Para Ksatria Penjaga Majapahit 10
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 10
Gajahmada hanya menggunakan ilmu meringankan
tubuhnya, melesat cepat menghindari sambaran kilat
yang berasal dari ilmu sakti Ki Secang yang lain.
Namun belum sempat Gajahmada menjejakkan
kakinya, sebuah sambaran kilat telah memburunya.
Beruntung Gajahmada sudah memiliki tataran ilmu
meringankan tubuh yang nyaris amat sempurna, seperti
terbang saja layaknya Gajahmada langsung melenting ke
samping. Namun sambaran kilat seperti terus
memburunya kemanapun diri Gajahmada bergerak
menghindar. Dan jalan tanah kota Kadipaten Blambangan yang
menjadi kancah pertempuran itu terlihat sudah
terbongkar terkena sasaran sambaran kilat ilmu sakti Ki
Secang yang amat dahsyat itu. Tiga buah pohon
tumbang terkena sambaran ilmu sakti Ki Secang yang
meleset. Terlihat beberapa prajurit harus berlari menjauh,
takut terkena salah sasaran.
Melihat dampak dari serangan ilmu sakti Ki Secang
yang amat dahsyat itu telah membuat Gajahmada harus
berpikir keras, bagaimana caranya melumpuhkan Ki
Secang tanpa harus membunuhnya.
Nampaknya Gajahmada telah menemukan jawabannya, terlihat dirinya tidak lagi hanya menghindar,
terlihat sudah langsung membuat tekanan, membuat
serangan balasan dengan cambuk pendeknya.
Akhirnya, dalam beberapa kali serangan, ujung
cambuk Gajahmada berhasil menyentuh kulit tubuh Ki
670 Secang. Dua sampai tiga kali ujung cambuk Gajahmada
berhasil menyentuh tubuh Ki Secang, namun tidak
dirasakan oleh Ki Secang, Hal itu telah membanggakan
diri Ki Secang yang merasa bahwa tenaga sakti
Gajahmada masih berada dibawahnya, merasa bahwa
lawannya itu hanya punya ilmu meringankan tubuh yang
hebat, hanya bisa menghindar tanpa punya kekuatan
tenaga sakti yang dapat diandalkan.
Namun manakala ujung cambuk Gajahmada untuk ke
sekian kalinya kembali menyentuh kulit tubuhnya,
barulah dirasakan dampak dari sentuhan-sentuhan ujung
cambuk Gajahmada itu. "Ilmu setan dedemit", berkata Ki Secang dalam hati
merasakan tenaganya menjadi semakin lemah,
kemampuan menghentakkan ilmu saktinya menjadi
semakin berkurang. Ki Secang melihat sendiri hasil
sambarannya ilmu saktinya tidak lagi dapat menghancurkan sebuah bongkahan batu besar yang
terkena sasaran bidiknya.
Akhirnya setelah kembali beberapa sentuhan ujung
cambuk Gajahmada menyentuh dirinya, barulah Ki
Secang menyadari sungguh-sungguh bahwa tenaganya
yang terkuras itu akibat ajian ilmu lawannya, sebuah
ajian ilmu yang sudah sangat langka yang pernah
didengarnya. "Ajian lampah-lumpuh", berkata Ki Secang sambil
melompat mundur beberapa langkah.
Ternyata dugaan Ki Secang memang benar,
Gajahmada telah melepaskan ajian yang setara dengan
ajian lampah-lumpuh sebagaimana yang dikatakan oleh
Ki Secang. Namun sebenarnya adalah sebuah ajian
671 Pangeran Muncang yang dilakukan dengan cara terbalik
yang dapat menyerap tenaga hawa murni lawan
tempurnya itu, sebuah ilmu ajian yang pernah diwariskan
kepadanya oleh seorang sakti dari Tanah Pasundan,
Sang Prabu Guru Darmasiksa.
Namun kesadaran Ki Secang sudah terlambat, tiga
perempat tenaga hawa murninya telah terserap ke dalam
diri Gajahmada. Tenaga hawa murni yang telah
diendapkannya lewat semadhi puluhan tahun telah hilang
dalam waktu yang pendek, terserap menjadi kekuatan
baru di dalam tubuh Gajahmada.
"Bagaimana Ki Secang, apakah kamu masih ingin
melanjutkan pertempuran ini?" berkata Gajahmada
sambil berdiri tegak dengan tangan masih memegang
cambuknya yang ujung cambuknya terjulur menyentuh
tanah. Terlihat Ki Secang masih terpaku berdiri di
tempatnya, Ki Secang seperti terjepit oleh berbagai
perasaan yang berkecamuk memenuhi jiwanya, mulai
dari rasa amarah yang amat sangat, rasa kecewa yang
amat sangat, juga rasa putus asa yang berlebihan
membuat dirinya menjadi begitu lemah tidak berdaya.
Yang ada dalam pikirannya bahwa lawannya yang masih
muda itu ternyata memiliki ilmu yang amat tinggi. Yang
terpikir oleh dirinya adalah menyelamatkan selembar
nyawanya, karena bila pertempuran itu dilanjutkan,
tenaganya akan semakin terkuras habis.
"Aku menyerah kalah", berkata Ki Secang setelah
berpikir lama sambil melemparkan senjata trisulanya jauh
dari jangkauan tangannya.
Terdengar sorak sorai para prajurit yang telah melihat
akhir dari pertempuran dua naga kanuragan itu.
672 Beberapa warga kota Kadipaten Blambangan yang
semula hanya mengintip lewat celah-celah pintu rumah
mereka, terlihat sudah memberanikan dirinya keluar
halaman dan mencoba mengetahui lebih dekat apa yang
telah terjadi. Namun dengan penuh kebijaksanaan, Adipati Menak
Jingga meminta mereka kembali untuk menyempurnakan
laku Nyepi mereka di rumah masing-masing.
"Saat ini tidak ada yang perlu dirisaukan lagi.
Kembalilah kalian ke rumah masing-masing untuk
menyempurnakan laku Nyepi kalian. Serahkan tugas
keamanan kepada para prajurit pengawal Kadipaten
Blambangan", berkata Adipati Menak Jingga kepada para
warga kota yang berdatangan ke tempat pertempuran
yang telah usai itu. Demikianlah, para warga kota Kadipaten Blambangan telah kembali ke rumah masing-masing.
Kepada anggota keluarganya mereka mengabarkan
suasana pertempuran telah usai, para perusuh sudah
dapat dilumpuhkan. "Keadaan sudah aman, para perusuh sudah dapat
ditaklukkan oleh Adipati Menak Jingga bersama para
prajuritnya", berkata seorang kepala keluarga kepada
istri, anak gadis dan menantunya.
"Adipati Menak Jingga pasti sangat sakti, telah dapat
mengalahkan para buta kala", berkata seorang anak
lelaki kepada kakeknya yang baru datang itu dan ikut
mendengar penuturan tentang suasana pertempuran
yang telah usai. Terlihat sang kakek hanya tersenyum, teringat ketika
terjadi suasana pertempuran, anak itu menangis
ketakutan, dan sang kakek menenangkannya dengan
673 mengatakan di luar ada banyak buta kala ingin memakan
anak-anak kecil. "Makanya, kamu jangan sering menangis, nanti
didengar oleh buta kala", berkata sang kakek kepada
cucunya itu. "Besok kamu ikut aku ke pasar, nenek akan
memasak pecel pitik dan urap-urap untukmu", berkata
sang nenek memberi janji kepada cucunya.
Sementara itu di jalan tempat pertempuran, terlihat
para prajurit tengah menolong orang-orang yang terluka,
bukan hanya kawan mereka, tapi juga orang-orang yang
menjadi lawan tanding di pertempuran dengan para
prajurit gabungan itu. Beberapa prajurit lainnya terlihat
tengah mengumpulkan mayat-mayat korban pertempuran
itu, memisahkannya mana kawan mereka dan mana
musuh mereka guna mempermudah membawa mereka
ke tempat pemakaman yang memang telah dipisahkan.
"Kita harus melakukan pemakaman di hari ini juga,
karena besok sudah masuk hari Ngembak Geni", berkata
Adipati Menak Jingga kepada para prajuritnya.
Demikianlah, pada hari itu juga telah dilaksanakan
upacara pemakaman bagi para korban pertempuran di
hari raya Nyepi itu. Semua korban diperlakukan dengan
sama tanpa perbedaan apapun, kawan, saudara atau
mantan musuh mereka. Senja yang bening menatap bumi yang ternoda darah
dan air mata, di hari raya Nyepi yang suci.
Hari ke tiga di bulan ke sepuluh penanggalan tahun
saka, sehari setelah perayaan hari Ngembak Geni di kota
Kadipaten Blambangan. Terlihat Adipati Menak Koncar
telah membawa kembali pasukannya ke Tanah
674 Lamajang lewat jalan darat.
"Bila ada waktu, aku akan menyambangi Balidwipa",
berkata Gajahmada melepas Putu Risang yang ikut
bersama pasukan Lamajang karena akan menjemput
putranya, Rangga Seta. Bersamaan dengan keluarnya pasukan Adipati
Menak Koncar itu, tiga ratus prajurit Majapahit yang
dipimpin oleh Mahesa Semu telah berangkat
meninggalkan bumi Blambangan menuju Kotaraja
Majapahit. Mereka akan menempuh perjalanan lewat
jalur laut. Gajahmada dan Adityawarman ikut bersama
mereka, juga para tawanan perang.
Pada jaman itu biasanya para tawanan perang akan
menjadi salah satu rampasan perang, mereka berharga
sebagai budak belian yang diperdagangkan.
Sementara itu untuk Ki Secang ada perlakuan khusus
atas permintaan Gajahmada kepada Mahesa Semu
sebagai pimpinan prajurit Majapahit yang bertugas di
timur Jawadwipa itu. "Aku ingin Ki Secang diserahkan kepada Ra Kuti. Aku
berharap dirinya dapat menemukan kembali jalan
kebenaran", berkata Gajahmada dalam sebuah
pelayaran kepada Mahesa Semu.
"Ki Secang adalah milikmu, apapun yang kamu
inginkan aku akan menyetujuinya", berkata Mahesa
Semu menyetujui permintaan Gajahmada atas diri Ki
Secang itu. Ra Kuti adalah seorang pejabat kerajaan, salah
seorang dari Dharmaputra yang diangkat langsung oleh
baginda Raja Sanggrama Wijaya yang bertugas
mengurus dan mengayomi salah satu aliran agama yang
675 memuja dewa Whisnu. Dan Gajahmada berharap Ki
Secang dapat diluruskan kembali lewat pengawasan
seorang pejabat kerajaan bernama Ra Kuti.
Demikianlah, tiga ratus prajurit Majapahit yang
dipimpin oleh Mahesa Semu akhirnya telah tiba di
Bandar Pelabuhan Ujung Galuh.
Ketika mereka tiba di kotaraja Majapahit, para warga
menyambut mereka dengan penuh suka dan cita.
Dengan sebuah upacara kebesaran, mereka telah
disambut langsung oleh Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. Inilah awal babad baru bagi perselisihan yang
panjang dan hancurnya sebuah persaudaraan yang ada
di bumi Majapahit yang besar itu, karena diantara para
tawanan yang mereka bawa, ada seorang yang benarbenar luput dari perhatian. Orang itu adalah Ki Secang.
"Aku akan menjadi duri dalam daging mereka, aku
akan menjadi mimpi buruk bagi mereka", berkata Ki
Secang dalam hati dengan senyum kecutnya manakala
tengah memasuki istana Majapahit.
Ki Secang diserahkan sepenuhnya dalam pengawasan Ra Kuti. Dalam perkenalan pertama Ra Kuti
sudah menyukai sikap orang tua itu, mengijinkannya
untuk tinggal serumah dengannya.
Ki Secang ternyata begitu mudahnya mengambil hati
Ra Kuti, dan pejabat istana itu telah mempercayakan Ki
Secang sebagai seorang pengurus Pura istana
Majapahit. Ra Kuti melihat Ki Secang seorang pekerja yang
sangat rajin, menyiapkan Pura istana dalam hari-hari
upacara dengan sangat baik. Semakin bertambahlah
676 rasa suka pejabat Dharmaputra itu kepada Ki Secang.
Dan dalam waktu singkat mereka terlihat begitu akrab
layaknya dua orang sahabat.
Ra Kuti mulai mengenal Ki Secang lebih jauh lagi,
bukan hanya mempunyai pemahaman yang tinggi atas
berbagai kitab keagamaan, namun Ra Kuti juga telah
mengetahui bahwa Ki Secang seorang yang berilmu
tinggi dalam olah kanuragam, mempunyai banyak
simpanan ajian ilmu yang langka.
Akhirnya secara diam-diam Ra Kuti
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengangkat Ki Secang sebagai seorang guru.
telah "Tenaga hawa murniku yang kupupuk puluhan tahun
lamanya telah terserap hilang oleh Gajahmada. Namun
aku masih dapat menjadi seorang guru untukmu.
Mewariskan semua ilmu yang kumiliki", berkata Ki
Secang kepada Ra Kuti. Sejak saat itu, di malam-malam yang sepi, Ra Kuti
giat berlatih di tempat terbuka di dalam Pura istana. Dan
Ra Kuti yang sudah punya dasar kanuragan yang cukup
kuat dengan sangat cepatnya menyerap ilmu yang
diajarkan Ki Secang kepadanya.
Apakah Ki Secang seorang guru yang tulus"
Sebenarnya tidak, Ki Secang telah melihat bahwa
sebagaimana Ki Banyak Ara, ternyata Ra Kuti punya
sebuah persamaan, yaitu seorang yang haus akan
sebuah kekuasaan, seorang yang sangat haus akan
sebuah pujian. Perlahan tapi pasti, Ra Kuti sudah berada di dalam
genggaman Ki Secang lewat bisikan-bisikannya yang
membahana, menerbangkan hayal dan angan Ra Kuti
menuju puncak tahta istana.
677 "Baginda Raja Sanggrama Wijaya dikelilingi oleh
orang-orang yang kuat, para sahabatnya yang sangat
setia patuh melindungi dan menjaganya", berkata Ki
Secang kepada Ra Kuti. "Sebagaimana tanaman
merambat, kita harus merusak pagarnya agar tidak ada
tempat menggantung, dan tanaman itu akan mati dengan
sendirinya", berkata kembali Ki Secang kepada Ra Kuti.
"Patih Mahesa Amping dan Ki Mangkubumi adalah
para pelindung Baginda Raja, dengan cara apa kita
harus menghadapi mereka?", bertanya Ra Kuti kepada Ki
Secang. "Mereka memang sakti Mandraguna, tapi mereka
sesungguhnya tidak kebal terhadap racun", berkata Ki
Secang kepada Ra Kuti. "Racun?", bertanya Ra Kuti dengan mengerutkan
keningnya masih dalam penuh keraguan.
Sementara itu di sebuah tempat di Tanah Ujung
Galuh. Terlihat sebuah puri pasanggrahan yang berdiri
diatas sebuah tanah yang tinggi menghadap arah pantai
Tanah Ujung Galuh, bulan bulat bersinar cemerlang
diatas langitnya. Puri Pasanggrahan dan rembulan diatasnya,
sungguh sebuah lukisan alam yang amat elok membuat
iri langkah kaki untuk singgah mendatanginya.
Sudah sepekan Gajahmada tinggal di puri
pasanggrahan milik Jayakatwang itu. Atas amanat
Jayakatwang, puri pasanggrahan yang indah itu telah
diserahkan sepenuhnya kepada Gajahmada.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Jatakatwang
dan istrinya telah mendampingi Kertawardhana yang
telah menjadi Raja Muda di Tumapel. Sementara ibu suri
678 Kanjeng Ratu Gayatri, Dyah Wiyat dan biksuni Andini
yang juga menjadi penghuni puri pasanggrahan itu telah
mengikuti Ratu Tribuana Tunggadewi yang telah menjadi
raja muda di Kahuripan. Hari-hari Gajahmada di puri pasanggrahan itu
ditemani seorang sahabatnya Supo Mandagri dan ibu
kandungnya Nyi Nari Ratih yang sudah tidak tinggal lagi
bersama pasukan khususnya di barak prajurit Srikandi di
Kotaraja Majapahit. Deru ombak pantai Tanah Ujung Galuh masih
terdengar dari pendapa puri pasanggrahan dimana
Gajahmada tengah duduk sendiri memandang sang
rembulan. Anak muda perkasa itu tengah menepati janjinya,
menatap wajah sang rembulan. Karena jauh di tanah
Kahuripan diyakininya seorang gadis jelita telah
melakukan yang sama, bersama memandang wajah
sang rembulan. Siapa lagi gadis jelita yang selalu ada di
hati anak muda perkasa itu yang tidak lain adalah Biksuni
Andini, murid Nyimas Kanjeng Ratu Gayatri.
Tiba-tiba saja mata Gajahmada yang terlatih dapat
menembus kegelapan itu telah melihat sesosok
bayangan hitam tengah memasuki pintu gapura puri
pasanggrahan. Terlihat bibir Gajahmada menebarkan sedikit senyum
manakala sosok bayangan hitam itu ternyata adalah
sahabatnya, Supo Mandagri.
"Puri pasanggrahan yang megah di bawah sinar
rembulan, sungguh pasangan yang serasi", berkata Supo
Mandagri manakala telah berada di tangga terakhir
panggung pendapa menyapa sahabatnya Gajahmada.
679 Terlihat Supo Mandagri langsung duduk bersama
Gajahmada dan bercerita bahwa dirinya telah
diperkenalkan oleh Empu Nambi seorang teman baiknya
di kotaraja Majajahit yang dapat mencarikannya sebuah
batu bintang. Itulah yang menyebabkan kepulangannya
menjelang malam tiba. "Batu bintang?", bertanya Gajahmada kepada Supo
Mandagri. "Batu bintang yang dapat menjadikan pamor sebuah
keris pusaka", berkata Supo Mandagri.
"Batu Bintang yang jatuh dari langit?", bertanya
kembali Gajahmada penuh rasa keingintahuannya.
Sementara itu di waktu yang sama, Ki Secang dan
Ra Kuti masih berada di Pura istana. Mereka berdua
tengah membicarakan rencana busuknya untuk
menghancurkan orang-orang terdekat Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. "Aku banyak mengenal berbagai jenis racun yang
sangat mematikan. Ada sebuah jenis racun yang sangat
kuat dimana seorang yang sakti seperti dewa tidak akan
mampu hidup lebih lama lagi. Sebuah racun yang tidak
berwarna, tidak tercium aromanya namun racun paling
manjur dan paling kuat yang kukenal di dunia ini",
berkata Ki Secang berusaha meyakinkan Ra Kuti
memperkenalkan kepadanya berbagai jenis racun yang
sangat mematikan. "Bagaimana kita mendapatkan racun yang bertuah
itu?", bertanya Ra Kuti.
"Dari hati seekor induk celeng betina yang masih
mengandung", berkata Ki Secang kepada Ra Kuti.
Diam-diam Ra Kuti menjadi semakin kagum kepada
680 Ki Secang, ternyata sangat ahli dan mumpuni mengenal
berbagai jenis racun yang mematikan.
"Aku punya seorang kenalan baik, seorang pengurus
rumah tangga kerajaan Kediri, namanya Demung Gunari.
Kita dapat membujuknya untuk melaksanakan rencana
kita, meracuni Patih Mahesa Amping", berkata Ra Kuti
kepada Ki Secang. "Apakah Demung Gunari
sendiri?", bertanya Ki Secang
masih golongan kita "Demung Gunari seorang pemuja Dewa Whisnu yang
sangat taat, aku yakin dirinya sangat bangga melihat
aliran golongan kita besar di Jawadwipa ini, akan menjadi
sukarelawan yang patuh membantu perjuangan kita",
berkata Ra Kuti kepada Ki Secang.
"Bagus, kita bicarakan di rumah, tidak baik terlalu
malam di pura istana ini akan menjadi pertanyaan para
prajurit pengawal istana", berkata Ki Secang kepada Ra
Kuti untuk keluar dari pura istana.
Ketika mereka tengah melewati gerbang istana
Majapahit, beberapa prajurit pengawal istana tidak
bertanya apapun, nampaknya mereka sudah menjadi
biasa melihat Ki Secang dan Ra Kuti keluar dari istana di
malam hari itu sebagimana hari-hari kemarin, dan
kemarinnya lagi. Ketika mereka tiba di rumah Ra Kuti yang tidak begitu
jauh dari istana Majapahit, keduanya telah melanjutkan
pembicaraannya lagi. "Membuat racun dari hati celeng betina itu sangat
mudah, hanya perlu beberapa hari. Yang paling susah
adalah mendekati Demung Gunari itu", berkata Ki
Secang memulai kembali pembicaraannya di rumah Ra
681 Kuti. "Dalam beberapa hari ini aku akan minta ijin dengan
berbagai alasan untuk datang ke Kediri guna menjumpai
kenalanku itu", berkata Ra Kuti kepada Ki Secang
"Bagus, aku berharap orang itu dapat kamu dekati
untuk membantu perjuangan kita ini. Sementara kamu
pergi ke Kediri, aku akan menyiapkan racun hati celeng
betina itu", berkata Ki Secang penuh semangat
pengharapan. Sementara itu di Tanah Ujung Galuh, Gajahmada
dan Supo Mandagri masih asyik membicarakan batu
bintang yang konon akan membuat pamor sebuah keris
bertuah akan menjadi bertuah.
"Kenalan Empu Nambi itu bercerita bahwa batu
bintang itu dapat dipesan lewat para pedagang bangsa
Arab yang singgah di Tanah Ujung Galuh. Konon para
pedagang bangsa Arab itu mendapatkan batu bintang itu
dari sebuah bukit bernama gunung uhud di tempat asal
mereka", berkata Supo Mandagri menjelaskan kepada
Gajahmada mengenai batu bintang.
"Ternyata Empu Nambi telah menepati janjinya,
membimbingmu dalam membuat sebuah keris pusaka",
berkata Gajahmada penuh kegembiraan hati mendengar
cerita sahabatnya itu. "Empu Nambi memang banyak membimbingku
adalah hal pembuatan keris pusaka, mulai dari sebuah
laku khusus sebelum memulai pembuatan keris pusaka,
sampai memperkenalkan kepadaku Sembilan jenis
logam yang terbaik yang dapat menghasilkan sebuah
keris pusaka yang sangat kuat dan berderajat", berkata
Supo Mandagri. 682 "Sesuai dengan amanat Baginda Raja Sanggrama
Wijaya, keris Naga Sasra harus kuserahkan kepada
pewarisnya. Aku berharap pada saatnya tetap
mempunyai keris Naga Sasra seperti itu, hasil buah
tangan darimu sendiri", berkata Gajahmada merasa yakin
bahwa Supo Mandagri adalah seorang yang sangat
berbakat dalam pembuatan sebuah keris pusaka.
"Terima kasih atas kepercayaanmu itu, aku tidak
sabar untuk memulai semuanya, menciptakan sebuah
keris pusaka", berkata Supo Mandagri penuh harapan.
"Kamu dapat membuat pondokan di tanah belakang
puri pasanggrahan ini. Dan aku akan siap membantumu
apapun kebutuhanmu, bukankah aku ini saudaramu?",
berkata Gajahmada kepada Supo Mandagri.
"Terima kasih untuk semua dukunganmu, memang
perlu tempat khusus untuk membuat sebuah keris
pusaka, sebuah tempat yang tenang. Aku merasa yakin
bahwa puri pasanggrahan ini adalah sebuah tempat yang
baik untuk berkarya sebagaimana pujangga Jayakatwang telah banyak menciptakan karya tembangnya di tempat ini", berkata Supo Mandagri penuh
rasa kegembiraan hati mendapatkan dukungan dari
sahabatnya itu. Namun pembicaraan mereka menjadi terhenti
manakala Nyi Nari Ratih muncul dari pintu pringgitan.
Melihat dari caranya berjalan dan melangkah
menandakan seorang wanita yang sangat terlatih olah
kanuragan. "Masih hangat wedangnya", berkata Nyi Nari Ratih
sambil meletakkan tiga buah cangkir tembikar dan ikut
duduk bersama mereka. Kepada ibundanya itu, Gajahmada bercerita tentang
683 keinginan Supo Mandagri membuat sebuah pondokan di
tanah belakang Puri Pasanggrahan.
"Setiap manusia punya pembaktiannya sendirisendiri. Hanya jiwa yang merdeka saja yang dapat
mampu membuat sebuah karya yang besar. Dan setiap
jiwa dicitrakan sesuai dengan apa yang telah
diciptakannya", berkata ibunda Nyi Nari Ratih dengan
senyum yang begitu lembut.
Dan pencitraan hitam putih
Majapahit nampaknya telah dimulai.
sejarah kerajaan Diawali dengan benih sumber kebusukan yang mulai
ditebarkan oleh Ki Secang dan Ra Kuti di pura istana
Majapahit yang suci. Dua orang rohaniawan para
penghapal berbagai kitab suci itu telah mulai
menebarkan benih sejarah kesuraman kerajaan
Majapahit. Disisi lain, diawali dari sebuah puri pasanggrahan
milik mantan seorang raja yang tersingkirkan, Raja
Jayakatwang. Benih kecemerlangan sejarah Majapahit
tengah ditempa, diasah dan diasuh dalam kasih seorang
wanita yang lembut kepada dua orang anak muda untuk
mengharumkan warisan budaya milik leluhur bangsa,
dalam sebuah seni keris yang indah, dalam sebuah lekuk
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan liku pemikiran leluhur yang indah dalam
berkehidupan bersama, bermartabat dalam cinta kasih
yang tulus penuh perdamaian dalam rangkaian satu
kesatuan nusa-nusa untaian mutiara khatulistiwa.
Dan sejarah hitam dan putih, sejarah kesuraman dan
kecemerlangan Kerajaan Majapahit telah dimulai. Diawali
saat sang Surya pagi tengah memanjat dan mendaki di
pucuk tiang-tiang layar perahu dagang yang tengah
bersandar di Bandar pelabuhan Tanah Ujung Galuh.
684 Terlihat sebuah perahu jukung dengan tiga orang
lelaki tengah menyusuri sungai Perigian.
"Hari yang baik untuk menebang bambu dan kayu",
berkata seorang pemuda manakala perahu jukung
mereka menepi di hutan Perigian.
"Kamu benar, purnama telah lewat. Kita akan
mendapatkan bambu dan kayu yang kering dan terbebas
dari kutu kayu", berkata salah satu lelaki kepada pemuda
itu yang tidak lain adalah Supo Mandagri. Ternyata Supo
Mandagri tengah mencari bambu dan kayu untuk
membuat sebuah pondokan yang akan dibangun di
belakang puri pasanggrahan atas ijin Gajahmada.
Terlihat Supo Mandagri dan dua orang lelaki warga
asli padukuhan Tanah Ujung Galuh yang dibayar untuk
membantunya itu telah memasuki hutan Perigian lebih
kedalam lagi. Tiba-tiba ketiganya melihat seorang pemburu di
hutan Perigian itu. "Aku mengenal lelaki itu, seorang pengurus pura
istana", berkata Supo Mandagri kepada kedua orang
pembantunya itu. Terlihat Supo Mandagri telah meminta kedua
pembantunya itu untuk diam ditempat, sementara Supo
Mandagri terus mengikuti lelaki yang dikenalnya, yang
tidak lain adalah Ki Secang.
"Tetaplah kalian disini, aku akan mengikuti orang itu",
berkata Supo Mandagri kepada kedua pembantuny a itu.
Maka dengan cara mengendap-endap dari kejauhan,
Supo Mandagri dapat terus mengikuti Ki Secang yang
terus berjalan masuk ke hutan Perigian lebih dalam lagi.
Terlihat Ki Secang berhenti dan diam di sebuah
685 semak gerumbul, sikapnya seperti seorang pemburu
yang handal telah bersiap siaga menunggu buruannya
dengan sebuah tombak ditangan.
Ternyata Ki Secang memang tengah berburu babi
hutan, karena tidak jauh darinya terlihat sebuah liang
besar tempat sarang sepasang babi hutan.
Nampaknya Ki Secang tidak harus menunggu cukup
lama, karena tidak lama berselang terlihat sepasang babi
hutan tengah berjalan menuju arah sarang mereka itu.
Terlihat seekor babi hutan jantan telah mendahului
masuk ke dalam sarang, sementara dibelakangnya
seekor babi hutan betina siap mengikuti pasangan
jantannya itu. Namun naas nasib babi hutan betina yang tengah
bunting besar itu, sebuah tombak tajam terlihat meluncur
dengan sangat cepat membelah udara.
Clep..!!! Ujung batang tombak telah berhasil menembus tepat
babi hutan naas itu yang belum sempat masuk ke
sarangnya. Jeritan mencicit dari babi hutan betina itu terdengar di
hutan yang sunyi itu, namun hanya sekali. Itulah jeritan
terakhir dari babi hutan betina itu yang terlihat telah
rebah dengan ujung tombak tembus di batang lehernya.
"Sangat biadab, membunuh seekor babi hutan betina
yang tengah bunting besar", berkata Supo Mandagri
dalam hati mengutuk perbuatan Ki Secang dimana pada
saat itu adalah tabu membunuh hewan apapun yang
tengah bunting besar. Dan Supo Mandagri masih terus mengamati Ki
Secang yang dengan pisau pendeknya terlihat tengah
686 membedah perut dan dada binatang naas itu. Terlihat
Supo Mandagri mengerutkan keningnya manakala
dilihatnya dari kejauhan bahwa Ki Secang hanya
mengambil hati binatang buruannya itu.
"Membunuh hewan hanya untuk diambil hatinya ?",
berkata Supo Mandagri dalam hati penuh tanda tanya
manakala dilihatnya Ki Secang telah berjalan menjauhi
hewan buruannya itu yang masih menganga isi perutnya
dengan hanya membawa sebuah hati dari babi hutan
betina tengah bunting besar itu.
Ketika Ki Secang sudah tidak terlihat lagi, menghilang
di antara semak dan pepohonan yang rapat di hutan
Perigian itu, terlihat Supo Mandagri telah keluar dari
persembunyianya dan langsung berjalan menuju arah
dimana kedua pembantunya berada.
Kepada kedua orang pembantunya itu, Supo
Mandagri tidak bercerita banyak, hanya menyampaikan
bahwa orang yang dibuntuti itu ternyata hanya tengah
berburu babi hutan di hutan Perigian itu.
"Mari kita lanjutkan kerja kita, mencari bambu dan
kayu", berkata Supo Mandagri kepada kedua
pembantunya itu. Tidak perlu banyak waktu, ketika hari masih di awal
senja mereka telah mendapatkan apa yang dicarinya.
Dan disaat malam tiba, manakala Gajahmada dan
Nyi Nari Ratih telah kembali dari Kotaraja Majapahit
berkumpul bersama di Puri Pasanggrahan Tanah Ujung
Galuh, Supo Mandagri telah bercerita tentang apa yang
dilihatnya di hutan Perigian.
"Aku melihat sendiri dengan mata kepalaku bahwa Ki
Secang telah membunuh seekor babi hutan betina yang
687 tengah bunting besar", berkata Supo Mandagri kepada
Gajahmada dan Nyi Nari Ratih.
"Sungguh sebuah perbuatan kurang terpuji,
membunuh binatang yang tengah mengandung
anaknya", berkata Gajahmada menanggapi cerita Supo
Mandagri. "Naluri seekor harimau dapat memilih mangsanya,
hanya memburu binatang jantan. Bila itu dilakukan oleh
seorang manusia, maka derajatnya menjadi lebih rendah
dari binatang sekalipun", berkata Nyi Nariratih ikut
menanggapi cerita Supo Mandagri.
"Yang sangat kuherankan, Ki Secang hanya
mengambil hati binatang itu, meninggalkan begitu saja
bagian yang lainnya", berkata kembali Supo Mandagri
tentang apa yang dilakukan oleh Ki Secang.
Terlihat Gajahmada mengerutkan keningnya merasa
sangat heran dengan apa yang dilakukan oleh Ki Secang
dengan hati seekor babi hutan itu. Masih dengan rasa
ketidak tahuannya itu telah menoleh kearah ibundanya
berharap wanita yang amat dicintainya itu dapat lebih
tahu darinya perihal apa yang diperbuat oleh Ki Secang
itu. Nampaknya Nyi Nari Ratih dapat membaca apa yang
diinginkan oleh putranya itu.
"Sayang sekali aku tidak tahu untuk apa Ki Secang
berbuat seperti itu", berkata Nyi Nari Ratih sambil
menggelengkan kepalanya perlahan dihadapan Gajahmada. Akhirnya pembicaraan bergeser perihal pembangunan pondokan di belakang Pura Pasanggrahan itu, Maka Supo Mandagri menyampaikan
688 bahwa sampai saat ini mendapatkan bahan kayu dan
bambu, belum perlengkapan pengapian dan pernakpernik lainnya sebagaimana layaknya para pandai besi.
Setelah pondokan selesai, aku akan mencarikan
barang keperluanmu itu", berkata Gajahmada.
Senang sekali Supo Mandagri mendengar janji
Gajahmada kepadanya. "Aku seperti sudah tidak sabar, ingin secepatnya
membangun sebuah keris pertamaku", berkata Supo
Mandagri dengan wajah berbinar-binar.
Sementara itu masalah ki Secang seperti menguap
begitu saja, tidak ada seorang pun diantara mereka
bertiga yang membicarakannya lagi.
"Nampaknya makan malam kita sudah disiapkan",
berkata Nyi Nari Ratih yang melihat seorang pelayan
wanita keluar dari pintu pringgitan.
Benar saja, pelayan wanita itu memang bermaksud
memberitahukan kepada mereka bertiga bahwa makan
malam telah disiapkan di ruang dalam.
Sementara itu deru dan debur ombak di pantai Tanah
Ujung Galuh semakin keras di malam yang semakin larut
itu. Terlihat beberapa perahu dagang yang tengah
bersandar terus bergoyang bersinggungan dengan tepi
kayu dermaga. Suasana Bandar pelabuhan Tanah Ujung Galuh di
malam itu masih saja ramai, hiruk pikuk para buruh
angkut, suara canda tawa menggoda para wanita
penghibur dan cahaya oncor yang dipasang berjajar
menjadi gerak kehidupan Bandar pelabuhan Tanah
Ujung Galuh yang sangat ramai itu di malam hari.
Terlihat perahu dagang dari beberapa penjuru nagari
689 barsandar di dermaga Bandar pelabuhan yang tidak
pernah sepi itu. Bandar pelabuhan yang tidak pernah
mati, begitulah orang menyebutnya, karena Bandar
Pelabuhan Tanah Ujung Galuh tidak pernah sepi, pagi,
siang dan malam. Pada saat itu, Bandar Pelabuhan Tanah Ujung Galuh
adalah satu dari beberapa Bandar pelabuhan yang
sangat ramai yang dikuasai sepenuhnya dalam
rangkaian wilayah perdagangan Kerajaan Majapahit,
mulai dari tanah Melayu di Swarnadwipa, hingga berantai
di sepanjang pesisir utara Jawadwipa. Di setiap Bandar
pelabuhan itu ada sebuah perwakilan dagang sebagai
kepanjangan tangan dari Kerajaan Majapahit menjalin
kerjasama perdagangan dengan para pedagang asing.
Begitulah cara Baginda Raja Sanggrama Wijaya
menguasai wilayah kelautannya.
Nampaknya Baginda Raja Sanggrama Wijaya telah
melaksanakan amanat suci para leluhurnya, para rajaraja Singasari untuk membangun sebuah singgasana
diatas samudera raya. Geliat Bandar pelabuhan di wilayah kekuasaan
Kerajaan Majapahit adalah geliat kemakmuran Kerajaan
Majapahit lewat pundi-pundi yang terus mengalir ke
gudang perbendaharaan istana, kepingan emas bangsa
Arab, kepingan pecahan perak milik bangsa Cina yang
telah diijinkan menjadi alat tukar perdagangan pada saat
itu terus melimpah memenuhi gudang penyimpanan
kekayaan kerajaan. Hasil kekayaan yang melimpah dari hasil
perdagangan itu dijadikan sepenuhnya untuk kemakmuran anak negeri lewat keringanan pajak hasil
bumi, pembangunan candi pura di hampir seluruh
pelosok nagari. Bumi makmur, para seniman melahirkan
690 banyak karya besarnya, para rohaniawan merdeka dan
terlindungi memajukan umatnya. Kerajaan Majapahit di
bawah kepemimpinan sang putra Lembu Tal ini pada
saat itu ibarat sebuah naga samudera muda yang tengah
menggeliat mengarungi samudera raya yang lebih luas
lagi, dan lebih jauh lagi.
Namun Baginda Raja Sanggrama Wijaya masih tetap
seperti dulu tidak berubah sedikitpun, seorang raja yang
bersahaja yang masih mau bertutur sapa kepada para
jelata, menyambangi rumah para sahabat, kerabat dan
saudara. Demikianlah, pada suatu hari Baginda Raja
Sanggrama Wijaya telah bermaksud untuk menyambangi
kakeknya yang jauh di Tanah Pasundan, Sang Prabu
Guru Darmasiksa. Dan Gajahmada sebagai pemimpin pasukan
pengawal Raja telah ikut bersamanya, mengunjungi
tanah Pasundan, tanah leluhur Baginda Raja Sanggrama
Wijaya dari pihak ibunya itu.
Tiga ratus prajurit mengiringi Baginda Raja
Sanggrama Wijaya lewat jalur laut ke tanah Pasundan.
Hampir seluruh pejabat istana ikut mengantar
keberangkatan Baginda Raja Sanggrama Wijaya di
Bandar Pelabuhan Tanah Ujung Galuh.
Nyi Nari Ratih dan Supo Mandagri ikut hadir di sana.
Di penghujung senja, manakala warna bumi semakin
redup karena sang mentari telah bersembunyi di sebelah
barat perbukitan. Manakala pelita malam telah
dinyalakan di beberapa rumah di padukuhan Tanah
Ujung Galuh, perahu besar jung Majapahit terlihat telah
bergerak bergeser dari dermaga.
691 Buram warna malam menutupi keharuan di wajah Nyi
Nari Ratih menatap perahu besar Jung Majapahit yang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terus semakin menjauhi dermaga.
Wajah wanita itu telah mulai berkaca-kaca, menatap
perahu besar jung Majapahit yang mulai menjauh
membawa Gajahmada, putra tercinta pergi bersama
Baginda Raja Sanggrama Wijaya ke Tanah Pasundan.
"Semoga Gusti yang Maha Agung selalu memberikan
keselamatan perjalanan mereka", berkata Supo Mandagri
yang melihat perahu besar Jung Majapahit telah hilang
tertelan kegelapan malam.
Suara lirih Supo Mandagri seperti menyadarkan Nyi
Nari Ratih dari keterpakuannya.
"Mari kita kembali", berkata Nyi Nari Ratih kepada
anak muda itu untuk kembali ke puri pasanggrahannya.
Sementara itu di waktu yang sama, di sebuah tempat
yang jauh beberapa hari perjalanan berkuda dari kotaraja
Majapahit, terlihat seorang penunggang tengah
memasuki gapura batas kota Kediri. Desir angin dingin
menyapu wajah lelaki penunggang kuda itu yang terus
berjalan memasuki wilayah kotaraja Kediri yang sudah
menjadi sepi itu. Di sebuah persimpangan jalan, terlihat lelaki
penunggang kuda itu telah keluar dari jalan utama
memasuki sebuah jalan padukuhan. Didepan sebuah
rumah panggung terlihat penunggang kuda itu berhenti
dan langsung turun dari kudanya.
Malam saat itu masih wayah sepi bocah, sepasang
suami istri terlihat duduk di panggung pendapa rumah
mereka dan telah melihat lelaki berkuda itu telah
mendekati rumah mereka. 692 Pelita malam yang temaram tergantung di atas
tangga pendapa telah menerangi wajah lelaki berkuda
itu. "Ra Kuti !!", hampir berteriak lelaki diatas panggung
pendapa itu menyebut sebuah nama dari lelaki
penunggang kuda itu. "Lama kita tidak berjumpa, ternyata kamu masih
mengenal wajahku", berkata lelaki berkuda itu yang
ternyata adalah Ra Kuti, seorang pejabat istana, salah
seorang Dharmaputra di kerajaan Majapahit.
Setelah mengikat kudanya di sebuah tiang panggung,
terlihat Ra Kuti Langsung naik keatas panggung
pendapa. "Ra Kuti, perkenalkan ini istriku", berkata lelaki itu
kepada Ra Kuti memperkenalkan wanita disebelahnya
sebagai istrinya. "Ternyata Demung Gunari sangat pandai memilih
seorang istri", berkata Ra Kuti kepada lelaki itu yang
dipanggilnya sebagai Demung Gunari.
Setelah menyampaikan kata keselamatan masingmasing, terlihat Nyi Demung Gunari bermaksud pamit ke
pawon untuk menyiapkan minuman hangat untuk
mereka. "Aku ke pawon sebentar untuk menyiapkan minuman
hangat", berkata Nyi Demung berpamit diri.
Manakala Nyi Demung Gunari telah masuk ke dalam,
Ra Kuti belum juga menyampaikan maksud kedatangannya ke Kotaraja Kediri itu, hanya mengatakan
ada tugas biasa di istana Kediri dan mampir karena
merasa rindu sudah lama tidak bertemu dengan Demung
Gunari. 693 Pembicaraan pun masih berupa hal-hal yang ringan,
cerita berkisar tentang masa lalu mereka yang ternyata
berasal dari kampong halaman yang sama, dari Tanah
Lamajang. Ra Kuti masih belum mengatakan apapun hingga Nyi
Demung Gunari datang membawa minuman hangat dan
beberapa potong makanan untuk mereka dan langsung
masuk kembali ke dalam tidak menemani pembicaraan
mereka di pendapa rumahnya itu.
"Terlanjur malam di rumahku, menginaplah disini",
berkata Demung Gunari kepada Ra Kuti.
"Terima kasih", berkata Ra Kuti menerima permintaan
kawannya itu untuk menginap dirumahnya.
Hingga ketika hari mulai larut malam, mulailah Ra
Kuti mencoba mengukur tingkat kepedulian Demung
Gunari sejauh mana rasa pembelaannya terhadap
agama yang dianutnya itu.
Dari pancingan-pancingan lewat bahasa yang
tersamar, Ra Kuti sudah dapat menilai tingkat kepedulian
Demung Gunari terhadap agama yang dianutnya.
Mulailah Ra Kuti menawarkan gagasan-gagasannya,
membesarkan agama yang dianutnya itu.
"Kita tidak ingin agama yang kita anut akan terus
tersingkir oleh ajaran-ajaran baru, ajaran baru yang di
anut oleh keluarga kerajaan Majapahit saat ini. Apakah
dirimu rela di suatu saat nanti, anak dan cucu
keturunanmu tidak lagi melihat pura persembahyangan
yang memuja dewa kita ?", berkata Ra Kuti yang
mengakhirinya dengan sebuah pertanyaan.
"Tidak, aku tidak rela", berkata Demung Gunari
dengan perkataan yang amat tegas.
694 "Bagus", berkata Ra Kuti dengan senyum
kemenangan telah dapat memancing perasaan Demung
Gunari menuju perangkapnya.
Mulailah Ra Kuti dengan bahasa yang sangat
menarik yang dikemas dengan bahasa agama yang
dianutnya menyampaikan gagasan-gagasannya membesarkan golongan agama yang dianutnya.
"Jalan satu-satunya agar golongan agama kita
menjadi besar adalah dengan jalan mengambil alih
kekuasaan Kerajaan Majapahit", berkata Ra Kuti kepada
Demung Gunari. "Dari mana kita memulainya ?", bertanya Demung
Gunari yang sudah termakan pancingan Ra Kuti yang
sangat pandai bicara itu.
"Dimulai dengan melumpuhkan sahabat-sahabat
setia di sekitar penguasa Majapahit itu", berkata Ra Kuti
menuturkan rencana-rencananya.
"Dimana tempatku berada dalam perjuangan besar
ini ?", bertanya Demung Gunari penuh semangat.
"Tempatmu adalah mencari seorang pengantin,
seorang yang akan kita tugaskan membunuh Patih
Mahesa Amping dengan cara meracuninya", berkata Ra
Kuti mengistilahkan seorang calon pembunuh dengan
istilah "pengantin"
"Aku adalah seorang Demung yang mengurus rumah
tangga istana, aku dapat mencarikan seorang pengantin
itu, seorang yang dengan suka rela melaksanakan
rencana kita itu", berkata Demung Gunari menyanggupi
tugas yang di berikan kepadanya, mencari seorang
"pengantin". "Jangan khawatirkan mengenai masalah biaya",
695 berkata Ra Kuti sambil mengeluarkan serenceng uang
keeping emas yang langsung diberikan kepada Demung
Gunari. "Sangat banyak sekali", berkata Demung Gunari
dengan wajah berbinar-binar.
"Nilai keping emas ini tidak berarti dibandingkan
dengan hasil perjuangan kita, membesarkan agama
anutan kita", berkata Ra Kuti sambil tersenyum telah
dapat dengan mudahnya menjaring sukarelawan di
kotaraja Kediri itu. "Kapan kamu akan kembali ke kotaraja Kediri ini",
bertanya Demung Gunari kepada Ra Kuti yang berkata
besok setelah menyelesaikan beberapa tugas di Istana
Kediri akan kembali ke Kotaraja Majapahit.
"Bulan depan aku akan kembali menemuimu,
mendengar hasil upayamu mencari calon pengantin yang
kita butuhkan", berkata Ra Kuti kepada Demung Gunari.
"Aku merasa sangat yakin, dalam waktu sebulan
telah mendapatkan calon pengantin itu", berkata Demung
Gunari dengan penuh keyakinan sambil berkhayal bahwa
bulan depan sahabatnya itu akan membawa serenceng
keeping emas untuknya. Sementara itu malam sudah semakin larut, desir
angin terasa dingin menusuk kulit tubuh. Terdengar
suara burung hantu yang hinggap di cabang pohon
nangka di samping rumah Demung Gunari. Tidak lama
berselang burung hantu itu telah terbang kembali
ditandai dengan suaranya yang cukup mengejutkan di
kesunyian malam yang senyap dan masih terus
terdengar hingga sayup di kejauhan.
Dan kotaraja Kediri malam itu telah terperangkap
696 dalam selimut mimpinya. Keesokan harinya, sebenarnya bisa saja Ra Kuti
langsung kembali ke Kotaraja Majapahit, namun untuk
menutupi rencana besarnya dengan terpaksa harus
menemui seseorang di istana Kediri agar terkesan dirinya
memang punya urusan tugas kerajaan yang harus
diselesaikannya. Dan pagi itu terlihat Ra Kuti dan Demung Gunari
sudah berada di jalan utama Kotaraja Kediri. Setelah
mereka tiba di istana Kediri, mereka pun terlihat berpisah
karena tugas yang berbeda.
"Bila urusanku selesai di istana ini, aku akan
langsung kembali ke Kotaraja Majapahit", berkata Ra Kuti
kepada Demung Gunari manakala mereka akan berpisah
jalan di lorong istana Kediri.
Demikianlah, disaat hari telah mulai siang, terlihat Ra
Kuti mencari Demung Gunari untuk pamit diri kembali ke
Kotaraja Majapahit. "Bulan depan aku akan kembali lagi", berkata Ra Kuti
kepada Demung Gunari ketika akan berangkat
meninggalkan Kotaraja Kediri.
Dan di hari kedua setelah pertemuannya dengan Ra
Kuti, mulailah Demung Gunari mencoba mencari siapa
gerangan orang yang paling tepat untuk melaksanakan
tugas menjadi pengantin itu.
Diam-diam Demung Gunari mengamati suasana
kehidupan keluarga Patih Mahesa Amping yang tinggal
di dalam istana Kediri, kesehariannya dan segala
kebiasaannya. Sebagai seorang Demung istana yang
bertugas mengurus rumah tangga istana Kediri, tidak
seorang pun yang mencurigainya ketika Demung Gunari
697 melihat-lihat sekitar taman di puri pasanggrahan tempat
tinggal Patih Mahesa Amping, bertanya beberapa hal
kepada dua tiga orang pelayan dalem yang bertugas
melayani keluarga Patih Mahesa Amping.
Ibarat seekor berang-berang membangun sarang
perangkap, Demung Gunari telah bekerja dengan sangat
teliti, merasa tidak ada satupun yang tertinggal dalam
pengamatannya. Akhirnya setelah merasa cukup mengenal keseharian
dan kebiasaan Patih Mahesa Amping, Demung Gunari
telah mengetahui siapa gerangan orang yang paling
dekat di dalam keluarga Patih Mahesa Amping.
Ni Narsih, adalah seorang pelayan dalem di puri
pasanggrahan Patih Mahesa Amping yang bertugas
sehari-hari menyiapkan makanan bagi keluarga itu,
seorang pelayan dalem yang sangat dipercaya oleh
keluarga Patih Mahesa Amping.
Meskipun masih nampak muda, namun untuk ukuran
anak gadis di jaman itu sudah dapat dikatakan terlambat
untuk berumah tangga. Bersama dengan beberapa
pelayan dalem istana, Ni Narsih bertempat tinggal di
pondokan belakang istana Kediri.
Suranta, adalah seorang pekatik muda yang belum
lama bekerja sebagai pekatik di istana Kediri. Usianya
masih sangat muda, punya kegemaran menyabung ayam
dan berjudi. Namun Suranta adalah seorang pekerja
yang rajin, menyiapkan makanan kuda, membersihkan
kandang kuda dan merawat kuda dengan sangat baik.
Dan di akhir-akhir pekan ini hampir di setiap waktu
senggangnya, Suranta selalu datang di tempat
penyabungan ayam. Hampir semua hutang-hutangnya
telah dapat dilunasinya. Namun tidak seorang pun yang
698 bertanya-tanya dari mana Suranta yang hanya seorang
pekatik istana dapat punya uang yang cukup banyak,
menghabiskan banyak waktunya di tempat penyabungan
ayam dan berjudi. Akhirnya hampir semua orang menduga-duga bahwa
gaya hidup Suranta belakangan ini karena kedekatannya
dengan seorang perempuan pelayan dalem istana,
seorang perawan tua yang tergila-gila dengannya
sehingga apapun yang diminta oleh Suranta pasti akan
dipenuhinya. Suranta hanya sedikit tersenyum manakala seorang
kawan dekatnya mengatakan dugaan dari orang banyak
itu tentang hubungannya dengan Ni Narsih.
"Terserah apapun yang orang katakan tentang
hubunganku dengan Ni Narsih", berkata Suranta kepada
kawannya sambil tersenyum.
Suranta memang telah dapat menutup mulutnya
rapat-rapat, tidak ada seorang pun yang mengetahui
bahwa hubungannya dengan Ni Narsih adalah hubungan
yang semu, sebuah hubungan sandiwara sesuai perintah
Demung Gunari yang telah membayarnya.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Buatlah agar Ni Narsih tergila-gila kepadamu",
berkata Demung Gunari kepada Suranta di suatu waktu.
Ternyata dengan sangat mudahnya Suranta dapat
mendekati Ni Narsih, mendapatkan cintanya yang sangat
tulus tanpa kesangsian apapun bahwa dirinya
sesungguhnya hanya diperalat untuk sebuah keinginan
tertentu. Berita tentang kedekatan Ni Narsih dengan Suranta
ternyata didengar juga oleh Nyi Patih Mahesa Amping,
seorang putri Raja Melayu yang kita kenal dengan nama
699 Dara Jingga itu. "Apakah kamu sudah memikirkannya dengan masakmasak, usia calon suamimu itu lebih muda darimu",
berkata Nyi Patih Mahesa Amping kepada Ni Narsih.
"Mungkin sudah suratan takdir hamba, mendapatkan
calon suami yang lebih muda dari usia hamba", berkata
Ni Narsih kepada Nyi Patih Mahesa Amping.
Demikianlah, akhirnya semua orang tidak mempertanyakan apapun tentang hubungan cinta antara
Ni Narsih dan Suranta, terutama kawan-kawan dekat
Suranta sendiri yang sering dijamu berbagi kesenangan
bersamanya. Hingga akhirnya, manakala melihat hubungan Bi
Narsih dan Suranta sudah menjadi begitu dekat, maka di
suatu malam Demung Gunari datang menemui Suranta
di rumahnya. "Tugasmu sekarang adalah membujuk Ni Narsih agar
mencampurkan cairan ini kedalam minuman Patih
Mahesa Amping", berkata Demung Gunari sambil
menyerahkan sebuah bubu kecil dari bamboo kepada
Suranta. "Aku akan membujuknya", berkata Suranta kepada
Demung Gunari. Demung Gunari sengaja tidak menjelaskan yang
sebenarnya, hanya menyampaikan bahwa cairan itu
telah dimantrai agar Patih Mahesa Amping menjadi
semakin kasih kepadanya sehingga akan memilihnya
menduduki sebuah jabatan yang amat penting di istana
Kediri. "Bila kamu dapat membujuk Ni Narsih, aku akan
memberimu lebih banyak lagi", berkata Demung Gunari
700 sambil menyerahkan empat keping emas di tangan
Suranta. Gembira hati Suranta melihat empat keeping emas
ditangannya, terbayang si buruk, ayam jago unggulan
milik seorang kenalannya yang selalu menang dalam
setiap penyabungan yang akan dibelinya, terbayang pula
wajah empat orang kawan dekatnya yang akhir-akhir ini
selalu ikut bersamanya mencari kesenangan yang
mereka inginkan. Hingga di suatu malam Suranta telah menemui Ni
Narsih di pondokannya di belakang istana Kediri.
"Bantulah aku untuk mencampurkan cairan ini di
minuman Patih Mahesa Amping, hanya cairan pengasih
yang sudah dimantrai agar Patih Mahesa Amping selalu
kasih melihat Demung Gunari", berkata Suranta kepada
Ni Narsih. "Berapa kamu di bayar oleh Demung Gunari ?",
bertanya Ni Narsih penuh selidik.
"Hanya sebuah balas budi, Demung Gunari yang
membawaku masuk di istana ini sebagai seorang
pekatik. Dan Demung Gunari telah menjanjikan
kepadaku bila telah menjadi pejabat penting di istana
akan mengambilku sebagai pembantu utamanya",
berkata Suranta berusaha membujuk kekasihnya itu.
Mendengar bujuk rayu Suranta telah membuat Ni
Narsih serba salah untuk menolaknya, merasa kasihan
memandang wajah kekasihnya yang penuh rasa harap
itu. "Hanya sebuah air pengasih", berkata Ni Narsih
dalam hati sambil tersenyum menganggukkan kepalanya
sebagai pertanda menerima tugas yang diminta oleh
701 kekasih pujaan hatinya itu.
Terlihat wajah Suranta berubah penuh rasa gembira,
Ni Ratih menyanggupi tugas itu.
Demikianlah hingga di sebuah sore yang cerah
terlihat Patih Mahesa Amping duduk berbincang bersama
Dara Jingga di serambi puri pasanggrahannya.
Seperti biasa Ni Narsih menyiapkan secangkir
wedang sereh untuk majikannya itu.
Melihat tidak ada seorang pun yang berada di pawon,
terlihat Ni Narsih telah menuangkan sebuah cairan dari
dalam bubu kecil kedalam minuman yang akan diberikan
kepada majikannya itu. Tanpa beban apapun, Ni Narsih telah membawa
minuman hangat itu ke serambi dimana majikannya
tengah beristirahat berbincang bersama istrinya, Dara
Jingga. "Terima kasih", berkata Dara Jingga penuh senyum
ramah kepada Ni Narsih yang telah meletakkan
secangkir wedang hangat untuk Patih Mahesa Amping.
Tergesa-gesa terlihat Ni Narsih berjalan kembali
masuk ke pawon, dadanya terasa berdebar-debar.
Keesokan harinya, Ni Narsih terlihat menarik
nafasnya lega sekali karena melihat Patih Mahesa
Amping seperti biasa duduk di ruang dalam menanti
hidangan sarapan pagi bersama istrinya Dara Jingga.
Ketika sore datang menjelang, Ni Narsih masih
melihat Patih Mahesa Amping di serambi ketika dirinya
menyuguhkan secangkir wedang hangat.
Keesokan harinya lagi, Ni Narsih masih melihat Patih
Mahesa Amping keluar dari puri pasanggrahannya untuk
702 menyelesaikan beberapa tugasnya di istana Kediri.
Demikianlah, dalam dua hari itu Ni Narsih masih
melihat Patih Mahesa Amping tetap segar bugar.
"Hanya air pengasih", berkata Ni Narsih dalam hati
menghilangkan rasa bersalahnya.
Namun di hari ketiganya, disaat wajah bumi pagi
masih bening suram terjadilah sebuah kehebohan besar
di istana Kediri yang berawal di puri pasanggrahan Patih
Mahesa Amping. Pagi itu Dara Jingga terkejut ketika membuka
matanya melihat suaminya, sang Patih Mahesa Amping
tengah duduk bersila dengan mata terpejam.
Sebagai seorang istri yang sudah lama mengenal
kebiasaan suaminya, pahamlah Dara Jingga bahwa
suaminya tengah menghadapi sesuatu yang mengganggu kesehatannya. Dan dengan rasa khawatir
yang sangat terlihat Dara Jingga masih tetap menunggu
di sisi suami tercintanya itu.
Rasa cemas mengisi perasaan dara Jingga manakala
melihat peluh bercucuran membasahi seluruh tubuh
Patih Mahesa Amping. Masih dengan perasaan penuh
cemas, Dara Jingga melihat suaminya perlahan
membuka matanya dan langsung memandangnya.
"Dindaku, apakah engkau mencintaiku?", berkata
Patih Mahesa Amping kepada Dara Jingga.
"Lautan yang luas telah kuseberangi, meninggalkan
segala kemanjaan sebagai seorang putri di tanah
Melayu, hanya untuk menemui kakanda", berkata Dara
Jingga sambil mengusap peluh di wajah suaminya.
"Ambillah pisau pendek yang tergantung di dinding
kamar kita itu, arahkan dengan tepat di jantungku",
703 berkata Patih Mahesa Amping kepada istrinya.
"Kakanda pasti tengah mengigau", berkata Dara
Jingga sambil mengerutkan keningnya merasa bahwa
suaminya telah bicara tanpa sadar.
"Cepatlah dinda bila kamu benar-benar mencintaiku",
berkata Patih Mahesa Amping dengan suara lebih keras
lagi pertanda keluar dari kesungguhan hatinya.
"Tidak, aku tidak akan melakukannya", berkata Dara
Jingga sambil menggelengkan kepalanya penuh rasa
cemas menghantui perasaan dan pikirannya menatap
wajah suaminya yang basah oleh peluh yang terus
mengucur dengan derasnya.
Ternyata sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi,
memahami ilmu pengobatan, memahami berbagai jenis
aneka racun. Ketika terbangun di pagi hari Patih Mahesa
Amping sudah dapat merasakan ada sesuatu yang tidak
beres di dalam dirinya, maka langsung saja Patih
Mahesa Amping bersila di peraduannya mengerahkan
segenap kekuatan sejati hawa murninya mencoba
menghentikan sesuatu yang dirasakannya telah
memenuhi seluruh jalur pembuluh darahnya. Setelah
lama mencoba dengan kekuatan tenaga sakti sejati hawa
murninya yang sangat tinggi itu, ternyata Patih Mahesa
Amping telah terlambat untuk menghentikannya,
dirasakan racun yang amat kuat itu sudah naik keatas
kepala. Sebagai seorang yang sangat memahami berbagai
jenis racun, Patih Mahesa Amping sadar betul bahwa
racun yang telah masuk merambati seluruh isi kepalanya
itu akan berdampak merusak segala akal pikirannya,
akan merubah dirinya menjadi seorang yang lupa
ingatan. 704 Itulah sebabnya Patih Mahesa Amping telah meminta
istrinya agar membunuhnya.
Namun semua memang sudah terlambat, racun yang
amat kuat telah merusak seluruh isi kepala Patih Mahesa
Amping, merusak segala ingatannya. Merubahnya
menjadi sesosok tubuh yang hanya dipenuhi amarah,
memandang seluruh isi dunia dengan cara terbalik,
musuh dianggapnya kawan, dan sahabat setia dilihatnya
sebagai musuh paling jahat yang harus dibunuh.
Berlinang air mata Dara Jingga tidak tahu apa yang
harus dilakukan kepada suami tercintanya itu yang tibatiba saja menatap dirinya dengan mata yang memerah
menakutkan. "Kandaku?", berkata lirih Dara Jingga menatap
wajah suaminya yang sudah kehilangan sosok sejatinya
yang dikenalnya selama ini.
Dan tiba-tiba saja Dara Jingga menjerit tertahan
manakala tangan Patih Mahesa Amping yang amat kuat
itu telah mencengkeramnya dan melemparkannya hingga
membentur dinding kayu kamar peraduannya.
Brakk !!!! Dengan mata terbelalak Dara Jingga melihat
suaminya telah menabrak pintu kamar yang langsung
terbuka lebar. Dan dengan masih menahan rasa sakit sebagian
tubuhnya yang terbentur kayu, terlihat Dara Jingga
berusaha bangkit berdiri dan mengejar Patih Mahesa
Amping yang telah pergi berlari ke arah pintu pringgitan.
Braak !!! Kembali Dara Jingga melihat Patih Mahesa Amping
telah menabrak pintu pringgitan yang langsung hancur
705 terbuka lebar. "Kanda Mahesa Amping", berteriak Dara Jingga
memanggil suaminya. Namun Patih Mahesa Amping seperti tidak
mendengar apapun, telah berlari kearah samping
bangunan puri pasanggrahannya kearah kandang kuda.
Seorang pekatik tua terbelalak melihat majikannya
datang dengan cara berlari dan langsung menghentakkan tali kekang kuda yang terikat di sebuah
tiang penyangga kandang kuda.
Akibatnya tiang penyangga itu telah pecah dua,
merobohkan sebagian atap bangunan kandang kuda itu.
Pekatik tua itu masih terbelalak tidak tahu apa yang
harus dilakukannya, namun tiba-tiba dilihatnya sang
majikan telah melompat dan langsung menghentakkan
perut kuda agar berlari kencang.
Pekatik tua masih dengan mata terbelalak melihat
majikannya telah melarikan kudanya kearah halaman
depan. Bersamaan dengan itu, terlihat dua orang pejabat
istana tengah memasuki gerbang gapura puri
pasanggrahan Patih Mahesa Amping.
Terkejut keduanya karena tiba-tiba saja didepan
keduanya terlihat Patih Mahesa Amping melarikan
kudanya begitu cepat sekali.
Namun dengan sangat sigap keduanya telah
langsung melompat kekiri dan kekanan menghindari
tabrakan kuda yang berlari begitu cepatnya langsung
keluar dari gerbang gapura.
Sementara itu keduanya telah melihat seorang wanita
706 berlari kearah mereka. "Nyi Patih, katakana apa yang telah terjadi", berkata
salah seorang dari pejabat Istana itu bertanya kepada
wanita itu yang tidak lain adalah Dara Jingga masih
dengan isak tangisnya.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tolonglah suamiku, dirinya telah hilang kendali",
berkata Dara Jingga kepada kedua pejabat istana Kediri
itu yang sudah dikenalnya bernama Ki Rangga Kebo Biru
dan Ki Demung Juru. Tanpa bertanya apapun, terlihat Ki Rangga Kebo Biru
dan Ki Demung Juru telah langsung berlari kearah Patih
Mahesa Amping melarikan kudanya.
"Aku butuh kuda ini kembali", berkata Ki Rangga
Kebo Biru kepada seorang pekatik yang tengah
membawa dua ekor kuda untuk dirawatnya.
Sebagaimana Ki Rangga Kebo Biru, terlihat Ki
Demung Juru telah melakukan yang sama mengambil tali
kekang kuda dari tangan pekatik.
Maka tidak lama berselang Ki Rangga Kebo Biru dan
Ki Demung Juru telah berada di punggung kudanya
masing-masing. Tinggal para prajurit penjaga di gerbang istana Kediri
yang terpaku di tempatnya karena baru saja dilihatnya
Patih Mahesa Amping telah melarikan kudanya dengan
sangat cepat sekali, tiba-tiba saja dibelakangnya sudah
muncul Ki Rangga Kebo Biru dan Ki Demung Juru
berkuda sangat cepat sebagaimana Patih Mahesa
Amping. "Apa yang terjadi atas mereka bertiga?", berkata
seorang prajurit penjaga kepada kawannya.
Beruntung bahwa Ki Rangga Gajah Biru dan Ki
707 Demung Juru masih dapat melihat arah kuda Patih
Mahesa Amping yang ternyata menuju arah utara
gerbang gapura kotaraja Kediri. Namun mereka berdua
belum dapat mengejar kecepatan lari kuda Patih Mahesa
Amping yang berlari seperti terbang membelah udara
pagi yang mulai terang tanah.
Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung Juru masih
jauh dibelakang Patih Mahesa Amping yang telah
melewati gerbang gapura sebelah utara Kotaraja Kediri.
Terlihat debu mengepul dibelakang kaki kuda Patih
Mahesa Amping yang terus berlari dengan cepatnya
meninggalkan Kotaraja Kediri dan terus berlari kearah
utara. Sementara itu sambil terus mengejar kuda Patih
Mahesa Amping, didalam pikiran Ki Rangga Gajah Semu
masih menyangsikan perkataan Dara Jingga bahwa
sahabatnya itu telah hilang ingatan.
"Mungkinkah Patih Mahesa Amping telah kehilangan
akalnya sebagaimana yang dikatakan oleh istrinya
sendiri?", bertanya dalam hati Ki Rangga Gajah Biru
sambil terus berusaha mengejar laju kuda Patih Mahesa
Amping. Kejar-kejaran pun terus berlangsung di jalan tanah
yang telah menjadi semakin terang disinari matahari
yang telah mulai naik disebelah kanan arah mereka
berpacu. Kejar kejaran pun masih terus berlangsung hingga
matahari telah mencapai puncaknya diatas kepala
mereka, namun tetap saja laju kuda Patih Mahesa
Amping tetap berada jauh didepan Ki Rangga Gajah Biru
dan Ki Demung Juru. Hingga manakala matahari mulai turun di sebelah kiri
708 mereka, mulailah dapat dinilai
merupakan kuda unggulan. kuda siapa yang Ternyata kuda yang dikendarai oleh Patih Mahesa
Amping adalah seekor kuda pilihan keturunan kedua dari
kuda milik Raja Mahesa Cempaka yang sangat terkenal
itu. Seekor kuda yang sangat kuat dan dapat berlari
dengan sangat cepatnya. Dan sudah mulai dapat terlihat
laju kuda Ki rangga Gajah Biru dan Ki Demung Juru
semakin jauh tertinggal. "Nampaknya kuda kita sudah mulai kepayahan",
berteriak Ki Rangga Gajah Biru sambil memperlambat
laju kudanya dan mengangkat tangannya kearah Ki
Demung Juru. Mendengar teriakan Ki Rangga Gajah Biru, terlihat Ki
Demung Juru langsung memperlambat laju kudanya
sebagaimana yang dilakukan oleh kawannya itu.
"Kuda kita akan mati kelelahan bila kita paksakan
terus berlari", berkata Ki Rangga Gajah Biru kepada Ki
Demung Juru. Demikianlah, Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung
Juru telah tertinggal jauh oleh Patih Mahesa Amping,
kuda-kuda mereka berdua tidak setegar dan sekuat kuda
Patih Mahesa Amping yang seperti punya sepuluh nafas
cadangan berlari terus tanpa berhenti.
"Kita lanjutkan pengejaran setelah kuda-kuda kita
beristirahat dengan cukup", berkata Ki Rangga Gajah
Biru kepada Ki Demung Juru ketika melihat sebuah
sungai kecil berbatu membelah jalan mereka.
Beruntung di tepi sungai kecil itu tumbuh sebatang
pohon pisang hutan yang telah berbuah matang. Terlihat
Ki Demung Juru memenggal setangkai pisang matang
709 itu, berbagi dengan Ki Rangga Gajah Biru beberapa
buah, sisanya disimpan sebagai bekal. Nampaknya Ki
Demung Juru menyadari bahwa mungkin mereka tidak
singgah bermalam di sebuah padukuhan yang mereka
lewati, mereka akan terus memacu kudanya berusaha
untuk mengejar Patih Mahesa Amping.
Demikianlah, setelah melihat kuda-kuda mereka telah
beristirahat dengan cukup, terlihat mereka sudah duduk
diatas punggung kuda mereka masing-masing untuk
melanjutkan perjalanan mereka mengejar Patih Mahesa
Amping. Ternyata setelah beristirahat dengan cukup, kudakuda mereka dapat diperintahkan untuk berlari kembali,
dipacu kembali meninggalkan debu yang beterbangan
mengepul di belakang langkah kaki kuda-kuda mereka.
Hingga akhirnya di penghujung senja, di sebuah
persimpangan jalan mereka harus menghentikan lari
kuda mereka. Terlihat Ki Rangga Gajah Biru telah melompat turun
dari punggung kudanya tepat di persimpangan jalan itu.
Ternyata Ki Rangga gajah Biru adalah seorang pencari
jejak ulung telah menemukan jejak langkah kaki kuda
Patih Mahesa Amping. "Patih Mahesa Amping telah mengambil arah
Kotaraja Majapahit", berkata Ki Rangga Gajah Biru yang
telah bongkahan-bongkahan rumput halus yang tumbuh
di jalan tanah itu yang terbongkar oleh langkah kaki kuda
yang diyakininya milik kuda Patih Mahesa Amping.
Nampaknya Ki Demung Juru tidak menyangsikan
keahlian sahabatnya itu dalam hal menemukan jejak,
hanya dengan melihat kedalaman jejak kaki seekor
harimau sudah dapat mengukur dengan tepat berat
710 badan harimau itu serta tidak kehilangan arah kemana
binatang besar itu berjalan.
"Kita telah tertinggal seperempat hari perjalanan",
berkata Ki Rangga Gajah Biru sambil meraba jejak
langkah kaki kuda patih Mahesa Amping.
Demikianlah, terlihat Ki Rangga Gajah Biru dan Ki
Demung Juru telah mengambil arah perjalanan menuju
Kotaraja Majapahit, arah yang mereka yakini adalah arah
perjalanan Patih Mahesa Amping.
Di keremangan malam, dibawah langit dan cahaya
bulan terpotong langkah kaki kuda Ki Rangga Gajah Biru
dan Ki Demung Juru terus berlari membelah udara dingin
malam. "Berhenti !!", berkata Ki Rangga Gajah Biru manakala
melihat seonggok bayangan hitam tergeletak di tengah
jalan di hadapan mereka. Terlihat mereka berdua langsung menghentikan laju
kuda mereka dan langsung melompat dari punggung
kuda mereka masing-masing.
"Kuda Patih Mahesa Amping", berkata Ki Demung
Juru didekat seekor kuda yang tergeletak sudah tidak
bernafas lagi, yang dikenali sebagai kuda milik Patih
Mahesa Amping. "Patih Mahesa Amping sangat menyayangi kudanya,
namun dengan tangannya sendiri telah membunuhnya",
berkata Ki Rangga Gajah Biru yang melihat tulang dada
kuda itu telah remuk terpukul oleh sebuah tangan yang
amat kuat. "Nampaknya kuda ini sudah tidak dapat lagi menuruti
perintah majikannya untuk terus berlarian", berkata Ki
Demung Juru menduga-duga kematian kuda kesayangan
711 Patih Mahesa Amping itu. "Kita telah tertinggal setengah hari perjalanan",
berkata Ki rangga Gajah Biru setelah meraba bagian
tubuh bangkai kuda itu. JILID 9 TERLIHAT mereka berdua sudah melompat diatas
kuda masing-masing dan langsung menghentakkan perut
kudanya agar langsung berlari. Ki Rangga Gajah Biru
dan Ki Demung Juru adalah para prajurit pilihan, orangorang yang terlatih dan telah ditempa raganya
menghadapi berbagai rintangan yang sangat berat,
menempuh perjalanan yang sulit dan jauh, menghadapi
pertempuran di peperangan seharian penuh tanpa
beristirahat sedikitpun. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Rangga Gajah
Biru, mereka berdua memang telah tertinggal setengah
hari perjalanan dengan Patih Mahesa Amping yang telah
meninggalkan kudanya. Keduanya sama-sama membayangkan bahwa sang patih Daha yang amat sakti
itu pasti telah mengunakan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah sangat sempurna itu, yang konon dapat
berlari kencang mengendarai angin.
Itulah sebabnya dengan perasaan tak menentu,
menduga-duga kebenaran perkataan dara Jingga yang
mengatakan suaminya itu telah kehilangan akal
sehatnya, terlihat Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung
tetap memacu kuda-kuda mereka berlari di bawah langit
malam yang dingin, melewati beberapa kademangan,
melewati jalan hutan yang gelap, membelah padang
ilalang dan tanah berawa.
712 "Kita mencari tempat untuk beristirahat sejenak, kuda
kita nampaknya sudah mulai jemu berlari", berkata Ki
Rangga Gajah Biru sambil memperlambat laju kudanya.
Mendengar ucapan Ki rangga Gajah Biru, terlihat Ki
Demung Juru ikut memperlambat laju kudanya.
Hingga di sebuah jalan di puncak sebuah perbukitan
mereka telah berhenti untuk beristirahat.
Sementara itu langit diatas kepala mereka sudah
terlihat bias memerah sebagai pertanda sang malam
sebentar lagi akan tergantikan oleh sang putra pagi, sang
putra fajar pemilik cahaya di bumi.
"Kasihan kuda-kuda kita", berkata Ki Demung Juru
sambil melihat kuda-kuda mereka yang langsung rebah
di hamparan rumput liar dengan nafas yang masih
tersengal-sengal kelelahan.
Akhirnya manakala sang fajar terlihat mengintip di
ujung timur bumi, keduanya telah menuntun kuda-kuda
mereka tidak langsung menungganginya untuk memberi
kesempatan kuda-kuda mereka menghangatkan otot-otot
tubuhnya dengan udara pagi yang segar.
"Kotaraja Majapahit sudah tinggal setengah hari
perjalanan lagi", berkata Ki Rangga Gajah Biru.
Sementara itu di waktu yang sama terlihat sebuah
rakit tengah meluncur menyeberangi sungai Kalimas.
Terlihat seorang lelaki tua yang mengenakan pakaian
kebesaran seorang pejabat istana berada diatas rakit itu
bersama dua orang prajurit Majapahit yang mengawalnya. Terlihat di seberang sungai Kalimas beberapa prajurit
Majapahit berdiri sepertinya tengah menunggu rakit itu
menepi. 713 Manakala rakit itu telah menepi di seberang, lelaki tua
yang sangat berwibawa itu dengan begitu ringannya
melangkah ke dermaga kayu di tepian sungai Kalimas itu
sebagai pertanda orang itu seorang yang sangat terlatih
dalam olah kanuragan. "Kami telah menyiapkan kuda untuk tuanku Patih
Amangkubumi", berkata seorang prajurit Majapahit yang
menjemputnya di tepian sungai Kalimas itu.
"Terima kasih", berkata lelaki tua itu yang ternyata
adalah Patih Amangkubumi, seorang yang dikenal
sangat ramah, seorang yang selalu bersahaja meski
telah memiliki jabatan tinggi di kerajaan Majapahit itu.
Ternyata hari itu Patih Amangkubumi telah mewakili
Baginda Raja Sanggrama Wijaya untuk melakukan
sebuah perundingan dengan seorang utusan resmi Yang
Dipertuan Agung Maharaja Kubilai Khan.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, setelah
kekalahan pasukan Mongolia di Jawadwipa, telah terjadi
kevakuman hubungan diantara kedua kerajaan ini.
Peperangan di lautan bebas tak pernah bisa dielakkan
bila kedua perahu dagang mereka bertemu.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Merasa lelah dengan peperangan-peperangan yang
merugikan kedua belah pihak, akhirnya para pedagang
bangsa Mongolia telah dapat melunakkan hati Yang
Dipertuan Agung Maharaja Kubilai Khan untuk mengutus
seseorang ahli runding membuat beberapa kesepakatan
bersama kerajaan Majapahit.
Namun utusan Yang Dipertuan Agung Maharaja
Kubilai Khan itu sangat menjunjung tinggi martabat Sang
Maharaja nya, merasa lebih rendah derajatnya bila harus
datang ke istana Majapahit. Akhirnya disepakati
perundingan dilakukan di Bale Tamu di Tanah Ujung
714 Galuh, sebuah tempat yang dibangun oleh Baginda Raja
Sanggrama Wijaya beberapa tahun silam sebagai basis
kekuatan armada dagangnya menghadapi kekuatan Raja
Jayakatwang pada saat itu.
Karena Baginda Raja Sanggrama Wijaya masih
belum kembali dari kunjungannya di Tanah Pasundan,
maka Patih Amangkubumi telah mewakilinya membuat
beberapa kesepakatan dengan utusan kerajaan terbesar
di jaman itu yang konon telah menguasai setengah
wilayah permukaan bumi. Dan manakala Patih Amangkubumi bersama
rombongannya tengah memasuki pintu gerbang Bale
Tamu, di waktu yang sama pula terlihat Ki Rangga Gajah
Biru dan Ki Demung Juru telah memasuki wilayah
Kademangan Maja. Terlihat Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung Juru
tidak memperlambat laju kudanya meski telah berada di
jalan Kademangan Maja yang sudah cukup ramai di lalui
beberapa orang yang tengah berjalan kaki.
Derap langkah kaki kuda Ki Rangga Gajah Biru dan
Ki Demung Juru benar-benar telah membuat panic
beberapa orang yang langsung berlari menepi takut
tertabrak kuda-kuda mereka. Dan sumpah serapah
keluar dari mulut mereka sebagai caci maki kemarahan
dan kedongkolan mereka. Namun sepertinya Ki Rangga Gajah Biru dan Ki
Demung tidak memperdulikannya, yang dipikirkan saat
itu adalah secepatnya menemui Patih Mahesa Amping.
Akhirnya mereka memang telah keluar dari beberapa
padukuhan di Kademangan Maja yang sudah sangat
ramai itu, terlihat dihadapan mereka sebuah gapura yang
sangat tinggi berdiri menantang sang Mentari yang telah
715 berada tepat diatas kepala.
Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung Juru akhirnya
telah memasuki Kotaraja Majapahit dari arah sebelah
barat. Sementara itu di Tanah Ujung Galuh, Patih
Amangkubumi tengah melakukan pembicaraan bersama
seorang utusan Kaisar Mongolia yang memperkenalkan
dirinya bernama Yultemujin.
"Mari kita melupakan apa yang pernah terjadi
diantara kita, tanpa itu kita tidak akan menemui
kesepakatan apapun, sesuatu kerugian yang sangat
besar dimana tuan Yultemujin telah datang dari tempat
yang amat jauh", berkata Patih Amangkubumi memulai
pembicaraannya dengan utusan itu.
"Di negeri kami, pandangan untuk orang Jawadwipa
adalah sekumpulan orang liar yang sangat sukar untuk
berdamai, ternyata setelah bertemu dengan tuan Patih
Amangkubumi telah mencairkan perasaan hatiku,
ternyata orang Jawadwipa adalah orang santun yang
dapat diajak bicara", berkata Yultemujin memuji sikap
dan tutur kata Patih Amangkubumi yang menggambarkan kesetaraan jiwa orang Jawadwipa yang
merdeka, namun disampaikan dengan bahasa yang
santun. Ternyata Patih Amangkubumi adalah seorang
perunding yang hebat, telah mendapatkan beberapa
kesepakatan yang banyak menguntungkan di pihak
kerajaan Majapahit. Beberapa kesepakatan itu antara
lain adalah menghentikan segala macam permusuhan
diantara kedua bangsa, menjalin hubungan perdagangan
kembali dimana tidak ada perlakuan yang berbeda
sebagaimana yang diberlakukan oleh semua pedagang
716 bangsa asing lainnya berdagang langsung diperbolehkan berdagang Majapahit yang ditunjuk di
Kerajaan Majapahit. yaitu tidak diperbolehkan
ke pedalaman, hanya dengan perwakilan kerajaan
sepanjang wilayah kekuasaan
"Aku akan bercerita kepada kaisar kami Yang
Dipertuan Agung Maharaja Kubilai Khan bahwa di
Jawadwipa ini kami diterima dengan perjamuan dan
keramahan. Adakah sebuah permintaan dari tuan Patih
Amangkubumi yang dapat kami sampaikan kepada
kaisar kami?", berkata Yultemujin kepada Patih
Amangkubumi di tengah-tengah perjamuan.
"Sampaikan salamku kepada kaisarmu bahwa kami
orang di Jawadwipa ini mencintai perdamaian, satu orang
teman baik lebih ternilai dibandingkan dengan seribu
orang musuh. Permintaanku adalah semoga Yang
Dipertuan Agung Maharaja Kubilai Khan bermurah hati
untuk mengembalikan kehormatan Panglima setianya,
Ike Mese. Sampaikan kepada kaisarmu bahwa
kekalahan prajurit Mongol bukan kesalahan Panglima Ike
Mese, tapi Gusti Yang Maha Agung saat itu telah
berpihak kepada orang Jawa".
Sementara itu Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung
Juru telah memasuki jalan utama kotaraja Majapahit.
Berdebar perasaan hati mereka manakala mendengar suara riuh ribuan prajurit di muka gerbang
istana Majapahit. Dan bukan main terguncangnya hati dan perasaan
mereka berdua manakala mengetahui bahwa suara riuh
ribuan prajurit itu tengah mengeroyok Patih Mahesa
Amping seorang diri. Namun tidak satupun pedang
ditangan prajurit mampu melukainya, sebaliknya
717 siapapun yang terdekat akan terlempar roboh tak
bergerak lagi oleh terjangan Patih Mahesa Amping yang
sangat sakti itu. Langsung seketika itu juga terlihat Ki Rangga Gajah
Biru dan Ki Demung Juru langsung melompat dari
punggung kudanya, langsung masuk menyibak
kerumunan ribuan prajurit Majapahit sambil berteriak
meminta para prajurit Majapahit itu menghentikan
pengeroyokan itu. "Kalian salah menyerang orang, dia adalah pahlawan
Majapahit yang harus di hormati", berkata Ki Rangga
Gajah Biru sambil mendorong beberapa orang prajurit
Majapahit. Namun tiba-tiba saja ada seorang prajurit yang
mengancamnya dengan pedang panjang yang terhunus.
"Siapa yang kamu katakan pahlawan", lihatlah mayat
kawan-kawan kami, puluhan jiwa telah melayang
ditangannya. Apakah pantas orang biadab itu di panggil
dengan sebutan seorang pahlawan?", berkata seorang
prajurit rendahan sambil mengancam Ki Rangga Gajah
Biru dengan pedang yang telanjang.
Sebagai seorang prajurit perwira tinggi di istana
Kediri, perkataan prajurit rendahan itu seperti sebuah
hinaan. Dan Ki Rangga Gajah Biru yang punya sifat
mudah marah itu seperti sebuah kayu kering disulut api,
maka berkobarlah kemarahannya.
"Aku Rangga Gajah Biru akan berada dibelakang
Patih Mahesa Amping, siapapun yang menyakitinya akan
menjadi musuh utamaku hari ini", berkata Ki Rangga
Gajah Biru sambil meloloskan pedangnya siap
memegang kata-katanya sendiri.
718 Ternyata perkataan Ki Rangga Gajah Biru menjadi
perhatian beberapa orang prajurit Majapahit.
"Kita tutup mulut perwira sombong dari Kediri itu",
berkata salah seorang prajurit Majapahit kepada
beberapa orang kawannya. Melihat beberapa orang prajurit Majapahit telah
mengepung Li Rangga Gajah Biru, dengan penuh
kesetiaan Ki Demung Juru langsung maju melindungi
bagian belakang tubuh Ki Rangga Gajah Biru.
Akhirnya keriuhan suasana keributan itu seperti
terbagi dua, satu kelompok tengah mengepung Patih
Mahesa Amping, satu kelompok lainnya tengah
mengepung dua perwira tinggi dari Kediri itu.
Terlihat Patih Mahesa Amping yang sudah memiliki
ilmu kesaktian yang amat tinggi itu dimana tidak satupun
pedang mampu melukainya, bahkan seperti sebuah
pelita dan laron di pergantian musim, siapapun yang
berani mendekat akan terlempar mati.
Sementara itu Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung
Juru bertempur seperti dua ekor banteng yang kalap,
beberapa orang prajurit Majapahit sudah terkena sabetan
senjata pedangnya. Melihat beberapa orang kawan mereka menjadi
korban pedang kedua perwira tinggi dari Kediri itu telah
membuat panas hati para prajurit Majapahit, mereka
menjadi seperti kerasukan setan untuk beramai-ramai
menghabisi kedua orang itu.
Malang sungguh nasib kedua perwira tinggi dari
Kediri itu, setelah berkuda cukup jauh tanpa beristirahat
yang cukup, langsung mereka menghadapi keroyokan
para prajurit Majapahit. Terlihat dengan cepatnya tenaga
719 mereka menjadi surut, gerakan mereka pun menjadi kian
lambat. Dan dua tiga kali tusukan dari beberapa prajurit
Majapahit yang menyerangnya telah melukai kedua
prajurit perwira tinggi itu yang secara terbuka
mengatakan berada di belakang Patih Mahesa Amping.
Rasa lelah yang sangat, serta darah di beberapa luka
di tubuh yang terus mengalir telah membuat Ki Demung
Juru merasakan kepalanya menjadi pening, tidak jelas
lagi memandang arah pedang yang tengah menyerangnya. Dan?".blessss".
Sebuah pedang tajam telah menembus batang paha
kaki Ki Demung Juru membuat orang tua gagah perkasa
itu jatuh terkulai karena satu kakinya sudah tidak mampu
menahan berat tubuhnya sendiri.
Melihat sahabatnya jatuh terkulai lemah tak berdaya
telah menjatuhkan kata dari mulut Ki Rangga Gajah Biru.
"Nyawaku setara dengan seratus jiwa orang, mari
mati bersamaku", berkata Ki Rangga Gajah Biru dengan
kedua kaki yang kokoh merekat diatas bumi pijakannya.
Namun perkataan Ki Rangga Gajah Biru tidak
menyusutkan langkah para prajurit Majapahit, terlihat
lima orang prajurit Majapahit telah maju bersama-sama
menerjang kearah Ki Rangga Gajah Biru.
Luar biasa ketangkasan orang tua yang bertubuh
tinggi besar itu, seperti seekor gajah marah telah dapat
menangkis satu persatu serangan lawan-lawannya.
Empat serangan masih dapat di, namun satu serangan
telah terlepas dari ujung matanya.
Dan"..crattttt"..
720 Sebuah sabetan pedang telah berhasil merobek
lengan kanan Ki Rangga Gajah Biru.
Tapi Ki Rangga Gajah Biru sudah seperti mati rasa,
tanpa peduli rasa sakit sedikitpun telah memindahkan
pedangnya di tangan kirinya.
"Mari mati bersamaku", berkata Ki Gajah Biru dengan
wajah dan tatap mata dingin tak berkedip.
"Matilah kamu sendiri", berkata seorang prajurit yang
langsung menyerang kearah Ki Rangga Gajah Biru.
Naas bagi prajurit Majapahit itu yang tidak menduga
bahwa Ki Rangga Gajah Biru masih dapat bergerak
cepat meski dengan sebuah tangan kirinya.
Dan".brettt Perut prajurit naas itu telah kebeset sabetan pedang
Ki Rangga Gajah Biru meninggalkan goresan yang cukup
dalam dan panjang banyak menumpahkan darah segar.
Terlihat prajurit naas itu bergulingan menahan rasa
sakit yang amat sangat. Melihat hal itu telah membuat kawan-kawan mereka
langsung menubruk Ki Rangga Gajah Biru dengan
berbagai serangan dari berbagai arah.
Akibatnya dua hingga tiga sabetan pedang panjang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mampu untuk dielakkan, orang tua berbadan tinggi
besar itu terlihat jatuh terkulai dengan banyak luka di
tubuhnya. Nampaknya Ki Rangga Gajah Biru telah
banyak kehabisan darah segar yang banyak keluar dari
beberapa lukanya. Sementara itu kepungan kepada Patih Mahesa
Amping menjadi semakin rapat, pedang dan lembing
berkali-kali melesat kearah tubuhnya, namun sang Patih
721 yang perkasa dan sakti tak tertandingi di jamannya itu
masih dapat saja mengelak bahkan terus melemparkan
lawan-lawannya yang sepertinya tidak pernah berkurang
meski puluhan orang telah tergeletak terkena sambaran
tangan dan kaki Patih Mahesa Amping.
"Jaka Sesuruh, keluarlah engkau, jangan kamu
berlindung di belakang tikus-tikus tidak berarti ini",
berteriak Patih Mahesa Amping sambil melemparkan
siapapun prajurit Majapahit yang datang mendekatinya.
Teriakan Patih Mahesa Amping tidak pernah
berubah, selalu memanggil nama Jaka Sesuruh dengan
perkataan penuh kebencian yang amat sangat.
Hampir semua prajurit Majapahit mengenal namai itu,
dan sudah hampir melupakannya karena nama yang
disebut oleh Patih Mahesa Amping adalah nama kecil
Baginda Raja Sanggrama Wijaya, sebuah nama yang
sangat menyakitkan bagi siapapun yang mencintai Raja
mereka, karena nama itu adalah nama hinaan seorang
anak lelaki kecil yatim ditinggal mati seorang ibu yang
terbuang tersia-siakan. Itulah sejarah pahit derita
Baginda Raja Sanggrama Wijaya, seorang yatim
bersama ayahandanya telah terusir dari Tanah Pasundan
yang dengan penuh perjuangan mengembara dalam
hingga dapat kembali ke kampong halamannya, keluarga
istana Singasari. Dan Patih Mahesa Amping dengan penuh kebencian
dan dendam telah menyebut berulang nama kecil
Baginda Raja Sanggrama Wijaya, dengan ucapan Jaka
Sesuruh. "Jaka Sesuruh, keluarlah engkau, jangan kamu
berlindung di belakang tikus-tikus tidak berarti ini",
berteriak kembali Patih Mahesa Amping sambil
722 melemparkan siapapun prajurit Majapahit yang datang
mendekatinya. Kembali jumlah korban prajurit Majapahit di tangan
Patih Mahesa Amping telah bertambah lagi.
Ribuan prajurit itu benar-benar tidak mampu
melumpuhkan Patih Mahesa Amping, siapapun yang
berani mendekat akan langsung terlempar tidak kenal
ampun ditangan Patih Mahesa Amping.
Melihat mulai banyaknya korban yang bergelimpangan akibat pukulan tangan kosong Patih
Mahesa Amping telah membuat gentar para prajurit
Majapahit itu, beberapa orang terdepan terlihat mundur
beberapa langkah tidak berani maju menyerang. Mereka
hanya berdiri mengepung agar Patih Mahesa Amping
tidak melarikan diri. Pemandangan saat itu Patih Mahesa Amping seperti
tengah berdiri di tengah pusaran laut manusia.
"Jaka Sesuruh, keluarlah engkau, jangan kamu
berlindung di belakang tikus-tikus tidak berarti ini",
berteriak kembali Patih Mahesa Amping sambil berdiri
tegak menantang. Ternyata teriakan Patih Mahesa Amping itu adalah
teriakan yang terakhir, karena selesai berteriak terlihat
tubuh Patih yang perkasa itu mulai limbung layaknya
seorang pemabuk yang tak mampu mengendalikan
dirinya. Melihat hal demikian pada diri Patih Mahesa Amping
telah membuat dua orang prajurit sedikit punya
keberanian kembali, terlihat keduanya telah bergerak
dengan senjata pedang terhunus menuju arah Patih
Mahesa Amping. 723 Namun sebelum gerakan dua orang prajurit itu
mencapai sasaran, tiba-tiba saja berkelebat dua sosok
bayangan. Satu sosok bayangan telah mendekati kedua prajurit
yang masih bernyali itu, entah dengan apa tiba-tiba saja
kedua prajurit itu terlempar dengan merasakan kepala
mereka seperti tertimpa batu yang amat keras.
Sementara sosok bayangan lainnya telah langsung
mendekati Patih Mahesa Amping yang hampir jatuh
terkulai. Terlihat tubuh Patih Mahesa Amping sudah ada
dalam pangkuan seorang pemuda yang tidak lain adalah
putranya sendiri, Adityawarman.
"Ayah,,,", hanya
Adityawarman penuh ayahandanya itu. itu yang diucapkan oleh kekhawatiran atas keadaan
Sementara itu, sosok bayangan lainnya ternyata
adalah Tumenggung Mahesa Semu yang berdiri tegak
membelakangi Adityawarman dan Patih Mahesa Amping.
"Bila perbuatanku hari ini bersalah, aku akan dengan
suka rela melepaskan jabatanku ini, namun bila ada yang
berani menyentuh kulit tubuh saudaraku ini, berarti akan
berhadapan denganku sebagai musuh besarku", berkata
Tumenggung Mahesa Semu dengan suara yang lantang.
Mendengar tantangan Tumenggung Mahesa Semu
telah membuat para prajurit menjadi gentar, mereka
mulai ragu apakah mampu menghadapi seorang
Tumenggung Mahesa Semu yang mereka ketahui adalah
saudara seperguruan Patih Mahesa Amping yang hanya
selisih sedikit ilmu kesaktiannya.
Ditengah keraguan para prajurit menghadapi
tantangan Tumenggung Mahesa Semu, tiba-iba saja
724 terdengar suara orang yang berteriak memberikan
semangat agar para prajurit Majapahit tidak takut
menghadapi Tumenggung Mahesa Semu dan Adityawarman. "Jumlah kita ribuan banyaknya, dengan maju
bersama kita akan kuat. Cincang kedua orang itu yang
telah membela Patuh Mahesa Amping, pembunuh
kawan-kawan kita", berkata seseorang memberikan
hasutan kepada para prajurit untuk bergerak maju.
Sebagai seorang Tumenggung yang belum lama
dilantik, Tumenggung Mahesa Semu sudah mulai banyak
mengenal beberapa orang pejabat istana Majapahit.
Terlihat Tumenggung Mahesa Semu seperti mengenali
siapa pemilik suara yang melengking itu.
Namun belum sempat Tumenggung Mahesa Semu
berpikir lebih lanjut, kembali para prajurit Majapahit telah
bergerak kembali. Melihat bahaya yang akan dihadapi, Tumenggung
telah langsung melepas pedangnya yang tajam berkilat.
Sementara itu Adityawarman juga telah bergerak
cepat, meletakkan tubuh ayahnya di tanah dan langsung
sudah melangkah membelakangi punggung Tumenggung Mahesa Semu dengan senjata keris
ditangan. Nampaknya kedua ksatria Majapahit itu sudah siap
menghadapi ribuan prajurit Majapahit dengan dada
terbuka tidak terlihat sedikitpun rasa gentar di sorot mata
keduanya. Tak terbayangkan suasana dan akibat yang pasti
akan terjadi, dua orang ksatria tangguh menghadapi
ribuan prajurit, pastinya akan terjadi banyak korban di
725 pihak para prajurit, Tanah halaman disekitar gerbang
istana itu akan menjadi banjir darah dimana anyir baunya
akan berpekan-pekan lamanya baru dapat hilang,
sementara hampir di setiap malam suasana disekitarnya
menjadi semakin mencekam dipenuhi banyak hantu
penasaran yang bergentayangan.
Namun semua bayangan yang mencekam itu tidak
akan terjadi, karena tiba-tiba saja terdengar suara
bergema yang terdengar jelas berputar-putar seperti
datang dari berbagai penjuru mata angin. Hanya orang
sakti yang telah menguasai ajian gelap Ngampar yang
dapat melakukannya. "Mundur semuanya dan sarungkan kembali pedang
kalian", demikian suara itu terdengar bergema
menghentakkan dada setiap para prajurit yang seperti
tersihir langsung mundur beberapa langkah dan juga
serentak telah menyarungkan pedang masing-masing.
Siapa gerangan pemilik ajian gelap Ngampar yang
sudah amat langka itu"
Belum reda debar di dada para prajurit, tiba-tiba saja
terlihat angin puyuh berputar-putar diatas kepala mereka.
Benar-benar sebuah pemandangan yang sangat
menegangkan siapapun yang melihatnya disaat itu.
Seluruh mata masih tertuju kepada pusaran angin
puyuh yang terus bergerak kearah pusat kerumunan, dan
berhenti turun di dekat Patih Mahesa Amping.
Terperangah wajah seluruh prajurit manakala
pusaran angin puyuh itu tiba-tiba menghilang, berganti
dengan sesosok tubuh lelaki tua berdiri penuh wibawa.
"Tuan Patih Amangkubumi", berdesah perlahan dari
bibir para prajurit Majapahit yang telah mengenal sosok
726 lelaki tua itu. "Aku patih Amangkubumi, hari ini aku memegang
mandate Baginda Raja Sanggrama Wijaya, ucapanku
adalah ucapannya", berkata Patih Amangkubumi dengan
suara yang lantang terdengar hingga di barisan
kerumunan paling belakang para prajurit Majapahit.
Terlihat hampir semua prajurit Majapahit menundukkan wajahnya, mencoba menduga-duga
keputusan apa yang akan keluar dari pemegang mandat
Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Aku Patih Amangkubumi, hari ini kuasa keadilan
berada di tanganku, kitab hukum Kutara Wanara
Dharmasasra berada di tanganku", berkata kembali Patih
Amangkubumi masih dengan suara yang sangat lantang.
Berdebar-debar dada para prajurit mendengar
perkataan Patih Amangkubumi yang telah menyebut
sebuah kitab hukum kerajaan yang sangat tinggi itu, kitab
hukum keadilan yang tidak mengenal persaudaraan,
tidak mengenal persahabatan, tidak pejabat kerajaan dan
kaum jelata, juga para pendeta akan tunduk patuh
menjalaninya. Para prajurit Majapahit itu merasa takut bahwa
mereka akan terjerat kesalahan karena telah mencelakai
Patih Mahesa Amping yang masih berbaring tidak
sadarkan diri itu. Semua prajurit Majapahit masih menundukkan
wajahnya, masih mencoba menduga-duga keputusan
apa yang akan keluar dari pemegang mandat Baginda
Raja Sanggrama Wijaya itu.
"Serahkan keadilan kepadaku, kembalilah kalian ke
barak kesatuan masing-masing", berkata Patih
727 Amangkubumi masih dengan suara yang terdengar
begitu lantangnya. Tanpa menunggu perintah kedua, terlihat ribuan
prajurit itu telah membubarkan dirinya, mereka takut
Patih Amangkubumi akan berubah pikiran tidak
memaafkan apa yang telah mereka perbuat.
Tanpa menunggu para prajurit bubar seluruhnya,
terlihat Patih Amangkubumi telah mengangkat tubuh
Patih Mahesa Amping begitu ringannya langsung
berkelebat kearah dalam istana.
Sementara itu Adityawarman terlihat mengikuti jejak
Patih Amangkubumi sambil membawa tubuh Ki Rangga
Gajah biru yang terluka parah tidak mampu berdiri.
Melihat Adityawarman dan Patih Amangkubumi,
terlihat Tumenggung Mahesa Semu ikut membawa Ki
Demung Juru yang juga telah pingsan tak sadarkan diri
akibat banyak darah yang keluar dari beberapa lukanya.
Sebagaimana Adityawarman, terlihat Tumenggung
Mahesa Semu mengikuti arah Patih Amangkubumi.
Ternyata arah Patih Amangkubumi membawa tubuh
Patih Mahesa Amping menuju puri pasanggrahannya
sendiri. "Berikan mereka ramuan bubuk pengering luka",
berkata Patih Amangkubumi kepada seorang lelaki tua
pelayan dalem yang menyongsong kedatangan
majikannya itu. Tanpa menunggu pelayan dalem itu datang kembali,
terlihat Patih Amangkubumi sudah duduk disisi Patih
Mahesa Amping yang telah dibaringkan di panggung
pendapanya. "Bagaimana
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keadaan ayahku?", bertanya 728 Adityawarman dengan wajah penuh rasa cemas.
"Aku belum dapat memastikannya, hanya baru
menduga-duga sebagaimana laporan pertama yang
kudapat dari seorang prajurit yang datang kepadaku di
Bale tamu mengatakan bahwa ayahmu menjadi gila
membunuh para prajurit Majapahit", berkata Patih
Amangkubumi sambil masih memeriksa beberapa jalan
darah di tubuh Patih Mahesa Amping.
"Apakah ayahku masih dapat disembuhkan?",
bertanya kembali Adityawarman dengan penuh harap
dan cemas. Belum sempat Patih Amangkubumi menjawab
pertanyaan Adityawarman, tiba-tiba pelayan dalem telah
datang bersama tiga orang kawannya dengan membawa
sebuah bubu kecil dari bambu.
Nampaknya pelayan dalem itu membawa kedua
kawannya untuk membantunya, dan tanpa menunggu
perintah dari Patih Amangkubumi, kedua kawan pelayan
dalem itu telah mendekati tubuh Ki Rangga gajah Biru
dan Ki Demung Juru membaluri luka-lika mereka dengan
bubuk pengering luka. "Bawakan kepadaku selembar daun keladi dan pisau
pendekku", berkata Patih Amangkubumi kepada pelayan
dalemnya yang nampaknya memang menunggu perintah
dari majikannya itu. "Apakah ayahku masih dapat
bertanya kembali Adityawarman Amangkubumi. disembuhkan?", kepada Patih "Aku masih menduga-duga, untuk kepastiannya aku
harus melihat sendiri beberapa tetes darahnya", berkata
Patih Amangkubumi merasa kasihan melihat kecemasan
729 di wajah Adityawarman itu.
Dan tidak lama berselang, pelayan dalem telah
datang kembali sambil membawa selembar daun keladi
dan sebuah pisau pendek langsung diserahkan kepada
Patih Amangkubumi. Terlihat Patih Amangkubumi menorehkan pisau
pendeknya di salah satu ujung jari patih Mahesa Amping.
Darah segar keluar dari jari tangan Patih Mahesa Amping
yang langsung ditadahkan oleh patih Amangkubumi
dengan bejana selembar daun keladi.
Dengan tidak sabar terlihat Adityawarman menunggu
ucapan Patih Amangkubumi yang tengah mengamati
darah diatas daun keladi, tetesan darah ayahnya.
Terlihat Patih Amangkubumi menarik nafas berat
sekali. Dengan wajah penuh harap dan cemas, terlihat
Adityawarman menahan nafasnya menanti perkataan
Patih Amangkubumi. "Ayahmu terkena serangan racun hati celeng
bunting", berkata Patih Amangkubumi dengan suara lirih
kepada Adityawarman. "Racun hati celeng bunting?", berkata bersamaan
Adityawarman dan Tumenggung Mahesa Semu merasa
baru kali ini mendengar jenis racun seperti yang
dikatakan oleh Patih Amangkubumi itu.
"Orang biasa akan mati dalam satu hari, sementara
ayahmu masih dapat bertahan hingga saat ini.
Nampaknya daya sakti hawa murninya telah dapat
bekerja dengan sendiri melindungi tubuhnya, namun
tidak mampu melindungi bagian isi kepalanya. Itulah
yang menyebabkan ayahmu tak terkendalikan 730 ingatannya", berkata
Adityawarma. patih Amangkubumi kepada "Apakah ayahku masih dapat disembuhkan?",
berkata Adityawarman masih dengan wajah penuh harap
dan cemas. "Serahkan semuanya kepada Gusti Yang Maha
Hidup, dialah penguasa kehidupan ini, hidup dan mati
kita ada ditangannya. Sementara kita hanya dapat
berupaya dengan sariatnya", berkata Patih Amangkubumi sambil berdiri dan dengan bahasa
tubuhnya memanggil pelayan dalem untuk mendekatinya. Terdengar Patih Amangkubumi menyebut beberapa
tanaman obat kepada pelayan dalemnya.
"Kamu harus pergi cepat ke hutan Maja", berkata
Patih Amangkubumi menjelaskan dimana mendapatkan
beberapa jenis tanaman obat yang disebutkannya itu.
"Hamba pamit diri", berkata pelayan dalem kepada
patih Amangkubumi. Terlihat pelayan dalem itu tengah menuruni anak
tangga panggung pendapa, namun begitu kakinya
menyentuh tanah, tiba-tiba saja seperti melesat terbang
dan menghilang di ujung gerbang gapura puri
pasanggrahan Patih Amangkubumi.
Diam-diam Adityawarman dan Mahesa Semu
mengakui bahwa ternyata Patih Amangkubumi dikelilingi
oleh orang-orang hebat yang punya ilmu kesaktian cukup
tinggi. Sementara itu dua orang pelayan dalem lainnya
terlihat telah selesai melaburi luka di tubuh Ki Rangga
Gajah Biru dan Ki Demung Juru.
731 Dan tidak lama berselang terlihat pelayan dalem yang
diperintahkan oleh Patih Amangkubumi ke hutan Maja
telah datang kembali. "Hamba telah mendapatkan tanaman obat yang tuan
cari", berkata pelayan dalem itu sambil menyerahkan
beberapa lembar daun dan kulit kayu kepada patih
Amangkubumi. Adityawarman dan Tumenggung Mahesa Semu
terdiam menyaksikan tangan Patih Amangkubumi tengah
meremas beberapa lembar daun yang langsung
dimasukkan kedalam sebuah mangkuk.
Adityawarman dan Tumenggung Mahesa Semu
masih diam membisu menyaksikan Patih Amangkubumi
membuka mulut Patih Mahesa Amping dan memasukkan
cairan racikannya sedikit demi sedikit.
Adityawarman dan Tumenggung Mahesa Semu
masih diam membisu menyaksikan semangkuk cairan
racikan telah habis masuk ke tubuh Patih Mahesa
Amping. "Nampaknya Ayahmu telah banyak menguras
tenaganya tanpa makan dan minum dalam beberapa
hari, itulah yang menyebabkannya dirinya lemas tidak
sadarkan diri. Mudah-mudahan cairan racikanku ini dapat
mengaliskan racun yang ada di seluruh peredaran
darahnya itu", berkata Patih Amangkubumi kepada
Adityawarman. Mendengar perkataan Patih Amangkubumi, terlihat
kecemasan di wajah Adityawarman sudah sedikit
berkurang, nampaknya putra tunggal Patih Daha itu
sangat mempercayai keahlian Patih Amangkubumi dalam
ilmu pengobatan itu. 732 Lama menunggu, Patih Mahesa Amping masih juga
belum sadarkan diri. Sementara itu Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung
Juru sudah mulai terlihat bergerak menggeliat.
"Siapkan tempat di dalam agar mereka berdua dapat
beristirahat", berkata Patih Amangkubumi kepada ketiga
pelayan dalemnya yang masih berada diatas panggung
pendapa untuk membawa Ki Rangga Gajah Biru dan Ki
Demung Juru. Adityawarman, Tumenggung Mahesa Semu dan
Patih Amangkubumi masih menunggu Patih Mahesa
Amping yang belum juga siuman, masih diam tak
bergerak, hanya desah nafasnya saja yang masih
terdengar lemah. "Desah nafasnya sudah mulai terdengar lebih kuat,
sebagai pertanda racikanku tengah bekerja", berkata
Patih Amangkubumi yang melihat rongga dada Patih
Mahesa Amping telah bergerak kembang kempis lebih
cepat dari sebelumnya. Sementara itu bulan terbelah diatas langit malam puri
pasanggrahan Patih Amangkubumi hanya ditemani tiga
bintang. Adityawarman, Tumenggung Mahesa Semu dan
Patih Amangkubumi masih menunggu Patih Mahesa
Amping yang belum juga siuman, masih diam tak
bergerak, hanya desah nafasnya saja yang sudah
terdengar mulai teratur. "Ayah".", berkata Adityawarman yang telah melihat
ayahnya membuka matanya perlahan.
"Jangan bergerak dulu, tubuhmu masih sangat
lemah", berkata Patih Amangkubumi sambil memandang
733 wajah Patih Mahesa Amping yang telah membuka
matanya merasa silau oleh cahaya pelita malam yang
tergantung di tiang pendapa puri pasanggrahan.
"Dimana aku?", berkata Patih Mahesa Amping lirih
perlahan. "Kamu berada di tempat yang aman,
saudaraku", berkata Patih Amangkubumi.
wahai Terlihat Patih Mahesa Amping memandang wajah
Patih Amangkubumi yang tersenyum penuh kasih.
"Ki Sandikala", berkata Patih Mahesa Amping
membalas senyuman Patih Amangkubumi yang dipanggil
dengan nama samarannya ketika masih dalam awal-awal
perjuangan menyelamatkan keluarga istana Singasari
dalam kejaran pasukan Raja Jayakatwang.
"Sekarang, tengoklah orang disebelah kirimu",
berkata patih Amangkubumi kepada Patih Mahesa
Amping. Perlahan Patih Mahesa kepalanya menoleh ke kiri.
Amping menggerakkan "Putraku Adityawarman".", berkata Patih Mahesa
Amping. "Sekarang, pandanglah orang disebelah putramu itu",
berkata kembali Pati Amangkubumi.
"Saudaraku"..Kakang Mahesa Semu", berkata Patih
Mahesa Amping sambil memandang Tumenggung
Mahesa Semu yang tengah tersenyum memandangnya.
Terlihat Patih Amangkubumi menarik nafas dalamdalam, merasa gembira melihat sahabatnya telah pulih
daya ingatnya, telah terbebas dari serangan racun yang
diketahui sangat keras, sebuah racun yang jarang sekali
734 dikenal oleh banyak orang kecuali oleh orang-orang yang
ahli mengenal ilmu pengobatan seperti dirinya.
"Racun hati celeng bunting", berkata Patih
Amangkubumi dalam hati sambil mengutuk orang yang
begitu jahat meracuni sahabatnya itu.
"Siapa gerangan yang telah menurunkan tangan
jahatnya kepada patih Mahesa Amping?", berkata
kembali Patih Amangkubumi dalam hati, namun setelah
lama berpikir tidak juga dapat menemukan apa yang
dicari dalam pikirannya itu.
"Gandhok tengen sudah hamba siapkan", berkata
seorang pelayan dalem menyadarkan Patih Amangkubumi yang tengah berada dalam pikirannya
sendiri. "Biarlah aku yang membawa saudaraku", berkata
Tumenggung Mahesa Semu menawarkan dirinya
membawa patih Mahesa Amping untuk beristirahat di
tempat yang telah disiapkan untuknya.
"Udara malam sudah menjadi begitu dingin", berkata
Patih Amangkubumi mengajak Adityawarman masuk ke
ruang dalam. Saat itu malam memang terasa sangat dingin,
halaman muka puri pasanggrahan Patih Amangkubumi
sudah menjadi begitu gelap.
"Biarlah ayahmu beristirahat disini untuk beberapa
hari sampai dapat pulih kembali seperti sediakala",
berkata patih Amangkubumi kepada Adityawarman
diatas bale kayu di ruang dalam.
"Terima kasih untuk semuanya, tidak terbayangkan
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bila saja Ki patih Amangkubumi tidak datang tepat pada
waktunya", berkata Adityawarman dengan wajah penuh
735 rasa terima kasih. Sepanjang malam itu Adityawarman menunggu Patih
Mahesa Amping di dekat pembaringannya. Matanya tidak
pernah lepas mengamati wajah ayah tercintanya.
Terbayang masa-masa kecilnya dimana Ayahnya dengan
begitu kasih menjaganya, merasa belum dapat
membalas budi kebaikan dan kasih sayang yang pernah
tercurah kepadanya. "Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung Juru pasti
dapat menceritakan beberapa hal tentang awal mula di
balik peristiwa tadi siang", berkata Adityawarman dalam
hati. "Hari telah mulai menjelang pagi, wahai putra
saudaraku, beristirahatlah sejenak, biarlah aku yang
berganti menjaganya", berkata Tumenggung Mahesa
Semu yang baru saja masuk ke gandhok tempat Patih
Mahesa Amping beristirahat.
"Terima kasih, aku merasa tenteram berada disisi
ayahku", berkata Adityawarman.
Tumenggung Mahesa Semu memaklumi perasaan
putra Patih Mahesa Amping itu, terlihat mereka berdua
duduk disisi peraduan Patih Mahesa Amping.
Tidak lama berselang pintu gandhok terbuka, terlihat
wajah penuh senyum yang muncul dari pintu gandhok
yang telah terbuka itu. "Raut wajahnya sudah tidak pucat lagi", berkata
orang yang baru itu sambil memandang wajah Patih
Mahesa Amping yang masih tertidur nyenyak itu, yang
tidak lain adalah Patih Amangkubumi.
"Sejak tidur semalaman tidak terbangun sama sekali,
tidurnya memang sangat nyenyak sekali", berkata
736 Adityawarman. "Aku telah memesan kepada seorang pelayan dalem
untuk membuat beberapa racikan untuk diberikan kepada
Patih Mahesa Amping", berkata Patih Amangkubumi
sambil mengatakan untuk berpamit diri melaksanakan
tugas kepatihan di istana Majapahit.
"Seluruh pelayan dalem di tempatku ini dapat
dipercaya, dan aku telah memberikan tugas kepada
mereka untuk melarang siapapun orang luar masuk ke
puri pasanggrahanku", berkata Patih Amangkubumi
kepada Adityawarman dan Tumenggung Mahesa Semu.
"Orang-orang jahat yang telah meracuni ayahku pasti
ingin memastikan keadaannya", berkata Adityawarman
membenarkan kehati-hatian Patih Amangkubumi itu.
Demikianlah, pagi itu terlihat Patih Amangkubumi
telah keluar dari puri pasanggrahannya untuk
melaksanakan tugas kepatihan di istana Majapahit.
Sepanjang hari itu Adityawarman dan Tumenggung
Mahesa Semu selalu menjaga Patih Mahesa Amping
yang masih sangat lemah. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Patih
Amangkubumi, para pelayan dalem telah melarang orang
luar masuk ke wilayah puri pasanggrahan Patih
Mangkubumi. "Sejak kapan ada larangan tidak boleh masuk?",
berkata seorang tukang kayu bakar merasa janggal.
Mendengar perkataan seorang tukang kayu bakar itu,
pelayan dalem yang berjaga di muka halaman puri
pasanggrahan Patih Amangkubumi hanya tersenyum.
"Letakkan saja kayu bakarmu di halaman ini, nanti
kami yang akan membawanya ke belakang", berkata
737 pelayan dalem kepada tukang kayu bakar yang memang
sudah terbiasa keluar masuk puri pasanggrahan setiap
harinya. Ternyata larangan masuk ke puri pasanggrahan juga
berlaku untuk lima orang prajurit penjaga yang biasa
berkeliling di semua tempat di dalam istana untuk
memastikan suasana dan keadaan disekitarnya aman
terkendali. "Aku ini prajurit penjaga, aku ingin memastikan
keamanan disini", berkata salah seorang prajurit penjaga
itu yang ditahan oleh seorang pelayan dalem di muka
gapura puri pasanggrahan.
"Ini bukan keinginanku, tapi perintah tuan Patih
Amangkubumi sendiri", berkata pelayan dalem kepada
para prajurit penjaga itu.
"Baiklah bila memang itu perintah tuan Patih
Amangkubumi", berkata salah seorang penjaga tidak
mencoba membantah setelah mendengar bahwa
larangan itu atas perintah Patih Amangkubumi.
Terlihat kelima prajurit penjaga itu telah berjalan
kembali ke tempat lain untuk memeriksa keadaan dan
keamanan istana. Dan tidak lama berselang muncul seorang pelayan
dalem wanita yang biasa belanja sayur mayur kebutuhan
warga puri pasanggrahan Patih Amangkubumi.
"Gawat !!", berkata pelayan dalem wanita itu sambil
menurunkan belanjaannya di dekat pelayan dalem lelaki
yang bertugas menjaga halaman mula puri pasanggrahan. "Gawat apanya?", bertanya pelayan dalem lelaki
kepada kawannya itu. 738 "Hampir semua orang di pasar membicarakan
peristiwa kemarin", berkata pelayan dalem wanita itu.
"Lalu apanya pelayan lelaki itu. yang gawat?", bertanya kembali "Gawatnya adalah bahwa para keluarga korban,
keluarga para prajurit yang tewas telah menuntut
keadilan, nyawa harus dibayar nyawa", berkata pelayan
wanita menjelaskan. "Syukurlah, bukan segawat yang kukira", berkata
pelayan dalem lelaki sambil tersenyum menggoda.
"Gawat apa yang kamu kira?", berkata pelayan dalem
wanita itu penuh penasaran.
"Kukira ada berita keluargamu tidak merestui
hubungan kita, itulah gawat darurat yang paling
kukhawatirkan", berkata pelayan dalem lelaki masih
dengan senyum menggodanya.
"Masih jauh untuk bercerita tentang hubungan kita
kepada keluargaku", berkata pelayan dalem wanita itu
sambil mengangkat kembali bakul belanjaannya diatas
kepalanya. Hingga disaat sore menjelang, terlihat Patih
Amangkubumi telah kembali dan langsung menengok
Patih Mahesa Amping yang sudah terbangun namun
masih sangat lemah. "Ada yang ingin kubicarakan bersama kalian berdua",
berkata Patih Amangkubumi kepada Adityawarman dan
Tumenggung Mahesa Semu mengajaknya bicara di
ruang serambi dalam mungkin agar tidak didengar
langsung oleh Patih Mahesa Amping, takut mempengaruhi kesehatannya yang belum benar-benar
pulih. 739 Tidak lama berselang ketiganya telah duduk di ruang
serambi dalam. "Tadi di Bale Kepatihan, para pejabat Dharmayaksa
yang diwakili oleh pendeta Dang Acarca Sujiwa telah
menyampaikan sebuah kabar tentang peristiwa kemarin,
dimana para keluarga prajurit yang menjadi korban telah
menuntut Patih Mahesa Amping untuk diadili dalam dua
pemberatan ageman kitab hukum Kutara Wanara
Dharmasasra, melakukan pembunuhan dan melakukan
caci maki", berkata Patih Amangkubumi kepada
Adityawarman dan Tumenggung Mahesa Semu.
"Apakah Ki Patih sudah memberikan sebuah
keputusan?", bertanya Tumenggung Mahesa Semu yang
juga telah memahami tentang kitab hukum kerajaan
Majapahit itu yang menjadi ageman di seluruh wilayah
kekuasaan Kerajaan Majapahit, sebagai garis hukum
menjaga tatanan etika keselarasan manusia yang hidup
di bumi Majapahit. "Semula aku meminta untuk diundurkan sambil
menunggu kedatangan Baginda Raja Sanggrama
Wijaya, namun mereka memaksaku untuk secepatnya.
Akhirnya aku memutuskan untuk mempelajari permasalahannya", berkata Patih Amangkubumi.
"Apakah mereka meminta batasan waktu?", bertanya
kembali Tumenggung Mahesa Semu.
"Mereka meminta di akhir tutup tahun, antara akhir
bulan Phalguna dan awal bulan Caitra bersamaan
dengan pertemuan agung seluruh pejabat kerajaan",
berkata Patih Amangkubumi.
"Hanya tinggal dua Tumenggung Mahesa Semu pekan lagi?", berkata 740 "Aku berharap sebelum datang batasan yang mereka
pinta, Baginda Raja Sanggrama Wifaya sudah datang
kembali", berkata Patih Amangkubumi.
"Aku melihat sepertinya ada tangan yang sengaja
mengambil keuntungan dalam suasana kekeruhan ini,
dimulai dari rencana pembunuhan Patih Mahesa Amping,
hingga usaha pengerahan keluarga korban prajurit untuk
menuntut keadilan", berkata Tumenggung Mahesa
Semu. "Ada asap ada api, kita bisa memulainya dari pendeta
Dang Acarca yang membawa permasalahan peristiwa
Patih Mahesa Amping, kita juga dapat mengupas siapa
orang di balik para keluarga prajurit yang gugur dalam
peristiwa itu", berkata Patih Amangkubumi.
"Sebelum pertemuan agung, mudah-mudahan kita
sudah dapat menjernihkan suasana, sedikitnya
mengetahui siapa dalang di balik kekeruhan ini", berkata
Tumenggung Mahesa Semu. Demikianlah, keesokan harinya Tumenggung Mahesa Semu sudah mulai bekerja, mengerahkan
beberapa orang kepercayaannya yang berada dalam
kesatuan khusus prajurit telik sandi untuk melakukan
penyelidikan yang tersebar.
Berdebar perasaan Pendeta Dang Acarca Sujiwa
manakala dua orang prajurit telik sandi mendatangi
kediamannya. Ternyata kedua orang prajurit itu telah
mendapat tugas untuk membawa Pendeta Dang Acarca
Sujiwa ke istana Majapahit hari itu juga.
"Pemimpin kami hanya ingin meminta beberapa
keterangan", berkata salah seorang prajurit kepada
Pendeta Dang Acarca Sujiwa.
741 Tanpa dapat membantah, meski dirinya adalah salah
satu anggota Dharmayaksa yang bertugas menangani
berbagai perselisihan sebagai pejabat hakim agung,
Pendeta Dang Acarca hari itu juga telah memenuhi
panggilan Tumenggung Mahesa Semu, seorang pejabat
istana Majapahit yang sangat disegani karena
merupakan orang kepercayaan Baginda Raja Sanggrama Wijaya, sang penguasa tertinggi di kerajaan
Majapahit. Atas perkenan Baginda Raja Sanggrama
Wijaya, wewenang Tumenggung Mahesa Semu dapat
memenjarakan siapapun orang yang dicurigai akan
mengganggu tatanan keamanan di bumi Majapahit.
Dan hari itu Pendeta Dang Acarca Sujiwa bersama
dua orang prajurit telik sandi terlihat tengah memasuki
puri pasanggrahan milik Tumenggung Mahesa Semu di
dalam istana Majapahit, disamping sebagai tempat resmi
kediaman Tumenggung Mahesa Semu, juga sebagai
pusat kendali para prajurit telik sandi.
Ternyata Tumenggung Mahesa Semu seorang yang
sangat menjiwai tugasnya, dapat mengupas dan
menelanjangi orang dengan berbagai cara tanpa
kekerasan. Dan Pendeta Dang Acarca Sujiwa benar-benar
merasa kelelahan jiwa dan raganya setelah menjalani
berbagai macam pemeriksaan, berbagai pertanyaan dari
pagi hingga menjelang petang hari.
Dan akhirnya Pendeta Dang Acarca Sujiwa sudah
mulai menyerah, yang ada dalam pikirannya adalah
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melindungi diri sendiri, melindungi jabatan dan
kehormatannya sendiri. "Mendapatkan jabatan sebagai anggota Dharmayaksa sungguh sebuah kebanggaan hati
742 siapapun orangnya, sebuah jembatan dimana diri dan
keluarga kita dihormati dan dimuliakan. Namun semua
kembali ke diri tuan pendeta, karena kejujuran tuan
pendeta adalah pertimbanganku apakah jabatan dan
kehormatan tuan pendeta memang harus hanya sampai
disini", berkata Tumenggung Mahesa Semu kepada
Pendeta Dang Acarca Sujiwa.
Terlihat Pendeta Dang Acarca Sujiwa menarik nafas
panjang, merasa sudah begitu lelah.
"Semua kulakukan karena mendapatkan ancaman
dari Ra Kuti yang akan membongkar kehidupan hitamku
di masa lalu", berkata Pendeta Dang Acarca sambil
menundukkan kepalanya. "Ra Kuti, salah satu pejabat Dharmaputra", berkata
dalam hati Tumenggung Mahesa Semu.
Sementara itu di tempat kediaman Patih Amangkubumi terlihat seorang wanita setengah baya
bersama seorang pemuda tertahan di gapura puri
pasanggrahan Patih Amangkubumi.
"Kami hanya menjalankan perintah", berkata seorang
pelayan dalem dengan penuh santun.
Beruntung belum sempat meruncing menjadi sebuah
ketegangan, Patih Amangkubumi yang baru pulang dari
kepatihan telah melihat mereka.
"Maaf Nyi Nariratih, aku yang melarang orang luar
masuk ke puri pasanggrahanku", berkata Patih
Amangkubumi kepada wanita setengah baya itu yang
ternyata adalah Nyi Nariratih, ibunda Gajahmada.
Sementara pemuda yang bersamanya adalah Supo
Mandagri. Terlihat Patih Amangkubumi sendiri yang mengantar
743 mereka memasuki halaman puri pasanggrahan dan
langsung ke gandok dalam menemui Patih Mahesa
Amping. "Tuan Patih".", berkata Nyi Nariratih ketika menemui
Patih Mahesa Amping yang sudah dapat duduk di
peraduannya dan hanya ditemani oleh putranya,
Adityawarman. "Tidak perlu mengkhawatirkan diriku, aku berada di
tangan seorang tabib paling hebat di bumi Majapahit ini",
berkata Patih Mahesa Amping sambil melebarkan
senyumnya. Mendengar pujian dari Patih Mahesa Amping, terlihat
Patih Amangkubumi hanya sedikit tersenyum.
"Aku hanya sedikit mengenal beberapa macam
tanaman obat", berkata Patih Amangkubumi merendahkan dirinya. "Ki Sandikala memang terlalu merendahkan diri, tabib
Eng Djiauw Ong 29 Lencana Pembunuh Naga Karya Khu Lung Seruling Sakti 2
Gajahmada hanya menggunakan ilmu meringankan
tubuhnya, melesat cepat menghindari sambaran kilat
yang berasal dari ilmu sakti Ki Secang yang lain.
Namun belum sempat Gajahmada menjejakkan
kakinya, sebuah sambaran kilat telah memburunya.
Beruntung Gajahmada sudah memiliki tataran ilmu
meringankan tubuh yang nyaris amat sempurna, seperti
terbang saja layaknya Gajahmada langsung melenting ke
samping. Namun sambaran kilat seperti terus
memburunya kemanapun diri Gajahmada bergerak
menghindar. Dan jalan tanah kota Kadipaten Blambangan yang
menjadi kancah pertempuran itu terlihat sudah
terbongkar terkena sasaran sambaran kilat ilmu sakti Ki
Secang yang amat dahsyat itu. Tiga buah pohon
tumbang terkena sambaran ilmu sakti Ki Secang yang
meleset. Terlihat beberapa prajurit harus berlari menjauh,
takut terkena salah sasaran.
Melihat dampak dari serangan ilmu sakti Ki Secang
yang amat dahsyat itu telah membuat Gajahmada harus
berpikir keras, bagaimana caranya melumpuhkan Ki
Secang tanpa harus membunuhnya.
Nampaknya Gajahmada telah menemukan jawabannya, terlihat dirinya tidak lagi hanya menghindar,
terlihat sudah langsung membuat tekanan, membuat
serangan balasan dengan cambuk pendeknya.
Akhirnya, dalam beberapa kali serangan, ujung
cambuk Gajahmada berhasil menyentuh kulit tubuh Ki
670 Secang. Dua sampai tiga kali ujung cambuk Gajahmada
berhasil menyentuh tubuh Ki Secang, namun tidak
dirasakan oleh Ki Secang, Hal itu telah membanggakan
diri Ki Secang yang merasa bahwa tenaga sakti
Gajahmada masih berada dibawahnya, merasa bahwa
lawannya itu hanya punya ilmu meringankan tubuh yang
hebat, hanya bisa menghindar tanpa punya kekuatan
tenaga sakti yang dapat diandalkan.
Namun manakala ujung cambuk Gajahmada untuk ke
sekian kalinya kembali menyentuh kulit tubuhnya,
barulah dirasakan dampak dari sentuhan-sentuhan ujung
cambuk Gajahmada itu. "Ilmu setan dedemit", berkata Ki Secang dalam hati
merasakan tenaganya menjadi semakin lemah,
kemampuan menghentakkan ilmu saktinya menjadi
semakin berkurang. Ki Secang melihat sendiri hasil
sambarannya ilmu saktinya tidak lagi dapat menghancurkan sebuah bongkahan batu besar yang
terkena sasaran bidiknya.
Akhirnya setelah kembali beberapa sentuhan ujung
cambuk Gajahmada menyentuh dirinya, barulah Ki
Secang menyadari sungguh-sungguh bahwa tenaganya
yang terkuras itu akibat ajian ilmu lawannya, sebuah
ajian ilmu yang sudah sangat langka yang pernah
didengarnya. "Ajian lampah-lumpuh", berkata Ki Secang sambil
melompat mundur beberapa langkah.
Ternyata dugaan Ki Secang memang benar,
Gajahmada telah melepaskan ajian yang setara dengan
ajian lampah-lumpuh sebagaimana yang dikatakan oleh
Ki Secang. Namun sebenarnya adalah sebuah ajian
671 Pangeran Muncang yang dilakukan dengan cara terbalik
yang dapat menyerap tenaga hawa murni lawan
tempurnya itu, sebuah ilmu ajian yang pernah diwariskan
kepadanya oleh seorang sakti dari Tanah Pasundan,
Sang Prabu Guru Darmasiksa.
Namun kesadaran Ki Secang sudah terlambat, tiga
perempat tenaga hawa murninya telah terserap ke dalam
diri Gajahmada. Tenaga hawa murni yang telah
diendapkannya lewat semadhi puluhan tahun telah hilang
dalam waktu yang pendek, terserap menjadi kekuatan
baru di dalam tubuh Gajahmada.
"Bagaimana Ki Secang, apakah kamu masih ingin
melanjutkan pertempuran ini?" berkata Gajahmada
sambil berdiri tegak dengan tangan masih memegang
cambuknya yang ujung cambuknya terjulur menyentuh
tanah. Terlihat Ki Secang masih terpaku berdiri di
tempatnya, Ki Secang seperti terjepit oleh berbagai
perasaan yang berkecamuk memenuhi jiwanya, mulai
dari rasa amarah yang amat sangat, rasa kecewa yang
amat sangat, juga rasa putus asa yang berlebihan
membuat dirinya menjadi begitu lemah tidak berdaya.
Yang ada dalam pikirannya bahwa lawannya yang masih
muda itu ternyata memiliki ilmu yang amat tinggi. Yang
terpikir oleh dirinya adalah menyelamatkan selembar
nyawanya, karena bila pertempuran itu dilanjutkan,
tenaganya akan semakin terkuras habis.
"Aku menyerah kalah", berkata Ki Secang setelah
berpikir lama sambil melemparkan senjata trisulanya jauh
dari jangkauan tangannya.
Terdengar sorak sorai para prajurit yang telah melihat
akhir dari pertempuran dua naga kanuragan itu.
672 Beberapa warga kota Kadipaten Blambangan yang
semula hanya mengintip lewat celah-celah pintu rumah
mereka, terlihat sudah memberanikan dirinya keluar
halaman dan mencoba mengetahui lebih dekat apa yang
telah terjadi. Namun dengan penuh kebijaksanaan, Adipati Menak
Jingga meminta mereka kembali untuk menyempurnakan
laku Nyepi mereka di rumah masing-masing.
"Saat ini tidak ada yang perlu dirisaukan lagi.
Kembalilah kalian ke rumah masing-masing untuk
menyempurnakan laku Nyepi kalian. Serahkan tugas
keamanan kepada para prajurit pengawal Kadipaten
Blambangan", berkata Adipati Menak Jingga kepada para
warga kota yang berdatangan ke tempat pertempuran
yang telah usai itu. Demikianlah, para warga kota Kadipaten Blambangan telah kembali ke rumah masing-masing.
Kepada anggota keluarganya mereka mengabarkan
suasana pertempuran telah usai, para perusuh sudah
dapat dilumpuhkan. "Keadaan sudah aman, para perusuh sudah dapat
ditaklukkan oleh Adipati Menak Jingga bersama para
prajuritnya", berkata seorang kepala keluarga kepada
istri, anak gadis dan menantunya.
"Adipati Menak Jingga pasti sangat sakti, telah dapat
mengalahkan para buta kala", berkata seorang anak
lelaki kepada kakeknya yang baru datang itu dan ikut
mendengar penuturan tentang suasana pertempuran
yang telah usai. Terlihat sang kakek hanya tersenyum, teringat ketika
terjadi suasana pertempuran, anak itu menangis
ketakutan, dan sang kakek menenangkannya dengan
673 mengatakan di luar ada banyak buta kala ingin memakan
anak-anak kecil. "Makanya, kamu jangan sering menangis, nanti
didengar oleh buta kala", berkata sang kakek kepada
cucunya itu. "Besok kamu ikut aku ke pasar, nenek akan
memasak pecel pitik dan urap-urap untukmu", berkata
sang nenek memberi janji kepada cucunya.
Sementara itu di jalan tempat pertempuran, terlihat
para prajurit tengah menolong orang-orang yang terluka,
bukan hanya kawan mereka, tapi juga orang-orang yang
menjadi lawan tanding di pertempuran dengan para
prajurit gabungan itu. Beberapa prajurit lainnya terlihat
tengah mengumpulkan mayat-mayat korban pertempuran
itu, memisahkannya mana kawan mereka dan mana
musuh mereka guna mempermudah membawa mereka
ke tempat pemakaman yang memang telah dipisahkan.
"Kita harus melakukan pemakaman di hari ini juga,
karena besok sudah masuk hari Ngembak Geni", berkata
Adipati Menak Jingga kepada para prajuritnya.
Demikianlah, pada hari itu juga telah dilaksanakan
upacara pemakaman bagi para korban pertempuran di
hari raya Nyepi itu. Semua korban diperlakukan dengan
sama tanpa perbedaan apapun, kawan, saudara atau
mantan musuh mereka. Senja yang bening menatap bumi yang ternoda darah
dan air mata, di hari raya Nyepi yang suci.
Hari ke tiga di bulan ke sepuluh penanggalan tahun
saka, sehari setelah perayaan hari Ngembak Geni di kota
Kadipaten Blambangan. Terlihat Adipati Menak Koncar
telah membawa kembali pasukannya ke Tanah
674 Lamajang lewat jalan darat.
"Bila ada waktu, aku akan menyambangi Balidwipa",
berkata Gajahmada melepas Putu Risang yang ikut
bersama pasukan Lamajang karena akan menjemput
putranya, Rangga Seta. Bersamaan dengan keluarnya pasukan Adipati
Menak Koncar itu, tiga ratus prajurit Majapahit yang
dipimpin oleh Mahesa Semu telah berangkat
meninggalkan bumi Blambangan menuju Kotaraja
Majapahit. Mereka akan menempuh perjalanan lewat
jalur laut. Gajahmada dan Adityawarman ikut bersama
mereka, juga para tawanan perang.
Pada jaman itu biasanya para tawanan perang akan
menjadi salah satu rampasan perang, mereka berharga
sebagai budak belian yang diperdagangkan.
Sementara itu untuk Ki Secang ada perlakuan khusus
atas permintaan Gajahmada kepada Mahesa Semu
sebagai pimpinan prajurit Majapahit yang bertugas di
timur Jawadwipa itu. "Aku ingin Ki Secang diserahkan kepada Ra Kuti. Aku
berharap dirinya dapat menemukan kembali jalan
kebenaran", berkata Gajahmada dalam sebuah
pelayaran kepada Mahesa Semu.
"Ki Secang adalah milikmu, apapun yang kamu
inginkan aku akan menyetujuinya", berkata Mahesa
Semu menyetujui permintaan Gajahmada atas diri Ki
Secang itu. Ra Kuti adalah seorang pejabat kerajaan, salah
seorang dari Dharmaputra yang diangkat langsung oleh
baginda Raja Sanggrama Wijaya yang bertugas
mengurus dan mengayomi salah satu aliran agama yang
675 memuja dewa Whisnu. Dan Gajahmada berharap Ki
Secang dapat diluruskan kembali lewat pengawasan
seorang pejabat kerajaan bernama Ra Kuti.
Demikianlah, tiga ratus prajurit Majapahit yang
dipimpin oleh Mahesa Semu akhirnya telah tiba di
Bandar Pelabuhan Ujung Galuh.
Ketika mereka tiba di kotaraja Majapahit, para warga
menyambut mereka dengan penuh suka dan cita.
Dengan sebuah upacara kebesaran, mereka telah
disambut langsung oleh Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. Inilah awal babad baru bagi perselisihan yang
panjang dan hancurnya sebuah persaudaraan yang ada
di bumi Majapahit yang besar itu, karena diantara para
tawanan yang mereka bawa, ada seorang yang benarbenar luput dari perhatian. Orang itu adalah Ki Secang.
"Aku akan menjadi duri dalam daging mereka, aku
akan menjadi mimpi buruk bagi mereka", berkata Ki
Secang dalam hati dengan senyum kecutnya manakala
tengah memasuki istana Majapahit.
Ki Secang diserahkan sepenuhnya dalam pengawasan Ra Kuti. Dalam perkenalan pertama Ra Kuti
sudah menyukai sikap orang tua itu, mengijinkannya
untuk tinggal serumah dengannya.
Ki Secang ternyata begitu mudahnya mengambil hati
Ra Kuti, dan pejabat istana itu telah mempercayakan Ki
Secang sebagai seorang pengurus Pura istana
Majapahit. Ra Kuti melihat Ki Secang seorang pekerja yang
sangat rajin, menyiapkan Pura istana dalam hari-hari
upacara dengan sangat baik. Semakin bertambahlah
676 rasa suka pejabat Dharmaputra itu kepada Ki Secang.
Dan dalam waktu singkat mereka terlihat begitu akrab
layaknya dua orang sahabat.
Ra Kuti mulai mengenal Ki Secang lebih jauh lagi,
bukan hanya mempunyai pemahaman yang tinggi atas
berbagai kitab keagamaan, namun Ra Kuti juga telah
mengetahui bahwa Ki Secang seorang yang berilmu
tinggi dalam olah kanuragam, mempunyai banyak
simpanan ajian ilmu yang langka.
Akhirnya secara diam-diam Ra Kuti
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengangkat Ki Secang sebagai seorang guru.
telah "Tenaga hawa murniku yang kupupuk puluhan tahun
lamanya telah terserap hilang oleh Gajahmada. Namun
aku masih dapat menjadi seorang guru untukmu.
Mewariskan semua ilmu yang kumiliki", berkata Ki
Secang kepada Ra Kuti. Sejak saat itu, di malam-malam yang sepi, Ra Kuti
giat berlatih di tempat terbuka di dalam Pura istana. Dan
Ra Kuti yang sudah punya dasar kanuragan yang cukup
kuat dengan sangat cepatnya menyerap ilmu yang
diajarkan Ki Secang kepadanya.
Apakah Ki Secang seorang guru yang tulus"
Sebenarnya tidak, Ki Secang telah melihat bahwa
sebagaimana Ki Banyak Ara, ternyata Ra Kuti punya
sebuah persamaan, yaitu seorang yang haus akan
sebuah kekuasaan, seorang yang sangat haus akan
sebuah pujian. Perlahan tapi pasti, Ra Kuti sudah berada di dalam
genggaman Ki Secang lewat bisikan-bisikannya yang
membahana, menerbangkan hayal dan angan Ra Kuti
menuju puncak tahta istana.
677 "Baginda Raja Sanggrama Wijaya dikelilingi oleh
orang-orang yang kuat, para sahabatnya yang sangat
setia patuh melindungi dan menjaganya", berkata Ki
Secang kepada Ra Kuti. "Sebagaimana tanaman
merambat, kita harus merusak pagarnya agar tidak ada
tempat menggantung, dan tanaman itu akan mati dengan
sendirinya", berkata kembali Ki Secang kepada Ra Kuti.
"Patih Mahesa Amping dan Ki Mangkubumi adalah
para pelindung Baginda Raja, dengan cara apa kita
harus menghadapi mereka?", bertanya Ra Kuti kepada Ki
Secang. "Mereka memang sakti Mandraguna, tapi mereka
sesungguhnya tidak kebal terhadap racun", berkata Ki
Secang kepada Ra Kuti. "Racun?", bertanya Ra Kuti dengan mengerutkan
keningnya masih dalam penuh keraguan.
Sementara itu di sebuah tempat di Tanah Ujung
Galuh. Terlihat sebuah puri pasanggrahan yang berdiri
diatas sebuah tanah yang tinggi menghadap arah pantai
Tanah Ujung Galuh, bulan bulat bersinar cemerlang
diatas langitnya. Puri Pasanggrahan dan rembulan diatasnya,
sungguh sebuah lukisan alam yang amat elok membuat
iri langkah kaki untuk singgah mendatanginya.
Sudah sepekan Gajahmada tinggal di puri
pasanggrahan milik Jayakatwang itu. Atas amanat
Jayakatwang, puri pasanggrahan yang indah itu telah
diserahkan sepenuhnya kepada Gajahmada.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Jatakatwang
dan istrinya telah mendampingi Kertawardhana yang
telah menjadi Raja Muda di Tumapel. Sementara ibu suri
678 Kanjeng Ratu Gayatri, Dyah Wiyat dan biksuni Andini
yang juga menjadi penghuni puri pasanggrahan itu telah
mengikuti Ratu Tribuana Tunggadewi yang telah menjadi
raja muda di Kahuripan. Hari-hari Gajahmada di puri pasanggrahan itu
ditemani seorang sahabatnya Supo Mandagri dan ibu
kandungnya Nyi Nari Ratih yang sudah tidak tinggal lagi
bersama pasukan khususnya di barak prajurit Srikandi di
Kotaraja Majapahit. Deru ombak pantai Tanah Ujung Galuh masih
terdengar dari pendapa puri pasanggrahan dimana
Gajahmada tengah duduk sendiri memandang sang
rembulan. Anak muda perkasa itu tengah menepati janjinya,
menatap wajah sang rembulan. Karena jauh di tanah
Kahuripan diyakininya seorang gadis jelita telah
melakukan yang sama, bersama memandang wajah
sang rembulan. Siapa lagi gadis jelita yang selalu ada di
hati anak muda perkasa itu yang tidak lain adalah Biksuni
Andini, murid Nyimas Kanjeng Ratu Gayatri.
Tiba-tiba saja mata Gajahmada yang terlatih dapat
menembus kegelapan itu telah melihat sesosok
bayangan hitam tengah memasuki pintu gapura puri
pasanggrahan. Terlihat bibir Gajahmada menebarkan sedikit senyum
manakala sosok bayangan hitam itu ternyata adalah
sahabatnya, Supo Mandagri.
"Puri pasanggrahan yang megah di bawah sinar
rembulan, sungguh pasangan yang serasi", berkata Supo
Mandagri manakala telah berada di tangga terakhir
panggung pendapa menyapa sahabatnya Gajahmada.
679 Terlihat Supo Mandagri langsung duduk bersama
Gajahmada dan bercerita bahwa dirinya telah
diperkenalkan oleh Empu Nambi seorang teman baiknya
di kotaraja Majajahit yang dapat mencarikannya sebuah
batu bintang. Itulah yang menyebabkan kepulangannya
menjelang malam tiba. "Batu bintang?", bertanya Gajahmada kepada Supo
Mandagri. "Batu bintang yang dapat menjadikan pamor sebuah
keris pusaka", berkata Supo Mandagri.
"Batu Bintang yang jatuh dari langit?", bertanya
kembali Gajahmada penuh rasa keingintahuannya.
Sementara itu di waktu yang sama, Ki Secang dan
Ra Kuti masih berada di Pura istana. Mereka berdua
tengah membicarakan rencana busuknya untuk
menghancurkan orang-orang terdekat Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. "Aku banyak mengenal berbagai jenis racun yang
sangat mematikan. Ada sebuah jenis racun yang sangat
kuat dimana seorang yang sakti seperti dewa tidak akan
mampu hidup lebih lama lagi. Sebuah racun yang tidak
berwarna, tidak tercium aromanya namun racun paling
manjur dan paling kuat yang kukenal di dunia ini",
berkata Ki Secang berusaha meyakinkan Ra Kuti
memperkenalkan kepadanya berbagai jenis racun yang
sangat mematikan. "Bagaimana kita mendapatkan racun yang bertuah
itu?", bertanya Ra Kuti.
"Dari hati seekor induk celeng betina yang masih
mengandung", berkata Ki Secang kepada Ra Kuti.
Diam-diam Ra Kuti menjadi semakin kagum kepada
680 Ki Secang, ternyata sangat ahli dan mumpuni mengenal
berbagai jenis racun yang mematikan.
"Aku punya seorang kenalan baik, seorang pengurus
rumah tangga kerajaan Kediri, namanya Demung Gunari.
Kita dapat membujuknya untuk melaksanakan rencana
kita, meracuni Patih Mahesa Amping", berkata Ra Kuti
kepada Ki Secang. "Apakah Demung Gunari
sendiri?", bertanya Ki Secang
masih golongan kita "Demung Gunari seorang pemuja Dewa Whisnu yang
sangat taat, aku yakin dirinya sangat bangga melihat
aliran golongan kita besar di Jawadwipa ini, akan menjadi
sukarelawan yang patuh membantu perjuangan kita",
berkata Ra Kuti kepada Ki Secang.
"Bagus, kita bicarakan di rumah, tidak baik terlalu
malam di pura istana ini akan menjadi pertanyaan para
prajurit pengawal istana", berkata Ki Secang kepada Ra
Kuti untuk keluar dari pura istana.
Ketika mereka tengah melewati gerbang istana
Majapahit, beberapa prajurit pengawal istana tidak
bertanya apapun, nampaknya mereka sudah menjadi
biasa melihat Ki Secang dan Ra Kuti keluar dari istana di
malam hari itu sebagimana hari-hari kemarin, dan
kemarinnya lagi. Ketika mereka tiba di rumah Ra Kuti yang tidak begitu
jauh dari istana Majapahit, keduanya telah melanjutkan
pembicaraannya lagi. "Membuat racun dari hati celeng betina itu sangat
mudah, hanya perlu beberapa hari. Yang paling susah
adalah mendekati Demung Gunari itu", berkata Ki
Secang memulai kembali pembicaraannya di rumah Ra
681 Kuti. "Dalam beberapa hari ini aku akan minta ijin dengan
berbagai alasan untuk datang ke Kediri guna menjumpai
kenalanku itu", berkata Ra Kuti kepada Ki Secang
"Bagus, aku berharap orang itu dapat kamu dekati
untuk membantu perjuangan kita ini. Sementara kamu
pergi ke Kediri, aku akan menyiapkan racun hati celeng
betina itu", berkata Ki Secang penuh semangat
pengharapan. Sementara itu di Tanah Ujung Galuh, Gajahmada
dan Supo Mandagri masih asyik membicarakan batu
bintang yang konon akan membuat pamor sebuah keris
bertuah akan menjadi bertuah.
"Kenalan Empu Nambi itu bercerita bahwa batu
bintang itu dapat dipesan lewat para pedagang bangsa
Arab yang singgah di Tanah Ujung Galuh. Konon para
pedagang bangsa Arab itu mendapatkan batu bintang itu
dari sebuah bukit bernama gunung uhud di tempat asal
mereka", berkata Supo Mandagri menjelaskan kepada
Gajahmada mengenai batu bintang.
"Ternyata Empu Nambi telah menepati janjinya,
membimbingmu dalam membuat sebuah keris pusaka",
berkata Gajahmada penuh kegembiraan hati mendengar
cerita sahabatnya itu. "Empu Nambi memang banyak membimbingku
adalah hal pembuatan keris pusaka, mulai dari sebuah
laku khusus sebelum memulai pembuatan keris pusaka,
sampai memperkenalkan kepadaku Sembilan jenis
logam yang terbaik yang dapat menghasilkan sebuah
keris pusaka yang sangat kuat dan berderajat", berkata
Supo Mandagri. 682 "Sesuai dengan amanat Baginda Raja Sanggrama
Wijaya, keris Naga Sasra harus kuserahkan kepada
pewarisnya. Aku berharap pada saatnya tetap
mempunyai keris Naga Sasra seperti itu, hasil buah
tangan darimu sendiri", berkata Gajahmada merasa yakin
bahwa Supo Mandagri adalah seorang yang sangat
berbakat dalam pembuatan sebuah keris pusaka.
"Terima kasih atas kepercayaanmu itu, aku tidak
sabar untuk memulai semuanya, menciptakan sebuah
keris pusaka", berkata Supo Mandagri penuh harapan.
"Kamu dapat membuat pondokan di tanah belakang
puri pasanggrahan ini. Dan aku akan siap membantumu
apapun kebutuhanmu, bukankah aku ini saudaramu?",
berkata Gajahmada kepada Supo Mandagri.
"Terima kasih untuk semua dukunganmu, memang
perlu tempat khusus untuk membuat sebuah keris
pusaka, sebuah tempat yang tenang. Aku merasa yakin
bahwa puri pasanggrahan ini adalah sebuah tempat yang
baik untuk berkarya sebagaimana pujangga Jayakatwang telah banyak menciptakan karya tembangnya di tempat ini", berkata Supo Mandagri penuh
rasa kegembiraan hati mendapatkan dukungan dari
sahabatnya itu. Namun pembicaraan mereka menjadi terhenti
manakala Nyi Nari Ratih muncul dari pintu pringgitan.
Melihat dari caranya berjalan dan melangkah
menandakan seorang wanita yang sangat terlatih olah
kanuragan. "Masih hangat wedangnya", berkata Nyi Nari Ratih
sambil meletakkan tiga buah cangkir tembikar dan ikut
duduk bersama mereka. Kepada ibundanya itu, Gajahmada bercerita tentang
683 keinginan Supo Mandagri membuat sebuah pondokan di
tanah belakang Puri Pasanggrahan.
"Setiap manusia punya pembaktiannya sendirisendiri. Hanya jiwa yang merdeka saja yang dapat
mampu membuat sebuah karya yang besar. Dan setiap
jiwa dicitrakan sesuai dengan apa yang telah
diciptakannya", berkata ibunda Nyi Nari Ratih dengan
senyum yang begitu lembut.
Dan pencitraan hitam putih
Majapahit nampaknya telah dimulai.
sejarah kerajaan Diawali dengan benih sumber kebusukan yang mulai
ditebarkan oleh Ki Secang dan Ra Kuti di pura istana
Majapahit yang suci. Dua orang rohaniawan para
penghapal berbagai kitab suci itu telah mulai
menebarkan benih sejarah kesuraman kerajaan
Majapahit. Disisi lain, diawali dari sebuah puri pasanggrahan
milik mantan seorang raja yang tersingkirkan, Raja
Jayakatwang. Benih kecemerlangan sejarah Majapahit
tengah ditempa, diasah dan diasuh dalam kasih seorang
wanita yang lembut kepada dua orang anak muda untuk
mengharumkan warisan budaya milik leluhur bangsa,
dalam sebuah seni keris yang indah, dalam sebuah lekuk
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan liku pemikiran leluhur yang indah dalam
berkehidupan bersama, bermartabat dalam cinta kasih
yang tulus penuh perdamaian dalam rangkaian satu
kesatuan nusa-nusa untaian mutiara khatulistiwa.
Dan sejarah hitam dan putih, sejarah kesuraman dan
kecemerlangan Kerajaan Majapahit telah dimulai. Diawali
saat sang Surya pagi tengah memanjat dan mendaki di
pucuk tiang-tiang layar perahu dagang yang tengah
bersandar di Bandar pelabuhan Tanah Ujung Galuh.
684 Terlihat sebuah perahu jukung dengan tiga orang
lelaki tengah menyusuri sungai Perigian.
"Hari yang baik untuk menebang bambu dan kayu",
berkata seorang pemuda manakala perahu jukung
mereka menepi di hutan Perigian.
"Kamu benar, purnama telah lewat. Kita akan
mendapatkan bambu dan kayu yang kering dan terbebas
dari kutu kayu", berkata salah satu lelaki kepada pemuda
itu yang tidak lain adalah Supo Mandagri. Ternyata Supo
Mandagri tengah mencari bambu dan kayu untuk
membuat sebuah pondokan yang akan dibangun di
belakang puri pasanggrahan atas ijin Gajahmada.
Terlihat Supo Mandagri dan dua orang lelaki warga
asli padukuhan Tanah Ujung Galuh yang dibayar untuk
membantunya itu telah memasuki hutan Perigian lebih
kedalam lagi. Tiba-tiba ketiganya melihat seorang pemburu di
hutan Perigian itu. "Aku mengenal lelaki itu, seorang pengurus pura
istana", berkata Supo Mandagri kepada kedua orang
pembantunya itu. Terlihat Supo Mandagri telah meminta kedua
pembantunya itu untuk diam ditempat, sementara Supo
Mandagri terus mengikuti lelaki yang dikenalnya, yang
tidak lain adalah Ki Secang.
"Tetaplah kalian disini, aku akan mengikuti orang itu",
berkata Supo Mandagri kepada kedua pembantuny a itu.
Maka dengan cara mengendap-endap dari kejauhan,
Supo Mandagri dapat terus mengikuti Ki Secang yang
terus berjalan masuk ke hutan Perigian lebih dalam lagi.
Terlihat Ki Secang berhenti dan diam di sebuah
685 semak gerumbul, sikapnya seperti seorang pemburu
yang handal telah bersiap siaga menunggu buruannya
dengan sebuah tombak ditangan.
Ternyata Ki Secang memang tengah berburu babi
hutan, karena tidak jauh darinya terlihat sebuah liang
besar tempat sarang sepasang babi hutan.
Nampaknya Ki Secang tidak harus menunggu cukup
lama, karena tidak lama berselang terlihat sepasang babi
hutan tengah berjalan menuju arah sarang mereka itu.
Terlihat seekor babi hutan jantan telah mendahului
masuk ke dalam sarang, sementara dibelakangnya
seekor babi hutan betina siap mengikuti pasangan
jantannya itu. Namun naas nasib babi hutan betina yang tengah
bunting besar itu, sebuah tombak tajam terlihat meluncur
dengan sangat cepat membelah udara.
Clep..!!! Ujung batang tombak telah berhasil menembus tepat
babi hutan naas itu yang belum sempat masuk ke
sarangnya. Jeritan mencicit dari babi hutan betina itu terdengar di
hutan yang sunyi itu, namun hanya sekali. Itulah jeritan
terakhir dari babi hutan betina itu yang terlihat telah
rebah dengan ujung tombak tembus di batang lehernya.
"Sangat biadab, membunuh seekor babi hutan betina
yang tengah bunting besar", berkata Supo Mandagri
dalam hati mengutuk perbuatan Ki Secang dimana pada
saat itu adalah tabu membunuh hewan apapun yang
tengah bunting besar. Dan Supo Mandagri masih terus mengamati Ki
Secang yang dengan pisau pendeknya terlihat tengah
686 membedah perut dan dada binatang naas itu. Terlihat
Supo Mandagri mengerutkan keningnya manakala
dilihatnya dari kejauhan bahwa Ki Secang hanya
mengambil hati binatang buruannya itu.
"Membunuh hewan hanya untuk diambil hatinya ?",
berkata Supo Mandagri dalam hati penuh tanda tanya
manakala dilihatnya Ki Secang telah berjalan menjauhi
hewan buruannya itu yang masih menganga isi perutnya
dengan hanya membawa sebuah hati dari babi hutan
betina tengah bunting besar itu.
Ketika Ki Secang sudah tidak terlihat lagi, menghilang
di antara semak dan pepohonan yang rapat di hutan
Perigian itu, terlihat Supo Mandagri telah keluar dari
persembunyianya dan langsung berjalan menuju arah
dimana kedua pembantunya berada.
Kepada kedua orang pembantunya itu, Supo
Mandagri tidak bercerita banyak, hanya menyampaikan
bahwa orang yang dibuntuti itu ternyata hanya tengah
berburu babi hutan di hutan Perigian itu.
"Mari kita lanjutkan kerja kita, mencari bambu dan
kayu", berkata Supo Mandagri kepada kedua
pembantunya itu. Tidak perlu banyak waktu, ketika hari masih di awal
senja mereka telah mendapatkan apa yang dicarinya.
Dan disaat malam tiba, manakala Gajahmada dan
Nyi Nari Ratih telah kembali dari Kotaraja Majapahit
berkumpul bersama di Puri Pasanggrahan Tanah Ujung
Galuh, Supo Mandagri telah bercerita tentang apa yang
dilihatnya di hutan Perigian.
"Aku melihat sendiri dengan mata kepalaku bahwa Ki
Secang telah membunuh seekor babi hutan betina yang
687 tengah bunting besar", berkata Supo Mandagri kepada
Gajahmada dan Nyi Nari Ratih.
"Sungguh sebuah perbuatan kurang terpuji,
membunuh binatang yang tengah mengandung
anaknya", berkata Gajahmada menanggapi cerita Supo
Mandagri. "Naluri seekor harimau dapat memilih mangsanya,
hanya memburu binatang jantan. Bila itu dilakukan oleh
seorang manusia, maka derajatnya menjadi lebih rendah
dari binatang sekalipun", berkata Nyi Nariratih ikut
menanggapi cerita Supo Mandagri.
"Yang sangat kuherankan, Ki Secang hanya
mengambil hati binatang itu, meninggalkan begitu saja
bagian yang lainnya", berkata kembali Supo Mandagri
tentang apa yang dilakukan oleh Ki Secang.
Terlihat Gajahmada mengerutkan keningnya merasa
sangat heran dengan apa yang dilakukan oleh Ki Secang
dengan hati seekor babi hutan itu. Masih dengan rasa
ketidak tahuannya itu telah menoleh kearah ibundanya
berharap wanita yang amat dicintainya itu dapat lebih
tahu darinya perihal apa yang diperbuat oleh Ki Secang
itu. Nampaknya Nyi Nari Ratih dapat membaca apa yang
diinginkan oleh putranya itu.
"Sayang sekali aku tidak tahu untuk apa Ki Secang
berbuat seperti itu", berkata Nyi Nari Ratih sambil
menggelengkan kepalanya perlahan dihadapan Gajahmada. Akhirnya pembicaraan bergeser perihal pembangunan pondokan di belakang Pura Pasanggrahan itu, Maka Supo Mandagri menyampaikan
688 bahwa sampai saat ini mendapatkan bahan kayu dan
bambu, belum perlengkapan pengapian dan pernakpernik lainnya sebagaimana layaknya para pandai besi.
Setelah pondokan selesai, aku akan mencarikan
barang keperluanmu itu", berkata Gajahmada.
Senang sekali Supo Mandagri mendengar janji
Gajahmada kepadanya. "Aku seperti sudah tidak sabar, ingin secepatnya
membangun sebuah keris pertamaku", berkata Supo
Mandagri dengan wajah berbinar-binar.
Sementara itu masalah ki Secang seperti menguap
begitu saja, tidak ada seorang pun diantara mereka
bertiga yang membicarakannya lagi.
"Nampaknya makan malam kita sudah disiapkan",
berkata Nyi Nari Ratih yang melihat seorang pelayan
wanita keluar dari pintu pringgitan.
Benar saja, pelayan wanita itu memang bermaksud
memberitahukan kepada mereka bertiga bahwa makan
malam telah disiapkan di ruang dalam.
Sementara itu deru dan debur ombak di pantai Tanah
Ujung Galuh semakin keras di malam yang semakin larut
itu. Terlihat beberapa perahu dagang yang tengah
bersandar terus bergoyang bersinggungan dengan tepi
kayu dermaga. Suasana Bandar pelabuhan Tanah Ujung Galuh di
malam itu masih saja ramai, hiruk pikuk para buruh
angkut, suara canda tawa menggoda para wanita
penghibur dan cahaya oncor yang dipasang berjajar
menjadi gerak kehidupan Bandar pelabuhan Tanah
Ujung Galuh yang sangat ramai itu di malam hari.
Terlihat perahu dagang dari beberapa penjuru nagari
689 barsandar di dermaga Bandar pelabuhan yang tidak
pernah sepi itu. Bandar pelabuhan yang tidak pernah
mati, begitulah orang menyebutnya, karena Bandar
Pelabuhan Tanah Ujung Galuh tidak pernah sepi, pagi,
siang dan malam. Pada saat itu, Bandar Pelabuhan Tanah Ujung Galuh
adalah satu dari beberapa Bandar pelabuhan yang
sangat ramai yang dikuasai sepenuhnya dalam
rangkaian wilayah perdagangan Kerajaan Majapahit,
mulai dari tanah Melayu di Swarnadwipa, hingga berantai
di sepanjang pesisir utara Jawadwipa. Di setiap Bandar
pelabuhan itu ada sebuah perwakilan dagang sebagai
kepanjangan tangan dari Kerajaan Majapahit menjalin
kerjasama perdagangan dengan para pedagang asing.
Begitulah cara Baginda Raja Sanggrama Wijaya
menguasai wilayah kelautannya.
Nampaknya Baginda Raja Sanggrama Wijaya telah
melaksanakan amanat suci para leluhurnya, para rajaraja Singasari untuk membangun sebuah singgasana
diatas samudera raya. Geliat Bandar pelabuhan di wilayah kekuasaan
Kerajaan Majapahit adalah geliat kemakmuran Kerajaan
Majapahit lewat pundi-pundi yang terus mengalir ke
gudang perbendaharaan istana, kepingan emas bangsa
Arab, kepingan pecahan perak milik bangsa Cina yang
telah diijinkan menjadi alat tukar perdagangan pada saat
itu terus melimpah memenuhi gudang penyimpanan
kekayaan kerajaan. Hasil kekayaan yang melimpah dari hasil
perdagangan itu dijadikan sepenuhnya untuk kemakmuran anak negeri lewat keringanan pajak hasil
bumi, pembangunan candi pura di hampir seluruh
pelosok nagari. Bumi makmur, para seniman melahirkan
690 banyak karya besarnya, para rohaniawan merdeka dan
terlindungi memajukan umatnya. Kerajaan Majapahit di
bawah kepemimpinan sang putra Lembu Tal ini pada
saat itu ibarat sebuah naga samudera muda yang tengah
menggeliat mengarungi samudera raya yang lebih luas
lagi, dan lebih jauh lagi.
Namun Baginda Raja Sanggrama Wijaya masih tetap
seperti dulu tidak berubah sedikitpun, seorang raja yang
bersahaja yang masih mau bertutur sapa kepada para
jelata, menyambangi rumah para sahabat, kerabat dan
saudara. Demikianlah, pada suatu hari Baginda Raja
Sanggrama Wijaya telah bermaksud untuk menyambangi
kakeknya yang jauh di Tanah Pasundan, Sang Prabu
Guru Darmasiksa. Dan Gajahmada sebagai pemimpin pasukan
pengawal Raja telah ikut bersamanya, mengunjungi
tanah Pasundan, tanah leluhur Baginda Raja Sanggrama
Wijaya dari pihak ibunya itu.
Tiga ratus prajurit mengiringi Baginda Raja
Sanggrama Wijaya lewat jalur laut ke tanah Pasundan.
Hampir seluruh pejabat istana ikut mengantar
keberangkatan Baginda Raja Sanggrama Wijaya di
Bandar Pelabuhan Tanah Ujung Galuh.
Nyi Nari Ratih dan Supo Mandagri ikut hadir di sana.
Di penghujung senja, manakala warna bumi semakin
redup karena sang mentari telah bersembunyi di sebelah
barat perbukitan. Manakala pelita malam telah
dinyalakan di beberapa rumah di padukuhan Tanah
Ujung Galuh, perahu besar jung Majapahit terlihat telah
bergerak bergeser dari dermaga.
691 Buram warna malam menutupi keharuan di wajah Nyi
Nari Ratih menatap perahu besar Jung Majapahit yang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terus semakin menjauhi dermaga.
Wajah wanita itu telah mulai berkaca-kaca, menatap
perahu besar jung Majapahit yang mulai menjauh
membawa Gajahmada, putra tercinta pergi bersama
Baginda Raja Sanggrama Wijaya ke Tanah Pasundan.
"Semoga Gusti yang Maha Agung selalu memberikan
keselamatan perjalanan mereka", berkata Supo Mandagri
yang melihat perahu besar Jung Majapahit telah hilang
tertelan kegelapan malam.
Suara lirih Supo Mandagri seperti menyadarkan Nyi
Nari Ratih dari keterpakuannya.
"Mari kita kembali", berkata Nyi Nari Ratih kepada
anak muda itu untuk kembali ke puri pasanggrahannya.
Sementara itu di waktu yang sama, di sebuah tempat
yang jauh beberapa hari perjalanan berkuda dari kotaraja
Majapahit, terlihat seorang penunggang tengah
memasuki gapura batas kota Kediri. Desir angin dingin
menyapu wajah lelaki penunggang kuda itu yang terus
berjalan memasuki wilayah kotaraja Kediri yang sudah
menjadi sepi itu. Di sebuah persimpangan jalan, terlihat lelaki
penunggang kuda itu telah keluar dari jalan utama
memasuki sebuah jalan padukuhan. Didepan sebuah
rumah panggung terlihat penunggang kuda itu berhenti
dan langsung turun dari kudanya.
Malam saat itu masih wayah sepi bocah, sepasang
suami istri terlihat duduk di panggung pendapa rumah
mereka dan telah melihat lelaki berkuda itu telah
mendekati rumah mereka. 692 Pelita malam yang temaram tergantung di atas
tangga pendapa telah menerangi wajah lelaki berkuda
itu. "Ra Kuti !!", hampir berteriak lelaki diatas panggung
pendapa itu menyebut sebuah nama dari lelaki
penunggang kuda itu. "Lama kita tidak berjumpa, ternyata kamu masih
mengenal wajahku", berkata lelaki berkuda itu yang
ternyata adalah Ra Kuti, seorang pejabat istana, salah
seorang Dharmaputra di kerajaan Majapahit.
Setelah mengikat kudanya di sebuah tiang panggung,
terlihat Ra Kuti Langsung naik keatas panggung
pendapa. "Ra Kuti, perkenalkan ini istriku", berkata lelaki itu
kepada Ra Kuti memperkenalkan wanita disebelahnya
sebagai istrinya. "Ternyata Demung Gunari sangat pandai memilih
seorang istri", berkata Ra Kuti kepada lelaki itu yang
dipanggilnya sebagai Demung Gunari.
Setelah menyampaikan kata keselamatan masingmasing, terlihat Nyi Demung Gunari bermaksud pamit ke
pawon untuk menyiapkan minuman hangat untuk
mereka. "Aku ke pawon sebentar untuk menyiapkan minuman
hangat", berkata Nyi Demung berpamit diri.
Manakala Nyi Demung Gunari telah masuk ke dalam,
Ra Kuti belum juga menyampaikan maksud kedatangannya ke Kotaraja Kediri itu, hanya mengatakan
ada tugas biasa di istana Kediri dan mampir karena
merasa rindu sudah lama tidak bertemu dengan Demung
Gunari. 693 Pembicaraan pun masih berupa hal-hal yang ringan,
cerita berkisar tentang masa lalu mereka yang ternyata
berasal dari kampong halaman yang sama, dari Tanah
Lamajang. Ra Kuti masih belum mengatakan apapun hingga Nyi
Demung Gunari datang membawa minuman hangat dan
beberapa potong makanan untuk mereka dan langsung
masuk kembali ke dalam tidak menemani pembicaraan
mereka di pendapa rumahnya itu.
"Terlanjur malam di rumahku, menginaplah disini",
berkata Demung Gunari kepada Ra Kuti.
"Terima kasih", berkata Ra Kuti menerima permintaan
kawannya itu untuk menginap dirumahnya.
Hingga ketika hari mulai larut malam, mulailah Ra
Kuti mencoba mengukur tingkat kepedulian Demung
Gunari sejauh mana rasa pembelaannya terhadap
agama yang dianutnya itu.
Dari pancingan-pancingan lewat bahasa yang
tersamar, Ra Kuti sudah dapat menilai tingkat kepedulian
Demung Gunari terhadap agama yang dianutnya.
Mulailah Ra Kuti menawarkan gagasan-gagasannya,
membesarkan agama yang dianutnya itu.
"Kita tidak ingin agama yang kita anut akan terus
tersingkir oleh ajaran-ajaran baru, ajaran baru yang di
anut oleh keluarga kerajaan Majapahit saat ini. Apakah
dirimu rela di suatu saat nanti, anak dan cucu
keturunanmu tidak lagi melihat pura persembahyangan
yang memuja dewa kita ?", berkata Ra Kuti yang
mengakhirinya dengan sebuah pertanyaan.
"Tidak, aku tidak rela", berkata Demung Gunari
dengan perkataan yang amat tegas.
694 "Bagus", berkata Ra Kuti dengan senyum
kemenangan telah dapat memancing perasaan Demung
Gunari menuju perangkapnya.
Mulailah Ra Kuti dengan bahasa yang sangat
menarik yang dikemas dengan bahasa agama yang
dianutnya menyampaikan gagasan-gagasannya membesarkan golongan agama yang dianutnya.
"Jalan satu-satunya agar golongan agama kita
menjadi besar adalah dengan jalan mengambil alih
kekuasaan Kerajaan Majapahit", berkata Ra Kuti kepada
Demung Gunari. "Dari mana kita memulainya ?", bertanya Demung
Gunari yang sudah termakan pancingan Ra Kuti yang
sangat pandai bicara itu.
"Dimulai dengan melumpuhkan sahabat-sahabat
setia di sekitar penguasa Majapahit itu", berkata Ra Kuti
menuturkan rencana-rencananya.
"Dimana tempatku berada dalam perjuangan besar
ini ?", bertanya Demung Gunari penuh semangat.
"Tempatmu adalah mencari seorang pengantin,
seorang yang akan kita tugaskan membunuh Patih
Mahesa Amping dengan cara meracuninya", berkata Ra
Kuti mengistilahkan seorang calon pembunuh dengan
istilah "pengantin"
"Aku adalah seorang Demung yang mengurus rumah
tangga istana, aku dapat mencarikan seorang pengantin
itu, seorang yang dengan suka rela melaksanakan
rencana kita itu", berkata Demung Gunari menyanggupi
tugas yang di berikan kepadanya, mencari seorang
"pengantin". "Jangan khawatirkan mengenai masalah biaya",
695 berkata Ra Kuti sambil mengeluarkan serenceng uang
keeping emas yang langsung diberikan kepada Demung
Gunari. "Sangat banyak sekali", berkata Demung Gunari
dengan wajah berbinar-binar.
"Nilai keping emas ini tidak berarti dibandingkan
dengan hasil perjuangan kita, membesarkan agama
anutan kita", berkata Ra Kuti sambil tersenyum telah
dapat dengan mudahnya menjaring sukarelawan di
kotaraja Kediri itu. "Kapan kamu akan kembali ke kotaraja Kediri ini",
bertanya Demung Gunari kepada Ra Kuti yang berkata
besok setelah menyelesaikan beberapa tugas di Istana
Kediri akan kembali ke Kotaraja Majapahit.
"Bulan depan aku akan kembali menemuimu,
mendengar hasil upayamu mencari calon pengantin yang
kita butuhkan", berkata Ra Kuti kepada Demung Gunari.
"Aku merasa sangat yakin, dalam waktu sebulan
telah mendapatkan calon pengantin itu", berkata Demung
Gunari dengan penuh keyakinan sambil berkhayal bahwa
bulan depan sahabatnya itu akan membawa serenceng
keeping emas untuknya. Sementara itu malam sudah semakin larut, desir
angin terasa dingin menusuk kulit tubuh. Terdengar
suara burung hantu yang hinggap di cabang pohon
nangka di samping rumah Demung Gunari. Tidak lama
berselang burung hantu itu telah terbang kembali
ditandai dengan suaranya yang cukup mengejutkan di
kesunyian malam yang senyap dan masih terus
terdengar hingga sayup di kejauhan.
Dan kotaraja Kediri malam itu telah terperangkap
696 dalam selimut mimpinya. Keesokan harinya, sebenarnya bisa saja Ra Kuti
langsung kembali ke Kotaraja Majapahit, namun untuk
menutupi rencana besarnya dengan terpaksa harus
menemui seseorang di istana Kediri agar terkesan dirinya
memang punya urusan tugas kerajaan yang harus
diselesaikannya. Dan pagi itu terlihat Ra Kuti dan Demung Gunari
sudah berada di jalan utama Kotaraja Kediri. Setelah
mereka tiba di istana Kediri, mereka pun terlihat berpisah
karena tugas yang berbeda.
"Bila urusanku selesai di istana ini, aku akan
langsung kembali ke Kotaraja Majapahit", berkata Ra Kuti
kepada Demung Gunari manakala mereka akan berpisah
jalan di lorong istana Kediri.
Demikianlah, disaat hari telah mulai siang, terlihat Ra
Kuti mencari Demung Gunari untuk pamit diri kembali ke
Kotaraja Majapahit. "Bulan depan aku akan kembali lagi", berkata Ra Kuti
kepada Demung Gunari ketika akan berangkat
meninggalkan Kotaraja Kediri.
Dan di hari kedua setelah pertemuannya dengan Ra
Kuti, mulailah Demung Gunari mencoba mencari siapa
gerangan orang yang paling tepat untuk melaksanakan
tugas menjadi pengantin itu.
Diam-diam Demung Gunari mengamati suasana
kehidupan keluarga Patih Mahesa Amping yang tinggal
di dalam istana Kediri, kesehariannya dan segala
kebiasaannya. Sebagai seorang Demung istana yang
bertugas mengurus rumah tangga istana Kediri, tidak
seorang pun yang mencurigainya ketika Demung Gunari
697 melihat-lihat sekitar taman di puri pasanggrahan tempat
tinggal Patih Mahesa Amping, bertanya beberapa hal
kepada dua tiga orang pelayan dalem yang bertugas
melayani keluarga Patih Mahesa Amping.
Ibarat seekor berang-berang membangun sarang
perangkap, Demung Gunari telah bekerja dengan sangat
teliti, merasa tidak ada satupun yang tertinggal dalam
pengamatannya. Akhirnya setelah merasa cukup mengenal keseharian
dan kebiasaan Patih Mahesa Amping, Demung Gunari
telah mengetahui siapa gerangan orang yang paling
dekat di dalam keluarga Patih Mahesa Amping.
Ni Narsih, adalah seorang pelayan dalem di puri
pasanggrahan Patih Mahesa Amping yang bertugas
sehari-hari menyiapkan makanan bagi keluarga itu,
seorang pelayan dalem yang sangat dipercaya oleh
keluarga Patih Mahesa Amping.
Meskipun masih nampak muda, namun untuk ukuran
anak gadis di jaman itu sudah dapat dikatakan terlambat
untuk berumah tangga. Bersama dengan beberapa
pelayan dalem istana, Ni Narsih bertempat tinggal di
pondokan belakang istana Kediri.
Suranta, adalah seorang pekatik muda yang belum
lama bekerja sebagai pekatik di istana Kediri. Usianya
masih sangat muda, punya kegemaran menyabung ayam
dan berjudi. Namun Suranta adalah seorang pekerja
yang rajin, menyiapkan makanan kuda, membersihkan
kandang kuda dan merawat kuda dengan sangat baik.
Dan di akhir-akhir pekan ini hampir di setiap waktu
senggangnya, Suranta selalu datang di tempat
penyabungan ayam. Hampir semua hutang-hutangnya
telah dapat dilunasinya. Namun tidak seorang pun yang
698 bertanya-tanya dari mana Suranta yang hanya seorang
pekatik istana dapat punya uang yang cukup banyak,
menghabiskan banyak waktunya di tempat penyabungan
ayam dan berjudi. Akhirnya hampir semua orang menduga-duga bahwa
gaya hidup Suranta belakangan ini karena kedekatannya
dengan seorang perempuan pelayan dalem istana,
seorang perawan tua yang tergila-gila dengannya
sehingga apapun yang diminta oleh Suranta pasti akan
dipenuhinya. Suranta hanya sedikit tersenyum manakala seorang
kawan dekatnya mengatakan dugaan dari orang banyak
itu tentang hubungannya dengan Ni Narsih.
"Terserah apapun yang orang katakan tentang
hubunganku dengan Ni Narsih", berkata Suranta kepada
kawannya sambil tersenyum.
Suranta memang telah dapat menutup mulutnya
rapat-rapat, tidak ada seorang pun yang mengetahui
bahwa hubungannya dengan Ni Narsih adalah hubungan
yang semu, sebuah hubungan sandiwara sesuai perintah
Demung Gunari yang telah membayarnya.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Buatlah agar Ni Narsih tergila-gila kepadamu",
berkata Demung Gunari kepada Suranta di suatu waktu.
Ternyata dengan sangat mudahnya Suranta dapat
mendekati Ni Narsih, mendapatkan cintanya yang sangat
tulus tanpa kesangsian apapun bahwa dirinya
sesungguhnya hanya diperalat untuk sebuah keinginan
tertentu. Berita tentang kedekatan Ni Narsih dengan Suranta
ternyata didengar juga oleh Nyi Patih Mahesa Amping,
seorang putri Raja Melayu yang kita kenal dengan nama
699 Dara Jingga itu. "Apakah kamu sudah memikirkannya dengan masakmasak, usia calon suamimu itu lebih muda darimu",
berkata Nyi Patih Mahesa Amping kepada Ni Narsih.
"Mungkin sudah suratan takdir hamba, mendapatkan
calon suami yang lebih muda dari usia hamba", berkata
Ni Narsih kepada Nyi Patih Mahesa Amping.
Demikianlah, akhirnya semua orang tidak mempertanyakan apapun tentang hubungan cinta antara
Ni Narsih dan Suranta, terutama kawan-kawan dekat
Suranta sendiri yang sering dijamu berbagi kesenangan
bersamanya. Hingga akhirnya, manakala melihat hubungan Bi
Narsih dan Suranta sudah menjadi begitu dekat, maka di
suatu malam Demung Gunari datang menemui Suranta
di rumahnya. "Tugasmu sekarang adalah membujuk Ni Narsih agar
mencampurkan cairan ini kedalam minuman Patih
Mahesa Amping", berkata Demung Gunari sambil
menyerahkan sebuah bubu kecil dari bamboo kepada
Suranta. "Aku akan membujuknya", berkata Suranta kepada
Demung Gunari. Demung Gunari sengaja tidak menjelaskan yang
sebenarnya, hanya menyampaikan bahwa cairan itu
telah dimantrai agar Patih Mahesa Amping menjadi
semakin kasih kepadanya sehingga akan memilihnya
menduduki sebuah jabatan yang amat penting di istana
Kediri. "Bila kamu dapat membujuk Ni Narsih, aku akan
memberimu lebih banyak lagi", berkata Demung Gunari
700 sambil menyerahkan empat keping emas di tangan
Suranta. Gembira hati Suranta melihat empat keeping emas
ditangannya, terbayang si buruk, ayam jago unggulan
milik seorang kenalannya yang selalu menang dalam
setiap penyabungan yang akan dibelinya, terbayang pula
wajah empat orang kawan dekatnya yang akhir-akhir ini
selalu ikut bersamanya mencari kesenangan yang
mereka inginkan. Hingga di suatu malam Suranta telah menemui Ni
Narsih di pondokannya di belakang istana Kediri.
"Bantulah aku untuk mencampurkan cairan ini di
minuman Patih Mahesa Amping, hanya cairan pengasih
yang sudah dimantrai agar Patih Mahesa Amping selalu
kasih melihat Demung Gunari", berkata Suranta kepada
Ni Narsih. "Berapa kamu di bayar oleh Demung Gunari ?",
bertanya Ni Narsih penuh selidik.
"Hanya sebuah balas budi, Demung Gunari yang
membawaku masuk di istana ini sebagai seorang
pekatik. Dan Demung Gunari telah menjanjikan
kepadaku bila telah menjadi pejabat penting di istana
akan mengambilku sebagai pembantu utamanya",
berkata Suranta berusaha membujuk kekasihnya itu.
Mendengar bujuk rayu Suranta telah membuat Ni
Narsih serba salah untuk menolaknya, merasa kasihan
memandang wajah kekasihnya yang penuh rasa harap
itu. "Hanya sebuah air pengasih", berkata Ni Narsih
dalam hati sambil tersenyum menganggukkan kepalanya
sebagai pertanda menerima tugas yang diminta oleh
701 kekasih pujaan hatinya itu.
Terlihat wajah Suranta berubah penuh rasa gembira,
Ni Ratih menyanggupi tugas itu.
Demikianlah hingga di sebuah sore yang cerah
terlihat Patih Mahesa Amping duduk berbincang bersama
Dara Jingga di serambi puri pasanggrahannya.
Seperti biasa Ni Narsih menyiapkan secangkir
wedang sereh untuk majikannya itu.
Melihat tidak ada seorang pun yang berada di pawon,
terlihat Ni Narsih telah menuangkan sebuah cairan dari
dalam bubu kecil kedalam minuman yang akan diberikan
kepada majikannya itu. Tanpa beban apapun, Ni Narsih telah membawa
minuman hangat itu ke serambi dimana majikannya
tengah beristirahat berbincang bersama istrinya, Dara
Jingga. "Terima kasih", berkata Dara Jingga penuh senyum
ramah kepada Ni Narsih yang telah meletakkan
secangkir wedang hangat untuk Patih Mahesa Amping.
Tergesa-gesa terlihat Ni Narsih berjalan kembali
masuk ke pawon, dadanya terasa berdebar-debar.
Keesokan harinya, Ni Narsih terlihat menarik
nafasnya lega sekali karena melihat Patih Mahesa
Amping seperti biasa duduk di ruang dalam menanti
hidangan sarapan pagi bersama istrinya Dara Jingga.
Ketika sore datang menjelang, Ni Narsih masih
melihat Patih Mahesa Amping di serambi ketika dirinya
menyuguhkan secangkir wedang hangat.
Keesokan harinya lagi, Ni Narsih masih melihat Patih
Mahesa Amping keluar dari puri pasanggrahannya untuk
702 menyelesaikan beberapa tugasnya di istana Kediri.
Demikianlah, dalam dua hari itu Ni Narsih masih
melihat Patih Mahesa Amping tetap segar bugar.
"Hanya air pengasih", berkata Ni Narsih dalam hati
menghilangkan rasa bersalahnya.
Namun di hari ketiganya, disaat wajah bumi pagi
masih bening suram terjadilah sebuah kehebohan besar
di istana Kediri yang berawal di puri pasanggrahan Patih
Mahesa Amping. Pagi itu Dara Jingga terkejut ketika membuka
matanya melihat suaminya, sang Patih Mahesa Amping
tengah duduk bersila dengan mata terpejam.
Sebagai seorang istri yang sudah lama mengenal
kebiasaan suaminya, pahamlah Dara Jingga bahwa
suaminya tengah menghadapi sesuatu yang mengganggu kesehatannya. Dan dengan rasa khawatir
yang sangat terlihat Dara Jingga masih tetap menunggu
di sisi suami tercintanya itu.
Rasa cemas mengisi perasaan dara Jingga manakala
melihat peluh bercucuran membasahi seluruh tubuh
Patih Mahesa Amping. Masih dengan perasaan penuh
cemas, Dara Jingga melihat suaminya perlahan
membuka matanya dan langsung memandangnya.
"Dindaku, apakah engkau mencintaiku?", berkata
Patih Mahesa Amping kepada Dara Jingga.
"Lautan yang luas telah kuseberangi, meninggalkan
segala kemanjaan sebagai seorang putri di tanah
Melayu, hanya untuk menemui kakanda", berkata Dara
Jingga sambil mengusap peluh di wajah suaminya.
"Ambillah pisau pendek yang tergantung di dinding
kamar kita itu, arahkan dengan tepat di jantungku",
703 berkata Patih Mahesa Amping kepada istrinya.
"Kakanda pasti tengah mengigau", berkata Dara
Jingga sambil mengerutkan keningnya merasa bahwa
suaminya telah bicara tanpa sadar.
"Cepatlah dinda bila kamu benar-benar mencintaiku",
berkata Patih Mahesa Amping dengan suara lebih keras
lagi pertanda keluar dari kesungguhan hatinya.
"Tidak, aku tidak akan melakukannya", berkata Dara
Jingga sambil menggelengkan kepalanya penuh rasa
cemas menghantui perasaan dan pikirannya menatap
wajah suaminya yang basah oleh peluh yang terus
mengucur dengan derasnya.
Ternyata sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi,
memahami ilmu pengobatan, memahami berbagai jenis
aneka racun. Ketika terbangun di pagi hari Patih Mahesa
Amping sudah dapat merasakan ada sesuatu yang tidak
beres di dalam dirinya, maka langsung saja Patih
Mahesa Amping bersila di peraduannya mengerahkan
segenap kekuatan sejati hawa murninya mencoba
menghentikan sesuatu yang dirasakannya telah
memenuhi seluruh jalur pembuluh darahnya. Setelah
lama mencoba dengan kekuatan tenaga sakti sejati hawa
murninya yang sangat tinggi itu, ternyata Patih Mahesa
Amping telah terlambat untuk menghentikannya,
dirasakan racun yang amat kuat itu sudah naik keatas
kepala. Sebagai seorang yang sangat memahami berbagai
jenis racun, Patih Mahesa Amping sadar betul bahwa
racun yang telah masuk merambati seluruh isi kepalanya
itu akan berdampak merusak segala akal pikirannya,
akan merubah dirinya menjadi seorang yang lupa
ingatan. 704 Itulah sebabnya Patih Mahesa Amping telah meminta
istrinya agar membunuhnya.
Namun semua memang sudah terlambat, racun yang
amat kuat telah merusak seluruh isi kepala Patih Mahesa
Amping, merusak segala ingatannya. Merubahnya
menjadi sesosok tubuh yang hanya dipenuhi amarah,
memandang seluruh isi dunia dengan cara terbalik,
musuh dianggapnya kawan, dan sahabat setia dilihatnya
sebagai musuh paling jahat yang harus dibunuh.
Berlinang air mata Dara Jingga tidak tahu apa yang
harus dilakukan kepada suami tercintanya itu yang tibatiba saja menatap dirinya dengan mata yang memerah
menakutkan. "Kandaku?", berkata lirih Dara Jingga menatap
wajah suaminya yang sudah kehilangan sosok sejatinya
yang dikenalnya selama ini.
Dan tiba-tiba saja Dara Jingga menjerit tertahan
manakala tangan Patih Mahesa Amping yang amat kuat
itu telah mencengkeramnya dan melemparkannya hingga
membentur dinding kayu kamar peraduannya.
Brakk !!!! Dengan mata terbelalak Dara Jingga melihat
suaminya telah menabrak pintu kamar yang langsung
terbuka lebar. Dan dengan masih menahan rasa sakit sebagian
tubuhnya yang terbentur kayu, terlihat Dara Jingga
berusaha bangkit berdiri dan mengejar Patih Mahesa
Amping yang telah pergi berlari ke arah pintu pringgitan.
Braak !!! Kembali Dara Jingga melihat Patih Mahesa Amping
telah menabrak pintu pringgitan yang langsung hancur
705 terbuka lebar. "Kanda Mahesa Amping", berteriak Dara Jingga
memanggil suaminya. Namun Patih Mahesa Amping seperti tidak
mendengar apapun, telah berlari kearah samping
bangunan puri pasanggrahannya kearah kandang kuda.
Seorang pekatik tua terbelalak melihat majikannya
datang dengan cara berlari dan langsung menghentakkan tali kekang kuda yang terikat di sebuah
tiang penyangga kandang kuda.
Akibatnya tiang penyangga itu telah pecah dua,
merobohkan sebagian atap bangunan kandang kuda itu.
Pekatik tua itu masih terbelalak tidak tahu apa yang
harus dilakukannya, namun tiba-tiba dilihatnya sang
majikan telah melompat dan langsung menghentakkan
perut kuda agar berlari kencang.
Pekatik tua masih dengan mata terbelalak melihat
majikannya telah melarikan kudanya kearah halaman
depan. Bersamaan dengan itu, terlihat dua orang pejabat
istana tengah memasuki gerbang gapura puri
pasanggrahan Patih Mahesa Amping.
Terkejut keduanya karena tiba-tiba saja didepan
keduanya terlihat Patih Mahesa Amping melarikan
kudanya begitu cepat sekali.
Namun dengan sangat sigap keduanya telah
langsung melompat kekiri dan kekanan menghindari
tabrakan kuda yang berlari begitu cepatnya langsung
keluar dari gerbang gapura.
Sementara itu keduanya telah melihat seorang wanita
706 berlari kearah mereka. "Nyi Patih, katakana apa yang telah terjadi", berkata
salah seorang dari pejabat Istana itu bertanya kepada
wanita itu yang tidak lain adalah Dara Jingga masih
dengan isak tangisnya.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tolonglah suamiku, dirinya telah hilang kendali",
berkata Dara Jingga kepada kedua pejabat istana Kediri
itu yang sudah dikenalnya bernama Ki Rangga Kebo Biru
dan Ki Demung Juru. Tanpa bertanya apapun, terlihat Ki Rangga Kebo Biru
dan Ki Demung Juru telah langsung berlari kearah Patih
Mahesa Amping melarikan kudanya.
"Aku butuh kuda ini kembali", berkata Ki Rangga
Kebo Biru kepada seorang pekatik yang tengah
membawa dua ekor kuda untuk dirawatnya.
Sebagaimana Ki Rangga Kebo Biru, terlihat Ki
Demung Juru telah melakukan yang sama mengambil tali
kekang kuda dari tangan pekatik.
Maka tidak lama berselang Ki Rangga Kebo Biru dan
Ki Demung Juru telah berada di punggung kudanya
masing-masing. Tinggal para prajurit penjaga di gerbang istana Kediri
yang terpaku di tempatnya karena baru saja dilihatnya
Patih Mahesa Amping telah melarikan kudanya dengan
sangat cepat sekali, tiba-tiba saja dibelakangnya sudah
muncul Ki Rangga Kebo Biru dan Ki Demung Juru
berkuda sangat cepat sebagaimana Patih Mahesa
Amping. "Apa yang terjadi atas mereka bertiga?", berkata
seorang prajurit penjaga kepada kawannya.
Beruntung bahwa Ki Rangga Gajah Biru dan Ki
707 Demung Juru masih dapat melihat arah kuda Patih
Mahesa Amping yang ternyata menuju arah utara
gerbang gapura kotaraja Kediri. Namun mereka berdua
belum dapat mengejar kecepatan lari kuda Patih Mahesa
Amping yang berlari seperti terbang membelah udara
pagi yang mulai terang tanah.
Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung Juru masih
jauh dibelakang Patih Mahesa Amping yang telah
melewati gerbang gapura sebelah utara Kotaraja Kediri.
Terlihat debu mengepul dibelakang kaki kuda Patih
Mahesa Amping yang terus berlari dengan cepatnya
meninggalkan Kotaraja Kediri dan terus berlari kearah
utara. Sementara itu sambil terus mengejar kuda Patih
Mahesa Amping, didalam pikiran Ki Rangga Gajah Semu
masih menyangsikan perkataan Dara Jingga bahwa
sahabatnya itu telah hilang ingatan.
"Mungkinkah Patih Mahesa Amping telah kehilangan
akalnya sebagaimana yang dikatakan oleh istrinya
sendiri?", bertanya dalam hati Ki Rangga Gajah Biru
sambil terus berusaha mengejar laju kuda Patih Mahesa
Amping. Kejar-kejaran pun terus berlangsung di jalan tanah
yang telah menjadi semakin terang disinari matahari
yang telah mulai naik disebelah kanan arah mereka
berpacu. Kejar kejaran pun masih terus berlangsung hingga
matahari telah mencapai puncaknya diatas kepala
mereka, namun tetap saja laju kuda Patih Mahesa
Amping tetap berada jauh didepan Ki Rangga Gajah Biru
dan Ki Demung Juru. Hingga manakala matahari mulai turun di sebelah kiri
708 mereka, mulailah dapat dinilai
merupakan kuda unggulan. kuda siapa yang Ternyata kuda yang dikendarai oleh Patih Mahesa
Amping adalah seekor kuda pilihan keturunan kedua dari
kuda milik Raja Mahesa Cempaka yang sangat terkenal
itu. Seekor kuda yang sangat kuat dan dapat berlari
dengan sangat cepatnya. Dan sudah mulai dapat terlihat
laju kuda Ki rangga Gajah Biru dan Ki Demung Juru
semakin jauh tertinggal. "Nampaknya kuda kita sudah mulai kepayahan",
berteriak Ki Rangga Gajah Biru sambil memperlambat
laju kudanya dan mengangkat tangannya kearah Ki
Demung Juru. Mendengar teriakan Ki Rangga Gajah Biru, terlihat Ki
Demung Juru langsung memperlambat laju kudanya
sebagaimana yang dilakukan oleh kawannya itu.
"Kuda kita akan mati kelelahan bila kita paksakan
terus berlari", berkata Ki Rangga Gajah Biru kepada Ki
Demung Juru. Demikianlah, Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung
Juru telah tertinggal jauh oleh Patih Mahesa Amping,
kuda-kuda mereka berdua tidak setegar dan sekuat kuda
Patih Mahesa Amping yang seperti punya sepuluh nafas
cadangan berlari terus tanpa berhenti.
"Kita lanjutkan pengejaran setelah kuda-kuda kita
beristirahat dengan cukup", berkata Ki Rangga Gajah
Biru kepada Ki Demung Juru ketika melihat sebuah
sungai kecil berbatu membelah jalan mereka.
Beruntung di tepi sungai kecil itu tumbuh sebatang
pohon pisang hutan yang telah berbuah matang. Terlihat
Ki Demung Juru memenggal setangkai pisang matang
709 itu, berbagi dengan Ki Rangga Gajah Biru beberapa
buah, sisanya disimpan sebagai bekal. Nampaknya Ki
Demung Juru menyadari bahwa mungkin mereka tidak
singgah bermalam di sebuah padukuhan yang mereka
lewati, mereka akan terus memacu kudanya berusaha
untuk mengejar Patih Mahesa Amping.
Demikianlah, setelah melihat kuda-kuda mereka telah
beristirahat dengan cukup, terlihat mereka sudah duduk
diatas punggung kuda mereka masing-masing untuk
melanjutkan perjalanan mereka mengejar Patih Mahesa
Amping. Ternyata setelah beristirahat dengan cukup, kudakuda mereka dapat diperintahkan untuk berlari kembali,
dipacu kembali meninggalkan debu yang beterbangan
mengepul di belakang langkah kaki kuda-kuda mereka.
Hingga akhirnya di penghujung senja, di sebuah
persimpangan jalan mereka harus menghentikan lari
kuda mereka. Terlihat Ki Rangga Gajah Biru telah melompat turun
dari punggung kudanya tepat di persimpangan jalan itu.
Ternyata Ki Rangga gajah Biru adalah seorang pencari
jejak ulung telah menemukan jejak langkah kaki kuda
Patih Mahesa Amping. "Patih Mahesa Amping telah mengambil arah
Kotaraja Majapahit", berkata Ki Rangga Gajah Biru yang
telah bongkahan-bongkahan rumput halus yang tumbuh
di jalan tanah itu yang terbongkar oleh langkah kaki kuda
yang diyakininya milik kuda Patih Mahesa Amping.
Nampaknya Ki Demung Juru tidak menyangsikan
keahlian sahabatnya itu dalam hal menemukan jejak,
hanya dengan melihat kedalaman jejak kaki seekor
harimau sudah dapat mengukur dengan tepat berat
710 badan harimau itu serta tidak kehilangan arah kemana
binatang besar itu berjalan.
"Kita telah tertinggal seperempat hari perjalanan",
berkata Ki Rangga Gajah Biru sambil meraba jejak
langkah kaki kuda patih Mahesa Amping.
Demikianlah, terlihat Ki Rangga Gajah Biru dan Ki
Demung Juru telah mengambil arah perjalanan menuju
Kotaraja Majapahit, arah yang mereka yakini adalah arah
perjalanan Patih Mahesa Amping.
Di keremangan malam, dibawah langit dan cahaya
bulan terpotong langkah kaki kuda Ki Rangga Gajah Biru
dan Ki Demung Juru terus berlari membelah udara dingin
malam. "Berhenti !!", berkata Ki Rangga Gajah Biru manakala
melihat seonggok bayangan hitam tergeletak di tengah
jalan di hadapan mereka. Terlihat mereka berdua langsung menghentikan laju
kuda mereka dan langsung melompat dari punggung
kuda mereka masing-masing.
"Kuda Patih Mahesa Amping", berkata Ki Demung
Juru didekat seekor kuda yang tergeletak sudah tidak
bernafas lagi, yang dikenali sebagai kuda milik Patih
Mahesa Amping. "Patih Mahesa Amping sangat menyayangi kudanya,
namun dengan tangannya sendiri telah membunuhnya",
berkata Ki Rangga Gajah Biru yang melihat tulang dada
kuda itu telah remuk terpukul oleh sebuah tangan yang
amat kuat. "Nampaknya kuda ini sudah tidak dapat lagi menuruti
perintah majikannya untuk terus berlarian", berkata Ki
Demung Juru menduga-duga kematian kuda kesayangan
711 Patih Mahesa Amping itu. "Kita telah tertinggal setengah hari perjalanan",
berkata Ki rangga Gajah Biru setelah meraba bagian
tubuh bangkai kuda itu. JILID 9 TERLIHAT mereka berdua sudah melompat diatas
kuda masing-masing dan langsung menghentakkan perut
kudanya agar langsung berlari. Ki Rangga Gajah Biru
dan Ki Demung Juru adalah para prajurit pilihan, orangorang yang terlatih dan telah ditempa raganya
menghadapi berbagai rintangan yang sangat berat,
menempuh perjalanan yang sulit dan jauh, menghadapi
pertempuran di peperangan seharian penuh tanpa
beristirahat sedikitpun. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Rangga Gajah
Biru, mereka berdua memang telah tertinggal setengah
hari perjalanan dengan Patih Mahesa Amping yang telah
meninggalkan kudanya. Keduanya sama-sama membayangkan bahwa sang patih Daha yang amat sakti
itu pasti telah mengunakan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah sangat sempurna itu, yang konon dapat
berlari kencang mengendarai angin.
Itulah sebabnya dengan perasaan tak menentu,
menduga-duga kebenaran perkataan dara Jingga yang
mengatakan suaminya itu telah kehilangan akal
sehatnya, terlihat Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung
tetap memacu kuda-kuda mereka berlari di bawah langit
malam yang dingin, melewati beberapa kademangan,
melewati jalan hutan yang gelap, membelah padang
ilalang dan tanah berawa.
712 "Kita mencari tempat untuk beristirahat sejenak, kuda
kita nampaknya sudah mulai jemu berlari", berkata Ki
Rangga Gajah Biru sambil memperlambat laju kudanya.
Mendengar ucapan Ki rangga Gajah Biru, terlihat Ki
Demung Juru ikut memperlambat laju kudanya.
Hingga di sebuah jalan di puncak sebuah perbukitan
mereka telah berhenti untuk beristirahat.
Sementara itu langit diatas kepala mereka sudah
terlihat bias memerah sebagai pertanda sang malam
sebentar lagi akan tergantikan oleh sang putra pagi, sang
putra fajar pemilik cahaya di bumi.
"Kasihan kuda-kuda kita", berkata Ki Demung Juru
sambil melihat kuda-kuda mereka yang langsung rebah
di hamparan rumput liar dengan nafas yang masih
tersengal-sengal kelelahan.
Akhirnya manakala sang fajar terlihat mengintip di
ujung timur bumi, keduanya telah menuntun kuda-kuda
mereka tidak langsung menungganginya untuk memberi
kesempatan kuda-kuda mereka menghangatkan otot-otot
tubuhnya dengan udara pagi yang segar.
"Kotaraja Majapahit sudah tinggal setengah hari
perjalanan lagi", berkata Ki Rangga Gajah Biru.
Sementara itu di waktu yang sama terlihat sebuah
rakit tengah meluncur menyeberangi sungai Kalimas.
Terlihat seorang lelaki tua yang mengenakan pakaian
kebesaran seorang pejabat istana berada diatas rakit itu
bersama dua orang prajurit Majapahit yang mengawalnya. Terlihat di seberang sungai Kalimas beberapa prajurit
Majapahit berdiri sepertinya tengah menunggu rakit itu
menepi. 713 Manakala rakit itu telah menepi di seberang, lelaki tua
yang sangat berwibawa itu dengan begitu ringannya
melangkah ke dermaga kayu di tepian sungai Kalimas itu
sebagai pertanda orang itu seorang yang sangat terlatih
dalam olah kanuragan. "Kami telah menyiapkan kuda untuk tuanku Patih
Amangkubumi", berkata seorang prajurit Majapahit yang
menjemputnya di tepian sungai Kalimas itu.
"Terima kasih", berkata lelaki tua itu yang ternyata
adalah Patih Amangkubumi, seorang yang dikenal
sangat ramah, seorang yang selalu bersahaja meski
telah memiliki jabatan tinggi di kerajaan Majapahit itu.
Ternyata hari itu Patih Amangkubumi telah mewakili
Baginda Raja Sanggrama Wijaya untuk melakukan
sebuah perundingan dengan seorang utusan resmi Yang
Dipertuan Agung Maharaja Kubilai Khan.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, setelah
kekalahan pasukan Mongolia di Jawadwipa, telah terjadi
kevakuman hubungan diantara kedua kerajaan ini.
Peperangan di lautan bebas tak pernah bisa dielakkan
bila kedua perahu dagang mereka bertemu.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Merasa lelah dengan peperangan-peperangan yang
merugikan kedua belah pihak, akhirnya para pedagang
bangsa Mongolia telah dapat melunakkan hati Yang
Dipertuan Agung Maharaja Kubilai Khan untuk mengutus
seseorang ahli runding membuat beberapa kesepakatan
bersama kerajaan Majapahit.
Namun utusan Yang Dipertuan Agung Maharaja
Kubilai Khan itu sangat menjunjung tinggi martabat Sang
Maharaja nya, merasa lebih rendah derajatnya bila harus
datang ke istana Majapahit. Akhirnya disepakati
perundingan dilakukan di Bale Tamu di Tanah Ujung
714 Galuh, sebuah tempat yang dibangun oleh Baginda Raja
Sanggrama Wijaya beberapa tahun silam sebagai basis
kekuatan armada dagangnya menghadapi kekuatan Raja
Jayakatwang pada saat itu.
Karena Baginda Raja Sanggrama Wijaya masih
belum kembali dari kunjungannya di Tanah Pasundan,
maka Patih Amangkubumi telah mewakilinya membuat
beberapa kesepakatan dengan utusan kerajaan terbesar
di jaman itu yang konon telah menguasai setengah
wilayah permukaan bumi. Dan manakala Patih Amangkubumi bersama
rombongannya tengah memasuki pintu gerbang Bale
Tamu, di waktu yang sama pula terlihat Ki Rangga Gajah
Biru dan Ki Demung Juru telah memasuki wilayah
Kademangan Maja. Terlihat Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung Juru
tidak memperlambat laju kudanya meski telah berada di
jalan Kademangan Maja yang sudah cukup ramai di lalui
beberapa orang yang tengah berjalan kaki.
Derap langkah kaki kuda Ki Rangga Gajah Biru dan
Ki Demung Juru benar-benar telah membuat panic
beberapa orang yang langsung berlari menepi takut
tertabrak kuda-kuda mereka. Dan sumpah serapah
keluar dari mulut mereka sebagai caci maki kemarahan
dan kedongkolan mereka. Namun sepertinya Ki Rangga Gajah Biru dan Ki
Demung tidak memperdulikannya, yang dipikirkan saat
itu adalah secepatnya menemui Patih Mahesa Amping.
Akhirnya mereka memang telah keluar dari beberapa
padukuhan di Kademangan Maja yang sudah sangat
ramai itu, terlihat dihadapan mereka sebuah gapura yang
sangat tinggi berdiri menantang sang Mentari yang telah
715 berada tepat diatas kepala.
Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung Juru akhirnya
telah memasuki Kotaraja Majapahit dari arah sebelah
barat. Sementara itu di Tanah Ujung Galuh, Patih
Amangkubumi tengah melakukan pembicaraan bersama
seorang utusan Kaisar Mongolia yang memperkenalkan
dirinya bernama Yultemujin.
"Mari kita melupakan apa yang pernah terjadi
diantara kita, tanpa itu kita tidak akan menemui
kesepakatan apapun, sesuatu kerugian yang sangat
besar dimana tuan Yultemujin telah datang dari tempat
yang amat jauh", berkata Patih Amangkubumi memulai
pembicaraannya dengan utusan itu.
"Di negeri kami, pandangan untuk orang Jawadwipa
adalah sekumpulan orang liar yang sangat sukar untuk
berdamai, ternyata setelah bertemu dengan tuan Patih
Amangkubumi telah mencairkan perasaan hatiku,
ternyata orang Jawadwipa adalah orang santun yang
dapat diajak bicara", berkata Yultemujin memuji sikap
dan tutur kata Patih Amangkubumi yang menggambarkan kesetaraan jiwa orang Jawadwipa yang
merdeka, namun disampaikan dengan bahasa yang
santun. Ternyata Patih Amangkubumi adalah seorang
perunding yang hebat, telah mendapatkan beberapa
kesepakatan yang banyak menguntungkan di pihak
kerajaan Majapahit. Beberapa kesepakatan itu antara
lain adalah menghentikan segala macam permusuhan
diantara kedua bangsa, menjalin hubungan perdagangan
kembali dimana tidak ada perlakuan yang berbeda
sebagaimana yang diberlakukan oleh semua pedagang
716 bangsa asing lainnya berdagang langsung diperbolehkan berdagang Majapahit yang ditunjuk di
Kerajaan Majapahit. yaitu tidak diperbolehkan
ke pedalaman, hanya dengan perwakilan kerajaan
sepanjang wilayah kekuasaan
"Aku akan bercerita kepada kaisar kami Yang
Dipertuan Agung Maharaja Kubilai Khan bahwa di
Jawadwipa ini kami diterima dengan perjamuan dan
keramahan. Adakah sebuah permintaan dari tuan Patih
Amangkubumi yang dapat kami sampaikan kepada
kaisar kami?", berkata Yultemujin kepada Patih
Amangkubumi di tengah-tengah perjamuan.
"Sampaikan salamku kepada kaisarmu bahwa kami
orang di Jawadwipa ini mencintai perdamaian, satu orang
teman baik lebih ternilai dibandingkan dengan seribu
orang musuh. Permintaanku adalah semoga Yang
Dipertuan Agung Maharaja Kubilai Khan bermurah hati
untuk mengembalikan kehormatan Panglima setianya,
Ike Mese. Sampaikan kepada kaisarmu bahwa
kekalahan prajurit Mongol bukan kesalahan Panglima Ike
Mese, tapi Gusti Yang Maha Agung saat itu telah
berpihak kepada orang Jawa".
Sementara itu Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung
Juru telah memasuki jalan utama kotaraja Majapahit.
Berdebar perasaan hati mereka manakala mendengar suara riuh ribuan prajurit di muka gerbang
istana Majapahit. Dan bukan main terguncangnya hati dan perasaan
mereka berdua manakala mengetahui bahwa suara riuh
ribuan prajurit itu tengah mengeroyok Patih Mahesa
Amping seorang diri. Namun tidak satupun pedang
ditangan prajurit mampu melukainya, sebaliknya
717 siapapun yang terdekat akan terlempar roboh tak
bergerak lagi oleh terjangan Patih Mahesa Amping yang
sangat sakti itu. Langsung seketika itu juga terlihat Ki Rangga Gajah
Biru dan Ki Demung Juru langsung melompat dari
punggung kudanya, langsung masuk menyibak
kerumunan ribuan prajurit Majapahit sambil berteriak
meminta para prajurit Majapahit itu menghentikan
pengeroyokan itu. "Kalian salah menyerang orang, dia adalah pahlawan
Majapahit yang harus di hormati", berkata Ki Rangga
Gajah Biru sambil mendorong beberapa orang prajurit
Majapahit. Namun tiba-tiba saja ada seorang prajurit yang
mengancamnya dengan pedang panjang yang terhunus.
"Siapa yang kamu katakan pahlawan", lihatlah mayat
kawan-kawan kami, puluhan jiwa telah melayang
ditangannya. Apakah pantas orang biadab itu di panggil
dengan sebutan seorang pahlawan?", berkata seorang
prajurit rendahan sambil mengancam Ki Rangga Gajah
Biru dengan pedang yang telanjang.
Sebagai seorang prajurit perwira tinggi di istana
Kediri, perkataan prajurit rendahan itu seperti sebuah
hinaan. Dan Ki Rangga Gajah Biru yang punya sifat
mudah marah itu seperti sebuah kayu kering disulut api,
maka berkobarlah kemarahannya.
"Aku Rangga Gajah Biru akan berada dibelakang
Patih Mahesa Amping, siapapun yang menyakitinya akan
menjadi musuh utamaku hari ini", berkata Ki Rangga
Gajah Biru sambil meloloskan pedangnya siap
memegang kata-katanya sendiri.
718 Ternyata perkataan Ki Rangga Gajah Biru menjadi
perhatian beberapa orang prajurit Majapahit.
"Kita tutup mulut perwira sombong dari Kediri itu",
berkata salah seorang prajurit Majapahit kepada
beberapa orang kawannya. Melihat beberapa orang prajurit Majapahit telah
mengepung Li Rangga Gajah Biru, dengan penuh
kesetiaan Ki Demung Juru langsung maju melindungi
bagian belakang tubuh Ki Rangga Gajah Biru.
Akhirnya keriuhan suasana keributan itu seperti
terbagi dua, satu kelompok tengah mengepung Patih
Mahesa Amping, satu kelompok lainnya tengah
mengepung dua perwira tinggi dari Kediri itu.
Terlihat Patih Mahesa Amping yang sudah memiliki
ilmu kesaktian yang amat tinggi itu dimana tidak satupun
pedang mampu melukainya, bahkan seperti sebuah
pelita dan laron di pergantian musim, siapapun yang
berani mendekat akan terlempar mati.
Sementara itu Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung
Juru bertempur seperti dua ekor banteng yang kalap,
beberapa orang prajurit Majapahit sudah terkena sabetan
senjata pedangnya. Melihat beberapa orang kawan mereka menjadi
korban pedang kedua perwira tinggi dari Kediri itu telah
membuat panas hati para prajurit Majapahit, mereka
menjadi seperti kerasukan setan untuk beramai-ramai
menghabisi kedua orang itu.
Malang sungguh nasib kedua perwira tinggi dari
Kediri itu, setelah berkuda cukup jauh tanpa beristirahat
yang cukup, langsung mereka menghadapi keroyokan
para prajurit Majapahit. Terlihat dengan cepatnya tenaga
719 mereka menjadi surut, gerakan mereka pun menjadi kian
lambat. Dan dua tiga kali tusukan dari beberapa prajurit
Majapahit yang menyerangnya telah melukai kedua
prajurit perwira tinggi itu yang secara terbuka
mengatakan berada di belakang Patih Mahesa Amping.
Rasa lelah yang sangat, serta darah di beberapa luka
di tubuh yang terus mengalir telah membuat Ki Demung
Juru merasakan kepalanya menjadi pening, tidak jelas
lagi memandang arah pedang yang tengah menyerangnya. Dan?".blessss".
Sebuah pedang tajam telah menembus batang paha
kaki Ki Demung Juru membuat orang tua gagah perkasa
itu jatuh terkulai karena satu kakinya sudah tidak mampu
menahan berat tubuhnya sendiri.
Melihat sahabatnya jatuh terkulai lemah tak berdaya
telah menjatuhkan kata dari mulut Ki Rangga Gajah Biru.
"Nyawaku setara dengan seratus jiwa orang, mari
mati bersamaku", berkata Ki Rangga Gajah Biru dengan
kedua kaki yang kokoh merekat diatas bumi pijakannya.
Namun perkataan Ki Rangga Gajah Biru tidak
menyusutkan langkah para prajurit Majapahit, terlihat
lima orang prajurit Majapahit telah maju bersama-sama
menerjang kearah Ki Rangga Gajah Biru.
Luar biasa ketangkasan orang tua yang bertubuh
tinggi besar itu, seperti seekor gajah marah telah dapat
menangkis satu persatu serangan lawan-lawannya.
Empat serangan masih dapat di, namun satu serangan
telah terlepas dari ujung matanya.
Dan"..crattttt"..
720 Sebuah sabetan pedang telah berhasil merobek
lengan kanan Ki Rangga Gajah Biru.
Tapi Ki Rangga Gajah Biru sudah seperti mati rasa,
tanpa peduli rasa sakit sedikitpun telah memindahkan
pedangnya di tangan kirinya.
"Mari mati bersamaku", berkata Ki Gajah Biru dengan
wajah dan tatap mata dingin tak berkedip.
"Matilah kamu sendiri", berkata seorang prajurit yang
langsung menyerang kearah Ki Rangga Gajah Biru.
Naas bagi prajurit Majapahit itu yang tidak menduga
bahwa Ki Rangga Gajah Biru masih dapat bergerak
cepat meski dengan sebuah tangan kirinya.
Dan".brettt Perut prajurit naas itu telah kebeset sabetan pedang
Ki Rangga Gajah Biru meninggalkan goresan yang cukup
dalam dan panjang banyak menumpahkan darah segar.
Terlihat prajurit naas itu bergulingan menahan rasa
sakit yang amat sangat. Melihat hal itu telah membuat kawan-kawan mereka
langsung menubruk Ki Rangga Gajah Biru dengan
berbagai serangan dari berbagai arah.
Akibatnya dua hingga tiga sabetan pedang panjang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mampu untuk dielakkan, orang tua berbadan tinggi
besar itu terlihat jatuh terkulai dengan banyak luka di
tubuhnya. Nampaknya Ki Rangga Gajah Biru telah
banyak kehabisan darah segar yang banyak keluar dari
beberapa lukanya. Sementara itu kepungan kepada Patih Mahesa
Amping menjadi semakin rapat, pedang dan lembing
berkali-kali melesat kearah tubuhnya, namun sang Patih
721 yang perkasa dan sakti tak tertandingi di jamannya itu
masih dapat saja mengelak bahkan terus melemparkan
lawan-lawannya yang sepertinya tidak pernah berkurang
meski puluhan orang telah tergeletak terkena sambaran
tangan dan kaki Patih Mahesa Amping.
"Jaka Sesuruh, keluarlah engkau, jangan kamu
berlindung di belakang tikus-tikus tidak berarti ini",
berteriak Patih Mahesa Amping sambil melemparkan
siapapun prajurit Majapahit yang datang mendekatinya.
Teriakan Patih Mahesa Amping tidak pernah
berubah, selalu memanggil nama Jaka Sesuruh dengan
perkataan penuh kebencian yang amat sangat.
Hampir semua prajurit Majapahit mengenal namai itu,
dan sudah hampir melupakannya karena nama yang
disebut oleh Patih Mahesa Amping adalah nama kecil
Baginda Raja Sanggrama Wijaya, sebuah nama yang
sangat menyakitkan bagi siapapun yang mencintai Raja
mereka, karena nama itu adalah nama hinaan seorang
anak lelaki kecil yatim ditinggal mati seorang ibu yang
terbuang tersia-siakan. Itulah sejarah pahit derita
Baginda Raja Sanggrama Wijaya, seorang yatim
bersama ayahandanya telah terusir dari Tanah Pasundan
yang dengan penuh perjuangan mengembara dalam
hingga dapat kembali ke kampong halamannya, keluarga
istana Singasari. Dan Patih Mahesa Amping dengan penuh kebencian
dan dendam telah menyebut berulang nama kecil
Baginda Raja Sanggrama Wijaya, dengan ucapan Jaka
Sesuruh. "Jaka Sesuruh, keluarlah engkau, jangan kamu
berlindung di belakang tikus-tikus tidak berarti ini",
berteriak kembali Patih Mahesa Amping sambil
722 melemparkan siapapun prajurit Majapahit yang datang
mendekatinya. Kembali jumlah korban prajurit Majapahit di tangan
Patih Mahesa Amping telah bertambah lagi.
Ribuan prajurit itu benar-benar tidak mampu
melumpuhkan Patih Mahesa Amping, siapapun yang
berani mendekat akan langsung terlempar tidak kenal
ampun ditangan Patih Mahesa Amping.
Melihat mulai banyaknya korban yang bergelimpangan akibat pukulan tangan kosong Patih
Mahesa Amping telah membuat gentar para prajurit
Majapahit itu, beberapa orang terdepan terlihat mundur
beberapa langkah tidak berani maju menyerang. Mereka
hanya berdiri mengepung agar Patih Mahesa Amping
tidak melarikan diri. Pemandangan saat itu Patih Mahesa Amping seperti
tengah berdiri di tengah pusaran laut manusia.
"Jaka Sesuruh, keluarlah engkau, jangan kamu
berlindung di belakang tikus-tikus tidak berarti ini",
berteriak kembali Patih Mahesa Amping sambil berdiri
tegak menantang. Ternyata teriakan Patih Mahesa Amping itu adalah
teriakan yang terakhir, karena selesai berteriak terlihat
tubuh Patih yang perkasa itu mulai limbung layaknya
seorang pemabuk yang tak mampu mengendalikan
dirinya. Melihat hal demikian pada diri Patih Mahesa Amping
telah membuat dua orang prajurit sedikit punya
keberanian kembali, terlihat keduanya telah bergerak
dengan senjata pedang terhunus menuju arah Patih
Mahesa Amping. 723 Namun sebelum gerakan dua orang prajurit itu
mencapai sasaran, tiba-tiba saja berkelebat dua sosok
bayangan. Satu sosok bayangan telah mendekati kedua prajurit
yang masih bernyali itu, entah dengan apa tiba-tiba saja
kedua prajurit itu terlempar dengan merasakan kepala
mereka seperti tertimpa batu yang amat keras.
Sementara sosok bayangan lainnya telah langsung
mendekati Patih Mahesa Amping yang hampir jatuh
terkulai. Terlihat tubuh Patih Mahesa Amping sudah ada
dalam pangkuan seorang pemuda yang tidak lain adalah
putranya sendiri, Adityawarman.
"Ayah,,,", hanya
Adityawarman penuh ayahandanya itu. itu yang diucapkan oleh kekhawatiran atas keadaan
Sementara itu, sosok bayangan lainnya ternyata
adalah Tumenggung Mahesa Semu yang berdiri tegak
membelakangi Adityawarman dan Patih Mahesa Amping.
"Bila perbuatanku hari ini bersalah, aku akan dengan
suka rela melepaskan jabatanku ini, namun bila ada yang
berani menyentuh kulit tubuh saudaraku ini, berarti akan
berhadapan denganku sebagai musuh besarku", berkata
Tumenggung Mahesa Semu dengan suara yang lantang.
Mendengar tantangan Tumenggung Mahesa Semu
telah membuat para prajurit menjadi gentar, mereka
mulai ragu apakah mampu menghadapi seorang
Tumenggung Mahesa Semu yang mereka ketahui adalah
saudara seperguruan Patih Mahesa Amping yang hanya
selisih sedikit ilmu kesaktiannya.
Ditengah keraguan para prajurit menghadapi
tantangan Tumenggung Mahesa Semu, tiba-iba saja
724 terdengar suara orang yang berteriak memberikan
semangat agar para prajurit Majapahit tidak takut
menghadapi Tumenggung Mahesa Semu dan Adityawarman. "Jumlah kita ribuan banyaknya, dengan maju
bersama kita akan kuat. Cincang kedua orang itu yang
telah membela Patuh Mahesa Amping, pembunuh
kawan-kawan kita", berkata seseorang memberikan
hasutan kepada para prajurit untuk bergerak maju.
Sebagai seorang Tumenggung yang belum lama
dilantik, Tumenggung Mahesa Semu sudah mulai banyak
mengenal beberapa orang pejabat istana Majapahit.
Terlihat Tumenggung Mahesa Semu seperti mengenali
siapa pemilik suara yang melengking itu.
Namun belum sempat Tumenggung Mahesa Semu
berpikir lebih lanjut, kembali para prajurit Majapahit telah
bergerak kembali. Melihat bahaya yang akan dihadapi, Tumenggung
telah langsung melepas pedangnya yang tajam berkilat.
Sementara itu Adityawarman juga telah bergerak
cepat, meletakkan tubuh ayahnya di tanah dan langsung
sudah melangkah membelakangi punggung Tumenggung Mahesa Semu dengan senjata keris
ditangan. Nampaknya kedua ksatria Majapahit itu sudah siap
menghadapi ribuan prajurit Majapahit dengan dada
terbuka tidak terlihat sedikitpun rasa gentar di sorot mata
keduanya. Tak terbayangkan suasana dan akibat yang pasti
akan terjadi, dua orang ksatria tangguh menghadapi
ribuan prajurit, pastinya akan terjadi banyak korban di
725 pihak para prajurit, Tanah halaman disekitar gerbang
istana itu akan menjadi banjir darah dimana anyir baunya
akan berpekan-pekan lamanya baru dapat hilang,
sementara hampir di setiap malam suasana disekitarnya
menjadi semakin mencekam dipenuhi banyak hantu
penasaran yang bergentayangan.
Namun semua bayangan yang mencekam itu tidak
akan terjadi, karena tiba-tiba saja terdengar suara
bergema yang terdengar jelas berputar-putar seperti
datang dari berbagai penjuru mata angin. Hanya orang
sakti yang telah menguasai ajian gelap Ngampar yang
dapat melakukannya. "Mundur semuanya dan sarungkan kembali pedang
kalian", demikian suara itu terdengar bergema
menghentakkan dada setiap para prajurit yang seperti
tersihir langsung mundur beberapa langkah dan juga
serentak telah menyarungkan pedang masing-masing.
Siapa gerangan pemilik ajian gelap Ngampar yang
sudah amat langka itu"
Belum reda debar di dada para prajurit, tiba-tiba saja
terlihat angin puyuh berputar-putar diatas kepala mereka.
Benar-benar sebuah pemandangan yang sangat
menegangkan siapapun yang melihatnya disaat itu.
Seluruh mata masih tertuju kepada pusaran angin
puyuh yang terus bergerak kearah pusat kerumunan, dan
berhenti turun di dekat Patih Mahesa Amping.
Terperangah wajah seluruh prajurit manakala
pusaran angin puyuh itu tiba-tiba menghilang, berganti
dengan sesosok tubuh lelaki tua berdiri penuh wibawa.
"Tuan Patih Amangkubumi", berdesah perlahan dari
bibir para prajurit Majapahit yang telah mengenal sosok
726 lelaki tua itu. "Aku patih Amangkubumi, hari ini aku memegang
mandate Baginda Raja Sanggrama Wijaya, ucapanku
adalah ucapannya", berkata Patih Amangkubumi dengan
suara yang lantang terdengar hingga di barisan
kerumunan paling belakang para prajurit Majapahit.
Terlihat hampir semua prajurit Majapahit menundukkan wajahnya, mencoba menduga-duga
keputusan apa yang akan keluar dari pemegang mandat
Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Aku Patih Amangkubumi, hari ini kuasa keadilan
berada di tanganku, kitab hukum Kutara Wanara
Dharmasasra berada di tanganku", berkata kembali Patih
Amangkubumi masih dengan suara yang sangat lantang.
Berdebar-debar dada para prajurit mendengar
perkataan Patih Amangkubumi yang telah menyebut
sebuah kitab hukum kerajaan yang sangat tinggi itu, kitab
hukum keadilan yang tidak mengenal persaudaraan,
tidak mengenal persahabatan, tidak pejabat kerajaan dan
kaum jelata, juga para pendeta akan tunduk patuh
menjalaninya. Para prajurit Majapahit itu merasa takut bahwa
mereka akan terjerat kesalahan karena telah mencelakai
Patih Mahesa Amping yang masih berbaring tidak
sadarkan diri itu. Semua prajurit Majapahit masih menundukkan
wajahnya, masih mencoba menduga-duga keputusan
apa yang akan keluar dari pemegang mandat Baginda
Raja Sanggrama Wijaya itu.
"Serahkan keadilan kepadaku, kembalilah kalian ke
barak kesatuan masing-masing", berkata Patih
727 Amangkubumi masih dengan suara yang terdengar
begitu lantangnya. Tanpa menunggu perintah kedua, terlihat ribuan
prajurit itu telah membubarkan dirinya, mereka takut
Patih Amangkubumi akan berubah pikiran tidak
memaafkan apa yang telah mereka perbuat.
Tanpa menunggu para prajurit bubar seluruhnya,
terlihat Patih Amangkubumi telah mengangkat tubuh
Patih Mahesa Amping begitu ringannya langsung
berkelebat kearah dalam istana.
Sementara itu Adityawarman terlihat mengikuti jejak
Patih Amangkubumi sambil membawa tubuh Ki Rangga
Gajah biru yang terluka parah tidak mampu berdiri.
Melihat Adityawarman dan Patih Amangkubumi,
terlihat Tumenggung Mahesa Semu ikut membawa Ki
Demung Juru yang juga telah pingsan tak sadarkan diri
akibat banyak darah yang keluar dari beberapa lukanya.
Sebagaimana Adityawarman, terlihat Tumenggung
Mahesa Semu mengikuti arah Patih Amangkubumi.
Ternyata arah Patih Amangkubumi membawa tubuh
Patih Mahesa Amping menuju puri pasanggrahannya
sendiri. "Berikan mereka ramuan bubuk pengering luka",
berkata Patih Amangkubumi kepada seorang lelaki tua
pelayan dalem yang menyongsong kedatangan
majikannya itu. Tanpa menunggu pelayan dalem itu datang kembali,
terlihat Patih Amangkubumi sudah duduk disisi Patih
Mahesa Amping yang telah dibaringkan di panggung
pendapanya. "Bagaimana
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keadaan ayahku?", bertanya 728 Adityawarman dengan wajah penuh rasa cemas.
"Aku belum dapat memastikannya, hanya baru
menduga-duga sebagaimana laporan pertama yang
kudapat dari seorang prajurit yang datang kepadaku di
Bale tamu mengatakan bahwa ayahmu menjadi gila
membunuh para prajurit Majapahit", berkata Patih
Amangkubumi sambil masih memeriksa beberapa jalan
darah di tubuh Patih Mahesa Amping.
"Apakah ayahku masih dapat disembuhkan?",
bertanya kembali Adityawarman dengan penuh harap
dan cemas. Belum sempat Patih Amangkubumi menjawab
pertanyaan Adityawarman, tiba-tiba pelayan dalem telah
datang bersama tiga orang kawannya dengan membawa
sebuah bubu kecil dari bambu.
Nampaknya pelayan dalem itu membawa kedua
kawannya untuk membantunya, dan tanpa menunggu
perintah dari Patih Amangkubumi, kedua kawan pelayan
dalem itu telah mendekati tubuh Ki Rangga gajah Biru
dan Ki Demung Juru membaluri luka-lika mereka dengan
bubuk pengering luka. "Bawakan kepadaku selembar daun keladi dan pisau
pendekku", berkata Patih Amangkubumi kepada pelayan
dalemnya yang nampaknya memang menunggu perintah
dari majikannya itu. "Apakah ayahku masih dapat
bertanya kembali Adityawarman Amangkubumi. disembuhkan?", kepada Patih "Aku masih menduga-duga, untuk kepastiannya aku
harus melihat sendiri beberapa tetes darahnya", berkata
Patih Amangkubumi merasa kasihan melihat kecemasan
729 di wajah Adityawarman itu.
Dan tidak lama berselang, pelayan dalem telah
datang kembali sambil membawa selembar daun keladi
dan sebuah pisau pendek langsung diserahkan kepada
Patih Amangkubumi. Terlihat Patih Amangkubumi menorehkan pisau
pendeknya di salah satu ujung jari patih Mahesa Amping.
Darah segar keluar dari jari tangan Patih Mahesa Amping
yang langsung ditadahkan oleh patih Amangkubumi
dengan bejana selembar daun keladi.
Dengan tidak sabar terlihat Adityawarman menunggu
ucapan Patih Amangkubumi yang tengah mengamati
darah diatas daun keladi, tetesan darah ayahnya.
Terlihat Patih Amangkubumi menarik nafas berat
sekali. Dengan wajah penuh harap dan cemas, terlihat
Adityawarman menahan nafasnya menanti perkataan
Patih Amangkubumi. "Ayahmu terkena serangan racun hati celeng
bunting", berkata Patih Amangkubumi dengan suara lirih
kepada Adityawarman. "Racun hati celeng bunting?", berkata bersamaan
Adityawarman dan Tumenggung Mahesa Semu merasa
baru kali ini mendengar jenis racun seperti yang
dikatakan oleh Patih Amangkubumi itu.
"Orang biasa akan mati dalam satu hari, sementara
ayahmu masih dapat bertahan hingga saat ini.
Nampaknya daya sakti hawa murninya telah dapat
bekerja dengan sendiri melindungi tubuhnya, namun
tidak mampu melindungi bagian isi kepalanya. Itulah
yang menyebabkan ayahmu tak terkendalikan 730 ingatannya", berkata
Adityawarma. patih Amangkubumi kepada "Apakah ayahku masih dapat disembuhkan?",
berkata Adityawarman masih dengan wajah penuh harap
dan cemas. "Serahkan semuanya kepada Gusti Yang Maha
Hidup, dialah penguasa kehidupan ini, hidup dan mati
kita ada ditangannya. Sementara kita hanya dapat
berupaya dengan sariatnya", berkata Patih Amangkubumi sambil berdiri dan dengan bahasa
tubuhnya memanggil pelayan dalem untuk mendekatinya. Terdengar Patih Amangkubumi menyebut beberapa
tanaman obat kepada pelayan dalemnya.
"Kamu harus pergi cepat ke hutan Maja", berkata
Patih Amangkubumi menjelaskan dimana mendapatkan
beberapa jenis tanaman obat yang disebutkannya itu.
"Hamba pamit diri", berkata pelayan dalem kepada
patih Amangkubumi. Terlihat pelayan dalem itu tengah menuruni anak
tangga panggung pendapa, namun begitu kakinya
menyentuh tanah, tiba-tiba saja seperti melesat terbang
dan menghilang di ujung gerbang gapura puri
pasanggrahan Patih Amangkubumi.
Diam-diam Adityawarman dan Mahesa Semu
mengakui bahwa ternyata Patih Amangkubumi dikelilingi
oleh orang-orang hebat yang punya ilmu kesaktian cukup
tinggi. Sementara itu dua orang pelayan dalem lainnya
terlihat telah selesai melaburi luka di tubuh Ki Rangga
Gajah Biru dan Ki Demung Juru.
731 Dan tidak lama berselang terlihat pelayan dalem yang
diperintahkan oleh Patih Amangkubumi ke hutan Maja
telah datang kembali. "Hamba telah mendapatkan tanaman obat yang tuan
cari", berkata pelayan dalem itu sambil menyerahkan
beberapa lembar daun dan kulit kayu kepada patih
Amangkubumi. Adityawarman dan Tumenggung Mahesa Semu
terdiam menyaksikan tangan Patih Amangkubumi tengah
meremas beberapa lembar daun yang langsung
dimasukkan kedalam sebuah mangkuk.
Adityawarman dan Tumenggung Mahesa Semu
masih diam membisu menyaksikan Patih Amangkubumi
membuka mulut Patih Mahesa Amping dan memasukkan
cairan racikannya sedikit demi sedikit.
Adityawarman dan Tumenggung Mahesa Semu
masih diam membisu menyaksikan semangkuk cairan
racikan telah habis masuk ke tubuh Patih Mahesa
Amping. "Nampaknya Ayahmu telah banyak menguras
tenaganya tanpa makan dan minum dalam beberapa
hari, itulah yang menyebabkannya dirinya lemas tidak
sadarkan diri. Mudah-mudahan cairan racikanku ini dapat
mengaliskan racun yang ada di seluruh peredaran
darahnya itu", berkata Patih Amangkubumi kepada
Adityawarman. Mendengar perkataan Patih Amangkubumi, terlihat
kecemasan di wajah Adityawarman sudah sedikit
berkurang, nampaknya putra tunggal Patih Daha itu
sangat mempercayai keahlian Patih Amangkubumi dalam
ilmu pengobatan itu. 732 Lama menunggu, Patih Mahesa Amping masih juga
belum sadarkan diri. Sementara itu Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung
Juru sudah mulai terlihat bergerak menggeliat.
"Siapkan tempat di dalam agar mereka berdua dapat
beristirahat", berkata Patih Amangkubumi kepada ketiga
pelayan dalemnya yang masih berada diatas panggung
pendapa untuk membawa Ki Rangga Gajah Biru dan Ki
Demung Juru. Adityawarman, Tumenggung Mahesa Semu dan
Patih Amangkubumi masih menunggu Patih Mahesa
Amping yang belum juga siuman, masih diam tak
bergerak, hanya desah nafasnya saja yang masih
terdengar lemah. "Desah nafasnya sudah mulai terdengar lebih kuat,
sebagai pertanda racikanku tengah bekerja", berkata
Patih Amangkubumi yang melihat rongga dada Patih
Mahesa Amping telah bergerak kembang kempis lebih
cepat dari sebelumnya. Sementara itu bulan terbelah diatas langit malam puri
pasanggrahan Patih Amangkubumi hanya ditemani tiga
bintang. Adityawarman, Tumenggung Mahesa Semu dan
Patih Amangkubumi masih menunggu Patih Mahesa
Amping yang belum juga siuman, masih diam tak
bergerak, hanya desah nafasnya saja yang sudah
terdengar mulai teratur. "Ayah".", berkata Adityawarman yang telah melihat
ayahnya membuka matanya perlahan.
"Jangan bergerak dulu, tubuhmu masih sangat
lemah", berkata Patih Amangkubumi sambil memandang
733 wajah Patih Mahesa Amping yang telah membuka
matanya merasa silau oleh cahaya pelita malam yang
tergantung di tiang pendapa puri pasanggrahan.
"Dimana aku?", berkata Patih Mahesa Amping lirih
perlahan. "Kamu berada di tempat yang aman,
saudaraku", berkata Patih Amangkubumi.
wahai Terlihat Patih Mahesa Amping memandang wajah
Patih Amangkubumi yang tersenyum penuh kasih.
"Ki Sandikala", berkata Patih Mahesa Amping
membalas senyuman Patih Amangkubumi yang dipanggil
dengan nama samarannya ketika masih dalam awal-awal
perjuangan menyelamatkan keluarga istana Singasari
dalam kejaran pasukan Raja Jayakatwang.
"Sekarang, tengoklah orang disebelah kirimu",
berkata patih Amangkubumi kepada Patih Mahesa
Amping. Perlahan Patih Mahesa kepalanya menoleh ke kiri.
Amping menggerakkan "Putraku Adityawarman".", berkata Patih Mahesa
Amping. "Sekarang, pandanglah orang disebelah putramu itu",
berkata kembali Pati Amangkubumi.
"Saudaraku"..Kakang Mahesa Semu", berkata Patih
Mahesa Amping sambil memandang Tumenggung
Mahesa Semu yang tengah tersenyum memandangnya.
Terlihat Patih Amangkubumi menarik nafas dalamdalam, merasa gembira melihat sahabatnya telah pulih
daya ingatnya, telah terbebas dari serangan racun yang
diketahui sangat keras, sebuah racun yang jarang sekali
734 dikenal oleh banyak orang kecuali oleh orang-orang yang
ahli mengenal ilmu pengobatan seperti dirinya.
"Racun hati celeng bunting", berkata Patih
Amangkubumi dalam hati sambil mengutuk orang yang
begitu jahat meracuni sahabatnya itu.
"Siapa gerangan yang telah menurunkan tangan
jahatnya kepada patih Mahesa Amping?", berkata
kembali Patih Amangkubumi dalam hati, namun setelah
lama berpikir tidak juga dapat menemukan apa yang
dicari dalam pikirannya itu.
"Gandhok tengen sudah hamba siapkan", berkata
seorang pelayan dalem menyadarkan Patih Amangkubumi yang tengah berada dalam pikirannya
sendiri. "Biarlah aku yang membawa saudaraku", berkata
Tumenggung Mahesa Semu menawarkan dirinya
membawa patih Mahesa Amping untuk beristirahat di
tempat yang telah disiapkan untuknya.
"Udara malam sudah menjadi begitu dingin", berkata
Patih Amangkubumi mengajak Adityawarman masuk ke
ruang dalam. Saat itu malam memang terasa sangat dingin,
halaman muka puri pasanggrahan Patih Amangkubumi
sudah menjadi begitu gelap.
"Biarlah ayahmu beristirahat disini untuk beberapa
hari sampai dapat pulih kembali seperti sediakala",
berkata patih Amangkubumi kepada Adityawarman
diatas bale kayu di ruang dalam.
"Terima kasih untuk semuanya, tidak terbayangkan
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bila saja Ki patih Amangkubumi tidak datang tepat pada
waktunya", berkata Adityawarman dengan wajah penuh
735 rasa terima kasih. Sepanjang malam itu Adityawarman menunggu Patih
Mahesa Amping di dekat pembaringannya. Matanya tidak
pernah lepas mengamati wajah ayah tercintanya.
Terbayang masa-masa kecilnya dimana Ayahnya dengan
begitu kasih menjaganya, merasa belum dapat
membalas budi kebaikan dan kasih sayang yang pernah
tercurah kepadanya. "Ki Rangga Gajah Biru dan Ki Demung Juru pasti
dapat menceritakan beberapa hal tentang awal mula di
balik peristiwa tadi siang", berkata Adityawarman dalam
hati. "Hari telah mulai menjelang pagi, wahai putra
saudaraku, beristirahatlah sejenak, biarlah aku yang
berganti menjaganya", berkata Tumenggung Mahesa
Semu yang baru saja masuk ke gandhok tempat Patih
Mahesa Amping beristirahat.
"Terima kasih, aku merasa tenteram berada disisi
ayahku", berkata Adityawarman.
Tumenggung Mahesa Semu memaklumi perasaan
putra Patih Mahesa Amping itu, terlihat mereka berdua
duduk disisi peraduan Patih Mahesa Amping.
Tidak lama berselang pintu gandhok terbuka, terlihat
wajah penuh senyum yang muncul dari pintu gandhok
yang telah terbuka itu. "Raut wajahnya sudah tidak pucat lagi", berkata
orang yang baru itu sambil memandang wajah Patih
Mahesa Amping yang masih tertidur nyenyak itu, yang
tidak lain adalah Patih Amangkubumi.
"Sejak tidur semalaman tidak terbangun sama sekali,
tidurnya memang sangat nyenyak sekali", berkata
736 Adityawarman. "Aku telah memesan kepada seorang pelayan dalem
untuk membuat beberapa racikan untuk diberikan kepada
Patih Mahesa Amping", berkata Patih Amangkubumi
sambil mengatakan untuk berpamit diri melaksanakan
tugas kepatihan di istana Majapahit.
"Seluruh pelayan dalem di tempatku ini dapat
dipercaya, dan aku telah memberikan tugas kepada
mereka untuk melarang siapapun orang luar masuk ke
puri pasanggrahanku", berkata Patih Amangkubumi
kepada Adityawarman dan Tumenggung Mahesa Semu.
"Orang-orang jahat yang telah meracuni ayahku pasti
ingin memastikan keadaannya", berkata Adityawarman
membenarkan kehati-hatian Patih Amangkubumi itu.
Demikianlah, pagi itu terlihat Patih Amangkubumi
telah keluar dari puri pasanggrahannya untuk
melaksanakan tugas kepatihan di istana Majapahit.
Sepanjang hari itu Adityawarman dan Tumenggung
Mahesa Semu selalu menjaga Patih Mahesa Amping
yang masih sangat lemah. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Patih
Amangkubumi, para pelayan dalem telah melarang orang
luar masuk ke wilayah puri pasanggrahan Patih
Mangkubumi. "Sejak kapan ada larangan tidak boleh masuk?",
berkata seorang tukang kayu bakar merasa janggal.
Mendengar perkataan seorang tukang kayu bakar itu,
pelayan dalem yang berjaga di muka halaman puri
pasanggrahan Patih Amangkubumi hanya tersenyum.
"Letakkan saja kayu bakarmu di halaman ini, nanti
kami yang akan membawanya ke belakang", berkata
737 pelayan dalem kepada tukang kayu bakar yang memang
sudah terbiasa keluar masuk puri pasanggrahan setiap
harinya. Ternyata larangan masuk ke puri pasanggrahan juga
berlaku untuk lima orang prajurit penjaga yang biasa
berkeliling di semua tempat di dalam istana untuk
memastikan suasana dan keadaan disekitarnya aman
terkendali. "Aku ini prajurit penjaga, aku ingin memastikan
keamanan disini", berkata salah seorang prajurit penjaga
itu yang ditahan oleh seorang pelayan dalem di muka
gapura puri pasanggrahan.
"Ini bukan keinginanku, tapi perintah tuan Patih
Amangkubumi sendiri", berkata pelayan dalem kepada
para prajurit penjaga itu.
"Baiklah bila memang itu perintah tuan Patih
Amangkubumi", berkata salah seorang penjaga tidak
mencoba membantah setelah mendengar bahwa
larangan itu atas perintah Patih Amangkubumi.
Terlihat kelima prajurit penjaga itu telah berjalan
kembali ke tempat lain untuk memeriksa keadaan dan
keamanan istana. Dan tidak lama berselang muncul seorang pelayan
dalem wanita yang biasa belanja sayur mayur kebutuhan
warga puri pasanggrahan Patih Amangkubumi.
"Gawat !!", berkata pelayan dalem wanita itu sambil
menurunkan belanjaannya di dekat pelayan dalem lelaki
yang bertugas menjaga halaman mula puri pasanggrahan. "Gawat apanya?", bertanya pelayan dalem lelaki
kepada kawannya itu. 738 "Hampir semua orang di pasar membicarakan
peristiwa kemarin", berkata pelayan dalem wanita itu.
"Lalu apanya pelayan lelaki itu. yang gawat?", bertanya kembali "Gawatnya adalah bahwa para keluarga korban,
keluarga para prajurit yang tewas telah menuntut
keadilan, nyawa harus dibayar nyawa", berkata pelayan
wanita menjelaskan. "Syukurlah, bukan segawat yang kukira", berkata
pelayan dalem lelaki sambil tersenyum menggoda.
"Gawat apa yang kamu kira?", berkata pelayan dalem
wanita itu penuh penasaran.
"Kukira ada berita keluargamu tidak merestui
hubungan kita, itulah gawat darurat yang paling
kukhawatirkan", berkata pelayan dalem lelaki masih
dengan senyum menggodanya.
"Masih jauh untuk bercerita tentang hubungan kita
kepada keluargaku", berkata pelayan dalem wanita itu
sambil mengangkat kembali bakul belanjaannya diatas
kepalanya. Hingga disaat sore menjelang, terlihat Patih
Amangkubumi telah kembali dan langsung menengok
Patih Mahesa Amping yang sudah terbangun namun
masih sangat lemah. "Ada yang ingin kubicarakan bersama kalian berdua",
berkata Patih Amangkubumi kepada Adityawarman dan
Tumenggung Mahesa Semu mengajaknya bicara di
ruang serambi dalam mungkin agar tidak didengar
langsung oleh Patih Mahesa Amping, takut mempengaruhi kesehatannya yang belum benar-benar
pulih. 739 Tidak lama berselang ketiganya telah duduk di ruang
serambi dalam. "Tadi di Bale Kepatihan, para pejabat Dharmayaksa
yang diwakili oleh pendeta Dang Acarca Sujiwa telah
menyampaikan sebuah kabar tentang peristiwa kemarin,
dimana para keluarga prajurit yang menjadi korban telah
menuntut Patih Mahesa Amping untuk diadili dalam dua
pemberatan ageman kitab hukum Kutara Wanara
Dharmasasra, melakukan pembunuhan dan melakukan
caci maki", berkata Patih Amangkubumi kepada
Adityawarman dan Tumenggung Mahesa Semu.
"Apakah Ki Patih sudah memberikan sebuah
keputusan?", bertanya Tumenggung Mahesa Semu yang
juga telah memahami tentang kitab hukum kerajaan
Majapahit itu yang menjadi ageman di seluruh wilayah
kekuasaan Kerajaan Majapahit, sebagai garis hukum
menjaga tatanan etika keselarasan manusia yang hidup
di bumi Majapahit. "Semula aku meminta untuk diundurkan sambil
menunggu kedatangan Baginda Raja Sanggrama
Wijaya, namun mereka memaksaku untuk secepatnya.
Akhirnya aku memutuskan untuk mempelajari permasalahannya", berkata Patih Amangkubumi.
"Apakah mereka meminta batasan waktu?", bertanya
kembali Tumenggung Mahesa Semu.
"Mereka meminta di akhir tutup tahun, antara akhir
bulan Phalguna dan awal bulan Caitra bersamaan
dengan pertemuan agung seluruh pejabat kerajaan",
berkata Patih Amangkubumi.
"Hanya tinggal dua Tumenggung Mahesa Semu pekan lagi?", berkata 740 "Aku berharap sebelum datang batasan yang mereka
pinta, Baginda Raja Sanggrama Wifaya sudah datang
kembali", berkata Patih Amangkubumi.
"Aku melihat sepertinya ada tangan yang sengaja
mengambil keuntungan dalam suasana kekeruhan ini,
dimulai dari rencana pembunuhan Patih Mahesa Amping,
hingga usaha pengerahan keluarga korban prajurit untuk
menuntut keadilan", berkata Tumenggung Mahesa
Semu. "Ada asap ada api, kita bisa memulainya dari pendeta
Dang Acarca yang membawa permasalahan peristiwa
Patih Mahesa Amping, kita juga dapat mengupas siapa
orang di balik para keluarga prajurit yang gugur dalam
peristiwa itu", berkata Patih Amangkubumi.
"Sebelum pertemuan agung, mudah-mudahan kita
sudah dapat menjernihkan suasana, sedikitnya
mengetahui siapa dalang di balik kekeruhan ini", berkata
Tumenggung Mahesa Semu. Demikianlah, keesokan harinya Tumenggung Mahesa Semu sudah mulai bekerja, mengerahkan
beberapa orang kepercayaannya yang berada dalam
kesatuan khusus prajurit telik sandi untuk melakukan
penyelidikan yang tersebar.
Berdebar perasaan Pendeta Dang Acarca Sujiwa
manakala dua orang prajurit telik sandi mendatangi
kediamannya. Ternyata kedua orang prajurit itu telah
mendapat tugas untuk membawa Pendeta Dang Acarca
Sujiwa ke istana Majapahit hari itu juga.
"Pemimpin kami hanya ingin meminta beberapa
keterangan", berkata salah seorang prajurit kepada
Pendeta Dang Acarca Sujiwa.
741 Tanpa dapat membantah, meski dirinya adalah salah
satu anggota Dharmayaksa yang bertugas menangani
berbagai perselisihan sebagai pejabat hakim agung,
Pendeta Dang Acarca hari itu juga telah memenuhi
panggilan Tumenggung Mahesa Semu, seorang pejabat
istana Majapahit yang sangat disegani karena
merupakan orang kepercayaan Baginda Raja Sanggrama Wijaya, sang penguasa tertinggi di kerajaan
Majapahit. Atas perkenan Baginda Raja Sanggrama
Wijaya, wewenang Tumenggung Mahesa Semu dapat
memenjarakan siapapun orang yang dicurigai akan
mengganggu tatanan keamanan di bumi Majapahit.
Dan hari itu Pendeta Dang Acarca Sujiwa bersama
dua orang prajurit telik sandi terlihat tengah memasuki
puri pasanggrahan milik Tumenggung Mahesa Semu di
dalam istana Majapahit, disamping sebagai tempat resmi
kediaman Tumenggung Mahesa Semu, juga sebagai
pusat kendali para prajurit telik sandi.
Ternyata Tumenggung Mahesa Semu seorang yang
sangat menjiwai tugasnya, dapat mengupas dan
menelanjangi orang dengan berbagai cara tanpa
kekerasan. Dan Pendeta Dang Acarca Sujiwa benar-benar
merasa kelelahan jiwa dan raganya setelah menjalani
berbagai macam pemeriksaan, berbagai pertanyaan dari
pagi hingga menjelang petang hari.
Dan akhirnya Pendeta Dang Acarca Sujiwa sudah
mulai menyerah, yang ada dalam pikirannya adalah
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melindungi diri sendiri, melindungi jabatan dan
kehormatannya sendiri. "Mendapatkan jabatan sebagai anggota Dharmayaksa sungguh sebuah kebanggaan hati
742 siapapun orangnya, sebuah jembatan dimana diri dan
keluarga kita dihormati dan dimuliakan. Namun semua
kembali ke diri tuan pendeta, karena kejujuran tuan
pendeta adalah pertimbanganku apakah jabatan dan
kehormatan tuan pendeta memang harus hanya sampai
disini", berkata Tumenggung Mahesa Semu kepada
Pendeta Dang Acarca Sujiwa.
Terlihat Pendeta Dang Acarca Sujiwa menarik nafas
panjang, merasa sudah begitu lelah.
"Semua kulakukan karena mendapatkan ancaman
dari Ra Kuti yang akan membongkar kehidupan hitamku
di masa lalu", berkata Pendeta Dang Acarca sambil
menundukkan kepalanya. "Ra Kuti, salah satu pejabat Dharmaputra", berkata
dalam hati Tumenggung Mahesa Semu.
Sementara itu di tempat kediaman Patih Amangkubumi terlihat seorang wanita setengah baya
bersama seorang pemuda tertahan di gapura puri
pasanggrahan Patih Amangkubumi.
"Kami hanya menjalankan perintah", berkata seorang
pelayan dalem dengan penuh santun.
Beruntung belum sempat meruncing menjadi sebuah
ketegangan, Patih Amangkubumi yang baru pulang dari
kepatihan telah melihat mereka.
"Maaf Nyi Nariratih, aku yang melarang orang luar
masuk ke puri pasanggrahanku", berkata Patih
Amangkubumi kepada wanita setengah baya itu yang
ternyata adalah Nyi Nariratih, ibunda Gajahmada.
Sementara pemuda yang bersamanya adalah Supo
Mandagri. Terlihat Patih Amangkubumi sendiri yang mengantar
743 mereka memasuki halaman puri pasanggrahan dan
langsung ke gandok dalam menemui Patih Mahesa
Amping. "Tuan Patih".", berkata Nyi Nariratih ketika menemui
Patih Mahesa Amping yang sudah dapat duduk di
peraduannya dan hanya ditemani oleh putranya,
Adityawarman. "Tidak perlu mengkhawatirkan diriku, aku berada di
tangan seorang tabib paling hebat di bumi Majapahit ini",
berkata Patih Mahesa Amping sambil melebarkan
senyumnya. Mendengar pujian dari Patih Mahesa Amping, terlihat
Patih Amangkubumi hanya sedikit tersenyum.
"Aku hanya sedikit mengenal beberapa macam
tanaman obat", berkata Patih Amangkubumi merendahkan dirinya. "Ki Sandikala memang terlalu merendahkan diri, tabib
Eng Djiauw Ong 29 Lencana Pembunuh Naga Karya Khu Lung Seruling Sakti 2