Pencarian

Para Ksatria Penjaga Majapahit 9

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 9


Koncar dan Gajahmada. "Keberpihakan warga Kademangan Randu Agung
memang belum terpikirkan olehku", berkata Adipati
Menak Koncar membenarkan jalan pikiran Putu Risang
itu. "Kita harus menghindari benturan langsung dengan
warga Kademangan Randu Agung", berkata Gajahmada
mulai dapat menangkap arah pikiran gurunya itu.
"Kita dapat menghindari beberapa padukuhan di
Kademangan Randu Agung dengan cara jalan
melingkar", berkata Adipati Menak Koncar menambahkan. "Jarak Kadipaten ini menuju ke Kademangan Randu
Agung tidak begitu jauh, apakah kita tidak khawatir
596 pasukan kita dapat terbaca oleh pihak lawan?", bertanya
Putu Risang. Mendengar pertanyaan Putu Risang telah membuat
Adipati Menak Koncar dan Gajahmada terdiam sejenak
membenarkan arah pertanyaan Putu Risang bahwa ada
orang-orang di sekitar mereka yang merasa dekat
dengan pihak lawan dan membocorkan gerakan mereka.
"Ternyata aku berhadapan dengan seorang senapati
perang yang sangat kuat pikirannya", berkata Adipati
Menak Koncar memuji ketelitian pikiran Putu Risang itu.
"Aku hanya berpikir sederhana, menjaring seekor
ikan besar di kolam kita sendiri tanpa mengeruhkannya",
berkata Putu Risang sambil tersenyum.
"Jangan khawatir, beberapa ikan gabus besar sudah
dapat kami tangkap di awal pagi tadi", berkata Adipati
Menak Koncar sambil memandang dua orang lelaki yang
datang dari arah pringgitan membawakan makanan dan
minuman diiringi seorang wanita anggun dibelakangnya
yang ternyata adalah Nyi Adipati Menak Koncar.
"Mudah-mudahan masakan orang Lamajang tidak
berbeda lidah dan rasa", berkata Nyi Adipati Menak
Koncar mempersilahkan perjamuan kepada para
tamunya. Setelah menikmati perjamuan makan siang itu,
pembicaraan pun kembali berlanjut, diawali oleh Adipati
Menak Koncar sebagai tuan rumahnya.
"Menghindari penglihatan pihak lawan, kita dapat
bergerak hari ini juga di tengah malam nanti menuju
hutan Mandeg di sebelah timur Hutan Randu Agung",
berkata Adipati Menak Koncar menyampaikan rencananya. 597 "Bagus, artinya kita masih punya banyak waktu di
hutan Mandeg menunggu saat tengah malam tiba,
menyergap dan mengepung pihak lawan", berkata Putu
Risang menyetujui usulan yang disampaikan oleh Adipati
Menak Koncar itu. Demikianlah, pada hari itu juga Adipati Menak Koncar
telah memanggil sekitar empat puluh orang prajurit
terbaiknya. Pada hari itu juga telah memerintahkan
kepada para prajurit penjaga agar melarang siapapun
untuk tidak boleh keluar dari halaman istana Kadipaten
Lamajang, apapun alasannya.
Perintah untuk tidak boleh meninggalkan istana
Kadipaten ini memang cukup membingungkan beberapa
orang abdi dalem istana, para pengalasan yang tinggal di
luar istana Kadipaten, mereka biasa pulang menjelang
sore untuk berkumpul bersama keluarganya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh anak muda itu,
pekatik tua itu memang telah memilih jalan lewat
pematang sawah karena dapat mempersingkat jarak
tempuh menuju Kademangan Randu Agung.
Keringat terlihat sudah membasahi seluruh tubuh
pekatik tua itu yang masih saja terus berjalan tidak ingin
berhenti sedikitpun. Hingga manakala suara kentongan dara muluk
terdengar sayup, pekatik tua itu sudah tidak berjalan di
pematang sawah lagi, tapi sudah berjalan diatas sebuah
jalan kecil menuju arah jalan utama Kademangan Randu
Agung. Meski telah menempuh sebuah perjalanan yang
cukup jauh tanpa beristirahat sedikitpun, orang tua itu
terlihat masih dapat menjaga keseimbangan dan
keteraturan langkahnya, sebagai sebuah pertanda
598 bahwa orang tua itu telah ditempa oleh sebuah latihan
yang cukup lama dalam olah kanuragan semasa
mudanya. Terlihat orang tua itu seperti tidak merasakan
keletihan sedikitpun terus melangkahkan kakinya yang
telah berada di sebuah jalan utama Kademangan Randu
Agung. Dan akhirnya tibalah pekatik tua di depan regol pintu
gerbang rumah kediaman Ki Demang Randu Agung yang
terjaga itu. "Siapakah Kisanak?", berkata salah seorang prajurit
pengawal Kademangan dari atas panggungan menyapa
kakek tua itu yang berdiri di muka pintu gerbang yang
tertutup itu. "Ijinkan aku masuk kedalam untuk menemui Ki
Demang, ada berita penting yang akan kusampaikan",
berkata pekatik tua kepada prajurit itu.
Oncor yang diletakkan diluar samping regol pintu
gerbang terlihat menyapu wajah orang tua itu menambah
keyakinan prajurit itu bahwa orang tua itu tidak akan
membuatnya susah. Apalagi mereka saat itu berlima.
Yang ada di dalam hati para prajurit pengawal
Kademangan itu ada rasa penasaran ada apa gerangan
orang itu datang di saat malam yang sudah sangat larut
itu. "Bukalah pintunya, kita tanyakan apa keperluannya
datang di malam larut ini", berkata salah seorang prajurit
kepada kawannya. Terlihat seorang prajurit pengawal Kademangan
dengan sebelah tangan memegang sebuah obor telah
menuruni anak tangga panggungan dan langsung
berjalan kearah pintu untuk membuka palang pintu.
599 Setelah membukakan palang pintu, terlihat prajurit itu
telah membukakan pintu gerbang dan menerangi wajah
pekatik tua itu dengan obor di tangannya.
"Jenggala?", berkata prajurit itu yang nampaknya
sudah mengenal nama orang tua itu.
"Syukurlah masih ada prajurit tua seumurmu di
Kademangan ini", berkata pekatik tua yang dipanggil
Jenggala oleh prajurit itu yang ternyata wajahnya terlihat
seumuran dengan pekatik tua itu.
"Masuklah, kita bicara di dalam", berkata prajurit itu
kepada Jenggala memintanya segera masuk kedalam.
Ketika prajurit itu tengah menutup kembali palang
pintu gerbang, empat orang kawannya telah menuruni
anak tangga panggungan. "Ini kawanku Jenggala, dulu prajurit pengawal
Kademangan seperti kita. Tapi sekarang bertugas
sebagai seorang pekatik di Kadipaten Lumajang",
berkata prajurit tua itu memperkenalkan Jenggala kepada
empat kawannya yang masih muda-muda itu.
"Aku haus", berkata Jenggala yang langsung
melangkah mendekati sebuah gentong air minum yang
terletak di bawah panggungan seperti sudah sangat
hapal dan mengenal suasana di Kademangan Randu
Agung. Kelima orang prajurit pengawal Kademangan hanya
berdiri memandang Jenggala meneguk air minum lewat
sebuah gayung batok kelapa, membiarkan dahaga
Jenggala terpuaskan. "Berceritalah Jenggala, pasti ada urusan yang sangat
penting sehingga kamu harus datang kemari di malam ini
tanpa dapat menundanya", berkata prajurit tua itu kepada
600 Jenggala diatas sebuah bale bambu panjang di bawah
panggungan itu. "Memang tidak bisa di tunda hingga pagi, sangat
penting dan genting sekali", berkata Jenggala memulai
menyampaikan sebuah hal yang harus segera diketahui
oleh Ki Demang Randu Agung, di dengar oleh kelima
prajurit pengawal Kademangan Randu Agung itu dengan
penuh perhatian. "Akan ada sebuah penyerangan di rumah kediaman
Ki Randu Alam?", berkata prajurit tua itu setelah
mendengar penuturan dari Jenggala seperti terkejut tidak
percaya dengan apa yang didengarnya itu.
"Jumbala, kita adalah para laskar pasukan Sunginep
yang telah bersumpah setia kepada junjungan kita,
bangunkan Ki Demang dan katakan apa yang kamu
dengar ini kepadanya", berkata Jenggala kepada prajurit
tua itu yang dipanggilnya sebagai Jumbala.
"Aku akan membangunkan Ki Demang", berkata
Jumbala yang langsung berlari-lari kecil meninggalkan
Jenggala, juga ke empat kawannya para prajurit
pengawal Kademangan Randu Agung itu, memandang
Jumbala yang telah berlari kecil menuju arah pintu
butulan membangunkan Ki Demang lewat pintu samping.
Nampaknya tidak susah membangunkan Ki Demang
Randu Agung. "Ada apa Jumbala?", berkata Ki Demang Randu
Agung setelah membukakan pintu serambinya dan
melihat Jumbala, prajurit tua itu.
Maka langsung saja Jumbala bercerita sebagaimana
yang diceritakan oleh Jenggala kepadanya.
"Bangunkan Ki Jagabaya dan semua sesepuh
601 Kademangan Randu Agung untuk datang ke rumahku
malam ini juga", berkata Ki Demang memberi perintah
kepada prajurit tua itu. Demikianlah, terlihat Ki Demang Randu Agung telah
menutup kembali pintu serambinya, sementara terlihat
Jumbala telah berlari kecil keluar dari pintu butulan.
Sementara itu tidak begitu jauh dari Kademangan
Randu Agung, di ujung kegelapan malam terlihat sebuah
pasukan yang dipimpin oleh Adipati Menak Koncar telah
memasuki sebuah kelebatan hutan Mandeg yang
berhadapan dengan hutan Randu Agung.
"Masih ada banyak waktu beristirahat di hutan ini",
berkata Mahesa Semu yang telah bergabung dalam
pasukan itu kepada Gajahmada.
"Benar, pasukan ini akan bergerak kembali
menjelang malam nanti", berkata Gajahmada kepada
Mahesa Semu. "Perjalanan yang melelahkan", berkata Mahesa
Semu sambil menyandarkan tubuhnya di sebuah pohon
besar. Sebagaimana Mahesa Semu, terlihat Gajahmada
juga tengah bersandar di sebuah batu besar di dekat
Mahesa Semu. Tidak jauh dari mereka terlihat Putu
Risang dan Adipati Menak Koncar tengah berjalan
mendekati mereka berdua, nampaknya ingin bergabung
bersama mereka. "Pagi yang indah", berkata Putu Risang ketika telah
berada bersama Mahesa Semu dan Gajahmada sambil
bersandar di dekat Gajahmada.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Putu Risang, saat
itu hari memang telah berganti pagi, ditandai dengan
602 suara kicau burung berkicau memecahkan sepi, sesekali
juga terdengar pekik monyet-monyet kecil bergelantung
di ujung-ujung ranting di hutan Mandeg itu.
"Aku telah menugaskan beberapa orang prajurit
untuk mengamati situasi di sekitar Kademangan Randu
Agung", berkata Adipati Menak Koncar kepada Putu
Risang, Mahesa Semu dan Gajahmada.
Sementara itu suasana di rumah Ki Demang Randu
Agung saat itu telah dipenuhi oleh para sesepuh yang
sengaja di panggil sehubungan dengan berita akan ada
sebuah pasukan dari Kadipaten Lamajang yang akan
menyerang rumah kediaman Ki Randu Alam.
"Jenggala, ceritakan kepada mereka apa yang kamu
ketahui", berkata Ki Demang Randu Agung kepada
Jenggala sang pekatik tua yang ikut duduk bergabung di
atas pendapa bersama para sesepuh Kademangan
Randu Agung. Terlihat semua orang yang hadir diatas pendapa
rumah Ki Demang Randu Agung mendengar penuturan
Jenggala. "Adipati Menak Koncar tadi malam telah menggerakkan pasukannya untuk menyerang Ki Randu
Alam, keluarga dan seluruh orang yang bersamanya,
mungkin pagi ini mereka telah tiba di hutan Mandeg",
berkata Jenggala menuturkan segalanya yang diketahui
tentang penyerangan itu. "Separuh lebih warga Kademangan Randu Agung ini
pernah berhutang budi dengan Ki Randu Alam,
sebagaimana aku, sebagaimana Jenggala. Haruskah kita


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiam diri tak berbuat apapun disaat mantan junjungan
kita menghadapi mara bahaya?", berkata Ki Demang
Randu Agung kepada para sesepuh yang hadir
603 dipendapa rumahnya. Suasana pendapa terlihat menjadi sunyi mencekam,
para sesepuh diam tak tahu bagaimana harus bersikap
dan apa yang harus dikatakannya menjawab pertanyaan
Ki Demang Randu Agung itu.
Sementara itu tatapan mata Ki Demang Randu
Agung terlihat berkeliling, menyidik satu persatu para
sesepuh yang masih diam membisu.
"Hari ini kita harus segera bergerak, berdiri bahu
membahu di belakang Ki Randu Alam", berkata Ki
Demang Randu Agung mencoba mengangkat kesadaran
orang-orang yang ada di pendapa rumahnya itu.
Namun semua orang yang ada di atas pendapa
rumahnya itu masih belum tahu apa yang harus
dikatakannya. "Ki Demang Randu Agung, seandainya seluruh
warga penduduk ini tidak ada yang ingin membela Ki
Randu Alam, maka tetap tidak bergeming sedikitpun
untuk berdiri dibelakangnya, menghadapi hujan panah
dan lembing sekalipun", berkata Ki Jenggala tiba-tiba
merasa marah melihat kebisuan para sesepuh
Kademangan Randu Agung itu.
"Ki Jenggala, sebagaimana dirimu, aku akan
mengajak semua keluargaku bahu membahu berdiri di
belakang Ki Randu Alam", berkata salah seorang yang
duduk bersebrangan dengan Ki Jenggala.
"Aku berada di belakang Ki Randu Alam", berkata
dua orang lainnya sambil mengangkat kedua tangannya.
"Angkat tangan kalian yang telah memilih jalan
sebagaimana Ki Jenggala", berkata Ki Demang Randu
Agung sambil mengangkat tangannya.
604 Terlihat separuh lebih para sesepuh mengangkat
tangannya sebagai pertanda memilih jalan berada di
belakang Ki Randu Alam menghadapi serangan pasukan
dari Kadipaten Lamajang. Terlihat mata Ki Demang Randu Agung seperti
terbakar memandang sebagian kecil dari mereka yang
tidak mengangkat tangannya, terlihat matanya telah
tertuju kearah seseorang yang berada di sudut pendapa
rumahnya. "Ki Jagabaya, dimana jiwa kesetiaanmu", apakah
sudah terkikis oleh kemakmuran harta bendamu",
tidakkah kamu sadari gelimang kemakmuran yang kita
terima hingga hari ini adalah berkat budi besar junjungan
kita, Ki Randu Alam. Tidakkah kamu sadari bahwa Ki
Randu Alam telah membawa kita, melindungi diri kita dari
kemurkaan para prajurit Majapahit atas keberpihakan kita
membantu pasukan Ranggalawe di Tuban", kita dan
keluarga kita berhutang nyawa dengan Ki Randu Alam",
berkata Ki Demang Randu Agung dengan kata-kata
penuh amarah kepada Ki Jagabaya.
Namun tanpa di duga-duga terlihat Ki Jagabaya
langsung berdiri dengan dada membusung menatap
pandangan mata Ki Demang Randu Agung penuh
keberanian. "Jangan kamu singgung mengenai kesetiaanku,
jangan kamu singgung tentang hutang nyawa ini, tapi
buka mata dan pikiran kita dengan siapa kita
berhadapan?", berkata Ki Jagabaya dengan suara
lantang. Terlihat semua mata tertuju kepada Ki Jagabaya
yang masih berdiri. "Buka mata dan pikiranmu, kita akan berhadapan
605 dengan Adipati Menak Koncar. Memusuhinya berarti kita
memusuhi Kerajaan Majapahit yang ada di belakangnya",
berkata kembali Ki Jagabaya masih dengan suara yang
lebih lantang lagi. Semua mata terlihat berpaling kearah Ki Demang
Randu Agung yang telah ikut berdiri sebagaimana Ki
Jagabaya. "Ki Jagabaya, seorang mantan laskar prajurit Ki Aria
Wiraraja yang gagah berani tak pernah takut melihat
hujan panah dan hujan lembing, hari ini kulihat
belangnya, hari ini kulihat kekerdilannya. Yang kulihat
bahwa bukan pasukan besar pasukan Majapahit yang
kamu takuti, tapi yang kamu takuti adalah harta
bendamu, istri-istri peliharaanmu", berkata Ki Demang
Randu Alam dengan penuh kemarahan.
"Ki Demang, urusan Ki Randu Alam dengan Adipati
Lamajang adalah urusan mereka berdua. Tidak ada
kaitan apapun dengan diri kita", berkata Ki Jagabaya
merasa kurang senang dengan perkataan Ki Demang
yang membawa masalah pribadinya.
"Baiklah bila kamu katakan ini bukan urusanmu, saat
ini aku hanya membutuhkan orang-orang yang punya
rasa kesetiaan, hari ini keluarga Ki Randu Alam telah
terancam, siapa lagi yang membelanya selain diri kita
semua yang pernah diselamatkan, diri kita dan keluarga
kita", berkata Ki Demang Randu Agung.
"Aku tidak mengenal kata takut, aku akan membela
siapapun yang akan mengancam keluargaku dan semua
orang di Kademangan Randu Agung ini. Namun hari ini
masalahnya berbeda, kita tinggal di tanah milik kerajaan
Majapahit yang dipercayakan lewat Adipati Lamajang.
Apakah kita akan berhadapan badan dengan junjungan
606 kita sendiri", pikirkanlah masak-masak sebelum
melangkah", berkata Ki Jagabaya sambil melangkah
keluar dari pendapa kediaman Ki Demang Randu Agung
itu. "Biarkan pengecut itu pergi, kita harus menunjukkan
harga diri kita berada di belakang Ki Randu Alam",
berkata Ki Demang dengan suara yang keras bermaksud
didengar oleh Ki Jagabaya yang tengah menuruni anak
tangga pendapa. Terlihat Ki Jagabaya seperti tidak mendengar suara
Ki Demang yang telah menghinanya itu, dirinya tetap
berjalan meninggalkan halaman rumah kediaman Ki
Demang Randu Agung. Sepeninggal Ki Jagabaya yang telah memilih untuk
tidak berada di belakang Ki Randu Alam, terlihat Ki
Demang Randu Agung telah memerintahkan kepada
orang-orangnya untuk mengumpulkan seluruh prajurit
pengawal Kademangan, seluruh anak-anak muda di
Kademangan Randu Agung. Ternyata perbedaan pendapat antara Ki Jagabaya
dan Ki Demang Randu Agung telah menjadi
perbincangan para warga. Akibatnya banyak orang tua
yang ikut berpihak kepada Ki Jagabaya dengan tidak
mengijinkan para putranya bergabung dalam barisan
memperkuat pasukan prajurit pengawal Kademangan
Randu Agung itu. Namun tidak sedikit warga yang masih
setia kepada Ki Randu Alam.
Bayangkan, tiga ratus orang telah berkumpul di
rumah Ki Demang Randu Agung.
Sementara itu para prajurit di bawah kepemimpinan
Adipati Menak Koncar masih berada di hutan Mandeg.
Sebagaimana rencana semula, mereka akan baru
607 bergerak menjelang tengah malam menuju kediaman Ki
Randu Alam. Hari saat itu sudah mulai terang tanah, beberapa
prajurit di hutan Mandeg itu terlihat telah menyiapkan
ransum makanan. Beberapa prajurit lainnya tetap siaga
berjaga-jaga di sekitar mereka mengamati bila saja ada
hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Tiba-tiba saja terlihat dua orang prajurit yang
ditugaskan mengamati keadaan di sekitarnya memberi
tanda bahwa ada orang yang tengah memasuki wilayah
mereka di sekitar hutan Mandeg itu.
"Kukira kalian dari pihak musuh", berkata seorang
prajurit penjaga kepada orang yang baru datang itu.
Ternyata orang yang baru datang itu adalah kawan
mereka juga. Orang itu memang ditugaskan oleh Adipati
Menak Koncar untuk mengamati situasi disekitar
Kademangan randu Agung. "Aku ingin menghadap tuan Adipati", berkata orang
itu kepada kawannya. Terlihat prajurit penjaga itu memberikan arah
petunjuk dimana Adipati Menak Koncar berada kepada
orang yang baru datang itu.
"Nampaknya ada berita sangat penting sekali yang
ingin kamu sampaikan", berkata Adipati Menak Koncar
kepada prajuritnya itu yang telah datang menghadap
dengan wajah dan nafas tersengal-sengal.
"Benar, kami telah melihat warga Kademangan
Randu Agung telah berkumpul di rumah kediaman Ki
Demang Randu Agung. Nampaknya mereka akan
bersatu membela Ki Randu Alam", berkata prajurit itu
bercerita tentang apa yang dilihatnya di rumah kediaman
608 Ki Demang Randu Agung. "Nampaknya keberadaan kita sudah ada yang
membocorkannya", berkata Adipati Menak Koncar
kepada Putu Risang, Gajahmada dan Mahesa Semu.
"Berapa jumlah mereka warga Kademangan Randu
Agung itu?", bertanya Adipati Menak Koncar kepada
prajurit itu. "Ada sekitar tiga ratus orang", berkata prajurit itu
"Kembalilah kamu ke tempatmu semula, terus amati
gerakan warga Kademangan Randu Agung itu", berkata
Adipati Menak Koncar kepada prajuritnya untuk kembali
ke Kademangan Randu Agung.
"Mereka begitu cepat mengetahui keberadaan kita,
nampaknya ada yang keluar dari istana Kadipaten
Lamajang jauh sebelum prajurit kita bergerak ke hutan
Mandeg ini", berkata Gajahmada memperkirakan orang
yang membocorkan keberadaan pasukannya di hutan
Mandeg itu. "Diluar rencana dan perhitungan kita semula,
benturan kepada warga kademangan Randu Agung
memang tidak dapat kita hindari lagi", berkata Adipati
Menak Koncar seperti meminta pertimbangan Putu
Risang, Mahesa Semu dan Gajahmada.
Terlihat Putu Risang, Mahesa Semu dan Gajahmada
tengah berpikir keras, mencoba memecahkan masalah
keberadaan pasukan warga Kademangan Randu Agung
itu. "kekuatan pasukan kita saat ini ada sekitar empat
puluh orang, sementara kekuatan mereka bila bergabung
ada sekitar tiga ratus lima puluh orang", berkata Putu
Risang mencoba menghitung perbandingan jumlah
609 kekuatan pasukan mereka. "Prajuritku cukup terlatih, aku merasa yakin bahwa
satu orang prajuritku mampu menghadapi empat sampai
lima prajurit Kademangan Randu Agung secara
bersamaan", berkata Adipati Menak Koncar meyakinkan
kekuatan dan tataran prajuritnya satu persatu.
"Apakah masih ada waktu bagi kita memberikan
pengertian kepada warga Kademangan Randu Agung
bahwa urusan ini tidak berkaitan dengan mereka?",
berkata Gajahmada mencoba mencari jalan lain
menghindari benturan dengan orang-orang warga
Kademangan Randu Agung. "Jalanmu itu nampaknya dapat kita coba, namun bila
menemukan jalan buntu, dengan terpaksa akan kita
hadapi mereka bukan sebagai warga Kademangan
Randu Agung, tapi sebagai pihak musuh", berkata
Mahesa Semu mendukung cara yang ditawarkan oleh
Gajahmada itu. "Aku setuju, aku akan mendatangi mereka, mencoba
memberikan pengertian kepada para warga Kademangan Randu Agung", berkata Adipati Menak
Koncar. "Aku ikut menemani Kakang Adipati Menak Koncar",
berkata Gajahmada menawarkan dirinya ikut bersama
Adipati Menak Koncar menuju ke rumah kediaman Ki
Demang Randu Agung. Demikianlah, Adipati Menak Koncar dan Gajahmada
dikawal oleh tiga orang prajurit terlihat telah keluar dari
hutan Mandeg. Sementara di rumah kediaman Ki Demang Randu
Agung terlihat sebuah pasukan yang sudah siap
610 berangkat bertempur dengan berbagai senjata di tangan
mereka masing-masing. Ternyata jumlah mereka terlihat
lebih besar dari yang dilihat sebelumnya. Diantara
mereka terlihat banyak orang tua yang ikut bergabung
bersama mereka. "Wahai para mantan laskar prajurit Sunginep, wahai
para orang muda Kademangan Randu Agung, hari ini
kita telah memilih jalan berada di belakang junjungan
kita, Ki Arya Wiraraja. Orang yang telah banyak berjasa
bagi kehidupan kita, bagi keluarga kita", berkata Ki
Demang Randu Agung memberikan semangat kepada
pasukannya yang telah bersiap untuk bergerak itu.
"Pedang ini adalah saksi bisu yang selalu setia
berada di belakang Ki Arya Wiraraja", berkata kembali Ki
Demang Randu Agung sambil melepaskan pedangnya


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mengangkatnya tinggi-tinggi diatas kepalanya.
"Satu untuk semua, semua untuk satu", berkata
sebagian orang tua ikut melepas pedangnya
sebagaimana yang dilakukan oleh Ki Demang Randu
Agung. Nampaknya mereka adalah para orang tua
mantan laskar prajurit Sunginep yang memang terkenal
dengan keberaniannya itu.
Anak-anak muda yang mendengarnya terasa
terpancing haru biru dalam sebuah semangat baru.
Barisan para prajurit pengawal Kademangan dan
para warga Kademangan Randu Agung terlihat mulai
bergerak penuh semangat. Namun tiba-tiba saja langkah
mereka semua berhenti. Semua mata tertuju kearah pintu gerbang rumah
kediaman Ki Randu Agung di mana disana terlihat tiga
orang sengaja datang untuk mencegah prajurit dan
warga Kademangan Randu Agung keluar dari pintu
611 gerbang halaman itu. "Ki Demang Randu Agung, bukalah matamu. Lihatlah
dengan jelas dengan siapa aku ada disini?", berkata
seorang lelaki tua yang ternyata adalah Ki Jagabaya.
Terlihat Ki Demang Randu Agung dengan tergopohgopoh mendekati ketiga orang itu.
"Kami para warga Kademangan Randu Agung ingin
menunjukkan rasa cinta kami kepada Ki Randu Alam dan
keluarga", berkata Ki Demang Randu Agung kepada
lelaki tua disebelah Ki Jagabaya.
"Terima kasih tak terhingga kuucapkan untuk segala
usaha dan upayamu mengumpulkan para warga di
Kademangan ini", berkata lelaki tua yang berada
disebelah Ki Jagabaya yang ternyata adalah Ki Randu
Alam sendiri. "Jangan salahkan Ki Jagabaya yang tidak
mau bergabung bersamamu, karena urusan ini tidak ada
kaitan pribadi denganku", berkata kembali Ki Randu
Alam. "Kami mendengar sendiri bahwa hari ini akan ada
sebuah penyerangan dari Kadipaten Lamajang ke rumah
Ki Randu Alam?", bertanya Ki Demang Randu Alam
penuh ketidak mengertian.
"Hari ini kusampaikan bahwa sudah lama aku
tersingkir jauh dari rumahku sendiri, karena yang
menghuni rumahku saat ini adalah saudara kembarku
sendiri", berkata Ki Randu Alam kepada Ki Demang
Randu Agung. Tersentak perasaan Ki Demang Randu Agung
mendengar sendiri penjelasan dari seorang lelaki yang
sangat di hormati itu. Baru hari itu di ketahui bahwa
penghuni rumah itu ternyata adalah saudara kembar dari
612 Ki Randu Alam. "Saudara kembarku itu telah mempunyai banyak
kepentingan yang mengganggu kemapanan Kerajaan
Majapahit di timur Jawadwipa ini. Jadi urusan ini adalah
masalah besar antara saudara kembarku itu dengan
Kerajaan Majapahit", berkata Ki Randu Alam kepada Ki
Demang Randu Agung."Bubarkan pasukanmu, aku tidak
ingin ada satu jiwa pun yang menjadi korban sia-sia dari
para warga Kademangan Randu Agung ini", berkata
kembali Ki Randu Alam kepada Ki Demang Randu
Agung. Terlihat Ki Demang Randu Agung telah membalikkan
badannya berjalan mendekati pasukannya yang tidak
sabar menunggu penjelasan apa yang sebenarnya
terjadi. Maka dengan panjang lebar Ki Demang Randu
Agung memberikan penjelasan kepada pasukannya
sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Randu Alam
kepada dirinya. Terlihat beberapa orang menarik nafas lega, mengerti
apa yang sebenarnya terjadi.
"Untung sekali kita belum terlanjur bergerak", berkata
beberapa orang tua saling mempercakapkan mengenai
penjelasan Ki Demang Randu Agung mengenai apa
yang sebenarnya terjadi atas diri Ki Randu Alam itu.
Seiring dengan terjadinya percakapan diantara para
pasukan dan warga Kademangan yang telah hampir
bergerak itu, tiba-tiba saja seorang pemuda terlihat
mengangkat tangannya meminta perhatian Ki Demang
Randu Agung. "Ki Demang Randu Agung, kita sudah terlanjur
613 datang dan berkumpul disini, bagaimana bila hari ini kita
tetap bergerak membantu para prajurit Kadipaten
Lamajang", berkata pemuda itu kepada Ki Demang
Randu Agung. Terdengar suara beberapa pemuda yang nampaknya
bersesuaian dengan usulan itu.
Terlihat Ki Demang Randu Agung seperti ragu untuk
mengatakan keputusannya. Ditengah keraguannya itu, datanglah Adipati Menak
Koncar dan Gajahmada bersama tiga orang prajurit
pengawal Kadipaten. "Sangat kebetulan sekali telah datang Adipati Menak
Koncar, aku akan berbicara dengannya, apa yang dapat
kita lakukan", berkata Ki Demang Randu Agung yang
belum berani memutuskan usulan dari anak muda itu.
Terlihat Ki Demang Randu Agung berjalan mendekati
Adipati Menak Koncar yang tengah berbincang bersama
Ki Randu Alam di muka pintu gerbang kediamannya.
"Selamat datang tuan Adipati Menak Koncar,
kedatangan tuan sungguh sangat tepat sekali", berkata
Ki Demang kepada Adipati Menak Koncar sambil
menyampaikan keinginan beberapa warganya yang ingin
membantu para prajurit Kadipaten Lamajang itu.
"Kepedulian dan keberanian para warga Kademangan ini sangat aku banggakan, namun untuk
saat ini kekuatan kami sudah cukup memadai.
Sampaikan rasa hormat dan kebanggaan kami kepada
semua warga Kademangan Randu Agung ini", berkata
Adipati Menak Koncar kepada Ki Demang Randu Agung.
"Pesan tuanku akan hamba sampaikan", berkata Ki
Demang Randu Agung kepada Adipati Menak Koncar.
614 Terlihat Ki Demang Randu Agung mohon pamit
kepada Adipati Menak Koncar dan Ki Randu Alam untuk
berbicara kepada pasukannya.
Setelah berada di hadapan pasukannya itu, Ki
Demang Randu Agung menjelaskan kepada pasukannya
pesan dan amanat tersirat dari Adipati Menak Koncar itu.
"Adipati Menak Koncar dari Lamajang telah meminta
kalian kembali ke rumah masing-masing, beliau juga
menyampaikan rasa hormat dan kebanggaan yang
sangat tinggi atas kepedulian kalian", berkata Ki Demang
Randu Agung kepada pasukannya itu.
Demikianlah, pasukan Kademangan Randu Agung
terlihat telah membubarkan dirinya.
"Sungguh sebuah kehormatan bila saja tuan Adipati
Menak Koncar dan Ki Randu Alam singgah dan berbicara
di pendapa rumah kami", berkata Ki Demang Randu
Agung mengajak rombongan Adipati Menak Koncar dan
Ki Randu Alam ke pendapa rumahnya.
"Syukurlah bahwa Ki Demang Randu Agung dapat
mendinginkan suasana hati para warga Kademangan
ini", berkata Adipati Menak Koncar kepada Ki Demang
Randu Agung. "Aku mohon maaf atas ketidak-sepahamanku tadi
pagi, sebenarnya Ki Randu Alam telah beberapa kali
datang ke rumahku secara diam-diam", berkata Ki
Jagabaya menjelaskan mengapa dirinya tidak sepakat
dengan Ki Demang Randu Agung.
"Ki Jagabaya benar, secara diam-diam aku memang
menemuinya bermaksud menggalang kekuatan menghadapi saudara kembarku itu, namun Adipati
Lamajang nampaknya punya pendengaran yang sangat
615 peka telah datang bersama pasukannya", berkata Ki
Randu Alam membenarkan penjelasan Ki Jagabaya.
"Urusan ini kuserahkan sepenuhnya kepada Adipati
Menak Koncar, sementara aku tidak akan mencampurinya secara langsung, hanya menjauhkan
seorang cucuku ini", berkata Ki Randu Alam sambil
menepuk bahu seorang pemuda disampingnya itu yang
ternyata adalah Kuda Anjampiani.
"Keberadaan pasukanku di Hutan Mandeg sudah
pasti telah didengar oleh saudara kembar Ki Randu
Alam. Aku berharap mereka tidak segera melarikan
dirinya", berkata Adipati Menak Koncar diatas pendapa
rumah Ki Demang Randu Agung.
"Aku mengenal betul sifat dan watak saudara
kembarku itu, kepercayaan dirinya begitu tinggi untuk
melarikan dirinya menghadapi setiap tantangan. Aku
yakin bahwa dirinya masih ada di rumahku itu siap
menghadapi para prajurit dari Lamajang", berkata Ki
Randu Agung menyampaikan perkiraannya apa yang
akan dilakukan oleh saudara kembarnya itu.
"Kami tidak menyangka bahwa urusan dengan para
warga Kademangan ini telah dapat diselesaikan dengan
cara damai. Semula kami merasa bimbang bilasaja
berhadapan langsung dengan para warga di
Kademangan randu Agung ini", berkata Adipati Menak
Koncar sambil menyampaikan keinginannya kembali ke
hutan Mandeg. "Mohon maaf bila kami belum dapat menjadi tuan
rumah yang baik, belum dapat menjamu tuanku Adipati
Menak Koncar dengan baik", berkata Ki Demang Randu
Agung sambil mengantar Adipati Menak Koncar dan
rombongannya hingga ke bawah anak tangga pendapa
rumahnya. 616 Maka tidak lama berselang, Adipati Menak Koncar
dan rombongannya itu telah keluar dari halaman rumah
Ki Demang randu Agung. "Raung seekor harimau tua pada saatnya akan sepi
di hutan kekuasaannya, berganti pekik para elang jantan
muda yang akan menguasai padang perburuan", berkata
Ki Randu Alam sambil menatap rombongan Adipati
Menak Koncar yang telah menghilang terhalang dinding
pagar halaman Ki Demang Randu Agung.
Perbukitan Semeru, Bromo dan Tengger di sebelah
barat Lamajang perlahan mulai pudar tertutup awan
senja. Perlahan cahaya sang surya ikut pudar menghilang
jatuh di balik barat bumi. Langit malam mulai menyelimuti
bumi Lamajang. Berita akan adanya sebuah penyerang dari para
prajurit Kadipaten Lamajang memang telah tersebar di
Kademangan Randu Agung. Serempak tidak ada
seorang pun di Kademangan Randu Agung yang berani
menyalakan pelita di rumah mereka. Suasana malam di
Kademangan Randu Agung layaknya sebuah pemakaman yang sangat gelap dan begitu mencekam.
Sebagaimana rumah para penduduk, rumah
kediaman Ki Randu Alam yang dikuasai oleh saudara
kembarnya itu juga tidak menyalakan pelita satu pun.
Juga sebuah oncor yang biasa menyala di depan regol
pintu gerbang rumah itu. Rumah dengan halaman yang
cukup luas itu benar-benar gelap pekat, begitu sepi
seperti tak berpenghuni. Kemana penghuninya disaat itu"
Ternyata mereka tengah bersembunyi di kegelapan
617 malam menanti prajurit Kadipaten Lamajang datang
lewat pintu gerbang rumah itu. Beberapa orang terlihat
merapat di dinding pagar, sementara beberapa orang
lagi bersembunyi di kegelapan malam dengan sebuah
busur siap di tangan dengan mata penuh waspada
tertuju ke arah pintu gerbang rumah itu yang sengaja
terbuka lebar-lebar. Mereka adalah para bajak laut yang sangat ditakuti
dan terkenal sangat kejam yang pernah mengusai
perairan laut di sekitar selat Balidwipa. Mereka memang
sudah terbiasa mengarungi lautan di kegelapan laut
malam tanpa pelita suar di anjungan manakala hendak
menyergap sebuah perahu dagang penuh muatan.
Semakin malam, suasana di sekitar rumah itu
menjadi semakin mencekam.
Hingga manakala suara kentongan dara muluk
terdengar sayup dari sebuah padukuhan yang cukup
jauh, hati dan perasaan para bajak laut itu semakin
mencekam dalam kegelisahan yang sangat, musuh yang
dinantikan belum juga muncul.
Kegelisahan pun semakin bertambah manakala hari
sudah hampir di ujung malam, musuh yang mereka
nantikan tidak juga kunjung datang.


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rasa penat dan kantuk mulai menggayuti para
penghuni rumah itu, musuh yang mereka nantikan belum
juga terlihat. "Nampaknya mereka sengaja mengulur waktu",
berkata dalam hati saudara kembar Ki Randu Alam
dengan wajah terlihat begitu gusar.
Sementara itu langit malam perlahan mulai pudar.
Ternyata permainan mengulur waktu itu adalah
618 sebuah siasat yang sengaja di buat oleh Adipati Menak
Koncar. Putra sulung Empu Nambi itu ternyata sudah
dapat memperhitungkan bahwa para penghuni rumah itu
telah menunggu dan membuat banyak jebakan bagi para
prajuritnya. Hingga akhirnya manakala cahaya merah telah
mewarnai langit dan membilas kegelapan bumi, terkejut
para penghuni rumah itu melihat musuh yang mereka
tunggu semalaman telah datang, namun bukan lewat
pintu gerbang, melainkan mereka telah melompat masuk
kedalam lewat dinding pagar yang melingkari rumah itu.
Beberapa orang yang belum siap menghadapi pihak
musuh yang datang dengan tiba-tiba itu telah menjadi
korban tumbal pertama tercabik pedang para prajurit dari
Kadipaten Lamajang itu. Sementara beberapa orang lainnya sudah melupakan
rasa kantuknya, langsung menghadapi para prajurit
Kadipaten Lamajang yang sudah memenuhi halaman
rumah itu yang cukup luas.
Denting gemerincing senjata dan suara sumpah
serapah riuh memekakkan telinga, dalam waktu yang
sangat singkat, halaman yang cukup luas itu telah
menjelma menjadi sebuah panggung pertempuran yang
sangat ramai. Kedua belah pihak terlihat sudah saling menerjang,
saling gempur dan saling menjatuhkan lawannya.
Sabetan senjata bersewileran seperti kilatan cahaya
berkelebat menggoreskan luka sayatan yang diiringi
suara jerit perih kesakitan yang sangat memilukan hati.
Berkat daya ingat Gajahmada yang pernah menjadi
tawanan di rumah itu, Gajahmada telah menunjukkan
kepada Adipati Menak Koncar, Mahesa Semu dan Putu
619 Risang, siapa orang-orang tangguh yang harus mereka
hadapi. "Ki Ajar Pelandongan, akulah lawanmu", berkata
Adipati Menak Koncar kepada Ki Ajar Pelandongan di
tengah pertempuran itu. "Tongkatku tidak mengenal lawan, sembunyikan
batok kepalamu agar tidak terbentur tongkatku ini",
berkata Ki Ajar Pelandongan yang langsung
mengayunkan tongkatnya ke arah kepala Adipati Menak
Koncar. Tapi putra Empu Nambi itu bukan orang kebanyakan
seperti yang diduga oleh Ki Ajar Pelandongan, dengan
mudahnya Adipati Menak Koncar berkelit cepat dan
balas menyerang Ki Ajar Pelandongan dengan senjata
andalannya berupa sebuah cakra yang berdesing
memburu tubuh Ki Ajar Pelandongan.
Terkejut Ki Ajar Pelandongan yang tidak menduga
akan berhadapan seorang lawan yang sangat tangguh
yang dengan mudahnya mengelak serangannya bahkan
telah balas menyerangnya dengan sebuah senjata cakra
yang berdesing cepat mengejar kemanapun dirinya
bergerak. "Sembunyikan batok kepalamu", berkata Adipati
Menak Koncar menirukan perkataan Ki Ajar Pelandongan. "Gila!!", berteriak Ki Ajar Pelandongan yang harus
meningkatkan kecepatannya bergerak menghindari
terjangan senjata cakra di tangan Adipati Menak Koncar
yang sangat cepat dan dahsyat itu.
Sementara itu di sisi lainnya, Mahesa Semu sudah
menemukan lawannya, yaitu Ki Gagakpati.
620 "Lepaskan para prajurit itu, akulah lawanmu", berkata
Mahesa Semu menghadang Ki Gagakpati yang tengah
menerjang beberapa prajurit Kadipaten Lamajang.
"Aku akan menghabiskan kalian satu persatu",
berkata Ki Gagakpati sambil menerjang kearah Mahesa
Semu. "Maaf, aku akan mencegah keinginan Ki Gagakpati",
berkata Mahesa Semu sambil berkelit dan langsung
melakukan serangan balik membuat sebuah sabetan
melingkar dengan pedang panjangnya.
"Dari mana kamu mengenal namaku?", berkata Ki
Gagakpati sambil melompat menghindari sabetan
pedang Mahesa Semu. "Jangan merasa terkenal, aku baru mengenal
namamu hari ini", berkata Mahesa Semu sambil bergerak
kesamping menghindari tusukan keris Ki Gagakpati.
"Aku akan membuatmu menyesal mengenal
namaku", berkata Ki Gagakpati sambil bergerak
menerjang Mahesa Semu dengan serangan yang lebih
cepat dan ganas dari sebelumnya.
Serang dan balas menyerangpun silih berganti antara
Mahesa Semu dan Ki Gagakpati.
"Nampaknya Mahesa Semu dapat menahan Ki
Gagakpati", berkata Gajahmada dalam hati memperhatikan pertempuran antara Ki Gagakpati dan
Mahesa Semu. Sambil bertempur membantu para prajurit Kadipaten
Lamajang, Gajahmada juga melihat Putu Risang yang
terus bergerak mendekati Ki Jatiwangi, seorang
Brahmana yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi
sebagaimana dikatakan oleh Ki Randu Alam kepada
621 Gajahmada. Dess"!!! Gajahmada telah melihat Putu Risang telah
membenturkan tangannya dengan kaki Brahmana itu.
"Sungguh tidak layak seorang Brahmana menyakiti
sesama manusia", berkata Putu Risang yang berhasil
menyelamatkan dua orang prajurit Kadipaten Lamajang
yang nyaris terbentur oleh tendangan kuat Brahmana
yang bernama Ki Jatiwangi itu.
Terkejut bukan kepalang Brahmana itu
terlempat dua langkah akibat benturan mereka.
yang "Sangat kuat tenagamu, wahai anak muda", berkata
Brahmana itu yang sudah berdiri tegak memandang tak
berkedip ke arah Putu Risang.
"Aku hanya ditugaskan untuk menahanmu, wahai
orang tua", berkata Putu Risang sambil berdiri tegak
dengan sebuah senyum di bibirmu.
JILID 8 SEMENTARA ITU pandangan mata Gajahmada telah
beralih menyapu seluruh pertempuran dimana dilihatnya
para prajurit Kadipaten Lamajang telah berada diatas
angin tidak terpengaruh oleh cara perang para bajak laut
yang sangat kasar itu, mereka nampaknya sudah sangat
terlatih menghadapi perang brubuh itu.
"Jurus tempur teratai putih", berkata Gajahmada
dalam hati mengenal sebuah jenis cara bertempur yang
diciptakan oleh Empu Nambi yang juga sudah menjadi
dasar andalan para prajurit Majapahit pada umumnya.
Namun jurus tempur teratai putih ciptaan Empu
622 Nambi itu tidak dapat menahan seorang lelaki tua yang
dengan sangat garangnya memecahkan kepungan para
prajurit Kadipaten Lamajang itu.
"Ki Banyak Ara", berkata Gajahmada dalam hati yang
langsung bergerak mendekati lelaki tua itu.
"Akhirnya kamu datang juga, wahai anak muda",
berkata saudara kembar Ki Randu Alam itu manakala
melihat kehadiran Gajahmada di tengah pertempuran itu.
"Sepuluh orang prajurit nampaknya bukan tandingan
Ki Banyak Ara", berkata Gajahmada kepada lelaki tua
yang dipanggilnya dengan nama Ki Banyak Ara itu.
Terlihat lelaki tua itu mengerutkan keningnya, merasa
penasaran bahwa anak muda di hadapannya itu telah
mengenal namanya. "Sudah lama sekali aku tidak menggunakan nama
kecilku itu, dari mana kamu mengenalnya?", bertanya
lelaki tua itu kepada Gajahmada.
"Saudara kembarmu, Ki Banyak Wedi telah banyak
bercerita tentang dirimu", berkata Gajahmada sambil
tersenyum penuh percaya diri yang amat tinggi.
"Nampaknya kamu sudah tahu banyak tentang
diriku", berkata Ki Banyak Ara sambil memandang tajam
kearah Gajahmada seperti tengah mengukur kemampuan anak muda dihadapannya itu.
"Hari ini kami datang untuk menghentikan cita-citamu
yang sangat tinggi itu, menjadi penguasa di bumi
Jawadwipa ini", berkata Gajahmada sambil balas tatapan
mata Ki Banyak Ara yang sangat tajam itu.
"Jangan merasa tinggi hati telah dapat menahan
jurusku tempo hari, hari ini kamu akan tahu
kemampuanku yang sebenarnya", berkata Ki Banyak Ara
623 sambil menunjuk wajah Gajahmada dengan trisulanya.
"Aku tidak merasa tinggi hati, hanya merasa yakin
dapat melumpuhkanmu, wahai orang tua", berkata
Gajahmada dengan suara datar kepada Ki Banyak Wedi
dihadapannya itu. "Lepaskan cambuk di pinggangmu itu, agar aku
orang tua tidak dianggap telah berlaku tidak adil
membunuh seorang yang tidak bersenjata", berkata Ki
Banyak Wedi sambil menunjuk cambuk pendek yang
melingkar di pinggang Gajahmada.
Perlahan Gajahmada melepas cambuk pendek yang
melingkar di pinggangnya itu.
Ki Banyak Ara seperti tidak menghiraukan
Gajahmada yang telah bersiap menghadapinya, matanya
sekilas menyapu suasana pertempuran di halaman yang
sangat luas itu. Terlihat kegusaran hatinya melihat orangorangnya telah mulai berkurang satu persatu dan para
prajurit Kadipaten Lamajang itu dengan penuh
keteraturan melakukan penekanan kepada lawanlawannya itu.
"Orang-orangmu akan habis satu persatu", berkata
Gajahmada yang melihat kegusaran di wajah Ki Banyak
Ara. "Nyawamu yang akan membayar kematian mereka",
berkata Ki Banyak Ara dengan suara gusar langsung
menerjang Gajahmada. Namun Gajahmada bukan anak muda yang punya
ilmu dangkal, seumurnya telah memiliki hawa tenaga
sakti inti sejati tingkat tinggi setingkat orang yang berlatih
puluhan tahun. Maka dengan mudahnya Gajahmada
bergerak dengan sangat cepatnya berkelit dari serangan
624 Ki Banyak Ara yang ganas itu bahkan telah melakukan
tekanan balik, membalas serangan Ki Banyak Ara itu
dengan sebuah lecutan cambuk pendeknya kearah
bawah kaki Ki Banyak Ara.
"Punya taring juga kamu rupanya", berkata Ki Banyak
Ara sambil meloncat menghindari lecutan cambuk
pendek Gajahmada sambil berbalik badan dan langsung
mengejar Gajahmada dengan trisulanya.
Bukan main terkejutnya Ki Banyak Ara, tidak
menyangka anak muda yang menjadi lawan tempurnya
itu dapat mengimbangi kecepatannya bergerak, selalu
dapat bergerak lebih cepat melepaskan diri dari setiap
tekanan serangannya, bahkan langsung melakukan
serangan balasan yang tidak kalah dahsyat dan
berbahayanya. Dengan rasa penuh penasaran, Ki Banyak Ara telah
meningkatkan tataran ilmunya, lebih cepat dan penuh
tenaga sakti angin panas yang amat tajam, setajam
trisulanya yang berkilat-kilat.
Namun Gajahmada selalu dapat mengimbangi
tataran ilmu Ki Banyak Ara, diam-diam telah melambari
dirinya dengan daya sakti inti sejatinya setingkat ajian
lembu sekilan yang sangat terkenal itu dimana angin
serangan Ki Banyak Ara yang sangat panas tajamnya
tidak berpengaruh apapun merusak dan melukai kulit
tubuhnya. Tanpa terasa semua orang telah menyingkir
menjauhi pertempuran antara Gajahmada dan Ki Banyak
Ara yang telah menerapkan puncak kedahsyatan ilmunya
masing-masing. Terlihat cambuk dan trisula seperti dua ekor naga
raksasa yang saling memburu.
625 Sementara itu para prajurit Kadipaten Lamajang yang
sudah sangat mahir terlatih dalam gelar jurus tempur
perguruan teratai putih itu terlihat sudah semakin
menguasai arena pertempuran, jumlah lawan mereka
semakin berkurang tajam.

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bersamaan dengan itu pula terlihat Adipati Menak
Koncar telah merambah tataran ilmunya semakin tinggi
telah membuat Ki Ajar Pelandongan seperti tak berdaya
mendapatkan tekanan serangan dari putra sulung Ki
Nambi yang perkasa itu. Hingga akhirnya terlihat Ki Ajar Pelandongan dengan
sangat terpaksa membenturkan tongkatnya menahan
terjangan senjata cakra yang keras dan sangat kuat.
Krakk !!!! Luar biasa daya kekuatan tenaga Adipati Menak
Koncar itu. Terlihat tongkat kayu Ki Ajar Pelandongan patah dua
!!! Nampaknya tongkat kayu milik Ki Ajar Pelandongan
yang terbuat dari bahan kayu pilihan itu tidak mampu
menahan daya bentur cakra di tangan Adipati Menak
Koncar itu. Bahkan terlihat senjata cakra itu terus melaju
membentur dada Ki Ajar Pelandongan yang masih
terkejut mendapatkan tongkat kayunya terpatah dua.
Achhh..!!! Terdengar suara menahan rasa sakit yang sangat
dari mulut Ki Ajar Pelandongan yang merasakan tulang
dadanya remuk seperti diterjang oleh dua ekor kerbau
jantan secara bersamaan. Terlihat Ki Ajar Pelandongan rebah di tanah tidak
626 jauh dari dua buah patahan tongkatnya, dihadapannya
berdiri Adipati Menak Koncar masih dengan menggenggam sebuah senjata cakra di tangan
kanannya. "Mudah-mudahan lukanya dapat disembuhkan",
berkata Adipati Menak Koncar dalam hati merasa
kasihan menatap tubuh orang tua itu yang terbaring
pingsan tak bergerak. Manakala Adipati Menak Koncar menyapu pertempuran di halaman itu, dilihatnya para prajurit
Kadipaten sudah dapat meredam perlawanan para bajak
laut, mengepung satu dua orang yang masih tetap
bertahan tidak mau menyerah.
Dan pandangan mata Adipati Menak Koncar beralih
ketiga tempat terpisah, melihat Gajahmada, Mahesa
Semu dan Putu Risang masih bertempur menghadapi
lawannya masing-masing. "Nampaknya lawan mereka adalah orang-orang yang
sangat tangguh", berkata Adipati Menak Koncar dalam
hati penuh kecemasan berharap kawan-kawannya dapat
memenangkan pertempurannya.
"Sungguh sebuah jurus permainan pedang yang
sangat sempurna", berkata Adipati Menak Koncar dalam
hati manakala pandangannya tertuju kearah Mahesa
Semu yang tengah menghadapi Ki Gagakpati.
Sebagaimana yang dilihat oleh Adipati Menak
Koncar, ternyata memang jurus permainan pedang
Mahesa Semu sangat begitu sempurna membuat Ki
Gagakpati susah sekali untuk dapat mendekati Mahesa
Semu untuk bertempur secara jarak pendek sehubungan
senjata yang digunakannya adalah sebatang keris yang
kalah panjang dengan pedang di tangan Mahesa Semu.
627 Akibatnya Ki Gagakpati lebih banyak mendapatkan
tekanan-tekanan yang sangat berbahaya mengancam
jiwanya. "Setan mana telah merasuki orang ini", berkata Ki
Gagakpati dalam hati yang merasa kewalahan
mendapatkan serangan Mahesa Semu yang datang
seperti guruh ombak yang bergulung-gulung tak pernah
berhenti. Terlihat Mahesa Semu sedikit tersenyum melihat
wajah orang tua dihadapannya itu yang seperti telah
kehilangan akal, kemanapun berkelit selalu saja
pedangnya seperti terus mengikuti dan mengejarnya.
Tranggg !!!! Dalam sebuah serangan, Mahesa Semu sengaja
membenturkan keris di tangan Ki Gagakpati dengan
pedangnya, mencoba mengukur kekuatan tenaga inti
sejati lawannya itu. "Gila !!", berkata Ki Gagakpati tidak sadar merasakan
tangannya seperti panas sebagai pertanda tenaga
lawannya jauh lebih kuat darinya.
"Aku belum gila, wahai orang tua", berkata Mahesa
Semu berdiri tegap memberikan kesempatan kepada
lawannya menyempurnakan keseimbangannya.
"Tenagamu sangat kuat, jurus pedangmu juga sangat
hebat, aku orang tua ingin tahu siapa gerangan gurumu",
berkata Ki Gagakpati yang sudah dapat berdiri dengan
sempurna. "Aku hanya cantrik biasa dari Padepokan Bajra Seta",
berkata Mahesa Semu dengan suara datar.
"Ternyata aku telah berhadapan dengan saudara
seperguruan dari Baginda Raja Sanggrama Wijaya. Aku
628 orang tua merasa tersanjung mengenal jurus-jurus
kalian", berkata Ki Gagakpati yang berubah penuh
hormat berbicara kepada Mahesa Semu.
"Kita belum menyelesaikan pertempuran ini", berkata
Mahesa Semu kepada Ki Gagakpati.
"Tidak perlu dilanjutkan, aku orang tua sudah
mengakui keunggulanmu. Aku yakin bahwa kamu
sengaja tidak mengungkapkan seluruh kemampuan
dirimu. Dan aku masih ingin tetap hidup di sisa umurku
ini", berkata Ki Gagakpati sambil melemparkan kerisnya
ke tanah jauh dari jangkauannya.
"Aku akan meminta Adipati Menak Koncar untuk
meringankan hukumanmu", berkata Mahesa Semu
kepada Ki Gagakpati yang telah menyerahkan dirinya
tidak melawan manakala diikat oleh seorang prajurit
Kadipaten Lamajang. Berdiri seorang diri, tatapan Mahesa Semu telah
beralih kearah dua pertempuran yang terpisah masih
tengah berlangsung dengan sangat serunya antara
Gajahmada menghadapi Ki Banyak Arad an Putu Risang
yang tengah menghadapi seorang Brahmana bernama Ki
Jatiwangi. "Pantas Baginda Raja Sanggrama Wijaya begitu
mempercayai anak muda itu", berkata Mahesa Semu
dalam hati tertegun memperhatikan sepak terjang
Gajahmada yang dilihatnya sangat kuat dan tangguh
dapat mengimbangi gempuran lawannya.
Sebagaimana yang disaksikan oleh Mahesa Semu,
ternyata Gajahmada memang masih dapat menghadapi
gempuran dan terjangan trisula Ki Banyak Ara yang
tajam berkilat-kilat itu.
629 Sementara itu ditempat terpisah di halaman yang
cukup luas itu, terlihat dua naga kanuragan lainnya yaitu
Putu Risang dan Ki Jatiwangi yang masih tengah
bertempur dimana keduanya seperti bersepakat untuk
tidak menggunakan senjata apapun, meski begitu
pertempuran keduanya terlihat sangat mengerikan
dengan saling melepaskan ajian kesaktian masingmasing.
Dari tubuh Ki Jatiwangi terlihat asap menguap
sebagai pertanda begitu kuatnya hawa panas membakar
sekeliling dirinya kemanapun dirinya bergerak.
Namun Brahmana tua itu merasa sangat penasaran
sekali melihat lawannya yang masih muda itu seperti
tidak merasakan apapun, biasanya orang yang pernah
menghadapinya akan berusaha menghindarinya karena
hawa panas yang dipancarkannya dapat merusak kulit
dan daging, sementara Putu Risang tetap menghadapinya dengan perlawanan jarak pendek tanpa
merasakan panas sedikitpun.
Ki Jatiwangi nampaknya belum mengenal dengan
siapa dirinya bertempur, tidak mengenal bahwa orang
muda itu adalah seorang ketua Padepokan Pamecutan
dari Balidwipa, sebuah padepokan tempat para pangeran
dan para raja Balidwipa menimba ilmu keluhuran budi
dan kanuragan di padepokan itu.
Tingkat tataran ilmu Putu Risang saat itu memang
telah begitu tinggi, apalagi dirinya telah mendapatkan
sebuah rahasia olah pernafasan dari seorang pertapa
dari gunung Wilis yang telah membuatnya mempunyai
tenaga inti hawa murni berlipat-lipat layaknya seorang
yang telah bertapa ratusan tahun lamanya. Oleh karena
itu, ketika menghadapi pancaran panas yang keluar dari
tubuh Brahmana tua itu, Putu Risang tidak terpengaruh
630 sedikitpun, karena tenaga inti hawa murninya telah
melindunginya dengan sendirinya, meredam pancaran
panas yang mengepungnya. Angin pukulan Ki Jatiwangi yang sangat luar biasa itu
tidak berpengaruh apapun pada diri Putu Risang,
sebaliknya angin pukulan dari Putu Risang yang diamdiam telah meningkatkan tataran ilmunya telah mulai
terlihat menyusahkan diri Ki Jatiwangi.
Ternyata Putu Risang telah melambari dirinya
dengan tenaga pancaran hawa dingin yang amat kuat,
begitu dinginnya hingga membuat Ki Jatiwangi harus
bergerak mundur beberapa langkah.
Hingga akhirnya dalam sebuah gebrakan, dengan
menerapkan ilmu meringankan tubuhnya yang sangat
tinggi, terlihat Putu Risang telah bergerak dengan amat
cepat sekali tak tertandingi oleh mata dan gerakan
Brahmana tua itu. Dess"!!! Sebuah pukulan tangan Putu Risang telah langsung
menghantam dada Brahmana tua itu.
Brahmana tua itu seperti merasakan tertumbuk
sebuah batu cadas yang amat kuat, seketika nafasnya
seperti putus. Brahmana tua itu terlihat terlempar sekitar
sepuluh langkah dari tempatnya semula, bergulingan di
tanah yang berumput basah itu.
Sorak sorai terdengar dari para prajurit Kadipaten
Lamajang yang menyaksikan pertempuran itu.
Mendengar suara sorak dan sorai para prajurit
Kadipaten Lamajang telah membuat Ki Banyak Ara yang
tengah menghadapi Gajahmada menjadi semakin murka,
telah melampiaskan semua kemurkaannya itu dengan
631 menghentakkan sebuah serangan yang sangat dahsyat
kearah Gajahmada. Trisula Ki Banyak Ara yang tajam berkilat itu telah
bergerak dengan amat cepatnya seperti lidah seekor
naga yang menyemburkan lidah apinya kearah
Gajahmada. Gajahmada yang menyadari bahwa angin serangan
trisula itu sangat berbahaya terlihat telah berkelit tidak
kalah cepatnya. Meski telah melambari dirinya dengan ajian sakti
kekebalan setara Ajian Lembu Sekilan, Gajahmada tetap
berhati-hati untuk tidak tersentuh angin serangan trisula
yang sangat panas itu. Dan sambil berkelit Gajahmada
langsung melakukan serangan balasan yang tidak kalah
dahsyatnya lewat hentakan dan lecutan cambuk
pendeknya yang menimbulkan kilatan cahaya lidah
halilintar yang menggelegar menghimpit dada dan
perasaan lawannya. "Permainan cambuk anak nakal itu ternyata sudah
meningkat begitu pesatnya", berkata Adipati Menak
Koncar kepada Putu Risang didekatnya yang tidak
berkedip menyaksikan pertarungan antara Gajahmada
dan Ki Banyak Ara. Mendengar perkataan Adipati Menak Koncar, terlihat
Putu Risang tidak menjawab apapun, hanya sedikit
tersenyum. Sebagai seorang guru penuntun, nampaknya
Putu Risang sudah sangat mengenal tataran
kemampuan Gajahmada dimana suara menggelegar
yang keluar dari hentakan cambuk muridnya itu sebagai
pertanda bahwa muridnya belum mengungkapkan
puncak ilmunya yang sebenarnya.
Sebagaimana yang dipikirkan oleh Putu Risang,
632 dalam pertempuran itu Gajahmada memang belum
melepaskan puncak tataran ilmunya, hanya sekedar
mengimbangi kecepatan dan kekuatan lawannya. Namun
tetap saja menimbulkan kekaguman siapapun yang
melihatnya, dimana tubuh Gajahmada terlihat berkelebat
dan berkelit dengan cepatnya menghindari setiap
serangan trisula Ki Banyak Ara yang terus memburunya
dengan sesekali memberikan serangan balasan untuk
sekedar mengurangi tekanan.
Ki Banyak Ara yang gusar melihat kekalahan orangorangnya telah bertambah-tambah kegusaran hatinya
mendapatkan kenyataan bahwa dirinya tidak dapat
melumpuhkan lawannya yang masih sangat muda itu.
Bersamaan dengan kegusaran hatinya itu, dengan
rasa penasaran yang sangat Ki Banyak Ara telah
merambati puncak kesaktiannya.
Semua mata tertegun melihat Ki Banyak Ara yang


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tiba-tiba sekali berdiri dan berputar begitu cepat
seperti sebuah gasing bambu diatas sumbunya. Begitu
cepatnya hingga tubuhnya telah menghilang, hanya
kilatan cahaya trisulanya yang bergerak melingkar
menyelimuti seluruh tubuhnya dan terus berputar
semakin cepat lagi membentuk sebuah angin pusaran
yang semakin luas melebar dan bergerak hingga
akhirnya lingkaran kabut itu telah menutupi tubuh
Gajahmada. Berdebar perasaan Putu Risang penuh kecemasan
melihat Gajahmada telah hilang masuk dalam lingkaran
kabut kilatan trisula Ki Banyak Ara.
Apa yang terjadi atas diri Gajahmada"
Ilmu puncak Ki Banyak Ara itu yang dapat membuat
kabut kilatan itu memang sebuah ilmu yang sangat
633 langka. Kedahsyatan ilmu sakti itu bukan hanya dapat
menutup pandangan musuh, bahkan dapat mencabikcabik daging tubuh siapapun yang telah masuk kedalam
lingkaran kabut itu. Beruntung bahwa Gajahmada telah berjaga-jaga
melambari dirinya dengan tameng kekebalan yang
berasal dari hawa murni tenaga inti sejatinya yang sudah
berlipat-lipat kekuatannya sebagaimana Putu Risang
yang sama-sama memiliki rahasia ilmu kitab sakti sang
pertapa dari Gunung Wilis yang ternyata adalah ayah
kandungnya itu. Dan daging tubuh Gajahmada masih utuh tak
tergores sedikitpun meski telah masuk didalam lingkaran
kabut kilatan trisula yang diciptakan oleh ilmu sakti Ki
Banyak Ara itu. Tak seorang pun yang tahu apa yang terjadi atas diri
Gajahmada karena terhalang kabut kilatan itu, namun
tidak bagi penglihatan Ki Banyak Ara pencipta ilmu
langka itu. Ki Banyak Ara seperti tidak percaya dengan
penglihatannya sendiri, telah melihat Gajahmada tidak
bergeming tercabik-cabik ajian ilmu saktinya itu. Dan
baru kali ini ada orang yang mampu bertahan dari
serangan ilmu kabut kilatan trisulanya yang sangat
dahsyat itu, yang membuat tidak habis pikirnya adalah
bahwa orang itu masih sangat muda, memang sukar
dipercaya oleh siapapun bahwa semuda Gajahmada
sudah memiliki tenaga hawa murni inti sejati yang sangat
tinggi yang hanya dimiliki oleh para pertapa tua, kilatan
kabut yang amat tajam itu tidak dapat melukai kulit
tubuhnya. Gajahmada masih tegak berdiri dengan tangan masih
634 menggenggam cambuk menyentuh tanah. yang ujungnya terjulur "Anak muda ini dapat bertahan dari ajian ilmu
andalanku, tapi akan kucoba untuk membunuh semua
orang di halaman ini", berkata Ki Banyak Ara sambil
mengerahkan ilmu kesaktiannya memperlebar dan
memperluas jarak jangkauan kabut kilatnya.
Berdebar perasaan Gajahmada yang telah mulai
dapat membaca pikiran jahat Ki Banyak Ara untuk
membunuh semua orang yang berada di halaman rumah
itu. Gajahmada telah membayangkan tubuh para prajurit
yang tidak akan sempat menjauh akan terkena ajian ilmu
sakti Ki Banyak Ara yang tengah dicekam keputus asaan
itu. Perlahan kabut kilatan itu terlihat sudah semakin
meluas, sudah hampir menjelajah sebagian halaman
rumah itu. "Menyingkir dari kabut itu !!", berteriak Putu Risang
kepada para prajurit agar berlari secepatnya menghindari
dari sergapan kabut ciptaan Ki Banyak Ara itu.
Berserabutan para prajurit berlari menjauhi kabut
kilatan yang sangat berbahaya itu.
Malang sungguh nasib tujuh orang tawanan yang
tidak sempat lari menghindar karena masih dalam
keadaan terluka parah. Tercekam perasaan Gajahmada yang melihat ketujuh
orang itu langsung hancur tercabik-cabik terperangkap
dalam kabut kilatan yang diciptakan oleh ilmu sakti Ki
Banyak Ara. Darah Gajahmada seperti berdesir menahan amarah
yang telah meluap-luap tidak menyangka begitu
635 kejamnya diri Ki Banyak Ara yang telah melepaskan
ilmunya. Hilanglah kesabaran dan kesadaran Gajahmada
yang telah bermaksud menawan orang tua itu hiduphidup.
Terlihat tubuh Gajahmada berdiri tegak menegang,
tiba-tiba saja tangannya telah bergerak mengangkat
cambuknya tinggi-tinggi. Degg".. Sebuah lecutan sendal pancing telah dilepaskan oleh
Gajahmada. Suara lecutan cambuk yang tidak menggelegar itu
ternyata mempunyai kekuatan yang sungguh sangat
hebat dan sangat luar biasa. Meski ujung cambuknya
tidak mengenai tubuh Ki Banyak Ara, namun getaran
tenaganya telah menghimpit detak jantungnya yang
langsung pecah tak bergerak lagi. Terlihat tubuh Ki
Banyak Ara runtuh jatuh di bumi.
Bersamaan dengan robohnya Ki Banyak Ara,
seketika itu pula lingkaran kabut kilatan ilmu sakti Ki
Banyak Ara telah lenyap seperti tertelan bumi.
"Orang tua itu telah mencari kematiannya sendiri,
sementara ujung cambukmu adalah tali takdir yang tiada
seorang pun mampu menghentikannya", berkata Putu
Risang kepada Gajahmada yang masih berdiri
mematung memandang tubuh Ki Banyak Ara yang rebah
di tanah sudah tidak bernyawa lagi.
Sementara itu sang mentari pagi di atas rumah
kediaman Ki Randu Alam sudah terlihat semakin naik,
beberapa orang prajurit terlihat tengah menyiapkan
sebuah pemakaman bagi para korban pertempuran.
Tidak lama berselang, Ki Banyak Wedi terlihat
636 muncul bersama para warga Kademangan.
"Terima kasih, akhirnya aku dapat kembali ke
rumahku sendiri", berkata Ki Banyak Wedi kepada
Adipati Menak Koncar diatas panggung pendapa
rumahnya. "Aku berharap semoga Ki Banyak Wedi mendapatkan
kedamaian di rumah ini, dikelilingi kesetiaan dan cinta
para warga Kademangan Randu Agung yang
memerlukan pengayoman seorang seperti Ki Banyak
Wedi", berkata Adipati Menak Koncar kepada Ki Banyak
Wedi yang ditemani oleh cucunya, Kuda Anjampiani.
"Kesetian dan cinta itulah yang membuat hidupku
merasa punya arti", berkata Ki Banyak Wedi dengan
wajah penuh kebahagiaan sambil memandang jauh ke
ujung dinding pagar rumahnya, terus menerawang jauh
menjelajahi pematang sawah yang sangat luas hingga
menyentuh kaki biru perbukitan Semeru, Bromo dan
Tengger yang seperti raksasa bisu menjaga bumi
Lamajang sepanjang masa. Dan pagi itu suasana di Kademangan Randu Agung
terlihat begitu cerah, para petani telah bekerja turun di
sawah ladangnya, para gembala asyik bersenandung di
bawah pohon rindang sambil mengawasi kerbau mereka
yang tengah berkubang. Disaat seperti itulah terlihat pasukan Adipati Menak
Koncar telah bergerak meninggalkan Kademangan
Randu Agung untuk kembali ke Kadipaten Lamajang.
Gerak pasukan itu terlihat berjalan lambat, karena
mereka harus membawa para tawanan dan orang-orang
yang terluka. Tak ada hambatan apapun dalam perjalanan mereka,
637 hingga manakala matahari mulai tergelincir di ujung tepi
barat bumi, mereka telah memasuki batas Kadipaten
Lamajang dari sebelah selatan.
Warga Kadipaten Lamajang menyambut mereka
dengan perasaan suka cita dalam sebuah upacara
selamatan yang cukup meriah hingga jauh malam.
Keesokan harinya, Mahesa Semu yang telah
ditugaskan oleh Baginda Raja Sanggrama Wijaya
memimpin pasukan prajurit Majapahit di timur Jawadwipa
itu telah memanggil Ki Gagakpati yang sudah menjadi
tawanan mereka. "Aku sudah menjadi tawanan tuan, kemerdekaan
jiwaku sepenuhnya berada di tangan tuan", berkata Ki
Gagakpati kepada Mahesa Semu yang memanggilnya di
pendapa agung istana Kadipaten Lamajang.
"Aku hanya ingin mendengar sedikit penuturan Ki
Gagakpati mengenai sebuah gerakan yang saat ini
berpusat di hutan gunung Raung, bukankah Ki Gagakpati
sendiri berasal dari Padepokan Gunung Raung?",
bertanya Mahesa Semu kepada Ki Gagakpati dengan
bahasa yang sangat santun, tidak berusaha melakukan
tekanan. Adipati Menak Koncar, Putu Risang dan Gajahmada
yang ada bersama di pendapa sebagai pendengar
terlihat menahan nafasnya, ikut menunggu penuturan Ki
Gagakpati tentang sebuah gerakan yang telah
dipusatkan di sekitar hutan Gunung Raung itu.
Setelah berdiam sejenak, terlihat Ki Gagakpati
menarik nafas panjang merasa tidak ada alasan baginya
untuk menutup rapat tentang sebuah pergerakan yang
berpusat di sekitar hutan Gunung Raung itu.
638 "Aku mengenal Ki Banyak Ara ketika kami samasama menuntut ilmu dengan seorang Brahmana yang
bernama Ki Secang di Padepokannya yang berada di
kaki Gunung Raung", berkata Ki Gagakpati memulai
penuturannya."Sudah begitu lama Ki Banyak Ara
menghilang dari Padepokan kami, hingga akhirnya dua
tahun lalu telah muncul kembali membawa banyak mimpi
untuk membangun sebuah kerajaan di timur Jawadwipa
ini, dan guruku Ki Secang telah mendukungnya dengan
membantu membangun sebuah pusat kekuatan di sekitar
hutan Gunung Raung itu", berkata kembali Ki Gagakpati.
"Ada berapa orang yang bergabung di sana?",
berkata Putu Risang ikut bertanya.
"Saat ini yang sudah bergabung bersama kami ada
sekitar enam ratus orang", berkata Ki Gagakpati
menjawab pertanyaan Putu Risang.
"Berita tentang kematian Ki Banyak Ara pasti akan
sampai juga di telinga Ki Secang. Menurut Ki Gagakpati,
apakah Ki Secang akan tetap melanjutkan impian Ki
Banyak Ara itu?", bertanya kembali Putu Risang kepada
Ki Gagakpati. Mendapatkan sebuah pertanyaan dari Putu Risang,
terlihat Ki Gagakpati mengangkat wajahnya memandang
kearah Putu Risang, namun tidak lama, orang tua itu
sudah kembali menundukkan wajahnya.
Semua orang di atas pendapa itu sepertinya dengan
penuh kesabaran menantikan jawaban dari Ki Gagakpati
yang masih menunduk menatap lantai kayu panggung
pendapa di hadapannya itu.
Perlahan terlihat Ki Gagakpati menarik
panjang, menegakkan kepalanya kembali.
nafas 639 "Ki Banyak Ara telah berjanji untuk berbagi
kekuasaan kepada guruku. Kematian Ki Banyak Ara tidak
akan menghentikan gerak kekuatan yang sudah
tergalang cukup lama. Kematian Ki Banyak Ara hanya
sebuah peralihan kendali. Tanpa kehadiran Ki Banyak
Ara, pekan depan enam ratus orang yang telah ditempa
oleh guruku sendiri akan bergerak menggempur
Kadipaten Blambangan. Kabar kematian Ki Banyak Ara
akan menjadi kabar gembira untuk guruku, karena tidak
perlu berbagi kekuasaan kepada siapapun, selain dirinya
sendiri", berkata Ki Gagakpati mengakhirinya dengan
sebuah tarikan nafas panjang.
"Maaf, bukan maksudku untuk menyangsikan semua
perkataan Ki Gagakpati", berkata Putu Risang dengan
suara perlahan namun cukup didengar oleh semua orang
yang ada di pendapa itu, terutama Ki Gagakpati sendiri.
"Yang ingin kutanyakan mengapa Ki Gagakpati
mengatakan semua ini kepada kami?", berkata kembali
Putu Risang melanjutkan ucapannya kepada Ki
Gagakpati. Terlihat Ki Gagakpati menarik nafas panjang
memandang dengan cara memicingkan matanya kearah
Putu Risang. "Hati kecilku selama ini memang tidak sejalan dengan
pikiran guruku, namun aku tidak kuasa untuk
menentangnya, karena rasa hormatku kepadanya.
Selama ini aku berharap ada sebuah kekuatan yang
dapat menghentikannya, membuka akal budinya untuk
kembali menemukan jalan kebenaran sebagaimana awal
membangun padepokannya di kaki gunung Raung itu,
memberikan cahaya penerang hati kepada semua orang
yang datang untuk berguru dan menuntut ilmu, bukan
mengejar dahaga tahta kekuasaan duniawi yang tak
640 akan terpuaskan itu", berkata Ki Gagakpati.
Sejenak semua orang diatas pendapa itu terdiam,
perkataan Ki Gagakpati nampaknya sebuah kejujuran
hatinya. "Terima kasih telah menjawab semua pertanyaan


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami", berkata Mahesa Semu kepada Ki Gagakpati
mencoba memecahkan suasana.
Demikianlah, setelah tidak ada lagi yang dapat
dipertanyakan kepada Ki Gagakpati, orang tua itupun
dipersilahkan untuk kembali ke tempatnya semula.
Setelah Ki Gagakpati telah meninggalkan pendapa
Agung istana Kadipaten Lamajang, pembicaraan tertuju
kepada rencana penyerangan pasukan Ki Secang ke
Kadipaten Blambangan. "Pekan depan mereka akan menyerang Kadipaten
Blambangan", berkata Adipati Menak Koncar dengan
sikap penuh kekhawatiran.
"Berapa jumlah prajurit pengawal Kadipaten
Blambangan yang dapat menahan serangan pasukan Ki
Secang?", bertanya Putu Risang kepada Adipati Menak
Koncar. "Perkiraanku saat ini ada sekitar tiga ratus orang
prajurit", berkata Adipati Menak Koncar.
"Berapa jumlah prajurit Majapahit yang saat ini
berada di Bandar pelabuhan Banyuwangi?", bertanya
Putu Risang kepada Mahesa Semu.
"Ada sekitar seratus orang dibawah kendali
Adityawarman", berkata Mahesa Semu kepada Putu
Risang. "Artinya ada empat ratus orang prajurit yang dapat
641 menjaga Kadipaten Blambangan dari dalam, sementara
dua ratus orang prajurit Majapahit akan tiba menjepit
mereka dari arah belakang", berkata Putu Risang
mencoba mengusulkan sebuah siasat perang menghadapi pasukan Ki Secang.
"Aku punya dua ratus orang prajurit yang siap
membantu", berkata Adipati Menak Koncar menawarkan
prajuritnya dari Lamajang.
"Itu akan menjadi lebih baik lagi", berkata Mahesa
Semu merasa gembira dengan penawaran Adipati
Menak Koncar itu. "Hari ini juga aku akan mengutus dua
orang prajurit ke Kadipaten Blambangan agar mereka
mempersiapkan diri menghadapi serangan pasukan Ki
Secang", berkata Mahesa Semu.
Demikianlah, pada hari itu juga Mahesa Semu telah
memanggil dua orang prajurit Majapahit yang ada di
Kadipaten Lamajang untuk segera berangkat ke
Blambangan dan Banyuwangi mengabarkan tentang
pasukan Ki Secang yang akan melakukan penyerangan.
"Mbokayu Endang Trinil pasti akan khawatir
menunggu Kakang dan Rangga Seta begitu lama",
berkata Gajahmada kepada Putu Risang.
"Mbokayumu sudah terbiasa kutinggal berpekanpekan, aku dan Rangga Seta sering pergi mengembara
ke berbagai tempat di Balidwipa", berkata Putu Risang
kepada Gajahmada sambil tersenyum.
"Sedari pagi aku belum melihat anak itu?", bertanya
Gajahmada kepada Putu Risang mengenai putranya,
Rangga Seta. "Sejak pagi tadi sudah diajak Supo Mandagri ke
pasar Kadipaten", berkata Putu Risang kepada
642 Gajahmada. "Atas nama pimpinan prajurit Majapahit di timur
Jawadwipa ini, kami mengucapkan rasa terima kasih atas
kesediaanmu membantu perjuangan kami", berkata
Mahesa Semu kepada Putu Risang.
"Berjuang bersama para prajurit Majapahit adalah
sebuah kebanggaan", berkata Putu Risang.
Dan malam itu bumi Lamajang begitu lengang,
gerimis turun sejak senja.
Terlihat empat orang berkuda berjalan diatas jalan
Kadipaten Lamajang dibawah hujan gerimis yang belum
juga surut. Hingga di sebuah persimpangan jalan mereka terlihat
berpisah, dua orang penunggang kuda telah mengambil
jalan berbelok kearah utara, sementara dua orang
berkuda lainnya mengambil jalan lurus kearah timur.
Ternyata keempat orang berkuda itu adalah
Gajahmada, Supo Mandagri, Mahesa Semu dan Putu
Risang. Di persimpangan jalan itu, Gajahmada dan Supo
Mandagri yang mengambil arah utara untuk menghimpun
seratus orang prajurit Majapahit yang saat itu masih
berada di beberapa hutan Lamajang. Rencananya
Gajahmada akan membawa seratus orang prajurit
Majapahit itu lewat jalur laut yang akan muncul dari arah
utara Kadipaten Blambangan.
Sementara itu dua orang berkuda lainnya adalah
Mahesa Semu dan Putu Risang yang telah mengambil
arah lurus ke utara. Mereka berdua rencananya akan
menjemput seratus orang prajurit Majapahit yang saat itu
berada disekitar pantai Panarukan. Mahesa Semu akan
643 membawa pasukannya itu menuju hutan Waringin,
sebuah hutan yang berada di sebelah barat kaki gunung
Raung. Mahesa Semu telah sepakat dengan Adipati
Menak Koncar yang akan membawa pasukannya sendiri
keesokan harinya untuk berkumpul di hutan Waringin itu.
Dan keesokan harinya, Adipati Menak Koncar telah
menepati janjinya telah menghimpun dua ratus orang
prajurit pengawal Kadipaten Lamajang untuk bergabung
membantu pasukan Majapahit yang akan menghadapi
pasukan Ki Secang. Sebagaimana diketahui bahwa penguasa Kadipaten
Blambangan saat itu adalah Adipati Menak Jingga, putra
kedua Mahapatih Majapahit, saudara kandung Adipati
Menak Koncar sendiri. Itulah sebabnya Adipati Menak
Koncar memimpin sendiri dua ratus pasukannya
bergabung dengan pasukan Majapahit menghadapi
pasukan Ki Secang yang akan menyerang wilayah
saudara kandungnya itu. Demikianlah, empat ratus prajurit telah bergerak dari
tempat yang berbeda menuju arah Blambangan. Seratus
prajurit di pimpin oleh Gajahmada melewati jalur laut,
seratus prajurit Majapahit bergerak dari arah pantai
Panarukan di pimpin oleh Mahesa Semu menuju hutan
Waringin menunggu dua ratus prajurit Adipati Menak
Koncar yang akan bergabung bersama di hutan Waringin
yang berada di sebelah barat kaki gunung Raung itu.
Sementara itu di sebuah tempat lapang yang
terkurung rimba pepohonan kayu yang sangat lebat, di
bawah kaki Gunung Raung terlihat sebuah bangunan
rumah dengan halaman muka yang sangat luas dikelilingi
dinding pagar kayu yang cukup tinggi, pendapa
bangunan rumah itu terlihat menghadap arah terbitnya
matahari. Itulah Padepokan Ki Secang, seorang
644 Brahmana yang berilmu sangat tinggi yang dipercayakan
oleh Ki Banyak Ara untuk menempa enam ratus orang
sebagai cikal bakal kekuatan baru di bumi timur
Jawadwipa itu. Hari itu, matahari sudah tergelincir jauh di barat bumi
sembunyi di balik asap kepulan kawah gunung Raung.
Angin di awal senja itu berdesir cukup keras memutarmutar daun ranting pepohonan bergerak kekiri dan
kekanan. "Mereka telah menguasai jurus gelar perang
ciptaanku sendiri", berkata seorang lelaki tua dalam hati
diatas panggung pendapa sambil memandang enam
ratus orang tengah berlatih di halaman muka pendapa itu
yang cukup luas. Rambut putih yang terurai panjang di kepala lelaki tua
itu hanya diikat oleh sebuah kain kepala. Pakaian lelaki
tua itu adalah sebuah jubah panjang, sebagai pertanda
bahwa lelaki itu adalah seorang Brahmana.
Lelaki tua itu adalah Ki Secang, pemilik padepokan di
lereng Gunung Raung, guru Ki Gagakpati dan Ki Banyak
Ara. Letak Padepokan yang terasing dari lingkungan
sekitarnya telah membuat Padepokan itu benar-benar
sebuah Padepokan yang tertutup.
Ibarat sebuah busur, Ki Secang adalah sebuah anak
panah yang sudah terlanjur dilepaskan oleh Ki Banyak
Ara. Ki Secang hanya tahu bahwa manakala bulan di
langit sudah segaris tipis adalah sebuah pertanda bahwa
saatnya dirinya turun gunung menguasai Kadipaten
Blambangan. Seandainya Ki Secang mengetahui bahwa Ki Banyak
645 Ara sudah tiada lagi di dunia ini, seandainya Ki Secang
telah mengetahui bahwa jalur perdagangan di timur
Jawadwipa sudah tidak lagi dalam kendali dan
kekuasaan Ki Banyak Ara, mungkin Ki Secang akan
berpikir ulang membangun sebuah kerajaan di timur
Jawadwipa itu. Namun keterasingan Padepokan itu benar-benar
tertutup dari berita apapun, enam ratus orang di
padepokan Ki Secang yang sudah sangat terlatih itu
adalah enam ratus anak panah yang telah ditarik tali
busurnya siap meluncur dan menerjang Kadipaten
Blambangan. Gerak langkah enam ratus orang lelaki yang
dipisahkan dalam beberapa kelompok itu terlihat begitu
serasi dan begitu sangat terlatih telah membuat hati dan
perasaan Ki Secang di atas panggung pendapanya
terlihat berbinar-binar penuh kebanggaan hati.
Hati dan perasaan lelaki tua itu seperti melambung
terbang. "Mereka adalah para prajuritku yang akan
membawaku di puncak jabatan sebuah kerajaan besar di
Jawadwipa ini", berkata dalam hati Ki Secang dengan
sebuah senyum terlukis dibibirnya. "Jabatan apakah yang
tepat untukku ini?", berkata kembali Ki Secang dalam hati
masih dalam alam khayalnya sendiri."Menjadi seorang
pendeta suci di istana", tidak, tidak, tidak, membosankan
hanya sibuk mencari hari upacara", berkata kembali Ki
Secang dalam hatinya sendiri. "Seorang Mahapatih,
jabatan itulah yang paling tepat untukku, hari-hariku
dalam sanjungan dan kehormatan semua orang", berkata
kembali Ki Secang dalam hati yang masih dalam dunia
khayalnya sendiri. 646 Dan di ujung senja, halaman muka Padepokan Ki
Secang sudah tidak terlihat lagi seorang pun disana,
nampaknya semua orang sudah masuk ke barak masingmasing untuk beristirahat.
Di ujung senja itu pula, ribuan kelelawar terlihat telah
keluar dari sarangnya terbang melintas diatas langit
padepokan Ki Secang dan terus menyusuri kaki gunung
Raung menuju arah timur perbatasan kota Kadipaten
Blambangan yang sudah terlihat mulai sepi dan terus
terbang menuju arah laut pantai timur Jawadwipa.
Jalan di Kota Kadipaten Blambangan di ujung senja
itu memang sudah terlihat sepi dan lengang, mungkin
semua orang sudah berada di rumahnya masing-masing.
Di jalan yang telah menjadi sepi dan lengang itu, tiba-tiba
saja terlihat seorang penunggang kuda yang melarikan
kudanya dari arah timur. Penunggang kuda itu terlihat
berhenti tepat di depan pintu gerbang istana Kadipaten
Blambangan dan langsung meloncat dari punggung
kudanya. Melihat dari wajahnya, nampaknya penunggang kuda
itu seorang yang masih sangat muda belia
"Selamat datang tuan muda", berkata seorang prajurit
penjaga istana Kadipaten Blambangan menyapa orang
itu yang sepertinya sudah sangat mengenalnya.
"Terima kasih", berkata orang muda itu dengan
penuh kesopanan menyerahkan tali pengekang kudanya
kepada prajurit penjaga itu yang memintanya.
"Kuantar tuan muda menghadap Adipati Menak
Jingga", berkata prajurit penjaga lainnya yang datang
menghampirinya. Maka terlihat orang muda itu sudah berjalan menuju
647 arah pendapa agung istana Kadipaten Blambangan
bersama seorang prajurit penjaga yang mengantarnya.
"Aku akan memberitahukan kedatangan tuan muda",
berkata prajurit penjaga itu ketika mereka sudah berada
di depan anak tangga pendapa agung istana Kadipaten
Blambangan. "Aku akan menunggu", berkata orang muda itu
kepada prajurit penjaga yang terlihat terus berjalan
kearah pintu butulan. Tidak begitu lama orang muda itu menunggu, karena
tidak lama kemudian dilihatnya pintu pringgitan terbuka
lebar dan muncul seorang lelaki yang berwajah bersih
dengan sebuah kumis tebal dan berjambang halus
menyambung dengan janggutnya yang hitam pendek
terawat rapi. Seorang lelaki yang tampan, begitulah
pujian setia orang yang pertama kali bertemu dengannya
yang ternyata adalah Adipati Menak Jingga, putra kedua
Empu Nambi, Mahapatih Majapahit.
"Selamat datang, wahai putra Patih Mahesa Amping",
berkata Adipati Menak Jingga menyapa anak muda itu
yang ternyata adalah Adityawarman, putra Patih Mahesa
Amping dari Kerajaan Kediri.
Terlihat Adityawarman telah menaiki anak tangga
pendapa dan diterima oleh Adipati Menak Jingga di
ruang pringgitan. Bukan main terkejutnya Adipati Menak Jingga
manakala Adityawarman membawa berita tentang
rencana penyerangan Ki Secang dari Gunung Raung.


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nampaknya utusan Mahesa Semu sudah tiba di
Banyuwangi menyampaikan beritanya kepada Adityawarman yang menjadi pimpinan seratus prajurit
Majapahit yang mengamankan jalur perdagangan di
648 Bandar pelabuhan Banyuwangi.
"Sangat licik sekali, mereka melakukan penyerangan
bertepatan di hari raya Nyepi", berkata Adipati Menak
Jingga kepada Adityawarman.
"Kakang Mahesa Semu meminta kita menjebak
mereka, membiarkan pihak lawan masuk ke Kadipaten
Blambangan ini", berkata Adityawarman sambil
menyampaikan beberapa pesan lainnya dari Mahesa
Semu yaitu akan datang empat ratus pasukan gabungan
prajurit Majapahit dan prajurit dari Lamajang yang akan
menjepit pasukan musuh, juga beberapa pertanda dan
kata sandi yang akan digunakan oleh para prajurit
gabungan itu untuk keseragaman menghadapi pihak
musuh di hari raya Nyepi itu.
"Aku setuju dengan siasat Kakang Mahesa Semu itu,
lebih sempurna lagi kita akan melakukan upacara
sebelum hari raya Nyepi dengan sebuah upacara yang
sangat meriah di kota Kadipaten Blambangan ini agar
pihak musuh mengira seakan-akan kita belum
mengetahui rencana penyerangan mereka", berkata
Adipati Menak Jingga kepada Adityawarman sambil
menjabarkan apa saja yang harus mereka persiapkan
menghadapi pihak lawan di hari raya Nyepi itu.
"Secara bertahap aku akan menyusupkan seratus
orang prajurit Majapahit bergabung bersama di Kota
Kadipaten Blambangan ini", berkata Adityawarman
kepada Adipati Menak Jingga.
"Warga kota Kadipaten Blambangan ini memang
tidak perlu mengetahui apa yang akan terjadi di hari raya
Nyepi itu, biarlah mereka tetap tenang berlaku Nyepi
semedi di rumah masing-masing. Sementara para prajurit
telah bersiap siaga ditempat-tempat tertentu membuat
649 sebuah kejutan menyambut kedatangan pihak musuh",
berkata Adipati Menak Jingga kepada Adityawarman.
Demikianlah, setelah tidak ada hal lagi yang perlu di
bicarakan, Adityawarman terlihat berpamit diri kembali ke
Bandar pelabuhan Banyuwangi.
"Besok kita akan bertemu kembali di pantai
Banyuwangi, aku dan semua warga kota Kadipaten
Blambangan ini akan melakukan upacara Melasti,
menyucikan segala sarana persembahyangan pura di
laut pantai Banyuwangi", berkata Adipati Menak Jingga
kepada Adtyawarman yang mengantarnya sampai di
pendapa Agung istana Kadipaten Blambangan.
"Baginda Raja Sanggrama Wijaya telah menyiapkan
benih-benih muda, para ksatria penjaga Majapahit di
masa yang akan datang", berkata Adipati Menak Jingga
dalam hati sambil memandang Adityawarman yang telah
menuruni anak tangga pendapa dan terus melangkah di
keremangan malam menuju arah pintu gerbang pintu
istana Kadipaten Blambangan.
Dan pagi itu, tiga hari menjelang hari raya Nyepi.
Terlihat semua warga Kadipaten Blambangan yang
berada di kota maupun dukuh-dukuh terpencil telah
berduyun-duyun keluar dari rumahnya dan bergabung di
jalan utama Kadipaten Blambangan menuju arah pantai
Banyuwangi. Ternyata mereka warga Kadipaten Blambangan itu
tengah melakukan sebuah upacara Melasti, sebuah
upacara penyucian alat dan sarana persembahyangan
yang ada di pura masing-masing. Sebagaimana biasanya
seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka menyucikan
alat dan sarana persembahyangannya di pantai
Banyuwangi. 650 Gelombang iring-iringan warga Kadipaten Blambangan itu terlihat panjang menuju pantai
Banyuwangi dengan mengenakan pakaian serba putih
sebagai perlambang kesucian hati mereka.
"Para warga Kadipaten Blambangan nampaknya
tidak ada yang menyadari bahwa itulah upacara Melasti
terakhir dalam hidupnya", berkata Ki Secang penuh
kegembiraan hati kepada seorang kepercayaannya yang
telah melakukan pengamatan sepanjang hari keadaan di
sekitar Kadipaten Blambangan itu.
Keesokan harinya, orang kepercayaan Ki Secang itu
kembali melakukan pengamatan di sekitar Kadipaten
Blambangan dan mendapatkan kenyataan bahwa tidak
ada seorang pun warga Kadipaten Blambangan yang
mengungsi sebagai pertanda bahwa para warga
memang belum mengetahui akan terjadi sebuah
penyerangan di kota Kadipaten mereka. Orang
kepercayaan Ki Secang hanya melihat setiap keluarga
tengah melakukan upacara Buta Yadnya dengan
pencaruan di rumah masing-masing, sebuah upacara
selamatan berharap dilindungi seluruh anggota
keluarganya dari sang Buta Kala.
Hingga keesokan harinya lagi, kembali orang
kepercayaan Ki Secang tidak melihat gelombang
pengungsian, yang dilihat adalah sebuah suasana hiruk
pikuk warga yang tengah melakukan upacara
pengerupukan, sebuah upacara pengusiran sang Buta
Kala dengan cara menyebarkan nasi tawur di berbagai
tempat di rumah dan di pekarangan mereka serta
dibarengi dengan memukul tetabuhan dan kentongan.
Dan ketika sore harinya, orang kepercayaan Ki
Secang masih berada di Kadipaten Blambangan melihat
setiap orang di Kademangan masing-masing telah
651 menyiapkan ogoh-ogoh untuk diarak berkeliling
Kadipaten Blambangan. Atas perintah Adipati Menak
Jingga, arak-arakan pawai ogoh-ogoh itu berakhir di
ujung barat perbatasan Kadipaten Blambangan untuk
membakar bersama semua ogoh-ogoh yang telah
mereka arak berkeliling kota Kabupaten Blambangan itu.
Asap tebal terlihat mengepul tinggi di udara dari
beberapa ogoh-ogoh yang terbakar, para warga yang
hadir begitu gembira menikmati suasana pembakaran
ogoh-ogoh itu sebagai ungkapan mereka terlepas dan
terbebas dari sang Buta Kala.
Ternyata perintah pelaksanaan pembakaran yang
dilakukan di batas barat Kadipaten Blambangan adalah
kecerdikan Adipati Menak Jingga yang telah mengetahui
bahwa pasukan Ki Secang pastinya sudah berada
disekitarnya, melihat saat-saat pembakaran itu.
"Hari ini mereka merasa terbebas dari prahara sang
Buta Kala, namun besok mereka pastinya tidak akan
dapat membendung prahara Ki Secang", berkata Ki
Secang sambil terbahak-bahak sangat senang sekali
melihat para warga Kadipaten Blambangan sepertinya
tidak mengetahui akan ada sebuah bencana besar
tengah mengintai mereka. Justru sebenarnya pasukan Ki Secang sendiri yang
sudah masuk dalam perangkap jebakan permainan
Adipati Menak Jingga yang sangat cerdik itu.
"Mereka pasti tidak akan berani melawan matahari
terbit, mereka pasti datang setelah matahari tergelincir
diatas kepala", berkata Adipati Menak Jingga kepada
Adityawarman yang menemaninya hingga jauh malam di
serambi rumahnya, istana Kadipaten Blambangan.
Diam-diam Adityawarman mengakui kecerdasan 652 Adipati Blambangan yang sangat tampan itu yang
memperhitungkan pasukan musuh yang datang dari arah
barat itu. Sementara itu, meski telah dipastikan bahwa
pasukan Ki Secang akan melakukan penyerangan
keesokan harinya, tetap saja Adipati Menak Jingga telah
menempatkan beberapa orang prajuritnya di tempat
tersembunyi mengamati pihak lawan yang sudah berada
di sekitar hutan belukar batas kota Kadipaten
Blambangan sebelah barat itu.
"Beristirahatlah kamu, biarlah aku yang berjaga-jaga",
berkata seorang prajurit Blambangan kepada kawannya
di sebuah tempat persembunyian mereka menawarkan
giliran waktu berjaga. "Aku tidak bisa tidur, selalu membayangkan hari raya
Nyepi besok dimana aku tidak berkumpul bersama anak
dan istriku di rumah", berkata kawannya.
"Bila besok kita tidak ikut laku Nyepi, tahun depan
masih ada hari raya Nyepi lagi", berkata prajurit itu
mencoba menentramkan hati dan perasaan kawannya
itu. "Kamu benar, tapi aku memang benar-benar tidak
bisa memejamkan mataku", berkata kawannya.
"Bila demikian akulah yang tidur lebih dulu, dan
bangunkan aku bila saatnya tiba", berkata prajurit itu
sambil mencari tempat sandaran di sebuah batu besar.
Tidak lama kemudian, prajurit itu sudah tertidur pulas
seperti tidak punya beban apapun. Sementara kawannya
dengan penuh rasa tanggung jawab terus berjaga-jaga
mengamati keadaan di sekitar batas kota Kadipaten
Blambangan sebelah barat.
653 Perlahan, warna langit malam mulai memudar
kemerahan. Bumi terlihat begitu bening, lengang dan
sepi, dan sayup terdengar suara ayam jantan dari
sebuah tempat yang amat jauh.
Perlahan, sang surya bangkit mengintip diujung timur
pantai Banyuwangi menebarkan cahaya kuning
keemasan diatas tanah persawahan, di atas jalan tanah
dingin berembun yang masih lengang dan sepi.
Hari itu bertepatan dengan hari raya Nyepi, terlihat
hampir semua tempat telah menjadi sepi dan lengang.
Kota Kadipaten Blambangan seperti kota mati, semua
warganya telah mengurung dirinya di dalam rumah tanpa
geni, tanpa melakukan pekerjaan apapun selain laku
Nyepi dengan tapa, brata, yoga dan semedhi.
Adipati Menak Jingga hari itu memang telah
merahasiakan kepada warganya, bahwa hari itu akan
ada sebuah penyerangan yang di lakukan oleh sebuah
kekuatan yang berasal dari padepokan Ki Secang yang
bermukim di hutan lereng timur Gunung Raung.
Adipati Menak Jingga memang tidak ingin warganya
mengetahui, telah memberikan kesempatan warganya
penuh kedamaian hati memasuki hari raya Nyepi, hari
tahun baru dalam lembaran semangat baru memperbaharui jiwa dan kesucian hati.
Kelengangan suasana di kota Kadipaten Blambangan
terus berlanjut hingga matahari telah menerangi tanah
persawahan, menerangi jalan tanah dan pekarangan
rumah. Hingga akhirnya manakala matahari telah tepat
diatas kepala, kelengangan itu sudah mulai berubah,
ditandai dengan telah bergeraknya sebuah pasukan
besar yang dipimpin langsung oleh Ki Secang terlihat
654 tengah menuruni hutan di dekat perbatasan kota
Kadipaten Blambangan sebelah barat.
"Aku datang sebagai sang Buta Kala", berkata Ki
Secang sambil menatap pintu gerbang gapura yang
berdiri menjulang tinggi seperti raksasa bisu menatap
semesta. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Secang,
mereka memang telah datang mengganyang kota
Kadipaten Blambangan sebagai sang Buta Kala, terlihat
hampir semua pasukannya bertelanjang dada dengan
wajah dan seluruh tubuhnya bercoreng moreng lumpur
kawah Gunung Raung, sungguh sangat menyeramkan
siapapun yang kebetulan melihatnya, sebuah pasukan
sang Buta Kala tengah mendekati pintu gerbang gapura
batas kota Blambangan sebelah barat itu.
Demikianlah, tepat di saat matahari diatas kepala,
pasukan menyeramkan itu telah memasuki gerbang
gapura kota, memasuki jalan yang lengang menuju arah
istana Kadipaten Blambangan.
"Sang dewa Wisnu telah memberikan karunianya,
sebentar lagi wilayah ini akan berada di dalam
genggamanku", berkata Ki Secang dalam hati yang
berjalan di muka melihat suasana jalan yang begitu
lengang, tidak seorang pun dijumpainya, merasa begitu
mudah mendapatkan apa yang dicita-citakannya itu,
menguasai kota Kadipaten Blambangan.
Namun angan-angan Ki Secang seperti buyar pecah,
karena pendengarannya yang amat tajam itu telah
mendengar suara berdesing yang berasal dari kanan kiri
jalan yang sangat sepi itu.
Berdebar dan berguncang perasaan Ki Secang
penuh rasa terkejut yang sangat manakala menyadari
655

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa suara berdesing itu berasal dari suara anak
panah, suara ratusan anak panah yang dilepaskan
secara serempak bersamaan.
Ki Secang tidak punya kesempatan sama sekali
untuk mengingatkan seluruh pasukannya selain
melindungi dirinya sendiri.
Pasukan Ki Secang seketika itu telah dihujani ratusan
anak panah, puluhan orang tidak bisa melindungi dirinya
sendiri, telah terluka tertancap anak panah. Pasukan itu
seperti telah bercerai-berai menyelamatkan diri dari hujan
panah yang deras meluncur dari kanan kiri jalan.
Belum habis masa terkejutnya, tiba-tiba saja muncul
dari kanan kiri mereka sebuah pasukan besar langsung
menerjang pasukan sang Buta kala itu.
"Hancurkan pasukan sang Buta Kala", berteriak
Adipati Menak Koncar memberi semangat di barisan
paling depan memimpin pasukannya dari sebelah kanan.
"Mereka hanya manusia biasa", berteriak Adityawarman yang memimpin pasukannya dari sebelah
kiri jalan memberikan semangat dan keberanian
pasukannya bahwa yang mereka hadapi adalah manusia
biasa yang telah dicoreng-morengkan lumpur kawah.
Lompatan para prajurit gabungan itu telah langsung
menerjang pasukan Ki Secang dari arah kiri dan kanan
jalan. Seperti limpahan air banjir, pasukan gabungan
Blambangan dan Majapahit itu telah tumpah menjepit
pasukan Ki Secang. Perang brubuh pun tak terelakkan lagi, denting suara
senjata terdengar begitu bising bersama suara sumpah
serapah yang sudah tak terkendalikan lagi telah menjadi
656 suara peperangan di hari Nyepi itu.
"Kendalikan diri kalian, hadapi mereka dengan jurus
tempur cakar elang", berteriak Ki Secang mencoba
membangun pasukannya yang telah terhimpit itu dengan
sebuah jurus tempur ciptaannya sendiri yang
dinamakannya sebagai jurus tempur cakar elang.
Hebat luar biasa teriakan Ki Secang itu, tiba-tiba saja
pasukannya seperti berubah pecah memisahkan diri
membentuk beberapa kelompok kecil terdiri dari sekitar
lima belas orang. Hebat luar biasa tandang pasukan Ki Secang yang
telah membangun berbagai kelompok tempur itu, begitu
kuat menerjang lawannya dan begitu kuat untuk
ditembus karena satu sama lain telah saling melindungi.
Benar-benar seperti sekumpulan elang yang turun
bersama-sama dengan cakar siap menerkam mangsanya. Nampaknya Ki Secang telah begitu sempurna
menciptakan jurus tempur itu, melengkapi pasukannya
dengan dua senjata cakra di kedua tangan mereka.
Benar-benar seperti seekor elang dengan dua cakar
kakinya yang sangat kuat, tajam dan kokoh.
Seketika itu juga pasukan gabungan Blambangan
dan Majapahit itu terdesak mundur beberapa langkah,
bahkan ada yang terlempar terkena amukan sepasang
cakra di tangan para pasukan Ki Secang yang sangat
terlatih itu. "Sang Naga terbang mendamaikan bumi", berteriak
Adipati Menak Jingga mengumandangkan sebuah kata
yang sudah sangat dikenal oleh pasukan gabungan itu.
Ternyata Adipati Menak Jingga telah 657 mengumandangkan sebuah jurus tempur
ayahnya, Empu Nambi. Sebuah jurus
kebanggaan para prajurit Majapahit dan
Blambangan saat itu. ciptaan tempur prajurit Teriakan Adipati Menak Jingga mengumandang
begitu kerasnya, nampaknya telah dilontarkan oleh
sebuah tenaga sejati yang sangat kuat.
Seketika itu juga, pasukan gabungan Blambangan
dan Majapahit itu telah menyusun sebuah barisan tempur
dalam beberapa kelompok kecil sekitar sepuluh orang
setiap kelompoknya. Begitu serasi setiap kelompok itu bergerak meliuk-liuk
membingungkan lawannya karena seperti tiada celah
terbuka kelemahan sedikitpun.
Perang yang sangat indah, sebuah tontonan
pertempuran yang sangat terpadu antara dua barisan
tempur yang sama-sama tangguhnya. Saling merobek,
saling mencengkeram, mematuk dan menjepit.
Ternyata jurus tempur cakar elang itu memang
sengaja diciptakan oleh Ki Secang untuk menghadapi
jurus tempur ciptaan Empu Nambi yang sangat terkenal
itu. Sukar sekali untuk menentukan siapa yang lebih
unggul diantara mereka dalam pertempuran itu, kedua
pasukan yang bertempur itu telah menunjukkan
kemahirannya dengan jurus tempur masing-masing.
Hingga tiba-tiba sekali pendengaran Ki Secang yang
amat terlatih itu telah mendengar suara panah sanderan
berdesing dengan amat kuatnya membelah udara siang
yang amat panas itu. "Apa yang ingin mereka perbuat dengan panah
658 sanderan itu?", bertanya-tanya Ki Secang dalam hati.
Belum sempat Ki Secang mendapatkan jawabannya,
tiba-tiba saja pasukannya dikejutkan dengan suara ramai
penuh bergelora dari arah utara.
Ternyata suara bergelora itu berasal dari seratus
orang prajurit Majapahit dari arah utara yang memang
telah menunggu pertanda panah sanderan diatas langit
tempat persembunyian mereka.
Bukan main terkejutnya Ki Secang dan pasukannya
mendapatkan sebuah gempuran lain dari pasukan
Majapahit yang baru datang itu.
Sebagaimana pasukan gabungan bertempur, pasukan Majapahit yang baru datang juga telah langsung
menerjang musuhnya dengan jurus tempur yang sama,
jurus tempur Naga terbang turun ke bumi.
Dan pertempuran terlihat menjadi lebih seru lagi,
lebih dahsyat dan menegangkan dari sebelumnya.
Beruntung bahwa pasukan Ki Secang masih menang
dalam jumlah, sehingga tidak mempengaruhi jalannya
pertempuran meski pihak lawan telah mendapatkan
bantuan tenaga baru yang datang dari arah utara itu.
Namun tiba-tiba saja pendengaran Ki Secang yang
amat tajam itu kembali mendengar suara desingan panah
sandera membelah udara. Kali ini dua panah sanderan
meluncur bersamaan melesat begitu cepatnya.
"Gila, apakah ada bantuan pasukan lainnya?" berkata
Ki Secang dalam hati menduga-duga.
Ternyata dugaan Ki Secang tidak meleset sedikitpun,
panah sanderan itu memang untuk memanggil sebuah
pasukan besar yang akan muncul dari sebelah barat
Kadipaten Blambangan, 659 Benar saja, tidak lama berselang telah muncul sekitar
tiga ratus pasukan gabungan, para prajurit Majapahit dan
para prajurit dari Lamajang.
Sorak sorai para prajurit yang tengah bertempur
melemahkan pihak pasukan Ki Secang menyambut
kedatangan pasukan yang baru datang itu.
Semangat baru dan nafas baru, itulah yang ingin
ditampilkan dalam siasat peperangan menghadapi
pasukan Ki Secang itu. Sebuah siasat yang telah
disepakati bersama antara Mahesa Semu, Putu Risang
dan Adipati Menak Koncar. Sebuah siasat perang
dengan sebuah perencanaan yang sangat matang.
Dan pasukan baru itu telah langsung bergabung
menerjang lawan mereka. Tenaga dan nafas baru
mereka benar-benar telah dapat menekan pertahanan
pihak lawan. Namun pasukan Ki Secang adalah sebuah pasukan
yang sudah dilatih cukup lama, telah dilatih menghadapi
bermacam tekanan dan juga terlatih dalam hal
ketahanan. Meski secara jumlah mereka sudah menjadi
kalah, tetap saja mereka adalah sebuah pasukan yang
sangat sulit untuk ditaklukkan.
Maka pertempuran menjadi semakin seru, semakin
dahsyat dan semakin menegangkan.
Sementara itu beberapa orang warga kota Kadipaten
Blambangan telah melihat pertempuran dari balik pintu
rumah masing-masing. Berdebar hati dan perasaan
mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat. Beberapa
orang kepala keluarga dengan penuh bijaksana
menentramkan perasaan anggota keluarganya sendiri
dengan pesan untuk terus berdoa kepada Gusti Yang
Maha Agung agar diberikan keselamatan dan
660 kemenangan menghadapi sang angkara murka.
"Berdoalah kalian tanpa terputus kepada Gusti Yang
Maha Agung memohon perlindunganNya", berkata
seorang lelaki tua kepada istri, anak gadis dan
menantunya. Ternyata doa para warga yang telah melihat
pertempuran itu begitu tulus dan murni memohon harap
di hadapan sang pencipta semesta alam agung dan alam
alit itu. Dan Gusti Yang Maha Agung nampaknya telah
mendengar permohonan doa para warga kota Kadipaten
Blambangan, mengabulkannya dengan caranya sendiri.
Dan pertanda kasih Gusti Yang Maha Agung itu
terdengar dari suara menggelegar yang bersumber dari
dua orang bercambuk di tengah-tengah pertempuran itu.
Putu Risang dan Gajahmada secara sadar telah
mengakui keunggulan jurus tempur pasukan musuh yang
sangat tangguh itu. Mereka berdua nampaknya telah
mendapatkan pikiran yang sama, sebuah cara yang
sama untuk mengalahkan barisan jurus tempur lawan
yang sangat kuat dan tangguh itu, yaitu memecahkan
barisan mereka. Demikianlah, Gajahmada dan Putu Risang dengan
cambuk pendeknya terlihat telah dihentakkan menciptakan suara yang menggelegar menciutkan hati
dan perasaan siapapun yang mendengarkannya.
Luar biasa memang lecutan ujung cambuk
Gajahmada dan Putu Risang yang bergerak seperti
punya mata, kemanapun bergerak selalu menemui
korbannya. Dua tiga orang dalam barisan tempur
pasukan Ki Secang telah terlempar terluka parah terkena
661 ujung cambuk Gajahmada dan Putu Risang.
Akibatnya, telah membuat gerak kelompok barisan itu
menjadi rusak tak terkendali lagi.
Disaat itulah barisan pasukan gabungan dalam jurus
tempur Sang naga terbang turun ke bumi langsung
merobek-robek barisan kelompok musuh yang sudah
terpecah itu menjadi semakin carut marut buyar dan
dengan sangat mudahnya ditaklukkan.
Dan dalam waktu yang tidak begitu lama, enam
kelompok barisan musuh sudah dapat ditaklukkan oleh
pasukan gabungan itu, para prajurit Majapahit, Lamajang
dan Blambangan. Ternyata Ki Secang telah melihat apa yang terjadi
dalam pertempuran itu, telah mengetahui sumber
kehancuran barisan kelompok tempurnya.
"Dua orang bercambuk", berkata Ki Secang dalam
hati dengan kemarahan yang memuncak.
Terlihat tubuh Ki Secang berkelebat mendekati salah
satu orang bercambuk yang dianggapnya sebagai
sumber kekacauan itu. Ternyata Ki Secang telah memilih Gajahmada, orang
bercambuk yang dilihatnya lebih dekat dari tempatnya
berdiri. "Cambukmu telah mengacaukan barisan tempurku",
berkata Ki Secang dengan mata yang sangat tajam
memandang kearah Gajahmada.
"Apakah ada yang salah dengan cambukku ini?",
berkata Gajahmada kepada orang tua itu dengan wajah
sedikit tersenyum seakan tidak gentar sedikitpun dengan
tatapan matanya yang terlihat begitu tajam

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggetarkan hati. 662 "Anak muda, kamu terlalu percaya diri, sayangnya
umurmu sudah sangat dekat diujung trisulaku ini",
berkata Ki Secang sambil bergerak dengan begitu
cepatnya menjulurkan trisulanya yang sepertinya ingin
secepatnya menghabisi anak muda di hadapannya itu
demi untuk secepatnya menyelamatkan barisan
tempurnya itu. Namun orang tua itu telah salah menduga, telah
salah menempatkan anak muda di depannya itu sebagai
orang biasa yang sekali terjang akan dapat melukainya.
Terkejut bukan main Ki Secang mendapatkan anak
muda itu ternyata dapat bergerak dengan begitu
cepatnya menghindari serangan pertamanya, bahkan
telah membalas dengan membuat serangan balik
dengan sebuah ayunan cambuk melingkar mencecar
arah pinggang Ki Secang. Wuutt?" Suara angin ayunan cambuk Gajahmada bergerak
dengan tenaga yang amat kuat.
Kembali Ki Secang harus melompat mundur.
Sementara matanya telah melihat satu kelompok
tempurnya kembali dapat dipecahkan oleh seorang
bercambuk lainnya. "Aku harus menyelesaikan anak setan ini", berkata Ki
Secang dalam hati dengan perasaan geram ingin
secepatnya merobohkan satu orang bercambuk di
hadapannya itu. Terlihat Ki Secang sudah bergerak kembali
menerjang dengan trisula terhunus ke arah dada
Gajahmada. Serangan Ki Secang berlipat-lipat kekuatan
dan kecepatannya dari serangan sebelumnya.
663 Keinginan Ki Secang untuk secepatnya menyelesaikan pertempuran menghadapi anak muda itu
ternyata kalis seperti air hujan yang turun di gurun pasir,
hilang tanpa jejak. Ternyata anak muda yang dihadapinya itu terlalu alot
dan sangat licin seperti seekor belut tidak mudah
ditaklukkan. Berkali-kali Ki Secang menyusun banyak serangan,
selalu saja serangannya dapat dielakkan oleh
Gajahmada dan kalis begitu saja.
Sementara dilihatnya dua kelompok tempurnya
kembali telah dapat dipecahkan oleh orang bercambuk
lainnya. Sorak sorai para prajurit gabungan tiap kali dapat
menaklukkan kelompok tempur telah membuat Ki
Secang naik darah hingga ke ubun-ubun rasanya.
Kembali terlihat serangan trisula di tangan Ki Secang
datang berputar dan bergulung-gulung berharap dapat
langsung merobohkan lawan mudanya itu.
Tapi kembali Gajahmada dapat mengaliskan
serangan yang amat dahsyat, selalu dapat mengimbangi
kecepatan dan kekuatan lawannya. Bahkan Gajahmada
telah balas menyerang dengan tidak kalah cepat dan
kuatnya, telah berlipat-lipat kecepatan dan kekuatannya
seiring dengan laju gerak tataran Ki Secang yang sudah
langsung merambat ke puncak ilmunya, ke puncak
kekuatannya yang sebenarnya.
Dan Ki Secang sudah benar-benar putus asa melihat
pasukannya yang lambat tapi pasti akan mengalami
kehancuran, sementara dirinya tidak juga dapat
mengalahkan lawan yang semula dianggap tidak berarti
664 itu. Dan Ki Secang pada akhirnya tidak lagi
memperdulikan pasukannya, yang dipedulikan adalah
mengakhiri nyawa anak muda yang menjadi salah satu
kehancuran pasukannya itu.
Kilatan cahaya ketajaman senjata trisula di tangan Ki
Secang terlihat berkilat-kilat menyelubungi seluruh tubuh
Ki Secang dan telah bergerak seperti sebuah anak
panah yang ditarik dari tali busurnya dengan tenaga yang
amat kuat. Ki Secang telah meluncur dengan sangat cepat dan
kuat kearah Gajahmada. Gajahmada masih merasa yakin bahwa kecepatan
dirinya bergerak masih berada di atas lawannya, namun
tetap saja telah melambari dirinya dengan ajian
kekebalan setara ajian Lembu Sekilan yang sangat
tangguh itu hanya untuk sekedar berjaga-jaga karena
sedikit saja kelengahan akan berakibat nyawanya
melayang tercabik-cabik trisula di tangan Ki Secang yang
sangat luar biasa itu. Luar biasa serangan Ki Secang itu, telah bergerak
begitu cepat kearah Gajahmada.
Namun Gajahmada adalah seorang yang telah
mempunyai ilmu rangkap yang sangat sempurna telah
langsung bergerak menghindari terjangan Ki Secang,
dan sambil menghindar telah membuat tekanan yang
tidak kalah berbahayanya telah menghentakkan cambuk
pendeknya dengan cara sandal pancing.
Gelegar!!! Terdengar suara hentakan cambuk pendek
Gajahmada telah membuat Ki Secang melompat jauh
665 menghindarinya. Namun meski Ki Secang dapat
menghindari serangan cambuk pendek Gajahmada itu,
suara hentakan cambuk itu masih dirasakan telah
menghimpit dadanya. Ki Secang menyadari bahwa anak muda yang
menjadi lawannya itu mempunyai ilmu kekuatan yang
sangat dahsyat bagai seorang pertapa yang telah
bersemadhi ratusan tahun lamanya.
Sementara itu terdengar kembali sorak sorai suara
para prajurit gabungan yang telah dapat menaklukkan
kelompok tempur terakhir pasukan Ki Secang.
"Aku akan membunuh kalian semua!!", berteriak Ki
Secang dengan suara yang bergulung-gulung yang
dihentakkannya dengan tenaga saktinya.
Terlihat beberapa prajurit bergulingan tidak mampu
menahan rasa sesak yang menghimpit dadanya.
"Ajian ilmu Gelap Ngampar", berkata Putu Risang
dalam hati sambil berdiri mematung melihat kearah
pertempuran Ki Secang dan Gajahmada yang belum juga
usai itu. Dan kali ini Putu Risang melihat Ki Secang bukan
hanya melepas ajian ilmu gelap ngamparnya lewat
suaranya, tapi kali ini telah melepas ajian ilmu gelap
ngamparnya lewat kilatan cahaya ketajaman trisulanya
yang sudah menyelimuti dirinya, diputar dengan gerakan
sangat cepat dan kuat. "Kabut kilatan cahaya trisula", berkata Gajahmada
dalam hati teringat kepada Ki Banyak Ara yang telah
melakukan gerakan yang sama, gerakan kabut kilatan
trisula yang sangat dahsyat dan berbahaya itu.
Dan kali ini ilmu yang sangat langka itu telah
666 dihentakkan oleh guru Ki Banyak Ara, pasti berlipat-lipat
kedahsyatannya. Ternyata dugaan Gajahmada tidak meleset, kabut
kilatan trisula di sekitar tubuh telah semakin melebar.
"Selamatkan diri kalian!!", berkata Putu Risang
mengingatkan para prajurit untuk menghindari dirinya
dari pusaran kabut kilatan trisula yang sudah semakin
jauh melebar. Riuh suasana dan suara para prajurit yang berlarian
menjauhi lingkaran kabut kilatan senjata trisula itu.
Lega hati dan perasaan Gajahmada yang melihat
para prajurit dan para tawanan telah keluar dari lingkaran
kabut kilatan trisula yang sangat berbahaya itu
sebagaimana yang pernah dilihat sendiri ketika
berhadapan dengan Ki Banyak Ara.
"Kekuatan kabut Ki Secang pasti berlipat-lipat
ganda", berkata dalam hati Gajahmada memperkirakan
kekuatan kabut kilatan trisula yang diciptakan oleh Ki
Secang. Berpikir seperti itu, Gajahmada sudah meningkatkan
daya kekebalan yang melambari tubuhnya sambil
menatap lingkaran kabut yang terus bergerak yang
sebentar lagi akan menjangkau dirinya.
Dan Gajahmada masih berdiri tegap dengan senjata
cambuk yang menjurai ke tanah manakala lingkaran
kabut itu telah menjangkaunya.
Bukan main terkejutnya Ki Secang melihat lingkaran
kabut kilatan trisulanya tidak merusak kulit Gajahmada
sedikitpun. "Hanya dewa yang mampu menahan ilmuku", berkata
Ki Secang dalam hati seperti tidak percaya dengan apa
667 yang dilihatnya sendiri bahwa Gajahmada masih berdiri
tegak di tempatnya. Berbeda ketika berhadapan dengan Ki Banyak Ara,
kali ini Gajahmada telah dapat mengendalikan
perasaannya sendiri. "Setiap orang pernah salah jalan, mudah-mudahan
aku dapat menunjukkan arah kepada Ki Secang untuk
kembali menuju arah kebenaran", berkata Gajahmada
dalam hati mencoba tetap berpikir jernih tidak mengikuti
perasaannya. Dan dengan pikiran yang jernih, terlihat Gajahmada
telah memutar cambuknya perlahan, terus diputarnya lagi
tiada henti semakin lama semakin cepat berputar
mengelilingi tubuhnya. Dan lama-kelamaan putaran kabut Gajahmada telah
membentuk putaran angin yang menyelubungi tubuhnya.
Luar biasa, putaran angin yang diciptakan oleh
Gajahmada telah dapat menghalau kabut kilatan cahaya
trisula yang diciptakan oleh Ki Secang.
Perlahan tapi pasti, kabut kilatan cahaya yang sangat
berbahaya itu kian menipis, hingga akhirnya hilang sama
sekali. Kabut kilatan trisula itu sudah benar-benar sirna,
tubuh Ki Secang sudah dapat terlihat lagi masih terus
memutar trisulanya. "Gila!!", berkata Ki Secang sambil melompat menjauh
dari tempatnya berdiri. Ternyata putaran angin yang diciptakan oleh
Gajahmada telah menekan dengan amat kuatnya
mendorong putaran angin kilatan trisula ciptaan Ki
Secang kearah tuannya sendiri.
668 Terlihat Ki Secang berdiri mematung merasa telah
terlepas dari ilmu kabutnya sendiri.
Putu Risang yang melihat pertempuran itu berdecak
penuh kekaguman. "Gajahmada telah menyempurnakan ilmunya di
tingkat yang sangat tinggi", berkata Putu Risang dalam
hati memuji tingkat ilmu muridnya itu.
"Mudah-mudahan Gajahmada dapat mengekang
perasaannya", berkata kembali Putu Risang dalam yang
melihat Gajahmada masih berdiri di tempatnya tidak
berusaha mengejar Ki Secang yang baru saja terlepas
dari ancaman ilmu kabutnya sendiri.
Sebagaimana yang dilihat oleh Putu Risang,
Gajahmada memang masih berdiri di tempatnya dengan
tidak lagi memutar cambuknya.
"Ki Secang, lihatlah sekelilingmu, seluruh pasukanmu
telah dapat kami lumpuhkan. Apakah kamu masih tetap
ingin melanjutkan pertempuran ini?" berkata Gajahmada
kepada Ki Secang, menawarkannya untuk menyerah.
Ki Secang memang telah melihat sendiri bahwa
seluruh pasukannya sudah dapat dilumpuhkan oleh
pihak lawan, dilihat pula ratusan pasukan lawan masih
dengan senjata terhunus tengah berdiri di sekelingnya.
Namun tidak juga membuat perasaan Ki Secang dingin
menciut, bahkan sebaliknya telah membakar kemarahannya dalam keputus-asaan dan kekecewaan
yang sangat. "Jangan sombong telah dapat menaklukkan ilmu
kabutku, masih ada ilmu simpananku yang lain", berkata
Ki Secang kepada Gajahmada sambil menggerakkan
trisula di tangannya mengarah ke tubuh Gajahmada.
669 Luar biasa, terlihat kilatan cahaya kuning keemasan
meluncur kearah Gajahmada. Meski telah melambari
dirinya dengan ilmu ajian lembu sekilan tingkat tinggi,
Gajahmada belum ingin mencoba membenturkannya.
Pedang 3 Dimensi 11 Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Bara Diatas Singgasana 14
^