Pencarian

Lembah Merpati 5

Lembah Merpati Karya Chung Sin Bagian 5


Pay-hoa Kui-bo membuat barisan tin ini bukan dengan maksud untuk mengurung orang, yang penting adalah kelanjutannya.
Sewaktu Tjeng Tjeng menarik tangan Koo San Djie memasuki tengah-tengah tin, mendadak di empat penjuru terdengar suara deru tambur dipukul, dari celah-celah gunung-gunungan batu itu, mengepul asap tebal.
Asap-asap inilah yang menyesatkan pandangan mata orang, semacam bau harum semerbak menyerang sepasang muda mudi itu.
Dibarengi oleh munculnya bayangan-bayangan orang, mereka adalah wanita-wanita berpakaian minim, dengan tarian yang luwes, hendak melupakan keadaan lawan.
Tjeng Tjeng tertawa dingin, katanya:
"Mereka hendak apa?"
Koo San Djie juga tidak mengerti, dengan menggelengkan kepala dia berkata:
"Entahlah." Disaat inilah, mereka merasakan sesuatu, kepalanya mulai pusing, hati berdebar-debar dengan pukulan jantung yang mendengung-dengung, obat perangsang yang ditaburkan oleh asap itu mulai menyerang.
Inilah hasil dari ilmu yang dinamakan Cit-ceng-siauw-hun-tay-hoat itu!
Beruntunglah Koo San Djie memiliki tenaga dalam yang luar biasa, mengetahui keanehan tadi cepat-cepat dia mengempos tenaga.
Tjeng Tjeng masih terlalu kecil untuk mengetahui hubungan pria dan wanita, ia tidak sadar, bahwa dirinya telah berada di ujung kehancuran, dengan mulut yang dijebirkan, ia berkata:
"Aduh, sial. Begitu banyak siluman-siluman bergoyang kibul, bagaimana kita bisa mengusir satu persatu?"
Dengan keras, Koo San Djie membentak:
"Lekas gunakan ilmu pernapasan."
Siapa yang memegang peranan di belakang layar"
Dia adalah gadis sakit hati Tju Thing Thing.
Beruntung Tju Thing Thing tidak menyebar obat 'Penenang hati' yang banyak. Jika sampai terjadi, walau Koo San Djie dan Liu Tjeng bertahan sekeras mungkin, belum tentu mereka dapat menguasai keberahian mereka.
Kini Tju Thing Thing mengganti acara, 'Rayuan cinta' belum berhasil, dia merobah barisan tin.
Mendadak, suara lagu-lagupun lenyap, nada tabuh-tabuhan berganti. Seluruh gunung diliputi oleh suara-suara pembunuhan, para penari mengundurkan diri, terganti dengan suara derap kaki kuda di medan perang.
Telinga Koo San Djie dan Liu Tjeng dirasakan pekak, banyak sekali suara-suara makian, bentakan, jeritan, tangisan dan suara lainnya.
Tjeng Tjeng naik darah, tangannya disodorkan, dengan lima jari kecil, dia menyerang barang-barang jejadian-jejadian itu.
Tidak berhasil, semua bayangan-bayangan lenyap mendadak, dari kiri dan kanannya, datang pula bayangan-bayangan yang lebih banyak.
Koo San Djie menyilangkan tangan, dia juga menyerang ke empat penjuru.
Kosong. Semua bayangan-bayangan itu terlalu cepat, mereka lenyap atau mengundurkan diri, bila mendapat serangan, dan mereka muncul tampil kembali dikala serangan sudah mengendor.
"Semakin lama, suara jeritan-jeritan itu semakin hebat, bayangan-bayangan semakin banyak, serangan dan tekanan asap semakin gencar.
Koo San Djie dan Liu Tjeng hampir menjadi gila. Percuma saja mereka menyerang dan memukul, semua hanya bayangan yang tidak berwujud.
Dibiarkan kejadian ini berlangsung terus, pasti mereka celaka.
Beruntung, Pay-hoa Kui-bo tidak berada di gunung, sedangkan Tju Thing Thing belum berhasil memahirkan ilmu sihir yang lebih hebat, hanya terbatas kepada kemampuannya.
Bilamana Pay-hoa Kui-bo yang menggerakkan barisan tin ini, orang-orang yang berada di dalam kurungan asap hilang ingatan, mereka bisa saling bunuh dan saling terkam, sampai masing-masing babak belur, jiwa hancur.
Koo San Djie dan Liu Tjeng masih menempur bayangan-bayangan mereka. Belum puas dengan tangan kosong, masing-masing mengeluarkan senjata, bergebrak pula.
Koo San Djie menggunakan Pit Badak Dewa. Sedangkan Liu Tjeng menggunakan kalung pusaka yang biasa digunakan oleh almarhum ibunya.
Hasilnyapun terlihat, tanpa disadari, mereka telah mengisolasi suara tabuhan- tabuhan itu, racun asap yang menyerang mereka tertahan di luar, pikiran kedua muda-mudi inipun agak jernih.
Terdengar suara teriakan Tjeng Tjeng:
"Koko San, mengapa kita berhantam seperti ini" Setengah harian kita pontang panting, mengapa tidak ada yang terluka."
Koo San Djie juga sadar, katanya:
"Kita ditipu mereka. Tentu suara tabuhan itu yang mengacau."
"Mari kita menerjang." Liu Tjeng memberi usul.
Disaat ini...... Terdengar suara orang yang membaca doa, diiringi oleh suara tak, tak, tok, tok inilah suara bok-hie dipukul.
Bok-hie adalah alat sembahyang dari kaum suci, biasanya digunakan oleh para hwesio dan para nikouw.
Suara ramainya perang telah terhenti. Siliran angin gunung yang dingin telah meniup pergi asap putih tadi, sebentar kemudian, langit menjadi terang kembali. Pemandangan malam yang indah, bagaikan sebuah lukisan besar tercetak di alam semesta.
Seorang nikouw dengan lengan bajunya yang lebar, dengan tangan mengetok Bok-khie, bersama dengan seorang gadis cantik yang membawa pedang di punggungnya berjalan mendatangi.
Koo San Djie sudah dapat mengenali nikouw yang datang adalah si nikouw yang pernah menyairkan syair kacang merah di dalam rumah makan.
Sewaktu matanya menoleh ke arah gadis yang berdiri di sebelahnya, seketika hatinya hampir meloncat keluar, kini ternyata, yang datang itu adalah Ong Hoe Tjoe. Dengan tidak terasa, ia telah berteriak:
"Oh Ciecie Hoe Tjoe......"
Badannya bagaikan terbang saja sudah melesat, menghampiri dan menyekal sebelah tangan Ong Hoe Tjoe. Saking girangnya, sampai ia tidak dapat mengatakan suatu apa.
Dua pasang mata berpandangan. Rasa suka dan duka bercampur menjadi satu. Sekian lama mereka berpandang-pandangan.
Pandangan matanya jauh lebih berarti dari pada banyak bicara. Hanya dengan pandangan mata ini telah melunasi hutang rindu mereka.
Ong Hoe Tjoe mempunyai pikiran yang lebih dingin. Dengan perlahan-lahan ia menolak tangan Koo San Djie dan berkata:
"Adik San, mari kuperkenalkan, inilah suciku yang bernama Biauw Hian."
Koo San Djie dengan cepat sudah memberi hormatnya.
Biauw Hian merangkapkan kedua tangannya, ia membalas hormat Koo San Djie dan berkata:
"Siaoya tidak usah banyak hormat."
Lalu ia membalikkan badannya dan berkata kepada Ong Hoe Tjoe :
"Sumoy boleh bersama siaoya ini menjelajah Kang-ouw, aku akan segera kembali ke atas gunung."
Kemudian ia menganggukkan kepalanya kepada Koo San Djie dan Tjeng Tjeng. Hanya terlihat baju jubahnya yang besar berkibar, lenyaplah ia dari pemandangan.
Tjeng Tjeng melihat Biauw Hian sampai lenyap dari pandangan matanya, mendadak, ia seperti mengingat sesuatu apa, lalu menubruk ke dalam pelukan Hoe Tjoe katanya:
"Ciecie Hoe Tjoe kau, tentu tidak kenal kepadaku, tapi aku setiap hari memikirkan tentang keadaanmu."
Adik kecilnya yang baru ini dalam pandangan Hoe Tjoe ada sangat menyenangkan, ia sudah mengulurkan tangannya, dan mengelus-elus rambut si adik baru yang hitam, sambil tujukan pandangan matanya ke arah Koo San Djie.
Koo San Djie baru ingat, maka ia lekas memperkenalkannya:
"Inilah adik Tjeng Tjeng yang menjadi anak kesayangan dari Pendekar Merpati, supek Liu Djin Liong suami isteri."
Ong Hoe Tjoe baru saja mau bicara kepadanya, mendadak, di belakangnya telah terdengar suara bentakan:
"Dari mana datangnya anak-anak liar yang bernyali besar ini, berani datang kemari bercinta-cintaan" Apa kau sudah bosan hidup?"
Entah kapan datangnya empat pengiring pribadi dari Pay-hoa Kui-bo telah berdiri di belakang mereka dan mengambil sikap mengurung.
Yang bicara adalah si Hakim Neraka yang berbadan tinggi besar, kepalanya bundar lebar dengan kumis dan jenggotnya berdiri seperti bulu landak, tampak galak sekali.
Yang berdiri di sebelah timur ialah si Muka Kuda, di sebelah barat Sapi Celaka dan di belakangnya si Babi Tertawa.
Yang satu lebih jahat daripada yang lain, dengan rupa mereka yang galak persis seperti julukannya.
Koo San Djie memperhatikannya satu persatu, baru ia berkata:
"Berani hanya menyerang dengan cara menggelap, apa sudah menjadi peraturan kalian semua?"
Di Antara Cinta Dan Kenyataan
Si Hakim Neraka dengan suara yang menyeramkan sudah menjawab:
"Itu hanyalah permainannya para budak perempuan saja."
Mendadak, dari gunung-gunungan palsu tadi telah keluar pula seorang perempuan yang berpakaian rebo dengan suaranya yang nyaring berkata:
"Itulah perbuatanku. Aku benci...... aku sudah benci sekali padamu....... ingin sekali aku dapat mengorek hatimu...... Ini kali gagal, karena datangnya si nikouw sialan itu. Tapi, lihat saja kemudian, aku mesti dapat membunuhmu......"
Sampai pada perkataannya yang terakhir, suaranya sudah menjadi serak. Tapi ia masih mencoba meneruskannya juga.
Koo San Djie dapat melihat, yang datang itu adalah Tju Thing Thing, hatinya sudah seperti diiris-iris. Di dalam hati dia berkata:
"Dia telah menjadi seperti ini, itulah karena perbuatannya sendiri. Mengapa harus menyalahkan kepadaku?"
Pandangannya tidak berani membentur sinar matanya Tju Thing Thing yang mengandung kedengkian.
Berbeda dengan perasaannya Tju Thing Thing, Koo San Djie tidak dapat menyalahkan bekas kawannya ini. Biarpun Tju Thing Thing memaki-maki akan membunuhnya, tapi ia tidak lantas benci kepadanya. Bahkan sebaliknya, ia menjadi lebih sayang. Hatinya pedih, seperti saudaranya sendirilah yang mengalami kejadian ini.
Ia hanya terdiam saja di tempat.
Tapi, Tjeng Tjeng sudah mengeluarkan kepalanya dari dalam pelukan Ong Hoe Tjoe . Ia sudah meloncat sambil menuding-nudingkan tangan berkata:
"Ternyata, yang ingin membuat kita celaka adalah siluman ini. Jika saja koko San tidak mengatakan bahwa kau dulunya seorang baik, aku akan segera membunuhmu......"
Koo San Djie dengan menghela napas berkata:
"Adik Tjeng, jangan memaki lagi. Dia harus dikasihani......"
Tju Thing Thing mendengar Tjeng Tjeng memakinya sebagai siluman, sudah tertawa sepert orang gila:
"Ha, ha, ha...... siluman......" Ha, ha, ha...... siluman, Ha, ha, ha, ha......"
Bagaikan benar-benar gila saja ia sudah pergi meninggalkan tempat itu.
Si Hakim Neraka yang melihat kelakuannya ini tidak menjadi heran, ia menunjuk ke arah Koo San Djie dan berkata:
"Di pegunungan Pay-hoa ini tidak mengijinkan orang-orang sembarangan berkeliaran. Mengapa kau tidak lekas membuang senjata dan menyerahkan diri?"
Koo San Djie sedang girang karena dapat menemukan encie Ong Hoe Tjoe, sudah tidak mau terlibat terlalu lama di sini. Dengan cepat-cepat ia berkata,
"Jika kau ingin bertarung, lekaslah kau maju semua. Aku hanya dapat melayani dalam satu pertandingan saja."
Si Hakim Neraka berempat yang biasanya hanya berbuat sewenang-wenang di daerahnya, sudah menjadi besar kepala, karena belum pernah ada orang yang berani melawan mereka. Maka bajingan ini sudah merasa bahwa merekalah yang mempunyai ilmu tertinggi, jika tidak melihat Koo San Djie dan Tjeng Tjeng memecahkan barisan tin yang lihay tadi belum tentu mereka mau melayani. Tidak disangka, Koo San Djie berani menyuruh mereka berempat maju bersama, inilah satu penghinaan besar. Maka sambil membentak keras, si Hakim Neraka berkata:
"Bocah ingusan, jangan sombong......."
Dibarengi oleh serangannya yang pertama, menyerang ke arah dada Koo San Djie.
Koo San Djie menyingkir ke samping, meloloskan serangan. Tidak keburu ia membalas menyerang, karena di saat yang sama dua tangan yang kecil putih datang menyelak. Tjeng Tjeng, bagaikan sedang memperebutkan mustika saja, berteriak-teriak:
"Koko San, jangan kau turun tangan. Biarkan aku saja yang sikat semua!"
Ong Hoe Tjoe di belakang Tjeng Tjeng juga sudah turut berkata:
"Adik Tjeng, kasihkan padaku. Aku masih ada pertanyaan yang harus ditanyakan kepada mereka."
Si Hakim Neraka dengan tertawa berkata:
"Siapa yang maju pun sama saja, cepat atau lambat, tokh tidak dapat lari juga."
Tjeng Tjeng tidak mau mengalah, ia sudah bersedia maju pula, tapi pikirannya mendadak berobah, ia ingin juga mengetahui, sampai di mana ilmu kepandaian Ong Hoe Tjoe yang belum pernah dilihatnya ini.
Ong Hoe Tjoe dengan tenang maju ke muka dan berkata:
"Belakangan ini, apa betul ada seorang tua berjubah merah yang datang ke gunung Pay-hoa ini?"
Si Hakim Neraka, biarpun keluaran golongan rimba hijau, hatinya yang keras tidak takut ia berterus terang.
Yang diartikan dengan golongan rimba hijau atau Liok-lim adalah sebangsa perampok atau penjahat.
"Jika betul bagaimana?" jawabnya.
Ong Hoe Tjoe kembali berkata dengan tertawa:
"Kepergiannya Pay-hoa Kui-bo tentu mempunyai hubungan dengan orang tua berjubah merah ini?"
Si Hakim Neraka sudah menjadi tidak sabar. Sambil membentak keras ia berkata:
"Jangan banyak cingcong lagi. Anggaplah saja dia mempunyai hubungan. Apa yang kau ingini?"
Tangannya tidak tinggal diam, ia sudah lantas menyerang.
Dengan tenang, Ong Hoe Tjoe melompat ke samping. Tangannya sudah mencabut pedang yang menggemblok di bebokongnya. Dengan menunjuk ke arah lawannya ia berkata:
"Lekas keluarkan senjatamu. Aku akan segera menyerang."
Si Hakim Neraka tertawa terbahak-bahak:
"Hm......! Hanya menghadapi orang seperti kau ini, harus menggunakan senjata?"
Sambil membuka lima jari tangannya, ia sudah mencengkeram lawannya.
Ong Hoe Tjoe menuruti arah pedang, meneruskan serangannya. Di antara sinar bulan malam, terlihat bayangan sinar pedang, bagaikan serentetan rantai saja sambung menyambung. Dalam beberapa jurus saja, ia telah membuat si Hakim Neraka kelabakan setengah mati.
Si Hakim Neraka bukannya orang sembarangan, ia berkelana di kalangan Kang-ouw sudah puluhan tahun. Ia tidak sangka, ilmu pedang yang ternama yaitu ilmu Pedang Penumpas Iblis, dapat digunakan oleh seorang anak perempuan. Biarpun badannya sudah terkurung di dalam sinar pedang tapi hatinya masih tidak gentar. Ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk merebut kemenangan.
Tjeng Tjeng menonton dua lawan itu bertarung. Kemudian memalingkan kepalanya dan bertanya pada Koo San Djie:
"Koko San, dapatkah Ciecie Hoe Tjoe memenangkan si Landak Neraka ini?"
Sengaja dia menyebut Hakim Neraka menjadi Landak Neraka.
"Tunggu saja sebentar. Tidak berapa jurus lagi, tentu ia akan berhasil, kau lihat......" jawab Koo San Djie.
Mendadak, warna biru berkelebat, sinar pedang berkilat. Si Hakim Neraka sudah berteriak keras, karena jari kelingking kanannya telah tertebas dan terbang ke tengah udara. Darah masih menetes keluar dari lukanya ini.
Ong Hoe Tjoe menyimpan kembali pedangnya dengan tenang berdiri di pinggiran.
Tjeng Tjeng sudah bertepok tangan memuji, "Ilmu pedang yang bagus!"
Dibarengi oleh majunya si Muka Kuda dan si Sapi Celaka, mereka berdua sudah lantas membentak:
"Jangan sombong!"
Tjeng Tjeng sudah menjadi gatal tangan, bagaikan seekor burung, ia menubruk ke arahnya si Muka Kuda. Dan si Sapi Celaka sudah mendapat perlawanan dari Ong Hoe Tjoe. Babi Tertawa yang tidak mau tinggal diam, juga sudah maju ke arahnya Koo San Djie dan membentak:
"Kau juga jangan berpeluk tangan, he!"
Maka, datanglah serangan ke arah Koo San Djie, siapa lalu memiringkan badannya uutuk menyingkir dari serangan. Dalam hatinya berpikir:
"Begitupun ada lebih baik, dari pada membuang-buang waktu."
Biarpun kepandaiannya Babi Tertawa ada berimbang dengan hakim Neraka tapi ia ada lebih licin dari yang tersebut duluan.
Koo San Djie tidak mau sembarangan melukai orang, setelah membiarkan, lawannya menyerang beberapa jurus, mendadak, ia memanjangkan tangannya dan mencekal lengan si Babi, dengan menggunakan sedikit tenaga, ia telah mengeraskan cekalannya dan melepaskan kembali di pinggiran.
Babi tertawa tidak salah mempunyai banyak ketawanya. Biarpun ia merasa malu juga akan kekalahannya ini, tapi ketawanya masih tidak hilang dari sang muka. Seraya menjura ia berkata:
"Tuan memang mempunyai kepandaian yang sempurna, aku ada sangat mengagumi. Setelah ketua gunung kita Pay-hoa Kui-bo kembali, silahkan tuan kembali pula."
Artinya jelas sekali ialah biarpun ia telah dikalahkan oleh Koo San Djie, tapi masih ada Pay-hoa Kui-bo yang belum kembali. Pada waktu itu, apa lawannya masih berani kembali lagi"
"Pay-hoa Kui-bo telah menggetarkan dunia. Setelah ia kembali, aku juga akan meminta pelajaran darinya," jawab Koo San Djie.
Lalu ia memanggil Tjeng Tjeng dan Ong Hoe Tjoe yang sedang bertarung, teriaknya kepada kedua gadis itu:
"Berhentilah! Mari kita berangkat."
Ong Hoe Tjoe segera sudah menarik kembali pedangnya. Tapi Ceng Cmg yang nakal, malah menyentilkan jarinya dengan keras dan telah membuat sebuah lobang kecil di baju si Muka Kuda.
Tiga bayangan kecil, bagaikan bintang saja mencelat ke bawah gunung.
Empat orang ternama yang menjadi pengiring pribadinya Pay-hoa Kui-bo hanya bisa berpandangan saja. Mereka kemaluan karena jadi pecundang di kandang sendiri, hanya Si babi yang masih dapat tertawa:
"Hm, untuk sementara biarkanlah mereka pergi. Jika ketua gunung kita telah kembali baru, mereka tahu rasa......"
Koo San Djie bertiga kembali ke dalam kota, dengan diam kembali ke kamarnya. Tjeng Tjeng sudah lantas menarik tangan Ong Hoe Tjoe dan diajak masuk ke kamarnya. Mereka berdua kasak kusuk sehingga terang tanah.
Memang sukar diduga, biarpun Tjeng Tjeng tidak suka kepada Oey Bwee Bwee dan Tju Thing Thing, tapi terhadap Ong Hoe Tjoe yang baru saja dilihatnya ini, sudah demikian cocok.
Sedari kecil ia sudah ditinggalkan ibunya, juga tidak mempunyai saudara, maka perasaannya terhadap Ong Hoe Tjoe sudah menjadi sedemikian akrabnya. Perasaannya ini ada berbeda dengan kasih sayangnya kepada Koo San Djie, yang sedikit mengandung cinta. Tapi perasaan terhadap Hoe Tjoe adalah kasih sayang terhadap saudara yang lebih tua dicampur dengan rasa sayangnya kepada ibu, karena ia belum pernah menerima kasih sayang ini dari ibunya almarhum.
Tentu saja, Ong Hoe Tjoe mempunyai daya tarik sendiri. Biarpun ia dilahirkan dalam keluarga nelayan, tapi ia juga mempunyai pembawaan sendiri yang agung. Biarpun ia berpakaian sederhana, tidak bermake-up, tapi semua ini tidak dapat mengurangi kecantikannya yang asli. Biarpun umurnya tidak tua, tapi ia mempunyai pembawaan sebagai saudara tua.
Tentu saja Tjeng Tjeng yang melihatnya menjadi suka.
Koo San Djie kembali ke kamarnya, lantas melatih pernapasannya. Tapi biar bagaimana juga, kali ini ia tidak dapat menenangkan diri.
Sebentar memikirkan tentang perobahan Tju Thing Thing, sebentar memikirkan tentang kenakalannya Tjeng Tjeng dan kemudian, memikirkan bertemunya kembali dengan Ong Hoe Tjoe yang tampaknya lebih cantik dari tempo hari mereka bergaul.
Dendam keluarga Ong Hoe Tjoe. Kesengsaraan gurunya yang disebabkan oleh saudara seperguruannya yang jahat, dua pesuruh Pendekar Merpati yang melarikan diri, dan lain-lain, harus diselesaikannya satu persatu.
Pikirannya tidak tenang, sebentar saja merasakan datangnya pagi. Ong Hoe Tjoe dan Tjeng Tjeng juga telah keluar dari kamarnya masing-masing.
Mereka bertiga dengan riangnya telah mulai dengan sarapan pagi. Baru pada waktu itu, Ong Hoe Tjoe dapat menuturkan pengalamannya:
Ternyata pada waktu Koo San Djie keluar untuk membantu ayahnya menangkap ikan, Ong Hoe Tjoe pergi ke belakang untuk membantu ibunya memasak nasi, telah datang masuk seorang wanita yang mengaku bernama Oey Bwee Bwee dan memuji-muji Ong Hoe Tjoe yang mempunyai bakat bagus. Lalu mengajaknya untuk pergi bersama-sama ke dalam Lembah Merpati untuk belajar ilmu silat, katanya. Tidak lupa, Oey Bwee Bwee memuji-muji tentang kebagusannya Lembah Merpati.
Ong Hoe Tjoe tidak gampang-gampang dipancing, dengan hanya menggunakan beberapa perkataan saja. Ia mengatakan, segala urusan baiknya dirundingkan setelah ayahnya dengan Koo San Djie kembali dari menangkap ikan.
Tiba-tiba Oey Bwee Bwee telah menotok jalan darahnya dan membawa ia pergi meninggalkan rumah. Ibunya yang coba menahan sudah dibanting mati.
Bagaimana ia dibawa ke dalam pesanggrahan Liong-sun-say untuk menunggu Koo San Djie, yang akan sama-sama dibawa ke dalam Lembah Merpati.
Dan pada waktu itu, berbarengan dengan datangnya Koo San Djie, Hu-hay Sin-kun sekalian, ia telah ditolong oleh Biauw Hian dan dibawa ke atas gunung untuk diberi pelajaran ilmu silat.
Gurunya sangat sayang kepadanya, maka dengan dapat bantuan obat-obatan ia mendapat kemajuan pesat sekali dalam waktu singkat.
Pada bulan yang baru lalu, ia diperbolehkan turun gunung, dengan diikuti oleh toa-sucienya Biauw Hian untuk menjaganya dalam sewaktu-waktu menemui kesulitan.
Di tengah jalan, ia telah berjumpa dengan seorang tua berjubah merah, maka ia balik ke utara mengikuti jejaknya orang ini.
Ia pernah mendengar cerita gurunya yang mengatakan bahwa orang dari Lembah Merpati yang mempunyai kepandaian tertinggi ialah orang yang berpakaian merah dan putih.
Orang tua ini dengan umurnya yang lebih dari tujuhpuluh tahun masih mengenakan jubah merah ada sangat janggal sekali, maka ia telah menyangka akan orang dari Lembah Merpati.
Tidak disangka orang tua berjubah merah ini mempunyai kepandaian yang tinggi sekali, maka ia tidak berani terlalu dekat mengikutinya. Karena inilah sehingga sampai di daerah Ho-pei ia telah kehilangan jejak orang tua tersebut.
Di daerah Ho-pei ini adalah Pay-hoa Kui-bo yang mempunyai kekuasaan terbesar, siapa tidak mempunyai nama baik di kalangan Kang-ouw. Maka kemungkinan besar sekali jika nenek itu telah ditarik masuk menjadi anggota Lembah Merpati, dan besar sekali kemungkinannya orang tua berjubah merah tadi datang kemari.
Maka ia telah naik ke gunung Pay-hoa untuk mencari tahu keadaannya.
Tapi di tengah jalan ia telah mendapat kabar dari toa-sucinya bahwa Koo San Djie juga sedang menuju ke gunung Pay-hoa. Maka mereka berdua, dengan diam-diam telah mengikuti dari belakang.
Setibanya mereka, kebetulan sekali Koo San Djie dan Tjeng Tjeng berdua sedang terkurung oleh Cit-ceng-siauw-hun-tay-hoat, maka dengan membaca doa telah menolong mereka.
Baru sekarang Koo San Djie mengetahui bahwa yang menjadi algojo ialah Oey Bwee Bwee. Sambil menghela napas ia berkata:
"Yah, akhirnya si algojo telah binasa juga. Tapi heran mengapa dia mati tanpa sebab?"
Oey Bwe Bwee mati karena terlambat makan obat panjang umur.
Terdengar Hoe Tjoe berkata,
"Yang benar-benar menjadi musuhku ialah ketua Lembah Merpati, ini yang menjadi biang keladi. Guruku pernah mengatakan, bahwa yang tersangkut, bukannya aku seorang, masih banyak orang lain yang menerima nasib sama. Mengharapkan kita berdua, dengan bantuan tenaga orang terkemuka dari berbagai macam golongan, membasmi Lembah Merpati yang menjadi pusat keonaran."
Setelah berhenti sebentar dan melihat Tjeng Tjeng yang duduk di sebelahnya dengan asyik sekali mendengarkan, ia lalu melanjutkan penuturannya:
"Yang sering keluar di kalangan Kang-ouw seperti Oey Bwee Bwee dan kawan-kawannya hanyalah sebangsa pesuruh dari Lembah Merpati saja. Sebelum mereka keluar dari Lembah Merpati, mereka diharuskan menelan semacam pil beracun, jika tidak kembali pada waktu yang telah ditetapkan, maka racun ini dapat menjalar dan membinasakan. Oey Bwee Bwee mungkin juga mati karena racun itu."
"Kiranya begitu! Yang sial adalah Cong-lam-pay, golongan ini dipaksa menanggung jawab atas kematiannya."
Koo San Djie terdiam sejenak. Tapi mendadak, ia lompat dari tempatnya, membuat Tjeng Tjeng menjadi kaget. Sambil mendorong tubuh sang kawan, ia berkata
"Hai. Apa yang kau pikirkan" Kau membuat orang menjadi kaget saja."
Koo San Djie berkata: "Ciecie Hoe Tjoe bukan telah mengatakan, kecuali ketua lembah, orang yang berbaju merah dan putih adalah yang mempunyai kepandaian tertinggi" Barusan, wanita berbaju putih yang bertempur denganmu yang kau sangka ada hubungannya dengan pelayan-pelayan ayahmu yang telah melarikan diri dengan membawa barang-barang, mungkin sekali pelayan-pelayan itu telah menjadi orang Lembah Merpati."
"Betul!" jawab Tjeng Tjeng. "Aku juga telah curiga kepada mereka. Kepandaian Sari Pepatah Raja Woo, kecuali mereka berdua orang tidak dapat menggunakannya."
Demikianlah, mereka bertiga bicara tentang bermacam-macam urusan dan juga tujuan selanjutnya.
Tjeng Tjeng mengusulkan agar mereka segera menyusul para ketua partai yang kini sedang menuju ke dalam Lembah Merpati.
Ong Hoe Tjoe tidak mengeluarkan pendapat apa-apa tentang usul ini. Tapi Koo San Djie yang ingat akan Tiauw Tua, mengusulkan agar mereka mencari Tiauw Tua terlebih dahulu, baru menetapkan perjalanan dengan minta petunjuk orang tua itu.
Pada waktu mereka belum mendapat kepastian, mendadak di luar telah terdengar suara orang yang tertawa terbahak-bahak. Dibarengi dengan terpentangnya pintu, tampak ada dua orang yang berjalan masuk.
Yang pertama adalah Tiauw Tua, di belakangnya mengikuti Sastrawan Pan Pin yang sudah lama tidak bertemu dengan Koo San Djie.
Sastrawan Pan Pin yang jenaka, begitu memasuki ruangan sudah membuka suara:
"Selamat, selamat...... selamat kepada saudara kecilku......" sedang matanya terus mengawasi Ong Hoe Tjoe .
Koo San Djie tertawa. Ia tahu dirinya sedang digoda oleh Sastrawan Pan Pin, maka lalu berkata:
"Locianpwe sangat keterlaluan. Baru saja ketemu, sudah menggoda orang."
Tjeng Tjeng pelototkan kedua matanya yang kecil jeli, sehingga membuat Sastrawan Pan Pin menjadi mengkeret, perkataan yang sudah sampai ditenggorokannya telah ditelannya kembali.
Tiauw Tua dengan tidak memutar-mutar lagi sudah memberi laporan:
"Barusan si sastrawan miskin ini telah mendapat kabar bahwa betul sembilan ketua Partai dari berbagai macam golongan sudah mendapatkan jalan menuju ke tempat Lembah Merpati. Biarpun kita tidak mengetahui betul atau tidaknya Lembah Merpati ini paling baik kita segera pergi menyusul."
Beberapa patah perkataan ini telah menentukan tujuan mereka. Pada hari itu juga, segera mereka berlima berangkat, pergi menyusul sembilan ketua partai yang menuju ke tempat yang dikatakan Lembah Merpati.
Siapa sangka, perjalanan mereka berlima ini bukannya menemui letaknya Lembah Merpati yang tulen, malah melihat suatu pemandangan yang dapat membangunkan bulu roma.
Koo San Djie dan kawan-kawan, mulai berangkat, sebagai pelopor ialah sastrawan Pan Pin, yang katanya mengetahui, di mana tempat letaknya Lembah Merpati yang termashur itu. Demi keselamatan sembilan orang yang menjabat ketua-ketua dari sembilan partai, mereka tidak membuang-buang waktu lagi.
Di tengah perjalanan. Tjeng Tjeng yang tahu diri sudah memisahkan dirinya dari Koo San Djie dan Ong Hoe Tjoe, agar mereka berdua yang telah berpisah lama mempunyai kesempatan yang banyak untuk membicarakan soal dan kejadian-kejadian selama perpisahan. Setiap hari, ia merengek-rengek pada si Sastrawan Pan Pin untuk menceritakan pengalamannya."
Sastrawan Pan Pin, yang sudah lama berkelana di kalangan Kang-ouw, selalu bergembira, belum pernah ia mengenal apa yang dinamakan susah. Kini mendapat kawan seperjalanan sebagai Tjeng Tjeng yang lincah dan menyenangkan, mana ia tidak menjadi gembira.
Tapi ia juga ada sedikit takut akan kawan kecil yang nakal dan banyak lagunya ini. Jika bukan ditarik jenggotnya, tentu dikitik sampai ia tertawa terpingkal-pingkal.
Ia tidak dapat melepaskan dirinya dari gangguan ini dan juga tidak dapat memasang muka asam, sebagai orang lebih tua, orang yang paling celaka, ia melakukan perjalanan ini.
Setelah Tjeng Tjeng menjauhi Koo San Djie tentunya Koo San Djie dapat lebih leluasa jika berbicara dengan Ciecie Hoe Tjoe nya. Tapi kenyataannya tidak demikian, terhadap Koo San Djie, Ong Hoe Tjoe menjadi adem saja, bagaikan kawan biasa, tidak menunjukan perasaan-perasaannya yang berlebih-lebihan. Ia berusaha untuk mendekati Tiauw Tua, dengan meminta petunjuk ini dan itu sehingga tidak memberi kesempatan untuk Koo San Djie bicara banyak.
Tentu saja Tiauw Tua tidak dapat tidak melayani setiap hari, dengan teliti ia memberi penjelasan-penjelasan. Dari ilmu silat sampai kebermacam-macam partai yang berada di dunia dan pantangan-pantangannya.
Sikap Ong Hoe Tjoe telah berubah banyak. Ini bukan sifat yang aslinya, ia kini telah berobah menjadi adem, seperti tersiram oleh air es saja. Mengapa ia harus berobah seperti ini" Inilah satu penderitaan bagi para wanita jaman itu yang masih terkena racunnya peraturan-peraturan kuno. Biarpun ia ada sangat mencintai kekasihnya, tapi ia harus memelihara sopan santun yang sudah ditetapkan.
Mereka tidak berani melanggar peraturan-peraturan kuno ini, mereka tidak berani terang-terangan menunjukkan perasaan cintanya. Perasaan mereka ini telah dapat dilihat dari pandangan mata atau gerak gerik.
Ada kalanya, mereka memperlakukan kekasih mereka lebih kejam dari pada terhadap laki-laki lainnya. Mereka menganggap seperti tak kenal atau tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Inilah seperti suatu kejadian yang tidak masuk diakal.
Hoe Tjoe sebagai anak nelayan, sebenarnya tidak mempunyai sifat-sifat yang seperti ini, itulah karena gurunya yang telah menyuruh membaca kitab-kitab yang penuh segala macam peraturan-peraturan tentang bagaimana caranya sebagai seorang wanita membawa diri. Dan tentu saja cara-cara itu adalah cara-cara kuno.
Dan disamping buku-buku peraturan kuno ini, iapun diharuskan mencontoh kelakuan-kelakuan Biauw Hian, sang toa-suci yang sebagai satu perawan tua mencukur dirinya sebagai nikouw.
Maka, demikianlah kekangan peraturan-peraturan kuno telah menutupi cintanya terhadap sang kekasih.
Tapi biarpun demikian, dalam hati kecilnya ini, ingin sekali ia dapat menarik tangannya Koo San Djie, setiap hari bergandengan berdua.
Koo San Djie yang tidak tahu, mana dapat merasakan perasaannya ini" Ia hanya merasa Ciecie Hoe Tjoe nya telah berobah jauh, berobah sehingga hampir saja tidak mau mengenalnya. Saking kesal rasa hatinya, sifat kerbaunya telah kambuh pula.
Selalu ia bergumam: "Hm, mereka sekarang sudah tidak mau mengenalku lagi. Tunggu saja sampai urusannya dengan Lembah Merpati telah selesai, baru kutanyai mereka."
Maka, setiap hari ia berjalan di paling buntut. Dengan berjalan perlahan-lahan, ia selalu meninggalkan diri dari mereka.
Pada suatu hari, selagi ia berjalan di belakang sambil melamun, kupingnya yang tajam dapat menangkap suara bentakan dan dibarengi oleh suara berkisarnya banyak baju yang seperti lewat di sampingnya.
Tidak ada waktu untuk memberi kabar kepada Tiauw Tua, dengan sekali berkelebat, tubuhnya sudah turun naik masuk ke dalam rimba.
Pada suatu tempat kosong di dalam rimba, terlihat dua orang yang sedang berhadap-hadapan. Yang satu dengan rambut riap-riapan, muka biru dan mempunyai caling yang besar keluar dari sela-sela mulutnya. Yang satu lagi adalah seorang tua berbaju kuning dan biru dengan kepalanya memakai kopiah yang berwarna kuning emas.
Koo San Djie menjadi bercekat. Inilah orangnya yang telah merebut peta jalan Lembah Merpati. Dan bukankah ia menjadi musuh besarnya dari supeknya"
Terdengar si orang bercaling yang berambut riap-riapan berkata:
"Kim Ting Sa, jika betul kau telah mendapatkan itu ilmu Sari Pepatah Raja Woo, aku si Kepala Setan Srigala, akan meminta bagiannya."
Orang tua berkopiah mas mendongak ke atas berkakakan:
"Tidak salah. Sari Pepatah Raja Woo, memang betul berada di badanku. Tapi kau Kepala Setan Srigala tidak mempunyai bagian sama sekali."
Kepala Setan Srigala tertawa dingin:
"Kau mengandalkan berapa ilmu kepandaian itu untuk melawan kepadaku" Tapi kau juga tentu tahu adatnya dari Kepala Setan Srigala yang tidak dapat dirobah. Sedari ini waktu jangan harap kau dapat bekerja tenang."
Perkataan ini dibarengi oleh serangannya yang bertubi-tubi.
Kim Ting Sa tertawa dingin, badannya melompat ke kanan dan ke kiri, menghindarkan empat kali serangannya Kepala Setan Srigala."
Caling-caling dari Kepala Setan Srigala beradu beberapa kali, sambil meluruskan kedua tangannya disodorkan maju ke depan.
Si Kopiah Mas Kim Ting Sa tangannya tidak mau tinggal diam, ia juga telah memapaki datangnya serangan Kepala Setan Srigala.
Bau busuk lantas tersebar kemana-mana, karena beradunya dua pukulan tadi. Dua lawan itu juga telah terpental mundur dari tempatnya masing-masing.
Kepala Setan Srigala mempelototkan kedua matanya, ditambah dengan caling gigi yang menakutkan sehingga semakin galak. Ia sudah bersedia maju kembali, mendadak, terdengar suara orang ketiga yang menyelak:
"Tunggu dulu! Aku Pay-hoa Kui-bo juga mengingini barang itu."
Di tengah lapangan segera telah bertambah seorang nenek kurus kering yang berambut merah.
Dengan menggunakan tongkatnya, si nenek kurus kering yang hampir terlihat tulang-tulangnya, mengetok ke tanah dan berkata lagi:
"Kim Ting Sa, berani kau menentang usulku?"
Perkataan Pay-hoa Kui-bo jika bukannya diucapkan pada waktu itu, Kim Ting Sa tentu sudah menyerangnya. Tapi di sini, ia tidak berani berbuat demikian, dua musuh yang berada di depannya bukan musuh sembarangan. Ia tidak akan dapat menahan serangan dari mereka berdua. Maka dengan tertawa terpaksa ia berkata:
"Aku Kim Ting Sa, sebenarnya belum pernah mengalah kepada orang lain, tapi ini kali karena gara-gara buku rombeng ini, harus menelan hinaan-hinaan orang. Demi keselamatannya kita semua, kurasa......"
Koo San Djie sampai di sini tidak dapat menahan sabarnya lagi. Ia sangat curiga tentang kitab Sari Pepatah Raja Woo, yang sedang diperebutkan mereka. Kitab Sari Pepatah Raja Woo, adalah milik supeknya, mengapa Kim Ting Sa juga dapat mempunyainya" Ia sedari tadi sudah ingin keluar dari tempatnya, sewaktu melihat Kepala Setan Srigala menyerang, ia membatalkan niatannya. Kemudian dilihatnya juga si nenek Setan Ratusan Kembang Pay-hoa Kui-bo juga telah datang kemari, dengan sekejap mata saja mereka bertiga akan berserikat, mana ia tidak menjadi sibuk" Maka dengan cepat ia sudah lompat keluar, untuk memutuskan pembicaraan mereka.
"Tunggu dulu," kata Koo San Djie. "Aku ingin mengetahui, dari mana kitab Sari Pepatah Raja Woo ini didapat?"
Kim Ting Sa melihat pada Koo San Djie sebentar, tapi ia tidak melayaninya, Kepala Setan Srigala malah tidak mau melihatnya sama sekali.
Tidak demikian dengan Pay-hoa Kui-bo, dengan mengetrukkan tongkatnya, ia membentak:
"Kau siapa" Berani bicara di sini?"
"Aku Koo San Djie!" jawabnya marah.
Lalu dihadapinya Kim Ting Sa dan berkata:
"Kim Ting Sa, jika kau tidak mau mengatakannya, jangan harap kau dapat pergi dari sini!"
Pay-hoa Kui-bo menjadi marah, karena ia tidak diladeni, dengan sekali angkat, tongkatnya sudah mengarah ke jurusan Koo San Djie.
Koo San Djie bagaikan sebuah gunung kecil, berdiri menahan serangan tiga kali serangan tongkat Pay-hoa Kui-bo.
Tetapi ia masih tidak mau melayaninya terus. Dengan sekali loncat saja ia sudah berada di depan Kim Ting Sa kembali. Dengan keras ia membentak,
"Apa kau tuli, tidak mendengar pertanyaanku?"
Kim Ting Sa mempunyai derajat yang tidak rendah di kalangan Kang-ouw dan juga kepandaiannya tidak berada di bawah sepasang pendekar Merpati Liu Djin Liong suami istri. Tadi ia telah mengalah kepada Kepala Setan Srigala dan Pay-hoa Kui-bo karena terpaksa. Mana ia dapat membiarkan seorang anak kecil seperti Koo San Djie membentak-bentaknya"


Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan mendadak, mukanya telah berobah. Seiring dengan kibasan lengan bajunya, sebuah aliran yang dahsyat telah datang menyerang ke arah Koo San Djie.
Koo San Djie sudah tahu bahwa tenaga lawan barunya ini besar sekali, ia tidak berani terlalu memandang rendah kepadanya. Dengan sekuat tenaganya jurus Ombak menyapu Ribuan Sampah dikeluarkan memapaki datangnya serangan.
"Beleduk". Dua tenaga saling bentur. Koo San Djie tidak tahan untuk tidak mundur setindak.
Kim Ting Sa tergetar hatinya, satu anak kecil berani mengadu kekuatan dengannya"
Matanya menjadi beringas, karena badannya tergetar juga menerima pukulan tadi. Dengan cepat, ia menyerang tiga kali beruntun, ia tidak mau membuang-buang tenaga lagi, tiga pukulan ini dikeluarkan dengan tenaga penuh. Ia merasa dan mengharapkan dengan tiga pukulannya yang keras ini, dapat membinasakan anak kecil yang kurang ajar.
Koo San Djie sekali menerima kerugian, sudah ingin maju kembali untuk menyerang, disaat ini, tiga pukulannya Kim Ting Sa bagaikan gunung saja menindih kepalanya.
Maka, dengan menggertak gigi, ia obral semua kepandaiannya, Langit dan Bumi Pandang Memandang, Hujan Angin Menderu-deru dan Sungai dan Laut Sambung Menyambung, hampir berbareng keluar dari telapak tangannya. Tapi biar bagaimanapun, ia masih kalah setingkat dengan Kim Ting Sa yang telah kawakan.
"Duk, duk, duk,......" Ia harus mundur tiga kali. Terasa dadanya bergolak dan semua isi dalamnya telah terluka.
Kim Ting Sa juga merasakan pening di kepala. Justru karena inilah yang menambah keinginannya untuk dapat membunuh mati anak yang di hadapannya.
Dengan membuka suaranya seperti genta, ia berteriak:
"Bocah kurang ajar, sambut lagi pukulanku ini."
Sebelah tangannya dimajukan pula ke depan, dengan kekuatan yang masih ada padanya, Kim Ting Sa memukul pula.
Koo San Djie yang baru saja mengatur pernapasannya untuk dapat mengembalikan kembali tempat letaknya dari isi dalamnya, telah melihat juga, ia akan menerima serangan maut. Tapi ia tidak diberi kesempatan untuk berpikir, maka dengan merangkapkan kedua tangannya, disodorkan ke depan untuk menahan serangan ini dengan sebisa-bisanya.
Terdengar suara gemuruh yang seperti geledek, dibarengi oleh terangkatnya batu dan pasir yang berada di situ. Koo San Djie bagaikan orang yang sedang mabok keras, sempoyongan dan mundur lagi ke belakang. Dadanya seperti diiris-iris oleh pisau yang tajam. Ia tahu, inilah berarti semua isi dalamnya telah berpindah tempat dari asalnya.
Kim Ting Sa biarpun telah berhasil dengan pukulan geledeknya ini membuat Koo San Djie terluka parah, tapi ia sendiri juga tidak mudah mendapat untung darinya. Dirasakan kedua tangannya kesemutan, dadanya juga dirasakan agak sesak. Di sekelilingnya terdapat musuh-musuh yang tangguh, ia tidak meneruskan serangannya dan juga tidak berani menunjukkan lukanya. Dengan tenang, ia memaksa tertawa. Tapi dengan cepat ia mengatur jalan darahnya.
Tapi Kepala Setan Srigala dan Pay-hoa Kui-bo bukannya anak kemarin, mata mereka mana dapat dikelabui" Dengan tertawa dingin Kepala Setan Srigala sudah maju berkata:
"Kim Ting Sa, beraninya hanya terhadap anak kecil saja. Lekaslah bereskan urusan kita orang. Jika tidak, hm, nanti jangan salahkan aku Kepala Setan Srigala keterlaluan."
Kim Ting Sa seperti tidak mendengar perkataan ini, ia hanya mengatur pernapasannya dengan menutup kedua mata.
Pay-hoa Kui-bo tertawa dingin, tongkatnya diangkat tinggi, dengan kecepatan yang luar biasa, sudah dipukulkan ke arah Kim Ting Sa.
Dari suara angin, Kim Ting Sa sudah mengetahui akan datangnya bahaya, dengan segera ia sudah membuka matanya dan membentak keras:
"Jangan kau tidak memandang mata kepadaku."
Dua lengan bajunya dikibaskan dengan keras, bagaikan dua gunting saja, sambaran angin ini memotong datangnya serangan. Tidak menunggu sampai tongkatnya Pay-hoa Kui-bo yang kedua kalinya turun menyerang, ia sudah mendahului memukul beruntun tiga kali.
Pukulan Kim Ting Sa dahsyat sekali, Pay-hoa Kui-bo terpaksa harus mundur ke belakang. Tapi ia masih penasaran, matanya yang tadinya hampir tidak terlihat karena keriputan, kini telah dibuka lebar-lebar. Tongkatnya sudah dipalangkan, bersedia menyerang dengan lebih hebat lagi.
Tapi, mendadak dari udara terdengar suara seorang wanita:
"Pay-hoa Kui-bo, tunggu dulu. Masih ada aku Selendang Merah yang masih......"
Dibarengi oleh sinar merah yang berlelebat, seorang wanita berbaju merah yang cantik berada di antara Pay-hoa Kui-bo dan Kim Ting Sa.
Kim Ting Sa melihat orang yang datang ini menjadi lebih berkuatir. Dalam hatinya berpikir:
"Orang-orang ini mempunyai telinga yang tajam sekali."
Pay-hoa Kui-bo yang sudah naik darah mana mau mengerti. Ia sudah menjadi semakin kalap saja, dengan galak ia membentak:
"Urusanku jangan kau coba campur tahu?"
Tongkatnya dikeprak ke depan mengarah tubuh Kim Ting Sa.
Mendadak, sinar merah berpecah, tongkatnya Pay-hoa Kui-bo yang sedang mengarah pinggang Kim Ting Sa sudah terlibat oleh selendang merahnya si Selendang Merah.
Selendang Merah tertawa berkikikkan:
"Nenek setan, buat apa kau terburu napsu?"
Tangannya Pay-hoa Kui-bo yang memegang tongkat menjadi bergetar. Maka dengan cepat ia sudah menarik kembali tongkatnya dan membentak:
"Hai, selendang Merah, mengapa kau membantunya?"
Si Selendang Merah sudah tertawa, bagaikan sekuntum bunga yang sedang mekar. Setelah tertawa sekian lama, baru terdengar ia menjawab pertanyaan si nenek:
"Semua mesti mendapat bagian. Aku juga ingin melihat kitab Sari Pepatah Raja Woo yang terkenal."
Waktu Koo San Djie dengan diam-diam sudah dapat memulihkan kembali isi dalamnya. Sambil memuntahkan darah matinya, ia berkata:
"Dasar bangsa kurcaci yang tidak tahu malu, barang colongan saja harus diperebutkan setengah mati."
Pemuda itu bertindak maju sampai di hadapannya Kim Ting Sa dan bertanya:
"Kim Ting Sa, aku hanya bertanya satu pertanyaan kepadamu, apa betul itu kitab Sari Pepatah Raja Woo kau dapatkan dari Makam Merpati?"
Semua orang iang berada di situ menjadi melengak. Mereka memuji anak gembala yang mempunyai nyali besar dan latihan sempurna ini. Biarpun ia telah terkena pukulan Kim Ting Sa sehingga mendapat luka dalam, tapi masih demikian gagahnya, tidak mengenal takut akan si kuat.
Kim Ting Sa tertawa sombong
"Hei, bocah, kau pernah apa dengan Liu Djin Liong" Meskipun betul kitab ini miliknya, kau bisa apa?"
Koo San Djie menjawab dengan tegas:
"Sepasang pendekar Merpati adalah supekku. Aku berhak untuk mengambil pulang kitab itu. Kau jangan harap dapat pergi, sebelum mengembalikan kitab curianmu."
Kim Ting Sa tertawa dingin:
"Dengan kepandaianmu ini masih belum cukup untuk meminta pulang kitabnya. Kau boleh pulang dan katakan kepadanya bahwa betul kitab Sari Pepatah Raja Woo telah kuambil. Jika betul dia laki-laki, boleh datang ke tempatku lembah Sin-sa untuk mengambil pulang barangnya. Dan katakan juga aku masih ada urusan lama yang akan diselesaikan kepadanya."
Koo San Djie menjadi marah.
"Aku tidak percaya tidak dapat menandingimu!" teriaknya.
Ia mengangkat sebelah tangannya, dari ke jauhan menengok ke arahnya.
Terdengar suara si Kepala Setan Srigala, berteriak:
"Bocah, jangan sembarangan mengacau?"
Ia maju dua langkah dan juga mengeluarkan tangannya, menahan datangnya serangan yang ditujukan ke arah Kim Ting Sa. Ia sudah dapat melihat bahwa kepandaian Koo San Djie tidak rendah, ia takut Kim Ting Sa nanti terlibat olehnya dan mengganggu urusan di antara mereka.
Penyesalan Hati Tju Thing Thing
Tidak disangka memang si Kepala Setan Srigala lagi buruk nasib, pukulan Koo San Djie ini adalah salah satu dari tiga buah pukulan geledeknya, biarpun Kim Ting Sa, juga belum tentu berani memasang dirinya, apa lagi Kepala Setan Srigala.
Begitu dua buah pukulan terbentur menjadi satu, Kepala Setan Srigala sudah terhuyurg mundur beberapa tindak. Darahnya bergolak, dari kedua hidungnya berkelak-kelik mengeluarkan asap biru. Maka ia menjadi panas hati. Dari mulut, hidung dan kupingnya mengeluarkan asap biru, ditambah mukanya yang bercaling sudah menambah keseramannya saja.
Koo San Djie berteriak kaget:
"Oh, Yun-ling-pay-kuk-kang. Kau mempunyai hubungan apa dengan itu dua jejadian hidup?"
Kepala Setan Srigala memberhentikan tindakannya, dengan heran bertanya:
"Apa kau kenal dangan mereka?"
Koo San Djie menjawab: "Dengan menggunakan bangkai-bangkai manusia untuk melatih diri, ada sangat keterlaluan sakali. Mereka sudah membunuh orang bukan sedikit, maka aku membunuhnya."
Kepala Setan Srigala yang mendengar di hadapannya, orang mengatakan telah membunuh dua murid kesayangannya, mana tidak menjadi kalap. Tidak menunggu sampai Koo San Djie melanjutkan penuturannya ia sudah maju menubruk.
Mendadak, sehelai selendang merah berkelebat lagi, seperti naga api, telah melintang di hadapannya si Kepala Setan Srigala.
Suara nyaring yang merdu berkata:
"Jika demikian, hutang mereka yang telah melukai adikku, harus kau yang menalanginya."
Dihalangi sehelai selendang merah ini, terpaksa Kepala Setan Srigala harus tunduk juga. Dengan mendelik ia berkata:
"Hai, Selendang Merah, apa kau mau campur tangan?"
Selendang Merah tertawa: "Bukan saja campur tangan. Bahkan aku masih mau membuat perhitungan denganmu. Tapi tidak apa, urusan ini kita ke sampingkan dulu. Yang penting, bagaimana dengan urusan kitab itu?"
Lalu ia berpaling ke arah Kim Ting Sa dan berkata:
"Sekarang, kita menjadi empat orang, bagaimana jika dengan mengadu kepandaian memperebutkan kitab?"
Kim Ting Sa yang licik tahu, ia tidak mudah meloloskan diri dari sedemikian banyaknya orang, tapi kemudian ia telah mendapatkan suatu akal yang bagus untuk melepaskan diri dari mereka. Dalam hati diam-diam ia berkata:
Dia mengusulkan dengan cara mengadu kepandaian. Jika waktunya kuundurkan, bukankah pada waktu itu aku telah mempunyai cukup waktu untuk mempelajarinya"
Maka dengan tertawa ia menghadapi orang banyak:
"Jika semua setuju dengan mengadu kekuatan, setahun lagi, aku akan menunggunya di tempatku lembah Sin-sa, tapi hanya terbatas dengan kita empat orang, bagaimana?"
Mendadak terdengar pula suara yang asing bagi mereka:
"Mengapa hanya empat orang saja" Apa aku tidak kebagian?"
Dari atas pohon loncat turun seorang tua berbaju merah, dengan gerakannya yang ringan sekali.
Semua jago yang berada di situ menjadi terkejut, karena orang dapat sembunyi di atas mereka dengan tidak diketahui sama sekali. Tetapi mereka mana mengetahui, bahwa orang tua berbaju merah ini bukannya orang sembarangan juga.
Yang paling kaget adalah Koo San Djie.
"Orang tua ini tentu orang Lembah Merpati. Kecuali orang dari Lembah Merpati, tidak ada orang tua lain yang memakai baju merah seperti ini."
Biarpun dalam hatinya memikir begitu, tapi ia sudah tidak ada waktu untuk menanyakannya. Dengan menggunakan kecepatan Awan dan Asap Lewat Di mata, ia sudah menyelak di antara mereka dan berdiri di hadapan Kim Ting Sa.
"Kim Ting Sa, jangan kau berani mati sembarangan memperebutkan barang orang lain. Jika kau tidak kembalikan Kitab Sari Pepatah Raja Woo, jangan harap kau dapat lari dari sini."
Kim Ting Sa tertawa menyindir:
"Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk mengadu mulut. Kau boleh panggil Liu Djin Liong menghadap kepadaku."
Lalu ia berpaling ke arah si orang tua berbaju merah yang baru datang, dan berkata kepadanya:
"Setahun kemudian, aku Kim Ting Sa menunggu kalian di lembah Sin-sa."
Tidak menunggu jawaban lagi, ia sudah loncat tinggi ke atas untuk dapat melarikan diri dengan terlebih mudah.
Tapi maksudnya tidak gampang tercapai. Koo San Djie menutul sedikit ujung kakinya, ia turut mumbul ke atas dan menghalang-halanginya. Dengan suara keras ia membentak:
"Apa kau ingin melarikan diri" Hm......!"
Ia melepaskan pukulan geledek di udara. Kim Ting Sa dengan meminjam tenaga pukulan Koo San Djie ini bagaikan kertas saja telah melayang keluar rimba.
Koo San Djie penasaran. Ia sudah siap untuk kedua kalinya menghajar musuh, mendadak, si orang tua berbaju merah sudah menghalang-halanginya. Terdengar suara tertawanya:
"Bocah, jangan berbuat segalak ini."
Koo San Djie sudah membanting-banting kaki, karena tidak keburu mengejar Kim Ting Sa, semua kemarahannya sudah ditumplekkan kepada orang tua itu. Dengan sengit ia berkata:
"Kau menghalang-halangi orang, apa hendak mengadu pukulan?"
Si orang tua berbaju merah tertawa:
"Aku tahu, kau memang tidak dapat dipandang enteng, tapi kini aku sedang tidak sempat. Jika kau berani, datanglah ke dalam Lembah Merpati."
Setelah mengucapkan perkataan ini, orang tua berbaju merah juga telah melesat keluar rimba.
Pay-hoa Kui-bo juga telah meninggalkan tempat itu.
Koo San Djie dengan tidak terasa mengeluarkan suara tertahan:
"Lembah Merpati?"
Badannya sudah lantas hendak mengejar jejak si orang tua. Tapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu apa, Kepala Setan Srigala sudah menyerang lagi dari belakang yang memaksa menurunkan kembali badannya.
Koo San Djie sudah tidak takut bau busuk Yun-ling-pay-kuk-kang, pengalaman tempur dengan dua siluman yang dibunuhnya menambah kekuatan.
"Kau mau apa lagi, dengan menyerang dari belakang?" Koo San Djie membentak gusar.
Kepala Setan Srigala tertawa kejam:
"Aku mau minta nyawamu untuk menggantikan dua jiwa muridku."
Kaki kanannya maju setindak, mengirimkan tiga pukulan. Bau busuk yang dapat memuntahkan orang yang menciumnya, ada dua kali lebih hebat dari pada kedua muridnya tempo hari.
Koo San Djie yang dihalang-alangi olehnya mana tidak menjadi marah. Kedua tangan ganti berganti menyerang sampai lima kali, sehingga si Kepala Setan Srigala tidak berdaya.
Mendadak selendang merah yang tidak mau tinggal diam sudah meluruskan selendangnya. Langsung menuju arah mata Kepala Setan Srigala, dibarengi oleh suara yang nyaring:
"Kau jangan kesusu membalas dendam muridmu. Lunasilah terlebih dulu hutang kedua muridmu itu."
Selendang merahnya, bagaikan seekor naga yang memain api berputar-putar di sekitar Kepala Setan Srigala.
Kepala Setan Srigala mana mau kalah mentah-mentah, pukulannya ke kiri dan ke kanan, menerobos sana dan menerohos sini berusaha menembus kurungan selendang.
Badannya Selendang Merah berdiri jauh beberapa tumbak, kedua tangannya memainkan selendang merahnya sedemikian rupa, sehingga Kepala Setan Srigala tidak mempunyai kesempatan maju mendekat.
Inilah permainan yang menakjubkan, dengan menggunakan sehelai selendang sebagai senjata, menyerang orang yang ternama sebagai Kepala Setan Srigala, jika bukannya mempunyai tenaga dalam yang kuat, tidak nanti dapat menahannya.
Koo San Djie menjadi heran juga, melihat Selendang Merah yang baru berumur antara duapuluhan dapat menandingi seorang jago seperti Kepala Setan Srigala. Dari manakah datangnya ia ini" Mengapa Kepala Setan Srigala yang berani melawan Kim Ting Sa tidak dapat memenangkannya"
Tapi Koo San Djie tidak tahu yang Selendang Merah berlaku sedikit curang. Selendangnya ini terbuat dari semacam bahan obat-obatan, jika dicurahkan sedikit tenaga dalam, maka selendangnya ini dapat mengeluarkan semacam hawa, yang dapat mengurangi kekuatan sang lawan.
Koo San Djie yang sedang melamun mendadak telah dibikin kaget oleh teriakannya Kepala Setan Srigala. Dilihatnya tokoh tersebut telah dapat meloloskan diri dari kurungan selendang lawannya. Dari setadi ia terkurung oleh selendang ini dan baru saja ia dapat lolos dari kurungannya mana ia tidak menjadi sengit. Maka dengan berteriak keras ia sudah menubruk ke arah lawan.
Selendang Merah hanya tertawa dingin, dengan menggentakkan tangan, senjata istimewanya telah ditarik, ditekuk menjadi pentungan lemas. Dengan tidak kalah sebatnya ia tidak membuang-buang waktu lagi, langsung pentungan lemasnya ini disodorkan ke muka dan mengarah Kiang-tai, Cit-kan dan lain tujuh jalan darah yang penting.
Kepala Setan Srigala juga telah membalas tujuh kali serangannya. Demikianlah keadaan pertandingan masih sama kuat berimbang.
Kepala Setan Srigala tidak dapat dikatakan tolol, ia tahu, satu selendang merah saja sudah cukup untuk menghabiskan tenaganya, apa lagi di sebelahnya masih ada Koo San Djie yang sudah siap untuk menubruknya dan entah lain-lain jago lagi yang mau membikin sulit kepadanya. Ia kini telah berada pada keadaan yang tergencet sekali. Maka hilanglah hawa napsunya, ia tidak maju lagi tapi berbalik mundur ke belakang dan berteriak:
"Selendang Merah, tunggu dulu. Urusan di antara kita nanti saja kita selesaikan."
Kemudian ia berpaling ke hadapan Koo San Djie dan berkata:
"Anjing kecil, tunggu saja waktunya, aku tentu akan dapat membeset kulit kecilmu."
Setelah cukup mengucapkan perkataannya sebagai modal untuk mundur, dengan tidak sampai mereka dapat mengerti, apa maksud dari perkataannya itu, badannya sudah loncat ke belakang dan lari keluar rimba.
Koo San Djie belum mengerti. Sewaktu ia tersadar dari bingungnya, ia juga turut membalikkan badannya bersiap untuk mengejarnya lagi. Tapi di belakangnya telah terdengar bentakan Selendang Merah:
"Berhenti! Aku juga masih ada perhitungan dengan kau?"
Koo San Djie menjadi heran orang yang dikenalnya ini mempunyai urusan juga dengannya. Maka ia lalu membatalkan langkah kakinya dan bertanya:
"Di antara kita baru pertama kali ini bertemu, perhitungan apa lagi yang harus diselesaikan?"
Si Selendang merah tertawa terpingkal-pingkal.
"Tentu saja ada. Apa kau sangka aku bersenda gurau?"
Lalu ia membalikan mukanya memanggil ke arah rimba:
"Adikku, mengapa kau tidak lekas keluar?"
Koo San Djie menjadi berjingkrak karena kaget. Ternyata yang keluar adalah Tju Thing Thing dengan pakaian rebonya, empat mata telah bertemu, entah perkataan apa yang harus mereka katakan......
Lama, lama sekali mereka berpandangan. Membuat si Selendang merah yang berdiri di pinggir menjadi tidak sabaran.
"Hei, mengapa kau tidak berkata" Apa bocah ini yang telah menghina kepadamu'?" tegurnya dengan nada kesal,
Tju Thing Thing tidak dapat mengatakan suatu apa, ia seperti telah kehilangan semangat, dan berdiri menjublek.
Selendang Merah menjadi tertawa melihatnya.
"Kau baru melihat saja sudah menjadi lemas hati. Biar aku saja yang menanyakan kepadanya."
Lalu ia berbalik ke arahnya Koo San Djie dan berkata:
"Hei, mengapa kau menghina kepada adikku ini?"
Koo San Djie menjadi semakin bingung saja. Entah harus bagaimana ia menjawab pertanyaan ini. Setelah sekian lama, baru ada beberapa perkataan yang keluar dari mulutnya:
"Waktu kapan aku menghina kepadanya?"
Ia berbalik bertanya. Dan kemudian ia berpaling lagi kepada Tju Thing Thing dan bertanya:
"Apa Ciecie Thing Thing yang mengatakan kepadanya bahwa aku menghina kepadamu?"
Yang aneh, Tju Thing Thing tidak menjawab pertanyaan ini. Ia malah jadi menangis karenanya. Tapi dalam hatinya ia berpikir:
"Betul juga, bukan saja dia pernah menghina kepadaku, bahkan sebaliknya akulah yang telah sangat keterlaluan terhadapnya."
Biarpun ia telah memakan pil apa yang di namakan "Penenang jiwa" yang sebenarnya tidak tenang, tapi hati sucinya tidak jadi hilang semua. Ia sering merasakan bahwa ia tidak seharusnya berbuat seperti apa yang telah ia lakukan, kini mendengar perkataan Koo San Djie yang tidak menyalahkan padanya, membuat ia menjadi terharu.
Ia sudah tidak sepadan derajatnya dengan adik San lamanya ini. Bahkah jika dipikir ia telah mengganggunya, sehingga hampir saja akan meminta jiwa anak muda ini di gunung Pay-hoa yang beruntung keburu ditolong oleh Ong Hoe Tjoe dan sucienya yang kebetulan datang di situ. Jika tidak, entah bagaimana dengan nasib pemuda ini. Terhadap kejadian ini, biarpun Koo San Djie tidak menyebutnya pula, tapi dalam hatinya masih merasa menyesal juga.
Orang sedemikian baik terhadapnya, kini masih memanggil Ciecie kepadanya yang berarti masih menjunjung tinggi kepadanya. Bagaimana ia dapat menyalahkan kepada orang semacam begini"
Koo San Djie yang melihat Tju Thing Thing masih menangis, dan tidak menjawab pertanyaannya, tahu akan kesedihan orang, lalu maju dan mengelus-elus pundaknya. Dengan setengah menghibur ia berkata:
"Ciecie Thing Thing, sudahlah. Aku tidak pernah menyalahkan kepadamu. Aku tahu, kau menderita dan sengsara, katakan saja jika kau memerlukan tenagaku, aku tentu berusaha untuk membantunya."
Tju Thing Thing mendadak membalikkan badannya dan pergi lari keluar rimba. Tapi dari kejauhan masih terdengar suaranya:
"Adik San, aku tidak mempunyai muka lagi untuk menemui kau......"
Si Selendang Merah yang melihat urusan menjadi demikian rupa menjadi bingung juga. Ia tidak mengerti apa yang diperdebatkan mereka berdua. Kini melihat Tju Thing Thing telah lari keluar rimba, ia juga mengangkat kedua kakinya mengejar perginya sang adik ini. Dari kejauhan masih terdengar suara panggilannya:
"Adik, kau kemana....." Hei, kau mau kemana......?"
Koo San Djie hanya dapat melihat perginya mereka satu persatu. Kini tinggal ia seorang diri di sini. Dengan menghela napas panjang, ia juga meninggalkan tempat ini yang barusan saja penuh dengan jago-jago berkumpul dengan ramainya.
Setelah tertunda sedemikian lamanya, tentu saja ia tidak dapat mengejar lagi rombongan si Sastrawan Pan Pin dan lain-lainnya. Masih untung saja mereka meninggalkan tanda-tanda. Dan dengan bantuan tanda-tanda ini Koo San Djie mengikuti perjalanan mereka.
Setelah berjalan sekian lama, ia telah merasakan bahwa jalanan yang dijalani ini seperti telah dikenal. Ia terus mengingat-ingat tentang kapan ia berjalan sehingga sampailah ia pada sebuah lembah.
"Oh, inilah jalan menuju ke tempat kediaman supek. Apa mereka menuju ke Makam Merpati" Apa mereka telah salah dengar" Sehingga Makam Merpati dianggap menjadi Lembah Merpati?"
Hatinya menjadi bingung juga memikirkan soal ini, maka ia telah menambah kecepatan kakinya. Sebentar saja ia telah sampai di tempat batu nama "Makam Merpati" yang pernah dilihatnya.
Di sini hatinya menjadi terlebih kaget lagi. Mukanya dalam sekejapan saja telah berobah, karena batu nama Makam Merpati telah pecah berantakan.
"Celaka! Mereka telah salah paham."
Maka dengan terlebih cepat lagi ia telah terbang masuk ke dalam Makam Merpati.
Sewaktu Koo San Djie masuk ke dalam Makam Merpati, ia telah merasakan adanya perobahan di sekitarnya. Lembah yang tadinya tenang dan sepi ini mendadak seperti telah berubah menjadi seram dan aneh. Jalan ketjil yang penuh dengan tanaman kembang telah berubah di sekitar makam, kini telah ditanami oleh bermacam-macam tanaman yang seperti mengandung barisan tin.
Terhadap barisan tin ia tidak begitu mengerti, seperti Tjeng Tjeng yang mendapat warisan dari ayahnya mempunyai pengetahuan yang luas. Maka ia tidak berani sembarangan masuk ke dalam lembah.
Pertama dikelilinginya dahulu sekitar makam ini. Setelah diperhatikannya betul-betul, terlihat olehnya pada sebuah tempat terdapat kekosongan yang seperti telah dirusak orang, maka dengan cepat ia melompat masuk dari tempat kosong ini.
Lebih-lebih kaget lagi setelah ia dapat menyaksikan keadaan di dalam makam ini. Suatu pemandangan yang mengenaskan telah tertampak di depan matanya.
Sembilan orang yang menjabat ketua partai berbagai macam golongan yang pernah dilihatnya di kuil Siauw-lim, kini telah menggeletak semua di sini. Mereka telah terbunuh semuanya dalam keadaan yang menyedihkan sekali, tubuh mereka bergelimpangan dan saling tumpuk. Kematian mereka diduga terbunuh oleh satu orang. Jantung nadi mereka rata-rata terputus. Inilah terkena pukulan tenaga dalam yang sempurna. Kecuali Liu Djin Liong, sang supek, orang lain jarang mempunyai tenaga dalam yang sebesar ini.
Memang betul pada batu nama Makam Merpati ada tertulis juga dengan huruf kecil "hukuman mati bagi yang berani memasukinya". Biarpun batu nama ini kini telah pecah berantakan, tapi perkataan-perkataannya sudah diingat betul-betul olehnya pada pertama kali datang kemari. Sembilan orang ini berani masuk ke dalam Makam Merpati, tentulah sang supek yang membunuhnya
Koo San Djie sudah menjadi tidak suka akan tindak tanduk supeknya. Jika sekarang Liu Djin Liong berada di situ, tentu akan terbit keonaran. Maka dengan teliti ia sudah memeriksa ke seluruh makam.
Di antara sela-sela pintu dalam dari Makam Merpati terlihat sepotong kertas. Setelah dipungut dan dilihatnya ternyata kertas Tjeng Tjeng yang menaruhnya di mana ada tertulis:
"Koko San, aku pergi mencari ayah."
Biarpun tidak ada tanda tangan, tapi tulisan ini telah dikenalnya. Dan di dekat kertas ini ada pula sepotong kertas lainnya yang ternyata ada buah tangan dari Sastrawan Pan Pin dengan tanda tangannya dan Tiauw Tua berdua, tapi tidak ada terdapat tanda tangan Ong Hoe Tjoe. Di atas mana tertulis:
"Makam Merpati telah kemalingan. Kita orang pergi mencari malingnya. Setelah dapat melihat surat ini, lekas datang menyusul!"
Huruf-huruf ini ditulis dengan kasar, rupanya mereka terburu-buru sekali.
Dari kejadian-kejadian ini Koo San Djie telah membuat suatu perumpamaan:
Rombongan Tiauw Tua ini karena ada Tjeng Tjeng yang apal dengan keadaan jalanan dengan mudah telah dapat memasuki makam. Pertama mereka tentu menyuruh Tjeng Tjeng seorang diri masuk ke dalam makam mencari ayahnya, Tiauw Tua dan yang lainnya menunggu kabar di luar.
Tjeng Tjeng yang masuk ke dalam makam tidak dapat menemukan ayahnya, tapi mendapatkan tanda tulisan dari ayahnya yang mewartakan lenyapnya kitab Sari Pepatah Raja Woo. Maka dia keluar pula mewartakan tentang kejadian ini. Dia terburu-buru mencari ayahnya.
Sedangkan Tiauw Tua beramai tahu bahwa kitab Sari Pepatah Raja Woo dapat mengakibatkan keonaran yang besar, dengan tidak menunggu sampai datangnya Koo San Djie lagi sudah keluar makam untuk mengejar si pencuri, setelah meninggalkan kabar untuk Koo San Djie.
Kini ia memastikan sembilan orang ketua partai yang mati itu bukanlah terbunuh di tangan sang supek. Mereka datang sesudah Liu Djin Liong pergi meninggalkan lembah, jika tidak, tidak nanti mereka dapat masuk dengan semudah itu.
Dengan cepat pikirannya kembali ke tempat rimba tadi. Ia dapat membayangkan bagaimana jago-jago tadi memperebutkan kitab Sari Pepatah Raja Woo. Maka ia sudah dapat memastikan bahwa si pencuri adalah Kim Ting Sa. Tapi dengan kepandaiannya, Kim Ting Sa masih belum mampu untuk dapat menandingi dan membunuh sembilan orang yang lihay ini. Maka dari sini ia dapat memastikan si pembunuh adalah orang lain.
Maka dengan tidak mengenal letih ia merapikan barang-barang yang kalang kabutan. Lalu mayat dari para ketua partai satu persatu dikebumikan.
Baru juga ia menanam tiga mayat, dari mulut lembah dengan galak telah menerjang masuk beberapa orang. Salah satu dari mereka yang jalan paling depan sudah membentak dengan keras:
"Bagus" Kau sedang mau menghilangkan tanda pembunuhan. Lekas panggil keluar ketua lembahmu!"
Koo San Djie menjadi melengak:
"Apa?" Yang tadi berkata adalah Si Golok Malaikat Nomor Satu, dari partai Heng-san-pai. Setelah tertawa dingin ia nyerocos:
"Orang menjuluki kepadaku Si Golok Malaikat Nomor Satu, dan beberapa kawan ini adalah si Ahli Pedang Tho Siauw Kie, Sepasang Gaetan Ie Hoa Tie, Penadah Langit Kiang Peng dan Hian-tju Totiang......"
Koo San Djie sudah memotong pembicaraan orang:
"Apa kalian datang karena terbunuhnya sembiIan ketua partai ini" Ketua lembah Liu Djin Liong supek sudah keluar. Tapi dia bukanlah si pembunuhnya, kalian jangan salah paham."
Si Ahli Pedang Tho Siauw Kie dengan dingin berkata:
"Kau dapat mencuci diri dengan sempurna, tapi jika kau tidak dapat memanggil keluar ketua lembah, kaulah sebagai penanggung jawabnya."
Koo San Djie menjadi marah juga.
"Kau mudah saja membuat urusan. Belum tahu duduknya perkara, sudah sembarang menuduh orang. Terus terang kukatakan padamu. Dalam makam ini sudah tidak ada barang seorangpun juga."
Si Golok Malaikat Nomor Satu sudah membentak:
"Kau sajalah yang menjadi barang tanggungannya."
Lima jarinya lantas dibuka dan maju menubruk.
Tapi Koo San Djie sudah mengelak ke samping dan loncat mundur.
Si Golok Malaikat Nomor Satu sekali serangannya tidak mengenai sasaran, sudah mengganti cengkeraman menjadi pukulan. Ia mengirim pukulan melintang ke arah lawannya.
Koo San Djie dengan menggunakan kepandaian "Awan dan asap Lewat Di mata" sudah menyingkir lagi dari serangan itu. Ia coba memberi penjelasan sambil berteriak:
"Urusan terjadi karena salah paham. Mengapa kau sudah cepat-cepat turun tangan?"
Si Golok Malaikat Nomor Satu beruntun menyerang dua kali dengan tidak membawa hasil, menjadi kaget juga, tapi justru inilah yang menguatkan dugaan mereka bahwa sembilan ketua partai itu telah dibunuh oleh guru si anak angon. Cepat sekali ia lantas mencabut golok malaikat dari gegernya. Suaranya yang nyaring mengaung keluar dari golok itu, dan menyerang Koo San Djie dengan jurus Sinar geledek menyambar sapi.
Koo San Djie tahu urusan hanya karena salah paham, maka ia tidak membalasnya. Dengan enteng ia sudah menyingkir lagi.
Ilmu golok ini adalah ilmu yang membuat Si Golok Malaikat Nomor Satu ternama. Setelah jurus yang pertama Sinar geledek menyambar sapi keluar, lalu jurus-jurus berikutnya menyusul.
Gunung golok seperti telah mengurung di sekitar tubuh Koo San Djie. Datangnya tidak dapat ditahan lagi, sehingga membuat yang melihatnya menjadi seram juga.
Koo San Djie masih berusaha dengan jalan damai, maka ia tidak mau balas menyerang. Tapi karena inilah ia menjadi kehilangan kunci pertama sehingga sampai terdesak oleh orang. Ia hanya mengandalkan Awan dan Asap Lewat Di mata, menyingkir dari serangan-serangan.
Sebenarnya, diukur derajatnya Si Golok Malaikat Nomor Satu berani turun tangan dengan seorang anak kecil sudah keterlaluan ditambah kini ia menggunakan senjata, dan lawannya bertangan kosong tentu akan dapat menurunkan namanya. Tapi karena ia berada dalam keadaan kalap, melihat sembilan ketua partai semua terbunuh dan menganggapnya sebagai perbuatan guru Koo San Djie maka biarpun orang berteriak-teriak bagaimana kerasnya ia sudah tidak memperdulikannya lagi.
Kejadian yang keterlaluan ini, biarpun Koo San Djie mempunyai kesabaran luar biasa tapi akhirnya dipaksa menjadi marah juga.
"Jika kau terlalu mendesak, aku terpaksa harus berbuat kurang ajar kepadamu!" katanya dengan nada kurang senang.
Tangannya berbareng telah mengeluarkan pit wasiat. Dengan jurus pohon api kembang perak, ia sudah dapat menerobos kurungan gunung golok. Mendadak, terdengar suara jeritan yang keras, Si Golok Malaikat Nomor Satu telah mandi darah dengan golok terlepas dari tangannya.
Keadaan telah berobah dalam sekejapan mata, sampai pun Koo San Djie sendiri juga dibuat heran. Ia tidak menyangka pit wasiatnya ini dapat memancarkan sinar hijau muda di sekitarnya, apa lagi jika ditambah dengan tenaga dalam yang sempurna, ia dapat melukai orang sejauh satu tombak lebih. Pertama kali ia menggunakan, tidak mengetahui rahasia ini, sehingga hampir saja membuat lengan Si Golok Malaikat Nomor Satu terputus menjadi dua.
Setelah ragu-ragu sebentar, si Ahli pedang Tho Siauw Kie dan Sepasang gaetan Ie Hoa Tie sudah berbareng menyerang dari kanan dan kiri.
Tidak kecewa jika Tho Siauw Kie mendapat julukan ahli pedang, biarpun permainan pedangnya hanya ilmu pedang biasa dari Ngo-bie-pay, tapi dimainkan oleh si tangan ahli, sangat cepat dan sukar untuk mendapatkan penjelajahan yang sempurna. Dalam sekejapan mata saja, ia telah menyerang sampai tiga kali.
Di sebelahnya, Ie Hoa Tie juga bukannya orang sembarangan. Senjatanya yang terdiri dari sepasang gaetan bukannya senjata yang mudah dipelajari. Ini dengan tidak kalah sebatnya dari sang kawan di sebelah, juga telah menyerang berkali-kali.
Setelah mengetahui akan keampuhan pit wasiatnya, Koo San Djie menjadi tidak berani sembarang menggunakan. biarpun ia dikurung oleh dua jago kawakan, ia masih menyimpan pit wasiatnya yang lihay itu, dengan hanya menggunakan telapak tangan kosong, ia memukul tiga kali ke arah dua lawannya. Tiga serangan ini telah dapat menahan kedua lawannya untuk sementara waktu, dengan menggunakan kesempatan ini, ia sudah berteriak lagi:
"Mengapa kalian tidak memakai aturan" Setelah jelas, akan duduknya perkara juga masih mempunyai banyak kesempatan untuk bertarung!"
Tapi Tho Siauw Kie dan Ie Hoa Tie sudah menjadi seperti tuli. Dengan tidak memperdulikan perkataan Koo San Djie, mereka masih menyerang dengan gencar.
Biarpun Koo San Djie dalam keadaan seperti tergencet, tapi sebenarnya ia masih dapat melayani kedua musuhnya dengan ringan. Karena memikir akan lawan-lawannya ini bukannya terdiri dari orang-orang jahat, maka ia tidak mau menurunkan tangan kejam. Justru karena ia berada dalam keadaan bertahan, dan tidak mau membalas menyerang, maka biar bagaimana juga, ia harus menelan rugi. Ditambah lagi isi dalamnya tadi telah terkena pukulan Kim Ting Sa yang tidak enteng, kini telah merasa sakit kembali.
Maka dengan cepat, ia sudah dapat mengambil putusan, tidak berguna untuk melayani mereka yang telah menjadi salah paham. Ia harus segera meninggalkan mereka nanti, setelah terang akan duduknya perkara, tentu mereka juga tidak akan membuat susah lagi kepadanya.
Dengan tidak membuang-buang tempo lagi, Koo San Djie sudah memiringkan badannya dan terbang menuju ke mulut lembah.
Tapi Koo San Die terlalu memandang rendah kepada Hian-tju Todjin yang masih berdiri di pinggiran.
Hian-tju Todjin adalah jago kelas satu dari Kun-lun-pay, pukulannya keras dan hebat, begitu melihat Koo San Djie mau melarikan diri, ia menggunakan seluruh kekuatannya menyerang belakang Koo San Djie. Serangan ini sudah tidak mengandung kasihan sama sekali, karena ia melihat ketua partai golongannya terbunuh di sini.
Biarpun Koo San Djie tidak menginjak tanah, tapi ia juga telah merasai kekuatan pukulan ini, dengan tidak manmikirkan lagi, ia sudah membalikkan tangannya dan menyampok ke belakang.
Terdengar suara gedebuk yang keras, dada Koo San Djie dirasakan sesak, badannya sudah seperti layangan putus, terlempar jauh di mulut lembah.
Si Golok Malaikat Nomor Satu dan ahli pedang Tho Siauw Kie hampir berbareng sudah lantas lari menuju ke mulut lembah untuk dapat menangkap musuh yang dianggap telah membunuh ketua partai mereka ini.
Biarpun Koo San Djie terluka parah, tapi ia masih sadar akan bahaya yang sedang mengancam dirinya, dengan sekali lompat ia telah menggunakan kegesitan dan menghilang di antara pepohonan yang lebat.
Sebenarnya, ia tak mungkin terkena pukulan ini, biarpun Hian-tju Totiang mempunyai pukulan keras, tapi jika mau melukai dirinya, masih berbeda jauh. Yang menjadi sebab, ialah karena luka dalamnya yang terkena pukulan Kim Ting Sa tadi mendadak telah kambuh kembali. Sewaktu ia menggunakan tenaga untuk menahan datangnya pukulan, kekuatannya menjadi kendor, baru dapat terkena pukulan lawan.
Ini namanya luka ditambah luka, hampir saja menyebabkan ia terjatuh pingsan. Setelah berlari-larian setengah hari dengan tidak mengenal arah, sampailah ia pada sebuah bukit kecil.
Di sini ia sudah tidak dapat menahan badannya yang sempoyongan. Dengan memaksa diri, ia bersandar pada salah sebuah pohon besar dan memuntahkan beberapa kali darah segar. Ia tahu, lukanya sangat berat sekali, ia harus segera dapat mencari suatu tempat yang aman agar dapat memelihara dirinya.
Maka, biarpun dengan cara merangkak, ia juga harus meneruskan perjalanannya. Dalam keadaan payah demikian, ia dapat menempuh juga setengah lie jauhnya, sampailah ia pada sebuah kuil kecil yang rusak.
Dengan tidak sabar lagi, ia mendorong pintu dan masuk ke dalam. Ternyata, di dalamnya kosong, tidak ada orang. Biarpun tidak ada yang urus, kuil kecil ini tidak dapat dikatakan jelek, yang disayangkan, tidak terdapat ruangan tidur untuk istirahat. Maka, dengan apa boleh buat ia telah memilih satu ruangan yang dirasakan aman dan masuklah ia ke kolong meja abu yang gelap.
Demikanlah, di situ ia mengatur jalan pernapasannya untuk menyembuhkan luka-luka dalamnya yang tidak enteng.
Waktu semakin gelap. Dan akhirnya gelap sekali.
Di tengah malam yang sunyi, mendadak, dari ruangan depan terdengar suara tindakan kakinya dua orang yang datang seperti seorang laki dan seorang perempuan. Tidak lama setelah mereka duduk, terdengar si perempuan berkata:
"Ketua lembah telah mengeluarkan perintah, agar kita semua kembali ke dalam lembah. Apakah sebenarnya maksud yang dikandung olehnya?"
Si lelaki tertawa: "Inilah keramaian bagi kita. Sembilan orang yang menjabat ketua partai dari berbagai golongan telah salah lihat Lembah Makam Merpati menjadi Lembah Merpati. Dengan berani mereka sembarang memasukinya. Entah siapa yang telah mewakili kita membereskannya. Tentu saja, orang dari berbagai golongan menuduh Liu Djin Liong yang telah melakukan pembunuhan itu, beramai-ramai mereka telah memecah menjadi dua rombongan mencari orang she Liu. Apa ini bukan suatu keramaian yang lucu?"
Terdengar pula suaranya si perempuan:
"Mereka saling bunuh, ada hubungan apa dengan kita orang?"
"Dalam waktu belakangan ini," si lelaki menjawab, "Pekerjaan orang-orang kita sudah semakin teledor, sehingga telah menarik banyak perhatian dari kalangan Kang-ouw. Terutama seorang anak gembala yang bernama Koo San Djie, seperti ada permusuhan yang dalam dengan kita, selalu mancari setori saja."
"Bagaimana dengan anak gembala ini?" tanya si perempuan.
"Menurut penuturan orang, anak gembala ini adalah ahliwaris dari Si Setan tua Berbaju Ungu, bahkan ia masih mempunyai hubungan yang rapat dengan sepasang pendekar Merpati Liu Djin Liong. Si Baju Ungu dan Liu Djin Liong dua setan tua ini sangat lihay, ketua lembah takut juga jika kedua orang ini turut campur tangan, maka telah memanggil kita pulang."
Si perempuan tidak puas dengan keputusan ketuanya yang dianggap sebagai penakut, maka dari perkataannya juga sudah lain:
"Apa kita harus mengalah kepada anak gembala itu?"
Si lelaki kedengaran tertawa.
"Mana ada begitu mudah" Bocah itu pernah kulihat baru dua hari di muka, betul juga, ia mempunyai kepandaian yang lumayan, sampai Kim Ting Sa yang kawakan juga tidak dapat berbuat sesuatu apa."
Si perempuan seperti merasa tertarik dengan cerita ini, lalu ia bertanya lagi:


Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu, apa Kim Ting Sa mau tinggal diam saja?"
Perlindungan Si Selendang Merah
Terdengar suaranya si lelaki yang memberi penjelasan:
"Kim Ting Sa bisa dibuat main" Kini Kim Ting Sa telah dapat mencuri kitab Sari Pepatah Raja Woo. Liu Djin Liong tentu tidak mau mengerti. Ia tahu Liu Djin Liong tidak mudah untuk dilayani, maka telah menarik Raja Setan Srigala. Badak Tanduk Perak, Pay-hoa Kui-bo dan Hu-lan Lo-kway berempat untuk membantunya. Ia dan empat orang ini disebut orang sebagai Lima raja iblis dari dunia. Mereka mempunyai kekuatan yang lumayan juga."
Si perempuan seperti heran:
"Iiii, bukankah Pay-hoa Kui-bo telah bersedia menjadi kita punya duta utara" Mengapa dia turut berserikat?"
Si lelaki tertawa dingin:
"Orang-orang ini mana ada satu yang benar. Lima raja iblis dari dunia, mereka bukan saja tidak memandang mata kepada Lembah Merpati, malah ingin berserikat untuk menaklukkan dunia."
Si perempuan mengeluarkan suara dari hidung:
"Suatu impian bagi mereka. Tapi itu kitab Sari Pepatah Raja Woo adalah suatu barang yang berharga, mengapa kau tidak mau merebut?"
"Kau tahu apa?" sahut si lelaki, "Ketua lembah telah mempunyai rencana yang bagus untuk mendapatkan benda tersebut. Sekarang, biarkan saja mereka saling gigit, kita hanya cukup untuk menonton dahulu."
Koo San Djie sedang menemukan saat-saat yang gawat dalam mengatur jalan pernapasannya, lapat-lapat mendengar juga percakapan mereka ini. Pikirnya, jika tidak salah, yang lelaki seperti orang tua berbaju merah yang pernah dilihatnya. Tapi ia tidak berani terlalu memikir kepada percakapan mereka, karena ia takut akan bahaya Jalan Darah Masuk Api, seperti yang dialami oleh gurunya.
Jalan Darah masuk Api berarti salah melatih diri, salah satu istilah di dalam kamus persilatan.
Dua orang ini sedang asyik memperbincangkan urusan mereka.
Koo San Djie juga telah hampir selesai mengatur jalan pernapasannya, mendadak, di luar terdengar satu suara yang serak berkata:
"Sial......, sial...... aku si gembel yang tidak berumah, tidak bertanah, susah-susah mendapatkan kuil kecil ini untuk dijadikan tempat istirahat, tidak tahunya telah didahului oleh sepasang anjing jantan dan betina......."
Tidak sampai habis perkataannya ini, dua orang yang sedang asyik bicara tadi telah terbang keluar dan mengejarnya.
Sayang, Koo San Djie belum sampai pada waktunya, sehingga tidak sempat untuk mengejar mereka, jika tidak, tentu dapat mengetahui, di mana tempatnya Lembah Merpati mereka itu.
Baru saja orang-orang Lembah Merpati pergi, dari luar terlihat sebuah bayangan merah berkelebat dan langsung memasuki kolong ruangan meja sembahyang, tempat semedinya Koo San Djie.
Orang itu karena sangat tergesa-gesa, sampai tidak mempunyai waktu untuk melihat keadaan lagi, lebih-lebih tidak menyangka, jika di dalam kolong meja sembahyang ini bercokol seorang yang sedang istirahat. Maka perbuatan yang ceroboh ini telah mengakibatkan dua orang saling bentur.
"Aduh!" Sama-sama mereka berdua mengeluarkan suara tertahan. Ia hanya mengaduh, dan tidak terkena suatu apa, tapi Koo San Djie yang baru saja dapat mengumpulkan hawa pernapasannya menjadi satu, dengan susah-susah hawa itu hendak bersatu padu, gagal, kini telah berantakan kembali. Bersama dengan suara mengaduhnya ia sudah terjatuh celentang.
Ternyata, orang yang datang ini adalah si Selendang Merah. Sewaktu ia masuk, tidak menyangka ada orang, kini, melihat orang yang selemah ini terjatuh, hanya terkena senggolannya saja, ia menjadi kaget juga.
Tapi, pengalamannya memang luas, sebentar saja ia telah mengerti akan duduknya kejadian. Tentunya orang yang sembunyi ini sedang terluka dan sedang mengatur jalan pernapasannya. Maka dalam hatinya merasa tidak enak sendiri.
Maka, ia sudah lupa akan musuh tangguh berada di muka, diangkatnya badan orang ini. Setelah diperhatikannya dengan teliti, ia menjadi kaget lagi. Karena orang yang dibentur ini tidak lain ialah orang yang pernah dilihatnya bersama-sama Tju Thing Thing di dalam rimba.
Biarpun ia hanya bertemu sekali dengan anak muda ini, tapi karena hubungannya dengan Tju Thing Thing yang rapat, maka ia menjadi lebih tertarik, apa lagi jika dipikir-pikir, ialah yang menjadi gara-gara akan kejadian ini. Pada waktu itu sedang sibuk tidak keruan ini, mendadak di luar terdengar suara perempuan yang genit:
"Kau telah melihat setan barang kali. Mana ada orang di tempat yang terpencil ini?"
Terdengar pula suara yang lain berkata:
"Biarpun aku tua, tidak pernah salah. Benar! Aku melihat seorang wanita berbaju merah masuk ke dalam."
Perempuan genit tadi tertawa dingin:
"Hm, setiap hari, perempuan saja yang dipikirkan. Begitu melihat perempuan, kakimu sudah tidak dapat jalan lagi."
Orang itu tidak mau membantah perkataan kawannya, dengan maju setindak ia tertawa dingin.
"Siapa yang berada di kolong meja" Kenapa tidak mau lekas keluar?" bentaknya.
Orang tua yang galak itu tidak lain adalah salah satu dari orang undangannya Kim Ting Sa yang bernama Hu-lan Lo-kway. Yang perempuan adalah gendaknya bernama Lu Lu Hoa.
Tinggi kepandaian Hu-lan Lo-kway tidak dapat ditaksir, tapi kejelekannya, ia paling suka akan perempuan, ia tidak boleh melihat perempuan cantik, jika melihat perempuan elok ia sudah lantas seperti cacing kena abu.
Keahlian Hu-lan Lo-kway adalah dapat mengendus bau perempuan, tidak perduli di mana mangsa itu bersembunyi.
Selendang merah pernah berjalan kemana-mana, belum pernah takut kepada siapa-siapa juga, hanya terhadap Hu-lan Lo-kway ini ia takutnya setengah mati. Baru saja terlihat dari jauh, ia sudah cepat-cepat lari menyingkir darinya. Tapi tidak disangka matanya Hu-lan Lo-kway ada sangat lihay, sehingga dapat mencarinya sampai di situ. Setelah ia tahu tidak dapat lolos dari setan perempuan itu maka dengan tangan masih memayang Koo San Djie ia keluar dari tempat sembunyi dan berkata:
"Aku sedang memelihara adik kecilku yang terluka. Ada urusan apa dengan kau Hu-lan Lo-kway.......?"
Hu-lan Lo-kway yang melihat Selendang Merah yang cantik telah keluar dari tempat sembunyinya menjadi samakin cantik saja. Sekujur badannya sudah menjadi semakin lemas. Dengan membuka mulutnya yang besar ia berkata:
"Betul! Betul! Tidak mempunyai hubungan suatu apa denganku. Mari, mari kulihat akan lukanya adik kecilmu. Baru aku dapat membantu kepadamu."
Selendang Merah takut juga akan kejahatan hati mereka, maka dengan melompat ke samping ia berkata:
"Tidak usah San-cu mencapaikan diri."
Maksudnya, membopong Koo San Djie ke luar adalah agar Hu-lan Lo-kway tidak membikin susah kepadanya. Biar bagaimana juga Hu-lan Lo-kway adalah seorang ternama, tentu ia akan malu jika membuat susah kepada orang yang telah terluka. Tapi tidak disangka, maksudnya mendapat hasil yang sebaliknya.
Hu-lan Lo-kway telah salah menyangka Koo San Djie menjadi kekasihnya Selendang Merah maka, terlebih dulu ia bersedia membantunya. Melihat Selendang Merah lari menyingkir ia sudah berkata pula dengan membuka mulutnya yang lebar:
"Apa kau tidak percaya, aku tidak dapat menyembuhkan kepadanya?"
Lalu is menoleh kepada gendaknya Lu Lu Hoa.
"Biar aku mendapatkan si baju merah ini, tapi tidak akan lupa juga kepadamu," katanya sambil ketawa nyangir.
Lu Lu Hoa menjadi sengit:
"Cis, tua bangka tidak tahu malu!"
Selendang merah biar hatinya marah, tapi tidak dapat berbuat suatu apa. Tapi ia telah lama berkelana di kalangan Kang-ouw, ia tahu, bahwa bagaimana melayani orang sebangsa Hu-lan Lo-kway ini. Terhadap perkataannya yang kurang ajar tadi, ia pura-pura seperti tidak mendengar, malah ia mencoba tertawa dan berkata:
"San-cu memang suka bercanda. Jika betul dapat menyembuhkan adik kecilku ini, maka aku akan membawanya ke gunungmu terlebih dahulu."
Lalu ia sudah mendahului berjalan meninggalkan kuil kecil itu, diikuti oleh Hu-lan Lo-kway yang mengintil di belakang.
Hanya Lu Lu Hoa yang menjadi kesal setengah mati. Ia telah dapat melihat yang si baju merah ini ada lebih cantik berapa kali dari padanya, dengan tingkah lakunya Hu-lan Lo-kway, mana ia tidak menjadi cemburu" Maka semua kemarahannya sudah ditumpahkan kepada si Selendang Merah seorang.
"Dua-duanya sama-sama tidak tahu malunya!" ia menggerutu dalam hatinya.
Mendadak, terdengar teriakannya Hu-lan Lo-kway yang berjalan di belakang:
"Hei, kau telah jalan salah. Kau harus jalan dari sebelah kiri."
Selendang Merah seperti tidak mendengar, malah ia menambah kecepatan kakinya. Hu-lan Lo-kway seperti baru engah yang ia diakali olehnya. Maka dengan tertawa dingin ia berkata:
"Kau berani main gila di hadapanku?"
Bersama dengan putusnya perkataan, ia sudah melompat tinggi, bagaikan alap-alap yang mau menangkap mangsanya ia melayang-layang mengejar.
Tenaga Selendang Merah berada jauh di bawah Hu-lan Lo-kway, ditambah lagi harus membopong tubuh Koo San Die, maka, sebentar saja telah dapat dikejar oleh musuhnya.
Tapi Selendang Merah tidak mau gampang-gampang menyerah kalah, ia sudah mencabut senjata selendangnya bersedia mengadu untung dengannya.
Terdengar suara tertawanya Hu-lan Lo-kway yang menyeramkan:
"Apa kau ingin mengikat tali merah kepadaku?"
Dengan perlahan-lahan ia maju mendekati.
Selendang Merah dengan membentak keras melontarkan senjatanya, rantai merah menggaet tubuh lawan. Hu-lan Lo-kway tidak mau berbuat ceroboh, tangannya yang besar dikibaskan berapa kali, menepok pergi datangnya selendang.
Biarpun Selendang Merah tidak mempunyai kekuatan setinggi lawannya, tapi dengan menggunakan senjata panjang yang istimewa ia telah berusaha menahan datangnya sang lawan. Dengan menggunakan tenaga dalam, ia meluruskan selendangnya, mengarah muka Hu-lan Lo Kway.
Hu-lan Lo-kway tidak bergeming dari tempatnya, dengan tidak mengelak lagi ia menggunakan tangannya yang besar untuk menjambret datangnya selendang.
Selendang dilemaskan sedikit, sudah berbalik mau melibat tangan Hu-lan Lo-kway yang disodorkan. Jika saja ia kalah sebat.
Mana Hu-lan Lo-kway tidak menjadi gemas mendapat serangan ini. Kedua matanya menjadi merah, seperti mau memancarkan api, tangannya bergerak, bagaikan titiran-titiran membuat angin yang dahsyat, memaksa selendang berkibar-kibar naik ke langit.
Dengan tidak membuang ketika yang baik, Hu-lan Lo-kway menubruk maju lagi.
Cepat si Selendang Merah menarik kembali senjatanya, lompat maju lagi.
Selendang ditekuk, dibuat pentung dan mengarah pergelangan sang lawan.
Hu-lan Lo-kway tertawa dingin:
"Apa kau masih dapat lolos lagi?"
Gerakan badannya berobah menjadi semakin cepat. Sehingga si Selendang Merah menjadi pusing juga.
Ia hanya dapat main mundur, tapi biar bagaimana, ia tidak mau menyerah kalah ia, berusaha menjauhkan diri dari lawannya yang ganas.
Si Selendang merah yang sudah menjadi rada pusing hanya memperhatikan gerak badan musuhnya, tapi lupa, ia telah main mundur sampai di ujung tebing yang tajam. Waktu Hu-lan Lo-kway lompat menyerang lagi, dengan gugup ia lompat menyingkir, tapi hatinya menjadi kaget, sewaktu kakinya tidak dapat menginjak tanah. Berbarengan, dengan suara jeritan ngeri ia sudah terjatuh ke dalam jurang yang dalam, bersama-sama Koo San Djie.
Masih untung Si Selendang Merah mempunyai hati yang cukup tabah, biarpun bahaya sudah berada di depan mata, tapi ia tidak menjadi gugup. Dengan kedua tangannya masih membopong tubuhnya Koo San Djie, ia coba menenangkan pikirannya, tubuhnya dengan cepat meluncur ke bawah.
Berat tubuhnya Koo San Djie dipindahkan seluruhnya ke sebelah tangan, dan tangan yang masih memegang selendang panjang sudah dilemparkan ke atas dan tepat menyangkut pada salah satu dari pohon-pohon tua yang berada di situ.
Dengan cara beginilah, ia menghindarkan diri dari kematian. Tapi, dengan sebelah tangan memegang selendang ia juga tidak dapat berbuat sesuatu apapun.
Matanya diputar ke empat penjuru, dan masih untung baginya, ia dapat melihat sebuah batu menonjol yang tidak jauh dari tempat mereka bertengger. Dari batu ini terlihat sebuah goa gelap yang cukup untuk dua orang menjatuhkan diri di sana.
Dengan cepat, ia telah mengambil putusan untuk meloncat ke sana. Tidak perduli goa binatang atau manusia, yang penting adalah harapan hidup. Maka, dengan mengayun diri ia telah lompat.
Setelah sampai di sana dengan selamat, yang pertama, ia letakkan tubuh Koo San Djie yang menjadi beban berat baginya. Baru kini ia mendapat ketika untuk bernapas lega.
Sesudah ia istirahat sebentar dan mengatur jalan pernapasannya yang tadi sengal-sengal dengan perlahan-lahan diperhatikan goa tadi. Dilihatnya goa ini sangat dalam sekali, sebentar-sebentar ada angin dingin yang keluar dari situ, membuat ia yang merasainya menggigil juga. Dilihatnya Koo San Djie yang ada di bawah masih belum mendusin. Hatinya menjadi semakin pedih saja. Inilah kesalahannya tidak disengaja.
Biarpun pemuda ini tidak mempunyai hubungan dengan dirinya, tapi setelah sama-sama mengalami kejadian yang mengerikan ini, hatinya telah berobah sayang kepada si pemuda.
Ia adalah orang kuat di antara kaum wanita. Sedari meninggalkan gurunya, seorang nikouw yang tidak bernama, selalu ia mengembara seorang diri. Dengan mengandalkan kepandaian dan kepintaran, ia telah mengangkat nama, sehingga menyamai kedudukan Pay-hoa Kui-bo dan si Kepala Setan Srigala. Seumurnya, tidak pernah mendekati orang laki, ia paling tidak suka akan lelaki yang begitu melihatnya sudah menjadi lupa daratan, orang inilah yang paling tidak dipandang mata olehnya.
Ini bukannya ia tidak mempunyai perasaan, ia sebagai seorang wanita tetap masih memerlukan kasih cinta. Hanya ia belum dapat menemukan orang yang cocok dengan hatinya.
Ia sering keluar sebagai pembela kaumnya, seperti Tju Thing Thing yang waktu itu jadi setengah gila, meninggalkan gunung Pay-hoa, dengan kebetulan sekali telah menemuinya. Setelah mengetahui akan duduknya perkara, ia sudah menasehatkan meninggalkan Pay-hoa Kui-bo dan mencari Koo San Djie untuk membuat perhitungan. Sehingga sama-sama mereka menemukan Koo San Djie di dalam rimba. Tapi waktu itu juga Tju Thing Thing insyaf akan kesalahannya, bukan saja tidak menyalahkan Koo San Djie lagi, bahkan juga telah minta maaf kepadanya.
Dari kejadian inilah ia telah dapat memastikan, Koo San Djie bukannya orang yang berhati jahat, maka, di dalam keadaan bahaya tadi, di waktu tergantung ditengah-tengah tebing tadi, ia tidak mau melepaskan cekalannya.
Ia kini harus berusaha untuk dapat naik dari jurang ini, melepaskan diri dari cengkeraman bahaya yang belum terlepas sama sekali.
Mendadak, ia mendengar satu suara elahan napas yang panjang, suara ini demikian jelas, dekat sekali, membuat bulu romanya berdiri.
Si Selendang Merah telah dibikin kaget oleh suara elahan napas yang mendadak ini. Jantungnya memukul dengan keras, ia percaya akan ketajaman telinganya yang tidak pernah salah dengar. Tapi di tengah-tengah jurang yang tidak terlihat ujung pangkalnya ini, dari mana datangnya suara manusia"
Ia menahan napas, menunggu datangnya suara kedua kalinya.
Betul saja, tidak lama kemudian, suara, elahan napas tadi terdengar pula. Tapi kali ini telah diketahui dari mana datangnya suara, ternyata suara elahan napas itu keluar dari dalam goa yang dalam tadi.
Maka, ia memberanikan diri, masuk ke dalam goa untuk mencari dari mana datangnya suara ini. Diangkat lagi badannya Koo San Djie yang terluka, perlahan-lahan ia memasuki goa yang gelap.
Goa ini seperti bikinan manusia, biarpun gelap dan dalam, tapi keadaan jalanan sangat rata. Setelah ia jalan berliku-liku setengah lie jauhnya, keadaan goa telah menjadi semakin luas, dari atas menyorot sinar matahari.
Setelah ia memperhatikan keadaan di sekitar ini, dengan tidak tertahan lagi ia berteriak keras:
"Ouw......" Seorang tua berambut panjang yang awut-awutan duduk di tengah-tengah ruangan. Melihat Selendang Merah datang ke arahnya orang itu membuka kedua mata yang memancarkan sinar tajam, tapi kemudian, ia sudah merapatkan kembali.
Dilihat orang tua ini paling sedikit juga telah berumur lebih dari seratus tahun, jidatnya lebar, mukanya keren dan berwibawa.
Tapi, yang membikin Si selendang merah berteriak adalah kedua kakinya orang ini telah terbabat putus sama sekali, buntung, tangannyapun hanya tinggal sebelah. Ini masih belum cukup menyeramkan, yang lebih kasihan ialah, lehernya terdapat sebangsa kalung baja yang berantai, yang diikat sampai ke atas tembok goa. Jika dilihat dari keadaan ini, orang tua ini hanya dapat bergerak di antara lingkaran yang berjari-jari dua tumbak lebih.
Orang tua ini telah dikurung orang, tapi siapakah orang yang telah berbuat sekejam ini" Baru juga mau membuka mulutnya, ia telah keburu didahului oleh orang aneh itu.
"Siapakah kalian berdua, mengapa dapat datang kemari?"
Selendang Merah meletakkan tubuh Koo San Djie, sambil menjura ia memberi hormatnya, kemudian menjawab:
"Boanpwe mendapat julukan Selendang Merah, karena dikejar musuh dan terjatuh ke dalam lembah, beruntung dapat menggunakan selendang dapat masuk ke dalam goa ini."
Terdengar pula suaranya si orang tua tidak berkaki:
"Dan siapa pula yang di bawah itu?"
Dengan masih menghormat ia, menjawab:
"Adik boanpwee yang bernama Koo San Djie, ia terluka berat."
Terdengar perintahnya yang keren:
"Bawa kemari. Perlihatkan padaku!"
Selendang merah tidak membantah akan perintah ini, betul-betul ia membopong ke depan.
Si orang tua tidak berkaki, dengan tidak memeriksa lagi tentang keadaan lukanya, sudah menggerakkan tangannya yang tinggal sebelah di sekeliling tubuh Koo San Djie, diperhatikannya juga betul-betul paras muka anak muda itu. Setelah sekian lama baru ia berkata pula:
"Bagaimanakah tentang asal usulnya?"
Selendang merah tidak berani membohong, dengan terus terang ia berkata:
"Ia adalah ahli waris Si pendekar Berbaju Ungu dan juga murid pendekar Merpati Liu Djin Liong."
Si orang tua telah lama tidak keluar dalam dunia Kang-ouw, maka ia tidak tahu, apa yang disebut Pendekar Berbaju Ungu atau Liu Djin Liong itu.
Tapi mendengar apa yang disebut "Pendekar" tentunya bukanlah orang jahat. Maka ia memanggutkan kepalanya dan bertanya lagi:
"Bagaimana dengan kelakuan anak ini?"
"Ia bersifat pemurah dan budiman, tapi angkuh."
"Baik. Aku bersedia mengobatinya. Tapi aku mempunyai sedikit urusan yang harus ia lakukan, dapatkah kau mewakilinya berjanji?"
"Demi membalas kebaikan locianpwe yang telah mengobatinya, sudah seharusnya jika kami berbuat sesuatu apa. Tapi......"
Si orang tua membuka kedua matanya melihat sebentar anak gadis yang di depannya ini dan memotong:
"Tapi apa?" "Permintaan ini harus tidak melanggar prikemanusiaan, tidak mengandung kejahatan dan tidak lepas dari keadilan, tiga macam, boanpwe baru berani mewakilinya."
Si orang tua tertawa terbahak-bahak.
Dengan adanya beberapa perkataan kau ini, aku menjadi lebih tidak ragu-ragu lagi. Dengan terus terang, tadinya aku masih takut diakali kalian."
Berkata sampai di sini ia kembali menghela napas lagi.
"Jika tidak mudah percaya kepada orang, tidak mungkin terjatuh seperti ini......" seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Mendadak, ia seperti mengingat suatu apa lalu berkata pula kepada orang di hadapannya:
"Apa kau dapat mewakilinya berjanji menjadi ahli warisku juga?"
Selendang Merah masih tidak mengerti, tapi ia masih menjawab:
"Seperti telah kukatakan, jika tidak melanggar dari itu tiga pantangan, boanpwee akan berani bertanggung jawab."
"Baik. Mari kita segera mengobatinya."
Betul saja, si orang tua sudah mengeluarkan botol obat yang kecil dari saku bajunya, dan menuang pil-pil merah sebesar kacang tanah. Dengan mata memandang ke arahnya Selendang Merah, ia berkata:
"Betulkah kau sebagai saudara tuanya?"
Muka Selendang Merah menjadi merah. Tapi ia memaksakan menganggukkan kepalanya juga.
"Maka, lekas kau beri ia obat!"
Selendang Merah menjadi serba salah, bagaimana ia harus memberi makan pil itu kepada orang yang sedang pingsan. Baru kini ia sadar akan pertanyaan si orang tua tadi. Obat ini harus dikunyahnya terlebih dulu, baru dimasukan ke dalam mulutnya. Biarpun ia telah berumur lebih dari duapuluh tahun, tapi belum pernah ia mengadu mulut dengan orang lain. Maka, tentu saja tidak pantas baginya untuk memberi obat seperti ini.
Biarpun Koo San Djie masih terlalu kecil baginya, tapi badan si pemuda cepat tumbuh, seperti orang sudah dewasa.
Tapi, demi menolong orang ia tidak dapat memikirkan ini lagi. Setelah mengambil obat dari orang tua tidak berkaki tadi, dengan tidak berpikir lagi, ia menghancurkan dengan air ludah, lalu semuanya dimasukkan ke dalam mulut Koo San Djie.
Tidak lama kemudian, terdengar suara si orang tua:
"Lekas bawa kemari, agar dapat kusegera bantu menjalankan jalan darah nadi besarnya."
Dengan cepat Koo San Djie telah dibawa ke hadapan si orang tua. Siapa yang telah mengulur tangan tunggalnya, dengan kecepatan yang luar biasa, menotok duapuluh empat jalan darah yang terpenting di tubuh Koo San Djie. Ia hanya berhenti sebentar, lalu mengulangi pekerjaannya, sehingga semua jalan darah mencair kembali seperti biasa.
Baru kini si orang tua mengeluarkan elahan napas lega, merapatkan kedua matanya kembali dan terdiam.
Selendang Merah mencuri lihat, di atas kepala orang tua itu mengeluarkan asap yang mengepul naik. Inilah pekerjaan yang berat bagi seorang cacat.
Tidak lama kemudian, napas Koo San Djie sudah mulai terdengar lagi, semakin lama menjadi semakin keras dan kemudian normal kembali.
Sebenarnya, luka dalam Koo San Djie sudah hampir sembuh semua, sayang, Selendang Merah tidak melihat orang sedang melatih diri dan menubruknya, sehingga hampir saja menyebabkan ia mengalami bencana Jalan Darah Masuk Api. Masih untung baginya saat itu telah hampir selesai, sehingga tidak seperti gurunya.
Kini, setelah makan pil mujijat pemberian si orang tua dan juga dibantu menjalankan jalan darahnya, maka ia menjadi seperti biasa lagi. Tapi ia masih tidak berani segera berjalan. Dicobanya bernapas sebentar, setelah tidak merasakan sesuatu yang tidak benar, barulah ia berdiri dari tempatnya.
Dilihatnya ia kini berada di dalam sebuah goa, dengan si Selendang Merah berdiri disamping. Dengan segera ia mau membuka mulutnya, telah keburu dicegah oleh Selendang Merah, sambil menunjuk ke arah si orang tua yang sedang duduk memulihkan tenaganya.
Si orang tua mempunyai tenaga dalam yang sempurna, tidak lama kemudian, tenaganya telah pulih kembali, dengan membuka kedua mata, ia berkata:
"Apa adik kecilmu telah sadarkan diri?"
Selendang Merah cepat menjawab:
"Terima kasih atas bantuan Locianpwe yang berharga. Dia telah sembuh kembali."
Lalu ia memberi tanda dengan matanya kepada Koo San Djie dan berkata:
"Mengapa tidak lekas mengucapkan terima kasihmu?"
Koo San Djie tidak membantah. Cepat ia menekuk lutut memberi hormatnya.
Si orang tua juga tidak mau banyak cing-cong dengan segala peradatan ini, setelah membiarkan Koo San Djie memberi hormatnya, ia bertanya pula kepada Selendang Merah:
"Apa kau telah memberitahu kepadanya tentang perjanjian kita?"
Selendang Merah menjawab:
"Tadi, belum ada waktu untuk memberitahukannya."
Lalu ia menarik tangan Koo San Djie, dengan ringkas, dituturkannya perjanjian di antara ia dengan si orang tua.
Koo San Jit mengerutkan kening:
"Biarpun tidak ada pengobatan, jika hanya mengurus sedikit persoalan saja, tidak susah ditolak. Tapi, tentang menjadi ahli waris itu, agak sukar diputuskan, karena aku telah mempunyai dua guru......"
Si orang tua telah memotong perkataannya:
"Tidak usah kau berguru. Anggap sajalah sebagai orang tuamu, menyuruh kau melaksanakan urusannya. Apa yang kau buat susah?"
"Entah melaksanakan urusan apa?" Koo San Djie bertanya.
Si orang tua menggapaikan tangannya:
"Kau berdua kemari, aku akan bercerita."
Lalu ia mulai dengan ceritanya......
"Di dunia terdapat satu lembah, lembah yang tak mudah diduga...... Lembah ini mempunyai tanah yang subur dan ladang yang luas. Orang yang tinggal di sana tidak pernah mengenal apa yang dinamakan perobahan hawa karena iklimnya yang selalu itu-itu saja. Bermacam-macam tanaman selalu dapat tumbuh di sana, beraneka bunga mekar di sana. Siapakah yang beruntung dapat meninggali tempat ini"
"Mereka adalah keturunan orang-orang ternama dari ahala Ching yang melarikan diri dari raja mereka yang buas. Mereka bercocok tanam sendiri dan dimakan sendiri, mereka menenun sendiri dan dipakai sendiri juga. Segala kebutuhan mereka tidak usah mendapat dari luar lembah, hasil sandang pangan mereka sudah lebih dari cukup untuk penghidupan mereka.
Mereka telah dapat juga mewariskan ilmu kepandaian yang menakjubkan dan ilmu ketabiban kuno dari Pan Ku. Karena ilma ketabiban inilah, di antara pemandangan alam yang indah, mereka hidup tenang. Pemuda dan pemudi mempunyai otak yang pintar dan terang, orangtua dapat berumur panjang, lebih panjang dua kali umur mereka, jika dibandingkan dengan orang biasa. Orang yang tinggal di dalam lembah itu turun temurun telah lebih dari dua ribu tahun lamanya. Tapi biarpun demikian masih belum ada orang luar yang dapat mengetahui tempat letaknya lembah ini.
Koo San Djie dan si Selendang Merah hampir berbareng berteriak kaget:
"Lembah Merpati?"
Si orang tua membetulkan perkataan ini dengan memanggutkan kepalanya. Sambil menghela napas ia berkata lagi:
"Telah lebih dari dua ribu tahun, orang tidak mengetahui nama dari Lembah Merpati. Kini, dengan seumur kau orang ini telah dapat mengetahuinya, dari sini dapat dibuktikan bahwa rahasia lembah ini telah dapat dibocorkan orang. Dengan kesalahan ini saja telah cukup kesalahannya ketua lembah sekarang untuk menerima hukuman."
Si Selendang merah yang loncer mulutnya sudah nyeletuk:
"Locianpwee tentunya adalah orang dari Lembah Merpati."
Si orang tua tidak mengaku dan juga tidak membantah. Ia hanya terdiam di tempatnya seperti sedang membayangkan pengalamannya kembali.
Tapi Koo San Djie sudah mengutarakan kecurigaannya:
"Orang dari kalangan Kang-ouw, paling suka akan menjelajah ke berbagai tempat, para tabib kuno sering mencari obat-obatan di pegunungan, biarpun jurang yang bagaimana curamnya pun, sumber air yang bagaimana tinggi, tidak mungkin sampai lebih dari dua ribu tahun tidak ada yang menemuinya."
Si orang tua dengan tenang berkata:
"Pada asal mulanya, mereka yang lari dari tindasannya raja Ching terdiri dari bermacam-macam orang-orang pandai, di antara mereka ada juga yang telah memikirkannya sampai di sini, maka jalanan-jalanan di sekitar lembah ini dipasang barisan-barisan tin yang tidak kentara. Barisan ini tidak bermaksud untuk mengganggu orang, ia hanya menyesatkan orang, sehingga lupa akan tujuan arah. Setelah berputar-putar arah, setelah berputar-putar sekian lama, orang yang masuk ke dalam barisan tin itu akan kembali ke tempat asalnya lagi. Jika tidak diperhatikannya dengan seksama, tidak nanti orang dapat mengetahui bahwa ada barisan tin yang telah dilalui oleh mereka."
Koo San Djie berkata pula:
"Jika mendengar penuturan Locianpwee ini, orang-orang dari dalam Lembah Merpati terdiri dari orang yang baik-baik. Tapi, yang boanpwe lihat di kalangan Kang-ouw, mereka adalah orang jahat yang suka berbuat sewenang-wenang. Yang menjadi ketua lembah belum tentu juga orang yang dapat dipandang mata."
Si orang tua yang mendengar perkataan Koo San Djie mendadak berobah seperti marah, tapi tidak lama kemudian biasa kembali.
Dengan menghela napas ia berkata:
"Orang dari dalam Lembah Merpati tidak pernah mempunyai hubungan dengan dunia luar. Umpama betul ada kepentingan mendadak, menyuruh orang pergi keluar lembah, orang ini juga diharuskan menelan pil beracun terlebih dahulu, tidak mungkin mereka berani berbuat sewenang-wenang, karena tidak dapat kembali tepat pada waktunya, mereka dapat meninggal dengan tidak berbekas. Jika umpama betul mereka berani berlaku kurang ajar, sekembalinya ke dalam lembah juga akan menerima hukuman yang setimpal dari peraturan yang telah ada."
Ia masih kuatir Koo San Djie tidak mengerti dengan jelas, maka telah memberi penjelasannya!
"Di sana, jabatan tertinggi dipegang oleh ketua lembah dan di bawah ini terdapat sidang yang terdiri dari beberapa orang tertua di sana. Calon ketua lembah ditunjuk oleh ketua lembah yang lama, dan diserahkan kepada sidang ini, putusan yang terakhir berada di bawah kekuasaan sidang beberapa orang-orang tertua ini. Demikianlah turun temurun, tidak pernah salah pilih orang. Hanya akulah yang sudah picik, sehingga menyebabkan terjadinya kesalahan ini."
Baru sekarang Koo San Djie dan si Selendang Merah menjadi terkejut.
Dua-duanya mempunyai taksiran yang sama!
"Apakah orang tua ini yang menjadi ketua lembah yang lama?"
Si orang tua seperti telah dapat mengetahui pikiran mereka berdua. Dengan memanggutkan kepalanya ia berkata:
"Betul. Akulah yang menjadi ketua lembah lama. Karena salah mendengar pujian orang, aku salah menunjuk orang sebagai wakil ketua, sewaktu aku mengetahui akan kesalahanku ini, kejadian sudah tidak dapat ditarik kembali. Masih untung, aku dapat mempunyai pegangan yang terakhir, sehingga ia masih tidak berani berbuat dengan semau-maunya. Dari sebab inilah ia menjadi benci kepadaku, dan memotong kedua kaki dan sebelah tanganku, kemudian dikeram di dalam goa ini."
Ia menghela napas sebentar kemudian berkata:
"Aii, aku telah limapuluh tahun mengalami penghidupan bukan manusia di dalam goa yang gelap ini. Beruntung arwah leluhur masih melindungiku, sehingga membawa adik-adik kecil yang mempunyai pembawaan agung kemari, yang kurasa tidak akan mengecewakan harapanku."
Koo San Djie dengan membongkokkan badannya berkata:
"Silahkan locianpwee memberi perintah."
Si orang tua memanggutkan kepalanya.
"Kau perlahan-lahan dengarlah ceriteraku dulu."
Dengan tidak memberi kesempatan untuk Koo San Djie memotong ia melanjutkan ceritanya:
"Peraturan yang pertama dari Lembah Merpati adalah tidak memperbolehkan orang dari dalam lembah berhubungan dengan dunia luar dan juga tidak mengijinkan orang luar masuk ke dalam lembah. Tapi, sekarang binatang itu berani melanggar peraturan dan memanggil para kepala jagoan masuk ke dalam lembah. Dia berhati besar dengan kepandaian Lembah Merpati yang menakjubkan mau menguasai dunia."
Tiga Mutiara Mustika 5 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Bende Mataram 40
^