Pencarian

Lembah Selaksa Bunga 1

Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


LEMBAH SELAKSA BUNGA KHO PING HOO Pagi itu masih gelap kelam, remangremang karena sinar matahari masih
lemah sekali. Mataharinya sendiri belum
tampak, agaknya masih jauh di balik bukit
itu, baru mengintai dengan sinarnya yang
masih lemah. Dari kaki bukit tampak bayangan seorang
gadis berjalan mendaki bukit memasuki hutan. Agaknya ia sakit
karena jalannya mulai terhuyung, namun ia memaksa dirinya
melangkah terus mendaki sampai di lereng bukit yang pertama.
Akan tetapi agaknya ia tidak kuat lagi dan akhirnya tubuhnya yang
limbung itu roboh terkulai, telentang dengan lemah.
Agaknya, bau tanah dan rumput yang masih basah oleh embun,
amat menyejukkan dan terasa nyaman sekali bagi tubuhnya yang
lemah lunglai seperti kehabisan tenaga. Sambil rebah telentang,
matanya yang cekung di wajahnya yang pucat itu menatap ke atas,
ke daun-daun pohon yang menutupi langit di atasnya. Ia diam saja,
tak bergerak, merasakan nikmatnya udara dingin yang
memeluknya, bagaikan orang tidur dengan mata terbuka.
Sinar matahari yang mulai menguat menerobos celah-celah daun
pohon, menggugah burung-burung yang semalam tidur
bergerombol di antara ranting dan daun. Mulailah burung-burung
itu terbangun dan hutan itu pun mulai sibuk dengan suara
kehidupan. Burung-burung berceloteh riang dan ramai, dan sinar
1 matahari mulai menerangi daun-daun, membuat mata wanita itu
dapat menangkap burung-burung yang tadinya hanya dapat
didengar kicau mereka saja.
"Aku seperti mereka........" gadis itu menggumam dan wajahnya
yang tampak pucat dan kusut itu mulai agak bercahaya dan bola
matanya bergerak-gerak mengikuti burung-burung yang
berceloteh sambil meloncat-loncat dari ranting ke ranting,
menggerakkan daun-daun sehingga mutiara-mutiara embun yang
bergantungan pada ujung daun-daun itu runtuh ke bawah. Ada
tetesan air embun yang membasahi muka pucat itu, menimbulkan
senyum lemah karena embun dingin itu sedikit banyak
mendatangkan kesegaran. Ketika burung-burung mulai beterbangan meninggalkan pohon,
agaknya hendak mulai dengan tugas mereka sehari-hari untuk
mencari makan penyambung hidup, gadis itu menahan
senyumnya. "Aku seperti mereka, terbang bebas seorang diri di dunia ini......"
Satu demi satu atau bergerombol tiga-empat ekor, burung-burung
itu meninggalkan pohon besar di bawah mana gadis itu rebah
telentang. Kini tinggal tiga ekor burung yang berada di dahan paling
bawah sehingga gadis itu dapat melihat mereka dengan jelas.
Setelah memandang dengan penuh perhatian sejenak, gadis itu
mengerutkan alisnya. Seekor burung betina hinggap di ujung
dahan, menyendiri, dan tak jauh darinya seekor burung betina
lainnya berkasih-kasihan dan bermesraan dengan seekor burung
2 jantan! Keduanya bercumbu, seolah hendak pamer kepada burung
betina yang menyendiri itu.
Selagi sepasang burung yang berkasih-kasihan itu berkicau riang
gembira, burung betina yang menyendiri itu mengeluarkan bunyi
bercicit lemah. Dalam pendengaran gadis itu, suara burung betina
ini demikian menyedihkan dan mengharukan! Teringat ia akan
dirinya sendiri yang nasibnya sama dengan burung betina itu! Ia
terpaksa meninggalkan pemuda yang dicintanya karena pemuda
itu memilih gadis lain sebagai pasangannya!
Tiba-tiba sepasang matanya mencorong, tangan kanannya
meraup dan menggenggam tanah di dekatnya dan sekali
tangannya bergerak melemparkan genggaman tanah itu ke atas,
dua ekor burung yang sedang bermesraan itu jatuh ke bawah.
"Jahanam keparat!" Gadis itu seolah-olah mendapat tenaga baru
dan ia lalu bangkit duduk, memandang kepada dua bangkai burung
yang jatuh dekat di depannya. Mula-mula mata yang mencorong
itu memandang puas, akan tetapi lambat laun sinar yang tadi
mencorong itu mulai meredup, kemudian alisnya berkerut dan
mata itu mulai terbelalak.
Dalam pandang matanya, dua ekor bangkai burung itu tampak
sebagai jenazah sepasang orang muda, seorang gadis cantik jelita
dan seorang pemuda tampan perkasa! Kemudian, gadis itu
menjerit, menangis dan menjambak-jambak rambutnya yang hitam
lebat sehingga sanggul rambutnya terlepas dan rambut itu menjadi
riap-riapan menutupi mukanya!
3 "Aduh Lian Hong...... Tek Kun...... apa yang telah kulakukan
ini......" Ahhh, maafkan aku...... aku...... hu-hu-huu......!" Ia
menangis tersedu-sedu sampai lama, dan tangisnya makin lama
semakin melemah dan akhirnya ia terkulai pingsan dengan tubuh
telentang! Gadis itu adalah Nyo Siang Lan yang di dunia kang-ouw terkenal
dengan julukan Hwe-thian Mo-li (Iblis Betina Terbang), seorang
tokoh kang-ouw yang selain tinggi ilmu silatnya, juga terkenal liar
dan ganas sekali. Gadis berusia sekitar duapuluh satu tahun ini
adalah murid mendiang Pat-jiu Kiam-ong. Bersama sumoinya (adik
seperguruannya) Ong Liang Hong, puteri kandung gurunya itu, ia
melakukan balas dendam dan membunuh musuh-musuh besar
Pat-jiu Kiam-ong yang dibunuh secara curang oleh para
musuhnya. Dalam usaha balas dendam ini, ia bertemu dengan Kun-lun Siauwhiap Sim Tek Kun, pendekar Kun-lun-pai yang tampan dan gagah
perkasa. Baru pertama kali selama hidupnya, Nyo Siang Lan jatuh
cinta kepada Sim Tek Kun.
Akan tetapi kemudian ternyata bahwa pemuda putera Pangeran
Sim Liok Ong itu adalah tunangan dari Ong Lian Hong, sumoinya!
Maka, terpaksa ia meninggalkan mereka, dua sejoli yang saling
mencinta. Ia pergi dengan perasaan tidak karuan, setengah
merasa bahagia karena keberuntungan sumoinya, dan setengah
lagi sengsara karena putus cinta.
Selama hampir satu bulan berlari-lari tanpa tujuan sampai akhirnya
pada pagi hari itu ia terjatuh di dalam hutan di lereng bukit itu
4 karena kelelahan. Berhari-hari ia lupa makan lupa tidur,
terombang-ambing oleh perasaan yang menekannya, membuatnya hampir menjadi gila.
Tadi, melihat sepasang burung bermesraan di samping seekor
burung betina yang kesepian, ia teringat akan diri sendiri dan timbul
amarahnya sehingga ia membunuh sepasang burung itu. Akan
tetapi sepasang burung itu dalam pandang matanya seperti
berubah menjadi seorang gadis cantik dan seorang pemuda
tampan, yaitu Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun!
Tapi Lian Hong adik seperguruan yang disayangi dan dianggap
seperti adiknya sendiri dan Sim Tek Kun satu-satunya pemuda di
dunia ini yang dicintanya! Maka begitu melihat bayangan mereka
pada dua bangkai burung yang dibunuhnya itu, ia terkejut,
menyesal dan bersedih sekali, merasa seolah ia telah membunuh
mereka yang ia sayangi itu karena cemburu. Ia menjerit-jerit minta
ampun, menangis sejadi-jadinya sampai akhirnya ia terkulai
pingsan saking tidak kuat menahan gelora hatinya.
Tubuh gadis itu tergolek pingsan, dengan rambut tergerai dan
mukanya pucat sekali, matanya terpejam dan pernapasannya
demikian lemah dan halus seperti orang mati. Pakaiannya kusut
dan wajahnya sebagian tertutup rambutnya yang terurai, namun
tetap saja mudah dilihat betapa cantik wajahnya dan betapa
menggairahkan tubuh gadis yang bagaikan setangkai bunga
sedang mulai mekar dengan indahnya itu.
Nyo Siang Lan yang berjuluk Hwe-thian Mo-li memang terkenal
sebagai seorang dara perkasa yang cantik jelita, berusia duapuluh
5 satu tahun. Tubuhnya sedang ramping dengan lekuk lengkung
sempurna, kulitnya putih kuning mulus dan lembut. Rambutnya
hitam lebat dan panjang berikal mayang sehingga biarpun kini
sanggulnya terlepas sehingga tergerai, masih tampak indah. Anak
rambut yang lembut melingkar di pelipis dan atas dahinya.
Sepasang matanya bagaikan bintang, bening tajam dan agak
lebar, dengan kedua ujung agak menjungat ke atas. Hidungnya
kecil mancung dan mulutnya membuat setiap orang laki-laki yang
memandangnya menjadi tergila-gila. Sulit setelah sekali melihat
melupakan sepasang bibir yang lembut, penuh, dan kemerahan
karena sehatnya itu dan kalau tersenyum sehingga agak terbuka,
memperlihatkan deretan gigi putih bersih dan rapi, rongga mulut
dan lidah yang ujungnya merah muda dan sehat.
Siang Lan yang pingsan itu sama sekali tidak tahu bahwa pada
saat itu belasan orang muncul dan menghampirinya. Mereka itu
datang dari lereng atas dan orang-orang ini mengenakan pakaian
yang aneh karena pakaian mereka itu dilukis kembang-kembang
beraneka ragam dan warna sehingga nampak indah mencolok
akan tetapi juga aneh. Biasanya hanya kaum wanita saja yang mengenakan pakaian
berkembang-kembang seperti itu. Seorang di antara mereka yang
usianya sekitar empatpuluh tahun dan kepalanya memakai sebuah
topi yang dihias kembang-kembang hidup, berjongkok memeriksa
Siang Lan. Laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan semua anggauta badannya
tampak besar, kepalanya, matanya, hidung dan mulutnya yang
6 menyeringai, semua tampak lebih besar daripada manusia
umumnya. Dia tampak terkejut heran dan senang melihat gadis
yang demikian cantiknya tergolek di situ dan ternyata masih hidup.
Akan tetapi ketika dia melihat gadis yang pingsan itu memiliki
sebatang pedang dalam sarung yang amat buruk, dia mengerutkan
alisnya. Diambilnya pedang itu dan dicabutnya dari sarung pedang.
Bukan main kaget dan herannya ketika dia mendapat kenyataan
bahwa pedang itu berkilauan saking tajamnya. Tahulah dia bahwa
pedang itu bukan pedang biasa dan orang yang memiliki pedang
pusaka seperti itu tentu bukan orang sembarangan pula. Maka dia
menyarungkan kembali pedang itu dan menyerahkannya kepada
seorang anak buahnya. Kemudian dia menotok beberapa jalan
darah di kedua pundak dan punggung Siang Lan.
Setelah itu dia sendiri mengangkat dan memanggul tubuh gadis
yang lemas itu dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk
mengikutinya naik ke bukit itu. Anak buahnya tampak gembira dan
tertawa-tawa mengikuti pemimpin mereka yang memanggul tubuh
Siang Lan naik ke arah puncak bukit. Tak lama kemudian tibalah
mereka di sebuah lembah bawah puncak yang teramat indah.
Sungguh luar biasa sekali keadaan lembah itu karena sebagian
besar tanah di situ penuh dengan tanaman bunga beraneka bentuk
dan warna. Hampir semua bunga yang ada di negeri itu agaknya
terkumpul di lembah ini! Lembah yang amat luas itu dipenuhi
beribu-ribu tanaman bunga sehingga kalau orang berada di tempat
itu dia akan merasa seperti berada di taman sorga! Beraneka
keharuman bunga memenuhi udara, menyegarkan pernapasan.
7 Di sekeliling lembah itu terdapat belasan buah rumah mungil dan
di tengah-tengah terdapat sebuah rumah besar yang dikelilingi
seribu satu macam bunga. Laki-laki tinggi besar itu membawa
Siang Lan yang masih pingsan ke dalam rumah besar, lalu ia
dibaringkan di atas sebuah pembaringan dalam kamar yang luas
indah dan mewah. Sampai hari menjadi gelap Siang Lan belum juga siuman dari
pingsannya. Laki-laki itu mengulang dan memperkuat totokannya
agar gadis itu tidak mampu bergerak kalau siuman nanti. Kemudian
dia mengambil air dan membasahi kepala dan leher Siang Lan
dengan air dingin. Gadis itu merintih dan bergerak. Ia siuman dari pingsannya akan
tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa kaki tangannya lumpuh
dan tidak dapat ia gerakkan.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi tahulah ia bahwa ia berada
dalam keadaan tertotok oleh seorang ahli yang lihai sekali. Ketika
ia di bawah sinar lampu meja melihat seorang laki-laki tinggi besar
duduk di tepi pembaringan, ia mengerutkan alisnya dan sepasang
matanya mencorong. Ia marah bukan main, maklum, bahwa tentu
laki-laki ini yang telah menotoknya.
"Jahanam busuk dan curang! Bebaskan aku dari totokan!" ia
berseru. Laki-laki itu tersenyum, menyeringai dan tampak buruk sekali.
Apalagi pakaiannya mewah dan berkembang-kembang sehingga
dia tampak seperti seekor kera besar berpakaian!
8 "Tenanglah, manis. Engkau tidak akan diganggu, bahkan engkau
akan menduduki tempat tinggi dan mulia di sini. Sudah lama aku
menanti datangnya seorang wanita seperti engkau, dan sekarang
harapanku terkabul. Engkau kupilih menjadi isteriku, menjadi isteri
ketua perkumpumpulan Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa
Bunga) yang dimuliakan dan dihormati. Maka, bergembiralah
engkau dan jangan marah, jangan pula bersedih!"
Siang Lan terkejut, akan tetapi ia menjadi semakin marah karena
sekarang ia tahu bahwa ia telah terjatuh ke tangan orang-orang
jahat yang berniat keji terhadap dirinya. Ia hendak diperisteri,
dipaksa menjadi isteri laki-laki menyebalkan ini. Tentu saja ia tidak
sudi! Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan" Bergerak pun ia tidak
dapat. "Siapa sudi menjadi isterimu?" bentaknya. Walaupun kaki
tangannya tidak dapat bergerak, namun suaranya masih lantang
dan semangatnya masih tinggi karena ia sama sekali tidak merasa
gentar sedikit pun. "Hayo cepat bebaskan totokan ini dan kalau
engkau memang seorang gagah, mari kita bertanding sampai
seorang di antara kita roboh dan tewas! Jangan bertindak pengecut
seperti ini!" "Hua-ha-hah!" Orang itu tertawa, agaknya senang melihat betapa
gadis yang amat cantik itu ternyata juga amat gagah berani. Dia
bertepuk tangan dan masuklah lima orang wanita berusia sekitar
tigapuluh tahun yang rata-rata memiliki wajah cantik dan pakaian
mereka mewah sekali. 9 Mereka berlima membungkuk dengan hormat di depan laki-laki
tinggi besar itu dan seorang di antara mereka bertanya.
"Apa yang harus kami lakukan, Pang-cu (Ketua)?"
"Kalian jaga baik-baik gadis ini dan perlakukan ia dengan baik,
jangan sampai ia tersinggung, jangan pula melakukan gangguan
apa pun. Cukupi makan minumnya dan siapkan pakaian terindah
untuknya. Ingat, gadis ini adalah calon Nyonya Ketua, calon
isteriku. Aku berada di depan bersama para pembantuku untuk


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membicarakan tentang persiapan pernikahan.
"Awas kalau sampai ia menjadi marah karena ada yang
mengganggunya, aku akan memberi hukuman berat dan tidak
mengenal ampun. Kukira gadis ini tentu seorang yang amat lihai,
oleh karena itu, untuk menjaga segala kemungkinan, sebelum ia
terbebas dari totokan, akan kubelenggu dulu kaki tangannya."
Setelah berkata demikian laki-laki yang disebut Pang-cu itu lalu
mengambil tali hitam yang terbuat dari sutera dan mengikat kedua
pergelangan kaki dan tangan Siang Lan dengan erat namun tidak
sampai mendatangkan rasa nyeri pada gadis itu. Setelah selesai
baru dia keluar memesan kepada para wanita itu untuk mencuci
muka dan menyisir, menata rambut Siang Lan, menukar
pakaiannya, agar gadis itu tampak rapi.
Setelah laki-laki itu keluar, lima orang wanita itu menutupkan daun
pintu lalu merawat Siang Lan. Gadis itu memaki-maki, namun
mereka tidak peduli. Mereka melucuti semua pakaian Siang Lan,
memandikannya dan membersihkan tubuhnya yang penuh debu
tanpa gadis itu dapat meronta, hanya memaki-maki.
10 Setelah membersihkan tubuh dan menyisir rambutnya, bahkan
memberi minyak harum di tubuh itu dan membedaki mukanya,
mereka untuk sementara membuka tali pengikat kaki tangan Siang
Lan. Mereka mengenakan pakaian baru pada tubuh Siang Lan, lalu
mengikat lagi pergelangan tangan dan kaki gadis itu.
Akhirnya Siang Lan diam saja karena ia tahu bahwa percuma saja
ia memaki-maki lima orang wanita itu dan hal ini bahkan
menghabiskan tenaganya karena dilanda kemarahan. Ia berdiam
diri dan diam-diam mengumpulkan tenaganya karena ia tahu
bahwa kalau ia sampai dapat membebaskan diri dari totokan dan
belenggu, ia membutuhkan banyak tenaga untuk melawan para
penjahat. Demikian pula, ketika para wanita itu menyuapinya dengan
makanan dan minuman, ia menerima untuk menjaga kesehatan
untuk memulihkan tenaga ia yang selama berhari-hari ini ia
telantarkan. Tentu saja para wanita itu menjadi lega dan merasa
senang. "Nona yang baik, beginilah seharusnya sikapmu karena
sesungguhnya engkau mendapatkan keberuntungan besar yang
jarang ada gadis mendapatkannya. Tak lama lagi engkau menjadi
Nyonya Ketua kami yang dihormati semua orang, hidup terhormat,
mulia dan kaya raya. Karena itu, sambutlah ketua kami dengan
manis, Nona, agar hatinya merasa senang karena kami lihat baru
sekarang ini Pang-cu jatuh cinta dan tergila-gila kepada seorang
gadis." 11 Di dalam hatinya Siang Lan menjadi marah sekali akan tetapi kini
gadis itu mendapatkan kembali ketenangan dan kecerdikannya. Ia
tahu bahwa kalau ia marah dan memaki-maki, hal itu tidak ada
gunanya baginya. Lebih baik ia berpura-pura menyerah agar ia dapat menyelidiki
keadaan musuh. Setelah menahan napas untuk menenangkan
dan mendinginkan hatinya, mulailah Siang Lan mengubah sikap
dan bertanya. "Enci, bagaimana aku bisa berada di sini" Aku tidak ingat apa yang
terjadi dengan diriku. Tolong ceritakan."
Dengan hati senang karena gadis cantik itu kini menjadi penurut
dan hal ini pasti akan menyenangkan hati ketua mereka sehingga
mereka akan diberi hadiah, seorang di antara lima wanita itu yang
menjadi juru bicara menjawab.
"Nona, sudah kami katakan tadi, engkau sungguh beruntung.
Pang-cu sendiri yang menemukan engkau menggeletak pingsan di
dalam hutan, lalu Pang-cu menolongmu dan memondongmu
sampai di sini." "Hemm, kalau dia menolongku dan berniat baik, mengapa aku
dibelenggu?" "Nona, jangan salah mengerti dan maafkan tindakan Pang-cu
kami. Dia sungguh tergila-gila dan amat sayang kepadamu. Akan
tetapi karena dia belum mengenal betul siapa Nona yang dia
sangka tentu Nona amat lihai, maka terpaksa dia menjaga
kcmungkinan Nona akan memberontak dan melawan. Karena itu,
12 katakanlah kepada kami siapa Nona dan ceritakan keadaan Nona
agar kami dapat melapor kepada Pang-cu," bujuk wanita itu.
Siang Lan memaksa dirinya untuk tersenyum. Setelah ia menerima
makan dan minum, tenaganya mulai pulih dan tubuhnya terasa
segar kembali, tidak loyo seperti sebelum ia roboh pingsan dan
ditangkap penjahat. "Mudah saja menceritakan keadaan diriku, Enci, akan tetapi tidak
enak terbelenggu begini. Tolong buka dulu ikatan kaki tanganku
dan kita bicara baik-baik."
Lima orang wanita itu saling pandang dengan wajah iba akan tetapi
juga khawatir, lalu pembicara tadi berkata lembut. "Nona, bukan
kami tidak merasa kasihan kepadamu. Akan tetapi kami tidak
berani melanggar perintah Pang-cu yang akan menyiksa kami
sampai mati kalau kami tidak menaati perintahnya. Kalau engkau
sudah menceritakan keadaanmu, nanti kami melapor kepada
Pang-cu bahwa engkau bersikap penurut agar ikatan tangan
kakimu dibuka." "Hemm, baiklah, aku akan sabar menanti. Akan tetapi sebelum aku
memperkenalkan diri, tolong ceritakan kepadaku tentang ketua
kalian dan tentang perkumpulan di sini agar aku mengetahui
dengan siapa aku hendak menikah."
"Wah, engkau akan merasa gembira kalau mengenal Pang-cu,
Nona. Nama Pang-cu adalah Siangkoan Leng dan dia menjadi
ketua dari perkumpulan kami Ban-hwa-pang (Perkumpulan
Selaksa Bunga). Pang-cu adalah seorang yang memiliki ilmu
13 kepandaian silat amat tinggi dan sukar dicari jagoan yang mampu
mengalahkan tombaknya. Dia dijuluki Si Tombak Maut.
"Ban-hwa-pang kami telah berdiri selama puluhan tahun,
pendirinya adalah mendiang Siangkoan Lo-cianpwe, setelah beliau
meninggal perkumpulan dipimpin Pang-cu Siangkoan Leng sejak
belasan tahun yang lalu. Perkumpulan kami mempunyai anak buah
sebanyak limapuluh orang lebih yang tinggal di lembah ini bersama
anak isteri mereka. Pang-cu belum pernah beristeri, maka kini
memilihmu, sungguh merupakan keberuntungan besar bagimu,
Nona. Nah, sekarang giliranmu untuk memperkenalkan diri."
Siang Lan sejak tadi harus menekan perasaan marahnya. Belum
pernah ia memaksa diri bersikap lemah dan lembut terhadap orang
yang dibencinya. Dengan hati mulai panas lagi ia memperkenalkan
dirinya. "Katakan kepada ketua kalian bahwa aku bernama Nyo Siang Lan
dan di dunia kang-ouw mereka menyebut aku Hwe-thian Mo-li!
Telah banyak sekali penjahat yang mampus di ujung pedangku.
Katakan agar dia membebaskan aku dan mengembalikan
pedangku kalau dia tidak ingin mampus pula di tanganku!"
Lima orang wanita itu terbelalak dan terkejut. Seorang dari mereka
lalu lari keluar dari kamar untuk melapor kepada ketuanya. Tentu
saja mereka terkejut dan merasa ngeri karena nama julukan Hwethian Mo-li telah terkenal sebagai Iblis Betina Terbang yang amat
ganas dan liar! Tak lama kemudian masuklah Ketua Ban-hwa-pang yang
namanya Siangkoan Leng itu. Begitu dia memasuki kamar itu, dia
14 memberi isyarat kepada oara wanita tadi untuk meninggalkan
kamar. Dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar dia duduk di tepi
pembaringan dan menatap wajah Siang Lan yang kini tampak
semakin cantik jelita dan tersenyum lebar.
"Aih, kitanya engkau yang berjuluk Hwe-thian Mo-li itu, Nona"
Bagus, bagus! Makin mantap lagi hatiku untuk memperisterimu,
karena kita berdua suami isteri tentu akan menjagoi dunia kangouw dan membuat Ban-hwa-pang menjadi semakin besar!"
Kini Siang Lan tak mampu menahan kemarahannya. Ia meronta
sambil memaki. "Jahanam Siangkoan Leng! Lepaskan aku dan
ingin kulihat sampai di mana kehebatan tombakmu. Hayo, kalau
engkau memang laki-laki, kita bertanding sampai napas terakhir!"
Siangkoan Leng terkejut melihat betapa kaki tangan gadis itu mulai
bergerak-gerak. Tahulah dia bahwa pengaruh totokannya mulai
memudar dan kalau gadis itu pulih kembali tenaganya, bukan tidak
mungkin ia akan mampu merenggut putus tali pengikat kaki
tangannya. Maka cepat dia menghampiri dan tiga kali jari
tangannya bergerak menotok kedua pundak dan punggung Siang
Lan, membuat gadis itu tidak dapat lagi menggerakkan kaki
tangannya. "Jahanam! Laki-laki pengecut!" Siang Lan memaki-maki dengan
tidak berdaya. 15 "Ha-ha-ha, tunggu sampai besok, sayangku. Besok engkau tentu
akan menyanyikan lagu lain kalau sudah menjadi isteriku!" kata
Siangkoan Leng sambil meninggalkan kamar itu.
Gadis itu menjerit-jerit dengan makiannya dan baru berhenti
setelah lima orang wanita itu memasuki kamar lagi. Siang Lan
dapat mengetahui dari pandang mata mereka bahwa lima orang
wanita itu menaruh hati kasihan kepadanya, namun mereka
merasa ngeri dan takut akan hukuman ketua mereka, maka
mereka pun hanya berusaha untuk menghibur dan menyenangkan
hati gadis tawanan itu. "Y" Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali semua anak buah Banhwa-pang sudah bekerja dan sibuk menyambut pesta pernikahan
yang akan dilaksanakan besok lusa atau tiga hari setelah Siang
Lan ditawan. Siangkoan Leng yang cukup cerdik tidak mau
mengunjungi kamar di mana Siang Lan berada karena dia tidak
ingin calon isterinya itu terganggu.
Hanya kadang-kadang saja dia memeriksa apakah gadis itu masih
belum membahayakan dan masih dalam keadaan terbelenggu.
Karena dia tidak ingin kesehatan calon isterinya terganggu, maka
dia tidak lagi memperpanjang tubuh Siang Lan dalam keadaan
tertotok. Dia hanya menggunakan pengikat kaki dan tangan gadis itu yang
teramat ulet dan kuat, yang mengikat kedua pergelangan tangan
Siang Lan. Adapun kedua kakinya terbelenggu rantai baja yang
16 tebal dengan gelang baja longgar mengikat kedua pergelangan
kakinya. Biarpun gadis itu memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat,
namun kiranya akan sulit baginya untuk dapat melepaskan diri dari
belenggu-belenggu ini. Akan tetapi karena belenggu itu panjang,
diikatkan pada baja di luar tembok kamar sehingga kuat sekali,
Siang Lan kini dapat duduk, berdiri atau rebah di atas
pembaringan. Tubuhnya masih agak lemah karena pengaruh totokan yang terlalu
lama pada malam hari tadi. Gadis itu tidak mengamuk lagi,
melainkan bersabar menyimpan tenaga dan menanti datangnya
kesempatan untuk dapat membebaskan diri.
Ban-hwa-pang menyebar undangan, akan tetapi karena pesta
pernikahan itu dilakukan mendadak, hanya ada waktu tiga hari,
tentu saja mereka hanya dapat mengundang orang-orang yang
tinggal tidak amat jauh dari Ban-hwa-pang.
Pada hari yang kedua, tempat itu telah dihias dan semua anggauta
Ban-hwa-pang tampak bergembira. Sang Ketua sendiri, Siangkoan
Leng, sibuk di ruangan khusus di mana dia membuat ramuan obat
dari berbagai macam bunga. Dia memang ahli membuat obat dari
bunga-bunga itu. Demikian banyaknya bunga tumbuh di lembah itu dan dia sudah
mempelajari khasiat setiap macam bunga. Ada bunga yang dapat
menyembuhkan luka beracun, ada yang dapat mencuci darah, ada
yang menguatkan tubuh, melawan bermacam penyakit. Ada pula
bunga yang mengandung racun mematikan, ada yang dapat
17 membius, bahkan ada yang dapat diramu menjadi semacam obat
perangsang yang amat kuat.
Ruangan ini merupakan kamar pribadi dan tidak ada orang lain
diperbolehkan masuk kecuali seijin Siangkoan Leng. Pada siang
hari itu, Siangkoan Leng sibuk membuat ramuan dan dia menutup
daun pintu dan jendela kamar itu agar kegiatannya jangan
terganggu orang lain. Dia membuat ramuan obat-obatan dan di antara lain dia meramu
obat perangsang yang amat kuat. Siangkoan Leng sudah
memperhitungkan bahwa tidak akan mudah menundukkan
seorang gadis seperti Hwe-thian Mo-li agar menyerahkan diri
secara sukarela kepadanya. Maka dia hendak menggunakan obat
itu agar gadis itu mau menyerah tanpa paksaan dan sekali
menyerah, gadis itu tentu akan menjadi isterinya yang boleh
diandalkan memperkuat kedudukannya!
Saking senangnya membayangkan penyerahan diri Hwe-thian Moli secara sukarela kepadanya, Siangkoan Leng meramu obat
sambil tersenyum-senyum. Setelah selesai membuat beberapa
ramuan bunga kering itu menjadi bubuk halus, dia memasukkan
bubukan obat itu ke dalam sebuah kantung kain kecil lalu
mengantunginya. Tiba-tiba ada angin bertiup dibarengi suara lembut. "Leng-te (Adik
Leng)......!" Siangkoan Leng terkejut sekali dan begitu membalikkan tubuhnya,
dia melihat daun jendela sudah terbuka dan di depannya telah
berdiri seorang laki-laki bertubuh sedang, wajahnya tampan lembut
18 namun rambutnya telah hampir putih seluruhnya sehingga sukar
ditaksir berapa usianya. Pakaiannya juga sederhana, berwarna
kuning. Laki-laki itu berdiri memandang kepadanya sambil
tersenyum lembut dan matanya yang tajam itu memiliki pandangan
yang menembus. Melihat siapa yang datang, Siangkoan Leng tidak menjadi heran
lagi. Bagi orang ini, tidak ada tempat yang tidak dapat dimasukinya,
pikirnya dan dia berseru dengan gembira.
"Liong-ko (Kakak Liong)......!!" Dua orang laki-laki itu saling
mendekati dan laki-laki yang baru datang itu menaruh kedua
tangan di atas pundak Siangkoan Leng.
"Liong-ko, sudah bertahun-tahun engkau menghilang, ke mana
sajakah engkau?" "Aku merantau ke barat, Leng-te dan baru sekarang kembali ke
timur. Baru sekarang aku datang dan begitu memasuki Lembah
Selaksa Bunga aku disambut suasana pesta yang meriah.
Mendengar bahwa engkau besok pagi akan menikah, aku hampir
tidak percaya dan langsung saja mencarimu ke kamar ini. Leng-te,
benar-benarkah engkau hendak menikah?"
"Benar, Liong-ko. Mari kita duduk di ruangan dalam! Pertemuan
menggembirakan ini harus kita rayakan. Ah, betapa bahagianya
hatiku bahwa engkau datang pada saat aku akan merayakan
pernikahanku, Liong-ko!" kata Siangkoan Leng gembira.
Mereka keluar dari kamar itu lalu duduk menghadapi hidangan dan
arak di ruangan dalam di mana mereka bercakap-cakap dengan
19

Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gembira sekali karena kakak dan adik ini sudah saling berpisah
selama hampir duapuluh tahun!
Laki-laki itu berusia sekitar empatpuluh dua tahun dan bernama Sie
Bun Liong. Ketika dia berusia lima tahun, ayahnya meninggal dunia
dan ibunya yang menjadi janda diperisteri oleh Siangkoan Kok,
Ketua Ban-hwa-pang yang juga sudah menduda dan mempunyai
putera Siangkoan Leng. Jadi, hubungan antara Sie Bun Liong dan
Siangkoan Leng sebetulnya jauh, tidak ada hubungan keluarga.
Mereka hanya saudara tiri berlainan ayah ibu. Akan tetapi karena
sejak berusia lima tahun Sie Bun Liong ikut ibunya yang menjadi
isteri Ketua Ban-hwa-pang, maka dia tumbuh besar di Lembah
Selaksa Bunga itu. Mereka berdua belajar ilmu silat dari mendiang
Siangkoan Kok, akan tetapi ternyata Sie Bun Liong memiliki bakat
yang jauh lebih baik sehingga dalam ilmu silat, dia selalu menjadi
contoh dan pembimbing adik tirinya.
Ketika Siangkoan Kok meninggal, yang menggantikannya menjadi
Ketua Ban-hwa-pang adalah Siangkoan Leng sebagai putera
kandung. Biarpun Sie Bun Liong jauh lebih lihai ilmu silatnya,
namun dia yang ketika itu berusia duapuluh tahun menganjurkan
adik tirinya menjadi ketua.
Dia sendiri tidak senang menjadi ketua. Dia lebih senang
memperdalam ilmu silat dan sastra, bahkan beberapa tahun
sesudah adik tirinya itu menggantikan ayah tirinya menjadi Ketua
Ban-hwa-pang, Sie Bun Liong meninggalkan Lembah Selaksa
Bunga dan melakukan perantauan sampai bertahun-tahun dan
20 baru sekarang dia muncul, bertemu lagi dengan adik tirinya setelah
mereka berdua berusia lebih dari empatpuluh tahun.
Selama makan minum, Sie Bun Liong tidak bicara, agaknya dia
tidak ingin mengganggu adiknya yang bergembira menyambut
kedatangannya. Akan tetapi setelah mereka selesai makan minum,
mereka duduk di ruangan depan yang hawanya lebih sejuk dan Sie
Bun Liong bertanya. "Leng-te, ketika aku datang, di sini sedang dihias untuk menyambut
pesta pernikahanmu besok. Leng-te, gadis manakah yang telah
membuat engkau mengambil keputusan untuk menikah, padahal
sejak dulu engkau bilang bahwa engkau tidak akan mengikat diri
dengan pernikahan?" "Ah, Liong-ko, sekali ini aku benar-benar terpesona dan tergila-gila
melihat calon isteriku. Dan ia itu adalah seorang gadis kang-ouw
yang amat terkenal dengan julukan Hwe-thian Mo-li, lihai dan
cantik jelita." "Mo-li......?" Sie Bun Liong mengerutkan alisnya mendengar
adiknya akan menikah dengan seorang wanita yang berjuluk Mo-li
(Iblis Betina)! Karena selama ini dia merantau dan tinggal di barat,
di daerah Pegunungan Himalaya, maka tentu saja dia tidak
mengenal julukan Hwe-thian Mo-li itu.
"Ia memang seorang tokoh persilatan yang liar dan ganas, juga
lihai sekali, Liong-ko. Maka aku mengambil keputusan untuk
menjadikannya isteriku agar aku dapat membimbing ia
meninggalkan keganasannya."
21 Sie Bun Liong mengangguk-angguk. "Hemm, niatmu itu tidak
buruk. Akan tetapi dasar perjodohan harus ada cinta kasih kedua
pihak. Apa engkau mencintanya?"
"Wah, aku tergila-gila padanya, Liong-ko. Aku sungguh telah jatuh
cinta begitu aku bertemu dengannya," kata Siangkoan Leng
gembira. Kakaknya mengamati wajahnya yang tidak dapat dibilang
menarik itu. "Bagus kalau engkau begitu mencintanya. Akan tetapi bagaimana
dengan gadis itu" Apakah ia juga mencintamu?"
Ditanya begini, Siangkoan Leng tak mampu menjawab. Di dalam
hatinya dia merasa bingung. Sejak dulu dia amat takut terhadap
kakaknya ini yang selalu penyabar, mengalah, namun yang
segala-galanya melebihi dirinya. Justeru karena kelembutan dan
kebaikan hati Sie Bun Liong itulah yang membuat dia selalu tunduk
dan menurut. "Aku...... aku belum tahu, Liong-ko. Maklumlah, wanita biasanya
malu-malu untuk mengaku cinta. Akan tetapi aku sedang
membujuknya dan agaknya ia tidak menolak ketika kulamar untuk
menjadi isteriku." "Hemm, calon isterimu itu gadis dari manakah dan di mana ia
tinggal?" Siangkoan Leng semakin bingung. Dia merasa yakin benar bahwa
kalau kakaknya yang selalu menuntut kebenaran ini tahu bahwa
calon isterinya adalah gadis yang ditawannya dan dia hendak
memaksanya menjadi isterinya, tentu kakaknya akan marah sekali
22 dan jelas akan melarangnya! Dia sudah tergila-gila kepada Hwethian Mo-li dan tidak ingin dihalangi pernikahannya dengan gadis
itu. Dia harus menggunakan akal karena tidak mungkin dia dapat
menggunakan kekerasan terhadap kakaknya untuk mencapai
niatnya. Dia tahu bahwa selain dia tidak akan mampu
mengalahkan Sie Bun Liong, juga sebagian anggauta Ban-hwapang terutama yang sudah lama, tentu tidak mau membelanya
untuk mengeroyok Sie Bun Liong yang disegani dan dihormati
semua anggautanya. "Liong-ko, Hwe-thian Mo-li adalah seorang gadis kang-ouw yang
sudah tidak berkeluarga dan bertempat tinggal tetap. Sejak kami
bertemu, ia tidak meninggalkan tempat kita ini."
"Ah, dia sudah berada di sini" Aku ingin melihat calon Adik Iparku,
Leng-te!" kata Sie Bun Liong dengan wajah berseri gembira dan
agak kemerahan karena dia telah minum agak terlalu banyak arak.
Sudah beberapa tahun ini dia jarang minum arak sampai demikian
banyaknya sehingga dia kini terpengaruh dan agak mabok.
Siangkoan Leng terkejut sekali. "Ah, Liong-ko, mana mungkin
engkau dapat menemuinya sekarang" Ia tentu malu sekali dan
memang seorang calon mempelai wanita tidak boleh menemui
seorang pria sebelum menikah, bahkan aku sendiri tidak berani
menemuinya. Ia tentu akan merasa terhina, dan ia galak sekali,
Liong-ko. Bersabarlah sampai kami menikah besok. Sekarang
karena aku merasa rindu sekali padamu, mari kita minum
23 sepuasnya sambil berbincang-bincang. Engkau menceritakan semua pengalamanmu selama merantau!"
harus Karena alasan yang dikemukakan adiknya itu masuk akal, Sie Bun
Liong tidak mau mendesak lagi untuk bertemu dengan Hwe-thian
Mo-li. "Leng-te, dalam perjalananku ke sini, aku mendengar kabar-kabar
yang tidak begitu menyenangkan tentang Ban-hwa-pang kita. Ada
yang mengabarkan bahwa kini Ban-hwa-pang merupakan
perkumpulan yang ditakuti orang, anggautanya banyak yang
bertindak kasar dan kejam terhadap rakyat. Bahkan kabarnya Banhwa-pang suka memeras para pedagang di kota-kota sekitar sini.
Benarkah engkau melakukan hal yang tidak patut itu, Leng-te?"
"Ah, itu hanya kabar bohong, disebarkan orang-orang yang tidak
suka kepada perkumpulan kita, Liong-ko. Kami memang menerima
sumbangan, namun itu diberi secara sukarela oleh para pedagang
yang merasa keamanannya terlindung oleh Ban-hwa-pang. Kalau
kami bersikap tegas dan keras, itu pun hanya terhadap para
penjahat yang mengganggu rakyat!"
"Hemm, mudah-mudahan keteranganmu benar. Biarlah, soal calon
isterimu itu, biar kutemui besok. Kalau memang ia dengan sukarela
mau menjadi isterimu, aku pun tidak akan menghalangimu. Akan
tetapi, aku melarang keras kalau engkau menggunakan kekerasan
dan paksaan." "Ah, tentu saja tidak, Liong-ko. Mari, mari minum lagi, Liong-ko!"
"Ah, sudah terlalu banyak aku minum, Adikku!"
24 "Liong-ko, tanpa doa restumu sebagai pengganti orang tua kita,
aku tidak akan merasa tenang dan bahagia. Marilah minum, Liongko, demi mendoakan kebahagiaanku bersama calon isteriku.
Marilah, Liong-ko!" Sampai malam mereka bercakap-cakap membicarakan masa lalu
dan pengalaman masing-masing sejak mereka berpisah sebagai
pemuda dan kini mereka sudah sama-sama berusia empatpuluh
tahunan. Mereka bercakap-cakap dengan gembira dan minum
arak. Siangkoan Leng yang memang setiap hari suka minum
banyak arak, tentu saja lebih kuat dalam hal minuman ini
dibandingkan kakaknya yang sudah bertahun-tahun tidak pernah
minum arak. Akhirnya, Sie Bun Liong yang ikut bergembira menghadapi
pernikahan adiknya sehingga tidak tega menolak ajakan
Siangkoan Leng untuk minum arak tanpa ukuran lagi, meletakkan
kepalanya berbantal lengan di atas meja dalam keadaan tidak
sadar karena mabok berat. Sambil tertawa-tawa Siangkoan Leng
membantu dan memapah kakaknya keluar dari ruangan itu.
"Ha-ha-ha, Liong-ko, engkau sudah tidak kuat minum lagi! Ha-ha,
marilah, mari beristirahat, engkau harus membantuku, Liongko...... ha-ha-ha!" Siangkoan Leng yang hanya setengah mabok
tertawa-tawa gembira. Dia ingin menyenangkan hati kakaknya
agar kakaknya itu tidak menghalangi pernikahannya, melainkan
membantunya. "Y" 25 Malam telah larut, bahkan setelah tengah malam, gedung tempat
tinggal Siangkoan Leng telah menjadi sepi. Semua anggauta Banhwa-pang yang sehari penuh tadi bekerja menghias seluruh
perkampungan mereka untuk mempersiapkan perayaan
pernikahan ketua mereka, kini sudah tidur melepaskan lelah.
Siang Lan melihat betapa lima orang wanita yang menjaganya
sudah tidur pulas di atas lantai. Ia sejak tadi berusaha untuk
melepaskan tali yang mengikat pergelangan tangannya, namun
tidak berhasil. Tali itu terlampau kuat, agak lentur sehingga tidak
dapat putus. Juga rantai baja pada kakinya amat kuat. Kini ia duduk
bersila di atas pembaringan untuk menghimpun tenaga. Ia pikir
bahwa untuk melaksanakan upacara pernikahan besok, mau tidak
mau Siangkoan Leng pasti akan melepaskan ikatan kaki
tangannya. Tidak mungkin ia harus melakukan upacara
pernikahan dalam keadaan terbelenggu disaksikan para tamu!
Nah, kesempatan itu, walaupun sedikit dan di sana akan terdapat
banyak kaki tangan Siangkoan Leng, akan ia pergunakan untuk
mengamuk dan membebaskan diri! Untuk itu ia membutuhkan
banyak tenaga murni, maka malam ini ia duduk melakukan siu-lian
(samadhi) menghimpun tenaga.
Lewat tengah malam, suasananya menjadi semakin sepi. Siang
Lan yang tenggelam ke dalam samadhi menjadi peka sekali. Ia
bahkan dapat mendengar dengkur yang datang dari kamar-kamar
sebelah, bahkan pernapasan halus dari lima orang wanita pelayan
di lantai itupun terdengar dengan jelas olehnya.
26 Tiba-tiba, pada waktu jauh lewat tengah malam, pendengarannya
menangkap gerakan yang tidak wajar itu di luar kamar itu. Ia
membuka sepasang matanya dan melihat betapa lilin yang tadi
bernyala di sudut kamar telah padam. Juga lampu kecil di atas
meja berkedap-kedip, apinya bergoyang.
Kemudian ada angin bertiup dan api lampu itu pun padam,
membuat ruangan itu menjadi remang-remang karena hanya
mendapat sedikit sinar dari lampu yang berada di luar. Sinar itu
memasuki kamar lewat daun jendela yang telah terbuka!
Sesosok bayangan dalam cuaca remang-remang itu berkelebat
mendekati pembaringan. Siang Lan cepat mengerahkan tenaga
dan menggerakkan kedua tangannya yang terikat untuk
menyerang bayangan yang mendekatinya itu.
"Wuuuttt......!" Pukulan gadis itu dahsyat sekali karena ia
mengerahkan seluruh tenaganya untuk membunuh bayangan
yang ia yakin tentulah Siangkoan Leng yang berniat buruk
terhadap dirinya.. "Plakk! Plakk!" Dua pukulannya itu tertangkis dan Siang Lan
merasa betapa kedua tangannya bertemu tangan yang demikian
lemas dan lunak sehingga menyerap semua tenaga pukulannya.
Ia terkejut sekali akan tetapi tiba-tiba dengan cepat sekali ada
tangan yang menotoknya. Seketika ia terkulai lemas, tak mampu bergerak menggunakan
kekuatan tenaga sin-kang lagi, bahkan tidak mampu mengeluarkan
suara. Demikian hebatnya totokan itu, membuat ia terheran-heran.
27 Tubuhnya tidak terasa nyeri, juga tidak lumpuh, akan tetapi
anehnya ia tidak mampu menggunakan tenaganya!
Tiba-tiba ia menjerit, akan tetapi tidak ada suara keluar dari
mulutnya. Jerit itu terjadi di dalam hatinya saking kaget dan
ngerinya karena ada tangan yang dengan lembut melepaskan
pakaiannya dan menanggalkan pakaian itu dari tubuhnya! Dan
tangan-tangan yang gerakannya lembut namun kuat sekali itu
bahkan membuka ikatan kedua tangannya dan juga belenggu
pada kakinya. Ia kini bebas dari belenggu, akan tetapi tubuhnya tidak dapat
meronta dan sama sekali tidak berdaya. Yang terjadi kemudian
membuat ia menjerit-jerit dalam hatinya.
Air matanya bercucuran keluar dari sepasang matanya dan
akhirnya ia jatuh pingsan karena tidak dapat menahan rasa ngeri,
marah, benci dan perasaannya hancur lebur. Pada saat itu,
sebelum ia jatuh pingsan, ia ingin mati saja. Ia telah diperkosa
orang tanpa ia mampu bergerak atau menjerit.
Siang Lan tentu saja tidak tahu berapa lamanya ia dalam keadaan
seperti itu dan pingsan. Ketika ia siuman, ia mendengar suara
seperti isak tangis dan ada bayangan terhuyung meninggalkan
pembaringan menuju ke jendela yang terbuka.
Pada saat itu, Siang Lan teringat apa yang telah terjadi menimpa
dirinya dan tiba-tiba ia merasa betapa ia dapat lagi menggerakkan
kaki tangannya yang sudah tidak terbelenggu lagi. Cepat ia
melompat turun hendak mengejar bayangan itu, yang kini telah
melompat keluar melalui lubang jendela. Akan tetapi melihat
28 betapa dirinya dalam keadaan telanjang bulat, ia terkejut bukan
main dan menahan gerakannya yang hendak melakukan
pengejaran. Dalam cuaca remang-remang itu, cepat ia menyambar pakaiannya
yang bertumpuk di atas tepi pembaringan. Cepat ia mengenakan
pakaian dengan air mata bercucuran akan tetapi menahan suara
tangisnya. Ia menyadari benar apa yang telah terjadi. Tadi malam
ia tertotok dan dalam keadaan tak berdaya telah diperkosa orang!
Agaknya fajar telah menyingsing dan cuaca dalam kamar itu tidak
segelap malam tadi. Ia melihat lima orang wanita penjaga masih
rebah di lantai dan ketika ia memeriksa, mereka pun bukan sedang
tidur melainkan pingsan tertotok pula!
Siang Lan cepat melompat melalui lubang jendela untuk
melakukan pengejaran. Hatinya menangis dan menjerit-jerit
teringat akan keadaan dirinya. Akan tetapi ketika tiba di luar ia tidak
melihat orang yang semalam memperkosanya. Andaikata ia
melihatnya, ia pun tidak akan mengenalnya karena semalam ia


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya melihat bayangan orang itu dalam kegelapan.
Akan tetapi hatinya merasa yakin bahwa pelakunya sudah pasti
Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang. Kalau bukan dia, siapa lagi
yang berani melakukan perbuatan keji yang terkutuk itu" Kini ia
merasa hatinya panas. Rasa panas yang menjalar ke seluruh
tubuh. Ia merasa seperti dibakar kemarahan dan kebencian.
Tiba-tiba muncul tiga orang anggauta Ban-hwa-pang. Mereka
terkejut melihat calon pengantin yang tadinya menjadi tawanan itu
29 telah bebas dan berada di luar kamar dengan rambut tergerai dan
sepasang mata berkilat. "Hei......! Nona pengantin, telah terlepas......!" teriak seorang di
antara mereka. "Syuutt...... dukk!" Orang itu terjengkang dan tewas seketika
karena tamparan tangan Siang Lan membuat kepalanya retak.
Dua orang rekannya terkejut dan marah. Cepat mereka mencabut
pedang akan tetapi sebelum mereka sempat menyerang, kembali
kedua tangan Siang Lan berkelebat dan mereka berdua roboh dan
tewas! Setelah membunuh tiga orang itu, Siang Lan menjadi semakin
beringas seperti seekor harimau mencium darah. Ia menyambar
sebatang pedang milik anggauta Ban-hwa-pang yang tewas itu,
lalu ia mulai mencari Siangkoan Leng dengan hati penuh dendam
kebencian yang membuat ia hampir gila mengingat akan
malapetaka yang menimpa dirinya semalam!
Lima orang anggauta Ban-hwa-pang muncul. Para anggauta
perkumpulan itu memang mulai bangun dan siap untuk
melanjutkan persiapan perayaan pernikahan ketua mereka.
Ketika lima orang itu melihat Hwe-thian Mo-li berdiri dengan
pedang di tangan, tentu saja mereka terkejut. Mereka sudah
mendengar bahwa calon pengantin itu adalah seorang gadis yang
berjuluk Iblis Betina dan lihai sekali.
30 Tadinya mereka mendengar dan bahwa gadis itu menjadi tawanan,
terbelenggu dan tertotok sehingga tidak mungkin dapat lolos. Kini,
tahu-tahu gadis itu telah berada di depan mereka. Maka sambil
berteriak-teriak memanggil teman, mereka lalu mengepungnya.
"Nona, engkau hendak ke manakah" Sebagai calon pengantin,
Nona tidak boleh keluar kamar......"
"Singgg...... crakkk!" Pembicara itu roboh dengan leher hampir
putus terbabat pedang! Empat orang yang lain terkejut dan marah. Mereka lalu
mengeroyok dengan pedang mereka dan para anggauta lain yang
mendengar keributan itu, berdatangan berbondong-bondong. Akan
tetapi pedang rampasan di tangan Hwe-thian Mo-li menyambarnyambar dan sinarnya bergulung-gulung. Ia mengamuk seperti
Iblis Betina benar-benar dan terdengar jeritan disusul robohnya
tubuh para pengeroyok. Darah muncrat dan membanjiri lantai! Karena ruangan itu terlalu
sempit, apalagi sudah ada enam orang malang melintang tewas
disambar pedangnya. Hwe-thian Mo-li merasa tidak leluasa mengamuk. Maka ia lalu
melompat keluar dan setelah tiba di pekarangan depan rumah
besar Siangkoan Leng, ia berhenti menanti sampai puluhan orang
anggauta Ban-hwa-pang datang mengepungnya.
"Anjing-anjing jahanam keparat! Majulah kalian semua. Hari ini
kalau tidak dapat membunuh bangsat Siangkoan Leng dan kalian
semua anak buahnya, jangan sebut aku Hwe-thian Mo-li!" Ia
31 menjerit dan segera menyambar-nyambar. tubuhnya berkelebatan, pedangnya Terjadilah perkelahian yang mengerikan. Puluhan orang anggauta
Ban-hwa-pang itu bagaikan segerombolan anjing serigala
mengeroyok Hwe-thian Mo-li yang mengamuk seperti seekor naga.
Jerit dan teriakan susul menyusul. Tubuh para pengeroyok
berpelantingan dan tewas seketika, terkena sambaran pedang
atau tamparan tangan, kiri gadis itu. Baju Hwe-thian Mo-li sudah
berlepotan darah mereka yang ia robohkan. Banjir darah di
pekarangan gedung itu. Setelah merobohkan dan membunuh lebih dari duapuluh orang
pengeroyok, tiba-tiba terdengar gerengan dahsyat dan muncullah
Sang Ketua yang bertubuh tinggi besar itu.
"Perempuan iblis!" Siangkoan Leng membentak, melintangkan
tombak cagaknya di depan dan menudingkan telunjuk kirinya ke
arah Hwe-thian Mo-li. "Perempuan tidak tahu diuntung! Engkau
hendak kuangkat derajatmu menjadi Nyonya Ketua Ban-hwapang, sekarang malah membunuhi anggauta perkumpulanku!
Engkau harus menebus dosa ini dengan nyawamu!"
Kini Siang Lan dapat melihat laki-laki itu dengan jelas dan ia
bergidik muak. Kepala yang besar itu dengan semua anggauta
badan yang bulat dan besar membuat ketua itu tampak seperti
seekor kera yang menjijikkan. Mengingat bahwa orang ini semalam
telah melakukan penghinaan yang sebesar-besarnya kepadanya,
telah memperkosanya, maka sepasang mata Siang Lan
mencorong. 32 Apalagi ia melihat pedangnya tergantung di pinggang orang itu,
saking marahnya ia hampir tak mampu bicara. "Mampuslah,
jahanam!" Ia menjerit dan pedangnya sudah menyerang dengan
dahsyatnya. Siangkoan Leng bukan seorang lemah, akan tetapi ketika dia
menggerakkan tombaknya untuk menangkis, terdengar bunyi
berdentang dan dia terhuyung ke belakang. Dia terkejut bukan
main. Ternyata gadis ini memang lihai dan memiliki tenaga sakti
yang amat kuat. Dia meneriaki anggauta perkumpulannya untuk
mengeroyok dan kembali Siang Lan mengamuk. Ia sengaja selalu
menjauhi Siangkoan Leng yang merupakan lawan paling tangguh.
Ia mengamuk di antara para anggauta Ban-hwa-pang.
Satu demi satu para pengeroyok itu ia robohkan. Setelah terjadi
pertempuran yang lebih merupakan pembantaian itu selama
hampir dua jam, akhirnya semua anggauta Ban-hwa-pang roboh
dan tewas! Kini hanya tinggal Siangkoan Leng seorang yang
menghadapi Siang Lan dengan muka pucat dan merasa ngeri.
Limapuluh lebih anak buahnya tewas di tangan Hwe-thian Mo-li!
Tadi memang sengaja gadis itu menghindari Siangkoan Leng
karena dengan cara demikian, tidak ada anak buahnya yang
melarikan diri. Kalau ia lebih dulu merobohkan ketuanya, maka sisa
anak buahnya pasti akan melarikan diri ketakutan. Memang Hwethian Mo-li sudah memperhitungkan dan mengambil keputusan
untuk membunuh semua anggauta Ban-hwa-pang!
33 "Jahanam busuk! Sekarang tiba saatnya aku mencincang hancur
tubuhmu yang amat kotor dan jahat itu!" Hwe-thian Mo-li berseru
dan ia segera menyerang dengan cepat.
Siangkoan Leng masih merasa ngeri melihat semua anak buahnya
tewas. Untuk melarikan diri pun sudah tidak ada kesempatan lagi
maka dia pun dengan nekat melawan mati-matian, mengerahkan
seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu silat tombaknya
yang lihai. Mereka bertanding di antara puluhan mayat yang berserakan.
Terkadang mereka terpaksa menginjak mayat karena pekarangan
itu memang penuh dengan mayat. Sepak terjang Hwe-thian Mo-li
amat mengerikan. Ia bagaikan kesetanan, tidak mengenal ampun.
Hati dan pikirannya dipenuhi dendam kebencian yang amat hebat
karena peristiwa semalam yang merenggut kehormatannya
sebagai seorang gadis. Siangkoan Leng adalah seorang yang memiliki tingkat ilmu silat
tinggi dan sudah memiliki banyak pengalaman berkelahi. Dalam
hal ilmu silat dan tenaga, mungkin tingkatnya tidak berselisih jauh
dari tingkat kepandaian Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi yang jelas, dia
kalah jauh dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga
ketika dalam perkelahian itu Siang Lan mengerahkan seluruh ginkangnya, pandang mata Ketua Ban-hwa-pang itu menjadi kabur
karena baginya, tubuh gadis itu seperti berubah banyak,
menyerang dari berbagai jurusan dan bayangannya sedemikian
cepatnya sehingga sukar baginya untuk dapat mengarahkan
serangannya. 34 Maka, setelah bertanding kurang lebih limapuluh jurus lamanya,
Siangkoan Leng yang memang sudah merasa jerih dan ngeri
melihat betapa semua anak buahnya telah tewas, tak mampu
mengelak dari tendangan Siang Lan yang mengenai bawah
perutnya. Dia berteriak mengaduh dan roboh terjengkang!
Bagaikan kesetanan Siang Lan menubruk ke depan, pedang yang
berada di pinggang Siangkoan Leng itu disambarnya dan di lain
saat Lui-kong-pokiam (Pedang Pusaka Halilintar) yang bersarung
buruk, pedang pusaka pemberian mendiang gurunya,
menggantikan pedang rampasan yang dibuangnya. Tampak sinar
menyilaukan mata menyambar-nyambar ke arah tubuh Siangkoan
Leng. Hanya dua kali Ketua Ban-hwa-pang itu menjerit dan
selanjutnya, tubuhnya dicincang oleh Siang Lan yang sudah
memegang pedangnya sendiri. Mengerikan sekali keadaan tubuh
Siangkoan Leng. Siang Lan terus membacoki sambil mencucurkan
air mata. "Mampuslah, mampuslah......!" berulang-ulang ia berseru dan
akhirnya ia berdiri setengah lunglai, lelah sekali, berdiri memegangi
pedangnya yang berlepotan darah memandang ke arah onggokan
daging di depannya, bekas tubuh Siangkoan Leng yang dicincang
berikut tulang-tulangnya itu!
Kemudian Nyo Siang Lan memerintahkan keluar semua penghuni
dalam perkumpulan Ban-hwa-pang itu.
"Hayo, semua orang keluar dan berkumpul di sini! Siapa yang tidak
mematuhi perintahku ini, akan kubunuh seperti yang lain!"
bentaknya sambil mengerahkan lwee-kang (tenaga dalam)
35 sehingga suaranya terdengar lantang menggema sampai ke
seluruh lembah itu, bahkan menggetarkan semua pondok yang
berada di situ! Mendengar seruan ini, berbondong-bondong keluarlah keluarga
para anggauta Ban-hwa-pang bersama anak-anak mereka. Para
wanita dan anak-anak itu menangis karena merasa ngeri dan
ketakutan melihat banjir darah dan mayat-mayat suami dan ayah
mereka berserakan! Juga di gedung besar tempat tinggal
Siangkoan Leng, keluar belasan orang wanita yang tadinya
menjadi pelayan ketua itu. Mereka semua berlutut dan menggigil
ketakutan. Melihat puluhan orang wanita dan kanak-kanak itu, hati Siang Lan
menjadi agak lemas dan kemarahannya memudar, terganti rasa
iba. "Hemm, mana yang laki-laki" Aku tidak melihat seorang pun lakilaki di antara kalian!"
"Semua laki-laki telah tewas terbunuh, Li-hiap (Pendekar Wanita),
dan ada beberapa orang yang melarikan diri. Tinggal kami para
isteri dan anak......!" jawab seorang di antara mereka yang agak
tabah. Tadi sehabis berkelahi membantai para anggauta Ban-hwa-pang,
Siang Lan baru melihat betapa indahnya tempat itu. Lembah yang
penuh dengan bunga beraneka warna! Sinar matahari pagi
membuat pemandangan dari lereng itu semakin semarak dan
indah sekali sehingga ia mengambil keputusan untuk memiliki
lembah ini! 36 "Mulai saat ini, aku yang memiliki lembah ini. Akan kubangun
lembah ini. Kalian yang mempunyai anak, bawalah semua harta
milik kalian dan pergilah meninggalkan lembah. Akan tetapi kalian
yang tidak mempunyai anak, boleh tinggal di sini membantuku Aku
akan mendirikan sebuah perkumpulan terdiri dari wanita semua di
lembah ini!" Lima orang wanita yang semalam melayani Siang Lan, kemudian
pingsan tertotok dan kini agaknya sudah pulih kembali dan ikut
keluar, segera maju dan berlutut di depan gadis perkasa itu.
"Lihiap, kami berlima tidak mempunyai keluarga, kami ingin ikut
dan membantu Lihiap," kata seorang di antara mereka yang
usianya sekitar tigapuluh dua tahun dan berwajah manis.
Siang Lan memang suka kepada mereka karena selama
melayaninya mereka bersikap amat baik, bahkan merasa kasihan
kepadanya. Ia mengangguk, lalu bertanya kepada pembicara itu.
"Enci, siapa namamu:,"
"Nama saya Kiok Hwa (Bunga Seruni), Bwe Kiok Hwa, Lihiap."
"Baik, kuangkat engkau menjadi pembantu utamaku. Kuterima
kalian berlima sebagai para pembantuku!" Lima orang wanita itu
memberi hormat dengan girang.
Para wanita yang merasa tidak mempunyai anak atau keluarga,
segera berbondong maju dan berlutut di belakang lima orang
wanita pelayan itu. Mereka berjumlah sekitar tigapuluh orang,
berusia antara limabelas sampai tigapuluh tahun.
37 "Kami siap membantu dan menjadi anak buah Lihiap!" seorang di
antara mereka berseru. Siang Lan merasa senang. "Bagus! Sekarang kalian semua yang ingin membantuku, kuberi
tugas dengan dipimpin Bwe Kiok Hwa. Pertama, bantulah para
isteri dan anak mengurus penguburan suami dan ayah mereka.
Semua jenazah agar dikubur di luar daerah bukit ini, di kaki bukit
sana. Kalian pilih saja tempat yang baik. Kedua, kalian bantu
mereka yang harus pergi meninggalkan lembah, dan atur agar
mereka membawa semua barang milik mereka, juga kalau ada
simpanan harta di sini, berilah bekal secukupnya kepada keluarga
yang meninggalkan lembah. Aku tidak ingin ada laki-laki dan
kanak-kanak berada di sini!
"Ketiga, bakar gedung bekas tempat tinggal Siangkoan Leng ini.
Aku tidak sudi melihatnya lagi, dan kita akan bangun sebuah
gedung baru. Kiok Hwa, kau atur agar barang-barang berharga
tidak ikut dibakar karena kita perlu untuk membiayai bangunan
baru. Akan tetapi semua perabot dalam rumah ini harus dibakar
habis. Aku tidak sudi lagi melihatnya. Nah, mengertikah kalian
semua akan tiga tugas itu?"
"Kami mengerti!" terdengar para wanita itu riuh menjawab. Hati
mereka merasa gembira karena selama ini para wanita di situ
seolah hanya dijadikan budak, melayani para laki-laki dan
terkadang diperlakukan kasar. Kini, dengan seorang ketua
pendekar wanita, mereka melihat kecerahan di masa depan
mereka. 38 "Untuk tugas pertama dan kedua, aku minta agar dapat
diselesaikan dalam tiga hari. Setelah tiga hari, di sini tidak ada lagi
wanita dengan anak-anak mereka, juga wanita yang tidak ingin
menjadi anggauta perkumpulanku. Adapun tugas ketiga, yaitu
membakar gedung, harus dilakukan sekarang juga. Nah, aku pergi
dan tiga hari kemudian aku kembali ke sini!"
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, tubuh Siang Lan
lenyap dari depan para wanita itu yang menjadi makin takut.


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka ada yang sudah mendengar bahwa gadis itu berjuluk Iblis
Betina Terbang dan sekarang mereka menyaksikan sendiri betapa
wanita itu pandai menghilang seperti iblis!
"Y" Hwe-thian Mo-li berlari menuruni lereng di mana terdapat lembah
yang penuh dengan bunga itu. Setelah tiba di lereng bawah, ia
menengok dan melihat asap membubung tinggi dan tahulah ia
bahwa gedung tempat tinggal Siangkoan Leng itu mulai dibakar
oleh para pembantunya. Ia membalik lagi dan memandang ke
depan. Melihat sebuah telaga kecil dengan airnya yang mengkilap
tertimpa sinar matahari pagi, ia cepat berlari menuju ke telaga itu.
Setelah tiba di tepi telaga kecil yang sunyi dan indah itu, Siang Lan
yang merasa betapa tubuhnya lunglai, menjatuhkan diri di atas
rumput tebal di tepi telaga dan menangislah gadis itu. Menangis
sejadi-jadinya, tersedu-sedu, terisak sampai terengah dan
merintih-rintih, bahkan tanpa ia sadari terdengar rintihannya
memilukan. 39 "Ibuuu...... lbu......, Ayah...... di mana kalian......" Ibu......!" Hatinya
terasa seperti diremas-remas teringat akan peristiwa semalam. Ia
telah dihina, diperkosa seorang laki-laki macam Siangkoan Leng
tanpa berdaya. Ia merasa begitu terhina, kotor dan menjijikkan.
"Ibuuu......! Suhuuu......, teecu (murid) lebih baik mati saja......!" Kini
ia merintih memanggil mendiang gurunya yang mengasihinya
seperti ayahnya sendiri. Siang Lan duduk setengah rebah menelungkup, membiarkan
mukanya terbenam dalam rumput dan menjadi basah oleh air mata
dan embun, tubuhnya yang terisak-isak itu bergoyang-goyang,
sesenggukan seperti seorang anak kecil. Ia telah membantai
puluhan orang untuk melampiaskan dendamnya, namun
perbuatan itu ternyata tidak memuaskan hatinya, bahkan
menambah ganjalan hatinya kalau ia teringat bahwa belum tentu
semua orang yang dibunuhnya itu jahat atau bersalah kepadanya.
Ia telah membunuhi suami orang, ayah orang, tanpa
memperhitungkan apakah yang ia bunuh itu jahat atau tidak.
Sama sekali ia tidak tahu bahwa sejak ia lari meninggalkan lembah
tadi, ada bayangan orang yang selalu mengikutinya dari jauh. Kini,
ketika ia menangis, meratap dan merintih di tepi telaga kecil,
bayangan itu bersembunyi di balik semak-semak, tidak begitu jauh
darinya sehingga pengintai itu bukan saja dapat melihat semua
yang ia lakukan, bahkan mendengar semua ratapan dan
rintihannya. Dan, orang itu, seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih,
wajahnya tampak pucat dan matanya muram alisnya berkerut.
40 Melihat Siang Lan meratap dan menangis, dia lalu menjambakjambak rambutnya sendiri yang sudah banyak ubannya itu sambil
bercucuran air mata! "Sie Bun Liong, jahanam busuk kau! Apa yang telah kau
lakuan......" Kau layak mampus......!" Sepuluh jari tangannya
menjambak-jambak rambutnya sendiri sampai gelungnya terlepas
awut-awutan, kemudian kedua tangannya menampari kedua
pipinya dari kanan kiri. "Plak-plak-plak-plak-plak-plak! Kau layak mampus, layak mampus
huu-huu-huuhh......!" Dia menangis sambil menahan suaranya, air
matanya bercucuran, kedua pipinya bengkak-bengkak oleh
tamparannya sendiri dan kedua ujung bibirnya berdarah!
Kalau orang melihat Hwe-thian Mo-li menangis mengguguk seperti
anak kecil seperti itu, tentu orang yang mengenal Hwe-thian Mo-li
akan terheran-heran. Gadis yang dikenal dengan juluan Iblis
Betina Terbang, yang terkenal pemberani, tak mengenal takut,
keras, liar dan ganas itu, bagaimana mungkin kini menangis
mengguguk seperti anak kecil"
Dan orang yang mengenal laki-laki yang bersembunyi itu tentu
akan lebih heran. Dia adalah Sie Bun Liong yang telah kita kenal
ketika malam tadi berkunjung ke rumah adik tiri berlainan ayah ibu
di Ban-hwa-pang. Sie Bun Liong adalah seorang perantau,
seorang kelana yang bertahun-tahun berkelana di daerah Tibet
dan Himalaya, seorang ahli sastra dan ahli silat yang amat pandai,
kini menangis, menjambak-jambak rambutnya dan menampari
pipinya sendiri! 41 Sie Bun Liong maklum bahwa adiknya berlainan ayah dan ibu,
Siangkoan Leng, adalah seorang laki-laki yang lemah dan mudah
diperbudak nafsu-nafsunya. Karena itu, sebelum meninggalkan
Ban-hwa-pang di mana adiknya itu menjadi ketua, dia sudah
meninggalkan banyak pesan dan nasihat agar adiknya tidak
meninggalkan jalan kebenaran seperti seorang pendekar.
Namun, ketika kemarin dia menuju ke Ban-hwa-pang, dia
mendengar keterangan yang kurang menyenangkan tentang Banhwa-pang dari para penduduk. Maka, ketika melihat Ban-hwa-pang
mempersiapkan pesta pernikahan adiknya itu, dia sudah merasa
curiga dan ingin bertemu calon pengantin wanita untuk melihat
apakah wanita itu mau menikah dengan Siangkoan Leng dengan
suka rela atau dipaksa. Kalau dipaksa, dia akan turun tangan
mencegah dan melarang adiknya memaksa wanita untuk menjadi
isterinya! Akan tetapi Siangkoan Leng melarangnya bertemu dengan calon
pengantin dengan alasan yang kuat dan karena betapapun juga
Sie Bun Liong memiliki rasa sayang kepada adik tiri ini, maka dia
mau diajak minum bermabok-mabokan oleh adiknya. Dia minum
sampai begitu maboknya sehingga dia tidak ingat apa-apa lagi.
Ketika dia sadar dari keadaan setengah pingsan itu, dia merasakan
tubuhnya panas dan tidak karuan. Kepalanya berdenyut-denyut
dan berdengung, perasaannya demikian gembira tidak wajar.
Dia membuka mata dan mendapatkan dirinya rebah di atas
pembaringan dan di dekatnya rebah pula seorang wanita dalam
keadaan telanjang bulat! Dalam keremangan cuaca dalam kamar
42 dia melihat kulit tubuh yang putih mulus, ketika tersentuh
merasakan kehangatan yang luar biasa dan mencium keharuman
yang tiba-tiba membuat gairahnya berkobar dan memuncak!
Sie Bun Liong bukan seorang laki-laki yang mudah tergiur wanita,
bahkan dalam usia empatpuluh dua tahun itu dia belum pernah
bergaul secara intim dengan seorang wanita. Melihat keadaan
dirinya yang juga setengah telanjang karena pakaian luarnya
bertumpuk di tepi pembaringan itu, Sie Bun Liong mencubit
lengannya sendiri karena mengira bahwa semua itu tentu hanya
mimpi. Akan tetapi ternyata bukan mimpi.
"Gila!" Dia berseru dalam hatinya dan berusaha sekuatnya untuk
menolak karena nalurinya mengatakan bahwa semua ini tidak
benar! Akan tetapi, semakin dilawan, gairah itu semakin kuat,
seolah api yang berkobar membakar dirinya.
Dalam keadaan seperti gila dan masih setengah sadar dia tidak
mampu lagi menahan gairah berahinya dan terjadilah peristiwa
yang sama sekali tidak dikehendaki hati nuraninya. Hatinya
menolak namun badannya tidak dapat dikendalikan lagi dan
terjadilah peristiwa itu. Dia telah menggauli wanita yang tidak
dikenalnya itu, wanita yang agaknya berada dalam keadaan
setengah sadar atau pingsan.
Ketika pengaruh hawa rangsangan yang amat kuat itu mulai
melemah, pada pagi hari itu dia segera mengenakan pakaiannya
dan turun dari pembaringan. Dia hampir gila karena penyesalan,
bercampur keheranan dan penasaran mengapa sampai terjadi hal
seperti itu. 43 Apa yang telah terjadi" Siapa gadis itu" Apakah adiknya,
Siangkoan Leng yang sengaja menyuruh gadis itu melayaninya"
Akan tetapi ketika dia keluar dari jendela kamar itu, dia mendapat
kenyataan bahwa itu merupakan kamar terbesar dan di depan
pintu kamar terdapat hiasan kamar pengantin dengan kain merah!
Gadis itu adalah gadis calon pengantin, calon isteri Siangkoan
Leng! Sie Bun Liong tidak dapat menahan lagi rasa malu, marah, dan
penyesalannya. Perbuatannya semalam merupakan dosa yang tak
dapat diampuni, merupakan perbuatan kotor dan hina,
menyeretnya menjadi manusia iblis yang merusak kehormatan
seorang gadis! Terkutuk! Dia lalu melarikan diri, meninggalkan
Ban-hwa-pang dengan amat cepat sehingga tidak diketahui siapa
pun. Setelah berada jauh dari Ban-hwa-pang, dia berhenti, menjatuhkan
diri di atas tanah lalu berlutut, menangis dan berdoa mohon
pengampunan atas dosa yang telah diperbuatnya! Akan tetapi dia
juga merasa heran. Bagaimana mungkin dia melakukan perbuatan hina seperti itu,
memperkosa seorang gadis yang berada dalam keadaan tidak
berdaya" Sekarang baru dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu
telah ditotok sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangan
dan tidak mampu mengeluarkan suara!
Akan tetapi, mengapa dia mau melakukan perkosaan seperti itu"
Ini sama sekali bukan dirinya. Sampai mati pun dia tidak akan sudi
melakukan hal itu. Akan tetapi mengapa dilakuannya juga"
44 Dia mengingat-ingat dan membayangkan apa yang terjadi kemarin
sore. Dia minum-minum dengan Siangkoan Leng, minum arak
sebanyak-banyaknya karena adiknya itu membujuk dan setengah
memaksanya untuk minum, demi kebahagiaan adiknya. Setelah itu
dia tidak ingat apa-apa lagi dan yang teringat hanya peristiwa
malam tadi. Malam jahanam yang membuat dia berubah menjadi
iblis! Mengapa begitu"
Sie Bun Liong duduk termenung, diam tak bergerak seolah telah
berubah menjadi arca. Dia memikirkan hal yang telah terjadi secara
aneh dan luar biasa itu. Lalu dia teringat akan perasaannya ketika
mulai sadar dan mendapatkan dirinya berada di atas pembaringan,
di dekat seorang gadis yang rebah telentang dalam keadaan
telanjang bulat. Dia merasa tubuhnya seperti dibakar, kepalanya
berdenyut, telinganya berdengung sehingga sukar baginya untuk
berpikir. "Ah......!" Tiba-tiba dia teringat bahwa adiknya, Siangkoan Leng
adalah orang yang suka sekali mempelajari tentang semua bunga
di Lembah Selaksa Bunga itu dan membuat ramuan obat dari
bunga-bunga itu! Mungkin dia telah keracunan, pikirnya! Ya, malam itu dia
terpengaruh racun yang amat hebat, racun perangsang yang amat
kuat sehingga seolah melumpuhkan semua kesadaran dan
pertahanan batinnya. Dia dalam pengaruh racun perangsang!
Akan tetapi, bagaimana dia dapat diracuni"
Apakah ketika dia minum-minum dengan adiknya" Dan siapa yang
meracuninya" Adiknya sendiri" Rasanya tidak mungkin! Mana
45 mungkin Siangkoan Leng meracuni kakak sendiri agar kakaknya
memperkosa gadis yang menjadi calon isterinya" Sama sekali
tidak mungkin! Lalu siapa" Apa yang sebenar telah terjadi"
Dia merasa malu, bahkan ngeri untuk kembali ke Lembah Selaksa
Bunga. Bagaimana dia dapat berhadapan muka dengan
Siangkoan Leng setelah dia memperkosa calon isteri adiknya itu"
Lebih lagi, bagaimana dia akan dapat berhadapan dengan gadis
yang semalam telah dia perkosa"
Sampai lama sekali, setelah termenung di situ seperti orang yang
kehilangan ingatan, Sie Bun Liong baru bangkit berdiri. Dia tidak
boleh berdiam diri saja, pikirnya. Dia harus menyelidiki bagaimana
peristiwa semalam itu dapat terjadi dan apa artinya semua itu.
Laki-laki bertubuh sedang dengan pakaian sederhana itu kini
melangkah menuju ke Lembah Selaksa Bunga kembali. Wajahnya
yang memiliki garis-garis kehidupan mendalam dengan bentuk
yang jantan dan tampan itu kini tampak muram. Sepasang
matanya yang biasanya lembut penuh kesabaran dan tenang itu
kini tampak gugup dan bingung.
Setelah agak dekat dengan perkampungan Ban-hwa-pang dia
mendengar suara orang-orang berkelahi di perkampungan itu. Dia
terkejut dan cepat berlari menuju ke Ban-hwa-pang. Ketika dia tiba
di sana dan memandang ke pekarangan gedung tempat tinggal
adiknya, matanya terbelalak, mukanya pucat dan tubuhnya
gemetar. Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika dia melihat seorang
gadis cantik jelita dan gagah, rambutnya awut-awutan, pakaiannya
46 berlepotan darah, memegangi sebatang pedang yang berkilauan,
berdiri di tengah pekarangan dan di sekelilinginya tampak mayatmayat puluhan orang berserakan! Dia mendengar Hwe-thian Mo-li
mengucapkan perintah tiga macam tugas kepada puluhan orang
wanita yang berlutut menghadapnya.
Dengan hati penuh kengerian Sie Bun Liong maklum apa yang
telah terjadi. Gadis yang dia gauli dalam keadaannya yang tidak
wajar dan hampir tidak sadar itu adalah calon pengantin adiknya!
Agaknya gadis itu memang ditawan adiknya dan agaknya hendak
dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi karena gadis itu yang
disebut Hwe-thian Mo-li kabarnya amat lihai, maka gadis itu ditotok
dan direbahkan dalam kamar itu.
Dan ketika dia minum-minum dengan adiknya itu, Siangkoan Leng
tentu telah mencampurkan obat perangsang yang amat kuat ke
dalam arak yang diminumnya, lalu sengaja membawanya ke dalam
kamar di mana calon pengantin itu rebah dalam keadaan tertotok
dan telah ditanggalkan semua pakaiannya. Ah, dia kini dapat
membayangkan apa yang terjadi.
Tidak salah lagi, tentu Siangkoan Leng sengaja menjebaknya,
mungkin karena tahu bahwa dia pasti akan melarang adiknya
memaksa Hwe-thian Mo-li menikah dengannya, maka adiknya
yang telah tersesat itu menggunakan siasat seperti itu! Kalau
sudah ternoda, dia mengharapkan Hwe-thian Mo-li tidak menolak
lagi, dan dia yang sudah menodai gadis itu tentu tidak lagi dapat
melarang adiknya menikah dan memaksa gadis itu menjadi
isterinya! 47 "Lemah dan bodoh!"
Dia menggumam dan kembali dia melihat ke arah Hwe-thian Mo-li
yang menghadapi para wanita itu. Dia dapat menduga bahwa
setelah terbebas dari totokannya, tentu Hwe-thian Mo-li mengamuk
dan membunuhi semua anggauta Ban-hwa-pang.
Dia bergidik melihat puluhan mayat berserakan seperti itu, dan
hampir dia menjerit melihat onggokan daging di depan gadis itu.
Dia mengenal sisa pakaian dari bekas tubuh yang kini hancur
tercincang itu. Tak salah lagi, adiknya, Siangkoan Leng, juga telah
dibunuh dan dicincang oleh Hwe-thian Mo-li!
Hampir saja Sie Bun Liong melompat untuk menyerang gadis yang
liar dan ganas, yang telah dengan kejam membasmi semua orang
Ban-hwa-pang. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan dirinya. Apa
yang hendak dia lakukan" Membalas dendam dan membunuh
gadis itu" Padahal, Hwe-thian Mo-li melakukan pembantaian itu
karena merasa dirinya diperkosa. Dialah yang menjadikan gadis itu
mengamuk seperti kemasukan iblis!
Teringat akan hal ini, Sie Bun Liong merasa lemas lagi, seluruh
urat syarafnya seperti dilolosi dan dia menangis tanpa suara


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan sedih, menangisi kematian adiknya dan para anggauta
Ban-hwa-pang, menangisi perbuatannya sendiri malam tadi.
Ketika dia melihat gadis itu lari meninggalkan Ban-hwa-pang
dengan cepat setelah memberi tugas kepada bekas anggauta Banhwa-pang, Sie Bun Liong juga lari membayanginya.
Demikianlah, ketika Hwe-thian Mo-li menjatuhkan dirinya yang
lemah lunglai di tepi telaga, kemudian merintih dan meratap-ratap
48 menangis sedih menyebut ayah dan ibunya, Sie Bun Liong merasa
betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk ujung pedang. Dia menangis
dan dengan menyesal dan perasaan benci kepada diri sendiri dia
menampari semuanya sampai kedua pipinya bengkak-bengkak
dan kedua ujung bibirnya berdarah.
Setelah tangisnya mereda karena kekerasan hati Siang Lan tidak
membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan, gadis itu bangkit
duduk melamun. Mukanya pucat dan basah, juga kotor terkena
tanah basah. Dirabanya mukanya dan dilihatnya telapak
tangannya yang terkena kotoran dari mukanya.
"Aku kotor...... aku kotor......!"
Ia berseru dan setelah memperhatikan keadaan sekeliling dengan
penglihatan dan pendengarannya, yakin bahwa tidak ada orang
lain di sekitar situ, ia lalu menanggalkan semua pakaiannya dan
masuk ke dalam air telaga. Ia menyelam lama sampai terengahengah ketika muncul kembali dan ia menggunakan ilalang untuk
menggosoki seluruh tubuhnya dengan kuat sehingga semua kulit
tubuhnya yang putih mulus menjadi kemerahan.
Ketika tadi Hwe-thian Mo-li mulai menanggalkan pakaiannya, Sie
Bun Liong terkejut dan heran, akan tetapi segera dia memejamkan
matanya. Sudah menjadi wataknya sejak dulu untuk bersikap
sopan terhadap wanita dan kecabulan nafsu berahi sebetulnya
sudah lama dia jauhi. Dia hanya mengikuti gerakan gadis itu
melalui pendengarannya karena pantang baginya melihat seorang
wanita menanggalkan pakaiannya.
49 Setelah dia mendengar suara gadis itu masuk ke dalam telaga,
baru dia membuka matanya dan dia melihat betapa gadis itu
menyelam dan menggosoki badannya dengan ilalang. Dia merasa
iba sekali karena dia seolah dapat merasakan keadaan gadis itu.
Agaknya gadis itu hendak membersihkan diri dari penghinaan yang
dialaminya semalam. Kembali dia memejamkan matanya ketika gadis itu keluar dari air
telaga, mengenakan pakaiannya kembali. Dia membuka mata
mendengar gadis itu kembali meratap.
"Aih...... aku kotor...... kotor......! Ayah...... Ibu...... aku tidak tahan
lagi menanggung derita kecemaran ini......!" Gadis itu menangis
sesenggukan. Sie Bun Liong juga hampir tak dapat menahan dirinya. Dia ingin
sekali keluar dari tempat persembunyiannya, menemui gadis itu
dan mengakui semua perbuatannya, siap menerima hukuman mati
di tangannya. Akan tetapi dia merasa malu dan...... ngeri menemui
gadis itu! Bukan ngeri menghadapi kematiannya sendiri, namun
ngeri harus berhadapan muka dengan gadis yang telah
diperkosanya itu, walaupun perbuatannya itu dilakukan dalam
keadaan tidak sewajarnya dan tidak sadar karena pengaruh arak
dan mungkin obat perangsang yang amat kuat.
Dengan jari-jari tangannya membentuk cakar garuda, Sie Bun
Liong merobek kulit batang pohon di depannya. Lalu
membentuknya selebar wajahnya, melubangi bagian mata dan
lubang hidung, kemudian menggunakan saputangan untuk
menalikan topeng kulit kayu itu di depan mukanya. Kalau dia mati
50 di tangan gadis itu, biarlah dia mati tanpa memperlihatkan
mukanya, pikirnya. Tiba-tiba dia terkejut dan tubuhnya berkelebat cepat bukan main
ke arah Siang Lan. Tadi, begitu dia selesai memakai topeng dan
memandang kepada gadis yang tadi menangis sesenggukan, dia
mendengar Hwe-thian Mo-li meratap.
"Ayah...... Ibu...... tunggu...... aku ingin ikut kalian!" Dan gadis itu
mencabut pedangnya! "Syuuuuttt...... plakk!" Pedang di tangan Siang Lan yang sudah
digerakkan menuju leher sendiri itu tiba-tiba saja terpental bertemu
dengan telapak tangan yang menamparnya dari samping.
Hwe-thian Mo-li terkejut bukan main dan cepat ia membuang diri
ke belakang, berjungkir balik tiga kali dan kini berdiri memandang
orang yang begitu berani menangkis pedangnya. Ia terkejut
melihat seorang laki-laki yang mengenakan topeng menutupi
mukanya sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Melihat
rambutnya yang sudah banyak terhias uban, tentu bukan seorang
pemuda lagi. Rambut itu awut-awutan, pakaiannya sederhana,
juga kusut. Namun yang mengejutkan hati Hwe-thian Mo-li adalah kenyataan
bahwa laki-laki itu mampu menangkis pedang pusaka Lui-kongkiam dengan tangan! Juga dalam tangkisan itu terkandung tenaga
sakti yang amat kuat, yang membuat pedangnya terpental
walaupun tidak sampai terlepas dari tangannya. Dan yang
membangkitnya kemarahan Hwe-thian Mo-li adalah keberanian
51 orang ini untuk menangkis pedangnya dan menggagalkan
usahanya membunuh diri! "Jahanam busuk! Engkau sudah bosan hidup berani mencampuri
urusan pribadiku!" bentaknya dengan suara menggetar saking
marahnya. Lupalah ia akan semua kesedihan dan keputusasaannya, terganti perasaan marah yang berkobar.
"Hua-ha-ha-ha! Engkau masih bisa marah padaku, berarti
semangat hidupmu masih besar, kenapa mau bunuh diri?"
"Peduli apa engkau dengan urusanku" Siapa engkau"
Mengakulah sebelum kubelah dadamu dengan pedang ini!"
"Hemm, masih kurangkah engkau membunuhi puluhan orang yang
tidak bersalah kepadamu" Apakah engkau bunuh diri karena
menyesal telah membunuh banyak orang yang tidak berdosa?"
"Huh, siapa menyesal! Kalau Siang-koan Leng mempunyai seribu
nyawa, aku akan membunuhnya seribu kali! Dia jahat dan anak
buahnya tentu jahat pula maka kubunuh mereka semua!"
"Siangkoan Leng hanya ingin memperisterimu, dan hal itu belum
terjadi. Biarpun dia bersalah, membunuh dia bersama anak
buahnya untuk kesalahan sekecil itu sungguh tidak adil namanya!"
"Kesalahan kecil" Hem, karena engkau akan mampus pula
kubunuh, boleh engkau tahu agar jangan menjadi setan
penasaran! Siangkoan Leng telah bertindak keji kepadaku, ia
menghinaku dan mencemarkan kehormatanku! Nah, sekarang
52 bersiaplah untuk mampus menyusul arwah Si Jahanam Siangkoan
Leng!" "Dan engkau setelah membunuh aku tidak akan bunuh diri lagi?"
"Peduli apa denganmu" Yang kubunuh diriku sendiri, tidak ada
sangkut-pautnya denganmu! Aku pasti akan bunuh diri dan tidak
ada seorang pun lagi yang dapat mencegahku!" Gadis itu
menyerang dengan pedangnya, gerakannya ganas, kuat dan cepat
sekali. Akan tetapi dengan mudahnya orang bertopeng itu
mengelak. "Ha-ha-ha, engkau keliru! Yang memperkosamu bukan dia!"
Siang Lan menahan serangannya, memandang heran dan tidak
percaya. "Engkau bohong! Siapa lagi kalau bukan jahanam
Siangkoan Leng itu?"
"Bukan dia dan bukan orang lain! Akulah yang semalam melakukan
perkosaan padamu itu, Hwe-thian Mo-li!"
Siang Lan terbelalak, matanya mencorong penuh kemarahan akan
tetapi juga terkejut bukan main mendengar pengakuan itu. Dia
telah salah sangka dan membunuh Ketua Ban-hwa-pang dan
semua anggautanya! "Ha-ha-ha, aku yang melakukannya dan aku sama sekali bukan
orang Ban-hwa-pang! Nah, apakah sekarang engkau mau bunuh
diri karena takut kepadaku?"
53 "Setan keparat! Iblis jahanam, aku tidak mau mati sebelum dapat
mencincang hancur tubuhmu!" teriak Siang Lan dengan suara
menjerit saking marahnya.
Bukan saja orang ini mengaku sebagai orang yang
memperkosanya tadi malam, bahkan kini menghinanya dan
mengatakan ia takut! Cepat seperti kilat menyambar ia menyerang
dengan Lui-kong-kiam. Akan tetapi dengan gerakan ringan sekali
sambil mengeluarkan suara tawa mengejek, orang bertopeng itu
mengelak dan dengan lompatan tinggi dia menyambar sebatang
ranting pohon sebesar lengannya, melompat turun dan sudah
memegang sebatang ranting yang dia pergunakan sebagai
senjata. Mereka bertanding mati-matian dan Hwe-thian Mo-li benar-benar
terkejut bukan main! Pedang pusakanya yang ampuh, yang
mampu mematahkan senjata lawan terbuat dari baja murni, kini
tidak berdaya menghadapi senjata lawan yang hanya merupakan
sebatang ranting pohon yang masih ada daun-daunnya!
Ia merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya,
mengeluarkan semua ilmu silatnya yang paling lihai, namun semua
serangannya dapat digagalkan dengan mudah oleh orang
bertopeng itu. Yang membuat ia merasa penasaran dan semakin
panas hatinya adalah mendengar betapa lawan itu terkadang
mengeluarkan suara tawa mengejek kalau serangannya gagal.
Hampir seratus jurus lewat dan mereka berdua masih terus
bertanding dengan serunya. Hwe-thian Mo-li menjadi semakin
penasaran karena ia merasa betul bahwa lawannya itu hanya
54 bertahan saja, mengelak atau menangkis serangan-serangannya
dan hanya kadang-kadang saja balas menyerang.
Agaknya lawannya yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu
mempermainkannya atau sengaja hendak menguji kepandaiannya. Ia menjadi marah sekali, akan tetapi juga
penasaran dan jengkel, apalagi mengingat bahwa laki-laki ini yang
semalam memperkosanya. Hampir saja ia menangis karena ia
kehabisan tenaga. Tiba-tiba laki-laki bertopeng itu mengubah gerakannya. Kini dia
menyerang dengan gerakan yang aneh dan bertubi-tubi yang
membuat Siang Lan segera terdesak mundur.
"Roboh......!" Laki-laki itu membentak dan tiba-tiba beberapa helai
daun yang masih menempel pada ranting pohon yang dijadikan
senjata itu meluncur bagaikan senjata-senjata rahasia, menyerang
ke arah leher dan kedua pundak Siang Lan!
Tentu saja gadis itu terkejut mendapat serangan yang mendadak
dan tak tersangka-sangka itu. Ia melompat ke samping, akan tetapi
sebuah tendangan mengenai lututnya dan sebelum ia dapat
menghindar, ujung ranting itu menotok pergelangan tangan
kanannya sehingga pedangnya terlepas dari pegangannya! Ia
terduduk karena lututnya terasa lumpuh. Ia melihat pedangnya
terlempar agak jauh dan kini laki-laki itu membuang ranting di
tangannya. "Hua-ha-ha-ha! Kiranya ilmu kepandaian Hwe-thian Mo-li hanya
sebegini saja!" 55 Siang Lan memandang dengan mata mencorong, akan tetapi
kedua matanya basah air mata. Ia khawatir kalau-kalau peristiwa
semalam terulang karena kini ia benar-benar tidak berdaya. Orang
bertopeng itu terlampau kuat baginya.
"Jahanam keparat! Aku sudah kalah! Bunuh aku!"
"Ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu! Sekarang terserah
engkau. Kalau engkau seorang pengecut, kau boleh bunuh diri
karena takut padaku dan aku akan mengabarkan di seluruh dunia
kang-ouw bahwa nama besar Hwe-thian Mo-li hanya nama kosong
belaka dari seorang wanita pengecut yang tidak berani
menghadapi musibah dan kesengsaraan hidup. Akan tetapi kalau
engkau benar seorang pemberani, engkau boleh belajar ilmu silat
seratus tahun lagi dan kelak boleh mencari aku untuk bertanding
lagi seribu jurus! Ha-ha-ha-ha!"
Ini merupakan penghinaan yang sudah melewati batas! Siang Lan
memaksa diri bangkit dan sambil bertolak pinggang ia menatap
wajah bertopeng itu, lalu telunjuk kirinya menuding ke arah muka
bertopeng kulit kayu itu.
"Jahanam, keparat, penjahat busuk! Siapa takut padamu" Kalau
engkau mau bunuh, bunuhlah, aku tidak takut mati! Akan tetapi
kalau engkau tidak membunuhku, aku bersumpah tidak akan mati
dulu sebelum aku dapat mencincang tubuhmu. Kelak aku pasti
akan mencarimu untuk membalas dendam setinggi langit sedalam
lautan ini!" "Bagus, ha-ha-ha! Aku akan menunggumu, Hwe-thian Mo-li!"
56 "Buka topengmu dan katakan siapa nama dan di mana kelak aku
dapat mencarimu!" "Ha-ha-ha, topeng ini merupakan ciri khasku, dan tidak akan
kubuka. Kelak kalau engkau mencariku, engkau carilah tokoh
bertopeng kulit kayu berjuluk Thian-te Mo-ong (Raja Iblis Langit
Bumi)! Tempat tinggalku tidak tentu, akan tetapi jangan khawatir.
Akulah yang akan mencarimu. Setahun sekali aku akan
mencarimu di Lembah Selaksa Bunga. Selamat tinggal!" Orang itu
berkelebat lenyap dan Siang Lan tidak dapat melakukan
pengejaran, hanya mendengar suara tawanya yang bergema dan
semakin jauh! Kembali Siang Lan menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan
menangis tersedu-sedu. Akan tetapi sekali ini ia bukan menangis
karena sedih, melainkan menangis karena penasaran, marah,
benci dan dendam bergelora di dalam hati dan akal pikirannya.
"Thian-te Mo-ong, akan kubunuh kau...... Kubunuh kau.....!!"
teriaknya, akan tetapi ia segera dapat menguasai dirinya. Tidak, ia
tidak akan membunuh diri.
Sekarang, tujuan satu-satunya dalam sisa hidupnya hanyalah
membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong, laki-laki bertopeng
itu. Dan untuk dapat melaksanakan dendamnya, ia harus
memperdalam ilmu silatnya karena musuh besarnya itu memiliki
tingkat kepandaian silat yang amat tinggi. Ia lalu memungut Luikong-kiam (Pedang Halilintar), menyarungkannya kembali dan
melangkah perlahan mendaki bukit menuju Lembah Selaksa
Bunga. 57 Ia telah bersalah membunuhi para anggauta Ban-hwa-pang yang
tidak berdosa dan ia merasa menyesal. Siangkoan Leng memang
sudah sepatutnya mendapat hukuman, walaupun perlakuannya
kepadanya dengan mencincang tubuhnya itu juga amat keterlaluan
mengingat bahwa kesalahannya hanya menawannya.
Ia harus membangun kembali Ban-hwa-pang, memakmurkan para
anggautanya dan melatih mereka dengan ilmu silat. Selain itu, ia
harus memperdalam ilmu silatnya sehingga kelak ia akan mampu
membalas dendam musuh besar yang amat dibencinya, yaitu
Thian-te Mo-ong! Ketika ia memasuki perkampungan Ban-hwa-pang, para wanita di


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

situ terkejut melihat ketua baru itu sudah datang lagi. Akan tetapi
Siang Lan girang melihat betapa mereka itu mematuhi semua
perintahnya. Setelah rumah gedung bekas tempat tinggal
Siangkoan Leng dibakar habis, semua jenazah dikuburkan, dan
para wanita yang mempunyai anak pergi meninggalkan Ban-hwapang dengan mendapat bekal secukupnya, mulailah Siang Lan
membenahi perkumpulan itu.
Sebuah rumah untuknya dibangun dan setelah ia kumpulkan,
ternyata ada tigapuluh lima orang wanita yang menjadi
anggautanya. Siang Lan mengatur perkumpulan itu menjadi
sebuah perkumpulan wanita yang pantang melakukan kejahatan,
akan tetapi juga para anggauta tidak boleh berhubungan dengan
laki-laki selama mereka menjadi anggauta Ban-hwa-pang. Siapa
yang hendak menikah tidak dilarang, melainkan harus
meninggalkan Ban-hwa-pang!
58 Sementara itu, laki-laki bertopeng yang telah mencegah Siang Lan
bunuh diri kemudian bertempur dan mengalahkan gadis liar itu,
juga meninggalkan Siang Lan dan kini dia melangkah perlahan
mendaki bukit yang bersebelahan dengan bukit di mana terdapat
Lembah Selaksa Bunga yang karena adanya lembah itu, disebut
pula Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga).
Dia melangkah satu-satu dengan santai. Topeng kayu telah
ditanggalkannya dan dibuangnya dan orang itu bukan lain adalah
Sie Bun Liong. Kini dia melangkah sambil bicara seorang diri,
berbantahan sendiri seperti seorang gila!
"Kamu kejam! Tak tahu malu, melakukan perbuatan biadab
dengan memperkosa seorang gadis. Padahal selama ini kamu
belum pernah bergaul dengan wanita dan tampak alim. Huh, alim
yang pura-pura, munafik!" bisik mulutnya yang mengeluarkan
suara hatinya. Suara pikirannya membantah. "Aku melakukannya dalam keadaan
tidak sadar! Karena mabok arak dan dipengaruhi racun
perangsang!" "Kamu kini lebih kejam lagi! Bukan hanya menghina dengan
mengalahkannya, bahkan mengejeknya dan membiarkan ia hidup
merana dengan mengandung dendam kepadamu. Kamu benarbenar jahat dan kejam sekali!"
Sie Bun Liong menarik napas panjang dan menggelengkan
kepalanya. "Tidak, aku melakukannya dengan sengaja walaupun
dengan perasaan pedih. Semua itu kulakukan untuk menjauhkan
niat bunuh diri darinya, agar ia bersemangat tetap hidup untuk
59 dapat membalas dendam kepadaku. Biarlah aku kelak dianggap
jahat dan kejam, semua itu kulakukan demi menyelamatkannya,
untuk menebus dosa yang kulakukan kepadanya tanpa
kusengaja......" "Huh, untuk mengakhiri penderitaannya, mengapa engkau tidak
membunuhnya saja atau membiarkan ia membunuhmu dalam
perkelahian tadi" Mengapa engkau mengorbankan dirimu biar
dianggap biadab, jahat dan kejam demi mencegahnya bunuh diri"
Ha-ha, aku tahu, karena engkau cinta padanya...... cinta
padanya......" "Tidak......!" "Engkau jatuh cinta padanya!"
"Tidak, kamu ngaco.....!"
"Kau cinta padanya...... cinta padanya...... cinta padanya......!"
Suara itu seperti mengejek mentertawakannya.
"Plakk! Bodoh kamu!" Sie Bun Liong menampar kepalanya sendiri.
Dia lalu mendaki puncak bukit dan mengambil keputusan untuk
tinggal di situ secara diam-diam karena dia harus memantau
keadaan dan perkembangan Hwe-thian Mo-li yang kini menjadi
Ketua Ban-hwa-pang. "Y" Kota raja Kerajaan Dinasti Beng (1368-1644) pada waktu itu dapat
dibilang cukup makmur. Yang menjadi kaisar adalah Kaisar Wan
60 Li (1572-1620) yang ketika kisah ini terjadi menghadapi banyak
masalah gangguan pemberontakan yang terjadi di daerah selatan
dan utara. Dari utara datang gangguan dari suku-suku bangsa,
yang terbesar adalah bangsa Mancu dan dari selatan datang
gangguan dari perkumpulan-perkumpulan yang ingin memberontak seperti misalnya Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw.
Akan tetapi berkat kepandaian dua orang menteri yang bijaksana,
maka sebegitu jauh semua masalah itu dapat diselesaikan dan
pemberontakan dapat ditindas walaupun belum dapat dipadamkan
sama sekali. Dua orang menteri yang bijaksana dan cekatan dalam sejarah
sebagai menteri-menteri yang setia itu adalah Menteri Yang Ting
Ho yang menjadi penasehat Kaisar Wan Li dalam urusan
ketatanegaraan, dan yang kedua adalah Panglima Chang Ku Cing
yang menjadi penasehat dalam urusan ketatanegaraan dan
keamanan negara. Tentu saja kedua orang menteri ini dibantu oleh
banyak pejabat dan perwira yang setia dan jujur, dua sifat pejabat
negara yang sukar ditemukan pada waktu itu. Sebagian besar
pejabat itu merupakan orang-orang yang korup, mencuri uang
negara, memeras dan menekan rakyat, bertindak sewenangwenang mengandalkan kedudukan dan kekuasaan masingmasing.
Satu di antara perwira yang membantu Panglima Chang Ku Cing,
yang merupakan seorang perwira tangguh, jujur dan setia kepada
atasannya, dan dengan sendirinya dia juga amat setia kepada
kerajaan, adalah Panglima Muda Kui Seng yang baru saja naik
pangkat menjadi panglima muda setelah dia berhasil meringkus
tujuh orang pimpinan pemberontak Pek-lian-kauw (Agama Teratai
61 Putih). Kui Seng atau lebih dikenal dengan Kui Ciang-kun
(Panglima Kui) adalah seorang laki-laki bertubuh sedang dan
bersikap gagah. Dia terkenal pemberani dan pandai mengatur
pasukan sehingga dipercaya oleh Panglima Besar Chang Ku Cing.
Kui Ciang-kun mempunyai seorang puteri bernama Kui Li Ai,
seorang gadis berusia delapanbelas tahun yang cantik jelita.
Isterinya, atau ibu kandung Li Ai, telah meninggal dunia karena
sakit tiga tahun yang lalu dan sebagai pengganti isteri pertama, dia
mengangkat seorang selir menjadi isteri pertama.
Sayang bahwa selir yang diangkat menjadi isteri dan baru berusia
tigapuluh tahun itu, diam-diam merasa tidak suka kepada anak
tirinya, sehingga di pihak Li Ai dengan sendirinya juga timbul
perasaan tidak suka kepada ibu tiri ini. Akan tetapi perasaan tidak
suka ini tidak mereka perlihatkan di depan Kui Seng.
Pada suatu senja menjelang malam, setelah makan malam, Kui
Ciang-kun bercakap-cakap dengan isterinya di halaman belakang
yang terbuka dan menghadap ke taman bunga karena malam hari
itu udara panas sehingga nyaman duduk bercakap-cakap di
tempat terbuka itu. Kui Ciang-kun membicarakan tentang tujuh
orang pimpinan Pek-lian-kauw yang dia tawan tiga bulan yang lalu
dan kini menjadi tahanan dalam penjara pemerintah.
"Aku masih khawatir kalau mengingat para pimpinan Pek-liankauw yang tertawan itu." katanya lirih seperti kepada diri sendiri.
"Eh, mengapa begitu, suamiku" Bukankah karena penangkapan
itu, engkau telah berjasa dan mendapat kenaikan pangkat?"
62 "Benar, akan tetapi keberhasilan itu berkat bantuan Ouw-yang
Sianjin yang lihai dan berjiwa patriot. Tosu (Pendeta Agama To)
dan para pendekar muda. Tanpa bantuan mereka, akan sukarlah
bagiku untuk mengalahkan tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw
yang lihai itu." "Akan tetapi mereka itu telah tertangkap dan dijatuhi hukuman,
mengapa pula engkau kini mengkhawatirkannya?"
"Mereka memang sudah tertangkap dan bahkan empat orang dari
mereka telah dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi yang tiga orang
lagi masih ditahan dan belum dihukum mati. Aku merasa khawatir
sekali melihat kelemahan Sribaginda Kaisar yang tidak segera
menghukum mati pula tiga yang lain itu. Justeru mereka bertiga itu
yang merupakan orang-orang terpenting di Pek-lian-kauw. Aku
sudah menghadap Panglima Besar Chang, namun beliau yang
amat setia kepada kaisar malah memarahi aku, mengatakan
bahwa kami semua harus menaati perintah Sribaginda Kaisar.
Ahh, aku menjadi khawatir......" Kui Ciang-kun kembali menghela
napas panjang. "Apa yang kau khawatirkan, suamiku?"
"Sribaginda Kaisar selalu bersikap lemah terhadap Pek-lian-kauw.
Bahkan beliau pernah menerima kedatangan utusan dari Pek-liankauw, padahal Pek-lian-kauw selalu mencari kesempatan untuk
menjatuhkan kerajaan dan merampas kekuasaan. Juga Pek-liankauw, dengan berkedok agama dan perjuangan rakyat, merupakan
penipu-penipu rakyat dan suka bertindak sewenang-wenang,
membodohi dan memeras rakyat. Menurut pendapatku, Pek-lian63
kauw harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Akan tetapi
sekarang, tiga orang pimpinan mereka masih ditahan dan tidak
segera dihukum mati."
"Aih, suamiku, mengapa engkau mengkhawatirkan hal itu"
Serahkan saja semua itu kepada Sribaginda Kaisar dan kepada
Panglima Chang, atasanmu. Engkau hanya tinggal melaksanakan
tugasmu," hibur isterinya.
Tiba-tiba terdengar jeritan wanita. Hanya terdengar satu kali saja
lalu suara itu terhenti seolah-olah mulut yang menjerit tadi
dibungkam. Biarpun jeritan itu hanya terdengar satu kali, namun Kui Ciang-kun
mengenal bahwa itu adalah suara Kui Li Ai, puterinya! Maka, cepat
dia melompat dan berlari ke arah datangnya suara jeritan tadi, yaitu
di dalam taman. Dia melihat bayangan seseorang memanggul
tubuh seorang gadis dan cepat dia melompat sambil mencabut
pedangnya, menghadang di depan orang itu dan membentak.
"Berhenti......!"
Di bawah sinar lampu yang tergantung di tiang lampu di taman itu,
di bawah mana agaknya orang itu sengaja berdiri dan menantinya,
Kui Ciang-kun melihat bahwa orang itu adalah seorang yang
berpakaian sebagai seorang Tosu dan yang dipanggul itu bukan
lain adalah Kui Li Ai, puteri tunggalnya! Tosu itu memegang
sebatang pedang yang sudah ditempelkan di leher puterinya yang
tidak mampu bergerak, agaknya dalam keadaan tertotok. Melihat
bahwa yang ditawan tosu itu adalah puterinya, Kui Ciang-kun
menjadi marah bukan main.
64 "Siapakah engkau" Hayo cepat bebaskan puteriku atau aku akan
memanggil pasukan pengawal dan menangkapmu!" bentaknya.
"Tenang, Kui Ciang-kun dan jangan lakukan sesuatu atau anakmu
ini akan pinto (aku) bunuh lebih dulu. Anakmu pinto jadikan
sandera dan ia pasti akan pinto bunuh kalau engkau tidak menuruti
permintaan pinto!" "Hemm, engkau seorang pendeta, mengapa bertindak begini jahat
dan curang" Kalau hendak bicara, tidak perlu menawan puteriku.
Lepaskan ia dan kita boleh bicara!"
"Pinto tidak sebodoh itu, Ciang-kun. Sekarang dengarlah
permintaan pinto. Engkau harus menolong tiga orang pimpinan
Pek-lian-kauw yang ditahan di penjara dan engkau harus dapat
membebaskannya. Pinto beri waktu tiga hari. Kalau engkau dapat
membebaskan mereka, puterimu ini tentu akan kembali padamu.
Kalau tidak, terpaksa puterimu pinto bunuh!"
Setelah berkata demikian, sekali melompat tosu itu telah lenyap
dalam bayangan pohon-pohon dalam taman sambil memanggul
tubuh Li Ai. Baru melihat cara tosu itu melompat dan menghilang sedemikian
cepatnya saja, tahulah Kui Ciang-kun bahwa dia sama sekali
bukan tandingan tosu itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
sekali. Dia merasa bingung akan tetapi juga tidak berdaya. Kalau
dia mengejar dan mengerahkan pasukan, puteri tunggalnya tentu
terancam maut. 65 Jelas bahwa tosu itu seorang tokoh Pek-lian-kauw yang berilmu
tinggi dan dia tahu bahwa orang Pek-lian-kauw tidak menggertak
kosong belaka dan bagi mereka, membunuh orang merupakan hal
yang kecil. Akan tetapi, untuk membebaskan puterinya, dia harus
dapat membebaskan lebih dulu tiga orang tokoh Pek-lian-kauw
yang kini masih ditahan di penjara! Tubuhnya menjadi lemas
sekali, mukanya pucat dan ketika dia melangkah kembali ke
gedungnya, ke dua kakinya gemetar.
Isterinya menyongsong dengan pertanyaan. "Suamiku, apa yang
telah terjadi di taman" Siapa yang tadi menjerit?"
Kui Ciang-kun yang berwajah muram itu tidak menjawab,
melainkan memberi isyarat kepada isterinya untuk memasuki
gedung mereka. Setelah mereka berdua berada dalam kamar,
barulah Kui Ciang-kun menjatuhkan diri duduk di atas kursi,
menghadapi meja dan bertopang dagu dengan wajah sedih,
bingung dan gelisah. "Celaka........" keluhnya, "celaka sekali......"
Isterinya duduk di atas kursi dekatnya. "Ada apakah, suamiku"
Mengapa engkau tampak begini sedih dan gelisah?"
"...... Anak kita...... Li Ai...... ia diculik orang......"
Isterinya kaget, "Diculik" Jadi yang menjerit tadi Li Ai" Akan tetapi
mengapa tidak kau kejar" Kenapa tidak panggil pasukan pengawal
untuk membantumu?" 66 "Percuma, orang itu amat lihai dan...... dan dia mengancam akan
membunuh Li Ai kalau aku mengejarnya......"
"Akan tetapi...... siapa penculik itu dan apa maunya?"
"Begini........" Panglima itu berhenti sebentar dan memandang ke
kanan kiri, "jangan katakan kepada siapapun juga...... ini harus
dirahasiakan...... Anak kita itu hanya dijadikan sandera dan tidak
akan diganggu, bahkan akan dibebaskan kalau dalam waktu tiga
hari aku mau memenuhi permintaannya......"
"Hemm, apa permintaannya. Uang......?"
"Apa, kalau cuma uang, berapapun, aku tidak akan sebingung ini!
Dia minta agar aku...... membebaskan tiga orang tokoh Pek-liankauw yang ditahan dalam penjara itu! Kalau dalam tiga hari aku
tidak dapat membebaskan mereka, Li Ai...... ia akan dibunuh......"
Nyonya Kui terkejut dan keduanya terdiam, tenggelam ke dalam
lamunan dan bayangan masing-masing yang amat menggelisahkan. Akhirnya Nyonya Kui bertanya.
"Suamiku, apakah engkau tidak bisa membebaskan tiga orang
itu?" "Hemm, kepala penjara itu termasuk anak buahku, tentu saja aku
bisa mengusahakan agar mereka dapat dibebaskan, akan
tetapi......" "Akan tetapi apa lagi?"
67 "Bagaimana mungkin aku membebaskan mereka yang menjadi
tokoh-tokoh pemberontak" Berarti aku mengkhianati negara dan


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku dapat dihukum mati......"
"Aih!" Isterinya terkejut dan memandang suaminya dengan mata
terbelalak. "Kalau begitu, jangan bebaskan mereka!!"
Kui Ciang-kun menatap isterinya dan mengerutkan alisnya.
"Dengan begitu membiarkan puteriku dibunuh penculik" Kau ingin
ia dibunuh penculik?"
"Aku...... aku tidak ingin engkau dihukum mati, suamiku!"
"Huh, sudahlah! Biar urusan ini ku pikirkan sendiri!" katanya,
hatinya menahan kemarahan karena kini dia menyadari bahwa
isterinya ini tidak begitu peduli akan nasib Li Ai yang menjadi anak
tiri isterinya itu. Dia lalu meninggalkan kamar isterinya, kegelisahan dan
kebingungannya bertambah dengan perasaan marah kepada
isterinya yang dianggap tidak mempedulikan nasib puterinya. Dia
mengambil keputusan, setelah semalam suntuk tidak tidur dan
gelisah dalam kamarnya sendiri, untuk menyelamatkan puterinya,
kalau perlu dengan pengorbanan apapun juga!
Menjelang fajar, diam-diam ia keluar dari gedungnya dan pergi
berkunjung ke rumah Perwira Ciok, anak buahnya yang menjabat
sebagai kepala penjara di mana tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu
ditahan. Dengan singkat dia menceritakan persoalannya kepada
Perwira Ciok dan minta agar Sang Perwira membantunya
membebaskan tiga orang tahanan itu.
68 "Aih, Ciang-kun, bagaimana mungkin kita melakukan hal itu?" kata
Perwira Ciok terkejut sekali.
"Apa engkau hendak mengatakan bahwa sebagai kepala penjara
engkau tidak mampu melakukannya?" tanya Kui Ciang-kun sambil
menatap tajam wajah bawahannya itu.
"Bukan begitu, Ciang-kun. Maksudku, hal itu tentu akan diketahui
akhirnya dan akan menerima hukuman berat!"
"Jangan khawatir! ini kuberi surat perintah untuk membebaskan
tiga orang sehingga kalau engkau dipersalahkan, engkau tinggal
memperlihatkan surat perintah. Sebagai bawahan, engkau harus
menaati perintah atasanmu sehingga bukan engkau yang
dipersalahkan, melainkan aku!"
"Akan tetapi...... Ciang-kun akan dianggap pengkhianat, membantu
pemberontak, dan akan dihukum berat sekali!"
"Aku tahu, mungkin aku akan dihukum mati. Akan tetapi aku sudah
siap mengorbankan nyawaku demi keselamatan anak tunggalku.
Cepat lakukan, Perwira Ciok, kalau engkau mau membalas budi
kepadaku!" Mula-mula Perwira Ciok masih ragu, akan tetapi setelah diingatkan
akan budi kebaikan yang berkali-kali dia terima dari atasannya ini,
akhirnya dia mau melaksanakannya juga. Dia menerima surat
perintah dari Kui Ciang-kun itu dan pergi ke penjara,
membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan mengatakan
kepada mereka bahwa yang membebaskan mereka adalah
Panglima Kui Seng dan agar tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu
69 segera membebaskan Nona Kui Li Ai yang dijadikan sandera. Tiga
orang tokoh Pek-lian-kauw itu menyatakan sanggup dan di pagi
hari buta itu mereka bertiga meloloskan diri keluar dari penjara lalu
langsung keluar dari kota raja dengan bantuan kawan-kawan
mereka yang sudah siap menyambut mereka di luar penjara!
Setelah menyampaikan surat dan perintahnya kepada Perwira
Ciok, Kui Ciang-kun pulang ke rumahnya dan dia mengurung diri
dalam kamar dengan hati berdebar penuh ketegangan. Dia tidak
khawatir akan dirinya sendiri. Yang terpenting baginya adalah
menyelamat Li Ai! Dia menyadari benar bahwa perbuatannya itu tentu akan ketahuan
karena lolosnya tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang merupakan
tahanan penting itu pasti akan menggemparkan. Akan tetapi, demi
keselamatan puterinya, dia siap mengorbankan apa saja, termasuk
dirinya sendiri. Lebih dulu puterinya harus dapat diselamatkan.
Setelah itu, baru dia akan berusaha sekuat tenaga untuk
menangkap kembali tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu!
Daun pintu kamarnya diketuk dari luar, ketuan yang lirih dan hatihati.
"Siapa?" tegurnya.
"Suamiku, makanan pagi telah disiapkan. Mari kita makan, ataukah
engkau menghendaki agar sarapan dibawa ke kamar?" terdengar
suara isterinya yang tidak dapat membuka daun pintu yang dia
palangi dari dalam. 70 "Aku tidak ingin makan dan jangan ganggu aku!" kata Kui Ciangkun. Isterinya tidak berani mengganggunya lagi dan meninggalkan
tempat itu. Beberapa lama kemudian, kembali daun pintunya diketuk orang
dari luar. "Siapa itu" Aku tidak mau diganggu!" Kui Ciang-kun berseru
marah. "Thai-ya (Tuan Besar), di luar datang seorang tamu yang ingin
bertemu dengan Thai-ya." terdengar suara kepala pasukan
pengawal yang bertugas jaga saat itu.
"Hemm, tentu utusan dari atasannya yang datang untuk
memanggilnya atau langsung menangkapnya. Dia telah siap untuk
mempertanggung-jawabkan perbuatannya meloloskan tiga orang
tokoh Pek-lian-kauw itu dari penjara. Maka dia lalu mengenakan
pakaian seragam lengkap dan dengan sikap gagah dia keluar dari
kamar dan terus keluar ke serambi depan untuk menemui utusan
Panglima Besar Chang Ku Cing.
Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika dia melihat bahwa
yang datang bertamu adalah seorang gadis cantik yang
mengangkat ke dua tangan memberi hormat kepadanya! Akan
tetapi keheranan itu segera berubah menjadi kegembiraan ketika
dia mengenal siapa gadis itu. Ia adalah seorang di antara pendekar
muda yang membantu dia dan pasukannya ketika penyergapan
orang-orang Pek-lian-kauw di luar kota raja!
71 "Hwe-thian Mo-li......! Engkaukah ini, Nona?" serunya sambil
membalas penghormatan gadis itu.
Gadis itu memang Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Dulu pernah ia
diperkenalkan kepada Panglima Kui ini sebagai Hwe-thian Mo-li.
Seperti telah kita ketahui, beberapa bulan yang lalu Nyo Siang Lan
atau Hwe-thian Mo-li ini telah membasmi orang-orang Ban-hwapang. Setelah ia kemudian mendengar dari musuh besarnya,
orang berkedok yang mengaku bernama Thian-te Mo-ong, yang
telah memperkosanya, bahwa Ban-hwa-pang sebetulnya tidak
bersalah besar kepadanya, Siang Lan merasa menyesal dan ia
mengambil keputusan untuk membangun kembali Ban-hwa-pang,
akan tetapi hanya wanita yang menjadi anggautanya.
Setelah membenahi perkumpulan itu dan membangun sebuah
rumah untuknya, Hwe-thian Mo-li yang kini menjadi majikan
Lembah Selaksa Bunga atau ketua Ban-hwa-pang itu,
meninggalkan Lembah Selaksa Bunga karena ia merasa rindu
untuk bertemu dengan Ong Lian Hong, sumoinya (adik
seperguruannya). Ia ingin benar mengetahui apakah kini Lian
Hong telah menikah dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim
Liok Ong itu. Ia tidak lagi merasa cemburu atau iri terhadap Lian
Hong yang telah lebih dulu bertunangan dengan Sim Tek Kun,
pemuda satu-satunya yang pernah dicintanya.
Sekarang, ia bukan lagi hanya mengalah kepada sumoinya yang
berjodoh dengan pemuda itu, lebih dari itu, ia merasa tidak
berharga untuk menjadi isteri Sim Tek Kun, bahkan menjadi
isterinya siapapun juga. Ia adalah seorang gadis yang telah
72 ternoda dan keinginan satu-satunya hanya ingin membalas
dendam dan membunuh Thian-te Mo-ong yang amat lihai.
Ia ingin bertemu dengan Lian Hong, selain merasa rindu, juga ia
ingin bertanya kepada sumoinya itu, di mana adanya Ouw-yang
Sianjin, susiok (paman guru) mereka, karena untuk dapat
memperoleh kepandaian yang tinggi agar dapat membalas
dendam, ia ingin memperdalam ilmu silatnya dengan petunjuk
Ouw-yang Sianjin. Entah mengapa begitu memasuki kota raja dan tiba dekat tempat
tinggal Jaksa Ciok, kakek dari sumoinya Ong Lian Hong, ia teringat
akan Sim Tek Kun dan jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Bagaimana dia akan bersikap kalau bertemu mereka nanti"
Ketegangan hatinya inilah yang menunda keinginannya bertemu
dengan sumoinya dan sebaliknya, ia berkunjung ke gedung
Seruling Samber Nyawa 5 Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Sebilah Pedang Mustika 5
^