Pencarian

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 23

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 23


berbuat diluar tahuku sendiri. Kalau demikian terserahlah
kepada Angger. Kalau Angger ingin menghukum kami
berdua, hukumlah. Lakukanlah yang Angger anggap paling
benar dan adil. Kami tidak akan ingkar. Kalau Angger
menganggap bahwa kami sepantasnya dihukum mati,
dipancung atau digantung, lakukanlah itu. Kami akan
menjalani penuh keiklasan dan kami akan tersenyum pada
saat akhir kami." Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Demikian
agaknya Kebo Kanigara. Mereka sama sekali tidak menduga
bahwa kedua orang itu sudah demikian iklasnya
menghadapi maut sekalipun, untuk membuktikan betapa
bersih mereka. Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata ia
tidak berhasil membuat kedua orang itu marah dan
menantangnya berkelahi. Bahkan kemudian Mahesa Jenar
menjadi terharu sehingga terpaksa menundukkan kepala.
Apalagi ketika terdengar Darba melanjutkan kata-kata
Paniling, "Anakmas agaknya mempunyai wewenang untuk
bertindak. Baik sebagai seorang yang setia pada
keyakinannya atau bahkan barangkali Anakmas sekarang
benar-benar sedang mengemban tugas sebagai seorang
prajurit. Kalau dengan menjalani tindak kekerasan, kami
dapat melapangkan tugas Angger maka kami akan merasa
bahagia karenanya." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar kemudian tidak mengerti lagi apa yang
harus dilakukan. Ia sudah berusaha untuk memancing
kemarahan kedua orang itu, namun ternyata sia-sia.
Dalam pada itu Kebo Kanigara yang sebenarnya terharu
pula atas keiklasan kedua orang itu untuk pasrah diri, tiba-
tiba tertawa nyaring. "Hai orang-orang yang berjiwa kerdil...
buat apa kami membunuh kalian" Ketahuilah bahwa
sebenarnya aku adalah seorang petugas dari Istana. Akulah
yang bernama Tumenggung Surajaya. Kalau kalian tidak
mau menyerahkan kedua keris itu sekarang, maka kalian
akan kami bawa menghadap ke Istana Demak. Aku
berwenang untuk menghukum kalian, dan hukuman yang
aku rencanakan adalah mengikat leher kalian, serta
menggiring kalian keliling kota. Setiap orang yang
berpapasan harus mengucapkan kata-kata penghinaan
terhadap kalian. Perempuan dan anak-anak harus
melempari kalian dengan batu. Sedang laki-laki dapat
berbuat sekehendaknya atas kalian."
Mahesa Jenar sendiri terkejut mendengar kata-kata itu,
sehingga tanpa disengaja ia mengawasi Kebo Kanigara
dengan tajamnya. Namun Kanigara masih saja tertawa,
malahan semakin keras. Bagaimanapun jernihnya hati yang tersimpan di dalam
dada Paniling dan Darba, namun mereka adalah manusia
juga. Manusia yang memiliki kesadaran diri atas derajadnya
sebagai manusia. Karena itu, ketika mereka mendengar
kata-kata hinaan tamunya, dada mereka terasa bergetar
juga. Dalam pada itu agaknya Darba yang lebih muda daripada
Paniling, yang mula-mula merasa bahwa kelakuan tamu
mereka sudah berlebihan. Dengan nafas yang semakin
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
cepat beredar, beberapa kali ia menelan ludahnya. Dengan
sekuat tenaga ia mencoba menahan diri supaya ia tidak
melakukan hal-hal yang dapat mengotori diri mereka.
Baru beberapa saat kemudian, sambil membungkuk
hormat Darba berkata, "Tuan... maafkanlah kami. Kalau
kami tidak mengetahui sebelumnya bahwa yang sudi
datang ke pondok kami adalah seorang tumenggung.
Karena itu terimalah sembah bekti kami berdua."
Kebo Kanigara tertawa masam. Jawabnya, "Aku sama
sekali tidak membutuhkan segala macam upacara yang tak
berarti itu. Kedatanganku adalah untuk kepentingan yang
jauh lebih besar daripada salam yang akan menyenangkan
hatiku." "Bukan itulah maksud kami," potong Darba yang
nafasnya semakin berdesakan di dalam rongga dadanya.
"Tetapi memang seharusnyalah kami menghormati Tuan.
Hanya sayanglah bahwa Tuan telah menjalankan pekerjaan
agak kurang bijaksana."
"Apa...?" bentak Kebo Kanigara sambil membelalakkan
mata. "Kau bilang aku kurang bijaksana..." Hai orang-orang
yang tak berarti, berjongkoklah dan cium telapak kakiku
sambil mengucapkan permohonan maaf atas kelancangan
mulutmu." Paniling yang berdada luas lautan pun kemudian menjadi
tidak senang. Bahkan Mahesa Jenar sendiri menganggap
bahwa Kebo Kanigara sudah agak terlalu jauh. Namun
Mahesa Jenar sadar, kalau tidak demikian maka kedua
orang itu pasti tidak akan dapat marah.
"Baiklah, aku mohon maaf," sahut Darba, "Namun biarlah
aku tidak usah berjongkok dan mencium telapak kaki Tuan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebab barangkali aku sudah terlalu tua untuk melakukan
hal itu." Mata Kebo Kanigara menjadi semakin terbelalak. "Patuhi
perintah, hai orang tua yang tak malu," teriaknya.
"Sekarang aku menjadi tidak percaya bahwa kalianlah yang
bernama Radite dan Anggara. Sebab kalian tidak lebih
daripada sisa-sisa orang paria yang berkeliaran sejak zaman
pemerintahan Majapahit. Kalian tidak pantas mendapat
pelayanan sebagaimana aku menjadi manusia yang paling
hina sekalipun dari sisa-sisa golongan sudra."
Sekarang Darba sudah tidak dapat membiarkan dirinya
dihina lebih jauh. Apalagi ketika disebut sebutnya nama
Radite dan Anggara. Namun yang selama ini disembunyikan
untuk tidak dilekati oleh noda. Karena itu tiba-tiba matanya
menjadi bercahaya kembali. Cahaya yang memancar
kemerah-merahan karena marah yang terpendam di dalam
dada. Kemudian katanya, "Terserahlah kepada Tuan.
Namun sayang bahwa aku tidak ingin berbuat seperti yang
Tuan maksudkan." Wajah Kebo Kanigara tampak benar-benar menjadi
merah. Dengan garangnya ia melangkah ke arah Paniling
yang duduk di hadapannya. Sambil menunjuk kepada Darba
yang berada di depan pintu, ia berteriak, "Hai kau tua
bangka, suruh adikmu melakukan perintahku."
Perlahan-lahan Paniling menggelengkan kepalanya.
Terdengar suaranya lirih namun terasa betapa getaran
kemarahan melontar hampir tak terkendali. "Tidak, Tuan.
Aku tidak dapat menyuruhnya berbuat demikian."
"Lakukan perintahku," ulang Kebo Kanigara. "Atau aku
harus datang kepadamu dengan membawa seorang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
perempuan seperti yang dilakukan Umbaran untuk
memaksamu?" Kata-kata Kanigara itu langsung menyentuh luka yang
paling dalam. Karena tajamnya lebih daripada segala
macam kata hinaan. Tiba-tiba tanpa disengaja Paniling
telah tegak berdiri. Matanya memancar merah serta
nafasnya berkejar-kejaran melalui lubang hidungnya yang
besar. Kemudian terdengarlah kata-katanya bergetar. Kata-
kata seorang jantan yang pernah bergelar Pasingsingan.
Yang pernah merantau dari satu tempat ke tempat lain
untuk mengamalkan kebajikan. Karena itulah maka kata
kata-kata itupun mempunyai pengaruh yang luar biasa atas
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar. "Angger berdua... aku
sudah mengatakan apa yang aku ketahui dan apa yang
iklaskan. Tetapi Angger berdua minta terlalu banyak dariku.
Karena itu biarlah aku berikan yang paling berharga yang
ada padaku, yaitu namaku Radite. Tetapi nama itu agak
berbeda dengan nama Paniling, seorang petani yang tidak
berharga. Tuan boleh berbuat sekehendak Tuan atas
seorang petani yang bernama Paniling dan Darba. Tetapi
tidak demikian atas nama Radite dan Anggara. Nah, Tuan...
apakah yang tuan-tuan kehendaki sekarang, ambillah.
Tetapi jangan mengharap Tuan dapat mengambilnya begitu
saja. Nama itu adalah sama berharganya dengan nyawa
kami." Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar
mendengar kata-kata itu. Apalagi ketika mereka melihat
sikap Paniling dan Darba yang tiba-tiba telah berubah.
Sikapnya kemudian benar-benar meyakinkan bahwa kedua
orang itu adalah orang-orang sakti yang jarang dicari
bandingannya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Namun Kebo Kanigara adalah seorang sakti pula.
Seorang yang masih cukup muda untuk berkembang terus,
namun yang telah melampaui kesaktian ayahnya sendiri, Ki
Ageng Pengging Sepuh. Sedangkan Mahesa Jenar telah
menemukan inti ilmu Perguruan Pengging. Apalagi mereka
telah melakukan semuanya itu dengan sengaja. Sengaja
memancing pertengkaran dan pertempuran dengan orang
yang bernama Radite dan Darba, murid terpercaya dari
Pasingsingan Sepuh. Demikianlah kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar
telah tegak pula. Dengan bentakan-bentakan marah, Kebo
Kanigara berkata, "Bagus... bagus.... Begitulah seharusnya
orang yang bernama Radite berkata. Aku, Tumenggung
Surajaya, kepercayaan Sultan Demak, serta Adi Rangga
Tohjaya pasti akan melakukan tugasnya dengan baik. Nah,
keluarlah. Biar aku renggut nama kebanggaanmu dengan
usaha seorang laki-laki."
Kebo Kanigara tidak menunggu Paniling menjawab kata-
katanya. Cepat ia mendahului melangkah keluar pintu,
diikuti oleh Mahesa Jenar. Sementara itu Paniling menjadi
ragu pula ketika dilihatnya kedua tamunya lenyap dibalik
pintu, terjun ke dalam gelapnya malam. Sekali lagi
tangannya menekan dadanya untuk mencoba mencari
kembali pikirannya yang bening. Namun akhirnya ketika
dilihatnya Darba telah meloncat pula keluar pintu, dengan
ragu iapun keluar. ----------o-dwkz-0-arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Di luar ia melihat Kanigara telah bersiap. Bahkan
demikian ia melangkah keluar, terdengarlah Kebo Kanigara
berteriak, "Hati-hatilah, hai orang yang bernama Radite.
Aku datang untuk membunuhmu."
Demikian suara itu lenyap ditelan angin malam,
tampaklah tubuh Kanigara dengan garangnya melayang
menyerang Ki Paniling. Paniling yang sebenarnya bernama Radite terkejut sekali
mendapat serangan yang demikian tiba-tiba, cepat dan luar
biasa kuatnya. Dengan demikian dapat mengukur betapa
sakti lawannya. Dalam pada itu timbul pula pertanyaan
dalam dirinya, tentang orang yang mengaku bernama
Tumenggung Surajaya. Tetapi ia sempat banyak berpikir. Lawannya bergerak
demikian cepat dan berbahaya. Karena itu iapun segera
harus melayaninya. Maka segera terjadilah perkelahian yang dahsyat.
Perkelahian antara dua orang sakti yang sukar dicari
bandingnya. Dalam pada itu segera terasa oleh Kebo
Kanigara bahwa Radite benar-benar seorang yang benar-
benar sakti. Seorang yang telah mencapai tingkatan yang
sangat tinggi dalam meresapi ilmunya.
Meskipun orangtua itu tidak tampak terlalu banyak
bergerak, namun setiap gerakannya mengandung unsur-
unsur yang sangat berbahaya.
Sebaliknya setelah mereka bertempur beberapa saat,
Radite pun menjadi heran atas lawannya yang masih muda
itu. Dalam usia yang baru menjelang pertengahan abad
telah memiliki ilmu yang sedemikian sempurna. Bahkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kadang-kadang sangat membingungkan. Apalagi ketika
Radite melihat beberapa unsur gerak yang dikenalnya
dengan baik. Unsur-unsur gerak dari sahabatnya almarhum
Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun dalam beberapa hal
telah banyak mengalami perubahan, namun unsur-unsur
pokok masih jelas sebagaimana pernah dilihatnya dahulu.
Demikianlah kemudian pertempuran itu semakin lama
menjadi semakin sengit. Dua orang yang sakti, yang
dengan ilmu-ilmunya sedang berjuang untuk menguasai
lawannya. Karena Kanigara masih belum berkenalan
sebelumnya maka ia dapat bertempur dengan baik tanpa
segan-segan. Dan karena itu pula, pertempuran itu pun
menjadi seru sekali. Darba dan Mahesa Jenar melihat pertempuran itu
dengan kagumnya. Bahkan Darba pun akhirnya melihat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pula persamaan antara orang yang menamakan dirinya
Tumenggung Surajaya itu dengan Ki Ageng Pengging
Sepuh. Karena itu ia bertanya dalam otaknya, siapakah
orang itu dan apakah hubungannya dengan Ki Ageng
Pengging Sepuh serta Mahesa Jenar. Tetapi disamping itu ia
menjadi sangat heran, bahwa Mahesa Jenar berkeras hati
menyangka bahwa keris-keris pusaka Demak berada di
tempat mereka. Bahkan akhirnya Darba menyangka bahwa
orang itu pasti mempunyai garis keturunan ilmu dengan
Mahesa Jenar, dan orang itu sengaja diajaknya untuk
mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Dalam pada itu Mahesa Jenar tidak mau untuk menjadi
penonton saja. Ia pun harus ikut dalam persoalan yang
diharapkan akan memecahkan beberapa persoalan yang
penting dalam hidupnya dan masa depannya. Karena itu
ketika Darba sedang asik memperhatikan pertempuran
antara Radite dan Kebo Kanigara, berteriaklah Mahesa
Jenar, "Paman Anggara... karena Paman Anggara ikut pula
dalam usaha menyembunyikan pusaka-pusaka Istana itu,
maka Paman pun harus menerima hukumannya."
Anggara yang sehari-hari menamakan dirinya Darba,
terkejut. Apakah yang dikehendaki Mahesa Jenar..." Dan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika ia melihat Mahesa Jenar bersiap untuk menyerangnya, ia menjadi bertambah heran. Beberapa
tahun yang lalu ia pernah bertemu dengan orang itu.
Ilmunya tak lebih dari tingkatan seorang murid dibandingkan dengan ilmunya. Meskipun Anggara tak
pernah merendahkan orang lain, namun terhadap Mahesa
Jenar tidaklah sewajarnya kalau ia terpaksa bertempur.
Karena itu Darba pun menjawab, "Angger Mahesa Jenar...
biarlah pamanmu Radite mempertahankan nama baiknya
sekaligus namaku. Sebaiknya kita tidak usah ikut serta
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dalam perselisihan ini. Meskipun barangkali kau juga
mengemban tugas sebagai seorang prajurit seperti
Tumenggung Surajaya itu pula, Mahesa Jenar... namun
biarlah pertempuran mereka itu yang menentukan nasibmu.
Kalau Kakang Radite binasa karena benar-benar berdosa
terhadap negara, biarlah nanti aku kau binasakan pula.
Tetapi kalau ternyata Kakang Radite tidak bersalah, aku
harap kau menerima pula kenyataan itu. Dan untuk
seterusnya kau tidak lagi menganggap kami menyembunyikan pusaka-pusaka itu."
Mendengar jawaban Anggara, Mahesa Jenar menjadi
ragu. tetapi ketika ia melihat pertempuran antara kebo
Kanigara dan Radite menjadi bertambah seru dan
berbahaya, ia tidak mau tinggal diam. Dengan ikut sertanya
dalam pertempuran itu ia mengharap segala sesuatunya
akan menjadi jelas pula. Apakah ia telah menempuh jalan
yang benar atau tidak. Karena itu sekali lagi ia berteriak,
"Paman Anggara terserahlah kepadamu. tetapi Rangga
Tohjaya wajib melakukan kewajibannya."
Selesai dengan kata-katanya, segera Mahesa Jenar
meloncat dan langsung menyerang dada Anggara dengan
kecepatan luar biasa. Melihat serangan Mahesa Jenar,
Anggara mau tidak mau secara naluriah terpaksa meloncat
mengelak. Sebenarnya Anggara masih ingin memperingatkan Mahesa Jenar. Tetapi demikian Mahesa
Jenar gagal dengan serangan pertamanya, langsung ia
berputar dan meluncurkan kakinya ke arah lambung
Anggara dengan dahsyatnya. Serangan kedua ini benar-
benar tidak disangka-sangka. Sedang Mahesa pun bergerak
dengan kecepatan penuh. Sebenarnya maksudnya hanya
untuk meyakinkan Anggara bahwa dalam tingkatannya
yang sekarang, ia telah cukup dewasa untuk bertempur
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melawannya. Tetapi tanpa disengaja, serangannya itu
benar-benar telah membahayakan lawannya, sehingga ia
menjadi terkejut sendiri ketika melihat Anggara benar-benar
tidak sempat menghindari.
Sementara itu, anggara yang tidak menduga sebelumnya, bahwa Mahesa Jenar mampu bergerak secepat
itu, benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk
menghindar. Karena itu, segera ia menekuk kakinya, sedikit
merendahkan tubuhnya, sambil melindungi lambungnya
dengan sikunya untuk menangkis serangan Mahesa Jenar.
Dengan demikian maka terjadilah benturan yang sengit
antara kaki Mahesa Jenar dengan siku Anggara. Akibatnya
mengejutkan. Bahkan tidak diduga-duga oleh Mahesa Jenar
dan juga oleh Anggara. Dalam benturan yang terjadi,
Anggara dan Mahesa Jenar masing-masing terdorong surut.
Bagi Mahesa Jenar yang sejak semula mengagumi kesaktian
kedua tokoh murid Pasingsingan itu, menjadi heran bahwa
kekuatan yang ada pada dirinya, setelah ia bekerja keras
untuk menemukan inti sari dari ilmunya, dapat mengimbangi kekuatan Anggara. Sedangkan Anggara
menjadi heran dan bertanya-tanya di dalam hati, siapakah
yang telah mengubah Mahesa Jenar dalam waktu-waktu
terakhir ini menjadi seorang yang demikian kuatnya. Tetapi
karena itulah maka akhirnya Anggara menjadi sadar, bahwa
Mahesa Jenar benar-benar telah memiliki bekal untuk
melakukan tugasnya. Dengan demikian. Anggara kemudian
benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan
yang dapat terjadi. Sesaat kemudian kembali Mahesa Jenar menyerang
dengan cepatnya. Tetapi kali ini Anggara telah dapat
mengetahui, bahwa Mahesa Jenar sekarang bukanlah
Mahesa Jenar beberapa tahun lalu, ketika bersama-sama
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan Mantingan, Wiraraga, Gajah Alit dan Paningron
bertempur melawan Sima Rodra tua dari Lodaya dan
Pasingsingan. Ketika itu Mahesa Jenar berlima tidak lebih
daripada lima ekor tikus melawan dua ekor kucing yang
ganas. Tetapi tikus itu kini telah berubah tidak saja sebagai
seekor kucing yang ganas, namun benar-benar telah
berubah menjadi seekor harimau yang garang.
Karena itulah maka Anggara pun menyambut serangan
Mahesa Jenar dengan penuh kewaspadaan. Kewaspadaan
seorang sakti yang mempunyai perbendaharaan pengalaman seluas lautan.
Demikianlah di ujung padukuhan kecil yang sepi itu
terjadilah dua lingkaran pertempuran yang sengit. Dua
pasang orang-orang sakti. Namun karena kepercayaan
mereka pada diri sendiri, serta sifat-sifat kejantanan yang
mereka miliki, maka pertempuran itu tidak banyak
menimbulkan keributan. Masing-masing bertempur dengan
berdiam diri. Hidup atau mati mereka sepenuhnya mereka
percayakan kepada sumber hidup mereka.
Tetapi pertempuran itu sendiri merupakan pertempuran
yang dahsyat tiada taranya. Kebo Kanigara memiliki
ketangguhan seperti seekor banteng yang kuat tiada
taranya. Sepasang kakinya yang kokoh telah membawakan
tubuhnya pada keadaan-keadaan yang menguntungkan.
Kadang-kadang kedua kaki itu tampak seolah-olah
tertancap dalam-dalam membenam di tanah tempatnya
berpijak, seperti batu karang yang kokoh kuat berdiri
dengan tegaknya. Namun kemudian kakinya itu pula dapat
berloncatan dengan lincah dan kecepatan yang mengagumkan. Sebaliknya, Radite pun mempunyai keistimewaan yang sukar ada bandingnya. Meskipun
kadang-kadang seakan-akan ia hanya bergeser setapak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
demi setapak, namun kadang-kadang seakan-akan kakinya
seakan-akan tidak berpijak di atas tanah. Dengan tangan
yang mengembang ia berloncatan kesana kemari, seperti
seekor Garuda yang dengan garangnya bertempur mati-
matian, mempertahankan serangannya.
Di tempat lain, tampak Mahesa Jenar dengan gigihnya
bertempur melawan Anggara, murid Pasingsingan yang
termuda. Namun murid termuda ini pun memiliki ilmu yang
luar biasa tingginya. Sebagai seekor naga yang bersayap, ia
menyerang Mahesa Jenar dari segala jurusan. Menyambar-
nyambar dengan dahsyatnya. Tangan dan kakinya seolah-
olah telah berubah menjadi sayap menyebar angin maut.
Namun Mahesa Jenar adalah seorang yang luar biasa pula.
Dengan mesu diri serta meraga-sukma tanpa seorang
penuntun langsung ia berhasil menemukan intisari dari ilmu
perguruan Pengging. Ditambah dengan kecerdasan otaknya
yang cemerlang seperti bintang di langit, serta usahanya
untuk menyesuaikan diri dengan alam, telah menjadikan
ilmu dari perguruan Pengging itu suatu ilmu yang tiada
bandingnya. Dengan demikian, maka iapun telah berusaha
secermat-cermatnya, menyesuaikan diri untuk melawan
Anggara yang bertempur sebagai seekor naga bersayap.
Demikianlah Mahesa Jenar berusaha pula untuk dapat
mengimbangi lawannya. Sebagai seekor burung rajawali ia
berjuang dengan dahsyatnya. Tangannya yang hanya
sepasang itu seolah-olah berubah menjadi puluhan bahkan
ratusan pasang sayap yang mengibas bersama-sama,
menimbulkan desing angin yang menderu-deru, disamping
kaki-kakinya yang menyambar-nyambar ke segenap bagian
tubuh lawannya. Ternyata, ketika pertempuran itu telah berlangsung
beberapa lama, kekuatan mereka tampak berimbang. Kebo
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kanigara benar-benar dapat mengimbangi kesaktian murid
Pasingsingan yang pernah mendapat kepercayaan untuk
mempergunakan topeng yang terkenal sebagai wajah
Pasingsingan, pernah memiliki pula jubah abu-abu serta
akik kelabang sayuta beserta sebuah pisau belati panjang
kuning gemerlapan, yang bernama Kyai Suluh. Radite
bukan seorang yang sombong, yang menganggap
kesaktiannya tanpa tanding. Namun terhadap orang ini,
yang menamakan diri Tumenggung Surajaya, ia menjadi
heran. Ilmu orang itu pasti bersumber pada ilmu
seketurunan dengan sahabatnya Pengging Sepuh. Namun ia
menjadi heran, bahwa orang ini benar-benar dapat
menguasainya dengan baik, bahkan memiliki perkembangan-perkembangan
yang mengagumkan. Menurut pengertiannya, Ki Ageng Pengging Sepuh hanya
mempunyai seorang murid, yang bernama Mahesa Jenar,
dan bergelar Rangga Tohjaya. Dalam pada itu, keheranannya, dalam pengamatannya yang hanya sepintas,
tidak segera dapat menguasai Mahesa Jenar yang
menyerangnya. Bahkan dalam beberapa lama, pertempuran
mereka masih tetap dalam keadaan seimbang.
Tetapi justru karena itulah, maka akhirnya mereka benar-
benar telah mengerahkan segenap tenaga serta kemampuan mereka. Pertempuran itu benar-benar telah
menjadi semakin seru dan dahsyat. Bahkan yang tampak
kemudian hanyalah bayangan-bayangan hitam di dalam
gelapnya malam, yang berloncat-loncatan, berputar-putar
semakin lama semakin cepat. Yang akhirnya menjadi
seolah-olah dua pasang Wisnu dalam bentuknya yang hitam
cemani, menari-nari dengan lincahnya, mengungkapkan
sebuah tarian maut yang mengerikan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sementara itu, malam menjadi semakin dalam. Orang-
orang di pedukuhan kecil yang sepi itu, yang mula-mula
mengintip dari balik pintu-pintu mereka, ketika mereka tidak
mendengar apapun lagi, maka mereka sama sekali tidak
merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang dua
orang berkuda yang menyusur jalan-jalan sempit di
padepokan mereka. Mereka hanya mengira, bahwa kedua
orang itu adalah perantau-perantau yang memasuki mulut
lorong dari satu arah dan keluar dari mulut lorong di arah
lain. Mereka berhenti di ujung padepokan mereka, dan
kemudian bertempur mati-matian dengan orang cikal bakal
pedukuhan itu. Kalau saja mereka mengetahui hal itu,
apapun yang terjadi, pastilah mereka akan membantunya.
Namun kalau mereka sempat menyaksikan pertempuran itu,


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka akan menjadi keheran-heranan, bahwa orang-orang
yang setiap hari mereka panggil Ki Paniling dan Ki Darba,
yang hanya mereka kenal sebagai seorang petani yang
rajin, mampu bertempur sedemikian dahsyatnya, bahkan
pasti diluar kemampuan pengamatan mereka, atau malahan
mereka akan jatuh pingsan karenanya.
Demikianlah pertempuran itu masih belum tampak akan
berakhir. Masing-masing sudah berjuang dengan sepenuh
tenaga, namun seolah-olah mereka bertempur melawan
hantu yang tak dapat disentuhnya.
Dalam saat-saat yang demikian itulah, terlintas di dalam
otak masing-masing, suatu cara penyelesaian yang lebih
cepat. Sudah pasti mereka mengerti bahwa setiap orang
sakti memiliki ilmu-ilmu simpanan yang tak akan
dipergunakan dalam sembarang waktu. Bagi Kebo Kanigara
dan Mahesa Jenar, dalam hal yang demikian tidaklah
sewajarnya mempergunakan ilmu-ilmu pamungkas mereka.
Sebaliknya, Radite dan Anggara pun tak terlintas di dalam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
otak mereka untuk mengakhiri pertempuran dengan ilmu
terakhir. Karena itu, mereka telah mempersiapkan diri mereka
untuk mengadakan pertempuran yang lama. Sebab mereka
tidak dapat mengandalkan kekuatan maupun kecepatan
bergerak serta unsur-unsur gerak yang dapat membingungkan lawan-lawan mereka, sebab ternyata apa
yang mereka lakukan selalu dapat diimbangi oleh setiap
pihak. Meskipun demikian pertempuran itu masih tetap
berlangsung dengan sengitnya. Sebab bagaimanapun juga
mereka tetap berusaha untuk setidak-tidaknya tidak
dikalahkan oleh lawan masing-masing.
Tetapi justru dalam hal yang demikian itulah kadang-
kadang orang terpaksa untuk berpikir lebih banyak. Dan
dalam keadaan yang terpaksa demikian itulah kadang-
kadang muncul kesanggupan-kesanggupan yang tidak
pernah dirasakan ada di dalam dirinya. Kesanggupan yang
malahan dapat mengejutkan diri sendiri.
Demikian pula apa yang terjadi dalam kancah
pertarungan itu. Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang
masih memiliki masa depan yang lebih panjang dari lawan-
lawan mereka, dapat memanfaatkan pertempuran itu
dengan baiknya. Dalam masa-masa yang masih memungkinkan perkembangan yang menanjak terus,
mereka selalu berusaha untuk melengkapi ilmunya dengan
apapun yang mereka ketemukan dalam perjalanan hidup
mereka. Namun dengan satu bekal yang tak akan tanggal
dari hati mereka, bahwa ilmu-ilmu mereka harus mereka
amalkan untuk kebajikan. Kebajikan bagi tanah tumpah
darah, kebajikan bagi rakyat yang hidup di atasnya, serta
kebajikan bagi umat manusia.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika kemudian terdengar kokok ayam jantan bersahut-
sahutan menjelang lingsir malam pertempuran itu masih
berlangsung terus. Namun demikian tak seorangpun
penduduk padukuhan itu yang mendengar keributan itu.
Pertempuran yang sengit itu berlangsung dengan tertibnya.
Sama sekali tidak nampak kekasaran-kekasaran seperti
yang pernah terjadi, ketika Mahesa Jenar dalam
tingkatannya pada waktu itu bertempur melawan Jaka
Soka, Lawa Ijo atau Sima Rodra. Tetapi dalam keadaan
yang terasa tertib itu melontarlah pukulan-pukulan yang
dahsyat dan penuh mengandung bahaya.
Dalam keadaan yang demikian, ketika keempat orang
sakti itu sedang terbenam dalam arus pertempuran yang
merampas segenap perhatian mereka, tiba-tiba terasalah
udara yang aneh mengalir mengusap tubuh mereka. Udara
yang seakan-akan mengandung pengaruh yang tajam, yang
langsung menyusup ke dalam tulang sungsum, sehingga
dengan demikian tenaga mereka seolah-olah ikut serta
terhembus oleh aliran udara aneh itu. Demikianlah
perlahan-lahan tenaga mereka menjadi semakin lemah.
Bahkan kemudian seperti lenyap sama sekali. Dengan
penuh keheranan, mereka masih tetap berusaha untuk
mempertahankan diri mereka sekuat tenaga. Sebab mula-
mula mereka mengira bahwa kesaktian lawan-lawan
mereka telah mempengaruh tenaga mereka. Tetapi ketika
serangan-serangan lawanpun menjadi jauh susut, akhirnya
mereka mengetahui, bahwa sesuatu telah terjadi. Sesuatu
diluar lingkaran pertempuran itu.
Mereka berempat adalah orang-orang yang cukup sakti.
Yang tanggap akan kejadian-kejadian di dalam maupun di
luar diri mereka sendiri. Karena itu, ketika mereka merasa
bahwa suatu kekuatan diluar kemampuan mereka, telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mempengaruhi diri mereka, segera mereka menghentikan
pertempuran itu. Dengan sekuat tenaga jasmaniah dan
batiniah, mereka berusaha untuk menyelamatkan sisa-sisa
tenaga mereka. Tetapi pengaruh dari udara yang aneh itu demikian
besarnya, sehingga tiba-tiba saja, mereka tidak saja merasa
tenaga mereka susut, namun mereka juga merasa, bahwa
mereka telah dipengaruhi oleh kantuk yang luar biasa.
Radite adalah yang tertua diantara mereka berempat.
Ialah orang yang memiliki pengalaman yang terbanyak.
Pengalaman yang kadang-kadang hampir tak masuk akal
sekalipun pernah dijumpainya. Karena itulah maka segera ia
mengenal bentuk aliran udara yang aneh itu. Karena itu
terdengar ia berdesis perlahan, "Alangkah kuatnya sirep
ini." Anggara dan Kebo Kanigara pun mengenal pula, bahwa
seseorang dapat mempergunakan pengaruh kekuatan batin
atas orang lain. Bahkan apabila ditekuni, dapatlah orang itu
melahirkan suatu ilmu sirep semacam ini.
Sedang Mahesa Jenar sendiri pernah mengalami betapa
pengaruh sirep itu dapat melenyapkan kesadaran seseorang, sehingga orang yang berada di dalam
lingkungan itu dapat seolah-olah tidur nyenyak sekali.
Ketika itu ia sedang bertugas di Istana, beberapa tahun
yang lampau. Ia pernah mengalami pengaruh sirep yang
dilontarkan oleh Lawa Ijo. Kecuali itu diatas Gunung Tidar,
ketika ia berusaha untuk menemukan keris-keris Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, ia pernah terkena arus
sirep itu pula. Sirep yang disebarkan oleh Gajah Sora,
namun yang sebenarnya telah dapat dilenyapkan oleh Sima
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Rodra tua, kalau saja pada saat itu seorang yang bernama
Titis Anganten dari ujung timur tidak membantunya.
Sekarang, kembali ia mengalami pengaruh sirep.
Seandainya kekuatan sirep ini sama dengan kekuatan sirep
yang pernah mempengaruhinya, maka dalam tingkatannya
yang sekarang ini, kekuatan sirep itu tidak akan banyak
pengaruhnya. Tetapi ternyata kekuatan sirep yang sekarang
jauh lebih besar dari yang pernah mempengaruhinya
dahulu. Bahkan dalam tingkatannya yang sekarang hampir-
hampir ia tidak mampu untuk mempertahankan kesadarannya. Apalagi tenaganya.
Dalam keadaan yang demikian, akhirnya mereka
berempat hanya dapat duduk bersila sambil mengheningkan
diri, berusaha untuk tetap dalam keadaan sadar.
Malam yang kelam masih saja terserak di permukaan
bumi. Di daun-daun pepohonan bergayutan titik-titik yang
setetes demi setetes berjatuhan mengusik rumput-rumput
kering yang bertebaran disana-sini dengan liarnya. Suasana
kemudian menjadi hening sepi. Lamat-lamat di kejauhan
terdengar suara-suara jangkrik seperti teriakan bayi yang
kehausan susu ibunya. Dalam pada itu, ketika mereka sedang tekun berjuang
untuk tidak kehilangan kesadaran, tiba-tiba melayanglah
sebuah bayangan yang hitam, yang kemudian dengan cepat
sekali, seolah-olah tidak menyentuh tanah, telah berdiri di
hadapan mereka. Dan bersamaan dengan itu, terasa bahwa
pengaruh sirep itupun menjadi semakin kendor, bahkan
kemudian dengan cepatnya lenyap dari diri mereka
berempat. Meskipun mereka terkejut pula atas kehadiran seseorang
tanpa diduganya lebih dahulu, namun mereka sempat pula
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menarik nafas lega atas kebebasan mereka dari ikatan
udara yang aneh itu. Ketika mereka telah sempat memperhatikan bayangan
yang berdiri di hadapan mereka, tahulah mereka bahwa
orang itu adalah orang yang mengenakan jubah yang hanya
tampak kehitam-hitaman di dalam gelap malam, namun
dalam pada itu Mahesa Jenar segera mengenal, bahwa
orang itu adalah orang yang selalu dikenalnya mengenakan
jubah abu-abu. Karena itu segera terpancarlah cahaya yang cerah dari
wajahnya. Demikian pula Kebo Kanigara, sehingga tanpa
disengajanya ia bergeser sejengkal maju.
----------o-dwkz-0-arema-o----------
Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 15 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Adapun Radite dan Anggara, ketika melihat orang yang
berjubah itu tegak di hadapan mereka seperti patung,
terlonjaklah dada mereka. Tiba-tiba saja tubuh mereka
menjadi bergetar dan nafas mereka menjadi semakin cepat
beredar. Karena pada tubuh yang tegak mematung di
hadapannya itu, seolah-olah terpancarlah suatu kenangan
atas masa silam. Suatu kenangan dari masa yang gemilang
dari seorang yang menamakan dirinya Pasingsingan. Ya,
pada saat Radite berhak mengenakan jubah yang berwarna
abu-abu, seorang yang berhak mengenakan topeng yang
meskipun kasar dan jelek namun dari padanya terpancar
suatu harapan bagi setiap orang yang menyaksikannya.
Karena dibalik wajah yang kasar dan jelek itu tersembunyi
suatu pengabdian yang luhur tanpa pamrih. Tetapi
keluhuran serta kemurnian pengabdian itu kemudian
menjadi lebur. Dan setelah itu nama Pasingsingan menjadi
hancur. Nama Pasingsingan dengan cepatnya meluncur
hanyut ke dalam lumpur, karena pokal seorang saudara
seperguruannya yang bernama Umbaran.
Tiba-tiba kembali Radite terlempar pada suatu anggapan,
bahwa dirinyalah sumber dari segala bencana dan noda
yang kemudian melekat dan mengotori jubah abu-abu,
topeng yang kasar dan jelek namun mamancarkan harapan
damai serta nama yang menggetarkan, "Pasingsingan."
Dan sekarang di hadapannya berdiri seseorang yang
mengingatkannya kepada dirinya beberapa tahun yang
silam. Tetapi yang pasti baginya orang yang berjubah itu
bukanlah Umbaran. Sebab bagaimanapun saktinya Pasingsingan, yang berasal dari orang yang bernama
Umbaran itu, namun tidaklah mungkin ia mampu
menciptakan suasana sedemikian seramnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, tiba-Tiba Radite teringat akan sumber
dari nama Umbaran. Sumber dari mahluk-mahluk yang
kemudian menyebut dirinya Pasingsingan. Teringatlah ia
pada saat ia menerima warisan jubah abu-abu serta segala
kelengkapannya yang demikian saja berada di dalam ruang
tidurnya. Teringatlah ia ketika orang yang mewariskan
benda-benda itu kemudian lenyap tak berbekas. Yang
kemudian datang kembali ketika nama Pasingsingan itu
telah ternoda dan berkata kepadanya "Bahwa tak ada
gunanya untuk mencoba memperbaiki nama yang telah
terbenam didalam arus ketamakan, kedengkian dan
kejahatan." Radite adalah seorang tua yang mempunyai mata hati
yang tajam. Demikian pula adiknya, Anggara. Karena itu
tiba-tiba tergoreslah suatu tanggapan batin yang tak dapat
diketahui dari mana datangnya yang mengatakan padanya,
bahwa kemungkinan satu-satunya orang yang berdiri di
hadapannya itu adalah gurunya Pasingsingan Sepuh.
Karena itu, seperti orang berjanji, Radite dan Anggara tiba-
tiba bersama-sama berjongkok dan membungkukkan kepala
mereka dengan takzimnya. Orang yang berjubah abu-abu itu mundur beberapa
langkah ke belakang. Wajahnya yang kosong dan pucat,
sama sekali tak menampakkan sesuatu kesan. Apalagi
didalam gelap malam, wajah itu seolah-olah sama sekali
tidak bergerak. Dalam pada itu tiba-tiba terdengarlah suara Radite serak,
"Guru... ampunkanlah kami, atas segala ketikdaksopanan
kami. Sebab kami sama sekali tidak menduga bahwa kami
masih berhak untuk memandang wajah guru karena dosa-


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dosa kami." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Orang yang berjubah abu-abu itu terdengar menggeram.
Lalu terdengarlah suaranya seolah-olah bergulung-gulung di
dalam perutnya, "Radite dan Anggara, demikianlah, sejak
aku kau kecewakan, aku memang sudah berhasrat untuk
tidak menjumpaimu lagi. Sebab setiap aku memandang
wajahmu, tergoreslah kembali luka di hati ini. Bagaimanapun aku berusaha untuk bersikap sebagai
seorang yang berjiwa besar, namun ternyata aku bukanlah
orang yang berjiwa demikian. Meskipun aku tidak
membebankan semua kesalahan kepadamu, namun dengan
menghindari pertemuan itu, aku berhasrat untuk melupakan
segala-galanya yang pernah terjadi. Melupakan gelar
Pasingsingan yang sudah sejak berpuluh tahun sebelumnya
dipupuk dan disiangi, untuk kemudian dapat berkembang
dengan harumnya. Tetapi, kemudian karena sifat-sifat yang
sebenarnya alami dari setiap manusia, maka semuanya itu
menjadi hancur. Sifat-sifat alami yang tanpa kesadaran
serta pengarahan yang benar, maka kaburlah batas antara
manusia yang berakal budi dengan mahluk-mahluk lainnya,
yang hanya mengenal sifat-sifat alami melulu sebagai
naluri." Radite dan Anggara menundukkan wajahnya dalam-
dalam. Mereka sama sekali tidak berani menatap wajah
orang yang berdiri di hadapannya. Mereka merasakan
benar-benar betapa kata-kata orang itu langsung menembus jantung mereka. Dan karena kata-kata itu pula
kemudian Radite dan Anggara menjadi yakin seyakin-
yakinnya bahwa tidak mungkin ada orang lain yang dapat
berbuat, bersikap dan berkata kepadanya sedemikian itu
selain Pasingsingan Sepuh.
Karena itu maka sekali lagi Radite menundukkan
kepalanya sambil berkata parau, "Guru, telah sekian lama
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
aku menanti, bahwa pada suatu saat aku akan dapat
membersihkan dosa-dosaku dengan menjalani hukuman
yang dapat guru jatuhkan kepadaku. Dan sekarang aku
mendapat kesempatan untuk bertemu. Karena itulah aku
mohon, guru sudi berbuat sesuatu atas diriku sebagai suatu
pernyataan penyesalanku yang tiada terhingga."
"Radite..." jawab orang yang berjubah itu, "Pengakuan
atas kesalahan yang tiada dibuat-buat, yang diucapkan
dengan jujur dan ikhlas adalah suatu hukuman yang
seberat-beratnya. Sebab, hukuman bukanlah sekadar
menyakiti, menyiksa atau penderitaan-penderitaan lain.
Tetapi tujuan dari pada hukuman yang sebenarnya adalah
mencegah terulangnya kesalahan itu. Kalau seseorang,
dengan ikhlas dan jujur telah mengakui kesalahannya dan
berusaha dengan sepenuh hati untuk tidak berbuat
kesalahan-kesalahan lagi, maka menurut pendapatku tidak
adalah hukuman lain yang wajib ditimpakan atasnya."
Sekali lagi kata-kata orang berjubah itu meresap ke
dalam setiap relung dada Radite maupun Anggara, seperti
meresapnya rasa sejuk dari percikan air yang telah wayu
sewindu. Meskipun demikian, karena beban perasaan yang
terasa sangat berat menghimpit hati, Radite mencoba sekali
lagi mendesak, "Guru, bukankah hal yang demikian setidak-
tidaknya akan dapat menjadi suri tauladan, bahwa Radite
mengalami hukuman atas kesalahannya" Sebab apabila ada
kesalahan yang lepas dari hukuman, maka ada kemungkinan orang lain akan melakukan hal yang sama
dengan harapan untuk membebaskan diri pula dari setiap
hukuman." Terdengarlah orang yang berjubah itu tertawa lirih.
Jawabnya, "Radite, aku tahu bahwa kau ingin mengurangi
tanggungan perasaanmu. Tetapi ketahuilah, bahwa dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
penyesalan serta keikhlasanmu mengakui kesalahanmu itu
adalah hukuman yang sudah cukup berat. Sedang apabila
ada orang lain yang dengan sengaja berbuat kesalahan,
kepadanyalah hukuman harus dibebankan, bahkan dua kali
lipat dari yang seharusnya."
Radite menjadi terdiam. Untuk beberapa saat suasana
kembali dicekam oleh kesepian. Dalam pada itu timbul
pulalah berbagai pertanyaan di dalam dada Radite dan
Anggara. Kalau gurunya pada saat yang tiba-tiba tanpa
diduga-duganya itu hadir di hadapannya, apakah maksudnya" Ia tidak ingin memberi hukuman kepadanya,
sebaliknya gurunya itu telah bertekad untuk tidak
menjumpainya lagi. Tetapi sekarang orang itu ada disini.
Baru kemudian teringatlah oleh Radite bahwa disampingnya
ada orang lain dari perguruan lain. Yaitu Mahesa Jenar dan
orang yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya.
Apakah kedatangan gurunya itu ada sangkut-pautnya
dengan mereka itu". Karena itu kemudian bertanyalah ia, "Guru, kalau
demikian apakah aku berhak mempersilahkan guru untuk
singgah ke dalam pondokku?"
Terdengar orang berjubah itu tertawa pendek. Lalu
sahutnya, "Radite, kau agaknya terlalu cemas melihat
bayanganmu sendiri. Bagiku, dosamu tidak sebesar yang
kau duga sendiri. Sudah aku katakan bahwa kalau aku tidak
ingin menjumpaimu lagi itu karena kekerdilan jiwaku
sendiri. Jiwa orang tua yang merindukan masa lampau itu
tetap menjadi kebanggaannya. Bahkan kalau mungkin,
menjadi kebanggaan setiap orang"
Tetapi, Radite dan Anggara. Ternyata apa yang
cemerlang di masa lampau tidaklah selalu yang cemerlang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
masa sekarang dan masa yang akan datang. Dan ini
akhirnya harus aku yakini meskipun tidak semua yang
berasal dari masa lampau itu harus dilupakan dan
disisihkan. Namun satu hal yang bagiku tetap harus tak
berubah dari masa ke masa. Dari masa lampau, masa kini
dan masa yang akan datang. Bahwa apa yang kita lakukan
seharusnya kita abdikan dengan penuh kasih dan cinta
kepada manusia dan kemanusiaan. Bukan sebaliknya
manusia dan kemanusiaan kita abdikan pada diri kita, pada
kepentingan kita pribadi. Demikianlah manusia akan
mencerminkan kasih dan cinta Tuhan."
Tidak hanya Radite dan Anggara yang meresapi kata-
kata orang berjubah itu. Juga Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara mendengarkan kata demi kata dengan seksama.
Sehingga untuk sesaat mereka lupa pada kepentingan
mereka sendiri. Sementara itu terdengar orang berjubah itu meneruskan,
"Dan karena itulah agaknya aku datang kemari. Kalau pada
saat-saat lampau tak sepantasnya orang-orang muda
menyeret orang-orang tua ke dalam satu persoalan, namun
sekarang ternyata aku terseret kemari karena pokal anak-
anak muda." Radite dan Anggara terkejut mendengar kata-kata itu.
tanpa disengaja mereka menoleh kepada Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara yang masih duduk disamping mereka.
Namun ketika didengarnya kata-kata orang berjubah itu,
mereka pun mengangkat wajah mereka.
Dan orang berjubah itu pun meneruskan, "Aku terpaksa
datang kemari karena aku tidak mau
Radite dan Anggara menjadi semakin tercengang.
Sedangkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menundukkan wajah. Dalam pada itu terdengar kelanjutan
kata-kata orang berjubah itu, "Nah Radite... katakanlah
kepadaku sekarang, apakah kau menyimpan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten...?"
Bukan main terkejutnya. Tidak hanya Radite dan
Anggara. Tetapi juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Dengan tergagap terdengar Radite menjawab, "Guru, aku
sama sekali tidak menyimpan kedua pusaka itu. seandainya
demikian, buat apakah kiranya kedua pusaka itu bagiku?"
Orang berjubah itu menoleh kepada Mahesa Jenar dan
bertanya kepadanya, "Aku dengar, kau berkeras menuduh
bahwa kedua pusaka itu berada di tempat ini."
Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa ia akan
mendapat pertanyaan itu. Karena itu dengan ragu-ragu ia
menjawab, "Ya Tuan... memang aku menyangka bahwa
kedua keris itu berada di sini."
"Nah..." jawab orang berjubah itu, "Radite dan Anggara
telah menjawab bahwa kedua pusaka itu tidak berada di
tempat ini. Kau harus percaya, sebab sepengetahuanku,
Radite dan Anggara tidak pernah berbohong."
Kembali Mahesa Jenar kebingungan. Sesekali ia menoleh
kepada Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara agaknya
sedang berpikir. Karena itu akhirnya Mahesa Jenar terpaksa
menjawab, "Tuan... memang sebenarnya aku tidak ingin
menemukan keris itu di sini."
"Lalu apakah maksudmu sebenarnya...?" desak orang
berjubah itu. Sekali lagi Mahesa Jenar ragu. Sedangkan Radite dan
Anggara pun menjadi bingung. Ia tidak mengerti arah
jawaban Mahesa Jenar. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar sendiri, yang mula-mula sudah merencanakan segala sesuatu dengan lengkap dan urut,
namun di hadapan orang berjubah abu-abu itu semuanya
menjadi terpecah-pecah kembali. Seolah-olah ia kehilangan
ingatan atas segala rencana yang telah disusunnya bersama
Kebo Kanigara. Meskipun demikian satu hal yang dapat
dijadikan pegangan. Orang berjubah abu-abu itu kini sudah
datang. Karena itu ia tidak perlu berbelit-belit lagi. Dan ketika ia
melihat Kebo Kanigara mengangguk kecil, berkatalah
Mahesa Jenar, "Tuan yang berjubah abu-abu, kalau aku
datang kemari dan memaksakan suatu perselisihan kepada
Paman Radite dan Paman Anggara, sebenarnya adalah
karena Tuan. Sebab sejak semula aku pun sudah percaya
bahwa kedua keris itu sama sekali tidak berada di tempat
ini, tetapi berada pada seseorang yang sakti, yang
mengenakan jubah abu-abu mirip dengan jubah yang
pernah dan selalu dipakai oleh Pasingsingan."
Radite dan Anggara tersentak bersama-sama mendengar
kata-kata itu. Mula-mula jantungnya berdebar-debar, tetapi
kemudian jantung itu menjadi seolah-oleh berhenti bekerja.
Keringat dingin mulai membasahi punggungnya. Bagaimanapun mereka menyadari bahwa sementara ini
mereka telah dipergunakan oleh Mahesa Jenar untuk
memancing kehadiran gurunya.
Tetapi sebelum ia sempat berkata sesuatu, terdengarlah
Mahesa Jenar berkata kepada mereka, "Paman berdua...
ampunkan kami. Kami sama sekali tidak bermaksud
menyakiti hati Paman berdua. Apalagi sampai ada
pertempuran yang sebenarnya antara hidup dan mati. Apa
yang kami lakukan benar-benar suatu permainan yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berbahaya. Namun penuh dengan tanggungjawab atas
kedua pusaka yang hilang itu."
Perasaan aneh menjalar dalam dada Radite dan Anggara.
Bahkan kemudian mereka tidak tahu, bagaimana seharusnya mereka menanggapi kejadian itu. Dalam
keadaan yang demikian terdengarlah orang berjubah itu
tertawa lirih. Katanya, "Aku kagum pada kecerdasanmu
Mahesa Jenar. Rupanya kau pernah mendengar bahwa
Radite dan Anggara adalah murid Pasingsingan. Kau pernah
melihat bahwa orang yang membawa kedua keris itu pun
berjubah abu-abu seperti Pasingsingan. Nah, kau yakin
bahwa apabila kau bertempur melawan Radite dan
Anggara, pastilah orang berjubah abu-abu itu datang
meleraimu. tetapi bagaimana kalau aku berpendirian,
biarlah kau berdua dibinasakan oleh Radite dan Anggara?"


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hampir saja Mahesa Jenar menjawab bahwa ia berusaha
untuk tidak terbinasakan, karena keseimbangan yang telah
dicapainya setelah ia mesu raga.
Sedangkan Kanigara adalah seorang yang cukup sakti
untuk mengimbangi Radite. Tetapi niat itu diurungkan,
karena dengan demikian, meskipun ia tidak bermaksud apa-
apa, agaknya akan nampak bahwa ia menyombongkan
dirinya. Dan karena beberapa saat Mahesa Jenar tidak
menjawab, orang berjubah abu-abu itu meneruskan,
seolah-olah mengerti perasaan Mahesa Jenar. "Atau kalau
kalian merasa bahwa kesaktian kalian berimbang,
bagaimanakah kalau seandainya aku tidak mengetahui apa
yang terjadi di sini?"
Karena perkataan itu, seolah-olah Mahesa Jenar
mendapat tuntunan untuk menjawabnya, "Tuan... aku yakin
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bahwa Tuan akan mengetahui apa yang akan terjadi di sini.
Sebab kehadiran Tuan pada pertempuran di Gedangan,
serta usaha Tuan untuk menyempurnakan tata nadi Arya
Salaka menunjukkkan kepadaku bahwa Tuan selalu hadir di
dalam saat-saat yang gawat. Sedangkan aku yakin pula
bahwa Tuan tidak akan membiarkan salah satu pihak dari
kita yang sedang bertempur menjadi binasa. Sebab Paman
Radite dan Paman Anggara adalah murid-murid Tuan yang
terpercaya. Meskipun akhirnya Tuan merasa perlu untuk
menjauhinya, namun Tuan tidak akan tega sampai sejauh-
jauhnya. Sebaliknya, apakah Tuan dapat melihat kami, aku
dan Kakang Kebo Kanigara, binasa...?"
"Kenapa tidak...?" terdengar orang berjubah itu
menyahut. "Kalau demikian..." tiba-tiba Kebo Kanigara menyela,
"Tuan pasti tidak akan melerai kami. Membiarkan kami
bertempur terus. Dan apabila kami binasa, selesailah
persoalan Tuan, tetapi kalau kami menguasai keadaan,
Tuan akan datang membantu Paman Radite dan Paman
Anggara, tetapi ternyata yang terjadi tidaklah demikian."
"Kau yakin bahwa aku tidak akan berbuat demikian?"
jawab orang berjubah abu-abu itu.
"Bukankah kau masih berada di tempat ini, dan aku
masih belum berbuat sesuatu" Nah, agaknya kau telah
mempercepat tindakan-tindakan yang akan aku lakukan.
Ketahuilah bahwa kau benar. Aku datang untuk membantu
Radite dan Anggara membinasakan kalian berdua."
Radite dan Anggara menjadi semakin bingung. Persoalan
yang agaknya menjadi semakin berbelit-belit. Ia menjadi
bertambah terkejut lagi ketika tiba-tiba Kebo Kanigara
tertawa. Tiba-tiba saja ia menemukan sifat-sifat yang sudah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sangat dikenalnya pada orang berjubah abu-abu itu. Karena
itu tiba-tiba pula ia berkata hampir berteriak, "Nah, Tuan
yang berjubah abu-abu... lakukanlah apa yang Tuan
kehendaki. Namun aku ingin meninggalkan pesan buat
anakku Arya Salaka di Padepokan Karang Tumaritis."
Orang berjubah itu terdiam. Bahkan tampak beberapa
jengkal ia surut ke belakang. Namun kemudian ia berkata,
"Aku tidak kenal Arya Salaka dari Karang Tumaritis. Kalau
yang kau maksud itu adalah anak yang pernah aku tolong,
memperbaiki tata nadinya, maka aku tidak ada hubungan
sama sekali dengan anak itu."
Sekarang Mahesa Jenar sudah tidak dapat menahan
hatinya lagi. Karena itu maka ia ikut berteriak, "Nah, Tuan...
aku yakin bahwa Tuan tidak berani mengganggu kami.
Sebab di belakang kami berdiri seorang yang maha sakti
pula seperti Tuan, yang bermukim di gunung Karang
Tumaritis, bernama Panembahan Ismaya. Seorang Panembahan yang sangat gemar mengumpulkan dan
menyimpan hampir segala jenis topeng-topeng serta
pahatan kayu." Sekali lagi Radite dan Anggara terkejut. Bahkan darahnya
seolah-olah mengalir semakin cepat, ketika ia mendengar
Mahesa Jenar berkata, bahwa seolah-olah menantang
gurunya. Di samping itu ia menjadi heran pula bahwa ada
orang lain yang disebut maha sakti, apalagi sampai gurunya
tidak berani bertindak karena orang itu. Dan setelah
perasaan mereka terguncang-guncang untuk kesekian
kalinya, kembali Radite dan Anggara menjadi tercengang
ketika tiba-tiba gurunya tertawa. Tertawa hampir terkekeh-
kekeh. Dalam keadaan yang demikian semakin jelaslah,
betapa tua usia orang yang berjubah abu-abu itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Katanya kemudian, "Mahesa Jenar, adakah orang yang
kau sebutkan maha sakti itu gurumu?"
"Bukan," jawab Mahesa Jenar, "Tetapi Panembahan
Ismaya adalah seorang Panembahan yang tak ada duanya
di kolong langit ini. Aku sangat tertarik pada topeng-
topengnya yang beraneka ragam. Ada yang kasar dan jelek,
namun penuh menyimpan watak yang sejuk damai. Tetapi
ada pula yang tampak cerdik, namun jauh dari sifat-sifat
kesombongan. Dan salah satu yang sangat menarik bagiku
adalah yang Tuan pakai sekarang ini."
Orang berjubah abu-abu itu terdengar menggeram.
Namun sama sekali tidak menakutkan. Bahkan kemudian
katanya kepada Radite dan Anggara, "Anak-anakku,
agaknya kalian menjadi pening mendengar kata-kata
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tetapi biarkanlah mereka
berkicau sesukanya."
Radite dan Anggara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun mereka sebenarnya ingin penjelasan. Disamping itu
tiba-tiba mereka mendengar nama Kebo Kanigara disebut-
sebut. Baik oleh Mahesa Jenar maupun oleh gurunya.
Karena itu terdengarlah Radite berkata, "Benar Bapa, aku
benar-benar menjadi pening. Namun sudilah kiranya Bapa
memberi penjelasan."
Orang berjubah abu-abu itu tertawa. Katanya, "Radite,
sebaiknya aku kau persilahkan masuk ke dalam pondokmu
dahulu bersama kedua tamu-tamumu yang aneh ini."
Radite kemudian merasa diingatkan atas kewajibannya
sebagai tuan rumah. Karena itu dipersilahkannya gurunya
beserta kedua tamu yang membingungkan itu masuk ke
dalam rumahnya. Setelah mereka duduk melingkari lampu
minyak jarak, diatas sebuah bale-bale yang besar, mulailah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang berjubah itu berkata, "Radite dan Anggara... kau
kenal aku karena kau adalah murid-muridku yang seolah-
olah telah merupakan bagian dari hidupnya sendiri. Tetapi
kau melihat wajahku selalu tertutup oleh sebuah topeng
yang kasar dan jelek, yang kemudian dipakai oleh Umbaran.
Dan karena itulah agaknya kau belum pernah melihat
wajahku yang sebenarnya. Meskipun demikian, dengan
wajah yang lainpun kau segera dapat mengenal aku pula.
Demikian pula agaknya Kebo Kanigara yang meskipun aku
mengenakan pakaian yang belum pernah dilihatnya, namun
karena pergaulan kami yang sudah lama, maka iapun
segera dapat mengenal aku pula. Sedangkan Mahesa Jenar,
akan segera mengenal aku karena perhitungan-perhitungan
otaknya yang cemerlang. Sehingga karena pokalnya kau
benar dapat dipancingnya malam ini. Dan kalian adalah
umpan-umpannya." Radite dan Anggara memang sudah merasakan hal itu.
Namun peristiwa seterusnya adalah terlalu aneh baginya.
Apalagi orang yang disebut Kebo Kanigara, yang mula-mula
menamakan dirinya Tumenggung Surajaya itupun telah
banyak bergaul dengan gurunya. Apakah ia pun berguru
pada orang yang dahulu bernama Pasingsingan itu" Tetapi
kalau demikian, maka unsur-unsur pokok ilmu mereka pasti
bersamaan. Sedangkan orang itu justru bersumber pada
cabang perguruan Pengging.
Dalam pada itu, orang yang berjubah abu-abu itu
agaknya mengerti akan isi hati Radite dan Anggara, karena
itu ia meneruskan, "Satu-satunya cara bagi Mahesa Jenar
untuk dapat bercakap-cakap dengan orang yang berjubah
abu-abu ini, yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri
telah mengambil Nagasasra dan Sabuk Inten dari
Banyubiru, adalah dengan cara ini. Bertempur dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
murid-muridnya. Dengan demikian orang yang berjubah
abu-abu ini pasti tidak hanya sekadar memperlihatkan diri
untuk melerai atau memihak kepadanya saja, sebab lawan-
lawannya adalah murid orang berjubah abu-abu itu sendiri."
Tiba-tiba Radite menggeser duduknya ke dekat Mahesa
Jenar dan menepuk bahunya keras-keras sambil berkata,
"O, ngger, ngger. Pandai benar kau buat hati orang tua
kalang kabut. Hampir saja aku kehilangan pengamatan diri.
Sebab persoalan yang Angger berdua paksakan kepada
kami adalah langsung menyinggung luka hati yang paling
parah. Itulah sebabnya aku tak dapat menahan diri lagi."
"Maafkan kami Paman," sela Kebo Kanigara, "Sebab kami
tahu betapa sabar dan alimnya Paman berdua, sehingga
mula-mula kami menemui kesulitan untuk membuat paman
berdua marah. Maka terpaksalah kami agak melampaui
batas-batas kesopanan. Tetapi kami harap Paman percaya,
bahwa bukanlah demikian maksud kami yang sebenarnya."
Radite mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
bertanyalah ia, "Tetapi kenapa Angger menyinggung-
nyinggung Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?"
"Sebab memang kedua keris itulah yang kami cari,"
jawab Kebo Kanigara. "Dan terhadap orang yang kami
harapkan hadir kemudian, kami menaruhkan harapan
sepenuhnya atas kedua pusaka itu. Karena orang yang
berjubah abu-abu itupun tahu pasti bahwa kedua keris itu
tidak berada di sini."
Radite menarik nafas dalam-dalam, sedang Anggara pun
kemudian tertawa lirih, katanya, "Alangkah bingungnya aku
kemudian. Baru sekarang aku menjadi jelas. Alangkah
bodohnya orang-orang tua ini, yang hanya pantas untuk
menjadi penunggu burung di sawah-sawah."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tetapi..." tiba-tiba Radite menyela, "Siapakah sebenarnya Angger ini, yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya, namun yang kemudian disebut oleh
Bapa Guru dengan nama Kebo Kanigara...?"
Orang berjubah abu-abu itu tersenyum. Katanya, "Itulah
kesenangannya. Membingungkan orang lain dengan nama-
nama yang dibuatnya. Ia pernah menamakan diri Putu
Karang Jati waktu ia menemui Pandan Alas."
"Pandan Alas...?" ulang Radite dan Anggara hampir
berbareng. "Ki A geng Pandan Alas dari Klurak...?"
"Ya," jawab orang yang berjubah abu-abu itu. "Dan
sekarang ia menamakan dirinya Tumenggung Surajaya.
Dan orang yang suka berganti nama itu tidak lain adalah
seorang yang menganut ilmu perguruan Pengging.
Sebagaimana kau lihat, Mahesa Jenar pun memiliki nama
yang aneh pula. Di Gedangan mula-mula ia dikenal
bernama Manahan. Barangkali memang demikianlah
kebiasaan anak-anak Ki Ageng Pengging Sepuh."
"Aku sudah menduga," sela Radite, "Bahwa Angger ini
pasti seorang murid yang sempurna dari perguruan
Pengging." "Tidak saja murid," sahut orang berjubah abu-abu itu,
"Tetapi ia adalah anak Handayaningrat itu, dan bahkan adik
seperguruannya." Radite dan Anggara bersama-sama mengerutkan
keningnya. Tahulah ia sekarang kenapa ia memiliki
kesaktian yang mengagumkan. Yang dapat mengimbangi
ilmu yang dimiliki oleh Radite sendiri.
Tetapi dalam pada itu terdengarlah Mahesa Jenar
berkata, "Tuan benar. Memang anak-anak perguruan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pengging suka berganti nama. Tetapi agaknya Tuan lupa
bahwa seorang yang bernama Radite pernah bernama
Pasingsingan dan pernah bernama Paniling. Seorang yang
bernama Anggara pun memiliki nama lain, yaitu Darba.
Tetapi lebih daripada itu, seorang lain yang pernah
bernama pula Pasingsingan, ternyata memiliki nama yang
lain, Panembahan Ismaya."
Bagaimanapun juga, orang berjubah abu-abu itu tergeser
beberapa jengkal. Namun wajahnya yang pucat sama sekali
tidak menunjukkan sesuatu perubahan. Sinar pelita yang
menggapai-gapai dengan gelisahnya, membuat bayangan-
bayangan yang bergerak-gerak di dinding.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, Paniling dan
Darba masih juga terkejut. Apakah sangkut-paut antara
Pasingsingan dengan Panembahan Ismaya..."
Tiba-Tiba tampaklah orang berjubah abu-abu itu melepas
ikat kepalanya. Dan karena itu tampaklah di bawah
rambutnya yang telah memutih, suatu garis yang
memisahkan antara kulit kepalanya dengan kulit wajahnya.
"Sekarang aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi lagi,"
bisiknya. "Sebab Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah
mengetahui semuanya dengan jelas. Dan bagiku, sekarang
sudah tidak ada gunanya lagi memiliki bermacam-macam
nama dan kedudukan."
Bersamaan dengan itu, terkelupaslah kulit yang tipis dari
wajah orang berjubah abu-abu itu. Kulit kayu yang
dipahatnya halus-halus menyerupai benar wajah seseorang.
Terhadap topeng itu tak seorangpun yang terkejut. Apalagi


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahesa Jenar, yang jauh sebelumnya telah mengenal
bahwa orang berjubah abu-abu itu tidak memiliki wajah
sewajarnya, melainkan mengenakan topeng. Dan topeng itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
jauh berbeda dengan topeng yang pernah dipakainya pada
saat ia bernama Pasingsingan.
Dari balik topeng itu muncullah wajah orang berjubah
abu-abu itu. Wajah seorang tua yang lunak damai.
Meskipun berkerut-kerut namun kesegaran masih memancar dari wajahanya. Wajah yang sudah dikenal oleh
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Memang orang itulah Panembahan Ismaya.
Radite dan Anggara tiba-tiba merasa terharu. Terharu
karena mereka berkesempatan mengenal wajah gurunya.
Wajah yang selama ini menjadi teka-teki. Bahkan mereka
menduga bahwa seumur hidup mereka tak akan sempat
memandang wajah itu. Namun suatu hal yang mengejutkan
mereka berdua, bahwa orang berjubah abu-abu itu tidaklah
setua yang mereka duga. Umurnya tidak banyak terpaut
banyak dengan umur mereka sendiri.
Meskipun demikian Radite dan Anggara membungkukkan
kepalanya sambil berkata dengan hormatnya, "Bapa Guru...
aku merasa mendapatkan suatu kurnia juga tiada taranya,
bahwa Bapa Guru telah berkenan memberi kesempatan
kepada kami untuk lebih mengenal Bapa."
Orang yang berjubah abu-abu, yang pernah bernama
Pasingsingan dan kemudian menjauhkan diri dari kesibukan
dunia ramai di Bukit Karang Tumaritis dan bernama
Panembahan Ismaya itu tersenyum. "Semua permulaan
akan ada akhirnya. Hanya yang tidak bermula sajalah yang
tidak akan berakhir. Yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Di
hadapan kalian berempat aku merasa seolah-olah aku telah
mencapai segala cita-cita serta idamanku, sejak aku
menamakan diriku Pasingsingan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika orang yang berjubah abu-abu dan menamakan
dirinya Panembahan Ismaya dalam bentuknya yang lain itu
berhenti sejenak, suasana menjadi hening. Tak seorang pun
yang berkata-kata. Mereka sedang terbenam dalam arus
perasaan masing-masing. Mereka mencoba menghubung-
hubungkan apa yang pernah terjadi atas orang berjubah
abu-abu itu sehingga ia terpaksa mempergunakan topeng
hampir seumur hidupnya. Sedangkan sebagai Panembahan
Ismaya, ia menyepi di sebuah bukit kecil dan menjauhkan
diri dari pergaulan. Tetapi tak seorangpun yang berani bertanya. Mereka
takut kalau ada hal-hal yang dapat menyinggung
perasaannya. Namun tanpa mereka duga, orang itu berkata
dengan sendirinya, "Mungkin apa yang terjadi atas diriku
agak mengherankan. Bertopeng seumur hidup dan menyepi
hampir seumur hidup pula."
Keterangan itu akan menarik bagi Radite dan Anggara.
Bahkan juga bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Tetapi tiba-tiba orang berjubah abu-abu itu membelokkan percakapan kepada Mahesa Jenar. Katanya,
"Mahesa Jenar... sekarang kau sudah bertemu dengan
orang yang berjubah abu-abu, yang mengambil kedua keris
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru. Dan
karena pengotak-atikmu bersama Kebo Kanigara, menghubung-hubungkan semua yang pernah kalian alami,
akhirnya kalian mengambil kesimpulan bahwa orang
berjubah abu-abu itulah Panembahan Ismaya. Lalu apakah
keperluanmu dengan aku?"
Mahesa Jenar menelan ludahnya beberapa kali. Mula-
mula ia agak bimbang untuk langsung menyampaikan
keperluannya. Tetapi ia yakin bahwa sebenarnya orang tua
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu pun sudah mengerti pula. Karena itu ia mencoba
mengelak, "Tuan... apakah aku masih perlu mengatakan
keperluanku" Aku kira Tuan telah mengetahui selengkapnya." "Mahesa Jenar..." jawab orang berjubah itu, "Lebih baik
kau tidak mengira-ira. Katakanlah, dan aku akan menjadi
jelas, tanpa kira-kira lagi."
Sekali lagi Mahesa Jenar menelan ludahnya. Lalu dengan
suara yang parau ia menjawab, "Tuan... sebenarnya aku
hanya ingin mengetahui di manakah keris-keris Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada."
"Hanya itu...?" sahut orang berjubah itu.
"Dan apabila Tuan berkenan, aku ingin menerima kedua
pusaka itu, kembali untuk menyelesaikan beberapa masalah
antara aku dan kakang Gajah Sora di satu pihak, dan
Pemerintahan demak di lain pihak.
"Hanya itu..." Hanya supaya kau dapat kembali ke Istana
dan Gajah Sora dapat dibebaskan?"
"Tidak," jawab Mahesa Jenar tergesa-gesa. "Bukan hanya
itu. Tetapi aku tidak mau menyembunyikan pamrih itu
supaya aku tidak menjadi penipu atas diri sendiri. Sebab
apabila aku hanya mengatakan bahwa aku ingin
mengembalikan kedua pusaka itu demi kelangsungan
pemerintahan, maka aku telah menyembunyikan beberapa
bagian darinya, yaitu pamrih pribadi."
Orang berjubah abu-abu itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu jawabnya, "Kau memang jujur dan berterus
terang. Tetapi kau terlalu tergesa-gesa. Sudah beberapa
kali aku isyaratkan kepadamu, bahwa sekarang ini sedang
ada pertentangan yang tajam terjadi di Demak. Antara
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
keturunan Sultan Trenggana dan keturunan Sekar Seda
Lepen. Karena itu kau masih harus menilai siapakah
diantara mereka yang patut mendapat sipat kandel itu.
Kalau kau muncul sekarang dengan pusaka-pusaka itu,
maka akibatnya akan menjadi lebih parah lagi. Mereka
menjadi semakin bernafsu dalam pertentangan- pertentangan yang akan timbul. Kedua pusaka itu akan
merupakan penyebab pula, karena mereka merasa perlu
untuk memilikinya. Dengan demikian kau membantu
menimbulkan persoalan-persoalan baru yang akan menambah ketegangan. Bahkan akan dapat menimbulkan
pertumpahan darah diantara para perwira, bintara dan
tamtama. Kalau demikian yang terjadi, maka tinggal
menunggu besok atau lusa, Demak pasti akan binasa.
Sebab yang akan berhadapan sebagai lawan dalam
pertentangan itu adalah kekuatan-kekuatan Demak sendiri.
Baik yang berpihak kepada keturunan Sekar Seda Lepen
maupun yang berpihak kepada Sultan Trenggana. Setiap
jiwa yang melayang karenanya adalah kerugian yang harus
ditanggung oleh Demak sendiri. Karena itu janganlah
suasana menjadi bertambah tegang. Mudah-mudahan
mereka dapat memecahkan persoalan itu dengan baik.
Dengan musyawarah diantara kekuatan-kekuatan saka guru
Demak sendiri." Mendengar keterangan itu, Mahesa Jenar menundukkan
kepala dalam-dalam. Demikian pula Kebo Kanigara.
Sedangkan Radite dan Anggara mendengarkan dengan
penuh perhatian. "Dengan demikian..." orang berjubah abu-abu itu
meneruskan, "Setiap orang Demak akan dapat mencurahkan tenaganya untuk kesejahteraan negeri.
Membangun tempat-tempat ibadah dan pendidikan, surau-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
surau dan langgar. Disamping itu setiap prajurit Demak
akan berkesempatan untuk menumpas habis golongan-
golongan yang tidak senang melihat Demak menjadi bulat.
Maka setelah itu akan terjalinlah kesatuan hati rakyat.
Ketenteraman hidup dengan berbakti kepada Tuhan Yang
Maha Esa tanpa mendapat gangguan dalam pangkuan
tanah tumpah darah yang gemah ripah lohjinawi, tata titi
tentrem kertaraharja, tanpa bibit-bibit pertentangan yang
ditaburkan di hari ini, yang akan tumbuh dan menjadi lebat
di hari kemudian." Ketika orang berjubah abu-abu itu berhenti, terdengarlah
kokok ayam bersahutan menyambut datangnya fajar. Fajar
yang tidak akan dapat ditunda oleh siapapun. Ia akan
datang apabila saatnya datang. Biarpun ayam jantan tidak
berkokok. Demikianlah kekuasaan Tuhan yang melampaui
segenap kekuasaan yang ada.
Mahesa Jenar sadar akan ketergesaannya. Ia agaknya
kurang dapat menanggapi setiap ajaran isyarat yang
diberikan, baik oleh seorang yang berjubah abu-abu yang
dijumpainya dahulu di jalannya yang hampir sesat dan
kehilangan akal maupun oleh orang itu juga dalam
pakaiannya sebagai seorang Panembahan.
Namun demikian masih saja ada beberapa hal yang
belum dapat dipahami, apakah dengan diketemukannya
keris itu justru tidak dapat menghentikan persengketaan
antara dua golongan besar itu. Tetapi disamping itu timbul
pula pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut di dalam dadanya.
Juga di dada Kebo Kanigara dan kedua murid Pasingsingan
itu. Demikian besar minat orang yang berjubah abu-abu itu
terhadap persatuan dan kesatuan Demak, sehingga
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mustahil kalau ia tidak memiliki sangkut-paut yang sangat
rapat dengan kedua golongan itu.
Meskipun demikian, meski berbagai pertanyaan bergelut
di dalam dada setiap orang yang duduk di dalam lingkaran
kecil itu, namun tak seorang pun yang menyatakannya.
Agaknya orang berjubah abu-abu itu sudah merasa perlu
untuk menyatakan dirinya tanpa satu pertanyaan pun.
Dalam sesaat orang tua berjubah itu berdiam diri,
memandangi setiap wajah dari keempat orang yang dengan
penuh minat mendengarkan ceritanya. Dan ketika
sambaran matanya hinggap pada wajah Mahesa Jenar,
tertangkaplah banyak sekali persoalan yang ingin dikatakannya. Namun tak sepatah katapun yang terloncat
dari mulutnya. Orang tua yang berjubah abu-abu itu agaknya dapat
merasakan persoalan-persoalan itu. Karena itu ia meneruskan, "Mahesa Jenar... seandainya salah seorang
dari mereka memiliki kedua keris itu sekalipun, tidaklah
dapat dianggap sebagai suatu jaminan bahwa persengketaan mereka akan mereda. Sebab dengan
memiliki kedua keris itu tidaklah berarti bahwa ia mutlak
dapat memegang pemerintahan di Demak, selama jiwa
orang itu masih belum menjadi luluh dengan jiwa kedua
keris itu. Apabila seseorang telah benar-benar dapat
menguasai, serta jiwa kedua keris itu luluh dalam dirinya,
barulah ia mendapat sipat kandel yang sebenarnya. Selama
masih ada jarak antara seseorang dengan keris itu, maka
selama itu keris-keris yang keramat itu sama sekali tak akan
berguna. Karena itulah maka meskipun orang yang
berjubah abu-abu sebagaimana kau lihat, berhasil
menyimpan kedua keris itu, seandainya, ia ingin memegang
tampuk pemerintahan Demak, hal itu tidak akan dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dicapainya. Sebab jiwa keris itu tidak dapat luluh ke dalam
dirinya. Juga orang-orang dari golongan hitam itupun akan
tidak mempunyai sesuatu arti, apabila mereka memiliki
kedua pusaka Demak itu." Kembali orang tua itu berhenti.
Di luar, cahaya matahari pagi telah memercik hinggap di
dedaunan. Burung-burung dengan riangnya berkicau
bersahutan. Demikianlah Padepokan yang sepi itu seolah-
olah telah terbangun dari tidurnya. Namun halaman-


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

halaman rumah penduduk padepokan itu masih tampak
sepi. Satu-dua orang yang telah muncul dari ambang
pintunya, dengan tergesa-gesa pergi ke sungai, sedang
yang lain dengan sibuknya menyalakan api untuk merebus
air. Di sana-sini terdengar jeritan anak-anak kecil yang
memanggil ibunya, ketika mereka terbangun dari tidurnya
yang nyenyak, seolah-olah mereka kecewa kehilangan
mimpi yang segar. Dalam kecerahan pagi itu tampaklah orang-orang yang
duduk di atas sebuah bale-bale besar di rumah Paniling
masih belum berkisar dari tempatnya. Mereka masih
dengan asiknya mendengarkan kisah dari orang tua yang
berjubah abu-abu itu. Sementara itu, tiba-tiba orang yang berjubah abu-abu itu
berkata. "Radite, biarlah aku melepaskan jubah abu-abuku,
supaya orang-orang yang lewat di muka rumahmu ini tidak
menjadi keheran-heranan melihat pakaianku yang tidak
biasa di pedukuhanmu ini."
Dengan tergoboh-gopoh Radite mempersilahkan orang
tua itu masuk ke dalam sebuah ruangan untuk berganti
pakaian. Untunglah bahwa hal itu segera dilakukan, sebab
ketika matahari telah semakin naik di atas punggung-
punggung perbukitan, tampaklah jalan-jalan pedukuhan itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mulai sibuk. Beberapa orang telah mulai turun ke sawah
dengan binatang-binatang kesayangan mereka, menjelang
saat tanam padi. Demikianlah, ketika beberapa orang lewat di muka
pondok di ujung pedukuhan itu, mereka melihat dua ekor
kuda tertambat di halaman. Karena itu teringatlah mereka,
bahwa kemarin mereka melihat dari celah-celah pintu
mereka, dua orang berkuda lewat di jalan pedukuhan itu.
Karena itu sesuai dengan watak-watak mereka yang
sederhana dan penuh rasa kekeluargaan, mereka pun
merasa berkepentingan pula dengan penunggang- penunggang kuda itu. Meskipun demikian mereka terheran-
heran pula ketika mereka melihat bekas-bekas tanaman
yang terinjak-injak di halaman.
Ketika beberapa orang menjenguk ke dalam rumah itu,
dilihatnya beberapa orang duduk-duduk di atas bale-bale
besar bersama-sama dengan Ki Paniling dan Ki Darba.
Karena itu dengan ramahnya mereka menyambut kehadiran
mereka. Dengan tergopoh-gopoh pula Paniling dan Darba
mempersilakan mereka masuk dan memperkenalkan
mereka yang masih dapat mengenal Mahesa Jenar. Karena
itu terdengar suara orang itu. "He, kakang Paniling
bukankah ini kemanakanmu yang beberapa tahun yang lalu
pernah datang kemari?"
Ki Paniling tersenyum lebar, jawabnya, "Otakmu agaknya
baik sekali. Ya, ialah kemenakan yang beberapa tahun yang
lalu pernah datang kemari."
Kemudian sambil tertawa-tertawa bangga atas pujian itu,
orang itu bertanya seterusnya, "Dan siapakah yang dua
lagi?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ia juga kemanakanku," sahut Paniling, "Dan yang satu
lagi..." Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Bagaimana ia mesti
menyebut gurunya. Untunglah bahwa gurunya segera
menyahut, "Aku adalah kakaknya. Ayah anak-anak ini."
"O..." terdengar beberapa orang bergumam. Lalu berkata
salah seorang diantaranya, "Selamatlah Kakang berkunjung
ke pedukunan ini. Mudah-mudahan Kakang krasan pula,
dan sudi singgah ke rumah tetangga-tetangga di sebelah."
"Pasti, pasti," jawab guru Radite itu. "Aku akan tinggal
beberapa hari di sini. Dan aku akan singgah di rumah kalian
apabila waktuku memungkinkan."
Demikianlah terjadi percakapan yang akrab dan semanak
di antara mereka. percakapan yang sama sekali tidak
dibumbui oleh maksud-maksud lain daripada apa yang
mereka percakapkan. Penduduk pedukuhan itu sama sekali
tidak mengenal cara-cara yang dilapisi oleh sifat berpura-
pura. Dada mereka tak ubahnya seperti sebuah kitab lontar
yang terbuka. Setiap orang yang berkepentingan akan
langsung dapat membacanya kata demi kata. Demikianlah
huruf itu membentuk kata-kata serta kalimat-kalimat.
Demikianlah maksud serta isi dari kitab itu sebenarnya.
Tetapi mereka tidak lama berada di tempat itu. Karena
sawah serta ladang mereka selalu menunggu. Menunggu
uluran tangan para petani yang dengan setia dan tekun
menggarapnya. Tanpa banyak persoalan. Mereka bekerja
untuk memetik hasilnya. Karena itu mereka sadar bahwa
apabila mereka tidak bekerja, maka mereka pun akan
kelaparan. Dengan demikian mereka tidak pernah berpikir
lain daripada kesejahteraan pedukuhan mereka, tergantung
atas kesanggupan serta kemauan mereka bekerja.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dan seandainya ada orang lain, yang berbelas kasihan
memberi kepada pedukuhan itu kesejahteraan yang
melimpang-limpah, maka pastilah itu bukan hal yang
sewajarnya. Pastilah dengan demikian mereka mempunyai
pamrih. Setidak-tidaknya orang-orang dari pedukuhan itu
akan terikat oleh suatu perasaan berhutang budi. Dan
dengan demikian hilanglah sebagian, meskipun hanya
sebagian kecil, kemerdekaan serta kedaulatan mereka atas
diri sendiri. Karena itulah maka mereka bekerja keras dengan penuh
kegembiraan dan terima kasih. Terima kasih kepada Tuhan
yang telah melimpahkan tenaga dan tanah garapan bagi
mereka. Namun ketika mereka meninggalkan halaman rumah itu,
ada juga yang sempat bertanya, "Bapak Paniling,
kenapakah tanaman-tanaman Bapak rusak bekas terinjak-
injak?" Paniling agak binggung untuk menjawab pertanyaan itu,
tetapi akhirnya diketemukan juga jawabnya. "Akh, semalam
kuda tamu-tamuku itu lepas dari ikatannya. Terpaksalah
kami beramai-ramai menangkapnya."
Mereka percaya saja pada keterangan itu. Bahkan
beberapa orang menjadi geli karenanya. Tetapi apabila
mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi, pastilah mereka
mempunyai tanggapan yang akan sangat jauh berbeda.
Demikianlah ketika para petani meninggalkan rumah Ki
Paniling, kembali perhatian mereka tertuju kepada orang
tua yang sekarang sudah tidak lagi mengenakan jubah abu-
abu. Tetapi orang tua itu kini mengenakan baju lurik merah
coklat serta ikat kepala yang kehijau-hijauan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah mengenal wajah
orang itu dengan baiknya sebagai seorang Panembahan.
Tetapi kali ini, dalam pakaian yang lain, tidak seperti yang
biasa dipakainya, yaitu jubah putih, tampaklah bahwa
wajah itu menjadi semakin segar. Cahaya matanya tidak
saja tampak dalam dan damai, seperti biasa, yang seolah-
olah menjangkau jauh ke alam yang tidak kasat mata.
Tetapi mata itu kini memancar dengan terangnya menyorot
ke depan, ke masa yang akan datang. Ke masa yang tidak
terlalu jauh. Maka seolah-olah terjadilah suatu paduan
antara masa depan yang dekat dengan masa yang tak
teraba oleh pancaindera. Ketika suara sendau dan tawa para petani sudah hilang
di kejauhan, orang tua itu agaknya merasa perlu untuk
melanjutkan keterangannya. Karena itu ia mulai berkata,
"Anak-anakku sekalian. Demikianlah tuah dari kedua keris
yang sedang kau cari itu. Ia baru bermanfaat bagi
pemiliknya apabila jiwa keris itu sudah luluh dalam dirinya.
Pertandanya bahwa keris itu sudah luluh ke dalam diri
pemiliknya, adalah bahwa keris itu kehilangan kecemerlangannya. Ia kuningan. Tetapi kedua keris itu
menjadi tak ubahnya seperti besi biasa saja. Sama
warnanya dengan sebuah pisau dapur saja. Sedang apabila
jiwa kedua keris itu luluh pada diri seseorang, maka orang
itu akan memiliki sifat-sifat khusus yang meresap ke dalam
dirinya. Kyai Nagasasra mempunyai watak disuyuti oleh
kawula. Dicintai dan disegani oleh rakyat. Dengan demikian
ia akania akan memiliki unsur sifat-sifat kepemimpinan.
Sifat-sifat yang demikian memang seharusnya dimiliki oleh
seorang pemimpin. Pancaran dari cinta kasih Tuhan,
perikemanusiaan, memberi perlindungan kepada orang
yang kehujanan dan kepanasan, memberi makanan kepada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada orang yang
telanjang, memberi tuntunan bagi yang kehilangan jalan.
Sedang Kyai Sabuk Inten mempunyai watak seperti
watak lautan. Luas tanpa tepi. Menampung segala arus
sungai dari manapun datangnya. Menerima dengan tadah
banjir yang bagaimanapun besarnya. Namun gelombangnya
dapat menunjukkan kedahsyatan dan kesediaan bergerak
dan bahkan selalu bergerak. Watak yang demikianlah yang
memungkinkan seseorang dapat menemukan yang belum
pernah diketemukan. Dan karenanyalah kesejahteraan
rakyatnya dapat dijamin. Kesejahteraan lahir dan batin.
Memberi kesempatan kepada mereka untuk mengalirkan
airnya yang ditampung dapat beriak dengan manisnya,
namun dapat bergulung-gulung dengan dahsyatnya, seolah-
olah lautan itu sedang mendidih."
Orang tua itu berhenti sejenak. Ia memandang
berkeliling lalu melemparkan sorot matanya yang damai itu
lewat lubang pintu dan jatuh di atas tanah berdebu di
halaman. Sekali-kali ia menarik nafasnya dalam-dalam.
Seolah-olah ada sesuatu yang kurang pada tempatnya.
Kemudian terdengarlah ia melanjutkan, "Sayang, bahwa
kedua keris itu masih harus dilengkapi dengan yang satu
lagi. Kyai Sengkelat. Keris itupun sekarang sudah lenyap
dari perbendaharaan istana."
"Kyai Sengkelat?" sela Mahesa Jenar hampir berteriak.
Orang tua itu mengangguk, jawabnya, "Ya, Kyai
Sengkelat. Tidak saja keris-keris itu tidak mau luluh pada
diri seseorang, tetapi keris-keris itu ternyata lolos dari
tempat penyimpanannya. Padahal Sengkelat pun tidak
kalah pentingnya. Ia memiliki watak yang lengkap dari
watak seorang prajurit. Prajurit yang setia dan patuh akan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kewajibannya, yang bekerja dan berjuang bukan untuk
kepentingan diri. Tetapi seorang prajurit akan berjuang
untuk tanah tumpah darah serta rakyatnya, dengan penuh
kejujuran dan tanpa pamrih, dalam lingkaran kebaktian dan
cinta kasih Yang Maha Agung."
Suasana kemudian menjadi hening sepi. Masing-masing
tenggelam dalam angan-angan sendiri. Mahesa Jenar yang
dengan bekerja keras dan mati-matian berusaha untuk
menemukan Kyai Sabuk Inten, bahkan usahanya itu belum
dapat dikatakan berhasil sepenuhnya, tiba-tiba ia mendengar bahwa Kyai Sengkelat pun sedang lolos dari
simpanannya. Sedang Kebo Kanigara, sebagai seorang
keturunan Brawijaya, menjadi sedih pula. Bagaimanapun
juga, ia masih selalu merindukan kebesaran yang pernah
dicapai oleh Majapahit dahulu.
Tiba-tiba terdengarlah Kebo Kanigara bertanya, "Tuan,
tidak adakah hulubalang Istana yang dapat berusaha untuk
menemukan keris-keris itu?"
Orang tua itu kemundian tersenyum. Jawabnya, "Tidak
kurang banyaknya para prajurit Demak yang disebar ke
segenap penjuru. Bukankah Mahesa Jenar pernah juga
bertemu dengan Gajah Alit dan Panigron" Juga bukankah
Arya Palindih pernah diutus ke Banyubiru untuk
menemukan keris-keris itu" Bahkan sampai sekarangpun
masih banyak dari para perwira Demak yang berkeliaran
mencari pusaka-pusaka itu."
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun jelas terbayang di dalam kepalanya, bahwa para
prajurit Demak itu akan menjadi selalu kecewa, karena
mereka tidak akan dapat menemukan Kyai Nagasasra dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kyai Sabuk Inten. Agaknya Kyai Sengkelat pun masih terlalu
sulit untuk diketahui tempatnya.
Sebenarnya tidaklah terlalu banyak orang yang
mengetahui hilangnya pusaka-pusaka itu. Sebab memang
hal itu dirahasiakan. Yang boleh mengetahui hanyalah
orang-orang terbatas saja. Tetapi ada di antara mereka
yang bertugas, terutama dari pejabat-pejabat rahasia
Demak sendiri, mempunyai pamrih atas pusaka-pusaka itu.
Sebab mereka mempunyai pengertian yang salah, seolah-
olah siapa saja yang memiliki pusaka itu, dengan sendirinya
akan dapat menduduki tahta. Orang tua itu kembali
membetulkan letak duduknya. Dan sekali-kali menarik
napas dalam-dalam. Kemudian ia meneruskan, "Padahal,
segala sesuatu sangat tergantung kepada orang itu sendiri.
Dan tergantung padanya pulalah pusaka-pusaka keraton itu
dapat luluh atau tidak ke dalam dirinya. Itulah yang biasa
disebut orang -wahyu-. Dan wahyu itu bukanlah semacam
permainan dadu dengan mempertaruhkan keberuntungan,
tetapi untuk dapat menerima wahyu maka seseorang harus
mempersiapkan dirinya sebagai wadah dari watak dan sifat-
sifat wahyu itu. Karena itulah maka untuk menerima wahyu
seseorang harus bekerja keras, mesu raga dengan penuh


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keprihatinan." Segala sesuatunya menjadi jelas bagi Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan kedua murid Pasingsingan itu. Tetapi
justru karena itu Mahesa Jenar tidak lagi menjadi gelisah
atas pusaka-pusaka keraton yang hilang itu. Sebab
meskipun ia berada di tangan seseorang, seseorang yang
mempunyai pamrih sekalipun, tidaklah ia akan selalu
berhasil setelah memiliki kedua pusaka itu.
Meskipun demikian untuk meyakinkan diri sendiri,
bertanyalah Mahesa Jenar, "Tuan, aku sudah dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memahami semua keterangan itu. Namun meskipun
demikian, untuk menenteramkan perasaanku sendiri, aku
ingin mendapat penjelasan yang pasti, apakah kedua keris
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada pada Tuan."
Sekali lagi orang itu tersenyum. Sambil mengangguk ia
menjawab, "Benar... Mahesa Jenar. Kedua keris itu ada
padaku. Jangan takut. Bagiku kau adalah lantaran yang
sebaik-baiknya untuk menyerahkan kembali kedua pusaka
itu ke Demak kelak apabila kita sudah mendapat gambaran,
siapakah yang paling sesuai untuk menjadi wadah dari
wahyu itu. Meskipun demikian segala sesuatu masih
tergantung atas kebenaran yang tertinggi. Adakah Tuhan
memperkenankan atau tidak. Sebab Tuhan-lah Maha
Penentu dari segala kejadian."
Yang tiba-tiba menjadi persoalan di dalam otak Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara kemudian adalah Ki Ageng Gajah
Sora. Ia akan dapat dibebaskan apabila kedua keris itu
sudah dapat diketemukan. Sebab dengan demikian akan
dapat dibuktikan apakah ia bersalah atau tidak. Sedang
menurut orang tua itu, penyerahan kembai keris-keris itu
masih memerlukan waktu. Lalu bagaimanakah yang akan
terjadi dengan Gajah Sora itu..." Karena persoalan itu
bertubi-tubi menghantam dinding kepalanya, akhirnya
Mahesa Jenar memberanikan diri bertanya, "Tuan... Masih
ada sesuatu yang sangat mengganggu perasaanku, yaitu
masalah Kakang Gajah Sora. Dengan demikian maka ia
tidak akan segera mendapatkan penyelesaian."
Orang tua itu, yang pernah mengenakan gelar
Pasingsingan itu, mengerutkan keningnya. Persoalan itu
bagi Banyubiru bukan persoalan yang kecil. Sebab
persoalan itu bagi Banyubiru akan menentukan garis
sejarah masa depan Banyubiru, meskipun tidak seluruhnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Untunglah Gajah Sora meninggalkan seorang anak laki-laki
yang dapat dibanggakan, Arya Salaka. Karena itu ia
berkata, "Mahesa Jenar... sebaiknya kalian tidak usah
menunggu Gajah Sora. Bawalah Arya Salaka ke dalam tugas
sucinya. Aku kira ia cukup mampu untuk melakukan,
meskipun kau harus selalu berada di sampingnya.
Sedangkan Ki Ageng Gajah Sora... serahkan saja
kepadaku." Sekali lagi suatu pertanyaan membersit di dalam hati
Mahesa Jenar, bahkan juga di dalam hati Kebo Kanigara
dan kedua murid Pasingsingan itu. Mereka mendapatkan
suatu firasat yang mengatakan bahwa orang tua itu
bagaimanapun pasti mempunyai hubungan sambut rapat
dengan Sultan Trenggana atau pemerintah Demak.
Akhirnya Kebo Kanigara tidak dapat lagi menahan
keinginannya untuk mengetahui keadaan orang tua itu lebih
banyak lagi, sehingga kemudian ia berkata, "Tuan, telah
bertahun-tahun aku tinggal di Bukit Karang Tumaritis,
bersama-sama dengan Tuan dalam kedudukan Tuan
sebagai seorang Panembahan bergelar Panembahan
Ismaya. Namun kemudian ternyata aku sama sekali masih
belum mengenal Tuan. Sebab ternyata aku masih belum
mengetahui apa yang Tuan lakukan apabila Tuan sampai
berbulan-bulan meninggalkan padepokan kami. Juga
ternyata karena keterangan-keterangan Tuan, aku malahan
menjadi semakin banyak menyimpan pertanyaan- pertanyaan tentang Tuan. Karena itu seandainya Tuan tidak
keberatan sejalan dengan pernyataan Tuan untuk tidak
berahasia lagi, khususnya terhadap kami, apakah Tuan
tidak keberatan apabila Tuan menyatakan kepada kami
siapakah Tuan serta dari manakah Tuan sebenarnya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, berkatalah ia dengan
suara yang dalam dan perlahan, "Kebo Kanigara dan kalian
yang lain... apakah ada perlunya aku menyatakan diri serta
asal-usulku" Sebab apa yang sudah terjadi itu tidak akan
banyak pengaruhnya bagi masa yang akan datang."
Karena Mahesa Jenar pun ingin sekali mendengar
keterangan itu, ia pun mendesaknya, "Bahwa masa lampau
selalu penting bagi masa kini maupun masa depan. Apa
yang terjadi sekarang karena telah terjadi sesuatu pada
masa-masa lampau. Karena itu kami tidak akan dapat
meninggalkan angkatan dari masa lampau. Alangkah
kerdilnya jiwa kami apabila kami memperkecil arti
angkatan-angkatan sebelum kami. Meskipun bukan berarti
bahwa kami akan selalu menggantungkan diri padanya.
Namun pengalaman-pengalaman adalah mahaguru yang
sangat baik. Hasil-hasil yang pernah dicapai serta cara-cara
untuk mencapainya. Juga kesalahan-kesalahan yang pernah
dilakukan adalah suatu cermin untuk mengenal cacat wajah
sendiri." Kembali orang itu mengangguk-angguk. Matanya yang
sejuk itu sekali lagi terlempar ke atas tanah berdebu di
halaman. Matahari kini telah semakin tinggi menggantung
di langit yang biru bersih. Daun-daun yang hijau segar
tampak berkilat-kilat memantulkan cahayanya yang cerah.
----------o-dwkz-0-arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Orang tua yang menamakan diri Panembahan ismaya itu
masih berdiam diri. Tampaknya ia agak ragu-ragu. Namun
akhirnya diceritakanlah kepada Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan kedua muridnya itu tentang dirinya. "Anak-
anakku sekalian.... Baiklah aku menuruti permintaanmu.
Tetapi jangan kau ceritakan kepada orang lain dari apa
yang akan kau dengar." Ia berhenti sejenak untuk
mendapat kesan bahwa mereka yang akan mendengarkan
ceritanya benar-benar tidak akan mengatakan kepada
orang lain. Sejenak kemudian ia meneruskan, "Yang mula-
mula boleh kau ketahui, namaku yang sebenarnya yang
diberikan oleh ayah dan ibuku, adalah Buntara, lengkapnya
Raden Buntara." Mendengar nama itu, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan
kedua muridnya bersama-sama tergerak hatinya. Bahkan
tiba-tiba Kebo Kanigara mengangkat wajahnya serta
memandang orang tua itu tajam-tajam. Memandang
segenap bagian tubuhnya seolah-olah di dalamnya
tersimpan sesuatu yang sangat menarik perhatiannya.
Agaknya orang tua itu merasa betapa Kebo Kanigara
tertarik pada namanya. Karena itu ia bertanya, "Adakah
sesuatu yang menarik dari nama itu, Kanigara...?"
Kanigara mengerutkan keningnya. Otaknya bekerja keras
untuk mengingat-ingat nama-nama yang pernah didengarnya. Akhirnya seperti orang terperanjat ia
menjawab, "Ya... nama itu sangat menarik bagiku."
Orang tua itu tersenyum, lalu katanya, "Apakah yang
menarik?" Kanigara kembali menarik alisnya. Ketika kemudian ia
teringat sesuatu, hampir berteriak ia berkata, "Raden
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Buntara, bukankah Raden Buntara itu adik Sultan Brawijaya
Pamungkas dari seorang garwa ampeyan...?"
Sekali lagi orang tua itu tersenyum. Katanya, "Kau
pernah mendengar nama itu?"
"Ya," jawab Kanigara, "Aku pasti pernah mendengarnya.
Ayahku pernah menyebut-nyebut nama itu."
"Tentu," sahut orang tua itu. "Ayahmu pasti pernah
menyebut-nyebut namaku. Aku adalah pamannya yang
paling dekat dengan ayahmu itu."
"Kalau demikian Tuan lah Eyang Buntara yang pernah
aku dengar namanya," kata Kanigara sambil membungkuk
hormat. Hormat sekali. Raden Buntara mengangguk-angguk. Namun kemudian
ia berkata, "Kanigara, kau benar. Aku adalah orang yang
kau maksud itu. Tetapi jangan panggil aku Eyang Buntara.
Panggilah aku Panembahan Ismaya."
Sekali lagi Kebo Kanigara membungkukkan kepala
dengan takzimnya. Bahkan kemudian Mahesa Jenar, Radite
dan Anggara pun membungkuk hormat. Hormat kepada
seorang yang mereka segani. Tetapi lebih dari itu, orang
tua itu ternyata adalah adik Baginda Brawijaya pamungkas.
Untuk sesaat suasana ditelan oleh kesepian. Berbagai
perasaan muncul di dalam kepala masing-masing. Sehingga
kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara Panembahan
Ismaya. "Tetapi kemudian aku terlibat dalam berbagai
persoalan, sehingga aku merasa perlu untuk mengasingkan
diriku dari dunia ramai." Sekali lagi orang tua itu berhenti
untuk menarik nafas dan membetulkan duduknya.
Kemudian disambungnya lagi, "Ketika itu terjadi perbedaan
paham yang bersumber pada perbedaan kepercayaan. Pada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
waktu itu aku sudah mencoba untuk meyakinkan bahwa
kepercayaan bukanlah sumber yang tak dapat dibendung.
Namun agaknya Sultan merasa bahwa ia lebih baik
mengundurkan diri dari tahta serta meninggalkan istana.
Tetapi Raden Patah pun sama sekali tidak mau
memperkosa kekuasaan Majapahit. Karena itu sebelum
Prabu Brawijaya itu menyerahkan kekuasaan. Dan ternyata
Prabu Brawijaya memberikan izin itu, meskipun ia sudah
berada di perjalanan. Ketika Raden Patah kemudian memegang pimpinan
kerajaan, dipindahkannya pusat kerajaan dari Majapahit ke
Demak, sehingga dengan demikian berakhirlah suatu
rangkaian pemerintahan yang berpusat di Majapahit.
Pada saat itu Prabu Brawijaya, diiringi oleh beberapa
orang pergi berkelana dari satu tempat ke lain tempat.
Beliau berjalan menyusur pantai selatan menuju arah
matahari terbenam. Akhirnya sampailah beliau ke daerah
Bukit Seribu, yang juga terkenal dengan nama Gunungkidul.
Meskipun aku adalah adik Brawijaya, namun umurku
agak terpaut banyak daripadanya. Bahkan dengan Raden
Patah pun agaknya aku tidak lebih tua. Karena itu, pada
suatu saat Raden Patah memerintahkan kepadaku, bahwa
ia mengharap dapat menerima kunjungan ayahanda
Baginda. Bahkan mengharapkan Prabu Brawijaya menghentikan perantauannya dan menetap di suatu tempat
yang dikehendakinya. Dengan susah payah aku menyusur
bekas perjalanan Baginda. Bertanya dari suatu tempat ke
tempat lain. Dengan demikian dapatlah banyak yang dilihat
dan banyaklah yang dapat didengar, tentang hidup dan
penghidupan. Tentang alam dan seluk-beluknya, untuk
melengkapi pengetahuannya menjelang masa langgeng.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi terjadilah hal yang sama sekali tak terduga-duga.
Seorang tumenggung yang ikut serta dalam rombongan
Baginda merasa curiga atas kehadiranku. Tumenggung itu
menyangka bahwa aku datang dengan pamrih. Kalau aku
dianggap lawan yang harus dibunuh, maka aku tidak akan
sakit hati. Tetapi yang tidak dapat aku terima adalah
sangkaan yang bukan-bukan atas diriku dalam persoalan-
persoalan yang memalukan. Ia menganggap bahwa aku
sengaja mendekatkan diriku kepada Baginda untuk dapat
mengetahui di mana kekayaan Baginda yang dibawa
sebagai bekal perjalanan, disimpan. Ia menuduh bahwa aku
ingin memiliki harta kekayaan itu. Dan yang lebih parah
lagi, ia mempergunakan istrinya yang ikut serta dalam
perjalanan itu untuk memancing persoalan. Dengan susah
payah aku selalu mencoba untuk menghindarkan diri dari
setiap bentrokan yang mungkin timbul. Namun ketika
akhirnya aku ketahui bahwa sebenarnya ialah yang
bermaksud jahat atas Baginda dan harta bendanya, aku
tidak dapat membiarkannya."
Panembahan Ismaya berhenti sejenak. Pandangannya
yang jauh menatap cahaya matahari yang menari-nari di
daun-daun dan ranting-ranting pepohonan di luar, seolah-
olah mencari lembah peristiwa-peristiwa masa lalu pada
bayang-bayang yang selalu bergerak di batang-batang
kayu. Kemudian, setelah menarik nafas panjang, ia kembali
meneruskan, "Kemudian akulah yang sengaja membuat
persoalan. Atau tegasnya aku sengaja menanggapi
persoalan-persoalan yang dibuatnya. Agaknya darah
mudaku pada saat itu sangat mempengaruhi jalan
pikiranku, sehingga karena itu aku telah membuat suatu
kesalahan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Seperti yang sekali dua kali pernah dilakukan, istri
Tumenggung itu sengaja datang ke pondokku di belakang
rumah yang dipergunakan sebagai pesanggrahan

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sederhana. Pada saat-saat sebelumnya, apabila perempuan
itu datang, aku selalu pergi menghindar jauh-jauh. Sebab
aku sudah dapat mengetahui maksud kedatangannya.
Tetapi kali ini aku sengaja menemuinya. Aku ingin
mendengar apa yang akan dikatakannya kepadaku,
meskipun aku sudah dapat menduganya lebih dahulu.
Ternyata dugaanku tidak jauh menyimpang. Perempuan itu
mula-mula mencela suaminya, kemudian memuji-muji aku
sebagai seorang pemuda yang gagah, tampan dan berani.
Kemudian dengan solah yang dibuat-buat, ia mulai
mengatakan tentang ketidakpuasannya terhadap suaminya,
dan yang terakhir, yang tidak aku duga-duga bahwa
sedemikian jauh pertentangan yang ingin dibuatnya, adalah
perempuan itu minta tolong kepadaku, supaya aku
membunuh suaminya. Tentu saja dengan pura-pura
mengharap, supaya aku akan menggantikan suami itu.
"Sayang" jawabku kepada perempuan itu berterus terang
"Aku sudah tahu permainan yang harus kau lakukan.
Bukankah dengan demikian setiap orang akan menuduh
aku merebut isteri orang. Suamimu mengharap aku akan
menyerangnya. Siang atau malam, apabila laki-laki itu
tampaknya sedang lengah. Namun sebenarnya ia telah siap
membunuhku, sebab kau sudah memberitahukan kepadanya. Kalau laki-laki itu sudah berhasil melawan aku
dalam suatu perkelahian, maka setiap orang akan meludah
dihadapanku. Hidup atau mati.
Nah, kalau demikian katakanlah kepadanya. Kalau ia
menghendaki suatu perkelahian, suruhlah ia menantang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
aku sebagai seorang laki-laki. Ada atau tidak ada
persoalan." Wajah perempuan itu menjadi merah. Tetapi agaknya ia
memang perempuan yang cerdik. Aku mengharap ia akan
marah, dan berlari menyampaikan kata-kataku kepada
suaminya. Tetapi ia tidak berbuat demikian. Wajahnya yang
merah itu sesaat kemudian telah cerah kembali. Sambil
tersenyum-senyum ia mendekati aku. Katanya "Kau laki-laki
jujur. Sayang kau masih terlalu muda untuk menanggapi
persoalan. Agaknya Raden belum mengenal aku sungguh-
sungguh." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mula-mula aku menjadi gemetar ketika tiba-tiba
perempuan itu meraba tubuhku. Bahkan kemudian aku
menjadi muak. Dan karena itulah aku berbuat kesalahan.
Sebenarnya lebih baik sekali aku berlari jauh-jauh
meninggalkan tempat itu. Tetapi aku tidak berbuat
demikian. Ketika aku tidak dapat menahan perasaan muak
yang bergolak di dalam dadaku, perempuan itu aku dorong
keras-keras dan jatuh terbanting di lantai. Karena itulah
maka tiba-tiba terdengar ia berteriak-teriak. Mula-mula aku
menyangka bahwa ia berteriak karena kesakitan. Tetapi
dugaanku itu ternyata keliru. Perempuan itu sama sekali
tidak berteriak karena kesakitan. Ternyata beberapa saat
kemudian terdengarlah langkah beberapa orang berlari-lari.
Beberapa diantaranya langsung masuk ke dalam pondok.
Hampir pecah kepalaku pada saat itu ketika aku mendengar
perempuan itu berteriak "Lelaki gila. Aku diseretnya kemari
dengan kasarnya." Semua mata terarah kepadaku.
Diantaranya adalah sepasang mata laki-laki tamak, suami
dari perempuan gila itu. Sambil menggeram mengerikan ia
bertanya kepada isterinya dengan suara mengguntur. "Hai
perempuan rendah. Apa kerjamu disini?"
Dengan suara tergagap perempuan itu menjawab "aku
tidak sengaja datang kemari. Aku berjalan dihalaman untuk
memetik sirih. Tetapi tiba-tiba aku diseret oleh laki-laki itu
dengan laku seekor binatang kelaparan."
Kembali laki-laki itu mengeram. Kemudian dengan
pandang mata yang mengerikan pula ia bertanya kepadaku.
"Kau hinakan nama isteriku Raden. Sayang bahwa
suaminya adalah seorang laki-laki yang mempunyai harga
diri. Kalau kau inginkan dia, marilah kita selesaikan dengan
cara seorang laki-laki."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Aku menjadi ragu. Untuk menjelaskan persoalan yang
sebenarnya agaknya sama sekali tidak ada gunanya. Karena
itu aku mengambil keputusan untuk menerima tantangannya. Bukankah aku memang ingin membuat
perhitungan dengan Tumenggung itu" Namun sayang,
sangatlah sayang. Bahwa tak seorangpun yang mengerti
keadaan sebenarnya. Tak seorangpun yang mengerti isi
hatiku yang sesungguhnya, kecuali seorang jajar tua yang
sangat setia kepada baginda. Dan jajar itu pulalah yang
mengetahui segala seluk beluk pokal Tumenggung itu. Ia
pulalah yang mendengar dengan telinganya sendiri,
bagaimana Tumenggung itu mengadakan pertemuan-
pertemuan dengan para Menteri yang sependapat dengan
pikirannya. Tetapi ia hanyalah seorang jajar yang tidak
berarti. Karena itu, apa yang didengar dan diketahuinya itu
tak dapat dipercaya oleh siapapun meskipun ia sudah
pernah mengajukannya kepada baginda lewat seorang
bupati dalam yang boleh dipercaya. Bahkan akhirnya Bupati
itu yang semula tertarik kepada ceriteranya berkata
kepadanya "Jajar, agaknya kau terlalu letih. Karena kau
bermimpi buruk." Akulah orang yang pertama-tama menaruh perhatian
sepenuhnya atas keterangannya. Ia langsung berkata
kepadaku, kepada adik baginda. Ia mengharapkan
keselamatan baginda dapat terjamin.
Akhirnya terjadilah perkelahian itu. Perkelahian yang
ditunggui oleh beberapa orang saksi. Tumenggung itu
agaknya yakin bahwa ia akan dapat membunuhku. Dengan
demikian rencananya tidak akan terhalang. Ia memang
pernah mengenal aku sebelumnya, dan aku pernah
mengenalnya pula, sebagai seorang Tumenggung dalam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
susunan keprajuritan Majapahit. Justru dalam kesatuan
pengawal raja. Namun perkelahian itu berakhir sebaliknya. Akupun
kemudian kehilangan pengamatan diri, sehingga tanpa aku
sadari, laki-laki itu terbunuh oleh tanganku. Mula-mula aku
merasa bhawa akibatnya tidak akan terlalu jauh. Aku akan
berusaha meyakinkan, bahwa apa yang sebenarnya terjadi
tidaklah seperti yang diduga oleh banyak orang. Tetapi aku
tidak mempunyai kesempatan."
Untuk beberapa saat Panembahan Ismaya berhenti
berceritera. Matanya yang memancar damai itu kemudian
tampak sayu dan redup. Agaknya kenangan masa silam itu
tidak begitu menyenangkan. Kemudian ia meneruskan.
"Ketika pertempuran itu berakhir beberapa orang sahabat
Tumenggung itu mengangkat mayatnya pergi, sedang
beberapa orang lain dengan pandangan yang aneh berkata
kepadaku. "Nah, Raden. Tuan sekarang berhak memiliki
perempuan itu." Tentu saja aku terkejut. Karena itu aku jawab "Aku tidak
perlukan perempuan itu."
Beberapa orang itu mencibirkan bibirnya. Kata salah
seorang diantaranya . "Hm, agaknya tuan mau bermain-
main saja dengan isteri orang. Tetapi kemudian tuan
mengingkari kewajiban tuan."
HAMPIR saja aku meloncat dan membunuh orang itu
pula, kalau tidak tiba-tiba saja semua orang tegak
memandang ke suatu arah dan hampir bersamaan
membungkuk dengan hormatnya. Agaknya Baginda datang
pula ke tempat itu. Pada saat itu keringat dingin telah
mengaliri segenap tubuhku. Aku tidak tahu apakah
sebenarnya maksud kedatangan baginda. Tetapi aku sudah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menduga bahwa pasti ada hubungannya dengan perkelahian yang baru saja terjadi. Dan apa yang aku duga
adalah benar. Baginda yang telah tampak sedemikian
tuanya itu memandangku dengan sinar mata yang marah.
Meskipun terdengar Baginda berkata-kata dengan sabar
dan perlahan-lahan, namun bagiku setiap kata Baginda
terdengar sebagai meledaknya guruh diatas kepalaku. Kata
Baginda, "Adikku... apakah yang terjadi adalah sama sekali
diluar dugaanku. Aku bergembira bahwa salah seorang
keluarga terdekatku sudi datang berkunjung kepadaku.
Kepada orang yang sudah hampir dilupakan. Namun tiba-
tiba kau membuat hatiku semakin parah karena
kelakuanmu." Hampir menangis aku berjongkok di kaki Baginda.
Dengan terputus-putus aku mencoba menjelaskan apa yang
sebenarnya tersimpan di dalam kepalaku.
Tetapi keteranganku itu agaknya terdengar aneh sekali.
Meskipun Baginda tidak membantahnya, namun aku yakin
bahwa Baginda sama sekali tidak percaya. Bahkan
kemudian Baginda dengan berdiam diri meninggalkan
tempat itu. Karena itulah aku menjadi semakin tersiksa.
Tersiksa oleh berbagai perasaan yang menghujam hati.
Dengan terbunuhnya Tumenggung yang curang itu,
menyebabkan gerombolannya semakin marah. Mereka
kemudian tidak mau menunggu lebih lama lagi. Mereka
menjadi takut kalau gerakan mereka akan segera diketahui.
Disamping itu mereka agaknya takut pula kalau aku juga
akan mengadakan gerakan untuk melawannya. Akhirnya
terjadilah dimalam yang mengerikan itu. Beberapa orang
prajurit kepercayaan raja mati terbunuh. Mereka disergap
dengan tiba-tiba oleh gerombolan orang-orang tamak yang
sudah hampir gila itu. Dalam keadaan yang demikian, sekali
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lagi aku kehilangan pengamatan diri. Kembali aku berbuat
kesalahan. Bahwa aku tidak lebih dahulu menunggu
perintah Baginda. Ketika aku mendengar keributan
langsung aku menyerbu, melibatkan diri dalam perkelahian
itu. A kibatnya, beberapa orang terbunuh. Orang-orang yang
dengan sengaja ingin merebut harta kekayaan Baginda.
Namun agaknya apa yang aku lakukan itu tidak berkenan
pula di hati Baginda. Bahkan beberapa orang dari pihak lain
pun menyalahkan aku. Mereka takut kalau kepercayaan
Baginda akan berkisar kepadaku. Sekali lagi Baginda
berkata kepadaku dengan sabar dan perlahan-lahan.
"Adikku Raden Buntara... aku tidak akan menyalahkan kau.
Jiwa muda yang tersimpan didalam dadamu memang
memerlukan penyaluran. Aku hanya ingin menunjukkan
beberapa kenyataan kepadamu. Sebelum kau datang ke
tempat ini pesanggrahanku yang terpencil ini, selalu diliputi
oleh suasana damai. Tetapi dengan kehadiranmu di sini,
keadaan menjadi lain. Terserahlah atas penilaianmu
terhadap kenyataan itu."
Aku menjadi semakin berduka atas pernyataan Baginda
itu. Beberapa orang segera memencilkan aku seolah-olah
akulah orangnya yang selalu membuat ribut. Satu-satunya
sahabatku di tempat itu adalah jajar tua yang dapat
mengetahui keadaan yang senyatanya. Ia melihat
kenyataan yang sebenarnya. Dan hanya jajar tua itulah
yang melihat, bahwa aku telah berjuang untuk keselamatan
Baginda beserta rombongannya. Tetapi sekali lagi hatiku
terluka. Lebih parah dari luka-luka yang terdahulu. Pada
suatu pagi aku ketemukan jajar tua, sahabatku itu terguling
di tanah di depan pondoknya tanpa nyawa. Sebuah luka
menggores di lehernya. Pada saat itu darahku tiba-tiba
mendidih. Hampir saja otakku tak dapat aku kendalikan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lagi. Untunglah bahwa pengalaman pahit selama ini
agaknya dapat mengekang segala tingkah lakuku. Dengan
sedih aku mencoba untuk memberitahukan kematian itu
kepada beberapa orang. Namun tak seorangpun menaruh
perhatian kepada jajar tua yang dianggap sama sekali tak
berarti itu. Bahkan karena ia benci kepadaku. Karena itu
aku tak dapat berbuat lain daripada menguburkan mayat itu
sendiri. Sendiri. Dengan segala peristiwa yang sangat menyakitkan hati
itulah kemudian aku memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu kembali ke Demak. Melaporkan
apa yang sudah terjadi. Aku mengharap agar Sultan dapat
menjernihkan suasana. Menjernihkan hubungan yang gelap
antara aku dengan Baginda Brawijaya beserta orang-orang
di sekitarnya. Tetapi apa yang terjadi kali ini tak dapat aku pikul lebih
jauh lagi. Ketika aku menghadap Baginda Sultan Demak,
beliau berkata, juga dengan sabar dan perlahan-lahan.
"Paman, aku sudah mendapat laporan lengkap tentang
Paman. Ayahanda Prabu telah mengirim utusan kemari
sebelum paman datang. Beliau merasa menyesal bahwa
segala sesuatu yang kurang pada tempatnya telah terjadi.
Apalagi persoalan itu bersumber pada persoalan seorang
istri, yang karena keadaan menjadi sedemikian buruknya.
Paman tidak saja membunuh suaminya, tetapi karena
Paman, maka terjadilah bentrokan antara sahabat-sahabat
laki-laki itu dengan beberapa orang prajurit yang memihak
kepada Paman. Karena itu Paman bukanlah seorang utusan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti yang aku harapkan. Bahkan sebaliknya, Paman telah
menjadikan Ayahanda Prabu semakin jauh daripadaku."
Dadaku hampir pecah mendengar tuduhan itu. Tetapi
aku tidak dapat menyangkalnya. Satu-satunya orang yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengetahui keadaan yang sebenarnya telah meninggal.
Yaitu jajar tua yang bermuka jelek, namun berhati bersih
sebersih air yang baru memancar dari sumbernya. Adapun
nama dari jajar tua itu adalah Pasingsingan."
Yang mendengarkan ceritera Panembahan Ismaya itu
tersentak dalam duduknya. Mereka hampir bersamaan
mengulangi nama itu. "Pasingsingan."
Pangeran Perkasa 13 Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Dendam Iblis Seribu Wajah 23
^