Lembah Merpati 7
Lembah Merpati Karya Chung Sin Bagian 7
Ia segera berbangkit dari duduknya dan meninggalkan tempat itu.
Dengan Tangan Kosong Melawan Belasan Musuh Kuat
Kong Tie tertawa kecil. "Tidak disangka sudah tua begini masih juga suka mengambil dan tidak dapat meninggalkan sifat berangasannya."
Tapi Pengemis Sakti Kiang Tjo dengan tidak menoleh lagi sudah langsung pergi turun gunung.
Koo San Djie juga tidak bermaksud meminta bantuan dari orang-orang beberapa partai, mereka tidak dapat mengerti akan hatinya, melihat Kiang Tjo sudah pergi, ia juga meminta diri.
Siauw Khong mengantarkan Koo San Djie sampai di bawah pintu gunung dan dengan berat ia berkata:
"Partai kami sudah menyebarkan orang-orang pandai ke berbagai tempat untuk mencari si pembunuh ketua partai, tapi sampai sekarang belum ada suatu kabar apa juga. Tidak lama lagi aku juga akan turun gunung."
"Begitupun baik, nanti kita akan bertemu pula," jawab Koo San Djie.
Setelah meninggalkan kuil Siauw-lim, Koo San Djie telah kehilangan jejaknya si Selendang Merah. Di dalam hatinya ia berpikir:
"Mungkin ia tidak mau menunggu lagi dan sudah pergi dari sini. Begini ada lebih baik, dapat menghindarkan banyak kerewelan lagi."
Maka ia sudah melanjutkan perjalanannya sendiri, tidak henti-hentinya ia melamun yang bukan-bukan.
Demikian lamunannya: "Apa adik Tjeng telah menemukan Liu-supek" Apa betul Liu-supek mengalami bahaya" Siapa orang yang dapat mengganggunya" Mungkinkah berada di dalam Lembah Merpati?"
Sedang enak-enaknya ia melamun, dari belakang mendadak terdengar keliningan dari dua ekor kuda. Samar-samar ia seperti mendengar orang berkata:
"Sampai bertemu pula di......"
Ia tidak dapat mendengar perkataan selanjutnya, maka ia mengangkat kepala, dan menoleh ke belakang. Tapi dua ekor kuda tadi telah lewat, tidak tertampak lagi.
Dan waktu itu, di depan matanya tertampak serombongan orang. Di antaranya terdapat orang-orangnya dari berbagai partai It Tjing Tjie, si Walet Kie Gie, Si Golok Malaikat Nomor Satu, Hian-tju Totiang beserta yang lain-lain.
Koo San Djie mengerutkan alis. Pikirnya, Mengapa sering menemukan orang-orang ini" Tapi ia tidak takut dengan mereka, dengan membusungkan dada, ia maju terus ke muka.
Setelah berdekatan, Si Golok Malaikat Nomor Satu yang mempunyai ganjelan dengan Koo San Djie sudah berkata dengan suara dingin:
"Hei, bocah! Apa yang kau sombongkan?"
Koo San Djie tidak menjawab, ia terus melanjutkan perjalanannya tanpa menengok sama sekali.
Tapi waktu itu si Penadah Langit Kiang Peng sudah menghadang di hadapannya berkata:
"Berhenti! Selesaikan dulu urusan antara kita."
Koo San Djie betul-betul menghentikan langkahnya, dengan tertawa dingin ia berkata:
"Apa maksud kalian" Apa mau berkelahi lagi" Jika mau berantam, lekaslah maju semua."
Mereka tahu, jika satu persatu, tidak satu di antara mereka yang dapat menandingi si anak gembala yang gagah. Maka, dengan mencabut pedangnya si Walet Kie Gie sudah berkata:
"Tidak disangka, kau demikian sombong. Baru saja mendapat nama sudah berani banyak tingkah!"
Waktu itu ada tujuh orang yang mengeluarkan senjata. Hanya Hian-tju Totiang yang masih tinggal tetap di tempat, ia merasa malu, jika turut mengkerubutinya.
Si Golok Malaikat Nomor Satu sambil mementil goloknya sudah berkata:
"Mengapa kau tidak lekas mengeluarkan senjata?"
Koo San Djie membeber kedua tangan, ia tertawa menyindir:
"Baru menghadapi orang seperti kalian, cukup dengan menggunakan dua telapak tangan kosong ini."
It Tjing Tjie sudah tertawa keras.
"Kau terlalu sombong sekali......" katanya.
Pedangnya sudah mendahului berkelebat membuat setengah lingkaran, menyabet pinggang orang. Si Walet Kie Gie dan Si Golok Malaikat Nomor Satu, satu dari kiri dan kanan sudah membarengi lawan tangguh ini. Sebentar saja bayangan pedang dan golok bercampur menjadi satu, datang dari empat penjuru.
Tujuh orang ini mewakili tujuh macam partai, sudah tentu mempunyai keahlian sendiri. Demi kepentingan nama partai mereka, tidak ada satu yang tidak bersungguh-sungguh. Masing-masing telah mengeluarkan kepandaian simpanannya yang lihay.
Sejurus demi sejurus terlihat kegunaannya, tekanannya semakin lama sudah menjadi semakin berat.
Bayangan sinar senjata telah mengurung Koo San Djie. Tapi ia tidak menjadi gentar, dengan tenang, selalu mencari kesempatan untuk dapat meloloskan diri dari kurungan mereka.
Pertarungan ini telah membuat Hian-tju Totiang yang menonton sampai menggeleng-gelengkan kepala. Pikirannya, ia merasa bersalah berada di pihaknya. Tenaga baru dari para pemuda ini tidak seharusnya digunakan di sini, mereka baru dikumpulkan menjadi satu untuk menghadapi kejahatan.
Ingin ia menghentikan pertarungan ini, apa mau pertempuran sedang berjalan dengan seruh. Tujuh orang sudah mengecilkan kepungannya, setindak demi setindak, mereka maju ke muka.
Angin pukulan yang keras terus menahan datangnya senjata, suara sentilan jari pada pedang dan golok telah menerbitkan suara mengaung yang tidak henti-hentinya.
Perlawanan Koo San Djie seolah-olah gelombang samudera, semakin lama semakin dahsyat. Mereka kini sudah mulat keteter dan mundur ke tempat asal.
Nyata kepungan ini sudah tidak akan tahan lama lagi. Si Walet Kie Gie sudah tidak dapat menahan sabar, dengan berteriak keras ia mendesak maju pula.
Semua orang yang melihat ini sudah menjadi bersemangat lagi. Pedang panjang dari It Tjing Tjie menusuk bertubi-tubi.
Si Penadah Langit Kiang Peng menggeretak gigi, memutarkan senjatanya sampai mengaung-ngaung.
Koo San Djie terkurung, terasa juga tekanan yang semakin berat ini. Tiba-tiba ia bersiul nyaring, merobah cara bersilatnya.
Ilmu pukulan Sari Pepatah Raja Woo keluar, biarpun ia mempelajari ilmu pukulan ini tidak lama, tapi ia telah dapat menggunakannya dengan sempurna.
Terdengar suara "ting, ting, ting," yang ramai sekali, senjata tujuh orang itu telah terpental.
Mereka menjadi kaget, dengan cepat mundur, mereka terlongong-longong.
Tapi mereka tidak berpikir lama-lama, karena waktu itu telah muncul pula beberapa orang, yang sudah mengurung Koo San Djie lagi.
Yang mengepalai orang-orang ini adalah seorang, bermuka kuning, siapa telah berkata:
"Para pendekar kecil tidak usah takut. Bocah ini paling suka menghina orang, mari kita bersama-sama menyingkirkannya!"
Sewaktu Koo San Djie melihat siapa yang datang, ia menjadi marah. Ternyata yang berkata tadi ialah Tong Touw Hio. Dan yang lain-lainnya ialah Min Min Djie, si Iblis Pipi Licin, dan Empat orang aneh dari Kong-lu.
Orang-orang dari tujuh partai itu adalah terdiri dan anak-anak muda semua, mereka masih berdarah panas. Bukannya bersyukur kepada Koo San Djie yang tidak mau melukai orang, sebaliknya mendengar perkataan tadi sudah memungut kembali senjatanya masing-masing dan maju lagi......
Tong Touw Hio sekalian memang sudah mempunyai rencana, begitu melihat orang-orang ini memungut senjata, mereka telah mendahului menyerang si anak gembala yang sangat gagah.
Medan pertempuran menjadi bertambah ramai, empatbelas orang telah bersama-sama mengurung seorang anak muda dengan berbagai macam senjata.
Yang paling janggal ialah dua golongan hitam dan putih ini dapat bersatu padu menghadapi anak gembala yang baru saja muncul di dunia Kang-ouw.
Dalam sekejapan saja, debu di situ telah dibuat mengepul naik, pedang dan golok membuat suatu pagar senjata, mengurung Koo San Djie.
Hian-tju Totiang yang lebih tua dari kawan-kawannya menjadi curiga, mengapa orang-orang tadi diam-diam saja mengumpet" Baru kini mereka muncul dan tahu-tahu sudah mengajak ramai-ramai mengurungnya. Umpama betul Koo San Djie dapat dibunuh di sini, apa orang yang di belakangnya seperti Liu Djin Liong dan si Pendekar Berbaju Ungu mau tinggal diam saja"
Tiba-tiba kupingnya yang tajam seperti telah mendengar banyak orang mendatangi, datangnya secara diam-diam, bahkan orang-orang ini mempunyai kepandaian yang tidak dapat dipandang rendah.
Ia telah sadar akan bahaya yang menimpa dirinya. Jika tidak dapat memberhentikan pertarungan, besar sekali kemungkinan, mereka akan mengalami kejadian, seperti yang dialami oleh sembilan ketua partai di lembah Makam Merpati.
Maka dengan segera ia sudah berteriak dengan keras:
"Semua orang dari golongan kita, lekas berhenti. Aku mempunyai beberapa perkataan yang mau diucapkan."
Tapi empatbelas orang yang sedang bertempur dengan seru, mana dapat mendengar teriakan ini, suara senjata telah menelan teriakan Hian-tju Totiang.
Hatinya menjadi gelisah, dengan mengayunkan dua kepalannya, ia juga turun ke dalam gelanggang pertempuran. Dengan mulut tidak henti-hentinya berteriak:
"Lekas berhenti! Lekas berhenti!"
Dalam keadaan yang kalut ini, Si Golok Malaikat Nomor Satu terpental terbang ke udara. Dibarengi oleh jeritannya si Iblis Pipi Licin yang mati dipukul Koo San Djie, sang arwah menyusul kawannya yang sudah menunggu lama di neraka.
Sampai di sini ternyata Koo San Djie sudah tidak dapat menahan sabar, ia sudah mengeluarkan tiga pukulan geledek, membuat orang-orang yang mengurungnya menjadi kucar-kacir sama sekali.
Menggunakan kesempatan sebaik ini, Hian-tju Totiang sudah berteriak lagi:
"Orang dari golongan kita, apa tidak mau lekas berhenti?"
It Tjing Tjie dan lain-lainnya, yang telah mendapat nama di dalam partainya masing-masing, terhadap kejahatan dan kebenaran mempunyai perbedaan yang tajam. Tadi, karena dalam keadaan hati panas dan mendapat ejekan Tong Touw Hio, mereka menjadi lupa akan peraturan-peraturan. Kini mendengar teriakan Hian-tju Totiang, baru menjadi tersadar.
Dengan segera mereka ini sudah mundur teratur dan berkumpul menjadi satu.
Hian-tju Totiang dengan sikap sungguh-sungguh sudah berkata kepada mereka:
"Kini kita harus dapat segera mangambil keputusan, di antara dendam perseorangan dan kebenaran......"
Si Walet Kie Gie dengan cepat sudah memotong:
"Sebenarnya di antara kita dengan bocah ini tidak mempunyai dendam suatu apa. Maka pertarungan ini lebih baik tidak dilanjutkan pula."
Si Penadah langit Kiang Peng berkata:
"Aku memuji sifat anak ini, bagaimana jika kita membantunya?"
Si Golok Malaikat Nomor Satu yang dua kali pecundang di tangan si anak gembala masih merasa penasaran. Ialah yang paling pertama tidak setuju dengan usul ini. Terdengar ia membuka suaranya:
"Membantu kepadanya" Hm! Sudah kebagusan baginya yang ia sudah tidak membikin susah lebih jauh. Lebih baik kita berpeluk tangan dan pergi meninggalkan tempat ini."
Mendadak dari belakang mereka telah terdengar satu suara dingin:
"Mau meninggalkan tempat ini" Lebih baik kau orang menurut dan mengikuti kami pergi ke dalam Lembah Merpati."
Entah kapan datangnya, di belakang mereka kini telah berdiri sepasang laki-laki dan perempuan.
Hian-tju Totiang dengan kalem sudah bertanya:
"Siapakah tuan ini" Apa artinya perkataan tadi?"
Orang itu dengan adem menjawab:
"Pengurus Lembah Merpati Phoa An berhati ular Lam Keng Liu dan Sui Yun Nio."
"Dan maksudnya?" tanya It Tjing Tjie.
Phoa An berhati ular Lam Keng Liu menjawab:
"Memberikan dua jalan kepada kalian. Jalan pertama ialah pergi ke dalam Lembah Merpati dan menurut perintah kami, yang kedua, akan kami antarkan kalian jalan ke neraka.
"Omong kosong!" Si Walet Kie Gie membentak keras.
Dibarengi oleh serangan pedangnya yang berbunyi mengaung-ngaung.
Mukanya si Phoa An berhati ular sudah menjadi berobah.
"Orang yang tidak mengenal gelegat!" bentaknya keras.
Dengan pelan-pelan ia mengibaskan tangannya, serangan pedang bagaikan membentur tembok saja mental berbalik. Hampir saja membuat tangannya si Walet Kie Gie menjadi pecah, maka dengan cepat ia mundur ke belakang.
Hian-tju Totiang tahu, jika tidak menggunakan kekerasan, jangan harap dapat meninggalkan tempat ini, maka dengan suara dalam ia berkata:
"Baiklah, jika sahabat-sahabat memang mau menghalangi jalan orang, terpaksa kita harus menerjangnya dengan kekerasan!"
Dengan mengangkat langkahnya yang lebar, ia telah mendahului berjalan di muka. Diikuti oleh kawan-kawannya dari berbagai partai.
Mendadak, bayangan-bayangan orang berkelebat, Tong Touw Hio dengan orang-orangnya sudah mendahului menghadang di depannya mereka. Dengan tidak mengatakan suatu apa lagi Tong Touw Hio sudah menyerang.
Sebentar saja bentakan-bentakan terdengar di sana sini, masing-masing sudah mendapatkan lawan sendiri-sendiri.
Sewaktu dikurung oleh empatbelas orang tadi, Koo San Djie sudah mulai merasa keteter, tapi setelah tujuh orang Hian-tju Totiang mundur, tekanan ini sudah bebas sama sekali. ia menjadi kelebihan tenaga, jika hanya menghadapi orang-orangnya Tong Touw Hio.
Sekarang ia sudah menjadi marah berlari-lari untuk menghadapi orang seperti Tong Touw Hio, tidak perlu ia segan-segan lagi. Ia sudah bersedia mengeluarkan seluruh tenaga, pada saat itu telah lompat turun delapan orang.
Orang-orang baru ini terdiri dari empat laki dan empat wanita, salah satu di antaranya yaitu seorang tua yang berbaju merah sudah berkata kepada Tong Touw Hio:
"Serahkan bocah ini kepada kita, biar kita bereskannya. Lekas kau pergi ke sana menghalangi mereka itu."
Koo San Djie menghela napas juga melihat datangnya beberapa orang ini. Dalam hatinya ia mengeluh:
"Jika semua orang maju dengan berbareng, sukarlah untuk memenangkannya."
Ternyata, di antara empat laki dan empat wanita ini, ada dua orang yang pernah dikenal kepandaiannya di pesanggrahan Liong-sun-say, yaitu si wanita berpakaian keraton dan laki setengah umur berbaju kuning.
Kecuali dua orang ini, wanita berbaju putih yang mungkin murid pesuruhnya Liu Djin Liong yang telah kabur dan pernah juga mengadu tangan dengan Tjeng Tjeng di tengah jalan juga berada di sini.
Yang empat lainnya lagi terdiri dari dua wanita berbaju kuning dan dua pemuda berbaju merah.
Jika dilihat dari warna baju mereka, delapan orang ini semua terdiri dari orang-orang pandai Lembah Merpati.
Si orang tua berbaju merah seperti menjadi pemimpin dari rombongan dan juga orang yang telah dapat merebut kitab Sari Pepatah Raja Woo di gunung Sin-sa.
Orang tua ini menunggu sampai Tong Touw Hio menahan Hian-tju Totiang, ia baru berkata sambil menunjukkan tangannya ke arah Koo San Djie:
"Telah berkali-kali kau mengganggu urusannya Lembah Merpati, apa hanya mengandalkan beberapa kepandaianmu ini" Hari ini, Lembah Merpati akan membereskan perhitungan."
Menghadapi musuh yang banyak, Koo San Djie masih mencoba menenangkan diri. Dengan menggunakan waktu yang pendek dari si orang tua berbaju merah yang sedang bicara, ia sudah mengatur jalan pernapasannya.
Setelah dapat menenangkan dirinya, dengan perlahan ia berkata:
"Aku telah lama dapat mengetahui semua rencanamu. Kini, silahkanlah kau berbuat apa yang kau kehendaki."
Si orang tua berbaju merah menjadi kagum juga melihat sikap Koo San Djie, masih seperti tidak menghadapi musuh tangguh yang sebanyak itu. Sambil mengangkat jempolnya ia berkata:
"Aku memuji akan kebesaran nyalimu. Sebagaimana orang Kang-ouw, urusan ini akan kita selesaikan dengan kekuatan."
"Silahkan!" Belum sempat orang tua berbaju merah ini menyambung perkataannya Koo San Djie, keburu dipotong oleh suara lain:
"Tahan dulu! Tidak adil jika sampai seorang harus menghadapi delapan orang."
Dari balik pohon yang lebat muncul pula dua orang pemuda. Yang satu seperti bekas nelayan yang berpakaian perlente dan satu lagi seperti pemuda desa yang berpakaian sederhana.
Terdengar pula suara tertawanya:
"Dengan kita bertiga saja telah cukup untuk menghadapi delapan orangmu!"
Koo San Djie telah berkali-kali menemui kejadian ajaib, karena itu, ia mendapat kemajuan yang pesat, memandang Kang-ouw seperti tidak ada orangnya. Apa lagi, setelah dapat menemui Orang Tua Bertangan Satu dan terkurung di dalam goa yang telah memberi penjelasan tentang keadaan Lembah Merpati. Maka ia tahu, orang-orang ini masih bukan penduduk asli dari Lembah Merpati, biarpun delapan orang ini tergolong kelas satu, tapi ia masih tidak begitu memandang mata.
Maka ia dapat tertawa dan menganggukkan kepala memberi hormat kepada dua anak muda yang baru datang itu.
Ternyata, pemuda yang berpakaian perlente di sebelah kiri adalah kawan lamanya Hay-sim Kongcu. Maka ia segera menghampiri dan menyekal keras-keras dua tangan kawan lamanya ini. Sampai ia lupa akan musuh di sekitarnya.
Delapan orang yang datang ke situ adalah cabang atasnya Lembah Merpati dari bagian luar.
Orang tua berbaju merah bergelar Pek-hoat Sian-tong, wanita berbaju putih Siok-song Mo-lie, orang setengah umur berbaju kuning Oey-san Sian-tjia dan wanita berpakaian keraton Ouw-sie Hoe-djin.
Dua pemuda itu adalah dua saudara bernama Thio Hoan dan Thio Hiat, si pemudi juga ada dua saudara bernama Tan Goat Go dan Tan Goat Bie.
Mereka semua ini sering keluar lembah mengurus bermacam-macam urusan. Tapi kali ini mereka memang sengaja ditugaskan untuk dapat membunuh anak gembala.
Koo San Djie sudah membalikkan badannya dan asyik bicara ke barat dan ke timur dengan Hay-sim Kongcu, dengan tidak memperdulikan mereka lagi, hal ini mana tidak membikin mereka menjadi naik darah"
Pek-hoat Sian-tong sudah menyelak dan berkata keras:
"Hei, pesananmu sudah selesai belum" Nanti saja di perjalanan ke neraka, kau teruskan bicara, juga sama saja."
Koo San Djie membalikkan badan dengan sinar mata yang tajam berkata:
"Buat apa kau berteriak-teriak seperti setan" Satu lawan satu atau main kerubut" Tinggal kau pilih."
Oey-san Sin-tjia adalah bekas pecundang, maka ia sangat mendendam hati. Dengan cepat ia sudah menyambung:
"Buat apa banyak mulut dengan mereka" Mari kita segera turun tangan dan membereskannya."
Terlihat bayangan-bayangan orang berlari-larian, sebentar saja Koo San Djie bertiga sudah di kurung dengan rapat.
Satu pertandingan di antara hidup dan mati akan segera dimulai. Udara terasa telah berobah menjadi panas dan juga membakar muka orang menjadi merah karena marah.
Mendadak, suara siulan panjang terdengar. Pek-hoat Sian-tong sudah mulai menyerang, sebelah tangannya dikibaskan, membawa angin santar, meniup ke arah musuh yang tangguh.
Disusul juga dengan lain-lain, sebentar saja terdapat angin puyuh, debu dan batu mengepul naik tinggi, berterbangan ke atas, seperti mau menarik ketiga anak muda itu.
Hay-sim Kongcu berputaran satu kali, dengan mengikuti aliran angin, ia menyodorkan pedangnya ke depan, membuat satu lingkaran.
Suara "ser, ser" nya pedang, melewati ombak angin menahan bata. Angin puyuh yang dahsyat tadi dalam sekejapan saja telah buyar sama sekali.
Si pemuda desa dengan tertawa lucu berkata:
"Anak gembala, kita menyerang atau bertahan?"
Pada waktu ia bicara, sebuah serangan yang hebat telah datang kepadanya.
Karena marah, anak desa ini sudah membentak keras, dua tangannya dilempangkan ke depan. Arus pukulannya ini demikian hebat, membuat orang-orang yang berada di depannya sampai harus mundur beberapa tindak.
Koo San Djie melihat dua kawannya mempunyai kepandaian yang istimewa, ia juga tidak mau ketinggalan, dengan cepat ia mengeluarkan dua pukulan.
Dua pukulan ini cepat dan sukar diduga, dua persaudaraan Thio yang berada di depannya sampai mundur-mundur sempoyongan.
Dengan penuh senyum puas, Koo San Djie menjawab pertanyaannya si pemuda desa yang baru dikenal:
"Lihat dulu, sampai di mana kepandaian mereka, baru kita menyerang."
Si pemuda desa berkata: "Demikianpun boleh!"
Koo San Djie menyerang lagi, dua kali memaksa musuhnya mundur ke belakang.
"Saudara, di antara kita berdua tidak mengenal satu dan lain mengapa kau membantu kepadaku?" tanya Koo San Djie.
Si pemuda desa sudah membuka mulutnya yang lebar:
"Hanya menerima perintah dan menjalankan tugas. Bukan saja kali ini membantu kepadamu, bahkan untuk seterusnya juga akan membantu kau, menggempur Lembah Merpati."
Koo San Djie melengak, dalam hatinya bertanya:
"Siapa orangnya yang telah menyuruhnya?"
Tapi waktu itu ia tidak mempunyai kesempatan untuk memikirkan soal ini. Diliriknya Hay-sim Kongcu, kawan lamanya ini sekarang telah mendapat banyak kemajuan. Berbeda jauh kepandaiannya sang kawan ini jika dibandingkan dengan semasa pertemuan yang pertama. Pedangnya bagaikan ular hidup, mengarah tempat-tempat yang berbahaya dari lawan-lawannya, sama sekali ia tidak terlihat menjadi letih, karena harus menghadapi orang banyak.
Dengan tidak terasa Koo San Djie telah memuji:
"Ilmu pedang yang bagus!"
Hay-sim Kongcu menggunakan pedangnya menusuk dua kali, tujuannya Tan Goat Go dan Tan Goat Bie, dan memaksa dua saudara ini harus mundur menghindarkan serangan.
Dengan menggunakan kesempatan ini, ia menoleh dan berkata:
"Ilmu pedang yang baru dipelajari hanya dapat membuat kau tertawa saja. Tentu saja tidak dapat disamai dengan kepandaianmu yang susah diukur."
Kedudukannya tiga anak muda ini seperti seekor kala jengking yang besar, nongkrong di tengah-tengah adalah Koo San Djie, si pemuda desa sebagai dua capit depannya, menahan serangan di sampingnya Hay-sim kongcu mengambil kedudukan lain, memegang peranan sebagai sengat tin barisan kalajengking itu.
Tenaganya si pemuda desa sangat besar, tidak perduli serangan yang bagaimana hebatnya, ia juga berani menahan dengan telapak. Belum pernah ia menyingkir dari setiap serangan lawannya.
Hay-sim Kongcu setelah dapat memperdalam ilmunya di atas gunung es, untuk pertama kalinya ia menjajal kepandaiannya, ujung pedang bagaikan ekor beracun dari kalajengking besar tadi menyabet sana sini.
Biarpun demikian, Hay-sim Kongcu masih mempunyai kesempatan untuk bersenda gurau juga.
Sebenarnya, pertarungan mereka merupakan suatu pertempuran yang dapat menentukan mati hidupnya orang-orang yang bertempur, tapi di mata tiga pemuda gagah itu hanya seperti suatu permainan saja.
Pek-hoat Sian-tong dan kawan-kawannya yang mengurung tiga anak muda itu, sedari tadi tidak dapat berbuat suatu apa, lama kelamaan ia menjadi marah juga. Dengan sekali memberi isyarat ia sudah mengeluarkan pedangnya.
"Trraang!" delapan pedang hampir berbareng keluar dari sarungnya.
Koo San Djie hanya tertawa melihat kelakuannya delapan musuh itu, dengan setengah mengejek ia berkata:
"Dari tadi saja berbuat begini bukankah lebih cepat selesai?"
Pek-hoat Sian-tong dengan tertawa dingin berkata:
"Kau jangan sombong!" katanya, "Jika hari ini kau dapat meninggalkan tempat ini dengan masih bernyawa, aku tidak mau berjalan di kalangan Kang-ouw lagi......
Tidak menunggu sampai perkataan ini habis si pemuda desa sudah memotong mengejek:
"Barang kali pergi ke neraka" Melaporkan diri pada raja akherat tentunya."
Pek-hoat Sian-tong menjadi semakin marah, bulunya seperti berdiri. Dengan tidak mengatakan suatu apa-apa lagi, ia sudah mulai menjujukan ujung pedangnya.
Tujuh orang lainnya, hampir berbareng berdiri tegak, menjujukan pedang mereka ke arah tiga pemuda. Enambelas mata dibuka lebar-lebar dengan tidak berkesip di arahkan ke tubuh sang lawan.
Hay-sim Kongcu tahu bahaya besar akan segera datang, dengan berteriak keras ia memperingatkan kedua kawannya:
"Awas, musuh akan segera mulai membikin penyerangan total!"
Dan betul saja, terlihat Pek-hoat Sin-tong mementilkan pedangnya, dibarengi oleh majunya tujuh pedang kawannya.
Sinar perak berkilat-kilat, bunyi pedang mengaung-ngaung, hawa dingin mengarungi keadaan di situ yang menjadi kacau sekali.
Koo San Djie tertawa panjang, loncat sana dan loncat sini, bagaikan bayangan setan, menyelip di antara berkelebatnya pedang.
Si pemuda desa tancap kedua kakinya, dengan kokoh sekali, menggunakan kedua telapak tangan yang seperti besi, menahan sesuatu serangan pedang yang datang ke arahnya.
Hay-sim Kongcu juga menggunakan pedangnya menyabet sana dan menyabet sini, memainkan buntut kalajengking ini dengan sempurna.
Lembah Merpati terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya, delapan orang ini mendapat penilikan keras dari ketua Lembah Luar dan dalam keadaan yang sengit, tentu saja kekuatannya tidak dapat dipandang enteng.
Dengan cara demikian, Hay-sim Kongcu mulai merasa keteter, disusul dengan si pemuda desa yang kehabisan bensin.
"Kita jangan mandah bertahan saja, menyerang......!" ia berteriak.
Pukulannya mulai dirobah menerjang keluar......
Koo San Djie tahu yang dua kawannya sudah tidak dapat bertahan terus, maka ia juga mulai menyerang keluar.
Ia bersiul nyaring, mengangkat tubuhnya lompat ke tengah udara dengan menggunakan ketangkasannya, ia sudah dapat menerobos lapisan pedang.
Hanya terlihat sinar hitam mengkilap berkelebat, tangannya telah berhasil mengambil keluar Pit Badak Dewa. Dibarengi oleh suara jeritan yang mengerikan, Oey-san Sian-tjia sudah mundur terpelanting ke belakang, dengan meninggalkan sebelah tangannya yang telah terpapas putus.
Setelah jurus pertamanya berhasil membuat satu kekosongan, diteruskan jurus yang kedua, ditujukan ke arah dua persaudaraan Thio.
Angin santer mendahului jalannya Pit Badak Dewa, membawa hawa dingin yang berwarna hijau mengarah dua musuh muda itu. Thio Thiat tidak sempat untuk mengeluarkan suara, dadanya telah tertembus oleh pit yang istimewa ini.
Sebentar saja telah pecah dua pintu kurungan, tekanan yang dirasakan oleh Hay-sim Kongcu dan si pemuda desa telah lenyap.
Waktu itu sifat kerbaunya dari si pemuda desa telah kembali, ia menyeruduk ke sana dan menyeruduk ke sini, menggunakan ketika Thio Hoan lengah karena kematiannya sang saudara, memukul dengan sekuat tenaga.
Angin pukulan yang keras telah membuat Thio Hoan terpental ngapung dan memuntahkan darah segar, sehingga tidak sadarkan diri lagi.
Hay-sim Kongcu melihat dua kawannya telah dapat menghasilkan kemenangan, ia menjadi lebih bersemangat, dengan mencurahkan seluruh tenaganya, ia berhasil mendesak Tan Goat Go dan Tan Goat Bie, mereka terpisah dari kawan-kawannya.
Sampai di sini, kurungannya delapan orang itu telah menjadi kacau balau dan berantakan tidak keruan,
Koo San Djie sangat membenci orang-orangnya Lembah Merpati ini, Pit Badak Dewanya tidak mengenal kasihan lagi, mencari kesempatan yang bagus. Tidak lama, Ouw-sie Hoe-djin juga telah kena tusukannya di arah pinggang dan jatuh menggeletak.
Oey-san Sian-tjia melihat kematian sang istri, tentu saja menjadi hilang semangat, lupa akan luka-lukanya, ia mengangkat tubuhnya sang istri yang telah mandi darah dan lari meninggalkan medan pertempuran.
Pak-hoat Sian-tong yang melihat di antara kawan-kawannya telah kedapatan dua mati dan dua luka, hatinya gelisah sampai mengeluarkan keringat dingin. Ia tahu kekuatannya telah berakhir sampai di sini.
Maka dengan suara duka ia berkata:
"Hari ini kami mengaku kalah. Tapi pada suatu waktu Lembah Merpati akan membuat perhitungan lagi."
Sambil memberi tanda siulan kepada kawan-kawannya, ia mendahului meninggalkan tempat itu.
Hay-sim Kongcu sudah mengangkat kakinya untuk mengejar, tapi sudah keburu diteriaki oleh Koo San Djie:
"Saudara, jangan mengejarnya. Musuh besarmu Sui Yun Nio berada di sebelah sini."
Tanpa menunggu reaksi dari kawannya lagi ia sudah jalan menghampiri Lam Keng Liu.
Hay-sim Kongcu yang mendengar disebutnya nama Sui Yun Nio menjadi lebih bergolak saja darah panasnya. Ia balik membuntuti di belakangnya Koo San Djie.
Orang-orangnya Hian-tju Totiang yang terdiri, dari delapan aliran partai yang sedang melawan rombongan Lam Keng Liu mulai kewalahan. Tapi mereka insyaf, pertarungan ini bukannya pertarungan biasa, inilah suatu pertempuran demi menjaga keselamatan diri mereka dari pembunuhan Lembah Merpati. Maka semua orang telah mengeluarkan tenaganya, siap sedia untuk mengadu jiwa demi keselamatan kawan lainnya.
Maka, biarpun di pihak Lam Keng Liu lebih kuat beberapa kali, juga tidak dapat membawa hasil dalam waktu yang singkat.
Begitu Pek-hoat Sian-tong dan kawan-kawannya meninggalkan tempat itu, Lam Keng Liu dan rombongannya juga sudah siap untuk mengikuti jejak kawannya. Tidak menunggu sampai datangnya Koo San Djie, ia sudah bersiul panjang dan membalikkan badan, mengambil tipu langkah seribu, ngiprit pergi.
Hutan Belantara Menyesatkan
Hay-sim Kongcu yang melihat Sui Yun Nio juga telah mengangkat kakinya melarikan diri, dengan tidak memikir akan segala akibatnya lagi ia sudah lantas mengejarnya.
Terdengar suara Koo San Djie dari belakang memperingatkan kepadanya:
"Saudaraku jangan terburu napsu......"
Tapi mana keburu, Hay-sim Kongcu juga telah lenyap dari pemandangan.
Si pemuda desa malah tertawa-tawa lebar:
"Jangan sibuk tidak keruan. Mari kita segera menyusul."
Ia mengangkat kakinya, menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, melesat terbang menyusul Hay-sim Kongcu.
Koo San Djie merasa lega juga melibat adanya pemuda desa ini yang pergi untuk membantu Hay-sim Kongcu.
Kini ia menghampiri Hian-tju Totiang dan rombongannya. Dari delapan orang ini ada setengahnya yang mendapat luka-luka.
Si Golok Sakti Nomor Satu terluka dalam, Ie Hoa Tie terluka di lengan, dan yang lain-lainnya lagi tidak keruan muka. Apa lagi Hian-tju Totiang yang mengadu tangan luka yang terberat.
Dengan cepat, Koo San Djie mengeluarkan pil pemberiannya si Orang Tua Bertangan Satu dan memberikan empat butir kepada Hian-tju Totiang sambil berkata:
"Pil ini sangat mustajab sekali, harap totiang dapat memberikan kepada mereka."
Hian-tju Totiang menyambuti pil itu, terasa olehnya bau harum yang keras menusuk hidung, pikirannya sudah menjadi jernih kembali. Maka ia tahu, inilah obat pil yang mahal harganya, dengan tidak henti-hentinya ia mengucapkan terima kasihnya.
Sebentar saja, kecuali si Golok Sakti Nomor Satu yang mendapat luka luar, yang lainnya sudah menjadi segar kembali.
Maka dengan beramai-ramai mereka mengucapkan terima kasih kepada anak gembala ini, dan minta maaf untuk kesalahan paham yang sudah lalu.
"Hanya pemberian kecil, buat apa disebut lagi," Koo San Djie berkata merendah.
Si Penadah Langit Kiang Peng berkata:
"Hari ini, jika bukannya saudara kecil yang dapat mengalahkan Pek-hoat Sian-tong dan kawan-kawannya, beberapa tulang kita ini tentu sudah tertanam di sini."
Si Walet Kie Gie nyeletuk:
"Orang-orang Lembah Merpati keluar dengan berbareng, bukan saja untuk menyatrukan saudara kecil ini saja, tentu masih mempunyai maksud tertentu. Kita harus bersiap-siap untuk menghadapi mereka."
Dengan menghela napas, Hian-tju Totiang berkata:
"Sebelumnya aku sudah menganggap sembilan ketua partai kita terbunuh oleh saudara kecil ini, baru sekarang aku tahu akan kesalahanku itu. Harap saudara jangan menaruh dendam."
"Urusan yang lama jangan disebut kembali," Koo San Djie menghibur. "Tentang urusan Lembah Merpati, sudah tentu akan ku urus sendiri. Apa lagi terhadap si pengkhianat Lam Keng Liu, aku tidak dapat melepaskan kepadanya."
"Kami akan segera kembali ke masing-masing gunung," Hian-tju Totiang berkata. "Jika saudara sudah mendapatkan di mana letaknya Lembah Merpati, harap suka segera memberi kabar, supaya kami dapat juga memberi bantuan yang tidak berarti."
Setelah meagucapkan kata-kata ini, mereka mengucapkan selamat berpisah. Baru beramai-ramai meninggalkan tempat itu.
Koo San Djie berdiri, mereka berlalu sampai tidak terlihat sama sekali, baru ia gerakan kakinya melanjutkan perjalanannya.
Baru saja ia membalikkan badannya, dari pohon-pohonan telah terdengar suara orang ramai yang tertawa.
Ternyata yang datang adalah Tiauw Tua, Sastrawan Pan Pin dan Tjeng Tjeng tiga orang.
Tjeng Tjeng yang telah lama tidak bertemu dengan koko San nya, begitu bertemu sudah menarik-narik tangannya dan berkata:
"Koko San......"
Tapi perkataan yang selanjutnya ia tidak dapat meneruskan karena saking gembira.
Koo San Djie mengelus-elus rambutnya dan bertanya:
Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana, apa kau telah berhasil menemukan ayahmu?"
Tjeng Tjeng jebikan bibirnya:
"Mana kita dapat menemukannya. Begitu aku melihat tulisan ayah, pada hari itu juga aku pergi menyusulnya ke arah barat. Tapi setelah sampai ke sebelah barat Kang-see, di daerah pegunungan yang penuh belukar, aku telah kesasar. Maka dengan apa boleh, aku kembali ke jalan asal, dan kebetulan bertemu dengan Tiauw Toako ini."
Lalu giliran Tiauw Tua yang menceritakan pengalamannya. Dengan menghela napas ia berkata:
"Tidak disangka, aku Tiauw Tua yang telah malang melintang di kalangan Kang-ouw puluhan tahun, masih terjatuh di tangan orang juga."
Ternyata Tiauw Tua setelah meninggalkan Makam Merpati, karena mengingat kitab Sari Pepatah Raja Woo, yang sangat penting sekali, maka dengan tidak mengenal siang dan malam, ia mengejar ke arah barat.
Setelah sampai di sebuah pegunungan yang penuh belukar di Kang-see barat, baru ia mendapatkan jejak seorang tua berkupiah emas berbaju biru.
Dilihatnya orang tua berkupiah emas ini sedang berlari-larian di antara tebing, yang curam. Ia juga sudah dapat melihat dengan tegas si orang tua berkupiah emas ini adalah salah satu dari lima raja iblis, dan yang mengepalai perserikatan mereka itu, si Badak Tanduk Perak.
Ia tahu, bahwa si Badak Tanduk Perak ini yang dapat mengepalai lima raja iblis, tentu mempunyai kepandaian yang tidak dapat di pandang gegabah. Maka ia berani menguntit dari kejauhan saja.
Tidak disangka si Badak Tanduk Perak ini sudah seperti mengetahui ia sedang dikuntit orang. Ia menoleh ke belakang sebentar, tertawa dingin, seperti asap, ia sudah dapat menghilang di antara pegunungan tadi.
Setelah dapat melewati dua puncak gunung, Tiauw Tua telah melihat di depannya terdapat rimba belantara yang gelap, juga sangat lebat. Di sini ia juga masih tidak dapat menemukan jejak si Badak Tanduk Perak.
Bukan saja ia tidak berhasil menemukan orang, bahkan dirinya sendiri sudah kehilangan arah dan tersesat di dalam rimba belantara.
Ia berputar-putaran dua hari dua malam di dalam rimba yang gelap dan tidak berujung ini, pada hari ketiga tahu-tahu ia sudah berada di tempat jalan lama lagi.
Sampai di sini mendadak Tjeng Tjeng berteriak:
"Tempat itulah yang aneh! Sewaktu aku mengejar ayah, juga sampai di sana kehilangan arah, sehingga kembali ke jalan asalnya lagi. Dikatakan ia seperti suatu barisan tin juga tidak mirip sama sekali. Memang suatu kejadian yang aneh."
"Mungkinkah hutan belantara buatan manusia?" tanya Tiauw Tua. Lalu ia meneruskan lagi ceritanya:
"Sebetulnya aku juga mau mencari tahu lagi tentang hutan belantara yang aneh itu. Tapi waktu itu, Si Sastrawan Miskin telah menyusul dan mengatakan bahwa orang-orang dari delapan partai besar ini telah bersama-sama mencari Liu Djin Liong untuk membikin perhitungan mereka. Dengan kepandaian Liu Djin Liong, aku tidak takut suatu apa, tapi jika mengingat kesalah pahaman tentu akan menjadi besar karenanya. Maka aku tidak membuang-buang waktu sudah lantas pergi mencari gurunya Ong Hoe Tjoe di gunungnya untuk mendamaikan urusan ini. Tapi tidak disangka, Bie Khiu Nie juga telah turun gunung untuk mengurus suatu urusan. Yah, untung saja pertikaian ini sudah dapat diselesaikan, untuk seterusnya kita dapat lebih memusatkan pikiran menghancurkan Lembah Merpati."
Biarpun mulut Koo San Djie mengia saja, tapi pikirannya sedang melayang-layang, memikirkan rimba belantara yang aneh itu.
"Bukankah si Orang Tua Bertangan Satu pernah mengatakan, bahwa Lembah Merpati dikelilingi oleh barisan tin yang tidak kentara, orang-orang biasa, jika sampai di sana, dengan tidak terasa sudah tidak dapat mengenal arah dan kembali ke jalan asalnya. Apa bisa jadi rimba belantara yang ditemukan Tiauw Tua dan Tjeng Tjeng ada itu rimba belantara yang dimaksud?"
Si orang tua berkupiah mas, yaitu si Badak Tanduk Perak telah berhasil mendapatkan peta gambar yang menuju ke Lembah Merpati. maka ia dapat menghilang di sana dan masuk ke dalam Lembah Merpati. Apa betul ia dapat masuk ke dalam Lembah Merpati"
Sewaktu ia sedang enak-enakan melamun, Tjeng Tjeng sudah menarik tangannya dan berkata:
"Koko San, apa sih yang sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang memikirkan rimba belantara tadi," Koo San Djie menjawab. "Mungkin sekali rimba belantara itu adalah benteng luar dari Lembah Merpati."
"Haaa, apa betul?"Tiauw Tua menjadi lompat kaget.
Koo San Djie menganggukkan kepalanya. "Aku pernah mendengar orang mengatakan bahwa Lembah Merpati dikelilingi oleh barisan tin yang tidak menyolok mata, yang dapat mengantarkan orang luar kembali ke tempat asalnya. Yang telah dialami oleh kalian apa bukan kejadian yang seperti ini?"
Dengan rasa tidak puas, Tjeng Tjeng berkata:
"Jika betul cerita ini. Aku yang paling pertama mau melihat."
"Jangan berlaku ceroboh!" kata Tiauw Tua. "Kita harus berunding dulu, memikirkan cara pemecahan, baru masuk ke dalam rimba aneh itu. Dengan cara ini kita akan lebih aman."
Koo San Djie juga turut berkata:
"Betul. Dan mungkin sekali ayahmu juga terkurung di sana."
Kali ini giliran Tjeng Tjeng yang berjingkrak:
"Haa" Ayahku berada di sana" Mari kita pergi menolong!"
Si Sastrawan Pan Pin turut bicara:
"Untuk dapat memecahkan Lembah Merpati, dengan mengandalkan tenaganya kita beberapa orang saja masih belum ketentuan hasil. Lebih kita menyerap-nyerapi kabar lebih dahulu, baru berunding cara pemecahannya."
"Urusan tenaga, aku tidak kuatir," kata Koo San Djie, "Yang menjadi halangan besar ialah kita kekurangan satu orang yang dapat mengetahui jalan."
Tjeng Tjeng menjadi gelisah.
"Apa karena ini kita jadi tidak berani memasukinya?" tanyanya.
Dengan menarik tangan Koo San Djie ia sudah berjalan terlebih dulu.
Tiauw Tua dan si Sastrawan Pan Pin tidak dapat berkata suatu apa lagi, dengan menuruti langkahnya Koo San Djie, mereka juga sudah mengikuti di belakang.
Demikianlah mereka berempat, dengan tidak mengenal lelah menuju ke pegunungan yang tidak teratur di sebelah barat Kang-see.
Sewaktu mereka sampai di suatu tempat, lapat-lapat terdengar lagu-lagu yang dapat menarik sukma. Tjeng Tjeng yang masih kecil tidak merasa suatu apa, tapi buat ketiga orang lainnya sudah menjadi tidak keruan rasa.
Dengan cepat Koo San Djie sudah menahan langkahnya dan duduk menenangkan pikirannya, diturut juga oleh dua orang lainnya.
Setelah diperhatikannya dengan seksama, suara lagu-lagu tadi ternyata datang dari arah rimba yang tidak jauh dari mereka.
Tjeng Tjeng dengan keras berteriak seperti baru engah:
"Koko San, apa ini bukan permainan Pay-hoa Kui-bo yang jahat" Lekas kita pergi ke sana, mungkin sekali ia sedang mengganggu orang."
Koo San Djie berkata: "Mungkin juga."
Dengan cepat Koo San Djie sudah mengeluarkan Pit Badak Dewa, terus menuju ke arah datangnya lagu-lagu tadi.
Tjeng Tjeng juga sudah mengeluarkan kalung pemberian ibunya dan mengintil di belakang.
Tiauw Tua dan si Sastrawan Pan Pin yang melihat Koo San Djie dan Tjeng Tjeng sampai mengeluarkan senjatanya masing- masing tahu akan bahaya yang sedang mengancam tidak enteng. Maka mereka juga harus hati-hati menghadapi suara musik ini.
Dengan sebelah tangan menjaga dada, dan sebelah tangannya lagi siap untuk menyerang dalam waktu bersamaan, mereka berdua maju ke dalam rimba.......
Koo San Djie dengan tangan menyekal keras Pit Badak Dewa mulai memasuki rimba......"
Seperti kabut tebal saja, asap putih mengepul di sana, enambelas penari jelita dengan memegang bermacam-macam tetabuhan sedang mengelilingi sepasang muda mudi.
Pay-hoa Kui-bo dengan memeluk phipe dan rambut riap-riapan sedang asyik duduk bersila di atas sebuah batu besar.
Di samping kiri kanannya terdapat empat anak yang memegang hiolo, dari hiolo-hiolo inilah keluar asap-asap putih tadi. Dengan bantuan angin asap-asap ini menjalar kemana-mana.
Dengan pandangan yang tajam Koo San Djie sudah dapat melihat sepasang muda mudi yang terkurung adalah Ong Sun Thay dan si Selendang Merah.
Dua orang ini dengan baju yang awut-awutan seperti orang yang baru mabuk saja. Terhadap kejadian-kejadian di sekitarnya mereka tidak sadar sama sekali.
Koo San Djie menjadi marah melihat itu, kedua matanya seperti mau mengeluarkan api. Ia sudah bersedia hendak menerjangnya, mendadak, dari luar rimba di sebelahnya telah keluar seorang pemudi yang berpakaian bulu burung, dengan tangan menunjuk Pay-hoa Kui-bo berkata:
"Jika tidak segera menghentikan suara tabuhanmu itu, jangan salahkan aku yang akan membunuhmu."
Pay-hoa Kui-bo menjadi kaget, ia menyangka akan datangnya orang berkepandaian tinggi mau mencegahnya. Tapi sewaktu ia melihat, yang datang hanya seorang pemudi yang masih muda, dengan tidak terasa menjadi tertawa seram:
"Budak hina yang bernyali besar, kau juga berani menghalang-halangi pekerjaanku" Apa kau juga ingin merasai buah tanganku?"
Si pemudi berbaju burung ini menjadi gusar, tubuhnya mencelat ke atas, seperti alap-alap, ia menerkam ke arahnya Pay-hoa Kui-bo.
Tangan cengkeramannya si pemudi berbaju burung ini belum juga sampai atau senjata istimewanya telah mendahului menyambar muka Pay-hoa Kui-bo.
Pay-hoa Kui-bo tidak menyangka akan kegesitan si pemudi berbaju burung melebihi kilat datangnya. Mukanya hampir tersapu rusak oleh senjatanya sang lawan muda ini.
Terpaksa ia mengangkat tongkatnya menjaga kepala bagian atas dari sampokan senjata.
Tapi kegesitan si pemudi berbaju burung belum sampai di sini, tubuhnya berjumpalitan di udara, naik tinggi lagi, membuat satu putaran dan balik menerjun, tetap mengarah batok kepala orang.
Belum pernah Pay-hoa Kui-bo melihat orang dapat berjumpalitan di udara dengan tidak mempunyai pegangan suatu apa. Untuk menyingkir lagi sudah tidak mempunyai waktu, maka dengan terpaksa ia sudah menyerahkan nyawanya mengemplang.
Ia berbuat begini dengan maksud mati bersama-sama, tapi si pemudi mana mandah ditimpa tongkat musuh" Sambil mendongakkan badan, tangan kirinya menahan datangnya kemplangan, sedang tangan kanannya yang memegang kipas, menotok ke arah jalan darah Cie-tong-hiat.
Serangan ini dengan telak mengenakan tepat pada sasarannya, hingga dengan berteriak keras tubuhnya Pay-hoa Kui-bo sudah terpental dan jatuh tengkurap di tanah, dengan mulutnya mengeluarkan darah.
Sampai pada waktu itu Koo San Djie sudah dapat melihat dengan tegas, pemudi berbaju burung ini bukan lain adalah Ciecie Hoe Tjoe nya yang selalu menjadi kenang-kenangan.
Tidak disangka, selama perpisahan dalam setahun ini, kepandaiannya sudah menjadi sedemikian hebat. Tidak sampai dua jurus, ia sudah dapat membunuh Pay-hoa Kui-bo yang jahat telengas.
Karena saking girangnya, ia hanya dapat berseru:
"Ciecie Hoe Tjoe......"
Berbareng lompat menubruk dan memeluknya dengan kencang-kencang.
Kali ini Ong Hoe Tjoe tidak menghindarkan diri lagi dari adik kecilnya yang sekarang telah tidak kecil lagi. Ia mandah Koo San Djie berbuat dengan sesukanya.
Di antara mereka berdua terdapat kepercayaan penuh. Tempo hari karena kesalah pahaman sehingga menyebabkan terpisah mereka berdua. Tapi di dalam hatinya sepasang anak muda pada saat itu sudah terlupa sama sekali, sebagai gantinya kegirangan yang meluap-luap telah membuat mereka lupa daratan.
Maka biarpun Ong Hoe Tjoe merasa malu sampai merah wajahnya juga tidak mau melepaskan rangkulan si anak muda idaman.
Setalah mereka terdiam sekian lamanya, Koo San Djie baru berkata:
"Ciecie Hoe Tjoe, kemana saja kau selama ini?"
Baru kini Ong Hoe Tjoe mendorong tangan si pemuda perlahan dan berkata:
"Aku belajar ilmu silat di dalam Lembah Hewan sehingga setahun, dan baru keluar mencarimu kemari."
Mereka tidak tahu, dengan berkasih-kasihan seperti ini telah melukai hati dua orang lain.
Yang satu ialah si Selendang Merah yang selalu membayangi adik kecilnya, dan yang satu lagi ialah anak muda terkemuka dari partai Padang Pasir, Ong Sun Thay.
Si Selendang Merah, karena ilmu jahat Pay-hoa Kui-bo yang dinamai Cit-cing-siauw-hun-tay-hoat mengekang dirinya membuat ia mudah dipermainkan oleh Ong Sun Thay. Begitu melihat datangnya Koo San Djie, bukan segera Koo San Djie menanyakan keselamatan orang, malah di hadapannya berkasih-kasihan dengan si pemudi burung, mana ia tidak menjadi sakit hati" Maka dengan menggertak gigi ia sudah lari meninggalkan rimba itu. Belakangan bersama-sama Tju Thing Thing yang juga mengalami nasib yang serupa, mereka mendirikan perkumpulan Pemutus Asmara dan selalu mengganggu kaum laki-laki. Tapi inilah urusan belakangan.
Diceritakan kisah Ong Sun Thay yang telah mengikuti Ong Hoe Tjoe sekian lama. Biarpun Ong Hoe Tjoe tidak mengutarakan suatu apapun, tapi juga tidak memarahinya lagi, maka ia menyangka Ong Hoe Tjoe dengan diam-diam telah setuju.
Hari itu, Ong Hoe Tjoe setelah bertengkar dengan Koo San Djie dan meninggalkan entah kemana si nona telah pergi" Maka setelah ia dikalahkan oleh si anak gembala, ia pergi menyusul Ong Hoe Tjoe.
Ia melihat dengan mata sendiri, di antara mereka berdua telah terjadi percekcokan yang besar, maka ia sangat mengharap dapat menggantikan tempat si anak gembala dalam hati si nona.
Ia tidak berhasil menemui Ong Hoe Tjoe, sebaliknya tidak disangka-sangka ia telah menemukan si Selendang Merah yang sedang dipermainkan oleh Pay-hoa Kui-bo dan sewaktu ia mau membantunya, ia turut kecemplung juga dalam ilmu jahat Pay-hoa Kui-bo.
Sebenarnya ia hanya ingin menanyakan kepada si Selendang Merah tentang di mana adanya Ong Hoe Tjoe. Untung, jika tidak ada Ong Hoe Tjoe datang ke situ, ia dengan si Selendang Merah pasti akan mati kecapean.
Setelah dapat menenangkan dirinya dari gangguan Pay-hoa Kui-bo, ia melihat pemudi idam-idamannya sedang berpelukan dengan si anak gembala di depan mata.
Hal mana tentu saja telah menimbulkan rasa cemburu, maka dengan tidak mengucapkan terima kasih lagi, ia tertawa dingin dan kembali ke tempat asalnya.
Mulai dari saat itu, golongan partai Padang Pasir telah menanam permusuhan dengan Koo San Djie, dan sering melepaskan orang-orangnya untuk mencari setori.
Munculnya Ong Hoe Tjoe telah menarik perhatian semua orang, sehingga mereka lupa akan kepergian si Selendang Merah dan juga kepergian Ong Sun Thay.
Sampai waktu Tjeng Tjeng dapat menarik Ong Hoe Tjoe dan diajak bicara ke barat dan ke timur, baru Koo San Djie ingat akan si Selendang Merah.
Dengan segera ia memalingkan mukanya dan mencari-cari, tapi biar bagaimana juga ia tidak dapat menemukannya lagi. Ia hanya menyangka, tentunya si Selendang Merah sudah menjadi malu dan pergi maninggalkan dengan diam-diam, maka ia juga tidak menaruh perhatian lagi.
Waktu itu, Tjeng Tjeng sudah seperti dakocan besar saja yang menempel pada Ong Hoe Tjoe, bertanya ini dan itu.
Sewaktu tangannya menyentuh baju bulu burung Ong Hoe Tjoe yang indah, dengan heran ia bertanya:
"Ciecie Tjoe, bukan main bagusnya bajumu itu."
Ong Hoe Tjoe dengan tertawa menjawab:
"Kebagusannya hanya nomor dua, yang pertama ialah khasiatnya baju ini yang banyak berguna."
Lalu ia menuturkan kisahnya bertemu dengan Si Bidadari Sayap Biru di dalam Lembah Hewan dan memperdalam kepandaian silatnya, sehingga semua orang yang mendengarkannya menjadi terheran-heran..
Mandadak Tjeng Tjeng bertanya lagi:
"Jika si Bidadari Sayap Biru adalah orangnya Lembah Merpati, apa dia tidak mengatakan, di mana letaknya lembah yang tersembunyi itu?"
Ong Hoe Tjoe menggeleng-gelengkan kepalanya,
"Peraturan leluhur Lembah Merpati tidak mengijinkan orang-orangnya membongkar rahasia ini di hadapan orang luar. Tentu saja ia tidak memberi tahu," jawab Ong Hoe Tjoe.
Koo San Djie menimbrung: "Sekarang kita tidak usah takut tidak dapat menemukan tempat itu. Yang kukuatirkan ialah jalannya yang bisa mempersulit kita."
Ong Hoe Tjoe seperti baru tersadar dari mimpinya, katanya:
"Sekarang aku baru mengerti. Biarpun si Bidadari Sayap Biru tidak memberitahu, di mana letaknya Lembah Merpati, tapi dia mengajari banyak gambar-gambar yang tentu mengandung arti yang dalam. Dan gambar-gambar tadi tentunya ialah jalan-jalan di rimba belantara yang tidak mau menerima orang luar itu."
Setelah membiarkan tiga anak muda itu repot pasang omong sekian lama, baru Tiauw Tua menyelak:
"Sekarang kita telah dapat memastikan letaknya Lembah Merpati, tentu berada di sebelah barat Kang-see, gambar jalan untuk memecahkan kesulitan di dalam rimba belantara juga telah berada di tangan kita, kita tinggal menyiapkan tenaga saja. Dan inilah yang terpenting dalam keseluruhannya, kita harus mempunyai suatu rencana yang sempurna."
Terhadap sang toako ini, Koo San Djie selalu menghormat. Maka ia tidak berkata suatu apa.
Si Sastrawan Pan Pin berkata:
"Lembah Merpati adalah musuh bersama dari semua orang, termasuk juga orang-orang dari sembilan partai besar yang sudah mendendam sakit hati, karena terbunuhnya para ketua mereka. Jika dilihat dari sudut persahabatan, kita juga sudah saharusnya memberitahu kepada mereka tentang rencana ini."
Biarpun kuping Koo San Djie mendengar pembicaraan orang, tapi dalam hatinya sedang berpikir:
"Kepandaian dari Lembah ini, sudah tentu saja aku tidak boleh sembrono. Dengan menggunakan waktu mereka memberi kabar kepada golongan partai, lebih baik aku mencari suatu tempat yang aman untuk memperdalam ilmu yang tertulis dalam kitab kutu buku. Baru aku dapat melayaninya dengan terlebih sempurna."
Maka maksuduya ini dikatakan juga terhadap semua orang.
Terdengar Tiauw Tua yang pertama menyetujui:
"Demikianpun baik juga. Kita tetapkan saja setengah tahun kemudian kita beramai-ramai bertemu pula di sini."
Setelah berlalunya Tiauw Tua dari rombongan mereka, Koo San Djie menuturkan juga pengalamannya di dalam goa, tentang si Orang Tua Bertangan Satu yang mengalami nasib malang. Dan tidak lupa juga ia memberikan pada Ong Hoe Tjoe dan Tjeng Tjeng, pil yang sangat berfaedah dari pemberian si Orang Tua Bertangan Satu.
Demikianlah mereka sudah merundingkan soal yang lain-lain. Jika seorang anak laki dan dua orang anak perempuan berkumpul bersama-sama, si anak lakilah yang menerima penderitaan.
Tidak terkecuali juga dengan Koo San Djie di sini, di tengah perjalanan selalu ia tidak mendapatkan bagian bicara.
Dari usulnya Tjeng Tjeng, dan setelah disetujui oleh Ong Hoe Tjoe, mereka bertiga bermaksud pergi ke dalam Makam Merpati untuk meyakinkan ilmu terlebih jauh.
Tiga anak muda ini sudah bersedia pergi ke dalam Makam Merpati, mendadak, Koo San Djie menahan tindakan kakinya, dengan perlahan ia berkata:
"Orang dari Lembah Merpati."
Betul saja, tidak lama kemudian, seorang pemudi berbaju putih dan seorang pemuda berbaju merah lewat di seberang mereka.
Tjeng Tjeng yang paling tidak dapat menahan sabar sudah berkata:
"Mari kita pergi mengejar!"
Tapi Koo San Djie sudah palangkan kedua tangannya mencegah:
"Tunggu dulu di belakang mereka masih ada orang lagi......"
Dan betul saja, dua pasang bayangan orang terbang mengikuti pasangan anak muda tadi.
Ong Hoe Tjoe menjadi kaget juga.
"Apakah artinya mereka ini" Apa di dalam Lembah Merpati telah terjadi perobahan?" tanyanya.
"Bisa jadi," jawab Koo San Djie. "Mari kita mengejar."
Tiga anak muda ini menggunakan kepandaian masing-masing, bagaikan kecepatan burung saja, mereka melayang-layang mengejarnya.
Tjeng Tjeng yang masih bersifat kanak-anak, sudah tidak mau ketinggalan dari dua kawannya, ia mendahului mengeluarkan semua kepandaian ilmu mengentengi tubuhnya berjalan dipaling depan.
Ong Hoe Tjoe juga ingin mengetahui, sempai di mana ilmu yang baru dapat dipelajarinya dari dalam Lembah Hewan, gerakan tubuhnya sebentar tinggi dan sebentar rendah, selalu berjalan merendengi Tjeng Tjeng.
Koo San Djie melihat kepandaian ilmu meringankan tubuh dari dua kawannya menjadi amat kagum.
Tidak lama kemudian, mereka bertiga telah sampai di salah satu kota, maka dengan bersama-sama, mereka mengurangi kecepatan larinya.
Segera mereka mencari rumah makan untuk menangsel perut yang sedang keroncongan.
Tjeng Tjeng mana ada napsu makan" Dengan memonyongkan mulut kecilnya ia berkata:
"Aku tidak percaya, ilmu mengentengi tubuh mereka dapat memenangkan kita. Mengapa masih tidak terlihat jejak mereka?"
"Mungkin mereka sudah mengambil jalan lain," jawab Ong Hoe Tjoe.
"Tidak perduli bagaimana," kata Koo San Djie, "Kita harus terus mengejar."
Sedang enak-enaknya tiga anak muda ini berunding, mendadak, sesosok bayangan hitam muncul dari pintu, seorang pengemis tua yang berambut awut-awutan dengan tidak mengatakan suatu apa lagi sudah duduk di antara mereka.
Tjeng Tjeng sangat mementingkan kebersihan, melihat si Pengemis yang kotor, hampir ia muntah. Dengan mempelototkan kedua matanya ia sudah mau marah.
Tapi si Pengemis tua sudah mendahului tertawa:
"Hi, bagus betul potongan tubuhmu......"
Lima Raja Iblis Lawan Lembah Merpati
Tjeng Tjeng yang sudah tidak dapat menahan marahnya, lima jari kecilnya bergerak dan mengeluarkan angin menyerang si Pengemis tua tadi.
Si Pengemis tua dengan masih tertawa menggoyang-goyangkan tangannya:
"Tunggu dulu. Tunggu dulu. Nyawa si pengemis tua masih mau dipakai untuk menonton keramaian."
Angin yang lembut dari goyangan tangan tadi telah menahan serangan lima jari Tjeng Tjeng.
Putri Liu Djin Liong penasaran, ia sudah mau mengeluarkan serangannya, ia telah ditahan oleh Koo San Djie dan berkata:
"Sudah! Jangan meneruskan seranganmu, Mari aku perkenalkan, dia inilah orang tua tersohor dengan julukan si Pengemis Sakti Kiang Tjo."
Si Pengemis Sakti masih menggoyang-goyangkan kedua tangan.
"Sudahlah! Jangan banyak memuji orang. Apa kalian kemari untuk melihat keramaian?" tanyanya.
Koo San Djie sudah menalangi kawan-kawannya menjawab:
"Kami sedang mengejar orang-orang Lembah Merpati, tapi sampai di sini, mendadak kehilangan jejak mereka."
Si Pengemis Sakti kaget sampai menepok meja:
"Tentu mereka pergi ke gunung Sin-sa."
Kemudian ia memberikan penjelasannya:
"Yang menjadi kepala dari lima raja Iblis yaitu si Badak Tanduk Perak, dengan tidak disengaja telah berhasil mendapatkan peta jalan Lembah Merpati, dengan seorang diri saja dia telah berhasil merebut kembali kitab Sari Pepatah Raja Woo yang telah dirampas orang Lembah Merpati dari tangannya Kim Ting Sa, dia juga telah mengantongi harta benda berharga dari dalam Lembah Merpati. Maka dengan menggunakan kesempatan ini, dia telah mengeluarkan banyak surat undangan untuk bersama menduduki tanah yang subur itu......"
Koo San Djie yang mendengar sampai di sini sudah keterlepasan berkata:
"Dia sedang mengimpi, Lembah Merpati penuh dengan orang-orang pandai, mana dapat membiarkan orang-orang tolol begitu berbuat dengan semau-maunya?"
Perkataan ini membuat orang terkejut, kecuali Ong Hoe Tjoe yang mengerti sedikit tentang keadaan Lembah Merpati, si Pengemis Sakti Kiang Tjo menjadi bingung juga. Di dalam hatinya ia berkata:
"Si Badak Tanduk Perak adalah orang nomor satu di kalangan hitam, maka ia dapat keluar masuk di dalam Lembah Merpati seperti tidak ada orang yang telah menjadi suatu kenyataan. Mengapa bocah ini masih tidak mempercayainya" Dan lagi jika didengar dari perkataannya, ia seperti berpihak kepada orang Lembah Merpati."
Tapi si Pengemis Sakti tidak tahu tempat yang dapat dimasuki oleh Badak Tanduk Perak ini adalah Lembah Luar dari Lembah Merpati. Dan lagi telah berapa ribu tahun belum pernah kemasukan orang, sehingga penjagaan di situ menjadi tidak begitu keras dan sering lengah. Si Badak Tanduk Perak yang lagi bintang terang, dapat masuk keluar Lembah Merpati dengan bebas.
Koo San Djie melihat si Pengemis Sakti seperti tidak mau mengerti, maka ia sudah menjelaskan:
"Kepandaian-kepandaian yang sering kita saksikan di kalangan Kang-ouw bukannya kepandaian asli dari Lembah Merpati! Jika kepandaian asli dari Lembah Merpati ini dapat keluar di kalangan Kang-ouw, aku sendiri juga belum tentu dapat menandinginya."
Kepandaian Koo San Djie yang tinggi telah diketahui sendiri oleh si Pengemis Sakti Kiang Tjo, sampai Koo San Djie demikian memuji tinggi kepandaian asli Lembah Merpati, mau tidak mau ia harus percaya juga.
Terdengar ia menghela napas dan berkata:
"Jika mendengar penjelasanmu, aku si melarat harus percaya juga. Tapi, biar bagaimana juga, aku ingin melihat dengan mata kepala sendiri, kepandaian yang kau puji-puji dari Lembah Merpati."
Koo San Djie bercerita: "Asal mulanya Lembah Merpati adalah usaha dari para menteri dari kerajaan kuno kita yang mengasingkan diri karena tindakan sewenang-wenang dari sang raja. Turun menurun mereka berdiam di lembah itu, maka terjadilah perkampungan dengan nama Lembah Merpati. Orang-orang yang keluar lembah dan berbuat jahat, hanya terdiri dari beberapa gelintir orang saja. Nanti, setelah aku dapat masuk ke sana, tentu akan memberi hukuman yang setimpal kepada mereka ini......"
Beberapa perkataan dapat keluar dari mulut seorang anak gembala yang masih sedemikian mudanya, membuat si Pengemis Sakti yang telah kawakan menjadi kagum.
Pikirnya: "Sombong benar bocah ini! Berapa sih umurnya anak yang masih ingusan ini" Berani mengatakan hendak memberi hukuman kepada orang?"
Koo San Djie juga sudah merasa keterlepasan omong, maka segera ia memutar bicara:
"Kitab Sari Pepatah Raja Woo, adalah kepunyaan Liu-supek, tidak dapat kitab ini terjatuh ke dalam tangan orang lain, sekarang aku ingin pergi ke sana untuk mengambil kembali."
Kiang Tjo tertawa lebar: "Jika kau mempunyai niatan yang bagus ini aku juga bersedia untuk membantu."
Koo San Djie lalu menjura dan mengucapkan terima kasih.
"Janji Locianpwe adalah sangat berharga. Mari kita mencari tempat meneduh dulu, pada waktu malam baru kita bekerja."
Pada malam itu, tiga anak muda dan seorang tua bersama-sama menuju ke sarang perserikatan lima raja iblis di gunung Sin-sa.
Gunung Sin-sa tadinya adalah suatu tempat yang tidak terawat dan di kelilingi oleh tiga tebing yang tinggi. Setelah terjatuh ke dalam tangan lima raja iblis, baru diperbarui dengan bermacam-macam tempat penjagaan yang tersembunyi. Sehingga dapat dikatakan juga sebagai suatu benteng yang kuat dan terpelihara.
Tapi semua usaha mereka di mata Koo San Djie dan kawan-kawan tidak berarti sama sekali. Hanya seperti berkisarnya angin saja, mereka berempat telah dapat melewati semua penjagaan.
Si penjaga tidak menyangka akan bayangan orang yang dapat berjalan sedemikian cepat, dalam anggapan mereka yang tolol, tentu adalah beberapa burung malam yang pulang kandang.
Setelah dapat memasuki tengah-tengah benteng ternyata lampu di sini dipasang terang benderang, masih terdengar suaranya banyak orang yang sedang makan minum di dalam pesta.
Empat orang sudah dipecah menjadi dua rombongan dan masing-masing maju dari kiri dan kanan.
Koo San Djie dan Ong Hoe Tjoe berdua sudah dapat masuk ke dalam ruangan dan bercokol di antara mereka.
Dilihatnya tiga meja dipasang segi tiga, si Badak Tanduk Perak, Kim Ting Sa, Hu-lan Lo-kway dan si Kepala Setan Srigala duduk disatu meja. Di meja sebelah kiri terdapat empat pengiring pribadi Pay-hoa Kui-bo; si Hakim Neraka, Muka Kuda, Sapi Celaka dan Babi Tertawa. Dan yang lain-lainnya terdiri dari orang yang tinggi pendek dari kalangan hitam.
Si Badak Tanduk Perak adalah kepala mereka. Kecuali Kim Ting Sa yang masih dapat melayani bertanding beberapa jurus, lain-lainnya tiada yang nempil, seperti si Kepala Setan Srigala dan yang lain-lainnya tidak ada separuh dari kepandaian Badak Tanduk Perak.
Apa lagi sesudah ia berhasil dapat masuk ke dalam Lembah Merpati dan membawa beberapa oleh-oleh yang membuat semua orang menjadi bertambah mengilar. Maka kepalanya telah menjadi besar beberapa kali lipat.
Empat raja iblis lainnya dan orang-orangnya, semua merasa jeri terhadap kepandaian Lembah Merpati yang disohor-sohorkan orang. Tapi kini melihat pemimpin mereka secara mudah saja masuk keluar Lembah Merpati, mereka memandang rendah kepada Lembah Merpati yang tadinya dianggap angker itu. Siapa yang tidak ingin masuk ke sana"
Semua orang yang mengikut perjamuan itu rata-rata memuji-muji kepandaian si Badak Tanduk Perak. Dan yang dipuji juga sudah tidak segan-segan lagi menerima umpakan-umpakan, sudah membayangkan dirinya akan naik ke takhta kerajaan baru.
Di antara beradunya cawan-cawan arak mendadak terdengar suara bentakan si Badak Tanduk Perak:
"Sahabat dari mana yang berani mengumpat di sini" Apa tidak takut dianggap seperti pencuri?"
Ong Hoe Tjoe menjadi kaget, ia sudah bersedia lompat turun, tapi keburu dicegah oleh Koo San Djie.
Dalam sekejapan mata, mereka terbelalak. Kiranya, di tengah-tengah ruangan telah bertambah dua pasang muda mudi, yang pemuda berpakaian merah, dan pemudinya mengenakan pakaian putih lebar.
Terdengar salah satu di antara mereka berkata kepada si Badak Tanduk Perak:
"Sudah dua ribu tahun, Lembah Merpati tidak diketahui oleh orang luar. Kau ini betul-betul bernyali sangat besar, berani menyelinap masuk ke sana dan mencuri barang juga. Maka dengan kesalahanmu ini, kau wajib menerima kematian."
"Di sini berani omong besar, sekelompokan kecil orang Lembah Merpati yang tidak berguna telah dapat kulihat di sana, bahkan sudah dapat kembali lagi kemari dengan tidak kurang suatu apa. Akan kulihat bagaimana kalian mengambil tindakan?"
Si pemuda berbaju merah yang berada di sebelah kiri berkata:
"Kau tertawa apa" Lebih baik segera memanggil orang-orangmu untuk menyediakan peti mati."
Mendadak, ia bersiul sekali dan orang ini sudah berbareng bergerak.
Sebentar saja dalam ruangan perjamuan itu telah ramai dengan bermacam-macam bentakan, lebih dari sepuluh orang sudah menubruk empat orang tadi.
"Bleduk, bleduk." Lebih dari tujuh orang sudah terjungkal. Dua pemudi berbaju putih menggoyang-goyang empat tangan mereka, tidak henti-hentinya mengeluarkan asap putih.
Ong Hoe Tjoe dan Koo San Djie yang berjarak tidak jauh dari mereka juga turut mencium bau wangi-wangian yang menusuk hidung, kontan kepala mereka menjadi pusing.
Ong Hoe Tjoe dengan lekas menggoyang-goyangkan dua pundaknya, dari baju burungnya juga telah mengeluarkan semacam wangi-wangian yang mengusir asap beracun tadi.
Sewaktu mereka melihat ke bawah, empat anak muda tadi sudah tidak terlihat mata hidungnya sama sekali. Di ruang perjamuan telah kalut, beberapa orang terlihat sedang berusaha membikin bangun orang yang terkena racun.
Si Badak Tanduk Perak, Kim Ting Sa dan beberapa orang lagi sudah tidak terlihat juga.
"Celaka!" seru Koo San Djie. "Kita lekas menyusul mereka. Jika telat sedikit saja, kitab Sari Pepatah Raja Woo mungkin telah dapat direbut oleh mereka.
Dua orang bagaikan angin saja sudah menuju ke belakang, di mana ada terdengar suara pertempuran.
Ong Hoe Tjoe karena saking tergesa-gesa sudah mengeluarkan ilmu kepandaiannya. Berjumpalitan di udara, menerjang ke belakang ruangan.
Koo San Djie juga sudah dapat mengumpulkan semua tenaganya dan dengan Awan dan Asap lewat di mata, menyusul sang kawan.
Tapi pertempuran sangat kalut sekali, untuk sementara, mereka sudah tidak dapat berbuat sesuatu apa.
Di dalam medan pertempuran, kecuali orang-orang dari Lima raja iblis, juga terdapat empat muda mudi dari Lembah Merpati.
Si Pengemis Sakti Kiang Tjo menahan serangan Kim Ting Sa, Tjeng Tjeng juga sedang bergulat seru dengan seorang pemudi berbaju putih. Dan orang-orang yang lainnya juga sudah mencari musuh mereka masing-masing.
Tjeng Tjeng yang melihat datangnya Koo San Djie sudah lantas berteriak nyaring:
"Koko San, kitab Sari pepatah raja Woo di tangannya orang ini!"
Ia menudingkan jari ke arah seorang pemudi baju putih.
Ia berteriak begini tidak mengapa. Tapi justru karena teriakannya ini membuat semua orang sudah lantas meninggalkan musuhnya masing-masing dan mengeluruk ke arah pemudi berbaju putih.
Si Badak Tanduk Perak, Hu-lan Lo-kway dan Kim Ting Sa sudah menjujukan pukulan mereka bertiga ke satu arah ini.
Koo San Djie membentak keras, lalu maju satu tindak dan menyampok tiga pukulan ini dengan berbareng.
Badak Tanduk Perak memang sedang mendongkol, menemu halangan ini sudah menjadi semakin benci kepada anak muda kita. Bukannya ia mundur menyingkir dari serangan, malah mengeraskan tenaga pukulan.
"Buuk!" Dua-duanya sama mundur satu tindak karena sama kuat.
Koo San Djie malam itu diam-diam sudah bersumpah akan dapat merebut kembali kitab pusaka, tidak perduli musuh siapa yang menghalang-halangi sudah main hantam saja.
"Kitab Sari Pepatah Raja Woo adalah milik pendekar Merpati Liu Djin Liong, semua orang jangan harap memilikinya!" ia berteriak keras.
Si Badak Tanduk Perak mana mau mengalah sama seorang anak muda, dengan mengirim lagi pukulannya ia berteriak juga:
"Kau ini orang apa?"
Si pemudi berbaju putih yang memegang kitab tadi sudah lantas berpikir:
"Jalan yang paling aman ialah lari meninggalkan mereka."
Maka ia sudah melompat tinggi di atas kepala semua orang dan siap melarikan diri.
Mendadak, bayangan hijau daun sudah menghadang di hadapannya, mengulurkan tangan putihnya mengarah beberapa jalan darah yang terpenting.
Si pemudi berbaju putih adalah orang pilihan Lembah Merpati, mana dapat gampang-gampang ditotok, biarpun badannya di udara, ia juga masih dapat menggerakkan tangan, ia berbalik, mau memegang tangan orang.
Tapi gerakannya telah menyebabkan kehabisan napas, tubuhnya terjatuh kembali ke tempat asal.
Orang yang datang menyerang kepadanya adalah Ong Hoe Tjoe, kemudian turun di samping Koo San Djie.
Dalam satu gebrakan ini, orang-orangnya dari ketiga belah pihak sudah beramai-ramai mengurung baju putih. Semuanya berpandang-pandangan siap siaga untuk mencari kasempatan. Tapi siapa juga tidak mau bergerak terlebih dulu.
Sebabnya tidak sukar untuk diduga, karena jika siapa yang bergerak terlebih dulu, tentu akan mendapat serangan bersama dari dua pihak lainnya.
Si Pengemis Sakti Kiang Tjo sudah tertawa:
"Dengan cara pertarungan seperti mengadu ayam ini, mana ada kesudahannya" Kitab Sari pepatah raja Woo, adalah miliknya si tua Liu Djin Liong. Buat apa susah-susah diperebutkan?"
Kim Ting Sa keluarkan suara jengekkan:
"Tidak semudah itu, sahabat."
Ia membuka lima jarinya dan mencengkram ke arah si pemudi berbaju putih.
"Serr, serr....." Lima jarinya Tjeng Tjeng juga tidak mau ketinggalan, menubruk belakang Kim Ting Sa.
Kehancuran Lima Raja Iblis
Dua pemuda baju merah yang menjadi kawan si pemudi berbaju putih tentu saja tidak mengijinkan kawannya dihina, maka dua-dua mengeluruk ke arah Kim Ting Sa.
Sepandai-pandainya Kim Ting Sa, sudah tentu tidak dapat melawan jumlah serangannya tiga orang ini, saking takutnya, sampai ia mundur balik ke belakang lagi.
Keadaan kembali menjadi tenang, untuk menunggu keributan yang lebih besar.
Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang sedang mencari daya yang lebih bagus lagi untuk menarik keuntungan dari orang banyak ini.
Empat orang muda dari Lembah Merpati inilah yang paling tenang, mereka tahu, lima raja iblis dan kawan-kawannya tidak dapat bertahan sampai pagi hari, karena telah makan makanan yang mengandung racun. Dan pada waktu itu, mereka dapat mengumpulkan tenaga, untuk menggempur rombongan anak gembala.
Tapi, di mulut mereka tidak mau mengatakan apa-apa, mereka takut si Badak Tanduk Perak sekalian dapat mengadu jiwa.
Koo San Djie sedang berpikir keras, dengan cara apa, baru ia dapat merebut kitab pusaka dari pemudi berbaju putih"
Ong Hoe Tjoe memang pintar, hatinya juga tahu, siapa-siapa yang berani menyerang pemudi berbaju putih, tentu akan mendapat serangan berbareng dari dua belah pihak, kecuali orang ini dapat menahan serangan berbareng dengan tidak terluka. Tapi siapakah orangnya yang sanggup menahan serangan berbareng"
Hanya ia sendiri yang mungkin sanggup menerima pukulan-pukulan ini, karena baju burungnya tidak mempan akan senjata dan tenaga.
Maka, setelah dapat mengambil putusan, ia memberi tanda kepada Koo San Djie sekalian. Bagai kecepatan burung, ia menubruk ke arah si pemudi pemegang kitab.
Serangan dari udara ini ada sangat sukar diduga, pemudi berbaju putih hanya menyaksikan adanya bayangan orang melayang, jalan darahnya telah terkena totokan.
Dengan tidak menghentikan gerakan tangannya lagi, ia sudah meneruskan merogoh kantong orang dan terbang balik kembali.
Sebentar saja, bentakan-bentakan dari orang banyak menjadi gempar, serangan-serangan mereka ditujukan ke arah Ong Hoe Tjoe.
Pukulan-pukulan ini jatuh di tubuh si gadis, tanpa dirasakan oleh orang yang bersangkutan. Dengan tidak menghentikan gerakan, ia kembali lagi ke tempat asalnya.
Sebelum ia dapat menginjak tanah, ia telah diberondong oleh sekian banyak serangan.
Dengan sekali jumpalitan, Ong Hoe Tjoe sudah dapat memutar arahnya, menuju ke tempat Koo San Djie. Ia mengeluarkan segulungan benda dan disesapkannya ke arah Koo San Djie, katanya:
"Nah, ini kau boleh simpan kembali."
Kitab yang dibuat rebutan telah dapat kembali, si Pengemis Sakti Kiang Tjo sudah tertawa terbahak-bahak:
"Nona Tjoe betul-betul pandai. Kini kitab telah kembali ke asalnya."
Si Badak Tanduk Perak tertawa dingin:
"Hm...... Apa kalian kira masih dapat meninggalkan tempat ini?"
Koo San Djie mendongkol, "Aku juga tidak mau pergi. Siapa yang berani" Datanglah kemari, coba merebutnya!" tantangnya.
Kim Ting Sa pernah berhasil memukul jatuh anak muda ini, dengan menghina ia berkata:
"Apa kau kira gunung Sin-sa dapat membiarkan kau berbuat sombong?"
Ia mendahului dari kawan-kawannya dan menyerang sampai tiga kali.
Koo San Djie hanya menghadapi satu lawan, tentu saja dianggap sepi. Badannya tidak bergerak, membiarkan serangan lawan sampai dekat, baru berputar dan menyambuti dengan kekuatan penuh.
Kim Ting Sa menganggap tenaganya sudah cukup kuat, tidak takut membentur sambutan hebat ini, malah ia menambah tenaganya lagi.
Koo San Djie bermaksud menebus kekalahannya tempo hari, setelah menyambuti ia balas menyerang. Jurus yang kedua dengan pukulan geledeknya juga menyusul tiba.
Kim Ting Sa memang tidak tahu mati, begitu menerima serangan Koo San Djie yang pertama, badannya tergetar. Ia melihat serangan lawan seperti ada sesuatu yang lain, terhadap serangan yang kedua, ia berusaha mau membuang diri ke samping. Tapi sudah terlambat, dadanya terasa menjadi sesak, ia terhuyung-huyung ke belakang dengan menderita luka di dalam.
Si Badak Tanduk Perak yang melihat di samping menjadi kaget, ia maju membantu menahan serangan Koo San Djie.
Koo San Djie telah melancarkan serangan yang pertama dan kedua ia juga telah meneruskan serangan geledeknya yang ketiga.
Si Badak Tanduk Perak yang bantu menahan tadi, baru tahu betapa hebatnya serangan Koo San Djie, maka ia sudah segera menyingkir dari serangan yang ketiga.
Terdengar suara gemuruh, kiranya tempat di mana tadi ia berdiri telah berlubang besar, akibat terkena serangan Koo San Djie.
Melihat ini, si Badak Tanduk Perak meleletkan lidah, tapi jika mengingat kitab yang dengan susah payah baru didapatkan harus diberikan kepada orang lain, hatinya masih penasaran.
Ia mendahului menyerang dan telah mengeluarkan serentetan pukulan sampai tujuh kali.
Dengan tenang Koo San Djie menyambuti semua serangan-serangan ini satu persatu. Ia juga tidak mau tinggal diam, setelah cukup menyambuti semua serangan si Badak Tanduk Perak, tangannya digerakkan berkali-kali, membalas menyerang sampai lima kali. Lima serangannya ini telah membuat si Badak Tanduk Perak kewalahan.
Setelah berkali-kali mereka serang menyerang, orang-orang Lembah Merpati juga sudah siap untuk turun tangan. Tapi, jika, mengingat kepandaian si anak gembala yang begitu tinggi, sedangkan di belakangnya juga masih terdapat Tjeng Tjeng dan Ong Hoe Tjoe, jika hanya dengan empat orang seperti sekarang tentu tidak ada pegangan untuk memenangkannya. Maka, mereka hanya manunggu kesempatan yang menguntungkan.
Keadaan di medan pertempuran menjadi tegang kembali.
Sebenarnya, jika mau menggunakan kepandaiannya Awan dan Asap lewat di mata, Koo San Djie dengan mudah dapat keluar dari kepungan orang-orang ini. Tapi ia ti dak mau berbuat demikian.
Tiba-tiba terdengar dua kali bentakan si Setan Kepala Srigala dan Hu-lan Lo-kway, mereka siap maju berbareng.
Menggunakan kesempatan ini, dua pemuda berbaju merah juga sudah berpencar dan menyerang dari dua jurusan.
"Ser, ser......" kekuatan tadi kelihatan dari lima jari kecilnya Tjeng Tjeng sudah memapaki pemuda berbaju merah yang berada di sebelah kiri.
Ong Hoe Tjoe juga tidak mau tinggal diam ia mengibaskan senjata kipasnya menahan serangan yang datang dari sebelah kanan.
Koo San Djie memutarkan sebelah tangannya, lalu disodokkan ke arahnya Hu-lan Lo-kway, dan tangan kirinya dengan sebat telah mengeluarkan Pit Badak Dewa,
Pit Badak Dewa yang berwarna hitam berkelebat, si Kepala Setan Srigala menjerit dan jatuh ke tanah, dadanya telah tertembus oleh Pit yang tajam itu.
Hu-lan Lo-kway yang kebentrok sekali dengan sebelah tangannya Koo San Djie, melihat sang kawan dalam tempo segebrakan sudah harus menerima kematian, ia menjadi nekad.
Tangannya dipilin-pilin dengan cepat, ombak dingin saling susul datang menyerang ke arah Koo San Djie.
Sepasang alisnya Koo San Djie menjadi berdiri, Pit Badak Dewa yang hitam membuat beberapa kali lingkaran mengelilingi tubuhnya di tengah-tengah sinar hijau yang remang-remang seperti pedut.
Ombak dingin begitu membentur pedut hijau ini sudah lenyap tidak berbekas sama sekali.
Telah berkali-kali Hu-lan Lo-kway melangkah maju, tapi harus dipaksa balik mundur kembali.
Si Badak Tanduk Perak hanya takut kepada Pit ajaib yang besar khasiatnya ini, maka ia berkata:
"Hei, jika betul kau berani, mari kita mengadu tenaga dengan menggunakan telapak tangan kosong."
Koo San Djie lantas menyimpan Pit wasiatnya.
"Siapa yang takut" Sampai di mana juga akan kulayani."
Si Badak Tanduk Perak tertawa dingin, tulang-tulangnya berkeretekan, berbunyi beberapa kali, dua tangannya dilempangkan ke depan secara perlahan-lahan.
Inilah jumlah semua tenaga latihan, jika dilihat dengan sekelebatan seperti enteng sekali, tapi sebenarnya beberapa kali lipat lebih hebat.
Koo San Djie juga menangkis dengan pukulan. Ilmunya Ombak menyapu ribuan sampah, dikeluarkan dan mendahului memapaki kekerasan itu.
Dua angin pukulan keras terbentur.
Koo San Djie miring dia mundur lima tindak. Tjeng Tjeng berteriak keras, ia sudah maju untuk menolong, disaat itu, Koo San Djie sudah maju lagi, membentur lagi pukulannya sang musuh!
Si Badak Tanduk Perak tertawa mengejek, dengan mengibaskan lengan bajunya, ia juga tidak mau ketinggalan menyerang.
Tapi kali ini giliran ia sendiri yang merasakan sesak dada, pukulan Koo San Djie seperti ombak laut saja datang dengan tidak putus-putusnya.
Gelombang pukulan ini telah membuat tubuhnya si Badak Tanduk Perak terpental naik ke tengah udara.
Kim Ting Sa dan Hu-lan Lo-kway berdua sudah maju untuk menolong kawan mereka, tiba-tiba saja, dada mereka terasa bergolak dan terjatuh dua-duanya.
Tubuh kedua orang itu terduduk lemas.
Koo San Djie menjadi melengak di tempatnya, ia tidak mengerti, kejadian apalagi yang dapat datang dengan mendadak ini"
Empat orang Lembah Merpati hanya tertawa terbahak-bahak.
"Jika raja akherat telah menetapkan kematiannya ini jam juga, mana dapat ditawar-tawar lagi."
Semua orang seperti telah mengerti, bencana apa yang telah menimpa diri mereka, sebentar saja, pedang dan golok keluar dari kerangka semua dan ditujukan keorang orangnya Lembah Merpati.
Tiba-tiba...... Terdengar suara tertawa seorang yang menggema angkasa.
Berbareng dengan tertutupnya suara tertawa dari orang-orang Lembah Merpati tadi, empat anak muda ini telah terbang meninggalkan gunung Sin-sa.
Pada waktu keadaan yang kalut ini, dari tengah udara telah lompat turun seorang laki-laki setengah umur.
Itulah si Pendekar Merpati Liu Djin Liong!
Tjeng Tjeng yang melihat datangnya orang ini sudah lantas berteriak:
"Ayah......" Ia mendahului melompat dan menubruknya ke dalam pelukan ayahnya.
Koo San Djie juga sudah lantas memberi hormatnya kepada sang supek.
Yang datang betul adalah si Pendekar Merpati Liu Djin Liong yang telah lenyap sekian lamanya.
Ia dengan tangan mengusap-usap rambutnya sang anak sudah berkata kepada Koo San Djie:
"Setahun tidak bertemu, kepandaianmu telah maju banyak sekali."
Si Pengemis Sakti Kiang Tjo tertawa dan maju ke muka.
"Hei kawan tua, jika kita bertemu muka tiga bulan sebelumnya, di antara kita akan terjadi pertarungan yang serupa juga."
Liu Djin Liong tertawa riang.
"Aku telah lama tidak keluar rumah, ada urusan apa lagi yang dapat menyinggung orang lain?"
Kiang Tjo bertanya dengan heran:
"Sembilan ketua partai besar dari berbagai golongan telah menemui ajalnya di dalam Makam Merpati. Kabar ini telah meluas kemana-mana apa betul kau masih belum mengetahui?"
Liu Djin Liong menjadi sangat kaget.
"Apa betul?" Lalu pandangan matanya di arahkan kepada Koo San Djie sekalian dan berkata:
"Dengan tidak mendapat ijin dan berani sembarangan memasuki Makam Merpati sudah seharusnya menerima kematian, tapi siapakah orangnya yang telah mewakiliku?"
Ia sudah menyangka akan perbuatan Koo San Djie, maka sudah mengarahkan pandangannya pada si pemuda.
Waktu itu, si Badak Tanduk Perak yang sudah hampir mendekati ajalnya, dengan sekuat tenaga masih coba berkata:
"Tentang mereka, akulah yang membunuhnya, hanya......"
Si Pengemis Sakti maju setindak dengan geramnya ia berkata:
"Mengapa kau begitu kejam" Sampai satupun tidak ada yang lolos dari tangan jahatmu?"
Si Badak Tanduk Perak menghela napas:
"Aku hanya kebetulan saja untuk menalangi menjadi algojo. Kejadian waktu itu tidak berbeda jauh dengan hari ini, mereka semua terkena racun terlebih dulu. Haaaiiiiii...... Tidak disangka aku menjadi jago dunia sekian lamanya, juga harus......"
Sampai di sini, ia sudah tidak dapat melanjutkan perkataannya pula, seorang jago dari kalangan tersohor telah menemukan ajalnya secara penasaran.
Kemudian menyusul pula jeritan dari Kim Ting Sa, Hu-lan Lo-kway dan yang lain-lain, mereka tidak mau ketinggalan untuk pergi menyusul kawannya, melaporkan diri ke tempatnya raja akherat.
Benar-benar hebat pengaruh racun Lembah Merpati.
Koo San Djie sudah lantas mengeluarkan kitab Sari Pepatah Raja Woo yang sekian lama diperebutkan dan diserahkan kepada sang supek.
"Ini kitab yang beruntung masih dapat direbut kembali, harap supek dapat menerimanya kembali," katanya.
Liu Djin Liong sambil menerima kitab tadi tertawa berkakakan:
"Jika supekmu sampai sejilid kitab saja masih tidak dapat menjaga, buat apa mendapat julukan Pendekar Merpati dan jalan di kalangan Kang-ouw" Kitab ini adalah kitab palsu."
Si Pengemis Sakti Kiang Tjo menyelak:
"Hm, bagus, bagus. Karena kitab palsumu ini, sampai harus menyusahkan sedemikian banyaknya orang. Terlebih-lebih si bocah yang tidak mengenal mati."
Liu Djin Liong seperti setengah memuji setengah meminta maaf, dipandangnya Koo San Djie sekian lama.
Kemudian dengan perlahan-lahan ia berkata:
"Kini bereslah semua urusan ini dan bagaimana dengan selanjutnya perjalanan kita orang?"
"Aku akan pergi ke gunung Siong-san memberi laporan," kata Kiang Tjo. "Setengah tahun lagi kita sama-sama bertemu di dalam Lembah Merpati."
Lengan panjangnya lantas dikibaskan dan sebagai terbang saja ia turun meninggalkan mereka.
Setelah lenyap si Pengemis Sakti, Koo San Djie memberitahukan pada sang supek, maksudnya untuk kembali dulu ke dalam Makam Merpati untuk melatih diri bersama-sama dengan Tjeng Tjeng dan Ong Hoe Tjoe, memperdalam ilmunya.
Liu Djin Liong menyetujui akan maksud ini, maka ia berkata:
"Jika demikian, marilah kita bersama-sama kembali ke dalam Makam Merpati."
Demikianlah, berempat dengan Ong Hoe Tjoe mereka bersama-sama menuju ke Makam Merpati yang telah lama ditinggalkannya.
Liu Djin Liong sedari ditinggal minggat oleh Tjeng Tjeng yang nakal, telah menghapuskan peraturan yang tidak mengijinkan orang luar masuk ke dalam Makam Merpatinya. Maka dengan senang hati, ia mengajak Koo San Djie dan Ong Hoe Tjoe menuju ke Makam Merpati. Tentang minggatnya Tjeng Tjeng, tidak disebut-sebut lagi.
Jika Tjeng Tjeng menanyakan kemana saja setahun ini, sang ayah telah pergi" Selalu dijawab dengan gelengan kepala saja.
Tjeng Tjeng tahu akan adat ayahnya yang angkuh, mungkin ia telah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan, maka selanjutnya, ia juga tidak mau menanyakan lagi.
Dugaannya Tjeng Tjeng memang tidak salah.
Itu waktu, baru saja Liu Djin Liong keluar untuk mencari anaknya yang nakal yang minggat, ia sudah melihat sepasang anak muda yang menuju ke arah barat, dengan gerakan yang cepat sekali. Dengan gerakan yang digunakan oleh mereka ini adalah gerakan kepandaiannya sendiri. Maka hatinya tergerak dan kembali lagi ke dalam makamnya, meninggalkan sepotong kertas untuk anaknya, dan ke arah barat juga ia menyusul sepasang anak muda tadi.
Tapi ia mengejar setelah sampai di daerah pegunungan yang penuh belukar di daerah barat, ia kehilangan jejak dua anak muda yang dikejar.
Di daerah pegunungan ini ia berputar-putar sampai dua hari, selama ini ia telah dapat melihat hutan belantara yang gelap sekali, maka seperti terdapat sesuatu yang tidak beres, maka ia telah menyelidikinya dengan teliti.
Biarpun otaknya penuh dengan segala macam buku pengetahuan, tapi biar bagaimana juga, ia masih tidak dapat menemukan sesuatu yang aneh dalam rimba belantara.
Dalam keadaan demikian, mendadak matanya yang tajam telah dapat melihat musuh lama, si Badak Tanduk Perak, sambil celingukan keluar dari dalam rimba aneh itu.
Hatinya menjadi curiga, kepandaian silatnya si Badak Tanduk Perak, hanya berimbang dengan dirinya, tapi tentang pengetahuan umum, mana dapat disamai dengannya" Mengapa ia dapat memecahkan barisan tin ini"
Demikianlah, ia menguntit terus gerak gerik si Badak Tanduk Perak, sampai setahun dan sampai juga ia di gunung Sin-sa.
Tapi sekarang si Badak Tanduk Perak telah meninggalkannya, ia juga sudah tidak dapat mengutarakan kecurigaannya. Maka hatinya telah memutuskan untuk pulang dulu ke dalam Makam Merpati dan perlahan-lahan memikirkan cara pemecahannya soal barisan tin yang dialaminya.
Maka sewaktu Tjeng Tjeng mengajaknya pulang, ia sudah cepat-cepat melulusinya.
Tidak lama dari mereka meninggalkan gunung Sin-sa, di belakangnya telah terdapat orang yang menguntit. Tiga anak muda yang sedang girang dan belum cukup pengalaman tidak mengetahui kejadian ini, tapi Liu Djin Liong yang kawakan mana dapat dikelabuinya"
Tapi ia mana pandang mata segala kurcaci ini, dengan tertawa dingin ia tidak memperdulikannya.
Sewaktu mereka berempat memasuki pegunungan lain, dari salah satu tikungan, mendadak telah keluar menghadang seorang tua berbadan tinggi besar.
Orang tua tinggi besar ini memakai ikat kepala kain putih, brewok dan kumisnya penuh menutupi seluruh mukanya, di pinggang terikat juga kain kasar seperti di kepalanya.
Sambil menunjuk Koo San Djie lalu membentaknya:
"Partai Padang Pasir tidak pernah mengganggu urusanmu, mengapa kau berani sembarang menghina?"
Koo San Djie menjadi bingung, dengan tenang ia menjawab:
"Semua perkataanmu ini aku tidak mengerti. Di manakah aku pernah menghina partaimu?"
"Jangan banyak cingcong. Lihat serangan!" Orang itu membentak.
Betul saja ia sudah mengirim serangannya sampai tiga kali.
Angin pukulan menimbulkan hawa panas, hingga mulut menjadi haus kulit terasa seperti terbakar.
Kepandaian ini baru pertama kalinya memasuki daerah Tiong-goan, biarpun Koo San Djie dapat menahan serangan yang hebat, tapi terhadap hawa panas ini tidak berdaya sama sekali.
Hanya di pinggangnya yang tidak terasa panas, ia teringat akan Pit Badak Dewa.
Maka dengan sebat ia telah mengeluarkan dan diputar-putar menutup seluruh tubuh.
Apa mau, karena gugup, berbareng dengan senjata ampuh ia telah menarik ke luar juga tanda kebesaran dari Lembah Merpati yang didapati dari Orang Tua Bertangan Satu yang terkurung di dalam goa pembuangannya Lembah Merpati.
Tidak mempunyai waktu untuk menyimpan lagi tanda kebesaran ini maka Pit Badak Dewa membawa-bawa tanda kebesaran ini diputar-putar.
Tanda kebesaran Lembah Merpati yang asli mencahayakan khasiatnya, begitu terkena hawa panas si orang tua, lantas mengeluarkan asap putih, mengelilingi seluruh tubuh Koo San Djie.
Hawa panas telah hilang lenyap dan sebagai gantinya, asap yang keluar dari tanda kebesaran Lembah Merpati ini semakin lama menjadi semakin banyak, dan membuat sejuk kembali hawa di situ yang tadinya telah menjadi panas sekali.
Koo Sin Jie baru teringat akan khasiatnya tanda kebesaran ini yang dapat menahan panas dan menolak angin, nyalinya menjadi bertambah besar, karena sudah tidak takut lagi akan serangan panas si orang tua itu. Setelah dapat memukul mundur musuhnya ia menggantungkan tanda kebesaran Lembah Merpati ini di leher, dan menyerang lagi dengan lebih berani.
Orang tua tinggi besar itu biarpun mempunyai tenaga latihan yang dalam, ia tidak dapat menandingi kekuatan Koo San Djie yang selalu mendapat rejeki, tadi, ia hanya mengandalkan kekuatannya hawa panas sudah tidak berdaya sama sekali, hatinya menjadi agak gelisah.
Sebenarnya orang-orang partai Padang Pasir jarang sekali datang ke daerah Tiong-goan, sampai Liu Djin Liong sendiri juga tidak mengerti, mengapa Koo San Djie dapat menanam permusuhan dengannya" Ia takut Koo San Djie akan keterlepasan tangan, hingga menambah dendaman saja, maka ia segera majukan dirinya berkata:
"Berhenti!" Koo San Djie sudah lantas menahan serangan lanjutan dan berdiri di pinggir.
Liu Djin Liong lantas memberikan hormat kepada orang tua itu dan berkata:
"Di mana murid keponakanku ini telah melanggar peraturan partai Padang Pasir, harap saudara suka memberi penjelasan dengan terang dulu."
Si orang tua menenangkan napasnya yang sengal-sengal. Dengan tidak memperdulikan pertanyaan Liu Djin Liong lagi, ia sudah membalikkan badannya dan meninggalkan mereka yang jadi melongo karena heran.
Koo San Djie menggerendeng sendiri:
"Kejadian yang aneh sekali."
Lalu ia memasukkan juga tanda kebesaran Lembah Merpati tadi dan mulai lagi dengan perjalanannya.
Belum juga mereka berempat berjalan beberapa tindak, dari depannya kembali mendatangi seorang tua berpakaian kuno. Orang tua ini berjalan dengan cepat sekali, sebentar saja sudah sampai di hadapan mereka. Sampai Liu Djin Liong juga tidak mengetahui, dengan menggunakan ilmu apa orang tua ini dapat mendatangi dengan demikian aneh"
Orang tua itu datang dengan laku hormat sekali, setelah menjura kepada empat orang ia berkata kepada Koo San Djie:
"Batu giok yang digunakan oleh saudara kecil ini tadi dapatkah diperlihatkan sebentar kepadaku?"
Koo San Djie membongkokkan badannya menjawab:
"Menyesal sekali, tidak dapat melulusi permintaan ini."
Si orang tua berpakaian kuno tidak menjadi marah, dengan tetap menghormat ia bertanya lagi:
"Dan bagaimana jika menuturkan asal usulnya?"
"Juga tidak perlu," jawab Koo San Djie.
Orang tua itu mengkerutkan kedua alisnya:
"Lebih baik saudara kecil ini dapat berterus terang, agar dapat menghindari kejadian yang tidak diingini!"
Koo San Djie tidak mengerti, apa yang diartikan oleh orang tua ini, ia mulai naik darah.
"Aku ingin melihatnya kejadian apa yang tidak diingini itu," jawabnya.
Si orang tua masih mencoba menahan sabarnya dan berkata lagi:
"Saudara kecil jangan salah mengerti. Batu giok mempunyai riwayat yang sukar dimengerti dan mempunyai hubungan yang rapat dengan perjalananku, maka baru aku menanyakan tentang soalnya. Harap saudara dapat memberi keterangan yang jelas dan sekalian menyerahkan batu giok ini untuk dibawa pulang, menyelesaikan urusan."
Koo San Djie tidak tahu akan maksud si orang tua yang selalu menghormat, tapi ia masih menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
Muka si orang tua berpakaian kuno mulai berobah dan berkata:
"Jika saudara kecil tetap berpendirian kukuh, dengan apa boleh buat aku akan menggunakan kekerasan."
Mendadak, sebelah tangannya disodorkan menyekal lengan Koo San Djie, dan sebelah tangannya lagi juga tidak tinggal diam, mengarah jalan darah Hoan-bun-hiat.
Koo San Djie hanya merasakan sebelah tangannya menjadi kaku, tapi otomatis, sebelah tangannya lagi bergerak dan badannya terputar menyingkir dari totokannya si orang tua aneh itu.
Si orang tua aneh sudah merasakan tangannya berhasil, dan berkepercayaan penuh akan dapat merebut kembali batu giok yang ditemuinya, tidak menyangka sama sekali bahwa anak gembala ini biarpun sebelah tangannya sudah terpegang juga masih dapat menghindarkan diri dari totokannya.
Orang tua ini adalah salah satu dari orang-orang yang tertua dari Lembah Merpati, karena kepandaiannya memang melebihi dari orang-orang lainnya, maka ia telah diangkat sebagai salah satu dari anggota Dewan Orang Tua yang memegang peranan terpenting dari Lembah Merpati.
Kali ini, ia dikecualikan boleh keluar dari dalam lembah untuk menyerap-nyerapi tindak tanduknya ketua lembah mereka yang baru, karena melihat gelagat ketua baru mereka ini seperti ada mengandung suatu maksud yang tertentu.
Para anggota dewan juga telah mendengar yang ketua baru mereka ini telah mengumpulkan orang-orang pandai dari luar. Mereka memutuskan untuk menggeser kedudukannya. Hanya susahnya, mereka masih kekurangan bukti yang nyata dan tidak berani sembarangan menggesernya, karena masih memandang tanda kebesaran giok kumala Lembah Merpati, yang berada di dalam tangannya si Ketua lembah.
Maka, tugas yang diberikan kepada orang tua ini adalah berat sekali. Di waktu Koo San Djie bertempur dengan orang tua dari partai Padang Pasir tadi, ia melihat anak muda Koo San Djie ini seperti mengeluarkan tanda kebesaran yang tertinggi dari lembahnya, maka biar bagaimana juga ia harus mengetahuinya dengan jelas bagaimana asal usulnya benda itu.
Maka dengan cepat ia menarik kembali tangannya dan menyerang berkali-kali ke arahnya si anak muda yang kosen, ia mau mengetahui, sampai di mana kepandaiannya.
Begitu si orang tua mulai dengan serangannya, Koo San Djie sudah melihat orang tua ini adalah lawan yang terberat dalam seumur hidupnya, dengan hati-hati ia harus melayaninya, jurus demi jurus.
Pertempuran antara dua orang jago dari kelas berat tentu saja membuat terpesona yang melihat. Koo San Djie keluarkan kepandaiannya yang tertulis dibatok kura-kura ialah kepandaian kuno yang baru keluar lagi, membuat Liu Djin Liong, Tjeng Tjeng dan Ong Hoe Tjoe menjadi kagum. Sedang kepandaian yang digunakan si orang tua adalah kepandaian asli dari Lembah Merpati yang gesit dan banyak perobahannya.
Dalam beberapa jurus saja Koo San Djie telah dibikin bergidik. Ia seperti telah pernah melihat gerakan-gerakan ini, tapi kini pikirannya sedang dalam keadaan butak, sehingga ia tidak dapat mengingatnya sama sekali.
Sambil berpikir tangannya terus bergerak-gerak juga menangkis segala serangan lawannya, maka dengan sendirinya gerakan tangannya tidak secepat biasa.
Dalam pertempuran yang menentukan dari dua jago, mana dapat meleng atau lengah" Inilah yang menjadi sebab memaksa Koo San Djie mundur berulang-ulang.
Ong Hoe Tjoe dan Tjeng Tjeng sampai menjerit-jerit beberapa kali, dari kiri dan kanan dua orang ini maju untuk siap membantunya.
Tapi Liu Djin Liong sudah menghalang-halangi dan berkata:
"Buat apa kau orang kuatir" Dia tidak akan kalah!"
Tiba-tiba Koo San Djie seperti mendapat bantuan yang tidak terlihat, ia dapat berbalik menyerang sampai memaksa si orang tua mundur ke tempat asalnya. Ternyata, karena saking terdesak, ia telah mengeluarkan pelajaran dari kitab Kutu buku, hal ini dilakukan tanpa kesadaran.
Si orang tua menjadi terkejut, sambil mundur ia membentak:
"Berhenti! Pelajaran ini didapat dari siapa?"
Koo San Djie masih terus menyerang:
"Kau tidak berhak bertanya," jawabnya.
Dengan sungguh-sungguh si orang tua berkata lagi:
"Kepandaianmu dan batu giok itu mempunyai asal usul yang erat sekali. Harap kau dapat memberitahukan dengan terus terang."
Koo San Djie berhenti menyerang, sambil menngawasi si orang tua ia berkata:
"Dapatkah Locianpwe mengatakan asal usul terlebih dahulu?"
Si orang tua ragu-ragu sebentar tapi ia berkata juga:
"Aku adalah orang Lembah Merpati, kau juga tentu tahu sesuatu tentang Lembah Merpati?"
Koo San Djie dengan suara dingin menjawab:
"Nama Lembah Merpati telah dibikin rusak oleh kawanan kurcaci yang sebangsa kau ini, semua orang membenci sampai masuk ke dalam tulangnya. Kebetulan kau datang kemari, kau boleh pulang dan beritahu kepada ketuamu bahwa aku Koo San Djie akan mencarinya untuk membikin perhitungan."
Menurut taksiran, beberapa perkataan ini cukup akan menimbulkan marah si orang tua, tapi aneh, orang tua ini bukan saja tidak menjadi marah, bahkan ia menghela napas sampai beberapa kali dan berkata:
"Tadinya aku hanya curiga, tidak disangka, memang telah kejadian dengan sebenarnya. Jika melihat kelakuan saudara kecil aku telah dapat menduga yang dimaksud siapa orangnya. Di lain hari, jika kau dapat masuk ke dalam Lembah Merpati kau boleh mencariku yang bernama Koo Hian saja."
Dengan cepat ia membalikkan badannya dan kembali ke tempat asal datangnya. Sebentar saja ia telah lenyap dari pandangan mata.
Kepandaian asli dari Lembah Merpati baru kali ini dapat keluar dunia, biarpun Liu Djin Liong sombong karena kepandaiannya, setelah melihat dengan mata kepala sendiri ilmunya si orang tua tadi, dengan tidak terasa harus memujinya juga sampai beberapa kali.
Lalu perlahan-lahan ia berjalan menuju ke arahnya Koo San Djie dan berkata:
"Ilmu yang barusan kau gunakan kau dapat dari mana?"
Koo San Djie dengan terus terang menceritakan tentang pengalamannya di dalam goa telah menemukan si Orang Tua Bertangan Satu yang terkurung.
Biarpun Liu Djin Liong mengetahui ilmu aslinya Lembah Merpati yang tinggi tapi ia masih mau mencobanya juga. Maka dalam pikirannya telah timbul niatan untuk dapat pergi ke dalam Lembah Merpati.
Sebenarnya ia sudah mempunyai rencana untuk mengajak Koo San Djie bersama-sama masuk ke dalam Lembah Merpati, tapi kini setelah mengetahui bahwa anak muda ini mempunyai tanda kebesaran Lembah Merpati, ia telah merobah rencana ini dan siap untuk menerjangnya sendiri.
"Tidak disangka dengan umurmu yang semuda ini telah mengalami bermacam-macam kejadian aneh, aku harus menghaturkan selamat juga kepadamu," kata Liu Djin Liong.
Koo San Djie dengan merendah mengucapkan terima kasih.
"Sudah menjadi kesukaanku dalam ilmu silat," kata pula Liu Djin Liong, "tapi dalam seumur hidupku belum pernah mengalami menemukan kepandaian yang paling sempurna. Maka sebelum kau masuk ke dalam Lembah Merpati, aku ingin dapat menjajal dulu kepandaian mereka itu."
Baru saja ia menutup mulutnya, dari atas mereka telah loncat turun seorang yang didahului oleh suara ketawanya:
"Jika saudara Liu mempunyai keinginan ini, aku si Pengemis melarat siap untuk menjadi buntut.
Semua orang tidak usah melihat siapa orangnya, hanya mendengar suara saja sudah dapat mengetahui yang datang adalah si Pengemis Sakti Kiang Tjo!
Yang datang berbareng dengan Kiang Tjo ini masih ada tiga orang lagi, yaitu paderi Siauw-lim Kong Tie Hweeshio, si kecil Siauw Khong dan seorang lagi yang berdandan sebagai seorang nikouw yang berwibawa agung.
Ong Hoe Tjoe yang melihat nikouw ini sudah lantas lari menubruk ke dalam pelukannya, maka Koo San Djie yang melihat itu sudah lantas dapat menebak bahwa nikouw ini tentunya adalah Bie Khiu Nie yang menjadi guru Ong Hoe Tjoe.
Setelah mereka menjalankan peradatannya masing-masing, Liu Djin Liong sudah berkata kepada Kiang Tjo yang dulu sebagai seterunya:
"Seorang pengemis seperti kau ini jika ingin pergi juga ke dalam Lembah Merpati memang tidak dapat diragukan lagi tapi dua orang beragama yang seperti mereka ini apa tidak takut akan menambah dosa saja?"
Kiong Tie sudah merangkapkan kedua tangannya dan berkata:
"Omitohud! Inilah keadaan yang telah memaksa kita mencampurinya. Semua orang sudah tidak dapat membiarkan Lembah Merpati mengganas lagi."
Bie Khiu Nie dengan memainkan biji tasbehnya berkata:
"Bukan sedikit orang Lembah Merpati yang mengganas di dunia, tapi kepandaian mereka ini berbeda, di antaranya ialah kepandaian tuan Liu ini yang paling banyak digunakan. Dapatkah tuan memberikan sedikit penjelasannya."
"Lembah Merpati sering memancing orang masuk ke dalam, hanya bermaksud mencuri ilmu pelajaran. Dan dua orangku setelah melarikan diri, meninggalkan lembahku, tentu juga telah tertarik ke sana, maka tidak heran jika mereka dapat menggunakan sedikit ilmu ini," menerangkan Liu Djin Liong.
Bie Khiu Nie memanggut-manggutkan kepalanya.
"Tidak perduli kau orang bertiga mempunyai ganjalan langsung atau tidak langsung dengan Lembah Merpati," kata Kiang Tjo, "Demi keadilan, aku bersedia mencampurkan diri. Bagaimana jika kita berempat yang sudah tidak jauh dengan liang kuhur bersama-sama membereskannya?"
Liu Djin Liong tertawa bergelak-gelak:
"Jika kau betul mempunyai kegembiraan tentang hal ini, maka silahkan kau sajalah yang menetapkan hari."
Kong Tie Hweeshio mewakili Kiang Tjo menjawab:
"Saudara kecil ini bukankah sudah berjanji dengan Tiauw Tua, akan masuk ke dalam Lembah Merpati dalam setengah tahun lagi" Bagaimana jika kita mendahuluinya dua hari di muka?"
Semua orang menyetujui akan usul ini, termasuk Liu Djin Liong.
Bie Khiu Nie menggunakan tangannya menepok pundaknya Ong Hoe Tjoe yang masih menempel di dekatnya, sambil tersenyum ia berkata:
"Diakah yang dimaksud dengan adik kecilmu itu?"
Ong Hoe Tjoe menjadi malu, seraya mainkan lengan bajunya, ia membuka mulut:
"Emm......" Sang guru tertawa dan menganggukkan kepalanya seperti memuji akan pilihannya sang murid. Ia telah dapat mendengar juga tentang kelakuan anak gembala yang menjadi calon hidup sang murid ini, maka ia sudah tidak menanyakan lagi kepada muridnya yang pemaluan.
Sewaktu mereka sedang enak-enakan berbicara, Kong Tie Hweeshio yang berdiri di paling pinggir sudah membalikkan mukanya memandang ke arahnya gerombolan pepohonan liar yang banyak tumbuh di situ. Ia bersenyum ewah, dengan tidak mengatakan sesuatu apa lagi. Biarpun ia tahu akan kedatangan musuh, tapi masih tidak memandang mata.
Ketua Wanita dari Perkumpulan Hui-hong-pang
Semua orang yang berada di situ, termasuk Tjeng Tjeng yang paling kecil telah mempunyai dasar-dasar yang sempurna, mereka tentu dapat membedakan yang mana jatuhnya daun dan bunga. Melihat kelakuan Kong Tie Hweeshio ini Kiang Tjo lah yang paling tidak dapat menahan sabarnya:
"Jika kau tidak menunjukkan diri, apa harus aku si Pengemis yang menarik keluar?"
Dari dalam semak-semak sudah lantas keluar seorang yang bermuka bewok beralis tebal menjura pada Kong Tie Hweeshio dan berkata:
"Aku mewakili Lembah Merpati Luar menyampaikan selamatnya kepada kalian. Lembah Merpati memang telah bermaksud untuk mengundang kalian datang berkunjung ke sana, kebetulan jika kalian di sini telah menetapkan hari kedatangan, kami hanya menunggu pada waktu harinya saja."
Tidak menunggu sampai beberapa orang ini mengatakan apa, ia sudah berbalik lagi dan melesat pergi.
Liu Djin Liong dan tiga orang lainnya adalah tokoh-tokoh yang terkemuka, terhadap mata-mata ini mereka tidak dapat berbuat suatu apa. Koo San Djie, Ong Hoe Tjoe dan Siauw Khong, sebelum mendapat perintah dari orang-orang yang lebih tua dari mereka yang kini berada di hadapannya juga tidak berani sembarangan turun tangan.
Hanya Tjeng Tjeng yang masih kekanak-anakan, tidak mengetahui suatu apa, yang sudah biasa dimanja oleh ayahnya, sudah lantas mencelat dan berkata:
"Apa kau kira dengan begini saja kau dapat meninggalkan kami?"
Bayangan kecil sudah mengikuti mata-mata Lembah Merpati. Tangan kecilnya. mendahului diulur ke depan dengan gerak tipu. "Sebelah tangan mengurung bumi', mencengkeram ke arah orang di depannya. Lima aliran angin yang tajam sudah mengurung kepala orang.
Tidak gampang untuk menjadi seorang mata-mata yang banyak bahayanya, orang ini melihat Tjeng Tjeng mulai menyerang dari belakang, lalu tertawa dingin. Setelah dapat menghindarkan serangan nona cilik, ia masih dapat membalas memukul sampai dua kali.
Tjeng Tjeng melihat orang ini berani menahan langkahnya dan membalas menyerang, tentu saja menjadi girang. Gerak kaki kecilnya pindah ke sana sini mengelilingi orang ini, sebentar saja di sekitarnya orang ini telah penuh dengan bayangan-bayangan si nona kecil.
Orang ini sebenarnya tidak ingin terlibat di sini, apa lagi dari kejauhan sudah terlihat olehnya Koo San Djie dan Siauw Khong juga sudah lari mendatangi, maka nyalinya menjadi semakin ciut, dengan keras ia menyerang dua kali dan siap untuk mengundurkan diri.
Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar Tjeng Tjeng berteriak:
"Tinggalkan dulu sedikit tanda matamu."
Hanya terdengar suara "sret", tali pengikat pinggangnya sudah terputus, terkena serangan angin jarinya Tjeng Tjeng dan jatuh ke tanah.
Tapi orang ini tidak sempat lagi untuk memungutnya kembali, nyawanya lebih penting dari pada tali pengikat ini. Sambil lari ia membalikkan kepalanya dan berkata:
"Jangan hanya bisa menghina orang, lihat saja di dalam Lembah Merpati, kau dapat berbuat apa?"
Tjeng Tjeng yang menjadi panas hatinya sudah ingin mengejar lagi, tapi telah keburu disusul oleh Koo San Djie yang sudah lantas menahannya:
"Lekas kau kembali. Ayahmu sudah berkali-kali memanggilmu."
Dengan apa boleh buat, Tjeng Tjeng bersama Koo San Djie dan Siauw Khong bertiga kembali lagi.
Setelah mereka berkumpul lagi, Kiang Tjo sudah mendahului pamit dan meninggalkan mereka. Disusul dengan Kong Tie dan Siauw Khong berdua.
Mendadak ia melihat sang guru kekasih memalingkan kepalanya lagi dan berkata kepada Koo San Djie:
"Gurumu si Pendekar Berbaju Ungu sudah masuk kembali ke dalam dunia Kang-ouw, kini dia sedang mencari-carimu. Apa kau telah menemuinya?"
"Apa dia orang tua telah sembuh kembali" Di manakah kini dia berada?" bertanya Koo San Djie.
Biarpun gurunya sang kekasih ini sudah mulai mengangkat langkahnya lagi tapi masih juga ia menjawab:
"Mungkin dia masih berada di kota Gak-yang. Jika kau ingin menemuinya, lekaslah pergi ke sana."
Koo San Djie yang lama tidak bertemu dengan gurunya sudah menjadi kangen sekali. Maka ia sudah berkata kepada Liu Djin Liong:
"Harap supek dapat mengijinkanku untuk pergi ke kota Gak-yang guna menemui suhu......."
"Baiklah," sahut Liu Djin Liong. "Kau boleh segera pergi ke sana dan tidak usah ke Makam Merpati lagi. Jika telah sampai pada waktunya, kita bertemu di dalam Lembah Merpati saja."
Maka sambil mengulapkan tangannya kepada Tjeng Tjeng, anak muda itu meninggalkan mereka berdua menuju ke arah kota Gak-yang.
Hari itu sewaktu ia sedang enak-enaknya berjalan, dari depannya terlihat mendatangi beberapa penunggang kuda. Begitu sampai di hadapannya dengan berbareng, mereka sudah lompat turun dari kudanya masing-masing dan memberi hormatnya:
"Saudara kecil ini bukankah orang yang menjadi ahli warisnya si Pendekar Berbaju Ungu?"
Koo San Djie tidak mengelak, tapi ia mengira akan gurunya yang telah menyuruh orang datang menyambut, maka dengan tertawa ia menjawab:
"Aku yang rendah betul adalah Koo San Djie."
Empat orang yang berbadan gagah ini sudah menjadi kegirangan hampir berbareng mereka berkata:
"Ketua muda kita telah lama mengagumimu maka dia menyuruh kami datang menyambut."
Perkataan ini telah menjadikan ia bingung lagi, dalam hatinya berkata:
"Belum pernah aku mengenal seorang ketua muda. Siapakah ketua muda ini?"
Dilihatnya empat orang berbadan gagah ini masih berdiri di sampingnya dengan menghormat sekali, seperti masih menunggu sampai Koo San Djie naik ke atas kuda yang telah tersedia.
Maka dengan heran ia bertanya:
"Siapakah ketua mudamu itu" Harap dijelaskan dulu baru aku dapat datang menemuinya."
"Setelah dapat bertemu, juga akan diketahui siapa orangnya," jawabnya.
Kisah Si Bangau Putih 13 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Lentera Maut 2
Ia segera berbangkit dari duduknya dan meninggalkan tempat itu.
Dengan Tangan Kosong Melawan Belasan Musuh Kuat
Kong Tie tertawa kecil. "Tidak disangka sudah tua begini masih juga suka mengambil dan tidak dapat meninggalkan sifat berangasannya."
Tapi Pengemis Sakti Kiang Tjo dengan tidak menoleh lagi sudah langsung pergi turun gunung.
Koo San Djie juga tidak bermaksud meminta bantuan dari orang-orang beberapa partai, mereka tidak dapat mengerti akan hatinya, melihat Kiang Tjo sudah pergi, ia juga meminta diri.
Siauw Khong mengantarkan Koo San Djie sampai di bawah pintu gunung dan dengan berat ia berkata:
"Partai kami sudah menyebarkan orang-orang pandai ke berbagai tempat untuk mencari si pembunuh ketua partai, tapi sampai sekarang belum ada suatu kabar apa juga. Tidak lama lagi aku juga akan turun gunung."
"Begitupun baik, nanti kita akan bertemu pula," jawab Koo San Djie.
Setelah meninggalkan kuil Siauw-lim, Koo San Djie telah kehilangan jejaknya si Selendang Merah. Di dalam hatinya ia berpikir:
"Mungkin ia tidak mau menunggu lagi dan sudah pergi dari sini. Begini ada lebih baik, dapat menghindarkan banyak kerewelan lagi."
Maka ia sudah melanjutkan perjalanannya sendiri, tidak henti-hentinya ia melamun yang bukan-bukan.
Demikian lamunannya: "Apa adik Tjeng telah menemukan Liu-supek" Apa betul Liu-supek mengalami bahaya" Siapa orang yang dapat mengganggunya" Mungkinkah berada di dalam Lembah Merpati?"
Sedang enak-enaknya ia melamun, dari belakang mendadak terdengar keliningan dari dua ekor kuda. Samar-samar ia seperti mendengar orang berkata:
"Sampai bertemu pula di......"
Ia tidak dapat mendengar perkataan selanjutnya, maka ia mengangkat kepala, dan menoleh ke belakang. Tapi dua ekor kuda tadi telah lewat, tidak tertampak lagi.
Dan waktu itu, di depan matanya tertampak serombongan orang. Di antaranya terdapat orang-orangnya dari berbagai partai It Tjing Tjie, si Walet Kie Gie, Si Golok Malaikat Nomor Satu, Hian-tju Totiang beserta yang lain-lain.
Koo San Djie mengerutkan alis. Pikirnya, Mengapa sering menemukan orang-orang ini" Tapi ia tidak takut dengan mereka, dengan membusungkan dada, ia maju terus ke muka.
Setelah berdekatan, Si Golok Malaikat Nomor Satu yang mempunyai ganjelan dengan Koo San Djie sudah berkata dengan suara dingin:
"Hei, bocah! Apa yang kau sombongkan?"
Koo San Djie tidak menjawab, ia terus melanjutkan perjalanannya tanpa menengok sama sekali.
Tapi waktu itu si Penadah Langit Kiang Peng sudah menghadang di hadapannya berkata:
"Berhenti! Selesaikan dulu urusan antara kita."
Koo San Djie betul-betul menghentikan langkahnya, dengan tertawa dingin ia berkata:
"Apa maksud kalian" Apa mau berkelahi lagi" Jika mau berantam, lekaslah maju semua."
Mereka tahu, jika satu persatu, tidak satu di antara mereka yang dapat menandingi si anak gembala yang gagah. Maka, dengan mencabut pedangnya si Walet Kie Gie sudah berkata:
"Tidak disangka, kau demikian sombong. Baru saja mendapat nama sudah berani banyak tingkah!"
Waktu itu ada tujuh orang yang mengeluarkan senjata. Hanya Hian-tju Totiang yang masih tinggal tetap di tempat, ia merasa malu, jika turut mengkerubutinya.
Si Golok Malaikat Nomor Satu sambil mementil goloknya sudah berkata:
"Mengapa kau tidak lekas mengeluarkan senjata?"
Koo San Djie membeber kedua tangan, ia tertawa menyindir:
"Baru menghadapi orang seperti kalian, cukup dengan menggunakan dua telapak tangan kosong ini."
It Tjing Tjie sudah tertawa keras.
"Kau terlalu sombong sekali......" katanya.
Pedangnya sudah mendahului berkelebat membuat setengah lingkaran, menyabet pinggang orang. Si Walet Kie Gie dan Si Golok Malaikat Nomor Satu, satu dari kiri dan kanan sudah membarengi lawan tangguh ini. Sebentar saja bayangan pedang dan golok bercampur menjadi satu, datang dari empat penjuru.
Tujuh orang ini mewakili tujuh macam partai, sudah tentu mempunyai keahlian sendiri. Demi kepentingan nama partai mereka, tidak ada satu yang tidak bersungguh-sungguh. Masing-masing telah mengeluarkan kepandaian simpanannya yang lihay.
Sejurus demi sejurus terlihat kegunaannya, tekanannya semakin lama sudah menjadi semakin berat.
Bayangan sinar senjata telah mengurung Koo San Djie. Tapi ia tidak menjadi gentar, dengan tenang, selalu mencari kesempatan untuk dapat meloloskan diri dari kurungan mereka.
Pertarungan ini telah membuat Hian-tju Totiang yang menonton sampai menggeleng-gelengkan kepala. Pikirannya, ia merasa bersalah berada di pihaknya. Tenaga baru dari para pemuda ini tidak seharusnya digunakan di sini, mereka baru dikumpulkan menjadi satu untuk menghadapi kejahatan.
Ingin ia menghentikan pertarungan ini, apa mau pertempuran sedang berjalan dengan seruh. Tujuh orang sudah mengecilkan kepungannya, setindak demi setindak, mereka maju ke muka.
Angin pukulan yang keras terus menahan datangnya senjata, suara sentilan jari pada pedang dan golok telah menerbitkan suara mengaung yang tidak henti-hentinya.
Perlawanan Koo San Djie seolah-olah gelombang samudera, semakin lama semakin dahsyat. Mereka kini sudah mulat keteter dan mundur ke tempat asal.
Nyata kepungan ini sudah tidak akan tahan lama lagi. Si Walet Kie Gie sudah tidak dapat menahan sabar, dengan berteriak keras ia mendesak maju pula.
Semua orang yang melihat ini sudah menjadi bersemangat lagi. Pedang panjang dari It Tjing Tjie menusuk bertubi-tubi.
Si Penadah Langit Kiang Peng menggeretak gigi, memutarkan senjatanya sampai mengaung-ngaung.
Koo San Djie terkurung, terasa juga tekanan yang semakin berat ini. Tiba-tiba ia bersiul nyaring, merobah cara bersilatnya.
Ilmu pukulan Sari Pepatah Raja Woo keluar, biarpun ia mempelajari ilmu pukulan ini tidak lama, tapi ia telah dapat menggunakannya dengan sempurna.
Terdengar suara "ting, ting, ting," yang ramai sekali, senjata tujuh orang itu telah terpental.
Mereka menjadi kaget, dengan cepat mundur, mereka terlongong-longong.
Tapi mereka tidak berpikir lama-lama, karena waktu itu telah muncul pula beberapa orang, yang sudah mengurung Koo San Djie lagi.
Yang mengepalai orang-orang ini adalah seorang, bermuka kuning, siapa telah berkata:
"Para pendekar kecil tidak usah takut. Bocah ini paling suka menghina orang, mari kita bersama-sama menyingkirkannya!"
Sewaktu Koo San Djie melihat siapa yang datang, ia menjadi marah. Ternyata yang berkata tadi ialah Tong Touw Hio. Dan yang lain-lainnya ialah Min Min Djie, si Iblis Pipi Licin, dan Empat orang aneh dari Kong-lu.
Orang-orang dari tujuh partai itu adalah terdiri dan anak-anak muda semua, mereka masih berdarah panas. Bukannya bersyukur kepada Koo San Djie yang tidak mau melukai orang, sebaliknya mendengar perkataan tadi sudah memungut kembali senjatanya masing-masing dan maju lagi......
Tong Touw Hio sekalian memang sudah mempunyai rencana, begitu melihat orang-orang ini memungut senjata, mereka telah mendahului menyerang si anak gembala yang sangat gagah.
Medan pertempuran menjadi bertambah ramai, empatbelas orang telah bersama-sama mengurung seorang anak muda dengan berbagai macam senjata.
Yang paling janggal ialah dua golongan hitam dan putih ini dapat bersatu padu menghadapi anak gembala yang baru saja muncul di dunia Kang-ouw.
Dalam sekejapan saja, debu di situ telah dibuat mengepul naik, pedang dan golok membuat suatu pagar senjata, mengurung Koo San Djie.
Hian-tju Totiang yang lebih tua dari kawan-kawannya menjadi curiga, mengapa orang-orang tadi diam-diam saja mengumpet" Baru kini mereka muncul dan tahu-tahu sudah mengajak ramai-ramai mengurungnya. Umpama betul Koo San Djie dapat dibunuh di sini, apa orang yang di belakangnya seperti Liu Djin Liong dan si Pendekar Berbaju Ungu mau tinggal diam saja"
Tiba-tiba kupingnya yang tajam seperti telah mendengar banyak orang mendatangi, datangnya secara diam-diam, bahkan orang-orang ini mempunyai kepandaian yang tidak dapat dipandang rendah.
Ia telah sadar akan bahaya yang menimpa dirinya. Jika tidak dapat memberhentikan pertarungan, besar sekali kemungkinan, mereka akan mengalami kejadian, seperti yang dialami oleh sembilan ketua partai di lembah Makam Merpati.
Maka dengan segera ia sudah berteriak dengan keras:
"Semua orang dari golongan kita, lekas berhenti. Aku mempunyai beberapa perkataan yang mau diucapkan."
Tapi empatbelas orang yang sedang bertempur dengan seru, mana dapat mendengar teriakan ini, suara senjata telah menelan teriakan Hian-tju Totiang.
Hatinya menjadi gelisah, dengan mengayunkan dua kepalannya, ia juga turun ke dalam gelanggang pertempuran. Dengan mulut tidak henti-hentinya berteriak:
"Lekas berhenti! Lekas berhenti!"
Dalam keadaan yang kalut ini, Si Golok Malaikat Nomor Satu terpental terbang ke udara. Dibarengi oleh jeritannya si Iblis Pipi Licin yang mati dipukul Koo San Djie, sang arwah menyusul kawannya yang sudah menunggu lama di neraka.
Sampai di sini ternyata Koo San Djie sudah tidak dapat menahan sabar, ia sudah mengeluarkan tiga pukulan geledek, membuat orang-orang yang mengurungnya menjadi kucar-kacir sama sekali.
Menggunakan kesempatan sebaik ini, Hian-tju Totiang sudah berteriak lagi:
"Orang dari golongan kita, apa tidak mau lekas berhenti?"
It Tjing Tjie dan lain-lainnya, yang telah mendapat nama di dalam partainya masing-masing, terhadap kejahatan dan kebenaran mempunyai perbedaan yang tajam. Tadi, karena dalam keadaan hati panas dan mendapat ejekan Tong Touw Hio, mereka menjadi lupa akan peraturan-peraturan. Kini mendengar teriakan Hian-tju Totiang, baru menjadi tersadar.
Dengan segera mereka ini sudah mundur teratur dan berkumpul menjadi satu.
Hian-tju Totiang dengan sikap sungguh-sungguh sudah berkata kepada mereka:
"Kini kita harus dapat segera mangambil keputusan, di antara dendam perseorangan dan kebenaran......"
Si Walet Kie Gie dengan cepat sudah memotong:
"Sebenarnya di antara kita dengan bocah ini tidak mempunyai dendam suatu apa. Maka pertarungan ini lebih baik tidak dilanjutkan pula."
Si Penadah langit Kiang Peng berkata:
"Aku memuji sifat anak ini, bagaimana jika kita membantunya?"
Si Golok Malaikat Nomor Satu yang dua kali pecundang di tangan si anak gembala masih merasa penasaran. Ialah yang paling pertama tidak setuju dengan usul ini. Terdengar ia membuka suaranya:
"Membantu kepadanya" Hm! Sudah kebagusan baginya yang ia sudah tidak membikin susah lebih jauh. Lebih baik kita berpeluk tangan dan pergi meninggalkan tempat ini."
Mendadak dari belakang mereka telah terdengar satu suara dingin:
"Mau meninggalkan tempat ini" Lebih baik kau orang menurut dan mengikuti kami pergi ke dalam Lembah Merpati."
Entah kapan datangnya, di belakang mereka kini telah berdiri sepasang laki-laki dan perempuan.
Hian-tju Totiang dengan kalem sudah bertanya:
"Siapakah tuan ini" Apa artinya perkataan tadi?"
Orang itu dengan adem menjawab:
"Pengurus Lembah Merpati Phoa An berhati ular Lam Keng Liu dan Sui Yun Nio."
"Dan maksudnya?" tanya It Tjing Tjie.
Phoa An berhati ular Lam Keng Liu menjawab:
"Memberikan dua jalan kepada kalian. Jalan pertama ialah pergi ke dalam Lembah Merpati dan menurut perintah kami, yang kedua, akan kami antarkan kalian jalan ke neraka.
"Omong kosong!" Si Walet Kie Gie membentak keras.
Dibarengi oleh serangan pedangnya yang berbunyi mengaung-ngaung.
Mukanya si Phoa An berhati ular sudah menjadi berobah.
"Orang yang tidak mengenal gelegat!" bentaknya keras.
Dengan pelan-pelan ia mengibaskan tangannya, serangan pedang bagaikan membentur tembok saja mental berbalik. Hampir saja membuat tangannya si Walet Kie Gie menjadi pecah, maka dengan cepat ia mundur ke belakang.
Hian-tju Totiang tahu, jika tidak menggunakan kekerasan, jangan harap dapat meninggalkan tempat ini, maka dengan suara dalam ia berkata:
"Baiklah, jika sahabat-sahabat memang mau menghalangi jalan orang, terpaksa kita harus menerjangnya dengan kekerasan!"
Dengan mengangkat langkahnya yang lebar, ia telah mendahului berjalan di muka. Diikuti oleh kawan-kawannya dari berbagai partai.
Mendadak, bayangan-bayangan orang berkelebat, Tong Touw Hio dengan orang-orangnya sudah mendahului menghadang di depannya mereka. Dengan tidak mengatakan suatu apa lagi Tong Touw Hio sudah menyerang.
Sebentar saja bentakan-bentakan terdengar di sana sini, masing-masing sudah mendapatkan lawan sendiri-sendiri.
Sewaktu dikurung oleh empatbelas orang tadi, Koo San Djie sudah mulai merasa keteter, tapi setelah tujuh orang Hian-tju Totiang mundur, tekanan ini sudah bebas sama sekali. ia menjadi kelebihan tenaga, jika hanya menghadapi orang-orangnya Tong Touw Hio.
Sekarang ia sudah menjadi marah berlari-lari untuk menghadapi orang seperti Tong Touw Hio, tidak perlu ia segan-segan lagi. Ia sudah bersedia mengeluarkan seluruh tenaga, pada saat itu telah lompat turun delapan orang.
Orang-orang baru ini terdiri dari empat laki dan empat wanita, salah satu di antaranya yaitu seorang tua yang berbaju merah sudah berkata kepada Tong Touw Hio:
"Serahkan bocah ini kepada kita, biar kita bereskannya. Lekas kau pergi ke sana menghalangi mereka itu."
Koo San Djie menghela napas juga melihat datangnya beberapa orang ini. Dalam hatinya ia mengeluh:
"Jika semua orang maju dengan berbareng, sukarlah untuk memenangkannya."
Ternyata, di antara empat laki dan empat wanita ini, ada dua orang yang pernah dikenal kepandaiannya di pesanggrahan Liong-sun-say, yaitu si wanita berpakaian keraton dan laki setengah umur berbaju kuning.
Kecuali dua orang ini, wanita berbaju putih yang mungkin murid pesuruhnya Liu Djin Liong yang telah kabur dan pernah juga mengadu tangan dengan Tjeng Tjeng di tengah jalan juga berada di sini.
Yang empat lainnya lagi terdiri dari dua wanita berbaju kuning dan dua pemuda berbaju merah.
Jika dilihat dari warna baju mereka, delapan orang ini semua terdiri dari orang-orang pandai Lembah Merpati.
Si orang tua berbaju merah seperti menjadi pemimpin dari rombongan dan juga orang yang telah dapat merebut kitab Sari Pepatah Raja Woo di gunung Sin-sa.
Orang tua ini menunggu sampai Tong Touw Hio menahan Hian-tju Totiang, ia baru berkata sambil menunjukkan tangannya ke arah Koo San Djie:
"Telah berkali-kali kau mengganggu urusannya Lembah Merpati, apa hanya mengandalkan beberapa kepandaianmu ini" Hari ini, Lembah Merpati akan membereskan perhitungan."
Menghadapi musuh yang banyak, Koo San Djie masih mencoba menenangkan diri. Dengan menggunakan waktu yang pendek dari si orang tua berbaju merah yang sedang bicara, ia sudah mengatur jalan pernapasannya.
Setelah dapat menenangkan dirinya, dengan perlahan ia berkata:
"Aku telah lama dapat mengetahui semua rencanamu. Kini, silahkanlah kau berbuat apa yang kau kehendaki."
Si orang tua berbaju merah menjadi kagum juga melihat sikap Koo San Djie, masih seperti tidak menghadapi musuh tangguh yang sebanyak itu. Sambil mengangkat jempolnya ia berkata:
"Aku memuji akan kebesaran nyalimu. Sebagaimana orang Kang-ouw, urusan ini akan kita selesaikan dengan kekuatan."
"Silahkan!" Belum sempat orang tua berbaju merah ini menyambung perkataannya Koo San Djie, keburu dipotong oleh suara lain:
"Tahan dulu! Tidak adil jika sampai seorang harus menghadapi delapan orang."
Dari balik pohon yang lebat muncul pula dua orang pemuda. Yang satu seperti bekas nelayan yang berpakaian perlente dan satu lagi seperti pemuda desa yang berpakaian sederhana.
Terdengar pula suara tertawanya:
"Dengan kita bertiga saja telah cukup untuk menghadapi delapan orangmu!"
Koo San Djie telah berkali-kali menemui kejadian ajaib, karena itu, ia mendapat kemajuan yang pesat, memandang Kang-ouw seperti tidak ada orangnya. Apa lagi, setelah dapat menemui Orang Tua Bertangan Satu dan terkurung di dalam goa yang telah memberi penjelasan tentang keadaan Lembah Merpati. Maka ia tahu, orang-orang ini masih bukan penduduk asli dari Lembah Merpati, biarpun delapan orang ini tergolong kelas satu, tapi ia masih tidak begitu memandang mata.
Maka ia dapat tertawa dan menganggukkan kepala memberi hormat kepada dua anak muda yang baru datang itu.
Ternyata, pemuda yang berpakaian perlente di sebelah kiri adalah kawan lamanya Hay-sim Kongcu. Maka ia segera menghampiri dan menyekal keras-keras dua tangan kawan lamanya ini. Sampai ia lupa akan musuh di sekitarnya.
Delapan orang yang datang ke situ adalah cabang atasnya Lembah Merpati dari bagian luar.
Orang tua berbaju merah bergelar Pek-hoat Sian-tong, wanita berbaju putih Siok-song Mo-lie, orang setengah umur berbaju kuning Oey-san Sian-tjia dan wanita berpakaian keraton Ouw-sie Hoe-djin.
Dua pemuda itu adalah dua saudara bernama Thio Hoan dan Thio Hiat, si pemudi juga ada dua saudara bernama Tan Goat Go dan Tan Goat Bie.
Mereka semua ini sering keluar lembah mengurus bermacam-macam urusan. Tapi kali ini mereka memang sengaja ditugaskan untuk dapat membunuh anak gembala.
Koo San Djie sudah membalikkan badannya dan asyik bicara ke barat dan ke timur dengan Hay-sim Kongcu, dengan tidak memperdulikan mereka lagi, hal ini mana tidak membikin mereka menjadi naik darah"
Pek-hoat Sian-tong sudah menyelak dan berkata keras:
"Hei, pesananmu sudah selesai belum" Nanti saja di perjalanan ke neraka, kau teruskan bicara, juga sama saja."
Koo San Djie membalikkan badan dengan sinar mata yang tajam berkata:
"Buat apa kau berteriak-teriak seperti setan" Satu lawan satu atau main kerubut" Tinggal kau pilih."
Oey-san Sin-tjia adalah bekas pecundang, maka ia sangat mendendam hati. Dengan cepat ia sudah menyambung:
"Buat apa banyak mulut dengan mereka" Mari kita segera turun tangan dan membereskannya."
Terlihat bayangan-bayangan orang berlari-larian, sebentar saja Koo San Djie bertiga sudah di kurung dengan rapat.
Satu pertandingan di antara hidup dan mati akan segera dimulai. Udara terasa telah berobah menjadi panas dan juga membakar muka orang menjadi merah karena marah.
Mendadak, suara siulan panjang terdengar. Pek-hoat Sian-tong sudah mulai menyerang, sebelah tangannya dikibaskan, membawa angin santar, meniup ke arah musuh yang tangguh.
Disusul juga dengan lain-lain, sebentar saja terdapat angin puyuh, debu dan batu mengepul naik tinggi, berterbangan ke atas, seperti mau menarik ketiga anak muda itu.
Hay-sim Kongcu berputaran satu kali, dengan mengikuti aliran angin, ia menyodorkan pedangnya ke depan, membuat satu lingkaran.
Suara "ser, ser" nya pedang, melewati ombak angin menahan bata. Angin puyuh yang dahsyat tadi dalam sekejapan saja telah buyar sama sekali.
Si pemuda desa dengan tertawa lucu berkata:
"Anak gembala, kita menyerang atau bertahan?"
Pada waktu ia bicara, sebuah serangan yang hebat telah datang kepadanya.
Karena marah, anak desa ini sudah membentak keras, dua tangannya dilempangkan ke depan. Arus pukulannya ini demikian hebat, membuat orang-orang yang berada di depannya sampai harus mundur beberapa tindak.
Koo San Djie melihat dua kawannya mempunyai kepandaian yang istimewa, ia juga tidak mau ketinggalan, dengan cepat ia mengeluarkan dua pukulan.
Dua pukulan ini cepat dan sukar diduga, dua persaudaraan Thio yang berada di depannya sampai mundur-mundur sempoyongan.
Dengan penuh senyum puas, Koo San Djie menjawab pertanyaannya si pemuda desa yang baru dikenal:
"Lihat dulu, sampai di mana kepandaian mereka, baru kita menyerang."
Si pemuda desa berkata: "Demikianpun boleh!"
Koo San Djie menyerang lagi, dua kali memaksa musuhnya mundur ke belakang.
"Saudara, di antara kita berdua tidak mengenal satu dan lain mengapa kau membantu kepadaku?" tanya Koo San Djie.
Si pemuda desa sudah membuka mulutnya yang lebar:
"Hanya menerima perintah dan menjalankan tugas. Bukan saja kali ini membantu kepadamu, bahkan untuk seterusnya juga akan membantu kau, menggempur Lembah Merpati."
Koo San Djie melengak, dalam hatinya bertanya:
"Siapa orangnya yang telah menyuruhnya?"
Tapi waktu itu ia tidak mempunyai kesempatan untuk memikirkan soal ini. Diliriknya Hay-sim Kongcu, kawan lamanya ini sekarang telah mendapat banyak kemajuan. Berbeda jauh kepandaiannya sang kawan ini jika dibandingkan dengan semasa pertemuan yang pertama. Pedangnya bagaikan ular hidup, mengarah tempat-tempat yang berbahaya dari lawan-lawannya, sama sekali ia tidak terlihat menjadi letih, karena harus menghadapi orang banyak.
Dengan tidak terasa Koo San Djie telah memuji:
"Ilmu pedang yang bagus!"
Hay-sim Kongcu menggunakan pedangnya menusuk dua kali, tujuannya Tan Goat Go dan Tan Goat Bie, dan memaksa dua saudara ini harus mundur menghindarkan serangan.
Dengan menggunakan kesempatan ini, ia menoleh dan berkata:
"Ilmu pedang yang baru dipelajari hanya dapat membuat kau tertawa saja. Tentu saja tidak dapat disamai dengan kepandaianmu yang susah diukur."
Kedudukannya tiga anak muda ini seperti seekor kala jengking yang besar, nongkrong di tengah-tengah adalah Koo San Djie, si pemuda desa sebagai dua capit depannya, menahan serangan di sampingnya Hay-sim kongcu mengambil kedudukan lain, memegang peranan sebagai sengat tin barisan kalajengking itu.
Tenaganya si pemuda desa sangat besar, tidak perduli serangan yang bagaimana hebatnya, ia juga berani menahan dengan telapak. Belum pernah ia menyingkir dari setiap serangan lawannya.
Hay-sim Kongcu setelah dapat memperdalam ilmunya di atas gunung es, untuk pertama kalinya ia menjajal kepandaiannya, ujung pedang bagaikan ekor beracun dari kalajengking besar tadi menyabet sana sini.
Biarpun demikian, Hay-sim Kongcu masih mempunyai kesempatan untuk bersenda gurau juga.
Sebenarnya, pertarungan mereka merupakan suatu pertempuran yang dapat menentukan mati hidupnya orang-orang yang bertempur, tapi di mata tiga pemuda gagah itu hanya seperti suatu permainan saja.
Pek-hoat Sian-tong dan kawan-kawannya yang mengurung tiga anak muda itu, sedari tadi tidak dapat berbuat suatu apa, lama kelamaan ia menjadi marah juga. Dengan sekali memberi isyarat ia sudah mengeluarkan pedangnya.
"Trraang!" delapan pedang hampir berbareng keluar dari sarungnya.
Koo San Djie hanya tertawa melihat kelakuannya delapan musuh itu, dengan setengah mengejek ia berkata:
"Dari tadi saja berbuat begini bukankah lebih cepat selesai?"
Pek-hoat Sian-tong dengan tertawa dingin berkata:
"Kau jangan sombong!" katanya, "Jika hari ini kau dapat meninggalkan tempat ini dengan masih bernyawa, aku tidak mau berjalan di kalangan Kang-ouw lagi......
Tidak menunggu sampai perkataan ini habis si pemuda desa sudah memotong mengejek:
"Barang kali pergi ke neraka" Melaporkan diri pada raja akherat tentunya."
Pek-hoat Sian-tong menjadi semakin marah, bulunya seperti berdiri. Dengan tidak mengatakan suatu apa-apa lagi, ia sudah mulai menjujukan ujung pedangnya.
Tujuh orang lainnya, hampir berbareng berdiri tegak, menjujukan pedang mereka ke arah tiga pemuda. Enambelas mata dibuka lebar-lebar dengan tidak berkesip di arahkan ke tubuh sang lawan.
Hay-sim Kongcu tahu bahaya besar akan segera datang, dengan berteriak keras ia memperingatkan kedua kawannya:
"Awas, musuh akan segera mulai membikin penyerangan total!"
Dan betul saja, terlihat Pek-hoat Sin-tong mementilkan pedangnya, dibarengi oleh majunya tujuh pedang kawannya.
Sinar perak berkilat-kilat, bunyi pedang mengaung-ngaung, hawa dingin mengarungi keadaan di situ yang menjadi kacau sekali.
Koo San Djie tertawa panjang, loncat sana dan loncat sini, bagaikan bayangan setan, menyelip di antara berkelebatnya pedang.
Si pemuda desa tancap kedua kakinya, dengan kokoh sekali, menggunakan kedua telapak tangan yang seperti besi, menahan sesuatu serangan pedang yang datang ke arahnya.
Hay-sim Kongcu juga menggunakan pedangnya menyabet sana dan menyabet sini, memainkan buntut kalajengking ini dengan sempurna.
Lembah Merpati terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya, delapan orang ini mendapat penilikan keras dari ketua Lembah Luar dan dalam keadaan yang sengit, tentu saja kekuatannya tidak dapat dipandang enteng.
Dengan cara demikian, Hay-sim Kongcu mulai merasa keteter, disusul dengan si pemuda desa yang kehabisan bensin.
"Kita jangan mandah bertahan saja, menyerang......!" ia berteriak.
Pukulannya mulai dirobah menerjang keluar......
Koo San Djie tahu yang dua kawannya sudah tidak dapat bertahan terus, maka ia juga mulai menyerang keluar.
Ia bersiul nyaring, mengangkat tubuhnya lompat ke tengah udara dengan menggunakan ketangkasannya, ia sudah dapat menerobos lapisan pedang.
Hanya terlihat sinar hitam mengkilap berkelebat, tangannya telah berhasil mengambil keluar Pit Badak Dewa. Dibarengi oleh suara jeritan yang mengerikan, Oey-san Sian-tjia sudah mundur terpelanting ke belakang, dengan meninggalkan sebelah tangannya yang telah terpapas putus.
Setelah jurus pertamanya berhasil membuat satu kekosongan, diteruskan jurus yang kedua, ditujukan ke arah dua persaudaraan Thio.
Angin santer mendahului jalannya Pit Badak Dewa, membawa hawa dingin yang berwarna hijau mengarah dua musuh muda itu. Thio Thiat tidak sempat untuk mengeluarkan suara, dadanya telah tertembus oleh pit yang istimewa ini.
Sebentar saja telah pecah dua pintu kurungan, tekanan yang dirasakan oleh Hay-sim Kongcu dan si pemuda desa telah lenyap.
Waktu itu sifat kerbaunya dari si pemuda desa telah kembali, ia menyeruduk ke sana dan menyeruduk ke sini, menggunakan ketika Thio Hoan lengah karena kematiannya sang saudara, memukul dengan sekuat tenaga.
Angin pukulan yang keras telah membuat Thio Hoan terpental ngapung dan memuntahkan darah segar, sehingga tidak sadarkan diri lagi.
Hay-sim Kongcu melihat dua kawannya telah dapat menghasilkan kemenangan, ia menjadi lebih bersemangat, dengan mencurahkan seluruh tenaganya, ia berhasil mendesak Tan Goat Go dan Tan Goat Bie, mereka terpisah dari kawan-kawannya.
Sampai di sini, kurungannya delapan orang itu telah menjadi kacau balau dan berantakan tidak keruan,
Koo San Djie sangat membenci orang-orangnya Lembah Merpati ini, Pit Badak Dewanya tidak mengenal kasihan lagi, mencari kesempatan yang bagus. Tidak lama, Ouw-sie Hoe-djin juga telah kena tusukannya di arah pinggang dan jatuh menggeletak.
Oey-san Sian-tjia melihat kematian sang istri, tentu saja menjadi hilang semangat, lupa akan luka-lukanya, ia mengangkat tubuhnya sang istri yang telah mandi darah dan lari meninggalkan medan pertempuran.
Pak-hoat Sian-tong yang melihat di antara kawan-kawannya telah kedapatan dua mati dan dua luka, hatinya gelisah sampai mengeluarkan keringat dingin. Ia tahu kekuatannya telah berakhir sampai di sini.
Maka dengan suara duka ia berkata:
"Hari ini kami mengaku kalah. Tapi pada suatu waktu Lembah Merpati akan membuat perhitungan lagi."
Sambil memberi tanda siulan kepada kawan-kawannya, ia mendahului meninggalkan tempat itu.
Hay-sim Kongcu sudah mengangkat kakinya untuk mengejar, tapi sudah keburu diteriaki oleh Koo San Djie:
"Saudara, jangan mengejarnya. Musuh besarmu Sui Yun Nio berada di sebelah sini."
Tanpa menunggu reaksi dari kawannya lagi ia sudah jalan menghampiri Lam Keng Liu.
Hay-sim Kongcu yang mendengar disebutnya nama Sui Yun Nio menjadi lebih bergolak saja darah panasnya. Ia balik membuntuti di belakangnya Koo San Djie.
Orang-orangnya Hian-tju Totiang yang terdiri, dari delapan aliran partai yang sedang melawan rombongan Lam Keng Liu mulai kewalahan. Tapi mereka insyaf, pertarungan ini bukannya pertarungan biasa, inilah suatu pertempuran demi menjaga keselamatan diri mereka dari pembunuhan Lembah Merpati. Maka semua orang telah mengeluarkan tenaganya, siap sedia untuk mengadu jiwa demi keselamatan kawan lainnya.
Maka, biarpun di pihak Lam Keng Liu lebih kuat beberapa kali, juga tidak dapat membawa hasil dalam waktu yang singkat.
Begitu Pek-hoat Sian-tong dan kawan-kawannya meninggalkan tempat itu, Lam Keng Liu dan rombongannya juga sudah siap untuk mengikuti jejak kawannya. Tidak menunggu sampai datangnya Koo San Djie, ia sudah bersiul panjang dan membalikkan badan, mengambil tipu langkah seribu, ngiprit pergi.
Hutan Belantara Menyesatkan
Hay-sim Kongcu yang melihat Sui Yun Nio juga telah mengangkat kakinya melarikan diri, dengan tidak memikir akan segala akibatnya lagi ia sudah lantas mengejarnya.
Terdengar suara Koo San Djie dari belakang memperingatkan kepadanya:
"Saudaraku jangan terburu napsu......"
Tapi mana keburu, Hay-sim Kongcu juga telah lenyap dari pemandangan.
Si pemuda desa malah tertawa-tawa lebar:
"Jangan sibuk tidak keruan. Mari kita segera menyusul."
Ia mengangkat kakinya, menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, melesat terbang menyusul Hay-sim Kongcu.
Koo San Djie merasa lega juga melibat adanya pemuda desa ini yang pergi untuk membantu Hay-sim Kongcu.
Kini ia menghampiri Hian-tju Totiang dan rombongannya. Dari delapan orang ini ada setengahnya yang mendapat luka-luka.
Si Golok Sakti Nomor Satu terluka dalam, Ie Hoa Tie terluka di lengan, dan yang lain-lainnya lagi tidak keruan muka. Apa lagi Hian-tju Totiang yang mengadu tangan luka yang terberat.
Dengan cepat, Koo San Djie mengeluarkan pil pemberiannya si Orang Tua Bertangan Satu dan memberikan empat butir kepada Hian-tju Totiang sambil berkata:
"Pil ini sangat mustajab sekali, harap totiang dapat memberikan kepada mereka."
Hian-tju Totiang menyambuti pil itu, terasa olehnya bau harum yang keras menusuk hidung, pikirannya sudah menjadi jernih kembali. Maka ia tahu, inilah obat pil yang mahal harganya, dengan tidak henti-hentinya ia mengucapkan terima kasihnya.
Sebentar saja, kecuali si Golok Sakti Nomor Satu yang mendapat luka luar, yang lainnya sudah menjadi segar kembali.
Maka dengan beramai-ramai mereka mengucapkan terima kasih kepada anak gembala ini, dan minta maaf untuk kesalahan paham yang sudah lalu.
"Hanya pemberian kecil, buat apa disebut lagi," Koo San Djie berkata merendah.
Si Penadah Langit Kiang Peng berkata:
"Hari ini, jika bukannya saudara kecil yang dapat mengalahkan Pek-hoat Sian-tong dan kawan-kawannya, beberapa tulang kita ini tentu sudah tertanam di sini."
Si Walet Kie Gie nyeletuk:
"Orang-orang Lembah Merpati keluar dengan berbareng, bukan saja untuk menyatrukan saudara kecil ini saja, tentu masih mempunyai maksud tertentu. Kita harus bersiap-siap untuk menghadapi mereka."
Dengan menghela napas, Hian-tju Totiang berkata:
"Sebelumnya aku sudah menganggap sembilan ketua partai kita terbunuh oleh saudara kecil ini, baru sekarang aku tahu akan kesalahanku itu. Harap saudara jangan menaruh dendam."
"Urusan yang lama jangan disebut kembali," Koo San Djie menghibur. "Tentang urusan Lembah Merpati, sudah tentu akan ku urus sendiri. Apa lagi terhadap si pengkhianat Lam Keng Liu, aku tidak dapat melepaskan kepadanya."
"Kami akan segera kembali ke masing-masing gunung," Hian-tju Totiang berkata. "Jika saudara sudah mendapatkan di mana letaknya Lembah Merpati, harap suka segera memberi kabar, supaya kami dapat juga memberi bantuan yang tidak berarti."
Setelah meagucapkan kata-kata ini, mereka mengucapkan selamat berpisah. Baru beramai-ramai meninggalkan tempat itu.
Koo San Djie berdiri, mereka berlalu sampai tidak terlihat sama sekali, baru ia gerakan kakinya melanjutkan perjalanannya.
Baru saja ia membalikkan badannya, dari pohon-pohonan telah terdengar suara orang ramai yang tertawa.
Ternyata yang datang adalah Tiauw Tua, Sastrawan Pan Pin dan Tjeng Tjeng tiga orang.
Tjeng Tjeng yang telah lama tidak bertemu dengan koko San nya, begitu bertemu sudah menarik-narik tangannya dan berkata:
"Koko San......"
Tapi perkataan yang selanjutnya ia tidak dapat meneruskan karena saking gembira.
Koo San Djie mengelus-elus rambutnya dan bertanya:
Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana, apa kau telah berhasil menemukan ayahmu?"
Tjeng Tjeng jebikan bibirnya:
"Mana kita dapat menemukannya. Begitu aku melihat tulisan ayah, pada hari itu juga aku pergi menyusulnya ke arah barat. Tapi setelah sampai ke sebelah barat Kang-see, di daerah pegunungan yang penuh belukar, aku telah kesasar. Maka dengan apa boleh, aku kembali ke jalan asal, dan kebetulan bertemu dengan Tiauw Toako ini."
Lalu giliran Tiauw Tua yang menceritakan pengalamannya. Dengan menghela napas ia berkata:
"Tidak disangka, aku Tiauw Tua yang telah malang melintang di kalangan Kang-ouw puluhan tahun, masih terjatuh di tangan orang juga."
Ternyata Tiauw Tua setelah meninggalkan Makam Merpati, karena mengingat kitab Sari Pepatah Raja Woo, yang sangat penting sekali, maka dengan tidak mengenal siang dan malam, ia mengejar ke arah barat.
Setelah sampai di sebuah pegunungan yang penuh belukar di Kang-see barat, baru ia mendapatkan jejak seorang tua berkupiah emas berbaju biru.
Dilihatnya orang tua berkupiah emas ini sedang berlari-larian di antara tebing, yang curam. Ia juga sudah dapat melihat dengan tegas si orang tua berkupiah emas ini adalah salah satu dari lima raja iblis, dan yang mengepalai perserikatan mereka itu, si Badak Tanduk Perak.
Ia tahu, bahwa si Badak Tanduk Perak ini yang dapat mengepalai lima raja iblis, tentu mempunyai kepandaian yang tidak dapat di pandang gegabah. Maka ia berani menguntit dari kejauhan saja.
Tidak disangka si Badak Tanduk Perak ini sudah seperti mengetahui ia sedang dikuntit orang. Ia menoleh ke belakang sebentar, tertawa dingin, seperti asap, ia sudah dapat menghilang di antara pegunungan tadi.
Setelah dapat melewati dua puncak gunung, Tiauw Tua telah melihat di depannya terdapat rimba belantara yang gelap, juga sangat lebat. Di sini ia juga masih tidak dapat menemukan jejak si Badak Tanduk Perak.
Bukan saja ia tidak berhasil menemukan orang, bahkan dirinya sendiri sudah kehilangan arah dan tersesat di dalam rimba belantara.
Ia berputar-putaran dua hari dua malam di dalam rimba yang gelap dan tidak berujung ini, pada hari ketiga tahu-tahu ia sudah berada di tempat jalan lama lagi.
Sampai di sini mendadak Tjeng Tjeng berteriak:
"Tempat itulah yang aneh! Sewaktu aku mengejar ayah, juga sampai di sana kehilangan arah, sehingga kembali ke jalan asalnya lagi. Dikatakan ia seperti suatu barisan tin juga tidak mirip sama sekali. Memang suatu kejadian yang aneh."
"Mungkinkah hutan belantara buatan manusia?" tanya Tiauw Tua. Lalu ia meneruskan lagi ceritanya:
"Sebetulnya aku juga mau mencari tahu lagi tentang hutan belantara yang aneh itu. Tapi waktu itu, Si Sastrawan Miskin telah menyusul dan mengatakan bahwa orang-orang dari delapan partai besar ini telah bersama-sama mencari Liu Djin Liong untuk membikin perhitungan mereka. Dengan kepandaian Liu Djin Liong, aku tidak takut suatu apa, tapi jika mengingat kesalah pahaman tentu akan menjadi besar karenanya. Maka aku tidak membuang-buang waktu sudah lantas pergi mencari gurunya Ong Hoe Tjoe di gunungnya untuk mendamaikan urusan ini. Tapi tidak disangka, Bie Khiu Nie juga telah turun gunung untuk mengurus suatu urusan. Yah, untung saja pertikaian ini sudah dapat diselesaikan, untuk seterusnya kita dapat lebih memusatkan pikiran menghancurkan Lembah Merpati."
Biarpun mulut Koo San Djie mengia saja, tapi pikirannya sedang melayang-layang, memikirkan rimba belantara yang aneh itu.
"Bukankah si Orang Tua Bertangan Satu pernah mengatakan, bahwa Lembah Merpati dikelilingi oleh barisan tin yang tidak kentara, orang-orang biasa, jika sampai di sana, dengan tidak terasa sudah tidak dapat mengenal arah dan kembali ke jalan asalnya. Apa bisa jadi rimba belantara yang ditemukan Tiauw Tua dan Tjeng Tjeng ada itu rimba belantara yang dimaksud?"
Si orang tua berkupiah mas, yaitu si Badak Tanduk Perak telah berhasil mendapatkan peta gambar yang menuju ke Lembah Merpati. maka ia dapat menghilang di sana dan masuk ke dalam Lembah Merpati. Apa betul ia dapat masuk ke dalam Lembah Merpati"
Sewaktu ia sedang enak-enakan melamun, Tjeng Tjeng sudah menarik tangannya dan berkata:
"Koko San, apa sih yang sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang memikirkan rimba belantara tadi," Koo San Djie menjawab. "Mungkin sekali rimba belantara itu adalah benteng luar dari Lembah Merpati."
"Haaa, apa betul?"Tiauw Tua menjadi lompat kaget.
Koo San Djie menganggukkan kepalanya. "Aku pernah mendengar orang mengatakan bahwa Lembah Merpati dikelilingi oleh barisan tin yang tidak menyolok mata, yang dapat mengantarkan orang luar kembali ke tempat asalnya. Yang telah dialami oleh kalian apa bukan kejadian yang seperti ini?"
Dengan rasa tidak puas, Tjeng Tjeng berkata:
"Jika betul cerita ini. Aku yang paling pertama mau melihat."
"Jangan berlaku ceroboh!" kata Tiauw Tua. "Kita harus berunding dulu, memikirkan cara pemecahan, baru masuk ke dalam rimba aneh itu. Dengan cara ini kita akan lebih aman."
Koo San Djie juga turut berkata:
"Betul. Dan mungkin sekali ayahmu juga terkurung di sana."
Kali ini giliran Tjeng Tjeng yang berjingkrak:
"Haa" Ayahku berada di sana" Mari kita pergi menolong!"
Si Sastrawan Pan Pin turut bicara:
"Untuk dapat memecahkan Lembah Merpati, dengan mengandalkan tenaganya kita beberapa orang saja masih belum ketentuan hasil. Lebih kita menyerap-nyerapi kabar lebih dahulu, baru berunding cara pemecahannya."
"Urusan tenaga, aku tidak kuatir," kata Koo San Djie, "Yang menjadi halangan besar ialah kita kekurangan satu orang yang dapat mengetahui jalan."
Tjeng Tjeng menjadi gelisah.
"Apa karena ini kita jadi tidak berani memasukinya?" tanyanya.
Dengan menarik tangan Koo San Djie ia sudah berjalan terlebih dulu.
Tiauw Tua dan si Sastrawan Pan Pin tidak dapat berkata suatu apa lagi, dengan menuruti langkahnya Koo San Djie, mereka juga sudah mengikuti di belakang.
Demikianlah mereka berempat, dengan tidak mengenal lelah menuju ke pegunungan yang tidak teratur di sebelah barat Kang-see.
Sewaktu mereka sampai di suatu tempat, lapat-lapat terdengar lagu-lagu yang dapat menarik sukma. Tjeng Tjeng yang masih kecil tidak merasa suatu apa, tapi buat ketiga orang lainnya sudah menjadi tidak keruan rasa.
Dengan cepat Koo San Djie sudah menahan langkahnya dan duduk menenangkan pikirannya, diturut juga oleh dua orang lainnya.
Setelah diperhatikannya dengan seksama, suara lagu-lagu tadi ternyata datang dari arah rimba yang tidak jauh dari mereka.
Tjeng Tjeng dengan keras berteriak seperti baru engah:
"Koko San, apa ini bukan permainan Pay-hoa Kui-bo yang jahat" Lekas kita pergi ke sana, mungkin sekali ia sedang mengganggu orang."
Koo San Djie berkata: "Mungkin juga."
Dengan cepat Koo San Djie sudah mengeluarkan Pit Badak Dewa, terus menuju ke arah datangnya lagu-lagu tadi.
Tjeng Tjeng juga sudah mengeluarkan kalung pemberian ibunya dan mengintil di belakang.
Tiauw Tua dan si Sastrawan Pan Pin yang melihat Koo San Djie dan Tjeng Tjeng sampai mengeluarkan senjatanya masing- masing tahu akan bahaya yang sedang mengancam tidak enteng. Maka mereka juga harus hati-hati menghadapi suara musik ini.
Dengan sebelah tangan menjaga dada, dan sebelah tangannya lagi siap untuk menyerang dalam waktu bersamaan, mereka berdua maju ke dalam rimba.......
Koo San Djie dengan tangan menyekal keras Pit Badak Dewa mulai memasuki rimba......"
Seperti kabut tebal saja, asap putih mengepul di sana, enambelas penari jelita dengan memegang bermacam-macam tetabuhan sedang mengelilingi sepasang muda mudi.
Pay-hoa Kui-bo dengan memeluk phipe dan rambut riap-riapan sedang asyik duduk bersila di atas sebuah batu besar.
Di samping kiri kanannya terdapat empat anak yang memegang hiolo, dari hiolo-hiolo inilah keluar asap-asap putih tadi. Dengan bantuan angin asap-asap ini menjalar kemana-mana.
Dengan pandangan yang tajam Koo San Djie sudah dapat melihat sepasang muda mudi yang terkurung adalah Ong Sun Thay dan si Selendang Merah.
Dua orang ini dengan baju yang awut-awutan seperti orang yang baru mabuk saja. Terhadap kejadian-kejadian di sekitarnya mereka tidak sadar sama sekali.
Koo San Djie menjadi marah melihat itu, kedua matanya seperti mau mengeluarkan api. Ia sudah bersedia hendak menerjangnya, mendadak, dari luar rimba di sebelahnya telah keluar seorang pemudi yang berpakaian bulu burung, dengan tangan menunjuk Pay-hoa Kui-bo berkata:
"Jika tidak segera menghentikan suara tabuhanmu itu, jangan salahkan aku yang akan membunuhmu."
Pay-hoa Kui-bo menjadi kaget, ia menyangka akan datangnya orang berkepandaian tinggi mau mencegahnya. Tapi sewaktu ia melihat, yang datang hanya seorang pemudi yang masih muda, dengan tidak terasa menjadi tertawa seram:
"Budak hina yang bernyali besar, kau juga berani menghalang-halangi pekerjaanku" Apa kau juga ingin merasai buah tanganku?"
Si pemudi berbaju burung ini menjadi gusar, tubuhnya mencelat ke atas, seperti alap-alap, ia menerkam ke arahnya Pay-hoa Kui-bo.
Tangan cengkeramannya si pemudi berbaju burung ini belum juga sampai atau senjata istimewanya telah mendahului menyambar muka Pay-hoa Kui-bo.
Pay-hoa Kui-bo tidak menyangka akan kegesitan si pemudi berbaju burung melebihi kilat datangnya. Mukanya hampir tersapu rusak oleh senjatanya sang lawan muda ini.
Terpaksa ia mengangkat tongkatnya menjaga kepala bagian atas dari sampokan senjata.
Tapi kegesitan si pemudi berbaju burung belum sampai di sini, tubuhnya berjumpalitan di udara, naik tinggi lagi, membuat satu putaran dan balik menerjun, tetap mengarah batok kepala orang.
Belum pernah Pay-hoa Kui-bo melihat orang dapat berjumpalitan di udara dengan tidak mempunyai pegangan suatu apa. Untuk menyingkir lagi sudah tidak mempunyai waktu, maka dengan terpaksa ia sudah menyerahkan nyawanya mengemplang.
Ia berbuat begini dengan maksud mati bersama-sama, tapi si pemudi mana mandah ditimpa tongkat musuh" Sambil mendongakkan badan, tangan kirinya menahan datangnya kemplangan, sedang tangan kanannya yang memegang kipas, menotok ke arah jalan darah Cie-tong-hiat.
Serangan ini dengan telak mengenakan tepat pada sasarannya, hingga dengan berteriak keras tubuhnya Pay-hoa Kui-bo sudah terpental dan jatuh tengkurap di tanah, dengan mulutnya mengeluarkan darah.
Sampai pada waktu itu Koo San Djie sudah dapat melihat dengan tegas, pemudi berbaju burung ini bukan lain adalah Ciecie Hoe Tjoe nya yang selalu menjadi kenang-kenangan.
Tidak disangka, selama perpisahan dalam setahun ini, kepandaiannya sudah menjadi sedemikian hebat. Tidak sampai dua jurus, ia sudah dapat membunuh Pay-hoa Kui-bo yang jahat telengas.
Karena saking girangnya, ia hanya dapat berseru:
"Ciecie Hoe Tjoe......"
Berbareng lompat menubruk dan memeluknya dengan kencang-kencang.
Kali ini Ong Hoe Tjoe tidak menghindarkan diri lagi dari adik kecilnya yang sekarang telah tidak kecil lagi. Ia mandah Koo San Djie berbuat dengan sesukanya.
Di antara mereka berdua terdapat kepercayaan penuh. Tempo hari karena kesalah pahaman sehingga menyebabkan terpisah mereka berdua. Tapi di dalam hatinya sepasang anak muda pada saat itu sudah terlupa sama sekali, sebagai gantinya kegirangan yang meluap-luap telah membuat mereka lupa daratan.
Maka biarpun Ong Hoe Tjoe merasa malu sampai merah wajahnya juga tidak mau melepaskan rangkulan si anak muda idaman.
Setalah mereka terdiam sekian lamanya, Koo San Djie baru berkata:
"Ciecie Hoe Tjoe, kemana saja kau selama ini?"
Baru kini Ong Hoe Tjoe mendorong tangan si pemuda perlahan dan berkata:
"Aku belajar ilmu silat di dalam Lembah Hewan sehingga setahun, dan baru keluar mencarimu kemari."
Mereka tidak tahu, dengan berkasih-kasihan seperti ini telah melukai hati dua orang lain.
Yang satu ialah si Selendang Merah yang selalu membayangi adik kecilnya, dan yang satu lagi ialah anak muda terkemuka dari partai Padang Pasir, Ong Sun Thay.
Si Selendang Merah, karena ilmu jahat Pay-hoa Kui-bo yang dinamai Cit-cing-siauw-hun-tay-hoat mengekang dirinya membuat ia mudah dipermainkan oleh Ong Sun Thay. Begitu melihat datangnya Koo San Djie, bukan segera Koo San Djie menanyakan keselamatan orang, malah di hadapannya berkasih-kasihan dengan si pemudi burung, mana ia tidak menjadi sakit hati" Maka dengan menggertak gigi ia sudah lari meninggalkan rimba itu. Belakangan bersama-sama Tju Thing Thing yang juga mengalami nasib yang serupa, mereka mendirikan perkumpulan Pemutus Asmara dan selalu mengganggu kaum laki-laki. Tapi inilah urusan belakangan.
Diceritakan kisah Ong Sun Thay yang telah mengikuti Ong Hoe Tjoe sekian lama. Biarpun Ong Hoe Tjoe tidak mengutarakan suatu apapun, tapi juga tidak memarahinya lagi, maka ia menyangka Ong Hoe Tjoe dengan diam-diam telah setuju.
Hari itu, Ong Hoe Tjoe setelah bertengkar dengan Koo San Djie dan meninggalkan entah kemana si nona telah pergi" Maka setelah ia dikalahkan oleh si anak gembala, ia pergi menyusul Ong Hoe Tjoe.
Ia melihat dengan mata sendiri, di antara mereka berdua telah terjadi percekcokan yang besar, maka ia sangat mengharap dapat menggantikan tempat si anak gembala dalam hati si nona.
Ia tidak berhasil menemui Ong Hoe Tjoe, sebaliknya tidak disangka-sangka ia telah menemukan si Selendang Merah yang sedang dipermainkan oleh Pay-hoa Kui-bo dan sewaktu ia mau membantunya, ia turut kecemplung juga dalam ilmu jahat Pay-hoa Kui-bo.
Sebenarnya ia hanya ingin menanyakan kepada si Selendang Merah tentang di mana adanya Ong Hoe Tjoe. Untung, jika tidak ada Ong Hoe Tjoe datang ke situ, ia dengan si Selendang Merah pasti akan mati kecapean.
Setelah dapat menenangkan dirinya dari gangguan Pay-hoa Kui-bo, ia melihat pemudi idam-idamannya sedang berpelukan dengan si anak gembala di depan mata.
Hal mana tentu saja telah menimbulkan rasa cemburu, maka dengan tidak mengucapkan terima kasih lagi, ia tertawa dingin dan kembali ke tempat asalnya.
Mulai dari saat itu, golongan partai Padang Pasir telah menanam permusuhan dengan Koo San Djie, dan sering melepaskan orang-orangnya untuk mencari setori.
Munculnya Ong Hoe Tjoe telah menarik perhatian semua orang, sehingga mereka lupa akan kepergian si Selendang Merah dan juga kepergian Ong Sun Thay.
Sampai waktu Tjeng Tjeng dapat menarik Ong Hoe Tjoe dan diajak bicara ke barat dan ke timur, baru Koo San Djie ingat akan si Selendang Merah.
Dengan segera ia memalingkan mukanya dan mencari-cari, tapi biar bagaimana juga ia tidak dapat menemukannya lagi. Ia hanya menyangka, tentunya si Selendang Merah sudah menjadi malu dan pergi maninggalkan dengan diam-diam, maka ia juga tidak menaruh perhatian lagi.
Waktu itu, Tjeng Tjeng sudah seperti dakocan besar saja yang menempel pada Ong Hoe Tjoe, bertanya ini dan itu.
Sewaktu tangannya menyentuh baju bulu burung Ong Hoe Tjoe yang indah, dengan heran ia bertanya:
"Ciecie Tjoe, bukan main bagusnya bajumu itu."
Ong Hoe Tjoe dengan tertawa menjawab:
"Kebagusannya hanya nomor dua, yang pertama ialah khasiatnya baju ini yang banyak berguna."
Lalu ia menuturkan kisahnya bertemu dengan Si Bidadari Sayap Biru di dalam Lembah Hewan dan memperdalam kepandaian silatnya, sehingga semua orang yang mendengarkannya menjadi terheran-heran..
Mandadak Tjeng Tjeng bertanya lagi:
"Jika si Bidadari Sayap Biru adalah orangnya Lembah Merpati, apa dia tidak mengatakan, di mana letaknya lembah yang tersembunyi itu?"
Ong Hoe Tjoe menggeleng-gelengkan kepalanya,
"Peraturan leluhur Lembah Merpati tidak mengijinkan orang-orangnya membongkar rahasia ini di hadapan orang luar. Tentu saja ia tidak memberi tahu," jawab Ong Hoe Tjoe.
Koo San Djie menimbrung: "Sekarang kita tidak usah takut tidak dapat menemukan tempat itu. Yang kukuatirkan ialah jalannya yang bisa mempersulit kita."
Ong Hoe Tjoe seperti baru tersadar dari mimpinya, katanya:
"Sekarang aku baru mengerti. Biarpun si Bidadari Sayap Biru tidak memberitahu, di mana letaknya Lembah Merpati, tapi dia mengajari banyak gambar-gambar yang tentu mengandung arti yang dalam. Dan gambar-gambar tadi tentunya ialah jalan-jalan di rimba belantara yang tidak mau menerima orang luar itu."
Setelah membiarkan tiga anak muda itu repot pasang omong sekian lama, baru Tiauw Tua menyelak:
"Sekarang kita telah dapat memastikan letaknya Lembah Merpati, tentu berada di sebelah barat Kang-see, gambar jalan untuk memecahkan kesulitan di dalam rimba belantara juga telah berada di tangan kita, kita tinggal menyiapkan tenaga saja. Dan inilah yang terpenting dalam keseluruhannya, kita harus mempunyai suatu rencana yang sempurna."
Terhadap sang toako ini, Koo San Djie selalu menghormat. Maka ia tidak berkata suatu apa.
Si Sastrawan Pan Pin berkata:
"Lembah Merpati adalah musuh bersama dari semua orang, termasuk juga orang-orang dari sembilan partai besar yang sudah mendendam sakit hati, karena terbunuhnya para ketua mereka. Jika dilihat dari sudut persahabatan, kita juga sudah saharusnya memberitahu kepada mereka tentang rencana ini."
Biarpun kuping Koo San Djie mendengar pembicaraan orang, tapi dalam hatinya sedang berpikir:
"Kepandaian dari Lembah ini, sudah tentu saja aku tidak boleh sembrono. Dengan menggunakan waktu mereka memberi kabar kepada golongan partai, lebih baik aku mencari suatu tempat yang aman untuk memperdalam ilmu yang tertulis dalam kitab kutu buku. Baru aku dapat melayaninya dengan terlebih sempurna."
Maka maksuduya ini dikatakan juga terhadap semua orang.
Terdengar Tiauw Tua yang pertama menyetujui:
"Demikianpun baik juga. Kita tetapkan saja setengah tahun kemudian kita beramai-ramai bertemu pula di sini."
Setelah berlalunya Tiauw Tua dari rombongan mereka, Koo San Djie menuturkan juga pengalamannya di dalam goa, tentang si Orang Tua Bertangan Satu yang mengalami nasib malang. Dan tidak lupa juga ia memberikan pada Ong Hoe Tjoe dan Tjeng Tjeng, pil yang sangat berfaedah dari pemberian si Orang Tua Bertangan Satu.
Demikianlah mereka sudah merundingkan soal yang lain-lain. Jika seorang anak laki dan dua orang anak perempuan berkumpul bersama-sama, si anak lakilah yang menerima penderitaan.
Tidak terkecuali juga dengan Koo San Djie di sini, di tengah perjalanan selalu ia tidak mendapatkan bagian bicara.
Dari usulnya Tjeng Tjeng, dan setelah disetujui oleh Ong Hoe Tjoe, mereka bertiga bermaksud pergi ke dalam Makam Merpati untuk meyakinkan ilmu terlebih jauh.
Tiga anak muda ini sudah bersedia pergi ke dalam Makam Merpati, mendadak, Koo San Djie menahan tindakan kakinya, dengan perlahan ia berkata:
"Orang dari Lembah Merpati."
Betul saja, tidak lama kemudian, seorang pemudi berbaju putih dan seorang pemuda berbaju merah lewat di seberang mereka.
Tjeng Tjeng yang paling tidak dapat menahan sabar sudah berkata:
"Mari kita pergi mengejar!"
Tapi Koo San Djie sudah palangkan kedua tangannya mencegah:
"Tunggu dulu di belakang mereka masih ada orang lagi......"
Dan betul saja, dua pasang bayangan orang terbang mengikuti pasangan anak muda tadi.
Ong Hoe Tjoe menjadi kaget juga.
"Apakah artinya mereka ini" Apa di dalam Lembah Merpati telah terjadi perobahan?" tanyanya.
"Bisa jadi," jawab Koo San Djie. "Mari kita mengejar."
Tiga anak muda ini menggunakan kepandaian masing-masing, bagaikan kecepatan burung saja, mereka melayang-layang mengejarnya.
Tjeng Tjeng yang masih bersifat kanak-anak, sudah tidak mau ketinggalan dari dua kawannya, ia mendahului mengeluarkan semua kepandaian ilmu mengentengi tubuhnya berjalan dipaling depan.
Ong Hoe Tjoe juga ingin mengetahui, sempai di mana ilmu yang baru dapat dipelajarinya dari dalam Lembah Hewan, gerakan tubuhnya sebentar tinggi dan sebentar rendah, selalu berjalan merendengi Tjeng Tjeng.
Koo San Djie melihat kepandaian ilmu meringankan tubuh dari dua kawannya menjadi amat kagum.
Tidak lama kemudian, mereka bertiga telah sampai di salah satu kota, maka dengan bersama-sama, mereka mengurangi kecepatan larinya.
Segera mereka mencari rumah makan untuk menangsel perut yang sedang keroncongan.
Tjeng Tjeng mana ada napsu makan" Dengan memonyongkan mulut kecilnya ia berkata:
"Aku tidak percaya, ilmu mengentengi tubuh mereka dapat memenangkan kita. Mengapa masih tidak terlihat jejak mereka?"
"Mungkin mereka sudah mengambil jalan lain," jawab Ong Hoe Tjoe.
"Tidak perduli bagaimana," kata Koo San Djie, "Kita harus terus mengejar."
Sedang enak-enaknya tiga anak muda ini berunding, mendadak, sesosok bayangan hitam muncul dari pintu, seorang pengemis tua yang berambut awut-awutan dengan tidak mengatakan suatu apa lagi sudah duduk di antara mereka.
Tjeng Tjeng sangat mementingkan kebersihan, melihat si Pengemis yang kotor, hampir ia muntah. Dengan mempelototkan kedua matanya ia sudah mau marah.
Tapi si Pengemis tua sudah mendahului tertawa:
"Hi, bagus betul potongan tubuhmu......"
Lima Raja Iblis Lawan Lembah Merpati
Tjeng Tjeng yang sudah tidak dapat menahan marahnya, lima jari kecilnya bergerak dan mengeluarkan angin menyerang si Pengemis tua tadi.
Si Pengemis tua dengan masih tertawa menggoyang-goyangkan tangannya:
"Tunggu dulu. Tunggu dulu. Nyawa si pengemis tua masih mau dipakai untuk menonton keramaian."
Angin yang lembut dari goyangan tangan tadi telah menahan serangan lima jari Tjeng Tjeng.
Putri Liu Djin Liong penasaran, ia sudah mau mengeluarkan serangannya, ia telah ditahan oleh Koo San Djie dan berkata:
"Sudah! Jangan meneruskan seranganmu, Mari aku perkenalkan, dia inilah orang tua tersohor dengan julukan si Pengemis Sakti Kiang Tjo."
Si Pengemis Sakti masih menggoyang-goyangkan kedua tangan.
"Sudahlah! Jangan banyak memuji orang. Apa kalian kemari untuk melihat keramaian?" tanyanya.
Koo San Djie sudah menalangi kawan-kawannya menjawab:
"Kami sedang mengejar orang-orang Lembah Merpati, tapi sampai di sini, mendadak kehilangan jejak mereka."
Si Pengemis Sakti kaget sampai menepok meja:
"Tentu mereka pergi ke gunung Sin-sa."
Kemudian ia memberikan penjelasannya:
"Yang menjadi kepala dari lima raja Iblis yaitu si Badak Tanduk Perak, dengan tidak disengaja telah berhasil mendapatkan peta jalan Lembah Merpati, dengan seorang diri saja dia telah berhasil merebut kembali kitab Sari Pepatah Raja Woo yang telah dirampas orang Lembah Merpati dari tangannya Kim Ting Sa, dia juga telah mengantongi harta benda berharga dari dalam Lembah Merpati. Maka dengan menggunakan kesempatan ini, dia telah mengeluarkan banyak surat undangan untuk bersama menduduki tanah yang subur itu......"
Koo San Djie yang mendengar sampai di sini sudah keterlepasan berkata:
"Dia sedang mengimpi, Lembah Merpati penuh dengan orang-orang pandai, mana dapat membiarkan orang-orang tolol begitu berbuat dengan semau-maunya?"
Perkataan ini membuat orang terkejut, kecuali Ong Hoe Tjoe yang mengerti sedikit tentang keadaan Lembah Merpati, si Pengemis Sakti Kiang Tjo menjadi bingung juga. Di dalam hatinya ia berkata:
"Si Badak Tanduk Perak adalah orang nomor satu di kalangan hitam, maka ia dapat keluar masuk di dalam Lembah Merpati seperti tidak ada orang yang telah menjadi suatu kenyataan. Mengapa bocah ini masih tidak mempercayainya" Dan lagi jika didengar dari perkataannya, ia seperti berpihak kepada orang Lembah Merpati."
Tapi si Pengemis Sakti tidak tahu tempat yang dapat dimasuki oleh Badak Tanduk Perak ini adalah Lembah Luar dari Lembah Merpati. Dan lagi telah berapa ribu tahun belum pernah kemasukan orang, sehingga penjagaan di situ menjadi tidak begitu keras dan sering lengah. Si Badak Tanduk Perak yang lagi bintang terang, dapat masuk keluar Lembah Merpati dengan bebas.
Koo San Djie melihat si Pengemis Sakti seperti tidak mau mengerti, maka ia sudah menjelaskan:
"Kepandaian-kepandaian yang sering kita saksikan di kalangan Kang-ouw bukannya kepandaian asli dari Lembah Merpati! Jika kepandaian asli dari Lembah Merpati ini dapat keluar di kalangan Kang-ouw, aku sendiri juga belum tentu dapat menandinginya."
Kepandaian Koo San Djie yang tinggi telah diketahui sendiri oleh si Pengemis Sakti Kiang Tjo, sampai Koo San Djie demikian memuji tinggi kepandaian asli Lembah Merpati, mau tidak mau ia harus percaya juga.
Terdengar ia menghela napas dan berkata:
"Jika mendengar penjelasanmu, aku si melarat harus percaya juga. Tapi, biar bagaimana juga, aku ingin melihat dengan mata kepala sendiri, kepandaian yang kau puji-puji dari Lembah Merpati."
Koo San Djie bercerita: "Asal mulanya Lembah Merpati adalah usaha dari para menteri dari kerajaan kuno kita yang mengasingkan diri karena tindakan sewenang-wenang dari sang raja. Turun menurun mereka berdiam di lembah itu, maka terjadilah perkampungan dengan nama Lembah Merpati. Orang-orang yang keluar lembah dan berbuat jahat, hanya terdiri dari beberapa gelintir orang saja. Nanti, setelah aku dapat masuk ke sana, tentu akan memberi hukuman yang setimpal kepada mereka ini......"
Beberapa perkataan dapat keluar dari mulut seorang anak gembala yang masih sedemikian mudanya, membuat si Pengemis Sakti yang telah kawakan menjadi kagum.
Pikirnya: "Sombong benar bocah ini! Berapa sih umurnya anak yang masih ingusan ini" Berani mengatakan hendak memberi hukuman kepada orang?"
Koo San Djie juga sudah merasa keterlepasan omong, maka segera ia memutar bicara:
"Kitab Sari Pepatah Raja Woo, adalah kepunyaan Liu-supek, tidak dapat kitab ini terjatuh ke dalam tangan orang lain, sekarang aku ingin pergi ke sana untuk mengambil kembali."
Kiang Tjo tertawa lebar: "Jika kau mempunyai niatan yang bagus ini aku juga bersedia untuk membantu."
Koo San Djie lalu menjura dan mengucapkan terima kasih.
"Janji Locianpwe adalah sangat berharga. Mari kita mencari tempat meneduh dulu, pada waktu malam baru kita bekerja."
Pada malam itu, tiga anak muda dan seorang tua bersama-sama menuju ke sarang perserikatan lima raja iblis di gunung Sin-sa.
Gunung Sin-sa tadinya adalah suatu tempat yang tidak terawat dan di kelilingi oleh tiga tebing yang tinggi. Setelah terjatuh ke dalam tangan lima raja iblis, baru diperbarui dengan bermacam-macam tempat penjagaan yang tersembunyi. Sehingga dapat dikatakan juga sebagai suatu benteng yang kuat dan terpelihara.
Tapi semua usaha mereka di mata Koo San Djie dan kawan-kawan tidak berarti sama sekali. Hanya seperti berkisarnya angin saja, mereka berempat telah dapat melewati semua penjagaan.
Si penjaga tidak menyangka akan bayangan orang yang dapat berjalan sedemikian cepat, dalam anggapan mereka yang tolol, tentu adalah beberapa burung malam yang pulang kandang.
Setelah dapat memasuki tengah-tengah benteng ternyata lampu di sini dipasang terang benderang, masih terdengar suaranya banyak orang yang sedang makan minum di dalam pesta.
Empat orang sudah dipecah menjadi dua rombongan dan masing-masing maju dari kiri dan kanan.
Koo San Djie dan Ong Hoe Tjoe berdua sudah dapat masuk ke dalam ruangan dan bercokol di antara mereka.
Dilihatnya tiga meja dipasang segi tiga, si Badak Tanduk Perak, Kim Ting Sa, Hu-lan Lo-kway dan si Kepala Setan Srigala duduk disatu meja. Di meja sebelah kiri terdapat empat pengiring pribadi Pay-hoa Kui-bo; si Hakim Neraka, Muka Kuda, Sapi Celaka dan Babi Tertawa. Dan yang lain-lainnya terdiri dari orang yang tinggi pendek dari kalangan hitam.
Si Badak Tanduk Perak adalah kepala mereka. Kecuali Kim Ting Sa yang masih dapat melayani bertanding beberapa jurus, lain-lainnya tiada yang nempil, seperti si Kepala Setan Srigala dan yang lain-lainnya tidak ada separuh dari kepandaian Badak Tanduk Perak.
Apa lagi sesudah ia berhasil dapat masuk ke dalam Lembah Merpati dan membawa beberapa oleh-oleh yang membuat semua orang menjadi bertambah mengilar. Maka kepalanya telah menjadi besar beberapa kali lipat.
Empat raja iblis lainnya dan orang-orangnya, semua merasa jeri terhadap kepandaian Lembah Merpati yang disohor-sohorkan orang. Tapi kini melihat pemimpin mereka secara mudah saja masuk keluar Lembah Merpati, mereka memandang rendah kepada Lembah Merpati yang tadinya dianggap angker itu. Siapa yang tidak ingin masuk ke sana"
Semua orang yang mengikut perjamuan itu rata-rata memuji-muji kepandaian si Badak Tanduk Perak. Dan yang dipuji juga sudah tidak segan-segan lagi menerima umpakan-umpakan, sudah membayangkan dirinya akan naik ke takhta kerajaan baru.
Di antara beradunya cawan-cawan arak mendadak terdengar suara bentakan si Badak Tanduk Perak:
"Sahabat dari mana yang berani mengumpat di sini" Apa tidak takut dianggap seperti pencuri?"
Ong Hoe Tjoe menjadi kaget, ia sudah bersedia lompat turun, tapi keburu dicegah oleh Koo San Djie.
Dalam sekejapan mata, mereka terbelalak. Kiranya, di tengah-tengah ruangan telah bertambah dua pasang muda mudi, yang pemuda berpakaian merah, dan pemudinya mengenakan pakaian putih lebar.
Terdengar salah satu di antara mereka berkata kepada si Badak Tanduk Perak:
"Sudah dua ribu tahun, Lembah Merpati tidak diketahui oleh orang luar. Kau ini betul-betul bernyali sangat besar, berani menyelinap masuk ke sana dan mencuri barang juga. Maka dengan kesalahanmu ini, kau wajib menerima kematian."
"Di sini berani omong besar, sekelompokan kecil orang Lembah Merpati yang tidak berguna telah dapat kulihat di sana, bahkan sudah dapat kembali lagi kemari dengan tidak kurang suatu apa. Akan kulihat bagaimana kalian mengambil tindakan?"
Si pemuda berbaju merah yang berada di sebelah kiri berkata:
"Kau tertawa apa" Lebih baik segera memanggil orang-orangmu untuk menyediakan peti mati."
Mendadak, ia bersiul sekali dan orang ini sudah berbareng bergerak.
Sebentar saja dalam ruangan perjamuan itu telah ramai dengan bermacam-macam bentakan, lebih dari sepuluh orang sudah menubruk empat orang tadi.
"Bleduk, bleduk." Lebih dari tujuh orang sudah terjungkal. Dua pemudi berbaju putih menggoyang-goyang empat tangan mereka, tidak henti-hentinya mengeluarkan asap putih.
Ong Hoe Tjoe dan Koo San Djie yang berjarak tidak jauh dari mereka juga turut mencium bau wangi-wangian yang menusuk hidung, kontan kepala mereka menjadi pusing.
Ong Hoe Tjoe dengan lekas menggoyang-goyangkan dua pundaknya, dari baju burungnya juga telah mengeluarkan semacam wangi-wangian yang mengusir asap beracun tadi.
Sewaktu mereka melihat ke bawah, empat anak muda tadi sudah tidak terlihat mata hidungnya sama sekali. Di ruang perjamuan telah kalut, beberapa orang terlihat sedang berusaha membikin bangun orang yang terkena racun.
Si Badak Tanduk Perak, Kim Ting Sa dan beberapa orang lagi sudah tidak terlihat juga.
"Celaka!" seru Koo San Djie. "Kita lekas menyusul mereka. Jika telat sedikit saja, kitab Sari Pepatah Raja Woo mungkin telah dapat direbut oleh mereka.
Dua orang bagaikan angin saja sudah menuju ke belakang, di mana ada terdengar suara pertempuran.
Ong Hoe Tjoe karena saking tergesa-gesa sudah mengeluarkan ilmu kepandaiannya. Berjumpalitan di udara, menerjang ke belakang ruangan.
Koo San Djie juga sudah dapat mengumpulkan semua tenaganya dan dengan Awan dan Asap lewat di mata, menyusul sang kawan.
Tapi pertempuran sangat kalut sekali, untuk sementara, mereka sudah tidak dapat berbuat sesuatu apa.
Di dalam medan pertempuran, kecuali orang-orang dari Lima raja iblis, juga terdapat empat muda mudi dari Lembah Merpati.
Si Pengemis Sakti Kiang Tjo menahan serangan Kim Ting Sa, Tjeng Tjeng juga sedang bergulat seru dengan seorang pemudi berbaju putih. Dan orang-orang yang lainnya juga sudah mencari musuh mereka masing-masing.
Tjeng Tjeng yang melihat datangnya Koo San Djie sudah lantas berteriak nyaring:
"Koko San, kitab Sari pepatah raja Woo di tangannya orang ini!"
Ia menudingkan jari ke arah seorang pemudi baju putih.
Ia berteriak begini tidak mengapa. Tapi justru karena teriakannya ini membuat semua orang sudah lantas meninggalkan musuhnya masing-masing dan mengeluruk ke arah pemudi berbaju putih.
Si Badak Tanduk Perak, Hu-lan Lo-kway dan Kim Ting Sa sudah menjujukan pukulan mereka bertiga ke satu arah ini.
Koo San Djie membentak keras, lalu maju satu tindak dan menyampok tiga pukulan ini dengan berbareng.
Badak Tanduk Perak memang sedang mendongkol, menemu halangan ini sudah menjadi semakin benci kepada anak muda kita. Bukannya ia mundur menyingkir dari serangan, malah mengeraskan tenaga pukulan.
"Buuk!" Dua-duanya sama mundur satu tindak karena sama kuat.
Koo San Djie malam itu diam-diam sudah bersumpah akan dapat merebut kembali kitab pusaka, tidak perduli musuh siapa yang menghalang-halangi sudah main hantam saja.
"Kitab Sari Pepatah Raja Woo adalah milik pendekar Merpati Liu Djin Liong, semua orang jangan harap memilikinya!" ia berteriak keras.
Si Badak Tanduk Perak mana mau mengalah sama seorang anak muda, dengan mengirim lagi pukulannya ia berteriak juga:
"Kau ini orang apa?"
Si pemudi berbaju putih yang memegang kitab tadi sudah lantas berpikir:
"Jalan yang paling aman ialah lari meninggalkan mereka."
Maka ia sudah melompat tinggi di atas kepala semua orang dan siap melarikan diri.
Mendadak, bayangan hijau daun sudah menghadang di hadapannya, mengulurkan tangan putihnya mengarah beberapa jalan darah yang terpenting.
Si pemudi berbaju putih adalah orang pilihan Lembah Merpati, mana dapat gampang-gampang ditotok, biarpun badannya di udara, ia juga masih dapat menggerakkan tangan, ia berbalik, mau memegang tangan orang.
Tapi gerakannya telah menyebabkan kehabisan napas, tubuhnya terjatuh kembali ke tempat asal.
Orang yang datang menyerang kepadanya adalah Ong Hoe Tjoe, kemudian turun di samping Koo San Djie.
Dalam satu gebrakan ini, orang-orangnya dari ketiga belah pihak sudah beramai-ramai mengurung baju putih. Semuanya berpandang-pandangan siap siaga untuk mencari kasempatan. Tapi siapa juga tidak mau bergerak terlebih dulu.
Sebabnya tidak sukar untuk diduga, karena jika siapa yang bergerak terlebih dulu, tentu akan mendapat serangan bersama dari dua pihak lainnya.
Si Pengemis Sakti Kiang Tjo sudah tertawa:
"Dengan cara pertarungan seperti mengadu ayam ini, mana ada kesudahannya" Kitab Sari pepatah raja Woo, adalah miliknya si tua Liu Djin Liong. Buat apa susah-susah diperebutkan?"
Kim Ting Sa keluarkan suara jengekkan:
"Tidak semudah itu, sahabat."
Ia membuka lima jarinya dan mencengkram ke arah si pemudi berbaju putih.
"Serr, serr....." Lima jarinya Tjeng Tjeng juga tidak mau ketinggalan, menubruk belakang Kim Ting Sa.
Kehancuran Lima Raja Iblis
Dua pemuda baju merah yang menjadi kawan si pemudi berbaju putih tentu saja tidak mengijinkan kawannya dihina, maka dua-dua mengeluruk ke arah Kim Ting Sa.
Sepandai-pandainya Kim Ting Sa, sudah tentu tidak dapat melawan jumlah serangannya tiga orang ini, saking takutnya, sampai ia mundur balik ke belakang lagi.
Keadaan kembali menjadi tenang, untuk menunggu keributan yang lebih besar.
Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang sedang mencari daya yang lebih bagus lagi untuk menarik keuntungan dari orang banyak ini.
Empat orang muda dari Lembah Merpati inilah yang paling tenang, mereka tahu, lima raja iblis dan kawan-kawannya tidak dapat bertahan sampai pagi hari, karena telah makan makanan yang mengandung racun. Dan pada waktu itu, mereka dapat mengumpulkan tenaga, untuk menggempur rombongan anak gembala.
Tapi, di mulut mereka tidak mau mengatakan apa-apa, mereka takut si Badak Tanduk Perak sekalian dapat mengadu jiwa.
Koo San Djie sedang berpikir keras, dengan cara apa, baru ia dapat merebut kitab pusaka dari pemudi berbaju putih"
Ong Hoe Tjoe memang pintar, hatinya juga tahu, siapa-siapa yang berani menyerang pemudi berbaju putih, tentu akan mendapat serangan berbareng dari dua belah pihak, kecuali orang ini dapat menahan serangan berbareng dengan tidak terluka. Tapi siapakah orangnya yang sanggup menahan serangan berbareng"
Hanya ia sendiri yang mungkin sanggup menerima pukulan-pukulan ini, karena baju burungnya tidak mempan akan senjata dan tenaga.
Maka, setelah dapat mengambil putusan, ia memberi tanda kepada Koo San Djie sekalian. Bagai kecepatan burung, ia menubruk ke arah si pemudi pemegang kitab.
Serangan dari udara ini ada sangat sukar diduga, pemudi berbaju putih hanya menyaksikan adanya bayangan orang melayang, jalan darahnya telah terkena totokan.
Dengan tidak menghentikan gerakan tangannya lagi, ia sudah meneruskan merogoh kantong orang dan terbang balik kembali.
Sebentar saja, bentakan-bentakan dari orang banyak menjadi gempar, serangan-serangan mereka ditujukan ke arah Ong Hoe Tjoe.
Pukulan-pukulan ini jatuh di tubuh si gadis, tanpa dirasakan oleh orang yang bersangkutan. Dengan tidak menghentikan gerakan, ia kembali lagi ke tempat asalnya.
Sebelum ia dapat menginjak tanah, ia telah diberondong oleh sekian banyak serangan.
Dengan sekali jumpalitan, Ong Hoe Tjoe sudah dapat memutar arahnya, menuju ke tempat Koo San Djie. Ia mengeluarkan segulungan benda dan disesapkannya ke arah Koo San Djie, katanya:
"Nah, ini kau boleh simpan kembali."
Kitab yang dibuat rebutan telah dapat kembali, si Pengemis Sakti Kiang Tjo sudah tertawa terbahak-bahak:
"Nona Tjoe betul-betul pandai. Kini kitab telah kembali ke asalnya."
Si Badak Tanduk Perak tertawa dingin:
"Hm...... Apa kalian kira masih dapat meninggalkan tempat ini?"
Koo San Djie mendongkol, "Aku juga tidak mau pergi. Siapa yang berani" Datanglah kemari, coba merebutnya!" tantangnya.
Kim Ting Sa pernah berhasil memukul jatuh anak muda ini, dengan menghina ia berkata:
"Apa kau kira gunung Sin-sa dapat membiarkan kau berbuat sombong?"
Ia mendahului dari kawan-kawannya dan menyerang sampai tiga kali.
Koo San Djie hanya menghadapi satu lawan, tentu saja dianggap sepi. Badannya tidak bergerak, membiarkan serangan lawan sampai dekat, baru berputar dan menyambuti dengan kekuatan penuh.
Kim Ting Sa menganggap tenaganya sudah cukup kuat, tidak takut membentur sambutan hebat ini, malah ia menambah tenaganya lagi.
Koo San Djie bermaksud menebus kekalahannya tempo hari, setelah menyambuti ia balas menyerang. Jurus yang kedua dengan pukulan geledeknya juga menyusul tiba.
Kim Ting Sa memang tidak tahu mati, begitu menerima serangan Koo San Djie yang pertama, badannya tergetar. Ia melihat serangan lawan seperti ada sesuatu yang lain, terhadap serangan yang kedua, ia berusaha mau membuang diri ke samping. Tapi sudah terlambat, dadanya terasa menjadi sesak, ia terhuyung-huyung ke belakang dengan menderita luka di dalam.
Si Badak Tanduk Perak yang melihat di samping menjadi kaget, ia maju membantu menahan serangan Koo San Djie.
Koo San Djie telah melancarkan serangan yang pertama dan kedua ia juga telah meneruskan serangan geledeknya yang ketiga.
Si Badak Tanduk Perak yang bantu menahan tadi, baru tahu betapa hebatnya serangan Koo San Djie, maka ia sudah segera menyingkir dari serangan yang ketiga.
Terdengar suara gemuruh, kiranya tempat di mana tadi ia berdiri telah berlubang besar, akibat terkena serangan Koo San Djie.
Melihat ini, si Badak Tanduk Perak meleletkan lidah, tapi jika mengingat kitab yang dengan susah payah baru didapatkan harus diberikan kepada orang lain, hatinya masih penasaran.
Ia mendahului menyerang dan telah mengeluarkan serentetan pukulan sampai tujuh kali.
Dengan tenang Koo San Djie menyambuti semua serangan-serangan ini satu persatu. Ia juga tidak mau tinggal diam, setelah cukup menyambuti semua serangan si Badak Tanduk Perak, tangannya digerakkan berkali-kali, membalas menyerang sampai lima kali. Lima serangannya ini telah membuat si Badak Tanduk Perak kewalahan.
Setelah berkali-kali mereka serang menyerang, orang-orang Lembah Merpati juga sudah siap untuk turun tangan. Tapi, jika, mengingat kepandaian si anak gembala yang begitu tinggi, sedangkan di belakangnya juga masih terdapat Tjeng Tjeng dan Ong Hoe Tjoe, jika hanya dengan empat orang seperti sekarang tentu tidak ada pegangan untuk memenangkannya. Maka, mereka hanya manunggu kesempatan yang menguntungkan.
Keadaan di medan pertempuran menjadi tegang kembali.
Sebenarnya, jika mau menggunakan kepandaiannya Awan dan Asap lewat di mata, Koo San Djie dengan mudah dapat keluar dari kepungan orang-orang ini. Tapi ia ti dak mau berbuat demikian.
Tiba-tiba terdengar dua kali bentakan si Setan Kepala Srigala dan Hu-lan Lo-kway, mereka siap maju berbareng.
Menggunakan kesempatan ini, dua pemuda berbaju merah juga sudah berpencar dan menyerang dari dua jurusan.
"Ser, ser......" kekuatan tadi kelihatan dari lima jari kecilnya Tjeng Tjeng sudah memapaki pemuda berbaju merah yang berada di sebelah kiri.
Ong Hoe Tjoe juga tidak mau tinggal diam ia mengibaskan senjata kipasnya menahan serangan yang datang dari sebelah kanan.
Koo San Djie memutarkan sebelah tangannya, lalu disodokkan ke arahnya Hu-lan Lo-kway, dan tangan kirinya dengan sebat telah mengeluarkan Pit Badak Dewa,
Pit Badak Dewa yang berwarna hitam berkelebat, si Kepala Setan Srigala menjerit dan jatuh ke tanah, dadanya telah tertembus oleh Pit yang tajam itu.
Hu-lan Lo-kway yang kebentrok sekali dengan sebelah tangannya Koo San Djie, melihat sang kawan dalam tempo segebrakan sudah harus menerima kematian, ia menjadi nekad.
Tangannya dipilin-pilin dengan cepat, ombak dingin saling susul datang menyerang ke arah Koo San Djie.
Sepasang alisnya Koo San Djie menjadi berdiri, Pit Badak Dewa yang hitam membuat beberapa kali lingkaran mengelilingi tubuhnya di tengah-tengah sinar hijau yang remang-remang seperti pedut.
Ombak dingin begitu membentur pedut hijau ini sudah lenyap tidak berbekas sama sekali.
Telah berkali-kali Hu-lan Lo-kway melangkah maju, tapi harus dipaksa balik mundur kembali.
Si Badak Tanduk Perak hanya takut kepada Pit ajaib yang besar khasiatnya ini, maka ia berkata:
"Hei, jika betul kau berani, mari kita mengadu tenaga dengan menggunakan telapak tangan kosong."
Koo San Djie lantas menyimpan Pit wasiatnya.
"Siapa yang takut" Sampai di mana juga akan kulayani."
Si Badak Tanduk Perak tertawa dingin, tulang-tulangnya berkeretekan, berbunyi beberapa kali, dua tangannya dilempangkan ke depan secara perlahan-lahan.
Inilah jumlah semua tenaga latihan, jika dilihat dengan sekelebatan seperti enteng sekali, tapi sebenarnya beberapa kali lipat lebih hebat.
Koo San Djie juga menangkis dengan pukulan. Ilmunya Ombak menyapu ribuan sampah, dikeluarkan dan mendahului memapaki kekerasan itu.
Dua angin pukulan keras terbentur.
Koo San Djie miring dia mundur lima tindak. Tjeng Tjeng berteriak keras, ia sudah maju untuk menolong, disaat itu, Koo San Djie sudah maju lagi, membentur lagi pukulannya sang musuh!
Si Badak Tanduk Perak tertawa mengejek, dengan mengibaskan lengan bajunya, ia juga tidak mau ketinggalan menyerang.
Tapi kali ini giliran ia sendiri yang merasakan sesak dada, pukulan Koo San Djie seperti ombak laut saja datang dengan tidak putus-putusnya.
Gelombang pukulan ini telah membuat tubuhnya si Badak Tanduk Perak terpental naik ke tengah udara.
Kim Ting Sa dan Hu-lan Lo-kway berdua sudah maju untuk menolong kawan mereka, tiba-tiba saja, dada mereka terasa bergolak dan terjatuh dua-duanya.
Tubuh kedua orang itu terduduk lemas.
Koo San Djie menjadi melengak di tempatnya, ia tidak mengerti, kejadian apalagi yang dapat datang dengan mendadak ini"
Empat orang Lembah Merpati hanya tertawa terbahak-bahak.
"Jika raja akherat telah menetapkan kematiannya ini jam juga, mana dapat ditawar-tawar lagi."
Semua orang seperti telah mengerti, bencana apa yang telah menimpa diri mereka, sebentar saja, pedang dan golok keluar dari kerangka semua dan ditujukan keorang orangnya Lembah Merpati.
Tiba-tiba...... Terdengar suara tertawa seorang yang menggema angkasa.
Berbareng dengan tertutupnya suara tertawa dari orang-orang Lembah Merpati tadi, empat anak muda ini telah terbang meninggalkan gunung Sin-sa.
Pada waktu keadaan yang kalut ini, dari tengah udara telah lompat turun seorang laki-laki setengah umur.
Itulah si Pendekar Merpati Liu Djin Liong!
Tjeng Tjeng yang melihat datangnya orang ini sudah lantas berteriak:
"Ayah......" Ia mendahului melompat dan menubruknya ke dalam pelukan ayahnya.
Koo San Djie juga sudah lantas memberi hormatnya kepada sang supek.
Yang datang betul adalah si Pendekar Merpati Liu Djin Liong yang telah lenyap sekian lamanya.
Ia dengan tangan mengusap-usap rambutnya sang anak sudah berkata kepada Koo San Djie:
"Setahun tidak bertemu, kepandaianmu telah maju banyak sekali."
Si Pengemis Sakti Kiang Tjo tertawa dan maju ke muka.
"Hei kawan tua, jika kita bertemu muka tiga bulan sebelumnya, di antara kita akan terjadi pertarungan yang serupa juga."
Liu Djin Liong tertawa riang.
"Aku telah lama tidak keluar rumah, ada urusan apa lagi yang dapat menyinggung orang lain?"
Kiang Tjo bertanya dengan heran:
"Sembilan ketua partai besar dari berbagai golongan telah menemui ajalnya di dalam Makam Merpati. Kabar ini telah meluas kemana-mana apa betul kau masih belum mengetahui?"
Liu Djin Liong menjadi sangat kaget.
"Apa betul?" Lalu pandangan matanya di arahkan kepada Koo San Djie sekalian dan berkata:
"Dengan tidak mendapat ijin dan berani sembarangan memasuki Makam Merpati sudah seharusnya menerima kematian, tapi siapakah orangnya yang telah mewakiliku?"
Ia sudah menyangka akan perbuatan Koo San Djie, maka sudah mengarahkan pandangannya pada si pemuda.
Waktu itu, si Badak Tanduk Perak yang sudah hampir mendekati ajalnya, dengan sekuat tenaga masih coba berkata:
"Tentang mereka, akulah yang membunuhnya, hanya......"
Si Pengemis Sakti maju setindak dengan geramnya ia berkata:
"Mengapa kau begitu kejam" Sampai satupun tidak ada yang lolos dari tangan jahatmu?"
Si Badak Tanduk Perak menghela napas:
"Aku hanya kebetulan saja untuk menalangi menjadi algojo. Kejadian waktu itu tidak berbeda jauh dengan hari ini, mereka semua terkena racun terlebih dulu. Haaaiiiiii...... Tidak disangka aku menjadi jago dunia sekian lamanya, juga harus......"
Sampai di sini, ia sudah tidak dapat melanjutkan perkataannya pula, seorang jago dari kalangan tersohor telah menemukan ajalnya secara penasaran.
Kemudian menyusul pula jeritan dari Kim Ting Sa, Hu-lan Lo-kway dan yang lain-lain, mereka tidak mau ketinggalan untuk pergi menyusul kawannya, melaporkan diri ke tempatnya raja akherat.
Benar-benar hebat pengaruh racun Lembah Merpati.
Koo San Djie sudah lantas mengeluarkan kitab Sari Pepatah Raja Woo yang sekian lama diperebutkan dan diserahkan kepada sang supek.
"Ini kitab yang beruntung masih dapat direbut kembali, harap supek dapat menerimanya kembali," katanya.
Liu Djin Liong sambil menerima kitab tadi tertawa berkakakan:
"Jika supekmu sampai sejilid kitab saja masih tidak dapat menjaga, buat apa mendapat julukan Pendekar Merpati dan jalan di kalangan Kang-ouw" Kitab ini adalah kitab palsu."
Si Pengemis Sakti Kiang Tjo menyelak:
"Hm, bagus, bagus. Karena kitab palsumu ini, sampai harus menyusahkan sedemikian banyaknya orang. Terlebih-lebih si bocah yang tidak mengenal mati."
Liu Djin Liong seperti setengah memuji setengah meminta maaf, dipandangnya Koo San Djie sekian lama.
Kemudian dengan perlahan-lahan ia berkata:
"Kini bereslah semua urusan ini dan bagaimana dengan selanjutnya perjalanan kita orang?"
"Aku akan pergi ke gunung Siong-san memberi laporan," kata Kiang Tjo. "Setengah tahun lagi kita sama-sama bertemu di dalam Lembah Merpati."
Lengan panjangnya lantas dikibaskan dan sebagai terbang saja ia turun meninggalkan mereka.
Setelah lenyap si Pengemis Sakti, Koo San Djie memberitahukan pada sang supek, maksudnya untuk kembali dulu ke dalam Makam Merpati untuk melatih diri bersama-sama dengan Tjeng Tjeng dan Ong Hoe Tjoe, memperdalam ilmunya.
Liu Djin Liong menyetujui akan maksud ini, maka ia berkata:
"Jika demikian, marilah kita bersama-sama kembali ke dalam Makam Merpati."
Demikianlah, berempat dengan Ong Hoe Tjoe mereka bersama-sama menuju ke Makam Merpati yang telah lama ditinggalkannya.
Liu Djin Liong sedari ditinggal minggat oleh Tjeng Tjeng yang nakal, telah menghapuskan peraturan yang tidak mengijinkan orang luar masuk ke dalam Makam Merpatinya. Maka dengan senang hati, ia mengajak Koo San Djie dan Ong Hoe Tjoe menuju ke Makam Merpati. Tentang minggatnya Tjeng Tjeng, tidak disebut-sebut lagi.
Jika Tjeng Tjeng menanyakan kemana saja setahun ini, sang ayah telah pergi" Selalu dijawab dengan gelengan kepala saja.
Tjeng Tjeng tahu akan adat ayahnya yang angkuh, mungkin ia telah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan, maka selanjutnya, ia juga tidak mau menanyakan lagi.
Dugaannya Tjeng Tjeng memang tidak salah.
Itu waktu, baru saja Liu Djin Liong keluar untuk mencari anaknya yang nakal yang minggat, ia sudah melihat sepasang anak muda yang menuju ke arah barat, dengan gerakan yang cepat sekali. Dengan gerakan yang digunakan oleh mereka ini adalah gerakan kepandaiannya sendiri. Maka hatinya tergerak dan kembali lagi ke dalam makamnya, meninggalkan sepotong kertas untuk anaknya, dan ke arah barat juga ia menyusul sepasang anak muda tadi.
Tapi ia mengejar setelah sampai di daerah pegunungan yang penuh belukar di daerah barat, ia kehilangan jejak dua anak muda yang dikejar.
Di daerah pegunungan ini ia berputar-putar sampai dua hari, selama ini ia telah dapat melihat hutan belantara yang gelap sekali, maka seperti terdapat sesuatu yang tidak beres, maka ia telah menyelidikinya dengan teliti.
Biarpun otaknya penuh dengan segala macam buku pengetahuan, tapi biar bagaimana juga, ia masih tidak dapat menemukan sesuatu yang aneh dalam rimba belantara.
Dalam keadaan demikian, mendadak matanya yang tajam telah dapat melihat musuh lama, si Badak Tanduk Perak, sambil celingukan keluar dari dalam rimba aneh itu.
Hatinya menjadi curiga, kepandaian silatnya si Badak Tanduk Perak, hanya berimbang dengan dirinya, tapi tentang pengetahuan umum, mana dapat disamai dengannya" Mengapa ia dapat memecahkan barisan tin ini"
Demikianlah, ia menguntit terus gerak gerik si Badak Tanduk Perak, sampai setahun dan sampai juga ia di gunung Sin-sa.
Tapi sekarang si Badak Tanduk Perak telah meninggalkannya, ia juga sudah tidak dapat mengutarakan kecurigaannya. Maka hatinya telah memutuskan untuk pulang dulu ke dalam Makam Merpati dan perlahan-lahan memikirkan cara pemecahannya soal barisan tin yang dialaminya.
Maka sewaktu Tjeng Tjeng mengajaknya pulang, ia sudah cepat-cepat melulusinya.
Tidak lama dari mereka meninggalkan gunung Sin-sa, di belakangnya telah terdapat orang yang menguntit. Tiga anak muda yang sedang girang dan belum cukup pengalaman tidak mengetahui kejadian ini, tapi Liu Djin Liong yang kawakan mana dapat dikelabuinya"
Tapi ia mana pandang mata segala kurcaci ini, dengan tertawa dingin ia tidak memperdulikannya.
Sewaktu mereka berempat memasuki pegunungan lain, dari salah satu tikungan, mendadak telah keluar menghadang seorang tua berbadan tinggi besar.
Orang tua tinggi besar ini memakai ikat kepala kain putih, brewok dan kumisnya penuh menutupi seluruh mukanya, di pinggang terikat juga kain kasar seperti di kepalanya.
Sambil menunjuk Koo San Djie lalu membentaknya:
"Partai Padang Pasir tidak pernah mengganggu urusanmu, mengapa kau berani sembarang menghina?"
Koo San Djie menjadi bingung, dengan tenang ia menjawab:
"Semua perkataanmu ini aku tidak mengerti. Di manakah aku pernah menghina partaimu?"
"Jangan banyak cingcong. Lihat serangan!" Orang itu membentak.
Betul saja ia sudah mengirim serangannya sampai tiga kali.
Angin pukulan menimbulkan hawa panas, hingga mulut menjadi haus kulit terasa seperti terbakar.
Kepandaian ini baru pertama kalinya memasuki daerah Tiong-goan, biarpun Koo San Djie dapat menahan serangan yang hebat, tapi terhadap hawa panas ini tidak berdaya sama sekali.
Hanya di pinggangnya yang tidak terasa panas, ia teringat akan Pit Badak Dewa.
Maka dengan sebat ia telah mengeluarkan dan diputar-putar menutup seluruh tubuh.
Apa mau, karena gugup, berbareng dengan senjata ampuh ia telah menarik ke luar juga tanda kebesaran dari Lembah Merpati yang didapati dari Orang Tua Bertangan Satu yang terkurung di dalam goa pembuangannya Lembah Merpati.
Tidak mempunyai waktu untuk menyimpan lagi tanda kebesaran ini maka Pit Badak Dewa membawa-bawa tanda kebesaran ini diputar-putar.
Tanda kebesaran Lembah Merpati yang asli mencahayakan khasiatnya, begitu terkena hawa panas si orang tua, lantas mengeluarkan asap putih, mengelilingi seluruh tubuh Koo San Djie.
Hawa panas telah hilang lenyap dan sebagai gantinya, asap yang keluar dari tanda kebesaran Lembah Merpati ini semakin lama menjadi semakin banyak, dan membuat sejuk kembali hawa di situ yang tadinya telah menjadi panas sekali.
Koo Sin Jie baru teringat akan khasiatnya tanda kebesaran ini yang dapat menahan panas dan menolak angin, nyalinya menjadi bertambah besar, karena sudah tidak takut lagi akan serangan panas si orang tua itu. Setelah dapat memukul mundur musuhnya ia menggantungkan tanda kebesaran Lembah Merpati ini di leher, dan menyerang lagi dengan lebih berani.
Orang tua tinggi besar itu biarpun mempunyai tenaga latihan yang dalam, ia tidak dapat menandingi kekuatan Koo San Djie yang selalu mendapat rejeki, tadi, ia hanya mengandalkan kekuatannya hawa panas sudah tidak berdaya sama sekali, hatinya menjadi agak gelisah.
Sebenarnya orang-orang partai Padang Pasir jarang sekali datang ke daerah Tiong-goan, sampai Liu Djin Liong sendiri juga tidak mengerti, mengapa Koo San Djie dapat menanam permusuhan dengannya" Ia takut Koo San Djie akan keterlepasan tangan, hingga menambah dendaman saja, maka ia segera majukan dirinya berkata:
"Berhenti!" Koo San Djie sudah lantas menahan serangan lanjutan dan berdiri di pinggir.
Liu Djin Liong lantas memberikan hormat kepada orang tua itu dan berkata:
"Di mana murid keponakanku ini telah melanggar peraturan partai Padang Pasir, harap saudara suka memberi penjelasan dengan terang dulu."
Si orang tua menenangkan napasnya yang sengal-sengal. Dengan tidak memperdulikan pertanyaan Liu Djin Liong lagi, ia sudah membalikkan badannya dan meninggalkan mereka yang jadi melongo karena heran.
Koo San Djie menggerendeng sendiri:
"Kejadian yang aneh sekali."
Lalu ia memasukkan juga tanda kebesaran Lembah Merpati tadi dan mulai lagi dengan perjalanannya.
Belum juga mereka berempat berjalan beberapa tindak, dari depannya kembali mendatangi seorang tua berpakaian kuno. Orang tua ini berjalan dengan cepat sekali, sebentar saja sudah sampai di hadapan mereka. Sampai Liu Djin Liong juga tidak mengetahui, dengan menggunakan ilmu apa orang tua ini dapat mendatangi dengan demikian aneh"
Orang tua itu datang dengan laku hormat sekali, setelah menjura kepada empat orang ia berkata kepada Koo San Djie:
"Batu giok yang digunakan oleh saudara kecil ini tadi dapatkah diperlihatkan sebentar kepadaku?"
Koo San Djie membongkokkan badannya menjawab:
"Menyesal sekali, tidak dapat melulusi permintaan ini."
Si orang tua berpakaian kuno tidak menjadi marah, dengan tetap menghormat ia bertanya lagi:
"Dan bagaimana jika menuturkan asal usulnya?"
"Juga tidak perlu," jawab Koo San Djie.
Orang tua itu mengkerutkan kedua alisnya:
"Lebih baik saudara kecil ini dapat berterus terang, agar dapat menghindari kejadian yang tidak diingini!"
Koo San Djie tidak mengerti, apa yang diartikan oleh orang tua ini, ia mulai naik darah.
"Aku ingin melihatnya kejadian apa yang tidak diingini itu," jawabnya.
Si orang tua masih mencoba menahan sabarnya dan berkata lagi:
"Saudara kecil jangan salah mengerti. Batu giok mempunyai riwayat yang sukar dimengerti dan mempunyai hubungan yang rapat dengan perjalananku, maka baru aku menanyakan tentang soalnya. Harap saudara dapat memberi keterangan yang jelas dan sekalian menyerahkan batu giok ini untuk dibawa pulang, menyelesaikan urusan."
Koo San Djie tidak tahu akan maksud si orang tua yang selalu menghormat, tapi ia masih menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
Muka si orang tua berpakaian kuno mulai berobah dan berkata:
"Jika saudara kecil tetap berpendirian kukuh, dengan apa boleh buat aku akan menggunakan kekerasan."
Mendadak, sebelah tangannya disodorkan menyekal lengan Koo San Djie, dan sebelah tangannya lagi juga tidak tinggal diam, mengarah jalan darah Hoan-bun-hiat.
Koo San Djie hanya merasakan sebelah tangannya menjadi kaku, tapi otomatis, sebelah tangannya lagi bergerak dan badannya terputar menyingkir dari totokannya si orang tua aneh itu.
Si orang tua aneh sudah merasakan tangannya berhasil, dan berkepercayaan penuh akan dapat merebut kembali batu giok yang ditemuinya, tidak menyangka sama sekali bahwa anak gembala ini biarpun sebelah tangannya sudah terpegang juga masih dapat menghindarkan diri dari totokannya.
Orang tua ini adalah salah satu dari orang-orang yang tertua dari Lembah Merpati, karena kepandaiannya memang melebihi dari orang-orang lainnya, maka ia telah diangkat sebagai salah satu dari anggota Dewan Orang Tua yang memegang peranan terpenting dari Lembah Merpati.
Kali ini, ia dikecualikan boleh keluar dari dalam lembah untuk menyerap-nyerapi tindak tanduknya ketua lembah mereka yang baru, karena melihat gelagat ketua baru mereka ini seperti ada mengandung suatu maksud yang tertentu.
Para anggota dewan juga telah mendengar yang ketua baru mereka ini telah mengumpulkan orang-orang pandai dari luar. Mereka memutuskan untuk menggeser kedudukannya. Hanya susahnya, mereka masih kekurangan bukti yang nyata dan tidak berani sembarangan menggesernya, karena masih memandang tanda kebesaran giok kumala Lembah Merpati, yang berada di dalam tangannya si Ketua lembah.
Maka, tugas yang diberikan kepada orang tua ini adalah berat sekali. Di waktu Koo San Djie bertempur dengan orang tua dari partai Padang Pasir tadi, ia melihat anak muda Koo San Djie ini seperti mengeluarkan tanda kebesaran yang tertinggi dari lembahnya, maka biar bagaimana juga ia harus mengetahuinya dengan jelas bagaimana asal usulnya benda itu.
Maka dengan cepat ia menarik kembali tangannya dan menyerang berkali-kali ke arahnya si anak muda yang kosen, ia mau mengetahui, sampai di mana kepandaiannya.
Begitu si orang tua mulai dengan serangannya, Koo San Djie sudah melihat orang tua ini adalah lawan yang terberat dalam seumur hidupnya, dengan hati-hati ia harus melayaninya, jurus demi jurus.
Pertempuran antara dua orang jago dari kelas berat tentu saja membuat terpesona yang melihat. Koo San Djie keluarkan kepandaiannya yang tertulis dibatok kura-kura ialah kepandaian kuno yang baru keluar lagi, membuat Liu Djin Liong, Tjeng Tjeng dan Ong Hoe Tjoe menjadi kagum. Sedang kepandaian yang digunakan si orang tua adalah kepandaian asli dari Lembah Merpati yang gesit dan banyak perobahannya.
Dalam beberapa jurus saja Koo San Djie telah dibikin bergidik. Ia seperti telah pernah melihat gerakan-gerakan ini, tapi kini pikirannya sedang dalam keadaan butak, sehingga ia tidak dapat mengingatnya sama sekali.
Sambil berpikir tangannya terus bergerak-gerak juga menangkis segala serangan lawannya, maka dengan sendirinya gerakan tangannya tidak secepat biasa.
Dalam pertempuran yang menentukan dari dua jago, mana dapat meleng atau lengah" Inilah yang menjadi sebab memaksa Koo San Djie mundur berulang-ulang.
Ong Hoe Tjoe dan Tjeng Tjeng sampai menjerit-jerit beberapa kali, dari kiri dan kanan dua orang ini maju untuk siap membantunya.
Tapi Liu Djin Liong sudah menghalang-halangi dan berkata:
"Buat apa kau orang kuatir" Dia tidak akan kalah!"
Tiba-tiba Koo San Djie seperti mendapat bantuan yang tidak terlihat, ia dapat berbalik menyerang sampai memaksa si orang tua mundur ke tempat asalnya. Ternyata, karena saking terdesak, ia telah mengeluarkan pelajaran dari kitab Kutu buku, hal ini dilakukan tanpa kesadaran.
Si orang tua menjadi terkejut, sambil mundur ia membentak:
"Berhenti! Pelajaran ini didapat dari siapa?"
Koo San Djie masih terus menyerang:
"Kau tidak berhak bertanya," jawabnya.
Dengan sungguh-sungguh si orang tua berkata lagi:
"Kepandaianmu dan batu giok itu mempunyai asal usul yang erat sekali. Harap kau dapat memberitahukan dengan terus terang."
Koo San Djie berhenti menyerang, sambil menngawasi si orang tua ia berkata:
"Dapatkah Locianpwe mengatakan asal usul terlebih dahulu?"
Si orang tua ragu-ragu sebentar tapi ia berkata juga:
"Aku adalah orang Lembah Merpati, kau juga tentu tahu sesuatu tentang Lembah Merpati?"
Koo San Djie dengan suara dingin menjawab:
"Nama Lembah Merpati telah dibikin rusak oleh kawanan kurcaci yang sebangsa kau ini, semua orang membenci sampai masuk ke dalam tulangnya. Kebetulan kau datang kemari, kau boleh pulang dan beritahu kepada ketuamu bahwa aku Koo San Djie akan mencarinya untuk membikin perhitungan."
Menurut taksiran, beberapa perkataan ini cukup akan menimbulkan marah si orang tua, tapi aneh, orang tua ini bukan saja tidak menjadi marah, bahkan ia menghela napas sampai beberapa kali dan berkata:
"Tadinya aku hanya curiga, tidak disangka, memang telah kejadian dengan sebenarnya. Jika melihat kelakuan saudara kecil aku telah dapat menduga yang dimaksud siapa orangnya. Di lain hari, jika kau dapat masuk ke dalam Lembah Merpati kau boleh mencariku yang bernama Koo Hian saja."
Dengan cepat ia membalikkan badannya dan kembali ke tempat asal datangnya. Sebentar saja ia telah lenyap dari pandangan mata.
Kepandaian asli dari Lembah Merpati baru kali ini dapat keluar dunia, biarpun Liu Djin Liong sombong karena kepandaiannya, setelah melihat dengan mata kepala sendiri ilmunya si orang tua tadi, dengan tidak terasa harus memujinya juga sampai beberapa kali.
Lalu perlahan-lahan ia berjalan menuju ke arahnya Koo San Djie dan berkata:
"Ilmu yang barusan kau gunakan kau dapat dari mana?"
Koo San Djie dengan terus terang menceritakan tentang pengalamannya di dalam goa telah menemukan si Orang Tua Bertangan Satu yang terkurung.
Biarpun Liu Djin Liong mengetahui ilmu aslinya Lembah Merpati yang tinggi tapi ia masih mau mencobanya juga. Maka dalam pikirannya telah timbul niatan untuk dapat pergi ke dalam Lembah Merpati.
Sebenarnya ia sudah mempunyai rencana untuk mengajak Koo San Djie bersama-sama masuk ke dalam Lembah Merpati, tapi kini setelah mengetahui bahwa anak muda ini mempunyai tanda kebesaran Lembah Merpati, ia telah merobah rencana ini dan siap untuk menerjangnya sendiri.
"Tidak disangka dengan umurmu yang semuda ini telah mengalami bermacam-macam kejadian aneh, aku harus menghaturkan selamat juga kepadamu," kata Liu Djin Liong.
Koo San Djie dengan merendah mengucapkan terima kasih.
"Sudah menjadi kesukaanku dalam ilmu silat," kata pula Liu Djin Liong, "tapi dalam seumur hidupku belum pernah mengalami menemukan kepandaian yang paling sempurna. Maka sebelum kau masuk ke dalam Lembah Merpati, aku ingin dapat menjajal dulu kepandaian mereka itu."
Baru saja ia menutup mulutnya, dari atas mereka telah loncat turun seorang yang didahului oleh suara ketawanya:
"Jika saudara Liu mempunyai keinginan ini, aku si Pengemis melarat siap untuk menjadi buntut.
Semua orang tidak usah melihat siapa orangnya, hanya mendengar suara saja sudah dapat mengetahui yang datang adalah si Pengemis Sakti Kiang Tjo!
Yang datang berbareng dengan Kiang Tjo ini masih ada tiga orang lagi, yaitu paderi Siauw-lim Kong Tie Hweeshio, si kecil Siauw Khong dan seorang lagi yang berdandan sebagai seorang nikouw yang berwibawa agung.
Ong Hoe Tjoe yang melihat nikouw ini sudah lantas lari menubruk ke dalam pelukannya, maka Koo San Djie yang melihat itu sudah lantas dapat menebak bahwa nikouw ini tentunya adalah Bie Khiu Nie yang menjadi guru Ong Hoe Tjoe.
Setelah mereka menjalankan peradatannya masing-masing, Liu Djin Liong sudah berkata kepada Kiang Tjo yang dulu sebagai seterunya:
"Seorang pengemis seperti kau ini jika ingin pergi juga ke dalam Lembah Merpati memang tidak dapat diragukan lagi tapi dua orang beragama yang seperti mereka ini apa tidak takut akan menambah dosa saja?"
Kiong Tie sudah merangkapkan kedua tangannya dan berkata:
"Omitohud! Inilah keadaan yang telah memaksa kita mencampurinya. Semua orang sudah tidak dapat membiarkan Lembah Merpati mengganas lagi."
Bie Khiu Nie dengan memainkan biji tasbehnya berkata:
"Bukan sedikit orang Lembah Merpati yang mengganas di dunia, tapi kepandaian mereka ini berbeda, di antaranya ialah kepandaian tuan Liu ini yang paling banyak digunakan. Dapatkah tuan memberikan sedikit penjelasannya."
"Lembah Merpati sering memancing orang masuk ke dalam, hanya bermaksud mencuri ilmu pelajaran. Dan dua orangku setelah melarikan diri, meninggalkan lembahku, tentu juga telah tertarik ke sana, maka tidak heran jika mereka dapat menggunakan sedikit ilmu ini," menerangkan Liu Djin Liong.
Bie Khiu Nie memanggut-manggutkan kepalanya.
"Tidak perduli kau orang bertiga mempunyai ganjalan langsung atau tidak langsung dengan Lembah Merpati," kata Kiang Tjo, "Demi keadilan, aku bersedia mencampurkan diri. Bagaimana jika kita berempat yang sudah tidak jauh dengan liang kuhur bersama-sama membereskannya?"
Liu Djin Liong tertawa bergelak-gelak:
"Jika kau betul mempunyai kegembiraan tentang hal ini, maka silahkan kau sajalah yang menetapkan hari."
Kong Tie Hweeshio mewakili Kiang Tjo menjawab:
"Saudara kecil ini bukankah sudah berjanji dengan Tiauw Tua, akan masuk ke dalam Lembah Merpati dalam setengah tahun lagi" Bagaimana jika kita mendahuluinya dua hari di muka?"
Semua orang menyetujui akan usul ini, termasuk Liu Djin Liong.
Bie Khiu Nie menggunakan tangannya menepok pundaknya Ong Hoe Tjoe yang masih menempel di dekatnya, sambil tersenyum ia berkata:
"Diakah yang dimaksud dengan adik kecilmu itu?"
Ong Hoe Tjoe menjadi malu, seraya mainkan lengan bajunya, ia membuka mulut:
"Emm......" Sang guru tertawa dan menganggukkan kepalanya seperti memuji akan pilihannya sang murid. Ia telah dapat mendengar juga tentang kelakuan anak gembala yang menjadi calon hidup sang murid ini, maka ia sudah tidak menanyakan lagi kepada muridnya yang pemaluan.
Sewaktu mereka sedang enak-enakan berbicara, Kong Tie Hweeshio yang berdiri di paling pinggir sudah membalikkan mukanya memandang ke arahnya gerombolan pepohonan liar yang banyak tumbuh di situ. Ia bersenyum ewah, dengan tidak mengatakan sesuatu apa lagi. Biarpun ia tahu akan kedatangan musuh, tapi masih tidak memandang mata.
Ketua Wanita dari Perkumpulan Hui-hong-pang
Semua orang yang berada di situ, termasuk Tjeng Tjeng yang paling kecil telah mempunyai dasar-dasar yang sempurna, mereka tentu dapat membedakan yang mana jatuhnya daun dan bunga. Melihat kelakuan Kong Tie Hweeshio ini Kiang Tjo lah yang paling tidak dapat menahan sabarnya:
"Jika kau tidak menunjukkan diri, apa harus aku si Pengemis yang menarik keluar?"
Dari dalam semak-semak sudah lantas keluar seorang yang bermuka bewok beralis tebal menjura pada Kong Tie Hweeshio dan berkata:
"Aku mewakili Lembah Merpati Luar menyampaikan selamatnya kepada kalian. Lembah Merpati memang telah bermaksud untuk mengundang kalian datang berkunjung ke sana, kebetulan jika kalian di sini telah menetapkan hari kedatangan, kami hanya menunggu pada waktu harinya saja."
Tidak menunggu sampai beberapa orang ini mengatakan apa, ia sudah berbalik lagi dan melesat pergi.
Liu Djin Liong dan tiga orang lainnya adalah tokoh-tokoh yang terkemuka, terhadap mata-mata ini mereka tidak dapat berbuat suatu apa. Koo San Djie, Ong Hoe Tjoe dan Siauw Khong, sebelum mendapat perintah dari orang-orang yang lebih tua dari mereka yang kini berada di hadapannya juga tidak berani sembarangan turun tangan.
Hanya Tjeng Tjeng yang masih kekanak-anakan, tidak mengetahui suatu apa, yang sudah biasa dimanja oleh ayahnya, sudah lantas mencelat dan berkata:
"Apa kau kira dengan begini saja kau dapat meninggalkan kami?"
Bayangan kecil sudah mengikuti mata-mata Lembah Merpati. Tangan kecilnya. mendahului diulur ke depan dengan gerak tipu. "Sebelah tangan mengurung bumi', mencengkeram ke arah orang di depannya. Lima aliran angin yang tajam sudah mengurung kepala orang.
Tidak gampang untuk menjadi seorang mata-mata yang banyak bahayanya, orang ini melihat Tjeng Tjeng mulai menyerang dari belakang, lalu tertawa dingin. Setelah dapat menghindarkan serangan nona cilik, ia masih dapat membalas memukul sampai dua kali.
Tjeng Tjeng melihat orang ini berani menahan langkahnya dan membalas menyerang, tentu saja menjadi girang. Gerak kaki kecilnya pindah ke sana sini mengelilingi orang ini, sebentar saja di sekitarnya orang ini telah penuh dengan bayangan-bayangan si nona kecil.
Orang ini sebenarnya tidak ingin terlibat di sini, apa lagi dari kejauhan sudah terlihat olehnya Koo San Djie dan Siauw Khong juga sudah lari mendatangi, maka nyalinya menjadi semakin ciut, dengan keras ia menyerang dua kali dan siap untuk mengundurkan diri.
Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar Tjeng Tjeng berteriak:
"Tinggalkan dulu sedikit tanda matamu."
Hanya terdengar suara "sret", tali pengikat pinggangnya sudah terputus, terkena serangan angin jarinya Tjeng Tjeng dan jatuh ke tanah.
Tapi orang ini tidak sempat lagi untuk memungutnya kembali, nyawanya lebih penting dari pada tali pengikat ini. Sambil lari ia membalikkan kepalanya dan berkata:
"Jangan hanya bisa menghina orang, lihat saja di dalam Lembah Merpati, kau dapat berbuat apa?"
Tjeng Tjeng yang menjadi panas hatinya sudah ingin mengejar lagi, tapi telah keburu disusul oleh Koo San Djie yang sudah lantas menahannya:
"Lekas kau kembali. Ayahmu sudah berkali-kali memanggilmu."
Dengan apa boleh buat, Tjeng Tjeng bersama Koo San Djie dan Siauw Khong bertiga kembali lagi.
Setelah mereka berkumpul lagi, Kiang Tjo sudah mendahului pamit dan meninggalkan mereka. Disusul dengan Kong Tie dan Siauw Khong berdua.
Mendadak ia melihat sang guru kekasih memalingkan kepalanya lagi dan berkata kepada Koo San Djie:
"Gurumu si Pendekar Berbaju Ungu sudah masuk kembali ke dalam dunia Kang-ouw, kini dia sedang mencari-carimu. Apa kau telah menemuinya?"
"Apa dia orang tua telah sembuh kembali" Di manakah kini dia berada?" bertanya Koo San Djie.
Biarpun gurunya sang kekasih ini sudah mulai mengangkat langkahnya lagi tapi masih juga ia menjawab:
"Mungkin dia masih berada di kota Gak-yang. Jika kau ingin menemuinya, lekaslah pergi ke sana."
Koo San Djie yang lama tidak bertemu dengan gurunya sudah menjadi kangen sekali. Maka ia sudah berkata kepada Liu Djin Liong:
"Harap supek dapat mengijinkanku untuk pergi ke kota Gak-yang guna menemui suhu......."
"Baiklah," sahut Liu Djin Liong. "Kau boleh segera pergi ke sana dan tidak usah ke Makam Merpati lagi. Jika telah sampai pada waktunya, kita bertemu di dalam Lembah Merpati saja."
Maka sambil mengulapkan tangannya kepada Tjeng Tjeng, anak muda itu meninggalkan mereka berdua menuju ke arah kota Gak-yang.
Hari itu sewaktu ia sedang enak-enaknya berjalan, dari depannya terlihat mendatangi beberapa penunggang kuda. Begitu sampai di hadapannya dengan berbareng, mereka sudah lompat turun dari kudanya masing-masing dan memberi hormatnya:
"Saudara kecil ini bukankah orang yang menjadi ahli warisnya si Pendekar Berbaju Ungu?"
Koo San Djie tidak mengelak, tapi ia mengira akan gurunya yang telah menyuruh orang datang menyambut, maka dengan tertawa ia menjawab:
"Aku yang rendah betul adalah Koo San Djie."
Empat orang yang berbadan gagah ini sudah menjadi kegirangan hampir berbareng mereka berkata:
"Ketua muda kita telah lama mengagumimu maka dia menyuruh kami datang menyambut."
Perkataan ini telah menjadikan ia bingung lagi, dalam hatinya berkata:
"Belum pernah aku mengenal seorang ketua muda. Siapakah ketua muda ini?"
Dilihatnya empat orang berbadan gagah ini masih berdiri di sampingnya dengan menghormat sekali, seperti masih menunggu sampai Koo San Djie naik ke atas kuda yang telah tersedia.
Maka dengan heran ia bertanya:
"Siapakah ketua mudamu itu" Harap dijelaskan dulu baru aku dapat datang menemuinya."
"Setelah dapat bertemu, juga akan diketahui siapa orangnya," jawabnya.
Kisah Si Bangau Putih 13 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Lentera Maut 2