Pencarian

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 39

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 39


yang menyilang jalan kecil itu muncullah dua sosok
bayangan yang terbang ke arah mereka, sehingga mereka
yang bertempur itu menjadi terkejut. Bugel Kaliki segera
melontarkan diri ke samping, mencari kesempatan untuk
melihat siapakah yang datang itu. Karang Tunggal dan Arya
Salakapun tidak mengejarnya. Mereka juga ingin mengetahui siapakah yang datang langsung kepada
mereka. Melihat gerakan mereka berdua, Bugel Kaliki terkejut
bukan main. Mereka pasti orang-orang sakti apalagi ketika
keduanya telah semakin dekat. Maka Bugel Kaliki menjadi
pasti siapakah yang datang itu. Namun kesempatan untuk
menghindarkan diri sudah terlalu sempit sebab orang yang
datang itu pasti akan mengejarnya, sampai diujung
langitpun. Karena itu maka tidak ada yang dapat dilakukan
kecuali menghadapi mereka, bertakar jiwa. Tetapi untuk
melawan orang-orang itu Bugel Kaliki tidak akan dapat
sambil tertawa. Apalagi kalau kedua orang itu bergabung
dengan kedua anak muda yang sedang dihadapinya.
Meskipun demikian ia pasti akan berusaha menyelamatkan
diri, apapun caranya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sesaat kemudian kedua orang itu telah berada tidak lebih
lima depa didepan mereka. Mahesa Jenar berdiri tegak
dengan wajah tegang, sedang Kebo Kanigara tiba-tiba
melihat seseorang berbaring ditanah. "Siapakah dia"
gumamnya "Adi Sawung Sariti," sahut Arya Salaka. namun matanya
masih tertanam dimata Bugel Kaliki.
"Sawung Sariti," ulang Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar
bersamaan. Kebo Kanigarapun segera melangkah mendekati tubuh yang lemah itu. Tetapi Mahesa Jenar tidak
mau melepaskan diri dari pandangan mata hantu bongkok
itu. Kebo Kanigara kemudian berjongkok disamping Sawung
Sariti sambil berbisik, "Sawung Sariti"
Sawung Sariti membuka matanya. Ketika dilihatnya Kebo
Kanigara, bertanyalah ia dengan suara lemah, "siapakah
kau"." "Kebo Kanigara" jawabnya.
"Oh, bukankah paman sahabat paman Mahesa Jenar?"
desis Sawung Sariti lirih.
"Ya," jawab Kebo Kanigara pendek. Tiba-tiba wajah
Sawung Sariti menjadi cerah. Meskipun demikian perasaan
sakit di dalam dadanya terasa menyengat-nyengat. Ia
mencoba untuk bergerak, tetapi betapa sakitnya sehingga
ia mengerang perlahan-lahan.
"Jangan bergerak, tubuhmu masih lemah sekali" kata
Kebo Kanigara. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Bugel Kaliki tertawa.
Katanya, "Nah kalian sudah datang. Marilah kita selesaikan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
persoalan kita. terserah kepada kalian, apakah mau
bertempur secara jantan atau mengeroyokku sebagai betina
pengecut, berempat sekaligus."
Mendengar suara Bugel Kaliki itu Sawung Sariti
menggeliat, "setan," desisnya marah, "ia telah melukai
dadaku." Sedemikain marahnya Sawung Sariti sehingga
karena dorongan perasaanya itu ia telah mengangkat
kepalanya. Tetapi sekali lagi ia mengeluh. dadanya benar-
benar terasa pecah. Karena itu iapun kembali terkulai di
tanah. "Jangan bergerak," kembali Kebo Kanigara menasihati.
Perlahan-lahan tubuh yang lemah itu dibawanya menepi.
"Iblis itu," desis Sawung Sariti
"Biarkan dia, pamanmu Mahesa Jenar akan mengurusinya." "Apakah paman Mahesa Jenar disini"," bertanya Sawung
Sariti. "Ya," jawab Kebo Kanigara
"Syukurlah," gumam Sawung Sariti, "mudah-mudahan
nasibnya akan sama dengan nasib Sima Rodra Tua."
Dalam pada itu, terdengar Bugel Kaliki berkata pula,
"Ayolah. Aku sudah siap. Bukankah kalian marah karena
anak tikus itu aku lukai?"
"Diamlah!" potong Mahesa Jenar, "Jangan mencoba
mengungkit harga diri kami untuk menyelamatkan diri. Kau
ingin bertempur seorang dengan seorang. Berkatalah
demikian. Kau tak usah mempergunakan kata-kata sindiran
yang menjemukan itu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bugel Kaliki mengerutkan keningnya. "Gila!" geramnya.
"Kau terlalu sombong. Jangan mengukur dirimu dengan
terbunuhnya Sima Rodra yang garang itu."
"Tak pernah aku berbuat demikian. Tetapi kau pun
jangan berbangga karena kau berhasil melukai anak-anak,"
bantah Mahesa Jenar. "Mereka yang mulai. Bukan aku," jawab Bugel Kaliki.
Hampir saja mulut Karang Tunggal terbuka membantah
kata-kata Bugel Kaliki itu. Tetapi niatnya cepat-cepat
diurungkan. Pamannya, Kebo Kanigara, yang juga bernama
Putut Karang Jati, ada di tempat itu. Karena itu segera ia
memperbaiki sikapnya. Ia kini tidak pula bertolak pinggang
dengan muka menengadah. Meskipun demikian, ia tetap
bersiaga, kalau-kalau Bugel Kaliki tiba-tiba melompatinya.
Kyai Sangkelat masih ditangannya, dan aji Lembu Sekilan
pun masih diterapkannya. Meskipun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut pula
melihat keris di tangan Karang Tunggal, juga kehadirannya
yang tiba-tiba di tempat itu, namun mereka belum sempat
menanyakannya, sebab Bugel Kaliki pun telah bersiap pula.
Bahkan terdengar hantu itu berkata, "Mahesa Jenar, kau
benar-benar lantip. Kau tidak mau aku berkata melingkar-
lingkar. Baiklah, ayo siapa dahulu yang akan aku binasakan.
Kau atau sahabatmu itu. Atau anak-anak tikus yang tak
tahu diri itu." Mahesa Jenar melangkah setapak maju. Jawabnya,
"Akulah yang sudah berdiri paling dekat."
"Bagus!" teriak Bugel Kaliki.
Berbareng dengan itu ia pun segera meloncat dengan
kecepatan yang mengagumkan. Namun Mahesa Jenar pun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
telah bersiaga. Karena itu, dengan kecepatan yang sama, ia
berhasil menghindarkan dirinya.
Sesaat kemudian, berkobarlah perkelahian yang sengit
dibawah pohon nyamplung itu. Kini yang bertempur adalah
Mahesa Jenar melawan Bugel Kaliki. Dua tokoh sakti dari
golongan yang berlawanan. Masing-masing bertekad untuk
saling membinasakan. Singa lena, silih ungkih.
Kebo Kanigara masih berjongkok di samping Sawung
Sariti. Tetapi matanya tidak terlepas dari setiap gerak dari
mereka yang sedang bertempur mati-matian itu. Arya
Salaka dan Karang Tunggal pun bergeser menjauh pula.
Dengan penuh kekaguman mereka mengikuti setiap
pergeseran yang terjadi. Desak-mendesak. Sesekali mereka
melihat Mahesa Jenar terdorong surut, namun sesaat
kemudian mereka melihat Bugel Kaliki meluncur beberapa
langkah mundur. Demikianlah pertempuran di bawah pohon nyamplung itu
berlangsung dengan dahsyatnya. Si Bongkok itu bergerak
meloncat-loncat seperti tupai, sedang Mahesa Jenar mampu
menyerangnya seperti burung Rajawali di udara. Menyambar-nyambar dengan garangnya. Kemudian mematuk dengan paruhnya yang tajam runcing. Dan
apabila Bugel Kaliki itu seakan-akan merubah dirinya
segarang harimau belang, Mahesa Jenar pun melawannya
setangguh seekor banteng jantan.
Sehingga dengan demikian, akhirnya terasa oleh Bugel
Kaliki bahwa Mahesa Jenar benar-benar mempunyai
kesaktian yang luar biasa. Tahulah sekarang hantu bongkok
itu, karena Sima Rodra tak mampu melawannya. Karena itu,
maka untuk keselamatan diri, akhirnya diurainya senjata
andalannya, yang seakan-akan tak pernah disentuhnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sehelai kain empat persegi yang berwarna merah, dan di
salah satu sudutnya diikatkan sepotong timah baja kuning.
Pusaka peninggalan nenek moyangnya. Dengan memegang
sudut silangnya, timah baja kuning itu diputarnya seperti
baling-baling. Mahesa Jenar melihat senjata itu dengan hati yang
tegang. Ia tahu benar apa yang sedang dihadapi. Karena
itu, maka ia tidak sempat untuk memperhatikan keadaan
sekelilingnya. Sawung Sariti, Karebet, Arya Salaka dan Kebo
Kanigara. Meskipun lamat-lamat ia masih mendengar suara
Sawung Sariti yang kadang-kadang mengeluh pendek
menahan sakitnya. Namun bagi Mahesa Jenar keluhan itu
justru merupakan minyak yang menyiram nyala kemarahannya terhadap sisa-sisa golongan hitam.
Malam berjalan dengan lancarnya. Bintang-bintang
semakin lama semakin condong kegaris cakrawala di ujung
barat. Namun pertempuran di bawah pohon nyamplung itu
masih berlangsung terus. Bahkan kini perkelahian itu
bertambah-tambah dahsyatnya. Bugel Kaliki dengan
senjatanya yang aneh itu menyambar-nyambar seperti
burung alap-alap. Namun Mahesa Jenar bukanlah sekedar
burung merpati yang ketakutan.
Bugel Kaliki ternyata bukan saja wajahnya yang
mengerikan, namun tandangnya sesuai benar dengan
namanya dan wajahnya yang menakutkan itu. Timah baja
kuning diujung kain perseginya menyambar-nyambar
seperti lebah. Suaranya berdesing-desing dan melibat
lawannya dari segenap arah.
Mahesa Jenar merasakan kedahsyatan dan kecakapan
Bugel Kaliki mempermainkan senjata aneh itu. Beberapa
kali ia terpaksa meloncat surut dan beberapa kali timah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lawannya itu mengiang dekat benar dengan kepalanya.
Bahkan karena perhatian Mahesa Jenar terpaku pada
senjata itu, maka sekali-kali terasa kaki hantu bongkok itu
menyambar lambungnya, sehingga Mahesa Jenar yang
kokoh itu terpaksa terdorong surut. Bahkan sekali-kali
tangan Bugel Kaliki itu sempat menyentuh tubuh Mahesa
Jenar dan sekali-kali mendorongnya mundur.
Dengan demikian Mahesa Jenar terpaksa melawannya
dengan sepenuh tenaga. Untunglah bahwa Mahesa Jenar
bertubuh kuat sekuat banteng jantan. Betapa pun lawannya
berusaha untuk melumpuhkannya, namun dengan gigihnya
ia bertahan. Meskipun demikian, senjata Bugel Kaliki itu
benar-benar mengganggunya. Sulitlah bagi Mahesa Jenar
untuk menembus lingkaran timah baja kuning yang
berterbangan mengitari tubuhnya. Namun Mahesa Jenar
tidak pernah kehilangan akal. Ia memperhitungkan setiap
kemungkinan. Betapapun sulitnya, sekali-kali ia berhasil
juga mengenai tubuh lawannya. Dengan kaki atau dengan
tangannya. Tetapi sentuhan-sentuhan itu agaknya tidak
banyak berarti, karena setiap senjata Bugel Kaliki itu selalu
menghalang-halanginya. Kebo Kanigara, Arya Salaka dan Mas Karebet
memandangi perkelahian itu dengan penuh perhatian
sehingga nampaknya seperti patung dalam ketegangan.
Mereka mengikuti setiap gerak, baik Mahesa Jenar maupun
Bugel Kaliki. Namun setiap saat mereka menjadi bertambah
tegang. Apalagi ketika mereka melihat setiap kali Bugel
Kaliki berhasil melibas Mahesa Jenar dan sekali-kali
kemudian berhasil melontarkannya surut.
Namun meskipun demikian, mereka tetap terpaku di
tempat masing-masing dengan ketegangan yang semakin
meningkat. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka setelah mereka bertempur semakin lama, serta
usaha Mahesa Jenar untuk menjatuhkan lawannya masih
belum berhasil, karena senjatanya yang aneh itu, bahkan
terasa betapa tekanan Bugel Kaliki semakin lama menjadi
semakin ketat, karena timah baja kuningnya yang seolah-
olah dapat mengurung Mahesa Jenar, sehingga ia tidak
sempat untuk menyerang. Akhirnya Mahesa Jenar tidak
dapat berbuat lain daripada mempertahankan hidupnya
dengan ilmu tertinggi yang dimilikinya. Dengan demikian,
Mahesa Jenar dengan lincahnya meloncat ke samping
beberapa langkah untuk membebaskan diri dari libatan
timah baja kuning yang menyambar-nyambar itu. Kemudian
dengan garangnya ia mengangkat satu kakinya, ditekuknya


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke depan, satu tangannya diluruskan ke atas seperti akan
menyentuh bintang-bintang di langit, tangannya yang lain
menyilang dada. Dan dalam pada itu, tersalurlah kekuatan
Aji Sasra Birawa. Bugel Kaliki melihat tata gerak Mahesa Jenar itu. Ia pun
telah mengetahui pula, bahwa dengan demikian Mahesa
Jenar sedang mateg aji yang terkenal. Dengan dahsyatnya
ia meloncat sambil memutar senjatanya demikian kerasnya
sehingga terdengar angin berdesing. Namun apa yang
dilakukan Mahesa Jenar adalah terlalu cepat. Sehingga
ketika serangan itu tiba, Mahesa Jenar sempat meloncat
mundur sambil merendahkan dirinya. Timah baja kuning itu
nyaris menyambar pelipisnya. Tetapi sesaat kemudian ia
telah tegak kembali dan dengan kecepatan kilat ia meloncat
maju. Tangan kanannya menyambar, dengan dahsyat
menghantam tengkuk Bugel Kaliki. Bugel Kaliki masih
mencoba untuk menghindar, namun ia terlambat. Sebuah
hantaman yang dahsyat telah mengenainya. Terdengarlah
ia berteriak nyaring kemudian melenting dan jatuh terguling
di tanah. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi hantu itu tidak mau
menyerah pada keadaannya.
Dengan tertatih-tatih ia bangkit kembali. Sekali terdengar umpatan kotor dari mulutnya serta matanya
menyorot sinar kemarahan yang liar. Kemudian dengan
sekuat tenaga ia melempar
Mahesa Jenar dengan senjatanya. Untunglah Mahesa Jenar tetap waspada, sehingga secepat
itu pula ia berhasil menghindari senjata Bugel
Kaliki itu. Sekali lagi terdengar Bugel Kaliki mengumpat, kemudian
jatuh kembali, terjerembab. Arya Salaka memalingkan
wajahnya melihat saat-saat terakhir yang mengerikan dari
hantu yang hampir membunuhnya itu.
Mahesa Jenar masih berdiri tegak seperti patung.
Dipandangnya tubuh Bugel Kaliki terbaring di tanah. Mati.
Kemudian ditariknya nafas dalam-dalam, sedang di hatinya
terpanjatlah ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah menyelamatkannya dari senjata Bugel Kaliki
yang mengerikan, serta telah memberinya kekuatan,
bahkan membinasakan hantu yang menakutkan itu.
Bersyukurlah bahwa ia telah berhasil melakukan pengabdian sekali lagi atas kemanusiaan dalam pancaran
cinta kasih yang abadi. Tidak saja Mahesa Jenar, namun Kebo Kanigara, Arya
Salaka dan Karang Tunggal pun menarik nafas pula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Seakan-akan sesuatu yang menekan dadanya telah dapat
dipunahkan. Bahkan tiba-tiba terdengar Sawung Sariti
berkata perlahan-lahan ketika ia mendengar teriakan ngeri,
"Paman, apakah yang terjadi?"
Kebo Kanigara memandang wajah anak itu. Tampaklah
kadang-kadang mulutnya menyeringai menahan sakit. Maka
jawabnya, "Sawung Sariti, bersyukurlah kau, karena
pamanmu Mahesa Jenar telah mengakhiri pertempuran."
"Bagaimana dengan hantu bongkok itu?" tanya Sawung
Sariti lemah. "Ia sudah binasa," sahut Kebo Kanigara.
"Tuhan Maha Besar," desisnya. Tetapi hatinya sendiri
tergetar mendengar suaranya. Selama ini tak pernah ia
menyebut nama Tuhan. Apalagi kebesarannya. Tiba-tiba
saja kata-kata itu terluncur begitu saja dari mulutnya.
Namun setelah itu terasa betapa dekatnya ia dengan
Tuhan. Maka timbullah keinginannya untuk sekali lagi
menyebut nama itu, nama yang selama ini terlupakan
olehnya. Maka katanya, "Tuhan Maha Besar. Ya, Tuhan
Maha Besar." Mahesa Jenar menoleh mendengar suara Sawung Sariti
itu. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan berjongkok di
sampingnya. Perlahan-lahan ia berkata, "Tenangkan
hatimu, Sawung Sariti."
"Terimakasih, Paman," jawabnya lirih. "Hatiku telah puas.
Hantu itu telah binasa." Tampaklah senyum mengambang
di bibir Sawung Sariti. Meskipun demikian nafasnya
terdengar semakin cepat mengalir dari lubang hidung dan
mulutnya, sedang dari mulut itu masih menetes darah yang
merah. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Mahesa Jenar..." kata Kebo Kanigara kemudian,
"Apakah tidak sebaiknya Sawung Sariti segera mendapat
pengobatan?" Sawung Sariti menggeleng lemah, katanya, "Obat yang
paling baik, telah aku dapatkan, Paman."
"Apakah itu?" tanya Kebo Kanigara.
Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang sayu. Jawabnya,
"Di manakah Kakang Arya Salaka?"
Arya Salaka ternyata sudah berjongkok di belakang
Mahesa Jenar, berdua dengan Karang Tunggal.
"Mendekatlah Arya," kata Mahesa Jenar.
"Kakang..." Sawung Sariti tidak meneruskan kata-kata,
namun matanya telah memancarkan segenap perasaan
yang tersimpan di dadanya.
"Tenangkan hatimu Adi," pinta Arya Salaka mengulangi
kata-kata Kebo Kanigara. Dan sekali lagi Sawung Sariti
tersenyum. "Biarlah anak ini aku bawa kembali ke Pamingit," kata
Kebo Kanigara. "Mungkin Paman Sora Dipayana dapat
mengobatinya." "Sebaiknyalah demikian, Kakang," jawab Mahesa Jenar,
"Dan biarlah Arya Salaka menjemput ibunya dan ibu
Sawung Sariti." Mendengar Mahesa Jenar menyebut-nyebut ibunya,
berdesislah Sawung Sariti. Katanya lemah, "Tolonglah
Kakang Arya, jemputlah ibuku sekali."
"Baiklah Adi," jawab Arya, "Akan aku bawa Bibi Lembu
Sora bersama ibuku ke Pamingit."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sawung Sariti masih mencoba tersenyum walau
wajahnya semakin sayu. Katanya, "Terimakasih Kakang."
Kebo Kanigara pun kemudian bangkit sambil mengangkat
tubuh Sawung Sariti perlahan-lahan. Dalam pada itu
terdengar Sawung Sariti berkata perlahan-lahan, "Paman,
aku telah menyulitkan Paman."
"Jangan berpikir demikian Sawung Sariti," jawab Kebo
Kanigara. "Adalah kewajiban manusia untuk saling
membantu. Mungkin pada suatu saat aku akan memerlukan
bantuanmu pula." Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi hatinya menjadi
terharu. Apakah Kebo Kanigara akan berbuat demikian
manisnya pula seandainya dirinya berhasil membunuh Arya
Salaka" "Hem..." Ia menggeram. Perasaan sesal meronta-ronta di
dalam dadanya. Sesal atas segala macam pekertinya yang
jauh tersesat ke daerah nafsu.
Mereka pun kemudian berjalan ke arah yang berbeda-
beda. Arya Salaka dan Mahesa Jenar ke Sarapadan, sedang
Kebo Kanigara mendukung Sawung Sariti ke Pamingit.
Yang berdiri kebingungan adalah Karebet. Ia memandang Arya Salaka dengan permintaan, apakah boleh
pergi bersamanya. "Tidakkah Kakang Karang Tunggal pergi bersama Paman
Kebo Kanigara?" tanya Arya Salaka, "Barangkali Paman
Kebo Kanigara perlu bantuan Kakang, mendukung Adi
Sawung Sariti. Di Pamingit nanti kita bertemu. Barangkali
Kakang Karang Tunggal banyak mampunyai ceritera yang
menarik." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Oh!" Karebet seperti tersadar dari mimpi. Bukankah ia
dapat membantu pamannya itu. Karena itu maka katanya,
"Baiklah Adi, aku membantu Paman Karang Jati." Dan
berlari-larilah Karebet menyusul pamannya.
Ketika ia telah berjalan di belakang pamannya,
berkatalah ia perlahan-lahan, "Paman, biarlah Adi Sawung
Sariti aku dukung." Kebo Kanigara menoleh. Tapi ia tidak segera menjawab.
Karena itu hati Karang Tunggal menjadi berdebar-debar.
Akhirnya ia berjalan sambil menundukkan kepalanya.
Hatinya berdesir ketika pamannya itu bertanya, "Kenapa
kau berada di sini, Karebet?"
Kepala Karebet menjadi semakin tunduk. Ia benar-benar
takut kepada pamannya itu.
"Kenapa?" ulang Kebo Kanigara.
Karebet masih belum dapat menjawab. Karena itu
hatinya menjadi semakin kecut.
Tiba-tiba berkatalah Karang Jati, "He, Karebet. Kau akan
ikut aku ke Pamingit?"
"Ya, Paman," jawab Karebet singkat.
"Bagus, kau akan dapat menemui kawan-kawanmu dari
pasukan Nara Manggala," sambung Kebo Kanigara.
Karebet terkejut bukan buatan. "Nara Manggala?"
ulangnya. "Ya," jawab Kebo Kanigara acuh tak acuh. "Ki Gajah Alit,
dan para pejabat rahasia Demak, Ki Paningron."
"Benarkah keduanya di sini?" desak Karebet semakin
terkejut. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kenapa?" tanya Kebo Kanigara.
Karebet terdiam. Sekali lagi pandangan matanya
terbanting di tanah. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
"Karebet..." kata Kebo Kanigara kemudian, "Seharusnya
kau menjadi gembira. Bukankah kau akan bertemu dengan
perwira-perwira dari pasukan Demak" A ku dengar, kau pun
telah menjadi lurah Wira Tamtama."
"Ya, Paman, tetapi..." Karebet tak dapat meneruskan
kata-katanya. "Tetapi kenapa?" desak Kebo Kanigara.
Sekali lagi Karebet terbungkam.
Akhirnya terdengar Kebo Kanigara berkata dengan suara
yang berat, "Karebet, apakah yang sebenarnya terjadi?"
Karebet masih berjalan dengan muka tunduk di belakang
pamannya. Ia tidak berani mengatakan apa yang telah
terjadi sehingga ia diusir dari Kraton Demak. Bahwa ia
masih hidup dan lepas dari kemarahan Sultan yang lebih
besar lagi, adalah karena Sultan sejak semula telah tertarik
kepada keperwiraan dan kecekatannya, sehingga kasih
yang dilimpahkan kepadanya agak berlebihan dibanding
dengan para prajurit lainnya.
Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata, "Aku sudah
tahu apa yang kau lakukan di Demak, Adol bagus. Kau
sangka di seluruh kolong langit ini hanya kau sendiri
seorang laki-laki?" Hati Karebet menjadi semakin berdebar-debar. Dan
karena itu wajahnya menjadi semakin tumungkul memandang ujung-ujung jari kakinya yang bergerak-gerak
karena langkahnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba ia terkejut ketika dengan tiba-tiba pula
pamannya berhenti. Bahkan tanpa sengaja ia mengerutkan
pundaknya. Ia menyangka bahwa pamannya akan
memarahinya. Namun sebenarnya Kebo Kanigara pun sayang benar
kepada kemenakannya yang nakal itu. Maka katanya,
"Karebet, bagaimanakah pertimbanganmu" Apakah kau
akan menemui para perwira dari prajurit Demak itu?"
Beberapa saat Karebet diam. Ia menjadi berlega hati
ketika pamannya tidak memaki-makinya. Setelah debar
jantungnya mereda, ia berkata, "Aku kira lebih baik tidak,
Paman." "Nah, kalau demikian, jangan ikuti aku. Pergilah ke
Banyubiru. Setelah semuanya selesai, aku akan ke sana
mengantarkan Arya Salaka. Aku akan menemuimu. Dan kau
harus berkata sebenarnya apa yang telah terjadi dan apa
yang pernah kau lakukan."
"Baik Paman," jawab Karebet. "Aku sekarang berada di
rumah Ki Buyut atau yang dikenal Ki Lemah Telasih."
"Nah, pergilah. Apakah kau sudah tahu jalan yang harus


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau tempuh?" tanya Kebo Kanigara. Sebenarnya ia tahu
bahwa hampir seluruh jalan di sekitar pegunungan Merapi,
Merbabu, Slamet, Ungaran, Murya, Sindara, Sumbing,
Lawu, Kelut, Kawi sampai di daerah barat dan timur telah
dilintasinya. Karebet pun kemudian mengambil jalan lain untuk
langsung pergi ke Banyubiru. Daerah yang tidak terlalu
dekat. Namun berjalan kaki bagi Karebet adalah
pekerjaannya sehari-hari.
----------o-dwkz)(arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Kebo Kanigara berhenti sejenak melihat langkah
kemenakannya itu. Karebet benar-benar memiliki tubuh
idaman bagi setiap laki-laki. Apalagi bagi mereka yang mesu
raga, olah keprawiraan. Badannya tegap, berdada bidang.
Tangan-tangan serta kaki-kakinya kokoh kuat seperti baja.
Sedang geraknya lincah cekatan seperti burung sikatan.
Dan Karebet mempunyai modal yang cukup lengkap. Selain
tubuhnya yang serasi, ia pun memiliki wajah yang tampan.
Tetapi wajahnya yang tampan itulah yang menyebabkan ia
diusir dari Demak. Kebo Kanigara tidak yakin bahwa kemenakannya itu
benar-benar membunuh orang Demak. Cara Paningron
menceriterakannya telah menimbulkan kecurigaan. Senyum-senyum yang aneh. Dan ia telah memaklumi
maksudnya. Pada saat itu bintang-bintang di langit telah bergeser
jauh dari tempat semula. Lamat-lamat terdengar ayam
jantan berkokok bersahutan. Dalam keheningan malam itu
terdengar Sawung Sariti berbisik, "Kenapa Kakang Karebet
paman perintahkan ke Banyubiru" Aku ingin berkenalan
dengan pemuda yang perkasa itu."
Kebo Kanigara kini telah berjalan lagi. Langkahnya tegap
dan agak cepat. Perlahan-lahan terdengar ia menjawab
"Barangkali lebih baik demikian, Sawung Sariti. Sedang kau,
pada masa-masa yang akan datang akan dapat mengenalnya lebih dekat."
Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam. Terasa
seolah-olah beribu-ribu jarum menusuk-nusuk dadanya dari
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dalam. Dengan lirih ia berdesis, "Mudah-mudahan aku
mempunyai waktu." "Jangan berangan-angan demikian." Kebo Kanigara
menasihati, "Berdoalah supaya lukamu sembuh kembali."
Namun sebenarnya Kebo Kanigara pun dihinggapi perasaan
cemas melihat anak muda dalam dukungan tangannya itu.
Karena itu ia berjalan semakin cepat, supaya segera sampai
ke Pamingit. Dalam pada itu Arya Salaka dan Mahesa Jenar berjalan
ke arah yang berlawanan. Sekali-kali Arya memandang ke
langit yang bersih. Perlahan-lahan ia berkata, "Hujan sudah
jauh berkurang, Paman."
"Sudah kita lampaui mangsa kesanga," sahut pamannya.
"Mudah-mudahan hari-hari yang akan datang tidak selalu
diliputi oleh awan yang kelam."
"Hari-hari yang cerah," desis Arya Salaka.
Kemudian untuk sesaat mereka berdiam diri. Namun
tiba-tiba terdengar Arya berkata, "Paman, ternyata Bugel
Kaliki tidak sekuat yang aku sangka. Bukankah ia termasuk
tokoh yang sejajar dengan Sima Rodra dan sebagainya?"
"Tentu," jawab Mahesa Jenar. "Tetapi pengaruh keadaan
telah menyebabkan ia kehilangan pengamatan. Ia benar-
benar telah putus asa. Hilangnya beberapa orang
sahabatnya menjadikan Bugel Kaliki berhati kecil. Apalagi
kali ini ia melihat kehadiranku dan Kakang Kebo Kanigara
bersama-sama. Sedang sebelum itu pun ia sudah harus
bekerja berat. Bukankah kau dan Karebet telah melawannya
dengan gigih" Karebet benar-benar anak luar biasa. Apalagi
dengan Sangkelat di tangannya. Yang lebih mempercepat
kekalahannya adalah bongkah di punggungnya. Sejak
semula aku melihat, betapa ia melindungi punggungnya itu,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sehingga aku berpikir bahwa orang itu pasti memiliki
kelemahan di punggungnya itu. Demikianlah ketika
tanganku mengenai tengkuknya, ternyata Bugel Kaliki tak
mampu melawannya." Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia
yakin, bahwa apabila ia bertempur, tidak saja ia harus
mempergunakan tenaganya, tetapi juga otaknya, sehingga
dapat diketahuinya, kekuatan dan kelemahan lawan.
Kembali mereka berdiam diri. Ujung malam itu ditandai
oleh suara kokok ayam jantan dari desa di hadapan
mereka, Surapadan. Tiba-tiba Arya Salaka menjadi berdebar-debar. Kakinya
serasa gemetar, dan ingin meloncat berlari mencari pondok
yang dikatakan oleh Titis Anganten. Tiga halaman dari
gardu di mulut jalan desa. Tetapi ia menahan dirinya, sebab
gurunya berjalan di sampingnya.
Dalam keriuhan suara ayam jantan itu, terdengar Mahesa
Jenar berkata, "Ibumu dan bibimu berada di desa itu Arya?"
"Ya paman," jawab Arya.
"Adakah kau tadi pergi bersama Sawung Sariti?"
bertanya Mahesa Jenar kemudian.
Arya menjadi ragu-ragu. Namun ia menjawab pula, "Ya
paman". "Apakah yang terjadi?" berkata Mahesa Jenar pula.
"Kami bertemu dengan Bugel Kaliki. Untunglah kakang
Karebet tiba-tiba saja berada di tempat itu pula," jawab
Arya bimbang. "Sebelum itu apakah yang terjadi?" desak Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kembali Arya menjadi ragu-ragu. Ia tidak segera
menjawab. Apakah pamannya tahu bahwa ia lebih dahulu
bertempur melawan Sawung Sariti" Dalam kebimbangan itu
terdengar Mahesa Jenar berkata, "Arya aku tidak yakin luka
di dadamu itu karena tangan Bugel Kaliki sebab ia tidak
bersenjata tajam, bahkan kalau kau tersentuh tangannya
maka akibatnya akan sama seperti yang diderita oleh
Sawung Sariti. Karena itu aku ingin tahu, siapakah yang
melukaimu"." Mulut Arya menjadi berat seberat perasaannya untuk
menyebut nama adiknya. Ia mencoba untuk berusaha
melindunginya, namun pertanyaan gurunya itu benar-benar
mendesaknya. Karena itu, betapapun beratnya ia terpaksa
berkata, "Sawung Sariti, paman."
"Aku sudah menduga," desis Mahesa Jenar. "Dan kaupun
telah melukai pundaknya."
"Ya, paman," Arya tidak dapat mengelak lagi.
"Lukamu tidak berbahaya, tetapi apakah kau melukai
Sawung Sariti dengan Kiyai Suluh"."
"Tidak paman, aku melukainya dengan pedang yang
diberikan oleh Karang Tunggal."
"Karang Tunggal sudah ada pada waktu itu"," tanya
Mahesa Jenar. "Sudah paman," Sahut Arya, kemudian diceritakannya
apa yang diketahuinya. Sejak ia pergi bersama Sawung
Sariti sehingga melihat Karebet bertempur melawan
Sawung Sariti dibawah pohon nyamplung Dari Karebet ia
mendengar, bahwa agaknya Sawung Sariti telah menunggunya disitu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar mengangguk-angguk namun yang meloncat dari mulutnya adalah, "itulah gardu dimulut
lorong." Kembali dada Arya berdebar cepat sekali. Beberapa
langkah lagi ia akan sampai ke tempat ibunya
menyembunyikan diri. Namun ia masih mendengar gurunya
bergumam, "untunglah kau tidak menyentuh adikmu
dengan Kiyai Suluh. Sebab dengan demikian setiap orang,
juga pamanmu Lembu Sora, eyangmu Sora Dipayana akan
melihat kesaktian pusaka itu. Dan kaulah pembunuh yang
sebenarnya dari adik sepupunya."
Arya menundukkan wajahnya. "Ya untunglah yang
demikian tidak terjadi."
Sesaat kemudian Arya berhenti disamping gardu di mulut
lorong desa Sarapadan itu. Dan terdengarlah ia bergumam.
"Kita membelok ke kiri paman, tiga halaman dari gardu ini."
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia mengikuti saja Arya
yang melangkah perlahan menyusuri lorong itu sambil
menghitung halaman di kanan jalan. Namun halaman di
desa kecil itu ternyata cukup luas.
Ketika Arya Salaka dan Mahesa Jenar telah melampaui
halaman yang ketiga, di dadanya serasa telah menggetarkan seluruh tubuhnya. Sesaat ia menjadi ragu-
ragu. Halaman ketiga ini dipagari oleh dinding batu yang
sebagian telah rusak. Regolnya runtuh dan rumah yang
berdiri di halaman itupun sudah tidak tegak lagi. Sebuah
gubuk bambu beratap ilalang.
"Di sinikah ibu beserta bibi itu"," desis Arya Salaka ragu-
ragu. "Ya," sahut Mahesa Jenar pasti.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tetapi....," kata-kata Arya tertutup.
"Eyangmu Titis Anganten telah mencoba mempergunakan perhitungan sebaik-baiknya. Kau pasti
menduga bahwa Ibu dan Bibimu berada dirumah yang
paling baik di desa ini"."
Arya mengangguk. "Orang lainpun akan menduga demikian. Karena itulah
maka ibu dan bibimu berhasil bersembunyi." sahut Mahesa
Jenar. "Oh", Arya menarik napas. ia menyadari kebodohannya.
Kemudian dengan dada berdebar-debar ia melangkahi
bongkah kayu yang berserak serak disamping regol
halaman itu. Ia terhenti ketika ia sudah dimuka pintu.
"Ketuklah," desis Mahesa Jenar. Perlahan lahan Arya
mengetuk pintu rumah itu. Dan dari dalam rumah itu
terdengar sapa perlahan, suara laki-laki tua. "Siapa"."
"Aku kakek," sahut Arya Salaka.
"Aku siapa"," orang itu menegaskan.
Arya telah menerima pesan dari Titis Anganten
bagaimana ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepadanya, supaya orang dirumah itu percaya
bahwa kedatangannya sudah persetujuan Titis Anganten.
Orang yang menitipkan dua orang pengungsi kepadanya.
"Aku kek, burung elang dari lereng bukit," sahut Arya.
Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar menggamit tangannya tetapi ketika Arya Salaka menganggukkan
kepalanya, tahulah Mahesa Jenar maksud jawaban itu.
Kemudian terdengarlah langkah perlahan menuju ke
pintu. Dan sesaat kemudian terdengarlah derak pintu lereg
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu terbuka. Seorang lelaki tua berdiri terbongkok bongkok
dimuka pintu sambil berusaha mengamati tamunya.
"Masuklah," orang tua itu mempersilahkan.
"Terimakasih kek, tetapi adakah sepasang pohon Wregu
itu masih disini"," bertanya Arya Salaka seperti pesan Titis
Anganten. Orang tua itu yakin sudah bahwa kedua orang yang
berdiri di muka rumahnya itu adalah orang-orang setidak-
tidaknya suruhan orang yang menitipkan kedua pengungsi
kepadanya. Karena itu ia menjawab, "Ya, ya, aku telah
menjaganya dengan baik."
Arya Salaka dan Mahesa Jenar melangkah masuk.
Dipersilahkannya mereka duduk di bale-bale bambu.
Berderak-deraklah suaranya ketika dua sosok tubuh yang
gagah itu memberati bale-bale.
Orang tua itupun kemudian berjalan ke senthong kanan,
dan terdengarlah ia berkata, "Nyai telah datang utusan dari
orang yang membawa nyai berdua kemari."
"Sudahkah kau yakin kakek?" terdengar suara seorang
wanita. "Aku yakin, nyai," jawab orang itu.
Dan sesaat kemudian dari sentong kanan keluarlah dua
orang wanita. Jauh lebih tua dari lima enam tahun yang
lampau. Wajahnya pucat dan kekurus kurusan. Karena itu
tanpa sadar Arya menoleh dan cepat berdiri. Mahesa
Jenarpun berdiri pula. Ia melihat betapa muridnya menjadi
gemetar. "Siapakah kau"," bertanya salah seorang daripadanya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mulut Arya terbungkam. Ibunya itu ternyata sudah tidak
mengenalinya. Yang menjawab kemudian adalah Mahesa
Jenar. "Adakah Nyai lupa kepadaku","


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu mengerutkan keningnya. Akhirnya wajahnya
cerah dan dengan ragu-ragu ia berkata, "Adi Mahesa
Jenar." "Ya, aku Mahesa Jenar," jawab Mahesa Jenar.
"Oh," terdengar ia berdesis dan wajahnya menjadi
semakin cerah. "Lalu siapa anak muda ini"."
Mahesa Jenar dapat memaklumi, bahwa dirinya sendiri
tidak mengalami banyak perubahan. Tetapi Arya Salaka
yang sedang tumbuh itu akan mengejutkannya. Pada saat
meninggalkan Banyu Biru, ia tidak lebih dari seorang anak-
anak berumur antara tigabelas tahunan. Dan sekarang ia
adalah seorang pemuda perkasa. Bertubuh kekar dan
berdada bidang. Karena itulah maka Mahesa Jenar berkata,
"Nyai, bertanyalah kepadanya siapakah namanya"."
Nyai GajahSora menjadi ragu-ragu. Tetapi hatinya
berdesir ketika melihat anak itu gemetar. Dan kemudian
tiba-tiba saja anak muda itu meloncat maju berjongkok
sambil memeluk kaki ibunya. "Ibu...."
Nyai GajahSora terkejut. Dan terloncatlah dari mulutnya,
"Kau kah itu." Arya Salaka tak kuasa menjawab pertanyaan itu.
Kerongkongannya serasa tersumbat batu. Sedangkan
matanya menjadi panas. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanita itu kini yakin. Anak itu adalah anak yang
pernah dibelainya enam tahun lalu, anak yang tidur
dipangkuannya, dicium keningnya. Namun sering pula dimarahinya karena kenakalannya. Tiba-tiba tangannya yang lemah memeluk kepala Arya Salaka
dan menekankan ke dadanya. Dan terasa tiba-
tiba dada yang tipis itu menggelombang. Meledaklah sebuah tangis kegembiraan. "Arya, bukankah kau Arya Salaka?"
Juga Arya tidak mampu berkata sepatahpun. Sebagai laki
laki yang tabah menghadapi setiap bahaya maut yang
mengancamnya, Arya adalah seorang berhati baja. Namun
kali ini ia tidak kuasa menahan diri. Meneteslah sebutir air
mata. Nyai Gajahsora benar-benar menangis. Ia tidak tahu
apakah yang bergejolak didalam dadanya.. Anak ini pada
saat terakhir sebelum berpisah dengannya juga pernah
dipeluknya seperti ini. Menekankan kepala anak ini ke
dadanya.Kini anak itu tidak berdiri pada telapak kakinya
tetapi pada kedua lututnya. Namun Nyai Gajahsora tak
sempat memperhatikannya. Dipeluknya anak itu seperti
enam tahun lampau, diciumnya keningnya dan dibasahi
dahi anak itu dengan air mata.
Nyai Lembusora pun terharu melihat pertemuan itu.
Tanpa sesadarnya dari matanya juga mengalir air mata. Ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak tahu apa yang terjadi antara anaknya dengan anak
itu, antara suaminya dengan kakaknya Gajahsora. Karena
kasihnya kepada Arya Salaka sebagai kemenakan satu-
satunya tidak berkurang. Dengan demikian iapun terharu
melihat pertemuan itu, setelah anak itu hilang selama enam
tahun didsisi ibunya. Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajahnya. Ia
gembira, segembira Arya Salaka sendiri. Ia akan dapat
menyerahkan anak itu nanti kepada ayah bundanya tanpa
mengecewakan mereka. Mahesa Jenar telah tidak
menyianyiakan kepercayaan Gajahsora kepadanya meskipun ia harus mengucapkan beribu-ribu terimakasih
pula kepada Kebo Kanigara.
Tiba-tiba terdengarlah suara Nyai Gajahsora terputus-
putus karena isaknya, "Kemana kau selama ini Arya",
ayahmu tak kunjung kembali dan kau meninggalkan aku
seorang diri dalam sepi dan duka"
Arya ingin menjawab. Ingin bercerita bahwa ia sama
sekali tidak bermaksud meninggalkan ibunya. Ia ingin
mengatakan bahwa selama ini wajah ibunya tak sekejap
pun terhapus dari angan-angannya. Tetapi yang menyumbat kerongkongannya serasa menjadi semakin
besar pula. Karena itu ia hanya dapat menelan ludahnya
beberapa kali. Dan kemudian ibunya menarik anak itu berdiri. Ketika
Arya berdiri, terkejutlah Nyai Gajahsora. Katanya, "Oh, kau
sudah besar, kau benar-benar menjadi bayangan ayahmu,
seperti belahannya dalam cermin."
Mahesa Jenar berdesir mendengar kata-kata itu.
Meskipun suaminya telah pergi selama enam tahun, namun
setiap ungkapan kantanya menyatakan bahwa kesetiaannya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak berkurang. Dan dalam suasana yang demikian itulah
Mahesa Jenar teringat akan dirinya. Apabila kelak ada
sesuatu dengan dirinya, adakah seseorang yang akan
menantinya" atau mencemaskannya ". Dan tiba-tiba pula
teringatlah ia kepada Rara Wilis, seorang gadis yang setia
menanti, meskipun umurnya selalu menghantuinya. Hari
demi hari..... Tiba-tiba Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi malu
kepada dirinya sendiri. Dengan sudut matanya disambarnya
setiap wajah yang ada diruangan itu. Kalau kalau ada
diantara mereka yang melihat perubahan wajahnya.
"Hem," ia menarik napas dalam-dalam. Sedang hantinya
berkata, "jangan berangan-angan seperti pemuda meningkat dewasa." Nyai Gajahsora dan Nyai Lembusora pun segera
berkemas-kemas pula. Mereka ingin segera kembali ke
Pamingit. Meskipun Arya belum mengatakan tentang
kehadiran ayahnya dan tentang keadaan adik sepupunya.
Ketika mereka sudah selesai berkemas, maka kedua
perempuan itu segera minta diri kepada penghuni rumah
yang sudah lanjut usia sambil mengucapkan diperbanyak
terimakasih atas perlindungan yang diberikan.
"Eh," sahut kakek tua itu. "Sudah menjadi kewajiban
setiap warga untuk melindungi Nyai Ageng berdua. Sedang
yang aku lakukan sekedar menerima Nyai berdua dan
memberikan sekedar tempat untuk beristirahat."
"Aku tidak akan melupakan kau, kek," sahut Arya Salaka.
"Suatu saat aku pasti akan menengok rumah ini."
"Terimakasih ngger, terimakasih." Jawab orang itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka sesaat kemudian, berjalanlah mereka berempat
menuju Pamingit. Didalam dada mereka masing-masing
bergetarlah angan angan menyongsong hari yang akan
datang. Nyai Ageng Gajahsora menjadi gembira karena kini
ia berjalan dengan anaknya yang hilang dan kembali
kepadanya sebagai pemuda yang perkasa. Arya Salaka
memandang langit yang cerah secerah hatinya. Sedang
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya menghitung masa
lampaunya. Tetapi kini sebagian besar pekerjaannya telah
selesai. Ia tinggal menghadapkan Arya Salaka kepada ayah
bundanya., kemudian ia sendiri akan ke Karang Tumaritis
menanyakan panembahan Ismaya, apa yang harus
dilakukan atas Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten. Sesudah itu
datanglah saatnya mengurus dirinya sendiri.
Perlahan lahan langit yang ditaburi bintang itu menjadi
semakin terang. Cahaya fajar yang meloncat dari balik bukit
telah menjalari seluruh langit. Dan bintang bintangpun
semakin redup karenanya. Angin pagi yang lembut mengalir
perlahan lahan seakan ikut berdendang bersama mereka
yang sedang berjalan berempat itu menyanyikan lagu riang
gembira menyongsong hari yang cerah.
Demikianlah mereka berjalan dalam limpahan cahaya
pagi. Perjalanan itu bukanlah perjalanan yang berbahaya.
Langit biru, batang batang jagung yang hijau. Air yang
jernih sejuk mengalir di parit-parit ditepi jalan. Desa-desa
yang menjorok seperti pulau-pulau di lautan hijau. Daun-
daun bergoyang ditiup angin pagi yang lembut, gemersik
diantara kicau burung-burung liar yang riang berloncatan
dari dahan ke dahan. Tetapi ketika mereka hampir sampai di bawah pohon
nyamplung hati Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berdebar-debar. Semalam mereka tidak sempat mengurus
mayat Bugel Kaliki. Kalau mayat itu masih disana, pasti
akan mengejutkan Nyai Ageng berdua. Tetapi mereka tidak
dapat menempuh jalan lain. Mereka harus melampaui jalan
di bawah pohon nyamplung itu.
"Paman," tiba-tiba Arya berkata pelan sekali kepada
Mahesa Jenar. "Bagaimana dengan mayat Bugel Kaliki"."
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya, "lihatlah dan kalau masih ada singkirkan
sementara. Nanti kita selesaikan mayat itu sebaik-baiknya."
Arya mengangguk, kemudian kepada ibunya ia berkata,
"Ibu dan Bibi, perkenankanlah aku mendahului. A da sesuatu
yang akan aku lihat lebih dahulu."
Nyai Ageng berdua itu menjadi berdebar-debar. Maka
bertanyalah Nyai Ageng Gajahsora, "Apakah keadaan di
Pamingit masih belum baik Arya"."
"Tidak ibu," jawab Arya, "keadaan sudah terlalu baik.
Tetapi parit yang menyilangi jalan disebelah pohon
nyamplung yang tampak kemarin itu kemarin terlalu cepat
mengalir dan terlalu dalam airnya. Barangkali aku dapat
memilih jalan yang lain."
"Oh," Nyai Ageng Gajahsora dan nyai Lembu Sora
menarik nafas lega, maka berkatalah ibu Arya, "pergilah."
Arya pun pergi bergegas mendahului. Ia tidak mau ibu
serta bibinya menjadi terkejut dan ngeri.
Tetapi ketika ia sampai di bawah pohon itu, ia terkejut.
Mayat itu sudah tak ditemuinya di sana. "Hilang," pikirnya.
Yang dilihatnya hanyalah beberapa bekas darah yang
mengalir dari lukanya, luka Sawung Sariti. Dengan dada
yang berdebar-debar, ia melihat pakaiannya. Beberapa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
noda darah masih melekat dan mewarnai bajunya dengan
noda-noda merah kehitam-hitaman. Tetapi luka didadanya
tak mengalirkan darah lagi. Ia yakin bahwa ibu dan bibinya
telah melihat luka itu. Tetapi mereka berdua tak
mengucapkan sepatah pertanyaan pun. "Ah!" desisnya.
"Adalah hal yang lumrah bahwa dalam daerah pertempuran
seseorang mengalami luka di tubuhnya."
Ketika ia menengok ke belakang, dilihatnya ibunya,
bibinya serta Mahesa Jenar sudah berjalan semakin dekat.
Cepat-cepat ia berusaha menghapus bekas-bekas darah
yang mewarnai tanah di bawah pohon nyamplung itu.
Namun sebuah pertanyaan melingkar-lingkar di kepalanya,
di manakah mayat Bugel Kaliki" Apakah ia masih belum
benar-benar mati dan kemudian bangkit kembali"
Tetapi Arya Salaka tidak sempat berpikir terlalu panjang.
Ia terpaksa berpura-pura berjalan ke parit yang menyilang
jalan di sebelah pohon nyamplung. Ia tersenyum sendiri
ketika ia melihat aliran airnya yang bening kemercik di
antara batu-batu kecil yang berserak-serakan di atas pasir.
Aliran air di parit itu masih seperti kemarin. Tidak lebih dari
setinggi betis. "Hem," gumam Arya, "Tidak mungkin parit
sebesar ini menjadi berarus deras dan dalam."
Ibu serta bibinya itu pun menjadi semakin dekat. Dari
jauh mereka melihat Arya Salaka membungkuk-bungkuk
kemudian duduk di tanggul parit di bawah pohon
nyamplung. Tetapi mereka tidak tahu apakah yang sudah
dikerjakan oleh anak itu.
Ketika itu Arya sedang memungut sebatang pedang yang
dipergunakan melawan Sawung Sariti, serta sebatang
pedang Sawung Sariti sendiri, yang kemudian keduanya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dipergunakan oleh Sawung Sariti untuk melawan Bugel
Kaliki. Nyai Ageng Gajah Sora beberapa kali memandang langit
yang biru bersih. Di Sarapadan, kemarin setetes pun tak
turun hujan. Kalau demikian maka di bagian timur pasti
hujan lebat kalau parit itu benar-benar banjir.
Ketika mereka sampai di tepi parit itu, maka Nyai Ageng
Gajah Sora pun menjadi heran. Parit itu tidak lebih dari
sebetis dalamnya. "Sudah tidak banjir lagi, Arya?" ia
bertanya. "Tidak Ibu," jawab Arya.
Tampaklah beberapa pertanyaan masih tersimpan di
dalam wajah ibunya, namun tak satupun yang terkatakan.
Ketika mereka sudah melampaui parit itu dan berjalan
menyusur jalan kecil, maka berbisiklah Mahesa Jenar,
"Bagaimana dengan mayat itu?"
"Hilang," bisik Arya singkat.


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. "Hilang?" ia
mengulang. "Ya, hilang!" jawab Arya.
"Aneh," desis Mahesa Jenar sambil menarik nafas. Pada
saat ia melihat Bugel Kaliki terbaring di tanah, ia sudah
yakin bahwa orang itu telah terbunuh. Tetapi Mahesa Jenar
pun tidak berkata-kata lagi, meskipun tampak juga ia
sedang berpikir. Di perjalanan itu, tidak banyak yang sempat mereka
pertanyakan. Mereka sibuk dengan angan-angan di kepala
masing-masing. Sedang matahari merayapi bola langit
dengan tekunnya, semakin lama semakin tinggi. Cahaya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang cerah memancar dan terbanting di atas batu-batu
padas yang kemerah-merahan.
Arya mengangkat wajahnya ketika tiba-tiba ia mendengar bunyi garengpung. Teringatlah ia pada masa
kanak-kanaknya. Sehari-harian ia mengejar binatang-
binatang semacam itu. Apabila didapatnya, disimpannya
didalam ketupat janur yang masih kosong.
"Kita sudah memasuki ujung musim kemarau," desisnya.
"Suara garengpung itu?" tanya gurunya.
"Ya," jawab Arya.
Kembali mereka berdiam diri. Dan mereka menjadi
berdebar-debar ketika mereka melihat dikejauhan, disela-
sela batang-batang jagung yang telah rusak, desa yang
mereka tuju, jantung Daerah Perdikan Pamingit.
Tiba-tiba langkah mereka menjadi semakin cepat tanpa
mereka sengaja. Mereka ingin segera sampai untuk melihat
apa yang telah terjadi dan ingin segera bertemu dengan
orang-orang yang mereka kasihi. Sanak keluarga dan
tetangga-tetangga yang baik hati.
Ketika mereka menginjakkan kaki mereka di pusat
pemerintahan Pamingit itu, Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai
Ageng Lembu Sora menjadi terkejut. Beberapa buah rumah
hancur terbakar dan beberapa lagi menjadi porak poranda.
"Beginikah Pamingit sekarang?" keluh Nyai Ageng Lembu
Sora. "Tetapi itu hanya bekas-bekas keganasan mereka, orang-
orang dari segerombolan hitam, Bibi," sahut Arya, "Sedang
orang-orang itu sendiri kini sudah dibinasakan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tidakkah mereka akan datang mengganggu lagi?" tanya
Nyai Ageng Lembu Sora. "Tidak Bibi. Mudah-mudahan tidak. Tuhan akan
melindungi kita selama kita berada di atas kebenaran,"
jawab Arya, namun di dalam hatinya ia meneruskan,
"Kebenaran dalam firman-firman Tuhan, bukan kebenaran
dalam tafsiran kita masing-masing, sebab akan berlipat-
lipatlah dosa kita kalau kita mengaburkan batas antara
kebenaran sejati dengan kebenaran yang sekadar
menguntungkan kita sendiri."
Beberapa orang Pamingit yang melihat kedatangan
mereka menjadi saling berbisik, "Itulah, Nyai A geng Lembu
Sora telah kembali."
Dan jawab yang lain, "Syukurlah kalau Nyai Ageng
selamat. Tak ada kabar beritanya selama ini, kemana Nyai
Ageng pergi." Dan beberapa orang kemudian menemuinya di
perjalanan itu sambil membungkuk-bungkuk mengucapkan
selamat. Nyai Ageng Lembu Sora menyambut salam itu
dengan senyum yang tulus. Senyum yang memancarkan
kegembiraan hatinya serta pertanyaan syukur bahwa ia
masih sempat bertemu dengan mereka.
Ketika mereka menginjak halaman rumah Nyai Ageng
Lembu Sora, di hadapan alun-alun yang tak begitu luas
sekali lagi hati mereka melonjak.
Nyai A geng Lembu Sora bahkan menjadi terpaku di regol
halaman. Rumah itu telah hancur menjadi abu. Tinggal
beberapa bagiannya yang masih tersisa dan roboh
berserak-serakan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan menekankan tangan di dadanya, terdengarlah ia
bergumam, "Ya ampun. Malapetaka telah menimpa
Pamingit." Dan di dalam hatinya Nyai A geng Lembu Sora itu
berkata, "Aku telah mencoba mencegah Ki Ageng supaya
tidak terlalu memanjakan nafsu, namun agaknya tak
dihiraukannya. Sekarang hukuman Tuhan telah menimpa
keluarga Pamingit." Ia menjadi terkejut ketika Arya berkata, "Bibi, Eyang dan
beberapa orang lain berada di banjar desa sebelah. Marilah
kita pergi ke sana."
Bibinya tidak menyahut. Namun tampak dari matanya
sebutir airmata yang menetes.
Maka pergilah mereka bersama-sama ke Banjar Desa,
yang ditempati untuk sementara waktu oleh para pemimpin
Pamingit. Ketika mereka sampai di Banjar itu, ternyata beberapa
orang telah berada pula di sana. Di antara mereka, Arya
melihat pula ayahnya, Gajah Sora.
Kedatangan mereka itu ternyata telah menarik perhatian.
Semua orang mengangkat wajahnya dan bergumam di
dalam hati mereka. "Itulah mereka datang."
Yang paling terkejut di antara mereka justru Nyai Ageng
Gajah Sora. Seperti orang bermimpi ia melihat suaminya, Ki
Ageng Gajah Sora duduk di antara beberapa orang itu.
Beberapa kali ia mengedipkan matanya, namun yang
ditatapnya itu masih tetap berada di tempatnya. Bahkan
tiba-tiba Gajah Sora pun berdiri. Telah sekian lama ia
menahan keinginannya untuk mengetahui keselamatan
isterinya. Dan sekarang isterinya itu datang. Karena itu
maka ia pun segera melangkah ke pintu menyongsong
kedatangan isterinya itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dada Nyai Ageng Gajah Sora benar-benar bergoncang.
Yang berdiri di muka pintu itu adalah suaminya. Bukan
dalam mimpi. Baru saja hatinya melonjak-lonjak karena
anaknya yang hilang telah kembali kepadanya. Sekarang
tiba-tiba suaminya yang pergi lebih dahulu dari anaknya,
berdiri pula di hadapannya.
Meskipun demikian antara percaya dan tidak, Nyai A geng
berdesis, "Arya, apakah itu benar ayahmu?"
"Ya, Ibu. Itulah Ayah Gajah Sora," jawab Arya perlahan-
lahan. Nyai Ageng Gajah Sora tak kuasa lagi menahan
perasaannya. Ia pun segera berlari dan bersimpuh di kaki
suaminya sambil menangis sejadi-jadinya.
Sekali lagi dada Mahesa Jenar seperti diguncang.
Seorang isteri yang setia telah menemukan suaminya
kembali. Di Banyubiru, ketika Gajah Sora itu datang bersamanya
dari Gunung Tidar, Mahesa Jenar melihat Nyai Ageng Gajah
Sora menerima kedatangan suaminya dengan membersihkan kakinya dengan air dingin yang jernih. Pada
saat itu ia telah berangan-angan, alangkah sejuknya
penerimaan yang demikian itu di hati suaminya. Sekarang
Nyai A geng Gajah Sora tidak saja membasuh kaki suaminya
dengan air yang bening, tetapi ia telah membasuhnya
dengan air mata. Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu atas
pertemuan itu. Untuk beberapa kali ia berdiam diri seperti
patung dan membiarkan isterinya bersimpuh sambil
menangis.'Namun kemudian setelah ia tersadar dari pesona
itu, diangkatnya isterinya supaya berdiri dan diajaknya ia
masuk ke dalam banjar desa itu. Maka kemudian suasana
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Banjar Desa itu menjadi gembira dan mengharukan.
Meskipun kadang-kadang Nyai Ageng Gajah Sora masih
meneteskan air mata, namun air mata yang memancarkan
rasa terima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukannya dengan anak dan sekaligus suaminya.
Nyai Ageng Lembu Sora pun menjadi bergembira pula. Ia
ikut bersyukur bersama kakak iparnya itu. Keluarga yang
seakan-akan telah terpecah belah, kini mereka telah
berkumpul kembali dalam suatu lingkungan yang bahagia.
Namun meskipun demikian, hatinya menjadi kurang
tentram. Suaminya tidak ada diantara mereka. Bahkan
setelah mereka duduk beberapa saat pun, Ki Ageng Lembu
Sora tidak juga menampakkan diri. Meskipun demikian, ia
tidak sampai hati untuk menanyakannya.
Tetapi Nyai Ageng Lembu Sora tidak dapat menghindarkan diri dari perasaan gelisah. Di dalam
peperangan, dapat saja segalanya terjadi. Karena itu maka
ia menjadi bercemas hati.
Beberapa saat kemudian, datanglah seorang Pamingit ke
banjar desa itu. Kepada Wulungan yang duduk di dekat
pintu, ia berkata, "Kakang Wulungan, adakah angger Arya
Salaka telah datang?"
"Ya," jawab Wulungan, "Belum terlalu lama."
"Beserta Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu
Sora?" Orang itu berjalan pula.
"Ya, beserta keduanya," jawab Wulungan pula.
Orang itu berhenti sejenak, kemudian ia berkata pula
perlahan-lahan, "Ki Ageng Lembu Sora minta mereka
datang ke pondoknya. Ki Ageng tak dapat hadir di banjar,
pagi ini." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wulungan mengerutkan keningnya. Ia sudah tahu kalau
Sawung Sariti terluka. Karena itu ia tidak bertanya lebih
lanjut. Sebab ia sudah menduga bahwa Nyai Ageng Lembu
Sora belum diberitahukan akan hal ini. Karena itu ia
berkata, "Baiklah, aku diberitahu akan hal ini." Karena itu ia
berkata, "Baiklah, aku persilahkan Nyai Ageng Lembu Sora
nanti segera datang."
Setelah orang itu pergi, kecemasan benar-benar
mencekam dada Nyai Ageng Lembu Sora. Dengan tergagap
ia bertanya, "Kenapa dengan Ki Ageng Lembu Sora?"
"Tidak apa-apa, Nyai," jawab Wulungan. "Ki Ageng
Lembu Sora dalam keadaan sehat walafiat. Mungkin ada
yang harus diselesaikan di pondok Ki Ageng. Maka
sebaiknya Nyai Ageng pergi ke sana. Marilah aku antarkan."
Kemudian pandangan mata Wulungan pun beredar
berkeliling, kepada Arya Salaka, Mahesa Jenar, Gajah Sora
dan yang lain-lain, dengan melontarkan pertanyaan,
"Bagaimanakah dengan Angger Arya Salaka dan yang lain?"
Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang telah mengetahui
keadaan Sawung Sariti pun segera menjawab hampir
bersamaan, "Aku ikut serta."
"Marilah,?" sahut Wulungan.
Dan sesaat kemudian hampir semua orang di banjar desa
itupun pergi ke pondok Ki Ageng Lembu Sora yang tidak
begitu jauh dari banjar desa itu. Nyai Ageng Lembu Sora,
Nyai Ageng Gajah Sora, Gajah Sora sendiri, Mahesa Jenar
dan Arya Salaka, diantar oleh Wulungan. Jarak yang hanya
beberapa ratus tombak itu, bagi Nyai Ageng Lembu Sora
terasa begitu panjangnya. Berbelit-belit lewat jalan-jalan
sempit, di antara dinding-dinding batu halaman-halaman
rumah yang sudah sangat dikenalnya. Rumah Si Santa,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
rumah Si Gersik, Dandang, pekatik suaminya, dan rumah-
rumah lain yang sering dilewatinya. Dan halaman-halaman
rumah-rumah itu seakan-akan menjadi bertambah panjang.
Jauh berlipat-lipat dari yang pernah dilihatnya sebelum
terjadi peperangan. Beberapa saat kemudian sampailah mereka ke satu
halaman yang sedang. Rumah itu pun pernah dilihatnya.
Rumah Ki naripan. Di situlah Lembu Sora berada selama
rumahnya sendiri belum dapat didiami
Nyai Ageng Lembu Sora menjadi semakin cemas ketika
dari lubang pintu ia melihat beberapa orang berada di
dalam rumah. Seakan-akan jarak yang terentang di hadapannya itu
akan diloncatinya. ----------o-dwkz)(arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III DEMIKIAN Nyai Ageng Lembu Sora sampai di muka
pintu, segera ia berlari masuk. Beberapa orang telah berada
di ruangan itu. Dan ketika tiba-tiba matanya bertemu
pandang dengan suaminya, terlontarlah dari bibirnya
ungkapan kelegaan hatinya. "Oh!"
Tetapi sesaat kemudian kembali dadanya berguncang
ketika pandangan matanya terbanting di atas bale-bale
bambu, dimana sesosok tubuh sedang berbaring,

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikerumuni oleh beberapa orang. Mertuanya, Ki Ageng Sora
Dipayana, seorang yang belum dikenalnya dan dua orang
gadis yang belum pernah dilihatnya pula. Ketika orang-
orang itu melihat kehadirannya, segera mereka menduga
bahwa itulah Nyai Ageng Lembu Sora, dan karena itu
segera mereka menyibak. Barulah kemudian Nyai Ageng
Lembu Sora melihat dengan jelas siapakah yang terbaring
di atas bale-bale bambu itu. Anak laki-lakinya, Sawung
Sariti. Sesaat ia menjadi terbungkam melihat tubuh yang pucat
dan memejamkan mata itu. Tubuhnya menjadi gemetar,
dan tiba-tiba ia memekik sambil berlari memeluk tubuh
Sawung Sariti, "Sariti!" Terdengar suaranya meninggi dan
kemudian kata-katanya hilang tenggelam dalam tangisnya
yang meledak. Sawung Sariti mendengar jerit itu. Perlahan-lahan ia
membuka matanya. Ia masih merasa betapa mesra ibunya
memeluk tubuhnya sambil membasahinya dengan air mata.
"Ibu," desisnya perlahan-lahan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ngger, kenapa kau?" tanya ibunya sambil menangis.
Diciumnya kening anaknya beberapa kali.
Tak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari
cengkereman keadaan itu. Semua orang menundukkan
kepalanya. Sawung Sariti adalah satu-satunya anak Nyai
Ageng Lembu Sora. Dan sekarang jiwa anak itu berada di
ujung bahaya. Tetapi Sawung Sariti sendiri tersenyum dengan penuh
keikhlasan. Sekali lagi ia mencoba memandang semua
orang yang hadir di ruangan itu. Ibunya, uwanya, suami
istri Ki Ageng dan Nyai Ageng Gajah Sora, ayahnya,
eyangnya yang telah mendidiknya dengan tekun dan
mengharapnya dapat menyelamatkan daerah ini dari
terkaman orang-orang dari golongan hitam, Kebo Kanigara
yang perkasa, yang telah mendukungnya sampai ke tempat
ini, Mahesa Jenar yang mengagumkan, baik kekuatan
jasmaniahnya maupun rohaniahnya, serta sifat-sifatnya
yang sebagian menurun kepada muridnya Arya Salaka, Rara
Wilis dan gadis lincah yang bernama Endang Widuri.
Akhirnya ia melihat wajah kakek sepupunya itu, betapa
sejuk dan lunak, selunak hati gurunya. Tiba-tiba terdengar
bibirnya berdesis, "Kakang A rya, kemarilah."
Suara itu perlahan sekali, tetapi karena bilik itu
dicengkam oleh kesepian, Arya Salaka pun mendengar
suara itu dengan jelas, bahkan ia menjadi terkejut
karenanya. Seperti kehilangan kesadaran, ia melangkah
maju dan berjongkok di samping bibinya.
Ketika Arya Salaka sudah berjongkok di samping bale-
bale pembaringannya, maka sekali lagi Sawung Sariti
tersenyum. Hampir tidak kedengaran ia berkata, "Bagaimana dengan luka di dadamu, Kakang?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka menjadi tergagap. Kenapa yang ditanyakan
justru luka di dadanya itu. Maka jawabnya, "Baik Adi. Sudah
baik." "Suatu kenangan yang tak dapat terhapuskan," bisik
Sawung Sariti kemudian, "Di dadamu, Kakang, akan
tergores sebuah garis bekas luka itu. Dan garis itu tak akan
hilang. Apabila Kakang nanti bercermin di air Rawa Pening,
maka Kakang akan melihat goresan luka itu. Dan
teringatlah Kakang kepadaku."
Hati Arya Salaka berdesir. Dengan sepenuh perasaan ia
berkata, "Aku akan selalu mengenangnya. Dan peristiwa itu
tak akan berulang." "Ya, tak akan berulang kembali," desis Sawung Sariti.
Suaranya menjadi bertambah lemah. Meskipun Ki Ageng
Sora Dipayana telah mencoba mengobatinya dengan
ramuan daun-daunan yang diketahuinya, namun keadaan
Sawung Sariti menjadi bertambah berbahaya.
"Kakang," kembali Sawung Sariti berdesis, "Kau maafkan
aku?" "Tak ada yang dapat dimaafkan Adi, sebab kau tak
bersalah," jawab Arya.
Sawung Sariti tersenyum, katanya, "Jangan berkata
begitu. Aku tahu aku bersalah. Kau maafkan kesalahan itu,
Kakang?" "Ya, ya tentu, tentu," jawab Arya cepat-cepat.
"Uwa Gajah Sora akan memaafkan aku juga?" bisik Sariti
kemudian. "Tentu, tentu," jawab Arya pula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kakang telah memaafkan aku, Uwa Gajah Sora berdua
juga akan memaafkan aku, Eyang Wanamerta, Paman
Pandan Kuning, dan Sawungrana...."
"Jangan sebut-sebut itu, Adi," potong Arya Salaka.
"Lupakanlah. Mereka semua sudah memaafkanmu."
"Tetapi adakah Tuhan memaafkan aku pula?" kata
Sariti tiba-tiba. Dada Arya Salaka berguncang. Mahesa Jenar dan Ki Ageng Gajah Sora Dipayana pun segera berjongkok di sampingnya.
Mereka sudah tidak dapat mempertahankan nyawa itu.
Tuhan telah memanggilnya.
Karena itu Ki Ageng Sora Dipayana berbisik ditelinga
anak muda itu. "Sebutlah
nama Tuhan. Tuhan Maha Pengampun." "....Tuhan Maha Pengampun....." Kata kata itu hampir tak
terdengar, namun Sawung Sariti telah mengucapkannya.
Dengan tenangnya ia menutup matanya.
Sebuah jerit yang tinggi membelah keheningan suasana.
Nyai Ageng Lembu Sora memekik dan memanggil nama
anaknya. Namun Sawung Sariti telah pergi. Dengan air
mata yang berlinang Nyai Ageng Gajah Sora mencoba
menenangkan hati adik iparnya. Namun usahanya sia sia.
Sawung Sariti adalah satu satunya anak yang akan
menyambung hidupnya. Yang akan dapat menjadi tempat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menumpahkan harapan serta cita-citanya. Namun anak itu
kini telah pergi dan tak akan kembali. Karena itu seakan-
akan nyawanya sendirilah yang telah lepas dari tubuhnya.
Kalau demikian maka akan lebih baik baginya seandainya
nyawa anaknya dapat ditukar dengan nyawanya. Seandainya ia sendiri boleh menggantikan anaknya
menghadap Tuhannya. Lembu Sora masih berdiri seperti patung. Bibirnya
bergetar dan tubuhnya menggigil. Matanya yang tajam
menjadi suram dan berlapis air. Beberapa kali ia menggigit
bibirnya, tetapi kemudian bibir itu bergetar kembali.
Dipandanginya wajah anaknya yang pucat pasi. Namun
bibir yang pucat itu membayangkan senyum keihlasan. Dan
tiba tiba diwajah yang pucat itu seakan akan memancar
gambaran peristiwa yang pernah terjadi. Anak itu terlampau
jauh tersesat. Tetapi bukan salah anak itu. Dialah yang
telah mendorongnya tampil kedepan. Dengan penuh
harapan dan khayalan masa mendatang. Dimana dikayalkan
kepada anak itu, kekuasaan dan kamukten yang sempurna.
Tanah Perdikan Pangratunan.
Ki Ageng Lembu Sora menggeram. Penyesalan yang tak
terkira telah menghentak dadanya seperti akan pecah.
Demikian dahsyatnya perasaan itu mencekam jiwanya,
sehingga tiba-tiba tubuhnya menjadi lemah. Perlahan lahan
ia melangkah ke sudut ruangan itu. Kedua tangannya
menutupi wajahnya, seolah hendak menyembunyikan
segenap kenangan yang datang silih berganti. Hanya sesaat
saat ia mendengar jerit tangis isterinya yang memenuhi
ruangan itu. Arya Salakapun tak dapat menahan rasa harunya.
Meskipun nyawanya sendiri hampir direnggut tangan
adiknya namun ia tak sampai hati melihat mayatnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terbujur diam dihadapannya. Karena itu, maka tanpa
disadarinya ia berdiri dan perlahan lahan melangkah keluar
meninggalkan ruangan itu. Di bawah pohon sawo ia
terhenti. Suara tangis bibinya masih terdengar jelas.
Akhirnya ia berdiri saja disitu, bersandar pada pokok sawo
yang jauh lebih besar daripada tubuhnya sendiri.
Seluruh Pamingit menjadi berkabung. Putera satu-
satunya kepala daerah perdikan mereka gugur pada saat
anak muda yang berani itu bertempur melawan Bugel Kaliki.
Tidak saja orang Pamingit, namun orang Banyubirupun ikut
berkabung. Mereka ikut merasakan betapa daerah perdikan
belahan tanah BanyuBiru itu kehilangan pemimpinnya.
Pemimpin bagi masa depan.
Sehari-hari itu suasana Pamingit menjadi suram. Mereka
disibukkan oleh persiapan pemakaman jenasah pahlawan
yang masih muda itu, yang gugur dalam pengabdian dalam
melawan Hantu Bongkok yang sakti.
Ketika fajar pagi berikutnya pecah di Timur, semua
persiapan telah selesai. Hari itu akan diselenggarakan
pemakaman Sawung Sariti dengan upacara kebesaran.
Seluruh penduduk Pamingit tumplak blak berjejal disepanjang jalan yang akan dilewati iringan jenazah.
Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir terhadap
pahlawannya, yang telah menjadi tawur bagi kesejahteraan
dan kebesaran rakyat Pamingit. Upacara itu menjadi
bertambah hidmad dengan hadirnya dua perwira pasukan
Demak, Paningron dan Gajah Alit.
Keranda jenazah Sawung Sariti diletakkan ditengah
tengah reruntuhan pendapa rumahnya. Dengan sengaja
reruntuhan itu tidak dibersihkan lebih dahulu. Para
pemimpin Pamingit dan Banyu Biru, bahkan kedua tamu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dari Demak itu duduk saja diatas balok kayu yang berserak-
serakan di sekitar keranda itu.
Di keempat penjuru tampaklah beberapa orang laskar
Pamingit berjaga-jaga dengan tombak di tangan. Sedang di
alun-alun telah siap laskar kehormatan yang akan
mengantarkan jenasah sampai ke peristirahatannya terakhir. Keranda pahlawan dengan latar belakang reruntuhan dan
abu merupakan perpaduan pandangan yang menggetarkan.
Laskar yang berdiri tegak dengan senjata di tangan serta
para pemimpin yang duduk bertebaran, panji-panji dan
tunggul, rontek dan rangkaian bunga telah mencekam hati
seluruh rakyat Pamingit dan Banyu Biru yang sedang
berada di Pamingit. Ketika matahari telah memanjat sampai ke ujung cemara
disisi alun-alun, maka sampailah waktunya jenasah itu
diberangkatkan. Sesaat kemudian menggemalah bunyi
kentongan di banjar desa disahut oleh setiap kentongan
yang berada di Pamingit, yang berada di gardu-gardu, di
langgar, dan disetiap rumah yang memilikinya. Dan dari sisi
keranda itu menggemalah bunyi sangkakala.
Maka bersiaplah laskar Pamingit dan Banyu Biru untuk
mengawal jenasah pahlawan yang berani itu. Ketika
jenasah diangkat oleh beberapa orang, diantaranya
Wulungan, Bantaran, Penjawi dan kehormatan yang
diberikan untuk pahlawan itu oleh Titis A nganten, Ki Ageng
Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, maka
berbicaralah Gajah Alit atas nama pemerintahan Demak.
Gajah Alit yang memakai pakaian kebesaran pasukan Nara
Manggala itu menyatakan betapa besar terimakasih dan
penghargaan Demak terhadap kesediaan pengabdian yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
diberikan oleh Sawung Sariti. Dengan darahnya ia telah
mempertahankan tanahnya, rakyatnya dan kebesarannya.
Lembu Sora mendengarkan sesorah Gajah Alit dengan
dada yang bergejolak. Ia mendengar sesorah itu dirangkapi
suara hatinya sendiri. Ia melihat luka yang tergores di
lengan anaknya. Ia melihat pula luka yang tergores didada
Arya Salaka. Karena itu ia menjadi bimbang karenanya.
Apakah yang telah terjadi. Namun adakah karunia Tuhan
telah berkenan membersihkan nama anaknya pada saat-
saat terakhir. Kini anaknya gugur sebagai pahlawan. Karena
tangan Bugel Kalikilah yang telah membunuhnya. Dan
sudah pastilah bahwa anaknya telah bertempur melawan
demit itu. Maka ketika datang saatnya jenazah itu diberangkatkan,
sekali lagi Nyai Ageng Lembu Sora memekik tinggi. Ia


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian meronta-ronta di tangan Nyai Ageng Gajah Sora
dan Rara Wilis. Lembu Sora yang melihat keadaan isterinya
menjadi sangat beriba hati. Didekatinya isterinya itu,
dipegangnya pundaknya dan dibisikkan di telinganya kata-
kata pemupus, "Sudahlah Nyai anakmu pergi menghadap
Tuhannya dengan bekal yang cukup. Ia gugur sebagai
pahlawan. Ikhlaskan dia supaya ia menghadap Tuhan
dengan tenang". Nyai Ageng Lembu Sora mendengarkan kata-kata
suaminya. Namun amatlah sulit baginya untuk memadukan
perasaannya dengan nalar. Karena itu, justru oleh sentuhan
tangan suaminya, hatinya makin bergelora. Cepat-cepat ia
membalikkan tubuhnya menjatuhkan dirinya di tangan
suaminya. Setelah itu Nyai Ageng Lembu Sora tak tahu lagi
apa yang terjadi. Pingsan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Beberapa orang menjadi sibuk mengurusnya. Diangkatnya tubuh itu masuk ke Banjar Desa.
Dalam pada itu keranda jenazah mulai bergerak. Di
ujung barisan berjalanlah seorang anak muda yang tegap
perkasa, dengan tombak tak berwrangka di tangannya.
Itulah Arya Salaka yang mandi tombak pusaka Banyu Biru
Kiyai Bancak. Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya. Dan sekali
sekali ia menunduk. Beribu-ribu masalah berputar-putar di
otaknya. Sesekali ia bersyukur kepada Tuhan yang telah
menyelamatkannya, dan sesekali ia berdoa semoga Tuhan
menerima adiknya disisinya. Kalau kemudian matanya
terasa panas, Arya segera mengangkat mukanya seolah-
olah ada yang dicarinya diantara belaian mega yang putih
dihembus angin lembut dari pegunungan.
Hampir setiap wanita yang berdiri berhimpitan ditepi
jalan meneteskan air matanya. Mereka melepas pahlawan
dengan hati yang sedih. Mereka tahu bahwa Sawung Sariti
adalah satu-satunya putera kepala daerah perdikan mereka,
bahkan putera yang agak terlalu dimanjakan.
"Betapa sedih ibunya. Betapa sedih ayahnya," desis
mereka. Namun Sawung Sariti itu berjalan terus. Tubuhnya
berjalan ketempat pemakaman, sedang arwahnya berjalan
menghadap Tuhannya. Di belakang keranda itu berjalanlah kedua perwira dari
Pasukan Demak, disisinya Ki Ageng Sora Dipayana dengan
kepala tertunduk, sedang Ki Ageng Gajah Sora berjalan pula
dibelakangnya dan disampingnya adalah Ki Ageng Lembu
Sora. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Barisan pengiring semakin lama semakin panjang. Setiap
orang yang dilaluinya dengan serta merta mengikuti
dibelakangnya mengantar sampai ke makam.
Pamingit benar-benar berkabung.
Demikianlah Sawung Sariti telah mendapatkan penghormatan terakhir sebagai seorang pahlawan. Apapun
yang pernah dilakukan, namun ia adalah anak yang berani.
Sehingga setelah ia gugur, adalah menegakkan pemerintahan ditanah kelahirannya.
Di belakang mereka yang sedang mengantarkan jenazah
itu, didalam pondok yang kecil, terbaringlah Galunggung
dengan lemahnya. Beberapa orang duduk disampingnya
dan mencoba membangunkan ia dari pingsannya. Beberapa
kali ia membukakan matanya, namun kemudian ia pingsan
kembali. Tetapi ketika nafasnya telah berangsur baik, maka
Galunggung pun menjadi sadar. Sadar akan dirinya.
Perlahan ia bangkit dan duduk ditepi pembaringannya.
Ketika ia mencoba untuk minum, didengarnya bunyi
kentongan. "Tanda apakah itu"," terdengar ia bertanya
lemah. "Jenazah Sawung Sariti akan diberangkatkan," jawab
salah seorang bawahannya yang sedang merawatnya.
"Apa katamu"," kata Galunggung membelalakkan
matanya. Bawahan Galunggung itu terkejut melihat sikapnya.
Namun ia menjawab juga, "Ya jenazah angger Sawung
Sariti dimakamkan." "Jadi kau maksud Sawung Sariti telah meninggal?"
berkata Galunggung. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya" jawab bawahannya itu.
"Omong Kosong!," bentaknya.
Bawahannya menjadi semakin tidak mengerti. Dan ia
mencoba menjelaskan, "Angger Sawung Sariti terbunuh
ketika ia sedang bertempur melawan Bugel Kaliki."
Dada Galunggung bergoncang keras. Dan tiba-tiba ia
berteriak, "Kau berkata sebenanya?"
"Ya" jawab orang itu sambil menyeka peluh di
keningnya. "Gila, gila!," Galunggung tiba-tiba mencoba untuk berdiri
sambil memaki habis habisan. Tetapi tenaganya lemah.
Sehingga sekali lagi ia terbanting ditempat pembaringannya. Galunggung pingsan kembali.
Tetapi tidak lama kemudian Galunggung membuka
matanya kembali. Ia segera bangkit dan merenggut kain
penyejuk dikepalanya. Matanya memandang berkeliling
ruangan yang sempit itu. Tetapi mata itu kini menjadi
merah. Seperti orang kehilangan ingatan ia berdiri tegak
dan berteriak. "He, kau tahu kenapa Sawung Sariti mati?"
Bawahannya menjadi cemas. Sambil menggeleng ia
menjawab sekenanya, "tidak."
"Sawung Sariti mati karena penghianatan. Ternyata
Bugel Kaliki bekerja sama dengan Arya Salaka. Mereka
bersama-sama membunuh Sawung Sariti!," teriak Galunggung dengan mata bertambah liar.
"Tetapi mereka bersama-sama bertempur melawan Bugel
Kaliki," sahut bawahannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bodoh, Bodoh kalian," teriak Galunggung. "Kalian tahu
apa. Akulah yang paling tahu keadaannya, karena itu aku
harus membalas dendam."
Bawahannya semakin tidak mengerti. Mereka menjadi
bingung. Dan mereka menjadi terkejut ketika tiba-tiba
Galunggung menyambar pedang salah satu dari mereka
dan tiba-tiba ia meloncati pintu dan berlari sekencang-
kencangnya menyeberangi halaman. Sesaat kemudian ia
sudah hilang dibalik regol halaman itu.
Beberapa orang bawahannya menjadi bingung. Untuk
sesaat mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi
sesaat kemudian mereka sadar Galunggung menjadi orang
berbahaya. Karena itu mereka harus berusaha mencegahnya. Setidak-tidaknya melaporkan kepada Ki
Ageng Lembu Sora. Karena itu maka merekapun bergegas
meninggalkan halaman itu.
"Kemana"," tanya salah seorang dari mereka.
"Menyusul ke makam," jawab yang lain.
Dengan berlari-lari kecil merekapun segera pergi ke
makam, dimana jenazah pahlawan yang masih sangat
muda itu di makamkan. Pada saat itu, keranda jenazah berhenti disamping liang
kubur yang sudah dipersiapkan. Ketika jenazah sudah
dibaringkan, doapun dipanjatkan.
Pemakaman itu berlangsung dengan selamat. Segala
sesuatu seperti yang direncanakan. Ketika mereka akan
meninggalkan onggokan tanah yang masih merah serta
sepasang maejan yang masih baru pula, mereka melihat
Arya Salaka berjongkok disamping gundukan tanah itu.
Bibirnya bergerak mengucapkan beberapa patah kata,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
namun tak seorangpun yang mendengarnya. Lembu Sora
sendiri agaknya telah berhasil menguasai perasaannya. Ia
tidak dapat berbuat lain daripada menerima segala
peristiwa ini sebagai suatu peringatan baginya. Meskipun
peringatan itu terasa terlalu berat. Satu-satunya anak telah
dilepaskan, sedangkan daerah perdikan menjadi hancur
berantakan. Sesaat kemudian makam itu telah sunyi kembali.
Seonggok tanah dan sepasang maejan baru berada di
tengah-tengahnya. Di atasnya bergerak-gerak dalam
belaian angin pegunungan, daun-daun dan bunga-bunga
kamboja yang putih bersih. Sepi, sesepi hati Lembu Sora.
Hanya kadang-kadang terdengar ciap burung pipit yang
beterbangan mencari makanan buat anak-anaknya yang
ditinggalkan di atas sarang.
Di perjalanan pulang itulah mereka melihat tiga orang
berjalan bergegas-gegas ke arah mereka. Ki Ageng Sora
Dipayana yang berjalan di paling depan bersama-sama
dengan Paningron dan Gajah Alit segera bertanya kepada
mereka. "Apa yang terjadi?".
Orang itu pun berceramah tentang Galunggung. Mereka
menyangka bahwa Galunggung telah pergi ke makam dan
mengamuk di sana. Tetapi ternyata Galunggung tidak ada
diantara mereka, karena itu mereka menjadi sangat cemas
karenanya. Galunggung adalah gambaran diri seorang yang
mabuk pada kekuasaan, pangkat dan penghargaan. Ia
dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan
sekarang orang itu agaknya kehilangan keseimbangan
pikirannya. Sebab dengan hilangnya Sawung Sariti, segala
cita-citanya ikut lenyap pula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Wulungan....", Ki Ageng Lembu Sora memanggil.
Wulungan pun segera berjalan di sampingnya.
"Lihatlah, apa yang dilakukan oleh anak gila itu,"
desisnya. "Baik Ki Ageng," jawab Wulungan. Dan Wulungan pun
segera berjalan mendahului orang-orang yang pulang dari
makam itu. Ketika Galunggung meninggalkan regol halaman, ia
memang tidak bermaksud pergi ke makam. Otaknya yang
dipengaruhi oleh bermacam-macam persoalan itu ternyata
tidak dapat lagi bekerja dengan baik. Dengan pedang
telanjang ia berlari-lari ke banjar desa.
Di dalam banjar desa itu, beberapa orang perempuan
sedang mencoba menenangkan hati Nyai Ageng Lembu
Sora yang beberapa kali jatuh pingsang kembali. Sekali-kali
ia menangis melolong-lolong, seperti anak-anak yang
kehilangan golek kesayangannya. Namun semakin lama ia
menjadi semakin tenang. Tetapi sesaat kemudian, mereka digaduhkan oleh
kedatangan Galunggung. Pedangnya yang telanjang itu
diayun-ayunkan sambil berteriak memaki-maki. Dan karena
itu bubarlah perempuan-perempuan desa itu bercerai berai.
Perempuan-perempuan itu berteriak-teriak dan berlari-
larian. Mereka pada umumnya telah mengenal siapakah
Galunggung itu. Seorang yang menakutkan bagi perempuan-perempuan, apalagi perempuan-perempuan
muda. Sekarang orang yang menakutkan itu membawa
pedang sambil berteriak memaki-maki.
Nyai Ageng Lembu Sora terkejut juga melihat
kedatangan Galunggung. Sesaat ia lupa pada keadaan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dirinya sendiri. Ketika sebagian dari perempuan-perempuan
itu telah berlarian keluar, maka Galunggung pun masuklah
ke banjar desa sambil berkata, "He, di mana Arya Salaka?".
"Galunggung!", panggil Nyai Ageng Lembu Sora.
"Aku mencari Arya Salaka", jawab Galunggung.
"Kenapa dengan Arya Salaka?", tanya Nyai Ageng.
"Pengkhianat. Dibunuhnya Sawung Sariti bersama-sama
dengan Bugel Kaliki," jawab Galunggung.
Nyai Ageng Lembu Sora mengerutkan keningnya.
Katanya, "Kau keliru Galunggung. Mereka berdua telah
berjuang bersama-sama melawan Bugel Kaliki itu."
"Omong kosong!", bentak Galunggung.
"Galunggung!", potong Nyai Ageng Lembu Sora, "Kau
kenal aku bukan?" "Ya, ya. Nyai Ageng Lembu Sora," jawab Galunggung.
"Nah, kalau demikian dengar kata-kataku," sahut Nyai
Ageng Lembu Sora, "Kau terlalu letih barangkali.
Beristirahatlah."

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak!" jawab Galunggung, matanya semakin bertambah liar. "Aku harus membunuh Arya Salaka."
Semua orang yang masih tinggal di dalam banjar itu
melihat betapa mata Galunggung itu menjadi merah dan
bola matanya bergerak-gerak dengan buasanya. Nyai
Ageng Lembu Sora yang telah mengenalnya dengan baik
menjadi ngeri juga memandangnya. Apalagi perempuan-
perempuan lain. Mereka menjadi kemetar dan mencar-cari
jalan untuk lari ke luar apabila Galunggung itu berbuat
sesuatu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Jangan sembunyikan monyet itu," bentaknya.
"Jangan membentak-bentak aku Galunggung," jawab
Nyai A geng Lembu Sora, "Aku adalah ibu Sawung Sariti itu,
dan aku adalah Nyai Ageng Lembu Sora, istri kepala daerah
perdikanmu." Sejenak Galunggung terdiam. Ia berhadapan dengan istri
kepala daerah perdikannya. Tetapi sesaat kemudian
otaknya yang sudah tidak wajar lagi itu menyentak-nyentak
kembali. Dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya
menggelegar seperti suara hantu yang kegirangan.
"Diam!" bentak Nyai Ageng Lembu Sora.
Tetapi Galunggung tidak mau diam. Tertawanya
bertambah keras. "Nah, katanya kau juga sudah berkhianat seperti Arya
Salaka. Kalau demikian, akulah tinggal satu-satunya orang
yang setia. Setia kepada Sawung Sariti dan setia kepada
cita-citanya. Mempersatukan tanah perdikan Banyubiru dan
Pamingit. Ki Ageng Lembu Sora sendiri pun sudah tidak
setia lagi. Kalau begitu semua harus aku lenyapkan. Arya
Salaka, Lembu Sora dan monyet bangkok yang sudah
dibebaskan dari Demak itu."
"Galunggung!" teriak Nyai Ageng Lembu Sora, "Kau
sudah gila!" Tetapi Galunggung tertawa terus. Di antara derai
tertawanya ia berkata, "Kalian, perempuan-perempuan ini
pun akan aku bunuh pula, sebab kalian tidak mau
menunjukkan di mana Arya Salaka berada."
"Jangan mengigau," potong Nyai Ageng Lembu Sora,
tetapi hatinya pun menjadi bergetar. Juga Nyai Ageng
Gajah Sora, menjadi gemetar. Galunggung agaknya telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
benar-benar kehilangan pikiran wajarnya. Dan ketika
pedangnya itu diayun-ayunkan, bergetarlah setiap dada
orang yang melihatnya. Beberapa orang menjadi menggigil
dan yang lain menjadi lemas tak berdaya.
"Kalian tak akan dapat lari. Kalau kalian mencoba
meloncat keluar, aku akan dapat mengejar kalian. Dan
kalian akan aku bunuh satu persatu. Satu demi satu!"
Kembali suara tertawanya membelah ruangan banjar desa
yang tidak terlalu lebar itu.
"Galunggung..." kata Nyai Ageng Lembu Sora. Namun
suaranya sudah agak gemetar, "Kau telah mengkhianati Ki
Ageng Lembu Sora. Kepala daerah perdikanmu."
"Akan aku bunuh dia. Sebab orang itu tidak setia kepada
cita-citanya. Kenapa tidak dibunuhnya Arya Salaka. Dan
kenapa dibiarkannya Gajah Sora itu kembali" Pengkhianat!"
teriaknya. Nyai Ageng Lembu Sora tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Galunggung telah menjadi gila dan tidak dapat mendengarkan kata-katanya. Karena itu, ia pun menjadi
semakin ngeri. Apalagi ketika kemudian setapak demi
setapak sambil tertawa berkepanjangan, Galunggung
melangkah maju. "Tak ada gunanya kalian lari."
Tetapi perempuan-perempuan itu memekik-mekik dan
mereka menghambur keluar dari ruangan itu. Beberapa
orang yang masih sadar mencoba menarik tangan Nyai
Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora sambil
berbisik, "Selamatkan diri Nyai Ageng berdua."
"O!" teriak Galunggung. "Kemana kalian akan menyelamatkan diri?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora
benar-benar tak melihat jalan untuk menyelamatkan diri.
Agaknya mereka berdualah yang pertama-tama harus
dibinasakan. Karena itu mereka pun menjadi ketakutan dan
gemetar sehingga keduanya menjadi saling berpegangan
dengan eratnya. Namun di antara perempuan-perempuan itu, tidaklah
semua menjadi ketakutan dan kehilangan akal. Tidak
semua berlari-lari sambil berteriak-teriak. Ketika Galunggung benar-benar tak dapat mendengarkan kata-
kata Nyai Ageng Lembu Sora, dan ketika ia melangkah maju
setapak demi setapak, maka tanpa berjanji tampillah dua
orang gadis, berdiri tegak dengan tenangnya di hadapan
dan membelakangi Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Gajah
Sora itu. Keduanya adalah Rara Wilis dan Endang Widuri. Maka
terdengarlah bisik Rara Wilis perlahan, "Tenangkan hati
Nyai. Akan aku coba mencegah perbuatan orang itu."
Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora
terkejut, bahkan Galunggung yang gila itu pun terkejut
melihat ketenangan dua orang gadis itu. Nyai Ageng Gajah
Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora masih belum mengenal
terlalu banyak, siapakah mereka itu.
Yang mereka ketahui hanyalah nama kedua gadis itu,
dan bahwa kedua gadis itu bukanlah gadis Pamingit dan
bukan pula gadis Banyubiru.
"Nini..." panggil Nyai Gajah Sora, "Kemarilah."
Tetapi Rara Wilis dan Endang Widuri tidak bergerak lagi
dari tempatnya. Bahkan menoleh pun tidak. Pandangan
mereka tertuju ke mata pedang Galunggung yang berkilat-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kilat tajam. Meskipun demikian Rara Wilis menjawab,
"Biarlah aku coba, Nyai."
"Jangan Nini," Nyai Ageng Lembu Sora pun mencoba
mencegahnya. Ia tahu benar betapa berbahayanya
Galunggung bagi perempuan. Apalagi gadis-gadis cantik itu.
Sejenak Galungung memandangi keduanya. Mula-mula
matanya menjadi bersinar-sinar. Sambil tertawa dalam
gilanya, "Hai gadis-gadis cantik, jangan berdiri di situ.
Biarlah aku selesaikan urusanku. Nanti kau boleh
ngunggah-unggahi. Kau akan menjadi istri kepala daerah
perdikan Pamingit dan Banyubiru. Kau dan kau." Ujung
pedangnya bergerak-gerak menunjuk ke wajah Rara Wilis
dan Endang Widuri. Namun kedua gadis itu tidak beranjak
dari tempatnya. "Nini," panggil Nyai Ageng Lembu Sora cemas,
"Menyingkirlah."
Wilis menarik nafas. Ia sudah beberapa kali menghadapi
lawan. Bahkan ia pernah behadapan dengan orang yang
sedang terganggu syarafnya. Gila.
Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menenangkan hati Galunggung, katanya, "Galunggung,
kalau ada persoalan biarlah persoalan itu diselesaikan.
Persoalan antara kau dan Arya Salaka atau antara kau dan
Paman Lembu Sora. Tetapi kami perempuan-perempuan di
sini, tidaklah tahu persoalan itu. Dan kalau kau bunuh kami
pun persoalanmu tidak akan selesai."
Sekali lagi Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu
Sora menjadi keheran-heranan. Kata-kata Rara Wilis
diucapkan las-lasan, kata demi kata. Sama sekali tak
menunjukkan tanda-tanda kecemasan apalagi ketakutan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Galunggung mengerutkan keningnya. Matanya tiba-tiba
menjadi suram. Meskipun otaknya tak wajar lagi, namun
lamat-lamat ia menjadi teringat bahwa ia pernah melihat
gadis-gadis itu. Satu atau dua kali tetapi dimana dan kapan.
Akhirnya wajahnya menjadi tegang ketika kemudian
teringat olehnya, dimana ia bertemu dengan kedua gadis
itu. Sehingga terlontarlah dari mulutnya, "He bukankah kau
gadis-gadis gila dari Gedangan?"
"Kau masih mengenal kami?" jawab Widuri. "Bukankah
kau pernah mengunjungi kami di Gedangan" Bersama
Harimau betina dari Gunung Tidar dan kemudian Sepasang
Uling dari Rawa Pening?"
"Gila!" teriak Galunggung. Matanya menjadi liar kembali.
Kedua gadis itu ternyata pernah menghadapi laskarnya
sebagai lawan yang tangguh. Bahkan bukankah mereka
pernah bertempur melawan Jaka Soka dan istri Sima Rodra"
Tetapi otak Galunggung itu benar-benar telah tidak dapat
berputar. Pikirannya hanyalah sesaat
terpencar di kepalanya. Kemudian kembali gilanya mempengaruhinya.
Karena itu maka sekali lagi ia tertawa, "Bagus, bagus.
Kalian akan menjadi istri yang baik. Menepilah, jangan
biarkah perempuan itu melarikan diri."
"Jangan maju lagi," potong Rara Wilis.
Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora
sekali lagi terkejut. Mereka tidak percaya apa yang
dikatakan oleh Rara Wilis. Tetapi sekali lagi mereka
mendengar gadis itu memerintah, "Galunggung, tetap di
tempatmu." Galunggung yang hampir saja melangkah maju, terhenti
juga. Dipandangnya Rara Wilis dengan tajamnya. Matanya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
telah memerah, semerah darah. Kemudian ia berteriak
nyaring, "Pergilah atau kau akan lebih dahulu mati?"
Nyai Ageng berdua di belakang kedua gadis itu benar-
benar menjadi cemas, mereka tidak mau mengorbankan
orang lain untuk keselamatan mereka. Karena itu Nyai
Ageng Gajah Sora berkata, "Biarlah kami selesaikan urusan
kami nini. Menyingkirlah."
"Tenangkan hati Nyai Ageng berdua," sahut Wilis, dan
kedua perempuan yang ketakutan itu menjadi semakin
tidak mengerti. Dalam pada itu Rara Wilis dan Widuri sudah tidak melihat
kesempatan lain, kecuali mengusir orang gila itu dengan
kekerasan. Karena itu tiba-tiba Widuri berbisik, "Serahkanlah kepadaku, Bibi."
Rara Wilis meredupkan matanya. Ia menjadi ragu-ragu.
Gadis kecil ini masih terlalu sukar untuk mengendalikan
dirinya. Kalau kemudian Galunggung itu terbunuh oleh
Widuri, masih belum diketahui apakah Ki A geng Lembu Sora
membenarkannya. Karena itu maka ia menjawab, "Aku
sajalah yang menyelesaikannya, Widuri."
"Ia bersenjata," jawab Widuri, "sedangkan bibi tidak.
Apalagi bibi tidak siap dengan pakaian wajar untuk
bertempur." "Kau juga tidak Widuri," sahut Wilis. Ketika Galunggung
kemudian tertawa kembali sambil melangkah maju. Wilis
berkata, "Berikan kalungmu itu kepadaku. Aku pernah
menggunakan segala macam senjata, selain kekhususan
dalam bermain pedang. Rantaimu itu akan lebih baik
daripada sulur-sulur kayu yang pernah aku pakai berlatih
dengan eyang Pandan Alas."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Widuri ragu-ragu sejenak. namun Wilis berkata tegas,
"serahkanlah. Orang gila itu sudah hampir mulai."
Widuri tidak dapat berbuat lain daripada melepaskan
kalung peraknya. Kemudian ia melangkah surut berdiri
disamping Nyai Ageng Gajah Sora yang menjadi bertambah
cemas. "Pergilah, pergilah," teriaknya.
"Biarlah nyai," sahut Widuri, "Bibi Wilis akan dapat
menjaga diri." Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora tak
dapat berbuat apa-apa lagi. Galunggung sudah berdiri
selangkah dimuka Wilis. Pada saat itu, Rara Wilis terpaksa
menyangkut ujung kain panjangnya pada sabuknya.
----------o-dwkz)(arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Pada saat itulah pedang Galunggung teracung didadanya. Sambil tertawa ia berkata, "sayang dada ini
akan tembus oleh senjataku."
Rara Wilis mengerutkan keningnya, mata orang itu
benar-benar mengerikan. Namun Rara Wilis adalah gadis


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tabah. Karena itu ia bergeser dari tempatnya. Bahkan
ia telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Ia tidak
memegang rantai Widuri di pangkalnya dan menggunakan
Cakra yang tersangkut dirantai itu untuk melawan
Galunggung. Tetapi Rara Wilis memegang pada ujungnya
dimana cakra itu tersangkut. Bahkan Cakra itu dilepaskannya, dan diserahkan kepada Widuri. Widuri
melihat bagaimana Rara Wilis mempergunakan senjatanya.
Karena itu ia segera memakluminya, bahwa Rara Wilis
agaknya hanya ingin mengusir Galunggung dari banjar desa
itu. Ketika sekali lagi suara Galunggung menggelegar, Rara
Wilis membentaknya dengan nada yang tinggi, "Diam, dan
tinggalkan tempat ini!."
Tiba-tiba tawa Galunggung berhenti. Ia memandang
Rara Wilis dengan mata merah, katanya, "Apa maumu"."
"Tinggalkan tempat ini," ulang Rara Wilis.
Galunggung memandang semakin tajam. Gadis ini
memang cantik. tapi baginya, bagi otaknya yang sudah
tidak waras lagi, lebih baik menjadi Kepala Perdikan yang
kaya raya daripada menuruti perintah itu. Jarak jangkau
pada kedudukan kepala daerah perdikan disangkanya
terlampau pendek. Bukankah tinggal membunuh Arya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Salaka, Gajah Sora dan Lembu Sora saja. Mudah sekali,
mudah sekali. Karena itu ia menggeram, "jangan gila.
Jangan menghalangi aku!"
"Kau yang gila," bantah Rara Wilis.
Galunggung menjadi benar-benar marah. Dan tiba-tiba ia
menakut-nakuti Wilis dengan pedangnya. Pedang yang
telanjang itu diacung-acungkannya dengan gerakan
menghentak-hentak. Berdesirlah dada Nyai Ageng GajahSora dan Nyai Ageng Lembu Sora. Namun Rara Wilis
bergeserpun tidak. "Jangan berlaku seperti Buta Terong," teriak Widuri yang
tidak dapat menahan gelinya melihat solah Galunggung.
Mendengar kata-kata itu Nyai A geng Gajah Sora dan Nyai
Ageng Lembu Sora menjadi heran. Galunggung yang marah
dalam kegilaannya itu dianggap sebagai suatu pertunjukan
yang mengasyikkan oleh gadis ini.
Meskipun Galunggung telah hampir gila, namun kata-
kata Widuri itu telah memanaskan kupingnya. Karena itu ia
berteriak,"tutup mulutmu atau aku akan menyobeknya."
Widuri benar-benar nakal. Ia malahan tertawa kecil. Dan
karena Galunggung tak dapat menahan diri lagi. Langsung
ia meloncat dengan pedang terulur, tidak menyerang Rara
Wilis tetapi menyerang Endang Widuri.
Bagaimanapun Galunggung mencoba mempergunakan
setiap kemampuan yang ada dalam dirinya, namun dengan
lincahnya Widuri berhasil menghindarkan dirinya. Seperti
seekor kijang ia melompat kesamping. Tetapi ia tidak berani
menentang maksud Rara Wilis, karena itu ia tidak
membalasnya. Malahan ia lari seperti seekor kelinci dan
bersembunyi di belakang Rara Wilis. Namun tawanya masih
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
saja terdengar, meskipun gadis nakal itu berusaha untuk
menahannya. Wilis melihat sikap Widuri itu dengan menahan nafas.
Ketika Widuri sudah berdiri dibelakangnya ia berbisik,
"Jangan terlampau nakal Widuri."
"Aku tidak dapat menahan geli bibi," jawabnya. Namun ia
tidak berani lagi mengganggu orang gila itu.
Galunggung telah benar-benar menjadi marah. Pedangnya kemudian diputar-putarnya diatas kepala.
Sambil berteriak-teriak ia meloncat menyerang Rara Wilis.
Namun Rara Wilis sudah bersedia. Dengan cepatnya ia
meloncat ke samping, kemudian rantai di tangannya pun
diurainya. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora
meskipun tidak memiliki kemampuan bertempur dan tata
bela diri namun mereka adalah istri-istri kepala daerah
perdikan, yang dalam kedudukannya sekali dua kali pernah
dilihatnya perkelahian, meskipun hanya dalam latihan-
latihan laskar-laskar mereka. Karena itu, ketika mereka
melihat bagaimana Endang Widuri menghindar dan
bagaimana Rara Wilis dengan gerak sederhana membebaskan dirinya dari serangan Galunggung, mereka
pun menyadari, bahwa wajarlah kalau kedua gadis itu sama
sekali tidak takut menghadapi Galunggung.
Maka, ternyata dalam perkelahian berikutnya, Galunggung tidak lebih daripada seorang raksasa rucah (tak
berguna) yang bertempur melawan kesatria-kesatria
Pandawa. Meskipun ia berjuang mati-matian, namun yang
dapat dilakukan hanyalah meloncat-loncat tak karuan.
Bahkan sekali dua kali rantai Rara Wilis telah menyentuh
tubuhnya, dan membuat bekas luka yang nyeri. Kulitnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seperti terkelupas dan darah menetes dari luka-luka itu.
Namun Wilis tidak benar-benar hendak melukainya, karena
itu, sengatan rantai itu pun tidak terlampau berbahaya.
Tetapi ketika Galunggung menjadi semakin menggila,
Rara Wilis pun menjadi muak. Karena itu serangannya
dipertajam, dan Galunggung menjadi semakin terdesak.
Meskipun demikian masih saja ia berteriak dan memaki-
maki. Akhirnya serangan Rara Wilis semakin terasa berat.
Pangkal rantai perak itu mematuk-matuk seluruh permukaan kulitnya. Bahkan pipinya, hidungnya dan
dahinya. Kulit Galunggung itu telah dipenuhi oleh jalur-jalur
merah dan lecet-lecet berdarah.
Dalam kesibukannya mempertahankan diri itulah Galunggung mendengar suara Rara Wilis, "Tinggalkan
tempat ini. Menghadaplah Ki
Ageng Lembu Sora, dan mintalah maaf kepadanya."
"Persetan dengan orang
itu," jawab Galunggung, tetapi belum lagi mulutnya
terkatub, pangkal rantai itu
benar-benar mengenai bibirnya. "Gila!" teriaknya,
dan darah mengalir dari bibir
yang tebal itu. "Jagalah mulutmu," bentak Rara Wilis, "Pergi dan turuti perintahku."
Galunggung tidak menjawab. Tetapi terasa bahwa ia tak
akan dapat melawan gadis itu. Karena itu tiba-tiba matanya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang liar melingkar-lingkar mencari pintu keluar dari
ruangan yang celaka itu. Sesaat kemudian ketika beberapa kali lagi tubuhnya
disakiti oleh rantai Rara Wilis, Galunggung meloncati pintu
dan berlari ke halaman. Rara Wilis tidak segera
mengejarnya ketika ia melihat Galunggung berhenti. Orang
gila itu berdiri dengan mengacung-acungkan pedangnya
kepada Rara Wilis yang berdiri di pintu sambil memaki
habis-habisan. Akhirnya Galunggung berkata, "Aku tidak
dapat membunuhmu. Sayang, kau terlalu cantik. Tetapi
kalau lain kali kau berani melawan aku lagi, aku tidak mau
memaafkan." Sekali lagi Widuri tidak dapat menahan geli hatinya. Ia
tertawa tertahan-tahan, sedang kedua tangannya menutup
mulutnya. "Jangan banyak tingkah," teriak Galunggung dari
halaman. "Gadis kecil itu akan aku lumatkan kalau ia berani
menghina aku lagi, kepala daerah perdikan Pangrantunan
lama." Rara Wilis tidak menjawab. Ia melangkah setapak maju
sambil memutar rantainya. Melihat sikap Rara Wilis,
Galunggung mundur beberapa langkah. Kemudian tiba-tiba
ia memutar tubuhnya dan menghambur lari menyusup
regol. Namun di kejauhan suaranya masih terdengar, "Awas
kalau kau sekali lagi berani melawan aku. Aku cerai kau."
Wilis tertegun di tempatnya. Apakah ia harus menangkap
orang gila itu. Ia akan menjadi sangat berbahaya bagi
penduduk dan orang-orang yang akan dijumpainya.
Beruntunglah kalau ia bertemu Arya Salaka atau Lembu
Sora. Tetapi kalau para prajurit mengeroyoknya beramai-
ramai, maka nasibnya akan sangat menyedihkan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pada saat ia termangu-mangu itulah terasa dua pasang
tangan memeluknya sambil terisak-isak. Nyai Ageng Gajah
Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora mengucapkan terima
kasihnya dengan uraian air mata.
"Duduklah Nyai A geng," kata Wilis, lalu kepada Widuri ia
berkata, "Widuri, lihatlah di luar regol, kalau-kalau
Galunggung berbuat sesuatu terhadap orang-orang yang
ditemuinya, tetapi jangan berbuat terlampau jauh."
"Baik, Bibi," jawab Widuri. Dan ia pun segera melangkah
keluar setelah ia menerima rantainya kembali.
Dengan langkah yang cepat, Widuri berjalan di jalan kecil
di muka halaman banjar desa itu. Kemudian ia membelok
ke kanan, menyusur jalan satu-satunya itu. Tiba-tiba ia
berhenti. Di kejauhan ia melihat Galunggung berdiri
berhadap-hadapan dengan seorang yang bertubuh tinggi
dan besar. Dengan tangkasnya Widuri menyelinap, dan
kemudian menyusup halaman, ia pergi mendekati orang
gila itu. Sekali-kali Widuri harus meloncati pagar-pagar
batu, dan sekali-kali ia harus menyusup gerumbul-gerumbul
liar yang masih berserakan di sana-sini, di halaman-
halaman yang kosong dan terbentang di antara rumah-
rumah kecil. Ketika ia sudah mendekati tempat Galunggung berdiri,
maka ia pun mendengar apa yang dipercakapkan mereka.
"Galunggung..." terdengar orang yang tinggi besar itu
berkata, "Marilah kita pergi ke banjar desa. Sebentar lagi Ki
Ageng Lembu Sora akan datang. Darinya kau akan
mendengar beberapa keterangan yang perlu."
Yang terdengar adalah derai tertawa Galunggung.
Kemudian jawabnya, "Aku temui di sini seorang
pengkhianat lagi." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Jangan berkata begitu," sahut lawan bicaranya, orang
tinggi itu. Ketika Widuri sempat mengintip mereka, maka tahulah
Widuri, bahwa orang yang tinggi itu adalah salah seorang
pemimpin laskar Pamingit, yang pernah didengarnya
dipanggil dengan nama Wulungan, meskipun ia belum
mengenal langsung. "Kau tinggal memilih Kakang Wulungan, Lembu Sora,
Gajah Sora, Arya Salaka atau Galunggung" kata
Galunggung kemudian. "Apanya yang harus aku pilih?" tanya Wulungan.
"Mereka adalah pengkhianat-pengkhianat. Sepeninggal
Sawung Sariti, akulah yang paling berhak atas kedudukan
yang sudah dicapainya. Sebab akulah kawan yang paling
setia. Dan akulah yang telah memberinya berbagai jalan
untuk mencapai cita-citanya itu" jawab Wulungan.
Wulungan pun kemudian melihat mata Galunggung yang
liar itu. Maka katanya, "Katakanlah itu kepada Ki Ageng."
"Akulah kepala daerah perdikan sekarang" kata
Galunggung. "Atas nama kepala daerah perdikan Pamingit, ikutlah
aku." Wulungan menjadi tidak sabar lagi.
"Apa kau bilang?" bantah Galunggung, "Atas nama
kepala daerah perdikan Pamingit" Omong kosong. Akulah
kepala daerah perdikan itu." Mata Galunggung menjadi
semakin merah dan liar, bahkan ujung pedangnya sudah
mulai bergerak-gerak. Kemudian orang gila itu berteriak,
"Pengkhianat ini harus aku selesaikan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebelum Wulungan sempat berkata sesuatu, Galunggung


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah menyerangnya. Untunglah Wulungan cekatan. Ia
berhasil menghindar dan sekali lagi ia mencoba mencegah
Galunggung. "Jangan berbuat sesuatu yang akan mencelakakan dirimu sendiri. Ki Ageng Lembu Sora akan
menghukummu." Sekali lagi Galunggung menyerang sambil berteriak,
"Akulah yang akan menghukumnya."
Sekali lagi Wulungan terpaksa meloncat menghindari,
namun Galunggung yang gila itu tidak mau berhenti.
Bahkan ia menyerang semakin buas. Sehingga kemudian,
terpaksa Wulunganpun mencabut pedangnya dan di jalan
desa itu pun terjadilah suatu perkelahian antara
Galunggung, pemomong Sawung Sariti yang otaknya
digoncangkan oleh kekecewaan, melawan Wulungan yang
terpaksa membela dirinya.
Karena itu, Wulungan telah melawannya dengan pedang
pula, maka Widuri tidak menampakkan diri. Ia masih saja
berada di balik pagar sambil mengintip apa yang terjadi.
Tetapi akhirnya ia tidak puas dengan lubang retak pagar
batu itu, sehingga kemudian ia meloncat dan duduk dengan
enaknya di atas pagar. Wulungan dan Galunggung melihat kehadirannya. Mata
Galunggung yang liar itu menyambarnya beberapa kali.
Kemudian ia berteriak, "He gadis gila. Kubunuh kau."
Widuri tertawa sambil menggoyang-goyangkan kakinya
yang berjuntai. Tetapi ketika ia akan menjawab, terdengar
Wulungan berkata, "He Ngger, kembalilah ke banjar desa.
Orang ini dapat berbahaya bagimu."
Tetapi Widuri tidak beranjak dari tempatnya. Kakinya
masih berjuntai. Sambil tersenyum ia menjawab, "Tidak,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Paman Wulungan. Aku tidak takut kepadanya, karena di sini
ada Paman Wulungan."
"Ah," desis Wulungan. Sekali lagi matanya menyambar
gadis itu. Tampaknya Widuri memang tidak takut sama
sakali. Namun Wulungan tidak begitu senang melihat
sikapnya, semata-mata karena Wulungan mencemaskan
keselamatan gadis itu. Sebab Wulungan masih belum tahu,
siapa sebenarnya Endang Widuri.
Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk memikirkan
nasib Widuri. Serangan Galunggung semakin lama menjadi
semakin garang, bahkan kemudian membabi buta. Mula-
mula Wulungan selalu mencoba untuk mempertahankan diri
saja, sambil menunggu kedatangan rombongan dari
makam, dengan demikian ia mengharap dapat menangkap
Galunggung hidup-hidup. Tetapi agaknya tidak dapat
berlaku demikian. Serangan Galunggung benar-benar
berbahaya baginya. Karena itu, Wulungan kemudian
terpaksa membalas setiap serangan Galunggung. Sehingga
akhirnya pertempuran itu pun menjadi bertambah sengit.
Meskipun demikian, Wulungan yang otaknya tidak
terganggu, masih selalu berusaha untuk berhati-hati.
Serangan-serangannya tidak mengarah ke tempat-tempat
yang berbahaya. Ia ingin melumpuhkan lawannya tanpa
membahayakan jiwanya. Tetapi Wulungan bukanlah Rara Wilis atau Endang
Widuri. Wulungan dalam ilmu tata bela diri berada dalam
tataran yang sama dengan Galunggung. Karena Wulungan
tidak bertempur dalam puncak ilmu yang dimilikinya, maka
dengan tidak disangka-sangka, sebuah goresan menyobek
pundaknya. Wulungan terkejut dan dengan satu lontaran
panjang ia melangkah surut. Terasa betapa pedihnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pundak kiri yang terluka itu. Ketika ia sempat melihat luka
itu, betapa ia menjadi marah. Darahnya mengalir melumuri
baju dan menetes membasahi tanah kelahirannya oleh
tangan kawan sendiri. Karena itu tiba-tiba ia menggeram
pendek, dengan suara gemetar. "Galunggung, apakah kau
sudah benar-benar gila"."
Galunggung tertawa keras, sambil menunjuk luka di
pundak itu ia berkata: "Kakang Wulungan, luka itu hanyalah
sebuah luka yang kecil. Meski demikian kau telah menjadi
pucat dan ketakutan. Karena itu berjongkoklah. Inilah
kepala daerah perdikan yang baru."
Wulungan tidak dapat menahan hatinya yang bergelora.
Meskipun ia telah lama bergaul dalam satu lungkungan suka
duka dengan Galunggung, namun sifat-sifat Galunggung
sejak lama tidak disukainya. Kini, orang itu telah melukai
dan menghinanya. Dengan demikian, maka seperti
tergugahlah semua ketidak senangannya akan sifat-sifat
Galunggung itu. Karena itu, maka untuk terakhir kalinya ia
berkata, "atas nama Ki Ageng Lembu Sora, aku
memperingatkan kau sekali lagi untuk yang terakhir."
"Persetan dengan Lembu Sora. Sebentar lagi aku bunuh
dia sesudah aku membunuhmu" jawab Galunggung dengan
sombongnya. Mendengar jawaban itu, hati Wulungan benar-benar
terbakar. Ternyata Wulungan benar-benar gila. Gila dengan
pedang di tangan adalah sangat berbahaya. Karena itu,
maka Wulungan tidak menunggu Galunggung menyerangnya. Wulungan menyerang. Pedangnya terjulur.
Meskipun demikian pedang itu tidak mengarah lambung,
dada atau leher lawan. Betapapun marahnya Wulungan,
namun ia tidak bermaksud membunuh lawannya itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi karena keragu-raguan itulah maka Galunggung
sempat menghindarkan diri. Pedang Wulungan yang
mengarah kepala itu dapat dihindarinya. Dengan tertawa
nyaring Galunggung memutar pedangnya, dan dengan
dahsyatnya ia membalas serangan Wulungan. Tetapi
Galunggung tidak berpikir wajar. Ia tidak ragu-ragu dalam
setiap ayunan pedangnya. Karena itu serangannya sangat
berbahaya. Wulungan terkejut melihat sambaran pedang
Galunggung. Untunglah ia sempat membungkukkan
kepalanya. Dan berdesing pedang itu tidak lebih senyari diatas
kepalanya. Dengan demikian akhirnya Wulungan mengambil keputusan untuk melawan Galunggung dengan segenap
kemampuan yang ada padanya. Ia harus menyelamatkan
dirinya, meskipun seandainya ia terpaksa membunuh
lawannya. Maka, kemudian adalah perkelahian yang seru.
Galunggung menyerang seperti angin ribut, sedang
Wulungan bertahan dan menyerang kembali seperti Srigala
yang marah. Widuri yang melihat pertempuran itu kini tidak tertawa-
tawa lagi. Ia melihat bahaya yang mengancam keduanya.
Justru karena ilmu yang mereka miliki berada pada
tingkatan yang sama, maka mereka berdua mempunyai
kesempatan yang sama. Membunuh atau di bunuh.
Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan perkelahian
itu berlangsung. Apakah ia harus mencegah perkelahian itu,
membantu Wulungan atau membiarkannya.
Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan perkelahian
itu berlangsung terus. Desak-mendesak silih berganti.
Keduanya mengerahkan segenap kemampuan yang ada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pada diri masing-masing, sebab mereka masing-masing
tidak mau dadanya ditembus oleh pedang lawan. Dalam
keadaan itu, Wulungan sudah tidak teringat lagi, apakah
Galunggung itu akan ditangkapnya hidup atau mati. Yang
ada dikepalanya adalah pilihan hidup atau mati.
Gemerincing pedang beradu telah mengejutkan daun-
daun dan bunga-bunga luar disekitarnya. Burung-burung
dan belalang beterbangan menjauhi bunyi yang mengerikan
itu yang sesekali diselingi oleh teriakan Galunggung
memaki. Dalam keadaan yang demikian, Widuri menjadi semakin
berbimbang hati. Tetapi lambat laun dilihatnya bahwa
keseimbangan itu meskipun perlahan-lahan sekali. Wulungan ternyata memiliki suatu keuntungan, bahwa
Galunggung tidak menggunakan otaknya dengan baik.
Dalam nafsu gilanya, Galunggung telah kehilangan sebagian
pengamatan diri, sehingga ia bertempur tanpa mempergunakan perhitungan yang cermat.
Sedang Wulungan, meskipun kemarahan telah memuncak dan membakar dadanya, namun dalam olah
pedang ia masih dapat melihat segala kemungkinan dengan
baik. Widuri yang melihat perkelahian itu menarik nafas lega.
Ia benar-benar gadis aneh, namun kadang berbuat seperti
orang dewasa. Memang umurnya sedang menginjak masa
peralihan. Sebelah kakinya memasuki masa kedewasaan,
sebelah kakinya masih berada didunia anak-anak. Dalam
masa pancaroba itu Widuri sering berbuat yang aneh-aneh.
Sekali nafsunya untuk berkelahi melonjak lonjak didalam
dadanya, tetapi ia kadang menunjukkan sifat keibuan yang
sejuk. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pada saat itu Widuri dapat melihat keadaan dengan baik.
Ketika ia melihat kelebihan Wulungan, maka dibiarkannya
pertempuran berlangsung. Biarlah mereka menyelesaikan
urusan mereka tanpa campur tangan orang lain. Dengan
demikian Ki Ageng Lembu Sora pasti akan menerima
keadaan yang terjadi dengan tanpa campur tangan orang
lain. Tanpa perasaan sesal dan kecewa. Tanpa menyalahkan siapapun di luar lingkungan kekuasaannya.
Tetapi tiba-tiba terjadilah hal diluar dugaannya. selagi
Jala Pedang Jaring Sutra 6 Perguruan Sejati Karya Khu Lung Playboy Dari Nanking 10
^