Pencarian

Kisah Membunuh Naga 34

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 34


Bu Kie mendusin. Kay pang mau mengadakan perhimpunan dan si pengurus rumah makan menganggap mereka sebagai anggota-anggota partai tersebut. "Giehu," bisik Bu Kie, "Sebaiknya kita berlalu saja supaya tidak terjadi kejadian yang tak enak. Dilihat seluruhnya, orang-orang Kay pang yang datang ke sini jumlahnya sangat besar."
Selagi Bu Kie bicara, seorang pelayan datang dengan membawa sepiring daging sapi, ayam rebus dan lima kali arak putih.
Sudah lebih dua bulan Cia Sun belum pernah makan kenyang dan sekarang ia sedang lapar. Begitu hidungnya mengendus wanginya daging, tangannya bergerak. "Makan dulu," katanya. "Halangan apa kalau kita makan tanpa memperdulikan urusan orang?" Seraya berkata begitu, ia menuang arak di mangkok dan lalu meneguknya dengan bernapsu. Dua puluh tahun lebih ia tak pernah mencicipi arak, baginya arak putih yang keras dan pedas itu seolah-olah arak yang paling baik. Dengan dua kali teguk, semangkok besar sudah menjadi kering.
Tiba-tiba ia menaruh mangkok di meja dan berbisik, "Hati-hati! Dua orang yang kepandaian tinggi naik ke sini."
Bu Kie pun sudah mendengar langkah di tangga loteng. Langkah kaki kiri orang yang berjalan di depan sangat berat, langkah kaki kanannya sangat ringan, sedang yang berjalan di belakang pun begitu
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
juga, langkah sebelah ringan, sebelah yang lain berat. Tak bisa salah lagi, mereka mempunyai kepandaian luar biasa. Begitu mereka muncul, semua pengemis serentak bangun berdiri. Cia Sun bertiga juga turut bangkit. Untung juga mereka duduk di sudut yang jauh sehingga tidak menyolok mata.
Orang yang pertama bertubuh sedang, tampan dan berjenggot. Kecuali pakaiannya, pada keseluruhannya ia seperti seorang siaucay yang tak lulus ujian. Yang jalan belakangan keren sekali. Di mukanya menonjol otot-otot, brewoknya seperti kawat, parasnya galak dan kulitnya hitam sehingga melihat dia, orang segera ingat Ciu Cong (panglima di jaman Sam kok yang selalu berdiri di samping Kwan kong). Keduanya berusia lima puluh tahun lebih dan masing-masing menggendong selembar karung kecil yang tidak bisa dimuatkan suatu apa dan hanya digunakan untuk menunjuk kedudukan mereka di dalam partai pengemis.
Bu Kie menghela napas. Ia ingat bahwa seratus tahun yang lalu, Kay pang mempunyai nama yang sangat harum. Dari Tay suhunya ia tahu bahwa dulu sebagai seorang pangcu, Ang Cit Kong yang berkepandaian sangat tinggi telah mengabdi kepada rakyat dan selalu bersedia untuk menolong sesame manusia sehingga dia dihormati oleh semua kalangan dalam Rimba Persilatan. Belakangan Oey Pangcu (Oey Yong) dan Yehlu Pangcu juga merupakan pemimpin-pemimpin yang sangat baik. Di luar dugaan selama beberapa puluh tahun, Kay pang banyak berubah. Su Hwee Liong, Pangcu yang sekarang belum pernah muncul dalam kalangan Kang ouw. Dengan membawa sembilan karung, kedua orang itu berkedudukan sangat tinggi hanya di bawah Pangcu sendiri. "Apakah mereka yang menyuruh orang datang di Leng coa to untuk merampas To liong to?" tanya Bu Kie di dalam hati.
Sejak beberapa puluh tahun yang lampau yaitu dari Seng hwee leng dirampas oleh Kay pang, hubungan Beng-kauw dan Partai Pengemis bagaikan air dan api. Dalam usaha untuk merebut kembali tanda kekuasaan agama itu, beberapa kali orang Beng-kauw bertempur hebat dengan orang-orang Kay pang. Sebab Beng-kauw dipandang sebagai agama sesat, maka dalam setiap pertempuran banyak orang Rimba Persilatan membantu Kay pang dan Beng-kauw selalu menderita kekalahan.
Sekarang biarpun Tio liong to dan Ie thian kiam dicuri Tio Beng, untung juga keenam Seng hwee leng tidak turut dicuri. Mungkin sekali karena takut terhadap kepandaian Bu Kie yang sangat tinggi maka Tio Beng tidak berani merogoh saku pemuda itu. Melihat jumlah orang Kay pang yang sangat besar, Bu Kie tidak berani memandang rendah. Ia segera merogoh saku untuk memastikan bahwa Seng hwee leng masih berada di dalamnya.
Kedua Tiang-loo sembilan karung itu segera duduk pada sebuah meja besar yang terletak di tengah-tengah. Tiang-loo yang bermuka seperti Ciu Cong lalu mengeluarkan sebatang tongkat bambu yang panjangnya kira-kira empat kaki dalam karung dan menaruhnya di atas meja. Sebagian murid-murid Kay pang segera berlutut. "Murid-murid Ouw-ie-pay menghadap Ciang-pang Liong-tauw!" seru dia (Ciang-pang Liong-tauw " Pemimpin yang memegang tongkat kekuasaan).
Sebab Kay pang musuh Beng-kauw maka sesudah menjadi Kauwcu, Bu Kie lalu mencari tahu seluk-beluk partai pengemis. Ia tahu bahwa sejak dulu Kay pang terbagi dalam dua golongan, yaitu golongan Ouw-ie-pay (Golongan baju kotor) dan Ceng-ie-pay (Golongan baju bersih). Melihat semua pengemis yang berlutut berpakaian kusam, ia mengerti bahwa Ciang-pang Liong-tauw adalah pemimpin Ouw-ie-pay.
Sesaat kemudian, Tiong-loo yang seperti sioecay mengeluarkan sebuah mangkok yang mulutnya somplak dari dalam karung dan menaruhnya di atas meja. Sisa pengemis yang mengenakan pakaian bersih segera saja menekuk lutut. "Murid-murid Ceng-ie-pay menghadap Ciang-poen!" teriak mereka (Ciang-poen Liong-tauw " Pemimpin yang memegang mangkok kekuasaan).
Kedua pemimpin itu mengangkat tangan mereka dan berkata, "Duduklah!" Semua pengemis bangkit dan duduk di kursi masing-masing.
Bu Kie baru menarik napas lega. Menyambut kedua Tiang-loo itu dengan berdiri masih tidak apa-apa.
Tapi sebagai Kauwcu dari Beng-kauw, biar bagaimanapun juga ia tidak boleh berlutut di hadapan pemimpin Kay pang. Untung juga karena mereka duduk di sudut yang paling jauh dan mata kedua Tiangloo it uterus mengawasi langit-langit tanpa memperhatikan orang-orang yang berlutut, maka tak ada orang yang lihat bahwa Cia Sun bertiga tidak ikut berlutut.
Pengemis-pengemis itu segera makan minum seperti orang kelaparan. Mereka main rebut, berteriak-teriak dan tertawa-tawa. Cia Sun berwaspada, memasang kuping dan mata. Di luar dugaan dalam perjamuan itu tak terjadi kejadian luar biasa dan tak terdengar sesuatu yang penting. Sesudah kedua Liong-tauw selesai bersantap dan turun ke bawah, pengemis-pengemis yang lain pun ikut bubar.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah semua pengemis meninggalkan loteng, Cia Sun berbisik, "Bu Kie, bagaimana pendapatmu?"
"Tak mungkin mereka berkumpul di sini hanya untuk makan minum," jawabnya. "Anak rasa, mereka akan berkumpul lagi di tempat lain, di tempat yang sepi untuk membicarakan soal penting yang menjadi tujuan mereka."
Cia Sun mengangguk. "Akupun berpendapat begitu," katanya. "Kay pang adalah musuh kita, sesudah bertemu kita harus menyelidiki dengna jelas maksud pertemuan mereka. Aku kuatir kalu mereka mau mengatur siasat untuk mencelakai Beng-kauw."
Mereka turun dan mencoba membayar uang makanan tapi ditolak keras oleh pengurus rumah makan.
"Giehu, kau lihatlah," kata Bu Kie. "Rumah makan takut menerima uang, dari sini dapatlah diketahui bahwa Kay pang sering melakukan perbuatan sewenang-wenang."
Mereka segera mencari sebuah rumah penginapan kecil di tempat yang agak sepi. Menurut kebiasaan, murid-murid partai pengemis tak pernah menginap di hotel sehingga Cia Sun tak usah kuatir akan bertemu dengan rombongan musuh.
"Bu Kie, mataku buta dan tak bisa ikut menyelidiki," kata Cia Sun. "Kepandaian Cie Jiak belum cukup, biarpun ikut ia takkan bisa membantu kau. Sebaiknya kau pergi sendiri saja."
Bu Kie mengangguk. Sesudah mengaso sebentar, ia lalu keluar seorang diri. Dari selatan ia berjalan ke utara, tapi sesudah berjalan beberapa lama, seorang pengemis pun tak ditemui olehnya.
"Ke mana mereka pergi?" tanya Bu Kie di dalam hati. Sebab baru berpisah kira-kira setengah jam, ia percaya rombongan pengemis itu belum pergi jauh dan ia akan bisa mencarinya.
Ia lalu pergi ke sebuah warung kelontong. Sambil menepuk meja dengan mata melotot ia membentak,
"Hei! Ke mana perginya saudara-saudaraku?"
Melihat sikap yang galak, orang-orang di warung itu jadi ketakutan. Salah seorang yang bernyali lebih besar menghampiri dan sambil menuding ke utara ia berkata, "Kawan-kawan Toaya (tuan) menuju ke sana. Apa Toaya mau minum teh?"
"Tidak. Aku tak sudi minum segala teh bau," bentak Bu Kie yang lalu berjalan keluar dengan langkah lebar. Dalam hati ia tertawa geli.
Baru saja ia melewati perbatasan kota, dari gombolan rumput tinggi mendadak melompat keluar seorang pengemis yang dilihatnya dari gerakannya mau mencegahnya. Dengan cepat ia melompat sambil mengempos semangat. Bagaikan anak panah, badannya berkelabat melewati si pencegat. Pengemis itu mengucek matanya. Ia merasa heran. Apa ia salah lihat" Ke mana perginya manusia yang tadi kelihatan mendatangi"
Mulai dari situ, sepanjang jalan di jaga keras. Bu Kie segera mengeluarkan ilmu meringankan badan.
Dengan matanya yang sangat jeli, ia bisa lihat penjaga-penjaga yang di tempatkan di antara rumput-rumput tinggi, di belakang pohon atau di belakang batu besar. Sebaliknya daripada jadi halangan, orang-orang itu merupakan penunjuk jalan. Sesudah berlari-lari empat lima li penjagaan makin rapat.
Kepandaian orang-orang itu kalah jauh dari Bu Kie tapi meloloskan diri dari mata mereka di tengah hari benar-benar bukan pekerjaan kecil, arah satu kelenteng di lereng gunung ia menduga bahwa perhimpunan Kay pang akan dilansungkan di rumah berhala itu.
Setibanya di situ, ia lihat papan nama yang tertulis "Bie lek Sin bio Kelenteng bie lek hoat". Kelenteng itu besar, indah dan angker, "Dengan memilih tempat di sini, pertemuan mungkin akan dihadiri oleh banyak tokoh-tokoh penting," pikirnya. "Kalau aku membaurkan diri di antara mereka, mereka mungkin sadar." Ia lalu mengamat-amati keadaan di sekitarnya. Di dalam pekarangan sebelah kiri di depan toa tian (ruangan besar) terdapat sebuah pohon siong tua, sedang di sebelah kanannya berdiri pohon pak. Kedua pohon itu rindang daunnya, besar dan tinggi, lebih tinggi banyak dari atap toa tian. Ia segera pergi ke belakang kelenteng dan melompat ke atas genteng. Dengan merunduk, ia mengayun dan sekali melompat ia sudah berada di pohon siong. Sambil memeluk sebatang cabang besar ia melongok ke bawah dan ia bersorak di dalam hati, sebab dari situ ia bisa memandang ke seluruh toa tian.
Lantai Tay hiong Po tian ternyata sudah penuh dengan pengemis yang berjumlah kira-kira tiga ratus orang. Mereka semua menghadap ke dalam sehingga melompatnya Bu Kie ke pohon tak dilihat mereka.
Dalam ruangan itu terdapat lima lembar tikar yang masih kosong. Rupa-rupanya kelima pemimpin masih
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
ditunggu kedatangannya. Apa yang sangat menyolok adalah kesunyian di ruangan itu. Ratusan pengemis duduk dengan tegak tanpa mengeluarkan sepatah kata. Dalam hati Bu Kie memuji. Walaupun derajat Kay pang sudah banyak merosot dan meskipun di waktu biasa kawanan pengemis itu sering menunjukkan sikap tak pantas pada tata tertib partai.
Di tengah-tengah Tay hiong Po tian duduk patung Bie lek hud dengan perut yang gendut, mulut tertawa lebar dan paras muka yang sangat ramah.
Selagi Bu Kie memperhatikan semua itu tiba-tiba terdengar teriakan seseorang. "Ciang-poen Liongtauw tiba!"
Semua pengemis serentak berdiri tegak dan menundukkan kepala. Dengan tangan memegang sebuah mangkok somplak, Ciang-poen Liong-tauw melangkah keluar dan lalu berdiri di sebelah kanan.
"Ciang-pang Liong-tauw!" orang itu berteriak pula.
Tiang-loo yang mukanya seperti Ciu Cong muncul dengan kedua tangan menyangga tongkat bambunya yang berkilauan. Ia berjalan dengan langkah lebar dan lalu berdiri di sebelah kiri.
Sesudah itu terdengar teriakan ketiga, "Cie-hoat Tiang-loo!" (Tetua yang memegang undang-undang) Seorang pengemis tua yang bertubuh kurus dan memegang sebatang belahan bambu pecah, masuk ke dalam ruangan dengan langkah yang sangat enteng. "Ilmu ringan badan orang itu cukup hebat," piker Bu Kie. "Kira-kira standing dengan po-tay Hweeshio dan hanya beda setingkat dari Wie Hok-ong."
Teriakan keempat segera menyusul, "Coan-kang Tiang-loo!" (Tetua yang menurunkan ilmu) Yang keluar kini seorang kakek yang berambut dan berjenggot putih. Paras mukanya aneh seperti tertawa tapi bukan tertawa. Seperti menangis bukan menangis. Ia bertangan kosong dan langkahnya tidak memperlihatkan tinggi rendah kepandaiannya.
Keempat orang itu lalu memindahkan empat lembar tikar ke sebelah bawah dari tikar yang di tengah dan kemudian sambil membungkuk mereka berseru, "Kami mengundang Pangcu!"
Bu Kie terkejut, Pangcu dari Partai Pengemis yang bernama Su Hwee Liong dan bergelar Kim gin ciang (Tangan emas dan perak) jarang sekali muncul dalam Rimba Persilatan. Hadirnya pemimpin itu membuktikan betapa pentingnya pertemuan yang sedang berlangsung.
Semua pengemis turut membungkuk dengan sikap hormat. Tak lama kemudian di belakang terdengar suara langkah dan keluarlah seorang pria bertubuh tinggi besar. Gerak gerik orang itu yang mukanya bersinar merah seolah-olah orang itu berpangkat atau hartawan besar dan pakaiannya biarpun tidak mewah sedikitnya bukan pakaian pengemis. Dengan tangan kanan memegang tiat-tan (peluru besi yang digunakan sebagai senjata), ia melangkah masuk dengan langkah lebar.
"Murid-murid Kay pang memberi hormat kepada Pangcu!" teriak para pengemis.
Su Hwee Liong mengibaskan tangannya, "Cukuplah!" katanya. Sehabis berkata begitu, dia segera duduk di tikar yang terletak di tengah-tengah dan semua pengemis pun segera ikut duduk.
"Lim Heng-too," kata Su Hwee Liong kepada Ciang-poen Liong-tauw, "Cobalah ceritakan soal Kim mo Say ong dan To liong to."
Jantung Bu Kie memukul keras dan ia segera memasang kuping dengan penuh perhatian.
Ciang-poen Liong-tauw bangun berdiri dan sesudah membungkuk ke arah Pangcu, ia berkata dengan suara nyaring. "Saudara-saudara, sebagaimana kalian tahu partai kita dan Mo kauw sudah bermusuhan selama kurang lebih enam puluh tahun. Semenjak Seng hwee leng jatuh ke dalam tangan kita, mereka terus berada di bawah angin. Belum lama berselang, Mo kauw telah mengangkat seorang Kauwcu baru yang bernama Thio Bu Kie. Anggota-anggota kita yang turut serta dalam pengepungan Kong ben teng pernah bertemu dengan si Kauwcu itu. Dia seorang bocah yang masih bau susu dan mana bisa dia melawan Su Pangcu kita yang berkepandaian sangat tinggi?" Kata-kata itu disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai, sedang Su Hwee Liong sendiri tersenyum-senyum dengan muka bersinar terang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah sorak-sorai mereda, Ciang-poen Liong-tauw berkata pula, "Tapi ada sesuatu yang harus diketahui kalian. Selama puluhan tahun Mo kauw terpecah belah. Sesudah pengangkatan Kauwcu baru itu, keadaan tersebut segera berubah dan perubahan ini merupakan penyakit di dalam perut bagi golongan kita."
"Selama setahun ini, kawanan siluman telah memberontak di berbagai tempat. Han San Tong dan Cu Goan Ciang bergerak di daerah Hway-see sedang di wilayah Ouw lam dan Ouw pak, Cie Sioe Hwee telah mendapat kemenangan dalam beberapa pertempuran dan telah menduduki banyak tempat penting. Kalau mereka berhasil mengusir Tat cu dan mereka pulang ke negara, maka beberapa puluh laksa saudara-saudara kita akan mati tanpa kuburan."
Kawanan pengemis itu segera berteriak-teriak, "Mereka tidak boleh berhasil! Mereka harus ditumpas!"
"Kita bersumpah untuk hajar Mo kauw habis-habisan!"
"Kalau Mo kauw berhasil, kita musnahkan!"
Dilain pihak Bu Kie yang bersembunyi di pohon berkata di dalam hati, "Tidak disangka selama aku berada di luar lautan beberapa bulan saudara-saudara sudah mendapat hasil begitu besar. Kekuatiran Kay pang memang dapat dimengerti, jumlah mereka sangat besar dan apabila mereka dapat diajak kerjasama, usaha mengusit Tat cu akan berjalan lebih lancer. Tapi bagaimana" Bagaimana aku harus berbuat untuk mengubah permusuhan menjadi persahabatan?"
Sementara itu Ciang-poen Liong-tauw melanjutkan pembicaraannya. "Kalian tahu bahwa Su Pangcu biasanya hidup menyendiri di Cwee siauw San chung (Perkampungan meniup seruling) dan sudah lama tidak pernah menginjakdunia Kang ouw. Tapi dalam menghadapi urusan besar ini, ia tidak bisa tidak turun tangan sendiri. Syukur seribu syukur, Thian memayungi kita, Pat-tay Tiang-loo (Tetua delapan karung) Tan Yoe Liang telah bersahabat dengan seorang murid Bu tong dan telah mendapatkan sebuah berita yang sangat penting." Ia menengadah dan berteriak, "Tan Tiang-loo! Ajaklah Song Siauw hiap masuk ke dalam sini untuk berkenalan dengan saudara-saudara kita!"
"Baiklah!" kata seorang di belakang tembok. Sesaat kemudian dua orang masuk dengan berpegangan tangan. Yang satu ialah Tan Yoe Liang, yang lain seorang pemuda tampan yang baru berusia dua puluh tahun lebih dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang.
Bu Kie terkesiap, sebab pemuda itu adalah Song Ceng Su, putra Song Wan Kiauw.
Setibanya di tengah ruangan mereka lalu menjalankan adat kepada Su Hwee Liong, lalu menyoja keempat ketua dan akhirnya memberi hormat kepada pengemis yang lain dan merangkap kedua tangan.
"Tan Tiang-loo," kata Ciang-poen Liong-tauw, "Cobalah tuturkan apa yang diketahui olehmu."
"Saudara-saudara," kata Tan Yoe Liang seraya memegang tangan Song Ceng Su, "Kita sangat mujur bahwa kita telah mendapat bantuan Song Siauw hiap. Song Wan Kiauw, Song Tay hiap dari Bu tong pay.
Dikemudian hari, Ciangbun Bu tong pay sudah pasti akan jatuh ke dalam tangannya."
"Thio Bu Kie, Kauwcu dari Mo kauw pada hakikatnya adalah adik seperguruan Song siauw hiap, tahu jelas seluk beluk keadaan dalam kalangan Mo kauw. Beberapa bulan yang lalu Song siauw hiap telah memberitahukan aku bahwa siluman besa Kim mo Say ong sudah datang di Leng coa to di wilayah Teng hay (Lautan Timur)."
"Tapi bagaimana Song Siauw hiap bisa tahu hal itu?" Tanya Cie hoat Tiang-loo. "Selama beberapa puluhn tahun orang-orang rimba persilatan berusaha untuk mencari Kim mo Say ong, tapi usaha ini sia-sia."
Sejak pertemuan di Leng coa to di dalam hati Bu Kie juga muncul satu pertanyaan yang belum terjawab. Kedatangan Cia Sun di Leng coa to ditutup rapat-rapat. Bagaimana Kay pang mengetahuinya"
Maka itu pertanyaan tiba-tiba Cie hoat Tiang-loo lebih menarik perhatian Bu Kie.
"Berkat rejeki Pangcu, hal itu terjadi secara sangat kebetulan," jawab Tan Yoe Liang. "Di Tang-hay hidup seorang nenek yang dikenal sebagai Kim ho Po po dan entah bagaimana ia tahu tempat sembunyinya Cia Sun. Nenek itu yang hidup di pantai laut memiliki pengetahuan mendalam ilmu pelayaran dan akhirnya berhasil mencari Cia Sun di sebuah pulau di Kutub Utara. Ia pun berhasil membawa Kim mo Say ong ke pulau Leng coa to, memenjarakan sepasang suami-istri yaitu Wie Pek dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Ceng Eng, ahli waris partai persilatan di negeri Toa lie. Waktu Kim hoa Po po pergi ke Tiong-goan, mereka mendapat kesempatan untuk membunuh penjaga-penjaga dan melarikan diri. Di Shoa tang mereka menemui bahaya dan pada saat yang tepat secara kebetulan ia ditolong oleh Song Siauw hiap.
Dalam pembicaraan mereka membuka rahasia dan inilah sebabnya mengapa Song Siauw hiap tahu kedatangan Cia Sun di Leng coa to."
Cie hoat Tiang-loo manggut-manggutkan kepalanya.
Bu Kie menghela napas, "Manusia tak bisa melawan maunya Thian," pikirnya.
"Wie Pek dan Bu Ceng Eng bukan manusia baik-baik. Dengan tipu busuk mereka mengorek rahasia dari mulutku. Lantaran itu, barulah Cie san Liong ong tahu tempat kediaman Giehu. Pada jaman ini kepandaian Kim hoa Po po dalam ilmu pelayaran jarang ada tandingannya. Kalau bukan dia yang turun tangan, siapa lagi yang bisa mencari Giehu di Peng hwee to, andaikata kedua orang tuaku masih hidup, belum tentu mereka bisa mengarungi samudra dan tiba di Peng hwee to dengan selamat. Dari sini dapat dilihat bahwa manusia tidak bisa menentang kemauan Thian."
Sesudah berdiam sejenak, Tan Yoe Liang berkata lagi, "Aku dan Song Siauw hiap mempunyai ikatan mati hidup bersama-sama (persaudaraan). Sesudah mendapat berita itu, Kie Tiang-loo, The Tiang-loo dan lima murid tujuh karung, aku pergi ke Leng coa to dengan tujuan membekuk Cia Sun dan merampas To liong to untuk dipersembahkan kepada Pangcu. Apa mau kata, rombongan Mo kauw yang berjumlah besar mendadak tiba di situ. Kami semua bertempur mati-matian tapi jumlah kami yang kecil tak bisa melawan jumlah mereka yang besar. Akhirnya Kie Tiang-loo dan empat murid tujuh karung gugur dalam pertempuran. Tentang jalannya pertempuran, aku minta The Tiang-loo yang melaporkan kepada Pangcu."
The Tiang-loo yang lengan kanannya buntung segera bangun berdiri dan menceritakan pertempuran di Leng coa to itu. Tapi cerita-ceritanya dusta. Ia mengatakan bahwa rombongan Beng kauw yang berjumlah besar mengepung Kay pang yang berjumlah kecil tapi terus melawan dengan nekad sehingga lima diantaranya mengorbankan jiwa. Akhirnya dengan bernapsu ia menceritakan tentang kesaktian Tan Yoe Liang dalam usaha menolong jiwanya sehingga Cia Sun dipengaruhi oleh kegagalan itu dan tidak berani turun tangan lagi.
Para pengemis bersorak-sorai memuji manusia-manusia licik itu.
"Tan Heng tee bukan saja pintar dan gagah tapi juga mempunyai gie-knie (rasa persahabatan) yang sangat tebal," kata Coan kang Tiang-loo.
Tan Yoe Liang membungkuk. "Berkat ajaran Pangcu dan Tiang-loo Koko, aku dapat memahami kewajiban-kewajiban partai," katanya. "Demi kepentingan kita, biarpun mati masuk ke dalam lautan api, aku takkan menolak. Apa yang aku perbuat tidak berarti dan tidak cukup berharga untuk mendapat pujian yang begitu tinggi dari The Tiang-loo. Pujian itu sungguh membuat aku merasa sangat malu."
Mendengar kata-kata merendah itu, rasa kagum para pengemis jadi lebih besar.
Makin lama Bu Kie jadi makin dongkol. Manusia tak mengenal malu itu yang terang-terangan mau menjual sahabat guna menolong jiwanya sekarang dianggap sebagai ksatria yang tebal rasa persahabatannya. Tapi dia memang telah menjalankan siasat secara pandai. Bahkan The Tiang-loo sendiri sudah dikelabui olehnya. Mengingat begitu Bu Kie berkata di dalam hati, "Tan Yoe Liang benar-benar seorang kan hiong (orang gagah yang jahat). Bukan saja Giehu, malah akupun sudah kena tipu. Hanya Tio Kauwnio yang tidak dapat diakali. Hai!...Tio Kauwnio sungguh pintar"sayang hatinya kejam?"
Sementara itu Cie hoat Tiang-loo bangun berdiri, "Banyak sekalio saudara kita telah dibinasakan oleh kawanan iblis," katanya dengan suara dingin. "Apa kita boleh menyudahi saja sakit hati itu?"
Para pengemis segera berteriak-teriak.
"Sakit hatinya Kie Tiang-loo harus dibalas."
"Ratakan Kong beng teng!"
"Bunuh Thio Bu Kie! Mampuskan Cia Sun!" dan sebagainya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah teriakan-teriakan mereda, Cie hoat Tiang-loo berpaling kepada Su Hwee Liong dan berkata,
"Lapor kepada Pangcu bahwa murid-murid partai kita merasa sangat penasaran dan kami mohon petunjuk Pangcu dalam usaha membalas sakit hati."
Alis Su Hwee Liong berkerut. "Hm"memang soal ini soal besar dari partai kita," katanya. "Hm"kita harus berdamai dengan otak dingin. Coba kau perintahkan supaya semua murid tujuh karung ke bawah meninggalkan ruangan ini untuk sementara waktu agar kita bisa berunding dengan tenang."
Cie hoat Tiang-loo mengangguk dan sambil berpaling kepada para pengemis, ia membentak.
"Dengarlah! Semua orang dari murid tujuh karung ke bawah diminta meninggalkan ruangan ini untuk sementara waktu dan menunggu diluar kelenteng."
Para pengemis segera mengiyakan dan sesudah membungkuk ke arah Su Hwee Liong, mereka segera berjalan keluar sehingga dalam sekejap ruangan toa tian hanya tertinggal pemimpin-pemimpin Kay pang yang penting.
Tan Yoe Liang maju selangkah dan berkata seraya membungkuk, "Lapor kepada Pangcu bahwa saudara ini Song Ceng Su, Seng Heng tee berjasa besar terhadap partai kita. Maka itu aku mohon restu Pangcu supaya ia diperbolehkan masuk ke dalam partai kita. Seorang yang mempunyai kepribadian dan kedudukan sebagai Song Heng tee dibelakang hari pasti akan dapat melakukan sesuatu yang sangat berharga bagi partai kita."
"Tapi"tadi"," kata Song Ceng Su dengan suara terganggu. "Hal ini tidak?" Baru saja ia mengucapkan perkataan "tidak", Tan Yoe Liang sudah mengawasinya dengan sorot mata tajam. Melihat sinar mata yang berabu dan kejam itu, ia menundukkan kepalanya dan tidak membuka suara lagi.
"Bagus," kata Su Hwee Liong, "Kami menyambut dengan girang masuknya Song Ceng Su ke dalam partai kita. Untuk sementara waktu, ia diberi kedudukan murid enam karung dan berada dibawah pimpinan Tiang-loo delapan karung Tan Yoe Liang. Kuharap Song Heng tee suka menaati segala peraturan kita dan bekerja keras demi kepentingan partai. Peraturan kita selalu dijalankan dengan keras, siapa yang berjasa akan dihargai, siapa yang berdosa akan dihukum."
Kedua mata Song Ceng Su mengeluarkan sinar sengsara dan dongkol, tapi sebisanya ia menekan perasaannya itu. Ia maju beberapa langkah dan berlutut di hadapan Su Hwee Liong. "Tee cu (murid) Song Ceng Su memberi hormat kepada Pangcu," katanya. "Terima kasih atas kemurahan Pangcu yang sudah memberi kedudukan murid enam karung kepada tee cu." Sesudah itu iapun memberi hormat dengan berlutut kepada semua tiang-loo dan liong-tauw.
"Song Heng tee!" kata Cia hoat Tiang-loo dengna suara angker. "Sesudah menjadi anggota partai, kau terikat dengan semua peraturan. Di hari nanti, andaikata kau menjadi ciang bun dari Bu tong pay, kau tetap harus menaati segala perintah dari pimpinan Kay pang. Apakah kau sudah tahu adanya peraturan ini?"
"Ya," jawabnya.
"Song Heng tee!" kata Cia hoat pula. "Walaupun tujuannya sama, yaitu sama-sama bertujuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan ksatria tapi jalan yang diambil oleh Kay pang dan Bu tong pay berbeda.
Mengapa kau rela masuk ke dalam partai kita" Jawablah! Kau harus menjawab dengan sejujur-jujurnya dan sejelas-jelasnya."
Sebelum menjawab, pemuda itu melirik Tan Yoe Liang, "Tan Tiang-loo melepas budi yang sangat besar terhadap tee cu," sahutnya. "Tee cu sangat mengakuinya dan rela untuk mengabdi dibawah perintahnya."
Tan Yoe Liang tertawa. "Disini tak ada orang luar," katanya. "Song Heng tee, kau boleh bicara secara bebas. Kalau kau merasa tak enak biarlah aku yang menjelaskan. Sesudah Biat coat Suthay meninggal dunia, Ciang bun jin yang baru dari Go bie pay adalah seorang gadis yang sangat cantik. Ciu Cie Jiak namanya. Nona itu dan Song Heng tee adalah kawan dari kecil dan mereka sudah berjanji untuk menjadi suami isteri. Diluar dugaan, Ciu Kauwnio dirampas oleh kepala siluman Thio Bu Kie yang membawanya kabur ke seberang lautan. Dalam gusarnya Song Heng tee meminta bantuanku. Aku segera menyanggupi dan aku bersumpah untuk merebut kembali nona itu."
Bu Kie merasa dadanya seperti mau meledak, tapi sebisanya ia menahan napas amarahnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Su Hwee Liang tertawa terbahak-bahak. "Kita tidak bisa menialahkan Song Heng tee, sejak dulu orang gagah memang sukar menolak wanita cantik," katanya. "Yang satu Ciang bun dari Bu tong pay yang lain Ciang bun Go bie pay. Sungguh kedudukan yang sederajat, muda sama muda!"
"Tapi Song Heng tee dalam menghadapi kejadian itu mengapa kau tidak meminta bantuan Thio Sam Hong Cinjin atau Song Tayhiap?" Tanya Cia hoat Tiang-loo lagi.
"Menurut keterangan Song Heng tee, sekarang Bu tong pay bergandengan tangan dengan Mo kauw,"
kata Tan Yoe Liang. "Thio Sam Hong dan ayah Song Heng tee sungkan bentrok dengan agama iblis itu.
Pada waktu ini dalam seluruh rimba persilatan hanya partai kita yang bermusuhan dengan Mo kauw dan mempunyai cukup tenaga untuk menghadapi agama siluman itu."
Cia hoat Tiang-loo manggut-manggut. "Dia itu benar," katanya. "Sesudah kita memusnahkan Mo kauw dan membinasakan si bocah Bu Kie, keinginan Song Heng tee pasti akan terkabul."
Mendengar tanya jawab itu Bu Kie segera ingat kejadian di Kong beng teng. Ia ingat sikap Song Ceng Su yang luar biasa terhadap Cie Jiak dan sekarang ia tahu bahwa putra pamannya telah jatuh cinta kepada tunangannya.
"Tapi dia betul-betul gila!" katanya di dalam hati. "Karena seorang wanita dia rela mengkhianati rumah perguruan sendiri bahkan ayah kandungnya sendiri. Cinta Cie Jiak terhadapku adalah cinta yang suci. Biarpun dibantu Kay pang, dia pasti tak akan bisa memaksa Cie Jiak untuk menuruti kemauannya.
Hai!...Song Toako sudah mendapat nama dan dipandang sebagai tunas harapan dari Bu tong pay.
Bagaimana dia bisa tersesat sampai begitu jauh?" Ia merasa sangat menyesal dan menghela napas berulang-ulang.
Sementara itu, Tan Yoe Liang sudah berkata lagi. "Lapor kepada Pangcu bahwa didekat kota raja, teecu telah membekuk salah seorang penting dalam kalangan Mo kauw. Orang ini mempunyai sangkut paut dengan usaha partai kita. Tee cu minta keputusan Pangcu mengenai orang itu."
Tan Yoe Liang segera menepuk tangan tiga kali, "Bawa masuk kepala iblis yang ditawan itu," teriaknya.
Jantung Bu Kie memukul keras. Siapa yang tertangkap"
Hampir bersamaan dari belakang toa tian keluar empat pengemis bersenjata dengan seorang tangkapan yang kedua tangannya terbelenggu. Bu Kie merasa bahwa ia pernah bertemu dengan orang itu yang berusia kira-kira dua puluh tahun di Ouw taip kok, tapi ia lupa namanya. Pemuda itu berjalan masuk dengan paras muka gusar dan waktu melewati Tan Yoe Liang tiba-tiba ia membuka mulut dan menyembur dengan ludahnya. Tan Yoe Liang berkelit dan menggampar pipi kiri orang itu yang segera menjadi bengkak. Salah seorang pengemis yang mengawalnya mendorong dan membentak, "Jangan kurang ajar! Ayo berlutut di hadapan Pangcu!"
Tapi sebaliknya, pemuda itu kembali menyemburkan riak ke muka Su Hwee Liong.
Karena jarak mereka sangat dekat dan semburan itu dilakukan dengan tenaga dalam yang cukup hebat, maka walaupun Su Hwee Liong coba mengelak, riak itu mampir tepat di dahinya. Tan Yoe Liang melompat dan menyapu dengan kakinya sehingga pemuda itu roboh di lantai. "Bangsat! Apa kau sudah bosan hidup?" bentaknya sambil berdiri menghadang di depan Su Hwee Liong.
"Sesudah jatuh ke dalam tanganmu, tuanmu memang sudah tidak berpikir soal hidup lagi," jawabnya.
Sesudah Su Hwee Liong menyusut riak dari dahinya, Tan Yoe Liang segera mundur beberapa langkah dan berkata, "Lapor kepada Pangcu bahwa bocah itu adalah salah seorang jago yang terhebat dalam kalangan Mo kauw. Ilmu silatnya berada di tempat keempat Hoat ong. Kita tak boleh memandang rendah kepadanya."
Semula Bu Kie merasa heran tapi ia segera mengerti bahwa Tan Yoe Liang sengaja menunjukkan kepandaian pemuda itu untuk menolong muka sang Pangcu. Biar bagaimanapun Su Hwee Liong seorang pemimpin paling tinggi dari Kay pang tidak dapat mengelak dari semburan seorang tangkapan merupakan kejadian yang benar-benar aneh, benar-benar tidak masuk akal. Apalagi sesudah mendapat hinaan yang hebat itu, dia sama sekali tidak menunjukkan kegusaran. Pada paras mukanya bahkan terlihat sinar kebingungan seolah-olah ia merasa takut akan terbukanya suatu rahasia besar.
Bu Kie jadi makin heran. Ia merasa bahwa dalam peristiwa ini pasti terselip suatu latar belakang yang belum diketahuinya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Tan Heng tee, siapa tangkapan itu?" tanya Cia hoat Tiang-loo.
"Han Lim Jie, anak Han San Tong," jawabnya.
Sekarang Bu Kie ingat, ia ingat bahwa dalam pertempuran di Ouw tiap kok, pemuda itu selalu mengikuti dibelakang ayahnya dan jarang berbicara dengan orang lain. Tak heran ia tak ingat lagi namanya.
"Aha! Anak Han San Tong?" tegas Cia hoat dengan suara girang. "Tan Heng tee jasamu sangat besar.
Lapor kepada Pangcu bahwa belakangan ini, Han San Tong berturut-turut telah mengalahkan tentara Goan sehingga namanya disegani orang. Panglima-panglimanya seperti Cu Goan Ciang, Cie Tat dan Siang Gie Cun adalah jago-jago Mo kauw yang paling hebat. Sekarang kita berhasil membekuk bocah itu yang bisa dijadikan semacam sandera. Han San Tong pasti akan jinak dan menuruti segala perintah kita."
"Binatang! Jangan mimpi kau!" caci Han Lim Jie. "Ayahku seorang gagah sejati. Tak akan Thia thia mau ditekan oleh manusia-manusia tak mengenal malu sepertimu. Thia thiaku mendengar perintahnya satu orang yaitu Thio Kauwcu kami. Kay pang ingin bertanding melawan Beng kauw kami" Huh! Kamu jangan mimpi di siang bolong. Kamu semua sangat tak tahu diri. Pangcumu yang semacam itu belum cukup sederajat untuk berendeng dengan sepatu Thio Kauwcu kami."
Tan Yoe Liang tak jadi gusar. "Han Heng tee," katanya. "Kau memuji Thio Kauwcumu tinggi sekali.
Kami semua merasa sangat kagum dan ingin sekali bertemu dengan beliau. Bolehkah kau mengajak kami untuk menemui beliau?"
Han Lim Jie adalah seorang yang jujur dan polos. Ia tak tahu kelicikan Tan Yoe Liang. "Thio Kauwcu memikul beban yang sangat berat," jawabnya. "Sekalipun saudara-saudara di dalam Beng kauw, tidak sembarangan bertemu muka dengan beliau karena tak punya waktu untuk meladeni manusia-manusia seperti kalian."
Tan Yoe Liang tertawa dingin. "Omong kosong!" bentaknya mengejek. "Semua orang Kang ouw mengatakan bahwa Thio Bu Kie sudah dibinasakan oleh tentara Goan di kota raja. Hanya kau seorang yang masih bicara besar."
"Bangsat! Tutup bacotmu!" caci Han Lim Jie. "Tat cu menangkap Kauwcu kami" Huh huh!...Andaikata dikurung beribu laksa tentara, Thio Kauwcu kami masih bisa datang dan pergi sesuka hati. Memang benar Thio Kauwcu pergi ke kota raja. Maksud tujuannya ialah menolong tokoh-tokoh enam partai yang tertangkap musuh. Dibinasakan Tat cu" Huh huh"tutuplah bacotmu!"
Tan Yoe Liang tetap tidak gusar. Ia terus ha ha he he. "Mungkin kau benar," katanya. "Tapi semua orang Kang ouw mengatakan begitu, aku tidak bisa tidak percaya. Selama setengah tahun terakhir, kita hanya mendengar nama Han San Tong, Cie Ceng Hwe, Goe Goan Ciang, Lauw Hok Thong, Pheng Eng Giok dan sebagainya, tapi nama Thio Bu Kie belum pernah disebut-sebut. Bukankah itu merupakan bukti bahwa bocah she Thio itu benar-benar sudah mampus?"
Paras muka Han Lim Jie berubah merah padam, urat-uratnya menonjol keluar. "Binatang?" teriaknya dengan suara gemetar. "Jangan kau menghina Kauwcu kami! Suatu hari Kauwcu akan kembali dari luar lautan dan kamu semua kan mengenal kehebatannya."
"Oh oh!...Oh begitu?" kata Tan Yoe Liang sambil menyeringai. "Kalau begitu Thio Kauwcumu menjelajahi lautan. Sekarang kutahu, ia tentu bermaksud untuk menjemput ayah angkatnya, Kim mo Say ong Cia Sun. Bukankah begitu?"
Han Lim Jie terkesiap. Ia tahu bahwa ia sudah dijebak oleh musuh pintar itu.
Sesudah diam sejenak, Tan Yoe Liang berkata pula dengan suara tawar. "Ilmu silat Thio Bu Kie memang boleh juga, Cuma mukanya muka pendek umur. Ada orang menghitung peruntungannya dan dia mengatakan bahwa bocah she Thio ini tidak akan hidup lebih lama dari tahun ini, permulaan?"
Tiba-tiba sebatang cabang pohon pek dipekarangan itu bergoyang, Bu Kie yang kupingnya sangat tajam segera mendengar suara napas manusia di cabang itu. Sesaat kemudian, suara napas itu hilang. Bu Kie tahu bahwa orang itu sudah mengatur jalan pernapasannya. "Dia sudah sembunyi lebih lama dari aku," pikirnya. "Sudah lama dia berada di situ tapi aku tidak mengetahuinya. Dia pasti memiliki kepandaian yang sangat tinggi." Sambil berpikir begitu ia mengawasi pohon pek itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Diantara cabang dan daun yang rindang ia melihat ujung baju yang berwarna hijau. Orang itu bersembunyi di tempat yang sangat bagus dan warna pakaiannya sama dengna warna daun sehingga kalau Bu Kie tidak mempunyai mata yang luar biasa, ia tak akan bisa melihatnya.
Sementara itu Han Lim Jie sudah membentak dengan penuh kegusaran. "Dusta! Thio Kauwcu seorang yang berhati murah dan orang baik pasti akan dilindungi langit. Ia masih berusia muda ia pasti bisa hidup seratus tahun."
Tan Yoe Liang menghela napas. "Tapi kau tahu bahwa di dalam dunia sering terjadi kejadian luar biasa dan hati manusia sukar dijajaki," katanya. "Kudengar diseberang lautan ia kena tipu oleh orang jahat sehingga akhirnya ia dibinasakan oleh kerajaan Goan. Tapi kau tak usah merasa heran. Orang-orang yang pernah melihat wajah Thio Bu Kie sependapat bahwa bocah itu takkan hidup lebih lama dari tiga kali delapan puluh empat tahun?"
Mendadak perkataan Tan Yoe Liang terputus, sebab hampir bersamaan dengan bergoyangnya cabang pohon pek sosok tubuh manusia melayang turun ke bawah. "Thio Bu Kie disini!" bentak orang itu. "Siapa kata aku sudah mati?" Seraya membentak begitu ia melompat masuk dan berdiri di tengah-tengah toa tian.
Ciang pang Tiang-loo memapakinya dengan jambretan ke arah leher. Dengan gerakan yang sangat indah, orang itu berkelit. Ia ternyata seorang pemuda yang sangat tampan dengan mengenakan ikatan kepala empat segi dan baju warna hijau.
Bu Kie terkesiap karena ia segera mengenal orang itu tak lain adalah Tio Beng yang menyamar sebagai pria. Bermacam perasaan memenuhi dadanya, kaget, gusar, cinta dan girang bercampur aduk menjadi satu. Tanpa terasa ia mengeluarkan seruan tertahan yang untung juga tak didengar oleh para pengemis yang sedang menumpahkan perhatian mereka kepada Tio Beng.
Dulu diluar kuil Siauw lim sie, Tan Yoe Liang pernah bertemu muka dengan Bu Kie. Hal ini terjadi waktu Bu Kie masih kecil. Dalam jangka waktu belasan tahun Bu Kie sudah berubah banyak, baik muka maupun badannya sehingga ia tidak bisa mengenali lagi. Belakangan di pulau Leng coa to, ia bertemu lagi tapi waktu itu Bu Kie dan Tio Beng memakai kumis palsu dan menyamar sebagai orang-orang Kie keng pang. Maka itu pada hakikatnya Tan Yoe Liang tak tahu bagaimana rupa Thio Bu Kie sekarang. Su Hwee Liong dan yang lain-lain lebih tak mengenalnya. Mereka hanya pernah mengetahui bahwa Kauwcu baru dari Beng kauw seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh tahun dan yang berkepandaian sangat tinggi. Melihat cara berkelitnya Tio Beng lincah dan indah mereka tak ragu lagi. Tapi Tan Yoe Liang merasa sangsi sebab Tio Beng terlampau cantik untuk jadi seorang pria, usianya terlalu muda dan suaranya bukan suara lelaki. Maka itu ia segera membentak, "Thio Bu Kie sudah mampus! Siapa kau"
Sungguh berani kau main gila terhadap kami!"
"Binatang!" bentak Tio Beng dengan gusar. "Perlu apa kau mencaci Thio Bu Kie" Thio Bu Kie mempunyai rejeki yang sebesar langit dan akan berusia seratus tahun. Sesudah manusia-manusia seperti kamu dikubur, ia masih bisa hidup delapan puluh tahun."
Mendengar suara si nona yang bernada duka, jantung Bu Kie memukul keras. Apakah nada duka itu menunjuk rasa menyesal" Tapi ia segera menekan segala pikiran lain. "Perempuan kejam itu mana punya rasa menyesal?" katanya dalam hati. "Bu Kie! Oh, Bu Kie! Mengapa kau begitu lemah" Mengapa hatimu masih harus diikat oleh manusia kejam itu?"
Sementara itu Tan Yoe Liang bertanya pula dengan suara lebih sabar. "Siapa sebenarnya kau" Kau takkan bisa mendustai aku. Kau pasti bukan Thio Bu Kie."
"Aku Thio Bu Kie dari Beng kauw," jawabnya. "Mengapa kau tangkap saudaraku" Lekas lepaskan.
Dalam segala hal, aku yang bertanggung jawab."
Mendadak terdengar suara tawa dingin. "Tio Beng Kauwnio," kata seseorang. "Orang lain bisa tak mengenal kau tapi aku mengenal kau. Orang lain bisa tak mengenal Thio Bu Kie tapi aku mengenalnya dengan baik. Lapor kepada Pangcu bahwa perempuan itu dalah putrinya Jie Lam Ong. Dia bergelar Beng beng Kuncu dan mempunyai banyak orang pandai. Kita harus bersiap siaga." Orang yang melucuti topeng Tio Beng adalah Song Ceng Su.
Cia hoat Tiang-loo segera bersiul nyaring.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Ciang pang Tiang-loo!" teriaknya. "Bawalah sejumlah saudara kita untuk menjaga diluar kelenteng.
Hajar setiap musuh yang mau coba menerobos masuk."
Ciang pang Tiang-loo segera mengiyakan.
Dalam sekejap diempat penjuru terdengar teriakan-teriakan para pengemis yang bersiap untuk menyambut musuh.
Paras muka Tio Beng agak berubah. Ia menepuk tangan dan dari atas tembok melayang turun dua orang. Mereka adalah Hian beng Jie loe Lok thung kek dan Ho pit ong.
"Bekuk mereka!" bentak Cia hoat Tiang-loo.
Empat murid tujuh karung segera menerjang. Tapi mereka bukan tandingan Hian beng Jie lok. Dalam tiga jurus mereka sudah luka semua. Melihat itu Coan kang Tiang-loo segera turun ke arena dan menghantam Ho pit ong dengan pukulan yang mengeluarkan deru angin dahsyat. Bu Kie tahu bahwa pukulan itu adalah Kian liong Cay tian (melihat naga di sawah) dari Han liong Sip pat ciang (Delapan belas pukulan menakluki naga). Dulu di Peng hwee to, ia pernah mendengar keterangan dan melihat contoh dari pukulan itu yang diberikan oleh ayah angkatnya. Tapi ketika itu, ia masih belum bisa menangkap intisari pukulan tersebut. Sekarang ia merasa sangat kagum, ia tak sangka bahwa Hang liong Sip pat ciang sedemikian hebat dan si pengemis tua ternyata sudah mengalami dasar ilmu silat Kioe cie Sin kay Ang Cit Kong yang sangat tinggi itu.
Ho pit ong tidak berani bermain lagi. Cepat-cepat ia menggunakan Hian beng Sin ciang dan memapaki telapak tangan si pengemis. Plaak! Kedua tangan beradu. Hian liong Sip pat ciang mengandung tenaga sun-kang (keras yang murni) sedang tenaga Hian beng Sin ciang bersifat Im jioe (dingin dan lemas).
Kedua lawan itu sama-sama sudah berlatih puluhan tahun dan tenaga dalam mereka sama-sama sudah mencapai tingkat yang tinggi. Dalam bentrokan tangan yang pertama, kedua pihak kira-kira standing.
Coan kang Tiang-loo merasa semacam hawa yang sangat dingin menerobos masuk ke lengan dari telapak tangan dan terus naik ke atas. Dilain pihak Ho pit ong merasa hawa dan darah bergolak-golak di dadanya.
Ia terkejut dan mengawasi lawannya dengan mata mendelik.
Ia mendapati kenyataan bahwa dengan paras muka pucat dan biji mata merah, pengemis itu dengan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melawan hawa dingin yang dikirimnya.
Ia merasa sangat girang. "Kukira hari ni aku bertemu lawan yang berat," katanya dalam hati. "Untung juga dia masih kalah setingkat." Ia segera mengambil keputusan untuk menyerang pula. Ia maju selangkah dan menghantam lagi dengan Hian beng Sin ciang yang tenaganya menyambar dari empat penjuru sehingga tidak dapat ditambah lagi. Coan kang Tiang-loo tidak bisa berbuat lain daripada menyambut lagi dengan pukulan Hang liong Sip pat ciang.
Biarpun tenaga kedua lawan kira-kira setara, sifat tenaga mereka agak berbeda. Ciang hoat Coan kang Tiang-loo adalah warisan Ang Cit Kong dan merupakan ilmu yang murni bersih sedang Hian beng Sin ciang Ho pit ong mengandung hawa dingin yang beracun. Dalam Lweekang, kedua belah pihak sama-sama kuat. Tapi setiap kali tangan mereka beradu, Coan kang Tiang-loo harus menggunakan sebagian tenaganya untuk mengusir hawa dingin yang beracun itu sehingga dengan demikian ia harus menggunakan lebih banyak tenaga daripada lawannya. Oleh karena itu, sesudah beradu tangan tiga kali si pengemis tua segera jatuh dibawah angin.
Disudut lain toa tian, dengan menggunakan tongkat tanduk menjangan, Lok thung kek melawan Cia hoat Tiang-loo dan Ciang poen Liong-tauw. Meskipun dikerubuti, jagonya Tio Beng tidak jadi keteter dan terus berkelahi dengan hati mantap.
Dengan rasa kuatir Ciang pang liong tauw memperhatikan keadaan Coan kan Tiang loo. Kawan itu sudah menyelami duabelas antara delapanbelas pukulan Hang liong Sip pat ciang dan dalam kalangan Kay-pang, ia memiliki lweekang yang paling kuat. Mengapa ia keteter" Sesudah tujuh kali beradu tangan, napasnya tersengal-sengal dan ia kelihatannya sudah payah sekali. Ciang pang liong tauw tahu, bahwa biasanya Coan kang Tianglo tak suka dibantu orang. Tapi kini ia menghadapi kekalahan. Dari pada kalah atau binasa, lebih baik disela orang sebagai tukang keroyok, pikir Ciang pang Liong tauw.
Memikir begitu, ia lantas saja menyabet Ho Pit Ong dengan tongkat bambunya. Walaupun pukulan itu belum bisa direndengi dengan Tah kauw Pang hoat (Ilmu Tongkat memukul anjing yang hanya boleh dimililiki Pangcu dari Kay pang), tapi di dalam kalangan Partai Pengemis terdapat serupa kebiasaan, bahwa orang yang bersenjata tongkat selalu berkepandaian tinggi. Di dalam Kay pang, Ciang pang Liong
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
tauw memang salah seorang jago utama. Begitu ia turun tangan, Coan kang Tiangloo bisa bernafas lega dan mereka lalu mendesak Ho Pit Ong sehebat2nya.
Sesudah Hian beng Jie loo turun, Tio Beng sendiri sebenarnya ingin melarikan diri. Tapi ia keburu dicegat Tan Yoe Liang yang menyerang dengan pedangnya. Di waktu singkat si nona segera mengeluarkan pukulan2 terhebat dari beberapa partai yang didapatinya di Ban hoat sie. Bagaikan kilat ia mengirim serangan berantai " yang pertama pukulan dari Hwa san Kiam hoat, yang kedua dari Kun lun Kiam hoat, yang ketiga dari Kong tong Kiam Hoat. Tikaman keempat yang menyusul adalah Hang mo Toa koe sit dari Go bie pay. Tan Yoe Liang kaget tak kepalang dan dalam kagetnya, ia tak keburu menyambut sambaran pedang. Seperti anak panah, pedang Tio Beng meluncur ke hulu hati" Tapi, pada detik ujung pedang menyentuh dada, terdengar suara "trang!" dan pedang nona Tio terpukul ke samping.
Orang yang menolong adalah Song Ceng Su. Di lain saat, Tio Beng sudah dikerubuti.
Semua kejadian itu tidak terlepas dari mata Bu Kie. Ia memperhatikan serangan2 Song Ceng Su yang menggunakan Bu tong Kiam hoat dan ternyata pemuda itu telah dapat menyelami pelajaran yang diturunkan oleh ayahnya. Sementara itu, saban ada lowongan, Tan Yoe Liang menyerang dari samping dengan pukulan pukulan Siauw lim. Dengan demikian, meskipun mengenal macam2 ilmu silat, dalam pertempuran jangka panjang, perlahan tapi tentu, Tio Beng keteter.
Bu Kie jadi bingung tercampur heran.
"Mengapa ia menggunakan pedang biasa?" tanyanya di dalam hati. "Kalau menggunakan Ie thian kiam, ia segera bisa meloloskan diri." Waktu itu nona Tio mengenakan pakaian yang tipis dan pas betul pada tubuhnya, sehingga dapat dilihat bahwa ia menyoren pedang mustika itu di pinggangnya.
Sesudah kebingungan beberapa saat, Bu Kie menegur dirinya sendiri: "Bu Kie! Ah, Bu Kie! Kau benar gila! Perempuan siluman itu telah membinasakan Piaw moay. Aku seharusnya merasa girang kalau Song Ceng Su berhasil membunuh dia. Mengapa aku jadi bingung" Ini membuktikan, bahwa aku masih belum bisa melepaskan dia. Ah" aku bukan saja harus merasa bersalah terhadap Piauw moay, tapi juga terhadap Giehu dan Cie Jiak."
Tak lama kemudian, beberapa jago Kay pang lain turun ke gelanggang, sedang pihak Tio Beng tidak mendapat bantuan. Melihat keadaan tidak baik, Lok Thung Kek berseru, "Kuncu Nio nio! Ho Heng tee!
Mundur ke pekarangan luar dan menyingkir!"
"Baiklah," kata Tio Beng. "Manusia she Tan itu telah mencuci Thio Kongcu. Aku merasa sangat tidak senang. Sebelum mundur kamu harus hajar padanya."
"Nio nio mundur saja lebih dahulu," kata Lok Thung Kek. "Serahkan bocah itu kepada kami."
"Han Lim Jie setia terhadap Thio Kongcu," kata pula nona Tio. "Kamu harus menolong dia."
"Baik! Sesudah Nio nio mundur, kami akan menolongnya," jawab si kakek.
Pertempuran terus berlangsung dengan hebatnya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Su Hwee Liong berdiri menonton di satu pojok. Mendengar pembicaraan antara Tio Beng dan Hian beng Jie loo, Coan kang dan Cie hoat segera berteriak teriak, memberi perintah kepada kawanan pengemis untuk mencegat di empat penjuru.
Mendadak Hian beng Jie loo meninggalkan lawannya dan dengan kecepatan kilat, dia menyerang Su Hwee Liong. Perubahan itu tak diduga2 dan meskipun berkepandaian tinggi, Su Hwee Liong takkan bisa menyambut serangan kedua kakek itu yang dikirim dengan sepenuh tenaga.
Tapi, sebab belum takdirnya mati, seorang penolong sudah bersiap sedia. Mendengar pembicaraan Tio Beng dan kedua jagonya, Tan Yoe Liang yang sangat pintar sudah menduga bakal adanya serangan itu. Ia segera mendekati Su Hwee Liong. Pada detik yang sangat berbahaya, ia mendorong pundak Su Hwee Liong ke belakang patung Bie lek Hud, sehingga pukulan Jie loo jatuh di patung itu lantas pecah, pecahnya muncrat berhamburan dan patung itu sendiri bergoyang-goyang. Ho Pit Ong maju setindak, menghantam dan mendorong patung yang sangat besar itu lantas saja roboh terguling.
Keadaan jadi kalut semua orang melompat minggir supaya tak tertimpa. Dengan menggunakan kesempatan itu, Tio Beng segera kabur ke pekarangan depan dengan dikejar oleh Song Ceng Su dan Ciang pang Liong tauw.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Selagi nona mau melompati pintu tiga batang tongkat menyambar kakinya. Tio Beng mencelos batinnya ia digencet dari belakang dan dari depan. Dengan mati matian ia berhasil mengalihkan dua tongkat yang menyambar lebih dulu, tapi tongkat ketiga mampir tepat pada kakinya sehingga tanpa ampun lagi ia ambruk di lantai. Song Ceng Su merangsek membalik pedangnya dan memukul kepala si nona dengan gagang pedang untuk menangkapnya hidup-hidup.
Pada saat saat yang berbahaya, mendadak tongkat bambu Ciang pang Liong tauw berkelebat dan menangkis pedang Song Ceng Su dan dengan berbareng satu bayangan manusia melompat keluar dari atas tembok, dengan kecepatan yang sukar dilukiskan.
Song Ceng Su menengok kepada Ceng pang Liong Tauw dan bertanya dengan suara mendongkol.
"Mengapa kau lepaskan dia?"
"Perlu apa kau pukul tongkatku?" si pengemis balas tanya dengan mata melotot.
"Eeh! Bukankah kau yang pukul gagang pedangku" Mengapa?"
"Jangan rewel! Lekas kejar!"
Mereka segera melompati tembok. Di luar, di kaki tembok, mereka bertemu dengan seorang murid tujuh karung yang patah kakinya dan tidak bisa bediri lagi. Mereka segera menghampiri tujuh delapan pengemis yang menjaga diluar kelenteng. "Kemana larinya perempuan siluman itu?" tanya Cia pang Liong tauw.
"Perempuan yang mana" Kami tak melihat manusia lain," jawab seorang.
Ciang pang Liong tauw gusar tak kepalang. "Apa kamu buta?" bentaknya. "Terang terangan perempuan itu melompat keluar dari tembok sana."
Sambil membangunkan pengemis yang patah kakinya, seorang murid enam karung berkata. "Barusan toako inilah yang melompat keluar. Kami tak lihat orang lain."
Ciang pang Liong tauw menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal. "Mengapa kau melompati tembok?" tanyanya.
"Aku" aku" ditangkap dan dilemparkan," jawab si murid tujuh karung sambil menahan sakit.
"Perempuan siluman itu mempunyai ilmu yang sangat aneh."
Dengan paras muka gusar Ciang pang Liong tauw mengawasi Song Ceng Su. "Mengapa kau pukul tongkatku" Apa maksudmu" Baru saja masuk ke dalam Kay pang, kau sudah coba-coba main gila."
Su Ceng Su meluap darahnya, tapi sebisa bisa ia menahan hawa marahnya. "Selagi teecu memukul kepala perempuan siluman itu, Liong tauw toako menangkis senjataku, sehingga siluman itu bisa melarikan diri," jawabnya.
"Omong kosong!" bentak si pengemis tua. "Perlu apa aku menangkis gagang pedangmu" Sudah beberapa puluh tahun aku mengabdi di dalam partai dan karena jasa jasaku aku sekarang menduduki kursi Ciang pang Liong tauw. Apa kau mau mengatakan bahwa aku sengaja membantu orang luar" Sekarang aku tanya. Sebab apa kau tidak menggunakan ujung pedang untuk menikam dia dan berlagak memukul dengan gagang pedang" Huh.. huh!.. mataku belum lamur, tak dapat kau memperdayai aku."
Dalam Bu tong pay, biarpun kedudukan Su Ceng Song hanialah murid turunan ketiga tapi sebab orang orang Bu tong tahu, bahwa dia adalah calon Ciang bun jin maka mereka sangat mengindahkannya.
Bahwa kau Jie lian Ciu, Thio Song Kee dan yang lain lain yang masih pernah paman berlaku sungkan kepadanya. Atas tekanan Tan Yoe Liang ia terpaksa masuk ke dalam Kay pang. Di luar dugaan pada hari pertama, ia sudah dicaci orang. Ia adalah seorang yang beradat tinggi dan meskipun ia tahu, bahwa Ciang pang Liong tauw mempunyai kedudukan tinggi, ia tidak bisa menahan sabar lagi. "Perkataan main gila adalah tuduhan membuta tuli," katanya dengan bernafsu. "Liong tauw toako mesti bisa membuktikan tuduhan itu. Terang-terang kau yang menangkis gagang pedangku. Di siang hari bolong belum tentu tak ada yang lihat."
Dengan berkata begitu, Song Ceng Su balas menuduh, bahwa si pengemislah yang sudah main gila dan sengaja melepaskan Tio Beng. Ciang pang Liong tauw adalah seorang berangasan. Mana bisa ia menelan hinaan itu" "Binatang!" bentaknya. "Kau tidak mengindahkan orang yang lebih tua. Apakah di
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
tempat ini kau masih mau mengandalkan pengaruh Bu tong pay?" Seraya berkata begitu, ia menghantam kepala Song Ceng Su dengan tongkatnya. Dalam kegusarannya, ia menggunakan tenaga dalam yang dahsyat.
Song Ceng Su segera menangkis tanpa sungkan sungkan lagi. Tongkat itu meskipun terbuat daripada bambu sangat ulet dan keras dan babatan pedang tidak dapat memutuskannya. Begitu kedua senjata beradu, Song Ceng Su merasa telapak tangannya terbeset. Ia kaget, si pengemis ternyata mempunyai Lweekang yang sangat kuat dan lebih unggul daripada tenaga dalamnya. Di lain pihak, si pengemis merasa lengannya kesemutan. Ia juga terkejut, sebab ia tak duga pemuda itu memiliki Lweekang yang sedemikian kuat. "Bocah she Song!" bentaknya. "Berani sungguh kau melawan aku. Apakah kau suruhan musuh untuk menjadi mata mata di sini?" Sambil mencaci ia menghantam lagi.
Tiba tiba seseorang melompat keluar dan menangkis pukulan itu. "Liong tauw toako sabar dulu,"
katanya. Orang itu adalah Tan Yoe Liang.
"Tan Heng tee, aku minta kau menimbang urusan ini," kata Ciang pang Liong tauw.
"Mana si perempuan siluman?" tanya Tan Yoe Liang.
"Dilepaskan oleh dia," kata Ciang pang Liong tauw sambil menuding Song Ceng Su.
"Bukan aku, dia yang melepaskannya," balas Song Ceng Su.
Selagi mereka bertengkar, Hian beng Jielo sudah menerobos keluar. Melihat Tio Beng tidak berada di luar kelenteng, mereka tahu bahwa sang majikan sudah meloloskan diri dan hati mereka jadi lega dan lebih mantep. Sambil tertawa nyaring, mereka menyerang pula dengan sekuat tenaga. Dengan sekali jurus empat murid Kay pang roboh di tanah. Waktu Coan kang Cie hoat dan Ciang bun memburu keluar mereka sudah kabur jauh dan hanya terdengar suara tertawa mereka yang membangunkan bulu roma.
Ciang pang Liong tauw berjingkrak bahna gusarnya. "Uber!" teriaknya.
"Jangan!" cegah Tan Yoe Liang. "Liong tauw Toako, musuh mungkin menyembunyikan pasukan yang kuat di sepanjang jalan."
Si pengemis mendusin. "Benar," katanya. "Mengapa aku begitu tolol" Musuh pasti datang kemari dalam jumlah yang besar. Dua orang saja sudah sukar dilawan." Ia merasa berterima kasih terhadap Tan Yoe Liang dan kegusarannya terhadap Song Ceng Su pun agak mereda.
Sementara itu Cie hoat Tiangloo menghitung kerusakan pada pihaknya. Sebelas orang mati dalam tangan Hian beng Jieloo, tujuh orang terluka berat dan delapan sembilan orang luka karena tertimpa patung Bie lek hud. Ia segera memerintahkan orang untuk menolong yang luka dan memerintahkan Ciang poen Liong tauw memeriksa di seputar kelenteng dengan membawa sejumlah murid.
Sekarang marilah kita menengok Tio Beng. Sebagaimana diketahui, dengan rasa kuatir Bu Kie memperhatikan segala gerak geriknya. Waktu Seng Ceng Su membalik pedangnya dan memukul kepala si nona dengan gagang senjata itu, hati Bu Kie mencelos. Pukulan itu bisa enteng, bisa berat. Kalau enteng, nona Tio akan pingsan. Jika berat, jiwanya melayang. Pada detik yang sangat berbahaya, tanpa memikir panjang panjang lagi ia melompat turun dan mendorong tongkat Ciang pang Liong tauw supaya menangkis gagang pedang yang menyambar. Dalam dorongan itu, ia menggunakan Kian kun Tay lo ie.
Selama berdiam beberapa bulan di pulau kecil, ia mempelajari dan melatih diri dalam ilmu yang tertera pada Seng hwee leng yang diterjemahkan Siauw Ciauw. Ia mendapat kemajuan pesat dan sekarang kepandaiannya sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh Samsu dari Persia. Maka itu dorongannya tadi bahkan tak diketahui oleh tokoh tokoh yang berilmu tinggi seperti Ciang peng Liong tauw dan Tan Yoe Liang. Ciang pang Liong tauw menduga bahwa Song Ceng Su sengaja memukul tongkatnya, sedang Song Ceng Su menduga, bahwa si pengemis yang sengaja menangkis senjatanya.
Pada saat kagetnya kedua musuh, Bu Kie menjambret seorang pengemis tujuh karung dan melemparkan keluar tembok sehingga dengan demikian, karena melihat berkelebatnya bayangan manusia, Ciang pang Liong tauw dan Tan Yoe Liang menduga bahwa Tio Beng sudah melarikan diri dengan melompati tembok. Sementara itu, sambil mendukung si nona bagaikan kilat Bu Kie melompat ke atas dan hinggap di atap toa tian.
Pada waktu itu ilmu mengentengkan badan Bu Kie sudah mencapai puncak tertinggi. Ia melompat seperti terbangnya seekor burung. Ada beberapa hal yang menguntungkan Bu Kie sehingga lompatannya
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
tak dilihat orang. Pertama waktu itu sudah lewat lohor dan segala apa yang berada di bawah matahari tak terlihat bayangannya lagi. Kedua para pengemis sedang memburu keluar, sehingga biarpun ada beberapa orang yang merasa ada sesuatu yang lewat di dalam, mereka tidak menghiraukan. Ketiga, di sekitar toa tian masih penuh debu yang melayang di udara sebagai akibat dari robohnya patung Bie lek hud.
Keempat keadaan sedang kalut dan kelima tokoh tokoh yang berkepandaian tinggi sudah memburu keluar untung mengepung Hian beng Jie loo dan membekuk Tio Beng. Inilah beberapa yang membikin Bu Kie bisa menolong Tio Beng tanpa diketahui oleh siapapun juga.
Selagi badannya melayang di tengah udara dengan didukung lengan yang kuat, Tio Beng membuka matanya. Ia terkesiap karena penolong tadi yang alisnya tebal dan mukanya tampan, bukan lain daripada Bu Kie. Ia hampir tak percaya matanya sendiri. "Kau!" serunya dengan suara parau.
Buru buru Bu Kie mendekap muka si nona. Ia mengawasi ke bawah. Di kiri kanan di depan di belakang kelenteng penuh dengan murid2 Kay pang. Walaupun begitu, kalau mau, ia masih bisa meloloskan diri. Tapi, sesudah mengetahui adanya perundingan Kay pang untuk menjatuhkan Beng kauw dan masuknya Song Ceng Su ke dalam partai pengemis, ia bertekad untuk menyelidiki hal itu sampai seterang terangnya! Ia tak boleh pergi dengan begitu saja. Di samping itu dalam pertengkaran antara Ciong pang Liong tauw dan Song Ceng Su, kedua mata si pengemis mengeluarkan sinar yang ganas dan terdapat kemungkinan bahwa pengemis itu tak merasa segan untuk turunkan tangan jahat. Lain pertimbangan yang menahan perginya Bu Kie adalah Han Lim Jie yang masih tertawan. Pembantu yang setia itu harus ditolong. Memikir begitu ia mengambil keputusan untuk masuk pula dan bersembunyi di ruangan toa tian.
Ia merangkak ke pinggir genteng menggaet payon dengan kedua kakinya dan kemudian dengan sekali melompat ia sudah berada di belakang sebuah patung Buddha some parts missing here
Loe Hwee Liong, Coan kang, Cie hoat Thiang Boo dan yang lain lain sudah memburu keluar sedang ruangan toa tian hanya terdapat beberapa pengemis yang terluka karena tertimpa patung Bie lek boat. Han Lim Jie sendiri tidak kelihatan mata hidungnya.
Ia mengawasi ke seputarnya, tapi untuk beberapa saat, ia masih belum mendapatkan tempat yang cocok untuk menyembunyikan diri. Tiba tiba Tio Beng menyentuh tangannya dan menuding sebuah tambur besar. Tambur itu ditaruh di atas tempat menaruh tambur yang tingginya setombak lebih dan berhadap hadapan dengan sebuah lonceng besar.


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bu Kie lantas saja mendusin. Dengan mepet mepet di pinggir tembok, ia pergi ke belakang tambur.
Sambil meloncat ke atas, jari tangannya menggores kulit. "Pret!" kulit kerbau yang tebal robek seperti gores pisau. Dengan berdiri di lapangan kayu, ia menggores lagi dengan jerijinya dan membuat robekan garis silang. Sesudah itu, sambil menduking Tio Beng ia masuk ke dalamnya.
Tambur itu tambur tua. Di antara debu dan bau apak, Bu Kie mengendus wewangian yang keluar dari badan si nona. Tambur itu cukup besar, tapi kedua orang yang bersembunyi di dalamnya bergerakpun tak bisa lagi. Dengan hati berdebar debar, si nona bersandar di dada Bu Kie. Perasaan pemuda itu sendiri sukar dilukiskan. Rasa benci sakit hati, gusar duka dan rasa cinta tercampur menjadi satu. Ia mau mencaci, tapi dengan di kelilingi musuh ia tidak bisa membuka suara. Tiba tiba ia mendusin, bahwa kepala si nona bersandar pada dadanya. Ia kaget dan mendorong keras keras. Tio Beng gusar dan menyikut dadanya. Dengan ilmu memindahkan tenaga memukul tenaga, Bu Kie menghantam balik, sehingga si nona kesakitan, hampir hampir ia berteriak kalau mulutnya tidak keburu didekap Bu Kie.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara Cie hoat Tiangloo, "Melaporkan kepada Pangcu ia mengatakan bahwa musuh telah meloloskan diri. Karena ketololanku, aku tak bisa menyerahkan musuh kepada Pangcu, untuk kedosaaan itu, aku mohon Pangcu suka memaafkan."
"Sudahlah!" kata Su Hwee Liong. Musuh berkepandaian sangat tinggi. Hal itu disaksikan oleh semua orang. Cie hoat Tiangloo tak usah berlaku terlalu sungkan."
"Terima kasih Pangcu," kata Cie hoat.
Sesudah itu Ciang pang Liong tauw segera mengadu bahwa Song Ceng Su sudah sengaja melepaskan Tio Beng dan pemuda itu lalu membela diri serta balas menuduh. Mereka lantas saja bertengkar dan suasana menjadi tegang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Sin Heng tee, bagaimana pendapatmu?" tanya Su Hwee Liong.
"Melaporkan kepada Pangcu, bahwa Ciang pang Liong tauw adalah tetua partai kita dan ia tentu tidak berdusta," jawabnya. "Tapi Song heng tee pun masuk ke dalam partai kita dengan setulus hati, lebih lagi wanita siluman itu musuhnya. Menurutku perempuan she Tio itu memiliki kepandaian luar biasa dan dengan ilmu meminjam tenaga memukul tenaga, ia mendorong tongkat Liong tauw untuk menangkis gagang pedang Song heng tee. Dalam kekalutan, kedua belah pihak jadi salah mengerti."
Di dalam hati Bu Kie memuji Tan Yoe Liang. Dia sungguh pintar. Tanpa menyaksikan kejadiannya, dia sudah bisa menebak tanpa meleset jauh.
"Benar," kata Su Hwee Liong. "Saudara saudara, kalian berdua bertujuan sama yaitu mengabdi kepada partai kita. Maka itu, kalian hendaknya jangan jadi bermusuhan karena hal yang remeh ini."
Ciang pang Liong tauw manggut manggutkan kepalanya dan berkata dengan suara mendongkol,
"Biarpun dia?" "Song heng tee," memutus Tan Yoe Liang. "Liong tauw Toako seorang yang berkedudukan tinggi.
Biarpun ia menialahkan kau, kau harus menerimanya dengan segala senang hati. Hayo, lekas minta maaf."
Dengan apa boleh buat Song Ceng Su maju setindak dan menjura. "Liong tauw Toako," katanya,
"Siauwtee bersalah dan mohon Toako suka memaafkan."
Meskipun masih bergusar, si pengemis tak bisa lagi mengumbar napasnya. Ia mengeluarkan suara di hidung dan berkata, "Ya, sudahlah!"
Biarpun menggunakan kata kata yang kedengarannya seperti menegur Song Ceng Su, pada hakekatnya Tan Yoe Liang mempersalahkan si pengemis tua. Ia mengatakan bahwa Tio Beng mendorong tongkat Liong tauw Toako untuk menangkis gagang pedang Song hengtee dan bahwa Liong tauw Toako seorang yang berkedudukan tinggi. "Biarpun ia menialahkan kau, kau harus menerimanya dengan segala senang hati". Perkataan2 itu sebenarnya menyindir Ciang pang Liong tauw dan sindiran itu dimengerti oleh para Tiangloo. Tapi sebab Tan Yoe Liang sangat disayangi oleh Pangcu, maka tak seorangpun berani membuka suara.
"Tan Hengtee," kata Su Hwee Liong. "Puterinya Jie lam ong, Mo kauw adalah musuh kerajaan Goan.
Tapi mengapa Kun cu Nio nio itu berbalik membela si iblis kecil Thio Bu Kie?"
Tan Yoe Liang berpikir, tapi sebelum ia menjawab, Ciang pang Liong tauw sudah mendahului.
"Kulihat Kun cu Nio nio itu sangat bergusar mendengar Tan Hengtee mencaci Kiauwcu dari Mo kauw, dia seperti juga mendengar cacian terhadap ayah atau saudara kandungnya sendiri. Hal ini sungguh sungguh membikin orang tidak mengerti."
"Ku tahu sebabnya," kata Song Ceng Su. "Biarpun Mo kauw musuh kerajaan, Beng kuncu mencintai Thio Bu Kie. Bahwa dia selalu melindungi bocah itu bukanlah hal yang heran."
Para pengemis terkejut banyak. Bu Kie sendiri merasa sangat jengah dan jantungnya memukul lebih keras. Tio Beng memutar kepalanya dan mengawasi pemuda itu. Di dalam tambur sangat gelap, tapi dengan kedua matanya yang luar biasa, Bu Kie bisa melihat sinar mata si nona yang mengeluarkan sorot mencintai. Tanpa merasa ia memeluk lebih keras. Mendadak, di depan matanya terbayang In Lee yang binasa secara mengenaskan. Mendadak pula, rasa cintanya yang baru muncul berubah menjadi rasa benci dan ia memijit lengan Tio Beng dengan penuh kegusaran. Meskipun pijitan itu tidak disertai tenaga dalam yang kuat, si nona merasakan kesakitan luar biasa. Dengan menggigit gigi ia menahan sakit dan air matanya mengalir turun di kedua pipinya. Bu Kie mengeraskan hati dan tidak memperdulikannya.
Sementara itu, Tan Yoe Liang sudah bertanya, "Bagaimana kau tahu" Apa benar ada hal yang sedemikian aneh?"
"Memang benar," jawab Song Ceng Su dengan nada membenci. "Bocah Thio Bu Kie bukan pemuda tampan, mukanya biasa saja, tapi ia mempunyai ilmu siluman sehingga banyak sekali wanita lupa daratan."
Cie hoat Tiangloo manggut manggutkan kepalanya. "Tak salah. Di dalam Mo kauw memang terdapat serupa ilmu untuk memelet wanita. Bukankah Kie Siauw Hu dari Go bie pay sudah celaka karena dipelet
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
siluman Yo Siauw" Thio Cui San, ayah Thio Bu Kie, menurut pendapatku, dengan ilmu iblis, siluman kecil itu sudah merusak kehormatan Beng2 Kuncu, sehingga ibarat beras sudah menjadi nasi dan Beng beng Kuncu tidak bisa menolong dirinya lagi."
Semua pengemis lantas saja berteriak teriak mencari Bu Kie yang dinamakan sebagai manusia keji dan kotor.
"Semua orang gagah harus berusaha untuk menyingkirkan manusia itu dari dunia," kata Coan kang Tiangloo dengan suara menyeramkan. "Kalau dia dibiarkan hidup terus, entah berapa banyak wanita suci akan celaka dalam tangan penjahat cabul itu."
Bu Kie merasa dadanya menyesak. Untuk menahan amarahnya, badannya bergemetar. Sampai pada detik itu ia masih jadi jejaka yang suci tapi sering sungguh ia dimaki sebagai penjahat cabul. Ia benar benar penasaran, tapi tak dapat ia mencaci segala tuduhan itu. Ia terutama bergusar sebab dikatakan sudah mencemarkan kesuciannya Tio Beng. Tiba tiba ia terkesiap, "Celaka!" ia mengeluh di dalam hati. "Kalau orang tahu aku bersembunyi disini berdua dua, biarpun bersumpah berat, orang takkan percaya kebersihanku."
"Sesudah jatuh ke dalam tangan penjahat cabul itu, Ciu Cie Jiak Kouwnio mungkin tak dapat mempertahankan lagi kesuciannya," kata pula Cong kang Tiangloo.
"Song heng tee, kau tak usah jengkel. Kami pasti akan merebut pulang isterimu yang tercinta.
Peristiwa Kie Siauw Hu pasti tidak akan terulang."
"Benar," menyambut Cie hoat Tiangloo, "Perkataan Toako benar sekali. Dahulu Bu tong pay tidak bisa membantu In Lie Heng dan sekarang partai itu juga tidak bisa membantu Song Ceng Su. Sekarang Song heng tee sudah masuk ke dalam Kay pang. Apabila kita tidak bisa membela sakit hatinya dan tidak bisa mewujudkan angan angannya, perlu apa dia menjadi murid enam karung dari partai kita, sedang di dalam Bu tong pay ia seorang calon Ciang bun jin?"
Sekali lagi para pengemis berteriak teriak, mencaci Bu Kie habis habisan.
Tio Beng menempelkan bibirnya di kuping Bu Kie dan berbisik. "Ah!" kau penjahat cabul!" bisiknya bernada gusar, duka dan cinta, sehingga jantung Bu Kie kembali berdebar2.
"Kalau dia tidak begitu kejam, aku sungguh beruntung jika bisa menikah dengannya," katanya di dalam hati.
Sementara itu dengan suara perlahan Song Ceng Su menghaturkan terima kasih kepada pengemis yang mau membela dirinya.
Cie hoat Tiangloo adalah seorang yang sangat berhati hati dan ia bertanya pula, "Song heng tee, apakah kau tahu cara bagaimana Beng beng Kuncu dipincuk si penjahat cabul?"
"Latar belakangnya kutak tahu," jawabnya. "Aku hanya tahu, Beng beng kuncu pernah menyateroni Bu tong san dengan pemimpin sejumlah jago jago untuk menangkap Thay suhu. Tapi begitu bertemu dengan si penjahat, ia segera mengundurkan diri, sehingga bencana itu dapat dielakkan. Selama dua puluh tahun lebih Sam susiok Jie Thay Giam bercacat. Beng beng kuncu lalu menghadiahkan serupa obat kepada si penjahat sehingga Sam susiok menjadi sembuh."
Itulah kata Cie hoat Bu tong pay adalah paku di mata kerajaan Goan. Kalau Beng beng kuncu tidak terpincuk ia tentu tak akan menyerahkan obat kepada si penjahat. Dilihat begini biarpun wataknya jahat, penjahat itu telah membuang budi kepada Thay suhumu dan para pamanmu."
"Ah!" tiba tiba Tan Yoe Liang berseru. "Melaporkan kepada Pangcu, bahwa sesudah mendengar pembicaraan tadi, aku sekarang mempunyai serupa tipu yang bisa menaklukan penjahat cabul itu. Dengan tipu ini, seluruh Mo kauw dari atas sampai bawah akan menuruti perintah partai kita!"
Su hwee Liong kegirangan. "Tan Heng tee, lekas beritahukan tipumu itu!" katanya.
"Disini terlalu banyak orang," kata Tan Yoe Liang. "Biarpun kita berada di antara saudara saudara sendiri, aku masih berkuatir, kalau kalau rahasia besar ini menjadi bocor."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Keadaan di toa tian berubah sunyi. Beberapa saat kemudian terdengar tindakan kaki belasan orang yang keluar dari ruangan itu sehingga yang ketinggalan hanialah beberapa tokoh terpenting dari Kay pang.
"Rahasia ini harus dijaga baik baik jangan sampai bocor," kata Tan Yoe Liang. Song Heng tee kedua Liong tauw Toako, mari kita periksa di atas, di depan dan di belakang kelenteng untuk memastikan bahwa tak ada orang luar yang mencuri dengar pembicaraan kita."
Ciang pang dan Ciang poen Liong tauw segera melompat ke atas genteng, sedang Tan Yoe Liang dan Song Ceng Su memeriksa seluruh toa tian, di depan dan di belakang kelenteng. Diam diam Bu Kie memuji Tio Beng, sebab kecuali tambur itu, segala pelosok diperiksa dengan teliti.
Beberapa lama kemudian mereka berempat kembali ke toa tian. "Dalam tipu ini, kita harus mengandalkan bantuan Song Heng tee," bisik Tan Yoe Liang.
"Aku?" menegas Song Ceng Su dengan suara heran.
"Benar," jawabnya. "Ciang poen Liong tauw Toako, kuharap kau suka membagi racun Ngo tok Swee sim san (bubuk racun yang dapat menghilangkan kesadaran manusia) kepada Song Heng tee, Song Heng tee, dengan membawa racun itu kau harus pulang ke Bu tong san dan diam2 menaruhnya di makanan Thio Cinjin dan para pendekar Bu tong. Kami akan menunggu di kaki gunung. Sesudah berhasil, kita menangkap Thio Cinjin dan semua pendekar Bu tong. Kemudian kita menggunakan penangkapan tersebut untuk menekan Thio Bu Kie, memaksa ia untuk menurut segala kemauan kita."
"Bagus! Tipu itu benar benar bagus!" puji Su Hwee Liong.
"Tipu ini memang sangat bagus," menyambut Cie hoat. "Kita sukar untuk bisa meracuni Thio Bu Kie.
Tapi Song Heng tee pasti berhasil. Sebagai anggota penting dari Bu tong pay, kau bisa turun tangan dengan mudah sekali."
Song Ceng Su jadi bingung. Dengan paras muka pucat ia berkata, "Tapi.. tapi" aku pasti tak akan bisa meracuni ayah sendiri?"
"Song heng tee tidak usah kuatir," bujuk Tan Yoe Liang. "Ngo tok Swee sim san adalah racun luar biasa dari partai kita. Racun itu hanya dapat menghilangkan kesadaran manusia untuk sementara waktu dan sama sekali tidak membahayakan jiwa. Kami semua sangat mengindahkan Song Tay hiap. Kami pasti tidak akan mengganggu selembar rambut ayahmu."
Tapi Song Ceng Su tetap menolak. "Jika diketahui, masuknya aku ke dalam partai kita ini pasti akan ditegur oleh Thaysuhu dan ayah," katanya. "Meracuni ayah sendiri adalah perbuatan yang aku tak akan berani lakukan."
"Saudara," kata Tan Yoe Liang. "Jalan pikiranmu tak benar. Dalam sejarah terdapat contoh contoh, bahwa ada orang orang yang rela menghukum keluarga sendiri demi kepentingan orang banyak atau negara. Apapula tujuan kita yang sekarang adalah menumpas Mo kauw. Kita menawan para pendekar Bu tong hanya untuk menaklukkan si penjahat cabul."
"Kalau aku melakukan perbuatan itu, aku pasti akan dicaci oleh berlaksa orang dalam dunia Kang ouw dan aku tak ada muka lagi untuk hidup di antara langit dan bumi," kata Song Ceng Su.
"Song Heng tee, kau tak usah begitu berkuatir," kata Tan Yoe Liang. "Mengapa tadi aku minta supaya semua tiangloo delapan karung meninggalkan ruangan ini" Mengapa kita memeriksa di seluruh kelenteng" Aku begitu berhati hati sebab takut rahasia bocor. Song heng tee, sesudah menaruh racun, kau sendiri harus berlagak pingsan dan kaupun akan ditangkap. Kau akan dikumpulkan bersama sama Thay suhumu, ayahmu dan paman pamanmu. Kecuali kita bertujuh orang, di dalam dunia tak ada orang lain yang mengetahuinya. Kami semua kagum dan berterima kasih terhadap kau yang sudah menunaikan tugas yang sangat berat. Siapa lagi yang akan mentertawakan kau?"
Ceng Su mengerutkan alisnya. Sesudah berpikir beberapa lama, ia berkata dengan suara perlahan.
"Perintah Pangcu dan Tan Toako sebenar benarnya tidak boleh ditolak olehku. Apa pula sebagai anggota baru dari partai kita, siauwtee seharusnya menggunakan kesempatan ini untuk membuat pahala. Maupun harus masuk kedalam lautan api, siauw tee mesti melakukannya. Akan tetapi" akan tetapi" seorang manusia yang hidup di dunia ini berpokok kepada "hauw gie" (berbakti dan mempunyai rasa
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
persahabatan). Maka itu, biar bagaimanapun jua siauw tee tidak bisa turun tangan terhadap ayah kandung sendiri."
Semenjak dahulu Kay pang sangat mengutamakan "kebaktian". Mendengar perkataan Song Ceng Su, para tetua tidak berani mendesak lagi. Mendadak Tan Yoe Liang tertawa dingin.
"Yang muda tidak boleh menyerang yang tua adalah salah satu larangan dalam Rimba Persilatan,"
katanya. "Hal itu sudah diketahui olehku dan Song Heng tee tak usah mengajari aku. Aku hanya ingin mengajukan pertanyaan. Pernah apakah Song Heng tee dengan Boh sengkok Cit hiap" Siapakah yang lebih tinggi tingkatannya" Boh Cit hiap atau kau sendiri?"
Song Ceng Su tidak menjawab. Ia menundukkan kepala dan sesudah berselang beberapa lama, barulah ia berkata, "Baiklah! Siauw tee akan menurut perintah! Tapi kalian harus berjanji untuk tidak mengganggu selembar rambut ayahku, untuk tidak menghina ayah dengan cara apapun jua. Apabila kalian berjanji begitu, Siauwtee lebih suka celaka daripada melakukan perbuatan yang tidak mengenal kebaktian ini."
Su Hwee Liong dan yang lain lain jadi sangat girang. Mereka segera mengiakan tuntutan Song Ceng Su.
Bu Kie merasa sangat heran. "Song Toa ko tadinya menolak keras, tapi mengapa begitu lekas Tan Yoe Liang menyebutkan Boh Cit siok ia lantas menyerah?" tanyanya di dalam hati. "Di dalam hal ini tentu menyelip latar belakang yang luar biasa. Aku harus menanyakan Boh Cit siok sendiri."
Sementara itu Cie hoat Tiang loo dan Tan Yoe Liang lalu berunding dengan bisik bisik. Mereka membicarakan tindakan tindakan menangkap tokoh tokoh Bu tong pay, sesudah mereka kena racun.
Saban saban Tan Yoe Liang menyatakan pikiran Su Hwee Liong selalu berkata, "Bagus! Bagus!"
"Sekarang musim dingin dan Ngo tok masih bersembunyi di bawah tanah," kata Ciang poen Liong tauw. "Siauwtee harus pergi ke kaki gunung Tian pek san untuk menggalinya. Di dalam dua puluh hari atau paling lama sebulan, siauwtee akan bisa membuat Ngo tok Swee sim san" (Ngo tok lima macam binatang beracun).
"Kalau begitu Tan heng tee dan Song heng tee sebaiknya mengawani Ciang poen Liong tauw ke Tiang Pek san sedang kami sendiri turun ke selatan lebih dahulu," kata Cie hoat Tiang loo. "Sebulan kemudian kita berkumpul di Lao ho. Hari ini Cap Jie Gwee cee peh (bulan 12 tanggal 8). Lain tahun Cia gwee Cee peh (bulan 1 tanggal 8) kita bertemu pula." Sesudah berdiam sejenak ia berkata pula, "Han Lim Jie yang sudah menjadi tawanan kita banyak gunanya. Kuminta Ciang pang Liong tauw menjaga baik baik, supaya jangan sampai direbut oleh orang2 Mo kauw. Dalam perjalanan ini kita harus sangat berhati hati supaya tindakan kita tidak diendus musuh."
Sesudah itu semua orang lantas saja meminta diri dari Pangcu. Ciang poen Liong tauw, Tan Yoe Liang dan Song Ceng Su berangkat paling dahulu dan kemudian dengan beruntun semua pengemis meninggalkan kelenteng Bie lek hud.
Setelah semua orang berlalu, barulah Bu Kie dan Tio Beng melompat keluar dari dalam tambur.
Sambil membereskan pakaiannya, dengan sorot mata girang tercampur gusar, nona Tio mengawasi Bu Kie.
"Hm.. " Bu Kie mengeluarkan suara di hidung. "Kau masih ada muka untuk bertemu dengan aku!?"
Paras muka si nona lantas saja berubah. "Mengapa?" ia menegas. "Kedosaan apa yang kuperbuat terhadap Toakoauw cu?"
"Manusia kejam!" bentak Bu Kie dengan muka pucat. "Aku tak mempersalahkan kau, bila kau hanya mencuri Ie thian kiam dan To Liong to. Aku tak mempersalahkan kau jika kau hanya meninggalkan aku di pulau terpencil itu! Tapi, kau tahu, bahwa In kouwnio sudah terluka berat. Mengapa kau begitu kejam, begitu tega turunkan tangan jahat kepadanya" Perempuan kejam! Dalam dunia yang lebar ini, kekejamanmu sukar dicari keduanya!" Selagi mencaci, darahnya meluap. Ia maju setindak dan kedua tangannya menggaplok. Tio Beng coba berkelit, tapi mana bisa ia menyingkir dari serangan Bu Kie yang telah kalap" Plak!" plak".plak" plak!" kedua pipinya merah bengkak kena empat gamparan.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Rasa sakit malu dan gusar bercampur aduk dalam dada si nona. Akhirnya ia menangis. "Kau kata, aku curi Ie thian Kiam dan To liong to" siapa yang lihat?" tanyanya. "Kau kata.. aku kejam terhadap In Kouwnio" panggil dia kemari untuk diadu denganku?"
Bu Kie jadi makin gusar. "Baiklah!" teriaknya. "Aku akan kirim kau ke akherat untuk diadu dengannya!" Tangannya menyambar dan mencekik leher si nona. Tio Beng memberontak dan memukul dada Bu Kie, tapi pemuda itu yang tubuhnya dilindungi Kioe yang Sin kang tidak menghiraukan semua pukulan. Selang beberapa saat kemudian, dengan muka merah si nona pingsan.
Dalam sakit hatinya, Bu Kie sebenarnya sudah ingin meembinasakan nona Tio. Tapi melihat si nona dalam keadaan pingsan, tiba tiba hatinya lemas dan ia melepaskan cekikannya, sehingga si nona lantas saja roboh dengan kepala terpukul batu lantai.
Sesudah bersilang beberapa lama, perlahan lahan Tio Beng tersadar. Ia membuka kedua matanya dan melihat paras muka Bu Kie yang mengunjuk rasa kuatir. Sesudah si nona tersadar, Bu Kie menahan nafas lega.
"Apa benar In Kouwnio sudah meninggal dunia?" tanya Tio Beng.
Darah pemuda itu bergolak lagi. "Digores pedang tujuh belas delapan belas goresan bagaimana dia bisa hidup?" jawabnya dengan suara gemetar.
"Siapa" siapa yang kata aku berbuat begitu?" tanya Tio Beng. "Apa Ciu Kouwnio?"
"Ciu kouwnio tidak pernah memfitnah orang. Dia sama sekali tidak menuduh kau."
"Apa In Kouwnio sendiri yang kata begitu?"
"In Kouwnio tidak bisa bicara. Binatang di pulau itu hanya terdapat lima orang. Apa ini perbuatan Giehu" Apa aku" Apa In Kouwnio yang membacok dirinya sendiri" Hmm..! Kutahu jalan pikiranmu.
Kau turunkan tangan jahat sebab kau takut aku menikah dengan piauw moay. Sekarang aku bicara terus terang. Tak peduli dia mati atau hidup, aku tetap menganggapnya sebagai isteriku."
Tio Beng menundukkan kepalanya. Lama ia berdiri terpaku. Akhirnya ia bertanya. "Bagaimana kau bisa kembali ke Tionggoan?"
Bu Kie tertawa dingin. "Kami bisa kembali berkat kemuliaan hatimu," katanya dengan nada mengejek.
"Kau mengirim angkatan laut untuk mencari kami. Untung juga Gie hu tidak setolol aku. Karena kecerdasan Gie hu, kami tak masuk ke dalam perangkapmu. Kami tahu, bahwa kau telah mempersiapkan kapal2 meriam untuk menenggelamkan kapal yang ditumpangi kami. Tapi lihatlah! Tipu busukmu tak berhasil."
Sambil mengusap usap pipinya yang bengkak, si nona menatap wajah Bu Kie. Mendadak kedua matanya mengeluarkan sinar kasihan dan mencinta. Ia menghela nafas panjang.
Buru-buru Bu Kie memalingkan kepala ke lain jurusan, sebab ia kuatir terjatuh di bawah pengaruh kecantikan. Ia menjejak bumi dan berkata, "Aku pernah bersumpah untuk membalas sakit hati piauwmoay. Aku mengakui kelemahanku dan hari inin aku tidak bisa turun tangan. Kau terlalu jahat! Di lain hari kau pasti akan jatuh ke dalam tanganku!" Sehabis berkata begitu, ia berjalan keluar dengan tindakan lebar.
Tapi baru saja ia berjalan belasan tombak, Tio Beng sudah memburu. "Thio Bu Kie! Mau kemana kau?" teriak si nona.
"Kau tak perlu tahu!"
"Aku mau bicara dengan Cia tayhiap dan Ciu Kouwnio. Antarkan aku kepada mereka!"
"Giehu tak akan berlaku sungkan terhadapmu," kata Bu Kie. "Menemui Giehu berarti mengantarkan jiwa."
"Giehumu kejam, tapi ia tidak setolol kau. Di samping itu, apabila Giehumu membunuh aku, bukankah dengan demikian sakit hati piauw moaymu jadi terbalas impas?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Tolol apa aku" Aku hanya tak ingin kau menemui Giehu."
"Thio Bu Kie, kau memang tolol. Kau tak rela mengorbankan aku. Kau tak ingin ayah angkatmu membunuh aku. Bukankah begitu?"
Muka Bu Kie berubah merah. "Jangan rewel!" bentaknya. "Sebaiknya kau menyingkir jauh jauh dari kami. Jika tidak, aku mungkin tak dapat menguasai diriku lagi dan akan mengambil jiwamu."
Setindak demi setindak Tio Beng mendekati. "Aku mesti ajukan beberapa pertanyaan kepada Cia Tayhiap dan Ciu Kouwnio," katanya dengan suara sungguh sungguh. "Aku tak berani bicara jelek di belakang orang. Aku akan menanyakan seterang terangnya secara berhadap hadapan."
"Pertanyaan apa yang kau akan ajukan?"
"Kau akan segera tahu. Aku sendiri berani menempuh bahaya, mengapa kau berbalik ketakutan?"
Bu Kie kelihatannya sangat bersangsi. Lewat beberapa saat, barulah dia berkata, "Kau harus ingat, bahwa kaulah yang memaksa. Jika Gie hu turunkan tangan jahat, tak dapat aku menolong kau."
"Kau tak usah terlalu kuatir," kata si nona.
Tiba tiba Bu Kie naik darahnya. "Berkuatir?" ia mengulang. "Huh.. huh!.. Menurut pantas aku harus segera mengambil jiwamu."
"Hayolah!" si nona menantang sambil tertawa.
Bu Kie mengeluarkan suara di hidung. Tanpa meladeni lagi, ia segera menuju ke kota dengan tindakan lebar, diikuti oleh Tio Beng dari belakang. Waktu hampir tiba di kota, Bu Kie menghentikan tindakannya dan menengok ke belakang. "Tio Kouwnio," katanya, "aku pernah berjanji untuk melakukan tiga pekerjaan untukmu. Yang pertama mencari To liong to. Janji ini sudah dipenuhkan olehku. Masih ada dua. Jika kau menemui Giehu, jiwamu pasti melayang. Kau pergilah! Aku ingin memenuhi janjiku itu dan sesudah terpenuhi, barulah kau pergi menemui Gie hu."
Si nona tertawa geli. "Thio Bu Kie," katanya dengan suara bahagia. "Kau hanya mencari cari alasan supaya Giehumu jangan sampai membinasakan aku. Kutahu, kau tak tega mengorbankan aku."
"Kalau aku tak tega, mau apa kau?" kata Bu Kie dengan suara aseran.
"Aku merasa sangat girang," jawabnya.
Bu Kie menghela napas. "Tio Kouwnio," katanya. "Aku memohon" aku memohon.. kau jangan pergi?"
Si nona menggelengkan kepalanya. "Tidak, biar bagaimanapun jua, aku mesti menemui Cia Tayhiap,"
katanya dengan suara tetap.
Bu Kie mengerti, bahwa tak guna ia membujuk lagi. Dengan tindakan berat, ia segera menuju rumah penginapan. Setiba di depan kamar Cia Sun, ia mengetuk pintu. "Giehu!" panggilnya. Sesudah memanggil beberapa kali, ia belum juga mendapat jawaban. Ia menolak pintu kamar, tapi pintu itu dikunci dari dalam.
Ia merasa sangat heran karena ia tahu sang ayah angkat sangat sigap dan andaikata tertidur, tindakan kakinya di luar kamar pasti sudah menyadarkannya. Ia pun bercuriga dan berkuatir. Kalau orang tua itu keluar, mengapa pintu terkunci dari dalam" Ia segera mengerahkan tenaga dan mendorong pintu. "Brak!"
palang pintu patah dan pintu terbuka dan" Cia Sun tak berada dalam kamarnya!
Bu Kie menyapu seluruh kamar dengan matanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa jendela terbuka separuh. "Gie hu tentu keluar dari jendela," pikirnya.
Ia pergi ke depan kamar nona Ciu. "Cie Jiak! Cie Jiak!" panggilnya. Si nona tak memberi jawaban. Ia segera membuka pintu dengan paksa dan sekali lagi ia mendapat kenyataan, bahwa Cie Jiak juga tak berada dalam kamar tapi buntelan pakaiannya masih terletak di atas pembaringan. "Apa mereka disatroni musuh?" tanyanya dalam hati. Ia segera menanya seorang pelayan tapi pelayan itu tak lihat Cia Sun dan Cie Jiak dan juga tak mendengar suara keributan. Bu Kie jadi agak lega. "Mungkin sekali mereka
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mendengar suara mencurigai dan mereka lalu mengejar. Ayah angkat berkepandaian sangat tinggi dan dengan dikawani oleh Cie Jiak yang sangat berhati hati mungkin takkan terjadi sesuatu yang tak enak."
Waktu memeriksa jendela dan keadaan di bawah jendela ia tak lihat petunjuk yang mencurigakan.
Dengan hati yang lebih tenang ia lalu kembali ke kamarnya.
"Melihat Cia tayhiap tak berada di dalam kamar, mengapa kau berbalik merasa senang?" tanya Tio Beng sambil tersenyum.
"Omong kosong! Lagi kapan aku merasa senang?"
"Kau rasa aku tak bisa membaca paras mukamu" Waktu menolak pintu, kau memang kaget. Tapi sesudah itu, ketegangan otot2 mukamu lantas menghilang."
Bu Kie tak meladeni dan lalu duduk di pembaringan batu. Seraya bersenyum simpul, Tio Beng duduk di kursi. Ia melirik Bu Kie dan berkata dengan suara perlahan. "Kutahu" kutahu, bahwa di dalam hati, kau kuatir Cia tayhiap membunuh aku sehingga menghilangnya orang tua itu berbalik menyenangkan hatimu. Kutahu" kau tak tega mengorbankan aku."
"Kalau aku tak tega, mau apa kau?" bentak Bu Kie dengan mendongkol.
Si nona tertawa, "Aku merasa sangat girang," jawabnya.
"Tapi mengapa berulang kali kau coba mencelakai aku?" tanya Bu Kie. "Apa di dalam hati kau membenci aku, kau rela mengorbankan aku?"
Paras Tio Beng lantas saja bersemu dadu. "Benar," katanya, "memang benar dulu aku berusaha untuk mengambil jiwamu. Tapi sesudah pertemuan di Lek Lioe chung, apabila dalam hati aku mempunyai niatan sedikit saja untuk mencelakai kau, biarlah aku dikutuk Tuhan Yang Maha Esa, biarlah aku binasa secara mengenaskan, biarlah aku tak bisa menitis lagi dalam dunia yang fana ini."
Mendengar sumpah yang sangat berat itu, Bu Kie terkejut. "Tapi mengapa hanya karena sebatang golok dan sebatang pedang, kau sudah begitu tega terhadapku dan meninggalkan aku di pulau kecil itu?"
tanyanya pula. "Kalau kau tetap berpendapat begitu, aku pun tak akan bisa membantah," kata si nona. "Tunggu saja sampai Cia tayhiap dan Ciu kouwnio datang."
"Dengan lidahmu, kau hanya bisa menipu aku seorang. Kau pasti tak akan dapat mengelabui Giehu dan Ciu kouwnio."
"Mengapa kau rela ditipu aku" Karena kau mencintai aku, bukan?"
"Kalau ya, mau apa kau?" bentak Bu Kie.
"Aku sangat girang," jawabnya sambil tertawa manis.
Melihat tertawa yang menggoncangkan hati, buru buru Bu Kie memalingkan kepala ke lain jurusan.
"Hampir setengah hari aku bersembunyi di pohon itu," kata Tio Beng. "Sekarang kulapar." Tanpa menunggu jawaban, ia memanggil pelayan, menyerahkan sepotong emas dan memerintahkan supaya disediakan semeja makanan kelas satu.
Melihat uang yang berjumlah besar itu, si pelayan berlaku hormat luar biasa dan tak lama kemudian makanan dan minuman mulai diantar masuk.
"Sebaiknya tunggu sampai Giehu datang dan kita boleh makan bersama sama," kata Bu Kie.
"Begitu Cia tayhiap datang, jiwaku akan melayang," kata si nona. "Paling benar makan dulu. Lebih baik jadi setan perut kenyang daripada setan kelaparan." Biarpun ia berkata begitu, sikapnya dan suaranya sangat tenang, sedikitpun tidak mengunjuk rasa kuatir. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula, "Aku masih mempunyai emas. Sebentar kita boleh pesan makanan lagi."
"Tapi aku tak berani makan bersama sama kau," kata Bu Kie dengan suara dingin. "Kutakkan menaruh tahu Sip hiang joan kin san."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Paras muka Tio Beng lantas saja berubah. Ia sangat mendongkol. "Terserah," katanya. Sehabis ia berkata begitu, ia segera makan seorang diri. Sebab ia sendiri memang sudah lapar, Bu Kie lalu meminta beberapa potong kue phia dan memakannya dengan duduk di pembaringan batu.
Sesudah makan beberapa suap, si nona mendadak merasa sedih dan air matanya turun di kedua pipinya. Tiba tiba ia melemparkan sumpit dan lalu mendekam di meja sambil menangis segak seguk.
Lama juga ia menangis. Sesudah kedukaannya disalurkan, ia mengawasi keluar jendela. "Satu jam lagi siang akan berganti dengan malam," katanya seorang diri. "Kemana Han Lim Jie akan dibawa" Kalau jejaknya tak dapat dicari, dia sukar ditolong lagi."
Bu Kie terkejut. Ia melompat bangun dan berkata, "Benar. Aku harus menolong Han heng tee terlebih dahulu."
"Cis! Tak tahu malu!" bentak Tio Beng. "Aku bukan bicara dengan kau."
Melihat lagak si nona Bu Kie merasa geli tercampur dongkol. Cepat cepat ia menghabiskan kuenya dan lalu berjalan keluar dengan tindakan lebar.
"Aku ikut!" teriak Tio Beng.
"Tak boleh!" "Mengapa?" "Kau membunuh piauw moayku. Mana bisa aku berjalan sama sama musuh?"
"Baik. Nah, kau pergilah!"
Bu Kie segera bertindak keluar, tapi baru beberapa langkah, ia merandek. "Perlu apa kau berdiam di sini?" tanyanya.
"Tunggu Giehumu. Aku akan memberitahu bahwa kau pergi untuk menolong Han Lim Jie."
"Gie hu sangat membenci kejahatan. Ia tak akan mengampuni kau."
Tio Beng menghela napas. "Jika aku mesti mati, aku takkan mempersalahkan siapapun jua," katanya.
"Aku mati sebab nasibku buruk."
Bu Kie mengawasi si nona. "Sebaiknya kau menyingkir untuk sementara waktu," katanya dengan suara membujuk. "Sesudah aku kembali, kita bisa berdamai lagi."
"Tak ada tempat untuk aku menyingkirkan diri."
"Sudahlah! Kau ikut aku menolong Han Lim Jie."
Tio Beng tertawa. "Ingatlah, kaulah yang mengajak aku," katanya. "Bukan aku yang memohon mohon."
"Hm" kau merupakan binatang iblis bagi diriku. Rupa rupanya memang sudah nasibku semenjak bertemu dengan kau, aku selalu menderita."
Tio Beng tertawa geli. "Tunggu sebentar," katanya sambil menepal pintu.
Beberapa lama kemudian, setelah pintu terbuka lagi, si nona ternyata sudah menukar pakaian, pakaian wanita yang sangat indah. Bu Kie tak pernah menduga, bahwa di dalam buntelan yang selalu dibawa bawa terisi seperangkat pakaian yang mahal harganya. "Perempuan ini banyak akalnya dan sepak terjangnya selain diluar dugaan orang," katanya di dalam hati.
"Mengapa kau terus mengawasi aku?" tanya Tio Beng. "Apa pakaianku bagus?"
"Muka seperti bunga tho dan lie, hati bagaikan ular dan kalajengking," jawabnya.
Tio Beng tertawa terbahak bahak. "Terima kasih banyak kepada Thio Toakauwcu yang sudah menghadiahkan kata kata seindah itu," katanya. "Thio kauwcu, kaupun harus menukar pakaian."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Sedari kecil aku sudah biasa memakai pakaian compang camping," kata Bu Kie dengan hati mendulu.
"Apabila kau merasa malu melihat pakaianku, kau boleh tak usah mengikutku."
"Kau jangan menduga yang tidak tidak," kata Tio Beng sambil tersenyum. "Aku hanya ingin melihat romanmu sesudah kau mengenakan pakaian yang baik. Bu Kie koko, kau tunggulah di sini sebentar.
Kawanan pengemis itu pasti mengambil jalanan ke Kwan Lwee. Kita tentu dapat mengejar mereka."
Sehabis berkata begitu tanpa menunggu jawaban, ia segera berlalu.
Bu Kie duduk bengong di pembaringan batu. Dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri, ia heran mengapa ia seperti tauwhu yang bisa dipermainkan oleh perempuan itu. "Terang terang dialah yang membinasakan piauw moay tapi aku masih bisa beromong omong dan tertawa tawa dengan dia,"
pikirnya. "Bu Kie" ah Bu Kie" Lelaki apa kau" Apa kau ada muka untuk menjadi kauwcu dari Beng kauw, untuk memimpin segenap orang gagah di kolong langit?"
Lama juga ia menunggu, tapi Tio Beng belum juga balik. Cuaca sudah mulai gelap.
"Perlu apa kutunggu dia?" pikirnya. Ia mau lantas berangkat, tapi ia segera membayangkan kemungkinan bertemunya Tio Beng dengan ayah angkatnya. Kalau mereka bertemu muka, nona Tio pasti akan binasa. Mengingat begitu dia mengurungkan niatnya dan menunggu terus. Ia mendongkol bukan main, duduk salah berdiripun salah. Akhirnya terdengar tindakan kaki dan si nona masuk dengan tangan menyangga dua bungkusan.
"Mengapa begitu lama?" tanya Bu Kie. "Sudahlah! Aku tak usah menukar pakaian. Mari kita berangkat."
Si nona tertawa. "Sesudah kau menunggu begitu lama, beberapa detik lagi untuk menyalin pakaian tak jadi soal," katanya. "Aku sudah membeli dua ekor kuda dan kita bisa mengubar di waktu malam." Ia mengeluarkan kedua bungkusan itu dan mengeluarkan seperangkat pakaian, sepatu dan kaos kaki. "Di tempat kecil tak ada barang baik," katanya pula. "Setibanya di kota raja, aku akan beli baju kulit rase."
Bu Kie kaget dan lalu berkata dengan suara sungguh sungguh, "Tio Kouwnio, apabila kau menganggap bahwa aku kemaruk akan segala kemewahan dan bersedia untuk menekuk lutut kepada kerajaan, hilangkanlah anggapan itu. Thio Bu Kie adalah anak cucu bangsa Han. Andaikata diangkat menjadi raja muda, iapun tak akan menakluk kepada bangsa Mongol."
Tio Beng menghela napas. "Thio Kauwcu, kau lihatlah!" katanya. "Lihatlah, apa ini pakaian seorang Mongol atau pakaian orang Han?" Seraya berkata begitu, ia lalu membuka baju dan celana yang baru dibelinya. Bu Kie manggut2kan kepalanya, sebab pakaian itu adalah pakaian Han. Sesudah itu, sambil memutar tubuh, si nona berkata pula, "Nah kau lihatlah lagi! Apa pakaian ini pakaian puteri Mongol atau pakaian seorang puteri Han?"
Hati Bu Kie berdebar2. Tadi ia tak berkata. Sekarang ia mendapat kenyataan, bahwa nona Tio memang mengenakan pakaian wanita Han. Ia menatap wajah si nona yang balas mengawasinya dengan sorot mata penuh kecintaan. Mendadak ia tersadar, ia sadar akan maksud puteri Mongol itu. "Kau" kau?" katanya dengan suara parau.
"Sebab kutahu kau mencintai aku, aku sekarang tidak memperdulikan apapun jua. Aku bersedia untuk membuat pengorbanan yang paling besar," katanya dengan suara perlahan. "Bagiku, orang Mongol atau orang Han tak jadi soal lagi. Kalau kau orang Han, aku orang Han. Kalau kau orang Mongol, akupun orang Mongol. Apa yang dipikiri olehmu adalah soal negara, soal ketentraman, soal kekuasaan, pengaruh dan nama. Tapi Bu Kie koko, bagiku yang paling penting adalah kau seorang " pribadimu sendiri. Entah kau manusia baik, entah kau pengemis" bagiku" sama saja!"
Mendengar kata2 itu, bukan main rasa terharunya Bu Kie. Untuk beberapa saat ia berdiri terpaku tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Akhirnya ia berkata, "Apakah kau mencelakai piauwmoay lantaran iri"
Lantaran kuatir aku akan menikah dengan dia?"
"Thio Toakauwcu!" bentak Tio Beng dengan suara keras. "Bukan aku yang mencelakai In Kouwnio.
Kau percaya, baik " tidak ya sudah! Hanya ini keteranganku!"
Bu Kie menghela napas. "Tio Kouwnio," katanya, "manusia bukan kayu atau batu. Kutahu kecintaanmu terhadapku. Tapi apakah sampai hari ini dan di tempat ini, kau masih juga ingin mendustai aku?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Dahulu, kuanggap diriku pintar. Tapi sekarang kutahu, bahwa di dalam dunia ada hal hal yang berada di luar taksiran manusia," kata si nona secara menyimpang. "Bu Kie koko, biarlah kita jangan berangkat hari ini. Kau tunggu Cia tayhiap di kamar ini dan aku sendiri akan menunggu Ciu Kouwnio di kamarnya."
"Mengapa begitu?" tanya Bu Kie heran.
"Kau tak usah tanya," jawabnya. "Kau tidak usah kuatir akan keselamatan Han Lim Jie. Aku tanggung dia akan dapat ditolong." Seraya berkata begitu, ia berjalan keluar dan pergi ke kamar Cie Jiak.
Bu Kie bingung. Ia tak dapat meraba maksud nona itu. Sambil bersandar di pembaringan batu, ia mengasah otak. Mendadak di dalam otaknya berkelebat serupa ingatan. "Apa tak bisa jadi, ia telah mengatur siasat untuk mencelakai Cie Jiak karena ia tahu aku sudah bertunangan dengan nona Ciu?"
pikirnya di dalam hati. "Apa tak bisa jadi, ia menyuruh Hian beng Jie loo datang disini untuk membokong Gie hu dan Cie Jiak?" Mengingat Hian beng Jie loo, rasa kuatirnya menghebat. Kedua kakek itu berkepandaian sangat tinggi. Biarpun matanya bisa melihat, ayah angkatnya belum tentu dapat menandingi salah seorang dari mereka. Ia melompat bangun dan berlari lari ke kamar Tio Beng. "Tio Kouwnio, kemana perginya Hian beng Jie loo?" tanyanya.
"Mungkin mereka menyusul ke selatan, sebab rupa rupanya mereka anggap aku masuk ke daerah Kwan lwee sesudah aku meloloskan diri," jawabnya.
"Apa benar?" "Kalau tak percaya, perlu apa kau tanya?"
Bu Kie tertegun. Ia berdiri di depan kamar tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun jua.
"Kalau aku mengatakan, bahwa aku sudah menyuruh Hian beng Jie loo datang kesini untuk membinasakan Cia tayhiap dan Ciu Kouwniomu yang tercinta, apa kau percaya?" tanya si nona.
Perkataan itu kena jitu di hati Bu Kie. Sekali menendang, pintu terpental. Dengan paras muka merah padam, ia berkata. "Kau". Kau".."
Melihat paras yang menakuti, si nona baru ketakutan. Ia merasa menyesal, bahwa ia sudah mengeluarkan kata-kata itu. "Jangan marah!" katanya terburu-buru. "Aku hanya guyon-guyon."
Dengan sorot mata bagaikan pisau, Bu Kie menatap wajah si nona. "Tio Kouw Nio, bicaralah terang-terangan".. " katanya dengan suara menyeramkan. "Kau tidak takut datang di sini" kau tidak takut bertemu dan dipadu dengan Gie Hu. Apakah itu berarti, bahwa kau sudah tahu mereka berdua sudah mati, sudah tak ada lagi di dalam dunia ini?" seraya berkata begitu, ia maju beberapa tindak, sehingga dengan sekali menghantam, ia akan bisa mengambil jiwa nona Tio.
Tio Beng balas mengawasi mata pemuda itu. "Thio Bu Kie," katanya dengan suara sungguh-sungguh.
"Aku bicara terus terang kepadamu. Dalam hal-hal di dunia ini, kecuali kau lihat dengan mata sendiri, kau tidak boleh lantas percaya. Lebih-lebih kau tidak boleh memikirkan yang bukan-bukan dan menarik kesimpulan sendiri. Jika kau mau membunuh aku, sekarangpun kau boleh turun tangan. Tapi kalau sebentar Gie Hu-mu datang, bagaimana perasaanmu?"
Kegusaran Bu Kie lantas saja mereda, bahkan ia merasa malu sendiri. "Apabila Gie Hu tidak kurang suatu apa, aku tentu saja merasa sangat girang." Katanya dengan suara perlahan. "Kau tidak boleh guyon-guyon dalam soal keselamatan ayah angkatku."
Tio Beng mengangguk. "memang, memang tak pantas aku mengeluarkan kata-kata itu." Katanya.
"Kuharap kau suka memaafkan."
Mendengar permintaan maaf itu, hati Bu Kie lantas saja lemas. Ia tersenyum dan berkata, "Untuk kekasaranku, akupun memohon maaf." Sehabis berkata begitu, ia segera balik ke kamar Cia Sun.
Semalam suntuk mereka menunggu, tapi kedua orang yang ditunggu tak juga kembali. Sesudah sarapan pagi ia segera berdamai dengan Tio Beng. "Heran sekali," kata si nona sambil mengerutkan alis.
"Kecuali Kay Pang, di tempat ini tak terdapat lain orang Kang Ouw. Sebaiknya kita mengejar rombongan Su Hwee Liong dan coba menyelidiki."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie menyetujui usul itu. Sesudah membayar uang sewa kamar, ia memesan pengurus rumah penginapan supaya Cia Sun dan Cie Jiak jika mereka kembali menunggu saja di penginapan itu. Tak lama kemudian, seorang pelayan menuntun dua ekor kuda yang garang dan tinggi besar badannya. Bu Kie merasa kagum dan memberi pujian kepada kuda Kwan Gwa yang tersohor itu. Mereka lantas saja melompat ke punggung tunggangan itu yang segera dikabur ke jurusan selatan. Mereka merupakan pasangan setimpal yang lelaki tampan yang perempuan cantik, dan kedua-duanya mengenakan pakaian indah. Yang tak tahu pasti akan menduga bahwa mereka adalah suami isteri bangsawan yang sedang pesiar di daerah itu.
Hari itu mereka melalui dua ratus li lebih, malamnya mereka menginap di sebuah penginapan pada keesokan pagi. Mereka meneruskan perjalanan kira-kira tengah hari, angin dingin mulai meniup dengan santernya sehingga awan hitam beterbangan di angkasa. Sesudah mulai lagi, dua puluh li lebih salju mulai turun. Selama dalam perjalanan Bu Kie jarang berbicara dengan Tio Beng. Kini, meskipun turunnya salju jadi makin besar, ia terus membedal kuda tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Di waktu magrib, tebalnya salju sudah hampir sekali. Biarpun gagah, kedua tunggangan itu lelah, apapula mereka harus berjalan di jalanan gunung yang licin dan tebal saljunya. Bu Kie menahan les dan mengawasi seputarnya. Mereka berada di gunung yang tak ada manusianya. "Tio Kouw Nio, bagaimana baiknya?" Bu Kie bertanya, "kalau kita meneruskan perjalanan, kedua binatang ini mungkin roboh."
Si nona tertawa dingin. "Kau hanya memikiri kuda, tidak memperdulikan manusia." Jawabnya.
Ditegur begitu, Bu Kie merasa menyesal tercampur malu. "Aku sendiri mempunyai Kioe Yang Sin Kang, sehingga tidak mengenal letih," pikirnya. "Benar-benar aku tak ingat dia."
Sesudah berjalan lagi beberapa jauh, dari pinggir jalan tiba-tiba melompat keluar seekor kijang yang terus kabur ke atas. "Tio Kouw Nio, kau tunggu di sini." Kata Bu Kie.
"Aku mau tangkap kijang itu untuk menangsal perut." Ia melompat turun dan terus mengejar dengan mengikuti tapak-tapak di salju. Sesudah membelok di sebuah tanjakan lapat-lapat ia lihat binatang itu lari ke arah sebuah gua. Dengan sekali mengempos semangat, tubuh Bu Kie melesat bagaikan anak panah dan sebelum kijang itu masuk ke gua, ia sudah berhasil mencekal lehernya. Binatang itu coba memberontak, tapi tulang lehernya lantas patah dipijut Bu Kie.
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 1 Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Kemelut Di Cakrabuana 8
^