Kisah Membunuh Naga 12
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 12
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
sudah jatuh diatas cabang pohon siong tua yang tingginya kira-kira lima tombak dari muka bumi. Begitu jatuh, si raksasa melupakan malu dan berteriak-teriak dengan ketakutan.
Meskipun hebat tenaga Sam Hom adalah tenaga "lembek", sehingga Bwee Ciok Kian tak terluka sedikitpun jua. Tapi ia tidak berani melompat turun, karena tidak mengerti ilmunya mengentengkan badan. Maka itu dengan jantung berdebar keras, ia memeluk cabang pohon itu erat-erat.
Semua orang menyaksikan kejadian itu dengan rasa heran bercampur geli. Dua orang sebawahan Bwee Pangcu yang mahir dalam ilmu ringan badan, lantas saja bergerak untuk menolong pemimpinnya.
Sementara itu, Sam Hong kelihatan bicara bisik bisik dikuping Bu Kie yang manggut-manggutkan kepalanya. Si bocah lantas saja menjemput sebutir batu kecil dan lalu menyentilnya kearah cabang pohon yang sedang dipeluk Bwee Pangcu. Batu itu terbang dengan mengeluarkan bunyi mengaung, "Tak"....
cabang yang dipeluk si raksasa patah dan tubuhnya yang seperti pagoda besi segera ambruk kebawah! Bu Kie melompat dan menepuk punggung si korban.
Waktu melayang jatuh, Ciok Kian merasa pasti, bahwa ia akan terluka berat. Tapi diluar dugaan, ia dipapaki dengan tepukan dan badannya lantas ngapung lagi keatas. Selagi melayang kebawah untuk kedua kalinya, ia berniat menggunakan gerakan Lee hie hoan sin (Ikan gabus membalik badan) agar ia bisa hinggap ditanah diatas kedua kakinya. Tapi heran sungguh, tepukan Bu Kie membuat kaki tangannya lemas semua, sedikitpun tak dapat digerakkan. Demikianlah, ia jatuh ambruk dan sesudah itu, barulah ia dapat merangkak bangun.
Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa itu semua adalah perbuatan Thio Sam Hong. Begitu bangun terdiri, ia mengangkat kedua tangannya seraya berkata: "Enghiong kecil, aku merasa takluk terhadapmu."
Sehabis berkata begitu, buruburu ia menyemplak kudanya dan mengajak orang orangnya turun gunung secepat-cepatnya.
Kong bun dan yang lain-lain kaget tak kepalang. Sudah lama mendengar kelihayan Thio Sam Hong, tapi baru sekarang mereka menyaksikannya dan apa yang barusan dipertunjukkan oleh pendiri Bu tong pay itu adalah lebih hebat dari pada dugaan maka. Kong bun sebenarnya tak sudi saling menukar ilmu, tapi sesudah melihat kelihayan Sam Hong, ia berkata dalam hatinya: "Biar pun aku berlatih lima puluh tahun lagi, aku tak akan dapat menandinginya. Ia ternyata memiliki ilmu yang luar biasa, ia berkepandaian jauh Iebih tinggi dari pada aku, sehingga kalau toh aku tukar-menukar dengannya, aku tak rugi."
Memikir begitu, in lantas saja bertanya: "Thio Cinjin, apakah ilmu Kat te Coan kang itu didapat dari Kioe yang Cin keng?"
"Bukan," jawabnya. llmu ini dinamakan Thay kek kang, adalah ciptaan Siauwtoo. Aku yang telah menggubahnya dengan semacam ilmu pukulan yang diberi nama Thay kek loan Sip sam sit (Tigabelas jurus ilmu pukulan Thay kek) dan ilmu pukulan itu tiada sangkut pautnya dengan Kioe yang Cin keng.
Manakala Thaysu sudah menolong cucu muridku, aku tidak akan berlaku pelit dan bersedia untuk merundingkan ilmu pukulan itu bersama-sama kalian."
Kong bun melirik Kong tie yang lantas saja mengangguk. "Kalau begitu, baiklah," katanya, "Kami akan membuka rahasia Kioe yang Cin keng kepada Thio Kongcu. Akan tetapi, kami hanya menurunkan ilmu itu kepada Thio Kongcu seorang dan Thio Kongcu tidak dapat mengajarkannya lagi kepada siapapun jua. Disamping itu, Thio Kongcu juga tidak boleh menggunakan ilmu tersebut untuk bertempur dengan murid-muridnya Siauw Iim sie. Dalam kedua perjanjian ini, kamimenuntut sumpah yang berat dari Thio Kong cu"
Thio Sam Hong jadi girang sekali. "Bu Kie, kedua syarat itu boleh diterima baik," katanya, "Ayolah, kau boleh bersumpah !"
Tapi anak itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak mau bersumpah dan akupun tak sudi belajar ilmu mereka," katanya.
Sang kakek guru terkejut, tapi ia lantas saja mengerti perasaan anak itu. Ia tahu, bahwa Bu Kie beradat keras dan lebih suka mati daripada memohon-mohon di hadapan musuhnya. Maka itu, ia lantas saja menuntun anak itu dan mengajaknya keluar Lip soat teng.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah terpisah agak jauh dari pendeta-pendeta Siauw lim tie, ia berkata: "Anak, waktu mau berangkat, kau sudah berjanji akan menerima pelajaran dari Siauw lim pay. Mengapa sekarang ini kau justeru melanggar janji?"
"Mereka ingin aku bersumpah untuk tidak menggunakan ilmu Kioe yang Cin keng terhadap murid-murid Siauw lim sie," jawabnya. "dengan adanya sumpah itu, cara bagaimana dibelakang hari aku bisa membalas dendam sakit hatinya kedua orang tuaku"
"Kalau sekarang ini kau menolak pelajaran Kioe yang Cin keng, dalam tempo setahun, kau akan meninggal dunia," kata sang kakek guru. "Sesudah mati, bagaimana kau bisa menuntut balas" Di dalam dunia terdapat banyak sekali ilmu silat yang sangat lihay. Jika nanti kau sudah berhasil, kau bisa membales sakit hati dengan menggunakan ilmu silat yang lain. Tak perlu kau menggunakan ilmu Kioe yang Cin keng. Kalau sudah mencapai puncak ke sempurnaan, ilmu manapun jua cukup untuk membalas sakit hatimu."
Sesudah memikir sejenak, Bu Kie berkata "Baiklah, aku turut perintah Thay suhu." Mereka segera kembali ke Lip soat teng. Bu Kie lantas saja menekuk lutut dan berkata dengan suara nyaring: "Hari ini teecu Thio Bu Kie menerima pelajaran Kioe yang Cin keng dari pendeta suci Siauw lim pay, dengan tujuan untuk mengobati luka. Teecu berjanji tidak akan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain dan juga tidak akan menggunakan ilmu itu untuk bertempur dengan murid-murid Siauw lim sie. Kalau teecu melanggar janji, biarlah teecu mati membunuh diri sendiri, seperti apa yang dilakukan oleh ayah dan ibuku."
Sebagaimana diketahui, pada waktu baru terlahir, Bu Kie telah diberikan kepada Cia Sun dan ia menggunakan she Cia. Cui San dan isteri nya ingin menunggu putera yang kedua guna menyambung turunan koluanga Thio. Sesudah kedua suami isteri itu binasa dan mereka tak punya anak yang lain, maka atas anjuran Lian Ciu, Lie Heng dan lain-lain paman, Bu Kie menggunakan lagi she Thio.
Sesudah bersumpah, Bu Kie bangun berdiri.
"Dibelakang hari aku akan menggunakan lain ilmu untuk membasmi hweeshio-hweeshio itu," pikirnya dengan mendongkol.
Kong bun Thaysu lantas saja merangkap kedua tangannya dan memuji: "Siancay, siancay Siauw siecu (tuan kecil) telah bersumpah terlampau berat!" Ia berpaling kearah Thio Sam Hong dan berkata pula:
"Kami akan mengajak Siauw sie cu kedalam kuil untuk memberikan pelajaran Sin kang. Tapi bagaimana dengan Thay kek Sip sam sit?"
"Aku minta kertas dan perabot tulis, dan di sini serta sekarang juga aku akan menulis Thay kek sip sam sit serta bagian-bagian Kioe yang Cinkeng yang dikenal olehku," jawabnya.
"Kalau begitu, baiklah," kata Kong bun yang lalu memberi hormat dan kemudian bersama yang lainnya, kembali kekuil dengan mengajak Bu kie.
Sambil berjalan, bukan main rasa mendongkolnya Bu Kie. "Kioe yang kang Bu tong belum tentu kalah dari Kioe yang kang Siauw lim" Pikirnya. "Kalau Thay Suhu hanya menukar Kioe yang kang dengan Kioe yang kang, itu baru namanya adil. Tapi kamu mau ditambahkan juga dengan Thay kek kun Sip sam sit. Di samping itu, sesudah mempelajari Kioe yang kang Bu tong, kamu boleh turunkan ilmu itu kepada orang lain dan juga boleh menggunakannya terhadap murid murid Bu tong. Tapi pihak Bu tong tidak boleh. Inilah sangat tidak adil. Karena gara garaku seorang, Song Supeh, Jie Supeh dan yang lain-lain tidak akan bisa mengangkat kepala lagi. Hai! Bagaimana baiknya ?" la sangat berduka, tapi ia tidak berani membantah perintah sang kakek guru.
Setibanya di dalam kuil, Kong bun mengantar kan Bu Kie kesebuah kamar kecil. "Siauw Siecoo mengasolah disini," katanya. "Aku akan segera mengirim orang untuk mengajar ilmu kepadamu." Sehabis berkata begitu, ia mengebas dangan tangan jubahnya dan jalanan darah Sweehiat (jalanan darah yang jika tertotok menyebabkan tidur pulas) Bu Kie lantas saja tertotok.
Kong bun Taysu adalab salah seorang dari empat pendeta suci dari Siauw lim sie. Tak usah dikatakan lagi, ia memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Begitu tertotok jalan darahnya, Bu Kie segera pulas dan menurut perhitungan, ia baru akan tersadar empat jam kemudian. Tapi Kong bun tak tahu, bahwa anak itu memiliki Lweekang luar biasa yang diturunkan oleh Cia Sun. Dan karena adanya Lweekang itu kedudukan jalan darahnya bisa berpindah-pindah. Dua tahun berselang, pada waktu ia dibawa oleb penculik yang menyamar sebagai serdadu Goan, jalan darah Ah hiatnya (jalan darah gagu) telah ditotok.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi toh, ia masih dapat berteriak "ayah!" Sekarangpun demikian. Baru pulas beberapa saat, ia sudah tersadar kemball.
Sesudah ingatannya pulih, ia mendengar suara Kong tie yang berkata: "Thio Tah tah adalah guru besar dari sebuah partai sehingga kalau dia sudah menyanggupi, ilmu yang ditulisnya pasti tidak palsu.
Andaikata dia sengaja tidak menulis terang, sesudah mempelajarinya, aku merasa pasti kita akan mengerti."
Kecurigaan Bu Kie lantas saja timbul. Ia kuatir kalau-kalau pendeta-pendeta itu mau berlaku licik.
Maka itu, ia lantas saja memeramkan kedua matanya dan pura-pura pulas.
Tapi kecurigaan itu sebenarnya tidaklah perlu. Biarpun perhubungan antara Siauw lim dan Bu tong sudah agak renggang, tapi Kong bun, Kong tie dan Kong seng adalah pendeta suci yang tak akan merusak nama baik Siauw lim sie dengan akal bulus.
"Thay kek Sip sam sit dan Bu tong Kioe yang kang yang ditulis Thio Sam Hong sudah pasti tak palsu,"
kata Kong bun. "Akan tetapi, kita sendiri belum pernah mempelajari Siauw lim Kioe yang kang. Apakah untuk kepentingan orang luar, kita harus memohon-mohon di hadapan Goan tin?"
Bu Kie kaget. la tidak pernah menduga bahwa pendeta pendeta suci itu belum pernah mempelajari Siauw lim Kioe yang kang. Kekuatirannya lantas saja timbul. Ia kuatir mereka turunkan ilmu palsu.
Sementara itu, Kong tie sudah berkata pula: "Suheng, kau adalah Ciang bun Hong thio (pemimpin partai dan pemimpin kuil). Maka itu, menurut pendapatku, perintahmu tak dibantah oleh Goan tin, tindakanmu ini adalah untuk memperkaya Siauw lim pay dan bukan guna kepentingan sendiri."
Kong Sun menghela napas. "Kalau Kong Kian Suheng masih hidup, kita boleh tak usah menhadapi kesukaran ini," katanya dengan suara meyesal. Sesudah berhenti sejenak, ia berkata pula "Sam sutee, pergilah kau membawa Sek thungku (tongkat timah) dan memberi perintah kepada Goan tin, supaya ia turunkan ilmu Kioe yang kang kepada pemuda she Thio itu."
"Baiklah," kata Kong tie.
Sebagaimana diketahui, waktu dulu Kak wan menghafal Kioe yang Cin keng ada tiga orang yang mendengarnya, yaitu Thio Sam Hong, Kwee Siang dan Bu sek Siansu. Belakangan Kioe yang kang yang diperkembangkan oleh Thio Sam Hong dinamakan Bu tong Kioe yang kang, yang diperkembangkan Kwee Siang dikenal sebegai Go bie Kioe yang kang, sedang yang diperkembangkan oleh Bu sek Siansu ialah Siauw lim Kioe yang kang.
Karena sangat sulit, maka dalam tiap partai hanya beberapa orang saja yang mewarisi ilmu itu. Dalam kalangan Siauw lim sie, tak pernah ada seorang pun yang memiliki tujuh puluh dua macam ilmu silat.
Jumlah yang mempelajari Siauw lim Kioe yang kang lebih sedikit lagi. Dari jaman Bu sek sampai pada Kong kian, dalam setiap turunan hanialah seorang saja yang belajar dalam ilmu tersebut. Mengapa"
Karena, di samping memiliki banyak sekali ilmu, murid-murid Siauw Lim sie selalu menganggap Kak wan Taysu sebagai murid pemburon, sehingga biarpun Kioe yang kang sangat tinggi mutunya, sedikit sekali yang suka mempelajarinya.
Hanya untuk menjaga supaya ilmu itu tidak menjadi hilang, maka pada setiap turunan selalu ada seorang murid yang mempelajarinya.
Pada jaman itu di dalam kalangan Siauw lim sie hanya murid penutup (murid yang diterima paling belakang) dari Kong kian Taysu yang mengerti Siauw Lim Kioe yang kang. Tapi murid itu, yang bernama Goan tin, aneh sekali adatnya. Ia tidak persudi keluar dari kamarnya dan kecuali tiga pendeta suci, tak seorangpun dalam kuil yang di ladeni olehnya.
(Bersambung Jilid 20) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 20 Menurut kebiasaan, setiap tahun murid-murid Siauw lim sie dijajal kepandaiannya oleh ketiga pendeta suci. Semua murid mengambil bagian. Hanya Goan tin seorang yang saban-saban mengatakan sakit,
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
entah benar, entah bohong, sehingga oleh karenanya, tak seorangpun yang tahu cetek dalamnya kepandaiannya. Dan sekarang, karena Kioe yang kang hanya dimiliki Goan tin seorang dan harus diturunkan olehnya kepada Bu Kie, tidaklah heran kalau Kong bun bertiga merasa sangsi.
Beberapa saat kemudian Kong tie kembali dan berKata Goan tin sungguh aneh. Dia mengatakan, bahwa sesudah mengabdi pada Sang Buddha, ia juga tidak mau bertemu dangan orang luar, tapi karena Hong thio sudah mengeluarkan perintah, maka ia bersedia untuk mengajar ilmu dengan cara Kay tiang Coan tang (Mengajar ilmu dengan teraling tirai).
"Sesukanialah," kata Kong bun. "Sutee, bawalah pemuda ini kepada Goan tin. Sesudah itu, perintah pengurus dapur mengantarkan sebuah meja perjamuan ke Lip soat teng. Biar bagaimanapun jua, Thio Sam Hong adalah pemimpin dari sebuah partai besar dan kita tidak boleh tidak berlaku hormat."
Sementara itu, Bu Kie terus berlagak pulas. Sesudah lewat sekian lama, barulah datang seorang pendeta kecil yang membawa makanan dan sesudah ia selesai bersantap, pendeta itu lantas saja berkata:
"Siauwsiecu, ikutlah aku."
"Kemana?" tanyanya.
"Hong thio memerintahkan aku membawamu kepada seseorang."
"Kepada siapa ?" tanya lagi Bu Kie.
"Hong thio memesan supaya aku jangan banyak bicara." jawabnya.
Bu Kie mengeluarkan suara dihidung. Diam diam ia mentertawai Kong bun bertiga, sebab ia sendiri sudah tahu, bahwa ia bakal dibawa kepada Goan tin Hweshio.
Tanpa menanya lagi, ia lalu mengikuti pendeta kecil itu. Sesudah melewati belasan gedung dan banyak pekarangan, sehingga Bu Kie merasa sangat kagum akan luas dan megahnya Siauw lim sie, barulah mereka tiba disebuah bangunan kecil yang dikurung dengan pohon pohon siong dan pek. Sambil berdiri didepan tirai pintu, pendeta kecil
itu berseru: "Siauwsiecu sudah tiba!"
"Masuk," demikian terdengar suara seseorang.
Bu Kie lantas saja mendorong pintu dan bertindak masuk, sedang si pendeta kecil lalu mengunci pintu.
Si bocah mengawasi kesekitarnya. Kamar itu ternyata sebuah kamar kosong. Kecuali selembar tikar ditengah tengah, tidak terdapat apapun jua.
Sesudah mendengar bahwa Goan tin akan memberi pelajaran dengan cara "Kay tiang Coan kang", ia menduga bahwa dalam kamar itu dipasang semacam tirai. Di luar dugaan, kamar itu bukan saja kosong melompong, tapi juga tidak mempunyai lain pintu sehingga tak dapat ditebak dari mana datangnya suara manusia yang barusan. Selagi ia terheran-heran tiba-tiba terdengar pula suara itu: "Duduk! Dengarlah aku segera menghafal Siauw lim Kioe yang kang. Aku hanya akan menghafal satu kali. Terserah kepadamu, berapa banyak yang bisa diingat olehmu. Hong thio telah memerintahkan aku memberi pelajaran itu kepadamu. Aku menurut perintah. Tapi apa kau mengerti atau tidak adalah urusanmu sendiri."
Bu Kie memasang kuping. Sekarang barulah ia tahu bahwa suara itu datang dari tembok sebelah dan Goan tin hweeshio berdiam dikamar sebelah. Pada hakekatnya, mengirim dari alingan tembok bukan kepandaian luar biasa. Siapapun jua dapat melakukannya. Apa yang luar biasa ialah suara Goan tin kedengarannya tegas sekali, seperti juga ia bicara berhadap hadapan. "Lweekang pendeta itu sungguh hebat," kata Bu Kie di dalam hati.
Sesaat kemudian, oraag itu berkata perlahan lahan: "Tubuh berdiri tegak, kedua tangan yang dirangkapkan ditaruh didada, hawa tenang, semangat dipusatkan, hati tenteram, paras muka mengunjuk sikap menghormat. Inilah jurus pertama yang dinamakan Wie hok Yan couw (Wie Hok mempersembahkan gada). Ingatlah!"
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula : "Kedua tumit kaki ditancapkan diatas bumi. Kedua tangan dipentang keluar dengan rata. Hati tenang hawa tentaram mata membelalak mengawasi kedepan mulut ternganga. Ini jurus kedua, Hun tan Hang mo couw ( Memikul gada untuk menakluki siluman ).
Kau ingatlah." Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Seterusnya ia menghafal jurus ketiga, keempat kelima sampai pada jurus keduabelas. Mengenai jurus keduabelas, ia berkata: "Jurus ini dinamakan Tiauw wie Yauw tauw (Mengibas buntut, menggoyang kepala), dengan Kouwkoat seperti berikut: Lutut lurut, lengan dilonjorkan, mendorong dengan tangan sehingga mengenakan bumi. Mata membelalak, menggoyangkan kepala, semangat dipusatkan sehingga menjadi satu. Sesudah itu melempangkan tubuh dan menjejak tanah dengan kaki, mengendurkan bahu, memanjangkan lengan, menyabet tujuh kali kekiri kanan dan sekarang sudah selesai Ilmu Kioe yang Ie kin, dikolong langit tiada tandingan."
Hampir berbareng dengan perkataan "dikolong langit tiada tandingan", ia membentak: "Siapa mencuri mendengar diluar" Masuk!"
"Brak!" pintu terpental dan sesosok tubuh manusia jatuh ngusruk. Orang itu bukan lain daripada si pendeta kecil yang tadi mengantar Bu Kie kekamar itu. Dia jatuh meringkuk, kedua matanya meram dan pada mukanya terlihat rasa sakit yang hebat. Bu Kie terkejut buru-buru ia menghampiri untuk membangunkannya.
"Kau urus saja urusanmu sendiri," kata orang dikamar sebelah, "Sekarang kau memerlukan semua kekuatan otakmu untuk mengingat-ingat Kouw koat yang barusan dihafal olehlu. Tidak dapat kau memecah perhatianmu."
"Dua belas jurus itu sudah diingat olehku seanteronya," kata si bocah.
"Apa benar" Coba kau hafal," kata Goan tin. Di dengar dari nada suaranya, ia merasa heran bukan main.
Bu Kie lantas saja menghafal Kouw koat yang barusan diturunkan kepadanya, dari jurus pertama Wie hok Hian couw sampai Tiauw wie Yauw tauw, jurus kedua belas. Benar saja, dalam hafalan itu, tak satu perkataanpun yang salah.
Untuk sejenak Goan tin tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Waktu menerima perintah Kong bun untuk mengajarkan Kioe yang kang kepada orang luar, ia mendongkol dan jika mungkin, ia tentu sudah menolak. Akan tetapi, peraturan dalam kuil Siauw lim sie selalu dipegang keras dan perintah seorang Hong thio, merangkap Ciangbunjin, tidak boleh dilanggar. Di samping itu, perintah Kong bun hanya berbunyi "mengajar anak itu" dan bukan "mengajar anak itu sampai dia paham". Maka itu, menurut anggapannya, jika ia menghafal Kouw koat cepat-cepat, paling banyak si bocah akan ingat satu dua perkataan. Tapi diluar semua perhitungannya, Bu Kie sudah berhasil memasukkan Kouw koat selengkapnya kedalam otaknya. Ia merasa kagum bukan main, karena kecerdasan dan bakat yang begitu luar biasa sungguh jarang terdapat dalam dunia ini.
Melihat si pendeta kecil terus meringkuk dilantai, Bu Kie merasa sangat tidak tega dan segera bertanya: "Siansu, apakah kedosaannya Siauw suhu ini ?"
"Dia mencuri dengar pelajaran tadi dari luar pintu," jawabnya, tawar. "Aku telah menggunakan Kim kong Sian ciang untuk mengajar adat kepada nya. Jangan kuatir. Dalam beberapa saat, ia akan sembuh kembali." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata lagi. "Aku tak tahu, mengapa Hong thio memerintahkan aku memberi pelajaran Kioe yang Sin kang kepadamu. Aku tidak tahu siapa namamu dan kaupun tak usah tanya namaku. Aku tidak tahu ilmu apa yang sudah pernah dipelajari olehmu. Akan tetapi, aku merasa kagum akan kepintaranmu. kemudian hari, kau mempunyai harapan yang tidak terbatas. Maka itu, aku berniat untuk membantu kau, untuk membuka Kie king Pat meh (pembuluh darah) diseluruh tubuhmu, supaya kalau nanti kau berlatih dengan Kioe yang Sin kang, kau tidak usah mengalami banyak kesukaran."
Sebelum Bu Kie sempat menjawab, mendadak tembok berlubang dan dua lengan muncul dari lubang itu! Bu Kie kaget tak kepalang, ia mencelat dari tempat duduknya dan berseru dengan suara tertahan:
"Kau ...kau!..." Itulah kenyataan yang terlalu mustahil ! Tapi, dengan matanya sendiri, ia menyaksikan, bahwa tembok yang tebal itu sudah berlubang karena sodokan tangan Goan tin, seolah-olah tembok tidak lebih daripada tahu yang empuk.
"Tempelkan kedua telapak tanganmu dengan telapak tanganku." memerintah Goan tin. "Aku tidak tahu she dan namamu, akupun tidak tahu kau murid siapa. Hari ini kita bertemu dan jodoh kita habis sampai disini."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tahu maksud orang yang sangat baik. Pandangan Bu Kie terhadap Goan tin lantas berubah. "Terima kasih atas bantuan Siansu," katanya seraya melonjorkan tangannya dan menempelkan telapak tangannya ketangan si orang aneh.
"Kendurkan tulang tulang dan otot-otot dalam tubuhmu dan bebaskan pikiranmu dari segala ingatan,"
kata pula Goan tin. "Baiklah," kata Bu Kie. Sesaat kemudian, dari kedua telapak tangan Goan tin keluar semacam hawa hangat yang terus menembus ketelapak tangannya, terus naik kelengan dan bahu. Hawa itu halus bagaikan selembar benang, tapi ia dapat merasakan nyata sekali dan perlahan-lahan hawa tersebut masuk kepembuluh darah.
Jika menemui rintangan dan tidak dapat segera menembus, bawa itu berubah lemas dan menerjang berulang-ulang sehingga rintangan ditembuskan. Sesudah lewat delapan pembunuh darah besar hawa itu makin cepat jalannya hingga Bu Kie merasa matanya berkunang-kunang, kepalanya terputar-putar dan berapa kali, ia seperti mau jatuh tenguling.
Akan tetapi dari telapak tangan si orang aneh keluar semacam tenaga menyedot, sehingga telapak tangan Bu Kie melekat keras pada telapak tangan Goan tin dan ia tak sampai tenguling. Dilain saat, ia merasakan seluruh badannya seperti dibakar. Kalau mungkin, ia tentu sudah kabur dan membuka baju untuk menerjun kedalam lautan es disekitar Pang hweeto.
Sesudah lewat sekian lama, bawa panas itu meninggalkan tubuhnya dan kembali ketelapak tangan Goan tin. Sesudah menarik pulang kedua lengannya dari lubang itu, Goan tin berkata dengan suara dingin
: "Kau pergilah!"
Bu Kie melongok melalui lubang itu, tapi yang dilihatnya hanya kegelapan. Mengingat budi si orang aneh, ia lantas saja berkata: "Terimakasih banyak atas budi Siansu yang sangat besar."
Sehabis berkata begitu, ia menekuk kedua lututnya. Mendadak lengan Goan tin muncul lagi di lubang itu dan mengibasnya. Hampir berbareng, tubuh Bu Kie terpentaI dan jatuh diluar pintu. Orang itu ternyata sungkan menerima kehormatan si bocah.
"Pergi kau beritahukan Hong thio, bahwa pelajaran Kioe yang Sin kang telah diturunkan semua kepada Siauw siecu, juga bahwa Siauwsiecu mempunyai peringatan yang sangat kuat dan semua pelajaran itu sudah diingat olehnya."
"Baiklah," kata si pendeta kecil yang sudah tersadar dan dengan muka pucat lalu berjalan keluar dari kamar itu.
Bu Kie mengikuti dan mereka berdua lantas saja meninggalkan kuil. Diberbagai ruangan mereka bertemu dengan banyak pendeta yang semua berjalan dengan menundukkan kepala dan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Di dalam kuil terdapat ribuan orang, tapi suasana tetap tenang dan sunyi. Bu Kie merasa kagum dan berkata dalam hatinya: "Memang pantas sekali jika Siauw lim sie dikenal sebagai pemimpin dari Rimba Persilatan." Jika dibandingkan dengan keadaan di kuil Siauw lim sie, Giok hie koan seolah-olah sebuah pasar, dimana semua orang bergerak dan berbicara secara bebas dan merdeka.
Hal ini sudah terjadi karena, pertama, agama Tookauw memang menganjurkan hidup bebas, dan kedua, sebab Thio Sam Hong sendiri seorang yang beradat sederhana dan sembarangan.
Setibanya mereka di Lip soat teng, Thio Sam Hong sudah menulis tigapuluh lembar lebih tapi masih menulis terus.
Melihat kerelaan dan pengorbanan guru besar itu Bu Kie merasa terharu, dan dengan air mata berlinang linang, ia berseru: "Thay suhu!"
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata: "Kioe yang kang Cap jie sit sudah seluruhnya diturunkan kepada anak oleh Siansu,"
Sang kakek guru girang. "Bagus," katanya sambil tertawa.
Sesudah menulis lagi beberapa lama, Thio Sam Hong sudah menyelesaikan apa yang mau ditulisnya.
Pendeta yang melayani segera balik kekuil untuk memberi laporan dan tidak lama kemudian, Kong bun, Kong tie dan Kong seng datang di Lip soat teng, diikuti oleh seorang pemuda yang berusia kira-kira duapuluh lima tahun. Pemuda itu mengenakan thungsha (jubah panjang) dan ia ternyata seorang murid Siauw lim sie yang tidak menyukur rambut.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Thio Sam Hong merasa heran. Ia tahu bahwa menurut peraturan Siauw Lim sie, sebelum lulus seorang murid bukan pendeta tidak boleh keluar dari pintu kuil. Bagi seorang biasa masuk di Siauw lim sie bukan gampang, tapi keluar dari kuil itu lebih sukar lagi. Apa maksudnya Kong bun mengajak seorang murid bukan pendeta" Tanpa merasa, ia mengawasi pemuda itu yang jangkung kurus, panjang lengannya dan pendek kakinya, sedang kedua matanya bersinar terang, sehingga tidak dapat ditebak, bahwa ia memiliki kecerdasan otak yang luar biasa.
"Kami telah membuat Thio Cinjin banyak capai," kata Kong bun sambil merangkap kedua tangannya.
Sam Hong bersenyum. "Terima kasih atas belas kasihan Hong thio Su heng, sehingga jiwa anak ini bisa ditolong," jawabnya sambil membungkuk. Sehabis berkata begitu, ia menyodorkan tiga puluh lembar tulisan itu dan lalu berkata pula: "Thay kek bun dan Sip sam sit dan Bu tong Kioe yang kang semua sudah ditulis disini. Aku harap Sam wie Suheng suka memberi petunjuk petunjuk dan bahwa aku sudah berani memperlihatkan kebodohanku di hadapan kalian, kuharap kalian jangan mentertawai."
Kong bun menyambuti dan tanpa melihat lagi, ia segera menyerahkan tulisan itu kepada pemuda yang berdiri dibelakangnya. Si pemuda segera membacanya dengan teliti, selembar demi selembar.
Sambil mencekal tangan Bu Kie, Sam Hong segera meminta diri.
"Dalam kedatangan kalian, loolap sebenarnya harus mengundang kalian berdiam disini beberapa hari, dan bahwa loolap tidak dapat berbuat begini hatiku merasa sangat tidak enak." kata Kong bun. "Maka sebagai gantinya loolap hanya bisa mengundang Thio Cinjin meneguk tiga cawan arak untuk mengunjuk hormat kami." Pendeta arak dan kedua orang berilmu itu lantas saja ber sama-sama mengeringkan tiga cawan dengan beruntun.
Sesudah itu Kong been, Kong tie dan Kong seng pun turut memberi selamat jalan dengan tiga cawan arak.
Sesudah selesai, Sam Hong dan Bu Kie segera memberi hormat dan memutar badan untuk berlalu.
Sebelum bertindak, sekonyong-konyong pemuda jangkung kurus itu berkata: "Supeh, ilmu silat yang ditulis Thio Cinjin tidak berbeda dengan pelajaran kita. Semua yang telah dibaca olehku, aku sudah belajar dari Suhu."
Sam Hong terkejut. "Omong kosong !" bentak Kong been, "Thay kek Sip sam sit adalah mustika Bu tong pay yang digubah oleh Thio Cinjin sendiri. Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kau sudah pernah belajar ilmu itu?"
Si pemuda segera menyerahkan tulisan Thio Sam Hong itu kepada Kong bun dan berkata: "Supeh lihat saja sendiri."
Kong bun menyambuti dan lalu membalik-balik beberapa lembar dan kemudian menyerahkannya kepada Kong tie dan Kong seng. Kedua pendeta itu juga membalik-balik beberapa lembar. "Suheng, benar saja ilmu ini masih termasuk dalam lingkungan ilmu Siauw lim sie," katanya dengan suara perlahan.
Sam Hong kaget bercampur gusar. Thay kek Sip sam sit adalah hasil jerih payahnya selama tigapuluh tahun dan baru pada tahun yang lalu, ilmu itu menjadi sempurna. Intisari daripada ilmu itu ialah dengan kelemahan melawan kekerasan, dengan bergerak lebih dulu. Azas-azas tersebut justeru sebaliknya daripada azas azas ilmu silat Siauw lim sie. Disamping itu, walaupun bersumber dari Kioe yang Cin keng gubahan Tat mo Loo couw, Bu tong Kioe yang kang sudah ditambah dengan banyak perobahan yang keluar dari otaknya Sam Hong. Maka itulah, mendengar kata-kata si pemuda dan Kong tie, guru besar itu jadi sangat mendongkol. Tapi dilain saat, ia sudah dapat menebak sebab musabab dari sikap Siauw lim. Ia mengerti, bahwa ia kuatir dikatakan menerima pelajaran dari Bee tong pay maka pendeta-pendeta suci itu sudah mengeluarkan siasat tersebut.
Sementara itu, sambil mengangsurkan tulisan tulisan itu kepada Sam Hong, Kong bun berkata: "limu silat Bu tong bersumber dari Siauw Lim. Benar saja, apa yang ditulis Thio Cinjin tidak banyak bedanya dari ilmu silat kami."
Sam Hong tertawa. "Apa yang telah ditulis oleh si orang she Thio, sedikitpun aku tidak merasa menyesal," katanya. "Aku mengerti bahwa ilmuku itu sangat cetek dan tidak berharga. Jika Samwie tidak memerlukannya, sebaiknya dibuang saja." Ia tidak menyambuti gabungan kertas itu yang diangsurkan kepadanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Dari kata-katamu, Thio Cinjin, rupanya kau tidak percaya akan pengutaraan kami itu," kata Kong tie.
Ia berpaling kepada si pemuda seraya berkata pula: "Yoe Liang, coba kau halal Thay kek Sip sam sit dan Kioe yang kang yang diturunkan olehku kepadamu "
"Baiklah," jawab pemuda itu yang lantas saja menghafal tulisan Sam Hong selengkapnya, sehuruf pun tidak ada yang ketinggalan.
"Thay suhu, orang itu menghafal dengan membaca tulisanmu," Bu Kie menyelak. "Dan sekarang mereka mengatakan, ilmu Thay suhu tiada berbeda dengan ilmu mereka. Sungguh tak mengenal malu"
Sam Hongpun tahu. Ia tertawa besar dan sambil mengawasi pemuda itu, ia berkata: "Selagi ketiga pendeta suci mengajak aku minum arak, tuan sudah menghafalkan dua macam ilmu silatku. Kepintaran dan kecerdasan itu tidak dimiliki Sam Hong. Boleh aku mendapat tahu she dan nama tuan yang besar?"
"Cianpwee jangan memuji begitu tinggi," jawabnya. "Boanpwee she Tan, bernama Yoe Liang."
"Saudara Tan," kata pula guru besar itu dengan suara sungguh-sungguh. "Dengan kecerdasanmu, apapun jua yang dipelajari olehmu pasti akan berhasil. Aku hanya mengharap, kau jangan mengambil jalan yang salah. Dengan menggunakan kesempatan ini, aku ingin mempersembahkan kata-kata seperti berikut: Dengan kejujuran kita memperlakukan orang lain, dengan kerendahan hati, kita membatasi diri."
Melihat sinar mata orang tua itu yang tajam bagaikan pisau, Yoe Liang bergidik. Tapi dilain saat ia menjadi mendongkol dan berkata dengan suara kaku: "Terima kasih atas petunjuk Thio Cinjin. Tapi Boanpwee adalah murid Siauw lim dan boan pwee mempunyai Supeh, Suhu dan Susiok untuk mengajar boanpwe."
"Benar," kata Sam Hong sambil tertawa. "Memang aku si tua yang terlalu rewel."
Sesaat itu, Kong tie mengangsurkan gabungan kertas itu. Hampir berbareng dengan itu si pendeta terhuyung dan Yoe Liang yang berdiri didampingnya segera coba memeluknya. Tapi tenaga Kong tie besar luar biasa dan pemuda itu yang kena didorong, lantas saja terpental keluar pendopo dan jatuh ditanah.
Dalam mengirim Lweekang itu, Sam Hong hanya menggunakan sebagian tenaganya dan ia memang tidak berniat jahat. Maka itu, begitu mengerahkan Lweekang kebagian kakinya, Kong tie sudah bisa berdiri tegah. Sam Hong bersenyum seraya berkata: "Itulah ilmu dari Thay kek Sip sam sit. Sekarang terbukti, bahwa walaupun kalian berdua paham akan ilmu itu, tapi kalian belum mempunyai tempo untuk berlatih. Selamat tinggal !" Dengan sekali mengibas tangan, diudara beterbanganlah kepingan-kepingan kertas yang sangat halus, yaitu kertas yang berisi ilmu Thai kek dan Bu tong Kioe yang kang. Sambil menuntun tangan Bu Kie, tanpa menengok lagi ia meninggalkan Siauw sit sat.
Kong bun bertiga saling mengawasi dengatl mulut ternganga. Mereka merasa kagum dan takluk akan kepandaian orang tua itu. Disamping itu, merekapun merasa agak menyesal. "Ilmu itu begitu lihay," kata Kong bun di dalam hati."Apa Yoe Liang sudah menghafakan seanteronya" Jika satu huruf saja yang kelupaan, Siauw lim akan menderita kerugian besar."
Malam itu di dalam rumah penginapan Sam Hong menyuruh Bu Kie berlatih menurut Kouw koat yang diturunkan oleh Goan tin. Karena tidak ingin mendengar dan melihat cara berlatihnya si bocah, ia sendiri tidur disebuah kamar lain. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, jika ia melihat cara bersemedhi dan gerak-gerakannya serta mendengar jalan pernapasan cucu muridnya itu, ia sudah bisa mengetahui rahasia Siauw lim Kioe yang-kang.
Selama berada dalam perjalanan pulang, iapun belum pernah menanyakan kemajuan Bu Kie.
Meskipun ketiga pendeta suci Siauw lim pay berpemandangan agak sempit, akan tetapi mereka adalah orang-orang ternama dalam kalangan Rimba persilatan sehingga ia percaya, mereka tidak akan memberi pelajaran palsu.
Berselang beberapa hari, paras muka Bu kita sudah berubah agak merah sehingga sang kakek guru jadi merasa girang sekali. Sam Hong tahu, bahwa Bu Kie sudah memiliki Kioe yang kang dari Bu tong dan Siauw lim yang saling menambah kekurangan masing-masing. Ia percaya penuh, bahwa kedua macam Kioe yang kang itu akan cukup kuat untuk mengusir racun dingin Hianbeng Sin ciang yang mengeram dalam tubuh si bocah.
Hari itu, mereka tiba ditepi sungai Han sui dan lalu menyewa perahu untuk menyeberang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dengan rasa terharu, Sam Hong ingat pengalamannya yang lampau. Ia ingat kesengsaraan dulu, pada waktu ia kabur dari Siauw lim sie dan mau menyeberang sungai itu. Waktu usianya tidak banyak berbeda dengan usia Bu Kie sekarang.
Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa pada akhirnya ia bisa menjadi pendiri Bu tong pay yang sekarang berdiri berendeng dengan Siauw lim pay. Keadaan Bu Kie dihari ini lebih bagus dan lebih unggul daripada diwaktu dulu. Ia percaya, bahwa dikemudian hari, kedudukan bocah itu akan lebih tinggi daripadanya. Mengingat begitu, tanpa ia merasa ia bersenyum dan hatinya bunga.
Mendadak, lamunannya disadarkan oleh teriakan Bu Kie: "Thay suhu!.... Aku....aku..:." Suaranya bergemetaran dan mukanya pucat pasi. Sam Hong terkesiap. Muka anak itu merah dan pada warna kemerah-merahan itu terdapat sinar hijau. "Thay suhu!" teriak Bu kie. "Aku....aku tak tahan!" Badannya bergoyang-goyang.
Dengan cepat tangan kiri sang kakek guru mencekal pengelangan tangan Bu Kie sedang telapak tangan kanannya ditempekan dijalan darah Leng-tay hiat dipunggung si bocah. Tapi begitu lekas ia mengirim tenaga dalam untuk membantu Bu Kie melawan racun dingin itu, sekali lagi ia terkesiap karena Lweekangnya lantas saja menerobos masuk ke Kie keng Pat meh. Bu Kie mengeluarkan teriakan menyayat hati dan lalu pingsan.
Kaget orang tua itu bagaikan disambar halilintar. Buru-buru ia menotok untuk menutup dua belas Thay hiat dibadan Bu Kie.
"Mengapa Kie keng Pat meh terbuka?" tanyanya di dalam hati. "Dengan terbukanya pembuluh darah, racun bisa lantas masuk kedalam isi perut dan kalau sudah masuk disitu maka sudah tentu tak akan bisa dibuyarkan lagi."
Sesudah berusia lebih dari satu abad dan sesudah ilmunya menecapai puncak kesempurnaan, guru besar itu tenang luar biasa. Tapi kali ini, ia tak dapat mempertahankan ketenangannya. Jantungnya berdebar keras dan keringat dingin mengucur dari dahinya "Apa bisa jadi, Siauw lim Kioe yang kang sedemikian hebat, sehingga dalam beberapa hari saja ilmu itu sudah dapat membuka pembuluh darah ?"
Ia tanya lagi dirinya sendiri. "Tidak mungkin! Pasti tidak mungkin ! Lie Heng dan Seng Kok sudah berlatih belasan tahun, tapi latihan itu masih belum cukup untuk membuka pembuluh darah."
Dengan Lweekangnya yang sangat tinggi, jikamau, Sam Hong bisa membantu kedua muridnya untuk membuka Kie-keng pat-meh. Akan tetapi, dalam memberi pelajaran, ia selalu berpendirian bahwa sesuatu yang didapat dengan latihan sendiri adalah lebih berhanga daripada yang diperoleh atas bantuan orang.
Dalam mengajar semua muridnya dia tak mau tergesa-gesa. Ia membiarkan murid murid itu berlatih sendiri dan maju dengan per lahan tapi tentu.
Waktu itu, perahu yang ditumpangi mereka tiba ditengah tengah sungai dan karena terdampar ombak, kendaraan air yang kecil itu terombang ambing kian kemari tiada bedanya seperti hati Thio Sam Hong yang bergoncang keras.
Beberapa saat kemudian, Bu Kie tersadar. Sesudah keduabelas Tayhiatnya ditotok, racun dingin tidak bisa masuk kedalam isi perutnya, akan tetapi, karena itu, ia tak dapat menggerakkan badan.
Sekarang Sam Hong tidak menggubris lagi soal pantas atau tidak pantas.
"Nak, bagaimana isi Siauw lim Kioe yang kang yang diturunkan kepadamu?" tanyanya. "Mengapa semua pembuluh darahmu jadi terbuka?"
"Yang membuka ialah Goan tin Siansu," jawabnya. "Ia mengatakan bahwa ia membantu supaya aku bisa berhasil terlebih siang dalam latihan Kioe yang Sin kang."
"Tapi bagaimana ia jadi membantu kau?" tanya Sam Hong, tergesa-gesa.
Bu Kie segera menceriterakan cara bagaimana ia mendengar pembicaraan antara Kong bun dan Kong tie, cara bagaimana Goan tin memberi pelajaran dengan teraling tembok dan cara bagaimana pendeta aneh itu sudah membantunya dalam membuka Kie keng Pat mah.
Untuk beberapa lama sang kakek guru tidak mengeluarkan sepatah kata. "Kalau pembuluh darahmu perlu dibuka dengan segera, apakah aku tidak dapat melakukan itu?" katanya dengan suara perlahan.
"Apa maksud baik atau sengaja dia bermaksud jahat?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Goan tin Siansu telah mengatakan berulang ulang bahwa ia tak tahu she dan namaku, ia tak tahu rumah perguruanku dan akupun tidak perlu tahu she dan namanya," menerangkan Bu Kie.
"Goan tin .... Goan tin ...." Sam Hong berkata, seperti pada dirinya sendiri, "Belum ... belum pernah aku mendengar nama begitu diantara jago-jago Siauw lim sie. Hm ... Ia tak tahu namamu, tak mengenal partaimu. Kalau begitu, ia tak tahu perhubungan antara aku dan kau. Kalau begitu, bantuannya itu, keluar dari hati yang baik."
Sesudah berkata itu, Sam Hong lalu menanyakan Kouw koat Siauw Lim Kioe yang kang. Bu Kie lantas saja menghafal, mulai dari jurus Wie hok Hian couw. Baru saja ia menghafal sampai jurus ketiga.
Ciang to Thian bun (Dengan telapak tangan menyangga pintu langit), sang kakek guru sudah berkata:
"Cukup! Tak usah kau menghafal terus. Tujuanku hanialah untuk mengetahui tulen palsunya ilmu yang diturunkan kepadamu. Mulai dari sekarang, kau tidak boleh memberitahukan Siauw lim Kioe yang Sin kang kepada siapapun jua. Kau mesti ingat, bahwa kau tidak boleh melanggar sumpahmu yang sangat berat
"Baik," jawabnya sambil mengawasi muka sang kakek guru, karena Sam Hong telah mengucapkau kata-kata itu dengan suara gemetar. Ia melihat bahwa dalam kedua mata orang tua itu mengembang air.
Sebagai seorang yang sangat pintar, ia mengerti, bahwa sang kakek guru sudah tak punya harapan untuk menolong jiwanya lagi.
Mendadak, serupa ingatan berkelebat dalam otaknya. "Thay Suhu," katanya: "Apakah aku masih bisa bertahan dan bisa pulang ke Bu tong san dengan masih bernyawa?"
"Jangan kau berkata begitu," jawab guru besar itu sambil menahan mengucurnya air mata. "Biar bagaimanapun jua, Thay suhu akan berdaya untuk menolong jiwamu "
"Kalau aku masih bisa bertemu muka dengan Jie Shapeh, aku sudah merasa puas," kata pula Bu Kie.
"Mengapa begitu?" tanya sang kakek guru.
"Sebab sesudah tidak bisa hidup, anak ingin membuka rahasia Siauw lim Kioe yang kang ke pada Jie Shapeh" jawabnya.
"Anak mengharap supaya dengan menggunakan Kioe yang kang dari Bu tong dan Siauw lim, Shapeh akan dapat menyembuhkan kaki tangannya yang bercacad. Sesuai dengan sumpah anak akan menggorok leher sendiri seperti yang telah dilakukan ayah, supaya dengan begitu, anak dapat menebus sebaglan kecil dari ke dosaan ibu."
Bukan main rasa kaget dan terharunya Sam Hong. Tak pernah ia menduga, bahwa bocah sekecil Bu Kie bisa mempunyai pikiran begitu: "Ah ! ... Jangan kau .... bicara .... yang tidak-tidak." katanya dengan suara parau.
"Hari itu, aku sudah mengerti duduknya persoalan," kata Bu Kie. "Dengan menggunakan jarum beracun, ibu telah melukakan Jie Shapeh sehingga Shapeh bercacad untuk seumur hidupnya. Itulah sebabnya, mengapa ayah telah. . .."
Sam Hong tak dapat mempertahankan diri lagi. Air matanya lantas saja mengucur deras, sehingga membasahi jubah pertapaannya. "Kau. .... kau tak boleh....memikir yang tidak-tidak." katanya sambil menangis sedu-sedan. Sesaat kemudian, sesudah menenteramkan hatinya, ia berkata pula dengan suara angker: "Seorang laki laki harus berjalan dijalanan lurus. Kau sudah berjanji, dengan disertai sumpah berat, untuk tidak memberitahukan pelajaran Siauw lim Kioe yang kang kepada siapapun jua. Janji itu harus dipegang sampai pada akhirnya. Andaikata benar kau bakal mati, aku juga tidak boleh berlaku licik."
Bu Kie terkejut. Ia mengawasi sang kakek guru dengan mulut ternganga, akan kemudian manggut kan kepalanya.
Semenjak kecil sehingga pulang ke Tionggoan, Bu Kie hidup bersama-sama kedua orang tua dan ayah angkatnya, So So dan Cia Sun, memang bukan manusia yang bersih, tapi bahkan Cui San sendiri belum pernah memberi pelajaran bathin kepadanya. Maka itulah, ia belum mengerti soal kehormatan dalam Rimba Persilatan. Sekarang untuk pertama kali, ia menerima nasehat dari kakek gurunya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dilain saat, Sam Hong berkata pula dalam hatinya: "Sesudah tahu, bahwa jiwanya tidak bakal tertolong lagi, anak itu rela membunuh diri guna menolong Thay Giam. Jiwa yang sedemikian adalah sesuai dengan jiwa seorang pendekar Rimba Persilatan."
Memikir begitu, ia lantas berniat memberi sedikit pujian kepada Bu Kie, tapi, belum sampai ia membuka mulut, sudah terdengar teriakan seseorang: "Hentikan perahu! Serahkan anak itu! Kalau kau tidak menurut, jangan katakan aku kejam." suara itu nyaring luar biasa, suatu pertanda bahwa orang yang berteriak memiliki Lweekang yang sangat tinggi.
Sam Hong bersenyum lebar. "Siapa yang bernyali begitu besar. berani memerintahkan aku menyerahkau cucu muridku ?" katanya di dalam hati.
Ia mendongak dan melihat sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang lelaki brewokan dan dengan badannya, orang itu melindungi dua orang anak kecil, satu lelaki dan satu perempuan. Dibelakang perahu kecil itu mengejar sebuah perahu yang lebih besar, yang ditumpangi oleh empat orang-orang Hoan ceng (Pendeta bukan golongan Han) dan tujuh delapan perwira Mongol yang mendayung perahu.
Lelaki brewokan itu bertenaga sangat besar dan perahunya laju pesat sekali. Tapi perahu yang mengejar didayung oleh orang yang jumlahnya jauh terlebih banyak, sehingga makin lama jarak antara kedua perahu itu jadi semakin pendek.
Beberapa saat kemudian, tampak ke empat Hoan ceng dan perwira-perwira Mongol itu mulai melepaskan anak panah.
Sekarang Sam Hong tahu, bahwa yang dimaui oleh orang-orang itu adalah kedua anak kecil yang dilindungi oleh si orang brewokan. Selama hidup, ia paling benci serdadu-serdadu Mongol yang berbuat sewenang-wenang terhadap orang Han dan seketika itu juga, di dalam hatinya timbut niatan untuk menolong. Tapi ia segera mengurung kan niatannya itu, karena ia sendiri harus melindungi Bu Kie yang sedang menderita penyakit berat. Disamping itu, jarak antara perahunya dan kedua perahu yang sedang ubar-ubaran itu masih terlalu jauh, sehingga biarpun ingin, ia tak akan keburu menolong mereka.
Tapi dilain saat terjadi perkembangan yang di luar dugaan. Dengan tangan kiri tetap mendayung perahu, tangan kanan si brewok mengibas anak anak panah yang menyambar dengan penggayuh yang satunya lagi. Tanpa merasa, Sam Hong bersorak dan berkata dalam hatinya: "Orang itu memiliki kepandaian luar biasa. Cara bagaimana aku bisa mengawasi kecelakaan yang menimpa dirinya seorang gagah dengan berpeluk tangan?" Ia lantas saja berpaling kepada situkang perahu seraya berkata: "Coan kee (tukang perahu), dayunglah perahumu kearah kedua perahu itu!"
Si tukang perahu kaget tak kepalang. Sambil mengawasi si kakek dengan mata membelalak ia berkata :
"Loo too ya... kau ... kau ... jangan guyon-guyon!"
Melihat keadaan sudah mendesak, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Sam Hong menyentak dayung dan dengan sekali menggayuh, kepala perahu sudah terputar.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan menyayat hati. Teriakan itu keluar dari mulutnya salah seorang anak yang lelaki yang punggungnya tertancap sebatang anak panah.
Dalam kagetnya, si brewok membungkuk untuk memeriksa luka anak laki-laki tersebut itu, dan selagi ia membungkuk, dua batang anak panah mengenakan pundak dan punggungnya. Ia mengeluar kan teriakan tertahan. Badannya bengoyang-goyang dan dayung yang dicekalnya jatuh ke air, sehingga perahunya lantas saja berhenti. Sesaat kemudian perahu yang mengejar sudah menyandak dan semua pengejar Ialu melompat keperahu si brewok. Tapi dia laki-laki sejati. Biarpun dikurung oleh begitu banyak. musuh, secara nekat-nekatan in melawan dengan tangan kosong,
"Orang gagah, jangan takut !" teriak Thio Sam Hong. "Aku akan datang menolong kau!" Sambil menggenjot tubuhnya, ia melontarkan dua lembar papan ke air, kaki kirinya menotol papan pertama, kaki kanannya papan kedua dan bagaikan seekor burung raksasa, ia hinggap diatas perahu. Selagi ia melompat, dua orang perwira dengan berbareng melepaskan anak panah, tapi kedua anak panah itu terpental dengan kibasan tangan. Begitu lekas kedua kakinya menginjak geladak perahu, ia menghantam dengan telapak tangan kirinya dan dua Hoan ceng, terpental setombak lebih, akan kemudian tercebur di dalam air. Melihat kelihayan si kakek, semua orang kaget bukan main; "Bangsat tua! Mau apa kau?"
bentak perwira yang memimpin rombongan.
"Anjing Tat cu !" Sam Hong balas mencaci. "Lagi - lagi kamu mencelakakan rakyat baik baik. Pergi!'
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kau tahu siapa mereka?" tanya si perwira. "Mereka adalah anak-anaknya penghianat dari Mokauw (agama siluman). Hong siang telah mengeluarkan firman untuk membekuk mereka!"
Mendengar "penghianat dari Mokauw", Thio Sam Hong rupanya terkejut juga. "Apakah mereka orang-orangnya Tincu Ciu Cu Ong?" Tanyanya di dalam hati. Ia menengok kepada sibrewok dan bertanya: "Apa benar?"
Dengan tubuh berlumpuran darah dan sambil memeluk mayat anak lelaki itu, ia menangis dan berkata:
"Siauwcukong (majikan kecil)... Siauw cukong binasa dipanah oleh meraka.. "
Si kakek jadi makin kaget. "Apakah anak itu puteranya Ciu Cu Ong?" tanyanya pula.
"Benar," jawabnya "Aku sudah gagal menunaikan tugasku. Biarlah aku mati bersama sama".
Perlahan-lahan ia menaruh mayat di atas geladak perahu dan kemudian menubruk perwira Mongol itu.
Tapi, sebab lukanya terlalu berat dan kedua anak panah itu belum dicabut dari pundak dan punggungnya, maka begitu melompat, ia roboh kembali. Nona kecil itu, yang lengannya tertancap sebatang anak panah, menangis dan sesambat: "Koko! Koko !... "
Di dalam hati, Sam Hong merasa menyesal bahwa ia sudah mencampuri urusannya Ciu Cu Ong. Akan tetapi, karena sudah terlanjur, ia tak bisa mundur ditengah jalan. Maka itu, ia menengok kepada siperwira dan berkata: "Anak itu sudah binasa dan mereka berdua telah mendapat luka berat, sehingga tak lama lagi merekapun akan turut binasa. Kalian sudah berpahala besar. Pergilah!"
"Tidak bisa!" kata perwira itu. "Kami mesti memenggal kepala ketiga orang itu."
"Perlu apa kalian berlaku begitu kejam ?" kata pula Sam Hong.
"Siapa kau" Mengapa kau berani campur campur arusan kami ?" tanya siperwira dengan aseran.
Sam Hong tertawa. "Siapa yang bisa menolong sesama manusia, haruslah dia menolong," jawabnya.
"Segala urusan dikolong langit boleh dicampuri oleh manusia di kolong langit."
Perwira itu melirik kawan-kawannya. "Siapa adanya Tootiang dan di mana letak kuil mu?" tanyanya.
Mendadak, dua perwira lain mengangkat golok dan menyabet pundak Sam Hong. Kedua senjata itu menyambar bagaikan kilat dan di atas perahu yang sempit, sungguh sukar untuk mengelakkannya. Tapi dengan hanya sekali miringkan badan, guru besar itu sudah kelit senjata musuh. Hampir berbareng, Sam Hong mengeluarkan kedua tangannya yang lalu ditempelkan di punggung kedua penyerang itu. "Pergilah
!" Bentaknya seraya mendorong dan tubuh kedua perwira itu lantas saja "terbang", akan kemudian jatuh di atas perahu mereka sendiri.
Sesudah puluhan tahun Sam Hong belum pernah bertempur dan hari ini ia sebenarnya menghadapi jago-jago pilihan dari kaizar Mongol. Semua jago itu kaget tak kepalang, sebab pihak mereka sedikitpun tak dapat berkutik.
Mendadak, seperti orang ingat sesuatu, pemimpin rombongan menatap wajah Sam Hong dengan mulut ternganga dan kemudian berkata dengan suara putus-putus: "Kau ... kau .. apa kau bukan ..."
"Aku adalah seorang yang biasa membunuh Tat cu," kata sikakek seraya mengibas dengan lengan jubahnya.
Hampir berbarengan semua orang itu merasakan satu sambaran angin dan dada mereka menyesak, sehingga mereka tidak dapat mengetuarkan sepatah katapun. Dilain saat, dengan muka pucat mereka berdulu dulu meninggalkan perahu itu dan sesudah menolong kedua Hoan ceng yang tercebur di air, mereka kabur secepat mungkin dengan ramai-ramai mendayung perahu.
Melihat sibrewok dan nona cilik itu dilukakan dengan anak panah beracun, Sam Hong segera mengeluarkan obat pemunah racun. Sesudah itu ia mendayung perahu kecil Itu, mendekati perahunya sendiri. Baru saja ia mau memapah sibrewok untuk berpindah keperahunya, orang itu sudah melompat dengan memeluk mayat dan tangan lain menyekel tangan si nona kecil.
Sam Hong manggut-manggutkan kepala. "Benar-benar laki-laki sejati," pujinya. "Meskipun sudah menderita luka berat, ia tetap menunjuk kesetiaan kepada majikan kecilnya. Aku tak merasa menyesal sudah menolongnya."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ia sendiri lalu melompat balik keperahunya, dimana ia segera mencabut anak panah yang menancap ditubuh si brewok dan si gadis cilik. Sesudah menaruh obat luka dan membalut luka itu, Sam Hong tidak lantas mendarat, karena ia menghadapi keadaan yang agak sukar. Bu Kie yang kedua belas Thay hiatnya ditotok, tidak bisa berjalan sendiri, sedang si brewok dan sinona kecil itu adalah pemburonan yang sedang dicari oleh kaki tangan kaizar Mongol. Jika mereka menginap di Loa ho kouw, Sam Hong merasa agak berat untuk melindungi tiga orang itu. Sesudah mengasah otak beberapa saat, ia merogoh saku bajunya, dan ia mengeluarkan beberara tahil perak yang lalu diserahkan kepada si tukang perahu.
"Saudara" katanya sambil bersenyum. "Aku ingin meminta pertolonganmu untuk membawa mereka ke Thay peng tiam supaya mereka bisa menginap disitu."
Si tukang perahu sebenarnya sangat ketakutan tapi melihat jumlah uang yang begitu besar, ia lantas saja manggut-manggut kepala.
Si brewok buru-buru berlutut diatas geladak perahu dan berkata: "Budi Loo tooya yang sangat besar tak akan dapat dibelas oleh Siang Gie Cun."
Sam Hong membangunkan orang itu seraya berkata "Siang Enghiong, tak usah, tak usah kau jalankan peradatan besar."
Tiba-tiba ia terkejut, sebab waktu tangannya menyentuh tangan Siang Gie Cun, ia merasa tangan itu dingin luar biasa. "Siang Enghiong apakah kau mendapat luka di dalam badan ?" tanyanya.
"Benar", jawabnya sambil mengangguk. "Dengan membawa kedua majikan kecil ini, Siauw jin (aku yang rendah) berangkat dari Sin yang untuk pergi ke Selatan. Di sepanjang jalan empat kali siauwjin bertempur dengan kuku garuda (kaki tangan kaizar) yang dikirim oleh Tatcu. Dada dan punggungku telah terkena pukulan seorang Hoan ceng."
Sam Hong segera memeriksa nadi Siang Gie Cun dan mendapat kenyataan, bahwa denyutan nadi sudah lemah sekali. Kemudian ia membuka baju si brewok dan begitu melihat lukanya, ia terkejut, karena luka itu sudah bengkak dan sangat berat. Ia mengerti, bahwa tanpa memiliki kekuatan badan yang luar biasa, Siang Gie Cun tentu sudah tidak dapat bertahan lagi. Ia segera mempersilahkan Gie Cun mengaso digubuk perahu dan melarangnya banyak bicara.
Mereka tiba di Thay pang kiam diwaktu malam. Sam Hong lantas saja pergi ke kota untuk membeli obat-obatan yang kemudian segera dimasak dan diberikan kepada Siang Gie Cun dan sinona kecil.
Gadis itu, yang baru berusia kira-kira sepuluh tahun dan yang paras mukanya mengunjuk, bahwa sesudah besar ia bakal jadi seorang wanita yang luar biasa cantik, duduk terpaku disamping mayat kakaknya. Melihat begitu, Sam Hong merasa kasihan dan menanya dengan suara lemah lembut: "Nona, siapa namamu?"
"Aku, Ciu Tit Jiak", jawabnya. "Bolehkah aku mendapat tahu nama Too tiang?"
Rasa simpathi guru besar itu jadi makin besar karena dalam kedukaannya, anak itu masih tetap agung dan sopan. "Aku, Thio Sam Hong." jawabnya.
"Ah!" demikian terdengar teriakan Siang Gie Cun yang lantas bangun duduk. "Kalau begitu Tootiang adalah Thio Cinjin dari Bu tong san! Tak heran jika Tootiang memiliki kepandaian yang begitu tinggi.
Aku merasa sangat beruntung, bahwa hari ini aku bisa bertemu muka dengan Sian tiang (dewa)"
"Jangan gunakan istilah dewa", kata si kakek seraya bersenyum. "Aku hanya berumur lebih panjang dari manusia kebanyakan Siang Enghiong, tidurlah. Jangan banyak bergerak supaya lukamu tidak terbuka lagi."
Melihat kegagahan Siang Gie Cun dan sopan santunnya Ciu Tit Jiak, Sam Hong merasa senang sekali.
Tapi begitu mengingat bahwa mereka itu adalah orang-orang dari golongan sesat, hatinya lantas saja berubah dingin. "Jie wie mendapat luka berat dan tidak boleh banyak bicara." katanya dengan suara tawar.
Dulu, Thio Sam Hong sebenarnya tidak begitu menghiraukan perbedaan antara golongan sesat dan lurus. lapun pernah mengatakan kepada Cui San, bahwa "ceng" (lurus besar) dan "sia" (sesat kotor) sukar dibedakan. Kalau berhati tidak baik, murid murid dari partai lurus bersih bisa melakukan perbuatan jahat,
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
sedang murid-murid dari partai yang katanya sesat kotor dapat melakukan perbuatan mulia, jika hati mereka bersih. Ia juga pernah mengatakan, biarpun angkuh dan beradat aneh, In Thian Ceng dari Peh bie kauw adalah laki laki yang bertanggung jawab atas segala perbuatan nya.
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi, semenjak Cui San membunuh diri ia membenci Peh bie Kauw. Ia menganggap, bahwa kebinasaan Cui San dan kecelakaan Jie Thay Giam adalah gara-gara Peh bie kauw. Walaupun ia masih dapat menahan sabar dan tidak menuntut balas terhadap In Thian Ceng, tapi di dalam hatinya sudah terdapat kebencian yang sangat terhadap partai golongan "sesat".
Ciu Cu Ong adalah murid terutama golongan Bie lek cong dari "agama" sesat. Beberapa tahun yang lalu. Ciu Cu Ong telah memberontak di Wan ciu dan mengangkat dirinya sendiri menjadi "kaizar", dengan kerajaan yang dinamakan "Ciu". Tapi bala tentaranya telah dibasmi habis oleh tentara Goan, dan ia sendiri ditangkap dan di hukum mati.
Bie lek cong dan Peh bie kauw mempunyai hubungan erat. Waktu Ciu Cu Ong memberontak, In Thian Ceng telah memberi banyak bantuan dari Ciat kang timur.
Bahwa Thio Sam Hong sudah menolong Siang Gie Cun dan Ciu Tit Jiak, adalah karena didorong oleh rasa kesatriaan dan juga sebab pada waktu turun tangan, ia masih belum tahu siapa adanya mereka itu.
Sekarang, mengingat nasib dua orang muridnya, tanpa merasa ia menghela napas panjang. Tak lama kemudian, si tukang perahu sudah selasai masak dan menaruh empat macam makanan dengan daging ayam, daging babi, ikan dan sayur, bersama sebakul nasi dan diatas sebuah meja kecil.
Sam Hong segera menyilakan kedua tamunya makan lebih dulu, sebab ia sendiri ingin manyuapkan Bu Kie yang tidak bisa bergerak. Atas pertanyaan Siang Gie Cun, ia menerangkan sebab musababnya.
Karena hatinya berduka, Bu Kie tidak bisa makan banyak. Baru saja menelan satu dua suap, ia sudah menggeleng-gelengkan kepala.
Tiba tiba Tit Jiak mengambil mangkok nasi dan sumpit dari tangan Sam Hong. "Too tiang, kau makan lebih dulu. Biar aku saja yang menyuapkan Toako," katanya.
"Aku sudah kenyang," kata Bu Kie.
"Toako, jika kau tak mau makan, Too tiang jadi kesal dan iapun tidak akan mau makan," kata si nona dengan halus. "Apa kau tega membiarkan orang tua itu kelaparan?"
Bu Kie merasa perkataan gadis itu ada benarnya juga. Maka, waktu Tit Jiak mengangsurkan sendok nasi kemulutnya, ia lalu membuka mulut data memakannya. Dengan hati-hati, si nona kecil mencabut tulang-tulang ikan dan ayam dan pada setiap sendok nasi, ia menambahkan kuah daging, sehingga menimbulkan napsu makan dan tidak lama kemudian, Bu Kie sudah menghabiskan semangkok nasi.
Melihat begitu, Sam Hong merasa terhibur, Diam-diam ia merasa bahwa dalam sakitnya yang begitu berat, Bu Kie memang harus dirawat oleh seorang wanita yang halus budi pekertinya. Semeatara itu, Siang Gie Cun makan dengan bernapsu. Ia telah menghabiskan semangkok sayur dan empat mangkok nasi, tapi daging dan ikan tidak disentuh olehnya.
Dilain pihak, meskipun ia seorang tosu, Sam Hong sendiri makan makanan berjiwa. Melihat nafsu makan Siang Gie Cun, ia segera menawarkan daging dan ikan kepada tamunya itu.
"Thio Cinjin," kata si brewok, "Sebagai orang yang memuja Po sat, aku tidak makan makanan berjiwa."
"Ah ! Aku lupa," kata Sam Hong.
Dalam kalangan "agama siluman", peraturan paling dipegang keras sekali. Anggauta "agama" itu setiap hari hanya diperbolehkan makan satu kali dan dilarang makan makanan berjiwa. Peraturan itu sudah berjalan sedari jaman kerajaan Tong. Oleh sebab sepanjang masa pemerintah selalu berusaha untuk membasminya, sedang orang-orang Rimba persilatan juga memandangnya rendah, maka anggauta-anggauta "agama" sesat sangat berhati hati dalam segala sepak terjangnya. Mereka tidak makan makanan berjiwa karena dilarang "agama" nya tapi terhadap dunia luar, mereka selalu mengatakan, bahwa mereka ciacay (hanya makan sayur sayur) sebab menyembah Po sat atau Sang Buddha. Mereka tidak berani mengakui siapa sebenarnya mereka.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Thio Cinjin, kau adalah penolong jiwaku," kata Siang Gie Cun sesudah selesai bersantap. "Sesudah kau tahu siapa adanya aku, akupun tak perlu menggunakan tedeng-tedeng lagi. Aku adalah seorang anggauta Beng kauw yang mengabdi kepada Beng cun. Agama kami dibenci oleb kerajaan, dipandang rendah oleh partai-partai persilatan yang lurus dan bahkan diejek oleh orang-orang "sejalan hitam"
(kawanan perampok). Tapi Thio Cinjia sendiri, malah sesudah mengetahui asal usul kami, masih rela menyodorkan tangan untuk menolong kami. Budi yang sangat besar itu tak akan dapat dibalas."
Pemimpin besar dari "agama" sesat itu dinamakan "Mo-ni", sedang para penganut memanggitnya dengan panggilan "Beng cun". Mereka menamakan "agama" mereka sebagai "Beng kauw." (Agama terang), sedang orang luar memberi nama "Mo kauw" atau Agama siluman.
Sam Hong mengawasi Gie Cun dengan mata tajam dan berkata: "Siang Enghiong...."
"Lo too ya," memutus Gie Cun, "janganlah kau menggunakan kata-kata enghiong. Panggil saja namaku, Gie Cun."
"Baiklah," kata guru besar itu sambil mengangguk. "Gie Cun, berapa usiamu sekarang?"
"Baru masuk duapuluh tahun," jawabnya.
Sam Hong mengawasi pemuda itu. Ia kelihatannya banyak lebih tua lantaran berewoknya yang tebal.
Dari suara dan gerak-geriknya, ia memang masih muda sekali.
Sam Hong manggut-manggutkan kepalanya. "Kau baru saja masuk usia dewasa, masih muda sekali,"
katanya. "Biarpun kau sudah masuk kedalam agama sesat, masih belum terlalu dalam. Jika kau mau memutar kepala, masih belum terlambat. Aku ingin mempersembahkankan dengan beberapa perkataan dan aku harap kau tidak menjadi gusar."
"Ajaran Tootiang tentulah juga berharga seperti emas dan batu kumala," kata pemuda itu sambil membungkuk. "Mana bisa aku merasa gusar?"
"Baiklah", kata guru besar itu. "Aku ingin menasehati supaya kau cepat-cepat mencuci hari dan mengubah muka supaya kau segera meninggalkan agama yang sesat itu. Manakala kau tidak mencela Bu tong pay yang ilmunya cetek, aku akan memerintahkan supaya muridku yang kepala, yaitu Song Wan Kiauw, menerima kau sebegai murid. Dihari kamudian kau akan bisa mengangkat muka dan tidak seorangpun berani memandang rendah lagi kepadamu."
(Bersambung Jilid 21) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 21 Song Wan Kiauw adalah kepala dari Bu tong cit hiap dan namanya telah menggetarkan seluruh Rimba Persilatan. Bagi ahli silat yang biasa untuk menemuinya saja, sudah bukan gampang. Dalam beberapa tahun yang belakangan, baru Bu tong Cit hiap mulai menerima murid. Tapi dalam penerimaan murid itu selalu dilakukan pemilihan dan penyaringan yang sangat keras. Hanialah orang orang yang berbakat dan beradat baik barulah di terima menjadi anggauta Bu tong pay. Siang Gie Cun adalah seorang anggauta
"agama" sesat. yang dipandang jijik oleh masyarakat seumumnya. Maka itu tawaran Thio Sam Hong merupakan juga rezeki luar biasa pemuda itu.
Tapi, diluar dugaan, Gie Cun menjawab dengan sikap hormat: "Bahwa aku, Siang Gie Cun telah mendapat penghargaan yang begitu tinggi dari Thio Cinjin, bukan main rasa terima kasihku. Akan tetapi, sesudah menjadi anggauta Beng kauw seumur hidup aku tak berani membelakangi agamaku itu"
Sam Hong coba membujuk lagi, tetapi pemuda itu tetap menolak dengan hormat dan tegas. beberapa saat kemudian, dengan rasa menyesal, ia lalu mendukung Bu Kie seraya berkata: "Kalau begitu, biarlah kita berpisahan disini saja," Dalam kata-kata perpisahan itu, ia malah tidak mengucapkan perkataan,
"sampai bertemu lagi," yang lazimnya digunakan.
Sebelum tuan penolong itu meninggalkan perahu, sekali lagi Siang Gie Cun menghaturkan terima kasih dengan berlutut.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Thio Toako," kata si nona cilik kepada Bu Kie, "setiap hari kau harus makan kenyang kenyang, supaya Loo too-ya jangan jengkel."
Air mata Bu Kie lantas saja mengembang dan dengan suara putus-putus ia menjawab: "Terima kasih untuk kebaikanmu.... Tapi aku hanya bisa makan nasi beberapa hari saja."
Bukan main rasa dukanya kakek guru itu. Ia mengangkat lengannya dan menggunakan tangan jubah untuk menyusut air mata cucu muridnya.
"Apa?" menegas Tit Jiak dengan suara kaget "Kau...kau..."
"Nona kecil, hatimu sangat mulia," kata Sam Hong, "Aku mendoakan supaya dibelakang hari kau jalan dijalanan yang lurus"
"Terima kasih atas nasehat Loo too-ya," jawab Ciu Tit Jiak.
"Thio Cinjin," tiba-tiba Gie Cun berkata, "kau memiliki Lweekang dan kepandaian yang sangat tinggi.
Biarpun luka saudara kecil itu sangat berat, aku percaya kau akan dapat menyembuhkannya."
"Benar," kata Sam Hong yang tanpa dilihat Bu Kie, sudah menggoyangkan tangan kirinya sebagai keterangan kepada Gie Cun, bahwa lukanya bocah itu tidak dapat diobati lagi.
Gie Cun terkejut. "Thio Cinjin," katanya pula, "aku sendiri telah mendapat luka yang sangat berat dan sekarang aku justeru ingin meminta pertolongan dari seorang tabib malaikat. Mengapa Thio Cinjin tidak mau mencoba-coba?"
Thio Sam Hong menundukkan kepala. "Semua pembuluh darahnya telah terbuka, sehingga racun dingin bisa membuyar dan masuk kedalam perutnya," katanya dengan suara perlahan. "ia tidak akan dapat disembuhkan dengan memakai obat biasa dan di dalam dunia, tak seorangpun bisa mengobatinya."
"Tapi," kata Siang Gie Coan, "tabib malaikat yang dimaksudkan olehku memiliki kepandaian luar biasa tinggi, sehingga kata orang ia malah mampu menghidupkan mayat."
Sam Hong terkejut dan mendadak saja, ia ingat satu orang. "Apakah yang dimaksudkan olehmu bukan Tiap-kok Ie sian?" tanyanya.
"Benar," jawabnya. "Kalau begitu, Tootiang pun mengenal Ouw Supehku."
Guru besar itu kelihatan agak bersangsi. Memang sudah lama ia mendengar nama Tiap kok le Sian Ouw Ceng Goe yang dipandang rendah oleh orang Rimba Persilatan. Ia mempunyai adat yang sangat aneh. Kalau orang yang sakit atau terluka anggauta "agama"nya, ia segera menolongnya dengan sepenuh tenaga tanpa mau menerima bayaran apapun jua. Tapi, kalau yang memohon pertolongan bukan pengikut
"agama", biarpun dibayar dengan laksaan tail emas, ia tak akan meladeni.
"Aku lebih suka Bu Kie mati dari pada menyerahkan nya kepada orang dari agama sesat itu," katanya di dalam hati.
Melihat kesangsian Sam Hong, pemuda itu dapat menebak apa yang dipikirnya dan ia lantas saja berkata: "Thio Cinjin, meskipun Ouw Supeh biasanya menolak untuk mengobati orang luar, tapi karena Thio Cinjin telah menolong jiwa Ciu Kouw nio, ia pasti akan membuat kecualian. Andaikata ia menolak, Gie Cun pasti tak mau mengerti."
Sam Hong menghela napas dan berkata dengan suara duka: "Mengenai kepandaian Ouw Sinshe, sudah lama aku mendengarnya. Hanya sayangnya, racun dingin yang mengeram di dalam tubuh Bu Kie sekarang ini tidak akan dapat disembuhkan dengan obat biasa...."
"Thio Cinjin!" teriak Gie Cun. "Mengapa kau begitu bersangsi" Kalau diobati oleh Supehku, paling banyak saudara kecil itu tidak sembuh. Kalau kekiri mati, kekananpun mati, perlu apa Tootiang memikir panjang?"
Sebagai orang yang beradat polos, ia bicara segala apa yang berkelebat diotaknya.
Mendengar "kekiri mati, kekananpun mati", hati guru besar itu bergoncang keras. "Apa yang dikatakan olehnya memang tidak salah," pikirnya. "Menurut penglihatanku, paling banyak Bu Kie bisa bertahan dalam tempo sebulan lagi." Mengingat begitu, ia lantas saja berkata: "Gie Cun, baiklah, aku minta
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
pertolonganmu. Akan tetapi, sebelum pertolongan diberikan, aku ingin menjelaskan terlebih dulu, bahwa Sinshe tidak boleh membujuk atau memaksa Bu Kie masuk kedalam agama kalian. Disamping itu, jika Bu Kie benar menjadi sembuh, Bu tong pay tidak menanggung budi agama kalian."
"Thio Cinjin," kata Gie Cun, "dengan berkata begitu, kau jadi memandang terlalu rendah kepada orang-orang kami." Ia berpaling kepada Ciu Tit Jiak dan berkata puta: "Ciu Kauwnio, aku ingin kau mengikut Thio Cinjin untuk sementara waktu. Apa kau suka?"
Sebelum si nona menjawab, Sam Hong sudah mendahului: "Apa?"
"Aku tahu bahwa Thio Cinjin tidak suka pergi kepada Ouw Supehku," kata Gie Cun. "Dapat dimengerti, bahwa lurus dan sesat tidak bisa berdiri berendeng. Thio Cinjin adalah seorang guru besar pada jaman ini. Cara bagaimana Thio
Cinjin bisa meminta pertolongan dari seorang anggauta agama sesat" Disamping itu, adat Ouw Supeh juga aneh sekali. Jika ia bertemu dengan Thio Cinjin, mungkin sekali Ia tidak berlaku sopan santun, sehingga pertemuan itu bisa berakibat sebaliknya daripada apa yang diharap. Maka itu, menurut pendapatku, sebaiknya saudara Thio dibawa olehku sendiri. Tapi, akupun mengerti, bahwa Thio Cinjin merasa sangsi untuk menyerahkan saudara Thio kepadaku. Maka itulah, aku minta Ciu Kouwnio berdiam di Bu tong san untuk sementara waktu. Nanti, sesudah saudara Thio sembuh, aku akan mengantarkannya ke Bu tong san dan sekalian mengambil pulang Ciu Kouwnio. Dengan perkataan yang lebih tegas, aku ingin minta Ciu Kauwnio mengikut Thio Cinjin untuk dijadikan semacam tanggungan."
Dalam pergaulannya selama puluhan tahun, Thio Sam Hong selalu berterus terang dan menaruh kepercayaan kepada orang-orang Rimba Persilatan. Akan tetapi, Thio Bu Kie adalah turunan tunggal dari muridnya yang tercinta, sehingga memang benar ia sangat bersangsi untuk menyerahkannya kepada seorang dari kalangan "agama" sesat.
Sebelumnya guru besar itu sempat menjawab, Siang Gie Cun sudah berkata pula "Ciu Cie Ong, Ciu Toako, adalah seorang yang bener-benar luhur pribudinya. Sesudah gagal dalam gerakannya di Sin yan, duapuluh tiga anggauta keluanganya telah dibinasakan oleh Tat-cu. Bahkan ibu Toako yang sudah berusia tujuhpuluh delapan tahun, tidak luput dari kebinasaan. Sesudah bertempur mati-matian, barulah aku dapat menolong seorang putera dan seorang putrinya. Tak dinyana, Siauw kongcu telah binasa terpanah musuh sehingga Kauwnio merupakan turunan yang satu-satunya dari Ciao Toako. Sebagai salah seorang pemimpin Beng kauw, Ciu Toako mempunyai banyak musuh. Bukan saja Tat cu, tapi musuh musuh lainnya pun akan menyukarkan Thio Cinjin jika mereka tahu, bahwa Ciu Kauwnio berada di Bu tong..."
Tanpa merasa Sam Hong tertawa. Sebelum ia menyanggupi untuk menerima Ciu Tit Jiak, pemuda yang polos itu sudah memperingatkannya. Ia berdiri bengong beberapa saat. Memang juga, lain jalan tidak ada, kekiri mati, kekananpun mati, jalan satu-satunya ialah mencoba coba kepandaian Tiap-kok Ie sian. Mengingat begitu, ia lantas saja berkata: "Gie Cun baiklah. Aku akan merawat Ciu Kauwnio baik baik dan kaupun harus merawat Bu Kie sebaik baiknya. Sesudah anak itu sembuh, kuharap kau lekas-lekas datang di Bu tong san."
"Thio Cinjin tak usah kuatir," jawabnya dengan suara lantang. "Aku pasti akan menunaikan tugas dengan sepenuh tenaga"
Sehabis berkata begitu, ia melompat kedarat dan membuat sebuah lubang ditanah dengan ujung golok, kemudian, sesudah membuka semua pakaian yang menempel dimayat majikan kecilnya, ia lalu menguburnya dalam keadaan telanjang.
Sesudah itu, bersama Ciu Tit Jiak, ia memberi hormat didepan kuburan. Nona Ciu menangis sedih, sedang ia sendiri berdiri tegak sambil menahan mengucurnya air mata.
Mayat bocah itu dikubur dalam keadaan telanjang adalah sesuai dengan kebiasaan Bang kauw.
Menurut "agama" itu, seorang manusia yang dilahirkan kedalam dunia dengan tidak memakai pakaian, haruslah berpulang ke alam baka dalam keadaan begitu juga. Sam Hong yang tidak tahu sebab musabab penguburan yang aneh itu, hanya menhela napas dengan perasaan, bahwa sepak terjang orang-orang
"agama" sesat benar-benar sesat.
Pada keesokan paginya, sambil menuntun Tit Jiak, guru besar itu berpisahan dengan Gie Cun dan Bu Kie. Semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia, Bu Kie menganggap sang kakek guru seperti kakeknya sendiri. Sekarang secara mendadak kakek guru itu meninggalkannya, sehingga tanpa tertahan lagi, air matanya mengucur deras.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Bu Kie," kata Sam Hong sambil mengusap usap kepala anak itu. "Sesudah kau sembuh Siang Toako akan membawa kau pulang ke Bu tong. Kita hanya berpisahan untuk beberapa bulan dan kau tak perlu bersusah hati."
Anak itu yang kaki tangannya sudah tidak bisa bergerak akibat totokan sang kakek guru, hanya manggut-manggutkan kepala, sedang air matanya mengucur.
Melihat begitu, nona Ciu segera kembali keperahu. Ia mengeluarkan sehelai sapu tangan kecil dari sakunya dan lalu menyusut air mata Boo Kie. Ia bersenyum dan sesudah memasukkan sapu tangan itu ditangan baju Bu Kie, barulah ia melompat balik kedarat.
Hati Sam Hong bergoncang. "Nona kecil itu, sangat cantik dan dihari kemudian, ia pasti akan menjadi seorang wanita yang ayu luar biasa," pikirnya. "Sesudah Bu Kie sembuh, aku tidak boleh membiarkan mereka bertemu muka lagi. Jika mereka sampai saling menyinta, hikayat Cui San mungkin akan terulang lagi."
Dengan hati duka, Bu Kie mengawasi bayangan sang kakek guru yang menuju ke arah barat sambil menuntun tangan nona Ciu, yang tidak berhentinya mengulap-ulapkan tangan, sehingga bayangannya menghilang diautara pohon-pohon.
Sesaat itu, hati si bocah mencelos, benar-benar ia merasa hidup sebatang kara dalam dunia yang lebar ini dan air matanya kembali mengucur.
Gie Cun mengerutkan alis. "Saudara Thio, berapa usiamu?" tanyanya.
"Dua belas tahun," jawabnya.
"Hm... " Gie Cun mengeluarkan suara di hidung. "Usia dua belas tahun bukan anak anak lagi. Apa kau tak malu, menangis" Waktu aku berusia duabelas tahun, aku sudah menerima pukulan ratusan kali, tapi tidak setetes air mata keluar dari mataku. Seorang laki-laki sejati hanya boleh mengucurkan darah, tak boleh mengucurkan air mata. Kalau kau terus menangis seperti bayi, aku akan hajar kau."
Melihat kegarangan si brewok, Bu Kie jadi agak keder. "Baru saja Thay suhu pergi, kau sudah begitu galak." pikirnya. "Entah berapa besar kesengsaraan yang bakal diderita olehku." Mengingat begitu, ia lantas saja berkata dengan suara nyaring. "Aku menangis karena merasa sedih harus berpisahan dengan Thay suhu. Aku belum pernah menangis sebab pukulan. Mau pukul boleh kau pukul. Kalau hari ini kau memukul aku satu kali, dihari kemudian nanti aku akan membalas sepuluh kali."
Gie Cun tertawa terbahak-bahak, "Bagus! Bagus !" katanya. "Itulah perkataan seorang laki laki. Kau begitu liehay, tak berani aku memukul kau."
"Mengapa " Aku sedikitpun tidak bisa bergerak," kata si bocah.
"Kalau hari ini aku memukul kau, dikemudian hari, sesudah kau memiliki kepandaian tinggi, bagaimana aku kuat menerima sepuluh kali pukulanmu ?" jawabnya.
Bu Kie tertawa. Ia merasa bahwa meskipun garang, Siang Toako bukan seorang jahat.
Dengan mengunakan perahu, mereka menuju ke Han kouw dan sesudah tiba di Han kouw, Gie Cun menyewa lain perahu dan berlayar kealiran sebelah bawah dari Tiangkang timur.
Tiap kok, atau selat kupu kupu, tempat tinggal Tiap kok Ie sian terletak di pinggir telaga Lie san ouw, sebelah utara propinsi An hui. Sebagaimana diketahui, dari Han kouw sampai di Kioe kang, sungai Tiang kang mengalir kejurusan tenggara. Sesudah melewati Kioe kang, sungai itu membelok kearah timur laut dan masuk ke propinsi An hui.
Bu Kie berlayar dengan perasaan duka. Ia ingat bahwa pada dua tahun berselang, ia pernah berlayar di sungai Tiangkang bersama sama kedua orangtuanya dan pa man Jie Lian Ciu. Selama dalam pelayaran, ia gembira bukan main, tetapi sekarang, kedua orang tuanya sudah meninggal dunia secara mengenaskan, kaki tangannya tidak bisa bergerak dan ia sendiri berada dalam rawatan seorang sahabat baru dalam perjalanan untuk memohon pertolongan kepada seorang aneh. Antara kedua pelayaran itu terdapat perbedaan seperti langit dan bumi. Ia bersedih, tapi sebisa bisa ia menahan mengucurnya air mata, karena kuatir ditertawai olen Siang Toakoo.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Setiap hari, pada Cu sie (antara jam 11 malam dan jam 1 lewat tengah malam) dan Ngo sie (antara jam 1 siang sampai jam 1 lohor), racun dingin mengamuk dalam tubuhnya. Sambil mengertak gigi dan menggigit bibir, ia menahan sakit, sehingga bibirnya sampai tertuka akibat gigitan. Di samping itu, makin hari serangan racun makin hebat.
Pada suatu hari mereka tiba di Kwa po, sebelah bawah Cip keng (sekarang Nan king). Dengan mendukung Bu Kie, Gie Cun mendarat dan lalu menyewa kereta untuk meneruskan perjalanan ke utara.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Beng Kong, di sebelah timur Hong yang.
Gie Cun tahu bahwa Supehnya yang beradat aneh itu paling tidak senang tempat tinggalnya di ketahui orang. Maka itu, pada waktu kereta berada dalam jarak kira-kira dua puluh li dari Lie san ouw, ia segera turun dari kereta dan sambil menggendong Bu Kie, lalu melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.
Tapi diluar dugaannya, baru saja ia berjalan kurang lebih satu li badannya lemas dan napasnya tersengal-sengal. Ia terkejut dan mengerti, bahwa itulah akibat dari luka yang dideritanya karena pukulan im ciang dari dua pendeta asing.
Bu Kie merasa sangat tidak tega. "Siang Toa ko." katanya. "Jalan saja perlahan-lahan. Jangau kau merusak badan."
"Celaka sungguh!" kata Gie Coan dengan gusar. "Menurut kebiasaan, sekali lari aku bisa melalui seratus li. Apakah pukulan kedua pendeta bangsat itu sedemikian hebat, sehingga aku tidak dapat berjalan lagi?" Dengan amarah yang meluap-luap ia berjalan terus. Baru jalan puluhan tombak, ia merasa tulang-tulangnya seperti mau copot. Tapi Siang Gie Cun seorang keras kepala dan keras hati. Sambil mengertak gigi, ia maju terus, setindak demi setindak.
Dengan kemajuan yang sangat lambat itu, sampai malam barulah mereka melalui separuh perjalanan.
Jalanan gunung yang berbelit belit dan turun naik menambah penderitaan pemuda itu.
Akhirnya, waktu tiba disebuah hutan ia tak dapat bertahan lagi. Perlahan-lahan ia menaruh Bu Kie diatas tanah dan kemudian, ia merebahkan diri untuk mengaso. Ia mengeluarkan kue phia dari sakunya dan membagi kue itu kepada Bu Kie untuk menangsal perut.
Sesudah mengaso kira-kira setengah jam, Gie Cun bangun berdiri untuk meneruskan perjalanan, tapi Bu yang merasa kasihan terhadapnya, berkeras untuk mengaso semalaman dihutan itu. Sesudah berpikir sejenak, ia merasa pendirian si bocah ada benarnya juga. Andaikata, mereka bisa tiba dirumah Ouw Ceng Goe pada malam itu, sang Supeh yang beradat aneh mungkin bergusar karena diganggu tidurnya dan kalau dia bergusar, mungkin sekali dia akan menolak untuk mengobati. Memikir begitu, ia lantas saja menyetujui usul Bu Kie.
Mereka tidur dengan menyender dikaki sebuah pohon besar. Kira-kira tengah malain, racun dingin mengamuk lagi dan Bu Kie memanggil keras. Karena sungkan mengganggu Gie Cun yang sudah capai lelah, ia menahan sakit sambil menggigit bibir.
Selagi ia bergulat melawan racun dingin itu, sekonyong-konyong terdengar suara beradunya senjata, disusul dengan suara bentakan seorang: "Mau lari kemana kau?"
Bentakan, disusul pula dengan teriakan beberapa orang lain.
"Cegat ditimur ! Cepat ! Supaya dia masuk kehutan!"
"Bangsat gundul itu tidak boleh dilepaskan ! Cegat!"
Hampir berbareng terdengar tindakan sejumlah orang yang menuju kearah hutan.
Dengan kaget Siang Gie Cun tersadar. Satu tangannya segera menghunus golok, lain tangan mendukung Bu Kie, siap sedia untuk melarikan diri sambil bertempur.
"Siang Toako, kurasa mereka bukan maui kita," bisik Bu Kie.
Gie Cun mengangguk. Di dalam hati ia sudah mengambil keputusan, bahwa meskipun mesti membuang jiwa, ia akan coba melindungi keselamatan bocah itu. Hanya ia merasa menyesal, bahwa sesudahb mendapat luka, ilmu silatnya sekarang sudah musnah seanteronya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mereka mengintip dari belakang sebuah pohon besar. Mereka melihat berkelebat-kelebatnya bayangan orang tujuh delapan orang sedang mengurung dan mengerubuti satu orang. Karena gelap, mereka tak tahu siapa adanya orang-orang itu. Mereka hanya tahu, bahwa orang yang dikepungnya melawan dengan tangan kosong dan bahwa orang itu lihay luar biasa, sehingga biarpun dikerubuti, ia masih dapat membela diri secara bagus sekali.
Sesudah bertempur beberapa lama, setindak demi setindak, orang-orang itu mendekati tempat bersembunyinya Gie Cun berdua. Pada waktu sang rembulan muncul dari alingan awan hitam mereka melihat, bahwa orang yang dikepung ialah seorang pendeta yang berusia kira-kita lima puluh tahun, tubuhnya kurus jangkung data mengenakan jubah pertapaan serba putih. Dipihak pengepung terdapat pendeta, imam, seorang lelaki yang memakai pakaian koan kee (pengurus rumah tangga) dan dua orang perempuan. Makin lama Gie Cun makin merasa heran. Delepan pengurung itu masing masing memiliki kepandaian tinggi. Dua orang pendeta yang satu bersenjata Sian thung dan yang lain memegang golok menyerang dengan pukulan-pukulan yang disertai sambaran angin dahsyat, sehingga daun-daun pohon meluruk jatuh kebawah.
Si imam, tosu yang bersenjatakan pedang panjang, aneh gerak-gerakannya. Sebentar ia melompat kekiri, sebentar kekanan. Sedang pedangnya yang menggetar tak henti-hentinya mengeluarkan sinar berkeredepan.
Lelaki yang berpakaian seperti koan kee, kate kecil tubuhnya. berguling-guling ditanah dan menyerang bagian bawah sipendeta jubah putih dengan menggunakan ilmu golok Tee tong To hoat. Kedua goloknya terputar putar bagaikan sebuah bola yang menggelinding di tanah.
Kedua wanita itu, yang bertubuh langsing dan masing masing mencekal sebatang pedang, juga menyerang dengan pukulan pukulan yang sangat lihay.
Selagi bertempur hebat, salah seorang wanita mendadak memutar badan, sehingga separuh mukanya disoroti sinar rembulan.
"Kie Kouwnio!" seru Bu Kie dengan suara tertahan. Wanita itu bukan lain daripada Kie Siauw Hu, tunangan In Lie Heng. Tadi melihat pendeta si jubah putih dikerubuti oleh begitu banyak orang, Bu kie merasa mendongkol terhadap pihak pengepung. Tapi sekarang sesudah melihat Kie Siauw Hu, pandangannya berubah dan ia menganggap, bahwa pendeta itu manusia jahat.
"Delapan orang mengerubuti satu orang, terlalu tak mengenal malu." Gie Cun berkata seorang diri.
"Siapa mereka?"
"Yang wanita dari Go bie pay," bisik Bu Kie, "Hm... dua pendeta itu orang Siauw Lim sie." Sesudah mengawasi pertempuran beberapa saat, dia berkata pula "Si tosu orang Kun loan pay. Lihatlah! Pukulan Tay mo Hui su (Tay mo Hu see artinya Pasir beterbangan di gurun pasir) itu sungguh amat hebat. Itulah pukulan simpanan dari Kun lun pay. Tapi siapakah lelaki yang menggunakan ilmu silat Tee tong To hoat?"
"Apa bukan dari Khong tong pay ?" tanya si brewok.
"Bukan," jawabnya. "Dalam Tee tong to hoat Khong thong pay, orang halus menggunakan sebatang golok yang dicekal di tangan karan, dan sebatang toya ditangan kiri. Orang itu menggunakan sepasang golok."
Mendengar keterangan si bocah, Siang Gie Cun merasa kagum. "Setiap murid Bu tong benar-benar berpengetahuan luas," pikirnya. Tapi ia tak tahu bahwa pengetahuan itu didapat Bu Kie bukan dari Bu tong tapi dari ayah angkatnya.
Sebagaimana diketahui, di dalam tekad untuk membalas sakit hatinya, Cia Sun telah mempelajari hampir semua ilmu-ilmu silat yapg dikenal di dalam Rimba Persilatan.
Pertempuran berlangsung terus dengan hebatnya, akan tetapi pendeta jubah putih itu masih tetap dapat mempertahankan diri. Tubuhnya berkelebat kelebat bagaikan kilat, tenaganya dahsyat luar biasa, sedang gerakan tangannya hampir tak bisa dilihat tegas, karena terlampau cepat.
Tiba-tiba terdengar bentakan salah seorang: "Gunakan senjata rahasia !"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si kate kecil dan si imam lantas saja melompat keluar dari gelanggang pertempuran, disusul dengan menyambarnya nyambrnya peluru serta Hui to (golok terbang) ke arah si pendeta. Diserang secara begitu, dia mulai keteter.
"Pheng Hweeshio !" bentak si imam. "Kami bukan maui jiwamu, perlu apa kau nekad-nekadan"
Serahkan Pek Kwie Sioe dan kita akan berpisahan sebagai sahabat."
Siang Gie Cun terkesiap, "Pheng Hweeshio" bisiknya.
Bu Kie pun tidak kurang kagetnya. Waktu berada dalam perjalanan pulaing ke Bu tong bersama kedua orang tuanya dan Jie Lian Ciu ia pernah mendengar, bahwa Pek Kwie Sioe adalah orang Peh bie kauw satu satunya yang bisa pulang dengan selamat dari pulau Ong poan San. Dan murid murid Kun loan juga terlolos dari kebinasaan, tapi mereka hilang ingatan karena teriakan Cia Sun. Maka itu, selama belasan tahun, dalam pertempuran dangan Peh bie kauw tujuan jago-jago berbagai partai adalah untuk mendesak supaya Pek Kwie Sioe memberitahukan dimana adanya Cia Sun.
"Apakah Pheng Hweeshio segolongan dengan ibuku?" tanya Bu Kie di dalam hati.
Sementara itu, Pheng Hweeshio sudah menjawab dengan suara Iantang: "Pak Tancu sudah dilukakan berat oleh kamu. Jangankan aku dan dia-masih sama-sama orang-orang segolongan, terhadap orang luar sekalipun, aku tak bisa mengawasi kebinasaan dengan berpeluk tangan."
"Omong apa kau!" bentak si imam. "Mengawasi kebinasaan dengan berpeluk tangan" Kau tahu, tujuan kami bukan mengnendaki jiwanya. Kami hanya menyelidiki tempat bersembunyinya seorang."
"Kalau kamu mau menyelidiki dimana adanya Cia Sun, mengapa kamu tidak mau pergi kepada Hong thio Siauw lim sie?" tanya si pendeta.
"Tutup bacotmu!" bentak si pendeta Siauw lim. "Apa kau tidak tahu, bahwa itu hanya tipu busuk dari perempuan siluman In So So?"
Mendengar disebutkannya nama mendiang ibunya, Bu Kie merasa bangga agak bercampur duka."Hm
.... sesudah meninggal dunia, ibu masih bisa membuat kalian semua pusing kepala," katanya di dalam hati Sambil bicara, pertempuran berlangsung terus dengan dahsyatnya. Si tosu mengajak, bicara dengan tujuan untuk memecah pemusatan pikiran Pheng Hweeshio. Tapi pendeta itu yang cerdas otaknya dan tinggi ilmu silatnya, tidak kena diakali. Biarpun mulutnya bicara, kewaspadaannya sedikitpun tidak jadi berkurang. Tapi, karena jumlah musuh terlalu besar dan musuh-musuh itu pun bukan sembarang orang, maka ia tetap tidak berhasil dalam usahanya untuk menerjang keluar dari kepungan.
Sekonyong-konyong, si imam yang melepaskan senjata rahasia dengan berdiri diluar gelanggang, berteriak: "Celaka! Senjata rahasia habis!" berbareng dengan teriakan itu, semua kawannya menggulingkan diri ditanah dan lima batang golok terbang menyambar bagaikan kilat. Ternyata kata kata
"senjata rahasia habis" adalah semacaan isyarat supaya semua orang bergulingan untuk menyingkirkan diri dari sambaran lima batang Huito yang menyambar dalam bentuk bunga bwee.
Dalam keadaan biasa, dengan menundukkan kepala, membungkuk, melompat kedepan atau menjengkangkan diri, Pheng Hweeshio akan dapat mengelakkan lima golok itu yang menyambar dadanya. Tapi sekarang, sebab sambil bergulingan, keenam musuhnya juga menyerang dengan senjata mereka, maka bagian bawah badannya tertutup semua.
Bu Kie mencelos hatinya. Mendadak tubuh Pheng Hweeshio meleset keatas kira-kira setombak tingginya, dan lima buah golok terbang lewat di bawah kakinya. Tapi, meskipun senjata rahasia sudah dielakkan, Sianthung dan golok kedua pendeta Siauw lim serta pedang dari toesu Kun loan pay sudah manyambar lututnya dengan berbareng. Sesaat itu tubuh Pheng Hwee shio masih di tengah udara, sehingga, mau tidak mau, ia terpaksa menggunakan pukulan yang berbahaya dan membinasakan.
"Ptak!", telapak tangan kirinya menghantam kepala seorang pendeta Siauw lim dan dengan sekali menjambret, tangan kanannya sudah merampas golok pendeta itu, yang lalu digunakan untuk menangkis Sianthung. Dengan meminjam tenaga dari bentrokan kedua senjata itu, badannya "terbang" beberapa tombak jauhnya. Pendeta Siauw lim yang ditepuk kepalanya, sudah binasa seketika itu juga. Sambil berteriak-teriak, tujuh kawannya mengubar Pheng Hweeshio.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Di lain saat, badan Pheng Hweeshio kelihataan bergoyang-goyang, hampir-hampir jatuh terguling, dan ketujuh musuhnya lantas saja mengurung.
Sambil memutar Sianthung, si pendeta Siauw lim menerjang dan berteriak "Pheng Hweeshio! Kau membinasakan Suteeku. Mari kita mengadu jiwa !"
"Lututnya sudah kena Sia wie kauw (Gaetan buntut kalajengking. semacam senjata rahasia) !" teriak si tosu Kun lun. "Tak lama lagi, dia akan mampus keracunan!"
Benar saja, tindakan Pheng Hweeshio kelihatan limbung dan perlawanannya terhadap si pendenta Siauw lim, sudah kalut.
"Celaka!" bisik Siang Gie Cun. "Ia adalah guru Ciu Toako. Bagaimana aku harus menolongnya?"
Bu Kie tahu, bahwa si brewok adalah manusia yang tidak bisa menonton kecelakaan kawan sambil berpeluk tangan. Biarpun dirinya sendiri terluka berat, ia masih mau menolong orang. Andai kata ia sampai menerjang keluar, ia hanya akan mengantarkan jiwa dengan cuma-cuma. Tiba-tiba Bu Kie mendapatkan serupa ingatan dan ia lantas saja berkata: "Siang Toako, kau ingin menolong Pheng Hweeshio bukan?"
"Tidak bisa tidak ditolong!" jawabnya. "Ia kena senjata beracun, Tapi, aku sendiri .... aku sendiri ...."
"Aku mempunyai serupa daya untuk memulihkan tenagamu," memutus si bocah. "Kau akan bisa bertahan selama setengah jam, tapi dengan demikian, kau akan merusak tenaga dalammu."
Sesudah mendengar keterangan si bocah mengenai limu silat berbagai partai, Gie Cun percaya, bahwa anak yang sangat pintar itu adalah murid istimewa dari Thio Sam Hong, sehingga ia tidak menyangsikan omongan itu.
"Untuk menolong jiwa manusia, aku rela merusak tenaga dalamku sendiri."
"Ambillah dua butir batu yang tajam," bisik Bu Kie.
Gie Cun segera melakukan apa yang diminta. "Apa ini boleh?" tanyanya sambil mengangsurkan kedua batu itu.
"Boleh," jawab si bocah sambil mengangguk. "Dengan tajamnya batu, totoklah samping pahamu, dibawah pinggang."
"Disini?" tanya Gie Cun sambil menunjuk samping pahanya.
"Lebih bawah sedikit," kata si bocah. "Ya! benar disitu. Kesebelah dikit, setengah coan. Bagus! Nah, sekarang totoklah."
Si berewok lantas saja menotok paha kanannya dengan batu itu dan hampir berbareng, ia merasa pahanya kesemutan.
"Inilah ilmu yang dinamakan Tie sin Tah hiat hoat (ilmu menotok jalan darah untuk mempertinggi semangat)," menerangkan Bu Kie. "Totoklah paha kirimu."
Si berewok agak bersangsi. Walaupun belum pernah belajar, ia tahu bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat ilmu Tiam hiat yang dapat melumpuhkan anggauta badan manusia. Akan tetapi, meskipun mengingat itu, ia tetap percaya omongan Bu Kie, karena menurut anggapannya, sebagai sebuah partai persilatan yang namanya menggetarkan dunia, Bu tong pay tentunya juga mempunyai cara-cara yang lain dari pada yang lain. Demikianlah, ia segera menotok lagi pada paha kirinya.
Tapi, di luar dugaan, begitu paha kirinya tertotok, separuh badannya, mulai dari pinggang ke bawah, tidak dapat digerakkan pula.
Sementara itu, sesudah melompat beberapa tombak jauhnya, Pheng Hweeshio lalu roboh di tanah.
"Saudara Thio!" kata si brewok dengan bingung. "Mengapa.... badanku seperti mati separoh ?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie tertawa geli di dalam hati, karena Siang Gie Cun sudah tertipu, tapi ia pura pura kaget dan mengeluarkan seruan tertahan: "Celaka! Kau tidak mengerti Tiam hiat, mungkin sekali kau salah dalam menggunakan tenaga. Tunggulah sebentar."
Siang Gie Cun bukan seorang tolol. Di lain saat ia sudah mengerti, bahwa ia terjebak oleh muslihat si bocah nakal. Tapi iapun tahu, bahwa dengan berbuat begitu, Bu Kie bermaksud baik sekali. Ia tidak dapat berbuat lain daripada menghela napas dengan perasaan mendongkol tercampur geli.
Pheng Hweeshio menggeletak di tanah tanpa bengerak, seolah olah ia sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan. Akan tetapi biarpun begitu, musuh musuhnya masih belum berani mendekati.
"Kouw Sutee, cobalah kau menimpuk lagi dengan dua buah golok terbangmu, untuk mencoba-coba,"
kata si tosu Kun lun pay.
Too jin yang dipanggil "Kouw Sutee," segera mengayun tangan kanannya dan dua Huito menyambar, yang satu menancap di pundak kanan Pheng Hweeshio, sedang yang lain mengenakan paha kirinya. Tapi pendeta jubah putih itu tetap tidak bergerak, suatu bukti, bahwa dia benar benar sudah binasa.
"Sayang ! Sayang dia sudah mati," kata si too su Kun lun. "Sekarang sukar diselidiki, dimana dia menyembunyikan Pek Kwie Sioe."
Semua lalu mendekati "mayat" Pheng Hweesio.
Mendadak, mendadakan saja, terdengar Suara "plak... plak.... plak ...." lima kali beruntun, dan lima orang roboh terguling! Hampir berbareng, dengan semangat bergelora, Pheng Hweeshio bangun berdiri, dengan pundak dan paha masih tertancap golok.
Ternyata, sesudah kena senjata beracun dan yakin, bahwa jiwanya tidak akan dapat ditolong lagi, Pheng Hweesio lalu pura-pura mati. Begitu lawannya mendekati, ia segera menghantam lima orang musuh lelaki dengan pukulan Ngoheng ciang. Ia sengaja mengampuni dua orang lawan wanita, yaitu Kie Siauw Hu dan Sucinya yang bernamar Teng Bin Kun.
Dalam kagetnya, kedua murid Go bie pay itu melompat mundur. Mereka melihat, bahwa kelima kawannya muntahkan darah dan dua antaranya yang Lweekangnya agak lemah, sudah jatuh berlutut.
Sesudah mengeluarkan banyak tenaga, tubuh Pheng Hweeshio pun bergoyang-goyang.
"Teng Kouwnio, Kie Kouwnio!" teriak si too su Kun lun. "Tikamlah bangsat gundul itu!"
Antara sembilan orang yang tadi bertempur, seorang pendeta Siauw lim sudah binasa, sedang Pheng Hweeshio dan lima lawannya mendapat luka berat, sehingga hanya Teng Bin Kun dan Kie Siauw Hu yang tidak kurang suatu apa.
Mendengar teriakan si tosu Kun lun, Teng Bin Kun segera mengangkat pedang dan menyabet kaki si pendeta.
Pheng Hweeshio mengeluh. "Karena merasa kasihan terhadap orang perempuan, aku tidak berlalu kejam terhadap kamu, tapi tidak dinyana, rasa kasihanku berbalik mencelakakan diriku sendiri" katanya di dalam hati. Ia meramkan kedua matanya untuk menunggu kebinasaan.
Tiba-tiba terdengar suara "trang!" suara benturan senjata. Pheng Hweeshio membuka mata dan mendapat kenyataan, bahwa yang menolongnya ialah Kie Siauw Hu.
"Eh, mengapa kau begitu?" tanya Teng Bin Kun dengan kaget.
Nona Kie tertawa. "Suci," katanya. "Pheng Hweeshio tidak berlaku kejam terhadap kita dan kitapun tidak boleh membunuh dia."
"Aku juga bukan mau mengambil jiwanya," kata Teng Bin Kun. "Aku hanya ingin memaksa supaya dia memberitahukan tempat sembunyinya Pek Kwie Sioe."
"Dia telah keracunan hebat, paling dulu kita harus memunahkan racun itu," kata Kie Siauw Hu seraya mendekati si tosu Kun lun dan berkata: "Saudara See leng, berikanlah obat pemunah Sie wie kauw kepadaku."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Too ho (nama sebagai orang pertapaan) dari toojin itu ialah See leng cu, sedang toojin yang melepaskan golok terbang bernama See ciat cu dan mereka kedua duanya adik sepenguruan See hoa cu.
"Belenggu dulu padanya," kata See leng cu. "Hweeshio ltu banyak akal bulusnya...." Ia bicara dengan napas tersengal-sengal karena pukulan Ngo beng ciang telah membuatnya terluka berat.
Kie Siauw Hu mengangguk dan sesudah mengambil seutas tambang, ia menghampiri Pheng Hweeshio. "Pheng Taysu" katanya dengan suara lemah lembut, "aku mohon maaf untuk kekurangan ajarku."
Karena tak ada jalan lain, mau tak mau si pendeta membiarkan kaki tangarnya dibelenggu.
Sesudah itu barulah See leng cu mengeluarkan obat yang lalu diserahkan kepada nona Kie dengan memberitahukan juga cara-cara menggunakannya. Siauw Hu lalu mencabut dua Huito yang menancap dipundak dan paha Pheng Hweeshio dan kemudian menaruh obat dilubang-lubang.
"Pheng Hweeshio!" bentak Teng Bin Kun. "Su moyku berhati murah dan sudah menotong jiwamu.
Sekarang beritahukanlah dimana adanya Pek Kwie Sioe."
Peng Hweeshio tertawa terbahak-bahak. "Teng Kouwnio," katanya, "dengan berkata begitu, kau memandang aku terlalu rendah. Thio Ngohiap dari Bu tong pay lebih suka bunuh diri daripada memberitahukan tempat tinggal saudara angkatnya. Pribudi Thio Ngohiap yang luhur itu dikagumi sungguh oleh Pheng Eng Giok. Maka itu biarpun aku bukan seorang ternama, aku ingin mengikut perbuatan Thio Ngohiap."
Mendengar itu, bukan main rasa bangganya Bu Kie. Kematian Cui San sangat disayangkan oleh orang-orang Rimba Persilatan dan mereka menganggap, bahwa kebinasaan Thio Ngohiap adalah karena menikah dengan seorang wanita "siluman" dari partai yang sesat. Sebagai anak yang cerdas, Bu Kie tahu, bahwa dalam omong omong antara kakek guru dan para pamannya, mereka sangat berduka akan kematian ayahnya, tetapi mendongkol terhadap mendiang ibunya. Tapi dari semua pembicaraan yang pernah didengarnya, belum pernah ada seorang yang mengutarakan rasa hormat begitu besar terbadap ayahnya seperti pengutaraan Pheng Hweeshio.
Teng Bin Kun tertawa dingin. "Dengan menikah dengan perempuan siluman, Thio Cui San seperti juga sudah buta matanya," katanya. "Dia sendiri juga yang rela menjadi seorang hina dina. Apa orang begitu pantas dibuat contoh" Bu tong pay...."
"Suci!" memutus Kie Siauw Hu.
"Jangan kuatir," kata sang kakak sepenguruan "Aku tak akan menyeret nama In Liok hiap," Ia mengibas pedangnya yang lalu ditudingkan kemata kanan si pendeta. "Kalau kau tidak bicara, lebih dulu kutusuk mata kananmu." Ia mengancam dengan suara bengis. "Kemudian kutikam mata kirimu. Sesudah itu, kusodok kuping kanan dan kuping kirimu dan akhirnya kupapas hidungmu. Tapi kau tak usah kuatir.
Biar bagaimanapun juga, aku tak akan mengambil jiwamu." Ujung pedang yang berkilauan dan menggetar tak hentinya itu hanya terpisah setengah dim dari mata kanan Pheng Hweeshio.
Tetapi Pheng Hweeshio sedikitpun tidak menjadi gentar. Dengan mata tak berkedip, ia berkata: "Sudah lama kudengar, bahwa Biat coat Suthay dari Go bie pay seorang kejam. Sekarang aku mendapat kenyataan, bahwa si murid tidak banyak berbeda dengan sang guru. Hari ini Pheng Eng Giok sudah jatuh kedalam tanganmu dan kau boleh berbuat sesukamu."
"Bangsat gundul!" teriak Teng Bin Kun. "Kau berani menghina guruku?" Dengan sekali mendorong pedangnya, mata kanan Pheng Hweeshio sudah menjadi buta dan kemudian ia menempelkan ujung pedang dikelopak mata kiri si pendeta.
Tapi pendeta itu tertawa terbabak-babak sedang mata kirinya yang terbuka lebar menatap muka musuhnya. Ditatap begitu, dengan sinar mata yang berkeredepan, jantung Teng Bin Kun memukul keras.
"Kepala gundul !" bentaknya pula. "Aku sungguh tak mengerti akan sikapmu. Kau bukan anggauta Peh bie kauw, tapi mengapa kau rela membuang jiwamu untuk manusia seperti Pek Kwie Sioe ?"
"Biarpun aku menerangkan kepadamu tentang cara-caranya seorang kesatria, kau tentu tak akan mengerti." jawabnya dengan suara duka.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melihat paras muka si pendeta yang seolah-olah memandang rendah kepadanya, Teng Bin Kun meluap darahnya dan sekali lagi ia menggerakkan pedang untuk menusuk mata kiri Pheng Hweeshio.
Dengan cepat Kie Siauw Hu menangkis dengan senjatanya. "Suci. Dia keras kepala dan biar bagaimanapun jua, ia pasti tidak akan membuka mulut," katanya. "Meskipun dibinasakan tiada guna nya."
"Dia mencaci Suhu sebagai seorang kejam, maka biarlah dia menyaksikan kekejamanku." kata Teng Bin Kun. "Siluman Mo kauw semacam dia hanya bisa mencelakakan manusia baik-baik. Maka itu, jikalau kita menyingkirkannya dari muka bumi ini berarti kita terbuat baik terhadap sesama manusia,"
"Tapi tidak bisa disangkal, bahwa dia seorang gagah yang tidak takut mati," Siauw Hu coba membujuk lagi. "Suci, menurut pendapatku, sebaiknya kita memberi ampun kepadanja."
"Tidak bisa !" bentak sang kakak sepenguruan "Dua Suheng dari Siauw lim pay yang satu binasa, satu terluka. Sedang dua Tootiang dari Kun lun Pay mendapat luka barat, sedang dua saudara dari Hay see pay terluka lebih hebat juga. Apa tangannya tidak cukup kejam " Sekarang biarlah aku menusuk mata kirinya.
Sesudah itu, baru kita menanyakan lagi tempat sembunyinya Pek Kwie Sioe."
Sehabis berkata begitu, bagaikan kilat pedangnya lantas menyambar mata kiri Pheng Hweeshio.
Sekali lagi Kie Siauw Hu menangkis pedang Sucinya. "Suci," katanya dengan suara memohon. "Dia sudah tidak bisa melawan lagi dan jika kita menganiaya dia, aku kuatir partai kita akin mendapat nama jelek dalam Rimba Persilatan."
Teng Bin Kun mendelik. "Minggir! Jangan perdulikan aku," bentaknya.
Kie Siauw Hu kelihatan bingung dan berkata pula: "Suci.... "
"Jangan rewel!" Memutus Bin Kun. "Kalau kau menganggap aku sebagai kakak seperguruan, kau harus mendengar omonganku."'
"Baiklah," kata nona Kie.
Sekali lagi pedang Teng Bin Kun menyambar mata kiri Pheng Hweeshio. Kali ini ia menggunakan tiga bagian tenaga Lweekang. Iapun mengerakkan tenaga dalam. "Trang!" kedua senjata kebentrok dan kedua saudari sepenguruan terhuyung beberapa tindak.
Teng Bin Kun marah besar, "Sumoay !" bentaknya. "beberapa kali dengan mati-matian kau melindungi pendeta siluman itu. Apa sebenarnya maksudmu ?"
Kie Siauw Hu tertawa, "Aku hanya ingin meminta supaya Suci jangan menganiayanya." jawabnya dengan sabar, "Jikalau kita ingin menyelidiki dimana tempat sembunyinya Pek Kwie Sioe, kita hanya bisa menanyakan nanti secara perlahan lahan."
Teng Bin Kun tertawa dingin. "Huh ! Apakah kau kira aku tak tahu jalan pikiranmu ?" tanyanya dengan nada mengejek. "Berapa kali In Liokhiap dari Bu tong pay mendesak supaya kau menikah dengannya. Mengapa kau selalu menolak dengan memberikan rupa-rupa alasan" Waktu ayahmu turut mendesak, mengapa kau kabur dari rumahmu ?"
"Suci itu adalah urusan sumoay pribadi," kata nona Kie "Mengapa Suci jadi menyebut nyebut hal itu
?" Sang kakak mengeluarkan suara dihidung. "kita sama tahu." katanya. "Di hadapan orang luar, memang kurang baik jika aku membuka topengmu. Huh! Badanmu berada di Go bie, tapi hatimu di pihak Mo kauw !"
Mendengar perkataan itu, Siauw Hu gusar tak kepalang, sehingga paras mukanya berubah pucat. "Aku selalu menghormati kau sebagai seorang kakak dan belum pernah aku berbuat kesalahan terhadapmu,"
katanya dengan suara gemetar "Tapi mengapa hari ini kau menghina aku sedemikian hebat?"
"Kalau benar-benar hatimu tidak condong, kepada Mo kauw, coba tusaklah mata kiri pendeta siluman itu." kata Teng Bin Kun.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Suci," kata nona Kie dengan suara duka. "Sebagaimana kau tahu, semenjak jaman Siauw ong-sia Kwee Sucouw (Kwee Siang), di dalam partai kita terdapat banyak sekali wanita yang tidak mau menikah seumur hidupnya. Oleh karena mengagumi kemuliaan mendiang guru besar kita, siauwmoaypun telah mengambil keputusan untuk tidak menikah. Siauwmoay menganggap, hal itu hal yang lumrah saja.
Mengapa Suci mendesak begitu hebat ?"
"Sudah! Aku tak suka dengar segala omonganmu!" bentak Bien Kun. "Jika kau tidak mau menikam mata pendeta siluman itu, aku akan mencopoti topengmu."
Mendengar ancaman itu, Siauw Hu kelihatannya tak berani berkeras lagi. "Suci," katanya dengan suara halus, "aku memohon kepadamu, suci, dengan mengingat kecintaan antara sesama saudara sepenguruan, janganlah kau mendesak aku terlalu hebat."
Wanita she Teng itu tertawa. "Aku bukan memaksa kau mengerjakan pekerjaan yang sulit," katanya,
"Sebagaimana kau tahu, Suhu telah memerintahkan kita untuk menyelidiki tempat bersembunyinya Kim mo Say ong Cie Sun. Sekarang, pendeta itu adalah orang satu-satunya yang bisa memberi penerangan kepada kita, tapi dia bukan saja sungkan membantu kita, malah sudah melukakan juga kawan-kawan kita.
Kesatria Berandalan 4 Pendekar Kembar Karya Gan K L Tusuk Kondai Pusaka 17
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
sudah jatuh diatas cabang pohon siong tua yang tingginya kira-kira lima tombak dari muka bumi. Begitu jatuh, si raksasa melupakan malu dan berteriak-teriak dengan ketakutan.
Meskipun hebat tenaga Sam Hom adalah tenaga "lembek", sehingga Bwee Ciok Kian tak terluka sedikitpun jua. Tapi ia tidak berani melompat turun, karena tidak mengerti ilmunya mengentengkan badan. Maka itu dengan jantung berdebar keras, ia memeluk cabang pohon itu erat-erat.
Semua orang menyaksikan kejadian itu dengan rasa heran bercampur geli. Dua orang sebawahan Bwee Pangcu yang mahir dalam ilmu ringan badan, lantas saja bergerak untuk menolong pemimpinnya.
Sementara itu, Sam Hong kelihatan bicara bisik bisik dikuping Bu Kie yang manggut-manggutkan kepalanya. Si bocah lantas saja menjemput sebutir batu kecil dan lalu menyentilnya kearah cabang pohon yang sedang dipeluk Bwee Pangcu. Batu itu terbang dengan mengeluarkan bunyi mengaung, "Tak"....
cabang yang dipeluk si raksasa patah dan tubuhnya yang seperti pagoda besi segera ambruk kebawah! Bu Kie melompat dan menepuk punggung si korban.
Waktu melayang jatuh, Ciok Kian merasa pasti, bahwa ia akan terluka berat. Tapi diluar dugaan, ia dipapaki dengan tepukan dan badannya lantas ngapung lagi keatas. Selagi melayang kebawah untuk kedua kalinya, ia berniat menggunakan gerakan Lee hie hoan sin (Ikan gabus membalik badan) agar ia bisa hinggap ditanah diatas kedua kakinya. Tapi heran sungguh, tepukan Bu Kie membuat kaki tangannya lemas semua, sedikitpun tak dapat digerakkan. Demikianlah, ia jatuh ambruk dan sesudah itu, barulah ia dapat merangkak bangun.
Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa itu semua adalah perbuatan Thio Sam Hong. Begitu bangun terdiri, ia mengangkat kedua tangannya seraya berkata: "Enghiong kecil, aku merasa takluk terhadapmu."
Sehabis berkata begitu, buruburu ia menyemplak kudanya dan mengajak orang orangnya turun gunung secepat-cepatnya.
Kong bun dan yang lain-lain kaget tak kepalang. Sudah lama mendengar kelihayan Thio Sam Hong, tapi baru sekarang mereka menyaksikannya dan apa yang barusan dipertunjukkan oleh pendiri Bu tong pay itu adalah lebih hebat dari pada dugaan maka. Kong bun sebenarnya tak sudi saling menukar ilmu, tapi sesudah melihat kelihayan Sam Hong, ia berkata dalam hatinya: "Biar pun aku berlatih lima puluh tahun lagi, aku tak akan dapat menandinginya. Ia ternyata memiliki ilmu yang luar biasa, ia berkepandaian jauh Iebih tinggi dari pada aku, sehingga kalau toh aku tukar-menukar dengannya, aku tak rugi."
Memikir begitu, in lantas saja bertanya: "Thio Cinjin, apakah ilmu Kat te Coan kang itu didapat dari Kioe yang Cin keng?"
"Bukan," jawabnya. llmu ini dinamakan Thay kek kang, adalah ciptaan Siauwtoo. Aku yang telah menggubahnya dengan semacam ilmu pukulan yang diberi nama Thay kek loan Sip sam sit (Tigabelas jurus ilmu pukulan Thay kek) dan ilmu pukulan itu tiada sangkut pautnya dengan Kioe yang Cin keng.
Manakala Thaysu sudah menolong cucu muridku, aku tidak akan berlaku pelit dan bersedia untuk merundingkan ilmu pukulan itu bersama-sama kalian."
Kong bun melirik Kong tie yang lantas saja mengangguk. "Kalau begitu, baiklah," katanya, "Kami akan membuka rahasia Kioe yang Cin keng kepada Thio Kongcu. Akan tetapi, kami hanya menurunkan ilmu itu kepada Thio Kongcu seorang dan Thio Kongcu tidak dapat mengajarkannya lagi kepada siapapun jua. Disamping itu, Thio Kongcu juga tidak boleh menggunakan ilmu tersebut untuk bertempur dengan murid-muridnya Siauw Iim sie. Dalam kedua perjanjian ini, kamimenuntut sumpah yang berat dari Thio Kong cu"
Thio Sam Hong jadi girang sekali. "Bu Kie, kedua syarat itu boleh diterima baik," katanya, "Ayolah, kau boleh bersumpah !"
Tapi anak itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak mau bersumpah dan akupun tak sudi belajar ilmu mereka," katanya.
Sang kakek guru terkejut, tapi ia lantas saja mengerti perasaan anak itu. Ia tahu, bahwa Bu Kie beradat keras dan lebih suka mati daripada memohon-mohon di hadapan musuhnya. Maka itu, ia lantas saja menuntun anak itu dan mengajaknya keluar Lip soat teng.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah terpisah agak jauh dari pendeta-pendeta Siauw lim tie, ia berkata: "Anak, waktu mau berangkat, kau sudah berjanji akan menerima pelajaran dari Siauw lim pay. Mengapa sekarang ini kau justeru melanggar janji?"
"Mereka ingin aku bersumpah untuk tidak menggunakan ilmu Kioe yang Cin keng terhadap murid-murid Siauw lim sie," jawabnya. "dengan adanya sumpah itu, cara bagaimana dibelakang hari aku bisa membalas dendam sakit hatinya kedua orang tuaku"
"Kalau sekarang ini kau menolak pelajaran Kioe yang Cin keng, dalam tempo setahun, kau akan meninggal dunia," kata sang kakek guru. "Sesudah mati, bagaimana kau bisa menuntut balas" Di dalam dunia terdapat banyak sekali ilmu silat yang sangat lihay. Jika nanti kau sudah berhasil, kau bisa membales sakit hati dengan menggunakan ilmu silat yang lain. Tak perlu kau menggunakan ilmu Kioe yang Cin keng. Kalau sudah mencapai puncak ke sempurnaan, ilmu manapun jua cukup untuk membalas sakit hatimu."
Sesudah memikir sejenak, Bu Kie berkata "Baiklah, aku turut perintah Thay suhu." Mereka segera kembali ke Lip soat teng. Bu Kie lantas saja menekuk lutut dan berkata dengan suara nyaring: "Hari ini teecu Thio Bu Kie menerima pelajaran Kioe yang Cin keng dari pendeta suci Siauw lim pay, dengan tujuan untuk mengobati luka. Teecu berjanji tidak akan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain dan juga tidak akan menggunakan ilmu itu untuk bertempur dengan murid-murid Siauw lim sie. Kalau teecu melanggar janji, biarlah teecu mati membunuh diri sendiri, seperti apa yang dilakukan oleh ayah dan ibuku."
Sebagaimana diketahui, pada waktu baru terlahir, Bu Kie telah diberikan kepada Cia Sun dan ia menggunakan she Cia. Cui San dan isteri nya ingin menunggu putera yang kedua guna menyambung turunan koluanga Thio. Sesudah kedua suami isteri itu binasa dan mereka tak punya anak yang lain, maka atas anjuran Lian Ciu, Lie Heng dan lain-lain paman, Bu Kie menggunakan lagi she Thio.
Sesudah bersumpah, Bu Kie bangun berdiri.
"Dibelakang hari aku akan menggunakan lain ilmu untuk membasmi hweeshio-hweeshio itu," pikirnya dengan mendongkol.
Kong bun Thaysu lantas saja merangkap kedua tangannya dan memuji: "Siancay, siancay Siauw siecu (tuan kecil) telah bersumpah terlampau berat!" Ia berpaling kearah Thio Sam Hong dan berkata pula:
"Kami akan mengajak Siauw sie cu kedalam kuil untuk memberikan pelajaran Sin kang. Tapi bagaimana dengan Thay kek Sip sam sit?"
"Aku minta kertas dan perabot tulis, dan di sini serta sekarang juga aku akan menulis Thay kek sip sam sit serta bagian-bagian Kioe yang Cinkeng yang dikenal olehku," jawabnya.
"Kalau begitu, baiklah," kata Kong bun yang lalu memberi hormat dan kemudian bersama yang lainnya, kembali kekuil dengan mengajak Bu kie.
Sambil berjalan, bukan main rasa mendongkolnya Bu Kie. "Kioe yang kang Bu tong belum tentu kalah dari Kioe yang kang Siauw lim" Pikirnya. "Kalau Thay Suhu hanya menukar Kioe yang kang dengan Kioe yang kang, itu baru namanya adil. Tapi kamu mau ditambahkan juga dengan Thay kek kun Sip sam sit. Di samping itu, sesudah mempelajari Kioe yang kang Bu tong, kamu boleh turunkan ilmu itu kepada orang lain dan juga boleh menggunakannya terhadap murid murid Bu tong. Tapi pihak Bu tong tidak boleh. Inilah sangat tidak adil. Karena gara garaku seorang, Song Supeh, Jie Supeh dan yang lain-lain tidak akan bisa mengangkat kepala lagi. Hai! Bagaimana baiknya ?" la sangat berduka, tapi ia tidak berani membantah perintah sang kakek guru.
Setibanya di dalam kuil, Kong bun mengantar kan Bu Kie kesebuah kamar kecil. "Siauw Siecoo mengasolah disini," katanya. "Aku akan segera mengirim orang untuk mengajar ilmu kepadamu." Sehabis berkata begitu, ia mengebas dangan tangan jubahnya dan jalanan darah Sweehiat (jalanan darah yang jika tertotok menyebabkan tidur pulas) Bu Kie lantas saja tertotok.
Kong bun Taysu adalab salah seorang dari empat pendeta suci dari Siauw lim sie. Tak usah dikatakan lagi, ia memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Begitu tertotok jalan darahnya, Bu Kie segera pulas dan menurut perhitungan, ia baru akan tersadar empat jam kemudian. Tapi Kong bun tak tahu, bahwa anak itu memiliki Lweekang luar biasa yang diturunkan oleh Cia Sun. Dan karena adanya Lweekang itu kedudukan jalan darahnya bisa berpindah-pindah. Dua tahun berselang, pada waktu ia dibawa oleb penculik yang menyamar sebagai serdadu Goan, jalan darah Ah hiatnya (jalan darah gagu) telah ditotok.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi toh, ia masih dapat berteriak "ayah!" Sekarangpun demikian. Baru pulas beberapa saat, ia sudah tersadar kemball.
Sesudah ingatannya pulih, ia mendengar suara Kong tie yang berkata: "Thio Tah tah adalah guru besar dari sebuah partai sehingga kalau dia sudah menyanggupi, ilmu yang ditulisnya pasti tidak palsu.
Andaikata dia sengaja tidak menulis terang, sesudah mempelajarinya, aku merasa pasti kita akan mengerti."
Kecurigaan Bu Kie lantas saja timbul. Ia kuatir kalau-kalau pendeta-pendeta itu mau berlaku licik.
Maka itu, ia lantas saja memeramkan kedua matanya dan pura-pura pulas.
Tapi kecurigaan itu sebenarnya tidaklah perlu. Biarpun perhubungan antara Siauw lim dan Bu tong sudah agak renggang, tapi Kong bun, Kong tie dan Kong seng adalah pendeta suci yang tak akan merusak nama baik Siauw lim sie dengan akal bulus.
"Thay kek Sip sam sit dan Bu tong Kioe yang kang yang ditulis Thio Sam Hong sudah pasti tak palsu,"
kata Kong bun. "Akan tetapi, kita sendiri belum pernah mempelajari Siauw lim Kioe yang kang. Apakah untuk kepentingan orang luar, kita harus memohon-mohon di hadapan Goan tin?"
Bu Kie kaget. la tidak pernah menduga bahwa pendeta pendeta suci itu belum pernah mempelajari Siauw lim Kioe yang kang. Kekuatirannya lantas saja timbul. Ia kuatir mereka turunkan ilmu palsu.
Sementara itu, Kong tie sudah berkata pula: "Suheng, kau adalah Ciang bun Hong thio (pemimpin partai dan pemimpin kuil). Maka itu, menurut pendapatku, perintahmu tak dibantah oleh Goan tin, tindakanmu ini adalah untuk memperkaya Siauw lim pay dan bukan guna kepentingan sendiri."
Kong Sun menghela napas. "Kalau Kong Kian Suheng masih hidup, kita boleh tak usah menhadapi kesukaran ini," katanya dengan suara meyesal. Sesudah berhenti sejenak, ia berkata pula "Sam sutee, pergilah kau membawa Sek thungku (tongkat timah) dan memberi perintah kepada Goan tin, supaya ia turunkan ilmu Kioe yang kang kepada pemuda she Thio itu."
"Baiklah," kata Kong tie.
Sebagaimana diketahui, waktu dulu Kak wan menghafal Kioe yang Cin keng ada tiga orang yang mendengarnya, yaitu Thio Sam Hong, Kwee Siang dan Bu sek Siansu. Belakangan Kioe yang kang yang diperkembangkan oleh Thio Sam Hong dinamakan Bu tong Kioe yang kang, yang diperkembangkan Kwee Siang dikenal sebegai Go bie Kioe yang kang, sedang yang diperkembangkan oleh Bu sek Siansu ialah Siauw lim Kioe yang kang.
Karena sangat sulit, maka dalam tiap partai hanya beberapa orang saja yang mewarisi ilmu itu. Dalam kalangan Siauw lim sie, tak pernah ada seorang pun yang memiliki tujuh puluh dua macam ilmu silat.
Jumlah yang mempelajari Siauw lim Kioe yang kang lebih sedikit lagi. Dari jaman Bu sek sampai pada Kong kian, dalam setiap turunan hanialah seorang saja yang belajar dalam ilmu tersebut. Mengapa"
Karena, di samping memiliki banyak sekali ilmu, murid-murid Siauw Lim sie selalu menganggap Kak wan Taysu sebagai murid pemburon, sehingga biarpun Kioe yang kang sangat tinggi mutunya, sedikit sekali yang suka mempelajarinya.
Hanya untuk menjaga supaya ilmu itu tidak menjadi hilang, maka pada setiap turunan selalu ada seorang murid yang mempelajarinya.
Pada jaman itu di dalam kalangan Siauw lim sie hanya murid penutup (murid yang diterima paling belakang) dari Kong kian Taysu yang mengerti Siauw Lim Kioe yang kang. Tapi murid itu, yang bernama Goan tin, aneh sekali adatnya. Ia tidak persudi keluar dari kamarnya dan kecuali tiga pendeta suci, tak seorangpun dalam kuil yang di ladeni olehnya.
(Bersambung Jilid 20) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 20 Menurut kebiasaan, setiap tahun murid-murid Siauw lim sie dijajal kepandaiannya oleh ketiga pendeta suci. Semua murid mengambil bagian. Hanya Goan tin seorang yang saban-saban mengatakan sakit,
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
entah benar, entah bohong, sehingga oleh karenanya, tak seorangpun yang tahu cetek dalamnya kepandaiannya. Dan sekarang, karena Kioe yang kang hanya dimiliki Goan tin seorang dan harus diturunkan olehnya kepada Bu Kie, tidaklah heran kalau Kong bun bertiga merasa sangsi.
Beberapa saat kemudian Kong tie kembali dan berKata Goan tin sungguh aneh. Dia mengatakan, bahwa sesudah mengabdi pada Sang Buddha, ia juga tidak mau bertemu dangan orang luar, tapi karena Hong thio sudah mengeluarkan perintah, maka ia bersedia untuk mengajar ilmu dengan cara Kay tiang Coan tang (Mengajar ilmu dengan teraling tirai).
"Sesukanialah," kata Kong bun. "Sutee, bawalah pemuda ini kepada Goan tin. Sesudah itu, perintah pengurus dapur mengantarkan sebuah meja perjamuan ke Lip soat teng. Biar bagaimanapun jua, Thio Sam Hong adalah pemimpin dari sebuah partai besar dan kita tidak boleh tidak berlaku hormat."
Sementara itu, Bu Kie terus berlagak pulas. Sesudah lewat sekian lama, barulah datang seorang pendeta kecil yang membawa makanan dan sesudah ia selesai bersantap, pendeta itu lantas saja berkata:
"Siauwsiecu, ikutlah aku."
"Kemana?" tanyanya.
"Hong thio memerintahkan aku membawamu kepada seseorang."
"Kepada siapa ?" tanya lagi Bu Kie.
"Hong thio memesan supaya aku jangan banyak bicara." jawabnya.
Bu Kie mengeluarkan suara dihidung. Diam diam ia mentertawai Kong bun bertiga, sebab ia sendiri sudah tahu, bahwa ia bakal dibawa kepada Goan tin Hweshio.
Tanpa menanya lagi, ia lalu mengikuti pendeta kecil itu. Sesudah melewati belasan gedung dan banyak pekarangan, sehingga Bu Kie merasa sangat kagum akan luas dan megahnya Siauw lim sie, barulah mereka tiba disebuah bangunan kecil yang dikurung dengan pohon pohon siong dan pek. Sambil berdiri didepan tirai pintu, pendeta kecil
itu berseru: "Siauwsiecu sudah tiba!"
"Masuk," demikian terdengar suara seseorang.
Bu Kie lantas saja mendorong pintu dan bertindak masuk, sedang si pendeta kecil lalu mengunci pintu.
Si bocah mengawasi kesekitarnya. Kamar itu ternyata sebuah kamar kosong. Kecuali selembar tikar ditengah tengah, tidak terdapat apapun jua.
Sesudah mendengar bahwa Goan tin akan memberi pelajaran dengan cara "Kay tiang Coan kang", ia menduga bahwa dalam kamar itu dipasang semacam tirai. Di luar dugaan, kamar itu bukan saja kosong melompong, tapi juga tidak mempunyai lain pintu sehingga tak dapat ditebak dari mana datangnya suara manusia yang barusan. Selagi ia terheran-heran tiba-tiba terdengar pula suara itu: "Duduk! Dengarlah aku segera menghafal Siauw lim Kioe yang kang. Aku hanya akan menghafal satu kali. Terserah kepadamu, berapa banyak yang bisa diingat olehmu. Hong thio telah memerintahkan aku memberi pelajaran itu kepadamu. Aku menurut perintah. Tapi apa kau mengerti atau tidak adalah urusanmu sendiri."
Bu Kie memasang kuping. Sekarang barulah ia tahu bahwa suara itu datang dari tembok sebelah dan Goan tin hweeshio berdiam dikamar sebelah. Pada hakekatnya, mengirim dari alingan tembok bukan kepandaian luar biasa. Siapapun jua dapat melakukannya. Apa yang luar biasa ialah suara Goan tin kedengarannya tegas sekali, seperti juga ia bicara berhadap hadapan. "Lweekang pendeta itu sungguh hebat," kata Bu Kie di dalam hati.
Sesaat kemudian, oraag itu berkata perlahan lahan: "Tubuh berdiri tegak, kedua tangan yang dirangkapkan ditaruh didada, hawa tenang, semangat dipusatkan, hati tenteram, paras muka mengunjuk sikap menghormat. Inilah jurus pertama yang dinamakan Wie hok Yan couw (Wie Hok mempersembahkan gada). Ingatlah!"
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula : "Kedua tumit kaki ditancapkan diatas bumi. Kedua tangan dipentang keluar dengan rata. Hati tenang hawa tentaram mata membelalak mengawasi kedepan mulut ternganga. Ini jurus kedua, Hun tan Hang mo couw ( Memikul gada untuk menakluki siluman ).
Kau ingatlah." Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Seterusnya ia menghafal jurus ketiga, keempat kelima sampai pada jurus keduabelas. Mengenai jurus keduabelas, ia berkata: "Jurus ini dinamakan Tiauw wie Yauw tauw (Mengibas buntut, menggoyang kepala), dengan Kouwkoat seperti berikut: Lutut lurut, lengan dilonjorkan, mendorong dengan tangan sehingga mengenakan bumi. Mata membelalak, menggoyangkan kepala, semangat dipusatkan sehingga menjadi satu. Sesudah itu melempangkan tubuh dan menjejak tanah dengan kaki, mengendurkan bahu, memanjangkan lengan, menyabet tujuh kali kekiri kanan dan sekarang sudah selesai Ilmu Kioe yang Ie kin, dikolong langit tiada tandingan."
Hampir berbareng dengan perkataan "dikolong langit tiada tandingan", ia membentak: "Siapa mencuri mendengar diluar" Masuk!"
"Brak!" pintu terpental dan sesosok tubuh manusia jatuh ngusruk. Orang itu bukan lain daripada si pendeta kecil yang tadi mengantar Bu Kie kekamar itu. Dia jatuh meringkuk, kedua matanya meram dan pada mukanya terlihat rasa sakit yang hebat. Bu Kie terkejut buru-buru ia menghampiri untuk membangunkannya.
"Kau urus saja urusanmu sendiri," kata orang dikamar sebelah, "Sekarang kau memerlukan semua kekuatan otakmu untuk mengingat-ingat Kouw koat yang barusan dihafal olehlu. Tidak dapat kau memecah perhatianmu."
"Dua belas jurus itu sudah diingat olehku seanteronya," kata si bocah.
"Apa benar" Coba kau hafal," kata Goan tin. Di dengar dari nada suaranya, ia merasa heran bukan main.
Bu Kie lantas saja menghafal Kouw koat yang barusan diturunkan kepadanya, dari jurus pertama Wie hok Hian couw sampai Tiauw wie Yauw tauw, jurus kedua belas. Benar saja, dalam hafalan itu, tak satu perkataanpun yang salah.
Untuk sejenak Goan tin tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Waktu menerima perintah Kong bun untuk mengajarkan Kioe yang kang kepada orang luar, ia mendongkol dan jika mungkin, ia tentu sudah menolak. Akan tetapi, peraturan dalam kuil Siauw lim sie selalu dipegang keras dan perintah seorang Hong thio, merangkap Ciangbunjin, tidak boleh dilanggar. Di samping itu, perintah Kong bun hanya berbunyi "mengajar anak itu" dan bukan "mengajar anak itu sampai dia paham". Maka itu, menurut anggapannya, jika ia menghafal Kouw koat cepat-cepat, paling banyak si bocah akan ingat satu dua perkataan. Tapi diluar semua perhitungannya, Bu Kie sudah berhasil memasukkan Kouw koat selengkapnya kedalam otaknya. Ia merasa kagum bukan main, karena kecerdasan dan bakat yang begitu luar biasa sungguh jarang terdapat dalam dunia ini.
Melihat si pendeta kecil terus meringkuk dilantai, Bu Kie merasa sangat tidak tega dan segera bertanya: "Siansu, apakah kedosaannya Siauw suhu ini ?"
"Dia mencuri dengar pelajaran tadi dari luar pintu," jawabnya, tawar. "Aku telah menggunakan Kim kong Sian ciang untuk mengajar adat kepada nya. Jangan kuatir. Dalam beberapa saat, ia akan sembuh kembali." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata lagi. "Aku tak tahu, mengapa Hong thio memerintahkan aku memberi pelajaran Kioe yang Sin kang kepadamu. Aku tidak tahu siapa namamu dan kaupun tak usah tanya namaku. Aku tidak tahu ilmu apa yang sudah pernah dipelajari olehmu. Akan tetapi, aku merasa kagum akan kepintaranmu. kemudian hari, kau mempunyai harapan yang tidak terbatas. Maka itu, aku berniat untuk membantu kau, untuk membuka Kie king Pat meh (pembuluh darah) diseluruh tubuhmu, supaya kalau nanti kau berlatih dengan Kioe yang Sin kang, kau tidak usah mengalami banyak kesukaran."
Sebelum Bu Kie sempat menjawab, mendadak tembok berlubang dan dua lengan muncul dari lubang itu! Bu Kie kaget tak kepalang, ia mencelat dari tempat duduknya dan berseru dengan suara tertahan:
"Kau ...kau!..." Itulah kenyataan yang terlalu mustahil ! Tapi, dengan matanya sendiri, ia menyaksikan, bahwa tembok yang tebal itu sudah berlubang karena sodokan tangan Goan tin, seolah-olah tembok tidak lebih daripada tahu yang empuk.
"Tempelkan kedua telapak tanganmu dengan telapak tanganku." memerintah Goan tin. "Aku tidak tahu she dan namamu, akupun tidak tahu kau murid siapa. Hari ini kita bertemu dan jodoh kita habis sampai disini."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tahu maksud orang yang sangat baik. Pandangan Bu Kie terhadap Goan tin lantas berubah. "Terima kasih atas bantuan Siansu," katanya seraya melonjorkan tangannya dan menempelkan telapak tangannya ketangan si orang aneh.
"Kendurkan tulang tulang dan otot-otot dalam tubuhmu dan bebaskan pikiranmu dari segala ingatan,"
kata pula Goan tin. "Baiklah," kata Bu Kie. Sesaat kemudian, dari kedua telapak tangan Goan tin keluar semacam hawa hangat yang terus menembus ketelapak tangannya, terus naik kelengan dan bahu. Hawa itu halus bagaikan selembar benang, tapi ia dapat merasakan nyata sekali dan perlahan-lahan hawa tersebut masuk kepembuluh darah.
Jika menemui rintangan dan tidak dapat segera menembus, bawa itu berubah lemas dan menerjang berulang-ulang sehingga rintangan ditembuskan. Sesudah lewat delapan pembunuh darah besar hawa itu makin cepat jalannya hingga Bu Kie merasa matanya berkunang-kunang, kepalanya terputar-putar dan berapa kali, ia seperti mau jatuh tenguling.
Akan tetapi dari telapak tangan si orang aneh keluar semacam tenaga menyedot, sehingga telapak tangan Bu Kie melekat keras pada telapak tangan Goan tin dan ia tak sampai tenguling. Dilain saat, ia merasakan seluruh badannya seperti dibakar. Kalau mungkin, ia tentu sudah kabur dan membuka baju untuk menerjun kedalam lautan es disekitar Pang hweeto.
Sesudah lewat sekian lama, bawa panas itu meninggalkan tubuhnya dan kembali ketelapak tangan Goan tin. Sesudah menarik pulang kedua lengannya dari lubang itu, Goan tin berkata dengan suara dingin
: "Kau pergilah!"
Bu Kie melongok melalui lubang itu, tapi yang dilihatnya hanya kegelapan. Mengingat budi si orang aneh, ia lantas saja berkata: "Terimakasih banyak atas budi Siansu yang sangat besar."
Sehabis berkata begitu, ia menekuk kedua lututnya. Mendadak lengan Goan tin muncul lagi di lubang itu dan mengibasnya. Hampir berbareng, tubuh Bu Kie terpentaI dan jatuh diluar pintu. Orang itu ternyata sungkan menerima kehormatan si bocah.
"Pergi kau beritahukan Hong thio, bahwa pelajaran Kioe yang Sin kang telah diturunkan semua kepada Siauw siecu, juga bahwa Siauwsiecu mempunyai peringatan yang sangat kuat dan semua pelajaran itu sudah diingat olehnya."
"Baiklah," kata si pendeta kecil yang sudah tersadar dan dengan muka pucat lalu berjalan keluar dari kamar itu.
Bu Kie mengikuti dan mereka berdua lantas saja meninggalkan kuil. Diberbagai ruangan mereka bertemu dengan banyak pendeta yang semua berjalan dengan menundukkan kepala dan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Di dalam kuil terdapat ribuan orang, tapi suasana tetap tenang dan sunyi. Bu Kie merasa kagum dan berkata dalam hatinya: "Memang pantas sekali jika Siauw lim sie dikenal sebagai pemimpin dari Rimba Persilatan." Jika dibandingkan dengan keadaan di kuil Siauw lim sie, Giok hie koan seolah-olah sebuah pasar, dimana semua orang bergerak dan berbicara secara bebas dan merdeka.
Hal ini sudah terjadi karena, pertama, agama Tookauw memang menganjurkan hidup bebas, dan kedua, sebab Thio Sam Hong sendiri seorang yang beradat sederhana dan sembarangan.
Setibanya mereka di Lip soat teng, Thio Sam Hong sudah menulis tigapuluh lembar lebih tapi masih menulis terus.
Melihat kerelaan dan pengorbanan guru besar itu Bu Kie merasa terharu, dan dengan air mata berlinang linang, ia berseru: "Thay suhu!"
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata: "Kioe yang kang Cap jie sit sudah seluruhnya diturunkan kepada anak oleh Siansu,"
Sang kakek guru girang. "Bagus," katanya sambil tertawa.
Sesudah menulis lagi beberapa lama, Thio Sam Hong sudah menyelesaikan apa yang mau ditulisnya.
Pendeta yang melayani segera balik kekuil untuk memberi laporan dan tidak lama kemudian, Kong bun, Kong tie dan Kong seng datang di Lip soat teng, diikuti oleh seorang pemuda yang berusia kira-kira duapuluh lima tahun. Pemuda itu mengenakan thungsha (jubah panjang) dan ia ternyata seorang murid Siauw lim sie yang tidak menyukur rambut.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Thio Sam Hong merasa heran. Ia tahu bahwa menurut peraturan Siauw Lim sie, sebelum lulus seorang murid bukan pendeta tidak boleh keluar dari pintu kuil. Bagi seorang biasa masuk di Siauw lim sie bukan gampang, tapi keluar dari kuil itu lebih sukar lagi. Apa maksudnya Kong bun mengajak seorang murid bukan pendeta" Tanpa merasa, ia mengawasi pemuda itu yang jangkung kurus, panjang lengannya dan pendek kakinya, sedang kedua matanya bersinar terang, sehingga tidak dapat ditebak, bahwa ia memiliki kecerdasan otak yang luar biasa.
"Kami telah membuat Thio Cinjin banyak capai," kata Kong bun sambil merangkap kedua tangannya.
Sam Hong bersenyum. "Terima kasih atas belas kasihan Hong thio Su heng, sehingga jiwa anak ini bisa ditolong," jawabnya sambil membungkuk. Sehabis berkata begitu, ia menyodorkan tiga puluh lembar tulisan itu dan lalu berkata pula: "Thay kek bun dan Sip sam sit dan Bu tong Kioe yang kang semua sudah ditulis disini. Aku harap Sam wie Suheng suka memberi petunjuk petunjuk dan bahwa aku sudah berani memperlihatkan kebodohanku di hadapan kalian, kuharap kalian jangan mentertawai."
Kong bun menyambuti dan tanpa melihat lagi, ia segera menyerahkan tulisan itu kepada pemuda yang berdiri dibelakangnya. Si pemuda segera membacanya dengan teliti, selembar demi selembar.
Sambil mencekal tangan Bu Kie, Sam Hong segera meminta diri.
"Dalam kedatangan kalian, loolap sebenarnya harus mengundang kalian berdiam disini beberapa hari, dan bahwa loolap tidak dapat berbuat begini hatiku merasa sangat tidak enak." kata Kong bun. "Maka sebagai gantinya loolap hanya bisa mengundang Thio Cinjin meneguk tiga cawan arak untuk mengunjuk hormat kami." Pendeta arak dan kedua orang berilmu itu lantas saja ber sama-sama mengeringkan tiga cawan dengan beruntun.
Sesudah itu Kong been, Kong tie dan Kong seng pun turut memberi selamat jalan dengan tiga cawan arak.
Sesudah selesai, Sam Hong dan Bu Kie segera memberi hormat dan memutar badan untuk berlalu.
Sebelum bertindak, sekonyong-konyong pemuda jangkung kurus itu berkata: "Supeh, ilmu silat yang ditulis Thio Cinjin tidak berbeda dengan pelajaran kita. Semua yang telah dibaca olehku, aku sudah belajar dari Suhu."
Sam Hong terkejut. "Omong kosong !" bentak Kong been, "Thay kek Sip sam sit adalah mustika Bu tong pay yang digubah oleh Thio Cinjin sendiri. Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kau sudah pernah belajar ilmu itu?"
Si pemuda segera menyerahkan tulisan Thio Sam Hong itu kepada Kong bun dan berkata: "Supeh lihat saja sendiri."
Kong bun menyambuti dan lalu membalik-balik beberapa lembar dan kemudian menyerahkannya kepada Kong tie dan Kong seng. Kedua pendeta itu juga membalik-balik beberapa lembar. "Suheng, benar saja ilmu ini masih termasuk dalam lingkungan ilmu Siauw lim sie," katanya dengan suara perlahan.
Sam Hong kaget bercampur gusar. Thay kek Sip sam sit adalah hasil jerih payahnya selama tigapuluh tahun dan baru pada tahun yang lalu, ilmu itu menjadi sempurna. Intisari daripada ilmu itu ialah dengan kelemahan melawan kekerasan, dengan bergerak lebih dulu. Azas-azas tersebut justeru sebaliknya daripada azas azas ilmu silat Siauw lim sie. Disamping itu, walaupun bersumber dari Kioe yang Cin keng gubahan Tat mo Loo couw, Bu tong Kioe yang kang sudah ditambah dengan banyak perobahan yang keluar dari otaknya Sam Hong. Maka itulah, mendengar kata-kata si pemuda dan Kong tie, guru besar itu jadi sangat mendongkol. Tapi dilain saat, ia sudah dapat menebak sebab musabab dari sikap Siauw lim. Ia mengerti, bahwa ia kuatir dikatakan menerima pelajaran dari Bee tong pay maka pendeta-pendeta suci itu sudah mengeluarkan siasat tersebut.
Sementara itu, sambil mengangsurkan tulisan tulisan itu kepada Sam Hong, Kong bun berkata: "limu silat Bu tong bersumber dari Siauw Lim. Benar saja, apa yang ditulis Thio Cinjin tidak banyak bedanya dari ilmu silat kami."
Sam Hong tertawa. "Apa yang telah ditulis oleh si orang she Thio, sedikitpun aku tidak merasa menyesal," katanya. "Aku mengerti bahwa ilmuku itu sangat cetek dan tidak berharga. Jika Samwie tidak memerlukannya, sebaiknya dibuang saja." Ia tidak menyambuti gabungan kertas itu yang diangsurkan kepadanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Dari kata-katamu, Thio Cinjin, rupanya kau tidak percaya akan pengutaraan kami itu," kata Kong tie.
Ia berpaling kepada si pemuda seraya berkata pula: "Yoe Liang, coba kau halal Thay kek Sip sam sit dan Kioe yang kang yang diturunkan olehku kepadamu "
"Baiklah," jawab pemuda itu yang lantas saja menghafal tulisan Sam Hong selengkapnya, sehuruf pun tidak ada yang ketinggalan.
"Thay suhu, orang itu menghafal dengan membaca tulisanmu," Bu Kie menyelak. "Dan sekarang mereka mengatakan, ilmu Thay suhu tiada berbeda dengan ilmu mereka. Sungguh tak mengenal malu"
Sam Hongpun tahu. Ia tertawa besar dan sambil mengawasi pemuda itu, ia berkata: "Selagi ketiga pendeta suci mengajak aku minum arak, tuan sudah menghafalkan dua macam ilmu silatku. Kepintaran dan kecerdasan itu tidak dimiliki Sam Hong. Boleh aku mendapat tahu she dan nama tuan yang besar?"
"Cianpwee jangan memuji begitu tinggi," jawabnya. "Boanpwee she Tan, bernama Yoe Liang."
"Saudara Tan," kata pula guru besar itu dengan suara sungguh-sungguh. "Dengan kecerdasanmu, apapun jua yang dipelajari olehmu pasti akan berhasil. Aku hanya mengharap, kau jangan mengambil jalan yang salah. Dengan menggunakan kesempatan ini, aku ingin mempersembahkan kata-kata seperti berikut: Dengan kejujuran kita memperlakukan orang lain, dengan kerendahan hati, kita membatasi diri."
Melihat sinar mata orang tua itu yang tajam bagaikan pisau, Yoe Liang bergidik. Tapi dilain saat ia menjadi mendongkol dan berkata dengan suara kaku: "Terima kasih atas petunjuk Thio Cinjin. Tapi Boanpwee adalah murid Siauw lim dan boan pwee mempunyai Supeh, Suhu dan Susiok untuk mengajar boanpwe."
"Benar," kata Sam Hong sambil tertawa. "Memang aku si tua yang terlalu rewel."
Sesaat itu, Kong tie mengangsurkan gabungan kertas itu. Hampir berbareng dengan itu si pendeta terhuyung dan Yoe Liang yang berdiri didampingnya segera coba memeluknya. Tapi tenaga Kong tie besar luar biasa dan pemuda itu yang kena didorong, lantas saja terpental keluar pendopo dan jatuh ditanah.
Dalam mengirim Lweekang itu, Sam Hong hanya menggunakan sebagian tenaganya dan ia memang tidak berniat jahat. Maka itu, begitu mengerahkan Lweekang kebagian kakinya, Kong tie sudah bisa berdiri tegah. Sam Hong bersenyum seraya berkata: "Itulah ilmu dari Thay kek Sip sam sit. Sekarang terbukti, bahwa walaupun kalian berdua paham akan ilmu itu, tapi kalian belum mempunyai tempo untuk berlatih. Selamat tinggal !" Dengan sekali mengibas tangan, diudara beterbanganlah kepingan-kepingan kertas yang sangat halus, yaitu kertas yang berisi ilmu Thai kek dan Bu tong Kioe yang kang. Sambil menuntun tangan Bu Kie, tanpa menengok lagi ia meninggalkan Siauw sit sat.
Kong bun bertiga saling mengawasi dengatl mulut ternganga. Mereka merasa kagum dan takluk akan kepandaian orang tua itu. Disamping itu, merekapun merasa agak menyesal. "Ilmu itu begitu lihay," kata Kong bun di dalam hati."Apa Yoe Liang sudah menghafakan seanteronya" Jika satu huruf saja yang kelupaan, Siauw lim akan menderita kerugian besar."
Malam itu di dalam rumah penginapan Sam Hong menyuruh Bu Kie berlatih menurut Kouw koat yang diturunkan oleh Goan tin. Karena tidak ingin mendengar dan melihat cara berlatihnya si bocah, ia sendiri tidur disebuah kamar lain. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, jika ia melihat cara bersemedhi dan gerak-gerakannya serta mendengar jalan pernapasan cucu muridnya itu, ia sudah bisa mengetahui rahasia Siauw lim Kioe yang-kang.
Selama berada dalam perjalanan pulang, iapun belum pernah menanyakan kemajuan Bu Kie.
Meskipun ketiga pendeta suci Siauw lim pay berpemandangan agak sempit, akan tetapi mereka adalah orang-orang ternama dalam kalangan Rimba persilatan sehingga ia percaya, mereka tidak akan memberi pelajaran palsu.
Berselang beberapa hari, paras muka Bu kita sudah berubah agak merah sehingga sang kakek guru jadi merasa girang sekali. Sam Hong tahu, bahwa Bu Kie sudah memiliki Kioe yang kang dari Bu tong dan Siauw lim yang saling menambah kekurangan masing-masing. Ia percaya penuh, bahwa kedua macam Kioe yang kang itu akan cukup kuat untuk mengusir racun dingin Hianbeng Sin ciang yang mengeram dalam tubuh si bocah.
Hari itu, mereka tiba ditepi sungai Han sui dan lalu menyewa perahu untuk menyeberang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dengan rasa terharu, Sam Hong ingat pengalamannya yang lampau. Ia ingat kesengsaraan dulu, pada waktu ia kabur dari Siauw lim sie dan mau menyeberang sungai itu. Waktu usianya tidak banyak berbeda dengan usia Bu Kie sekarang.
Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa pada akhirnya ia bisa menjadi pendiri Bu tong pay yang sekarang berdiri berendeng dengan Siauw lim pay. Keadaan Bu Kie dihari ini lebih bagus dan lebih unggul daripada diwaktu dulu. Ia percaya, bahwa dikemudian hari, kedudukan bocah itu akan lebih tinggi daripadanya. Mengingat begitu, tanpa ia merasa ia bersenyum dan hatinya bunga.
Mendadak, lamunannya disadarkan oleh teriakan Bu Kie: "Thay suhu!.... Aku....aku..:." Suaranya bergemetaran dan mukanya pucat pasi. Sam Hong terkesiap. Muka anak itu merah dan pada warna kemerah-merahan itu terdapat sinar hijau. "Thay suhu!" teriak Bu kie. "Aku....aku tak tahan!" Badannya bergoyang-goyang.
Dengan cepat tangan kiri sang kakek guru mencekal pengelangan tangan Bu Kie sedang telapak tangan kanannya ditempekan dijalan darah Leng-tay hiat dipunggung si bocah. Tapi begitu lekas ia mengirim tenaga dalam untuk membantu Bu Kie melawan racun dingin itu, sekali lagi ia terkesiap karena Lweekangnya lantas saja menerobos masuk ke Kie keng Pat meh. Bu Kie mengeluarkan teriakan menyayat hati dan lalu pingsan.
Kaget orang tua itu bagaikan disambar halilintar. Buru-buru ia menotok untuk menutup dua belas Thay hiat dibadan Bu Kie.
"Mengapa Kie keng Pat meh terbuka?" tanyanya di dalam hati. "Dengan terbukanya pembuluh darah, racun bisa lantas masuk kedalam isi perut dan kalau sudah masuk disitu maka sudah tentu tak akan bisa dibuyarkan lagi."
Sesudah berusia lebih dari satu abad dan sesudah ilmunya menecapai puncak kesempurnaan, guru besar itu tenang luar biasa. Tapi kali ini, ia tak dapat mempertahankan ketenangannya. Jantungnya berdebar keras dan keringat dingin mengucur dari dahinya "Apa bisa jadi, Siauw lim Kioe yang kang sedemikian hebat, sehingga dalam beberapa hari saja ilmu itu sudah dapat membuka pembuluh darah ?"
Ia tanya lagi dirinya sendiri. "Tidak mungkin! Pasti tidak mungkin ! Lie Heng dan Seng Kok sudah berlatih belasan tahun, tapi latihan itu masih belum cukup untuk membuka pembuluh darah."
Dengan Lweekangnya yang sangat tinggi, jikamau, Sam Hong bisa membantu kedua muridnya untuk membuka Kie-keng pat-meh. Akan tetapi, dalam memberi pelajaran, ia selalu berpendirian bahwa sesuatu yang didapat dengan latihan sendiri adalah lebih berhanga daripada yang diperoleh atas bantuan orang.
Dalam mengajar semua muridnya dia tak mau tergesa-gesa. Ia membiarkan murid murid itu berlatih sendiri dan maju dengan per lahan tapi tentu.
Waktu itu, perahu yang ditumpangi mereka tiba ditengah tengah sungai dan karena terdampar ombak, kendaraan air yang kecil itu terombang ambing kian kemari tiada bedanya seperti hati Thio Sam Hong yang bergoncang keras.
Beberapa saat kemudian, Bu Kie tersadar. Sesudah keduabelas Tayhiatnya ditotok, racun dingin tidak bisa masuk kedalam isi perutnya, akan tetapi, karena itu, ia tak dapat menggerakkan badan.
Sekarang Sam Hong tidak menggubris lagi soal pantas atau tidak pantas.
"Nak, bagaimana isi Siauw lim Kioe yang kang yang diturunkan kepadamu?" tanyanya. "Mengapa semua pembuluh darahmu jadi terbuka?"
"Yang membuka ialah Goan tin Siansu," jawabnya. "Ia mengatakan bahwa ia membantu supaya aku bisa berhasil terlebih siang dalam latihan Kioe yang Sin kang."
"Tapi bagaimana ia jadi membantu kau?" tanya Sam Hong, tergesa-gesa.
Bu Kie segera menceriterakan cara bagaimana ia mendengar pembicaraan antara Kong bun dan Kong tie, cara bagaimana Goan tin memberi pelajaran dengan teraling tembok dan cara bagaimana pendeta aneh itu sudah membantunya dalam membuka Kie keng Pat mah.
Untuk beberapa lama sang kakek guru tidak mengeluarkan sepatah kata. "Kalau pembuluh darahmu perlu dibuka dengan segera, apakah aku tidak dapat melakukan itu?" katanya dengan suara perlahan.
"Apa maksud baik atau sengaja dia bermaksud jahat?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Goan tin Siansu telah mengatakan berulang ulang bahwa ia tak tahu she dan namaku, ia tak tahu rumah perguruanku dan akupun tidak perlu tahu she dan namanya," menerangkan Bu Kie.
"Goan tin .... Goan tin ...." Sam Hong berkata, seperti pada dirinya sendiri, "Belum ... belum pernah aku mendengar nama begitu diantara jago-jago Siauw lim sie. Hm ... Ia tak tahu namamu, tak mengenal partaimu. Kalau begitu, ia tak tahu perhubungan antara aku dan kau. Kalau begitu, bantuannya itu, keluar dari hati yang baik."
Sesudah berkata itu, Sam Hong lalu menanyakan Kouw koat Siauw Lim Kioe yang kang. Bu Kie lantas saja menghafal, mulai dari jurus Wie hok Hian couw. Baru saja ia menghafal sampai jurus ketiga.
Ciang to Thian bun (Dengan telapak tangan menyangga pintu langit), sang kakek guru sudah berkata:
"Cukup! Tak usah kau menghafal terus. Tujuanku hanialah untuk mengetahui tulen palsunya ilmu yang diturunkan kepadamu. Mulai dari sekarang, kau tidak boleh memberitahukan Siauw lim Kioe yang Sin kang kepada siapapun jua. Kau mesti ingat, bahwa kau tidak boleh melanggar sumpahmu yang sangat berat
"Baik," jawabnya sambil mengawasi muka sang kakek guru, karena Sam Hong telah mengucapkau kata-kata itu dengan suara gemetar. Ia melihat bahwa dalam kedua mata orang tua itu mengembang air.
Sebagai seorang yang sangat pintar, ia mengerti, bahwa sang kakek guru sudah tak punya harapan untuk menolong jiwanya lagi.
Mendadak, serupa ingatan berkelebat dalam otaknya. "Thay Suhu," katanya: "Apakah aku masih bisa bertahan dan bisa pulang ke Bu tong san dengan masih bernyawa?"
"Jangan kau berkata begitu," jawab guru besar itu sambil menahan mengucurnya air mata. "Biar bagaimanapun jua, Thay suhu akan berdaya untuk menolong jiwamu "
"Kalau aku masih bisa bertemu muka dengan Jie Shapeh, aku sudah merasa puas," kata pula Bu Kie.
"Mengapa begitu?" tanya sang kakek guru.
"Sebab sesudah tidak bisa hidup, anak ingin membuka rahasia Siauw lim Kioe yang kang ke pada Jie Shapeh" jawabnya.
"Anak mengharap supaya dengan menggunakan Kioe yang kang dari Bu tong dan Siauw lim, Shapeh akan dapat menyembuhkan kaki tangannya yang bercacad. Sesuai dengan sumpah anak akan menggorok leher sendiri seperti yang telah dilakukan ayah, supaya dengan begitu, anak dapat menebus sebaglan kecil dari ke dosaan ibu."
Bukan main rasa kaget dan terharunya Sam Hong. Tak pernah ia menduga, bahwa bocah sekecil Bu Kie bisa mempunyai pikiran begitu: "Ah ! ... Jangan kau .... bicara .... yang tidak-tidak." katanya dengan suara parau.
"Hari itu, aku sudah mengerti duduknya persoalan," kata Bu Kie. "Dengan menggunakan jarum beracun, ibu telah melukakan Jie Shapeh sehingga Shapeh bercacad untuk seumur hidupnya. Itulah sebabnya, mengapa ayah telah. . .."
Sam Hong tak dapat mempertahankan diri lagi. Air matanya lantas saja mengucur deras, sehingga membasahi jubah pertapaannya. "Kau. .... kau tak boleh....memikir yang tidak-tidak." katanya sambil menangis sedu-sedan. Sesaat kemudian, sesudah menenteramkan hatinya, ia berkata pula dengan suara angker: "Seorang laki laki harus berjalan dijalanan lurus. Kau sudah berjanji, dengan disertai sumpah berat, untuk tidak memberitahukan pelajaran Siauw lim Kioe yang kang kepada siapapun jua. Janji itu harus dipegang sampai pada akhirnya. Andaikata benar kau bakal mati, aku juga tidak boleh berlaku licik."
Bu Kie terkejut. Ia mengawasi sang kakek guru dengan mulut ternganga, akan kemudian manggut kan kepalanya.
Semenjak kecil sehingga pulang ke Tionggoan, Bu Kie hidup bersama-sama kedua orang tua dan ayah angkatnya, So So dan Cia Sun, memang bukan manusia yang bersih, tapi bahkan Cui San sendiri belum pernah memberi pelajaran bathin kepadanya. Maka itulah, ia belum mengerti soal kehormatan dalam Rimba Persilatan. Sekarang untuk pertama kali, ia menerima nasehat dari kakek gurunya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dilain saat, Sam Hong berkata pula dalam hatinya: "Sesudah tahu, bahwa jiwanya tidak bakal tertolong lagi, anak itu rela membunuh diri guna menolong Thay Giam. Jiwa yang sedemikian adalah sesuai dengan jiwa seorang pendekar Rimba Persilatan."
Memikir begitu, ia lantas berniat memberi sedikit pujian kepada Bu Kie, tapi, belum sampai ia membuka mulut, sudah terdengar teriakan seseorang: "Hentikan perahu! Serahkan anak itu! Kalau kau tidak menurut, jangan katakan aku kejam." suara itu nyaring luar biasa, suatu pertanda bahwa orang yang berteriak memiliki Lweekang yang sangat tinggi.
Sam Hong bersenyum lebar. "Siapa yang bernyali begitu besar. berani memerintahkan aku menyerahkau cucu muridku ?" katanya di dalam hati.
Ia mendongak dan melihat sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang lelaki brewokan dan dengan badannya, orang itu melindungi dua orang anak kecil, satu lelaki dan satu perempuan. Dibelakang perahu kecil itu mengejar sebuah perahu yang lebih besar, yang ditumpangi oleh empat orang-orang Hoan ceng (Pendeta bukan golongan Han) dan tujuh delapan perwira Mongol yang mendayung perahu.
Lelaki brewokan itu bertenaga sangat besar dan perahunya laju pesat sekali. Tapi perahu yang mengejar didayung oleh orang yang jumlahnya jauh terlebih banyak, sehingga makin lama jarak antara kedua perahu itu jadi semakin pendek.
Beberapa saat kemudian, tampak ke empat Hoan ceng dan perwira-perwira Mongol itu mulai melepaskan anak panah.
Sekarang Sam Hong tahu, bahwa yang dimaui oleh orang-orang itu adalah kedua anak kecil yang dilindungi oleh si orang brewokan. Selama hidup, ia paling benci serdadu-serdadu Mongol yang berbuat sewenang-wenang terhadap orang Han dan seketika itu juga, di dalam hatinya timbut niatan untuk menolong. Tapi ia segera mengurung kan niatannya itu, karena ia sendiri harus melindungi Bu Kie yang sedang menderita penyakit berat. Disamping itu, jarak antara perahunya dan kedua perahu yang sedang ubar-ubaran itu masih terlalu jauh, sehingga biarpun ingin, ia tak akan keburu menolong mereka.
Tapi dilain saat terjadi perkembangan yang di luar dugaan. Dengan tangan kiri tetap mendayung perahu, tangan kanan si brewok mengibas anak anak panah yang menyambar dengan penggayuh yang satunya lagi. Tanpa merasa, Sam Hong bersorak dan berkata dalam hatinya: "Orang itu memiliki kepandaian luar biasa. Cara bagaimana aku bisa mengawasi kecelakaan yang menimpa dirinya seorang gagah dengan berpeluk tangan?" Ia lantas saja berpaling kepada situkang perahu seraya berkata: "Coan kee (tukang perahu), dayunglah perahumu kearah kedua perahu itu!"
Si tukang perahu kaget tak kepalang. Sambil mengawasi si kakek dengan mata membelalak ia berkata :
"Loo too ya... kau ... kau ... jangan guyon-guyon!"
Melihat keadaan sudah mendesak, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Sam Hong menyentak dayung dan dengan sekali menggayuh, kepala perahu sudah terputar.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan menyayat hati. Teriakan itu keluar dari mulutnya salah seorang anak yang lelaki yang punggungnya tertancap sebatang anak panah.
Dalam kagetnya, si brewok membungkuk untuk memeriksa luka anak laki-laki tersebut itu, dan selagi ia membungkuk, dua batang anak panah mengenakan pundak dan punggungnya. Ia mengeluar kan teriakan tertahan. Badannya bengoyang-goyang dan dayung yang dicekalnya jatuh ke air, sehingga perahunya lantas saja berhenti. Sesaat kemudian perahu yang mengejar sudah menyandak dan semua pengejar Ialu melompat keperahu si brewok. Tapi dia laki-laki sejati. Biarpun dikurung oleh begitu banyak. musuh, secara nekat-nekatan in melawan dengan tangan kosong,
"Orang gagah, jangan takut !" teriak Thio Sam Hong. "Aku akan datang menolong kau!" Sambil menggenjot tubuhnya, ia melontarkan dua lembar papan ke air, kaki kirinya menotol papan pertama, kaki kanannya papan kedua dan bagaikan seekor burung raksasa, ia hinggap diatas perahu. Selagi ia melompat, dua orang perwira dengan berbareng melepaskan anak panah, tapi kedua anak panah itu terpental dengan kibasan tangan. Begitu lekas kedua kakinya menginjak geladak perahu, ia menghantam dengan telapak tangan kirinya dan dua Hoan ceng, terpental setombak lebih, akan kemudian tercebur di dalam air. Melihat kelihayan si kakek, semua orang kaget bukan main; "Bangsat tua! Mau apa kau?"
bentak perwira yang memimpin rombongan.
"Anjing Tat cu !" Sam Hong balas mencaci. "Lagi - lagi kamu mencelakakan rakyat baik baik. Pergi!'
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kau tahu siapa mereka?" tanya si perwira. "Mereka adalah anak-anaknya penghianat dari Mokauw (agama siluman). Hong siang telah mengeluarkan firman untuk membekuk mereka!"
Mendengar "penghianat dari Mokauw", Thio Sam Hong rupanya terkejut juga. "Apakah mereka orang-orangnya Tincu Ciu Cu Ong?" Tanyanya di dalam hati. Ia menengok kepada sibrewok dan bertanya: "Apa benar?"
Dengan tubuh berlumpuran darah dan sambil memeluk mayat anak lelaki itu, ia menangis dan berkata:
"Siauwcukong (majikan kecil)... Siauw cukong binasa dipanah oleh meraka.. "
Si kakek jadi makin kaget. "Apakah anak itu puteranya Ciu Cu Ong?" tanyanya pula.
"Benar," jawabnya "Aku sudah gagal menunaikan tugasku. Biarlah aku mati bersama sama".
Perlahan-lahan ia menaruh mayat di atas geladak perahu dan kemudian menubruk perwira Mongol itu.
Tapi, sebab lukanya terlalu berat dan kedua anak panah itu belum dicabut dari pundak dan punggungnya, maka begitu melompat, ia roboh kembali. Nona kecil itu, yang lengannya tertancap sebatang anak panah, menangis dan sesambat: "Koko! Koko !... "
Di dalam hati, Sam Hong merasa menyesal bahwa ia sudah mencampuri urusannya Ciu Cu Ong. Akan tetapi, karena sudah terlanjur, ia tak bisa mundur ditengah jalan. Maka itu, ia menengok kepada siperwira dan berkata: "Anak itu sudah binasa dan mereka berdua telah mendapat luka berat, sehingga tak lama lagi merekapun akan turut binasa. Kalian sudah berpahala besar. Pergilah!"
"Tidak bisa!" kata perwira itu. "Kami mesti memenggal kepala ketiga orang itu."
"Perlu apa kalian berlaku begitu kejam ?" kata pula Sam Hong.
"Siapa kau" Mengapa kau berani campur campur arusan kami ?" tanya siperwira dengan aseran.
Sam Hong tertawa. "Siapa yang bisa menolong sesama manusia, haruslah dia menolong," jawabnya.
"Segala urusan dikolong langit boleh dicampuri oleh manusia di kolong langit."
Perwira itu melirik kawan-kawannya. "Siapa adanya Tootiang dan di mana letak kuil mu?" tanyanya.
Mendadak, dua perwira lain mengangkat golok dan menyabet pundak Sam Hong. Kedua senjata itu menyambar bagaikan kilat dan di atas perahu yang sempit, sungguh sukar untuk mengelakkannya. Tapi dengan hanya sekali miringkan badan, guru besar itu sudah kelit senjata musuh. Hampir berbareng, Sam Hong mengeluarkan kedua tangannya yang lalu ditempelkan di punggung kedua penyerang itu. "Pergilah
!" Bentaknya seraya mendorong dan tubuh kedua perwira itu lantas saja "terbang", akan kemudian jatuh di atas perahu mereka sendiri.
Sesudah puluhan tahun Sam Hong belum pernah bertempur dan hari ini ia sebenarnya menghadapi jago-jago pilihan dari kaizar Mongol. Semua jago itu kaget tak kepalang, sebab pihak mereka sedikitpun tak dapat berkutik.
Mendadak, seperti orang ingat sesuatu, pemimpin rombongan menatap wajah Sam Hong dengan mulut ternganga dan kemudian berkata dengan suara putus-putus: "Kau ... kau .. apa kau bukan ..."
"Aku adalah seorang yang biasa membunuh Tat cu," kata sikakek seraya mengibas dengan lengan jubahnya.
Hampir berbarengan semua orang itu merasakan satu sambaran angin dan dada mereka menyesak, sehingga mereka tidak dapat mengetuarkan sepatah katapun. Dilain saat, dengan muka pucat mereka berdulu dulu meninggalkan perahu itu dan sesudah menolong kedua Hoan ceng yang tercebur di air, mereka kabur secepat mungkin dengan ramai-ramai mendayung perahu.
Melihat sibrewok dan nona cilik itu dilukakan dengan anak panah beracun, Sam Hong segera mengeluarkan obat pemunah racun. Sesudah itu ia mendayung perahu kecil Itu, mendekati perahunya sendiri. Baru saja ia mau memapah sibrewok untuk berpindah keperahunya, orang itu sudah melompat dengan memeluk mayat dan tangan lain menyekel tangan si nona kecil.
Sam Hong manggut-manggutkan kepala. "Benar-benar laki-laki sejati," pujinya. "Meskipun sudah menderita luka berat, ia tetap menunjuk kesetiaan kepada majikan kecilnya. Aku tak merasa menyesal sudah menolongnya."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ia sendiri lalu melompat balik keperahunya, dimana ia segera mencabut anak panah yang menancap ditubuh si brewok dan si gadis cilik. Sesudah menaruh obat luka dan membalut luka itu, Sam Hong tidak lantas mendarat, karena ia menghadapi keadaan yang agak sukar. Bu Kie yang kedua belas Thay hiatnya ditotok, tidak bisa berjalan sendiri, sedang si brewok dan sinona kecil itu adalah pemburonan yang sedang dicari oleh kaki tangan kaizar Mongol. Jika mereka menginap di Loa ho kouw, Sam Hong merasa agak berat untuk melindungi tiga orang itu. Sesudah mengasah otak beberapa saat, ia merogoh saku bajunya, dan ia mengeluarkan beberara tahil perak yang lalu diserahkan kepada si tukang perahu.
"Saudara" katanya sambil bersenyum. "Aku ingin meminta pertolonganmu untuk membawa mereka ke Thay peng tiam supaya mereka bisa menginap disitu."
Si tukang perahu sebenarnya sangat ketakutan tapi melihat jumlah uang yang begitu besar, ia lantas saja manggut-manggut kepala.
Si brewok buru-buru berlutut diatas geladak perahu dan berkata: "Budi Loo tooya yang sangat besar tak akan dapat dibelas oleh Siang Gie Cun."
Sam Hong membangunkan orang itu seraya berkata "Siang Enghiong, tak usah, tak usah kau jalankan peradatan besar."
Tiba-tiba ia terkejut, sebab waktu tangannya menyentuh tangan Siang Gie Cun, ia merasa tangan itu dingin luar biasa. "Siang Enghiong apakah kau mendapat luka di dalam badan ?" tanyanya.
"Benar", jawabnya sambil mengangguk. "Dengan membawa kedua majikan kecil ini, Siauw jin (aku yang rendah) berangkat dari Sin yang untuk pergi ke Selatan. Di sepanjang jalan empat kali siauwjin bertempur dengan kuku garuda (kaki tangan kaizar) yang dikirim oleh Tatcu. Dada dan punggungku telah terkena pukulan seorang Hoan ceng."
Sam Hong segera memeriksa nadi Siang Gie Cun dan mendapat kenyataan, bahwa denyutan nadi sudah lemah sekali. Kemudian ia membuka baju si brewok dan begitu melihat lukanya, ia terkejut, karena luka itu sudah bengkak dan sangat berat. Ia mengerti, bahwa tanpa memiliki kekuatan badan yang luar biasa, Siang Gie Cun tentu sudah tidak dapat bertahan lagi. Ia segera mempersilahkan Gie Cun mengaso digubuk perahu dan melarangnya banyak bicara.
Mereka tiba di Thay pang kiam diwaktu malam. Sam Hong lantas saja pergi ke kota untuk membeli obat-obatan yang kemudian segera dimasak dan diberikan kepada Siang Gie Cun dan sinona kecil.
Gadis itu, yang baru berusia kira-kira sepuluh tahun dan yang paras mukanya mengunjuk, bahwa sesudah besar ia bakal jadi seorang wanita yang luar biasa cantik, duduk terpaku disamping mayat kakaknya. Melihat begitu, Sam Hong merasa kasihan dan menanya dengan suara lemah lembut: "Nona, siapa namamu?"
"Aku, Ciu Tit Jiak", jawabnya. "Bolehkah aku mendapat tahu nama Too tiang?"
Rasa simpathi guru besar itu jadi makin besar karena dalam kedukaannya, anak itu masih tetap agung dan sopan. "Aku, Thio Sam Hong." jawabnya.
"Ah!" demikian terdengar teriakan Siang Gie Cun yang lantas bangun duduk. "Kalau begitu Tootiang adalah Thio Cinjin dari Bu tong san! Tak heran jika Tootiang memiliki kepandaian yang begitu tinggi.
Aku merasa sangat beruntung, bahwa hari ini aku bisa bertemu muka dengan Sian tiang (dewa)"
"Jangan gunakan istilah dewa", kata si kakek seraya bersenyum. "Aku hanya berumur lebih panjang dari manusia kebanyakan Siang Enghiong, tidurlah. Jangan banyak bergerak supaya lukamu tidak terbuka lagi."
Melihat kegagahan Siang Gie Cun dan sopan santunnya Ciu Tit Jiak, Sam Hong merasa senang sekali.
Tapi begitu mengingat bahwa mereka itu adalah orang-orang dari golongan sesat, hatinya lantas saja berubah dingin. "Jie wie mendapat luka berat dan tidak boleh banyak bicara." katanya dengan suara tawar.
Dulu, Thio Sam Hong sebenarnya tidak begitu menghiraukan perbedaan antara golongan sesat dan lurus. lapun pernah mengatakan kepada Cui San, bahwa "ceng" (lurus besar) dan "sia" (sesat kotor) sukar dibedakan. Kalau berhati tidak baik, murid murid dari partai lurus bersih bisa melakukan perbuatan jahat,
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
sedang murid-murid dari partai yang katanya sesat kotor dapat melakukan perbuatan mulia, jika hati mereka bersih. Ia juga pernah mengatakan, biarpun angkuh dan beradat aneh, In Thian Ceng dari Peh bie kauw adalah laki laki yang bertanggung jawab atas segala perbuatan nya.
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi, semenjak Cui San membunuh diri ia membenci Peh bie Kauw. Ia menganggap, bahwa kebinasaan Cui San dan kecelakaan Jie Thay Giam adalah gara-gara Peh bie kauw. Walaupun ia masih dapat menahan sabar dan tidak menuntut balas terhadap In Thian Ceng, tapi di dalam hatinya sudah terdapat kebencian yang sangat terhadap partai golongan "sesat".
Ciu Cu Ong adalah murid terutama golongan Bie lek cong dari "agama" sesat. Beberapa tahun yang lalu. Ciu Cu Ong telah memberontak di Wan ciu dan mengangkat dirinya sendiri menjadi "kaizar", dengan kerajaan yang dinamakan "Ciu". Tapi bala tentaranya telah dibasmi habis oleh tentara Goan, dan ia sendiri ditangkap dan di hukum mati.
Bie lek cong dan Peh bie kauw mempunyai hubungan erat. Waktu Ciu Cu Ong memberontak, In Thian Ceng telah memberi banyak bantuan dari Ciat kang timur.
Bahwa Thio Sam Hong sudah menolong Siang Gie Cun dan Ciu Tit Jiak, adalah karena didorong oleh rasa kesatriaan dan juga sebab pada waktu turun tangan, ia masih belum tahu siapa adanya mereka itu.
Sekarang, mengingat nasib dua orang muridnya, tanpa merasa ia menghela napas panjang. Tak lama kemudian, si tukang perahu sudah selasai masak dan menaruh empat macam makanan dengan daging ayam, daging babi, ikan dan sayur, bersama sebakul nasi dan diatas sebuah meja kecil.
Sam Hong segera menyilakan kedua tamunya makan lebih dulu, sebab ia sendiri ingin manyuapkan Bu Kie yang tidak bisa bergerak. Atas pertanyaan Siang Gie Cun, ia menerangkan sebab musababnya.
Karena hatinya berduka, Bu Kie tidak bisa makan banyak. Baru saja menelan satu dua suap, ia sudah menggeleng-gelengkan kepala.
Tiba tiba Tit Jiak mengambil mangkok nasi dan sumpit dari tangan Sam Hong. "Too tiang, kau makan lebih dulu. Biar aku saja yang menyuapkan Toako," katanya.
"Aku sudah kenyang," kata Bu Kie.
"Toako, jika kau tak mau makan, Too tiang jadi kesal dan iapun tidak akan mau makan," kata si nona dengan halus. "Apa kau tega membiarkan orang tua itu kelaparan?"
Bu Kie merasa perkataan gadis itu ada benarnya juga. Maka, waktu Tit Jiak mengangsurkan sendok nasi kemulutnya, ia lalu membuka mulut data memakannya. Dengan hati-hati, si nona kecil mencabut tulang-tulang ikan dan ayam dan pada setiap sendok nasi, ia menambahkan kuah daging, sehingga menimbulkan napsu makan dan tidak lama kemudian, Bu Kie sudah menghabiskan semangkok nasi.
Melihat begitu, Sam Hong merasa terhibur, Diam-diam ia merasa bahwa dalam sakitnya yang begitu berat, Bu Kie memang harus dirawat oleh seorang wanita yang halus budi pekertinya. Semeatara itu, Siang Gie Cun makan dengan bernapsu. Ia telah menghabiskan semangkok sayur dan empat mangkok nasi, tapi daging dan ikan tidak disentuh olehnya.
Dilain pihak, meskipun ia seorang tosu, Sam Hong sendiri makan makanan berjiwa. Melihat nafsu makan Siang Gie Cun, ia segera menawarkan daging dan ikan kepada tamunya itu.
"Thio Cinjin," kata si brewok, "Sebagai orang yang memuja Po sat, aku tidak makan makanan berjiwa."
"Ah ! Aku lupa," kata Sam Hong.
Dalam kalangan "agama siluman", peraturan paling dipegang keras sekali. Anggauta "agama" itu setiap hari hanya diperbolehkan makan satu kali dan dilarang makan makanan berjiwa. Peraturan itu sudah berjalan sedari jaman kerajaan Tong. Oleh sebab sepanjang masa pemerintah selalu berusaha untuk membasminya, sedang orang-orang Rimba persilatan juga memandangnya rendah, maka anggauta-anggauta "agama" sesat sangat berhati hati dalam segala sepak terjangnya. Mereka tidak makan makanan berjiwa karena dilarang "agama" nya tapi terhadap dunia luar, mereka selalu mengatakan, bahwa mereka ciacay (hanya makan sayur sayur) sebab menyembah Po sat atau Sang Buddha. Mereka tidak berani mengakui siapa sebenarnya mereka.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Thio Cinjin, kau adalah penolong jiwaku," kata Siang Gie Cun sesudah selesai bersantap. "Sesudah kau tahu siapa adanya aku, akupun tak perlu menggunakan tedeng-tedeng lagi. Aku adalah seorang anggauta Beng kauw yang mengabdi kepada Beng cun. Agama kami dibenci oleb kerajaan, dipandang rendah oleh partai-partai persilatan yang lurus dan bahkan diejek oleh orang-orang "sejalan hitam"
(kawanan perampok). Tapi Thio Cinjia sendiri, malah sesudah mengetahui asal usul kami, masih rela menyodorkan tangan untuk menolong kami. Budi yang sangat besar itu tak akan dapat dibalas."
Pemimpin besar dari "agama" sesat itu dinamakan "Mo-ni", sedang para penganut memanggitnya dengan panggilan "Beng cun". Mereka menamakan "agama" mereka sebagai "Beng kauw." (Agama terang), sedang orang luar memberi nama "Mo kauw" atau Agama siluman.
Sam Hong mengawasi Gie Cun dengan mata tajam dan berkata: "Siang Enghiong...."
"Lo too ya," memutus Gie Cun, "janganlah kau menggunakan kata-kata enghiong. Panggil saja namaku, Gie Cun."
"Baiklah," kata guru besar itu sambil mengangguk. "Gie Cun, berapa usiamu sekarang?"
"Baru masuk duapuluh tahun," jawabnya.
Sam Hong mengawasi pemuda itu. Ia kelihatannya banyak lebih tua lantaran berewoknya yang tebal.
Dari suara dan gerak-geriknya, ia memang masih muda sekali.
Sam Hong manggut-manggutkan kepalanya. "Kau baru saja masuk usia dewasa, masih muda sekali,"
katanya. "Biarpun kau sudah masuk kedalam agama sesat, masih belum terlalu dalam. Jika kau mau memutar kepala, masih belum terlambat. Aku ingin mempersembahkankan dengan beberapa perkataan dan aku harap kau tidak menjadi gusar."
"Ajaran Tootiang tentulah juga berharga seperti emas dan batu kumala," kata pemuda itu sambil membungkuk. "Mana bisa aku merasa gusar?"
"Baiklah", kata guru besar itu. "Aku ingin menasehati supaya kau cepat-cepat mencuci hari dan mengubah muka supaya kau segera meninggalkan agama yang sesat itu. Manakala kau tidak mencela Bu tong pay yang ilmunya cetek, aku akan memerintahkan supaya muridku yang kepala, yaitu Song Wan Kiauw, menerima kau sebegai murid. Dihari kamudian kau akan bisa mengangkat muka dan tidak seorangpun berani memandang rendah lagi kepadamu."
(Bersambung Jilid 21) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 21 Song Wan Kiauw adalah kepala dari Bu tong cit hiap dan namanya telah menggetarkan seluruh Rimba Persilatan. Bagi ahli silat yang biasa untuk menemuinya saja, sudah bukan gampang. Dalam beberapa tahun yang belakangan, baru Bu tong Cit hiap mulai menerima murid. Tapi dalam penerimaan murid itu selalu dilakukan pemilihan dan penyaringan yang sangat keras. Hanialah orang orang yang berbakat dan beradat baik barulah di terima menjadi anggauta Bu tong pay. Siang Gie Cun adalah seorang anggauta
"agama" sesat. yang dipandang jijik oleh masyarakat seumumnya. Maka itu tawaran Thio Sam Hong merupakan juga rezeki luar biasa pemuda itu.
Tapi, diluar dugaan, Gie Cun menjawab dengan sikap hormat: "Bahwa aku, Siang Gie Cun telah mendapat penghargaan yang begitu tinggi dari Thio Cinjin, bukan main rasa terima kasihku. Akan tetapi, sesudah menjadi anggauta Beng kauw seumur hidup aku tak berani membelakangi agamaku itu"
Sam Hong coba membujuk lagi, tetapi pemuda itu tetap menolak dengan hormat dan tegas. beberapa saat kemudian, dengan rasa menyesal, ia lalu mendukung Bu Kie seraya berkata: "Kalau begitu, biarlah kita berpisahan disini saja," Dalam kata-kata perpisahan itu, ia malah tidak mengucapkan perkataan,
"sampai bertemu lagi," yang lazimnya digunakan.
Sebelum tuan penolong itu meninggalkan perahu, sekali lagi Siang Gie Cun menghaturkan terima kasih dengan berlutut.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Thio Toako," kata si nona cilik kepada Bu Kie, "setiap hari kau harus makan kenyang kenyang, supaya Loo too-ya jangan jengkel."
Air mata Bu Kie lantas saja mengembang dan dengan suara putus-putus ia menjawab: "Terima kasih untuk kebaikanmu.... Tapi aku hanya bisa makan nasi beberapa hari saja."
Bukan main rasa dukanya kakek guru itu. Ia mengangkat lengannya dan menggunakan tangan jubah untuk menyusut air mata cucu muridnya.
"Apa?" menegas Tit Jiak dengan suara kaget "Kau...kau..."
"Nona kecil, hatimu sangat mulia," kata Sam Hong, "Aku mendoakan supaya dibelakang hari kau jalan dijalanan yang lurus"
"Terima kasih atas nasehat Loo too-ya," jawab Ciu Tit Jiak.
"Thio Cinjin," tiba-tiba Gie Cun berkata, "kau memiliki Lweekang dan kepandaian yang sangat tinggi.
Biarpun luka saudara kecil itu sangat berat, aku percaya kau akan dapat menyembuhkannya."
"Benar," kata Sam Hong yang tanpa dilihat Bu Kie, sudah menggoyangkan tangan kirinya sebagai keterangan kepada Gie Cun, bahwa lukanya bocah itu tidak dapat diobati lagi.
Gie Cun terkejut. "Thio Cinjin," katanya pula, "aku sendiri telah mendapat luka yang sangat berat dan sekarang aku justeru ingin meminta pertolongan dari seorang tabib malaikat. Mengapa Thio Cinjin tidak mau mencoba-coba?"
Thio Sam Hong menundukkan kepala. "Semua pembuluh darahnya telah terbuka, sehingga racun dingin bisa membuyar dan masuk kedalam perutnya," katanya dengan suara perlahan. "ia tidak akan dapat disembuhkan dengan memakai obat biasa dan di dalam dunia, tak seorangpun bisa mengobatinya."
"Tapi," kata Siang Gie Coan, "tabib malaikat yang dimaksudkan olehku memiliki kepandaian luar biasa tinggi, sehingga kata orang ia malah mampu menghidupkan mayat."
Sam Hong terkejut dan mendadak saja, ia ingat satu orang. "Apakah yang dimaksudkan olehmu bukan Tiap-kok Ie sian?" tanyanya.
"Benar," jawabnya. "Kalau begitu, Tootiang pun mengenal Ouw Supehku."
Guru besar itu kelihatan agak bersangsi. Memang sudah lama ia mendengar nama Tiap kok le Sian Ouw Ceng Goe yang dipandang rendah oleh orang Rimba Persilatan. Ia mempunyai adat yang sangat aneh. Kalau orang yang sakit atau terluka anggauta "agama"nya, ia segera menolongnya dengan sepenuh tenaga tanpa mau menerima bayaran apapun jua. Tapi, kalau yang memohon pertolongan bukan pengikut
"agama", biarpun dibayar dengan laksaan tail emas, ia tak akan meladeni.
"Aku lebih suka Bu Kie mati dari pada menyerahkan nya kepada orang dari agama sesat itu," katanya di dalam hati.
Melihat kesangsian Sam Hong, pemuda itu dapat menebak apa yang dipikirnya dan ia lantas saja berkata: "Thio Cinjin, meskipun Ouw Supeh biasanya menolak untuk mengobati orang luar, tapi karena Thio Cinjin telah menolong jiwa Ciu Kouw nio, ia pasti akan membuat kecualian. Andaikata ia menolak, Gie Cun pasti tak mau mengerti."
Sam Hong menghela napas dan berkata dengan suara duka: "Mengenai kepandaian Ouw Sinshe, sudah lama aku mendengarnya. Hanya sayangnya, racun dingin yang mengeram di dalam tubuh Bu Kie sekarang ini tidak akan dapat disembuhkan dengan obat biasa...."
"Thio Cinjin!" teriak Gie Cun. "Mengapa kau begitu bersangsi" Kalau diobati oleh Supehku, paling banyak saudara kecil itu tidak sembuh. Kalau kekiri mati, kekananpun mati, perlu apa Tootiang memikir panjang?"
Sebagai orang yang beradat polos, ia bicara segala apa yang berkelebat diotaknya.
Mendengar "kekiri mati, kekananpun mati", hati guru besar itu bergoncang keras. "Apa yang dikatakan olehnya memang tidak salah," pikirnya. "Menurut penglihatanku, paling banyak Bu Kie bisa bertahan dalam tempo sebulan lagi." Mengingat begitu, ia lantas saja berkata: "Gie Cun, baiklah, aku minta
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
pertolonganmu. Akan tetapi, sebelum pertolongan diberikan, aku ingin menjelaskan terlebih dulu, bahwa Sinshe tidak boleh membujuk atau memaksa Bu Kie masuk kedalam agama kalian. Disamping itu, jika Bu Kie benar menjadi sembuh, Bu tong pay tidak menanggung budi agama kalian."
"Thio Cinjin," kata Gie Cun, "dengan berkata begitu, kau jadi memandang terlalu rendah kepada orang-orang kami." Ia berpaling kepada Ciu Tit Jiak dan berkata puta: "Ciu Kauwnio, aku ingin kau mengikut Thio Cinjin untuk sementara waktu. Apa kau suka?"
Sebelum si nona menjawab, Sam Hong sudah mendahului: "Apa?"
"Aku tahu bahwa Thio Cinjin tidak suka pergi kepada Ouw Supehku," kata Gie Cun. "Dapat dimengerti, bahwa lurus dan sesat tidak bisa berdiri berendeng. Thio Cinjin adalah seorang guru besar pada jaman ini. Cara bagaimana Thio
Cinjin bisa meminta pertolongan dari seorang anggauta agama sesat" Disamping itu, adat Ouw Supeh juga aneh sekali. Jika ia bertemu dengan Thio Cinjin, mungkin sekali Ia tidak berlaku sopan santun, sehingga pertemuan itu bisa berakibat sebaliknya daripada apa yang diharap. Maka itu, menurut pendapatku, sebaiknya saudara Thio dibawa olehku sendiri. Tapi, akupun mengerti, bahwa Thio Cinjin merasa sangsi untuk menyerahkan saudara Thio kepadaku. Maka itulah, aku minta Ciu Kouwnio berdiam di Bu tong san untuk sementara waktu. Nanti, sesudah saudara Thio sembuh, aku akan mengantarkannya ke Bu tong san dan sekalian mengambil pulang Ciu Kouwnio. Dengan perkataan yang lebih tegas, aku ingin minta Ciu Kauwnio mengikut Thio Cinjin untuk dijadikan semacam tanggungan."
Dalam pergaulannya selama puluhan tahun, Thio Sam Hong selalu berterus terang dan menaruh kepercayaan kepada orang-orang Rimba Persilatan. Akan tetapi, Thio Bu Kie adalah turunan tunggal dari muridnya yang tercinta, sehingga memang benar ia sangat bersangsi untuk menyerahkannya kepada seorang dari kalangan "agama" sesat.
Sebelumnya guru besar itu sempat menjawab, Siang Gie Cun sudah berkata pula "Ciu Cie Ong, Ciu Toako, adalah seorang yang bener-benar luhur pribudinya. Sesudah gagal dalam gerakannya di Sin yan, duapuluh tiga anggauta keluanganya telah dibinasakan oleh Tat-cu. Bahkan ibu Toako yang sudah berusia tujuhpuluh delapan tahun, tidak luput dari kebinasaan. Sesudah bertempur mati-matian, barulah aku dapat menolong seorang putera dan seorang putrinya. Tak dinyana, Siauw kongcu telah binasa terpanah musuh sehingga Kauwnio merupakan turunan yang satu-satunya dari Ciao Toako. Sebagai salah seorang pemimpin Beng kauw, Ciu Toako mempunyai banyak musuh. Bukan saja Tat cu, tapi musuh musuh lainnya pun akan menyukarkan Thio Cinjin jika mereka tahu, bahwa Ciu Kauwnio berada di Bu tong..."
Tanpa merasa Sam Hong tertawa. Sebelum ia menyanggupi untuk menerima Ciu Tit Jiak, pemuda yang polos itu sudah memperingatkannya. Ia berdiri bengong beberapa saat. Memang juga, lain jalan tidak ada, kekiri mati, kekananpun mati, jalan satu-satunya ialah mencoba coba kepandaian Tiap-kok Ie sian. Mengingat begitu, ia lantas saja berkata: "Gie Cun baiklah. Aku akan merawat Ciu Kauwnio baik baik dan kaupun harus merawat Bu Kie sebaik baiknya. Sesudah anak itu sembuh, kuharap kau lekas-lekas datang di Bu tong san."
"Thio Cinjin tak usah kuatir," jawabnya dengan suara lantang. "Aku pasti akan menunaikan tugas dengan sepenuh tenaga"
Sehabis berkata begitu, ia melompat kedarat dan membuat sebuah lubang ditanah dengan ujung golok, kemudian, sesudah membuka semua pakaian yang menempel dimayat majikan kecilnya, ia lalu menguburnya dalam keadaan telanjang.
Sesudah itu, bersama Ciu Tit Jiak, ia memberi hormat didepan kuburan. Nona Ciu menangis sedih, sedang ia sendiri berdiri tegak sambil menahan mengucurnya air mata.
Mayat bocah itu dikubur dalam keadaan telanjang adalah sesuai dengan kebiasaan Bang kauw.
Menurut "agama" itu, seorang manusia yang dilahirkan kedalam dunia dengan tidak memakai pakaian, haruslah berpulang ke alam baka dalam keadaan begitu juga. Sam Hong yang tidak tahu sebab musabab penguburan yang aneh itu, hanya menhela napas dengan perasaan, bahwa sepak terjang orang-orang
"agama" sesat benar-benar sesat.
Pada keesokan paginya, sambil menuntun Tit Jiak, guru besar itu berpisahan dengan Gie Cun dan Bu Kie. Semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia, Bu Kie menganggap sang kakek guru seperti kakeknya sendiri. Sekarang secara mendadak kakek guru itu meninggalkannya, sehingga tanpa tertahan lagi, air matanya mengucur deras.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Bu Kie," kata Sam Hong sambil mengusap usap kepala anak itu. "Sesudah kau sembuh Siang Toako akan membawa kau pulang ke Bu tong. Kita hanya berpisahan untuk beberapa bulan dan kau tak perlu bersusah hati."
Anak itu yang kaki tangannya sudah tidak bisa bergerak akibat totokan sang kakek guru, hanya manggut-manggutkan kepala, sedang air matanya mengucur.
Melihat begitu, nona Ciu segera kembali keperahu. Ia mengeluarkan sehelai sapu tangan kecil dari sakunya dan lalu menyusut air mata Boo Kie. Ia bersenyum dan sesudah memasukkan sapu tangan itu ditangan baju Bu Kie, barulah ia melompat balik kedarat.
Hati Sam Hong bergoncang. "Nona kecil itu, sangat cantik dan dihari kemudian, ia pasti akan menjadi seorang wanita yang ayu luar biasa," pikirnya. "Sesudah Bu Kie sembuh, aku tidak boleh membiarkan mereka bertemu muka lagi. Jika mereka sampai saling menyinta, hikayat Cui San mungkin akan terulang lagi."
Dengan hati duka, Bu Kie mengawasi bayangan sang kakek guru yang menuju ke arah barat sambil menuntun tangan nona Ciu, yang tidak berhentinya mengulap-ulapkan tangan, sehingga bayangannya menghilang diautara pohon-pohon.
Sesaat itu, hati si bocah mencelos, benar-benar ia merasa hidup sebatang kara dalam dunia yang lebar ini dan air matanya kembali mengucur.
Gie Cun mengerutkan alis. "Saudara Thio, berapa usiamu?" tanyanya.
"Dua belas tahun," jawabnya.
"Hm... " Gie Cun mengeluarkan suara di hidung. "Usia dua belas tahun bukan anak anak lagi. Apa kau tak malu, menangis" Waktu aku berusia duabelas tahun, aku sudah menerima pukulan ratusan kali, tapi tidak setetes air mata keluar dari mataku. Seorang laki-laki sejati hanya boleh mengucurkan darah, tak boleh mengucurkan air mata. Kalau kau terus menangis seperti bayi, aku akan hajar kau."
Melihat kegarangan si brewok, Bu Kie jadi agak keder. "Baru saja Thay suhu pergi, kau sudah begitu galak." pikirnya. "Entah berapa besar kesengsaraan yang bakal diderita olehku." Mengingat begitu, ia lantas saja berkata dengan suara nyaring. "Aku menangis karena merasa sedih harus berpisahan dengan Thay suhu. Aku belum pernah menangis sebab pukulan. Mau pukul boleh kau pukul. Kalau hari ini kau memukul aku satu kali, dihari kemudian nanti aku akan membalas sepuluh kali."
Gie Cun tertawa terbahak-bahak, "Bagus! Bagus !" katanya. "Itulah perkataan seorang laki laki. Kau begitu liehay, tak berani aku memukul kau."
"Mengapa " Aku sedikitpun tidak bisa bergerak," kata si bocah.
"Kalau hari ini aku memukul kau, dikemudian hari, sesudah kau memiliki kepandaian tinggi, bagaimana aku kuat menerima sepuluh kali pukulanmu ?" jawabnya.
Bu Kie tertawa. Ia merasa bahwa meskipun garang, Siang Toako bukan seorang jahat.
Dengan mengunakan perahu, mereka menuju ke Han kouw dan sesudah tiba di Han kouw, Gie Cun menyewa lain perahu dan berlayar kealiran sebelah bawah dari Tiangkang timur.
Tiap kok, atau selat kupu kupu, tempat tinggal Tiap kok Ie sian terletak di pinggir telaga Lie san ouw, sebelah utara propinsi An hui. Sebagaimana diketahui, dari Han kouw sampai di Kioe kang, sungai Tiang kang mengalir kejurusan tenggara. Sesudah melewati Kioe kang, sungai itu membelok kearah timur laut dan masuk ke propinsi An hui.
Bu Kie berlayar dengan perasaan duka. Ia ingat bahwa pada dua tahun berselang, ia pernah berlayar di sungai Tiangkang bersama sama kedua orangtuanya dan pa man Jie Lian Ciu. Selama dalam pelayaran, ia gembira bukan main, tetapi sekarang, kedua orang tuanya sudah meninggal dunia secara mengenaskan, kaki tangannya tidak bisa bergerak dan ia sendiri berada dalam rawatan seorang sahabat baru dalam perjalanan untuk memohon pertolongan kepada seorang aneh. Antara kedua pelayaran itu terdapat perbedaan seperti langit dan bumi. Ia bersedih, tapi sebisa bisa ia menahan mengucurnya air mata, karena kuatir ditertawai olen Siang Toakoo.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Setiap hari, pada Cu sie (antara jam 11 malam dan jam 1 lewat tengah malam) dan Ngo sie (antara jam 1 siang sampai jam 1 lohor), racun dingin mengamuk dalam tubuhnya. Sambil mengertak gigi dan menggigit bibir, ia menahan sakit, sehingga bibirnya sampai tertuka akibat gigitan. Di samping itu, makin hari serangan racun makin hebat.
Pada suatu hari mereka tiba di Kwa po, sebelah bawah Cip keng (sekarang Nan king). Dengan mendukung Bu Kie, Gie Cun mendarat dan lalu menyewa kereta untuk meneruskan perjalanan ke utara.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Beng Kong, di sebelah timur Hong yang.
Gie Cun tahu bahwa Supehnya yang beradat aneh itu paling tidak senang tempat tinggalnya di ketahui orang. Maka itu, pada waktu kereta berada dalam jarak kira-kira dua puluh li dari Lie san ouw, ia segera turun dari kereta dan sambil menggendong Bu Kie, lalu melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.
Tapi diluar dugaannya, baru saja ia berjalan kurang lebih satu li badannya lemas dan napasnya tersengal-sengal. Ia terkejut dan mengerti, bahwa itulah akibat dari luka yang dideritanya karena pukulan im ciang dari dua pendeta asing.
Bu Kie merasa sangat tidak tega. "Siang Toa ko." katanya. "Jalan saja perlahan-lahan. Jangau kau merusak badan."
"Celaka sungguh!" kata Gie Coan dengan gusar. "Menurut kebiasaan, sekali lari aku bisa melalui seratus li. Apakah pukulan kedua pendeta bangsat itu sedemikian hebat, sehingga aku tidak dapat berjalan lagi?" Dengan amarah yang meluap-luap ia berjalan terus. Baru jalan puluhan tombak, ia merasa tulang-tulangnya seperti mau copot. Tapi Siang Gie Cun seorang keras kepala dan keras hati. Sambil mengertak gigi, ia maju terus, setindak demi setindak.
Dengan kemajuan yang sangat lambat itu, sampai malam barulah mereka melalui separuh perjalanan.
Jalanan gunung yang berbelit belit dan turun naik menambah penderitaan pemuda itu.
Akhirnya, waktu tiba disebuah hutan ia tak dapat bertahan lagi. Perlahan-lahan ia menaruh Bu Kie diatas tanah dan kemudian, ia merebahkan diri untuk mengaso. Ia mengeluarkan kue phia dari sakunya dan membagi kue itu kepada Bu Kie untuk menangsal perut.
Sesudah mengaso kira-kira setengah jam, Gie Cun bangun berdiri untuk meneruskan perjalanan, tapi Bu yang merasa kasihan terhadapnya, berkeras untuk mengaso semalaman dihutan itu. Sesudah berpikir sejenak, ia merasa pendirian si bocah ada benarnya juga. Andaikata, mereka bisa tiba dirumah Ouw Ceng Goe pada malam itu, sang Supeh yang beradat aneh mungkin bergusar karena diganggu tidurnya dan kalau dia bergusar, mungkin sekali dia akan menolak untuk mengobati. Memikir begitu, ia lantas saja menyetujui usul Bu Kie.
Mereka tidur dengan menyender dikaki sebuah pohon besar. Kira-kira tengah malain, racun dingin mengamuk lagi dan Bu Kie memanggil keras. Karena sungkan mengganggu Gie Cun yang sudah capai lelah, ia menahan sakit sambil menggigit bibir.
Selagi ia bergulat melawan racun dingin itu, sekonyong-konyong terdengar suara beradunya senjata, disusul dengan suara bentakan seorang: "Mau lari kemana kau?"
Bentakan, disusul pula dengan teriakan beberapa orang lain.
"Cegat ditimur ! Cepat ! Supaya dia masuk kehutan!"
"Bangsat gundul itu tidak boleh dilepaskan ! Cegat!"
Hampir berbareng terdengar tindakan sejumlah orang yang menuju kearah hutan.
Dengan kaget Siang Gie Cun tersadar. Satu tangannya segera menghunus golok, lain tangan mendukung Bu Kie, siap sedia untuk melarikan diri sambil bertempur.
"Siang Toako, kurasa mereka bukan maui kita," bisik Bu Kie.
Gie Cun mengangguk. Di dalam hati ia sudah mengambil keputusan, bahwa meskipun mesti membuang jiwa, ia akan coba melindungi keselamatan bocah itu. Hanya ia merasa menyesal, bahwa sesudahb mendapat luka, ilmu silatnya sekarang sudah musnah seanteronya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mereka mengintip dari belakang sebuah pohon besar. Mereka melihat berkelebat-kelebatnya bayangan orang tujuh delapan orang sedang mengurung dan mengerubuti satu orang. Karena gelap, mereka tak tahu siapa adanya orang-orang itu. Mereka hanya tahu, bahwa orang yang dikepungnya melawan dengan tangan kosong dan bahwa orang itu lihay luar biasa, sehingga biarpun dikerubuti, ia masih dapat membela diri secara bagus sekali.
Sesudah bertempur beberapa lama, setindak demi setindak, orang-orang itu mendekati tempat bersembunyinya Gie Cun berdua. Pada waktu sang rembulan muncul dari alingan awan hitam mereka melihat, bahwa orang yang dikepung ialah seorang pendeta yang berusia kira-kita lima puluh tahun, tubuhnya kurus jangkung data mengenakan jubah pertapaan serba putih. Dipihak pengepung terdapat pendeta, imam, seorang lelaki yang memakai pakaian koan kee (pengurus rumah tangga) dan dua orang perempuan. Makin lama Gie Cun makin merasa heran. Delepan pengurung itu masing masing memiliki kepandaian tinggi. Dua orang pendeta yang satu bersenjata Sian thung dan yang lain memegang golok menyerang dengan pukulan-pukulan yang disertai sambaran angin dahsyat, sehingga daun-daun pohon meluruk jatuh kebawah.
Si imam, tosu yang bersenjatakan pedang panjang, aneh gerak-gerakannya. Sebentar ia melompat kekiri, sebentar kekanan. Sedang pedangnya yang menggetar tak henti-hentinya mengeluarkan sinar berkeredepan.
Lelaki yang berpakaian seperti koan kee, kate kecil tubuhnya. berguling-guling ditanah dan menyerang bagian bawah sipendeta jubah putih dengan menggunakan ilmu golok Tee tong To hoat. Kedua goloknya terputar putar bagaikan sebuah bola yang menggelinding di tanah.
Kedua wanita itu, yang bertubuh langsing dan masing masing mencekal sebatang pedang, juga menyerang dengan pukulan pukulan yang sangat lihay.
Selagi bertempur hebat, salah seorang wanita mendadak memutar badan, sehingga separuh mukanya disoroti sinar rembulan.
"Kie Kouwnio!" seru Bu Kie dengan suara tertahan. Wanita itu bukan lain daripada Kie Siauw Hu, tunangan In Lie Heng. Tadi melihat pendeta si jubah putih dikerubuti oleh begitu banyak orang, Bu kie merasa mendongkol terhadap pihak pengepung. Tapi sekarang sesudah melihat Kie Siauw Hu, pandangannya berubah dan ia menganggap, bahwa pendeta itu manusia jahat.
"Delapan orang mengerubuti satu orang, terlalu tak mengenal malu." Gie Cun berkata seorang diri.
"Siapa mereka?"
"Yang wanita dari Go bie pay," bisik Bu Kie, "Hm... dua pendeta itu orang Siauw Lim sie." Sesudah mengawasi pertempuran beberapa saat, dia berkata pula "Si tosu orang Kun loan pay. Lihatlah! Pukulan Tay mo Hui su (Tay mo Hu see artinya Pasir beterbangan di gurun pasir) itu sungguh amat hebat. Itulah pukulan simpanan dari Kun lun pay. Tapi siapakah lelaki yang menggunakan ilmu silat Tee tong To hoat?"
"Apa bukan dari Khong tong pay ?" tanya si brewok.
"Bukan," jawabnya. "Dalam Tee tong to hoat Khong thong pay, orang halus menggunakan sebatang golok yang dicekal di tangan karan, dan sebatang toya ditangan kiri. Orang itu menggunakan sepasang golok."
Mendengar keterangan si bocah, Siang Gie Cun merasa kagum. "Setiap murid Bu tong benar-benar berpengetahuan luas," pikirnya. Tapi ia tak tahu bahwa pengetahuan itu didapat Bu Kie bukan dari Bu tong tapi dari ayah angkatnya.
Sebagaimana diketahui, di dalam tekad untuk membalas sakit hatinya, Cia Sun telah mempelajari hampir semua ilmu-ilmu silat yapg dikenal di dalam Rimba Persilatan.
Pertempuran berlangsung terus dengan hebatnya, akan tetapi pendeta jubah putih itu masih tetap dapat mempertahankan diri. Tubuhnya berkelebat kelebat bagaikan kilat, tenaganya dahsyat luar biasa, sedang gerakan tangannya hampir tak bisa dilihat tegas, karena terlampau cepat.
Tiba-tiba terdengar bentakan salah seorang: "Gunakan senjata rahasia !"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si kate kecil dan si imam lantas saja melompat keluar dari gelanggang pertempuran, disusul dengan menyambarnya nyambrnya peluru serta Hui to (golok terbang) ke arah si pendeta. Diserang secara begitu, dia mulai keteter.
"Pheng Hweeshio !" bentak si imam. "Kami bukan maui jiwamu, perlu apa kau nekad-nekadan"
Serahkan Pek Kwie Sioe dan kita akan berpisahan sebagai sahabat."
Siang Gie Cun terkesiap, "Pheng Hweeshio" bisiknya.
Bu Kie pun tidak kurang kagetnya. Waktu berada dalam perjalanan pulaing ke Bu tong bersama kedua orang tuanya dan Jie Lian Ciu ia pernah mendengar, bahwa Pek Kwie Sioe adalah orang Peh bie kauw satu satunya yang bisa pulang dengan selamat dari pulau Ong poan San. Dan murid murid Kun loan juga terlolos dari kebinasaan, tapi mereka hilang ingatan karena teriakan Cia Sun. Maka itu, selama belasan tahun, dalam pertempuran dangan Peh bie kauw tujuan jago-jago berbagai partai adalah untuk mendesak supaya Pek Kwie Sioe memberitahukan dimana adanya Cia Sun.
"Apakah Pheng Hweeshio segolongan dengan ibuku?" tanya Bu Kie di dalam hati.
Sementara itu, Pheng Hweeshio sudah menjawab dengan suara Iantang: "Pak Tancu sudah dilukakan berat oleh kamu. Jangankan aku dan dia-masih sama-sama orang-orang segolongan, terhadap orang luar sekalipun, aku tak bisa mengawasi kebinasaan dengan berpeluk tangan."
"Omong apa kau!" bentak si imam. "Mengawasi kebinasaan dengan berpeluk tangan" Kau tahu, tujuan kami bukan mengnendaki jiwanya. Kami hanya menyelidiki tempat bersembunyinya seorang."
"Kalau kamu mau menyelidiki dimana adanya Cia Sun, mengapa kamu tidak mau pergi kepada Hong thio Siauw lim sie?" tanya si pendeta.
"Tutup bacotmu!" bentak si pendeta Siauw lim. "Apa kau tidak tahu, bahwa itu hanya tipu busuk dari perempuan siluman In So So?"
Mendengar disebutkannya nama mendiang ibunya, Bu Kie merasa bangga agak bercampur duka."Hm
.... sesudah meninggal dunia, ibu masih bisa membuat kalian semua pusing kepala," katanya di dalam hati Sambil bicara, pertempuran berlangsung terus dengan dahsyatnya. Si tosu mengajak, bicara dengan tujuan untuk memecah pemusatan pikiran Pheng Hweeshio. Tapi pendeta itu yang cerdas otaknya dan tinggi ilmu silatnya, tidak kena diakali. Biarpun mulutnya bicara, kewaspadaannya sedikitpun tidak jadi berkurang. Tapi, karena jumlah musuh terlalu besar dan musuh-musuh itu pun bukan sembarang orang, maka ia tetap tidak berhasil dalam usahanya untuk menerjang keluar dari kepungan.
Sekonyong-konyong, si imam yang melepaskan senjata rahasia dengan berdiri diluar gelanggang, berteriak: "Celaka! Senjata rahasia habis!" berbareng dengan teriakan itu, semua kawannya menggulingkan diri ditanah dan lima batang golok terbang menyambar bagaikan kilat. Ternyata kata kata
"senjata rahasia habis" adalah semacaan isyarat supaya semua orang bergulingan untuk menyingkirkan diri dari sambaran lima batang Huito yang menyambar dalam bentuk bunga bwee.
Dalam keadaan biasa, dengan menundukkan kepala, membungkuk, melompat kedepan atau menjengkangkan diri, Pheng Hweeshio akan dapat mengelakkan lima golok itu yang menyambar dadanya. Tapi sekarang, sebab sambil bergulingan, keenam musuhnya juga menyerang dengan senjata mereka, maka bagian bawah badannya tertutup semua.
Bu Kie mencelos hatinya. Mendadak tubuh Pheng Hweeshio meleset keatas kira-kira setombak tingginya, dan lima buah golok terbang lewat di bawah kakinya. Tapi, meskipun senjata rahasia sudah dielakkan, Sianthung dan golok kedua pendeta Siauw lim serta pedang dari toesu Kun loan pay sudah manyambar lututnya dengan berbareng. Sesaat itu tubuh Pheng Hwee shio masih di tengah udara, sehingga, mau tidak mau, ia terpaksa menggunakan pukulan yang berbahaya dan membinasakan.
"Ptak!", telapak tangan kirinya menghantam kepala seorang pendeta Siauw lim dan dengan sekali menjambret, tangan kanannya sudah merampas golok pendeta itu, yang lalu digunakan untuk menangkis Sianthung. Dengan meminjam tenaga dari bentrokan kedua senjata itu, badannya "terbang" beberapa tombak jauhnya. Pendeta Siauw lim yang ditepuk kepalanya, sudah binasa seketika itu juga. Sambil berteriak-teriak, tujuh kawannya mengubar Pheng Hweeshio.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Di lain saat, badan Pheng Hweeshio kelihataan bergoyang-goyang, hampir-hampir jatuh terguling, dan ketujuh musuhnya lantas saja mengurung.
Sambil memutar Sianthung, si pendeta Siauw lim menerjang dan berteriak "Pheng Hweeshio! Kau membinasakan Suteeku. Mari kita mengadu jiwa !"
"Lututnya sudah kena Sia wie kauw (Gaetan buntut kalajengking. semacam senjata rahasia) !" teriak si tosu Kun lun. "Tak lama lagi, dia akan mampus keracunan!"
Benar saja, tindakan Pheng Hweeshio kelihatan limbung dan perlawanannya terhadap si pendenta Siauw lim, sudah kalut.
"Celaka!" bisik Siang Gie Cun. "Ia adalah guru Ciu Toako. Bagaimana aku harus menolongnya?"
Bu Kie tahu, bahwa si brewok adalah manusia yang tidak bisa menonton kecelakaan kawan sambil berpeluk tangan. Biarpun dirinya sendiri terluka berat, ia masih mau menolong orang. Andai kata ia sampai menerjang keluar, ia hanya akan mengantarkan jiwa dengan cuma-cuma. Tiba-tiba Bu Kie mendapatkan serupa ingatan dan ia lantas saja berkata: "Siang Toako, kau ingin menolong Pheng Hweeshio bukan?"
"Tidak bisa tidak ditolong!" jawabnya. "Ia kena senjata beracun, Tapi, aku sendiri .... aku sendiri ...."
"Aku mempunyai serupa daya untuk memulihkan tenagamu," memutus si bocah. "Kau akan bisa bertahan selama setengah jam, tapi dengan demikian, kau akan merusak tenaga dalammu."
Sesudah mendengar keterangan si bocah mengenai limu silat berbagai partai, Gie Cun percaya, bahwa anak yang sangat pintar itu adalah murid istimewa dari Thio Sam Hong, sehingga ia tidak menyangsikan omongan itu.
"Untuk menolong jiwa manusia, aku rela merusak tenaga dalamku sendiri."
"Ambillah dua butir batu yang tajam," bisik Bu Kie.
Gie Cun segera melakukan apa yang diminta. "Apa ini boleh?" tanyanya sambil mengangsurkan kedua batu itu.
"Boleh," jawab si bocah sambil mengangguk. "Dengan tajamnya batu, totoklah samping pahamu, dibawah pinggang."
"Disini?" tanya Gie Cun sambil menunjuk samping pahanya.
"Lebih bawah sedikit," kata si bocah. "Ya! benar disitu. Kesebelah dikit, setengah coan. Bagus! Nah, sekarang totoklah."
Si berewok lantas saja menotok paha kanannya dengan batu itu dan hampir berbareng, ia merasa pahanya kesemutan.
"Inilah ilmu yang dinamakan Tie sin Tah hiat hoat (ilmu menotok jalan darah untuk mempertinggi semangat)," menerangkan Bu Kie. "Totoklah paha kirimu."
Si berewok agak bersangsi. Walaupun belum pernah belajar, ia tahu bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat ilmu Tiam hiat yang dapat melumpuhkan anggauta badan manusia. Akan tetapi, meskipun mengingat itu, ia tetap percaya omongan Bu Kie, karena menurut anggapannya, sebagai sebuah partai persilatan yang namanya menggetarkan dunia, Bu tong pay tentunya juga mempunyai cara-cara yang lain dari pada yang lain. Demikianlah, ia segera menotok lagi pada paha kirinya.
Tapi, di luar dugaan, begitu paha kirinya tertotok, separuh badannya, mulai dari pinggang ke bawah, tidak dapat digerakkan pula.
Sementara itu, sesudah melompat beberapa tombak jauhnya, Pheng Hweeshio lalu roboh di tanah.
"Saudara Thio!" kata si brewok dengan bingung. "Mengapa.... badanku seperti mati separoh ?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie tertawa geli di dalam hati, karena Siang Gie Cun sudah tertipu, tapi ia pura pura kaget dan mengeluarkan seruan tertahan: "Celaka! Kau tidak mengerti Tiam hiat, mungkin sekali kau salah dalam menggunakan tenaga. Tunggulah sebentar."
Siang Gie Cun bukan seorang tolol. Di lain saat ia sudah mengerti, bahwa ia terjebak oleh muslihat si bocah nakal. Tapi iapun tahu, bahwa dengan berbuat begitu, Bu Kie bermaksud baik sekali. Ia tidak dapat berbuat lain daripada menghela napas dengan perasaan mendongkol tercampur geli.
Pheng Hweeshio menggeletak di tanah tanpa bengerak, seolah olah ia sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan. Akan tetapi biarpun begitu, musuh musuhnya masih belum berani mendekati.
"Kouw Sutee, cobalah kau menimpuk lagi dengan dua buah golok terbangmu, untuk mencoba-coba,"
kata si tosu Kun lun pay.
Too jin yang dipanggil "Kouw Sutee," segera mengayun tangan kanannya dan dua Huito menyambar, yang satu menancap di pundak kanan Pheng Hweeshio, sedang yang lain mengenakan paha kirinya. Tapi pendeta jubah putih itu tetap tidak bergerak, suatu bukti, bahwa dia benar benar sudah binasa.
"Sayang ! Sayang dia sudah mati," kata si too su Kun lun. "Sekarang sukar diselidiki, dimana dia menyembunyikan Pek Kwie Sioe."
Semua lalu mendekati "mayat" Pheng Hweesio.
Mendadak, mendadakan saja, terdengar Suara "plak... plak.... plak ...." lima kali beruntun, dan lima orang roboh terguling! Hampir berbareng, dengan semangat bergelora, Pheng Hweeshio bangun berdiri, dengan pundak dan paha masih tertancap golok.
Ternyata, sesudah kena senjata beracun dan yakin, bahwa jiwanya tidak akan dapat ditolong lagi, Pheng Hweesio lalu pura-pura mati. Begitu lawannya mendekati, ia segera menghantam lima orang musuh lelaki dengan pukulan Ngoheng ciang. Ia sengaja mengampuni dua orang lawan wanita, yaitu Kie Siauw Hu dan Sucinya yang bernamar Teng Bin Kun.
Dalam kagetnya, kedua murid Go bie pay itu melompat mundur. Mereka melihat, bahwa kelima kawannya muntahkan darah dan dua antaranya yang Lweekangnya agak lemah, sudah jatuh berlutut.
Sesudah mengeluarkan banyak tenaga, tubuh Pheng Hweeshio pun bergoyang-goyang.
"Teng Kouwnio, Kie Kouwnio!" teriak si too su Kun lun. "Tikamlah bangsat gundul itu!"
Antara sembilan orang yang tadi bertempur, seorang pendeta Siauw lim sudah binasa, sedang Pheng Hweeshio dan lima lawannya mendapat luka berat, sehingga hanya Teng Bin Kun dan Kie Siauw Hu yang tidak kurang suatu apa.
Mendengar teriakan si tosu Kun lun, Teng Bin Kun segera mengangkat pedang dan menyabet kaki si pendeta.
Pheng Hweeshio mengeluh. "Karena merasa kasihan terhadap orang perempuan, aku tidak berlalu kejam terhadap kamu, tapi tidak dinyana, rasa kasihanku berbalik mencelakakan diriku sendiri" katanya di dalam hati. Ia meramkan kedua matanya untuk menunggu kebinasaan.
Tiba-tiba terdengar suara "trang!" suara benturan senjata. Pheng Hweeshio membuka mata dan mendapat kenyataan, bahwa yang menolongnya ialah Kie Siauw Hu.
"Eh, mengapa kau begitu?" tanya Teng Bin Kun dengan kaget.
Nona Kie tertawa. "Suci," katanya. "Pheng Hweeshio tidak berlaku kejam terhadap kita dan kitapun tidak boleh membunuh dia."
"Aku juga bukan mau mengambil jiwanya," kata Teng Bin Kun. "Aku hanya ingin memaksa supaya dia memberitahukan tempat sembunyinya Pek Kwie Sioe."
"Dia telah keracunan hebat, paling dulu kita harus memunahkan racun itu," kata Kie Siauw Hu seraya mendekati si tosu Kun lun dan berkata: "Saudara See leng, berikanlah obat pemunah Sie wie kauw kepadaku."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Too ho (nama sebagai orang pertapaan) dari toojin itu ialah See leng cu, sedang toojin yang melepaskan golok terbang bernama See ciat cu dan mereka kedua duanya adik sepenguruan See hoa cu.
"Belenggu dulu padanya," kata See leng cu. "Hweeshio ltu banyak akal bulusnya...." Ia bicara dengan napas tersengal-sengal karena pukulan Ngo beng ciang telah membuatnya terluka berat.
Kie Siauw Hu mengangguk dan sesudah mengambil seutas tambang, ia menghampiri Pheng Hweeshio. "Pheng Taysu" katanya dengan suara lemah lembut, "aku mohon maaf untuk kekurangan ajarku."
Karena tak ada jalan lain, mau tak mau si pendeta membiarkan kaki tangarnya dibelenggu.
Sesudah itu barulah See leng cu mengeluarkan obat yang lalu diserahkan kepada nona Kie dengan memberitahukan juga cara-cara menggunakannya. Siauw Hu lalu mencabut dua Huito yang menancap dipundak dan paha Pheng Hweeshio dan kemudian menaruh obat dilubang-lubang.
"Pheng Hweeshio!" bentak Teng Bin Kun. "Su moyku berhati murah dan sudah menotong jiwamu.
Sekarang beritahukanlah dimana adanya Pek Kwie Sioe."
Peng Hweeshio tertawa terbahak-bahak. "Teng Kouwnio," katanya, "dengan berkata begitu, kau memandang aku terlalu rendah. Thio Ngohiap dari Bu tong pay lebih suka bunuh diri daripada memberitahukan tempat tinggal saudara angkatnya. Pribudi Thio Ngohiap yang luhur itu dikagumi sungguh oleh Pheng Eng Giok. Maka itu biarpun aku bukan seorang ternama, aku ingin mengikut perbuatan Thio Ngohiap."
Mendengar itu, bukan main rasa bangganya Bu Kie. Kematian Cui San sangat disayangkan oleh orang-orang Rimba Persilatan dan mereka menganggap, bahwa kebinasaan Thio Ngohiap adalah karena menikah dengan seorang wanita "siluman" dari partai yang sesat. Sebagai anak yang cerdas, Bu Kie tahu, bahwa dalam omong omong antara kakek guru dan para pamannya, mereka sangat berduka akan kematian ayahnya, tetapi mendongkol terhadap mendiang ibunya. Tapi dari semua pembicaraan yang pernah didengarnya, belum pernah ada seorang yang mengutarakan rasa hormat begitu besar terbadap ayahnya seperti pengutaraan Pheng Hweeshio.
Teng Bin Kun tertawa dingin. "Dengan menikah dengan perempuan siluman, Thio Cui San seperti juga sudah buta matanya," katanya. "Dia sendiri juga yang rela menjadi seorang hina dina. Apa orang begitu pantas dibuat contoh" Bu tong pay...."
"Suci!" memutus Kie Siauw Hu.
"Jangan kuatir," kata sang kakak sepenguruan "Aku tak akan menyeret nama In Liok hiap," Ia mengibas pedangnya yang lalu ditudingkan kemata kanan si pendeta. "Kalau kau tidak bicara, lebih dulu kutusuk mata kananmu." Ia mengancam dengan suara bengis. "Kemudian kutikam mata kirimu. Sesudah itu, kusodok kuping kanan dan kuping kirimu dan akhirnya kupapas hidungmu. Tapi kau tak usah kuatir.
Biar bagaimanapun juga, aku tak akan mengambil jiwamu." Ujung pedang yang berkilauan dan menggetar tak hentinya itu hanya terpisah setengah dim dari mata kanan Pheng Hweeshio.
Tetapi Pheng Hweeshio sedikitpun tidak menjadi gentar. Dengan mata tak berkedip, ia berkata: "Sudah lama kudengar, bahwa Biat coat Suthay dari Go bie pay seorang kejam. Sekarang aku mendapat kenyataan, bahwa si murid tidak banyak berbeda dengan sang guru. Hari ini Pheng Eng Giok sudah jatuh kedalam tanganmu dan kau boleh berbuat sesukamu."
"Bangsat gundul!" teriak Teng Bin Kun. "Kau berani menghina guruku?" Dengan sekali mendorong pedangnya, mata kanan Pheng Hweeshio sudah menjadi buta dan kemudian ia menempelkan ujung pedang dikelopak mata kiri si pendeta.
Tapi pendeta itu tertawa terbabak-babak sedang mata kirinya yang terbuka lebar menatap muka musuhnya. Ditatap begitu, dengan sinar mata yang berkeredepan, jantung Teng Bin Kun memukul keras.
"Kepala gundul !" bentaknya pula. "Aku sungguh tak mengerti akan sikapmu. Kau bukan anggauta Peh bie kauw, tapi mengapa kau rela membuang jiwamu untuk manusia seperti Pek Kwie Sioe ?"
"Biarpun aku menerangkan kepadamu tentang cara-caranya seorang kesatria, kau tentu tak akan mengerti." jawabnya dengan suara duka.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melihat paras muka si pendeta yang seolah-olah memandang rendah kepadanya, Teng Bin Kun meluap darahnya dan sekali lagi ia menggerakkan pedang untuk menusuk mata kiri Pheng Hweeshio.
Dengan cepat Kie Siauw Hu menangkis dengan senjatanya. "Suci. Dia keras kepala dan biar bagaimanapun jua, ia pasti tidak akan membuka mulut," katanya. "Meskipun dibinasakan tiada guna nya."
"Dia mencaci Suhu sebagai seorang kejam, maka biarlah dia menyaksikan kekejamanku." kata Teng Bin Kun. "Siluman Mo kauw semacam dia hanya bisa mencelakakan manusia baik-baik. Maka itu, jikalau kita menyingkirkannya dari muka bumi ini berarti kita terbuat baik terhadap sesama manusia,"
"Tapi tidak bisa disangkal, bahwa dia seorang gagah yang tidak takut mati," Siauw Hu coba membujuk lagi. "Suci, menurut pendapatku, sebaiknya kita memberi ampun kepadanja."
"Tidak bisa !" bentak sang kakak sepenguruan "Dua Suheng dari Siauw lim pay yang satu binasa, satu terluka. Sedang dua Tootiang dari Kun lun Pay mendapat luka barat, sedang dua saudara dari Hay see pay terluka lebih hebat juga. Apa tangannya tidak cukup kejam " Sekarang biarlah aku menusuk mata kirinya.
Sesudah itu, baru kita menanyakan lagi tempat sembunyinya Pek Kwie Sioe."
Sehabis berkata begitu, bagaikan kilat pedangnya lantas menyambar mata kiri Pheng Hweeshio.
Sekali lagi Kie Siauw Hu menangkis pedang Sucinya. "Suci," katanya dengan suara memohon. "Dia sudah tidak bisa melawan lagi dan jika kita menganiaya dia, aku kuatir partai kita akin mendapat nama jelek dalam Rimba Persilatan."
Teng Bin Kun mendelik. "Minggir! Jangan perdulikan aku," bentaknya.
Kie Siauw Hu kelihatan bingung dan berkata pula: "Suci.... "
"Jangan rewel!" Memutus Bin Kun. "Kalau kau menganggap aku sebagai kakak seperguruan, kau harus mendengar omonganku."'
"Baiklah," kata nona Kie.
Sekali lagi pedang Teng Bin Kun menyambar mata kiri Pheng Hweeshio. Kali ini ia menggunakan tiga bagian tenaga Lweekang. Iapun mengerakkan tenaga dalam. "Trang!" kedua senjata kebentrok dan kedua saudari sepenguruan terhuyung beberapa tindak.
Teng Bin Kun marah besar, "Sumoay !" bentaknya. "beberapa kali dengan mati-matian kau melindungi pendeta siluman itu. Apa sebenarnya maksudmu ?"
Kie Siauw Hu tertawa, "Aku hanya ingin meminta supaya Suci jangan menganiayanya." jawabnya dengan sabar, "Jikalau kita ingin menyelidiki dimana tempat sembunyinya Pek Kwie Sioe, kita hanya bisa menanyakan nanti secara perlahan lahan."
Teng Bin Kun tertawa dingin. "Huh ! Apakah kau kira aku tak tahu jalan pikiranmu ?" tanyanya dengan nada mengejek. "Berapa kali In Liokhiap dari Bu tong pay mendesak supaya kau menikah dengannya. Mengapa kau selalu menolak dengan memberikan rupa-rupa alasan" Waktu ayahmu turut mendesak, mengapa kau kabur dari rumahmu ?"
"Suci itu adalah urusan sumoay pribadi," kata nona Kie "Mengapa Suci jadi menyebut nyebut hal itu
?" Sang kakak mengeluarkan suara dihidung. "kita sama tahu." katanya. "Di hadapan orang luar, memang kurang baik jika aku membuka topengmu. Huh! Badanmu berada di Go bie, tapi hatimu di pihak Mo kauw !"
Mendengar perkataan itu, Siauw Hu gusar tak kepalang, sehingga paras mukanya berubah pucat. "Aku selalu menghormati kau sebagai seorang kakak dan belum pernah aku berbuat kesalahan terhadapmu,"
katanya dengan suara gemetar "Tapi mengapa hari ini kau menghina aku sedemikian hebat?"
"Kalau benar-benar hatimu tidak condong, kepada Mo kauw, coba tusaklah mata kiri pendeta siluman itu." kata Teng Bin Kun.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Suci," kata nona Kie dengan suara duka. "Sebagaimana kau tahu, semenjak jaman Siauw ong-sia Kwee Sucouw (Kwee Siang), di dalam partai kita terdapat banyak sekali wanita yang tidak mau menikah seumur hidupnya. Oleh karena mengagumi kemuliaan mendiang guru besar kita, siauwmoaypun telah mengambil keputusan untuk tidak menikah. Siauwmoay menganggap, hal itu hal yang lumrah saja.
Mengapa Suci mendesak begitu hebat ?"
"Sudah! Aku tak suka dengar segala omonganmu!" bentak Bien Kun. "Jika kau tidak mau menikam mata pendeta siluman itu, aku akan mencopoti topengmu."
Mendengar ancaman itu, Siauw Hu kelihatannya tak berani berkeras lagi. "Suci," katanya dengan suara halus, "aku memohon kepadamu, suci, dengan mengingat kecintaan antara sesama saudara sepenguruan, janganlah kau mendesak aku terlalu hebat."
Wanita she Teng itu tertawa. "Aku bukan memaksa kau mengerjakan pekerjaan yang sulit," katanya,
"Sebagaimana kau tahu, Suhu telah memerintahkan kita untuk menyelidiki tempat bersembunyinya Kim mo Say ong Cie Sun. Sekarang, pendeta itu adalah orang satu-satunya yang bisa memberi penerangan kepada kita, tapi dia bukan saja sungkan membantu kita, malah sudah melukakan juga kawan-kawan kita.
Kesatria Berandalan 4 Pendekar Kembar Karya Gan K L Tusuk Kondai Pusaka 17