Kisah Membunuh Naga 26
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 26
"Tidak!" bantah Bu Kie. "Hari ini kau berjasa besar. Yo Cosu, ayah dan anak tidak akan curiga lagi."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Siauw Ciauw jadi girang sekali. "Melihat Kongcu belum juga kembali, hatiku bingung. Apalagi belakangan datang barisan Goan itu yang segera mengurung dan menyerang," katanya. "Entah bagaimana, entah dari mana aku dapat keberanian, tahu-tahu aku memegang bendera dan berteriak-teriak.
Kalau sekarang kuingat kejadian itu, hatiku masih ketakutan. Thio Kongcu, kumohon kau mau berkata begini kepada Ngo heng-kie dan Peh bie-kauw. Untuk segala kekurang ajaran Siauw Ciauw, aku harap kalian tidak kecil hati."
Bu Kie tersenyum, "Kau gila?" katanya, "Mereka sebenarnya harus menghaturkan terima kasih kepadamu."
Sambil berjalan, para pemimpin Beng-kauw beromong-omong membicarakan soal Thio Beng dan coba meraba-raba asal usulnya. Tapi tak satupun yang bisa menebak. Bu Kie sendiri menceritakan bagaimana ia mengambil Cui sian leng hu tapi menyembunyikan hal terjebaknya dan segala kejadian dalam penjara baja itu. Meskipun benar segala tindakannya dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi ia merasa jengah untuk menceritakan itu."
Pada suatu hari, tibalah mereka di daerah Ho-lam.
Jaman itu adalah jaman kalut rakyat Tiongkok yang mulai bangkit melawan penjajah. Di mana-mana tentara Mongol mengadakan pemeriksaan yang sangat keras. Untuk menghindarkan kecurigaan dan mencegah kerewelan, rombongan Beng-kauw dipecah dan kemudian berkumpul lagi di kaki gunung Siong san, dari sana mereka terus mendaki Siauw sit san, Gouw Kin Co diperintahkan jalan lebih dahulu dengan membawa karcis nama Bu Kie dan pemimpin lain untuk dipersembahkan kepada Hong thio Siauw lim sie.
Bu Kie mengerti bahwa dalam kunjungannya ke Siauw lim sie itu, walaupun dia tidak menghendaki pertempuran, sesudahnya masih merupakan teka-teki. Manakala pendeta-pendeta Siauw lim tidak bisa diajak bicara dan menyerang lebih dulu maka Beng-kauw tidak bisa tidak melayani. Maka itu ia segera mengeluarkan perintah supaya menyamar sebagai pelancong, anggota-anggota Ngo heng-kie dan Peh bie-kauw berpencar di seputar kuil dan mereka harus segera menerjang masuk jika mendengar tiga siulan panjang, perintah itu segera dijalankan dengan bersemangat.
Tak lama kemudian seorang Tie-kek ceng (pendeta penyambut tamu) ikut Gouw Kin Co turun dari atas gunung. "Kauw cu," kata pendeta itu kepada Bu Kie. "Hong thio dan para Tiang-loo dari kuil kami sedang menutup diri dan bersemedi sehingga mereka tidak dapat menemui Kauw cu. Kami harap Kauw cu sudi memaafkan.,"
Mendengar itu, paras muka semua orang langsung berubah.
"Pendeta-pendeta Siauw lim sungguh sombong!" kata Ciu Tian dengan gusar. "Mereka sama sekali tidak memperdulikan bahwa yang datang berkunjung adalah Kauw cu kim sendiri."
Pendeta itu menundukkan kepalanya dengan paras duka. "Tidak bisa menemui!" katanya.
Ciu Tian jadi lebih gusar. Tangannya menyambar untuk mencengkram dada si pendeta tapi keburu ditangkap oleh Swee Poet Tek. "Ciu heng jangan sembrono," bujuknya.
"Kalau Hong thio sedang menutup diri, kami boleh bicara dengan Kong-tie dan Kong-seng Seng ceng," kata Pheng Eng Giok.
Tie-kek ceng itu merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara dingin, "Tidak bisa menemui!"
"Bagaimana kalau Sioeco dari Tat-mo tong?" tanya Pheng Eng Giok. "Jika Sioeco Tat-mo tong juga tak bisa menemui kami, kami bersedia untuk bicara saja dengan Sioeco Lo-han tong."
Tapi jawaban si pendeta tetap tidak berbeda, "Tidak bisa menemui!" katanya.
In Thian Ceng meluap darahnya. "Gila!" teriaknya. "Kau bilang saja apa pemimpin kamu mau menemui kami atau tidak?" Hampir bersamaan dengan bentakannya, ia menghantam sebuah pohon siong tua dengan kedua tangannya. Pohon itu segera patah dan roboh.
Pendeta itu ketakutan. "Kalian yang datang dari tempat jauh sebenarnya harus diterima dengan segala kehormatan," katanya. "Hanya menyesal para pemimpin kami sedang menutup diri sehingga kami mohon kalian sudi datang di lain waktu." Seraya berkata begitu, ia membungkuk dan memutar badan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dengan sekali melompat Wie It Siauw sudah menghadang di depannya. "Bolehkah aku mendapat tahu hoat-beng Taysu yang mulia" Tanyanya.
"Hoat beng siauw ceng Hui-hian," jawabnya.
Mendengar itu semua pemimpin Beng-kauw dongkol bukan main. Seorang pendeta Siauw lim yang menggunakan nama "Hui" adalah pendeta ketiga yang hidup pada saat itu. Sebagaimana diketahui yang paling tinggi "Kong", sedang yang kedua adalah "Goan". Bahwa Siauw lim hanya mengirimkan seorang wakil dari tingkatan "Hui" untuk menyambut pemimpin Beng-kauw dianggap suatu hinaan paling besar.
Dengan paras muka gusar Wie It Siauw menepuk pundak pendeta itu. "Baiklah!" katanya. "Taysu terus menerus mengatakan tidak bisa menemui. Jika Giam-loo-ong yang memanggil, Taysu akan menemui atau tidak?"
Begitu ditepuk Hui-hian merasakan hawa dingin yang sangat hebat menerobos, sehingga sekujur badannya gemetaran dan giginya gemelutukan. Sambil menahan rasa dingin itu, dia lari melewati Wie It Siauw dan terus kabur ke atas gunung dengan langkah limbung.
"Sesudah dia dipukul, guru dan paman-paman gurunya tidak akan menyudahi begitu saja," Bu Kie menyambung perkataan itu. "Sekarang tak ada jalan lain daripada naik ke atas untuk melihat pendeta-pendeta itu benar-benar tidak mau menemui kita."
Semua orang mengangguk. Mereka merasa bahwa satu pertempuran hebat tidak bisa dielakkan lagi.
Siauw lim-pay dikenal sebagai gunung Thay-san atau bintang Pak tauw dalam Rimba Persilatan dan selama ribuan tahun, partai itu dinamakan sebagai "partai yang tak pernah terkalahkan". Hari ini akan diputuskan, apa Beng-kauw atau Siauw lim-pay yang akan unggul. Mereka tahu bahwa di dalam kuil Siauw lim sie terdapat banyak orang pandai sehingga hebatnya pertempuran yang akan terjadi sukar dibayangkan lagi. Mengingat begitu, dengan semangat bergelora para pemimpin Beng-kauw mendaki gunung.
Berselang kira-kira sepeminuman teh mereka tiba di pendopo Lip-soat-teng. Dengan rasa terharu Bu Kie ingat bahwa pada beberapa tahun berselang mereka bersama-sama Thay-suhunya, ia bertemu dengan pendeta suci Siauw lim-pay di pendopo itu. Pada waktu itu ia datang sebagai seorang bocah yang kurus kering yang menderita keracunan hebat, tapi sekarang ia berkunjung sebagai seorang Kauw cu dari Bengkauw yang sangat berpengaruh. Jangka waktu kunjungan itu hanya beberapa tahun tapi seolah-olah sudah satu abad.
Bu Kie menahan rombongannya di pendopo itu. Ia ingin menunggu wakil Siauw lim sie. Sebelum menggunakan kekerasan, ia mau bertindak menurut peraturan sopan santun, tapi mereka menunggu dengan sia-sia.
"Ayo kita naik!" kata Bu Kie akhirnya.
Dengan Yo Siauw dan Wie It Siauw di sebelah kiri dan In Thian Ceng dan In Ya Ong di sebelah kanan, Thian koan Toojin, Pheng Eng Giok, Ciu Tian dan Swee Poet tek di belakang, Bu Kie lalu memasuki pintu kuil Siauw lim sie. Setelah berada di dalam ruangan sembahyang Tay-hiong Po tian, mereka melihat patung Budha yang agung, kursi meja yang mengkilap, asap hio yang mengepul ke atas dan lampu-lampu yang menyala tapi dalam ruangan itu tak kelihatan bayangan manusia.
"Beng-kauw Thio Bu Kie bersama Yo Siauw, In Thian Ceng dan lain-lain datang berkunjung untuk bertemu dengan Hong Tio Tay-su!" teriak Bu Kie yang suaranya disertai Lweekang hebat sehingga lonceng yang tergantung di dalam ruangan itu mengeluarkan suara "ung"ung?"
Yo Siauw, Wie It Siauw dan yang lain-lain saling mengawasi dengan perasaan kagum. Dengan mempunyai seorang pemimpin yang tenaga dalamnya begitu tinggi, mereka merasa bahwa dalam pertempuran ini Beng-kauw akan memperoleh kemenangan.
Teriakan Bu Kie bisa didengar di seluruh kuil tapi sesudah menunggu beberapa lama seorang manusiapun tak kelihatan batang hidungnya.
"Hei! Apa kamu mau bersembunyi seumur hidup?" teriak Ciu Thian berangasan.
Mereka menunggu lagi tapi tetap tiada yang muncul.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Sudahlah!" kata In Thian Ceng. "Sekarang kita tak usah perdulikan akal apa yang dijalankan mereka, mari kita masuk semua!" Seraya berkata begitu dengan diikuti oleh yang lain ia maju lebih dulu dan terus menuju ke ruang belakang. Tapi seorang manusiapun tidak ditemui mereka.
Mereka heran tak kepalang. Siauw lim-pay adalah sebuah partai persilatan yang besar dan sejak dulu sudah mempunyai nama yang sangat harum. Di dalam kuil terdapat banyak sekali pendeta yang tinggi ilmu silatnya dan banyak akal budinya. Tapi hari ini mereka menjalankan "tipu kuil kosong". Tipu apa itu" Tak bisa tidak suatu tipu yang sangat hebat. Mengingat begitu, mereka makin berhati-hati. Mereka waspada pada setiap tindakan sesudah melewati Ka-lam tian, tapi mereka belum juga menemui manusia.
Tiba-tiba Wie It Siauw berkata, "Swee Poet Tek, mari kita mengamat-amati dari atas!"
Swee Poet Tek mengangguk dan badannya segera mencelat ke atas, tapi sebelum kedua kakinya menginjak payon rumah, Wie It Siauw sudah berada di atas wuwungan.
"Ilmu ringan badan Wie Hong ong benar-benar tak akan bisa ditandingi oleh Po tay Hweeshio,"
katanya di dalam hati. "Hei! Pendeta-pendeta Siauw lim sie!" teriak Ciu Tian. "Mengapa kau main bersembunyi terus menerus?"
Rombongan Bu Kie menyelidiki dari satu ruang ke lain ruang. Sebegitu jauh mereka bukan saja belum menemui manusia, tapi juga belum melihat tanda-tanda yang mencurigakan. Di Lo-han tong ruangan berlatih silat, mereka mendapati kenyataan bahwa semua senjata yang biasanya terdapat dalam ruangan itu sudah tidak ada lagi. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, cepat-cepat mereka menuju ke Tat-mo tong.
Dalam ruangan itu di atas lantai, hanya terdapat sembilan lembar tikar yang sudah separuh rusak.
Dengan alis berkerut, Yo Siauw berkata, "Kudengar Tat-mo tong adalah tempat beristirahatnya para cianpwee dari Siauw lim sie, di antaranya ada yang tidak pernah keluar dari pintu ruangan ini selama sepuluh tahun. Mana bisa jadi"...Mana bisa jadi, tanpa bertempur, mereka menyembunyikan diri?"
"Hatiku sangat tidak enak," sambung Pheng Eng Giok. "Aku merasa di dalam kuil ini sudah terjadi sesuatu yang sangat hebat, kejadian yang sangat buruk"."
Ciu Tian tertawa nyaring, "Ada-ada saja!" katanya.
Tiba-tiba Bu Kie ingat pengalaman waktu ia belajar Siauw lim Kioe yang kang.
"Coba kita pergi ke situ," katanya. Dengan diikuti oleh pengiringnya, ia menuju ke kamar Goan tin. Di dinding masih terlihat bekas-bekas dari bagian yang dahulu dijobloskan Goan tin, tapi kamar kosong tiada manusianya.
"Coba kita selidiki di Cong keng kok," kata Yo Siauw.
Di Cong keng kok, rak-rak buku kosong semua! Ke mana perginya beberapa laksa jilid kitab suci"
Semua orang menggeleng-gelengkan kepala. Mereka benar-benar pusing. Andaikata benar pemimpin-pemimpin Siauw lim menyingkirkan diri, sepantasnya mereka harus meninggalkan beberapa orang untuk membersihkan kuil itu. Beng-kauw pasti tidak menyusahkan mereka itu. Apakah jika mereka meninggalkan beberapa orang pemimpin Siauw lim sie kuatir rahasianya terbuka"
Semua orang kembali ke Tay hiong Po thian. Wie It Siauw dan Swee Poet Tek yang menyusul belakangan melaporkan bahwa sesudah menyelidiki seluruh kuil mereka tidak mendapatkan apapun jua bahkan si pendeta penyambut tamupun turut menghilang.
Sementara itu, Yo Siauw memanggil Goan Hoan, pemimpin Houw touw-kie dan memerintahkannya supaya bersama semua anggota bendera tersebut menyelidiki kalau-kalau di dalam kuil tersebut terdapat jalan atau tempat rahasia untuk menyembunyikan diri. Dua jam kemudian Goan Hoan kembali dengan laporan bahwa penyelidikan tidak memberi hasil. Ia hanya menemukan beberapa kamar untuk menutup diri dan bersemedi, tapi kamar itu kosong semua. Goan Hoan adalah seorang ahli bangunan dan di dalam Houw touw-kie terdapat tukang membuat rumah yang pandai. Maka itu, laporan tersebut boleh tidak diragukan lagi.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Yo Siauw, In Thian Ceng, Pheng Eng Giok dan yang lain-lain adalah orang-orang yang berpengalaman luas dan berakal budi. Tapi sekarang mereka menemui jalan buntu. Mereka mengasah otak, berpikir bolak balik tapi mereka tetap tak bisa menembus misteri yang aneh itu.
Selagi mereka berunding, tiba-tiba di sebelah barat terdengar suara kedubrakan sebuah pohon siong tua roboh dengan tiba-tiba. Semua orang kaget dan memburu ke tempat itu. Pohon itu berada di pinggir sebuah perkarangan yang terkurung tembok dan batang yang patah menimpa tembok itu. Waktu didekati, pohon itu ternyata roboh karena terpukul, sebab urat-uratnya di bagian yang patah putus semuanya.
Dilihat dari urat-uratnya yang sudah agak kering, pukulan itu bukan baru terjadi, tapi sudah berselang beberapa hari.
Mendadak beberapa orang mengeluarkan seruan kaget.
"Ih!" "Lihat ini!" "Aha! Di sini terjadi pertempuran hebat!"
Memang dalam perkarangan itu terlihat tanda-tanda bekas pertempuran. Di atas lantai batu hijau, di dahan pohon dan di tembok terlihat bekas bacokan senjata tajam atau pukulan-pukulan yang dahsyat.
Dilihat dari bekas-bekasnya orang-orang yang bertempur adalah ahli-ahli silat kelas satu. Tapak-tapak kaki yang menggores lantai membuktikan Lweekang yang sangat tinggi dari orang-orang yang berkelahi itu.
Mendadak Wie It Siauw mengendus bau darah. Dalam pertempuran itu rupanya sudah mengucur banyak darah tapi karena semalam turun hujan besar, sebagian besar darah itu sudah hanyut dan hanya ketinggalan di beberapa tempat tertentu.
Perkarangan itu sangat besar dan tadi waktu diperiksa, orang tidak memeriksa secara teliti sebab di situ tak terdapat manusia. Kalau pohon siong itu tidak roboh mereka tentu takkan datang lagi ke sini.
"Yo Cosu, bagaimana pendapatmu?" tanya Pheng Eng Giok.
"Pada tiga empat hari yang lalu, di sini telah berlangsung pertempuran yang sangat hebat," jawabnya.
"Hal ini tak usah disangsikan lagi. Apakah orang-orang Siauw lim sie terbasmi semua?"
"Aku sependapat dengan Yo Cosu," kata Pheng Eng Giok. "Tapi siapa musuhnya Siauw lim sie"
Mana ada partai yang begitu lihay" Apa Kay-pang?"
"Biarpun partai besar dan banyak orang pandainya, Kay-pang pasti takkan bisa membasmi semua pendeta dalam kuil ini," kata Ciu Tian. "Yang bisa berbuat begitu hanialah Beng-kauw kita, tapi jelas-jelas bukan kitalah yang melakukannya."
"Ciu Tian lebih baik kau jangan mengeluarkan segala omong kosong," kata Tiat koan Toojin. "Apakah di antara kita ada yang tidak tahu bahwa kita tidak melakukan perbuatan ini?"
Diluar dugaan perkataan Ciu Tian yang dikatakan sebagai omong kosong sudah mengingatkan sesuatu kepada Yo Siauw. "Ah!...," ia mengeluarkan seruan tertahan. "Kauw cu mari kita pergi lagi ke Tat-mo tong."
Bu Kie tahu bahwa ajakan itu mesti ada sebabnya. "Baik," katanya.
Dengan cepat semua orang masuk lagi ke dalam Tat-mo tong. Dalam ruangan itu, di samping sembilan lembar tikar pecah, di atas meja sembahyang terdapat sebuah patung batu dari Tat-mo Couw su. Muka patung itu menghadap tembok, dengan punggung menghadap keluar. Semua orang tahu bahwa itu adalah untuk memperingati satu kejadian penting dalam hidupnya guru besar tersebut. Menurut cerita, sesudah bersemedi menghadap tembok selama sembilan tahun Tat-mo Couw su berhasil mendapatkan inti sari daripada ilmu silat.
"Tapi kita sudah menyelidiki, ada perlu apa kita datang lagi ke sini?" tanya Ciu Tian.
Tanpa meladeni perkataan Ciu Tian, Yo Siauw berkata kepada In Ya Ong. "In Sie heng, aku minta bantuanmu. Mari kita putar patung Tat-mo Couw su."
"Jangan!" cegah In Thian Ceng.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tat-mo Couw su adalah pendiri Siauw lim sie yang dipandang suci dan dipuja bukan saja oleh orang-orang Siauw lim-pay, tapi juga oleh semua tokoh persilatan di kolong langit.
"Eng Ong jangan kuatir," kata Yo Siauw. "Siauw tee bertanggung jawab untuk segala akibatnya,"
seraya berkata begitu ia melompat ke atas meja sembahyang dan coba memutar patung itu. Namun karena terlalu berat, patung itu tidak bergeming.
"Ya Ong, bantulah," kata sang ayah.
In Ya Ong segera melompat ke atas dan dengan tenaga dua orang patung itu yang beratnya dua ribu kati lebih dapat diputar.
Begitu patung diputar, paras muka semua orang berubah pucat. Ternyata muka patung telah dipapas rata sehingga merupakan selembar papan batu dan di atasnya terdapat huruf-huruf yang berbunyi seperti berikut:
"Lebih dahulu membasmi Siauw lim.
Kemudian menumpas Bu tong.
Yang merajai Rimba Persilatan hanialah Beng-kauw."
Huruf-huruf itu ditulis dengan jari tangan yang seolah-olah memahat papan batu itu.
Tanpa merasa semua orang mengeluarkan teriakan kaget. Itulah tipu daya yang sangat busuk, yang menimpakan semua dosa di atas pundak Beng-kauw.
Dengan bersamaan Yo Siauw dan In Ya Ong melompat turun.
"Hidung kerbau Tiat koan!" bentak Ciu Tian. "Jika aku tidak mengeluarkan omong kosong, Yo Cosu pasti tak bisa menebak kejahatan musuh."
Tiat koan Toojin tidak meladeni. Ia tak ada kegembiraan untuk bertengkar dengan saudara yang rewel itu. "Yo Cosu, bagaimana kau dapat memikirkan bahwa pada patung itu terdapat sesuatu yang luar biasa?" tanyanya.
"Tadi waktu pertama kali aku masuk ke sini, aku sudah lihat bahwa patung itu memang digeser orang," jawabnya. "Tapi aku belum dapat berpikir bahwa dalam penggeseran itu bersembunyi tipu daya yang sangat busuk."
"Ada hal lain yang belum dimengerti olehku," kata Pheng Eng Giok. "Tak bisa disangsikan lagi bahwa dengan huruf-huruf itu musuh ingin menumpahkan dosa di atas pundak Beng-kauw supaya kita dikeroyok oleh seluruh Rimba Persilatan. Tapi mengapa musuh itu manghadapkan muka patung ke tembok" Kalau Yo Cosu tidak berotak cerdas, bukankah kitapun tak tahu adanya huruf-huruf itu?"
Yo Siauw manggut-manggutkan kepalanya. "Patung itu telah diputar lagi oleh orang lain," jawabnya.
"Dengan diam-diam, seseorang yang sangat tinggi kepandaiannya telah membantu kita. Kita telah menerima budi yang sangat besar."
Semua orang segera menanyakan siapa adanya orang itu.
Yo Siauw menghela nafas dan berkata, "Akupun tak tahu"."
Perkataan itu tiba-tiba diputuskan oleh teriakan Bu Kie. "Celaka"! Lebih dahulu membasmi Siauw lim, kemudian menumpas Bu tong"Bu tong menghadapi bencana besar!"
"Kita harus segera membantu," kata Wie It Siauw. "Dengan memberi bantuan, kitapun bisa menyelidiki siapa adanya anjing terkutuk itu."
Saat itu, di depan mata Bu Kie segera terbayang kecintaan Thay suhu dan para pamannya. Apa Song Wan Kiauw dan yang lain-lain sudah kembali ke Bu tong"
Di sepanjang jalan ia tak pernah menerima berita mengenai gerak-gerik rombongan Bu tong. Kalau rombongan itu terlambat, maka yang berada di gunung hanialah Thay suhu, murid-murid turunan ketiga dan Sam Supeh Jie Thay Giam yang cacat. Jika musuh menyerang, bagaimana mereka bisa melawannya"
Mengingat begitu, ia bingung bukan main. "Para Cianpwee dan Heng tiang!" katanya dengan suara
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
nyaring. "Bu tong adalah tempat asal dari mendiang ayahku. Sekarang Bu tong menghadapi bencana.
Kalau sampai terjadi sesuatu dikemudian hari, aku sukar menginjak bumi lagi sebagai manusia terhormat.
Menolong orang seperti menolong kebakaran, lebih cepat lebih baik. Sekarang aku ingin minta Wie Hok-ong mengikuti aku untuk berangkat lebih dulu. Yang lain bisa menyusul belakangan. Kuminta Yo Cosu dan Gwa kong sudi mengepalai rombongan kita." Sehabis berkata begitu, ia menyoja dan dengan sekali berkelabat, ia sudah berada di luar kuil. Wie It Siauw mengikuti dengan ilmu ringan badan. Dalam sekejap mereka sudah melewati Lip-soat-teng. Dalam ilmu ringan badan di kolong langit tak ada orang yang bisa menandingi mereka.
Setibanya di kaki gunung Siong san, siang sudah berganti malam. Tapi mereka meneruskan perjalanan dan jalan semalaman suntuk, mereka sudah melalui beberapa ratus li. Kecepatan lari Wie It Siauw tidak kalah dari Bu Kie, tapi dalam jangka waktu panjang, ia kalah tenaga dalam. Biar bagaimanapun jua, lama-lama mereka merasa lelah. "Untuk mencapai Bu tong san dengan kecepatan seperti sekarang, harus menggunakan waktu satu hari satu malam lagi," kata Bu Kie di dalam hati. "Manusia yang terdiri darah dan daging tak akan bisa lari terus menerus. Apalagi dalam menghadapi musuh kelas berat, kita harus menyimpan tenaga!"
Berpikir begitu ia segera berkata, "Wie Hok-ong, setibanya di kota aku ingin membeli dua ekor kuda untuk dijadikan tunggangan."
Wie It Siauw memang sudah punya niat itu, tapi ia merasa malu hati untuk membuka mulut. "Kauw cu beli kuda sangat repot," katanya sambil tersenyum. "Perlu apa kita membuang-buang waktu?"
Tak lama kemudian dari sebelah depan datang lima-enam penunggang kuda. Dengan sekali melompat Ceng-ek Hok-ong sudah mengangkat tubuh dua penunggang kuda yang lalu dilepaskan di tanah dengan perlahan. "Kauw cu, naiklah!" serunya.
Bu Kie ragu. Perbuatan itu tiada bedanya dengan merampok.
"Kauw cu!" teriak Wie It Siauw. "Demi kepentingan urusan besar, kita tidak boleh menghiraukan segala hal remeh."
Beberapa orang itu yang mengerti sedikit ilmu silat segera menyerang. Dengan tangan memegang les kuda, Wie It Siauw menendang kian kemari dan beberapa golok terpental.
"Bangsat! Siapa kau!" bentak salah seorang.
Bu Kie mengerti bahwa jika orang-orang itu diladeni terlalu lama, Beng-kauw akan mendapat lebih banyak musuh. Maka itu, ia segera melompat ke punggung seekor kuda dan lalu kabur bersama-sama Wie It Siauw. Orang-orang itu mencaci tapi mereka tidak berani mengejar.
"Biarpun kita berbuat begini karena terpaksa, tapi orang-orang itupun mungkin mempunyai urusan yang sangat penting," kata Bu Kie. "Aku sungguh merasa tidak enak."
Wie It Siauw tertawa nyaring. "Kauw cu," katanya. "Janganlah kau memikirkan urusan yang tiada artinya. Kalau dulu memang benar kita pernah berbuat seenaknya saja." Sehabis berkata begitu ia tertawa terbahak-bahak.
Mendengar itu Bu Kie berpikir, "Kalau orang menamakan Beng-kauw sebagai agama yang sesat memang beralasan juga. Tapi dalam hakekatnya apa yang benar dan apa yang salah tak gampang disimpulkan dengan begitu saja." Ia ingat bahwa dalam memikul beban Kauw cu yang sangat berat, ia kurang pengalaman dan pengetahuan sehingga ia sering ragu untuk mengambil keputusan. Meskipun ia memiliki ilmu silat yang sangat tinggi tapi urusan-urusan penting di dalam dunia tak bisa dibereskan dengan mengandalkan ilmu silat saja. Dengan pikiran kusut, ia larikan tunggangannya. Ia hanya berharap supaya berhadil dalam usaha menyambut Cia Sun. Agar ia bisa menyerahkan tanggungan yang berat itu kepada ayah angkatnya.
Berpikir sampai di situ, tiba-tiba berkelabat bayangan manusia dan dua orang menghadang di tengah jalan.
Bu Kie dan Wie It Siauw menahan kudanya. Yang mencegat mereka adalah pengemis anggota Kaypang yang bersenjata tongkat baja dan menggendong karung.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"MInggir!" bentak Wie It Siauw sambil mengedut dan menyabet salah seorang dengan cambuk.
Pengemis itu menangkis dengan tongkatnya, sedang kawannya mengeluarkan siulan nyaring seraya mengibaskan tangan kirinya. Tunggangan Wie It Siauw kaget dan berjingkrak. Sesaat itu, dari gombolan pohon-pohon melompat pengemis lain, yang dilihat dari gerakannya berkepandaian cukup tinggi.
"Kauw cu, jalanlah lebih dulu!" seru Ceng-ek Hok-ong. "Biar aku yang melayani kawanan tikus ini."
Bu Kie dongkol bukan main. Pencegatannya itu membuktikan bahwa Bu tong-pay benar-benar menghadapi bencana. Dengan mengingat bahwa Wie It Siauw memiliki ilmu ringan badan yang sangat tinggi sehingga andaikata ia tidak bisa memperoleh kemenangan sedikitnya ia masih bisa menyelamatkan diri, maka Bu Kie segera menjepit perut kuda dengan kedua lututnya dan binatang itu segera lompat menerjang. Dua orang pengemis mencoba merintangi dengan tongkatnya. Sambil mencondongkan badannya, Bu Kie menangkap kedua tongkat itu lalu dilemparkan. Hampir bersamaan kedua pengemis itu mengeluarkan teriakan kesakitan dan roboh di tanah karena tulang betisnya patah terpukul tongkatnya sendiri. Bu Kie sebenarnya tidak berniat melukai orang, tetapi karena melihat empat pengemis yang baru datang dan berkepandaian tinggi, maka ia terpaksa turun tangan untuk membantu Wie It Siauw.
Meskipun Siong san dan Bu tong san terletak di dua propinsi yang berlainan, tapi lantaran yang satu berada di Ho-lam barat dan yang lain berada di Ouw-ak utara, maka jarak antara kedua gunung itu tak begitu jauh. Sesudah melewati Ma san-kauw, daerah di sebelah selatan adalah tanah datar sehingga kuda bisa lari lebih cepat. Kira-kira tengah hari setelah melalui Lweehiang, Bu Kie segera berhenti di satu pasar untuk membeli makanan guna menahan perut.
Selagi makan ia mendadak mendengar pekik kesakitan dari kudanya. Ia menengok dan dengan terkejut ia melihat sebatang pisau tertancap di perut kuda dan berkelabat bayangan manusia yang coba melarikan diri. Tak salah lagi, binatang itu ditikam orang tersebut. Dengan beberapa lompatan Bu Kie berhasil membekuk orang itu yang ternyata juga seorang murid Kay-pang dengna baju berlepotan darah kuda.
Dengan gusar Bu Kie menotok Toa-tio-hiatnya supaya ia menderita tiga hari tiga malam lamanya.
Bu Kie menjadi bingung kudanya mati dan ia tak punya uang lagi. Tapi waktu menggeledah tawanannya ia mendapatkan seratus tail perak lebih. "Kau sudah membunuh kudaku biarlah aku ambil uang ini sebagai gantinya," katanya. Ia pergi ke pasar dan secara kebetulan ia bertemu kuda yang sikapnya garang. Sesudah melemparkan seratus tail perak lebih di tanah, tanpa memperdulikan si pemilik kuda, ia melompat ke punggung kuda yang lalu dilarikannya sekencang-kencangnya.
Tak lama kemudian ia tiba di Sam koan-tian, di tepi sungai Han-sui. Sungguh untung di pinggir sungai kelihatan berlabuh sebuah perahu eretan besar. Sambil menuntun kudanya ia turun ke perahu dan minta diseberangi.
Selagi perahu melaju di tengah sungai, di depan mata Bu Kie terbayang kejadian di masa lampau. Ia ingat, sekembalinya dari Siauw lim sie, waktu lagi menyeberangi Han-sui bersama Thay suhu ia bertemu Siang Gie Cu dan kemudian menolong nona Sie Cu. Dengan pikiran melayang ia mengawasi air sungai yang berombak.
Mendadak ia tersadar dari lamunannya karena perahu bergoyang-goyang. Dengan kaget ia menyadari bahwa perahu bocor, air menerobos masuk dari sebuah liang. Sebagai orang yang pernah menghuni pulau Peng-hwee to, ia pandai berenang. Tapi bila perahu tenggelam perjalanannya jadi terlambat. Ia memutar badan dan melihat si juragan perahu sedang mau melompat ke dalam air dengan bibir tersungging senyuman mengejek. Gerakan Bu Kie cepat luar biasa. Dengan sekali melompat, ia sudah menjambret pakaian orang itu yang lalu ditotok sehingga dia berteriak-teriak. "Lekas kayuh!" bentak Bu Kie. "Kalau kau mau gila lagi, kusodok kedua biji matamu!" Sesudah mendengar ucapan itu, si juragan perahu tidak berani membantah dan segerah mengayuh sekuat-kuatnya. Selagi dia mengayuh, Bu Kie merobek ujung bajunya yang lalu digunakan untuk menyumbat liang kebocoran di dasar perahu.
Sesudah tiba di seberang, sambil mencengkram dada juragan perahu itu, Bu Kie membentak, "Siapa yang suruh kau mencelakai aku?"
Dia ketakutan dan menjawab dengan suara terputus-putus. "Siauw jin"siauw jin"Kay-pang"."
Tanpa menunggu selesainya jawaban, Bu Kie melompat ke punggung kuda yang lalu dilarikan ke arah selatan.
Cuaca sudah mulai berubah gelap. Sesudah berjalan kira-kira satu jam lagi, kuda itu berlutut karena terlalu lelah. Sambil menepuk-nepuk punggung kuda itu, Bu Kie berkata, "Kuda biarlah kau mengaso di
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
sini. Aku perlu segera meneruskan perjalanan." Dengan menggunakan ilmu ringan badan ia segera berlari sekencang-kencangnya.
Sesudah lewat tengah malam, selagi enak berlari-lari dengna kecepatan kilat, sayup-sayup ia mendengar suara kaki kuda yang ramai di sebelah depan. Ia menyusul dan melewati rombongan penunggang kuda itu. Karena gelap dan gerakannya sangat cepat, rombongan yang dilewati tidak mendusin. Dilihat dari arahnya, rombongan itu yang terdiri dari dua puluh orang lebih pasti menuju ke Bu tong san. Mereka terus berjalan tanpa berbicara sehingga Bu Kie tidak bisa mendapat keterangan apapun jua tapi lapat-lapat ia melihat bahwa orang-orang itu berbekal senjata. "Mereka tentu mau menyerang Bu tong san," pikirnya. "Untung juga aku keburu menyusul. Dilihat begini tong-pay belum diserang."
Berselang setengah jam ia kembali bertemu dengan serombongan orang yang menuju ke Bu tong san.
Kejadian itu terulang beberapa kali sehingga ia telah menyusul dan melewati tidak kurang dari lima rombongan orang.
Bu Kie jadi bingung sendiri, "Berapa rombongan yang sudah naik ke atas?" tanyanya di dalam hati.
"Apa mereka sudah bertempur dengan partaiku?" Secara resmi ia sebenarnya belum menjadi murid Bu tong, tapi karena ayahnya ia selalu menganggap dirinya sebagai seorang anggota Bu tong-pay.
Dalam bingungnya, ia lari makin cepat. Ketika tiba di tengah-tengah gunung, di sebelah depan tiba-tiba terdengar suara bentakan dan teriakan. Dengan mengambil jalan mutar, ia bersembunyi. Di lain saat ia lihat bayangan hitam yang sedang uber-uberan di depan, tiga menggenakan baju putih mengejar dari belakang.
"Kepala gundul! Perlu apa kau naik ke Bu tong san?" teriak salah seorang yang mengejar.
"Usahamu untuk menyampaikan berita tidak ada gunanya," sambung yang lain. Hampir bersamaan terdengar suara "srrr"srrr"srrr?" dan beberapa senjata rahasia menyambar kea rah orang yang dauber. Di dengar dari suaranya, orang yang melepaskan senjata rahasia bukan sembarang orang.
"Kalau begitu dia sahabat," pikir Bu Kie. "Aku harus mencegat ketiga pengejar itu." Ia melompat dan menyembunyikan diri di belakang pohon. Di lain saat, orang yang dikejar sudah lewat di depannya.
Orang itu gundul kepalanya, benar seorang hwee-shio. Ia memegang golok yang warnanya kehitam-hitaman dan larinya terpincang-pincang, rupanya ia sudah terluka. Tiga pengejarnya mengikuti dengan cepat. Mereka bersenjata tombak bercagak dan Bu Kie mengenali bahwa mereka itu orang-orang Kay tapi memakai baju putih yang biasa dipakai oleh anggota Beng-kauw.
Darah bu Kie bergolak, "Ayah sering menceritakan bahwa dahulu di bawah pimpinan Kioe cie Sin kay Ang Cit Kong, Kay-pang adalah sebuah partai yang dihormati dan disegani dalam Rimba Persilatan,"
katanya dalam hati. "Siapa nyana sekarang partai itu sudah berubah tidak keruan."
Sementara itu, si pendeta lari terus dengan langkah limbung. "Kepala gundul, berhenti kau!" teriak seorang pengejar. "Siauw lim-pay-mu sudah musnah semuanya. Apa yang bisa diperbuat olehmu seorang diri" Paling baik kau takluk. Beng-kauw bersedia untuk mengampuni."
Bu Kie jadi makin gusar. Karena merasa tidak bisa lari lebih jauh, pendeta itu berhenti memutar badan dan membentak seraya melintangkan goloknya. "Manusia siluman! Aku mau lihat sampai kapan kamu masih bisa berbuat sewenang-wenang. Sekarang aku mau mengadu jiwa dengan kamu."
Ketika anggota Kay-pang itu segera mengurung si pendeta dan menyerang secara hebat. Tapi pendeta itu ternyata berkepandaian cukup tinggi dan melawan dengan gagah. Sesudah bertempur beberapa lama, sambil membentak keras pendeta itu membacok bagaikan kilat dan golok mampir tepat di lengan kiri seorang lawannya. Selagi musuh-musuhnya kaget, ia membabat lagi dan sekali ini berhasil melukai pundak seorang musuh lainnya. Sesudah dua kawannya luka, yang ketiga buru-buru angkat kaki.
Tanpa mengaso lagi pendeta itu lalu mendaki gunung secepatnya.
"Permusuhan antara Beng-kauw dan Siauw lim serta Bu tong masih belum selesai dan dengan adanya siasat busuk ini permusuhan akan menghebat," pikir Bu Kie. "Kalau aku tunjukkan muka, urusan mungkin akan lebih sulit. Paling baik aku menguntit dan bertindak dengan mengimbangi keadaan."
Berpikir begitu, dengan menggunakan ilmu ringan badan, ia mengikuti di belakang pendeta itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Waktu hampir mencapai puncak, tiba-tiba terdengar di belakang, "Sahabat dari mana yang datang berkunjung?" Bentakan itu disusul dengan melompat keluarnya empat orang, dua imam, dua orang biasa dari belakang batu-batu gunung. Mereka adalah murid-murid turunan ketiga dan keempat dari Bu tongpay.
Sambil merangkap kedua tangannya, pendeta itu menjawab. "Kong-siang pendeta Siauw lim, mohon berjumpa dengan Thio Cin-jin dari Bu tong-pay utnuk suatu urusan yang sangat penting."
Mendengar nama "Kong-siang", Bu Kie agak terkejut. "Kedudukan pendeta itu ternyata setingkat dengan ketiga Seng ceng (pendeta suci) dari Siauw lim sie Hong thio Kong-bun, Kong-tie dan Kong-seng. Tidak heran kalau ilmu silat begitu tinggi. Dia benar seorang ksatria," pikir Bu Kie. "Tanpa memperdulikan bahaya dan lelah, dia datang ke Bu tong untuk menyampaikan berita."
"Tay su tentu capai, masuklah untuk minum secangkir teh," kata salah seorang murid Bu tong.
Selagi berjalan, Kong-siang menyerahkan goloknya kepada salah seorang too-jin sebagai tanda menghormati bahwa ia tidak berani masuk ke dalam kuil dengan membawa senjata.
Bu Kie pernah berdiam di Bu tong san. Dengan rasa terharu ia melewati pohon rohon dan batu-batu yang dikenalnya. Keenam murid Bu tong itu lalu mengajak tamunya masuk ke dalam Sam ceng tian dan Bu Kie segera bersembunyi di luar jendela untuk mengamat-amati.
"Too-tiang, lekaslah memberi laporan kepada Thio Cin-jin," kata Kong-siang. "Urusan ini sangat penting dan tidak boleh ditunda-tunda."
"Taysu datang pada waktu yang tidak tepat," kata si imam dengan suara menyesal. "Tahun yang lalu Su cu menutup diri dan sampati sekarang sudah setahun lebih. Kami sendiripun sudah lama tidak pernah bertemu muka dengan orang tua itu."
Alis Kong-siang berkerut, "Kalau begitu, biarlah aku menemui saja Song Thay-hiap," katanya.
Too-jin itu menggeleng-gelengkan kepala. "Toa su-peh belum pulang," jawabnya. "Sebagaimana Taysu tahu bahwa Toa su-peh, Su hu dan para Su siok bersama partai Taysu sendiri telah pergi menyerang Beng-kauw. Sampai sekarang mereka belum pulang."
Bu Kie kaget. Ia sekarang tahu bahwa rombongan Bu tong-pay pun belum kembali dan terdapat kemungkinan besar para pamannya mendapat bencana atau sedikitnya mendapat halangan di tengah jalan.
Kong-siang menghela nafas, "Dilihat begini Bu tong-pay bakal sama nasibnya dengan Siauw lim-pay dan hari ini sukar meloloskan diri dari mara bahaya," katanya dengan suara duka.
Si imam yang tidak mengerti maksud pertanyaan itu segera berkata, "Segala urusan partai kami untuk sementara diurus oleh Tong hian su Su-heng. Aku bisa melaporkan padanya."
"Murid siapa Tong hian Too-tiang?" tanya Kong-siang. Paras muka pendeta itu berubah terang.
"Biarpun Jie Sam-hiap cacat, ia seorang pandai," katanya. "Biarlah aku bicara dengan Jie Sam-hiap saja."
"Baiklah, aku akan menyampaikan keinginan Taysu," kata too-jin itu sambil masuk ke dalam.
Dengan roman tidak sabaran, Kong-siang jalan mondar-mandir dalam ruangan itu. Kadang-kadang ia berhenti dan memasang kuping, kalau-kalau musuh sudah tiba.
Tak lama kemudian too-jin yang tadi keluar dengan tergesa-gesa, "Jie Samsu siok mengundang Taysu," katanya seraya membungkuk. "Samsu siok memohon maaf bahwa ia tidak bisa keluar untuk menyambut Taysu." Sikap too-jin itu sekarang lebih banyak manis daripada tadi. Mungkin sekali, sesudah mendengar bahwa yang datang berkunjung adalah seorang pendeta Siauw lim dari tingkatan
"Kong" Jie Thay Giam sudah memesan supaya dia berlaku hormat terhadap tamu itu.
Bu Kie sebenarnya sangat ingin mengintip dari jendela kamar pamannya, tapi ia segera membatalkan niatnya itu. "Sesudah kaki tangannya lumpuh, kuping dan mata Sam supeh lebih hebat daripada manusia biasa," pikirnya.
"Kalau kau mendengar di luar jendela, ia pasti akan mengetahui." Berpikir begitu, ia lalu berdiri di tempat yang berjarak beberapa tombak dari kamar Jie Thay Giam.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kira-kira sepeminuman teh dengan tersipu-sipu si imam keluar dari kamar. "Ceng-hong! Beng-goat!"
teriaknya. "Kemari!"
Dua too-tong (imam kecil) menghampiri dengna berlari-lari, "Ada apa Susiok?" tanyanya.
"Sediakan kursi tandu, Sam susiok mau keluar," jawabnya.
Kedua too-tong itu mengiyakan dan segera berlalu untuk mengambil kursi tandu.
Tie-kek Too-jin (imam penyambut tamu) yang menyambut Kong-siang adalah murid baru dari Jie Lian Ciu. Bu Kie tidak mengenalnya, karena pada waktu ia berada di Bu tong san imam itu belum menjadi murid. Tapi ia mengenal Ceng-hong dan Beng-goat. Ia pun tahu bahwa saban kali Jie Thay Giam mau keluar, paman itu selalu digotong dengan kursi tandu oleh mereka.
Melihat too-tong itu masuk ke kamar kursi tandu, ia lantas mengikuti dari belakang. Tiba-tiba ia menegur, "Ceng-hong, Beng-goat, apa kalian masih mengenaliku?"
Mereka terkejut dan mengawasi. Mereka merasa bahwa mereka sudah pernah bertemu dengan orang yang menegur itu tapi mereka lupa siapa orang itu.
Bu Kie tertawa dan berkata, "Aku Bu Kie, Siauw susiok-mu! Apa kau lupa?" (Siauw susiok artinya Paman kecil)
Mereka segera mengenali. Mereka girang tak kepalang. "Aha! Siauw susiok pulang!" seru yang satu.
"Apa kau sudah sembuh?"
Usia mereka bertiga kira-kira sepantaran. Dulu waktu Bu Kie di Bu tong san, mereka bersahabat dan sering bermain bersama-sama, main petak umpet, adu lari, adu jangkrik, tangkap kodok dan sebagainya.
Pertemuan yang tidak diduga-duga tentu saja menggirangkan.
"Ceng-hong aku ingin menyamar sebagai kau dan ingin menggantikan tugasmu menggotong. Apa Sam supeh kenali aku atau tidak."
Ceng-hong ragu,"Aku bisa dimarahi"," katanya.
"Tak mungkin!" kata Bu Kie, "Melihatku pulang dengan sehat, Sam supeh tentu kegirangan. Mana ia ada waktu untuk mengusir kau?"
Kedua too-tong itu tahu bahwa semua pemimpin Bu tong-pay dari Couw su sampai pada Bu tong Cithiap sangat mencintai paman kecil itu. Sekarang mendadak Siauw susiok itu pulang dalam keadaan sembuh. Kejadian ini tentu saja kejadian yang sangat menggirangkan. Maka itu mereka berpikir, "Apa halangannya kalau si paman kecil mau berguyon sedikit untuk menggirangkan hati Jie Thay Giam yang sedang sakit?"
"Baiklah Siauw susiok, kami menurut saja," kata Beng-goat.
Sambil tertawa ha ha hi hi Ceng-hong segera membuka pakaian imamnya, sepatu dan kaus kakinya yang lalu diserahkan kepada Bu Kie. Sementara itu Beng-goat membuat kundai imam di kepala sang paman. Dalam sekejap seorang kong-cu yang tampan sudah berubah menjadi seorang too-tong.
"Siauw susiok, tak bisa kau menyamar sebagai Ceng-hong sebab mukamu sangat berlainan," kata Beng-goat. "Begini saja, kau mengaku sebagai seorang murid baru dan menggantikan Ceng-hong yang keseleo kakinya. Tapi kau harus mempunyai nama. Nama apa yang baik?"
Sesudah berpikir sejenak Bu Kie berkata sambil tertawa, "Ceng-hong meniup daun-daun jatuh. Biarlah aku menggunakan nama Sauw-cap." (Ceng-hong Angin, Sauw-yan Menyapu daun) Kedua too-tong itu tertawa nyaring. Ceng-hong menepuk-nepuk tangan dan berseru,
"Bagus!...Sungguh bagus nama itu!"
Selagi mereka bersenda gurau, tiba-tiba terdengar teriakan si too-jin penyambut tamu, "Hei, lagi apa kamu" Mengapa belum juga keluar?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie dan Beng-goat buru-buru memikul kursi tandu dan pergi ke kamar Jie Thay Giam. Dengan hati-hati mereka mengangkat Jie Sam-hiap dan merebahkannya di kursi. Pendekar Bu tong itu kelihatannya diliputi kedukaan dan ia tidak memperhatikan kedua too-tong tersebut. "Pergi ke belakang gunung, ke tempat Couw suya," katanya.
Mereka segera memikul kursi tandu itu dan berangkat. Beng-goat berjalan di depan dan Bu Kie di belakang sehingga Jie Thay Giam hanya melihat punggung Beng-goat. Kong-siang sendiri berjalan di samping tandu. Karena diminta oleh sang paman, too-jin penyambut tamu itu tidak ikut.
Thio Sam Hong menutup diri dalam sebuah gubuk kecil, di hutan bambu di belakang gunung. Tempat itu sunyi senyap kecuali suara burung dan binatang-binatang kecil tidak terdengar suara apapun juga.
Setibanya di depan gubuk Beng-goat dan Bu Kie menghentikan langkah. Baru saja Jie Thay Giam mau memanggil, dari dalam gubuk mendadak terdengar sang guru, "Seng ceng Siauw lim-pay yang mana yang datang berkunjung" Aku minta maaf bahwa aku tidak dapat menyambut dari tempat jauh." Hampir bersamaan pintu bambu terbuka dan Thio Sam Hong berjalan keluar.
Kong-siang kaget. "Bagaimana ia tahu bahwa yang datang adalah pendeta dari Siauw lim sie?"
tanyanya di dalam hati. "Ah! Mungkin ia sudah diberitahukan oleh too-jin penyambut tamu itu."
Tapi Jie Thay Giam tahu bahwa berkat ilmunya yang sangat tinggi, dengan hanya mendengar suara langkah kaki Kong-siang, sang guru sudah bisa menebak partai dari orang yang sedang mendatangi itu, bahkan bisa menebak juga tinggi rendahnya kepandaian itu. Tapi kali ini tebakan Thio Sam meleset sedikit. Ia menduga yang datang adalah salah seorang dari ketiga pendeta suci Siauw lim sie.
Dilain pihak Lweekang Bu Kie lebih tinggi banyak dari Kong-siang. Oleh karena itu dia bisa menyembunyikan gerak-geriknya dari pendengaran Thio Sam Hong, sebab pada hakekatnya seseorang yang Lweekangnya sudah mencapai tingkat tertinggi bisa berbuat sedemikian rupa sehingga yang "berisi"
menjadi "kong", yang "ada" menjadi "tidak ada".
Dengan jantung memukul keras, Bu Kie mengawasi paras muka Thay suhunya. Muka itu tetap bersinar merah tapi dengan rambut dan jenggotnya yang putih semua, paras itu kelihatan lebih tua daripada delapan sembilan tahun berselang. Ia girang bercampur terharu dan tanpa terasa air matanya mengalir keluar. Cepat-cepat ia melengos.
Kong-siang merangkap kedua tangannya, "Kong-siang pendeta Siauw lim sie, menghadap Bu tong Cianpwee Thio Cin-jin," katanya.
Guru besar itu membalas hormat, "Aku tak berani menerima pujian yang sedemikian tinggi," katanya.
"Taysu tak usah menggunakan banyak peradatan. Masuklah."
Mereka berlima segera melangkah masuk. Dalam ruangan gubuk hanya terdapat sebuah meja dan di atas meja sebuah poci teh dan sebuah cangkir. Di lantai tergelar selembar tikar dan di dinding tergantung sebatang pedang kayu. Hanya itulah, tak ada apa-apa lagi.
"Thio Cin-jin," kata Kong-siang dengan suara berduka. "Siauw lim-pay telah mengalami bencana hebat yang belum pernah dialami selama ribuan tahun. Mo-kauw telah menyerang dengan mendadak.
Semua anggota Siauw lim-pay yang berada di dalam kuil dari Hong thio Kong bu Su-heng sampai pada pendeta yang tingkatannya paling rendah, kecuali aku sendiri tidak ada yang lolos. Mereka binasa atau ditawan musuh. Hanya Siauw ceng sendiri yang luput dan siang malam Siauw ceng kabur ke sini.
Serombongan Mo-kauw yang berjumlah besar sedang menuju ke Bu tong san. Mati hidupnya Rimba Persilatan Tiong goan sekarang berada dalam tangan Thio Cin-jin seorang." Sehabis berkata begiut ia menangis sedih sekali.
Biarpun Thio Sam Hong berilmu tinggi dan berusia seabad lebih, mendengar laporan itu ia terkesiap.
Untuk sejenak ia mengawasi Kong-siang dengan mulut ternganga. Sesudah ia menentramkan hatinya lalu ia berkat, "Dalam Siauw lim sie banyak orang yang pandai. Bagaimana kalian sampai mendapat kesukaran begitu besar?"
"Sebagaimana Thio Cin-jin tahu, Kong-tie dan Kong-seng, Jie-wie Su-heng dan para murid Siauw lim sie bersama-sama lima partai besar telah pergi ke daerah barat untuk menumpas Mo-kauw," kata Kong-siang.
"Entah bagaimana mereka dikalahkan, mereka tertawan"."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie terkejut, "Siapa musuh itu?" tanyanya dalam hati.
Sesudah berdiam sejenak, Kong-siang meneruskan penuturannya. "Pada saat kami mendapat laporan bahwa rombongan yang menyerang Mo-kauw telah pulang. Hong thio Kong-bun Su-heng sangat girang dan lalu keluar menyambut dan membawa murid Siauw lim sie. Kong-tie dan Kong-seng Su-heng dan yang lainnya lantas saja masuk ke dalam kuil dan selain mereka juga terdapat kurang lebih seratus tawanan. Waktu itu berada di dalam perkarangan kuil, Kong-bun Su-heng lalu menanyakan perihal berhasilnya keenam partai dalam usaha membasmi Mo-kauw. Kong-tie Su-heng memberikan jawaban yang tidak terang. Mendadak Kong-seng Su-heng berteriak, "Su-heng, awas! Kami semua telah jatuh ke tangan musuh. Semua tawanan adalah musuh!...." Sebelum Hong thio bisa berbuat apa-apa semua tawanan sudah menghunus pedang dan menyerang. Lantaran gugup dan tak membawa senjata, kami segera terdesak. Semua pintu sudah ditutup musuh. Suatu pertempuran yang sangat hebat, kami terbasmi, Kong-seng Su-heng sendiri binasa"." Ia tak bisa meneruskan perkataannya lalu menangis sesegukan.
Thio Sam Hong sangat berduka, "Sungguh jahat!" katanya sambil menghela nafas berulang-ulang.
Sementara itu Kong-siang mengambil buntalan yang digendong di punggungnya. Ia lalu membuka buntalan itu yang di dalamnya terdapat bungkusan kain minyak, semua orang terkesiap karena di dalamnya terdapat satu kepala manusia, kepala Kong-seng Taysu salah seorang dari Siauw lim Seng ceng!
Dengan bersamaan Thio Sam Hong, Jie Giam dan Bu Kie mengeluarkan teriakan kaget.
"Dengan mati-matian aku berhasil merebut jenazah Kong-seng Su-heng," kata Kong-siang dengan air mata bercucuran. "Thio Cin-jin, bagaimana caranya kita harus membalas sakit hati yang besar ini?"
Seraya berkata begitu ia berlutut di hadapan Thio Sam Hong. Guru besar itu membungkuk untuk membalas hormat.
Rasa duka dan gusar mengaduk dalam dada Bu Kie. Ia ingat bahwa dalam pertempuran di Kong beng-teng Kong-seng Taysu telah memperlihatkan ksatriaannya dan sifat-sifatnya yang agung sehingga ia boleh tak usah malu menjadi seorang guru besar dari Siauw lim-pay itu. Siapa nyana ksatria telah binasa dalam tangannya manusia-manusia terkutuk"
Melihat Kong-siang masih mendekam di lantai sambil menangis, Thio Sam Hong mengangsurkan kedua tangannya dan mengangkatnya seraya berkata, "Kong-siang Su-heng, Siauw lim dan Bu tong pada hakekatnya adalah sekeluarga. Sakit hati ini tidak bisa tidak dibalas"." Bersamaan dengan perkataan
"dibalas" mendadak saja Kong-siang mengangkat kedua telapak tangannya dan menghantam ke punggung Thio Sam Hong!
Itulah kejadian yang takkan diduga oleh siapapun juga, Thio Sam Hogn seorang guru besar yang berpengalaman sangat luas. Tapi iapun tak pernah mimpi bahwa seorang pendeta beribadat dari Siauw lim sie yang mempunyai sakit hati hebat dan dari tempat jauh untuk menyampaikan kabar penting bisa memukul dirinya. Dalam sedetik, pada saat Kong-siang baru menyentuh punggungnya, ia bahkan menduga bahwa karena terlalu berduka pendeta itu jadi was-was dan menganggap ia sebagai seorang musuh. Tapi di detik lain ia terkesiap. Pukulan itu adalah Kam kong Pan jiak ciang dari Siauw lim-pay dan Kong-siang telah menghantam dengan seluruh tenaganya. Muka pendeta itu pucat bagaikan kertas tapi pada bibirnya tersungging senyuman mengejek.
Melihat kejadian ini kagetnya Jie Thay Giam, Bu Kie dan Beng-goat bagaikan disambar halilintar.
Mereka terpaksa dan mengawasi dengan mulut ternganga. Karena cacat, Thay Giam tak dapat membantu gurunya. Untuk beberapa detik, Bu Kie yang belum berpengalaman masih belum mendusin bahwa dengan pukulan itu si pendeta mencoba mengambil jiwa Thay suhu-nya. Sebelum mereka bergerak, Thio Sam Hong sudah angkat tangan kirinya dan menepuk batok kepala Kong-siang. Berbarengan dengan suara "plak" tepuknya yang kelihatan enteng itu sudah menghancurkan kepala si pendeta yang segera roboh tanpa bersuara lagi. Dengan latihan hampir seabad, Lweekang guru besar itu sukar diukur bagaimana tingginya. Meskipun Kong-siang serang dengan ilmu kelas satu, ia masih tak mampu melawan tepukan yang enteng itu.
Sesudah hilang kagetnya, Jie Thay Giam teriak, "Suhu! Kau"." Ia tak meneruskan perkataannya sebab sang guru sudah pejamkan kedua matanya dan dari kepalanya keluar uap putih, satu tanda bahwa guru besar itu sudah mengerahkan Lweekang untuk mengobati lukanya. Beberapa saat kemudian, mendadak Sam Hong membuka mulutnya dan memuntahkan darah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie kaget bukan kepalang. Ia sekarang tahu bahwa Thay suhu menderita luka berat. Kalau darah itu berwarna ungu hitam maka dengan mempunyai Lweekang yang tinggi kesehatan guru besar itu aka segera pulih. Tapi darah yang barusan dimuntahkan adalah darah segar. Ini merupakan petunjuk bahwa isi perut Sam Hong sudah terluka hebat. Sesaat itu beberapa ingatan keluar masuk dalam otaknya. Apa yang harus diperbuatnya" Apa sebaiknya ia segera memperkenalkan diri dan menolong Thay suhunya"
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum ia bisa mengambil keputusan, di luar pintu mendadak terdengar suara langkah kaki. Langkah itu cepat sekali datangnya tapi segera berhenti di luar pintu. Orang itu yang rupanya sedang kebingungan tak berani membuka suara.
"Siapa" Apa Cong-hian" Ada apa?" tanya Thay Giam.
"Benar," jawab too-jin penyambut tamu itu. "Melaporkan kepada Sam susiok bahwa sejumlah besar musuh sudah berkumpul di luar kuil. Mereka mengenakan seragam Mo-kauw. Mereka mau bertemu dengan Couw su Ya ya dan mereka mengeluarkan perkataan-perkataan kotor, mereka bilang mau injak Bu tong-pay sampai jadi tanah rata."
"Diam!" bentak Thay Giam. Ia kuatir gurunya jadi lebih sakit karena laporan itu.
Perlahan-lahan Thio Sam Hong membuka kedua matanya dan berkata dengan suara perlahan. "Kim kong Pan jiak ciang benar-benar hebat. Untuk sembuh aku harus beristirahat tiga bulan lamanya."
"Kalau begitu Thay suhu menderita luka lebih berat dari dugaanku," kata Bu Kie di dalam hati.
"Dalam serangannya ini, Beng-kauw pasti sudah membuat persiapan sempurna," kata Sam Hong pula.
"Hai! Bagaimana dengan Wan Kiauw Lian Ciu dan yang lain-lain" Thay Giam, apa yang harus kita perbuat?"
Si murid tak menyahut. Ia mengerti bahwa kecuali sang guru dan ia sendiri, murid-murid Bu tong lainnya, murid-murid turunan ketiga dan keempat tak akan mampu menahan musuh dan mereka hanya akan membuang jiwa dengan sia-sia. Maka itu, jalan satu-satunya adalah mengorbankan jiwa sendiri supaya sang guru bisa menyingkirkan diri untuk mengobati lukanya, untuk membalas sakit hati di kemudian hari. Berpikir begitu, ia segera berkata dengan suara nyaring, "Cong-hian, beritahukan orang-orang itu bahwa aku akan segera keluar untuk menemui mereka. Minta mereka tunggu di Sam cong tian."
"Baiklah," kata Cong-hian yang lalu berjalan pergi.
Kisah Pembunuh Naga Jilid 48 Karya Chin Yung ================ Thio Sam Hong dan Jie Thay Giam sudah menjadi guru dan murid selama puluhan tahun dan mereka sudah saling mengenal isi hati masing-masing. Mendengar perkatahan Thay Giam, Sam Hong segera mengerti maksud si murid. Ia tersenyum-senyum dan berkata, "Thay Giam, hidup atau mati, dihormati dan dihina, adalah soal-soal remeh. Tapi pelajaran istimewa dari Bu Tong Pay tidak boleh karena itu menjadi putus di tengah jalan. Dalam menutup diri selama delapan belas bulan, aku telah mendapatkan intisari dari ilmu silat dan telah mengubah Thay Kek Kun serta Thay Kek Kiam. Kedua ilmu ini sekarang aku hendak turunkan kepadamu." Thay Giam tertegun. Sebagai seorang bercacat, mana bisa ia belajar silat" Disamping itu musuh sudah masuk ke dalam kuil! Mana ada waktu lagi untuk menurunkan ilmu silat" "Suhu" " katanya dengan tergugu.
Thio Sam Hongtertawa tawar. "Sedari didirikan, Bu Tong Pay kita telah melakukan banyak perbuatan baik, sehingga menurut pantas partai kita tidak akan musnah dengan begitu saja," katanya. "Thay Kek Kun dan Thay Kek Kiam yang digubah olehku berlainan dengan ilmu silat yang pernah dikenal semenjak dahulu. Dasar daripada ilmu ini ialah: "yang tenang menindih yang bergerak, yang bergerak belakangan menguasai yang duluan. Thay Giam, gurumu sudah berusia lebih dari seratus tahun. Andaikata hari ini dia tidak bertemu dengan musuh berapa tahun lagi dia bisa hidup" Aku merasa girang, bahwa pada saat-saat terakhir dari penghidupanku aku masih bisa mengubah ilmu silat ini. Wan Kiauw, Lian Ciu, Siong Kee, Lie Heng dan Seng Kok tidak berada di sini. Kecuali Ceng Su, diantara murid-murid turunan ketiga dan keempat tidak terdapat orang yang berpangkat baik. Tapi Ceng Su pun tak berada di sini. Maka itu, Thay Giam, kau adalah orang satu-satunya yang bisa menerima warisan ini. Dihormatinya atau dihinanya
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Tong Pay, disatu waktu tertentu tidaklah menjadi soal. Soal yang penting adalah semoga Thay kek Kun dapat diwariskan kepada orang-orang yang hidup di zaman belakangan. Kalau harapanku ini bisa terwujud, maka Bu Tong Pay pasti akan bisa hidup abadi selama ribuan tahun," ia mengucapkan kata-kata itu dengan semangat gelora seolah-olah melupakan rombongan musuh yang sudah menumbuh di luar.
Dengan mata mengembang air, Thay Giam manggut-manggutkan kepalanya. Ia mengerti maksud sang guru. Ia mengerti, bahwa sang guru memerintahkan supaya ia menelan segala hinaan, agar ia dapat mewariskan ilmu silat Bu Tong Pay kepada dunia.
Perlahan-lahan Thio Sam Hong berdiri. Kedua tangannya diturunkan belakang tangannya menghadap ke luar, jari-jarinya ditekuk sedikit dan kedua kakinya dipentang. Sesudah itu, dengan perlahan ia mengankat kedua lengannya. Di depan dada, lengan kiri ditekuk, telapak tangan menghadapi muka, sehingga merupakan Im Ciang. Hampir berbareng, telapak tangan kanannya dibalik menjadi Yan Ciang.
"Inilah permulaan Thay Kek Kun." Katanya. Sesudah itu, sejurus demi sejurus, ia mulai bersilat sambil menyebutkan nama-nama setiap pukulan Lang Ciak Pwee, Tan Pian, Tee Chioe Siang Sit, Pek Ho Liang Cie, Siowsit Youw Pwee, Ciu Hwie Pee, Cin Po Pan Lan Toei, Jie Hong Sit Pit, Po Houw Kwie Shoa, Cap Jie Chioe.
Dengan sepenuh perhatian Bu Kie mengawas saban pukulan. Semula ia menduga Thay Suhu sengaja perlambat gerakannya, supaya Jie Thay Giam bisa melihat dengan tegas. Pada jurus ketujuh yaitu, Ciu Hwee Pie Pee, dengan Yang Ciang pada tangan kiri dan Im Ciang pada tangan kanan dan dengan mengawasi tangan kirinya Thio Sam Hongmendorong telapak tangannya dengan perlahan. Dorongan itu kelihatannya berat seperti gunung, tapi juga enteng bagaikan bulu burung.
Tiba-tiba Bu Kie mendusin. "Ah! Inilah yang dinamakan perlahan mengalahkan yang cepat, yang tenang menguasai yang bergerak!" katanya di dalam hati. "Aku taknyana dalam dunia terdapat ilmu silat yang begitu lihaI." Ia memang sudah memiliki ilmu silat tinggi. Begitu dapat menangkap intisari Thay Kek Kun, perhatiannnya jadi lebih besar.
Thio Sam Hongbersilat terus dengan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan yang merupakan lingkaran dan setiap jurus mengandung perubahan Im Yang dari Thay Kek Sit. Ilmu silat itu digubah dari kitab Ya Keng dari tiongkok purba dan berbeda dengan ilmu silat Tat Mo CouwSu. Biarpun belum tentu menang, ilmu itu sedikitnya tidak usah kalah dari pelajaran Tat Mo.
Kira-kira semakanan nasi Thio Sam Hongselesai dan lalu berdiri tegak. Sesudah itu ia memberi pelajaran tentang pukulan-pukulan yang tadi diperlihatkannya.
Jie Thay Giam mendengar tanpa membuka mulut. Ia tahu, bahwa waktu sudah mendesak dan ia tak keburu mengajukan pertanyaan-pertanyaan lagi. Banyak yang tidak dimengerti olehnya dan hanya diingat saja dalam otaknya. Andaikata sampai terjadi sesuatu yang tidak diharapkan atas diri sang guru, ia bisa mengajar Kouw Koat (toori) itu kepada orang lain, supaya di hari kemudian seseorang yang cerdas dan berbakat bisa memecahkan artinya yang dalam.
Dilain pihak, Bu Kie berhasil menyelami hampir seluruh pelajaran itu. Kouw Kaot dan cara-cara latihan Kian Kun Tay Lo Ie berbeda dengan thay Kek Kun, tapi pada hakekatnya, dasar kedua ilmu silat itu adalah sama. Kedua-duanya berdasarkan "meminjam tenaga untuk memukul tenaga." Maka itulah, setiap jurus dan penjelasan Thio Sam Hongdapat ditangkap olehnya.
Melihat paras bimbang pada muka muridnya. Thio Sam Hongbertanya, "Thay Giam, berapa bagian yang dapat dimengerti olehmu?"
"Murid berotak tumpul, hanya mengerti tiga empat bagian," jawabnya. "Tapi murid sudah menghafal semua jurus dan Koaw Koat yang diberikan Suhu."
"Aku banyak menyusahkan kau," kata pula sang Guru. "Kalau Wan Kiauw berada di sini, ia pasti dia, bisa menangkap lima bagian dari pelajaran ini. Hai! Diantara murid-muridku, Ngo Sutee-mu yang berotak paling cerdas, hanya sayang, siang-siang ia sudah meninggal dunia. Jika ia masih hidup, dibawah pimpinanku dalam lima tahun ia tentu sudah bisa mewarisi seantero pelajaran ini."
Mendengar mendiang ayahnya disebut-sebut, jantung Bu Kie memukul keras.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah berdiam sejenak, Thio Sam Hongberkata pula: "Nah sekarang perhatikan ini. Tenaga pukulan kelihatannya enteng, tapi tidak enteng, agaknya sudah dikerahkan, tapi belum dikerahkan, seolah-olah putus, tapi sebenarnya belum putus.. "
Ia berhenti karena dari Sam Ceng Tian tiba-tiba terdengar teriakan. "kalau Thio Sam Hongbersembunyi terus, lebih dahulu kita binasakan murid-murid dan cucu-cucu muridnya!"
"Bu!" menyambung seorang lain. "Bakar saja kuil ini!"
"Mampus dibakar terlalu enak untuk dia," kata orang ketiga sambil tertawa, nyaring. "Kita harus tangkap dia, belenggu kaki tangannya, arak dia ke pusat berbagai partai, supaya semua orang bisa lihat macamnya gunung Thay San dan Bintang Pak Tauw dari dunia persilatan."
Jarak antara gubuk di belakang gunung itu dan Sam Ceng Tiang kira-kira satu li, tapi suara mereka terdengar tegas sekali, sehingga dapat dilihat, bahwa musuh sengaja memperlihatkan Lweekang mereka dan memang juga, tenaga dalam itu harus diakui kelihatannya.
Mendengar cacian itu, tak kepalang gusarnya Jie Thay Giam, sehingga kedua matanya seolah-olah mengeluarkan api.
"Thay Giam," kata sang guru, "apa kau sudah lupa pesanku" Jika kau tidak bisa menelan hinaan, cara bagaiman akau bisa memikul tanggung jawab yang sangat berat itu?"
"Benar," kata si murid sambil menundukkan kepala.
"Kau bercacat dan musuh tentu tak akan turunkan tangan jahat atas dirimu." Kata pula Thio Sam Hong. "Sekali lagi aku meminta supaya kau menahan napsu amarah. Manakala kau tidak bisa menyebar pelajaranku kepada turunan yang belakangan, maka aku menjadi seorang yang berdosa dari partai kita."
Thay Giam mengeluarkan keringat dingin. Ia mengerti maksud gurunya. Demi kepentingan Bu Tong Pay, ia diperintah menelan segala hinaan.
Sesudah berkata begitu Thio Sam Hongmengeluarkan sepasang Loo Han besi dari sakunya dan menyerahkannya kepada si murid. Menurut katanya Kong Siang, Siauw Lim Pay sudah termusnah, katanya. Entah benar, entah dusta, kita tak tahu. Tapi bahwa seorang tokoh Siauw Lim Pay seperti dia menaklukkan kepada musuh dan kemudian membokong aku, dapatlah kita menarik kesimpulan, bahwa Siauw Lim Pay benar sudah mendapat bencana. Pada kira-kira seratus tahun yang lalu, Kwee Siang Lie Hiap telah menghadiahkan sepasang Loo Han ini kepadaku. Dihari kemudian serahkan kepadaku ahli waris Siauw Lim Pay. Aku berharap bahwa dengan bantuan sepasang Loo Han ini, sebagian ilmu silat Siauw Lim Sie akan dapat mempertahankan!" Sesudah memberi keterangan, sambil mengipaskan tangan jubah, ia bertindak keluar pintu.
"Mari kita ikut, kata Thay Giam, Bu Kie dan Beng Goat lantas saja memikul kursi tandu dan mengikuti di belakang guru besar itu.
Setibanya di Sam Ceng Tian, mereka mendapat kenyataan, bahwa di ruangan itu sudah penuh dengan manusia yang berjumlah kurang lebih tiga ratus orang, Thio Sam Honghanya mengangguk dan tidak mengeluarkan sepatah kata.
Inilah guruku, Thio Cin Jin," kata Jie Thay Giam dengan suara nyaring. Perlu apa kalian naik ke Bu Tong San?"
Semua mata ditujukan kepada Thio Sam Hong, tokoh tertua dalam rimba persilatan yang namanya menggetarkan seluruh dunia. Guru besar itu mengenakan jubah hitam warna abu, rambut dan jenggotnya putih laksana perak, sedang badannya tinggi besar.
Sedang semua orang mengawasi Thio Sam Hong, Bu Kie menyapu seluruh ruangan dengan matanya.
Ia mendapat kenyataan, bahwa separuh dari orang-orang itu memakai seragam Beng Kauw dan berapa belas orang, yang rupa-rupanya juga jadi pemimpin, mengenakan pakaian biasa.
Sekonyong-konyong di luar pintu terdengar teriakan "Kauw Cu tiba" "
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ruangan Sam Ceng Tian lantas saja berubah sunyi. Belasan pemimpin itu dengan tergesa-gesa keluar menyambut, diikuti oleh yang lain dan dalam sekejab beberapa ratus orang sudah keluar dari Sam Ceng Tian.
Tak lama kemudian, orang-orang itu kembali tapi mereka tidak lantas masuk dan berhenti di luar pintu. Bu Kie melongok keluar dan tiba-tiba saja ia terkesiap, karena ia lihat delapan orang memikul sebuah joki indah yang dikawal oleh enam tujuh orang dan delapan tukang pikul itu bukan lain dari Sin Cian Pat Hiong. Cepat-cepat ia mengusap debu lantai dengan kedua tangannya. Melihat begitu, Beng Goat geli bercampur takut, ia menduga bahwa perbuatan Bu Kie terdorong oleh perasaan takut. Dalam bingungnya, iapun segera memoles debu pada mukanya sehingga di lain saat kedua Too Tong itu sudah berobah menjadi badut wayang.
Joli diturunkan tirai disingkap dan dari dalam joli, keluar seorang Kong Cu tampan yang menikam jubah panjang warna putih dengan sulaman obor kemerah-merahan pada tangan bajunya. Ia itu bukan lain daripada Tio Beng.
Dengan diiring oleh belasan pemimpin rombongan, sambil menggoyang-goyangkan kipasnya, si nona bertindak masuk. Seorang pria yang bertubuh jangkung itu maju lebih dulu dan kemudian berkata sambil membungkuk. "Melaporkan pada Kauw Cu, yang itu Thio Sam Hong, yang itu yang bercacat, Jie Thay Giam, murid ketiga dari Bu Tong Pay.
Tio Beng manggut-manggutkan kepala. Ia maju beberapa tindak menutup kipasnya dan lalu menyoja seraya membungkuk. "Boan Seng Thio Bu Kie pemimpin Beng Kauw!" katanya. "Boan Seng bersyukur, bahwa hari ini bisa bertemu dengan Gunung Thay san dari rimba persilatan."
Bu Kie kaget dan gusar. Di dalam hati, ia mencaci wanita itu yang sudah menyamar sebagai dirinya dan menipu Thay Suhu.
Mendengar nama Thio Bu Kie, Thio Sam Hongheran, "Mengapa namanya bersamaan dengan nama anak Thio Bu Kie" Tanyanya di dalam hati. Ia membalas hormat dan menjawab, "Sebab tak tahu Kauw Cu dari tempat jauh. Untuk kelainan itu kuharap Kauw cu suka memaafkan."
"Bagus, bagus!" kata si nona.
Dengan diikuti oleh seorang Too Tong bagian depan Tie Kek Toojin menyuguhkan the. Tio Beng duduk di kursi seorang diri. Orang-orang bawahannya berdiri jauh-jauh dengan sikap hormat.
Sebagai seorang yang sudah memiliki usia seabad lebih dan memiliki ilmu yang sangat tinggi, Thio Sam Hongmempunyai ketenangan luar biasa dan tak menghiraukan lagi segala apa yang bersifat keduniawian. Akan tetapi, ikatan antara guru dan murid adalah sedemikian erat, sehingga dalam ketenangannya, guru besar itu masih memikirkan keselamatan murid-muridnya. "Dengan tidak mengimbangi tenaganya yang sangat kecil, beberapa murid Lao Too telah pergi ke tempat Thio Kauw Cu untuk meminta pelajaran," katanya.
"Sampai kini mereka belum pulang. Apakah Thio Kauw Cu sudi memberi sedikit keterangan?"
Tio Beng tertawa, "Song Tay Hiap, Jie Tay Hiap, Thio Sie Hiap, dan Boh Cit Hiap sudah berada dalam tangan Beng Kauw."
"Mereka mendapat luka enteng karena totokan dan sama sekali tidak membahayakan jiwa mereka."
"Luka totokan mungkin berarti luka kena racun," kata Thio Sam Hong.
Tio Beng tersenyum. "Thio Cin Jin kelihatannya sangat mengagulkan kepandaian Bu Tong Pay,"
katanya. "Kalau Thio Cin Jin menduga kena racun, biarlah kita anggap mereka kena racun."
Thio Sam Hongmengenal kepandaian murid-muridnya. Mereka adalah ahli-ahli silat kelas satu pada zaman itu. Andaikata benar, karena berjumlah kecil mereka tak dapat melawan musuh yang jumlahnya besar. Biar bagaimanapun jua mesti ada beberapa orang yang bisa meloloskan diri untuk menyampaikan berita. Jika tidak menggunakan racun, musuh tak mungkin bisa merobohkan atau menangkap mereka semua.
Mendengar jitunya tebakan guru besar itu, Tio Beng pun tak mau membantah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Dimana adanya muridku yang she In?" tanya pula Thio Sam Hong.
Si nona menghela napas, "In Liok Hiap telah dibokong oleh orang-orang Siauw Lim Pay dan keadaannya bersamaan dengan Jie Sam Hiap," jawabnya. "Tulang kaki tangannya dihancurkan dengan Kim Kong Cie sehingga biarpun tidak binasa, ia sudah menjadi seorang bercacat yang tidak dapat bergerak pula."
Paras muka Thio Sam Hongjadi lebih pucat. Ia tahu, Tio Beng tidak berdusta. Tiba-tiba ia memuntahkan darah.
Orang-orang itu yang berdiri di belakang si nona kelihatan bergirang sebab muntah darah itu sebagai bukti bahwa Kong Siang sudah berhasil dalam bokongannya. Lawan paling berat sudah terluka berat dan mereka boleh tak usah takut lagi.
"Dengan setulus hati aku ingin memberi nasehat, hanya aku tak tahu apakah Thio Cin Jin suka mendengarnya," kata Tio Beng.
"Kauw Cu boleh bicara."
"Selebur bumi di kolong langit ini adalah milik kaisar, keangkeran kaisar Mongol kami meliputi empat lautan. Jika Thio Cin Jin suka menakluk kepada kaisar Hong Siang tentu akan memberi anugerah dan Bu Tong Pay akan menikmati zaman gilang gemilang. Disamping itu Song Tay Hiap dan yang lain-lainpun bisa segera pulang dengan selamat."
Thio Sam Hongmendongak dan mengawasi genteng. Sesudah itu, perlahan-lahan ia berkata dengan suara dingin. Walaupun Beng Kauw banyak melakukan perbuatan yang tidak patut, semenjak dahulu agama itu menentang penjajah Goan. Lagi kapan Beng Kauw menakluk kepada kerajaan" Lao Too belum pernah mendengar kejadian itu."
"Meninggalkan tempat gelap dan pergi ke tempat terang adalah perbuatan seorang gagah sejati," kata Tio Beng. "Siauw Bun dan Kong Tie Seng Ceng sampai pada pendeta yang berkedudukan paling rendah sudah menunjuk kesetiaannya kepada kerajaan. Tindakan kami adalah demi kepentingan negara dan mengikuti tindakan segenap orang gagah di seluruh rimba persilatan. Apa hal itu mengharapkan Thio Cin Jin.
Kedua mata Thio Sam Hongberkeredepan bagaikan kilat dan sorot matanya yang setajam pisau mengawasi muka si nona. "Orang Goan kejam dan banyak mencelakai rakyat," katanya dengan suara gemetar. "Diwaktu ini, segenap orang gagah di kolong langit bangkit serentak untuk mengusir penjajah dan merampas pulang sungai dan gunung kita. Di dalam hati setiap anak cucu Oey Tee terdapat tekad untuk mengusir Tat Cu. Tindakan inilah yang bisa dinamakan sebagai tindakan demi kepentingan negara.
Biarpun hanya seorang pertapaan, ". mengenal juga peribudi luhur. Kong Bun dan Kong Tie adalah pendeta-pendeta suci. Manabisa mereka ditundukkan dengan kekerasan" Nona, mengapa kau bicara begitu sembarangan?"
Mendadak seorang pria tinggi besar yang berdiri di belakang Tio Beng melompat ke luar dan membentak. "Bangsat tua, jangan kau menggoyang lidah seenaknya saja! Bu Tong Pay sedang menghadapi kemusnahan. Kau sendiri tidak takut mati, tapi apakah ratusan imam yang berada di kuil inI juga tak takut mati?" Ia bicara dengan suara yang disertai Lweekang dan sikapnya garang sekali.
Mendengar cacian itu, Thio Sam Hongberkata dengan suara tawar. "Semenjak dahulu, manusia mana yang tak pernah mati, aku menggunakan kesetian untuk mencatat kitab sejarah." Kata-kata itu adalah sajak gubahan Bu Thian Siang yang sangat dikagumi Thio Sam Hong. Selama hidup sering kali ia rasa menyesal, bahwa waktu Bu Thian Siang menghadapi kebinasaan, ia tidak bisa menolong sebab ilmu silatnya belum cukup tinggi. Sekarang dalam menghadapi kematiannya sendiri tanpa merasa ia menyebutkan sajak itu. Sesudah berdiam sejenak, ia menambahkan, "Sebenarnya Bu Sin Siang pun terlalu kukuh. Aku hanya ingin bersetia terhadap nusa dan bangsa. Aku tak perduli apa yang akan ditulis dalam kitab sejarah," ia lirik Jie Thay Giam dan berkata di dalam hati, "aku hanya mengharap agar Thay Kek Kun bisa diwariskan kepada orang-orang yang hidup di zaman belakangan. Tapi" hai! Jika aku mengharap begitu, bukankah akupun memikirkan soal sesudah aku meninggal dunia" Bukankah sikapku jadi bersamaan dengan sikap Bu Sin Siang" Hai, perduli apa bisa diwariskan atau tidak! Perduli apa mati hidupnya mati Bu Tong Pay!"
Tiba-tiba Tio Beng mengibaskan tangan kirinya dan pria tinggi besar itu lantas saja mundur sambil membungkuk. Si nona tersenyum dan berkata, "Thio Cin Jin ternyata seorang kukuh, biarlah untuk sementara kita tidak bicara lagi. Mari! Semua ikut aku!" seraya berkata begitu, ia berbangkit.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Hampir berbareng empat orang yang tadi berdiri di belakang Tio Beng, melompat dan mengurung Thio Sam Hong. Keempat orang itu ialah si pria tinggi besar, seorang yang mengenakan dandanan pakaian pengemis, seorang hwesio kurus dan seorang wanita setengah tua. Dilihat gerak-geriknya mereka semua ahli silat kelas utama.
Bu Kie kaget, "Darimana Tio KouwNio mendapat orang yang begitu lihai?" tanyanya di dalam hati.
Keadaan sudah mendesak! Kalau Thio Sam Hongtidak mengikut, keempat orang itu pasti akan menggunakan kekerasan.
"Jumlah musuh sangat besar dan mereka semua kawanan manusia tidak mengenal malu, tidak dapat dibandingkan dengan enam partai yang mengurung Kong Beng Teng, pikir Bu Kie. "Biarpun aku dapat merobohkan beberapa orang, yang lain pasti dan akan mengerubuti. Sangat sukar untuk aku melindungi Thay Suhu dan Sam Supeh. Tapi keadaan sudah jadi begini, Sudahlah! Jalan satu-satunya ialah mengadu jiwa.
Tapi baru saja ia mau menerjang, di luar pintu mendadak terdengar suara tertawa yang sangat nyaring, disusul dengan berkelabatnya masuknya satu bayangan hijau.
Gerakan orang itu cepat luar biasa, laksana angin, bagaikan kilat. Begitu berkelebat masuk, ia sudah berada di belakang si pria tinggi besar juga cukup lihai. Tanpa memutar badan, ia menangkis dengan sepenuh tenaga. Tapi orang itu sudah keburu menarik pukulan-pukulannya dan dengan berbereng tangan kirinya menepuk pundak wanita setengah tua. Wanita itu berkelit seraya menendang, tapi ia menendang angin, karena orang itu sudah melompat ke samping dan menghantam si pendeta. Dalam sekejab ia sudah mengirim empat pukulan kepada empat jago itu. Biar semua pukulan gagal, kecepatan gerakan itu sungguh menakjubkan. Keempat jago itu mengerti, bahwa mereka sedang menghadapi lawan berat.
Dengan serentak mereka melompat mundur untuk melakukan serangan teratur.
Tanpa menghiraukan gerakan musuhnya, orang yang mengenakan pakaian hijau itu sudah menghampiri Thio Sam Hongdan sambil membungkuk, ia berkata "boanpwee Wie It Siauw, orang sebawahan Thio Kauw Cu dari Beng Kauw memberi hormat kepada Thio Cin Jin!" orang itu, memang bukan lain daripada Wie It Siauw yang sesudah berhasil mengelakkan musuh, buru-buru menyusul Bu Kie.
Mendengar perkataan, orang sebawahan Thio Kauw Cu dari Beng Kauw, Thio Sam Hongsemula menganggap, bahwa ia adalah kaki tangan Tio Beng dan serangannya terhadap keempat jago itu hanya berpura-pura. Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara tawar "Wie Sian Seng tak usah menggunakan banyak peradatan. Sudah lama kudengar bahwa Ceng Ek Hok Ong memiliki ilmu ringan badan yang sangat luar biasa. Hari ini baru aku tahu, bahwa pujian itu bukan pujian kosong!"
Wie It Siauw girang, "Thio Cin Jin adalah gunung Thay san dari rimba persilatan," katanya. Pujian Thio Cin Jin sungguh-sungguh membikin terang muka Boanpwee," sehabis berkata begitu, ia memutar tubuh dan membentak sambil menuding Tio Beng.
"Tio Kouw Nio! Perlu apa kau merusak nama baiknya Beng Kauw" Kalau kau laki-laki sejati, mengapa kau menggunakan tipu yang begitu busuk?"
Si Nona tertawa geli," aku memang bukan laki-laki," jawabnya. "kalau aku menggunakan tipu busuk, kau mau apa?"
Ceng Ek Hok Ong tertegun. Ia insyaf bahwa ia sudah salah omong. Sesudah kagetnya hilang, ia berkata dengan sungguh-sungguh. "siapa sebenarnya kamu semua, lebih dahulu menyerang Siauw Lim, kemudian membokong Bu Tong. Kalau kamu hanya bermusuhan dengan Siauw Lim dan Bu Tong, Beng Kauw tak perlu campur. Tapi kamu menyuruh sebagai orang-orang Beng Kauw, aku Wie It Siauw tidak bisa tidak campur tangan!"
Thio Sam Hongmemang tidak begitu percaya, bahwa Beng Kauw yang sudah berseteru dengan kerajaan Goan selama hampir seratus tahun bisa gampang menekuk lutut.
Mendengar perkataan dari Wie It Siauw, ia berkata di dalam hati. "Walaupun Mo Kauw mempunyai nama tak baik, tapi dalam soal penting para anggotanya ternyata bisa berpendirian secara tegas sekali."
Sementara itu, Tio Beng sudah berpaling kepada si pria tinggi besar dan berkata, "Dengarlah, suaranya besar sungguhan! Coba kau jajal-jajal kepandaiannya."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Baik," jawabnya. Sesudah mengencangkan pinggang, ia segera bertindak ke tengah ruangan, "Wie Hok Ong," katanya, "aku meminta pelajaran dari Han Peng Bian Cang-mu!"
Wie It Siauw terkejut, "bagaimana dia tahu aku memiliki Han Peng Bian Ciang?" tanyanya di dalam hati. "Sesudah tahu aku memiliki ilmu itu, dia masih berani menantang. Dia pasti bukan lawan yang enteng." Sambil memikir begitu, ia bertanya, "Bolehkah aku mendapat tahu nama tuan?"
"Sesudah datang menyamar orang-orang Beng Kauw, apa mungkin kuperkenalkan namaku yang sejati?" kata orang itu. "Wie Hok Ong, pertanyaanmu sungguh tolol!"
Wie It Siauw tertawa dingin. "Benar, pertanyaanku pertanyaan tolol," katanya dengan suara mendongkol. "Mengapa juga, setelah rela menjadi anjingnya kaisar Goan dan bersedia menghamba kepada orang asing, terlebih baik tuan tak memperkenalkan nama sendiri. Dengan demikian sedikitnya kau merusak nama leluhurmu."
Didamprat begitu, si tinggi besar jadi malu juga dan karena malu ia jadi gusar. Sambil membentak keras, ia menghantam dada Wie It Siauw.
Wie Hok Ong melompat ke samping, disusul dengan lompatan kedua di belakang lawannya sambil mengirim satu totokan. Sebab ingin menjajal "isi" orang itu totokan ini bukan totokan Han Peng Bian Cian. Orang itu mengegos lalu balas menyerang. Sesudah bertempur beberapa jurus, Wie It Siauw merasa heran lantaran ia merasai sambaran angin panas dalam pukulan-pukulan lawan. Tiba-tiba ia terkejut karena melihat kedua telapak tangan orang itu merah bagaikan darah. "Apa itu Cu See Cit Cat Siang?"
tanyanya di dalam hati. "Ilmu itu sudah lama hilang dari rimba persilatan, Siapa dia?" Bagaimana dia bisa memiliki ilmu yang luar biasa itu?"
Kini Ceng Ek Hok Ong berkelahi dengan hati-hati. Luka di dalam tubuhnya baru saja sembuh dan sekarang menghadapi musuh yang berat. Ia segera menggosok kedua telapak tangannya dan mulai bersilat dengan ilmu Han Peng Bian ciang.
Tak lama kemudian, jalam pertempuran berubah dari cepat menjadi perlahan karena mereka mulai menguji tenaga dalam. Sekonyong-konyong dari mulut pintu gerbang masuk serupa benda yang sangat besar dan menyambar ke tubuh si tinggi besar. Benda itu jauh lebih besar daripada karung beras. Semua orang kaget, senjata apa itu?"
Si tinggi besar terkejut dan dengan sepenuh tenaga, ia menghantam benda tersebut, yang lantas saja benda itu terpental setombak lebih, dibarengi dengan teriakan manusia yang menyayat hati. Ternyata benda itu sebuah karung dan di dalam karung terdapat manusia. Dipukul dengan Cu See Cit sat ciang, orang itu telah hancur tulangnya.
Si tinggi besar tertegun. Mendadak ia menggigil karena pada saat itu ia tidak berwaspada, Wie It Siauw melompat ke belakangnya menotok Toa Toei Hoatnya, di bagian punggung dengan Han Peng Bian Ciang. Dibokong begitu, ia jadi kalap. Sambil memutar tubuh, ia menghantam batok kepala Wie It Siauw dengan telapak tangannya.
Nyali Ceng Ek Hok Ong benar-benar besar. Ia tertawa terbahak-bahak dan berdiri tegak, tidak berkelit atau menangkis. Si tinggi besar ternyata sudah habis tenaganya. Telapak tangannya tepat mampir di batok kepala Wie It Siauw, tetapi Wie Hok Ong hanya seperti diusap-usap.
Melihat gilanya Wie It Siauw, semua orang menggeleng-gelengkan kepala. Kalau si tinggi besar mempunyai ilmu untuk bertahan terhadap pukulan Han Peng Bian Ciang, bukankah ia akan mati konyol"
Tapi memang adat Wie Hok Ong yang otak-otakan itu. Makin besar bahaya yang dihadapi, ia makin gembira. Ia menganggap bokongannya sebagai perbuatan yang kurang bagus, maka itu ia memasang kepalanya untuk menebus dosa.
Sementara itu si tokoh Kay Pang (Partai pengemis) sudah membuka karung itu dan mengeluarkan sesosok tubuh manusia yang berlumuran darah dan yang sudah mati karena pukulan Cu See Cit Sat Ciang. Mayat itu yang berpakaian compang-camping adalah mayat seorang pengemis. Entah mengapa dia berada di dalam karung dan menemui ajal secara mengenaskan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tak kepalang gusarnya si tokoh Kay Pang. Dengan mata merah, dia berteriak, "Bangsaat?" Ia tidak dapat meneruskan caciannya, sebab pada detik itu, selembar karung menyambar dan mau menelungkup dirinya. Cepat-cepat ia melompat mundur.
Di lain saat, seorang pendeta gemuk sudah berdiri di tengah ruangan sambil tertawa haha hihi. Dia bukan lain daripada Poet Tay Hweeshio Swee Poet Tek! Sesudah karung Kian Kun It Khie Tay dipecahkan Bu Kie, ia tak punya senjata yang tepat dan terpaksa membuat beberapa karung biasa sebagai gantinya. Meskipun ilmu mengentengkan tubuhnya tidak selihai Wie It Siauw, tapi karena tidak menemui rintangan, ia sudah tiba di Bu Tong San pada saat yang tepat.
Ia menghampir Thio Sam Hongdan sambil membungkukkan, ia memperkenalkan diri, "Yoe Heng Sian Jin Poet Tay Hweeshio Swee Poet Tek, orang sebawahan Thio Kauwcu dari Beng Kauw, memberi hormat kepada Bu Tong Ciang Kauw Couw Su Thio Cin Jin."
Guru besar itu membalas hormat dan berkata sambil tersenyum. "Tay Su banyak capai. Terima kasih atas kunjunganmu."
"Thio Cin Jin," kata pula Swee Poet Tek dengan suara lantang. "Kong Beng Su Cia, Peh Bie Kie Peh Bie Eng Ong, empat Sian Jin, lima Kie Su, berbagai pasukan dari agama kami sudah mendaki Bu Tong San untuk menghajar kawanan manusia yang tak kenal malu itu, yang sudah menggunakan nama kami."
Bu Kie dan Wie It Siauw tertawa geli di dalam hati. Hebat sungguh "ngibulnya" Poet Tay Hweeshio.
Tapi Tio Beng kaget dan berkuatir. Ia kira benar para pemimpin Beng Kauw sudah tiba dengan seluruh barisan. "Cara bagaimana mereka bisa datang begitu cepat" Siapa yang membocorkan rahasia?" tanyanya dalam hati.
Karena bingung, tanpa merasa ia bertanya, "mana Thio Kauw Cu mu" Suruh dia menemui aku."
"Thio Kauw Cu sudah memasang jaring untuk menjaring kamu semua," jawab Swee Poet Tek. "Orang yang berkedudukan begitu mulia mana boleh sembarangan menemui manusia seperti kau." Sambil berkata begitu, ia saling melirik dengan Wie It Siauw dengan sorot mata menanya.
Melihat datangnya bantuan, tidak kepalang girangnya Bu Kie.
Tio Beng tertawa dingin. "Yang satu kelelawar berabun, yang lain hweesio bau hawa di sini sungguh tidak sedap." Katanya.
Mendadak di sudut timur terdapat suara tertawa yang sangat nyaring. Swee Poet Tek, apa Yo Co Su sudah tiba?" tanya orang itu, yang ternyata bukan lain daripada In Thian Ceng. Sebelum Swee Poet Tek keburu menjawab, suara ketawa Yo Siauw sudah terdengar di sudut bara. "Eng Ong sungguh lihai, sudah tiba lebih dahulu daripada aku." Katanya.
"Yo Co Su jangan berlaku sungkan," kata In Thian Ceng. "Kita berdua tiba bersamaan, tak ada yang kalah tak ada yang menang. Mungkin sekali, karena memandang muka Thio Kauw Co, Yo Co Su sengaja mengalah terhadapku."
"Tidak!" kata Yo Siauw. "Boanpwee sudah menggunakan semua tenaga tapi setindakpun tidak bisa mendului Eng Ong."
Mereka berbicara begitu sebab di tengah jalan selagi gembira mereka setuju untuk menjajal tenaga kaki. In Thian Ceng memiliki Lweekang yang lebih kuat, tapi Yo Siauw bisa lari lebih cepat, sehingga pada akhirnya mereka tiba pada detik yang bersamaan dan lalu melompat turun dari kedua ujung payon kuil.
Thio Sam Hongsudah mengenal lama nama besarnya In Thian Ceng. Mengingat bahwa jago itu juga mertua Thio Cui San, maka ia lantas saja maju tiga tindak dan menyambut sambil merangkap kedua tangannya. "Thio Sam Hongmenyambut In Heng dan Yo Heng." Katanya. Diam-diam ia merasa heran.
Terang-terang In Thian Ceng seorang Kauw Cu dari Peh Bi Kauw, tapi mengapa ia menyebut-nyebut
"karena memandang Thio Kauw Cu?"
In Thian Ceng dan Yo Siauw membalas hormat dengan membungkuk. "Sudah lama kami dengar nama harum Thio Cin Jin hanya menyesal sebegitu jauh kami belum mendapat kesempatan untuk bertemu muka." Kata Peh Bie Eng Ong.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kami bersyukur bahwa hari ini kami bisa melihat wajah Thio cin Jin yang mulia."
"Kalian adalah guru-guru besar pada zaman ini," kata Thio Sam Hong. "Kunjungan kalian merupakan kehormatan untuk Bu Tong San."
Tio Beng jadi lebih jengkel dan gusar. Makin lama jumlah tokoh Beng Kauw makin bertambah. Bu Kie sendiri belum muncul, tapi keterangan Swee Poet Tek tak boleh diabaikan. Memang mungkin pemuda itu sudah mengatur siasat untuk menghancurkan segala rencananya. Makin dipikir, ia makin mendongkol. Dengan mudah ia berhasil melukai Thio Sam Hong. Hasil itu hasil luar biasa. Hari ini adalah satu-satunya utnuk membasmi Bu Tong Pay. Di lain hari kalau Thio Sam Hongsudah sembuh, kesempatai itu tak ada lagi.
Diluar semua penghitungan Beng Kauw mengadu biru. Yang datang pentolan-pentolannya. Apa ia akan berhasil"
Makin dipikir ia makin mendongkol. Biji matanya yang hitam bermain beberapa kali. Tiba-tiba ia tertawa dingin dan berkata dengan suara mengejek. "Dunia Kang Ouw selamanya memuji Bu Tong Pay sebagai partai yang lurus bersih. Huh huh! Mendengar tak sama dengan melihat. Tak dinyana Bu Tong Pay bergandeng tangan dengan Mo Kauw dan mempertahankan tenaga Mo Kauw. Huh Huh!... Sekarang baru kutahu, ilmu silat Bu Tong Pay tiada harganya."
Swee Poet Tek tertawa nyaring. "Tio Kauw Nio," katanya "pemandanganmu tidak lebih panjang dari panjang rambutmu. Kau sungguh masih kanak-kanak. Dengarlah Thio cin Jin sudah dapat nama besar pada sebelum kakekmu dilahirkan! Anak kecil tahu apa!"
Belasan orang yang berdiri di belakang Tio Beng mengawasi hweesio yang gatal mulut itu dengan mata melotot, tapi Poet Tay Hweeshio tenang-tenang saja. "Apa aku tidak boleh bicara begitu."
Tanyanya. "Aku Swee Poet Tek, tapi bila aku bicara, aku tetap bicara. Mau apa kamu?" (Swee Poet Tek tak boleh dibicarakan)
Seorang Hweesio jangkung meluap darah. "Cu Jin," katanya, "permisikan aku membereskan Hweesio gila itu!" (Cu Jin " Majikan)
"Bagus!" kata Swee Poet Tek. "Aku hweesio gila, kaupun hweesio gila. Yang gila ketemu dengan yang gila, kita boleh minta Thio Cin Jin jadi juru pemisah." Seraya berkata begitu, ia mengibaskan tangannya yang sudah memegang selembar karung.
Tio Beng menggelengkan kepala, "Hari ini kita meminta pelajaran Bu Tong," katanya. "Kalau yang turun anggota Bu Tong Pay, kita boleh melayani." Berisi atau kosongnya Bu Tong Pay akan dapat dipastikan hari ini. Perhitungan antara kita dan Mo Kauw dapat dibereskan di hari nanti.
Kalau aku belum mencabut urat-urat setan kecil Thio Bu Kie dan membeset kulitnya, belum puas hatiku. Tapi hal itu boleh ditunda untuk sementara waktu."
Mendengar perkataan setan kecil Thio Bu Kie," Thio Sam Hongjadi sangat heran. "apa Kauw Cu Beng Kauw juga bernama Thio Bu Kie?" tanyanya di dalam hati.
Swee Poet Tek tertawa geli, "Kauw cu kami seorang pemuda gagah yang sangat tampan," katanya.
"Mungkin usiamu lebih muda beberapa tahun daripada Kauw Cu. Apa tak baik kau menikah saja dengan Kauw Cu kami" Kulihat cocok benar" "
Sebelum ia habis bicara, orang-orangnya Tio Beng sudah membentak dan mencaci.
"Bangsat, tutup mulut!"
"Diam!" "Kau sungguh telah bosan hidup!"
Paras muka si nona lantas saja bersemu dadu, sehingga ia nampaknya lebih cantik lagi. Pada paras itu terlihat tiga bagian kegusaran dan tujuh bagian kemalu-maluan. Seorang pemimpin yang berkuasa lantas saja berubah menjadi seorang gadis pemalu. Tapi perubahan itu hanya untuk sedetik dua saja.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dilain saat, paras muka mereka itu berubah dingin seperti es. "Thio Cinjin," katanya dengan nada memandang rendah. "Jika kau tak mau turun ke dalam gelanggang, kamipun tak akan memaksa, asal saja kau mengakui terang-terangan, bahwa Bu Tong Pay adalah partai yang mendustai dunia dan mencuri nama. Sesudah kau mengaku begitu, kami akan pergi. Kami bahkan bersedia untuk memulangkan Song Wan Kiauw, Jie Lian Cio dan lain-lain kawanan tikus, kepadamu."
Sesaat itu, Tiat Koat Toojin dan In Ya Ong tiba, disusul dengan Ciu Than dan Pheng Eng Giok.
Melihat bertambahnya tenaga Beng Kauw, Tio Beng mengerti bahwa dalam suatu pertempuran memutuskan, pihaknya belum tentu menang. Dan apa yang paling dikuatiri adalah Bu Kie dan siasatnya.
Sambil menyapu pihak lawan dengan matanya yang jeli, si nona berkata dalam hati. "Thio Sam Hongdibenci kaisar karena hambanya yang sangat besar dan dianggap sebagai thaysan atau Pak Tauw dalam rimba persilatan. Tapi dia sudah begitu tua, berapa tahun lagi dia bisa hidup" Tak perlu aku mengambil jiwanya. Kalau aku bisa menghina Bu Tong Pay, jasaku sudah cukup besar," memikir begitu, ia lantas saja berkata, "tujuan kedatangan kami ke sini adalah untuk menjajal kepandaian Thio Cin Jin.
Kalau kami mau mengukur tenaga dengan Beng Kauw, apakah kami tak tahu jalanan ke Kong Beng Teng" Begini saja, sebelum menjajal, kami tidak bisa mengatakan apa ilmu silat Bu Tong berisi atau kosong. Aku mempunyai tiga orang pegawai rumah tangga yang sudah lama mengikuti aku. Yang satu mengerti sedikit ilmu pukulan, yang lain mempunyai lweekang yang cetek, yang ketiga mengenal sedikit ilmu pedang. A Toa, A Jie, A Sam, kemari! Asal Thio Cin Jin bisa mengalahkan mereka, kami akan merasa takluk dan mengakui, bahwa Bu Tong Pay benar-benar mempunyai ilmu silat tinggi. Manakala Thio Cin Jin tidak mau apabila dijajal atau tidak mampu melawan mereka, maka kesimpulannya biarlah ditarik oleh orang-orang Kang Ouw sendiri. Seraya berkata begitu, ia meneput tangan dan tiga orang, yang berdiri di belakangnya lantas saja bertindak ke tengah ruangan.
Yang dinamakan A Toa seorang kakek kurus kering yang kedua tangannya memegang sebatang pedang, pedang itk. Mukanya yang berkerut-kerut diliputi paras sedih.
Yang kedua, A Jie, juga bertubuh kurus, tapi lebih tinggi daripada A Toa. Kepala botak Tha Yang Hiatnya melesak ke dalam, kira-kira setengah dim.
A Sam yang ketiga, berbadan keras padat, sikapnya garang anker bagaikan harimau. Pada mukanya, lengannya, lehernya, pendek kata di bagian-bagian badannya yang terbuka terlihat otot-otot yang menonjol keluar.
Thio Sam Hong, In Thian Ceng, Yo Siauw dan yang lain terkejut. Ketiga orang itu bukan sembarang orang.
"Tio Kouw Nio," kata Ciu Thian, "mereka bertiga adalah ahli-ahli silat kelas utama dalam rimba persilatan. Melawan mereka Ciu Thian tidak unggulan. Tapi mengapa secara tidak mengenal malu, nona memperkenalkan mereka sebagai pegawai rumah tangga" Apa nona mau berguyon dengan Thio Cin Jin?"
"Mereka ahli silat kelas utama?" menegas Tio Beng. "Ah! Aku sendiri tak tahu. Apa kau tahu siapa mereka" Apa kau tahu nama mereka?"
Ciu Thian tertegun, ia diam tak dapat menjawab pertanyaan itu.
Si nona tersenyum tawa. Ia menengok kepada Thio Sam Hongdan berkata, "Thio Cin Jin lebih dahulu, biarlah kau mengadu pukulan dengan A Sam."
A Sam maju setindak dan sambil merangkap kedua tangannya. Ia berkata, "Thio Cin Jin, silahkan!"
berbareng dengan tantangannya, kaki kirinya menjejak lantai. "Brak!" tiga batu hijau persegi hancur.
Orang tak heran kalau yang hancur hanya batu yang terjejak. Yang luar biasa adalah turut hancurnya dua batu yang lain.
Sesudah kawannya maju, A Toa dan A Jie segera mundur sambil menundukkan kepala. Sedari masuk ke dalam sam ceng tian, ketiga orang itu selalu mengikuti Tio Beng dengan kepala menunduk, sehingga orang tidak memperhatikan mereka. Siapapun tak menduga bahwa mereka adalha jago-jago yang tidak boleh dibuat gegabah. Tapi begitu mundur, mereka memperlihatkan lagi sikap sebangsa budak belian.
Melihat lihainya A Sam, In Thian Ceng merasa kuatir akan keselamatan Thio Sam Hong. "Thio Cin Jin sudah terluka berat, tapi meskipun tidak terluka, dengan usianya yang sudah begitu tinggi, bagaimana ia bisa bertanding dengan orang itu?" pikirnya. "dilihat gerak-geriknya, orang itu ahli dalam ilmu silat keras. Sudahlah! Biar aku saja yang melayaninya." Memikir begitu, ia lantas saja berkata dengan suara
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
nyaring. "Seorang yang kedudukannya begitu tinggi seperti Thio Cin Jin mana boleh melayani manusia rendah semacam kau! Jangankan Thio Cin Jin, sedang akupun, seorang she In, rasanya masih terlalu tinggi untuk berhadapan dengan seorang budak belian seperti kau." Ia tahu, bahwa ketiga orang itu bukan sembarangan orang, supaya mereka panas dan diterimanya dengan baik tantangannya itu.
"A Sam," kata Tio Beng. "apa kau masih ingat namamu yang dahulu?" cobalah beritahu mereka, supaya mereka bisa menimbang-nimbang apa kau cukup berderajat atau tidak untuk bertanding dengan seorang tokoh Bu Tong Pay." Dalam pembicaraan itu, ia menekankan perkataan Bu Tong Pay.
"Sedari Siauw Jin (aku yang rendah) menghadapi kepada Cu Jin, nama yang dahulu telah tak digunakan lagi." Kata A Sam.
"Kalau diperintah, siauw jin tidak berani tak berbicara, dahulu Siauw Jin she Oe Bun Cek."
Semua orang terkesiap. Sesaat kemudian, In Thian Ceng membentak, "Oe Bun Cek! Pada dua puluh tahun berselang, bukankah kau yang sumpah membinasakan lima jago she Sie Tiangan! Pada malam itu, pembunuh yang mengenakan topeng dan baju merah yang mengaku sebagai "Piat Pie Sin Mo Oe Bun Cek" telah membunuh tiga belas tokoh rimba persilatan dalam sebuah perjamuan hari ulang tahun. Bukankah kau yang melakukan pembunuhan itu?" (Pat Pie Sin Mo Iblis bertangan delapan)
"Ingatanmu sangat kuat, aku sendiri telah lupa," jawabnya dengan suara dingin.
Mendengar perkataan itu, semua orang dari Beng Kauw dan Bu Tong Pay meluap darahnya.
Lima jago She Sie adalah orang-orang yang sangat disegani dan dihormati dalam rimba persilatan. Ia berkepandaian tinggi, dan selalu bersedia untuk menolong sesama manusia yang perlu ditolong. Tiba-tiba pada suatu malam, mereka semua dibinasakan oleh seorang bertopeng dan mengenakan baju merah.
Pembunuh itu mengaku sebagai Ang Ie Kok Oe Bun Cek. Disamping lima jago She Sie, beberapa tokoh hsp dan gbp turut dibinasakan. Karena orang tak bisa menyelidiki asal-usul manusia yang bernama Oe Bun Cek itu, maka orang lantas saja menduga, bahwa perbuatan musuh itu dilakukan oleh Beng Kauw dan Peh Bie Kauw.
Tuduhan itu sangat menjengkelkan hati In Thian Ceng, tapi ia tak dapat jalan untuk melampiaskan rasa penasarannya. Tidak dinyana, sesudah berselang dua puluh tahun barulah diketahui pembunuh yang benar.
Biarpun Oe Bun Cek hanya muncul satu kali di Tiong Goan, tapi perbuatannya itu adalah sedemikian hebat, sehingga kalau mau diperhitungkan soal derajat yang berdasarkan tingginya ilmu silat, maka dia memang cukup berderajat untuk bertanding dengan Thio Sam Hong. Di samping itu, andaikata ia tidak menantang Thio Sam Hong, tapi sesudah ia memperkenalkan dirinya menurut pantas seorang tetua. Thio Sam Hongharus turun tangan untuk menegakkan rimba persilatan. Maka itu sesudah ia memperkenalkan diri Oe Bun Cek telah mendesak Thio Sam Hongsedemikian rupa. Sehingga guru besar itu tak bisa mengelakkan diri lagi dari satu pertempuran.
"Bagus!" seru In Thian Ceng. "Kalau benar kau Pat Pie Sin Mo, biarlah aku orang she In yang menyambut tantanganmu." Seraya berkata begitu, ia melompat masuk ke dalam gelanggang.
"In Thian Ceng," kata Oe Bun Cek, kau siluman, aku iblis, kita berdua sama-sama bangsa jejadian.
Orang sendiri tak bertempur dengan orang sendiri. Kalau kau mau juga, kita boleh memilih lain hari untuk berkelahi. Hari ini atas perintah Cu Jin aku hanya ingin menjajal kosongnya ilmu silat Bu Tong Pay." Ia menengok kepada Thio Sam Hongdan berkata pula. "Thio Cin Jin, apabila kau tak sudi turun gelanggang, cukuplah bila kau membuat pengakuan yang diminta Cu Jin. Kami tak akan menggunakan kekerasan."
Thio Sam Hongtersenyum. Di dalam hati ia menimbang-nimbang keadaan yang tengah dihadapinya.
Dengan menggunakan Thay Kek Kun, dengan ilmu "yang kosong menjatuhkan yang berisi," belum tentu ia kalah dari lawan itu. Apa yang sukar dihadapi ialah sesudah merobohkan as, ia tentu harus mengadu lweekang melawan A Jie. Dan sesudah terluka berat, ia tidak boleh mengerahkan tenaga dalam. Inilah yang paling sulit, ia tak bisa mencari jalan keluar. Tapi api sudah membakar alis, ia tak bisa mundur lagi.
Perlahan-lahan ia maju ke tengah ruangan dan berkata kepada In Thian Ceng. "Untuk maksud In Heng yang sangat mulia, pinto merasa sangat berterima kasih. Selama berapa tahun terakhir pinto telah
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
menggubah mengganti dengan semacam ilmu silat yang diberi nama Thay Kek Kun. Ilmu ini agak berbeda dari ilmu silat yang sudah dikenal dalam dunia. Oe Bun Sie Cu mengatakan bahwa ia bertujuan untuk menjajal ilmu silat Bu Tong Pay. Manakala In Heng yang merobohkannya ia tentu merasa tidak puas. Biarlah pinto saja yang melayani berberapa jurus dengan menggunakan Thay Kek Kun. Biarlah kita lihat apakah pinto yang sudah begitu tua masih berharga untuk menunjukkan kebodohan pintoo.
Mendengar perkataan itu, In Thian Ceng girang bercampur khawatir. Ia girang karena dari omongannya, Thio Sam Hongternyata penuh percaya penuh akan kelihaian Thay Kek Kun. Tanpa pegangan kuat, guru besar itu tentu takkan bicara sembarangan. Ia khawatir karena ingat usia Thio Sam Hongdan luka yang dideritanya. Tapi ia tak berani membantah lagi dan sambil merangkap kedua tangannya ia berkata, "Boanpwee memberi selamat kepada Thio Cin Jin untuk ilmu silat yang luar biasa itu."
Melihat Thio Sam Hongsudah turun ke gelanggang, Oe Bun Cek jadi agak keder, tapi di lain saat ia bias menetapkan hati, "Biarlah aku berkelahi mati-matian, sehingga kedua belah pihak sama-sama rusak."
Pikirnya. Ia segera menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan semangat, sedang kedua matanya mengincar Thio Sam Hongtanpa berkedip. Sesaat kemudian tulang-tulangnya berkerotokan.
Mendengar itu, orang-orang Bu Tong dan Beng Kauw saling memandang dengan rasa cemas. Itulah suatu tanda, bahwa Oe Bun Cek sudah mencapai puncak tertinggi dari ilmu silat Gwa Bun (ilmu silat luar) Menurut cerita di dalam dunia hanialah ketiga pendeta suci Siauw Lim Sie yang sudah mencapai tingkatan itu. Siapapun tak menduga, bahwa Pat Pie Sin Mo memiliki ilmu tersebut yang dikenal sebagai ilmu malaikat Kim Kong Hok Mo.
Thio Sam Hongpun turut merasa kaget.
"Orang itu mempunyai asal usul yang tidak kecil!" pikirnya. "Thay Kek Kun belum tentu bisa melawannya." Perlahan-lahan ia mengankat kedua tangannya. Tapi baru saja ia ingin mengundang lawan untuk memulai, tiba-tiba dari belakang Jie Thay Giam melompat keluar seorang too tong.
"Thay Suhu," katanya. "kalau siecu itu mau menjual ilmu silat Bu Tong, perlu apa thay suhu turun tangan sendiri?" Biarlah teecu sendiri yang melayani sejurus dua jurus."
Too tong itu, yang mukanya berlepotan tanah, bukan lain daripada Bu Kie. In Thian Ceng, Yo Siauw dan lain-lain jago Beng Kauw lantas saja mengenali dan mereka kegirangan. Tapi Thio Sam Hongdan Jie Thay Giam tentu tak dapat mengenalinya. Mereka menduga, bahwa too tong itu Ceng Hong adanya.
"Ini bukan permainan anak-anak," kata Thio Sam Hong. "Oe Bun Cek mempunyai kim kong Hok Mo.
Mungkin sekalai mereka seorang pentolan dari Siauw Lim cabang See Hek.
Dengan sekali pukul, ia bisa menghancurkan tulang-tulangmu.
Dengan tangan kiri, Bu Kie mencekal ujung baju orang tua itu, sedang tangan kanan memegang tangan kiri guru besar itu. "Thay Suhu," katanya, "Thay kek Kun yang telah diturunkan kepada Tee Cu belum pernah digunakan. Kebetulan sekali Oe Bun Sie Cu seorang ahli Gwa Kee. Permisikanlah Tee cu untuk menjajal ilmu melawan kekerasan dengan kelemahan, yang kosong memukul yang berisi. Kalau Tee Cu berhasil, bukankah ada baiknya juga" Seraya berkata begitu, ia mengerahkan Kioe Yang Sin Kang, yang dahsyat, yang lembut dan mengirimnya ke tubuh thay Su Hu, melalui telapak tangannya.
Pada detik itu, sekonyong-konyong Thio Sam Hongmerasai semacam tenaga yang hebat luar biasa menerobos masuk dari telapak tangannya. Biarpun belum bisa menandingi tenaganya sendiri, tenaga itu yang murni dan yang halus menerobos bagaikan ombak gelombang demi gelombang. Dalam kagetnya, ia mengawasi muka Bu Kie. Kedua mata too tong itu tidak memperlihatkan sinar berkeredepan yang bisa dipunyai oleh seorang ahli silat kelas satu. Tapi sayup-sayup, dalam kedua mata itu terlihat selapis sinar kristal yang sangat lembut. Itulah suatu tandan dari lwee kang yang sudah mencapai puncak tertinggi.
Thio Sam Hongmakin kaget, selama hidupnya dalam jangka waktu seabad lebih, ia hanya pernah menemui satu, dua orang yang mempunyai sinar mata begitu, misalnya mendiang gurunya sendiri Kak Wan Tay Su dan Tay Hiap Kwee Ceng. Diantara ahli-ahli silat pada zaman itu, sebegitu jauh yang diketahui ia sendiri yang sudah mencapai tingkat tersebut.
Selama satu dua detik, macam-macam pikiran berkelabat-kelebat dalam otak Thio Sam Hong.
Sementara itu, Bu Kie terus mengirim lwee kangnya. Dilain saat guru besar itu sudah mengambil keputusan. Ia yakin bahwa ditinjau dari lweekang itu yang bertujuan untuk mengobati lukanya si too tong pasti tidak bermaksud jahat. Maka itu, sambil tersenyum ia berkata.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"aku sudah tua dan tak punya guna. Pelajaran apa yang kudapat berikan padamu" Tapi jika kau mau juga menjual ilmu gwa kee Oe Bun Sie Cu, kau boleh melakukan itu." Thio Sam Hongmenduga, bahwa too tong itu seorang ahli dari partai lain yang sengaja datang untuk membantu Bu Tong Pay. Maka itu, ia telah menggunakan kata-kata rendah.
Budi Thay Suhu terhadap anak berat bagaikan gunung, kata Bu Kie. Biarpun badan hancur luluh, tak dapat anak membalas budi Thay Suhu dan para paman, biarpun ilmu silat Bu Tong Pay kita tidak bisa dikatakan tiada tandingannya di dalam dunia, tapi kita pasti tak akan kalah dari ilmu silat Siauw Lim cabang See Hek. Legakanlah hati Thay Suhu.
Itulah jawaban yang tidak bisa disalahartikan! Jawaban murid terhadap seorang guru, dalam suara yang agak gemetar itu terdengar nada dari cinta yang tidak barbatas, rasa berterima kasih yang tiada taranya dan rasa terharu yang memuncak. Bukan main herannya Thio Sam Hong. Apa benar dia murid Bu Tong" Tanyanya di dalam hati. Mungkin sekali sejarah mendiang gurunya, Kak Wan Tay Su, terulang pula dan dia belajar secara diam-diam. Sambil memikir begitu, ia melepaskan tangan Bu Kie dan lalu kembali pada kursinya. Ia melirik Jie Thay Giam, tapi dilihat dari paras mukanya, murid itupun sedang terheran-heran.
Bagi Oe Bun Cek, dipermisikan seorang too tong untuk melayani merupakan hinaan yang sangat besar. Tapi sebagai manusia yang beracun ia tak memperlihatkan kegusarannya. Dengan sekali pukul, ia akan membinasakan too tong itu dan sudah itu ia akan menantang Thio Sam Honglagi. "Anak kecil, kau mulailah," katanya.
"Ilmu silat Thay Kek Kun adalah hasil jerih payah Thio Cin Jin, Thay Suhuku, selama banyak tahu,"
kata Bu Kie, "boanpwee baru saja belajar silat dan sekarang belum bisa melayani intisari daripada ilmu silat itu. Mungkin sekali boanpwee belum dapat merobohkan kau di dalam tiga puluh jurus. Apabila benar sedemikian, maka hal itu adalah kesalahanku dan bukan lantaran jeleknya Thay Kek Kun. Sebelum kita bertempur, boanpwee menganggap hal ini perlu dikemukakan terlebih dahulu."
" gusarnya Oe Bun Cek berbalik tertawa terbahak-bahak, "toa ko, jie ko, lihatlah!" serunya. "Dalam dunia mana ada bocah segila dia!"
A Jie turut tertawa, tapi A Toa tajam matanya. Ia dapat melihat bahwa Bu Kie bukan sembarang orang.
"sam tee, kau tidak boleh memandang enteng," katanya.
Oe Bun Cek maju setindak dan segera meninju dada Bu Kie dengan tangan kanan. Tinju itu menyambar bagaikan kilat. Diluar dugaan, sebelum tinju pertama mampir pada sasarannya tinju kedua, yang dikirim dengan tangan kiri menyusul. Tinju itu yang dikirim belakangan tiba lebih dahulu dan menyambar muka Bu Kie. Itulah pukulan yang sangat luar biasa.
Sesudah mendengar keterangan dan melihat contoh-contoh Thio Sam Hongmengenali ilmu silat Thay Kek Kun, selama kurang lebih satu jam diam-diam Bu Kie mempelajari isi daripada ilmu silat itu.
Melihat menyambarnya dua tinju yang saling susul, ia segera menyambut dengan Long Ciak Bwee kaki kanannya "berisi" kaki kiri "kosong", tapak tangan menyentuh pergelangan tangan kiri musuh dan segera melepaskan tenaganya dengan menggunakan teori "menempel". Tanpa tercegah jadi tubuh Oe Bun Cek terhuyung dua tindak.
Semua orang terkejut. Demikianlah, untuk pertama kali, Thay Kek Kun dijajal untuk melawan musuh. Biarpun baru saja menerima pelajaran itu dengan memiliki Kioe Yang Sin Kang dan Kian Kun Tay Li Ie Sin Kang, Bu Kie sudah dapat menggunakan ilmu yang lihai itu. Tinju Oe Bun Cek yang bertenaga ribuan kati seolah-olah amblas di dalam lautan, amblas tanpa berbekas bukan saja begitu, bahkan tubuhnya kena didorong tenaganya sendiri.
Pedang Bengis Sutra Merah 1 Sembilan Pusaka Wasiat Dewa Pengelana Tangan Sakti Karya Lovely Dear Elang Terbang Di Dataran Luas 5
"Tidak!" bantah Bu Kie. "Hari ini kau berjasa besar. Yo Cosu, ayah dan anak tidak akan curiga lagi."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Siauw Ciauw jadi girang sekali. "Melihat Kongcu belum juga kembali, hatiku bingung. Apalagi belakangan datang barisan Goan itu yang segera mengurung dan menyerang," katanya. "Entah bagaimana, entah dari mana aku dapat keberanian, tahu-tahu aku memegang bendera dan berteriak-teriak.
Kalau sekarang kuingat kejadian itu, hatiku masih ketakutan. Thio Kongcu, kumohon kau mau berkata begini kepada Ngo heng-kie dan Peh bie-kauw. Untuk segala kekurang ajaran Siauw Ciauw, aku harap kalian tidak kecil hati."
Bu Kie tersenyum, "Kau gila?" katanya, "Mereka sebenarnya harus menghaturkan terima kasih kepadamu."
Sambil berjalan, para pemimpin Beng-kauw beromong-omong membicarakan soal Thio Beng dan coba meraba-raba asal usulnya. Tapi tak satupun yang bisa menebak. Bu Kie sendiri menceritakan bagaimana ia mengambil Cui sian leng hu tapi menyembunyikan hal terjebaknya dan segala kejadian dalam penjara baja itu. Meskipun benar segala tindakannya dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi ia merasa jengah untuk menceritakan itu."
Pada suatu hari, tibalah mereka di daerah Ho-lam.
Jaman itu adalah jaman kalut rakyat Tiongkok yang mulai bangkit melawan penjajah. Di mana-mana tentara Mongol mengadakan pemeriksaan yang sangat keras. Untuk menghindarkan kecurigaan dan mencegah kerewelan, rombongan Beng-kauw dipecah dan kemudian berkumpul lagi di kaki gunung Siong san, dari sana mereka terus mendaki Siauw sit san, Gouw Kin Co diperintahkan jalan lebih dahulu dengan membawa karcis nama Bu Kie dan pemimpin lain untuk dipersembahkan kepada Hong thio Siauw lim sie.
Bu Kie mengerti bahwa dalam kunjungannya ke Siauw lim sie itu, walaupun dia tidak menghendaki pertempuran, sesudahnya masih merupakan teka-teki. Manakala pendeta-pendeta Siauw lim tidak bisa diajak bicara dan menyerang lebih dulu maka Beng-kauw tidak bisa tidak melayani. Maka itu ia segera mengeluarkan perintah supaya menyamar sebagai pelancong, anggota-anggota Ngo heng-kie dan Peh bie-kauw berpencar di seputar kuil dan mereka harus segera menerjang masuk jika mendengar tiga siulan panjang, perintah itu segera dijalankan dengan bersemangat.
Tak lama kemudian seorang Tie-kek ceng (pendeta penyambut tamu) ikut Gouw Kin Co turun dari atas gunung. "Kauw cu," kata pendeta itu kepada Bu Kie. "Hong thio dan para Tiang-loo dari kuil kami sedang menutup diri dan bersemedi sehingga mereka tidak dapat menemui Kauw cu. Kami harap Kauw cu sudi memaafkan.,"
Mendengar itu, paras muka semua orang langsung berubah.
"Pendeta-pendeta Siauw lim sungguh sombong!" kata Ciu Tian dengan gusar. "Mereka sama sekali tidak memperdulikan bahwa yang datang berkunjung adalah Kauw cu kim sendiri."
Pendeta itu menundukkan kepalanya dengan paras duka. "Tidak bisa menemui!" katanya.
Ciu Tian jadi lebih gusar. Tangannya menyambar untuk mencengkram dada si pendeta tapi keburu ditangkap oleh Swee Poet Tek. "Ciu heng jangan sembrono," bujuknya.
"Kalau Hong thio sedang menutup diri, kami boleh bicara dengan Kong-tie dan Kong-seng Seng ceng," kata Pheng Eng Giok.
Tie-kek ceng itu merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara dingin, "Tidak bisa menemui!"
"Bagaimana kalau Sioeco dari Tat-mo tong?" tanya Pheng Eng Giok. "Jika Sioeco Tat-mo tong juga tak bisa menemui kami, kami bersedia untuk bicara saja dengan Sioeco Lo-han tong."
Tapi jawaban si pendeta tetap tidak berbeda, "Tidak bisa menemui!" katanya.
In Thian Ceng meluap darahnya. "Gila!" teriaknya. "Kau bilang saja apa pemimpin kamu mau menemui kami atau tidak?" Hampir bersamaan dengan bentakannya, ia menghantam sebuah pohon siong tua dengan kedua tangannya. Pohon itu segera patah dan roboh.
Pendeta itu ketakutan. "Kalian yang datang dari tempat jauh sebenarnya harus diterima dengan segala kehormatan," katanya. "Hanya menyesal para pemimpin kami sedang menutup diri sehingga kami mohon kalian sudi datang di lain waktu." Seraya berkata begitu, ia membungkuk dan memutar badan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dengan sekali melompat Wie It Siauw sudah menghadang di depannya. "Bolehkah aku mendapat tahu hoat-beng Taysu yang mulia" Tanyanya.
"Hoat beng siauw ceng Hui-hian," jawabnya.
Mendengar itu semua pemimpin Beng-kauw dongkol bukan main. Seorang pendeta Siauw lim yang menggunakan nama "Hui" adalah pendeta ketiga yang hidup pada saat itu. Sebagaimana diketahui yang paling tinggi "Kong", sedang yang kedua adalah "Goan". Bahwa Siauw lim hanya mengirimkan seorang wakil dari tingkatan "Hui" untuk menyambut pemimpin Beng-kauw dianggap suatu hinaan paling besar.
Dengan paras muka gusar Wie It Siauw menepuk pundak pendeta itu. "Baiklah!" katanya. "Taysu terus menerus mengatakan tidak bisa menemui. Jika Giam-loo-ong yang memanggil, Taysu akan menemui atau tidak?"
Begitu ditepuk Hui-hian merasakan hawa dingin yang sangat hebat menerobos, sehingga sekujur badannya gemetaran dan giginya gemelutukan. Sambil menahan rasa dingin itu, dia lari melewati Wie It Siauw dan terus kabur ke atas gunung dengan langkah limbung.
"Sesudah dia dipukul, guru dan paman-paman gurunya tidak akan menyudahi begitu saja," Bu Kie menyambung perkataan itu. "Sekarang tak ada jalan lain daripada naik ke atas untuk melihat pendeta-pendeta itu benar-benar tidak mau menemui kita."
Semua orang mengangguk. Mereka merasa bahwa satu pertempuran hebat tidak bisa dielakkan lagi.
Siauw lim-pay dikenal sebagai gunung Thay-san atau bintang Pak tauw dalam Rimba Persilatan dan selama ribuan tahun, partai itu dinamakan sebagai "partai yang tak pernah terkalahkan". Hari ini akan diputuskan, apa Beng-kauw atau Siauw lim-pay yang akan unggul. Mereka tahu bahwa di dalam kuil Siauw lim sie terdapat banyak orang pandai sehingga hebatnya pertempuran yang akan terjadi sukar dibayangkan lagi. Mengingat begitu, dengan semangat bergelora para pemimpin Beng-kauw mendaki gunung.
Berselang kira-kira sepeminuman teh mereka tiba di pendopo Lip-soat-teng. Dengan rasa terharu Bu Kie ingat bahwa pada beberapa tahun berselang mereka bersama-sama Thay-suhunya, ia bertemu dengan pendeta suci Siauw lim-pay di pendopo itu. Pada waktu itu ia datang sebagai seorang bocah yang kurus kering yang menderita keracunan hebat, tapi sekarang ia berkunjung sebagai seorang Kauw cu dari Bengkauw yang sangat berpengaruh. Jangka waktu kunjungan itu hanya beberapa tahun tapi seolah-olah sudah satu abad.
Bu Kie menahan rombongannya di pendopo itu. Ia ingin menunggu wakil Siauw lim sie. Sebelum menggunakan kekerasan, ia mau bertindak menurut peraturan sopan santun, tapi mereka menunggu dengan sia-sia.
"Ayo kita naik!" kata Bu Kie akhirnya.
Dengan Yo Siauw dan Wie It Siauw di sebelah kiri dan In Thian Ceng dan In Ya Ong di sebelah kanan, Thian koan Toojin, Pheng Eng Giok, Ciu Tian dan Swee Poet tek di belakang, Bu Kie lalu memasuki pintu kuil Siauw lim sie. Setelah berada di dalam ruangan sembahyang Tay-hiong Po tian, mereka melihat patung Budha yang agung, kursi meja yang mengkilap, asap hio yang mengepul ke atas dan lampu-lampu yang menyala tapi dalam ruangan itu tak kelihatan bayangan manusia.
"Beng-kauw Thio Bu Kie bersama Yo Siauw, In Thian Ceng dan lain-lain datang berkunjung untuk bertemu dengan Hong Tio Tay-su!" teriak Bu Kie yang suaranya disertai Lweekang hebat sehingga lonceng yang tergantung di dalam ruangan itu mengeluarkan suara "ung"ung?"
Yo Siauw, Wie It Siauw dan yang lain-lain saling mengawasi dengan perasaan kagum. Dengan mempunyai seorang pemimpin yang tenaga dalamnya begitu tinggi, mereka merasa bahwa dalam pertempuran ini Beng-kauw akan memperoleh kemenangan.
Teriakan Bu Kie bisa didengar di seluruh kuil tapi sesudah menunggu beberapa lama seorang manusiapun tak kelihatan batang hidungnya.
"Hei! Apa kamu mau bersembunyi seumur hidup?" teriak Ciu Thian berangasan.
Mereka menunggu lagi tapi tetap tiada yang muncul.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Sudahlah!" kata In Thian Ceng. "Sekarang kita tak usah perdulikan akal apa yang dijalankan mereka, mari kita masuk semua!" Seraya berkata begitu dengan diikuti oleh yang lain ia maju lebih dulu dan terus menuju ke ruang belakang. Tapi seorang manusiapun tidak ditemui mereka.
Mereka heran tak kepalang. Siauw lim-pay adalah sebuah partai persilatan yang besar dan sejak dulu sudah mempunyai nama yang sangat harum. Di dalam kuil terdapat banyak sekali pendeta yang tinggi ilmu silatnya dan banyak akal budinya. Tapi hari ini mereka menjalankan "tipu kuil kosong". Tipu apa itu" Tak bisa tidak suatu tipu yang sangat hebat. Mengingat begitu, mereka makin berhati-hati. Mereka waspada pada setiap tindakan sesudah melewati Ka-lam tian, tapi mereka belum juga menemui manusia.
Tiba-tiba Wie It Siauw berkata, "Swee Poet Tek, mari kita mengamat-amati dari atas!"
Swee Poet Tek mengangguk dan badannya segera mencelat ke atas, tapi sebelum kedua kakinya menginjak payon rumah, Wie It Siauw sudah berada di atas wuwungan.
"Ilmu ringan badan Wie Hong ong benar-benar tak akan bisa ditandingi oleh Po tay Hweeshio,"
katanya di dalam hati. "Hei! Pendeta-pendeta Siauw lim sie!" teriak Ciu Tian. "Mengapa kau main bersembunyi terus menerus?"
Rombongan Bu Kie menyelidiki dari satu ruang ke lain ruang. Sebegitu jauh mereka bukan saja belum menemui manusia, tapi juga belum melihat tanda-tanda yang mencurigakan. Di Lo-han tong ruangan berlatih silat, mereka mendapati kenyataan bahwa semua senjata yang biasanya terdapat dalam ruangan itu sudah tidak ada lagi. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, cepat-cepat mereka menuju ke Tat-mo tong.
Dalam ruangan itu di atas lantai, hanya terdapat sembilan lembar tikar yang sudah separuh rusak.
Dengan alis berkerut, Yo Siauw berkata, "Kudengar Tat-mo tong adalah tempat beristirahatnya para cianpwee dari Siauw lim sie, di antaranya ada yang tidak pernah keluar dari pintu ruangan ini selama sepuluh tahun. Mana bisa jadi"...Mana bisa jadi, tanpa bertempur, mereka menyembunyikan diri?"
"Hatiku sangat tidak enak," sambung Pheng Eng Giok. "Aku merasa di dalam kuil ini sudah terjadi sesuatu yang sangat hebat, kejadian yang sangat buruk"."
Ciu Tian tertawa nyaring, "Ada-ada saja!" katanya.
Tiba-tiba Bu Kie ingat pengalaman waktu ia belajar Siauw lim Kioe yang kang.
"Coba kita pergi ke situ," katanya. Dengan diikuti oleh pengiringnya, ia menuju ke kamar Goan tin. Di dinding masih terlihat bekas-bekas dari bagian yang dahulu dijobloskan Goan tin, tapi kamar kosong tiada manusianya.
"Coba kita selidiki di Cong keng kok," kata Yo Siauw.
Di Cong keng kok, rak-rak buku kosong semua! Ke mana perginya beberapa laksa jilid kitab suci"
Semua orang menggeleng-gelengkan kepala. Mereka benar-benar pusing. Andaikata benar pemimpin-pemimpin Siauw lim menyingkirkan diri, sepantasnya mereka harus meninggalkan beberapa orang untuk membersihkan kuil itu. Beng-kauw pasti tidak menyusahkan mereka itu. Apakah jika mereka meninggalkan beberapa orang pemimpin Siauw lim sie kuatir rahasianya terbuka"
Semua orang kembali ke Tay hiong Po thian. Wie It Siauw dan Swee Poet Tek yang menyusul belakangan melaporkan bahwa sesudah menyelidiki seluruh kuil mereka tidak mendapatkan apapun jua bahkan si pendeta penyambut tamupun turut menghilang.
Sementara itu, Yo Siauw memanggil Goan Hoan, pemimpin Houw touw-kie dan memerintahkannya supaya bersama semua anggota bendera tersebut menyelidiki kalau-kalau di dalam kuil tersebut terdapat jalan atau tempat rahasia untuk menyembunyikan diri. Dua jam kemudian Goan Hoan kembali dengan laporan bahwa penyelidikan tidak memberi hasil. Ia hanya menemukan beberapa kamar untuk menutup diri dan bersemedi, tapi kamar itu kosong semua. Goan Hoan adalah seorang ahli bangunan dan di dalam Houw touw-kie terdapat tukang membuat rumah yang pandai. Maka itu, laporan tersebut boleh tidak diragukan lagi.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Yo Siauw, In Thian Ceng, Pheng Eng Giok dan yang lain-lain adalah orang-orang yang berpengalaman luas dan berakal budi. Tapi sekarang mereka menemui jalan buntu. Mereka mengasah otak, berpikir bolak balik tapi mereka tetap tak bisa menembus misteri yang aneh itu.
Selagi mereka berunding, tiba-tiba di sebelah barat terdengar suara kedubrakan sebuah pohon siong tua roboh dengan tiba-tiba. Semua orang kaget dan memburu ke tempat itu. Pohon itu berada di pinggir sebuah perkarangan yang terkurung tembok dan batang yang patah menimpa tembok itu. Waktu didekati, pohon itu ternyata roboh karena terpukul, sebab urat-uratnya di bagian yang patah putus semuanya.
Dilihat dari urat-uratnya yang sudah agak kering, pukulan itu bukan baru terjadi, tapi sudah berselang beberapa hari.
Mendadak beberapa orang mengeluarkan seruan kaget.
"Ih!" "Lihat ini!" "Aha! Di sini terjadi pertempuran hebat!"
Memang dalam perkarangan itu terlihat tanda-tanda bekas pertempuran. Di atas lantai batu hijau, di dahan pohon dan di tembok terlihat bekas bacokan senjata tajam atau pukulan-pukulan yang dahsyat.
Dilihat dari bekas-bekasnya orang-orang yang bertempur adalah ahli-ahli silat kelas satu. Tapak-tapak kaki yang menggores lantai membuktikan Lweekang yang sangat tinggi dari orang-orang yang berkelahi itu.
Mendadak Wie It Siauw mengendus bau darah. Dalam pertempuran itu rupanya sudah mengucur banyak darah tapi karena semalam turun hujan besar, sebagian besar darah itu sudah hanyut dan hanya ketinggalan di beberapa tempat tertentu.
Perkarangan itu sangat besar dan tadi waktu diperiksa, orang tidak memeriksa secara teliti sebab di situ tak terdapat manusia. Kalau pohon siong itu tidak roboh mereka tentu takkan datang lagi ke sini.
"Yo Cosu, bagaimana pendapatmu?" tanya Pheng Eng Giok.
"Pada tiga empat hari yang lalu, di sini telah berlangsung pertempuran yang sangat hebat," jawabnya.
"Hal ini tak usah disangsikan lagi. Apakah orang-orang Siauw lim sie terbasmi semua?"
"Aku sependapat dengan Yo Cosu," kata Pheng Eng Giok. "Tapi siapa musuhnya Siauw lim sie"
Mana ada partai yang begitu lihay" Apa Kay-pang?"
"Biarpun partai besar dan banyak orang pandainya, Kay-pang pasti takkan bisa membasmi semua pendeta dalam kuil ini," kata Ciu Tian. "Yang bisa berbuat begitu hanialah Beng-kauw kita, tapi jelas-jelas bukan kitalah yang melakukannya."
"Ciu Tian lebih baik kau jangan mengeluarkan segala omong kosong," kata Tiat koan Toojin. "Apakah di antara kita ada yang tidak tahu bahwa kita tidak melakukan perbuatan ini?"
Diluar dugaan perkataan Ciu Tian yang dikatakan sebagai omong kosong sudah mengingatkan sesuatu kepada Yo Siauw. "Ah!...," ia mengeluarkan seruan tertahan. "Kauw cu mari kita pergi lagi ke Tat-mo tong."
Bu Kie tahu bahwa ajakan itu mesti ada sebabnya. "Baik," katanya.
Dengan cepat semua orang masuk lagi ke dalam Tat-mo tong. Dalam ruangan itu, di samping sembilan lembar tikar pecah, di atas meja sembahyang terdapat sebuah patung batu dari Tat-mo Couw su. Muka patung itu menghadap tembok, dengan punggung menghadap keluar. Semua orang tahu bahwa itu adalah untuk memperingati satu kejadian penting dalam hidupnya guru besar tersebut. Menurut cerita, sesudah bersemedi menghadap tembok selama sembilan tahun Tat-mo Couw su berhasil mendapatkan inti sari daripada ilmu silat.
"Tapi kita sudah menyelidiki, ada perlu apa kita datang lagi ke sini?" tanya Ciu Tian.
Tanpa meladeni perkataan Ciu Tian, Yo Siauw berkata kepada In Ya Ong. "In Sie heng, aku minta bantuanmu. Mari kita putar patung Tat-mo Couw su."
"Jangan!" cegah In Thian Ceng.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tat-mo Couw su adalah pendiri Siauw lim sie yang dipandang suci dan dipuja bukan saja oleh orang-orang Siauw lim-pay, tapi juga oleh semua tokoh persilatan di kolong langit.
"Eng Ong jangan kuatir," kata Yo Siauw. "Siauw tee bertanggung jawab untuk segala akibatnya,"
seraya berkata begitu ia melompat ke atas meja sembahyang dan coba memutar patung itu. Namun karena terlalu berat, patung itu tidak bergeming.
"Ya Ong, bantulah," kata sang ayah.
In Ya Ong segera melompat ke atas dan dengan tenaga dua orang patung itu yang beratnya dua ribu kati lebih dapat diputar.
Begitu patung diputar, paras muka semua orang berubah pucat. Ternyata muka patung telah dipapas rata sehingga merupakan selembar papan batu dan di atasnya terdapat huruf-huruf yang berbunyi seperti berikut:
"Lebih dahulu membasmi Siauw lim.
Kemudian menumpas Bu tong.
Yang merajai Rimba Persilatan hanialah Beng-kauw."
Huruf-huruf itu ditulis dengan jari tangan yang seolah-olah memahat papan batu itu.
Tanpa merasa semua orang mengeluarkan teriakan kaget. Itulah tipu daya yang sangat busuk, yang menimpakan semua dosa di atas pundak Beng-kauw.
Dengan bersamaan Yo Siauw dan In Ya Ong melompat turun.
"Hidung kerbau Tiat koan!" bentak Ciu Tian. "Jika aku tidak mengeluarkan omong kosong, Yo Cosu pasti tak bisa menebak kejahatan musuh."
Tiat koan Toojin tidak meladeni. Ia tak ada kegembiraan untuk bertengkar dengan saudara yang rewel itu. "Yo Cosu, bagaimana kau dapat memikirkan bahwa pada patung itu terdapat sesuatu yang luar biasa?" tanyanya.
"Tadi waktu pertama kali aku masuk ke sini, aku sudah lihat bahwa patung itu memang digeser orang," jawabnya. "Tapi aku belum dapat berpikir bahwa dalam penggeseran itu bersembunyi tipu daya yang sangat busuk."
"Ada hal lain yang belum dimengerti olehku," kata Pheng Eng Giok. "Tak bisa disangsikan lagi bahwa dengan huruf-huruf itu musuh ingin menumpahkan dosa di atas pundak Beng-kauw supaya kita dikeroyok oleh seluruh Rimba Persilatan. Tapi mengapa musuh itu manghadapkan muka patung ke tembok" Kalau Yo Cosu tidak berotak cerdas, bukankah kitapun tak tahu adanya huruf-huruf itu?"
Yo Siauw manggut-manggutkan kepalanya. "Patung itu telah diputar lagi oleh orang lain," jawabnya.
"Dengan diam-diam, seseorang yang sangat tinggi kepandaiannya telah membantu kita. Kita telah menerima budi yang sangat besar."
Semua orang segera menanyakan siapa adanya orang itu.
Yo Siauw menghela nafas dan berkata, "Akupun tak tahu"."
Perkataan itu tiba-tiba diputuskan oleh teriakan Bu Kie. "Celaka"! Lebih dahulu membasmi Siauw lim, kemudian menumpas Bu tong"Bu tong menghadapi bencana besar!"
"Kita harus segera membantu," kata Wie It Siauw. "Dengan memberi bantuan, kitapun bisa menyelidiki siapa adanya anjing terkutuk itu."
Saat itu, di depan mata Bu Kie segera terbayang kecintaan Thay suhu dan para pamannya. Apa Song Wan Kiauw dan yang lain-lain sudah kembali ke Bu tong"
Di sepanjang jalan ia tak pernah menerima berita mengenai gerak-gerik rombongan Bu tong. Kalau rombongan itu terlambat, maka yang berada di gunung hanialah Thay suhu, murid-murid turunan ketiga dan Sam Supeh Jie Thay Giam yang cacat. Jika musuh menyerang, bagaimana mereka bisa melawannya"
Mengingat begitu, ia bingung bukan main. "Para Cianpwee dan Heng tiang!" katanya dengan suara
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
nyaring. "Bu tong adalah tempat asal dari mendiang ayahku. Sekarang Bu tong menghadapi bencana.
Kalau sampai terjadi sesuatu dikemudian hari, aku sukar menginjak bumi lagi sebagai manusia terhormat.
Menolong orang seperti menolong kebakaran, lebih cepat lebih baik. Sekarang aku ingin minta Wie Hok-ong mengikuti aku untuk berangkat lebih dulu. Yang lain bisa menyusul belakangan. Kuminta Yo Cosu dan Gwa kong sudi mengepalai rombongan kita." Sehabis berkata begitu, ia menyoja dan dengan sekali berkelabat, ia sudah berada di luar kuil. Wie It Siauw mengikuti dengan ilmu ringan badan. Dalam sekejap mereka sudah melewati Lip-soat-teng. Dalam ilmu ringan badan di kolong langit tak ada orang yang bisa menandingi mereka.
Setibanya di kaki gunung Siong san, siang sudah berganti malam. Tapi mereka meneruskan perjalanan dan jalan semalaman suntuk, mereka sudah melalui beberapa ratus li. Kecepatan lari Wie It Siauw tidak kalah dari Bu Kie, tapi dalam jangka waktu panjang, ia kalah tenaga dalam. Biar bagaimanapun jua, lama-lama mereka merasa lelah. "Untuk mencapai Bu tong san dengan kecepatan seperti sekarang, harus menggunakan waktu satu hari satu malam lagi," kata Bu Kie di dalam hati. "Manusia yang terdiri darah dan daging tak akan bisa lari terus menerus. Apalagi dalam menghadapi musuh kelas berat, kita harus menyimpan tenaga!"
Berpikir begitu ia segera berkata, "Wie Hok-ong, setibanya di kota aku ingin membeli dua ekor kuda untuk dijadikan tunggangan."
Wie It Siauw memang sudah punya niat itu, tapi ia merasa malu hati untuk membuka mulut. "Kauw cu beli kuda sangat repot," katanya sambil tersenyum. "Perlu apa kita membuang-buang waktu?"
Tak lama kemudian dari sebelah depan datang lima-enam penunggang kuda. Dengan sekali melompat Ceng-ek Hok-ong sudah mengangkat tubuh dua penunggang kuda yang lalu dilepaskan di tanah dengan perlahan. "Kauw cu, naiklah!" serunya.
Bu Kie ragu. Perbuatan itu tiada bedanya dengan merampok.
"Kauw cu!" teriak Wie It Siauw. "Demi kepentingan urusan besar, kita tidak boleh menghiraukan segala hal remeh."
Beberapa orang itu yang mengerti sedikit ilmu silat segera menyerang. Dengan tangan memegang les kuda, Wie It Siauw menendang kian kemari dan beberapa golok terpental.
"Bangsat! Siapa kau!" bentak salah seorang.
Bu Kie mengerti bahwa jika orang-orang itu diladeni terlalu lama, Beng-kauw akan mendapat lebih banyak musuh. Maka itu, ia segera melompat ke punggung seekor kuda dan lalu kabur bersama-sama Wie It Siauw. Orang-orang itu mencaci tapi mereka tidak berani mengejar.
"Biarpun kita berbuat begini karena terpaksa, tapi orang-orang itupun mungkin mempunyai urusan yang sangat penting," kata Bu Kie. "Aku sungguh merasa tidak enak."
Wie It Siauw tertawa nyaring. "Kauw cu," katanya. "Janganlah kau memikirkan urusan yang tiada artinya. Kalau dulu memang benar kita pernah berbuat seenaknya saja." Sehabis berkata begitu ia tertawa terbahak-bahak.
Mendengar itu Bu Kie berpikir, "Kalau orang menamakan Beng-kauw sebagai agama yang sesat memang beralasan juga. Tapi dalam hakekatnya apa yang benar dan apa yang salah tak gampang disimpulkan dengan begitu saja." Ia ingat bahwa dalam memikul beban Kauw cu yang sangat berat, ia kurang pengalaman dan pengetahuan sehingga ia sering ragu untuk mengambil keputusan. Meskipun ia memiliki ilmu silat yang sangat tinggi tapi urusan-urusan penting di dalam dunia tak bisa dibereskan dengan mengandalkan ilmu silat saja. Dengan pikiran kusut, ia larikan tunggangannya. Ia hanya berharap supaya berhadil dalam usaha menyambut Cia Sun. Agar ia bisa menyerahkan tanggungan yang berat itu kepada ayah angkatnya.
Berpikir sampai di situ, tiba-tiba berkelabat bayangan manusia dan dua orang menghadang di tengah jalan.
Bu Kie dan Wie It Siauw menahan kudanya. Yang mencegat mereka adalah pengemis anggota Kaypang yang bersenjata tongkat baja dan menggendong karung.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"MInggir!" bentak Wie It Siauw sambil mengedut dan menyabet salah seorang dengan cambuk.
Pengemis itu menangkis dengan tongkatnya, sedang kawannya mengeluarkan siulan nyaring seraya mengibaskan tangan kirinya. Tunggangan Wie It Siauw kaget dan berjingkrak. Sesaat itu, dari gombolan pohon-pohon melompat pengemis lain, yang dilihat dari gerakannya berkepandaian cukup tinggi.
"Kauw cu, jalanlah lebih dulu!" seru Ceng-ek Hok-ong. "Biar aku yang melayani kawanan tikus ini."
Bu Kie dongkol bukan main. Pencegatannya itu membuktikan bahwa Bu tong-pay benar-benar menghadapi bencana. Dengan mengingat bahwa Wie It Siauw memiliki ilmu ringan badan yang sangat tinggi sehingga andaikata ia tidak bisa memperoleh kemenangan sedikitnya ia masih bisa menyelamatkan diri, maka Bu Kie segera menjepit perut kuda dengan kedua lututnya dan binatang itu segera lompat menerjang. Dua orang pengemis mencoba merintangi dengan tongkatnya. Sambil mencondongkan badannya, Bu Kie menangkap kedua tongkat itu lalu dilemparkan. Hampir bersamaan kedua pengemis itu mengeluarkan teriakan kesakitan dan roboh di tanah karena tulang betisnya patah terpukul tongkatnya sendiri. Bu Kie sebenarnya tidak berniat melukai orang, tetapi karena melihat empat pengemis yang baru datang dan berkepandaian tinggi, maka ia terpaksa turun tangan untuk membantu Wie It Siauw.
Meskipun Siong san dan Bu tong san terletak di dua propinsi yang berlainan, tapi lantaran yang satu berada di Ho-lam barat dan yang lain berada di Ouw-ak utara, maka jarak antara kedua gunung itu tak begitu jauh. Sesudah melewati Ma san-kauw, daerah di sebelah selatan adalah tanah datar sehingga kuda bisa lari lebih cepat. Kira-kira tengah hari setelah melalui Lweehiang, Bu Kie segera berhenti di satu pasar untuk membeli makanan guna menahan perut.
Selagi makan ia mendadak mendengar pekik kesakitan dari kudanya. Ia menengok dan dengan terkejut ia melihat sebatang pisau tertancap di perut kuda dan berkelabat bayangan manusia yang coba melarikan diri. Tak salah lagi, binatang itu ditikam orang tersebut. Dengan beberapa lompatan Bu Kie berhasil membekuk orang itu yang ternyata juga seorang murid Kay-pang dengna baju berlepotan darah kuda.
Dengan gusar Bu Kie menotok Toa-tio-hiatnya supaya ia menderita tiga hari tiga malam lamanya.
Bu Kie menjadi bingung kudanya mati dan ia tak punya uang lagi. Tapi waktu menggeledah tawanannya ia mendapatkan seratus tail perak lebih. "Kau sudah membunuh kudaku biarlah aku ambil uang ini sebagai gantinya," katanya. Ia pergi ke pasar dan secara kebetulan ia bertemu kuda yang sikapnya garang. Sesudah melemparkan seratus tail perak lebih di tanah, tanpa memperdulikan si pemilik kuda, ia melompat ke punggung kuda yang lalu dilarikannya sekencang-kencangnya.
Tak lama kemudian ia tiba di Sam koan-tian, di tepi sungai Han-sui. Sungguh untung di pinggir sungai kelihatan berlabuh sebuah perahu eretan besar. Sambil menuntun kudanya ia turun ke perahu dan minta diseberangi.
Selagi perahu melaju di tengah sungai, di depan mata Bu Kie terbayang kejadian di masa lampau. Ia ingat, sekembalinya dari Siauw lim sie, waktu lagi menyeberangi Han-sui bersama Thay suhu ia bertemu Siang Gie Cu dan kemudian menolong nona Sie Cu. Dengan pikiran melayang ia mengawasi air sungai yang berombak.
Mendadak ia tersadar dari lamunannya karena perahu bergoyang-goyang. Dengan kaget ia menyadari bahwa perahu bocor, air menerobos masuk dari sebuah liang. Sebagai orang yang pernah menghuni pulau Peng-hwee to, ia pandai berenang. Tapi bila perahu tenggelam perjalanannya jadi terlambat. Ia memutar badan dan melihat si juragan perahu sedang mau melompat ke dalam air dengan bibir tersungging senyuman mengejek. Gerakan Bu Kie cepat luar biasa. Dengan sekali melompat, ia sudah menjambret pakaian orang itu yang lalu ditotok sehingga dia berteriak-teriak. "Lekas kayuh!" bentak Bu Kie. "Kalau kau mau gila lagi, kusodok kedua biji matamu!" Sesudah mendengar ucapan itu, si juragan perahu tidak berani membantah dan segerah mengayuh sekuat-kuatnya. Selagi dia mengayuh, Bu Kie merobek ujung bajunya yang lalu digunakan untuk menyumbat liang kebocoran di dasar perahu.
Sesudah tiba di seberang, sambil mencengkram dada juragan perahu itu, Bu Kie membentak, "Siapa yang suruh kau mencelakai aku?"
Dia ketakutan dan menjawab dengan suara terputus-putus. "Siauw jin"siauw jin"Kay-pang"."
Tanpa menunggu selesainya jawaban, Bu Kie melompat ke punggung kuda yang lalu dilarikan ke arah selatan.
Cuaca sudah mulai berubah gelap. Sesudah berjalan kira-kira satu jam lagi, kuda itu berlutut karena terlalu lelah. Sambil menepuk-nepuk punggung kuda itu, Bu Kie berkata, "Kuda biarlah kau mengaso di
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
sini. Aku perlu segera meneruskan perjalanan." Dengan menggunakan ilmu ringan badan ia segera berlari sekencang-kencangnya.
Sesudah lewat tengah malam, selagi enak berlari-lari dengna kecepatan kilat, sayup-sayup ia mendengar suara kaki kuda yang ramai di sebelah depan. Ia menyusul dan melewati rombongan penunggang kuda itu. Karena gelap dan gerakannya sangat cepat, rombongan yang dilewati tidak mendusin. Dilihat dari arahnya, rombongan itu yang terdiri dari dua puluh orang lebih pasti menuju ke Bu tong san. Mereka terus berjalan tanpa berbicara sehingga Bu Kie tidak bisa mendapat keterangan apapun jua tapi lapat-lapat ia melihat bahwa orang-orang itu berbekal senjata. "Mereka tentu mau menyerang Bu tong san," pikirnya. "Untung juga aku keburu menyusul. Dilihat begini tong-pay belum diserang."
Berselang setengah jam ia kembali bertemu dengan serombongan orang yang menuju ke Bu tong san.
Kejadian itu terulang beberapa kali sehingga ia telah menyusul dan melewati tidak kurang dari lima rombongan orang.
Bu Kie jadi bingung sendiri, "Berapa rombongan yang sudah naik ke atas?" tanyanya di dalam hati.
"Apa mereka sudah bertempur dengan partaiku?" Secara resmi ia sebenarnya belum menjadi murid Bu tong, tapi karena ayahnya ia selalu menganggap dirinya sebagai seorang anggota Bu tong-pay.
Dalam bingungnya, ia lari makin cepat. Ketika tiba di tengah-tengah gunung, di sebelah depan tiba-tiba terdengar suara bentakan dan teriakan. Dengan mengambil jalan mutar, ia bersembunyi. Di lain saat ia lihat bayangan hitam yang sedang uber-uberan di depan, tiga menggenakan baju putih mengejar dari belakang.
"Kepala gundul! Perlu apa kau naik ke Bu tong san?" teriak salah seorang yang mengejar.
"Usahamu untuk menyampaikan berita tidak ada gunanya," sambung yang lain. Hampir bersamaan terdengar suara "srrr"srrr"srrr?" dan beberapa senjata rahasia menyambar kea rah orang yang dauber. Di dengar dari suaranya, orang yang melepaskan senjata rahasia bukan sembarang orang.
"Kalau begitu dia sahabat," pikir Bu Kie. "Aku harus mencegat ketiga pengejar itu." Ia melompat dan menyembunyikan diri di belakang pohon. Di lain saat, orang yang dikejar sudah lewat di depannya.
Orang itu gundul kepalanya, benar seorang hwee-shio. Ia memegang golok yang warnanya kehitam-hitaman dan larinya terpincang-pincang, rupanya ia sudah terluka. Tiga pengejarnya mengikuti dengan cepat. Mereka bersenjata tombak bercagak dan Bu Kie mengenali bahwa mereka itu orang-orang Kay tapi memakai baju putih yang biasa dipakai oleh anggota Beng-kauw.
Darah bu Kie bergolak, "Ayah sering menceritakan bahwa dahulu di bawah pimpinan Kioe cie Sin kay Ang Cit Kong, Kay-pang adalah sebuah partai yang dihormati dan disegani dalam Rimba Persilatan,"
katanya dalam hati. "Siapa nyana sekarang partai itu sudah berubah tidak keruan."
Sementara itu, si pendeta lari terus dengan langkah limbung. "Kepala gundul, berhenti kau!" teriak seorang pengejar. "Siauw lim-pay-mu sudah musnah semuanya. Apa yang bisa diperbuat olehmu seorang diri" Paling baik kau takluk. Beng-kauw bersedia untuk mengampuni."
Bu Kie jadi makin gusar. Karena merasa tidak bisa lari lebih jauh, pendeta itu berhenti memutar badan dan membentak seraya melintangkan goloknya. "Manusia siluman! Aku mau lihat sampai kapan kamu masih bisa berbuat sewenang-wenang. Sekarang aku mau mengadu jiwa dengan kamu."
Ketika anggota Kay-pang itu segera mengurung si pendeta dan menyerang secara hebat. Tapi pendeta itu ternyata berkepandaian cukup tinggi dan melawan dengan gagah. Sesudah bertempur beberapa lama, sambil membentak keras pendeta itu membacok bagaikan kilat dan golok mampir tepat di lengan kiri seorang lawannya. Selagi musuh-musuhnya kaget, ia membabat lagi dan sekali ini berhasil melukai pundak seorang musuh lainnya. Sesudah dua kawannya luka, yang ketiga buru-buru angkat kaki.
Tanpa mengaso lagi pendeta itu lalu mendaki gunung secepatnya.
"Permusuhan antara Beng-kauw dan Siauw lim serta Bu tong masih belum selesai dan dengan adanya siasat busuk ini permusuhan akan menghebat," pikir Bu Kie. "Kalau aku tunjukkan muka, urusan mungkin akan lebih sulit. Paling baik aku menguntit dan bertindak dengan mengimbangi keadaan."
Berpikir begitu, dengan menggunakan ilmu ringan badan, ia mengikuti di belakang pendeta itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Waktu hampir mencapai puncak, tiba-tiba terdengar di belakang, "Sahabat dari mana yang datang berkunjung?" Bentakan itu disusul dengan melompat keluarnya empat orang, dua imam, dua orang biasa dari belakang batu-batu gunung. Mereka adalah murid-murid turunan ketiga dan keempat dari Bu tongpay.
Sambil merangkap kedua tangannya, pendeta itu menjawab. "Kong-siang pendeta Siauw lim, mohon berjumpa dengan Thio Cin-jin dari Bu tong-pay utnuk suatu urusan yang sangat penting."
Mendengar nama "Kong-siang", Bu Kie agak terkejut. "Kedudukan pendeta itu ternyata setingkat dengan ketiga Seng ceng (pendeta suci) dari Siauw lim sie Hong thio Kong-bun, Kong-tie dan Kong-seng. Tidak heran kalau ilmu silat begitu tinggi. Dia benar seorang ksatria," pikir Bu Kie. "Tanpa memperdulikan bahaya dan lelah, dia datang ke Bu tong untuk menyampaikan berita."
"Tay su tentu capai, masuklah untuk minum secangkir teh," kata salah seorang murid Bu tong.
Selagi berjalan, Kong-siang menyerahkan goloknya kepada salah seorang too-jin sebagai tanda menghormati bahwa ia tidak berani masuk ke dalam kuil dengan membawa senjata.
Bu Kie pernah berdiam di Bu tong san. Dengan rasa terharu ia melewati pohon rohon dan batu-batu yang dikenalnya. Keenam murid Bu tong itu lalu mengajak tamunya masuk ke dalam Sam ceng tian dan Bu Kie segera bersembunyi di luar jendela untuk mengamat-amati.
"Too-tiang, lekaslah memberi laporan kepada Thio Cin-jin," kata Kong-siang. "Urusan ini sangat penting dan tidak boleh ditunda-tunda."
"Taysu datang pada waktu yang tidak tepat," kata si imam dengan suara menyesal. "Tahun yang lalu Su cu menutup diri dan sampati sekarang sudah setahun lebih. Kami sendiripun sudah lama tidak pernah bertemu muka dengan orang tua itu."
Alis Kong-siang berkerut, "Kalau begitu, biarlah aku menemui saja Song Thay-hiap," katanya.
Too-jin itu menggeleng-gelengkan kepala. "Toa su-peh belum pulang," jawabnya. "Sebagaimana Taysu tahu bahwa Toa su-peh, Su hu dan para Su siok bersama partai Taysu sendiri telah pergi menyerang Beng-kauw. Sampai sekarang mereka belum pulang."
Bu Kie kaget. Ia sekarang tahu bahwa rombongan Bu tong-pay pun belum kembali dan terdapat kemungkinan besar para pamannya mendapat bencana atau sedikitnya mendapat halangan di tengah jalan.
Kong-siang menghela nafas, "Dilihat begini Bu tong-pay bakal sama nasibnya dengan Siauw lim-pay dan hari ini sukar meloloskan diri dari mara bahaya," katanya dengan suara duka.
Si imam yang tidak mengerti maksud pertanyaan itu segera berkata, "Segala urusan partai kami untuk sementara diurus oleh Tong hian su Su-heng. Aku bisa melaporkan padanya."
"Murid siapa Tong hian Too-tiang?" tanya Kong-siang. Paras muka pendeta itu berubah terang.
"Biarpun Jie Sam-hiap cacat, ia seorang pandai," katanya. "Biarlah aku bicara dengan Jie Sam-hiap saja."
"Baiklah, aku akan menyampaikan keinginan Taysu," kata too-jin itu sambil masuk ke dalam.
Dengan roman tidak sabaran, Kong-siang jalan mondar-mandir dalam ruangan itu. Kadang-kadang ia berhenti dan memasang kuping, kalau-kalau musuh sudah tiba.
Tak lama kemudian too-jin yang tadi keluar dengan tergesa-gesa, "Jie Samsu siok mengundang Taysu," katanya seraya membungkuk. "Samsu siok memohon maaf bahwa ia tidak bisa keluar untuk menyambut Taysu." Sikap too-jin itu sekarang lebih banyak manis daripada tadi. Mungkin sekali, sesudah mendengar bahwa yang datang berkunjung adalah seorang pendeta Siauw lim dari tingkatan
"Kong" Jie Thay Giam sudah memesan supaya dia berlaku hormat terhadap tamu itu.
Bu Kie sebenarnya sangat ingin mengintip dari jendela kamar pamannya, tapi ia segera membatalkan niatnya itu. "Sesudah kaki tangannya lumpuh, kuping dan mata Sam supeh lebih hebat daripada manusia biasa," pikirnya.
"Kalau kau mendengar di luar jendela, ia pasti akan mengetahui." Berpikir begitu, ia lalu berdiri di tempat yang berjarak beberapa tombak dari kamar Jie Thay Giam.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kira-kira sepeminuman teh dengan tersipu-sipu si imam keluar dari kamar. "Ceng-hong! Beng-goat!"
teriaknya. "Kemari!"
Dua too-tong (imam kecil) menghampiri dengna berlari-lari, "Ada apa Susiok?" tanyanya.
"Sediakan kursi tandu, Sam susiok mau keluar," jawabnya.
Kedua too-tong itu mengiyakan dan segera berlalu untuk mengambil kursi tandu.
Tie-kek Too-jin (imam penyambut tamu) yang menyambut Kong-siang adalah murid baru dari Jie Lian Ciu. Bu Kie tidak mengenalnya, karena pada waktu ia berada di Bu tong san imam itu belum menjadi murid. Tapi ia mengenal Ceng-hong dan Beng-goat. Ia pun tahu bahwa saban kali Jie Thay Giam mau keluar, paman itu selalu digotong dengan kursi tandu oleh mereka.
Melihat too-tong itu masuk ke kamar kursi tandu, ia lantas mengikuti dari belakang. Tiba-tiba ia menegur, "Ceng-hong, Beng-goat, apa kalian masih mengenaliku?"
Mereka terkejut dan mengawasi. Mereka merasa bahwa mereka sudah pernah bertemu dengan orang yang menegur itu tapi mereka lupa siapa orang itu.
Bu Kie tertawa dan berkata, "Aku Bu Kie, Siauw susiok-mu! Apa kau lupa?" (Siauw susiok artinya Paman kecil)
Mereka segera mengenali. Mereka girang tak kepalang. "Aha! Siauw susiok pulang!" seru yang satu.
"Apa kau sudah sembuh?"
Usia mereka bertiga kira-kira sepantaran. Dulu waktu Bu Kie di Bu tong san, mereka bersahabat dan sering bermain bersama-sama, main petak umpet, adu lari, adu jangkrik, tangkap kodok dan sebagainya.
Pertemuan yang tidak diduga-duga tentu saja menggirangkan.
"Ceng-hong aku ingin menyamar sebagai kau dan ingin menggantikan tugasmu menggotong. Apa Sam supeh kenali aku atau tidak."
Ceng-hong ragu,"Aku bisa dimarahi"," katanya.
"Tak mungkin!" kata Bu Kie, "Melihatku pulang dengan sehat, Sam supeh tentu kegirangan. Mana ia ada waktu untuk mengusir kau?"
Kedua too-tong itu tahu bahwa semua pemimpin Bu tong-pay dari Couw su sampai pada Bu tong Cithiap sangat mencintai paman kecil itu. Sekarang mendadak Siauw susiok itu pulang dalam keadaan sembuh. Kejadian ini tentu saja kejadian yang sangat menggirangkan. Maka itu mereka berpikir, "Apa halangannya kalau si paman kecil mau berguyon sedikit untuk menggirangkan hati Jie Thay Giam yang sedang sakit?"
"Baiklah Siauw susiok, kami menurut saja," kata Beng-goat.
Sambil tertawa ha ha hi hi Ceng-hong segera membuka pakaian imamnya, sepatu dan kaus kakinya yang lalu diserahkan kepada Bu Kie. Sementara itu Beng-goat membuat kundai imam di kepala sang paman. Dalam sekejap seorang kong-cu yang tampan sudah berubah menjadi seorang too-tong.
"Siauw susiok, tak bisa kau menyamar sebagai Ceng-hong sebab mukamu sangat berlainan," kata Beng-goat. "Begini saja, kau mengaku sebagai seorang murid baru dan menggantikan Ceng-hong yang keseleo kakinya. Tapi kau harus mempunyai nama. Nama apa yang baik?"
Sesudah berpikir sejenak Bu Kie berkata sambil tertawa, "Ceng-hong meniup daun-daun jatuh. Biarlah aku menggunakan nama Sauw-cap." (Ceng-hong Angin, Sauw-yan Menyapu daun) Kedua too-tong itu tertawa nyaring. Ceng-hong menepuk-nepuk tangan dan berseru,
"Bagus!...Sungguh bagus nama itu!"
Selagi mereka bersenda gurau, tiba-tiba terdengar teriakan si too-jin penyambut tamu, "Hei, lagi apa kamu" Mengapa belum juga keluar?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie dan Beng-goat buru-buru memikul kursi tandu dan pergi ke kamar Jie Thay Giam. Dengan hati-hati mereka mengangkat Jie Sam-hiap dan merebahkannya di kursi. Pendekar Bu tong itu kelihatannya diliputi kedukaan dan ia tidak memperhatikan kedua too-tong tersebut. "Pergi ke belakang gunung, ke tempat Couw suya," katanya.
Mereka segera memikul kursi tandu itu dan berangkat. Beng-goat berjalan di depan dan Bu Kie di belakang sehingga Jie Thay Giam hanya melihat punggung Beng-goat. Kong-siang sendiri berjalan di samping tandu. Karena diminta oleh sang paman, too-jin penyambut tamu itu tidak ikut.
Thio Sam Hong menutup diri dalam sebuah gubuk kecil, di hutan bambu di belakang gunung. Tempat itu sunyi senyap kecuali suara burung dan binatang-binatang kecil tidak terdengar suara apapun juga.
Setibanya di depan gubuk Beng-goat dan Bu Kie menghentikan langkah. Baru saja Jie Thay Giam mau memanggil, dari dalam gubuk mendadak terdengar sang guru, "Seng ceng Siauw lim-pay yang mana yang datang berkunjung" Aku minta maaf bahwa aku tidak dapat menyambut dari tempat jauh." Hampir bersamaan pintu bambu terbuka dan Thio Sam Hong berjalan keluar.
Kong-siang kaget. "Bagaimana ia tahu bahwa yang datang adalah pendeta dari Siauw lim sie?"
tanyanya di dalam hati. "Ah! Mungkin ia sudah diberitahukan oleh too-jin penyambut tamu itu."
Tapi Jie Thay Giam tahu bahwa berkat ilmunya yang sangat tinggi, dengan hanya mendengar suara langkah kaki Kong-siang, sang guru sudah bisa menebak partai dari orang yang sedang mendatangi itu, bahkan bisa menebak juga tinggi rendahnya kepandaian itu. Tapi kali ini tebakan Thio Sam meleset sedikit. Ia menduga yang datang adalah salah seorang dari ketiga pendeta suci Siauw lim sie.
Dilain pihak Lweekang Bu Kie lebih tinggi banyak dari Kong-siang. Oleh karena itu dia bisa menyembunyikan gerak-geriknya dari pendengaran Thio Sam Hong, sebab pada hakekatnya seseorang yang Lweekangnya sudah mencapai tingkat tertinggi bisa berbuat sedemikian rupa sehingga yang "berisi"
menjadi "kong", yang "ada" menjadi "tidak ada".
Dengan jantung memukul keras, Bu Kie mengawasi paras muka Thay suhunya. Muka itu tetap bersinar merah tapi dengan rambut dan jenggotnya yang putih semua, paras itu kelihatan lebih tua daripada delapan sembilan tahun berselang. Ia girang bercampur terharu dan tanpa terasa air matanya mengalir keluar. Cepat-cepat ia melengos.
Kong-siang merangkap kedua tangannya, "Kong-siang pendeta Siauw lim sie, menghadap Bu tong Cianpwee Thio Cin-jin," katanya.
Guru besar itu membalas hormat, "Aku tak berani menerima pujian yang sedemikian tinggi," katanya.
"Taysu tak usah menggunakan banyak peradatan. Masuklah."
Mereka berlima segera melangkah masuk. Dalam ruangan gubuk hanya terdapat sebuah meja dan di atas meja sebuah poci teh dan sebuah cangkir. Di lantai tergelar selembar tikar dan di dinding tergantung sebatang pedang kayu. Hanya itulah, tak ada apa-apa lagi.
"Thio Cin-jin," kata Kong-siang dengan suara berduka. "Siauw lim-pay telah mengalami bencana hebat yang belum pernah dialami selama ribuan tahun. Mo-kauw telah menyerang dengan mendadak.
Semua anggota Siauw lim-pay yang berada di dalam kuil dari Hong thio Kong bu Su-heng sampai pada pendeta yang tingkatannya paling rendah, kecuali aku sendiri tidak ada yang lolos. Mereka binasa atau ditawan musuh. Hanya Siauw ceng sendiri yang luput dan siang malam Siauw ceng kabur ke sini.
Serombongan Mo-kauw yang berjumlah besar sedang menuju ke Bu tong san. Mati hidupnya Rimba Persilatan Tiong goan sekarang berada dalam tangan Thio Cin-jin seorang." Sehabis berkata begiut ia menangis sedih sekali.
Biarpun Thio Sam Hong berilmu tinggi dan berusia seabad lebih, mendengar laporan itu ia terkesiap.
Untuk sejenak ia mengawasi Kong-siang dengan mulut ternganga. Sesudah ia menentramkan hatinya lalu ia berkat, "Dalam Siauw lim sie banyak orang yang pandai. Bagaimana kalian sampai mendapat kesukaran begitu besar?"
"Sebagaimana Thio Cin-jin tahu, Kong-tie dan Kong-seng, Jie-wie Su-heng dan para murid Siauw lim sie bersama-sama lima partai besar telah pergi ke daerah barat untuk menumpas Mo-kauw," kata Kong-siang.
"Entah bagaimana mereka dikalahkan, mereka tertawan"."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie terkejut, "Siapa musuh itu?" tanyanya dalam hati.
Sesudah berdiam sejenak, Kong-siang meneruskan penuturannya. "Pada saat kami mendapat laporan bahwa rombongan yang menyerang Mo-kauw telah pulang. Hong thio Kong-bun Su-heng sangat girang dan lalu keluar menyambut dan membawa murid Siauw lim sie. Kong-tie dan Kong-seng Su-heng dan yang lainnya lantas saja masuk ke dalam kuil dan selain mereka juga terdapat kurang lebih seratus tawanan. Waktu itu berada di dalam perkarangan kuil, Kong-bun Su-heng lalu menanyakan perihal berhasilnya keenam partai dalam usaha membasmi Mo-kauw. Kong-tie Su-heng memberikan jawaban yang tidak terang. Mendadak Kong-seng Su-heng berteriak, "Su-heng, awas! Kami semua telah jatuh ke tangan musuh. Semua tawanan adalah musuh!...." Sebelum Hong thio bisa berbuat apa-apa semua tawanan sudah menghunus pedang dan menyerang. Lantaran gugup dan tak membawa senjata, kami segera terdesak. Semua pintu sudah ditutup musuh. Suatu pertempuran yang sangat hebat, kami terbasmi, Kong-seng Su-heng sendiri binasa"." Ia tak bisa meneruskan perkataannya lalu menangis sesegukan.
Thio Sam Hong sangat berduka, "Sungguh jahat!" katanya sambil menghela nafas berulang-ulang.
Sementara itu Kong-siang mengambil buntalan yang digendong di punggungnya. Ia lalu membuka buntalan itu yang di dalamnya terdapat bungkusan kain minyak, semua orang terkesiap karena di dalamnya terdapat satu kepala manusia, kepala Kong-seng Taysu salah seorang dari Siauw lim Seng ceng!
Dengan bersamaan Thio Sam Hong, Jie Giam dan Bu Kie mengeluarkan teriakan kaget.
"Dengan mati-matian aku berhasil merebut jenazah Kong-seng Su-heng," kata Kong-siang dengan air mata bercucuran. "Thio Cin-jin, bagaimana caranya kita harus membalas sakit hati yang besar ini?"
Seraya berkata begitu ia berlutut di hadapan Thio Sam Hong. Guru besar itu membungkuk untuk membalas hormat.
Rasa duka dan gusar mengaduk dalam dada Bu Kie. Ia ingat bahwa dalam pertempuran di Kong beng-teng Kong-seng Taysu telah memperlihatkan ksatriaannya dan sifat-sifatnya yang agung sehingga ia boleh tak usah malu menjadi seorang guru besar dari Siauw lim-pay itu. Siapa nyana ksatria telah binasa dalam tangannya manusia-manusia terkutuk"
Melihat Kong-siang masih mendekam di lantai sambil menangis, Thio Sam Hong mengangsurkan kedua tangannya dan mengangkatnya seraya berkata, "Kong-siang Su-heng, Siauw lim dan Bu tong pada hakekatnya adalah sekeluarga. Sakit hati ini tidak bisa tidak dibalas"." Bersamaan dengan perkataan
"dibalas" mendadak saja Kong-siang mengangkat kedua telapak tangannya dan menghantam ke punggung Thio Sam Hong!
Itulah kejadian yang takkan diduga oleh siapapun juga, Thio Sam Hogn seorang guru besar yang berpengalaman sangat luas. Tapi iapun tak pernah mimpi bahwa seorang pendeta beribadat dari Siauw lim sie yang mempunyai sakit hati hebat dan dari tempat jauh untuk menyampaikan kabar penting bisa memukul dirinya. Dalam sedetik, pada saat Kong-siang baru menyentuh punggungnya, ia bahkan menduga bahwa karena terlalu berduka pendeta itu jadi was-was dan menganggap ia sebagai seorang musuh. Tapi di detik lain ia terkesiap. Pukulan itu adalah Kam kong Pan jiak ciang dari Siauw lim-pay dan Kong-siang telah menghantam dengan seluruh tenaganya. Muka pendeta itu pucat bagaikan kertas tapi pada bibirnya tersungging senyuman mengejek.
Melihat kejadian ini kagetnya Jie Thay Giam, Bu Kie dan Beng-goat bagaikan disambar halilintar.
Mereka terpaksa dan mengawasi dengan mulut ternganga. Karena cacat, Thay Giam tak dapat membantu gurunya. Untuk beberapa detik, Bu Kie yang belum berpengalaman masih belum mendusin bahwa dengan pukulan itu si pendeta mencoba mengambil jiwa Thay suhu-nya. Sebelum mereka bergerak, Thio Sam Hong sudah angkat tangan kirinya dan menepuk batok kepala Kong-siang. Berbarengan dengan suara "plak" tepuknya yang kelihatan enteng itu sudah menghancurkan kepala si pendeta yang segera roboh tanpa bersuara lagi. Dengan latihan hampir seabad, Lweekang guru besar itu sukar diukur bagaimana tingginya. Meskipun Kong-siang serang dengan ilmu kelas satu, ia masih tak mampu melawan tepukan yang enteng itu.
Sesudah hilang kagetnya, Jie Thay Giam teriak, "Suhu! Kau"." Ia tak meneruskan perkataannya sebab sang guru sudah pejamkan kedua matanya dan dari kepalanya keluar uap putih, satu tanda bahwa guru besar itu sudah mengerahkan Lweekang untuk mengobati lukanya. Beberapa saat kemudian, mendadak Sam Hong membuka mulutnya dan memuntahkan darah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie kaget bukan kepalang. Ia sekarang tahu bahwa Thay suhu menderita luka berat. Kalau darah itu berwarna ungu hitam maka dengan mempunyai Lweekang yang tinggi kesehatan guru besar itu aka segera pulih. Tapi darah yang barusan dimuntahkan adalah darah segar. Ini merupakan petunjuk bahwa isi perut Sam Hong sudah terluka hebat. Sesaat itu beberapa ingatan keluar masuk dalam otaknya. Apa yang harus diperbuatnya" Apa sebaiknya ia segera memperkenalkan diri dan menolong Thay suhunya"
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum ia bisa mengambil keputusan, di luar pintu mendadak terdengar suara langkah kaki. Langkah itu cepat sekali datangnya tapi segera berhenti di luar pintu. Orang itu yang rupanya sedang kebingungan tak berani membuka suara.
"Siapa" Apa Cong-hian" Ada apa?" tanya Thay Giam.
"Benar," jawab too-jin penyambut tamu itu. "Melaporkan kepada Sam susiok bahwa sejumlah besar musuh sudah berkumpul di luar kuil. Mereka mengenakan seragam Mo-kauw. Mereka mau bertemu dengan Couw su Ya ya dan mereka mengeluarkan perkataan-perkataan kotor, mereka bilang mau injak Bu tong-pay sampai jadi tanah rata."
"Diam!" bentak Thay Giam. Ia kuatir gurunya jadi lebih sakit karena laporan itu.
Perlahan-lahan Thio Sam Hong membuka kedua matanya dan berkata dengan suara perlahan. "Kim kong Pan jiak ciang benar-benar hebat. Untuk sembuh aku harus beristirahat tiga bulan lamanya."
"Kalau begitu Thay suhu menderita luka lebih berat dari dugaanku," kata Bu Kie di dalam hati.
"Dalam serangannya ini, Beng-kauw pasti sudah membuat persiapan sempurna," kata Sam Hong pula.
"Hai! Bagaimana dengan Wan Kiauw Lian Ciu dan yang lain-lain" Thay Giam, apa yang harus kita perbuat?"
Si murid tak menyahut. Ia mengerti bahwa kecuali sang guru dan ia sendiri, murid-murid Bu tong lainnya, murid-murid turunan ketiga dan keempat tak akan mampu menahan musuh dan mereka hanya akan membuang jiwa dengan sia-sia. Maka itu, jalan satu-satunya adalah mengorbankan jiwa sendiri supaya sang guru bisa menyingkirkan diri untuk mengobati lukanya, untuk membalas sakit hati di kemudian hari. Berpikir begitu, ia segera berkata dengan suara nyaring, "Cong-hian, beritahukan orang-orang itu bahwa aku akan segera keluar untuk menemui mereka. Minta mereka tunggu di Sam cong tian."
"Baiklah," kata Cong-hian yang lalu berjalan pergi.
Kisah Pembunuh Naga Jilid 48 Karya Chin Yung ================ Thio Sam Hong dan Jie Thay Giam sudah menjadi guru dan murid selama puluhan tahun dan mereka sudah saling mengenal isi hati masing-masing. Mendengar perkatahan Thay Giam, Sam Hong segera mengerti maksud si murid. Ia tersenyum-senyum dan berkata, "Thay Giam, hidup atau mati, dihormati dan dihina, adalah soal-soal remeh. Tapi pelajaran istimewa dari Bu Tong Pay tidak boleh karena itu menjadi putus di tengah jalan. Dalam menutup diri selama delapan belas bulan, aku telah mendapatkan intisari dari ilmu silat dan telah mengubah Thay Kek Kun serta Thay Kek Kiam. Kedua ilmu ini sekarang aku hendak turunkan kepadamu." Thay Giam tertegun. Sebagai seorang bercacat, mana bisa ia belajar silat" Disamping itu musuh sudah masuk ke dalam kuil! Mana ada waktu lagi untuk menurunkan ilmu silat" "Suhu" " katanya dengan tergugu.
Thio Sam Hongtertawa tawar. "Sedari didirikan, Bu Tong Pay kita telah melakukan banyak perbuatan baik, sehingga menurut pantas partai kita tidak akan musnah dengan begitu saja," katanya. "Thay Kek Kun dan Thay Kek Kiam yang digubah olehku berlainan dengan ilmu silat yang pernah dikenal semenjak dahulu. Dasar daripada ilmu ini ialah: "yang tenang menindih yang bergerak, yang bergerak belakangan menguasai yang duluan. Thay Giam, gurumu sudah berusia lebih dari seratus tahun. Andaikata hari ini dia tidak bertemu dengan musuh berapa tahun lagi dia bisa hidup" Aku merasa girang, bahwa pada saat-saat terakhir dari penghidupanku aku masih bisa mengubah ilmu silat ini. Wan Kiauw, Lian Ciu, Siong Kee, Lie Heng dan Seng Kok tidak berada di sini. Kecuali Ceng Su, diantara murid-murid turunan ketiga dan keempat tidak terdapat orang yang berpangkat baik. Tapi Ceng Su pun tak berada di sini. Maka itu, Thay Giam, kau adalah orang satu-satunya yang bisa menerima warisan ini. Dihormatinya atau dihinanya
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Tong Pay, disatu waktu tertentu tidaklah menjadi soal. Soal yang penting adalah semoga Thay kek Kun dapat diwariskan kepada orang-orang yang hidup di zaman belakangan. Kalau harapanku ini bisa terwujud, maka Bu Tong Pay pasti akan bisa hidup abadi selama ribuan tahun," ia mengucapkan kata-kata itu dengan semangat gelora seolah-olah melupakan rombongan musuh yang sudah menumbuh di luar.
Dengan mata mengembang air, Thay Giam manggut-manggutkan kepalanya. Ia mengerti maksud sang guru. Ia mengerti, bahwa sang guru memerintahkan supaya ia menelan segala hinaan, agar ia dapat mewariskan ilmu silat Bu Tong Pay kepada dunia.
Perlahan-lahan Thio Sam Hong berdiri. Kedua tangannya diturunkan belakang tangannya menghadap ke luar, jari-jarinya ditekuk sedikit dan kedua kakinya dipentang. Sesudah itu, dengan perlahan ia mengankat kedua lengannya. Di depan dada, lengan kiri ditekuk, telapak tangan menghadapi muka, sehingga merupakan Im Ciang. Hampir berbareng, telapak tangan kanannya dibalik menjadi Yan Ciang.
"Inilah permulaan Thay Kek Kun." Katanya. Sesudah itu, sejurus demi sejurus, ia mulai bersilat sambil menyebutkan nama-nama setiap pukulan Lang Ciak Pwee, Tan Pian, Tee Chioe Siang Sit, Pek Ho Liang Cie, Siowsit Youw Pwee, Ciu Hwie Pee, Cin Po Pan Lan Toei, Jie Hong Sit Pit, Po Houw Kwie Shoa, Cap Jie Chioe.
Dengan sepenuh perhatian Bu Kie mengawas saban pukulan. Semula ia menduga Thay Suhu sengaja perlambat gerakannya, supaya Jie Thay Giam bisa melihat dengan tegas. Pada jurus ketujuh yaitu, Ciu Hwee Pie Pee, dengan Yang Ciang pada tangan kiri dan Im Ciang pada tangan kanan dan dengan mengawasi tangan kirinya Thio Sam Hongmendorong telapak tangannya dengan perlahan. Dorongan itu kelihatannya berat seperti gunung, tapi juga enteng bagaikan bulu burung.
Tiba-tiba Bu Kie mendusin. "Ah! Inilah yang dinamakan perlahan mengalahkan yang cepat, yang tenang menguasai yang bergerak!" katanya di dalam hati. "Aku taknyana dalam dunia terdapat ilmu silat yang begitu lihaI." Ia memang sudah memiliki ilmu silat tinggi. Begitu dapat menangkap intisari Thay Kek Kun, perhatiannnya jadi lebih besar.
Thio Sam Hongbersilat terus dengan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan yang merupakan lingkaran dan setiap jurus mengandung perubahan Im Yang dari Thay Kek Sit. Ilmu silat itu digubah dari kitab Ya Keng dari tiongkok purba dan berbeda dengan ilmu silat Tat Mo CouwSu. Biarpun belum tentu menang, ilmu itu sedikitnya tidak usah kalah dari pelajaran Tat Mo.
Kira-kira semakanan nasi Thio Sam Hongselesai dan lalu berdiri tegak. Sesudah itu ia memberi pelajaran tentang pukulan-pukulan yang tadi diperlihatkannya.
Jie Thay Giam mendengar tanpa membuka mulut. Ia tahu, bahwa waktu sudah mendesak dan ia tak keburu mengajukan pertanyaan-pertanyaan lagi. Banyak yang tidak dimengerti olehnya dan hanya diingat saja dalam otaknya. Andaikata sampai terjadi sesuatu yang tidak diharapkan atas diri sang guru, ia bisa mengajar Kouw Koat (toori) itu kepada orang lain, supaya di hari kemudian seseorang yang cerdas dan berbakat bisa memecahkan artinya yang dalam.
Dilain pihak, Bu Kie berhasil menyelami hampir seluruh pelajaran itu. Kouw Kaot dan cara-cara latihan Kian Kun Tay Lo Ie berbeda dengan thay Kek Kun, tapi pada hakekatnya, dasar kedua ilmu silat itu adalah sama. Kedua-duanya berdasarkan "meminjam tenaga untuk memukul tenaga." Maka itulah, setiap jurus dan penjelasan Thio Sam Hongdapat ditangkap olehnya.
Melihat paras bimbang pada muka muridnya. Thio Sam Hongbertanya, "Thay Giam, berapa bagian yang dapat dimengerti olehmu?"
"Murid berotak tumpul, hanya mengerti tiga empat bagian," jawabnya. "Tapi murid sudah menghafal semua jurus dan Koaw Koat yang diberikan Suhu."
"Aku banyak menyusahkan kau," kata pula sang Guru. "Kalau Wan Kiauw berada di sini, ia pasti dia, bisa menangkap lima bagian dari pelajaran ini. Hai! Diantara murid-muridku, Ngo Sutee-mu yang berotak paling cerdas, hanya sayang, siang-siang ia sudah meninggal dunia. Jika ia masih hidup, dibawah pimpinanku dalam lima tahun ia tentu sudah bisa mewarisi seantero pelajaran ini."
Mendengar mendiang ayahnya disebut-sebut, jantung Bu Kie memukul keras.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah berdiam sejenak, Thio Sam Hongberkata pula: "Nah sekarang perhatikan ini. Tenaga pukulan kelihatannya enteng, tapi tidak enteng, agaknya sudah dikerahkan, tapi belum dikerahkan, seolah-olah putus, tapi sebenarnya belum putus.. "
Ia berhenti karena dari Sam Ceng Tian tiba-tiba terdengar teriakan. "kalau Thio Sam Hongbersembunyi terus, lebih dahulu kita binasakan murid-murid dan cucu-cucu muridnya!"
"Bu!" menyambung seorang lain. "Bakar saja kuil ini!"
"Mampus dibakar terlalu enak untuk dia," kata orang ketiga sambil tertawa, nyaring. "Kita harus tangkap dia, belenggu kaki tangannya, arak dia ke pusat berbagai partai, supaya semua orang bisa lihat macamnya gunung Thay San dan Bintang Pak Tauw dari dunia persilatan."
Jarak antara gubuk di belakang gunung itu dan Sam Ceng Tiang kira-kira satu li, tapi suara mereka terdengar tegas sekali, sehingga dapat dilihat, bahwa musuh sengaja memperlihatkan Lweekang mereka dan memang juga, tenaga dalam itu harus diakui kelihatannya.
Mendengar cacian itu, tak kepalang gusarnya Jie Thay Giam, sehingga kedua matanya seolah-olah mengeluarkan api.
"Thay Giam," kata sang guru, "apa kau sudah lupa pesanku" Jika kau tidak bisa menelan hinaan, cara bagaiman akau bisa memikul tanggung jawab yang sangat berat itu?"
"Benar," kata si murid sambil menundukkan kepala.
"Kau bercacat dan musuh tentu tak akan turunkan tangan jahat atas dirimu." Kata pula Thio Sam Hong. "Sekali lagi aku meminta supaya kau menahan napsu amarah. Manakala kau tidak bisa menyebar pelajaranku kepada turunan yang belakangan, maka aku menjadi seorang yang berdosa dari partai kita."
Thay Giam mengeluarkan keringat dingin. Ia mengerti maksud gurunya. Demi kepentingan Bu Tong Pay, ia diperintah menelan segala hinaan.
Sesudah berkata begitu Thio Sam Hongmengeluarkan sepasang Loo Han besi dari sakunya dan menyerahkannya kepada si murid. Menurut katanya Kong Siang, Siauw Lim Pay sudah termusnah, katanya. Entah benar, entah dusta, kita tak tahu. Tapi bahwa seorang tokoh Siauw Lim Pay seperti dia menaklukkan kepada musuh dan kemudian membokong aku, dapatlah kita menarik kesimpulan, bahwa Siauw Lim Pay benar sudah mendapat bencana. Pada kira-kira seratus tahun yang lalu, Kwee Siang Lie Hiap telah menghadiahkan sepasang Loo Han ini kepadaku. Dihari kemudian serahkan kepadaku ahli waris Siauw Lim Pay. Aku berharap bahwa dengan bantuan sepasang Loo Han ini, sebagian ilmu silat Siauw Lim Sie akan dapat mempertahankan!" Sesudah memberi keterangan, sambil mengipaskan tangan jubah, ia bertindak keluar pintu.
"Mari kita ikut, kata Thay Giam, Bu Kie dan Beng Goat lantas saja memikul kursi tandu dan mengikuti di belakang guru besar itu.
Setibanya di Sam Ceng Tian, mereka mendapat kenyataan, bahwa di ruangan itu sudah penuh dengan manusia yang berjumlah kurang lebih tiga ratus orang, Thio Sam Honghanya mengangguk dan tidak mengeluarkan sepatah kata.
Inilah guruku, Thio Cin Jin," kata Jie Thay Giam dengan suara nyaring. Perlu apa kalian naik ke Bu Tong San?"
Semua mata ditujukan kepada Thio Sam Hong, tokoh tertua dalam rimba persilatan yang namanya menggetarkan seluruh dunia. Guru besar itu mengenakan jubah hitam warna abu, rambut dan jenggotnya putih laksana perak, sedang badannya tinggi besar.
Sedang semua orang mengawasi Thio Sam Hong, Bu Kie menyapu seluruh ruangan dengan matanya.
Ia mendapat kenyataan, bahwa separuh dari orang-orang itu memakai seragam Beng Kauw dan berapa belas orang, yang rupa-rupanya juga jadi pemimpin, mengenakan pakaian biasa.
Sekonyong-konyong di luar pintu terdengar teriakan "Kauw Cu tiba" "
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ruangan Sam Ceng Tian lantas saja berubah sunyi. Belasan pemimpin itu dengan tergesa-gesa keluar menyambut, diikuti oleh yang lain dan dalam sekejab beberapa ratus orang sudah keluar dari Sam Ceng Tian.
Tak lama kemudian, orang-orang itu kembali tapi mereka tidak lantas masuk dan berhenti di luar pintu. Bu Kie melongok keluar dan tiba-tiba saja ia terkesiap, karena ia lihat delapan orang memikul sebuah joki indah yang dikawal oleh enam tujuh orang dan delapan tukang pikul itu bukan lain dari Sin Cian Pat Hiong. Cepat-cepat ia mengusap debu lantai dengan kedua tangannya. Melihat begitu, Beng Goat geli bercampur takut, ia menduga bahwa perbuatan Bu Kie terdorong oleh perasaan takut. Dalam bingungnya, iapun segera memoles debu pada mukanya sehingga di lain saat kedua Too Tong itu sudah berobah menjadi badut wayang.
Joli diturunkan tirai disingkap dan dari dalam joli, keluar seorang Kong Cu tampan yang menikam jubah panjang warna putih dengan sulaman obor kemerah-merahan pada tangan bajunya. Ia itu bukan lain daripada Tio Beng.
Dengan diiring oleh belasan pemimpin rombongan, sambil menggoyang-goyangkan kipasnya, si nona bertindak masuk. Seorang pria yang bertubuh jangkung itu maju lebih dulu dan kemudian berkata sambil membungkuk. "Melaporkan pada Kauw Cu, yang itu Thio Sam Hong, yang itu yang bercacat, Jie Thay Giam, murid ketiga dari Bu Tong Pay.
Tio Beng manggut-manggutkan kepala. Ia maju beberapa tindak menutup kipasnya dan lalu menyoja seraya membungkuk. "Boan Seng Thio Bu Kie pemimpin Beng Kauw!" katanya. "Boan Seng bersyukur, bahwa hari ini bisa bertemu dengan Gunung Thay san dari rimba persilatan."
Bu Kie kaget dan gusar. Di dalam hati, ia mencaci wanita itu yang sudah menyamar sebagai dirinya dan menipu Thay Suhu.
Mendengar nama Thio Bu Kie, Thio Sam Hongheran, "Mengapa namanya bersamaan dengan nama anak Thio Bu Kie" Tanyanya di dalam hati. Ia membalas hormat dan menjawab, "Sebab tak tahu Kauw Cu dari tempat jauh. Untuk kelainan itu kuharap Kauw cu suka memaafkan."
"Bagus, bagus!" kata si nona.
Dengan diikuti oleh seorang Too Tong bagian depan Tie Kek Toojin menyuguhkan the. Tio Beng duduk di kursi seorang diri. Orang-orang bawahannya berdiri jauh-jauh dengan sikap hormat.
Sebagai seorang yang sudah memiliki usia seabad lebih dan memiliki ilmu yang sangat tinggi, Thio Sam Hongmempunyai ketenangan luar biasa dan tak menghiraukan lagi segala apa yang bersifat keduniawian. Akan tetapi, ikatan antara guru dan murid adalah sedemikian erat, sehingga dalam ketenangannya, guru besar itu masih memikirkan keselamatan murid-muridnya. "Dengan tidak mengimbangi tenaganya yang sangat kecil, beberapa murid Lao Too telah pergi ke tempat Thio Kauw Cu untuk meminta pelajaran," katanya.
"Sampai kini mereka belum pulang. Apakah Thio Kauw Cu sudi memberi sedikit keterangan?"
Tio Beng tertawa, "Song Tay Hiap, Jie Tay Hiap, Thio Sie Hiap, dan Boh Cit Hiap sudah berada dalam tangan Beng Kauw."
"Mereka mendapat luka enteng karena totokan dan sama sekali tidak membahayakan jiwa mereka."
"Luka totokan mungkin berarti luka kena racun," kata Thio Sam Hong.
Tio Beng tersenyum. "Thio Cin Jin kelihatannya sangat mengagulkan kepandaian Bu Tong Pay,"
katanya. "Kalau Thio Cin Jin menduga kena racun, biarlah kita anggap mereka kena racun."
Thio Sam Hongmengenal kepandaian murid-muridnya. Mereka adalah ahli-ahli silat kelas satu pada zaman itu. Andaikata benar, karena berjumlah kecil mereka tak dapat melawan musuh yang jumlahnya besar. Biar bagaimanapun jua mesti ada beberapa orang yang bisa meloloskan diri untuk menyampaikan berita. Jika tidak menggunakan racun, musuh tak mungkin bisa merobohkan atau menangkap mereka semua.
Mendengar jitunya tebakan guru besar itu, Tio Beng pun tak mau membantah.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Dimana adanya muridku yang she In?" tanya pula Thio Sam Hong.
Si nona menghela napas, "In Liok Hiap telah dibokong oleh orang-orang Siauw Lim Pay dan keadaannya bersamaan dengan Jie Sam Hiap," jawabnya. "Tulang kaki tangannya dihancurkan dengan Kim Kong Cie sehingga biarpun tidak binasa, ia sudah menjadi seorang bercacat yang tidak dapat bergerak pula."
Paras muka Thio Sam Hongjadi lebih pucat. Ia tahu, Tio Beng tidak berdusta. Tiba-tiba ia memuntahkan darah.
Orang-orang itu yang berdiri di belakang si nona kelihatan bergirang sebab muntah darah itu sebagai bukti bahwa Kong Siang sudah berhasil dalam bokongannya. Lawan paling berat sudah terluka berat dan mereka boleh tak usah takut lagi.
"Dengan setulus hati aku ingin memberi nasehat, hanya aku tak tahu apakah Thio Cin Jin suka mendengarnya," kata Tio Beng.
"Kauw Cu boleh bicara."
"Selebur bumi di kolong langit ini adalah milik kaisar, keangkeran kaisar Mongol kami meliputi empat lautan. Jika Thio Cin Jin suka menakluk kepada kaisar Hong Siang tentu akan memberi anugerah dan Bu Tong Pay akan menikmati zaman gilang gemilang. Disamping itu Song Tay Hiap dan yang lain-lainpun bisa segera pulang dengan selamat."
Thio Sam Hongmendongak dan mengawasi genteng. Sesudah itu, perlahan-lahan ia berkata dengan suara dingin. Walaupun Beng Kauw banyak melakukan perbuatan yang tidak patut, semenjak dahulu agama itu menentang penjajah Goan. Lagi kapan Beng Kauw menakluk kepada kerajaan" Lao Too belum pernah mendengar kejadian itu."
"Meninggalkan tempat gelap dan pergi ke tempat terang adalah perbuatan seorang gagah sejati," kata Tio Beng. "Siauw Bun dan Kong Tie Seng Ceng sampai pada pendeta yang berkedudukan paling rendah sudah menunjuk kesetiaannya kepada kerajaan. Tindakan kami adalah demi kepentingan negara dan mengikuti tindakan segenap orang gagah di seluruh rimba persilatan. Apa hal itu mengharapkan Thio Cin Jin.
Kedua mata Thio Sam Hongberkeredepan bagaikan kilat dan sorot matanya yang setajam pisau mengawasi muka si nona. "Orang Goan kejam dan banyak mencelakai rakyat," katanya dengan suara gemetar. "Diwaktu ini, segenap orang gagah di kolong langit bangkit serentak untuk mengusir penjajah dan merampas pulang sungai dan gunung kita. Di dalam hati setiap anak cucu Oey Tee terdapat tekad untuk mengusir Tat Cu. Tindakan inilah yang bisa dinamakan sebagai tindakan demi kepentingan negara.
Biarpun hanya seorang pertapaan, ". mengenal juga peribudi luhur. Kong Bun dan Kong Tie adalah pendeta-pendeta suci. Manabisa mereka ditundukkan dengan kekerasan" Nona, mengapa kau bicara begitu sembarangan?"
Mendadak seorang pria tinggi besar yang berdiri di belakang Tio Beng melompat ke luar dan membentak. "Bangsat tua, jangan kau menggoyang lidah seenaknya saja! Bu Tong Pay sedang menghadapi kemusnahan. Kau sendiri tidak takut mati, tapi apakah ratusan imam yang berada di kuil inI juga tak takut mati?" Ia bicara dengan suara yang disertai Lweekang dan sikapnya garang sekali.
Mendengar cacian itu, Thio Sam Hongberkata dengan suara tawar. "Semenjak dahulu, manusia mana yang tak pernah mati, aku menggunakan kesetian untuk mencatat kitab sejarah." Kata-kata itu adalah sajak gubahan Bu Thian Siang yang sangat dikagumi Thio Sam Hong. Selama hidup sering kali ia rasa menyesal, bahwa waktu Bu Thian Siang menghadapi kebinasaan, ia tidak bisa menolong sebab ilmu silatnya belum cukup tinggi. Sekarang dalam menghadapi kematiannya sendiri tanpa merasa ia menyebutkan sajak itu. Sesudah berdiam sejenak, ia menambahkan, "Sebenarnya Bu Sin Siang pun terlalu kukuh. Aku hanya ingin bersetia terhadap nusa dan bangsa. Aku tak perduli apa yang akan ditulis dalam kitab sejarah," ia lirik Jie Thay Giam dan berkata di dalam hati, "aku hanya mengharap agar Thay Kek Kun bisa diwariskan kepada orang-orang yang hidup di zaman belakangan. Tapi" hai! Jika aku mengharap begitu, bukankah akupun memikirkan soal sesudah aku meninggal dunia" Bukankah sikapku jadi bersamaan dengan sikap Bu Sin Siang" Hai, perduli apa bisa diwariskan atau tidak! Perduli apa mati hidupnya mati Bu Tong Pay!"
Tiba-tiba Tio Beng mengibaskan tangan kirinya dan pria tinggi besar itu lantas saja mundur sambil membungkuk. Si nona tersenyum dan berkata, "Thio Cin Jin ternyata seorang kukuh, biarlah untuk sementara kita tidak bicara lagi. Mari! Semua ikut aku!" seraya berkata begitu, ia berbangkit.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Hampir berbareng empat orang yang tadi berdiri di belakang Tio Beng, melompat dan mengurung Thio Sam Hong. Keempat orang itu ialah si pria tinggi besar, seorang yang mengenakan dandanan pakaian pengemis, seorang hwesio kurus dan seorang wanita setengah tua. Dilihat gerak-geriknya mereka semua ahli silat kelas utama.
Bu Kie kaget, "Darimana Tio KouwNio mendapat orang yang begitu lihai?" tanyanya di dalam hati.
Keadaan sudah mendesak! Kalau Thio Sam Hongtidak mengikut, keempat orang itu pasti akan menggunakan kekerasan.
"Jumlah musuh sangat besar dan mereka semua kawanan manusia tidak mengenal malu, tidak dapat dibandingkan dengan enam partai yang mengurung Kong Beng Teng, pikir Bu Kie. "Biarpun aku dapat merobohkan beberapa orang, yang lain pasti dan akan mengerubuti. Sangat sukar untuk aku melindungi Thay Suhu dan Sam Supeh. Tapi keadaan sudah jadi begini, Sudahlah! Jalan satu-satunya ialah mengadu jiwa.
Tapi baru saja ia mau menerjang, di luar pintu mendadak terdengar suara tertawa yang sangat nyaring, disusul dengan berkelabatnya masuknya satu bayangan hijau.
Gerakan orang itu cepat luar biasa, laksana angin, bagaikan kilat. Begitu berkelebat masuk, ia sudah berada di belakang si pria tinggi besar juga cukup lihai. Tanpa memutar badan, ia menangkis dengan sepenuh tenaga. Tapi orang itu sudah keburu menarik pukulan-pukulannya dan dengan berbereng tangan kirinya menepuk pundak wanita setengah tua. Wanita itu berkelit seraya menendang, tapi ia menendang angin, karena orang itu sudah melompat ke samping dan menghantam si pendeta. Dalam sekejab ia sudah mengirim empat pukulan kepada empat jago itu. Biar semua pukulan gagal, kecepatan gerakan itu sungguh menakjubkan. Keempat jago itu mengerti, bahwa mereka sedang menghadapi lawan berat.
Dengan serentak mereka melompat mundur untuk melakukan serangan teratur.
Tanpa menghiraukan gerakan musuhnya, orang yang mengenakan pakaian hijau itu sudah menghampiri Thio Sam Hongdan sambil membungkuk, ia berkata "boanpwee Wie It Siauw, orang sebawahan Thio Kauw Cu dari Beng Kauw memberi hormat kepada Thio Cin Jin!" orang itu, memang bukan lain daripada Wie It Siauw yang sesudah berhasil mengelakkan musuh, buru-buru menyusul Bu Kie.
Mendengar perkataan, orang sebawahan Thio Kauw Cu dari Beng Kauw, Thio Sam Hongsemula menganggap, bahwa ia adalah kaki tangan Tio Beng dan serangannya terhadap keempat jago itu hanya berpura-pura. Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara tawar "Wie Sian Seng tak usah menggunakan banyak peradatan. Sudah lama kudengar bahwa Ceng Ek Hok Ong memiliki ilmu ringan badan yang sangat luar biasa. Hari ini baru aku tahu, bahwa pujian itu bukan pujian kosong!"
Wie It Siauw girang, "Thio Cin Jin adalah gunung Thay san dari rimba persilatan," katanya. Pujian Thio Cin Jin sungguh-sungguh membikin terang muka Boanpwee," sehabis berkata begitu, ia memutar tubuh dan membentak sambil menuding Tio Beng.
"Tio Kouw Nio! Perlu apa kau merusak nama baiknya Beng Kauw" Kalau kau laki-laki sejati, mengapa kau menggunakan tipu yang begitu busuk?"
Si Nona tertawa geli," aku memang bukan laki-laki," jawabnya. "kalau aku menggunakan tipu busuk, kau mau apa?"
Ceng Ek Hok Ong tertegun. Ia insyaf bahwa ia sudah salah omong. Sesudah kagetnya hilang, ia berkata dengan sungguh-sungguh. "siapa sebenarnya kamu semua, lebih dahulu menyerang Siauw Lim, kemudian membokong Bu Tong. Kalau kamu hanya bermusuhan dengan Siauw Lim dan Bu Tong, Beng Kauw tak perlu campur. Tapi kamu menyuruh sebagai orang-orang Beng Kauw, aku Wie It Siauw tidak bisa tidak campur tangan!"
Thio Sam Hongmemang tidak begitu percaya, bahwa Beng Kauw yang sudah berseteru dengan kerajaan Goan selama hampir seratus tahun bisa gampang menekuk lutut.
Mendengar perkataan dari Wie It Siauw, ia berkata di dalam hati. "Walaupun Mo Kauw mempunyai nama tak baik, tapi dalam soal penting para anggotanya ternyata bisa berpendirian secara tegas sekali."
Sementara itu, Tio Beng sudah berpaling kepada si pria tinggi besar dan berkata, "Dengarlah, suaranya besar sungguhan! Coba kau jajal-jajal kepandaiannya."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Baik," jawabnya. Sesudah mengencangkan pinggang, ia segera bertindak ke tengah ruangan, "Wie Hok Ong," katanya, "aku meminta pelajaran dari Han Peng Bian Cang-mu!"
Wie It Siauw terkejut, "bagaimana dia tahu aku memiliki Han Peng Bian Ciang?" tanyanya di dalam hati. "Sesudah tahu aku memiliki ilmu itu, dia masih berani menantang. Dia pasti bukan lawan yang enteng." Sambil memikir begitu, ia bertanya, "Bolehkah aku mendapat tahu nama tuan?"
"Sesudah datang menyamar orang-orang Beng Kauw, apa mungkin kuperkenalkan namaku yang sejati?" kata orang itu. "Wie Hok Ong, pertanyaanmu sungguh tolol!"
Wie It Siauw tertawa dingin. "Benar, pertanyaanku pertanyaan tolol," katanya dengan suara mendongkol. "Mengapa juga, setelah rela menjadi anjingnya kaisar Goan dan bersedia menghamba kepada orang asing, terlebih baik tuan tak memperkenalkan nama sendiri. Dengan demikian sedikitnya kau merusak nama leluhurmu."
Didamprat begitu, si tinggi besar jadi malu juga dan karena malu ia jadi gusar. Sambil membentak keras, ia menghantam dada Wie It Siauw.
Wie Hok Ong melompat ke samping, disusul dengan lompatan kedua di belakang lawannya sambil mengirim satu totokan. Sebab ingin menjajal "isi" orang itu totokan ini bukan totokan Han Peng Bian Cian. Orang itu mengegos lalu balas menyerang. Sesudah bertempur beberapa jurus, Wie It Siauw merasa heran lantaran ia merasai sambaran angin panas dalam pukulan-pukulan lawan. Tiba-tiba ia terkejut karena melihat kedua telapak tangan orang itu merah bagaikan darah. "Apa itu Cu See Cit Cat Siang?"
tanyanya di dalam hati. "Ilmu itu sudah lama hilang dari rimba persilatan, Siapa dia?" Bagaimana dia bisa memiliki ilmu yang luar biasa itu?"
Kini Ceng Ek Hok Ong berkelahi dengan hati-hati. Luka di dalam tubuhnya baru saja sembuh dan sekarang menghadapi musuh yang berat. Ia segera menggosok kedua telapak tangannya dan mulai bersilat dengan ilmu Han Peng Bian ciang.
Tak lama kemudian, jalam pertempuran berubah dari cepat menjadi perlahan karena mereka mulai menguji tenaga dalam. Sekonyong-konyong dari mulut pintu gerbang masuk serupa benda yang sangat besar dan menyambar ke tubuh si tinggi besar. Benda itu jauh lebih besar daripada karung beras. Semua orang kaget, senjata apa itu?"
Si tinggi besar terkejut dan dengan sepenuh tenaga, ia menghantam benda tersebut, yang lantas saja benda itu terpental setombak lebih, dibarengi dengan teriakan manusia yang menyayat hati. Ternyata benda itu sebuah karung dan di dalam karung terdapat manusia. Dipukul dengan Cu See Cit sat ciang, orang itu telah hancur tulangnya.
Si tinggi besar tertegun. Mendadak ia menggigil karena pada saat itu ia tidak berwaspada, Wie It Siauw melompat ke belakangnya menotok Toa Toei Hoatnya, di bagian punggung dengan Han Peng Bian Ciang. Dibokong begitu, ia jadi kalap. Sambil memutar tubuh, ia menghantam batok kepala Wie It Siauw dengan telapak tangannya.
Nyali Ceng Ek Hok Ong benar-benar besar. Ia tertawa terbahak-bahak dan berdiri tegak, tidak berkelit atau menangkis. Si tinggi besar ternyata sudah habis tenaganya. Telapak tangannya tepat mampir di batok kepala Wie It Siauw, tetapi Wie Hok Ong hanya seperti diusap-usap.
Melihat gilanya Wie It Siauw, semua orang menggeleng-gelengkan kepala. Kalau si tinggi besar mempunyai ilmu untuk bertahan terhadap pukulan Han Peng Bian Ciang, bukankah ia akan mati konyol"
Tapi memang adat Wie Hok Ong yang otak-otakan itu. Makin besar bahaya yang dihadapi, ia makin gembira. Ia menganggap bokongannya sebagai perbuatan yang kurang bagus, maka itu ia memasang kepalanya untuk menebus dosa.
Sementara itu si tokoh Kay Pang (Partai pengemis) sudah membuka karung itu dan mengeluarkan sesosok tubuh manusia yang berlumuran darah dan yang sudah mati karena pukulan Cu See Cit Sat Ciang. Mayat itu yang berpakaian compang-camping adalah mayat seorang pengemis. Entah mengapa dia berada di dalam karung dan menemui ajal secara mengenaskan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tak kepalang gusarnya si tokoh Kay Pang. Dengan mata merah, dia berteriak, "Bangsaat?" Ia tidak dapat meneruskan caciannya, sebab pada detik itu, selembar karung menyambar dan mau menelungkup dirinya. Cepat-cepat ia melompat mundur.
Di lain saat, seorang pendeta gemuk sudah berdiri di tengah ruangan sambil tertawa haha hihi. Dia bukan lain daripada Poet Tay Hweeshio Swee Poet Tek! Sesudah karung Kian Kun It Khie Tay dipecahkan Bu Kie, ia tak punya senjata yang tepat dan terpaksa membuat beberapa karung biasa sebagai gantinya. Meskipun ilmu mengentengkan tubuhnya tidak selihai Wie It Siauw, tapi karena tidak menemui rintangan, ia sudah tiba di Bu Tong San pada saat yang tepat.
Ia menghampir Thio Sam Hongdan sambil membungkukkan, ia memperkenalkan diri, "Yoe Heng Sian Jin Poet Tay Hweeshio Swee Poet Tek, orang sebawahan Thio Kauwcu dari Beng Kauw, memberi hormat kepada Bu Tong Ciang Kauw Couw Su Thio Cin Jin."
Guru besar itu membalas hormat dan berkata sambil tersenyum. "Tay Su banyak capai. Terima kasih atas kunjunganmu."
"Thio Cin Jin," kata pula Swee Poet Tek dengan suara lantang. "Kong Beng Su Cia, Peh Bie Kie Peh Bie Eng Ong, empat Sian Jin, lima Kie Su, berbagai pasukan dari agama kami sudah mendaki Bu Tong San untuk menghajar kawanan manusia yang tak kenal malu itu, yang sudah menggunakan nama kami."
Bu Kie dan Wie It Siauw tertawa geli di dalam hati. Hebat sungguh "ngibulnya" Poet Tay Hweeshio.
Tapi Tio Beng kaget dan berkuatir. Ia kira benar para pemimpin Beng Kauw sudah tiba dengan seluruh barisan. "Cara bagaimana mereka bisa datang begitu cepat" Siapa yang membocorkan rahasia?" tanyanya dalam hati.
Karena bingung, tanpa merasa ia bertanya, "mana Thio Kauw Cu mu" Suruh dia menemui aku."
"Thio Kauw Cu sudah memasang jaring untuk menjaring kamu semua," jawab Swee Poet Tek. "Orang yang berkedudukan begitu mulia mana boleh sembarangan menemui manusia seperti kau." Sambil berkata begitu, ia saling melirik dengan Wie It Siauw dengan sorot mata menanya.
Melihat datangnya bantuan, tidak kepalang girangnya Bu Kie.
Tio Beng tertawa dingin. "Yang satu kelelawar berabun, yang lain hweesio bau hawa di sini sungguh tidak sedap." Katanya.
Mendadak di sudut timur terdapat suara tertawa yang sangat nyaring. Swee Poet Tek, apa Yo Co Su sudah tiba?" tanya orang itu, yang ternyata bukan lain daripada In Thian Ceng. Sebelum Swee Poet Tek keburu menjawab, suara ketawa Yo Siauw sudah terdengar di sudut bara. "Eng Ong sungguh lihai, sudah tiba lebih dahulu daripada aku." Katanya.
"Yo Co Su jangan berlaku sungkan," kata In Thian Ceng. "Kita berdua tiba bersamaan, tak ada yang kalah tak ada yang menang. Mungkin sekali, karena memandang muka Thio Kauw Co, Yo Co Su sengaja mengalah terhadapku."
"Tidak!" kata Yo Siauw. "Boanpwee sudah menggunakan semua tenaga tapi setindakpun tidak bisa mendului Eng Ong."
Mereka berbicara begitu sebab di tengah jalan selagi gembira mereka setuju untuk menjajal tenaga kaki. In Thian Ceng memiliki Lweekang yang lebih kuat, tapi Yo Siauw bisa lari lebih cepat, sehingga pada akhirnya mereka tiba pada detik yang bersamaan dan lalu melompat turun dari kedua ujung payon kuil.
Thio Sam Hongsudah mengenal lama nama besarnya In Thian Ceng. Mengingat bahwa jago itu juga mertua Thio Cui San, maka ia lantas saja maju tiga tindak dan menyambut sambil merangkap kedua tangannya. "Thio Sam Hongmenyambut In Heng dan Yo Heng." Katanya. Diam-diam ia merasa heran.
Terang-terang In Thian Ceng seorang Kauw Cu dari Peh Bi Kauw, tapi mengapa ia menyebut-nyebut
"karena memandang Thio Kauw Cu?"
In Thian Ceng dan Yo Siauw membalas hormat dengan membungkuk. "Sudah lama kami dengar nama harum Thio Cin Jin hanya menyesal sebegitu jauh kami belum mendapat kesempatan untuk bertemu muka." Kata Peh Bie Eng Ong.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kami bersyukur bahwa hari ini kami bisa melihat wajah Thio cin Jin yang mulia."
"Kalian adalah guru-guru besar pada zaman ini," kata Thio Sam Hong. "Kunjungan kalian merupakan kehormatan untuk Bu Tong San."
Tio Beng jadi lebih jengkel dan gusar. Makin lama jumlah tokoh Beng Kauw makin bertambah. Bu Kie sendiri belum muncul, tapi keterangan Swee Poet Tek tak boleh diabaikan. Memang mungkin pemuda itu sudah mengatur siasat untuk menghancurkan segala rencananya. Makin dipikir, ia makin mendongkol. Dengan mudah ia berhasil melukai Thio Sam Hong. Hasil itu hasil luar biasa. Hari ini adalah satu-satunya utnuk membasmi Bu Tong Pay. Di lain hari kalau Thio Sam Hongsudah sembuh, kesempatai itu tak ada lagi.
Diluar semua penghitungan Beng Kauw mengadu biru. Yang datang pentolan-pentolannya. Apa ia akan berhasil"
Makin dipikir ia makin mendongkol. Biji matanya yang hitam bermain beberapa kali. Tiba-tiba ia tertawa dingin dan berkata dengan suara mengejek. "Dunia Kang Ouw selamanya memuji Bu Tong Pay sebagai partai yang lurus bersih. Huh huh! Mendengar tak sama dengan melihat. Tak dinyana Bu Tong Pay bergandeng tangan dengan Mo Kauw dan mempertahankan tenaga Mo Kauw. Huh Huh!... Sekarang baru kutahu, ilmu silat Bu Tong Pay tiada harganya."
Swee Poet Tek tertawa nyaring. "Tio Kauw Nio," katanya "pemandanganmu tidak lebih panjang dari panjang rambutmu. Kau sungguh masih kanak-kanak. Dengarlah Thio cin Jin sudah dapat nama besar pada sebelum kakekmu dilahirkan! Anak kecil tahu apa!"
Belasan orang yang berdiri di belakang Tio Beng mengawasi hweesio yang gatal mulut itu dengan mata melotot, tapi Poet Tay Hweeshio tenang-tenang saja. "Apa aku tidak boleh bicara begitu."
Tanyanya. "Aku Swee Poet Tek, tapi bila aku bicara, aku tetap bicara. Mau apa kamu?" (Swee Poet Tek tak boleh dibicarakan)
Seorang Hweesio jangkung meluap darah. "Cu Jin," katanya, "permisikan aku membereskan Hweesio gila itu!" (Cu Jin " Majikan)
"Bagus!" kata Swee Poet Tek. "Aku hweesio gila, kaupun hweesio gila. Yang gila ketemu dengan yang gila, kita boleh minta Thio Cin Jin jadi juru pemisah." Seraya berkata begitu, ia mengibaskan tangannya yang sudah memegang selembar karung.
Tio Beng menggelengkan kepala, "Hari ini kita meminta pelajaran Bu Tong," katanya. "Kalau yang turun anggota Bu Tong Pay, kita boleh melayani." Berisi atau kosongnya Bu Tong Pay akan dapat dipastikan hari ini. Perhitungan antara kita dan Mo Kauw dapat dibereskan di hari nanti.
Kalau aku belum mencabut urat-urat setan kecil Thio Bu Kie dan membeset kulitnya, belum puas hatiku. Tapi hal itu boleh ditunda untuk sementara waktu."
Mendengar perkataan setan kecil Thio Bu Kie," Thio Sam Hongjadi sangat heran. "apa Kauw Cu Beng Kauw juga bernama Thio Bu Kie?" tanyanya di dalam hati.
Swee Poet Tek tertawa geli, "Kauw cu kami seorang pemuda gagah yang sangat tampan," katanya.
"Mungkin usiamu lebih muda beberapa tahun daripada Kauw Cu. Apa tak baik kau menikah saja dengan Kauw Cu kami" Kulihat cocok benar" "
Sebelum ia habis bicara, orang-orangnya Tio Beng sudah membentak dan mencaci.
"Bangsat, tutup mulut!"
"Diam!" "Kau sungguh telah bosan hidup!"
Paras muka si nona lantas saja bersemu dadu, sehingga ia nampaknya lebih cantik lagi. Pada paras itu terlihat tiga bagian kegusaran dan tujuh bagian kemalu-maluan. Seorang pemimpin yang berkuasa lantas saja berubah menjadi seorang gadis pemalu. Tapi perubahan itu hanya untuk sedetik dua saja.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dilain saat, paras muka mereka itu berubah dingin seperti es. "Thio Cinjin," katanya dengan nada memandang rendah. "Jika kau tak mau turun ke dalam gelanggang, kamipun tak akan memaksa, asal saja kau mengakui terang-terangan, bahwa Bu Tong Pay adalah partai yang mendustai dunia dan mencuri nama. Sesudah kau mengaku begitu, kami akan pergi. Kami bahkan bersedia untuk memulangkan Song Wan Kiauw, Jie Lian Cio dan lain-lain kawanan tikus, kepadamu."
Sesaat itu, Tiat Koat Toojin dan In Ya Ong tiba, disusul dengan Ciu Than dan Pheng Eng Giok.
Melihat bertambahnya tenaga Beng Kauw, Tio Beng mengerti bahwa dalam suatu pertempuran memutuskan, pihaknya belum tentu menang. Dan apa yang paling dikuatiri adalah Bu Kie dan siasatnya.
Sambil menyapu pihak lawan dengan matanya yang jeli, si nona berkata dalam hati. "Thio Sam Hongdibenci kaisar karena hambanya yang sangat besar dan dianggap sebagai thaysan atau Pak Tauw dalam rimba persilatan. Tapi dia sudah begitu tua, berapa tahun lagi dia bisa hidup" Tak perlu aku mengambil jiwanya. Kalau aku bisa menghina Bu Tong Pay, jasaku sudah cukup besar," memikir begitu, ia lantas saja berkata, "tujuan kedatangan kami ke sini adalah untuk menjajal kepandaian Thio Cin Jin.
Kalau kami mau mengukur tenaga dengan Beng Kauw, apakah kami tak tahu jalanan ke Kong Beng Teng" Begini saja, sebelum menjajal, kami tidak bisa mengatakan apa ilmu silat Bu Tong berisi atau kosong. Aku mempunyai tiga orang pegawai rumah tangga yang sudah lama mengikuti aku. Yang satu mengerti sedikit ilmu pukulan, yang lain mempunyai lweekang yang cetek, yang ketiga mengenal sedikit ilmu pedang. A Toa, A Jie, A Sam, kemari! Asal Thio Cin Jin bisa mengalahkan mereka, kami akan merasa takluk dan mengakui, bahwa Bu Tong Pay benar-benar mempunyai ilmu silat tinggi. Manakala Thio Cin Jin tidak mau apabila dijajal atau tidak mampu melawan mereka, maka kesimpulannya biarlah ditarik oleh orang-orang Kang Ouw sendiri. Seraya berkata begitu, ia meneput tangan dan tiga orang, yang berdiri di belakangnya lantas saja bertindak ke tengah ruangan.
Yang dinamakan A Toa seorang kakek kurus kering yang kedua tangannya memegang sebatang pedang, pedang itk. Mukanya yang berkerut-kerut diliputi paras sedih.
Yang kedua, A Jie, juga bertubuh kurus, tapi lebih tinggi daripada A Toa. Kepala botak Tha Yang Hiatnya melesak ke dalam, kira-kira setengah dim.
A Sam yang ketiga, berbadan keras padat, sikapnya garang anker bagaikan harimau. Pada mukanya, lengannya, lehernya, pendek kata di bagian-bagian badannya yang terbuka terlihat otot-otot yang menonjol keluar.
Thio Sam Hong, In Thian Ceng, Yo Siauw dan yang lain terkejut. Ketiga orang itu bukan sembarang orang.
"Tio Kouw Nio," kata Ciu Thian, "mereka bertiga adalah ahli-ahli silat kelas utama dalam rimba persilatan. Melawan mereka Ciu Thian tidak unggulan. Tapi mengapa secara tidak mengenal malu, nona memperkenalkan mereka sebagai pegawai rumah tangga" Apa nona mau berguyon dengan Thio Cin Jin?"
"Mereka ahli silat kelas utama?" menegas Tio Beng. "Ah! Aku sendiri tak tahu. Apa kau tahu siapa mereka" Apa kau tahu nama mereka?"
Ciu Thian tertegun, ia diam tak dapat menjawab pertanyaan itu.
Si nona tersenyum tawa. Ia menengok kepada Thio Sam Hongdan berkata, "Thio Cin Jin lebih dahulu, biarlah kau mengadu pukulan dengan A Sam."
A Sam maju setindak dan sambil merangkap kedua tangannya. Ia berkata, "Thio Cin Jin, silahkan!"
berbareng dengan tantangannya, kaki kirinya menjejak lantai. "Brak!" tiga batu hijau persegi hancur.
Orang tak heran kalau yang hancur hanya batu yang terjejak. Yang luar biasa adalah turut hancurnya dua batu yang lain.
Sesudah kawannya maju, A Toa dan A Jie segera mundur sambil menundukkan kepala. Sedari masuk ke dalam sam ceng tian, ketiga orang itu selalu mengikuti Tio Beng dengan kepala menunduk, sehingga orang tidak memperhatikan mereka. Siapapun tak menduga bahwa mereka adalha jago-jago yang tidak boleh dibuat gegabah. Tapi begitu mundur, mereka memperlihatkan lagi sikap sebangsa budak belian.
Melihat lihainya A Sam, In Thian Ceng merasa kuatir akan keselamatan Thio Sam Hong. "Thio Cin Jin sudah terluka berat, tapi meskipun tidak terluka, dengan usianya yang sudah begitu tinggi, bagaimana ia bisa bertanding dengan orang itu?" pikirnya. "dilihat gerak-geriknya, orang itu ahli dalam ilmu silat keras. Sudahlah! Biar aku saja yang melayaninya." Memikir begitu, ia lantas saja berkata dengan suara
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
nyaring. "Seorang yang kedudukannya begitu tinggi seperti Thio Cin Jin mana boleh melayani manusia rendah semacam kau! Jangankan Thio Cin Jin, sedang akupun, seorang she In, rasanya masih terlalu tinggi untuk berhadapan dengan seorang budak belian seperti kau." Ia tahu, bahwa ketiga orang itu bukan sembarangan orang, supaya mereka panas dan diterimanya dengan baik tantangannya itu.
"A Sam," kata Tio Beng. "apa kau masih ingat namamu yang dahulu?" cobalah beritahu mereka, supaya mereka bisa menimbang-nimbang apa kau cukup berderajat atau tidak untuk bertanding dengan seorang tokoh Bu Tong Pay." Dalam pembicaraan itu, ia menekankan perkataan Bu Tong Pay.
"Sedari Siauw Jin (aku yang rendah) menghadapi kepada Cu Jin, nama yang dahulu telah tak digunakan lagi." Kata A Sam.
"Kalau diperintah, siauw jin tidak berani tak berbicara, dahulu Siauw Jin she Oe Bun Cek."
Semua orang terkesiap. Sesaat kemudian, In Thian Ceng membentak, "Oe Bun Cek! Pada dua puluh tahun berselang, bukankah kau yang sumpah membinasakan lima jago she Sie Tiangan! Pada malam itu, pembunuh yang mengenakan topeng dan baju merah yang mengaku sebagai "Piat Pie Sin Mo Oe Bun Cek" telah membunuh tiga belas tokoh rimba persilatan dalam sebuah perjamuan hari ulang tahun. Bukankah kau yang melakukan pembunuhan itu?" (Pat Pie Sin Mo Iblis bertangan delapan)
"Ingatanmu sangat kuat, aku sendiri telah lupa," jawabnya dengan suara dingin.
Mendengar perkataan itu, semua orang dari Beng Kauw dan Bu Tong Pay meluap darahnya.
Lima jago She Sie adalah orang-orang yang sangat disegani dan dihormati dalam rimba persilatan. Ia berkepandaian tinggi, dan selalu bersedia untuk menolong sesama manusia yang perlu ditolong. Tiba-tiba pada suatu malam, mereka semua dibinasakan oleh seorang bertopeng dan mengenakan baju merah.
Pembunuh itu mengaku sebagai Ang Ie Kok Oe Bun Cek. Disamping lima jago She Sie, beberapa tokoh hsp dan gbp turut dibinasakan. Karena orang tak bisa menyelidiki asal-usul manusia yang bernama Oe Bun Cek itu, maka orang lantas saja menduga, bahwa perbuatan musuh itu dilakukan oleh Beng Kauw dan Peh Bie Kauw.
Tuduhan itu sangat menjengkelkan hati In Thian Ceng, tapi ia tak dapat jalan untuk melampiaskan rasa penasarannya. Tidak dinyana, sesudah berselang dua puluh tahun barulah diketahui pembunuh yang benar.
Biarpun Oe Bun Cek hanya muncul satu kali di Tiong Goan, tapi perbuatannya itu adalah sedemikian hebat, sehingga kalau mau diperhitungkan soal derajat yang berdasarkan tingginya ilmu silat, maka dia memang cukup berderajat untuk bertanding dengan Thio Sam Hong. Di samping itu, andaikata ia tidak menantang Thio Sam Hong, tapi sesudah ia memperkenalkan dirinya menurut pantas seorang tetua. Thio Sam Hongharus turun tangan untuk menegakkan rimba persilatan. Maka itu sesudah ia memperkenalkan diri Oe Bun Cek telah mendesak Thio Sam Hongsedemikian rupa. Sehingga guru besar itu tak bisa mengelakkan diri lagi dari satu pertempuran.
"Bagus!" seru In Thian Ceng. "Kalau benar kau Pat Pie Sin Mo, biarlah aku orang she In yang menyambut tantanganmu." Seraya berkata begitu, ia melompat masuk ke dalam gelanggang.
"In Thian Ceng," kata Oe Bun Cek, kau siluman, aku iblis, kita berdua sama-sama bangsa jejadian.
Orang sendiri tak bertempur dengan orang sendiri. Kalau kau mau juga, kita boleh memilih lain hari untuk berkelahi. Hari ini atas perintah Cu Jin aku hanya ingin menjajal kosongnya ilmu silat Bu Tong Pay." Ia menengok kepada Thio Sam Hongdan berkata pula. "Thio Cin Jin, apabila kau tak sudi turun gelanggang, cukuplah bila kau membuat pengakuan yang diminta Cu Jin. Kami tak akan menggunakan kekerasan."
Thio Sam Hongtersenyum. Di dalam hati ia menimbang-nimbang keadaan yang tengah dihadapinya.
Dengan menggunakan Thay Kek Kun, dengan ilmu "yang kosong menjatuhkan yang berisi," belum tentu ia kalah dari lawan itu. Apa yang sukar dihadapi ialah sesudah merobohkan as, ia tentu harus mengadu lweekang melawan A Jie. Dan sesudah terluka berat, ia tidak boleh mengerahkan tenaga dalam. Inilah yang paling sulit, ia tak bisa mencari jalan keluar. Tapi api sudah membakar alis, ia tak bisa mundur lagi.
Perlahan-lahan ia maju ke tengah ruangan dan berkata kepada In Thian Ceng. "Untuk maksud In Heng yang sangat mulia, pinto merasa sangat berterima kasih. Selama berapa tahun terakhir pinto telah
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
menggubah mengganti dengan semacam ilmu silat yang diberi nama Thay Kek Kun. Ilmu ini agak berbeda dari ilmu silat yang sudah dikenal dalam dunia. Oe Bun Sie Cu mengatakan bahwa ia bertujuan untuk menjajal ilmu silat Bu Tong Pay. Manakala In Heng yang merobohkannya ia tentu merasa tidak puas. Biarlah pinto saja yang melayani berberapa jurus dengan menggunakan Thay Kek Kun. Biarlah kita lihat apakah pinto yang sudah begitu tua masih berharga untuk menunjukkan kebodohan pintoo.
Mendengar perkataan itu, In Thian Ceng girang bercampur khawatir. Ia girang karena dari omongannya, Thio Sam Hongternyata penuh percaya penuh akan kelihaian Thay Kek Kun. Tanpa pegangan kuat, guru besar itu tentu takkan bicara sembarangan. Ia khawatir karena ingat usia Thio Sam Hongdan luka yang dideritanya. Tapi ia tak berani membantah lagi dan sambil merangkap kedua tangannya ia berkata, "Boanpwee memberi selamat kepada Thio Cin Jin untuk ilmu silat yang luar biasa itu."
Melihat Thio Sam Hongsudah turun ke gelanggang, Oe Bun Cek jadi agak keder, tapi di lain saat ia bias menetapkan hati, "Biarlah aku berkelahi mati-matian, sehingga kedua belah pihak sama-sama rusak."
Pikirnya. Ia segera menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan semangat, sedang kedua matanya mengincar Thio Sam Hongtanpa berkedip. Sesaat kemudian tulang-tulangnya berkerotokan.
Mendengar itu, orang-orang Bu Tong dan Beng Kauw saling memandang dengan rasa cemas. Itulah suatu tanda, bahwa Oe Bun Cek sudah mencapai puncak tertinggi dari ilmu silat Gwa Bun (ilmu silat luar) Menurut cerita di dalam dunia hanialah ketiga pendeta suci Siauw Lim Sie yang sudah mencapai tingkatan itu. Siapapun tak menduga, bahwa Pat Pie Sin Mo memiliki ilmu tersebut yang dikenal sebagai ilmu malaikat Kim Kong Hok Mo.
Thio Sam Hongpun turut merasa kaget.
"Orang itu mempunyai asal usul yang tidak kecil!" pikirnya. "Thay Kek Kun belum tentu bisa melawannya." Perlahan-lahan ia mengankat kedua tangannya. Tapi baru saja ia ingin mengundang lawan untuk memulai, tiba-tiba dari belakang Jie Thay Giam melompat keluar seorang too tong.
"Thay Suhu," katanya. "kalau siecu itu mau menjual ilmu silat Bu Tong, perlu apa thay suhu turun tangan sendiri?" Biarlah teecu sendiri yang melayani sejurus dua jurus."
Too tong itu, yang mukanya berlepotan tanah, bukan lain daripada Bu Kie. In Thian Ceng, Yo Siauw dan lain-lain jago Beng Kauw lantas saja mengenali dan mereka kegirangan. Tapi Thio Sam Hongdan Jie Thay Giam tentu tak dapat mengenalinya. Mereka menduga, bahwa too tong itu Ceng Hong adanya.
"Ini bukan permainan anak-anak," kata Thio Sam Hong. "Oe Bun Cek mempunyai kim kong Hok Mo.
Mungkin sekalai mereka seorang pentolan dari Siauw Lim cabang See Hek.
Dengan sekali pukul, ia bisa menghancurkan tulang-tulangmu.
Dengan tangan kiri, Bu Kie mencekal ujung baju orang tua itu, sedang tangan kanan memegang tangan kiri guru besar itu. "Thay Suhu," katanya, "Thay kek Kun yang telah diturunkan kepada Tee Cu belum pernah digunakan. Kebetulan sekali Oe Bun Sie Cu seorang ahli Gwa Kee. Permisikanlah Tee cu untuk menjajal ilmu melawan kekerasan dengan kelemahan, yang kosong memukul yang berisi. Kalau Tee Cu berhasil, bukankah ada baiknya juga" Seraya berkata begitu, ia mengerahkan Kioe Yang Sin Kang, yang dahsyat, yang lembut dan mengirimnya ke tubuh thay Su Hu, melalui telapak tangannya.
Pada detik itu, sekonyong-konyong Thio Sam Hongmerasai semacam tenaga yang hebat luar biasa menerobos masuk dari telapak tangannya. Biarpun belum bisa menandingi tenaganya sendiri, tenaga itu yang murni dan yang halus menerobos bagaikan ombak gelombang demi gelombang. Dalam kagetnya, ia mengawasi muka Bu Kie. Kedua mata too tong itu tidak memperlihatkan sinar berkeredepan yang bisa dipunyai oleh seorang ahli silat kelas satu. Tapi sayup-sayup, dalam kedua mata itu terlihat selapis sinar kristal yang sangat lembut. Itulah suatu tandan dari lwee kang yang sudah mencapai puncak tertinggi.
Thio Sam Hongmakin kaget, selama hidupnya dalam jangka waktu seabad lebih, ia hanya pernah menemui satu, dua orang yang mempunyai sinar mata begitu, misalnya mendiang gurunya sendiri Kak Wan Tay Su dan Tay Hiap Kwee Ceng. Diantara ahli-ahli silat pada zaman itu, sebegitu jauh yang diketahui ia sendiri yang sudah mencapai tingkat tersebut.
Selama satu dua detik, macam-macam pikiran berkelabat-kelebat dalam otak Thio Sam Hong.
Sementara itu, Bu Kie terus mengirim lwee kangnya. Dilain saat guru besar itu sudah mengambil keputusan. Ia yakin bahwa ditinjau dari lweekang itu yang bertujuan untuk mengobati lukanya si too tong pasti tidak bermaksud jahat. Maka itu, sambil tersenyum ia berkata.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"aku sudah tua dan tak punya guna. Pelajaran apa yang kudapat berikan padamu" Tapi jika kau mau juga menjual ilmu gwa kee Oe Bun Sie Cu, kau boleh melakukan itu." Thio Sam Hongmenduga, bahwa too tong itu seorang ahli dari partai lain yang sengaja datang untuk membantu Bu Tong Pay. Maka itu, ia telah menggunakan kata-kata rendah.
Budi Thay Suhu terhadap anak berat bagaikan gunung, kata Bu Kie. Biarpun badan hancur luluh, tak dapat anak membalas budi Thay Suhu dan para paman, biarpun ilmu silat Bu Tong Pay kita tidak bisa dikatakan tiada tandingannya di dalam dunia, tapi kita pasti tak akan kalah dari ilmu silat Siauw Lim cabang See Hek. Legakanlah hati Thay Suhu.
Itulah jawaban yang tidak bisa disalahartikan! Jawaban murid terhadap seorang guru, dalam suara yang agak gemetar itu terdengar nada dari cinta yang tidak barbatas, rasa berterima kasih yang tiada taranya dan rasa terharu yang memuncak. Bukan main herannya Thio Sam Hong. Apa benar dia murid Bu Tong" Tanyanya di dalam hati. Mungkin sekali sejarah mendiang gurunya, Kak Wan Tay Su, terulang pula dan dia belajar secara diam-diam. Sambil memikir begitu, ia melepaskan tangan Bu Kie dan lalu kembali pada kursinya. Ia melirik Jie Thay Giam, tapi dilihat dari paras mukanya, murid itupun sedang terheran-heran.
Bagi Oe Bun Cek, dipermisikan seorang too tong untuk melayani merupakan hinaan yang sangat besar. Tapi sebagai manusia yang beracun ia tak memperlihatkan kegusarannya. Dengan sekali pukul, ia akan membinasakan too tong itu dan sudah itu ia akan menantang Thio Sam Honglagi. "Anak kecil, kau mulailah," katanya.
"Ilmu silat Thay Kek Kun adalah hasil jerih payah Thio Cin Jin, Thay Suhuku, selama banyak tahu,"
kata Bu Kie, "boanpwee baru saja belajar silat dan sekarang belum bisa melayani intisari daripada ilmu silat itu. Mungkin sekali boanpwee belum dapat merobohkan kau di dalam tiga puluh jurus. Apabila benar sedemikian, maka hal itu adalah kesalahanku dan bukan lantaran jeleknya Thay Kek Kun. Sebelum kita bertempur, boanpwee menganggap hal ini perlu dikemukakan terlebih dahulu."
" gusarnya Oe Bun Cek berbalik tertawa terbahak-bahak, "toa ko, jie ko, lihatlah!" serunya. "Dalam dunia mana ada bocah segila dia!"
A Jie turut tertawa, tapi A Toa tajam matanya. Ia dapat melihat bahwa Bu Kie bukan sembarang orang.
"sam tee, kau tidak boleh memandang enteng," katanya.
Oe Bun Cek maju setindak dan segera meninju dada Bu Kie dengan tangan kanan. Tinju itu menyambar bagaikan kilat. Diluar dugaan, sebelum tinju pertama mampir pada sasarannya tinju kedua, yang dikirim dengan tangan kiri menyusul. Tinju itu yang dikirim belakangan tiba lebih dahulu dan menyambar muka Bu Kie. Itulah pukulan yang sangat luar biasa.
Sesudah mendengar keterangan dan melihat contoh-contoh Thio Sam Hongmengenali ilmu silat Thay Kek Kun, selama kurang lebih satu jam diam-diam Bu Kie mempelajari isi daripada ilmu silat itu.
Melihat menyambarnya dua tinju yang saling susul, ia segera menyambut dengan Long Ciak Bwee kaki kanannya "berisi" kaki kiri "kosong", tapak tangan menyentuh pergelangan tangan kiri musuh dan segera melepaskan tenaganya dengan menggunakan teori "menempel". Tanpa tercegah jadi tubuh Oe Bun Cek terhuyung dua tindak.
Semua orang terkejut. Demikianlah, untuk pertama kali, Thay Kek Kun dijajal untuk melawan musuh. Biarpun baru saja menerima pelajaran itu dengan memiliki Kioe Yang Sin Kang dan Kian Kun Tay Li Ie Sin Kang, Bu Kie sudah dapat menggunakan ilmu yang lihai itu. Tinju Oe Bun Cek yang bertenaga ribuan kati seolah-olah amblas di dalam lautan, amblas tanpa berbekas bukan saja begitu, bahkan tubuhnya kena didorong tenaganya sendiri.
Pedang Bengis Sutra Merah 1 Sembilan Pusaka Wasiat Dewa Pengelana Tangan Sakti Karya Lovely Dear Elang Terbang Di Dataran Luas 5