Pencarian

Lembah Merpati 4

Lembah Merpati Karya Chung Sin Bagian 4


Makam ini dibuat dengan sangat indah, tidak kalah menterengnya dari pada makam raja-raja. Dikelilingi oleh pohon-pohon Pek yang tinggi, dan di sekeliling pohon Pek ini telah penuh dengan berbagai macam pohon bunga yang indah-indah.
Air gunung mengalir, membuat sungai-sungai kecil yang membatasi tanaman bunga-bunga. Biarpun tempat ini tidak sedap untuk didengar sebagai Makam Merpati, tapi yang sebenarnya bagaikan sorga kecil saja.
Peti mati gelas yang besar, di mana terbaring ibu Tjeng Tjeng di tengah-tengahnya, dan di belakang ruangan peti mati gelas ini terdapat tempat pemandian, dengan airnya yang menyiarkan bau harum.
Obat yang digunakan untuk tempat pemandian ini telah didatangkan dari berbagai tempat. Dengan susah payah, Liu Djin Liong telah mengumpulkan obat-obatan mujijat yang dapat menahan pembusukan dan membuat kulit tetap menjadi halus dan sebagainya.
Ilmu Silat Sari Pepatah Raja Woo
Semua obat-obat ini untuk menjaga keutuhan dari badan raga ibu Tjeng Tjeng.
Roh Su Tjiat Kin, jika dapat merasakan ini, entah bagaimana senangnya, karena dia mendapat jaminan kelas satu.
Koo San Djie dan Tjeng Tjeng masuk ke dalam makam, terlihat oleh mereka Liu Djin Liong telah menyelesaikan pelajaran pagi, dan orang tua sedang berdiri di sana, seperti memikirkan sesuatu.
Liu Djin Liong jalan mundar mandir sambil menggendong tangan. Begitu melihat dua orang itu masuk, sudah lantas menggapaikan tangannya, memanggil mereka.
Sesudah mengajak Koo San Djie dan Tjeng Tjeng masuk ke dalam ruangan, lalu ditanyainya tentang pelajaran ilmu silat mereka masing-masing.
Ditanyanya juga tentang kepandaian yang tertulis dalam kitab Im-hoe-keng. Ia merasa di antara Im-hoe-keng dan Sari Pepatah Raja Woo, terdapat beberapa persamaan. Mungkin karena waktunya yang mendesak, sehingga Pendekar Berbaju Ungu belum dapat mengupas semua sarinya. Dan yang dapat dipelajari oleh Koo San Djie hanyalah tigapuluh persen saja.
Umpama Koo San Djie telah dapat memahami semua pelajaran yang tertulis dalam Im-hoe-keng, dalam pertempuran kemarin malam, belum tentu Liu Djin Liong dapat menahan serangan Koo San Djie.
Maka Liu Djin Liong telah menjelaskan inti sari dari kitab Sari Pepatah Raja Woo agar dapat dipadukan dengan Im-hoe-keng yang Koo San Djie miliki.
Biarpun Koo San Djie mempunyai muka yang ketolol-tololan, tapi sebenarnya kepintarannya melebihi orang lain, ingatan dan kupasannya juga cepat, sehingga membuat Liu Djin Liong terheran-heran.
Dengan kepandaian dasar yang Koo San Djie miliki, penjelasan-penjelasan dari Liu Djin Liong hanya bagaikan petunjuk-petunjuk saja, tidak seperti lain orang, harus menuruti segala sesuatu yang dilakukan oleh gurunya.
Setiap hari, Koo San Djie hanya memerlukan waktu sampai dua jam untuk meminta petunjuk-petunjuk dari Liu Djin Liong, juga telah mendapat kemajuan yang tidak sedikit. Maka Koo San Djie masih mempunyai banyak waktu untuk menemani Tjeng Tjeng bermain.
Hari ini, Koo San Djie setelah mendapat beberapa petunjuk dari Liu Djin Liong, lalu mengikutinya keluar. Liu Djin Liong seperti yang sedang bergembira, telah mengajak Koo San Djie keluar untuk menguji praktek ilmu silatnya.
Ia merasa di kalangan rimba persilatan sudah sulit untuk mencari lawan tandingan. Kepandaian Sari Pepatah Raja Woo yang merajai ilmu silat tidak mendapat kesempatan untuk digunakan. Hanya anak muda ini yang berada di hadapannya yang masih dapat dipaksa untuk melayani ilmunya.
Memang betul juga, keadaan Koo San Djie pada waktu itu, ia sudah berbeda jauh dengan masa ketika ia baru datang ke lembah itu. Dengan ilmunya Im-hoe-keng yang ditambah dengan Sari Pepatah Raja Woo, dengan tenaga yang didapatkan dari khasiatnya Kodok Mas dan Capung Kumala, ia sudah tidak takut kepada siapa juga.
Dua orang, tanpa ragu-ragu lagi telah mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya masing-masing. Biarpun mereka sedang memperaktekkan teori yang terdapat dari buku, tapi tidak kalah tegangnya dengan pertempuran biasa.
Demikianlah Koo San Djie melewati hari-harinya. Suatu hari di kala Koo San Djie dan Liu Djin Liong berlatih silat, Tjeng Tjeng bagaikan kupu-kupu saja telah terbang mendatangi.
Mulutnya telah mengeluarkan teriakan:
"Bagus kau kini sedang bermain sendiri. Sekarang kau telah lupa kepadaku."
Setelah sampai di sana, Tjeng Tjeng yang mempunyai dasar kepandaian yang lumayan, telah dapat melihat ayahnya telah menggunakan lebih dari tujuh bagian kepandaiannya. Inilah suatu hal yang belum pernah terjadi. Ia merasa heran juga tentang kepandaian Koo San Djie yang demikian pesat sekali.
"Oh, kepandaiannya sudah jauh lebih sempurna lagi."
Sewaktu ia menyaksikan Koo San Djie yang bagaikan macan galaknya maju menyerang dengan gencar hatinya telah terbuka. Umpama ia sendiri yang mendapat kemajuan dalam kepandaiannya juga tidak sering seperti ini.
Koo San Djie dengan mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya telah dapat melawan lebih dari tigaratus jurus. Kemudian tiga jurus yang terakhir yaitu ilmu pukulan geledeknya juga telah dikeluarkan.
Tapi kali ini ia menggunakannya dengan kekuatannya seperti lebih berkurang dari sebelumnya. Tapi sebaliknya, Liu Djin Liong harus menghadapinya dengan muka yang tegang, seperti berat untuk melayani tiga serangan itu. Setelah cukup berlatih, mereka berdua menarik serangan masing-masing.
Tjeng Tjeng merasa heran, maka dengan tidak mengerti ia bertanya:
"Ayah, mengapa tiga jurus ini yang dulunya hebat, kini sudah berubah seperti tidak berguna?"
Liu Djin Liong dengan tertawa menjawab:
"Anak tolol, dulu berpeta suara, itulah menunjukkan keberangasannya. Sekarang ilmunya telah maju, ia dapat menyembunyikan dengan baik, hingga tidak kelihatan keampuhannya. Sebenarnya, kedahsyatannya telah berlipat ganda, menjadi lebih dari dua kali."
Setelah berkata, seperti ia telah puas dengan latihannya. Liu Djin Liong telah pergi masuk ke dalam makam sang isteri almarhum.
Tjeng Tjeng melemparkan pandangannya ke arah Koo San Djie, tubuhnya yang ramping telah melompat tinggi dan menclok di atas sebatang tangkai pohon Pek.
Di antara mereka berdua, kini telah terdapat semacam bahasa. Satu gerakan tangan atau satu pandangan mata telah dapat mengeluarkan isi hatinya. Inilah bahasa yang terdapat pada mereka. Koo San Djie telah mengerti akan maksudnya, ia ingin mengadu ilmu mengentengi tubuh mereka.
Perasaan wanita selalu mau menang sendiri. Ia mengetahui, dalam hal ilmu pukulan, ia tidak ada harapan untuk dapat menandinginya. Tapi ilmu mengentengi tubuhnya yang dinamakan Kejaran Bintang Supah tentu di atas sang kawan.
Koo San Djie juga tahu, apa yang dimaksudkan oleh si gadis, tapi ia tidak mengatakan suatu apapun, dengan menarik napas, ia menyusul loncat ke tangkai. Sekali jambret, tangannya sudah mengarah dua cacing rambutnya Tjeng Tjeng.
Tjeng Tjeng dengan tertawa berkikikkan sudah mendahului loncat ke lain pohon.
Koo San Djie tidak ingin merebut kemenangan darinya, ia hanya mengiringi kehendak si gadis cilik saja. Ujung kakinya menutul sedikit tangkai pohon, bagaikan burung alap-alap mau menerkam mangsanya sudah menubruk kembali.
Tjeng Tjeng yang sedang mempertontonkan kepandaiannya Kejaran Bintang Supah, badannya yang kecil jatuh ke bawah, sehingga sampai hampir mengenai tanah. Kemudian, dengan mengibaskan lengan bajunya yang panjang, mengapurg ke atas lagi. Sebelah kakinya yang kecil menjejak sedikit di badan Koo San Djie, sambil tertawa nyaring ia sudah jumpalitan pergi.
Dua orang bagaikan halilintar saja, berapa kali mengelilingi tangkai-tangkai pohon dengan kecepatan yang dapat mengejutkan orang.
Koo San Djie dengan badannya yang sehat, tangannya yang kuat, telah meyakinkan ilmu pukulan dan perobahannya. Tjeng Tjeng sebagai wanita yang lemah, lebih menitik beratkan pada ilmu mengentengi tubuhnya.
Biarpun Koo San Djie telah mengeluarkan semaksimumnya Awan dan Asap Lewat di Mata, tapi masih ketinggalan sedikit.
Setelah mereka berdua bermain cukup. Dua-duanya sudah bersedia loncat turun ke tanah.
Mendadak, di atas tebing, di dekat mulut lembah terlihat sesosok bayangan berkelebat. Matanya Koo San Djie yang tajam dan badannya masih berada di atas tangkai pohon yang tinggi dengan cepat telah melihatnya.
"Ada orang datang!" katanya pada Tjeng Tjeng.
Ia membongkokkan badannya. Kedua kakinya dengan keras menendang tangkai pohon, badannya bagaikan panah saja melesat ke mulut lembah.
Tjeng Tjeng masih bersifat kekanak-kanakan yang masih senang akan keramaian. Begitu mendengar ada orang datang, badannya juga telah melesat mengikuti di belakang Koo San Djie.
Biarpun kecepatan dari dua anak muda sulit menandingi, tapi setelah sampai di mulut lembah, apapun mereka tidak dapat melihat.
Koo San Djie masih tidak percaya, dengan sendirinya dicarinya di sekeliling lembah ini, tapi apapun tidak terlihat juga. Maka dengan tidak memperdulikannya pula sudah menarik tangannya Tjeng Tjeng kembali ke dalam makam.
Sebenarnya Koo San Djie tidak melihat salah. Di mana memang telah datang seseorang. Tapi orang ini sangat licik, ia tahu tidak dapat lolos dari kecepatan kedua anak muda ini, maka ia telah bersembunyi di antara rerumputan sehingga dua orang yang mencarinya tidak dapat menemuinya.
Karena kelalaian inilah yang telah membawa banyak kesukaran bagi lembah Makam Merpati.
Orang tadi karena tertarik oleh tulang belulang yang ditinggalkan oleh Setan Gunung dan Kalong Wewe, maka telah salah membayangkan, bahwa orang dalam lembah ini tentunya mempunyai sifat yang kejam.
Dengan hati-hati, ia merayap naik ke atas tebing dan kebetulan dapat melihat dua muda mudi yang sedang berputar-putaran di atas pohon. Kegesitannya yang tidak ada taranya telah membuat orang ini menjadi kaget. Dengan sembunyi-sembunyi ia telah memperhatikan keadaan di sekitarnya dan terlihatlah olehnya sebuah batu, yang samar-samar seperti bertulisan Lembah Merpati dan beberapa perkataan. Baru saja ia hendak mendekati untuk melihat dengan jelas, atau sudah diketahui lebih dahulu kedatangannya oleh Koo San Djie.
Setelah menunggu sampai Koo San Djie berdua berlalu meninggalkan tempat itu, dengan tidak berani menoleh lagi ia telah lari ngiprit pergi dari tempat itu. Ternyata ia telah salah lihat, Makam Merpati menjadi Lembah Merpati. Anggapannya terhadap Lembah Merpati bagai sorga saja. Dua anak laki-laki yang sedemikian kecilnya dapat mempunyai kepandaian yang begitu tinggi, jika bukan orang dari Lembah Merpati, tentu tidak ada.
Demikianlah di kalangan Kang-ouw ia telah sesumbar pengumuman bahwa ia telah dapat menemukan letak tempat Lembah Merpati, yang seperti teka-teki itu. Dan mengatakan pula, bagaimana kejamnya orang dari Lembah Merpati yang suka membunuh orang dan mengumpulkan tulang-tulang.
Liu Djin Liong mengimpipun tidak akan menduga bahwa lembahnya yang tersembunyi dapat diketahui oleh orang. Koo San Djie lama berdiam di dalam lembah ini, sudah tentu tidak dapat mendengar kabar angin tersebut. Setiap hari kerjanya kecuali meyakinkan ilmu silat, tentu mengajak Tjeng Tjeng bergurau dan berjalan-jalan di sekitar makam.
Tjeng Tjeng yang sifatnya binal sudah dapat ditundukkan menjadi seperti seekor burung kecil yang jinak.
Koo San Djie biarpun belum pernah tunduk kepada orang, tapi kali ini ia telah menjadi tunduk akan segala perkataan Tjeng Tjeng. Inilah suatu kejadian yang aneh baginya. Di hadapan Ong Hoe Tjoe ia merasakan dirinya sangat kecil sekali, tapi di hadapan Tjeng Tjeng ia merasa dirinya terlalu besar.
Terhadap Ong Hoe Tjoe, rasa hormatnya lebih besar dari pada kasih sayang. Tapi, terhadap Tjeng Tjeng, kasih sayangnya lebih besar dari pada rasa hormatnya. Di hadapan Ong Hoe Tjoe, ia masih berani berbuat kolokan, tapi di hadapan Tjeng Tjeng ia selalu melulusi permintaannya.
"Cintanya terhadap Ong Hoe Tjoe masih ada biarpun telah bertambah Tjeng Tjeng di sampingnya. Karena pada waktu ini ia tahu tidak mungkin dapat menemui Ong Hoe Tjoe, dan lagi semenjak ia bertempur dengan Pelajar Berbaju Kuning, ia sudah merasai tenaganya masih belum cukup untuk dapat menandingi orang dari Lembah Merpati, maka yang terpenting baginya ialah meyakinkan lagi ilmu silatnya
Di dalam lembah Makam Merpati inilah dia mendapat kesempatan untuk meyakinkan ilmu yang lebih tinggi.
Pada waktu senggang, sering juga Koo San Djie mengeluarkan dompet yang bersulam sepasang merpati memain, pemberian sang kekasih. Dan mengeluarkan butiran-butiran biji merah untuk dimain-mainkan.
Suatu hari, ia sedang memainkan beberapa biji kacang merah yang mengkilap itu, mendadak, dari belakangnya, Tjeng Tjeng sudah mengulurkan tangan untuk merebutnya. Maka dengan sebat Koo San Djie sudah memasukkannya ke dalam kantongnya kembali.
Tjeng Tjeng memaksa meminta, tapi ia kukuh tidak mau memberikannya. Setelah setengah hari mereka berdua ribut dengan tanda gerakan tangan mereka seperti orang bisu, Tjeng Tjeng mendadak telah memonyongkan mulut kecilnya. Setelah melakukan beberapa gerakan tangan, ia lantas membalikkan badannya dan lari meninggalkan Koo San Djie seorang diri.
Artinya ialah: "Ternyata kau sedang memikirkan perempuan lain, maka sudah lupa kepadaku. Jika kau tidak memperdulikan permintaanku, maka akupun tidak akan memperdulikan kau pula."
Ia menyangka Koo San Djie bisa mengejar, sebagaimana biasa, tentu akan datang kepadanya untuk meminta maaf. Tapi kali ini tidak demikian halnya.
Ini bukannya Koo San Djie lupa. Ia memang sengaja berbuat demikian karena ia benci akan Tjeng Tjeng yang telah mengganggu lamunannya. Dan lagi ia juga sengaja melukai hatinya untuk menguasai pelajaran, baginya agar jangan terlalu manja sekali.
Tapi, setelah terjadinya kejadian ini, mereka dua-duanya merasa menyesal juga. Tjeng Tjeng ingin meminta maaf, tapi hati angkuhnya seorang wanita telah memaksanya tidak berbuat demikian.
Dan tentang Koo San Djie bagaimana" Ia yang sifat kerbaunya telah kumat, biarpun bersalah ia juga tidak mau menundukkan kepalanya kepada orang lain.
Demikianlah mereka berdua benar-benar telah mematuhi peraturan Liu Djin Liong. Masing-masing sudah tidak memperdulikan yang lainnya.
Pada waktu mereka berdua bergaul rapat, itulah waktunya Liu Djin Liong merasa berkuatir. Ia telah merasakan Koo San Djie, dengan perlahan-lahan telah merebut cinta kasih anaknya. Hatinya menjadi bimbang. Ia harus melarang atau melepas" Tapi ia juga tahu, tidak mungkin untuk melarangnya, tapi jika dibiarkan saja juga dapat mengganggu hatinya.
Ia juga cukup tahu, pada suatu waktu jiwa kesayangannya ini tentu akan terbang juga. Tapi masih tetap mengharapkan kejadian ini terjadi sesudah ia meninggal dunia.
Demikialah setahun telah berlalu.
Bagi Koo San Djie dan Tjeng Tjeng, waktu setahun itu terlalu cepat. Tapi bagi Liu Djin Liong, rasa setahun ini lebih lama dari setengah umurnya.
Maka, dengan segera ia sudah memanggil Koo San Djie menghadap dan berkata kepadanya:
"Kau di dalam lembah ini telah cukup setahun. Tapi kemajuan yang didapat olehmu sama dengan sepuluh tahun bagi orang biasa. Di dalam dunia Kang-ouw, mungkin tidak ada orang kedua yang dapat menandingimu. Maka tibalah saatnya untuk kau keluar lembah."
Koo San Djie mengetahui, untuk tinggal terus, di dalam lembah, juga tidak ada gunanya. Dan lagi ia masih mempunyai banyak urusan yang harus menunggu penyelesaiannya. Tapi biar bagaimana juga terhadap lembah ini, ia merasa berat juga, tidak terkecuali terhadap Tjeng Tjeng yang lincah dan binal. Dengan berat ia berkata:
"Supek, silahkan memberi perintah."
Liu Djin Liong dengan menganggukkan kepala, berkata:
"Yang pertama, kau harus dapat mencari dua pelayan penghianat itu. Umpama mereka berdua di luar berani berbuat yang tidak senonoh, kaupun dapat mewakili aku membereskannya."
Setelah berdiam sejenak ia meneruskan pula:
"Dan yang kedua harus kau perhatikan ialah, jika menemui seorang tua berbaju kuning dan berkupiah mas, inilah musuhku yang memiliki kepandaian tinggi yang tidak boleh dipandang enteng."
Koo San Djie menganggukkan kepalanya.
"Nah sekarang kau boleh pergi, selesaikanlah pesanku!" kata Liu Djin Liong pula.
Koo San Djie yang mendengar disebutnya si orang tua berkupiah mas, sudah menjadi terkejut hatinya. Bukankah orang ini yang telah merebut peta Lembah Merpati" Tapi ia tidak berani banyak bertanya. Setelah meminta diri dari Liu Djin Liong, ia sudah lantas meninggalkan tempat itu.
Setelah sampai di mulut lembah, ia membalikkan kepalanya, memandang untuk yang penghabisan kalinya. Ingin sekali ia dapat menemukan Tjeng Tjeng, tapi tidak terlihat mata hidungnya.
Maka, dengan mengeraskan hati, Koo San Djie sudah meninggalkan lembah yang tidak mudah ia lupakan dalam hidupnya.
Baru saja ia sampai di tepi sungai kecil, mendadak, di belakangnya terdengar suara teriakan yang seperti orang menangis:
"Engko San......"
Tubuh Tjeng Tjeng dengan cepat telah datang menubruk. Sambil menangis ia berkata:
"Engko San, apa kau masih marah padaku" Mengapa berangkat dengan tidak mengatakan apa-apa kepadaku" Telah lama aku ingin mencarimu, tapi......"
Koo San Djie telah menahan jatuhnya air mata hatinya. Dengan suara dipaksa ia berkata:
"Aku telah lama tidak marah kepadamu. Sama juga dengan pikiranmu, telah lama aku ingin mencarimu......"
"Apa selanjutnya kau masih mau melihatku lagi?" Tjeng Tjeng dengan cepat memotong.
"Sudah tentu, aku akan kembali kemari," jawab Koo San Djie, "Jika mendapat waktu yang senggang, sudah tentu aku akan menyambangi kau di sini."
Tjeng Tjeng seperti telah mengingat barang sesuatu, dengan menarik-narik tangan Koo San Djie ia berkata:
"Bukankah masih mempunyai seorang kawan wanita" Cantikkah dia itu?"
Koo San Djie menganggukkan kepalanya.
"Aku memang mempunyai satu enci angkat yang bernama Ong Hoe Tjoe, tapi sekarang aku tidak dapat mengetahui di mana dia kini berada."
"Dapatkah kau membawanya dia kemari?" tanya Tjeng Tjeng.
Umur Tjeng Tjeng masih terlalu muda, ia masih belum mengerti, apa yang dinamakan cemburu. Ia hanya mengharapkan dapat mempunyai banyak sekali kawan laki maupun wanita. Dengan cara demikian hatinya merasa gembira.
Dalam pelukannya Koo San Djie, Tjeng Tjeng entah berapa lama mengoceh ke barat dan ke timur. Tapi ia tahu, mereka akan segera berpisah, maka ia akan menjadi sendirian lagi dengan tidak mempunyai kawan pula. Dengan air mata berlinang-linang, Tjeng Tjeng kembali pulang ke dalam makam ibunya.
Koo San Djie untuk sementara juga harus memisahkan pikirannya yang kalut kacau itu, untuk melanjutkan perjalanannya.
Hanya dalam waktu setahun ini, kepandaiannya telah maju sangat pesat sekali. Tapi dalam setahun ini, hubungannya dengan dunia Kang-ouw telah terputus.
Dalam rimba persilatan, dari tahun inilah terbayang pembunuhan-pembunuhan besar-besaran.
Berbagai macam golongan dari rimba persilatan sedang mengharap-harapkan munculnya seorang yang dapat menolong runtuhnya dunia Kang-ouw.
Koo San Djie dengan tindakan lebar telah meninggalkan Makam Merpati, menempuh jalan pegunungan yang penuh lebat alang-alang setinggi manusia.
Di atas pundaknya telah membawa tiga beban berat. Dua tugas gurunya yang harus membersihkan pintu perguruan dan tugas membalas dendam dari keluarga Ong Hoe Tjoe, kesemuanya beban itu telah jatuh ke atas pundaknya.
Pemandangan pada musim rontok selalu membawa kemuraman saja. Ditambah dengan hatinya Koo San Djie yang sedang dalam keadaan pepat, sudah membikin anak muda kita menjadi lusu.
Angin dingin sebentar-sebentar meniup datang, telah membuat daun-daun kering bertambah berisik. Beberapa burung belibis yang lewat mengeluarkan suaranya yang sedih, menambah kekosongan dari hati si pengembara.
Dengan tidak terasa, hati Koo San Djie sudah menjadi bimbang pikirannya seperti telah menjadi kosong. Sementara penderitaan yang tidak terlihat telah datang mengganggunya. Keadaan di sekitarnya yang sepi membuat ia sedih atau perasaan sedihnya yang telah membuat keadaan menjadi sepi, ia sendiri juga tidak mengetahuinya.
Ia hanya merasakan, jika berada disamping Ong Hoe Tjoe, Tju Thing Thing atau Liu Ceng, hatinya baru dapat bergembira. Ia telah merasa perasaan ini telah berubah jauh, bila dibandingkan pada waktu ia masih menjadi bocah angon, juga keadaan sekarang ini. Pada masa kecilnya ia selalu lebih senang jika bersendirian atau dengan binatang-binatang angonnya, ia tidak suka atau lebih baik tidak bertemu dengan para majikan-majikannya. Tapi, kini jika ia kehilangan kawan, maka sepi dan kosonglah dunia ini baginya.
Ia telah mulai melambatkan langkahnya, agar dapat membayangkan, kejadian-kejadian hidupnya dengan lebih leluasa.
Tiba-tiba ia mendengar derap langkah yang cepat sekali. Ia mulai sadar dari lamunannya. Siapa gerangan orang yang lari begitu cepat" Entah urusan penting apakah yang menyebabkan mereka terburu-buru. Hampir saja ia sukar membedakan, derapan kaki atau burung-burung yang beterbangan.
Dari jauh, sebuah bayangan yang kecil keluar dari tikungan jalan pegunungan yang sempit.
Mendadak, Koo San Djie tergetar, seperti terkena aliran listrik yang mempunyai tekanan tinggi. Sebuah bayangan sekelebatan telah tercipta di dalam pikirannya.
"Apa bukan dia orangnya?"
Betul saja, yang datang adalah orang yang diduganya. Sesosok bayangan kecil telah lompat turun di hadapannya dan berkata:
"Engko San......"
Karena terlampau bergembira, sampai ia tidak dapat meneruskan perkataannya. Suaranya pun karena ketegangan sudah menjadi seperti menangis.
Tidak salah! Yang datang adalah Liu Tjeng.
Bukan main terkejutnya Koo San Djie, sambil menarik sebelah tangannya ia bertanya:
"Kau, mengapa keluar lembah?"
Dengan gaya yang patut dikasihani Tjeng Tjeng menjawab:
"Seperginya kau dari lembah, aku sudah menjadi sangat kesal. Hanya aku seorang diri, dengan tidak mempunyai kawan, semua keadaan tidak menyenangkan. Jika aku tetap dikurung di dalam lembah, pasti aku bisa mati kesal......"
Setelah menyusut air matanya yang tidak dapat ditahan lagi, ia meneruskan penuturannya pula:
"Aku telah meminta ijin kepada ayah untuk pergi menjelajah dunia Kang-ouw bersamamu, tapi ayah tidak mau mengijinkannya. Maka aku pergi dengan meninggalkan sepucuk surat kepadanya."
Lalu, ia menundukkan kepalanya. Air matanya sudah semakin deras mengucur keluar. Rambutnya yang hitam sampai mengenai janggutnya Koo San Djie.
Dengan perlahan-lahan, Koo San Djie mengusap-usap rambutnya yang telah penuh dengan debu, satu persatu dibetulkannya dari kekusutan. Kemudian, dengan setengah menasehatkan ia berkata:
"Adik Tjeng, paling baik kau pulang saja. Dengan mengambil tindakan ini, bukankah akan membuat berduka hati ayahmu?"
Tjeng Tjeng dengan menggoyang-goyangkan badannya berkata:
"Tidak. Aku tidak akan kembali ke dalam lembah. Ayahku sudah ada ibuku yang menemaninya."
Dalam hati Koo San Djie berpikir:
"Ibumu yang telah meninggal, mana dapat menemani ayahmu?"
Tapi ia juga tahu sifat Tjeng Tjeng yang keras, percuma saja untuk membujuknya. Maka dengan terpaksa ia telah mengajak Tjeng Tjeng berjalan bersama-sama.
"Marilah kita berangkat sekarang!" ia mengajak si gadis.
Tjeng Tjeng dengan menjebirkan mulutnya yang kecil mungil, berkata:
"Kita akan pergi kemana?"
Koo San Djie memandang wajah ayu Tjeng Tjeng, kini wajah itu telah menjadi terang kembali, masih terdapat beberapa butiran air mata, merasa sangat kasihan. Dengan perlahan-lahan disusutinya air matanya, kemudian baru menjawab pertanyaan itu.
"Yang pertama, kita pergi ke Cong-lam, untuk memberitahukan tentang kematian Yun Yan Tjie kepada ketua partainya dan juga menyerahkan pedang dan cap kumala milik Yun Yan Tjie.
Tjeng Tjeng menganggukkan kepalanya. Mereka lantas meneruskan perjalanannya.
Setelah memasuki daerah kota yang ramai, Tjeng Tjeng selalu tertawa dengan gembira. Ia dibesarkan di daerah pegunungan yang sepi, kecuali dengan beberapa orang di dekatnya, belum pernah ia mendapat kesempatan untuk bergaul dengan banyak orang. Tidak disangka, bahwa di antara manusia masih terdapat keramaian seperti ini, ia senang dengan segala keramaian, ia suka dengan segala barang. Tidak ada satu yang tidak aneh baginya.
Orang yang telah bosan akan kehidupan sudah menjadi pusing akan keramaian kota, mereka pada ingin pergi menyendiri di pegunungan untuk dapat hidup tenang, tidak ada gangguan.
Tapi, Tjeng Tjeng telah menjadi terpikat oleh keramaian, di dalam hatinya yang masih putih bersih mana mengetahui akan kejahatan manusia.
Inilah perbedaan yang nyata dari dua golongan yang hidup terpisah.
Tidak lama kemudian Koo San Djie dan Tjeng Tjeng telah memasuki daerah propinsi, Shan-sie, Gunung Cong-lam telah terlihat di depan mata mereka.
Mendadak Koo San Djie telah melihat bayangan orang yang ia kenali, lewat dari sela-sela gunung menuju ke arah barat.
Koo San Djie mengenali, ia adalah wanita berpakaian mewah yang menahan-nahannya di telaga Pook-yang dan mengaku bernama Oey Bwee Bwee.
Jika sengaja dicari, tidak mudah ketemu, tapi kini, dengan tidak disengaja telah dijumpainya. Dengan tidak sempat memberitahu kepada Tjeng Tjeng lagi, ia telah melesat mengejar bayangan tadi.
Tidak usah memakan waktu ia telah dapat mengejar dan menghadang di hadapannya, ia membentak:
"Perempuan jahat, bagus sekali perbuatanmu, ya!"
Oey Bwee Bwee yang melihat orang yang menghadang di hadapannya adalah Koo San Djie, jantungnya telah berdebaran keras. Tapi ia tidak menunjukkan perasaan hatinya, dengan berlagak pilon ia bertanya:
"Ada urusan apa" Mengapa kau begitu galak sehingga telah membuat orang menjadi kaget saja?"
Setelah berkata demikian, kedua tangannya ditaruh di atas dadanya, membuat tingkah seperti orang yang sedang berada dalam kekagetan.
Koo San Djie tidak mempunyai waktu untuk menyaksikan segala tingkah laku orang itu, dengan marah, ia telah mengeluarkan potongan kain kembang yang berwarna merah dan surat dadu, lantas dilemparkan di hadapan wanita itu. Sambil mempelototkan matanya ia berkata:
"Kau, dengan tanpa alasan telah menculik encie Hoe Tjoe, bahkan sudah berani membunuh ibunya yang tidak berdosa. Jika kau tidak dapat memberikan penjelasan yang tepat, aku akan mengambil jiwamu untuk gantinya."
Dalam hati Oey Bwee Bwee sudah bingung setengah mati, ia sedang dalam kesulitan, mengenai nasib dirinya. Ia telah mendapat batas waktu untuk segera kembali ke dalam lembah setelah melakukan tugasnya untuk mengejar seorang dan mengambil obat pemunah darinya.
"Kau jangan membuat orang menjadi penasaran. Siapa yang mempunyai nyali besar berani menculik Ciecie Hoe Tjoe mu?" katanya sambil berjingkrak-jingkrak.
Ia maju mendekati Koo San Djie, dengan lagak yang sangat manja, ia berkata lagi:
"Kau menyangka yang bukan-bukan. Beri tahu kepadaku, siapa yang dapat membuktikan bahwa tuduhanmu itu beralasan?"
Ia sudah mengulurkan tangannya dan menempel di atas pundak Koo San Djie, dan tidak hentinya digoyang-goyangkannya.
Koo San Djie kesal, lalu menyingkirkan tangan yang masih menempel dipundak. Hatinya menjadi bingung juga. Biarpun kejadian itu mungkin sekali orang ini yang melakukannya, tapi sukar sekali untuk ia mendapatkan bukti yang nyata. Dengan hanya mendapatkan potongan kain dan sampul surat saja tidak dapat memastikan benar tidaknya tuduhannya itu.
Oey Bwee Bwee yang melihat Koo San Djie telah menjadi bimbang, mana mau mensia-siakan kesempatan yang sebaik ini. Maka ia sudah bertindak maju dua tindak lagi. Hampir saja muka bertemu muka. Dengan membuat suaranya menjadi selunak-lunaknya, ia sudah memohon pula:
"Aku mempunyai urusan yang sangat penting sekali untuk mengejar orang, harap kau melepaskanku."
Pada waktu itu, Tjeng Tjeng telah sampai di antara mereka. Entah bagaimana, ia sudah menjadi tidak suka kepada wanita itu, lebih tidak suka lagi melihat bagaimana kelakuannya terhadap Koo San Djie. Maka dengan tidak sabaran ia sudah berkata:
"Koko San, lekas lepaskan dia."
Oey Bwee Bwee melihat ada orang yang membantunya sudah lantas berkata lagi:
"Adik kecil ini lebih baik dari padamu. Aku akan segera pergi."
Tjeng Tjeng menjebirkan bibirnya.
"Siapa yang menjadi adik kecilmu?" katanya sebal.
Dalam hatinya Oey Bwee Bwee berkata:
"Ah, anak kecil pun berani kurang ajar di hadapanku. Jika tidak ada dia di sini, kau akan mengenal kelihayanku."
Tapi dalam keadaan saat itu, ia tidak berani mengeluarkan perkataan sama sekali. Dengan loncat sedikit, ia sudah lari pergi jauh.
Koo San Djie tidak pernah takut akan kekerasan, tapi tidak dapat melawan si lemah. Ia tidak mau mengganggu orang yang telah meratap beberapa kali kepadanya. Belum juga ia dapat mengambil keputusan, itu waktu Oey Bwee Bwee telah lenyap dari pandangan matanya.
Tjeng Tjeng datang menghampiri kepadanya dan berkata:
"Koko San, orang tadi seperti siluman saja lagaknya. Aku benci sekali mengapa kau masih mau menahannya?"
Koo San Djie yang masih memikir sudah menjawab:
"Aku curiga, bahwa orang inilah yang menjadi pembunuh ayah bunda Ciecie Hoe Tjoe."
Tjeng Tjeng menjadi tidak enak hati mendengar perkataan ini.
"Aduh," katanya, "Aku tidak seharusnya membuat dia terlepas. Dilihat dari mukanya dia bukan orang baik-baik. Mungkin benar juga dia yang berbuat."
Koo San Djie tidak berkata apa-apa. Mereka lalu melanjutkan perjalanannya.
Rumah berhala Bu-hian dari partai Cong-lam, terletak di kaki gunung Cong-lam. Dua orang dengan kecepatan kakinya yang tidak dapat disamakan dengan orang biasa, sebentar saja telah sampai di sana.
Rumah berhala Bu-hian dengan megahnya nampak berdiri di hadapan mereka. Tjeng Tjeng dengan berlompatan sudah maju ke muka untuk terus masuk ke dalam rumah berhala itu.
Mendadak, dari belakang pintu telah menghadang dua tosu, dengan mengangkat kedua tangannya berbareng berkata:
"Kau anak siapa" Mengapa berani-berani sembarangan datang kemari?"
Perobahan yang mendadak ini telah membuat Tjeng Tjeng menjadi kaget.
"Ada urusan apa dengan kau?" Tjeng Tjeng membentak marah.
Ia belum pernah mengadu kekuatan dengan orang. Kecuali ayahnya dan Koo San Djie yang menjadi tandingannya, ia belum pernah bertemu dengan orang lain. Dan lagi, terhadap ayahnya dan Koo San Djie, ia dapat menyerang dengan leluasa dengan tidak perlu menjaga dirinya. Karena ayahnya dan Koo San Djie hanya main-main saja.
Demikianlah ia telah menyerang dengan tidak memandang enteng beratnya lagi, hanya dengan perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya, sehingga menyebabkan terhuyung-huyungnya kedua tosu itu, mereka jatuh ke belakang.
Koo San Djie yang berdiri di situ menjadi terkejut menyaksikan kejadian itu. Buru-buru ia maju ke muka dan memberi hormatnya sambil berkata:
"Aku yang rendah bernama Koo San Djie ada sedikit urusan untuk dirundingkan bersama ketua partai Yun Shia Tojin."
Dua tosu tadi menengok ke arah orang yang bicara. Dilihat seorang anak yang baru berumur enambelas tahun. Karena berpakaian gembala, biarpun bermuka terang dan berbadan besar, mereka tidak memandang mata. Dilihatnya pula Tjeng Tjeng, umurnya lebih muda lagi, paling banyak juga berumur empatbelas tahun, dengan rambutnya yang dikepang menjadi dua cacing kecil, gadis itu tengah berlompatan.
Kedua tosu ini sudah menjadi kesal.
"Ketua partai kami" Apa kau kira dapat sembarangan kau temui?" jawabnya adem.
Koo San Djie sudah menurunkan pedang pemberian Yun Yan Tjie dan berkata:
"Urusanku harus dirundingkan dengan ketua partai, harap dua totiang suka memberitahukannya."
Dua tosu tadi yang terkena pukulan Tjeng Tjeng dan terhuyung-huyung, kini mendadak melihat Koo San Djie sudah mengeluarkan pedang. Disangkanya orang yang mencari setori, maka mereka sudah menghunus pedangnya masing-masing dan membentak:
"Di sini bukan tempatmu untuk menjual lagak. Kau tidak dapat menemui ketua partai kami, segala urusan dapat kau selesaikan kepada kami."
Tjeng Tjeng marah dan berkata:
"Satu ketua partai apa bagusnya" Biarpun kalian tidak mengijinkan kami masuk. Aku pun akan menerjang masuk juga."
Mendadak, dua pedang telah dilintangkan dan menghadang di hadapan Tjeng Tjeng merupakan tanda tapak jalak.
Tjeng Tjeng yang biasa dimanja, melihat dua tosu ini berani menghalang-halanginya, sudah menjadi naik darah. Maka ia telah mengulurkan tangannya, jarinya yang kecil mungil mementil dua kali pada dua batang pedang itu sambil berkata:
"Dua batang pedang rongsokan begini mana dapat menakuti orang?"
Berbareng dengan perkataannya, dua pedang tadi seperti mempunyai sayap telah terbang ke udara.
Dua tosu itu menjadi ketakutan, lalu membalikkan badannya dan lari ke dalam.
Koo San Djie yang melihat kejadian itu telah menyesalkan kawannya:
"Kau tidak seharusnya mementil pedang orang. Kejadian ini mungkin dapat menerbitkan salah paham."
Tjeng Tjeng dengan memonyongkan mulutnya berkata:
"Habis mereka sangat menghina orang......" katanya.
Mereka terus berjalan masuk. Setelah melewati pekarangan yang luas, di depan telah tertampak undakan batu yang panjang. Seorang tosu bermuka brewokan dan berangasan rupanya kelihatan berdiri di situ. Di belakangnya berbaris empat tosu muda.
Melihat Koo San Djie dan Tjeng Tjeng berjalan mendatangi, si tosu brewokan membentak:
"Anak dari golongan mana yang telah berani kurang ajar di kuil Bu-hian?"
Tosu ini adalah adik seperguruan ketua partai Cong-lam bernama Yun Mong Tjie. Adatnya paling berangasan, kepandaiannya hanya berada di bawahnya Yun Yan Tjie. Karena mendapat laporan dari penjaga pintu, bahwa ada dua anak liar yang telah datang mengacau, maka ia sudah datang melihatnya.
Koo San Djie dengan kelakuan menghormat menjawab:
"Totiang jangan salah mengerti, aku yang rendah benar ada sedikit urusan yang akan dirundingkan dengan ketua partai di sini. Harap totiang sudi melaporkan tentang kedatangan kami."
"Kecil-kecil telah berani sedemikian tidak memandang mata!" Yun Mong Tjie membentak. "Ada urusan apa, katakan saja kepadaku, juga sama saja. Mengapa harus menemui ketua partai?"
Tiba-tiba, matanya melihat pedang yang tersoren di pinggang Koo San Djie, ia menjadi kaget. Cepat ia sudah loncat menghampiri pemuda itu, dengan maksud untuk ditegasi, kemudian bertanya:
"Dari mana kau mendapatkan pedang ini" Coba berikan kepadaku!"
"Karena pedang inilah yang telah menyebabkan aku datang kemari untuk menemui ketua partaimu," kata Koo San Djie.
Yun Mong Tjie yang mendengar telah beberapa kali anak muda ini hanya mau menemui ketua partai saja, hatinya menjadi marah.
"Berani kau tidak menuruti kehendakku?" demikian ia membentak.
Dengan sebat, tangannya telah diulur untuk merebut pedang.
Tjeng Tjeng sedari tadi sudah tidak sabaran berdiri di sebelahnya Koo San Djie. Ia sebal melihat Yun Mong Tjie yang sedemikian sombongnya. Hatinya sudah merasa tidak senang, kini melihat si sombong berani mencoba merebut pedang, dengan perlahan ia sudah mengibaskan lengan bajunya, mulutnya mencaci:
"Manusia goblok! Orang telah menghormati padamu, apa masih kurang puas" Orang dengan baik hati datang kemari untuk memberi kabar, tapi tidak disangka telah mendapat perlakuan yang sedemikian rupa!"
Yun Mong Tjie yang baru saja mengulurkan tangannya, sudah merasa ada angin yang mengarah tangannya, maka dengan cepat ia sudah menarik kembali tangan yang menyerang. Dilihatnya yang menyerang tadi adalah si anak perempuan berkuncir, hatinya menjadi panas. Dengan mempelototkan matanya ia sudah mengirim sebuah pukulan.
Telah puluhan tahun ia meyakinkan ilmunya, tenaganya tidak boleh dibuat gegabah. Pukulannya telah mengeluarkan kekuatan yang tidak terlihat, susul menyusul datang menyerang ke arah Tjeng Tjeng.
Si nona cilik dengan memoncongkan mulutnya yang mungil berkata:
"Apa artinya pukulan macam ini?"
Segera ia buka lima jari tangan kanannya, angin dingin yang tajam keluar dari lima jarinya, mengarah dada lawan.
Yun Mong Tjie terpaksa menarik kembali serangannya tadi. Brewoknya telah berdiri semua sakiug marahnya. Tapi biarpun bagaimana, ia kaget karena mendapat serangan tadi.
Koo San Djie yang takut Tjeng Tjeng mengumbar hawa napsunya dan dapat menerbitkan keonaran, maka buru-buru ia maju dan memisah. Ia berkata pada Tjeng Tjeng.
"Adik Tjeng, sabarlah. Biar aku yang menghadapi dia......"
Baru saja ia dapat menahan Tjeng Tjeng, di belakangnya telah terasa ada sebuah barang berat yang menekan.
Kepedulian Cong-lam-pay Kepandaian Koo San Djie pada waktu itu telah mencapai ketaraf yang tertinggi, dengan hanya tenaga ini, mana dapat melukainya. Dengan menarik sedikit napas Bu-kiat-hian-kang, ia melindungi seluruh tubuhnya. Dengan cepat ia berbalik dan berkata:
"Totiang tidak dapat diajak berunding, apa tidak menurunkan derajat saja?"
Yun Mong Tjie telah menggunakan tenaga penuh, menyerang dengan ilmu Cui-sim-ciang yang dibanggakan, masih tidak dapat melukai lawan, dia menjadi kememek.
Pukulan Cui-sim-ciang adalah kepandaian simpanan dari golongan Cong-lam-pay, tapi lawannya yang hanya seorang anak kecil saja, sedemikian mudahnya menerima pukulan ini dan masih bisa berbicara. Mana ia tidak menjadi kaget"
Mendadak, dari belakang terdengar satu suara yang seperti genta:
"Budha yang pemurah. Tuan kecil ini berapa kali menyebut ingin menemui pinto, entah ada urusan penting apakah?"
Itulah suara ketua partai Yun Shia Tjie sendiri yang berkata, keluar menghampiri Koo San Djie.
Koo San Djie mendongak, melihat Yun Shia Tjie sebentar, dilihatnya orang ini bermuka panjang, dengan jenggotnya yang melambai-lambai. Pembawaannya agung tapi perkataannya sangat ramah tamah.
Maka dengan segera Koo San Djie mengunjuk hormatnya dan berkata:
"Aku mendapat pesan yang terakhir dari Yun Yan Tjie untuk membawa beberapa barang yang harus diserahkan kepada totiang."
Yun Shia Tjie menjadi terkejut, senyumnya hilang dari mukanya. Dengan mengangkat tangannya ia menyilahkan Koo San Djie masuk.
"Di sini bukan tempat untuk berbicara. Silahkan siaoya berdua masuk ke dalam untuk kita bicara lebih leluasa."
Yun Shia Tjie minggir menyilahkan Koo San Djie berdua masuk.
Setelah sampai di dalam ruangan tamu, Koo San Djie sudah menyerahkan pedang dan tanda cap Yun Yan Tjie kepada ketua partaynya ini, Yun Shia Tjie.


Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu diceritakan juga tentang kejadian bagaimana Yun Yan Tjie mengejar dua murid durhakanya dan bagaimana diserang dari belakang oleh seorang pemuda.
Yun Shia Tjie sangat sayang kepada adik-adik seperguruannya, apa lagi terhadap Yun Yan Tjie. Begitu mendengar kabar tentang kematiannya yang mengenaskan, biarpun ia mempunyai pelajaran Budha yang dalam, juga tidak tahan untuk tidak mengeluarkan air matanya.
Setelah sekian lama Yun Shia Tjie bersedih, baru ia berkata:
"Terima kasih atas bantuan siaoya yang budiman. Dengan susah payah, jauh-jauh telah datang kemari untuk memberi kabar kepada kami. Tentang kesalah pahaman yang tadi, harap sioaya jangan taruh di dalam hati."
"Ah itu urusan kecil, tidak menjadi apa," sahut Koo San Djie merendah.
Lalu Yun Shia Tjie menanyakan tentang perguruannya Koo San Djie, dan telah diceritakan oleh Koo San Djie dengan sejujurnya.
Yun Shia Tjie menghela napas keheranan dan berkata:
"Guru yang ternama telah mendidik murid yang pandai. Tidak heran jika siaoya mempunyai kepandaian yang menakjubkan."
"Totiang memuji terlalu tinggi," jawab Koo San Djie merendah.
Yun Shia Tjie menghela napas, kemudian berkata lagi:
"Dalam beberapa tahun ini, dari berbagai macam partai telah keluar murid-murid durhaka yang berkhianat terhadap perguruannya. Maka golongan Siauw-lim-pay yang selalu dihormati oleh berbagai macam golongan, telah mengirim undangan ke berbagai macam partai untuk mengundang ketuanya masing-masing dan merundingkan tentang kejadian-kejadian ini. Jika siaoya ingin mengetahuinya, boleh juga turut pergi sekalian ke sana."
Mendadak, kentongan tanda bahaya telah berbunyi dengan nyaring sekali.
Yun Shia Tjie menjadi kaget:
"Apa siaoya masih mempunyai kawan lagi?" dia bertanya.
Koo San Djie menggeleng-gelengkan kepalanya, menyangkal.
"Mari kita pergi melihat!" mengajak Yun Shia Tjie.
Koo San Djie bersama Tjeng Tjeng mengikuti di belakang Yun Shia Tjie, berjalan keluar.
Dari jauh sudah terlihat ada seorang tauto yang beroman galak, tauto itu sedang berhadapan dengan Yun Mong Tjie.
Yun Shia Tjie menyebut beberapa kali perkataan memuji sang Budha, lalu berkata:
"Oh, yang datang itu Kiu Kong Tauto" Entah ada urusan apa, tiba-tiba membuat huru hara di sini?"
Kiu Kong Tauto dengan kasar menjawab:
"Ada seorang gadis yang bernama Oey Bwee Bwee, dengan tidak sebab musabab telah mati di gunung Cong-lam. Seluruh tubuhnya tidak terdapat luka. Tentang kepandaian yang dapat melukai orang dengan tidak berbekas, kecuali ilmu Cui-sim-ciang dari Cong-lam, orang lain tidak ada yang mempunyai lagi. Hm, hm, apakah kau Cong-lam-pay dapat membersihkan diri?"
Yun Shia Tjie mengkerutkan kening. Ia tahu bahwa Kiu Kong Tauto ini kejam dan galak, tidak mudah orang melayaninya. Kedatangannya ini berarti kesukaran baginya. Maka, dengan menahan kesabarannya ia berkata:
"Pernah apakah kau dengan nona Oey Bwee Bwee itu" Mungkin kejadian ini adalah salah paham. Pinto dapat menanggung, bahwa kejadian itu bukannya dari golongan kami yang melakukannya."
Kiu Kong Tauto tertawa dingin:
"Enak saja kau mencuci tangan. Terus terang kukatakan kepadamu, ini hari, jika kau tidak dapat menemukan pembunuhnya, aku akan membasmi seratus tosu dari golongan Cong-lam-pay."
Terdengar Yun Mong Tjie membentak keras:
"Kiu Kong, kau jangan mencari gara-gara saja. Apa kau kira Cong-lam-pay mudah dihina?"
Kiu Kong Tauto tertawa congkak:
"Telah lama aku mendengar tentang kemasyhuran ilmu pukulan Cui-sim-ciang, kini aku ingin melihat sampai di mana tingginya?"
Yun Mong Tjie yang berangasan sudah tidak dapat menahan sabarnya:
"Jika kau memang bermaksud mencari setori janganlah menyalahkan Cong-lam-pay berani menghina kepada kawan sendiri."
Yun Shia Tjie yang melihat keadaan ini menjadi runcing sudah lantas berkata:
"Tunggu sebentar......"
Kemudian, dengan sabar ia menghadapi Kiu Kong Tauto:
"Oey Bwee Bwee itu sebenarnya dari golongan apa" Mungkin juga dia mempunyai musuh" Dan musuhnya itu yang telah membunuhnya. Kami golongan Cong-lam-pay tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengannya, tidak mungkin kami akan mengganggu."
Kiu Kong Tauto yang masih marah-marah berkata:
"Yun Shia Tjie, kau harus bertanggung jawab. Terus terang kukatakan kepadamu, bahwa nona Oey Bwee Bwee ini mempunyai asal-usul yang tidak dapat dibuat gegabah. Jika sampai saudara-saudara seperguruannya marah, partaimu, Cong-lam-pay akan diubrak-abrik dan dihancur leburkan.
Betul-betul Yun Shia Tjie mempunyai kesabaran yang sempurna. Biarpun Kiu Kong Tauto sedari tadi sudah membentak-bentak, tapi ia masih tidak menjadi marah. Dengan kalem ia berkata:
"Tidak perduli, bagaimana kuatnya golongan seperguruannya, urusan tentu akan menjadi terang sendiri. Tapi, kau sudah memastikan bahwa golongan Cong-lam-pay yang berbuat, tidakkah keburu napsu?"
Kiu Kong Tauto tertawa iblis,
"Tidak usah kau banyak rewel. Dengan jiwanya ketua partaimu inilah untuk menggantikan jiwanya Oey Bwee Bwee."
Mendadak ia telah melancarkan pukulannya dari sebelah, memukul dengan hebat sekali.
"Omong kosong!" bentak Yun Mong Tjie, dari tadi dia menahan sabar.
Dari samping, ia sudah memapaki serangannya. Dua buah pukulan telah terbentur hebat, hingga mengeluarkan seruan keras.
Yun Mong Tjie kesakitan dan mundur dua tindak. Kiu Kong Tauto dengan mata beringas masih tetap berdiri di tempatnya.
Dua kali Yun Mong Tjie mendapat kekalahan pada hari ini. Karena marah, berewoknya sudah berdiri semua, dengan berteriak keras, ia sudah mulai menyerang lagi secara bertubi-tubi
Kiu Kong Tauto terkenal karena kekuatan tenaganya yang kuat. Tubuhnya berdiri di sana seperti gunung, hanya menggerakkan tangannya yang besar, ia menangkis serangan berantai Yun Mong Tjie. Dengan tenang, ia telah memaksa Yun Mong Tjie berputaran di sekitarnya
Yun Shia Tjie menyaksikan kejadian itu, ia sudah mengetahui bahwa adik seperguruannya bukan tandingan si Tauto jahat. Ia bermaksud untuk menggantikannya, tapi takut menimbulkan nama jelek Cong-lam-pai. Dan lagi yang penting, ia sendiripun belum tentu dapat memenangkan ini Tauto jahat.
Sementara itu, Yun Mong Tjie sudah tidak dapat menahan kekuatannya Kiu Kong Tauto, mendadak, ia memperdengarkan suara jeritan tertahan. Badannya tampak tergoyang-goyang dan mundur beberapa tindak.
Empat orang tosu yang berdiri di belakang sudah maju untuk memimpin Yun Mong Tjie.
Kiu Kong Tauto tertawa puas. Dengan lagaknya yang sombong ia berkata:
Orang mengatakan Cong-lam Sam-cie dapat menggetarkan dunia. Ilmu Cui-sim-ciang masing-masing belum mendapat tandingan. Tidak disangka hanya sebegitu saja....... ha, ha, ha......."
Yun Shia Tjie mengerutkan alisnya, lalu berkata:
"Jangan sombong. Pinto akan minta beberapa petunjuk darimu."
Ia sudah maju bertindak untuk mengadu peruntungannya.
Koo San Djie sejak tadi sudah memperhatikan segala-galanya. Dari kepandaian Yun Mong Tjie sampai Yun Shia Tjie dan Kiu Kong Tauto. Pikirnya, majunya Yun Shia Tjie ini masih bukan tandingan Kiu Kong Tauto yang kuat. Maka dengan perlahan ia sudah berkata:
"Totiang, silahkan istirahat saja. Biar boanpwee yang meminta beberapa jurus pelajaran darinya."
Yun Shia Tjie telah mengetahui, sepasang muda mudi ini tidak dapat dipandang enteng maka setelah menasehatkan agar Koo San Djie berhati-hati ia sendiri sudah mundur ke belakang.
Koo San Djie maju ke depan, sambil mengangkat kedua tangannya, ia berkata kepada Kiu Kong Tauto.
"Kepandaian taysu memang mengagumkan orang, hingga akupun ingin meminta beberapa jurus pelajaran dari taysu."
Kiu Kong Tauto melihat yang maju hanya seorang anak kecil, hatinya menjadi dongkol.
"Yun Shia Tjie, apa kau tidak malu mengantarkan seorang anak kecil ke depanku...... Hmm......!" katanya marah.
Ia kibaskan lengan bajunya, sambil membentak Koo San Djie:
"Lekaslah kau menggelinding pergi."
Tenaga kibasan lengan baju ini paling sedikit juga ada empat-limaratus kati, ia mengira, bisa membuat si anak kecil di depannya terpental jauh.
Tidak disangka, kibasannya ini tidak membawa hasil. Jangan lagi orangnya, malah baju si anak kecil itupun tidak bergerak sama sekali. Koo San Djie masih tertawa-tawa, berdiri di tempat semula.
Dalam terkejutnya, Kiu Kong Tauto kehilangan kesombongannya. Tapi ia masih penasaran, ia membentak:
"Kau pernah apa dengan Cong-lam-pay ini" Siapa namamu?"
"Aku bernama Koo San Djie. Di sini hanya menjadi tamu dari Cong-lam-pay. Semua urusan boleh kau perhitungkan dengan aku saja!"
Tjeng Tjeng yang melihat Kiu Kong Tauto yang galak ini sudah menjadi tidak puas. Sedari tadi ia sudah ingin mengusirnya.
Kini, ia melihat Koo San Djie masih menghormat dan menghadapi si Tauto jahat, sudah menjadi tidak sabaran. Dengan keras ia berkata:
"Koko San, lekas usir dia pergi, aku sudah sebal melihat tampangnya!"
Tapi teriakan ini telah menimbulkan hati jahat Kiu Kong Tauto. Dengan tertawa dingin, badannya sudah maju dua tindak, tangan kirinya memukul tiga kali, lengan kanannya mengibas empat kali, dua macam aliran yang keras dan lembek, menyerang dari dua jurusan
Koo San Djie sengaja, agar Kiu Kong Tauto tahu diri, maka Bu-kiat-hian-kangnya ditahan, tidak untuk menyerang, menunggu sampai dua aliran tadi datang dekat sekali, baru dilepas dengan sekuat tenaganya.
Kiu Kong Tauto baru saja kegirangan, karena melihat serangannya hampir berhasil, tidak disangka, akan adanya tenaga yang besar datang memukul balik serangannya. Maka ia sudah terpental jauh ke belakang.
Masih untung, lawannya tidak berniat membunuh, biarpun demikian, ia juga sudah menjadi kelabakan. Inilah yang pertama kalinya ia melihat ilmu yang seaneh ini, bahkan dikeluarkan oleh seorang anak kecil.
Hatinya menjadi kaget dan marah, tapi ia tidak dapat berbuat suatu apa, kepandaiannya masih terpaut jauh. Maka dengan rasa benci, ia menunjuk ke arah Koo San Djie dan berkata:
"Anjing kecil, hati-hati akan datangnya pembalasan."
Demikianlah, dengan membalikkan badannya Kiu Kong Tauto sudah angkat kaki dari situ dan turun gunung.
Yun Shia Tjie kagum bukan main, ia telah melihat dengan mata sendiri, bagaimana Koo San Djie menggunakan ilmunya yang hebat dan mengusir pergi si Tauto jahat tadi.
Ia melihat Yun Mong Tjie yang terluka parah, dengan muka pucat duduk sambil memejamkan kedua matanya, lalu memberi perintah kepada empat orang tosu:
"Lekas bawa susiok masuk ke dalam!" Empat tosu adalah murid-muridnya.
Koo San Djie cepat menggoyangkan tangannya.
"Tunggu!" ia mencegah.
Lalu, ia duduk di sebelah Yun Mong Tjie, dengan setengah berbislk, ia berkata sambil memegang bahunya:
"Totiang awas, aku akan segera membantumu."
Yun Mong Tjie sedang mengumpulkan tenaganya, dengan seluruh kekuatan yang ada, dia hendak memulihkan tenaganya yang rusak. Mendadak, dia merasakan datangnya tenaga bantuan yang segar, memasuki tubuhnya dan membantu mengalirkan jalan darahnya yang mampet. Maka, dengan cepat ia mengatur jalan darahnya, dan sebentar kemudian, luka dalamaya telah sembuh sama sekali.
Yun Mong Tjie membuka kedua matanya, dan dilihatnya yang menolong adalah bocah angon yang pernah dipersulit untuk menemui ketuanya. Maka dengan tidak terasa, ia menjadi malu sendiri.
Koo San Djie tahu akan perasaan hatinya, maka ia sudah segera meminta diri:
"Urusan telah selesai, aku akan segera meneruskan perjalanan."
Yun Shia Tjie dengan cepat berkata:
"Siaoya jauh-jauh telah mencapaikan diri untuk memberi kabar kepada kami. Dan lagi hari ini telah menolong kami mengusir musuh, sebenarnya adalah merupakan suatu pertolongan yang besar bagi Cong-lam-pay. Biar bagaimana juga harus menginap semalam di sini, pinto masih ada sedikit perkataan yang akan disampaikan kepada Siaoya."
Yun Mong Tjie biarpun berangasan tapi mempunyai hati yang jujur, maka ia juga turut menahan:
"Budi tidak dapat dilupakan. Harap Siaoya dapat menerima permintaan ketua partai kami."
Koo San Djie malu hati, dan menerima baik permintaan tersebut.
Dengan menggandeng tangan Tjeng Tjeng, ia sudah masuk kembali.
Pada malam itu Yun Shia Tjie telah menjamu dua tamunya.
Sewaktu makan-makan, mendadak Koo San Djie ingat urusan Oey Bwee Bwee yang telah mati misterius. Maka, ia sudah menanyakan urusan ini kepada Yun Shia Tjie!
"Tadi, Kiu Kong Tauto mengatakan bahwa Oey Bwee Bwee mati karena terkena ilmu pukulan Cui-sim-ciang, tapi totiang percaya, hal ini bukan perbuatannya dari Cong-lam-pay. Jika betul dia bukan terkena pukulan Cui-sim-ciang, tentu telah memakan sebangsa racun. Pada waktu aku menaiki gunung, Oey Bwee Bwee terburu-buru sekali, dan pernah mengatakan bahwa dia masih ada urusan yang sangat penting. Oey Bwee Bwee ini, jika tidak salah adalah orang dari Lembah Merpati. Tapi mengapa Kiu Kong Tauto datang membelanya" Apa Kiu Kong Tauto juga telah menggabungkan diri kepada Lembah Merpati?"
Yun Shia Tjie juga menganggap perkataannya Koo San Djie benar. Ia merasa tertarik juga tentang anak ini yang dapat mengetahui sedemikian banyak urusan tentang Lembah Merpati, dengan memanggut-manggutkan kepalanya ia berkata:
"Siaoya dapat menduga dengan tepat. Jika Oey Bwee Bwee adalah orangnya Lembah Merpati, tidak heran kalau Kiu Kong Tauto membelanya. Yang menjadi pertanyaan ialah, siapakah yang telah meracuni Oey Bwee Bwee ini"
Koo San Djie bingung mendengar pembicaraan Yun Shia Tjie.
"Totiang mengatakan tidak heran, kalau Kiu Kong Tauto membela Oey Bwee Bwee. Apakah yang menjadi sebabnya?" ia bertanya.
"Apakah Siaoya tidak mengetahui, meskipun letak dan ketua dari Lembah Merpati belum diketahui orang, tapi maksud tujuannya telah menjadi terang?"
Setelah terdiam sejenak, Yun Shia Tjie melanjutkan:
"Menurut penuturan orang, Lembah Merpati telah mengundang empat tokoh ternama dari golongan hitam untuk dijadikan duta-duta di empat penjuru. Juga telah mengunakan kawanan penjahat pelarian-pelarian dari berbagai golongan untuk dijadikan begundal-begundalnya. Kiu Kong Tauto berkelakuan jelek, sudah tidak heran, jika dia telah bernaung di bawah panji Lembah Merpati."
Setelah terdiam, dan melihat Koo San Djie tidak mengutarakan suatu apapun, ia sudah melanjutkan penuturannya tentang keadaan yang ia ketahui:
"Masih ada satu soal yang nyata, ialah belakang ini, banyak sekali orang terkemuka yang jujur telah kedapatan dibunuhi. Dan banyak juga anak-anak muda dari berbagai macam golongan telah berkhianat pada perguruannya, lari menuju ke Lembah Merpati yang hanya dalam khayalan saja. Cong-lam-pay yang sedang apes juga kerembet-kerembet dan dua orang muridnya yang murtad sampai menyebabkan kematian sute Yun Yan Tjie."
Setelah memberi keterangan yang panjang lebar berkali-kali Yun Shia Tjie menghela napas panjang.
Baru sekarang Koo San Djie berkata:
"Kejadian-kejadian ini aku juga mendapat dengar sedikit," jawab Koo San Djie. "Yang sukar ialah orang tidak dapat mengetahui, di mana letaknya tempat Lembah Merpati itu. Jika saja ada orang yang dapat memberitahukan jalan yang menuju ke dalam lembah, ini tidak sukar untuk ditumpasnya."
Yun Shia Tjie pernah menyaksikan kepandaian Koo San Djie tentu saja percaya akan perkataannya.
"Ada yang mengatakan, kini sudah ada orang yang akan dijadikan petunjuk jalan ke dalam Lembah Merpati. Maka telah direncanakan pertemuan para ketua partay dari berbagai macam golongan yang akan diadakan di kuil Siauw-lim-sie di gunung Siong-san. Jika siaoya tidak ada urusan penting, tidak ada salahnya untuk ikut pergi bersama-sama ke sana."
Koo San Djie yang mendengar ada orang yang akan dijadikan petunjuk jalan untuk ke dalam Lembah Merpati, tentu saja menjadi girang. Dalam hatinya ia berpikir:
"Jika telah diketahui letak tempatnya, urusan tentu akan menjadi beres."
Maka ia nyatakan bersedia untuk pergi bersama Yun Shia Tjie dan Yun Mong Tjie ke gunung Siong-san.
Hawa udara pada bulan sembilan...... tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin. Langit biru yang terang telah mengusir awan gelap yang hanya dapat mendatangkan hujan. Keadaan yang seperti inilah yang sedang dicari-cari orang perantau untuk pergi keluar kota.
Ruangan tamu dari kuil Siauw-lim di gunung Siong-san waktu itu telah penuh dengan berbagai macam orang yang datang bersembahyang.
Di antara demikian banyaknya orang sembahyang, tidak jarang terdapat juga beberapa tosu atau pendekar, dengan cepat mereka sudah diajak masuk ke dalam ruangan belakang oleh para pelayan. Hanya karena saking banyaknya orang yang datang, maka kedatangan orang-orang ini tidak begitu menyolok mata.
Setelah waktu mendekati lohor, para tamu telah banyak yang pulang. Dari jalan pegunungan, mendadak telah mendatangi dengan terburu-buru dua orang tosu dengan mengajak dua anak, laki dan perempuan.
Karena takut ketinggalan waktu, maka seorang tosu yang berewokan telah berkata:
"Para tamu yang bersembahyang kelihatannya sudah pulang, lebih baik kita menambah kecepatan jalan."
Ini memang yang sedang diharap-harapkan oleh si anak perempuan berbaju merah. Tidak sampai menunggu jawaban, sambil tertawa, ia telah mendahului terbang ke muka. Tidak terlihat bagaimana ia menggerakkan tubuhnya, bagaikan kupu-kupu saja ia telah lewat terbang dari samping dua tosu tadi dan menghilang di muka.
Si anak laki seperti tidak puas melihat kelakuan kawannya ini, maka ia dengan cepat telah memanggil.
"Adik Tjeng, tunggu sebentar......"
Ia juga telah menggerakkan tubuhnya lari untuk mengejar.
Dua tosu adalah orang ternama juga di kalangan Kang-ouw, tapi mereka masih tidak dapat mengetahui, dengan gerakan apa anak ini telah lenyap dari mata mereka. Hanya terasa ada angin yang lewat di antara mereka dan lenyaplah dua anak ini. Dalam hati meraka telah timbul perasaan jengah.
Dua tosu ini adalah Yun Shia Tjie dan Yun Mong Tjie.
Dua kanak-kanak adalah Liu Tjeng dan Koo San Djie.
Koo San Djie takut kepada Tjeng Tjeng yang sembrono nanti menerbitkan onar pula di kuil Siauw-lim, maka ia sudah buru-buru mengejar kepadanya.
Kuil Siauw-lim di gunung Siong-san adalah menjadi pusat dari kalangan rimba persilatan. Tidak henti-hentinya mengeluarkan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Inilah tempat bersembunyikan macan dan naga berkaki dua (pendekar).
Kali ini Siauw-lim-pay yang telah mengundang para ketua partay dari berbagai macam golongan, tentu saja telah membuat penjagaan yang kuat. Ialah untuk menjaga agar jangan sampai orang luar dapat mencuri dengar perundingan-perundingan mereka dan membuat malu nama baik Siauw-lim.
Dua anak tadi yang sedang barkejar-kejaran telah dapat diketahui oleh orang tingkatan tua dari golongan Siauw-lim-sie. Hweshio-hweshio itu kaget juga, melihat kepandaian ilmu meringankan tubuh mereka yang sedemikian gesitnya. Dan ia mengetahui juga ilmu kepandaian yang digunakan oleh kedua anak ini berbeda dari ilmu-ilmu partai yang diundangnya.
Orang tua ini adalah satu-satunya orang tingkatan tua dari Siauw-lim-pay yang bernama Kong Tie.
Tapi Kong Tie tidak mau menahan mereka saling kejar, ia hanya memperhatikan saja dari jarak jauh.
Mendadak, dari atas gunung, bagaikan burung saja terbang seorang yang telah menahan majunya dua anak muda yang sedang berkejar-kejaran itu. Dengan merangkapkan kedua tangannya di atas dada, ia berkata:
"Dua saudara kecil, harap berhenti sebentar."
Koo San Djie dan Tjeng Tjeng merasakan ada benda yang telah menahan dada mereka. Maka kedua-duanya telah menurunkan badan. Dilihatnya yang menghadang itu adalah seorang sepantaran umurnya dengan mereka, tapi berupa hweeshio yang berkepala gundul, bibirnya yang merah dan giginya yang putih terlihat karena ia sedang tertawa-tawa.
Tjeng Tjeng yang sedang enak-enak lari telah ditahan olehnya, sudah tentu menjadi tidak senang. Dengan menjebikan bibirnya ia berkata:
"Kami semua datang kemari untuk mengikuti perundingan, apa artinya kau menahan kami?"
Hweeshio kecil itu tertawa pula, dengan mengunjukan giginya yang putih. Katanya:
"Memang aku bersalah. Entah saudara-saudara apa telah mendapatkan undangan?"
Koo San Djie sudah mendahului Tjeng Tjeng berkata:
"Kami orang sedang mengikuti ketua partay dari Cong-lam-pay, Yun Shia Tjie."
Hweeshio kecil dengan masih menghormat berkata pula:
"Tidak salah. Bagaimana jika menunggu Yun Shia Tjie datang dan jalan bersama-sama."
Tjeng Tjeng tidak mau mengerti. Dengan berbuat demikian, ia merasa si Hweeshio seperti menghinanya. Maka dengan tidak senang ia berkata:
"Mengapa harus menunggunya" Apa kami orang tidak berhak mengikuti perundingan" Aku mau naik terlebih dahulu."
Dengan kasar ia mau menerjang naik.
Si Hweeshio kecil merasa susah juga menghadapi anak perempuan yang nakal ini. Dengan memalangkan kedua tangannya ia berkata:
"Aku juga mempunyai kesukaranku sendiri, harap adik kecil suka bersabar. Sebentar lagi Yun Shia Tjie totiang juga datang."
Tjeng Tjeng sudah mengibaskan lengan bajunya.
"Minggir!" bentaknya marah.
Ia dalam keadaan gusar telah mengeluarkan ilmu Sari Pepatah Raja Woo, ajaran ayahnya.
Hweeshio kecil telah merasakan tenaga dorongan dari si gadis cilik ini sangat keras sekali. Ia menjadi kaget juga, dengan cepat ia mengeluarkan ilmu memberatkan badannya, berdiri dengan teguh, dengan masih tetap tertawa ia berkata:
"Adik kecil, mengapa harus tergesa-gesa begini?"
Hweeshio kecil ini bernama Siauw Kong. Ia menjadi kepala dari golongan muda Siauw-lim. Ia sangat disayang oleh kakek dalam perguruannya, Kong Tie, yang sering memberi petunjuk-petunjuk kepadanya.
Biarpun Siauw Kong masih kecil, tapi kepandaiannya berada di atas dari susiok atau supek-supeknya.
Tjeng Tjeng dengan kibasannya masih tidak dapat menggeserkan tubuhnya Siauw Kong, dalam hati menjadi kaget juga.
Semua kejadian tidak lolos dari pandangan mata Koo San Djie. Ia takut Tjeng Tjeng nanti keterlepasan menggunai tangannya, maka dengan cepat sudah menyelak di antara mereka dan berkata:
"Adikku yang tergesa-gesa ini telah mengganggu suhu kecil, harap suka memaafkannya."
Siauw Kong sudah memperlihatkan pula giginya yang putih ketawa, katanya:
"Jika adik kecil ini tidak mempersalahkan kepadaku, aku sudah merasa beruntung sekali."
Lalu ia memberi hormat kepada Koo San Djie dan menanyakan nama jago cilik kita.
Koo San Djie merasa dari tangannya Siauw Kong yang menjura sudah mengeluarkan tenaga yang lembek, mendorong orang sehingga seperti mau terbang ke langit. Koo San Djie mesem. Sambil mengeluarkan sedikit Boe-kit Hian-kang ia berkata:
"Aku yang rendah bernama Koo San Djie. Dan bagaimana dengan panggilan suhu kecil?"
"Aku bernama Siauw Kong, harap siaoya dapat sering-sering memberi petunjuk-petunjuk yang berharga."
Kiranya, Siauw Kong sedang menjajal kekuatan Koo San Djie. Tapi, bagaikan mengukur dalamnya air laut, ia tidak mendapatkan suatu hasil. Demikian juga di antara mereka telah terjalin tali persahabatan yang pertama.
Biarpun Tjeng Tjeng telah marah, tapi melihat orang hanya tertawa-tawa saja dan mengalah, di dalam hatinya si lincah ini telah timbul rasa senangnya juga. Dan ia telah merasakan kepandaian atau tingkah laku dari si hweeshio ini boleh juga. Maka lenyaplah hawa marahnya.
"Mengapa dua totiang itu belum datang juga" Sungguh menjengkelkan sekali." Tiba-tiba Tjeng Tjeng berkata kepada Koo San Djie.
Siauw Kong yang menghadap ke depan gunung sudah menunjukkan tangannya dan berkata:
"Bukankah itu mereka telah datang?"
Betul saja, dua tosu dari Cong-lam dengan terburu-buru telah mendatangi ke arahnya.
Siauw Kong yang melihat betul mereka adalah Yun Shia Tjie dan Yun Mong Tjie sudah berkata kepada Tjeng Tjeng:
"Adik kecil jika ingin buru-buru, bagaimana jika kita bertiga berjalan lebih dahulu?"
Ia tadinya membelakangi pintu gunung. Dengan tidak membalikkan badannya lagi, kedua pundaknya hanya digerakkan sedikit, tubuhnya sudah melesat tinggi ke udara, bagaikan anak panah lepas dari busurnya sudah meluncur ke arah pintu gerbang.
Tadi ia tidak dapat menyelami kekuatan tenaganya Koo San Djie, kini ia mau mencoba kekuatannya mereka.
Tjeng Tjeng yang sudah tidak mau kalah, dengan menggunakan kecepatan mengejar bintang, sudah mau pergi menyusulnya, tapi keburu di tarik tangannya oleh Koo San Djie.
"Mari kita jalan bersama!" sang kawan mengajak.
Dengan mengikuti bayangan Siauw Kong, mereka mengintil di belakang. Tiga bintang baru dari rimba persilatan, dengan jarak yang tidak berubah, bagaikan tiga kapal udara meluncur naik ke atas gunung.
Di balik ini telah membuat orang tingkatan tua dari Siauw lim, yaitu Kong Tie Siansu mengangguk-anggukkan kepala, dangan tersenyum puas. Ia telah mendidik Siauw Kong sedemikian rupa, sehingga menurut perhitungannya akan dapat menandingi semua orang. Tidak disangka, hanya dua anak muda saja telah berada di atas Siauw Kong.
Tapi hati Kong Tie Siansu tidak bersifat jahat. Ia tidak memandang tinggi rendah, kalah menangnya barang sesuatu. Dan paling suka ia menuntun anak muda, inilah satu ujian bagi Siauw Kong agar ia dapat lebih tekun lagi belajar ilmu silatnya.
Kembali pula kepada Siauw Kong yang mengira dengan menggunakan tipu silat kebanggaannya yang bernama Goresan Pit melewati Sungai, dapat menundukkan dua lawannya. Tidak dikira sesudah sampai di depan gunung, sewaktu ia menoleh dan melihat ke belakang, dilihat Tjeng Tjeng dengan tangan menarik-narik Koo San Djie tunjuk sana tunjuk sini seperti orang yang baru melihat barang aneh saja. Tidak terdapat tanda-tanda orang yang baru habis berlari-larian. Sudah dapat diduga bahwa mereka masih belum menggunakan seluruh kepandaiannya, maka di dalam hatinya Siauw Kong sudah memuji.
Dengan segera ia sudah mengajak mereka memasuki ruangan tamu. Sambil menghadapi dua tamunya ia berkata:
"Silahkan duduk sebentar. Setelah menunggu Yun Shia Tjie totiang dua saudara, baru memasuki ruangan dalam."
"Memang sudah seharusnya," sahut Koo San Djie dengan menganggukkan kepala.
Tidak lama kemudian, Yun Shia Tjie dan Yun Mong Tjie sudah datang menyusul.
"Ombak yang di belakang selalu mendorong yang di depan, kepandaian kau berdua, telah membuat kami mundur teratur," kata Yun Shia Tjie tertawa.
Koo San Djie sudah bangun berdiri dan berkata:
"Totiang terlalu memuji orang."
Kemudian, Siauw Kong sudah mengajak mereka memasuki ruang dalam. Di dalam ruangan belakang, semua ketua partay dari berbagai macam golongan telah tiba.
Yang menduduki tempat tertinggi ialah ketua partai dari golongan Siauw-lim-pay, yaitu Hwi-kak Siangjin. Di kedua belahnya, terlihat para ketua dari lain golongan, seperti ketua partay Bu-tong-pay Ceng Yang Cinjin, ketua partay Ngo-bie-pay Hay Ouw Cie, ketua partay Tiam-cong-pay Ong Thian Ie, ketua partai Ceng-shia-pay Gouw Tiang Bun dan lain-lain.
Yun Shia Tjie sudah memperkenalkan Koo San Djie dan Tjeng Tjeng kepada para ketua partai dan berbagai macam golongan. Hwi-kak Siangjin dari Siauw-lim-pay tidak percuma menjabat ketua dari pertemuan ini. Melihat Yun Shia Tjie sangat memandang tinggi kepada dua anak kecil ini, tentu ada sebab-sebabnya. Maka, seperti menerima para ketua partai lainnya, ia telah memberi hormat.
Tapi yang lain-lainnya tidak sehormat ketua Siauw-lim-pay. Ada yang sudah lantas mengerutkan keningnya, ada yang menggoyang-goyangkan kepalanya dan ada lagi yang sampai tidak memperdulikan sama sekali. Kejadian ini membuat Yun Shia Tjie tidak puas dan menyebabkan perut Yun Mong Tjie ham-pir meledak saking mendongkol.
Gouw Tiang Bun yang menjadi ketua partai Ceng-shia-pay, mendadak dengan dingin berkata:
"Urusan yang sedemikian pentingnya telah mengundang dua orang anak kecil datang ke mari, sungguh keterlaluan sekali."
Ong Thian Ie, ketua partay Tiam-cong-pay menggoyangkan kepalanya berkata:
"Memang kami dianggap main-main saja?"
Yun Mong Tjie yang berangasan sudah tidak dapat menahan sabarnya. Dengan keras ia berkata:
"Ilmu sastra dan silat semua orang juga dapat mencapai ke tingkat yang tertinggi. Siapa yang tidak memandang mata kepada dua saudara kecil ini, percuma saja untuk menjabat ketua partai."
Ketua partai Ngo-bie-pay Hay Ouw Cie tertawa berkakakan:
"Jika demikian, tentunya Cong-lam Sam-cie adalah sangat memandang tinggi kepadanya."
Yun Shia Tjie berdiri dari tempat duduknya, dengan tenang ia menjelaskan:
"Boleh dikata juga demikian. Jika dihitung menurut tingkatan derajatnya tidak berada di bawah kalian yang duduk di sini semua. Terus terang kukatakan kepadamu, bahwa saudara kecil yang laki-laki ini adalah ahli waris satu-satunya dari locianpwe Pendekar Berbaju Ungu."
Tangannya sambil menunjuk ke arah Koo San Djie.
Sesudah keterangan ini keluar dari mulut Yun Shia Tjie, ruangan menjadi panik. Ada kaget dan ada juga yang tidak percaya.
Tentu saja mereka tidak percaya. Si Pendekar Berbaju Ungu telah lama tidak muncul di kalangan Kang-ouw. Paling sedikit juga sudah lebih dari empatpuluh tahun mereka tidak mendengar kabar beritanya. Semua orang juga telah menganggapnya ia telah meninggal dunia, tidak disangka dapat menghasilkan seorang murid yang masih kecil.
Koo San Djie melihat suasana repot karena hal dirinya, diam-diam merasa tidak enak, maka ia sudah maju ke tengah ruangan, sambil memberi hormatnya keempat jurusan berkata:
"Jika para locianpwe tidak leluasa, karena ada kami berdua disini, kami akan segera meninggalkan ruangan.
Tjeng Tjeng dengan tidak puas menyelak:
"Hm, berani tidak memandang mata kepada kita, perlu apa memandang mata pada, mereka" Baru mempunyai umur yang lebih tua saja sudah demikian sombongnya. Koko San, mari kita segera berangkat!"
Yang paling tidak enak ialah Yun Shia Tjie dan Yun Mong Tjie, mereka berdua juga sudah berdiri dan siap untuk meninggalkan pertemuan itu.
Sebagai tuan rumah, Hwi-kak Siangjin juga sudah jadi bingung. Ia tidak berhak untuk memaksa para ketua partai menerima dua tamu kecilnya. Dalam keadaan yang serba sulit baginya ini, tiba-tiba terdengar suara Koo San Djie membentak:
"Siapa yang sembunyi di sana?"
Jejak Iblis Memasuki Gunung Siong-san
Suaranya ditujukan ke atas. Meskipun sedang tidak puas atas perlakuan para ketua partay itu, tapi mata dan kuping Koo San Djie selalu berada dalam keadaan siaga. Cepat sudah dapat mengetahui bahwa di atas genteng ada orang yang mencuri dengar pambicaraan mereka.
Tjeng Tjeng yang dadanya penuh dengan perasaan kemurkaan yang tidak dapat dilampiaskan mendahului melesat ke atas genting.
Semua orang hanya melihat bayangan merah berkelebat dan lenyaplah anak perempuan kecil yang berada di hadapan mereka. Kini barulah mereka merasa kaget. Ternyata bahwa dua anak kecil ini mempunyai kepandaian yang luar biasa.
Berbareng pada waktu Tjeng Tjeng naik ke atas genteng, sebuah benda putih telah melayang masuk dan langsung mengarah Hwi-kak Sangjin.
Hwi-kak Siangjin tidak menjadi kaget, dengan menggunakan dua jari tangannya, ia menjepit benda yang datang ke arahnya tadi. Sewaktu ditegasi, ternyata itu adalah sebuah sampul surat.
Dengan sampul surat yang setipis itu, diterbangkan dari tempat yang jauh jaraknya, dengan mengeluarkan suara mengaung, bahkan telah membuat Hwi-kak Siangjin yang menerimanya tergetar olehnya, teranglah kepandaian orang yang datang sebagai mata-mata itu adalah sangat tinggi.
Di atas sampul surat tercetak sepasang burung merpati, ini surat hanya terdiri dari beberapa perkataan:
"Jika berani melawan Lembah Merpati. Itulah berarti membentur batu."
Sewaktu dilihatnya Koo San Djie dan Tjeng Tjeng, dua anak ini juga telah lenyap dari pandangan mata mereka. Dengan tidak terasa, jago Siauw-lim-pay itu telah menghela napas panjang. Kemudian diperlihatkannya surat tersebut kepada mereka yang hadir di situ.
Ketua partai Tiam-cong-pay, Ong Thian Ie dengan marah berkata:
"Ini berarti, Lembah Merpati telah menantang perang. Menurut pendapatku, sebaiknya segera kita berangkat ke sana esok hari, karena kita telah mengetahui, di mana letak tempat Lembah Merpati."
Ketua partai Ceng-shia-pay, Gouw Tiang Bun juga sudah lantas menyetujuinya:
"Aku tidak percaya, dengan tenaga kita yang telah tergabung boleh takut kepada Lembah Merpati."
Ketua partay dari Bu-tong-pay, Cek Yang Cinjin setelah memikir sebentar, baru mengeluarkan pendapatnya
"Dengan kepandaian yang telah diperlihatkan orang tadi kepada kita semua, ternyata Lembah Merpati adalah tempat berkumpulnya macan dan naga berkaki dua. Jalan yang terbaik ialah kita berunding dulu dengan mengumpulkan tenaga yang telah ada, kemudian baru kita menyerangnya secara serentak."
Yang diartikan dengan kata-kata macan dan naga berkaki dua adalah para jago-jago silat dari segala macam aliran.
Ketua partay Ngo-bie-pay, Hay Ouw Cie tertawa berkakakan dan berkata:
"Sebagai ketua partai masih dapat dibikin takut oleh selembaran kecil, apa tidak takut ditertawakan dunia. Cepat atau lambat, tokh harus bertempur juga dengan Lembah Merpati. Menurut pendapatku, pada waktu mereka sekarang belum berjaga-jaga, kita segera pergi menerjangnya."
Ong Thia Ie dan yang lain-lain sudah menyetujui usul ini:
Hwi-kak Siangjin dan Ceng Yang Cinjin yang bersifat sangat hati-hati, melihat lebih banyak orang yang setuju dengan usul ini, juga tidak dapat mengatakan sesuatu apa pula.
Demikianlah, pada waktu malam itu juga, mereka berangkat dan menuju ke tempat yang disebut Lembah Merpati.
Rupanya, sudah nasibnya rimba persilatan yang harus mengorbankan orang-orang ini, di sana karena kesalah pahaman, sehingga mereka jauh-jauh, mengantar diri untuk menerima kematian, satupun tidak ada yang terluput dari mara bahaya. Tertawalah ketua Lembah Merpati yang sebenarnya, karena melihat ketololan mereka.
?Y? Untuk sementara cerita Hwi-kak Siangjin dan kawan-kawan kita tangguhkan di sini dan menengok ke arah lain.
Mari kita mengikuti Koo San Djie, bersama-sama Tjeng Tjeng yang sudah mengikuti jejak bayangan iblis yang berani memasuki gunung Siong-san dan memberi peringatan kepada para ketua partay yang sedang berunding di dalam kuil Siauw-lim yang angker.
Koo San Djie melihat Tjeng Tjeng sudah mendahuluinya, maka ia juga membentangkan sayap baju, dan pergi mengikuti di belakangnya Tjeng Tjeng, dengan kecepatan yang tidak kalah darinya.
Dari jauh telah terlihat bayangan putih yang berlari-lari di antara jalan kecil pegunungan Siong-san.
Koo San Djie dan Tjeng Tjeng mana dapat begitu saja melepaskannya. Bagaikan dua bintang sapu yang jatuh ke bumi, mereka mengejar bayangan putih tadi. Sayang, sedari mulai lari, mereka telah ketinggalan sedetik, inilah yang telah menyebabkan mereka susah untuk menyusul.
Koo San Djie telah mulai menambah kecepatannya ilmu Awan dan Asap Lewat Di mata sampai sekuat tenaga, bersama-sama dengan Tjeng Tjeng, sebentar saja telah dapat melewati semua penjagaan gelap yang diadakan oleh Siauw-lim-pay. Sehingga menyebabkan mereka yang melihatnya pada meleletkan lidah. Tidak ada satupun dari mereka yang dapat menahan kepergian sepasang muda mudi itu.
Demikianlah mereka kejar mengejar sehingga sampai di luar daerah gunung Siong-san. Si baju putih yang lari di depan, kiranya adalah seorang wanita, karena tidak bisa meloloskan diri dari pengajaran Koo San Djie dan Tjeng Tjeng, dia membalikkan badan dan membentak:
"Budak kepingin mampus, mengapa mengejar-ngejarku?"
"Aku mau melihat ilmu kepandaianmu?" mengejek Liu Tjeng.
Tangan kecilnya disodorkan keluar, segera angin dingin yang lebih tajam dari jarum, dengan cepat menyerang lawan.
"Iiiiih!" wanita baju putih itu menjerit keheranan.


Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia cepat menghindarkan serangan ini, kedua tangannya tidak tinggal diam, cepat sekali, berbalik menjambret dua kuncirnya Tjeng Tjeng.
Si nona memindah-mindahkan kakinya, dua tangan bergantian menyerang sampai tujuh kali. Serangan-serangan ini, yang satu lebih cepat dari pada yang lain.
Lawannya, dengan baju putihnya yang melambai-lambai tertiup angin, dengan gesit menyingkir dari tujuh serangan ini. Tapi semakin lama, hatinya menjadi semakin keder. Ia merasa seperti mengenal jurus-jurus kepandaian ini. Ia heran juga, mengapa anak kecil ini dapat mempergunakan kepandaian perguruannya, bahkan lebih banyak perubahannya dan lebih sempurna"
Demikianlah wanita baju putih harus melayani serangan-serangannya Tjeng Tjeng, ia harus menggunakan seluruh kepandaiannya untuk dapat melayani si nona cilik yang lihay.
Waktu itu Koo San Djie juga telah sampai. Dilihatnya dua buah bayangan putih dan merah tengah berguling-gulingan. Ia dapat melihat kepandaian dua orang ini, seperti berasal dari satu perguruan atau setidak-tidaknya juga dari satu aliran. Hanya bedanya, perobahan-perobahan Tjeng Tjeng ada lebih sempurna dari pada lawannya.
Koo San Djie menyaksikan wanita baju putih itu mempunyai kepandaian lebih tinggi dari pada si pelajar baju kuning yang pernah diketemuinya di dalam pesanggerahan Liong-sun-say. Bajunya yang berwarna putih, demikian rapih sekali, sehingga kelihatannya sangat bersih. Tapi sayang, mukanya sangat pucat, biarpun ada sangat putih, seperti tidak mengandung darah sama sekali. Sikapnya dingin! Lebih dingin dari pada es, sehingga siapa yang melihatnya tentu akan mundur teratur. Inilah disebabkan dari sifat pembawaannya yang tidak mengenal kasihan.
Mereka berdua telah bertarung lebih dari sepuluh jurus, biarpun kenyataannya seperti seimbang, tapi sebenarnya Tjeng Tjeng sudah di atas angin.
Tiba-tiba, dari hutan yang lebat di sebelah kiri terdengar suara siulan yang panjang, wanita baju putih dengan cepat menyerang dua kali dan lantas loncat keluar kalangan, lari masuk ke dalam hutan, dengan kecepatan yang luar biasa.
Tjeng Tjeng hendak mengejar, sayang sudah tidak keburu ia hanya dapat membanting-banting kakinya karena amat mendongkol.
Terdengar Koo San Djie berkata:
"Orangnyapun entah telah pergi, buat apa kau menjadi sibuk tidak keruan?"
Tjeng Tjeng dengan cemberut menjawab:
"Apa kau tidak dapat melihat, bahwa kepandaian perempuan tadi ada sangat mirip sekali dengan kepandaian ayahku" Dia tentu mempunyai hubungan yang rapat dengan salah satu dari dua pelayan ayahku yang telah melarikan diri itu. Aku ingin menangkap dia dan meminta keterangannya. Mengapa kau tidak membantu menghalang-halangi untuk menangkapnya?"
Koo San Djie melengak. Ia juga diam menyesal, cepat ia menghibur:
"Sebelum ketahuan menang kalahnya, mana aku dapat mengetahui dia akan melarikan diri?"
"Hm, jika aku diberi sedikit waktu lagi, tentu dapat mengalahkannya. Kau percaya, tidak?" Tjeng Tjeng berkata dengan perasaan tidak puas.
"Tentu saja percaya. Anak mas dari pendekar Merpati, siapa yang tidak percaya?" Koo San Djie bergurau sambil tertawa.
Tjeng Tjeng juga jadi tertawa.
"Cis, siapa yang suruh kau mengumpak-umpak."
"Inilah keadaan yang sebenarnya. Siapa yang mengumpak?"
Koo San Djie dengan perkataan-perkataannya ini telah dapat menghilangkan rasa kesal Tjeng Tjeng. Sebentar ia, sudah menjadi riang kembali seperti sedia kala.
Setelah Koo San Djie berhasil membuat Tjeng Tjeng tertawa, mendadak, ia ingat perundingan tadi. Ia merasa tidak seharusnya pergi tanpa pamit. Biarpun betul, ada beberapa orang yang tidak menyukai kehadirannya, ketua partai Siauw-lim-pay, Hwi-kak Siangjin dan juga Yun Shia Tjie beberapa orang, tidak dapat dikatakan tidak hormat adanya. Maka, dengan menarik tangannya Tjeng Tjeng ia berkata:
"Mari kita kembali ke kuil Siauw-lim dulu. Biarpun kita tidak mau mencampuri urusan mereka, tapi kita tokh harus pamit dahulu."
Tjeng Tjeng sudah tidak suka dengan segala perundingan ini. Tapi Koo San Djie mau pergi juga, ia tidak dapat tidak turut pergi.
Maka mereka berdua telah balik kembali ke gunung Siong-san. Baru saja mereka menaiki kaki gunung, mendadak Tjeng Tjeng telah berteriak:
"Siapa itu yang datang?"
"Aaaaa, dia adalah Tiauw-toako," jawab Koo San Djie cepat.
"Dengan umurnya yang demikian tua, masa menjadi kau punya toako?" bertanya Tjeng Tjeng heran.
Koo San Djie hanya tertawa saja, ia tidak leluasa untuk menceritakan jalan perkenalannya.
Orang yang datang dengan cepat telah sampai di hadapan mereka. Koo San Djie dengan cepat telah maju menyongsong dan bertanya:
"Toako ada baik" Dari mana saja kau selama ini?"
Tiauw Tua dengan menganggukkan kepalanya sudah membalas hormatnya, katanya:
"Masih beruntung. Baik-baik saja."
Tapi matanya sudah memandang Tjeng Tjeng yang tidak dikenal. Maka Koo San Djie cepat sudah memperkenalkan mereka, katanya:
"Inilah...... toako Tiauw Tua."
Sebenarnya, ia sudah mengatakan locianpwe, namun dengan nama pendekar Merpati yang tinggi, maka anaknya memanggil toako kepada Tiauw Tua ini juga tidak keterlaluan, maka ia tidak merobah panggilannya menjadi toako.
Tjeng Tjeng dengan kedua kuncirnya di belakang bergoyang dengan lucu, telah memanggilnya
"Toako." Tiauw Tua dalam hatinya merasa lucu juga. Tidak disangka, dalam usia tuanya ia telah mendapat panggilan toako, dari dua orang anak yang lebih pantas menjadi cucunya.
Tapi waktu Koo San Djie memperkenalkan bahwa nona kecil adalah anak tunggalnya dari si pendekar Merpati hatinya merasa terkejut dan heran.
Maka ia merasa senang dengan panggilan toako dari Tjeng Tjeng, biarpun tidak kalah taruhan untuk memanggil toako dari Koo San Djie. Anaknya pendekar Merpati juga sudah pantas memanggilnya toako, apa lagi ada pertaruhan, maka paling tepatlah panggilan ini.
Koo San Djie tidak membuang waktu lagi, dituturkan tentang rapat perundingan di dalam kuil Siauw-lim.
Ternyata, Tiauw Tua lebih tahu diri dari padanya, setelah mendengar penuturannya, ia sudah berkata:
"Tidak usah pergi ke sana lagi, mereka semua telah berangkat menuju Lembah Merpati."
Koo San Djie juga kaget. Dengan rasa setengah percaya ia menanya:
"Apa betul mereka telah mengetahui letaknya Lembah Merpati?"
Tiauw Tua sambil menggoyang-goyangkan kepalanya menjawab:
"Untuk sementara, kau tidak usah memusingkan soal ini. Aku rasa, tidak semudah ini mereka dapat menemukan tempat Lembah Merpati. Aku masih ada urusan penting yang harus dirundingkan kepadamu."
Koo San Djie lantas menanyakan urusan penting itu.
Tiauw Tua tidak menjawab pertanyaannya. Ia sudah menarik tangannya dan berkata:
"Mari kita duduk-duduk dahulu, untuk membicarakannya."
Lalu, mereka bertigapun duduk. Dengan ringkas Tiauw Tua telah menceritakan, pengalamannya selama setahun ia berpisah.
Ternyata, meskipun di mulutnya Tiauw Tua mengatakan ia tidak percaya akan obrolan si hweeshio alis panjang yang telah meramalkan kesusahan-kesusahannya Koo San Djie, tapi ia juga sudah mengetahui, bahwa Koo San Djie yang masih belum mempunyai pengalaman, pasti memerlukan tuntunan. Maka ia sudah mengikuti Koo San Djie untuk membantu mencari kabar tentang encie Hoe Tjoe nya, sehingga sampai di pesangrahan Liong-sun-say.
Belakangan setelah mendapat kabar bahwa Ong Hoe Tjoe telah ditolong oleh orang lain dan ternyata Koo San Djie telah kuat untuk berdiri sendiri, baru ia berani meninggalkannya untuk pergi ke tempat kawan kentalnya, ini adalah orang yang telah menolong Hoe Tjoe dan kini menjadi gurunya. Orang itu adalah seorang nikouw (padri wanita).
Anak Murid Pay-hoa Kui-bo
Nikouw ini beserta si Pendekar Berbaju Ungu dan Sepasang pendekar Merpati yang menjadi ayah ibunya Tjeng Tjeng adalah orang-orang yang terkenal pada masa yang lampau. Dengan Tiauw Tua adalah setengah kawan dan setengah guru.
Tiauw Tua telah mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, setelah mendapat beberapa petunjuk yang penting dari si nikouw, dengan, cepat ia telah dapat meyakinkan ilmunya dengan masak. Hatinya yang masih memikirkan keselamatannya Koo San Djie, lalu meminta diri dari kawannya itu dan terus mencarinya Koo San Djie lagi.
Setelah beberapa lama ia menyerap-nyerapi kabar, ia mendengar Siauw-lim-pay telah mengundang para ketua partai dari berbagai macam golongan. Ia menduga Koo San Djie tentu datang kemari, dan betul juga ia berhasil untuk menemuinya.
"Koo San Djie mendengar Tiauw Tua telah menemukan Ong Hoe Tjoe, lantas menanyakan tentang keadaannya si nona:
"Toako apa tahu juga telah berapa lama dia turun dan kini berada di mana?"
"Soal urusan inilah maka aku mencarimu," Tiauw Tua menjawab. "Menurut penuturan, dia telah turun gunung dan menemukan seorang dari Lembah Merpati. Dia sedang ke utara mengejar orang tadi. Semua kabar ini adalah toa-sucie yang memberikan kabar kepadaku......"
Koo San Djie sudah lompat dari duduknya dan memotong pembicaraan Tianw Tua:
"Apa dia tidak mendapat kesukaran" Lebih baik kita segera pergi menyusulnya."
Tiauw Tua berkata lagi: "Di sebelah utara sana adalah daerah Pay-hoa Kui-bo (nenek setan seribu bunga). Jika Pay-hoa Kui-bo ini telah ditarik oleh Lembah Merpati, maka lebih sukarlah kita ini.
Untuk Tjeng Tjeng, yang dipentingkan hanyalah keramaian, apa lagi Ong Hoe Tjoe adalah orang yang sering disebut oleh koko San nya. Tentu saja terhadap keselamatan Ong Hoe Tjoe ia turut menguatirkannya juga.
Dengan menarik tangannya Koo San Djie, ia sudah berkata kepada Tiauw Tua.
"Toako, ijinkan kami berdua berangkat terlebih dahulu. Kau dapat menyusul kemudian."
Tidak sampai menunggu jawaban lagi, ia sudah menarik Koo San Djie dan terbang turun gunung. Ia takut Tiauw Tua nanti seperti Cong-lam Sam-cie lagi yang tidak dapat berlari cepat, maka ia sudah mendahului mengangkat kakinya agar dapat lebih leluasa melepas kecepatannya. Ia mana tahu, bahwa ilmu mengentengi tubuhnya Tiauw Tua tidak dapat dibandingkan dengan Cong-lam Sam-cie"
Melihat kemesraan dari dua anak ini, Tiauw Tua menggeleng-gelengkan kepalanya sampai beberapa kali. Ia tahu, mereka yang masih berumur kecil tidak dapat merasakan suatu apa, tapi setelah lewat satu atau dua tahun lagi, ombak asmara tentu akan saling susul.
Diceritakan Tjeng Tjeng yang menarik tangannya Koo San Djie, mereka lari meninggalkan gunung Siong-san, semakin lama menjadi semakin cepat. Mungkin juga ia sudah merasa bosan akan kesempatan penghidupan kecilnya yang hanya dikurung di dalam lembah, maka begitu ia mendapat kesempatan keluar, ia telah menggunakan kesempatan ini untuk melampiaskan sepuas-puasnya. Ia senang berlari-larian seperti ini. Ia paling senang di waktu terbang melayang melewati dua tebing yang tinggi.
Keluar dari daerah pegunungan adalah sebuah jalan raya. Koo San Djie takut dapat mengejutkan orang yang berlalu lintas, maka sudah mangendorkan langkahnya.
Biarpun demikian, ada juga orang yang melihat. Dari jauh, orang ini telah berteriak-teriak memanggil:
"Adik San, apa kau dapat menemukan Ong Hoe Tjoe?"
Koo San Djie melengak, setelah menegasi, ternyata yang memanggil-manggilnya adalah Tju Thing Thing. Hampir saja ia tidak dapat mengenalinya lagi.
Tju Thing Thing memakai pakaian yang rebo, make up yang berlebih-lebihan, rambutnya disisir tinggi, dengan lenggang lenggoknya sudah datang ke arahnya.
Apakah ini Tju Thing Thing yang pernah jalan bersama-sama dulu itu" Koo San Djie hampir tidak dapat mempercayai matanya sendiri. Baru saja mereka berpisah dua atau tiga tahun, ia sudah berubah sampai begini. Bukankah satu kejadian yang mustahil"
Tju Thing Thing yang melihat ia hanya melengak di tempatnya dengan tidak mengatakan suatu apa, sudah manjadi tertawa terpingkal-pingkal.
"Siapa yang kesudian menjadi kawannya?"
Ia merasa heran mengapa kokonya dapat mempunyai kawan yang seperti ini"
"Aduh! Baru dapat kawan baru, kau telah melupakan kawan lama."
Koo San Djie menggoyangkan kepalanya dan berkata:
"Bukan begitu. Apa kau telah...... ikut orang?"
Tju Thing Thing tertawa cekikikkan. Badannya sudah dijatuhkan ke arah Koo San Djie. Dengan tertawa ia berkata.
"Aduh! Kau telah membuat aku hampir mati tertawa. Dasar anak dusun yang tidak mempunyai pengalaman, aku punya sucie, sumoy semua juga berpakaian seperti ini. Mengapa telah dikatakan telah kawin?"
Yang diartikan sucie dan sumoy ialah kakak beradik seperguruan dari guru barunya.
Di depannya Tjeng Tjeng, Tju Thing Thing berani berbuat seperti ini, Koo San Djie sudah tidak puas, dengan perlahan ia mendorongnya dan berkata:
"Jangan begini. Mari kukenalkan pada seorang kawan......"
Tapi Tjeng Tjeng sudah keburu berteriak sambil membalikkan badannya:
"Aku tidak suka.......!"
Tju Thing Thing menambah goyang kibulnya, dia mendekati Tjeng Tjeng dan berkata:
"Aduh, adik kecilku, mengapa besar ambek?"
Tjeng Tjeng dengan muka merah padam dan membanting-banting kaki berkata:
"Jika kau berani sembarangan berkata di hadapanku, awas, akan kuhajar di sini."
Koo San Djie takut juga Tjeng Tjeng betul-betul melaksanakan gertakannya, maka akan celakalah Tju Thing Thing ini. Maka dengan cepat ia sudah maju memisah.
"Dia adalah Ciecie Tju Thing Thing yang menjadi murid Thian-mo Lo-lo, kita semua adalah orang sendiri."
Tjeng Tjeng dengan membuang muka sudah berkata:
"Pey! Biarpun muridnya dewapun, tidak nanti kuladeni. Tidak disangka, kau mencari kawan yang sebangsa siluman."
Koo San Djie takut, nanti Tju Thing Thing marah, maka dengan cepat menarik tangannya Tjeng Tjeng, supaya jangan mengoceh terus.
Tidak disangka, Tju Thing Thing tidak menjadi marah. Ia tetap dengan lakunya yang seperti tadi, dengan tertawa cekikikan berkata:
"Aduh, tidak disangka, pandangan adik kecilku ini begitu tinggi. Boleh juga, anggap saja aku sebangsa siluman. Kalian hendak pergi kemana?"
Tjeng Tjeng dengan mengibaskan bajunya, berkata dengan tidak menoleh lagi:
"Perduli apa dengan kami mau pergi kemana" Untuk selanjutnya, jangan kau panggil adik kecil lagi padaku."
Tju Thing Thing telah merasakan adanya sebuah tenaga yang mendorongnya. Maka dengan hanya memiringkan sedikit saja tubuhnya, telah terjatuh ke dalam pelukannya Koo San Djie, tangannya telah merangkul leher si pemuda. Mulutnya tidak mau berhenti berteriak-teriak:
"Aduh tolong...... adik kecilmu memukul orang."
Koo San Djie mengimpipun tidak akan menyangka, Tju Thing Thing berani berbuat sedemikian rupa. Dengan sikap sungguh-sungguh ia berkata:
"Berbuat aturanlah sedikit. Mengapa kau menjadi begini?"
Tju Thing Thing dengan perlahan-lahan memisahkan tubuhnya. Seperti tidak pernah berbuat apa-apa ia berkata:
"Baiklah. Jika kau tidak suka. Aku kini telah pindah masuk ke dalam golongan Pay-hoa Kui-bo, untuk belajar silat. Inilah maksud dari guruku sendiri."
Koo San Djie dengan kaget berkata:
"Pay-hoa Kui-bo" Baik atau jahatkah dia itu?"
"Tidak baik dan juga tidak jahat. Aku sendiripun tidak mengetahui dengan pasti. Yang perlu, aku belajar silat dari padanya, sudah cukup bukan?"
Tju Thing Thing menjawab dengan seenaknya.
Koo San Djie menjadi tercekat hatinya. Dalam hatinya berpikir:
"Sekali mengangkat guru berarti seperti orang tua. Mana boleh dia sembarangan mengangkat guru dengan tidak memikir-mikir lagi?"
Dari Pay-hoa Kui-bo ia teringat akan Ong Hoe Tjoe yang pergi ke utara mengejar orang. Hatinya menjadi kuatir juga. Lagi pula, ia sudah sebal, melihat Tju Thing Thing yang telah berobah seratus persen. Maka dengan mengajak Tjeng Tjeng yang masih monyongkan mulut, ia berkata:
"Adik Tjeng, mari kita berangkat!"
Rasa simpatinya terhadap Tju Thing Thing telah tersapu bersih, karena tingkah laku terhadapnya sekarang ini.
Tjeng Tjeng lebih tidak sabaran lagi. Tidak menunggu sampai habis perkataan sang kawan, ia sudah medahului melesat pergi.
Koo San Djie sudah dengan tidak ragu-ragu mengambil selamat berpisah kepada kawan lamanya yang telah berobah ini:
"Ciecie Thing Thing selamat berpisah."
Badannya juga bagaikan kilat saja telah lenyap dari pandangan mata Tju Thing Thing.
Kini tinggallah Tju Thing Thing saja yang masih berdiri bengong.
?Y? Apa betul Tju Thing Thing telah berobah sedemikian tidak tahu malu" Tidak! Ini bukan maksud hati aslinya. Ia telah menjadi korban dari Thian-mo Lo-lo yang telah menuruti sifat yang ceroboh dan kukuh.
Thian-mo Lo-lo masih tidak mau melepaskan keinginannya untuk membalas dendam kepada bekas kekasihnya yang telah pergi meninggalkannya, tapi ia tahu, dengan hanya mengandal kepandaiannya yang dapat dipelajari tidak mungkin untuk membalas dendam. Ia telah memeras seluruh otaknya mencari jalan untuk dapat melaksanakan niatannya ini. Tapi semua daya upayanya telah menemui jalan buntu.
Dengan badannya yang telah sampai di akhir usia, biarpun ia meyakinkan ilmu lagi, sampai matipun masih tidak dapat menandingi si Phoa An Berhati Ular, sang murid yang disayang Tju Thing Thing yang diharapkan dapat membantu dirinya belum tentu memenuhi harapan. Kepandaian si gadis tidak lebih darinya.
Waktu tidak mengenal prikemanusiaan, memakan usia manusia yang lengah, orang yang tidak bisa mempertahankan diri.
Masa subur Thian-mo Lo-lo termakan oleh waktu-waktu ini.
Demikianlah, dengan tidak memikir akan akibatnya lagi, dia membawa Tju Thing Thing ke tempat Pay-hoa Kui-bo, tokoh silat yang terkenal dengan ilmunya yang diberi nama Cit-ceng-siauw-hun-tay-hoat.
Cit-ceng-siauw-hun-tay-hoat adalah semacam ilmu gaib di jaman dahulu kala, dengan menggunakan alat tabuhan atau siulan, pikiran lawan bisa dapat dibuat kacau. Dan pada waktu inilah, musuh dapat dijewer atau diperlakukan semau-maunya.
Apa lagi, ilmu ini dimainkan oleh kaum wanita, dengan diperalat dengan aneka macam make-up yang berlebih-lebihan, dengan disertai goyang pinggul yang ditonjol-tonjolkan, musuh mana yang tidak jatuh di bawah kaki gaunnya"
Thian-mo Lo-lo menganggap langkah yang diambil olehnya itu sangat tepat.
Tju Thing Thing dipaksa berguru kepada Pay-hoa Kui-bo.
Tidak disangka, jalan satu-satunya inipun mengalami jalan buntu, kasihan, Thian-mo Lo-lo mengantarkan sang murid ke dalam lembah kegelapan dan lumpur kehinaan.
Sedari Pay-hoa Kui-bo dapat merampas gunung Pay-hoa, dia merubah tempat ini menjadi markas besarnya, menganggap dirinya sebagai orang yang tertinggi. Bukan saja ia memuji kepandaiannya yang tinggi, bahkan dalam soal obat-obatan, dan segala macam racun, dia mempunyai pengetahuan yang luas, semua murid perempuannya diharuskan memakan butir pil 'penenang hati', agar mereka dapat menimbulkan kembali sifat kebinatangannya.
Peraturan yang pertama ini dinamakan olehnya 'Pengembalian, asal asli manusia`.
Inilah peraturan gila! Kemudian, diantarkannya mereka ini kepada muridnya yang telah masuk terlebih dahulu, katanya diuji. Setelah lulus dalam ujian, baru dapat diterima menjadi muridnya.
Ujian gila! Tju Thing Thing berguru pada Pay-hoa Kui-bo, ia mempunyai kepandaian yang lumayan, lagi pula mempunyai rupa yang cantik, maka tidak sukar untuk ia berguru. Tidak lama kemudian, ia telah lulus dan diperbolehkan turun gunung.
Biarpun obat-obatan telah membuat ingatannya setengah linglung, tapi ia bersifat manusia. Semua gadis-gadis tidak akan lupa kepada laki-laki yang pertama dapat memasuki hatinya. Tidak terkecuali juga dengan Tju Thing Thing ini.
Tidak pernah ia lupa kepada Koo San Djie. Ia seperti dapat hidup kembali, jika pada waktu mengingatnya. Tidak disangka, orang yang setiap hari dipikirinya telah berbuat sedemikian kejam, dalam anggapannya sendiri, tidak memperhitungkan kelakuannya yang menyebalkan.
Koo San Djie telah menggandeng si kepang dan pergi meninggalkannya. Mungkinkah untuk selama-lamanya.
Tju Thing Thing menangis.
Ia tidak dapat menggunakan pikirannya, mengapa orang sedemikian membenci kepadanya" Lebih-lebih lagi, ia tidak dapat memikirkan, mengapa ia tak dapat menjadi berubah sedemikian rupa"
Ia menggigit jari, berdiri terpaku. Dengan hanya dapat memaki di dalam hati, ia melihat bagaimana dua bayangan kecil itu lenyap dari pemandangan.
Ia benci Koo San Djie yang tidak mengenal cinta, ia benci Tjeng Tjeng yang tidak memandang mata.
Tidak salah jika orang mengatakan 'Di belakang Cemburu, Datanglah Cinta, Dibalik Cinta Timbullah Duka, Di akhir Duka Keluarlah Kebencian".
Ia cemburu kepada Tjeng Tjeng, karena cinta kepada Koo San Djie. Karena ia cinta kepada Koo San Djie maka ia berduka memikirkan nasibnya yang tidak dapat sambutan dari Koo San Djie, maka ia telah membencinya.
Mendadak, ia menangis seperti gila. Ia tertawa karena duka. Ketawanya lebih seram dari pada tangisnya, sehingga dapat membangunkan bulu roma kepada siapa yang mendengar.
Ia tertawa, tertawanya telah dapat memikul sebagian kedukaannya.
Mendadak, ia tertawa dingin. Angkara murka telah meliputi dirinya. Ia mengangkat kakinya dan terbang mengejar.
Koo San Djie takut Tju Thing Thing dapat mengejar dan mengganggunya pula, maka setelah lama juga mereka tancap gas, baru dengan perlahan-lahan mengendorkan langkah mereka. Sebenarnya mereka juga tidak dapat meneruskan larinya, karena di depan telah terlihat sebuah kota.
Tjeng Tjeng dengan mencubit-cubit perut tertawa, dia berkata:
"Sudah waktunya untuk kita menangsal ini, aku sudah sangat lapar."
Koo San Djie bersenyum, Mereka lalu memasuki rumah makan dan memilih tempat duduk yang bagus.
Yang masuk ke rumah makan ini tidak banyak. Kecuali sudah ada beberapa orang di situ, terdapat pula seorang nikouw setengah umur.
Nikouw ini telah memesan makanan, dengan sendirian saja, perlahan-lahan ia memakannya. Dilihat kelakuannya ia bukan bermaksud makan, mungkin juga ia sedang menunggu orang, dengan perlahan-lahan ia melewatkan waktunya.
Koo San Djie kini telah mempunyai pengalaman yang lumayan. Dalam rumah makan itu hanya nikouw ini yang menyolok mata. Maka dengan diam-diam ia telah memperhatikan nikouw setengah umur itu.
Nikouw itu seperti mempunyai pembawaan yang sangat agung. Mukanya yang dingin, tidak mempunyai rasa. Semua seperti tidak mempunyai hubungan dengannya, belum pernah ia memandang atau memperhatikan kepada siapapun juga.
Koo San Djie sedang memperhatikan orang, tapi orangpun sedang memperhatikan dirinya. Dari tindak tanduknya nikouw itu dapat memastikan, siapa adanya anak muda ini. Dan tidak terkecuali juga dengan Tjeng Tjeng yang duduk di sebelahnnya. Dalam pikirannya telah menganggap anak perempuan kecil ini sangat menyenangkan.
Demikian ia telah menjadi menguatirkan akan satu orang. Waktu adalah obat satu-satunya bagi hati yang terluka. Tapi waktu juga, racun bagi kekasih yang terpisah. Perhubungan yang terlalu rapat adalah bibit dari timbulnya cinta.
Ia ingin dapat tahu tentang hati si pemuda, dengan perlahan-lahan ia melagukan syairnya:
Kacang merah terdapat di selatan,
Setahun hanya tumbuh sekali,
Hati-hatilah untuk memilih,
Dia sebagai kenangan mata.
Ucapan perlahan, tapi terang. Jika bukannya orang yang mempunyai latihan puluhan tahun, tidak nanti dapat mendengar perkataan ini. Orang hanya menyangka, ia sedang berkemak kemik membaca doa.
Tapi Koo San Djie telah dapat memakan Kodok Mas dan Capung Kumala yang mempunyai khasiat luar biasa, ia dapat mendengar syair itu. Bagaikan genta yang terpukul, hatinya berdebaran dengan keras. Dalam hatinya bertanya:
"Seorang nikouw yang telah keluar dari keduniawian mengapa masih dapat membuat syair cinta yang melibat diri"'"
Kecuali satu jawaban baginya, ialah orang yang mempunyai hubungan rapat dengan Ong Hoe Tjoe .
Ia tahu bahwa Ong Hoe Tjoe telah mengangkat seorang nikouw yang bernama Bie Kiu Nie sebagai gurunya dan mempunyai saudara seperguruan Biauw Hian, Biauw Giok dan lain-lain, mereka terdiri dari kaum nikouw.
Apa mungkin Ong Hoe Tjoe menceritakan juga tentang pemberian kacang merahnya kepada nikouw ini"
"Ai, mana kau orang tahu hatiku yang rindu kepadanya?" Koo San Djie berkata dalam hati.
Tjeng Tjeng memperhatikan Koo San Djie yang memberhentikan sumpitnya di tengah jalan sedang melamun di tempatnya, karena itu ia tertawa. Dengan mengetok meja, ia berkata:
"Hei, apa semangatmu telah kena terbetot oleh siluman tadi?"
Koo San Djie kaget. Dengan keren ia menjawab:
"Janganlah kau sembarang berkata. Ciecie Thing Thing dulunya juga seperti kau, jujur, entah mengapa, mendadak dia dapat berobah menjadi seperti itu" Kurasa tentu ada sebab-sebabnya. Mungkin juga dia telah dipaksa oleh orang."
"Yang sudah pasti, kau sedang dalam keadaan melamun," Tjeng Tjeng tertawa.
Koo San Djie menggelengkan kepala seperti seorang melamun lagi.
Mendadak Tjeng Tjeng menepok kedua tangan, seolah-olah telah mendapatkan jawaban yang tepat. Katanya:
"Aku tahulah. Tentu kau sedang memikirkan Ciecie Ong Hoe Tjoe?"
Koo San Djie baru saja mau membuka mulut keburu dipotong lagi oleh Tjeng Tjeng:
"Kau jangan mungkir lagi. Sebuah syair kacang merah telah membuat penyakit rindumu kambuh kembali. Lekaslah habiskan makanan ini, setelah habis makan, kita harus segera melanjutkan perjalanan."
Ternyata, biarpun Tjeng Tjeng tidak dapat mendengar, apa yang dikatakan oleh nikouw tapi sedari melihat Koo San Djie memperhatikan si nikouw, ia juga telah turut memperhatikan. Dilihatnya mulut si nikouw yang berkemak-kemik. Dari gerakan-gerakannya ini, ia telah dapat menebak, apa yang dikatakan olehnya. Maka, sewaktu tadi Koo San Djie sedang melamun kemana, ia juga sedang memikir, apa artinya syair ini.
Koo San Djie tidak mau mengadu mulut, percuma saja untuk ia melawan, ia masih bukan tandingannya. Maka setelah cepat-cepat menyelesaikan makanannya, sambil melemparkan sumpit, ia berkata:
"Aku telah menjadi kenyang. Tapi hari masih siang, kita masih mempunyai banyak waktu. Mari kita mencari penginapan terlebih dahulu!"
Setelah dua orang ini berlalu, si nikouw telah mendapat jawabannya. Terhadap kekuatiran tadi tidak beralasan sama sekali.
Maka, dengan diam-diam ia juga telah berlalu dari situ. Ia mau membawa kabar ini kepada seseorang. Orang ini tidak lain ialah Ong Hoe Tjoe.
Sang malam telah mengurung, seluruh jagat, keadaan sunyi senyap. Dua bayangan hitam terlihat keluar dari pintu kota, dengan kecepatan yang pesat sekali.
Di antara sinar bintang yang remang-remang terlihat bayangan dua kali berkelebat, dua bayangan sudah maju jauh ke depan, menuju ke arah pegunungan Pay-hoa.
Salah satu dari bayangan tadi, yaitu seorang anak perempuan kecil, mendadak mendekati kawannya, dengan perlahan ia berkata:
"Koko San, apa betul Ciecie Hoe Tjoe berada di atas gunung Pay-hoa ini" Jika dia tidak berada di sini, kita harus bagaimana?"
Kawannya, yaitu Koo San Djie menjawab:
"Kita hanya menyerapi saja. Jika dia tidak berada di sana. kita akan segera pulang kembali. Biarpun Pay-hoa Kui-bo bukan orang baik, tapi, sebelum terbukti dia kaki tangan Lembah Merpati, kita tidak usah menganggunya. Dan lagi dia adalah menjadi gurunya Tju Thing Thing."
Tjeng Tjeng marah karena mendengar disebutnya pula nama Tju Thing Thing. Dengan ngambek ia berkata:
"Hm, kembali kau telah ingat kepada siluman itu tadi. Jika kau berani bersama lagi, aku tidak mau memperdulikanmu."
Koo San Djie dengan menghela napas berkata:
"Adik Tjeng, jangan kau berkata seperti itu. Jika kau mengenal dia sedari dulu, tentu kau tidak akan berkata demikian. Sebenarnya dia seorang gadis baik."
Tjeng Tjeng hanya diam saja. Ia tidak mengatakan menyetujui perkataannya dan juga tidak membantah.
Jarak antara kota dan gunung Pay-hoa hanya tiga sampai empatpuluh lie saja. Dengan kecepatan kaki Koo San Djie dan Tjeng Tjeng sebentar kemudian, mereka telah sampai di sana.
Dua orang, bagaikan asap saja, terbang melewati hutan yang lebat dan menuju ke dalam istana Pay-hoa Kui-bo.
Dari jauh sudah terlihat istana yang berkelak kelik, jaraknya sudah menjadi sedemikian dekatnya. Waktu itu, mereka telah memasuki daerah yang banyak betul dengan tidak teratur.
Mendadak, Tjeng Tjeng menghentikan langkahnya dan berkata:
"Tunggu! Gunung-gunung ini gunung palsu. Bahkan mereka seperti telah mengatur suatu tin (barisan) di sini."
Biarpun Koo San Djie telah merasakan keanehannya batu-batu yang tidak teratur seperti gunung itu, tapi ia tidak dapat mengetahui sebab musababnya.
Tjeng Tjeng mempunyai darah turunan ayahnya, Pendekar Merpati yang berpengalaman luas, terhadap macam-macam barisan, mana dapat mengelabui matanya. Dan lagi, otaknya yang tajam, dengan cepat ia telah dapatkan cara untuk memecahkan persoalan itu.
Ia memandang keempat penjuru sebentar, dan mengetahui, harus memilih jalan yang mana. Dengan mengluarkan jengekan dari hidung, ia berkata:
"Barisan semacam ini" Huh! Apa guna" Mereka masih berani mengeluarkan untuk menakut-nakuti orang."
Maka, dengan menarik sebelah tangan Koo San Djie, berliku-liku mereka masuk ke dalam batu yang tidak teratur. Sebentar saja, mereka berdua telah dapat masuk ke dalam tengah-tengah batu itu.
Jika dilihat dengan kepandaian mereka, ditambah dengan kepintarannya Tjeng Tjeng yang dapat memecahkan barisan tin, biarpun sampai masuk ke dalam istana juga, tidak ada yang mengetahuinya.
Tapi, keadaan pada waktu itu harus dikecualikan. Sedari mereka keluar kota, mereka telah diikuti seseorang, orang ini tidak lain ialah Tju Thing Thing adanya.
Karena cintanya tidak terbatas, Tju Thing Thing menjadi penasaran. Ia menjadi membenci Koo San Djie dan Tjeng Tjeng berdua.
Ia tahu, bahwa mereka tentu akan datang naik ke gunung Pay-hoa dengan maksud mencari kabar Ong Hoe Tjoe, dan kebetulan, guru barunya ini tidak berada di gunung, maka ia sudah memikir untuk menggunakan Cit-ceng-siauw-hun-tay-hoat mengurung mereka di dalam barisan tersebut.
Demikianlah, setelah melihat mereka dapat berhasil memasuki ke tengah-tengah barisan, ia sudah mulai menjalankan akal bulusnya.
Pay-hoa Kui-bo, Si nenek Setan Ratusan Kembang, sengaja membuat barisan Kiu-kang-hun yang tidak sukar untuk dipecahkan orang, maksudnya ialah agar lebih mudah memancing musuh. Sudah menjadi kebiasaan dari sifat orang yang selalu mau menang, setelah melihat barisan itu seperti barisan kanak-anak tidak mengandung perubahan-perubahan yang aneh, tentu mereka tidak heran, maka masuklah orang yang mau membuktikan tentang pengalaman-pengalamannya yang luas, dan akan jatuhlah dia ke dalam perangkap Pay-hoa Kui-bo.
Senopati Pamungkas I 2 Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung Kilas Balik Merah Salju 2
^