Naga Sasra Dan Sabuk Inten 7
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 7
akan tinggal diam." Si istri tampak berpikir sejenak, lalu katanya, "itu berarti
akan mempercepat saat pertemuan akhir tahun ini di Rawa
Pening. Mungkin mereka akan bersama-sama datang ke
Gunung Tidar untuk memperebutkan pusaka-pusaka itu."
"Mungkin," jawab suaminya. "Itu berarti pekerjaan kita
bertambah berat." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Lalu bagaimana dengan Adi Gemak Paron itu?" potong
istrinya. "Sebab Adi Yuyu Rumpung yang lolos dari kejaran
kami pasti segera akan melaporkan kejadian ini."
Belum lagi mereka menentukan sikap, tiba-tiba
terdengarlah derap kuda dari arah lain. Tampaklah bahwa
semua orang dalam gerombolan itu terkejut. Tidak
terkecuali suami-istri Sima Rodra.
"Rupa-rupanya Adi Gemak Paron tidak hanya berdua,"
desis si istri. "Kau benar," jawab suaminya. "Bersiaplah kalian,"
perintahnya kepada anak buahnya.
Maka segera mereka pun bersiap menghadapi setiap
kemungkinan. Suara derap kuda itu semakin lama semakin
jelas. Dan Mahesa Jenar pun tidak kalah cemasnya, sebab
arah derap kuda itu menuju kepadanya. Karena itu, ia pun
melipat dirinya lebih kecil lagi di bawah sebuah gerumbul
yang berdaun rapat. Sejenak kemudian kuda yang larinya
seperti terbang meluncur hanya beberapa langkah di
samping Mahesa Jenar. Melihat penunggang- penunggangnya, Mahesa Jenar agak keheran-heranan pula.
Mungkinkah mereka dari gerombolan Uling Rawa Pening"
Sebab tampaklah wajah mereka berbeda dengan wajah-
wajah gerombolan Sima Rodra. Sedangkan pakaian mereka
pun sama sekali tidak seperti pakaian orang yang mati itu.
Rombongan yang kedua ini terdiri dari orang yang
jumlahnya lebih banyak. Semua kira-kira ada 15 orang.
Ketika rombongan yang kedua ini melihat rombongan Sima
Rodra, mereka pun tampak terkejut. Maka dengan segera
mereka menarik tali kekang kuda mereka, sehingga kuda-
kuda mereka berdiri dan berhenti seketika.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat rombongan yang baru saja datang itu, ternyata
Sima Rodra beserta anak buahnya bertambah terkejut lagi,
sehingga ketika rombongan yang kedua itu telah berhenti.
Sima Rodra segera berkata, "Aku menyampaikan hormat
yang setinggi-tingginya kepada rombongan Ki Ageng Lembu
Sora." Mendengar sapa Sima Rodra itu, giliran Mahesa Jenar
yang terkejut bukan kepalang. Inilah orangnya yang
bernama Ki Ageng Lembu Sora, putra kedua dari Ki Ageng
Sora Dipayana. Ki Ageng Lembu Sora adalah seorang yang bertubuh
sedang, berwajah keras. Matanya memancarkan sinar
ketamakan dan pemujaan kepada nafsu-nafsu jasmaniah.
Sambil masih duduk di atas kudanya ia menjawab,
"Salamku kepada kalian."
"Terima kasih Ki Ageng," jawab Sima Rodra.
"Kenapa kalian berada di tempat ini?" tanya Ki Ageng
Lembu Sora. "Kami sedang mengejar orang ini, Ki Ageng," jawab Sima
Rodra sambil menunjuk kepada mayat Gemak Paron.
"Siapakah dia?" tanya Lembu Sora kembali.
"Ia berusaha untuk mencuri pusaka kami, Kiai Kala
Tadah. Untunglah bahwa aku dapat mengenainya dengan
sumpit, sehingga ia tidak dapat melarikan diri lebih jauh
lagi," jawab Sima Rodra.
Lembu sora tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, "Dari manakah dia?"
"Dari daerah Rawa Pening," jawab Sima Rodra.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Gerombolan yang dipimpin oleh Uling Rawa Pening...?"
Lembu Sora menegaskan. "Ya," jawab Sima Rodra.
Sekali lagi Lembu Sora mengangguk-angguk. Katanya
kemudian, Untunglah gerombolan Uling itu sampai sekarang
masih diberi kesempatan berdiri. Kalau saja Kakang Gajah
Sora sudah mau bertindak maka umur gerombolan itu tidak
akan lebih dari satu senja."
"Rupanya hal itu pun disadari oleh sepasang Uling itu,
sehingga mereka tidak berani berbuat apa-apa di dalam
wilayah kekuasaan Ki Ageng Gajah Sora." sahut Sima
Rodra, "Meskipun secara perseorangan belumlah pasti
bahwa kakak-beradik Uling itu dapat dikalahkan oleh Gajah
Sora,. "Kau yakin akan hal itu?" potong Lembu Sora.
"Hal yang mungkin sekali," jawab Sima Rodra.
Lembu Sora tampak mengernyitkan alisnya. Ia tampak
tidak begitu senang mendengar keterangan Sima Rodra itu.
"Seperti kau yakin bahwa kau tidak dapat aku kalahkan,"
katanya kemudian. Sima Rodra menarik nafas panjang. Tampaklah betapa
tajam pandangan matanya. Perlahan-lahan ia menegakkan
kepalanya, memandang ke arah puncak-puncak pohon
raksasa yang bertebaran di hutan. Jelas, betapa ia mencoba
menguasai dirinya untuk tidak bertindak tergesa-gesa.
Sebentar kemudian, baru dia menjawab, "Ki Ageng, aku
tidak ingin berkata demikian. Selama kita masih saling
menghormati persetujuan kita. Biarlah, apa saja yang akan
terjadi di daerah Banyu Biru dan Rawa Pening. Sedang
diantara kita hendaknya tetap berlaku persetujuan yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sudah sama-sama kita terima, supaya kita tidak usah
menilai, siapakah diantara kita yang lebih kuat. Sedangkan
apa yang berlaku sekarang aku rasa sudah saling
menguntungkan." Wajah Lembu Sora menjadi tegang pula. Rupanya ia pun
sedang berusaha untuk menguasai perasaannya."
Sejenak kemudian dengan mata yang berapi-api ia
berkata, "Bagus, kalau kau masih tetap dalam pendirianmu
itu. Tetapi aku dengar kau mulai membuat perkara. Karena
itu aku sekarang memerlukan berkeliling pagar perdikanku
untuk mengetahui kebenaran berita bahwa kau mulai
merambah ke daerah lalu lintas dengan Pamingit."
"Itu tidak benar, " potong Sima Rodra, "Aku tidak biasa
berbuat kecurangan-kecurangan yang naif semacam itu.
Mungkin dalam kehidupanku telah ribuan kali aku berbuat
curang, tetapi untuk keperluan yang cukup bernilai dan
seimbang dengan kecurangan yang terpaksa aku lakukan."
Sima Rodra diam sejenak. Suasana segera meningkat
semakin tegang. Tampaklah bahwa masing-masing telah
mempersiapkan dirinya untuk menghadapi setiap kemungkinan. "Yang benar..." Sima Rodra melanjutkan, "dua orangku
pagi ini telah mati di Pangrantunan, ".
Lembu Sora tampaknya agak terkejut mendengar berita
itu, sehingga ia bertanya, "Kenapa" "
"Sebabnya masih belum begitu jelas," jawab Sima Rodra,
"sebab aku masih belum sempat mengusutnya, karena ada
peristiwa pencurian pusaka ini. Tetapi dua-tiga hari yang
akan datang, pastilah aku sendiri akan datang ke
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pangrantunan untuk melihat siapakah yang telah berbuat
kejahatan itu" Sima Rodra...," sahut Sima Rodra, "yang termasuk dalam
persetujuan kita hanyalah sumbangan hasil bumi dari
penduduk Pangrantunan, bukan orang-orangnya,.
"Tetapi aku tidak membiarkan pembunuhan itu menjadi
kebiasaan." jawab Sima Rodra, "Karena itu, yang bersalah
harus mendapat hukuman, ".
"Aku beri wewenang kau melakukan hukuman hanya
kepada yang bersalah. Tetapi awas, jangan berbuat
sekehendakmu saja atas orang-orangku. Sebab ganti yang
kau berikan kepadaku akhir-akhir ini ternyata mulai merosot
nilainya." Mendengar kata-kata Lembu Sora yang terakhir, tiba-tiba
Sima Rodra tertawa menggelegar. Katanya kemudian,
"Jangan takut Ki Ageng, lain kali pasti akan lebih memberi
kepuasan kepada Ki Ageng..."
"Aku berkata sebenarnya," potong Ki Lembu Sora,
"karena itu segala sesuatunya terserah kepadamu. Aku
akan melanjutkan perjalanan sekarang."
Sehabis mengucapkan kata-kata itu, segera ia menarik
tali kekang kudanya, serta mencambuknya keras-keras,
sehingga kudanya terloncat dan berlari kencang. Para
pengikutnya segera mengikutinya pula. Suami-istri Sima
Rodra bersama anak buahnya mengawasinya sampai hilang
di balik semak-semak. Setelah itu kembali terdengar Sima Rodra tertawa
tergelak-gelak, katanya, "Orang gila. Rupa-rupanya masih
juga ada sisa-sisa minatnya untuk meninjau daerah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
perdikannya yang sebentar lagi pasti akan dapat aku telan
seluruhnya," kata Sima Rodra kemudian.
"Jangan terlalu tergesa-gesa." potong istrinya, "Apa kau
kira Ki Ageng Gajah Sora akan tinggal diam"."
"Dengan kedua pusaka keris Nagasasra dan Sabuk Inten
itu di tangan kita, pastilah bahwa kita akan menguasai
segenap aliran hitam di pulau Jawa, seperti apa yang
pernah kita janjikan bersama. Sesudah itu apakah arti
kekuasaan Gajah Sora. Sedangkan Demak sendiri lambat
laun pasti akan dapat aku lenyapkan pula."
Si istri Sima Rodra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu katanya, "Mudah-mudahan semua itu tidak hanya
merupakan sebuah impian yang akan lenyap bersama
terbitnya matahari."
Si suami tertawa perlahan-lahan. Seperti kepada dirinya
sendiri ia berkata, "Aku harus bekerja lebih keras. Mungkin
akan banyak hal yang harus aku hadapi dalam perjalanan
ke istana Demak." "Lalu apa yang akan kita perbuat sekarang?" Tiba-tiba
istrinya bertanya. Suami Sima Rodra itu menjadi seperti orang yang
tersadar dari lamunannya. Kembali ia mengamat-amati
mayat Gemak Paron. Sebentar kemudian ia berkata,
"Marilah Nyai, sebaiknya kita kembali. Mungkin sehari dua
hari kakak-beradik Uling dari Rawa Pening akan berkunjung
ke rumah kita. Baru sesudah itu kita pergi ke Pangrantunan
untuk mencari pembunuh-pembunuh itu."
"Tidakkah kita selesaikan sama sekali masalah Pangrantunan yang tinggal tidak seberapa jauh lagi?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sima Rodra tampak agak berpikir, tetapi segera ia
menjawab, "Masalah Pangrantunan sama sekali bukan
masalah yang perlu mendapat perhatian banyak. Tetapi
sepasang Uling itu benar-benar memerlukan persiapan yang
cukup untuk menyambutnya."
Setelah itu maka segera ia pun berdiri meninggalkan
mayat Gemak Paron, langsung menuju ke kudanya. Dan
sejenak kemudian rombongan itu pun pergi meninggalkan
mayat itu tetap terkapar, sambil membawa kembali pusaka
yang disebutnya Kiai Kala Tadah.
Setelah derap kuda mereka tak terdengar lagi, Mahesa
Jenar perlahan-lahan keluar dari persembunyiannya. Tanpa
sadar ia menggelengkan kepalanya sambil mengusap
dadanya. Meskipun ia tidak tahu bunyi perjanjian antara Ki
Ageng Lembu Sora dan Sima Rodra, tetapi bahwa Ki Ageng
Lembu Sora bersedia menyerahkan sebagian dari wilayahnya untuk sumber perbekalan dari golongan hitam,
adalah suatu tindakan yang tercela. Apapun yang diterima
Lembu Sora dari Sima Rodra sebagai gantinya, hal itu
adalah suatu penghinaan atas kekuasaan yang dipegangnya, dengan membiarkan adanya kekuasaan asing
turut serta mencampuri masalah di dalam rangkah. Apalagi
ketika Mahesa Jenar teringat akan rencana Sima Rodra,
tidak saja menguasai Perdikan ini, tetapi ia sudah mulai
merintis jalan ke Demak. Tetapi ketika ia teringat bahwa Ki Ageng Sora Dipayana
dengan ujudnya yang baru telah kembali ke Pangrantunan,
hatinya menjadi agak tenteram. Pasti orang tua itu tidak
akan membiarkan pengkhianatan itu tetap berlangsung.
Sebab kekuasaan yang selalu dibayangi oleh kekuasaan lain
tidaklah lebih dari kekuasaan boneka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebentar kemudian segera Mahesa Jenar sadar akan
tugasnya. Ia harus cepat-cepat pergi ke Gunung Tidar.
Kalau benar apa yang diperhitungkan oleh Sima Rodra,
yaitu kemungkinan akan datangnya Uling dari Rawa Pening,
maka ia harus berusaha untuk mendahuluinya. Sebab kalau
tidak, dan sepasang Uling itu sampai berhasil merebut
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua keris pusaka itu, maka tugasnya akan bertambah
sulit. Karena itu Mahesa Jenar pun segera melanjutkan
perjalanannya. Sejenak kemudian ia telah memasuki daerah hutan yang
cukup lebat pula. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Ki
Ageng Sora Dipayana, bahwa di dalam hutan itu seolah-
olah telah dibuat sebuah jalan, yang walaupun sempit tetapi
cukup baik untuk lalu lintas kuda maupun orang berjalan.
Maka tidaklah ada kesulitan apa-apa bagi Mahesa Jenar
untuk langsung menuju ke Gunung Tidar. Tetapi belum
lama ia menyusur jalan rimba, tiba-tiba didengarnya telapak
kuda yang lari sangat kencang dari arah depan. Mula-mula
Mahesa Jenar mengira orang-orang Sima Rodra. Tetapi
ketika diketahuinya bahwa suara derap kuda itu tidak lebih
dari seekor, maka maksudnya untuk menghindar itu
diurungkan. Ia tetap saja berdiri menepi dengan maksud
untuk mendapatkan suatu pengertian baru tentang Sima
Rodra dari orang itu. Sebentar kemudian tampaklah seekor kuda yang lari
seperti terbang menuju ke arahnya. Penunggangnya adalah
orang yang pendek kokoh dan berjambang tebal. Ketika
orang itu melihat Mahesa Jenar, ia pun tampak terkejut.
Segera ia menarik kekang kudanya sehingga kuda itu
berhenti beberapa langkah di hadapan Mahesa Jenar. Mula-
mula wajah orang itu tampak tegang. Tetapi ketika ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melihat ikat pinggang orang itu, yang lebarnya hampir
selebar telapak tangan serta dibuat dari kulit kerbau,
menjadi terkejut. Segera ia ingat kepada Gemak Paron yang
mati kena sumpit punggungnya, juga memakai ikat
pinggang yang serupa. Maka kesimpulan bagi Mahesa
Jenar, orang ini pasti juga salah seorang dari gerombolan
Uling Rawa Pening. Mungkin orang inilah yang tadi disebut-
sebut dengan nama Yuyu Rumpung, yang berhasil
meloloskan diri dari kejaran Sima Rodra. Kalau demikian,
kiranya Yuyu Rumpung tadi telah berhasil menyelinap ke
dalam hutan, sementara gemak Paron berlari terus.
Kemudian setelah diketahuinya bahwa Sima Rodra telah
kembali ke sarangnya, ia segera berusaha untuk melarikan
diri. Orang berkuda itu, setelah memandangi Mahesa Jenar
sejenak segera bertanya, Siapakah kau yang berani lewat di
jalan yang khusus bagi gerombolan Sima Rodra"
Tiba-tiba timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk
menjajagi kekuatan gerombolan Uling ini, dengan mencoba
kekuatan salah seorang anggotanya yang terkemuka.
Dengan demikian ia akan dapat mengetahui kira-kira
sampai dimana kekuatan anggota-anggota yang lain.
Sedang pimpinan rombongannya sendiri pastilah tidak akan
banyak terpaut dengan Lawa Ijo, Jaka Soka dan mungkin
juga Sima Rodra. Karena itu, Mahesa Jenar menjawab, "Namaku Yuyu
Rumpung, dan berasal dari Rawa Pening. Aku adalah salah
seorang kepercayaan kakak-beradik Uling untuk mencari
keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi sayang bahwa aku
dan Gemak Paron hanya berhasil mengambil tombak
pendek yang bernama Kala Tadah. Itu saja Gemak Paron
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terpaksa menebus dengan nyawanya, sedang tombak itu
kembali kepada pemiliknya."
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, segera wajah orang
itu, yang sebenarnya adalah Yuyu Rumpung, menjadi
merah menyala. Ia menjadi marah sekali karena jawaban
itu seolah-olah merupakan suatu sindiran akan ketidakmampuannya melakukan tugas yang dibebankan
kepadanya bersama Gemak Paron. Karena itu dengan gigi
yang gemeretak ia berteriak. "Orang gila, jangan kau mau
main-main dengan Yuyu Rumpung. Meskipun aku tidak
berhasil mencuri kedua pusaka itu, tetapi aku pasti akan
bisa mematahkan lehermu. Tetapi sebelum itu, supaya aku
tahu, siapakah yang telah aku bunuh, hendaknya kau
mengatakan namamu yang sebenarnya."
Mendengar teriakan Yuyu Rumpung, Mahesa Jenar hanya
tertawa dingin. Jawabnya, "Kau memang lekas marah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Untuk melaksanakan tugas yang sulit itu seharusnya Uling
Rawa Pening memilih orang yang tenang dan dapat
menguasai perasaannya. Mungkin Gemak Paron tidak
selekas engkau ini menjadi marah".
Rupanya Yuyu Rumpung sudah tidak dapat menguasai
dirinya lagi. Segera ia meloncat dari kudanya dan dengan
suatu gerakan yang dahsyat ia langsung menyerang
Mahesa Jenar dengan suatu pukulan ke arah pelipis.
Ternyata Yuyu Rumpung adalah orang yang mempunyai
kekuatan yang luar biasa. Pukulannya mengandung tenaga
yang hebat, serta cepat. Mendapat serangan yang demikian
cepatnya, Mahesa Jenar segera merendahkan diri dan
dengan sebagian tenaganya ia mempergunakan ujung
sikunya untuk menyerang lambung lawannya. Tetapi Yuyu
Rumpung pun ternyata lincah sekali, sehingga ia tidak
terlambat meloncat mundur menghindar. Tetapi dalam hati
ia pun tidak habis heran. Siapakah orang yang berjalan di
dalam hutan seorang diri, tetapi mempunyai keuletan yang
sedemikian tinggi. Apalagi ia sudah tahu nama, asal serta
tugas yang sedang dilaksanakan. Mahesa Jenar tidak
sempat merenung-renung, sebab ketika sadar bahwa
serangannya gagal, segera ia memutar tubuhnya, dan
dengan kaki kirinya ia menghantam perut Yuyu Rumpung.
Sekali lagi Yuyu Rumpung terpaksa meloncat ke samping,
tetapi kali ini ia tidak mau terus-menerus diserang. Karena
itu demikian kakinya melekat diatas tanah, segera ia maju
menyodok perut Mahesa Jenar. Kali ini sengaja Mahesa
Jenar tidak menghindarkan diri, tetapi dengan tangannya ia
memukul tangan Yuyu Rumpung ke samping. Yuyu
Rumpung yang percaya pada kekuatannya, ketika melihat
Mahesa Jenar menangkis pukulannya sama sekali ia tidak
berusaha menarik tangannya, malahan seluruh tenaganya
dikerahkan. Maka segera terjadilah suatu benturan yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
keras sekali. Dengan tak diduga sama sekali oleh Yuyu
Rumpung, bahwa lawannya memiliki tenaga yang dahsyat,
sehingga ia jatuh terguling. Sebaliknya Mahesa Jenar pun
merasakan kekuatan Yuyu Rumpung sehingga tangannya
terasa agak sakit. Sampai sekian Mahesa Jenar dapat
mengetahui bahwa orang ini kira-kira tidak lebih dari
Carang Lampit, orang kedua sesudah Wadas Gunung dalam
gerombolan Lawa Ijo. Maka ketika dengan sedikit kesulitan
Yuyu Rumpung berdiri, segera Mahesa Jenar meloncatinya,
dan dengan tangannya yang kokoh kuat, segera ia
menangkap kedua lengan Yuyu Rumpung, dan dengan
lututnya ia menekan punggungnya. Yuyu Rumpung terkejut
melihat kegarangan lawannya. Tetapi tak ada lagi
kesempatan baginya untuk melepaskan diri. Selanjutnya
terdengar Mahesa Jenar bertanya, "Yuyu Rumpung, selain
kau dan Gemak Paron, siapakah yang termasuk orang-
orang penting dalam gerombolanmu?"
Pertanyaan ini telah memusingkan kepala Yuyu
Rumpung. Ia pun segera mengetahui bahwa orang ini pasti
bukan dari golongan hitam, sebab dari golongan itu, pada
umumnya sudah mengenal siapa-siapa yang menjadi orang-
orang terpenting dalam gerombolan masing-masing. Ketika
sampai beberapa lama ia tidak menjawab, terasa tekanan
lutut di punggungnya semakin keras semakin keras.
Sehingga terpaksa ia berkata, "Apakah kepentinganmu
dengan mengetahui orang-orang kami?"
"Itu adalah soalku," jawab Mahesa Jenar, "yang kuminta
hanyalah kau sebutkan nama-nama itu, dan jangan
bohong." Sementara itu punggung Yuyu Rumpung semakin terasa
sakit, sehingga akhirnya ia tak dapat mengelak lagi,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
katanya, "Gemak Paron adalah orang kedua dalam
gerombolan kami, sedang aku adalah orang ketiga."
"Siapakah orang pertama?" tanya Mahesa Jenar lagi.
"Orang pertama adalah kakang Seri Gunting."
"Kenapa bukan Seri Gunting itu yang pergi untuk mencuri
pusaka-pusaka itu?" "Kakang Seri Gunting sedang tidak ada di rumah."
"Kemana dia?" "Ke Nusa Kambangan."
"Ke tempat Jaka Soka?"
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, Yuyu Rumpung
menjadi bertambah heran. Rupanya orang ini sudah agak
banyak mengenal tokoh-tokoh hitam. Karena itu ia harus
lebih berhati-hati, sebab mungkin malahan seluruhnya
sudah diketahui, sehingga pertanyaan-pertanyaannya hanya
merupakan sebuah pancingan saja.
Maka jawabnya, "Ya, kakang Seri Gunting pergi ke
tempat Jaka Soka." Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Tahulah ia bahwa
kekuatan gerombolan hitam itu benar-benar seimbang,
sehingga pertemuan akhir tahun di Rawa Pening benar-
benar akan menarik. Ketika Mahesa Jenar tidak memerlukan
hal-hal lain lagi, segera Yuyu Rumpung dilepaskan, tetapi ia
tidak membiarkannya pergi berkuda, katanya, "Yuyu
Rumpung, kau boleh pergi, tetapi aku ingin meminjam
kudamu. Sedang kau dapat mencari kuda Gemak Paron
untuk kau pakai. A ku temukan tadi mayatnya di luar hutan.
Kalau kau akan mencarinya, pergilah membelok ke selatan,
di mulut lorong ini."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar sengaja membiarkan Yuyu Rumpung
berjalan kaki dan menunjukkan arah yang salah atas mayat
Gemak Paron, supaya orang ini tidak segera sampai di
Rawa Pening. Ia mengharap untuk dapat mendahului kakak
beradik Uling itu. Yuyu Rumpung yang tidak tahu maksud Mahesa Jenar,
menjadi keheranan. Tetapi bagaimanapun juga ia
merasakan keperkasaan orang itu. Maka ketika ia mendapat
kesempatan untuk pergi, segera ia pun meloncat dan
melangkah cepat sekali menjauhi Mahesa Jenar, meskipun
ia menggerutu tak habisnya karena kudanya dirampas.
Sedangkan Mahesa Jenar merasa mendapat keuntungan
dengan pertemuannya dengan Yuyu Rumpung. Ia sudah
mendapat gambaran sedikit tentang kekuatan gerombolan
Uling Rawa Pening, sedangkan keuntungannya yang lain ia
telah dapat menghambat dijalan orang itu, sehingga,
kemungkinan untuk dapat mendahului sampai ke Gunung
Tidar semakin besar. Sedangkan kuda yang dirampasnya,
sama sekali tak diperlukannya, sebab dengan kuda itu, ia
tidak lagi bebas untuk dapat menyusup kegerumbulan
apabila ia berjumpa dengan orang yang perlu dihindari.
Juga jarak yang ditempuhnya sudah tidak begitu jauh lagi.
Kalau misalnya ia dapat mencapai Gunung itu sebelum sore,
ia masih juga harus menunggu sampai matahari terbenam.
Maka akhirnya dilepaskannya kuda Yuyu Rumpung itu, dan
Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya dengan berjalan
kaki. V Sementara itu cahaya merah telah membayang di langit
mewarnai mega yang betebaran. Sedang didalam hutan,
sinar matahari yang sudah sangat lemah itu tidak kuasa lagi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
untuk melawan kegelapan yang perlahan tapi pasti akan
turun menyeluruh sampai kesegenap lekuknya.
Malam itu seperti biasa dalam perjalanannya di hutan,
Mahesa Jenar memilih tempat tidurnya diatas cabang pohon
untuk menghindari serangan binatang buas. Meskipun
hutan itu tidak segarang hutan Mentaok, tetapi didalamnya
hidup pula jenis harimau yang cukup berbahaya, yaitu
harimau loreng. Malam itu tak ada sesuatu hal yang terjadi.
Kecuali tubuh Mahesa Jenar menjadi gatal digigit nyamuk
yang banyaknya bukan main.
Ketika langit disebelah Timur mulai meremang, Mahesa
Jenar segera turun dari tempat istirahatnya. Dan setelah
sekali dua kali ia menggeliat, maka ia segera memulai
kembali perjalanannya ke Gunung Tidar sambil mencari
sumber air untuk mencuci mukanya. Jalan yang ditunjukkan
oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu ternyata jauh lebih dekat
daripada apabila ia menempuh jalan yang direncanakannya
semula. Jalan ini langsung memotong arah ketujuannya.
karena itu maka ia tidak perlu untuk tergesa sebab ia masih
harus menunggu gelap untuk bertindak.
Pada saat ia melewati longkangan hutan itu, ia dapat
jelas melihat Gunung Tidar berdiri tegak seperti jamur
raksasa, yang konon merupakan pusar Pulau Jawa, sudah
tidak begitu jauh lagi dihadapannya. Sehingga perjalanan
Mahesa Jenar kali ini merupakan sebuah perjalanan yang
justru diperlambat. Meskipun demikian ia masih juga agak
kesiangan sampai didataran yang mengitari bukit itu,
sehingga ia mempunyai waktu sekedar untuk beristirahat.
Maka ketika sampai saaatnya matahari turun serta
burung mulai berkitaran mencari tempat untuk tidurnya,
berdirinya Mahesa Jenar dengan wajah yang tegang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memandangi Gunug Tidar dimana berdiam suami isteri
Sima Rodra, yang telah berhasil menyimpan sepasang keris
Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Dalam keadaan yang demikian seolah-olah ia mulai
menilai dirinya kembali. Sudahkah ia siap untuk melakukan
tugas yang penting itu. Ia seorang diri harus terjun
langsung kedalam sarang sepasang harimau yang cukup
ganas. Berkali-kali ia meremaskan tangannya dimana
disimpan senjata kepercayaannya Sasra Birawa.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara kemudian, ketika benar-benar matahari telah
melenyapkan diri dibalik Gunung Tidar itu, mulailah Mahesa
Jenar melaksanakan tugas untuk membebaskan kedua
pusaka itu berdasarkan petunjuk dari Kiai Ageng Sora
Dipayana. Untuk naik ke bukit itu, ia tidak langsung mendaki dari
arah Timur, tetapi ia melingkar ke Selatan dan dari sanalah
dengan hati-hati sekali ai selangkah demi selangkah
mendekati lereng bukit itu. Sebentar ia berhenti untuk
mendengarkan kalau ada langkah seseorang ataupun
tarikan napas. Untunglah bahwa telinga dan matanya cukup
terlatih. Ketika sampai pada tanjakan pertama dari Bukit Tidar
tampaklah bahwa Sima Rodra benar-benar memasang
perbentengan untuk melindungi sarangnya. Batu besar
yang tampaknya berserak itu ternyata merupakan pasangan
yang apabila sedikit saja tersentuh, pasti akan tergelincir
dan menggelundung ke bawah. Untunglah bahwa tiap
gerak Mahesa Jenar selalu dilandasi oleh ketelitian serta
kehati-hatian. Setelah merayap bebrapa saat Mahesa Jenar
berhasil melintasi pagar yang pertama untuk kemudian
menjumpai benteng. Batu padas yang besar disusun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
meninggi sampai hampir dua kali tinggi orang. Dengan hati-
hati Mahesa Jenar mendekati benteng itu. Kemudian
dengan tangannya ia meraba-raba, seolah ingin mengetahui
sampai dimana kira-kira kekuatan padas itu. Mungkin
dengan kekuatan tangannya ia bisa, meskipun tidak
sekaligus tetapi setidaknya sedikit demi sedikit menghancurkan padas yang tidak sekeras batu. Kalau
Mahesa Jenar menghancurkan padas itu, maka besar
kemungkinannya bahwa kedatangannya akan segera
diketahui oleh pengawal-pengawal yang pasti berkeliaran di
dalam benteng itu. Maka dicarinya cara lain untuk dapat
melampauinya. Sekali lagi Mahesa Jenar meraba-raba serta
menaksir kekuatannya. Kemudian dipilihnya cara dengan
memanjat saja, dan kemudian meloncat masuk.
Demikianlah Mahesa Jenar dengan hati-hati memanjat
dinding batu padas itu. Sampai di atasnya ia tidak langsung
meloncat, tetapi dengan perlahan-lahan sekali ia melekatkan dirinya merapat dinding dan untuk beberapa
lama ia menelungkup di situ sambil mengamat-amati
keadaan di dalam daerah sarang Sima Rodra itu.
Malam itu rasanya sepi sekali. Lebih sepi daripada
malam-malam yang pernah dilewatinya. Sekali duakali
terdengar anjing liar menyalak di kejauhan, disaut dengan
pekikan burung hantu yang sedang mencari mangsa.
Mahesa Jenar masih saja berbaring menelungkup diatas
dinding batu. Matanya berputar menjelajahi seluruh
lingkaran yang membentang di hadapannya. Adapun
daerah di dalam benteng Sima Rodra itu pun merupakan
suatu lapangan yang bersemak-semak dan rumput-rumput
liar bertebaran tumbuh di sana sini. Sebenarnya tempat itu
merupakan tempat yang baik sekali untuk dapat menyusup
mendekati goa Sima Rodra di lambung sebelah utara bukit
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu. Sebab dengan adanya semak-semak dan rumput-
rumput liar itu, justru memberi kemungkinan yang lain,
bahwa di dalam semak-semak itulah orang-orang Sima
Rodra berjaga-jaga untuk mengawasi keamanan sarangnya.
Sampai beberapa lama Mahesa Jenar masih saja
melekatkan dirinya pada dinding padas itu.
Tiba-tiba terasalah angin yang bertiup perlahan-lahan
menghembuskan bau yang wangi. Bau yang dibawa angin
dari utara ini mempunyai pengaruh yang aneh sekali.
Terasa betapa tubuh Mahesa Jenar menjadi nyaman, serta
matanya menjadi berat sekali.
Angin yang aneh ini datang mengalir terus-menerus
seperti mengalirnya air sungai. Sehingga pengaruhnya
semakin lama semakin mencengkeram diri Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar adalah seorang prajurit yang
terlatih lahir-batin. Untunglah bahwa ia segera menyadari
keadaannya, bahwa pasti ia telah kena pengaruh bau wangi
itu, yang sengaja disebarkan orang untuk melemahkan
syaraf, sehingga orang menjadi kantuk.
Inilah kekuatan sirep yang seperti pernah dialami
beberapa tahun lalu, yang disebarkan oleh Lawa Ijo. Tetapi
menilik kekuatannya, rasanya sirep kali ini agak lebih kuat
dari yang dahulu, serta sifatnyapun berlainan pula.
Karena itu Mahesa Jenar segera memusatkan kekuatan
batin, dan seperti orang yang sedang mengheningkan cipta,
Mahesa Jenar diam tanpa bergerak di tempatnya berusaha
melawan pengaruh sirep itu.
Meskipun agak lambat, tapi sedikit demi sedikit ia
berhasil menguasai dirinya kembali, sehingga akhirnya ia
merasa bahwa ia telah lepas dari daya sirep itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir
keras. Apakah sirep ini datang dari Sima Rodra" Tetapi
kalau benar demikian, maka anak buahnya sendiri yang
tidak mempunyai daya tahan yang cukup akan tertidur pula.
Dengan demikian maka kekuatan mereka akan jauh
berkurang. Jadi adalah suatu kemungkinan bahwa sirep ini
datangnya dari luar. Dari orang lain. Tetapi siapa" Kakak-
beradik Uling tak mungkin akan secepat ini mencapai Bukit
Tidar, kecuali kalau ia berada pada jarak yang dekat sejak
Gemak Paron menyusup masuk ke goa Sima Rodra ini.
"Akh..., tak akan selesai pekerjaan ini dengan
menimbang-nimbang saja." Gerutunya, "Lebih baik aku
masuk dan melihat keadaan". Segera setelah itu, dengan
tidak meninggalkan ke hati-hatian, Mahesa Jenar meloncat
masuk ke dalam lingkungan sarang sepasang harimau yang
cukup ganas itu. Dengan mengendap-endap ia berjalan,
lewat lambung sebelah timur ia memutar ke arah utara.
Tetapi mendadak ia dikejutkan oleh teriakan yang mirip
dengan aum seekor harimau, disusul oleh jerit yang
mengerikan. Pastilah suara ini berasal dari suami-istri Sima
Rodra yang sedang marah. Cepat Mahesa Jenar meloncat
semakin dekat ke arah suara itu. Beberapa kali ia melihat
beberapa penjaga tidak dapat meloloskan diri dari pengaruh
sirep yang tajam itu. Ketika ia sudah semakin dekat, ia bertambah terkejut lagi
ketika ia mendengar derap orang berkelahi. Darah Mahesa
Jenar segera bergejolak hebat. Siapakah yang telah
mendahuluinya masuk sarang Sima Rodra..." Perlahan-
lahan ia maju setapak demi setapak, sehingga akhirnya ia
mendapat perlindungan sebuah padas yang cukup besar di
sebelah timur goa Sima Rodra. Kembali darah Mahesa Jenar
tersirap ketika ia menyaksikan suami-istri Sima Rodra itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sedang bertempur dengan seorang yang bertubuh tinggi,
berwajah bulat, serta berdada lebar. Tetapi karena gelap, ia
tidak dapat segera mengenal wajahnya. Pertempuran itu
ternyata berlangsung dengan hebatnya. Suami-istri Sima
Rodra ternyata memang bukan namanya saja yang garang.
Tetapi tandangnya pun tidak kalah hebat dengan namanya.
Kakinya yang meskipun besar-besar, sebesar bumbung
petung, tetapi seperti seekor harimau, dengan lincahnya ia
meloncat, menyerang dan menghantam. Sedang istrinya
bertempur dengan tangan yang dikembangkan. Segera
Mahesa Jenar mengenal bahwa cara yang demikian selalu
dipergunakan oleh seorang yang sangat percaya akan
kekuatan jari-jarinya, atau yang lebih mengerikan, ia
bersenjatakan kuku-kukunya yang beracun.
Melihat cara suami-istri Sima Rodra bertempur, segera ia
mengingat akan ceritera Demang Pananggalan. Maka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar hampir dapat memastikan bahwa yang
pernah datang ke Prambanan serta pernah menculik gadis
dan dibawa ke Gunung Baka adalah gerombolan Sima
Rodra ini. Maka ketika ia telah menyaksikan sendiri
kegarangannya, ia pun menjadi yakin bahwa Demang
Pananggalan memang bukan lawan dari orang ini. Apaladi
dalam menghadapi segala hal, tampaknya suami-istri Sima
Rodra selalu bertempur bersama, sehingga untuk melawan
orang yang baru setingkat Pananggalan pun mereka
bertempur bersama. Kalau demikian halnya, maka bagaimanakah kira-kira
yang akan terjadi dalam pertemuan golongan hitam di
Rawa Pening" Bolehkah mereka bertempur berpasang-
pasang, ataukah hanya seorang-seorang"
Menilik gerak serta keperkasaannya, maka pastilah Sima
Rodra sendiri memiliki kehebatan yang sama dengan Lawa
Ijo, sedang istrinya ternyata sedikit di bawahnya. Tetapi
karena perempuan itu bersenjatakan kuku-kukunya sendiri
maka ia pun nampak sangat berbahaya. Apalagi ketika
sekali tampak di ujung kuku itu berkilat suatu cahaya, maka
sudah pasti bahwa di ujung kuku-kuku itu ditaruh logam
yang mungkin sekali beracun.
Tetapi lawan Sima Rodra itu pun ternyata orang luar
biasa. Mahesa Jenar sendiri pernah bertempur berpuluh kali
menghadapi orang-orang perkasa. Yang terakhir adalah
Jaka Soka serta Lawa Ijo. Tetapi untuk menghadapi dua
orang sekaligus baginya adalah pekerjaan yang berat sekali.
Kalau ia terpaksa bertempur melawan keduanya, maka
pastilah pagi-pagi ia sudah mempergunakan ilmunya Sasra
Birawa. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sedang orang itu, yang bertempur dengan Sima Rodra,
nampaknya tanpa mempergunakan lambaran ilmu apapun,
kecuali ketangkasan serta kekuatan jasmaniah yang cukup
terlatih. Maka, Mahesa Jenar tak berhenti menebak. Siapakah
gerangan dia. Kalau yang datang kakak-beradik Uling,
hampir dapat dipastikan bahwa mereka akan bertempur
berpasangan pula. Ataukah dia yang bernama Sri Gunting"
Kalau orang ini Sri Gunting, maka Uling Rawa Pening itu
seharusnya mempunyai kesaktian yang luar biasa.
Sambil berpikir berputar balik, Mahesa Jenar menyaksikan pertempuran yang berjalan seru itu. Berkali-
kali suami-istri Sima Rodra itu mengaum dan memekik
hebat dibarengi dengan serangan-serangan sangat berbahaya. Tetapi orang yang melawannya itu meskipun
agak kerepotan selalu juga berhasil menghindar, bahkan
beberapa kali ia dapat mengadakan pembalasan- pembalasan. Gerak suami-istri Sima Rodra itu tampaknya memang
serasi sekali dalam keganasannya. Mereka selalu berhasil
saling mengisi dengan gerak-gerak membingungkan.
Kadang-kadang mereka tidak menyerang, tetapi hanya
berlari berputar mengelilingi lawannya, dan kadang-kadang
mereka bersama-sama menerkam dari arah yang berlawanan. Sebaliknya, lawannya pun memiliki ketangkasan yang
luar biasa pula. Sekali-kali ia melesat jauh, tetapi sesaat
kemudian ia sudah berdiri di satu sisi dari kedua-duanya
dan menyerang dengan pukulan yang dahsyat. Beberapa
kali ia melingkar, meloncat dan berputar selagi masih di
udara. Tangannya bergerak menyambar-nyambar, seolah-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
olah berubah menjadi seorang raksasa jelmaan Harjuna
Sasra Bahu yang mempunyai seribu tangan memegang
seribu macam senjata, dalam ceritera pewayangan.
Demikianlah maka pertempuran itu berlangsung dengan
dahsyatnya. Tetapi karena Sima Rodra seolah-olah dapat
mensenyawakan diri, serta kekuatannya, maka semakin
lama tampaklah bahwa lawannya menjadi semakin
terdesak. Melihat keadaan itu, otak Mahesa Jenar bekerja keras.
Bagaimanakah kalau ia mengambil keuntungan dari
pertempuran itu" Ia masih belum tahu sama sekali,
siapakah gerangan yang bertempur itu. Tetapi menurut
perhitungan Mahesa Jenar, ia lebih baik melawan yang
seorang itu apabila terpaksa, daripada melawan Sima Rodra
suami-istri. Karena itu ia memutuskan untuk menerjunkan
diri dalam kancah pertarungan itu untuk membantu lawan
Sima Rodra. Dan sesudah itu ia akan mengadakan
perhitungan dengan lawannya. Mudah-mudahan lawan
Sima Rodra itu tidak bersamaan maksud dengan
kedatangannya, sehingga ia tidak perlu berhadap-hadapan
sebagai lawan.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah Mahesa Jenar mendapatkan ketetapan hati,
maka segera ia mempersiapkan diri. Dibetulkannya ikat
pinggangnya, kancing-kancing bajunya, dan ikat kepalanya,
supaya nanti tidak mengganggunya. Demikianlah dengan
menggeram keras untuk menandai kehadiran, Mahesa
Jenar langsung menyerang istri Sima Rodra, dengan suatu
kepercayaan bahwa ia telah dibebaskan dari akibat racun
karena jasa kawan sepermainannya, Anis dari Sela. Racun
Lawa Ijo yang didapatkannya dari Pasingsingan pun tak
berhasil membunuhnya, apalagi jenis racun yang lain, yang
tidak berasal dari orang seperti Pasingsingan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kedatangan Mahesa Jenar sangat mengejutkan mereka
yang sedang bertempur, sehingga suami-istri Sima Rodra
berloncatan mundur. Lawannya pun sejenak berdiri
termangu, sehingga untuk sesaat suasana jadi hening, sepi
seperti daerah kematian yang mengerikan. Tetapi hal yang
sedemikian itu tidak berlangsung lama, sebab terdengar
suara parau Sima Rodra membentak Mahesa Jenar. "Hei,
siapakah kau yang ikut serta mengantarkan nyawa?"
Mahesa Jenar tidak menyahut pertanyaan itu, tetapi ia
berkata kepada lawan Mahesa Jenar, "Aku belum mengenal
Tuan, tetapi aku berdiri di pihak Tuan."
Sebelum orang itu menjawab, terdengar teriak istri Sima
Rodra, "Kita bunuh kalian berdua." Istri Sima Rodra tidak
menantikan lagi jawaban, tetapi dengan loncatan yang
garang ia menyerang dengan kuku-kukunya yang diarahkan
kepada Mahesa Jenar. Segera pertempuran itu dimulai kembali. Tetapi sekarang
Sima Rodra tidak dapat lagi mengurung lawannya, sebab
sekarang mereka harus berhadapan satu lawan satu.
Meskipun demikian, tidak segera dapat dilihat siapakah
yang akan dapat memenangkan pertempuran itu.
Suami-istri Sima Rodra yang menjadi semakin marah itu
bertempur semakin garang pula. Mereka segera mengerahkan tenaga serta kesaktian mereka untuk segera
dapat membinasakan lawan-lawannya yang berani memasuki daerahnya, apalagi berani menantangnya.
Dalam keadaan demikian, lawan Sima Rodra itu sempat
juga menyaksikan Mahesa Jenar bertempur. Menyaksikan
kelincahannya, keperkasaannya, serta kepercayaannya
kepada diri seperti lazimnya seorang perwira, ia pun
menjadi berpikir tentang Mahesa Jenar. Sebab orang yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memiliki kehebatan yang sampai ke tingkat itu, pastilah
bukan orang sembarangan. Sementara itu, pertempuran itu berlangsung terus.
Tetapi dalam beberapa saat kemudian tampaklah bahwa
Mahesa Jenar berhasil menguasai lawannya, sebaliknya
orang yang telah bertempur itupun, setelah lawannya
berkurang seorang, dapat pula sedikit demi sedikit
mendesak musuhnya. Dengan demikian pertempuran itu
ternyata sudah tidak seimbang lagi.
Dalam kemarahannya, suami-istri Sima Rodra itu
bertempur semakin buas, liar dan kasar. Sedang lawannya,
tampaknya tetap tenang dan yakin.
Sesaat kemudian terdengar suara yang aneh keluar dari
mulut Sima Rodra. Suara jeritan yang mirip dengan aba-
aba. Apalagi setelah itu, tampak pula gerak-gerak mereka
yang mencurigakan. Meskipun mereka bertempur terus,
tampak bahwa mereka sedang berusaha untuk mendekati
lobang goa. Mahesa Jenar maupun lawan yang seorang
lagi, dapat segera menangkap maksud itu, karena itu
mereka menjadi lebih waspada.
Dan apa yang dicurigakan itu memang ternyata benar.
Untunglah bahwa kawan bertempur Mahesa Jenar memiliki
kecepatan bergerak yang luar biasa. Sehingga ketika pada
suatu saat, dengan sekali gerakan suami-istri Sima Rodra
itu meloncat akan memasuki goanya, secepat itu pula
kawan bertempur Mahesa Jenar itu telah meloncat
menghalang-halangi. Kembali Sima Rodra mengaum hebat karena marahnya.
Bersamaan dengan itu geraknya menjadi semakin liar.
Tetapi keadaan itu tetap tidak menolong dirinya, sehingga
mereka tetap terdesak terus. Dalam keadaan yang demikian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sekali lagi terdengar suara aneh dari harimau liar itu. Tetapi
kali ini ternyata mereka lebih berhati-hati. Demikian
teriakan itu berhenti demikian mereka meloncat cepat
seperti didera halilintar ke balik sebuah batu besar di
samping goanya. Segera Mahesa Jenar dan kawan
bertempurnya itu memburu. Tetapi terlambat. Sesaat
kemudian terdengar deru yang hebat dibalik batu itu, dan
berguguranlah tanah di sekitarnya menyeret batu besar itu
seolah-olah terhisap kedalam sebuah lobang besar di bawah
tanah. Agar tidak turut terseret ke dalamnya, maka Mahesa
Jenar bersama dengan lawan Sima Rodra itu serentak
meloncat mundur. Selanjutnya untuk beberapa lama
mereka hanya merenungi onggokan tanah bekas guguran
itu. "Sebuah pintu rahasia," desis orang itu.
Memang sejak semula Mahesa Jenar juga menduganya
demikian, apabila yang berkepentingan sudah ada di
dalamnya, dengan sedikit sentuhan pada alat yang
diperlukan, gugurlah tanah di atas pintu itu, dan menutup
lubangnya sehingga mereka tidak akan dapat dikejar, untuk
selanjutnya keluar dari pintu rahasia yang lain.
Sebentar kemudian kembali orang itu berkata, "Terimakasih atas pertolongan Tuan."
"Aku hanya membantu mempercepat penyelesaian saja,
sebab tanpa aku pun tampaknya Ki Sanak pasti dapat
menyelesaikan seorang diri," jawab Mahesa jenar.
Orang itu tertawa lirih, katanya melanjutkan, "Tuan
terlalu menyanjung aku. Tetapi sebenarnya bahwa
kedatangan tuan menyelamatkan nyawaku. Hanya sayanglah bahwa aku terpaksa tidak dapat terlalu lama
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menemui Tuan, sebab ada satu pekerjaan yang harus aku
selesaikan. " Jantung Mahesa Jenar berdesir lembut. Apakah gerangan
yang akan dilakukannya" Karena itu ia mencoba bertanya,
"Apakah yang memaksa Ki Sanak begitu tergesa-gesa?"
"Suatu pekerjaan yang tak berarti." jawabnya, "Aku
hanya ingin memeriksa keadaan di dalam goa"
Mahesa Jenar mulai melihat adanya sesuatu rahasia pada
orang itu. Karenanya ia tidak bertanya tentang siapakah dia
dan dari manakah datangnya, sebab pertanyaan yang
demikian tentu tidak akan mendapat jawaban. Maka
kemudian ia hanya berkata, "Bolehkah aku turut serta
masuk kedalam goa?" Orang itu tampak ragu-ragu sejenak, baru ia menjawab
dengan mengajukan sebuah pertanyaan, "Tuan, apakah
sebenarnya yang akan Tuan lakukan di atas bukit kecil ini?"
Mendengar pertanyaan orang itu, Mahesa Jenar menjadi
agak bingung. Tetapi pasti bahwa ia tidak akan
menyebutkan keperluan yang sebenarnya. Maka dijawabnya
dengan sekenanya saja, "Aku datang untuk menuntut balas
atas kematian kakakku di Pangrantunan."
"Pangrantunan?" sahut orang itu.
"Ya," jawab Mahesa Jenar.
Tampaklah orang itu berpikir sejenak. Lalu katanya
kemudian, "Tuan... orang Pangrantunan?"
"Ya," jawab Mahesa Jenar pendek.
Sayanglah bahwa Mahesa Jenar tak dapat melihat sorot
mata orang itu di dalam gelap. Kalau saja ia mengetahui,
dapatlah ia mengerti bahwa orang itu curiga kepadanya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka, sejenak kemudian, "Apakah yang Tuan lakukan
seterusnya" Tuan pasti tidak akan dapat menemukan
Suami-Istri itu untuk beberapa lama."
"Tak apalah." jawab Mahesa Jenar, "Tetapi aku hanya
ingin melihat-lihat saja."
"Mudah-mudahan apa yang Tuan katakan benar.
Silahkan Tuan melihat. Seterusnya aku berjanji untuk
membalas budi Tuan membinasakan suami-istri Sima Rodra
pada kesempatan lain. Semoga Tuan benar-benar tidak
mempunyai kepentingan lain kecuali itu." gumam orang itu.
Maka, kemudian orang itu pergi bersama Mahesa Jenar,
memasuki goa Sima Rodra dengan hati-hati. Mungkin
terdapat berbagai rahasia di dalamnya. Goa itu sebenarnya
tidaklah begitu dalam. Tetapi di dalamnya terdapat
beberapa ruang yang dindingnya dilapisi papan, tak
ubahnya seperti ruang-ruang rumah biasa. Ruang itu
diterangi dengan oncor-oncor. Dua ruang sudah mereka
masuki, tetapi mereka tak menemukan sesuatu. Maka
sampailah mereka pada ruang yang ketiga, yang tidak
seperti ruang-ruang lain. Ruang ini mempergunakan pintu
yang ditutup rapat. Ternyata pintu ini tidak hanya ditutup
rapat, tetapi juga dikancing dengan kancing yang tak dapat
diketahui oleh orang lain. Ketika sudah beberapa lama
mereka tak berhasil membukanya, mereka menjadi tidak
sabar lagi. Mereka berdua sepakat untuk membuka pintu itu
dengan paksa. Dengan demikian, mereka mempergunakan
kaki mereka untuk bersama-sama menjebol pintu kayu yang
terkancing itu. Dengan satu tendangan yang hampir
bersamaan mereka dapat memecahkan pintu itu, yang
dengan suara gemeretak pecah berserakan. Tetapi
meskipun pintu itu sudah menganga lebar, mereka tidak
tergesa-gesa masuk. Sebab bukanlah mustahil bahwa ada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
apa-apa di dalamnya. Setelah beberapa saat tak ditemukan
apapun, maka dengan langkah yang sangat hati-hati
mereka melangkah masuk. Tetapi demikian mereka melangkahkan kakinya melewati
tlundak pintu, demikian serentak bulu roma mereka berdiri.
Di sudut ruangan itu mereka melihat sebuah nampan di
atas sebuah meja yang dialasi dengan kain beludru buatan
Tiongkok yang berwarna kuning keemasan. Dan yang
mengejutkan mereka adalah cahaya yang biru kekuning-
kuningan, yang memancar dari dua keris yang diletakkan di
atas kain beludru itu. Karena itu, untuk sesaat mereka
tegak berdiri seperti patung.
Mahesa Jenar, sebagai seorang perwira istana, sudah
pasti bahwa apa yang dilihatnya itu sangat mengharukan
hatinya. Ia yakin sekarang bahwa Nagasasra dan Sabuk
Inten itu adalah keris-keris yang asli. Mahesa jenar memang
pernah melihat keris itu beberapa kali, dahulu sebelum
lenyap dari Istana Demak. Memang tidak semua prajurit
bahkan perwira yang beruntung dapat menyaksikan keris
itu. Karena Mahesa Jenar saat itu menjadi pengawal raja
dan istana, maka ia diberi kesempatan untuk menyaksikan
pada saat keris itu dimandikan pada hari pertama setiap
tahun. Karena itu ia hampir tidak dapat lagi mengendalikan diri.
Hampir saja ia meloncat mendekati keris-keris itu kalau saja
orang yang berdiri di sampingnya itu tidak menggamitnya
sambil berkata, "Apakah Tuan berkepentingan dengan
keris-keris itu?" Mahesa Jenar kini tak dapat mengelak lagi. Kedua keris
yang dicarinya sudah ada di hadapannya. Maka apapun
yang terjadi haruslah dihadapinya. Maka jawabnya tegas,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Benar Ki Sanak, aku datang untuk kedua keris ini. Aku
harap Tuan mempunyai kepentingan yang tidak sama
dengan kepentinganku"
"Hem....!" orang itu menggeram. "Aku sudah menduga.
Tetapi sayang bahwa kepentingan kita sama."
Mendengar kata-kata orang itu seharusnya Mahesa Jenar
tidak lagi terkejut, namun demikian darahnya bergelora
hebat. Dengan menahan diri ia berkata, "Ki Sanak,
maafkanlah, aku tidak dapat melepaskannya lagi"
Orang itu merenung sejenak. Dalam keremangan cahaya
oncor-oncor, Mahesa Jenar melihat betapa gelisah
perasaannya, sehingga akhirnya keluarlah kata dari
mulutnya, "Tuan, aku telah berhutang budi kepada Tuan.
Tetapi aku akan tetap pada pendirianku untuk mendapatkan benda-benda keramat dari Istana Demak itu."
Mahesa Jenar tidak tahu siapakah orang itu sebagaimana
orang itu tidak mengenal Mahesa Jenar. Karena itu mereka
saling berketetapan hati untuk dapat menguasai kedua
pusaka itu. Bagaimanapun Mahesa Jenar menyabarkan diri,
namun akhirnya terloncat pula kata-katanya yang tajam, "Ki
Sanak, seharusnya tadi aku membiarkan Tuan bertempur
seorang diri dan sekaligus dibinasakan oleh suami-istri Sima
Rodra itu." "Kalau demikian..." jawab orang itu, yang meskipun
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nampaknya masih setenang semula, tetapi isi kata-katanya
tidak kalah runcingnya, "Tuan akan berbuat kesalahan.
Bukankah lebih mudah untuk melawan aku seorang
menurut pertimbangan Tuan daripada melawan mereka
berdua?" Sekali lagi darah Mahesa Jenar menggelegak. Ternyata
orang itu dapat dengan cepat menebak perhitungannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka jawabnya tanpa tedeng aling-aling, "Ki Sanak benar,
memang demikianlah apa yang akan aku lakukan"
"Baik Tuan," sahut orang itu, "Tetapi sebaiknya Tuan
mempertimbangkan sekali lagi."
"Tidak ada pertimbangan lain," jawab Mahesa Jenar. Ia
sudah pasti sekarang, bahwa ia harus bertempur melawan
orang itu. Sebenarnya ia masih bimbang terhadap bakal lawannya.
Menilik sikap serta kata-katanya, agak aneh kalau ia
termasuk golongan hitam yang lain, yang menginginkan
pusaka-pusaka itu. Sebentar kemudian Mahesa Jenar
teringat pula keramahan Jaka Soka pada waktu ia akan
menyertai rombongan orang-orang yang akan melintas
hutan Tambakbaya, juga suami-istri Sima Rodra itu sendiri,
yang dengan ramah minta menginap di Kademangan
Prambanan. Karena itu ia tidak akan menilai orang itu dari
sikap serta kata-katanya.
Sementara itu orang itu menjawab, "Kalau demikian,
marilah kita tentukan bersama, siapakah yang berhak untuk
menguasai kedua keris itu."
Mahesa Jenar sudah yakin bahwa memang demikianlah
yang akan terjadi. Tetapi meskipun demikian ketika
mendengar kata-kata itu keluar dari mulut orang itu, mau
tak mau ia terpaksa menaruh hormat kepadanya. Maka
jawabnya, "Kata-kata Tuan adalah kata-kata jantan. Mudah-
mudahan aku dapat mengimbangi kejantanan Tuan."
----------odwOkzo----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 5 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I YANG mengherankan, tetapi juga agak menjengkelkan
Mahesa Jenar, orang itu masih saja tertawa lirih. Katanya,
"Marilah kita keluar, supaya kita tidak harus berdesak
desakan dengan dinding-dinding ruang ini." Mahesa Jenar
tidak menjawab. Ia langsung melangkah keluar diikuti oleh
orang itu. Sambil berjalan Mahesa Jenar menimbang-
nimbang tentang lawannya. Pastilah orang ini berilmu tinggi
dan pasti orang itu pula yang telah menyebarkan sirep
sedemikian tajamnya. Maka ketika mereka sudah sampai di luar goa, segera
mereka saling berhadapan dengan taruhan yang besar.
Juga masing-masing menyadari bahwa mereka akan
berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh. Karena itu
tidak ada pilihan lain kecuali bekerja mati-matian untuk
memperebutkan kedua pusaka itu. Apalagi Mahesa Jenar
yang langsung atau tidak langsung ikut serta bertanggung
jawab akan keselamatan pusaka itu. Maka taruhannya
untuk mendapatkan kedua keris itu adalah nyawanya.
Sejenak kemudian setelah mereka bersiap, terdengarlah
orang itu berkata, "Marilah Tuan, permainan kita mulai."
"Silahkan," jawab Mahesa Jenar pendek.
Dan segera terjadilah suatu pertarungan yang dahsyat.
Meskipun mula-mula mereka tampaknya agak segan-segan,
tetapi ketika mereka merasakan benturan-benturan serta
tekanan-tekanan dari masing-masing pihak, akhirnya
mereka tidak lagi mengendalikan diri.
Lawan Mahesa Jenar itu ternyata memang orang perkasa
luar biasa. Gerakan-gerakannya serba cepat dan mempunyai tenaga yang hebat, sehingga menimbulkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
desiran-desiran angin yang menyambar-nyambar mengiringi
setiap gerak dari tubuhnya. Sedang Mahesa Jenar adalah
seorang yang mempunyai pengalaman yang cukup baik,
sehingga setiap gerakan tangan serta kakinya selalu
mempunyai arti serta membahayakan. Tubuhnya yang tidak
sebesar lawannya itu, bergerak-gerak seperti bayangan
yang dengan lincahanya menari-nari mengitari lawannya
dengan belaian maut. Lawannya yang bertubuh tegap itu lebih mempercayakan
diri pada kekuatannya, sehingga beberapa kali ia dengan
beraninya menyerang dengan mempergunakan kedua
tangannya, bahkan dengan serangan-serangan berganda,
sehingga suatu ketika Mahesa Jenar tidak sempat lagi
mengelakkan diri. Pukulan orang itu, ditambah sekaligus
dengan berat tubuhnya yang besar, mengenai pelipis
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar demikian kerasnya, sehingga Mahesa Jenar
terdorong beberapa langkah ke belakang. Tetapi rupanya ia
tidak saja berhenti sampai sekian. Sebelum Mahesa Jenar
dapat memperbaiki keadaannya, kembali ia berhasil
mengenai lambung Mahesa Jenar dengan kakinya. Kembali
Mahesa Jenar terhuyung-huyung surut beberapa langkah.
Untunglah bahwa ia mempunyai ilmu yang tinggi sehingga
meskipun dengan agak kesulitan, dalam sekejap ia telah
berhasil tegak diatas kedua kakinya yang kokoh kuat
bagaikan tonggak baja. Karena beberapa pukulan yang dapat mengenainya itu,
Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Wajahnya
tampak menyala, serta matanya menyorotkan sinar-sinar
yang memancarkan pergolakan darahnya. Sekali ia
melompat ke depan, dan dengan sebuah gerak tipuan yang
bagus ia berhasil menarik perhatian lawannya pada tangan-
tangannya yang menyerang ke arah kepala. Kemudian
dengan kecepatan yang hampir tidak tampak, ia
mengangkat kaki kanannya dan langsung menghantam
dada lawannya. Demikian keras serangan itu, sehingga
lawannya terpental beberapa langkah. Tetapi demikian ia
tegak, demikian ia telah bersiap untuk menghadapi segala
kemungkinan. Bahkan sesaat kemudian ia telah melangkah
maju, dan dengan kuatnya ia menghantam ke arah dada
Mahesa Jenar. Dengan satu langkah, Mahesa Jenar
bergerak ke samping, dan demikian pukulan itu tidak
mengenai sasarannya demikian Mahesa Jenar membalas
dengan sebuah pukulan pada wajah orang itu. Kali ini
Mahesa Jenar sekali lagi tak berhasil mengenainya,
sehingga orang itu terdorong mundur. Mahesa Jenar tidak
mau memberi kesempatan lagi, sekali lagi ia menyodok
perut lawannya, sehingga orang itu menggeliat kesakitan
dan meloncat beberapa langkah ke samping. Tetapi Mahesa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jenar tidak mau kehilangan kesempatan yang baik itu. Ia
pun sekali lagi meloncat dan dengan bergelombang ia
menyerang bertubi-tubi sehingga orang itu terdesak
mundur dan mundur. Tetapi rupanya keadaannya tidaklah tetap demikian.
Tiba-tiba orang itu menggeliat ke samping, dan dengan
suatu putaran yang cepat ia berhasil membingungkan
Mahesa Jenar, yang ingin memotong putaran itu. Cepat ia
mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke
samping lawannya, dan dengan suatu gerakan yang
tangkas ia merendahkan diri. Setengah lingkaran ia
memutar tubuhnya untuk langsung menyerang Mahesa
Jenar. Mahesa Jenar terkejut melihat gerakan-gerakan yang
berubah-ubah itu, sehingga ketika sebuah pukulan
melayang ke wajahnya, ia tidak sempat mengelakkan diri.
Demikian kerasnya pukulan itu sehingga Mahesa Jenar
terdorong beberapa langkah. Pukulan itu terasa sakitnya
bukan main. Sebagai seorang perwira, tubuh Mahesa Jenar
cukup mempunyai daya tahan yang kuat. Tetapi dikenai
oleh pukulan ini wajahnya menjadi panas dan sejenak
pandangan matanya agak kabur. Ketika ia mengusap wajah
itu dengan tangannya, terasa sesuatu yang cair dan hangat
meleleh dari hidungnya. Darah.
Mengalami kenyataan itu, marahnya semakin memuncak.
Ia benar-benar harus berkelahi dengan mengerahkan
segenap kemampuannya. Maka ketika orang itu menyerangnya kembali, Mahesa Jenar segera merendahkan
diri. Dengan pangkal telapak tangannya ia berhasil
menghantam dagu lawannya. Terdengarlah suara gemeratak gigi beradu. Demikian kerasnya serta dibarengi
kemarahan, maka pukulan Mahesa Jenar seperti berlipat-
lipat dahsyatnya, sehingga muka orang itu terangkat tinggi-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tinggi. Mahesa Jenar tidak mengabaikan kesempatan
berikutnya. Selagi muka orang itu masih terangkat, ia
meloncat maju menumbukkan dirinya sambil menghantam
perut orang itu dengan lututnya. Terdengarlah orang it
mengaduh tertahan dan terlontar surut. Mahesa Jenar
langsung memburu dan menghantamnya bertubi-tubi.
Orang itu terdorong terus hingga suatu ketika ia tidak dapat
mundur lagi karena punggungnya sudah melekat dengan
dinding padas. Mahesa Jenar melihat kesempatan itu. Ia
tidak mau melepaskan lawannya kali ini. Maka dengan
kekuatan penuh ia meloncat maju dan menghantamkan
muka orang itu dengan kedua tangannya sekaligus. Tetapi
orang itu ternyata tidak menyerah demikian saja. Tiba-tiba,
ketika Mahesa Jenar meloncat, orang itu pun menyerang
dengan kakinya ke arah perut Mahesa Jenar. Serangan
yang sama sekali tak diduga oleh Mahesa Jenar. Karenanya,
serangan itu bulat-bulat telah melemparkannya dan ia jatuh
terguling beberapa kali. Mahesa Jenar telah mengalami pertempuran dengan
lawan yang beraneka macam. Pada saat ia bertempur
dengan Lawa Ijo, seorang tokoh hitam yang perkasa, ia pun
mengerahkan segenap tenaganya. Tetapi bagaimanapun ia
tidak merasakan adanya tekanan-tekanan yang sedemikian
hebatnya seperti saat ini. Tidak saja ia tidak berhasil
menekan lawannya, tetapi benar-benar ia merasakan
bahwa tubuhnya menjadi sakit-sakit dan nyeri.
Mengingat bahwa yang dipertaruhkan adalah pusaka-
pusaka istana, serta kesadarannya akan pertanggung
jawabannya sebagai seorang yang merasa turut serta
membina kesejahteraan rakyat, maka ia merasakan
kengerian yang sangat apabila pusaka-pusaka itu sampai
jatuh ke golongan hitam yang manapun. Karena itu tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ada jalan lain bagi Mahesa Jenar kecuali membinasakan
orang itu. Pada saat ia tidak dapat menguasai lawannya,
maka cara satu-satunya adalah mempergunakan ilmunya
Sasra Birawa. Maka ketika tidak ada pilihan lain, segera ia
meloncat bangkit dan segera ia memusatkan segala
kekuatan batinnya serta mengatur pernafasannya, memusatkan segala kekuatan lahir-batin pada telapak
tangan kanannya. Demikianlah ia berdiri di atas satu
kakinya, sedang kakinya yang lain ditekuk ke depan.
Tangan kirinya disilangkannya di muka dadanya, sedang
tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Kemudian demikian
cepat bagai sambaran kilat ia meloncat maju dan dengan
dahsyat ia mengayunkan tangan kanannya ke arah kepala
lawannya. Melihat sikap itu, lawan Mahesa Jenar terkejut bukan
buatan. Segera ia meloncat mundur sambil berteriak,
Tahan... Tuan, tahankan dulu.
Tetapi Mahesa Jenar sudah terlanjur bergerak. Kalau ia
menahan serangannya maka kekuatan yang sudah tersalur
itu pasti akan memukul dirinya sendiri lewat bagian dalam
tubuhnya. Karena itu tidak ada cara lain kecuali
melanjutkan serangannya untuk membinasakan lawannya.
Melihat Mahesa Jenar tidak mengubah serangannya,
tiba-tiba orang itu pun segera bersiap, tidak menghindarkan
diri, karena tidak ada kesempatan lagi, melainkan ia berdiri
di atas kedua kakinya yang melangkah setengah langkah ke
depan, lutut kaki kanannya ditekuk sedikit. Mula-mula ia
merentangkan kedua tangannya, tapi ketika pukulan
Mahesa Jenar sudah melayang, segera ia menyilangkan
kedua tangannya di muka wajahnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat sikap itu, jantung Mahesa Jenar seperti berhenti
berdenyut karena terkejut. Tetapi segala sesuatu sudah
terlambat. Sebab tangan Mahesa Jenar sudah tinggal
berjarak beberapa cengkang saja dari orang itu.
Dengan satu gerakan pendek, kedua tangan yang
disilangkan di muka wajahnya, orang itu menahan
hantaman tangan Mahesa Jenar. Dan sesaat kemudian
terjadilah suatu benturan yang maha dahsyat seperti
berbenturnya halilintar. Akibatnya dahsyat pula. Orang itu
terlempar jauh ke belakang dan bulat-bulat terbanting di
tanah tanpa dapat berbuat sesuatu. Matanya menjadi gelap
dan nafasnya tersekat di kerongkongan. Sebentar kemudian
ia tak dapat merasakan sesuatu. Pingsan.
Sedangkan Mahesa Jenar sendiri, yang menghantamkan
ilmunya Sasra Birawa, merasakan bahwa tangannya seolah-
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
olah tertahan oleh selapis baja yang tebalnya lebih dari
sedepa. Karena itu kekuatan yang dilontarkan itu seolah-
olah membalik dan memukul bagian dalam tubuhnya,
ditambah dengan desakan dari orang yang dipukulnya itu.
Karena itu Mahesa Jenar juga terlempar, tidak hanya seperti
sebuah balok yang melayang, tetapi seperti kayu yang oleh
kekuatan raksasa dihantamkan ke punggung padas yang
ada di belakangnya. Demikian dahsyatnya Mahesa Jenar
terbanting sehingga pada saat itu juga, pada saat ia
terhempas, ia sudah tak dapat lagi merasakan apa-apa
kecuali kepekatan yang dahsyat menerkam dirinya. Dan ia
pun pingsan pula. Demikianlah keadaan segera menjadi senyap. Hanya
desir angin di rerumputan serta semak-semak yang
kedengaran gemeresik lembut. Di kejauhan terdengar suara
binatang malam, serta gonggong anjing yang berebutan
mangsa. Di mulut goa Sima Rodra itu menggeletak sebelah-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyebelah dua sosok tubuh yang sama sekali tak
sadarkan diri. Baru beberapa saat kemudian, oleh kesegaran angin
yang mengusap wajahnya, orang itu, yang telah bertempur
mati-matian melawan Mahesa Jenar, yang ternyata
mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa, sehingga
dialah yang pertama-tama dapat menarik nafas dan
perlahan-lahan menggerakkan tubuhnya. Tetapi demikian ia
berusaha bergerak terdengarlah ia mengeluh perlahan.
Ternyata tubuhnya terasa nyeri dan sakit seluruhnya. Maka,
untuk beberapa saat orang itu terpaksa berdiam diri,
mengatur jalan pernafasannya serta berusaha untuk
menguasai kembali pikirannya.
Angin masih berhembus perlahan-lahan. Dan ini telah
menolong menyegarkan tubuh orang itu, sehingga
beberapa saat kemudian ia berhasil dengan susah payah
mengangkat tubuhnya dan duduk bersandar pada kedua
tangannya. Berkali-kali ia menarik nafas panjang. Keringat
dingin masih saja mengalir membasahi seluruh pakaiannya.
Baru setelah tubuhnya terasa bertambah segar ia perlahan-
lahan bangkit berdiri. Ketika ia memandang ke daerah sekelilingnya, tiba-tiba
matanya tertumbuk pada tubuh yang masih terbaring tak
bergerak, beberapa langkah dari mulut goa. Sekali lagi ia
menarik nafas. Ia tahu benar bahwa pukulan lawannya itu
adalah pukulan yang tak ada taranya dahsyatnya.
Perlahan-lahan dan tertatih-tatih ia berjalan selangkah
demi selangkah mendekati Mahesa Jenar yang masih belum
sadar. Dengan mata yang bercahaya orang itu memandangi
tubuh Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung
kepalanya. Memandangi tubuh yang meskipun tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
setinggi dia, tetapi tampak kokoh kuat bagai seekor
banteng. Ketika orang itu melangkah selangkah lagi mendekati
Mahesa Jenar, terasa bahwa tubuhnya semakin terasa sakit.
Karena itu ia berhenti dan duduk di atas padas beberapa
langkah dari tubuh Mahesa Jenar yang masih terbujur tak
bergerak. Ia terpaksa menahan diri, tidak segera mendekatinya
sampai tubuhnya sendiri agak terasa kuat. Karena itu
dibiarkannya Mahesa Jenar terbaring tak bergerak beberapa
langkah di hadapannya. Ketika sekali lagi angin malam membelai tubuh-tubuh
yang sedang kesakitan itu, tampak bahwa Mahesa Jenar
mulai bergerak-gerak. Dan sesaat kemudian ia sudah dapat
membuka matanya, meskipun masih samar-samar. Apalagi
di dalam kegelapan malam. Yang pertama-tama dilihatnya
adalah bintang-bintang yang bertaburan di langit, dan
sesudah itu matanya tertumbuk pada tubuh tinggi tegap
berdada lebar, duduk di atas padas di hadapannya, yang
dengan tajam memandanginya seperti sebuah bayangan
hantu hitam yang akan menerkamnya. Tetapi pada sat itu
ia sama sekali tak dapat berbuat sesuatu. Seluruh tubuhnya
terasa sakit dan nyeri. Sambungan-sambungan tulangnya
terasa seperti lepas dan tak dapat dikuasainya. Karena itu
kalau terjadi sesuatu ia sama sekali tak akan dapat
membela diri. Maka sekali lagi Mahesa Jenar memejamkan matanya
untuk mengumpulkan ingatannya. Dan perlahan-lahan
ketika tubuhnya terasa semakin segar karena angin malam
yang lembut, ingatannya pun sedikit demi sedikit menjadi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
cerah kembali meskipun kepalanya masih saja pening dan
seperti berputar-putar. Apa yang baru saja dialami menjadi semakin jelas dalam
kepalanya. Bagaimana ia mempergunakan ilmu kepercayaannya Sasra Birawa dan bagaimana orang yang
dihantamnya itu merentangkan tangannya dan selanjutnya
disilangkan di muka wajahnya. Dan sekarang, orang yang
dikenai ilmunya itu ternyata masih saja hidup dan duduk di
dekatnya. Mengingat hal itu, Mahesa Jenar tiba-tiba merasa
gembira sekali. Dan kegembiraannya itu telah sangat
mempengaruhi keadaannya, sehingga tiba-tiba ia dapat
duduk, meskipun dengan susah payah untuk menegakkan
tubuhnya yang duduk lemah seperti tak bertulang.
Meskipun demikian, wajah Mahesa Jenar tampak cerah dan
matanya menyorotkan cahaya segar.
Demikian pula orang yang duduk di atas padas itu. Ketika
ia menyaksikan Mahesa Jenar telah dapat duduk, ia pun
menjadi gembira. Senyum yang tulus telah menggerakkan
bibirnya. Perlahan-lahan dengan suara parau ia menyapa,
"Tidakkah tuan mengalami sesuatu?"
Mahesa Jenar tersenyum pula, meskipun agak kecut.
Jawabnya, "Bagaimana aku mengatakan bahwa aku tidak
mengalami sesuatu kalau bangun saja rasanya seperti tidak
mungkin.". Orang itu menundukkan kepalanya seperti menyesali
dirinya, katanya kemudian, "Maafkan aku."
Mendengar kata-kata itu segera Mahesa Jenar menyahut,
"Jangan Tuan menyalahkan diri sendiri. Akulah yang
seharusnya minta maaf kepada Tuan, sebab akulah yang
pertama-tama mulai. Berbahagialah aku bahwa Tuan
ternyata sehat walafiat karena kesaktian Tuan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Terdengar orang itu tertawa lirih. "Tuan salah duga. Aku
pun mengalami keadaan seperti Tuan. Sampai sekarang aku
masih belum berhasil untuk mencapai jarak ke dekat Tuan
terbaring, karena seluruh sendi tulang-tulangku sakit bukan
kepalang, karena di dalam tangan Tuan tersimpan aji Sasra
Birawa." Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sahutnya,
"Sekali lagi, maafkan aku."
"Tak apalah..." jawab orang itu, "malahan aku
merasakan suatu keuntungan, mendapat kehormatan
mencicipi ilmu Tuan yang maha dahsyat itu. Dan dengan
demikian aku mengenal Tuan, yang pasti salah seorang
murid dari Paman Pengging Sepuh."
Mahesa Jenar mengangguk perlahan, katanya, "Benar
Tuan, aku tinggal satu-satunya murid yang masih harus
menjunjung tinggi nama kebesaran Ki Ageng Pengging
Sepuh Almarhum. Untung jugalah bahwa aku tidak binasa
kali ini. Kalau hal itu terjadi, berakhirlah nama perguruan
Pengging. Bukankah Tuan telah mempergunakan aji Lebur
Sekethi?" "Terpaksa." gumam orang itu seperti kepada diri sendiri,
"hanya sekadar supaya aku tidak lumat."
"Benar Tuan...," potong Mahesa Jenar, "Tuan sama
sekali benar. Akulah yang terlalu lancang. Tetapi siapakah
sebenarnya Tuan" Bukankah Lebur Sakethi itu menurut
guruku Almarhum dan yang kukenal adalah milik Ki Ageng
Dipayana?" "Tuan menebak dengan tepat." jawab orang itu, "Karena
itu ketika Tuan mengatakan bahwa Tuan adalah orang
Pangrantunan, segera aku menjadi curiga. Sebab SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pangrantunan adalah daerah masa kanak-kanakku. Aku
adalah anak Ki Ageng Sora Dipayana."
"Apakah Tuan yang disebut Ki Ageng Gajah Sora?" tanya
Mahesa Jenar. "Benar Tuan, jawab orang itu, "Akulah yang bernama
Gajah Sora." Mendengar jawaban itu, Mahesa Jenar jadi merenung.
Untunglah bahwa tak terjadi sesuatu dalam pertempuran
tadi. Kalau saja ada salah langkah, maka akibatnya akan
mengerikan. Salah satu diantaranya pasti binasa. Sebab
ajian seperti Sasra Birawa dan Lebur Sakethi mempunyai
daya yang dahsyatnya luar biasa. Tidak hanya sebagai ajian
yang tidak saja dipergunakan menyerang, tetapi juga
bertahan. Sejenak kemudian terdengarlah Ki Ageng Gajah
Sora bertanya kepadanya, "Tetapi sampai sekarang Tuan
belum menyebut nama Tuan."
Mahesa Jenar seperti tersadar dari renungannya, maka
jawabnya, "Namaku adalah Mahesa Jenar."
"Mahesa Jenar?" ulang Gajah Sora. "Aku belum pernah
mendengar nama ini dari ayahku yang sering menyebut-
nyebut nama sahabat-sahabatnya serta murid-muridnya.
Bukankah seorang murid Ki Ageng Pengging itu
terbunuh...?" "Ya," jawab Mahesa Jenar, "Bahkan tidak saja ia
muridnya, tetapi juga putranya."
Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
"Ki Kebo Kenanga.... Bukankah begitu?"
"Ya," jawab Mahesa Jenar pendek.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kakaknya, Ki Kebo Kanigara, kabarnya lenyap tak
meninggalkan bekas," sambung Gajah Sora . "Dan Tuan"
Adakah Tuan mempunyai sebutan yang lain?"
"Semua yang Tuan katakan adalah benar. Akulah yang
sedikit sekali mengenal sahabat-sahabat guruku. Mungkin
ini disebabkan Guru sudah lama melenyapkan diri, dan
akhirnya diketahui bahwa beliau telah wafat, sehingga tidak
banyak yang dapat diceritakan kepadaku. Adapun
mengenai aku sendiri, memang benarlah kata Tuan, sebab
sejak aku menjadi prajurit, aku selalu dipanggil dengan
nama Tohjaya." "Tohjaya..., ya Tohjaya," ulang Gajah Sora, "Kalau nama
ini memang pernah aku dengar. Tidak saja dari ayahku,
tetapi hampir setiap orang menyebutnya sebagai pengawal
raja. Tetapi kenapa Tuan sampai di sini?"
Akhirnya dengan singkat Mahesa Jenar bercerita tentang
segala-galanya yang pernah dialami. Juga tentang
pertemuannya dengan Ki Ageng Sora Dipayana di
Pangrantunan dan pertemuannya dengan Ki Ageng Lembu
Sora. "Memang, anak itu agak bengal," sahut Gajah Sora
kemudian. "Biarlah lain kali aku mengurusnya. Juga tentang
sepasang Uling, yang sampai sekarang masih aku biarkan
saja sambil menunggu orang-orang golongan hitam itu
berkumpul. Tetapi yang penting sekarang, apakah yang kita
lakukan?" Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepala sambil
memandangi mulut goa yang masih saja ternganga seperti
mulut seekor naga raksasa yang siap menelannya.
Beberapa saat ia agak kebingungan. Tetapi akhirnya ia
berkata, "Kalau saja tadi aku tahu bahwa Tuan adalah Ki
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ageng Gajah Sora, maka aku kira aku tidak akan
mengganggu Tuan. Nah Tuan, sekarang terserah kepada
Tuan akan kedua keris itu."
"Tidak," jawab Gajah Sora, "Tuan lebih berhak untuk
mengambilnya serta menyerahkan kembali ke Istana
Demak." "Aku adalah seorang perantau," sahut Mahesa Jenar,
"Aku kira lebih aman kalau Tuan yang menyimpannya
sampai datang waktunya untuk diserahkan kepada yang
berhak nanti." Tampaklah sejenak Gajah Sora merenung menimbang-
nimbang. Akhirnya ia berkata, Baiklah, sekarang kedua
pusaka itu kita ambil dan kita bawa pulang. Bukankah Tuan
sudi singgah ke Banyu Biru sehari dua hari..." Atau sampai
pada saat pertemuan kalangan hitam. Di sana dengan
aman segala sesuatu dapat kita bicarakan.
Tentu saja Mahesa Jenar tidak dapat menolak ajakan itu.
Karena itu ia pun segera mengiakan.
Maka setelah itu, setelah mereka merasa bahwa tubuh
mereka telah dapat dibawa berjalan, masuklah mereka
dengan sangat hati-hati ke dalam goa itu dan langsung
menuju ke ruang dimana kedua pusaka Kiai Nagasasra dan
Kiai Sabuk Inten disimpan. Setelah menyembah beberapa
kali, maka diambillah kedua pusaka itu dan dibawa keluar
seorang satu, dengan tujuan untuk membawanya ke Banyu
Biru, ke rumah Ki A geng Gajah Sora yang untuk selanjutnya
akan dibicarakan penyerahannya kepada yang berhak di
Istana Demak. Tetapi belum lagi mereka sempat meninggalkan daerah
bukit Tidar, tiba-tiba mereka mendengar derap langkah
kuda yang cukup banyak mendaki Gunung Tidar dari arah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
utara. Kedatangan mereka ini sudah pasti sangat
mengejutkan Mahesa Jenar maupun Ki Ageng Gajah Sora.
"Siapakah mereka?" tanya Mahesa Jenar.
"Entahlah," jawab Ki Ageng Gajah Sora sambil
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggelengkan kepalanya. Derap kuda itu semakin lama
semakin dekat, dan tampaknya mereka langsung menuju ke
arah goa. "Mereka menuju kemari," desis Gajah Sora.
"Ya, mereka menuju kemari," ulang Mahesa Jenar.
"Lalu bagaimanakah sebaiknya sikap kita?" Gajah Sora
ingin mendapat pertimbangan.
Dengan keadaan tubuh mereka yang hampir remuk itu,
sudah pasti bahwa mereka tak akan cepat berbuat apa-apa
seandainya yang datang itu akan membahayakan. Karena
itu yang sebaik-baiknya bagi mereka adalah menghindari
orang-orang berkuda itu. "Dengan keadaan kita seperti ini, sebaiknyalah kalau kita
menghindari mereka," kata Mahesa Jenar.
"Baiklah. Marilah kita bersembunyi," jawab Gajah Sora.
Sementara itu, kuda-kuda itu semakin dekat. Segera
Gajah Sora dan Mahesa Jenar mencari tempat untuk
berlindung, di bawah semak yang rimbun.
Belum lagi mereka selesai menempatkan diri, muncullah
dari balik-balik padas beberapa orang berkuda. Meskipun
gelap malam masih menyeluruh, tetapi remang-remang
mereka dapat juga menyaksikan tubuh-tubuh orang-orang
berkuda itu. Tepat di muka goa mereka menghentikan kuda mereka,
dan langsung dengan suara lantang terdengar salah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seorang dari mereka berteriak, "Hei Sima Rodra, sudah
gilakah engkau. Kau biarkan semua penjaga-penjagamu
tidur?" Suara itu melontar memukul dinding-dinding padas dan
dipantulkan kembali berturut-turut beberapa kali. Namun
tak ada jawaban yang terdengar. Berkali-kali orang itu
berteriak-teriak memanggil, tetapi juga tak pernah ada
jawaban. Akhirnya mereka berhenti berteriak-teriak. Salah seorang
dari mereka berkata, "Ada sesuatu yang tidak beres. Hai
salah seorang dari kamu, bangunkan semua orang yang
tidur. Juga pengawal-pengawal gerbang."
"Baik Ki Lurah," jawab salah satu diantaranya. Dan
sejenak kemudian terdengar langkah seekor kuda menjauh.
Sementara itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar beruntung
dapat menyaksikan orang-orang berkuda itu dengan jelas.
Yang berkuda paling depan adalah dua orang yang gagah
tegap, meskipun badannya tidak begitu besar. Mukanya
tampak panjang meruncing, dan masing-masing menggenggam sebuah cemeti panjang. Mereka tampaknya
hampir seperti dua orang kembar.
Ketika Mahesa Jenar sedang menduga-duga, terdengarlah Gajah Sora berbisik, "Itulah Sepasang Uling
dari Rawa Pening. Yang di sebelah kanan itulah yang tua,
yang disebut Uling Putih, sedang yang lain adalah Uling
Kuning." Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Itulah
mereka yang bernama Uling Putih dan Uling Kuning.
Kedatangan mereka sudah pasti untuk menuntut dendam
akibat terbunuhnya salah seorang kepercayaannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebentar kemudian datanglah beberapa orang berlari-lari
ke arah goa itu pula. Mereka adalah anak buah Sima Rodra
yang tertidur karena kekuatan sirep Gajah Sora. Salah
seorang diantaranya, yang gemuk agak pendek, bertubuh
kuat seperti seekor orang hutan, maju mendekati sepasang
Uling yang masih saja duduk di atas kudanya.
Katanya, "Salam kami untuk Sepasang Uling dari Rawa
Pening." Rupanya kakak-beradik Uling itu sama sekali tak
memperhatikan sapa itu. Bahkan salah seorang dari mereka
membentak, "Hai, Sakayon, di manakah suami-istri macan
liar itu?" Rupanya yang dipanggil Sakayon itu tersinggung juga
hatinya. Jawabnya, "Buat apa kau cari mereka?"
"Jangan banyak cakap," bentak Uling Kuning, "Cari
mereka". Terdengar Sakayon mendengus, "Hemm.... Kau kira kau
bisa memerintah aku..." Tanyakan dengan baik, aku akan
menyuruh salah seorang untuk memanggilnya."
Sepasang Uling yang kasar itu menjadi marah. Teriaknya,
"Kalau kau masih juga berlagak, aku patahkan lehermu."
Tetapi Sakayon sama sekali tidak takut. Malahan
terdengar ia tertawa, "Kau jangan main sekarat di sini.
Katakan apa perlumu. Kalau suami-istri Sima Rodra tidak
ada, akulah yang harus menyelesaikan semua soal."
Ternyata Uling Kuning hatinya lebih mudah terbakar
daripada kakaknya. Hampir saja ia memutar cemetinya
kalau Uling Putih tidak mencegahnya. Sedang Sakayon pun
telah pula menarik pedang pendek tetapi besar seperti
tubuhnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Jangan layani dia, Kuning" kata Uling Putih, sambil
menarik kekang kudanya dan melangkah beberapa langkah
maju. "Baiklah Sakayon," katanya, "aku tunduk kepada
peraturanmu. Tolong, katakan kepada Suami-Istri Sima
Rodra bahwa aku ingin menemui mereka."
Sakayon yang merasa mendapat kemenangan, membusungkan dadanya sambil menjawab, "Itulah namanya tamu yang tahu diri." Lalu katanya kepada salah
seorang anak buahnya, "Panggilkan Ki Lurah. Katakan
bahwa kakak-beradik dari Rawa Pening ingin menemuinya."
Orang yang disuruhnya itu segera berlari ke dalam goa.
Tetapi sebentar kemudian ia telah muncul kembali dengan
nafas yang terengah-engah. Katanya dengan gugup,
"Kakang Sakayon..., Ki Lurah tidak ada di dalam goa.
Bahkan ruang penyimpanan yang tidak pernah terbuka itu
pun tampaknya telah dibuka dengan paksa."
"Hei...!" teriak Sakayon terkejut. Tanpa mengucapkan
sepatah katapun lagi ia meloncat dengan tangkasnya masuk
ke dalam goa. Menilik geraknya maka Sakayon pun pasti
termasuk orang yang berilmu tinggi. Mungkin ia adalah
kepercayaan Suami-Istri Sima Rodra. Sakayon telah keluar
dari dalam goa. Gerak-geriknya menunjukkan kegelisahan
hatinya. Sejenak kemudian tanpa berkata apapun ia berlari
kesamping goa dimana Sima Rodra tadi lenyap.
"Mereka telah mempergunakan pintu rahasia ini"
teriaknya, "Pasti terjadi sesuatu atas mereka".
Kemudian kembali ia berlari ke arah tamu-tamunya.
Katanya dengan nafas yang memburu, "Mereka telah
lenyap. Untuk tiga hari setidak-tidaknya kalian tak akan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dapat menemui mereka. Sedangkan kedua pusaka yang
disimpannya itu telah lenyap pula. Kalau yang mengambil
Suami-Istri Sima Rodra, mereka tidak perlu memecahkan
pintu." "Keris itu lenyap...?" tanya Uling Putih. Suaranya pun
menunjukkan suatu kecemasan yang sangat. "Kalau kata-
katamu betul, pasti akan menimbulkan suasana yang panas
dalam pertemuan kami nanti."
Uling Kuning yang lebih kasar itu tidak berkata apapun,
tetapi segera ia meloncat turun dari kudanya dan langsung
masuk goa. "Kau tidak percaya"," teriak Sakayon, "Baiklah, lihatlah
sendiri." Rupanya Uling Putih tidak tega membiarkan adiknya
memasuki goa seorang diri. Sebab mungkin ada hal-hal
yang tidak beres. Karena itu ia pun segera meloncat turun
dan cepat-cepat menyusul memasuki goa itu.
Sejenak suasana menjadi sepi. Masing-masing diam
sambil menunggu kakak-beradik itu keluar dari mulut goa.
Sementara itu, ketika semua perhatian dicurahkan ke
mulut goa, berbisiklah Gajah Sora, "Tuan, bukankah kita
dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyingkir
dari kandang macan ini" "
Rupanya Mahesa Jenar pun telah memperhitungkan
demikian, sehingga ia segera menyetujuinya. "Baik Tuan,
tetapi jalan mana yang akan kita lalui?"
"Apakah Tuan belum melihat gerbang dari benteng Sima
Rodra ini?" tanya Gajah Sora.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Belum," jawab Mahesa Jenar, "Aku memasuki halaman
ini dengan memanjat dinding belakang."
Tampaklah Gajah Sora tersenyum. Katanya, "Akh, Tuan
kurang hati-hati. Seharusnya Tuan mengetahui lebih dahulu
sebelum berbuat sesuatu, arah-arah mana yang dapat Tuan
lewati kalau bahaya datang. Atau setidaknya Tuan telah
memiliki pengetahuan tentang itu."
Mahesa Jenar tersenyum pula, katanya, "Tuan benar.
Aku memang kurang hati-hati. Tetapi apakah sekarang kita
dapat melewati gerbang?"
"Tentu," jawab Gajah Sora, "Orang-orang yang
menjaganya sedang berkumpul di sini."
"Kalau demikian marilah kita pergi," sahut Mahesa Jenar
lagi. Maka sebentar kemudian, Gajah Sora dan Mahesa Jenar
dengan hati-hati sekali menyelinap dari satu rumpun ke
rumpun yang lain, dari balik padas yang satu ke padas yang
lain. Selangkah demi selangkah mereka berhasil mendekati
gerbang yang menghadap ke utara. Gerbang ini dalam
keadaan biasanya selalu dijaga dengan kuatnya oleh orang-
orang kepercayaan Sima Rodra. Tetapi orang-orang itu
sekarang sedang berkumpul di depan goa untuk dapat
mencegah kalau sepasang Uling itu akan berbuat sesuatu.
Maka dengan tidak banyak mendapat kesulitan, Gajah Sora
dan Mahesa Jenar berhasil keluar melewati gerbang yang
menganga tak terjaga. Setelah itu, setelah mereka berada
di luar, segera mereka meloncat ke dalam semak-semak
dan menjauhi benteng Sima Rodra itu dengan mengambil
jalan menyusup rumpun-rumpun liar dan menjauhi jalan
yang semestinya. Dengan keadaan tubuh mereka yang
hampir remuk itu, mereka harus dengan hati-hati sekali
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menuruni tebing yang curam serta menloncati padas-padas
yang rumpil. Untunglah bahwa mereka berdua mempunyai
dasar kecekatan yang cukup, sehingga meskipun dengan
susah payah pula mereka dalam waktu singkat telah dapat
mencapai dataran di sebelah bukit kecil itu.
Tetapi demikian mereka merasa bahwa jalan yang akan
mereka lalui tidak lagi sulit, mereka mendengar lamat-lamat
derap kuda yang keluar dari gerbang benteng bukit Tidar,
yang semakin lama terdengar semakin jauh. Rupanya
sepasang Uling dari Rawa Pening itu ketika sudah yakin
bahwa Suami-Istri Sima Rodra tak dapat mereka temui,
serta sepasang keris itu tidak lagi berada di tangan mereka,
mereka merasa bahwa tak ada gunanya lagi tinggal terlalu
lama di Bukit Tidar. Setelah suara derap kuda itu lenyap,
kembali Gajah Sora dan Mahesa Jenar melanjutkan
perjalanan untuk secepat-cepatnya menjauhi gunung Tidar.
Untuk menghilangkah jejak, mereka tidak langsung b erjalan
ke timur, tetapi mula-mula mereka melingkar ke barat
untuk selanjutnya membelok ke utara, ke Banyu Biru.
Di perjalanan, ternyata bahwa Gajah Sora dan Mahesa
Jenar yang baru saja berkenalan itu menjadi begitu akrab,
seolah-olah mereka telah berkenalan bertahun-tahun.
Dalam banyak hal mereka selalu bersamaan pendapat dan
perhitungan. Setelah beberapa lama mereka berjalan, serta mereka
sudah yakin benar bahwa orang-orang Sima Rodra tidak
lagi dapat menemukan mereka, mereka merasa perlu untuk
beristirahat, untuk menyegarkan tubuh mereka. Maka
dicarilah tempat yang sesuai untuk sekadar melepaskan
lelah. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi demikian mereka duduk bersandar di pepohonan,
karena lelah dan tegang yang dialaminya beberapa saat
yang lalu, segera mereka jatuh tertidur.
Demikian nyenyaknya, sehingga mereka sama sekali tak
merasa bahwa malam telah lama lewat, dan matahari telah
tinggi di langit. Ketika cahaya matahari itu, menerobos
daun-daun dan memanaskan tubuh mereka, kedua orang
yang kelelahan itu baru terbangun. Terasalah sesudah
mereka beristirahat benar-benar, meskipun hanya sebentar,
tubuh mereka menjadi bertambah segar. Meskipun masih
saja terasa agak kaku-kaku dan nyeri, namun mereka telah
sanggup untuk berdiri tegak dan melangkah dengan
tangkas, berkat daya tahan tubuh mereka yang cukup kuat.
Setelah mereka mencuci muka serta sekadar minum air
dari sumber yang ditemukannya di dekat mereka
beristirahat, mulailah mereka melanjutkan perjalanan. Mula-
mula mereka akan singgah ke Pangrantunan untuk
menemui Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi setelah
dipertimbangkan untung-ruginya, mereka membatalkan
maksud itu. Di perjalanan pulang itu, barulah mereka
mengetahui bahwa wajah-wajah mereka tampaknya seperti
berubah. Beberapa noda biru dan bengkak-bengkak tampak
di sana-sini. Hal itu menunjukkan betapa hebatnya
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkelahian mereka semalam. Sehingga apabila mereka
saling memandang, mereka menjadi tertawa sendiri. Di
samping itu, dalam hati masing-masing timbullah rasa
kagum satu sama lain. Sebab dalam pertempuran dan
perkelahian yang mereka alami sebelum itu, jarang tubuh
mereka dapat disakiti, apalagi sampai biru-biru dan
bengkak-bengkak. Juga perasaan Gajah Sora dan Mahesa
Jenar juga menjadi geli bercampur heran. Kenapa Ki Ageng
Sora Dipayana begitu yakin bahwa cara perkenalan yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
aneh itu tidak akan membawa akibat yang dapat
berbahaya. Sebab rupanya, dengan memberi banyak
petunjuk kepada Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana
memang bermaksud untuk mempertemukannya dengan
Gajah Sora yang kebetulan juga sedang disuruhnya
mengambil kedua pusaka itu, tanpa memberitahukan lebih
dahulu. Dengan wajah-wajah yang demikian, apabila mereka
singgah di Pangrantunan, tentu akan menimbulkan
kecurigaan. Baik kepada mereka sendiri maupun kepada Ki
Ageng Sora Dipayana yang menyamar sebagai seorang
petani miskin. Karena itu mereka berketetapan hati untuk melangsungkan saja perjalanan mereka ke Banyu Biru.
Pada malam berikutnya mereka bermalam pula di
tengah-tengah hutan. Sengaja mereka tidak menuruti jalan
ke Bergota karena mereka merasa bahwa barang-barang
yang mereka bawa adalah bukan barang biasa, yang
apabila sampai diketahui orang akan dapat banyak
menimbulkan kerepotan. Seperti juga malam kemarin, karena lelah dan mereka
belum pulih seluruhnya, Gajah Sora dan Mahesa Jenar
demikian meletakkan tubuhnya, demikian mereka mendengkur nyenyak sekali. Tetapi malam ini ternyata tidak
setenteram malam kemarin. Belum lagi mereka melampaui
tengah malam, mendadak terasa tubuh mereka dikenai
sesuatu. Gajah Sora dan Mahesa Jenar adalah orang-orang
yang pernah mengalami latihan-latihan jasmaniah maupun
kesiagaan batin. Maka demikian tubuh mereka kena
sentuhan yang tidak wajar, demikian mereka meloncat
berdiri dan dalam sekejap mereka telah bersiaga.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dan tepat pada saatnya, terdengarlah gemerisik
dedaunan disamping mereka, dan dengan suatu auman
yang dahsyat meloncatlah seekor harimau hitam yang
besarnya bukan kepalang, menerkam Mahesa Jenar.
Untunglah bahwa tubuh Mahesa Jenar telah agak terasa
baik, sehingga dengan menjatuhkan diri ia bebas dari
terkaman harimau hitam itu. Bahkan tiba-tiba ia menjadi
marah sekali atas gangguan yang mendadak datangnya.
Karena itu ia tidak menanti lebih lama lagi. Saat itu pula
segera ia mengatur jalan pernafasan menurut ajaran
gurunya, menyilangkan tangan kirinya di muka dada serta
mengangkat tangan kanannya, satu kakinya ditekuk ke
depan. Dan dengan menggeram penuh kemarahan, ia
meloncat ke arah harimau yang baru saja menjejakkan
kakinya keatas tanah itu, berbareng dengan mengayunkan
pukulan Sasra Birawa. Tetapi ketika tangannya sudah
hampir menyentuh tubuh harimau itu, tiba-tiba dengan
gerakan aneh harimau itu berguling-guling tangkas sekali
sehingga pukulan Mahesa Jenar yang dilambari kekuatan
ilmu Sasra Birawa itu tidak mengenai sasarannya. Dengan
demikian ia terseret oleh kekuatannya sendiri sehingga
hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Untunglah bahwa
dengan cepat Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya
kembali sehingga ia tidak jatuh tertelungkup. Tetapi pada
saat yang demikian, pada saat dimana Mahesa Jenar masih
belum dapat menguasai keseimbangan sepenuhnya,
harimau itu telah siap merobek-robeknya. Untunglah bahwa
kawan seperjalanannya bukan pula orang kebanyakan. Ia
menyaksikan kegagalan Mahesa Jenar dengan penuh
keheranan. Heran atas sikap seekor harimau yang dengan
tangkas dapat membebaskan dirinya dari pukulan maut
Mahesa Jenar, bahkan harimau itu telah siap pula untuk
menerkamnya. Karena itu Gajah Sora tidak mau kehilangan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
waktu. Cepat seperti kilat ia meloncat sambil merentangkan
tangannya, yang sesaat kemudian telah menyilang
dadanya. Dengan suatu gerakan melingkar lewat atas
kepalanya ia menghantam harimau itu dengan dahsyatnya.
Bahkan Gajah Sora telah mempergunakan ilmunya Lebur
Sakethi. Melihat serangan yang tiba-tiba datang itu,
harimau hitam biasa meloncat menghindari pukulan Lebur
Saketi yang tidak pula kalah dahsyatnya. Juga kali ini Gajah
Sora tak berhasil mengenainya. Tetapi sementara itu,
Mahesa Jenar telah dapat menguasai diri sepenuhnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sehingga demikian ia melihat harimau itu berhasil
menghindari pukulah Gajah Sora, demikian Mahesa Jenar
mengulangi serangannya dengan ilmunya Sasra Birawa. Kali
ini harimau hitam yang sedang mengelak itu tidak sempat
berbuat apa-apa. Tangan Mahesa Jenar berhasil mengenai
tengkuknya. Harimau itu meloncat tinggi-tinggi dan
mengaum hebat sekali. Gajah Sora, yang menjadi marah
pula, tidak mau membiarkan harimau itu, karenanya
sebelum harimau itu jatuh di tanah ia telah mengulangi pula
serangannya dengan aji Lebur Sakethi. Akibat dari dua pukulan maha dahsyat itu hebat sekali.
Harimau hitam itu terpental beberapa langkah.
Tetapi alangkah terkejut mereka berdua, ketika Gajah
Sora dan Mahesa Jenar menyaksikan harimau itu jatuh
berguling-guling dan kemudian menggeliat dan seperti
melenting ia meloncat dan bangun berdiri. Ya, berdiri di
atas dua kaki seperti manusia berdiri. Akhirnya, barulah
Gajah Sora dan Mahesa Jenar sempat menyaksikan bahwa
yang berdiri di hadapannya sama sekali bukanlah seekor
harimau hitam, tetapi benar-benar seorang manusia yang
berkerudung kulit harimau berwarna hitam. Karena itu
darah mereka bergolak hebat. Manusia itu, yang berdiri di
hadapannya, pasti bukan manusia biasa, sebab ia telah
dapat membebaskan dirinya dari akibat pukulan-pukulan
Lebur Sakethi dan sekaligus Sasra Birawa.
Orang yang berkerudung kulit harimau hitam itu berdiri
dengan angkuhnya. Tubuhnya gagah besar melampaui
ukuran yang biasa. Jambang dan janggutnya tidaklah
begitu lebat, tetapi hampir memenuhi seluruh mukanya.
Matanya tampak bercahaya di dalam gelap, benar-benar
seperti mata seekor harimau. Dalam cahaya bintang yang
samar-samar, Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berpandangan tajam itu dapat menyaksikan bahwa wajah
orang itu pastilah bengis dan kejam. Sebentar kemudian
terdengarlah ia menggeram perlahan-lahan, lalu terdengarlah suaranya dalam sekali, "Pukulan kalian luar
biasa dahsyatnya. Terasa betapa sakit dan nyerinya. Karena
itu, kau telah berbuat kesalahan dalam dua hal. Mengambil
kedua pusaka itu dan menyakiti tubuhku. Akibatnya adalah
dua hal pula, kembalikan keris itu dan aku akan membalas
pukulan kalian. Kalau kalian mati karena pukulanku
bukanlah salahku." Mendengar kata-kata itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar
menjadi gemetar karena marah. Biarpun orang itu tidak
dapat dibunuhnya karena kesaktian andalan mereka yang
terakhir, tetapi mereka bukanlah anak-anak kecil yang
harus menerima saja hukuman dari orang tuanya. Karena
itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera menyiagakan diri
untuk bersama-sama menghadapi bahaya yang besar, dan
untuk taruhan yang besar pula, yaitu kedua keris Pusaka
Demak dan nyawa mereka, maka menurut pertimbangan
Gajah Sora dan Mahesa Jenar, tidaklah mereka bersalah
apabila mereka terpaksa mempergunakan keris-keris yang
sedang mereka pertahankan mati-matian itu. Karena itu,
tangan Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera melekat pada
ukiran keris yang mereka bawa masing-masing.
Melihat gelagat itu, orang yang berkerudung kulit
harimau itu berdesis, "Hem.., kalian akan mempergunakan
Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten itu untuk melawan aku.
Bagus. Memang tak seorangpun di dunia ini yang akan
dapat tetap hidup meskipun hanya tergores seujung rambut
saja. Tetapi aku harus meyakinkan kalian, bahwa kalian tak
akan dapat menyentuh tubuhku dengan kedua pusaka itu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Habis mengucapkan kata-kata itu, orang itu segera
bersiap untuk menyerang Gajah Sora dan Mahesa Jenar.
Bagaimanapun beraninya Gajah Sora dan Mahesa Jenar,
hati mereka bergetar juga. Tergetar karena menghadapi
bahaya yang mungkin akan dapat menggagalkan tugas
mereka untuk menyelamatkan Kiai Nagasasra dan Sabuk
Inten. Sejenak kemudian seperti angin menyambar, orang itu
mulai dengan serangannya. Alangkah dahsyatnya, Gajah
Sora dan Mahesa Jenar segera memencarkan diri, dan tak
ada pilihan lain kecuali mencabut kedua pusaka yang
mereka bawa yang kemudian sejenak diungkulkan di atas
kepala masing-masing. Kiai Nagasasra berbentuk seekor
naga bersisik emas, yang memancarkan cahaya kuning
menyilaukan, sedang Kiai Sabuk Inten yang ber-luk 11
tampak berkilat-kilat memancarkan cahaya yang kebiru-
biruan. Gajah Sora dan Mahesa Jenar meskipun tidak dapat
menyamai kecepatan gerak lawannya tetapi mereka bukan
pula anak-anak ingusan. Apalagi di tangan mereka sekarang
bercahaya-cahaya pusaka yang tiada taranya. Karena itu
orang yang berkerudung kulit harimau itupun tidak berani
merendahkan. Segera mereka bertiga terlibat dalam satu
pertempuran yang luar biasa hebatnya. Tampaklah sebuah
bayangan hitam menyelinap menyusup dan kemudian
meloncati gumpalan-gumpalan cahaya kuning yang silau
dan cahaya biru yang gemerlapan. Itulah cahaya dari kedua
pusaka itu di tangan orang-orang yang hampir sempurna
olah senjata. Tetapi ternyata apa yang dikatakan orang itu benar-
benar terjadi. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang sudah
bekerja mati-matian, sama sekali tak berhasil menyentuh
kulit lawannya dengan senjata-senjatanya. Hanya untunglah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bahwa karena kedua pusaka itu pula, lawan mereka belum
juga berhasil dapat mengenai tubuh mereka. Kalau saja
Gajah Sora atau Mahesa Jenar sampai tersinggung oleh
tangan hantu itu, pastilah kulit mereka akan robek.
Akhirnya, ketika pertempuran itu sudah berlangsung
beberapa saat, dan masih saja Gajah Sora dan Mahesa
Jenar memberikan perlawanan yang sengit, orang yang
berkerudung kulit harimau itu tidak sabar lagi. Ia meloncat
beberapa langkah ke belakang, dan dengan gerak yang
menakutkan ia menggetarkan tubuhnya sambil mengaum
mengerikan. Sesaat kemudian ia telah siap untuk
mengadakan serangan-serangan terakhir yang mematikan.
Meskipun Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak mengerti arti
dari gerakan-gerakan itu, mereka yakin bahwa saat yang
menentukan segera akan tiba.
Gajah Sora dan Mahesa Jenar pun segera mempersiapkan diri. Mereka berdiri kira-kira berjarak 3
sampai 4 langkah, yang dapat dicapainya dalam satu
loncatan. Mereka sudah bertekad untuk bertempur sampai
kemungkinan yang terakhir. Kalau mereka berdua harus
mati, maka setan itu pun harus dapat dilukainya pula
dengan salah satu dari kedua keris itu, sehingga ia pun
pasti akan mati pula. Orang yang berkerudung kulit harimau itu setelah
berhenti mengaum segera bersikap seperti akan menerkam.
Tangannya terjulur ke depan, sedangkan jari-jarinya
dikembangkan. Melihat sikap itu, segera Gajah Sora dan
Mahesa Jenar teringat kepada istri Sima Rodra yang
bertempur dengan cara yang serupa. Tetapi orang ini
ternyata mempunyai ketinggian ilmu yang berlipat-lipat.
Sejenak kemudian, hampir pada saat orang itu meloncati
Gajah Sora, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
nyaring meskipun tidak terlalu keras. Kemudian disusul
gemerisik daun-daun yang tergetar karena suara tertawa
itu. Alangkah besar tenaga yang dilontarkan lewat suara
yang tidak begitu keras itu.
Mendengar suara itu, orang berkerudung kulit harimau
itu tampak terkejut bukan main. Dan keadaan itu sangat
mengejutkan Gajah Sora dan Mahesa Jenar pula. Mereka
telah terkejut karena getaran suara itu, disusul oleh sikap
orang yang berkerudung itu.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang berkerudung itu kemudian menegakkan kepalanya. Ia menggeram hebat menunjukkan kemarahannya. Kemudian terdengar ia berkata, "Hem...,
apa kepentinganmu dengan mengganggu pekerjaanku?"
Dan terdengarlah jawaban yang lunak halus hampir
seperti suara perempuan, katanya, "Terhadap anak-anak itu
kau sudah akan mempergunakan ajimu Macan Liwung?"
"Apa pedulimu?" jawab orang itu.
"Banyak kepentinganku atasnya, mereka adalah murid-
murid sahabatku. Dan bukankah persoalan itu adalah
persoalan anak-anak. Sebaiknya orang tua tidak usah ikut
campur," jawab suara itu.
Sebaiknya kau mengurus kepentinganmu sendiri, sahut
orang berkerudung itu. "Ini juga termasuk kepentinganku," jawab suara itu pula.
"Aku tidak pedulikan kau," potong orang berkerudung
itu. "Tetapi aku mempedulikan kau. Kalau kau memaksa pula
untuk mencampuri perkara anak-anak. Baiklah kita yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tua-tua ini membuka permainan sendiri. Sedang anak-anak
biarlah mereka belajar menyelesaikan masalah mereka."
"Gila.... Selamanya kau gila. Kau berharap dapat
mengalahkan aku sekarang?"
"Tidak." jawab orang itu, "Aku tahu bahwa aku tak akan
mengalahkan kau. Tetapi setidak-tidaknya kau juga tidak
akan dapat mengalahkan aku. Dan permainan itu akan
memberi kesempatan kepada anak-anak itu untuk
berlindung pada bapak-bapaknya. Karena ada seorang
bapak telah ikut campur pula."
Suara orang asing yang lunak dan mirip suara
perempuan itu terang berasal dari belakang Gajah Sora dan
Mahesa Jenar. Meskipun demikian, Gajah Sora dan Mahesa
Jenar tidak berani menoleh ke belakang. Mereka tahu
bahwa orang itu pasti tidak akan bermaksud jahat, sebab
kalau demikian sudah sejak tadi ia dapat membunuhnya
dari arah punggung. Apalagi ketika mereka berdua
mendengar pembiaraannya dengan orang yang berkerudung itu, hati mereka seperti disiram embun.
Tetapi meskipun demikian mereka hampir tak berani
berkedip. Sebab setiap saat orang yang berkerudung itu
dapat meloncatinya dan merebut pusaka-pusaka itu, yang
barangkali malahan dapat dipergunakan untuk melawan
orang yang berada di belakangnya itu.
Sebentar kemudian kembali orang berkerudung itu
menggeram. Katanya, "Jangan coba halangi aku."
Sesudah itu terjadilah suatu hal diluar daya pengamatan
Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Meskipun mereka berdua
termasuk orang-orang yang disegani karena kesaktiannya,
tetapi mereka samasekali tidak dapat menangkap gerakan
orang berkerudung itu. Apa yang dilihatnya hanyalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seperti pancaran kilat yang membelah langit, sedemikian
tiba-tiba dan berlangsung cepat sekali. Orang berkerudung
itu tahu-tahu rasanya sudah melekat di pelupuk mata Gajah
Sora. Kemudian segera disusul dengan peristiwa yang sama
cepatnya. Sebuah benturan yang luar biasa dahsyat terjadi
di hadapan mata Gajah Sora dan Mahesa Jenar tanpa dapat
diketahui permulaannya. Apa yang mereka ketahui kemudian adalah orang
berkerudung itu telah berdiri berhadap-hadapan dengan
seorang yang berperawakan kecil. Sikapnya pun mirip
dengan suaranya. Sama sekali tidak gagah dan garang,
tetapi justru mirip sikap seorang perempuan.
Orang itu berdiri dengan tubuh masih bergetar diantara
Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Dan dihadapannya berdiri
orang berkerudung itu, yang juga tampak sedang berusaha
menguasai keseimbangannya.
"Kau benar-benar akan mencampuri urusanku?" bentak
orang berkerudung itu. "Sudah aku katakan sejak tadi," jawab orang yang mirip
dengan perempuan itu. Kemudian tampaklah orang berkerudung itu memandangi
berganti-ganti Gajah Sora, Mahesa Jenar dan orang asing
itu. Mukanya yang hampir seluruhnya ditumbuhi rambut
yang jarang-jarang itu tampak berkerut. Lalu katanya
dengan suara parau, "Baiklah, aku tidak dapat melawan
kalian bertiga. Tetapi jangan mengira bahwa aku telah
melepaskan kepentinganku atas kedua anak-anak yang
bermain-main dengan pusaka-pusaka itu." Setelah berkata
demikian, segera ia meloncat tak ubahnya seekor harimau
dan kemudian menyusup lenyap di gerumbul liar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah orang berkerudung itu tidak nampak lagi,
berkatalah orang asing itu kepada Gajah Sora dan Mahesa
Jenar. "Guru kalian ternyata kurang hati-hati. Untunglah
aku melihat harimau itu, sedang kalian tidur nyenyak.
Sehingga aku terpaksa membangunkan kalian dengan batu.
Seharusnya guru kalian tidak melepaskan kalian tanpa
pengawasannya." Gajah Sora dan Mahesa Jenar kemudian dengan
membungkuk hormat mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya, dan dengan agak berdebar-debar Gajah
Sora mencoba bertanya, "Bolehkah aku mengetahui,
siapakah Tuan?" Orang itu tersenyum, jawabnya, "Tidaklah gurumu
pernah berceritera tentang aku?"
Gajah Sora mengernyitkan alisnya sambil mengingat-
ingat ceritera gurunya tentang sahabat-sahabatnya. Mahesa
Jenar juga mencoba untuk menebak-nebak siapakah
kiranya yang berdiri dihadapannya itu. Tiba-tiba mereka
hampir bersamaan teringat kepada ceritera guru masing-
masing. Pendekar sakti yang menurut istilah guru mereka,
sama sekali tampangnya tak berarti. Mungkin orang inilah
yang dimaksud. Maka dengan hampir bersamaan pula
mereka mengucapkan sebuah nama, "Tuankah yang
bergelar Titis Anganten dari Banyuwangi?"
Kembali orang itu tersenyum, jawabnya, "Nah ternyata
kalian kenal aku. Guru-gurumu pasti pernah berkata
tentang orang yang tampangnya tak berarti," Lalu
terdengarlah ia tertawa nyaring.
"Aku dengar Kakang Pengging Sepuh telah wafat,"tanyanya tiba-tiba kepada Mahesa Jenar. Mahesa
Jenar tertegun. Rupanya dengan tepat orang itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengetahui bahwa ia adalah murid Ki Ageng Pengging
Sepuh. Maka segera ia pun menjawab, "Benar apa yang
Tuan katakan." Orang itu mengangguk-angguk, katanya kemudian, "Dan
tidakkah Kakang Sora Dipayana mengetahui bahwa Macan
Ireng itu berada di sini."
Gajah Sora segera menjawab, "Mungkin Tuan, sebab
guru tak pernah menyebutkan itu."
"Mungkin," sahut orang yang ternyata adalah Titis
Anganten. "Sebab kedatangannya belum seberapa lama.
Ketika aku ketahui bahwa alas Lodaya kosong, segera aku
pergi ke Gunung Tidar. Ketahuilah bahwa orang itulah yang
sebenarnya bernama Sima Rodra. Ia adalah ayah dari isteri
Sima Rodra yang sekarang. Dan terkaanku adalah tepat. Ia
pergi mengunjungi anak perempuannya di Gunung Tidar.
Beberapa lama aku terpaksa mengeram mengawasinya.
Jadi aku dapat melihat seluruhnya yang terjadi di muka goa
Sima Rodra. Aku dapat melihat kedatangan kalian dari arah
yang berbeda. Dan aku terpaksa membantu ketajaman
sirep yang kau sebarkan, sebab Sima Rodra itupun telah
mencoba melawannya. Dan karena kami lakukan berdua,
maka sirep kamipun menang. Untunglah bahwa Sima Rodra
berdua itu berlari ke dalam pintu rahasia, sehingga ayahnya
memerlukan waktu untuk keluar melalui lobang yang lain
sehingga ia baru dapat menyusul kalian sekarang ini. Dan
agaknya karena kedatangannya itu ingin dirahasiakan, dan
karena kepercayaannya kepada anaknya, ia tidak merasa
perlu untuk membantu"
Persoalannya menjadi jelas bagi Mahesa Jenar dan Gajah
Sora. Ternyata ketika mereka tertidur nyenyak, mereka
telah dibangunkan oleh Titis Anganten. Itulah sebabnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mereka merasa seperti dilempar dengan batu. Dan apa
yang mereka hasilkan sekarang, sebagian adalah karena
jasa orang itu pula. Karena itu, sekali lagi mereka mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga. "Tetapi.." katanya Titis Anganten kepada Mahesa Jenar,
"sampai sekarang aku masih belum mengenal nama-nama
kalian. Siapakah namamu anak muda"."
"Namaku Mahesa Jenar, Tuan. Sebagai seorang prajurit
aku disebut Ronggo Tohjaya," jawab Mahesa Jenar.
Titis Anganten mengangguk-angguk. "Sudah lama sekali
aku tak bertemu dengan Kakang Pengging Sepuh, sehingga
aku belum mengenal nama murid-muridnya." Sahutnya,
"Sedang apa yang kau lakukan terhadap lawan-lawanmu
dengan Sasra Birawa yang terkenal itu, kau benar-benar
mengingatkan aku kepada gurumu. Kelak kalau telah
mengendap benar-benar dan dapat menguasai setiap
saluran nafasmu dengan baik, maka dapat diharapkan
bahwa kau setidak-tidaknya akan dapat menyamai gurumu.
Hanya sayang bahwa gurumu itu tidak lagi berkesempatan
menuntunmu lebih lama lagi, sehingga kau harus berjuang
sendiri untuk mencapai kesempurnaan." Kemudian Titis
Anganten bertanya kepada Gajah Sora, "Ilmumu Lebur
Seketi ternyata sedikit lebih masak dari Mahesa Jenar.
Siapakah namamu?" "Aku bernama Gajah Sora, Tuan," jawab Gajah Sora.
Titis Anganten mengernyitkan alisnya. Katanya kemudian, "Namamu mirip dengan nama gurumu. Mungkin
kau tidak saja muridnya. Menilik wajahmu yang mirip
dengan wajah Kakang Sora, aku sejak tadi sudah mengira
bahwa kau adalah anaknya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Benar Tuan..." jawab Gajah Sora, "aku adalah anaknya
yang sulung," Kembali Titis Anganten mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambungnya, "Mungkin karena gurumu yang
bahkan ayahmu masih selalu dapat mendampingimu itulah
maka ilmumu agak lebih masak sedikit dari Mahesa Jenar.
Tetapi bagaimanapun aku telah dapat menyaksikan suatu
pertunjukan yang luar biasa. Sasra Birawa beradu dengan
Lebur Seketi. Dua macam ilmu yang tak ada bandingnya."
Mendengar pujian itu, Mahesa Jenar dan Gajah Sora
agak canggung pula. "Nah sekarang sarungkan pusaka-pusaka itu," kata Titis
Anganten lebih lanjut. Kata-kata itu telah menyadarkan Gajah Sora dan Mahesa
Jenar bahwa sejak tadi kedua pusaka keramat itu masih
saja digenggamnya erat-erat. Karena itu maka setelah
diungkupkan di atas kepala masing-masing, keris itu
kemudian disarungkan kembali.
"Sekarang...", kata Titis Anganten melanjutkan, "untuk
sementara kalian akan aman. Macan Ireng itu pasti tidak
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 7 Sembilan Pusaka Wasiat Dewa Pengelana Tangan Sakti Karya Lovely Dear Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 3
akan tinggal diam." Si istri tampak berpikir sejenak, lalu katanya, "itu berarti
akan mempercepat saat pertemuan akhir tahun ini di Rawa
Pening. Mungkin mereka akan bersama-sama datang ke
Gunung Tidar untuk memperebutkan pusaka-pusaka itu."
"Mungkin," jawab suaminya. "Itu berarti pekerjaan kita
bertambah berat." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Lalu bagaimana dengan Adi Gemak Paron itu?" potong
istrinya. "Sebab Adi Yuyu Rumpung yang lolos dari kejaran
kami pasti segera akan melaporkan kejadian ini."
Belum lagi mereka menentukan sikap, tiba-tiba
terdengarlah derap kuda dari arah lain. Tampaklah bahwa
semua orang dalam gerombolan itu terkejut. Tidak
terkecuali suami-istri Sima Rodra.
"Rupa-rupanya Adi Gemak Paron tidak hanya berdua,"
desis si istri. "Kau benar," jawab suaminya. "Bersiaplah kalian,"
perintahnya kepada anak buahnya.
Maka segera mereka pun bersiap menghadapi setiap
kemungkinan. Suara derap kuda itu semakin lama semakin
jelas. Dan Mahesa Jenar pun tidak kalah cemasnya, sebab
arah derap kuda itu menuju kepadanya. Karena itu, ia pun
melipat dirinya lebih kecil lagi di bawah sebuah gerumbul
yang berdaun rapat. Sejenak kemudian kuda yang larinya
seperti terbang meluncur hanya beberapa langkah di
samping Mahesa Jenar. Melihat penunggang- penunggangnya, Mahesa Jenar agak keheran-heranan pula.
Mungkinkah mereka dari gerombolan Uling Rawa Pening"
Sebab tampaklah wajah mereka berbeda dengan wajah-
wajah gerombolan Sima Rodra. Sedangkan pakaian mereka
pun sama sekali tidak seperti pakaian orang yang mati itu.
Rombongan yang kedua ini terdiri dari orang yang
jumlahnya lebih banyak. Semua kira-kira ada 15 orang.
Ketika rombongan yang kedua ini melihat rombongan Sima
Rodra, mereka pun tampak terkejut. Maka dengan segera
mereka menarik tali kekang kuda mereka, sehingga kuda-
kuda mereka berdiri dan berhenti seketika.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat rombongan yang baru saja datang itu, ternyata
Sima Rodra beserta anak buahnya bertambah terkejut lagi,
sehingga ketika rombongan yang kedua itu telah berhenti.
Sima Rodra segera berkata, "Aku menyampaikan hormat
yang setinggi-tingginya kepada rombongan Ki Ageng Lembu
Sora." Mendengar sapa Sima Rodra itu, giliran Mahesa Jenar
yang terkejut bukan kepalang. Inilah orangnya yang
bernama Ki Ageng Lembu Sora, putra kedua dari Ki Ageng
Sora Dipayana. Ki Ageng Lembu Sora adalah seorang yang bertubuh
sedang, berwajah keras. Matanya memancarkan sinar
ketamakan dan pemujaan kepada nafsu-nafsu jasmaniah.
Sambil masih duduk di atas kudanya ia menjawab,
"Salamku kepada kalian."
"Terima kasih Ki Ageng," jawab Sima Rodra.
"Kenapa kalian berada di tempat ini?" tanya Ki Ageng
Lembu Sora. "Kami sedang mengejar orang ini, Ki Ageng," jawab Sima
Rodra sambil menunjuk kepada mayat Gemak Paron.
"Siapakah dia?" tanya Lembu Sora kembali.
"Ia berusaha untuk mencuri pusaka kami, Kiai Kala
Tadah. Untunglah bahwa aku dapat mengenainya dengan
sumpit, sehingga ia tidak dapat melarikan diri lebih jauh
lagi," jawab Sima Rodra.
Lembu sora tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, "Dari manakah dia?"
"Dari daerah Rawa Pening," jawab Sima Rodra.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Gerombolan yang dipimpin oleh Uling Rawa Pening...?"
Lembu Sora menegaskan. "Ya," jawab Sima Rodra.
Sekali lagi Lembu Sora mengangguk-angguk. Katanya
kemudian, Untunglah gerombolan Uling itu sampai sekarang
masih diberi kesempatan berdiri. Kalau saja Kakang Gajah
Sora sudah mau bertindak maka umur gerombolan itu tidak
akan lebih dari satu senja."
"Rupanya hal itu pun disadari oleh sepasang Uling itu,
sehingga mereka tidak berani berbuat apa-apa di dalam
wilayah kekuasaan Ki Ageng Gajah Sora." sahut Sima
Rodra, "Meskipun secara perseorangan belumlah pasti
bahwa kakak-beradik Uling itu dapat dikalahkan oleh Gajah
Sora,. "Kau yakin akan hal itu?" potong Lembu Sora.
"Hal yang mungkin sekali," jawab Sima Rodra.
Lembu Sora tampak mengernyitkan alisnya. Ia tampak
tidak begitu senang mendengar keterangan Sima Rodra itu.
"Seperti kau yakin bahwa kau tidak dapat aku kalahkan,"
katanya kemudian. Sima Rodra menarik nafas panjang. Tampaklah betapa
tajam pandangan matanya. Perlahan-lahan ia menegakkan
kepalanya, memandang ke arah puncak-puncak pohon
raksasa yang bertebaran di hutan. Jelas, betapa ia mencoba
menguasai dirinya untuk tidak bertindak tergesa-gesa.
Sebentar kemudian, baru dia menjawab, "Ki Ageng, aku
tidak ingin berkata demikian. Selama kita masih saling
menghormati persetujuan kita. Biarlah, apa saja yang akan
terjadi di daerah Banyu Biru dan Rawa Pening. Sedang
diantara kita hendaknya tetap berlaku persetujuan yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sudah sama-sama kita terima, supaya kita tidak usah
menilai, siapakah diantara kita yang lebih kuat. Sedangkan
apa yang berlaku sekarang aku rasa sudah saling
menguntungkan." Wajah Lembu Sora menjadi tegang pula. Rupanya ia pun
sedang berusaha untuk menguasai perasaannya."
Sejenak kemudian dengan mata yang berapi-api ia
berkata, "Bagus, kalau kau masih tetap dalam pendirianmu
itu. Tetapi aku dengar kau mulai membuat perkara. Karena
itu aku sekarang memerlukan berkeliling pagar perdikanku
untuk mengetahui kebenaran berita bahwa kau mulai
merambah ke daerah lalu lintas dengan Pamingit."
"Itu tidak benar, " potong Sima Rodra, "Aku tidak biasa
berbuat kecurangan-kecurangan yang naif semacam itu.
Mungkin dalam kehidupanku telah ribuan kali aku berbuat
curang, tetapi untuk keperluan yang cukup bernilai dan
seimbang dengan kecurangan yang terpaksa aku lakukan."
Sima Rodra diam sejenak. Suasana segera meningkat
semakin tegang. Tampaklah bahwa masing-masing telah
mempersiapkan dirinya untuk menghadapi setiap kemungkinan. "Yang benar..." Sima Rodra melanjutkan, "dua orangku
pagi ini telah mati di Pangrantunan, ".
Lembu Sora tampaknya agak terkejut mendengar berita
itu, sehingga ia bertanya, "Kenapa" "
"Sebabnya masih belum begitu jelas," jawab Sima Rodra,
"sebab aku masih belum sempat mengusutnya, karena ada
peristiwa pencurian pusaka ini. Tetapi dua-tiga hari yang
akan datang, pastilah aku sendiri akan datang ke
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pangrantunan untuk melihat siapakah yang telah berbuat
kejahatan itu" Sima Rodra...," sahut Sima Rodra, "yang termasuk dalam
persetujuan kita hanyalah sumbangan hasil bumi dari
penduduk Pangrantunan, bukan orang-orangnya,.
"Tetapi aku tidak membiarkan pembunuhan itu menjadi
kebiasaan." jawab Sima Rodra, "Karena itu, yang bersalah
harus mendapat hukuman, ".
"Aku beri wewenang kau melakukan hukuman hanya
kepada yang bersalah. Tetapi awas, jangan berbuat
sekehendakmu saja atas orang-orangku. Sebab ganti yang
kau berikan kepadaku akhir-akhir ini ternyata mulai merosot
nilainya." Mendengar kata-kata Lembu Sora yang terakhir, tiba-tiba
Sima Rodra tertawa menggelegar. Katanya kemudian,
"Jangan takut Ki Ageng, lain kali pasti akan lebih memberi
kepuasan kepada Ki Ageng..."
"Aku berkata sebenarnya," potong Ki Lembu Sora,
"karena itu segala sesuatunya terserah kepadamu. Aku
akan melanjutkan perjalanan sekarang."
Sehabis mengucapkan kata-kata itu, segera ia menarik
tali kekang kudanya, serta mencambuknya keras-keras,
sehingga kudanya terloncat dan berlari kencang. Para
pengikutnya segera mengikutinya pula. Suami-istri Sima
Rodra bersama anak buahnya mengawasinya sampai hilang
di balik semak-semak. Setelah itu kembali terdengar Sima Rodra tertawa
tergelak-gelak, katanya, "Orang gila. Rupa-rupanya masih
juga ada sisa-sisa minatnya untuk meninjau daerah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
perdikannya yang sebentar lagi pasti akan dapat aku telan
seluruhnya," kata Sima Rodra kemudian.
"Jangan terlalu tergesa-gesa." potong istrinya, "Apa kau
kira Ki Ageng Gajah Sora akan tinggal diam"."
"Dengan kedua pusaka keris Nagasasra dan Sabuk Inten
itu di tangan kita, pastilah bahwa kita akan menguasai
segenap aliran hitam di pulau Jawa, seperti apa yang
pernah kita janjikan bersama. Sesudah itu apakah arti
kekuasaan Gajah Sora. Sedangkan Demak sendiri lambat
laun pasti akan dapat aku lenyapkan pula."
Si istri Sima Rodra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu katanya, "Mudah-mudahan semua itu tidak hanya
merupakan sebuah impian yang akan lenyap bersama
terbitnya matahari."
Si suami tertawa perlahan-lahan. Seperti kepada dirinya
sendiri ia berkata, "Aku harus bekerja lebih keras. Mungkin
akan banyak hal yang harus aku hadapi dalam perjalanan
ke istana Demak." "Lalu apa yang akan kita perbuat sekarang?" Tiba-tiba
istrinya bertanya. Suami Sima Rodra itu menjadi seperti orang yang
tersadar dari lamunannya. Kembali ia mengamat-amati
mayat Gemak Paron. Sebentar kemudian ia berkata,
"Marilah Nyai, sebaiknya kita kembali. Mungkin sehari dua
hari kakak-beradik Uling dari Rawa Pening akan berkunjung
ke rumah kita. Baru sesudah itu kita pergi ke Pangrantunan
untuk mencari pembunuh-pembunuh itu."
"Tidakkah kita selesaikan sama sekali masalah Pangrantunan yang tinggal tidak seberapa jauh lagi?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sima Rodra tampak agak berpikir, tetapi segera ia
menjawab, "Masalah Pangrantunan sama sekali bukan
masalah yang perlu mendapat perhatian banyak. Tetapi
sepasang Uling itu benar-benar memerlukan persiapan yang
cukup untuk menyambutnya."
Setelah itu maka segera ia pun berdiri meninggalkan
mayat Gemak Paron, langsung menuju ke kudanya. Dan
sejenak kemudian rombongan itu pun pergi meninggalkan
mayat itu tetap terkapar, sambil membawa kembali pusaka
yang disebutnya Kiai Kala Tadah.
Setelah derap kuda mereka tak terdengar lagi, Mahesa
Jenar perlahan-lahan keluar dari persembunyiannya. Tanpa
sadar ia menggelengkan kepalanya sambil mengusap
dadanya. Meskipun ia tidak tahu bunyi perjanjian antara Ki
Ageng Lembu Sora dan Sima Rodra, tetapi bahwa Ki Ageng
Lembu Sora bersedia menyerahkan sebagian dari wilayahnya untuk sumber perbekalan dari golongan hitam,
adalah suatu tindakan yang tercela. Apapun yang diterima
Lembu Sora dari Sima Rodra sebagai gantinya, hal itu
adalah suatu penghinaan atas kekuasaan yang dipegangnya, dengan membiarkan adanya kekuasaan asing
turut serta mencampuri masalah di dalam rangkah. Apalagi
ketika Mahesa Jenar teringat akan rencana Sima Rodra,
tidak saja menguasai Perdikan ini, tetapi ia sudah mulai
merintis jalan ke Demak. Tetapi ketika ia teringat bahwa Ki Ageng Sora Dipayana
dengan ujudnya yang baru telah kembali ke Pangrantunan,
hatinya menjadi agak tenteram. Pasti orang tua itu tidak
akan membiarkan pengkhianatan itu tetap berlangsung.
Sebab kekuasaan yang selalu dibayangi oleh kekuasaan lain
tidaklah lebih dari kekuasaan boneka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebentar kemudian segera Mahesa Jenar sadar akan
tugasnya. Ia harus cepat-cepat pergi ke Gunung Tidar.
Kalau benar apa yang diperhitungkan oleh Sima Rodra,
yaitu kemungkinan akan datangnya Uling dari Rawa Pening,
maka ia harus berusaha untuk mendahuluinya. Sebab kalau
tidak, dan sepasang Uling itu sampai berhasil merebut
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua keris pusaka itu, maka tugasnya akan bertambah
sulit. Karena itu Mahesa Jenar pun segera melanjutkan
perjalanannya. Sejenak kemudian ia telah memasuki daerah hutan yang
cukup lebat pula. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Ki
Ageng Sora Dipayana, bahwa di dalam hutan itu seolah-
olah telah dibuat sebuah jalan, yang walaupun sempit tetapi
cukup baik untuk lalu lintas kuda maupun orang berjalan.
Maka tidaklah ada kesulitan apa-apa bagi Mahesa Jenar
untuk langsung menuju ke Gunung Tidar. Tetapi belum
lama ia menyusur jalan rimba, tiba-tiba didengarnya telapak
kuda yang lari sangat kencang dari arah depan. Mula-mula
Mahesa Jenar mengira orang-orang Sima Rodra. Tetapi
ketika diketahuinya bahwa suara derap kuda itu tidak lebih
dari seekor, maka maksudnya untuk menghindar itu
diurungkan. Ia tetap saja berdiri menepi dengan maksud
untuk mendapatkan suatu pengertian baru tentang Sima
Rodra dari orang itu. Sebentar kemudian tampaklah seekor kuda yang lari
seperti terbang menuju ke arahnya. Penunggangnya adalah
orang yang pendek kokoh dan berjambang tebal. Ketika
orang itu melihat Mahesa Jenar, ia pun tampak terkejut.
Segera ia menarik kekang kudanya sehingga kuda itu
berhenti beberapa langkah di hadapan Mahesa Jenar. Mula-
mula wajah orang itu tampak tegang. Tetapi ketika ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melihat ikat pinggang orang itu, yang lebarnya hampir
selebar telapak tangan serta dibuat dari kulit kerbau,
menjadi terkejut. Segera ia ingat kepada Gemak Paron yang
mati kena sumpit punggungnya, juga memakai ikat
pinggang yang serupa. Maka kesimpulan bagi Mahesa
Jenar, orang ini pasti juga salah seorang dari gerombolan
Uling Rawa Pening. Mungkin orang inilah yang tadi disebut-
sebut dengan nama Yuyu Rumpung, yang berhasil
meloloskan diri dari kejaran Sima Rodra. Kalau demikian,
kiranya Yuyu Rumpung tadi telah berhasil menyelinap ke
dalam hutan, sementara gemak Paron berlari terus.
Kemudian setelah diketahuinya bahwa Sima Rodra telah
kembali ke sarangnya, ia segera berusaha untuk melarikan
diri. Orang berkuda itu, setelah memandangi Mahesa Jenar
sejenak segera bertanya, Siapakah kau yang berani lewat di
jalan yang khusus bagi gerombolan Sima Rodra"
Tiba-tiba timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk
menjajagi kekuatan gerombolan Uling ini, dengan mencoba
kekuatan salah seorang anggotanya yang terkemuka.
Dengan demikian ia akan dapat mengetahui kira-kira
sampai dimana kekuatan anggota-anggota yang lain.
Sedang pimpinan rombongannya sendiri pastilah tidak akan
banyak terpaut dengan Lawa Ijo, Jaka Soka dan mungkin
juga Sima Rodra. Karena itu, Mahesa Jenar menjawab, "Namaku Yuyu
Rumpung, dan berasal dari Rawa Pening. Aku adalah salah
seorang kepercayaan kakak-beradik Uling untuk mencari
keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi sayang bahwa aku
dan Gemak Paron hanya berhasil mengambil tombak
pendek yang bernama Kala Tadah. Itu saja Gemak Paron
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terpaksa menebus dengan nyawanya, sedang tombak itu
kembali kepada pemiliknya."
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, segera wajah orang
itu, yang sebenarnya adalah Yuyu Rumpung, menjadi
merah menyala. Ia menjadi marah sekali karena jawaban
itu seolah-olah merupakan suatu sindiran akan ketidakmampuannya melakukan tugas yang dibebankan
kepadanya bersama Gemak Paron. Karena itu dengan gigi
yang gemeretak ia berteriak. "Orang gila, jangan kau mau
main-main dengan Yuyu Rumpung. Meskipun aku tidak
berhasil mencuri kedua pusaka itu, tetapi aku pasti akan
bisa mematahkan lehermu. Tetapi sebelum itu, supaya aku
tahu, siapakah yang telah aku bunuh, hendaknya kau
mengatakan namamu yang sebenarnya."
Mendengar teriakan Yuyu Rumpung, Mahesa Jenar hanya
tertawa dingin. Jawabnya, "Kau memang lekas marah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Untuk melaksanakan tugas yang sulit itu seharusnya Uling
Rawa Pening memilih orang yang tenang dan dapat
menguasai perasaannya. Mungkin Gemak Paron tidak
selekas engkau ini menjadi marah".
Rupanya Yuyu Rumpung sudah tidak dapat menguasai
dirinya lagi. Segera ia meloncat dari kudanya dan dengan
suatu gerakan yang dahsyat ia langsung menyerang
Mahesa Jenar dengan suatu pukulan ke arah pelipis.
Ternyata Yuyu Rumpung adalah orang yang mempunyai
kekuatan yang luar biasa. Pukulannya mengandung tenaga
yang hebat, serta cepat. Mendapat serangan yang demikian
cepatnya, Mahesa Jenar segera merendahkan diri dan
dengan sebagian tenaganya ia mempergunakan ujung
sikunya untuk menyerang lambung lawannya. Tetapi Yuyu
Rumpung pun ternyata lincah sekali, sehingga ia tidak
terlambat meloncat mundur menghindar. Tetapi dalam hati
ia pun tidak habis heran. Siapakah orang yang berjalan di
dalam hutan seorang diri, tetapi mempunyai keuletan yang
sedemikian tinggi. Apalagi ia sudah tahu nama, asal serta
tugas yang sedang dilaksanakan. Mahesa Jenar tidak
sempat merenung-renung, sebab ketika sadar bahwa
serangannya gagal, segera ia memutar tubuhnya, dan
dengan kaki kirinya ia menghantam perut Yuyu Rumpung.
Sekali lagi Yuyu Rumpung terpaksa meloncat ke samping,
tetapi kali ini ia tidak mau terus-menerus diserang. Karena
itu demikian kakinya melekat diatas tanah, segera ia maju
menyodok perut Mahesa Jenar. Kali ini sengaja Mahesa
Jenar tidak menghindarkan diri, tetapi dengan tangannya ia
memukul tangan Yuyu Rumpung ke samping. Yuyu
Rumpung yang percaya pada kekuatannya, ketika melihat
Mahesa Jenar menangkis pukulannya sama sekali ia tidak
berusaha menarik tangannya, malahan seluruh tenaganya
dikerahkan. Maka segera terjadilah suatu benturan yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
keras sekali. Dengan tak diduga sama sekali oleh Yuyu
Rumpung, bahwa lawannya memiliki tenaga yang dahsyat,
sehingga ia jatuh terguling. Sebaliknya Mahesa Jenar pun
merasakan kekuatan Yuyu Rumpung sehingga tangannya
terasa agak sakit. Sampai sekian Mahesa Jenar dapat
mengetahui bahwa orang ini kira-kira tidak lebih dari
Carang Lampit, orang kedua sesudah Wadas Gunung dalam
gerombolan Lawa Ijo. Maka ketika dengan sedikit kesulitan
Yuyu Rumpung berdiri, segera Mahesa Jenar meloncatinya,
dan dengan tangannya yang kokoh kuat, segera ia
menangkap kedua lengan Yuyu Rumpung, dan dengan
lututnya ia menekan punggungnya. Yuyu Rumpung terkejut
melihat kegarangan lawannya. Tetapi tak ada lagi
kesempatan baginya untuk melepaskan diri. Selanjutnya
terdengar Mahesa Jenar bertanya, "Yuyu Rumpung, selain
kau dan Gemak Paron, siapakah yang termasuk orang-
orang penting dalam gerombolanmu?"
Pertanyaan ini telah memusingkan kepala Yuyu
Rumpung. Ia pun segera mengetahui bahwa orang ini pasti
bukan dari golongan hitam, sebab dari golongan itu, pada
umumnya sudah mengenal siapa-siapa yang menjadi orang-
orang terpenting dalam gerombolan masing-masing. Ketika
sampai beberapa lama ia tidak menjawab, terasa tekanan
lutut di punggungnya semakin keras semakin keras.
Sehingga terpaksa ia berkata, "Apakah kepentinganmu
dengan mengetahui orang-orang kami?"
"Itu adalah soalku," jawab Mahesa Jenar, "yang kuminta
hanyalah kau sebutkan nama-nama itu, dan jangan
bohong." Sementara itu punggung Yuyu Rumpung semakin terasa
sakit, sehingga akhirnya ia tak dapat mengelak lagi,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
katanya, "Gemak Paron adalah orang kedua dalam
gerombolan kami, sedang aku adalah orang ketiga."
"Siapakah orang pertama?" tanya Mahesa Jenar lagi.
"Orang pertama adalah kakang Seri Gunting."
"Kenapa bukan Seri Gunting itu yang pergi untuk mencuri
pusaka-pusaka itu?" "Kakang Seri Gunting sedang tidak ada di rumah."
"Kemana dia?" "Ke Nusa Kambangan."
"Ke tempat Jaka Soka?"
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, Yuyu Rumpung
menjadi bertambah heran. Rupanya orang ini sudah agak
banyak mengenal tokoh-tokoh hitam. Karena itu ia harus
lebih berhati-hati, sebab mungkin malahan seluruhnya
sudah diketahui, sehingga pertanyaan-pertanyaannya hanya
merupakan sebuah pancingan saja.
Maka jawabnya, "Ya, kakang Seri Gunting pergi ke
tempat Jaka Soka." Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Tahulah ia bahwa
kekuatan gerombolan hitam itu benar-benar seimbang,
sehingga pertemuan akhir tahun di Rawa Pening benar-
benar akan menarik. Ketika Mahesa Jenar tidak memerlukan
hal-hal lain lagi, segera Yuyu Rumpung dilepaskan, tetapi ia
tidak membiarkannya pergi berkuda, katanya, "Yuyu
Rumpung, kau boleh pergi, tetapi aku ingin meminjam
kudamu. Sedang kau dapat mencari kuda Gemak Paron
untuk kau pakai. A ku temukan tadi mayatnya di luar hutan.
Kalau kau akan mencarinya, pergilah membelok ke selatan,
di mulut lorong ini."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar sengaja membiarkan Yuyu Rumpung
berjalan kaki dan menunjukkan arah yang salah atas mayat
Gemak Paron, supaya orang ini tidak segera sampai di
Rawa Pening. Ia mengharap untuk dapat mendahului kakak
beradik Uling itu. Yuyu Rumpung yang tidak tahu maksud Mahesa Jenar,
menjadi keheranan. Tetapi bagaimanapun juga ia
merasakan keperkasaan orang itu. Maka ketika ia mendapat
kesempatan untuk pergi, segera ia pun meloncat dan
melangkah cepat sekali menjauhi Mahesa Jenar, meskipun
ia menggerutu tak habisnya karena kudanya dirampas.
Sedangkan Mahesa Jenar merasa mendapat keuntungan
dengan pertemuannya dengan Yuyu Rumpung. Ia sudah
mendapat gambaran sedikit tentang kekuatan gerombolan
Uling Rawa Pening, sedangkan keuntungannya yang lain ia
telah dapat menghambat dijalan orang itu, sehingga,
kemungkinan untuk dapat mendahului sampai ke Gunung
Tidar semakin besar. Sedangkan kuda yang dirampasnya,
sama sekali tak diperlukannya, sebab dengan kuda itu, ia
tidak lagi bebas untuk dapat menyusup kegerumbulan
apabila ia berjumpa dengan orang yang perlu dihindari.
Juga jarak yang ditempuhnya sudah tidak begitu jauh lagi.
Kalau misalnya ia dapat mencapai Gunung itu sebelum sore,
ia masih juga harus menunggu sampai matahari terbenam.
Maka akhirnya dilepaskannya kuda Yuyu Rumpung itu, dan
Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya dengan berjalan
kaki. V Sementara itu cahaya merah telah membayang di langit
mewarnai mega yang betebaran. Sedang didalam hutan,
sinar matahari yang sudah sangat lemah itu tidak kuasa lagi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
untuk melawan kegelapan yang perlahan tapi pasti akan
turun menyeluruh sampai kesegenap lekuknya.
Malam itu seperti biasa dalam perjalanannya di hutan,
Mahesa Jenar memilih tempat tidurnya diatas cabang pohon
untuk menghindari serangan binatang buas. Meskipun
hutan itu tidak segarang hutan Mentaok, tetapi didalamnya
hidup pula jenis harimau yang cukup berbahaya, yaitu
harimau loreng. Malam itu tak ada sesuatu hal yang terjadi.
Kecuali tubuh Mahesa Jenar menjadi gatal digigit nyamuk
yang banyaknya bukan main.
Ketika langit disebelah Timur mulai meremang, Mahesa
Jenar segera turun dari tempat istirahatnya. Dan setelah
sekali dua kali ia menggeliat, maka ia segera memulai
kembali perjalanannya ke Gunung Tidar sambil mencari
sumber air untuk mencuci mukanya. Jalan yang ditunjukkan
oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu ternyata jauh lebih dekat
daripada apabila ia menempuh jalan yang direncanakannya
semula. Jalan ini langsung memotong arah ketujuannya.
karena itu maka ia tidak perlu untuk tergesa sebab ia masih
harus menunggu gelap untuk bertindak.
Pada saat ia melewati longkangan hutan itu, ia dapat
jelas melihat Gunung Tidar berdiri tegak seperti jamur
raksasa, yang konon merupakan pusar Pulau Jawa, sudah
tidak begitu jauh lagi dihadapannya. Sehingga perjalanan
Mahesa Jenar kali ini merupakan sebuah perjalanan yang
justru diperlambat. Meskipun demikian ia masih juga agak
kesiangan sampai didataran yang mengitari bukit itu,
sehingga ia mempunyai waktu sekedar untuk beristirahat.
Maka ketika sampai saaatnya matahari turun serta
burung mulai berkitaran mencari tempat untuk tidurnya,
berdirinya Mahesa Jenar dengan wajah yang tegang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memandangi Gunug Tidar dimana berdiam suami isteri
Sima Rodra, yang telah berhasil menyimpan sepasang keris
Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Dalam keadaan yang demikian seolah-olah ia mulai
menilai dirinya kembali. Sudahkah ia siap untuk melakukan
tugas yang penting itu. Ia seorang diri harus terjun
langsung kedalam sarang sepasang harimau yang cukup
ganas. Berkali-kali ia meremaskan tangannya dimana
disimpan senjata kepercayaannya Sasra Birawa.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara kemudian, ketika benar-benar matahari telah
melenyapkan diri dibalik Gunung Tidar itu, mulailah Mahesa
Jenar melaksanakan tugas untuk membebaskan kedua
pusaka itu berdasarkan petunjuk dari Kiai Ageng Sora
Dipayana. Untuk naik ke bukit itu, ia tidak langsung mendaki dari
arah Timur, tetapi ia melingkar ke Selatan dan dari sanalah
dengan hati-hati sekali ai selangkah demi selangkah
mendekati lereng bukit itu. Sebentar ia berhenti untuk
mendengarkan kalau ada langkah seseorang ataupun
tarikan napas. Untunglah bahwa telinga dan matanya cukup
terlatih. Ketika sampai pada tanjakan pertama dari Bukit Tidar
tampaklah bahwa Sima Rodra benar-benar memasang
perbentengan untuk melindungi sarangnya. Batu besar
yang tampaknya berserak itu ternyata merupakan pasangan
yang apabila sedikit saja tersentuh, pasti akan tergelincir
dan menggelundung ke bawah. Untunglah bahwa tiap
gerak Mahesa Jenar selalu dilandasi oleh ketelitian serta
kehati-hatian. Setelah merayap bebrapa saat Mahesa Jenar
berhasil melintasi pagar yang pertama untuk kemudian
menjumpai benteng. Batu padas yang besar disusun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
meninggi sampai hampir dua kali tinggi orang. Dengan hati-
hati Mahesa Jenar mendekati benteng itu. Kemudian
dengan tangannya ia meraba-raba, seolah ingin mengetahui
sampai dimana kira-kira kekuatan padas itu. Mungkin
dengan kekuatan tangannya ia bisa, meskipun tidak
sekaligus tetapi setidaknya sedikit demi sedikit menghancurkan padas yang tidak sekeras batu. Kalau
Mahesa Jenar menghancurkan padas itu, maka besar
kemungkinannya bahwa kedatangannya akan segera
diketahui oleh pengawal-pengawal yang pasti berkeliaran di
dalam benteng itu. Maka dicarinya cara lain untuk dapat
melampauinya. Sekali lagi Mahesa Jenar meraba-raba serta
menaksir kekuatannya. Kemudian dipilihnya cara dengan
memanjat saja, dan kemudian meloncat masuk.
Demikianlah Mahesa Jenar dengan hati-hati memanjat
dinding batu padas itu. Sampai di atasnya ia tidak langsung
meloncat, tetapi dengan perlahan-lahan sekali ia melekatkan dirinya merapat dinding dan untuk beberapa
lama ia menelungkup di situ sambil mengamat-amati
keadaan di dalam daerah sarang Sima Rodra itu.
Malam itu rasanya sepi sekali. Lebih sepi daripada
malam-malam yang pernah dilewatinya. Sekali duakali
terdengar anjing liar menyalak di kejauhan, disaut dengan
pekikan burung hantu yang sedang mencari mangsa.
Mahesa Jenar masih saja berbaring menelungkup diatas
dinding batu. Matanya berputar menjelajahi seluruh
lingkaran yang membentang di hadapannya. Adapun
daerah di dalam benteng Sima Rodra itu pun merupakan
suatu lapangan yang bersemak-semak dan rumput-rumput
liar bertebaran tumbuh di sana sini. Sebenarnya tempat itu
merupakan tempat yang baik sekali untuk dapat menyusup
mendekati goa Sima Rodra di lambung sebelah utara bukit
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu. Sebab dengan adanya semak-semak dan rumput-
rumput liar itu, justru memberi kemungkinan yang lain,
bahwa di dalam semak-semak itulah orang-orang Sima
Rodra berjaga-jaga untuk mengawasi keamanan sarangnya.
Sampai beberapa lama Mahesa Jenar masih saja
melekatkan dirinya pada dinding padas itu.
Tiba-tiba terasalah angin yang bertiup perlahan-lahan
menghembuskan bau yang wangi. Bau yang dibawa angin
dari utara ini mempunyai pengaruh yang aneh sekali.
Terasa betapa tubuh Mahesa Jenar menjadi nyaman, serta
matanya menjadi berat sekali.
Angin yang aneh ini datang mengalir terus-menerus
seperti mengalirnya air sungai. Sehingga pengaruhnya
semakin lama semakin mencengkeram diri Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar adalah seorang prajurit yang
terlatih lahir-batin. Untunglah bahwa ia segera menyadari
keadaannya, bahwa pasti ia telah kena pengaruh bau wangi
itu, yang sengaja disebarkan orang untuk melemahkan
syaraf, sehingga orang menjadi kantuk.
Inilah kekuatan sirep yang seperti pernah dialami
beberapa tahun lalu, yang disebarkan oleh Lawa Ijo. Tetapi
menilik kekuatannya, rasanya sirep kali ini agak lebih kuat
dari yang dahulu, serta sifatnyapun berlainan pula.
Karena itu Mahesa Jenar segera memusatkan kekuatan
batin, dan seperti orang yang sedang mengheningkan cipta,
Mahesa Jenar diam tanpa bergerak di tempatnya berusaha
melawan pengaruh sirep itu.
Meskipun agak lambat, tapi sedikit demi sedikit ia
berhasil menguasai dirinya kembali, sehingga akhirnya ia
merasa bahwa ia telah lepas dari daya sirep itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir
keras. Apakah sirep ini datang dari Sima Rodra" Tetapi
kalau benar demikian, maka anak buahnya sendiri yang
tidak mempunyai daya tahan yang cukup akan tertidur pula.
Dengan demikian maka kekuatan mereka akan jauh
berkurang. Jadi adalah suatu kemungkinan bahwa sirep ini
datangnya dari luar. Dari orang lain. Tetapi siapa" Kakak-
beradik Uling tak mungkin akan secepat ini mencapai Bukit
Tidar, kecuali kalau ia berada pada jarak yang dekat sejak
Gemak Paron menyusup masuk ke goa Sima Rodra ini.
"Akh..., tak akan selesai pekerjaan ini dengan
menimbang-nimbang saja." Gerutunya, "Lebih baik aku
masuk dan melihat keadaan". Segera setelah itu, dengan
tidak meninggalkan ke hati-hatian, Mahesa Jenar meloncat
masuk ke dalam lingkungan sarang sepasang harimau yang
cukup ganas itu. Dengan mengendap-endap ia berjalan,
lewat lambung sebelah timur ia memutar ke arah utara.
Tetapi mendadak ia dikejutkan oleh teriakan yang mirip
dengan aum seekor harimau, disusul oleh jerit yang
mengerikan. Pastilah suara ini berasal dari suami-istri Sima
Rodra yang sedang marah. Cepat Mahesa Jenar meloncat
semakin dekat ke arah suara itu. Beberapa kali ia melihat
beberapa penjaga tidak dapat meloloskan diri dari pengaruh
sirep yang tajam itu. Ketika ia sudah semakin dekat, ia bertambah terkejut lagi
ketika ia mendengar derap orang berkelahi. Darah Mahesa
Jenar segera bergejolak hebat. Siapakah yang telah
mendahuluinya masuk sarang Sima Rodra..." Perlahan-
lahan ia maju setapak demi setapak, sehingga akhirnya ia
mendapat perlindungan sebuah padas yang cukup besar di
sebelah timur goa Sima Rodra. Kembali darah Mahesa Jenar
tersirap ketika ia menyaksikan suami-istri Sima Rodra itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sedang bertempur dengan seorang yang bertubuh tinggi,
berwajah bulat, serta berdada lebar. Tetapi karena gelap, ia
tidak dapat segera mengenal wajahnya. Pertempuran itu
ternyata berlangsung dengan hebatnya. Suami-istri Sima
Rodra ternyata memang bukan namanya saja yang garang.
Tetapi tandangnya pun tidak kalah hebat dengan namanya.
Kakinya yang meskipun besar-besar, sebesar bumbung
petung, tetapi seperti seekor harimau, dengan lincahnya ia
meloncat, menyerang dan menghantam. Sedang istrinya
bertempur dengan tangan yang dikembangkan. Segera
Mahesa Jenar mengenal bahwa cara yang demikian selalu
dipergunakan oleh seorang yang sangat percaya akan
kekuatan jari-jarinya, atau yang lebih mengerikan, ia
bersenjatakan kuku-kukunya yang beracun.
Melihat cara suami-istri Sima Rodra bertempur, segera ia
mengingat akan ceritera Demang Pananggalan. Maka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar hampir dapat memastikan bahwa yang
pernah datang ke Prambanan serta pernah menculik gadis
dan dibawa ke Gunung Baka adalah gerombolan Sima
Rodra ini. Maka ketika ia telah menyaksikan sendiri
kegarangannya, ia pun menjadi yakin bahwa Demang
Pananggalan memang bukan lawan dari orang ini. Apaladi
dalam menghadapi segala hal, tampaknya suami-istri Sima
Rodra selalu bertempur bersama, sehingga untuk melawan
orang yang baru setingkat Pananggalan pun mereka
bertempur bersama. Kalau demikian halnya, maka bagaimanakah kira-kira
yang akan terjadi dalam pertemuan golongan hitam di
Rawa Pening" Bolehkah mereka bertempur berpasang-
pasang, ataukah hanya seorang-seorang"
Menilik gerak serta keperkasaannya, maka pastilah Sima
Rodra sendiri memiliki kehebatan yang sama dengan Lawa
Ijo, sedang istrinya ternyata sedikit di bawahnya. Tetapi
karena perempuan itu bersenjatakan kuku-kukunya sendiri
maka ia pun nampak sangat berbahaya. Apalagi ketika
sekali tampak di ujung kuku itu berkilat suatu cahaya, maka
sudah pasti bahwa di ujung kuku-kuku itu ditaruh logam
yang mungkin sekali beracun.
Tetapi lawan Sima Rodra itu pun ternyata orang luar
biasa. Mahesa Jenar sendiri pernah bertempur berpuluh kali
menghadapi orang-orang perkasa. Yang terakhir adalah
Jaka Soka serta Lawa Ijo. Tetapi untuk menghadapi dua
orang sekaligus baginya adalah pekerjaan yang berat sekali.
Kalau ia terpaksa bertempur melawan keduanya, maka
pastilah pagi-pagi ia sudah mempergunakan ilmunya Sasra
Birawa. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sedang orang itu, yang bertempur dengan Sima Rodra,
nampaknya tanpa mempergunakan lambaran ilmu apapun,
kecuali ketangkasan serta kekuatan jasmaniah yang cukup
terlatih. Maka, Mahesa Jenar tak berhenti menebak. Siapakah
gerangan dia. Kalau yang datang kakak-beradik Uling,
hampir dapat dipastikan bahwa mereka akan bertempur
berpasangan pula. Ataukah dia yang bernama Sri Gunting"
Kalau orang ini Sri Gunting, maka Uling Rawa Pening itu
seharusnya mempunyai kesaktian yang luar biasa.
Sambil berpikir berputar balik, Mahesa Jenar menyaksikan pertempuran yang berjalan seru itu. Berkali-
kali suami-istri Sima Rodra itu mengaum dan memekik
hebat dibarengi dengan serangan-serangan sangat berbahaya. Tetapi orang yang melawannya itu meskipun
agak kerepotan selalu juga berhasil menghindar, bahkan
beberapa kali ia dapat mengadakan pembalasan- pembalasan. Gerak suami-istri Sima Rodra itu tampaknya memang
serasi sekali dalam keganasannya. Mereka selalu berhasil
saling mengisi dengan gerak-gerak membingungkan.
Kadang-kadang mereka tidak menyerang, tetapi hanya
berlari berputar mengelilingi lawannya, dan kadang-kadang
mereka bersama-sama menerkam dari arah yang berlawanan. Sebaliknya, lawannya pun memiliki ketangkasan yang
luar biasa pula. Sekali-kali ia melesat jauh, tetapi sesaat
kemudian ia sudah berdiri di satu sisi dari kedua-duanya
dan menyerang dengan pukulan yang dahsyat. Beberapa
kali ia melingkar, meloncat dan berputar selagi masih di
udara. Tangannya bergerak menyambar-nyambar, seolah-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
olah berubah menjadi seorang raksasa jelmaan Harjuna
Sasra Bahu yang mempunyai seribu tangan memegang
seribu macam senjata, dalam ceritera pewayangan.
Demikianlah maka pertempuran itu berlangsung dengan
dahsyatnya. Tetapi karena Sima Rodra seolah-olah dapat
mensenyawakan diri, serta kekuatannya, maka semakin
lama tampaklah bahwa lawannya menjadi semakin
terdesak. Melihat keadaan itu, otak Mahesa Jenar bekerja keras.
Bagaimanakah kalau ia mengambil keuntungan dari
pertempuran itu" Ia masih belum tahu sama sekali,
siapakah gerangan yang bertempur itu. Tetapi menurut
perhitungan Mahesa Jenar, ia lebih baik melawan yang
seorang itu apabila terpaksa, daripada melawan Sima Rodra
suami-istri. Karena itu ia memutuskan untuk menerjunkan
diri dalam kancah pertarungan itu untuk membantu lawan
Sima Rodra. Dan sesudah itu ia akan mengadakan
perhitungan dengan lawannya. Mudah-mudahan lawan
Sima Rodra itu tidak bersamaan maksud dengan
kedatangannya, sehingga ia tidak perlu berhadap-hadapan
sebagai lawan.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah Mahesa Jenar mendapatkan ketetapan hati,
maka segera ia mempersiapkan diri. Dibetulkannya ikat
pinggangnya, kancing-kancing bajunya, dan ikat kepalanya,
supaya nanti tidak mengganggunya. Demikianlah dengan
menggeram keras untuk menandai kehadiran, Mahesa
Jenar langsung menyerang istri Sima Rodra, dengan suatu
kepercayaan bahwa ia telah dibebaskan dari akibat racun
karena jasa kawan sepermainannya, Anis dari Sela. Racun
Lawa Ijo yang didapatkannya dari Pasingsingan pun tak
berhasil membunuhnya, apalagi jenis racun yang lain, yang
tidak berasal dari orang seperti Pasingsingan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kedatangan Mahesa Jenar sangat mengejutkan mereka
yang sedang bertempur, sehingga suami-istri Sima Rodra
berloncatan mundur. Lawannya pun sejenak berdiri
termangu, sehingga untuk sesaat suasana jadi hening, sepi
seperti daerah kematian yang mengerikan. Tetapi hal yang
sedemikian itu tidak berlangsung lama, sebab terdengar
suara parau Sima Rodra membentak Mahesa Jenar. "Hei,
siapakah kau yang ikut serta mengantarkan nyawa?"
Mahesa Jenar tidak menyahut pertanyaan itu, tetapi ia
berkata kepada lawan Mahesa Jenar, "Aku belum mengenal
Tuan, tetapi aku berdiri di pihak Tuan."
Sebelum orang itu menjawab, terdengar teriak istri Sima
Rodra, "Kita bunuh kalian berdua." Istri Sima Rodra tidak
menantikan lagi jawaban, tetapi dengan loncatan yang
garang ia menyerang dengan kuku-kukunya yang diarahkan
kepada Mahesa Jenar. Segera pertempuran itu dimulai kembali. Tetapi sekarang
Sima Rodra tidak dapat lagi mengurung lawannya, sebab
sekarang mereka harus berhadapan satu lawan satu.
Meskipun demikian, tidak segera dapat dilihat siapakah
yang akan dapat memenangkan pertempuran itu.
Suami-istri Sima Rodra yang menjadi semakin marah itu
bertempur semakin garang pula. Mereka segera mengerahkan tenaga serta kesaktian mereka untuk segera
dapat membinasakan lawan-lawannya yang berani memasuki daerahnya, apalagi berani menantangnya.
Dalam keadaan demikian, lawan Sima Rodra itu sempat
juga menyaksikan Mahesa Jenar bertempur. Menyaksikan
kelincahannya, keperkasaannya, serta kepercayaannya
kepada diri seperti lazimnya seorang perwira, ia pun
menjadi berpikir tentang Mahesa Jenar. Sebab orang yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memiliki kehebatan yang sampai ke tingkat itu, pastilah
bukan orang sembarangan. Sementara itu, pertempuran itu berlangsung terus.
Tetapi dalam beberapa saat kemudian tampaklah bahwa
Mahesa Jenar berhasil menguasai lawannya, sebaliknya
orang yang telah bertempur itupun, setelah lawannya
berkurang seorang, dapat pula sedikit demi sedikit
mendesak musuhnya. Dengan demikian pertempuran itu
ternyata sudah tidak seimbang lagi.
Dalam kemarahannya, suami-istri Sima Rodra itu
bertempur semakin buas, liar dan kasar. Sedang lawannya,
tampaknya tetap tenang dan yakin.
Sesaat kemudian terdengar suara yang aneh keluar dari
mulut Sima Rodra. Suara jeritan yang mirip dengan aba-
aba. Apalagi setelah itu, tampak pula gerak-gerak mereka
yang mencurigakan. Meskipun mereka bertempur terus,
tampak bahwa mereka sedang berusaha untuk mendekati
lobang goa. Mahesa Jenar maupun lawan yang seorang
lagi, dapat segera menangkap maksud itu, karena itu
mereka menjadi lebih waspada.
Dan apa yang dicurigakan itu memang ternyata benar.
Untunglah bahwa kawan bertempur Mahesa Jenar memiliki
kecepatan bergerak yang luar biasa. Sehingga ketika pada
suatu saat, dengan sekali gerakan suami-istri Sima Rodra
itu meloncat akan memasuki goanya, secepat itu pula
kawan bertempur Mahesa Jenar itu telah meloncat
menghalang-halangi. Kembali Sima Rodra mengaum hebat karena marahnya.
Bersamaan dengan itu geraknya menjadi semakin liar.
Tetapi keadaan itu tetap tidak menolong dirinya, sehingga
mereka tetap terdesak terus. Dalam keadaan yang demikian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sekali lagi terdengar suara aneh dari harimau liar itu. Tetapi
kali ini ternyata mereka lebih berhati-hati. Demikian
teriakan itu berhenti demikian mereka meloncat cepat
seperti didera halilintar ke balik sebuah batu besar di
samping goanya. Segera Mahesa Jenar dan kawan
bertempurnya itu memburu. Tetapi terlambat. Sesaat
kemudian terdengar deru yang hebat dibalik batu itu, dan
berguguranlah tanah di sekitarnya menyeret batu besar itu
seolah-olah terhisap kedalam sebuah lobang besar di bawah
tanah. Agar tidak turut terseret ke dalamnya, maka Mahesa
Jenar bersama dengan lawan Sima Rodra itu serentak
meloncat mundur. Selanjutnya untuk beberapa lama
mereka hanya merenungi onggokan tanah bekas guguran
itu. "Sebuah pintu rahasia," desis orang itu.
Memang sejak semula Mahesa Jenar juga menduganya
demikian, apabila yang berkepentingan sudah ada di
dalamnya, dengan sedikit sentuhan pada alat yang
diperlukan, gugurlah tanah di atas pintu itu, dan menutup
lubangnya sehingga mereka tidak akan dapat dikejar, untuk
selanjutnya keluar dari pintu rahasia yang lain.
Sebentar kemudian kembali orang itu berkata, "Terimakasih atas pertolongan Tuan."
"Aku hanya membantu mempercepat penyelesaian saja,
sebab tanpa aku pun tampaknya Ki Sanak pasti dapat
menyelesaikan seorang diri," jawab Mahesa jenar.
Orang itu tertawa lirih, katanya melanjutkan, "Tuan
terlalu menyanjung aku. Tetapi sebenarnya bahwa
kedatangan tuan menyelamatkan nyawaku. Hanya sayanglah bahwa aku terpaksa tidak dapat terlalu lama
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menemui Tuan, sebab ada satu pekerjaan yang harus aku
selesaikan. " Jantung Mahesa Jenar berdesir lembut. Apakah gerangan
yang akan dilakukannya" Karena itu ia mencoba bertanya,
"Apakah yang memaksa Ki Sanak begitu tergesa-gesa?"
"Suatu pekerjaan yang tak berarti." jawabnya, "Aku
hanya ingin memeriksa keadaan di dalam goa"
Mahesa Jenar mulai melihat adanya sesuatu rahasia pada
orang itu. Karenanya ia tidak bertanya tentang siapakah dia
dan dari manakah datangnya, sebab pertanyaan yang
demikian tentu tidak akan mendapat jawaban. Maka
kemudian ia hanya berkata, "Bolehkah aku turut serta
masuk kedalam goa?" Orang itu tampak ragu-ragu sejenak, baru ia menjawab
dengan mengajukan sebuah pertanyaan, "Tuan, apakah
sebenarnya yang akan Tuan lakukan di atas bukit kecil ini?"
Mendengar pertanyaan orang itu, Mahesa Jenar menjadi
agak bingung. Tetapi pasti bahwa ia tidak akan
menyebutkan keperluan yang sebenarnya. Maka dijawabnya
dengan sekenanya saja, "Aku datang untuk menuntut balas
atas kematian kakakku di Pangrantunan."
"Pangrantunan?" sahut orang itu.
"Ya," jawab Mahesa Jenar.
Tampaklah orang itu berpikir sejenak. Lalu katanya
kemudian, "Tuan... orang Pangrantunan?"
"Ya," jawab Mahesa Jenar pendek.
Sayanglah bahwa Mahesa Jenar tak dapat melihat sorot
mata orang itu di dalam gelap. Kalau saja ia mengetahui,
dapatlah ia mengerti bahwa orang itu curiga kepadanya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka, sejenak kemudian, "Apakah yang Tuan lakukan
seterusnya" Tuan pasti tidak akan dapat menemukan
Suami-Istri itu untuk beberapa lama."
"Tak apalah." jawab Mahesa Jenar, "Tetapi aku hanya
ingin melihat-lihat saja."
"Mudah-mudahan apa yang Tuan katakan benar.
Silahkan Tuan melihat. Seterusnya aku berjanji untuk
membalas budi Tuan membinasakan suami-istri Sima Rodra
pada kesempatan lain. Semoga Tuan benar-benar tidak
mempunyai kepentingan lain kecuali itu." gumam orang itu.
Maka, kemudian orang itu pergi bersama Mahesa Jenar,
memasuki goa Sima Rodra dengan hati-hati. Mungkin
terdapat berbagai rahasia di dalamnya. Goa itu sebenarnya
tidaklah begitu dalam. Tetapi di dalamnya terdapat
beberapa ruang yang dindingnya dilapisi papan, tak
ubahnya seperti ruang-ruang rumah biasa. Ruang itu
diterangi dengan oncor-oncor. Dua ruang sudah mereka
masuki, tetapi mereka tak menemukan sesuatu. Maka
sampailah mereka pada ruang yang ketiga, yang tidak
seperti ruang-ruang lain. Ruang ini mempergunakan pintu
yang ditutup rapat. Ternyata pintu ini tidak hanya ditutup
rapat, tetapi juga dikancing dengan kancing yang tak dapat
diketahui oleh orang lain. Ketika sudah beberapa lama
mereka tak berhasil membukanya, mereka menjadi tidak
sabar lagi. Mereka berdua sepakat untuk membuka pintu itu
dengan paksa. Dengan demikian, mereka mempergunakan
kaki mereka untuk bersama-sama menjebol pintu kayu yang
terkancing itu. Dengan satu tendangan yang hampir
bersamaan mereka dapat memecahkan pintu itu, yang
dengan suara gemeretak pecah berserakan. Tetapi
meskipun pintu itu sudah menganga lebar, mereka tidak
tergesa-gesa masuk. Sebab bukanlah mustahil bahwa ada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
apa-apa di dalamnya. Setelah beberapa saat tak ditemukan
apapun, maka dengan langkah yang sangat hati-hati
mereka melangkah masuk. Tetapi demikian mereka melangkahkan kakinya melewati
tlundak pintu, demikian serentak bulu roma mereka berdiri.
Di sudut ruangan itu mereka melihat sebuah nampan di
atas sebuah meja yang dialasi dengan kain beludru buatan
Tiongkok yang berwarna kuning keemasan. Dan yang
mengejutkan mereka adalah cahaya yang biru kekuning-
kuningan, yang memancar dari dua keris yang diletakkan di
atas kain beludru itu. Karena itu, untuk sesaat mereka
tegak berdiri seperti patung.
Mahesa Jenar, sebagai seorang perwira istana, sudah
pasti bahwa apa yang dilihatnya itu sangat mengharukan
hatinya. Ia yakin sekarang bahwa Nagasasra dan Sabuk
Inten itu adalah keris-keris yang asli. Mahesa jenar memang
pernah melihat keris itu beberapa kali, dahulu sebelum
lenyap dari Istana Demak. Memang tidak semua prajurit
bahkan perwira yang beruntung dapat menyaksikan keris
itu. Karena Mahesa Jenar saat itu menjadi pengawal raja
dan istana, maka ia diberi kesempatan untuk menyaksikan
pada saat keris itu dimandikan pada hari pertama setiap
tahun. Karena itu ia hampir tidak dapat lagi mengendalikan diri.
Hampir saja ia meloncat mendekati keris-keris itu kalau saja
orang yang berdiri di sampingnya itu tidak menggamitnya
sambil berkata, "Apakah Tuan berkepentingan dengan
keris-keris itu?" Mahesa Jenar kini tak dapat mengelak lagi. Kedua keris
yang dicarinya sudah ada di hadapannya. Maka apapun
yang terjadi haruslah dihadapinya. Maka jawabnya tegas,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Benar Ki Sanak, aku datang untuk kedua keris ini. Aku
harap Tuan mempunyai kepentingan yang tidak sama
dengan kepentinganku"
"Hem....!" orang itu menggeram. "Aku sudah menduga.
Tetapi sayang bahwa kepentingan kita sama."
Mendengar kata-kata orang itu seharusnya Mahesa Jenar
tidak lagi terkejut, namun demikian darahnya bergelora
hebat. Dengan menahan diri ia berkata, "Ki Sanak,
maafkanlah, aku tidak dapat melepaskannya lagi"
Orang itu merenung sejenak. Dalam keremangan cahaya
oncor-oncor, Mahesa Jenar melihat betapa gelisah
perasaannya, sehingga akhirnya keluarlah kata dari
mulutnya, "Tuan, aku telah berhutang budi kepada Tuan.
Tetapi aku akan tetap pada pendirianku untuk mendapatkan benda-benda keramat dari Istana Demak itu."
Mahesa Jenar tidak tahu siapakah orang itu sebagaimana
orang itu tidak mengenal Mahesa Jenar. Karena itu mereka
saling berketetapan hati untuk dapat menguasai kedua
pusaka itu. Bagaimanapun Mahesa Jenar menyabarkan diri,
namun akhirnya terloncat pula kata-katanya yang tajam, "Ki
Sanak, seharusnya tadi aku membiarkan Tuan bertempur
seorang diri dan sekaligus dibinasakan oleh suami-istri Sima
Rodra itu." "Kalau demikian..." jawab orang itu, yang meskipun
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nampaknya masih setenang semula, tetapi isi kata-katanya
tidak kalah runcingnya, "Tuan akan berbuat kesalahan.
Bukankah lebih mudah untuk melawan aku seorang
menurut pertimbangan Tuan daripada melawan mereka
berdua?" Sekali lagi darah Mahesa Jenar menggelegak. Ternyata
orang itu dapat dengan cepat menebak perhitungannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka jawabnya tanpa tedeng aling-aling, "Ki Sanak benar,
memang demikianlah apa yang akan aku lakukan"
"Baik Tuan," sahut orang itu, "Tetapi sebaiknya Tuan
mempertimbangkan sekali lagi."
"Tidak ada pertimbangan lain," jawab Mahesa Jenar. Ia
sudah pasti sekarang, bahwa ia harus bertempur melawan
orang itu. Sebenarnya ia masih bimbang terhadap bakal lawannya.
Menilik sikap serta kata-katanya, agak aneh kalau ia
termasuk golongan hitam yang lain, yang menginginkan
pusaka-pusaka itu. Sebentar kemudian Mahesa Jenar
teringat pula keramahan Jaka Soka pada waktu ia akan
menyertai rombongan orang-orang yang akan melintas
hutan Tambakbaya, juga suami-istri Sima Rodra itu sendiri,
yang dengan ramah minta menginap di Kademangan
Prambanan. Karena itu ia tidak akan menilai orang itu dari
sikap serta kata-katanya.
Sementara itu orang itu menjawab, "Kalau demikian,
marilah kita tentukan bersama, siapakah yang berhak untuk
menguasai kedua keris itu."
Mahesa Jenar sudah yakin bahwa memang demikianlah
yang akan terjadi. Tetapi meskipun demikian ketika
mendengar kata-kata itu keluar dari mulut orang itu, mau
tak mau ia terpaksa menaruh hormat kepadanya. Maka
jawabnya, "Kata-kata Tuan adalah kata-kata jantan. Mudah-
mudahan aku dapat mengimbangi kejantanan Tuan."
----------odwOkzo----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 5 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I YANG mengherankan, tetapi juga agak menjengkelkan
Mahesa Jenar, orang itu masih saja tertawa lirih. Katanya,
"Marilah kita keluar, supaya kita tidak harus berdesak
desakan dengan dinding-dinding ruang ini." Mahesa Jenar
tidak menjawab. Ia langsung melangkah keluar diikuti oleh
orang itu. Sambil berjalan Mahesa Jenar menimbang-
nimbang tentang lawannya. Pastilah orang ini berilmu tinggi
dan pasti orang itu pula yang telah menyebarkan sirep
sedemikian tajamnya. Maka ketika mereka sudah sampai di luar goa, segera
mereka saling berhadapan dengan taruhan yang besar.
Juga masing-masing menyadari bahwa mereka akan
berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh. Karena itu
tidak ada pilihan lain kecuali bekerja mati-matian untuk
memperebutkan kedua pusaka itu. Apalagi Mahesa Jenar
yang langsung atau tidak langsung ikut serta bertanggung
jawab akan keselamatan pusaka itu. Maka taruhannya
untuk mendapatkan kedua keris itu adalah nyawanya.
Sejenak kemudian setelah mereka bersiap, terdengarlah
orang itu berkata, "Marilah Tuan, permainan kita mulai."
"Silahkan," jawab Mahesa Jenar pendek.
Dan segera terjadilah suatu pertarungan yang dahsyat.
Meskipun mula-mula mereka tampaknya agak segan-segan,
tetapi ketika mereka merasakan benturan-benturan serta
tekanan-tekanan dari masing-masing pihak, akhirnya
mereka tidak lagi mengendalikan diri.
Lawan Mahesa Jenar itu ternyata memang orang perkasa
luar biasa. Gerakan-gerakannya serba cepat dan mempunyai tenaga yang hebat, sehingga menimbulkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
desiran-desiran angin yang menyambar-nyambar mengiringi
setiap gerak dari tubuhnya. Sedang Mahesa Jenar adalah
seorang yang mempunyai pengalaman yang cukup baik,
sehingga setiap gerakan tangan serta kakinya selalu
mempunyai arti serta membahayakan. Tubuhnya yang tidak
sebesar lawannya itu, bergerak-gerak seperti bayangan
yang dengan lincahanya menari-nari mengitari lawannya
dengan belaian maut. Lawannya yang bertubuh tegap itu lebih mempercayakan
diri pada kekuatannya, sehingga beberapa kali ia dengan
beraninya menyerang dengan mempergunakan kedua
tangannya, bahkan dengan serangan-serangan berganda,
sehingga suatu ketika Mahesa Jenar tidak sempat lagi
mengelakkan diri. Pukulan orang itu, ditambah sekaligus
dengan berat tubuhnya yang besar, mengenai pelipis
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar demikian kerasnya, sehingga Mahesa Jenar
terdorong beberapa langkah ke belakang. Tetapi rupanya ia
tidak saja berhenti sampai sekian. Sebelum Mahesa Jenar
dapat memperbaiki keadaannya, kembali ia berhasil
mengenai lambung Mahesa Jenar dengan kakinya. Kembali
Mahesa Jenar terhuyung-huyung surut beberapa langkah.
Untunglah bahwa ia mempunyai ilmu yang tinggi sehingga
meskipun dengan agak kesulitan, dalam sekejap ia telah
berhasil tegak diatas kedua kakinya yang kokoh kuat
bagaikan tonggak baja. Karena beberapa pukulan yang dapat mengenainya itu,
Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Wajahnya
tampak menyala, serta matanya menyorotkan sinar-sinar
yang memancarkan pergolakan darahnya. Sekali ia
melompat ke depan, dan dengan sebuah gerak tipuan yang
bagus ia berhasil menarik perhatian lawannya pada tangan-
tangannya yang menyerang ke arah kepala. Kemudian
dengan kecepatan yang hampir tidak tampak, ia
mengangkat kaki kanannya dan langsung menghantam
dada lawannya. Demikian keras serangan itu, sehingga
lawannya terpental beberapa langkah. Tetapi demikian ia
tegak, demikian ia telah bersiap untuk menghadapi segala
kemungkinan. Bahkan sesaat kemudian ia telah melangkah
maju, dan dengan kuatnya ia menghantam ke arah dada
Mahesa Jenar. Dengan satu langkah, Mahesa Jenar
bergerak ke samping, dan demikian pukulan itu tidak
mengenai sasarannya demikian Mahesa Jenar membalas
dengan sebuah pukulan pada wajah orang itu. Kali ini
Mahesa Jenar sekali lagi tak berhasil mengenainya,
sehingga orang itu terdorong mundur. Mahesa Jenar tidak
mau memberi kesempatan lagi, sekali lagi ia menyodok
perut lawannya, sehingga orang itu menggeliat kesakitan
dan meloncat beberapa langkah ke samping. Tetapi Mahesa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jenar tidak mau kehilangan kesempatan yang baik itu. Ia
pun sekali lagi meloncat dan dengan bergelombang ia
menyerang bertubi-tubi sehingga orang itu terdesak
mundur dan mundur. Tetapi rupanya keadaannya tidaklah tetap demikian.
Tiba-tiba orang itu menggeliat ke samping, dan dengan
suatu putaran yang cepat ia berhasil membingungkan
Mahesa Jenar, yang ingin memotong putaran itu. Cepat ia
mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke
samping lawannya, dan dengan suatu gerakan yang
tangkas ia merendahkan diri. Setengah lingkaran ia
memutar tubuhnya untuk langsung menyerang Mahesa
Jenar. Mahesa Jenar terkejut melihat gerakan-gerakan yang
berubah-ubah itu, sehingga ketika sebuah pukulan
melayang ke wajahnya, ia tidak sempat mengelakkan diri.
Demikian kerasnya pukulan itu sehingga Mahesa Jenar
terdorong beberapa langkah. Pukulan itu terasa sakitnya
bukan main. Sebagai seorang perwira, tubuh Mahesa Jenar
cukup mempunyai daya tahan yang kuat. Tetapi dikenai
oleh pukulan ini wajahnya menjadi panas dan sejenak
pandangan matanya agak kabur. Ketika ia mengusap wajah
itu dengan tangannya, terasa sesuatu yang cair dan hangat
meleleh dari hidungnya. Darah.
Mengalami kenyataan itu, marahnya semakin memuncak.
Ia benar-benar harus berkelahi dengan mengerahkan
segenap kemampuannya. Maka ketika orang itu menyerangnya kembali, Mahesa Jenar segera merendahkan
diri. Dengan pangkal telapak tangannya ia berhasil
menghantam dagu lawannya. Terdengarlah suara gemeratak gigi beradu. Demikian kerasnya serta dibarengi
kemarahan, maka pukulan Mahesa Jenar seperti berlipat-
lipat dahsyatnya, sehingga muka orang itu terangkat tinggi-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tinggi. Mahesa Jenar tidak mengabaikan kesempatan
berikutnya. Selagi muka orang itu masih terangkat, ia
meloncat maju menumbukkan dirinya sambil menghantam
perut orang itu dengan lututnya. Terdengarlah orang it
mengaduh tertahan dan terlontar surut. Mahesa Jenar
langsung memburu dan menghantamnya bertubi-tubi.
Orang itu terdorong terus hingga suatu ketika ia tidak dapat
mundur lagi karena punggungnya sudah melekat dengan
dinding padas. Mahesa Jenar melihat kesempatan itu. Ia
tidak mau melepaskan lawannya kali ini. Maka dengan
kekuatan penuh ia meloncat maju dan menghantamkan
muka orang itu dengan kedua tangannya sekaligus. Tetapi
orang itu ternyata tidak menyerah demikian saja. Tiba-tiba,
ketika Mahesa Jenar meloncat, orang itu pun menyerang
dengan kakinya ke arah perut Mahesa Jenar. Serangan
yang sama sekali tak diduga oleh Mahesa Jenar. Karenanya,
serangan itu bulat-bulat telah melemparkannya dan ia jatuh
terguling beberapa kali. Mahesa Jenar telah mengalami pertempuran dengan
lawan yang beraneka macam. Pada saat ia bertempur
dengan Lawa Ijo, seorang tokoh hitam yang perkasa, ia pun
mengerahkan segenap tenaganya. Tetapi bagaimanapun ia
tidak merasakan adanya tekanan-tekanan yang sedemikian
hebatnya seperti saat ini. Tidak saja ia tidak berhasil
menekan lawannya, tetapi benar-benar ia merasakan
bahwa tubuhnya menjadi sakit-sakit dan nyeri.
Mengingat bahwa yang dipertaruhkan adalah pusaka-
pusaka istana, serta kesadarannya akan pertanggung
jawabannya sebagai seorang yang merasa turut serta
membina kesejahteraan rakyat, maka ia merasakan
kengerian yang sangat apabila pusaka-pusaka itu sampai
jatuh ke golongan hitam yang manapun. Karena itu tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ada jalan lain bagi Mahesa Jenar kecuali membinasakan
orang itu. Pada saat ia tidak dapat menguasai lawannya,
maka cara satu-satunya adalah mempergunakan ilmunya
Sasra Birawa. Maka ketika tidak ada pilihan lain, segera ia
meloncat bangkit dan segera ia memusatkan segala
kekuatan batinnya serta mengatur pernafasannya, memusatkan segala kekuatan lahir-batin pada telapak
tangan kanannya. Demikianlah ia berdiri di atas satu
kakinya, sedang kakinya yang lain ditekuk ke depan.
Tangan kirinya disilangkannya di muka dadanya, sedang
tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Kemudian demikian
cepat bagai sambaran kilat ia meloncat maju dan dengan
dahsyat ia mengayunkan tangan kanannya ke arah kepala
lawannya. Melihat sikap itu, lawan Mahesa Jenar terkejut bukan
buatan. Segera ia meloncat mundur sambil berteriak,
Tahan... Tuan, tahankan dulu.
Tetapi Mahesa Jenar sudah terlanjur bergerak. Kalau ia
menahan serangannya maka kekuatan yang sudah tersalur
itu pasti akan memukul dirinya sendiri lewat bagian dalam
tubuhnya. Karena itu tidak ada cara lain kecuali
melanjutkan serangannya untuk membinasakan lawannya.
Melihat Mahesa Jenar tidak mengubah serangannya,
tiba-tiba orang itu pun segera bersiap, tidak menghindarkan
diri, karena tidak ada kesempatan lagi, melainkan ia berdiri
di atas kedua kakinya yang melangkah setengah langkah ke
depan, lutut kaki kanannya ditekuk sedikit. Mula-mula ia
merentangkan kedua tangannya, tapi ketika pukulan
Mahesa Jenar sudah melayang, segera ia menyilangkan
kedua tangannya di muka wajahnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat sikap itu, jantung Mahesa Jenar seperti berhenti
berdenyut karena terkejut. Tetapi segala sesuatu sudah
terlambat. Sebab tangan Mahesa Jenar sudah tinggal
berjarak beberapa cengkang saja dari orang itu.
Dengan satu gerakan pendek, kedua tangan yang
disilangkan di muka wajahnya, orang itu menahan
hantaman tangan Mahesa Jenar. Dan sesaat kemudian
terjadilah suatu benturan yang maha dahsyat seperti
berbenturnya halilintar. Akibatnya dahsyat pula. Orang itu
terlempar jauh ke belakang dan bulat-bulat terbanting di
tanah tanpa dapat berbuat sesuatu. Matanya menjadi gelap
dan nafasnya tersekat di kerongkongan. Sebentar kemudian
ia tak dapat merasakan sesuatu. Pingsan.
Sedangkan Mahesa Jenar sendiri, yang menghantamkan
ilmunya Sasra Birawa, merasakan bahwa tangannya seolah-
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
olah tertahan oleh selapis baja yang tebalnya lebih dari
sedepa. Karena itu kekuatan yang dilontarkan itu seolah-
olah membalik dan memukul bagian dalam tubuhnya,
ditambah dengan desakan dari orang yang dipukulnya itu.
Karena itu Mahesa Jenar juga terlempar, tidak hanya seperti
sebuah balok yang melayang, tetapi seperti kayu yang oleh
kekuatan raksasa dihantamkan ke punggung padas yang
ada di belakangnya. Demikian dahsyatnya Mahesa Jenar
terbanting sehingga pada saat itu juga, pada saat ia
terhempas, ia sudah tak dapat lagi merasakan apa-apa
kecuali kepekatan yang dahsyat menerkam dirinya. Dan ia
pun pingsan pula. Demikianlah keadaan segera menjadi senyap. Hanya
desir angin di rerumputan serta semak-semak yang
kedengaran gemeresik lembut. Di kejauhan terdengar suara
binatang malam, serta gonggong anjing yang berebutan
mangsa. Di mulut goa Sima Rodra itu menggeletak sebelah-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyebelah dua sosok tubuh yang sama sekali tak
sadarkan diri. Baru beberapa saat kemudian, oleh kesegaran angin
yang mengusap wajahnya, orang itu, yang telah bertempur
mati-matian melawan Mahesa Jenar, yang ternyata
mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa, sehingga
dialah yang pertama-tama dapat menarik nafas dan
perlahan-lahan menggerakkan tubuhnya. Tetapi demikian ia
berusaha bergerak terdengarlah ia mengeluh perlahan.
Ternyata tubuhnya terasa nyeri dan sakit seluruhnya. Maka,
untuk beberapa saat orang itu terpaksa berdiam diri,
mengatur jalan pernafasannya serta berusaha untuk
menguasai kembali pikirannya.
Angin masih berhembus perlahan-lahan. Dan ini telah
menolong menyegarkan tubuh orang itu, sehingga
beberapa saat kemudian ia berhasil dengan susah payah
mengangkat tubuhnya dan duduk bersandar pada kedua
tangannya. Berkali-kali ia menarik nafas panjang. Keringat
dingin masih saja mengalir membasahi seluruh pakaiannya.
Baru setelah tubuhnya terasa bertambah segar ia perlahan-
lahan bangkit berdiri. Ketika ia memandang ke daerah sekelilingnya, tiba-tiba
matanya tertumbuk pada tubuh yang masih terbaring tak
bergerak, beberapa langkah dari mulut goa. Sekali lagi ia
menarik nafas. Ia tahu benar bahwa pukulan lawannya itu
adalah pukulan yang tak ada taranya dahsyatnya.
Perlahan-lahan dan tertatih-tatih ia berjalan selangkah
demi selangkah mendekati Mahesa Jenar yang masih belum
sadar. Dengan mata yang bercahaya orang itu memandangi
tubuh Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung
kepalanya. Memandangi tubuh yang meskipun tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
setinggi dia, tetapi tampak kokoh kuat bagai seekor
banteng. Ketika orang itu melangkah selangkah lagi mendekati
Mahesa Jenar, terasa bahwa tubuhnya semakin terasa sakit.
Karena itu ia berhenti dan duduk di atas padas beberapa
langkah dari tubuh Mahesa Jenar yang masih terbujur tak
bergerak. Ia terpaksa menahan diri, tidak segera mendekatinya
sampai tubuhnya sendiri agak terasa kuat. Karena itu
dibiarkannya Mahesa Jenar terbaring tak bergerak beberapa
langkah di hadapannya. Ketika sekali lagi angin malam membelai tubuh-tubuh
yang sedang kesakitan itu, tampak bahwa Mahesa Jenar
mulai bergerak-gerak. Dan sesaat kemudian ia sudah dapat
membuka matanya, meskipun masih samar-samar. Apalagi
di dalam kegelapan malam. Yang pertama-tama dilihatnya
adalah bintang-bintang yang bertaburan di langit, dan
sesudah itu matanya tertumbuk pada tubuh tinggi tegap
berdada lebar, duduk di atas padas di hadapannya, yang
dengan tajam memandanginya seperti sebuah bayangan
hantu hitam yang akan menerkamnya. Tetapi pada sat itu
ia sama sekali tak dapat berbuat sesuatu. Seluruh tubuhnya
terasa sakit dan nyeri. Sambungan-sambungan tulangnya
terasa seperti lepas dan tak dapat dikuasainya. Karena itu
kalau terjadi sesuatu ia sama sekali tak akan dapat
membela diri. Maka sekali lagi Mahesa Jenar memejamkan matanya
untuk mengumpulkan ingatannya. Dan perlahan-lahan
ketika tubuhnya terasa semakin segar karena angin malam
yang lembut, ingatannya pun sedikit demi sedikit menjadi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
cerah kembali meskipun kepalanya masih saja pening dan
seperti berputar-putar. Apa yang baru saja dialami menjadi semakin jelas dalam
kepalanya. Bagaimana ia mempergunakan ilmu kepercayaannya Sasra Birawa dan bagaimana orang yang
dihantamnya itu merentangkan tangannya dan selanjutnya
disilangkan di muka wajahnya. Dan sekarang, orang yang
dikenai ilmunya itu ternyata masih saja hidup dan duduk di
dekatnya. Mengingat hal itu, Mahesa Jenar tiba-tiba merasa
gembira sekali. Dan kegembiraannya itu telah sangat
mempengaruhi keadaannya, sehingga tiba-tiba ia dapat
duduk, meskipun dengan susah payah untuk menegakkan
tubuhnya yang duduk lemah seperti tak bertulang.
Meskipun demikian, wajah Mahesa Jenar tampak cerah dan
matanya menyorotkan cahaya segar.
Demikian pula orang yang duduk di atas padas itu. Ketika
ia menyaksikan Mahesa Jenar telah dapat duduk, ia pun
menjadi gembira. Senyum yang tulus telah menggerakkan
bibirnya. Perlahan-lahan dengan suara parau ia menyapa,
"Tidakkah tuan mengalami sesuatu?"
Mahesa Jenar tersenyum pula, meskipun agak kecut.
Jawabnya, "Bagaimana aku mengatakan bahwa aku tidak
mengalami sesuatu kalau bangun saja rasanya seperti tidak
mungkin.". Orang itu menundukkan kepalanya seperti menyesali
dirinya, katanya kemudian, "Maafkan aku."
Mendengar kata-kata itu segera Mahesa Jenar menyahut,
"Jangan Tuan menyalahkan diri sendiri. Akulah yang
seharusnya minta maaf kepada Tuan, sebab akulah yang
pertama-tama mulai. Berbahagialah aku bahwa Tuan
ternyata sehat walafiat karena kesaktian Tuan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Terdengar orang itu tertawa lirih. "Tuan salah duga. Aku
pun mengalami keadaan seperti Tuan. Sampai sekarang aku
masih belum berhasil untuk mencapai jarak ke dekat Tuan
terbaring, karena seluruh sendi tulang-tulangku sakit bukan
kepalang, karena di dalam tangan Tuan tersimpan aji Sasra
Birawa." Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sahutnya,
"Sekali lagi, maafkan aku."
"Tak apalah..." jawab orang itu, "malahan aku
merasakan suatu keuntungan, mendapat kehormatan
mencicipi ilmu Tuan yang maha dahsyat itu. Dan dengan
demikian aku mengenal Tuan, yang pasti salah seorang
murid dari Paman Pengging Sepuh."
Mahesa Jenar mengangguk perlahan, katanya, "Benar
Tuan, aku tinggal satu-satunya murid yang masih harus
menjunjung tinggi nama kebesaran Ki Ageng Pengging
Sepuh Almarhum. Untung jugalah bahwa aku tidak binasa
kali ini. Kalau hal itu terjadi, berakhirlah nama perguruan
Pengging. Bukankah Tuan telah mempergunakan aji Lebur
Sekethi?" "Terpaksa." gumam orang itu seperti kepada diri sendiri,
"hanya sekadar supaya aku tidak lumat."
"Benar Tuan...," potong Mahesa Jenar, "Tuan sama
sekali benar. Akulah yang terlalu lancang. Tetapi siapakah
sebenarnya Tuan" Bukankah Lebur Sakethi itu menurut
guruku Almarhum dan yang kukenal adalah milik Ki Ageng
Dipayana?" "Tuan menebak dengan tepat." jawab orang itu, "Karena
itu ketika Tuan mengatakan bahwa Tuan adalah orang
Pangrantunan, segera aku menjadi curiga. Sebab SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pangrantunan adalah daerah masa kanak-kanakku. Aku
adalah anak Ki Ageng Sora Dipayana."
"Apakah Tuan yang disebut Ki Ageng Gajah Sora?" tanya
Mahesa Jenar. "Benar Tuan, jawab orang itu, "Akulah yang bernama
Gajah Sora." Mendengar jawaban itu, Mahesa Jenar jadi merenung.
Untunglah bahwa tak terjadi sesuatu dalam pertempuran
tadi. Kalau saja ada salah langkah, maka akibatnya akan
mengerikan. Salah satu diantaranya pasti binasa. Sebab
ajian seperti Sasra Birawa dan Lebur Sakethi mempunyai
daya yang dahsyatnya luar biasa. Tidak hanya sebagai ajian
yang tidak saja dipergunakan menyerang, tetapi juga
bertahan. Sejenak kemudian terdengarlah Ki Ageng Gajah
Sora bertanya kepadanya, "Tetapi sampai sekarang Tuan
belum menyebut nama Tuan."
Mahesa Jenar seperti tersadar dari renungannya, maka
jawabnya, "Namaku adalah Mahesa Jenar."
"Mahesa Jenar?" ulang Gajah Sora. "Aku belum pernah
mendengar nama ini dari ayahku yang sering menyebut-
nyebut nama sahabat-sahabatnya serta murid-muridnya.
Bukankah seorang murid Ki Ageng Pengging itu
terbunuh...?" "Ya," jawab Mahesa Jenar, "Bahkan tidak saja ia
muridnya, tetapi juga putranya."
Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
"Ki Kebo Kenanga.... Bukankah begitu?"
"Ya," jawab Mahesa Jenar pendek.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kakaknya, Ki Kebo Kanigara, kabarnya lenyap tak
meninggalkan bekas," sambung Gajah Sora . "Dan Tuan"
Adakah Tuan mempunyai sebutan yang lain?"
"Semua yang Tuan katakan adalah benar. Akulah yang
sedikit sekali mengenal sahabat-sahabat guruku. Mungkin
ini disebabkan Guru sudah lama melenyapkan diri, dan
akhirnya diketahui bahwa beliau telah wafat, sehingga tidak
banyak yang dapat diceritakan kepadaku. Adapun
mengenai aku sendiri, memang benarlah kata Tuan, sebab
sejak aku menjadi prajurit, aku selalu dipanggil dengan
nama Tohjaya." "Tohjaya..., ya Tohjaya," ulang Gajah Sora, "Kalau nama
ini memang pernah aku dengar. Tidak saja dari ayahku,
tetapi hampir setiap orang menyebutnya sebagai pengawal
raja. Tetapi kenapa Tuan sampai di sini?"
Akhirnya dengan singkat Mahesa Jenar bercerita tentang
segala-galanya yang pernah dialami. Juga tentang
pertemuannya dengan Ki Ageng Sora Dipayana di
Pangrantunan dan pertemuannya dengan Ki Ageng Lembu
Sora. "Memang, anak itu agak bengal," sahut Gajah Sora
kemudian. "Biarlah lain kali aku mengurusnya. Juga tentang
sepasang Uling, yang sampai sekarang masih aku biarkan
saja sambil menunggu orang-orang golongan hitam itu
berkumpul. Tetapi yang penting sekarang, apakah yang kita
lakukan?" Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepala sambil
memandangi mulut goa yang masih saja ternganga seperti
mulut seekor naga raksasa yang siap menelannya.
Beberapa saat ia agak kebingungan. Tetapi akhirnya ia
berkata, "Kalau saja tadi aku tahu bahwa Tuan adalah Ki
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ageng Gajah Sora, maka aku kira aku tidak akan
mengganggu Tuan. Nah Tuan, sekarang terserah kepada
Tuan akan kedua keris itu."
"Tidak," jawab Gajah Sora, "Tuan lebih berhak untuk
mengambilnya serta menyerahkan kembali ke Istana
Demak." "Aku adalah seorang perantau," sahut Mahesa Jenar,
"Aku kira lebih aman kalau Tuan yang menyimpannya
sampai datang waktunya untuk diserahkan kepada yang
berhak nanti." Tampaklah sejenak Gajah Sora merenung menimbang-
nimbang. Akhirnya ia berkata, Baiklah, sekarang kedua
pusaka itu kita ambil dan kita bawa pulang. Bukankah Tuan
sudi singgah ke Banyu Biru sehari dua hari..." Atau sampai
pada saat pertemuan kalangan hitam. Di sana dengan
aman segala sesuatu dapat kita bicarakan.
Tentu saja Mahesa Jenar tidak dapat menolak ajakan itu.
Karena itu ia pun segera mengiakan.
Maka setelah itu, setelah mereka merasa bahwa tubuh
mereka telah dapat dibawa berjalan, masuklah mereka
dengan sangat hati-hati ke dalam goa itu dan langsung
menuju ke ruang dimana kedua pusaka Kiai Nagasasra dan
Kiai Sabuk Inten disimpan. Setelah menyembah beberapa
kali, maka diambillah kedua pusaka itu dan dibawa keluar
seorang satu, dengan tujuan untuk membawanya ke Banyu
Biru, ke rumah Ki A geng Gajah Sora yang untuk selanjutnya
akan dibicarakan penyerahannya kepada yang berhak di
Istana Demak. Tetapi belum lagi mereka sempat meninggalkan daerah
bukit Tidar, tiba-tiba mereka mendengar derap langkah
kuda yang cukup banyak mendaki Gunung Tidar dari arah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
utara. Kedatangan mereka ini sudah pasti sangat
mengejutkan Mahesa Jenar maupun Ki Ageng Gajah Sora.
"Siapakah mereka?" tanya Mahesa Jenar.
"Entahlah," jawab Ki Ageng Gajah Sora sambil
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggelengkan kepalanya. Derap kuda itu semakin lama
semakin dekat, dan tampaknya mereka langsung menuju ke
arah goa. "Mereka menuju kemari," desis Gajah Sora.
"Ya, mereka menuju kemari," ulang Mahesa Jenar.
"Lalu bagaimanakah sebaiknya sikap kita?" Gajah Sora
ingin mendapat pertimbangan.
Dengan keadaan tubuh mereka yang hampir remuk itu,
sudah pasti bahwa mereka tak akan cepat berbuat apa-apa
seandainya yang datang itu akan membahayakan. Karena
itu yang sebaik-baiknya bagi mereka adalah menghindari
orang-orang berkuda itu. "Dengan keadaan kita seperti ini, sebaiknyalah kalau kita
menghindari mereka," kata Mahesa Jenar.
"Baiklah. Marilah kita bersembunyi," jawab Gajah Sora.
Sementara itu, kuda-kuda itu semakin dekat. Segera
Gajah Sora dan Mahesa Jenar mencari tempat untuk
berlindung, di bawah semak yang rimbun.
Belum lagi mereka selesai menempatkan diri, muncullah
dari balik-balik padas beberapa orang berkuda. Meskipun
gelap malam masih menyeluruh, tetapi remang-remang
mereka dapat juga menyaksikan tubuh-tubuh orang-orang
berkuda itu. Tepat di muka goa mereka menghentikan kuda mereka,
dan langsung dengan suara lantang terdengar salah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seorang dari mereka berteriak, "Hei Sima Rodra, sudah
gilakah engkau. Kau biarkan semua penjaga-penjagamu
tidur?" Suara itu melontar memukul dinding-dinding padas dan
dipantulkan kembali berturut-turut beberapa kali. Namun
tak ada jawaban yang terdengar. Berkali-kali orang itu
berteriak-teriak memanggil, tetapi juga tak pernah ada
jawaban. Akhirnya mereka berhenti berteriak-teriak. Salah seorang
dari mereka berkata, "Ada sesuatu yang tidak beres. Hai
salah seorang dari kamu, bangunkan semua orang yang
tidur. Juga pengawal-pengawal gerbang."
"Baik Ki Lurah," jawab salah satu diantaranya. Dan
sejenak kemudian terdengar langkah seekor kuda menjauh.
Sementara itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar beruntung
dapat menyaksikan orang-orang berkuda itu dengan jelas.
Yang berkuda paling depan adalah dua orang yang gagah
tegap, meskipun badannya tidak begitu besar. Mukanya
tampak panjang meruncing, dan masing-masing menggenggam sebuah cemeti panjang. Mereka tampaknya
hampir seperti dua orang kembar.
Ketika Mahesa Jenar sedang menduga-duga, terdengarlah Gajah Sora berbisik, "Itulah Sepasang Uling
dari Rawa Pening. Yang di sebelah kanan itulah yang tua,
yang disebut Uling Putih, sedang yang lain adalah Uling
Kuning." Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Itulah
mereka yang bernama Uling Putih dan Uling Kuning.
Kedatangan mereka sudah pasti untuk menuntut dendam
akibat terbunuhnya salah seorang kepercayaannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebentar kemudian datanglah beberapa orang berlari-lari
ke arah goa itu pula. Mereka adalah anak buah Sima Rodra
yang tertidur karena kekuatan sirep Gajah Sora. Salah
seorang diantaranya, yang gemuk agak pendek, bertubuh
kuat seperti seekor orang hutan, maju mendekati sepasang
Uling yang masih saja duduk di atas kudanya.
Katanya, "Salam kami untuk Sepasang Uling dari Rawa
Pening." Rupanya kakak-beradik Uling itu sama sekali tak
memperhatikan sapa itu. Bahkan salah seorang dari mereka
membentak, "Hai, Sakayon, di manakah suami-istri macan
liar itu?" Rupanya yang dipanggil Sakayon itu tersinggung juga
hatinya. Jawabnya, "Buat apa kau cari mereka?"
"Jangan banyak cakap," bentak Uling Kuning, "Cari
mereka". Terdengar Sakayon mendengus, "Hemm.... Kau kira kau
bisa memerintah aku..." Tanyakan dengan baik, aku akan
menyuruh salah seorang untuk memanggilnya."
Sepasang Uling yang kasar itu menjadi marah. Teriaknya,
"Kalau kau masih juga berlagak, aku patahkan lehermu."
Tetapi Sakayon sama sekali tidak takut. Malahan
terdengar ia tertawa, "Kau jangan main sekarat di sini.
Katakan apa perlumu. Kalau suami-istri Sima Rodra tidak
ada, akulah yang harus menyelesaikan semua soal."
Ternyata Uling Kuning hatinya lebih mudah terbakar
daripada kakaknya. Hampir saja ia memutar cemetinya
kalau Uling Putih tidak mencegahnya. Sedang Sakayon pun
telah pula menarik pedang pendek tetapi besar seperti
tubuhnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Jangan layani dia, Kuning" kata Uling Putih, sambil
menarik kekang kudanya dan melangkah beberapa langkah
maju. "Baiklah Sakayon," katanya, "aku tunduk kepada
peraturanmu. Tolong, katakan kepada Suami-Istri Sima
Rodra bahwa aku ingin menemui mereka."
Sakayon yang merasa mendapat kemenangan, membusungkan dadanya sambil menjawab, "Itulah namanya tamu yang tahu diri." Lalu katanya kepada salah
seorang anak buahnya, "Panggilkan Ki Lurah. Katakan
bahwa kakak-beradik dari Rawa Pening ingin menemuinya."
Orang yang disuruhnya itu segera berlari ke dalam goa.
Tetapi sebentar kemudian ia telah muncul kembali dengan
nafas yang terengah-engah. Katanya dengan gugup,
"Kakang Sakayon..., Ki Lurah tidak ada di dalam goa.
Bahkan ruang penyimpanan yang tidak pernah terbuka itu
pun tampaknya telah dibuka dengan paksa."
"Hei...!" teriak Sakayon terkejut. Tanpa mengucapkan
sepatah katapun lagi ia meloncat dengan tangkasnya masuk
ke dalam goa. Menilik geraknya maka Sakayon pun pasti
termasuk orang yang berilmu tinggi. Mungkin ia adalah
kepercayaan Suami-Istri Sima Rodra. Sakayon telah keluar
dari dalam goa. Gerak-geriknya menunjukkan kegelisahan
hatinya. Sejenak kemudian tanpa berkata apapun ia berlari
kesamping goa dimana Sima Rodra tadi lenyap.
"Mereka telah mempergunakan pintu rahasia ini"
teriaknya, "Pasti terjadi sesuatu atas mereka".
Kemudian kembali ia berlari ke arah tamu-tamunya.
Katanya dengan nafas yang memburu, "Mereka telah
lenyap. Untuk tiga hari setidak-tidaknya kalian tak akan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dapat menemui mereka. Sedangkan kedua pusaka yang
disimpannya itu telah lenyap pula. Kalau yang mengambil
Suami-Istri Sima Rodra, mereka tidak perlu memecahkan
pintu." "Keris itu lenyap...?" tanya Uling Putih. Suaranya pun
menunjukkan suatu kecemasan yang sangat. "Kalau kata-
katamu betul, pasti akan menimbulkan suasana yang panas
dalam pertemuan kami nanti."
Uling Kuning yang lebih kasar itu tidak berkata apapun,
tetapi segera ia meloncat turun dari kudanya dan langsung
masuk goa. "Kau tidak percaya"," teriak Sakayon, "Baiklah, lihatlah
sendiri." Rupanya Uling Putih tidak tega membiarkan adiknya
memasuki goa seorang diri. Sebab mungkin ada hal-hal
yang tidak beres. Karena itu ia pun segera meloncat turun
dan cepat-cepat menyusul memasuki goa itu.
Sejenak suasana menjadi sepi. Masing-masing diam
sambil menunggu kakak-beradik itu keluar dari mulut goa.
Sementara itu, ketika semua perhatian dicurahkan ke
mulut goa, berbisiklah Gajah Sora, "Tuan, bukankah kita
dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyingkir
dari kandang macan ini" "
Rupanya Mahesa Jenar pun telah memperhitungkan
demikian, sehingga ia segera menyetujuinya. "Baik Tuan,
tetapi jalan mana yang akan kita lalui?"
"Apakah Tuan belum melihat gerbang dari benteng Sima
Rodra ini?" tanya Gajah Sora.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Belum," jawab Mahesa Jenar, "Aku memasuki halaman
ini dengan memanjat dinding belakang."
Tampaklah Gajah Sora tersenyum. Katanya, "Akh, Tuan
kurang hati-hati. Seharusnya Tuan mengetahui lebih dahulu
sebelum berbuat sesuatu, arah-arah mana yang dapat Tuan
lewati kalau bahaya datang. Atau setidaknya Tuan telah
memiliki pengetahuan tentang itu."
Mahesa Jenar tersenyum pula, katanya, "Tuan benar.
Aku memang kurang hati-hati. Tetapi apakah sekarang kita
dapat melewati gerbang?"
"Tentu," jawab Gajah Sora, "Orang-orang yang
menjaganya sedang berkumpul di sini."
"Kalau demikian marilah kita pergi," sahut Mahesa Jenar
lagi. Maka sebentar kemudian, Gajah Sora dan Mahesa Jenar
dengan hati-hati sekali menyelinap dari satu rumpun ke
rumpun yang lain, dari balik padas yang satu ke padas yang
lain. Selangkah demi selangkah mereka berhasil mendekati
gerbang yang menghadap ke utara. Gerbang ini dalam
keadaan biasanya selalu dijaga dengan kuatnya oleh orang-
orang kepercayaan Sima Rodra. Tetapi orang-orang itu
sekarang sedang berkumpul di depan goa untuk dapat
mencegah kalau sepasang Uling itu akan berbuat sesuatu.
Maka dengan tidak banyak mendapat kesulitan, Gajah Sora
dan Mahesa Jenar berhasil keluar melewati gerbang yang
menganga tak terjaga. Setelah itu, setelah mereka berada
di luar, segera mereka meloncat ke dalam semak-semak
dan menjauhi benteng Sima Rodra itu dengan mengambil
jalan menyusup rumpun-rumpun liar dan menjauhi jalan
yang semestinya. Dengan keadaan tubuh mereka yang
hampir remuk itu, mereka harus dengan hati-hati sekali
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menuruni tebing yang curam serta menloncati padas-padas
yang rumpil. Untunglah bahwa mereka berdua mempunyai
dasar kecekatan yang cukup, sehingga meskipun dengan
susah payah pula mereka dalam waktu singkat telah dapat
mencapai dataran di sebelah bukit kecil itu.
Tetapi demikian mereka merasa bahwa jalan yang akan
mereka lalui tidak lagi sulit, mereka mendengar lamat-lamat
derap kuda yang keluar dari gerbang benteng bukit Tidar,
yang semakin lama terdengar semakin jauh. Rupanya
sepasang Uling dari Rawa Pening itu ketika sudah yakin
bahwa Suami-Istri Sima Rodra tak dapat mereka temui,
serta sepasang keris itu tidak lagi berada di tangan mereka,
mereka merasa bahwa tak ada gunanya lagi tinggal terlalu
lama di Bukit Tidar. Setelah suara derap kuda itu lenyap,
kembali Gajah Sora dan Mahesa Jenar melanjutkan
perjalanan untuk secepat-cepatnya menjauhi gunung Tidar.
Untuk menghilangkah jejak, mereka tidak langsung b erjalan
ke timur, tetapi mula-mula mereka melingkar ke barat
untuk selanjutnya membelok ke utara, ke Banyu Biru.
Di perjalanan, ternyata bahwa Gajah Sora dan Mahesa
Jenar yang baru saja berkenalan itu menjadi begitu akrab,
seolah-olah mereka telah berkenalan bertahun-tahun.
Dalam banyak hal mereka selalu bersamaan pendapat dan
perhitungan. Setelah beberapa lama mereka berjalan, serta mereka
sudah yakin benar bahwa orang-orang Sima Rodra tidak
lagi dapat menemukan mereka, mereka merasa perlu untuk
beristirahat, untuk menyegarkan tubuh mereka. Maka
dicarilah tempat yang sesuai untuk sekadar melepaskan
lelah. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi demikian mereka duduk bersandar di pepohonan,
karena lelah dan tegang yang dialaminya beberapa saat
yang lalu, segera mereka jatuh tertidur.
Demikian nyenyaknya, sehingga mereka sama sekali tak
merasa bahwa malam telah lama lewat, dan matahari telah
tinggi di langit. Ketika cahaya matahari itu, menerobos
daun-daun dan memanaskan tubuh mereka, kedua orang
yang kelelahan itu baru terbangun. Terasalah sesudah
mereka beristirahat benar-benar, meskipun hanya sebentar,
tubuh mereka menjadi bertambah segar. Meskipun masih
saja terasa agak kaku-kaku dan nyeri, namun mereka telah
sanggup untuk berdiri tegak dan melangkah dengan
tangkas, berkat daya tahan tubuh mereka yang cukup kuat.
Setelah mereka mencuci muka serta sekadar minum air
dari sumber yang ditemukannya di dekat mereka
beristirahat, mulailah mereka melanjutkan perjalanan. Mula-
mula mereka akan singgah ke Pangrantunan untuk
menemui Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi setelah
dipertimbangkan untung-ruginya, mereka membatalkan
maksud itu. Di perjalanan pulang itu, barulah mereka
mengetahui bahwa wajah-wajah mereka tampaknya seperti
berubah. Beberapa noda biru dan bengkak-bengkak tampak
di sana-sini. Hal itu menunjukkan betapa hebatnya
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkelahian mereka semalam. Sehingga apabila mereka
saling memandang, mereka menjadi tertawa sendiri. Di
samping itu, dalam hati masing-masing timbullah rasa
kagum satu sama lain. Sebab dalam pertempuran dan
perkelahian yang mereka alami sebelum itu, jarang tubuh
mereka dapat disakiti, apalagi sampai biru-biru dan
bengkak-bengkak. Juga perasaan Gajah Sora dan Mahesa
Jenar juga menjadi geli bercampur heran. Kenapa Ki Ageng
Sora Dipayana begitu yakin bahwa cara perkenalan yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
aneh itu tidak akan membawa akibat yang dapat
berbahaya. Sebab rupanya, dengan memberi banyak
petunjuk kepada Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana
memang bermaksud untuk mempertemukannya dengan
Gajah Sora yang kebetulan juga sedang disuruhnya
mengambil kedua pusaka itu, tanpa memberitahukan lebih
dahulu. Dengan wajah-wajah yang demikian, apabila mereka
singgah di Pangrantunan, tentu akan menimbulkan
kecurigaan. Baik kepada mereka sendiri maupun kepada Ki
Ageng Sora Dipayana yang menyamar sebagai seorang
petani miskin. Karena itu mereka berketetapan hati untuk melangsungkan saja perjalanan mereka ke Banyu Biru.
Pada malam berikutnya mereka bermalam pula di
tengah-tengah hutan. Sengaja mereka tidak menuruti jalan
ke Bergota karena mereka merasa bahwa barang-barang
yang mereka bawa adalah bukan barang biasa, yang
apabila sampai diketahui orang akan dapat banyak
menimbulkan kerepotan. Seperti juga malam kemarin, karena lelah dan mereka
belum pulih seluruhnya, Gajah Sora dan Mahesa Jenar
demikian meletakkan tubuhnya, demikian mereka mendengkur nyenyak sekali. Tetapi malam ini ternyata tidak
setenteram malam kemarin. Belum lagi mereka melampaui
tengah malam, mendadak terasa tubuh mereka dikenai
sesuatu. Gajah Sora dan Mahesa Jenar adalah orang-orang
yang pernah mengalami latihan-latihan jasmaniah maupun
kesiagaan batin. Maka demikian tubuh mereka kena
sentuhan yang tidak wajar, demikian mereka meloncat
berdiri dan dalam sekejap mereka telah bersiaga.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dan tepat pada saatnya, terdengarlah gemerisik
dedaunan disamping mereka, dan dengan suatu auman
yang dahsyat meloncatlah seekor harimau hitam yang
besarnya bukan kepalang, menerkam Mahesa Jenar.
Untunglah bahwa tubuh Mahesa Jenar telah agak terasa
baik, sehingga dengan menjatuhkan diri ia bebas dari
terkaman harimau hitam itu. Bahkan tiba-tiba ia menjadi
marah sekali atas gangguan yang mendadak datangnya.
Karena itu ia tidak menanti lebih lama lagi. Saat itu pula
segera ia mengatur jalan pernafasan menurut ajaran
gurunya, menyilangkan tangan kirinya di muka dada serta
mengangkat tangan kanannya, satu kakinya ditekuk ke
depan. Dan dengan menggeram penuh kemarahan, ia
meloncat ke arah harimau yang baru saja menjejakkan
kakinya keatas tanah itu, berbareng dengan mengayunkan
pukulan Sasra Birawa. Tetapi ketika tangannya sudah
hampir menyentuh tubuh harimau itu, tiba-tiba dengan
gerakan aneh harimau itu berguling-guling tangkas sekali
sehingga pukulan Mahesa Jenar yang dilambari kekuatan
ilmu Sasra Birawa itu tidak mengenai sasarannya. Dengan
demikian ia terseret oleh kekuatannya sendiri sehingga
hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Untunglah bahwa
dengan cepat Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya
kembali sehingga ia tidak jatuh tertelungkup. Tetapi pada
saat yang demikian, pada saat dimana Mahesa Jenar masih
belum dapat menguasai keseimbangan sepenuhnya,
harimau itu telah siap merobek-robeknya. Untunglah bahwa
kawan seperjalanannya bukan pula orang kebanyakan. Ia
menyaksikan kegagalan Mahesa Jenar dengan penuh
keheranan. Heran atas sikap seekor harimau yang dengan
tangkas dapat membebaskan dirinya dari pukulan maut
Mahesa Jenar, bahkan harimau itu telah siap pula untuk
menerkamnya. Karena itu Gajah Sora tidak mau kehilangan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
waktu. Cepat seperti kilat ia meloncat sambil merentangkan
tangannya, yang sesaat kemudian telah menyilang
dadanya. Dengan suatu gerakan melingkar lewat atas
kepalanya ia menghantam harimau itu dengan dahsyatnya.
Bahkan Gajah Sora telah mempergunakan ilmunya Lebur
Sakethi. Melihat serangan yang tiba-tiba datang itu,
harimau hitam biasa meloncat menghindari pukulan Lebur
Saketi yang tidak pula kalah dahsyatnya. Juga kali ini Gajah
Sora tak berhasil mengenainya. Tetapi sementara itu,
Mahesa Jenar telah dapat menguasai diri sepenuhnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sehingga demikian ia melihat harimau itu berhasil
menghindari pukulah Gajah Sora, demikian Mahesa Jenar
mengulangi serangannya dengan ilmunya Sasra Birawa. Kali
ini harimau hitam yang sedang mengelak itu tidak sempat
berbuat apa-apa. Tangan Mahesa Jenar berhasil mengenai
tengkuknya. Harimau itu meloncat tinggi-tinggi dan
mengaum hebat sekali. Gajah Sora, yang menjadi marah
pula, tidak mau membiarkan harimau itu, karenanya
sebelum harimau itu jatuh di tanah ia telah mengulangi pula
serangannya dengan aji Lebur Sakethi. Akibat dari dua pukulan maha dahsyat itu hebat sekali.
Harimau hitam itu terpental beberapa langkah.
Tetapi alangkah terkejut mereka berdua, ketika Gajah
Sora dan Mahesa Jenar menyaksikan harimau itu jatuh
berguling-guling dan kemudian menggeliat dan seperti
melenting ia meloncat dan bangun berdiri. Ya, berdiri di
atas dua kaki seperti manusia berdiri. Akhirnya, barulah
Gajah Sora dan Mahesa Jenar sempat menyaksikan bahwa
yang berdiri di hadapannya sama sekali bukanlah seekor
harimau hitam, tetapi benar-benar seorang manusia yang
berkerudung kulit harimau berwarna hitam. Karena itu
darah mereka bergolak hebat. Manusia itu, yang berdiri di
hadapannya, pasti bukan manusia biasa, sebab ia telah
dapat membebaskan dirinya dari akibat pukulan-pukulan
Lebur Sakethi dan sekaligus Sasra Birawa.
Orang yang berkerudung kulit harimau hitam itu berdiri
dengan angkuhnya. Tubuhnya gagah besar melampaui
ukuran yang biasa. Jambang dan janggutnya tidaklah
begitu lebat, tetapi hampir memenuhi seluruh mukanya.
Matanya tampak bercahaya di dalam gelap, benar-benar
seperti mata seekor harimau. Dalam cahaya bintang yang
samar-samar, Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berpandangan tajam itu dapat menyaksikan bahwa wajah
orang itu pastilah bengis dan kejam. Sebentar kemudian
terdengarlah ia menggeram perlahan-lahan, lalu terdengarlah suaranya dalam sekali, "Pukulan kalian luar
biasa dahsyatnya. Terasa betapa sakit dan nyerinya. Karena
itu, kau telah berbuat kesalahan dalam dua hal. Mengambil
kedua pusaka itu dan menyakiti tubuhku. Akibatnya adalah
dua hal pula, kembalikan keris itu dan aku akan membalas
pukulan kalian. Kalau kalian mati karena pukulanku
bukanlah salahku." Mendengar kata-kata itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar
menjadi gemetar karena marah. Biarpun orang itu tidak
dapat dibunuhnya karena kesaktian andalan mereka yang
terakhir, tetapi mereka bukanlah anak-anak kecil yang
harus menerima saja hukuman dari orang tuanya. Karena
itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera menyiagakan diri
untuk bersama-sama menghadapi bahaya yang besar, dan
untuk taruhan yang besar pula, yaitu kedua keris Pusaka
Demak dan nyawa mereka, maka menurut pertimbangan
Gajah Sora dan Mahesa Jenar, tidaklah mereka bersalah
apabila mereka terpaksa mempergunakan keris-keris yang
sedang mereka pertahankan mati-matian itu. Karena itu,
tangan Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera melekat pada
ukiran keris yang mereka bawa masing-masing.
Melihat gelagat itu, orang yang berkerudung kulit
harimau itu berdesis, "Hem.., kalian akan mempergunakan
Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten itu untuk melawan aku.
Bagus. Memang tak seorangpun di dunia ini yang akan
dapat tetap hidup meskipun hanya tergores seujung rambut
saja. Tetapi aku harus meyakinkan kalian, bahwa kalian tak
akan dapat menyentuh tubuhku dengan kedua pusaka itu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Habis mengucapkan kata-kata itu, orang itu segera
bersiap untuk menyerang Gajah Sora dan Mahesa Jenar.
Bagaimanapun beraninya Gajah Sora dan Mahesa Jenar,
hati mereka bergetar juga. Tergetar karena menghadapi
bahaya yang mungkin akan dapat menggagalkan tugas
mereka untuk menyelamatkan Kiai Nagasasra dan Sabuk
Inten. Sejenak kemudian seperti angin menyambar, orang itu
mulai dengan serangannya. Alangkah dahsyatnya, Gajah
Sora dan Mahesa Jenar segera memencarkan diri, dan tak
ada pilihan lain kecuali mencabut kedua pusaka yang
mereka bawa yang kemudian sejenak diungkulkan di atas
kepala masing-masing. Kiai Nagasasra berbentuk seekor
naga bersisik emas, yang memancarkan cahaya kuning
menyilaukan, sedang Kiai Sabuk Inten yang ber-luk 11
tampak berkilat-kilat memancarkan cahaya yang kebiru-
biruan. Gajah Sora dan Mahesa Jenar meskipun tidak dapat
menyamai kecepatan gerak lawannya tetapi mereka bukan
pula anak-anak ingusan. Apalagi di tangan mereka sekarang
bercahaya-cahaya pusaka yang tiada taranya. Karena itu
orang yang berkerudung kulit harimau itupun tidak berani
merendahkan. Segera mereka bertiga terlibat dalam satu
pertempuran yang luar biasa hebatnya. Tampaklah sebuah
bayangan hitam menyelinap menyusup dan kemudian
meloncati gumpalan-gumpalan cahaya kuning yang silau
dan cahaya biru yang gemerlapan. Itulah cahaya dari kedua
pusaka itu di tangan orang-orang yang hampir sempurna
olah senjata. Tetapi ternyata apa yang dikatakan orang itu benar-
benar terjadi. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang sudah
bekerja mati-matian, sama sekali tak berhasil menyentuh
kulit lawannya dengan senjata-senjatanya. Hanya untunglah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bahwa karena kedua pusaka itu pula, lawan mereka belum
juga berhasil dapat mengenai tubuh mereka. Kalau saja
Gajah Sora atau Mahesa Jenar sampai tersinggung oleh
tangan hantu itu, pastilah kulit mereka akan robek.
Akhirnya, ketika pertempuran itu sudah berlangsung
beberapa saat, dan masih saja Gajah Sora dan Mahesa
Jenar memberikan perlawanan yang sengit, orang yang
berkerudung kulit harimau itu tidak sabar lagi. Ia meloncat
beberapa langkah ke belakang, dan dengan gerak yang
menakutkan ia menggetarkan tubuhnya sambil mengaum
mengerikan. Sesaat kemudian ia telah siap untuk
mengadakan serangan-serangan terakhir yang mematikan.
Meskipun Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak mengerti arti
dari gerakan-gerakan itu, mereka yakin bahwa saat yang
menentukan segera akan tiba.
Gajah Sora dan Mahesa Jenar pun segera mempersiapkan diri. Mereka berdiri kira-kira berjarak 3
sampai 4 langkah, yang dapat dicapainya dalam satu
loncatan. Mereka sudah bertekad untuk bertempur sampai
kemungkinan yang terakhir. Kalau mereka berdua harus
mati, maka setan itu pun harus dapat dilukainya pula
dengan salah satu dari kedua keris itu, sehingga ia pun
pasti akan mati pula. Orang yang berkerudung kulit harimau itu setelah
berhenti mengaum segera bersikap seperti akan menerkam.
Tangannya terjulur ke depan, sedangkan jari-jarinya
dikembangkan. Melihat sikap itu, segera Gajah Sora dan
Mahesa Jenar teringat kepada istri Sima Rodra yang
bertempur dengan cara yang serupa. Tetapi orang ini
ternyata mempunyai ketinggian ilmu yang berlipat-lipat.
Sejenak kemudian, hampir pada saat orang itu meloncati
Gajah Sora, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
nyaring meskipun tidak terlalu keras. Kemudian disusul
gemerisik daun-daun yang tergetar karena suara tertawa
itu. Alangkah besar tenaga yang dilontarkan lewat suara
yang tidak begitu keras itu.
Mendengar suara itu, orang berkerudung kulit harimau
itu tampak terkejut bukan main. Dan keadaan itu sangat
mengejutkan Gajah Sora dan Mahesa Jenar pula. Mereka
telah terkejut karena getaran suara itu, disusul oleh sikap
orang yang berkerudung itu.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang berkerudung itu kemudian menegakkan kepalanya. Ia menggeram hebat menunjukkan kemarahannya. Kemudian terdengar ia berkata, "Hem...,
apa kepentinganmu dengan mengganggu pekerjaanku?"
Dan terdengarlah jawaban yang lunak halus hampir
seperti suara perempuan, katanya, "Terhadap anak-anak itu
kau sudah akan mempergunakan ajimu Macan Liwung?"
"Apa pedulimu?" jawab orang itu.
"Banyak kepentinganku atasnya, mereka adalah murid-
murid sahabatku. Dan bukankah persoalan itu adalah
persoalan anak-anak. Sebaiknya orang tua tidak usah ikut
campur," jawab suara itu.
Sebaiknya kau mengurus kepentinganmu sendiri, sahut
orang berkerudung itu. "Ini juga termasuk kepentinganku," jawab suara itu pula.
"Aku tidak pedulikan kau," potong orang berkerudung
itu. "Tetapi aku mempedulikan kau. Kalau kau memaksa pula
untuk mencampuri perkara anak-anak. Baiklah kita yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tua-tua ini membuka permainan sendiri. Sedang anak-anak
biarlah mereka belajar menyelesaikan masalah mereka."
"Gila.... Selamanya kau gila. Kau berharap dapat
mengalahkan aku sekarang?"
"Tidak." jawab orang itu, "Aku tahu bahwa aku tak akan
mengalahkan kau. Tetapi setidak-tidaknya kau juga tidak
akan dapat mengalahkan aku. Dan permainan itu akan
memberi kesempatan kepada anak-anak itu untuk
berlindung pada bapak-bapaknya. Karena ada seorang
bapak telah ikut campur pula."
Suara orang asing yang lunak dan mirip suara
perempuan itu terang berasal dari belakang Gajah Sora dan
Mahesa Jenar. Meskipun demikian, Gajah Sora dan Mahesa
Jenar tidak berani menoleh ke belakang. Mereka tahu
bahwa orang itu pasti tidak akan bermaksud jahat, sebab
kalau demikian sudah sejak tadi ia dapat membunuhnya
dari arah punggung. Apalagi ketika mereka berdua
mendengar pembiaraannya dengan orang yang berkerudung itu, hati mereka seperti disiram embun.
Tetapi meskipun demikian mereka hampir tak berani
berkedip. Sebab setiap saat orang yang berkerudung itu
dapat meloncatinya dan merebut pusaka-pusaka itu, yang
barangkali malahan dapat dipergunakan untuk melawan
orang yang berada di belakangnya itu.
Sebentar kemudian kembali orang berkerudung itu
menggeram. Katanya, "Jangan coba halangi aku."
Sesudah itu terjadilah suatu hal diluar daya pengamatan
Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Meskipun mereka berdua
termasuk orang-orang yang disegani karena kesaktiannya,
tetapi mereka samasekali tidak dapat menangkap gerakan
orang berkerudung itu. Apa yang dilihatnya hanyalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seperti pancaran kilat yang membelah langit, sedemikian
tiba-tiba dan berlangsung cepat sekali. Orang berkerudung
itu tahu-tahu rasanya sudah melekat di pelupuk mata Gajah
Sora. Kemudian segera disusul dengan peristiwa yang sama
cepatnya. Sebuah benturan yang luar biasa dahsyat terjadi
di hadapan mata Gajah Sora dan Mahesa Jenar tanpa dapat
diketahui permulaannya. Apa yang mereka ketahui kemudian adalah orang
berkerudung itu telah berdiri berhadap-hadapan dengan
seorang yang berperawakan kecil. Sikapnya pun mirip
dengan suaranya. Sama sekali tidak gagah dan garang,
tetapi justru mirip sikap seorang perempuan.
Orang itu berdiri dengan tubuh masih bergetar diantara
Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Dan dihadapannya berdiri
orang berkerudung itu, yang juga tampak sedang berusaha
menguasai keseimbangannya.
"Kau benar-benar akan mencampuri urusanku?" bentak
orang berkerudung itu. "Sudah aku katakan sejak tadi," jawab orang yang mirip
dengan perempuan itu. Kemudian tampaklah orang berkerudung itu memandangi
berganti-ganti Gajah Sora, Mahesa Jenar dan orang asing
itu. Mukanya yang hampir seluruhnya ditumbuhi rambut
yang jarang-jarang itu tampak berkerut. Lalu katanya
dengan suara parau, "Baiklah, aku tidak dapat melawan
kalian bertiga. Tetapi jangan mengira bahwa aku telah
melepaskan kepentinganku atas kedua anak-anak yang
bermain-main dengan pusaka-pusaka itu." Setelah berkata
demikian, segera ia meloncat tak ubahnya seekor harimau
dan kemudian menyusup lenyap di gerumbul liar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah orang berkerudung itu tidak nampak lagi,
berkatalah orang asing itu kepada Gajah Sora dan Mahesa
Jenar. "Guru kalian ternyata kurang hati-hati. Untunglah
aku melihat harimau itu, sedang kalian tidur nyenyak.
Sehingga aku terpaksa membangunkan kalian dengan batu.
Seharusnya guru kalian tidak melepaskan kalian tanpa
pengawasannya." Gajah Sora dan Mahesa Jenar kemudian dengan
membungkuk hormat mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya, dan dengan agak berdebar-debar Gajah
Sora mencoba bertanya, "Bolehkah aku mengetahui,
siapakah Tuan?" Orang itu tersenyum, jawabnya, "Tidaklah gurumu
pernah berceritera tentang aku?"
Gajah Sora mengernyitkan alisnya sambil mengingat-
ingat ceritera gurunya tentang sahabat-sahabatnya. Mahesa
Jenar juga mencoba untuk menebak-nebak siapakah
kiranya yang berdiri dihadapannya itu. Tiba-tiba mereka
hampir bersamaan teringat kepada ceritera guru masing-
masing. Pendekar sakti yang menurut istilah guru mereka,
sama sekali tampangnya tak berarti. Mungkin orang inilah
yang dimaksud. Maka dengan hampir bersamaan pula
mereka mengucapkan sebuah nama, "Tuankah yang
bergelar Titis Anganten dari Banyuwangi?"
Kembali orang itu tersenyum, jawabnya, "Nah ternyata
kalian kenal aku. Guru-gurumu pasti pernah berkata
tentang orang yang tampangnya tak berarti," Lalu
terdengarlah ia tertawa nyaring.
"Aku dengar Kakang Pengging Sepuh telah wafat,"tanyanya tiba-tiba kepada Mahesa Jenar. Mahesa
Jenar tertegun. Rupanya dengan tepat orang itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengetahui bahwa ia adalah murid Ki Ageng Pengging
Sepuh. Maka segera ia pun menjawab, "Benar apa yang
Tuan katakan." Orang itu mengangguk-angguk, katanya kemudian, "Dan
tidakkah Kakang Sora Dipayana mengetahui bahwa Macan
Ireng itu berada di sini."
Gajah Sora segera menjawab, "Mungkin Tuan, sebab
guru tak pernah menyebutkan itu."
"Mungkin," sahut orang yang ternyata adalah Titis
Anganten. "Sebab kedatangannya belum seberapa lama.
Ketika aku ketahui bahwa alas Lodaya kosong, segera aku
pergi ke Gunung Tidar. Ketahuilah bahwa orang itulah yang
sebenarnya bernama Sima Rodra. Ia adalah ayah dari isteri
Sima Rodra yang sekarang. Dan terkaanku adalah tepat. Ia
pergi mengunjungi anak perempuannya di Gunung Tidar.
Beberapa lama aku terpaksa mengeram mengawasinya.
Jadi aku dapat melihat seluruhnya yang terjadi di muka goa
Sima Rodra. Aku dapat melihat kedatangan kalian dari arah
yang berbeda. Dan aku terpaksa membantu ketajaman
sirep yang kau sebarkan, sebab Sima Rodra itupun telah
mencoba melawannya. Dan karena kami lakukan berdua,
maka sirep kamipun menang. Untunglah bahwa Sima Rodra
berdua itu berlari ke dalam pintu rahasia, sehingga ayahnya
memerlukan waktu untuk keluar melalui lobang yang lain
sehingga ia baru dapat menyusul kalian sekarang ini. Dan
agaknya karena kedatangannya itu ingin dirahasiakan, dan
karena kepercayaannya kepada anaknya, ia tidak merasa
perlu untuk membantu"
Persoalannya menjadi jelas bagi Mahesa Jenar dan Gajah
Sora. Ternyata ketika mereka tertidur nyenyak, mereka
telah dibangunkan oleh Titis Anganten. Itulah sebabnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mereka merasa seperti dilempar dengan batu. Dan apa
yang mereka hasilkan sekarang, sebagian adalah karena
jasa orang itu pula. Karena itu, sekali lagi mereka mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga. "Tetapi.." katanya Titis Anganten kepada Mahesa Jenar,
"sampai sekarang aku masih belum mengenal nama-nama
kalian. Siapakah namamu anak muda"."
"Namaku Mahesa Jenar, Tuan. Sebagai seorang prajurit
aku disebut Ronggo Tohjaya," jawab Mahesa Jenar.
Titis Anganten mengangguk-angguk. "Sudah lama sekali
aku tak bertemu dengan Kakang Pengging Sepuh, sehingga
aku belum mengenal nama murid-muridnya." Sahutnya,
"Sedang apa yang kau lakukan terhadap lawan-lawanmu
dengan Sasra Birawa yang terkenal itu, kau benar-benar
mengingatkan aku kepada gurumu. Kelak kalau telah
mengendap benar-benar dan dapat menguasai setiap
saluran nafasmu dengan baik, maka dapat diharapkan
bahwa kau setidak-tidaknya akan dapat menyamai gurumu.
Hanya sayang bahwa gurumu itu tidak lagi berkesempatan
menuntunmu lebih lama lagi, sehingga kau harus berjuang
sendiri untuk mencapai kesempurnaan." Kemudian Titis
Anganten bertanya kepada Gajah Sora, "Ilmumu Lebur
Seketi ternyata sedikit lebih masak dari Mahesa Jenar.
Siapakah namamu?" "Aku bernama Gajah Sora, Tuan," jawab Gajah Sora.
Titis Anganten mengernyitkan alisnya. Katanya kemudian, "Namamu mirip dengan nama gurumu. Mungkin
kau tidak saja muridnya. Menilik wajahmu yang mirip
dengan wajah Kakang Sora, aku sejak tadi sudah mengira
bahwa kau adalah anaknya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Benar Tuan..." jawab Gajah Sora, "aku adalah anaknya
yang sulung," Kembali Titis Anganten mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambungnya, "Mungkin karena gurumu yang
bahkan ayahmu masih selalu dapat mendampingimu itulah
maka ilmumu agak lebih masak sedikit dari Mahesa Jenar.
Tetapi bagaimanapun aku telah dapat menyaksikan suatu
pertunjukan yang luar biasa. Sasra Birawa beradu dengan
Lebur Seketi. Dua macam ilmu yang tak ada bandingnya."
Mendengar pujian itu, Mahesa Jenar dan Gajah Sora
agak canggung pula. "Nah sekarang sarungkan pusaka-pusaka itu," kata Titis
Anganten lebih lanjut. Kata-kata itu telah menyadarkan Gajah Sora dan Mahesa
Jenar bahwa sejak tadi kedua pusaka keramat itu masih
saja digenggamnya erat-erat. Karena itu maka setelah
diungkupkan di atas kepala masing-masing, keris itu
kemudian disarungkan kembali.
"Sekarang...", kata Titis Anganten melanjutkan, "untuk
sementara kalian akan aman. Macan Ireng itu pasti tidak
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 7 Sembilan Pusaka Wasiat Dewa Pengelana Tangan Sakti Karya Lovely Dear Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 3