Pencarian

Para Ksatria Penjaga Majapahit 20

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 20


masih tetap bertahan, orang-orang yang memang punya
kemampuan cukup tinggi yang mampu melayani orangorang terlatih dari padepokan Bajra Seta dan Perguruan
teratai Putih itu. "Kita bertemu kembali, wahai Ki Sadeng", berkata
seorang pemuda yang tidak lain adalah Patih
Gajahmada. Terbelalak wajah Ki Sadeng melihat anak muda yang
begitu tenang menghadangnya.
"Apakah kamu yang selama ini menamakan diri
sebagai Duta Mangkara?" berkata Ki Sadeng masih
dengan wajah terkejutnya.
"Benar, sengaja aku datang di wilayah tak bertuan ini,
hanya untuk menghancurkan dirimu dan kawanan bajak
lautmu", berkata Patih Gajahmada masih dengan sikap
tegak berdiri penuh ketenangan diri.
"Kamu terlalu percaya diri, wahai anak muda",
berkata Ki Sadeng sambil langsung menyerang ke arah
tubuh Gajahmada dengan senjata keris besarnya.
Sebuah serangan pembukaan yang amat dahsyat,
begitu cepat dan begitu kuat bertenaga.
Namun Patih Gajahmada telah siap sedia
menghadapi orang tua yang memang sudah diduganya
punya kemampuan sangat tinggi itu. Terlihat Patih
Gajahmada bergeser ke samping sambil membalas
serangan Ki Sadeng dengan melecutkan senjata cambuk
andalannya. "Luar biasa!!" berkata Ki Sadeng sambil mundur
1413 merasakan angin hawa getaran cambuk yang nyaris
menyentuh tubuhnya. Terlihat Patih Gajahmada tidak berusaha mengejar
orang tua itu, hanya berdiri tegak dengan ujung cambuk
pendeknya yang terjurai menyentuh tanah.
"Jangan berbangga hati dulu, aku belum
menumpahkan seluruh kemampuanku", berkata Ki
Sadeng dengan mata bernyala-nyala.
Melihat pancaran sinar mata di wajah Ki Sadeng itu,
tahulah Patih Gajahmada bahwa orang tua itu telah
melambari tenaga sakti inti sejatinya di tingkat
tertingginya. Maka diam-diam Patih Gajahmada telah
mempersiapkan dirinya. Benar saja sesuai dengan dugaan Patih Gajahmada,
serangan Ki Sadeng kali ini memang berlipat-lipat
kekuatannya. Nampaknya Ki Sadeng telah menumpahkan seluruh kemampuannya, menumpahkan
puncak ilmu kesaktiannya. Terlihat keris besarnya merah
membara, bergulung-gulung serangannya mengepung
tubuh Patih Gajahmada seperti angin panas gunung
berapi mengejar kemanapun anak muda itu berkelit
bergerak. Namun Patih Gajahmada bukan anak muda biasa,
pewaris tunggal sang pertapa dari Gunung Wilis itu diamdiam telah melambari dirinya dengan ajian sakti
pemunah bala, hawa murni di tubuhnya dengan seketika
telah bekerja dengan sendiri melindungi dirinya. Hawa
panas serangan keris Ki Sadeng seperti redam tak
berarti apa-apa di hadapan Patih Gajahmada. Terlihat
anak muda itu masih saja membalas serangan Ki
Sadeng. Pertempuran keduanya telah menimbulkan semak
1414 belukar rata terbakar, batu dan pepohonan kadang
terbongkar terkena angin sasaran serangan mereka yang
lepas. Benar-benar sebuah pertempuran yang sungguh
amat mengerikan. "Anak muda ini mampu meredam amuk serangan
kerisku, ajian gunung berapi milikku tidak berarti
apapun", berkata Ki Sadeng yang menyadari bahwa
lawannya ternyata mampu mengimbangi serangan
puncaknya. Ternyata Patih Gajahmada benar-benar anak muda
yang telah mampu mengendapkan perasaannya sendiri,
telah mampu mengendalikan perasaan dirinya sendiri
tidak terbawa oleh amuk amarahnya.
"Aku harus mencari cara untuk tidak membunuh
orang tua ini", berkata Patih Gajahmada dalam hati
sambil terus berpikir untuk menundukkan lawannya yang
sangat sakti itu. Sementara itu Rangga Mahesa Dharma bersama
empat puluh orang-orang pilihan itu terlihat telah
menguasai arena pertempuran, hanya tersisa beberapa
orang yang dapat dihitung dengan jari yang masih
bertahan belum menyerah. Di tengah amuk serangan Ki Sadeng yang sangat
amat dahsyat itu, patih Gajahmada masih sempat melihat
suasana kemenangan yang hanya tinggal sebentar lagi
dipetik oleh para kawanannya. Maka seketika itu juga
Patih Gajahmada langsung menerapkan ajian andalannya, sebuah ilmu ajian langka yang jarang sekali
dimiliki oleh orang sejamannya saat itu, yaitu sebuah
ajian Pangeran Muncang yang didapatkan langsung dari
Prabuguru Dharmasiksa, seorang raja sakti dari Tanah
Pasundan yang telah mengasingkan dirinya di lereng
1415 Gunung Galunggung. Namun Ajian sakti Pangeran
Muncang itu diterapkan dengan cara terbalik oleh patih
Gajahmada, sehingga bukan sebuah ajian sakti yang
memancarkan sebuah serangan cahaya api yang maha
dahsyat, namun sebuah ajian sakti yang dapat menyerap
kekuatan lawan. Tenaga sakti inti sejati yang dimiliki Patih Gajahmada
sudah berada diatas kesempurnaan, sehingga tidak
membutuhkan sebuah sentuhan apapun, hanya lewat
angin lecutan cambuknya, kekuatan Ki Sadeng sudah
dapat terserak dengan sendirinya.
Terlihat Ki sadeng masih saja melakukan
perlawanan, tidak menyadari tenaga saktinya mulai
terkuras. Hingga dalam sebuah gebrakan, gerakan Ki Sadeng
menjadi sedikit terlambat karena tenaga saktinya telah
semakin berkurang yang berakibat ujung cambuk Patih
Gajahmada berhasil menyentuhnya kakinya.
Rasa sakit yang amat sangat telah memaksa Ki
Sadeng melemparkan dirinya jatuh berguling di tanah.
Wajah penuh penasaran memenuhi seluruh pikirannya,
merasa aneh pada dirinya sendiri yang tidak lagi dapat
bergerak dengan cepat. Terlihat Patih Gajahmada berdiri tegak dengan
senyum di bibirnya. "Orang ini masih juga belum menyadari bahwa
kekuatannya telah terserap", berkata Patih Gajahmada
dalam hati sambil menatap wajah Ki Sadeng yang tengah
berusaha bangkit berdiri.
"Kamu belum memenangkan pertempuran ini, wahai
anak muda", berkata Ki Sadeng sambil kembali
1416 melakukan serangannya. Ki Sadeng masih juga belum menyadari bahwa
kekuatannya telah menyusut, akibatnya daya serangannya dirasakan oleh Patih Gajahmada tidak
sedahsyat sebelumnya. Sementara itu angin serangan cambuk Patih
Gajahmada masih saja terus bergerak, masih saja terus
menyerap tenaga sakti Ki Sadeng meski tanpa
menyentuhnya. "Ajian sihir apa yang kamu gunakan, wahai anak
muda", berkata Ki Sadeng sambil mundur meloncat ke
belakang merasakan dirinya sudah tidak dapat lagi
menghentakkan tenaga saktinya, melihat dengan mata
terbelalak ke arah keris besarnya yang tidak lagi merah
membara. "Menyerahlah, wahai Ki Sadeng. Sebelum ujung
cambukku tidak dapat dikendalikan lagi", berkata Patih
Gajahmada kepada Ki Sadeng.
"Katakan kepadaku apa yang telah kamu lakukan
kepada diriku", berkata kembali Ki Sadeng dengan wajah
penuh rasa penasaran. "Aku tidak akan membuat dirimu mati penasaran,
kekuatanmu telah terserap oleh ajian ilmuku", berkata
Patih Gajahmada sambil menatap tajam ke arah Ki
Sadeng. "Ajian ilmu penyerap sukma?" berkata Ki Sadeng
dengan wajah penuh rasa takut yang amat sangat.
"Lihatlah sekelilingmu, semua anak buahmu telah
kami tundukkan", berkata Patih Gajahmada kepada Ki
Sadeng. Terlihat Ki Sadeng memandang berkeliling, melihat
1417 semua anak buahnya memang telah benar-benar tidak
berdaya dibawah kekuasaan pihak lawan, sementara
sebagian besarnya terlihat telah bergeletak tak bernyawa
lagi. "Terima kasih telah bermurah hati memberi
kesempatan selembar nyawaku ini. Ternyata mataku
buta tidak menyadari berhadapan dengan sebuah
gunung yang maha tinggi", berkata Ki Sadeng dengan
perasaan merinding membayangkan seluruh kekuatannya terserap habis oleh anak muda perkasa itu.
Sementara itu di waktu yang sama, sebuah pasukan
besar yang dipimpin oleh Tumenggung Adityawarman
telah memasuki lembah Dayang Muksa.
"Kita buat perkemahan di lembah ini", berkata
Tumenggung Adityawarman kepada seorang prajurit
penghubungnya. Terdengar sebuah aba-aba perintah melengking
tinggi dari prajurit penghubung itu sebagai pertanda
pasukan untuk berhenti. "Pasukan Kuda Jenar pastinya akan menghindari
Kadipaten Lamajang, memasuki wilayah tanah tak
bertuan dari jalur lembah ini", berkata Tumenggung
Adityawarman kepada beberapa perwiranya.
Demikianlah, tidak lama kemudian terlihat beberapa
prajurit tengah membangun perkemahan di lembah
Dayang Muksa itu, sementara beberapa prajurit lainnya
tengah menyiapkan makanan di dapur umum. Seekor
burung rajawali terlihat melayang di langit senja dan
terbang menghilang ke arah gunung Argapuro.
Perlahan sang malam datang menghapus seluruh
pandangan di lembah Dayang Muksa itu, gelap dan
1418 angin dingin semilir telah membuat para prajurit
merasakan kantuk yang amat sangat setelah seharian
mereka berjalan. "Belum ada kabar dari prajurit pemantau?" bertanya
Tumenggung Adityawarman kepada salah seorang
perwiranya. "Hingga saat ini belum ada kabar mereka datang
kembali", berkata perwira itu.
"Itu artinya mereka belum melihat pasukan Kuda
jenar mendekati daerah ini, sebuah berita bagus untuk
kalian beristirahat dengan cukup di malam ini", berkata
Tumenggung Adityawarman sambil mempersilahkan
perwiranya itu beristirahat.
Dan malam terlihat menjadi begitu sunyi, hanya suara
angin yang turun ke lembah itu terdengar berderu-deru
membuat pikiran siapapun akan membayangkan
suasana yang menyeramkan, suasana kisah yang aneh
di lembah dayang Muksa itu, kisah tentang enam orang
dayang bersama seorang putri yang menghilang lenyap
tanpa jejak. Konon menurut dugaan orang, para
penunggu lembah itu jatuh cinta kepada kecantikan sang
putri dan membawanya ke alam mereka bersama
keenam dayangnya, Itulah sebabnya lembah itu
dinamakan Lembah Dayang Muksa.
Namun nampaknya cerita tentang para penunggu
lembah itu serta hilangnya seorang putri bersama
keenam dayangnya itu tidak membuat para prajurit tidak
dapat tertidur pulas, nampaknya rasa lelah setelah
berjalan seharian penuh telah mengusir perasaan takut
apapun. Ternyata rasa kantuk yang amat sangat menjadi
sebuah kemewahan dari sebagian para prajurit
dimanapun. 1419 Dan perlahan langit malam sunyi di lembah Dayang
Muksa perlahan diciderai cahaya kemerahan yang
berasal dari sumber cahaya pagi dari sang surya yang
menggeliat di ujung ufuk timur bumi.
Pagi itu masih sangat gelap ketika seorang perwira
datang menghadap Tumenggung Adityawarman.
"Ada kabar dari para pemantau, pasukan Kuda Jenar
telah datang di pertengahan malam dan bermukim di
sebuah hutan tidak jauh dari perkemahan kita", berkata
perwira itu menyampaikan laporannya.
"Melihat kedatangan mereka, nampaknya pasukan itu
akan bergerak kembali keesokan harinya. Perintahkan


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para pemantau untuk terus mengamati gerakan mereka",
berkata Tumenggung Adityawarman kepada perwiranya.
Demikianlah, hari itu tidak ada kejadian apapun di
lembah dayang Muksa. Para prajurit yang tergabung
dalam pasukan besar Tumenggung Adityawarman
seharian itu hanya berusaha memulihkan kembali tenaga
mereka tanpa melakukan banyak kegiatan. Namun
kesiagaan tetap mereka lakukan untuk menjaga berbagai
kemungkinan yang bisa saja terjadi diluar dugaan dan
perhitungan siapapun. Sebagaimana perhitungan Tumenggung
warman, hari itu memang tidak terjadi apapun.
Aditya- Sementara itu, ternyata bukan hanya pasukan
Tumenggung Adityawarman saja yang melepas para
prajurit pemantaunya, pasukan Kuda jenar diam-diam
telah menugaskan beberapa prajuritnya untuk memantau
daerah di sekitar mereka.
"Apa tugas pasukan Majapahit itu berada di Lembah
dayang Muksa itu?" berkata Kuda Jenar kepada seorang
1420 prajurit pemantaunya yang melaporkan ada sepasukan
besar berada di lembah Dayang Muksa.
"Hamba tidak berani terlalu dekat dengan mereka",
berkata petugas pemantau itu kepada Kuda jenar.
"Kembalilah ketempat tugasmu, awasi terus kegiatan
mereka", berkata Kuda Jenar kepada prajurit pemantau
itu. Hingga akhirnya di pagi hari keesokan harinya,
seorang prajurit pemantau datang kembali menghadap
Kuda jenar. "Tadi malam kami berhasil mendekati mereka,
ternyata mereka adalah pasukan Majapahit yang
dipimpin langsung oleh Tumenggung Adityawarman. Dan
pagi ini kami melihat mereka telah menyusun barisannya
di sebuah padang. Nampaknya mereka memang sengaja
menunggu kedatangan kita", berkata prajurit pemantau
itu kepada Kuda Jenar. "Perintahkan seluruh prajurit bersiap diri untuk
bergerak, kita ingin tahu apa yang mereka inginkan
menghadang pasukan kita", berkata Kuda jenar kepada
seorang perwiranya. Demikianlah, tidak lama berselang terlihat seribu
pasukan yang berada dibawah kekuasaan Kuda Jenar
terlihat telah bergerak keluar dari hutan menuju arah
lembah Dayang Muksa. Seribu prajurit itu bergerak
berbaris seperti seekor naga besar meliuk-liuk diantara
pepohonan. Terlihat barisan panjang pasukan Kuda Jenar telah
keluar dari sebuah hutan dan terus bergerak mendekati
sebuah padang luas yang ada di lembah Dayang Muksa
itu. 1421 Terkesiap darah Kuda Jenar memandang sebuah
pasukan telah siap menghadang pasukannya.
Terlihat Kuda Jenar mencoba menghitung kekuatan
pasukan di hadapannya itu, ternyata sebanding dengan
pasukan yang dibawanya dari Majapahit itu.
"Antarkan diriku untuk berbicara dengan mereka",
berkata Kuda Jenar kepada seorang prajurit
penghubungnya. Maka tidak lama berselang terlihat Kuda jenar diatas
kudanya ditemani seorang prajurit yang membawa
bendera putih berjalan ke tengah arena dua pasukan itu.
Melihat seorang penunggang kuda dikawal dengan
pembawa bendera putih, segera Tumenggung Adityawarman menghentakkan kudanya mendekati dua
orang berkuda di tengah arena.
"Selamat datang wahai senapati pasukan Majapahit
di lembah Dayang Muksa", berkata Tumenggung
Adityawarman kepada Kuda Jenar.
"Apa maksud tuan Tumenggung menempatkan
pasukan di hadapan pasukan kami?" berkata Kuda Jenar
yang terkejut mengetahui bahwa pimpinan pasukan yang
menghadangnya dipimpin langsung oleh Tumenggung
Adityawarman. "Aku ditugaskan oleh Mahapatih Arya Tadah untuk
menghadang pasukanmu agar tidak turun lebih jauh lagi
memasuki wilayah tak bertuan ini", berkata Tumenggung
Adityawarman penuh ketegasan.
"Aku ditugaskan oleh Raden Kudamerta menjadi
senapati pasukan Majapahit untuk menghancurkan para
perusuh di wilayah tanah tak bertuan ini", berkata Kuda
Jenar dengan suara tidak kalah tegasnya.
1422 "Bila memang demikian tugasmu seperti itu, maka
dengan sangat terpaksa pasukanku akan menghadangmu", berkata Tumenggung Adityawarman.
"Jangan berpikir dirimu sebagai seorang Tumenggung dapat menakut-nakuti diriku, aku akan
menunjukkan kepadamu siapa yang terbaik memimpin
pasukannya", berkata Kuda jenar sambil menarik
kudanya bermaksud untuk kembali ke pasukannya.
Namun belum sempat Kuda jenar bersama
pengawalnya bergerak meninggalkan tempatnya, terdengar suara yang bergema terdengar oleh semua
orang yang berada di padang lembah Dayang Muksa.
"Kuda Jenar, kedokmu sudah terungkap. Kedatanganmu ke wilayah tak bertuan ini bukan untuk
menghancurkan para perusuh, melainkan untuk
memperkuat para perusuh dengan menempatkan para
prajurit Majapahit menjadi sebuah kekuatan baru di
wilayah tak bertuan ini", terdengar suara bergema
berputar-putar memenuhi seluruh lembah Dayang
Muksa. Bukan hanya Kuda Jenar yang terkejut mendengar
suara itu, tapi seluruh prajuritnya juga menjadi sangat
terkejut, tidak menyangka bahwa mereka akan menjadi
sebuah kekuatan baru menentang kekuatan panji
Majapahit yang mereka junjung dengan jiwa dan raga
mereka. "Kuda Jenar telah menjerumuskan diri kita!!" berkata
beberapa orang prajurit dengan pikiran dan perasaan
yang sama mengecam senapati mereka sendiri.
Merah padam wajah Kuda jenar, tidak menyangka
ada orang yang menelanjangi dirinya didepan orang
banyak. 1423 "Bohong, jangan menyebar fitnah. Tunjukkan siapa
dirimu", berkata Kuda Jenar dengan suara keras.
Sepi suasana di Padang lembah Dayang Muksa itu,
sepertinya semua orang berharap ada jawaban dari
orang yang tidak diketahui keberadaannya itu.
Namun ternyata bukan jawaban yang mereka
dengarkan, melainkan dari sebuah tebing jalan yang
menurun muncul sekitar enam ratus prajurit pengawal
Kadipaten Lamajang lengkap dengan panji dan umbulumbul kebesaran mereka.
Didepan enam ratus pasukan Kadipaten Lamajang itu
berjalan dua orang lelaki yang terus berjalan mendekati
Kuda Jenar. Setelah kedua orang itu menjadi semakin mendekat,
terkejut hati Kuda Jenar mengenal kedua orang lelaki
yang tengah berjalan ke arahnya.
"Kuda Jenar, orang ini telah bercerita banyak tentang
semua rencanamu", berkata salah seorang dari lelaki itu
yang tidak lain adalah Patih Gajahmada yang datang
bersama seorang lelaki tua bernama Ki Sadeng yang
berjalan tertunduk lesu. "Wahai pasukanku, akankah kalian percaya dengan
perkataan orang ini?" berkata Kuda Jenar dihadapan
pasukannya. Namun tidak satu jawaban keluar dari para prajurit
Majapahit itu. "Kuda Jenar, seluruh pasukanmu telah mengenal
diriku, jauh sebelum kamu berada diantara mereka.
Jangan jerumuskan diri mereka kedalam nafsu angkara
pribadimu", berkata Patih Gajahmada dengan suara yang
kuat dan jelas terdengar oleh semua orang di Padang
1424 Lembah Dayang Muksa itu. "Lihatlah aku datang
bersama enam ratus prajurit Lamajang yang akan
bergabung dengan pasukan Tumenggung Adityawarman, semoga pasukanmu dan dirimu sendiri
dapat berpikir jernih", berkata kembali Patih Gajahmada
dengan suara yang kuat dan lantang bergema karena
dilambari dengan ajian gelap ngamparnya yang amat
kuat. Tergetar setiap dada mendengar hentakan suara
yang dilontarkan oleh Patih Gajahmada, hampir semua
orang di Padang Lembah Dayang Muksa itu telah
mengenal dan mengetahui ketinggian ilmu yang dimiliki
anak muda itu. Semua orang sepertinya menanti sikap dan
keputusan Kuda jenar, terlihat semua mata memandang
ke arah anak muda yang selama ini sangat dekat dengan
Raden Kudamerta itu. "Aku akan menantang siapapun yang menghalangi
langkahku", berkata Kuda Jenar sambil mengangkat
tinggi-tinggi tombak trisulanya.
Terkejut semua orang mendengar ucapan Kuda jenar
itu, menyayangkan sikapnya.
Terlihat Adipati Menak Koncar datang menghampiri
Patih Gajahmada. "Ijinkan diriku untuk menyumbat kesombongannya",
berkata Adipati Menak Koncar kepada Patih Gajahmada.
Namun belum sempat Patih Gajahmada menjawab
perkataan Adipati Menak Koncar, terlihat Tumenggung
ikut datang menghampiri Patih Gajahmada.
"Orang itu semula telah menantangku mengadu
pasukannya, namun saat ini nampaknya pasukannya
1425 sudah terpecah. Ijinkan diriku menerima tantangannya,
wahai saudaraku", berkata Tumenggung Adityawarman
kepada Patih Gajahmada. "Maaf kakang Adipati Menak Koncar, nampaknya
usia Tumenggung Adityawarman setanding dengan
senapati muda yang sombong itu", berkata Patih
Gajahmada kepada Adipati Menak Koncar.
Mendengar perkataan Patih Gajahmada, terlihat
Adipati Menak Koncar hanya menyunggingkan
senyumnya, dalam hati berpikir bahwa Patih Gajahmada
nampaknya telah lebih mengenal Senapati yang
sombong itu, juga kemampuan Tumenggung Adityawarman. Sementara itu, Tumenggung Adityawarman mendengar ucapan Patih Gajahmada
sebagai perkenan untuk menghadapi Kuda Jenar secara
perorangan dan sudah langsung berjalan mendekati
Kuda Jenar yang masih berdiri di tengah-tengah arena
padang lembah Dayang Muksa itu.
Semua orang menatap dua orang yang tengah saling
berhadapan di tengah arena itu, namun dihati setiap
orang hanya berharap bahwa Kuda Jenar dapat
menerima pelajaran mahal atas kesombongannya itu.
"Tumenggung Adityawarman, akan kuyakinkan
kepada semua orang bahwa namamu terangkat karena
kebesaran nama Ayahmu, Patih Mahesa Amping",
berkata Kuda Jenar meremehkan kemampuan Tumenggung Adityawarman. "Aku tidak akan terpengaruh apapun dengan
perkataanmu yang membawa nama ayahku. Tunjukkan
seluruh kemampuanmu, aku akan siap melayanimu
tantanganmu", berkata Tumenggung Adityawarman.
"Bagus, loloskan senjatamu", berkata Kuda Jenar
1426 sambil melompat dan menjulurkan tombak trisulanya
menyerang dengan amat cepatnya kearah Tumenggung
Adityawarman. Melihat serangan yang amat cepat itu tidak membuat
Tumenggung Adityawarman panik, terlihat dengan
sangat amat ringannya putra tunggal Patih Mahesa
Amping itu telah berkelit ke samping sambil meloloskan
kerisnya dan langsung membalas serangan Kuda jenar
tepat kearah pinggangnya yang terbuka.
Bukan main terkejutnya Kuda Jenar melihat


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecepatan lawannya berkelit dengan sangat cepat dan
langsung membalas serangannya.
Terlihat Kuda Jenar berputar bersama tombak
trisulanya, sebuah cara balas menyerang yang sangat
mengagumkan. JILID 17 NAMUN Tumenggung Adityawarman bukan anak
kemarin sore yang baru belajar kanuragan, tidak menjadi
panik menghadapi serangan balasan dari Kuda Jenar.
Terlihat dengan perhitungan dan pertimbangan yang
sangat tepat telah melompat tinggi melewati tombak
Trisula dan langsung menjulurkan kerisnya mengancam
leher Kuda Jenar. Sebuah gerakan menghindar sekaligus membuat
serangan balik yang diluar perhitungan siapapun, diluar
dugaan siapapun, maka tidak ada jalan lain bagi Kuda
jenar selain membenturkan tombak trisulanya menahan
laju keris Tumenggung Adityawarman.
Trang".!!!! Dua terlihat saling berbenturan.
1427 Terkejut Kuda Jenar merasakan tangannya tergetar
terasa pedih, sebagai pertanda tenaga sakti Tumenggung jauh berada diatas tataran kemampuannya
dan tanpa disadari dirinya telah melompat mundur hingga
tiga langkah dari tempatnya semula.
Namun kesombongan Kuda jenar membutakan mata
dan pikirannya, merasa dirinya lengah belum
sepenuhnya mengangkat seluruh kemampuan tenaga
sakti sejatinya pada saat terjadi benturan.
"Kekuatanmu boleh juga, namun jangan berpikir
kemampuanmu berada diatasku", berkata Kuda Jenar
sambil bersiap untuk melakukan serangan kembali.
"Tumpahkan seluruh kemampuanmu, agar kamu
tidak menyesal di kemudian hari", berkata Tumenggung
Adityawarman sambil bersiap dengan kuda-kuda yang
kokoh dan mantap. Maka tidak lama berselang kembali terjadi
pertempuran sebagaimana sebelumnya, saling menyerang dan balas menyerang. Semakin lama
menjadi semakin seru, karena keduanya saling
meningkatkan tataran kemampuannya yang mereka
miliki. Diluar arena pertempuran, terlihat Patih Gajahmada
berdiri penuh seksama mengamati jalannya pertempuran
itu. Sebagai seorang yang ahli kanuragan, nampaknya
Patih Gajahmada sudah dapat menebak akhir dari
pertempuran. Ternyata Patih Gajahmada yang sudah
banyak mengenal Tumenggung Adityawarman melihat
putra tunggal Patih Mahesa Amping itu punya
kemampuan jauh dalam segala hal dibandingkan
kemampuan yang dimiliki oleh Kuda jenar.
1428 "Tumenggung Adityawarman tidak ingin cepat-cepat
menyelesaikan pertempurannya", berkata Patih Gajahmada dalam hati. Sementara itu di mata para prajurit pertempuran itu
semakin lama menjadi semakin seru, serang dan balas
menyerang penuh ancaman yang sangat berbahaya.
Namun ternyata ketajaman Patih Gajahmada menilai
jalannya pertempuran itu akhirnya sedikit demi sedikit
mulai terbukti. Pertempuran terlihat sudah mulai timpang.
Ternyata Kuda jenar tidak mampu lagi mengikuti
tataran ilmu Tumenggung Adityawarman yang terus
melaju. Terlihat Kuda Jenar telah menjadi bulan-bulanan
Tumenggung Adityawarman, melesat kesana kemari
menghindari serangan lawannya tanpa dapat membalasnya. Hingga akhirnya dalam sebuah serangan, Kuda
Jenar mati langkah tidak mampu lagi menghindari keris
Tumenggung Adityawarman yang melesat cepat
merobek bahu tangan kanannya.
Crattt"!!! Darah memuncrat lewat bahu tangan kanan Kuda
Jenar yang robek tergores cukup dalam.
Begitu pedih luka di bahu Kuda Jenar membuat tanpa
disadarinya tongkat di tangan kanannya ikut terlepas.
Nampaknya Tumenggung Adityawarman sudah
benar-benar ingin menyudahi pertempurannya itu, terlihat
dengan gerakan yang tak dapat diikuti oleh pandangan
mata orang biasa, tiba-tiba saja kerisnya telah melekat di
kulit leher Kuda Jenar. "Menyerah atau keris ini merobek lehermu!" berkata
Tumenggung Adityawarman dengan suara membentak
1429 kepada Kuda Jenar. "Aku menyerah?" berkata Kuda jenar dengan wajah
pasrah mengakui keunggulan Tumenggung Adityawarman.
"Bagus, aku akan mengampunimu. Namun seluruh
pasukanmu telah kuambil alih berada didalam
perintahku", berkata Tumenggung Adityawarman kepada
Kuda Jenar. Demikianlah, dihadapan pasukannya Kuda Jenar
langsung menyampaikan bahwa dirinya bukan lagi
pimpinan mereka dan pucuk pimpinan telah dialihkan
kepada Tumenggung Adityawarman.
Terlihat Patih Gajahmada menarik nafas panjang,
pertumpahan darah sesama prajurit Majapahit telah
dapat dihindarkan. "Gusti Yang Maha Agung telah memberikan
anugerah yang berlimpah kepada kita semua, sehingga
kita semua dapat kembali tanpa luka, tanpa kehilangan
saudara dan sahabat. Gusti Yang Maha Agung telah
memberikan kemenangan untuk kita semua", berkata
Adipati Menak Koncar ikut meresa gembira bahwa hari
itu tidak terjadi peperangan apapun diantara mereka.
"Atas nama pribadi aku mengucapkan beribu banyak
rasa terima kasih tak terhingga, terutama untuk bantuan
tenaga dari perguruan Teratai Putih", berkata Patih
Gajahmada kepada Adipati Menak Koncar. Kepada
Rangga Mahesa Dharma ucapan yang sama juga
disampaikan Patih Gajahmada.
"Aku tidak akan melupakan kawan-kawan dari
Padepokan Bajra Seta yang ikut berjasa menyelesaikan
urusanku di wilayah tak bertuan ini", berkata Patih
1430 Gajahmada kepada Mahesa Dharma.
Sementara itu matahari di Padang Lembah Dayang
Muksa terlihat sudah mulai bergeser turun ke barat.
Perlahan wajah Gunung Argopuro terlihat semakin
buram manakala mentari perlahan sembunyi di ujung
barat bumi. Semilir angin dingin berhembus bersama rintik hujan
lembah yang biasa turun menjelang malam membasahi
Padang Lembah dayang muksa. Terlihat wajah-wajah
para prajurit Majapahit tengah menatap gerimis di
perkemahannya. Adipati Menak Koncar telah menarik pasukannya dari
Padang Lembah Dayang Muksa, begitu pula Mahesa
Dharma sejak sore tadi telah berpamit diri bersama para
cantrik Padepokan Bajra Seta serta orang-orang dari
perguruan Teratai Putih. "Apakah Ki Sahdatun tidak keberatan bila kuajak ke
Kotaraja Majapahit?" bertanya Patih Gajahmada kepada
Ki Sahdatun. "Aku hanya seorang pengembara, tidak ada yang
menungguku di sebuah tempat", berkata Ki Sahdatun
penuh senyum. Sementara itu gerimis sudah terhenti diluar
perkemahan, terlihat purnama mengapung diatas puncak
gunung Argapuro menambah keangkeran suasana di
sekitarnya yang konon ada seorang putri jelita bernama
putri Rengganis lenyap sirna bersama keenam
dayangnya di tempat itu seperti hilang sirna tertelan
bumi. Semakin malam suasana semakin dingin di Padang
Lembah Dayang Muksa itu membuat sebagian prajurit
1431 Majapahit terlihat beristirahat di dalam gubuk-gubuk
darurat mereka. Sementara sebagian lagi bersama para
peronda duduk di depan perapian mengisi waktu malam
mereka. Hingga akhirnya sang malam perlahan berpamit diri
manakala sang surya muncul dari balik punggung
gunung Argopuro yang perkasa laksana seorang ksatria
agung berperisai sebuah senjata cakra di punggungnya.
Perlahan Padang Lembah Dayang Muksa mulai
hangat disirami cahaya matahari pagi. Jernih embun pagi
di ujung rumput-rumput liar, di ujung pelepah bunga yang
tersebar berwarna-warni. Geliat para prajurit terlihat telah bersiap diri untuk
berangkat kembali ke Kotaraja Majapahit.
Demikianlah, manakala mentari pagi terlihat sudah
mulai meninggi, dua ribu prajurit Majapahit terlihat telah
bergerak meninggalkan Padang Lembah Dayang Muksa.
Seperti ular naga raksasa, dua ribu prajurit itu
bergerak menyusuri jalan yang kadang berliku, kadang
menurun dan menanjak. "Akhirnya kita telah menunaikan tugas di wilayah tak
bertuan ini tanpa banyak korban", berkata Patih
Gajahmada diatas kudanya kepada Tumenggung
Adityawarman. Terlihat Tumenggung Adityawarman hanya menoleh
sebentar melemparkan senyumnya.
"Tidak selalu jalan datar dan lurus, wahai saudaraku",
berkata Tumenggung Adityawarman.
Demikianlah, tidak ada gangguan apapun dalam
perjalanan pulang para prajurit Majapahit menuju
Kotaraja Majapahit. 1432 Sementara itu dalam perjalanan menuju Kotaraja
Majapahit, Patih Gajahmada dan Tumenggung
Adityawarman semakin mengenal Ki Sahdatun secara
pribadi. Patih Gajahmada dan Tumenggung Adityawarman mulai mengenal Ki Sahdatun sebagai
pribadi yang menyenangkan, banyak cerita menarik yang
disampaikan oleh Ki Sahdatun. Cerita mengenai
perjalanan hidupnya, cerita beberapa pengalaman
pribadinya. Hingga akhirnya dalam perjalanan itu, Patih
Gajahmada dan Tumenggung Adityawarman mulai
mengenal agama yang dianut oleh Ki Sahdatun. Sebuah
agama yang mereka ketahui banyak dianut oleh para
pedagang yang datang dari sebuah nagari yang amat
jauh, sebuah nagari di timur bumi.
Terpesona kedua anak muda itu manakala
mengetahui bahwa Ki Sahdatun ternyata begitu banyak
memahami ajaran agama yang mereka anut selama ini.
"Setiap manusia terlahir dengan tingkat kemampuan
yang berbeda dalam pemahaman dan pengkajiannya
mengenal agama masing-masing. Itulah sebabnya para
nabi, para pendeta, para brahmana menuturkan
ajarannya dengan bahasa yang bersayap agar semua
orang dapat mengkajinya sesuai dengan tingkat
pemahaman masing-masing. Yang sangat disayangkan
banyak orang terjebak dalam kedangkalan pemahamannya sendiri", berkata Ki Sahdatun di sebuah
tempat persinggahan mereka di sebuah malam di
perjalanan mereka. "Apakah Ki Sahdatun dapat memberikan sebuah
contoh?" berkata Tumenggung Adityawarman merasa
sangat terkesan. 1433 "Para Brahmana mengajarkan tentang catur warna
agar umatnya menemukan jalan terang dalam
pengembaraan bathinnya, sayang sebagian umatnya
banyak yang tersesat dengan mengkastakan setiap
manusia berdasarkan wujud lahiriahnya", berkata Ki
Sahdatun. Terkejut Patih Gajahmada mendengar penuturan Ki
Sahdatun, sebagai seorang yang banyak memahami
kitab Tatwa lewat bimbingan langsung seorang pendeta
agung sejak kecilnya tentu saja patih Gajahmada merasa
terheran-heran bahwa seorang Ki Sahdatun telah
memahami rahasia ajaran catur warna yang sangat tinggi
itu. "Apakah agama Ki Sahdatun mengajarkan hal yang
sama sebagaimana ajaran catur warna?" bertanya patih
Gajahmada merasa ikut tertarik mendengar penuturan Ki


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sahdatun mengenai catur warna.
"Agama kami hanya menyempurnakan ajaran yang
pernah ada di bumi ini, sebagaimana pemahaman catur
warna tentang empat tahapan menuju kesucian diri,
sementara agama kami menyempurnakannya menjadi
lima tahapan, menyempurnakannya bahwa kesucian diri
bukan akhir dari perjalanan kita, akhir dari perjalanan kita
adalah dengan bertemu dengan pemilik kesucian itu
sendiri. Kekallah kamu berada di dalamnya selamalamanya", berkata Ki Sahdatun sambil memandang Patih
Gajahmada dan Tumenggung Adityawarman silih
berganti dengan wajah penuh senyum.
Terlihat kedua anak muda itu menampakkan wajah
seperti tercengang. Sebagaimana diketahui bahwa Patih
Gajahmada dan Tumenggung Adityawarman adalah
seorang penganut agama yang taat dan telah mencapai
tingkat kerohanian yang tinggi dimana dalam
1434 pemahaman mereka bahwa kasta Brahma adalah tingkat
keempat dan terakhir yang bisa dicapai oleh seorang
rohaniawan. Sementara Ki Sahdatun menyampaikan ada
tingkat kelima penyempurna.
"Adakah seseorang yang dapat mencapai tingkat
melebihi dari tingkat Brahmana?" bertanya keduanya
secara bersamaan. Beganti-ganti Ki Sahdatun menatap wajah keduanya
sambil mengulum senyum. "Untuk mencapainya, kalian harus terlebih dahulu
mengenalnya, dialah yang selalu merasa penuh dosa,
merasa Surga tidak layak untuknya dan ikhlas masuk
neraka selama ada ridho dari pemilik NYA", berkata Ki
Sahdatun. "Ajari kami untuk mengenalnya, wahai orang tua",
berkata kembali keduanya, lagi-lagi secara bersamaan.
"Aku tidak dapat mengajari kalian, aku juga tidak bisa
menjadi seorang guru bagi kalian. Karena Gusti yang
Maha Sempurna jua guru yang terbaik yang akan
memilih siapapun yang dikehendakinya", berkata Ki
Sahdatun dengan wajah penuh kesungguhan hati.
"Tuntunlah kami agar dapat mengenalnya", berkata
Patih Gajahmada. "Baiklah, aku akan menjadi seorang penuntun bagi
kalian", berkata Ki Sahdatun sambil memandang kedua
anak muda itu. "Dengan penuh kesungguhan hati, kami akan
mengikuti jejakmu, wahai orang tua", kali ini yang
berucap adalah Tumenggung Adityawarman.
"Memang perlu kesungguhan hati menekuni ilmu
agama kami, namun sebagaimana kukatakan bahwa
1435 agama kami datang sebagai penyempurna agamaagama terdahulu. Dan aku begitu yakin bahwa tidak
sukar menuntun kalian menemukan jalan kesempurnaan
itu", berkata Ki Sahdatun.
"Tuntunlah kami menemukan jalan kesempurnaan itu,
wahai orang tua", berkata Patih Gajahmada.
"Aku akan memulainya dengan sebuah kesaksian,
bersaksilah bahwa tiada tuhan yang disembah selain
Allah", berkata Ki Sahdatun.
"Allah?" berkata kedua anak muda itu bersamaan.
"Dialah Allah sembahan kami, sang pencipta alam
semesta ini, yang maha Sempurna, yang tidak pernah
mengantuk apalagi tertidur menjaga makhluknya",
berkata Ki Sahdatun. Terlihat kedua anak muda itu mengangguk-angguk
kecil pertanda dapat menangkap dan mengerti perkataan
Ki Sahdatun. Terlihat Ki Sahdatun menarik nafas dalam-dalam
seperti dapat membaca pikiran dan perasaan kedua anak
muda yang begitu penuh kesungguhan untuk memahami
ajaran agamanya. "Bacalah dan perhatikan dirimu sendiri", berkata Ki
Sahdatun dengan suara sangat perlahan sekali. "Dengan
nama Tuhanmu yang menciptakan kamu, yang
menciptakan kamu dari sebongkah tanah", berkata
kembali Ki Sahdatun. Serentak, patih Gajahmada dan Tumenggung
Adityawarman seperti menjelajah kedalam dirinya dalam
pengembaraan bathinnya. "Luar biasa! aku telah melihatNYA", berkata Patih
Gajahmada dengan tanpa sadar berucap penuh dengan
1436 kegembiraan hati. "Bacalah dan perhatikan kembali dirimu, dialah
Tuhanmu yang Maha Pemurah, yang mengajarkan
dirimu langsung dengan bahasa yang kamu mengerti,
yang mengajarkan manusia apa-apa yang tidak
diketahuinya", berkata Ki Sahdatun masih dengan suara
yang perlahan namun jelas dan jernih terdengar.
"Luar biasa, aku telah menemukan tahap jalan
kesempurnaan itu", berkata Tumenggung Adityawarman
tanpa sadar berucap dengan penuh kegembiraan hati.
"Segala puji bagi Allah, tak kusangka orang semuda
kalian begitu mudahnya menemukan jalan tahap
kesempurnaan itu", berkata Ki Sahdatun tidak kalah lebih
gembira dibandingkan dengan kedua anak muda itu.
"Malam ini aku merasa sebagai orang paling
beruntung, mengenal dirimu, wahai orang tua", berkata
Patih Gajahmada dengan wajah masih penuh berseriseri.
"Nabi dan rasul kami bernama Muhamad, putra
Abdillah dan Siti Fatimah, seorang dari keturunan suku
Qurais yang lahir di tahun Gajah. Beliau pernah bersabda
bahwa di akhir jaman ada sebuah kaum yang tidak
mengenalnya, namun kaum itu selalu patuh mengikuti
ajarannya. Merekalah kaum yang terbaik dari orangorang yang terbaik yang pernah ada di muka bumi ini",
berkata Ki Sahdatun dengan wajah penuh berseri-seri
sambil memandang kedua anak muda itu.
Sementara itu di perkemahan mereka hari telah
semakin larut malam, perjalanan mereka hanya tinggal
satu hari perjalanan menuju Kotaraja Majapahit.
"Hari telah larut malam, beristirahatlah karena esok
1437 hari kita akan melanjutkan perjalanan", berkata Ki
Sahdatun kepada Patih Gajahmada dan Tumenggung
Adityawarman yang terlihat sudah mulai mengantuk.
"Allah yang membuka dan memulai pembicaraan
tentang diriNYA, Allah jua yang menutup dan
mengakhirinya", berkata Ki Sahdatun sambil tersenyum
memandang kedua anak muda itu.
Awan kelabu terlihat bergerak membuka wajah
rembulan, bersama bintang menyempurnakan malam.
Itulah awal pertama Patih Gajahmada dan
Tumenggung Adityawarman mengenal agama Islam
lewat tuntunan murni seorang bernama Ki Sahdatun.
Itulah awal tumbuh dan berkembangnya benih-benih dan
cikal bakal tumbuhnya agama Islam di bumi Majapahit.
Beberapa malam setelah berada di Kotaraja
Majapahit ketiganya masih terus mendalami ajaran Islam
di bawah tuntunan Ki Sahdatun.
Namun dahaga kedua anak muda itu meneguk
manisnya ajaran baru itu untuk sementara harus tertahan
manakala Patih Arya Tadah menugaskan Patih
Gajahmada dan Tumenggung Adityawarman menyeberang ke Balidwipa sehubungan dengan
pembangkangan Raja penguasa di Balidwipa yang tidak
tunduk lagi sebagai daerah bawahan Kerajaan
Majapahit. "Aku akan menunggu kalian kembali", berkata Ki
Sahdatun di sebuah malam di pasanggrahan Tanah
Ujung Galuh manakala patih Gajahmada dan
Tumenggung Adityawarman berpamit diri bahwa besok
mereka berdua akan berangkat ke Balidwipa.
"Aku titip Rangga Seta dan ibuku di pasanggrahan
1438 ini", berkata Patih Gajahmada kepada Ki Sahdatun.
Demikianlah, senja itu terlihat dua orang pemuda
bersama beberapa orang tengah naik ke sebuah perahu
dagang di Bandar pelabuhan Tanah Ujung Galuh. Tidak
seorang pun menyangka bahwa kedua pemuda itu
adalah dua orang pembesar kerajaan Majapahit yang
sangat disegani itu. Patih Gajahmada dan Tumenggung
Adityawarman memang telah melepas pakaian
kebesaran mereka, membaur bersama orang biasa
dengan hanya memakai pakaian layaknya para
pengembara biasa. Tumenggung Adityawarman dan Patih Gajahmada
naik ke sebuah perahu dagang yang akan membawa
mereka berlayar ke Banyuwangi dimana hanya tinggal
sedikit menyeberang ke Balidwipa untuk melaksanakan
tugas mereka mengamati kekuatan dan kelemahan
Kerajaan Bali secara langsung.
"Kemana tujuan kalian berdua?" bertanya seorang
saudagar kepada keduanya diatas geladag perahu
dagang yang terlihat mulai bergerak menjauhi dermaga
pelabuhan Tanah Ujung Galuh.
"Kami hendak ke Balidwipa", berkata Tumenggung
Adityawarman kepada saudagar itu.
"Berarti kita satu tujuan, perkenalkan namaku
Partaka", berkata Saudagar itu memperkenalkan dirinya.
"Namaku Arya Damar, dan ini saudaraku bernama
Majalangu", berkata Tumenggung Adityawarman memperkenalkan dirinya sebagai Arya Damar kepada
saudagar itu Terlihat Saudagar yang bernama Partaka itu melihat
Arya Damar dari ujung kaki hingga atas kepala.
1439 "Apakah kamu seorang pejabat kerajaan?" bertanya
Saudagar itu. "Nama Arya di depan namaku adalah nama
pemberian orang tua kami, mungkin orang tua kami
menginginkan diriku untuk menjadi seorang pejabat
istana", berkata Tumenggung Adityawarman sambil
tersenyum memaklumi keheranan saudagar itu.
"Semua orang tua memang berharap banyak dari
nama yang diberikannya", berkata Saudagar itu.
Demikianlah, sejak saat itu kedua anak muda itu
dalam penyamarannya menggunakan nama Arya Damar
dan Majalangu. Ketika tiba di Balidwipa keduanya langsung menuju
arah Kotaraja Kerajaan. Dan berkat bantuan seorang
saudagar kenalannya yang bernama Partaka, kedua
anak muda itu telah diterima bekerja di sebuah rumah
pengrajin perak yang sangat terkenal di seluruh pelosok
Balidwipa sebagai penghasil barang kerajinan seni perak
yang sungguh sangat indah.
"Kakang Partaka datang sangat tepat sekali, aku
memang membutuhkan tambahan tenaga kerja", berkata
pemilik rumah kerajinan perak itu kepada saudagar
Partaka. "Bagus bila memang demikian", berkata saudagar
Partaka kepada kenalannya itu.
Maka sejak saat itu kedua anak muda yang
menyamarkan dirinya bernama Arya Damar dan
Majalangu itu bekerja di rumah kerajinan perak di
kotaraja Bali. Setelah beberapa hari bekerja, pemilik rumah
kerajinan perak itu sangat menyukai kedua anak muda
1440 itu yang menurutnya sangat rajin bekerja dan bersikap
sangat sopan serta begitu cepat menyesuaikan dirinya
dengan sesama pekerja maupun kepada para
pelanggannya. Sementara itu dalam waktu luangnya, keduanya
masih sempat melakukan pengamatan keadaan Kotaraja
Bali dan sekitarnya. Hingga pada suatu hari, pemilik rumah kerajinan
perak itu meminta Arya Damar mengantar sebuah
barang ke salah seorang pelanggannya.
"Arya Damar, bukankah tiga hari yang lalu kamu yang
mengantar barang ke rumah Ki Pasunggrigis?" berkata
pemilik rumah kerajinan itu kepada Arya Damar.
"Benar, Ki Wayan", berkata Arya Damar kepada
majikannya itu yang bernama Ki Wayan.
"Hari ini aku memintamu mengantar barang pesanan
milik putri Ki Pasunggrigis", berkata Ki Wayan kepada
Arya Damar. Maka setelah menerima beberapa pesan dari Ki
Wayan, terlihat Arya Damar keluar dari rumah kerajinan
perak itu. Setelah beberapa hari di Kotaraja Bali, Arya Damar
nampaknya telah banyak tahu seluk-beluk jalan di sekitar
Kotaraja Bali. Tidak sukar bagi Arya Damar menemui rumah Ki
Pasunggrigis yang cukup besar tidak begitu jauh dari
istana Bali. Ternyata pemilik rumah itu adalah seorang pejabat
tinggi kerajaan Bali, Ki Pasunggrigis adalah seorang
Mahapatih Kerajaan Bali yang sangat disegani. Maka
tidak heran bila rumah itu selalu di jaga oleh beberapa
1441 orang prajurit. Terlihat seorang prajurit menanyakan keperluan Arya
Damar ke rumah itu. "Aku diminta untuk mengantar barang pesanan milik
Nimas Ayu Manik Danda", berkata Arya Damar kepada
prajurit itu menjelaskan keperluannya datang ke rumah


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. "Langsung saja kamu masuk, kebetulan Nimas Ayu
Manik Danda ada di pendapa", berkata prajurit itu kepada
Arya Damar. Terlihat Arya Damar tengah berjalan membelah
halaman rumah yang besar itu, dan tidak lama kemudian
dirinya telah berada dekat dengan tangga pendapa.
Namun langkah anak muda itu terhenti di ujung anak
tangga pendapa karena diatas pendapa itu dilihatnya
seorang pemuda tengah berselisih cakap dengan
seorang gadis. "Katakan saja siapa gerangan yang telah mencuri
hatimu hingga kamu berpaling dariku?" berkata pemuda
itu kepada gadis dihadapannya.
"Tengoklah ke belakang, pemuda itulah yang telah
mencuri hatiku itu", berkata Gadis itu kepada pemuda
dihadapannya. Seketika itu juga pemuda itu berpaling kearah
pandangan mata gadis itu dimana dilihatnya Arya Damar
tengah berdiri di ujung anak tangga.
"Anak muda gembel, beraninya kamu merebut
kekasihku. Kutantang dirimu untuk perang tanding",
berkata pemuda itu dengan mata penuh tantangan
kepada Arya Damar. Terkejut Arya Damar mendapatkan tantangan yang
1442 tiba-tiba itu. "Mengapa aku yang harus menjadi lawan
tandingmu?" berkata Arya Damar penuh rasa heran.
"Manik Danda, lihatlah pemuda pilihanmu itu seperti
orang ketakutan mendengar tantanganku", berkata
pemuda itu sambil tertawa kepada gadis yang
dipanggilnya bernama Manik Danda.
"Saat ini memang tidak ada seorang pun anak muda
yang dapat menandingi ilmumu, namun tetap aku tidak
akan memilih dirimu", berkata Manik Danda kepada
pemuda angkuh itu. "Dengarlah, kamu sendiri yang telah memilih anak
muda ini, sekarang akan kubuat dirimu menyesali
pilihanmu itu. Bersedia atau tidak akan kupaksa dirinya
perang tanding denganku", berkata pemuda itu dengan
suara penuh kemarahan. Entah mengapa di hati kecil Arya Damar tidak begitu
menyukai sikap pemuda itu dan merasa kasihan kepada
gadis jelita diatas pendapa itu yang ternyata bernama
Manik Danda. "Aku bersedia menantang perang tanding", berkata
tiba-tiba Arya Damar dengan suara terdengar sangat
penuh ketenangan hati. Bukan main terkejutnya pemuda itu mendengar
perkataan Arya Damar. Terlihat pemuda itu mulai memperhatikan diri Arya
Damar lebih seksama lagi.
"Bagus, ternyata kamu seorang yang jantan. Aku
Makambika, putra Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten
menunggumu besok di alun-alun depan istana", berkata
pemuda itu yang ternyata adalah putra Raja Bali yang
bernama Raden Makambika. 1443 Terlihat Arya Damar tidak berkata apapun, hanya
bergeser sedikit membiarkan Raden Makambika
melewati dirinya ketika menuruni anak tangga pendapa.
"Manik Danda, apakah kamu membuat masalah lagi
dengan Raden Danda?" berkata tiba-tiba seseorang
yang baru saja keluar dari pintu pringgitan yang ternyata
adalah Ki Pasunggrigis. Manik Danda langsung bercerita tentang apa yang
baru saja terjadi. "Anak muda, siapa gerangan dirimu?" berkata Ki
Pasunggrigis kepada Arya Damar setelah mempersilahkan anak muda itu duduk bersama di
pendapa. "Namaku Arya Damar, aku datang untuk
menyerahkan barang pesanan Nimas Ayu Manik Danda",
berkata Arya Damar menyampaikan maksud kedatangannya. "Ilmu Raden Makambika sangat tinggi, kuharap kamu
mengurungkan perang tanding itu", berkata Ki
Pasunggrigis dengan perasaan penuh kekhawatiran
kepada Arya Damar. "Terima kasih atas kekhawatiran Tuan Mahapatih,
hamba tidak dapat menarik ucapan yang sudah terlepas.
Besok hamba akan menghadapi tantangan perang
tanding itu", berkata Arya Damar kepada Ki Pasunggrigis.
"Sungguh kamu seorang anak muda yang sangat
pemberani", berkata Ki Pasunggrigis dengan penuh rasa
kagum melihat sikap Arya Damar yang tidak punya rasa
gentar sedikitpun itu. "Arya Damar, pergilah jauh-jauh dari Balidwipa ini.
Urungkan niatmu datang di perang tanding itu. Raden
1444 Kumbara akan mencelakai dirimu, bahkan tanpa belas
kasihan akan membunuhmu", berkata Manik Danda
kepada Arya Damar. "Nasib manusia berada di tangan Gusti Yang Maha
Agung. Sementara kita hanya manusia ciptaannya yang
tidak akan pernah dapat menghindar dari takdirnya",
berkata Arya Damar dengan wajah penuh ketenangan
diri dihadapan Manik Danda dan Ki Pasunggrigis.
"Kami akan merasa bersalah bila saja terjadi sesuatu
atas dirimu", berkata Ki Pasunggrigis kepada Arya
Damar. "Berdoalah, semoga hamba diberikan kekuatan dan
keselamatan menghadapi perang tanding itu", berkata
Arya Damar sambil berdiri perlahan dan mohon pamit
diri. Terlihat Ki Pasunggrigis dan Manik Danda menatap
kearah Arya Damar yang tengah berjalan membelah
halaman rumah mereka menuju arah regol gerbang
pintu. "Aku melihat di mata anak muda itu rasa percaya diri
yang amat tinggi", berkata Ki Pasunggrigis kepada
putrinya. "Anak muda yang sederhana, mungkinkah punya
kemampuan tersembunyi dan mampu mengalahkan
Raden Makambika?" berkata Manik Danda penuh rasa
khawatir. "Besok kita ada di tempat perang tanding itu, dan aku
akan berusaha menjaga agar Raden Makambika tidak
berlaku kejam terhadap anak muda itu", berkata Ki
Pasunggrigis mencoba mengaliskan rasa kekhawatiran
putrinya itu. 1445 Mendengar perkataan ayahnya itu, terlihat Manik
Danda seperti sedikit terhibur.
"Aku akan merasa bersalah bila terjadi sesuatu pada
diri anak muda itu di perang tandingnya", berkata kembali
Manik Danda sambil memandang kea rah regol pintu
gerbang dimana Arya Damar terakhir kali dilihatnya.
"Sebagaimana yang dikatakan oleh anak muda itu,
kita manusia tidak akan pernah lepas dari takdirnya",
berkata Ki Pasunggrigis merasa iba dengan perasaan
putrinya itu. "Aku berharap anak muda itu memenangkan perang
tandingnya, meruntuhkan kesombongan Raden Makambika selama ini", berkata Manik Danda dengan
suara perlahan seperti bicara kepada dirinya sendiri.
"Apakah kamu menyukai anak muda itu?" bertanya Ki
Pasunggrigis dengan wajah menggoda dihadapan Manik
Danda. Terlihat Manik Danda tidak menjawab pertanyaan
ayahnya, hanya sedikit senyum mengukir indah di ujung
bibirnya yang tipis. Dan senyum itu bagi Ki Pasunggrigis adalah sebuah
jawaban. Orang tua itu terlihat menarik nafas panjang.
"Cinta dan perjodohan memang tidak dapat dipaksakan",
berkata Ki Pasunggrigis dalam hati.
"Apakah ayah menyukai anak muda itu?" bertanya
Manik Danda kepada ayahnya.
Pertanyaan Manik Danda datang begitu tiba-tiba
diluar perkiraan Ki Pasunggrigis. Namun orang tua
bijaksana itu tidak memperlihatkan keterkejutannya,
menutupinya dengan sebuah senyum lembut di
wajahnya. 1446 "Tutur kata serta kesederhanaannya telah membuat
hati ayahmu untuk menyukainya", berkata Ki
Pasunggrigis masih dengan senyumnya dihadapan putri
tercintanya itu. Mendengar tutur kata ayahnya telah membuat gadis
itu merasakan hatinya seperti berbunga-bunga. Kembali
pandangannya tertuju kearah regol pintu gerbang tempat
terakhir kali Arya Damar berada di ujung kelopak
matanya, berharap dan berkhayal anak muda itu muncul
tiba-tiba. "Aku ingin menyaksikan perang tanding mereka",
berkata Manik Danda dengan wajah berbinar-binar
dihadapan ayahnya, Ki Pasunggrigis.
Keesokan harinya. Alun-alun yang berada di depan istana itu terlihat
sudah mulai di datangi beberapa orang. Mereka berdiri
diluar sebuah tali yang diikat membentuk empat persegi
panjang. Nampaknya hari itu memang akan ada sebuah
perang tanding, namun tidak satu pun yang mengetahui
siapa gerangan yang akan turun melaksanakan perang
tanding itu. Di jaman itu khususnya di Balidwipa ada sebuah
tradisi perang tanding. Biasanya dilakukan untuk
menyelesaikan sebuah perselisihan. Dalam tradisi
perang tanding itu tidak ada tuntutan apapun di belakang
harinya bilamana salah seorang petanding gugur dalam
perang tanding itu. Manakala matahari pagi terlihat sudah semakin naik
tinggi, barulah orang-orang yang berada di alun-alun itu
mengetahui salah satu petanding itu ternyata adalah
Raden Makambika, seorang putra raja yang sangat
disegani karena diketahui punya ilmu kemampuan yang
1447 cukup tinggi. "Siapa gerangan yang berani menantang Raden
Makambika untuk perang tanding?" bertanya-tanya
beberapa orang dengan penuh rasa penasaran.
"Yang pasti orang itu merasa punya kemampuan
yang sepadan dengan Raden Makambika", berkata
beberapa orang mengira-ira orang yang akan menjadi
lawan perang tanding Raden Makambika itu.
Akhirnya yang ditunggu oleh orang banyak di alunalun itu datang juga, terlihat seorang anak muda dengan
pakaian sederhana memasuki arena perang tanding dan
langsung berdiri dihadapan Raden Makambika.
"Ternyata kamu cukup jantan datang di arena ini",
berkata Raden Makambika menyapa anak muda yang
baru datang itu yang tidak lain adalah Arya Damar.
"Maaf, aku telah membuat kamu lama menunggu",
berkata Arya Damar dengan suara datar dan penuh rasa
percaya diri yang tinggi.
"Bersiaplah, aku sudah tidak sabar
menghajarmu", berkata Raden Makambika
keangkuhan. untuk penuh Mendengar perkataan Raden Makambika, terlihat
Arya Damar telah bersiap diri dengan sikap kuda-kuda
yang kokoh seperti tertancap di bumi.
"Keluarkan senjatamu, agar kamu tidak menyesal",
berkata Raden Makambika sambil menerjang dengan
keris di ujung tangannya.
Sebuah serangan pembukaan yang amat keras dan
cepat. Terlihat hampir semua orang menarik nafas panjang
1448 menduga bahwa anak muda itu akan mengalami nasib
yang sangat mengenaskan terkoyak keris Raden
Makambika yang berilmu tinggi itu.
Namun dugaan hampir semua orang itu ternyata
tidak benar adanya, karena terlihat dengan lincahnya
Arya Damar mengelak cepat bahkan diluar dugaan telah
melakukan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya.
Semua orang seperti bernafas lega, mata mereka
seperti sedikit terbuka bahwa Arya Damar ternyata bukan
orang biasa yang mudah dijadikan mangsa.
Terbuka juga mata Raden Makambika yang
sebelumnya hanya melihatnya dengan sebelah mata.
Serang dan balas menyerang pun telah terjadi dengan
begitu serunya di arena perang tanding itu.
Arya Damar terlihat bergerak dengan begitu
lincahnya seperti anak ikan gabus melesat sembunyi dari
kejaran pemangsa. Sementara itu Raden Makambika
bergerak seperti seekor banteng mengamuk.
Rasa penasaran sudah meledak-ledak di dada
Raden Makambika, karena sudah bilangan gerak


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langkah serangannya tidak juga berbuah hasil, Arya
Damar seperti begitu alot untuk secepatnya dikalahkan.
Merasakan Arya Damar tidak mudah ditundukkan,
seketika Raden Makambika meningkatkan tataran
kemampuannya. Terlihat serangan Raden Makambika semakin cepat
dan keras. Keris di tangan Raden Makambika berputarputar berdesing mengejar kemanapun Arya Damar
bergerak. Tidak ada jalan lain bagi Arya Damar untuk ikut
meningkatkan tataran ilmu kemampuannya guna
1449 mengimbangi serangan Raden Makambika yang amat
cepat dank eras itu. Kembali keseimbangan pertempuran diantara
keduanya, serang dan balas menyerang silih berganti
membuat semua orang berkali-kali harus menahan nafas
mereka menyaksikan pertempuran kedua anak muda itu.
Menyaksikan bahwa Arya Damar kembali dapat
mengimbangi serangannya, dengan dada yang meledakledak penuh rasa kekecewaan yang amat sangat, maka
tidak ada jalan lain bagi putra Raja Bali yang baru kali ini
mendapat lawan tanding yang sangat tangguh itu untuk
mengeluarkan puncak kemampuannya.
Terlihat Raden bayangan terbang. Makambika bergerak seperti Namun Arya Damar bukan anak kemarin sore yang
baru turun dari gunung. Arya Damar adalah putra tunggal
Patih Mahesa Amping yang terkenal itu yang pernah
menggetarkan bumi Malayu dengan gelar manusia
Dewa. Maka tidak sukar bagi Arya Damar keluar dari
setiap terjangan Raden Makambika yang telah di atas
puncak kemampuannya itu. Bukan main kecewanya Raden Makambika
mendapatkan serangannya kalis begitu saja. Bahkan
Arya Damar masih saja dapat melakukan penekanan
yang tidak kalah dahsyatnya.
Entah sudah berapa bilangan gerak laku kedua
petempur itu mengadu kemampuannya, sementara gerak
mereka sudah terlihat seperti bayangan terbang saling
berkejaran. Semakin bergejolak perasaan Raden Makambika
mendapatkan lawan perang tandingnya bukan orang
1450 biasa yang begitu mudah menjadi barang permainannya,
menjadi alat pamer keangkuhannya.
Hingga akhirnya mata Raden Makambika mulai
terbuka. Raden Makambika sudah seperti semakin putus asa.
Ternyata Arya Damar telah meningkatkan kemampuannya lebih tinggi lagi melampaui kemampuan
yang dimiliki oleh Raden Makambika.
Raden Makambika tidak lagi melihat Arya Damar
sebagai anak ikan gabus yang hanya dapat melesat
sembunyi, tapi Raden Makambika melihat Arya Damar
sebagai ular air besar yang sigap dan kuat.
Gerak Raden Makambika di arena perang tanding itu
sudah merasa semakin terancam, layaknya seekor ikan
yang terjebak di dalam kubangan dangkal.
Peluh dingin keluar dari seluruh tubuh, bukan karena
kelelahan melainkan karena rasa takut kekalahannya
disaksikan oleh orang banyak, orang-orang yang selama
ini membanggakannya sebagai putra Raja Bali yang pilih
tanding. Sementara itu di arena perang tanding itu dirinya
tidak dapat berbuat banyak, bahkan dirinya berada
diambang kekalahan bila saja tidak mengandalkan
kesigapannya menghadapi serangan pihak lawan yang
ternyata punya kemampuan lebih tinggi diatas
kemampuannya yang dibanggakannya selama ini.
Perlahan tapi pasti, Raden Makambika terlihat seperti
semakin terjerembab menghadapi desakan serangan
Arya Damar yang datang silih berganti.
Hingga akhirnya keberadaan Raden Makambika
benar-benar seperti seekor ikan di kubangan dangkal,
sementara di dekatnya seekor ular air besar yang lapar
1451 siap menunggu saat yang tepat.
Nalar dan pengendalian Arya Damar masih tetap
terjaga, itulah sebabnya bukan keris di tangannya yang
digunakan untuk menuntaskan pertempurannya, melainkan sebuah hentakan kakinya yang tepat
bersarang di perut Raden Makambika yang telah
membuat putra Raja Bali itu terjengkang dengan nafas
seperti terputus sejenak.
"Tidak ada tuntutan apapun bila kerisku ini merobek
batang lehermu di perang tanding ini", berkata Arya
Damar yang tiba-tiba saja bergerak dengan amat cepat
sekali mendekatkan kerisnya di leher Raden Makambika.
Peluh dingin memenuhi seluruh wajah Raden
Makambika, di benaknya terbayang cemohan banyak
orang yang menyaksikan kekalahannya itu. Lama Raden
Makambika tidak dapat berkata-kata, lidahnya seperti
kelu menahan rasa malu yang amat sangat.
"Tidak ada tuntutan apapun dalam perang tanding ini,
namun setiap orang dapat menjadi pengganti. Aku Patih
Kebo Iwa mewakili nama besar kehormatan kerajaan
yang akan menggantikan kedudukan Raden Makambika
di perang tanding ini", berkata seorang lelaki tinggi besar
berwajah keras memasuki arena perang tanding di alunalun depan istana itu.
Mata semua orang yang berada di luar arena perang
tanding itu tertuju kearah lelaki tinggi besar yang mereka
kenal sebagai salah seorang Patih di kerajaan Bali yang
berilmu tinggi. Terlihat Arya Damar mundur beberapa langkah
menjauhi Raden Makambika yang masih terbaring.
"Bangkit dan keluarlah dari arena ini, wahai Raden
1452 Makambika. Biarlah pamanmu yang akan menggantikanmu menjaga kehormatanmu", berkata Patih Kebo Iwa
kepada Raden Makambika. Perlahan Raden Makambika bangkit berdiri dan
tergesa-gesa keluar dari arena perang tanding itu.
"Katakan siapa gerangan namamu, wahai orang
muda. Agar semua orang di sini dapat mengingat sebuah
nama bila tubuhmu mati tergeletak di arena perang
tanding ini", berkata Patih Kebo Iwa kepada Arya Damar
yang terlihat sudah bersiap diri menghadapi lelaki yang
sudah mengumandangkan nama besarnya sebagai Patih
Kebo Iwa itu. Namun Arya Damar tidak jadi membuka mulutnya,
karena telah melihat seorang pemuda melangkah datang
mendekatinya. "Patih Kebo Iwa, namaku Majalangu. Bukan berarti
saudaraku ini tidak dapat mengalahkanmu, hanya untuk
menyeimbangkan perang tanding ini, aku akan menjadi
pengganti saudaraku menjadi lawanmu", berkata pemuda
itu dengan suara lantang, keras dan tegas.
Terlihat semua orang yang hadir menyaksikan
perang tanding itu mengerutkan keningnya, semua orang
mempertanyakan keberadaan pemuda itu apakah punya
ilmu setinggi langit hingga begitu beraninya menantang
sorang Patih Iwa Kebo yang berilmu sangat tinggi itu.
Meski pemuda yang menamakan dirinya bernama
Majalangu itu terlihat sangat percaya diri dan bersikap
sangat tenang, tetap saja semua orang masih
menyangsikan kemampuannya itu.
"Berhati-hatilah, wahai saudaraku. Aku melihat sinar
mata orang itu penuh dengan tenaga sejati yang sangat
1453 tinggi", berkata Arya Damar berbisik perlahan kepada
Majalangu yang tidak lain adalah Patih Gajahmada itu.
Setelah berkata kepada Majalangu, terlihat Arya
Damar melangkah keluar dari arena perang tanding itu.
Tinggallah Majalangu dan Patih Kebo Iwa di tengah
arena perang tanding saling tatap muka seperti layaknya
dua orang petarung yang saling mengukur kedalaman
kemampuan masing-masing lawannya.
Terlihat patih Kebo Iwa telah meloloskan pedang
besarnya, sebuah pedang pusaka dengan beberapa
gerigi tajam di punggung mata pedangnya. Ada perbawa
yang keluar dari kilatan cahaya pedang itu yang
memantulkan cahaya matahari di siang itu.
"Keluarkan senjatamu, agar kamu tidak menyesal di
ujung perang tanding ini", berkata patih kebo Iwa kepada
pemuda yang akan menjadi lawan tandingnya itu.
Terlihat Majalangu menarik nafas panjang, perlahan
tangannya meraba pangkal cambuk pendeknya yang
melingkar di pinggangnya.
Semua orang telah melihat sebuah cambuk pendek
jatuh berjurai menyentuh bumi.
Mata Majalangu yang sangat tajam terlatih itu telah
melihat selintas keterkejutan diri Patih Kebo Iwa yang
tertuju kearah cambuk pendeknya.
"Katakan apa hubunganmu dengan ketua Padepokan
Pamecutan yang bernama Ki Putu Risang itu", berkata
Patih Kebo Iwa kepada Majalangu.
Sontak berdesir darah di tubuh Majalangu
mendengar Patih Kebo Iwa menyebut sebuah nama.
"Aku salah satu muridnya", berkata Majalangu
1454 langsung seketika. Terdengar gelak tawa keluar dari mulut Patih kebo
Iwa. "Orang bodoh itu tidak ingin bergabung dengan kami,
akibatnya kami telah memberangus padepokan miliknya",
berkata Patih Kebo Iwa setelah menghentikan gelak
tawanya. "Aku tidak yakin bahwa dirimu mampu mengalahkannya", berkata Majalangu sambil menatap
tajam kearah Patih Kebo Iwa.
Kembali terdengar gelak tawa Patih Kebo Iwa, lebih
keras dari sebelumnya. "Aku memang belum mengalahkannya, tapi hari ini
aku akan melampiaskan dendam luka diatas wajahku ini
dengan membunuh salah seorang muridnya", berkata
Patih Kebo Iwa diiringi dengan gelak tawanya yang
terdengar begitu menjengkelkan.
Sekelas pandangan Majalangu menatap bekas luka
di wajah Patih Kebo Iwa berupa goresan panjang di
sebelah kiri pipinya, memang sebuah goresan akibat
sebuah cambuk. Terlihat Majalangu menarik nafas panjang, dalam hati
merasa sedikit terhibur bahwa ada kabar bahwa Putu
Risang bersama para cantriknya saat ini masih dalam
keadaan selamat, hanya keberadaannya masih belum
diketahui seperti menghilang ditelan bumi.
"Aku telah siap menghadapimu, wahai Patih Kebo
Iwa", berkata Majalangu dengan suara penuh
kepercayaan diri yang tinggi.
"Bagus, hari ini kamu telah mewakili orang
bercambuk itu, melunaskan rasa sakit hatiku", berkata
1455 Patih Kebo Iwa sambil menggetarkan pedang besarnya
seperti tidak sabaran untuk meloncat dan menerjang
lawan di hadapannya itu. Benar saja, selesai bicara tubuh tinggi besar itu
terlihat telah bergerak dengan pedang besar bergerigi
berputar dan berdesing menerjang tubuh Majalangu alias
Patih Gajahmada itu. Semua orang terlihat menahan nafasnya, membayangkan tubuh anak muda itu akan hancur lumat
tercabik putaran pedang besar di tangan patih Kebo Iwa.
Namun dugaan semua orang ternyata melesat jauh,
anak muda yang di kira akan begitu mudah dikalahkan
oleh patih Kebo Iwa yang berilmu sangat tinggi itu telah
dengan sangat tenang sekali bergeser ke samping,
sementara dengan sangat cepat sekali cambuknya
terlihat bergerak. Tarrr"!!! Hentakan cambuk dengan gerakan sandal pancing
telah memaksa Patih Kebo Iwa mundur dua langkah ke
belakang. "Gila..!!!, berteriak tanpa sadar Patih Kebo Iwa yang
nyaris terkena sambaran cambuk pendek di tangan
Majalangu. Barulah terbuka mata dan pikiran Patih Kebo Iwa
bahwa pemuda dihadapannya itu bukan orang
sembarangan. Maka kembali Patih Kebo Iwa melakukan serangan
kembali, tentunya dengan perhitungan dan kehati-hatian
yang amat sangat tidak ingin terjangannya berbalik arah
mengancam dirinya sendiri.
Melihat serangan Patih Kebo Iwa yang penuh
1456

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhitungan sangat matang itu telah membuat Majalangu
harus mengimbanginya dengan perhitungan lebih
matang. Patih Kebo Iwa tidak menyadari bahwa perhitungan
Majalangu jauh lebih teliti dari apa yang ada dalam
pikirannya. Bila Patih Majalangu berhitung lima langkah
kedepan, sementara Majalangu melampauinya tiga
sampai empat langkah dari perhitungannya. Akibatnya
serangan Patih Kebo Iwa kalis begitu saja seperti air
yang jatuh diatas daun talas, hilang tanpa berbekas.
Bahkan kembali Patih Kebo Iwa disibukkan dengan
serangan yang dahsyat, merasakan ujung cambuk
Majalangu seperti bermata mengejarnya kemanapun
dirinya bergerak. "Anak setan"!" kembali tanpa disadarinya keluar
sumpah serapah dari mulutnya manakala terlepas dari
ujung cambuk Majalangu namun masih sempat
menggores kulit kakinya yang membuat rasa pedih yang
amat sangat. "Maaf, ujung cambukku tidak bermata", berkata
Majalangu sambil tersenyum dan berdiri dengan cambuk
dibiarkan menjulur ke bawah.
Panas hati Patih Kebo Iwa, apalagi saat itu banyak
orang yang menyaksikannya di perang tanding itu.
"Jangan bergirang hati dulu, aku belum menumpahkan seluruh kemampuanku", berkata Patih
Kebo Iwa sambil langsung bergerak menerjang ke arah
Majalangu. Ternyata Patih Kebo Iwa tidak sekedar sesumbar
kosong, serangannya kali ini memang benar-benar lebih
dahsyat dari sebelumnya. 1457 Terlihat pedang besar itu berkelebat kesana kemari
berdesing membelah udara.
Melihat serangan yang sangat dahsyat itu telah
memaksa Majalangu harus meningkatkan tataran
kemampuannya. Dan pertempuran pun menjadi semakin seru dan
dahsyat dari sebelumnya. Debu terlihat beterbangan
pandang penglihatan. mengganggu jarak Terlihat beberapa orang berlarian menjauhi tali batas
arena perang tanding manakala patok-patok tempat
ikatan tali roboh beterbangan.
Ternyata pertempuran dua naga kanuragan itu begitu
dahsyatnya sehingga arena perang tanding itu tidak
cukup bagi mereka. Yang terjadi di alun-alun itu adalah patok-patok hidup
yang melingkar luas dari orang-orang yang masih punya
nyali besar untuk tetap menyaksikan jalannya
pertempuran. Panas hati Patih Kebo Iwa untuk secepatnya
menyelesaikan pertempuran itu. Namun semakin dirinya
meningkatkan tataran ilmunya, anak muda yang menjadi
lawannya itu tetap saja masih dapat mengimbanginya.
Terlihat pertempuran keduanya menjadi semakin
dahsyat, tanah dan batu beterbangan terkena pijakan
langkah kaki mereka. Sementara gerakan keduanya
menjadi semakin cepat hingga terlihat seperti dua
bayangan hitam yang saling kejar mengejar.
Kembali Patih Kebo Iwa menghentakkan ilmu
andalannya setingkat lebih tinggi lagi, angin panas
seperti merobek-robek udara. Namun Majalangu diam1458
diam ikut meningkatkan tataran kemampuannya
membuat patih Kebo Iwa menjadi semakin putus asa
melihat angin panas yang berkobar lewat senjatanya itu
tidak berarti apapun pada diri lawannya.
Dalam keputus-asaannya itu, Patih Kebo Iwa tidak
menyadari telah mengeluarkan ajian samber geni yang
sangat jarang sekali dipergunakan. Sebuah ajian ilmu
yang dapat mengeluarkan petir lewat senjata pedang
pusakanya itu. Dahsyat sekali ajian samber geni yang dilontarkan
oleh Patih Kebo Iwa itu, terlihat lidah petir keluar dari
pedang pusakanya. Melihat bahaya tengah mengancam dirinya, tidak ada
jalan lain bagi Majalangu untuk menghentakkan seluruh
kemampuan tenaga sakti yang dimilikinya yang
dihempaskannya lewat cambuk pendek miliknya.
Degg"!!!! Terdengar hentakan sandal pancing cambuk dari
tangan Majalangu, memang tidak berbunyi seperti suara
halilintar, bahkan nyaris tidak terdengar.
Itulah sebagai pertanda sebuah suara cambuk yang
dihentakkan oleh seorang ahli yang memiliki tenaga sakti
yang berlipat-lipat ganda kedahsyatannya.
Dan dua tenaga sakti dari dua orang raksasa
kanuragan itu telah saling membentur.
Ternyata hentakan tenaga sakti sejati yang
dilontarkan oleh Majalangu berlipat-lipat ganda
kekuatannya melebihi lontaran gunung cadas yang amat
keras. Semua orang yang masih berdiri di alun-alun itu
seperti mematung dengan mata terbuka lebar-lebar.
1459 Semua orang di alun-alun itu menyaksikan dengan
mata kepalanya sendiri melihat lidah petir yang keluar
dari pedang pusaka milik Patih Kebo tiba-tiba saja
berbalik arah menyambar pemiliknya sendiri.
Hanya dalam hitungan dua hingga tiga kedipan mata
saja terlihat tubuh Patih Kebo Iwa terlempar dengan
tubuh hitam terbakar ajian ilmunya sendiri.
Terlihat Majalangu masih berdiri termangu, tidak
menyangka akhir dari pertempurannya telah membuat
tewas lawannya dengan keadaan yang begitu sangat
mengerikan. "Perang tanding ini telah selesai, wahai saudaraku",
berkata Arya Damar sambil menyentuh bahu lengan
Majalangu yang masih menggenggam pangkal cambuk
pendeknya itu. "Aku tidak menginginkan akhir dari pertempuran ini,
aku telah menghilangkan selembar jiwa manusia",
berkata Majalangu perlahan seperti berkata kepada
dirinya sendiri. "Takdir dan keinginan kita kadang sering berlawanan.
Namun yang kamu lakukan adalah sebatas menyelamatkan dirimu sendiri", berkata Arya Damar
mencoba menenangkan perasaan Majalangu.
"Kamu benar, wahai saudaraku", berkata Majalangu
sambil melingkari pinggangnya dengan cambuk
pendeknya. Terlihat semua mata diatas alun-alun itu menatap
Majalangu dan Arya Damar yang tengah melangkah
meninggalkan arena perang tanding.
"Dua anak muda yang perkasa", berdesis perlahan
suara keluar dari bibir seorang tua yang tidak lain adalah
1460 Mahapatih Pasunggrigis. Orang tua itu ada bersama
putrinya Manik Danda di alun-alun menyaksikan dari
awal perang tanding di mulai. Menyaksikan kekalahan
Raden Makambika yang sombong itu, juga menyaksikan
tewasnya Patih Kebo Iwa yang berilmu sangat tinggi itu
oleh seorang pemuda biasa yang menyebut dirinya
sebagai Majalangu. "Mari kita tinggalkan tempat ini, wahai Manik Danda",
berkata Mahapatih Pasunggrigis kepada putrinya.
Di tengah perjalanan pulang ke rumahnya, tidak
henti-hentinya Manik Danda memuji kehebatan Arya
Damar dan Majalangu di perang tanding itu.
"Raden Makambika pasti akan mempengaruhi
ayahnya untuk mencelakai dua anak muda itu", berkata
Mahapatih Pasunggrigis kepada Manik Danda ketika
mereka telah melewati regol pintu gerbang rumahnya.
"Itu artinya Raden Makambika telah menodai
kesucian perang tandingnya sendiri", berkata Manik
Danda merasa kurang senang hati.
"Apa artinya kesucian bagi seorang Raden
Makambika, namun kekalahan perang tandingnya telah
meruntuhkan keangkuhannya. Seorang seperti Raden
Makambika pasti tidak dapat menerimanya dengan hati
lapang", berkata Mahapatih Pasunggrigis.
Dan perlahan sang surya menepi di ujung bibir bumi
sebelah barat. Berangsur warna malam merangkul senja
yang terpasung di kesepian rindunya bernyanyi tentang
suara angin. Terlihat wajah bulan terpotong
mengambang diatas Kotaraja Bali.
awan hitam Semua orang nampaknya telah rapat-rapat menutup
1461 pintu jendela rumah dan naik keperaduannya. Suasana
Kotaraja Bali terlihat sudah begitu sepi. Hanya suara
angin yang kadang menderu menambah kesenyapan
malam. Namun di keremangan malam itu terlihat seseorang
mengendap-endap mendekati rumah seorang pengrajin
perak. Manakala pelita malam yang tergantung diatas
tangga pendapa menerangi wajahnya yang tertutup kain
hitam, nampak jelas ranum merah kedua pipinya yang
menandakan orang itu adalah seorang wanita.
Terlihat wanita itu mendekati pintu pringgitan dan
mencoba mengetuknya perlahan.
Beruntung pemilik rumah pengrajin perak itu ternyata
belum tidur dan mendengar jelas ketukan pintu meski
sangat perlahan sekali. "Apakah aku berhadapan dengan Nimas Ayu Manik
Danda?" bertanya Ki Wayan pemilik rumah itu merasa
sangat penuh keheranan manakala telah membuka
pintunya dan melihat seorang wanita dihadapannya.
"Benar Ki Wayan, ada hal yang sangat penting sekali
yang harus kusampaikan", berkata Manik Danda kepada
Ki Wayan. "Masuklah kedalam agar Nimas Ayu dapat lebih
leluasa", berkata Ki Wayan menawarkan Manik Danda
masuk ke rumahnya. "Terima kasih Ki Wayan, sebenarnya aku hanya ingin
bertemu dengan kedua pekerjamu yang bernama Arya
Damar dan Majalangu", berkata Manik Danda kepada Ki
Wayan. "Masuklah kedalam, aku akan segera 1462 membangunkan mereka", berkata Ki Wayan kepada
Manik Danda yang masih berdiri di depan pintu
pringgitan. Terlihat Manik Danda tidak ragu lagi langsung masuk
kedalam rumah dan duduk diatas bale-bale.
Tidak lama berselang terlihat Ki Wayan datang
bersama kedua pemuda yang ingin ditemui oleh Manik
Danda itu. "Apakah Nimas Ayu Manik Danda ada keperluan
dengan kami berdua?" bertanya Arya Damar penuh rasa
hati-hati kepada Manik Danda.
"Aku datang hanya untuk membawa pesan dari
ayahku yang meminta kalian pada malam ini juga harus
keluar jauh-jauh dari Kotaraja Bali", berkata Manik Danda
menyampaikan kepentingannya.
Terlihat Arya berpandangan. Damar dan Majalangu saling "Mengapa kami harus pergi jauh dari Kotaraja Bali?"
bertanya Majalangu kepada Manik Danda.
"Raden Makambika telah memerintahkan para
prajurit untuk menangkap kalian berdua", berkata Manik
Danda. "Ternyata Raden Makambika tidak menerima
kekalahannya", berkata Arya Damar menyimpulkan
permasalahan yang mereka hadapi saat itu.
"Bukankah kita telah melakukan perang tanding
dengan cara yang jujur?" bertanya Majalangu tidak habis
pikir sikap Raden Makambika itu.
Suasana di rumah Ki Wayan seketika menjadi
hening, semua orang nampaknya tengah berpikir.
1463 Namun tiba-tiba saja pendengaran Majalangu yang
sangat terlatih itu seperti mendengar

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara mencurigakan di halaman rumah.
Terlihat Majalangu memberi tanda ke semua orang
agar terdiam sambil dirinya mendekati pintu pringgitan
dan membukanya sedikit agar dapat mengintip keadaan
di halaman pendapa. "Para prajurit itu telah datang", berkata Majalangu
sambil menarik nafas panjang penuh ketenangan diri.
"Ki Wayan, sembunyikan putri Ki Pasunggrigis ini.
Kami akan menghadapi mereka", berkata Arya Damar
kepada Ki Wayan. "Ki Wayan, terima kasih untuk semua kebaikanmu
selama ini", berkata pula Majalangu sambil melambaikan
tangannya kearah Ki Wayan.
Ki Wayan dan Manik Danda masih melihat dua orang
anak muda itu dengan penuh rasa percaya diri yang
tinggi keluar dari pintu pringgitan.
Ternyata di halaman pendapa sudah ada sekitar
seratus orang prajurit kerajaan Bali.
"Apakah kalian ingin mencari kami berdua?" berkata
Majalangu sambil menuruni anak tangga pendapa
kepada para prajurit yang sudah berada di halaman
rumah Ki Wayan. "Benar, kami memang datang untuk menangkap
kalian berdua", berkata salah seorang prajurit yang
nampaknya menjadi pimpinan para prajurit itu.
"Apa kesalahan kami?" bertanya Majalangu kepada
pimpinan prajurit itu. "Kalian berdua adalah mata-mata Majapahit", berkata
1464 pimpinan prajurit itu. "Oh begitu?" berkata Majalangu sambil tersenyum.
"Tangkap kedua orang ini!!" berteriak pimpinan
prajurit itu memberi perintah.
Seketika itu juga terlihat Majalangu dan Arya Damar
sudah dalam keadaan terkepung.
Seandainya saja para prajurit itu mengetahui siapa
gerangan kedua anak muda itu, pasti mereka tidak akan
berani menjulurkan tombak-tombak mereka begitu dekat
dengan tubuh keduanya. Terlihat kedua anak muda itu bergerak dengan amat
cepatnya, dan entah dengan cara apa tiba-tiba saja
beberapa tombak telah berpindah tempat di tangan
kedua anak muda itu. Sontak beberapa prajurit yang merasa kehilangan
tombaknya itu seperti orang tersihir, terpaku dengan
mata kosong. "Tangkap mereka hidup atau mati!!!" berteriak
pimpinan prajurit memberi semangat kepada para
prajuritnya. Mendengar teriakan pimpinan mereka, beberapa
orang yang masih memegang tombaknya langsung
menerjang kearah Majalangu dan Arya Damar.
Namun kedua anak muda itu tidak surut bergeming,
keduanya terlihat dengan lincahnya berkelit kesana
kemari menghindari tombak yang datang silih berganti.
"Jangan biarkan mereka lari!!!" berkata pimpinan
prajurit memberi semangat dari belakang.
Mendengar perintah pimpinannya, para prajurit
menjadi semakin membabi buta terus melakukan
1465 serangan kepada kedua anak muda itu.
Namun tidak satu pun serangan tombak dan pedang
prajurit itu yang menyentuh kulit kedua anak muda itu.
Bahkan beberapa prajurit terlihat terlempar terkena
terjangan keduanya. Malam yang dingin dan senyap di halaman rumah Ki
Wayan telah berubah menjadi begitu ramai oleh suara
para prajurit yang menjerit tertahan merasakan pukulan
dan tendangan Majalangu dan Arya Damar yang sangat
sukar sekali ditundukkan.
"Saatnya kita pergi dari tempat ini", berbisik
Majalangu kepada Arya Damar yang berada dekat
dengannya. Setelah bicara terlihat Majalangu melesat seperti
terbang diatas kepala para prajurit.
Ternyata Majalangu tengah mencari pimpinan para
prajurit. Terkejut pimpinan prajurit itu manakala berhadapan
langsung dengan Majalangu yang tersenyum menatapnya. "Matilah kamu!!" berkata pimpinan prajurit itu sambil
mengibas pedangnya kearah tubuh Majalangu.
Di mata pimpinan prajurit itu melihat bahwa
Majalangu tidak bergerak sedikitpun menghindari kibasan
pedangnya. Namun entah dengan cara apa tiba-tiba saja
pedang di tangan pimpinan prajurit itu telah berpindah
tempat, beralih tempat berada di tangan Majalangu.
Darah di tubuh pimpinan prajurit itu seperti berhenti
mengalir manakala merasakan sebuah besi dingin
menempel di kulit lehernya.
1466 "Perintahkan pasukanmu untuk melemparkan senjatanya, atau kamu orang yang mati pertama dengan
leher putus", berkata Majalangu sambil mengancam
pimpinan prajurit itu. Seketika itu juga terdengar suara perintah dari
pimpinan prajurit itu untuk melemparkan semua senjata.
"Lemparkan semua senjata kalian!!" berkata pimpinan
itu kepada para prajuritnya.
Mendengar perintah pimpinannya, tanpa berpikir
panjang lagi semua prajurit itu melemparkan senjata
masing-masing. "Kuampuni selembar jiwamu", berkata Majalangu
sambil mendorong pimpinan prajurit itu yang sudah
basah dengan keringat sekujur tubuhnya.
Terlihat pimpinan prajurit itu tersungkur jatuh di
tanah. Dan tanpa melepas kesempatan yang sangat singkat
itu, terlihat Majalangu dan Arya Damar melesat terbang
meninggalkan para prajurit yang masih terlolong tidak
tahu apa yang harus mereka lakukan.
Dua orang prajurit terlihat
pimpinannya untuk berdiri.
datang membantu "Kita laporkan kepada Raden Makambika bahwa kita
tidak menemukan mereka", berkata pimpinan prajurit itu
kepada dua orang prajurit di dekatnya.
Tidak lama berselang, para prajurit itu terlihat telah
keluar dari halaman rumah Ki Wayan.
"Benar-benar anak muda yang sangat berani",
berkata Ki Wayan kepada Manik Danda yang sejak tadi
mengintip di balik pintu pringgitan melihat semua yang
1467 terjadi di halaman rumahnya.
"Kemampuan ilmu mereka sangat tinggi, apakah Ki
Wayan mengetahui dari mana mereka berdua berasal?"
berkata Manik Danda. "Menurut cerita mereka sendiri, keduanya berasal
dari Majapahit", berkata Ki Wayan kepada Manik Danda.
"Majapahit?" berkata Manik Danda dengan wajah
terkejut. "Mengapa Nimas Ayu terkejut?" bertanya Ki Wayan
"Jadi benar dugaan Raden Makambika bahwa
mereka berdua adalah petugas telik sandi Majapahit",
berkata Manik Danda. "Bila memang demikian, keberadaanmu sungguh
sangat membahayakan dirimu sendiri. Tidak seorang pun
boleh tahu bahwa kamu pernah datang di rumah ini",
berkata Ki Wayan sambil menyarankan Manik Danda
agar malam itu juga kembali ke rumahnya.
Dan keesokan harinya, begitu murkanya Raja Sri
Astasura Ratna Bumi Banten mendengar kabar bahwa
kedua anak muda petugas telik sandi dari Majapahit itu
dapat meloloskan dirinya. Maka dipanggilnya Mahapatih
Ki Pasunggrigis untuk datang menghadap.
"Ki Pasunggrigis, kedua orang petugas Majapahit itu
telah meloloskan diri. Nampaknya ada orang kita sendiri
yang ikut membantu mereka", berkata Raja Bali itu
kepada Ki Pasunggrigis yang telah datang menghadap.
Sejenak Ki Pasunggrigis tidak langsung menjawab,
merasa khawatir jangan-jangan Raja Bali itu telah
menemukan orang dalam yang dicurigainya itu yang
tidak lain adalah dirinya sendiri.
1468 "Menurut hamba, mencari siapa yang membantu
mereka bukan hal yang sangat penting saat ini. Karena
ada hal yang lebih penting lagi dari itu semua", berkata Ki
Pasunggrigis mencoba mengalihkan perhatian Raja Bali
itu. "Apa menurutmu hal yang lebih penting itu?" bertanya
Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten kepada Ki
Pasunggrigis. Terlihat Ki Pasunggrigis menarik nafas lega telah
dapat mengalihkan arah pikiran Raja Bali itu.
"Hal yang amat penting yang harus kita pikirkan
adalah kesiapan kita menghadapi serangan Majapahit.
Keberadaan dua orang petugas telik sandi mereka
sebagai pertanda bahwa mereka telah menyiapkan
sebuah penyerangan ke Balidwipa ini", berkata Ki
Pasunggrigis kepada Raja Sri Astasura Ratna Bumi
Banten. "Apa yang ada di kepalamu seandainya Majapahit
benar-benar akan melakukan serangan di Balidwipa ini",
berkata Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten kepada Ki
Pasunggrigis. "Menurut pemikiran hamba, kita perkuat penjagaan
Balidwipa di sembilan titik. Delapan titik kekuatan di
delapan penjuru mata angin, dan satu titik di dalam
Kotaraja Bali sebagaimana ajaran sembilan dewa
Nawasanga", berkata Ki Pasunggrigis menyampaikan
pikirannya. "Mengapa kita harus memecah kekuatan menjadi
sembilan?" bertanya Raja Sri Astasura Ratna Bumi
Banten kepada Ki Pasunggrigis.
"Karena kita tidak tahu dari arah mana pihak
1469 Majapahit menyerang kita", berkata Ki Pasunggrigis.
"Sebuah pemikiran yang bagus, dan aku akan
menempatkan dirimu sebagai Senapati yang akan
menjaga Kotaraja Bali ini", berkata Raja Sri Astasura
Ratna Bumi Banten. Ternyata Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten
bukan orang yang bodoh, diam-diam masih kurang
mempercayai Ki Pasunggrigis karena ada perbedaan
pendapat diantara mereka tentang keputusannya untuk
merdeka keluar dari kekuasaan Majapahit.
"Dengan kehadiranmu di dalam Kotaraja Bali, aku
masih dapat mengendalikan dirimu tidak berselingkuh
dengan pihak Majapahit", berkata Raja Sri Astasura
Ratna Bumi Banten dalam hati.
Di perjalanan pulang ke rumahnya, Ki Pasunggrigis
banyak merenung terutama membayangi bila peperangan benar-benar akan terjadi. Perbedaan
pendapat antara Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten
dengan Mahapatihnya sendiri memang telah terjadi
sangat lama, berawal dari keinginan Raja Sri Astasura
Ratna Bumi Banten untuk merdeka keluar dari
kekuasaan Majapahit. "Ratusan tahun Balidwipa tunduk patuh kepada para
penguasa Jawadwipa. Sekaranglah saatnya kita
bebaskan Balidwipa sebagai wilayah yang merdeka",
berkata Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten pada
suatu hari kepada Ki Pasunggrigis.
"Para leluhur tuanku Baginda aku yakini juga punya
keinginan yang sama sebagaimana tuanku berpikir hari
ini. Namun mereka kalahkan semua pikiran itu dengan
pikiran yang lebih bijaksana bahwa peperangan akan
membawa kesengsaraan bagi umat manusia. Para
1470 petani kehilangan sawah dan ladangnya, para pedagang
tidak lagi berani keluar rumah karena tidak ada lagi jalan
dan tempat yang aman bagi mereka. Kematian dan
kesengsaraan tumbuh dimana-mana", berkata Ki
Pasunggrigis menasehati Raja Sri Astasura Ratna Bumi
Banten. Namun Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten sudah
begitu mengeras keinginannya, nasehat Ki Pasunggrigis
tidak termakan olehnya. "Kemerdekaan Balidwipa memang perlu pengorbanan, itulah harga yang harus kita bayar", berkata Raja Sri
Astasura Ratna Bumi Banten tetap berpegang kepada
pendiriannya. "Ampun tuanku, begitu besar harga yang harus kita
bayar dengan darah, penderitaan dan kesengsaraan
begitu banyak orang Balidwipa. Sementara Kerajaan Bali
ini bukan satu-satunya yang bernaung di bawah panjipanji kekuasaan Majapahit. Tengoklah Blambangan,
Lamajang, Tuban dan banyak lagi wilayah yang berada
dalam persemakmuran bumi Majapahit. Ingatlah meski


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita terpisah oleh lautan, namun kita adalah saudara
yang satu, cita-cita yang satu sebagaimana yang di
bangun oleh leluhur kita Raja Erlangga mempersatukan
kita semua untuk kemakmuran bersama, sebagai obor di
muka bumi ini laksana Dewa Shiwa menjaga perdamaian
dan keadilan", berkata Ki Pasunggrigis masih mencoba
menasehati Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten.
"Itulah kekolotan ayahandaku, kekolotan buyutku dan
kekelotanmu, wahai Mahapatih Ki Pasunggrigis.
Persaudaraan orang Balidwipa dan orang Jawadwipa
adalah cerita pembodohan yang menjerumuskan kaum
kita selalu menjadi orang kelas dua. Hari ini aku ingin
canangkan di hati semua orang Balidwipa bahwa akulah
1471 sang putra para dewa di bumi sebagai raja tunggal titisan
suci dewa Shiwa", berkata Raja Sri Astasura Ratna Bumi
Banten. Mendengar perkataan Raja Sri Astasura Ratna Bumi
Banten yang sejak kecil telah diasuh menjadi muridnya
itu telah membuat diri Mahapatih tua itu terdiam
membisu. Dan sejak itulah Ki Pasunggrigis lebih banyak
berdiam diri. Hati Mahapatih tua itu seperti terluka,
merasa tidak berguna sebagai seorang guru yang baik.
Sementara itu di sebuah hutan yang tak terjamah,
terlihat dua orang muda tengah bersiap-siap diri untuk
melakukan perjalanannya kembali.
Ternyata dua orang muda itu adalah Patih
Gajahmada dan Arya Damar. Kedua anak muda itu
masih berada di sekitar Balidwipa, masih mempelajari
beberapa jalan yang terbaik untuk membawa pasukan
mereka dari berbagai arah.
Dalam penjelajahan mereka di Balidwipa itu, di hutan
yang tak terjamah, diatas batu sungai yang mengalir
jernih, di pegunungan yang sepi atau di atas tanah pantai
berpasir, keduanya masih tetap melaksanakan kewajiban
layaknya seorang muslim sejati.
Semburat warna merah mewarnai cakrawala langit
pagi. Fajar pagi baru tumbuh merekah di tepi Danau
Tamblingan yang berada di sebelah utara Balidwipa.
Terlihat Patih Gajahmada dan Arya Damar baru saja
menyelesaikan kewajiban sucinya.
"Wahai putra angkat ayahandaku, katakan kepadaku
apa gerangan yang membuat dirimu menangis tersedu1472
sedu disaat selesai laku sholat shubuhmu?" bertanya
Arya Damar kepada Patih Gajahmada.
Terlihat Patih Gajahmada tidak langsung menjawab,
hanya tersenyum sedikit tergambar di wajahnya.
"Aku menangis bukan karena bersedih, namun aku
menangis karena merasakan kebahagiaan yang amat
sangat", berkata Patih Gajahmada.
"Apa gerangan yang membuat dirimu begitu bahagia,
wahai saudaraku?" bertanya kembali Arya Damar.
"Aku merasa bahagia bahwa di usia hidupku ini telah
menemukan kebenaran sejati, rasanya aku ingin terbang
menghadap ayah kandungku mengabarkan apa yang
kudapati ini. Saat itu aku juga berharap seandainya saja
seluruh umat manusia mengetahui jalan yang kutemui
ini", berkata Patih Gajahmada dengan wajah penuh
berbinar-binar. "Ajari aku, wahai saudaraku. Agar aku dapat
merasakan apa yang kamu dapati itu", berkata Arya
Damar kepada Patih Gajahmada.
Terlihat Patih Gajahmada menatap Arya Damar
sambil menarik nafas panjang.
"Wahai saudaraku, ini adalah sebuah rahasia besar.
Sebelum bertemu dengan Ki Sahdatun aku telah
melakukan olah laku diri yang sama sebagaimana yang
diajarkan oleh Ki Sahdatun kepada kita tentang
kewajiban seorang muslim setiap harinya. Bila Ki
Sahdatun mengajarkan kepada kita lima waktu dalam
sehari semalam, sementara aku melakukannya sekali
dalam setiap malamnya. Ternyata Ki Sahdatun benar
bahwa Islam menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya,
dan hari in aku telah merasakannya sendiri, tuntunan
1473 Islam yang diajarkan oleh Ki Sahdatun telah
menyempurnakan olah laku diri warisan ayah kandungku
seorang pendeta dan pertapa dari Gunung Wilis", berkata
Patih Gajahmada masih dengan wajah yang berbinarbinar.
"Wahai putra tunggal Pendeta Dharmasraya, apakah
yang kita bicarakan saat ini adalah mengenai enam
simpul cakra di dalam diri?" bertanya Arya Damar.
"Kamu benar, wahai saudaraku. Setiap perguruan
punya cara olah laku diri rahasia yang berbeda-beda
dalam hal membuka enam simpul cakra sebagai sumber
memupuk hawa murni di dalam diri, Namun tuntunan
Islam telah mengajarkan kepada kita dengan cara yang
sangat mudah memasuki simpul cakra ke tujuh", berkata
Patih Gajahmada. "Apakah yang kamu maksudkan adalah Cakra
mahkota?" bertanya Arya Damar dengan wajah dan mata
terbuka. "Cakra mahkota adalah rahasia diatas rahasia,
bertahun-tahun para pertama berusaha untuk dapat
mengungkap rahasia itu. Sementara tuntunan Islam telah
begitu rinci membawa kita kearah kesempurnaan itu
tanpa tapa brata puluhan tahun lamanya", berkata Patih
Gajahmada. "Wahai saudaraku, tuntunlah aku menemukan
rahasia diatas rahasia itu", berkata Arya Damar dengan
penuh pengharapan. Demikianlah, di tepi danau Tembilang yang asri dan
damai itu, Patih Gajahmada mencoba menuntun Arya
Damar tahap demi tahap, mulai dari cara berdiri secara
kasat hingga makna berdiri secara hakikat sejatinya.
1474 Gembira hati Patih Gajahmada mendapatkan
seorang Arya Damar yang begitu mudah dan cepatnya
menyerap dan memahami semua yang diajarkannya.
"Hari ini Gusti Allah telah menerimamu memasuki
samudera kebesarannya, semakin kedalam semakin
kamu temui keindahan-keindahan", berkata Patih
Gajahmada kepada Arya Damar.
Sementara itu matahari pagi diatas danau
Tamblingan terlihat telah mulai naik merayap,
menaburkan cahaya perak di seluruh permukaan air
danau yang jernih itu. Semilir angin yang berhembus
datang membawa wewangian harum berbagai bunga
segar. Gunung Lesung yang biru dan rerimbunan
pepohonan yang hijau di sekitar danau Tamblingan
benar-benar memanjakan setiap mata yang melihatnya
layaknya memandang sebuah lukisan alam yang sangat
indah yang tiada bosan dan jemu untuk terus
menatapnya. "Kita telah menjelajahi begitu banyak jalur menuju
arah Kotaraja Bali, kita juga telah menemukan beberapa
jalur yang paling baik membawa pasukan kita untuk
melakukan sebuah penyerangan. Nampaknya sudah
saatnya kita kembali ke Kotaraja Majapahit", berkata
Patih Gajahmada kepada Arya Damar.
"Mahapatih Arya Tadah pasti akan gembira
mendengar semua yang kita dapati ini", berkata Arya
Damar dengan rasa penuh kegembiraan hati.
Maka terlihat keduanya tengah berkemas diri untuk
melanjutkan perjalanan mereka.
Bila saja mereka mau, tidak sukar bagi kedua anak
muda itu menerapkan ilmu meringankan tubuh mereka
yang nyaris mendekati kesempurnaan itu kemanapun
1475 yang mereka inginkan. Namun kedua anak muda itu
terlihat berjalan biasa, nampaknya mereka merasa
nyaman menikmati perjalanan mereka.
Geliat senja baru saja mengukir langit pantai
Buleleng, terlihat sebuah perahu bercadik bergerak
menuju arah sang surya yang terpaku di ujung bibir
lautan biru. Tidak seorang pun mengetahui bahwa diatas perahu
bercadik itu ada dua orang penting dari kerajaan
Majapahit yang tidak lain adalah Patih Gajahmada dan
Arya Damar. Seorang nelayan dengan senang hati
mengantar mereka bukan hanya sampai ke pantai
Gilimanuk, namun telah bersedia mengantar mereka
berdua hingga menyeberang ke Bandar pelabuhan
Banyuwangi. Diatas perahunya, nelayan tua itu terlihat tidak begitu
banyak cakap, mungkin lima keping emas yang diberikan
Patih Gajahmada telah membuat dirinya berkhayal ribuan
kali membeli berbagai impian.
Perlahan mentari senja surut dan tenggelam
meninggalkan langit buram yang setia memayungi laut
purba dalam kesunyiannya.
Lentera suar perahu terlihat bergoyang-goyang
mengikuti gerak ombak laut, dataran pesisir Balidwipa
sudah terhalang kegelapan malam. Tepi ujung laut sudah
tak terlihat lagi, perahu layar bercadik itu seperti tidak
maju bergerak. Sunyi senyap tanpa kata-kata diatas perahu layar
bercadik yang terapung diatas laut malam.
Namun kesenyapan itu tiba-tiba saja terpecahkan
manakala mata Patih Gajahmada yang tajam itu telah
1476 melihat tangan nelayan tua
membentur dinding perahu.
itu bergerak cepat "Pak tua, apa yang kamu lakukan?" berkata Patih
Gajahmada yang melihat air muncrat lewat dinding
perahu yang robek pecah dibentur oleh tangan nelayan
tua itu. Namun nelayan tua itu tidak berkata apapun, yang
dilakukannya adalah melempar sebuah papan ke laut
bersama dengan itu pula dirinya ikut melompat ke laut
lepas. Sebuah tontonan keseimbangan tubuh yang amat
sempurna, terlihat nelayan tua itu telah berdiri dengan
begitu nyamannya diatas papan yang terapung.
"Aku ingin tahu, apakah para arya kerajaan Majapahit
dapat mengikutiku hingga ke pantai", berkata nelayan tua
itu sambil tertawa bergelak-gelak.
Kegelapan malam telah membuat nelayan tua itu
seperti berdiri diatas air. Dan setelah berkata terlihat
nelayan tua itu seperti sebuah bayangan yang bergerak
terbawa angin menghilang di kegelapan malam.
Sementara itu air laut terlihat sudah mulai memenuhi
perahu yang sudah berlubang itu.
"Nampaknya perahu ini sudah tidak memerlukan
tiang layar", berkata Patih Gajahmada sambil
menggerakkan tangannya dua kali membentur tiang
layar. Terlihat tiang layar patah terpotong menjadi dua
bagian. "Mari kita bermain diatas air", berkata patih
Gajahmada sambil melemparkan potongan tiang layar
kearah Arya Damar yang langsung menangkapnya.
Perahu bercadik itu terlihat sudah oleng, air sudah
1477 hampir memenuhinya. Tanpa membuang-buang waktu
lagi langsung melempar kayu mereka ke air laut dan
bersamaan mereka melompat terbang dan hinggap
menjejakkan kaki mereka tepat diatas kayu tiang layar
yang dipatahkan itu. Sungguh sebuah permainan yang sangat berbahaya
berdiri diatas sebatang kayu. Namun terlihat mereka
berdua begitu menikmatinya, terutama ketika sebuah
ombak besar mengangkat dan membawa mereka
menuju arah pantai. Bila saja ada orang yang
menyaksikannya saat itu, pasti akan menyangka ada dua
dewa dari langit yang diturunkan di tengah laut.
Langit malam yang gelap membuat keduanya seperti
dua bayangan yang terbang diatas air.
Hingga manakala bibir pantai telah terlihat semakin
dekat, tiba-tiba saja keduanya melompat meninggalkan
kayu pijakan mereka. Sungguh sebuah pertunjukan ilmu meringankan
tubuh yang amat sangat sempurna, terlihat keduanya
berlari diatas air dengan kaki seperti tidak menyentuh air
sedikitpun layaknya seekor camar yang terbang rendah
diatas permukaan laut. "Hebat, hebat, hebat! ternyata penguasa Majapahit
telah mengutus dua orang hebatnya di bumi Bali ini",
berkata nelayan tua sambil bertolak pinggang
menyambut kedatangan dua anak muda itu yang telah
berada diatas pasir pantai.
Patih Gajahmada menatap wajah nelayan tua itu
dengan penuh seksama, raut wajah orang itu bukan lagi
wajah nelayan tua yang lugu, namun Patih Gajahmada
melihatnya sebagai seorang yang sangat angkuh dan
sangat percaya diri yang amat kuat.
1478 "Siapa gerangan dirimu, wahai orang tua", berkata
Patih Gajahmada kepada orang itu.
Orang tua itu tidak langsung menjawab, terlihat
menarik nafas panjang dan mengangkat dadanya.
"Orang Balidwipa mengenalku sebagai Ki Dalang
Camok, kematian muridku Patih Kebo Iwa telah membuat
diriku menjadi begitu sangat penasaran, ingin mengukur
sejauh mana kemampuan orang yang dapat
mengalahkannya itu", berkata orang tua itu menyebut


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya bernama Ki Dalang Camok.
"Ternyata aku berhadapan dengan Ki Dalang Camok,
mantan Senapati agung dari Kuturan", berkata Patih
Gajahmada. "Pengetahuanmu sungguh sangat luas, wahai anak
muda", berkata Ki Dalang Camok yang sepertinya
merasa tersanjung mendengar Patih Gajahmada telah
mengenal namanya. "Nama Ki Dalang Camok sudah terdengar hingga ke
seluruh bumi Majapahit, sebagai seorang sakti
mandraguna yang dapat terbang mengendarai angin dan
memerintahkan petir mengejar musuh", berkata Patih
Gajahmada. Mendengar perkataan Patih Gajahmada
membuat orang tua itu semakin berbangga hati.
telah "Anak muda, mengapa kamu tidak lari setelah tahu
siapa diriku?" berkata Ki Dalang Camok.
Perkataan Ki Dalang Camok telah memaksa Patih
Gajahmada untuk sedikit tersenyum.
"Ki Dalang Camok, aku tidak pernah lari dari
siapapun", berkata Patih Gajahmada masih dengan
sebuah senyum di bibirnya.
1479 "Anak muda, kepercayaan dirimu sungguh sangat
tinggi. Aku jadi semakin penasaran untuk menilai apakah
kamu memang lebih unggul dari muridku Patih Kebo Iwa,
atau hanya sebuah keberuntungan semata", berkata Ki
Dalang Camok. "Ki Dalang Camok, apakah kamu menemui kami
hanya karena kekalahan muridmu di perang tanding itu?"
bertanya Patih Gajahmada.
"Anak muda, kami orang Bali menghormati apapun
yang terjadi dalam sebuah perang tanding. Kehadiranku
disini adalah berkaitan dengan jabatanku sebagai
senapati di Kuturan. Raja Sri Astasura Ratna Bumi
Banten telah menantangku, bila aku tidak mampu
mengalahkanmu, maka jabatanku itu akan digantikan
oleh orang lain", berkata Ki Dalang Camok.
"Ternyata hal itu yang telah membuat seorang
Senapati agung dari Kuturan harus turun gunung,
merendahkan dirinya sendiri menjadi seorang nelayan
biasa", berkata Patih Gajahmada
"Apakah sekarang sudah menjadi jelas untukmu?"
berkata Ki Dalang Camok kepada Patih Gajahmada.
"Sangat jelas sekali, Ki Dalang Camok menantangku
untuk bertempur", berkata Patih Gajahmada dengan
suara tak mengenal rasa takut sedikitpun.
"Bagus, sekarang bersiaplah wahai anak muda",
berkata Ki Dalang Camok dengan sikap badan sigap
layaknya akan melakukan sebuah serangan.
Melihat sikap Ki Dalang Camok yang akan
melakukan serangan, maka Patih Gajahmada ikut
bersiap diri dengan sikap kuda-kuda begitu kokoh
menghunjam bumi. 1480 "Berhati-hatilah wahai saudaraku", berbisik Arya
Damar kepada Patih Gajahmada sambil bergeser dan
melangkah menjauhi diri keluar dari tempat yang akan
menjadi sebuah arena medan pertempuran dua orang
berilmu tinggi itu. Maka tidak lama berselang, Arya Damar telah melihat
tanah berpasir berhamburan terkena pijakan kaki Ki
Dalang Camok yang tengah berlari menerjang Patih
Gajahmada yang telah siap menghadapi terjangannya
itu. "Terjangan yang sangat kuat", berkata Arya Damar
dalam hati dengan mata tidak berkedip sama sekali.
Terlihat Arya Damar menarik nafas lega manakala
dengan sangat gesit sekali Patih Gajahmada bergeser ke
kiri dan langsung bergerak kakinya menerjang ke arah
pinggang Ki Dalang Camok.
Sebuah serangan balasan yang sangat cepat dari
Patih Gajahmada, namun ternyata Ki Dalang Camok
sepertinya sudah memperhitungkan gerakan Patih
Gajahmada itu, terlihat dengan begitu mudahnya
tubuhnya melangkah kedepan dan diiringi dengan
sebuah bacokan telapak tangannya mengancam leher
Patih Gajahmada. Menghadapi serangan kedua itu, maka Patih
Gajahmada dapat membaca bahwa lawannya itu punya
perhitungan sangat matang dalam setiap gerakannya.
Berpikir seperti itu telah membuat Patih Gajahmada
menjadi lebih berhati-hati lagi menghadapi lawannya itu.
Maka serang dan balas menyerang pun silih berganti,
ternyata keduanya adalah ahli kanuragan kelas tinggi
yang memperhitungkan segala kemungkinan dalam
setiap gerakannya, juga tipu daya yang kadang datang
1481 tidak terduga. Pertempuran pun kian lama menjadi semakin sengit
dan seru. Dan tanah berpasir di tepi pantai itu telah berubah
menjadi sebuah arena pertempuran yang begitu
dahsyatnya, terlihat pasir berhamburan terpijak langkah
kaki mereka seperti dua raksasa kuat bertempur
menggetarkan hati siapapun yang menyaksikannya.
Pertempuran mereka berdua kian lama menjadi
semakin sengit dan seru. Gerakan keduanya menjadi semakin cepat penuh
tenaga sakti yang sangat kuat. Malam yang semakin
gelap telah membuat keduanya seperti dua bayangan
yang berkelebat kesana kemari, saling menyerang.
Ki Dalang Camok bergerak seperti seekor Rajawali
besar mengejar mangsanya, sementara itu Patih
Gajahmada bergerak seperti seekor Naga besar
bersayap yang selalu sigap meliuk menghindari setiap
cengkeraman musuh dan balas menyerang dengan
sebuah ancaman yang tidak kalah berbahayanya.
Tidak terasa ratusan gerak laku telah berlalu dalam
pertempuran yang sangat hebat itu dari dua orang ahli
kanuragan kelas tinggi. Hingga akhirnya tiba-tiba saja Patih Gajahmada
merubah seluruh gerak lakunya, merubah seluruh pola
susunan gerak kanuragannya.
"Gerak laku Adityakundala", berkata Arya Damar
dalam hati mengenal perubahan gerak laku dari Patih
Gajahmada yang sangat tiba-tiba itu.
Ternyata gerak langkah rahasia yang jarang
dimengerti oleh orang di jaman itu yang dimiliki oleh Patih
1482 Gajahmada benar-benar telah merubah daya serang Ki
Dalang Camok. Berkali-kali orang tua itu harus mundur
keluar arena menghindari serangan Patih Gajahmada
yang tidak terduga-duga datangnya.
Gerak laku Adityakundala ternyata memang diluar
pakem kanuragan yang ada saat itu, benar-benar
membuat orang tua yang telah banyak melihat berbagai
jenis kanuragan itu merasa menghadapi tembok batu
yang amat kuat, seluruh serangannya dengan sangat
mudah dipatahkan oleh Patih Gajahmada, sebaliknya
seluruh serangan Patih Gajahmada telah membuat orang
tua itu berkali-kali harus mundur dan meloncat jauh
menghindar. Gerak laku Patih Gajahmada benar-benar
diluar dugaannya, diluar pakem kanuragan yang
dipahaminya selama ini. "Luar biasa dan sangat aneh!!" berkata Ki Dalang
Camok seperti tak sadar keluar dari mulutnya sambil
meloncat mundur menghindari serangan Patih Gajahmada yang tak dapat di duga-duga itu.
Terlihat Patih Gajahmada masih berdiri sambil
memandang tersenyum kearah Ki Dalang Camok.
"Apakah pertempuran ini dapat dilanjutkan, wahai Ki
Dalang Camok?" berkata Patih Gajahmada dengan
senyum dikulum. "Jangan berbangga hati dulu", berkata Ki Dalang
Camok sambil berjalan beberapa langkah dari tempatnya
berdiri. Terlihat Patih Gajahmada menarik nafas dalamdalam manakala memandang Ki Dalang Camok yang
tiba-tiba saja membuat sebuah gerakan seperti tengah
menghimpun tenaga sakti sejatinya.
1483 Ternyata dugaan Patih Gajahmada tidak meleset
jauh, tiba-tiba saja sebuah kilatan cahaya berkelebat
menuju diri Patih Gajahmada.
Sontak seketika itu juga Patih Gajahmada berkelit
menghindari serangan cahaya petir itu.
Nyaris hampir saja tubuh Patih Gajahmada tersambar
cahaya petir yang keluar dari tangan Ki Dalang Camok.
Namun baru saja Patih Gajahmada meloloskan
dirinya dari serangan yang tak terduga-duga itu, sebuah
serangan susulan kembali dihentakkan oleh Ki Dalang
Camok. Kembali sebuah serangan cahaya petir melesat cepat
kearah Patih Gajahmada. Dan kembali Patih Gajahmada berkelit untuk
membebaskan dirinya dari ilmu sakti andalan Ki Dalang
Camok yang sungguh sangat dahsyat itu.
Namun begitu Patih Gajahmada merasa terbebaskan, sebuah cahaya petir kembali datang
memburunya. Demikianlah, susul menyusul serangan cahaya petir
terus memburu kemanapun Patih Gajahmada berkelit
menghindarinya. Beruntung anak muda itu punya ilmu meringankan
tubuh yang sudah begitu sempurna, sehingga serangan
cahaya petir yang melesat begitu cepatnya itu masih saja
dapat dihindarinya. Ternyata kemasyhuran Ki Dalang Camok yang
dikatakan orang dapat memegang petir bukan omong
kosong dan bualan, hari itu Patih Gajahmada dapat
menyaksikan sendiri orang tua itu telah memperlihatkan
ilmu kesaktiannya yang jarang sekali dimiliki oleh orang
1484 kebanyakan, sebuah ilmu yang sangat dahsyat dan
menggetarkan hati. Sambil berkelit kesana kemari menghindari serangan
yang amat dahsyat itu, Patih Gajahmada terus berpikir
keras keluar dari himpitan serangan Ki Dalang Camok
yang sangat berbahaya itu.
Namun serangan tenaga sakti cahaya petir yang
datang susul-menyusul dengan cepatnya itu telah
membuat Patih Gajahmada tidak dapat berpikir lebih
lama lagi. "Haruskah aku benturkan dengan kekuatan yang
sama?" berpikir Patih Gajahmada.
Namun Patih Gajahmada mengurungkan niatnya,
karena di benaknya muncul Patih Kebo Iwa yang mati di
tangannya. Akhirnya Patih Gajahmada menemukan sebuah cara
yang terbaik untuk melumpuhkan Ki Dalang Camok yang
berilmu tinggi itu. "Aku akan menguras seluruh tenaga saktinya",
berkata Patih Gajahmada dalam hati.
Maka sambil berkelit menghindari sambaran cahaya
petir dari tangan Ki Dalang Camok, terlihat Patih
Gajahmada menggetarkan tenaga sakti inti sejatinya
dengan sebuah ajian Pangeran Muncang secara terbalik.
Sebuah ajian yang sangat aneh dimana kekuatan lawan
dapat terserap kekuatannya.
Pada tahap awal untuk menerapkan ajian ini harus
menyentuh tubuh lawannya, namun tingkat kemampuan
Patih Gajahmada sudah begitu tinggi sehingga tidak
memerlukan sentuhan kulit lawan.
Demikianlah, Patih Gajahmada telah menerapkan
1485 ajian ilmu yang sangat aneh itu dengan cara dari jarak
jauh. Diantara kejaran cahaya petir, Patih Gajahmada
masih sempat melontarkan ajiannya dari jarak yang
cukup jauh tanpa menyentuh tubuh lawannya.
Sekali dua kali Ki Dalang Camok tidak menyadari bila
tenaga sakti inti sejatinya mulai terserap oleh kekuatan
ajian sakti yang dilontarkan oleh Patih Gajahmada.
Hingga akhirnya setelah beberapa kali terkena
paparan ajian pangeran Muncang secara terbalik itu, Ki
Dalang Camok mulai merasakan kelainan di dalam
dirinya. Ki Dalang Camok mulai merasakan gempuran
serangan cahaya petirnya sudah tidak lagi sedahsyat
sebelumnya. Ki Dalang Camok juga merasakan gerakan dirinya
sudah tidak selincah dan secepat sebelumnya.
Ki Dalang Camok mulai merasakan kekuatan ilmunya
semakin berkurang. "Apa yang terjadi atas diriku ini?" berkata Ki Dalang
Camok merasa heran bahwa hentakan cahaya petir ilmu
andalannya sudah tidak lagi sedahsyat sebelumnya.
Hingga akhirnya Ki Dalang Camok benar-benar tidak
mampu lagi menghentakkan cahaya petir lewat
tangannya. Semua perubahan diri Ki Dalang Camok itu telah


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada dalam pengamatan Patih Gajahmada.
"Ki Dalang Camok, mana serangan cahaya petirmu?"
berkata Patih Gajahmada mulai berani menghadapi Ki
Dalang Camok dari jarak yang sangat dekat sekali.
1486 "Aku akan meremukkan kepalamu", berkata Ki
Dalang Camok yang belum juga mengetahui bahwa
kekuatan dirinya telah diserap oleh ajian ilmu lawannya
yang sangat aneh itu. Terlihat Patih Gajahmada masih membiarkan tangan
Ki Dalang Camok mendekati kepalanya.
Namun begitu kepalan tangan Ki Dalang sudah
menjadi begitu dekat, tiba-tiba saja tangan Patih
Gajahmada bergerak cepat.
Brakk!!!! Benturan tangan pun terjadi diantara mereka.
Terlihat Ki Dalang Camok terlempar dua tiga langkah
dan jatuh di tanah sambil merasakan sakit yang amat
sangat di tangannya akibat benturan itu.
Sementara Patih Gajahmada terlihat masih tegak
berdiri dengan begitu teduhnya.
Terlihat wajah Ki Dalang Camok diliputi rasa
penasaran yang amat sangat, masih tidak percaya
dengan apa yang terjadi atas dirinya.
"Ki Dalang Camok, apakah kamu masih ingin
melanjutkan pertempuran ini?" berkata Patih Gajahmada
kepada Ki Dalang Camok yang dilihatnya tengah
berusaha bangkit berdiri.
Ternyata Ki Dalang Camok orang yang keras kepala,
masih juga tidak menyadari bahwa kekuatan tenaga
saktinya sudah terserap habis.
Terlihat Patih Gajahmada membiarkan Ki Dalang
Camok bergerak menerjangnya dengan sebuah pukulan
kearah dadanya. "Matilah kamu, anak sombong!!" berkata Ki Dalang
1487 Camok sambil melayangkan kepalan tangannya kearah
dada Patih Gajahmada. Buukk..!! Terdengar kepalan tangan Ki
menghantam dada Patih Gajahmada.
Dalang Camok Arya Damar yang melihat kejadian itu benar-benar
menyayangkan mengapa Patih Gajahmada tidak
mengelak sedikitpun dari hantaman tangan Ki Dalang
Camok. Namun Arya Damar seperti tidak percaya dengan
apa yang dilihatnya, bukan Patih Gajahmada yang roboh
terpukul dadanya, melainkan Arya Damar melihat Ki
Dalang Camok yang terlempar jatuh ke tanah.
Apa yang sebenarnya terjadi atas diri Ki Dalang
Camok" Semula ketika kepalan tangan Ki Dalang Camok
berhasil menghantam dada Patih Gajahmada, luapan
kegembiraan memenuhi orang tua itu yang merasa
tugasnya mengalahkan Patih Gajahmada telah dapat
ditunaikan dengan sangat mudahnya. Namun harapan Ki
Dalang Camok seperti terbang melayang manakala
kepalan tangannya seperti membentur batu cadas yang
amat kerasnya. Belum habis rasa terkejutnya, tiba-tiba
saja Ki Dalang Camok merasakan daya balik pukulannya
seperti menghantam dirinya sendiri.
Ternyata patih Gajahmada diam-diam telah
melambari dirinya dengan ajian setara lembu sekilan,
meski hanya seperdelapan dari kekuatan yang dimiliki,
tetap saja punya daya balik yang sangat luar biasa
dirasakan oleh Ki Dalang Camok yang sudah tidak punya
kekuatan tenaga saktinya lagi.
1488 "Ki Dalang Camok, kekuatan tenaga saktimu sudah
terserap habis. Kamu perlu berlatih puluhan tahun lagi
Dendam Empu Bharada 32 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Pendekar Cacad 13
^