Pencarian

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 25

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 25


terkalahkan menuju ke medan pertempuran.
Tak adalah yang penting yang terjadi di dalam perjalanan
itu. Setelah mereka bermalam satu malam, maka pada hari
berikutnya ketika matahari telah condong ke barat,
sampailah mereka di daerah pegunungan Sumawana. Suatu
daerah pegunungan yang menurut dongeng rakyat, adalah
pegunungan dimana Prabu Dasamuka ditimbun dengan
tanah oleh Pahlawan Kera yang berbulu putih, Hanoman.
Karena kepercayaan itulah maka di daerah pegunungan itu,
tidak diperkenankan membawa tuak atau semacam
minuman keras yang lain. Sebab apabila ada orang yang
melanggar pantangan itu, Prabu Dasamuka, yang tidak
dapat mati, akan menggeram dan mengguncang-guncang
gunung yang menimbuninya, sebab tuak adalah jenis
minuman yang sangat digemarinya. Rakyat yang hidup di
daerah itu, meskipun sangat jarang, tidak pernah takut
seandainya Prabu Dasamuka itu dapat menjebol tanah yang
menimbuninya. Sebab di dekatnya adalah bukit yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terkenal bernama Kendalisada. Di bukit itulah Hanoman
bertapa dan sekaligus menunggui gunung yang dipakainya
untuk menimbun tubuh Prabu Dasamuka.
Ketika rombongan kecil itu sampai di sekitar bukit
Sumawana, mereka menghentikan perjalanan mereka.
Daerah ini sudah dekat benar dengan daerah Candi Gedong
Sanga. Karena itu mereka harus berhati-hati. Sebab apabila
ada salah paham, mungkin akan menimbulkan hal-hal yang
tidak mereka kehendaki. Karena itu mereka tidak maju lagi,
tetapi mereka bermaksud bermalam di daerah itu.
Pada malam itulah Mahesa Jenar berhasrat memancing
orang-orang Banyubiru yang bersembunyi di sekitar daerah
itu dibawah pimpinan Bantaran dan Penjawi. Karena itu,
maka ketika malam telah turun dengan kelamnya, segera
Mahesa Jenar menyalakan api sebesar-besarnya. Ia yakin
bahwa laskar Pamingit tidak akan sampai berkeliaran
sedemikian jauhnya, apalagi mereka mengerti bahwa
sebagian laskar Bantaran dan Penjawi ada di sekitar daerah
Banyubiru. Dan apa yang diharapkan terjadilah.
Ketika mereka sedang menikmati jadah sisa bekal
mereka dari Gedangan yang mereka panggang di atas api,
tiba-tiba terdengarlah gemersik daun-daun di sekitarnya.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan hampir semua orang
dalam rombongan itu mengetahuinya, namun mereka
masih berpura-pura tidak mendengarnya.
Sebentar kemudian terdengarlah beberapa orang
berloncatan dengan senjata di tangan. Dengan lantangnya
seorang yang memimpin laskar itu berkata, "Ki Sanak, aku
harap Ki Sanak tidak melawan. Kami tidak ingin berbuat
jahat, tetapi kami ingin mengetahui siapakah kalian."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar mengangkat mukanya. Ia sama sekali
tidak berkata apa-apa. Sambil tersenyum ia mengangkat
tangannya menunjuk Wanamerta yang duduk di sudut
perapian sambil membenamkan dirinya di dalam kainnya.
Ketika orang itu melihat Wanamerta, tiba-tiba wajahnya
jadi tegang. Untuk beberapa saat ia bahkan berdiam diri
seperti patung, tetapi tiba-tiba ia meloncat dan berjongkok
di hadapannya sambil berteriak, "Kiai, adakah benar ini Kiai
Wanamerta." Orang tua itu tersenyum. Tersenyum lucu sekali.
Tetapi semua orang yang menyaksikannya menjadi ikut
terharu ketika di sela-sela senyumnya tampak diantara
pelupuk mata orang tua itu membayang butiran-butiran air
mata. Serta dengan suara parau ia menjawab, "Ya, inilah
Wanamerta yang tua. Bukankah kau Jaladri?"
"Ya," sahut pemimpin laskar itu. "Bagaimanakah Kiai
dapat sampai di tempat ini?"
"Hemm...." desis Wanamerta, lalu katanya, "Kenalkah
kau dengan Anakmas Mahesa Jenar?"
"Mahesa Jenar...?" ulang Jaladri, "Ya tentu aku
mengenalnya. Lima tahun yang lalu, ia pernah tinggal di
Banyubiru untuk beberapa lama."
"Itulah dia," potong Wanamerta sambil menunjuk
Mahesa Jenar. Jaladri menoleh kepada Mahesa Jenar. Memang ia
pernah mengenalnya. Lima tahun yang lalu. Karena itu ia
agak pangling. Baru ketika ia telah memperhatikan
beberapa lama, ia menjadi jelas, bahwa memang orang
itulah yang pernah dikenalnya bernama Mahesa Jenar.
Karena itu segera ia menggeser diri duduk sambil
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar, sambil berkata,
"Maafkan kami, Tuan. Kami hampir tidak dapat mengenal
Tuan setelah sekian lama berpisah. Apalagi sebelumnyapun
aku tidak begitu dekat dengan Tuan."
Mahesa Jenar menjawab dengan hormatnya pula.
"Adalah hal yang wajar kalau kau tidak mengenal aku lagi.
Waktu itu aku tidak mempunyai waktu banyak untuk tinggal
lebih lama lagi di Banyubiru. Apalagi kita sudah terlalu lama
tidak bertemu. Tetapi untunglah bahwa kau mengenal
Paman Wanamerta." "Kepada Kiai Wanamerta, berapa puluh tahun aku
terpisah, namun aku masih akan dapat mengenalnya. Dan
bahkan semua orang Banyubirupun akan tetap mengenalnya," jawab Jaladri.
"Bagus," sahut Mahesa Jenar. "Sebab ia adalah tetua
Banyubiru. Kalau kau lupa kepadanya, berarti kau telah lupa
kepada kampung halaman itu".
"Benar Tuan," jawab Jaladri, kemudian dengan agak
ragu-ragu ia bertanya, "Tetapi, menurut Kakang Bantaran,
bukankah Tuan berjanji untuk membawa Arya Salaka
kepada kami?" Mahesa Jenar tersenyum. Agaknya Bantaran telah
mengumumkan kesanggupannya itu kepada anak buahnya.
Kemudian dengan tertawa lirih ia berkata. "Cobalah Jaladri,
carilah diantara kami, adakah Arya Salaka serta?"
Jaladri menjadi ragu. Ia memandang satu persatu
kawan-kawan seperjalanan Mahesa jenar. Mahesa Jenar
sendiri, lalu seorang yang berumur agak lebih tua sedikit
dari Mahesa Jenar, disampingnya duduk bersimpuh seorang
gadis kecil. Di dekatnya duduk bersila seorang gadis yang
berpakaian laki-laki, dan di ujung duduk bersilah pula
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seorang pemuda yang gagah, kuat sentosa. Di pinggangnya
terselip sehelai tombak yang bertangkai pendek. Jaladri
masih tetap ragu-ragu. Ia tidak berani menebak satu
diantaranya. Meskipun apabila Arya Salaka ada diantaranya,
yang paling mungkin adalah pemuda yang gagah itu.
Setelah beberapa lama ia menimbang-nimbang, akhirnya ia
menjawab, "Aku tidak tahu Tuan Arya Salaka. Pada saat
meninggalkan Banyubiru masih terlalu kecil bagi yang ada
sekarang." Meskipun demikian mata Jaladri tidak lepas dari pemuda
tegap yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya.
Mahesa Jenar tertawa pendek, demikian pula Kebo
Kanigara. Tetapi dengan demikian, Rara Wilis, Widuri,
Wanamerta, dan bahkan Arya Salaka sendiri. Jaladri
mempunyai dugaan yang benar. Meskipun demikian Mahesa
Jenar tidak segera membenarkan dugaan itu. Dengan tegak
berdiri ia berkata, "Jaladri... antarkanlah kami sekarang
kepada Bantaran." "Baik Tuan," jawab Jaladri cepat, seperti demikian saja
meloncat dari mulutnya. Kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Wanamerta,
Kebo Kanigara dan kawan-kawan seperjalanannya. "Marilah, kita selesaikan perjalanan kita yang tinggal
beberapa langkah saja."
Semuanya segera mempersiapkan diri mereka pula. Dan
sesaat kemudian mereka meneruskan perjalanan yang
sudah tidak jauh lagi. Jaladri lebih dahulu telah mengirimkan dua orangnya
untuk mendahului dan memberitahukan kedatangan
Mahesa Jenar, agar Bantaran dapat mempersiapkan
sambutan sekadarnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah, tidak terlalu lama, mereka telah sampai ke
daerah Candi Gedong Sanga, di lereng Gunung Ungaran.
Oleh Jaladri, mereka dibawa menyusup ke sebuah hutan
yang tidak terlalu lebat. Di dalam hutan yang tipis itu
terdapatlah sebuah barak besar dikelilingi beberapa barak
kecil. Itulah perkemahan laskar Banyubiru yang dipimpin
oleh Bantaran dan Penjawi.
Ketika Mahesa Jenar sampai ke tempat itu, sibuklah
mereka mengadakan penyambutan. Berdesak-desakan
mereka berebut muka, sehingga Mahesa Jenar dan kawan-
kawan tidak dapat bergerak maju lagi. Sampai Bantaran
berdiri dan berteriak, "Berilah jalan supaya mereka dapat
masuk ke dalam pondok ini."
Demikianlah akhirnya Mahesa Jenar dan kawan-
kawannya dipersilakan masuk ke dalam pondok yang
terbesar itu. Di dalamnya terdapat sebuah ruangan yang
cukup luas. Dan di sanalah pemimpin-pemimpin laskar itu
telah siap menanti. Mahesa jenar dan kawan-kawannya
dipersilakan duduk di ujung pertemuan itu. Tetapi demikian
ia mulai memperhatikan satu demi satu dari setiap wajah di
dalam ruangan itu, tiba-tiba ia terkejut ketika melihat yang
duduk berjajar di samping Penjawi. Karena itu segera
Bantaran memperkenalkan kedua orang itu kepada Mahesa
Jenar. "Tuan, barangkali Tuan belum mengenalnya. Mereka
adalah orang baru di sini. Tetapi mereka melihat kebenaran
perjuangan kami. Karena itu mereka di pihak kami."
Tiba-tiba meloncatlah dari mulut Mahesa Jenar sapaan
yang akrab, "Kakang Mantingan dan Wirasaba, adakah
kalian telah lama berada di tempat ini?"
Dalang Mantingan dan Wirasaba menganggukkan
kepalanya. Terdengarlah Mantingan menjawab, "Sudah...
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Adi. Aku sudah beberapa bulan bergaul dengan anak-anak
Banyubiru, meskipun kadang-kadang aku juga memerlukan
kembali ke Wanakerta atau Prambanan bersama-sama
dengan Adi Wirasaba."
Teringatlah Mahesa Jenar pada saat mereka baru saja
menyaksikan bahkan terlibat dalam suatu bentrokan
melawan golongan hitam yang sedang mempersiapkan
sebuah pertemuan di daerah Rawa Pening. Pada saat itu
Mahesa Jenar dengan empat orang teman, yaitu Mantingan,
Wirasaba, Gajah Alit dan Paningron, harus bertempur
melawan seluruh kalangan hitam dari angkatan sebayanya,
yang kemudian mendapat bantuan dari Sima Rodra tua dan
Pasingsingan. Untunglah pada saat itu muncul Radite dan
Anggara yang menyelamatkan mereka berlima. Pada saat
itu ia memang berpesan kepada Mantingan untuk berusaha
melihat-lihat keadaan Banyubiru. Agaknya Mantingan
benar-benar melaksanakan pesan Radite dan Anggara,
bahkan akhirnya mengambil keputusan untuk tinggal
bersama-sama dengan mereka.
Kemudian sibuklah pertemuan itu dengan pernyataan
keselamatan masing-masing. Wanamerta yang menjadi
semakin terharu melihat anak-anak Banyubiru yang masih
setia kepada pimpinannya itu, malahan menjadi seperti
patung. Ia hanya dapat mendengarkan percakapan-
percakapan yang semakin ramai dan gembira, dan sesekali
menoleh kesana kemari, tanpa tujuan.
Tiba-tiba dari sela-sela keriuhan percakapan itu
terdengarlah Bantaran bertanya, "Tuan. bukankah Tuan
telah menyanggupkan kepada kami untuk membawa Arya
Salaka...?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar tertawa. Memang, ia menanti pertanyaan
itu, sehingga dengan sengaja tidak memperkenalkan
kawan-kawan seperjalanannya. Karena itu baru kemudian ia
menjawab untuk memperkenalkan mereka. "Saudara-
saudaraku dari Banyubiru... Baiklah aku memperkenalkan
kawan seperjalananku satu persatu." Kemudian sambil
menunjuk, Mahesa Jenar meneruskan, "Ini, yang duduk di
sebelahku adalah Rara Wilis, seorang gadis yang lebih
senang menamakan dirinya Pudak Wangi, cucu seorang
sakti bernama Pandan Alas. Di sampingnya adalah Endang
Widuri, putri Kakang Kebo Kanigara yang duduk di
sebelahnya. Dan yang seorang lagi adalah Bagus Handaka."
Semua mata mengikuti jari Mahesa Jenar. Namun ketika
sampai orang yang terakhir, ia tidak menyebut nama Arya
Salaka, anak-anak Banyubiru menjadi bertanya-tanya dalam
hati. Bahkan kemudian terdengar suara Penjawi, "Lalu
bagaimanakah dengan Arya Salaka...?" Tetapi seperti juga
Jaladri, Penjawi memandang Arya Salaka yang disebut
bernama Bagus Handaka itu tanpa berkedip. Sebab pada
masa kanak-kanaknya, dengan Penjawi-lah Arya Salaka
paling banyak bergaul. Karena itu sedikit banyak ia masih
dapat mengenal wajah itu, meskipun sudah jauh berbeda.
Mahesa Jenar tidak menjawab, ia hanya tertawa kecil.
Dan karena itulah maka Penjawi tidak menunggu lebih lama
lagi. Dengan cepatnya ia berjalan jongkok ke arah Arya
Salaka dan dengan suara parau ia berkata hampir berteriak
sambil memukul-mukul lengan Arya yang sudah menjadi
sekeras baja itu. "Arya, alangkah mengagumkan kau.
Benar-benar kau telah menjadi seekor banteng muda yang
luar biasa kuatnya. Ah, alangkah malunya aku, yang
semakin lama menjadi semakin kering."


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bersamaan dengan itu tiba-tiba, hampir meledaklah
suara membahana, "Arya Salaka telah datang, Arya Salaka
telah datang." Kemudian tampaklah laskar Banyubiru itu berdesak-
desakan di pintu pondok sehingga pintu itu seolah-olah
akan mereka tumbangkan karena menghalang-halangi
mereka yang ingin melihat kehadiran Arya Salaka diantara
mereka. Semua yang menyaksikan peristiwa itu menjadi sangat
terharu. Bahkan Rara Wilis sampai menekan dadanya
karena tiba-tiba terasa sesuatu menyumbat kerongkongannya. Sedang Endang Widuri tiba-tiba menjadi
sangat bangga. Ia tidak tahu kenapa perasaan itu begitu
saja tumbuh di dalam dadanya, seolah-olah dirinyalah yang
mendapat sambutan sedemikian hangatnya. Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara, meskipun tidak kalah terharu, namun
mereka berdua telah dapat mengendalikan perasaan
mereka, sehingga mereka tetap duduk dengan tenang.
Yang paling tidak dapat mengendalikan perasaannya adalah
Wanamerta. Dalam kesempatan itu, ia merasa bahwa
seolah-olah ia telah sampai pada puncak kebahagiaan.
Bahkan dengan serta merta terlontar kata-kata dari
mulutnya, "Aku tidak keberatan seandainya sekarang juga
aku mati, sebab aku telah menyaksikan angger Arya Salaka
kembali kepada anak-anak Banyubiru yang setia kepada
kebenaran atas hak pada tanah mereka."
Sedang Arya Salaka sendiri malah menjadi bingung. Ia
biasa hidup seperti seekor burung yang bebas lepas di
udara, yang seolah-olah tidak mempunyai suatu ikatan
apapun. Ia tidak biasa menerima pujian dan sanjungan.
Apalagi sikap memanjakan diri. Dan sekarang tiba-tiba
terdengarlah teriakan-teriakan nyaring di dalam maupun di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
luar ruangan itu menyebut namanya. Memuji-mujinya dan
bahkan ada diantaranya yang mengaguminya, seolah-olah
dirinya menjadi seorang pahlawan yang baru memenangkan perang. Karena itulah maka tubuhnya
menjadi gemetar. Wajahnya bertambah lama bertambah
pucat, dan keringat dingin telah memenuhi seluruh
tubuhnya. Mahesa Jenar yang bijaksana dapat merasakan
keadaan itu. Karena itu segera ia berkata keras-keras,
untuk mengatasi segenap keriuhan itu. "Saudara-saudara
rakyat Banyubiru yang setia.... Atas nama Arya Salaka, aku
ucapkan terima kasih atas sambutan kalian. Tetapi aku
minta janganlah kalian menyambut kedatangannya dengan
berlebih-lebihan. Sebab sikap yang demikian akan besar
pengaruhnya, meskipun aku yakin akan keteguhan hati
Arya Salaka, namun bersikaplah sewajarnya. Dengan
demikian, segala sesuatu akan berlangsung dengan wajar
pula. Tanpa berlebih-lebihan, tanpa pengaburan atas nilai
yang sebenarnya. Dengan demikian saudara-saudara tidak
akan mudah menjadi kecewa apabila ada hal-hal yang tidak
seperti saudara harapkan."
Suara Mahesa Jenar itu ternyata dapat menenangkan
suasana di dalam ruangan itu, namun di luar ruangan masih
saja terjadi keributan dan teriakan-teriakan. Mereka
agaknya tidak puas sebelum dapat memandang wajah anak
kepala daerah mereka yang telah mereka anggap hilang itu.
Karena itu mereka masih saja berusaha untuk dapat berdiri
di pintu. Dengan demikian akhirnya Mahesa Jenar merasa
perlu untuk menenangkan mereka dengan membawa Arya
Salaka keluar. Maka berkatalah ia kepada Bantaran dan
Penjawi, "Biarlah Arya Salaka berdiri di depan pintu
sebentar, agar mereka menjadi puas."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bantaran dan Penjawi menyetujui, serta mempersilakan
Arya Salaka untuk berdiri sebentar, menerima sambutan
dari rakyat. Maka berkatalah Mahesa Jenar kepada Arya Salaka,
"Marilah kita berdiri di muka pintu itu sebentar Arya Salaka,
dan berkatalah sepatah dua patah kata kepada rakyatmu."
Arya Salaka menjadi semakin gelisah. Ia lebih tenang
pada saat ia berhadapan dengan Uling Kuning dan Uling
Putih daripada waktu itu. Dengan tergagap ia menjawab,
"Paman sajalah yang berbicara kepada mereka, atau
Kakang Penjawi." Mahesa Jenar tersenyum, katanya, "Mereka tidak akan
mau mendengarkan siapa saja yang akan berbicara selain
kau." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Keringat Arya Salaka semakin banyak mengalir. Tetapi ia
tidak dapat membantah lagi ketika Mahesa Jenar kemudian
berdiri dan menarik tangannya. Dengan jantung yang
berdegupan Arya Salaka digandeng oleh Mahesa Jenar
berjalan ke arah pintu diikuti oleh Penjawi, Bantaran, Kebo
Kanigara, Rara Wilis dan Widuri.
Ketika Arya muncul di muka pintu, meledaklah tepuk
tangan riuh, dibarengi dengan teriakan-teriakan yang
menyebut-nyebut nama anak kepala daerah perdikan
Banyubiru itu. Sedang Arya Salaka sendiri berdiri terpaku
tanpa bergerak. Terdengarlah kemudian Mahesa Jenar
berbisik di telinganya, "Berbicaralah, Arya...."
Arya menjadi semakin bingung. Maka bisiknya pula,
"Apakah yang harus aku bicarakan?"
"Ucapkanlah pernyataan terima kasih kepada mereka dan
katakan bahwa kau masih lelah sehingga kau perlu segera
beristirahat. Karenanya pembicaraan yang agak panjang
kau tunda sampai besok," jawab Mahesa Jenar berbisik-
bisik. Mula-mula Arya Salaka masih tetap gelisah menghadapi
keadaan yang tidak disangka-sangkanya itu. Tetapi tiba-tiba
dari jantungnya meledaklah perasaan tanggungjawabnya,
didorong pula oleh darah kepemimpinan yang mengalir
dalam tubuhnya. Arya Salaka kemudian berhasil menguasai
dirinya dan memperoleh keseimbangan. Sehingga dengan
demikian ia menjadi agak tenang. Maka dicobanya untuk
menyampaikan pernyataan terima kasih kepada rakyat yang
menyambutnya itu. Namun bagaimanapun juga, suaranya
masih terdengar gemetar. "Saudara-saudaraku dari Banyubiru. Yang pertama-tama akan aku sampaikan kepada
kalian, adalah pernyataan terima kasih yang sebesar-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
besarnya atas sambutan kalian yang sama sekali tidak aku
duga. Seterusnya, karena aku masih sangat lelah
perkenankanlah aku beristirahat dahulu. Besok pembicaraanku akan aku perpanjang lagi."
Mahesa jenar tersenyum mendengar uraian Arya Salaka
yang masih terasa bongkah-bongkah itu. Meskipun
demikian kata-kata itu cukup untuk dapat menenangkan
rakyatnya. Namun masih juga terdengar teriakan-teriakan
yang meminta Arya untuk berbicara lebih banyak lagi.
Kemudian tampillah Bantaran, yang meminta kepada rakyat
Banyubiru yang tetap teguh pada pendiriannya itu, untuk
memberi kesempatan kepada Arya Salaka beristirahat.
"Nah saudara-saudaraku..." katanya, "Sekarang berilah
kesempatan tamu-tamu kita beristirahat. Juga kalian dapat
beristirahat sekarang, kecuali mereka yang bertugas. Sebab
di hadapan kalian terbentanglah lautan yang penuh dengan
badai dan taufan yang harus kalian renangi. Siapa tahu,
besok atau bahkan nanti, kalian harus sudah menerjuninya." Dengan demikian maka anak-anak Banyubiru itu
kemudian perlahan-lahan meninggalkan pintu barak dimana
Arya Salaka masih berdiri bersama dengan kawan-kawan
seperjalanannya. Namun kemudian Bantaran tidak mempersilakannya masuk kembali, tetapi mereka dipersilakan untuk pergi ke pondok yang lebih kecil, yang
telah dipersiapkan untuk mereka. Meskipun demikian,
karena mereka sama sekali tidak menduga bahwa di dalam
rombongan itu akan terdapat dua orang gadis, maka
dengan tergesa-gesa mereka terpaksa menyiapkan tempat
lain untuk keperluan itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah mereka kemudian dipersilakan beristirahat di
tempat masing-masing. Mantingan dan Wirasaba memerlukan mengunjungi Mahesa Jenar, meskipun hanya
sebentar, untuk berkenalan lebih dekat lagi dengan Arya
Salaka dan Kebo Kanigara. Setelah itu maka ditinggalkannya mereka bertiga, setelah dipersilakan
mereka makan sekadarnya. Sedang Wanamerta segera terjun ke dalam lingkungan
anak-anak Banyubiru yang sudah lama terpisah dengannya,
dan kemudian tidur bersama mereka.
Malam itu rasanya berjalan demikian cepat. Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka segera tenggelam ke
dalam mimpi. Demikian juga di dalam pondok yang lain.
Rara Wilis dan Endang Widuri yang dikawani oleh Nyi
Penjawi, segera tertidur pula. Di luar pondok itu, tampaklah
beberapa orang berjaga-jaga dengan cermatnya. Sebab
dalam tanggapan mereka, keselamatan gadis-gadis itu
sangat tergantung kepada penjagaan yang mereka lakukan.
Ketika mereka terbangun pada pagi harinya, dan
kemudian keluar dari pondok masing-masing, tampaklah
betapa cerahnya matahari pagi. Sinar-sinarnya yang
menembus daun-daun pepohonan terpercik di atas tanah
lembab, membuat gambaran-gambaran yang menyenangkan. Seolah-olah gambaran anak-anak yang
dengan lincahnya berloncat-loncatan dengan penuh
kegembiraan menyambut hari yang bakal datang. Sedang
angin pagi mengalir lambat membawa udara sejuk segar.
Pada hari itu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya
Salaka diantar oleh Bantaran, Penjawi, Mantingan, Wirasaba
dan Wanamerta melihat-lihat keadaan di sekitar barak-
barak itu. Melihat persiapan-persiapan yang mereka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lakukan. Dari mereka itulah Mahesa Jenar mengetahui
bahwa sebagian besar rakyat Banyubiru tetap menanti
kedatangan kepala daerah perdikan mereka. ternyata
dengan bantuan yang mengalir tak henti-hentinya.
Meskipun dengan bersembunyi-sembunyi mereka dapat
mengirimkan makanan, pakaian dan senjata. Bahkan anak-
anak Banyubiru telah mendapat perkakas yang cukup untuk
membuka hutan. Karena itulah rombongan itu bukan saja
rombongan orang-orang yang menyingkirkan diri, namun
mereka termasuk perintis-perintis pula dalam perluasan
daerah pertanian Banyubiru. Sebab disamping mempersiapkan diri mereka untuk datang kembali ke
Banyubiru, mereka ternyata telah membuka hutan dan
membuat tanah pertanian. Pada hari-hari berikutnya, Mahesa Jenar, A rya Salaka dan
kawan-kawannya sempat melihat kesiapsiagaan anak-anak
Banyubiru itu. Mereka mendapat kesempatan untuk melihat
anak-anak Banyubiru itu berlatih. Mula-mula Mahesa Jenar
menjadi heran melihat kemajuan yang pesat dibandingkan
masa-masa Banyubiru beberapa tahun yang lalu. Justru
setelah mereka didorong ke tengah-tengah hutan. Tetapi
keheranan itu kemudian lenyap ketika ia melihat Mantingan
dan Wirasaba berada diantara mereka. Agaknya kedua
orang itu, disamping Penjawi dan Bantaran, yang telah
bekerja mati-matian untuk melatih anak-anak Banyubiru itu.
Melihat tingkat pengetahuan laskar Banyubiru itu, Arya


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Salaka pun berbangga pula. Ternyata bahwa mereka lebih
maju daripada laskar Gedangan. Sebaliknya, apa yang
diduga Bantaran sebelumnya ternyata benar-benar terjadi.
Dengan kehadiran Arya Salaka, laskar Banyubiru merasa
mendapat suatu karunia yang tiada taranya. Mereka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menjadi semakin teguh pada tekadnya. Kembali ke
Banyubiru. Tetapi meskipun demikian Bantaran, Penjawi dan
beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru itu masih tetap
bimbang. Bukan karena meragukan kesetiaan laskarnya,
yang menurut penilaiannya telah menyerahkan diri mereka
bulat-bulat sampai tetes darah terakhir. Tetapi sebagai
seorang pemimpin, mereka berkewajiban menilai kekuatan
mereka sendiri untuk diperbandingkan dengan kekuatan
lawan mereka. Mereka harus tidak menutup mata terhadap
kenyataan yang ada. Mereka harus memperhitungkan
bahwa laskar Pamingit yang bergabung dengan sebagian
orang-orang Banyubiru yang tidak setia terdapatlah nama-
nama besar seperti Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung
Sariti. Disamping itu Bantaran dan kawan-kawannya selalu
meragukan apakah kira-kira yang akan dilakukan Ki Ageng
Sora Dipayana apabila benar-benar terjadi bentrokan antara
dua kekuatan itu. Di pihaknya, ia yakin bahwa Kebo
Kanigara dapat diketengahkan. Bantaran pernah melihat
sendiri, paman guru Mahesa Jenar itu berhasil menyelamatkan diri setelah bertempur melawan sepuluh
orang pengawal Lembu Sora. Tetapi bila Ki Ageng Sora
Dipayana melibatkan diri dalam perselisihan itu, apakah
Kebo Kanigara dapat mengimbanginya" Kemudian Bantaran
harus menilai Mahesa Jenar pula. Dahulu, sepengetahuannya, Mahesa Jenar memiliki ilmu setingkat
dengan Gajah Sora. Ki Ageng Gajah Sora sendiri pernah
mengatakan. Tetapi sekarang Ki Ageng lembu Sora pesat
sekali maju. Ia mendapat tuntunan yang tiada henti-
hentinya dari Ki Ageng Sora Dipayana, sehingga Lembu
Sora sekarang telah melampaui kakaknya, Gajah Sora.
Sedang Mahesa Jenar, apakah yang diperolehnya selama
ini, meskipun berada di lingkungan paman gurunya" Apalagi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kemudian pimpinan laskar Banyubiru harus memperhitungkan pula Arya Salaka, yang mau tidak mau
akan berhadapan kepentingan dengan Sawung Sariti. Apa
yang mereka lihat sekarang, Sawung Sariti benar-benar
telah menjadi seorang pemuda yang luar biasa. Ia dengan
beraninya menghadapi lawan-lawannya sebagai seekor
ayam jantan di arena pertarungan. Selain itu ia dapat
bergerak dengan sangat lincahnya seperti seekor burung
sariti di udara. Apalagi ia pun telah mendapat tempaan dari
kakeknya. sehingga anak muda itu benar-benar memiliki
ilmu yang menakutkan. Meskipun dari Wanamerta,
Bantaran telah mendengar apa yang pernah terjadi antara
Arya Salaka dan Sawung Sariti, namun ia menganggap
bahwa Sawung Sariti kemudian telah lebih maju lagi dengan
pesatnya, disamping dugaan-dugaan bahwa Wanamerta
agak terlalu bangga terhadap Arya Salaka. Dalam pada itu
pimpinan laskar Banyubiru itu tidak mengada-ada. Namun
sebagai pemimpin ia harus bertindak hati-hati. Meskipun
demikian ia tidak sampai hati untuk mengatakannya kepada
Mahesa Jenar yang kemudian diharap akan dapat
memimpin laskar Banyubiru itu.
Yang dapat mereka lakukan kemudian hanyalah sebuah
pernyataan untuk meminta Mahesa Jenar memimpin laskar
Banyubiru. Sebab mau tidak mau mereka harus mengakui
bahwa Mahesa Jenar kecuali memiliki ilmu yang lebih tinggi
daripada setiap orang yang ada, mereka juga mengetahui
bahwa Mahesa Jenar adalah bekas seorang perwira prajurit
Demak. Tentu saja Mahesa Jenar tidak menolak. Bahkan ia
merasa mendapat jalan untuk menentukan cara laskar
Banyubiru berbuat. Ia ingin membuat laskar Banyubiru
laskar yang kecuali baik dalam tata cara bertempur, juga
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
harus merupakan laskar yang baik dalam bertindak. Di
dalam atau di luar lingkaran pertempuran.
Maka sejak saat itulah Mahesa Jenar mengambil
pimpinan dari tangan Bantaran dan Penjawi. Dan sejak itu
pula Mahesa Jenar menyelenggarakan latihan yang lebih
teratur untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Demikianlah, akhirnya Mahesa Jenar sampai pada suatu
saat dimana ia menganggap bahwa waktunya telah tiba
untuk berbuat sesuatu ke arah penyelesaian masalah
Banyubiru. Karena itulah maka segera mengadakan
persiapan-persiapan terakhir.
Dalam pada itu adalah diluar dugaan sama sekali, ketika
tiba-tiba datanglah seorang yang ditugaskan untuk tinggal
di Banyubiru, yang mengabarkan bahwa Banyubiru, sebuah
desas-desus yang tersebar luas mengatakan bahwa keris-
keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten kini berada di
Banyubiru. Mahesa Jenar terkejut mendengar khabar itu. Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten jelas berada di tangan
Panembahan Ismaya. Tetapi kenapa tiba-tiba orang
mendesas-desuskan bahwa keris itu berada di Banyubiru..."
Mula-mula kepada orang yang membawa khabar itu Mahesa
Jenar menanyakan, kira-kira dari manakah sumber berita
itu. Tetapi orang itu pun sama sekali tidak mengetahui.
Namun ia dapat mengatakan bahwa karena itulah maka di
Banyubiru timbul kegelisahan. Sebab adanya desas-desus
itu akan banyak akibat yang dapat terjadi.
Karena itulah Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah
didesak oleh keadaan untuk bertindak lebih cepat. Ia masih
teringat jelas bahwa golongan hitam pun sangat
memerlukan keris-keris itu. Sebenarnya ia sama sekali tidak
percaya, bahwa kedua keris itu dengan tiba-tiba saja
berada di Banyubiru, sebab ia yakin bahwa tak seorang pun
yang dikenalnya, dapat melampaui segala macam ilmu yang
dimiliki Panembahan Ismaya. Seandainya dua-tiga orang
sakti sekalipun yang datang ke Bukit Karang Tumaritis, pasti
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang-orang itu tidak akan berhasil mendapatkan Kyai
Nagasasra dan Kyai sabuk Inten, apalagi orang-orang
Banyubiru. Biarpun mereka datang bersama-sama. Ki A geng
Sora Dipayana, Ki Ageng lembu Sora dan Sawung Sariti
beserta seluruh laskarnya. Karena itu ia akhirnya sampai
suatu kesimpulan bahwa di belakang desas-desus itu pasti
tersembunyi suatu maksud.
Maka, setelah Mahesa Jenar berunding dengan Kebo
Kanigara, ia memutuskan untuk segera membawa Arya
Salaka ke Banyubiru. Sudah barang tentu Mahesa Jenar
bertindak menurut caranya, yang merupakan pancaran dari
wataknya. Ia tidak segera membawa pasukannya ke
Banyubiru sekaligus dalam persiapan tempur dengan
mempergunakan gelar perang, tetapi ia mengharap bahwa
segala sesuatu dapat diselesaikan menurut cara yang baik.
Mula-mula Bantaran, Penjawi, bahkan Wanamerta heran
melihat kelunakan sikap Mahesa Jenar itu. Bahkan mereka
menduga bahwa di dalam hati Mahesa Jenar meragukan
kekuatan laskarnya. Karena itulah maka mereka mengajukan pertimbangan lain. Mereka mendesak agar
Mahesa Jenar memaksa dengan kekuatan untuk mengusir
Lembu Sora dari Banyubiru. Sebab mereka tidak melihat
cara lain yang dapat dipergunakan selain cara itu.
Mahesa Jenar memahami sepenuhnya perasaan yang
bergolak di dalam dada Bantaran, Penjawi dan anak-anak
Banyubiru, yang terpaksa menyingkir dari kampung
halaman mereka sendiri. Mereka telah mengalami tekanan
lahir batin. Kepahitan yang selama ini harus mereka telan,
telah menyebabkan mereka menjadi dendam. Apalagi
mereka merasa bahwa mereka telah melakukan tindakan
kebenaran. Mempertahankan hak atas tanah mereka.
Mereka dikejar-kejar, dimusuhi, ditangkap dan segala
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
macam usaha yang lain untuk menakut-nakuti agar mereka
melepaskan kesetiaan mereka kepada tanah mereka. Tetapi
ternyata lebih baik bagi mereka menyingkirkan diri,
meninggalkan kampung halaman, untuk tetap mempertahankan pendirian mereka. Mempertahankan
kesetiaan mereka terhadap tanah pusaka mereka, terhadap
tanah tercinta. Karena itu Mahesa Jenar harus bersikap hati-hati
terhadap mereka. Ia tidak dapat demikian saja memaksa
mereka untuk melepaskan dendam mereka. Tetapi ia harus
berusaha menumbuhkan dari dalam diri mereka masing-
masing, pengertian tentang apa yang akan mereka lakukan.
Dengan penuh kebijaksanaan berkatalah Mahesa Jenar
kepada Bantaran, Penjawi beserta para pemimpin laskar
Banyubiru, "Saudara-saudaraku... kalau kalian gagal untuk
menginjakkan kaki kalian beserta Arya Salaka kembali ke
Banyubiru, akulah orang yang pertama-tama akan
menyatakan penyesalan yang sedalam-dalamnya. Dan
akulah orangnya yang akan menerjunkan diri, mengorbankan segala yang ada padaku untuk kepentingan
kalian. Sebab aku telah menerima penyerahan dari kakang
Gajah Sora atas putranya, Arya Salaka, beserta segala
kelengkapan atas dirinya. Diantaranya kedudukan kepala
daerah perdikan Banyubiru. Karena itu percayalah bahwa
aku akan bekerja keras untuk melaksanakan pekerjaan itu.
Tetapi berilah aku kesempatan menyelesaikan menurut cara
yang akan aku tempuh. Pertama-tama aku akan berusaha
untuk menempuh jalan yang sebaik-baiknya. Lembu Sora
adalah adik Gajah Sora. Aku masih ingin melihat bahwa
masih ada hubungan dari mereka berdua. Hubungan yang
sangat dekat. Mereka dialiri darah dari sumber yang sama.
Apabila cara ini tidak berhasil, barulah aku akan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mempergunakan cara lain. Membawa kalian serta. Tetapi
ingat, bahwa apa yang kalian lakukan bukanlah pembalasan
dendam. Yang akan kalian lakukan adalah mengambil hak
kalian kembali. Hak atas tanah kalian dan hak atas
pimpinan daerah kalian. Karena itu maka yang harus kalian
lakukan adalah sesuai dengan tujuan itu. Jangan ada
diantara kalian yang mempergunakan kesempatan ini untuk
kepentingan diri sendiri. Melepaskan dendam pribadi
kepada orang-orang yang sama sekali tidak ada sangkut-
pautnya dengan perjuangan kalian mengambil kembali
kampung halaman kalian. Kesetiaan kalian.
Aku percaya bahwa kalian akan dapat menunjukkan
kebesaran jiwa kalian, yang dengan demikian akan
menunjukkan pula perbedaan antara kalian dengan orang-
orang yang berjiwa kerdil, yang hanya mengenal
kepentingan diri daripada kepentingan bersama."
Dengan demikian pekerjaan kalian hanya terbatas
sampai hak atas tanah perdikan itu kembali. Seterusnya
kalian tidak perlu berbuat apa-apa lagi, yang barangkali
malah akan menyuramkan nama kalian. Yang harus kalian
ingat pula, bahwa kecuali kalian dan orang-orang Pamingit
itu masih ada orang-orang yang termasuk di dalam barisan
golongan hitam. Tidak mustahil kalau mereka akan mengambil setiap
kesempatan, mengail di air keruh. Kalau kalian kemudian
terlibat dalam permusuhan yang berlarut-larut, maka
dengan senangnya mereka akan datang dan membangun
istana kemenangan dia atas bangkai-bangkai kalian tanpa
bersusah-payah lagi."
Bantaran, Penjawi, Wanamerta beserta para pemimpin
laskar Banyubiru menundukkan kepala mereka. Mereka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengerti sepenuhnya apa yang baru saja didengarnya. Di
dalam hati mereka terbersitlah pengakuan atas kebenaran
kata-kata itu. Tiba-tiba mereka menjadi sadar bahwa orang-
orang Pamingit, lebih-lebih orang Banyubiru itu sendiri,
adalah saudara-saudara mereka. Ada diantara mereka yang
berkakak, beradik, berkemenakan dan bersepupu dengan
orang-orang Pamingit. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan,
"Saudara-saudaraku... kalian harus dapat menempatkan diri
kalian dalam tindakan kalian kali ini. Sekali lagi aku


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingatkan, marilah kita ambil hak kita, milik kita sendiri.
Selebihnya tidak. Apalagi apa yang dinamakan pembalasan
dendam." Pemimpin-pemimpin Banyubiru itu masih tetap berdiam
diri, namun tanpa mereka sadari, mereka telah mengangguk-anggukkan kepala mereka sebagai suatu
pernyataan setuju atas segala uraian Mahesa Jenar.
Sehingga kemudian Mahesa Jenar megakhiri pertemuan itu.
Dengan minta doa restu kepada segenap laskar Banyubiru,
ia minta diri untuk pergi ke Banyubiru. Beberapa orang
dimintanya ikut serta untuk menyaksikan apa yang akan
mereka bicarakan. Diantaranya adalah Wanamerta, Bantaran, Penjawi, dan Kebo Kanigara. Kali ini Mahesa
Jenar menganggap belum waktunya membawa serta Arya
Salaka. Rombongan ini tidak lebih daripada sebuah
rombongan utusan dari Arya Salaka selaku orang yang
berhak atas daerah perdikan Banyubiru, mengadakan
pembicaraan pendahuluan mengenai hari kemudian
Banyubiru. Mahesa Jenar masih menyangsikan apakah
keselamatan Arya Salaka tidak terancam bila ia dibawanya
serta bersama-sama dengan rombongan itu. Sebab ia masih
belum dapat menggambarkan bagaimanakah tanggapan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lembu Sora, terutama Ki Ageng Sora Dipayana atas
kehadiran Arya Salaka. Demikianlah rombongan utusan itu dilepas dengan
debaran hati segenap laskar Banyubiru yang terpaksa
menyingkir ke daerah Candi Gedong Sanga. Meskipun ada
diantara mereka yang meragukan keberhasilan pembicaraan mereka, namun cara itu merupakan cara yang
terhormat sebelum cara-cara yang lain harus ditempuh.
Arya Salaka sendiri sangat kecewa ketika Mahesa Jenar
memintanya untuk tinggal di Candi Gedong Sanga.
Sebenarnya ia ingin sekali untuk segera dapat melihat
Banyubiru. Tanah tempat ia dilahirkan, tempat ia menerima
kasih sayang ayah bunda. Ketika rombongan Mahesa Jenar
lenyap di balik batang-batang liar di daerah hutan itu, tiba-
tiba terasalah hatinya seperti tergores oleh sembilu. Tiba-
tiba ia teringat kepada ayah dan bundanya. Kepada
ayahnya yang terpaksa terpisah darinya karena pokal
pamannya. Demikian juga ibunya. Terbayanglah di dalam
otaknya, apakah yang kira-kira terjadi atas ibunya selama
ini. Selama ia tidak pernah mencium pipinya seperti pada
masa kanak-kanaknya. Karena itulah tiba-tiba hatinya
meronta. Kenapa ia tidak berlari menyusul rombongan itu.
Tetapi dalam pada itu terasalah tangan halus menyentuh
pundaknya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Rara Wilis berdiri
di belakangnya. Arya Salaka mengetahui hubungan apakah
yang terjalin antara gadis itu dengan gurunya. Karena itu ia
menghormati Rara Wilis seperti ia menghormati gurunya.
Dengan demikian ia tidak membantah ketika Rara Wilis
mengajaknya dengan penuh pengertian untuk kembali ke
dalam pondoknya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebagai seorang gadis, hati Rara Wilis mulai tersentuh.
Demikian juga ketika ia melihat betapa kecewa hati Arya
Salaka, karena ia tidak diperkenankan ikut serta bersama
gurunya. Hatinya menjadi iba.
"Jangan berduka, Arya..." nasihat Rara Wilis, "Besok atau
lusa kau akan pergi juga ke sana. Kalau saat ini pamanmu
tidak membawamu adalah semata-mata karena pertimbangan keselamatanmu."
Arya menundukkan mukanya. Ia tahu benar alasan itu,
tetapi perasaannya amatlah susah dikendalikan. Karena
Rara Wilis bagi Arya tidak ubahnya dengan gurunya, dan
orang tuanya sendiri. Maka kepadanya Arya Salaka pun
berkata terus terang, "Bibi, aku dapat mengerti sepenuhnya
kenapa Paman tidak membawa aku serta. Tetapi tiba-tiba
saja perasaan rinduku kepada tanah kelahiran itu tak dapat
aku kendalikan lagi. Lebih dari itu, betapa rinduku kepada
Bunda, yang sejak lima tahun lalu tak pernah aku dengar
khabar beritanya." Dalam pada itu, betapa Arya Salaka
berusaha sekeras-kerasnya, namun di kedua belah matanya
mengembanglah air matanya yang bening, sebening
hatinya. Mendengar pernyataan Arya Salaka, Rara Wilis terdiam.
Bahkan tiba-tiba iapun teringat kepada ibunya. Ibunya yang
sudah tidak akan dapat dijumpainya lagi. Maka iapun
menjadi berduka pula. Namun demikian ia masih mencoba
untuk menghibur hati Arya, katanya, "Arya... meskipun
tertunda beberapa waktu namun kau akhirnya akan dapat
bertemu dengan bunda tersayang. Tetapi tidaklah demikian
dengan aku, Arya. Kau masih harus mengucapkan
terimakasih, bahwa kau masih menyimpan harapan di
dalam dadamu. Sedang aku, sama sekali harapan itu telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
padam sejak lama. Aku tidak akan bertemu lagi, sekarang,
besok, lusa atau kapanpun dengan ayah bundaku."
Kemudian keduanya terdiam. Masing-masing hanyut ke
dalam dunia angan-angan. Kepada kerinduan yang
menyentuh-nyentuh perasaan masing-masing. Sehingga
ruangan itu kemudian menjadi hening sepi.
Tetapi keheningan itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara
Endang Widuri yang berlari-lari masuk. Katanya berderai
dengan penuh kegembiraan. "Bibi... alangkah banyaknya
bunga anggrek di hutan ini."
Wilis tersadar dari angan-angannya. Dengan tersenyum
kecil yang dipaksakan ia menjawab, "Adakah kau
mendapatkannya, Widuri...?"
"Inilah, Bibi..." sahut Widuri sambil menyerahkan
setangkai bunga anggrek yang berbentuk seekor kala.
"Dari manakah kau dapatkan bunga ini?" tanya Wilis.
"Di lembah sebelah itu, Bibi..." jawab Widuri.
Rara Wilis menarik nafas. Lembah di sebelah adalah
lembah yang terjal dan berbahaya. Agaknya Widuri
memang anak yang benar-benar nakal. Katanya kemudian,
"Jangan bermain-main di tempat yang berbahaya, Widuri.
Di sana banyak ular-ular berbisa. Mungkin juga ada harimau
yang buas." "Tidak Bibi," sahut Widuri dengan nakalnya. "Tidak ada
ular dan tidak ada harimau yang mengganggu. Tetapi tadi
memang ada orang yang mencoba menangkap aku."
Rara Wilis dan Arya Salaka terkejut seperti disengat kala.
Dengan penuh perhatian Rara Wilis bertanya, "Ada orang
yang akan menangkap kau...?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Widuri mengangguk seenaknya, seolah-olah peristiwa itu
sama sekali tidak penting baginya.
"Tahukah kau sebabnya...?" tanya Rara Wilis.
"Entah," jawab Widuri. "Mungkin orang itulah yang
menanam anggrek ini."
"Mustahil," sahut Arya Salaka. "Anggrek yang tumbuh di
lembah itu tak seorangpun yang menanamnya."
Widuri kemudian menjadi heran. Katanya, "Lalu kenapa
ia akan menangkap aku?"
"Itulah yang ingin kami ketahui," sela Rara Wilis. "Apakah
katanya padamu mula-mula...?"
Widuri mengingat-ingat sebentar, lalu jawabnya, "Ia
bertanya, kenapa aku berada di lembah itu."
"Bagaimana kau menjawab?" selidik Arya.
Endang Widuri menjadi jengkel pada pertanyaan-
pertanyaan itu. Tetapi ia menjawab pula, "Aku katakan
kepadanya, bahwa aku ingin bunga anggrek ini."
"Tidakkah ia bertanya tentang kau...?" tanya Wilis pula.
Karena pertanyaan-pertanyaan itu agaknya masih
panjang, Widuri kemudian menjatuhkan dirinya di samping
Rara Wilis. Dan dengan malasnya ia menjawab panjang,
sebab ia tahu bahwa kemudian pertanyaan-pertanyaan
masih akan mengalir seperti banjir. Katanya, "Ya, ia
bertanya tentang aku. Ia bertanya siapakah namaku dan
dari manakah aku datang. Aku datang bersama siapa dan
untuk apa." Ketika Arya akan mengajukan pertanyaan lagi, Widuri
sudah mendahului, "Aku jawab semuanya. Aku bernama
Endang Widuri. Aku datang dari Karang Tumaritis. Aku
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
datang bersama sahabatku yang bernama Arya Salaka
putra kepala daerah perdikan Banyubiru, yang datang untuk
mengambil haknya kembali dari tangan pamannya yang
jahat." "Kau katakan itu semua?" sela Wilis dengan cemas.
"Ya, aku katakan semua itu. Aku katakan bahwa
bersama-sama dengan kami datang pula ayah, Kebo
Kanigara, Mahesa Jenar yang perkasa bersama Bibi Rara
Wilis yang cantik." "Ssst..." potong Rara Wilis. "Jangan nakal," bisiknya. Mau
tidak mau ia harus tersenyum. Namun berita itu bagi Arya
Salaka dan Rara Wilis merupakan berita yang cukup
penting. Karena itu ia ingin kelanjutan cerita Widuri,
meskipun ia tidak sabar mendengar cara Widuri berkisah.
"Lalu, apakah yang dilakukannya?" tanya Arya Salaka.
"Orang itu tiba-tiba menjadi sangat menakutkan.
Matanya terbelalak dan dengan marah ia memaksa aku
untuk ikut serta bersamanya," jawab Widuri.
Wilis menarik nafas sekali lagi. Pasti ada hal-hal yang
sama sekali tidak pada tempatnya.
"Apakah orang itu bukan orang diantara kita di sini?"
tanya Wilis. Mendengar pertanyaan Rara Wilis, Endang Widuri
tertawa, lalu jawabnya, "Pasti bukan, Bibi. Kalau orang itu
salah seorang diantara kita pasti ia tidak akan bertanya
tentang aku." Sekali lagi Rara Wilis terpaksa tersenyum. Katanya,
"Maksudku adalah untuk menguatkan dugaanku bahwa
orang itu pasti mempunyai kepentingan yang rahasia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terhadap kita di sini. Terhadap seluruh kekuatan anak-anak
Banyubiru." Endang Widuri mengerutkan keningnya. Agaknya baru
sekarang ia sadar bahwa apa yang dilakukan oleh orang itu
adalah jauh lebih berbahaya daripada seorang pemilik
anggrek yang kehilangan bunganya. Karena itu tiba-tiba ia
bercerita dengan penuh minat. "Bibi, memang agaknya
orang itu sangat aneh. Ketika ia marah kepadaku, aku
minta maaf bahwa aku memetik bunganya sebelum aku
minta izin kepadanya. tetapi agaknya ia sama sekali tidak
memperhatikan." Endang Widuri berhenti sejenak untuk
mengingat apa yang baru saja terjadi. Kemudian ia
meneruskan, "Bahkan kemudian ia berusaha untuk
menangkap aku. Tentu saja aku tidak mau. Maka ketika ia
memaksa, aku terpaksa melawannya." Kemudian tiba-tiba
Endang Widuri tegak berdiri. Sambil menirukan beberapa
gerak yang lincah, ia bercerita tentang perkelahiannya.
Widuri sebenarnya seorang gadis yang memiliki ilmu tata
beladiri jauh lebih dewasa dari sifat-sifatnya yang kekanak-
kanakan. Dalam persoalan tata beladiri, Widuri telah dapat
disejajarkan dengan tokoh-tokoh yang cukup mempunyai
nama cemerlang. Tetapi karena ia
tidak pernah meninggalkan padepokan, maka hampir tak seorang pun
yang mengenalnya. Ditambah lagi dengan sifatnya sebagai
gadis tanggung yang selalu dimanja oleh ayahnya. Dengan
demikian perkelahian yang baru saja terjadi itu pun b aginya
seolah-olah hanya permainan yang tidak menyenangkan.
Maka, katanya mengakhiri ceriteranya, "Tetapi ternyata
orang itu hanya besar kepala saja. Tenaganya tidak lebih
dari seekor kelinci. Meskipun demikian, karena aku tidak
bersedia untuk berkelahi, maka aku mengenakan kain
panjang ini. Dan ketika aku lupa, dan menyerangnya
dengan kaki, kainku jadi sobek karenanya," kata Endang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Widuri mengakhiri ceritanya. Lalu dengan bersungut-sungut
ia menunjukkan kain panjangnya yang sobek lebih dari dua
cengkang di bagian belakang.
Endang Widuri kemudian duduk kembali di samping Rara
Wilis. sedang Arya Salaka dan Rara Wilis terpaksa
menggelengkan kepala. Kemudian bertanyalah Arya Salaka,
"Kau apakan kemudian orang itu...?"
"Ia kemudian melarikan diri, dan lenyap di dalam
gerumbul-gerumbul liar di lembah itu," jawab Endang
Widuri. Berita itu bagi Rara Wilis dan Arya Salaka sangat penting
artinya. Karena itu kemudian Arya minta diri untuk
menemui Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang selama
Mahesa Jenar bersama-sama beberapa orang pergi ke
Banyubiru, merekalah yang diserahi pimpinan atas anak-
anak Banyubiru. "Berita itu sangat penting, Angger," kata Mantingan
setelah dengan seksama mendengarkan cerita Arya Salaka
tentang Endang Widuri. "Bagaimana mungkin penjagaan
kita yang kuat dapat diterobos, kalau bukan oleh orang
yang cukup tangguh. Meskipun demikian aku heran juga,


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa Endang Widuri dapat mengalahkannya."
Tiba-tiba Arya Salaka menjadi bangga atas pujian itu.
Pujian untuk Endang Widuri. Karena itu tanpa dikehendakinya sendiri ia telah ikut serta memuji gadis
tanggung itu. Mantingan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Pantaslah kalau ia putri Kakang Kebo Kanigara. Apalagi
selama ini Endang Widuri berada dalam lingkungan yang
menguntungkan. Bersama-sama dengan Angger, gadis itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
merupakan pasangan berlatih yang mengagumkan,"
gumamnya kepada Arya Salaka.
Terasa wajah Arya Salaka menjadi panas. Maka
berusahalah ia menjawab, "Apakah Paman pernah melihat
aku atau Widuri berlatih?"
Mantingan tertawa lirih. Umurnya yang telah menjangkau
lebih dari setengah abad itu telah menjadikannya orang
yang cukup mengenal perasaan seseorang. Apalagi
berhubungan dengan pekerjaannya sebagai seorang
dalang. Karena itu ia tidak melanjutkan gurauannya. Apalagi
persoalan yang dihadapinya cukup penting. Sehingga
segera ia kembali pada persoalan berita yang dibawa oleh
Endang Widuri. "Apakah yang sebaiknya kami lakukan?" Mantingan
mencoba untuk mendapat pertimbangan dari Wirasaba,
Arya Salaka dan Jaladri. Sesudah berpikir sejenak,
berkatalah Wirasaba, "Satu hal yang patut menjadi
pertimbangan adalah, orang itu telah mengetahui bahwa di
sini ada Adi Mahesa Jenar, Kakang Kebo Kanigara, Angger
Arya Salaka, dan yang dikenalnya langsung adalah Angger
Widuri sendiri. Orang itu pasti akan mengatakan bahwa di
sini ada seorang gadis kecil yang sangat berbahaya. Kalau
gadis itu telah dapat mengalahkannya, apalagi orang-orang
yang bernama Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya
Salaka." Mantingan mengangguk membenarkan. Padahal Kebo
Kanigara, Mahesa Jenar dan beberapa orang lain sedang
berada di perjalanan ke Banyubiru.
"Kalau demikian..." sambung Jaladri, "Tempat kita ini
berada dalam bahaya. Kalau mereka mengetahui bahwa
orang-orang yang bernama Kebo Kanigara dan Mahesa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jenar sedang berada di perjalanan, mungkin sekali mereka
akan mempergunakan kesempatan itu. Mencegat mereka
atau menyerang tempat ini."
"Baiklah adi Jaladri," sahut Mantingan. "Apakah jeleknya
kalau kita berhati-hati. Siapkan orang-orangmu dan
perkuatlah penjagaan di sekitar tempat ini. Mungkin ada
sesuatu yang tidak kita harapkan bisa terjadi."
Jaladri segera melaksanakan tugas itu. Dipanggilnya
beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru dan diberinya
mereka petunjuk-petunjuk. Mereka sejak saat itu harus
sudah siaga tempur. Setiap saat bahaya dapat datang.
Maka sibuklah daerah perkemahan itu dengan berbagai
persiapan. Beberapa orang menyiapkan perlengkapan-
perlengkapan, beberapa orang lagi mengasah senjata-
senjata mereka. Dengan demikian maka perkemahan itu
diliputi oleh suasana yang tegang.
Ketika kemudian malam turun perlahan-lahan, seolah-
olah tersembul dari hutan di sekitar perkemahan itu, anak-
anak Banyubiru menjadi semakin siaga. Penjagaan mereka
menjadi semakin rapat. Apalagi penjagaan atas pondok
Rara Wilis dan Widuri. Sebab mereka mengira bahwa kedua
gadis itu sangat memerlukan penjagaan. Kecuali Mantingan,
Wirasaba dan Jaladri, yang kecuali sudah mendengar berita
perkelahian antara Widuri dan orang yang mengandung
rahasia itu, sebenarnya dari gerak-gerik kedua gadis itu
mereka sudah menduga bahwa mereka bukanlah gadis
seperti kebanyakan gadis-gadis yang lain.
Sementara itu orang-orang Banyubiru telah dikejutkan
oleh kedatangan sebuah rombongan kecil orang-orang
berkuda. Dua orang yang di depan mempunyai perawakan
yang sedang, tegap dan kuat. Seorang memakai baju hijau
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
gadung, kain lurik hijau gadung pula. Di atas kuping
kanannya terselip sekuntum bunga melati hutan. Sedang di
sebelahnya, yang seorang lagi berbaju lurik bergaris-garis
tebal berwarna coklat dan berkain lurik merah soga berikat
kepala biru gelap. Dengan wajah tengadah mereka memegangi kendali
kuda-kuda mereka, yang dengan tegap berjalan ke arah
pusat kota. Beberapa orang yang menyaksikan mereka
berdua terpaksa menarik nafas dalam-dalam. Meskipun
mereka belum pernah mengenalnya, namun mereka seolah-
olah melihat dua ekor burung rajawali yang dengan
megahnya terbang di udara. Sedang bagi mereka yang
pernah mengenalnya lima tahun yang lalu, segera
bergumam di dalam mulutnya, dengan mata terbelalak
penuh keheranan. "Bukankah yang menyelipkan bunga di
telinga kanannya itu pernah tinggal di Banyubiru beberapa
tahun yang lalu, dan bernama Mahesa Jenar...?" Tetapi
segera mereka menjadi semakin heran, ketika mereka
kemudian memandang tiga orang berkuda di belakang
sepasang rajawali itu. Dan mereka segera meneruskan
gumam mereka, "Dan bukankah mereka itu Ki Wanamerta,
Penjawi dan Bantaran...?"
Mula-mula orang-orang Banyubiru itu hanya saling
memandang diantara mereka. Tetapi ketika seorang
diantara mereka tanpa disengaja menyebut nama Mahesa
Jenar agak keras, terdengarlah mereka menjawab
bersahutan, "Ya, orang itulah Mahesa Jenar."
"Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia datang bersama Bantaran
dan Penjawi, bahkan dengan Ki Wanamerta?" terdengar
suara yang lain. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tak seorangpun yang menyahut. Malahan mereka tiba-
tiba menjadi bingung. Sebab Bantaran dan Penjawi bagi
penduduk Banyubiru yang tetap tinggal di kampung
halaman mereka serta tidak terlalu banyak mengerti
tentang seluk-beluk tanah mereka sendiri, merupakan
tokoh-tokoh yang membingungkan. Kadang-kadang penduduk Banyubiru itu mengharap-harap kedatangan
mereka, namun kadang-kadang mereka tiba-tiba membencinya sebagai orang-orang yang selalu membawa
bencana. Daerah-daerah, desa-desa dan pedukuhan-
pedukuhan yang disinggahi oleh Bantaran dan Penjawi
dalam saat-saat terakhir ini, merupakan tanda tidak baik
bagi penduduknya. Sebab sesaat kemudian akan datanglah
pasukan-pasukan dari Pamingit dan Banyubiru sendiri untuk
mengadu dan menangkapi beberapa orang untuk diperiksa.
Sekarang penduduk Banyubiru itu melihat Bantaran dan
Penjawi datang bersama-sama dengan Mahesa Jenar.
Seorang yang dapat disejajarkan dengan pepunden mereka,
Ki Ageng Gajah Sora. Malahan bagi orang-orang Banyubiru
itu tampaklah Mahesa Jenar seperti Ki Ageng Gajah Sora itu
sendiri, yang datang kembali ke kampung halamannya.
Tetapi sedemikian jauh, mereka hanya dapat saling
berbisik diantara mereka sendiri. Tak seorangpun diantara
mereka yang berani maju ke depan dan bertanya tentang
teka-teki yang berputar-putar didalam benaknya.
Rombongan Mahesa Jenar itu pun merasakan, bahwa
setiap orang yang melihat kedatangan mereka menjadi
heran dan bertanya-tanya diantara mereka. Tetapi
rombongan itu pun tetap berdiam diri seperti sama sekali
tak ada orang yang melihat mereka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah rombongan itu dengan tenangnya terus
berjalan, lewat jalan-jalan sempit diantara daerah-daerah
persawahan, menembus jalan-jalan desa dan melintasi
jembatan-jembatan bambu di atas parit-parit yang
mengalirkan airnya yang jernih.
"Kakang Kanigara..." tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar
berbisik. "Adakah Kakang melihat sesuatu yang tidak
sewajarnya?" "Ya" jawab Kanigara. "Tetapi itu sudah agak jauh lewat."
Mahesa Jenar mengangguk. Katanya, "Kalau demikian
apa yang Kakang lihat, aku lihat pula."
Kemudian kembali mereka berdiam diri. Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara masih sibuk menduga-duga orang aneh
yang dijumpainya sesaat sebelum mereka memasuki tlatah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Banyubiru. Seorang berkuda, yang seolah-olah membayangi
perjalanan mereka dari punggung-punggung perbukitan.
Tetapi ketika rombongan itu memasuki daerah Banyubiru,
segera orang itu lenyap di seberang bukit.
Tiba-tiba Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta segenap
orang dalam rombongan itu terkejut, ketika mereka
mendengar derap beberapa ekor kuda yang berlari kencang
ke arah mereka. Dan belum lagi mereka mengucapkan
kata-kata, dari balik tikungan di depan mereka muncullah
sebuah rombongan orang berkuda pula. Lebih dari
limabelas orang. Mahesa Jenar mengendorkan lari kudanya, diikuti oleh
kawan-kawannya. Mereka masih belum mengetahui,
apakah tujuan orang-orang berkuda itu. Maka ketika
rombongan itu menjadi semakin dekat, dan tidak
mengurangi kecepatan mereka, Mahesa Jenar beserta
keempat kawannya segera menepi. Agaknya orang-orang
berkuda itu tergesa-gesa. Demikianlah rombongan itu
dengan cepatnya berlari melintas. Beberapa orang menoleh
kepada Mahesa Jenar, tetapi beberapa orang yang lain
agaknya tidak peduli. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara segera
menutup hidung mereka, supaya tidak dimasuki debu yang
berhambur-hamburan di belakang rombongan itu.
Tetapi ketika rombongan itu telah melampauinya, tiba-
tiba terdengarlah sebuah aba-aba dari antara mereka. Dan
dengan tiba-tiba pula rombongan itu berhenti bersama-
sama, sehingga kuda-kuda mereka meringkik dan berputar-
putar. Kemudian beberapa orang diantara mereka tiba-tiba
memutar kuda mereka, dan berlari ke arah rombongan
Mahesa Jenar. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika Mahesa Jenar memandang Kanigara, Kanigara pun
sedang memandangnya. Dengan kedipan mata, Kanigara
memberi isyarat kepada Mahesa Jenar dan ketiga kawannya
yang lain. Sebab bagaimanapun juga, sesuatu yang tak
diharapkan dapat terjadi karena orang-orang itu masih
belum mereka kenal sama sekali.
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi segera mempersiapkan diri. Sebagi utusan yang bermaksud
menempuh penyelesaian yang baik, mereka tak bersenjata,
kecuali di punggung mereka terselip sebilah keris sebagai
suatu kelengkapan yang lazim. Karena itu, ketika mereka
melihat keadaan yang tidak menentu, segera mereka
memutar keris mereka di lambung kiri.
Beberapa orang itu menjadi semakin dekat, dan ternyata
yang lainpun mengikuti mereka pula. Dan semakin dekat
mereka itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya menjadi
semakin bersiap pula untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Seorang yang bertubuh besar berkulit hitam mengkilap
dan bermata tajam seperti mata serigala mengendarai
kudanya paling depan dan langsung mengarah kepada
Kebo Kanigara. Melihat orang itu datang kepadanya,
Kanigara pun segera menyambutnya. Mula-mula orang itu
menghentikan kudanya beberapa langkah dari Kebo
Kanigara, kemudian memandangnya dengan tajam. Baru
beberapa saat kemudian ia bertanya, "Ki Sanak, siapakah
kalian ini, dan apakah keperluan kalian?"
Kanigara tidak segera menjawab. Tetapi dengan matanya
ia minta pertimbangan kepada Mahesa Jenar yang sedikit
banyak sudah mengenal daerah Banyubiru. Ketika Mahesa
Jenar menggeleng kecil, tahulah Kebo kanigara, bahwa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang-orang itu bukanlah orang-orang Banyubiru. Karena
itu segera ia menjawab, "Apakah Ki Sanak bukan orang
Banyubiru?" Orang itu mengerenyitkan keningnya. Ia tidak senang
pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula. Karena itu
dengan kasar ia mengulangi pertanyaannya, "Aku bertanya
kepadamu, siapakah kalian ini?"
Kebo Kanigara tidak ingin bertengkar. Karena itu ia
menjawab, "Kalau kalian belum mengenal kami, pastilah
kalian bukan orang Banyubiru, sebab kami adalah penduduk
daerah ini." Orang itu memandang Kebo Kanigara dengan penuh


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecurigaan. Kemudian dipandanginya Mahesa Jenar,
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi berganti-ganti. "Benarkah kalian penduduk Banyubiru...?" desaknya.
Wanamerta mendesak maju. Kemudian ia menyahut,
"Sejak lahir aku tinggal di daerah ini. Kau curiga...?"
Tiba-tiba orang itu tertawa. Jawabnya, "Tidak kakek tua.
Aku percaya kalau kau orang Banyubiru. Sebab bentuk
kalian mengingatkan aku kepada bentuk-bentuk batu padas
yang berbongkah-bongkah keras dan kasar."
Wanamerta tersinggung oleh jawaban itu. Tetapi ia
didahului oleh Kebo Kanigara yang mengenal gelagat.
Katanya, "Sesudah kalian tahu bahwa kami adalah orang-
orang Banyubiru, maka kami pun ingin mengetahui,
siapakah kalian dan dari manakah kalian?"
Sekali lagi orang itu tertawa. Jawabnya, "Aku baru saja
menemui kepala daerah perdikan kalian. Tetapi orang itu
ternyata keras kepala."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kau benar," sahut Mahesa Jenar. "Orang itu memang
keras kepala. Tetapi apakah keperluan kalian?"
Tiba-tiba orang itu terdiam. Lalu ia mendorong kudanya
beberapa tapak maju mendekati Kebo Kanigara. Dengan
perlahan-lahan hampir berbisik ia bertanya, "Ki Sanak, aku
lihat kalian bukanlah orang kebanyakan. Karena itu kalian
pasti sudah tahu bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten berada di Banyubiru. Nah katakan kepadaku,
siapakah yang menyimpan kedua keris itu."
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta ketiga kawannya
terkejut mendengar pertanyaan itu. Untunglah bahwa
mereka segera dapat menguasai diri, sehingga perasaan itu
tidak terlalu membekas di wajah mereka. Tetapi pertanyaan
itu merupakan penegasan dari berita-berita yang mengatakan bahwa di Banyubiru tersebar desas-desus,
yang menyatakan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
berada di tempat itu. Karena itu tiba-tiba Kanigara ingin mengetahui dengan
pasti, siapakah orang-orang itu. Demikian juga agaknya
Mahesa Jenar dan bahkan ketiga kawan-kawannya. Maka
bertanyalah kemudian Kebo Kanigara, "Dari manakah kalian
mendengar berita tentang kedua keris itu?"
Orang berkulit hitam dan bermata serigala itu tertawa.
"Apakah untungmu mengetahui dari mana aku mendengarnya?" Kanigara menyahut, "Sayang, kau mimpi di siang hari.
Tak ada keris di tanah perdikan Banyubiru, kecuali kerisku
sendiri serta keris kawan-kawanku ini."
"Jangan begitu, Ki Sanak," potong orang itu. "Kalau kau
mau menunjukkan kepadaku, kau akan menerima hadiah
cukup." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Apakah hadiah itu?" sela Mahesa Jenar.
"Apa saja yang kau kehendaki. Uang" Emas atau
permata?" jawab orang itu.
"Sayang kami tidak mengetahuinya," desis Mahesa Jenar.
Pandangan orang bermata serigala itu menjadi semakin
tajam. Sekali dua kali ia menengok kepada kawan-
kawannya yang berada di belakangnya, seolah-olah ia ingin
mengetahui kesiapsiagaan mereka.
"Memang orang-orang Banyubiru keras kepala," gumam
orang itu. "Seperti kepala daerah perdikannya."
"Ki Sanak..." kata Kebo Kanigara kemudian, "Yang paling
mengetahui segala sesuatu di Banyubiru ini adalah Ki A geng
Lembu Sora. Kalau kau tadi telah menemuinya, maka
kenapa tidak kau tanyakan kepadanya" Atau barangkali
kalau kau sudah menanyakannya dan dijawabnya kedua
keris itu tidak berada di Banyubiru, maka jawaban itu
pastilah benar." Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya
semakin menunjukkan ketidakpuasannya. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menyabarkan diri dan
berkata ditahan-tahan. "Kalian tinggal memilih. Menunjukkan di mana keris itu berada dan menerima
hadiah atau tidak mau menjawab, tetapi kalian binasa.
Kanigara masih tetap berkata dengan sabarnya, "Ki
Sanak. A pakah yang akan kami katakan tentang kedua keris
itu, kalau kami benar-benar tidak mengetahuinya?"
Orang berkulit hitam itu sekali lagi menengok kepada
kawan-kawannya dan seperti orang minta pertimbangan ia
berkata, "Apakah yang sebaiknya kami lakukan atas orang-
orang ini?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Terserah Ki Lurah," jawab salah seorang diantara
mereka. "Hem...." ia menarik nafas. "Ki sanak, kami merasa perlu
untuk memberi pelajaran kepada kalian, sekaligus memberi
peringatan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Kalau ia akan
tetap berkeras kepala, nasib rakyatnya akan tidak
menyenangkan. Sekali lagi aku memberi kesempatan
kepada kalian untuk menunjukkan kepada kami di mana
kedua keris itu disimpan. Menilik sikap, pakaian dan
keadaan kalian, kalian adalah orang-orang penting di
Banyubiru ini. Tetapi kalau kalian tetap tidak mau bicara,
maka kalian akan menjadi orang pertama yang akan kami
jadikan korban. Kalian akan kami bunuh dengan cara yang
mengerikan. Mata kalian akan kami copot dari batok kepala
kalian. Dada kalian akan kami silang dengan pisau dan isi
perut kalian akan kami tumpahkan keluar. Nah, bukankah
itu mengerikan" Setiap hari akan kami lakukan hal yang
serupa sampai kepala daerahmu atau seseorang mau
mengatakan kepada kami, baik karena ketakutan maupun
karena ia ingin hadiah, di mana kedua keris itu berada."
Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Apalagi
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sebagai orang-orang
Banyubiru yang sebenarnya.
Penjawi, yang paling muda diantara mereka, adalah
orang yang berdarah paling panas. Ia segera mendesak
maju. Sebenarnya ia dapat membiarkan saja hal itu berlaku
di Banyubiru. Sebab itu adalah tanggungjawab Lembu Sora
pada saat ini. Sedang mereka sendiri pada saat itu agaknya
mungkin sekali untuk menyelamatkan diri. Tetapi sebagai
seorang yang berangan-angan masa depan yang gemilang
bagi rakyat Banyubiru, ia tidak dapat berpangku tangan.
Terbayanglah di dalam otak Penjawi, masa yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengerikan akan berlangsung di Banyubiru. Masa duka
yang bersusun-susun. Beban yang berat, serta usaha-usaha
penyingkiran yang dilakukan oleh Lembu Sora atas orang-
orang yang setia kepada tanah tercinta, dengan berbagai
macam cara. Bahkan kalau perlu dengan mengadakan
pembunuhan. Akan ditambah lagi dengan pameran
pembunuhan oleh pihak lain. Yang dapat dipastikan, orang-
orang itu datang dari golongan hitam.
Maka berkatalah Penjawi dengan lantangnya, "Ki Sanak.
Dengan semua keteranganmu dan caramu menakut-nakuti
kami, kami dapat memastikan bahwa kalian datang dari
daerah yang kelam. Dari dunia yang penuh dengan noda-
noda dan dosa-dosa. Kalian adalah orang-orang yang kami
namakan golongan hitam. Sebab hati kalian adalah hati
yang berwarna hitam. Sekarang kalian mencoba menakut-
nakuti kami, dan rakyat kami. Tetapi kami sama sekali tidak
takut. Sebab kami berdiri diatas kebenaran. Meskipun
demikian kami ingin menjelaskan kepadamu sekali lagi,
bahwa sebenarnyalah keris-keris itu tidak ada pada kami.
Tidak ada di Banyubiru. Karena itulah, baik kami maupun
Lembu Sora tak akan dapat mengatakan di mana keris itu
disimpan." Kata-kata Penjawi terpotong oleh suara tertawa yang
mengerikan. Orang yang bermata serigala itu tiba-tiba
menjadi buas. Matanya semakin lama semakin liar dan
berwarna merah. Dengan marahnya ia berteriak, "Jangan
mengigau. Aku tidak peduli apakah kau menganggap aku
orang-orang hitam, merah, hijau atau apa saja. Tetapi
kalau kau tetap berkeras kepala, kami akan melakukan
rencana kami, dan mayat kalian akan kami sebarkan ke
segenap sudut Banyubiru."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Juga Penjawi menjadi marah. Wajahnya menjadi tegang
dan berwarna darah. Bantaran dan Wanamerta kemudian
segera mempersiapkan diri. Namun dalam ketegangan itu
masih terdengar suara Kanigara tenang, "Ki Sanak. Apa
yang akan kalian lakukan kepada kami, adalah tanggungjawab kami dan kewajiban kami untuk melindungi
diri. Tetapi agaknya kalian sama sekali belum mengenal
kami. Orang-orang Banyubiru yang berjiwa jantan. Nyawa
kami telah lama kami letakkan di ujung pengabdian kami.
Karena itu sebaiknya kalian mempertimbangkannya sekali
lagi." Kembali terdengar orang yang berkulit hitam dan
bermata serigala itu tertawa keras-keras seperti hampir gila.
Dengan buasnya ia menjawab, "Apakah arti kejantanan
orang Banyubiru bagi kami. Selama darah kalian masih
merah, serta kalian masih belum dapat melenyapkan diri
dalam satu kerdipan mata, maka kalian adalah korban-
korban kami yang menyenangkan. Ketahuilah, bahwa kami
datang dari Nusa Kambangan mengemban tugas dengan
kekuasaan penuh." Meskipun orang-orang Banyubiru itu sudah menduga
sebelumnya, bahwa gerombolan itu adalah gerombolan
hitam, namun hati mereka tergetar pula. Bahkan kemudian
terdengar Mahesa Jenar menyahut, "Apakah kalian anak
buah Ular Laut?" "Nah..." sahut orang itu. "Kau pasti pernah mendengar
kebesaran namanya. Dengan tangannya ia akan dapat
menyapu bersih segenap isi Banyubiru.
"Hem," gumam Mahesa Jenar. "Agaknya pengetahuanmu
terlalu sempit. Kau belum tahu betapa dahsyatnya tangan
Ki Ageng Lembu Sora. Apakah artinya Jaka Soka baginya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Barangkali kau juga belum mendengar tentang putranya
yang bernama Sawung Sariti."
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia
menjawab dengan kasarnya, "Omong kosong semuanya.
Andaikata kau berkata benar, maka Kyai Nagapasa akan
dapat menyelesaikan dengan sangat mudahnya."
"Kyai Nagapasa...?" ulang Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara hampir bersamaan.
Orang itu tertawa kembali. Katanya, "Kau menjadi pucat
seperti mayat mendengar nama itu."
"Bagaimana aku menjadi pucat mendengar nama yang
tidak berarti itu. Bahkan mendengar pun aku belum
pernah," jawab Mahesa Jenar.
"Itu pertanda kepicikan pendengaranmu." Orang itu
menjelaskan dengan bangga. "Kyai Nagapasa adalah nama
ilmu pamungkas perguruan Nusa Kambangan. Dengan
nama itu pula kami sebut orang yang memiliki dan
mengembangkan. Ia adalah guru Jaka Soka."
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Agaknya
benar-benar akan terjadi peristiwa-peristiwa yang menggemparkan. Kini yang berhadapan bukan saja tokoh-
tokoh muda dari kalangan hitam, namun agaknya tokoh-
tokoh tua, guru-guru merekalah yang mengambil alih
persoalan. Dalam sepintas, membayanglah di dalam angan-
angan Mahesa Jenar akan nama-nama Pasingsingan,
Umbaran, Sima Rodra dari Lodaya, Bugel Kaliki dari Lembah
Gunung Cerme, Sura Sarunggi yang telah kehilangan kedua
muridnya dari Rawa Pening, dan sekarang terdengar lagi
sebuah nama Kyai Nagapasa. Namun disamping itu ia
menjadi puas karena pancingannya berhasil untuk
mengetahui asal orang-orang itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat Mahesa Jenar terdiam, orang itu mengangkat
dadanya. Ia merasa bahwa orang-orang Banyubiru itu
menjadi ketakutan. Karena itu sekali lagi ia menggertak,
"Nah, adakah kalian mau berkata tentang kedua keris itu,
setelah kalian mendengar nama-nama yang berdiri di
belakang kami?" Orang yang berwajah buas, bermata serigala itu menjadi
terkejut sekali ketika ia mendengar Mahesa Jenar
menjawab, "Sampaikan salamku kepada Jaka Soka, apabila


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau sempat pulang kembali."
Dengan mata terbelalak orang itu memandang Mahesa
Jenar seperti ingin menelannya bulat-bulat. Sikapnya yang
seolah-olah menganggap Jaka Soka tidak lebih dari dirinya,
menyebabkan orang bermata serigala itu marah bukan
kepalang. Ia menganggap Mahesa Jenar orang yang tak
tahu diri. Dengan membentak-bentak ia berkata, "Ayo,
mintalah maaf atas kelancangan mulutmu itu. Kalau tidak,
kau akan mati dengan menderita."
"Penderitaan bagi laki-laki bukanlah hal yang sangat
menakutkan," jawab Mahesa Jenar. Jawaban itu kembali
sangat mengagetkan anak buah Jaka Soka, sehingga
dengan demikian ia sudah tidak merasa perlu untuk
berbicara lebih banyak. Dengan lantangnya ia berkata
kepada anak buahnya, "Kepung kelinci-kelinci yang tak tahu
diri ini." Agaknya orang-orang Nusa Kambangan itu telah benar-
benar terlatih dan berpengalaman. Sebab demikian mereka
mendengar aba itu, dalam waktu sekejap mereka telah
bergerak dengan cepatnya membentuk sebuah gelang yang
melingkari Mahesa Jenar beserta ke tempat kawan-
kawannya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bersamaan dengan itu, ternyata Wanamerta, Bantaran
dan Penjawipun telah siap pula dengan keris ditangan
kanan dan kendali kuda ditangan kiri. Tetapi Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara tampak masih tenang-tenang saja.
Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan seolah-
olah mereka sedang mempertimbangan bersama apakah
yang akan mereka lakukan. Tiba-tiba tampaklah Mahesa
Jenar tersenyum. Dengan sangat tenangnya, seolah-olah
tidak terjadi apapun pada saat itu ia berkata kepada orang
yang berkulit hitam dan bermata serigala itu. "Ki Sanak,
apakah yang akan kalian lakukan?"
Melihat ketenangan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara,
orang itu menjadi heran. Malahan kemudian ia merasakan
betapa besarnya perbawa kedua orang itu. Namun
demikian, untuk menutupi kekerdilan diri, ia berteriak
lantang, :Aku akan melaksanakan kata-kataku. Mencincang
kalian dan melemparkan ke segenap sudut Banyu Biru."
Mahesa Jenar tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, "Kau
salah hitung. Kau akan melakukan pekerjaan itu di atas
kampung halamanku. Di sekitar sanak kadangku. Betapa
tangguhnya kalian semuanya ini. Namun apabila seorang
diantara para petani di sawah atau anak-anak yang sedang
bermain melihat perkelahian ini, maka dengan memukul
kentongan mereka akan mengerahkan segenap penduduk
Banyubiru yang berjumlah ribuan orang, untuk mengepung
kalian, dan justru kalianlah yang akan ditangkap oleh
mereka. Meskipun demikian kalian tak usah cemas, bahwa
kalian akan mengalami siksaan, apalagi dicincang. Sebab
kami, penduduk Banyubiru mendasarkan watak kami
kepada ketaatan. Kami mengagungkan nama Tuhan Yang
Maha Esa, yang akan kami ujudkan dalam pengalaman
kami dalam hidup sehari-hari."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Perkataan Mahesa Jenar itu ternyata berkesan di hati
orang bermata serigala itu. Tampaklah wajahnya yang buas
itu menjadi tegang. Alisnya seolah-olah bertemu satu sama
lain di atas hidungnya yang besar. Dengan liarnya ia
memandang jauh-jauh ke sawah di sekitarnya, ke desa
yang terdekat, dan ke segenap sudut dan persimpangan
jalan. Pematang-pematang di sawah, pagar-pagar batu yang
mengelilingi desa-desa terdekat, gunduk-gunduk padas di
tepi jalan, tiba-tiba di mata orang itu berubah menjadi
orang-orang yang dengan cermatnya mengawasi segala
gerak-geriknya. Apalagi ketika jauh-jauh dilihatnya beberapa orang, ya... orang yang sebenarnya sedang
menggarap sawahnya. Hati orang itu tiba-tiba menjadi
kecut. Apalagi kemudian Mahesa Jenar berkata, "Ki Sanak...
jangan ganggu kami di tanah sendiri. Kalian hanya dapat
datang kemari dalam saat-saat tertentu dan dalam jumlah
tertentu. Tetapi kami berada di tempat ini di segala waktu,
dan jumlah kami tak akan terhitung olehmuu."
Ternyata perkataan Mahesa Jenar itu merupakan sebuah
pukulan terakhir yang benar-benar tak terlawan oleh orang
bermata serigala itu. Apalagi ketika ia melihat kawan-
kawannya menjadi gelisah. Gelisah oleh kata-kata Mahesa
Jenar itu. Maka tiba-tiba terdengarlah ia berteriak nyaring
dan bersamaan dengan itu, ia menarik kendali kudanya
untuk kemudian lari secepat-cepatnya meninggalkan
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara beserta Wanamerta,
Bantaran dan Penjawi yang menjadi terheran-heran melihat
peristiwa itu. Melihat orang berwajah serigala itu dengan
pucat berlari sejadi-jadinya diikuti oleh seluruh anak
buahnya. Meskipun demikian, untuk kepuasan perasaan
mereka, orang-orang Nusa Kambangan itu masih SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menggemakan ancaman, "Awaslah kalian orang-orang
Banyubiru. Aku akan datang pada waktunya dengan seluruh
orang-orang kami." Gema ancaman itu memukul lereng-
lereng bukit kecil yang banyak berserakan di sekitar daerah
itu dan bergulung-gulung berulang beberapa kali. Namun
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hanya tersenyum saja.
Beberapa saat kemudian terdengar suara Wanamerta
bergumam, "Angger, kenapa orang-orang itu dibiarkan saja
pergi?". Mahesa Jenar menoleh. Dengan tenang ia menjawab,
"Kami berada di daerah yang tak kami kenal. Kami tidak
yakin bahwa apabila kami bertempur melawan orang-orang
itu, Lembu Sora akan membenarkan sikap kami. Kalau
kejadian ini dianggapnya akan dapat membahayakan
ketenteraman Banyubiru, maka ia dapat mempergunakan
persoalan ini sebagai alasan untuk melakukan hal-hal yang
tidak kami inginkan. Karena itu sebaiknya kami menghindarkan diri dari segala peristiwa yang dapat
merugikan perjalanan kami, meskipun kami nyata-nyata
tidak memulainya." Wanamerta mengangguk-anggukkan kepala penuh pengertian. Demikian juga Bantaran dan Penjawi. Perlahan-
lahan mereka menyarungkan keris-keris mereka kembali.
Kemudian rombongan itu meneruskan perjalanannya
perlahan-lahan. Tetapi dengan demikian mereka jadi
tertunda untuk beberapa waktu. Namun demikian sesuatu
yang penting telah mereka alami. Yaitu, mereka tidak lagi
dapat mengabaikan desas-desus tentang beradanya kedua
pusaka Demak di Tanah Perdikan Banyubiru.
Semakin dekat dengan pusat kota, semakin rapatlah
penduduk tanah perdikan itu. Dan dengan demikian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
semakin banyak pulalah orang-orang yang melihat
kedatangan Mahesa Jenar, didampingi oleh seorang yang
belum mereka kenal, dan di belakang mereka berdua,
tampaklah Bantaran, Penjawi dan tetua tanah perdikan itu,
Wanamerta. Beberapa orang menjadi terharu karenanya. Dengan
dada sesak, mereka melambaikan tangan mereka. Namun
diantara mereka ada pula yang mengumpat di dalam hati,
dan yang kemudian membenahi pakaian dan kekayaan
mereka sambil menggerutu, "Kalau setan-setan itu lewat,
akan celakalah daerah kami ini. Kenapa perampok-
perampok itu tidak mati disambar petir atau tertangkap
pada saat mereka merampok...?"
Tetapi ia tidak berani mengatakannya kepada seorangpun. Meskipun kepada anak atau adiknya. Sebab ia
tahu benar, bahwa pemuda-pemuda Banyubiru memiliki
kesetiaan yang tinggi terhadap tanah mereka, serta sedang
berjuang memulihkan hak tanah itu kepada tempat yang
sewajarnya. Laki-laki maupun wanita.
Demikianlah ketika mereka muncul di alun-alun
Banyubiru, tampaklah dari rumah kepala daerah perdikan
itu, beberapa orang berdiri berjajar di depan regol halaman.
Mahesa Jenar tersenyum melihat sambutan itu. Agaknya
seseorang telah melaporkan kedatangannya, sehingga Ki
Ageng Lembu Sora dapat menyiapkan diri, menyambut
kedatangan mereka, meskipun ujud sambutan itu sendiri
masih belum diketahuinya. Karena itulah, meskipun wajah-
wajah mereka mengulum senyum segar, namun mereka
tidak meninggalkan kewaspadaan sepenuh-penuhnya.
----------o-dwkz-0-arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Semakin dekat mereka dengan rumah kepala daerah itu,
senyum Mahesa Jenar menjadi semakin suram. Sebab ia
menjadi semakin jelas bahwa di belakang orang-orang yang
berdiri di regol halaman, tampaklah ujung-ujung tombak
yang berjajar-jajar rapat. Dan ketika Mahesa Jenar
melayangkan pandangannya ke sudut-sudut pagar halaman
di ujung alun-alun sebelah-menyebelah, tahulah ia bahwa
halaman rumah kepala daerah perdikan Banyubiru itu
dijaga rapat sekali. Beberapa orang siap dengan senjata di
tangan mereka. Mahesa Jenar menoleh kepada Kebo Kanigara. Agaknya
orang itupun sedang memperhatikan keadaan dengan
seksama. Lebih seksama lagi daripada Mahesa Jenar. Sebab
kecuali ia melihat ujung-ujung senjata yang gemerlapan
karena cahaya matahari, juga karena ia sama sekali belum
pernah datang ke tempat itu sebelumnya. Karena itu
sebagai seorang yang sudah cukup makan garam, maka
untuk menghadapi setiap kemungkinan, ia perlu mengetahui keadaan di mana ia sedang berada.
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun melihat suasana
itu. Hati mereka menjadi berdebar-debar. Mereka adalah
orang-orang yang termasuk dalam catatan Lembu Sora
untuk dilenyapkan. Bahkan mereka adalah orang-orang
yang pertama-tama. Dalam pada itu, mereka menjadi ragu.
Apakah kedatangan mereka itu tidak hanya sekadar
mengantarkan nyawa mereka. Dan bukankah mereka sudah
mengusulkan kepada Mahesa Jenar, bahwa cara yang
demikian itu sangatlah berbahaya.
Tetapi mereka sudah berada di depan hidung Lembu
Sora. Apapun yang akan terjadi harus mereka hadapi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sebagai seorang jantan. Apalagi ketika mereka melihat
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang masih tetap tenang,
meskipun wajah-wajah mereka menjadi bersungguh-
sungguh pula. Rombongan itu semakin lama menjadi semakin dekat.
Beberapa orang yang berdiri di regol halaman itupun telah
mulai bergerak maju untuk menyambutnya. Dan yang
paling depan dari mereka adalah Lembu Sora sendiri dan
Sawung Sariti. Ketika mereka sudah lebih dekat lagi, segera Mahesa
Jenar menghentikan kudanya dan langsung meloncat turun
diikuti oleh kawan-kawannya. Beberapa orang anak buah
Lembu Sora segera berlari-larian menerima kuda-kuda
mereka. Berbeda dengan pada saat Mahesa Jenar berjumpa
untuk pertama kalinya dengan Lembu Sora, kali ini kepala
daerah perdikan Pamingit itu menyambutnya dengan
tertawa-tawa, meskipun sikapnya yang sombong itu masih
saja memancar dari wajahnya yang tengadah.
"Marilah, Adi Mahesa Jenar..." sambutnya. "Aku merasa
bergembira sekali mendapat kunjunganmu."
Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab,
"Sebagai seorang yang pernah menerima kebaikan hati dari
penduduk Banyubiru, sekali-kali aku ingin menengoknya
kembali." "Bagus-bagus..." sahut Lembu Sora. "Marilah kami
persilahkan kalian masuk dan naik ke pendapa yang
memang telah kami persiapkan untuk menyambut
kedatangan kalian." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka berjalanlah mereka beriring-iring naik ke pendapa
yang sudah direntangi tikar pandan yang putih bersih.
Pendapa yang lima tahun lalu pernah dikenal pula oleh
Mahesa Jenar sebagai tempat untuk duduk-duduk
menghirup hawa sejuk yang mengalir di sepanjang lereng-
lereng pegunungan Telamaya. Sebagai tempat untuk
bermain-main Arya Salaka bersama-sama dengan ayahnya,
Ki Ageng Gajah Sora. Juga sebagai tempat untuk memulai


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberikan dasar-dasar ilmu tata berkelahi dan dasar-
dasar tempaan jiwa oleh Gajah Sora kepada putra
tunggalnya, Arya Salaka. Sekarang ia kembali berada di pendapa itu sebagai tamu.
Tamu yang membawa tugas berat dari anak Ki Ageng Gajah
Sora untuk menyampaikan permintaan yang amat penting.
Yaitu haknya kembali atas tanah perdikan ini.
Setelah mereka melingkar di atas tikar pandan itu,
mulailah Lembu Sora mengucapkan selamat atas kedatangan tamu-tamunya itu. "Adi Mahesa Jenar, kami
keluarga Banyubiru dan Pamingit mengucapkan selamat
datang kepada Adi bersama-sama dengan rombongan,
kepada kawan Adi yang belum aku kenal, dan kepada
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi."
Mahesa Jenar mengangguk. Jawabnya, "Terimakasih
Kakang. Mudah-mudahan segenap keluarga Pamingit dan
keluarga Banyubiru selamat dan sejahtera. Kecuali itu
perkenankanlah aku memperkenalkan kawanku ini. Ia
adalah seorang Putut dari Karang Tumaritis, bernama
Karang Jati." Lembu Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
pernah mendengar nama tempat itu. Karang Tumaritis.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebelum Lembu Sora ingat nama Karang Tumaritis, tiba-
tiba terdengar Sawung Sariti menyela, "Aku sudah pernah
datang ke tempat itu. Karang Tumaritis tempat tinggal
Panembahan Ismaya. Orang yang mengaku dirinya waskita
tetapi tak sesuatu pun yang diketahuinya."
"Ya, kepada Panembahan itulah aku menghambakan
diri," sela Kebo Kanigara.
Sawung Sariti memandang Kebo Kanigara dengan
sikapnya yang khusus. Seperti juga ayahnya, ia mewarisi
sikap sombong. Tetapi tiba-tiba sikapnya segera berubah.
Ia melihat Kebo Kanigara justru tidak di Karang Tumaritis,
tetapi di Gedangan ketika ia pada saat itu membawa
laskarnya bersama-sama dengan Sima Rodra, Bugel Kaliki
dan laskar sepasang Uling dari Rawa Pening. Tetapi untuk
sementara ia tidak berkata apa-apa dan berusaha untuk
menghilangkan kesan perasaannya itu dari wajahnya.
Sebab mau tidak mau, dan meskipun ia tidak sempat
menyaksikan Kebo Kanigara bertempur pada saat itu,
karena ia sendiri segera terlibat dalam perkelahian dengan
Arya Salaka, namun bahwa Bugel Kaliki, Sima Rodra tua,
dan Jaka Soka dapat diusir dan malahan Janda Sima Rodra
terbunuh pula, maka mau tidak mau kekuatan orang itu
harus diperhitungkan, disamping kesaktian Mahesa Jenar
yang mengagumkan. Disusul kemudian berita kematian
sepasang Uling dari Rawa Pening.
Kemudian, setelah mereka tenang sejenak, kembali
terdengar Lembu Sora berkata kepada Wanamerta,
Bantaran dan Penjawi, "Paman Wanamerta, Bantaran dan
Penjawi, sudah lama rakyat Banyubiru merindukan kalian.
Kemanakah kalian" Kemanakah kalian pergi selama ini" Dan
apakah keperluan kalian" Sebenarnya tenaga kalian sangat
kami perlukan di sini untuk membantuku selama ini."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sambil mengangguk-angguk Wanamerta menjawab,
"Anakmas Lembu Sora, aku semakin lama semakin menjadi
tua. Dan apakah arti hidupku ini bagi Banyubiru, kalau tidak
dapat berbuat sesuatu untuknya. Karena itu aku mencoba
untuk menemukan putra Anakmas Gajah Sora, Arya
Salaka." Warna merah membersit di wajah Ki Ageng Lembu Sora.
Namun segera ia berusaha untuk menenteramkan hatinya.
Bahkan kemudian ia bertanya seolah-olah ia sendiri
mengharap kehadiran anak itu. "Lalu, adakah usaha Paman
Wanamerta berhasil...?"
"Pangestu Angger, aku berhasil," jawabnya.
Lembu Sora menarik nafas panjang untuk meredakan
debar jantungnya. Kemudian ia berkata pula, "Aku tidak
dapat mengerti, bagaimana Paman Wanamerta dapat
bertemu dengan anak itu."
"Mudah saja, Anakmas," jawab Wanamerta, "Aku pergi
ke tempat-tempat yang pernah dikunjungi oleh Cucu
Sawung Sariti." Sawung Sariti menjadi gelisah. Namun ia adalah anak
yang cerdik. Secerdik ayahnya. Maka dengan berpura-pura
terkejut ia menjawab, "Adakah Eyang Wanamerta pernah
pergi ke tempat-tempat yang pernah aku kunjungi?"
"Benar Cucu Sawung Sariti," jawab Wanamerta.
"Dan menemukan Kakang Arya Salaka...?"
Sambil mengangguk puas, Wanamerta menjawab, "Benar
Cucu." Tiba-tiba Sawung Sariti menjawab sambil tertawa keras-
keras. Katanya di sela-sela derai tawanya, "Sayang,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Eyang.... Seperti aku juga mula-mula terjebak oleh suatu
kecurangan yang hampir sempurna. Seorang anak muda
yang sebaya dengan aku mengaku bernama Arya Salaka."
Darah Wanamerta tersirat mendengar jawaban itu. Juga
Bantaran dan Penjawi. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Wajah mereka segera berubah merah dan
jantung mereka berdentam seperti guruh yang menggelegak di dalam dada mereka. Bagaimanapun
mereka mencoba menahan diri, namun terasa juga tangan-
tangan mereka menjadi gemetar karenanya.
Tetapi sebelum mereka dapat mengatur perasaan
mereka, terdengarlah suara Lembu Sora, "Adi Mahesa
Jenar, aku memang pernah mendengar tentang seorang
anak muda menamakan dirinya Arya Salaka. Tetapi aku
belum pernah melihatnya. Sebagai seorang paman, aku
pasti akan mengenalnya kembali meskipun sudah sejak
kurang lebih lima tahun yang lalu tak melihatnya. Aku sejak
kanak-kanak tidak akan melupakannya. Namun perlu Adi
ketahui bahwa seorang anak muda yang bernama Arya
Salaka itu pernah diketemukan mati terbunuh. Ia
kehilangan pusakanya Kyai Bancak dan sebuah peniti yang
barangkali dari emas, serta timangnya bertetes intan."
Sekali lagi sebuah petir seolah-olah meledak di dalam
pendapa itu. Bahkan jauh lebih dahsyat dari cerita Sawung
Sariti. Penjawi yang paling tidak dapat menahan diri,
dengan tergagap berteriak, "Bohong, semuanya bohong...!"
Lalu suara Penjawi hilang tersumbat di kerongkongan.
Seolah-olah berjejal-jejal berebut dahulu, sehingga dengan
demikian malah tak sekata pun yang muncul seterusnya.
Mendengar kata-kata Penjawi yang terbata-bata itu,
Lembu Sora tersenyum. Senyum yang sangat menyakitkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hati. Tetapi kemudian ia berkata dengan ramahnya,
"Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Penjawi. Aku
sama sekali tak bermaksud membohongi kalian. Tetapi
sebaiknya kalian dapat mempertimbangkan kejadian-
kejadian yang pernah berlaku. Kalian jangan membabi buta
atas kesetiaan kalian kepada Arya Salaka, sebagai
ungkapan kesetiaan atas tanah yang sama-sama kita
cintai." Penjawi bukanlah orang yang dapat banyak bicara.
Karena itu semakin banyak yang akan diucapkan, semakin
sulit kata-kata itu keluar dari mulutnya. Demikian juga
Bantaran yang hanya dapat mengingsar-ingsar duduknya
dan meraba-raba hulu kerisnya. Wanamerta sendiri menjadi
bingung. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan
mendapat jawaban yang demikian. Sedangkan Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara, meskipun menjadi gelisah,
mereka masih tetap pada kesadaran yang penuh. Karena
itu Mahesa Jenar masih dapat berkata las-lasan, "Kakang
Lembu Sora, apakah yang Kakang katakan itu merupakan
pendapat Kakang Lembu Sora?"
Lembu Sora mengernyitkan keningnya. Terhadap Mahesa
Jenar ia harus berhati-hati. Karena itu ia mempertimbangkan setiap kata-katanya dengan baik. Maka
setelah berfikir sejenak ia menjawab. "Adi, aku tidak
mengatakan demikian. Tetapi aku wajib mempertimbangkan setiap keadaan, supaya aku tidak
meletakkan keputusan yang salah".
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Lalu katanya meneruskan, "Baik. Kalau
demikian bagaimanakah kalau berita tentang kematian yang
Kakang dengar itu salah...?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lembu Sora berpikir sekali lagi. Baru ia menjawab,
"Mudah-mudahan berita yang aku dengar itu salah. Tetapi
bagaimana aku tahu kalau berita itu tidak benar?"
"Kakang akan tahu bahwa berita itu tidak benar setelah
Kakang nanti dapat bertemu dengan Arya Salaka," sahut
Mahesa Jenar. Lembu Sora tersenyum. Katanya, "Bagaimanakah aku
dapat percaya bahwa yang datang kemudian itu Arya
Salaka?" "Ia harus membawa tanda kebesaran Banyubiru," jawab
Mahesa Jenar. "Dan bukankah Kakang akan dapat
mengenal kembali kemenakan Kakang itu?"
"Permainan yang bagus," potong Sawung Sariti. "Aku
pernah bertemu dengan Paman Mahesa Jenar di Gedangan
bersama-sama dengan anak muda yang menamakan diri
Arya Salaka, yang membawa tombak yang dinamainya Kyai
Bancak." "Diam!" Tiba-tiba terdengar Bantaran membentak.
Semua orang terkejut mendengar bentakan itu. Bahkan
Bantaran sendiri terkejut. Sawung Sariti sama sekali tidak
senang mendengar Bantaran membentaknya. Karena itu ia
menjawab tajam, "Bantaran... kalau kau membentak aku
sekali lagi, aku sobek mulutmu."
Tetapi kata-kata bentakan itu sudah terucapkan. Sebagai
laki-laki, Bantaran tidak mau dihinakan, meskipun ia tahu
bahwa Sawung Sariti bukanlah lawannya. Tetapi mati atas
landasan kesetiaan kepada Banyubiru adalah pengabdian
yang didambanya selama ini. Dengan demikian tiba-tiba
menengadahkan dadanya sambil berkata, "Aku akan
berbuat sekali, dua kali, sepuluh kali lagi, sesuka hatiku."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Hampir saja Sawung Sariti meloncat, kalau ia tidak
ditahan Lembu Sora, yang agaknya kepalanya masih cukup
dingin. Namun kata-katanya sangat menyakitkan hati.
"Sawung Sariti, adakah cukup berharga bagimu untuk
menyentuh tubuhnya?"
Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia
ingin memadamkan api yang berkobar-kobar di dalam
dadanya. Namun dari matanya terpancarlah bara kemarahan yang tak terhingga.
Mahesa Jenar melihat keadaan berkembang ke arah yang
tidak diharapkan, meskipun ia tidak dapat menyalahkan
Bantaran, Wanamerta maupun Penjawi. Ia sebenarnya
sama sekali tidak menduga bahwa sampai sedemikian jauh
keingkaran Lembu Sora dan Sawung Sariti terhadap
kemenakannya serta sepupunya sendiri. Terhadap kadang
tuwa yang selalu bersikap baik kepada mereka, Gajah Sora.
Mahesa Jenar pernah mendengar cerita tentang hubungan
mereka. Lembu Sura dengan Gajah Sora sebagai kakak-
beradik. Ia pernah mendengar bagaimana Gajah Sora
sebagai saudara tua selalu melindungi dan membimbing
adiknya dalam berbagai soal, dan banyak mengalah dalam
berbagai hal. Namun akibatnya, kemanjaan Lembu Sora itu
menjadi berlebih-lebihan dan menelan Gajah Sora sendiri.
Kalau sekali dua kali, Gajah Sora pernah marah kepadanya,
adalah wajar. Sebagai seorang kakak yang ingin melihat
adiknya tidak berbuat kesalahan-kesalahan.
Mahesa Jenar berusaha untuk tetap memelihara suasana
pertemuan itu agar tidak bertambah kusut, meskipun
dadanya sendiri seperti hendak meledak. Maka berkatalah
ia dengan setenang-tenangnya, seolah-olah tidak terjadi
ketegangan sama sekali di dalam pertemuan itu. "Kakang
Lembu Sora, baiklah kita berbicara mengenai beberapa soal
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang penting. Biarlah kita singkirkan masalah-masalah kecil
yang tidak berarti."
Lembu Sora menelan ludahnya serta menggigit bibirnya.
Ia kagum juga kepada Mahesa Jenar yang dapat menguasai
perasaannya dengan baik. Tetapi ia sudah bertekad untuk
menganggap bahwa Arya Salaka sudah tidak ada lagi di
muka bumi ini. Karena itu Lembu Sora menjawab, "Baiklah Adi, aku tidak


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah menolak berbicara dengan siapa saja, selama
pembicaraan itu akan berguna. Berguna bagi Pamingit, bagi
Banyubiru, dan berguna bagi kita semua."
"Demikianlah harapan kami," sahut Mahesa Jenar.
"Kedatangan kami ini pun pada kepentingan Banyubiru.
Bukan kepentingan kami sendiri."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lembu Sora tersenyum. Dengan penuh kesadaran akan
kebesaran dirinya, ia menjawab, "Nah, katakanlah apa yang
berguna bagi Banyubiru itu?"
"Aku membawa tugas dari Angger Arya Salaka, untuk
menyampaikan baktinya kepada Kakang Lembu Sora,"
sahut Mahesa Jenar. Lembu Sora menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan
mengerutkan keningnya ia menjawab, "Adi Mahesa Jenar,
jangan mengada-ada. Kau bagiku adalah seorang yang
pantas dihormati seperti Kakang Gajah Sora dahulu
menghormatimu. Namun demikian hormat kami pun
mengenal batas. Sebagai kepala daerah perdikan yang
besar, yang terbentang dari Pamingit sampai Banyubiru,
aku harus bersikap baik, namun tegas dalam garis
kepemimpinan. Karena itu aku minta kepada Adi untuk
tidak menyebut-nyebut nama Arya Salaka, seorang yang
telah tidak ada lagi."
Mahesa Jenar mengangkat dadanya seolah-olah ada
sesuatu yang menyilang di dalamnya. Dengan sudut
matanya ia melihat betapa wajah Wanamerta, Bantaran dan
Penjawi sudah menjadi merah padam. Meskipun demikian
Mahesa Jenar masih berkata, "Bukankah Kakang Lembu
Sora tidak melihat sendiri, seorang anak muda yang disebut
bernama Arya Salaka itu terbujur di tanah tak bernafas
lagi?" Perasaan tidak senang yang tajam terpercik di wajah
Lembu Sora. Kemudian terdengarlah ia menjawab, "Aku
tidak sempat untuk mengurusi masalah-masalah tetek
bengek yang tidak berarti. Bukankah aku mempunyai
petugas-petugas untuk keperluan itu...?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kalau benar Kakang berbuat demikian, maka agaknya
Kakang Lembu Sora telah berbuat suatu kesalahan.
Persoalan Arya Salaka bukanlah persoalan tetek bengek
yang tak berarti. Arya Salaka adalah putra kepala daerah
perdikan Banyubiru, yang berhak untuk menggantikan
kedudukan itu apabila ayahnya berhalangan melakukan
tugasnya," sahut Mahesa Jenar yang sudah mulai
kehilangan kesabarannya. "Hemmm..." dengus Lembu Sora. Wajahnya pun telah
mulai semburat merah. "Sebenarnya aku tidak ingin
mengatakan kepada Adi, bahwa aku tidak dapat
mempercayaimu sejak perjumpaan kita yang pertama-tama.
Sejak hilangnya pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten dari Banyubiru."
Dada Mahesa Jenar benar-benar seperti dihantam linggis,
mendengar kata-kata itu. Sehingga tidak sesadarnya ia
menggeretakkan giginya. Namun bagaimanapun juga
dengan susah payah ia masih menahan diri, dan berkata,
"Kakang, aku tidak keberatan terhadap sikapmu kepadaku.
Tetapi bagaimanakah seandainya anak muda yang aku
namakan Arya Salaka itu mendapat kesaksian dari segenap
penduduk daerah perdikan ini, dan mereka menerimanya
sebagai Arya Salaka yang sebenarnya?"
Pertanyaan ini sekali lagi menggelisahkan Lembu Sora.
Sawung Sariti pun tidak tahan lagi untuk membiarkan
pembicaraan yang tak disukainya itu berlarut-larut. Maka ia
pun kemudian menyela, "Ayah, apakah gunanya pembicaraan ini kita layani" Sebaiknya biarlah tamu-tamu
kita ini kita persilakan berdiam diri. Dengan rendah hati
atau kalau perlu kita terpaksa memaksa mereka dengan
cara kita." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar memandang Sawung Sariti dengan sudut
matanya. Sekali lagi ia merasa muak melihat wajah itu.
Wajah yang tampan dan bersih namun di belakang wajah
itu tersirat kelicikan hatinya. Tiba-tiba ia teringat kepada
Jaka Soka dari Nusa Kambangan.
"Angger..." kata Mahesa Jenar kemudian, "Biarlah kami
berbicara secara orang tua. Sebaiknya Angger bermain-
main saja di halaman, daripada mencampuri urusan ini."
Bara yang mula-mula berkobar di dada Sawung Sariti
masih belum padam, ditambah dengan kata-kata Mahesa
Jenar yang cukup tajam itu. Maka semakin menyalalah
hatinya. Tetapi sebelum ia menjawab, Lembu Sora telah
mendahuluinya, "Adi Mahesa Jenar, aku tidak mau
membicarakannya lagi. Aku sudah memutuskan untuk
menganggap Arya Salaka telah mati, dan Kakang Gajah
Sora pun telah dihukum mati di Demak, sebagai akibat dari
pengkhianatannya, meskipun aku telah berusaha untuk
mencegahnya." "Maaf Kakang," potong Mahesa Jenar, "Aku datang untuk
membicarakannya. Bukan untuk sekadar menghadap yang
dipertuan di Banyubiru sekarang."
"Cukup...!" potong Lembu Sora, "Tidak ada yang aku
bicarakan." Mahesa Jenar benar-benar tersinggung karenanya,
ditambah dengan perasaan muaknya sejak bertemu dengan
orang itu untuk pertama kalinya. Karena itu ia menjawab
lantang, "Kalau kau tidak mau berbicara, aku akan
berbicara dengan rakyat Banyubiru, dan membuktikan
kepada mereka bahwa Arya Salaka akan berada di tengah-
tengah mereka." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar ancaman Mahesa Jenar itu, Lembu Sora
terperanjat. Tetapi kemudian ia pun menjadi marah dan
menjawab, "Adi Mahesa Jenar, akulah kepala daerah
perdikan ini. Akulah yang berwenang atas rakyat dan
daerah ini. Tak seorang pun aku perkenankan melanggar
wewenangku. Apalagi kau. Ayah Sora Dipayana pun tidak."
Wanamerta mendengar kata-kata itu dengan dada yang
berdentam-dentam. Telinganya serasa tersentuh api. Maka
katanya lantang, meskipun ia langsung berhadapan dengan
bahaya yang dapat saja merenggut jiwanya, "Anakmas
Lembu Sora, akulah yang mula-mula minta kepada
Anakmas untuk mengawasi daerah perdikan ini sepeninggal
Anakmas Gajah Sora. Tetapi cerita tentang Anakmas Lembu
Sora tak dapat ditutup-tutupi lagi. Cerita tentang hilangnya
Anakmas Arya Salaka, yang untung dapat diselamatkan
oleh Anakmas Mahesa Jenar. Cerita tentang laskar yang
Anakmas namakan Laskar Pamingit dan Banyubiru yang
ingin membebaskan Anakmas Gajah Sora dengan
menyerang pasukan dari Demak. Seterusnya cerita tentang
hilangnya Pandan Kuning dan Sawung Rana."
"Cukup!" teriak Lembu Sora. "Ternyata rambutmu yang
telah memutih itu sama sekali tidak mencerminkan hatimu
yang putih. Kau ingin melihat darah mengalir di Banyubiru.
Kalau dengan demikian kau akan dapat mengambil
keuntungan, maka kaulah orang yang pertama-tama aku
lenyapkan sekarang ini."
"Tak seorang pun yang dapat melenyapkan kenyataan
yang telah terjadi. Betapapun orang berusaha menutupi
kebenaran dan menghapuskan. Namun kebenaran itu tak
akan lenyap," sanggah Wanamerta dengan berani.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Jangan menggurui aku," bentak Lembu Sora. "Aku tahu,
kau sudah berusia lanjut. Tetapi jangan berlagak lebih
pandai daripada orang-orang muda. Bagiku tidak ada
tempat bagi kalian di Banyubiru."
Dalam pada itu, Mahesa Jenar sekali lagi mencoba untuk
yang terakhir kalinya menempuh cara yang sebaik-baiknya
bagi penyelesaian Banyubiru. Katanya, "Ki Ageng Lembu
Sora, mumpung segala sesuatu belum telanjur, marilah kita
tenangkan hati kita. Berilah aku kesempatan untuk
menunjukkan kemauan kami yang sebenarnya. Bahwa tak
ada artinya pertentangan antara kita sama kita. Biarlah kita
cari jalan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan
masalah kita." "Hemm..," dengus Lembu Sora, namun matanya benar-
benar telah memancar merah bara. "Agaknya kaulah
sumber dari keributan ini. Kau telah membuat seorang anak
muda menggantikan kesempatan Arya Salaka untuk
kepentinganmu. Kau cari seorang anak muda yang mirip
dengan anak itu. Kau ajari dia menyebut aku paman dan
menyebut nama ayahnya Gajah Sora. Kau ajari dia
menuntut hak atas Banyubiru."
"Ki Ageng Lembu Sora..." potong Mahesa Jenar, "Demi
kehormatan kita masing-masing, jangan katakan yang
bukan-bukan." "Nah..." jawab Lembu Sora berapi-api, "Bukankah kau
takut melihat kenyataan itu" Kenyataan bahwa permainan
kotormu telah aku ketahui."
"Kau telah benar-benar tersesat. Kalau tanggapanmu itu
jujur, maka kau benar-benar telah berdiri di atas alas yang
gelap, yang sama sekali tak dipancari oleh kebijaksanaan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Cukup!" teriak Lembu Sora dengan gemetar. "Jangan
membuat aku kehilangan kesabaran."
Mahesa Jenar adalah seorang jantan. Seorang perwira
yang tak mengenal surut. Ketika ia mendengar teriakan-
teriakan dan bentakan-bentakan itu, bagaimanapun
sabarnya ia menjadi marah pula. Karena itu ia pun
kemudian menjawab lantang, "Kakang Lembu Sora, kalau
kau berbicara atas hak maka akulah yang memegang hak
sekarang ini atas Banyubiru. Aku telah menerima
wewenang langsung dari Kakang Gajah Sora sejak Kakang
Gajah Sora meninggalkan daerah ini. Akulah yang
mendapat tugas darinya untuk mengamankan Banyubiru
dan putranya, Arya Salaka. Akulah sekarang yang
mempunyai kewajiban untuk mengatur Banyubiru berdasarkan dan bersumberkan wewenang yang diberikan
oleh Kakang Gajah Sora. Karena itu jangan mencoba
membatasi usahaku memulihkan pemerintahan di Banyubiru." Lembu Sora telah benar-benar kehilangan pengamatan
diri. Tiba-tiba ia berkisar maju dekat-dekat di muka Mahesa
Jenar. Sambil menuding wajahnya, Lembu Sora berkata,
"Kau adalah orang yang paling berbahaya bagi Banyubiru.
Kau adalah sumber bencana sejak hilangnya Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten. Aku telah menasihatkan kepada
kakang Gajah Sora untuk menangkapmu. Tetapi ia tidak
mau. Dan sekarang ketika kau hadir kembali ke daerah ini,
tersebarlah desas-desus bahwa keris itu berada di
Banyubiru. Bukankah itu jelas" Jelas bahwa kau yang telah
mencuri kedua pusaka itu."
Juga Mahesa Jenar tiba-tiba juga kehilangan pengamatan
diri. Ketika tangan Lembu Sora masih berada di depan
wajahnya, tiba-tiba dengan kerasnya ia memukulnya ke
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
samping. Dan kemudian dengan cepatnya, secepat getaran
cahaya, ia meloncat turun dari pendapa, dan berkata
kepada Lembu Sora dengan marahnya, "Lembu Sora... aku
adalah laki-laki seperti kau."
Lembu Sora pun kemudian meloncat tak kalah cepatnya.
Dengan wajah yang bengis ia berdiri berhadapan dengan
Mahesa Jenar. Sementara itu Wanamerta, Bantaran dan
Penjawi pun segera berloncatan, dan tiba-tiba mereka
sudah bersiap untuk bertempur.
Dalam pada itu, setiap laskar Banyubiru dan Pamingit
yang berada di halaman itu segera mendesak maju. Dan
dalam waktu yang singkat mereka telah mengepung
pendapa itu. Apalagi ketika kemudian Lembu Sora berkata
lantang kepada mereka, "Hai laskar Banyubiru.... Selamatkan daerahmu dari orang-orang yang ingin
merampas milikmu. Sebab mereka masih belum melupakan,
beberapa tahun yang lalu, mereka hampir mencincang kau
ketika mereka menyadari bahwa kau telah mencuri pusaka-
pusaka yang dengan susah payah diusahakan oleh kakang
Gajah Sora. Tetapi Kakang Gajah Sora terlalu baik hati
kepadamu." Laskar Banyubiru dan Pamingit itu pun kemudian
semakin mendesak maju. Dan tiba-tiba terdengar diantara
mereka suatu teriakan, "Bunuh...!"
Mahesa Jenar memutar tubuhnya seperempat lingkaran.
Dengan kaki renggang ia menghadapi setiap kemungkinan.
Ketika dilihatnya laskar di sekitarnya semakin mendesak
maju, ia pun berteriak kepada Lembu Sora, "Aku adalah
orang terakhir yang mendapat kepercayaan Kakang Gajah
Sora." Lembu Sora menyahut keras, "Omong kosong!"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi Mahesa Jenar tidak memperhatikannya sama
sekali. Dengan lantang ia meneruskan kata-katanya, "Kalau
ada diantara kalian laskar Banyubiru benar-benar laskar
Banyubiru,

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengarkanlah kata-kataku. Kalau kalian menyerang aku, adalah sama saja kalian menyerang Gajah
Sora yang memberikan kepercayaan kepadaku untuk
mengasuh dan mengamankan putranya, Arya Salaka.
Dengan demikian kalian telah melupakan diri kalian sendiri
sebagai pengawal-pengawal setia Banyubiru. Siapakah yang
telah bekerja sepenuh hati untuk Banyubiru..." Siapakah
yang telah membangun tempat-tempat ibadah yang
tersebar di empat penjuru Banyubiru..." Siapakah yang
telah menggali parit-parit untuk sawah-sawah kalian..." Dan
siapakah yang paling bersedih hati pada saat Banyubiru
dilanda oleh arus kejahatan dari gerombolan hitam dan
menelan banyak korban, beberapa tahun yang lalu" Dan
siapakah yang telah mempertaruhkan dirinya bagi
ketenteraman rakyat Banyubiru ketika pasukan dari demak
datang ke tempat ini karena desas-desus dan fitnah atas
kebersihan hati rakyat Banyubiru, disamping kesetiaannya
kepada panji-panji Gula Kelapa yang pernah dibelanya mati-
matian. Siapa..." Dan siapakah diantara kalian yang pada
saat itu ikut serta dengan Gajah Sora, dan hampir saja
terjadi perlawanan tergadap Demak" Siapa" Dan apakah
yang kalian lakukan sekarang" Kalian telah mengingkari diri
kalian dan kesetiaan kalian atas tanah ini."
Lembu Sora tidak mau mendengar Mahesa Jenar berkata
terus. Dengan penuh kemarahan ia berteriak, "Jangan
dengarkan orang ini mengigau di tengah hari. Dan jangan
dibiarkan ia mengelabuhi mata rakyat Banyubiru. Nah,
karena orang itu tidak mau menutup mulutnya, adalah
tugas kalian untuk menyumbatnya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Beberapa orang Pamingit semakin merapatkan kepungan
mereka. Tetapi beberapa laskar Banyubiru menjadi ragu-
ragu. Tiba-tiba mereka ingat jelas, seperti baru kemarin
saja terjadi, Ki Ageng Gajah Sora segelar sepapan dengan
gelar perang Gajah Meta menyongsong kedatangan
pasukan Demak dalam gelar Cakra Byuha. Jelas tergambar
kembali dalam ingatan laskar Banyubiru, ketika pasukan
Tangan Berbisa 7 Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Prabarini 6
^