Pencarian

Para Ksatria Penjaga Majapahit 21

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 21


untuk dapat memiliki kekuatanmu kembali", berkata Patih
Gajahmada kepada Ki Dalang Camok yang terlihat
tengah berusaha bangkit berdiri.
Terbelalak mata Ki Dalang Camok mendengar
perkataan Patih Gajahmada tentang dirinya itu.
Terlihat Ki Dalang Camok menggerakkan tangannya
bermaksud menghentakkan ilmu andalannya melepas
cahaya petir. Namun upaya Ki Dalang Camok tidak juga
membuahkan hasil. Barulah Ki Dalang Camok menyadari
apa yang terjadi atas dirinya itu, menyadari bahwa
tenaga saktinya telah hilang terkuras habis.
"Ajian pupus rontek?" berkata Ki Dalang Camok
seperti tidak menyangka anak muda dihadapannya itu
memiliki ilmu yang menurut dirinya sudah punah.
"Apapun ajian yang kamu sebutkan itu, aku tidak
mengenalnya. Yang kulakukan adalah agar peristiwa
Patih Kebo Iwa tidak terulang", berkata Patih Gajahmada
penuh kejujuran hati. Lama Ki Patih Dalang Camok tercenung seorang diri.
"Kamu memang pantas mengalahkan muridku Patih
Kebo Iwa, kamu memang pantas pula mengalahkan
diriku yang tak tahu diri ini. Aku yakin kamu punya
segudang ilmu yang lain yang lebih dahsyat dari apa
yang kamu perlihatkan kepadaku. Terima kasih telah
membiarkan selembar jiwa tuaku ini untuk tetap hidup",
berkata Ki Dalang Camok setelah cukup lama berdiam
diri. "Maafkan aku, wahai orang tua, Aku telah
melenyapkan seluruh kekuatanmu. Aku juga telah
1489 melenyapkan harapanmu untuk tetap menjadi senapati
agung di Kuturan", berkata Patih Gajahmada dengan
perasaan sangat iba kepada Ki Dalang Camok yang
sudah tidak punya kekuatan lagi.
Seiring dengan perkataan Patih Gajahmada, gerimis
turun membasahi wajah mereka, membasahi jiwa-jiwa
yang kering yang mulai menyadari bahwa ada kekuatan
tunggal yang tidak bisa dihalangi dan dihentikan oleh
siapapun. "Anak muda, jangan pernah kamu sesali apa yang
telah terjadi. Hilangnya kekuatanku ternyata telah
menghilangkan kesombonganku. Hilangnya kekuatanku
telah menerbitkan sebuah wajah yang selama ini tidak
pernah datang hadir di hatiku, wajah yang selalu hadir
menemaniku dalam setiap tapa brataku. Ternyata hijab
penghalang hatiku ini adalah ajian petir yang kumiliki.
Aku berjanji untuk tidak akan menjadi penghalangmu",
berkata Ki Dalang Camok dengan wajah penuh
persahabatan. "Ki Dalang Camok, kita bertemu karena takdirnya.
Semoga takdir mempertemukan kita kembali", berkata
Patih Gajahmada sambil merangkapkan tangannya di
dada sebagai tanda penghormatan.
Tanpa kata-kata, terlihat Ki Dalang Camok membalas
penghoramatan Patih Gajahmada.
Hari telah semakin larut malam.
Hujan gerimis mengiringi langkah Patih Gajahmada
dan Arya Damar yang terus berjalan menyusuri pantai
utara Balidwipa. Perlahan gerimis mulai menjadi surut seiring langkah
kaki mereka yang nampaknya telah menemui sebuah
1490 perkampungan nelayan. "Nampaknya sebentar lagi akan menjelang pagi",
berkata Patih Gajahmada sambil memandang langit
merah diatas mereka. "Kita menunggu pagi di gubuk kosong itu", berkata
Arya Damar sambil menunjuk kearah sebuah gubuk kecil
yang tidak begitu jauh didepannya ada sebuah dermaga
kayu. Terlihat keduanya bersandar di sebuah bale bambu
yang ada di dalam gubuk itu sambil memandang debur
ombak dibawah temaram langit pagi yang masih gelap.
Manakala sang surya muncul di ujung timur
menerangi tepi pantai, ternyata mereka telah berada
tidak jauh dari tempat penyeberangan.
Terlihat beberapa perahu merapat di sebuah
dermaga kayu yang cukup besar. Dua tiga perahu juga
terlihat merapat di dermaga depan gubuk tempat mereka
berdua beristirahat. "Apakah kalian akan menyeberang?" bertanya
seorang pemilik perahu kayu kepada mereka berdua.
"Benar, kami memang hendak menyeberang",
berkata Patih Gajahmada kepada orang itu.
Demikianlah, tidak lama berselang keduanya telah
berada diatas perahu yang akan mengantar mereka
menyeberang ke Jawadwipa.
Hangat cahaya matahari menyinari laut biru pagi
yang bergelombang kecil. "Tidak perlu takut menemui Ki Dalang Camok yang
lain", berkata Arya Damar berbisik di telinga Patih
Gajahmada. 1491 Terlihat Patih Gajahmada hanya tersenyum
menanggapi canda saudara angkatnya itu, sementara
pandangan matanya tertuju ke arah sekumpulan burung
camar yang terbang berputar-putar begitu dekat dengan
permukaan air laut. Perlahan warna air laut nampak berwarna hijau,
sebuah pertanda perahu mereka telah mendekati sebuah
tepian pantai. "Bandar pelabuhan Banyuwangi", berkata Arya
Damar sambil menunjuk kearah tiang-tiang layar perahu
kayu yang terlihat kecil di ujung kelopak mata mereka
yang masih jauh dari tepian pantai.
"Bandar pelabuhan yang selalu ramai didatangi para
pedagang dari berbagai penjuru bumi", berkata Patih
Gajahmada sambil memandang sebuah perahu besar
yang merapat di sebuah dermaga bergoyang-goyang
dipermainkan lidah ombak.
Riuh suasana kesibukan di Bandar pelabuhan
Banyuwangi ketika perahu yang membawa Patih
Gajahmada dan Arya Damar tengah merapat di bibir
sebuah dermaga. Terlihat hilir mudik para buruh angkut diantara para
pelaut yang tengah melepas lelah di bale-bale muka
warung. "Beristirahatlah di rumah kami, aku akan mencarikan
tumpangan untuk mengantar tuan-tuan ke Bandar
pelabuhan Tanah Ujung Galuh", berkata seorang pejabat
syahbandar yang ditemui kedua anak muda itu di
rumahnya. "Terima kasih Ki Pandu", berkata Arya Damar kepada
pejabat Syahbandar kenalannya itu.
1492 Demikianlah, kedua anak muda itu beristirahat di
rumah Ki Pandu sambil menunggu sebuah perahu
dagang yang akan berangkat nanti malam menuju
Bandar pelabuhan Tanah Ujung Galuh.
Hingga akhirnya disaat matahari tenggelam di
Banyuwangi, terlihat sebuah perahu kayu bergerak
meninggalkan dermaga Bandar pelabuhan Banyuwangi.
Daratan Jawadwipa terlihat laksana naga besar hitam
yang tengah tertidur, perahu kayu yang membawa Patih
Gajahmada dan Arya Damar terlihat terus bergerak
menembus lautan malam yang sepi.
Semilir angin laut berhembus mengurai rambut hitam
Patih Gajahmada yang tengah berdiri di anjungan
menatap bintang di langit malam.
"Bintang di langit sungguh sebuah kesetiaan yang
tidak pernah tercela, menjadi juru arah bagi para pelaut,
sebagai pertanda bagi para petani kapan memulai
bercocok tanam", berkata Patih Gajahmada dalam hati
sambil memandang bintang-bintang yang bertaburan di
langit malam. "Apa gerangan yang kamu pikirkan, wahai
saudaraku?" berkata Arya Damar kepada Patih
Gajahmada. "Yang kupikirkan saat ini adalah sebuah pulau
daratan yang sunyi, disitulah aku akan menikmati akhir
masa tuaku, menikmati kebebasan hati di hari-hari tanpa
pergulatan hidup yang tidak pernah tercukupi ini", berkata
Patih Gajahmada kepada Arya Damar sambil tersenyum.
"Ternyata kita berseberangan saudaraku", berkata Arya Damar
Gajahmada. arah, wahai kepada Patih 1493 Terkejut Patih Gajahmada mendengar penuturan
saudara angkatnya itu. "Aku tidak mengerti arah pikiranmu, wahai saudara
angkatku", bertanya Patih Gajahmada.
"Tidakkah terpikir olehmu, wahai saudaraku untuk
hidup sebagaimana seorang raja besar penuh dengan
kemuliaan dikelilingi para punggawa yang setia penuh
kehormatan?" berkata Arya Damar.
"Menjadi seorang raja besar?" bertanya kembali Patih
Gajahmada. "Tidakkah kamu sadari bahwa selama ini kita
hanyalah seorang punggawa biasa yang patuh
memenuhi keinginan junjungan besar kita?" berkata Arya
Damar mencoba lebih jelas lagi.
Terlihat Patih Gajahmada menarik nafas panjang,
tidak menyangka saudara angkatnya itu punya impian
seperti itu, punya sebuah cita-cita besar untuk menjadi
seorang raja. "Kita adalah para punggawa sebagaimana bintangbintang di langit, itulah ketetapan garis takdir yang harus
kita penuhi dalam kehidupan di dunia ini", berkata Patih
Gajahmada. "Garis ketetapan itu belum berhenti untuk seorang
manusia sebelum kematiannya", berkata Arya Damar
sambil tersenyum. Patih Gajahmada tidak membantah pernyataan Arya
Damar, hanya mencoba menyelami jalan pikiran saudara
angkatnya itu untuk menjadi seorang Raja. Akhirnya
patih Gajahmada dapat menyelami dasar hati pikiran
saudara angkatnya itu. "Darah bangsawan Melayu mengalir di dalam dirinya,
1494 wajar saja bila Arya Damar punya keinginan menjadi
seorang raja", berkata Patih Gajahmada dalam hati.
"Ada satu matahari yang selalu terbit di timur bumi,
apakah kamu berencana membangun matahari yang lain
di belahan barat bumi?" berkata Patih Gajahmada.
"Aku berharap dirimu ada membantuku, ada
bersamaku membangun cahaya penuh gilang gemilang
di barat bumi sebagaimana kakek buyutku pernah
membangunnya", berkata Arya Damar.
"Maafkan aku, wahai saudaraku. Aku telah berjanji di
dalam hatiku sendiri untuk menjadi sebuah bintang yang
selalu setia diatas langit Majapahit ini", berkata Patih
Gajahmada sambil menatap wajah Arya Damar dengan
wajah penuh senyum. "Aku menghormati keputusanmu, wahai saudaraku.
Semoga di bumi barat sana aku akan menemui bintang
yang lain, yang selalu bersinar penuh kesetiaan
sebagaimana dirimu", berkata Arya Damar.
"Setidaknya akan menambah kebanggaan hatiku,
aku pernah punya seorang sahabat sejati yang menjadi
seorang Raja besar di Majapahit ini, dialah Raja
Jayanagara. Aku juga punya dua orang murid al yang
menjadi seorang Ratu di bumi Majapahit, seorang lagi
menjadi raja muda di Kediri. Dan bertambah
kebanggaanku bila ada seorang saudara angkatku
sendiri menjadi seorang raja besar di bumi
Swarnadwipa", berkata Patih Gajahmada dengan
senyum tulusnya dihadapan Arya Damar putra Patih
Mahesa Amping dan Putri Dara Jingga itu.
"Terima kasih, wahai saudaraku. Semoga dirimu juga
mendapatkan pulau daratan impianmu itu. Akulah orang
pertama yang akan mengunjungimu, tentunya bersama
1495 selusin cucu-cucuku", berkata
kegembiraan hati. Arya Damar penuh "Apakah itu berarti kamu akan meninggalkan selusin
cucumu itu menjadi murid-muridku?" berkata Patih
Gajahmada dengan tawa berderai penuh kegembiraan
hati. Sementara itu perahu kayu terus bergerak melaju
diatas laut malam, angin bertiup di belakang layar
terkembang. Terlihat bintang kejora terang cemerlang di
langit malam, laksana pangeran tampan diatas kuda
putih dalam kegembiraan hati.
Dan air laut di pantai Tanah Ujung Galuh saat itu
terlihat begitu tenang dengan ombak rendah datang dan
pergi menyapu bibir pantai yang landai.
Suara nyanyian ombak dan lukisan alam di waktu
pagi di Tanah Ujung Galuh adalah nyanyian dan warna
kegembiraan hati dua anak muda yang terlihat berjalan
ringan menapaki jalan tanah di pagi yang cerah itu.
Kedua anak muda itu adalah Patih Gajahmada dan
Arya Damar yang baru saja tiba di pengembaraannya
sebagai petugas telik sandi untuk mengamati keadaan


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan suasana di Balidwipa.
"Singgahlah di pasanggrahanku, nanti siang baru kita
berangkat ke Kotaraja Majapahit", berkata Patih
Gajahmada kepada Arya Damar, atau yang lebih dikenal
sebelumnya bernama Tumenggung Adityawarman itu.
"Seperti baru kemarin kita meninggalkan tempat ini",
berkata Arya Damar penuh kegembiraan hati seperti
melihat kembali kampung halamannya sendiri.
Kedatangan kedua anak muda itu disambut penuh
rasa suka cita oleh semua orang yang ada di
1496 pasanggrahan itu. Mereka adalah Nyi Nariratih, Ki
Sahdatun, Supo Mandagri dan Rangga Seta.
"Kami tidak sabar menunggu cerita perjalanan
kalian", berkata Nyi Nariratih kepada kedua anak muda
itu yang berpamit diri untuk bersih-bersih diri di pakiwan.
Demikianlah, setelah bersih-bersih diri dan menikmati
sajian makanan dan minuman hangat, secara bergantiganti kedua anak muda itu bercerita sepanjang
perjalanan mereka di bumi Balidwipa.
"Cerita perang tanding kalian pasti akan menjadi
cerita yang tak akan pernah habis dikisahkan oleh orangorang di bumi Balidwipa, oleh anak-anak mereka dan
keturunan mereka", berkata Ki Sahdatun menanggapi
cerita kedua anak muda itu.
"Aku berharap tidak ada satupun yang kalian lewati.
Hasil pengamatan kalian di Balidwipa sebagai petugas
telik sandi sangat menentukan keberhasilan sebuah
penyerangan", berkata Nyi Nariratih.
"Beruntung aku tidak diikutkan oleh kalian, pasti diriku
ini akan menjadi beban kalian", berkata Supo Mandagri
manakala mendengar ada banyak orang sakti di bumi
Balidwipa. "Aku pernah mendengar kesaktian Patih Kebo Iwa
dan gurunya itu di Balidwipa. Kematian Patih Kebo Iwa
pastinya akan mengurangi rasa percaya diri orang-orang
Balidwipa", berkata Ki Sahdatun menyampaikan
tanggapannya. "Siang ini kami akan segera menghadap Mahapatih
Arya Tadah", berkata Patih Gajahmada menuturkan
rencananya hari itu untuk datang menghadap Mahapatih
Arya Tadah di Kotaraja Majapahit.
1497 "Apapun hasil pengamatan kalian di Balidwipa akan
menjadi arah para pejabat di istana menentukan
sikapnya menghadapi para penguasa di Balidwipa itu",
berkata Nyi Nariratih. Terlihat Ki Sahdatun menarik nafas panjang,
pandangan orang tua itu seperti jauh menerawang.
Ternyata pikiran orang tua itu telah membawa jiwa
dan perasaan hatinya jauh ke masa-masa yang telah
lewat dan berhenti di sebuah kecamuk perang saudara
yang membawa beribu penderitaan.
"Perang adalah keturunan sebuah keangkuhan yang
akan melahirkan banyak penderitaan", berkata Ki
Sahdatun dalam hati sambil kembali menarik nafas
panjang. Sementara itu cahaya matahari telah merayapi dahan
dan batang pohon kemboja kuning di ujung dinding pagar
halaman, bayang-bayang tiga batang pohon randu yang
berjajar di ujung dinding pagar sebelah lainnya terlihat
sudah semakin menyusut pendek.
"Matahari sebentar lagi akan naik ke puncaknya,
segeralah kalian berangkat ke Kotaraja Majapahit",
berkata Nyi Nariratih mengingatkan kedua anak muda itu.
"Bila memang demikian, kami bermaksud pamit diri
untuk datang menghadap Mahapatih Arya Tadah di
istana", berkata Patih Gajahmada mewakili Arya Damar
berpamit diri. Maka tidak lama berselang kedua anak muda itu
terlihat tengah melangkah di halaman menuju arah
gapura gerbang pasanggrahan diiringi tatapan mata Nyi
Nariratih, Supo Mandagri dan Ki Sahdatun hingga
akhirnya kedua anak muda itu menghilang terhalang
1498 dinding pagar halaman pasanggrahan.
"Selamat datang di rakitku , wahai tuan patih
Gajahmada", berkata seorang tukang rakit menyambut
kehadiran Patih Gajahmada di tepi sungai Kalimas.
"Selamat berjumpa kembali, wahai kawan", berkata
patih Gajahmada menyambut sapaan tukang rakit itu.
Banyak sekali yang ditanyakan oleh tukang rakit itu
kepada Patih Gajahmada. Sementara Patih Gajahmada
dengan penuh perhatian menjawab semua pertanyaan
tukang rakit itu. Hingga manakala mereka telah berhasil menyeberang di tepian lainnya, kebanggaan hati tukang
rakit yang mengenal seorang pembesar seperti Patih
Gajahmada benar-benar membekas di hatinya.
"Seorang pembesar yang rendah hati, mau bertegur
sapa dengan wong cilik", berkata tukang rakit itu dalam
hati sambil memandang Patih Gajahmada dan Arya
Damar yang semakin menjauh meninggalkan tepian
sungai Kalimas. Maka tidak lama berselang kedua anak muda itu
telah memasuki Kotaraja Majapahit, berbaur diantara
keramaian orang-orang yang berlalu lalang di jalan
Kotaraja Majapahit, diantara pedati para pedagang,
diantara kereta kencana para bangsawan.
"Sebuah kehormatan untuk kami bila diperkenankan
mengiringi langkah tuan-tuan ke Bale Kepatihan", berkata
salah seorang prajurit penjaga menyambut kedatangan
Patih Gajahmada dan Arya Damar di istana Majapahit.
"Terima kasih, Ki Lurah", berkata Patih Gajahmada
kepada prajurit itu. Terlihat Patih Gajahmada dan Arya Damar berjalan
1499 diantar seorang prajurit ke Bale Kepatihan.
Ketika Patih Gajahmada dan Arya Damar tiba di bale
kepatihan, Mahapatih Arya Tadah memang tidak sedang
menerima tamu. "Bawalah keduanya datang kepadaku", berkata
Mahapatih Arya Tadah kepada seorang prajurit yang
datang meminta perkenannya menerima kedatangan
kedua anak muda itu. "Semoga Gusti Yang Maha Agung selalu
memberikan keselamatan kepada pamanda", berkata
Patih Gajahmada di hadapan Mahapatih Arya Tadah.
"Puji syukur menyelimuti hatiku, melihat kembali dua
rajawali mudaku", berkata Mahapatih Arya Tadah
menyambut kedatangan kedua anak muda itu.
"Perkenankan ananda berdua untuk menyampaikan
apa yang telah ananda berdua dapatkan di bumi
Balidwipa", berkata Patih Gajahmada mewakili Arya
Damar kepada Mahapatih Arya Tadah.
"Ceritakanlah kepadaku apa yang kalian dapatkan di
sana", berkata Mahapatih Arya Tadah dengan wajah
yang selalu dipenuhi senyum keramahannya itu.
Maka bergantian Patih Gajahmada dan Arya Damar
menuturkan hasil pengamatan mereka tentang suasana
dan keadaan kerajaan Bali.
"Ternyata benar adanya, mereka sudah tidak lagi
mengakui kekuasaan Kerajaan Majapahit ini, sudah tidak
lagi memuliakan Gusti Ratu Tribuwana Tungga Dewi
sebagai pewaris agung tahta suci para raja leluhur
mereka", berkata Mahapatih Arya Tadah setelah
mendengar cerita kedua anak muda itu.
"Dari pengamatan kami berdua, nampaknya mereka
1500 bukan hanya tidak lagi mengakui kekuasaan Majapahit,
bahkan ada rencana penggalangan kekuatan untuk
melakukan penyerangan", berkata Arya Damar.
"Bila memang demikian, kita harus mendahuluinya
sebelum tumbuh kekuatan mereka", berkata Mahapatih
Arya Tadah. "Apakah tidak ada jalan lain selain peperangan,
wahai pamanda?" bertanya Patih Gajahmada.
Mendengar pertanyaan Patih Gajahmada, terlihat
Mahapatih Arya Tadah terdiam sejenak.
"Sebenarnya aku paling tidak setuju dengan
peperangan, namun untuk menghadapi sikap pemberontakan Raja Bali dengan sangat terpaksa sekali
kita mengambil jalan yang paling menyakitkan ini. Hal ini
kita lakukan agar menjadi pelajaran di daerah yang
lainnya di belahan bumi Majapahit ini", berkata
Mahapatih Arya Tadah mengutarakan pemikirannya.
"Pemikiran pamanda dapat kami pahami", berkata
Patih Gajahmada. "Kupercayakan kalian berdua sebagai Senapati,
berapa orang prajurit yang kalian butuhkan?" bertanya
Mahapatih Arya Tadah. "Terima kasih atas kepercayaan pamanda kepada
kami berdua", berkata Patih Gajahmada.
"Kami berdua telah melakukan pengamatan dengan
penuh seksama. Kami berdua telah menemukan sebuah
cara yang terbaik menaklukkan kerajaan Bali, yaitu
menyerang secara serempak dari tiga arah, utara,
selatan dan timur. Untuk hal itu kami membutuhkan
sekitar tiga puluh ribu kekuatan prajurit", berkata Arya
Damar menyampaikan rencana penaklukan kerajaan Bali
1501 itu. "Lebih cepat lebih baik, kapan kalian siap membawa
pasukan Majapahit ke Balidwipa?" bertanya Mahapatih
Arya Tadah kepada kedua anak muda itu.
"Dengan restu pamanda, mulai besok kami akan
menyiapkan pasukan itu. Bila tidak ada halangan bulan
depan kami sudah siap memberangkatkan pasukan itu",
berkata Arya Damar. "Aku percaya dengan kemampuan kalian berdua, dan
restuku mengiringi kalian berdua", berkata Mahapatih
Arya Tadah. Demikianlah, setelah tidak ada lagi yang perlu
dibicarakan oleh mereka bertiga, Patih Gajahmada dan
Arya Damar berpamit diri di hadapan Mahapatih Arya
Tadah. Maka tidak lama berselang terlihat keduanya sudah
keluar dari Bale kepatihan.
"Nanti malam aku akan berkunjung ke pasanggrahanmu di Tanah Ujung Galuh", berkata Arya
Damar di sebuah persimpangan sebuah lorong di dalam
istana. "Mengapa tidak sekarang saja kita berdua ke Tanah
Ujung Galuh?" bertanya Patih Gajahmada.
"Aku belum minta ijin dengan Mahapatih Arya Tadah,
aku takut orang tua itu bertanya-tanya mengapa aku
tidak pulang ke Puri Pasanggrahannya", berkata Arya
Damar yang memang selama di Kotaraja Majapahit
tinggal bersama Mahapatih Arya Tadah di puri
pasanggrahannya di dalam istana.
"Bila memang demikian, aku akan menunggumu di
Tanah Ujung Galuh", berkata Patih Gajahmada.
1502 Demikianlah, kedua anak muda itu terlihat berpisah
jalan di sebuah persimpangan sebuah lorong jalan di
istana. Terlihat Patih Gajahmada mengambil arah jalan
keluar istana Majapahit. Maka tidak lama berselang terlihat Patih Gajahmada
berjalan seorang diri keluar dari istana Majapahit.
Senja yang sunyi telah mewarnai suasana jalan
Kotaraja Majapahit. Beberapa orang masih terlihat di
jalan utama Kotaraja, meski tidak seramai di saat siang
hari tadi. "Dimana kawan Tuan?" bertanya tukang rakit kepada
Patih Gajahmada yang telah berada di tepian sungai
Kalimas. "Nanti malam kawanku itu akan datang menyusul",
berkata Patih Gajahmada kepada pemilik rakit itu.
"Bila memang demikian, aku tidak pulang sore ini.
Kasihan bila kawan tuan tidak mendapatkan rakit untuk
menyeberangkannya", berkata tukang rakit itu kepada
Patih Gajahmada. "Aku akan merasa sangat berterima kasih sekali,
tunggulah kawanku itu", berkata patih Gajahmada.
Ternyata Arya Damar menepati janjinya untuk datang
ke Tanah Ujung Galuh. Terlihat anak muda itu muncul
disaat menjelang wayah sepi uwong.
Terlihat Ki Sahdatun ikut menemani kedua anak
muda itu di pendapa Pasanggrahan Tanah Ujung Galuh.
Patih Gajahmada dan Arya Damar benar-benar
seperti layaknya seorang senapati agung yang tengah
merancang sebuah penyerangan besar.
"Aku akan menjadi mata kalian yang datang dari arah
1503 utara dan selatan. Aku akan menunggu pasukan kalian
datang mendekati Kotaraja Bali bersama pasukanku di
sebelah timur Kotaraja Bali", berkata Patih Gajahmada
kepada Arya Damar. "Berapa jumlah pasukan yang kamu butuhkan?"


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya Arya Damar. "Aku akan membawa pasukanku sendiri yang pernah
membantuku ketika menaklukkan pasukan Ki Sadeng",
berkata Patih Gajahmada "Orang-orang dari Padepokan Bajra Seta dan
perguruan Teratai Putih?" bertanya Arya Damar kepada
Patih Gajahmada. "Benar, aku tidak perlu sebuah pasukan besar, yang
kubutuhkan tingkat kemampuan mereka yang berada
diatas kemampuan rata-rata orang biasa", berkata Patih
Gajahmada menjawab pertanyaan Arya Damar.
"Mengapa kalian tidak bertanya kepadaku, apa yang
akan kulakukan terhadap pasukan kalian seandainya
saja aku ini seorang senapati dari kerajaan Bali", berkata
Ki Sahdatun dengan penuh senyum kepada kedua anak
muda itu. "Apa yang akan Ki Sahdatun lakukan?" berkata Patih
Gajahmada sangat tertarik dengan perkataan Ki
Sahdatun. "Aku tidak akan menunggu pasukan kalian di
Kotaraja Bali, melainkan mendatangi pasukan kalian di
pantai utara dan selatan Balidwipa. Dan pasukan kami
akan membuat serangan-serangan tak terduga, karena
pasukan kami dapat membaur dengan orang biasa
sebagai tameng hidup. Dan kami juga dapat menyergap
pasukan kalian di sebuah hutan yang lebih kami kenali
1504 dibandingkan pasukan kalian", berkata Ki Sahdatun.
"Terima kasih, Ki Sahdatun telah membuka mata hati
kami bahwa prajurit Bali bukan sebuah barang mati yang
tidak punya akal pikiran dan muslihat. Kami akan lebih
berhati-hati lagi", berkata Arya Damar menanggapi
perkataan Ki Sahdatun. "Medan pertempuran yang akan kalian hadapi lebih
luas dan sangat rumit dibandingkan dengan peperangan
kalian menghadapi sekumpulan pemberontak sebagaimana kelompok Ki Sadeng. Karena yang kalian
hadapi di Balidwipa bukan hanya para prajurit kerajaan
Bali, tapi orang Bali sendiri yang punya kecintaan dan
kebanggaan kepada tanah kelahirannya", berkata Ki
Sahdatun sambil memandang wajah kedua anak muda
itu. Mendengar perkataan Ki Sahdatun telah membuat
kedua anak muda itu seperti terpana dan terbawa dalam
pikirannya melihat sebuah perlawanan seluruh orang Bali
mengangkat senjata. "Kita akan menghadapi sebuah kekuatan dan
perlawanan yang sungguh sangat amat besar", berkata
Patih Gajahmada menyampaikan apa yang ada di dalam
benak dan pikirannya. "Tiga puluh ribu prajurit Majapahit, atau dua kali
lipatnya akan hancur binasa bila di hadapkan oleh
perlawanan seluruh orang Bali yang punya rasa cinta
dan bela", berkata Arya Damar menambahkan.
"Aku melihat kalian berdua seperti seorang pelaut
pemula yang baru melihat badai di tengah lautan.
Sementara seorang pelaut tua menghadapinya sebagai
sebuah canda alam, tidak akan surut perlawanannya
menghadapi gelombang badai, yang ada dalam
1505 pikirannya adalah membuat sebuah keputusan untuk
bertahan atau mati tanpa berbuat apapun", berkata Ki
Sahdatun sambil memandang wajah kedua anak muda
itu dengan wajah penuh senyum.
"Apa yang ada di dalam pikiran Ki Sahdatun
menghadapi perang kami ini?" berkata Patih Gajahmada
yang merasa yakin bahwa ada sebuah pikiran di kepala
Ki Sahdatun. "Tidak selalu peperangan menggunakan senjata
tajam, kadang kita harus berperang dengan sebuah
pencitraan", berkata Ki Sahdatun.
"Perang pencitraan?" bertanya Arya Damar belum
dapat menangkap maksud dan arah perkataan Ki
Sahdatun. "Sebelum kita turun dengan pasukan besar kita ke
bumi Balidwipa, kita sudah harus dapat meredam orangorang Bali bahwa perang ini bukan perang mereka, tetapi
hanya sebuah peperangan antara dua orang Raja yang
berselisih", berkata Ki Sahdatun mencoba menyampaikan jalan pikirannya.
"Aku setuju dengan pemikiran Ki Sahdatun, namun
siapa gerangan yang dapat meredam orang-orang Bali
dan menyampaikan buah pikiran bahwa peperangan ini
bukanlah peperangan mereka?" bertanya Patih
Gajahmada. "Yang pasti adalah orang Bali sendiri. Seorang yang
selalu didengar semua perkataannya." berkata Ki
Sahdatun. "Adakah seseorang yang begitu di dengar semua
perkataannya selain seorang Raja di Balidwipa?"
bertanya Arya Damar. 1506 Terlihat Ki Sahdatun tidak langsung menjawab
perkataan Arya Damar, hanya menampakkan sebuah
senyum di bibirnya. "Aku mengenal seorang Pendeta suci di Balidwipa
bernama Empu Batukaru. Beliau adalah salah satu
anggota persekutuan Pura Padma Bhuwana di
Balidwipa. Semoga Empu Batukaru dapat menerima dan
mendengar perkataanku untuk meredam semua orang di
Balidwipa untuk tidak ikut berperang menghadapi
pasukan Majapahit. Semoga saja Empu Batukaru dapat
mempengaruhi pikiran kedelapan Pendeta suci yang
lainnya", berkata Ki Sahdatun.
"Aku sangat setuju sekali dengan langkah yang Ki
Sahdatun tempuh, setidaknya akan mengurangi jumlah
orang di dalam peperangan ini", berkata Patih
Gajahmada merasa setuju dengan langkah yang diambil
oleh Ki Sahdatun. "Kapan Ki Sahdatun berangkat ke Balidwipa
menemui Empu Batukaru?" bertanya Arya Damar.
"Aku akan datang ke Balidwipa mendahului pasukan
kalian. Besok siang aku akan bersiap diri melakukan
perjalanan ke Balidwipa. Bukankah lebih cepat akan
menjadi lebih baik?" berkata Ki Sahdatun.
"Kami akan melakukan sebuah persiapan selama
sebulan penuh, semoga Ki Sahdatun dapat mempengaruhi pikiran para pendeta suci disana, para
pimpinan pura Padma Bhuwana di Balidwipa", berkata
Arya Damar. "Aku berharap kesembilan pandita suci anggota Pura
Padma Bhuwana dapat bahu membahu menyadarkan
umatnya, menyelamatkan bumi Balidwipa dari sentuhan
api peperangan yang akan terjadi", berkata Ki Sahdatun.
1507 "Semula aku ingin menemui orang-orang dari
Padepokan Bajra Seta dan perguruan Teratai Putih di
tempatnya masing-masing. Namun aku merasa tidak
enak hati melihat Ki Sahdatun berjalan seorang diri,
biarlah aku ikut mengawani perjalanan Ki Sahdatun ke
Balidwipa", berkata Patih Gajahmada.
"Bagaimana dengan orang-orang dari Padepokan
Bajra Seta dan perguruan Teratai Putih?" bertanya Arya
Damar kepada Patih Gajahmada.
"Aku akan mengutus para prajurit Majapahit menemui
mereka lewat Rangga Mahesa Dharma dan Adipati
Menak Koncar", berkata Patih Gajahmada. "Bukankah
pasukanku menjadi mata penghubung dari dua pasukan
yang datang dari utara dan selatan Balidwipa"
Pasukanku kecilku itu akan menyusup di bumi Balidwipa
mengamati seluruh gerak lawan", berkata kembali Patih
Gajahmada. "Senang sekali berjalan dikawani seorang Patih dari
Kediri", berkata Ki Sahdatun menyetujui rencana
perjalanan Patih Gajahmada.
"Kita berjalan bersama sebagai seorang
bersama muridnya", berkata Patih Gajahmada.
guru "Semoga saja Supo Mandagri dapat menjaga
Rangga Seta selama kepergian kita, aku melihat Rangga
Seta sangat dekat dengan ahli pembuat keris itu",
berkata Ki Sahdatun. "Aku akan meminta ibundaku untuk ikut mengawasi
Rangga Seta", berkata Patih Gajahmada.
Sementara itu suara tonggerek terdengar melengking
memecahkan kesunyian malam, bahkan kadang
memekik diatas suara debur ombak pantai Tanah Ujung
1508 Galuh menjadi sebuah kesempurnaan nyanyian alam
yang hidup dan serasi di kesunyian malam.
Dan tidak lama berselang, pendapa puri pasanggrahan yang berdiri diatas Tanah Ujung Galuh itu
terlihat telah begitu sunyi. Nampaknya para penghuninya
telah masuk keperaduannya masing-masing.
Bulan sabit pucat menggelantung di langit malam,
diatas deru ombak pantai Tanah Ujung Galuh.
Dan keesokan harinya, debur ombak di Tanah Ujung
Galuh masih melatari hari dari waktu ke waktu dihiasi
cahaya mentari dan kepak burung yang melintas terbang
dibawah awan. Hingga manakala cahaya mentari mulai meredup,
kepak burung semakin sepi melintas terbang, terlihat
sebuah perahu kayu bertiang layar bergerak menjauhi
dermaga Bandar pelabuhan Tajan Ujung Galuh.
Tidak seorangpun yang mengetahui bahwa diatas
perahu kayu itu ada dua orang yang punya tugas mulia
untuk melindungi warga Balidwipa dari sebuah
peperangan besar. Kedua orang itu adalah Patih
Gajahmada dan Ki Sahdatun.
Terlintas siapapun yang melihat mereka berdua,
pastinya akan menganggap sebagai dua orang
pengembara biasa yang memang sudah menjadi
pemandangan umum di jaman itu. Ada sebagian orang
memandang sebelah mata terhadap para pengembara
yang dianggap sebagai orang-orang yang malas bekerja,
luntang lantung tanpa tujuan. Sementara beberapa orang
lagi begitu sangat menghargai para pengembara yang
memang tengah mencari jati diri, mencari makna
kebenaran yang kelak akan dijadikan sebagai bekal
benderang jalan hidupnya di hari tuanya.
1509 Ki Sahdatun dan Patih Gajahmada dalam perjalannya
itu memang berpakaian layaknya para pengembara
biasa, hal itu tidak lain agar perjalanan mereka lepas dari
perhatian orang dan dapat tiba di Balidwipa tanpa
banyak rintangan. Ternyata harapan mereka benar-benar terwujud,
tidak seorangpun memperhatikan mereka berdua ketika
dalam pelayaran mereka di atas perahu kayu, manakala
tiba di Bandar pelabuhan Banyuwangi, juga manakala
kaki mereka menginjak tanah Balidwipa.
"Kedai sebelah sana nampaknya tidak begitu banyak
dikunjungi orang", berkata patih Gajahmada kepada Ki
Sahdatun sambil menunjuk sebuah kedai yang ada di
sekitar pantai Gilimanuk.
Terlihat keduanya tengah berjalan mendekati sebuah
kedai. "Salam lestari, selamat datang di kedai kami", berkata
seorang lelaki menyambut kedatangan Ki Sahdatun dan
Patih Gajahmada di kedainya.
"Siapkan untuk kami berdua makanan dan minuman
hangat", berkata Patih Gajahmada kepada pelayan itu.
Maka tidak lama berselang terlihat pelayan itu
kembali kepada mereka berdua sambil membawa
makanan dan minuman. "Terima kasih", berkata Ki Sahdatun kepada pelayan
itu penuh santun dan ramah.
Sementara itu Patih Gajahmada saat itu tengah
menyapu pandangannya ke beberapa tamu di kedai itu.
Dan pandangan Patih Gajahmada terpaku kepada dua
orang tamu yang tidak begitu jauh darinya.
Wajar saja bila perhatian Patih Gajahmada tertuju
1510 kepada keduanya, karena wajah keduanya terlihat begitu
angkuh dengan cara duduk yang kurang sopan layaknya
seorang jawara besar yang hebat.
Sambil menyantap makanan, pendengaran Patih
Gajahmada yang amat peka itu masih sempat
mendengar percakapan keduanya.
"Sial, dimana-mana ada prajurit berkeliaran", berkata
salah seorang dari dua orang itu.
"Ku dengar mereka tengah mencari dua orang
Majapahit yang telah mengalahkan Raden Makambika
dan membunuh Patih Kebo Iwa", berkata kawannya.
"Tapi berdampak kepada pekerjaan kita, tidak ada


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan untuk kita memeras para pedagang di pasar
dan di jalan-jalan umum", berkata kawannya.
Sampai di situ Patih Gajahmada sudah dapat
menebak siapa gerangan kedua orang itu yang ternyata
adalah para begundal yang malas bekerja keras, mencari
nafkah dengan cara memeras para pedagang.
Hingga akhirnya setelah merasa cukup beristirahat di
kedai itu, terlihat Patih Gajahmada dan Ki Sahdatun telah
beranjak dari duduknya. "Terima kasih tuan", berkata seorang pelayan sambil
menerima pembayaran dari Patih Gajahmada yang
ternyata memberikan tambahan.
Terlihat Patih Gajahmada dan Ki Sahdatun telah
keluar dari kedai itu. Di sebuah persimpangan jalan,
terlihat mereka mengambil arah ke timur.
Namun belum jauh mereka dari persimpangan itu,
terlihat sepasukan prajurit Bali berlari-lari dari arah
belakang mereka. 1511 "Berhenti!!" berkata salah seorang prajurit Bali yang
paling dekat dengan mereka.
Mendengar teriakan itu, Patih Gajahmada dan Ki
Sahdatun langsung berbalik badan.
Maka tidak begitu lama, para prajurit itu telah
langsung mengepung di sekeliling mereka dengan
pedang terhunus kearah mereka berdua.
"Meraka berdua adalah orang Majapahit", berkata
salah seorang diantara yang ternyata adalah salah
seorang yang berada di dalam kedai.
Terlihat pandangan Patih Gajahmada terarah kearah
orang yang berbicara itu dan masih mengenalinya.
"Aku mendengar sendiri, orang itu berbicara layaknya
orang Majapahit bicara", berkata kembali orang itu.
"Katakan, apa benar kalian berdua dari Majapahit?"
berkata salah seorang prajurit Bali kepada Patih
Gajahmada dan Ki Sahdatun dengan suara membentak.
"Benar, kami datang dari Majapahit", berkata patih
Gajahmada dengan suara datar tanpa rasa takut
sedikitpun. Terlihat prajurit yang bertanya itu memperhatikan Ki
Sahdatun dan Patih Gajahmada dengan lebih seksama
lagi. "Saat ini tertutup untuk orang Majapahit berada di
Balidwipa. Dan dengan sangat terpaksa kalian harus ikut
bersama kami", berkata prajurit itu yang nampaknya
pemimpin dari pasukan prajurit yang ada saat itu.
Nampaknya Ki Sahdatun dapat membaca gelagat
dari Patih Gajahmada yang hendak berkeras hati tidak
ingin dibawa oleh pasukan prajurit Bali.
1512 "Kita ikuti dulu apapun kemauan mereka", berbisik
perlahan Ki Sahdatun kepada Patih Gajahmada.
"Kami hanya pengembara biasa yang tidak punya
arah tujuan, kami tidak berkeberatan dibawa oleh kalian",
berkata Ki Sahdatun kepada prajurit itu.
"Ikat kedua tangan mereka", berkata pemimpin
prajurit itu dengan suara memerintah.
Terlihat dua orang menghampiri Patih Gajahmada
dan Ki Sahdatun yang terdiam tidak melawan manakala
kedua prajurit mengikat kedua tangan mereka.
Maka tidak lama berselang keduanya telah digiring
oleh sepasukan prajurit Bali kearah sebuah padukuhan.
Ternyata di Padukuhan itu Patih Gajahmada dan Ki
Sahdatun melihat telah berkumpul beberapa orang
prajurit yang lebih banyak lagi.
"Masuklah kalian kedalam, dan jangan coba-coba
melarikan diri", berkata seorang prajurit memerintah Ki
Sahdatun dan Patih Gajahmada masuk kesebuah bilik
kecil yang terlihat di jaga oleh beberapa orang prajurit.
Terlihat Patih Gajahmada dan Ki Sahdatun dengan
kedua tangan masih terikat masuk kedalam bilik itu.
Ketika Ki Sahdatun dan Patih Gajahmada berada di
dalam bilik itu, telah melihat tidak ada jendela satupun di
dalam bilik itu, sementara cahaya matahari masih dapat
menembus dari sela-sela bilik bambu dan cukup
memberikan cahaya penerang bagi keduanya.
Ternyata di dalam ruang bilik yang tidak begitu besar
itu sudah ada lima orang yang terkurung bersama
mereka. Terlihat pandangan Patih Gajahmada menyapu 1513 berkeliling, menatap satu persatu dari lima orang yang
terkurung di dalam bilik itu.
Dan terlihat pandangan mata Patih Gajahmada
tertahan ke satu orang yang merupakan satu-satunya
wanita yang ada di dalam bilik itu.
"Andini".?" berkata Patih Gajahmada dengan wajah
penuh terkejut. Ternyata wanita yang ada di ruang bilik itu memang
Biksuni Andini, seorang murid tunggal dari Ibunda Suri
Kerajaan Majapahit, Nyi Ageng Ratu Gayatri yang juga
merangkap sebagai anggota Bhatara Prabu atau
setingkat dewan pertimbangan agung kerajaan.
"Selamat berjumpa di Balidwipa", berkata gadis jelita
itu dengan senyum manisnya seperti tidak menunjukkan
rasa susah sedikitpun menjadi seorang tahanan di bilik
itu. "Sudah berapa lama kamu berada di ruangan ini?"
bertanya Patih Gajahmada kepada Biksuni Andini.
"Hanya selisih sehari dengan kalian", berkata Biksuni
Andini dengan kata yang singkat.
"Apa yang tengah kamu cari di Balidwipa ini?"
bertanya Patih Gajahmada kepada Biksuni Andini.
"Ibunda Ratu Gayatri menugaskan diriku untuk
mencari tahu apakah benar adanya Kerajaan Bali ingin
melepaskan diri dari persekutuan Kerajaan Majapahit.
Ternyata berita itu benar adanya. Saat ini kutemui
mereka tengah menggalang kekuatan. Bahkan telah
mencoba meracuni warganya untuk membenci orang
Majapahit. Hingga dalam sebuah perjalanan pulang, aku
tertangkap oleh sepasukan prajurit Bali dan disekap di
ruangan ini", berkata Biksuni Andini.
1514 "Tidak mudah menangkap seorang murid tunggal
ibunda Ratu Gayatri, kecuali dirimu memang sengaja
menyerahkan diri", berkata Patih Gajahmada kepada
Biksuni Andini. "Aku hanya ingin mengetahui apa yang dilakukan
oleh prajurit Bali atas orang Majapahit yang mereka
tahan. Ternyata mereka tidak sekasar yang kubayangkan, nampaknya para prajurit Bali masih
menganggap orang Majapahit sebagai saudaranya yang
serumpun", berkata Biksuni Andini.
Kepada Biksuni Andini, secara singkat patih
Gajahmada bercerita tentang tugas perjalanan dirinya
bersama Ki Sahdatun di Balidwipa itu.
"Nampaknya sudah saatnya kita melanjutkan
perjalanan kita", berkata Ki Sahdatun kepada Patih
Gajahmada dan Biksuni Andini.
Terlihat Patih Gajahmada dan Biksuni
memandang kearah Ki Sahdatun bersamaan.
Andini "Tidak seperti yang kalian bayangkan bahwa kita
harus membentur sebuah pasukan Bali untuk meloloskan
diri. Yang kita lakukan adalah menerobos lewat
wuwungan bilik yang rendah itu", berkata Ki Sahdatun
seperti dapat membaca jalan pikiran kedua muda mudi
itu. Selama ini Patih Gajahmada memang belum melihat
langsung sejauh mana tingkat ilmu meringankan tubuh
pada diri Ki Sahdatun. Namun sikap dan bicaranya
seperti begitu meyakinkan.
"Bagaimana dengan tahanan yang lainnya?" berkata
Patih Gajahmada. "Tidak perlu dikhawatirkan, mereka mendapatkan
1515 perlakuan yang baik disini", berkata Biksuni Andini.
"Diluar bilik ini nampaknya hari sudah mulai gelap",
berkata Ki Sahdatun. Sambil berkata demikian, terlihat Ki Sahdatun sedikit
merendahkan dirinya dengan menekuk lututnya. Semua
itu tidak lepas dari pandangan Patih Gajahmada.
Terlihat Patih Gajahmada tersenyum manakala
melihat tubuh Ki Sahdatun melenting ke udara dan
langsung menerobos atap wuwungan bilik.
Patih Gajahmada dan Biksuni Andini bersama-sama
melihat atap wuwungan yang telah menganga
terbongkar. "Aku di belakangmu", berkata Patih Gajahmada
kepada Biksuni Andini. Tanpa berkata apapun, terlihat Biksuni Andini
melesat terbang keluar dari atap wuwungan sebagaimana Ki Sahdatun. Melihat tubuh Biksuni Andini sudah menghilang,
maka Patih Gajahmada langsung menjejakkan kakinya
melenting terbang begitu ringannya menerobos atap
wuwungan yang terbuka. Ternyata tidak jauh dari bilik itu ada sebuah pohon
asam yang cukup besar, dan Patih Gajahmada telah
melihat Ki Sahdatun dan Biksuni Andini tengah
menunggunya di pohon itu.
Dengan kecepatan yang amat tinggi, terlihat Patih
Gajahmada melesat terbang ke pohon asam itu tanpa di
ketahui oleh para prajurit Bali yang tengah berjaga-jaga
di sekitar bilik tahanan itu.
"Ikuti aku", berkata Ki Sahdatun yang telah melihat
1516 Patih Gajahmada menjejakkan kakinya di pohon asam
itu. Terlihat Patih Gajahmada tersenyum melihat tingkat
ilmu meringankan tubuh pada diri Ki Sahdatun yang
nampaknya sudah sangat sempurna. Patih Gajahmada
melihat sendiri bagaimana orang tua itu melesat begitu
amat cepatnya layaknya seekor kelelawar yang terbang.
Begitu cepatnya hingga tak terlihat oleh mata para
prajurit Bali yang ada di sekitar bilik tahanan itu.
"Kita ikuti orang tua itu", berkata Patih Gajahmada
kepada Biksuni Andini. Sebagaimana Ki Sahdatun, kedua muda-mudi itu pun
terlihat seperti sepasang kelelawar yang melesat terbang
di penghujung senja. Dan tiga sosok bayangan terlihat melesat berlari
dengan ilmu meringankan tubuh yang nyaris amat
sempurna. Tidak begitu lama ketiganya telah menjauhi
padukuhan tempat bilik tahanan mereka.
"Kita sudah cukup jauh dari mereka", berkata Ki
Sahdatun yang memperlambat larinya.
"Kita harus menghindari jalan umum, dimana-mana
ada prajurit Bali", berkata Patih Gajahmada.
"Disebelah sana ada hutan kecil, kita dapat bermalam
disana", berkata Ki Sahdatun menunjuk kearah sebuah
hutan kecil di depan mereka.
Demikianlah, malam itu ketiganya terlihat bermalam
di sebuah hutan kecil. JILID 18 MALAM di sebuah hutan kecil.
1517 Lenguh malam berdesah diujung rerumputan yang
terkantuk membeku dingin.
Terlihat Ki Sahdatun tengah bersandar di bebatuan
dengan mata terpejam, sementara tidak jauh darinya
Patih Gajahmada dan Biksuni Andini menghangatkan diri
di tepi perapian. "Kakang Gajahmada", berkata Biksuni Andini dengan
suara penuh penekanan. Mendengar perkataan Biksuni Andini, Patih
Gajahmada terlihat menarik nafas dalam-dalam
menunggu apa gerangan yang akan disampaikannya.
"Tadi aku melihat sendiri dirimu melaksanakan laku
selayaknya seorang muslim, benarkah dirimu telah
berganti agama menjadi seorang muslim ?", bertanya
Biksuni Andini. "Sebagaimana yang kamu saksikan, benar diriku saat
ini telah menjadi seorang muslim, wahai Andini", berkata
Patih Gajahmada tanpa rasa bersalah dan keinginan
untuk menutupinya. "Aku mengenal dirimu sebagai seorang yang telah
memahami isi kitab Tatwa dengan begitu sempurna,
mengerti dan menghayatinya bersama darah dan
nafasmu", berkata Biksuni Andini.
"Aku tidak berpaling dari apapun, aku juga tidak
mendustakan apapun. Yang kutemui adalah sebuah
jalan terang benderang. Yang kutemui adalah sebuah
samudera luas tempat bermuaranya segala sungai. Yang
kutemui adalah sebuah tempat akhir dari sebuah
pencarian para pengembara hati", berkata Patih
Gajahmada. "Kakang Gajahmada", berkata Biksuni Andini dengan
1518 pandangan lurus menatap wajah Patih Gajahmada.
Kembali terlihat Patih Gajahmada menarik nafas


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang menunggu apa gerangan yang akan
disampaikan oleh kekasih hatinya itu.
"kamu adalah imam bagiku, tunjukkan kepadaku jalan
yang kamu ketahui itu, tuntunlah aku menuju samudera
muara segala sungai itu, wahai Kakang", berkata Biksuni
Andini. "kamu harus melakukan sebuah persaksian", berkata
Patih Gajahmada. "Ajarkan diriku bagaimana melakukan persaksian itu,
wahai kakang", berkata Andini.
"Bersaksilah di dalam dirimu bahwa tiada sembahan
apapun yang patut disembah selain Gusti Allah",berkata
Patih Gajahmada. "Gusti Allah ?", berkata Biksuni Andini
"Dialah Gusti Allah, tiada Tuhan selain Dia. Dia yang
Maha Hidup dan Yang Maha berdiri sendiri, yang tidak
pernah mengantuk apalagi tertidur", berkata perlahan
Patih Gajahmada. "diakah Gusti Allah itu yang memiliki kekuasaan sang
syiwa?", berkata Biksuni Andini dalam hati.
"Ditangannya segala apa yang ada di langit dan di
bumi. Maka siapapun tidak dapat memberi pertolongan
selain atas izinNYA", berkata Patih Gajahmada
melanjutkan. "Diakah Gusti Allah itu yang memiliki kekuasaan sang
Whisnu ?", berkata Biksuni Andini dalam hati.
" Dia Allah mengetahui apa-apa yang ada di hadapan
mereka dan apa-apa yang ada di belakang mereka. Dan
1519 mereka tidak mengetahui ilmu Allah, kecuali dengan
ijinNYA" Dan singgasananya meliputi langit dan bumi,
dan tiada berat baginya memelihara keduanya dan
Dialah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung", berkata
Patih Gajahmada. "Sungguh sempurna dan indah kalimat yang engkau
sampaikan, wahai Kakang Gajahmada", berkata Biksuni
Andini. "Tiada juga kudapatkan keingkaran dari apa yang
kuyakini selama ini. Yang kutemui adalah sebuah jalan
terang yang begitu lurus di depan mata dan hatiku",
berkata kembali Biksuni Andini seperti tidak sadar keluar
dari bibirnya. "Yang kamu dengar ini adalah sebuah ayat dari kitab
suci yang langsung diturunkan kepada utusannya untuk
semua umat di bumi ini sebagai tanda cinta kasih-Nya",
berkata Patih Gajahmada dengan wajah penuh senyum.
"Agama islam mewajibkan setiap umatnya menjadi orang
suci, namun tidak harus menjadi seorang Biksu dan
Biksuni. Bila di hadapanmu ada segelas air putih yang
jernih, bila di hadapanmu ada juga segelas air susu.
Maka islam memilih untukmu mengambil segelas susu itu
untuk dirimu. Memilih islam sebagai jalan hidupmu
adalah memilih segala kebutuhan hidupmu lahir dan
bathin, di alam dunia dan di alam akhir yang abadi",
berkata kembali Patih Gajahmada.
"Wahai Kakang Gajahmada, demi Gusti Allah yang
kamu sembah itu, aku bersaksi tiada Tuhan yang aku
sembah selain Gusti Allah", berkata Biksuni Andini.
"Wahai Andini, tiada kegembiraan dan kebahagiaan
yang kurasakan di malam ini selain kegembiraan dan
kebahagiaan mendengar persaksianmu itu", berkata
Patih Gajahmada dengan wajah penuh kegembiraan dan
kebahagiaan. 1520 "Tuntunlah aku, wahai Kakang Gajahmada", berkata
Biksuni Andini. "Sejak malam ini kamu bukan lagi sebagai seorang
biksuni, sejak malam ini dirimu seutuhnya sebagai
seorang wanita islam", berkata Patih Gajahmada.
"Aku rela dan ikhlas dari hatiku sendiri, wahai kakang
Gajahmada", berkata Andini dengan penuh keteguhan
hati. Sementara itu terlihat Ki Sahdatun masih terpejam
telah bergerak bergeser sedikit dari tempatnya semula.
Terlihat bibirnya sedikit tersenyum. Ternyata Ki Sahdatun
telah mendengar semua percakapan antara patih
Gajahmada dan Andini. "Malam ini telah tumbuh satu lagi benih islam di bumi
Majapahit ini", berkata Ki Sahdatun dalam hati.
Dan langit malam di atas hutan kecil itu terlihat begitu
sejuk warna birunya dihiasi cahaya rembulan dan
gemerlap jutaan bintang gemintang, sungguh warna
langit malam yang sempurna eloknya.
Pagi itu di hutan kecil. Gemercik air sungai kecil di bawah tebing, kicau
burung manyar yang tengah mandi sisa embun diujung
dedaunan adalah nyanyian pagi kegembiraan hati
siapapun yang ada disekitar hutan kecil itu.
Terlihat Ki Sahdatun, Patih Gajahmada dan Andini
tengah bersiap diri untuk melanjutkan perjalanan mereka.
"Semoga perjalanan kita tidak menemui banyak
hambatan", berkata Patih Gajahmada sambil menatap
mentari pagi yang muncul menerangi alam di sekitar
hutan kecil itu. 1521 Maka tidak lama berselang ketiganya telah berjalan
keluar dari hutan kecil tempat mereka bermalam.
Nampaknya mereka mengambil arah jalan yang jarang
dilalui oleh orang pada umumnya, juga menghindari
beberapa padukuhan di setiap perjalanan mereka.
"Menjelang senja tiba, kita sudah akan sampai di
lereng gunung Batukaru", berkata Ki Sahdatun sambil
menunjuk sebuah gunung biru yang tinggi menjulang di
hadapan mereka. "Apakah Ki Sahdatun telah mengenal dekat dengan
Empu Batukaru", bertanya Patih Gajahmada kepada Ki
Sahdatun di tengah perjalanan mereka.
"Aku mengenalnya sejak kami masih muda. Aku
bertemu dengannya dalam sebuah pengembaraan di
tanah Jawa. Sejak itu kami berteman dan melakukan
banyak pengembaraan bersama. Nampaknya Empu
Batukaru telah menemukan sebuah tempat terakhirnya di
lereng gunung Batukaru, membangun sebuah padepokan kecil di sana dan menjadi seorang guru suci.
Nama aslinya adalah Ki Meleng. Sementara di Balidwipa
ini orang lebih banyak mengenalnya sebagai Empu
Batukaru", berkata Ki Sahdatun bercerita tentang
sahabatnya itu yang bernama Empu Sahdatun.
Di dalam benak Patih Gajahmada terpikir bagaimana
mungkin dua orang yang punya kepercayaan berbeda
dapat menjadi dua orang sahabat.
Ternyata Ki Sahdatun sepertinya dapat membaca
apa yang dipikirkan oleh anak muda itu.
"Kami berdua sama-sama menghormati kepercayaan
masing-masing, bahkan kami berdua dapat saling
mengenal dan mendapatkan pengetahuan tentang
kepercayaan masing-masing", berkata Ki Sahdatun
1522 kepada Patih Gajahmada. "Kuciptakan perbedaan
diantaramu di muka bumi agar kamu dapat saling
mengenal dan bersyukur", berkata Ki Sahdatun mengutip
sebuah ayat suci. Terlihat Patih Gajahmada menarik nafas dalamdalam,
kecerdasan pikirannya langsung dapat memahami ayat yang disampaikan oleh Ki Sahdatun itu.
Sementara Andini yang mendengar pembicaraan
keduanya hanya terdiam ikut menyimaknya.
"Ternyata ayat-ayat suci itu penuh makna dan
bersayap. Begitu sempurna mewakili alam alit dan alam
besar. Namun hanya sedikit orang yang mampu
memaknai arti sejatinya", berkata Patih Gajahmada.
"Semoga kita tergolong sebagai kaum yang sedikit
itu", berkata Ki Sahdatun masih sambil berjalan.
Tidak ada hambatan apapun dalam perjalanan
mereka ke gunung Batukaru. Hutan yang masih amat
lebat serta jalan yang terkadang sangat terjal mendaki
bukan menjadi masalah besar bagi ketiga orang berilmu
tinggi itu. Hingga akhirnya disebuah tempat yang banyak
ditumbuhi pohon cemara pandak, mereka menemui
sebuah tembok tebing yang cukup tinggi sekitar dua kali
pohon kelapa. "Padepokan Empu Batukaru berada di atas tebing
ini", berkata Ki Sahdatun kepada Patih Gajahmada dan
Andini. "Ternyata Empu Batukaru sangat malas membuat
sebuah tangga", berkata Andini sambil tersenyum.
"Mari kita naik ke atas", berkata Ki Sahdatun sambil
langsung menjejakkan kakinya/
1523 Begitu ringan tubuh Ki Sahdatun terlihat melenting
keudara. Dipertengahan tebing terlihat sebuah kaki Ki
Sahdatun menyentuh sebuah bebatuan yang sedikit
menonjol. Ternyata bebatuan itu adalah sebagai pijakan
untuk dapat melesat lebih jauh lagi.
"Mari kita menyusul Ki Sahdatun", berkata Patih
Gajahmada kepada Andini. Maka sebagaimana Ki Sahdatun, terlihat keduanya
seperti terbang melenting mendaki tebing tinggi itu hanya
dengan dua kali pijakan kaki.
"Sungguh sebuah pemandangan yang sangat elok",
berkata Andini manakala menjejakkan kakinya diatas
tebing itu. Ternyata diatas tebing itu adalah sebuah hamparan
bunga aneka rupa dan warna mekar bersama diantara
beberapa pohon cemara pandak yang tinggi menjulang.
Sungguh sebuah pemandangan yang indah disaat sang
surya menaburkan cahaya senjanya. Terlihat sebuah
bangunan pedepokan berdiri tumbuh menyatu dengan
keserasian alam yang asri itu.
"Salam lestari", berkata seorang lelaki muda memberi
hormat di depan regol halaman pedepokan itu.
"Kami hendak bertemu dengan Empu Batukaru",
berkata Ki Sahdatun sambil membalas sikap hormat
anak muda itu. "Mari kuantar kalian ketempat tuan guru", berkata
anak muda itu dengan penuh keramahan.
Terlihat ketiganya mengikuti langkah anak muda itu
yang ternyata membawa mereka kearah sebuah
panggung pendapa. 1524 "Terima kasih", berkata Ki Sahdatun kepada anak
muda itu yang mempersilahkan mereka naik keatas
panggung pendapa padepokan itu.
Terlihat seorang lelaki tua yang ada di panggung
pendapa itu berdiri mendekati anak tangga.
"Selamat datang sahabat", berkata lelaki itu sambil
merangkul tubuh Ki Sahdatun.
Ternyata lelaki tua itu adalah Empu Batukaru yang
sangat di hormati di Balidwipa itu, seorang guru suci
yang tinggal di lereng gunung Batukaru bersama
beberapa cantrik di padepokannya.
"lama sekali kita tidak berjumpa", berkata Empu
Batukaru setelah mempersilahkan tamunya duduk
bersama di atas panggung pendapa.
"Beruntung, aku tidak pernah lupa jalan menuju
padepokanmu", berkata Ki Sahdatun sambil tersenyum.
"Seekor Rajawali pasti akan melahirkan anak
rajawali", berkata Empu Batukaru sambil memandang
kearah Patih Gajahmada dan Andini yang diperkenalkan
oleh Ki Sahdatun sebagai dua orang muridnya.
"Sungguh sebuah kemulyaan dapat menjadi seorang
guru suci dikelilingi oleh banyak cantrik", berkata Ki
Sahdatun kepada Empu Batukaru.
"Sewaktu muda aku tidak pernah terpikir untuk
menetap disebuah tempat dan memiliki sebuah
padepokan", berkata Empu Batukaru sambil tersenyum.
Terdengar kedua sahabat lama yang sudah sekian
tahun tidak berjumpa itu banyak bercerita tentang
kebersamaan mereka di masa lampau. Hingga akhirnya
Ki Sahdatun memutuskan pembicaraan mereka disaat
waktu Magrib tiba. 1525 "Kalian pasti lelah setelah menempuh perjalanan
yang cukup berat", berkata Empu Batukaru sambil
mempersilahkan ketiga tamunya untuk bersih-bersih diri
dan melaksanakan kewajiban agamanya.
Demikianlah, menjelang malam tiba ketiganya dijamu
oleh tuan rumah di pendapa padepokan dengan suasana
penuh kegembiraan hati. Setelah selesai menikmati perjamuan malam itu, Ki
Sahdatun mencoba memulai pembicaraannya tentang
keperluannya datang mengunjungi Padepokan Empu
Batukaru itu. "Kami sengaja berkunjung ke padepokan ini adalah
untuk meminta sedikit bantuan dari Empu Batukaru",
berkata Ki Sahdatun kepada Empu Batukaru.
"Sebuah kegembiraan dapat membantumu, wahai
sahabatku", berkata Empu Batukaru.
"Aku tidak punya kepentingan dan keuntungan
apapun, karena yang kuharapkan adalah keselamatan
orang banyak, keselamatan warga Balidwipa", berkata Ki
Sahdatun.

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakan saja, apa yang dapat aku lakukan", berkata
Empu Batukaru. "Perseteruan antara kerajaan Majapahit dan kerajaan
Balidwipa sudah semakin meruncing. Nampaknya akan
berujung dengan sebuah peperangan besar. Yang
kuinginkan adalah menyelamatkan warga Balidwipa
untuk tidak ikut terseret dalam peperangan ini", berkata
Ki Sahdatun. "Apa gerangan yang dapat aku lakukan?", bertanya
Empu Batukaru. "Meminta kepada seluruh warga Balidwipa untuk
1526 tidak ikut mengangkat senjata", berkata Ki Sahdatun.
Terlihat Empu Batukaru terdiam sambil menarik nafas
dalam-dalam. "Semua peperangan akan melahirkan begitu banyak
kesengsaraan dan penderitaan. Terima kasih telah
mengabarkan berita ini, setidaknya ada sebuah upaya
dari kita untuk mengurangi korban lebih banyak lagi. Aku
akan mengabarkan kepada semua umat di Balidwipa ini
bahwa perang yang akan terjadi itu bukan perang
mereka, namun perang para penguasa yang bertahta di
istana kerajaan Majapahit dan Kerajaan Bali", berkata
Empu Batukaru. "Aku merasa yakin bahwa suara seorang ketua
persekutuan sembilan pura di Balidwipa ini akan
didengar dan di panuti", berkata Ki Sahdatun kepada
Empu Batukaru. "Aku sangat mempercayaimu, wahai sahabatku. Apa
yang kamu sampaikan adalah demi kemaslahatan
banyak orang dan tidak ada sedikitpun keuntungan yang
ingin kamu peroleh. Itulah sosok Ki Sahdatun yang
kukenal semenjak dulu", berkata Empu Batu Karu
kepada Ki Sahdatun "Sangat sederhana sekali, wahai Empu Batukaru.
Setiap agama pasti mengajarkan kepada umatnya untuk
memerangi kemungkaran di muka bumi ini. Yang paling
baik adalah dengan sebuah tindakan, bila tidak sanggup
dapat dengan lidahnya, dan selemah-lemahnya iman
setidaknya dapat melakukan dengan suara hatinya",
berkata Ki Sahdatun dengan penuh senyum tulusnya.
"Beruntung kalian berdua punya seorang guru
sebagaimana Ki Sahdatun, di dalam dirinya tersimpan
begitu banyak perbendaharaan ilmu", berkata Empu
1527 Batukaru kepada Patih Gajahmada dan Andini. Namun
tiba-tiba saja pandangan Empu Batukaru tertuju kearah
cambuk pendek yang melingkar di pinggang Patih
Gajahmada. "Anak muda, apakah kamu punya hubungan dengan
Patih Mahesa Amping?", bertanya Empu Batukaru
kepada Patih Gajahmada dengan pandangan tidak
pernah lepas dari cambuk yang melingkar di pinggang
anak muda itu. "Patih Mahesa Amping adalah
sendiri", berkata Patih Gajahmada.
ayah angkatku "Luar biasa, ternyata hari ini di padepokanku telah
kedatangan orang-orang hebat", berkata Empu Batukaru
sambil tersenyum memandang ketiga tetamunya itu.
Dalam kesempatan lain, Ki Sahdatun juga bercerita
tentang beberapa peristiwa dalam perjalanannya, antara
lain tentang penangkapan orang-orang yang berasal dari
Mahapahit di Balidwipa. "Raja Bali telah melupakan pesan para leluhurnya
bahwa orang Balidwipa dan Jawadwipa berasal dari satu
keturunan yang sama, berasal dari tanah yang sama
sebelum daratan ini terpisahkan oleh lautan", berkata
Empu Batukaru sambil menarik nafas panjang menyesali
apa yang telah terjadi di Balidwipa itu.
Sementara itu terlhat pelita malam yang tergantung di
pojok panggung pendapa terlihat telah mulai redup,
malam memang sudah larut gelap. Semilir angin dingin
lereng gunung Batukaru berhembus membuat kulit
seperti membeku. Dan pagi di lereng gunung Batukaru seperti tertunda
sesaat, karena sang mentari terhalang cahayanya oleh
1528 punggung gunung Batukaru. Namun sang raja siang itu
seperti menggeliat merangkak memanjati puncak gunung
dan menyinari seluruh sisi dan celah daratan, mengusir
dingin dan memberi kehangatan setiap makhluk di bumi
itu. Terlihat di pagi yang cerah itu Empu Batukaru tengah
berjalan bersama ketiga tamunya hingga ke regol
padepokannya. "Maaf, kami belum sempat untuk membuat tangga di
lereng jalan menuju padepokan kami", berkata Empu
Batukaru sambil tersenyum memandang kearah Andini.
Agak sedikit terkejut hati Andini mendengar
perkataan Empu Batukaru itu yang sepertinya tertuju
kepadanya. "Apakah orang tua ini mendengar perkataanku
tentang tangga di lereng itu kemarin?", berkata Andini
dalam hati. "Sampai berjumpa lagi, wahai sahabatku", berkata Ki
Sahdatun sambil melambaikan tangannya.
"Pintu padepokan kami selalu terbuka untuk kalian
semua", berkata Empu Batukaru sambil membalas
lambaian tangan para tamunya.
Demikianlah, Ki Sahdatun, Patih Gajahmada dan
Andini terlihat tengah melangkah meninggalkan
padepokan Empu Batukaru yang begitu indah dikelilingi
aneka bunga aneka rupa dan warna laksana permadani
indah terhampar luas di seluruh lereng itu.
Sebagaimana kedatangan mereka, arah perjalanan
mereka nampaknya melewati jalan-jalan sepi yang jarang
dilalui oleh orang biasa. Hutan perawan, lembah dan
bukit sunyi yang terjal adalah jalan yang mereka lewati.
1529 Namun ketiga orang yang memiliki tingkat kemampuan
diatas orang biasa itu sepertinya tidak merasakan
kesulitan dan hambatan apapun, bahkan terlihat mereka
seperti menikmatinya. Dalam perjalanan itu, terutama Andini banyak
mendapatkan pemahaman tentang agama islam yang
baru dianutnya itu. Hingga akhirnya Ki Sahdatun mencoba menyentuh
tentang hubungan keduanya.
"Pernikahan adalah kesempurnaan dan keagungan
yang membedakan antara manusia dengan mahluk
lainnya di muka bumi ini", berkata Ki Sahdatun kepada
Patih Gajahmada dan Andini.
Terlihat kedua muda mudi itu saling berpandangan.
Anggukan keduanya seperti sebuah persetujuan dan
kesepakatan. "Setelah tugas di Balidwipa ini selesai, aku akan
mendatangi orang tuanya untuk melamarnya", berkata
Patih Gajahmada kepada Ki Sahdatun.
Mendengar perkataan Patih Gajahmada yang akan
datang melamarnya itu, terlihat bibir gadis jelita itu
tersenyum penuh kegembiraan hati.
Namun warna kegembiraan di wajah Andini hanya
sesaat saja, karena tiba-tiba saja keceriaan wajahnya
berganti menjadi begitu suram. Perubahan yang
mendadak itu tidak lepas dari perhatian Ki Sahdatun dan
Patih Gajahmada. "Andini, apakah perkataanku telah mengganggu
perasanmu?", bertanya Patih Gajahmada kepada Andini.
Terlihat gadis jelita itu menggelengkan kepalanya dan
mencoba menebarkan senyumnya dihadapan Patih
1530 Gajahmada. "Tidak Kakang, aku hanya teringat kepada kedua
orang tuaku, tiba-tiba saja ada sebuah kerinduan yang
amat sangat terhadap mereka", berkata Andini kepada
Patih Gajahmada. Terlihat Patih Gajahmada menarik nafas panjang
masih dengan menatap Andini dengan penuh kasihan.
Anak muda itu merasa sangat berdosa telah membuat
banyak penderitaan hati gadis di hadapannya itu.
Terbayang bagaimana gadis itu harus berpisah dengan
kedua orang tuanya, hanya untuk menemui dirinya.
Terbayang bagaimana seorang gadis muda sendirian
menempuh sebuah perjalanan yang amat jauh dari tanah
pasundan ke Majapahit, hanya untuk menemui dirinya.
Terbayang bagaimana hancur hati gadis itu manakala
melihat kedekatan dirinya dengan kedua putri Kanjeng
Ratu Gayatri dan memutuskan dirinya untuk menjadi
seorang Biksuni. "Percayalah kepadaku, aku akan datang ke Rawa
Rontek menemui Ayahmu Ki Bango Samparan,
memintanya agar dirimu diijinkan untuk menjadi istriku",
berkata Patih Gajahmada dengan penuh kesungguhan
hati. "Ayah dan ibuku pasti akan menjadi sangat
bersenang hati mendengar lamaranmu itu, karena
mereka berdua begitu amat menyukai dirimu", berkata
Andini dengan wajah yang telah kembali penuh
kecerahan hati. Sementara itu di atas langit yang cerah terlihat tiga
ekor elang melintas terbang menuju arah barat bumi.
"Mari kita melanjutkan perjalanan",
Sahdatun kepada kedua muda-mudi itu.
berkata Ki 1531 Demikianlah, ketiganya terlihat berdiri dan melangkah
meninggalkan tempat iperistirahatan mereka di siang itu,
menuju arah barat bumi. Hingga akhirnya manakala warna bumi semakin
teduh di penghujung senja, terlihat keduanya telah
mendekati sebuah perkampungan nelayan yang tidak
begitu jauh dari pantai Gilimanuk.
"Sangat kebetulan sekali angin cukup bagus, aku
akan menyeberangkan kalian ke pantai Banyuwangi",
berkata seorang lelaki muda kepada mereka bertiga.
Terlihat Ki Sahdatun, Patih Gajahmada dan Andini
berjalan mengikuti langkah lelaki muda itu menuju arah
pantai. Langit kelam, warna air laut kelam.
Terlihat sebuah perahu layar bercadik merayap
menghadang ombak selat Balidwipa.
"Kami dibesarkan di laut ini, keluarga ayahku dan
bayut kami", berkata anak muda itu dengan suara
setengah berteriak mengatasi suara ombak kepada Ki
Sahdatun di dekatnya sambil memegang kendali layar
agar tetap terarah. Sementara itu Patih Gajahmada dan Andini terlihat
terdiam membisu memandang laut luas di depan mata.
Desir angin yang kuat menyapu wajah dan rambut
mereka yang terurai lepas.
Hingga akhirnya setelah berjuang cukup lama
menembus ombak perairan selat Balidwipa, perahu layar
bercadik itu terlihat telah mendekati pantai Banyuwangi,
ditandai dengan beberapa perahu nelayan yang mereka
temui di sepanjang perairan pantai Banyuwangi.
"Bandar pelabuhan Banyuwangi", berkata
Patih 1532 Gajahmada sambil menunjuk kearah kerlap-kerlip pelita
malam yang bertebaran di kegelapan malam itu.
Hari memang masih larut malam manakala perahu
layar mereka telah mendekati bibir dermaga pelabuhan
Banyuwangi. Masih terlihat beberapa orang buruh tengah
menurunkan barang dari sebuah perahu dagang yang
nampaknya baru saja datang singgah. Canda dan tawa
genit para wanita malam juga ikut menandai suasana di
Bandar pelabuhan Banyuwangi di waktu malam itu.
"Kita beristirahat diujung kedai itu", berkata Patih
Gajahmada mengajak Andini dan Ki Sahdatun kesebuah
kedai di Bandar pelabuhan Banyuwangi.
Ternyata Patih Gajahmada telah membawa Ki
Sahdatun dan Andini ke sebuah kedai yang tidak begitu
ramai, di depannya ada sebuah bale bambu.
"Mengapa tuan-tuan tidak di dalam saja", bertanya
seorang pemilik kedai kepada mereka bertiga.
"Terima kasih, di bale ini kami dapat sekalian
beristirahat menunggu pagi datang", berkata Patih
Gajahmada menjawab pertanyaan pemilik kedai itu.
"Nampaknya kalian baru datang berlabuh", berkata
pemilik kedai itu sambil tersenyum ramah."Kami akan
menyiapkan makanan dan minuman hangat untuk tuantuan", berkata kembali pemilik kedai itu.
Terlihat pemilik kedai itu masuk kedalam. Namun
belum lama berselang terlihat kembali sambil membawa
makanan ringan. "Makanan dan minuman untuk tuan-tuan sedang
dihangatkan, sambil menunggu silahkan menikmati
keripik pisang dan abon bongolnya", berkata pemilik
1533 kedai itu sambil meletakkan sebuah daun jati yang berisi
makanan ringan khas suku osing di atas bale-bale.
"Terima kasih", berkata Patih Gajahmada kepada
pemilik kedai itu yang kembali melangkah kedalam.
Hingga ketika menjelang hari telah pagi bening.
Pagi-pagi sekali Patih Gajahmada, Andini dan Ki
Sahdatun terlihat telah meninggalkan Bandar Pelabuhan
Banyuwangi.

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nampaknya mereka telah sepakat untuk mengambil
jalan darat, terlihat dari beberapa kebutuhan yang
mereka bawa yang di beli di kedai itu memang untuk
sebuah perjalanan yang cukup jauh.
"Kita akan singgah di Kadipaten Lamajang", berkata
Patih Gajahmada kepada Ki Sahdatun dan Andini ketika
memulai perjalanan mereka.
Ketika keluar dari Bandar Pelabuhan Banyuwangi,
terlihat mereka mengambil jalan ke persimpangan lain
yang tidak akan melewati Kadipaten Blambangan.
Melihat jalan yang di tempuh oleh Patih Gajahmada,
Ki Sahdatun dan Andini tidak banyak bertanya, mereka
berdua terus saja dengan setia mengikuti langkah kaki
anak muda perkasa itu. Namun manakala mereka telah memasuki sebuah
jalan di sebuah hutan yang cukup lebat, Patih
Gajahmada menjelaskan mengapa dirinya menghindari
untuk bertemu dengan Adipati menak Jingga.
"Orang-orang Blambangan sangat dekat dengan
orang di Balidwipa, aku tidak ingin kedekatan ini akan
mempengaruhi perjuangan kita untuk menggempur tanah
Bali", berkata Patih Gajahmada menjelaskan mengapa
dirinya enggan meminta bantuan kepada Adipati
1534 Blambangan itu. "Bagaimana dengan Adipati Menak
Lamajang?", bertanya Ki Sahdatun.
Koncar di "Kecintaan dan pembelaan Adipati Menak Koncar
untuk Tanah Majapahit tidak dapat di sangsikan lagi",
berkata Patih Gajahmada kepada Ki Sahdatun.
Sementara Andini yang tidak banyak mengenal
tentang ihwal kedua adipati bersaudara kandung itu tidak
banyak bertanya, hanya mendengarkan pembicaraan
keduanya. Kicau burung, semerbak wangi tanah hutan yang
tertiup angin sepoi adalah suasana di hutan panjang itu.
Suasana yang teduh itu membuat ketiganya tidak
meresakan kelelahan sedikitpun telah memasuki hutan
yang pernah disebut sebagai tanah tak bertuan.
"Cukup lama aku tinggal di sekitar hutan ini", berkata
Patih Gajahmada bercerita tentang kehidupannya di
tanah tak bertuan di sekitar hutan antara Balambangan
dan Lamajang itu manakala meredamkan sebuah
gerombolan yang di pimpin oleh Ki Sadeng.
Mendengar cerita Patih Gajahmada, terlihat Andini
sedikit tersenyum, membayangkan kekasih hatinya yang
tampan itu menyamar sebagai seorang perampok.
Cerita Patih Gajahmada terhenti manakala di ujung
jalan mereka terlihat sebuah iring-iringan pedati para
pedagang. Satu dua orang rombongan para pedagang itu saling
bersapa dengan ketiganya penuh keramahan.
Terlihat Patih Gajahmada tersenyum manakala
pedati terakhir melewati dirinya. Terbesit di dalam hati
anak muda itu sebuah kegembiraan bahwa karya
1535 baktinya beberapa waktu yang telah lewat di tanah tak
bertuan antara Blambangan dan Lamajang telah
membuahkan hasil. Daerah itu kini telah menjadi sebuah
tanah perjalanan yang aman.
Pikiran anak muda itu masih saja menjelajahi saatsaat dirinya bersama orang-orang dari Padepokan Bajra
Seta dan perguruan Teratai Putih menandingi
gerombolan Ki Sadeng. "Aku perlu kehadiran Kakang Kepakisan bergabung
dalam satu pasukan besar di Balidwipa", berkata Patih
Gajahmada dalam hati mengingat kembali salah seorang
yang dulu pernah ikut berjuang bersamanya.
"Matahari sudah cukup tinggi", berkata Andini
membuyarkan lamunan pikiran Patih Gajahmada.
"Benar, hari memang telah berada diatas kepala",
berkata Patih Gajahmada. "Mari kita mencari tempat untuk beristirahat sejenak",
berkata Ki Sahdatun sambil tersenyum memandang
cahaya matahari yang menembus diantara kelebatan
hutan. Maka tidak lama berselang ketiganya telah
mendapatkan sebuah tempat untuk beristirahat. Terlihat
ketiganya menikmati bekal yang mereka bawa.
Setelah merasa cukup beristirahat, terlihat ketiganya
melanjutkan perjalanannya.
Sementara itu cahaya matahari terus bergerak turun
menuju arah barat bumi. "Mari kita berpacu mendahului matahari senja",
berkata Patih Gajahmada kepada Andini dan Ki
Sahdatun. 1536 Nampaknya Ki Sahdatun dan Andini paham maksud
perkataan Patih Gajahmada, terutama ketika anak muda
itu telah menunjukkan kemampuan ilmu meringankan
tubuhnya yang memang sangat luar biasa itu. Keduanya
terlihat tersenyum melihat Patih Gajahmada melesat
seperti seekor rusa jantan berlari di tengah hutan.
"Aku akan menyusulmu, Kakang", berkata Andini
penuh kegembiraan dan langsung berlari mengejar sang
kekasih hatinya. Melihat kedua orang muda-mudi itu telah jauh
meninggalkannya, maka Ki Sahdatun nampaknya tidak
ingin tertinggal sendirian di hutan itu.
Ternyata Ki Sahdatun punya ilmu meringankan tubuh
yang nyaris sempurna, terlihat seperti berjalan biasa
namun selalu saja berada di belakang sepasang kekasih
itu yang berlari penuh kegembiraan hati.
"Ki Sahdatun selalu ingin menutupi kemampuan
dirinya yang sebenarnya", berkata Patih Gajahmada
yang diam-diam memperhatikan gerakan Ki Sahdatun
yang selalu berada di belakang mereka namun tidak
pernah sedikitpun tertinggal jauh dari mereka berdua.
Hingga manakala terlihat beberapa ladang terhampar, ketiganya terlihat memperlambat lari mereka
dan berjalan biasa. "Gapura yang megah", berkata Andini kepada Patih
Gajahmada dan Ki Sahdatun manakala melihat sebuah
gapura kadipaten Lamajang yang tinggi menjulang
menghadap arah timur Jawadwipa.
"Kita tiba jauh sebelum datangnya senja", berkata
Patih Gajahmada sambil menatap matahari yang
terperangkap oleh kerimbunan awan putih.
1537 "Nampaknya sebentar lagi aka nada sebuah upacara
sedekah bumi", berkata Ki Sahdatun dengan wajah
penuh ceria sambil menatap hamparan sawah yang luas
di sepanjang perjalanan mereka dimana butir-butir
untaian padi terlihat sudah bunting menguning siap di
panen. Pada saat itu bumi Lamajang memang terkenal
sebagai penghasil beras terbesar dimana sebagian besar
penduduknya adalah para petani yang unggul dalam
mengelola pengairan mereka. Kesejahteraan para
penduduk di bumi Lamajang terlihat dari keasrian rumahrumah mereka.
"Kakang Adipati Menak Koncar telah berhasil menjadi
seorang pemimpin yang hebat", berkata Patih
Gajahmada sambil memandang hamparan sawah yang
luas membentang. "Kudengar Empu Nambi bukan hanya seorang yang
ahli membuat sebuah keris pusaka, namun beliau juga
terkenal sebagai seorang yang ahli membuat sebuah
bendungan", berkata Ki Sahdatun.
Mendengar nama Empu Nambi, tiba-tiba saja Patih
Gajahmada terlihat menarik nafas panjang, lamunannya
terbang mengenang sosok wajah yang selalu tersenyum
lembut penuh kasih yang diketahuinya masih hidup
mengasingkan diri di sekitar Gunung Semeru sebagai
seorang pertapa suci. "Seorang pertapa suci yang selalu menjaga tanah
kelahirannya", berkata Ki Sahdatun perlahan seperti
kepada dirinya sendiri. Terlihat Patih Gajahmada seperti terkejut mendengar
ucapan Ki Sahdatun itu, anak muda itu seperti mendugaduga apakah Ki Sahdatun pernah bersua dengan Empu
1538 Nambi. Namun Patih Gajahmada tidak menanyakan apa
yang dipikirkannnya itu. "Nampaknya Kakang Adipati Menak Koncar telah
mewarisi seluruh ilmu ayahnya itu", berkata Patih
Gajahmada sambil menarik nafas panjang dan
menghempasnya keluar seperti ingin mencoba mencari
pembicaraan yang lain, mungkin takut salah ucap dapat
membuka rahasia Empu Nambi yang masih hidup
sebagai pertapa suci di sekitar Gunung Semeru. Karena
dirinya pernah berjanji kepada Empu Nambi untuk
menyimpan rapat-rapat ihwal keberadaannya di Gunung
Semeru itu. Sementara itu tidak terasa mereka bertiga telah
memasuki Kota Kadipaten Lamajang, beberapa pedati
pedagang terlihat di beberapa tempat, nampaknya besok
adalah hari pasar yang akan ramai karena bersamaan
akan ada panen raya di bumi Lamajang.
"Nampaknya besok suasana di pasar Kota Kadipaten
akan ramai", berkata Andini dengan wajah penuh ceria.
Dan tidak lama berselang ketiganya terlihat telah
berada di muka gerbang istana kadipaten Lamajang.
"Bukankah hamba berhadapan dengan tuan Patih
Gajahmada?", berkata seorang prajurit penjaga menyapa
Patih Gajahmada. "Ternyata Ki Lurah masih mengenaliku", berkata patih
Gajahmada penuh senyum menatap prajurit itu.
"Siapa yang dapat melupakan seorang ksatria
perkasa dari Majapahit seperti tuan", berkata prajurit itu.
"Ternyata prajurit Lamajang sangat pandai menyanjung tamunya", berkata Patih Gajahmada masih
dengan sikap ramah dan santun dan penuh kerendahan
1539 hati tidak menempatkan dirinya sebagai seorang pejabat
terhormat kepada prajurit itu.
Melihat sikap Patih Gajahmada dihadapan prajurit itu,
diam-diam Ki Sahdatun memuji kerendahan hati anak
muda yang perkasa itu. "Perkenankan hamba mengantar tuanku menemui
Gusti Adipati", berkata prajurit itu kepada Patih
Gajahmada. Maka tidak lama berselang terlihat ketiganya telah
mengikuti langkah kaki prajurit tua itu berjalan menuju
arah pendapa Agung Kadipaten Lamajang.
"Sungguh hati ini dipenuhi kegembiraan hati, pantas
saja seharian ini ada banyak awan putih memayungi
bumi Lamajang". Berkata seorang lelaki perkasa
setengah baya menyambut kedatangan Patih Gajahmada dengan wajah penuh suka cita.
"Mungkin hati ini telah terpaut, tidak sempurna
rasanya mengembara diujung timur Jawadwipa tanpa
singgah menemui putra sulung Empu Nambi di bumi
Lamajang ini", berkata Patih Gajahmada kepada lelaki
setengah baya itu yang ternyata adalah Adipati Menak
Koncar. Terlihat Adipati Menak Koncar mempersilahkan
ketiga tamunya untuk duduk di pendapa agung itu.
"Gembira hati ini dapat berjumpa kembali", berkata Ki
Sahdatun kepada Adipati Menak Koncar yang juga masih
mengenalnya itu. Manakala Adipati Menak Koncar memandang kearah
Andini, segera Patih Gajahmada memperkenalkan gadis
itu. "Jangan heran bahwa gadis di hadapan Kakang
1540 Adipati ini adalah murid tunggal Ibunda Suri dari
Kerajaan Majapahit", berkata Patih Gajahmada
memperkenalkan diri Andini kepada Adipati Menak
Koncar. "Ibunda Suri Gayatri adalah seorang wanita yang
sakti, pasti dirimu telah mewarisi seluruh ilmunya",
berkata Adipati Menak Koncar kepada Andini.
"Nama tuan Adipati telah sering hamba dengar,
beruntung hari ini hamba dapat berkenalan dengan
tuanku", berkata Andini dengan sikap penuh hormat.
Mengetahui bahwa ketiga tamunya baru saja
menempuh perjalanan dari Balidwipa, maka Adipati
Menak Koncar menawarkan ketiganya untuk bersihbersih.
"Silahkan kalian bersih-bersih, sementara kami akan
menyiapkan hidangan perjamuan untuk kalian", berkata
Adipati Menak Koncar. Terlihat ketiganya kemudian berpamit diri untuk
bersih-bersih diri ke pakiwan.
Hingga manakala mereka telah kembali ke pendapa
agung itu, telah melihat hidangan perjamuan untuk
mereka telah tersedia. "Semoga perjamuan kami ini dapat lebih
menyegarkan tubuh kalian", berkata Adipati Menak


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Koncar mempersilahkan ketiga tamunya itu.
Setelah menikmati perjamuan, Patih Gajahmada
langsung menyampaikan maksud tujuannya datang dan
singgah di bumi Lamajang itu.
"Kerajaan Bali nampaknya telah punya niatan kurang
baik untuk melepaskan diri dari kedaulatan Kerajaan
Majapahit. Aku ditugaskan untuk meyakinkanan kabar
1541 berita itu sekaligus mencari bantuan di beberapa tempat
diantaranya di Kadipaten Lamajang ini, karena aku
merasa yakin atas kesetiaan Kakang Adipati terhadap
kerajaan Majapahit yang sama-sama kita agungkan ini",
berkata Patih Gajahmada kepada Adipati Menak Koncar.
"Secara pribadi diriku merasa tersanjung masih
dipercayai kesetiaanku berada dalam kebesaran
Kerajaan Majapahit ini. Nampaknya penguasa Kerajaan
Bali sudah melupakan ikrar suci para pendahulu mereka
yang akan selalu setia berada di bawah naungan para
keturunan Raja Erlangga", berkata Adipati menak
Koncar. "Katakan saja, bantuan apa kiranya yang dapat
kami berikan", berkata Adipati menak Koncar kepada
Patih Gajahmada. "Kerajaan Majapahit sangat menghargai semua
bantuan yang pernah diberikan selama ini, yang kami
butuhkan diluar pasukan Majapahit yang ada saat ini
adalah sekitar lima ratus orang prajurit dari beberapa
tempat seperti dari Kediri dan Singasari", berkata Patih
Gajahmada memperkirakan jumlah prajurit yang
dibutuhkan dalam penyerangan ke Balidwipa itu.
"Aku akan menyiapkan seratus lima puluh orang
prajurit terbaikku, sangat kebetulan sekali saat ini ada
lima puluh orang murid perguruan Teratai putih yang
berasal dari Pasundan di bumi Lamajang ini", berkata
Adipati Menak Koncar dengan wajah penuh kesungguhan hati. "Lima puluh orang dari bumi Pasundan?", bertanya
Patih Gajahmada. "Mereka datang di Bumi lamajang untuk belajar
menanam padi yang baik, ternyata cara mengelola
sawah di bumi Lamajang telah membuat rasa
1542 ketertarikan beberapa daerah untuk mempelajarinya",
berkata Adipati Menak Koncar penuh kebanggaan hati.
"Aku tidak Gajahmada. menyangsikannya", berkata Patih "Bukankah di Bumi Lamajang ini pernah terlahir
seorang empu yang tidak saja memliki kemampuan
membuat keris pusaka yang mumpuni, juga seorang
yang mumpuni membangun sebuah pertanian yang
besar. Kudengar di tangan Empu Nambi sebuah tongkat
kayu mati dapat tumbuh berdaun", berkata kembali Patih
Gajahmada kepada Adipati Menak Koncar.
"Banyak pikiran-pikiran baru dalam bercocok tanam
yang kuwarisi dari ayahku disamping ilmu memainkan
cakranya. Namun aku merasa iri kepadamu karena
ayahku ternyata telah mewarisi keahliannya membuat
sebuah siasat perang yang handal kepada dirimu
seorang", berkata Adipati Menak Koncar kepada Patih
Gajahmada. Dalam hal ini Patih Gajahmada tidak menanggapinya,
hanya tersenyum menatap putra sang mantan Patih
Amangkubumi Kerajaan Majapahit yang sakti mandraguna itu. Pembicaraan pun beralih kembali mengenal
beberapa hal tentang dimana dan kapan seratus lima
puluh prajurit yang diberikan untuk membantu
penyerangan di Balidwipa itu.
"Perintahkan kepada mereka untuk menantikan kami
di Bandar pelabuhan Banyuwangi, mereka akan menjadi
bagian dari pasukan khusus yang berada langsung di
bawah jalur perintahku", berkata Patih Gajahmada
kepada Adipati menak Koncar.
1543 "Kapan rencananya kalian bergerak menyeberangi
Balidwipa?", berkata Adipati Menak Koncar.
"Rencananya kami akan bergerak di saat angin laut
bersahabat, sepuluh hari setelah purnama kedua dari
sekarang", berkata Patih Gajahmada.
Namun pembicaraan mereka tiba-tiba terhenti
manakala seorang prajurit datang menyampaikan bahwa
ada dua orang tamu yang ingin datang menghadap.
"Salah satunya memperkenalkan dirinya sebagai
seorang guru suci perguruan Teratai Putih dari lereng
Ngrangkah Pawon bernama Kresna Kepakisan", berkata
prajurit itu kepada Adipati Menak Koncar.
"Bawalah tamu itu ke pendapa agung ini", berkata
Adipati Menak Koncar kepada prajurit itu.
"Sangat kebetulan sekali Kakang Kepakisan datang
bertemu disini", berkata Patih Gajahmada yang ikut
mendengar tentang salah seorang tamu Adipati menak
Koncar itu. Maka tidak lama berselang terlihat seorang prajurit
datang kembali bersama dua orang tamunya.
Malam yang temaram di halaman pendapa agung
istana Kadipaten itu memang tidak membuat penglihatan
menjadi jelas. Namun penglihatan mata Patih
Gajahmada yang sangat terlatih itu sudah dapat melihat
jelas kedua orang tamu yang tengah melangkah
mendekati anak tangga pendapa agung.
Dengan jelas Patih Gajahmada mengenali sosok
wajah Kresna Kepakisan yang sudah sangat di kenali itu,
sementara itu terlihat mata dan alis Patih Gajahmada
seperti sangat terkejut menatap sosok wajah yang
datang bersama Kresna Kepakisan itu. Sosok wajah
1544 yang sudah tidak asing lagi baginya. Seorang yang
sudah lama tidak dijumpainya telah membuat anak muda
itu berdiri seketika dengan mata terbuka.
Namun Patih Gajahmada belum sempat berucap
apapun, tiba-tiba saja Andini berdiri dan berlari kearah
lelaki yang datang bersama Kresna Kepakisan.
"Ayah"..!!!!", berteriak Andini serta memeluk tubuh
lelaki itu. "Paman Bango Saparan".", berkata Patih Gajahmada dalam hati membiarkan Andini memeluk dan
menangis tersedu-sedu penuh suka cita.
Ternyata sosok lelaki yang datang bersama Kresna
Kepakisan itu adalah Bango Samparan, Ayahanda dari
Andini yang kita kenal sebagai seorang dari Tanah
Pasundan yang dikenal sebagai seorang majikan di
tanah Rawa Rontek. Manakala Andini sudah dapat meredam perasaan
hatinya, maka Patih Gajahmada memperkenalkan Bango
Samparan kepada Adipati Menak Koncar dan Ki
Sahdatun. Maka Bango Samparan dengan singkat bercerita
tentang perjalanannya dari Tanah Pasundan itu hingga
sampai mereka di bumi Lamajang itu.
"Dalam pengembaraanku ke bumi Majapahit ini, aku
bertemu dengan Kresna Kepakisan yang langsung
membawaku ke istana Kediri untuk bertemu langsung
dengan Patih Gajahmada. Ternyata aku mendapat kabar
bahwa Patih Gajahmada tengah melaksanakan tugas di
Balidwipa", berkata Bango Samparan bercerita.
"Entah mengapa aku punya sebuah keyakinan bahwa
Patih Gajahmada pasti singgah di bumi Lamajang ini",
1545 berkata Kresna Kepakisan melanjutkan cerita Bango
Samparan. "Ternyata Gusti Yang Maha Agung telah
membawa kami dalam pertemuan ini", berkata kembali
Kresna Kepakisan dengan wajah penuh kegembiraan.
Demikianlah, suasana di pendapa agung itu menjadi
begitu hangat dan penuh kegembiraan. Bango Samparan
banyak bercerita tentang suasana Tanah Pasundan saat
itu. "Sangat kebetulan sekali kamu datang di istana
Lamajang ini", berkata Adipati Menak Koncar kepada
Kresna kepakisan sambil bercerita tentang rencana
penyerangan ke Balidwipa dimana Patih Gajahmada
memerlukan banyak bantuan dari kerajaan Singasari dan
orang-orang dari perguruan Teratai Putih. "Aku mengutus
dirimu mewakili diriku sebagai pimpinan agung
Perguruan Teratai Putih menemui beberapa para guru
suci di berbagai tempat meminta bantuan untuk mengirim
murid-muridnya", berkata kembali Adipati Menak Koncar
kepada Kresna Kepakisan. "Aku juga memerlukan Kakang Kepakisan untuk
datang mewakili diriku ke istana Singasari untuk meminta
bantuan prajurit dari mereka", berkata Patih Gajahmada
kepada Kresna Kepakisan. "Sungguh sebuah kehormatan untuk diriku ini
menerima tugas ini", berkata Kresna Kepakisan
menyanggupi tugas yang diemban kepadanya itu.
Maka Patih Gajahmada kembali menyampaikan
beberapa rencananya yang menyangkut para prajurit dari
Singasari dan para murid dari perguruan Teratai Putih itu.
Diujung pembicaraan di malam itu diputuskan bahwa
keesokan harinya Kresna Kepakisan akan berangkat
melaksanakan tugasnya itu, sementara di Patih
1546 Gajahmada, Andini, Ki Sahdatun dan Bango Samparan
akan berangkat ke Tanah Ujung Galuh.
Demikianlah, tidak terasa hari telah larut malam.
Pelita malam yang menggelantung bergoyang-goyang
terhembus angin dingin malam.
"Hari telah menjadi larut malam", berkata Adipati
Menak Koncar mempersilahkan para tamunya untuk
beristirahat di tempat yang telah disediakan untuk
mereka. Halaman muka pendapa agung terlihat telah begitu
gelap, beringin putih yang berjajar tiga nampak seperti
raksasa hitam menjaga istana kadipaten Lamajang di
malam gelap itu. Sementara wajah bulan sabit terlihat
tersenyum menggelantung di langit purba di temani
beberapa bintang yang berkelip bersinar memberi
sebuah keyakinan bahwa malam itu tidak akan turun
hujan. Dan perlahan sang Kala terus merajut mimpi malam,
merangkul bumi dengan angin semilir dingin hingga
datangnya sang fajar yang menyelinap mengintip diujung
timur bumi. "Sebenarnya aku ingin kalian ada di Lamajang ini
lebih lama lagi, menghadiri upacara sedekah bumi yang
akan kami laksanakan lusa", berkata Adipati Menak
Koncar kepada para tamunya yang terlihat sudah
berkemas bersiap diri untuk melanjutkan perjalanan
mereka. "Pada hari yang lain mudah-mudahan kami dapat
menghadirinya", berkata Ki Sahdatun seakan ingin
mewakili suara kawan-kawannya itu.
1547 Demikianlah, di pagi yang masih bening itu lima
orang berkuda terlihat keluar dari regol gerbang istana
Kadipaten Lamajang. Hingga di sebuah persimpangan
jalan seorang dari penunggang kuda itu terlihat
mengambil arah ke barat. Satu orang penunggang kuda
itu tidak lain adalah Kresna Kepakisan yang akan
melakukan perjalannnya ke Kotaraja Singasari,
sementara sisanya teras mengambil arah ke utara.
Matahari pagi yang hangat mengiringi empat orang
penunggang kuda yang bejalan perlahani memasuki
sebuah bulakan panjang. "Kita singgah di istana Kahuripan", berkata Patoh
Gajahmada masih sambil memegang tali kendali
kudanya kepada Andini di sebelahnya.
Entah mengapa Andini tidak menjawab apapun
perkataan Patih Gajahmada, gadis itu nampaknya
merasakan perasaan kegelisahan yang amat sangat
manakala mendengar perkataan Patih Gajahmada
menyebut istana Kahuripan, terbayang dihatinya wajah
ibunda suri Gayatri yang selama ini telah menjadi
gurunya, terbayang kekecewaan gurunya manakala
mendengar dirinya yang telah berpindah keyakinan,
melepas segala janji sucinya sebagai seorang biksuni.
Seandainya saja Patih Gajahmjada sempat menoleh
kesamping, pasti akan terlihat wajah penuh kegelisahan
terlukis di wajah gadis jelita itu.
Beruntung rambut gadis jelita itu
menyelinap menutupi setengah wajahnya.
terkadang Namun Andini yang sudah diperkenalkan tentang
tauhid oleh ahlinya yaitu Ki Sahdatun mulai
mengungkapkan makna dan rasa tauhid yang ada di
dalam dirinya, mulai mencoba menandingkan rasa


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

1548 gelisah dan ketakutannya itu dengan kekuatan keesaan
Tuhan. "Apapun yang ada dan terjadi pasti dalam titah
kebesaranNYA", berkata Andini yang mulai hidup nilainilai ketuhanan di dalam dirinya.
Hingga akhirnya manakala muncul rasa gelisah dan
takutnya langsung di sandingkan dengan keberadaan
Yang Maha Hidup. "Ternyata gelisah dan rasa takut itu datang atas
kehendakNYA, sebagai cara Tuhan mengingatkan
hambanya", berkata Andini dalam hati yang mulai
terbimbing hatinya diperkenalkan sendiri tentang ilmu
ketuhanan. Hingga akhirnya terlihat Andini tersenyum sendiri
manakala meresakan sebuah kebahagiaan yang
meletup-letup muncul dengan sendirinya.
"Diantara lupa dan ingat, disitu ada rakhmat". Berkata
Andini mengingat kembali perkataan Ki Sahdatun
tentang bagaimana mengendalikan rasa, pikiran dan
keliaran sang nafsu. Tidak ada lagi perasaan takut dan gentar di dalam
hati Andini, yang ada di dalam diri gadis itu adalah
perasaannya yang terus bersandar dalam kebesaran
keesaan TuhanNYA. Terlihat senyum diujung bibirnya melukiskan
kebahagiaan hati di dalam diri gadis itu. Itulah sebagai
pertanda Gusti Yang maha Agung mulai memperkenalkan diriNYA kepada siapapun yang
dikehendaki. Namun sedikit senyum itu telah ditangkap oleh Patih
Gajahmada yang beriring berkuda di sampingnya itu.
1549 Sebagai seorang yang juga telah diperkenalkan ilmu
tauhid tentunya dapat menangkap apa yang tengah
dirasakan oleh gadisi kekasih hatinya itu.
"Andini mulai diperkenalkan tentang ilmuNYA",
berkata Patih Gajahmada dalam hati sambil memandang
lengkung langit yang dipenuhi awan putih berarak
terbang ditiup angin. Sementara itu sang mentari terlihat telah naik
mendekati puncak cakrawala garis lingkaran keberadaannya menyebarkan cahaya teriknya mereta
kesegenap penjuru bumi. "Mari kita beristirahat", berkata Patih Gajahmada
sambil mengangkat tinggi-tinggi memberi isyarat kepada
Ki Sahdatun dan Bango Samparan untuk menghentikan
laju kuda mereka. Terliha mereka telah melompat dari punggung kuda
masing-masing dan menuntunnya kesebuah gundukan
batu yang dinaungi banyak pohon besar yang rimbun.
Ternyata tidak jauh dari mereka terdengar suara air
yang mengalir diantara bebatuan. Terlihat kuda-kuda
mereka meneguk penuh dahaga air sungai kecil itu.
"Bila tidak ada halangan, di penghujung senja kita
sudah akan tiba di istana kahuripan", berkata Patih
Gajahmada kepada Bango Samparan yang duduk di
dekatnya tengah melepas rasa penatnya.
Dan manakala matahari terlihat bergeser sedikit dari
puncaknya, bersegeralah Andini, Patih Gajahmada dan
Ki Sahdatun melaksanakan kewajiban agamanya.
Pengetahuan tentang agama Islam pada saat itu
memang begitu sangat terbatas, juga pemahaman
Bango Samparan. Terlihat lelaki yang sudah separoh
1550 umur itu tercenung melihat gerak laku ketiganya.
Hingga dalam sebuah kesempatan ketika mereka
akan melanjutkan perjalanan kembali, Bango Samparan
menanyakan keheranannya atas laku yang telah
disaksikannya itu. "Tadi aku melihat kalian melaksanakan sebuah laku
bersama", berkata Bango Samparan kepada Ki
Sahdatun. Terlihat Ki Sahdatun tidak langsung menjawab,
hanya sedikit melempar senyum tulusnya.
"Benar bahwa kami tengah melaksanakan sebuah
laku bersama", berkata Ki Sahdatun membenarkan.
"Setiap perguruan pasti punya laku rahasia, namun
kulihat kalian melakukannya dengan cara terbuka tanpa
rasa takut seseorang melihat dan mencurinya", berkata
Bango Samparan kepada Ki Sahdatun.
Terlihat senyum Ki Sahdatun lebih terbuka
mendengar perkataan Bango Samparan itu. "Kami akan
gembira manakala semua orang benar-benar meniru apa
yang tengah kami lakukan itu", berkata Ki Sahdatun
sambil tersenyum. "Aku benar-benar tidak mengerti", berkata Bango
Samparan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Pada suatu saat kamu akan mengerti, terutama bila
kamu masuk seutuhnya menjadi seorang muslim",
berkata Ki Sahdatun sambil memandang wajah Bango
Samparan. "Aku pernah mendengarnya, sebuah agama yang
dianut oleh para pedagang dari seberang lautan yang
jauh yang tinggal di sebuah gurun batu?", berkata Bango
Samparan kepada Ki Sahdatun.
1551 Ternyata pembicaraan Ki Sahdatun dan Bango
Samparan itu menarik perhatian Patih Gajahmada dan
Andini, terlihat keduanya ikut mendekat.
"Ternyata kamu pernah mendengarnya, itulah agama
yang kami anut saat ini. Sebuah agama yang besar tidak
dengan tajamnya pedang, namun dengan sebuah
ketajaman akal dan pikiran", berkata Ki Sahdatun kepada
Bango Samparan. "Sayang aku memang terlahir serba setengah
matang, dalam olah kanuragan maupun pemahamanku
atas agamaku sendiri", berkata Bango Samparan sambil
menggaruk-garuk kepalanya sendiri.
Melihat sikap Bango Samparan, ketiganya langsung
tersenyum geli. Sementara itu matahari terlihat telah jauh bergeser
dari puncaknya. "Mari kita melanjutkan perjalanan ", berkata Patih
Gajahmada. Terlihat mereka telah kembali diatas punggung kuda
masing-masing menyusuri jalan tanah.
Diatas jalan sepi mereka memacu kuda-kuda
mereka. Namun manakala mereka telah berada di
sebuah padukuhan, langsung mereka memperlambat laju
kuda-kuda mereka. Hingga akhirnya terlihat mereka telah menyusuri
pesisir pantai timur Jawadwipa. Abu pasir putih terlihat
mengepul terbang dibelakang kuda-kuda mereka yang
berlari yang melaju diatas tanah berpasir yang sepi.
Dijalan berpasir yang sepi itu memang jarang sekali
ditemui tanah ladang atau persawahan. Hanya terkadang
terlihat sebuah perkampungan nelayan berdiri di tepi
1552 pantai. Sebagaimana yang dikatakan oleh Patih Gajahmada,
menjelang senja terlihat mereka telah mendekati arah
Kotaraja Kahuripan. "Gapura garuda padu raksa", berkata
Samparan yang banyak mengenal bangunan
ketika melihat sebuah bangunan candi yang
menjulang yang merupakan sebuah gapura
kotaraja Kahuripan. Bango candi tinggi batas "Konon Raja Erlangga sering naik keatas puncak
gapura untuk memandang lautan. Gapura itu adalah
mimpi raja perkasa itu untuk menguasai dunia,
membangun singgasana diatas lautan", berkata Patih
Gajahmada sambil menunjuk kearah gapura di depan
mereka. Jalan kotaraja Kahuripan yang mereka lewati terlihat
telah mulai sepi, kuda-kuda mereka terus berjalan
menuju arah istana. Tidak lama berselang, mereka telah
berada di depan gerbang istana Kahuripan.
"Antarkan tamu-tamu kita ini ke bale tamu untuk
beristirahat", berkata Andini kepada salah seorang
prajurit penjaga. Terlihat Bango Samparan, Ki Sahdatun dan Patih
Gajahmada berjalan mengikuti langkah seorang prajurit
penjaga. Sementara itu Andini terlihat berjalan menuju
arah puri pasanggrahan milik Ibunda Suri Gayatri.
"Semoga Gusti Yang Maha Agung selalu memberimu
keselamatan, wahai ananda muridku", berkata ibunda
Suri Gayatri menerima Andini di serambi puri
pasanggrahannya. "Puji syukur, berkat doa ibunda Guru, limpahan
1553 keselamatan selalu mengiringi ananda murid", berkata
Andini kepada gurunya itu.
"Berceritalah kepadaku, apa yang kamu lihat dan
kamu dengar tentang kerajaan Bali saat ini", berkata
Ibunda Suri Gayatri kepada Andini.
Segeralah Andini bercerita tentang keadaan Kerajaan
Bali yang dilihatnya dimana dalam pengamatannya
memang tengah mempersiapkan diri untuk melakukan
sebuah pemberontakan melepaskan diri dari kedaulatan
Majapahit Raya. "Mendengar semua ceritamu, aku tidak meragukan
lagi langkah-langkah yang telah diambil oleh Mahapatih
Arya Tadah", berkata Ibunda Suri kepada Andini
Andini juga bercerita tentang pertemuan dirinya
dengan Patih Gajahmada di Balidwipa dalam tugas yang
hampir sama, juga tentang pertemuan dirinya dengan
ayahandanya sendiri di bumi Lamajang.
"Aku turut merasa gembira mendengar pertemuanmu
dengan ayahandamu itu, mengapa tidak kamu bawa
dirinya untuk diperkenalkan kepadaku?", berkata Ibunda
Suri Gayatri. "Rencananya besok pagi akan kubawa untuk
diperkenalkan kepada ibunda Guru", berkata Andini
dengan suara seperti terpatah-patah.
"Wahai ananda muridmu, aku seperti merasakan ada
sesuatu yang mengganjal di dalam hatimu, katakanlah
kepadaku ganjalan itu", berkata Ibunda Suri yang sudah
mengenal Andini seperti putrinya sendiri itu.
Namun gadisi itu terlihat semakin menundukkan
kepalanya, seakan sesuatu yang amat berat mengganjal
hatinya. 1554 "Apakah ayahandamu memintamu untuk pulang ke
Pasundan?", bertanya Ibunda Suri menjoba mendugaduga agar gadis itu membuka suaranya.
Mendengar perkataan Ibunda Suri Gayatri, terlihat
Andini langsung menggelengkan kepalanya.
"Katakanlah wahai ananda Andini, bukankah aku ini
sudah kamu anggap sebagai ibu kandungmu sendiri?",
bertanya kembali Ibunda Suri Gayatri semakin penasaran
apa gerangan yang ada di kepala muridnya itu.
Suasana serambi puri pasanggrahan itu sejenak
menjadi begitu hening, ibunda suri Gayatri membiarkan
Andini menguatkan dirinya untuk menyampaikan apa
yang ada di dalam pikirannya saat itu.
Dan setelah cukup lama terdiam, perlahan Andini
menarik nafas panjang dan mengangkat wajahnya
perlahan. "Ananda berharap ibunda guru tidak marah kepada
ananda murid", berkata Andini perlahan.
"Katakanlah, aku tidak akan pernah marah
kepadamu, wahai ananda muridku", berkata Ibunda Suri
dengan nada penuh keibuan.
Terlihat Andini kembali menundukkan wajahnya.
Melihat itu ibunda Suri Gayatri tidak terus mengejar
anak gadis itu, membiarkannya agar Andini punya
kekuatan untuk menyampaikan apa yang ada di dalam
pikirannya itu. Maka terlihat Andini kembali menarik nafas panjang
dan mengangkat wajahnya. Nampaknya anak gadis itu seperti sudah punya
kekuatan baru untuk menyampaikan pikirannya.
1555 Terdengar kata-kata Andini keluar dari bibirnya yang
mungil begitu teratur dan penuh kepercayaan diri yang
amat tinggi. "Ananda harus memilih sebuah jalan. Ananda telah
memikirkannya tanpa tekanan siapapun. Dan hari ini
ananda telah memberanikan diri menyampaikan di
hadapan ibunda guru. Ampunilah ananda bila pilihan
ananda tidak berkenan di dalam hati Ibunda Guru",
berkata Andini kepada Ibunda Suri Gayatri
"Katakanlah, wahai Ananda muridku", berkata Ibinda
Suri Gayatri. Andini tidak langsung menjawab, hanya terlihat
menarik nafas dalam-dalam. Mungkin untuk membuat
kekuatan dirinya. "Ananda bermaksud untuk melepas jubah biksuni


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi orang biasa sebagaimana dulu sebelum ananda
mengenal Ibunda Guru", berkata Andini dengan suara
perlahan. Sekilas Andi mencoba menilik apakah ada perubahan
di wajah wanita tua itu. Namun ternyata Andini melihat
tidak ada perubahan sedikit pun diwajah yang sudah
mulai terlihat garis-garis penuaan itu.
"Ananda Muridku Andini, Ibunda Gurumu tidak akan
kecewa mendengar tutur katamu mengenai pilihanmu itu.
Tidak juga akan mengurangi rasa cinta ini kepada dirimu
yang sudah kuanggap sebagai putri kandungku sendiri.
Jubah biksuni itu kuberikan kepadamu karena pilihanmu
sendiri. Bila hari ini kamu sendiri yang ingin
melepaskannya, itu juga menjadi pilihanmu", berkata
Ibunda Suri Gayatri dengan senyum penuh keibuan.
"Hanya satu pertanyaan ibunda gurumu, apakah
pilihanmu ini berhubungan dengan pertemuanmu dengan
1556 ayahandamu?", berkata kembali Ibunda Suri Gayatri
dengan sebuah pertanyaan.
"Ampuni ananda, wahai Ibunda Guru, keputusan
ananda murid tidak dan bukan karena Ayahanda.
Keputusan ananda murid berkenan dengan niat ananda
untuk menikah dengan seseorang yang sudah lama
ananda cintai dan selalu menghalangi samadhi ananda
untuk bersatu dengan sang Budha", berkata Andini
kepada ibunda Suri Gayatri.
"Siapakah gerangan pemuda itu, wahai ananda
muridku?", bertanya Ibunda Suri Gayatri.
"Pemuda itu adalah Patih Gajahmada", berkata
Andini tanpa menundukkan kepalanya.
"Ibunda Gurumu sudah menduganya, bila itu
memang sudah menjadi keputusanmu, ambil dan
perjuangkanlah cinta kalian. Agar dirimu tidak menyesal
di kemudian hari. Seperti diriku ini?".", berkata Ibunda
Suri dengan suara sedikit terpatah, ada sebuah
kesedihan yang nampaknya sedikit menyentuh hatinya.
Terlihat Andini tidak ingin bertanya mengapa
kesedihan tiba-tiba saja muncul di wajah wanita tua itu.
Sebagai seorang murid terkasih, sudah pernah Ibunda
Suri Gayatri bercerita tentang kisah cintanya yang pupus
hilang meninggalkan sebuah penyesalan. Sebuah kisah
cerita cinta lama tentang cinta seorang putri raja yang
mencintai seorang pemuda biasa. Siapa gerangan
pemuda yang beruntung di cintai secara diam-diam itu".
Ternyata pemuda biasa itu tidak lain adalah Patih
Mahesa Amping yang perkasa.
Pembicaraan selanjutnya adalah pembicaraan biasa
antara orang tua dan anaknya, tentunya dengan
berbagai pertanyaan rencana-rencana pernikahan
1557 mereka. Hari tekah mulai larut malam hingga akhirnya Andini
pamit diri. "Bawalah ayahandamu itu untuk diperkenalkan
kepadaku", berkata Ibunda Suri melepas kepergian
Andini. Tidak lama berselang terlihat Andini telah keluar dari
Puri Pasanggrahan ibunda Suri Gayatri, terlihat gadis itu
menuju arah belakang istana Kahuripan kesebuah gubuk
kecil yang sederhana. Itulah tempat tinggalnya selama
berada di istana Kahuripan.
"Sugah lama kutinggalkan bilik ini", berkata Andini
dalam hati sambil memandang berkeliling kesetiap sudut
biliknya. Andini tidak melihat perubahan sedikit pun didalam
biliknya itu, hanya ada sedikit perubahan yang tak
nampak yang ternyata ada di dalam hatinya sendiri.
Terlihat gadis itu rebah miring diatas peraduannya
dengan wajah penuh senyum. Nampaknya malam itu
Andini merasa begitu gembira telah menyempaikan
ganjalan hatinya di hadapan Ibunda Suri Gayatri. Diluar
perkiraannya sendiri yang selama ini menduga-duga,
ternyata Ibunda Suri dapat memahami keputusan dan
pilihan hidupnya itu dengan penuh kebijaksanaan.
Sementara itu bulan sabit menggelantung di langit
malam ditemani ribuan bintang yang berkelap kelip diatas
bumi Kotaraja Kahuripan. Semilir angin dingin
berhembus membuat orang-orang di peraduannya
merapatkan kain selimutnya masing-masing.
Ternyata Ki Sahdatun, Bango Samparan dan Patih
Gajahmada yang juga bermalam di istana Kahuripan itu
1558 telah masuk ke peraduan masing-masing. Nampaknya
perjalanan yang cukup jauh dari Lamajang telah
membuat diri mereka cepat tertidur jauh disaat malam
masih belum wayah sepi uwong.
Sayup terdengar sebuah kentongan dengan nada
dara muluk dari sebuah padukuhan yang jauh, terbayang
di keheningan malam para peronda yang merapatkan
kain-kain mereka untuk menjaga agar angin dingin tidak
begitu menyengat kulit mereka. Namun ternyata
sebagian para peronda itu ternyata adalah anak-anak
muda yang biasanya selalu mencari kehangatan dan
kegembiraan seperti mencari jagung atau ubi jalar yang
akan mereka bakar di perapian bersama.
Dan perlahan bulan sabit terus merayapi cakrawala
langit di sepi malam. Hingga di penghujung malam, suara ayam jantan di
ujung sepi datang bersama sebaris warna merah
mewarnai langit. Di peraduannya masing-masing, Patih Gajahmada
dan Andini telah terbangun.
"Pagi yang indah, wahai saudaraku", berkata Bango
Samparan menyapa Ki Sahdatun yang tengah duduk
menatap halaman muka pendapa bale tamu di istana
Kahuripan. Dan sebagaimana yang dijanjikan Andini kepada
Ibunda Suri Gayatri, pagi itu terlihat Andini mengantar
Bango Samparan, Ki Sahdatun dan Patih Gajahmada
datang menghadap Ibunda Suri Gayatri.
"Selamat datang di bumi Kahuripan", berkata Ibunda
Suri Gayatri kepada Bango Samparan ketika
diperkenalkan oleh Andini.
1559 "Keagungan Ibunda Suri kerajaan Majapahit sudah di
dengar hingga ke Malaka. Beruntung hari ini hamba
diperkenankan untuk berjumpa", berkata Ki Sahdatun
kepada ibunda Suri Gayatri dengan penuh rasa hormat.
"Gembira hatiku dapat bertemu denganmu, wahai
ksatria penjaga Majapahit", berkata Ibunda Suri Gayatri
ketika menyambut penghormatan Patih Gajahmada.
Demikianlah, pagi itu rombongan Patih Gajahmada
telah diterima dengan penuh suasana suka cita di
pendapa puri pasanggrahan ibunda suri Gayatri.
Dalam kesempatan itu Patih Gajahmada bercerita
kepada Ibunda Suri Gayatri tentang suasana keadaan di
Balidwipa saat itu. "Mahapatih Arya Tadah telah menugaskan kepada
kami untuk membujuk para pendeta di Balidwipa agar
umatnya tidak ikut membantu pihak kerajaan Bali",
berkata Patih Gajahmada menyampaikan tugasnya di
Balidwipa. "Sebuah upaya yang baik", berkata Ibunda Suri
Gayatri. Akhirnya pembicaraan bergeser kearah rencana
pernikahan Patih Gajahmada dan Andini.
Terlihat Patih Gajahmada dan Andini langsung
mengarahkan pandangan matanya kearah Ki Sahdatun,
nampaknya orang tua itu yang telah menjadi guru
penuntun mereka diharapkan dapat membuka suaranya
di hadapan Ibunda Suri Gayatri.
Ternyata Ki Sahdatun sangat tanggap apa yang
diharapkan dari dua anak muda mudi itu.
"Kami akan melangsungkan upacara pernikahan
mereka berdua di Tanah Ujung Galuh, mohon doa dan
1560 restu dari Kanjeng Gusti ibunda Suri", berkata Ki
Sahdatun kepada Ibunda Suri Gayatri.
"Aku berdoa dan merestui pernikahan kalian berdua,
semoga langgeng, abadi dalam kebahagiaan", berkata
Ibunda Suri Gayatri. Demikianlah, manakala matahari pagi terlihat
semakin naik, Andini mewakili rombongannya berpamit
diri kepada Ibunda Suri Gayatri untuk berangkat bersama
ke Tanah Ujung Galuh. Hingga ketika rombongan Andini menghilang
terhalang sebuah tembok tinggi pembatas halaman puri
Pasanggrahan, terlihat Ibunda Suri Gayatri seperti
merasakan kehilangan sesuatu.
"Selamat jalan wahai muridku, semoga dirimu
menemukan jalan kebahagianmu bersama orang yang
kamu cintai", berkata Ibunda Suri Gayatri ditepi pagar
kayu pendapa puri Pasanggrahannya.
Demikianlah, dibawah tatapan mentari pagi yang
hangat, empat orang penunggang kuda terlihat
meninggalkan gapura batas kotaraja Kahuripan semakin
jauh. Mereka adalah Patih Gajahmada dan rombongannya yang tengah melanjutkan perjalanan
mereka menuju Tanah Ujung Galuh.
"Wilayah Kerajaan Kahuripan akan menjadi semakin
luas hingga sampai ke Tanah Ujung Galuh bila Istana
Majapahit sudah berpindah ke Hutan Sastrawulan",
berkata Andini bercerita tentang rencana perpindahan
istana Majapahit yang merupakan sebuah gagasan dari
Ibunda Suri Gayatri. "Ibunda Suri Gayatri adalah seorang pemikir ulung,
membangun istana baru di hutan Sastrawulan sebagai
1561 pusat kerajaan yang aman terlindungi dari delapan
penjuru arah mata angin", berkata patih Gajahmada
memuji kesempurnaan pemikiran Ibunda Suri Gayatri.
"Ibunda Suri Gayatri sering membicarakan dirimu,
Kakang", berkata Andini diatas punggung kudanya.
"Apa yang di bicarakan Ibunda Suri Gayatri tentang
diriku?", bertamya Patih Gajahmada.
"Ibunda Suri Gayatri begitu mempercayai kesetiaan
Kakang dan berencana untuk membawa Kakang sebagai
calon tunggal yang akan menggantikan kedudukan
Mahapatih Arya Tadah yang sudah semakin tua", berkata
Andini kepada Patih Gajahmada.
"Baginda Raja Sanggrama Wijaya telah menitipkan
amanatnya kepadaku ketika menyerahkan Keris pusaka
Nagasasra kepadaku. Dan aku telah berjanji kepadanya
untuk melaksanakan semua amanatnya itu, sebagai
pelindung keluarganya dan berjuang membawa bendera
matahari Majapahit di seluruh penjuru bumi Nusantara",
berkata Patih Gajahmada. "Aku bangga ada bersamamu, Kakang", berkata
Andini sambil menoleh kearah Patih Gajahmada penuh
kebanggaan hati. Namun pembicaraan mereka berdua terhenti
manakala didepan mereka terlihat sebuah pedati
melintang menghalangi jalan. Manakala rombongan Patih
Gajahmada semakin mendekati pedati itu, terlihat bahwa
satu dari roda pedati itu terlepas.
"Adakah yang dapat kami bantu?", berkata Patih
Gajahmada sambil turun dari kudanya kepada seorang
lelaki tua yang tengah memperbaiki roda pedatinya.
Terlihat lelaki tua itu menoleh kearah Patih 1562 Gajahmada. Terkejut bukan main Patih Gajahmada manakala
mengenal siapa gerangan lelaki tua yang terlihat masih
sangat gagah itu. "Ki Rangga Gajah Biru..!!", berkata Patih Gajahmada
menyebut sebuah nama. "Tuan Patih Gajahmada..!!", berteriak lebih keras
lelaki tua itu menyebut nama Patih Gajahmada.
Maka terlihat keduanya saling berpelukan penuh
suka cita dan kegembiraan.
Bango Samparan dan Ki Sahdatun yang juga telah
turun dari kudanya hanya menduga-duga siapa gerangan
lelaki itu yang nampaknya begitu dekat dengan Patih
Gajahmada. Tentu saja mereka berdua belum mengenalnya,
kecuali Andini yang telah mengenalnya sebagai salah
seorang pemimpin prajurit khusus dari kesatuan kerajaan
Kediri yang sangat disegani dan merupakan orang
kepercayaan Patih Mahesa Amping semasa hidupnya.
"Sengaja aku datang ke Tanah Ujung Galuh untuk
menemuimu, ternyata kita bertemu disini", berkata Ki
Rangga Gajah Biru penuh rasa kegembiraan hati.
"Ada hal penting apa gerangan hingga Ki Rangga
harus menempuh perjalanan yang cukup jauh ini",
berkata Patih Gajahmada. "Akan kuceritakan setelah tuan melihat siapa
gerangan yang ada di pangkuan istriku itu", berkata Ki
Rangga Gajah Biru sambil menunjuk seorang wanita


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tengah memangku seorang bayi kecil di bawah
sebuah pohon rindang. 1563 "Bagaimana keadaan Nyi Rangga?", berkata Patih
Si Rajawali Sakti 4 Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Amanat Marga 9
^