir pasti ada kaitannya dengan peristiwa tadi siang
tentang kematian seekor kerbau gila itu.
"Juragan Maruhut pasti telah menghasut para
petinggi istana dengan cerita palsunya", berkata Ki Lurah
jangkung menduga-duga. "Ada kepentingan apakah kalian bertanya tentang
Mahesa Muksa?", berkata Ki Rangga Sujiwa mengambil
alih pembicaraan. "Kami hanya menjalankan perintah Baginda Raja,
512

Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa orang yang bernama Mahesa Muksa ke
Istana", berkata kembali salah seorang prajurit itu.
Sementara itu Gajahmada yang juga berpikir bahwa
kedatangan kedua prajurit itu berkaitan dengan peristiwa
kerbau gila yang mati, merasa tidak ingin kedua tuan
rumahnya tersangkut dengan apa yang telah
dilakukannya pada peristiwa itu. Dan Gajahmada
memang telah terbina sejak kecil untuk berlaku sebagai
seorang ksatria, berani dengan dada terbuka atas segala
perbuatannya sendiri. "Aku Mahesa Muksa yang kalian cari", berkata
Gajahmada dengan wajah terangkat kepada kedua
prajurit pengawal pribadi Baginda Raja Pulau Api itu.
Ki Lurah Jangkung dan Ki Rangga Sujiwa terlihat
menarik nafas panjang mendengar Gajahmada dengan
penuh keberanian menyebut namanya sendiri.
"Anak muda ini sungguh tidak punya rasa takut
sedikit pun", berkata dalam hati Ki Lurah Jangkung dan
Ki Rangga Sujiwa. Sementara itu Pangeran Jayanagara yang selama ini
tidak angkat bicara masih terus menyimak apa yang akan
terjadi selanjutnya, namun dalam hati siap membela
sahabatnya apapun yang akan terjadi.
"Baginda Raja Pulau Api berkenan untuk bertemu
dengan Mahesa Muksa, malam ini juga", berkata salah
seorang prajurit itu. "Aku siap menemui Baginda Rajamu", berkata
Gajahmada dengan sikap penuh ketenangan diri.
"Kami akan mengantarmu", berkata kawan prajurit itu
yang sedari tadi tidak ikut bicara merasa gembira bahwa
tugas mereka tidak begitu sulit yang mereka duga
513 sebelumnya. Demikianlah, tanpa kesukaran dan pemaksaan
Mahesa Muksa telah ikut keluar bersama kedua prajurit
itu. Terlihat Gajahmada berjalan di kawal oleh kedua
prajurit itu telah menuruni anak tangga panggungan
rumah itu. Masih terlihat punggung mereka yang tengah
melangkah di atas halaman pekarangan Ki Lurah
Jangkung. Dibawah pandangan mata Ki Lurah Jangkung, Ki
Rangga Sujiwa dan Pangeran Jayanagara, mereka telah
melihat Gajahmada dan kedua prajurit itu telah keluar
dari pagar pekarangan rumah dan menjauh hilang di
dalam kegelapan malam. "Bila anak muda itu menjadi susah, aku akan
membuat perhitungan sendiri dengan Juragan Maruhut",
berkata Ki Lurah Jangkung dengan penuh amarah.
"Besok aku akan mencari tahu tentang keadaan anak
muda itu", berkata Ki Rangga Sujiwa berusaha
menenangkan perasaan kakaknya itu.
"Benar, besok kita harus mencari tahu apa yang
terjadi pada Mahesa Muksa", berkata Pangeran
Jayanagara merasa siap membela apapun yang terjadi
dan menimpa pada diri sahabatnya itu.
Sementara itu Gajahmada dan kedua prajurit itu
sudah jauh meninggalkan rumah Ki Jangkung, menyusuri
jalan-jalan Kotaraja Rakata.
Selama dalam perjalanan ketiganya terlihat tidak
banyak cakap, kedua prajurit itu pun tidak banyak
bertanya kepada Mahesa Muksa yang terus berjalan
514 mengikuti langkah kaki kedua prajurit itu.
Namun diam-diam kedua prajurit itu memuji sikap
ketenangan hati Mahesa Muksa.
Dan purnama begitu indah melekat diatas langit
malam menerangi istana Pulau Api manakala
Gajahmada dan kedua prajurit itu telah memasuki pintu
gerbang istana. Beberapa prajurit di gardu penjagaan depan gerbang
istana hanya memandang kedua prajurit itu berjalan
bersama Gajahmada, nampaknya mereka sudah
mengenal kedua prajurit pengawal pribadi Baginda Raja
Pulau api. Terlihat Gajahmada bersama kedua prajurit itu
tengah berjalan menyusuri lorong-lorong istana menuju
tempat peristirahatan pribadi Baginda Raja Pulau Api.
"Terimalah sembah sujud dari kami", berkata salah
seorang prajurit itu diikuti dengan sikap bersujud kedua
prajurit itu. Melihat kedua prajurit itu telah bersujud dihadapan
Baginda Raja Pulau Api, terlihat Gajahmada telah
mengikuti kedua prajurit itu, ikut bersujud di hadapan
Raja Pulau Api yang tengah duduk di sebuah hamparan
kulit harimau besar. "Kuterima sembah sujud kalian, tinggalkan Mahesa
Muksa bersama kami", berkata Baginda Raja Pulau Api
kepada kedua prajurit itu.
Mendengar perintah dari Baginda Raja, terlihat
dengan penuh rasa hormat kedua prajurit itu mundur
teratur keluar dari tempat peristirahatan Baginda Raja.
"Selamat datang anak muda", berkata Baginda Raja
Pulau Api penuh senyum keramahan dihadapan
515 Gajahmada. Sejenak Gajahmada memandang kearah Raja Pulau
Api itu, seorang yang sudah cukup berumur seusia Prabu
Guru Darmasiksa. "Aku berhadapan dengan kakekku sendiri", berkata
Gajahmada dalam hati sambil memandang orang tua di
hadapannya itu. Sementara itu Gajahmada juga melihat seorang yang
berada di samping Raja Pulau api itu tengah menatapnya
dengan sinar mata penuh kegembiraan dan kebahagiaan
hati. Tertegun sejenak Gajahmada memandang kearah
orang itu yang belum setua Raja Pulau Api, namun wajah
orang itu terlihat seperti pinang dibelah dua dengan Raja
Pulau Api, hanya usia saja yang nampaknya telah
membedakan keduanya. "Apakah kamu sudah tahu mengapa dirimu malam ini
datang menghadapku?", bertanya Raja Pulau Api
dengan suara begitu berat penuh wibawa kepada
Gajahmada. "Hamba hanya menduga-duga, bahwa kedatangan
hamba berkaitan dengan peristiwa kerbau gila tadi
siang", berkata Gajahmada dengan suara tidak meresa
gentar sedikit pun berhadapan dengan seorang yang
paling di hormati di kerajaan Rakata itu yang telah
diketahui adalah kakeknya sendiri.
Mendengar perkataan dan sikap Gajahmada, terlihat
Raja Pulau Api dan orang disebelahnya saling
berpandangan. "Aku memang telah mendengar tentang kejadian
siang itu di pasar, tentang seorang anak muda yang telah
membunuh seekor kerbau gila", berkata Raja Pulau Api
516 sambil menatap wajah Gajahmada.
"Hambalah orangnya yang telah membunuh kerbau
itu", berkata Gajahmada dengan wajah tengadah tanpa
rasa bersalah sedikit pun.
"Aku mendapat sebuah laporan bahwa kamulah yang
telah membuat kerbau itu mengamuk, merugikan banyak
orang di pasar", berkata Raja Pulau api.
"Itu fitnah tuanku, justru hambalah yang telah
meredakan kerbau gila itu", berkata Gajahmada
membela dirinya tidak suka hati mencoba meluruskan
kejadian yang sebenarnya.
"Perbuatanmu membunuh kerbau itu adalah sebuah
kesombongan, dan aku akan menghukummu", berkata
Raja Pulau Api kepada Gajahmada.
Sedari kecil, Gajahmada sudah biasa hidup
dilingkungan istana, berhubungan dengan Raja
Majapahit yang sangat dihormati. Jadi tidak ada
perasaan takut sedikit pun manakala dirinya berhadapan
dengan seorang Raja Pulau Api itu. Apalagi jiwa
ksatrianya yang sudah ditempa sedemikian rupa dalam
hal membela kebenaran. Peristiwa siang itu membunuh
seekor kerbau gila dianggapnya sebuah perbuatan baik
melindungi banyak orang. Namun dirinya merasa kecewa, ada perasaan kurang
senang dengan diri Raja Pulau api itu. Namun dirinya
agak menjadi heran dengan sikap orang di sebelah Raja
Pulau Api itu, tidak pernah berpaling menatap dirinya
dengan wajah selalu tersenyum, sepertinya perkataan
Raja Pulau Api yang akan menghukum dirinya itu adalah
sebuah perkataan biasa. "Ternyata kakekku seorang raja yang kurang 517 bijaksana", berkata dalam hati Gajahmada mulai tidak
senang dengan kakeknya sendiri itu.
"Aku akan memberikan hukuman kepadamu dengan
hukuman terberat yang pernah ada di pulau api ini",
berkata Raja Pulau api dengan sikap penuh wibawa.
"Menurutku tuanku Baginda telah melakukan sebuah
ketidak adilan", berkata Gajahmada dengan wajah
tengadah tanpa rasa takut sedikitpun dan mulai kecewa
mengetahui sikap kakeknya sebagai seorang Raja yang
kurang bijaksana, tidak adil.
Mendengar perkataan Gajahmada, terlihat Raja
Pulau Api dan orang di sebelahnya saling berpandangan,
terlihat mereka berdua tertawa penuh kesenangan.
Melihat hal demikian, mulai tidak senang hatilah
Gajahmada kepada sikap kedua orang itu meski salah
seorang diantara mereka itu diketahui adalah kakeknya
sendiri. "Aku akan menambah hukuman dengan lebih berat
lagi, karena kamu telah mengatakan bahwa aku kurang
adil dalam hal ini", berkata Raja Pulau Api dengan suara
seperti dipaksakan menjadi lebih berat penuh wibawa.
Namun seketika itu pula Raja Pulau api telah saling
berpandangan kembali dengan orang di sebelahnya itu.
Kembali terlihat mereka tertawa bersama telah
membuat Gajahmada lebih tidak suka hati lagi, merasa
telah berada di lingkungan kurang sehat, tidak manusiawi
lagi. "Apakah kamu tidak bertanya hukuman apa yang
akan kuberikan kepadamu?", berkata Raja Pulau api, kali
ini dengan sebuah senyum dibibir.
Terlihat Gajahmada memandang kearah Raja Pulau
518 Api, juga ke orang di sebelahnya itu. Hati Gajahmada
sudah mulai tidak suka kepada kedua orang
dihadapannya itu. Menyayangkan bahwa telah menemui
seorang kakek darah dagingnya sendiri yang mempunyai
sikap kurang bijaksana, kurang adil menengahi sebuah
masalah. "Hukuman apapun akan hamba terima dengan hati
terbuka", berkata Gajahmada dengan suara menahan
rasa kecewa yang sangat. "Aku akan menghukummu dengan sebuah keharusan, harus kamu laksanakan dengan penuh
kesadaran hati, mulai saat ini kunobatkan dirimu untuk
menjadi seorang Panglima Perang tertinggi di
keprajuritan Kerajaan Rakata ini", berkata Raja Pulau Api
dengan masih tersenyum. Mendengar perkataan Raja Pulau Api, Gajahmada
seperti merasa tersentak kaget bukan kepalang, tidak
menyangka sama sekali bahwa hukuman yang diterima
adalah sebuah jabatan tertinggi di sebuah kerajaan.
"Terimalah wahai putraku", berkata orang di sebelah
Raja Pulau Api yang selama itu belum mengangkat suara
sedikit pun. Kembali Gajahmada tersentak kaget mendengar
suara orang itu, sebuah suara yang nampaknya sangat
akrab di telinganya. "Akulah Ayahmu, yang kadang datang meski hanya
lewat sebuah ajian pameling", berkata orang itu penuh
senyum ke arah Gajahmada.
Gajahmada memang tidak sangsi lagi, suara orang
itu terasa begitu dekat dengan hatinya, suara orang yang
sangat dirindukan selama ini untuk dapat ditemuinya
519 secara langsung. "Ayah?"?", berkata Gajahmada sambil datang
mendekat memeluk penuh kerinduan di tubuh orang itu
yang ternyata adalah pendeta Darmaraya, ayah dari
Gajahmada sendiri. "Sembah dan sujudlah kepada kakekmu sendiri,
wahai putraku", berkata Pendeta Darmaraya kepada
Gajahmada. Tanpa perintah kedua kalinya, terlihat Gajahmada
telah bersujud di hadapan Raja Pulau Api
"Bangkitlah wahai cucundaku, sembah sujudmu telah
kuterima, Ayahmu telah membuka semua rahasia ini
disaat usiaku sudah menjadi begitu rapuh. Sekian lama
kesangsian ini hanya ada didalam hati dalam penuh
keraguan. Karena aku mendengar sendiri suara jerit
tangis bayi laki-laki di dalam ruang persalinan sang
permaisuri, namun seorang dukun bayi menyerahkan


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadaku seorang bayi perempuan kepadaku. Sebuah
keanehan yang selama ini selalu menghantui setiap
mimpi-mimpiku", berkata Raja Pulau Api penuh
kehalusan hati seorang kakek kepada cucundanya.
"Sekarang, sang prahara itu telah datang kembali
mendekati kita. Pendeta Rakanata yang telah berganti
nama menjadi Ki Guntur Geni telah menghimpun sebuah
kekuatan untuk merampas kerajaan Kakekmu ini",
berkata Pendeta Darmaraya kepada Gajahmada.
"Aku juga telah menyaksikan sendiri prahara yang
telah terjadi hampir di setiap langkah perjalanan orang
itu. Demi sebuah kemanusiaan, aku siap menghadapinya", berkata Gajahmada di hadapan Ayah
dan kakeknya. 520 "Jadi kamu bersedia menjadi seorang panglima
perang di kerajaanku ini?", bertanya Raja Pulau Api
kepada Gajahmada. "Cucunda dengan senang hati menerimanya, wahai
Baginda Raja Pulau Api", berkata Gajahmada penuh
senyum merasa selama ini telah diperolok sendiri oleh
kakek dan Ayahnya itu yang telah mengetahui jati dirinya.
"Aku senang mendengarnya, wahai cucundaku",
berkata Raja Pulau Api dengan wajah gembira. "dalam
waktu singkat, semua orang di pulau api ini harus dapat
merayakan pertemuan ini, merayakan kegembiraan kita
bersama", berkata kembali Raja Pulau Api.
Demikianlah, tiga lelaki anak beranak itu saling
bercerita tentang diri masing-masing selama masa yang
terpisah satu dengan yang lainnya itu.
Sementara itu langit malam sudah mulai larut diatas
istana Rakata. "Ada sebuah rahasia yang juga kamu harus ketahui
hari ini, wahai putraku", berkata pendeta Darmaraya
kepada Gajahmada. "Aku siap mendengarnya, wahai ayahandaku",
berkata Gajahmada dengan kening berkerut menunggu
rahasia apa lagi yang akan disampaikan dan dibuka oleh
ayahnya itu. "Ibumu dan Ayah angkatmu sendiri telah
menyembunyikan nama aslimu yang sebenarnya. Itu
semua mereka lakukan karena seperti itulah adat istiadat
memperlakukan seorang anak yang terlahir disaat
gerhana matahari. Saat ini kulihat dirimu sudah menjadi
dewasa, saatnya kamu memikul namamu sendiri, wahai
putraku", berkata Pendeta Darmaraya.
521 "Siapakah nama putramu ini, wahai Ayahandaku?",
berkata Gajahmada penuh perhatian.
"Namamu adalah Gajahmada, karena kamu ditemui
oleh ayah angkatmu bersama ibumu di hutan Mada di
sebuah tanah yang indah di Balidwipa", berkata Pendeta
Darmaraya bercerita tentang suasana keadaan
Gajahmada di saat beberapa hari setelah kelahirannya
itu. "Gajahmada", berkata Gajahmada menyebut sebuah
nama. "Gajahmada, aku senang sekali dengan nama itu",
berkata Raja Pulau Api memuji nama Gajahmada.
Sementara itu langit malam sudah semakin larut
ditemani dewi purnama di atas istana Rakata. Terlihat
tiga orang prajurit penjaga dengan terkantuk-kantuk
berjalan menyusuri lorong-lorong istana memastikan
bahwa malam itu tidak terjadi apapun.
"Hari sudah larut malam, sebaiknya kalian
beristirahat", berkata Raja Pulau Api kepada Pendeta
Darmaraya dan Gajahmada. Demikianlah, malam itu Gajahmada diajak beristirahat di sebuah tempat di istana Rakata itu
bersama ayahnya sendiri. Di peraduannya Gajahmada seperti tengah bermimpi,
melihat suasana kamar yang sangat begitu elok
sebagaimana kamar milik seorang Pangeran.
"Aku adalah seorang Gajahmada dalam hati keberadaannya saat itu. pangeran?", bertanya
seperti meragukan Namun akhirnya mimpi Gajahmada seperti menjawab
kesangsiannya sendiri, Gajahmada malam itu telah
522 tertidur dan bermimpi sebagaimana seorang pangeran di
taman bunga istana bersama dua orang putri yang cantik
elok rupa, siapa lagi dua putri itu bila bukan Andini dan
Dyah Rara Wulan, dua wanita yang diam-diam telah
menyelinap mewarnai hampir dalam setiap mimpimimpinya.
Dan ketika pagi, Gajahmada terbangun di kamarnya
sendiri. "Ternyata aku memang tidak bermimpi", berkata
Gajahmada di pagi itu masih berbaring diatas
peraduannya di sebuah kamar yang sangat elok di istana
Rakata. "Ada beberapa hal penting yang harus kita bicarakan
bersama kakekmu", berkata Pendeta Darmaraya yang
ditemui Gajahmada di pagi itu ruang pringgitan.
"Ijinkan ananda menemui beberapa kawan. Ananda
takut mereka menjadi khawatir bahwa ananda tidak
pulang ke rumah mereka semalam", berkata Gajahmada
kepada ayahnya. "Baiklah, namun siang ini kutunggu kehadiranmu di
istana ini", berkata Pendeta Darmaraya kepada putranya
itu. Demikianlah, Gajahmada terlihat tengah menyusuri
lorong-lorong dan jalan setapak di istana. Melihat
suasana istana yang sedang dihias seperti akan
melaksanakan sebuah upacara besar di pagi itu.
Terlihat Gajahmada hanya tersenyum seorang diri
melihat semua itu. "Sebuah upacara besar untuk kembalinya sang
pangeran", berkata Gajahmada dalam hati sambil terus
berjalan sambil tersenyum.
523 "Aku akan mengantar tuan hingga gerbang istana",
berkata seorang prajurit kepada Gajahmada yang
ditemuinya. "Terima kasih", berkata Gajahmada kepada prajurit
itu yang ternyata adalah salah seorang prajurit pribadi
Raja Pulau Api yang semalam membawanya dari rumah
Ki Lurah Jangkung. Ada bagusnya Gajahmada berjalan bersama prajurit
itu, pasti akan ada beberapa pertanyaan dari beberapa
prajurit penjaga yang belum tahu siapa dirinya.
Terlihat beberapa prajurit penjaga tidak bertanya
apapun ketika mereka berdua bersisipan jalan di lorong
jalan istana. "Siang ini aku akan kembali", berkata Gajahmada
kepada prajurit itu. "Aku akan menunggumu, aku takut tuan dipersulit
masuk kembali ke istana ini", berkata prajurit itu kepada
Gajahmada penuh hormat. Ketika Gajahmada telah keluar dari pintu gerbang
istana, prajurit itu masih terus memandangnya.
"Aku belum tahu hubungan istimewa apa antara
pendeta Darmaraya dengan anak muda itu", berkata
prajurit itu masih memandang punggung Gajahmada
yang terlihat masih terus melangkah menjauhi istana.
Singkat cerita, Gajahmada telah berada di halaman
pekarangan rumah Ki Lurah Jangkung.
Bukan main gembiranya hati Pangeran Jayanagara
dan Ki Lurah Jangkung melihat kehadiran anak muda itu.
Maka Gajahmada dengan singkat bercerita tentang
pertemuan dirinya dengan Raja Pulau Api di istana.
524 "Sebuah pertemuan yang mengharukan, aku merasa
gembira bahwa aku telah mendengar sendiri dari tuan
Pangeran", berkata Ki Lurah Jangkung dengan sikap
berubah, tidak seperti semula menghadapi Gajahmada.
"Kita sudah begitu lama mengenalmu, selama ini
kamu telah menutupi jati dirimu sendiri, wahai
sahabatku", berkata Pangeran Jayanagara penuh
kegembiraan."Kakang Putu Risang juga sangat pandai
menutup sebuah rahasia", berkata kembali Pangeran
Jayanagara. "Aku perlu bantuanmu, sahabat", berkata Gajahmada
setelah bercerita tentang Pendeta Rakanata yang tengah
menyusun sebuah kekuatan untuk merebut istana
Rakata. "Aku siap berada di belakangmu, sahabatku", berkata
Pangeran Jayanagara dengan wajah penuh kegembiraan. Ternyata rumahku ini telah disinggahi dua orang
hebat dari Tanah Majapahit", berkata Ki Lurah Jangkung
penuh kebanggaan hati setelah mendengar beberapa
cerita lain dari kedua anak muda itu, tentang
pengembaraan mereka belum lama ini di Tanah
Pasundan. "Ada hal penting yang akan dibicarakan oleh
ayahandaku bersama raja Pulau Api di istana", berkata
Gajahmada ketika akan berpamit diri kembali ke istana.
"Sang permaisuriku sudah menyiapkan makan siang
untuk kalian", berkata Ki Lurah Jangkung kepada
Gajahmada. "Masih ada banyak waktu, aku akan sering datang
menunggu masakan Nyi Lurah", berkata Gajahmada
525 sambil tersenyum. Demikianlah, Gajahmada terlihat telah berjalan keluar
dari halaman pekarangan rumah Ki Lurah Jangkung
kembali ke istana Rakata.
Ketika Gajahmada berada di muka gerbang istana,
seorang prajurit datang menyongsongnya.
"Terima kasih telah menungguku", berkata Gajahmada kepada prajurit itu yang sudah dikenalnya itu.
"Aku akan mengantarmu hingga pintu peristirahatan
Baginda Raja", berkata Prajurit itu kepada Gajahmada.
Terlihat mereka telah berjalan bersama menyusuri
lorong-lorong jalan di istana Rakata.
Sementara itu, di luar istana, terlihat dua orang lelaki
tengah mengamati suasana di sekitar istana Rakata.
"Nampaknya akan ada sebuah upacara besar di
istana", berkata salah seorang diantara mereka.
"Ki Guntur Geni pasti senang mendapat berita ini,
sebuah celah menghancurkan mereka di saat lengah",
berkata kawannya. "Kita harus tahu kapan mereka akan melaksanakan
upacara besar itu", berkata salah seorang diantara
mereka. Terlihat kedua orang itu terus berjalan melewati pintu
gerbang istana dan tetap berjalan sebagaimana orang
lainnya yang hanya kebetulan lewat.
Kedua orang itu memang terus berjalan berbaur
dengan beberapa lalu lalang keramaian jalan di Kotaraja
Rakata yang masih cukup ramai di siang itu.
Kedua orang itu telah tidak terlihat lagi, entah
526 kemana. Sementara itu, Gajahmada sudah berada di
tempat peristirahatan Raja Pulau Api. Sudah hadir disana
ayahandanya sendiri, pendeta Darmaraya.
"Kakekmu telah memerintahkan seorang Mahapatih
untuk menyiapkan kekancingan dirimu menjadi seorang
Panglima perang di kerajaan Rakata, tentunya dengan
sebuah upacara besar agar semua orang mengetahui
bahwa dirimu adalah bagian dari keluarga istana",
berkata Pendeta Darmaraya berhenti sebentar sambil
menarik nafas panjang. Terlihat Gajahmada diam mengetahui masih ada hal lain
disampaikan oleh ayahandanya itu.
mendengarnya, lagi yang akan "Namun ada hal lain lagi yang akan kami sampaikan
kepadamu, menyangkut tentang suasana yang terus
berkembang di kerajaan ini", berkata Pendeta Darmaraya
kepada Gajahmada. Terlihat Gajahmada menarik nafas panjang,
menduga-duga apa gerangan yang akan disampaikan
oleh ayahandanya itu. Sementara itu Raja Pulau Api tetap diam ditempatnya


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagaimana Gajahmada mendengarkan apa yang akan
disampaikan oleh putranya, pendeta Darmaraya.
"Saat ini istana kita tengah di bayang-bayangi oleh
sebuah kekuatan gelap, sebuah kekuatan yang di pimpin
oleh pendeta Rakanata yang telah berganti nama
sebagai Ki Guntur geni itu. Kekuatan itu dapat bergerak
kapan pun. Namun sudah dapat kupastikan bahwa
mereka sudah berada mengintai disekitar istana ini",
berkata Pendeta Darmaraya kepada Gajahmada.
"Sebuah kekuatan gelap?", bertanya Gajahmada
527 kepada Ayahandanya itu. "Kukatakan kekuatan mereka sebagai sebuah
kekuatan gelap, karena mereka telah berbaur bersama
diantara para penghuni Kotaraja Rakata ini", berkata
Pendeta Darmaraya menjelaskan perkataannya tentang
sebuah kekuatan gelap pimpinan Ki Guntur Geni itu.
"Gerakan gelap mendem", berkata Gajahmada tidak
sadar keluar dari bibirnya.
"Kamu sudah mengerti maksudku, wahai putraku",
berkata Pendeta Darmaraya tersenyum kepada putra
tunggalnya itu. "Bersiaplah, aku dan ayahmu telah menyiapkan
sebuah cara, memancing mereka keluar dari
persembunyiannya", berkata Raja Pulau Api ikut ambil
bicara. Terlihat Gajahmada mengangguk-anggukkan kepalanya, merasa yakin bahwa ayah dan kakeknya ini
telah mempunyai sebuah cara menghadapi kekuatan Ki
Guntur Geni itu. "Kami akan memancing mereka dengan sebuah
upacara kekancingan dirimu sebagai seorang panglima
perang di kerajaan Rakata", berkata pendeta Darmaraya
kepada putranya Gajahmada.
"Hari ini kami telah memerintahkan Rangga Sujiwa
membawa keluar pasukannya dari istana. Mereka adalah
pasukan senyap kita yang akan menghantam musuh dari
arah belakang. Sebagaimana mereka, saat ini mereka
juga telah membaur diantara para penghuni Kotaraja ini",
berkata Raja Pulau Api menyela perkataan Pendeta
Darmaraya yang pernah dikenal sebagai pertapa dari
Gunung Wilis itu. 528 "Ki Guntur Geni pasti sudah banyak menyusupkan
orangnya di istana ini. Itulah sebabnya aku telah
memerintahkan Rangga Sujiwa dan pasukannya, mereka
adalah para prajurit pilihan yang sangat setia kepadaku",
berkata kembali Raja Pulau Api seperti dapat membaca
arah pikiran dari Gajahmada yang memang merasa
khawatir gerakan mereka dapat di baca oleh pihak lawan.
"Kita akan membuat sebuah upacara yang meriah,
sengaja aku mengundang para brahmana, mereka
adalah para sahabatku sendiri yang punya kemampuan
cukup tinggi. Cukup untuk menahan pasukan Ki Guntur
Geni di istana ini", berkata Pendeta Darmaraya kepada
putranya Gajahmada. "Nampaknya kalian telah menyiapkan segalanya
dengan baik", berkata Gajahmada memuji siasat dan
rencana perang ayah dan kakeknya itu.
Sementara itu terlihat dua orang lelaki tengah
memasuki sebuah rumah yang cukup besar di Kotaraja
Rakata itu. Sebuah rumah milik seorang juragan besar
yang cukup kaya di Kotaraja Rakata. Namun semua
orang di Kotaraja Rakata itu tidak mengetahui bahwa
rumah itu sudah tidak lagi dihuni oleh pemiliknya yang
entah pergi dan menghilang kemana, rumah itu ternyata
telah menjadi sebuah tempat persembunyian dua orang
buronan besar yang sedang dicari-cari oleh pihak istana
Kawali. Mereka adalah Pendeta Rakanata dan mantan
Patih Anggajaya yang telah berganti nama dan jati
dirinya, sebagai Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi. Dua
orang yang sangat di hormati dan disegani oleh semua
orang di rumah itu. "Masuklah kamu kedalam", berkata Ki Guntur Geni di
pendapa rumah itu kepada seorang wanita cantik yang
duduk disebelahnya ketika dilihatnya dua orang lelaki
529 telah berjalan di halaman pekarangan yang cukup luas
itu. "Kami membawa sebuah berita bagus", berkata salah
seorang dari dua orang lelaki itu setelah mereka
dipersilahkan duduk diatas pendapa oleh Ki Guntur Geni.
"Berita tentang wanita cantik?", berkata Ki Guntur
Geni kepada dua orang kepercayaannya itu.
Mendengar perkataan Ki Guntur Geni, terlihat kedua
orang kepercayaannya itu tersenyum.
"Saat ini kami membawa berita yang pasti akan
menyenangkan hati tuanku, tapi bukan tentang wanita
cantik", berkata salah seorang diantara kedua lelaki itu.
"Coba katakan, aku ingin segera mengetahuinya",
berkata Ki Geni kepada lelaki itu.
Maka lelaki itu pun bercerita tentang suasana istana
Rakata yang tengah akan melaksanakan sebuah
upacara besar. "Kami berdua mendapat berita bahwa dua hari dari
sekarang mereka akan melaksanakan sebuah upacara
besar", berkata lelaki itu menjelaskan."Sebuah upacara
kekancingan mengangkat seorang Panglima perang
kerajaan", berkata kembali lelaki itu.
"Apakah kamu mengetahui, siapa orang yang akan
diangkat sebagai Panglima perang kerajaan?", bertanya
Ki Guntur Bumi ikut bicara.
"Tidak banyak diketahui tentang orang itu, salah
seorang penyusup kita di istana baru menduga-duga
adalah salah seorang keturunan Raja Pulau Api sendiri",
berkata kawan lelaki itu menjawab pertanyaan Ki Guntur
Bumi. 530 "Setahuku, dua orang putra Pangeran Rhawidu
belum dewasa", berkata Ki Guntur Bumi penuh
keheranan. "Siapapun orangnya, yang pasti di saat mereka
tengah melaksanakan upacara itulah saat yang baik
melakukan penyerangan", berkata Ki Guntur Geni
dengan wajah penuh semangat, seakan sebuah
kemenangan sudah ada didepan matanya.
"Benar, pasukan Gelap Mendem kita memang sudah
terlalu lama berada di Kotaraja ini", berkata Ki Guntur
Bumi menyetujui rencana Ki Guntur Geni itu.
Demikianlah, terlihat Ki Guntur Geni telah
memberikan beberapa petunjuk kepada kedua orang
kepercayaannya itu. "Pasukan kita segera masuk bersama lewat pintu
gerbang istana Rakata", berkata Ki Guntur Geni
menyampaikan salah satu rencananya melakukan
penyerangan di saat istana tengah melaksanakan
sebuah upacara besar. "Raja Pulau Api yang sudah tua itu pasti mati
mendadak akibat terkejut", berkata Ki Guntur Bumi
sambil tertawa disambut oleh yang lain ikut tertawa
penuh kegembiraan. "Dan kita akan menjadi Raja bersama", berkata Ki
Guntur Geni kepada Ki Guntur Bumi.
Sementara di dalam otak besarnya berkata lain, "aku
akan membunuhmu, tidak rela aku berbagi kekuasaan
dengan siapapun", berkata Ki Guntur Geni dalam hati.
"Kita akan berbagi selir", berkata Ki Guntur Bumi
sambil membayangkan para selir Raja di istana.
"Aku akan mencari untuk menambahkan selir-selir
531 tercantik di Kerajaan Rakata ini", berkata Ki Guntur Geni
menyambung perkataan Ki Guntur Bumi.
Dan hari pun terus berlalu di Kotaraja Rakata. Secara
kasat mata, Kotaraja Rakata terlihat seperti hari-hari
sebelumnya. Namun, sesungguhnya bahwa di Kotaraja Rakata
saat itu telah menyelinap dua kekuatan yang tengah
saling mengintai, seperti dua ekor harimau jantan tengah
mengendap-endap mendekati padang perburuannya.
Satu ekor harimau jantan adalah pendatang baru yang
ingin merebut padang perburuan baru. Sementara itu
seekor harimau jantan lainnya adalah seekor harimau
penjaga, siap bertarung mempertahankan padang
perburuan miliknya. Pasukan Ki Guntur Geni dan pasukan pimpinan Ki
Rangga Sujiwa memang telah berada di satu arena,
namun satu dengan yang lainnya sama-sama
tersembunyi membaur dengan suasana keramaian
Kotaraja Rakata. Mereka ada yang menyamar sebagai
para pedagang, pengembara bahkan ada juga yang
menyamar sebagai seorang pengemis. Sisanya
bersembunyi di rumah-rumah penduduk Kotaraja dengan
dan tanpa sepengetahuan orang-orang disekitarnya.
Gerakan Gelap mendem, seperti semut hitam di
kegelapan malam. Seperti itulah mereka menunggu saat
hari menjelang upacara besar di istana Rakata itu.
Dan malam itu adalah malam menjelang hari upacara
besar di istana Rakata. Telah banyak para undangan
yang telah datang dari tempat yang jauh. Beberapa
undangan khusus telah ditempatkan di Balai Tamu yang
ada di dalam istana Rakata itu.
Di malam menjelang hari upacara besar itu, 532 Pangeran Jayanagara sengaja diundang untuk bermalam
di istana. "Mereka dapat dipastikan memasuki pintu gerbang
utama istana. Tugasmu adalah menghadapi mantan
Patih Anggajaya", berkata Gajahmada sambil memberikan beberapa ciri-ciri khusus pada diri mantan
Patih Anggajaya itu yang telah berganti nama sebagai Ki
Guntur Bumi. "Sementara aku akan menghadapi sendiri
Pendeta Rakanata yang saat ini di kenal sebagai Ki
Guntur Geni oleh para pengikutnya", berkata kembali
Gajahmada kepada Pangeran Jayanagara.
Demikianlah, Pangeran Jayanagara, Gajahmada,
Pendeta Darmaraya dan Raja Pulau Api terus
berbincang-bincang menyusun rencana dan siasat
peperangan mereka di tempat tertutup, di peristirahatan
Raja Pulau Api sendiri, hingga jauh malam.
"Sepuluh Brahmana para sahabat dekatku akan
membantu kita mempertahankan istana, menunggu
pasukan Rangga Sujiwa keluar dari persembunyiannya",
berkata pula Pendeta Darmaraya.
"Aku telah memerintahkan beberapa prajurit
kepercayaanku untuk siap siaga turun ke medan
pertempuran", berkata Raja Pulau Api ikut menambahkan. "Sementara itu aku tidak menambah
penjagaan di gardu jaga untuk dapat mengesankan tidak
ada hal yang luar biasa yang akan terjadi. Hal ini
kulakukan agar tidak membuat musuh menjadi curiga,
karena aku tahu bahwa Ki Guntur Geni telah
menyusupkan orangnya di istanaku", berkata kembali
Raja Pulau Api. Sementara itu di luar istana, terlihat dua orang lelaki
tengah berjalan di depan pintu gerbang istana Rakata.
533 "Tidak ada penambahan penjagaan", bisik salah
seorang diantara mereka sambil terus berjalan.
Bagian 3 "Tidak ada penambahan penjagaan", bisik salah
seorang diantara mereka sambil terus berjalan.
Sebagaimana yang di lihat oleh kedua lelaki itu,
penjagaan di gardu jaga gardu depan istana pada malam
itu memang tidak menjadi istimewa. Situasi dan suasana
seperti itu memang telah menjadi sebuah siasat dari Raja
Pulau Api, agar pihak musuh menganggap sebuah
kelengahan. Sementara itu di sebuah simpangan jalan menuju
pasar, dibawah sebuah pohon suren tua yang rindang di
bawah kegelapan malam terlihat dua orang pengemis
tengah duduk bersandar. Ternyata mereka berdua
adalah salah seorang prajurit Rakata yang tengah
menyamar. "Hampir saja penyamaranku terbongkar, istri dan
anakku lewat di depanku tadi siang. Naluri anakku
ternyata begitu kuat, beberapa kali menoleh kepadaku",
berkata salah seorang diantara mereka.
"Beruntung keluargaku jauh di kampung", berkata
kawannya menanggapi. "Upacara besok di istana hanya sebuah pancingan
agar pihak musuh keluar dari persembunyiannya",
berkata kembali salah seorang diantara mereka.
"Lebih cepat lebih baik, tidak tahan aku sepanjang


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam berada menggelandang sebagai pengemis
jalanan", berkata kawan prajurit itu.
534 "Aku juga berharap yang sama", berkata prajurit itu
kepada kawannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh mereka, udara
malam di Kotaraja Rakata memang cukup dingin, karena
berada di lembah gunung Rakata, sebuah gunung berapi
di ujung barat Jawadwipa yang tinggi menjulang ke
angkasa. Sementara itu di pihak musuh pada malam itu
memang telah bersiap diri, beberapa pasukan yang
bersembunyi di beberapa rumah yang jauh dari
keramaian penduduk sepertinya tidak sabar menunggu
datangnya pagi. "Malam ini bergerak seperti lambat, pagi masih begitu
jauh", berkata salah seorang diantara mereka bersungut
masam tidak sabaran menunggu datangnya pagi.
"Kenapa kamu tidak tidur saja?", berkata kawannya
merasa terganggu dengan keluh kesah orang itu.
"Aku tidak dapat tidur", berkata kembali orang itu.
"Salahmu sendiri, mengapa kamu makan terlalu
banyak", berkata kawannya sambil berbaring menutup
dirinya dengan kain sarung.
Demikianlah, kedua belah pihak kekuatan itu seperti
menunggu sebuah ledakan guntur besok pagi,
memecahkan kebosanan yang sudah membengkak
terasa di rongga dada mereka.
Dan malam perlahan berlalu bersama dingin dan
suara sepinya. Diatas langit sang bulan purnama terang
menggelantung seperti tersenyum menunggui bumi
malam sambil merajut waktu.
Semilir angin dingin kadang berhembus lembut di
jalan Kotaraja Rakata yang sudah terlihat begitu sepi.
535 Namun dibalik kesepian itu tersembunyi suasana
mencekam di hati para pasukan yang besok akan turun
memerahkan suasana pagi dalam sebuah kancah
peperangan yang hebat. Gerak ombak di pantai Rakata seperti tarian abadi di
pagi itu. Pasir-pasir putih kadang dikejutkan air laut
basah. Dua ekor elang muda terbang rendah mencari
mangsa. Tanah Rakata yang terdiri dari pantai dan dataran
tinggi pegunungan di pagi itu nampak begitu cerah. Jalan
di Kotaraja telah mulai dipenuhi para pejalan kaki dan
para penarik pedati yang datang dan pergi dari arah
pasar Rakata yang sudah mulai ramai itu.
Dari arah jalan Kotaraja, pintu gerbang istana terlihat
dihiasi janur kuning dan umbul-umbul warna warni. Jauh
lebih kedalam lagi terlihat bangsal penobatan yang
menghadap arah pintu gerbang istana terlihat sudah
dipenuhi para tamu undangan.
Raja Pulau api telah ada terlihat duduk di batu keling
menyaksikan jalannya sebuah upacara penobatan
Gajahmada sebagai seorang Panglima perang Kerajaan
Rakata. Wajah orang tua itu terlihat begitu cerah, tidak
terlihat sedikit pun rasa khawatir dimana dirinya telah
mengetahui bahwa pihak musuh tengah mengamati dan
siap mengganyang istana. Sebagaimana Raja Pulau Api, tidak terlihat juga
kekhawatiran di wajah Pendeta Darmaraya yang hadir
diantara para tamu undangan. Wajah pendeta bermata
sejuk itu terlihat begitu cerah, hanya sesekali matanya
melihat kearah pintu gerbang istana.
Dan semua mata di bangsal penobatan itu telah
tertuju kepada seorang Mahapatih Kerajaan yang telah
536 berdiri membacakan sebuah sabda Raja Pulau Api,
sebuah kekancingan penobatan pejabat baru istana,
seorang panglima perang baru.
Puja dan puji kepada Baginda Raja Pulau Api
terdengar dari suara Mahapatih itu sebagai awal
sambutannya. Semua orang yang hadir di bangsal
penobatan itu terlihat begitu tenang mendengar sebuah
kekancingan dari Mahapatih yang bersuara keras dan
lantang itu. "Sabda Baginda Raja penguasa Bumi Api adalah
suara para Dewa, hari ini menobatkan seorang putra
terbaik di bumi ini sebagai seorang Panglima Perang
Kerajaan. Sejak hari ini nama sang putra adalah
Pangeran Adi Putra Darmaraya Gajahmada", berkata
Mahapatih kerajaan membacakan sebuah kekancingan.
Riuh terdengar suara para tamu yang hadir di
bangsal penobatan itu, terutama ketika Mahesa Muksa
yang telah resmi berganti nama menjadi Adi putra
Darmaraya Gajahmada telah datang berdiri di muka
menghadap Raja Pulau Api dan para hadirin di bangsal
penobatan itu. Terlihat pula seorang pendeta datang mendekati
Gajahmada dengan langsung memercikkan air suci dan
membacakan mantra. Maka suara para hadirin di
bangsal penobatan itu menjadi semakin riuh
mengungkapkan kebahagiaan mereka menyambut
kehadiran Panglima Perang yang baru di kerajaan itu,
seorang anak muda yang perkasa yang telah
dianugerahi sebuah nama baru, Adi Putra Darmaraya
Gajahmada. 537 Bersamaan dengan suara keriuhan di bangsal
penobatan itu, terdengar suara yang lebih riuh seperti
suara gemuruh ombak yang besar.
Beberapa tamu undangan terlihat seperti terpaku
menatap sekumpulan orang bersenjata telanjang di
tangan masing-masing tengah menerobos memasuki
pintu gerbang istana Rakata.
Melihat sekumpulan orang liar telah memasuki
Istana, beberapa prajurit yang memang telah disiapkan
langsung datang menghadang banjir bandang pasukan
liar itu. "Musuh kita telah menangkap kail pancingan",
berkata Pendeta Darmaraya kepada Pangeran
Jayanagara sambil langsung melompat terbang melesat
kearah para pasukan musuh yang terus menerjang
hadangan para prajurit istana.
Kehadiran Pendeta Darmaraya sedikit membantu
menahan terjangan para musuh yang datang seperti air
banjir bandang itu. Melihat Pendeta Darmaraya sudah bergerak, terlihat
sepuluh orang Brahmana datang langsung terjun
menahan laju gelombang terjangan para musuh.
Kehadiran Pendeta Darmaraya dan kesepuluh
Brahmana sahabat dekatnya itu memang telah dapat
menahan terjangan para musuh, namun gelombang
serangan para musuh menjadi terpecah melebar.
"Hancurkan istana ini!!", berteriak lantang seorang
lelaki tua sambil menendang seorang prajurit istana yang
kebetulan datang menghadangnya.
"Kita bertemu kembali, wahai Pendeta Rakanata alias
Guntur Geni atau siapapun namamu hari ini", berkata
538 seorang anak muda yang tiba-tiba saja telah datang
menghadangnya. "Kamu lagi?" berkata orang tua itu menatap tajam
anak muda di depannya yang ternyata adalah
Gajahmada. "Ternyata kamu masih mengenaliku", berkata
Gajahmada kepada orang itu yang ternyata adalah tidak
lain dari pendeta Rakanata atau yang di panggil Ki
Guntur Geni oleh para pengikutnya itu.
"Ternyata wajahmu adalah pertanda kesialanku,
bersiaplah kamu untuk mati hari ini agar tidak ada lagi
kesialan dalam hari-hariku" berkata Ki Guntur Geni
sambil langsung menerjang Gajahmada dengan sebuah
serangan yang begitu cepat, kuat dan keras.
Ternyata Ki Guntur Geni memang berniat menghabisi
nyawa anak muda di depannya itu, seorang anak muda
yang masih diingatnya telah menggagalkannya untuk
menculik Andini di rumah Patih Anggajaya dan telah
menggagalkannya menyerang istana Kawali.
Melihat serangan awal yang begitu kuat itu tidak
membuat panik seorang Gajahmada. Anak muda itu
terlihat dengan tenang telah berkelit kesamping
menghindari tendangan lawannya.
"Tenaga orang ini sudah berlipat ganda" berkata
Gajahmada dalam hati merasakan angin tendangan
lawannya yang jatuh di tempat kosong.
Segera Gajahmada telah melambari dirinya dengan
kesaktian tenaga jati dirinya, langsung membuat sebuah
serangan balasan. Seperti angin topan tenaga Gajahmada menghempas
pinggang tubuh lawannya telah membuat Ki Guntur Geni
539 berkelit jauh, tidak menyangka pukulan anak muda itu
begitu kuat dan keras dirasakan dalam angin
pukulannya. Demikianlah, serang dan balas menyerang telah
berlangsung dengan sangat kuat dan cepatnya antara Ki
Guntur Geni dan Gajahmada.
Mereka seperti berlomba terus meningkatkan tataran
ilmu mereka setahap demi setahap agar dapat saling
mengimbangi bahkan melampaui kekuatan dan
kecepatan lawan masing-masing.
Seperti dua raksasa kanuragan, pertempuran mereka
menjadi terpisah dari yang lainnya. Semua orang seperti
telah menghindar takut terkena sasaran terjangan
mereka yang kadang terlihat seperti sebuah badai topan
bergulung-gulung menerbangkan abu tanah mengepul
diantara pertempuran mereka berdua.
Sementara itu Pangeran Jayanagara telah menemui
lawannya. "Kamu terlalu muda untuk menjadi lawanku", berkata Ki
Guntur Bumi menghardik seorang anak muda yang
datang menghadangnya. "Jangan melihat umur lawanmu, kamu akan
menyesal", berkata Pangeran Jayanagara sambil
tersenyum siap menghadapi serangan Ki Guntur Bumi
yang terlihat sangat ganas penuh kebencian telah
banyak merobohkan para prajurit Rakata yang datang
menghadangnya. "Mampuslah kamu seperti mereka", berkata Ki Guntur
Bumi menganggap Pangeran Jayanagara seperti
beberapa prajurit Rakata yang telah dirobohkannya itu.
540 Ternyata Ki Guntur Bumi salah duga, anak muda
lawannya itu telah dengan mudah menghalau serangan
pukulan tangannya bahkan telah melakukan sebuah
serangan balasan yang sangat kuat dan keras.
"Gila!!", berkata Ki Guntur Bumi sambil melompat
menghindari terjangan tendangan Pangeran Jayanagara.
"Jangan sombong !!", berkata kembali Ki Guntur Bumi
yang menganggap Pangeran Jayanagara mempunyai
tingkat kanuragan lebih sedikit dari prajurit Rakata
langsung meningkatkan tataran ilmunya menyerang lebih
kuat dan ganas. Kembali Ki Guntur Bumi di buat kecewa,
serangannya dengan mudah dielakkan oleh Pangeran
Jayanagara bahkan kembali melakukan serangan
balasan lebih kuat dan cepat lagi mengarah di tempat
yang kosong dan terbuka dari tubuhnya.
"Gila !!", kembali keluar sumpah serapah dari lelaki
pemarah itu berusaha melompat jauh menghindari
serangan kuat dari Pangeran Jayanagara.
Terbukalah mata Ki Guntur Bumi bahwa anak muda
yang menjadi lawannya itu bukanlah orang sembarangan. Maka telah meningkatkan tataran ilmunya
dari sebelumnya. Melihat serangan Ki Guntur Bumi dengan tataran
ilmunya yang lebih kuat dan cepat itu telah membuat
Pangeran Jayanagara lebih berhati-hati lagi dengan
melambari dirinya dengan kesaktian tenaga sejati,
melindungi hawa panas yang dirasakan lewat angin
serangan mantan patih Kawali itu.
Bukan main kecewanya hati Ki Guntur Bumi melihat
anak muda itu tidak kesulitan dengan serangan541
serangannya. Hawa panas yang terpancar lewat angin
pukulannya itu seperti pudar tenggelam.
Ternyata Pangeran Jayanagara telah menghentakkan tenaga sakti diri sejati dirinya meredam
hawa panas serangan Ki Guntur Bumi dengan hawa
dingin tandingan yang tidak kalah kuatnya kadang
menyengat menggigilkan tubuh Ki Guntur Bumi
manakala angin serangan pukulan Pangeran Jayanagara
berhasil menyentuh kulitnya.
Sebagaimana Gajahmada dan Ki Guntur Geni,
terlihat Pangeran Jayanagara dan Ki Guntur Bumi itu pun
seperti berlomba meningkatkan tataran ilmu masingmasing.
Seketika itu juga mereka berdua telah terpisahkan
dari arena pertempuran lainnya, orang-orang terlihat
menjauhi pertempuran mereka karena takut terkena


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sasaran angin sambaran mereka berdua yang dahsyat
itu. Hawa panas dan hawa dingin seperti silih berganti
terhempas disekitar pertempuran mereka.
Sementara itu Pendeta Darmaraya bersama prajurit
Rakata serta sepuluh Brahmana telah mampu menahan
laju serangan para pemberontak yang berjumlah sekitar
seratus orang itu. Meskipun tidak dengan kesaktian ilmunya yang
sudah begitu tinggi menjulang tidak diketahui puncaknya
itu, terlihat Pendeta Darmaraya seperti tengah bermainmain, berlompat kesana kemari kadang merobohkan
pihak lawan satu persatu.
Dan bantuan yang ditunggu pun akhirnya datang
juga. 542 Diawali dengan suara gaung panah sanderan
membelah udara Kotaraja Rakata. Dan tidak lama
berselang terlihat sebuah pasukan prajurit Rakata datang
langsung menyerang para pemberontak yang tengah
menyerang istana. Bukan main paniknya para pemberontak itu
menghadapi pasukan tambahan yang datang dari arah
belakang mereka. "Habisi mereka semua!!", berteriak lantang seorang
pimpinan dari pasukan yang baru datang itu yang tidak
lain adalah Ki Rangga Sujiwa adanya.
Bayangkan, seratus orang pasukan Rakata telah
menyerang para pemberontak itu dari arah belakang
mereka. Sudah dapat dipastikan, puluhan orang para
pemberontak dengan mudahnya mereka robohkan dalam
waktu yang begitu singkat.
"Sial!!", berteriak penuh kekesalan Ki Guntur Geni
melihat pasukannya telah terkepung dari dua arah
berbeda. "Penipu ulung!!", berteriak juga Ki Guntur Bumi
menyadari bahwa mereka ternyata sudah terjebak dalam
sebuah siasat perang Raja Pulau Api.
"Sebentar lagi mereka pasti dapat di lumpuhkan",
berkata Raja Pulau Api yang masih tetap duduk di batu
keling di bangsal penobatan menyaksikan peperangan di
pintu gerbang istana itu.
Nampaknya Raja Pulau Api yang sudah tua itu
merasa yakin dengan kekuatan pasukannya yang baru
datang itu. Sebagaimana yang diperkirakan oleh Raja Pulau Api,
terlihat dengan kedatangan pasukan Ki Rangga Sujiwa
543 jumlah para pemberontak seketika langsung menyusut
tajam. Matahari diatas Istana Rakata terlihat sudah naik
sepenggalan, pertempuran dua kekuatan itu masih terus
berlangsung meski sudah hampir dapat dipastikan bahwa
pihak istana berada diatas angin.
Terlihat mayat bergelimpangan di sekitar muka
gerbang istana, juga beberapa orang yang terluka parah
tidak dapat bangkit untuk mengangkat senjata lagi.
Mereka para korban itu sebagian besar dari para
pemberontak yang berhasil di lumpuhkan oleh para
prajurit Rakata yang baru datang.
Dan akhirnya jumlah para pemberontak memang
semakin berkurang tinggal beberapa gelintir orang yang
masih terus bertahan. Terlihat Pendeta Darmaraya dan sepuluh brahmana
sudah tidak punya lawan lagi, membiarkan sisa para
pemberontak di kepung oleh para prajurit Rakata.
"Menyerahlah kamu", berkata seorang prajurit Rakata
merasa jengkel kepada seorang pemberontak yang
masih terus bertahan meski terlihat luka darah di
tubuhnya sudah begitu banyak.
Plokk!! Sebuah tangan yang kuat telah menghantam wajah
orang itu yang langsung jatuh terpelanting.
"Dasar keras kepala", berkata seorang prajurit Rakata
sambil menendang senjata orang yang sudah tergeletak
itu dari genggamannya. Sementara itu Gajahmada dan Pangeran Jayanagara
masih sibuk menghadapi lawan-lawan mereka. Dua
544 orang pentolan para pemberontak yang juga menjadi
buronan mereka. Terlihat dua pertempuran terpisah di istana Rakata
disaksikan hampir semua orang dimana para
pemberontak sudah dapat dilumpuhkan semuanya.
"Ajian Muncang kuning akan menyerap habis hawa
murni anak setan ini", berkata Ki Guntur Geni dalam hati
merasa kesal tidak juga dapat menundukkan
Gajahmada. Ternyata pikiran yang sama juga ada dalam hati Ki
Guntur Bumi. Namun pikiran kedua orang itu nampaknya sudah
diperhitungkan oleh kedua anak muda itu yang juga telah
menyiapkan ajian yang sama, ajian Muncang Kuning
secara terbalik. "Ilmu apa yang dimiliki anak setan ini", berkata dalam
hati Ki Guntur Geni manakala tangan mereka beradu
namun ajian Muncang Kuningnya tidak berhasil
menyerap hawa murni lawannya itu.
"Ajianku menjadi mandul", berkata pula Ki Guntur
Bumi dalam hati manakala telah menerapkan ajian
Muncang Kuning menghadapi Pangeran Jayanagara.
Melihat ajian mereka tidak bergeming menghadapi
kedua anak muda itu, mereka telah meningkatkan tataran
puncak mereka masing-masing.
Luar biasa memang tenaga sakti Ki Guntur Geni dan
Ki Guntur Bumi yang telah mencuri banyak hawa murni
orang-orang sakti selama ini. Angin serangan hawa
panas dari Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi sudah
seperti air mendidih menyengat kulit kedua anak muda
itu. 545 Tidak ada jalan lain yang dipikirkan oleh kedua anak
muda itu selain mengeluarkan ajian andalan mereka
yang telah diwariskan oleh Prabu Guru Darmasiksa.
"Ajian sakti Muncang Kuning", berkata pendeta
Darmaraya dalam hati manakala melihat kedua anak
muda itu telah melakukan sebuah gerak yang sama.
Pada saat itu Pendeta Darmaraya telah melihat
kedua anak muda itu melompat menjauhi lawan masingmasing sekitar sepuluh langkah. Ketika kaki mereka
menginjak tanah, langsung keduanya meregangkan
kedua kaki serta merangkapkan kedua tangan mereka
didepan dada. Terlihat sebuah tangan dari kedua anak muda itu
telah menjulur ke depan. Gerakan kedua anak muda itu begitu cepat, tiba-tiba
saja seleret cahaya warna kuning seperti lidah api
menjulur keluar dari telapak tangan yang terbuka dari
kedua anak muda itu. Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi tidak sempat
bergerak sedikitpun, gerakan kedua anak muda itu begitu
cepat tak terlihat oleh kasat mata.
Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi tidak dapat
mengelak ketika seleret cahaya kuning tiba-tiba saja
telah menghantam tubuh mereka.
Orang-orang disekitar pertempuran seperti terpaku
tidak mampu bersuara sedikitpun manakala melihat
tubuh Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi tersambar
cahaya kuning langsung terbakar hangus.
Gajahmada yang melihat korban akibat ajian
Muncang Kuning ikut menjadi terpana dan terpaku
ditempatnya, tidak menyangka ajian Muncang Kuning
546 begitu dahsyat telah dilontarkannya. Dihadapannya
tubuh Ki Guntur Geni sudah berubah menjadi setumpuk
abu. "Tenaga sakti orang ini telah begitu hebat, tidak ada
jalan lain untuk menyelamatkan diriku sendiri", berkata
Pangeran Jayanagara manakala melihat tubuh Ki Guntur
Bumi telah menjadi gosong seperti kayu kering hangus
terbakar akibat hawa panas ajian Muncang Kuning yang
telah dihentakkannya itu.
"Mereka berdua telah memiliki ajian sakti leluhur Raja
Pasundan", berkata Pendeta Darmaraya yang punya
pengetahuan luas mengenal ajian sakti Muncang Kuning
itu kepada salah seorang Brahmana sahabatnya.
Ternyata, tewasnya dua pentolan pemberontak itu
menjadi akhir dari pertempuran itu. Terlihat mayat-mayat
bergelimpang-an tergeletak di tanah bersama beberapa
orang lagi yang terdengar mengerang menahan rasa
sakit yang sangat akibat luka bacokan dan sayatan
senjata tajam. Beberapa orang prajurit terlihat telah mengumpulkan
mayat-mayat korban pertempuran itu. Sebagian lagi
mengumpulkan orang-orang yang terluka.
Tidak ada banyak korban di pihak prajurit Rakata,
mereka yang tewas dalam pertempuran itu dapat dihitung
jari. "Terima kasih telah menyelamatkan istanaku",
berkata Raja Pulau Api yang datang menghampiri
Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.
Sementara itu Matahari diatas istana Rakata terlihat
telah merayap mendekati puncak singgasananya. Dua
547 ekor elang tua terlihat terbang tinggi menuju tebing tinggi
menghilang di ujung batas penglihatan.
"Telah banyak korban di tangan kedua orang itu.
Petualangan hitam mereka telah berakhir di ujung barat
Jawadwipa ini. Di bumi tempat mereka dilahirkan",
berkata Pendeta Darmaraya sambil menarik nafas
panjang dan mengeluarkannya lagi seperti merasa lega
bahwa tunggul kejahatan, Ki Guntur Geni dan Ki Guntur
Bumi akhirnya dapat dipapas habis dan telah berakhir
dengan kematian yang sangat tragis di tangan kedua
anak muda itu, dimana salah seorangnya adalah
putranya sendiri, Gajahmada.
Terlihat Gajahmada, Pangeran Jayanagara, Pendeta
Darmaraya dan sepuluh orang Brahmana bersama Raja
Pulau Api masih berdiri di bangsal penobatan
menyaksikan para prajurit Rakata membersihkan
halaman sekitar gerbang istana dari para korban.
Diam-diam Gajahmada memuji sikap kakeknya, Raja
Pulau Api yang masih tetap ditempatnya menyaksikan
para prajurit Rakata yang tengah bekerja membawa para
korban, yang telah tewas maupun yang terluka, sebagai
tanda kebersamaan sikap seorang Raja kepada
bawahannya. "Aku akan masuk beristirahat setelah melihat para
prajurit menyelesaikan semua tugasnya di halaman
gerbang istana", berkata Raja Pulau Api kepada putranya
Pendeta Darmaraya yang memintanya untuk masuk
kembali ke tempat peristirahatannya.
Akhirnya terlihat halaman gerbang istana sudah
seperti sedia kala, para prajurit Rakata telah
menempatkan korban tewas dan orang yang terluka di
sebuah tempat di istana itu.
548 "Nampaknya sudah saatnya kami berpamit diri",
berkata salah seorang dari kesepuluh Brahmana
bermaksud pamit diri kembali ke kuil mereka masingmasing.
"Apakah tidak sebaiknya kalian beristirahat sehari
dua hari ini di istana ini ?", berkata Pendeta Darmaraya
kepada mereka para Brahmana.
"Kami sudah cukup menikmati suguhan di istana ini
kemarin dan hari ini", berkata salah seorang dari para
Brahmana itu. "Kalau begitu, kami memang tidak dapat menolak
tuan-tuan lagi", berkata Pendeta Darmaraya kepada para
Brahmana sahabat dekatnya itu.
Demikianlah, kesepuluh para Brahmana itu telah
berpamit diri meninggalkan istana Rakata.
"Tinggallah di istana ini sepanjang kamu inginkan",
berkata Raja Pulau Api kepada Pangeran Jayanagara.
"Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku, wahai
saudaraku", berkata Pangeran Jayanagara kepada
Gajahmada, melihat kebahagiaan di wajah sahabatnya
itu yang telah berkumpul dan dipertemukan kembali
dengan Ayah dan Kakek kandungnya sendiri.
Namun manakala mereka berempat tengah beranjak
dari bangsal penobatan itu untuk beristirahat, terlihat
seorang prajurit datang menghampiri mereka.
"Pasti ada sebuah berita penting yang akan kamu
sampaikan", berkata Raja Pulau Api kepada prajurit itu
yang telah datang bersujud di hadapannya itu.
Nampaknya Raja Pulau Api telah mengenal betul
siapa gerangan prajurit itu yang ternyata adalah seorang
petugas telik sandi kepercayaannya.
549 "Ampun tuanku Baginda, ada berita sangat penting
sekali. Hamba telah mendapat kabar bahwa saat ini ada
sebuah pasukan besar dari tanah Pasundan tengah
menuju ke Kotaraja Rakata", berkata prajurit itu kepada
Raja Pulau Api. "Pasti mereka datang untuk meminta pertanggung
jawaban atas perbuatan Pangeran Rhawidu bersama
pasukannya menyerang Kotaraja Kawali", berkata Raja
Pulau Api sambil menarik nafas panjang.
"Haruskah kita mempertanggung jawabkan sebuah
perbuatan orang lain ?", berkata Pendeta Darmaraya.
"Apapun alasan kita, pihak Pasundan tidak akan


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerimanya. Mereka pasti menyangka pasukan Rakata
yang telah datang menyerang itu atas restu dariku",
berkata Raja Pulau Api sambil memandang ke arah
gerbang istana dengan pandang mata kosong, entah apa
gerangan yang dipikirkannya saat itu.
Gajahmada dapat membaca suasana perasaan
kakeknya itu, ikut menjadi kasihan dan prihatin.
"Bila saja aku dapat mendatangi mereka, mungkin
perkataanku dapat mereka dengar", berkata Gajahmada
menawarkan dirinya untuk menemui pemimpin pasukan
Pasundan itu. Terlihat Raja Pulau Api dan Pendeta Darmaraya
memandang kearah Gajahmada, mereka merasa ragu
apakah pemimpin pasukan Pasundan mau mendengar
perkataan Gajahmada. "Kami pernah membantu prajurit tanah Pasundan
menghadapi pasukan Pangeran Rhawidu", berkata
Pangeran Jayanagara ikut bicara meyakinkan Raja Pulau
550 Api dan Pendeta Darmaraya atas keinginan Gajahmada
mendatangi pemimpin Pasukan dari Tanah Pasundan itu.
"Kebetulan sekali kami sangat dekat dengan keluarga
istana Kawali, mudah-mudahan kami juga mengenal
pemimpin pasukan dari Tanah Pasundan itu", berkata
Gajahmada kepada kakek dan ayahandanya itu.
"Gajahmada dan Pangeran Jayanagara telah
mewarisi ajian leluhur para Raja Pasundan, pastilah
mereka berdua memang begitu dekat dengan keluarga
istana Kawali", berkata Pendeta Darmaraya dalam hati
mempercayai perkataan Gajahmada dan Pangeran
Jayanagara. "Tidak semua masalah harus diselesaikan dengan
sebuah pedang. Tidak ada salahnya bila kita menempuh
jalan damai, dan tidak ada salahnya bila kita mencoba
berbicara dengan hati dan perasaan", berkata Pendeta
Darmaraya sepertinya menyetujui usulan Gajahmada
menemui pemimpin pasukan dari tanah Pasundan itu.
"Lurah Jatayu, apakah kamu mengetahui dimana
pasukan dari Tanah Pasundan itu saat ini", berkata Raja
Pulau Api kepada seorang prajurit yang masih bersama
mereka itu. "Hamba mendapat berita bahwa saat ini pasukan dari
Tanah Pasundan itu masih berada di sekitar tanah
Rumpin", berkata prajurit itu yang dipanggil sebagai lurah
Jatayu oleh Raja Pulau Api.
"Ijinkan ananda bersama Pangeran Jayanagara
datang menemui mereka", berkata Gajahmada kepada
Raja Pulau Api. "Restuku ada bersama kalian berdua", berkata Raja
Pulau Api merestui permintaan Gajahmada.
551 Demikianlah, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara
telah diijinkan oleh Raja Pulau Api untuk berangkat
membicarakan sebuah perdamaian kepada pemimpin
pasukan dari Tanah Pasundan yang diperkirakan saat itu
masih berada disekitar Tanah Rumpin.
Maka ketika langit telah mulai meredup dengan
sedikit cahaya matahari yang sudah mulai tenggelam di
ujung barat belahan bumi, terlihat sebuah sampan kecil
meluncur perlahan membelah air muara Cisadane.
Mereka diatas sampan kecil itu adalah Gajahmada,
Pangeran Jayanagara ditemani seorang prajurit Rakata
bernama Lurah Jatayu. Sangat berat memang mendayung sampan melawan
arus sungai Cisadane. Namun dengan tenaga yang kuat
kedua anak muda itu terlihat begitu mudahnya
mendayung sampan itu terus melaju.
"Tenaga kedua anak muda ini sangat luar biasa",
berkata Lurah Jatayu dalam hati memuji kekuatan tenaga
kedua anak muda yang terus mendayung seperti tidak
merasa lelah sedikitpun. Terlihat perahu sampan kecil itu sudah semakin jauh
meninggalkan muara sungai Cisadane, masuk semakin
menjauh menyusuri sungai malam yang sudah mulai
gelap hanya diterangi cahaya rembulan diatas langit
yang seperti setia terus mengikuti mereka sepanjang
perjalanan malam itu. Dan sampan kecil itu memang terus melaju di sungai
Cisadane melawan arus aliran sungai sepanjang malam
itu. Di kiri kanan sungai itu pemandangan hanya berupa
kegelapan malam manakala mereka melewati hutan
belukar yang lebat. 552 Perlahan sang malam berjalan menyusuri sungai
waktu menuju sisi hulu sumber mata air di ujung pagi
manakala matahari abadi terbangun mengintip tirai langit
merah. Melenggut sayup suara ayam jantan terdengar dari
sebuah tempat yang jauh bersahut-sahutan.
Perlahan, warna langit pun terlihat telah terbuka
terang mengusir sisa embun pagi bening. Suara kicau
burung-burung kecil begitu merdu memenuhi udara di
atas sungai pagi itu. "Kita beristirahat di ujung sana", berkata Gajahmada
sambil menunjuk sebuah tanah datar di sebuah tepian
sungai Cisadane. Terlihat sampan kecil itu telah menepi
di sebuah tanah datar di tepian sungai itu.
"Pangkalan Jati sudah tidak begitu jauh lagi", berkata
Lurah Jatayu sepertinya sangat mengenali setiap jengkal
tepian sungai Cisadane itu.
"Kita pulihkan tenaga kita dulu", berkata Gajahmada
sambil bersandar di batang pohon besar.
Tidak beberapa lama beristirahat, mereka akhirnya
telah melanjutkan perjalanan kembali.
Matahari terlihat sudah mulai merangkak naik ketika
mereka akhirnya sampai di Pangkalan Jati, sebuah jalan
terakhir dari sungai Cisadane yang dapat dialiri dengan
perahu, selebihnya masih banyak jalan air yang terjal
berbahaya. Terlihat Lurah Jatayu tengah berbicara dengan
seorang kenalannya di Pangkalan Jati itu, ternyata Lurah
Jatayu meminta bantuan orang itu untuk menitipkan
sampan kecil mereka. 553 Untuk mencapai hutan Rumpin, mereka harus
mendaki sebuah jalan yang cukup terjal.
"Kita sudah berada di Hutan Rumpin", berkata Lurah
Jatayu sambil menoleh kebawah melihat sungai
Cisadane seperti seekor naga besar berliku dan berkelok
panjang jauh sampai batas mata memandang.
"Berhati-hatilah", berkata Gajahmada yang sudah
peka naluri dan ketajaman panca inderanya, telah
merasakan bahwa ada begitu banyak mata tengah
mengintai mereka. Masih basah perkataan Gajahmada, tiba-tiba saja
dari semak belukar telah keluar beberapa orang yang
langsung mengepung mereka.
"Berhenti dan katakan siapa kalian!!", berkata salah
seorang diantara mereka. "Sejak kapan di Hutan Rumpin setiap orang harus
mengatakan jati dirinya?", berkata Gajahmada tersenyum
setelah mengetahui bahwa yang tengah mengepung
mereka itu adalah para prajurit dari Tanah Pasundan.
"Jawab pertanyaanku, bukan balas bertanya",
berkata kembali orang itu dengan suara membentak
keras. "Kami datang untuk menemui pemimpin kalian",
berkata Gajahmada dengan suara datar.
Mendengar perkataan Gajahmada, orang yang
membentak itu sedikit terkejut, langsung mengamati
Gajahmada dari ujung kaki sampai keatas kepala.
"Apa kepentinganmu menemui pemimpin kami?",
bertanya orang itu penuh kecurigaan.
554 "Bawalah kami ke pemimpinmu, kepadanyalah aku
akan menyampaikan kepentingan kami", berkata
Gajahmada kepada orang itu masih dengan suara datar
tanpa rasa takut sedikit pun.
Terlihat orang itu seperti gemetaran, hatinya seperti
berkerut kecut. Ternyata diam-diam Gajahmada telah
mengerahkan tenaga sakti sejati dirinya lewat suara dan
tatapan matanya. "Mari kuantar kalian menemui pimpinan kami",
berkata prajurit itu seketika untuk menutupi rasa kecut
hatinya yang bergetar manakala menangkap kilatan
cahaya mata Gajahmada yang begitu tajam langsung
menciutkan perasaan jiwanya.
Terlihat Gajahmada, Pangeran Jayanagara dan
Lurah Jatayu telah mengikuti langkah kaki seorang
prajurit di depan mereka diikuti beberapa prajurit yang
berjalan di belakang mereka bertiga.
"Selamat bertemu kembali Ki Rangga Kidang
Telangkas", berkata Gajahmada ketika mereka telah
berada di sebuah barak besar di tengah hutan Rumpin
itu. Terkejut orang yang dipanggil namanya sebagai Ki
Rangga Kidang Telangkas itu oleh Gajahmada.
"Ternyata Baginda Raja Ragasuci telah mengirim
tuan berdua berjuang bersama pasukanku, sebuah
kebanggaan hati ada bersama tuan-tuan", berkata Ki
Rangga Kidang Telangkas menyambut kedatangan
mereka. "Terima kasih masih mengenal kami", berkata
Gajahmada kepada pemimpin pasukan itu.
555 Terlihat beberapa orang prajurit saling berpandangan
mata, tidak menyangka bahwa pemimpin mereka itu
telah mengenal dua orang yang mereka bawa itu,
bahkan terlihat begitu menghormatinya.
"Maaf Ki Rangga, kami datang bukan sebagai utusan
Baginda Raja Ragasuci. Namun kami datang kali ini
sebagai utusan langsung Baginda Raja Rakata", berkata
Gajahmada sambil tersenyum.
"Aku jadi tidak mengerti", berkata Ki Rangga Kidang
Telangkas dengan wajah penuh ketidak mengertian.
Perlahan Gajahmada menjelaskan maksud kedatangannya di hutan Rumpin itu kepada Ki Rangga
Kidang Telangkas. "Raja Pulau Api sampai saat ini masih mengakui
kedaulatan dan kekuasaan Kerajaan Kawali. Pemberontakan Pangeran Rhawidu bukan menjadi
tanggung jawabnya, karena beliau sendiri tidak
merestuinya. Percayalah kepadaku, kedatangan Ki
Rangga bersama pasukan besar ini akan disambut
dengan perjamuan kehormatan agung, bukan dengan
pedang dan lembing. Itulah tanda bahwa Raja Pulau Api
masih setia menjunjung tinggi kedaulatan Kerajaan
Tanah Pasundan Raya", berkata Gajahmada meyakinkan
Ki Rangga Kidang Telangkas.
"Aku kagum dengan tuan berdua, masih muda dan
mempunyai kemampuan tinggi. Aku melihat sendiri
bagaimana tuan berdua memenangkan peperangan kami
di hutan timur Kotaraja Kawali. Dan aku menjadi semakin
mengagumi tuan berdua yang dengan penuh
kerendahan hati mendatangi kami sebagai juru damai,
mencegah peperangan yang menyakitkan. Bila saja tuan
berdua berada di pihak musuh, pasukan kami tidak akan
556 berarti menghadapi tuan berdua. Namun Tuan berdua
tidak memilih kekerasan telah membuat diriku yang
sudah banyak merasakan kepedihan sebuah peperangan merasa malu. Tuan berdua telah
membukakan mata hatiku, bahwa peperangan bukan
jalan terakhir menyelesaikan sebuah masalah", berkata
Ki Rangga Kidang Telangkas penuh rasa hormat dan
kagum memandang Gajahmada dan Pangeran
Jayanagara. "Terima kasih, Ki Rangga telah dapat mengerti dan
menangkap arti kedatangan kami di hutan Rumpin ini",
berkata Gajahmada kepada Ki Rangga Kidang
Telangkas. "Tidak sabar aku untuk segera mendatangi Kotaraja
Rakata, ingin melihat pasukanku menari dalam
perjamuan besar, bukan mengerang menahan perih di
ujung pedang dan lembing", berkata Ki Rangga Kidang
Telangkas sambil tersenyum."Besok kita berangkat,
malam ini kita akan berpesta menghabiskan ransum,
karena perang tidak akan pernah kita temui di Kotaraja
Rakata", berkata kembali Ki Rangga Kidang Telangkas.
Demikianlah, Gajahmada telah dapat meyakinkan
pemimpin pasukan dari Tanah Pasundan itu bahwa tidak
akan terjadi perlawanan apapun dari Raja Pulau Api.
Setelah bermalam di Hutan Rumpin, Gajahmada,
Pangeran Jayanagara dan Lurah Jatayu keesokan
harinya kembali ke Kotaraja Rakata, tentunya bersama
pasukan besar dari Tanah Pasundan itu.
Ketika pasukan itu tiba di Kotaraja Rakata, Raja
Pulau Api menyambut mereka dengan sebuah
perjamuan besar, sebuah perjamuan persahabatan dari


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

557 seorang Raja yang mengakui kedaulatan
kerajaan besar Tanah Pasundan Raya.
sebuah "Putraku, kembali kamu telah menyelamatkan
kerajaan ini dari sebuah peperangan besar, sebuah
peperangan yang hanya meninggalkan kesedihan dan
kedukaan panjang", berkata Pendeta Darmaraya kepada
putranya, Gajahmada dengan penuh kegembiraan hati.
Sebagaimana Pendeta Darmaraya, Raja Pulau Api
juga merasa gembira bahwa Gajahmada telah dapat
menyelamatkan kerajaannya dari sebuah peperangan.
Gajahmada berhasil sebagai duta perdamaian bagi
kedua kerajaan. "Apa artinya sebuah upeti, apa artinya sebuah
kedaulatan bila kita harus mengorbankan begitu banyak
nyawa, begitu banyak duka dan air mata", berkata Raja
Pulau Api kepada Gajahmada.
Demikianlah, Ki Rangga Kidang Telangkas bersama
pasukannya itu diterima di Kotaraja Rakata dengan
penuh kehormatan sebagaimana menerima Raja Kawali
penguasa yang berdaulat di Tanah Pasundan pada saat
itu. "Sampaikan salam kami kepada keluarga istana
Kawali, kami akan segera mengunjungi mereka dalam
waktu dekat ini", berkata Gajahmada manakala tengah
mengantar Ki Rangga Kidang Telangkas bersama
pasukannya setelah sekitar sepekan mereka bermalam
di Kotaraja Rakata. "Salam tuan akan aku sampaikan", berkata Ki
Rangga Kidang Telangkas kepada Gajahmada.
Terlihat Raja Pulau Api, Pangeran Jayanagara,
Gajahmada dan Ayahnya Pendeta Darmaraya tengah
558 mengantar pasukan besar dari Tanah Pasundan hingga
sampai batas gerbang kota.
"Alangkah indahnya bila sebuah perdamaian selalu
menaungi bumi ini", berkata Pendeta Darmaraya sambil
menatap barisan panjang Pasukan Pasundan tengah
menuju arah pantai sebelah timur gugusan perbukitan
Rakata yang masih terlihat dari gerbang batas kota.
"Sayangnya setiap hari terlahir manusia-manusia
baru yang belum pernah merasakan kegetiran sebuah
peperangan, kesedihan seorang anak, kepiluan seorang
istri, juga rintih rindu membiru para kekasih hati yang
ditinggal mati seorang ayah, suami dan kekasih hatinya
dalam sebuah amuk peperangan", berkata raja Pulau Api
sambil masih memandang kearah barisan besar pasukan
Pasundan yang semakin menjauh menghilang di jalan
menurun dan berliku. Sementara itu matahari diatas gerbang batas kota
sudah mulai naik sepenggalan, terlihat dua ekor elang
muda mengepakkan sayapnya menuju arah pantai.
"Mari kita kembali ke istana", berkata Raja Pulau Api.
Dua ekor elang muda diatas langit terlihat sudah jauh
terbang, jauh di ujung batas pandang mata.
Namun ketika mereka berempat tengah beranjak
untuk kembali ke istana, naluri seorang ayah kandung
Raja Pulau Api memintanya berpaling menengok kembali
kearah belakang. Raja Pulau Api telah melihat seorang berbaju
compang camping tengah mendekati gerbang batas
kota. Gajahmada, Pangeran Jayanagara dan Pendeta
Darmaraya terheran-heran melihat Raja Pulau Api
berhenti melangkah. 559 Mata Raja Pulau Api terlihat tajam menatap orang
berpakaian compang camping itu yang masih terus
berjalan mendekatinya. "Pangeran Rhawidu", berkata Gajahmada hati
mengenali lelaki yang tengah berjalan itu terus
melangkah mendekati Raja Pulau Api yang masih tetap
berdiri ditempatnya. "Ampuni anakmu yang durhaka ini, wahai
Ayahandaku", berkata lelaki berpakaian compangcamping itu bersimpuh di kaki Raja Pulau Api yang
ternyata adalah Pangeran Rhawidu.
"Bangkitlah, pintu maafku seluas hamparan bumi ini
wahai putraku", berkata Raja Pulau Api.
"Dosa putramu sudah begitu besar", berkata
Pangeran Rhawidu sambil bangkit tidak berani menatap
wajah ayahnya. "Tataplah Gunung Rakata itu, asapnya masih selalu
terbang ke udara. Jangan sekali-kali membuat gunung itu
marah karena seisi bumi ini akan menanggung derita.
Sementara kita hidup diatas tanahnya. Setiap manusia
pasti pernah menempuh jalan tersesat, namun Gusti
yang Maha Agung telah memberikan akal kebenaran
untuk dapat kembali mencari arah jalan pulang", berkata
Raja Pulau Api penuh kasih sayang kepada putranya itu.
"Mari kita kembali ke istana, wahai adikku", berkata
Pendeta Darmaraya kepada Pangeran Rhawidu.
Terlihat Pangeran Rhawidu memandang kearah
Pendeta Darmaraya yang masih tersenyum memandangnya. "Jangan heran, dia ini memang kakak kandungmu",
berkata Raja Pulau Api sambil bercerita sedikit mengenai
560 siapa Pendeta Darmaraya, sebuah cerita tentang
kejahatan Pendeta Rakanata yang telah menukar
bayinya. "Jadi sebenarnya aku mempunyai seorang kakak
laki-laki", berkata Pangeran Rhawidu menyalami Pendeta
Darmaraya penuh dengan sikap kehangatan seorang
adik kepada kakaknya. "Kamu juga telah mempunyai seorang kemenakan",
berkata Raja Pulau Api memperkenalkan Gajahmada
kepada Pangeran Rhawidu. "Kita pernah bertemu", berkata Pengeran Rhawidu
yang masih mengenali Gajahmada ketika mereka berdua
berada di dua kubu pasukan yang berseberangan di
hutan sebelah timur Kotaraja Kawali.
"Kemenakanmu siap melanjutkan pertempuran kita
yang belum selesai itu", berkata Gajahmada sambil
tersenyum kepada Pangeran Rhawidu.
Sejuk semilir angin bertiup lembut mengiringi langkah
kaki mereka dalam perjalanan pulang menuju istana
Rakata. Terlihat wajah Pangeran Rhawidu begitu cerah
menatap sekumpulan awan putih bergerak menutupi
panas cahaya matahari. Pangeran Rhawidu merasa
gembira telah diterima oleh ayahnya kembali berkumpul
bersama keluarga istana. "Lihatlah, kerbau dan burung jalak itu telah di
pertemukan dalam sebuah persahabatan alam", berkata
Raja Pulau Api sambil menunjuk kearah sebuah
persawahan di sisi jalan mereka dimana terlihat tiga ekor
burung jalak tengah berdiri diatas punggung seekor
kerbau yang tengah merumput."Harusnya kita sebagai
561 manusia menjadi malu bila kita sesama manusia masih
saling bertikai, menghancurkan satu dengan yang
lainnya", berkata kembali Raja Pulau Api.
Terlihat Pangeran Rhawidu berjalan sambil
menunduk, merasakan ungkapan Raja Pulau Api
sebagai sebuah kebenaran hidup untuk dirinya.
"Setiap manusia terlahir sebagai raja atas dirinya
sendiri, Dan Gusti Yang Maha Tunggal telah menitip
alam ini kepada manusia untuk menjaganya. Sebuah
tugas yang tidak berani di pikul oleh gunung, laut bahkan
langit sekalipun. Berbanggalah kita sebagai manusia
telah menerima amanat ini", berkata Raja Pulau Api
sambil berjalan. Terlihat Pangeran Rhawidu berjalan masih sambil
menunduk, nampaknya tengah merenungi makna
perkataan ayahandanya itu.
Demikialah mereka beriring terus melangkah menuju
istana Rakata yang sudah tidak begitu jauh lagi. Dan
akhirnya mereka telah sampai di muka pintu gerbang
istana Rakata. Dan hari-hari pun di lalui oleh Gajahmada sebagai
seorang panglima perang kerajaan Rakata. Banyak
peningkatan dan perubahan yang terjadi di istana
Rakata, terutama kekuatan para prajurit Rakata.
Gajahmada di bantu Pangeran Jayanagara telah
mencoba meningkatkan tataran ilmu kanuragan dari
masing-masing prajurit, sehingga cara bertempur mereka
baik secara perorangan maupun secara berkelompok
semakin dapat di andalkan.
Kekuatan barisan angkatan perang Rakata telah
dapat mengamankan perairan selat sunda, sebuah
562 daerah perairan yang sebelumnya sangat dikuasai oleh
para bajak laut. Jaminan keamanan di perairan selat sunda telah
membawa para pedagang berani singgah di bandar
pelabuhan tua Rakata. Sebuah bandar pelabuhan tua
yang dulu pernah ramai disinggahi perahu para
pedagang dari berbagai penjuru dunia.
Geliat kemakmuran kerajaan Rakata, kian hari sudah
mulai terlihat, dan Kotaraja Rakata semakin hari semakin
ramai saja, bahkan lebih ramai dari sebelumnya.
Terlihat di pagi dan senja, dua ekor elang muda
terbang tinggi menjaga langit pantai Rakata.
Bila kita berlayar di selat sunda, Gunung api Rakata
yang tinggi menjulang menyentuh langit biru seperti
berkata : "Wahai manusia, akulah pancer bumi yang
menjaga kehidupanmu, menjadi saksi atas sikap dan
tingkah lakumu. Sekali kamu ingkari amanat suci sebagai
manusia, aku akan memuntahkan api membakar bumi
dan lautmu" TAMAT Mohon maaf, sampai naskah ini dibundel, masih belum
ada penjelasan dari Ki Sandikala, cerita apa yang
selanjutnya akan digelar oleh beliau.
Nuwun 563 Pendekar Latah 28 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Pusaka Negeri Tayli 2
^