Kisah Membunuh Naga 16
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 16
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
menurut anggapannya, tanpa obat pemunah yang diberikan olehnya sendiri, siapa yang kena pasti akan mati. Kalu benar bocah itu bisa memunahkan racun tersebut ia benar-benar lihay. Maka dari itu, sambil menatap wajah Bu Kie, ia bertanya dengan suara manis. "Anak muda, benarkah kau bisa mengobati penyakit?"
Mengingat nasib kedua orang tuanya, Bu Kie membenci si tua itu. Tapi pada hakekatnya ia memiliki sifat-sifat mulia dan ia seorang yang mudah melupakan segala sakit hati. Kalau tidak memiliki sifat yang baik itu, mana mau ia mengobati orang-orang seperti Kan Ciat dan Sie Kong Wan" Ia merasa, bahwa Kun lun pay mempunyai andil sebagai partai yang turut menjadi gara-gara dari kebinasaan orang tuanya. Tapi ia adalah seorang yang tidak bisa menonton kebinasaan tanpa mengulurkan tangan. Maka itulah, ia sudah menolong Ciam Cun, seorang murid Kun lun pay, dan Souw Hie Cie. Sekarang mendengar pertanyaan si tua, meskipun hatinya gusar, ia manggutkan kepalanya.
Begitu masuk, ia mengendus bau luar biasa. Sesaat kemudian, ia merasa bau itu berubah-ubah sebentar keras, sebentar hilang. Ia mendekati mengawasi muka si sakit dan memegang nadinya. Mendadak ia mengeluarkan sebatang jarum emas yang lain ditusukkan di muka Ngo kouw yang bengkak seperti labu.
Ho Thay Ciong terkejut. "Bikin apa kau?" bentaknya serta mengangsurkan tangan untuk menjambret Bu Kie, tapi bocah itu sudah mencabut jarumnya. Ternyata bekas tusukan jarum sama sekali tidak mengeluarkan darah atau cair. Bu Kie lalu mencium-cium jarum itu dan manggut-manggutkan kepalanya.
Sehingga dalam hati Thie Kim Sianseng timbul harapan baru. "Saudara"saudara kecil," katanya. Apakah ada harapan?" Bahwa sebagai seorang pemimpin sebuah partai persilatan, ia sudah menggunakan istilah
"saudara kecil" merupakan bukti, bahwa ia berlaku hormat terhadap si bocah.
Tapi Bu Kie tidak menyahut. Sekonyong-konyong ia merangkak ke kolong ranjang dan sesudah memeriksa kolong ranjang itu beberapa saat, barulah ia keluar lagi. Kemudian ia membuka jendela dan mengawasi pohon-pohon bunga yang ditanam di dalam taman. Mendadak ia melompat dan keluar dari jendela lalu berdiri tegak sambil memandang pohon-pohon di sekitarnya, seolah-olah ia sedang menikmati bunga-bunga yang beraneka warna dan harum baunya.
Ho Thay Ciong mendongkol. Karena sangat mencintai gundiknya itu, maka ia sudah memerintahkan muridnya untuk menanam pohon-pohon bunga yang luar biasa dan mahal harganya di luar jendela kamar Ngo kouw. Sekarang, ia sedang mengharap-harap pertolongan selekas mungkin, sebaliknya dari menolong, si tabib cilik membuang-buang waktu dengan mengawasi pohon-pohon bunga itu. Bagaimana ia tak jadi mengeluh"
Sesudah berdiri beberapa lama, Bu Kie kembali manggut-manggutkan kepalanya, ia balik ke kamar.
"Penyakit itu masih dapat diobati, tapi aku tak sudi mengobatinya," katanya dengan suara kaku. "Ciam Kouwnio, aku mau pergi".
"Saudara Thio, kumohon pertolonganmu," kata nona Ciam. "Kalau kau bisa menolong Ngo kouw, segenap anggota Kun lun pay, dari atas sampai di bawah, akan merasa sangat berterima kasih. Saudara Thio, tolonglah".
Bu Kie menggelengkan kepalanya sambil menuding Ho Thay Ciong, ia berkata, "Dia, Thie Kim Sianseng, turut mengambil pada bagian waktu sejumlah manusia kejam memaksa kedua orang tuaku membunuh diri. Perlu apa aku menolong jiwa gundiknya?"
Ho Thay Ciong terkesiap. "Saudara kecil, kau she apa?" tanyanya. "Siapa ayah dan ibumu?"
"Aku she Thio," jawabnya dengan suara tawar.
"Mendiang ayahku adalah murid kelima dari Bu tong pay".
Si tua jadi lebih kaget lagi. Baru sekarang ia tahu, bahwa anak tanggung itu puteranya Thio Cui San.
Buru-buru ia mencoba dan berkata.
"Saudara Thio, pada waktu ayahmu masih hidup, aku bersahabat baik dengannya. Bahwa ia telah membunuh diri sudah sangat mendukakan hatiku?"
"Setelah kedua orang tuamu meninggal dunia, beberapa kali Suhu menangis". Ciam Cun menambah dusta gurunya. Beliau sering mengatakan bahwa mendiang ayahmu adalah sahabatnya yang paling akrab".
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie bersangsi, ia setengah percaya, setengah tidak. Tapi, sebagaimana telah dikatakan, ia adalah seorang yang mudah melupakan sakit hati lama. Maka itu, lantas saja berkata, "Hu jin (nyonya) bukan mendapat penyakit aneh. Ia kena racun dari Kim gin Hiat".
"Ular Kim gin Hiat?" tegas guru dan murid itu hampir berbarengan. Mereka kaget dan heran, karena nama ular itu belum pernah didengar mereka.
"Benar," jawabnya. "Akupun belum pernah melihat ular itu. Aku menarik kesimpulan itu karena muka Hujin, lihatlah apa di situ terdapat luka gigitan yang sangat kecil".
Ho Thay Ciong buru-buru menyingkap selimut yang menutupi tubuh Ngo kouw dan menarik jari kakinya. Benar saja di setiap ujung jari kaki terdapat luka besar yang berwarna hitam. Karena terlalu kecil, jika tidak diperhatikan, luka itu tidak kelihatan.
Melihat begitu, si tua tidak menyangsikan lagi kepandaian Bu Kie. "Benar, benar," katanya, "Setiap ujung jari kakinya benar terluka. Saudara kecil kau sungguh pandai. Sesudah mengetahui sebab musebab penyakit itu, saudara kecil pasti dapat menyembuhkannya. Sesudah dia sembuh aku akan memberi hadiah yang besar". Ia berpaling kepada tujuh tabib tolol itu dan membentak, "Kamu semua manusia tolol! Tabib goblok!"
"Penyakit Hujin memang luar biasa dan kita tak dapat menialahkan mereka," kata Bu Kie, "Ho Sianseng biarkanlah mereka pulang saja!"
"Baik, baik," kata si tua. "Sesudah saudara kecil berada di sini, memang perlu apa tabib-tabib goblok itu berdiam lebih lama lagi" Cun jin, berikan seratus tail perak kepada setiap orang dan suruh mereka pergi segera".
Ketujuh tabib itu girang bukan main dan sesudah menerima hadiah, cepat-cepat mereka berlalu.
"Coba suruh beberapa bujang menggeser ranjang Hu jin," kata Bu Kie. "Di bawah kaki ranjang terdapat dua lubang kecil dan lubang itu adalah tempat keluar masuknya ular Kim gin Hiat".
Tanpa meminta bantuan lagi, Ho Thay Ciong segera mencekal kaki ranjang yang lalu digesernya.
Sesuai seperti yang dikatakan Bu Kie, di bawahnya terdapat lubang kecil.
Si tua girang bercampur gusar. "Lekas ambil belirang dan api!" teriaknya, "Begitu dia keluar aku akan cincang!"
Bu Kie menggoyangkan tangannya. "Tak boleh, tak boleh begitu," katanya. "Racun yang mengeram di dalam badan Hujin harus dipunahkan oelh ular itu juga. Kalau kau bunuh Hujin tak dapat disembuhkan lagi!"
"Oh begitu?" kata si tua dengan rasa heran.
"Mengapa begitu?"
"Ho Sianseng," terang si bocah sambil menunjuk taman bunga yang berada di luar jendela. "Penyakit Hujin karena gara-gara delapan pot bunga anggrek Leng cie lan itu".
"Leng cie lan?" tegas Ho Thay Ciong.
Baru sekarang ia tahu, anggrek itu Leng cie lan namanya. "Karna tahu aku suka menanam bunga, seorang sahabat yang datang dari wilayah Barat, See hek, dan yang membawa delapan pot bunga itu, sudah menghadiahkannya kepada aku. Bunga itu sangat indah dan harum. Hm!...Aku tak tahu dia bibit penyakit".
"Menurut katanya kitab ilmu ketabiban, Leng cie lan berubi, yang bentuknya bundar seperti bola, warnanya merah api dan di dalam ubi itu terdapat racun yang sangat hebat," Bu Kie melanjutkan keterangannya, "Cobalah gali".
Ketika itu, semua Kun lun pay sudah tahu bahwa Bu Kie sedang coba mengobati penyakit Ngo kouw yang luar biasa.
Murid-murid lelaki tidak berani masuk, tapi keenam murid perempuan sudah berada dalam kamar itu.
Begitu mendengar keterangan Bu Kie dua antaranya lantas saja mengambil cangkul dan menggali sebuah pot. Benar saja ubi pohon anggrek itu bundar dan warnanya merah. Karena tahu beracun, mereka tidak berani menyentuhnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Sekarang aku minta kalian menggali semua pohon anggrek itu dan taruh ubinya dalam sebuah mangkok kayu," kata si bocah pula. "Tambahkan delapan biji telur ayam dan semangkok darah ayam.
Pukul campuran itu sampai menjadi hancur. Tapi yang mengerjakannya harus berhati-hati, harus menjaga sampai campuran itu tidak mengenai kulit."
Ciam Cun bersama dua orang saudara seperguruannya lantas saja bertindak keluar untuk melakukan apa yang diminta. Sesudah itu, Bu Kie minta juga dua buah bumbung bambu dan sebatang tongkat bambu.
Tak lama kemudian, ubi Leng cie land an campurannya sudah dipukul menjadi cairan kental. Bu Kie segera menuang cairan itu di lantai dan membuat sebuah lingkaran. Pada lingkaran itu ditinggalkan sebuah lubang yang lebarnya kira-kira dua dim. Sambil mengawasi semua orang, ia berkata, "Kalau sebentar terjadi kejadian luar biasa, kuharap kalian jangan bersuara supaya ular itu tidak menjadi kaget dan menggigit kalian. Harap kalian menutup hidung dengan kapas." Semua orang lantas saja menuntut, sedang racun lalu menutup hidungnya dengan sedikit kapas.
Sesudah itu, ia mengambil api dan membakar daun-daun Ling cie lan di samping lubang. Kira-kira minuman teh, dari lubang sebelah kiri keluar seekor ular yang badannya merah dan di kepalanya terdapat semacam topi daging yang berwarna emas. Ular itu ternyata mempunyai empat kaki dan panjang badannya kira-kira delapan dim. Baru saja Kim koan Hiat coa (ular darah topi emas) keluar, dari lubang sebelah kanan kembali muncul seekor ular lain yang badannya lebih pendek dan topi dagingnya berwarna perak. Ular yang belakangan dinamakan Gin koan Hiat coa, ular darah topi perak. Sepasang ular itu dinamakan Kim gin Hiat coa yaitu ular darah emas perak.
Sambil menahan napas, Ho Thay Ciong dan murid-muridnya mengawasi kedua binatang itu. Mereka tahu, bahwa kalau ular-ular itu sampai lari, penyakit Nog kouw sukar disembuhkan lagi.
(Bersambung ke jilid 28) BU KIE Karya : Chin Yung Jilid 28 Transcriber: Thor Kedua ular itu saling mendekati dan mengeluarkan lidah mereka, yang bertopi emas menjilat punggung ular yang bertopi perak, sedang yang bertopi perakpun menjilat punggung yang bertopi emas.
Sambil menunjukkan sikap saling mencintai itu. Perlahan-lahan mereka saling mendekati lingkaran.Buruburu Bu Kie memasang kedua bumbung bambu dilubang lingkaran dan dengan tongkat bambu, ia menggebrak buntut Gin-koan Hiat-coa. Sekali berkelebat ular itu sudah masuk kedalam bumbung. Kim-koan Hiat-coa masuk ikut masuk, tapi karena bumbung itu kecil, dan hanya memuat seekor ular dia tidak berhasil. Tiba2 ia mengeluarkan suara nyaring luar biasa. Bu Kie segera mencekal bumbung yang lain dan menggebrak pula buntut si topi emas yang sekali lompat, sudah masuk ke dalam bumbung. Si bocah lalu mengambil sumbat kayu dan menyumbat lubang bumbung.
Sedari Kim-gin Hiat-coa keluar, semua orang mengamati dengan menahan nafas dan jantung berdebar.
Sesudah Bu Kie menutup bumbung, barulah barulah mereka bernafas lega.
"Coba masak air dan cuci lantai sampai bersih, supaya racun Leng cie lan tidak ketinggalan" kata si bocah. Enam murid perempuan lantas mengiakan dan tak lama kemudian lantai sudah di cuci dengan air panas.
Sesudah itu, Bu Kie minta supaya semua jendela dan pintu ditutup rapat dan ia minta pula Toet hong, Beng pan, Thay Hong, Kam co dan beberapa bahan obat lain yang harus digiling halus dan dicampur kapur.
Campuran ini lalu dimasukkan kedalam bumbung Gin-koan Hiat-coa. Ular itu lantas saja mengeluarkan suara nyaring, disambut oleh si topi emas. Bu Kie lalu mencabut sumbat bumbung Kim-koa Hiat-coa yang lantas saja keluar dan jalan memutari bumbung si topi perak. Dari gerak-geriknya, ia kelihatan dalam kebingungan. Tiba2 ia naik ke atas ranjang dan menyelinap ke dalam selimut Ngo kouw.
Ho Thay Ciong terkesinap, hampir saja berteriak, tapi Bu Kie keburu mengoyang2kan tangannya.Sambil tersenyum si bocah menyingkap selimut dan ternyata ular itu sudah menggigit ujung jeriji kaki Ngo kouw. "Dia akan menghisap racun dalam tubuh Hujin," katanya dengan paras muka girang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Makin lama ular itu makin besar dan kira2 semakanan nasi, dia sudah lebih besar berlipat ganda, sedang topinya bersinar terang. Tak lama kemudian dia turun dari ranjang, dan Bu Kie lalu mencabut sumbat bumbung Gin-koan Hiat-coa. Si topi emas lantas saja memuntahkan darah beracun kedalam topi perak.
"Cukuplah !" kata si bocah. "Setiap hari mereka menghisap dua kali. Sesudah itu akan menulis surat obat untuk menghilangkan bengkak dan menguatkan badan. Dalam sepuluh hari Hujin akan sembuh seanteronya."
Tak kepalang girangnya Hu Thay Ciong yang lalu mengajak Bu Kie ke kamar buku. "Saudara kecil kau mempunyai kepandaian seperti malaikat." Katanya. " Tapi apakah aku boleh tahu latar belakang dari kejadian ini?".
"Menurut Kitab Tok But Tay Coan, dalam urutan racun, Kim-gin Hiat-coa jatuh nomor tiga puluh tujuh," menerangkan si bocah. "Biarpun mereka bukan termasuk binatang beracun terlihay, tapi mereka mempunyai satu keistimewaan, iialah mereka suka sekali makan racun. Leng cie lan yang ditanam di luar jendela kamar Hujin, yang mengandung racun sangat hebat, dan sudah mengundang kedua ular itu."
Ho Thay Ciong manggutkan kepalanya.
"Kim-gin Hiat-coa adalah sepasang, yang satu lelaki, yang satu perempuan." Kata si bocah.
"Tapi dengan menggunakan Tay Hong, Kam Cu dan lain2, aku membakar Gin-koan Hiat-coa. Untuk menolong kawan hidupnya, Kim-koan Hiat-coa mesti menghisap racun dalam tubuh Hujin. Sebentar, sesudah berselang tiga jam, aku akan membakar ular lelaki, yaitu Kim-koan Hiat-coa, dan ular perempuan pasti akan menghisap darah beracun dalam tubuh Hujin untuk menolong yang lelaki. Dan begitu seterusnya sehingga darah beracun habis dihisap."
Malam itu, dengan penuh kegembiraan Ho Thay Ciong menjamu Bu Kie dan Poet Hwie.
Selang beberapa hari, bengkak dimuka Ngo kouw mulai kempes. Semangatnya pulih dan sedikit sedikit ia sudah bisa makan dan minum. Sesudah lewat sepuluh hari, ia sembuh seluruhnya.
Hari itu Ngo kouw menjamu Bu Kie untuk menghaturkan rasa terima kasih dan mengundang juga Ciam Cun. Mukanya masih pucat, tapi kecantikkannya tidak berkurang. Ho Thay Ciong menemui dengan hati berbunga. Dengan menggunakan kesempatan itu, nona Ciam suka memohon kepada gurunya menerima Souw Hie Cie sebagai muridnya.
Si tua tertawa terbahak2. "Cun jie" katanya, "siasat menyentak kayu bakar dari bawah kuali sungguh bagus. Kalau aku menerima bocah she Souw itu sebagai murid, dibelakang hari kubakal turunkanilmu pedang Liong Heng It Pit Kiam kepadanya. Dengan demikian kedosaannya mencari Kim-hoat tiada artinya lagi".
Nona Ciam tertawa lalu berkata, "Suhu kalau bocah she Souw itu tidak mencuri kiam-hoat, teecu tentu diperintah mencari dia dan tak akan bertemu dengan Thio Sieheng. Suhu dan Ngo kouw mempunyai rejeki yang sangat besar. Tapi kalo dihitung2, bocah she Souw itu juga turut berjasa".
"Kau mempunyai begitu banyak murid. Tapi diwaktu perlu, hampir semua tak ada gunanya"
menyambuti Ngo kouw. "Kalau Cim Kouwnio penuju bocah itu.Terimalah. dibelakang harimungkin sekali akan menjadi muridmu yang paling boleh diandalkan".
Ho Thay Ciong yang belum pernah membantah kemauan gundik itu, lantas mengangguk dan berkata.
"Baiklah aku terima, tapi ada syaratnya".
"Syaratnya apa?" tanya gundik.
"Sesudah menjadi muridku dia harus belajar sunguh2," kata si tua. "Syaratnya yaitu, dia tidak boleh memikir yang gila2 menikah dengan Cun Jie".
Paras nona Ciam lantas saja berubah merah dan ia lalu menunduk. Ngo Kouw tertawa cekikikan.
"Aduh sebenarnya kau harus mengaca," katanya. "kau sendiri mempunyai beberapa istri dan gundik, tapi kau melarang muridmu menikah".
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si tua yang hanya ingin mengoda Ciam Cun lantas saja tertawa terbahak-bahak. "Minum, minumlah!"
katanya. Selagi bermakan minum sambil beromong2. Seorang pelayan kecil datang membawa sebuah nampan yang diatasnya terdapat sebuah poci arak. Ia segera menuangkan arak itu ke semua cawan. "Saudara Thio" kata si tua, "arak ini keluaran istimewa dari Kun Lun San, dibuat dari bit lay (buah lay muda) dan dinamakan Houw-pek Bit lay ciu. Hayolah kau harus minum beberapa cangkir". Arak itu berwarna kuning emas dan harum baunya.
Bu Kie sebenarnya tidak suka minum arak tapi karena mengendus bau yang sangat harum. Ia jadi tertarik lalu mencekal cawan. Tapi, sebelum menceguknya, Kim-gin Hiat-coa yang berada dalam sakunya tiba2 bersuara dan meronta-ronta di dalam bumbung. "Tahan! Jangan minum arak itu!" kata Bu Kie.
Semua orang kaget dan serentak menaruh cawan dimeja. Si bocah segera mengeluarkan bumbung Kim-koan Hiat-coa dan mencabut sumbatnya. Ular itu lalu berjalan mengitari cawan arak dan kemudian minum isinya. Dengan beruntun ia minum tiga cangkir.
Setelah mengembalikan si topi emas kedalam bumbung. Bu Kie lalu mengeluarkan si topi perak yang minum tiga cawan. Kedua ular itu saling mencintai, sehingga kalau hanya satu yang dilepaskan, yang satu takkan lari. Selain itu ia sangat menurut kemauan majikan. Tapi bila dilepas kedua2nya, dia bukan saja akan kabur, tapi malah mungkin menyerang manusia.
"Saudara Kecil," kata Ngo kouw sambil tertawa, "ular itu suka minum arak sungguh menarik".
"Coba suruh orang tangkap anjing atau kucing lalu suruh bawa kemari." Kata Bu Kie.
"Baiklah" kata si pelayan.
"Ciecie berdiam saja disini," cegah si bocah. "Biar orang lain saja yang menangkapnya".
Tak lama kemudian seorang pelayan lain datang dengan membawa anjing. Bu Kie lalu mengambil arak dan menuangkannya ke mulut anjing itu. Berapa saat kemudian sesudah menyalak beberapa kalibinatang itu seketika roboh mati dengan mengeluarkan darah dari mulut, kuping dan hidungnya.
Ngo kouw menggigil. "Arak?"arak itu beracun".." katanya terputus putus. "Siapa yang coba membinasakan kita" Saudara Thio bagaimana kau tahu?"
"Kim-gin Hoat-coa suka makan racun dan begitu mengendus bau racun, mereka bersuara dan meronta ronta," menerangkan Bu Kie.
Paras muka Ho Thay Ciong pucat bagaikan kertas. Sambil mencekal pelayan kecil itu, ia bertanya dengan suara perlahan "Siapa yang menyuruh kau membawa arak itu?"
Si pelayan ketakutan setengah mati.dengan suara gemetar dia menjawab "Aku?"aku tak tahu".arak itu beracun. Aku?""mengambil dari dapur."
"Waktu kau datang kemari dari dapur, apa kau bertemu dengan orang lain?" tanya pula si tua.
"Ya, di lorong aku bertemu dengan Heng Hong."jawabnya. "Ia menarik tanganku dan mengajakku omong2. Sesudah itu ia membuka tutup poci dan mencium2 arak itu."
Ho Thay Ciong. Ngo kouw dan Ciam Cun saling mengawasi.Heng Hong adalah seorang pelayan kepercayaan istri pertama dari si tua.
"Ho sianseng," kata Bu Kie, "dalam hal penyakitnya Hujin ada sesuatu yang sangat mengherankan dan tak dapat dipecahkan olehku. Baru sekarang aku melihat latar belakangnya.coba pikir, mengapa kedua ular itu menggigit kaki Hujin" Sekarang aku mendapatkan jawabannya. Sebabnya ialah dalam tubuh Hujin memang sudah ada racun, dan racun itu mengundang Kim-gin Hiat-coa. Menurut pendapatku, orang yang meracuni Hujin adalah orang yang menaruh racun di dalam poci arak."
Sebelum si tua menjawab, sekonyong-konyong tirai pintu tersingkap dan satu bayangan manusia berkelebat. Hampir berbareng Bu Kie merasa bahwa teteknya sakit bukan main. Jalan darahnya sudah ditotok orang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Benar! Aku meracuni!" demikian terdengar suara yang sangat nyaring. Orang yang berkata, badannya jangkung, matanya berpengaruh dan pada paras mukanya terlihat sinar pembunuhan. Sambil menengok pada Hong Thay Ciong ia berkata "Akulah yang sudah menaruh ular kelabang ke dalam arak. Mau apa kau?".
Dengan mata membelalak Ngo kouw mengawasi wanita itu. Perlahan-lahan ia bangkit dan berkata sambil membungkuk. "Tai tai!" (tai tai, nyonya besar).
Wanita itu adalah istri pertama dari Hong Thay Ciong, namanya Pan Siok Ham. Ia memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, lebih tinggi dari suaminya yang sangat takut terhadapnya. Takut memang takut, tapi si tua tetap mengambil gundik dan setiap kali mengambil gundik baru, rasa takutnya setiap kali bertambah.
Melihat kedatangan si harimau betina, si tua tak berani mengeluarkan suara.
"Eh aku bertanya, aku yang menaruh racun, mau apa kau?" bentak sang istri.
"Biarpun kau membenci pemuda itu, sepak terjangmu keterlaluan," kata Hong Thay Ciong.
"Kalau aku tidak keburu mengetahuinya, bukankah sekarang sudah mati?"
"Semua bukan manusia baik2, aku memang ingin kamu mampus semua," kata nyonya galak itu. Ia menggoyang-goyang poci arak yang ternyata masih banyak isinya.
Ia segera menuang secawan penuh dan menaruh didepan si tua." Sebenarnya aku ingin mamouskan kamu berlima," katanya. "tapi setan kecil itu keburu mengendus rahasia. Sekarang aku bersedia mengampuni emapt orang. Tapi arak itu harus diminum oleh salah seorang. Aku tak peduli siapa yang mau meminumnya. Terserah pada kau setan tua!" seraya berkata itu, ia menghunus pedang.
Pan Siok Ham adalah seorang murid terlihay dari Kun Lun Pay. Ia berusia lebih tua daripada Ho Thay Ciong dan lebih dulu belajar di Kun Lun San. Diwaktu muda, Ho Thay Ciong berparas tampan dan sangat dicintai oleh sucinya. Karena kebentrok dengan seorang cianpwee dari Beng Kauw, guru mereka mati mendadak, sebelum keburu memberi pesanan kepada murid2nya. Oleh karena begitu murid itu segera berebut kedudukan Ciang bujin. Masing2 sungkan mengalah. Pan Siok Ham tampil kemuka dan membela Ho Thay Ciong, sehingga pada akhirnya, si tua berhasil merebut tampuk pimpinan. Sebab merasa berhutang budi, ia segera menikah dengan sucinya itu. Diwaktu muda segala apa masih berjalan licin.
Tapi sesudah sang istri berusia lanjut, dengan menggunakan alasan tidak mempunyai keturunan, ia mengambil gundik. Satu demi satu. Tapi makin banyak gundiknya, makin takut terhadap istrinya yang galak itu.
Melihat arak racun itu, sedikitpun ia tak dapat ingatan untuk membantah. "Aku sendiri tentu tidak boleh meminumnya." Katanya di dalam hati. "Ngo kouw dan Cun jie juga tak boleh. Bu Kie tidak boleh.
Bu Kie seorang tuan penolong. Hanya perempuan kecil saja yang tiada sangkut pautnya denganku,"
Memikir begitu, ia segera bangkit dan menaruh cawan arak didepan Yo Poet Hui. "Anak kau minumlah,"
katanya. Si nona cilik ketakutan. Ia sudah menyaksikan dengan mata sendiri kebinasaannya seekor anjing. Ia menangis dan berkata. "Tak mau! Arak itu ada racunnya".
Si tua segera mencengkram dada Poet Hui tapi sebelum ia bisa menuang arak itu kedalam mulut si nona, Bu Kie sudah berkata dengan suara dingin. "Biar aku yang minum".
Si tua bersangsi, biarpun tak tahu malu ia merasa tak tega.
Pan Siok Ham yang sangat membenci Bu Kie lantas saja berkata. "Seta cilik itu sangat licik, mungkin sekali ia sudah menyediakan obat pemunah. Kalau ia yang minum, secawan tak cukup. Dia harus minum kering sisa arak yang ada dalam poci."
Si bocah mengawasi Ho Thay Ciong dengan harapan ia akan coba membujuk istrinya. Tapi dia menutup mulut. Ciam Cun dan Ngo kouw tidak berani mengeluarkan sepatah kata. Mereka khawatir, kalau banyak bicara, harimau betina itu akan menjadi gusar dan menumplak hawa amarah diatas kepala mereka.
Hati Bu Kie dingin bagaikan es. "Jiwa beberapa orang itu ditolong olehku." Pikirnya. "Tapi waktu jiwaku sendiri terancam, mereka berpeluk tangan. Jangankan menolong, bicara saja mereka tak berani."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Memikir begitu ia menghela nafas. "Ciam Kouw nio," katanya. "Sesudah aku mati aku minta pertolonganmu untuk mengantar adik kecil ini kepada ayahnya di puncak Co Bo Hong. Apakah kau sudi melakukan itu?".
Ciam Cun melirik gurunya yang lalu manggut-manggutkan kepala. "Baiklah," kata nona Ciam.
Bu Kie tahu bahwa wanita itu tidak bersungguh2. tapi ia mengerti, terhadap manusia yang tidak berbudi, tak guna ia bicara banyak2. ia tertawa dingin dan berkata dengan suara yang dingin pula. "Kun Lun Pay dikenal sebagai partai yang lurus bersih. Aku tak nyana Kun Lun Pay dalam sedemikian. Ho sianseng mari poci itu".
Mendengar ejekan yang sangat menusuk, si tua merasa sangat gusar. "Lebih cepat ia mampus, lebih baik lagi," pikirnya. Ia segera mengangkat poci arak dan menuang semua isinya kedalam mulut Bu Kie.
Sambil menangis, Poet Hui memeluk kakaknya.
"Biarpun ilmu ketabibanmu sangat tinggi, aku bisa mencegahmu menolong jiwamu," kata Pan Siok Ham yang lalu mengirim beberapa totokan ke jalan darah Bu Kie. Sesudah itu, dengan menggunakan gagang pedang, ia juga menotok jalan darah Ho Thay Ciong, Ngo kouw, dan Ciam Cun. "Sesudah dua jam barulah aku melepaskan kamu," katanya. Waktu ditotok, Ho Thay Ciong bertiga sama sekali tidak berani bergerak.
"Semua keluar," bentak si harimau betina. Dan semua pelayan buru-buru keluar. Pan Siok Ham keluar paling belakang dan mengunci pintu.
Beberapa saat kemudian Bu Kie merasa perutnya sakit bukan main. Melihat nyonya itu sudah berlalu dan mengunci pintu, hatinya jadi lebih lega. Sambil menahan sakit, ia mengerahkan Lweekang dan dengan ilmu yang didapat dari Cia Sun ia membuka semua jalan darah yang ditotok.sesudah kaki tangannya merdeka, ia segera mencabut beberapa lembar rambut yang lalu digunakan untuk menggilik tenggorokannya. Ia muntah2 dan sebagian besar arak beracun itu sudah dimuntahkannya.
Melihat si bocah bisa membuka jalan darahnya sendiri, Ho Thay Ciong bertiga merasa sangat kagum.
Si tua sebenarnya ingin menghalangi Bu Kie, tapi ia tidak bisa bergerak. Racun dalam perut Bu Kie belum keluar semua tapi ia tidak bisa muntah lagi. "Paling dulu aku harus menyingkir," pikirnya. Ia menghampiri Poet Hui dan mencoba membuka jalan darah si nona, tapi tidak berhasil, karena totokan Pan Siok Ham lain daripada ilmu yang lain. Maka ia segera membuka jendela dan setelah melihat tidak ada orang, ia lalu mendukung Poet Hui dan menurunkannya dikuar jendela.
Jika menggunakan Lweekang, dalam tempo kira2 setengah jam Ho Thay Ciong akan bisa membuka jalan darahnya sendiri. Tapi Bu Kie sudah siap untuk melarikan diri, dan jika istrinya menanyakan, satu gelombang hebat akan terjadi pula. Disamping itu, jika seorang bocah Bu Tong Pay bisa kabur dengan tangan kosong dari Sam Seng Tong dan kemudian menguar2kan kebusukannya sebagai manusia yang tak mengenal budi, sebagai seorang pemimpin partai besar, dimana ia harus menaruh muka" Maka itu, biar bagaimanapun juga, kaburnya bocah itu harus dicegah.
Memikir begitu ia lantas saja menarik nafas dalam2 untuk berteriak memanggil istrinya. Tapi Bu Kie sudah lantas bisa menebak niatnya. Ia mengeluarkan sebuah pil berwarna hitam yang lalu dimasukan ke dalam mulut Ngo kouw. "Pil ini racun Kioe Pie Wan," katanya. "Berselang dua belas jam, orang yang memakannya akan mati dengan usus putus dan jantung hancur. Aku akan menaruh obat pemunah disatu pohon yang jauhnya tiga puluh li dari sini. Pohon itu akan diberi tanda dan tiga jam kemudian Ho sianseng boleh menyuruh orang untuk mengambilnya. Bilamana aku tertangkap dan mati, aku bukan mati sendirian."
Kejadian itu tidak disangka2 oleh Ho Thay Ciong. Sesudah memikir sejenak, ia berkata denga suara perlahan. "Biarpun Sang Seng Tong bukan kobokan naga atau sarang harimau, kurasa seorang yang sepertimu takkan bisa keluar dari tempat ini."
Bu Kie tahu bahwa dengan berkata begitu, si tua buka omong besar. Tapi ia bersikap acuh tak acuh dan berkata dengan suara tawar.
"Menurut pendapatku, kecuali dengan obatku sendiri, racun Kioe Pie Wan tak akan bisa dipunahkan dengan apapun juga."
Ho Thay Ciong mengerutkan alis, "Baiklah?" katanya "Bukalah jalan darahku, aku akan mengantarmu keluar dari tempat ini."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Jalan darah si tua yang tertotok adalah Hong Tie dan Keng Bun. Bu segera mengurut jalan darah Thian Cu, Hoan Siauw, Toa Wie, dan Siang Kie. Tapi sudah berusaha beberapa lama ia masih juga belum berhasil.
Hal itu sudah mengejutkan mereka berdua. Bu Kie kaget, karena sudah menggunakan tujuh macam cara untuk membuka jalan darah, yang didapat oleh Ouw Ceng Goe, ia masih belum berhasil. Si tua terkejut, sebab ia mendapat kenyataan, bahwa si bocah memiliki rupa-rupa ilmu membuka jalan darah dan tenaga dalamnyapun sudah cukup tinggi. "Anak ini benar lihay," katanya dalam hati, "Siok Ham menotok tujuh delapan jalan darahnya, tapi ia tidak bergeming. Bu Tong Pay sungguh tidak boleh di buat gegabah. Untung juga, waktu itu berada di Bu Tong san aku tidak turun tangan, kalau tanganku iseng, bisa jadi aku celaka. Murid Bu Tong yang begitu kecil sudah begitu lihay. Apalagi yang sudah dewasa,"
ia tak tahu bahwa "kekebalan" Bu Kie terhadap Tiam Poat didapatkan dari Cia Sun, sedang rupa2 ilmu membuka jalan darah didapat dari Ouw Ceng Goe, sehingga tidak ada sangkut paut dengan Bu Tong Pay.
Mendadak Ho Thay Ciong mendapat serupa ingatan dan ia lantas saja berkata. "Bawa kemari poci teh dan tuang tehnya ke mulutku".
Bu Kie merasa curiga, tapi mengingat, demi keselamatan gundiknya, si tua pasti tidak berani main gila terhadapnya, maka ia lantas saja mengangkat poci teh itu dan menuangkan isinya kedalam mulut Ho Thay Ciong.
Si tua tidak menelan air teh itu. Tiba2 sambil menggerakan Lweekang, ia menyembur dan bagaikan sebatang anak panah, air itu menyambar tekukan sikutnya di bagian Ceng Leng Yao. Hampir berbareng, lengannya dapat digerakkan pula.
Sedari datang ke Sam seng tong, Bu Kie memandang rendah Ho Thay Ciong karena lagal lagunya seperti takut bini menyayang gundik, licik dan sebagainya tidak mendatangkan keindahan. Tapi sekarang, ia kaget melihat kepandaian si tua. Ia lantas bisa mati seketika.
Sesudah lengan kanannya merdeka, ia segera membuka jalan darah di betisnya. "sesudah kau menyerahkan obat pemunah, aku akan mengantar kau keluar dari selat ini." katanya.
Si bocah tidak menyahut, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Si tua bingung, "Aku adalah Ci bun jin dari Kun Lun Pay," katanya. "Tak bisa jadi aku mendustai anak kecil seperti kau bukan" Kalau terlambat dan racun itu keburu mengamuk, jiwanya tidak bisa tertolong."
"Racun itu tidak akan menggamuk sebegitu cepat," kata si bocah.
Thie-khim Sianseng menyerah kalah. Sambil menghela nafas ia berkata. "Baiklah mari aku antar kamu."
Sesudah melompat dari jendela, Ho Thay Ciong segera menyentuh punggung Poet Hui dengan jerijinya dan jalan darah si nona yang tertotok lantas saja terbuka. Gerakan tangannya indah dan sangat cepat, bagaikan mengalirnya air, sehingga Bu Kie merasa sangat kagum dan sinar matanya mengeluarkan sinar memuja. Sedari bertemu dengan si tua, belum pernah ia memperlihatkan sikap begitu. Ho Thay Ciong mengerti perasaan si bocah dan ia tersenyum simpul.
Sambil menuntun tangan kedua anak itu, ia lalu mengajak pergi ke taman bunga dan keluar dari pintu samping. Dari depan sampai belakang, Sam Seng Tong terdiri dari delapan bangunan dan setelah keluar dari pintu samping, mereka berjalan di suatu jalan kecil yang berliku2. Sesudah itu mereka masuk pula ke beberapa bangunan dan melewati lagi banyak ruangan. Tanpa pengantar, andaikata mereka tidak didengar murid Kun Lun, belum tentu mereka bisa keluar dari Sam Seng Tong. Dengan demikian rasa hormat dalam hati Bu Kie jadi bertambah besar.
Sekeluarnya dari Sam Seng Tong, dengan lengan kanan mendukung Poet Hui dan tangan kiri menuntun Bu Kie, Ho Thay Ciong segera berlari2 ke jurusan barat laut dengan ilmu ringan badan.
Dengan badannya separoh diangkat, Bu Kie merasa seperti terbang melayang2 di tengah udara. Setiap lompatan si tua berjarak kira2 setombak begitu lekas ujung kakinya menotol tanah, badannya sudah mengapung dan melesat lagi kedepan. Dalam sekejap mereka sudah dua puluh li lebih. Selagi enak melayang2 di sebelang belakang sekonyong2 terdengar teriakan. "Ho Thay Ciong!... Ho Thay Ciong".tahan." Suara itu bukan lain suara Pan Siok Ham.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ho Thay Ciong segera menghentikan tindakannya.
Sambil menghela nafas ia berkata. "Saudara kecil, kamu larilah. Istriku mengubar, aku tidak bisa mengantarmu lebih jauh".
"Perlakuannya terhadapku tidak bisa dikatakan terlalu jelek" pikir Bu Kie yang lantas saja berkata, "
Ho Sianseng, kau pulanglah. Pil yang ditelan oleh Hujin bukannya racun. Pil itu hanya San pwee wan, obat untuk melicinkan tenggorokan dan menghentikan batuk. Beberapa hari berselang Poet Hui moay batuk2 dan aku membuat pil itu untuk mengobatinya. Sisanya masih ada beberapa butir dan aku merasa menyesal bahwa aku telah mengangetkanmu".
Si tua kaget dan gusar, "Apa benar bukan racun?" bentaknya.
"jiwa Ngo Hujin telah ditolong olehku," jawabnya "Mana tega aku mencelakakannya lagi?"
sementara itu suara teriakan Pan Siok Ham sudah semakin dekat.
Bahwa Ho Thay Ciong sudah membawa lari kedua anak itu adalah karena rasa cintanya terhadap Ngo kouw. Mendengar keterangan Bu Kie darahnya lantas saja meluap. "Plak!.......Plak".", ia menggaplok empat kali beruntun, sehingga kedua pipi si bocah merah bengkak dan mulutnya mengeluarkan darah.
Waktu si tua mengangkat tangan pula untuk mengirim gaplokan kelima, buru-buru Bu Kie menangkis dengan jurus Kang Liong Yoe Hwie, satu jurus dari Hang Liong Sip Pat Cang. Kalau sudah mahir dan ditambah dengan Lweekang tinggi jurus itu dahsyat bukan main. Tapi sibocah baru kenal kulit2nya saja, sedang tenaga dalamnyapun sangat cetek. Mana bisa melawan Ciang bunjin dari Kun Lun Pay"
Melihat gerakan yang luar biasa, Ho Thay Ciong mengerti bahwa ia tengah menghadapi ilmu yang sangat tinggi. Sambil mengeluarkan seruan "Ih" ia menggegosdan menghantam mata kanan Bu Kie, yang lantas saja biru bengkak.
Sesudah gagal dalam perlawanannya, Bu Kie mengerti bahwa kepandaiannya masih kalah terlalu jauh.
Maka itu ia lantas saja berdiri tegak dan membiarkan dirinya dihajar kalang kabutan. Dalam memberi hajaran, si tua tidak menggunakan Lweekang, yang jika digunakan, bocah itu tentu sudah tewas jiwanya.
Tapi walaupun begitu, setiap kali digapelok, mata Bu Kie berkunang2 san rasa sakit sampai ke tulang2.
Selagi enak menganiaya. Pan Siok Ham bersama dua orang muridnya sudah tiba disitu. Ia menonton, tapi melihat yang dipukul tidak melawan, kegembiraannya jadi berkurang. "Coba kau hajar anak perempuan itu," katanya.
Ho Thay Ciong memutar tubuh dan menggampar kuping Poet Hui yang lantas saja menangis keras.
"tua Bangka," teriak Bu Kie dengan gusar "Apa belum cukup kau menghajar aku seorang" Perlu apa kau menghina seorang anak masih begitu kecil?"
Tapi si tua tidak menggubris, tangannya melayang lagi. Bu Kie jadi kalap, sambil melompat bagaikan kerbau edan, ia menyeruduk perut Ho Thay Ciong.
Pan Siok Ham tertawa dingin. "Lihatlah, anak begitu kecil masih punya kecintaan dan pribudi."
Katanya. "Bukan seperti manusia yang semacam kau yang sedikitpun tak mengenal rasa cinta."
Diejek begitu, selebar muka situa jadi merah. Dalam matanya, ia jadi gusar dan kegusaran itu ditumplekan diatas kepala Bu Kie. Ia menjambret leher baju si bocah dan melemparkannya sambil membentak, "Binatang kecil! Lebih baik ikut ayah dan ibumu!" kali ini, karena melemparkannya dengan menggunakan Lweekang, badan bocah itu terlempar jatuh dan kepalanya menyambar ke arah satu batu gunung yang besar. Begitu terbentur, batok kepalanya pasti akan remuk!................
Pada detik yang sangat berbahaya, semacam tenaga tiba2 mendorong Bu Kie, sehingga arahnya berubah dan ia jatuh di samping batu. Sebelum semangatnya pulih, dengan matanyayang bengkak, ia melihat seorang sastrawan setengah tua yang mengenakan jubah panjang warna putih, berdiri dalam jarak kira2 lima kaki dari dirinya.
Dengan rasa kaget dan heran. Si tua dengan istrinya saling mengawasi. Lagi kapan" Dan darimana orang itu datang" Andaikata ia lebih dulu bersembunyi dibelakang batu, orang2 yang berkepandaian tinggi seperti mereka berdua sudah pasti akan mengetahuinya, selain itu tenaga yang digunakan Ho Thay Ciong untuk melemparkan Bu Kie, paling tidak ada lima ratus kati. Tapi sastrawan itu, dengan kibasan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
tangan baju sudah berhasil menolak tenaga tersebut dan melemparkan si bocah di samping batu. Itu semua membuktikan, bahwa ia memiliki kepandaian yang sukar diukur berapa tingginya.
Orang itu berusia kira2 empat puluh tahun, mukanya tampan hanya alisnya agak turun kebawah dan mulutnya terdapat beberapa garis yang dalam sehingga ia kelihatannya banyak lebih tua dan seperti seorang yang sudah mengalami banyak kedukaan. Tanpa mengeluarkan sepata kata, ia berdiri bengong, seolah2 tengah memikiri kejadian2 di masa lampau.
Sesudah batuk beberapa kali, Ho Thay Ciong bertanya. "Siapa tuan" Mengapa tuan mencampuri urusan Kun Lun Pay?".
Sastrawan itu menyoja dan menjawab. "Ah! Kalau begitu Cianpwee adalah Thie Khim Sianseng Ho Cianpwee. Sudah lama kudengar namanya yang besar. Dan akupun sedang berhadapan dengan Ho Hujin, bukan" Boanpwee bernama Yo Siauw."
Perkataan "Yo Siauw" disambut dengan seruan kaget oleh Ho Thay Ciong, Pan Siok Ham dan Bu Kie.
Seruan si bocah bercampur dengan nada girang, sedang seruan kedua suami istri bercampur dengan nada gusar. "Srt?"?"srt?".." kedua murid Kun Lun menghunus pedang yang lalu dibalik dan gagangnya diangsurkan kepada suhu mereka. Ho Thay Ciong melintangkan senjatanya di depan dada dan bersiap sedia dengan pukulan Soat-yong kiauw (Salju menutupi jempatan biru), sedang Pan Siok Ham menudingkan pedangnya ke tanah dalam gerakan Bok-yap siauw (Daun daun berkeresekan). Kedua pukulan itu adalah pukulan pukulan yang paling lihay dari Kun Lun Kiam Hoat. Kuda kudanya kelihatan sangat sederhana, tapi di dalamnya bersembunyi tujuh-delapan gerakan susulan yang luar biasa. Asal tangan mereka, kedua pedang itu lantas menyambar tujuh-delapan bagian tubuh lawan yang berbahaya.
Tapi Yo Siauw tenang2 saja. Ia mengawasi Bu Kie dengan perasaan heran karena dalam teriakan itu terdapat nada kegirangan.
Muka Bu Kie matanya biru, bengkak2 dan berlepotan darah, tapi sinarnya menunjuk rasa syukur dan bahagia. "Kau?"kau?"" katanya terputus2, "apakah kau Kong Beng Su Cie dari Beng kauw, Yo siauw, Yo Pehpeh?".
Yo Siauw manggut2kan kepalanya. "Bagaimana kau tahu she dan namaku, anak?" tanyanya.
Sambil menunjuk Poet Hui, Bu Kie berkata "Adik ini adalah putrimu!" Ia memnuntun tangan si gadis cilik dan berkata pula "Poet Hui moay moay, inilah ayahmu. Ah! Akhirnya kita berhasil mencarinya."
Poet Hui mengawasi Yo Siauw dengan matanya yang bundar cilik. "Apa kau ayahku?" tanyanya.
"mana ibu" Aku lagi mencari ibu." Ia berkata begitu, karena untuk membujuknya, disepanjang jalan bukie selalu mengatakan, bahwa mereka melakoni perjalanan jauh itu untuk mencari Kie Siauw Hu.
Jantung Yo Siauw memukul keras dan sambil mencekal pundak si bocah, ia berkata "Anak bicara lebih terang. Putri siapa dia" Siapa ibunya?" ia mencengkeram keras, sehingga Bu Kie menggeluarkan teriakan "aduh!"
"Dia putrimu," jawab si bocah. "ibunya iialah Liehiang Kie Siauw Hu dario Go Bie Pay."
Muka Yo Siauw yang memang sudah pucat menjadi pucat lagi. "Dia?".dia mendapat anak?" tanyanya dengan gemetar. "Dimana?""dimana dia sekarang?" Seraya berkata begitu ia memeluk dan mengangkat Poet Hui. Kedua pipi anak itu bengkak sebab pukulan Ho Thay Ciong, tapi pada paras mukanya masih bisa dilihat sesuatu yang sangat mirip dengan kecantikan Kie Siauw Hu. Tiba2 ia mengeluarkan selembar tali yang tergantung di leher Poet Hui dan ia lalu menariknya, ternyata pada tali itu dilekatkan selembar Tiat-pay dengan ukiran memedi yang sedang menyeringai dan mementang cakar. Sekarang ia tidak bersangsi lagi. Tiat-pay itu adalah "Tiat-pay-leng" dari Beng Kauw yang sudah diberikan kepada Kie Siauw Hu. Sambil memeluk putrinya erat2, ia bertanya berulang2 "Mana ibumu" Mana ibumu".."
Transcriber: Thor ============ "Ibu hilang. Aku sedang mencarinya. Apa kau bertemu dengannya?" jawab anak itu. Yo Siauw mengawasi Bu Kie dan lalu menanyakan dimana adanya Kie Siauw Hu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si bocah menghela nafas dan berkata "Yo Pehpeh. Jika aku beritahukan, kau jangan terlalu berduka.
Kie Kouw kouw telah dipukul mati oleh gurunya"..dan waktu meningggal dia"."
"Dusta! dusta!" Teriak Yo Siauw, sambil memijit pundak Bu Kie. "Kreek !" tulang pundak itu remuk dan "."Bruk!" Yo Siauw dan Bu Kie terguling ditanah dengan berbareng, dengan tangan Yo Siauw masih memeluk putrinya.
Yo Siauw pingsan karena mendengar terbinasanya Kie Siauw Hu, sedang Bu Kie roboh sebab tulang pundaknya remuk. Ho Thay Ciong dan istrinya saling melirik dan segera menghunus pedang, yang satu ditudingkan ke dahi antara dua alis, yang lain ditujukan ke tenggorokan Yo Siauw.
Sebagai salah seorang tokoh penting dalam Beng Kauw, Yo Siauw mempunyai permusuhan hebat dengan Kun Lun Pay. Karena kalah pie bu(adu silat), Yoe Liong Cu, seorang cianpwee partai tersebut, telah mati sebab kejengkelan. Pek Loe Cu, gurunya Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham, juga binasa dalam tangannya seorang anggota Beng Kauw. Siapa yang membinasakan tidak diketahui jelas. Tapi mungkin sekali Yo Siauw juga. Suami istri Ho tahu, bahwa orang itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi, sehingga bila kebetulan berpapasan di tengah jalan, belum tentu mereka berani menyerang. Tak dinyana, orang yang ditakuti itu tiba2 pingsan dan tentu saja mereka sungkan menyia2kan kesempatan yang sangat baik.
"Putuskan dulu lengannya" kata Pan Siok Ham.
"Baiklah," kata sang suami sambil mengangguk.
Sesaat itu Yo Siauw belum tersadar, tapi Bu Kie walaupun merasakan kesakitan hebat, tidak sampai pingsan. Melihat bahaya yang mengancam, sebagai seorang yang sangat mudah memaafkan, tanpa mngingat lagi rasa sakitnya, dengan kaki buru-buru ia menyentuh jalan darah Pek Hwee hiat, di ubun2 Yo Siauw.
Begitu tersentuh Pek Hwee Hiat-nya yang mempunyai hubungan dengan otak, Yo Siauw tersadar.
Tiba2 ia merasakan hawa dingin dan begitu membuka mata, ia melihat ujung pedang yang menempel pada alisnya dan hampir berbareng, ia merasakan sambaran senjata ke arah lengannya.
Dengan pedang menempel pada bagian kematiannya dan satu pedang lagi membabat, ia tak bisa berkelit atau berkutik lagi. Tapi, pada detik yang sangat berbahaya, ia masih mengerahkan Lweekang ke lengan kirinya. Waktu Ho Thay Ciong membabat lengan itu, ia merasa seperti membacok semacam benda yang a lot licin, sehingga mata pedangnya terpeleset. Tapi biarpun begitu Yo Siauw terluka juga dan tangan bajunya basah dengan darah.
Pada detik itulah, mendadak saja dengan terus menempel di tanah, tubuh Yo Siauw menyeluruk ke depan setombak lebih, seolah2 lehernya diikat dengan tambang dan ditarik dengan kecepatan luar biasa.
Dengan melorotnya tubuh itu, maka ujung pedang Pan Siok Ham yang menempel di antara kedua alis mengores alis, hidung, mulut dan dada Yo Siauw kira2 setengah dim dalamnya. Kalau ujung pedang masuk lebih dalam setengah dim lagi, ia tentu binasa dengan dada dan perut terbelek. Sehabis menyelusur, tanpa menekuk lutut atau membongkokan pinggang, tubuh Yo Siauw mendadak berdiri tegak, seperti juga diangkat berdirinya sesosok mayat yang sudah kaku. Dan begitu lekas berdiri tegak, kedua kakinya menjejak, "Krek!?" pedang suami istri Ho patah dengan berbareng.
Semua kejadian itu yang harus dilukiskan panjang lebar, terjadi dalam tempo sekejapan saja.
Dengan memiliki Kiam Hoat yang sangat tinggi, pedang Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham sebenarnya tak akan dipatahkan, secara begitu mudah. Mereka mendapat kekalahan memalukan karena lengah, sebagai akibat dari kekangetan dalam melihat cara si orang she Yo yang sangat luar biasa.
Apa yang lebih aneh lagi, dua potongan pedang itu dengan berbareng menyambar Ho Thay Ciong dan istrinya. Buru-buru mereka menangkis dengan pedang buntung dan meskipun berhasil, telapak tangan mereka sakit sekali dan separuh badan mereka panas. Dengan cepat mereka melompat, yang satu lalu berdiri di sebelah barat laut yang lain di tenggara, dengan Yang Kiam (pedang lelaki) menuding ke langit, Im Kiam (pedang perempuan) ditunjukkan ke bumi. Itulah kuda2 dari ilmu pedang Liang Gie Kiam Hoat yang sangat tersohor dari Kun Lun Pay. Walaupun pedang mereka sudah buntung, sikap mereka angker dan anggun sesuai dengan sikap ahli2 silat kelas utama dalam rimba persilatan.
Liang Gie Kiam Hoat yang sudah mendapat nama selama ratusan tahun adalah salah satu ilmu pedang terlihay di kolong langiot. Disamping itu, suami istri Ho telah berlatih bersama2, sehingga mereka sudah
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
paham betul dan dapat bekerja sama seerat2nya. Dengan demikian pengaruh Kiam Hoat jadi bertambah berlipat ganda. Sebagai seorang yang sudah sering bertempur dengan jago jago Kun Lun, Yo Siauw mengenal dengan baik kelihayan Liang Gie Kiamhoat. Meskipun tak takut, ia tahu bahwa untuk menjatuhkan suami istri itu, paling sedikit ia harus bertempur lima ratus jurus. Tapi sekarang ia tidak mempunyai kegembiraan untuk berkelahi, sebab musabab dari kebinasaan Kie Siauw Hu. Disamping itu, sesudah lengan dan badannya terluka, ia tidak boleh melakukan pertempuran lama. Kalau darah keluar terlalu banyak, ia bisa celaka. Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara dingin. "Makin lama orang2
Kun Lun Pay jadi makin tolol. Hari ini biarlah kita menunda perkelahian. Di lain hari aku akan mencari kamu berdua untuk membuat perhitungan." Sehabis berkata begitu dengan lengan mendukung Poet Hui dan satu tangan menuntun Bu Kie, tiba2 tubuhnya meleset ke belakang setombak lebih dan sesudah memutar badan, ia meninggalkan temapt itu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham mengawasi dengan rasa gusar dan kagum dan tentu saj, iapun tidak berani mengubar.
Sesudah melalui beberapa li, Yo Siauw tiba2 menghentikan tindakannya dan menanya Bu Kie
"Apakah yang sebenarnya telah terjadi pada diri Kie Siauw Hu?".
"Kie Kouw-Kouw sudah meninggal dunia," jawabnya "Terserah padamu apakah kau percaya atau tidak. Perlu apa kau mematahkan tulangku?".
Pada paras muka Yo Siauw terlihat perasaan menyesal "Cara bagaimana ia meninggal?"
Tanyanya pula. Sesudah minum arak racunnya Pan Siok Ham, biarpun sudah muntah dan makan obat pemunah, racun itu belum hilang semuanya. Ketika itu ia merasa perutnya sangat sakit. A lalu mengeluarka ular Kim Koan Hiat Coa dan membiarkan binatang itu menggigit telunjuk jari tangan kirinyasupaya sisa racun dihisap. Perlahan-lahan ia mengurutkan segala kejadian yang bersangkut paut dengan Kie Siauw Hu, bagaimana ia telah mengobati luka sang bibi, bagaimana bibi itu bertemu dengan Biat Coat suthay yang kemudian membinasakannya. Sehabis racun yang masih ketinggalan dalam tubuhnya.
Yo Siauw juga menanyakan apa yang dikatakan Kie Siauw Hu waktu ia mau melepaskan nafas yang penghabisan dan kemudian, dengan air mata bercucuran, ia berkata "Biat Coat suthay memaksa supaya ia mencelakakan aku. Kalau ia meluluskan, ia membuat jasa besar kepada Go Bie Pay dan akan diangkat menjadi Ciang Bunjin. Hay! Kau lebih suka mati daripada berjanji untuk menurut perintah itu.
Sebenarnya kalau kau tak usah mati dalam tangan Biat Coat dan kitapun bisa bertemu pula".
"Kie Kouw kouw adalah seorang mulia yang jujur" kata Bu Kie. "Ia sungkan mencelakakan kau, tapi iapun tak mau mendustai guru sendiri".
Yo Siauw tertawa getir. "Ya" katanya, "kau mengenal Siauw Hu.."
"pada waktu Kie Kouw kouw melepas nafas yang penghabisan, aku telah berjanji untuk menghantar Poet Hui Moay moay kepadamu". Kata Bu Kie.
Yo Siauw menggigil. "Poet Hui Moay Moay?" Ia menegaskan. Ia berpaling pada putrinya dan bertanya. "Kau She apa, nak" Siapa namamu?"
"Aku she Yo" jawabnyta. "Namaku Poet Hui".
Tiba2 Yo siauw mendongak dan keluarkan teriakan nyaring panjang, sehingga pohon2 bergoyang goyang dan daun2 jatuh rontok.
"Kau"." Katanya, "Poet Hui".Poet Hui".bagus! Siauw Hu, meskipun aku menodai kehormatanmu, kau tidak menyesal?"..". (Poet Hui berarti tidak menyesal).
Sesudah bertemu Bu Kie mendapat kenyataan, bahwa meskipun usianya tidak muda lagi, Yo Siauw bukan saja berparas tampan, tapi juga mempunyai cara2 untuk menarik hati. Sehingga ia merasa, jika dibandingkan dengan In Lie Heng yang masih kekanakan2, memang Yo Siauw masih banyak lebih menarik bagi seorang wanita daripada pamannya itu. Maka tidak dapat melupakan Yo Siauw meskipun kehormatannya dinodai tidak boleh disalahkan.
Makin lama tulang pundak Bu Kie yang patah makin sakit. Disekitar itu tidak ada rumput obat yang bisa menyambung tulang dan menredakan rasa sakit. Ia hanya dapat mencari daun yang bisa menghilangkan bengkak, sesudah memetiknya dan mematahkan dua ranting pohon, ia lalu membereskan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
tulang pundaknya, menjepit tulang itu dengan dua ranting pohon, menaruh daun obat dan lalu mengikatnya dengan tali yang dibuat daripada kulit pohon. Itu semua dikerjakannya secara ahli dan cepat sekali, sehingga Yo Siauwmerasa sangat kagum.
Sesudah beres membalut tulang, Bu Kie Berkata, "Yo Peh-peh, aku sudah memenuhi janji dan sekarang Poet Hui Moay-moay sudah berada dalam tanganmu. Disini saja kita berpisah."
"Tidak!", kata Yo Siauw, "Dari tempat yang jauhnya berlaksa li kau datang kemari untuk mengantarkan anakku, tak dapat aku membiarkan kau pergi, tanpa memberikan sesuatu padamu. Apa yang dikehendaki olehmu" Katakan saja. Dalam dunia ini, tidak banyak yang tidak bisa disapatkan olehku."
Bu Kie tertawa terbahak2. "Yo Peh-peh" katanya "Kau memandang Kie Kouw-kouw terlalu rendah.
Sungguh percuma Kie Kouw-kouw mengorbankan jiwa untukmu"
Paras muka Yo Siauw lantas saja berubah, "Apa?" ia menegas.
"Mereka Kie Kouw-kouw tidak memandang rendah kepadaku, baru ia meminta pertolonganku untuk mengantarkan putrinya kepadamu" jawabnya. "Jika aku memenuhi permintaan itu dengan niat mendapatkan sesuatu, apakah aku berharga untuk menerima pesanan Kie Kouw0kouw?" Waktu berkata begitu ia ingat pengalaman pengalamannya yang hebat2. beberapa kali ia hampir mengorbankan jiwa guna melindungi Poet Hui. Tapi karena ia bukan orang yang menonjolkan jasa dan mengagulkan diri, maka tanpa berkata suatu apa lagi, ia menyoja, memutar tubuh lalu berjalan pergi.
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tahan!" kata Yo Siauw "Kau sudah membuang budi yang sangat besar kepadaku, Yo Siauw adalah manusia yang selalu membalas budi dan sakit hati. Ikutlah aku. Dalam tempo setahun, aku akan turunkan kepadamu beberapa ilmu yang jarang tandingannya didunia ini".
Sesudah menyaksikan kepandaian Yo Siauw, Bu Kie mengerti, bahwa jika ia menurut, ia akan memperoleh banyak keuntungan. Tapi ia tidak bisa melupakan pesanan Thio Sam Hong yang melarang ia bergaul dengan orang2 dari agama sesat. Apapula ia hanya bisa hidup setengah tahun lagi. Sehingga ilmu silat yang tinggi tidak banyak artinya. Memikir begitu ia lantas berkata, "Terima kasih atas kecintaan Yo Peh-peh, tapi aku adalah murid Bu Tong dan aku tidak berani menerima pelajaran dari orang lain".
"Oh!" Yo Siauw mengeluarkan seruan kaget, "Kalau begitu, kau murid Bu Tong". Dan In Lie Heng In Liok Hiap".."
"Ia pamanku," kata Bu Kie." Semenjak ayah meninggal dunia. In Lioksiok selalu memperlakukan aku seperti keponakan sendiri. Bahwa aku telah melakukan permintaan Kie Kouw untuk mengantarkan Poet Hui Moay-moay kepadamu, di dalam hati?"..aku merasa?".merasa malu terhadap In Lioksiok".
Ketika itu sinar mata Yo Siauw kebentrok dengan sinar mata Bu Kie dan ia kelihatannya merasa jengah. Sambil mengibas tangan, ia kemudian berkata, "Kalu begitu, sampai bertemu lagi", badannya berkelebat dan melesat beberapa tombak jauhnya.
"Bu Kie koko! Bu Kie koko!" teriak Poet Hui.
Tapi ilmu ringan badan Yo Siauw tak kepalang cepatnya. Suara "Bu Kie koko" makin jauh kedengarannya dan kemudian menghilang dari pendengaran.
Bu Kie berdiri terpaku. "Sesudah melakukan perjalanan berlaksa li bersama sama dan sekarang secara mendadak ia harus berpisahan dengan adik kecil itu, di dalam hatinya tentu muncul perasaan duka.
Sementara itu, luka dipundaknya jadi makin sakit. Ia segera menuju ke sebuah lereng gunung yang sepi dengan niatan mencari daun obat. Tapi pohon2 dan rumput2 yang tumbuh di Kun Lun San berbeda dengan yang tumbuh di wilayah Tionggoan. Sehingga daun2 obat yang tertulis dalam buku Ouw Cong Gie tidak terdapat disekitar tempat itu. Sesudah berjalan dua puluh li lebih, rasa sakit makin menghebat dan ia lalu duduk diatas satu batu besar untuk mengaso. Tiba2 terdengar menyalaknya anjing, makin lama makin dekat, seperti juga ada sesuatu yang sedang diburu.
Beberapa saat kemudian, dri sebelah kejauhan kelihatan mendatangi seekor kera kecil yang pantatnya tertancap sebatang anak panah pendek. Waktu berada kira2 sepuluh tombak dari Bu Kie, binatang itu tiba2 bergulingan dan tidak bisa bangun lagi. Bu Kie mendekati dan melihat sinar mata kera yang penuh rasa sakit. Rasa kasihan lantas saja timbul dari hatinya. Ia ingat nasibnya sendiri waktu diubar2 oleh
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
orang Kun Lun Pay dan ia ingat pula kera piaraannya di pulau Peng Hwee To. Ia segera mengangkat binatang itu, mencabut anak panah dan menaruh obat luka di lukanya. Sementara itu suara menyalaknya anjing sudah semakin dekat. Buru buru ia menyingkap bajunya dan menyembunyikan kera itu. Sesat kemudian belasan ekor anjing sudah tiba disitu dan karena mengendus bau kera, mereka lantas saja mengurung Bu Kie sambil menyalak hebat dan memperlihatkan sikap menakuti. Melihat galaknya kawanan anjing itu, Bu Kie agak keder. Ia mengert, bahwa begitu lekas ia melemparkan si kera, ia akan terbebas dari ancaman.
Tapi berkat didikan mendingan ayahnya, sedari kecil ia sudah mempunyai jiwa ksatria. Sehingga biarpun terhadap seekor binatang, ia sungkan memperlihatkan jiwa yang kecil. Sesudah menarik nafas dalam2, ia melompat dan terus kabur, dengan diubar oleh kawanan anjing itu.
Kawanan binatang itu anjing2 pemburu. Lari dengan kecepatan luar biasa dan baru saja kabur belasan tombak, ia sudah di candak. Tiba2 ia merasa betisnya sakit digigit keras oleh seekor anjing. Ia memutar dan menghantam kepala binatang itu yang lalu lantas saja robaoh tanpa berkutik lagi. Tapi yang lainnya tidak menjadi keder dan dengan serentak mereka menubruk. Ia melawan dengan nekat, tapi karena tulang pundaknya patah dan lengan kirinya tidak daoat digerakan, tangan kirinya segera kena digigit. Hampir berbaring, kawanan anjing itu menubruk dan menggigit kaki, tangan, kepala, punggung,".sekujur badannya. Dalam keadaan setengah pingsan, sayup2 ia mendengar suara bentakan yang nyaring dari seorang wanita dan sekejap kemudian matanya gelap.
Entah berapa lama ia berada dalam mimpi. Ia mimipi dikerubuti anjing2 galak, ia membuka mulut untuk berteriak, tapi suaranya tidak bisa keluar"..dalam keadaan lupa ingat, ia merasa anjing2 itu mundur teratur"..
Tiba2 ia mendengar suara manusia. "Panasnya mulai teduh. Mungkin ia ketolongan".
Perlahan-lahan ia membuka kedua matanya dan melihat, bahwa ia sedang rebah di atas ranjang dalam sebuah kamar yang diterangi lampu kecil dan didepan ranjang berdiri seoranglelaki setengah tua.
Dengan rasa heran ia berkata "Toa"siok".mengapa".aku"."ia tak dapat meneruskan perkataannya karena sekujur badannya sakit bukan main dan badannya panas membara. Sekarang ia ingat, bahwa ia telah diserang kawanan anjing.
"Anak, umurmu panjang" kata orang itu, "Apa kau lapar?"
"Dimana"..aku"."katanya. sekali lagi ia tak dapat meneruskan perkataannya, karena kedua matanya keburu gelap.
Waktu ia sadar pula, orang itu sudah pergi, "Sedang aku tak akan hidup lebih lama lagi, mengapa aku mesti mengalami begitu banyak penderitaan?" katanya dalam hati. Ia mendapat kenyataan, bahwa leher, kepala, bahu, tangan, paha, betis, dan dadanya semua dibalut dengan kain dan bau daun obatmenusuk hidung.
Dari bau obat ia tahu, bahwa orang yang mengobatinya tidak begitu paham ilmu pengobatan. Ia mengendus bau Heng Jin, Ma-cia-cu, Hong ho, Lum Chee dan kain2 obat yang biasa digunakan untuk mengobati luka bekas gigitan anjing gila. Tapi ia bukan digigit anjing gila. Yang perlu disembuhkan adalah daging dan otot2nya yang rusak. Dengan diberikannya obat yang tidak cocok, lukanya jadi makin sakit. Tapi ia tak berdaya. Ia tak bisa bangun waktu fajar menyingsing, lelaki setengah tua itu datang menengok lagi.
"Toa siok, terima kasih banyak untuk segala pertolonganmu," kata Bu Kie.
"Terima kasih apa?" kata orang itu "Bukan aku yang menolong kau".
"Dimana aku berada" Siapa yang sudah menolong aku?" tanya pula Bu Kie.
"Kau berada di Bwee-hoa San-Chung (gedung bunga Bwee)," jawabnya "Yang menolong kau adalah siocia (nona) kami. Apa kau lapar" Sebaiknya kau makan bubur panas." Sambil berkata begitu, ia bertindak keluar dan balik dengan membawa semangkok bubur daging. Baru saja Bu Kie makan beberapa sendok, ia merasa nek dan tidak bisa makan lebih banyak.
Sesudah rebah delapan hari, barulah Bu Kie bisa bangun perlahan-lahan. ia tak bertenaga dan kalau berdiri, kedua kakinya gemetaran. Ia tahu kelemahan itu adalah akibat terlalu banyak mengeluarkan darah
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dan kekuatannya tidak bisa pulih dalam tempo cepat. Lelaki setengah tua setiap hari merawatnya dan membawa bubur, sehingga walaupun sikapnya agak kurang enak, Bu Kie merasa sangat berterima kasih.
Orang tua itu tidak suka banyak omong dan biarpun Bu Kie ingin sekali mengajukan banyak pertanyaan ia "tidak berani" membuka mulut.
Hari itu, lelaki setengah tua itu kembali membawa obat2an yang sama, campuran Hong hong, Lam-chee dan lain2. tanpa merasa Bu Kie berkata "Toasiaok, obat itu tidak begitu cocok untuk mengobati lukaku ini. Bolehkah memohon pertolongan supaya toasioak suka menukarnya?"
Dia kelihatan mendongkol dan mengawasi Bu Kie dari kepala sampai ke kaki "Surat obat Looya mana bisa salah?" katanya. "Kau kata tak cocok. Tapi dengan obat itu, kau teloah dihidupkan kembali. Bocah, jangan kau ngaco belo. Looya seorang mulia, sehingga meskipun ia dengar perkataanmu, ia tentu tak menjadi gusar. Tapi kau sendiri harus mengenal kira2 jangan asal menggoyangkan lidah" sehabis berkata ia segera menempelkan obat itu si luka Bu Kie dan lalu membalutnya.
Sesudah selesai ia berkata. "saudara kecil, kulihat kau sudah mulai sembuh. Adalah pantas jika sekarang kau menghaturkan terima kasih kepada Looya, Tai tai dan Siocia yang sudah menolong jiwamu"
"Tentu saja" kata Bu Kie "Toasiok, kalau dapat, sekarang saja aku mohon kau mengantarkan aku pada mereka".
Dengan ditemani orang itu sebagai penunjuk jalan, Bu Kie melalui lorong yang sangat panjang dan sudah melewati dua ruangan. Mereka masuk ke sebuah ruangan yang sangat indah. Waktu sudah musim dingin dan dan hawa di seluruh daerah gunung Kun Lun dingin bukan main, tapi ruangan itu hangat bagaikan di musim semi dan anehnya Bu Kie sama sekali tidak melihat perapian. Dengan rasa kagum ia mengawasi sebuah vas indah di atas meja dengan beberapa batang bunga bwee merah, didepan dialaskan dengan seprei sulam dan kursi2 dengan bantal sulam yang terbuat dari sutra. Seumur hidupnya, ia belum melihat ruangan yang seindah itu. Tiba2 ia ingat pakaiannya yang compang camping, sehingga ia merasa mukanya panas.
Disitu tidak terdapat manusia. Dengan sikap hormat dan sambil membungkuk pengantarnya berkata
"Bocah yang digigit anjing sudah sembuh dan ia datang untuk menghaturkan terima kasih kepada Looya dan Tai tai".
Beberapa saat kemudian, dari belakang sekosol muncul seorang gadis kecil yang baru berumur kira2
lima belas tahun. Sesudah melirik Bu Kie, ia berkata "Kiauw Hok, terlalu kau! Mengapa kau bawa ia kemari" Kutu busuk dipakaiannya bisa berlompatan disini"
"Ya".ya" kata Kiauw Hok
mwndengar perkataan itu Bu Kie memang sudah merasa jengah, jadi lebih malu lagi, sehingga selebar mukanya lantas saja berubah merah. Memang benar, sebab tak punya tukaran, pakaian yang comang camping sudah banyak tumanya. Diam2 ia melirik da melihat bahwa gadis itu berparas cantik dengan muka potongan telor dan mengenakan pakaian semacam sutra yang berkilauan, sedang pergelangannya sangat halus "Waktu diserang anjing, kudengar suara bentakan seorang wanita" katanya dalam hati.
"Kiauw Toasioak juga mengatakan bahwa orang yang menolong aku adalah siocianya. Kalau begitu dialah siocia yang dimaksudkan. Aku harus menghaturka terima kasih dengan berlutut". Memikir begitu ia lantas saja menekuk kedua lututnya seraya berkata. "Terima kasih atas pertolongan siocia. Selama hidup Thio Bu Kie takkan melupan budi yang sangat besar"
gadis itu kelihatan kaget dan sejenak kemudian, ia tertawa cekikikan. "Aduh! Kiauw Hok mengapa kau mempermainkan bocah tolol itu?" katanya.
Kiauw Hok turut tertawa geli. "Siauw Hong Ciecie" katanya "apa salahnya jika bocah tolol itu berlutut di hadapanmu" Dia belum pernah melihat luasnya dunia dan meihat kau, dia menduga kau adalah siocia".
Bu Kie bersikap buru-buru ia bangun berdiri. Celaka! Seorang budak dianggapnya seorang majikan!
Sungguh hebat rasa malunya, mukanya sebentar merah, sebentar pucat.
Sambil menahan tawanya Siauw Hong mengawasi Bu Kie, dari kepala sampai di kaki. Noda darah di muka dan di badan si bocah masih belum hilang. Disana sini masih terdapat perban pada luka yang belum sembuh. Muka Bu Kie sebentar pucat sebentar merah, kalau bisa siang2 ia sudah selulup di tanah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Looya dan Tai tai ada urusan, kau tak usah menemui beliau" kata Siauw Hong "Mari menemui Siocia saja." Sehabis berkata begitu, ia memutar badan dan berjalan dulu cepat cepat, seperti juga ia takut terkena tuma dari baju si bocah.
Bu Kie mengikuti di belakang Siauw Hong dan Kiauw Hok, bujang2 perempuan dan lelaki yang ditemui mereka semua berpakaian mewah, sedang ruangan2 yang dilewati semua indah dengan perabotan lengkap. Semenjak dilahirkan sampai berusia sepuluh tahun Bu Kie berdiam di pulau Peng Hwee To dan sesudah itu beberapa tahun ia berdiam di Bu Tong San dan beberapa tahun lagi di Ouw Tiap Kok. Selama belasan tahun, ia selalu hidup sederhana dan ia tak pernah mimpi, bahwa di dalam dunia terdapat kemewahan yang begitu rupa.
Sesudah berjalan beberapa lama, mereka tiba di depan sebuah toa tia(ruangan besar)yang diatasnya tergantung selembar pian dengan tulisan "Han Kong Kie" (rumah anjing).
Siauw Hong masuk dan beberapa saat kemudian, ia keluar dan menanggapi, Kiauw Hok segera mengajak Bu Kie masuk ke dalam.
Begitu masuk si bocah terkesiap, karena dalam ruangan itu terdapat kurang lebih tiga puluh ekor anjing yang bertubuh besar dan galak kelihatannya. Semua mendekam di lantai dalam tiga baris. Di atas sebuah kursi yang dialaskan kulit harimau berduduk seorang wanita muda yang mengenakan baju bulu2
rase putih dan memegang pecut.
"Tenggorokan!" tiba2 nona itu membentak.
Hampir berbarengan, seekor anjing melompat dan menyambar ke arah leher seorang yang berdiri di pinggir tembok.
"Celaka!...." Bu Kie mengeluarkan teriakan tertahan.
Dilain saat, ia melihat anjing itu sudah menggigit sepotong daging yang lalu dimakannya sambil mendekam. Sekarang ia baru tahu, bahwa "manusia" yang barusan disambar hanialah orang-orangan yang terbuat dari kulit dan pada bagian2 badannya yang berbahaya dicantelkan potongan2 daging.
"kepungan!" bentak pula si nona.
Anjing kedua melompat dan menggigit kepungan orang-orangan itu. Serangan kedua anjing itu cepat dan tepat. Sekarang Bu Kie ingat, bahwa yang menyerangnya pada hari itu adalah anjing2 tersebut dan lapat2 ia juga teringat bahwa suara bentakan wanita yang didengarnya sebelum ia pingsam adalah wanita yang sekarang ada di hadapannya.
Kedatngan Bu Kie sebenarnya untuk menghaturkan terima kasih pada penolongnya. Tapi sekarang ia tahu, bahwa anjing2 yang sudah menggigitnya adalah binatang piaraan nona itu. Tiba2 saja darahnya meluap, "Sudilah!" pikirnya "Dengan dilindungi oleh binatang2 itu, aku tidak bisa berbuat apa2
terhadapnya. Kalau aku tahu bahwa semua penderitaanku adalah karena gara2nya, aku lebih suka mampus daripada menerima pertolongannya". Memikir begitu dengan gregetan ia membuka semua perban yang masih menempel pada dirinya dan melemparkannya ke atas lantai. Sesudah itu ia memutar badan dan berjalan pergi.
Kiauw Hok kaget "Hei!" teriaknya "Mengapa kau pergi" Inilah siocia kami. Lekas berlutut!".
"Berlutut?" mengulangi Bu Kie dengan suara gusar. "Bukankah anjing2 yang menggigit aku miliknya sendiri?".
Melihat kegusaran si bocah, nona itu tersenyum. "saudara kecil" ia menanggapi. "Mari sini".
Bu Kie memutar badan dan segera berhadapan dengan nona rumah. Entah mengapa, mendadak jantungnya memukul keras, nona itu yang berusia tujuh belas tahun atatu delapan belas tahun, ternyata cantik luar biasa. Sudah sering ia melihat wanita cantik, tapi seumur hidup belum pernah melihat yang secantik si nona. Mukanya yang mula2 pucat berubah menjadi merah.
"Kemari!" panggil nona itu.
Bu Kie mengangkat kepala dan matanya kebentrok dengan sepasang mata yang bersorot halus, tapi berpengaruh, sehingga tanpa merasa, ia bertindak maju. Nona itu bangkit dan mencekal kedua tangan Bu
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kie yang badannya jadi bergemetaran. Tangan itu halus dan empuk. Si bocah malu dan bingung, ia ingin menarik tangannya, tapi tak rela ia berbuat begitu.
"Saudara kecil apa kau gusar terhadapku?" tanya si nona.
Sesudah menderita begitu hebat dari kawanan anjing itu, bagaimana ia tak gusar" Tapi sekarang dengan tangan dicekal dan dengan berdiri dalam jarak yang begitu dekat dengan si cantik, sehingga ia dapat menggendus bau yang sangat harum, mana bisa ia mengaku "gusar". Ia menggelengkan kepala dan menjawab "Tidak".
(Bersambung ke jilid 29) Kisah Pembunuh Naga Jilid 29 Karya Chin Yung Transcriber: hanko ===========================
"Aku she Cu, namaku Kioe Tin." Si nona memperkenalkan dirinya. "Dan kau?" "Namaku Thio Bu Kie," jawabnya.
"Hm" Bagus sekali namamu. Saudara kecil kurasa kau putra dari keluarga sastrawan. Duduklah di sini." Seraya berkata begitu, ia menunjuk sebuah kursi di sampingnya.
Semenjak dilahirkan, inilah untuk pertama kali Bu Kie merasakan pengarah seorang wanita. Kalau waktu itu Kioe Tin memerintahkan ia melompat ke dalam api, ia pasti akan melompat. Dengan hati berdebar-debar ia lalu duduk di kursi yang ditunjuk.
Melihat perlakuan nona mereka yang begitu ramah tamah terhadap bocah kotor dan bau itu, bukan main rasa herannya Siauw Hong dan Kiauw Hok.
Tiba-tiba Kioe Tin membentak. "Jantung!"
Seekor anjing lantas saja melompat dan menerjang. Tapi daging yang tergantung di bagian jantung dari orang yang sudah tidak ada lagi"sudah dimakan oleh anjing lain dan anjing itu lantas menggigit potongan daging yang digantung di bawah ketiak.
"Binatang!" bentak si nona. "Kau berani melawan!"
"Terrrr!....Terrr.," ia menyabet dua kali. Pada pecut itu dipasang duri-duri halus, sehingga di badan anjing yang dihajar lantas saja terlihat dua garis yang bersemu darah. Tapi anjing itu, yang rupanya sudah lapar, masih tidak melepaskan daging yang digigitnya. Bukan saja begitu, dia bahkan menggeram.
Nona Cu mengkin jadi gusar. "E..eh! Benar-Benar kau melawan!" bentaknya dan pecutnya lantas saja menyambar-nyambar bagaikan kilat. Ia memukul dengan gerakan lincah dan meskipun anjing itu bergulingan di lantai, setiap sabetannya selalu mengenai sasaran, sehingga akhirnya, binatang itu tidak berani bergerak lagi dan mendekam sambil mengeluarkan suara minta diampuni. Tapi Kioe Tin masih memukul dan baru berhenti setelah binatang itu tidak bias berkutik lagi dan napasnya tinggal sekali-sekali. "Kiauw Hok, bawa dia keluar dan obati lukanya."
"Baiklah," jawabnya dan ia lalu memondong anjing itu.
Melihat contoh yang hebat itu, anjing-anjing lain mendekam tak berani berkutik.
Sesudah itu, dengan beruntun-runtun Kioe Tin mengeluarkan perintah. "Betis kiri! Bahu kanan!
Mata!" Tiga ekor anjing dengan beruntun melompat dan menggigit menurut perintah.
"Saudara kecil, lihatlah!" kata si nona sambil tersenyum. "Kalau tidak dijambak, mana mereka mau dengar kata?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Walaupun telah menderita karena serangan kawanan anjing, tapi melihat hajaran hebat yang diberikan oleh nona Cu, Bu Kie merasa kasihan dan tidak dapat membenarkan tindakan nona yang dianggap kejam olehnya.
Melihat Bu Kie membungkam, si nona tertawa dan berkata pula. "Tadi kau mengatakan tak gusar.
Tapi mengapa kau tak mau bicara" Bagaimana kau bias berada di wilayah See Hek, di wilayah barat ini.
Dimana ayah dan ibumu?"
Sebelum menjawab, si bocah memikirkan sejenak. Ia merasa, bahwa dalam keadaan yang seperti ini, jika menyebutkan nama Tay Suhu atau kedua orang tuanya merendahkan derajat orang tua itu. Maka ia lantas saja berkata ayah dan ibunya sudah meninggal dunia karena di Tionggoan sukar mencari makan, maka aku terlunta-lunta sampai di sini.
"Mengapa kau menyembunyikan kera yang telah kupanah?" Tanya pula nona Cu. "Apa kau kelaparan" Mau makan daging kera, bukan" Hmm" Hampir-hampir kau dirobek oleh anjing-anjingku."
Muka si bocah lantas saja berubah merah. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia berkata. "Bukan, aku bukan mau makan daging kera."
Kioe Tin menepuk pundak Bu Kie dan berkata seraya tersenyum. "Lebih baik kau jangan berdusta." Ia berdiam sejenak dan berkata pula. "Ilmu silat apa yang pernah kau pelajari?" Dengan sekali memukul kau telah meremukkan batok kepalan Co Ciangkun. Tenagamu boleh juga." (Ciangkun - Jenderal)
"Co Ciangkun?" Bu Kie menegas dengan heran.
Si nona tak menjawab, ia hanya tersenyum. Tiba-Tiba ia membentak, "Cian Ciangkun!"
Seekor anjing lantas saja keluar dari barisannya lalu mendekam di tengah ruanga.
"Ki-Ki Ciangkun!" si nona membentak pula dan hampir berbareng, seekor anjing lain keluar dari barisan. Ternyata setiap anjing diberi nama "Jenderal" dan Cu Kioe Tin sendiri berlaku sebagai panglima besar.
"Karena bingung, mungkin sekali aku sudah mengeluarkan tenaga habis-habisan," jawab Bu Kie.
"diwaktu kecil, dua tiga tahun aku belajar sejurus dua jurus Dari mendiang ayahku. Tak dapat dikatakan, bahwa aku tahu ilmu silat."
Kioe Tin mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat kemudian, ia menengok kea rah Siauw Hong dan berkata "Antar dia ke kamar mandi dan berikan pakaian baru."
"Baik," jawabnya sambil tertawa kecil.
Bu Kie merasa berat untuk meninggalkan ruangan itu. Waktu tiba di ambang pintu, tanpa sadar ia merasa menengok ke belakang dan melirik Kioe Tin. Apa mau, pada detik itu, si nona pun sedang mengawasi dia, sehingga tanpa tercegah lagi, dua pasang mata segera beradu. Si nona tertawa dan rasa jengahnya Bu Kie tak dapat dilukiskan lagi. Semangatnya terbang, kakinya tersandung balok yang melintang di tengah pintu dan roboh terguling. Karena lukanya belum sembuh, bukan main sakitnya.
Tapi, tanpa mengeluarkan suara, buru-buru ia bangun dan berdiri, Siauw Hong tertawa geli. "Hm, siapapun yang melihat Siocia, dia pasti roboh," katanya. Tapi, kau"kecil-kecil matamu sudah seperti mata culik.
Bu Kie jadi makin malu. Ia berjalan secepat mungkin. Sesudah berjalan beberapa lama, sekonyong-konyong Siauw Hong berkata.
"Eh, mau kemana kau" Apakah kau mau pergi ke kamar Tai Tai?"
Si bocah menghentikan tindakannya. Di sebelah depan ia melihat sebuah kamar dengan tirai jendela sulam. Sekarang ia mengerti, bahwa karena bingung dan terburu-buru, ia sudah mengambil jalanan yang salah. Siauw Hong sangat jahil, sesudah si bocah berada di depan kamar buku nyonya majikan, barulah ia mengejek.
Bu Kie menunduk tanpa mengeluarka sepatah kata. Ia malu dan mendongkol.
"Aku akan mengantarkan kau jika kau berkata "Siauw Hong cici, tolonglah aku," kata si jahil.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mau tak mau Bu Kie berkata, "Siauw Hong cici".."
"Ada apa?" Tanya Siauw Hong.
"Tolonglah aku, antarlah aku keluar dari jalanan yang salah ini." Jawabnya.
"Nah! Benar begitu!" kata si jahil sambil tertawa.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan kamar si bocah.
"Siocia memberi perintah, supaya bocah ini mandi, kau berikan pakaian baru kepadanya," kata Siauw Hong kepada Kiauw Hok.
"Baik, Baik!" jawabnya dengan sikap hormat.
Melihat sikap Kiauw Hok, Bu Kie menduga bahwa Siauw Hong bukan dayang biasa, sedikitnya ia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pelayan atau dayang biasa. Disaat lain, lima enam pelayan lelaki menghampiri dan merebut mengajak omong dengan menggunakan penggilan "Siauw Hong cici."
Tapi dia tidak meladeni. Tiba-tiba Siauw Hong merangkap kedua tangannya dan menjura kepada Bu Kie.
Si bocah kaget. "E-eh, mengapa"...." tanyanya.
"Tadi kau berlutut di hadapanku dan sekarang membalas hormat," jawabnya sambil memutar badan dan terus berjalan pergi.
Kepada kawan-kawannya Kiauw Hok segera menceritakan bagaimana Bu Kie berlutut di hadapan Siauw Hong yang dianggapnya Cu Kioe Tin. Cerita itu ditambah bumbu sedap, sehingga semua orang tertawa terpingkal-pingkal. Tapi Bu Kie tak jadi gusar. Di dalam hatinya, ia telah mengingat wajah nona Cu, gerak-geriknya, dan perkataan-perkataannya.
Sesudah mandi, Kiauw Hok menyerahkan satu stel pakaian kain hijau padanya, yaitu pakaian pelayan.
Sambil bengong, ia mengawasi pakaian itu. "Sungguh celaka!" katanya di dalam hati. "Aku belum jadi pelayan, bagaimana aku bisa pakai pakaian begitu?" jika menuruti adat ia tentu sudah menolak. Tapi di lain saat ia mendapat lain pikiran "kalau Siocia memanggil aku dan melihat aku masih mengenakan pakaian rombeng. Ia tentu akan jadi gusar." Pikirnya, "Apa salahnya andai kata aku benar jadi pelayannya?" Memikir begitu, jadi tenang dan tanpa berkata suatu apa, ia segera memakai pakaian itu.
Tapi panggilan si nona yang ditunggu-tunggu tak kunjung datan. Jangankan Kioe Tin, Siauw Hong pun tak kelihatan mata hidungnya. Bu Kie hanya dapat membayang-bayangkan wajah nona Cu. Ia merasa, bahwa di dalam dunia yang lebar ini, tak ada wanita yang secantik dia. Ia ingin sekali pergi ke bagian gedung itu untuk melihat si nona atau mendengar suaranya yang merdu dari kejauhan. Tapi ia tidak berani, karena sudah beberapa kali Kiauw Hok memesan, supaya, kalau tidak dipanggil, tidak boleh masuk ke ruang belakang, karena bisa diserang kawanan anjing.
Dengan cepat satu bulan sudah berlalu. Luka-luka Bu Kie sudah sembuh seluruhnya. Hanya pada muka dan tangannya terdapat bekas-bekas gigitan yang tak bisa hilang. Tapi ia tak jadi jengkel.
Sebaliknya daripada jengkel setiap kali melihatnya, ia ingat bahwa luka itu adalah akibat gigitan anjing si nona. Hatinya merasa senang.
Sementara itu, racun dingin yang masih mengeram dalam badannya mengamuk dalam setiap waktu tertentu, yaitu sekali setiap tujuh hari, yang satu lebih hebat dari yang lain. Hari itu, racun dingin menyerang pula. Ia rebah di ranjang dengan selimut, badannya menggigil, giginya gemetaran. Waktu Kiauw Hok masuk dan melihat si bocah berada dalam keadaan begitu, ia tidak jadi heran. "Sebentar, kalau sudah mendingan, kau bangun dan makan semangkok bubur panas." Katanya. "Nih, ini pakaian baru hadiah dari Tai Tai untuk melewati tahun baru. Sesudah berkata begitu, ia menaruh satu bungkusan di atas meja.
Kira-kira tengah malam barulah serangan racun mulai mereda. Ia bangun dan membuka bungkusan itu yang berisi baju kulit kambing baru. Ia girang, tapi iapun tahu, bahwa baju itu adalah baju untuk pelayan, sehingga, dengan demikian ia sudah dianggap sebagai pelayan dari keluarga Cu.
Pada hakikatnya Bu Kie beradat kasar dan kenyataan itu tidak dianggap sebagai hinaan olehnya. " Tak dinyana aku berdiam di sini sampai sebulan lebih dan sekarang tahun baru kembali berada di depan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mata," katanya di dalam hati. "Ouw Shinshe mengatakan bahwa aku tak bisa hidup lebih daripada satu tahun lagi. Inilah tahun baru penghabisan yang dapat dilewati olehku.
Seperti umumnya terjadi pada setiap keluarga hartawan. Dalam menghadapi tahun baru, Keluarga Cu pun repot bukan main. Pelayan-pelayan membersihkan dan mencat rumah dan perabotan. Beberapa hari sebelum tiba tanggal satu, mereka sudah memotong babi, kembing, dan ayam untuk merayakan tahun yang baru. Bu Kie membantu apa yang bisa dibantunya. Ia mengharap harian tahun baru lekas-lekas dating. Pada hari itu, semua orang akan menghaturkan selamat tahun baru kepada Laoya dan Tai Tai dan ia merasa pasti, ia akan bisa bertemu lagi dengan nona Cu. Ia mengambil keputusan, bahwa melihat lagi wajah Cu Kioe Tin, ia akan berlalu dengan diam-diam dan menyembunyikan diri di gunung yang sepi supaya ia bisa mati tanpa diketahui manusia.
Dengan sambutan petasan, tibalah harian Go Antan (tanggal 1 bulan 1 menurut penanggalan imlek).
Dengan dipimpin CongKoan (pengurus Rumah Tangga) semua pelayan lelaki, berikut Bu Kie, pergi ke Toa Thia untuk memberi selamat tahun bau kepada tuan dan nyonya rumah. Di tengah-tengah ruangan itu duduk sepasang suami isteri setengah tua dan kira-kira 80 pelayan serentak berlutut di hadapan mereka.
Suami isteri itu tertawa girang. "Bangunlah, kamu sudah banyak capai." kata mereka yang lalu memerintahkan dua pembantu pengurus rumah memberi hadiah. Bu Kie juga mendapat bagiannya, satu bungkusan merah yang bersih empat tail perak. Tapi bukan itu yang diharap-harapkan. Ia merasa menyesal bukan main, karena nona Cu tidak kelihatan mata hidungnya. Sambil mencekal bungkusan uang, ia berdiri bengong.
Tiba-tiba di luar terdengar suara yang nyaring dan merdu. "Piauw Ko, tahun ini siang-siang ini kau sudah datang." Suara itu adalah suara Cu Kioe Tin (Piauw Ko Kakak sepupu)
"Untuk memberi selamat tahun baru kepada Koe Koe dan Koe Bo, bagaimana aku berani datang terlambat?" Kata seorang lelaki sambil tertawa. (Koe Koe Paman, saudara lelaki dari ibu, Koe Bo bibi isteri Koe Koe)
Bu Kie merasa mukanya panas. Jantungnya melonjak-lonjak, tangannya mengeluarkan keringat.
Sesudah mengharap-harap selama dua bulan, baru sekarang ia mendengar suara si nona. Semangatnya terbang dan ia berdiri terpaku.
Dilain saat terdengar suara seorang wanita lain. "Memang suko terburu datang kemari, aku tak tahu entah ia datang untuk memberi selamat kepada kedua orang itu, entah untuk memberi selamat kepada Piauw Moay." Sehabis berkata begitu, wanita itu tertawa geli. (Suko kakak seperguruan. Piauw Moay adik perempuan sepupu)
Hampir berbareng, tiga orang muda berjalan masuk dan semua pelayan-pelayan buru-buru menyingkir untuk membuka jalan. Hanya Bu Kie yang masih terus berdiri seperti orang hilang ingatan dan kakinya baru bergerak sesudah tangannya diseret Kiauw Hok.
Dari ketiga orang muda itu, yang berjalan di tengah adalah seorang pemuda. Sedang Cu Kioe Tin berjalan di sebelah kiri. Ia mengenakan baju bulu yang berwarna merah sehingga kecantikannya jadi lebih mencolok. Di sebelah kanan pemuda itu berjalan seorang wanita lain. Usia mereka kira-kira sebaya, semuanya belum mencapai dua puluh tahun.
Begitu mereka masuk, mata Bu Kie terus mengincar Nona Cu. Tidak memperdulikan yang lain. Ia seperti juga tidak melihat dua orang muda yang lain, tidak melihat cara bagaimana memberi selamat tahun baru dan tak mendengar apa yang dikatakan mereka. Dimatanya hanya kelihatan seorang, yaitu Nona Cu Kioe Tin.
Dalam usia yang masih muda, masih kekanak-kanakan Bu Kie sebenarnya masih belum tentu apa artinya cinta antara lelaki dan perempuan. Iapun bukan manusia yang kemaruk akan paras cantik. Tapi dalam hidupnya seorang manusia tertarik yang pertama kali terhadap kecantikan seorang wanita selalu memberi akibat yang hebat. Sebagai manusia, Bu Kie pun tidak kecuali. Disampint itu pada hakekatnya, Bu Kie mempunyai perasaan halus dan mempunyai rasa cinta yang sangat besar terhadap sesama manusia, tak perduli lelaki atau perempuan, tua atau muda. Maka itu dapatlah dimengerti begitu bertemu dengan Cu Kioe Tin yang sangat cantik dan mempunyai pengaruh luar biasa atas dirinya, Bu Kie jadi seperti hilang ingatan. Di dalam hatinya sama sekali tidak terdapat pikiran yang tidak-tidak. Tidak!
Sedikitpun tidak! Ia hanya merasa beruntung jika bisa melihat wajah si nona, mendengar suara si nona yang sangat merdu.
Sesudah mendapat hadiah, pelayan-pelayan yang lain lantas saja bubar.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah berbincang-bincang beberapa lama Cu Kioe Tin berkata, "ayah, ibu, aku ingin jalan-jalan bersama Piauw Ko dan Ceng Moay."
Kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan ketiga orang muda tersebut lantas saja bertindak ke luar dan pergi ke halaman belakang.
Tanpa merasa Bu Kie mengikuti dari jauh. Pada hari raya yang penting itu, tak ada orang yang memperhatikannya. Semua pelayan bersuka ria, berjudi, dan sebagainya. Sekarang baru Bu Kie melihat nyata, bahwa pemuda itu berparas sangat tampan dan dalam hawa udara yang sangat dingin, ia hanya mengenakan jubah panjang warna kuning dari sutra tipis. Sehingga dapatlah diketahui bahwa ia memiliki Lweekang yang tinggi. Wanita yang satunya mengenakan baju bulu warna hitam, badannya langsing, gerak-geriknya memikat, suaranya lemah lembut dan cara-caranya halus. Mengenai kecantikan, ia tak kalah dari Cu Kioe Tin. Tapi di mata Bu Kie, tiada manusia yang dapat menandingi nona Cu yang dipandangnya seakan-akan seorang Dewi.
Mereka berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa. "Tin Ci," kata wanita itu, "kau pasti sudah memperolah banyak ilmu It Yang Ci. Bolehkah kau memperlihatkan kepada adikmu?" (It Yang Ci semacam ilmu menotok dengan jari tangan dari It Teng Taysu)
"Ah! Jangan kau menggoda aku," kata Kioe Tin. Biar aku berlatih sepuluh tahun lagi, mana bisa aku menandingi Lan Hua Hud Hiat Chioe dari keluarga Bu." (Lan Hua Hud Hiat Chioe ilmu menotok jalan darah dengan lima jari tangan yang dipentang seperti Lan Hoa atau bunga anggrek) Pemuda itu tertawa,"Sudahlah! Kalian tak usah saling merendahkan diri," katanya. "siapakah yang tidak mengenal Soat Leng Siang Moay yang sangat lihai?" (Soat Leng Siang Moay Sepasang saudara perempuan dari bukit salju)
"Aku belajar dan berlatih sendirian saja." Kata Kioe Tin. " Mana bisa aku menyusul kemajuan kalian dua saudara seperguruan yang setiap detik bisa saling berdamai dan berlatih bersama-sama."
Wanita muda itu tidak menjawab, ia hanya bisa tersenyum sambil monyongkan mulutnya, seperti juga ia mengakui kebenarannya nona Cu.
Sebab kuatir Kioe Tin jadi gusar, pemuda itu buru-buru berkata, "ah, sebenarnya tidak begitu. Kau mempunyai dua orang guru Koe Koe dan Koe Bo. Di bawah pimpinan kedua orang tua, itu keaadaanmu banyak lebih baik daripada kami berdua."
"Kami!....kami!....." nona Cu menggerutu. "Kecintaan antara saudara seperguruan memang lebih hebat daripada kecintaan antara saudara sepupu. Baru saja aku bergurau dengan Ceng Moay, kau sudah membantunya dengan mati-matian." Sehabis berkata begitu ia memutar badan.
Pemuda itu tertawa, "Piauw Moay disayang, Su Moay juga disayang," katanya. "aku tidak memilih kasih."
Nona Cu memutar pula badannya dan berkata, "Piauw Ko kudengar gurumu menerima lagi seorang murid perempuan. Apa benar?"
"Benar," jawabnya.
Wanita yang dipanggil "Ceng Moay" rupanya masih ingin menggoda nona Cu. Ia tersenyum seraya berkata. "Tin Ci, Sumoay kecil itu sangat cantik parasnya. Bukan saja cantik, dia pandai bicara dan sangat menarik hati. Setiap hari dia mengikat Su Ko dengan macam-macam permintaan. Minta diajar ini, diajar itu, kalau nanti kau bertemu dengannya, kau sendiri tentu akan mencintai dia.."
"Apa?" menegas Kioe Tin dengan suara dingin. "Apa dia lebih cantik dari Ceng Moay?"
"Mana bisa aku menandingi Siauw Su Moay itu," jawabnya. "Hanya Tin Ci yang dapat ditandingi dengannya."
"Aku bukan lelaki tampan yang kemaruk akan paras cantik," kata nona Cu. "Bagaimana kau bisa mengatakan aku akan mencintai Siauw Su Moay itu?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mendengar perkataan yang menghantam dirinya, pemuda itu lantas saja tertawa dan berkata, "Piauw Moay, bolehkan kau mengajak kami melihat jenderal penjaga pintu" Makin lama mereka pasti makin lihai."
Cu Kioe Tin lantas jadi girang. "Baiklah!" jawabnya. Ia segera berjalan ke arah Han Kong Ki, Bu Kie tetap mengikuti dari kejauhan.
Begitu tiba, nona Cu segera memerintahkan pelayan perawat anjing untuk melepaskan semua binatang itu. Melihat kawanan anjing yang galak angker, pemuda tersebut memuji tak henti-hentinya sehingga Kioe Tin jadi lebih bunga hatinya.
"Ceng Moay" tertawa geli sambil menutup mulutnya dengan tangan. "Su Ko" katanya "pangkat apa yang dikehendaki olehmu, Koan Kun atau Piauw Ki?"
Pemuda itu terkejut. "Apa katamu?" tanyannya.
"Kau begitu memperhatikan kata Tin Ci," jawabnya. "Apakah tak layak jika Tin Ci memberi pangkat Koan Kun, Ciang Kun atau Piauw Ki Ciangkun kepadamu" Hanya kau harus berhati-hati jangan sampai dicambuk.
Sebagaimana diketahui, Kioe Tin memberi nama-nama pangkat jenderal kepada anjing-anjingnya.
Sehingga dengan begitu si nona mengejek Su Ko-nya dan mempersamakannya dengan seekor anjing.
Paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah. "Jangan ngaco belo!" bentaknya dengan suara mendongkol. "Kau mencaci aku sebagai anjing, bukan?"
"Ceng Moay" tersenyum. "Jenderal-jenderal itu selalu berdampingan dengan wanita cantik, mereka menggoyang-goyang buntutnya, mengambil hati dan mereka merasa beruntung," katanya. "Apa tak enak hidup begitu?"
Paras muka Kioe Tin lantas saja berubah.
"Ceng Moay, kurasa aku tak berdosa terhadapmu," katanya dengan suara dongkol, "mengapa pada hari tahun baru ini, kau menghinaku?"
Ceng Moay memperlihatkan paras muka heran "E-eh!" katanya. "Aku datang kemari untuk memberi selamat tahun baru. Mngapa kau mengatakan aku menghina kau?"
Nona Cu mengeluarkan suara di hidung. Mengingat persahabatan yang sangat erat antara leluhur kedua keluarga, biarpun darahnya meluap, ia sebisa-bisanya menahan saabr. Ia menengok kepada pemuda itu dan berkata, "Piauw Ko, Kuminta kau suka jadi juru penimbang. Apakah aku yang berbuat kesalahan terhadap Bu Sio Cia, atau Bu Sio Cia yang sengaja cari-caru urusan, cari-cari ribut denganku."
Pemuda itu jadi serba salah. Ia tahu, ia tak boleh membantu piauw Moay dan juga tak boleh menyokong Cu Moay. Mereka berdua adalah anak-anak yang biasa dimanja-manjakan. Gadis-gadis yang sempit pemandangannya. Tak perduli pihak manapun yang dibenarkan olehnya, ia bakal jadi berabe sekali. Maka itu, jalan yang paling selamat adalah berkelit, ia ketawa dan berkata, "Piauw Moay, sudah lama kita tak ketemu. Perlua apa tarik urat" Eh, ilmu silat apa yang kau paling belakang dapat dari Koe Koe. Bolehkah kau memperlihatkan kepada Kami?"
"Berapa hari yang lalu Thia-thia telah mengajariku semacam Pit Hoat," katanya. "Aku masih belum paham dan kuharap Ceng Moay dan Piauw Ko suka memberi petunjuk. (Pit Hoat semacam gaya menulis huruf Tiongkok)
"Ceng Moay" Dan pemuda itu menepuk-nepuk tangan. "Bagus!" kata "Ceng Moay" "Tin Ci jangan kau terlalu merendahkan diri. Ayolah supaya kami bisa menambah pengalaman."
Nona menggapai dan pelayan perawat anjing segera mengambil sepasang Poan Koan Pit yang tergantung di tembok.
Bu Kie melihat bahwa di tembok itu tergantung rupa-rupa senjata, tapi yang paling banyak adalah Poan Koan Pit. Seperti juga sebuah petunjuk bahwa Cu Sio Cia biasa menggunakan senjata itu. Ayah Bu Kie, Thio Cui San, bergelar Gin Kauw Tiat Hoa dan ia seorang ahli dalam menggunakan Poan Koan Pit.
Dulu, kalau membicarakan ilmu silat dengan puteranya, ia banyak sekali merundingkan hal-hal yang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mengenai gaetan (kauw) dan Poan Koan Pit. Oleh karena itu, Bu Kie mempunyai pengetahuan yang agak mendalam tentang kedua senjata itu. "Ayah pernah mengatakan bahwa dalam Rimba Persilatan, jarang sekali ada wanita yang mampu menggunakan Poan Koan Pit," pikirnya. "Dilihat begini, ilmu silat Cu Sio Cia sudah sampai tingkatan tinggi," kalau tadi ia kesengsem karena kecantikan si nona, sekarang ia kagum dan takluk karena Kioe Tin dapat menggunakan senjata istimewa yang biasa digunakan oleh mendiang ayahnya.
Sambil mengibas Poan Koan Pit yang dicekal dalam tangan kirinya, Kioe Tin berkata, "Ceng Moay mari temani aku. Pit Hoat ini tidak dapat dilatih oleh seorang saja."
"Ceng Moay" tahu bahwa nona Cu mempunyai maksud tidak baik. Ia menggelengkan kepala seraya berkata, "Kepandaianku masih terlalu rendah. Mana biasa aku melayani Tin Ci?"
Nona Cu mendesak berulang-ulang, tapi dia tetap menolak.
Melihat begitu, si pemuda perlahan-lahan menghampiri dan sambil mengangkat kedua tangannya ia berkata, "Piauw Moay, biar aku saja yang menemani kau. Aku hanya mengharap kau menaruh belas kasihan. Kalau ujung Pit nyasar ke jalan darah Tian Tiong atau Pak Hwee. Tahun ini Wie Pek tak bisa minum arak tahun baru. (Tian Tiong dan Pak Hwee adalah jalan-jalan darah yang sangat penting. Sekali tertotok, orang bisa binasa)
Mendengar perkataan yang mengandung pujian itu, hati nona Cu jadi senang sekali. Sambil tertawa ia membentak, "Jangan rewel! Jagalah!" Pit kiri menyambar ke bawah, pit kanan ke atas. Benar-benar ia menghantam Pak Hwee Hiat di embun-embunan dan Tian Tiong Hiat di dada pemuda itu.
Wie Pek tidak bergerak, seolah-olah ia tahu, bahwa si nona tidak bakal menotok sungguhan. Tapi kedua senjata it uterus menyambar bagaikan kilat dan dilain detik ujung senjata hanya terpisah satu dim dari dua jalan darah tersebut.
Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak terdengar suara "trang!" dan kedua pit terpental balik.
Kecepatan bergeraknya Wie Pek sungguh luar biasa bagaimana ia menghunus pedang dan bagaimana ia menangkis tak bisa dilihatnya.
"Bagus!" teriak nona Cu sambil melintangkan kedua senjatanya yang segera menyambar bagaikan dua helai sinar putih.
Bu Kie menonton dengan penuh perhatian. Ia ingat, bahwa mendiang ayahnya pernah mengatakan Poan Koan Pit adalah senjata untuk menotok jalan darah. Tapi karena bentuknya menyerupai Pit, maka dalam senjata itu mengandung sifat-sifat Bun. (ilmu surat) Keunggulannya ialah mudah digunakan dan indah gerakannya. Tapi di dalam pertempuran mati-matian, manfaatnya masih kalah setingkat dengan senjata lain, misalnya golok atau tombak. Sesudah memperhatikan beberapa lama, ia mendapat kenyataan bahwa nona Cu benar-benar mahir dalam menggunakan Poan Koan Pit yang menyambar-nyambar ke delapan penjuru dalam gerakan-gerakan yang sangat indah. Tiba-tiba hatinya berdebar-debar. "Ah! Pit Hoat itu menyerupai dengan In Thian To Liong Kang dari ayahku,"katanya dalam hati. "Ilmu silat nona Cu juga berdasarkan Su Hoat (Su Hoat " seni menulis huruf-huruf bagus) Dilain pihak, ilmu pedang Wie Pek tidak juga cukup lihai. Tapi karena Bu Kie tidak mengerti Kiam Hoat, maka dia tak dapat melihat kebagusannya ilmu pedang itu. Ia hanya tahu bahwa makin lama pemuda itu jadi makin terdesak.
Sesudah bertempur sekian jurus, pit kiri Nona Cu tiba-tiba menyambar dari kanan ke kiri, sedangkan pit kanan menyabet dari atas ke bawah.
"Celaka!" seru Wie Pek sambil melompat mundur. Kioe Tin sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik. Ia melompat pit kanan menyambar mata. Itulah pukulan yang lihai dan sukar dielakkan.
"Tahan!.." teriak Wie Pek, "Aku menyerah kalah! Harap Sio Cia sudi mengampuni jiwaku?"
Bukan main girangnya si nona. Ia tertawa seraya berkata, "Piauw Ko kau bukan kalah sungguhan. Kau hanya mengalah..," sehabis berkata begitu, ia mengangkat kedua senjatanya yang lalu dilemparkan ke tembok. "Blas!" kedua Pit itu amblas di tembok, hanya beberapa dim yang berada di luar tembok.
Bu Kie terkesiap. Ia tak nyana, bahwa wanita yang kelihatannya lemah memiliki Lweekang yang begitu tinggi dan tenaga yang begitu besar. "Bagus!" Ia berteriak tanpa merasa.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sudah lama ia berdiri di situ, tapi ketiga orang muda itu tidak memperhatikannya. Sekarang, begitu bersorak, mereka menengok dan mengawasinya. Melihat, bahwa yan sorak hanya seorang pelayan, Kioe Tin tidak memperdulikan. Ia rupanya sudah melupakan Bu Kie. Sambil menengok kepada Wie Pek, ia berkata, "Piauw Ko, pit hoat tadi banyak sekali kekurangannya. Kumohon Siauw Ko sudi memberi petunjuk."
Wie Pek tertawa, "Piauw Moay, ilmu silatmu bukan saja hebat, tapi juga sangat indah gerakannya, apa namanya?"
"Coba Kau tebak," kata nona sambil tolak pinggang.
Wie Pek menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gata. "Koe Koe adalah turunan asli Su Hoat,"
katanya. "Menurut pendapatku ilmu silat itu berdasarkan Su Hoat."
"Benar!" seru Nona Cu sambil menepuk-nepuk tangan. "Pintar juga kau Piauw Ko. Tapi Su Hoat apakah itu?"
"Piauw Moay yang baik, jangan kau coba-coba menguji aku," kata Wie Pek. "Tidak,"aku tak tahu."
Melihat sikap si nona terhadap Wie Pek, Bu Kie merasa sangat berduka. Ia merasa dirinya kecil. Ia merasa bersaing dengan pemuda tampan itu. Sungguh beruntung jika ia bisa mendapatkan kesempatan untuk menindih saingan itu. Maka itulah, begitu mendengar pengakuan Wie Pek darahnya lantas saja bergolak dan tanpa merasa ia berteriak, "Tay Kang Tong Ki Hoat!"
Cu Kioe Tin adalah turunan Cu Cu Liu. Nona si Bu itu, yang dipanggil "Ceng Moay" oleh nona Cu, adalah turunan Bu Sam Tong, namanya Bu Ceng Eng. Ia adalah turunan Bu Siu Bun, salah seorang putra Bu Sam Tong. Bu Sam Tong dan Cu Cu Liu ialah menteri merangkap murid It Teng Taysu, sehingga ilmu silat mereka berasal dari satu sumber. Akan tetapi, sesudah lewat seratus tahun lebih, ilmu silat antara kedua keluarga itu agak berbeda. Misalnya Bu Toen Ji dan Bu Sioe Bun telah mengangkat Kwee Ceng, Kwee Tayhiap sebagai guru. Maka itu, biarpun mereka juga paham akan ilmu totok It Yang Ci, tapi ilmu totok itu agak menyerupai cara-cara yang keras untuk dari ilmu silat Kioe Ci Sin Kay Ang Cit Kong.
Wie Pek ialah saudara sepupu Cu Kioe Tin. Pemuda itu berguru kepada ayah Bu Ceng Eng. Ia seorang pemuda yang berparas tampan, beradat baik dalam lemah lembut cara-caranya, sehingga ia dicintai oleh kedua gadis cantik itu.
Usia nona Cu dan nona Bu kira-kira sebaya, sama-sama cantik, sama-sama pintar dan ilmu silat merekapun kira-kira standing. Maka itu, orang Rimba Persilatan di sekitar Kun Lun San memberi gelar Soat Leng Siang Moay (Sepasang Saudara perempuan dari Bukit Salju) kepada mereka.
Dalam mencintai Wie Pek, Cu Kioe Tin lebih berani mengutarakan rasa cintanya. Tapi Bu Ceng Eng yang pemalu bisa menarik keuntungan, yaitu karena belajar bersama-sama, makanya bisa lebih banyak bergaul dengan pemuda itu daripada nona Cu.
Mendengar seruan "Tay Kang Tong Ki Hoat," ketiga orang muda itu terkejut. Sebagai orang-orang yang Bun Bu Song Coan (mengerti ilmu surat dan ilmu silat) Wie Pek dan Ceng Eng bukan tak tahu, bahwa ilmu silat nona Cu berdasarkan Tay Kang Tong Ki Hoat. Mereka hanya tidak mau menyebutkannya, supaya nona itu jadi lebih senang hatinya.
Pada waktu itu, Bu Kie baru berusia kira-kira lima belas tahun. Tanpa sesuatu yang luar biasa, baik dari muka, maupun dari potongan badannya. Maka itu, Wie Pek dan Bu Ceng Eng segera menduga, bahwa ia adalah pelayan di lapangan berlatih silan dan sudah mendengar nama ilmu pukulan itu.
Tapi Cu Kioe Tin sendiri tahu, bahwa hal tiu tak akan bisa kejadian. Oleh karena, setiap kali mengajar ilmu silat, ayahnya tak pernah mengijinkan hadirnya siapapun jua dalam lapangan berlatih. "Apakah ia mencuri belajar?"tanyanya di dalam hati. Memikir begitu, ia lantas saja membentak, "Hei! Siapa namamu" Bagaimana kau tahu ilmu silatku dinamakan Tay Kant Tong Ki Hoat?"
Transcriber: hanko ============= Mendengar si nona menanyakan namanya, Bu Kie merasa sangat berduka.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Bukankah aku sudah memberitahukan Kau?" pikirnya. "Kalau begitu, kau sedikitpun tak memperhatikan aku," ia lantas menjawab "Namaku Thio Bu Kie, aku hanya bicara secara sembarangan."
"Oh,"..sekarang aku ingat," kata Kioe Tin.
"Kau adalah bocah yang pernah digigit oleh anjing-anjingku," ia lebih jadi bercuriga, sebab ia lantas saja ingat bahwa dengan sekali pukulan saja, anak itu telah menghancurkan kepala "Co Ciangkun"
sehingga dia pasti memiliki ilmu silat yang tidak boleh dipandang enteng. "Apakah dia seorang mata-mata yang dikirim oleh musuh ayahku?" tanyanya di dalam hati. "Tanpa mencuri, anak yang begitu kecil tak mungkin mengenal ilmu silat yang paling diandalkan oleh ayahku."
Tapi, baru saja ia berniat untuk menyelidiki lebih lanjut, tiba-tiba ia melihat Wie Pek dan Bu Ceng Eng sedang bicara bisik-bisik sambil duduk berendeng. Rasa cemburu lantas saja timbul dalam hatinya dan ia tidak memperdulikan Bu Kie lagi. "Ceng Moay!" teriaknya. "aku dan Piauw Ko sudah memperlihatkan keburukan kami. Kuharap kaupun suka mempertunjukkan ilmu silatmu yang tinggi."
Entah disengaja, entah tidak, Wie Pek dan Bu Ceng Eng tidak meladeni teriakan itu.
Kioe Tin naik darah, "Biarpun Pit Hoatku sangat sederhana, tapi belum tentu ilmu silat keluarga Bu bisa melawannya," katanya dengan suara dingin.
Nona Bu mengangkat kepalanya dan membalas dengan suara yang sama dinginnya. "Su Ko-koe tahu, bahwa kau seorang yang mau menang sendiri sehingga ia sengaja mengalah terhadapmu, Hm!....Tapi kau tergirang-girang."
"Siapa mau dia mengalah?" bentak Kioe Tin dengan keras. "Dapatkah dia memecahkan pukulan Siang Koat Kwi Goan?" (Siang Koat Kwi Goan " Dua Ranggon terangkap menjadi satu. Jurus terakhir Kioe Tin yang menyebabkan menyerahnya Wie Pek)
"Kau kira kami berdua manusia-manusia tolol yang tidak mengenal syair?" Syair-syair Tay Kang Tong Ki dari Souw Pong To?" Tanya Ceng Eng. "Kalau Su Ko tidak mengenal ilmu silatmu, mengapa ia justru menyerah kalah pada akhiran sebaris syair" Ia menyerah pada detik kau mengakhiri huruf "goat"
(rembulan) dari baris syair yang berbunyi "It Cun Hoan Ciu Kang Goat" mengertikah kau sekarang" (It Cun Hoan Ciu Kang Goat " mempersembahkan secawan arak kepada rembulan_
Cu Kioe Tin tertegun. Pertanyaan Bu Ceng Eng tak dapat dibantah. Memang Wie Pek menyerah waktu mengakhiri tulisan huruf "goat" dengan jurus Siang Koat Kwi Goan. Kalau benar begitu, ia sendiri yang jadi manusia tolol!
Ia merasa malu bukan main dan dari malu ia menjadi gusar. "Kenal memang mungkin kau kenal, tapi apa kau bisa memecahkannya?" tanyanya dengan suara keras. "Bisa jadi Piauw Ko sengaja mengalah terhadapku. Hm!..memang tak sukar menggoyangkan lidah. Lihatlah! Pelayan dalam rumahku pun mengenal pukulan itu."
Muka Bu Ceng Eng merah padam, bahwa gusarnya. "Su Ko aku pulang saja!" katanya dengan suara gemetar. "Orang sudah mempersamakan aku dengan pelayan. Perlu apa kau berdiam lama di rumah ini?"
Wie Pek tertawa dan berkata, "Su Moay, Piauw Moay hanya berguyon, jangan kau menganggap bersungguh-sungguh. Di rumahmu pelayan kotor seperti dia tak terhitung berapa banyaknya."
Mendengar perkataan yang menghina itu, Bu Kie panas hatinya.
"Bagus! Kau menghina pelayanku?" kata Kioe Tin. "Ceng Moay, biarpun kau berkepandaian tinggi, belum tentu kau bisa menjatuhkan dia dalam tiga jurus."
"Hm! Apa kau kira pelayan baumu mempunyai harga untuk melayaniku?" nona Bu menjawab. "Tin Ci kau terlalu menghinaku."
Sampai disitu Bu Kie tak dapat menahan sabar lagi. "Bu Kouwnio!" teriaknya. "Apa kau bukan manusia" Bu Kouwnio, janganlah kau menganggap dirimu sebagai manusia yang terlalu mahal!"
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Walaupun darahnya meluap, untuk menghina si bocah, Ceng Eng melirikpun tidak. Ia berpaling kepada Wie Pek dan berkata, "Su Ko, kau lihatlah kurang ajarnya pelayan bau itu. Apa kau masih tetap berpeluk angina?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melihat sikap mohon dikasihani dari si nona, hati pemuda itu lantas saja lemas. Antara kedua gadis itu, ia sebenarnya tidak memilih kasih. Akan tetapi, di dalam hati kecilnya, ia mempunyai perhitungan sendiri. Gurunya, yaitu ayah Bu Ceng Eng, mempunyai kepandaian yang tinggi. Ia merasa, bahwa apa yang akan didapatkannya, takkan lebih daripada sebagian atau dua bagian kepandaian sang guru. Maka itu, apabila ia ingin memiliki kepandaian istimewa, tidak bisa ia harus mengambil hati nona Bu. Maka itulah, dia seraya tersenyum lantas saja berkata.
"Piauw Moay, apa benar pelayanmu mempunyai kepandaian tinggi" Bolehkah aku mengujinya?"
Kioe Tin mengerti, bahwa kakak itu coba membela Ceng Eng. Ia mau menolak tapi dalam otaknya mendadak berkelabat serupa ingatan.
"Aku memang ingin tahu asal usul bocah itu," pikirnya. "Biarlah Piauw Ko yang paksa dia membuka rahasianya," berpikir begitu, ia lantas berkata
"Baiklah, sebenarnya aku sendiri tak tahu murid siapa dan dari partai mana."
"Apakah pelajaran bocah itu bukan didapat dari sini?" Tanya Wie Pek dengan perasaan heran.
Kioe Tin menengok ke arah Bu Kie dan berkata, "Eh, coba beritahukan Siauw Ya, nama guru dan partaimu."
Mendengar perkataan si nona, Bu Kie lantas saja berpikir. "Kamu begitu menghina aku, mana bisa aku memberitahukan nama kedua orang tuaku dan Thay Suhu" Selain begitu, akupun belum pernah mempelajari ilmu silat Bu Kie Pay secara sungguh-sungguh." Dengan adanya itu, ia menjawab,
"Semenjak kecil, kedua orang tuaku sudah meninggal dunia dan aku bergelandangan dalam dunia Kang Ouw. Aku belum pernah belajar ilmu silat, hanya ayah angkatku yang pernah memberi satu dua petunjuk kepadaku. Mata Gi Hu buta, sehingga iapun tak tahu, apa latihanku benar atau salah."
Kisah Si Pedang Terbang 7 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Si Kumbang Merah 12
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
menurut anggapannya, tanpa obat pemunah yang diberikan olehnya sendiri, siapa yang kena pasti akan mati. Kalu benar bocah itu bisa memunahkan racun tersebut ia benar-benar lihay. Maka dari itu, sambil menatap wajah Bu Kie, ia bertanya dengan suara manis. "Anak muda, benarkah kau bisa mengobati penyakit?"
Mengingat nasib kedua orang tuanya, Bu Kie membenci si tua itu. Tapi pada hakekatnya ia memiliki sifat-sifat mulia dan ia seorang yang mudah melupakan segala sakit hati. Kalau tidak memiliki sifat yang baik itu, mana mau ia mengobati orang-orang seperti Kan Ciat dan Sie Kong Wan" Ia merasa, bahwa Kun lun pay mempunyai andil sebagai partai yang turut menjadi gara-gara dari kebinasaan orang tuanya. Tapi ia adalah seorang yang tidak bisa menonton kebinasaan tanpa mengulurkan tangan. Maka itulah, ia sudah menolong Ciam Cun, seorang murid Kun lun pay, dan Souw Hie Cie. Sekarang mendengar pertanyaan si tua, meskipun hatinya gusar, ia manggutkan kepalanya.
Begitu masuk, ia mengendus bau luar biasa. Sesaat kemudian, ia merasa bau itu berubah-ubah sebentar keras, sebentar hilang. Ia mendekati mengawasi muka si sakit dan memegang nadinya. Mendadak ia mengeluarkan sebatang jarum emas yang lain ditusukkan di muka Ngo kouw yang bengkak seperti labu.
Ho Thay Ciong terkejut. "Bikin apa kau?" bentaknya serta mengangsurkan tangan untuk menjambret Bu Kie, tapi bocah itu sudah mencabut jarumnya. Ternyata bekas tusukan jarum sama sekali tidak mengeluarkan darah atau cair. Bu Kie lalu mencium-cium jarum itu dan manggut-manggutkan kepalanya.
Sehingga dalam hati Thie Kim Sianseng timbul harapan baru. "Saudara"saudara kecil," katanya. Apakah ada harapan?" Bahwa sebagai seorang pemimpin sebuah partai persilatan, ia sudah menggunakan istilah
"saudara kecil" merupakan bukti, bahwa ia berlaku hormat terhadap si bocah.
Tapi Bu Kie tidak menyahut. Sekonyong-konyong ia merangkak ke kolong ranjang dan sesudah memeriksa kolong ranjang itu beberapa saat, barulah ia keluar lagi. Kemudian ia membuka jendela dan mengawasi pohon-pohon bunga yang ditanam di dalam taman. Mendadak ia melompat dan keluar dari jendela lalu berdiri tegak sambil memandang pohon-pohon di sekitarnya, seolah-olah ia sedang menikmati bunga-bunga yang beraneka warna dan harum baunya.
Ho Thay Ciong mendongkol. Karena sangat mencintai gundiknya itu, maka ia sudah memerintahkan muridnya untuk menanam pohon-pohon bunga yang luar biasa dan mahal harganya di luar jendela kamar Ngo kouw. Sekarang, ia sedang mengharap-harap pertolongan selekas mungkin, sebaliknya dari menolong, si tabib cilik membuang-buang waktu dengan mengawasi pohon-pohon bunga itu. Bagaimana ia tak jadi mengeluh"
Sesudah berdiri beberapa lama, Bu Kie kembali manggut-manggutkan kepalanya, ia balik ke kamar.
"Penyakit itu masih dapat diobati, tapi aku tak sudi mengobatinya," katanya dengan suara kaku. "Ciam Kouwnio, aku mau pergi".
"Saudara Thio, kumohon pertolonganmu," kata nona Ciam. "Kalau kau bisa menolong Ngo kouw, segenap anggota Kun lun pay, dari atas sampai di bawah, akan merasa sangat berterima kasih. Saudara Thio, tolonglah".
Bu Kie menggelengkan kepalanya sambil menuding Ho Thay Ciong, ia berkata, "Dia, Thie Kim Sianseng, turut mengambil pada bagian waktu sejumlah manusia kejam memaksa kedua orang tuaku membunuh diri. Perlu apa aku menolong jiwa gundiknya?"
Ho Thay Ciong terkesiap. "Saudara kecil, kau she apa?" tanyanya. "Siapa ayah dan ibumu?"
"Aku she Thio," jawabnya dengan suara tawar.
"Mendiang ayahku adalah murid kelima dari Bu tong pay".
Si tua jadi lebih kaget lagi. Baru sekarang ia tahu, bahwa anak tanggung itu puteranya Thio Cui San.
Buru-buru ia mencoba dan berkata.
"Saudara Thio, pada waktu ayahmu masih hidup, aku bersahabat baik dengannya. Bahwa ia telah membunuh diri sudah sangat mendukakan hatiku?"
"Setelah kedua orang tuamu meninggal dunia, beberapa kali Suhu menangis". Ciam Cun menambah dusta gurunya. Beliau sering mengatakan bahwa mendiang ayahmu adalah sahabatnya yang paling akrab".
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie bersangsi, ia setengah percaya, setengah tidak. Tapi, sebagaimana telah dikatakan, ia adalah seorang yang mudah melupakan sakit hati lama. Maka itu, lantas saja berkata, "Hu jin (nyonya) bukan mendapat penyakit aneh. Ia kena racun dari Kim gin Hiat".
"Ular Kim gin Hiat?" tegas guru dan murid itu hampir berbarengan. Mereka kaget dan heran, karena nama ular itu belum pernah didengar mereka.
"Benar," jawabnya. "Akupun belum pernah melihat ular itu. Aku menarik kesimpulan itu karena muka Hujin, lihatlah apa di situ terdapat luka gigitan yang sangat kecil".
Ho Thay Ciong buru-buru menyingkap selimut yang menutupi tubuh Ngo kouw dan menarik jari kakinya. Benar saja di setiap ujung jari kaki terdapat luka besar yang berwarna hitam. Karena terlalu kecil, jika tidak diperhatikan, luka itu tidak kelihatan.
Melihat begitu, si tua tidak menyangsikan lagi kepandaian Bu Kie. "Benar, benar," katanya, "Setiap ujung jari kakinya benar terluka. Saudara kecil kau sungguh pandai. Sesudah mengetahui sebab musebab penyakit itu, saudara kecil pasti dapat menyembuhkannya. Sesudah dia sembuh aku akan memberi hadiah yang besar". Ia berpaling kepada tujuh tabib tolol itu dan membentak, "Kamu semua manusia tolol! Tabib goblok!"
"Penyakit Hujin memang luar biasa dan kita tak dapat menialahkan mereka," kata Bu Kie, "Ho Sianseng biarkanlah mereka pulang saja!"
"Baik, baik," kata si tua. "Sesudah saudara kecil berada di sini, memang perlu apa tabib-tabib goblok itu berdiam lebih lama lagi" Cun jin, berikan seratus tail perak kepada setiap orang dan suruh mereka pergi segera".
Ketujuh tabib itu girang bukan main dan sesudah menerima hadiah, cepat-cepat mereka berlalu.
"Coba suruh beberapa bujang menggeser ranjang Hu jin," kata Bu Kie. "Di bawah kaki ranjang terdapat dua lubang kecil dan lubang itu adalah tempat keluar masuknya ular Kim gin Hiat".
Tanpa meminta bantuan lagi, Ho Thay Ciong segera mencekal kaki ranjang yang lalu digesernya.
Sesuai seperti yang dikatakan Bu Kie, di bawahnya terdapat lubang kecil.
Si tua girang bercampur gusar. "Lekas ambil belirang dan api!" teriaknya, "Begitu dia keluar aku akan cincang!"
Bu Kie menggoyangkan tangannya. "Tak boleh, tak boleh begitu," katanya. "Racun yang mengeram di dalam badan Hujin harus dipunahkan oelh ular itu juga. Kalau kau bunuh Hujin tak dapat disembuhkan lagi!"
"Oh begitu?" kata si tua dengan rasa heran.
"Mengapa begitu?"
"Ho Sianseng," terang si bocah sambil menunjuk taman bunga yang berada di luar jendela. "Penyakit Hujin karena gara-gara delapan pot bunga anggrek Leng cie lan itu".
"Leng cie lan?" tegas Ho Thay Ciong.
Baru sekarang ia tahu, anggrek itu Leng cie lan namanya. "Karna tahu aku suka menanam bunga, seorang sahabat yang datang dari wilayah Barat, See hek, dan yang membawa delapan pot bunga itu, sudah menghadiahkannya kepada aku. Bunga itu sangat indah dan harum. Hm!...Aku tak tahu dia bibit penyakit".
"Menurut katanya kitab ilmu ketabiban, Leng cie lan berubi, yang bentuknya bundar seperti bola, warnanya merah api dan di dalam ubi itu terdapat racun yang sangat hebat," Bu Kie melanjutkan keterangannya, "Cobalah gali".
Ketika itu, semua Kun lun pay sudah tahu bahwa Bu Kie sedang coba mengobati penyakit Ngo kouw yang luar biasa.
Murid-murid lelaki tidak berani masuk, tapi keenam murid perempuan sudah berada dalam kamar itu.
Begitu mendengar keterangan Bu Kie dua antaranya lantas saja mengambil cangkul dan menggali sebuah pot. Benar saja ubi pohon anggrek itu bundar dan warnanya merah. Karena tahu beracun, mereka tidak berani menyentuhnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Sekarang aku minta kalian menggali semua pohon anggrek itu dan taruh ubinya dalam sebuah mangkok kayu," kata si bocah pula. "Tambahkan delapan biji telur ayam dan semangkok darah ayam.
Pukul campuran itu sampai menjadi hancur. Tapi yang mengerjakannya harus berhati-hati, harus menjaga sampai campuran itu tidak mengenai kulit."
Ciam Cun bersama dua orang saudara seperguruannya lantas saja bertindak keluar untuk melakukan apa yang diminta. Sesudah itu, Bu Kie minta juga dua buah bumbung bambu dan sebatang tongkat bambu.
Tak lama kemudian, ubi Leng cie land an campurannya sudah dipukul menjadi cairan kental. Bu Kie segera menuang cairan itu di lantai dan membuat sebuah lingkaran. Pada lingkaran itu ditinggalkan sebuah lubang yang lebarnya kira-kira dua dim. Sambil mengawasi semua orang, ia berkata, "Kalau sebentar terjadi kejadian luar biasa, kuharap kalian jangan bersuara supaya ular itu tidak menjadi kaget dan menggigit kalian. Harap kalian menutup hidung dengan kapas." Semua orang lantas saja menuntut, sedang racun lalu menutup hidungnya dengan sedikit kapas.
Sesudah itu, ia mengambil api dan membakar daun-daun Ling cie lan di samping lubang. Kira-kira minuman teh, dari lubang sebelah kiri keluar seekor ular yang badannya merah dan di kepalanya terdapat semacam topi daging yang berwarna emas. Ular itu ternyata mempunyai empat kaki dan panjang badannya kira-kira delapan dim. Baru saja Kim koan Hiat coa (ular darah topi emas) keluar, dari lubang sebelah kanan kembali muncul seekor ular lain yang badannya lebih pendek dan topi dagingnya berwarna perak. Ular yang belakangan dinamakan Gin koan Hiat coa, ular darah topi perak. Sepasang ular itu dinamakan Kim gin Hiat coa yaitu ular darah emas perak.
Sambil menahan napas, Ho Thay Ciong dan murid-muridnya mengawasi kedua binatang itu. Mereka tahu, bahwa kalau ular-ular itu sampai lari, penyakit Nog kouw sukar disembuhkan lagi.
(Bersambung ke jilid 28) BU KIE Karya : Chin Yung Jilid 28 Transcriber: Thor Kedua ular itu saling mendekati dan mengeluarkan lidah mereka, yang bertopi emas menjilat punggung ular yang bertopi perak, sedang yang bertopi perakpun menjilat punggung yang bertopi emas.
Sambil menunjukkan sikap saling mencintai itu. Perlahan-lahan mereka saling mendekati lingkaran.Buruburu Bu Kie memasang kedua bumbung bambu dilubang lingkaran dan dengan tongkat bambu, ia menggebrak buntut Gin-koan Hiat-coa. Sekali berkelebat ular itu sudah masuk kedalam bumbung. Kim-koan Hiat-coa masuk ikut masuk, tapi karena bumbung itu kecil, dan hanya memuat seekor ular dia tidak berhasil. Tiba2 ia mengeluarkan suara nyaring luar biasa. Bu Kie segera mencekal bumbung yang lain dan menggebrak pula buntut si topi emas yang sekali lompat, sudah masuk ke dalam bumbung. Si bocah lalu mengambil sumbat kayu dan menyumbat lubang bumbung.
Sedari Kim-gin Hiat-coa keluar, semua orang mengamati dengan menahan nafas dan jantung berdebar.
Sesudah Bu Kie menutup bumbung, barulah barulah mereka bernafas lega.
"Coba masak air dan cuci lantai sampai bersih, supaya racun Leng cie lan tidak ketinggalan" kata si bocah. Enam murid perempuan lantas mengiakan dan tak lama kemudian lantai sudah di cuci dengan air panas.
Sesudah itu, Bu Kie minta supaya semua jendela dan pintu ditutup rapat dan ia minta pula Toet hong, Beng pan, Thay Hong, Kam co dan beberapa bahan obat lain yang harus digiling halus dan dicampur kapur.
Campuran ini lalu dimasukkan kedalam bumbung Gin-koan Hiat-coa. Ular itu lantas saja mengeluarkan suara nyaring, disambut oleh si topi emas. Bu Kie lalu mencabut sumbat bumbung Kim-koa Hiat-coa yang lantas saja keluar dan jalan memutari bumbung si topi perak. Dari gerak-geriknya, ia kelihatan dalam kebingungan. Tiba2 ia naik ke atas ranjang dan menyelinap ke dalam selimut Ngo kouw.
Ho Thay Ciong terkesinap, hampir saja berteriak, tapi Bu Kie keburu mengoyang2kan tangannya.Sambil tersenyum si bocah menyingkap selimut dan ternyata ular itu sudah menggigit ujung jeriji kaki Ngo kouw. "Dia akan menghisap racun dalam tubuh Hujin," katanya dengan paras muka girang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Makin lama ular itu makin besar dan kira2 semakanan nasi, dia sudah lebih besar berlipat ganda, sedang topinya bersinar terang. Tak lama kemudian dia turun dari ranjang, dan Bu Kie lalu mencabut sumbat bumbung Gin-koan Hiat-coa. Si topi emas lantas saja memuntahkan darah beracun kedalam topi perak.
"Cukuplah !" kata si bocah. "Setiap hari mereka menghisap dua kali. Sesudah itu akan menulis surat obat untuk menghilangkan bengkak dan menguatkan badan. Dalam sepuluh hari Hujin akan sembuh seanteronya."
Tak kepalang girangnya Hu Thay Ciong yang lalu mengajak Bu Kie ke kamar buku. "Saudara kecil kau mempunyai kepandaian seperti malaikat." Katanya. " Tapi apakah aku boleh tahu latar belakang dari kejadian ini?".
"Menurut Kitab Tok But Tay Coan, dalam urutan racun, Kim-gin Hiat-coa jatuh nomor tiga puluh tujuh," menerangkan si bocah. "Biarpun mereka bukan termasuk binatang beracun terlihay, tapi mereka mempunyai satu keistimewaan, iialah mereka suka sekali makan racun. Leng cie lan yang ditanam di luar jendela kamar Hujin, yang mengandung racun sangat hebat, dan sudah mengundang kedua ular itu."
Ho Thay Ciong manggutkan kepalanya.
"Kim-gin Hiat-coa adalah sepasang, yang satu lelaki, yang satu perempuan." Kata si bocah.
"Tapi dengan menggunakan Tay Hong, Kam Cu dan lain2, aku membakar Gin-koan Hiat-coa. Untuk menolong kawan hidupnya, Kim-koan Hiat-coa mesti menghisap racun dalam tubuh Hujin. Sebentar, sesudah berselang tiga jam, aku akan membakar ular lelaki, yaitu Kim-koan Hiat-coa, dan ular perempuan pasti akan menghisap darah beracun dalam tubuh Hujin untuk menolong yang lelaki. Dan begitu seterusnya sehingga darah beracun habis dihisap."
Malam itu, dengan penuh kegembiraan Ho Thay Ciong menjamu Bu Kie dan Poet Hwie.
Selang beberapa hari, bengkak dimuka Ngo kouw mulai kempes. Semangatnya pulih dan sedikit sedikit ia sudah bisa makan dan minum. Sesudah lewat sepuluh hari, ia sembuh seluruhnya.
Hari itu Ngo kouw menjamu Bu Kie untuk menghaturkan rasa terima kasih dan mengundang juga Ciam Cun. Mukanya masih pucat, tapi kecantikkannya tidak berkurang. Ho Thay Ciong menemui dengan hati berbunga. Dengan menggunakan kesempatan itu, nona Ciam suka memohon kepada gurunya menerima Souw Hie Cie sebagai muridnya.
Si tua tertawa terbahak2. "Cun jie" katanya, "siasat menyentak kayu bakar dari bawah kuali sungguh bagus. Kalau aku menerima bocah she Souw itu sebagai murid, dibelakang hari kubakal turunkanilmu pedang Liong Heng It Pit Kiam kepadanya. Dengan demikian kedosaannya mencari Kim-hoat tiada artinya lagi".
Nona Ciam tertawa lalu berkata, "Suhu kalau bocah she Souw itu tidak mencuri kiam-hoat, teecu tentu diperintah mencari dia dan tak akan bertemu dengan Thio Sieheng. Suhu dan Ngo kouw mempunyai rejeki yang sangat besar. Tapi kalo dihitung2, bocah she Souw itu juga turut berjasa".
"Kau mempunyai begitu banyak murid. Tapi diwaktu perlu, hampir semua tak ada gunanya"
menyambuti Ngo kouw. "Kalau Cim Kouwnio penuju bocah itu.Terimalah. dibelakang harimungkin sekali akan menjadi muridmu yang paling boleh diandalkan".
Ho Thay Ciong yang belum pernah membantah kemauan gundik itu, lantas mengangguk dan berkata.
"Baiklah aku terima, tapi ada syaratnya".
"Syaratnya apa?" tanya gundik.
"Sesudah menjadi muridku dia harus belajar sunguh2," kata si tua. "Syaratnya yaitu, dia tidak boleh memikir yang gila2 menikah dengan Cun Jie".
Paras nona Ciam lantas saja berubah merah dan ia lalu menunduk. Ngo Kouw tertawa cekikikan.
"Aduh sebenarnya kau harus mengaca," katanya. "kau sendiri mempunyai beberapa istri dan gundik, tapi kau melarang muridmu menikah".
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si tua yang hanya ingin mengoda Ciam Cun lantas saja tertawa terbahak-bahak. "Minum, minumlah!"
katanya. Selagi bermakan minum sambil beromong2. Seorang pelayan kecil datang membawa sebuah nampan yang diatasnya terdapat sebuah poci arak. Ia segera menuangkan arak itu ke semua cawan. "Saudara Thio" kata si tua, "arak ini keluaran istimewa dari Kun Lun San, dibuat dari bit lay (buah lay muda) dan dinamakan Houw-pek Bit lay ciu. Hayolah kau harus minum beberapa cangkir". Arak itu berwarna kuning emas dan harum baunya.
Bu Kie sebenarnya tidak suka minum arak tapi karena mengendus bau yang sangat harum. Ia jadi tertarik lalu mencekal cawan. Tapi, sebelum menceguknya, Kim-gin Hiat-coa yang berada dalam sakunya tiba2 bersuara dan meronta-ronta di dalam bumbung. "Tahan! Jangan minum arak itu!" kata Bu Kie.
Semua orang kaget dan serentak menaruh cawan dimeja. Si bocah segera mengeluarkan bumbung Kim-koan Hiat-coa dan mencabut sumbatnya. Ular itu lalu berjalan mengitari cawan arak dan kemudian minum isinya. Dengan beruntun ia minum tiga cangkir.
Setelah mengembalikan si topi emas kedalam bumbung. Bu Kie lalu mengeluarkan si topi perak yang minum tiga cawan. Kedua ular itu saling mencintai, sehingga kalau hanya satu yang dilepaskan, yang satu takkan lari. Selain itu ia sangat menurut kemauan majikan. Tapi bila dilepas kedua2nya, dia bukan saja akan kabur, tapi malah mungkin menyerang manusia.
"Saudara Kecil," kata Ngo kouw sambil tertawa, "ular itu suka minum arak sungguh menarik".
"Coba suruh orang tangkap anjing atau kucing lalu suruh bawa kemari." Kata Bu Kie.
"Baiklah" kata si pelayan.
"Ciecie berdiam saja disini," cegah si bocah. "Biar orang lain saja yang menangkapnya".
Tak lama kemudian seorang pelayan lain datang dengan membawa anjing. Bu Kie lalu mengambil arak dan menuangkannya ke mulut anjing itu. Berapa saat kemudian sesudah menyalak beberapa kalibinatang itu seketika roboh mati dengan mengeluarkan darah dari mulut, kuping dan hidungnya.
Ngo kouw menggigil. "Arak?"arak itu beracun".." katanya terputus putus. "Siapa yang coba membinasakan kita" Saudara Thio bagaimana kau tahu?"
"Kim-gin Hoat-coa suka makan racun dan begitu mengendus bau racun, mereka bersuara dan meronta ronta," menerangkan Bu Kie.
Paras muka Ho Thay Ciong pucat bagaikan kertas. Sambil mencekal pelayan kecil itu, ia bertanya dengan suara perlahan "Siapa yang menyuruh kau membawa arak itu?"
Si pelayan ketakutan setengah mati.dengan suara gemetar dia menjawab "Aku?"aku tak tahu".arak itu beracun. Aku?""mengambil dari dapur."
"Waktu kau datang kemari dari dapur, apa kau bertemu dengan orang lain?" tanya pula si tua.
"Ya, di lorong aku bertemu dengan Heng Hong."jawabnya. "Ia menarik tanganku dan mengajakku omong2. Sesudah itu ia membuka tutup poci dan mencium2 arak itu."
Ho Thay Ciong. Ngo kouw dan Ciam Cun saling mengawasi.Heng Hong adalah seorang pelayan kepercayaan istri pertama dari si tua.
"Ho sianseng," kata Bu Kie, "dalam hal penyakitnya Hujin ada sesuatu yang sangat mengherankan dan tak dapat dipecahkan olehku. Baru sekarang aku melihat latar belakangnya.coba pikir, mengapa kedua ular itu menggigit kaki Hujin" Sekarang aku mendapatkan jawabannya. Sebabnya ialah dalam tubuh Hujin memang sudah ada racun, dan racun itu mengundang Kim-gin Hiat-coa. Menurut pendapatku, orang yang meracuni Hujin adalah orang yang menaruh racun di dalam poci arak."
Sebelum si tua menjawab, sekonyong-konyong tirai pintu tersingkap dan satu bayangan manusia berkelebat. Hampir berbareng Bu Kie merasa bahwa teteknya sakit bukan main. Jalan darahnya sudah ditotok orang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Benar! Aku meracuni!" demikian terdengar suara yang sangat nyaring. Orang yang berkata, badannya jangkung, matanya berpengaruh dan pada paras mukanya terlihat sinar pembunuhan. Sambil menengok pada Hong Thay Ciong ia berkata "Akulah yang sudah menaruh ular kelabang ke dalam arak. Mau apa kau?".
Dengan mata membelalak Ngo kouw mengawasi wanita itu. Perlahan-lahan ia bangkit dan berkata sambil membungkuk. "Tai tai!" (tai tai, nyonya besar).
Wanita itu adalah istri pertama dari Hong Thay Ciong, namanya Pan Siok Ham. Ia memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, lebih tinggi dari suaminya yang sangat takut terhadapnya. Takut memang takut, tapi si tua tetap mengambil gundik dan setiap kali mengambil gundik baru, rasa takutnya setiap kali bertambah.
Melihat kedatangan si harimau betina, si tua tak berani mengeluarkan suara.
"Eh aku bertanya, aku yang menaruh racun, mau apa kau?" bentak sang istri.
"Biarpun kau membenci pemuda itu, sepak terjangmu keterlaluan," kata Hong Thay Ciong.
"Kalau aku tidak keburu mengetahuinya, bukankah sekarang sudah mati?"
"Semua bukan manusia baik2, aku memang ingin kamu mampus semua," kata nyonya galak itu. Ia menggoyang-goyang poci arak yang ternyata masih banyak isinya.
Ia segera menuang secawan penuh dan menaruh didepan si tua." Sebenarnya aku ingin mamouskan kamu berlima," katanya. "tapi setan kecil itu keburu mengendus rahasia. Sekarang aku bersedia mengampuni emapt orang. Tapi arak itu harus diminum oleh salah seorang. Aku tak peduli siapa yang mau meminumnya. Terserah pada kau setan tua!" seraya berkata itu, ia menghunus pedang.
Pan Siok Ham adalah seorang murid terlihay dari Kun Lun Pay. Ia berusia lebih tua daripada Ho Thay Ciong dan lebih dulu belajar di Kun Lun San. Diwaktu muda, Ho Thay Ciong berparas tampan dan sangat dicintai oleh sucinya. Karena kebentrok dengan seorang cianpwee dari Beng Kauw, guru mereka mati mendadak, sebelum keburu memberi pesanan kepada murid2nya. Oleh karena begitu murid itu segera berebut kedudukan Ciang bujin. Masing2 sungkan mengalah. Pan Siok Ham tampil kemuka dan membela Ho Thay Ciong, sehingga pada akhirnya, si tua berhasil merebut tampuk pimpinan. Sebab merasa berhutang budi, ia segera menikah dengan sucinya itu. Diwaktu muda segala apa masih berjalan licin.
Tapi sesudah sang istri berusia lanjut, dengan menggunakan alasan tidak mempunyai keturunan, ia mengambil gundik. Satu demi satu. Tapi makin banyak gundiknya, makin takut terhadap istrinya yang galak itu.
Melihat arak racun itu, sedikitpun ia tak dapat ingatan untuk membantah. "Aku sendiri tentu tidak boleh meminumnya." Katanya di dalam hati. "Ngo kouw dan Cun jie juga tak boleh. Bu Kie tidak boleh.
Bu Kie seorang tuan penolong. Hanya perempuan kecil saja yang tiada sangkut pautnya denganku,"
Memikir begitu, ia segera bangkit dan menaruh cawan arak didepan Yo Poet Hui. "Anak kau minumlah,"
katanya. Si nona cilik ketakutan. Ia sudah menyaksikan dengan mata sendiri kebinasaannya seekor anjing. Ia menangis dan berkata. "Tak mau! Arak itu ada racunnya".
Si tua segera mencengkram dada Poet Hui tapi sebelum ia bisa menuang arak itu kedalam mulut si nona, Bu Kie sudah berkata dengan suara dingin. "Biar aku yang minum".
Si tua bersangsi, biarpun tak tahu malu ia merasa tak tega.
Pan Siok Ham yang sangat membenci Bu Kie lantas saja berkata. "Seta cilik itu sangat licik, mungkin sekali ia sudah menyediakan obat pemunah. Kalau ia yang minum, secawan tak cukup. Dia harus minum kering sisa arak yang ada dalam poci."
Si bocah mengawasi Ho Thay Ciong dengan harapan ia akan coba membujuk istrinya. Tapi dia menutup mulut. Ciam Cun dan Ngo kouw tidak berani mengeluarkan sepatah kata. Mereka khawatir, kalau banyak bicara, harimau betina itu akan menjadi gusar dan menumplak hawa amarah diatas kepala mereka.
Hati Bu Kie dingin bagaikan es. "Jiwa beberapa orang itu ditolong olehku." Pikirnya. "Tapi waktu jiwaku sendiri terancam, mereka berpeluk tangan. Jangankan menolong, bicara saja mereka tak berani."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Memikir begitu ia menghela nafas. "Ciam Kouw nio," katanya. "Sesudah aku mati aku minta pertolonganmu untuk mengantar adik kecil ini kepada ayahnya di puncak Co Bo Hong. Apakah kau sudi melakukan itu?".
Ciam Cun melirik gurunya yang lalu manggut-manggutkan kepala. "Baiklah," kata nona Ciam.
Bu Kie tahu bahwa wanita itu tidak bersungguh2. tapi ia mengerti, terhadap manusia yang tidak berbudi, tak guna ia bicara banyak2. ia tertawa dingin dan berkata dengan suara yang dingin pula. "Kun Lun Pay dikenal sebagai partai yang lurus bersih. Aku tak nyana Kun Lun Pay dalam sedemikian. Ho sianseng mari poci itu".
Mendengar ejekan yang sangat menusuk, si tua merasa sangat gusar. "Lebih cepat ia mampus, lebih baik lagi," pikirnya. Ia segera mengangkat poci arak dan menuang semua isinya kedalam mulut Bu Kie.
Sambil menangis, Poet Hui memeluk kakaknya.
"Biarpun ilmu ketabibanmu sangat tinggi, aku bisa mencegahmu menolong jiwamu," kata Pan Siok Ham yang lalu mengirim beberapa totokan ke jalan darah Bu Kie. Sesudah itu, dengan menggunakan gagang pedang, ia juga menotok jalan darah Ho Thay Ciong, Ngo kouw, dan Ciam Cun. "Sesudah dua jam barulah aku melepaskan kamu," katanya. Waktu ditotok, Ho Thay Ciong bertiga sama sekali tidak berani bergerak.
"Semua keluar," bentak si harimau betina. Dan semua pelayan buru-buru keluar. Pan Siok Ham keluar paling belakang dan mengunci pintu.
Beberapa saat kemudian Bu Kie merasa perutnya sakit bukan main. Melihat nyonya itu sudah berlalu dan mengunci pintu, hatinya jadi lebih lega. Sambil menahan sakit, ia mengerahkan Lweekang dan dengan ilmu yang didapat dari Cia Sun ia membuka semua jalan darah yang ditotok.sesudah kaki tangannya merdeka, ia segera mencabut beberapa lembar rambut yang lalu digunakan untuk menggilik tenggorokannya. Ia muntah2 dan sebagian besar arak beracun itu sudah dimuntahkannya.
Melihat si bocah bisa membuka jalan darahnya sendiri, Ho Thay Ciong bertiga merasa sangat kagum.
Si tua sebenarnya ingin menghalangi Bu Kie, tapi ia tidak bisa bergerak. Racun dalam perut Bu Kie belum keluar semua tapi ia tidak bisa muntah lagi. "Paling dulu aku harus menyingkir," pikirnya. Ia menghampiri Poet Hui dan mencoba membuka jalan darah si nona, tapi tidak berhasil, karena totokan Pan Siok Ham lain daripada ilmu yang lain. Maka ia segera membuka jendela dan setelah melihat tidak ada orang, ia lalu mendukung Poet Hui dan menurunkannya dikuar jendela.
Jika menggunakan Lweekang, dalam tempo kira2 setengah jam Ho Thay Ciong akan bisa membuka jalan darahnya sendiri. Tapi Bu Kie sudah siap untuk melarikan diri, dan jika istrinya menanyakan, satu gelombang hebat akan terjadi pula. Disamping itu, jika seorang bocah Bu Tong Pay bisa kabur dengan tangan kosong dari Sam Seng Tong dan kemudian menguar2kan kebusukannya sebagai manusia yang tak mengenal budi, sebagai seorang pemimpin partai besar, dimana ia harus menaruh muka" Maka itu, biar bagaimanapun juga, kaburnya bocah itu harus dicegah.
Memikir begitu ia lantas saja menarik nafas dalam2 untuk berteriak memanggil istrinya. Tapi Bu Kie sudah lantas bisa menebak niatnya. Ia mengeluarkan sebuah pil berwarna hitam yang lalu dimasukan ke dalam mulut Ngo kouw. "Pil ini racun Kioe Pie Wan," katanya. "Berselang dua belas jam, orang yang memakannya akan mati dengan usus putus dan jantung hancur. Aku akan menaruh obat pemunah disatu pohon yang jauhnya tiga puluh li dari sini. Pohon itu akan diberi tanda dan tiga jam kemudian Ho sianseng boleh menyuruh orang untuk mengambilnya. Bilamana aku tertangkap dan mati, aku bukan mati sendirian."
Kejadian itu tidak disangka2 oleh Ho Thay Ciong. Sesudah memikir sejenak, ia berkata denga suara perlahan. "Biarpun Sang Seng Tong bukan kobokan naga atau sarang harimau, kurasa seorang yang sepertimu takkan bisa keluar dari tempat ini."
Bu Kie tahu bahwa dengan berkata begitu, si tua buka omong besar. Tapi ia bersikap acuh tak acuh dan berkata dengan suara tawar.
"Menurut pendapatku, kecuali dengan obatku sendiri, racun Kioe Pie Wan tak akan bisa dipunahkan dengan apapun juga."
Ho Thay Ciong mengerutkan alis, "Baiklah?" katanya "Bukalah jalan darahku, aku akan mengantarmu keluar dari tempat ini."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Jalan darah si tua yang tertotok adalah Hong Tie dan Keng Bun. Bu segera mengurut jalan darah Thian Cu, Hoan Siauw, Toa Wie, dan Siang Kie. Tapi sudah berusaha beberapa lama ia masih juga belum berhasil.
Hal itu sudah mengejutkan mereka berdua. Bu Kie kaget, karena sudah menggunakan tujuh macam cara untuk membuka jalan darah, yang didapat oleh Ouw Ceng Goe, ia masih belum berhasil. Si tua terkejut, sebab ia mendapat kenyataan, bahwa si bocah memiliki rupa-rupa ilmu membuka jalan darah dan tenaga dalamnyapun sudah cukup tinggi. "Anak ini benar lihay," katanya dalam hati, "Siok Ham menotok tujuh delapan jalan darahnya, tapi ia tidak bergeming. Bu Tong Pay sungguh tidak boleh di buat gegabah. Untung juga, waktu itu berada di Bu Tong san aku tidak turun tangan, kalau tanganku iseng, bisa jadi aku celaka. Murid Bu Tong yang begitu kecil sudah begitu lihay. Apalagi yang sudah dewasa,"
ia tak tahu bahwa "kekebalan" Bu Kie terhadap Tiam Poat didapatkan dari Cia Sun, sedang rupa2 ilmu membuka jalan darah didapat dari Ouw Ceng Goe, sehingga tidak ada sangkut paut dengan Bu Tong Pay.
Mendadak Ho Thay Ciong mendapat serupa ingatan dan ia lantas saja berkata. "Bawa kemari poci teh dan tuang tehnya ke mulutku".
Bu Kie merasa curiga, tapi mengingat, demi keselamatan gundiknya, si tua pasti tidak berani main gila terhadapnya, maka ia lantas saja mengangkat poci teh itu dan menuangkan isinya kedalam mulut Ho Thay Ciong.
Si tua tidak menelan air teh itu. Tiba2 sambil menggerakan Lweekang, ia menyembur dan bagaikan sebatang anak panah, air itu menyambar tekukan sikutnya di bagian Ceng Leng Yao. Hampir berbareng, lengannya dapat digerakkan pula.
Sedari datang ke Sam seng tong, Bu Kie memandang rendah Ho Thay Ciong karena lagal lagunya seperti takut bini menyayang gundik, licik dan sebagainya tidak mendatangkan keindahan. Tapi sekarang, ia kaget melihat kepandaian si tua. Ia lantas bisa mati seketika.
Sesudah lengan kanannya merdeka, ia segera membuka jalan darah di betisnya. "sesudah kau menyerahkan obat pemunah, aku akan mengantar kau keluar dari selat ini." katanya.
Si bocah tidak menyahut, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Si tua bingung, "Aku adalah Ci bun jin dari Kun Lun Pay," katanya. "Tak bisa jadi aku mendustai anak kecil seperti kau bukan" Kalau terlambat dan racun itu keburu mengamuk, jiwanya tidak bisa tertolong."
"Racun itu tidak akan menggamuk sebegitu cepat," kata si bocah.
Thie-khim Sianseng menyerah kalah. Sambil menghela nafas ia berkata. "Baiklah mari aku antar kamu."
Sesudah melompat dari jendela, Ho Thay Ciong segera menyentuh punggung Poet Hui dengan jerijinya dan jalan darah si nona yang tertotok lantas saja terbuka. Gerakan tangannya indah dan sangat cepat, bagaikan mengalirnya air, sehingga Bu Kie merasa sangat kagum dan sinar matanya mengeluarkan sinar memuja. Sedari bertemu dengan si tua, belum pernah ia memperlihatkan sikap begitu. Ho Thay Ciong mengerti perasaan si bocah dan ia tersenyum simpul.
Sambil menuntun tangan kedua anak itu, ia lalu mengajak pergi ke taman bunga dan keluar dari pintu samping. Dari depan sampai belakang, Sam Seng Tong terdiri dari delapan bangunan dan setelah keluar dari pintu samping, mereka berjalan di suatu jalan kecil yang berliku2. Sesudah itu mereka masuk pula ke beberapa bangunan dan melewati lagi banyak ruangan. Tanpa pengantar, andaikata mereka tidak didengar murid Kun Lun, belum tentu mereka bisa keluar dari Sam Seng Tong. Dengan demikian rasa hormat dalam hati Bu Kie jadi bertambah besar.
Sekeluarnya dari Sam Seng Tong, dengan lengan kanan mendukung Poet Hui dan tangan kiri menuntun Bu Kie, Ho Thay Ciong segera berlari2 ke jurusan barat laut dengan ilmu ringan badan.
Dengan badannya separoh diangkat, Bu Kie merasa seperti terbang melayang2 di tengah udara. Setiap lompatan si tua berjarak kira2 setombak begitu lekas ujung kakinya menotol tanah, badannya sudah mengapung dan melesat lagi kedepan. Dalam sekejap mereka sudah dua puluh li lebih. Selagi enak melayang2 di sebelang belakang sekonyong2 terdengar teriakan. "Ho Thay Ciong!... Ho Thay Ciong".tahan." Suara itu bukan lain suara Pan Siok Ham.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ho Thay Ciong segera menghentikan tindakannya.
Sambil menghela nafas ia berkata. "Saudara kecil, kamu larilah. Istriku mengubar, aku tidak bisa mengantarmu lebih jauh".
"Perlakuannya terhadapku tidak bisa dikatakan terlalu jelek" pikir Bu Kie yang lantas saja berkata, "
Ho Sianseng, kau pulanglah. Pil yang ditelan oleh Hujin bukannya racun. Pil itu hanya San pwee wan, obat untuk melicinkan tenggorokan dan menghentikan batuk. Beberapa hari berselang Poet Hui moay batuk2 dan aku membuat pil itu untuk mengobatinya. Sisanya masih ada beberapa butir dan aku merasa menyesal bahwa aku telah mengangetkanmu".
Si tua kaget dan gusar, "Apa benar bukan racun?" bentaknya.
"jiwa Ngo Hujin telah ditolong olehku," jawabnya "Mana tega aku mencelakakannya lagi?"
sementara itu suara teriakan Pan Siok Ham sudah semakin dekat.
Bahwa Ho Thay Ciong sudah membawa lari kedua anak itu adalah karena rasa cintanya terhadap Ngo kouw. Mendengar keterangan Bu Kie darahnya lantas saja meluap. "Plak!.......Plak".", ia menggaplok empat kali beruntun, sehingga kedua pipi si bocah merah bengkak dan mulutnya mengeluarkan darah.
Waktu si tua mengangkat tangan pula untuk mengirim gaplokan kelima, buru-buru Bu Kie menangkis dengan jurus Kang Liong Yoe Hwie, satu jurus dari Hang Liong Sip Pat Cang. Kalau sudah mahir dan ditambah dengan Lweekang tinggi jurus itu dahsyat bukan main. Tapi sibocah baru kenal kulit2nya saja, sedang tenaga dalamnyapun sangat cetek. Mana bisa melawan Ciang bunjin dari Kun Lun Pay"
Melihat gerakan yang luar biasa, Ho Thay Ciong mengerti bahwa ia tengah menghadapi ilmu yang sangat tinggi. Sambil mengeluarkan seruan "Ih" ia menggegosdan menghantam mata kanan Bu Kie, yang lantas saja biru bengkak.
Sesudah gagal dalam perlawanannya, Bu Kie mengerti bahwa kepandaiannya masih kalah terlalu jauh.
Maka itu ia lantas saja berdiri tegak dan membiarkan dirinya dihajar kalang kabutan. Dalam memberi hajaran, si tua tidak menggunakan Lweekang, yang jika digunakan, bocah itu tentu sudah tewas jiwanya.
Tapi walaupun begitu, setiap kali digapelok, mata Bu Kie berkunang2 san rasa sakit sampai ke tulang2.
Selagi enak menganiaya. Pan Siok Ham bersama dua orang muridnya sudah tiba disitu. Ia menonton, tapi melihat yang dipukul tidak melawan, kegembiraannya jadi berkurang. "Coba kau hajar anak perempuan itu," katanya.
Ho Thay Ciong memutar tubuh dan menggampar kuping Poet Hui yang lantas saja menangis keras.
"tua Bangka," teriak Bu Kie dengan gusar "Apa belum cukup kau menghajar aku seorang" Perlu apa kau menghina seorang anak masih begitu kecil?"
Tapi si tua tidak menggubris, tangannya melayang lagi. Bu Kie jadi kalap, sambil melompat bagaikan kerbau edan, ia menyeruduk perut Ho Thay Ciong.
Pan Siok Ham tertawa dingin. "Lihatlah, anak begitu kecil masih punya kecintaan dan pribudi."
Katanya. "Bukan seperti manusia yang semacam kau yang sedikitpun tak mengenal rasa cinta."
Diejek begitu, selebar muka situa jadi merah. Dalam matanya, ia jadi gusar dan kegusaran itu ditumplekan diatas kepala Bu Kie. Ia menjambret leher baju si bocah dan melemparkannya sambil membentak, "Binatang kecil! Lebih baik ikut ayah dan ibumu!" kali ini, karena melemparkannya dengan menggunakan Lweekang, badan bocah itu terlempar jatuh dan kepalanya menyambar ke arah satu batu gunung yang besar. Begitu terbentur, batok kepalanya pasti akan remuk!................
Pada detik yang sangat berbahaya, semacam tenaga tiba2 mendorong Bu Kie, sehingga arahnya berubah dan ia jatuh di samping batu. Sebelum semangatnya pulih, dengan matanyayang bengkak, ia melihat seorang sastrawan setengah tua yang mengenakan jubah panjang warna putih, berdiri dalam jarak kira2 lima kaki dari dirinya.
Dengan rasa kaget dan heran. Si tua dengan istrinya saling mengawasi. Lagi kapan" Dan darimana orang itu datang" Andaikata ia lebih dulu bersembunyi dibelakang batu, orang2 yang berkepandaian tinggi seperti mereka berdua sudah pasti akan mengetahuinya, selain itu tenaga yang digunakan Ho Thay Ciong untuk melemparkan Bu Kie, paling tidak ada lima ratus kati. Tapi sastrawan itu, dengan kibasan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
tangan baju sudah berhasil menolak tenaga tersebut dan melemparkan si bocah di samping batu. Itu semua membuktikan, bahwa ia memiliki kepandaian yang sukar diukur berapa tingginya.
Orang itu berusia kira2 empat puluh tahun, mukanya tampan hanya alisnya agak turun kebawah dan mulutnya terdapat beberapa garis yang dalam sehingga ia kelihatannya banyak lebih tua dan seperti seorang yang sudah mengalami banyak kedukaan. Tanpa mengeluarkan sepata kata, ia berdiri bengong, seolah2 tengah memikiri kejadian2 di masa lampau.
Sesudah batuk beberapa kali, Ho Thay Ciong bertanya. "Siapa tuan" Mengapa tuan mencampuri urusan Kun Lun Pay?".
Sastrawan itu menyoja dan menjawab. "Ah! Kalau begitu Cianpwee adalah Thie Khim Sianseng Ho Cianpwee. Sudah lama kudengar namanya yang besar. Dan akupun sedang berhadapan dengan Ho Hujin, bukan" Boanpwee bernama Yo Siauw."
Perkataan "Yo Siauw" disambut dengan seruan kaget oleh Ho Thay Ciong, Pan Siok Ham dan Bu Kie.
Seruan si bocah bercampur dengan nada girang, sedang seruan kedua suami istri bercampur dengan nada gusar. "Srt?"?"srt?".." kedua murid Kun Lun menghunus pedang yang lalu dibalik dan gagangnya diangsurkan kepada suhu mereka. Ho Thay Ciong melintangkan senjatanya di depan dada dan bersiap sedia dengan pukulan Soat-yong kiauw (Salju menutupi jempatan biru), sedang Pan Siok Ham menudingkan pedangnya ke tanah dalam gerakan Bok-yap siauw (Daun daun berkeresekan). Kedua pukulan itu adalah pukulan pukulan yang paling lihay dari Kun Lun Kiam Hoat. Kuda kudanya kelihatan sangat sederhana, tapi di dalamnya bersembunyi tujuh-delapan gerakan susulan yang luar biasa. Asal tangan mereka, kedua pedang itu lantas menyambar tujuh-delapan bagian tubuh lawan yang berbahaya.
Tapi Yo Siauw tenang2 saja. Ia mengawasi Bu Kie dengan perasaan heran karena dalam teriakan itu terdapat nada kegirangan.
Muka Bu Kie matanya biru, bengkak2 dan berlepotan darah, tapi sinarnya menunjuk rasa syukur dan bahagia. "Kau?"kau?"" katanya terputus2, "apakah kau Kong Beng Su Cie dari Beng kauw, Yo siauw, Yo Pehpeh?".
Yo Siauw manggut2kan kepalanya. "Bagaimana kau tahu she dan namaku, anak?" tanyanya.
Sambil menunjuk Poet Hui, Bu Kie berkata "Adik ini adalah putrimu!" Ia memnuntun tangan si gadis cilik dan berkata pula "Poet Hui moay moay, inilah ayahmu. Ah! Akhirnya kita berhasil mencarinya."
Poet Hui mengawasi Yo Siauw dengan matanya yang bundar cilik. "Apa kau ayahku?" tanyanya.
"mana ibu" Aku lagi mencari ibu." Ia berkata begitu, karena untuk membujuknya, disepanjang jalan bukie selalu mengatakan, bahwa mereka melakoni perjalanan jauh itu untuk mencari Kie Siauw Hu.
Jantung Yo Siauw memukul keras dan sambil mencekal pundak si bocah, ia berkata "Anak bicara lebih terang. Putri siapa dia" Siapa ibunya?" ia mencengkeram keras, sehingga Bu Kie menggeluarkan teriakan "aduh!"
"Dia putrimu," jawab si bocah. "ibunya iialah Liehiang Kie Siauw Hu dario Go Bie Pay."
Muka Yo Siauw yang memang sudah pucat menjadi pucat lagi. "Dia?".dia mendapat anak?" tanyanya dengan gemetar. "Dimana?""dimana dia sekarang?" Seraya berkata begitu ia memeluk dan mengangkat Poet Hui. Kedua pipi anak itu bengkak sebab pukulan Ho Thay Ciong, tapi pada paras mukanya masih bisa dilihat sesuatu yang sangat mirip dengan kecantikan Kie Siauw Hu. Tiba2 ia mengeluarkan selembar tali yang tergantung di leher Poet Hui dan ia lalu menariknya, ternyata pada tali itu dilekatkan selembar Tiat-pay dengan ukiran memedi yang sedang menyeringai dan mementang cakar. Sekarang ia tidak bersangsi lagi. Tiat-pay itu adalah "Tiat-pay-leng" dari Beng Kauw yang sudah diberikan kepada Kie Siauw Hu. Sambil memeluk putrinya erat2, ia bertanya berulang2 "Mana ibumu" Mana ibumu".."
Transcriber: Thor ============ "Ibu hilang. Aku sedang mencarinya. Apa kau bertemu dengannya?" jawab anak itu. Yo Siauw mengawasi Bu Kie dan lalu menanyakan dimana adanya Kie Siauw Hu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si bocah menghela nafas dan berkata "Yo Pehpeh. Jika aku beritahukan, kau jangan terlalu berduka.
Kie Kouw kouw telah dipukul mati oleh gurunya"..dan waktu meningggal dia"."
"Dusta! dusta!" Teriak Yo Siauw, sambil memijit pundak Bu Kie. "Kreek !" tulang pundak itu remuk dan "."Bruk!" Yo Siauw dan Bu Kie terguling ditanah dengan berbareng, dengan tangan Yo Siauw masih memeluk putrinya.
Yo Siauw pingsan karena mendengar terbinasanya Kie Siauw Hu, sedang Bu Kie roboh sebab tulang pundaknya remuk. Ho Thay Ciong dan istrinya saling melirik dan segera menghunus pedang, yang satu ditudingkan ke dahi antara dua alis, yang lain ditujukan ke tenggorokan Yo Siauw.
Sebagai salah seorang tokoh penting dalam Beng Kauw, Yo Siauw mempunyai permusuhan hebat dengan Kun Lun Pay. Karena kalah pie bu(adu silat), Yoe Liong Cu, seorang cianpwee partai tersebut, telah mati sebab kejengkelan. Pek Loe Cu, gurunya Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham, juga binasa dalam tangannya seorang anggota Beng Kauw. Siapa yang membinasakan tidak diketahui jelas. Tapi mungkin sekali Yo Siauw juga. Suami istri Ho tahu, bahwa orang itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi, sehingga bila kebetulan berpapasan di tengah jalan, belum tentu mereka berani menyerang. Tak dinyana, orang yang ditakuti itu tiba2 pingsan dan tentu saja mereka sungkan menyia2kan kesempatan yang sangat baik.
"Putuskan dulu lengannya" kata Pan Siok Ham.
"Baiklah," kata sang suami sambil mengangguk.
Sesaat itu Yo Siauw belum tersadar, tapi Bu Kie walaupun merasakan kesakitan hebat, tidak sampai pingsan. Melihat bahaya yang mengancam, sebagai seorang yang sangat mudah memaafkan, tanpa mngingat lagi rasa sakitnya, dengan kaki buru-buru ia menyentuh jalan darah Pek Hwee hiat, di ubun2 Yo Siauw.
Begitu tersentuh Pek Hwee Hiat-nya yang mempunyai hubungan dengan otak, Yo Siauw tersadar.
Tiba2 ia merasakan hawa dingin dan begitu membuka mata, ia melihat ujung pedang yang menempel pada alisnya dan hampir berbareng, ia merasakan sambaran senjata ke arah lengannya.
Dengan pedang menempel pada bagian kematiannya dan satu pedang lagi membabat, ia tak bisa berkelit atau berkutik lagi. Tapi, pada detik yang sangat berbahaya, ia masih mengerahkan Lweekang ke lengan kirinya. Waktu Ho Thay Ciong membabat lengan itu, ia merasa seperti membacok semacam benda yang a lot licin, sehingga mata pedangnya terpeleset. Tapi biarpun begitu Yo Siauw terluka juga dan tangan bajunya basah dengan darah.
Pada detik itulah, mendadak saja dengan terus menempel di tanah, tubuh Yo Siauw menyeluruk ke depan setombak lebih, seolah2 lehernya diikat dengan tambang dan ditarik dengan kecepatan luar biasa.
Dengan melorotnya tubuh itu, maka ujung pedang Pan Siok Ham yang menempel di antara kedua alis mengores alis, hidung, mulut dan dada Yo Siauw kira2 setengah dim dalamnya. Kalau ujung pedang masuk lebih dalam setengah dim lagi, ia tentu binasa dengan dada dan perut terbelek. Sehabis menyelusur, tanpa menekuk lutut atau membongkokan pinggang, tubuh Yo Siauw mendadak berdiri tegak, seperti juga diangkat berdirinya sesosok mayat yang sudah kaku. Dan begitu lekas berdiri tegak, kedua kakinya menjejak, "Krek!?" pedang suami istri Ho patah dengan berbareng.
Semua kejadian itu yang harus dilukiskan panjang lebar, terjadi dalam tempo sekejapan saja.
Dengan memiliki Kiam Hoat yang sangat tinggi, pedang Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham sebenarnya tak akan dipatahkan, secara begitu mudah. Mereka mendapat kekalahan memalukan karena lengah, sebagai akibat dari kekangetan dalam melihat cara si orang she Yo yang sangat luar biasa.
Apa yang lebih aneh lagi, dua potongan pedang itu dengan berbareng menyambar Ho Thay Ciong dan istrinya. Buru-buru mereka menangkis dengan pedang buntung dan meskipun berhasil, telapak tangan mereka sakit sekali dan separuh badan mereka panas. Dengan cepat mereka melompat, yang satu lalu berdiri di sebelah barat laut yang lain di tenggara, dengan Yang Kiam (pedang lelaki) menuding ke langit, Im Kiam (pedang perempuan) ditunjukkan ke bumi. Itulah kuda2 dari ilmu pedang Liang Gie Kiam Hoat yang sangat tersohor dari Kun Lun Pay. Walaupun pedang mereka sudah buntung, sikap mereka angker dan anggun sesuai dengan sikap ahli2 silat kelas utama dalam rimba persilatan.
Liang Gie Kiam Hoat yang sudah mendapat nama selama ratusan tahun adalah salah satu ilmu pedang terlihay di kolong langiot. Disamping itu, suami istri Ho telah berlatih bersama2, sehingga mereka sudah
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
paham betul dan dapat bekerja sama seerat2nya. Dengan demikian pengaruh Kiam Hoat jadi bertambah berlipat ganda. Sebagai seorang yang sudah sering bertempur dengan jago jago Kun Lun, Yo Siauw mengenal dengan baik kelihayan Liang Gie Kiamhoat. Meskipun tak takut, ia tahu bahwa untuk menjatuhkan suami istri itu, paling sedikit ia harus bertempur lima ratus jurus. Tapi sekarang ia tidak mempunyai kegembiraan untuk berkelahi, sebab musabab dari kebinasaan Kie Siauw Hu. Disamping itu, sesudah lengan dan badannya terluka, ia tidak boleh melakukan pertempuran lama. Kalau darah keluar terlalu banyak, ia bisa celaka. Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara dingin. "Makin lama orang2
Kun Lun Pay jadi makin tolol. Hari ini biarlah kita menunda perkelahian. Di lain hari aku akan mencari kamu berdua untuk membuat perhitungan." Sehabis berkata begitu dengan lengan mendukung Poet Hui dan satu tangan menuntun Bu Kie, tiba2 tubuhnya meleset ke belakang setombak lebih dan sesudah memutar badan, ia meninggalkan temapt itu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham mengawasi dengan rasa gusar dan kagum dan tentu saj, iapun tidak berani mengubar.
Sesudah melalui beberapa li, Yo Siauw tiba2 menghentikan tindakannya dan menanya Bu Kie
"Apakah yang sebenarnya telah terjadi pada diri Kie Siauw Hu?".
"Kie Kouw-Kouw sudah meninggal dunia," jawabnya "Terserah padamu apakah kau percaya atau tidak. Perlu apa kau mematahkan tulangku?".
Pada paras muka Yo Siauw terlihat perasaan menyesal "Cara bagaimana ia meninggal?"
Tanyanya pula. Sesudah minum arak racunnya Pan Siok Ham, biarpun sudah muntah dan makan obat pemunah, racun itu belum hilang semuanya. Ketika itu ia merasa perutnya sangat sakit. A lalu mengeluarka ular Kim Koan Hiat Coa dan membiarkan binatang itu menggigit telunjuk jari tangan kirinyasupaya sisa racun dihisap. Perlahan-lahan ia mengurutkan segala kejadian yang bersangkut paut dengan Kie Siauw Hu, bagaimana ia telah mengobati luka sang bibi, bagaimana bibi itu bertemu dengan Biat Coat suthay yang kemudian membinasakannya. Sehabis racun yang masih ketinggalan dalam tubuhnya.
Yo Siauw juga menanyakan apa yang dikatakan Kie Siauw Hu waktu ia mau melepaskan nafas yang penghabisan dan kemudian, dengan air mata bercucuran, ia berkata "Biat Coat suthay memaksa supaya ia mencelakakan aku. Kalau ia meluluskan, ia membuat jasa besar kepada Go Bie Pay dan akan diangkat menjadi Ciang Bunjin. Hay! Kau lebih suka mati daripada berjanji untuk menurut perintah itu.
Sebenarnya kalau kau tak usah mati dalam tangan Biat Coat dan kitapun bisa bertemu pula".
"Kie Kouw kouw adalah seorang mulia yang jujur" kata Bu Kie. "Ia sungkan mencelakakan kau, tapi iapun tak mau mendustai guru sendiri".
Yo Siauw tertawa getir. "Ya" katanya, "kau mengenal Siauw Hu.."
"pada waktu Kie Kouw kouw melepas nafas yang penghabisan, aku telah berjanji untuk menghantar Poet Hui Moay moay kepadamu". Kata Bu Kie.
Yo Siauw menggigil. "Poet Hui Moay Moay?" Ia menegaskan. Ia berpaling pada putrinya dan bertanya. "Kau She apa, nak" Siapa namamu?"
"Aku she Yo" jawabnyta. "Namaku Poet Hui".
Tiba2 Yo siauw mendongak dan keluarkan teriakan nyaring panjang, sehingga pohon2 bergoyang goyang dan daun2 jatuh rontok.
"Kau"." Katanya, "Poet Hui".Poet Hui".bagus! Siauw Hu, meskipun aku menodai kehormatanmu, kau tidak menyesal?"..". (Poet Hui berarti tidak menyesal).
Sesudah bertemu Bu Kie mendapat kenyataan, bahwa meskipun usianya tidak muda lagi, Yo Siauw bukan saja berparas tampan, tapi juga mempunyai cara2 untuk menarik hati. Sehingga ia merasa, jika dibandingkan dengan In Lie Heng yang masih kekanakan2, memang Yo Siauw masih banyak lebih menarik bagi seorang wanita daripada pamannya itu. Maka tidak dapat melupakan Yo Siauw meskipun kehormatannya dinodai tidak boleh disalahkan.
Makin lama tulang pundak Bu Kie yang patah makin sakit. Disekitar itu tidak ada rumput obat yang bisa menyambung tulang dan menredakan rasa sakit. Ia hanya dapat mencari daun yang bisa menghilangkan bengkak, sesudah memetiknya dan mematahkan dua ranting pohon, ia lalu membereskan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
tulang pundaknya, menjepit tulang itu dengan dua ranting pohon, menaruh daun obat dan lalu mengikatnya dengan tali yang dibuat daripada kulit pohon. Itu semua dikerjakannya secara ahli dan cepat sekali, sehingga Yo Siauwmerasa sangat kagum.
Sesudah beres membalut tulang, Bu Kie Berkata, "Yo Peh-peh, aku sudah memenuhi janji dan sekarang Poet Hui Moay-moay sudah berada dalam tanganmu. Disini saja kita berpisah."
"Tidak!", kata Yo Siauw, "Dari tempat yang jauhnya berlaksa li kau datang kemari untuk mengantarkan anakku, tak dapat aku membiarkan kau pergi, tanpa memberikan sesuatu padamu. Apa yang dikehendaki olehmu" Katakan saja. Dalam dunia ini, tidak banyak yang tidak bisa disapatkan olehku."
Bu Kie tertawa terbahak2. "Yo Peh-peh" katanya "Kau memandang Kie Kouw-kouw terlalu rendah.
Sungguh percuma Kie Kouw-kouw mengorbankan jiwa untukmu"
Paras muka Yo Siauw lantas saja berubah, "Apa?" ia menegas.
"Mereka Kie Kouw-kouw tidak memandang rendah kepadaku, baru ia meminta pertolonganku untuk mengantarkan putrinya kepadamu" jawabnya. "Jika aku memenuhi permintaan itu dengan niat mendapatkan sesuatu, apakah aku berharga untuk menerima pesanan Kie Kouw0kouw?" Waktu berkata begitu ia ingat pengalaman pengalamannya yang hebat2. beberapa kali ia hampir mengorbankan jiwa guna melindungi Poet Hui. Tapi karena ia bukan orang yang menonjolkan jasa dan mengagulkan diri, maka tanpa berkata suatu apa lagi, ia menyoja, memutar tubuh lalu berjalan pergi.
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tahan!" kata Yo Siauw "Kau sudah membuang budi yang sangat besar kepadaku, Yo Siauw adalah manusia yang selalu membalas budi dan sakit hati. Ikutlah aku. Dalam tempo setahun, aku akan turunkan kepadamu beberapa ilmu yang jarang tandingannya didunia ini".
Sesudah menyaksikan kepandaian Yo Siauw, Bu Kie mengerti, bahwa jika ia menurut, ia akan memperoleh banyak keuntungan. Tapi ia tidak bisa melupakan pesanan Thio Sam Hong yang melarang ia bergaul dengan orang2 dari agama sesat. Apapula ia hanya bisa hidup setengah tahun lagi. Sehingga ilmu silat yang tinggi tidak banyak artinya. Memikir begitu ia lantas berkata, "Terima kasih atas kecintaan Yo Peh-peh, tapi aku adalah murid Bu Tong dan aku tidak berani menerima pelajaran dari orang lain".
"Oh!" Yo Siauw mengeluarkan seruan kaget, "Kalau begitu, kau murid Bu Tong". Dan In Lie Heng In Liok Hiap".."
"Ia pamanku," kata Bu Kie." Semenjak ayah meninggal dunia. In Lioksiok selalu memperlakukan aku seperti keponakan sendiri. Bahwa aku telah melakukan permintaan Kie Kouw untuk mengantarkan Poet Hui Moay-moay kepadamu, di dalam hati?"..aku merasa?".merasa malu terhadap In Lioksiok".
Ketika itu sinar mata Yo Siauw kebentrok dengan sinar mata Bu Kie dan ia kelihatannya merasa jengah. Sambil mengibas tangan, ia kemudian berkata, "Kalu begitu, sampai bertemu lagi", badannya berkelebat dan melesat beberapa tombak jauhnya.
"Bu Kie koko! Bu Kie koko!" teriak Poet Hui.
Tapi ilmu ringan badan Yo Siauw tak kepalang cepatnya. Suara "Bu Kie koko" makin jauh kedengarannya dan kemudian menghilang dari pendengaran.
Bu Kie berdiri terpaku. "Sesudah melakukan perjalanan berlaksa li bersama sama dan sekarang secara mendadak ia harus berpisahan dengan adik kecil itu, di dalam hatinya tentu muncul perasaan duka.
Sementara itu, luka dipundaknya jadi makin sakit. Ia segera menuju ke sebuah lereng gunung yang sepi dengan niatan mencari daun obat. Tapi pohon2 dan rumput2 yang tumbuh di Kun Lun San berbeda dengan yang tumbuh di wilayah Tionggoan. Sehingga daun2 obat yang tertulis dalam buku Ouw Cong Gie tidak terdapat disekitar tempat itu. Sesudah berjalan dua puluh li lebih, rasa sakit makin menghebat dan ia lalu duduk diatas satu batu besar untuk mengaso. Tiba2 terdengar menyalaknya anjing, makin lama makin dekat, seperti juga ada sesuatu yang sedang diburu.
Beberapa saat kemudian, dri sebelah kejauhan kelihatan mendatangi seekor kera kecil yang pantatnya tertancap sebatang anak panah pendek. Waktu berada kira2 sepuluh tombak dari Bu Kie, binatang itu tiba2 bergulingan dan tidak bisa bangun lagi. Bu Kie mendekati dan melihat sinar mata kera yang penuh rasa sakit. Rasa kasihan lantas saja timbul dari hatinya. Ia ingat nasibnya sendiri waktu diubar2 oleh
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
orang Kun Lun Pay dan ia ingat pula kera piaraannya di pulau Peng Hwee To. Ia segera mengangkat binatang itu, mencabut anak panah dan menaruh obat luka di lukanya. Sementara itu suara menyalaknya anjing sudah semakin dekat. Buru buru ia menyingkap bajunya dan menyembunyikan kera itu. Sesat kemudian belasan ekor anjing sudah tiba disitu dan karena mengendus bau kera, mereka lantas saja mengurung Bu Kie sambil menyalak hebat dan memperlihatkan sikap menakuti. Melihat galaknya kawanan anjing itu, Bu Kie agak keder. Ia mengert, bahwa begitu lekas ia melemparkan si kera, ia akan terbebas dari ancaman.
Tapi berkat didikan mendingan ayahnya, sedari kecil ia sudah mempunyai jiwa ksatria. Sehingga biarpun terhadap seekor binatang, ia sungkan memperlihatkan jiwa yang kecil. Sesudah menarik nafas dalam2, ia melompat dan terus kabur, dengan diubar oleh kawanan anjing itu.
Kawanan binatang itu anjing2 pemburu. Lari dengan kecepatan luar biasa dan baru saja kabur belasan tombak, ia sudah di candak. Tiba2 ia merasa betisnya sakit digigit keras oleh seekor anjing. Ia memutar dan menghantam kepala binatang itu yang lalu lantas saja robaoh tanpa berkutik lagi. Tapi yang lainnya tidak menjadi keder dan dengan serentak mereka menubruk. Ia melawan dengan nekat, tapi karena tulang pundaknya patah dan lengan kirinya tidak daoat digerakan, tangan kirinya segera kena digigit. Hampir berbaring, kawanan anjing itu menubruk dan menggigit kaki, tangan, kepala, punggung,".sekujur badannya. Dalam keadaan setengah pingsan, sayup2 ia mendengar suara bentakan yang nyaring dari seorang wanita dan sekejap kemudian matanya gelap.
Entah berapa lama ia berada dalam mimpi. Ia mimipi dikerubuti anjing2 galak, ia membuka mulut untuk berteriak, tapi suaranya tidak bisa keluar"..dalam keadaan lupa ingat, ia merasa anjing2 itu mundur teratur"..
Tiba2 ia mendengar suara manusia. "Panasnya mulai teduh. Mungkin ia ketolongan".
Perlahan-lahan ia membuka kedua matanya dan melihat, bahwa ia sedang rebah di atas ranjang dalam sebuah kamar yang diterangi lampu kecil dan didepan ranjang berdiri seoranglelaki setengah tua.
Dengan rasa heran ia berkata "Toa"siok".mengapa".aku"."ia tak dapat meneruskan perkataannya karena sekujur badannya sakit bukan main dan badannya panas membara. Sekarang ia ingat, bahwa ia telah diserang kawanan anjing.
"Anak, umurmu panjang" kata orang itu, "Apa kau lapar?"
"Dimana"..aku"."katanya. sekali lagi ia tak dapat meneruskan perkataannya, karena kedua matanya keburu gelap.
Waktu ia sadar pula, orang itu sudah pergi, "Sedang aku tak akan hidup lebih lama lagi, mengapa aku mesti mengalami begitu banyak penderitaan?" katanya dalam hati. Ia mendapat kenyataan, bahwa leher, kepala, bahu, tangan, paha, betis, dan dadanya semua dibalut dengan kain dan bau daun obatmenusuk hidung.
Dari bau obat ia tahu, bahwa orang yang mengobatinya tidak begitu paham ilmu pengobatan. Ia mengendus bau Heng Jin, Ma-cia-cu, Hong ho, Lum Chee dan kain2 obat yang biasa digunakan untuk mengobati luka bekas gigitan anjing gila. Tapi ia bukan digigit anjing gila. Yang perlu disembuhkan adalah daging dan otot2nya yang rusak. Dengan diberikannya obat yang tidak cocok, lukanya jadi makin sakit. Tapi ia tak berdaya. Ia tak bisa bangun waktu fajar menyingsing, lelaki setengah tua itu datang menengok lagi.
"Toa siok, terima kasih banyak untuk segala pertolonganmu," kata Bu Kie.
"Terima kasih apa?" kata orang itu "Bukan aku yang menolong kau".
"Dimana aku berada" Siapa yang sudah menolong aku?" tanya pula Bu Kie.
"Kau berada di Bwee-hoa San-Chung (gedung bunga Bwee)," jawabnya "Yang menolong kau adalah siocia (nona) kami. Apa kau lapar" Sebaiknya kau makan bubur panas." Sambil berkata begitu, ia bertindak keluar dan balik dengan membawa semangkok bubur daging. Baru saja Bu Kie makan beberapa sendok, ia merasa nek dan tidak bisa makan lebih banyak.
Sesudah rebah delapan hari, barulah Bu Kie bisa bangun perlahan-lahan. ia tak bertenaga dan kalau berdiri, kedua kakinya gemetaran. Ia tahu kelemahan itu adalah akibat terlalu banyak mengeluarkan darah
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dan kekuatannya tidak bisa pulih dalam tempo cepat. Lelaki setengah tua setiap hari merawatnya dan membawa bubur, sehingga walaupun sikapnya agak kurang enak, Bu Kie merasa sangat berterima kasih.
Orang tua itu tidak suka banyak omong dan biarpun Bu Kie ingin sekali mengajukan banyak pertanyaan ia "tidak berani" membuka mulut.
Hari itu, lelaki setengah tua itu kembali membawa obat2an yang sama, campuran Hong hong, Lam-chee dan lain2. tanpa merasa Bu Kie berkata "Toasiaok, obat itu tidak begitu cocok untuk mengobati lukaku ini. Bolehkah memohon pertolongan supaya toasioak suka menukarnya?"
Dia kelihatan mendongkol dan mengawasi Bu Kie dari kepala sampai ke kaki "Surat obat Looya mana bisa salah?" katanya. "Kau kata tak cocok. Tapi dengan obat itu, kau teloah dihidupkan kembali. Bocah, jangan kau ngaco belo. Looya seorang mulia, sehingga meskipun ia dengar perkataanmu, ia tentu tak menjadi gusar. Tapi kau sendiri harus mengenal kira2 jangan asal menggoyangkan lidah" sehabis berkata ia segera menempelkan obat itu si luka Bu Kie dan lalu membalutnya.
Sesudah selesai ia berkata. "saudara kecil, kulihat kau sudah mulai sembuh. Adalah pantas jika sekarang kau menghaturkan terima kasih kepada Looya, Tai tai dan Siocia yang sudah menolong jiwamu"
"Tentu saja" kata Bu Kie "Toasiok, kalau dapat, sekarang saja aku mohon kau mengantarkan aku pada mereka".
Dengan ditemani orang itu sebagai penunjuk jalan, Bu Kie melalui lorong yang sangat panjang dan sudah melewati dua ruangan. Mereka masuk ke sebuah ruangan yang sangat indah. Waktu sudah musim dingin dan dan hawa di seluruh daerah gunung Kun Lun dingin bukan main, tapi ruangan itu hangat bagaikan di musim semi dan anehnya Bu Kie sama sekali tidak melihat perapian. Dengan rasa kagum ia mengawasi sebuah vas indah di atas meja dengan beberapa batang bunga bwee merah, didepan dialaskan dengan seprei sulam dan kursi2 dengan bantal sulam yang terbuat dari sutra. Seumur hidupnya, ia belum melihat ruangan yang seindah itu. Tiba2 ia ingat pakaiannya yang compang camping, sehingga ia merasa mukanya panas.
Disitu tidak terdapat manusia. Dengan sikap hormat dan sambil membungkuk pengantarnya berkata
"Bocah yang digigit anjing sudah sembuh dan ia datang untuk menghaturkan terima kasih kepada Looya dan Tai tai".
Beberapa saat kemudian, dari belakang sekosol muncul seorang gadis kecil yang baru berumur kira2
lima belas tahun. Sesudah melirik Bu Kie, ia berkata "Kiauw Hok, terlalu kau! Mengapa kau bawa ia kemari" Kutu busuk dipakaiannya bisa berlompatan disini"
"Ya".ya" kata Kiauw Hok
mwndengar perkataan itu Bu Kie memang sudah merasa jengah, jadi lebih malu lagi, sehingga selebar mukanya lantas saja berubah merah. Memang benar, sebab tak punya tukaran, pakaian yang comang camping sudah banyak tumanya. Diam2 ia melirik da melihat bahwa gadis itu berparas cantik dengan muka potongan telor dan mengenakan pakaian semacam sutra yang berkilauan, sedang pergelangannya sangat halus "Waktu diserang anjing, kudengar suara bentakan seorang wanita" katanya dalam hati.
"Kiauw Toasioak juga mengatakan bahwa orang yang menolong aku adalah siocianya. Kalau begitu dialah siocia yang dimaksudkan. Aku harus menghaturka terima kasih dengan berlutut". Memikir begitu ia lantas saja menekuk kedua lututnya seraya berkata. "Terima kasih atas pertolongan siocia. Selama hidup Thio Bu Kie takkan melupan budi yang sangat besar"
gadis itu kelihatan kaget dan sejenak kemudian, ia tertawa cekikikan. "Aduh! Kiauw Hok mengapa kau mempermainkan bocah tolol itu?" katanya.
Kiauw Hok turut tertawa geli. "Siauw Hong Ciecie" katanya "apa salahnya jika bocah tolol itu berlutut di hadapanmu" Dia belum pernah melihat luasnya dunia dan meihat kau, dia menduga kau adalah siocia".
Bu Kie bersikap buru-buru ia bangun berdiri. Celaka! Seorang budak dianggapnya seorang majikan!
Sungguh hebat rasa malunya, mukanya sebentar merah, sebentar pucat.
Sambil menahan tawanya Siauw Hong mengawasi Bu Kie, dari kepala sampai di kaki. Noda darah di muka dan di badan si bocah masih belum hilang. Disana sini masih terdapat perban pada luka yang belum sembuh. Muka Bu Kie sebentar pucat sebentar merah, kalau bisa siang2 ia sudah selulup di tanah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Looya dan Tai tai ada urusan, kau tak usah menemui beliau" kata Siauw Hong "Mari menemui Siocia saja." Sehabis berkata begitu, ia memutar badan dan berjalan dulu cepat cepat, seperti juga ia takut terkena tuma dari baju si bocah.
Bu Kie mengikuti di belakang Siauw Hong dan Kiauw Hok, bujang2 perempuan dan lelaki yang ditemui mereka semua berpakaian mewah, sedang ruangan2 yang dilewati semua indah dengan perabotan lengkap. Semenjak dilahirkan sampai berusia sepuluh tahun Bu Kie berdiam di pulau Peng Hwee To dan sesudah itu beberapa tahun ia berdiam di Bu Tong San dan beberapa tahun lagi di Ouw Tiap Kok. Selama belasan tahun, ia selalu hidup sederhana dan ia tak pernah mimpi, bahwa di dalam dunia terdapat kemewahan yang begitu rupa.
Sesudah berjalan beberapa lama, mereka tiba di depan sebuah toa tia(ruangan besar)yang diatasnya tergantung selembar pian dengan tulisan "Han Kong Kie" (rumah anjing).
Siauw Hong masuk dan beberapa saat kemudian, ia keluar dan menanggapi, Kiauw Hok segera mengajak Bu Kie masuk ke dalam.
Begitu masuk si bocah terkesiap, karena dalam ruangan itu terdapat kurang lebih tiga puluh ekor anjing yang bertubuh besar dan galak kelihatannya. Semua mendekam di lantai dalam tiga baris. Di atas sebuah kursi yang dialaskan kulit harimau berduduk seorang wanita muda yang mengenakan baju bulu2
rase putih dan memegang pecut.
"Tenggorokan!" tiba2 nona itu membentak.
Hampir berbarengan, seekor anjing melompat dan menyambar ke arah leher seorang yang berdiri di pinggir tembok.
"Celaka!...." Bu Kie mengeluarkan teriakan tertahan.
Dilain saat, ia melihat anjing itu sudah menggigit sepotong daging yang lalu dimakannya sambil mendekam. Sekarang ia baru tahu, bahwa "manusia" yang barusan disambar hanialah orang-orangan yang terbuat dari kulit dan pada bagian2 badannya yang berbahaya dicantelkan potongan2 daging.
"kepungan!" bentak pula si nona.
Anjing kedua melompat dan menggigit kepungan orang-orangan itu. Serangan kedua anjing itu cepat dan tepat. Sekarang Bu Kie ingat, bahwa yang menyerangnya pada hari itu adalah anjing2 tersebut dan lapat2 ia juga teringat bahwa suara bentakan wanita yang didengarnya sebelum ia pingsam adalah wanita yang sekarang ada di hadapannya.
Kedatngan Bu Kie sebenarnya untuk menghaturkan terima kasih pada penolongnya. Tapi sekarang ia tahu, bahwa anjing2 yang sudah menggigitnya adalah binatang piaraan nona itu. Tiba2 saja darahnya meluap, "Sudilah!" pikirnya "Dengan dilindungi oleh binatang2 itu, aku tidak bisa berbuat apa2
terhadapnya. Kalau aku tahu bahwa semua penderitaanku adalah karena gara2nya, aku lebih suka mampus daripada menerima pertolongannya". Memikir begitu dengan gregetan ia membuka semua perban yang masih menempel pada dirinya dan melemparkannya ke atas lantai. Sesudah itu ia memutar badan dan berjalan pergi.
Kiauw Hok kaget "Hei!" teriaknya "Mengapa kau pergi" Inilah siocia kami. Lekas berlutut!".
"Berlutut?" mengulangi Bu Kie dengan suara gusar. "Bukankah anjing2 yang menggigit aku miliknya sendiri?".
Melihat kegusaran si bocah, nona itu tersenyum. "saudara kecil" ia menanggapi. "Mari sini".
Bu Kie memutar badan dan segera berhadapan dengan nona rumah. Entah mengapa, mendadak jantungnya memukul keras, nona itu yang berusia tujuh belas tahun atatu delapan belas tahun, ternyata cantik luar biasa. Sudah sering ia melihat wanita cantik, tapi seumur hidup belum pernah melihat yang secantik si nona. Mukanya yang mula2 pucat berubah menjadi merah.
"Kemari!" panggil nona itu.
Bu Kie mengangkat kepala dan matanya kebentrok dengan sepasang mata yang bersorot halus, tapi berpengaruh, sehingga tanpa merasa, ia bertindak maju. Nona itu bangkit dan mencekal kedua tangan Bu
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kie yang badannya jadi bergemetaran. Tangan itu halus dan empuk. Si bocah malu dan bingung, ia ingin menarik tangannya, tapi tak rela ia berbuat begitu.
"Saudara kecil apa kau gusar terhadapku?" tanya si nona.
Sesudah menderita begitu hebat dari kawanan anjing itu, bagaimana ia tak gusar" Tapi sekarang dengan tangan dicekal dan dengan berdiri dalam jarak yang begitu dekat dengan si cantik, sehingga ia dapat menggendus bau yang sangat harum, mana bisa ia mengaku "gusar". Ia menggelengkan kepala dan menjawab "Tidak".
(Bersambung ke jilid 29) Kisah Pembunuh Naga Jilid 29 Karya Chin Yung Transcriber: hanko ===========================
"Aku she Cu, namaku Kioe Tin." Si nona memperkenalkan dirinya. "Dan kau?" "Namaku Thio Bu Kie," jawabnya.
"Hm" Bagus sekali namamu. Saudara kecil kurasa kau putra dari keluarga sastrawan. Duduklah di sini." Seraya berkata begitu, ia menunjuk sebuah kursi di sampingnya.
Semenjak dilahirkan, inilah untuk pertama kali Bu Kie merasakan pengarah seorang wanita. Kalau waktu itu Kioe Tin memerintahkan ia melompat ke dalam api, ia pasti akan melompat. Dengan hati berdebar-debar ia lalu duduk di kursi yang ditunjuk.
Melihat perlakuan nona mereka yang begitu ramah tamah terhadap bocah kotor dan bau itu, bukan main rasa herannya Siauw Hong dan Kiauw Hok.
Tiba-tiba Kioe Tin membentak. "Jantung!"
Seekor anjing lantas saja melompat dan menerjang. Tapi daging yang tergantung di bagian jantung dari orang yang sudah tidak ada lagi"sudah dimakan oleh anjing lain dan anjing itu lantas menggigit potongan daging yang digantung di bawah ketiak.
"Binatang!" bentak si nona. "Kau berani melawan!"
"Terrrr!....Terrr.," ia menyabet dua kali. Pada pecut itu dipasang duri-duri halus, sehingga di badan anjing yang dihajar lantas saja terlihat dua garis yang bersemu darah. Tapi anjing itu, yang rupanya sudah lapar, masih tidak melepaskan daging yang digigitnya. Bukan saja begitu, dia bahkan menggeram.
Nona Cu mengkin jadi gusar. "E..eh! Benar-Benar kau melawan!" bentaknya dan pecutnya lantas saja menyambar-nyambar bagaikan kilat. Ia memukul dengan gerakan lincah dan meskipun anjing itu bergulingan di lantai, setiap sabetannya selalu mengenai sasaran, sehingga akhirnya, binatang itu tidak berani bergerak lagi dan mendekam sambil mengeluarkan suara minta diampuni. Tapi Kioe Tin masih memukul dan baru berhenti setelah binatang itu tidak bias berkutik lagi dan napasnya tinggal sekali-sekali. "Kiauw Hok, bawa dia keluar dan obati lukanya."
"Baiklah," jawabnya dan ia lalu memondong anjing itu.
Melihat contoh yang hebat itu, anjing-anjing lain mendekam tak berani berkutik.
Sesudah itu, dengan beruntun-runtun Kioe Tin mengeluarkan perintah. "Betis kiri! Bahu kanan!
Mata!" Tiga ekor anjing dengan beruntun melompat dan menggigit menurut perintah.
"Saudara kecil, lihatlah!" kata si nona sambil tersenyum. "Kalau tidak dijambak, mana mereka mau dengar kata?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Walaupun telah menderita karena serangan kawanan anjing, tapi melihat hajaran hebat yang diberikan oleh nona Cu, Bu Kie merasa kasihan dan tidak dapat membenarkan tindakan nona yang dianggap kejam olehnya.
Melihat Bu Kie membungkam, si nona tertawa dan berkata pula. "Tadi kau mengatakan tak gusar.
Tapi mengapa kau tak mau bicara" Bagaimana kau bias berada di wilayah See Hek, di wilayah barat ini.
Dimana ayah dan ibumu?"
Sebelum menjawab, si bocah memikirkan sejenak. Ia merasa, bahwa dalam keadaan yang seperti ini, jika menyebutkan nama Tay Suhu atau kedua orang tuanya merendahkan derajat orang tua itu. Maka ia lantas saja berkata ayah dan ibunya sudah meninggal dunia karena di Tionggoan sukar mencari makan, maka aku terlunta-lunta sampai di sini.
"Mengapa kau menyembunyikan kera yang telah kupanah?" Tanya pula nona Cu. "Apa kau kelaparan" Mau makan daging kera, bukan" Hmm" Hampir-hampir kau dirobek oleh anjing-anjingku."
Muka si bocah lantas saja berubah merah. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia berkata. "Bukan, aku bukan mau makan daging kera."
Kioe Tin menepuk pundak Bu Kie dan berkata seraya tersenyum. "Lebih baik kau jangan berdusta." Ia berdiam sejenak dan berkata pula. "Ilmu silat apa yang pernah kau pelajari?" Dengan sekali memukul kau telah meremukkan batok kepalan Co Ciangkun. Tenagamu boleh juga." (Ciangkun - Jenderal)
"Co Ciangkun?" Bu Kie menegas dengan heran.
Si nona tak menjawab, ia hanya tersenyum. Tiba-Tiba ia membentak, "Cian Ciangkun!"
Seekor anjing lantas saja keluar dari barisannya lalu mendekam di tengah ruanga.
"Ki-Ki Ciangkun!" si nona membentak pula dan hampir berbareng, seekor anjing lain keluar dari barisan. Ternyata setiap anjing diberi nama "Jenderal" dan Cu Kioe Tin sendiri berlaku sebagai panglima besar.
"Karena bingung, mungkin sekali aku sudah mengeluarkan tenaga habis-habisan," jawab Bu Kie.
"diwaktu kecil, dua tiga tahun aku belajar sejurus dua jurus Dari mendiang ayahku. Tak dapat dikatakan, bahwa aku tahu ilmu silat."
Kioe Tin mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat kemudian, ia menengok kea rah Siauw Hong dan berkata "Antar dia ke kamar mandi dan berikan pakaian baru."
"Baik," jawabnya sambil tertawa kecil.
Bu Kie merasa berat untuk meninggalkan ruangan itu. Waktu tiba di ambang pintu, tanpa sadar ia merasa menengok ke belakang dan melirik Kioe Tin. Apa mau, pada detik itu, si nona pun sedang mengawasi dia, sehingga tanpa tercegah lagi, dua pasang mata segera beradu. Si nona tertawa dan rasa jengahnya Bu Kie tak dapat dilukiskan lagi. Semangatnya terbang, kakinya tersandung balok yang melintang di tengah pintu dan roboh terguling. Karena lukanya belum sembuh, bukan main sakitnya.
Tapi, tanpa mengeluarkan suara, buru-buru ia bangun dan berdiri, Siauw Hong tertawa geli. "Hm, siapapun yang melihat Siocia, dia pasti roboh," katanya. Tapi, kau"kecil-kecil matamu sudah seperti mata culik.
Bu Kie jadi makin malu. Ia berjalan secepat mungkin. Sesudah berjalan beberapa lama, sekonyong-konyong Siauw Hong berkata.
"Eh, mau kemana kau" Apakah kau mau pergi ke kamar Tai Tai?"
Si bocah menghentikan tindakannya. Di sebelah depan ia melihat sebuah kamar dengan tirai jendela sulam. Sekarang ia mengerti, bahwa karena bingung dan terburu-buru, ia sudah mengambil jalanan yang salah. Siauw Hong sangat jahil, sesudah si bocah berada di depan kamar buku nyonya majikan, barulah ia mengejek.
Bu Kie menunduk tanpa mengeluarka sepatah kata. Ia malu dan mendongkol.
"Aku akan mengantarkan kau jika kau berkata "Siauw Hong cici, tolonglah aku," kata si jahil.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mau tak mau Bu Kie berkata, "Siauw Hong cici".."
"Ada apa?" Tanya Siauw Hong.
"Tolonglah aku, antarlah aku keluar dari jalanan yang salah ini." Jawabnya.
"Nah! Benar begitu!" kata si jahil sambil tertawa.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan kamar si bocah.
"Siocia memberi perintah, supaya bocah ini mandi, kau berikan pakaian baru kepadanya," kata Siauw Hong kepada Kiauw Hok.
"Baik, Baik!" jawabnya dengan sikap hormat.
Melihat sikap Kiauw Hok, Bu Kie menduga bahwa Siauw Hong bukan dayang biasa, sedikitnya ia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pelayan atau dayang biasa. Disaat lain, lima enam pelayan lelaki menghampiri dan merebut mengajak omong dengan menggunakan penggilan "Siauw Hong cici."
Tapi dia tidak meladeni. Tiba-tiba Siauw Hong merangkap kedua tangannya dan menjura kepada Bu Kie.
Si bocah kaget. "E-eh, mengapa"...." tanyanya.
"Tadi kau berlutut di hadapanku dan sekarang membalas hormat," jawabnya sambil memutar badan dan terus berjalan pergi.
Kepada kawan-kawannya Kiauw Hok segera menceritakan bagaimana Bu Kie berlutut di hadapan Siauw Hong yang dianggapnya Cu Kioe Tin. Cerita itu ditambah bumbu sedap, sehingga semua orang tertawa terpingkal-pingkal. Tapi Bu Kie tak jadi gusar. Di dalam hatinya, ia telah mengingat wajah nona Cu, gerak-geriknya, dan perkataan-perkataannya.
Sesudah mandi, Kiauw Hok menyerahkan satu stel pakaian kain hijau padanya, yaitu pakaian pelayan.
Sambil bengong, ia mengawasi pakaian itu. "Sungguh celaka!" katanya di dalam hati. "Aku belum jadi pelayan, bagaimana aku bisa pakai pakaian begitu?" jika menuruti adat ia tentu sudah menolak. Tapi di lain saat ia mendapat lain pikiran "kalau Siocia memanggil aku dan melihat aku masih mengenakan pakaian rombeng. Ia tentu akan jadi gusar." Pikirnya, "Apa salahnya andai kata aku benar jadi pelayannya?" Memikir begitu, jadi tenang dan tanpa berkata suatu apa, ia segera memakai pakaian itu.
Tapi panggilan si nona yang ditunggu-tunggu tak kunjung datan. Jangankan Kioe Tin, Siauw Hong pun tak kelihatan mata hidungnya. Bu Kie hanya dapat membayang-bayangkan wajah nona Cu. Ia merasa, bahwa di dalam dunia yang lebar ini, tak ada wanita yang secantik dia. Ia ingin sekali pergi ke bagian gedung itu untuk melihat si nona atau mendengar suaranya yang merdu dari kejauhan. Tapi ia tidak berani, karena sudah beberapa kali Kiauw Hok memesan, supaya, kalau tidak dipanggil, tidak boleh masuk ke ruang belakang, karena bisa diserang kawanan anjing.
Dengan cepat satu bulan sudah berlalu. Luka-luka Bu Kie sudah sembuh seluruhnya. Hanya pada muka dan tangannya terdapat bekas-bekas gigitan yang tak bisa hilang. Tapi ia tak jadi jengkel.
Sebaliknya daripada jengkel setiap kali melihatnya, ia ingat bahwa luka itu adalah akibat gigitan anjing si nona. Hatinya merasa senang.
Sementara itu, racun dingin yang masih mengeram dalam badannya mengamuk dalam setiap waktu tertentu, yaitu sekali setiap tujuh hari, yang satu lebih hebat dari yang lain. Hari itu, racun dingin menyerang pula. Ia rebah di ranjang dengan selimut, badannya menggigil, giginya gemetaran. Waktu Kiauw Hok masuk dan melihat si bocah berada dalam keadaan begitu, ia tidak jadi heran. "Sebentar, kalau sudah mendingan, kau bangun dan makan semangkok bubur panas." Katanya. "Nih, ini pakaian baru hadiah dari Tai Tai untuk melewati tahun baru. Sesudah berkata begitu, ia menaruh satu bungkusan di atas meja.
Kira-kira tengah malam barulah serangan racun mulai mereda. Ia bangun dan membuka bungkusan itu yang berisi baju kulit kambing baru. Ia girang, tapi iapun tahu, bahwa baju itu adalah baju untuk pelayan, sehingga, dengan demikian ia sudah dianggap sebagai pelayan dari keluarga Cu.
Pada hakikatnya Bu Kie beradat kasar dan kenyataan itu tidak dianggap sebagai hinaan olehnya. " Tak dinyana aku berdiam di sini sampai sebulan lebih dan sekarang tahun baru kembali berada di depan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mata," katanya di dalam hati. "Ouw Shinshe mengatakan bahwa aku tak bisa hidup lebih daripada satu tahun lagi. Inilah tahun baru penghabisan yang dapat dilewati olehku.
Seperti umumnya terjadi pada setiap keluarga hartawan. Dalam menghadapi tahun baru, Keluarga Cu pun repot bukan main. Pelayan-pelayan membersihkan dan mencat rumah dan perabotan. Beberapa hari sebelum tiba tanggal satu, mereka sudah memotong babi, kembing, dan ayam untuk merayakan tahun yang baru. Bu Kie membantu apa yang bisa dibantunya. Ia mengharap harian tahun baru lekas-lekas dating. Pada hari itu, semua orang akan menghaturkan selamat tahun baru kepada Laoya dan Tai Tai dan ia merasa pasti, ia akan bisa bertemu lagi dengan nona Cu. Ia mengambil keputusan, bahwa melihat lagi wajah Cu Kioe Tin, ia akan berlalu dengan diam-diam dan menyembunyikan diri di gunung yang sepi supaya ia bisa mati tanpa diketahui manusia.
Dengan sambutan petasan, tibalah harian Go Antan (tanggal 1 bulan 1 menurut penanggalan imlek).
Dengan dipimpin CongKoan (pengurus Rumah Tangga) semua pelayan lelaki, berikut Bu Kie, pergi ke Toa Thia untuk memberi selamat tahun bau kepada tuan dan nyonya rumah. Di tengah-tengah ruangan itu duduk sepasang suami isteri setengah tua dan kira-kira 80 pelayan serentak berlutut di hadapan mereka.
Suami isteri itu tertawa girang. "Bangunlah, kamu sudah banyak capai." kata mereka yang lalu memerintahkan dua pembantu pengurus rumah memberi hadiah. Bu Kie juga mendapat bagiannya, satu bungkusan merah yang bersih empat tail perak. Tapi bukan itu yang diharap-harapkan. Ia merasa menyesal bukan main, karena nona Cu tidak kelihatan mata hidungnya. Sambil mencekal bungkusan uang, ia berdiri bengong.
Tiba-tiba di luar terdengar suara yang nyaring dan merdu. "Piauw Ko, tahun ini siang-siang ini kau sudah datang." Suara itu adalah suara Cu Kioe Tin (Piauw Ko Kakak sepupu)
"Untuk memberi selamat tahun baru kepada Koe Koe dan Koe Bo, bagaimana aku berani datang terlambat?" Kata seorang lelaki sambil tertawa. (Koe Koe Paman, saudara lelaki dari ibu, Koe Bo bibi isteri Koe Koe)
Bu Kie merasa mukanya panas. Jantungnya melonjak-lonjak, tangannya mengeluarkan keringat.
Sesudah mengharap-harap selama dua bulan, baru sekarang ia mendengar suara si nona. Semangatnya terbang dan ia berdiri terpaku.
Dilain saat terdengar suara seorang wanita lain. "Memang suko terburu datang kemari, aku tak tahu entah ia datang untuk memberi selamat kepada kedua orang itu, entah untuk memberi selamat kepada Piauw Moay." Sehabis berkata begitu, wanita itu tertawa geli. (Suko kakak seperguruan. Piauw Moay adik perempuan sepupu)
Hampir berbareng, tiga orang muda berjalan masuk dan semua pelayan-pelayan buru-buru menyingkir untuk membuka jalan. Hanya Bu Kie yang masih terus berdiri seperti orang hilang ingatan dan kakinya baru bergerak sesudah tangannya diseret Kiauw Hok.
Dari ketiga orang muda itu, yang berjalan di tengah adalah seorang pemuda. Sedang Cu Kioe Tin berjalan di sebelah kiri. Ia mengenakan baju bulu yang berwarna merah sehingga kecantikannya jadi lebih mencolok. Di sebelah kanan pemuda itu berjalan seorang wanita lain. Usia mereka kira-kira sebaya, semuanya belum mencapai dua puluh tahun.
Begitu mereka masuk, mata Bu Kie terus mengincar Nona Cu. Tidak memperdulikan yang lain. Ia seperti juga tidak melihat dua orang muda yang lain, tidak melihat cara bagaimana memberi selamat tahun baru dan tak mendengar apa yang dikatakan mereka. Dimatanya hanya kelihatan seorang, yaitu Nona Cu Kioe Tin.
Dalam usia yang masih muda, masih kekanak-kanakan Bu Kie sebenarnya masih belum tentu apa artinya cinta antara lelaki dan perempuan. Iapun bukan manusia yang kemaruk akan paras cantik. Tapi dalam hidupnya seorang manusia tertarik yang pertama kali terhadap kecantikan seorang wanita selalu memberi akibat yang hebat. Sebagai manusia, Bu Kie pun tidak kecuali. Disampint itu pada hakekatnya, Bu Kie mempunyai perasaan halus dan mempunyai rasa cinta yang sangat besar terhadap sesama manusia, tak perduli lelaki atau perempuan, tua atau muda. Maka itu dapatlah dimengerti begitu bertemu dengan Cu Kioe Tin yang sangat cantik dan mempunyai pengaruh luar biasa atas dirinya, Bu Kie jadi seperti hilang ingatan. Di dalam hatinya sama sekali tidak terdapat pikiran yang tidak-tidak. Tidak!
Sedikitpun tidak! Ia hanya merasa beruntung jika bisa melihat wajah si nona, mendengar suara si nona yang sangat merdu.
Sesudah mendapat hadiah, pelayan-pelayan yang lain lantas saja bubar.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah berbincang-bincang beberapa lama Cu Kioe Tin berkata, "ayah, ibu, aku ingin jalan-jalan bersama Piauw Ko dan Ceng Moay."
Kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan ketiga orang muda tersebut lantas saja bertindak ke luar dan pergi ke halaman belakang.
Tanpa merasa Bu Kie mengikuti dari jauh. Pada hari raya yang penting itu, tak ada orang yang memperhatikannya. Semua pelayan bersuka ria, berjudi, dan sebagainya. Sekarang baru Bu Kie melihat nyata, bahwa pemuda itu berparas sangat tampan dan dalam hawa udara yang sangat dingin, ia hanya mengenakan jubah panjang warna kuning dari sutra tipis. Sehingga dapatlah diketahui bahwa ia memiliki Lweekang yang tinggi. Wanita yang satunya mengenakan baju bulu warna hitam, badannya langsing, gerak-geriknya memikat, suaranya lemah lembut dan cara-caranya halus. Mengenai kecantikan, ia tak kalah dari Cu Kioe Tin. Tapi di mata Bu Kie, tiada manusia yang dapat menandingi nona Cu yang dipandangnya seakan-akan seorang Dewi.
Mereka berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa. "Tin Ci," kata wanita itu, "kau pasti sudah memperolah banyak ilmu It Yang Ci. Bolehkah kau memperlihatkan kepada adikmu?" (It Yang Ci semacam ilmu menotok dengan jari tangan dari It Teng Taysu)
"Ah! Jangan kau menggoda aku," kata Kioe Tin. Biar aku berlatih sepuluh tahun lagi, mana bisa aku menandingi Lan Hua Hud Hiat Chioe dari keluarga Bu." (Lan Hua Hud Hiat Chioe ilmu menotok jalan darah dengan lima jari tangan yang dipentang seperti Lan Hoa atau bunga anggrek) Pemuda itu tertawa,"Sudahlah! Kalian tak usah saling merendahkan diri," katanya. "siapakah yang tidak mengenal Soat Leng Siang Moay yang sangat lihai?" (Soat Leng Siang Moay Sepasang saudara perempuan dari bukit salju)
"Aku belajar dan berlatih sendirian saja." Kata Kioe Tin. " Mana bisa aku menyusul kemajuan kalian dua saudara seperguruan yang setiap detik bisa saling berdamai dan berlatih bersama-sama."
Wanita muda itu tidak menjawab, ia hanya bisa tersenyum sambil monyongkan mulutnya, seperti juga ia mengakui kebenarannya nona Cu.
Sebab kuatir Kioe Tin jadi gusar, pemuda itu buru-buru berkata, "ah, sebenarnya tidak begitu. Kau mempunyai dua orang guru Koe Koe dan Koe Bo. Di bawah pimpinan kedua orang tua, itu keaadaanmu banyak lebih baik daripada kami berdua."
"Kami!....kami!....." nona Cu menggerutu. "Kecintaan antara saudara seperguruan memang lebih hebat daripada kecintaan antara saudara sepupu. Baru saja aku bergurau dengan Ceng Moay, kau sudah membantunya dengan mati-matian." Sehabis berkata begitu ia memutar badan.
Pemuda itu tertawa, "Piauw Moay disayang, Su Moay juga disayang," katanya. "aku tidak memilih kasih."
Nona Cu memutar pula badannya dan berkata, "Piauw Ko kudengar gurumu menerima lagi seorang murid perempuan. Apa benar?"
"Benar," jawabnya.
Wanita yang dipanggil "Ceng Moay" rupanya masih ingin menggoda nona Cu. Ia tersenyum seraya berkata. "Tin Ci, Sumoay kecil itu sangat cantik parasnya. Bukan saja cantik, dia pandai bicara dan sangat menarik hati. Setiap hari dia mengikat Su Ko dengan macam-macam permintaan. Minta diajar ini, diajar itu, kalau nanti kau bertemu dengannya, kau sendiri tentu akan mencintai dia.."
"Apa?" menegas Kioe Tin dengan suara dingin. "Apa dia lebih cantik dari Ceng Moay?"
"Mana bisa aku menandingi Siauw Su Moay itu," jawabnya. "Hanya Tin Ci yang dapat ditandingi dengannya."
"Aku bukan lelaki tampan yang kemaruk akan paras cantik," kata nona Cu. "Bagaimana kau bisa mengatakan aku akan mencintai Siauw Su Moay itu?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mendengar perkataan yang menghantam dirinya, pemuda itu lantas saja tertawa dan berkata, "Piauw Moay, bolehkan kau mengajak kami melihat jenderal penjaga pintu" Makin lama mereka pasti makin lihai."
Cu Kioe Tin lantas jadi girang. "Baiklah!" jawabnya. Ia segera berjalan ke arah Han Kong Ki, Bu Kie tetap mengikuti dari kejauhan.
Begitu tiba, nona Cu segera memerintahkan pelayan perawat anjing untuk melepaskan semua binatang itu. Melihat kawanan anjing yang galak angker, pemuda tersebut memuji tak henti-hentinya sehingga Kioe Tin jadi lebih bunga hatinya.
"Ceng Moay" tertawa geli sambil menutup mulutnya dengan tangan. "Su Ko" katanya "pangkat apa yang dikehendaki olehmu, Koan Kun atau Piauw Ki?"
Pemuda itu terkejut. "Apa katamu?" tanyannya.
"Kau begitu memperhatikan kata Tin Ci," jawabnya. "Apakah tak layak jika Tin Ci memberi pangkat Koan Kun, Ciang Kun atau Piauw Ki Ciangkun kepadamu" Hanya kau harus berhati-hati jangan sampai dicambuk.
Sebagaimana diketahui, Kioe Tin memberi nama-nama pangkat jenderal kepada anjing-anjingnya.
Sehingga dengan begitu si nona mengejek Su Ko-nya dan mempersamakannya dengan seekor anjing.
Paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah. "Jangan ngaco belo!" bentaknya dengan suara mendongkol. "Kau mencaci aku sebagai anjing, bukan?"
"Ceng Moay" tersenyum. "Jenderal-jenderal itu selalu berdampingan dengan wanita cantik, mereka menggoyang-goyang buntutnya, mengambil hati dan mereka merasa beruntung," katanya. "Apa tak enak hidup begitu?"
Paras muka Kioe Tin lantas saja berubah.
"Ceng Moay, kurasa aku tak berdosa terhadapmu," katanya dengan suara dongkol, "mengapa pada hari tahun baru ini, kau menghinaku?"
Ceng Moay memperlihatkan paras muka heran "E-eh!" katanya. "Aku datang kemari untuk memberi selamat tahun baru. Mngapa kau mengatakan aku menghina kau?"
Nona Cu mengeluarkan suara di hidung. Mengingat persahabatan yang sangat erat antara leluhur kedua keluarga, biarpun darahnya meluap, ia sebisa-bisanya menahan saabr. Ia menengok kepada pemuda itu dan berkata, "Piauw Ko, Kuminta kau suka jadi juru penimbang. Apakah aku yang berbuat kesalahan terhadap Bu Sio Cia, atau Bu Sio Cia yang sengaja cari-caru urusan, cari-cari ribut denganku."
Pemuda itu jadi serba salah. Ia tahu, ia tak boleh membantu piauw Moay dan juga tak boleh menyokong Cu Moay. Mereka berdua adalah anak-anak yang biasa dimanja-manjakan. Gadis-gadis yang sempit pemandangannya. Tak perduli pihak manapun yang dibenarkan olehnya, ia bakal jadi berabe sekali. Maka itu, jalan yang paling selamat adalah berkelit, ia ketawa dan berkata, "Piauw Moay, sudah lama kita tak ketemu. Perlua apa tarik urat" Eh, ilmu silat apa yang kau paling belakang dapat dari Koe Koe. Bolehkah kau memperlihatkan kepada Kami?"
"Berapa hari yang lalu Thia-thia telah mengajariku semacam Pit Hoat," katanya. "Aku masih belum paham dan kuharap Ceng Moay dan Piauw Ko suka memberi petunjuk. (Pit Hoat semacam gaya menulis huruf Tiongkok)
"Ceng Moay" Dan pemuda itu menepuk-nepuk tangan. "Bagus!" kata "Ceng Moay" "Tin Ci jangan kau terlalu merendahkan diri. Ayolah supaya kami bisa menambah pengalaman."
Nona menggapai dan pelayan perawat anjing segera mengambil sepasang Poan Koan Pit yang tergantung di tembok.
Bu Kie melihat bahwa di tembok itu tergantung rupa-rupa senjata, tapi yang paling banyak adalah Poan Koan Pit. Seperti juga sebuah petunjuk bahwa Cu Sio Cia biasa menggunakan senjata itu. Ayah Bu Kie, Thio Cui San, bergelar Gin Kauw Tiat Hoa dan ia seorang ahli dalam menggunakan Poan Koan Pit.
Dulu, kalau membicarakan ilmu silat dengan puteranya, ia banyak sekali merundingkan hal-hal yang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mengenai gaetan (kauw) dan Poan Koan Pit. Oleh karena itu, Bu Kie mempunyai pengetahuan yang agak mendalam tentang kedua senjata itu. "Ayah pernah mengatakan bahwa dalam Rimba Persilatan, jarang sekali ada wanita yang mampu menggunakan Poan Koan Pit," pikirnya. "Dilihat begini, ilmu silat Cu Sio Cia sudah sampai tingkatan tinggi," kalau tadi ia kesengsem karena kecantikan si nona, sekarang ia kagum dan takluk karena Kioe Tin dapat menggunakan senjata istimewa yang biasa digunakan oleh mendiang ayahnya.
Sambil mengibas Poan Koan Pit yang dicekal dalam tangan kirinya, Kioe Tin berkata, "Ceng Moay mari temani aku. Pit Hoat ini tidak dapat dilatih oleh seorang saja."
"Ceng Moay" tahu bahwa nona Cu mempunyai maksud tidak baik. Ia menggelengkan kepala seraya berkata, "Kepandaianku masih terlalu rendah. Mana biasa aku melayani Tin Ci?"
Nona Cu mendesak berulang-ulang, tapi dia tetap menolak.
Melihat begitu, si pemuda perlahan-lahan menghampiri dan sambil mengangkat kedua tangannya ia berkata, "Piauw Moay, biar aku saja yang menemani kau. Aku hanya mengharap kau menaruh belas kasihan. Kalau ujung Pit nyasar ke jalan darah Tian Tiong atau Pak Hwee. Tahun ini Wie Pek tak bisa minum arak tahun baru. (Tian Tiong dan Pak Hwee adalah jalan-jalan darah yang sangat penting. Sekali tertotok, orang bisa binasa)
Mendengar perkataan yang mengandung pujian itu, hati nona Cu jadi senang sekali. Sambil tertawa ia membentak, "Jangan rewel! Jagalah!" Pit kiri menyambar ke bawah, pit kanan ke atas. Benar-benar ia menghantam Pak Hwee Hiat di embun-embunan dan Tian Tiong Hiat di dada pemuda itu.
Wie Pek tidak bergerak, seolah-olah ia tahu, bahwa si nona tidak bakal menotok sungguhan. Tapi kedua senjata it uterus menyambar bagaikan kilat dan dilain detik ujung senjata hanya terpisah satu dim dari dua jalan darah tersebut.
Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak terdengar suara "trang!" dan kedua pit terpental balik.
Kecepatan bergeraknya Wie Pek sungguh luar biasa bagaimana ia menghunus pedang dan bagaimana ia menangkis tak bisa dilihatnya.
"Bagus!" teriak nona Cu sambil melintangkan kedua senjatanya yang segera menyambar bagaikan dua helai sinar putih.
Bu Kie menonton dengan penuh perhatian. Ia ingat, bahwa mendiang ayahnya pernah mengatakan Poan Koan Pit adalah senjata untuk menotok jalan darah. Tapi karena bentuknya menyerupai Pit, maka dalam senjata itu mengandung sifat-sifat Bun. (ilmu surat) Keunggulannya ialah mudah digunakan dan indah gerakannya. Tapi di dalam pertempuran mati-matian, manfaatnya masih kalah setingkat dengan senjata lain, misalnya golok atau tombak. Sesudah memperhatikan beberapa lama, ia mendapat kenyataan bahwa nona Cu benar-benar mahir dalam menggunakan Poan Koan Pit yang menyambar-nyambar ke delapan penjuru dalam gerakan-gerakan yang sangat indah. Tiba-tiba hatinya berdebar-debar. "Ah! Pit Hoat itu menyerupai dengan In Thian To Liong Kang dari ayahku,"katanya dalam hati. "Ilmu silat nona Cu juga berdasarkan Su Hoat (Su Hoat " seni menulis huruf-huruf bagus) Dilain pihak, ilmu pedang Wie Pek tidak juga cukup lihai. Tapi karena Bu Kie tidak mengerti Kiam Hoat, maka dia tak dapat melihat kebagusannya ilmu pedang itu. Ia hanya tahu bahwa makin lama pemuda itu jadi makin terdesak.
Sesudah bertempur sekian jurus, pit kiri Nona Cu tiba-tiba menyambar dari kanan ke kiri, sedangkan pit kanan menyabet dari atas ke bawah.
"Celaka!" seru Wie Pek sambil melompat mundur. Kioe Tin sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik. Ia melompat pit kanan menyambar mata. Itulah pukulan yang lihai dan sukar dielakkan.
"Tahan!.." teriak Wie Pek, "Aku menyerah kalah! Harap Sio Cia sudi mengampuni jiwaku?"
Bukan main girangnya si nona. Ia tertawa seraya berkata, "Piauw Ko kau bukan kalah sungguhan. Kau hanya mengalah..," sehabis berkata begitu, ia mengangkat kedua senjatanya yang lalu dilemparkan ke tembok. "Blas!" kedua Pit itu amblas di tembok, hanya beberapa dim yang berada di luar tembok.
Bu Kie terkesiap. Ia tak nyana, bahwa wanita yang kelihatannya lemah memiliki Lweekang yang begitu tinggi dan tenaga yang begitu besar. "Bagus!" Ia berteriak tanpa merasa.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sudah lama ia berdiri di situ, tapi ketiga orang muda itu tidak memperhatikannya. Sekarang, begitu bersorak, mereka menengok dan mengawasinya. Melihat, bahwa yan sorak hanya seorang pelayan, Kioe Tin tidak memperdulikan. Ia rupanya sudah melupakan Bu Kie. Sambil menengok kepada Wie Pek, ia berkata, "Piauw Ko, pit hoat tadi banyak sekali kekurangannya. Kumohon Siauw Ko sudi memberi petunjuk."
Wie Pek tertawa, "Piauw Moay, ilmu silatmu bukan saja hebat, tapi juga sangat indah gerakannya, apa namanya?"
"Coba Kau tebak," kata nona sambil tolak pinggang.
Wie Pek menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gata. "Koe Koe adalah turunan asli Su Hoat,"
katanya. "Menurut pendapatku ilmu silat itu berdasarkan Su Hoat."
"Benar!" seru Nona Cu sambil menepuk-nepuk tangan. "Pintar juga kau Piauw Ko. Tapi Su Hoat apakah itu?"
"Piauw Moay yang baik, jangan kau coba-coba menguji aku," kata Wie Pek. "Tidak,"aku tak tahu."
Melihat sikap si nona terhadap Wie Pek, Bu Kie merasa sangat berduka. Ia merasa dirinya kecil. Ia merasa bersaing dengan pemuda tampan itu. Sungguh beruntung jika ia bisa mendapatkan kesempatan untuk menindih saingan itu. Maka itulah, begitu mendengar pengakuan Wie Pek darahnya lantas saja bergolak dan tanpa merasa ia berteriak, "Tay Kang Tong Ki Hoat!"
Cu Kioe Tin adalah turunan Cu Cu Liu. Nona si Bu itu, yang dipanggil "Ceng Moay" oleh nona Cu, adalah turunan Bu Sam Tong, namanya Bu Ceng Eng. Ia adalah turunan Bu Siu Bun, salah seorang putra Bu Sam Tong. Bu Sam Tong dan Cu Cu Liu ialah menteri merangkap murid It Teng Taysu, sehingga ilmu silat mereka berasal dari satu sumber. Akan tetapi, sesudah lewat seratus tahun lebih, ilmu silat antara kedua keluarga itu agak berbeda. Misalnya Bu Toen Ji dan Bu Sioe Bun telah mengangkat Kwee Ceng, Kwee Tayhiap sebagai guru. Maka itu, biarpun mereka juga paham akan ilmu totok It Yang Ci, tapi ilmu totok itu agak menyerupai cara-cara yang keras untuk dari ilmu silat Kioe Ci Sin Kay Ang Cit Kong.
Wie Pek ialah saudara sepupu Cu Kioe Tin. Pemuda itu berguru kepada ayah Bu Ceng Eng. Ia seorang pemuda yang berparas tampan, beradat baik dalam lemah lembut cara-caranya, sehingga ia dicintai oleh kedua gadis cantik itu.
Usia nona Cu dan nona Bu kira-kira sebaya, sama-sama cantik, sama-sama pintar dan ilmu silat merekapun kira-kira standing. Maka itu, orang Rimba Persilatan di sekitar Kun Lun San memberi gelar Soat Leng Siang Moay (Sepasang Saudara perempuan dari Bukit Salju) kepada mereka.
Dalam mencintai Wie Pek, Cu Kioe Tin lebih berani mengutarakan rasa cintanya. Tapi Bu Ceng Eng yang pemalu bisa menarik keuntungan, yaitu karena belajar bersama-sama, makanya bisa lebih banyak bergaul dengan pemuda itu daripada nona Cu.
Mendengar seruan "Tay Kang Tong Ki Hoat," ketiga orang muda itu terkejut. Sebagai orang-orang yang Bun Bu Song Coan (mengerti ilmu surat dan ilmu silat) Wie Pek dan Ceng Eng bukan tak tahu, bahwa ilmu silat nona Cu berdasarkan Tay Kang Tong Ki Hoat. Mereka hanya tidak mau menyebutkannya, supaya nona itu jadi lebih senang hatinya.
Pada waktu itu, Bu Kie baru berusia kira-kira lima belas tahun. Tanpa sesuatu yang luar biasa, baik dari muka, maupun dari potongan badannya. Maka itu, Wie Pek dan Bu Ceng Eng segera menduga, bahwa ia adalah pelayan di lapangan berlatih silan dan sudah mendengar nama ilmu pukulan itu.
Tapi Cu Kioe Tin sendiri tahu, bahwa hal tiu tak akan bisa kejadian. Oleh karena, setiap kali mengajar ilmu silat, ayahnya tak pernah mengijinkan hadirnya siapapun jua dalam lapangan berlatih. "Apakah ia mencuri belajar?"tanyanya di dalam hati. Memikir begitu, ia lantas saja membentak, "Hei! Siapa namamu" Bagaimana kau tahu ilmu silatku dinamakan Tay Kant Tong Ki Hoat?"
Transcriber: hanko ============= Mendengar si nona menanyakan namanya, Bu Kie merasa sangat berduka.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Bukankah aku sudah memberitahukan Kau?" pikirnya. "Kalau begitu, kau sedikitpun tak memperhatikan aku," ia lantas menjawab "Namaku Thio Bu Kie, aku hanya bicara secara sembarangan."
"Oh,"..sekarang aku ingat," kata Kioe Tin.
"Kau adalah bocah yang pernah digigit oleh anjing-anjingku," ia lebih jadi bercuriga, sebab ia lantas saja ingat bahwa dengan sekali pukulan saja, anak itu telah menghancurkan kepala "Co Ciangkun"
sehingga dia pasti memiliki ilmu silat yang tidak boleh dipandang enteng. "Apakah dia seorang mata-mata yang dikirim oleh musuh ayahku?" tanyanya di dalam hati. "Tanpa mencuri, anak yang begitu kecil tak mungkin mengenal ilmu silat yang paling diandalkan oleh ayahku."
Tapi, baru saja ia berniat untuk menyelidiki lebih lanjut, tiba-tiba ia melihat Wie Pek dan Bu Ceng Eng sedang bicara bisik-bisik sambil duduk berendeng. Rasa cemburu lantas saja timbul dalam hatinya dan ia tidak memperdulikan Bu Kie lagi. "Ceng Moay!" teriaknya. "aku dan Piauw Ko sudah memperlihatkan keburukan kami. Kuharap kaupun suka mempertunjukkan ilmu silatmu yang tinggi."
Entah disengaja, entah tidak, Wie Pek dan Bu Ceng Eng tidak meladeni teriakan itu.
Kioe Tin naik darah, "Biarpun Pit Hoatku sangat sederhana, tapi belum tentu ilmu silat keluarga Bu bisa melawannya," katanya dengan suara dingin.
Nona Bu mengangkat kepalanya dan membalas dengan suara yang sama dinginnya. "Su Ko-koe tahu, bahwa kau seorang yang mau menang sendiri sehingga ia sengaja mengalah terhadapmu, Hm!....Tapi kau tergirang-girang."
"Siapa mau dia mengalah?" bentak Kioe Tin dengan keras. "Dapatkah dia memecahkan pukulan Siang Koat Kwi Goan?" (Siang Koat Kwi Goan " Dua Ranggon terangkap menjadi satu. Jurus terakhir Kioe Tin yang menyebabkan menyerahnya Wie Pek)
"Kau kira kami berdua manusia-manusia tolol yang tidak mengenal syair?" Syair-syair Tay Kang Tong Ki dari Souw Pong To?" Tanya Ceng Eng. "Kalau Su Ko tidak mengenal ilmu silatmu, mengapa ia justru menyerah kalah pada akhiran sebaris syair" Ia menyerah pada detik kau mengakhiri huruf "goat"
(rembulan) dari baris syair yang berbunyi "It Cun Hoan Ciu Kang Goat" mengertikah kau sekarang" (It Cun Hoan Ciu Kang Goat " mempersembahkan secawan arak kepada rembulan_
Cu Kioe Tin tertegun. Pertanyaan Bu Ceng Eng tak dapat dibantah. Memang Wie Pek menyerah waktu mengakhiri tulisan huruf "goat" dengan jurus Siang Koat Kwi Goan. Kalau benar begitu, ia sendiri yang jadi manusia tolol!
Ia merasa malu bukan main dan dari malu ia menjadi gusar. "Kenal memang mungkin kau kenal, tapi apa kau bisa memecahkannya?" tanyanya dengan suara keras. "Bisa jadi Piauw Ko sengaja mengalah terhadapku. Hm!..memang tak sukar menggoyangkan lidah. Lihatlah! Pelayan dalam rumahku pun mengenal pukulan itu."
Muka Bu Ceng Eng merah padam, bahwa gusarnya. "Su Ko aku pulang saja!" katanya dengan suara gemetar. "Orang sudah mempersamakan aku dengan pelayan. Perlu apa kau berdiam lama di rumah ini?"
Wie Pek tertawa dan berkata, "Su Moay, Piauw Moay hanya berguyon, jangan kau menganggap bersungguh-sungguh. Di rumahmu pelayan kotor seperti dia tak terhitung berapa banyaknya."
Mendengar perkataan yang menghina itu, Bu Kie panas hatinya.
"Bagus! Kau menghina pelayanku?" kata Kioe Tin. "Ceng Moay, biarpun kau berkepandaian tinggi, belum tentu kau bisa menjatuhkan dia dalam tiga jurus."
"Hm! Apa kau kira pelayan baumu mempunyai harga untuk melayaniku?" nona Bu menjawab. "Tin Ci kau terlalu menghinaku."
Sampai disitu Bu Kie tak dapat menahan sabar lagi. "Bu Kouwnio!" teriaknya. "Apa kau bukan manusia" Bu Kouwnio, janganlah kau menganggap dirimu sebagai manusia yang terlalu mahal!"
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Walaupun darahnya meluap, untuk menghina si bocah, Ceng Eng melirikpun tidak. Ia berpaling kepada Wie Pek dan berkata, "Su Ko, kau lihatlah kurang ajarnya pelayan bau itu. Apa kau masih tetap berpeluk angina?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Melihat sikap mohon dikasihani dari si nona, hati pemuda itu lantas saja lemas. Antara kedua gadis itu, ia sebenarnya tidak memilih kasih. Akan tetapi, di dalam hati kecilnya, ia mempunyai perhitungan sendiri. Gurunya, yaitu ayah Bu Ceng Eng, mempunyai kepandaian yang tinggi. Ia merasa, bahwa apa yang akan didapatkannya, takkan lebih daripada sebagian atau dua bagian kepandaian sang guru. Maka itu, apabila ia ingin memiliki kepandaian istimewa, tidak bisa ia harus mengambil hati nona Bu. Maka itulah, dia seraya tersenyum lantas saja berkata.
"Piauw Moay, apa benar pelayanmu mempunyai kepandaian tinggi" Bolehkah aku mengujinya?"
Kioe Tin mengerti, bahwa kakak itu coba membela Ceng Eng. Ia mau menolak tapi dalam otaknya mendadak berkelabat serupa ingatan.
"Aku memang ingin tahu asal usul bocah itu," pikirnya. "Biarlah Piauw Ko yang paksa dia membuka rahasianya," berpikir begitu, ia lantas berkata
"Baiklah, sebenarnya aku sendiri tak tahu murid siapa dan dari partai mana."
"Apakah pelajaran bocah itu bukan didapat dari sini?" Tanya Wie Pek dengan perasaan heran.
Kioe Tin menengok ke arah Bu Kie dan berkata, "Eh, coba beritahukan Siauw Ya, nama guru dan partaimu."
Mendengar perkataan si nona, Bu Kie lantas saja berpikir. "Kamu begitu menghina aku, mana bisa aku memberitahukan nama kedua orang tuaku dan Thay Suhu" Selain begitu, akupun belum pernah mempelajari ilmu silat Bu Kie Pay secara sungguh-sungguh." Dengan adanya itu, ia menjawab,
"Semenjak kecil, kedua orang tuaku sudah meninggal dunia dan aku bergelandangan dalam dunia Kang Ouw. Aku belum pernah belajar ilmu silat, hanya ayah angkatku yang pernah memberi satu dua petunjuk kepadaku. Mata Gi Hu buta, sehingga iapun tak tahu, apa latihanku benar atau salah."
Kisah Si Pedang Terbang 7 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Si Kumbang Merah 12