Kisah Membunuh Naga 8
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 8
Walaupun merasa, bahwa membangunkan anak itu tengah malam buta bukan seharusnya, Cui San tak berani membantah perintah sang kakak. Maka itu, ia segera kembali keguhanya dan membangunkan arak itu. Mendengar ayah angkatnya mau bercerita, Bu Kie jadi girang dan mengia kan dengan suara keras-keras, sehingga ibunya turut tersadar. Maka itu, mereka bertiga lantas saja pergi keguha Cia Sam untuk mendengari ceritera yang dijanjikan.
Sesudah semua orang berkumpul, Cia Sun segera mulai: "Anak, tak lama lagi kau akan pulang ke Tionggoan"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Apa" Ke Tionggoan ?" memutus Bu Kie.
Cia Sun menggoyangkan tangan supaya anak itu jangan memutuskan omongannya dan berkata pula
"Jika getek kita tenggelam dilaut atau ditiup angin ke samudera yang luas, maka kita boleh tak usah bicara lagi. Tapi andaikata kita kembali ke Tiongggoan, aku ingin memberitahukan suatu hal kepadamu.
Ingatlah hati manusia di dalam dunia sangat jahat dan kau tidak boleh main percaya kepada siapapun jua kecuali ayah dan ibu sendiri. Aku nyesa1, bahwa diwaktu masih muda, tak pernah ada orang yang memberi nasehat itu kepadaku. Tapi biarpun ada yanh menasehati, waktu itu aku tentu tidak mau percaya."
"Pada waktu aku berusia sepuluh tahun, secara, kebetulan aku telah bisa berguru dengan seorang yang mempunyai nama besar dalam Rimba persilatan. Karena melihat bakatku yarg sangat baik, Suhu sangat menyayang aku dan telah menurunkan ilmu-ilmu silat yang istimewa kepadaku, sehingga dengan demikian, perhubungan kami adalah bagaikan ayah dan anak. Ngotee, pada waktu itu, rasa cinta dan rasa hormat ku terhadap Suhu kira-kira bersamaan seperti rasa cinta dan rasa hormatmu terhadap gurumu. Aku keluar dari rumah perguruan dalam usia dua puluh tiga tahun. Tak lama kemudian, aku menikah, dan mempunyai seorang anak. Penghidupan kami sangat beruntung."
"Selang dua tahun, waktu lewat di kampung kelahiranku. Suhu mampir dan berdiam berapa hari dirumahku. Aku girang bukan main dan seluruh keluarga melayaninya dengan sepenuh perhatian. Dengan menggunakan kesempatan itu, guru ku juga memberikan berbagai petunjuk pada kekurangan-kekurangan dari ilmu silatku. Tapi siapa nyana.... seorang tokoh yang termasyhur dalam Rimba Persilatan sebenarnya mempunyai hati binatang! Pada tanggal lima belas Bulan tujuh, sesudah minum arak, tiba-tiba ia coba memperkosa isteriku ..."
Dengan berbareng Cui San dan So So mengeluarkan seruan kaget. Guru menodai kehormatan isteri muridnya adalah suatu kejahatan langka dalam Rimba Persilatan.
"Isteriku memberontak dan berteriak-teriak minta tolong." Cia Sun melanjutkan penuturannya.
"Mendengar teriakan itu, ayahku menerjang masuk kedalam kamar. Melihat rahasianya terbuka, guruku memukul ayahku yang lantas saja binasa. Sesudah itu, dia membinasakan juga ibuku dan membanting Cia Bu Kie, anakku yang berumur belum cukup setahun ...."
"Cia Bu Kie ?" memotong si bocah dengan suara heran.
"Jangan rewel! Dengari cerita Gie-hu!" bentak Cui San.
"Benar," jawab sang ayah pungut. "Itulah anak kandungku yang namanya bersamaan dengan namamu.
Guruku membantingnya keras-keras, sehigga dia jadi perkedel!"
"Gie-hu ! Apa.... .apa dia masih bisa hidup ?" tanya Bu Kie.
"Tak bisa! Tak bisa hidup lagi!" jawabnya dengan suara parau.
So So mendelik sambil menggoyang goyangkan tangannya untuk melarang anak itu untuk menanya lagi.
Sesudah bengong beberapa saat, barulah Cia Sun berkata lagi: "Melihat kejadian itu nyawaku terbang separuh dan aku berdiri terpaku sambil mengawasi dengan mata membelalak. Tiba-tiba guruku me!ompat dan meninju dadaku, sehingga aku rubuh terguling dalam keadaan pingsan. Ketika aku tersadar, guruku sudah menghilang, sedang diseputar rumahku penuh mayat. Mayat ayah dan ibuku, isteriku, anakku, isteri adikku dan bujang-bujangku, semuanya berjumlah tigabelas jiwa. Ia tidak memukul aku lagi, sebab rupanya ia duga aku sudah mati"
"Sebab terluka, berduka dan bergusar secara melampaui batas, aku mendapat sakit berat sekali.
Sesudah sembuh, siang malam aku melatih diri dan selang lima tahun, aku mencari guruku untuk membalas sakit hati. Tapi kepandaianku masih kalah terlalu jauh, sehingga dapat hinaan yang sangat lebar. Bia bagaimana pun sakit hati tiga belas orang tak dapat di sudahi dengan begitu saja. Aku segera berkelana untuk mencari guru yang pandai. Selama sepuluh tahun, aku telah bertemu dengan tiga orang berilmu yang menurunkan kepandaiannya kepadaku. Dengan dugaan bahwa kepandaianku sudah cukup tinggi, sekali lagi aku mencari guruku. Tapi di luar taksiran, sedang kupandaianku bertambah, kepandaiannya bertambah lebih banyak lagi. Demikianlah untuk kedua kalinya, aku pulang dengan terluka berat"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Sekali lagi aku melatih diri tanpa mengenal capai. Kali ini aku melatih Lweekang dari Cit siang kun (ilmu pukulan Tujuh Luka) dan sesudah berlatih tiga tahun lamanya, barulah aku berhasil. Aku menganggap, bahwa dengan memiliki kepandaian itu, aku sudah boleh berendeng dengan ahli ahli silat kelas utama dan jika guruku tidak mendapat lain-lain ilmu yang lebih tinggi, ia pasti tidak akan bisa melawan aku. Untuk ketiga kalinya, aku menyatroninya rumahnya, tapi bakan main rasa kecewaku, karena ia sudah pindah ketempat lain. Aku lalu berkelana dalam kalangan Kangnuw untuk mencarinya, tapi ia tetap tak kelihatan mata hidungnva Rupanya, untuk menyingkir dari bencana, ia telah kabur ketempat jauh. Dunia begini luas, dimana aku mencarinya ?"
"Sesudah itu, dengan sakit hati yang makin lama makin mendalam dan kegusaran yang meluap-luap, aku lalu mengamuk. Aku memperkosa wanita, merampok, membunuh dan membakar rumah. Setiap kali bekerja, aku selalu meninggal kan nama guruku !"
"Ah!" Cui San dan So So mengeluarkan seruan kaget dengan berbareng.
"Apa kau tahu siapa guruku?" tanya Cia Sun. So So manggat-mangaut kepalanya seraya berkata:
"Kalau, begitu, Toako adalah murid Hun goan Pek lek chioe Seng Kun." (Hun goan Pek lek chioe - si tangan geledek).
Ternyata pada belasan tahun berselang di dalam Rimba Persilatan mendadak terjadi gelombang yang sangat hebat. Dalam tempo setengah tahun, dari Liao tong sampai di Lenglam dengan beruntun-runtun terjadi peristiwa-peristiwa besar. Tiga puluh lebih orang-orang gagah kenamaan telah dibunuh dan si pembunuh meninggalkan nama Hun goan Pek lek chioe Seng Kun. Orang yang dibunuh, kalau bukan Ciang bunjin suatu partay, tentulah juga seorang gagah yang mempunyai pergaulan luas.
Seluruh Rimba Persilatan telah mengerahkan tenaga untuk menyelidiki pembunuhan itu dan atas perintah guru mereka. Bu tong Cit hiap turun gunung untuk membantu, tapi sesudah membuang banyak tempo dan tenaga, meraka tetap tidak berhasil dalam usahanya. Tak seorangpun tahu, siapa pembunuh yang kejam itu. Semua orang mengerti bahwa ada seorang yang sengaja mau mencelaka kan Seng Kun, karena sebegitu jauh Seng Kun dikenal sebagai manusia baik-baik dan beberapa orang yang telah dibinasakan, adalah sahabat-sahabat baiknya.
Orang satu satunya yang mungkin tahu siapa, pembunuh itu, adalah Seng Kun sendiri. Tapi jago itu mendadak menghilang tanpa meninggalkan bekassehingga, biarpun semua orang gagah dalam dunia Persilatan ingin membantu, mereka tidak berdaya sebab tidak tahu siapa penjahatnya.
Sekarang, sesudah mendengar pengakuan Cia Sun barulah Cui San dan So So mengetahui latar belakang dari kejadian-kejadian yang hebat itu.
Sesudah berdiam beberapa saat, Cia Sun melanjutkan penuturannya: "Kau harus tahu, bahwa tujuan dari sepak terjangku itu adalah untuk memaksa keluarnya Seng Kun. Dengan dicari oleh ribuan atau sedikitnya ratusan orang, menurut dugaanku, ia pasti akan dapat ditemukan."
"Tipu Toako memang sangat bagus," kata So So. "Akan tetapi sungguh kasihan orang-orang itu yang sudah dibunuh tanpa berdosa."
"Hm! Apakah kau tidak merasa kasihan terhadap orang tua dan anak istriku yang juga sudah dibunuh tanpa berdosa!" tanya Cia Sun dengan suara getir. "Dulu kulihat kau seorang yang sangat polos terbuka.
Tetapi sesudah menikah sepuluh tahun dengan Ngote, kau jadi bawel seperti nenek tua,"
So So melirik suaminya sambil bersenyum, "Toako, bagaimana buntutnya" Apa kau berhasil mencari Seng Kun?" tanyanya.
"Tidak, tidak berhasil," jawabnya. "Belakangan, waktu berada di Lokyang, aku bertemu dengan Song Wan Kiauw."
Cui San terkesiap. "Song Wan Kiauw, Toa sukoku ?" ia menegas.
"Benar, Song Wan Kiauw, kepala dari Bu tong cit hiap." jawabnya. "Sesudah aku mengamuk, Rimba Persilatan jadi kacau balau dan kalang kabutan. Tapi guru ...."
"Gie-hu," memutus Bu Kie. "Dia begitu jahat, mengapa masih memanggil guru kepadanya ?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Cia Sun tertawa getir. "Sudah kebiasaan sedari kecil," jawabnya. "Sebagian besar ilmu silatku didapat daripadanya. Dia jahat, akupun bukan manusia baik. Mungkin sekali, segala kejahatanku juga didapat daripadanya. Maka itu, aku tetap memanggil guru kepadanya."
Mendengar penuturan sang kakek yang sedemikian hebat. Cui San jadi merasa kuatir, bahwa ceritera itu akan memberi pengaruh kurang baik kepada Bu Kie. Diam-diam dia mengambil keputusan untuk memberi penerangan dan penjelasan lebih jauh kepada bocah itu.
Sementara itu, Cia Sun sudah menyambung pula penuturannya: "Melihat guruku belum juga muncul, aku berpendapat, bahwa kalau aku tidak melakukan perbuatannya yang menggemparkan dunia, ia pasti tak akan keluar. Sebagaimana kau tahu, daiam Rimba Persilatan, yang paling dihormati orang adalah partai Siauw lim dan Bu-tong."
"Menurut pendapatku, aku baru bisa berhasil jika membunuh seorang pentolan Siauw lim atau Bu tong. Hari itu, ditaman Bouw tan wan, depan kuil Ceng hie koan di Lokyang, aku telah menyaksikan cara bagaimara Song Wan Kiauw menghajar seorang hartawan jahat. Aku mendapat kenyataan, bahwa ia benar-benar berkepadaian tinggi dan pada saat itu juga, aku segera mengambil keputusan untuk membinasakannya."
Walaupun tahu, bahwa pada akhirnya Song Wan Kiauw tidak terbunuh, Cui San merasa terkejut juga.
Ia yakin, bahwa kepandaian Cia Sun banyak lebih tinggi dari saudara seperguruannya, sehingga kalau diserang, Toasuhengnya pasti akan dijatuhkan, So So yang juga tahu, bahwa Song Wan Kiauw tidak dibinasakan, lantas saja berkata: "Toako, masih untung kau tidak tega turunkan tangan jahat, Jika kau binasakan Song Tayhiap. Thio Ngohiap pasti akan mengadu jiwa denganmu dan kita tak bisa mengangkat saudara lagi."
Cia Sun mengeluarkan suara dari hitung. "Tidak tega" Mana boleh tidak tega?" katanya. "Kalau sekarang, aku tentu tak akan memusuhi orang orang Bu tong. Tapi pada waktu itu, jangankan Song Wan Kiauw, sedangkan Ngote sendiripun, jika bertemu denganku, aku pasti akan coba membinasakannya tanpa ragu ragu lagi."
"Gie hu. mengapa kau mau membunuh ayah?" Bu Kie menyelak.
"Aku hanya menyebutkan suatu perumpamaan dan bukan benar-benar mau membunuh ayahmu,"
jawab sang ayah angkat sambil tersenyum.
"Oh begitu?" kata si bocah.
Sambil mengusap-usap kepala anak itu, Cia Sun berkata pula dengan suara perlahan: "Meskipun langit sering menyakiti batiku, kali ini aku merasa syukur bahwa pada akhirnya, aku tidak membunuh Song Wan Kiauw. Memang benar, jika Song Wan Kiauw sampai dibunuh olehku, kita tak akan bisa mengangkat saudara." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata lagi: 'Malam itu, sesudah bersantap, aku segera bersemedhi di dalam kamar untuk mengumpulkan semangat dan tenaga. Aku mengerti, bahwa sebagai kepala dari Cit hiap, song Wan Kiauw mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Jika dengan sekali pukul aku tidak dakat membinasakannya dan ia bisa melarikan diri, maka rahasiaku akan bocor dan usaha mencari guruku akan gagal sama sekali. Bukan saja begitu, aku malah bakal dikepung oleh orang-orang gagah dikolong langit. sehingga, biarpun aku mempunyai tiga kepala enam tangan. Aku pasti tak kan dapat melawannya. Aku mati tak menjadi soal tapi jika aku mati begitu rupa, sakit hati yang begitu besar itu akan dibawa kelubang kubur."
"Gie hu," tiba Bu Kie menyelak lagi." Matamu tidak bisa melihat. Tunggulah sampia aku besar.
Sesudah mempunyai kepandaian tinggi, aku akan membalas sakit hati Gie hu."
Perkataan itu mengejutkan Cia Sun dan Cui San yang dengan serentak bangun berdiri. Dengan mata yang tak dapat melihat, Cia Sun "mengawasi" anak angkatnya dan berkata dengan suara perlahan: "Bu Kie, apa benar kau menpunyai niatan begitu?"
Cui San daa So Sa jadi bingung. Sekarang mereka berada disebuah pulau terpencil didaerah Kuub Utara, sehingga belum tentu mereka bisa kembali ke Tiong goan. Akan tetapi, di dalam Rimba Persilatan orang sangat mengutamakan kepercayaan. Sekali berjanji seumur hidup tak dapat ditarik lagi. Begitu lekas Bu kie menyanggupi untuk membalas sakit hati Cia Sun, maka ia segera memikul beban yang luar biasa berat diatas pundaknya. Sedang Cia Sun yang memiliki kepandaian sedemikian tinggi masih belum mampu membalas sakit hatinya, bagaimana anak itu bisa memenuhi janjinya "
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Menurut kebiasaan Rimba Persilatan, walaupun anak itu masih kecil, dalam urusan itu, ia harus mengambil keputusan sendiri dan orang tua nya tidak boleh mempengaruhi pikirannya. Maka itu, meskipun sangat berkuatir, Cui San dan So So tidak berani mengeluarkan sepatah kata.
"Gie hu," kata anak itu dengan suara nyaring "Orang yang membinasakan serentero keluargamu, bernama Hun goan Pek lek chioe Seng Kun, bukan" Baiklah Bu Kie akan mengingat nama itu.
Dibelakang hari, anak tentu mewakili ayah untuk membalas sakit hati dan akan membasmi seluruh keluarganya, tak satupun yarg diberi hidup!"
"Bu Kie ! Jangan ngaco kau!" bentak Cud San dengan gusar. "Satu orang yang berbuat, satu orang yang harus bertanggung jawab, Biarpun dosanya Seng Kun lebih besar lagi, hanya dia seorang yang harus mendapat hukuman. Lain orang yang tidak berdosa tidak boleh diganggu selembar rambutnya!"
"Ya, ya . . . Thia thia," katanya dengan suara ketakutan dan ia tidak berani membuka suara pula.
"Orang yang sudah mati tak tahu suatu apa," kata Cia Sun. "paling hebat ialah hidup sendirian di dalam dunia sesudah seluruh keluarga dibinasakan orang...."
"Toako, bagaimana kesudahan usahamu untuk bertempur dengan Toasuheng," Cui San memotong perkataan kakaknya. Ia berbuat begitu karena kuatir Cia Sun bicara terlalu panjang mengenai penderitaannya, sehingga dapat memberi pengaruh yang lebiih besar pada anaknya.
"Sungguh heran Toasuheng be1um pernah memberitahukan kejadian itu kepada kami"
"Song Wan Kiauw belum pernah mimpi bahwa ia pernah men jadi bulan-bulanan," jawabnya.
"Mungkin sekali, ia malah belum pernah mendengar nama kin mo Say ong Cia Sun. Mengapa "
Karena pada akhirnya, aku tidak jadi cari padanya."
Cui San menarik napas lega. "Terima kasih Langit, terima kasih bumi." katanya.
"Mengapa kau mengaturkan terima kasih kepada langit dan bumi?" tanya So So sambil tertawa. "Yang harus menerima pernyataan terima kasihmu adalah Cia Toako."
Mendengar itu, Cui San dan Bu Kie turut tertawa.
Cia Sun tidak turut tertawa. Paras mukanya berubah jadi duka dan ia berkata dengan suara perlahan:
"Kejadian malam itu masih diingat tegas olehku, seperti juga baru terjadi kemat in. Aku duduk diatas pembaringan batu dan menjalankan pernapasan, melatih Cit siang kun beberapa kali. Ngote, kau belum pernah menyaksikan pukulan Cit siang kun. Apa kau ingin melihatnya ?"
"Ilmu pukulan itu tentulah hebat luar biasa," mendahului So So "Toako, mengapa kau tidak cari Song Tayhiap ?"
"Kalau tidak hebat, bagaimana pukulan itu bisa dinamakan Cit siang kun?" kata Cia Sun sambil tersenyum dan lalu jalan mendekati satu pohon besar. Ia mengangkat tangan seraya menbentak keras, menghantam dahan pohon itu.
Dengan Lweekang yang dimilikinya, biarpun ia tak dapat merubuhkan pohon itu, sedikitnya tinju Cia Sun akan amblas didahan. Tapi diluar dugaan, pohon itu bergoyangpun tidak, sedang kulit nya tetap utuh.
So So merasa menyesal dan berkata di dalam hati: "Sesudah berdiam disini sembilan tahun, ilmu silat Toaka merosot banyak. Hal itu tak heran, karena ia memang tak pernah berlatih lagi." Tapi walaupun hatinya berduka, mulutnya bersorah sorai.
"Se moay sorakanmu tidak keluar dari hati yang setulusnya," kata sang kakak. "Kau anggap ilmu sllatku sudah tidak seperti dulu, bukan."
"Dengan berdiam di pulau terpencil ini dan kita berempat adalah orang sekeluarga, memang tak perlu kita berlatih silat lagi," kata So So.
"Ngotee, apa kau bisa melihat lihaynya pukulanku?" tanya Cia Sun tanpa menghiraukan So So.
"Waktu menyambar, pukulan itu sangat dahsyat, sehingga aku tidak mengerti, mengapa pohon itu tidak bergeming, malah daunnya tidak bergoyang," kata Cui San. "Aku percaya malah Bu Kie dapat menggoyang dahan itu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku bisa!" teriak sibocah sambil berlari-lari dan kemudian meninju dahan pohon itu. Benar saja pohon yang besar itu bergoyang keras. Kedua suami isteri girang bukan main, karena putera mereka sudah memiliki tenaga yang begitu besar. Mereka mengawasi Cia Sun dan menunggu penjelasan sang kakak.
Cia Sun bersenyum seraya berkata: "Tiga hari kemudian semua daun akan menjadi kering dan rontok dan selewatnya tujuh hari, pohon itu akan mati berdiri. Aku sudah memutuskan nadi pohon "
Kedua suami isteri kaget dan heran, tapi mereka tidak menyangsikan keterangan itu, karena sang kakak belum pernah berdusta.
Tiba-tiba Cia Sun menghunus To liong to dan menyabet putus dahan yang tadi dipukulnya. Dengan suara gedubrakan, pohon itu rubuh ditanah. "Mari, lihatlah," kata sang kakak. "Kalian boleh manyaksikan lihaynya Cit siang kun."
Cui San bertiga lantas saja menghampiri. Ternyata "hati" pohon sudah menjadi rusak, ada "urat-urat"
yang hancur dan ada juga yang putus, suatu tanda, bahwa pukulan itu mengandung beberapa macam tenaga. Bukan main rasa kagumnya Cui San dan So So. "Toako, hari ini kau telah membuka mata siauwtee," kata Cui San.
"Dalam pukulanku itu terdapat tujuh macam tenaga," kata sang kakak dengan suara bangga. "Tenaga keras, tenaga lembek dalam keras, keras dalam lembek dan sebagainya. Seorang musuh dapat menahan tenaga pertama, tak dapat menahan tenaga kedua, yang dapat menahan tenaga kedua, tak akan dapat menahan tenaga ketiga dan begitu seterusnya. Maka itulah, pukulan tersebut diberi nama Cit-siang kun.
Huh huh ! Mungkin sekali kau akan mengatakan bahwa Cit-siang kun terlalu kejam."
"Gie hu, bolehkah kau turunkan Cit siang kun kepadaku?" tanya Bu Kie.
"Tak bisa!" jawabnya seraya menggeleng-geleng kan kepala, sehingga bocah itu merasa sangat kecewa.
"Bu Kie, kau benar edan!" kata So So. "Pukulan Giehumu itu tak akan dapat dipelajari sebelum mempunyai Lweekang yang sangat tinggi."
Si bocah mengangguk seraya berkata: "Baiklah nanti kalau sudah memiliki Lweekang tiaggi, barulah Bu Kie mengajukan permintaan pula ke pada giehu."
"Tidak boleh, tak nanti aku turunkan Cit siang kun kepadamu," kata Cia Sun. "Dalam tubuh setiap manusia. bukan saja terdapat hawa Im dan yang (negatif dan positif ) tapi juga lima Heng yaitu Kim, Bok, Sui, Ho dan Touw (emas, kayu, air, api, dan tanah). Misalnya saja, paru-paru termasuk dalam Kim, buah pinggang termasuk dalarn Sui, nyali termasuk dalam Touw dan sebagainya. Begitu lekas seorang melatih diri dalam pukulan Cit siang cun, tujuh bagian isi perutnya yang sangat penting akan terluka. Makin tinggi kepandaiannya, makin hebat luka di dalam itu. "Cit siang" atau "tujuh luka", lebih dulu melukai diri sendiri. Kemudian baru melukai musuh. Sabah musabab mengapa aku sering kalap adalah karena latihan Cit siang kun"
Cui San dan So Sal terkejut. Baru sekarang mereka tahu, mengapa Cia Sun yang bun bu song Cui (pandai ilmu surat dan ilmu silat) acap kali berlaku seperti binatang buas.
"Jika aku melatih Cit siang kun sudah memiliki Lweekang yang sama tingginya sepertt Lwee kang Kong kian Taysu atau Thio Cinjin dari Bu tong pay, mungkin sekali aku tidak sampai terluka, luka itu tidak menjadi halangan," kata pula Cia Sun. "Aku sudah tidak menghiraukan segala bencana karena didorong oleh keinginan untuk membalas sakit hati secepat mungkin. Tahun itu, sesudah membinasakan tujuh orang, barulah aku dapat merampas kitab Cit siang kun dari tangan Kong tong pay dan dengan tergesa-gesa segera melatih diri menurut petunjuk-petunjuk kitab itu. Aku berbuat begitu, sebab kuatir guruku keburu mati dan aku tidak bisa membalas sakit hati. Sesudah kasep dan tidak bisa diubah lagi, barulah aku mendusin, bahwa aku sudah mendapat luka di dalam. Aku sama sekali tidak memikir untuk lebih dulu menyelidiki, mengapa dalam kalangan Kong tong pay sendiri tidak ada orang yang mempelajari ilmu pukulan itu. Disamping itu, masih ada lain sebab, mengapa aku segera melatih diri dalam Cit siang kun. Pukulan itu mempunyai sifat-sifat yang dahsyat dap menyeramkan dan bagiku, hal itu merupakan keuntungan besar. Su moay, apakah kau mengerti maksudku."
So So memikir sejenak. "Apakah Toako maksud kan bahwa Cit siang kun agak mirip dengan ilmu silat Pek lek chioe." tanya si adik.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Benar!" jawabnya. "So moay, kau sungguh pintar. Guruku bergelar Hun goan Pek lek chioe, atau si Tangan geledek, dan ilmu silatnya mengandung pengaruh angin dan geledek yang sangat hebat. Jika aku menyerang dengan Cit siang kun, ia pasti akan menduga, bahwa aku menyerang dengan ilmu silatnya sendiri, ia akan mendusin sesudah pukulanku mampir dibadannya, tapi sudah kasep. Ngotee, jangan kau mengatakan, aku licik dan kejam, Guruku adalah salah seorang yang paling hati-hati dan paling kejam didunia. Jika kau tidak menggunakan racun untuk melawan racun, sakit hatiku pasti tidak akan terbalas.
Hai! Ngotee, aku sudah melantur terlalu jauh sehingga melupakan soal Kong kian Taysu yang mau dituturkan olehku. Malam itu, sesudah melatih diri dalam Cit siang kun, aku segera berangkat untuk cari Song Wan Kiauw."
"Selagi melompat keluar dari tembok, sedang kedua kakiku belum hinggap dibumi, tiba-tiba pundakku ditepuk orang. Aku kaget bukan main. Bahwa badanku disentuh orang tanpa aku mampu menangkis, adalah kejadian yang belum pernah terjadi, Bu Kie, cobalah kau pikir. Jika orang itu menepuk dengan menggunakan Lweekang, bukan kah aku sudah mendapatkanluka berat" Aku balas memukul dan begitu lekas kaki kiriku hinggap ditanah, aku memutar badan. Saat itu sekali lagi aku merasa punggungku ditepuk orang dan hampir berbareng terdengar hela napas dan suara seorang: "Lautan penderitaan tiada terbatas, menengok kebelakang melihat tepian."
Bu Kie gembira sekali, ia tertawa terbahak bahar. "Gie hu," katanya. "Apa orang itu main main denganmu?" Cui San dan So So sudah menebak, bahwa orang itu Kong kian Taysu adanya.
"Waktu itu aku begitu kaget, sehingga sekujur badan dingin semua," Cia Sun melanjutkan panturannya. "Dengan kepandaian yang sedemikian tinggi, dengan mudah orang itu bisa mengambil jiwaku. Tapi delapan perkataan yang diucapkan nya bernada lemah lembut, penuh kasih dan sayang.
Begitu memutar badan. kulihat seorang pendeta yang mengenakan jubah putih berdiri dalam jarak empat tombak lebih. Dengan demikian, sesudah menepuk punggungku, ia sudah melompat kurang lebih empat tombak jauhnya dan kecepatan gerakan itu sungguh-sungguh luar biasa."
"Pada waktu itu, aku hanya menarik suatu kesimpulan, bahwa yang berdiri di hadapanku bukan manusia, tapi setan penasaran dari seorang yang telah diburuh olehku. Aku menarik kesimpulan itu, karena, menurut pendapatku, seorang manusia biasa tak nanti mampu bergerak begitu cepat. Sebab menduga begitu, nyaliku jadi besar lagi dan aku segera membantak: Setan siluman! Pergi kau! Aku tidak takut Langit dan bumi, apalapi kau!"
"Pendeta itu merangkap kedua tangannya seraya berkata: Cia Kiesu, Looceng Kong kian memberi hormat. Begitu mendengar perkataan 'Kong kian' aku terkesiap. Sudah lama kudengar 'Siauw lim Sang ceng, Kian, bun, tie seng yang tersiar luas di dalam Rimba Persilatan. Kong kian Taysu adalah kepala dari empat pendeta nabi (Sengceng ) Siauw lim sie sehingga tidaklah heran jika ia memiliki kepandaian yang begitu tinggi."
Mendengar sampai disitu, hati Cui San dan So So merasa sangat tidak enak, karena mereka tahu, pada akhirnya Kong kian binasa karena tiga belas pukulan Cia Sun.
Sesudah berdiam sejenak, Cia Sun berkata pula: "Aku mengawasinya seraya bertanya: Apa kah aku sedang berhadapan dengan Kong kian Seng ceng dari Siauw lim sie" Ia jawab: Perkataan Seng ceng aku tidak dapat menerima tapi memang benar loolap ialah Kong kian dari Siaw Lim sie. Aku kata: Aku dan Taysu belum pernah mengenal satu sama lain, tapi mengapa Taysu mempermainkan aku" kata Kong kian: Mana berani loolap mempermainkan Kiesu" Aku hanya ingin menanya: Kemana Kiesu mau pergi"
Ku jawab: Kemana kumau pergi tiada sangkut pautnya dengan Taysu! Ia menghela napas dan berkata dengan suara perlahan: Malam ini Kiesu ingin membunuh Song Wan Kiauw Tayhiap dari Bu tong pay.
Bukankah begitu" Sekali lagi aku terkesiap."
"Ia mengawasi aku dengan mata tajam dan berkata pula: Kiesu ingin melakukan perbuatan yang menggemparkan Rimba Persilatan untuk memancing keluar Hun goan Pek lek chioe Seng Kun guna membalas sakit hati.... Aku heran dan kaget tak kepalang. Aku belum pernah memberitahu perbuatan guruku kepada orang lain dan gurukupun tak pernah membuka rahasia busuknya itu ?"
"Begitu mendengar Hun goan Pek lek chioe Seng Kun, tubuhku menggigil. Jika Taysu sudi mengunjuk dimana adanya dia, aku rela menjadi kerbau atau kuda untuk kepentingan Taysu, kata ku. Ia menghela napas dan berkata dengan suara menyesal: Perbuatan Seng Kun memang suatu kedosaan yang sangat besar. Akan tetapi, dalam kegusarannya, Kiesu sudah membunuh begitu banyak orang dan perbuatan Kiesu itu juga merupakan kedosaan yang tidak kecil."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku mendongkol dan sebenarnya ingin sekali menyemprotnya. Tapi karena tahu, bahwa aku bukan tandingannya, maka sambil menahan amarah, aku berkata: Aku berbuat begitu sebab tidak ada jalan lain.
Seng Kun menyembunyikan diri dan aku tidak dapat mencarinya."
"Ia manggut-manggutkan kepala seraya berkata: Aku mengerti, aku sangat merasakan perasanmu.
Sakit hatimu besar luar biasa dan aku tidak dapat melampiaskan, akan tetapi, Song Tay hiap adalah murid pertama Thio Sam Hong Cinjin dan jika kau membinasakannya, bakal muncul gelombang yang tidak kecil. "
"Aku tersenyum getir. Itu memang tujuanku,jawabku. Makin dahsyat gelombang yang diterbitkan olehku, makin baik lagi, karena hanialah itu yang bisa memaksa keluarnya Seng Kun dari tempat persembunyiannya."
"Sesudah itu, aku dan Kong Kian bicara seperti berikut: Cia Kiesu, jika kau membinasakan Song Tayhiap, memang Seng Kun tidak bisa tidak keluar dari tempat persembunyiannya. Akan tetapi, Seng Kun sekarang bukan Seng Kun dulu. Terang terang aku mengatakan, bahwa kepandaian Kie su masih belum dapat menandinginya. Biar bagaimanapun jua, Kiesu tak akan bisa membalas sakit hatimu. "
"Seng Kun adalah guruku. Aku lebih mengenal kepandaiannya daripada Taysu."
"Tidak, tidak begitu. Ada halnya yang tidak di ketahui Kiesu. Seng Kun telah mendapat guru yang sangat lihai dan selama tiga tahun ia telah memperoleh kemajuan lvar biasa pesat. Biarpun Kiesu mahir dalam ilmu Cit siang kun dari Khong tong pay Kiasu tak akan dapat melukakannya"
"Untuk sekian kalinya aku terkejut. Kong kian Taysu belum pernah bertemu denganku, tapi gerak gerikku diketabui begitu jelas olehnya. Aku mengawasinya dengan mata membelalak. Sesudah menenteramkan hatiku yang berdebar-debar, aku bertanya: Bagaimana Taysu tahu" Ia menjawab: Seng Kun sendiri yang memberitahukan kepadaku"
Cui San, So So dan Bu Kie mengeluarkan suara tertahan dengan berbareng.
"Kalian heran, tapi aku lebih heran lagi. Aku melompat bahna kagetku, dan membentak: Bagaimana dia tahu" Kong kian menjawab dengan suara perlahan: Selama beberapa tahun, ia selalu mendampingi Kiesue. Hanya karena ia selalu selalu menyamar, maka Kiesu tak mendapat tahu. Tak mungkin! teriakku.
Tak mungkin! Aku mengenalnya. Biarkan dia sudah menjadi abu, aku masih dapat mengenalinya."
"Kong kian menggelengkan kepala seraya berkata deagan suara lemah lembut: Cia Kie su, kau bukan seorang semberono. Akan tetapi, karena kau hanya ingat soal membalas sakit hati, maka kau tidak memperhatikan keadaan disekitarmu. Kau di tempat terang, dia di tempat gelap. Tak heran jika kau tidak mengenalinya."
"Aku tidak bisa tidak percaya keterangan itu. Kong kian taysu adalah seorang pendeta suci yang namanya terkenal dikolong langit, sehingga tak mungkin ia berdusta. Kalau begitu, bukankah lebih baik baginya jika ia membunuh aku dengan membokong" kataku. Jika ia ingin mengambil jiwa, ia dapat melakukannya seperti membalik tangan sendiri, Kata Kong kian: Cia Kiesu, dua kali kau coba membalas sakit hati, dua kali telah dikalahkan. Jika ia memang mau menghendaki jiwamu, mengapa waktu itu ia tidak turun tangan" Pada waktu kau coba merampas kitab Cit siang kun, kau telah mengadu Lweekang dengan tiga tetua dari Kong tong pay. Sebagai mana kau tahu, partai itu mempunyai lima orang tetua.
Kemana perginya dua tetua yang lain" Mengapa kedua orang itu tidak turut mengerubuti kau" Kalau Ngo lo (Lima tetua) turun tangan dengan berbareng, apakah Kiesu masih bisa hidup terus?"
"Untuk kesekian kalinya, aku terkejut. Memang benar, waktu aku melukakan Khong tong Sam loo (Tiga tetua Khong tong pay), aku mendapat tahu, bahwa dua tetua yang lain, yang tidak turut bertempur, juga mendapat luka berat. Hal itu selalu merupakan teka teki yang tidak dapat dipecahkan olehku.
Apakah kedua tetua itu berkelahi dengan kawan sendiri" Apakah aku dibantu oleh seorang yang berilmu tinggi" Sekarang, mendengar perkataan Kong kian Taysu, aku bertanya di dalam hati. Apakah dua tetua itu dilukakan oleh Seng kun ?"
Cui San dan So So adalah orang oraag mempunyai pengalaman, pergaulan dan pendengaran luas.
Mereka sudah kenyang mendengar cerita cerita aneh dalam Rimba persilatan, tapi belum pernah ada yang seaneh cerita Cia Sun. Sesudah bergaul lama, mereka tahu, bahwa Cia Sun bukan lihat ilmu silatnya saja, tapi juga lihay otaknya. Tapi Hun Goan Pek lek chioe Seng Kun kelihatannya lebih lihay dari pada saudara angkat itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Toako." kata So So. "Apa benar kedua tetua Khong tong pay dilukakan oleh gurumu?"
Cia Sun mengangguk seraya menjawab "Benar. Akupun tetah mengajukan pertanyaan begitu kepada Kong kian. Cia Kiesu, apa kau lihat mukanya kedua tetua itu " tanyanya. Bagaimana paras muka mereka"
Aku tidak lantas menjawab dan mengingat-ingat beberapa saat, barulah aku berkata: Kalau begitu, Khong tong jie loo benar telah dilukakan oleh guruku. Aku terpaksa mengakuinya, karena kuingat, bahwa pada waktu
Khong tong Jie loo menggeletak ditanah, muka mereka penuh dengan bintik-bintik merah darah. Itu merupakan petunjuk, bahwa mereka telah menyerang dengan menggunakan tenaga Im kin (Tenaga lembek), tapi telah dipukul balik dengan ilmu Hun goan kong. Setahuku, disamping akibat pukulan Hun goan kong, bintik-bintik merah di muka ialah tanda dari penyakit cacar atau sebangsanya. Tak mungkin Jie loo mendapatkan penyakit cacar, karena pada hal itu, ketika aku baru bertemu dergan Khong tong Ngo loo, mereka semua segar bugar. Aku juga tau, bahwa di dalam Rimba Persilatan. Hun goan kong hanya dimiliki oleh
guruku dan aku saja."
"Kong kian Taysu manggut-manggutkan kepala. Ia menghela napas seraya berkata: Dalam keadaan mabuk, memang gurumu telah melaku kan perbuatan sangat hebat. Sesudah tersadar dari mabuknya, ia malu dan menyesal bukan main. Dua kali kau mencarinya untuk membalas sakit hati, dua kali ia tidak mengambil jiwamu.Ia malah tidak ingin melukakan kau. Tapi kerena kau menyerang secara nekad bagaikan orang edan, ia tak bisa meloloskan diri tanpa melukakan kau. Sesudah itu ia terUs membayangi kau dari belakang dan tiga kali diam-diam ia sudah menolong kau dari bencana."
"Aku segara mengingat ingat dan memang benar, selain dari peristiwa pertempuran melawan para tetua Khongtongpay, dua kali aku terlolos dari bahaya secara mengherankan."
"Sesudah berdiam sejenak, Kong kian Taysu berkata pula: karena tahu, bahwa kedosaannya terlalu besar, ia tidak berani memohon ampuh. Ia hanya mengharap, bahwa lama-lama kau akan melupakan sakit hati itu. Tapi diluar dugaan, gelombang yang diterbitkan olehmu makin lama jadi makin besar dan jumlah manusia yang dibinasakan olehmu jadi makin banyak. Hari ini jika kau membinasakan Song Tayhiap, suatu bencana besar tak akan dapat dielakkan lagi."
"Mendengar itu, aku segera berkata: Baiklah, aku tak akan cari orang she Song itu, Tapi aku harap Taysu suka minta guruku menemui aku. Jawab kong kian Taysu: ia tak mempunyai muka untuk bertemu dengan kau dan iapun tak berani menemui kau. Disamping itu, Cia Kiesu, bukan loolap mau memandang rendah kepadamu, andaikata kau bertemu dengan gurumu, kaupun tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Dibandingkan dengan dia, kepandaianmu masih terlalu rendah. Kurasa kau tak akan mampu membalas sakit hatimu."
"Aku mata sangat mendongkol dan segera berkata: Taysu adalah seorang pendeta suci yang mempunyai perasaan adil. Apakah dengan berkata begitu Taysu ingin aku menyudahi saja urusan ini" Ia mengawasi aku dengan sorot mata kasihan."
"Aku dapat merasakan hebatnya penderitaan Kiosu. katanya. Akan tetap, kau harus ingat, bahwa perbuatan gurumu dilakukan dalam keadaan mabuk arak dan ia sebenarnya sama sekali tidak berniat begitu. Apa pula ia sungguh2 nerasa malu dan menyesal. Maka itu, loolap memohon pertimbangan Kiesu mengingat kecintaan antara guru dan murid pada masa yang lampau."
"Mendengar bujukan itu, sambil menahan amarah aku segera berkata dengan suara kaku! Kalau kali ini aku tidak bisa memenang kan dia, biarlah dia binasakan aku. Jika aku tidak bisa membalas sakit hati, akupun tak sudi hidup lebih lama lagi di dalam dunia."
"Kong kian mengawasi aku dengan paras muka berduka. Lama ia berdiri termenung tanpa menegeluarkan sepatah kata. Cia Kiesu, katanva dengan suara perlahan, ilmu silat gurumu di waktu sekarang berbeda jauh dari pada diwarktu dulu. Biarpun kau mempunyai pukulan Cit siang kun, tak dapat kau melukakannya. Jika kau tak percaya, cobalah jajal pukulan itu terhadap diri loolap."
"Aku dan Taysu sama sekali tidak mempunyai permusuhan, mana berani aku melukakan Taysu"
kataku, Walaupun berkepandaian rendah, kurasa Cit Siang kun tak mudah dilawan orang. Mendengar jawabanku, ia mengawasi aku sejenak dan kemudian berkata dengan suara tetap: Cia Kiesu, marilah kita bertaruh. Gurumu telah membinasakan tigabelas anggauta keluargamu dan kau boleh memukulku tigabelas kali. Jika kau berhasil melukakan aku, aku tak akan campur lagi urusan ini dan gurumu akan keluar untuk menemui kau. Tapi jika kau tak dapat melukakan aku, kau harus melupakan sakit hatimu.
Cia Kiesu, bagaimana pendapatmu" Apa kau setuju pertaruhan ini."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku tidak lantas menjawab. Kutahu pendeta itu memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan biarpun lihay, Cit siang kun belum tentu dapat melukainya. Kalau aku tidak bisa melukainya, apakah sakit hatiku boleh disudahi saja?"
"Sementara itu, Kong kian sudah berkata: Sekarang aku mau bicara terang-terangan kepada Kiesu.
Sesudah mencampuri urusan ini, loolap pasti tidak akan mempermisikan kau membinasakan lagi kawan-kawan Rimba Persilatan yang tak berdosa. Jika mulai dari sekarang Kiesu menghentikan perbuatan kejam itu, aku bersedia untuk melupakan segala perbuatan perbuatan dulu-dulu.
"Cia Kiesu, kau mencari musuhmu untuk membalas sakit hati. Apakah kau kira kelurga atau murid-murid dari orang-orang yang dibunuh olenhmu tidak akan mencarimu untuk membalas sakit hati?"
"Mendengar perkataan itu yang diucapkan dengan suara keren amarahku meluap. Baiklah aku akan pukul kau tiga belas kali! teriakku. Jika merasa tidak tahan, Taysu boleh segera berteriak. Seorang laki-laki tak akan melanggar janji sendiri. Kalau kalah, Taysu harus meyuruh guru menemui aku."
"Kong kian bersenyum seraya berkata: Kiesu boleh segera mulai. Melihat badannya yang kate kecil, rambut dan alisnya yang sudah putih, dan paras mukanya yang welas asih, aku sungguh merasa tak tega untuk turun tangan. Maka itu, dalam pukulan pertama, yang ditujukan kedadanya aku hanya menggunakan tiga bagian tenaga"
"Gie hu," memotong Bu Kie, "apakah kau menggunakan Cit siang kun yang dapat memutus kan nadi pohon?"
"Tidak," jawabnya. "Dalam pukulan pertama aku menggunakan Pek lek chioe dari guruku. Begitu terpukul, badan Kong kian Taysu bergoyang goyang. Ia mundur setindak, Di dalam hati, aku memandang rendah kepadanya. Dengan mengguna kan tiga bagian tenaga saja, ia sudah terhuyung setindak. Aku menduga, bahwa jika aku memukul dengan Cit siang kun, dalam tiga kali pukul mengambil jiwanya.
Dalam pukulan kedua aku menambah tenaga. Badannya bergoyang goyang pula dan dia mundur setindak lagi. Pukulan yang ketiga pun mengeluarkan hasil yang sama"
"Diam-diam aku merasa heran. Dalam pukulan ketiga, aku kembali menambah tenrga, tapi ia tetap dapat menerimanya dengan sikap acuh tak acuh. Selain begitu, akupun merasa heran, karena tubuhnya sama sekali tidak mengeluarkan tenaga yang melawan tenaga pukulanku."
"Aku segera menarik kesimpulan, bahwa untuk merubuhkannya aku perlu menggunakan seantero tenaga. Akan tetapi, jika aku menggunakan seluruh tenaga, ia tentu akan terpukul mati, atau sedikitnya terluka berat. Biarpun aku seorang jahat dan kejam, tapi terhadap Kong kian Tayso yang rela berkorban untuk kepentingan orang lain, aku menaruh hormat yang sangat besar. Maka itu, aku lantas berkata: Taysu, kau menerima pukulan tanpa membalas. Aku tak tega memukul lagi. Kau sulah dipukul tiga kaii.
Baiklah aku sekarang berjanji tak akan cari Song Wan Kiauw."
"Tapi bagaimana dengan sakit hatimu terhadap Seng Kun " tanyanya. Dengan bernapsu aku menjawab: Aku dan Seng Kun tidak bisa hidup bersama-sama dikolong langit. Kalau bukan dia, akulah yang binasa. Aku berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: Tapi sesudah Taysu tampil kemuka, dengan memandang Taysu aku berjanji, bahwa mulai dari sekarang aku tak akan membunuh lagi kawan-kawan dalam Rimba Persilatan. Tujuanku hanya Seng Kun dan keluarganya!"
"Ia merangkap kedua tangannya seraya berkata: Atas nama kawan-kawan Rimba Persilatan, aku menghaturkan terima kasih untuk janji Kiesu itu. Tapi loolap sudah mengambil keputusan untuk mendamaikan sakit hati ini, sehingga oleh karenanya, lebih baik Kieso meneruskan pukulan itu"
"Diam-diam aku menghitung-hitung. Memang paling baik aku melakukannya dengan Cit siang kun untuk memaksa keluarnya guruku. Untung juga, aku sudah mahir dalam pukulan itu, sehingga berat entengnya, mengirimnya atau menarik pulangnya dapat dilakukan sesuka hatiku. Dengan demikian, kurasa aku akan dapat mengimbangi pukulanku supaya tidak sampai mengambil jiwa pendeta yang mulia itu. Memikir begitu, aku segera berkata: Baiklah dan lalu mengirim pukulan Cit siang kun. Begitu lekas tinjuku menyentuh dadanya, dada itu agak melesak dan ia maju setindak."
Bu Kie menepuk-nepuk tangan. "Heran sungguh !" katanya sambil tertawa. "Kali ini, sebaik nya dari pada mundur, Hweeshio tua itu maju kedepan."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Toako, bukankah Kong kian Taysu menyambut pukulanmu dengan ilmu Kim kong Poet hoay tee (ilmu malaikat untuk membebaskan tubuh manusia dari sega1a kerusakan) dari Siauw lim pay?" tanya Cui San.
Cia Sun mengangguk beberapa ka1i. "Ngotee, kau ternyata mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas sekali," ia memuji. "Memang benar Kong kian Taysu menggunakan ilmu itu. Kali ini, berbeda dari pada waktu menyambut tiga pukulan yang pertama, dari dalam tubuhnya keluar tenaga berbalik, sehingga isi perutku tergoncang hebat. Aku mengerti, bahwa Kong kian Taysu sudah terpaksa mengeluarkan ilmu tersebut. Jika tidak, ia tak akan dapat menyambut pukulan Cit siang koan. Sudah lama kudengar, bahwa Kim kong Poet huy tee dari Siauw lim pay adalah salah satu dari lima ilmu ajaib yang tertinggi dalam Rimba Persilatan. Sekarang baru aku tahu ilmu itu sungguh-sungguh hebat. Aku segera mengirim tinju kelima dengan menggunakan tenaga im-jioe (Tenaga lembek). Ia menyambutnya dengan maju lagi setindak dan aku sendiri lalu mengerahkan Lweekang untuk mempunahkan tenaga im-jioe yang berbalik menghantam diriku..."
"Giehu," Bu Kie memutus pula perkataan ayah angkatnva," pendeta tua itu telah melanggar janji. Ia berjanji tidak akan membalas, tapi mengapa ia menghantam balik tenaga Im-jioemu?"
Cia Sun mengusap usap kepala bocah itu dan berkata pula dengan suara halus: "Sesudah aku mengirim tinju kelima, Kong kian Taysu berkata: Cia Kiesu, aku tak nyana Cit siang kun sedemikian hebat. Jika aku tidak mengerahkan Lweekang untuk menolak tenagamu, aku tak akan dapat bertahan."
"Tidak apa, kataku. Bahwa Taysu sudah tidak membalas dengan pukulan, aku sudah merasa amat sangat berterima kasih."
"Bagaikan huyan angin aku segera mengirim pukulan keenam, ketujuh, kedelapan dan kesembilan.
Kong kian Taysu sungguh-sungguh lihay. Ia menyambut setiap pukulan dengan sikap tenang dan apa yang paling mengherankan, ia dapat membedakan lebih dulu tenaga tenaga yang digunakan olehku."
"Awas! teriakku seraya mengirim tinju yang kesepuluh."
(Bersambung jilid 13) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 13 Ia mengangguk sedikit dan lalu mendului maju dua tindak kedepan.
"Dalam pukulan yang kesepuluh aku telah menggunakan seantero tenaga dan aku terhuyung kebelakang beberapa tindak sebab terbentur dengan tenaga menolak yang sangat dahsyat. Aku tidak bisa melihat mukaku sendiri."
"Tapi kutahu mukaku sudah pucat bagaikan kertas, sedang napas Kong kian Taysu pun tersengal sengal. Cia Kiesu, kau harus mengaso dulu sebelum mengirim pukulan kesebelas, katanya. Aku adalah seorang yang sungkan mengaku kalah, tapi pada saat itu, benar-benar ku tak sanggup segera mengirim pukulan."
Cui San dan So So mengawasi sang kakak dengan perasaan tegang.
"Giehu, lebih baik kau jangan memukul lagi," kata Bu Kie dengan tiba tiba.
"Mengapa?" tanya Cia Sun.
"Pendeta tua itu sangat mulia hatinya," jawab nya. "Jika Giehu melukakannya, hati Giehu tentu merasa tak enak. Jika Giehu terluka kejadian itu sama tidak baiknya."
Cui San dan So So saling melirik. Mereka merasa girang, bahwa Bu Kie yang masih begitu kecil sudah mempunyai pemandangan jauh. Terutama Cui San merasa sangat terhibur, karena ia mendapat kenyataan, bahwa puteranya mempunyai pribudi yang luhur dan dapat membedakan apa yang benar, apa yang salah.
Cia Sun menghela napas panjang. "Ya" Aka hidup berpuluh tahun dengan cuma-cuma dan pikiranku tak bisa menandingi pikiran anak kecil," katanya dengan suara menyesal. "Tapi pada waktu itu, dengan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
adanya tekad bulat untuk membalas sakit hati, aku tidak menghiraukan apapun juga. Aku merasa, bahwa jika aku memukul tiga kali lagi, salah seorang pasti akan binasa atau luka berat. Tapi aku tidak perduli.
Aku segera mengerahkan seluruh lweekang dan mengirim pukulan yang kesebelas. Kali ini ia melompat, sehingga tinju yang ditujukan kedadanya. mengenakan kempungan. Aku mengerti maksudnya yang sangat mulia. Jika aku memukul dadanya, tenaga mendorong dari dada itu hebat luar biasa dan ia kuatir aku tak kuat menerimanya. Tapi dengan memasang kempungan, ia sangat menderita. Begitu kena, ia mengerutkan alis, seperti orang sedang menahan sakit."
"Untuk sejenak aku berdiri terpaku dan mengawasi dengan mata mendelong. Taysu, kedosaan guruku sangat besar dan tak lebih dari pada pantas jika ia menerima hukuman mati, kataku dengan suara terharu.
Mengapa Taysu rela mengorbankan diri yang berharga bagaikan emas dan giok untuk menolong manusia yang berdosa itu?"
"Ia tidak lantas menjawab. Untuk beberapa saat, ia berdiri tegak dan mengatur jalan pernapasan.
Sesudah itu, ia tertawa getir seraya berkata: Dua pukulan lagi . . . dan . . . permusuhan akan cepat dibereskan . Melihat begitu tiba-tiba dalam otakku berkelebat serupa ingatan. Ternyata pada waktu mengerahkan tenaga Kim long Poet hay tee, ia tidak boleh bicara. Mengapa aku tidak memancing supaya ia bicara dan dengan berbareng mengirim pukulan mendadak ?"
"Mengingat begitu segera aku berkata : Kalau dalam tigabelas pukulan, aku berhasil melukakan Taysu, apakah Taysu tanggung bahwa guruku bakal datang untuk menemui aku" Seorang beribadat tak akan berdusta, jawabnya. Meskipun Taysu berjanji, tapi apakah Taysu mempunyai pegangan, bahwa ia pasti akan muncul " tanyaku pula. Ia menjawab: ia sendiri yang mengatakan begitu kepadaku."
"Pada detik itulah, sebelum ia bicara habis dengan mendadak dan bagaikan kilat cepatnya, aku mengirim pukulan yang kedua belas kearah kempungannya. Aku merasa pasti bahwa ia tak akan keburu mengerahkan tenaga Kim kong Poeti hay tee !"
"Tapi diluar dugaan, ilmu itu dapat digunakan menurut kemauan hati. Begitu lekas tinjuku menyentuh kempungannya, tenaga malaikat dari Kim kong Poet hoay tee sudah berada diseluruh tubuh nya. Tiba-tiba aku merasa langit berputar dan bumi terbalik, sedang isi perutku seolah-olah mau meledak. Aku terhuyung tujuh delapan tindakkan. Sesudah punggungku membentur pohon, barulah aku bisa berdiri tegak."
"Hatiku hancur dan mendadak aku mendapat pikiran jahat. Sudahlah! teriakku. Sakit hati ini sukar bisa dibalas. Guna apa Cia Sun hidup lebih lama di dalam dunia " Seraya berkata begitu, aku mengangkat tangan untuk menghantam batok kepalaku."
"Lihay ! Sungguh lihay tipu itu!" seru Bu Kie. "Tapi Giehu, apakah siasatmu itu tidak terlalu kejam?"
"Melihat apa kau?" tanya Cui San,
"Melihat Giehu mau membunuh diri dengan rnenghantam batok kepala sendiri, Hweeshio tua itu pasti akan berteriak untuk mencegah dan akan coba menolong," jawab Bu Kie. "Giehu pasti akan turun tangan pada saat pendeta itu tidak berjaga-jaga. Tapi ia begitu baik terhadapmu dan Giehu tentu tidak boleh melukakannya. Bukankah begitu" "
Bukan main herannya Cui San dan So So. Mereka memang tahu, bahwa anak itu sangat cerdas otaknya. Tapi mereka sama sekali tak pernah menduga, bahwa dalam tempo sekejap mata, ia sudah bisa melihat akal khianatnya Cia Sun. Mereka sendiri adalah orang-orang yang terkenal pintar dan mempunyai banyak pengalaman dalam dunia Kangouw. Tapi dalam kecepatan berpikir, mereka ternyata masih kalah setingka t dari anak itu.
Paras muka Cia Sun berubah sedih dan sesudah menghela napas, ia berkata dengan suara parau:
"Benar. Aku justru ingin menialah gunakan kemuliaan Kong kian Tayso! BoaeKie, tebakanmu tepat sekali. Biarpun benar gerakanku itu merupakan suatu akal busuk, tapi pada waktu aku mengayun tangan untuk menepuk batok kepalaku, aku menghadapi bahaya yang sangat besar. Kalau aku tidak menghantam sungguh-sungguh dengan sepenuh tenaga, Kong kian tentu bisa melihatnya dan ia pasti tak akan coba, menolong."
"Dari tiga belas pukulan hanya ketinggalan satu pukulan saja. Cit siang kun memang lihay, tapi sudah ter bukti, bahwa itu tak bisa menghancurkan Kim kong Poet hoay tee yang melindungi seluruh tubuhnya.
Maka itu, dengan pukulan biasa, tak usah diharap aku bisa berhasil dan aku boleh tak usah mimpi untuk membalas sakit hati ini. Demikianlah, ibarat orang berjudi, pada detik itu aku tengah melemparkan dadu
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
yang penghabisan kali. Aku menghantam dengan sekuat tenaga. Jika ia tidak menolong, maka aku akan binasa dengan kepala hancur. Memang, kalau aku tidak bisa membalas sakit hati, memang labih baik aku binasa"
"Melihat sambaran tanganku, Kong kian Taysu berteriak: Hei! Jangan ... Seraya berteriak, ia melompat dan nenangkis tanganku. Pada detik itulah aku mengirim tinju kiri kebawah dadanya. Buk ! Tinjuku mampir tepat pads sasarannya. Kali ini ia benar sekali tidak berjaga jaga. Tubuh manusia terdiri dari darah dan daging tentu saja tak bisa menerima pukulan Cit sang kun yang sehebat itu. Tanpa bersuara, pendeta yang sangat rnulia itu rubuh ditanah!"
"Aku mengawasinya sejenak dan tiba tiba rasa kemanusiaanku mengamuk hebat. Aku memeluknya dan rnenangis keras. Kong kian Taysu, Cia Sun tak mengenal pribadi, lebih hina daripada babi dan anjing! kataku dengan suara parau."
Cui San bertiga tidak rnengeluarkan sepatah kata. Mereka sangat berduka akan kebinasaan pendata yang berhati begitu mulia.
"Melihat aku menangis, Kong kian Taysu bersenyum." kata pula Cia Sun. "Ia menghibur aku dengann berkata: Setiap manusia didunia harus pulang kealam baka! Kiesu tak usah begitu sedih. Tak lama lagi gurumu akan tiba disini dan kau harus menghadapinya dengan penuh ketenangan."
"Nasehat itu menyadarkan aku. Barusan, sesudah megirimkan tiga belas pukulan, tenaga ku dapat di katakan habis. Sekarang dalam menghadapi lawan berat, tak boleh aku terlalu berduka, karena hal itu dapat merusak semangat. Aku segera bersila dan mengatur jalan pernapasan. Tapi sesudah lewat sekian lama, guruku belum juga datang. Aku melirik kong kian Taysu dan melihat bahwa pada paras mukanya terlukis rasa heran."
"Sesaat itu, napas Kong kian Taysu sudah sangat lemah. Iapun mengawasi aku dan berkata dengan suara terputus putus. Tak dinyana .... ia tidak.....tidak..... boleh dipercaya. Apa dia tertahan karena urusan lain ?"
"Aku gusar tak kepalang. Kau menipu aku! bentakku. Kau menipu aku, sehingga aku membinasakanmu. Sampai sekarang guruku masih belum muncul!"
"Ia mengeleng gelengkan kepala. Aku tidak menipu katanya. Aku merasa bersalah terhadapmu."
"Dalam kegusaran yang meluap-luap, aku mencacinya. Tiba-tiba selagi memaki, aku terkejut sebab ingat kenyataan yang sebenarnya. Andaikata ia menipu aku, tipunya merupakan pengorbanan jiwa dan baginya tak ada keuntungan apa pun jua, pikirku. Sesudah mengorbankan jiwa, ia malah meminta maaf kepadaku."
"Bukan main rasa maluku dan aku segera berlutut di sampingnya. Taysu, apakah kau mempunyai keinginan yang belum ditunaikan" tanyaku dengan suara parau. Katakan saja. Aku pasti akan melakukannya."
"Ia bersenyum seraya berkata dengan berbisik: Aku hanya mengharap, bahwa jika kau mau membunuh orang, ingatlah loolap."
"Kong kian Taysu bukan saja seorang pendeta suci yang memiliki ilmu silat sangat tinggi, tapi juga seorang budiman dan bijaksana yang dapat menyelami perasaanku. Ia mengerti, bahwa jika ia meminta supaya aku menyudahi permusuhan dan mengubah menjadi orang baik, aku tentu tak akan dapat melakukannya. Ia tahu bahwa permintaan begitu bakal sia-sia saja. Maka itu, ia hanya memesan, supaya jika mau membunuh orang, biarlah aku ingat pengorbanannya."
"Ngote, hari itu, pada waktu itu mengadu tenaga di dalam perahu, aku tidak mengambil jiwamu, sebab, secara mendadak, aku ingat Kong kian Taysu."
Cui San tercengang. Sedikitpun ia tak pernah menduga bahwa jiwanya ditolong oleh seorang pendeta yang sudah tidak ada lagi dalam dunia. Ia menghela napas dengan rasa kagum dan rasa hormat yang tiada batasnya.
"Giehu, mengapa kau mengadu tenaga dengan Thia-thia?" Bu Kie menyelak..
"Mereka hanya main-main untuk menjajal Lwee kang siapa yang lebih tinggi," So So mendahului.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bocah itu tak percaya. "Giehu," katanya pula. "Apa waktu itu kedua matamu sudah bute"
"Boo Kie ! Jangan ngaco!" bentak sang ibu dengan rasa terkejut.
Cia Sun bersenyum. "Belum, waktu itu aku belum buta," jawabnya. "Mengapa kau menanya begitu?"
Mendengar jawaban ayah angkatnya, Bu Kie segera berkata lagi: "Kalau begitu, mungkin sekali karena ayah tidak bisa mengalahkan Giehu, maka ibu sudah turun tangan dan membutakan ke dua matamu...."
"Bu Kie!" bentak Cui San dan So So dengan berbareng sehingga anak itu ketakutan dan tidak berani membuka suara lagi.
"Tak boleb kamu menakut-nakuti anak itu," kata sang kakak, "Bu Kie, tebakanmu tak salah.
Bagaimana kau dapat rnenebaknya?"
Bocah itu mengawasi kedua orang tuanya dan menjawab dengan suara terputus-putus: "Aku... aku...."
"Kau benar," kata sang ayah angkat. "Waktu itu, sebab ayahmu tidak bisa mengalahkan aku, ibumu sudah turun tangan dan menimpuk kedua mataku. Tapi kejadian itu sudah terjadi lama sekali dan orang yang bersalah adalah aku sendiri. Aku sama sekaili tidak menjadi gusar. Apakah kau dengar dari ibumu
?" Ia tahu, bahwa So So tak mungkin menceritakannya kepada puteranya, tapi ia sengaja mengajukan pertanyaan itu supaya Cui San dan So So tidak bisa mencegah penjelasan si Bu Kie.
"Tidak ! Ayah dan ibu sama sekali belum pernah menuturkan kejadian itu kepadaku," jawab Bu Kie.
"Beberapa hari yang lalu ibu mengatakan, bahwa ia mau mengajar aku menimpuk dengan jarum emas, tapi pada esok harinya, ia membatalkan janji. Menurut dugaanku, ayahlah yang sudah melarang ibu, karena ia kuatir hal itu mengingatkan Giehu akan kejadian kejadian yang lampau."
Cia Sun tertawa terbahak bahak. "Ngote, So moay, anak kita lebih pintar lima kali lipat dari pada aku dan lebih cerdas sepuluh kali lipat dari pada kamu berdua," katanya dengan suara girang dan bangga,
"Hmm . . .! Aku tak bisa menebak kelihayannya dibelakang hari ."
Tanpa terasa Cui San dan So So mengulur tangan mereka dan mencekal tangan sibocat erat erat.
Mereka merasa sangat girang. tapi kegirangan itu tercampur dengan rasa kuatir. Cui San kuatir, bahwa karena terlalu pintar dihari kemudian anak itu akan menyeleweng. Sedang So So sendiri kuatir puteranya tidak bisa berumur panjang.
"Giehu," kata pula Bu Kie sambil tertawa. "Dengan berkata begitu, bukankah Giehu lebih pintar dua kali lipat daripada ayah dan ibu ?"
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lebih daripada dua kali lipat," jawabnya di susul dengan tertawa nyaring.
"Giehu, bagaimana dengan pendeta tua itu " Apa ia dapat diselamatkan jiwanya ?" tanya pula si bocah.
Cia Sun menghela napas. "Tidak, tak dapat disembuhkan lagi," jawabnya. "Napasnya makian lama jadi makin lemah. Dengan mati matian aku menekan jalanan darah Leng tayhiatnya sambil mengempos Lweekang untuk coba menolong jiwanya. Tiba-tiba ia menarik napas panjang-panjang dan berkata dengan suara berisik: Apa gurumu belum datang" Belum! jawabku. Kalau begitu, ia tidak akan datang,katanya lagi."
"Taysu, legakanlak hatimu"' kataku. "Aku berjanji, bahwa aku tak akan membunuh orang lagi secara serampangan untuk memancing dia. Untuk mencarirya, aku akan menjelajahi seluruh dunia."
"Ia mengangguk dan berkata dengan suara terputus putus: Bagus bagsus... Hanya sayang ilmu silatmu belum bisa menadinginya .... kecuali....kecuali..... "
"Sampai disitu, suaranya hampir tak dapat didengar lagi. Aku menempelkan kupingku dimulutnya.
Sesaat kemudian ia berkata pula: Kecuali..... kau dapat mencari To liong to...... mencari golok itu punya pit......... Ia hanya dapat mengeluarkan perkataan 'pit'. Napasnys menyesak dan lalu menghambuskan napas penghabisan!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
(Penerusan "pit" ialah "bit". Pit bit berarti "rahasia").
Sekarang Cui San dan So So baru rnengerti mengapa kakak itu berusaha untuk mengorek rahasia To liong to, mengapa ia kadang-kadang kalap seperti binatang buas dan mengapa ia selalu diliputi kedukaan. Sesudah mengangkat saudara sepuluh tahun. baru malam itu mereka mengetahui asal usul Cia Sun.
"Sesudah mencari dibanyak tempat. belakangan barulah aku dengar dimana adanya golok mustika itu,"
kata pula Cia Sun. "Buru-buru aku pergi kepulau Ong poan san untuk merebutnya. Kejadian selanjutrya sudah diketahui kamu dan tak perlu aku mengulangi lagi. Sebelum mendapat golok itu, aku berusaha mati-matian meacari Seng kun. Tapi sesudah memiliki, aku berbalik takut di cari olehnya. Maka itu, aku rnemerlukan sebuah tempat yang jauh dan tak dikenal manusia untuk coba memecahkan rahasia yang tersembunyi dalam golok itu. Karena kuatir kamu membocorkan rahasiaku, maka aku sudah membawa kamu datang disini. Tak dinyana kita sudah berdiam disini tak kurang dari sepuluh tahun. Cia Sun ... ah....
Cia Sun! Setiap usahamu selalu menemui kegagalan!"
"Menurut Toako, perkataan Kong kian Taysu , belum selesai diucapkan," kata Cui San. "Ia mengatakan: Kecuali bisa mencari To liong to punya pit ... Mungkin sekali ia mempunyai maksud lain"
Cia Sun menghela napas. "Selama sepuluh tabuh siang malam aku mengasah otak," katanya. "Tapi aku tetap gagal. Tidak bisa salah lagi, di dalam golok itu bersembunyi rahasia besar. Hanya otakku tidak cukup tajam untuk menembus kabut yang menyelimuti rahasia itu. Bu Kie, kau jauh lebih pintar daripada aku. Dikemudian hari mungkin sekali kau akan berhasil dimana aku mengalami kegagalan."
"Gie hu, berapa usia Seng Kun sekarang?" tanya si anak.
Paras muka Cia Su lantas saja berubah, "Tak salah kau, nak," katanya. "Dia sekarang sudah berumur enampuluh lima tahun. Sakit hatiku kebanyakan tidak bisa terbalas Hai! Langit! Langit! Kau telah membuat aku sangat menderita!"
Cui San dan So So mengerti apa yang dipikir kakak mereka. Andaikata dibelakang hari Bu kie berhasil memecahkan rahasia To liong to, andaikata ia memperoleh ilmu yang dapat merubuhkan Seng Kun, andaikata ia bisa pulang ke Tionggoan dan mencari Seng Kun, hal itu tentunya bakal terjadi dalam duapuluh atau tigapuluh tahun kemudian. Pada waktu itu, sepuluh sembilan harapan, Seng Kun sudah berpulang kealam baka.
Sesudah beromong-omong lagi beberapa lama, fajar mulai menyingsing. "Bu Kie," kata Cia Sun. "Kau jangan tidur lagi. Giehu akan mengajarkan kau semacam ilmu silat. "
Cui San dan So So saling melirik, tapi mereka tidak berani membantah dan lalu kembali keguha mereka.
Cia Sun tak pernah menyebut-nyebut lagi urusan itu, hanya caranya mendidik Bu Kie jadi berubah. Ia sekarang menurunkan pelajaran dengan lebih bengis dan keras.
Bu Kie baru saja berusia sembilan tahun dan biarpun otaknya sangat cardas, bagaimana ia dapat menyelami pelajaran Cia Sun yang begitu tinggi dalam tempo begitu pendek" Tapi sang ayah angkat tidak menghiraukan pertimbangan itu. Setiap kali bocah itu tidak memenuhi pengharapannya, ia bukan saja mencaci tapi juga memukulnya.
Sering kali So So melihat tanda-tanda biru bekas pukulan ditubuh puteranya, ia merasa kasihan dan tempo-tempo berkata : "Toako, tak dapat Bu Kie mempelajari semua ilmu silatmu dalam tempo pendek.
Kita berdiam di pulau yang terpencil dan kita mempunyai banyak sekali tempo. Kurasa Toako tak usah begitu tergesa-gesa."
"Aku bukan menyuruh dia melatih diri dalam pelajaran-pelajaran yang diturunkan olehku," jawab sang kakak. "Aku hanya memerintahkan supaya dia mengingat dan menghafal semua pelajaran itu di dalam otaknya."
So So tak mengerti maksud Cia Sun. Ia hanya tahu, bahwa kakak itu seorang aneh dengan cara-caranya yang aneh pula. Ia tidak dapat berbuat lain daripada membiarkan sang kakak bertindak semaunya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Apa yang dapat dilakukannya hanialah membujuk Bu Kie jika dia mendapat hajaran keras. Tapi anak itu sedikitpun tidak menjadi jengkel. "Ibu, maksud Giehu sangat baik," katanya. "Makin keras ia memukul, makin cepat aku menghafal pelajaran."
Demikianlah setengah tahun yang pertama telah lewat. Pada suatu pagi, tiba-tiba Cia Sun berkata:
"Ngotee, So-moay, empat bulan lagi angin dan arus laut akan membeluk keselatan. Mulai hari ini kita sudah boleh membuat getek."
Cui San kaget tercampur girang. "Toako, apa kah kau maksudkan, bahwa sesudah membuat getek, kita akan bisa kembali ko Tionggoan?" tanyanya.
"Tergantung atas kebijaksanaan Langit," jawabnya dengan suara tawar. "Ini yang dinamakan. manusia berusaha, Langit berkuasa. Kalau untung baik, pulang ketempat sendiri, kalau nasib malang, tenggelam didasar laut."
Jika mereka menuruti keinginan So So, mereka tak usah menempuh bahaya besar itu. Mereka hidup bahagia dan bebas merdeka dan So So sudah merasa sangat puas. Akan tetapi, disamping itu masih terdapat lain pertimbangan yang sangat berat. Mereka memikirkan nasib Bu Kie. Dengan siapa anak itu akan menikah " Apa tidak kasihan, jika ia harus hidup selama-lamanya di pulau yang terpencil itu" Demi kepentingan Bu Kie, jika masih ada jalan, biar bagaimana jua mereka harus berusaha untuk kembali ke dunia pergaulan.
Demikianlah, dengan bersemangat mereka lantas saja mulai bekerja. Untung juga di pulau itu terdapat banyak pohon besar, sehingga soal bahan tidak menjadi soal lagi. Cia Sun dan Cui San menebang pohon, So So membuat layar dan tambang dari serat kulit kayu, sedang Bu Kie dan si kera putih pun turut membantu atau mengacau.
Biarpun Cia Sun dan kedua suami isteri itu orang-orang yang berkepandaian tinggi tapi karena kekurangan alat, pekerjaan mereka main dengan lambat sekali dan mereka harus menggunakan lebih banyak tenaga daripada seharusnya. Di waktu menebang pohon atau mengikat balok-balik untuk dijadikan getek. Cia Sun selalu memerintahkan Bu Kie berdiri disampingnya dan ia mengajukan berbagai pertanyaan mengenai pelajarannya. Cui San dan So So tidak diharuskan lagi menyingkir dan mereka bisa mendengar tanya jawab antara ayah dan anak angkat itu. Mereka merasa heran , karena tanya jawab itu hanya mengenai Kouw koat (teori) dari berbagai ilmu silat.
Ternyata Cia Sun hanya menyuruh anak menghapal teori ilmu silat tangan kosong, ilmu golok, ilmu pedang dan sebagainya, tanpa memberi pelajaran mengenai cara-cara menggunakan teori itu. Dengan lain perkataan, Bu Kie hanya menghapal teori secara membeo, seperti anak sekolah jaman dulu menghapal kitab Su sie dan Ngo keng tanpa mengerti maksudnya.
So So yang mendengari sambil bekerja, merasa kasihan pada puteranya. Jangankan seorang bocah cilik seperti Bu Kie, sedang seorang dewasapun tak akan bisa ingat Kouw-koat yang sulit itu tanpa mempelajari pukulan pukulannya.
Sebagai guru, Cia Sun bengis bukan main. Salah satu perkataan saja. Bu Kie dicaci atau di gaplok.
Biarpun ia menampar tanpa mengerah Lweekang, tapi karena kerasnya, muka Bu Kio sering menjadi bengkak.
Sesudah menggunakan tempo dua bulan lebih barulah getek itu selesai dibuat. Untuk memasang tiang layar, mereka barus bekerja kira kira setengah bulan lagi. Sesudah itu, mereka memburu binatang.
mengasini daging dan menjahit kantong kantong kulit untuk dijadikan tempat air.
Mereka harus mempersiapkan sebaik baiknya karena tak dapat diramalkan berapa lama mereka harus belayar ditengah samudara yang luas.
Waktu segala persiapan beres, siang hari sudah pendek dan malam sangat panjang, tapi arah angin masih belum berubah. Sambil menunggu perobahan angin, mereka membuat sebuah gubuk dipinggir laut untuk menempatkan getek itu.
Sekarang Cia Sun tidak pernah berpisaran lagi dengan Bu Kie dan diwaktu malam, mereka tidur bersama sama. Dengan bengis dan tidak mengenal lelah, ia terus mengisi pelajaran pelajaran terakhir kedalam otak anak angkat itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Pada suatu malam, waktu mendusin. tiba tiba Cui San mendengar suara angin yang agak aneh. Ia melompat bangun dan ternyata, angin rnulai meniup dati sebelah utara. Buru burn ia manggoyang goyangkan tubuh istrinya seraya berkata dengan suara girang: "So So, kau dengarlah !" Sebelum istrinya tersadar diluar sudah terdengar teriakan Cia Sun: "Angin utara datang!" Ditengah malaria buta, teriakan itu yang seperti tangisan kedengarannya menyeramkan sekali.
Pada esokan paginya, dengan rasa girang tercampur haru, Cui San, So So berkemas karena adanya harapan besar untuk kembali kewilayah Tiong goan dan terharu sebab mereka harus segera berpisahan dengan pulau yang indah itu dimana mereka sudah berdiam kira-kira sepuluh tahun lamanya. Kira-kira tengah hari barulah semua bekal selesai dipindahkan keatas getek. Sesudah itu, mereka bertiga mendorong getek tersebut keatas air. Orang yang melompat keatas getek paling dulu adalah Bu Kie yang mendukung si kera putih, diikuti oleh sang ibu. "Toako, mari melompat bersama-sama," kata Cui San sambil mencekal tangan sang kakak.
"Ngotee," tiba-tiba Cui San berkata dengan suara parau. "Mulai saat ini, kita berpisah untuk selama-lamanya! Aku harap kau bisa menjaga diri."
Kagetnya Cui San bagaikan disambar halilintar ditengah hari bolong. Ia menatap wajah kakaknya dengan mata membelalak dan berkata dengan suara terputus-putus : "Toako....kau....kau..."
"Ngotee, kau seorang yang berhati mulia dan kau pasti akan hidup beruntung." kata Cia Sun. "Tapi nasib manusia sukar ditebak dan kemauan Langit sukar diketahui. Maka itu , dalam tindakan-tindakamu, kau haruslah berhati-hati. Bu Kie telah medapat seantero kepandaianku. Ia berotak sangat cerdas dan dihari kemudian ia pasti bisa berada disebelah atas kita berdua. Mengenai So moay, biarpun ia seorang wanita, ia gagah dan pintar sehingga ia pasti tak akan di hina orang. Ngotee, orang yang aku kuatirkan adalah kau sendiri."
"Toako, jangan kau ngaco!" kata Cui San dengan bingung. "Apa aku....kau..... tidak mau ikut kami ?"
Sang kakak bersenyum sedih. "Pada beberapa tahun berselang, aku sudah mengatakan begitu kepadamu," katanya. "Apa kau lupa ?"
Cui San terkejut. Memang benar Cia Soan pernah mengatakan begitu, akan tetapi karena soal itu tidak disebut-sebut lagi, Cui San dan So So tidak mengangapnya sungguh-sungguh. Selama membuat getek dan mempersiapkan bekal, sang kakak juga tidak pernah mengutarakan niatannya itu. Tak dinyana pada saat mau berangkat barulah ia memberitahukan keputusannya.
"Toako, mana boleh kau berdiam di pulau ini", kata pula Cui San dengan suara memohon, "Ayolah !"
Seraya berkata begitu, ia membetot tangan kakaknya, tapi kedua kaki Cia Scam seolah berakar di dalam tanah.
"So moay! Bu Kie kemari ! Toako tidak mau mengikut," teriak Cui San.
So So dan Bu Kie tentu saja kaget dan buru buru mereka melompat balik kedaratan.
"Giehu, mengapa kau tidak mau turun ?" tanya si bocah, "Jika kau tidak turut, akupun tidak turut."
Tak usah dikatakan lagi, Cia Sun pun merasa sangat berat untuk berpisahan dengan mereka. Ia mengerti, bahwa perpisahan itu adalah untuk selama-lamanya. Akan tetapi, sesudah merenungkan masak-masak dalam tempo lama, ia telah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke Tiorggoan. Mengapa"
Karena, jika ia mengikut, keluar, Cui San akan menghadapi bencana yang tidak habis-habisnya. Biarpun ia mempunyai riwayat yang berlamuran darah dan ia pernah melakukan perbuatan-perbuatan kejam, tapi semenjak mengangkat saudara dengan Cui San dan So So, ia mencintai ketiga orang itu seperti mencintai diri sendiri. Dan kecintaannya terhadap Bu Kie tidak kurang daripada kecintaaanya pada anak kandung sendiri.
Ia mengerti, bahwa diatas pundaknya tertumpuk dengan beban hutang darah. Baik dalam kalangan Kangouw, maupun dalam kalangan Liok
li (Rimba hijau kalangan perampok), entah berapa banyak jumlahnya musuhnya yang ingin membalas sakit hati. Apa pula, sesudah merniliki To liong to, bakal makin banyak orang yang menghendaki jiwa dan goloknya.
Dulu sedikitpun ia tidak merasa gentar. Tapi sekarang, sesudah kedua mata nya buta, ia merasa tak sanggup untuk melayani begitu banyak musuh. Sebagai orang gagah sejati, jika ia dikerubuti, Cui San dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
So So sudah pasti tak akan berdiri dengan berpeluk tangan. Maka itu, kalau ia mengikut, bukan saja ia sendiri tspi kedua saudara augkat dan anak pungutnya pun akan turut menjadi korban. Demikianlah, sesudah memikir baik-baik, ia mengambil keputasan itu.
Mendengar perkataan Bu kie, ia terharu bukan main. Sambil memeluk anak angkat itu, ia ber kata dengan suara serak: "Bu Kie, kau dengarlah perkataan Giehu! Giehu sudah tua, mata buta dan sudah enak hidup disini. Kalau kembali ke Tionggoan, Giehu akan menderita.
"Sesudah kembali ke Tionggon anak akan melayani Giehu dan tidak akan berpisahan lagi dengan Giehu," kata Bu Kie. " Giehu mau makan atau mimum apa, anak akan segera menyediakan nya.
Bukankah penghidupsn begitu sama senangnya seperti penghidupan disini?"
Cia Sun menggelengkan kepala, "Tidak, aku lebih senang berdiam terus disinl," katanya.
"Kalau begitu, anakpun lebih senang hidup terus disini," kata pula bocah itu. "Thia, kita batalkan saja keberangkatan ini."
"Toako, jika kau mempunyai lain pendapat, lebih baik tau mengutarakan saja terang-terangan supaya kita beramai dapat mengatasinya" kata So So. "Biar bagaimanapun jua, kita tak nanti meninggalkan kau disini seorang diri"
"Toako," Cui San menyambungi, "apakah karena mempunyai banyak musuh, kau kuatir akan merembet-rembet kami" Sepulangnya di Tiong goan, kita boleh mencari sebuah tempat yang sepi dan kita boleh hidup menyendiri tanpa bergaul dengan manusia lain. Menurut pendapatku, paliang benar kita berdiam di Bu tong san. Tak seorang pun yang akan menduga, bahwa Kim-mo Say-ong berada di gunung itu."
"Hmm.... " Cia Sun mengeluarkan suara dihidung. "Biarpun kakakmu seorang bodoh, tak usah ia menyembunyikan diri dibawah perlindungan Thio Cinjin!'
Cui San terkejut. Ia tahu bahwa ia sudah kesalahan bicara dan buru buru berkata pula . "Bukan, bukan begitu maksudku. Kepandaian Toako tidak barada disebelah bawah Suhu dan tentu saja Toako tak perlu berlindung dibawah perlindungan Suhu. Di wilayah Tiong goan terdapat banyak sekali tempat yang terpencil dan jauh dari dunia pergaulan. misalnrya Hui kiang, Tibet, daerah gurun pasir dan sebagainya.
Kita berempat boleh pergi kesitu dan menuntut
penghidupan yang tenteram "
"Kalau mau mencari tempat yang jauh dari pergaulan manusia, tempat inilah yang paling baik!" Kata sang kakak. "Eh, katakan saja, apa kamu mau pergi atau tidak?"
"Tanpa kau, kami tak akan berangkat," jawab So So dan Bu Kie dengan berbareng.
Cia Sun menghelas napas "Baiklah"' katanya "kita semua jangan pergi. Sesudah aku mati, kamu masih mempunyai banyak tempo untuk pulang ke Tiong goan."
"Benar, kita sudah berdiam disini sepuluh tahun dan tak usah kita tergesa-gesa." kata Cui San.
"Bagus!" bentak Cia Sun. "Sesudah aku mampus, aku mau lihat apa kamu masih mau berdiam disini."
Seraya berkata begitu, mendadak ia menghunus To liong to dan mengayun kelehernva.
Semangat Cui San terbang. "Jangan celakakan Bu Kie!" teriaknya. Ia mengerti, bahwa ia tak akan mampu mencegah niat kakaknya sehingga jalan satu-satunya adalah berteriak begitu.
Benar saja Cia Sun terkejut. Goloknya berhenti ditengah udara dan ia, bertanya: "Apa?"
"Toako jika kau sudah mengambil keputusan pasti siauwtee tidak dapat berbuat lain dari pada meminta diri," katanya dengan suara parau dan lalu berlutut di hadapan sang kakak.
"Giehu!" teriak Bu Kie. "Jika kau tidak pergi akupun tidak pergi. "Kalau kau bunuh diri, akupun bunuh diri"
Cia Sun kaget. Ia tahu, bocah yang luar biasa pincar itu sekarang balas menggeretaknya. Buru buri ia memasukan To liong to kedalam sarung dan membentak: "Setan kecil! Jangan ngaco kau!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tiba tiba, ia mencengkeram punggung Bu Kie dan melemparkannya kegetek dan kemudian melontarkan juga Cui San dan So So. "Ngotee! So moay! Bu Kie!" teriaknya dengan suara duka.
"Semoga perjalananmu diiring dengan angin baik dan siang-siang kembali di Tiong goan."
Melihat majikannya sudah berada digetek, si kera putihpun buru-buru melompat kegetek itu.
"Giehu! Giehu!" sesambat Bu Kie.
Cia Sun mencabut pula To liong to dengan membentak dengan suara angker: "Jika kamu turun lagi, Kamu akan temukan mayatku!"
Karena terpukul arus air, perlahan lahan getek itu meninggalkan pulau. Makin lama bayangan Cia Sun jadi makin kecil. Cui San dan So So mengerti bahwa keputusan kakak mereka sudah tak dapat diubah lagi. Mereka tak bisa berbuat lain daripada nengulap-ulapkan tangan dengan rasa sedih dan berterima kasih tak habisnya.
Sesudah berada dilautan terbuka Cui San bertiga tidak mengenal arah dan membiarkan getek itu berlayar semau maunya. Apa yang diketahui
mereka, ialah setiap pagi matahari naik dari sebelah kiri dan setiap sore, turun dari sebelak kanan. Saban malam, mereka bisa melihat bintang Pak kek dibelakang getek. Siang malam, dengan perlahan getek itu bergerak maju.
Selama kurang lebih dua puluh hari, Cui san tak berani memasang layar sebab kuatir getek itu membentur dengan gunung es. Tanpa layar, walau pun terbentur, benturan itu tidak keras, dia tak akan mencelakakan. Sesudah berpisahan dengan gunung es, barulah mereka menaikkan layar.
Dengan bantuan angin utara yang meniup tak henti-hentinya, getek itu mulai maju kearah selatan dengan pesat sekali. Dasar nasib baik, ditengah parjalanan mereka tidak pernah bertemu dengan badai dan dilihat tanda tandanya, mungkin mereka akan bisa pulang dengan selamat.
Selama sebulan Cui San dan So So tak pernah menyebut-nyebut Cia Sun, karena kuatir menbangkitkan kedukaan Bu Kie. Pada suatu hari sambil mengawasi permukaan air, tanpa merasa So So berkata "Toako benar-benar seorang luar biasa. Ia bukan saja tinggi ilmu silat nya, tapi juga paham lain-lain ilmu "
"Ibu, menurut katanya Giehu, selama setengah tahun angin meniup keselatan dan setengah tahun lagi meniup ke utara," kata Bu Kie. "Biarlah lain tahun kira kembali ke Peng hwee to untuk menengok Giehu."
"Benar," kata Cui San "Sesudah kau besar, kita beramai-rarnai mengunjungi lagi pulau itu."
"Apa itu?" So So memutuskan perkataan suaminya seraya menuding keselatan.
Jauh-jauh, digaris pertemuan antara angit dan laut, terlihat dua titik hitam.
Cui San terkesiap. "Apa ikan paus ?" katanya dengan suara ditenggorokan.
Susudah mengawasi beberapa lama, So So ber kata: "Bukan, bukan ikan paus. Aku tak lihat semburan air."
Dengan hati berdebar-debar, mereka terus memperhatikan kedua titik hitam itu. Berselang kurang lebih satu jam, tiba tiba Cui San berseru dengan suara girang: "Perahu ! Perahu !" Bahna girangnya, ia melompat bangun dan berjungkir balik. Bu Kie tertawa terbahak-bahak dan lalu mengikuti ayahuya yang sedang kegirangan. So So sendiri buru buru mengambil kayu bakar, menuang minyak ikan diatasnya dan lalu menyulutnya.
Sesudah lewat kira-kira satu jam lagi, sedang matahari mulai mendoyong kebarat, mereka sudah bisa melihat tegas dua buah perahu diatas permukaan air. Mendadak So So kelihatan menggigil dan paras mukanya berubah pucat.
"Ibu, ada apa ?" tanya Bu Kie dengan perasaan heran.
Sang ibu tidak menjawab, tapi bibirnya bergemetar. Dengan paras muka kuatir, Cui San mencekal kedua tangan isterinya. So So menghela napas. "Baru pulang, sudah bertemu," katanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Apa?" menegas sang suami.
"Lihat layar itu," jawabnya sambil menuding kesebuah perahu.
Cui San mengawasi keperahu yang berada di sebelah kiri. Ia mendapat kenyataan, bahwa pada layarnya terpeta sebuah tangan berdarah dengan lima jeriji yang terpentang lebar. "Layar itu aneh sekali, apa kau tahu perahu siapa?" tanyanya.
"Perahu Peh bie kauw dari ayahku !" jawabnya dengan suara perlahan.
Cui San tertegun. Sesaat itu rupa-rupa pikiran berkelebat-kelebat diotaknya. "Ayah So So seorang jahat dan kejam, bagaimana aku harus berbuat jika bertemu dengannya " Bagaimana si Insu terhadap pernikahanku ini tanyanya di dalam hati. Kedua tangan isterinya yang dicekelnya agak bergemetar. Ia mengerti, bahwa sang isteripun sedang memikiri berbagai soal yang tengah dihadapi mereka.
"So So," katanya dengan suara membujuk. "Kita sudah menikah dan anak kita sudah begini besar.
Langit diatas, bumi dibawah apapun yang akan terjadi kita tak akan berpisah lagi. Kau tak usah kuatir."
So So mengangguk dan bersenyum. "Aku ha nya mengharap kau tidak menyesalkan aku," katanya dengan suara perlahan.
Bu Kie yang belum pernah melihat perahu, tidak menghiraukan pembicaraan antara ayah darn ibunya dan matanya terus mengawasi kedua perahu itu, yang kelihatannya sangat berdekatan, seolah-olah menempel satu sarna lain. Jika tidak ada perobahan arah, getek mereka akan perpapasan dengan kedua perahu itu dalam jarak puluhan tombak.
"Apa kita perlu memberi isyarat ?" tanya Cui San.
"Tak perlu" jawab So So. "Susudah tiba di Tiong goan, aku akan mengajak kau, dan Bu Kie pergi menemui ayah."
"Baiklah," kata sang suami.
Mendadak Bu Kie berteriak: "Hei! Lihat! Orang-orang itu sedang berkelahi!"
Cui San dan So So terkejut dan lalu melihat kedua perahu itu. Benar saja mereka melihat berkelebat-kelebatnya senjata dan empat lima orang sedang bertempur.
"Apa ayah berada disitu ?" kata So So dengan rasa kuatir.
"Sesudah terlanjur bertemu, ada baiknya kita menengok sebentar," kata Cui San. Ia segera mengubah kedudukan layar dan membelokan kemudi sehingga getek mmbelok kekiri, menuju ke arah kedua perahu itu.
Berselang kira-kira setengah jam barulah getek mendekati kedua perahu itu. "Pelancong yang tidak ada urusan jangan datang dekat !" demikian terdengar terlakan dari perahu Peh bie kauw.
"Aku adalah Hio cu dari Congto !" teriak So So. "Tocu dari bagian mana yang sedang memasang hio?"
Mendengar teriakan itu yang menggunakan istilah rahasia dari Peh bie kauw, orang yang barusan berteriak lantas saja berubah sikapnya'. "Maaf! Kami tak tahu, bahwa yang datang adalah Hio cu dari Congto," katanya dengan sikap hormat. "Kami adalah rombongan Lie Hio cu dari Thian sie tong yang memimpin Hong Tan cu dari Sin
coa tan dau Thia Tancu dari Ceng liong tan. Bolehkah kami mendapat tahu, Hio cu dari mama yang, datang kesini ?"
"Hio cu dari Cie wie tong," jawab So So.
Hampir berbareng dengan jawaban So So, keadaan di perahu Peh bie kauw menjadi kalut. Beberapa orang berlari-lari, rupanya untuk memberitahukan pemimpin mereka, sedang belasan orang berteriak dengan suara kaget dan girang: "In Kouwnio pulang ! In Kouwnio pulang !"
Biarpun sudah menjadi suami isteri sepuluh tahun, So So belum pernah membicarakan Peh bie kauw dengan suaminya. Sedang Cui San pun belum pernah menanyakan. Sesudah mendengar tanya jawab itu,
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
barulah Cui San tahu, bahwa kedudukan Hio cu dari Cie wie tong lebih tinggi dari pada kedudukan Tancu. Waktu berada di pulau Ong poan san, ia pernah menyaksikan kepandaian Tancu dari Hian bu tan dan Cu ciak tan yang lebih unggul dari pada ilmu silat So So. Ia mengerti bahwa isterinya bisa menjadi Hiocu adalah karena So So puteri pemimpin besar dari Peh bie kauw. Maka itu, dapatlah diduga, bahwa Lie Hiocu dart Thian sie tong seorang yang berkepandaian sangat tinggi.
Tiba-tiba dari perahu Peh bie kauw terdengar suara seorang tua: "Menuiut laporan, In Kauw nio sudah kembali. Bagaimana kalau kita menghentikan pertempuran untuk sementara waktu" "
"Baiklah !" jawab seorang yang suaranya nyaring bagaikan genta. "Hentikan Pertempuran!"
Dengan serentak suara beradunya senjata terhenti dan semua orang melompat keluar dari gelanggang pertempuran.
Mendengar suara yang nyaring itu, jantung Cui San memukul keras. "Apa Jie Lian Ciu Suko?"
teriaknya. Jawab orang itu: "Aku Jie Lian Ciu. Ah...... Kau .... Kau ..."
"Siauwtee ..Cui San..." jawabnya dengan suara terputus-putus bahna terharunya. Sesaat itu jarak antara getek dan perahu Jie Lian Ciu belasan tombak. Dengan tergesa-gesa Cui San menyambar sepotong papan yang lalu dilontarkan keatas air, akan kemudian ia melompat kepapan itu dan sekali menotol dengan satu kakinya untuk meminjam tenaga, tubuhnya sudah melesat kekepala perahu Jie Lian Ciu.
Jie Lian Ciu menubruk dan memeluk Suteenya. Sesudah mereka berpisahan sepuluh tahun dapat dimengerti perasaan mereka pada sesaat itu. Si adik berseru dengan suara parau: "Jieko'" Sang kakak berbisik "Ngotee!" Mata mereka basah.
Dilain pihak, orang-orang Peh bie kauw menyambut In So So dengan segala upacara. Empat buah terompet yang dibuat dari keong laut raksasa ditiup dengan serentak. Li Hiocu berdiri paling depan dengan Hong Tancu dan Thia Tancu di belakangnya, dan dibelakang ketiga pemimpin itu berdiri kurang lebih seratus pengikut Peh bie kauw.
Diantara perahu besar dan getek dipasang selembar papan dan getek itu digaet dengan gala gaetan oleh beberapa anak buah perahu, supaya tetap pada tempatnya. Sambil menuntun Bu Kie, So So menyeberang perahu dengan melewati papan itu.
Di dalam kalangan Peh bie kauw, orang yang berkedudukan paling tinggi ialah Kauwcu (pemimpin agama), Peh bie Eng ong In Thian Ceng. Di bawah Kauwcu terdapat Lwee sam tong (Tiga "Tong"
Dalam) dan Gwa ngo tan (Lima "Tan" Luar) yang bantu pemimpin para pengikut Peh bie kauw.
Lwee sam tong terdiri dari Thian-wie tong, Cia wie tong dan Thian sie tong, sedang Gwa ngo tan ialah Sin coa tan, Ceng liong tan, dan (peep: the other three not specified ) Hiocu (pemimpin) Thian wie tong ialah putera sulung In Thian Ceng yang bernama In Ya Ong. Hiocu Thian sie tong ialah Lie Thian Hoan, Sutee (adik seperguruan) In Thian Ceng. Walau pun berkepandaian sangat tinggi dan tingkatannya lebih tua daripada So So, dengan memandang muka Kauwcu, ia berlaku sangat hormat terhadap nyonya muda itu.
Melihat So So menuntun seorang bocah dan pakaiannya, yang terbuat daripada kulit binatang, mesum dan compang campicg. Lie Thian Hoan terkejut. Tapi dengan paras muka berseri, ia tertawa neraya berkata: "Terima kasih kepada Langit, terima kasih kepada Bumi, akhirnya kau pulang juga. Selama sepuluh tahun, bukan main jengkelnya ayahmu."
So So memberi hormat dengan berlutut. "Su siok selamat bertemu pula!" katanya. Ia menengok kepada puteranya dan berkata pula: "Lekas berlutut di hadapan Su-siok-couwmu." Bu Kie buru buru menekuk kedua lututnya dengan mata mengawasi Lie Thian Hoan dan ratusan orang yang berdiri dibelakang kakek paman guru Su siok couw itu.
"Susiok," kata So So sambil bangun berdiri. "anak ini adalah anak tit lie (keponakan perempuan) bernama Bu Kie."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Lie Hiecu terkesiap, tapi sejenak kemudian, tertawa terbahak-bahak. "Bagus ! Bagus!" serunya. "Ayah mu pasti akan kegirangan. Bukan saja puterinya pulang dengan selamat, tapi juga sudah mendapatkan sang cucu yang tampan dan pintar."
Melihat noda-noda darah dan beberapa mayat yang menggeletak digeledak perahu, So So bertanya dengan suara perlahan: "Perahu siapa itu" Mengapa kalian berkelahi?"
"Orang-orang Bu tong pay dan Kun loan pay," jawab Thian Hun.
Melihat suaminya sedang berpelukan dengan salah seorang dari perahu itu, So So mengerutkan alis dan berkata pula: "Lebih baik kita menghentikan dulu pertempuran ini dan tit-lie akan berusaha untuk mendamaikan!"
"Baiklah," jawab sang Susiok.
Walaupun secara pribadi, tingkatan Lie Thian Hoan sebagai Susiok (paman guru) lebib tinggi daripada So So, akan tetapi secara resmi, di dalam kalangan Peh bie kauw, kedudukannya lebih rendah daripada nyonya muda itu, karena is memimpin "tong" ketiga, sedang So So menjadi Hiocu "tong" kedua.
"So So, Bu Kie kemari! Temui Sukoku !" demikian terdengar teriakan Cui San.
Sambil rnenuntun Bu Kie, So So segera pergi keperahu Bu tong. Lie Thian Hoan, Hong dan Thia Tancu bingung, tapi tanpa merasa mereka lalu mengikuti nyonya muda itu.
Diatas geladak perahu Butong terdapat tujuh delapan orang dan salah seorang yang berusia kira kira empatpuluh tahun dan bertubuh jangkung kurus sedang berpegangan tangan dengan Cui San. "So So, inilah Jie Suko yang namanya sering di sebut-sebut olehku," kata Cui San sambil bersenyum, "Jieko, inilah teehumu (teehu isteri dari adik lelaki) dan keponakanmu Bu Kie."
Semua orang kaget bukan main. Peh bie kauw dan Bu tong pay sedang bertempur mati-matian. Tak nyana, dua orang penting dari kedua belah pihak telah terangkap menjadi suami isteri dengan sudah mempunyai seorang putera.
Jie Lian Ciu mengerti, bahwa kejadian itu banyak latar belakangnya dan penjelasannya meminta tempo. Secara bijaksana, ia lebih dahulu memperkenalkan kawan kawsnnya kepada Cui San dan So So.
Seorang Tosu tua yang berbadan kate gemuk ialah See hoa cu dari Kun loan pay, sedang seorang wanita setengah tua yang masih berparas cantik diperkenalkan sebagai Sumoay (adik seperguruan) dari Su hoa cu. Ia itu bukan lain dari pada San tian chioe (si Tangan kilat) Wie Su Nio, yang dalam kalangan kang ouw dikenal sebagai Son tian Nio. Beberapa orang lainnya juga jago jago kosen Kun loan pay, hanya nama mereka tidak begitu terkenal seperti See hoa cu dan Wie Su Nio.
Meskipun sudah berusia lanjut, See hoa cu masih berangasan. "Thio Ngohiap, dimana adanya bangsat jahat Cia Sun?" tanyanya. "Kau mesti tahu!"
Cui San bingung tak kepalang. Sebelum mendarat, ia sudah menghadapi dua soal sulit. Pertama partainya sendiri bermusuhan dengan Peh bie kauw dan kedua, begitu membuka mulut, orang sudah menanyakan tempat bersembunyinya Cia Sun. Ia merasa sukar untuk menjawab pertanyaan imam itu dan segera berkata sambil berpaling kepada Jie Lian Cu: "Jieko ada apakah sehingga kalian mesti bertempur?"
See hoa cu mendongkol. "Hai ! Apa kau tak dengar pertanyaanku?" bentaknya. "Di mana adanya bangsat Cia Sun ?" Sebagai seorang yang gampang marah, dalam Kun loan pay Su hoa cu berkedudukan tinggi dan lihay ilmu silatnya, sehingga ia sudah biasa main bentak-bentak terhadap orang-orang separtainya.
Hong Tancu, pemimpin Sin coa tan, adalah seorang yang sangat "berbisa". Dalam pertempuran tadi dua orang muridnya telah binasa dibawah pedang See hoa cu, sehingga ia merasa sangat sakit hati.
Maka itu, begitu mendengar bentakan si Tosu, ia lantas saja menggunakan kesempatan baik itu. "Huh !
Jangan banyak lagak kau !" katannya deagan suara dingin. "Thio Ngohiap adalah menantu dari Peh bie kauw. Tidak boleh kau bicara begitu kasar terhadapnya"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Su hoa cu lantas saja meluap darahnya. "Tutup rnulutmu !" bentaknya. "Mana bisa seorang baik baik menikah dengan perempuan siluman dari agama yang menyeleweng " Dalam pernikahan itu pasti terdapat latar belakarg yang busuk."
"Jangan mengacao kau !" Hong Tancu tertawa dingin. "Buktinya Kauwcu kami sudah mempunyai cucu."
Dengan kalap See hoa cu berteriak: "Perempuan siluman itu ... "
"Suheng jangan tarik urat dengan manusia itu" memotong Wie Su Nio. "Dalam urusan ini kita menyerahkan saja kapada Jie hiap." Ia sudah melihat maksud Hong Tancu untuk mengadu domba Bu tong pay dengan Kun loan pay.
Mendengar perkataan Su moaynya, See hoa cu juga tersadar dan sambil menahan amarah, ia menutup mulut.
Sambil mengawasi Cui San dan So So, Jie Lian Cu merasa bingung dan di dalam otaknya berkelebat-kelebat banyak pertanyaan. "Paling baik kita bicara digubuk perahu," katanya sesudah memikir beberapa saat. "Saudara-saudara kedua pihak yang mendapat luka harus ditolong terlebih dahulu."
Dalam perahu Jie Liam Cu, Peh bie kauw merupakan tamu dan orang yang berkedudukan paling tinggi dalam "agama" itu ialah In So So, Hio cu Cie wie tong. Maka itu, sambil menuntun Bu Kie, So So masuk paling dulu kedalam gubuk perahu, diikuti oleh Lie Hiocoo dan kedua Tancu. Selagi Hong Tancu baru mau masuk, mendadak ia merasakan kesiuran angin yang menyambar pinggangnya.
Sebagai seorang yang berpengalaman, ia tahu bahwa dirinya dibokong See hoa cu. Sebaliknya dari menangkis, ia menubruk kedepan seraya berteriaknya: " Celaka! Aku dibokong!" Dengan gerakannya itu, ia sudah mempunahkan pukulan Sam in Coat houw chioe dari See hoa cu. Mendengar teriakan itu, semua orang menengok mengawasi Hong Tancu dan See hoa cu yang muka nya berubah marah seperti kepiting direbus.
Dengan rasa jengah, Wie Su Nio deliki Su hengnya. Pada saat itu, Hong Tancu ialah seorang tamu terhormat dan bokongan terhadapnya bukan saja melanggar peraturan, tapi juga memalukan.
Di dalam gubuk perahu, So So menduduki kursi tamu yang pertama dengan Bu Kie berdiri didampingnya, sedang Jie Lian Ciu duduk dikursi pertama dari pihak tuan rumah. Sambil menunjuk sebuah kursi disebelah belakang kursi Wie Su Nio, Jie Lian Ciu berkata: "Ngotee, kau duduk disitu." Cui San mengangguk dan lalu duduk di kursi yang ditunjuk, sehingga kedua suami isteri duduk sebagai tuan rumah dan tamu.
Selama sepuluh tahun, sesudah Thio Cui San menghilang dan Jie Thay Giam tidak pernah keluar karena lukanya, yang bergerak dalam Rimba Persilatan haaialah lima pendekar Bu tong pay dan selama sepuluh tahun itu, nama mereka jadi makin cemerlang. Biarpun kedudukan mereka adalah murid turunan kedua dari Bu tong pay, tapi dalam Rimba Persilatan mereka sudah bisa berendeng dengan pendeta-pendeta Siauw lim sie yang berkeduduka n tinggi. Selama tahun-tahun yang belakangan, orang- orang Kangouw makin menghargai dan menghormati Bu tong Ngo hiap. Maka itu lah, biarpun tingkatannya tinggi. Su hoa cu dan Wie Su Nio mempersilahkan Jie Liam Ciu duduk dikursi utama.
Beberapa murid segera menyuguhkan teh dan sambil mengundang para tamunya minum teh. Jie Lian Ciu menimbang-nimbang perkataan apa yang harus diucapkannya terlebih dahulu. Perangkapan jodoh antara Cui San dan puteri In Kauwcu adalah kejadian yang sangat diluar dugaan dan ia merasa bahwa jika ia menanyakan langsung persoalan itu di hadapan orang banyak. Cui San tentu akan merasa jengah dan tidak akan mau bicara seterang-terangnya.
Memikir begitu ia lantas saja berkata dengan suara nyaring: "Sebagnimana kita tahu, Siauw lim, Kun lun. Go bie, Khong thong dan Bu tong, lima "pay". Sin kun, Ngo hong to dan lain lain, berjumlah sembilan "bun", Hay see, Kie keng dan sebagainya, tujuh "pang", sehingga semuanya duapuluh satu partai atau golongan, telah salah mengerti dengan Peh bie kauw karena usaha kita untuk mencari Cia Sun.
In Kouwnio dan Suteeku, Cui San. Salah mengerti itu telah berbuntut dengan bentrokan, sehingga selama telah bertahun tahun jatuh banyak korban yang binasa dan terluka . . ."
Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata pula: "Sungguh syukur, secara tidak diduga duga, In Kouwnio dan Thio Sutee pulang dengan selamat. Peristiwa yang sudah terjadi selama sepuluh tahun itu tidak dapat dibereskan dalam tempo pendek. Maka itu menurut pendapatku, sebaiknya kita menunda dulu
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
permusuhan dan pulang kemasing-masing tempatnya. Biarlah In Kouwnio melaporkan segala pengalamannya kepada In Kauw cu, sedang Thio Sutee memberi pertanggungan jawab di hadapan guru kami. Sesudah itu, kita boleh mengadakan pertemuan pula untuk coba membereskan soal-soal kita.
Adalah kejadian yang sangat di harap-harapkan, jika dalam pertemuan itu kita dapat menyudahi permusuhan yang sudah berlarut-larut ini "
"Dimana adanya bangsat Cia Sun ?" See-hoa cu memutus perkataan Lian Ciu. " Tujuan kita yang terulama adalah mencari bangsat Cia Sun." Cui San kelihatan berduka sekali. Ia merasa sangat tidak enek, karena, gara-gara mencari orang yang hilang dalam Rimba Persilatan telah muncul gelombang yang begitu besar dan yang sudah meminta sangat banyak korban. Mendengar pertanyaan See hoa cu, ia jadi serba salah. Jika ia memberitahukan terang-terangan, sejumlah besar pentolan Rimba Persilatan sudah pasti akan meluruk ke Pang hwee to untuk mencari kakaknya. Jika ia membungkam ..... bagaimana ia dapat membungkam"
Selagi ia bimbang, tiba-tiba terdengar suara So So: "Bangsat Cia Sun yang jahat dan membunuh manusia secara serampangan sudah mampus sembilan tahun yang lalu,"
Semua orang kaget. "Sudah mati ?" mereka menegas serentak.
"Benar," jawabnya. "Pada suatu malam, yaitu ketika aku melihatnya anakku, bangsat Cia Sun mendadak kalap. Selagi mau membunuh Ngoko dan aku, tiba-tiba dia dengar suara tangisan bayi ku.
Penyakitnya kambuh dan bangsat itu mati dengan mendadak."
Cui San mengerti maksud isterinya. Dengan, mengatakan, bahwa "Cia Sun yang jahat sudah. mati." So So tidak berdusta, karena, bagai mendengar tangisan Bu Kie, kekalapan dan kekejaman "Cia Sun yang jahat" menghilang dan mulai dari detik itu, ia berubah menjadi seorang baik, dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sembilan tahun berselang , "Cia Sun yang jahat" sudah mati dan Cia Sun yang baik menjelma dalam dunia.
See hoa cu mengeluarkan suara dihidung. Ia tidak percaya keterangan So co yang dianggapnya sebagai perempuan menyeleweng dari "agama,
yang menyeleweng pula. "Thio Ngohiap, apa benar bangsat Cia Sun sudah mampus"," tanyanya dengan suara keras.
"Benar, bangsat Cia Sun yang jahat sudah mati pada sembilan tahun berselang," jawab Cui San dengan suara sungguh-sungguh.
Sekoyong-konyong Bu Kie menangis keras "Giehu bukan bangsat jahat!" teriaknya. "Giohu tidak mati! Giehu tidak mati! "
Biarpun berotak sangat cerdas, Bu Kie masih terlalu kecil dan belum berpengalaman. Rasa cintanya terhadan Cia Sun tidak kurang dari rasa cintanya terhadap kedua orang tuanya sendiri.
Maka itu, dapatlah dimengerti, jika ia tidak tahan mendengar tanya jawab itu dan cacian-cacian yang ditujukan terhadap ayah angkatnya.
Semua orang terkesiap dan tertegun. Dalam gusarnya. So So menggapelok muka puteranya. "Diam!"
bentaknya dengan bengis. "Ibu, mengapa kau mengatakan Giehu sudah mati?" tanya bocah itu dengan suara serak "Bukankah ia masih hidup segar bugar?"
"Jangan campur-campur urusan orang tua !" bentak sang ibu "Yang sudah mati adalah Cia Sun, si penjahat jahat, bukan Giehumu."
Bu Kie bingung, tapi ia tidak berani membuka rnulut lagi.
See hoa cu tertawa dingin. "Saudara kecil," katanya kepada Bu Kie. "Cia Sun ayah angkatmu bukan"
Dimana dia sekarang ?"
Si bocah mengawasi muka kedua orang tuanya. Sekarang ia mengerti, bahwa perkataan yang tadi dikeluarkanuya mempunvai arti yang sangat penting. Ia menggelengkan kepala seraya menjawab: "Tidak, aku akan beritahukan kau." Dengan tidak sengaja, jawaban itu merupakan bukti yang lebih kuat, bahwa Cia Sun sebenarnya belum mati .
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sambil mengawasi Cui San dengan mata men delik, See hoa cu membentak: "Thio Ngohiap! Apa benar In Kouwnio isterimu ?"
"Benar, dia isteriku!" jawabnya dengan suara nyaring.
"Dua orang murid partai kami telah celaka dalam tangan isterimu." kata pula See hoa cu sambil menahan amarah. "Mereka mati tidak, hidup pun tidak. Bagaimana kita harus memperhitung kan perhitungan ini ?"
Cui San dan So So terkejut.
"Jangan ngaco!" bentak nyonya muda itu.
"Dalam hal ini mungkin terselip salah mengerti," kata Cui San, "Sudah sepuluh tahun karni berdua meninggalkan wilayah Tionggoan. Cara bagai man kami bisa mencelakakan murid partai kalian"'
"Huh huh! " See hoa cu menggeram. "Memang.....memang Ko Cek Seng dan Chio Tauw sudah menderita lebih dari sepuluh tahun lamanya."
"Ko Cek Seng dan Chio Tauw ?" menegas So So.
"Apa Thio Hujin masih ingat kedua orang itu?" ejek See hoa cu. "Aku kuatir kau sudah tidak ingat lagi karena kau telah membunuh ter lalu banyak manusia."
"Mengapa mereka?" bentak So So. "Mengapa kau menuduh aku secara membuta tuli ?"
"Menuduh membuta tuli! Membuta tuli...!" teriak Su hoa cu. "Ha ha ha ! .... Mereka se karang sudah jadi gila..... sudah hilang ingatan.. Tapi mereka masih ingat namanya satu manusia. Mereka masih ingat, bahwa yang mencelakakan mereka adalah In So So!" Seraya mengatakan begitu, ia menatap wajah nyonya Cui San dengan mata beringas.
"Tutup mulutmu !" bentak Hong Tancu. "Kau tidak berhak untuk menyebutkan nama terhormat dari Hiocu Cie wie tong kami. Apakah kau tidak tahu adat-istiadat Rimba Persilatan" Cian pwee apa kau "
Thia Hiantee, apakah dalam dunia ini ada hal yang lebih memalukan dari pada itu?"
"Tak ada," jawab Thia Tancu. "Aku sungguh tak mengerti, mengapa sebuah partai yang begitu tersohor mempunyai murid ugal-ugalan seperti dia. Sungguh memalukan ?"
Di ejek begitu, See hoa cu jadi kalap. "Binatang ! Siapa yang memalukan ?" teriaknya seraya mencekal gagang pedangnya.
Hong Tancu tetap tenang, bahkan melirikpun tidak. "Thia hiantee," katanya pula. "Seseorang yang sudah memiliki beberapa jurus ilmu pedang kucing kaki tiga sebenarnya harus mengenal kesopanan manusia. Bagaimana pendapatmu ?"
Thia Tancoa mengangguk seraya menjawab "Benar. Semenjak Giok hie Too tiang meninggal dunia, makin lama mereka makin tidak keruan macam."
Giok hie Too tiang adatah Su peh (paman guru) See hoa cu. Imam yang beribadat itu bukan saja tinggi ilmu silatnya, tapi juga sangat mulia hatinya, sehingga ia dihormati sangat dalam Rimba Persilatan.
Paras muka See hoa cu berubah merah padam. Tak dapat ia menjawab sindiran itu. Jika ia membantah.
bukankah ia jadi menhina Su pehnya sendiri yang namanya telah menggetarkan seluruh negeri "
Tiba tiba ia bangun, badannya berkelebat dan ia sudah berdiri diluar pintu gubuk perahu, "Srt!" Ia menghunus pedang. "Bangsat!" teriaknya. "Kalau kau mempunyai nyali, keluarlah!"
Ejekan kedua pemimpinan Peh bie kauw itu terhadap See hoa cu adalah untuk menolong in So So dari desakan. Mereka menganggap. bahwa dengan pernikahan Cui San dan So So, perhubungan antara Bu tong pay dan Peh bie kauw sudah berubah. Meskipun Jie Lian Ciu dan Thio Cui San tidak sampai turun tangan untuk membantu pihaknya, kedua orang itu juga pasti tidak akan menyerang Peh bie kauw.
Menurut perhitungan mereka, tanpa campur tangannya pihak Bu tong, mereka akan dapat mengalahkau orang orang Kun loan pay yang hanya terdiri dari tujub delapan orang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Perhitungan Peh bie kauw itu sudah dapat ditebak oleh Wie Su Nio yang bisa berpikir dengan otak dingin. "Suko!" teriaknya. "Mereka yang berada di perahu ini adalah tamu tamu kita. Kita harus turut segala keputusan Jie Jie hiap "
Dengan berkata bergitu, San-tian Nio nio telah berlaku bijaksana. Jie Lian Ciu adalah seorang pendekar yang tulus bersih, sehingga ia pasti tidak akan berlaku curang.
Tapi diluar dugaan dalam gusarnya, See-hoa cu yang tolol tidak mengerti maksud Su-moay nya.
"Omongan kosong!" teriaknya. "Bu tong pay dan Peh bie kauw sudah terikat famili. Mana bisa dia berlaku sama tengah lagi!"
(Bersambung jilid 14) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 14 Jie Lian Ciu adalah seorang yang sabar dan panjang pikirannya. Ia jarang memperlihatkan rasa girang atau gusar pada paras mukanya. Perkataan See hoa cu yang sangat menusuk tidak dijawab olehnya dan ia mengasah otak untuk mencari jalan keluar.
"Suka, jangan kau menggoyang lidah sembarangan," kata Wie Su Nio cepat-cepat dengan rasa mendongkol. "Semenjak dulu, Bu tong dan Kun loan mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam sepuluh tahun, dengan bahu membahu kita bersama sama melawan musuh. Jie Jiehiap alalah seorang jujur yang sangat dihormati dalam kalangan Kang-ouw, sehingga tidak mungkin ia mengeloni pihak yang salah."
See hoa cu mengeluarkan suara dari hidung, "Belum tentu," katanya Bukan main rasa mendongkolnya Wie Su Nio yaag diam diam mencaci kakak yang tolol itu: "Suko!"
bentaknya. "Jika tanpa sebab kau cari cari urusan dengan Bu tong Ngohiap dan kau di gusari oleh Ciangbun susiok, aku tak akan campur campur lagi urusanmu."
Mendengar ancaman itu, barulah See hoa cu menutup mulut.
"Urusan ini telah menyeret berbagai partai dan golongan dalam Rimba Persilatan," kata Jie lian Cu.
"Aku seorang bodoh maka tidak berani mengambil keputusan sendiri. Apa pula, karena sudah berlarut larut selama sepuluh tahun, persoalan ini tentu sukar dibereskan dalam tempo pendek. Aku telah mengambil keputusan untuk pulang ke Bu tong bersama-sama Thio Su tee guna memberi laporan kepada Insu dan Toa suheng dan meminta petunjuk Insu."
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
See hoa cu tertawa dingin, "Sungguh lihay pukulan Jie hong Soo pit Jie Jiehiap." ejeknya.
"Jie-hong Su-pit," (Seperti tutupan seperti kurungan) adalah serupa pukulan Bu-tong-pay untuk membela diri yang sangat terkenal dalam Rimba Persilatan. Dengan berkata begitu See hoa cu bukan saja mengejek Jie Lian Ciu pribadi tapi juga menghina pukulan Bu tong pay itu yang digubah oleh Thio Sam Hong sendiri. Biarpun sabar, darah Jie Lian Ciu meluap juga. Syukur sebelum mengumbar napsu, ia keburu ingat segala akibatnya, sehingga, sambil menarik napas, ia menindih hawa amarahnya dan hanya menyapu muka See hoa cu dengan sinar mata berkilat-kilat. "Jika See hoa Toheng mempunyai pendapat lain, aku bersedia untuk mendengamya." katanya dengan suara dingin.
Setelah disapu dengan sorot mata gusar, See hoa cu jadi keder. "Sumoy," katanya, "bagaimana pendapatmu" Apakah sakit hati Ko Cek Seng dan Chio Tauw boleh disudahi dengan begitu saja ?"
Sebelum Wie Su Nio menjawab, disebelah selatan sekonyong-konyong terdengar suara terompet dan sesaat kemudian seorang murid Kun Lun masuk seraya berkata: "Kawan-kawan dari Khong tong pay dan Go bie pay sudah tiba untuk menyambut kita."
Lie Thian Hoan dan dua kawannya saling melirik. Paras muka mereka agak berubah.
Dilain pihak, See hoa cu dan Wie Su Nio jadi girang. "Jie Jiehiap." kata San tian Nionio, "kurasa kita sebaiknya minta pendapat pihak Khong tong dan Gobie."
"Baiklah," jawab Lian Ciu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kedatangan orang orang Khong tong dan Go bie menambah kejengkelan Cui San. Partai Go bie masih tidak apa, tapi Khong tong pay mempunyai permusuhan yang sangat hebat dengan kakaknya, yang sudah melukakan Khong tong Ngoloo dan merampas kitab Cit siang kun. Ia merasa pasti, bahwa orang-orang Khong tong tak akan mau mengerti jika ia tidak memberitahukan di mana adanya Cia Sun.
Kisah Si Pedang Kilat 13 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Pendekar Bayangan Setan 5
Walaupun merasa, bahwa membangunkan anak itu tengah malam buta bukan seharusnya, Cui San tak berani membantah perintah sang kakak. Maka itu, ia segera kembali keguhanya dan membangunkan arak itu. Mendengar ayah angkatnya mau bercerita, Bu Kie jadi girang dan mengia kan dengan suara keras-keras, sehingga ibunya turut tersadar. Maka itu, mereka bertiga lantas saja pergi keguha Cia Sam untuk mendengari ceritera yang dijanjikan.
Sesudah semua orang berkumpul, Cia Sun segera mulai: "Anak, tak lama lagi kau akan pulang ke Tionggoan"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Apa" Ke Tionggoan ?" memutus Bu Kie.
Cia Sun menggoyangkan tangan supaya anak itu jangan memutuskan omongannya dan berkata pula
"Jika getek kita tenggelam dilaut atau ditiup angin ke samudera yang luas, maka kita boleh tak usah bicara lagi. Tapi andaikata kita kembali ke Tiongggoan, aku ingin memberitahukan suatu hal kepadamu.
Ingatlah hati manusia di dalam dunia sangat jahat dan kau tidak boleh main percaya kepada siapapun jua kecuali ayah dan ibu sendiri. Aku nyesa1, bahwa diwaktu masih muda, tak pernah ada orang yang memberi nasehat itu kepadaku. Tapi biarpun ada yanh menasehati, waktu itu aku tentu tidak mau percaya."
"Pada waktu aku berusia sepuluh tahun, secara, kebetulan aku telah bisa berguru dengan seorang yang mempunyai nama besar dalam Rimba persilatan. Karena melihat bakatku yarg sangat baik, Suhu sangat menyayang aku dan telah menurunkan ilmu-ilmu silat yang istimewa kepadaku, sehingga dengan demikian, perhubungan kami adalah bagaikan ayah dan anak. Ngotee, pada waktu itu, rasa cinta dan rasa hormat ku terhadap Suhu kira-kira bersamaan seperti rasa cinta dan rasa hormatmu terhadap gurumu. Aku keluar dari rumah perguruan dalam usia dua puluh tiga tahun. Tak lama kemudian, aku menikah, dan mempunyai seorang anak. Penghidupan kami sangat beruntung."
"Selang dua tahun, waktu lewat di kampung kelahiranku. Suhu mampir dan berdiam berapa hari dirumahku. Aku girang bukan main dan seluruh keluarga melayaninya dengan sepenuh perhatian. Dengan menggunakan kesempatan itu, guru ku juga memberikan berbagai petunjuk pada kekurangan-kekurangan dari ilmu silatku. Tapi siapa nyana.... seorang tokoh yang termasyhur dalam Rimba Persilatan sebenarnya mempunyai hati binatang! Pada tanggal lima belas Bulan tujuh, sesudah minum arak, tiba-tiba ia coba memperkosa isteriku ..."
Dengan berbareng Cui San dan So So mengeluarkan seruan kaget. Guru menodai kehormatan isteri muridnya adalah suatu kejahatan langka dalam Rimba Persilatan.
"Isteriku memberontak dan berteriak-teriak minta tolong." Cia Sun melanjutkan penuturannya.
"Mendengar teriakan itu, ayahku menerjang masuk kedalam kamar. Melihat rahasianya terbuka, guruku memukul ayahku yang lantas saja binasa. Sesudah itu, dia membinasakan juga ibuku dan membanting Cia Bu Kie, anakku yang berumur belum cukup setahun ...."
"Cia Bu Kie ?" memotong si bocah dengan suara heran.
"Jangan rewel! Dengari cerita Gie-hu!" bentak Cui San.
"Benar," jawab sang ayah pungut. "Itulah anak kandungku yang namanya bersamaan dengan namamu.
Guruku membantingnya keras-keras, sehigga dia jadi perkedel!"
"Gie-hu ! Apa.... .apa dia masih bisa hidup ?" tanya Bu Kie.
"Tak bisa! Tak bisa hidup lagi!" jawabnya dengan suara parau.
So So mendelik sambil menggoyang goyangkan tangannya untuk melarang anak itu untuk menanya lagi.
Sesudah bengong beberapa saat, barulah Cia Sun berkata lagi: "Melihat kejadian itu nyawaku terbang separuh dan aku berdiri terpaku sambil mengawasi dengan mata membelalak. Tiba-tiba guruku me!ompat dan meninju dadaku, sehingga aku rubuh terguling dalam keadaan pingsan. Ketika aku tersadar, guruku sudah menghilang, sedang diseputar rumahku penuh mayat. Mayat ayah dan ibuku, isteriku, anakku, isteri adikku dan bujang-bujangku, semuanya berjumlah tigabelas jiwa. Ia tidak memukul aku lagi, sebab rupanya ia duga aku sudah mati"
"Sebab terluka, berduka dan bergusar secara melampaui batas, aku mendapat sakit berat sekali.
Sesudah sembuh, siang malam aku melatih diri dan selang lima tahun, aku mencari guruku untuk membalas sakit hati. Tapi kepandaianku masih kalah terlalu jauh, sehingga dapat hinaan yang sangat lebar. Bia bagaimana pun sakit hati tiga belas orang tak dapat di sudahi dengan begitu saja. Aku segera berkelana untuk mencari guru yang pandai. Selama sepuluh tahun, aku telah bertemu dengan tiga orang berilmu yang menurunkan kepandaiannya kepadaku. Dengan dugaan bahwa kepandaianku sudah cukup tinggi, sekali lagi aku mencari guruku. Tapi di luar taksiran, sedang kupandaianku bertambah, kepandaiannya bertambah lebih banyak lagi. Demikianlah untuk kedua kalinya, aku pulang dengan terluka berat"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Sekali lagi aku melatih diri tanpa mengenal capai. Kali ini aku melatih Lweekang dari Cit siang kun (ilmu pukulan Tujuh Luka) dan sesudah berlatih tiga tahun lamanya, barulah aku berhasil. Aku menganggap, bahwa dengan memiliki kepandaian itu, aku sudah boleh berendeng dengan ahli ahli silat kelas utama dan jika guruku tidak mendapat lain-lain ilmu yang lebih tinggi, ia pasti tidak akan bisa melawan aku. Untuk ketiga kalinya, aku menyatroninya rumahnya, tapi bakan main rasa kecewaku, karena ia sudah pindah ketempat lain. Aku lalu berkelana dalam kalangan Kangnuw untuk mencarinya, tapi ia tetap tak kelihatan mata hidungnva Rupanya, untuk menyingkir dari bencana, ia telah kabur ketempat jauh. Dunia begini luas, dimana aku mencarinya ?"
"Sesudah itu, dengan sakit hati yang makin lama makin mendalam dan kegusaran yang meluap-luap, aku lalu mengamuk. Aku memperkosa wanita, merampok, membunuh dan membakar rumah. Setiap kali bekerja, aku selalu meninggal kan nama guruku !"
"Ah!" Cui San dan So So mengeluarkan seruan kaget dengan berbareng.
"Apa kau tahu siapa guruku?" tanya Cia Sun. So So manggat-mangaut kepalanya seraya berkata:
"Kalau, begitu, Toako adalah murid Hun goan Pek lek chioe Seng Kun." (Hun goan Pek lek chioe - si tangan geledek).
Ternyata pada belasan tahun berselang di dalam Rimba Persilatan mendadak terjadi gelombang yang sangat hebat. Dalam tempo setengah tahun, dari Liao tong sampai di Lenglam dengan beruntun-runtun terjadi peristiwa-peristiwa besar. Tiga puluh lebih orang-orang gagah kenamaan telah dibunuh dan si pembunuh meninggalkan nama Hun goan Pek lek chioe Seng Kun. Orang yang dibunuh, kalau bukan Ciang bunjin suatu partay, tentulah juga seorang gagah yang mempunyai pergaulan luas.
Seluruh Rimba Persilatan telah mengerahkan tenaga untuk menyelidiki pembunuhan itu dan atas perintah guru mereka. Bu tong Cit hiap turun gunung untuk membantu, tapi sesudah membuang banyak tempo dan tenaga, meraka tetap tidak berhasil dalam usahanya. Tak seorangpun tahu, siapa pembunuh yang kejam itu. Semua orang mengerti bahwa ada seorang yang sengaja mau mencelaka kan Seng Kun, karena sebegitu jauh Seng Kun dikenal sebagai manusia baik-baik dan beberapa orang yang telah dibinasakan, adalah sahabat-sahabat baiknya.
Orang satu satunya yang mungkin tahu siapa, pembunuh itu, adalah Seng Kun sendiri. Tapi jago itu mendadak menghilang tanpa meninggalkan bekassehingga, biarpun semua orang gagah dalam dunia Persilatan ingin membantu, mereka tidak berdaya sebab tidak tahu siapa penjahatnya.
Sekarang, sesudah mendengar pengakuan Cia Sun barulah Cui San dan So So mengetahui latar belakang dari kejadian-kejadian yang hebat itu.
Sesudah berdiam beberapa saat, Cia Sun melanjutkan penuturannya: "Kau harus tahu, bahwa tujuan dari sepak terjangku itu adalah untuk memaksa keluarnya Seng Kun. Dengan dicari oleh ribuan atau sedikitnya ratusan orang, menurut dugaanku, ia pasti akan dapat ditemukan."
"Tipu Toako memang sangat bagus," kata So So. "Akan tetapi sungguh kasihan orang-orang itu yang sudah dibunuh tanpa berdosa."
"Hm! Apakah kau tidak merasa kasihan terhadap orang tua dan anak istriku yang juga sudah dibunuh tanpa berdosa!" tanya Cia Sun dengan suara getir. "Dulu kulihat kau seorang yang sangat polos terbuka.
Tetapi sesudah menikah sepuluh tahun dengan Ngote, kau jadi bawel seperti nenek tua,"
So So melirik suaminya sambil bersenyum, "Toako, bagaimana buntutnya" Apa kau berhasil mencari Seng Kun?" tanyanya.
"Tidak, tidak berhasil," jawabnya. "Belakangan, waktu berada di Lokyang, aku bertemu dengan Song Wan Kiauw."
Cui San terkesiap. "Song Wan Kiauw, Toa sukoku ?" ia menegas.
"Benar, Song Wan Kiauw, kepala dari Bu tong cit hiap." jawabnya. "Sesudah aku mengamuk, Rimba Persilatan jadi kacau balau dan kalang kabutan. Tapi guru ...."
"Gie-hu," memutus Bu Kie. "Dia begitu jahat, mengapa masih memanggil guru kepadanya ?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Cia Sun tertawa getir. "Sudah kebiasaan sedari kecil," jawabnya. "Sebagian besar ilmu silatku didapat daripadanya. Dia jahat, akupun bukan manusia baik. Mungkin sekali, segala kejahatanku juga didapat daripadanya. Maka itu, aku tetap memanggil guru kepadanya."
Mendengar penuturan sang kakek yang sedemikian hebat. Cui San jadi merasa kuatir, bahwa ceritera itu akan memberi pengaruh kurang baik kepada Bu Kie. Diam-diam dia mengambil keputusan untuk memberi penerangan dan penjelasan lebih jauh kepada bocah itu.
Sementara itu, Cia Sun sudah menyambung pula penuturannya: "Melihat guruku belum juga muncul, aku berpendapat, bahwa kalau aku tidak melakukan perbuatannya yang menggemparkan dunia, ia pasti tak akan keluar. Sebagaimana kau tahu, daiam Rimba Persilatan, yang paling dihormati orang adalah partai Siauw lim dan Bu-tong."
"Menurut pendapatku, aku baru bisa berhasil jika membunuh seorang pentolan Siauw lim atau Bu tong. Hari itu, ditaman Bouw tan wan, depan kuil Ceng hie koan di Lokyang, aku telah menyaksikan cara bagaimara Song Wan Kiauw menghajar seorang hartawan jahat. Aku mendapat kenyataan, bahwa ia benar-benar berkepadaian tinggi dan pada saat itu juga, aku segera mengambil keputusan untuk membinasakannya."
Walaupun tahu, bahwa pada akhirnya Song Wan Kiauw tidak terbunuh, Cui San merasa terkejut juga.
Ia yakin, bahwa kepandaian Cia Sun banyak lebih tinggi dari saudara seperguruannya, sehingga kalau diserang, Toasuhengnya pasti akan dijatuhkan, So So yang juga tahu, bahwa Song Wan Kiauw tidak dibinasakan, lantas saja berkata: "Toako, masih untung kau tidak tega turunkan tangan jahat, Jika kau binasakan Song Tayhiap. Thio Ngohiap pasti akan mengadu jiwa denganmu dan kita tak bisa mengangkat saudara lagi."
Cia Sun mengeluarkan suara dari hitung. "Tidak tega" Mana boleh tidak tega?" katanya. "Kalau sekarang, aku tentu tak akan memusuhi orang orang Bu tong. Tapi pada waktu itu, jangankan Song Wan Kiauw, sedangkan Ngote sendiripun, jika bertemu denganku, aku pasti akan coba membinasakannya tanpa ragu ragu lagi."
"Gie hu. mengapa kau mau membunuh ayah?" Bu Kie menyelak.
"Aku hanya menyebutkan suatu perumpamaan dan bukan benar-benar mau membunuh ayahmu,"
jawab sang ayah angkat sambil tersenyum.
"Oh begitu?" kata si bocah.
Sambil mengusap-usap kepala anak itu, Cia Sun berkata pula dengan suara perlahan: "Meskipun langit sering menyakiti batiku, kali ini aku merasa syukur bahwa pada akhirnya, aku tidak membunuh Song Wan Kiauw. Memang benar, jika Song Wan Kiauw sampai dibunuh olehku, kita tak akan bisa mengangkat saudara." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata lagi: 'Malam itu, sesudah bersantap, aku segera bersemedhi di dalam kamar untuk mengumpulkan semangat dan tenaga. Aku mengerti, bahwa sebagai kepala dari Cit hiap, song Wan Kiauw mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Jika dengan sekali pukul aku tidak dakat membinasakannya dan ia bisa melarikan diri, maka rahasiaku akan bocor dan usaha mencari guruku akan gagal sama sekali. Bukan saja begitu, aku malah bakal dikepung oleh orang-orang gagah dikolong langit. sehingga, biarpun aku mempunyai tiga kepala enam tangan. Aku pasti tak kan dapat melawannya. Aku mati tak menjadi soal tapi jika aku mati begitu rupa, sakit hati yang begitu besar itu akan dibawa kelubang kubur."
"Gie hu," tiba Bu Kie menyelak lagi." Matamu tidak bisa melihat. Tunggulah sampia aku besar.
Sesudah mempunyai kepandaian tinggi, aku akan membalas sakit hati Gie hu."
Perkataan itu mengejutkan Cia Sun dan Cui San yang dengan serentak bangun berdiri. Dengan mata yang tak dapat melihat, Cia Sun "mengawasi" anak angkatnya dan berkata dengan suara perlahan: "Bu Kie, apa benar kau menpunyai niatan begitu?"
Cui San daa So Sa jadi bingung. Sekarang mereka berada disebuah pulau terpencil didaerah Kuub Utara, sehingga belum tentu mereka bisa kembali ke Tiong goan. Akan tetapi, di dalam Rimba Persilatan orang sangat mengutamakan kepercayaan. Sekali berjanji seumur hidup tak dapat ditarik lagi. Begitu lekas Bu kie menyanggupi untuk membalas sakit hati Cia Sun, maka ia segera memikul beban yang luar biasa berat diatas pundaknya. Sedang Cia Sun yang memiliki kepandaian sedemikian tinggi masih belum mampu membalas sakit hatinya, bagaimana anak itu bisa memenuhi janjinya "
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Menurut kebiasaan Rimba Persilatan, walaupun anak itu masih kecil, dalam urusan itu, ia harus mengambil keputusan sendiri dan orang tua nya tidak boleh mempengaruhi pikirannya. Maka itu, meskipun sangat berkuatir, Cui San dan So So tidak berani mengeluarkan sepatah kata.
"Gie hu," kata anak itu dengan suara nyaring "Orang yang membinasakan serentero keluargamu, bernama Hun goan Pek lek chioe Seng Kun, bukan" Baiklah Bu Kie akan mengingat nama itu.
Dibelakang hari, anak tentu mewakili ayah untuk membalas sakit hati dan akan membasmi seluruh keluarganya, tak satupun yarg diberi hidup!"
"Bu Kie ! Jangan ngaco kau!" bentak Cud San dengan gusar. "Satu orang yang berbuat, satu orang yang harus bertanggung jawab, Biarpun dosanya Seng Kun lebih besar lagi, hanya dia seorang yang harus mendapat hukuman. Lain orang yang tidak berdosa tidak boleh diganggu selembar rambutnya!"
"Ya, ya . . . Thia thia," katanya dengan suara ketakutan dan ia tidak berani membuka suara pula.
"Orang yang sudah mati tak tahu suatu apa," kata Cia Sun. "paling hebat ialah hidup sendirian di dalam dunia sesudah seluruh keluarga dibinasakan orang...."
"Toako, bagaimana kesudahan usahamu untuk bertempur dengan Toasuheng," Cui San memotong perkataan kakaknya. Ia berbuat begitu karena kuatir Cia Sun bicara terlalu panjang mengenai penderitaannya, sehingga dapat memberi pengaruh yang lebiih besar pada anaknya.
"Sungguh heran Toasuheng be1um pernah memberitahukan kejadian itu kepada kami"
"Song Wan Kiauw belum pernah mimpi bahwa ia pernah men jadi bulan-bulanan," jawabnya.
"Mungkin sekali, ia malah belum pernah mendengar nama kin mo Say ong Cia Sun. Mengapa "
Karena pada akhirnya, aku tidak jadi cari padanya."
Cui San menarik napas lega. "Terima kasih Langit, terima kasih bumi." katanya.
"Mengapa kau mengaturkan terima kasih kepada langit dan bumi?" tanya So So sambil tertawa. "Yang harus menerima pernyataan terima kasihmu adalah Cia Toako."
Mendengar itu, Cui San dan Bu Kie turut tertawa.
Cia Sun tidak turut tertawa. Paras mukanya berubah jadi duka dan ia berkata dengan suara perlahan:
"Kejadian malam itu masih diingat tegas olehku, seperti juga baru terjadi kemat in. Aku duduk diatas pembaringan batu dan menjalankan pernapasan, melatih Cit siang kun beberapa kali. Ngote, kau belum pernah menyaksikan pukulan Cit siang kun. Apa kau ingin melihatnya ?"
"Ilmu pukulan itu tentulah hebat luar biasa," mendahului So So "Toako, mengapa kau tidak cari Song Tayhiap ?"
"Kalau tidak hebat, bagaimana pukulan itu bisa dinamakan Cit siang kun?" kata Cia Sun sambil tersenyum dan lalu jalan mendekati satu pohon besar. Ia mengangkat tangan seraya menbentak keras, menghantam dahan pohon itu.
Dengan Lweekang yang dimilikinya, biarpun ia tak dapat merubuhkan pohon itu, sedikitnya tinju Cia Sun akan amblas didahan. Tapi diluar dugaan, pohon itu bergoyangpun tidak, sedang kulit nya tetap utuh.
So So merasa menyesal dan berkata di dalam hati: "Sesudah berdiam disini sembilan tahun, ilmu silat Toaka merosot banyak. Hal itu tak heran, karena ia memang tak pernah berlatih lagi." Tapi walaupun hatinya berduka, mulutnya bersorah sorai.
"Se moay sorakanmu tidak keluar dari hati yang setulusnya," kata sang kakak. "Kau anggap ilmu sllatku sudah tidak seperti dulu, bukan."
"Dengan berdiam di pulau terpencil ini dan kita berempat adalah orang sekeluarga, memang tak perlu kita berlatih silat lagi," kata So So.
"Ngotee, apa kau bisa melihat lihaynya pukulanku?" tanya Cia Sun tanpa menghiraukan So So.
"Waktu menyambar, pukulan itu sangat dahsyat, sehingga aku tidak mengerti, mengapa pohon itu tidak bergeming, malah daunnya tidak bergoyang," kata Cui San. "Aku percaya malah Bu Kie dapat menggoyang dahan itu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku bisa!" teriak sibocah sambil berlari-lari dan kemudian meninju dahan pohon itu. Benar saja pohon yang besar itu bergoyang keras. Kedua suami isteri girang bukan main, karena putera mereka sudah memiliki tenaga yang begitu besar. Mereka mengawasi Cia Sun dan menunggu penjelasan sang kakak.
Cia Sun bersenyum seraya berkata: "Tiga hari kemudian semua daun akan menjadi kering dan rontok dan selewatnya tujuh hari, pohon itu akan mati berdiri. Aku sudah memutuskan nadi pohon "
Kedua suami isteri kaget dan heran, tapi mereka tidak menyangsikan keterangan itu, karena sang kakak belum pernah berdusta.
Tiba-tiba Cia Sun menghunus To liong to dan menyabet putus dahan yang tadi dipukulnya. Dengan suara gedubrakan, pohon itu rubuh ditanah. "Mari, lihatlah," kata sang kakak. "Kalian boleh manyaksikan lihaynya Cit siang kun."
Cui San bertiga lantas saja menghampiri. Ternyata "hati" pohon sudah menjadi rusak, ada "urat-urat"
yang hancur dan ada juga yang putus, suatu tanda, bahwa pukulan itu mengandung beberapa macam tenaga. Bukan main rasa kagumnya Cui San dan So So. "Toako, hari ini kau telah membuka mata siauwtee," kata Cui San.
"Dalam pukulanku itu terdapat tujuh macam tenaga," kata sang kakak dengan suara bangga. "Tenaga keras, tenaga lembek dalam keras, keras dalam lembek dan sebagainya. Seorang musuh dapat menahan tenaga pertama, tak dapat menahan tenaga kedua, yang dapat menahan tenaga kedua, tak akan dapat menahan tenaga ketiga dan begitu seterusnya. Maka itulah, pukulan tersebut diberi nama Cit-siang kun.
Huh huh ! Mungkin sekali kau akan mengatakan bahwa Cit-siang kun terlalu kejam."
"Gie hu, bolehkah kau turunkan Cit siang kun kepadaku?" tanya Bu Kie.
"Tak bisa!" jawabnya seraya menggeleng-geleng kan kepala, sehingga bocah itu merasa sangat kecewa.
"Bu Kie, kau benar edan!" kata So So. "Pukulan Giehumu itu tak akan dapat dipelajari sebelum mempunyai Lweekang yang sangat tinggi."
Si bocah mengangguk seraya berkata: "Baiklah nanti kalau sudah memiliki Lweekang tiaggi, barulah Bu Kie mengajukan permintaan pula ke pada giehu."
"Tidak boleh, tak nanti aku turunkan Cit siang kun kepadamu," kata Cia Sun. "Dalam tubuh setiap manusia. bukan saja terdapat hawa Im dan yang (negatif dan positif ) tapi juga lima Heng yaitu Kim, Bok, Sui, Ho dan Touw (emas, kayu, air, api, dan tanah). Misalnya saja, paru-paru termasuk dalam Kim, buah pinggang termasuk dalarn Sui, nyali termasuk dalam Touw dan sebagainya. Begitu lekas seorang melatih diri dalam pukulan Cit siang cun, tujuh bagian isi perutnya yang sangat penting akan terluka. Makin tinggi kepandaiannya, makin hebat luka di dalam itu. "Cit siang" atau "tujuh luka", lebih dulu melukai diri sendiri. Kemudian baru melukai musuh. Sabah musabab mengapa aku sering kalap adalah karena latihan Cit siang kun"
Cui San dan So Sal terkejut. Baru sekarang mereka tahu, mengapa Cia Sun yang bun bu song Cui (pandai ilmu surat dan ilmu silat) acap kali berlaku seperti binatang buas.
"Jika aku melatih Cit siang kun sudah memiliki Lweekang yang sama tingginya sepertt Lwee kang Kong kian Taysu atau Thio Cinjin dari Bu tong pay, mungkin sekali aku tidak sampai terluka, luka itu tidak menjadi halangan," kata pula Cia Sun. "Aku sudah tidak menghiraukan segala bencana karena didorong oleh keinginan untuk membalas sakit hati secepat mungkin. Tahun itu, sesudah membinasakan tujuh orang, barulah aku dapat merampas kitab Cit siang kun dari tangan Kong tong pay dan dengan tergesa-gesa segera melatih diri menurut petunjuk-petunjuk kitab itu. Aku berbuat begitu, sebab kuatir guruku keburu mati dan aku tidak bisa membalas sakit hati. Sesudah kasep dan tidak bisa diubah lagi, barulah aku mendusin, bahwa aku sudah mendapat luka di dalam. Aku sama sekali tidak memikir untuk lebih dulu menyelidiki, mengapa dalam kalangan Kong tong pay sendiri tidak ada orang yang mempelajari ilmu pukulan itu. Disamping itu, masih ada lain sebab, mengapa aku segera melatih diri dalam Cit siang kun. Pukulan itu mempunyai sifat-sifat yang dahsyat dap menyeramkan dan bagiku, hal itu merupakan keuntungan besar. Su moay, apakah kau mengerti maksudku."
So So memikir sejenak. "Apakah Toako maksud kan bahwa Cit siang kun agak mirip dengan ilmu silat Pek lek chioe." tanya si adik.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Benar!" jawabnya. "So moay, kau sungguh pintar. Guruku bergelar Hun goan Pek lek chioe, atau si Tangan geledek, dan ilmu silatnya mengandung pengaruh angin dan geledek yang sangat hebat. Jika aku menyerang dengan Cit siang kun, ia pasti akan menduga, bahwa aku menyerang dengan ilmu silatnya sendiri, ia akan mendusin sesudah pukulanku mampir dibadannya, tapi sudah kasep. Ngotee, jangan kau mengatakan, aku licik dan kejam, Guruku adalah salah seorang yang paling hati-hati dan paling kejam didunia. Jika kau tidak menggunakan racun untuk melawan racun, sakit hatiku pasti tidak akan terbalas.
Hai! Ngotee, aku sudah melantur terlalu jauh sehingga melupakan soal Kong kian Taysu yang mau dituturkan olehku. Malam itu, sesudah melatih diri dalam Cit siang kun, aku segera berangkat untuk cari Song Wan Kiauw."
"Selagi melompat keluar dari tembok, sedang kedua kakiku belum hinggap dibumi, tiba-tiba pundakku ditepuk orang. Aku kaget bukan main. Bahwa badanku disentuh orang tanpa aku mampu menangkis, adalah kejadian yang belum pernah terjadi, Bu Kie, cobalah kau pikir. Jika orang itu menepuk dengan menggunakan Lweekang, bukan kah aku sudah mendapatkanluka berat" Aku balas memukul dan begitu lekas kaki kiriku hinggap ditanah, aku memutar badan. Saat itu sekali lagi aku merasa punggungku ditepuk orang dan hampir berbareng terdengar hela napas dan suara seorang: "Lautan penderitaan tiada terbatas, menengok kebelakang melihat tepian."
Bu Kie gembira sekali, ia tertawa terbahak bahar. "Gie hu," katanya. "Apa orang itu main main denganmu?" Cui San dan So So sudah menebak, bahwa orang itu Kong kian Taysu adanya.
"Waktu itu aku begitu kaget, sehingga sekujur badan dingin semua," Cia Sun melanjutkan panturannya. "Dengan kepandaian yang sedemikian tinggi, dengan mudah orang itu bisa mengambil jiwaku. Tapi delapan perkataan yang diucapkan nya bernada lemah lembut, penuh kasih dan sayang.
Begitu memutar badan. kulihat seorang pendeta yang mengenakan jubah putih berdiri dalam jarak empat tombak lebih. Dengan demikian, sesudah menepuk punggungku, ia sudah melompat kurang lebih empat tombak jauhnya dan kecepatan gerakan itu sungguh-sungguh luar biasa."
"Pada waktu itu, aku hanya menarik suatu kesimpulan, bahwa yang berdiri di hadapanku bukan manusia, tapi setan penasaran dari seorang yang telah diburuh olehku. Aku menarik kesimpulan itu, karena, menurut pendapatku, seorang manusia biasa tak nanti mampu bergerak begitu cepat. Sebab menduga begitu, nyaliku jadi besar lagi dan aku segera membantak: Setan siluman! Pergi kau! Aku tidak takut Langit dan bumi, apalapi kau!"
"Pendeta itu merangkap kedua tangannya seraya berkata: Cia Kiesu, Looceng Kong kian memberi hormat. Begitu mendengar perkataan 'Kong kian' aku terkesiap. Sudah lama kudengar 'Siauw lim Sang ceng, Kian, bun, tie seng yang tersiar luas di dalam Rimba Persilatan. Kong kian Taysu adalah kepala dari empat pendeta nabi (Sengceng ) Siauw lim sie sehingga tidaklah heran jika ia memiliki kepandaian yang begitu tinggi."
Mendengar sampai disitu, hati Cui San dan So So merasa sangat tidak enak, karena mereka tahu, pada akhirnya Kong kian binasa karena tiga belas pukulan Cia Sun.
Sesudah berdiam sejenak, Cia Sun berkata pula: "Aku mengawasinya seraya bertanya: Apa kah aku sedang berhadapan dengan Kong kian Seng ceng dari Siauw lim sie" Ia jawab: Perkataan Seng ceng aku tidak dapat menerima tapi memang benar loolap ialah Kong kian dari Siaw Lim sie. Aku kata: Aku dan Taysu belum pernah mengenal satu sama lain, tapi mengapa Taysu mempermainkan aku" kata Kong kian: Mana berani loolap mempermainkan Kiesu" Aku hanya ingin menanya: Kemana Kiesu mau pergi"
Ku jawab: Kemana kumau pergi tiada sangkut pautnya dengan Taysu! Ia menghela napas dan berkata dengan suara perlahan: Malam ini Kiesu ingin membunuh Song Wan Kiauw Tayhiap dari Bu tong pay.
Bukankah begitu" Sekali lagi aku terkesiap."
"Ia mengawasi aku dengan mata tajam dan berkata pula: Kiesu ingin melakukan perbuatan yang menggemparkan Rimba Persilatan untuk memancing keluar Hun goan Pek lek chioe Seng Kun guna membalas sakit hati.... Aku heran dan kaget tak kepalang. Aku belum pernah memberitahu perbuatan guruku kepada orang lain dan gurukupun tak pernah membuka rahasia busuknya itu ?"
"Begitu mendengar Hun goan Pek lek chioe Seng Kun, tubuhku menggigil. Jika Taysu sudi mengunjuk dimana adanya dia, aku rela menjadi kerbau atau kuda untuk kepentingan Taysu, kata ku. Ia menghela napas dan berkata dengan suara menyesal: Perbuatan Seng Kun memang suatu kedosaan yang sangat besar. Akan tetapi, dalam kegusarannya, Kiesu sudah membunuh begitu banyak orang dan perbuatan Kiesu itu juga merupakan kedosaan yang tidak kecil."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku mendongkol dan sebenarnya ingin sekali menyemprotnya. Tapi karena tahu, bahwa aku bukan tandingannya, maka sambil menahan amarah, aku berkata: Aku berbuat begitu sebab tidak ada jalan lain.
Seng Kun menyembunyikan diri dan aku tidak dapat mencarinya."
"Ia manggut-manggutkan kepala seraya berkata: Aku mengerti, aku sangat merasakan perasanmu.
Sakit hatimu besar luar biasa dan aku tidak dapat melampiaskan, akan tetapi, Song Tay hiap adalah murid pertama Thio Sam Hong Cinjin dan jika kau membinasakannya, bakal muncul gelombang yang tidak kecil. "
"Aku tersenyum getir. Itu memang tujuanku,jawabku. Makin dahsyat gelombang yang diterbitkan olehku, makin baik lagi, karena hanialah itu yang bisa memaksa keluarnya Seng Kun dari tempat persembunyiannya."
"Sesudah itu, aku dan Kong Kian bicara seperti berikut: Cia Kiesu, jika kau membinasakan Song Tayhiap, memang Seng Kun tidak bisa tidak keluar dari tempat persembunyiannya. Akan tetapi, Seng Kun sekarang bukan Seng Kun dulu. Terang terang aku mengatakan, bahwa kepandaian Kie su masih belum dapat menandinginya. Biar bagaimanapun jua, Kiesu tak akan bisa membalas sakit hatimu. "
"Seng Kun adalah guruku. Aku lebih mengenal kepandaiannya daripada Taysu."
"Tidak, tidak begitu. Ada halnya yang tidak di ketahui Kiesu. Seng Kun telah mendapat guru yang sangat lihai dan selama tiga tahun ia telah memperoleh kemajuan lvar biasa pesat. Biarpun Kiesu mahir dalam ilmu Cit siang kun dari Khong tong pay Kiasu tak akan dapat melukakannya"
"Untuk sekian kalinya aku terkejut. Kong kian Taysu belum pernah bertemu denganku, tapi gerak gerikku diketabui begitu jelas olehnya. Aku mengawasinya dengan mata membelalak. Sesudah menenteramkan hatiku yang berdebar-debar, aku bertanya: Bagaimana Taysu tahu" Ia menjawab: Seng Kun sendiri yang memberitahukan kepadaku"
Cui San, So So dan Bu Kie mengeluarkan suara tertahan dengan berbareng.
"Kalian heran, tapi aku lebih heran lagi. Aku melompat bahna kagetku, dan membentak: Bagaimana dia tahu" Kong kian menjawab dengan suara perlahan: Selama beberapa tahun, ia selalu mendampingi Kiesue. Hanya karena ia selalu selalu menyamar, maka Kiesu tak mendapat tahu. Tak mungkin! teriakku.
Tak mungkin! Aku mengenalnya. Biarkan dia sudah menjadi abu, aku masih dapat mengenalinya."
"Kong kian menggelengkan kepala seraya berkata deagan suara lemah lembut: Cia Kie su, kau bukan seorang semberono. Akan tetapi, karena kau hanya ingat soal membalas sakit hati, maka kau tidak memperhatikan keadaan disekitarmu. Kau di tempat terang, dia di tempat gelap. Tak heran jika kau tidak mengenalinya."
"Aku tidak bisa tidak percaya keterangan itu. Kong kian taysu adalah seorang pendeta suci yang namanya terkenal dikolong langit, sehingga tak mungkin ia berdusta. Kalau begitu, bukankah lebih baik baginya jika ia membunuh aku dengan membokong" kataku. Jika ia ingin mengambil jiwa, ia dapat melakukannya seperti membalik tangan sendiri, Kata Kong kian: Cia Kiesu, dua kali kau coba membalas sakit hati, dua kali telah dikalahkan. Jika ia memang mau menghendaki jiwamu, mengapa waktu itu ia tidak turun tangan" Pada waktu kau coba merampas kitab Cit siang kun, kau telah mengadu Lweekang dengan tiga tetua dari Kong tong pay. Sebagai mana kau tahu, partai itu mempunyai lima orang tetua.
Kemana perginya dua tetua yang lain" Mengapa kedua orang itu tidak turut mengerubuti kau" Kalau Ngo lo (Lima tetua) turun tangan dengan berbareng, apakah Kiesu masih bisa hidup terus?"
"Untuk kesekian kalinya, aku terkejut. Memang benar, waktu aku melukakan Khong tong Sam loo (Tiga tetua Khong tong pay), aku mendapat tahu, bahwa dua tetua yang lain, yang tidak turut bertempur, juga mendapat luka berat. Hal itu selalu merupakan teka teki yang tidak dapat dipecahkan olehku.
Apakah kedua tetua itu berkelahi dengan kawan sendiri" Apakah aku dibantu oleh seorang yang berilmu tinggi" Sekarang, mendengar perkataan Kong kian Taysu, aku bertanya di dalam hati. Apakah dua tetua itu dilukakan oleh Seng kun ?"
Cui San dan So So adalah orang oraag mempunyai pengalaman, pergaulan dan pendengaran luas.
Mereka sudah kenyang mendengar cerita cerita aneh dalam Rimba persilatan, tapi belum pernah ada yang seaneh cerita Cia Sun. Sesudah bergaul lama, mereka tahu, bahwa Cia Sun bukan lihat ilmu silatnya saja, tapi juga lihay otaknya. Tapi Hun Goan Pek lek chioe Seng Kun kelihatannya lebih lihay dari pada saudara angkat itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Toako." kata So So. "Apa benar kedua tetua Khong tong pay dilukakan oleh gurumu?"
Cia Sun mengangguk seraya menjawab "Benar. Akupun tetah mengajukan pertanyaan begitu kepada Kong kian. Cia Kiesu, apa kau lihat mukanya kedua tetua itu " tanyanya. Bagaimana paras muka mereka"
Aku tidak lantas menjawab dan mengingat-ingat beberapa saat, barulah aku berkata: Kalau begitu, Khong tong jie loo benar telah dilukakan oleh guruku. Aku terpaksa mengakuinya, karena kuingat, bahwa pada waktu
Khong tong Jie loo menggeletak ditanah, muka mereka penuh dengan bintik-bintik merah darah. Itu merupakan petunjuk, bahwa mereka telah menyerang dengan menggunakan tenaga Im kin (Tenaga lembek), tapi telah dipukul balik dengan ilmu Hun goan kong. Setahuku, disamping akibat pukulan Hun goan kong, bintik-bintik merah di muka ialah tanda dari penyakit cacar atau sebangsanya. Tak mungkin Jie loo mendapatkan penyakit cacar, karena pada hal itu, ketika aku baru bertemu dergan Khong tong Ngo loo, mereka semua segar bugar. Aku juga tau, bahwa di dalam Rimba Persilatan. Hun goan kong hanya dimiliki oleh
guruku dan aku saja."
"Kong kian Taysu manggut-manggutkan kepala. Ia menghela napas seraya berkata: Dalam keadaan mabuk, memang gurumu telah melaku kan perbuatan sangat hebat. Sesudah tersadar dari mabuknya, ia malu dan menyesal bukan main. Dua kali kau mencarinya untuk membalas sakit hati, dua kali ia tidak mengambil jiwamu.Ia malah tidak ingin melukakan kau. Tapi kerena kau menyerang secara nekad bagaikan orang edan, ia tak bisa meloloskan diri tanpa melukakan kau. Sesudah itu ia terUs membayangi kau dari belakang dan tiga kali diam-diam ia sudah menolong kau dari bencana."
"Aku segara mengingat ingat dan memang benar, selain dari peristiwa pertempuran melawan para tetua Khongtongpay, dua kali aku terlolos dari bahaya secara mengherankan."
"Sesudah berdiam sejenak, Kong kian Taysu berkata pula: karena tahu, bahwa kedosaannya terlalu besar, ia tidak berani memohon ampuh. Ia hanya mengharap, bahwa lama-lama kau akan melupakan sakit hati itu. Tapi diluar dugaan, gelombang yang diterbitkan olehmu makin lama jadi makin besar dan jumlah manusia yang dibinasakan olehmu jadi makin banyak. Hari ini jika kau membinasakan Song Tayhiap, suatu bencana besar tak akan dapat dielakkan lagi."
"Mendengar itu, aku segera berkata: Baiklah, aku tak akan cari orang she Song itu, Tapi aku harap Taysu suka minta guruku menemui aku. Jawab kong kian Taysu: ia tak mempunyai muka untuk bertemu dengan kau dan iapun tak berani menemui kau. Disamping itu, Cia Kiesu, bukan loolap mau memandang rendah kepadamu, andaikata kau bertemu dengan gurumu, kaupun tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Dibandingkan dengan dia, kepandaianmu masih terlalu rendah. Kurasa kau tak akan mampu membalas sakit hatimu."
"Aku mata sangat mendongkol dan segera berkata: Taysu adalah seorang pendeta suci yang mempunyai perasaan adil. Apakah dengan berkata begitu Taysu ingin aku menyudahi saja urusan ini" Ia mengawasi aku dengan sorot mata kasihan."
"Aku dapat merasakan hebatnya penderitaan Kiosu. katanya. Akan tetap, kau harus ingat, bahwa perbuatan gurumu dilakukan dalam keadaan mabuk arak dan ia sebenarnya sama sekali tidak berniat begitu. Apa pula ia sungguh2 nerasa malu dan menyesal. Maka itu, loolap memohon pertimbangan Kiesu mengingat kecintaan antara guru dan murid pada masa yang lampau."
"Mendengar bujukan itu, sambil menahan amarah aku segera berkata dengan suara kaku! Kalau kali ini aku tidak bisa memenang kan dia, biarlah dia binasakan aku. Jika aku tidak bisa membalas sakit hati, akupun tak sudi hidup lebih lama lagi di dalam dunia."
"Kong kian mengawasi aku dengan paras muka berduka. Lama ia berdiri termenung tanpa menegeluarkan sepatah kata. Cia Kiesu, katanva dengan suara perlahan, ilmu silat gurumu di waktu sekarang berbeda jauh dari pada diwarktu dulu. Biarpun kau mempunyai pukulan Cit siang kun, tak dapat kau melukakannya. Jika kau tak percaya, cobalah jajal pukulan itu terhadap diri loolap."
"Aku dan Taysu sama sekali tidak mempunyai permusuhan, mana berani aku melukakan Taysu"
kataku, Walaupun berkepandaian rendah, kurasa Cit Siang kun tak mudah dilawan orang. Mendengar jawabanku, ia mengawasi aku sejenak dan kemudian berkata dengan suara tetap: Cia Kiesu, marilah kita bertaruh. Gurumu telah membinasakan tigabelas anggauta keluargamu dan kau boleh memukulku tigabelas kali. Jika kau berhasil melukakan aku, aku tak akan campur lagi urusan ini dan gurumu akan keluar untuk menemui kau. Tapi jika kau tak dapat melukakan aku, kau harus melupakan sakit hatimu.
Cia Kiesu, bagaimana pendapatmu" Apa kau setuju pertaruhan ini."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku tidak lantas menjawab. Kutahu pendeta itu memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan biarpun lihay, Cit siang kun belum tentu dapat melukainya. Kalau aku tidak bisa melukainya, apakah sakit hatiku boleh disudahi saja?"
"Sementara itu, Kong kian sudah berkata: Sekarang aku mau bicara terang-terangan kepada Kiesu.
Sesudah mencampuri urusan ini, loolap pasti tidak akan mempermisikan kau membinasakan lagi kawan-kawan Rimba Persilatan yang tak berdosa. Jika mulai dari sekarang Kiesu menghentikan perbuatan kejam itu, aku bersedia untuk melupakan segala perbuatan perbuatan dulu-dulu.
"Cia Kiesu, kau mencari musuhmu untuk membalas sakit hati. Apakah kau kira kelurga atau murid-murid dari orang-orang yang dibunuh olenhmu tidak akan mencarimu untuk membalas sakit hati?"
"Mendengar perkataan itu yang diucapkan dengan suara keren amarahku meluap. Baiklah aku akan pukul kau tiga belas kali! teriakku. Jika merasa tidak tahan, Taysu boleh segera berteriak. Seorang laki-laki tak akan melanggar janji sendiri. Kalau kalah, Taysu harus meyuruh guru menemui aku."
"Kong kian bersenyum seraya berkata: Kiesu boleh segera mulai. Melihat badannya yang kate kecil, rambut dan alisnya yang sudah putih, dan paras mukanya yang welas asih, aku sungguh merasa tak tega untuk turun tangan. Maka itu, dalam pukulan pertama, yang ditujukan kedadanya aku hanya menggunakan tiga bagian tenaga"
"Gie hu," memotong Bu Kie, "apakah kau menggunakan Cit siang kun yang dapat memutus kan nadi pohon?"
"Tidak," jawabnya. "Dalam pukulan pertama aku menggunakan Pek lek chioe dari guruku. Begitu terpukul, badan Kong kian Taysu bergoyang goyang. Ia mundur setindak, Di dalam hati, aku memandang rendah kepadanya. Dengan mengguna kan tiga bagian tenaga saja, ia sudah terhuyung setindak. Aku menduga, bahwa jika aku memukul dengan Cit siang kun, dalam tiga kali pukul mengambil jiwanya.
Dalam pukulan kedua aku menambah tenaga. Badannya bergoyang goyang pula dan dia mundur setindak lagi. Pukulan yang ketiga pun mengeluarkan hasil yang sama"
"Diam-diam aku merasa heran. Dalam pukulan ketiga, aku kembali menambah tenrga, tapi ia tetap dapat menerimanya dengan sikap acuh tak acuh. Selain begitu, akupun merasa heran, karena tubuhnya sama sekali tidak mengeluarkan tenaga yang melawan tenaga pukulanku."
"Aku segera menarik kesimpulan, bahwa untuk merubuhkannya aku perlu menggunakan seantero tenaga. Akan tetapi, jika aku menggunakan seluruh tenaga, ia tentu akan terpukul mati, atau sedikitnya terluka berat. Biarpun aku seorang jahat dan kejam, tapi terhadap Kong kian Tayso yang rela berkorban untuk kepentingan orang lain, aku menaruh hormat yang sangat besar. Maka itu, aku lantas berkata: Taysu, kau menerima pukulan tanpa membalas. Aku tak tega memukul lagi. Kau sulah dipukul tiga kaii.
Baiklah aku sekarang berjanji tak akan cari Song Wan Kiauw."
"Tapi bagaimana dengan sakit hatimu terhadap Seng Kun " tanyanya. Dengan bernapsu aku menjawab: Aku dan Seng Kun tidak bisa hidup bersama-sama dikolong langit. Kalau bukan dia, akulah yang binasa. Aku berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: Tapi sesudah Taysu tampil kemuka, dengan memandang Taysu aku berjanji, bahwa mulai dari sekarang aku tak akan membunuh lagi kawan-kawan dalam Rimba Persilatan. Tujuanku hanya Seng Kun dan keluarganya!"
"Ia merangkap kedua tangannya seraya berkata: Atas nama kawan-kawan Rimba Persilatan, aku menghaturkan terima kasih untuk janji Kiesu itu. Tapi loolap sudah mengambil keputusan untuk mendamaikan sakit hati ini, sehingga oleh karenanya, lebih baik Kieso meneruskan pukulan itu"
"Diam-diam aku menghitung-hitung. Memang paling baik aku melakukannya dengan Cit siang kun untuk memaksa keluarnya guruku. Untung juga, aku sudah mahir dalam pukulan itu, sehingga berat entengnya, mengirimnya atau menarik pulangnya dapat dilakukan sesuka hatiku. Dengan demikian, kurasa aku akan dapat mengimbangi pukulanku supaya tidak sampai mengambil jiwa pendeta yang mulia itu. Memikir begitu, aku segera berkata: Baiklah dan lalu mengirim pukulan Cit siang kun. Begitu lekas tinjuku menyentuh dadanya, dada itu agak melesak dan ia maju setindak."
Bu Kie menepuk-nepuk tangan. "Heran sungguh !" katanya sambil tertawa. "Kali ini, sebaik nya dari pada mundur, Hweeshio tua itu maju kedepan."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Toako, bukankah Kong kian Taysu menyambut pukulanmu dengan ilmu Kim kong Poet hoay tee (ilmu malaikat untuk membebaskan tubuh manusia dari sega1a kerusakan) dari Siauw lim pay?" tanya Cui San.
Cia Sun mengangguk beberapa ka1i. "Ngotee, kau ternyata mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas sekali," ia memuji. "Memang benar Kong kian Taysu menggunakan ilmu itu. Kali ini, berbeda dari pada waktu menyambut tiga pukulan yang pertama, dari dalam tubuhnya keluar tenaga berbalik, sehingga isi perutku tergoncang hebat. Aku mengerti, bahwa Kong kian Taysu sudah terpaksa mengeluarkan ilmu tersebut. Jika tidak, ia tak akan dapat menyambut pukulan Cit siang koan. Sudah lama kudengar, bahwa Kim kong Poet huy tee dari Siauw lim pay adalah salah satu dari lima ilmu ajaib yang tertinggi dalam Rimba Persilatan. Sekarang baru aku tahu ilmu itu sungguh-sungguh hebat. Aku segera mengirim tinju kelima dengan menggunakan tenaga im-jioe (Tenaga lembek). Ia menyambutnya dengan maju lagi setindak dan aku sendiri lalu mengerahkan Lweekang untuk mempunahkan tenaga im-jioe yang berbalik menghantam diriku..."
"Giehu," Bu Kie memutus pula perkataan ayah angkatnva," pendeta tua itu telah melanggar janji. Ia berjanji tidak akan membalas, tapi mengapa ia menghantam balik tenaga Im-jioemu?"
Cia Sun mengusap usap kepala bocah itu dan berkata pula dengan suara halus: "Sesudah aku mengirim tinju kelima, Kong kian Taysu berkata: Cia Kiesu, aku tak nyana Cit siang kun sedemikian hebat. Jika aku tidak mengerahkan Lweekang untuk menolak tenagamu, aku tak akan dapat bertahan."
"Tidak apa, kataku. Bahwa Taysu sudah tidak membalas dengan pukulan, aku sudah merasa amat sangat berterima kasih."
"Bagaikan huyan angin aku segera mengirim pukulan keenam, ketujuh, kedelapan dan kesembilan.
Kong kian Taysu sungguh-sungguh lihay. Ia menyambut setiap pukulan dengan sikap tenang dan apa yang paling mengherankan, ia dapat membedakan lebih dulu tenaga tenaga yang digunakan olehku."
"Awas! teriakku seraya mengirim tinju yang kesepuluh."
(Bersambung jilid 13) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 13 Ia mengangguk sedikit dan lalu mendului maju dua tindak kedepan.
"Dalam pukulan yang kesepuluh aku telah menggunakan seantero tenaga dan aku terhuyung kebelakang beberapa tindak sebab terbentur dengan tenaga menolak yang sangat dahsyat. Aku tidak bisa melihat mukaku sendiri."
"Tapi kutahu mukaku sudah pucat bagaikan kertas, sedang napas Kong kian Taysu pun tersengal sengal. Cia Kiesu, kau harus mengaso dulu sebelum mengirim pukulan kesebelas, katanya. Aku adalah seorang yang sungkan mengaku kalah, tapi pada saat itu, benar-benar ku tak sanggup segera mengirim pukulan."
Cui San dan So So mengawasi sang kakak dengan perasaan tegang.
"Giehu, lebih baik kau jangan memukul lagi," kata Bu Kie dengan tiba tiba.
"Mengapa?" tanya Cia Sun.
"Pendeta tua itu sangat mulia hatinya," jawab nya. "Jika Giehu melukakannya, hati Giehu tentu merasa tak enak. Jika Giehu terluka kejadian itu sama tidak baiknya."
Cui San dan So So saling melirik. Mereka merasa girang, bahwa Bu Kie yang masih begitu kecil sudah mempunyai pemandangan jauh. Terutama Cui San merasa sangat terhibur, karena ia mendapat kenyataan, bahwa puteranya mempunyai pribudi yang luhur dan dapat membedakan apa yang benar, apa yang salah.
Cia Sun menghela napas panjang. "Ya" Aka hidup berpuluh tahun dengan cuma-cuma dan pikiranku tak bisa menandingi pikiran anak kecil," katanya dengan suara menyesal. "Tapi pada waktu itu, dengan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
adanya tekad bulat untuk membalas sakit hati, aku tidak menghiraukan apapun juga. Aku merasa, bahwa jika aku memukul tiga kali lagi, salah seorang pasti akan binasa atau luka berat. Tapi aku tidak perduli.
Aku segera mengerahkan seluruh lweekang dan mengirim pukulan yang kesebelas. Kali ini ia melompat, sehingga tinju yang ditujukan kedadanya. mengenakan kempungan. Aku mengerti maksudnya yang sangat mulia. Jika aku memukul dadanya, tenaga mendorong dari dada itu hebat luar biasa dan ia kuatir aku tak kuat menerimanya. Tapi dengan memasang kempungan, ia sangat menderita. Begitu kena, ia mengerutkan alis, seperti orang sedang menahan sakit."
"Untuk sejenak aku berdiri terpaku dan mengawasi dengan mata mendelong. Taysu, kedosaan guruku sangat besar dan tak lebih dari pada pantas jika ia menerima hukuman mati, kataku dengan suara terharu.
Mengapa Taysu rela mengorbankan diri yang berharga bagaikan emas dan giok untuk menolong manusia yang berdosa itu?"
"Ia tidak lantas menjawab. Untuk beberapa saat, ia berdiri tegak dan mengatur jalan pernapasan.
Sesudah itu, ia tertawa getir seraya berkata: Dua pukulan lagi . . . dan . . . permusuhan akan cepat dibereskan . Melihat begitu tiba-tiba dalam otakku berkelebat serupa ingatan. Ternyata pada waktu mengerahkan tenaga Kim long Poet hay tee, ia tidak boleh bicara. Mengapa aku tidak memancing supaya ia bicara dan dengan berbareng mengirim pukulan mendadak ?"
"Mengingat begitu segera aku berkata : Kalau dalam tigabelas pukulan, aku berhasil melukakan Taysu, apakah Taysu tanggung bahwa guruku bakal datang untuk menemui aku" Seorang beribadat tak akan berdusta, jawabnya. Meskipun Taysu berjanji, tapi apakah Taysu mempunyai pegangan, bahwa ia pasti akan muncul " tanyaku pula. Ia menjawab: ia sendiri yang mengatakan begitu kepadaku."
"Pada detik itulah, sebelum ia bicara habis dengan mendadak dan bagaikan kilat cepatnya, aku mengirim pukulan yang kedua belas kearah kempungannya. Aku merasa pasti bahwa ia tak akan keburu mengerahkan tenaga Kim kong Poeti hay tee !"
"Tapi diluar dugaan, ilmu itu dapat digunakan menurut kemauan hati. Begitu lekas tinjuku menyentuh kempungannya, tenaga malaikat dari Kim kong Poet hoay tee sudah berada diseluruh tubuh nya. Tiba-tiba aku merasa langit berputar dan bumi terbalik, sedang isi perutku seolah-olah mau meledak. Aku terhuyung tujuh delapan tindakkan. Sesudah punggungku membentur pohon, barulah aku bisa berdiri tegak."
"Hatiku hancur dan mendadak aku mendapat pikiran jahat. Sudahlah! teriakku. Sakit hati ini sukar bisa dibalas. Guna apa Cia Sun hidup lebih lama di dalam dunia " Seraya berkata begitu, aku mengangkat tangan untuk menghantam batok kepalaku."
"Lihay ! Sungguh lihay tipu itu!" seru Bu Kie. "Tapi Giehu, apakah siasatmu itu tidak terlalu kejam?"
"Melihat apa kau?" tanya Cui San,
"Melihat Giehu mau membunuh diri dengan rnenghantam batok kepala sendiri, Hweeshio tua itu pasti akan berteriak untuk mencegah dan akan coba menolong," jawab Bu Kie. "Giehu pasti akan turun tangan pada saat pendeta itu tidak berjaga-jaga. Tapi ia begitu baik terhadapmu dan Giehu tentu tidak boleh melukakannya. Bukankah begitu" "
Bukan main herannya Cui San dan So So. Mereka memang tahu, bahwa anak itu sangat cerdas otaknya. Tapi mereka sama sekali tak pernah menduga, bahwa dalam tempo sekejap mata, ia sudah bisa melihat akal khianatnya Cia Sun. Mereka sendiri adalah orang-orang yang terkenal pintar dan mempunyai banyak pengalaman dalam dunia Kangouw. Tapi dalam kecepatan berpikir, mereka ternyata masih kalah setingka t dari anak itu.
Paras muka Cia Sun berubah sedih dan sesudah menghela napas, ia berkata dengan suara parau:
"Benar. Aku justru ingin menialah gunakan kemuliaan Kong kian Tayso! BoaeKie, tebakanmu tepat sekali. Biarpun benar gerakanku itu merupakan suatu akal busuk, tapi pada waktu aku mengayun tangan untuk menepuk batok kepalaku, aku menghadapi bahaya yang sangat besar. Kalau aku tidak menghantam sungguh-sungguh dengan sepenuh tenaga, Kong kian tentu bisa melihatnya dan ia pasti tak akan coba, menolong."
"Dari tiga belas pukulan hanya ketinggalan satu pukulan saja. Cit siang kun memang lihay, tapi sudah ter bukti, bahwa itu tak bisa menghancurkan Kim kong Poet hoay tee yang melindungi seluruh tubuhnya.
Maka itu, dengan pukulan biasa, tak usah diharap aku bisa berhasil dan aku boleh tak usah mimpi untuk membalas sakit hati ini. Demikianlah, ibarat orang berjudi, pada detik itu aku tengah melemparkan dadu
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
yang penghabisan kali. Aku menghantam dengan sekuat tenaga. Jika ia tidak menolong, maka aku akan binasa dengan kepala hancur. Memang, kalau aku tidak bisa membalas sakit hati, memang labih baik aku binasa"
"Melihat sambaran tanganku, Kong kian Taysu berteriak: Hei! Jangan ... Seraya berteriak, ia melompat dan nenangkis tanganku. Pada detik itulah aku mengirim tinju kiri kebawah dadanya. Buk ! Tinjuku mampir tepat pads sasarannya. Kali ini ia benar sekali tidak berjaga jaga. Tubuh manusia terdiri dari darah dan daging tentu saja tak bisa menerima pukulan Cit sang kun yang sehebat itu. Tanpa bersuara, pendeta yang sangat rnulia itu rubuh ditanah!"
"Aku mengawasinya sejenak dan tiba tiba rasa kemanusiaanku mengamuk hebat. Aku memeluknya dan rnenangis keras. Kong kian Taysu, Cia Sun tak mengenal pribadi, lebih hina daripada babi dan anjing! kataku dengan suara parau."
Cui San bertiga tidak rnengeluarkan sepatah kata. Mereka sangat berduka akan kebinasaan pendata yang berhati begitu mulia.
"Melihat aku menangis, Kong kian Taysu bersenyum." kata pula Cia Sun. "Ia menghibur aku dengann berkata: Setiap manusia didunia harus pulang kealam baka! Kiesu tak usah begitu sedih. Tak lama lagi gurumu akan tiba disini dan kau harus menghadapinya dengan penuh ketenangan."
"Nasehat itu menyadarkan aku. Barusan, sesudah megirimkan tiga belas pukulan, tenaga ku dapat di katakan habis. Sekarang dalam menghadapi lawan berat, tak boleh aku terlalu berduka, karena hal itu dapat merusak semangat. Aku segera bersila dan mengatur jalan pernapasan. Tapi sesudah lewat sekian lama, guruku belum juga datang. Aku melirik kong kian Taysu dan melihat bahwa pada paras mukanya terlukis rasa heran."
"Sesaat itu, napas Kong kian Taysu sudah sangat lemah. Iapun mengawasi aku dan berkata dengan suara terputus putus. Tak dinyana .... ia tidak.....tidak..... boleh dipercaya. Apa dia tertahan karena urusan lain ?"
"Aku gusar tak kepalang. Kau menipu aku! bentakku. Kau menipu aku, sehingga aku membinasakanmu. Sampai sekarang guruku masih belum muncul!"
"Ia mengeleng gelengkan kepala. Aku tidak menipu katanya. Aku merasa bersalah terhadapmu."
"Dalam kegusaran yang meluap-luap, aku mencacinya. Tiba-tiba selagi memaki, aku terkejut sebab ingat kenyataan yang sebenarnya. Andaikata ia menipu aku, tipunya merupakan pengorbanan jiwa dan baginya tak ada keuntungan apa pun jua, pikirku. Sesudah mengorbankan jiwa, ia malah meminta maaf kepadaku."
"Bukan main rasa maluku dan aku segera berlutut di sampingnya. Taysu, apakah kau mempunyai keinginan yang belum ditunaikan" tanyaku dengan suara parau. Katakan saja. Aku pasti akan melakukannya."
"Ia bersenyum seraya berkata dengan berbisik: Aku hanya mengharap, bahwa jika kau mau membunuh orang, ingatlah loolap."
"Kong kian Taysu bukan saja seorang pendeta suci yang memiliki ilmu silat sangat tinggi, tapi juga seorang budiman dan bijaksana yang dapat menyelami perasaanku. Ia mengerti, bahwa jika ia meminta supaya aku menyudahi permusuhan dan mengubah menjadi orang baik, aku tentu tak akan dapat melakukannya. Ia tahu bahwa permintaan begitu bakal sia-sia saja. Maka itu, ia hanya memesan, supaya jika mau membunuh orang, biarlah aku ingat pengorbanannya."
"Ngote, hari itu, pada waktu itu mengadu tenaga di dalam perahu, aku tidak mengambil jiwamu, sebab, secara mendadak, aku ingat Kong kian Taysu."
Cui San tercengang. Sedikitpun ia tak pernah menduga bahwa jiwanya ditolong oleh seorang pendeta yang sudah tidak ada lagi dalam dunia. Ia menghela napas dengan rasa kagum dan rasa hormat yang tiada batasnya.
"Giehu, mengapa kau mengadu tenaga dengan Thia-thia?" Bu Kie menyelak..
"Mereka hanya main-main untuk menjajal Lwee kang siapa yang lebih tinggi," So So mendahului.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bocah itu tak percaya. "Giehu," katanya pula. "Apa waktu itu kedua matamu sudah bute"
"Boo Kie ! Jangan ngaco!" bentak sang ibu dengan rasa terkejut.
Cia Sun bersenyum. "Belum, waktu itu aku belum buta," jawabnya. "Mengapa kau menanya begitu?"
Mendengar jawaban ayah angkatnya, Bu Kie segera berkata lagi: "Kalau begitu, mungkin sekali karena ayah tidak bisa mengalahkan Giehu, maka ibu sudah turun tangan dan membutakan ke dua matamu...."
"Bu Kie!" bentak Cui San dan So So dengan berbareng sehingga anak itu ketakutan dan tidak berani membuka suara lagi.
"Tak boleb kamu menakut-nakuti anak itu," kata sang kakak, "Bu Kie, tebakanmu tak salah.
Bagaimana kau dapat rnenebaknya?"
Bocah itu mengawasi kedua orang tuanya dan menjawab dengan suara terputus-putus: "Aku... aku...."
"Kau benar," kata sang ayah angkat. "Waktu itu, sebab ayahmu tidak bisa mengalahkan aku, ibumu sudah turun tangan dan menimpuk kedua mataku. Tapi kejadian itu sudah terjadi lama sekali dan orang yang bersalah adalah aku sendiri. Aku sama sekaili tidak menjadi gusar. Apakah kau dengar dari ibumu
?" Ia tahu, bahwa So So tak mungkin menceritakannya kepada puteranya, tapi ia sengaja mengajukan pertanyaan itu supaya Cui San dan So So tidak bisa mencegah penjelasan si Bu Kie.
"Tidak ! Ayah dan ibu sama sekali belum pernah menuturkan kejadian itu kepadaku," jawab Bu Kie.
"Beberapa hari yang lalu ibu mengatakan, bahwa ia mau mengajar aku menimpuk dengan jarum emas, tapi pada esok harinya, ia membatalkan janji. Menurut dugaanku, ayahlah yang sudah melarang ibu, karena ia kuatir hal itu mengingatkan Giehu akan kejadian kejadian yang lampau."
Cia Sun tertawa terbahak bahak. "Ngote, So moay, anak kita lebih pintar lima kali lipat dari pada aku dan lebih cerdas sepuluh kali lipat dari pada kamu berdua," katanya dengan suara girang dan bangga,
"Hmm . . .! Aku tak bisa menebak kelihayannya dibelakang hari ."
Tanpa terasa Cui San dan So So mengulur tangan mereka dan mencekal tangan sibocat erat erat.
Mereka merasa sangat girang. tapi kegirangan itu tercampur dengan rasa kuatir. Cui San kuatir, bahwa karena terlalu pintar dihari kemudian anak itu akan menyeleweng. Sedang So So sendiri kuatir puteranya tidak bisa berumur panjang.
"Giehu," kata pula Bu Kie sambil tertawa. "Dengan berkata begitu, bukankah Giehu lebih pintar dua kali lipat daripada ayah dan ibu ?"
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lebih daripada dua kali lipat," jawabnya di susul dengan tertawa nyaring.
"Giehu, bagaimana dengan pendeta tua itu " Apa ia dapat diselamatkan jiwanya ?" tanya pula si bocah.
Cia Sun menghela napas. "Tidak, tak dapat disembuhkan lagi," jawabnya. "Napasnya makian lama jadi makin lemah. Dengan mati matian aku menekan jalanan darah Leng tayhiatnya sambil mengempos Lweekang untuk coba menolong jiwanya. Tiba-tiba ia menarik napas panjang-panjang dan berkata dengan suara berisik: Apa gurumu belum datang" Belum! jawabku. Kalau begitu, ia tidak akan datang,katanya lagi."
"Taysu, legakanlak hatimu"' kataku. "Aku berjanji, bahwa aku tak akan membunuh orang lagi secara serampangan untuk memancing dia. Untuk mencarirya, aku akan menjelajahi seluruh dunia."
"Ia mengangguk dan berkata dengan suara terputus putus: Bagus bagsus... Hanya sayang ilmu silatmu belum bisa menadinginya .... kecuali....kecuali..... "
"Sampai disitu, suaranya hampir tak dapat didengar lagi. Aku menempelkan kupingku dimulutnya.
Sesaat kemudian ia berkata pula: Kecuali..... kau dapat mencari To liong to...... mencari golok itu punya pit......... Ia hanya dapat mengeluarkan perkataan 'pit'. Napasnys menyesak dan lalu menghambuskan napas penghabisan!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
(Penerusan "pit" ialah "bit". Pit bit berarti "rahasia").
Sekarang Cui San dan So So baru rnengerti mengapa kakak itu berusaha untuk mengorek rahasia To liong to, mengapa ia kadang-kadang kalap seperti binatang buas dan mengapa ia selalu diliputi kedukaan. Sesudah mengangkat saudara sepuluh tahun. baru malam itu mereka mengetahui asal usul Cia Sun.
"Sesudah mencari dibanyak tempat. belakangan barulah aku dengar dimana adanya golok mustika itu,"
kata pula Cia Sun. "Buru-buru aku pergi kepulau Ong poan san untuk merebutnya. Kejadian selanjutrya sudah diketahui kamu dan tak perlu aku mengulangi lagi. Sebelum mendapat golok itu, aku berusaha mati-matian meacari Seng kun. Tapi sesudah memiliki, aku berbalik takut di cari olehnya. Maka itu, aku rnemerlukan sebuah tempat yang jauh dan tak dikenal manusia untuk coba memecahkan rahasia yang tersembunyi dalam golok itu. Karena kuatir kamu membocorkan rahasiaku, maka aku sudah membawa kamu datang disini. Tak dinyana kita sudah berdiam disini tak kurang dari sepuluh tahun. Cia Sun ... ah....
Cia Sun! Setiap usahamu selalu menemui kegagalan!"
"Menurut Toako, perkataan Kong kian Taysu , belum selesai diucapkan," kata Cui San. "Ia mengatakan: Kecuali bisa mencari To liong to punya pit ... Mungkin sekali ia mempunyai maksud lain"
Cia Sun menghela napas. "Selama sepuluh tabuh siang malam aku mengasah otak," katanya. "Tapi aku tetap gagal. Tidak bisa salah lagi, di dalam golok itu bersembunyi rahasia besar. Hanya otakku tidak cukup tajam untuk menembus kabut yang menyelimuti rahasia itu. Bu Kie, kau jauh lebih pintar daripada aku. Dikemudian hari mungkin sekali kau akan berhasil dimana aku mengalami kegagalan."
"Gie hu, berapa usia Seng Kun sekarang?" tanya si anak.
Paras muka Cia Su lantas saja berubah, "Tak salah kau, nak," katanya. "Dia sekarang sudah berumur enampuluh lima tahun. Sakit hatiku kebanyakan tidak bisa terbalas Hai! Langit! Langit! Kau telah membuat aku sangat menderita!"
Cui San dan So So mengerti apa yang dipikir kakak mereka. Andaikata dibelakang hari Bu kie berhasil memecahkan rahasia To liong to, andaikata ia memperoleh ilmu yang dapat merubuhkan Seng Kun, andaikata ia bisa pulang ke Tionggoan dan mencari Seng Kun, hal itu tentunya bakal terjadi dalam duapuluh atau tigapuluh tahun kemudian. Pada waktu itu, sepuluh sembilan harapan, Seng Kun sudah berpulang kealam baka.
Sesudah beromong-omong lagi beberapa lama, fajar mulai menyingsing. "Bu Kie," kata Cia Sun. "Kau jangan tidur lagi. Giehu akan mengajarkan kau semacam ilmu silat. "
Cui San dan So So saling melirik, tapi mereka tidak berani membantah dan lalu kembali keguha mereka.
Cia Sun tak pernah menyebut-nyebut lagi urusan itu, hanya caranya mendidik Bu Kie jadi berubah. Ia sekarang menurunkan pelajaran dengan lebih bengis dan keras.
Bu Kie baru saja berusia sembilan tahun dan biarpun otaknya sangat cardas, bagaimana ia dapat menyelami pelajaran Cia Sun yang begitu tinggi dalam tempo begitu pendek" Tapi sang ayah angkat tidak menghiraukan pertimbangan itu. Setiap kali bocah itu tidak memenuhi pengharapannya, ia bukan saja mencaci tapi juga memukulnya.
Sering kali So So melihat tanda-tanda biru bekas pukulan ditubuh puteranya, ia merasa kasihan dan tempo-tempo berkata : "Toako, tak dapat Bu Kie mempelajari semua ilmu silatmu dalam tempo pendek.
Kita berdiam di pulau yang terpencil dan kita mempunyai banyak sekali tempo. Kurasa Toako tak usah begitu tergesa-gesa."
"Aku bukan menyuruh dia melatih diri dalam pelajaran-pelajaran yang diturunkan olehku," jawab sang kakak. "Aku hanya memerintahkan supaya dia mengingat dan menghafal semua pelajaran itu di dalam otaknya."
So So tak mengerti maksud Cia Sun. Ia hanya tahu, bahwa kakak itu seorang aneh dengan cara-caranya yang aneh pula. Ia tidak dapat berbuat lain daripada membiarkan sang kakak bertindak semaunya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Apa yang dapat dilakukannya hanialah membujuk Bu Kie jika dia mendapat hajaran keras. Tapi anak itu sedikitpun tidak menjadi jengkel. "Ibu, maksud Giehu sangat baik," katanya. "Makin keras ia memukul, makin cepat aku menghafal pelajaran."
Demikianlah setengah tahun yang pertama telah lewat. Pada suatu pagi, tiba-tiba Cia Sun berkata:
"Ngotee, So-moay, empat bulan lagi angin dan arus laut akan membeluk keselatan. Mulai hari ini kita sudah boleh membuat getek."
Cui San kaget tercampur girang. "Toako, apa kah kau maksudkan, bahwa sesudah membuat getek, kita akan bisa kembali ko Tionggoan?" tanyanya.
"Tergantung atas kebijaksanaan Langit," jawabnya dengan suara tawar. "Ini yang dinamakan. manusia berusaha, Langit berkuasa. Kalau untung baik, pulang ketempat sendiri, kalau nasib malang, tenggelam didasar laut."
Jika mereka menuruti keinginan So So, mereka tak usah menempuh bahaya besar itu. Mereka hidup bahagia dan bebas merdeka dan So So sudah merasa sangat puas. Akan tetapi, disamping itu masih terdapat lain pertimbangan yang sangat berat. Mereka memikirkan nasib Bu Kie. Dengan siapa anak itu akan menikah " Apa tidak kasihan, jika ia harus hidup selama-lamanya di pulau yang terpencil itu" Demi kepentingan Bu Kie, jika masih ada jalan, biar bagaimana jua mereka harus berusaha untuk kembali ke dunia pergaulan.
Demikianlah, dengan bersemangat mereka lantas saja mulai bekerja. Untung juga di pulau itu terdapat banyak pohon besar, sehingga soal bahan tidak menjadi soal lagi. Cia Sun dan Cui San menebang pohon, So So membuat layar dan tambang dari serat kulit kayu, sedang Bu Kie dan si kera putih pun turut membantu atau mengacau.
Biarpun Cia Sun dan kedua suami isteri itu orang-orang yang berkepandaian tinggi tapi karena kekurangan alat, pekerjaan mereka main dengan lambat sekali dan mereka harus menggunakan lebih banyak tenaga daripada seharusnya. Di waktu menebang pohon atau mengikat balok-balik untuk dijadikan getek. Cia Sun selalu memerintahkan Bu Kie berdiri disampingnya dan ia mengajukan berbagai pertanyaan mengenai pelajarannya. Cui San dan So So tidak diharuskan lagi menyingkir dan mereka bisa mendengar tanya jawab antara ayah dan anak angkat itu. Mereka merasa heran , karena tanya jawab itu hanya mengenai Kouw koat (teori) dari berbagai ilmu silat.
Ternyata Cia Sun hanya menyuruh anak menghapal teori ilmu silat tangan kosong, ilmu golok, ilmu pedang dan sebagainya, tanpa memberi pelajaran mengenai cara-cara menggunakan teori itu. Dengan lain perkataan, Bu Kie hanya menghapal teori secara membeo, seperti anak sekolah jaman dulu menghapal kitab Su sie dan Ngo keng tanpa mengerti maksudnya.
So So yang mendengari sambil bekerja, merasa kasihan pada puteranya. Jangankan seorang bocah cilik seperti Bu Kie, sedang seorang dewasapun tak akan bisa ingat Kouw-koat yang sulit itu tanpa mempelajari pukulan pukulannya.
Sebagai guru, Cia Sun bengis bukan main. Salah satu perkataan saja. Bu Kie dicaci atau di gaplok.
Biarpun ia menampar tanpa mengerah Lweekang, tapi karena kerasnya, muka Bu Kio sering menjadi bengkak.
Sesudah menggunakan tempo dua bulan lebih barulah getek itu selesai dibuat. Untuk memasang tiang layar, mereka barus bekerja kira kira setengah bulan lagi. Sesudah itu, mereka memburu binatang.
mengasini daging dan menjahit kantong kantong kulit untuk dijadikan tempat air.
Mereka harus mempersiapkan sebaik baiknya karena tak dapat diramalkan berapa lama mereka harus belayar ditengah samudara yang luas.
Waktu segala persiapan beres, siang hari sudah pendek dan malam sangat panjang, tapi arah angin masih belum berubah. Sambil menunggu perobahan angin, mereka membuat sebuah gubuk dipinggir laut untuk menempatkan getek itu.
Sekarang Cia Sun tidak pernah berpisaran lagi dengan Bu Kie dan diwaktu malam, mereka tidur bersama sama. Dengan bengis dan tidak mengenal lelah, ia terus mengisi pelajaran pelajaran terakhir kedalam otak anak angkat itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Pada suatu malam, waktu mendusin. tiba tiba Cui San mendengar suara angin yang agak aneh. Ia melompat bangun dan ternyata, angin rnulai meniup dati sebelah utara. Buru burn ia manggoyang goyangkan tubuh istrinya seraya berkata dengan suara girang: "So So, kau dengarlah !" Sebelum istrinya tersadar diluar sudah terdengar teriakan Cia Sun: "Angin utara datang!" Ditengah malaria buta, teriakan itu yang seperti tangisan kedengarannya menyeramkan sekali.
Pada esokan paginya, dengan rasa girang tercampur haru, Cui San, So So berkemas karena adanya harapan besar untuk kembali kewilayah Tiong goan dan terharu sebab mereka harus segera berpisahan dengan pulau yang indah itu dimana mereka sudah berdiam kira-kira sepuluh tahun lamanya. Kira-kira tengah hari barulah semua bekal selesai dipindahkan keatas getek. Sesudah itu, mereka bertiga mendorong getek tersebut keatas air. Orang yang melompat keatas getek paling dulu adalah Bu Kie yang mendukung si kera putih, diikuti oleh sang ibu. "Toako, mari melompat bersama-sama," kata Cui San sambil mencekal tangan sang kakak.
"Ngotee," tiba-tiba Cui San berkata dengan suara parau. "Mulai saat ini, kita berpisah untuk selama-lamanya! Aku harap kau bisa menjaga diri."
Kagetnya Cui San bagaikan disambar halilintar ditengah hari bolong. Ia menatap wajah kakaknya dengan mata membelalak dan berkata dengan suara terputus-putus : "Toako....kau....kau..."
"Ngotee, kau seorang yang berhati mulia dan kau pasti akan hidup beruntung." kata Cia Sun. "Tapi nasib manusia sukar ditebak dan kemauan Langit sukar diketahui. Maka itu , dalam tindakan-tindakamu, kau haruslah berhati-hati. Bu Kie telah medapat seantero kepandaianku. Ia berotak sangat cerdas dan dihari kemudian ia pasti bisa berada disebelah atas kita berdua. Mengenai So moay, biarpun ia seorang wanita, ia gagah dan pintar sehingga ia pasti tak akan di hina orang. Ngotee, orang yang aku kuatirkan adalah kau sendiri."
"Toako, jangan kau ngaco!" kata Cui San dengan bingung. "Apa aku....kau..... tidak mau ikut kami ?"
Sang kakak bersenyum sedih. "Pada beberapa tahun berselang, aku sudah mengatakan begitu kepadamu," katanya. "Apa kau lupa ?"
Cui San terkejut. Memang benar Cia Soan pernah mengatakan begitu, akan tetapi karena soal itu tidak disebut-sebut lagi, Cui San dan So So tidak mengangapnya sungguh-sungguh. Selama membuat getek dan mempersiapkan bekal, sang kakak juga tidak pernah mengutarakan niatannya itu. Tak dinyana pada saat mau berangkat barulah ia memberitahukan keputusannya.
"Toako, mana boleh kau berdiam di pulau ini", kata pula Cui San dengan suara memohon, "Ayolah !"
Seraya berkata begitu, ia membetot tangan kakaknya, tapi kedua kaki Cia Scam seolah berakar di dalam tanah.
"So moay! Bu Kie kemari ! Toako tidak mau mengikut," teriak Cui San.
So So dan Bu Kie tentu saja kaget dan buru buru mereka melompat balik kedaratan.
"Giehu, mengapa kau tidak mau turun ?" tanya si bocah, "Jika kau tidak turut, akupun tidak turut."
Tak usah dikatakan lagi, Cia Sun pun merasa sangat berat untuk berpisahan dengan mereka. Ia mengerti, bahwa perpisahan itu adalah untuk selama-lamanya. Akan tetapi, sesudah merenungkan masak-masak dalam tempo lama, ia telah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke Tiorggoan. Mengapa"
Karena, jika ia mengikut, keluar, Cui San akan menghadapi bencana yang tidak habis-habisnya. Biarpun ia mempunyai riwayat yang berlamuran darah dan ia pernah melakukan perbuatan-perbuatan kejam, tapi semenjak mengangkat saudara dengan Cui San dan So So, ia mencintai ketiga orang itu seperti mencintai diri sendiri. Dan kecintaannya terhadap Bu Kie tidak kurang daripada kecintaaanya pada anak kandung sendiri.
Ia mengerti, bahwa diatas pundaknya tertumpuk dengan beban hutang darah. Baik dalam kalangan Kangouw, maupun dalam kalangan Liok
li (Rimba hijau kalangan perampok), entah berapa banyak jumlahnya musuhnya yang ingin membalas sakit hati. Apa pula, sesudah merniliki To liong to, bakal makin banyak orang yang menghendaki jiwa dan goloknya.
Dulu sedikitpun ia tidak merasa gentar. Tapi sekarang, sesudah kedua mata nya buta, ia merasa tak sanggup untuk melayani begitu banyak musuh. Sebagai orang gagah sejati, jika ia dikerubuti, Cui San dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
So So sudah pasti tak akan berdiri dengan berpeluk tangan. Maka itu, kalau ia mengikut, bukan saja ia sendiri tspi kedua saudara augkat dan anak pungutnya pun akan turut menjadi korban. Demikianlah, sesudah memikir baik-baik, ia mengambil keputasan itu.
Mendengar perkataan Bu kie, ia terharu bukan main. Sambil memeluk anak angkat itu, ia ber kata dengan suara serak: "Bu Kie, kau dengarlah perkataan Giehu! Giehu sudah tua, mata buta dan sudah enak hidup disini. Kalau kembali ke Tionggoan, Giehu akan menderita.
"Sesudah kembali ke Tionggon anak akan melayani Giehu dan tidak akan berpisahan lagi dengan Giehu," kata Bu Kie. " Giehu mau makan atau mimum apa, anak akan segera menyediakan nya.
Bukankah penghidupsn begitu sama senangnya seperti penghidupan disini?"
Cia Sun menggelengkan kepala, "Tidak, aku lebih senang berdiam terus disinl," katanya.
"Kalau begitu, anakpun lebih senang hidup terus disini," kata pula bocah itu. "Thia, kita batalkan saja keberangkatan ini."
"Toako, jika kau mempunyai lain pendapat, lebih baik tau mengutarakan saja terang-terangan supaya kita beramai dapat mengatasinya" kata So So. "Biar bagaimanapun jua, kita tak nanti meninggalkan kau disini seorang diri"
"Toako," Cui San menyambungi, "apakah karena mempunyai banyak musuh, kau kuatir akan merembet-rembet kami" Sepulangnya di Tiong goan, kita boleh mencari sebuah tempat yang sepi dan kita boleh hidup menyendiri tanpa bergaul dengan manusia lain. Menurut pendapatku, paliang benar kita berdiam di Bu tong san. Tak seorang pun yang akan menduga, bahwa Kim-mo Say-ong berada di gunung itu."
"Hmm.... " Cia Sun mengeluarkan suara dihidung. "Biarpun kakakmu seorang bodoh, tak usah ia menyembunyikan diri dibawah perlindungan Thio Cinjin!'
Cui San terkejut. Ia tahu bahwa ia sudah kesalahan bicara dan buru buru berkata pula . "Bukan, bukan begitu maksudku. Kepandaian Toako tidak barada disebelah bawah Suhu dan tentu saja Toako tak perlu berlindung dibawah perlindungan Suhu. Di wilayah Tiong goan terdapat banyak sekali tempat yang terpencil dan jauh dari dunia pergaulan. misalnrya Hui kiang, Tibet, daerah gurun pasir dan sebagainya.
Kita berempat boleh pergi kesitu dan menuntut
penghidupan yang tenteram "
"Kalau mau mencari tempat yang jauh dari pergaulan manusia, tempat inilah yang paling baik!" Kata sang kakak. "Eh, katakan saja, apa kamu mau pergi atau tidak?"
"Tanpa kau, kami tak akan berangkat," jawab So So dan Bu Kie dengan berbareng.
Cia Sun menghelas napas "Baiklah"' katanya "kita semua jangan pergi. Sesudah aku mati, kamu masih mempunyai banyak tempo untuk pulang ke Tiong goan."
"Benar, kita sudah berdiam disini sepuluh tahun dan tak usah kita tergesa-gesa." kata Cui San.
"Bagus!" bentak Cia Sun. "Sesudah aku mampus, aku mau lihat apa kamu masih mau berdiam disini."
Seraya berkata begitu, mendadak ia menghunus To liong to dan mengayun kelehernva.
Semangat Cui San terbang. "Jangan celakakan Bu Kie!" teriaknya. Ia mengerti, bahwa ia tak akan mampu mencegah niat kakaknya sehingga jalan satu-satunya adalah berteriak begitu.
Benar saja Cia Sun terkejut. Goloknya berhenti ditengah udara dan ia, bertanya: "Apa?"
"Toako jika kau sudah mengambil keputusan pasti siauwtee tidak dapat berbuat lain dari pada meminta diri," katanya dengan suara parau dan lalu berlutut di hadapan sang kakak.
"Giehu!" teriak Bu Kie. "Jika kau tidak pergi akupun tidak pergi. "Kalau kau bunuh diri, akupun bunuh diri"
Cia Sun kaget. Ia tahu, bocah yang luar biasa pincar itu sekarang balas menggeretaknya. Buru buri ia memasukan To liong to kedalam sarung dan membentak: "Setan kecil! Jangan ngaco kau!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tiba tiba, ia mencengkeram punggung Bu Kie dan melemparkannya kegetek dan kemudian melontarkan juga Cui San dan So So. "Ngotee! So moay! Bu Kie!" teriaknya dengan suara duka.
"Semoga perjalananmu diiring dengan angin baik dan siang-siang kembali di Tiong goan."
Melihat majikannya sudah berada digetek, si kera putihpun buru-buru melompat kegetek itu.
"Giehu! Giehu!" sesambat Bu Kie.
Cia Sun mencabut pula To liong to dengan membentak dengan suara angker: "Jika kamu turun lagi, Kamu akan temukan mayatku!"
Karena terpukul arus air, perlahan lahan getek itu meninggalkan pulau. Makin lama bayangan Cia Sun jadi makin kecil. Cui San dan So So mengerti bahwa keputusan kakak mereka sudah tak dapat diubah lagi. Mereka tak bisa berbuat lain daripada nengulap-ulapkan tangan dengan rasa sedih dan berterima kasih tak habisnya.
Sesudah berada dilautan terbuka Cui San bertiga tidak mengenal arah dan membiarkan getek itu berlayar semau maunya. Apa yang diketahui
mereka, ialah setiap pagi matahari naik dari sebelah kiri dan setiap sore, turun dari sebelak kanan. Saban malam, mereka bisa melihat bintang Pak kek dibelakang getek. Siang malam, dengan perlahan getek itu bergerak maju.
Selama kurang lebih dua puluh hari, Cui san tak berani memasang layar sebab kuatir getek itu membentur dengan gunung es. Tanpa layar, walau pun terbentur, benturan itu tidak keras, dia tak akan mencelakakan. Sesudah berpisahan dengan gunung es, barulah mereka menaikkan layar.
Dengan bantuan angin utara yang meniup tak henti-hentinya, getek itu mulai maju kearah selatan dengan pesat sekali. Dasar nasib baik, ditengah parjalanan mereka tidak pernah bertemu dengan badai dan dilihat tanda tandanya, mungkin mereka akan bisa pulang dengan selamat.
Selama sebulan Cui San dan So So tak pernah menyebut-nyebut Cia Sun, karena kuatir menbangkitkan kedukaan Bu Kie. Pada suatu hari sambil mengawasi permukaan air, tanpa merasa So So berkata "Toako benar-benar seorang luar biasa. Ia bukan saja tinggi ilmu silat nya, tapi juga paham lain-lain ilmu "
"Ibu, menurut katanya Giehu, selama setengah tahun angin meniup keselatan dan setengah tahun lagi meniup ke utara," kata Bu Kie. "Biarlah lain tahun kira kembali ke Peng hwee to untuk menengok Giehu."
"Benar," kata Cui San "Sesudah kau besar, kita beramai-rarnai mengunjungi lagi pulau itu."
"Apa itu?" So So memutuskan perkataan suaminya seraya menuding keselatan.
Jauh-jauh, digaris pertemuan antara angit dan laut, terlihat dua titik hitam.
Cui San terkesiap. "Apa ikan paus ?" katanya dengan suara ditenggorokan.
Susudah mengawasi beberapa lama, So So ber kata: "Bukan, bukan ikan paus. Aku tak lihat semburan air."
Dengan hati berdebar-debar, mereka terus memperhatikan kedua titik hitam itu. Berselang kurang lebih satu jam, tiba tiba Cui San berseru dengan suara girang: "Perahu ! Perahu !" Bahna girangnya, ia melompat bangun dan berjungkir balik. Bu Kie tertawa terbahak-bahak dan lalu mengikuti ayahuya yang sedang kegirangan. So So sendiri buru buru mengambil kayu bakar, menuang minyak ikan diatasnya dan lalu menyulutnya.
Sesudah lewat kira-kira satu jam lagi, sedang matahari mulai mendoyong kebarat, mereka sudah bisa melihat tegas dua buah perahu diatas permukaan air. Mendadak So So kelihatan menggigil dan paras mukanya berubah pucat.
"Ibu, ada apa ?" tanya Bu Kie dengan perasaan heran.
Sang ibu tidak menjawab, tapi bibirnya bergemetar. Dengan paras muka kuatir, Cui San mencekal kedua tangan isterinya. So So menghela napas. "Baru pulang, sudah bertemu," katanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Apa?" menegas sang suami.
"Lihat layar itu," jawabnya sambil menuding kesebuah perahu.
Cui San mengawasi keperahu yang berada di sebelah kiri. Ia mendapat kenyataan, bahwa pada layarnya terpeta sebuah tangan berdarah dengan lima jeriji yang terpentang lebar. "Layar itu aneh sekali, apa kau tahu perahu siapa?" tanyanya.
"Perahu Peh bie kauw dari ayahku !" jawabnya dengan suara perlahan.
Cui San tertegun. Sesaat itu rupa-rupa pikiran berkelebat-kelebat diotaknya. "Ayah So So seorang jahat dan kejam, bagaimana aku harus berbuat jika bertemu dengannya " Bagaimana si Insu terhadap pernikahanku ini tanyanya di dalam hati. Kedua tangan isterinya yang dicekelnya agak bergemetar. Ia mengerti, bahwa sang isteripun sedang memikiri berbagai soal yang tengah dihadapi mereka.
"So So," katanya dengan suara membujuk. "Kita sudah menikah dan anak kita sudah begini besar.
Langit diatas, bumi dibawah apapun yang akan terjadi kita tak akan berpisah lagi. Kau tak usah kuatir."
So So mengangguk dan bersenyum. "Aku ha nya mengharap kau tidak menyesalkan aku," katanya dengan suara perlahan.
Bu Kie yang belum pernah melihat perahu, tidak menghiraukan pembicaraan antara ayah darn ibunya dan matanya terus mengawasi kedua perahu itu, yang kelihatannya sangat berdekatan, seolah-olah menempel satu sarna lain. Jika tidak ada perobahan arah, getek mereka akan perpapasan dengan kedua perahu itu dalam jarak puluhan tombak.
"Apa kita perlu memberi isyarat ?" tanya Cui San.
"Tak perlu" jawab So So. "Susudah tiba di Tiong goan, aku akan mengajak kau, dan Bu Kie pergi menemui ayah."
"Baiklah," kata sang suami.
Mendadak Bu Kie berteriak: "Hei! Lihat! Orang-orang itu sedang berkelahi!"
Cui San dan So So terkejut dan lalu melihat kedua perahu itu. Benar saja mereka melihat berkelebat-kelebatnya senjata dan empat lima orang sedang bertempur.
"Apa ayah berada disitu ?" kata So So dengan rasa kuatir.
"Sesudah terlanjur bertemu, ada baiknya kita menengok sebentar," kata Cui San. Ia segera mengubah kedudukan layar dan membelokan kemudi sehingga getek mmbelok kekiri, menuju ke arah kedua perahu itu.
Berselang kira-kira setengah jam barulah getek mendekati kedua perahu itu. "Pelancong yang tidak ada urusan jangan datang dekat !" demikian terdengar terlakan dari perahu Peh bie kauw.
"Aku adalah Hio cu dari Congto !" teriak So So. "Tocu dari bagian mana yang sedang memasang hio?"
Mendengar teriakan itu yang menggunakan istilah rahasia dari Peh bie kauw, orang yang barusan berteriak lantas saja berubah sikapnya'. "Maaf! Kami tak tahu, bahwa yang datang adalah Hio cu dari Congto," katanya dengan sikap hormat. "Kami adalah rombongan Lie Hio cu dari Thian sie tong yang memimpin Hong Tan cu dari Sin
coa tan dau Thia Tancu dari Ceng liong tan. Bolehkah kami mendapat tahu, Hio cu dari mama yang, datang kesini ?"
"Hio cu dari Cie wie tong," jawab So So.
Hampir berbareng dengan jawaban So So, keadaan di perahu Peh bie kauw menjadi kalut. Beberapa orang berlari-lari, rupanya untuk memberitahukan pemimpin mereka, sedang belasan orang berteriak dengan suara kaget dan girang: "In Kouwnio pulang ! In Kouwnio pulang !"
Biarpun sudah menjadi suami isteri sepuluh tahun, So So belum pernah membicarakan Peh bie kauw dengan suaminya. Sedang Cui San pun belum pernah menanyakan. Sesudah mendengar tanya jawab itu,
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
barulah Cui San tahu, bahwa kedudukan Hio cu dari Cie wie tong lebih tinggi dari pada kedudukan Tancu. Waktu berada di pulau Ong poan san, ia pernah menyaksikan kepandaian Tancu dari Hian bu tan dan Cu ciak tan yang lebih unggul dari pada ilmu silat So So. Ia mengerti bahwa isterinya bisa menjadi Hiocu adalah karena So So puteri pemimpin besar dari Peh bie kauw. Maka itu, dapatlah diduga, bahwa Lie Hiocu dart Thian sie tong seorang yang berkepandaian sangat tinggi.
Tiba-tiba dari perahu Peh bie kauw terdengar suara seorang tua: "Menuiut laporan, In Kauw nio sudah kembali. Bagaimana kalau kita menghentikan pertempuran untuk sementara waktu" "
"Baiklah !" jawab seorang yang suaranya nyaring bagaikan genta. "Hentikan Pertempuran!"
Dengan serentak suara beradunya senjata terhenti dan semua orang melompat keluar dari gelanggang pertempuran.
Mendengar suara yang nyaring itu, jantung Cui San memukul keras. "Apa Jie Lian Ciu Suko?"
teriaknya. Jawab orang itu: "Aku Jie Lian Ciu. Ah...... Kau .... Kau ..."
"Siauwtee ..Cui San..." jawabnya dengan suara terputus-putus bahna terharunya. Sesaat itu jarak antara getek dan perahu Jie Lian Ciu belasan tombak. Dengan tergesa-gesa Cui San menyambar sepotong papan yang lalu dilontarkan keatas air, akan kemudian ia melompat kepapan itu dan sekali menotol dengan satu kakinya untuk meminjam tenaga, tubuhnya sudah melesat kekepala perahu Jie Lian Ciu.
Jie Lian Ciu menubruk dan memeluk Suteenya. Sesudah mereka berpisahan sepuluh tahun dapat dimengerti perasaan mereka pada sesaat itu. Si adik berseru dengan suara parau: "Jieko'" Sang kakak berbisik "Ngotee!" Mata mereka basah.
Dilain pihak, orang-orang Peh bie kauw menyambut In So So dengan segala upacara. Empat buah terompet yang dibuat dari keong laut raksasa ditiup dengan serentak. Li Hiocu berdiri paling depan dengan Hong Tancu dan Thia Tancu di belakangnya, dan dibelakang ketiga pemimpin itu berdiri kurang lebih seratus pengikut Peh bie kauw.
Diantara perahu besar dan getek dipasang selembar papan dan getek itu digaet dengan gala gaetan oleh beberapa anak buah perahu, supaya tetap pada tempatnya. Sambil menuntun Bu Kie, So So menyeberang perahu dengan melewati papan itu.
Di dalam kalangan Peh bie kauw, orang yang berkedudukan paling tinggi ialah Kauwcu (pemimpin agama), Peh bie Eng ong In Thian Ceng. Di bawah Kauwcu terdapat Lwee sam tong (Tiga "Tong"
Dalam) dan Gwa ngo tan (Lima "Tan" Luar) yang bantu pemimpin para pengikut Peh bie kauw.
Lwee sam tong terdiri dari Thian-wie tong, Cia wie tong dan Thian sie tong, sedang Gwa ngo tan ialah Sin coa tan, Ceng liong tan, dan (peep: the other three not specified ) Hiocu (pemimpin) Thian wie tong ialah putera sulung In Thian Ceng yang bernama In Ya Ong. Hiocu Thian sie tong ialah Lie Thian Hoan, Sutee (adik seperguruan) In Thian Ceng. Walau pun berkepandaian sangat tinggi dan tingkatannya lebih tua daripada So So, dengan memandang muka Kauwcu, ia berlaku sangat hormat terhadap nyonya muda itu.
Melihat So So menuntun seorang bocah dan pakaiannya, yang terbuat daripada kulit binatang, mesum dan compang campicg. Lie Thian Hoan terkejut. Tapi dengan paras muka berseri, ia tertawa neraya berkata: "Terima kasih kepada Langit, terima kasih kepada Bumi, akhirnya kau pulang juga. Selama sepuluh tahun, bukan main jengkelnya ayahmu."
So So memberi hormat dengan berlutut. "Su siok selamat bertemu pula!" katanya. Ia menengok kepada puteranya dan berkata pula: "Lekas berlutut di hadapan Su-siok-couwmu." Bu Kie buru buru menekuk kedua lututnya dengan mata mengawasi Lie Thian Hoan dan ratusan orang yang berdiri dibelakang kakek paman guru Su siok couw itu.
"Susiok," kata So So sambil bangun berdiri. "anak ini adalah anak tit lie (keponakan perempuan) bernama Bu Kie."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Lie Hiecu terkesiap, tapi sejenak kemudian, tertawa terbahak-bahak. "Bagus ! Bagus!" serunya. "Ayah mu pasti akan kegirangan. Bukan saja puterinya pulang dengan selamat, tapi juga sudah mendapatkan sang cucu yang tampan dan pintar."
Melihat noda-noda darah dan beberapa mayat yang menggeletak digeledak perahu, So So bertanya dengan suara perlahan: "Perahu siapa itu" Mengapa kalian berkelahi?"
"Orang-orang Bu tong pay dan Kun loan pay," jawab Thian Hun.
Melihat suaminya sedang berpelukan dengan salah seorang dari perahu itu, So So mengerutkan alis dan berkata pula: "Lebih baik kita menghentikan dulu pertempuran ini dan tit-lie akan berusaha untuk mendamaikan!"
"Baiklah," jawab sang Susiok.
Walaupun secara pribadi, tingkatan Lie Thian Hoan sebagai Susiok (paman guru) lebib tinggi daripada So So, akan tetapi secara resmi, di dalam kalangan Peh bie kauw, kedudukannya lebih rendah daripada nyonya muda itu, karena is memimpin "tong" ketiga, sedang So So menjadi Hiocu "tong" kedua.
"So So, Bu Kie kemari! Temui Sukoku !" demikian terdengar teriakan Cui San.
Sambil rnenuntun Bu Kie, So So segera pergi keperahu Bu tong. Lie Thian Hoan, Hong dan Thia Tancu bingung, tapi tanpa merasa mereka lalu mengikuti nyonya muda itu.
Diatas geladak perahu Butong terdapat tujuh delapan orang dan salah seorang yang berusia kira kira empatpuluh tahun dan bertubuh jangkung kurus sedang berpegangan tangan dengan Cui San. "So So, inilah Jie Suko yang namanya sering di sebut-sebut olehku," kata Cui San sambil bersenyum, "Jieko, inilah teehumu (teehu isteri dari adik lelaki) dan keponakanmu Bu Kie."
Semua orang kaget bukan main. Peh bie kauw dan Bu tong pay sedang bertempur mati-matian. Tak nyana, dua orang penting dari kedua belah pihak telah terangkap menjadi suami isteri dengan sudah mempunyai seorang putera.
Jie Lian Ciu mengerti, bahwa kejadian itu banyak latar belakangnya dan penjelasannya meminta tempo. Secara bijaksana, ia lebih dahulu memperkenalkan kawan kawsnnya kepada Cui San dan So So.
Seorang Tosu tua yang berbadan kate gemuk ialah See hoa cu dari Kun loan pay, sedang seorang wanita setengah tua yang masih berparas cantik diperkenalkan sebagai Sumoay (adik seperguruan) dari Su hoa cu. Ia itu bukan lain dari pada San tian chioe (si Tangan kilat) Wie Su Nio, yang dalam kalangan kang ouw dikenal sebagai Son tian Nio. Beberapa orang lainnya juga jago jago kosen Kun loan pay, hanya nama mereka tidak begitu terkenal seperti See hoa cu dan Wie Su Nio.
Meskipun sudah berusia lanjut, See hoa cu masih berangasan. "Thio Ngohiap, dimana adanya bangsat jahat Cia Sun?" tanyanya. "Kau mesti tahu!"
Cui San bingung tak kepalang. Sebelum mendarat, ia sudah menghadapi dua soal sulit. Pertama partainya sendiri bermusuhan dengan Peh bie kauw dan kedua, begitu membuka mulut, orang sudah menanyakan tempat bersembunyinya Cia Sun. Ia merasa sukar untuk menjawab pertanyaan imam itu dan segera berkata sambil berpaling kepada Jie Lian Cu: "Jieko ada apakah sehingga kalian mesti bertempur?"
See hoa cu mendongkol. "Hai ! Apa kau tak dengar pertanyaanku?" bentaknya. "Di mana adanya bangsat Cia Sun ?" Sebagai seorang yang gampang marah, dalam Kun loan pay Su hoa cu berkedudukan tinggi dan lihay ilmu silatnya, sehingga ia sudah biasa main bentak-bentak terhadap orang-orang separtainya.
Hong Tancu, pemimpin Sin coa tan, adalah seorang yang sangat "berbisa". Dalam pertempuran tadi dua orang muridnya telah binasa dibawah pedang See hoa cu, sehingga ia merasa sangat sakit hati.
Maka itu, begitu mendengar bentakan si Tosu, ia lantas saja menggunakan kesempatan baik itu. "Huh !
Jangan banyak lagak kau !" katannya deagan suara dingin. "Thio Ngohiap adalah menantu dari Peh bie kauw. Tidak boleh kau bicara begitu kasar terhadapnya"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Su hoa cu lantas saja meluap darahnya. "Tutup rnulutmu !" bentaknya. "Mana bisa seorang baik baik menikah dengan perempuan siluman dari agama yang menyeleweng " Dalam pernikahan itu pasti terdapat latar belakarg yang busuk."
"Jangan mengacao kau !" Hong Tancu tertawa dingin. "Buktinya Kauwcu kami sudah mempunyai cucu."
Dengan kalap See hoa cu berteriak: "Perempuan siluman itu ... "
"Suheng jangan tarik urat dengan manusia itu" memotong Wie Su Nio. "Dalam urusan ini kita menyerahkan saja kapada Jie hiap." Ia sudah melihat maksud Hong Tancu untuk mengadu domba Bu tong pay dengan Kun loan pay.
Mendengar perkataan Su moaynya, See hoa cu juga tersadar dan sambil menahan amarah, ia menutup mulut.
Sambil mengawasi Cui San dan So So, Jie Lian Cu merasa bingung dan di dalam otaknya berkelebat-kelebat banyak pertanyaan. "Paling baik kita bicara digubuk perahu," katanya sesudah memikir beberapa saat. "Saudara-saudara kedua pihak yang mendapat luka harus ditolong terlebih dahulu."
Dalam perahu Jie Liam Cu, Peh bie kauw merupakan tamu dan orang yang berkedudukan paling tinggi dalam "agama" itu ialah In So So, Hio cu Cie wie tong. Maka itu, sambil menuntun Bu Kie, So So masuk paling dulu kedalam gubuk perahu, diikuti oleh Lie Hiocoo dan kedua Tancu. Selagi Hong Tancu baru mau masuk, mendadak ia merasakan kesiuran angin yang menyambar pinggangnya.
Sebagai seorang yang berpengalaman, ia tahu bahwa dirinya dibokong See hoa cu. Sebaliknya dari menangkis, ia menubruk kedepan seraya berteriaknya: " Celaka! Aku dibokong!" Dengan gerakannya itu, ia sudah mempunahkan pukulan Sam in Coat houw chioe dari See hoa cu. Mendengar teriakan itu, semua orang menengok mengawasi Hong Tancu dan See hoa cu yang muka nya berubah marah seperti kepiting direbus.
Dengan rasa jengah, Wie Su Nio deliki Su hengnya. Pada saat itu, Hong Tancu ialah seorang tamu terhormat dan bokongan terhadapnya bukan saja melanggar peraturan, tapi juga memalukan.
Di dalam gubuk perahu, So So menduduki kursi tamu yang pertama dengan Bu Kie berdiri didampingnya, sedang Jie Lian Ciu duduk dikursi pertama dari pihak tuan rumah. Sambil menunjuk sebuah kursi disebelah belakang kursi Wie Su Nio, Jie Lian Ciu berkata: "Ngotee, kau duduk disitu." Cui San mengangguk dan lalu duduk di kursi yang ditunjuk, sehingga kedua suami isteri duduk sebagai tuan rumah dan tamu.
Selama sepuluh tahun, sesudah Thio Cui San menghilang dan Jie Thay Giam tidak pernah keluar karena lukanya, yang bergerak dalam Rimba Persilatan haaialah lima pendekar Bu tong pay dan selama sepuluh tahun itu, nama mereka jadi makin cemerlang. Biarpun kedudukan mereka adalah murid turunan kedua dari Bu tong pay, tapi dalam Rimba Persilatan mereka sudah bisa berendeng dengan pendeta-pendeta Siauw lim sie yang berkeduduka n tinggi. Selama tahun-tahun yang belakangan, orang- orang Kangouw makin menghargai dan menghormati Bu tong Ngo hiap. Maka itu lah, biarpun tingkatannya tinggi. Su hoa cu dan Wie Su Nio mempersilahkan Jie Liam Ciu duduk dikursi utama.
Beberapa murid segera menyuguhkan teh dan sambil mengundang para tamunya minum teh. Jie Lian Ciu menimbang-nimbang perkataan apa yang harus diucapkannya terlebih dahulu. Perangkapan jodoh antara Cui San dan puteri In Kauwcu adalah kejadian yang sangat diluar dugaan dan ia merasa bahwa jika ia menanyakan langsung persoalan itu di hadapan orang banyak. Cui San tentu akan merasa jengah dan tidak akan mau bicara seterang-terangnya.
Memikir begitu ia lantas saja berkata dengan suara nyaring: "Sebagnimana kita tahu, Siauw lim, Kun lun. Go bie, Khong thong dan Bu tong, lima "pay". Sin kun, Ngo hong to dan lain lain, berjumlah sembilan "bun", Hay see, Kie keng dan sebagainya, tujuh "pang", sehingga semuanya duapuluh satu partai atau golongan, telah salah mengerti dengan Peh bie kauw karena usaha kita untuk mencari Cia Sun.
In Kouwnio dan Suteeku, Cui San. Salah mengerti itu telah berbuntut dengan bentrokan, sehingga selama telah bertahun tahun jatuh banyak korban yang binasa dan terluka . . ."
Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata pula: "Sungguh syukur, secara tidak diduga duga, In Kouwnio dan Thio Sutee pulang dengan selamat. Peristiwa yang sudah terjadi selama sepuluh tahun itu tidak dapat dibereskan dalam tempo pendek. Maka itu menurut pendapatku, sebaiknya kita menunda dulu
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
permusuhan dan pulang kemasing-masing tempatnya. Biarlah In Kouwnio melaporkan segala pengalamannya kepada In Kauw cu, sedang Thio Sutee memberi pertanggungan jawab di hadapan guru kami. Sesudah itu, kita boleh mengadakan pertemuan pula untuk coba membereskan soal-soal kita.
Adalah kejadian yang sangat di harap-harapkan, jika dalam pertemuan itu kita dapat menyudahi permusuhan yang sudah berlarut-larut ini "
"Dimana adanya bangsat Cia Sun ?" See-hoa cu memutus perkataan Lian Ciu. " Tujuan kita yang terulama adalah mencari bangsat Cia Sun." Cui San kelihatan berduka sekali. Ia merasa sangat tidak enek, karena, gara-gara mencari orang yang hilang dalam Rimba Persilatan telah muncul gelombang yang begitu besar dan yang sudah meminta sangat banyak korban. Mendengar pertanyaan See hoa cu, ia jadi serba salah. Jika ia memberitahukan terang-terangan, sejumlah besar pentolan Rimba Persilatan sudah pasti akan meluruk ke Pang hwee to untuk mencari kakaknya. Jika ia membungkam ..... bagaimana ia dapat membungkam"
Selagi ia bimbang, tiba-tiba terdengar suara So So: "Bangsat Cia Sun yang jahat dan membunuh manusia secara serampangan sudah mampus sembilan tahun yang lalu,"
Semua orang kaget. "Sudah mati ?" mereka menegas serentak.
"Benar," jawabnya. "Pada suatu malam, yaitu ketika aku melihatnya anakku, bangsat Cia Sun mendadak kalap. Selagi mau membunuh Ngoko dan aku, tiba-tiba dia dengar suara tangisan bayi ku.
Penyakitnya kambuh dan bangsat itu mati dengan mendadak."
Cui San mengerti maksud isterinya. Dengan, mengatakan, bahwa "Cia Sun yang jahat sudah. mati." So So tidak berdusta, karena, bagai mendengar tangisan Bu Kie, kekalapan dan kekejaman "Cia Sun yang jahat" menghilang dan mulai dari detik itu, ia berubah menjadi seorang baik, dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sembilan tahun berselang , "Cia Sun yang jahat" sudah mati dan Cia Sun yang baik menjelma dalam dunia.
See hoa cu mengeluarkan suara dihidung. Ia tidak percaya keterangan So co yang dianggapnya sebagai perempuan menyeleweng dari "agama,
yang menyeleweng pula. "Thio Ngohiap, apa benar bangsat Cia Sun sudah mampus"," tanyanya dengan suara keras.
"Benar, bangsat Cia Sun yang jahat sudah mati pada sembilan tahun berselang," jawab Cui San dengan suara sungguh-sungguh.
Sekoyong-konyong Bu Kie menangis keras "Giehu bukan bangsat jahat!" teriaknya. "Giohu tidak mati! Giehu tidak mati! "
Biarpun berotak sangat cerdas, Bu Kie masih terlalu kecil dan belum berpengalaman. Rasa cintanya terhadan Cia Sun tidak kurang dari rasa cintanya terhadap kedua orang tuanya sendiri.
Maka itu, dapatlah dimengerti, jika ia tidak tahan mendengar tanya jawab itu dan cacian-cacian yang ditujukan terhadap ayah angkatnya.
Semua orang terkesiap dan tertegun. Dalam gusarnya. So So menggapelok muka puteranya. "Diam!"
bentaknya dengan bengis. "Ibu, mengapa kau mengatakan Giehu sudah mati?" tanya bocah itu dengan suara serak "Bukankah ia masih hidup segar bugar?"
"Jangan campur-campur urusan orang tua !" bentak sang ibu "Yang sudah mati adalah Cia Sun, si penjahat jahat, bukan Giehumu."
Bu Kie bingung, tapi ia tidak berani membuka rnulut lagi.
See hoa cu tertawa dingin. "Saudara kecil," katanya kepada Bu Kie. "Cia Sun ayah angkatmu bukan"
Dimana dia sekarang ?"
Si bocah mengawasi muka kedua orang tuanya. Sekarang ia mengerti, bahwa perkataan yang tadi dikeluarkanuya mempunvai arti yang sangat penting. Ia menggelengkan kepala seraya menjawab: "Tidak, aku akan beritahukan kau." Dengan tidak sengaja, jawaban itu merupakan bukti yang lebih kuat, bahwa Cia Sun sebenarnya belum mati .
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sambil mengawasi Cui San dengan mata men delik, See hoa cu membentak: "Thio Ngohiap! Apa benar In Kouwnio isterimu ?"
"Benar, dia isteriku!" jawabnya dengan suara nyaring.
"Dua orang murid partai kami telah celaka dalam tangan isterimu." kata pula See hoa cu sambil menahan amarah. "Mereka mati tidak, hidup pun tidak. Bagaimana kita harus memperhitung kan perhitungan ini ?"
Cui San dan So So terkejut.
"Jangan ngaco!" bentak nyonya muda itu.
"Dalam hal ini mungkin terselip salah mengerti," kata Cui San, "Sudah sepuluh tahun karni berdua meninggalkan wilayah Tionggoan. Cara bagai man kami bisa mencelakakan murid partai kalian"'
"Huh huh! " See hoa cu menggeram. "Memang.....memang Ko Cek Seng dan Chio Tauw sudah menderita lebih dari sepuluh tahun lamanya."
"Ko Cek Seng dan Chio Tauw ?" menegas So So.
"Apa Thio Hujin masih ingat kedua orang itu?" ejek See hoa cu. "Aku kuatir kau sudah tidak ingat lagi karena kau telah membunuh ter lalu banyak manusia."
"Mengapa mereka?" bentak So So. "Mengapa kau menuduh aku secara membuta tuli ?"
"Menuduh membuta tuli! Membuta tuli...!" teriak Su hoa cu. "Ha ha ha ! .... Mereka se karang sudah jadi gila..... sudah hilang ingatan.. Tapi mereka masih ingat namanya satu manusia. Mereka masih ingat, bahwa yang mencelakakan mereka adalah In So So!" Seraya mengatakan begitu, ia menatap wajah nyonya Cui San dengan mata beringas.
"Tutup mulutmu !" bentak Hong Tancu. "Kau tidak berhak untuk menyebutkan nama terhormat dari Hiocu Cie wie tong kami. Apakah kau tidak tahu adat-istiadat Rimba Persilatan" Cian pwee apa kau "
Thia Hiantee, apakah dalam dunia ini ada hal yang lebih memalukan dari pada itu?"
"Tak ada," jawab Thia Tancu. "Aku sungguh tak mengerti, mengapa sebuah partai yang begitu tersohor mempunyai murid ugal-ugalan seperti dia. Sungguh memalukan ?"
Di ejek begitu, See hoa cu jadi kalap. "Binatang ! Siapa yang memalukan ?" teriaknya seraya mencekal gagang pedangnya.
Hong Tancu tetap tenang, bahkan melirikpun tidak. "Thia hiantee," katanya pula. "Seseorang yang sudah memiliki beberapa jurus ilmu pedang kucing kaki tiga sebenarnya harus mengenal kesopanan manusia. Bagaimana pendapatmu ?"
Thia Tancoa mengangguk seraya menjawab "Benar. Semenjak Giok hie Too tiang meninggal dunia, makin lama mereka makin tidak keruan macam."
Giok hie Too tiang adatah Su peh (paman guru) See hoa cu. Imam yang beribadat itu bukan saja tinggi ilmu silatnya, tapi juga sangat mulia hatinya, sehingga ia dihormati sangat dalam Rimba Persilatan.
Paras muka See hoa cu berubah merah padam. Tak dapat ia menjawab sindiran itu. Jika ia membantah.
bukankah ia jadi menhina Su pehnya sendiri yang namanya telah menggetarkan seluruh negeri "
Tiba tiba ia bangun, badannya berkelebat dan ia sudah berdiri diluar pintu gubuk perahu, "Srt!" Ia menghunus pedang. "Bangsat!" teriaknya. "Kalau kau mempunyai nyali, keluarlah!"
Ejekan kedua pemimpinan Peh bie kauw itu terhadap See hoa cu adalah untuk menolong in So So dari desakan. Mereka menganggap. bahwa dengan pernikahan Cui San dan So So, perhubungan antara Bu tong pay dan Peh bie kauw sudah berubah. Meskipun Jie Lian Ciu dan Thio Cui San tidak sampai turun tangan untuk membantu pihaknya, kedua orang itu juga pasti tidak akan menyerang Peh bie kauw.
Menurut perhitungan mereka, tanpa campur tangannya pihak Bu tong, mereka akan dapat mengalahkau orang orang Kun loan pay yang hanya terdiri dari tujub delapan orang.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Perhitungan Peh bie kauw itu sudah dapat ditebak oleh Wie Su Nio yang bisa berpikir dengan otak dingin. "Suko!" teriaknya. "Mereka yang berada di perahu ini adalah tamu tamu kita. Kita harus turut segala keputusan Jie Jie hiap "
Dengan berkata bergitu, San-tian Nio nio telah berlaku bijaksana. Jie Lian Ciu adalah seorang pendekar yang tulus bersih, sehingga ia pasti tidak akan berlaku curang.
Tapi diluar dugaan dalam gusarnya, See-hoa cu yang tolol tidak mengerti maksud Su-moay nya.
"Omongan kosong!" teriaknya. "Bu tong pay dan Peh bie kauw sudah terikat famili. Mana bisa dia berlaku sama tengah lagi!"
(Bersambung jilid 14) BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 14 Jie Lian Ciu adalah seorang yang sabar dan panjang pikirannya. Ia jarang memperlihatkan rasa girang atau gusar pada paras mukanya. Perkataan See hoa cu yang sangat menusuk tidak dijawab olehnya dan ia mengasah otak untuk mencari jalan keluar.
"Suka, jangan kau menggoyang lidah sembarangan," kata Wie Su Nio cepat-cepat dengan rasa mendongkol. "Semenjak dulu, Bu tong dan Kun loan mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam sepuluh tahun, dengan bahu membahu kita bersama sama melawan musuh. Jie Jiehiap alalah seorang jujur yang sangat dihormati dalam kalangan Kang-ouw, sehingga tidak mungkin ia mengeloni pihak yang salah."
See hoa cu mengeluarkan suara dari hidung, "Belum tentu," katanya Bukan main rasa mendongkolnya Wie Su Nio yaag diam diam mencaci kakak yang tolol itu: "Suko!"
bentaknya. "Jika tanpa sebab kau cari cari urusan dengan Bu tong Ngohiap dan kau di gusari oleh Ciangbun susiok, aku tak akan campur campur lagi urusanmu."
Mendengar ancaman itu, barulah See hoa cu menutup mulut.
"Urusan ini telah menyeret berbagai partai dan golongan dalam Rimba Persilatan," kata Jie lian Cu.
"Aku seorang bodoh maka tidak berani mengambil keputusan sendiri. Apa pula, karena sudah berlarut larut selama sepuluh tahun, persoalan ini tentu sukar dibereskan dalam tempo pendek. Aku telah mengambil keputusan untuk pulang ke Bu tong bersama-sama Thio Su tee guna memberi laporan kepada Insu dan Toa suheng dan meminta petunjuk Insu."
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
See hoa cu tertawa dingin, "Sungguh lihay pukulan Jie hong Soo pit Jie Jiehiap." ejeknya.
"Jie-hong Su-pit," (Seperti tutupan seperti kurungan) adalah serupa pukulan Bu-tong-pay untuk membela diri yang sangat terkenal dalam Rimba Persilatan. Dengan berkata begitu See hoa cu bukan saja mengejek Jie Lian Ciu pribadi tapi juga menghina pukulan Bu tong pay itu yang digubah oleh Thio Sam Hong sendiri. Biarpun sabar, darah Jie Lian Ciu meluap juga. Syukur sebelum mengumbar napsu, ia keburu ingat segala akibatnya, sehingga, sambil menarik napas, ia menindih hawa amarahnya dan hanya menyapu muka See hoa cu dengan sinar mata berkilat-kilat. "Jika See hoa Toheng mempunyai pendapat lain, aku bersedia untuk mendengamya." katanya dengan suara dingin.
Setelah disapu dengan sorot mata gusar, See hoa cu jadi keder. "Sumoy," katanya, "bagaimana pendapatmu" Apakah sakit hati Ko Cek Seng dan Chio Tauw boleh disudahi dengan begitu saja ?"
Sebelum Wie Su Nio menjawab, disebelah selatan sekonyong-konyong terdengar suara terompet dan sesaat kemudian seorang murid Kun Lun masuk seraya berkata: "Kawan-kawan dari Khong tong pay dan Go bie pay sudah tiba untuk menyambut kita."
Lie Thian Hoan dan dua kawannya saling melirik. Paras muka mereka agak berubah.
Dilain pihak, See hoa cu dan Wie Su Nio jadi girang. "Jie Jiehiap." kata San tian Nionio, "kurasa kita sebaiknya minta pendapat pihak Khong tong dan Gobie."
"Baiklah," jawab Lian Ciu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kedatangan orang orang Khong tong dan Go bie menambah kejengkelan Cui San. Partai Go bie masih tidak apa, tapi Khong tong pay mempunyai permusuhan yang sangat hebat dengan kakaknya, yang sudah melukakan Khong tong Ngoloo dan merampas kitab Cit siang kun. Ia merasa pasti, bahwa orang-orang Khong tong tak akan mau mengerti jika ia tidak memberitahukan di mana adanya Cia Sun.
Kisah Si Pedang Kilat 13 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Pendekar Bayangan Setan 5