Pencarian

Kisah Membunuh Naga 35

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 35


Dengan menenteng bangkai kijang, Bu Kie kembali kepada Tio Beng. "Di sana ada sebuah gua yang cukup besar untuk dua orang." Katanya. "Apa kau setuju jika kita menginap di situ?"
Nona Tio mengangguk. Tiba-tiba mukanya bersemu dadu dan ia memalingkan kepala ke lain jurusan.
Sesudah menambat kedua kuda di bawah pohon siong, Bu Kie lalu mencari cabang-cabang kayu kering dan membuat perapian di depan gua. Gua itu yang di dalamnya gelap, ternyata sangat bersih, bebas dari kotoran binatang. Bu Kie menguliti bangkai kijang, mencuci dagingnya dengan salju dan kemudian membakarnya di atas perapian. Tio Beng membuka baju luarnya yang terbuat daripada kulit binatang, menggelarnya di lantai gua dan kemudian mendudukinya sambil menikmati hawa hangat dari perapian. Tiba-tiba Bu Kie menengok dan mereka berdua saling tersenyum. Senyuman yang menghilangkan semua rasa letih dan lelah.
"Sesudah daging masak, mereka lalu makan dengan bernapsu. Selang beberapa lama, sambil bersender di dinding gua. Bu Kie berkata, "Kau tidurlah!" si nona tertawa manis, ia bersandar di dinding seberang dan lalu memejamkan kedua matanya. Dengan hidung yang saban-saban mengendus wewangian yang keluar dari badan puteri Mongol itu, Bu Kie melirik dengan rasa kagum, karena di bawah sinar api, Tio Beng lebih cantik lagi, seolah-olah sekuntum bunga Hay Thong yang baru mekar. Seraya menghela napas, iapun memejamkan mata.
Kira-kira tengah malam sayup-sayup tersadar dan segera memasang kuping. Ia tahu, bahwa yang sedang mendatangi berjumlah empat ekor kuda. "Di tengah malam buta dan di waktu turun salju mereka berjalan juga," katanya di dalam hati. Mereka pasti sedang menghadapi urusan pentin.
"Makin lama suara itu makin dekat. Untuk sejenak mereka berhenti dan kemudian berjalan lagi. Tak bisa salah lagi kuda-kuda itu menghampiri gua, Bu Kie kaget. "Gua ini terletak di tempat yang sembunyi," pikirnya. "Kalau bukan dituntun kijang, aku tak akan bisa mencarinya. Mengapa dan cara bagaimana orang-orang itu bisa datang kemari?" tiba-tiba ia mendusin dan berkata pula di dalam hati.
"Benar! Mereka tentu lihat tapak kaki kami."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ketika itu Tio Beng pun sudah tersadar. "Mereka mungkin musuh," katanya. "Biarpun kita tak takut, sebaiknya kita menyingkir."
"Mereka datang dari selatan," kata Bu Kie.
"Heran sekali," kata si nona sambil meraup salju yang lalu digunakan untuk menutup api.
Sementara itu suara kaki kuda sudah berhenti dan sebagai gantinya terdengar tindakan empat orang.
Dalam sekejab mereka mendekati gua. "gerakan mereka sangat cepat," bisik Bu Kie. "Mereka berkepandaian sangat tinggi," ia bingung sebab orang-orang itu sudah hampir tiba di depan gua. Tiba-tiba Tio Beng mencekal tangannya dan menariknya masuk ke dalam. Makin ke dalam gua itu jadi makin sempit dan baru saja masuk setombak lebih, mereka bertemu dengan sebuah tikungan.
Sekonyong-konyong terdengar suara seorang.
"Ah! Di sini ada gua."
Bu Kie kaget tercampur girang sebab ia segera mengenali, bahwa orang yang berbicara adalah paman gurunya yang keempat. Thio Siong Kee.
"Tanda-tanda yang tinggalkan Cit Tee menuju ke tempat ini," kata seorang lain. "Mungkin sekali Cit Tee pernah masuk ke gua ini," itulah suara Bu Tong Liok Hiap, In Lie Heng.
Baru saja Bu Kie mau memanggil, mulutnya sudah ditekap Tio Beng. "Kita berada berduaan dan kalau dilihat mereka, kita akan merasa tidak enak," bisik si nona.
Bu Kie menyetujui peringatan itu. Meskipun ia putih bersih, tapi jika ia dan Tio Beng ditemukan berduaan dalam sebuah gua, para paman itu tentu sukar percaya kebersihannya. Apapula, sebagai kuncu dari kerajaan goan, nona Tio pernah memperanjakan para pendekar Bu Tong di Ban Hoat Sie, sehingga kalau mereka bertemu muka, pertemuan itu merupakan pertemuan antara musuh dan musuh. Ia segera mengambil keputusan, bahwa begitu lekas para pamannya berlalu, akan segera ia berpisahan dengan Tio Beng, supaya ia tak usah mengalami hal-hal yang tidak enak.
"Ih!" Demikian terdengar seruan Jie Lian Ciu. "Di sini ada cabang-cabang siong yang terbakar".
Hmmm.. kulit" darah dan sisa daging kijang."
"Hatiku sangat tak enak." Kata orang keempat. "Kuharap saja Cit Tee tak kurang suatu apa." Orang itu bukan lain daripada Song Wan Kiauw.
Jantung Bu Kie memukul keras. Empat paman gurunya turun gunung bersama-sama untuk mencari Boh Seng Kok. Dari pembicaraan mereka, dapat ditarik kesimpulan, bahwa paman guru yang paling kecil itu telah bertemu dengan musuh yang kuat. Ia turut merasa kuatir.
"Toa Suko tak usah begitu kuatir," kata Thio Siong Kee sambil tertawa. "Karena sangat mencintai Cit Tee, Toa Suko masih menganggap dia sebagai anak kecil Boh Seng Kok dahulu. Andaikata ia bertemu dengan musuh tangguh, kurasa Cit Tee masih bisa menghadapinya."
Aku bukan kuatir Cit Tee," kata In Lie Heng. "Yang kupikiri si bocah Bu Kie yang sekarang tak ketahuan ke mana perginya. Dia sekarang menjadi kc dari Beng Kauw. Pohon yang tinggi mengandung angin. Dalam kedudukannya itu tentu ada banyak musuh yang ingin mencelakainya. Walaupun ilmu silatnya tinggi, pikirnya terlalu sederhana dan ia tak tahu hebatnya gelombang Kang Ouw. Kuatir ia kena ditipu orang jahat."
Bu Kie merasa sangat terharu. Budi kebaikan para pamannya besar bagaikan gunung dan ia tak tahu bagaimana harus membalasnya. Mendadak Tio Beng berbisik, "aku orang jahat dan sekarang kau sudah ditipu orang jahat. Apa kau tahu?"
"Dalam usaha mencari Bu Kie dengan mengambil jalan utara, Cit Tee nampaknya telah mendapat endusan," kata Song Wan Kiauw. "tapi apa artinya itu delapan perkataan yang ditinggalkannya di rumah penginapan Wie Kek di Tian Cin?"
"Ya".. " kata Thio Siong Kee. "Cit Tee mengatakan, dalam rumah tangga ada perubahan, kita harus membersihkannya. Siapa yang dimaksudkan dengan kata-kata itu" Apakah dalam Bu Tong Pay terdapat
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
manusia keji" Apa Bu Kie". " ia tak meneruskan perkataannya. Tapi nada suaranya mengunjuk rasa kuatir.
"Kurasa anak Bu Kie tak nanti melakukan sesuatu yang merusak nama rumah perguruan kita." Kata In Lie Heng.
"Tapi si perempuan siluman Tio Beng terlampau lihai," kata pula Thio Siong Kee. "Kau jangan lupa, anak Bu Kie masih muda, seorang muda gampang sekali dipengaruhi dengan kecantikan. Apakah"
apakah" ia bertindak seperti ayahnya yang akhirnya binasa secara mengenaskan".... " Keadaan berubah sunyi. Yang terdengar hanialah hela napas.
Beberapa saat kemudian terdengar suara beradunya batu api yang membakar cabang-cabang pohon.
Salah seorang pendekar Bu Tong membuat obor yang sinarnya lantas saja menerangi bagian dalam gua.
Biarpun berada di tikungan, sayup-sayup Bu Kie bisa melihat paras muka Tio Beng yang mengunjuk rasa duka tercampur gusar. Ia tahu, bahwa perkataan Thio Siong Kee telah membangkitkan rasa jengkelnya si nona. Ia sendri merasa bingung dan berkata di dalam hati. "Perkataan Thio Sie Siok memang beralasan.
Ibu belum pernah melakukan sesuatu yang tidak pantas. Tapi toh, dia menyeret ayah sampai binasa, Tio Kouw Nio telah membunuh pmy, menghina Thay Suhu dan para paman, ia tak bisa dibandingkan dengan ibu." Memikir begitu, ia makin bingung. Kalau mereka menemukan aku bersama Tio Kouw Nio di gua ini, biarpun aku mencuci dengan semua air sungai Hoang Ho, tak dapat aku membersihkan diri."
Tiba-tiba terdengar suara Song Wan Kiauw yang bergemetar. "Sie-tee, di dalam hatiku terdapat sebuah pertanyaan yang tak bisa keluar dari mulutku. Kalau aku mengatakan terang-terangan aku merasa tak adil terhadap ngo-tee yang sudah meninggal dunia."
"apakah Toako kuatir Bu Kie turunkan tangan jahat terhadap Cit Tee?" tanya Thio Siong Kee dengan suara perlaha.
Song Wan Kiauw tak menyahut. Meskipun tak melihat, Bu Kie merasa bahwa paman itu telah manggutkan kepala.
"Anak Bu Kie berwatak mulia dan jujur." Kata Thio Siong Kee. "Menurut pantas, ia takkan melakukan perbuatan keji itu, tapi Cit Tee sangat berangasan dan ceroboh. Kalau ia mendesak Bu Kie sampai di jalan buntu ditambah dengan siasat si perempuan siluman Tio Beng memang". Memang"
Hai!... Hati manusia tak dapat dijajaki. Semenjak dulu orang gagah sukar melawan paras cantik. Aku hanya berdoa agar dalam menghadapi detik-detik penting, Bu Kie bisa mempertahankan diri."
"Toako, Sieko! Kalian jangan omong yang tidak-tidak!" kata In Lie Heng. "Belum tentu Cit Tee mengalami kebencanaan."
"Tapi sendiri melihat pedang Cit Tee, aku tak enak tidur," kata Song Wan Kiauw.
"Memang benar," menyambung Jie Lian Ciu. "Orang-orang rimba persilatan sekali-sekali tak boleh lalai terhadap senjatanya. Kita tak boleh menaruh senjata secara sembarangan saja. Apapula pedang itu hadiah Suhu. Kata orang pedang ada, orangnya hidup, pedang hilang, orangnya". " mendadak ia berhenti bicara dan perkataan "mati" yang sudah hampir keluar, ditelan lagi olehnya.
Mendadak kecurigaan keempat paman guru itu terhadap dirinya, Bu Kie jadi makin bingung dan berduka. Sekonyong-konyong dari dalam gua keluar semacam bau wangi yang tercampur dengan bau anaknya binatang, seperti jua gua itu pernah atau memang sedang dialami binatang. Karena kuatir wewangian itu diendusi para pamannya, sembil menahan napas dan mencekal sebelah tangan Tio Beng, Bu Kie masuk lebih jauh ke dalam gua. Supaya tak tersandung batu-batu yang menonjol, sambil berjalan Bu Kie meraba-raba lantai gua dengan tangan kirinya. Sesudah beberapa tindak dan baru saja membelok di sebuah tikungan lain, tangannya mendadak menyentuh sebuah benda lembek seperti tubuh manusia.
Bu Kie terkesiap, "tak perduli orang ini sahabat atau musuh sedikitpun dia tak bersuara para paman tentu akan mendengarnya," katanya dalam hati. Bagaikan kilat ia menotok lima "hiat" di dada orang itu dan kemudian mencekal tangannya dan hatinya mencelos, sebab tangan itu seperti es tangan orang mati!
Dengan bantuan sinar remang-remang yang menembus dari luar ia mengawasi muka orang itu. Tiba-tiba ia menggigil. Lapat-lapat ia seperti melihat muka Boh Seng Kok! Tanpa menghiraukan bahaya lagi, ia mendukung jenazah itu dan maju beberapa tindak ke tempat yang lebih terang. Sekarang ia mendapat kepastian, bahwa jenazah itu adalah jenazah Boh Seng Kok, yang mukanya pucaat dan matanya belum tertutup. Gusar dan duka bergolak-golak di dada pemuda itu, untuk sejenak ia berdiri terpaku.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Beberapa tindakan Bu Kie itu sudah didengar oleh keempat pendekar Bu Tong. "Siapa?" bentak Jie Lian Ciu. Dengan serentak mereka menghunus pedang.
Bu Kie mengeluh, "Jika ditemukan, aku pasti tidak bisa mengelakkan tuduhan membunuh paman,"
pikirnya. Pada detik itu di dalam otaknya berkelebat-kelebat berbagai ingatan. Dadanya menyesak dengan kedukaan yang sangat hebat karena ia ingat budi kecintaan Boh Seng Kok terhadap dirinya.
Dalam menghadapi bahaya, Tio Beng bisa berpikir cepat. Mendadak ia melompat dan menerjang sambil memutar pedang, bagaikan kilat ia mengirim empat serangan dengan pukulan-pukulan Go Bie Kiam Hoat yang terhebat. Baru saja keempat pendekar Bu Tong menangkis, ia sudah menerobos keluar dan sembil mengelakkan tikaman Thio Siong Kee, ia melompat ke punggung kuda dan menendang perut tunggangan itu dengan kakinya sehingga lantas saja kabur sekeras-kerasnya. Tiba-tiba ia merasa punggungnya sakit dan matanya berkunang-kungan. Sambil mendekam dan memeluk leher kuda ia mempertahankan diri dan kabur terus. Ternyata ia sudah kena pukulan Jie Lian Ciu dan meskipun kenanya tidak telak, ia terluka berat.
Sementara itu sambil berteriak-teriak, keempat pendekar Bu Tong sudah mengejar dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. "Makin jauh aku lari, makin gampang dia meloloskan diri,"
kata Tio Beng di dalam hati. "Untung juga semua orang mengejar aku."
Ketika si nona menerjang ke luar, Bu Kie mencelos hatinya. Dilain saat barulah ia mengerti, bahwa Tio Beng telah menggunakan tipuan muslihat untuk memancing harimau meninggalkan gunung untuk menolong dirinya. Buru-buru dengan mendukung jenazah Boh Seng Kok, ia lari keluar dan terus kabur ke jurusan barat sebab para pamannya mengejar ke arah timur. Sesudah melalui kurang lebih dua li, ia berhenti dan menaruh jenazah itu di belakang sebuah batu besar. Sesudah itu, ia kembali ke jalanan tadi dan memanjat sebuah pohon. Lama ia bersembunyi di situ sambil mengucurkan air mata. "Ah! Sungguh malang nasib Bu Tong Pay!" pikirnya. "siapakah yang telah membinasakan Cit Susiok?"
Berselang kira-kira setengah jam, ia mendengar suara kaki kuda yang mendatangi utara dari tenggara.
Tak lama kemudian, ia melihat dua ekor kuda dengan empat penunggangnya: Song Wan Kiauw dan Jie Lian Ciu menunggang yang satu, In Lie Heng dan Thio Siong Kee menunggang yang lain.
"Sesudah kena pukulanku, perempuan siluman itu jatuh ke jurang," demikian terdengar suara Jie Lian Ciu. "Kurasa dia tak akan bisa hidup lagi."
"Hari ini barulah kita bisa mencaci hinaan di Ban Hoat Sie," kata Thio Siong Kee. "Tapi perlu apa di bersembunyi di gua itu" Aku benar-benar merasa heran."
"Tapi Sieko, apakah kau tidak bisa menebak-nebak?" tanya In Lie Heng.
"Tak bisa," jawabnya. "Bagi kita, binasanya perempuan siluman itu tidak begitu penting. Kita baru bisa bergirang kalau kita bisa menemukan Cit Tee." Makin lama mereka makin jauh dan akhirnya Bu Kie tidak bisa mendengar lagi pembicaraan mereka.
Sesudah menunggu beberapa lama lagi, Bu Kie turun dari pohon. Dengan mengikuti tapak-tapak kaki di atas salju, ia lantas berlari-lari ke arah timur. Ia sangat berkuatir akan keselamatan Tio Beng dan berkata dalam hatinya. "Biarpun jahat, kali ini dia menolong jiwaku. Kalau karena aku dia mengantarkan jiwa, aku sungguh". " memikir begitu, ia lari makin keras dan sesudah melalui kira-kira lima li, ia bertemu dengan sebuah tebing. Tapak-tapak di sekitarnya kelihatan kalang kabut, sedangkan di sisi tebing terdapat tanda-tanda dari gugurnya tanah dan batu. Bu Kie mengerti, bahwa karena terdesak, Tio Beng sudah terjun ke bawah bersama-sama kudanya.
"Tio Kouw Nio! Tio Kouw Nio!" teriaknya. Ia tak dapat jawaban. Ia melongok ke jurang. Ditengah malam ia tak bisa lihat dasar jurang itu yang dindingnya sangat terjal dan tidak punya tempat untuk menaruh kaki.
Tapi Bu Kie sudah nekat. Seraya menarik napas dalam-dalam ia turunkan kedua kakinya dan lalu merosot ke bawah sambil bersandar di dinding jurang. Perbuatan itu tentu sangat berbahaya, tapi ia tak memikir panjang-panjang lagi. Seraya merosot, ia mengerahkan lweekang dan berusaha keras untuk menancapkan sepuluh tangannya di es yang keras. Ia berhasil dan sesudah berhenti sejenak ia merosot lagi. Kejadian ini terulang lima enam kali. Akhirnya ia tiba di dasar jurang. Mendadak ia melompat karena kakinya menyentuh sesuatu yang lembek. Dengan meraba-raba ia mendapat tahu bahwa kakinya
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
telah menginjak paha kuda dan Tio Beng sendiri masih mendekam di punggung kuda dan memeluk leher binatang itu. Cepat-cepat ia menyelidiki pernapasan si nona. Ia merasa agak lega sebab walaupun pingsan, gadis itu masih bernapas. Untung sungguh si nona terus memeluk leher kuda, sehingga di waktu jatuh, yang terpukul hebat adalah binatang yang mati seketika itu juga. Bu Kie lalu memegang nadi Tio Beng. Ia girang sebab ia mendapat kenyataan, bahwa meskipun terluka berat jiwa si nona tidak akan terancam. Ia segera mendukungnya, menempelkan kedua telapak tangannya dengan telapak tangan Tio Beng dan kemudian mengerahkan tenaga dalam untuk mengobati luka itu.
Bu Kie bukan saja memilik lweekang yang sangat kuat. Tapi juga mahir dalam ilmu ketabiban. Maka itu sesudah dibantu kira-kira setengah jam dengan lweekang Bu Tong Pay yang murni, perlahan-lahan Tio Beng tersadar. Sesudah itu, Bu Kie lalu memasukkan Kioe Yang Cin Khie ke dalam tubuh si nona.
Setengah jam kemudian fajar menyingsing. Tiba-tiba, "Uah!" Tio Beng muntah dara, ia tersadar seluruhnya. "Apa mereka sudah pergi" Apa mereka bertemu dengan kau?" bisiknya.
Mendengar pertanyaan yang penuh kasih sayang itu, bukan main rasa terharunya Bu Kie. "Mereka tidak menemukan aku," jawabnya. "ah! ". Karena kau, kau sangat menderita". " Selagi bicara ia tetap mengirim Cin Khi ke dalam tubuh si nona. Dengan bibir tersungging senyuman Tio Beng memejamkan matanya. Kaki tangannya lemas, tapi dada dan perutnya hangat dan ia merasa nyaman sekali. Sesudah
"hawa tulen" itu berputar beberapa kali di dalam tubuhnya, ia memutar kepalanya dan berkata sambil tersenyum. "Kau mengasolah. Aku sudah banyak mendingan."
Mendadak rasa terima kasih yang sangat besar bergelombang dalam hati Bu Kie. Ia memeluk erat-erat dan menempelkan pipinya pada pipi si nona. "Kau sudah menolong nama baik-ku dan pertolongan itu sepuluh kali lipat lebih berharga daripada pertolongan jiwa," bisiknya.
Tio Beng tertawa geli. "Aku perempuan jahat, bagiku nama baik tak menjadi soal. Yang penting adalah jiwa."
Pada saat itulah, di atas jurang tiba-tiba terdengar bentakan. "Perempuan siluman! Benar saja kau belum mampus! Cara bagaimana kau mencelakai Boh Cit Hiap! Lekas mengaku!"
"Jangan perlihatkan mukamu!" bisik nona Tio.
"Perempuan bangsat! Teriak Thio Siong Kee. "Jika kau tidak menjawab, kami akan menghantam dengan batu besar!"
Tio Beng mengawasi ke atas. Benar saja, Song Wan Kiauw berempat kelihatan berdiri di pinggir tebing dengan masing-masing memegang sebuah batu besar. Jika mereka menimpuk, jiwanya dan jiwa Bu Kie akan segera melayang. "Robek baju kulit ini untuk menutupi mukamu," bisiknya. "Sesudah itu barulah kita kabur."
Bu Kie segera melakukan nasehat si nona. Sesudah memakai topeng, ia menekan topi kulitnya ke bawah sampai lewat dahi.
Mengapa empat pendekar Bu Tong itu balik kembali! Karena mereka mempunyai pengalaman luas.
Sesudah Tio Beng jatuh ke jurang, mereka sengaja menyingkir jauh-jauh. Tapi mereka tahu, bahwa sebagai seorang puteri dari kerajaan Goan, si nona pasti tidak berjalan sendirian. Ia pasti mempunyai orang-orang yang melindunginya secara diam-diam. Demikianlah, sesudah berjalan beberapa li, mereka kembali dan sesudah menambat tunggangan mereka di dahan pohon, mereka membuat obor dan memeriksa gua bekas tempat bersembunyinya Tio Beng. Di dalam gua mereka menemukan bangkai dua ekor rase yang badannya rusak karena gigitan binatang, entah binatang apa. Bau wangi dari rase itu masih belum menghilang. Sesudah menyelidiki, mereka keluar dan terus mengikuti tapak kaki Bu Kie. Akhrinya menemukan jenazah Boh Seng Kok yang kaki tangannya tergigit binatang. Kegusaran dan kedukaan mereka sukar dilukiskan. In Lie Heng menangis tersedu-sedu dan akhirnya roboh pingsan.
"Meskipun berkepandaian tinggi, dengan seorang diri perempuan siluman itu pasti tak akan bisa membinasakan Cit Tee," kata Jie Lian Ciu sambil menyusut air mata. "Lak tee, jangan terlalu berduka.
Kita sekarang harus mencari semua musuh dan membinasakan mereka untuk membalas sakit hatinya Cit Tee."
"Sebaiknya kita bersembunyi di sekitar gua ini dan menunggu sampai fajar," kata Thio Siong Kee.
"Menurut dugaanku, kaki tangan si perempuan siluman pasti akan datang ke sini untuk mencarinya.
Diantara tujuh pendekar Bu Tong, Siong Kee-lah yang paling berakal budi. Mendengar usul itu, Song
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Wan Kiauw bertiga lantas berhenti menangis dan dengan berpencaran lalu menyembunyikan diri di belakang batu-batu dekat mulut gua. Tapi sampai fajar menyingsing, tiada manusia yang datang ke situ.
Dengan mendongkol keempat jago Bu Tong itu lalu pergi ke tebing untuk mengamat-amati. Tiba-tiba mereka terkejut sebab sayup-sayup mereka mendengar suara manusia di bawah jurang. Waktu melongok ke bawah, mereka melihat seorang pria yang mengenakan pakaian indah sedang memangku Tio Beng.
Buru-buru mereka mengambil batu besar dan mengancam. Mereka tidak lantas menimpuk sebab ingin menyelidiki sebab musabab kebinasaan Boh Seng Kok.
Jurang itu menyerupai sebuah sumur yang berdinding batu. Hanya sudut barat terdapat sebuah jalanan keluar yang sangat sempit. "Anjing Goan!" bentak Thio Siong Kee. "Naik dari jalan itu! Kalau berayal, kami akan menghabiskan jiwa kamu dengan batu-batu ini." Karena pakaiannya indah, Thio Siong Kee menganggap Bu Kie sebagai seorang Mongol.
Bu Kie sendiri bingung bukan main. Di dasar tidak terdapat tempat bersembunyi yang bagaimanapun jua. Kalau para pamannya menimpuk, meskipun ia sendiri bisa menyelamatkan diri, Tio Beng pasti akan binasa. Lantaran tidak melihat lain jalan lagi, maka dengan apa boleh buat, sambil mendukung Tio Beng, perlahan-lahan ia memanjat ke atas. Ia sengaja tidak memperlihatkan keindahannya. Saban-saban ia berlagak terpeleset dan napasnya tersengal-sengal seperti orang kecapaian. Sesudah jatuh bangun beberapa kali barulah kakinya menginjak tanah datar.
Menurut perhitungannya, begitu lekas keluar dari mulut jurang, ia ingin segera melarikan diri dengan menggendong Tio Beng. Dengan menggunakan ilmu ringan badannya yang tinggi, ia masih ungkulan meloloskan diri dari kejaran.
Tapi Thio Siong Kee pintar luar biasa. Siang-siang ia sudah melihat bahwa orang Mongol itu berpura-pura dan ia sudah memberi isyarat supaya ketiga saudara seperguruannya berwaspada.
Maka itu, begitu lekas Bu Kie menginjak bumi ia sudah dikurung dengan empat pedang yang ujungnya terpisah kira-kira sekaki dari tubuhnya.
"Bangsat Tat Cu!" caci Song Wan Kiauw dengan suara gemetar. "Apa dengan memakai topeng, kau rasa akan bisa melarikan diri" Siapa yang membunuh Boh Cit Hiap" Lekas mengaku! Kalau kau berdusta, aku akan cincang badanmu!" Song Wan Kiauw sebenarnya berwatak sabar dan welas asih. Hanya karena melihat kebinasaan Boh Seng Kok yang begitu mengenaskan, maka itu, ia mengeluarkan cacian yang menyeramkan. Selama puluhan tahun, baru sekarang ia memperlihatkan kegusaran yang sedemikian hebat.
Tio Beng menghela napas. "Kalupawa Ciangkun," katanya. "Tak ada jalan lain lagi untuk meloloskan diri, sekarang kau boleh mengaku terus terang!" sesudah ia berbisik di kuping Bu Kie, "gunakan ilmu silat Seng Hwee Leng."
Tak usah dikatakan lagi, kalau bisa Bu Kie tentu tak ingin bertempur melawan paman-pamannya. Tapi sekarang sudah terdesak di jalan buntu. Sambil menggigit gigi, ia melemparkan tubuh Tio Beng ke arah In Lie Heng dan seraya berjungkir balik tangannya menyambar lengan Thio Siong Kee. Dengan kaget, In Lie Heng menyambut tubuh nona Tio. Sesudah tertegun sejenak, ia menotok jalan darah si nona dan kemudian melontarkannya di tanah.
Sementara itu, Bu Kie sudah mengeluarkan ilmu silat Seng Hwee Leng yang sangat aneh. Ia meninju Song Wan Kiauw, menendang Jie Lian Ciu, menyeruduk Thio Siong Kee dengan kepalanya, dan merampas pedang In Lie Heng. Keempat pendekar Bu Tong itu adalah ahli-ahli silat kelas satu yang berpengalaman luas. Tapi menghadapi ilmu silat Seng Hwee Leng, mereka repot dan hampir-hampir tak bisa membela diri.
Dalam pertempuran di Leng Coa To. Bu Kie memiliki Kioe Yang Sin Kang dan Kian Kun Tay Lo Ie masih tidak bisa melawan Sam Su dari Persia yang baru mempelajari sebagian ilmu Seng Hwee Leng.
Sekarang Bu Kie sudah menyelami seluruh ilmu yang tertera di enam Seng Hwee Leng dan kepandaiannya sudah banyak lebih tinggi daripada kepandaian Sam Su. Ilmu Seng Hwee Leng pada hakekatnya bukan ilmu terjurus yang sangat aneh dan sukar diraba.
Manakala ilmu tersebut digunakan oleh orang biasa, orang itu bukan tandingan perndekar Bu Tong yang terkenal sebagai ahli lweekang kelas utama. Tapi Bu Kie bukan orang biasa. Ia memiliki Kioe Yang Sin Kang, mahir dalam Kian Kun Tay Lo Ie dan paham dalam segala ilmu dari Bu Tong Pay. Maka itulah setiap serangannya serangan bahaya dan ditujukan kepada bagian-bagian yang kosong dari garis
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
pembelaan keempat pendekar. Sesudah bertanding kurang lebih dua puluh jurus, serangan Bu Kie makin hebat dan makin aneh.
Tiba-tiba Tio Beng yang menggeletak di tanah berteriak, "Kalupuwa CiangKun, sekarang baru mereka tahu kelihaian ilmu silat Mongol! Hajar mereka! Jangan sungkan-sungkan!"
Keempat pendekar Bu Tong mendongkol bukan main. Tapi mereka tak bisa berbuat banyak. Kian lama mereka makin terdesak.
"Bela diri dengan Thay Kek Kun!" seru Thio Siong Kee.
Keempat pendekar Bu Tong lantas saja menambah cara bersilat mereka. Sekarang mereka membela diri secara rapat sekali dengan menggunakan ilmu gubahan Thio Sam Hong yang sangat lihai itu.
Sekonyong-konyong Bu Kie berduduk di tanah, kedua tinjunya meninju-ninju dadanya sendiri!
Selama menjagoi dalam rimba persilatan, para pendekar Bu Tong pernah mengukur tenaga dengan banyak sekali ahli-ahli silat yang tangguh dan pernah melayani entah berapa banyak pukulan yang aneh-aneh. Tapi baru sekarang mereka menyaksikan cara berkelahi yang aneh dari "tat cu". Berduduk di tanah dan memukul dadanya sendiri. Jangankan melihat, mendengar pun mereka belum pernah mendengar pukulan yang luar biasa. Sebelum Bu Kie mengeluarkan silatnya yang luar biasa itu, keempat pendekar Bu Tong sudah memasukkan pedang mereka ke dalam sarung dan membela diri dengan tangan kosong.
Bu Kie berduduk di tanah dan memukul-mukul dada, dalam kage dan heran mereka dengan serentak menghunus pedang dan menikam. Hampir berbareng pedang Song Wan Kiauw, Jie Lian Ciu, dan Thio Siong Kee menyambar ke tubuh Bu Kie. Pedang In Lie Heng telah dirampas dan dilemparkan oleh Bu Kie. Tapi di pinggangnya masih tergantung pedang Boh Seng Kok. Ia segera menghunusnya dan turut menikam
Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak Bu Kie menyapu salju dengan kakinya dan salju itu muncrat berhamburan keempat penjuru.
Itulah salah sebuah pukulan Seng Hwee Leng yang dinamakan Hui See Coan Siang Toei (pasir terbang menggulung rombongan pedagang) Ilmu ini dulu sering digunakan oleh si orang tua dari pegunungan untuk merobohkan rombongan pedagang yang lewat di padang pasir dengan menggunakan unta. "Si orang tua dari pegunungan" adalah perampok besar. Kalau lihat iring-iringan pedagang, ia segera duduk di pasir dan menangis tersedu sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Rombongan pedagang itu tentu saja lantas berhenti dan menanyakan sebab musababnya dari tangisannya itu. Selagi orang tak waspada, si Orang Tua dari Pegunungan tiba-tiba menyapu pasir dengan kakinya, sehingga pasir muncrat berhamburan dan masuk di mata pedagang-pedagang itu. Selagi korban-korbannya tidak bisa membuka mata, dia menyerang sehebat-hebatnya. Dengan sekali pukul, dia bisa membinasakan puluhan orang.
Itulah asal-usul Hui See Coan Siang Toei dan sebagai gantinya pasir, Bu Kie menggunakan salju.
Berbareng muncratnya salju, keempat pendekar Bu Tong kelilipan dan tidak bisa membuka mata. Tapi sebagai jago-jago ulung gerakan mereka cepat luar biasa dan serentak mereka melompat ke belakang.
Tapi kalau mereka cepat, Bu Kie lebih cepat lagi. Bagaikan kilat, memeluk kedua lutut Jie Lian Ciu dan selagi menggulingkan diri, ia sudah menotok tiga hiat besar di tubuh jjh. Hampir berbareng ia berjungkjir dan selagi badannya melayang turun di udara, lutut kanannya menggentus Ngo Cu Hiat dan Sin Kong Hiat di tubuh In Lie Heng yang matanya lantas saja berkunang-kunang dan roboh di tanah. Song Wan Kiauw tidak dapat menggunakan pedangnya lagi tapi tangan kirinya lantas saja menghantam kepala si tat Cu. Tapi sebelum pukulan itu mampir pada sasarannya, mendadak dadanya kesemutan dan jalan darahnya sudah kena disikut Bu Kie.
Tak kepalang kagetnya Thio Siong Kee. Dalam sekejab tiga saudara seperguruannya dibikin tidak berdaya. Ia mengerti, bahwa biar bagaimanapun jua, dengan seorang diri ia bukan tandingan musuh yang tangguh itu. Tapi ia tentu tidak bisa kabur sendirian dengan meninggalkan saudara-saudaranya. Dengan nekat, ia segera mengirim tiga tikaman berantai.
Ketika itu Thio Siong Kee sudah dijalanan buntu dan menghadapi bahaya besar. Tidakannya tetap, sikapnya tenang dan serangannya hebat, sesuai dengan kemestian. Melihat begitu, di dalam hati Bu Kie bersorak, "ilmu silat Bu Tong benar-benar luar biasa. Apabila tidak memiliki silat yang aneh ini, mungkin sekali aku tak bisa melawan para pamanku," tiba-tiba ia memutar kepalanya, membuat lingkaran-lingkaran. Thio Siong Kee tidak memperdulikan, ia sengaja tak mau melihat lingkaran-lingkaran itu.
Mendadak, dengan kecepatan luar biasa, ia menikam dada Bu Kie. Bu Kie menundukkan kepala, seolah-olah mereka mau memapaki tikaman itu dengan batok kepalanya. Sekonyong-konyong, pada waktu ujung
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
pedang hampir menyentuh kulit kepala, ia membuang diri ke tanah dan menubruk ke depan. Hampir berbareng, empat hiat di kempungan dan betis kiri Thio Siong Kee tertotok dan tanpa ampun lagi, ia jatuh terjengkang.
Bu Kie tahu, bahwa empat totokan itu hanya dapat melumpuhkan bagian bawah tubuh pamannya.
Selagi ia mau menotok Tiong Kie Hiat dan Tho To Hiat di bagian punggung, tiba-tiba Thio Siong Kee mengeluarkan teriakan menyayat hati, kedua matanya terbalik, tubuhnya bergemetaran dan sesaat kemudian, napasnya habis.
Hati Bu Kie mencelos, keempat totokannya takkan melukai sang paman. Apa paman itu memang sudah sakit dan penyakitnya kambuh karena ditotok" Keringat dingin membasahi bajunya dan dengan tangan gemetar ia meraba kepala pamannya. Siong Kee menyambar dan topeng Bu Kie terlocot! Mereka saling mengawasi dengan mata membelalak.
Beberapa saat kemudian, Thio Siong Kee berkata dengan suara parau. "Thio Bu Kie" kau!... kasih sayang kami terhadap kau tersia-sia". " Nada suara itu mengunjuk rasa duka dan gusar yang tiada taranya. Sambil menatap wajah Bu Kie, air mata pendekar Bu Tong itu mengalir turun di kedua pipinya.
Tadi, sesudah dirobohkan, ia mengambil keputusan untuk melocotkan topeng musuh, supaya kalau mesti mati, ia mau mati setelah melihat wajah lawannya. Maka itu ia berlagak mati dan akhirnya berhasil menjambret topeng Bu Kie. Di dalam pihak, Bu Kie yang berwatak polos tidak pernah menduga, bahwa ia akan diakali secara begitu.
Pada waktu itu, penderitaan Bu Kie banyak lebih hebat daripada penderitaan jasmaniah yang paling hebat. Bagaikan hilang ingatan, ia hanya berkata dengna suara perlahan: "bukan aku". Sie Supeh.. bukan aku yang membunuh Cit Su Siok" "
Thio Siong Kee tertawa terbahak-bahak.
"Bagus!... bagus". " serunya. "Lekas kau bunuh kami semua! Toako! Lak Tee! Kau sudah lihat, bahwa manusia yang kita namakan Tat Cu bukan lain daripada anak Bu Kie yang kita cintai."
Song Wan Kiauw, Jie Lian Ciu dan In Lie Heng yang badannya tidak bisa bergerak, hanya mengawasi dengan mata melotot dan muka merah padam.
Hebat sungguh kedudukan Bu Kie. Tiba-tiba serupa ingatan pendek berkelebat di otaknya.
Lebih baik mati! Tapi, sebelum menjemput pedang dan mengorok leher, tiba-tiba Tio Beng berkata,
"Thio Bu Kie! Dalam menghadapi penasaran, seorang laki-laki harus bisa mempertahankan diri. Di dalam dunia ini, air surut, batu kelihatan. Kau harus berusahan untuk membinasakan penjahat yang membunuh Boh Cit Hiap untuk membalas sakit hatinya. Hanialah dengan berbuat begitu, baru kau tak percuma menerima kasih sayang para pendekar Bu Tong."
Bu Kie terkejut. Ia menyetujui pendapat Tio Beng. "Tapi apakah yang harus kita perbuat?" tanyanya.
Sambil menanya begitu, ia menghampiri dan mengurut punggung serta pinggang si nona untuk membuka jalan darahnya yang tertotok.
"Kau tak usah terlalu bingung," bujuk Tio Beng dengan suara lemah lembut. "Dalam Beng Kauw terdapat banyak orang pandai, sedang akupun mempunyai banyak pembantu yang berkepandaian tinggi.
Penjahat itu pasti akan bisa dibekuk."
"Thio Bu Kie! Teriak Siong Kee. "kalau di dalam hatimu masih terdapat rasa kasihan, bunuhlah kami dengan segera! Aku tak kuat menyaksikan kau bercinta-cintaan dengan perempuan siluman itu."
Paras muka pemuda itu pucat bagaikan mayat. Ia benar-benar bingung dan tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
"Tindakan kita yang pertama adalah coba menolong Han Lim Jie," kata Tio Beng. "Sesudah itu, kita berusaha untuk mencari ayah angkatmu. Di sepanjang jalan kita boleh menyelidiki penjahat yang membunuh Boh Cit Hiap dan yang membunuh Piauw Moaymu."
"Apa".... Apa?"." tanya Bu Kie dengan suara terputus-putus.
"Apakah Boh Cit Hiap dibunuh olehmu?" Tio Beng balas menanya dengan suara dingin. "Mengapa keempat pamanmu menuduh kau" Apa In Lee dibunuh olehku" Mengapa kamu menuduh aku" Apakah
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
hanya kau seorang yang boleh penasaran terhadap orang lain dan orang lain tak boleh merasa penasaran terhadapmu?" kata-kata itu bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Sekarang, sesudah mengalami sendiri, barulah ia mengakui, bahwa di dunia yang lebar ini sering terjadi kejadian-kejadian yang kebetulan, yang tidak bisa dikira oleh manusia. Sekarang dia sendiri menerima tuduhann berat. Ia tidak berdosa, tapi ia tidak berdaya untuk membersihkan diri. "apakah " Apakah Tio Kouw Nio seperti aku"...." tanyanya di dalam hati.
"Apakah keempat pamanmu bisa membuka sendiri totokanmu?" tanya pula Nona Tio.
Bu Kie menggelengkan kepala. "Tidak," jawabnya. "Totokanku dari ilmu Seng Hwee Leng. Supeh dan Susiok takkan bisa membukanya. Sesudah lewat dua belas jam, totokan itu akan terbuka sendiri."
"Jalan satu-satunya bagi kita adalah menaruh keempat pamanmu di dalam gua dan kita lantas menyingkirkan diri," kata Tio Beng. "Sebelum berhasil mencari penjahat yang berdosa, kau tak boleh bertemu muka lagi dengan dia."
"tapi di dalam gua itu sering keluar masuk binatang," kata Bu Kie. "Pada jenazah bcs terdapat tanda-tanda gigitan."
"ah! Otakmu sudah tidak bisa bekerja lagi!" kata si nona. "Kalau salah seorang dari keempat pamanmu bisa menggerakkan tangannya dan dalam tangannya terdapat sebatang pedang, apakah binatang buas akan bisa melukakan mereka?"
Muka Bu Kie berubah merah. Ia mengangguk dan menjawab. "Benar, kau benar." Sesudah berkata begitu, ia mendukung tubuh keempat pamannya dan menaruh mereka di belakang sebuah batu besar, supaya terbebas dari serangan salju. Bu Kie tak menjawab dan hanya mengucurkan air mata.
Tio Beng tak bisa menahan sabarnya lagi. "Kalian adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi dalam rimba persilatan dan aku sungguh tak mengerti mengapa kalian begitu tolol," katanya. "Kalau benar Bu Kie membunuh Boh Cit Hiap, bukankah dengna mudah saja dia bisa membinasakan kalian semua untuk menutup mulut kalian" Kalau dia tega membunuh Boh Cit Hiap, apakah dia tak tega membunuh kalian" Jika kalian mencaci terus, aku akan gaplok muka kalian satu persatu. Aku perempuan siluman, aku bisa lakukan apa yang kukatakan. Dulu waktu kalian berada di Ban Hoat Sie, dengan memandang muka Thio Kong Cu, aku sudah memberi perlakuan istimewa pada orang-orang Bu Tong Pay. Lihatlah! Jari tangan jago-jago Siauw Lim, Kun Lun, Go Bie, Hwa San dan Khong Tong diputuskan olehku. Terhadap pendekar-pendekar Bu Tong, aku membuat kecualian. Dibagian mana perlakuanku terhadap kalian kurang sempurna" Bilang!"
Song Wan Kiauw berempat saling mengawasi. Di dalam hati mereka masih berpendapat, bahwa Boh Seng Kok dibunuh Bu Kie, tapi mereka kuatir, Tio Beng akan benar-benar menggaplok mereka. Seorang gagah boleh dibinasakan, tapi tak boleh dihina. Kalau sampai mereka digaplok si perempuan siluman, mereka benar-benar merasa terhina. Maka itu mereka lantas berhenti mencaci.
Tio Beng tersenyum dan berkata, "Ambillah tunggangan kita untuk membawa paman-pamanmu ke gua."
Bu Kie kelihatan bersangsi. "Lebih baik kudukung mereka," katanya.
Si nona mengerti maksud perkataan itu. Ia tertawa dingin dan berkata, "Apa kau rasa, karena berkepandaian tinggi, kau seorang diri bisa membawa empat orang dengan sekaligus" Kutahu, kau kuatir begitu lekas kau pergi, aku akan membunuh paman-pamanmu. Kau belum pernah menaruh kepercayaan atas diriku. Baiklah, aku pergi mengambil kuda dan kau tunggu di sini."
Mendengar perkataan yang jitu, sekali lagi muka Bu Kie berubah merah. Tapi memang benar ia tidak berani menyerahkan keempat pamannya ke dalam tangan si nona yang angin-anginan. Maka itu, ia lantas saja berkata, "Terima kasih banyak jika kau sudi mengambil kuda-kuda itu, kutunggu di sini."
"Hm!.... " Si nona mengeluarkan suara di hidung. "Kau begitu mulia, tapi orang tetap tak percaya kepadamu, kau begitu baik hati, tapi orang tetap menganggap kau seperti anjing." Sehabis berkata begitu, ia berjalan pergi.
Bu Kie tidak meladeni. Dengan hati masgul, ia megawasi bayangan si nona.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sekonyong-konyong terdengar suara larinya kuda dari selatan, dan didengar dari suaranya jumlah kuda sedikitnya ada tiga ekor. Tio Beng pun sudah mendengarnya, karenanya ia buru-buru kembali dan berkata, "Ada orang!" seraya berkata begitu, ia lari ke belakang batu dan berjongkok di samping Bu Kie.
Melihat separu badan Jie Lian Ciu berada di luar batu, ia segera menariknya.
"Jangan sentuh badanku!" bentak Jie Hiap dengan mata melotot.
Si nona tertawa, "aku justru ingin pegang badanmu," katanya. "Aku mau lihat apa yang bisa diperbuat olehmu."
"Tio Kouw Nio! Jangan kurang ajar terhadap supehku!" bentak Bu Kie.
Tio Beng tertawa dan mengeluarkan lidahnya.
Sesaat itu, seorang penunggang kuda kelihatan mendatangi, dengan dikejar oleh dua orang lain. Dalam jarak kira-kira tiga puluh tombak, Bu Kie yang bermata jeli sudah mengenali, "Song Ceng Su Toako!"
bisiknya. "Tahan kudanya!" kata Tio Beng.
"Perlu apa?" tanya Bu Kie.
"Jangan banyak tanya. Apa kau lupa, pembicaraan di ruangan kelenteng Bie Lek Hud?" kata si nona.
Bu Kie mendusin, menjemput sepotong es dan menimpuk. Timpukan itu kena tepat di kaki depan kuda Song Ceng Su yang langsung saja berlutut. Song Ceng Su melompat turun dan coba membangunkan tunggangannya, tapi kuda itu tidak bisa berdiri lagi sebab tulangnya patah. Melihat pengejarnya sudah datang, cepat Song Ceng Su segera melarikan diri. Tapi ia tidak bisa lari jauh, karena Bu Kie sudah menimpuk lagi dan potongan es mampir tepat pada jalan darah di betis kanannya.
Hampir berbareng robohnya Song Ceng Su, kedua pengejar itu sudah menyandak. Mereka adalah Tan Yoe Liang dan Ciang Poen Liong Tauw.
"Heran sungguh!" kata Bu Kie dalam hati. "mereka bertiga bersama-sama pergi ke Tiang Pek San untuk mencari racun. Mengapa yang seorang lari dengan dikejar oleh yang dua?" sejenak kemudian ia mendapat lain ingatan. Ya, mungkin sekali Song Toako tersadar dan insaf bahwa ia tak boleh melakukan perbuatan terkutuk. Untung juga ia lari ke sini. Aku harus menolong.
Begitu menyandak, Tan Yoe Liang dan Ciang Liong Tauw meloncat turun dari tunggangan mereka.
Mereka menduga kuda Song Ceng Su roboh sebab terlalu letih dan pemuda itu sendiri terluka berat.
Karena dugaan itu, mereka segera menghunus senjata yang lalu dituding ke tubuh Ceng Su.
Tangan Bu Kie sudah mencekal kepingan es siap sedia untuk menimpuk. Tapi tangannya sudha disentuh Tio Beng, si nona menggeleng-gelengkan kepala, menuding kupingnya sendiri dan kemudian menuding Song Ceng Su. Bu Kie mengerti bahwa ia dinasehati untuk bersabar dan menunggu pembicaraan ketiga orang itu.
"Orang she Song!" bentak Ciang Poen Liong Tauw. "Mengapa kau kabur ditengah malam buta" Apa kau mau membuka rahasia kepada ayahmu?" Sambil mencaci, ia membaling-balingkan golok Cie Kim Pat Kwa Lo di atas kepala Ceng Su. Song Wan Kiauw sangat berkuatir akan keselematan puteranya.
Secara kebetulan Bu Kie menengok dan ia melihat sorot mata sang paman yang penuh kekuatiran itu.
Ketika benterok dengan mata Bu Kie, sinar matanya berubah dan memperlihatkan sinar memohon. Bu Kie manggut-manggutkan kepalanya sebagai janji, bahwa ia akan menolong. "Kecintaaan ayah ibu benar-benar setinggi langit dan setebal bumi," katanya di dalam hati. "Toasupeh begitu gusar terhadapku. Tapi begitu melihat jiwa Song Toako terancam bahaya, ia rela untuk meminta pertolongan kepadaku.
Andaikata Toasupeh sendiri yang terancam bahaya, ia pasti tak akan meminta pertolongan." Pada detik itu, tiba-tiba hatinya seperti tersayat pisau. Ia ingat, bahwa Song Ceng Su mempunyai seorang ayah yang sangat mencintai, sedang ia sendiri seorang anak yatim piatu.
Sementara itu terdengar jawaban Song Ceng Su, "Aku bukan mau memberitahukan ayah."
"Pangcu telah memberitahukan kau untuk mengikut kami ke Tiang Pek San guna mencari obat," kata Ciang Poen Liong Tauw. "Mengapa kau pergi tanpa permisi?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Ciang Poen Liong Tauw! Aku anak manusia mempunyai ayah dan ibu. Kalian memaksa aku untuk mencelakai ayah kandung sendiri. Mana tega aku berbuat begitu" Aku bukan mau berseteru dengan kalian. Aku hanya tak sanggup melakukan perbuatan binatang itu."
"apakah kau mau melanggar perintah Pangcu" Apa kau tahu, hukuman apa yang akan dijatuhkan terhadap seorang anggota yang menghianati partai?"
"aku seorang berdosa besar. Aku memang sudah tak ingin hidup. Selama beberapa hari, setiap kali memejamkan mata, aku selalu melihat bayangan bcs selalu mengganggu aku. Ciang Poen Liong Tauw, bunuhlah aku! Aku akan merasa sangat berterima kasih."
"Baiklah!" bentak si pengemis sambil mengangkat goloknya.
"Tahan!" cegah Tan Yoe Liang. "Liong Tauw Toako, apabila Song Heng Tee tetap menolak, lepaskan saja dia. Tak baik kalau kita bunuh."
"Lepaskan dia?" menegas Ciang Bun Liong dengan suara heran.
"Benar, dia membinasakan paman gurunya sendiri, Boh Seng Kok. Dia berdosa besar dan pasti akan dibunuh oleh orang partainya sendiri. Perlu apa kita mengotorkan senjata?"
Itulah perkataan yang mengejutkan. Bagi keempat pendekar Bu Tong, kata-kata itu bagaikan halilintar yang menyambar dengan tiba-tiba.
Waktu mengintip pertemuan Kay Pang di kelenteng Bie Lek Hud, ketika Tan Yoe Liang menyebut-nyebut nama Boh Seng Kok. Bu Kie sudah menduga bahwa Song Ceng Su telah melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap pamannya itu. Tapi mimpipun tak pernah mimpi, bahwa Boh Seng Kok binasa dalam tangan pemuda itu. Antara mereka semua, hanialah Tio Beng yang tidak terlalu kaget, sebab ia sudah menduga terjadinya kejadian itu.
"Tan Toako," kata Song Ceng Su dengan suara gemetar, "kau sudah bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia ini. Asal kau tidak membuka mulut, ayah tentu tak akan tahu."
Tan Yoe Liang tertawa tawar. "kau Cuma mengingat sumpahku, tapi lupa sumpah sendiri," katanya.
"kau sudah bersumpah, bahwa mulai waktu itu kau akan menurut segala perintahku. Apa kau atau aku yang lebih dahulu melanggar sumpah?"
"biarpun mesti mati, aku tak dapat menuruti perintahmu untuk menaruh racun di makanan Thay Suhu dan ayah. Lebih baik kau bunuh saja aku."
"Song Heng Tee, seorang gagah harus bisa bertindak dengan mengimbangi keadaan. Kami bukan menyuruh kau membinasakan ayah sendiri. Kami hanya ingin kau menaruh sedikit racun Bong Han Yo (obat yang melupakan), supaya mereka tertidur untuk sementara waktu. Bukankah kau sudah mengiakan waktu kita berada di kelenteng Bie Lek Hud?"
"Aku hanya mengiakan untuk menaruh Bong Han Yo. Tapi yang ditangkap Ciang Poen Liong Tauw adalah binatang-binatang yang sangat beracun " ular, kelabang, dan sebagainya. Itu semua racun untuk membinasakan manusia. Itu semua bukan Bong Han Yo."
Tan Yoe Liang mengawasi korbannya dan perlahan-lahan memasukkan pedangnya ke dalam sarung.
"Ciu Kouw Nio dari Go Bie Pay sangat cantik bagaikan bidadari," katanya. "di dalam dunia sangat sukar dicari tandingannya. Aku merasa heran mengapa kau rela menyerahkan gadis itu ke dalam tangannya si bocah Bu Kie. Song Heng Tee, hari itu kau mengintip kamar tidur para wanita murid-murid Go Bie Pay dan perbuatanmu diketahui oeh Cit Susiokmu lalu mengejar sehingga terjadi pertempuran di bukit batu.
Pertempuran itu berakhir dengan peristiwa pembunuhan oleh seorang keponakan terhadap pamannya sendiri. Mengapa kau sudah melakukan pembunuhan itu" Bukankah karena ingin mendapatkan Ciu Kouw Nio yang cantik manis" Apa sekarang kau bisa mundur lagi" Tidak! Pasti tidak!"
Dengan menggunakan seantero tenaganya, Song Ceng Su bangun berdiri, "Tan Yoe Liang, lidahmu sungguh jahat!" teriaknya.
"Kau menekan aku secara keterlaluan. Malam itu, di dalam pertempuran melawan bcs, aku sudah kalah. Aku berdosa besar. Kalau aku binasa, segala apa akan menjadi besar. Siapa suruh kau membantu aku" Aku kena ditipu olehmu, sehingga sekarang namaku hancur dan tidak akan bisa ditolong lagi."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Bagus, bagus!" kata Tan Yoe Liang dengan suara mengejek. "Apa boleh aku bertanya" Boh Seng Kok mati sebab punggungnya terpukul dengan pukulan Cia Thian Tiat Ciang (Pukulan tangan besai yang menggetarkan langit) Siapa yang memukulnya" Apa Kau" Malam itu, aku bukan saja menolong jiwamu, tapi juga menolong namamu. Apa itu salah" Song Heng Tee, di dalam persahabatan, yang lain tak usah disebut-sebut lagi, tapi hal kau membunuh paman sendiri pasti tak akan diuar-uar olehku. Sekarang kita boleh berpisahan dan dilain hari kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu muka pula."
Mendengar perkataan manusia itu yang seolah-olah bersedia untuk menyudahi segala persoalan sampai di situ, Song Ceng Su sangat bersangsi. "Tan". Tan Toako, apa yang mau diperbuat olehmu terhadapku?" tanyanya.
Tan Yoe Liang tertawa, "Aku selalu berbuat baik terhapamu, tapi kau tetap tak percaya aku," katanya.
"Apa yang aku mau berbuat terhadapmu" Tidak! Aku tak ingin berbuat apapun jua terhadapmu. Aku hanya ingin memperlihatkan serupa barang kepadamu. Kau lihatlah! Apa ini?"
Bu Kie dan Tio Beng sangat ingin melihat barang itu. Tapi mereka tidak berani mengeluarkan kepala.
Tiba-tiba terdengar suara kaget dari Song Ceng Su. "Ah!.... cincin besi Go Bie Pay!... milik Ciu Kouw Nio. Darimana kau dapatkan itu?"
Bu Kie terkejut, tapi dilain saat ia menduga, bahwa cincin itu bukan cincin tulen.
Tan Yoe Liang tertawa. "Lihatlah dahulu," katanya. "Lihat dulu, apa tulen apa palsu."
Beberapa saat kemudian Song Ceng Su berkata, "Waktu berada di See Hek, aku pernah meminta pelajaran silat dari Biat Coat Suthay. Aku lihat cincin ini di jarinya. Rasanya, barang ini bukan barang palsu."
Tiba-tiba terdengar suara "trang!"
"Inilah buktinya," kata Tan Yoe Liang. "Kalau palsu, bacokanku pasti akan memutuskannya. Lihatlah!
Di dalam cincin terdapat empat huruf Lioe Ie Siang Lie (dihadiahkan kepada anak Siang) Cincin ini dahulu milik Kwee Siang Lie Hiap, pendiri Go Bie Pay, dan terbuat daripada besia Hiantiat.
"Tan Toako". " Kata Song Ceng Su dengan suara parau. "darimana". Darimana kau mendapatkannya!... Dimana Ciu Kouw Nio sekarang?"
Tan Yoe Liang tersenyum, "Ciang Poen Liong Tauw, mari kita berangkat," katanya tanpa memperdulikan pertanyaan Song Ceng Su. "Mulai dari dulu, tapi sekarang Kay Pang tidak memerlukan manusia seperti dia lagi." Suara tindakan kaki lantas terdengar kedua orang itu berjalan ke jurusan utara.
Sekonyong-konyong Song Ceng Su memanggil, "Tan Toako! Apa dia mati atau masih hidup?"
Tan Yoe Liang kembali. "Benar," katanya, "Ciu Kouw Nio berada dalam tangan kami. Dia sungguh cantik, aku sendiri belum beristeri. Aku ingin memohon kepada Pangcu untuk menikah dengannya.
Kurasa Pangcu akan meluluskan."
Song Ceng Su mengeluarkan seruan tertahan.
"Benar, pada hakekatnya seorang kuncu tak akan merampas milik orang lain," kata pula Tan Yoe Liang. "Tan Yoe Liang pasti tidak akan merusak persahabatan karena paras cantik. Tapi sekarang kau sudah menjadi penghianat partai. Diantara kita sudah tidak ada ikatan apapun jua dan aku bisa berbuat sesuka hati, bukankah begitu?"
Song Ceng Su tidak menyahut. Dua macam pikiran rupa-rupanya sedang berkelahi di dalam hatinya.
Bu Kie melirik Song Wan Kiauw. Dengan rasa kasian, ia lihat pamannya mengucurkan air mata.
Sebagai seorang gagah kalau bukan berlalu duka, paman itu tentu tidak akan menangis.
Beberapa saat kemudian barulah Song Ceng Su berkata, "Tan Toako, Liong tauw Toako, tadi pikiranku kusut. Aku bersalah dan kuharap kalian suka memaafkan."
Tan Yoe Liang tertawa terbahak-bahak. "Nah begini baru benar," katanya. "Dengan menepuk dada aku memberi jaminan, bahwa soal kau menaruh Bong Han Yo di minuman para pendekar Bu Tong, bukan saja jiwa ayahmu tak akan kurang suatu apa, tapi Ciu Cie Jiak pun akan segera menjadi isterimu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesudah Thio Sam Hong dan para pendekar Bu Tong berada di dalam tangan kita. Thio Bu Kie pasti akan menurut segala perintah kita. Sesudah Kay Pang menguasai Beng Kauw, mengusir Tat cu dan merebut pulang tahta kerajaan, kau dan aku akan menjadi menteri-menteri sendiri negara. Bukan saja isteri kita dan anak-anak kita, tapi ayahnyapun akan menikmati segala kebesaran."
Song Ceng Su tertawa getir. "Thia-thia bukan manusia yang kemaruk harta," katanya. "Aku hanya mengharap ayah jangan membunuh aku. Kalau harapan itu bisa terkabul, aku sudah merasa puas."
Tan Yoe Liang tertawa, "Kecuali ayahmu dewa, ia pasti tak akan tahu latar belakang kejadian itu,"
katanya. "Song Heng Tee, apa kakimu terluka" Kita berdua bisa menunggang kudaku. Setibanya di kota kita bisa membeli lain kuda."
"Sebab terburu-buru, betisku terpukul kepingan es," jawabnya. "Sungguh sial kepingan es itu kena tepat pada Cu Peng Hiat. Di dalam dunia memang sering terjadi kejadian yang kebetulan."
Dari pengakuan Song Ceng Su dapatlah dilihat kelihaian Bu Kie dalam ilmu melepaskan senjata rahasia. Pemuda itu sama sekali tak pernah menduga, bahwa dirinya dibokong orang. Ia hanya merasa terpukul kepingan es yang secara kebetulan kena pada jalan darahnya. Hal ini pada hakekatnya tidak luar biasa. Lengan kita secara tidak sengaja juga sering membentur meja kursi dan kadang-kadang begitu terbentur, kita merasa kesemutan, karena benturan itu kebetulan kena pada "Hiat".
"Bukan sial, tapi mujur," kata Tan Yoe Liang sambil tertawa. "Song Heng tee bernasib baik dan sudah ditakdirkan bakal mempunyai isteri yang sangat cantik. Kalau betismu tidak terpukul es dan kami tidak bisa menyusul, maka kau tak akan tersadar dari kekeliruan. Dengan demikian, bukan saja namamu hancur, tapi usaha kitapun akan menjadi gagal. Selain begitu, Ciu Cie Jiak yang ayu akan menjadi isteri Tan Yoe Liang. Bukankah kejadian itu seperti burung hong berjodoh dengan burung gagak seolah-olah sekuntum bunga tertancap di atas tai kerbau?" Ia berbicara secara guyon-guyon, tapi setiap perkataannya hebat bukan main dan menekan Song Ceng Su, sehingga pemuda itu tidak bisa berkutik lagi.
Song Ceng Su menghela napas dan berkata dengan suara perlahan. "Tan Toako, bukan aku tidak percaya"."
"Kau mau bertemu dengan Ciu Kouwnio?" memutus Tan Yoe Liang. "Boleh! Mudah sekali. Sekarang Pangcu dan para tiangloo berada di Louw liong dan Ciu Kouwnio pun berada di situ. Mari kita pergi ke Louw liong. Sesudah urusan Bu tong beres, kakakmu akan segera mengadakan pesta pernikahan untuk mewujudkan idam-idamanmu. Dan" seumur hidup, kita akan berterima kasih kepada Tan Yoe Liang Toako" ha..ha..ha"."
"Baiklah, mari kita pergi ke Louw liong," kata pula Song Ceng Su. "Tap Toako, bagaimana"
bagaimana Ciu Kouwnio bisa berada dalam tangan kita?"
"Itulah berkat jasa Liong tauw Toako," jawabnya sambil tertawa. "Hari itu, ketika Ciang pang dan Ciang poen Lio tauw makan minum di sebuah Ciu-lauw, mereka lihat tiga orang yang tidak dikenal.
Sesudah diselidiki, salah seorang adalah Ciu Kouwnio. Ciang poen Liong tauw Toako segera mengirim orang untuk mengundangnya. Legakan hatimu. Ciu Kouwnio sehat walfiat, tak kurang satu apa."
Bu Kie mengeluh. Sekarang baru ia tahu bahwa hari itu mereka sebenarnya dikenali. "Jika Giehu tidak buta, ia bisa lihat bahwa rahasia sudah terbuka," pikirnya. "Hai" aku dan Cie Jiak masih terus mimpi?"
Tapi bagaimana dengan keselamatan Giehu?" Dia bingung sebab Tan Yoe Liang tak pernah menyebut-nyebut ayah angkatnya.
Sementara itu si orang she Tan sudah berkata pula. "Song Heng tee, sesudah kau menikah dengan Ciu Kouwnio, Go Bie dan Bu tong pay harus menurut perintah Kay pang. Siauw lim pay sudah berada dalam tanganku. Ditambah dengan Kay Pang dan Beng Kauw, tenaga kita bukan main besarnya. Kita pasti bisa mengalahkan orang Mongol dan merebut negeri. Huh"huh" negara akan segera menukar majikan."
Tan Yoe Liang berbicara dengan hati berbunga bunga. Ia memperlihatkan lagak seolah olah Kay pang sudah merebut seluruh negeri dan ia sendiri akan segera naik ke tahta kerajaan. Ciang poen Liaong tauw dan Song Ceng Su juga turut ketawa, tapi tertawa mereka tertawa getir.
"Mari kita berangkat," ajak Tan Yoe Liang. "Song Heng tee Bok Cit hiap binasa di dekat ini. Kau telah memasukkan jenazahnya ke dalam gua yang rasanya tak jauh dari sini. Bukankah begitu" Tadi, kudamu tiba tiba roboh. Apakah roh Bok Cit hiap menunjukkan keangkerannya" Ha.. ha.. ha!.... ha.. ha..
ha!..."

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kata kata itu membangunkan bulu roma Song Ceng Su yang lantas saja berjalan dengan terpincang pincang.
Sesudah ketiga orang itu berlalu, Bu Kie lalu membuka jalan darah keempat pamannya sambil berlutut ia manggut manggutkan kepalanya dan berkata, "Supeh, Susiok, tadi titjie berada dalam keadaan terjepit dan tidak bisa membersihkan diri, sehingga karena terpaksa, titjie telah melakukan perbuatan berdosa terhadap Supeh dan Susiok. Titjie bersedia untuk menerima segala hukuman."
Song Wan Kiauw menghela napas panjang, air matanya mengucur dan ia menengadah tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Jie Lian Ciu segera membangunkan keponakannya dan berkata dengan suara menyesal. "Perhubungan kita bagaikan perhubungan tulang dan daging. Hal itu tak usah disebut sebut lagi. Aku sungguh tidak duga, bahwa Ceng Su" Ceng Su" Hai!... kalau bukan mendengar dengan kuping sendiri, siapa yang bisa percaya?"
Tiba tiba "srt"!" Song Wan Kiauw menghunus pedang. "Binatang"!" katanya dengan suara gemetar.
"Sam wie Su tee, anak Bu Kie, mari kita kejar. Biar kubunuh binatang itu dengan tangan sendiri." Seraya berkata begitu, badannya berkelebat dan ia mengubar puteranya dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
"Toako, balik!" teriak Thio Siong Kee. "Kita harus berdama dulu." Tapi Song Tayhiap tidak meladeni.
Bu Kie segera mengudak. Dengan cepat ia melewati sang paman dan lalu menghalang di depannya.
"Tio Su peh," katanya sambil membungkuk. "Siesupeh ingin bicara. Sebab ditipu, Song Toako telah membuat kekeliruan. Di hari kemudian, ia pasti akan mendusin. Jika Toasupeh mau menghukum, tak perlu tergesa2."
"Cit tee!... Cit-tee"!" kata Song Wan Kiauw dengan suara di tenggorokan. "Kakakmu benar2 berdosa besar?" Sekonyong-konyong ia mengangkat pedangnya dan coba menggorok leher. Bu Kie terkesiap dan secepat kilat tangannya menyambar. Sungguh mujur dia keburu merampas senjata itu dengan menggunakan ilmu Kian kun Tay lo ie. Tapi biarpun tak sampai membinasakan, ujung pedang menggores juga leher Song Tay hiap.
Ketika itu Jie Lian bertiga sudah menyusul. "Toako," kata Thio Siong Kee dengan suara membujuk.
"Ceng Su telah melakukan perbuatan sangat terkutuk itu dan semua orang Bu tong pasti takkan dapat mengampuninya. Tapi, membersihkan rumah tangga sendiri urusan kecil, sedang urusan yang besar adalah keselamatan rakyat. Tak boleh, karena memperhatikan yang kecil, kita menyia nyiakan yang besar."
"Membersihkan rumah tangga sendiri urusan kecil?" Menegas Song Wan Kiauw dengan mata melotot.
"Huh!... sungguh sial aku mempunyai anak penghianat itu!...."
Didengar dari omongan Tan Yoe Liang, Kay pang ingin meminjam tangan Ceng Su untuk mencelakai guru kita," kata pula Thio Siong Kee dengan sabar. "Di samping itu, Kay pang berusaha untuk menekan atau mempengaruhi berbagai partai Rimba Persilatan guna merampas negeri. Bagi kita, Sucun (guru yang mulia) merupakan urusan besar. Keselamatan Rima Persilatan dan rakyat di kolong langit juga merupakan urusan besar. Ceng Su yang durhaka pasti akan mendapat pembalasan. Kewajiban kita yang sekarang ini adalah berdamai untuk menolong urusan besar."
Song Wan Kiauw membungkam. Ia tak dapat membantah perkataan adiknya. Akhirnya ia memasukkan pedangnya ke dalam sarung dan berkata dengan suara perlahan. "Pikiranku kusut, otakku tak bisa memikir lagi. Biarlah Sietee yang memikirkan tindakan kita."
Sesudah kegusaran kakaknya agak mereda, In Lee Heng lalu mengeluarkan obat dan membalut luka Song Wan Kiauw.
"Menurut pendapatku," kata pula Thio Siong Kee," karena Kay pang ingin mencelakai Sucun dan guru kita tidak tahu menahu, maka tindakan yang harus segera diambil adalah pulang ke Bu Tong secepat mungkin. Meskipun Tan Yoe Liang mengatakan bahwa ia ingin meminjam tangan Ceng Su, manusia jahat itu mungkin akan turun tangan terlebih siang. Yang terpenting bagi kita ialah melindungi sucoan.
Sucoan sudah berusia tinggi, kalau kejadian dahulu sampai terulang, kalau sampai ada musuh lagi yang sampai membokong dengan menyamar sebagai pendeta Siauw lim, kita tak akan bisa menebus kedosaan kita."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sehabis berkata begitu, ia mengawasi Tio Beng dengan mata mendelik. Ia rupa rupanya masih mendongkol karena si nona pernah berusaha untuk membinasakan Thio Sam Hong.
Song Wan Kiauw mengeluarkan keringat dingin. "Benar"! Benar"!" katanya dengan gemetar.
"Sebab ingin membunuh anak jahanam itu, aku sampai melupakan keselamatan Sucoan. Hai!... otakku sudah miring!"
Ia seorang yang tak sabaran. "Hayo! Lekas! Kita harus berangkat sekarang juga," desaknya berulang-ulang.
"Bu Kie," kata Thio Siong Kee sambil berpaling kepada keponakannya, "tugas menolong Cie Kauwnio harus ditunaikan olehmu sendiri. Sesudah berhasil, datanglah di Bu tong san."
Bu Kie membungkuk dan berkata. "Baiklah Supeh."
"Tio Kauwnio berwatak kejam," bisik Thio Siong Kee. "Kau harus berhati hati. Ceng Su merupakan sebuah contoh seorang laki laki tak boleh dibikin lupa oleh paras cantik."
Dengan muka merah Bu Kie manggut-manggutkan kepalanya.
Sesudah selesai berdamai, keempat pendekar Bu tong Bu Kie lalu menguburkan jenazah Boh Seng Kok di belakang sebuah batu besar. Mereka menangis sedih sekali dan sehabis memeras air mata, Seng Wan Kiauw berempat segera berangkat.
Sesudah mereka berlalu, Tio Beng mendekati Bu Kie dan berkata. "Sie supehmu menasihati supaya kau berhati hati terhadapku dan jangan sampai kena dibikin lupa oleh paras cantik. Dia mengatakan bahwa Song Ceng Su adalah sebuah contoh. Benarkah begitu?"
"Bagaimana kau tahu?" tanya Bu Kie dengan suara jengah. "Apakah kau mempunyai kuping Sun hong nie?"
Tio Beng mengeluarkan suara di hidung. "Sekarang aku bicara terus terang," katanya dengan bangga.
"Aku berani memastikan bahwa sesudah memikir dan memikir lagi, Song Tay hiap dan yang lain lain akan berbalik mempersalahkan Ciu Cie Jiak yang dianggap sebagai gara gara yang mengakibatkan runtuhnya seorang jago muda dari Bu tong pay. Huh huh!... jalan pikiran orang lelaki tak pernah terlolos dari terkaanku."
"Song Toasupeh dan lain lain paman adalah kuncu (manusia utama), kata Bu Kie. "Mereka semuanya sudah mengetahui aturan dan tidak mungkin mempersalahkan orang secara serampangan."
Si nona tertawa dingin, "Huh!... makin kuncu mungkin makin gila!" katanya. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata lagi sambil tertawa, "Lekas tolong Ciu kauw untukmu! Kau celaka besar kalau dia sampai jatuh ke dalam tangan Song Ceng Su."
Muka Bu Kie berubah merah. "Mengapa celaka besar?" tanyanya sambil tertawa kecil.
Dengan mengikuti tapak kaki kuda Bu Kie dan Tio Beng berhasil menemukan tunggangan mereka yang lantas saja dikaburkan ke Kwan Lee. Bu Kie membedal kuda dan dengan pikiran kusut. Ia memikiri ayah angkatnya dan memikiri juga Ciu Cie Jiak. Mengingat bahwa Kay pang ingin menggunakan ayah angkatnya untuk menekan Beng Kauw, maka andaikata orang tua itu benar benar jatuh ke dalam tangan Partai Pengemis, jiwanya belum tentu terancam. Tapi biarpun begitu, sang Giehu tentu tidak bisa terlolos dari segala hinaan. Ia lebih berkuatir akan keselamatan Cie Jiak. Si nona putih bersih. Dalam menghadapi Tan Yoe Liang yang jahat dan Song Ceng Su yang tidak mengenal malu, jika didesak sampai di pojok, si nona pasti akan binasa. Mengingat begitu, ia ingin sekali mempunyai sayap supaya tiba di Lauw liong terlebih cepat.
Malam itu ia menginap di sebuah penginapan kecil. Walaupun tunggangan mereka kuda-kuda jempolan, tapi sebab dibedal terus menerus, kedua binatang itu sudah lelah sekali. Setiba di rumah penginapan mereka tak mau makan rumput lagi.
Sambil merebahkan diri di pembaringan batu makin lama Bu Kie makin bingung. Indap indap ia pergi ke depan jendela kamar Tio Beng. Nona itu sedang pulas nyenyak. Sesudah berpikir beberapa saat Bu Kie pergi ke meja pengurus penginapan, mengambil perabot tulis menyobek selembar kertas dan lalu menulis sepucuk surat. Ia mengatakan bahwa karena keadaan mendesak, ia mengambil keputusan untuk
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
melangsungkan perjalanan di tengah malam. Sesudah menaruh surat itu di atas meja, ia membuka jendela, melompat keluar dan lari kabur ke jurusan selatan dengan menggunakan ilmu ringan badan yang paling tinggi.
Demikian, setiap malam ia meneruskan perjalanan dengan menggunakan ilmu ringan badan, sedang di waktu siang ia menggunakan keledai atau kuda. Dalam beberapa hari saja ia sudah tiba di Lauw liong.
Meskipun terus menggunakan tenaga dan beberapa hari tak pernah tidur sebab memiliki lweekang yang sangat kuat ia tidak terlalu payah. Menurut perhitungan, dengan mengubar tanpa mengaso, siang siang ia sudah bisa melampaui rombongan Tan Yoe Liang. Tapi ia tak pernah bertemu dengan mereka. Mungkin sekali selagi ia berjalan di waktu malam, mereka sedang mengaso di penginapan.
Lauw liong adalah sebuah kota penting di propinsi Ho pak. Pada jaman kerajaan Tong, kota itu dijaga oleh seorang pembesar Cit tauwsu selama kerajaan Cong dan Goan lauw liong mengalamai beberapa kali peperangan, sehingga kotanya hancur dan sampai sekarang belum pulih seperti sedia kala. Tapi biarpun begitu kota tersebut banyak penduduknya dan berbeda dengan kota kota di Kwan gwa yang sangat sepi.
Setibanya di kota itu, Bu Kie berkeliling di jalan jalan raya, di jalanan kecil, di lorong lorong, di rumah rumah penginapan dan rumah rumah makan. Heran sungguh ia tak pernah bertemu dengan seorang pengemis. Tan Yoe Liang tentu tidak berdusta waktu ia mengatakan bahwa para pemimpin pengemis berkumpul di Louw liong. Mungkin sekali pengemis pengemis itu sedang pergi menemui pangcu mereka.
"Kalau aku bisa mencari tempat pertemuan mereka, aku akan bisa menyelidiki benar tidaknya Giehu dan Cie Jiak ditawan Kay Pang," kata Bu Kie di dalam hati. Tapi sesudah menjelajah di seluruh dan di sekitar kota, ia masih belum mendapatkan sesuatu yang memberi petunjuk baik.
Waktu magrib Bu Kie mulai bingung. Tanpa merasa ia ingat kefaedahan Tio Beng.
"Kalau dia berada bersama aku, aku tentu tidak akan menghadapi jalanan buntu ini," pikirnya. Dengan masgul ia lalu mencari sebuah rumah penginapan yang layak. Sesudah makan minum ia tidur sebentaran.
Kira-kira tengah malam, ia melompat ke genteng untuk menyelidiki lagi.
Dengan matanya yang sangat tajam, ia mengawasi ke seputarnya, keadaan sunyi senyap dan angin dingin meniup dengan perlahan. Sedikitpun tak terlihat tanda, bahwa di kota itu tengah berlangsung pertempuran antara orang2 Kangouw. Ia jadi uring-uringan. Sekonyong-konyong dari loteng tinggi dari sebuah gedung besar terlihat sinar api.
"Kalau bukan milik pembesar tinggi, gedung itu tentu milik seorang hartawan," pikirnya. "Tak mungkin pemilik gedung mempunyai sangkut paut dengan Partai pengemis?". Belum habis jalan pikirannya, mendadak sesosok bayangan manusia melompat keluar dari sebuah jendela loteng. Gerakan orang itu cepat luar biasa dan dalam sekejap, ia tak kelihatan bayang bayangannya lagi. Kalau bukan Bu Kie yang mempunyai mata istimewa, melihatpun orang tak akan bisa melihatnya.
"Apa orang jahat bekerja di gedung itu?" tanyanya di dalam hati. "Orang itu ahli silat kelas utama."
Karena tak mempunyai tujuan tertentu, ia lantas mengambil keputusan untuk coba melihat lihat.
Setibanya di samping gedung, dengan sekali menjejakan tanah, tubuh Bu Kie melesat ke atas dan melompati tembok yang mengurung gedung. Sekonyong konyong jantungnya memukul lebih.
"Tan tiang loo sangat rewel," demikian terdengar suara seorang. "Terang terang ia sudah mengatakan, bahwa kita akan berkumpul pula, di Lao ho kouw pada Chia hwee Cepeh. Sekarang ia mendadak menyuruh kita menunggu di sini. Dia bukan Pangcu, tapi lagaknya seperti Pangcu saja."
Bukan main girangnya Bu Kie. Ia mengenali bahwa suara itu suara seorang anggota Kay Pang. Suara itu datang dari taman bunga. Begitu mendekat, ia dengar suara Su hwee ling yang berkata, "Tan tiang loo sangat berakal budi. Ia berhasil membekuk Kim mo Say ong Cia Sun, yang dicari oleh segenap rimba persilatan selama dua puluh tahun lebih tanpa berhasil. Hasil yang gemilang itu jangankan di dalam partai kita sekalipun seluruh Rimba Persilatan, tak ada orang yang bisa meneladaninya?"
Bu Kie kaget bercampur girang. Sekarang ia tahu, ayah angkatnya berada dalam tangan orang-orang Kay Pang. Sesudah mengetahui itu, menolong sang Giehu tak begitu sukar lagi pikirnya. Di dalam partai pengemis tidak terdapat tokoh tokoh yang benar benar berilmu tinggi.
Ia segera mendekati jendela dan mengintip dari celah-celah. Ternyata pertempuran itu berlangsung di sebuah pendopo di taman bunga.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ia lihat Su hwee liong duduk di tengah tengah. Coan kang dan Cie hoat Tiang loo, Ciang pang, Liong tauw dan tiga tiangloo delapan karung duduk di sebelah bawah.
Selain mereka terlihat pula seorang setengah tua yang berbadan gemuk dan mengenakan pakaian indah. Dilihat dari pakaiannya, dia seorang hartawan, tapi pada punggungnya terdapat enam lembar karung. Bu Kie manggut manggutkan kepalanya. "Benar," katanya di dalam hati, "hartawan itu seorang murid Kay Pang. Para pengemis berkumpul di rumah orang kaya raya tak akan dapat diduga oleh siapapun jua, sungguh pintar!"
Sementara itu Su hwee liong berkata pula, "Permintaan Tan tiangloo supaya kita menunggu di Louw liong tentu mempunyai sebab musabab yang beralasan. Kita mempunyai tujuan besar dan kita harus berhati hati."
"Pangcu," kata Ciang pang Liong tauw. "Tujuan orang gagah dalam mencari Cia Sun adalah untuk memperoleh To ling to yang dikenal sebagai Bu lim Cie cun (yang termulia dalam Rimba Persilatan).
Tapi To liong to tidak terdapat di badan Cia Sun. Biar dibujuk dan diancam, dia tetap tidak mau beritahukan dimana adanya golok mustika itu. Dengan demikian, kita hanya mendapat seorang buta yang harus diberi makan dan minum. Apa gunanya" Menurut pendapat teecu, sebaiknya kita siksa padanya.
Teecu melihat, apa dia tetap menutup mulut."
Su Hwee Liong meng-goyang2-kan tangan. "Tidak benar," katanya. "Tindakan keras bisa merusak urusan besar. Kita harus tunggu Tan Tiangloo. Sesudah dia tiba, kita boleh berdamai lagi."
Paras muka Ciang pang Liong tauw mengunjuk rasa mendongkol. Ia rupa rupanya merasa jengkel karena sang pemimpin terlalu menurut perkataan Tan Yoe Liang.
Su Hwee Liong merogo saku dan mengeluarkan sepucuk surat yang lalu diangsurkan kepada Ciang pang Liong tauw. "Pang Heng tee," katanya, "kuminta kau segera berangkat ke Ho ciu dan menyerahkan surat ini kepada Han San Tong. Beritahukan dia, bahwa puteranya berada dalam tangan kita dengan tak kurang suatu apa. Asal dia suka menakluk kepada partai kita, aku akan memperlakukannya secara layak."
"Apakah pekerjaan menyampaikan surat harus dilakukan oleh teecu?" katanya Ciang pang Liong tauw.
Paras muka Su Hwee Liong lantas saja berubah. "Pang Heng tee," katanya, "selama setengah tahun ini Han San Tong dan kawan kawannya telah mencapai hasil hasil besar di daerah Ho ciu. Kudengar, di bawah perintah terdapat orang orang gagah kelas, seperti Cu Goan Ciang, Cie Tat, Siang Gie Cun dan lain lain. Maksud suratku ini ialah supaya Han San Tong menakluk kepada kita. Kalau dia bersedia untuk menakluk, Pang Heng tee harus menyelidiki apa menakluknya itu sungguh sungguh atau berpura pura. Di samping itu, Pang Heng tee pun harus mencari tahu kekuatan dari barisan Beng kauw. Tugas Pang Heng tee bukan semata mata menyampaikan surat. Tugasmu adalah berat."
Ciang pang Liong tiauw tidak berani membantah lagi. "Baiklah," katanya. Sesudah memberi hormat kepada pemimpinnya, ia segera meninggalkan ruangan pertemuan.
Sesudah itu dengan gembira mereka saling mengutarakan pikiran mengenai kemakmuran dan kejayaan Kay Pang yang sesudah menaklukan Beng kauw, Siauw lim, Bu tong dan Go bie pay. Angan angan Su Hwee Liong ternyata tidak semuluk Tan Yoe Liang. Dia sudah merasa puas jika Kay Pang bisa menjagoi dalam Rimba Persilatan. Dia tidak bercita cita untuk merebut negara dan menjadi kaisar.
Bu Kie merasa sebal untuk mendengari lebih jauh dan berkata dalam hatinya. "Didengar dari pembicaraan mereka, Gie hu dan Cie Jiak terkurung di gedung ini. Sebaiknya aku berusaha untuk melepaskan mereka dan kemudian barulah menghajar pengemis pengemis yang tak mengenal malu itu."
Sekali menjejak bumi, tubuhnya melesat ke atas dan hinggap di dalam pohon. Ia mengawasi ke sekitarnya, mencari cari tempat yang dijaga keras. Segera juga ia lihat, bahwa di bawah loteng terdapat belasan pengemis yang meronda dengan senjata terhunus.
Ia melompat turun, mendekati loteng itu, menyembunyikan diri di belakang sebuah batu besar. Selagi dua peronda memutar badan, secepat kilat ia lari ke kaki tembok di bawah loteng dan lalu memanjat ke atas dengan menggunakan ilmu Pek houw Yoe ciang kong (cecak merambat di tembok). Ia segera memasang kuping dan mata ke loteng yang terang benderang itu.
Namun akhirnya dengan rasa penasaran ia lalu mengintip dari celah celah jendela. Sepanjang lilin besar yang ditaruh di meja sudah terbakar habis, separuh, tapi di dalam kamar itu tidak terdapat bayang bayangan manusia.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Loteng itu mempunyai tiga kamar. Sesudah menyelidiki kamar sebelah timur, ia mengintip di jendela kamar sebelah barat. Lilin yang berada di kamar itu juga kelihatan nyala sangat terang dan di atas meja terlihat banyak makanan dengan tujuh delapan mangkok nasi dan sumpitnya. Tapi cawan cawan arak belum diminum dan makanan itu baru saja dimakan. Herannya, di kamar itupun tidak terdapat manusia.
Kamar yang di tengah gelap gulita. Bu Kie mendorong pintu, tapi terkunci dari dalam. "Giehu!"
panggilnya dengan suara perlahan. Ia tidak mendapat jawaban. "Kalau Giehu tidak dikurung di sini, mengapa loteng ini dijaga begitu keras?" pikirnya. "Apakah ia menggunakan tipu berisi berisi kosong, kosong kosong berisi?" (berisi is kosong, kosong berisi " apa yang dilihat berisi, sebenarnya kosong, dilihat kosong sebenarnya berisi).
Tiba tiba hidungnya mengendus bau darah yang keluar dari kamar itu. Ia terkejut. Dengan mengeluarkan sedikit tenaga tapal pintu patah. Sambil mendorong pintu, ia melompat ke dalam dan menyambut kedua potongan tapal pintu itu supaya tidak jatuh dan mengeluarkan suara.
Baru ia menindakkan kakinya menginjak sesuatu yang lembek seperti tubuh manusia. Ia membungkuk dan meraba raba. Aha! Mayat manusia yang mati belum berapa lama. Ia merasa agak lega karena mayat itu berkepala kecil. Dengan jari tangannya ia menotok papan kamar barat yang lantas berlubang dan dari lubang itu masuk sinar terang.
Sekarang ia bisa lihat, bahwa kamar itu penuh mayat pengemis yang kelihatannya binasa karena mendapat luka hebat di badan. Ia membuka baju satu di antaranya dan melihat tapak tinju di dada, tapak dari pukulan Cit siang kun. "Ah! Inilah pukulan Giehu," pikirnya dengan rasa girang. Di sudut tembok terdapat sebuah gambar obor " tanda Beng kauw " yang diukir dengan serupa benda tajam. Tapi bagaimana Giehu bisa dibekuk mereka?" tanya Bu Kie di dalam hati. "Mungkin mereka menggunakan bong han yo, tambang atau jala. Tapi pintu di tapal dari dalam. "Bagaimana Giehu bisa keluar" Heran!"
Sambil memikir begitu, ia tiba tiba melihat darah di lain pintu dan di daun pintu bagian luar terdapat telapak telapak tangan. Sekarang ia mengerti. Ayah angkatnya tidak sengaja membunuh seorang dan sesudah keluar dari kamar, ia menyuruh orang itu menapal pintu, akan kemudian mengirim pukulan Cit siang kun pada daun pintu. Biarpun teraling selembar papan, pukulan tersebut masih kuat untuk membinasakan pengemis itu yang memuntahkan darah dan darahnya menyembur ke pintu. "Ya, tadi kulihat melompatnya bayangan manusia dari atas loteng," pikirnya. "Bayangan itu tentulah Giehu"
tapi" tidak mungkin. Orang itu bertubuh kurus kecil, sedangkan Giehu tinggi besar. Siapa dia?"
Ia keluar dari kamar dan melongok ke bawah. Para pengemis masih meronda. Mereka tak tahu apa yang terjadi di atas. "Pengemis2 baru saja mati dan Giehu tentu belum pergi jauh," pikirnya. "Perlu apa kau menebak nebak?" Sebaiknya aku menyusul dan menanyakannya. Aku dan Giehu bisa kembali ke sini untuk menghajar pengemis2 bau itu."
Bayangan yang tadi melompat turun dari tembok sebelah barat daya. Setelah mengambil keputusan, Bu Kie segera melompat ke satu pohon dan dari pohon itu, dia melompat pula ke atas tembok barat daya.
Ia membungkuk untuk menyelidiki. Dengan rasa heran dia mendapat kenyataan, bahwa di situ terpeta tapak tapak kaki kecil, yaitu tapak wanita. "Siapa wanita itu?" tanyanya di dalam hati. "Biat coat Suthay telah meninggal dunia. Cie san Liong ong pergi ke lain negeri, Pan Siok Ham dari Kun lun pay belum tentu mempunyai ilmu ringan badan yang sedemikian tinggi. Cie Jiak dan Tio Beng tak mungkin. Yang lain lebih tak mungkin." Tapi ia tak memikir panjang2 lagi dan segera menguber ke jurusan barat daya.
Sesudah berlari lari beberapa lie dengan mengikuti jalan raya, ia tiba di persimpangan jalan. Sesuai dengan kebiasaan Kang ouw, mereka lantas mencari tanda tanda di gombolan rumput tinggi. Benar saja, di sebuah batu besar ia menemukan gambar obor yang mengunjuk ke sebuah jalan kecil, jurusan barat daya. Ia girang karena jejak ayah angkatnya sudah dapat diikuti. Gambar itu yang sangat indah tidak mungkin dilukis oleh sembarang orang. Hanialah orang orang seperti Cia Sun yang bun bu coan bay yang dapat melukisnya.
Tanpa ragu ragu lagi, ia lalu mengejar dengan mengambil jalanan kecil itu. Ketika tiba di See buk, fajar sudah menyingsing. Sesudah menangsal perut dengan bak pauw dan kue phia, ia meneruskan perjalanan ke arah barat. Di Pangcu tin di kaki tembok ia menemukan sebuah gambar obor yang mengunjuk ke sebuah si thung (tempat pemujaan abu leluhur). Ia girang dan merasa pasti bahwa ayah angkatnya bersembunyi di tempat itu. Ia menghampiri dan memilih empat huruf "Goei sie Su thung"
(tempat pemujaan abu leluhur orang she Goei) di papan merek. Begitu masuk ia mendengar suara ramai ramai dari sejumlah orang yang sedang berjudi.
Melihat Bu Kie yang berpakaian indah, kepala judi segera menghampiri dan berkata sambil tertawa,
"Kong cu ya, hayolah!" Ia berpaling pada para penjudi dan berkata pula, "Berikan tempat kepada Kong cu ya!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Alis Bu Kie berkerut dan matanya menyapu ke seluruh ruangan. Para penjudi itu bukan orang orang Kang ouw. Maka itu tanpa meladeni ajakan orang, ia segera berteriak. "Giehu! Giehu!" tapi ia tak mendapat jawaban.
Salah seorang penjudi yang iseng mulut tertawa dan berkata. "Mau apa kau nak. Giehu mu berada di sini." Para penjudi lantas saja tertawa terbahak bahak.
Sambil menahan sabar Bu Kie menanya si kepala judi. "Apa kau lihat seorang toa ya yang berambut kuning bertubuh tinggi besar dan buta matanya?"
"Omong kosong," jawabnya dengan suara tawar. "Di kolong langit mana ada si buta yang bisa berjudi?" Kecuali kalau dia sudah bosan hidup."
Darah Bu Kie meluap. Ia melompat dan mencekal si kepala judi dan penjudi yang tadi mengejeknya dan melontarkannya ke genteng. Walaupun tidak terluka mereka ketakutan setengah mati dan berteriak teriak minta tolong. Bu Kie menjemput dua potong perak dari meja judi dan sesudah memasukkannya ke dalam saku ia segera berjalan keluar. Para penjudi hanya mengawasi dengan mata membelalak dan tidak seorangpun berani mengubar.
Bu Kie meneruskan perjalanan ke arah barat. Tak lama kemudian, ia menemukan lagi tanda gambar obor. Di waktu magrib, ia tiba di Hong jiong, sebuah kota besar di Ho pak utara. Dengan mengikuti tanda obor, ia pergi ke sebuah gedung yang pintu depannya berwarna hitam. Dengan cincin pintu yang berkilat dan bunga bunga di dalam tembok yang sedang mekar, gedung itu memperlihatkan suasana tenang dan damai. Ia mengetuk ngetuk pintu dan tak lama kemudian terdengar tindakan kaki yang enteng. Hampir berbareng dengan terendusnya bau harum, pinta dibuka oleh seorang pelayan wanita yang mengenakan baju kulit warna merah. "Sudah lama Kong cu ya tak datang dan Ciecie sangat memikiri kau," katanya sambil tersenyum. "Masuklah."
Bu Kie bingung. "Bagaimana kau kenal aku" Siapa Cieciemu?" tanyanya.
Pelayan itu tertawa. "Ah, jangan berlagak pilon!" jawabnya. "Hayo masuk! Ciecie sudah menunggu nunggu." Ia mencekal tangan kanan Bu Kie dan lalu menariknya.
Tak kepalang herannya Bu Kie. Sesudah memikir sejenak ia berkata di dalam hatinya. "Ah bisa jadi!
Bisa jadi Cie Jiak berada di sini. Apa ia sudah menduga bahwa aku akan menyusul dengan mengikuti tanda tanda obor, ia memerintahkan pelayan ini untuk menyambut. Hai! Ia tentu sangat menderita."
Memikir begitu, ia lantas saja mengikuti. Sesudah melalui sebuah jalanan kecil yang tertutup batu dan melewati sebuah pekarangan, mereka tiba di depan sebuah kamar. Seekor burung kakaktua tiba-tiba berteriak. "Kakak yang tercinta datang! Ciecie kakak yang tercinta datang!"
Muka Bu Kie lantas saja berubah merah.
Kamar itu sangat indah. Semua kursi teralas bantal sulam dan dengan perapian yang apinya berkobar kobar, hawa di dalam kamar hangat bagaikan hawa di musim semi. Di atas sebuah meja kecil menyala hio wangi, di samping tempat hio terletak sebuah khim. Pelayan itu lantas masuk ke dalam dan keluar lagi dengan tangan menyangga nampan yang berisi enam piring kecil bebuahan dan sepoci teh. Ia menuang teh dan mengangsurkan cangkir kepada Bu Kie.
Waktu pemuda itu menyambutnya, si pelayan tiba tiba menekan pergelangan tangannya dengan perlahan. Alis Bu Kie berkerut. "Bagaimana pelayan ini bisa berlaku kurang ajar" Bukankah tak baik jika dilihat Cie Jiak?" katanya di dalam hati. "Mana Cia looya" Cie Kouwnio berada di mana?" ia bertanya.
Si pelayan tertawa. "Perlu apa kau tanyakan Cia looya?" jawabnya. "Ciecie akan segera datang. Kau sungguh tak punya perasaan hati. Sesudah berada di sini, kau masih ingat Ciu Kouwnio, Ong Kouwnio?"
Bu Kie kaget. "Jangan ngaco kau! Apa kau kata?" ia menegas.
Pelayan itu tertawa pula dan segera berlalu. Tidak lama kemudian ia kembali dengan menuntun seorang wanita muda yang berusia kira kira duapuluh tiga atau duapuluh empat tahun, kulitnya putih alisnya kecil bengkok dan di sudut mulutnya terdapat sebuah tahi lalat. Ia cukup cantik, hanya sinar matanya genit sekali dan ia menghampiri dengan tindakan gemulai. Alis Bu Kie berkerut karena ia mengendus wewangian yang sangat santer.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Wanita itu tertawa manis. "Siangkong she apa?" tanyanya. "Duduklah. Kedatangan Siangkong memberi muka kepadaku." Seraya berkata begitu, sebelah tangannya memegang pundak Bu Kie.
Dengan muka kemerah merahan Bu Kie mundur setindak. "Aku she Thio," jawabnya. "Apakah seorang tua she Cia dan seorang gadis she Ciu berada di sini?"
"Di sini Lee hiang ih," sahut wanita itu. "Kalau Siangkong mau cari Ciu Sian sian, pergilah ke Pek tho kie. Siangkoan agaknya sudah linglung dan mencari Ciu Sian sian di Lee hiang ih. Hi..hi..hi?" Ia tertawa geli.
Bu Kie mendusin. Ia berada di rumah pelacur. Tanpa mengatakan suatu apa lagi, buru buru ia mengangkat kaki. Si pelayan memburu dan berteriak teriak. "Siangkong!... Siangkong!... apa nonaku kalah cantik dari Ciu Sian sian" Duduklah sebentaran?"
Bu Kie menggoyang goyangkan tangannya. Ia mengambil sepotong perak dari sakunya, melontarkannya di tanah dan terus kabur dengan berlari lari.
Ia terus lari. Ketika itu matahari sudah menyelam ke barat. Sebab sukar mengikuti tanda tanda obor di waktu malam, ia mengambil keputusan untuk m beramalam di rumah penginapan. Sesudah makan, ia mengasah otak, memikir segala pengalamannya. "Mengapa Giehu pergi ke rumah judi, ke rumah pelacur?" tanyanya di dalam hati. "Di dalam hal ini tentu bersembunyi latar belakang yang luar biasa."
Karena letih ia tertidur. Di tengah malam ia tersadar dan tiba tiba saja di dalam otaknya berkelebat serupa ingatan. "Giehu seorang buta, bagaimana ia bisa meninggalkan tanda tanda di sepanjang jalan?" tanyanya di dalam hati. "Apakah ia dikawani dan dibantu Cie Jiak" Apakah musuh yang membantunya untuk mempermainkan aku" Tapi" sudahlah! Biarpun mesti masuk ke sarang harimau, aku harus menyelidiki teka teki ini sampai seterang terangnya."
Pada keesokan paginya, diluar kota Hong ji ong, ia kembali menemukan tanda obor, yang mengunjuk ke arah barat. Lohor itu ia tiba di Giok ian dan tanda obor menuntunnya ke sebuah gedung yang besar.
Pemilik gedung sedang merayakan pesta pernikahan puterinya. Sebab sudah mendapat pelajaran getir, Bu Kie tak berani lantas menanyakan hal Cia Sun. Ia masuk ke tempat pesta dan memasang mata tapi tak bisa mendapatkan sesuatu yang luar biasa. Dengan rasa masgul ia meninggalkan gedung itu dan benar saja, di pinggir jalan di sebuah pohon ia menemukan sebuah tanda obor.
Demikianlah tanpa memperdulikan apa pun jua, ia terus mengikuti tanda tanda obor. Dari Giok tian ia pergi ke Sam ho membiluk ke selatan, terus ke Hiang ho. Sampai di situ ia mulai menduga duga bahwa Kay Pang menggunakan tipu "memancing harimau meninggalkan gunung" untuk menyingkirkannya ke tempat jauh, supaya mereka bisa leluasa melakukan sesuatu kejahatan. Tapi biarpun menduga begitu, ia tak berani mengikuti terus tanda obor itu. Bagaimana kalau tanda tanda tersebut benar benar dibuat oleh ayah angkatnya dan Cie Jiak yang sedang diubar ubar musuh" Sesudah menimbang nimbang, ia mengambil keputusan untuk mengikuti terus.
Dari Hian ho, ia menguber ke Po shia, Toa pek chung, Poa chung. Menikung ke jurusan tenggara, tiba di Leng hoa, membiluk ke utara melewati Hong lam Kay peng Loei chung dan sesudah bercapai lelah berhari2 ia tiba pula di Louwliong. Ia ternyata sudah membuat sebuah lingkaran besar dari Louwliong kembali di Louwliong.
Setibanya di Louwliong, mendadak hatinya tenang. "Bagaimana jadinya jika musuh menyesatkan aku ke tempat jauh misalnya ke Kwitang Kwisay In Lam atau Kwi cu" Baik juga mereka menuntun aku balik ke Louwliong. Memikir begitu, sesudah makan kenyang2 ia membeli jubah panjang warna putih dan membuat gambar obor merah memakai itu. Ia mau menyatroni pusat Kay Pang secara resmi sebagai seorang Kauwcu dari Beng Kauw.
Sesudah berdandan, ia segera pergi ke gedung si hartawan yang menjadi tempat berkumpulnya tokoh tokoh Kay Pang. Pintu depan terkunci. Dengan sekali pukul daun pintu terbang menimpa dua jambangan ikan emas yang lantas saja menjadi hancur.
Sesudah dipermainkan beberapa hari dia datang dengan darah mendidih. Ia bertekad untuk mengadu kepandaian dan melampiaskan hawa amarahnya. Begitu pintu terpukul pecah, ia masuk dengan tindakan lebar. "Orang orang Kay Pang dengarlah!" teriaknya. "Lekas suruh Su Hwee Liong keluar untuk menemui aku!"
Di pekarangan terdapat belasan murid Kay Pang dari tingkatan empat dan lima karung. Hancurnya pintu tentu saja mengejutkan mereka.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie tak mau membuang buang waktu. Ia mendorong keras dan bagaikan rumput kering tubuh murid murid Kay Pang itu terpental roboh sesudah membentur tembok atau jendela.
Bu Kie maju terus. Sesudah menghancurkan pintu tengah ia mendapat kenyataan bahwa tokoh tokoh Kay Pang sedang makan minum di toa thie, dengan Su Hwee Liong duduk menghadap keluar.
Para pemimpin Kay Pang sudah mendengar ribut ribut dan baru saja memerintahkan salah seorang untuk menyelidiki. Tapi Bu Kie sudah keburu datang. Dengan sekali menjepret ia cengkeram dada murid Kay Pang tujuh karung yang mau keluar menyelidiki itu dan terus melemparkannya ke arah Su Hwee Liong.
Si hartawan pemilik gedung yang duduk di sebelah bawah buru buru mementang kedua tangannya untuk menangkap tubuh si pengemis yang "terbang" mendatangi. Tangkapannya tepat, tapi ia terhuyung tujuh delapan tindak karena tenaga melempar itu hebat luar biasa.
Para pengemis terkesiap, murid tujuh karung yang dilemparkan itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi sedang si hartawan berkepandaian lebih tinggi lagi.
Kalau tokoh tokoh partai pengemis kaget, Bu Kie lebih kaget lagi. Tapi dalam kagetnya Bu Kie tercampur rasa girang, sebab ia lihat bahwa Ciu Cie Jiak dan Song Ceng Su sedang duduk berendeng di meja bundar sebelah kiri. Untuk sejenak ia terpaku dan mengawasi nona Ciu dengan mata membelalak.
"Bu Kie Koko!" teriak Cie Jiak. Ia berdiri, tapi tubuhnya bergoyang goyang dan lantas roboh.
Bu Kie melompat, membungkuk dan memeluk si nona.
Tiba tiba punggungnya dipukul dua kali beruntun oleh Song Ceng Su dan oleh seorang pengemis lain.
Tapi tidak bergeming sebab sekujur badannya dilindungi Kioe yang sinkang. Sambil mendukung si nona, ia melompat keluar dari ruangan perjamuan.
"Mana Giehu?" tanyanya.
"Aku" aku?" kata nona Ciu terputus putus.
"Apa Giehu selamat?"
"Jalan darahku ketotok" aku tidak bertenaga?"
Tapi Bu Kie yang sangat memikiri Cia Sun tidak menghiraukan keterangan si nona. "Bagaimana Giehu?" tanyanya pula.
"Entahlah, aku tak tahu. Aku ditangkap mereka dan dibawa kemari. Aku tak tahu di mana adanya Giehu."
Bu Kie segera melepaskan Cie Jiak di tanah dan mengurut betisnya. Tapi totokan atas diri Cie Jiak adalah totokan istimewa dari Kay Pang dan Bu Kie tidak berhasil dalam usaha membukanya. Cie Jiak masih tetap tidak bisa berdiri.
Sementara itu semua tokoh Kay Pang sudah meninggalkan meja perjamuan dan berdiri di atas undakan batu dari ruangan itu. Sambil merangkap kedua tangannya Su Hwee Liang bertanya, "Apakah tuan Kauwcu dari Beng kauw?"
Dalam menghadapi seorang pemimpin dari sebuah partai persilatan yang besar, Bu Kie tidak berani melanggar kesopanan. Ia pun lantas segera merangkap kedua tangannya dan menjawab. "Benar. Tanpa diundang aku sudah datang di Cong to (pusat kalian). Untuk itu, aku menghaturkan maaf."
"Nama Thio Kauwcu menggetarkan seluruh Kangouw dan sudah lama aku ingin bertemu dengan tuan," kata Su Hwee Liong. "Kini aku mendapat bukti, bahwa nama itu bukan nama kosong."
"Aku datang untuk menemukan ayah angkatku, Kim mo Say ong," kata Bu Kie. "Kuharap Pangcu suka mengeluarkan Giehu itu."
Paras muka Su Hwee Liong mendadak berubah merah padam. Sesudah tertawa terbahak-bahak, ia berkata. "Thio Kauwcu berusia sangat muda, tapi perkataanmu sangat tak pantas. Dengan maksud baik
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
aku mengundang Cia Say ong datang kemari untuk menjadi tamu kami selama beberapa hari. Di luar dugaan Cia Say ong telah berlalu tanpa pamitan. Bukan saja begitu, dia bahkan membinasakan delapan murid kami. Thio Kauwcu, bagaimana perhitungan ini bisa dibereskannya?"
Bu Kie terkejut. "Kalau begitu delapan pengemis itu benar benar dibinasakan Giehu," pikirnya. "Tapi kemana perginya Giehu?" Sesudah memikir sejenak, ia berkata. "Tapi bagaimana dengan Ciu Kouwnio ini" Apa kedosaannya sehingga kalian menahannya disini?"
Su Hwee Liong tertawa dan menjawab dengan suara mengejek. "Benar juga kata orang, bahwa biarpun berkepandaian tinggi, Thio Bu Kie adalah iblis yang tak mengenal aturan. Ha..ha..ha!.."
"Sebab apa?" "Sepak terjang Thio Kauwcu sudah merupakan bukti yang nyata."
"Aku tanya, sebab apa kau mengatakan aku tak tahu aturan?"
"Ciu Kauwnio adalah seorang Ciangbun dari Go bie pay. Ia adalah pemimpin dari sebuah partai yang lurus bersih. Ada hubungan apakah ia dengan agama mu yang sesat" Song Ceng Su, Song Heng tee, adalah seorang tokoh terkemuka Bu tong pay. Dengan Ciu kauwnio ia merupakan pasangan yang setimpal. Mereka kebetulan lewat disini dan kami menjamu mereka. Hal ini sedikitpun tidak ada sangkut pautnya dengan Thio Kauwcu. Sungguh lucu!... sungguh menggelikan." Sehabis berkata begitu ia tertawa berkakakan diturut oleh kawan-kawannya.
"Kalau benar Ciu Kouwnio tamu mu mengapa kau totok jalan darahnya sehingga ia tidak bisa berdiri?" tanya Bu Kie.
Su hwee Liong tergugu. Ia tidak dapat menjawab.
Tan Yoe Liang maju setindak dan berkata, "Siapa bilang Ciu Kouwnio tertotok jalan darahnya?" Kami baru saja makan minum dengan riang gembira. Semenjak dahulu Kay Pang dan Go bie pay mempunyai hubungan yang sangat erat. Pendiri Go bie pay adalah Kwee Lie hiap, puteri Oey Pangcu Oey Yong. Yeh lu Pangcu dari partai kami adalah cie hu (suami dari kakak perempuan) Kwee lie hiap. Kenyataan ini diketahui oleh seluruh anggota Rimba Persilatan. Coba kau pikir. Dengan adanya hubungan yang erat itu, cara bagaimana cara melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap seorang ciang bunjin dari Go bie pay"
Omongan Thio Kauwcu seperti omongan anak anak yang bisa ditertawakan oleh segenap orang gagah di kolong langit."
Bu Kie tertawa dingin. "Kalau menurut perkataanmu, apakah Ciu Kouwnio telah menotok jalan darahnya sendiri?" tanyanya.
Tan Yoe Liang mengeluarkan suara di hidung. "Belum tentu begitu," jawabnya.
"Semua orang menyaksikan dengan mata sendiri, bahwa Thio Kauwcu lah yang telah merampasnya secara paksa. Ciu Kouwnio coba memberontak dan Thio Kauwcu segera menotoknya. Thio Kauwcu meskipun benar seorang agah sering sukar mengatasi diri dalam menghadapi seorang wanita cantik, tapi janganlah kau melakukan perbuatan kurang ajar itu di hadapan orang banyak. Thio Kauwcu, kau sungguh tak ingat kedudukanmu yang sangat tinggi."
Dalam mengadu lidah, Bu Kie memang bukan tandingan Tan Yoe Liang. Tak dapat ia menangkis serangan si orang she Tan. Paras mukanya merah padam dan ia hanya mengawasi lawannya. Beberapa saat kemudian barulah ia bisa membuka mulut. "Apa benar benar kau tidak mau memberitahukan dimana adanya ayah angkatku?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Thio Kauwcu," kata Tan Yoe Liang dengan suara tawar, "Kong beng Suci Yo Siauw dari agama mu dahulu pernah merusak kehormatan Kie Siauw Hu dari Go bie pay. Sebab perbuatan itu, dia dikutuk oleh semua orang di kolong langit. Maka itu aku sekarang ingin menasihati kau, supaya janganlah kau meneladan contoh Yo Siauw itu. Dengan setulus hati aku memberi nasehat. Terserah kepada kau, apa kau sudi dengar atau tidak."
Bu Kie tidak meladeni. Ia menengok kepada Cie Jiak, "Beritahukan aku cara bagaimana mereka bawa kau sampai di sini?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Nona Ciu menjawab dengan terputus-putus. "Aku" aku" aku"," mendadak tubuhnya bergemetaran dan roboh pingsan.
Orang orang Kay Pang lantas saja mencaci maki.
"Iblis Beng Kauw bunuh orang!"
"Thio Bu Kie bunuh Ciang bun jin Go bie pay!"
"Binasakan penjahat cabul Thio Bu Kie!"
dan sebagainya. Tak kepalang gusarnya Bu Kie. "Tangkap penjahat harus ditangkap rajanya, pikirnya. Dengan membekuk Su hwee liong, aku bisa mengorek rahasia dimana adanya Giehu." Memikir begitu, ia segera menerjang pangcu Kay Pang itu.
Tapi baru mau bergerak, Ciang pang Liong tauw dan Cie hoat Tiang loo sudah menghadang di depannya. Ciang pang Liong tauw menyapu dengan tongkatnya, sedang Cie hoat Tiangloo yang tangan kanannya bersenjata gaetan baja dan tangan kirinya memegang tongkat besi turut menyerang dengan pukulan yang membinasakan.
Sambil membentak, Bu Kie menyambut dengan Kian kun Tay lo ie. "Trang!" gaetan Cie hoat Tiangloo menangkis tongkat Ciang pang Liong tauw.
"Semua orang awas!" teriak Coan kang Tiang loo. "Bocah itu memiliki ilmu silat aneh." Seraya berkata begitu, ia mengirim tiga serangan dengan pedangnya. Setiap serangan diajukan ke arah "hiat"
besar, di bagian dada dan kempungan.
"Bagus!" seru Bu Kie sambil melompat. Hampir berbareng jari tangannya menotok Hoan tiauw hiat di paha lawan. Bagaikan kilat pedang Coan kang membuat lingkaran dan ujung pedang menyambar ujung jari tangan Bu Kie. Sambutan itu yang dikirim secara indah dan tepat membuktikan kelihaian Coan kang Tiangloo sehingga Bu Kie sendiri merasa kagum sekali. Buru-buru ia menarik pulang tangannya untuk mengelakkan tusukan pedang itu.
Hari itu di kelenteng Bie lek hud, Bu Kie pernah menyaksikan pertempuran antara Hiang beng Jieloo dan jago jago Kay Pang. Tapi sebab bersembunyi di pohon dan tidak berani menonjolkan kepala, maka itu ia tidak melihat tegas jalannya pertempuran. Sekarang ia harus mengakui, bahwa Coan kang dan Cie hoat Tiangloo adalah tokoh tokoh persilatan kelas utama, sedang kepandaian Ciang pang Liong tauw hanya kalah setingkat.
Dalam sekejap, ketiga ketua Kay Pang sudah bertanding kurang lebih dua puluh jurus melawan Bu Kie.
Tiba-tiba Tan Yoe Liang berteriak, "Kepung dengan Sat-kauw-tin!" (Sat kauw tin " barisan membunuh anjing).
Sambil berteriak teriak, dua puluh satu jago Kay Pang yang masing masing bersenjatakan golok bengkok, lantas saja mengurung Bu Kie. Teriakan dan kelakuan mereka sangat aneh. Ada yang berteriak,
"Looya, minta nasi!" Ada pula, "Tai-tai, mohon belas kasihan!" Ada yang menjerit jerit kesakitan, ada yang memukul dada dan sebagainya. Semula Bu Kie merasa terkejut, tapi ia lantas saja mengerti bahwa teriakan dan kelakuan itu bertujuan untuk membingungkan pikirannya. Ia mendapat kenyataan, bahwa walaupun kelihatannya kalut, tindakan kaki para pengepung itu sesuai dengan peraturan tertentu.
Baru saja Bu Kie terkepung, sekonyong-konyong Coan kang Tiangloo membentak. "Tahan!" Sambil melintangkan pedangnya di dada, ia melompat mundur, diikuti oleh Cie hoat Tiangloo dan Ciang pang Liong tauw. Tapi dua puluh satu pengemis yang merupakan anggota Sat kauw tin masih terus mempertahankan tin tersebut dengan berlari lari terputar putar.
"Thio Kauwcu," kata Coan kang. "Dalam sejumlah besar kami mengepung kau seorang. Pada hakekatnya andaikata kami menang, kemenangan itu bukan kemenangan yang boleh dibanggakan. Tapi di dalam partai kami tidak seorangpun bisa menandingi Thio Kauwcu. Maka itu, dalam usaha menumpas kejahatan, kami tidak bisa lagi mempertahankan kebiasaan Rimba Persilatan yang penuh kehormatan, yaitu satu melawan satu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie tersenyum. "Bagus, bagus!" katanya.
"Kami semua bersenjata, sedang Thio Kauwcu bertangan kosong," kata pula Coan kang Tiangloo.
"Dalam menarik keuntungan, Kay Pang tidak pantas menarik keuntungan terlampau besar. Thio Kauwcu, kau beritahukanlah, senjata apa ayng diinginkan olehmu. Kami akan segera menyerahkannya."
Mendengar itu, diam diam Bu Kie memuji tetua itu yang berbeda wataknya dari manusia semacam Tan Yoe Liang. Ia tersenyum dan menjawab, "Di dalam Kay Pang, tidak ada senjata yang cocok bagiku.
Untuk main main dengan kalian sebenarnya aku tidak memerlukan senjata. Dan andaikata perlu, aku sendiri bisa mengambilnya."
Hampir berbareng, tubuhnya berkelebat dan ia sudah melompat keluar dari Sat kauw tin. Bagaikan kilat ia menekan pundak Tan Yoe Liang dan Song Ceng Su, merampas pedang kedua orang itu dan kemudian melompat masuk pula ke dalam Sat kauw tin. Kesemuanya itu dilakukan dengan gerakan yang sangat indah dan kecepatan yang sukar dilukiskan.
Sebelum para pengemis hilang kagetnya, Bu Kie sudah berkata dengan suara nyaring. "Orang Kay Pang memang biasa mencuri ayam dan menangkap anjing. Nama Sat kauw tin memang tepat sekali.
Membunuh anjing memang tak sukar. Tapi kalau ingin menakluki naga atau harimau, barisan ini tak dapat digunakan." Sehabis berkata begitu ia mengibaskan kedua pedang yang dicekalnya sambil mengirim tenaga dalam ke badan pedang. "Tak!" kedua senjata itu patah dengan berbareng.
"Majulah!" bentak Ciang pang Liong tauw sambil menotok dada Bu Kie dengan tongkatnya. Cie hoat juga lantas menyerang. Bu Kie bersiul nyaring. Ia mengegos, melompat dan menerjang kian kemari dengan menggunakan Kian kun Tay lo ie. Di lain saat sinar putih menyambar nyambar ke arah tiang di tengah tengah ruangan itu. Sinar putih itu adalah golok bengkok yang dirampas Bu Kie dan dilemparkan ke tiang. Dalam sekejap, dua puluh satu batang golok sudah menancap di tiang tersebut.
Sekonyong-konyong terdengar bentakan Tan Yoe Liang. "Thio Bu Kie! Apa kau belum mau berhenti?"
Bu Kie menengok dan melihat si orang she Tan tengah menuding punggung Cie Jiak dengan ujung pedang. Sebab kuatir tunangannya celaka, ia segera menghentikan serangannya. "Selama kurang lebih seratus tahun dunia Kang ouw menyebut nyebut nama Beng kauw, Kay Pang dan Siauw lim pay,"
katanya dengan suara dingin. "Dalam kalangan pang, Kay Pang dipandang paling tinggi. Dengan melakukan perbuatan yang seperti ini, apakah kalian tidak menodai nama besarnya Ang Cit Kong loohiap?"
Paras muka Coan kang Tiangloo berubah merah. "Tan Tiangloo!" teriaknya dengan gusar. "Lepaskan Ciu Kauwnio! Hari ini kita harus melakukan jalan suatu pertempuran mati hidup dengan Thio Kauwcu.
Dimana kita mau menaruh muka jika seluruh tenaga Kay Pang tak dapat menjatuhkan tokoh Beng Kauw yang seorang diri."
Tan Yoe Liang tertawa, "Seorang gagah tak mengadu tenaga, tapi mengadu kepintaran," katanya.
"Thio Bu Kie, apa kau belum mau menyerah?"
"Baiklah," jawabnya. "Hari ini aku belajar kenal dengan keangkeran Kay Pang." Ia mundur dua tindak dan mendadak saja ia berjungkir balik ke belakang. Selagi tubuhnya melayang turun ke bawah secara tepat sekali ia jatuh duduk di pundak Su hwee liong, dengan tangan kanan menekan batok kepala dan tangan kiri mencengkeram leher pemimpin partai pengemis itu.
Itulah salah satu jurus dari ilmu Seng hwee leng. Bahwa ia sudah berhasil begitu mudah bahkan di luar dugaan Bu Kie sendiri. Sebelum berjungkir balik, ia telah menghitung hitung untuk coba membekuk Su hwee liong dengan menggunakan tiga pukulan berantai. Di luar dugaan, dengan sekali jurus ia berhasil. Ia sekarang menunggang Su hwee liong seperti kanak kanak main kuda kudaan.
Melihat pangcu mereka tertawan, para pengemis mengeluarkan seruan tertahan. Bu Kie tersenyum, jari tangannya menempel pada Pek hwee hiat di batok kepala Su hwee liong. Pek hwee hiat adalah hiat yang sangat penting. Asal Bu Kie mengeluarkan sedikit tenaga, pangcu itu akan binasa tanpa bisa ditolong lagi.
Di lain saat ruangan itu berubah sunyi senyap. Bagaikan patung para pengemis mengawasi Bu Kie dan pemimpin mereka.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Pada saat itulah tiba tiba terdengar suara khim dan seruling. Suara itu sayup sayup dan datang dari atas atap gedung. Didengar dari suaranya, jumlah khim dan seruling lebih dari satu. Suara itu sebentar hilang, tapi semua orang dapat mendengarnya dengan jelas sekali.
Bu Kie kaget dan heran. "Tokoh darimana yang datang mengunjungi Kay Pang?" teriak Tan Yoe Liang. "Kalau kau iblis Beng kauw, perlihatkan dirimu!"
Teriakan si orang she Tan disambut dengan tiga kali suara "Cring" dari tali khim dan hampir berbarengan empat orang wanita muda yang mengenakan baju putih melompat turun dari payon timur dan barat. Kedua tangan setiap wanita itu memeluk sebuah yauw khim yang ukurannya lebih pendek dan lebih kecil separuh dari cit hiam khim (khim tujuh tali). Tapi biarpun lebih kecil khim itu mempunyai tujuh tali. Begitu hinggap di bumi mereka lantas saja berdiri di empat penjuru di ruangan toa thiam itu.
Sesaat kemudian dari luar pintu masuk empat orang wanita muda yang mengenakan baju hitam dan masing masih memegang sebatang seruling yang berwarna hitam pula. Seruling itu lebih panjang daripada seruling biasa. Mereka pun lantas berdiri di empat sudut ruangan.
Bu Kie tak punya pengertian cukup dalam ilmu susiang Pat kwa kedudukan delapan wanita itu mengherankan hatinya. Mereka seolah olah menduduki kedudukan Pat kwa, tapi bukan Pat kwa yang tulen. Tapi biar bagaimanapun jua, Bu Kie merasa bahwa kedudukan mereka sesuai dengan peraturan tertentu.
Sementara itu, kedelapan wanita itu sudah mulai memperdengarkan sebuah lagu yang luar biasa.
Meskipun Bu Kie tidak mengerti musik, ia bisa merasai bahwa lagu itu bersifat merdu, tenang dan damai.
Beberapa saat kemudian dengan iringan lagu itu, masuklah seorang wanita yang mengenakan baju kuning dengan tangan kiri menuntun seorang gadis cilik yang berusia kurang lebih dua belas tahun.
Wanita yang berusia kira kira dua puluh tujuh tahun itu sangat cantik, hanya kulit mukanya terlampau putih seolah olah tak punya darah. Si gadis cilik beroman jelek, hidungnya dongak ke atas, mulutnya lebar memperlihatkan deretan dua gigi yang besar. Ia mengikuti si cantik dengan sebelah tangan memegang tongkat bambu hijau.
Panji Sakti 6 Pendekar Misterius Karya Gan K L Pendekar Pengejar Nyawa 17
^