Pencarian

Pedang Kunang Kunang 3

Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong Bagian 3


kedua pemuda itu segera mengikrarkan sumpah
mengangkat saudara. Senang bersama, susah berdua.
Setelah selesai, Kiam-gin menghampiri Gak Lui, ujarnya:
"Gak-te, demi kepentingan membalas sakit-hati
musuhmu, sukalah engkau mengajarkan ilmu pedangmu
yang istimewa itu, kepadaku, agar kita dapat sama2
menghadapi musuh!" "Ini .... tak bisa...."
"Eh, engkau sudah tak mau mengakui aku sebagai
engkoh lagi?" 149 "Bukan begitu! Tetapi ilmu pedang itu, hanya
menimbulkan bahaya padamu!"
"Tadi kuminta engkau lepaskan kedokmu, engkau
menolak. Sekarang kuminta engkau mengajarkan ilmu
pedangmu, engkaupun tak mau. Kalau begitu, sama saja
seperti orang asing. Hm ...... akan kutanyakan pada
ayah, bagaimana baiknya!"
"Tunggu! Jangan pergi!" Gak Lui kaget karena Kiamgin hendak pergi......
"Kenapa?" Kiam-gin kerutkan alis.
"Engkau .... tak menanyakan hal itu!"
dapat ... tak usah pulang "Engkau meluluskan?"
"Kita toh sudah menjadi saudara angkat" Kelak tentu
akan kuajarkan padamu. Tetapi kalau engkau memaksa
sekarang, lebih baik kita berpisah saja !"
Semula Kiam-gin tak mau tetapi sejenak memandang
wajah gak Lui, berobahlah pendiriannya.
"Ya, terpaksa kuturut," kata Kiam-gin, "tetapi ada
perjanjiannya!" "Adik, katakanlah"
"Gak-te sejak saat ini, engkau tak boleh bergaul
dengan orang perempuan!"
"O, itu tak apa, kuterima perjanjianmu itu"
"Hih, engkau benar2 seorang adik yang baik! Lalu
kemana sekarang kita akan pergi?"`
"Sumber air Pencuci Jiwa di gunung Thian-gan-san!"
"Kudengar ayah pernah mengatakan bahwa sumber
150 air itu amat beracun sekali. Tetapi aku tak percaya. Hayo,
kita buktikan kesana!" habis berkata ia terus ayunkan
langkah. Teiapi sebaliknya Gak Lui masih tertegun. Dia
mencegah Kiam-gin pulang tetapi pun tak dapat
membawanya ke Thian-gan-san. Pada saat ia masih
termenung belum menemukan pikiran untuk memecahkan kesulitan itu, tiba2 Kiam-gin teringat
sesuatu dan bertanya. "Tadi engkau mengatakan ... aku tak boleh pulang.
Omonganmu itu ... " "Bukan, aku hanya mengatakan engkau tak usah
pulang ...." sahut Gak Lui.
Tetapi orang yang biasanya tak pernah bohong,
walaupun wajahnya tertutup kedok tetapi nada suaranya
masih kentara kaku dan tersendat-sendat. Kiam-gin
bermata tajam sekali. Cepat ia dapat mengetahui
kelemahan Gak Lui, serunya: "Hm, telingamu merah,
engkau tentu bohong!"
Sebelum Gak Lui menyahut, pemuda itu berseru
pula: "Tidak Aku akan pulang menjenguk ayah dan
paman berlima!" Dalam keadaan terdesak, apa boleh
buat. Terpaksa Gak Lui menceritakan apa yang telah
terjadi ditempat keluarga Hi Liong-hui. Mendengar itu
menangislah Kiam-gin seperti anak kecil. Gak Lui
terharu. Seketika timbullah semangatnya. Makin bulat
tekadnya untuk menghancurkan manusia yang telah
membinasakan keluarganya dan keluarga Hi itu. Setelah
puas menumpahkan airmata, tiba2 Kiam-gin bangkit.
"Karena jelas pembunuh keluarga kita itu terdapat
juga gerombolan Topeng Besi, maka lebih baik kita
berpencar untuk mencari mereka !" katanya.
"Jangan...!" Gak Lui mencegah karena ia tahu
151 kepandaian saudara angkatnya itu masih rendah, "aku
tentu dapat membalaskan sakit hatimu. Lebih baik
engkoh Gin menetap di suatu tempat yang aman .... "
"Paling tidak, kita harus bersama-sama mencari
musuh kita itu !" Kiam-gin tetap berkeras.
"Baiklah .... mari kita berangkat !" Keduanya segera
keluar dari hutan. Mereka menuju ke gunung Thian-gansan mencari sumber air Pencuci jiwa. Dengan membawa
saudara angkat yang bertabiat manja- membawa
kehendaknya sendiri itu, Gak Lui tak berani ambil jalan
besar. Ia lebih senang mengambil jalan di gunung dan
hutan belantara. Sepuluh hari kemudian, mereka tiba di sebuah
lembah gunung. Memandang ke sekeliling penjuru,
hanya jajaran gunung yang tampak. Lembah berwarna
merah bahkan pohon2 nyapun menguning kering. "Aneh,
tempat ini panas sekali. Aku haus....!" kata Kiam-gin
seraya mengusap peluh. Wajahnya merah padam dan
sewaktu bicara napasnya terengah- engah. Gak Luipun
merasa panas juga, katataya : " Mari kita cari sumber air
...." Mereka menyusur sebuah, jalan kecil yang
merupakan satu- satunya jalanan di situ. Tetapi hampir
setengah hari mencari, mereka tetap tak bersua dengan
sumber atau saluran air. Parit2 kering, sumber tak
mengeluarkan air. Ketika tiba di sebuah pedesaan
gunung, pun di situ sunyi sekali. Tiada barang seorang
penduduk. Rupanya desa itu sudah lama tak dihuni.
Sambil mengalingkan ke dua tangan untuk menutupi
sinar matahari yang menyilaukan mata, Kiam-gin
hentikan langkah lalu berteriak-teriak : " Air...! Air...! Gakte aku minta air...!"
152 Gak Lui memapahnya. Memandang ke sekeliling
penjuru, tiba2 Gak Lui berseru : "Engkoh Gin, di bawah
pohon itu terdapat seseorang! "
"Aku minta ..... air!"
"Jika ada orang, tentu mudah bertanya. Hayo kita ke
sana ...!" Mendengar itu timbullah lagi semangat Kiam-gin.
Mereka menuju ke pohon yang dikatakan Gak Lui.
Memang di bawah Pohon itu terdapat seorang tua yang
duduk. Rambutnya kusut masai. Cepat Gak Lui
menjelajahi tubuh orang tua itu dengan pandangan mata
yang tajam. Dilihatnya orang tua itu tak memakai baju.
Tubuhnya mandi keringat. Jelas orang itu tak mengerti
ilmusilat. Di samping terletak sebuah kantong kulit besar
dan separoh gelembung kulit genderang.
"Paman, tolong tanya. Apakah nama tempat ini dan di
manakah aku bisa memperoleh air?" tanya Gak Lui.
Orangtua itu pelahan-lahan mementang mata dan
menyahut : "Mundur lagi 3 li, baru terdapat air!"
"Bagaimana kalau di sekeliling yang, dekat sini ..?"
"Apakah engkau tak melihat kanan kiri tiada jalan dan
di sebelah mukapun tak dapat dilalui ...?"
"Mengapa ...?" "Dari kata-katamu, terang engkau bukan orang sini
sehingga tak kenal sama sekali keadaan tempat ini ...!"
"Itulah maka kumohon tanya pada paman ...!"
"Tempat ini dinamkan Lembah Mati. Iklimnya panas
luar biasa. Dan beberapa tahun terakhir ini semua
sumber air kering. Hanya beberapa orang desa tolol yang
153 coba2 berani masuk kemari. Akhirnya mereka mati
semua ...." "Mengapa mendadak tak ada air" Dan apa sebabnya
orang2 itu tak kembali lagi ?"
Dengan wajah tegang, orangtua itu memandang ke
sekeliling lalu berkata dengan bisik-bisik : "Kareua
muncul Siluman Kering sehingga air habis. Setan Kering
itupun menelan manusia juga...!"
"Apakah Setan Kering itu?"
"Sett...., jangan keras-keras! Makhluk itu memiliki alat
indera yang tajam sekali. Mungkin dia dapat menangkap
pembicaraan kita...!"
"Maukah paman menceritakan makhluk itu...?"
Orang tua itu memberi isyarat supaya Gak Lui duduk.
Melihat mata Kiam-gin merah dan bibirnya kering
orangtua itu memberikan kantong kulitnya: "Minumlah
kalian lebih dulu, baru nanti kuceritakan ........"
Sudah tentu tawaran itu tak perlu diulang lagi. Dalam
keadaan tenggorokan hampir kering, Kiam-gin terus
menyambuti dan meneguknya sampai puas. Lalu
diberikan kepada Gak Lui. Setelah minum, semangat
kedua pemuda itu tampak lebih segar.
"Engkoh kecil, orang itu setelah mati apabila tidak
dikubur ditempat yang sesuai, akan menjadi Kiang-si
(mayat hidup). Dari Kiang-si lalu menjadi Setan Kering.
Rupanya menyeramkan, ganasnya bukan main. Dapat
menyembur api dan makan orang. Sejak, keluar Setan
Kering itu maka sungai, palung, dan sumur2 kering
semua ....." Gak Lui tak percaya. Cepat ia menukas :
"Siapakah yang pernah melihat mahluk itu. "
"Memang ada orang yang benar2 melihatnya. Apa
154 engkau kira aku seorang tua ini, akan bicara buhong.....!"
"Lalu dimana makhluk itu?"
"Kira2 tigapuluh li dari sini, adalah pusar Lembah
Mati. Mungkin dia tinggal disitu ......."
Kiam-gin tertarik dan cepat berseru: "Gak-te, mari kita
lihat kesana. Jika memang ada, kita bunuh saja supaya
rakyat terhindar dari bahaya"
Orangtua itu terbeliak, serunya: "Kalian masih begitu
muda, mengapa tak ingin hidup" Disebelah muka, sama
sekali tidak ada air. Semua kering !"
Kata Gak Lui : "Apa boleh buat, kita terpaksa harus
melanjutkan perjalanan, sekalian ......"
"Hai, apakah kalian juga hendak mencari batu
berharga itu?" "Tidak, kami hendak menuju ke sumber air Pencuci
Jiwa!" "Apalagi kesana! Sumbcr air Pencuci Jiwa itu
mengandung racun yang ganas sekali. Apalagi kalian
harus melalui sarang Setan Kering. Benar-benar kalian
hendak cari mati ..........."
"Paman terima kasih atas petunjukmu. Maaf, kami
hendak mohon diri ...." kata Gak Lui. Tetapi Kiam-gin
masih belum mau pergi, dan minta keterangan lagi
kepada si orangtua. "Apakah yang engkau katakan tentang batu berharga
itu?" serunya. "Dibagian tengah Lembah Mati ini terdapat hasil batu
berharga jenis berlian: Kabarnya batu berlian itu amat
mahal sekali harganya!"
155 "Apakah ada mencarinya?" orang yang pernah datang "Tentu ada. Tetapi entah berapa orang yang datang
pada setiap tahun, aku tak mengerti!"
Setelah menghaturkan terima kasih kepada orangtua
itu, Kiam- gin lalu menarik tangan Gak Lui diajak
melanjutkan perjalanan. TAK BERAPA lama tibalah mereka dibagian tengah
lembah itu. Orangtua itupun segera memanggul kantong
kulitnya dan melangkah keluar lembah. Mulutnya tak
henti2 mengingku: "Sayang, kedua anak muda itu! Ah..., habis...,
habis....!" Memang benar, dibagian tengah lembah ini
amat panas sekali. Untung lah mereka sudah minum
sehingga masih dapat bertahan. Baru beberapa langkah
berjalan, tiba2 Gak Lui berhenti. Hidungnya berulang kali
menyedot hawa. "Gak-te, kenapa engkau?" tegur Kiam-gin.
"Aku mencium bau orang hidup."
"Memang orangtua tadi mengatakan, ada orang yang
pernah masuk ke lembah ini."
"Tetapi kalau Setan Kering itu benar2 makan
manusia, orang itu tak mungkin hidup!"
"Mungkin ada seorang dua orang yang masih dapat
hidup ......." Keadaan tengah lembah itu penuh batu2 yang aneh
bentuknya. Seolah-olah merupakan sebuah hutan batu.
Pada gundukan batu itu, terdapat sebuah guha. Mulut
guha penuh tapak2 kaki orang. Tetapi lebih besar dari
tapak kaki orang biasa. Bahkan Gak Lui yang tinggal di
156 gunung Yau-san, tak dapat menentukan telapak kaki itu.
"Gak-te, mengapa engkau selalu berada di, bawah
angin saja!" "Dengan begitu aku dapat mencium bau orang atau
binatang...!" "Tetapi telapak kaki itu, bukan telapak kaki orang
biasa. Tentulah bekas telapak kaki Setan Kering itu.
Makhluk itu tentu berada disekeliling tempat ini. Karena


Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makhluk itu dapat menyembur api, lebih baik jangan
berada di tempat yang terlanda angin. Agar sewaktuwaktu dapat menghindar dari semburan makhluk itu!"
Tahu Kiam-gin mahir dalam soal api, Gak Luipun
menurut. Setelah membiluk dua tiga buah tikungan,
mereka tiba di sebuah guha yang gelap sekali. Selain
gelap, guha itu ternyata amat dalam sekali dan panasnya
bukan kepalang. "Kemungkinan makhluk itu berada di dalam Gak-te,
cobalah engkau periksa telapak kaki itu lebih jelas" seru
Kiam-gin. "Tetapi bau hawa orang. Dan lagi disebelah sana
terdapat juga beberapa tapak kaki," Gak Lui menunjuk ke
sebuah arah. Ternyata memang pada beberapa tempat terdapat
telapak kaki orang. Tetapi ukurannya amat kecil,
menyerupai teIapak kaki seorang anak kecil. Gak Lui
terus hendak memasuki guha itu. Ia ingin tahu apakah
sebenarnya yang berada dalam goha. Tetapi Kiam-gin
menceghnya. "Kurasa, lebih baik jangan masuk. Sebelum kita
kehausan lebih baik cepat2 meneruskan perjalanan ke
sumber air Pencuci Jiwa ...."
157 Belum ....... selesai. tiba2 dari belakang terdengar
suara letupan kecil. Kedua pemuda itu cepat memutar
tubuh: "Setan Kering ...!" Kiam-gin menjerit kaget ketika
melihat pada jarak setumbak jauhnya, muncul kepala
besar, rambut terurai tak keruan. Wajah seseram hantu
malam, hidung menonjol keluar, gigi runcing2 seperti
pagar pisau. Makhluk aneh itu menatap kedua pemuda
dengan tajam. Bulu roma Gak Lui meremang. Cepat ia
mencabut pedang dan membacok kepala makhluk aneh
itu. "Awas! Semburan api ....... " teriak "Kiam-gin. Dan
tepat pada saat itu juga, makhluk aneh itupun ngangakan
mulut, wut.......segulung asap segera menyembur ke arah
Gak Lui. Gak Lui terkejut. Tangan kiri menghantam ke atas
dan serempak dengan gunakan jurus Rajawali-rentangsayap, ia melambung beberapa tombak tingginya.
Karena gugup hendak memberi pertolongan, Kiamginpun secepat kilat mencabut pedang dan menabas
makhluk itu. Tring ... pedang Gak Lui terpental setombak
jauhnya ketika makhluk aneh itu menangkis dengan
tangan kiri. Tetapi pada saat itu juga, pedang pusaka
Usus-ikan dari Kiam-gin sudah tiba dan menusuk tangan
kanan makhluk itu. Tetapi makhluk aneh itu dapat
menangkisnya sedemikian keras hingga tangan Kiam-gin
terasa kesemutan dan pedangnya hampir terlepas jatuh.
Untunglah Kiam-gin cukup tangkas dan tak sampai
kehilangan kesadaran. Sambil loncat mundur, ia
merogoh kantongnya. "Jangan ...." tiba2 Gak Lui berseru mencegahnya
tetapi pada saat itu. Setan Kering sudah loncat setombak
tingginya dan Kiam- gin pun cepat menaburkan pelor api.
Pelor itu tepat mengenai dada simakhluk aneh. Rupanya
158 makhluk itu masih tak menyadari bahaya maut. Ia masih
gerakkan tangannya untuk menyerang. Tetapi pada saat
pelor itu meletus, jatuhlah makluk aneh itu ke tanah .......
Makhluk itu meraung-raung dan menggeIepar-gelepar
ditanah. Bau daging bakar meruak keseluruh lembah.
"Jelas bau dan suaranya seorang manusia. Entah
dapat ditolong atau tidak" Aku perlu menayainya ......."
"Sekalipun disini ada air pun tak dapat menolongnya.
Apalagi disini kering kerontang!" sahut Kiam- gin. Tak
berapa lama makhluk itu diam tak bersuara. Asap
menipis dan api yang membakar dirinyapun padam.
Tetapi makhluk itupun berobah menjadi seonggok abu
hitam. Ketika Gak Lui dan Kiam-gin memeriksa, pada
onggok abu hitam itu terdapat sepasang tangan dari baja
murni. "Hm..., kiranya hanya sebangsa penjahat dalam
dunia persilatan yang menyaru sebagai setan jejadian!"
kata Gak Lui. "Kulihat tadi ia menyemburkan api yang terbuat dari
bahan belirang. Maka terpaksa kupersen dengan pelor
api juga" kata Kiam-gin.
"Tetapi kita kehilangan sebuah jejak!"
"Tak apa," sahut Kiam-gin, "kita masih dapat
menyelidiki dari telapak kaki kecil itu!"
Gak Lui menyatakan akan masuk ke dalam guha
untuk menyelidiki lebih lanjut. Demikian keduanya segera
melangkah masuk. Ternyata guha itu sempit sekali.
Beberapa tombak kebagian dalam, selain amat gelap,
pun orang harus berjalan merangkak" Ketambahan pula,
panasnya bukan alang kepalang. Sambil merangkak,
Kiam-gin ber- sungut2 : "Gak-te, mari kita keluar sajalah
159 ........" "Sudah terlanjur masuk, mengapa ......"
"Ini sebuah liang. Jika dari sebelah dalam terdapat
orang kita tak dapat berjaga diri. Dan kalau mulut guha
ditutup, kita tentu terkubur hidup2 disini!" Gak Lui
berhenti. Diam2 ia mengakui ucapan Kiam-gin itu benar.
Tetapi seketika itu terdengar suara orang dari sebelah
dalam. Menilik nadanya yang berisik, jelas jumlahnya tak
sedikit. "Mundur, cepat." seru Gak Lui seraya merangkak
mundur. Setelah keluar dari guha, mereka berdiri, siap
dengan pedang. Suara berisik itu jelas berasal dari
sejumlah besar kaki orang yang sedang merangkak
keluar. Tetapi gerakannya amat lambat sekali Hampir
sepeminum rokok, barulah tampak sesosok bayangan
orang melesat keluar guha.
Gak Lui dan Kiam-gin terkejut, menjerit dan menyurut
mundur selangkah. Kiranya orang yang muncul dari guha
itu hanya satu meter tingginya. Kepalanya seperti orang
dewasa tetapi kaki dan tangannya kecil sekali. Tubuhnya
hitam seperti pantat kuali. Orang pendek itu sungguh
mengerikan. Entah apakah darahnya dingin sekali
sehingga tak takut panas ....... " seru Kiam-gin. Tetapi
karena ngeri, Gak Lui tak menyahut.
Tak berapa lama, bermunculanlah tak kurang dari
300 orang pendek. Mereka melangkah terhuyunghuyung. Dengan matanya yang putih memandang ke
sekeliling penjuru. Sedikitpun tak silau memandang sinar
matahari. Melihat itu menjeritlah Kiam-gin dengan nada
gemetar : " Mereka ...... buta semua... !"
"Dan tuli juga !" sahut Gak Lui.
160 "Lalu bagaimana...?" Dengan amat hati2 sekali, Gak
Lui maju menghampiri. Rupanya rombongan orang
pendek itu telah menemukan suatu Plan. Berbondongbondong mereka berjalan ke suatu arah. Gak Lui cepat
mencekal salah seorang yang paling belakang sendiri.
Orang itu terkejut dan ngangakan mulut. Tetapi tak
bersuara. "Hai ! Mereka juga gagu .......!"
JILID 4 GAK LUI terpaksa lepaskan cekalannya. 0rang kerdil
berkulit hitam itu segera merangkak bangun menyusul
kawan2nya. Tetapi dari bajunya yang robek itu,
berbamburan jatuh dua butir batu berkilau. Kiam-gin
memungutnya dan berserulah ia ke-pada Gak Lui; "Adik
Lui, lihatlah betapa indah batu ini ....... " Tetapi saat itu
Gak Lui sedang memandang kearah kawanan orang
kerdil sambil berpikir. la heran mengapa kawanan orang
kerdil itu mencari batu berlian dan kemanakah pergi
mereka. Apakah masih ada seorang lain yang tinggal di
Lembah Mati itu kecuali si Setan Kering"
"Hai, mengapa engkau ter-menung2 saja?" tiba2
Kiam-gin menegurnya. "Kukira .... mereka tentu menuju kesuatu tempat
tertentu. Hayo, kita ikuti!" sahut Gak Lui.
"Tetapi mereka berjalan begitu pelahan sekali. Dan
hawanya begini kering tak ada air. Masakan kita mampu
menunggu!" sahut Kiam-gin. Mendengar kata2 air,
seketika Gak Lui rasakan tenggorokannya kering. Tadi ia
hanya minum sedikit. Sekarang barulah ia rasakan haus
161 sekali. "Ya, kita tak perlu menunggu mereka. Bayangan
yang ditinggalkannya, dapat kujadikan jejak untuk
mengejar mereka," kata Gak Lui. Tetapi sebelum
keduanya angkat kaki, sesosok tubuh melesat tiga,
tombak disebelah muka. Dari gerakannya yang begitu
tangkas, tentulah seorang berilmu.
Gak Lui terkejut. Dipandangnya orang itu dengan
cermat. Ternyata pendatang itu seorang tua berurnur 50an tahun. Berwajah putih dan jenggot jarang. Seorang
yang memiliki perbawa. Pendatang itu memandang
kearah tumpukan kerangka Setan Kering. Wajahnya
tampak berkerenyutan. Kemudian ia beralih memandang
kedua pemuda itu. Terutama ketika memandang Kiamgin, biji matanya berputar-putar, seperti terpikat. Cepat
orang itu memberi hormat dan berkata: "Aku Li Hui-ting,
mohon tanya siapakah saudara berdua ini ... " Gak Lui
dan Kiam-gin balas memberi hormat lalu memperkenalkan diri. "Ah, lama sudah kukagumi nama saudara yang
termasyhur," Li Hui-ting tersenyum seraya maju
selangkah, terutama setelah saudara berdua dapat
melenyapkan Setan Kering ini, sungguh amat berjasa
kepada rakyat!" Setengah meragu, berkatalah dengan dingin:
"Saudara juga berilmu tinggi, mengapa. tak mau
membunuhnya. Dan mengapa pula pada saat ini
kebetulan sakali saudara datang kesini"
Jawab Li Hui-ting: "Walaupun aku mempunyai
beberapa kepandaian tetapi tak dapat melawan
semburan apinya. Maka kuharap datangnya seorang
sakti untuk melenyapkannya. Tadi karena mendengar
162 jeritan ngeri dan bau daging terbakar, cepat2 aku
menjenguk kemari!" "Hm ....... , dan siapakah gerombolan orang hitam
kate itu?" "Tawanan2 dari Setan Kering!"
"Apa maksudnya?"
"Panjang sekali ceritanya. Marilah mampir kepondokku. Nanti kuceritakan hal itu!" Gak Lui serentak
mengiakan. Memang ia kepingin mengetahui.
Demikian dengan Li Hui-ting sebagai penunjuk jalan,
mereka bertiga berjalan cepat dan berapa lama sudah
melampaui rombongan orang2 kate hitam. Beberapa li
jauhnya, tibalah mereka disebuah pondok. Perabotnya
sederhana tetapi terdapat suatu benda yang menarik
perhatian. Yalah sebuah gentong, besar berisi air yang
terletak diatas meja besar. Gak Lui rasakan
tenggorokannya kering sekali. Begitu melihat air, biji
kerongkongannya segera naik turun. Rupanya Li Hui-ting
itu sudah berpengalaman. Melihat tetamu sedemikian
rupa, segera ia mengambil mangkuk dan diletakan
dihadapan Gak Lui. "Ditempat gunung yang begini sunyi, tiada yang
dapat kuhidangkan untuk tetamu kecuali air jernih ini.
Harap- dimaafkan ........" Gak Lui menyatakan "bahwa
yang perlu yalah supaya tuan rumah segera menuturkan
tentang asal mula Setan Kering itu. Tentang
penyambutan dan hidangan, tak perlu diributkan."
"Asal usul dan nama orang itu tak diketahui jelas.
Tetapi yang jelas dia seorang ahli dalam soal
pertambangan. Dia dapat mengetahui bahwa dalam
Lembah Mati sini terdapat tambang batu berlian yang tak
163 ternilai harganya. Dia, dapat membujuk dan menipu
beberapa orang dari luar daerah untuk mengambil batu
berharga itu!" "Oh, orang2 kate berkulit hitam itu bermula juga
orang biasa!" tanya Siau-liong.
"Benar, tetapi mereka telah diminumi semacam racun
oleh Setan Kering itu lalu berobah begitu, mereka tak
takut pada hawa panas dalam bumi !"
"Kudengar, keterangan orang, bahwa dahulu tempat
ini terdapat air, tetapi mengapa sekarang kering sama
sekali?" tanya Gak Lui.
"Itu juga akibat siasatnya. yang licik. Disatu fihak ia
menjelma menjadi Setan Kering, dilain fihak ia secara
diam2 telah menutup sumber air. Dengan tindakan itu ia
mengharap penduduk tempat ini pindah kelain tempat
dan mereka tak mempunyai kemungkinan menyelidiki
berlian itu!" Tetapi mengapa engkau tak dicelakai Setan itu dan
tak pula" meninggalkan tempat ini?" Gak Lui menyatakan
keherananya. "Aku telah belajar ilmu obat-obatan. Beberapa tahun
yang lalu aku tiba dilembah ini dan berjumpa dengan
setan itu. Dia tak mampu mencelakai aku, akupun tak
dapat menindasnya. Dengan demikian kami tak saling
ganggu sampai sekarang ini .... "
"Kalau tak mampu menindasnya, mengapa engkau
tak berusaha tinggalkan tempat ini?" desak Gak Lui pula.
"Jalanan sebelah muka, dijaga oleh setan itu sendiri!"
"Mengapa tak ambil jalan dari sumber air Pencuci
Jiwa saja?", 164

Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gunung itu lebih berbahaya lagi. Disana muncul
seorang manusia aneh yang lihay sekali. Jalan disitu
ditutup dengan tumpukan tulang manusia. Sama sekali
tak dapat dilalui !"
"Siapakah manusia aneh itu?"
"Setempo tampak mengunjukkan diri, setempo
menghilang. Tiada dapat melihat bagaimana tampang
mukanya. Tetapi yang jelas dia memang memiliki
kepandaian sakti. Walaupun aku menjelma tiga kali lagi,
tak mungkin dapat menyamai nya .....!"
"Hm ......." Gak Lui mendesah. Sekonyong-konyong ia
menyambar pergelangan tangan tuan rumah. Li Hui-ting
terkejut. Cepat2 ia miringkan bahunya. Gerakannyapun
luar biasa cepatnya sehingga cengkeraman Gak Lui
dapat dihindari. "Heh..., heh .... " Gak Lui mengekeh lalu membentak
bengis: "Walaupun kepandaianmu terpaut sedikit dengan
Setan Kering, tetapi tak masuk akal kalau selama
beberapa tahun disini, engkau tak memperoleh kemajuan
sedikitpun!" Li Hui-ting terperanjat tetapi pada lain kejab wajahnya
tampak mengerut gelap dan menyabutlah ia dengan
lantang: "Sudah tentu aku mempunyai alasan. Tetapi
orang tentu tak percaya!"
"Katakan!" bentak Gak Lui. Selama beberapa tahun
ini orang2 yang terminum racun dan berobah menjadi
orang kate berkulit hitam, sudah mencapai jumlah lima
enam ratus. Selain tak takut panas, mereka mudah sekali
terkena penyakit. Separoh dari mereka sudah mati
karena menderita sakit. Karena tak mampu membasmi
Setan Kering, terpaksa kulakukan pengobatan kepada
rombongan pekerja paksa itu. Dengan begitu akupun
165 makin memperoleh pengobatan" banyak kemajuan dalam ilmu Mendengar itu tersipu-sipulah Gak Lui. la malu dalam
hati karena terlalu mencurigai orang itu. la mengucapkan
beberapa kata pujian kepada Li Hui-ting yang tinggi rasa
peri-kemanusiannya. "Berbicara tentang tabib pandai, aku segera teringat
akan seseorang", kata Gak Lui........ "
"Siapa?" "Tabib-sakti Li Kok-hoa, kenalkah engkau?"
Biji mata Li Hui-ting berkeliaran beberapa kali lalu
menyahut: "Seperti pernah mendengar, tetapi tak ingat
jelas ...... apakah dia keluarga saudara?"
Tujuan Gak Lui menanyakan tabib sakti itu adalah
hendak menyirapi jejak ayah dari gadis ular Li Siau-mey
Atas pertanyaan orang ia menjawab sekenanya: "Ah,
tidak, akupun hanya mendengar cerita orang saja.
Huk.....! Huh .....!" karena terlalu banyak bicara,
tenggorokan Gak Lui mulai kering dan terbatuklah ia
beberapa kali. Li Hui-ting segera mempersilahkan
tetamunya minum lagi dan Gak Lui pun tak sungkan juga.
Sekali teguk habis air semangkuk. "Ah....., sungguh
segar .......!" seru Gak Lui, pejamkan mata dan geleng2
kepala. Melihat itu Kiam-gin pun, mengecup-ngecup bibir
walaupun tiada ludah yang dapat ditelannya, lalu berkata
kepada tuan rumah; "Apakah aku boleh minum juga?" Tetapi entah
bagaimana, tuan rumah memandang tajam kepadanya
lalu ge!engkan kepala, tertawa: "Itu bukan untukmu !
Dalam kamarku masih tersedia air jernih ......"
"Mengapa"' 166 "Tak usah bertanya, nanti engkau tentu tahu
kebaikan hatiku." "Kebaikan hati" Lalu mengapa engkau berikan
minuman itu kepada saudara Gak-te ...." serentak Kiamgin berpaling. Astaga .... Dilihatnya kelopak mata, bibir
Gak Lui menjadi hitam dan tengah duduk dengan tubuh
menggigil! "Bangsat, lihatlah pedangku!" Kiam-gin serentak
mencabut sepasang pedang dan menyerang Li Hui-ting.
Tetapi dengan tertawa mengejek, orang itu sudah
melesat kesudut ruang. Dan sekali berputar diri ia sudah
mencekal sepasang senjata Tangan besi yang besar.
Serupa dengan yang digunakan si Setan Kering.
"Heh.., heh.., heh.., heh .... kalian telah membunuh
adik angkatku tetapi engkau masih kuberi hidup,
masakan engkau tak tahu berterima kasih...?" Dengan
mata memancar kebencian, Kiam-gin mendampratnya :
"Akan kucincang tubuhmu menjadi bakso untuk
mengganti jiwa adikku!" Laksana gelombang laut
mendampar, enam jurus serangan telah dilancarkan berturut2 oleh Kiam-gin. Tetapi Li Hui-ting dengan lincah
menghindar seraya berseru;
"Budak itu takkan segera mati! Jangan bingung dulu,
aku hendak menanyainya......"
"Aku Tabib-jahat Li Hui-ting adalah ahli racun.
Kukatakan tidak mati tentu tak kan mati. Tetapi dia
takkan terhindar dari penyakit aneh...." Dalam pada
berkata-kata itu mereka telah berputar-putar sampai tiga
jurus lagi. Karena ruang itu sempit. Kiam-gin kuatir akan
mengenai Gak Lui, maka berserulah ia menantang:
"Hayo, kalau berani, kita bertempur di luar!"
167 "Ho, kalian memiliki pelor api, tak mungkin aku
tertipu.........." Tabib jahat itu tertawa mengejek seraya
berputar-putar mengitari ruang, dan lagi terhadap
seorang tampan seperti engkau, aku sungguh merasa
sayang sekali!" Karena marahnya, Kiam-gin sampai tak dapat bicara
melainkan dadanya yang berombak keras. Serangan
pedangnya dicurahkan makin deras dan dahsyat. Tetapi
rupanya si Tabib jahat tak berniat mulukainya. Dia hanya
berputar-putar mundur kesamping Gak Lui. Terdengar
gemerincing pedang beradu dengan Tangan-besi, tiba2
tengkuk Li Hui-ting meregang kencang dan ia rasakan
kepalanya telah tercengkeram oleh lima buah jari yang
keras. Kiranya setelah menyadari bahwa air yang
diminum itu mengandung racun, diam2 Gak Lui gunakan
ilmu-sakti Algojo- dunia untuk menyalurkan racun itu dari
tangannya. Kini dalam kemarahannya ia telah mendesak
racun itu kearah ujung jari lalu ditamparkan kekepala
sitabib. Racun itu cepat menyalur ke jalan darah dikepala
sitabib. Seketika Tabib jahat Li Hui-ting menggigil
tubuhnya. Tanpa menjerit sepatahpun juga, ia rubuh
pingsan. KIAM GIN terkejut girang. Cepat ia melesat
menghampiri dan berseru: "Gak-te, engkau tak kurang
suatu apa ......" Gak Lui berputar diri. Tampak kulit muka
sudah tidak sehitam tadi melainkan agak gelap sedikit.
Tetapi suaranya berobah parau ketika ia menyahut:
"Belum sembuh sama sekali. Mata telinga dan alat
penciuman, masih belum pulih ketajamannya. Begitupun
lidahku terasa kaku dan mati-rasa ......"
"Lalu bagaimana?"
"Kita paksa tabib jahat ini untuk mengobati. Dia tentu
mempunyai obat penawarnya!" Gak Lui segera membuka
168 jalan darah Li Hui-ting. Tabib itu terengah-engah dan
membuka mata. Wajahnya pucat kebiru-biruan. Begitu
melihat Gak Lui dan Kiam-gin, cepat2 ia meram lagi.
Hanya gerahamnya berderak-derak gemetar. Melihat itu,
Gak Lui membentaknya: "Jangan coba. unjuk kepala
batu. Jika tak mau menjawab dengan baik, engkau tentu
mati!" Mendengar itu Li Hui-ting membuka mata, lalu
tertawa sinis: "Siapa yang minum racun Penyurut-tulang itu yang
tiada obatnya itu, tentu akan menjadi orang kate seperti
orang2 tawanan itu. Terima kasih kalau engkau hendak
membunuh aku!" Kiam-gin terbeliak, serunya: "Engkau
.... engkau..... tiada obat penawarnya?"
"Tidak punya!" "Adikku Gak Lui ini ... apakah juga...."
"Dia serupa dengan aku nanti, setiap saat tentu akan
menjadi orang kate. Pada saat itu, coba saja engkau
masih suka kepadanya atau tidak" Dalam murkanya Gak
Lui terus mencengkemram pinggang dan tenguk tabib itu
lalu salurkan tenaga-dalamnya untuk menggencet tubuh
Li Hui-ting. Sudah tentu tabib jahat itu tak kuat menahan
tanaga-sakti Algojo dunia, ia meraung-raung nyeri,
keringat bercucuran bagaikan hujan. Lebih payah dari
rasa sakit menerima siksaan Jo-kut-hun-kin atau Tulangmeleset, urat berpencar.
"Hayo, engkau mau bilang atau tidak!" bentak Gak
Lui. "Tidak!" Dada Gak Lui serasa meledak. Segera ia
tekankan tangan kanannya. Gluduk .... terdengar bunyi
menggelembung seperti pelembungan ditiup. Biji mata
tabib itu menonjol keluar. Lubang ke tujuh, inderanya,
memancurkan darah. 169 "Ti ..... dak ...." tabib itu tetap keras kepala. Gak Lui
mendengus. Ia kuatir kalau dilanjutkan, tabib itu tentu
mati. Maka ia hentikan tekanannya dan berganti dengan
tangan kiri untuk menyedot tenaga-dalam orang itu. Kini
biji mata Li Hui-ting menyurut kedalam, dadanyapun
mengempis seperti pelembungan karet yang kempes.
Semua tenaga murninya tersedot habis. Sejak
mempelajari ilmu Algojo-dunia, sekalipun tenaganya
bertamhah maju, tetapi dalam penggunaan untuk
menyalurkan dan menyedot- tenaga, ia masih belum
faham sungguh2. Diluar dugaan, saat itu pikirannya
terang dan mengerti rahasia dari ilmu itu. Demikian
setelah tiga kali dilakukan penekanan dan penyedotan, Li
Hui- ting sudah setengah mati rasanya. Dia tak kuat
bertahan lagi. Napasnya makin mengap-engap dan
berkata dengan ter- sendat2: "Aku .... akan ..... bilang
....." "Apa hubunganmu dengan Setan Kering itu?"
"Saudara angkat ......"
"Demi mencari permata, kalian telah mencelakai
sekian banyak orang. Apakah tujuanmu?"
"Aku hanya menerima perintah ......"
"Dari siapa?" "Ini .... ini ..... aku tak berani mengatakan ....."
"Tidak berani bilang ! Kalau begitu engkau rasakan
lagi siksaan tadi!" "Nanti dulu!" Kiam-gin mencegah, "tadi hendak
bertanya kepadamu, entah apa yang akan ditanyakan
itu?" Gak Lui pun teringat lalu membentak: "Ya...!, hayo
lekas katakan pertanyaanmu itu!"
"Aku ... hanya akan bertanya .... , engkau dengan
170 Tabib-sakti Li Kok-hoa ......" sekiranya engkau kenal
padanya: "Lekas katakan bagaimana hubungan kalian!"
"Dia ..... adalah ..... guruku "
"Dahulu Li Kok-hoa diundang oleh salah seorang
muridnya untuk mengobati tetapi akhirnya tak, pernah
pulang lagi. Apakah murid itu engkau sendiri?"
"Ya ...... ya.....!"
"Lalu dimana dia sekarang?"
"Aku tak tahu, tetapi dia tentu masih hidup.....!"
"Hmm..... dahulu engkau undang ia untuk mengobati
siapa?" "Ini...." "Bagaimana?" "Bunuh aku sajalah, aku tak berani mengatakan ......"
tiba2 tabib jahat itu menggigit lidahnya sendiri sampai
putus dan seketika putus jugalah nyawanya.
---oo0oo--Melihat itu, marah sekali Gak Lui. Wajahnya
memberingas dan matanya memacarkan api. Tetapi
tiba2 dilihatnya belasan sosok tubuh bermunculan
dimuka pondok. Terpaksa ia tak ,jadi' melanjutkan
maksudnya mengamuk. Ternyata yang berkumpul di luar
pondok itu adalah ratusan pekerja tambang yang
bertubuh kate dan hitam itu. Mereka berbaris rapi seperti
seekor ular panjang, lalu berjalan kemuka meja Setiap
orang kedua tangannya membawa batu berlian. Mereka
tak henti2nya mengangguk kepala seperti orang yang
memohon sesuatu. Dan yang tak membawa apa" lalu
171 berlutut di luar pondok dengan kepala menunduk
ketanah. "Mau apa engkau ini!" tegur Kiam-gin kepada salah
seorang. Tetapi orang itu buta, tuli dan gagu. Dia tak
mempedulikan pertanyaan orang. Setelah menutuk jalan
darah Li Hui-ting, Gag Lui pun menghampiri, katarnya:
"Rupanya mereka datang untuk menyerahan hasil
penemuannya, tetapi entah mereka menghendaki apa?"
"Celaka! Kita tak dapat menanyai mereka!" keluh
Kiam-gin. Sejenak merenung Gak Lui mendapat akal,
serunya: "Aku tahu caranya!" - ia segera memegang
tangan orang kate hitam itu. Orang itu sedikitpun tak
terkejut malah terus serahkan batu permata ketangan
Gak Lui. Lalu ngangakan mulut dan tengadahkan kepala
seperti orang menunggu. Gak Lui gunakan ujung jari
untuk menulis ditelapak tangan, orang itu: "Engkau minta
apa?" Sungguh kebetulan sekali. Orang itu mengenal
huruf juga. Segera ia menulis ditelapak tangan Gak Lui:
"Harap diberi Air- dewa!"
"Air- dewa?" Gak Lui terkejut. la cepat menyadari
bahwa yang dimaksud dengan Air-dewa itu tentulah air
dalam gentong. Segera ia menulis lagi ditelapak tangan
orang itu: "Air itu beracun, tak boleh diminum!" - Orang
kate itu geleng2 kepala dan merintih: "Kalau tidak minum,
tidak bisa hidup!" Serentak Gak Lui menarik tangannya


Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan orang itupun segera berlutut ditanah. Beberapa kali
kepalanya dibenturkan kelantai sehingga berlumuran
darah. Ketika Kiam-gin mengetahui apa yang dibicarakan
mereka, ia berkata: "Didalam ruang dalam, ada air jernih.
Akan kucoba kuberikan kepadanya, bagaimana nanti
perobahannya." Segera ia masuk ke dalam lalu
membawa keluar sebuah kantong air dan dibagikan
kepada orang2 kate itu. Mereka menyerahkan batu
172 berlian lalu minum. Kiam-gin tak memperbolehkan
mereka kembali kedalam tambang. la menepuk bahu
orang2 kate itu beristirahat. Setelah itu ia-menunggu
bersama Gak Lui. Kira2 sepeminum teh lamanya, tiba2
kawanan orang kate itu gemetar tubuhnya. Mereka
merangkak-rangkak dilantai. Mulut mengeluarkan busa
putih, mencakari dadanya sendiri dan menekan perut.
Dalam sekejab saja, ruang pondok itu penuh
bergelimpangan orang2 kate yang meregang dan
bergeliatan seperti ular. Rupanya mereka sedang
menderita kesakitan hebat. Mereka nekat merangkak
masuk kedalam pondok. "Gak-te, racun ditubuh mereka mulai bekerja!" seru
Kiam-gin Tetapi Gak Lui tak menyahut. Matanya
memandang lekat2 pada guci air diatas meja itu. Gigi
berderuk-deruk saling bergosok. Tiba2 ia menyambar
guci air itu. "Hai, Gak-te, mau apa engkau?" Kiam-gin berseru
kaget. "Aku .... aku ....."
"Engkau bagaimana?"
"Kurasakan sekujur tubuhku seperti dirayapi kutu.
Mulutku sangat haus sekali!" Kiam-gin cepat merebut
guci itu dan berteriak bengis: "Tak boleh diminum!"
Wajah Gak Lui berobah. Ia terkesiap tetapi guci itu
tetap dipegangnya erat2. Melihat itu, Kiamgin terus
menghantam, bruk ..... guci pecah air berhamburan
membasahi sekujur tubuh sitabib-jahat Li Hui-ting.
Pecahnya guci dan muncratnya air dan berhamburan
kemana- mana, ada sebagian yang mengenai tubuh
orang kate Seketika timbullah, kehirukan. Mereka seperti
orang gila menjilati pakaian sendiri untuk menghisap air
173 yang menumpah dipakaian itu. Bahkan bagian baju yang
terkena siraman air racun tadi, terus dirobek dan
dikunyah dengan -mulut. Setelah itu tiba2 mereka
merangkak ketubuh Li Hui-ting dan segera menggigit
dagingnya. Bagaikan kawanan serigala yang tengah
menerkam anak kambing, tak berapa lama tubuh tabib
jahat itu habis dimakan oleh kawanan orang kate. Lebih
dulu mereka memakan pakaian : sitabib, lalu dagingnya
dan kemudian menghisap darahnya. Sikap dan cara
mereka memakan tubuh Li Hui-ting itu benar2
menegakkan bulu, roma orang.
Setelah kawanan orang kate itu mundur, yang tinggal
hanya setumpuk tulang kerangka sitabib jahat Li Iiui-ting.
Beberapa orang kate yang tak kebagian, mati kaku
semua secara mengenaskan sekali. Setabah-tabah nyali
Gak Lui, tetapi demi menyaksikan adegan makan orang
itu, tak urung hatinya menggigil ngeri juga. Tiba2 tampak
sekilas sinar emas memancar. Gak Lui tertarik
perhatiannya. Ketika mengamati, ternyata seorang kate
yang berlutut dibawah kakinya, sedang menggigit sebuah
Lencana emas. Tak henti-bentinya orang itu menjilat dan
menghisap Lencana emas itu. Gak Lui hendak
mengambil lencana itu tetapi secepat kilat orang kate itu
sudah menelannya. Gak Lui hanya banting2 kaki.
"Gak-te, perlu apa engkau menghendaki lencana
emas itu?" tegur Kiam-gin.
"Lencana itu merupakan tanda sebagai anakbuah
Maharaja!" Seketika berobahlah waiah Kiam-gin.,
serunya geram: "O, kiranya kawanan budak musuh kita !"
"Benar," kata Gak Lui, "Li Hui-ting lebih baik mati dari
pada mengatakan nama pemimpinnya. Memang ada dua
buah hal yang perlu diselidiki!"
174 "Bagai mana?" "Kesatu, hendak kutanya padanya, apakah ia pernah
melihat wajah Maharaja itu" Jika sudah, apakah
Maharaja itu memiliki hidung yang lengkap.
"Kuduga keduanya tentu hanya seorang saja. Si
Grumpung tak lain juga Maharaja itu!"
Lalu yang kedua?" tanya Kiam-gin.
"Li Hui-ting telah menipu gurunya untuk datang
mengobati- seseorang. Entah siapakah yang diobatinya
itu?" "Kedua soal itu kukira tiada hubungan satu sama lain.
Tetapi mengapa engkau begitu memperhatikan sekali
kepada Tabib- sakti Li Kokhoa?" tanya Kiam-gin.
"Dia adalah ..., kawan ayahku. Aku sudah berjanji
akan mencarinya!" sahut Gak Lui.
"Membalas sakit hati adalah yang pokok. Dan
mencari orang itu hanya sambilan saja. Kita segera akan
tinggalkan tempat neraka ini dan menuju ke gunung
Thian-gan-san!" kata Kiam-gin
Gak Lui memandang kearah kawanan orang kate
hitam itu. Tetapi ia merasa tenaganya sendiri sudah tak
mengidinkan. Terpaksa ia menghela napas lalu melesat
keluar pondok dan lari menuju kearah gunung Thian-gansan mencari sumber air Pencuci Jiwa!.
GUNUNG THIAN GAN SAN atau Mata Langit, penuh
hutan belantara yang lebat. Iklim disitu tak sepanas
seperti di lembah tadi. Ketika tiba dikaki gunung,
tiba2,mereka terkejut. Karang gunung disebelah
mukanya gundul tiada tanaman sama sekali. Tetapi pada
karang itu disusun tulang2 manusia menjadi 4 baris
tulisan. Terkejutlah Gak Lui ketika membaca 4 baris
175 tulisan itu. Demikian bunyinya:
Sumber air Pencuci Jiwa Siapa minum tentu binasa
Yang datang pulang saja Agar jangan ..... hilang jiwa.
Kiam-ginpun terperanjat juga, serunya agak gentar:
"Tentu muncul orang aneh ditempat ini ! Dia tentu sakti!"
"Tiada seorang manusia yang dapat menghalangi
aku ! Apalagi tulisan ini mengandung itikad tidak baik!"
kata Gak Lui seraya mendahului maju. Sepanjang jalan,
ia melihat tulang2 manusia. Ada yang masih utuh sebuah
kerangka. Ada yang bersandar pada pohon atau rebah
diatas rumput. Dari posisi rerangka2 manusia itu, mereka
tentu mati akibat muntah2. Gak Lui makin bersemangat.
Ia kencangkan larinya. Setelah melintasi sebuah tanjakan
gunung, baru berjalan dua langkah, tiba2 ia terkejut
mendengar Kiam-gin menjerit..........."
"Engkoh Gin, jangan takut, lekas ikut aku!" saat itu
keadaan Gak Lui agak berobah. Pendengarannya
berkurang sekali sehingga ia tak mendengar bahwa
teriakan Kiam-gin itu adalah jeritan minta tolong. Setelah
berloncatan sampai berpuluh-puluh tombak jauhnya
barulah ia berpaling kebelakang dan hai ..... ia tersentak
kaget. Kiam-gin lenyap dan sebagai gantinya, seorang
wanita tegak berdiri dihadapannya. Ketika beradu
pandang dengan wajah wanita itu, Gak Lui hampir
menjerit kaget. Rambut wanita itu melongsor panjang
sampai ketanah. Tangannya mencekal sebatang senjata
cempuling. Panjang satu meter. Potongan tubuh wanita
itu elok sekali. Tetapi wajahnya ..... ah..... Wajahnya
memang luar biasa cantiknya Bagaikan sebuah gambar
bidadari dalam lukisan. Tetapi sayang kaca pigura dari
lukisan itu penuh dengan retak goresan. Karena wajah
cantik dari wanita itu penuh berhias dengan goresan
luka2 senjata tajam. Dan yang paling menyeramkan,
176 hidungnyapun telah terpapas hilang .... Serta melihat
hidung wanita itu hilang, serentak, beringaslah Gak Lui.
"Ho, kiranya si Gerumpung! Bersiaplah menerima
kematianmu!" bentaknya. la menutup kata2nya dengan
gerakkan kedua pedangnya menusuk dahsyat. Tetapi
wanita itu hanya dingin2 saja. Tak menangkis, pun tak
menghindar. Dan ketika pedang Gak Lui tiba, dengan
suatu geliatan tubuh yang lemah gemulai, ia dapat
menyingkir setengah dim dari ujung pedang. Serangan
Gak Lui, yang dahsyat, tak mampu sama sekali
menyentuh- ujung baju wanita itu ! Gerak geliatan dan
ketenangan yang luar biasa itu benar2 membuat Gak Lui
terkejut sekali. Apalagi walaupun tak balas menyerang,
tetapi wanita itu dapat membuat Gak Lui tak berdaya
melancarkan serangannya lagi. Namun pemuda itu
masih penasaran. Serentak ia gunakan jurus Rajawalipentang-sayap untuk melambung keudara. la menukik
seraya lancarkan jurus Menjolok-bulan- memetik-bintang.
Dahsyat dan cepatnya bukan alang kepalang ! Rupanya
wanita itu terpojok dan tak dapat menghindar. Terpaksa
ia gunakan pedang untuk menangkis. Melihat itu
semangat Gak Lui tambah menyala. Ia taburkan pedang
bagaikan bunga api berhamburan dan serentak
terdengarlah dering senjata beradu, tring..., tring .....
Gak Lui yakin sebentar lagi pedang lawan tentu dapat
dipapasnya kutung. Tetapi pada saat gerakan Gak Lui
untuk melibat kemudian memapas itu akan berhasil, tiba
tiba wanita aneh mendengus pelahan dan merobah
gerakan pedangnya. Tahu2 serangan Gak Lui itu
berantakan dan siwanita melesat mundur satu tombak
jauhnya Gak Lui benar2 tercengang-cengang!
Berpuluh-puluh jago silat yang pernah ditempurnya,
177 asal ia gunakan jurus itu, tentu pedangnya dapat
terpapas kutung. Paling-paling ada beberapa tokoh yang
karena memiliki tenaga dalam sakti, masih mampu
bertahan dan menghindar. Tetapi baru sekali inilah Gak.
Lui bertemu dengan seorang lawan yang menggunakan
ilmu serangan pedangnya yang istimewa itu. Siapakah
gerangan wanita aneh itu" Mengapa wanita itu memiliki
ilmu pedang yang sedemikian luar biasanya"
Tengah Gak Lui menimang-nimang, tiba2 wanita itu
berseru dengan dingin: "Budak, engkau salah alamat!
Lekas pulanglah!" Hanya kata2 begitu yang diucapkannya. Sedikitpun
wanita itu tak mau bertanya apa2 lagi kepada Gak Lui.
Sikap dan nadanya sedingin patung. Seolah-olah
menganggap manusia di dunia ini hanya tanah liat
belaka. Terpengaruhlah Gak Lui melihat sikap wanita
aneh itu. Ia menyimpan pedangnya lalu bertanya:
"Mohon tanya, siapakah cianpwe" Aku....".
"Kita tak perlu saling memberitahukan nama. Lekas
tinggalkan gunung ini agar jangan mengganggu
ketenteramanku!" tukas wanita itu.
Diperlakukan dengan sikap sedingin begitu, panaslah
hati Gak Lui, serunya: "kha, kawanku yang seorang itu ....
dimana?" . "Tak perlu banyak tanya lekas pergilah!"
"Dia engkoh angkatku. Jika dia sampai terganggu
selembar bulunya, engkau harus memberi pertanggungan jawab!"
"Engkoh angkat?"
"Benar!" "Heh..., ..... heh:" tiba2 wanita aneh itu mendesah
178 muak, sepasang matanya memancar sinar hina dan
berserulah ia dengan nada marah: "Ngaco belo! Jika tak
lekas angkat, kaki dari sini tentu kubunuh kau, seorang
manusia rendah!" Sudah tentu Gak Lni tak mau menerima makian
semacam itu. Dengan menggembor marah ia menabas
pedang wanita itu dengan jurus membelah-emasmemotong kumala.
Rupanya wanita aneh itipun marah juga. Sekali
gerakkan pedang, berhamburanlah sinar putih laksana
petir menyambar-nyambar diangkasa. Tubuhnya seolaholah terbungkus oleh gumpalan sinar pedang yang rapat
sekali. Sedemikian rapatnya sehingga air hujan tentu tak
mampu mencurah masuk. Ketika pedang Gak Lui membentuk tembok sinar
yang menyelubungi tubuh wanita itu, serentak ia rasakan
suatu tenaga mental menolak pedangnya sehingga ia tak
mampu untuk melancarkan jurus serangannya. Gak Lui
masih penasaran. Cepat ia salurkan tenaga-sakti Algojodunia untuk menyedot dan mendorong. Dengan
perobahan itu, dapatlah ia menyiakkan sedikit lubang
pada dinding sumur yang membungkus tubuh wanita itu.
Wanita aneh terkesiap, heran. Sepasang. matanya
berkilat-kilat. Jurus vang dimainkan makin deras dan
indah. Tak ubah seperti burung cendrawasih tebarkan
sayap. Tak henti-hentinya terdengar dering gemerincing
dari senjata beradu. Serangan pedang Gak Lui yang
sederas hujan mencurah, tetap tak mampu menerobos
ke dalam lingkaran sinar pedang siwanita. Bahkan
pemuda itu mulai mundur setapak demi setapak.
"Apakah racun dalam tubuhku sudah mulai bekerja
sehingga tenagaku berkurang?" diam2, ia merasa heran
179 pada dirinya. Pada saat pikiran Gak Lui sedang lengah,
se-konyong2 wanita itu menarik pedangnya, diganti
dengan gerakan kelima jari tangan kiri untuk
mencengkeram dada Gak Lui. Gak Lui menyadari
bahaya. itu: "Jika ia balikkan pedang untuk memapas tangan
lawan, kemungkinan akan termakan siasat. Maka lebih
baik ia hadapi dengan tangan kosong juga. Secepat
pindahkan pedang Pelangi ketangan kanan, ia segera
balikkan telapak tangan kirinya untuk menyongsong
tangan lawan. Plak...! Terdengar benturan keras dari dua


Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telapak langan dan seketika itu Gak Lui rasakan suatu
arus tenaga hebat menyusup kedalam telapak tangan
aneh melanda kedadanya. Gak Lui rasakan debur
jantungnya lemah dan napas engap. la terhuyunghuyung 5-6 langkah baru dapat berdiri tegak lagi. Tetapi
tetap dadanya terasa sakit, kedua mata mulai
menghitam. Dan pada saat ia terhuyung kebelakang itu,
wanita wajah rusak telah julurkan ujung pedangnya
kearah Gak Lui. Tetapi tiba2 ujung pedang digeliatkan
untuk mencongkel pedang pemuda itu. Tring...., tring...,
sepasang pedang Gak Lui terkapar jatuh. Kernudian
dengan gerak putaran,yang luar biasa indahnya, wanita
itu meluncur kehadapan Gak Lui lalu membentaknya:
"Siapa namumu!" Diam2 Gak Lui kerahkan tenagadalam untuk bersiap-siap lalu menjawab dengan nada
dingin: "Gak Lui ......."
"O....!, wanita itu terkejut dan menyurut mundur dua
langkah, alisnya mengerut keatas. "Engkau .... hendak
mencari aku?" serunya. ,
"Aku mencari sumber air pencuci iiwal"
Wajah tegang dari wanita itu mulai mereda. Lalu
180 berkata dengan masih bernada dingin; "Orang yang
sudah menyerang dua kali kepadaku, tentu takkan
kuampuni lagi...., tetapi kali ini engkau kuistimewakan ....
terhadap saudara- angkatmu itu, aku mempunyai cara
lain !" "Cara lain bagaimana .......?"
"Barang siapa masuk ke gunung sini, akan kutindak
menurut sekehendak hatiku. Orang lain tak boleh
bertanya!" Gak Lui sudah menemukan pengertian.
Gerakan wanita mencongkel sepasang pedangnya tadi,
jelas hampir sama dengan ilmu permainannya sendiri.
Serentak tergetarlah hatinya.
"Engkau .... cianpwe siapakah" Mengapa jurus
permainan pedangmu sama dengan aku?" serunya
tegang. "Tak usah ngoceh ! Kusuruh engkau pergi, demi
kebaikanmu. Masakan perlu harus kupukul!"
"Tetapi ilmu permainan pedang cianpwe tadi sungguh
tak asing lagi .... engkau .... engkau tentulah .... bibi
guruku ketiga Pedang Bidadari Li. Siok-gim .... !"
Mendengar ucapan itu, siwanita aneh terkejut
sehingga wajahnya berkerunyutan tegang sekali. Tetapi
samar2 dalam ketegangan itu bersinarlah rasa dendam
penasaran. "Bibi-guru, aku bukan orang luar ...."
"Kutahu!" "Bibi-guru tahu?"
"Sudah tentu aku mengenalmu! Perawakanmu terang
sebagai putera dari Pedang Malaekat Gak It-beng.
Sedang jurus permainan silat dan pedangmu adalah
ajaran Pedang Laknat, tetapi....."
"Tetapi bagaimana ....."
181 "Kepandaianmu yang begitu rendah, membuat orang
kecewa!" "Aku telah terkena racun Penyurut-tulang...... "
"Bibirmu hitam, tenggorokanmu parau, memang
akibat keracunan. Tetapi jurus permainan pedangmu
tadi, seperti asli .... seperti bukan. Banyak bagian2 yang
tak tepat. Entah bagaimana cara mereka mengajarinya!"
Merahlah muka Gak Lui, sahutnya dengan nada
sarat: "Bukan karena salah paman guru, karena beliau
tak dapat memberi petunjuk yang nyata!"
Pedang Bidadari Li Siok-gin gemetar, serunya:
"Mengapa?" Gak Lui segera menuturkan riwayatnya dengan ayah
angkat atau paman guru si Pedang Laknat Ji Ki-tek
selama ini. Kemudian ia bertemu dengan Pedang Iblis Ko
Tiong-ing. Bagaimana keadaan dan pengalamannya
selama bertemu dengan paman gurunya itu, pun
diceritakan dengan jelas. Dalam membawakan ceritanya
itu karena terharu, airmata Gak Luipun bercucuran
membasahi mukanya. Wajah Pedang Bidadari Li Siok-gim yang penuh
dengan guratan pedang itu, selain tampak tua, pun telah
meneteskan dua titik airmata juga.
SETELAH menghela napas dalam2, tiba2 ia
menengadahkan muka dan tertawa dingin: "Memang
jauh2 aku sudah meramalkan bakal menemui peristiwa
yang menyedihkan itu. Tetapi sungguh menjengkelkan
sekali karena saat itu Pedang Iblis tetap tak mau
mendengarkan sungguh-sungguh mengecewakan harapan suhu Bu-san It-ho yang telah berjerih payah
memberi pelajaran...."
182 "Bibi, dengan munculnya orang yang menyebut
dirinya sebagai Maharaja, jelas dia seorang durjana yang
ganas. Tetapi mengapa bibi hanya berdiam disi tak
keluar menghadapi durjana itu?"
Pedang Bidadari bergelora hatinya. Dengan mata
berkilat-kilat, ia berkata: "Aneh! Dahulu ayahmu telah
meninggalkan surat supaya mencari aku. Tetapi
mengapa engkau tak pernah mengungkat hal itu"
Mengenai sepak terjang Maharaja itu, memang
tampaknya selalu memusuhi perguruan kita Bu-sankiam-pay. Tetapi sekalipun kekuatan dari keempat jago
pedang Bu-san itu tak lemah, namanya belum cukup
termasyhur!" "Hal itu .... tentulah orang yang mempunyai sangkut
paut dengan partai Bu-san-kiam-pay!"
"Hm, tetapi orang yang mempunyai hubungan ....
terlalu sedikit sekali!"
Gak Lui menggigil. Tiba-tiba ia berseru: "Menurut
keterangan, gi- hu, aku masih mempunyai paman guru
yang tertua yang telah diusir dari perguruan!"
"Ah, tak mungkin dia ! Walaupun aku tak kenal
namanya tetapi sebab-sebab dia diusir dari perguruan
kita, walaupun secara tak sengaja suhu telah kelepasan
mengomongkan hal itu!"
"Oh, apakah sebabnya itu?"
"Karena sebelum mendapat perintah suhu, dia berani
bertindak sendiri ...."
"Bagaimana?" Gak Lui menegas. "Ini aku telah
mengangkat sumpah dihadapan suhu, takkan membocorkan kepada lain orang!"
Mendengar itu Gak Lui amat kecewa. Jika tetap
183 mendesak, tentu bibi gurunya akan melanggar sumpah.
Namun kalau tak bertanya lebih jauh, tentulah usaha
untuk menyelidiki musuhnya itu sukar tercapai.
Pedang Bidadari tak memperhatikan keresahan Gak
Lui. la balas bertanya: "Apakah engkau pernah
mendengar atau bertemu dengan orang yang
menggunakan jurus ilmu pedang Bu- san-kiam-pay?"
"Tidak!" Gak Lui, diam2 ia memperhatikan perobahan
wajah bibi gurunya itu. Tak dapat disangsikan lagi, satusatunya orang yang dapat melakukan jurus ilmu pedang
Bu-san-kiam pay, siapa lagi kalau bukan paman gurunya
yang kesatu itu. Apalagi .... dia telah diusir dari
perguruan. Merenung sampai disitu, serentak ia
mendesak dengan nada tegang: "Bibi, dapatkah bibi
merenungkan lebih lanjut. Adakah sebab dari pengusiran
paman guru kesatu itu mempunyai hubungan dengan
sakit hati yang sedang kutuntut" Banyak tokoh2
persilatan yang dicelakai. Saudara angkatku Hi Kiam-gin
itu salah seorang korbannya ...."
"Hm, lagi2 engkoh angkatmu itu ......" tiba2 Pedang
Bidadari mendengus dan berobah wajahnya.
"Bukan melainkan dia, masih ada ......'
"Siapa lagi?" "Masih ada seorang Li Siau-mey. Ayahnya telah
hilang bertahun- tahun. Mungkin ada hubungannya juga
...." Tanpa menunggu Gak Lui selesai bicara, Pedang
Bidadari menukas bengis : "Li Siau-mey tentu seorang
gadis. Engkau mempunyai hubungan apa dengan dia?"
"Ini ...." tiba2 muka Gak Lui merah. Sesaat ia tak
dapat menyahut. Melihat sikapnya, Pedang Bidadari
184 segera menyadari. Ditatapnya pemuda itu dan dengan
nada yang muak2, marah ia berteriak: "Ah...., kiranya
engkau begitu, sungguh memalukan....! Sungguh
hina....!" "Aku mempunyai sebab ...."
"Manusia jahat didunia, tiada seorangpun tak punya
alasan. Aku tak sudi mendengar dan tak sudi mengakui
engkau sebagai murid-keponakan!"
"Oh ...." Gak Lui mendesuh. Mengira kalau bibigurunya malu mengakui dirinya sebagai muridkeponakan karena menganggap dirinya rendah
kepandaian, buru- buru berseru: "Walaupun aku bodoh
dan tak berguna, tetapi sudilah bibi memandang muka
ayah dan paman ..." Mendengar itu bukan reda tetapi kemarahan Pedang
Bidadari malah berkobar. "Ayahmu telah putus hubungan kasih dengan aku.
Pedang Anehpun telah menghapus ikatan menikah
dengan aku. Pedang lbispun putus hubungan saudara
seperguruan dengan aku. Aku....... telah bersumpah
takkan mengurus persoalan mereka. Engkau seorang
budak kecil tetapi terlalu bertingkah .... "
"Aku tak mengerti maksud bibi-guru."
"Hm, berani terus terang berbohong, menambah
setingkat dosa !. Engkau benar2 harus minum air
Pencuci Jiwa supaya isi dadamu bersih!"
"Mohon tanya, dimanakah letak sumber air itu?"
"Disebuah guha pada puncak gunung, engkau carilah
sendiri!" Habis berkata Pedang Bidadari terus berputar
tubuh dan melesat keluar. Gak Lui terkejut dan
memburu:"Bibi .... bibi ...."
185 Tetapi ilmu meringankan tubuh dari Pedang Bidadari
itu terlampau tinggi. Dalam beberapa loncatan wanita itu
sudah 100- an tombak jauhnya. Gak Lui mati-matian
mengejar. Ia menyusur jalanan yang merupakan satusatunya jalanan disitu dan kembali tiba dikarang kaki
gunung yang berhias huruf2 tulang manusia. Tetapi ia
tetap tak menemukan bibi gurunya, pun tidak Hi Kiamgin. Gak Lui tegak-termenung dikaki karang gunung itu.
Pikirnya: "Mungkin bibi tak dapat memaafkan ayah dan
kedua pamanku. Tetapi mengapa dia memandang hina
padaku" Dari sinar matanya, jelas ia bukan hanya
menghina kepandaianku yang rendah, pun masih ada
sebab lain lagi! Entah adakah sebab itu! Bibi tahu apa
sebabnya paman.kesatu diusir dari perguruan oleh
kakek-guru. Juga bibi-guru itu tahu tentang suatu rahasia
dari kakek-guru. Apakah sesungguhnya dibalik peristiwa
itu" Apakah hal itu mempunyai hubungan dengan si
Gerumpung?" Demikian pikiran Gak Lui melayang-layang
menganalisa peristiwa pertemuannya dengan Pedang
Bidadari Li Siok-gim yang menjadi bibi-gurunya. Dan
kemanakah gerangan lenyapnya Hi Kiam-gin tadi" Ah,
kesemuanya itu hanya bibi-gurunya, yang tahu. Tetapi
bibi- gurunya telah lari dan melenyapkan diri ....
Tiba2 Gak Lui tersentak kaget. Tubuhnya terasa
menggigil kedinginan. Dan matanyapun terasa berkunang-kunang. Ada sesuatu perobahan yang tak
wajar pada dirinya. "Celaka! Racun Penyurut-tulang mulai bekerja! Aku
harus lekas2 mencari sumber air Pencuci Jiwa itu!" ia
terkejut dan gelagapan dari la munannya.
Diatas puncak gunung Thian-gan-san atau Mata
Langit memang terdapat sebuah guha. Guha itu berasal
186 dari pecahan batu gunung yang retak. Pada jalan muka
guha, penuh dijajar tulang2 manusia. Dengan langkah
terhuyung dan mata suram, kulit berwarna hitam, Gak Lui
dapat juga mencapai, puncak gunung itu. Antara sadar
tak sadar, ia berseru parau: "Air...! Air...! Mana ...... !"
Ketika mendengar gemericik air memancar ke luar dari
guha, seketika mata Gak Lui berbalik.
Dengan tersenyum simpul, ia berseru gembira: "Oh,
kiranya .... disini!" Sekali melesat ia terus meiangkah.
Tetapi bukan berjalan maju melainkan terus terjungkal
rubuh ketanah! Namun ia menggertakkan gigi dan
paksakan diri untuk merangkak bangun lalu nekad masuk
ke dalam guha itu. Guha itu ternyata amat dalam dan
lembab. Baru melangkah tiga empat tindak, ia
mendapatkan beberapa rerangka tengkorak malang
melintang ditanah. Saat itu racun dalam tubuh Gak Lui
sudah mulai bekerja. Ia rasakan sekujur tubuhnya seperti
digeremeti ribuan semut dan kutu2. Tulang2 sama
mengejang. Seketika gelaplah matanya, kedua lutut
lemas dan bluk .... jatuhlah ia diatas salah sesosok
tengkorakl Tengkorak itu hancur berantakan. Tetapi
giginya yang runcing menjulur kebawah, menganga
seperti hendak berkata ....
"Apa katamu !" teriak Gak Lui dalam keadaan tak
sadar pikiran. Suaranya parau, tenggorokan kering, "Ah ..
engkau mengatakan air sumber disini tak boleh diminum
! Terima kasih .... peringatanmu. Aku... hendak ...
mencobanya ... " Dia merayap sampai keujung dalam guha. Pada
puncak guha yang tinggi, menjulur sebuah batu besar.
Bentuknya menyerupai hati seorang manusia. Warnanya
merah seperti api. Sejalur air jernih, memaocur keluar
dari ujung batu berbentuk hati itu, jatuh kebawah tanah
187

Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang membentuk seperti empang batu. Empang batu itu
luasnya dua tombak lebih. Dibagian tengah terdapat
lobang bundar yang tembus kebawah entah berapa
dalamnya. Tampak pada permukaan empang yang
penuh air itu, tertutup oleh uap tebal. Air berputar
mengalir kebawah lubang. Dengan lubang saluran itu
empang tetap penuh tetapi tak meluap. Hati Gak Lui
amat tegang sekali menyaksikan pemandangan yang
hebat itu. la berhenti ditepi empang. Matanya
memandang tak berkedip pada empang itu. Melihat air
yang jernih dan segar, tak dapat lagi Gak Lui menahan
tenggorokan yang serasa kering terbakar kehausan.
Tiba2 ia seperti melihat wajah paman guru-nya si Pedang
Iblis tersembul dari dalam sumber air ............
"Anak Lui, jika ingin menyakinkan ilmu kepandaian
yang tiada lawannya di dunia, engkau harus mencuci
hatimu dengan air disini. Karena sudah datang kemari,
apa yang masih engkau tunggu lagi ?" .... Gak Lui
merasa paman gurunya itu berka!a kepadanya,
"Baik..., baik.... ! aku segera minum !" sahut Gak Lui,
lalu menunduk ketepi empang. Dengan kedua telapak
tangan, ia menyerok air. Seketika ia rasakan serangkum
tenaga panas menembus tangannya hingga jari2 yang
membeku dingin terasa seperci terbakar.
"Jangan minum ! Air sumber itu entah telah
membunuh beberapa banyak manusia. Mengapa engkau
juga akan mencobanya !" Sekonyong-konyong terdengar
suara orang berseru. "Siapa engkau !"
"Aku Pedang Samudera Hi Liong-hui, sengaja kemari
untuk memperingatkan engkau !" Saat itu racun dalam
tubuh Gak Lui makin merangsang keras. Dia benar2
188 hilang kesadaran pikirannya. la berpaling dan melihat
tanah penuh berserakan tengkorak. Cepat ia bangkit,
serunya : "Tidak boleh diminum ?"
"Tidak boleh !" "Kami adalah contohnya ...."
Kedua tangan Gak Lui gemetar. Seaaat tak tahu ia
bagaimana harus bertindak.. Tiba2 ia melihat bibi
gurunya muncul dan mengamuk. la bolang- balingkan
pedangnya menabas kawanan tengkorak yang berada
dalam guha situ seraya memaki : "Hatimu harus disuci,
mengapa kalian usil mencampuri urusan orang ....... !"
Pikiran Gak Lui makin kosong. Tiba2 ia membuka kedua
tangannya dan jatuhlah air berhamburan ketanah. la
rasakan tanah yang dipijak itu seperti berputar-putar.
Gelap .... gelap diseluruh penjuru. Tubuhnya terhuyung
kian-kemari dan sekali tergelincir, blung .... ia
kecemplung kedalam empang ! la tak bisa berenang.
Maka begitu terbenam kedalam air, mulutnya segera
berbunyi bergemerutukan karena air masuk kedalam
perutnya. Air dari sumber Pencuci Jiwa berbeda dengan
racun Penyuruttulang. Seketika ia rasakan tenggorokannya seperti dibakar api, terus menyusup
kedalam urat2. Ketika aliran panas itu mergalir
kedadanya, ia megap-megap tak dapat bernapas. Dan
kesadaran otaknyapun melayang .....
Pada saat ia pingsan beberapa jenak, Pedang
Bidadari Li Siok- gim menyusup masuk. Melihat keadaan
Gak Lui, seketika berobah ngerilah wajah wanita itu.
Cepat ia gunakan pedang untuk mengangkat tubuh Gak
Lui dari empang. Ketika memeriksa hidung dan denyut
pergelangan tangannya, ia dapatkan pemuda itu sudah
mati .......... ---oo0oo--189 Tetapi Pedang Bidadari masih tak putus asa. Ia
hendak merebut jiwa Gak Lui dari genggaman Elmaut.
Cepat ia mengurut dan menutuk jalandarah pemuda itu.
Lalu menyaluri dengan tenaga murninya. la percaya
dengan ilmu kepadanya yang tinggi, tentulah pemuda itu
tertolong jiwanya. Tetapi ternyata saluran tenaga murni
itu bagaikan air mengalir kelaut. Sampai menghabiskan 7
bagian dari tenaga murninya, tetap Gak Lui tak dapat
sadar. Lewat beberapa saat kemudian, napas Pedang
Bidadari terengah-engah. Terpaksa ia menyudahi
penyaluran tenaga murni. Air matanya mengucur deras
dan dengan menangis tersedu-sedan ia berkata: "Anak
Lui, tadi telah kutanyai Hi Kiam- gin, ternyata engkau ......
masih suci ....... tetapi...... kecurigaanku telah
menyebabkan engkau mati...... Kini empat Pedang
Gunung Bu-san, telah putus keturunannya .... hanya
kematianlah yang pantas untuk menebus kedosaanku
...." Wanita yang rusak wajahnya itu mengangkat tubuh
Gak Lui lalu melangkah keluar menuju ke terowongan
kecil dibelakang guha. Diletakkan tubuh Gak Lui dalam
terowongan kecil itu lalu ulurkan tangannya hendak
mewbuka kedok muka Gak Lui. Tetapi tiba2 tangannya
gemetar. Terpaksa ia menarik kembali dan menghela
napas. "Ah, wajahmu tentu mirip dengan Gak Tiang-beng.
Aku o... tak .... tak perlu melihat. Biarlah engkau berkubur
dengan dandanan sewaktu engkau datang kemari ! "
Setelah memandang Gak Lui beberapa saat, ia melesat
ke luar. Dihantamnya dinding karang mulut terowongan
itu. Karang berhamburan jatuh menutup pintu
terowongan. Setelah itu ia menulis beberapa patah kata :
190 " Makam Gak Lui" Setelah selesai melakukan
penguburan, ia kembali ke tempatnya semula. Diam2 ia
merasa heran: "Ah, mengapa Hi Kiam-gin belum
menyusur kemari " Memang, luka yang kuberikan
padanya dengan tusukan pedang itu tentu cukup parah
.... ah, kini Gak Lui sudah meninggal, benar-benar aku
tak ada muka untuk menemuinya lebih baik kutinggalkan
surat pesananku yang terakhir ....."
Cepat ia mencabut pedang, menggurat lengannya
kiri. Merobek bajunya lalu menulis dengan ujung jari yang
dilumurkan pada darah di lengannya itu. Selesai menulis,
diletakkan robekan baju itu di bawah batu. Setelah itu ia
berputar diri. Tiba2 pandangan matanya tertumbuk pada
sumber air Pencuci Jiwa. Seketika meluaplah
kemarahannya. "Engkau .... engkaulah ... yang telah membunuh
keponakanku. Rasakan pembalasanku.... !" .
Dengan mengerutkan geraham, ia loncat masuk
keadam guha dan membabat batu merah berbentuk Hati
yang memancarkan air. Bruk .... walaupun batu
berbentuk Hati itu setebal lengan bocah, tetapi tetap tak
kuat menerima tabasan pedang yang diancarkan dengan
sepenuh tenaga oleh wanita itu. Pedangpun putus tetapi
batu berbentuk hati itupun hancur seketika. Terdengar
ledakan keras disusul dengan gelombang air yang
berhamburan laksana gelombang mendampar. Batu
berbentuk Hati itu berguguran jatuh kedalam empang
batu. Menyusup kedalam lubang ditengah empang batu
terus tenggelam kebawah. Sejak saat itu putuslah sumur
air Pencuci jiwa. Empang batu kering sama sekali ....
Setelah menghancurkan bangunan yang istimewa itu,
Pedang Bidadari menghela napas.. la, rasakan dunia ini
hampa ...... la tak menghiraukan darah yang mengalir
191 deras dari lengannya yang ditusuknya sendiri tadi. la
sudah memutuskan untuk bunuh diri. Asal darah dalam
tubuhnya mengalir sampai habis melalui luka tengannya
itu, tentulah ia segera terbebas dari derita Dendam dan
Kasih ! Tiba2 ia melesat masuk kedalam ruang tempat
tinggalnya, selama ber-tahun2 ia menyembunyikan diri
itu. PADA SAAT PEDANG BIDADARI kembali ke guha
kediamannya, Hi Kiang-gin pun dengan terhuyunghuyung langkah tiba di sumber air Pencuci Jiwa. Tetapi
keadaan pemuda itu tidak seperti beberapa waktu yang
192 lalu. Rambutnya terurai ke bahu. Dan wajahnyapun
berobah menjadi seorang gadis yang cantik. Ah, ternyata
Hi Kiam-gin itu seorang gadis yang menyamar sebagai
pemuda. Kakinya berlumuran darah, langkahnya
terhuyung-huyung .........
Kiranya waktu dihadang oleh Pedang Bidadari tak
boleh mengikuti Gak Lui naik ke sumber Pencuci Jiwa,
terjadilah bentrokan antara gadis itu dengan Pedang
Bidadari. Sudah tentu Kiam-gin bukan lawan Pedang
Bidadari. Dalam keadaan terdesak, gadis itu taburkan
senjatanya rahasia Pelor Api. Tindakan Kiam-gin itu telah
menimbulkan kemarahan Pedang Bidadari. Diberinya
sebuah tusukan lalu ditutuk jalan darahnya dan
diletakkan dalam hutan. Setelah itu Pedang Bidadari
mencari Gak Lui. Tujuannyapun hendak mengenyahkan
pemuda itu dari gunung Thian-gan-san. Walaupun dalam
pertempuran dengan Pedang Bidadari tadi, Gak Lui
sudah mengetahui bahwa wanita berwajah rusak itu
adalah bibi gurunya sendiri namun tanpa disadari, dalam
kata-katanya pemuda itu telah menyinggung perasaan
bibi gurunya. Pada hal yang disinggung Gak Lui itu
justeru merupakan pantangan besar bagi Pedang
Bidadari. Demi 'Asmara', maka Pedang Bidadari sampai
mengalami derita hidup yang berlarut-larut. Dia
membenci kaum pria, terutama. pria yang merasa sok pintar, bencinya bukan kepalang. Dan Gak Lui pun
dianggapnya seorang pemuda yang berlagak pintar.
Maka Pedang Bidadari marah. Apalagi diketahuinya
bahwa Hi Kiam-gin itu hanyalah seorang gadis yang
menyamar sebagai seorang pemuda. Timbullah
kecurigaan Pedang Bidadari terhadap pemuda yang
menjadi murid keponakannya itu. la anggap pemuda itu
seorang pemuda yang serong berani mengatakan Hi
193 Kiam-gin sebagai engkoh angkatnya, pada hal hanya
seorang gadis. Dan kemarahan wanita patah hati itu
makin menjadi-jadi ketika Gak lui menyebut-nyebut
tentang seorang gadis bernama Li Siu- mey.
Dalam murkanya, Pedang Bidadari terus melesat
pergi. Tetapi setiba diguha kediamannya, terkenanglah ia
akan kekasihnya dahulu Gak Tiang-beng (ayah Gak Lui)
yang bersama kedua saudara seperguruannya Pedang
Iblis dan Pedang Aneh telah menderita kematian yang
mengenaskan. Seketika redalah kemar'ahan Pedang
Bidadari. Kemudian setelah memikir dengan kepala dingin, ia anggap Gak Lui itu bukan seorang pemuda
yang bermoral tipis suka menyia-nyiakan kasih,
mempermainkan kaum gadis.
Buru2 wanita itu menuju kehutan dan menolong Hi
Kiam-gin. Setelah mengadakan tanya jawab dengan
Kiam-gin barulah Pedang Bidadari, menyadari bahwa
Gak Lui itu seorang pemuda yang berkelakuan bersih.
Segera ia menyuruh Kiam-gin berjalan mendaki sendiri
ke puncak. Sedang ia dengan gunakan ilmu lari cepat
segera menuju ke sumber air Pencuci Jiwa. Tetapi
ternyata tetap terlambat...........
Mendengar keterangan Pedang Bidadari bahwa
kemungkinan Gak Lui tentu menemui kesukaran bahaya,
Kiam-gin gelisah. Tanpa menghiraukan lukanya yang
masih belum sembuh, ia terus menuju ke sumber air
mencari Gak Lui. Ketika ia tiba ditempat itu ternyata
Pedang Bidadari sudah mengubur Gak Lui dan
tinggalkan tempat itu. Betapa kejutnya ketika ia dapatkan
empang batu sudah hancur berantakan dan ditanah
terdapat kutungan pedang serta ceceran darah.....
Seketika menggigiliah perasaan Kiam-gin. Airmatanya berderai- derai seperti hujan. Dan ketika
194 melangkah keluar melihat pada dinding karang terdapat
tulisan 'Makam Gak Lui', pecahlah tangis gadis itu. la
menangis tersedu-sedu seperti kehilangan orangtuanya.
Ia menyesal karena telah menyamar sebagai seorang
pria sehingga Gak Lui menganggapnya sebagai seorang
engkoh. Dan karena anggapan itulah maka Gak Lui tak
mengerti akan rasa cinta Kiam-gin kepadanya.........
Rasa sesal dan sedih ditumpahkan dalam banjir mata
Kiam-gin telah menguras habis airmatanya sehingga
kering. Dan karena airmatanya habis, maka mulailah
darah yang bercucuran.........
Tiba2 ia menghantam pintu terowongan dan tanpa
sengaja telah menemukan robekan kain. Cepat2
dibukanya kain itu. Ternyata terdapat tulisan darah yang
ditujukan kepadanya : Hi Kiam -gin, Keponakanku Gak Lui mati dalam
sumber Pencuci Jiwa. Tak dapat ditolong lagi.
Dendam sakit hati kalian berdua, memang pelik
sekali. Lekas pergilah ke gunung Busan puncak Capji -hong dan berserulah 'Thian Lui' senyaringnyaringnya. Mungkin mendapat suatu keajaiban. Jika
saat itu menemukan sesuatu jejak musuh, engkau
harus berlatih silat dengan segiat-giatnya. Demi untuk
membalaskan sakit hati kami semua.
Surat itu tiada bertanda tangan, melainkan disudahi
dengan dua buah kata 'Tulisan Akhir'. Tahulah Kiam-gin
bahwa yang menulis surat darah itu tentu sudah mati
juga. Kembali ia kucurkan airmata. Diulanginya surat itu
sampai beberapa kali. Sekalipun tak mengerti apa
maksud sebenarnya dari surat itu, tetapi ia sudah
mendapat sedikit harapan yang cukup membangkitkan
kekuatannya. Segera ia bulatkan tekad dan tengadahkan
kepala keatas, berdoa : "Cianpwe, tanpa menghiraukan
195 bahaya apapun juga, aku tentu akan melaksanakan
pesan cianpwe. Aku segera akan menuju kepuncak Capji-hong gunung Bu-san untuk mencari jejak dan


Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghimpaskan dendam cianpwe !" Kemudian iapun
berdoa kepada arwah ayah dan paman gurunya Ngo
Bun-hwa "Anak memang tak berbakti, diam2 telah tinggalkin
rumah menyaru menjadi pria. Sehingga menyebabkan
ayah dan paman menderita perasaan. Sejak saat ini,
anak akan kembali menjadi scorang gadis itu dan
bertekad bulat untuk membalaskan sakithati keluarga
kita, Harap arwah ayah dan paman mengasoh dengan
tenteram di alam baka !" Yang terakhir ia merabah nama
Gak Lui seraya berseru dengan hati pilu : "Adik Lui ....
jangan kuatir. Setelah nanti musuh kita bersama itu dapat
kutumpas, aku tentu akan kembali kemari lagi untuk
menemanimu .... menemani engkau untuk selamalamanya ........ takkan barpisah lagi ........"
Duka dan dendam, memenuhi rongga dadanya. Ia
memutar tubuh terus lari terhuyung-huyung. Suasana
disekeliling guha hening lelap. Hanya tulang belulang,
ceceran darah...... hancuran batu dan kutungan pedang
yang berserakkan ditanah ....
Sejam kemudian tiba2 terdengar deraip langkah kaki
yang halus. Dan dalam keremangan suasana, muncullah
seorang dara cantik mengurai rambut. Gadis itu berjalan
dengan hati2 sambil memandang kian kemari sambil
pasang telinga. Jelas dia bukan Hi Kiam-gin yang datang
kembali. Melainkan gadis ular Li Siu-mey. Waktu
memasuki guha, ia memperhatikan sekali setiap benda
yang berada disitu, bahkan sebatang rumputpun tak,
luput dari pengawasannya. Ceceran darah ditanah,
kutungan pedang dan empang batu yang hancur, semua
196 diketahuinya. Hanya pada saat matanya tertumbuk akan
tulisan yang berbunyi : MAKAM GAK LUI, serentak
meraunglah ia seperti seekor singa betina yang
kehilangan anaknya ! Tetapi beberapa saat kemudian ia
terkesiap meragu "Aah....! Engkoh Lui tak mungkin sudah
mati. Karena baik manusia maupun binatang, apabila
mati tentu meninggalkan bau yang istiwewa. Tetapi
terowongan ini sama sekali tak mengeluarkan bau
semacam itu. Apakah terowongan itu hanya sebuah tipu
muslihat saja, sebuah jebakan ....... " Cepat ia memeriksa
semua bekas benda peninggalan disitu. Kutungan
pedang itu diambil dan dibaunya.
"Ahh...., pedang ini bukan milik engkoh Lui! Tetapi
milik seorang perempuan ...... dan bukan milik kawannya
itu! Dan empang batu yang rusak itu adalah bekas
reruntuk sumber air Pencuci Jiwa. Tak mungkin engkoh
Lui menghancurkannya. Tentulah kedua perempuan itu!"
Gadis ular Siu-mey mengadakan analisa. Kemudian ia
melanjutkan pula: "Dan yang paling aneh adalah bekas
ceceran darah ini. Darah itu tidak berhamburan kemanamana, bukan menyerupai kucuran luka. Kalau begitu,
orang itu tentulah bersahabat. Mungkin sudah tahu
tentang kematian engkoh Lui.... tetapi ahh...., mungtin
juga suatu perangkap!"
Dua macam penilaian terlintas tak menentu dalam
benaknya. Sambil mencekal kutungan pedang, tak tahu
bagaimana ia harus bertindak. la merenung sampai lama
sekali. Akhirnya rasa Cinta telah mendapat tempat yang
utama dalam sanubarinya. Segera ia gunakan kutungan
pedang itu untuk menggali batu yang menutup lubang
makam Gak Lui. Dengan sekuat tenaga ia menggali batu
dan akhirnya dapatlah ia membuat sebuah lubang
sebesar setengah meter. la segera susupkan kepalanya
kedalam. Ah, sama sekali ia tak mencium bahu mayat.
197 Jelas kekasihnya itu belum mati. Setelah mendapat
kepastian itu, mulailah ia bertindak untuk menolong Gak
Lui. Dengan bergeliatan macam ular, tubuhnya yang
lemas gemulai segera menyusup kedalam terowongan.
Akhirnya berhasillah ia masuk kadalam. Terdengar
beberapa kali ia meneriaki "engkoh Lui..., engkoh Lui..."
Setelah itu hening lelap. Kira2 sepenanak nasi lamanya,
gadis itu menyusur keluar lagi. Wajahnya penuh tanda
tanya. Rupanya ia telah menemukan sesuatu yang
mencurigakan. Segera ia menurutkan bekas ceceran
darah itu............ "ENGKOH GIN ...." tiba2 terdengar suara seseorang.
"Aku bukan engkoh Gin tetapi adikmu Siumey!" sahut
lain suara. ",Hai, aku bermimpi ..... atau mati ....?"
"Tidak bermimpi, pun tidak mati !"
"Lalu aku ....... "
"Engkau telah pingsan selama satu bulan tak ingat
diri. Untung aku segera datang pada waktu yang tepat.
Kalau tidak, engkau tentu tak akan ingat diri selamalamanya !" Sesosok tubuh melenting bangun diri tanah.
Dia bukan lain adalah Gak Lui dan yang rebah disamping
itu adalah sigadis ular Siu-mey.
"Hai .... !" Gak Lui mendesis kaget, ketika rasakan
tubuhnya seringan bulu. Hampir tak percaya ia akan apa
yang dialaminya itu. "Aku terminum racun. Penyurut tulang, lalu kecebur
dalam sumber air Pencuci Jiwa. Seharusnya aku
muntah". Tetapi mengapa tidak ..."
"Engkau tak pernah muntah !" kata Siu-mey.
198 "Sungguh aneh ......"
"Ditilik dari ilmu pengobatan, hal itu memang tak
aneh. Ketika aku datang kemari, aku melintasi lembah
yang panas itu ......."
"Itu!ah Lembah Mati !" tukas Gak Lui, apakah engkau
juga melihat kawanan orang pendek berkulit hitam itu.
"Mereka diminumi racun Penyurut tulang !" sahut Siumey," rupanya racun itu terbuat diri ramuan pohon Laci,
kepala burung bangau dan bangkai ulat ... racun bersifat
dingin dan berkhasiat membius !"
"Itu benar," kata Gak Lui.
"ketika termakan racun, bukan saja aku ingin makan
lagi, pancainderaku pun berkurang ketajamannya.
Sedang mulutkupun seperti mati rasa !"
"Jelas hal itu memang benar sekali !" kata Siu-mey,
"air sumber Pencuci Jiwa itu panas, dan pahitnya bukan
kepalang. Orang minum tentu akan muntah. Tetapi
bagimu air sumber itu dapat menghapus racun dan
menambah tenaga !" "Oh ... ," seru Gak Lui, "kalau dipikir-pikir, semua
perbuatan jahat itu tentu mendapat pembalasan yang
setimpal. Li Hui-ting yang meracuni aku itu, ternyata
adalah murid yang telah menipu ayahmu. Menurut
keterangannya, ayahmu masih hidup ..."
"Hai ! Dia ... dia ... dimana ?" sera Siu-mey.
"Sayang Li Hui-ting sampai mati tak mau
menerangkan. Sebelum selesai kutanya, dia sudah
menggigit putus lidahnya dan mati "
Siu-mey Girang2 sedih. Dengan air mata bercuccran
ia berkata : "Jika ayah benar masih hidup, syukurlah.
199 Pada suatu hari aku pasti dapat menemukannya ..."
Gak Lui merghiburnya. Setelah nona itu mengusap
airmata, berkatalah Gak Lui : "Adik Mey, waktu engkau
mendaki gunung apakah engkau bertemu dengan bibi
guruku ?" Mendengar pertanyaan itu, airmata Siu-mey
bercucuran lagi : "Ia karena .... tak mengerti ilmu
pengobatan, megira engkau mati keracunan air sumber
lalu marah dan menghancurkan sumber ini, kemudian ia
sendiri juga ... "Bagaimana ?" teriak. Gak Lui tegang.
"Memotong urat pergelangan tangah dan akhirnya
meninggal karena kehabisan darah."
"Mengapa ... engkau .... tak menolong ?"
"Kuturutkan bekas ceceran darah dan akhirriya
sampai pada tempat rahasia kediamannya. Kudapati
lukanya amat parah tetapi ia tak mau kuobati. Baru
setelah kuterangkan bahwa engkau tak mati ia tampak
tenang dan mau memakan rumput harum. Semangatnya
seketika segar lalu suruh aku kemari menjengukmu ...."
"Ah, tak seharusnya engkau tinggaikan dia !" Pipi
gadis itu bersemu merah, sahutnya pelahan : "Aku ... aku
mencemaskan dirimu dan lagi, tak kira pada waktu aku
kembali kesaoa lagi, ternyata beliau sudah meninggal
....." Gak Lui menghela napas panjang. Airmata-nya
mengalir deras. Beberapa saat kemudian baru ia
bertanya : "Adakah beliau pernah mengatakan tentang
engkoh angkatku Hi Kiam-gin ?"
"Waktunya amat singkat sekali, tak mengatakan hal
itu ......." 200 "Adakah engkoh angkatku itu juga tertimpak sesuatu
?" Tiba2 wajah Siu-mey berobah dan menyahut dengan
kurang senang : "Engkoh Lui, terus terang kukatakan
kepadamu. Selama ini aku selalu mengikuti perjalananmu. Sekalipun karena kebakaran di hutan itu
telah menangguhkan waktuku selama setengah hari,
tetapi sejak saat itu kulihat engkau selalu berjalan
bersams seorang gadis remaja !"
"Gadis ?" Gak Lui terbeliak.
"Benar!, Dari baunya..... dapat kuketahui jelas, dia
seorang anak perempuan !"
Gak Lui terkejut dan seketika meayadari. Diapun
dapat mencium bau untuk membedakan sesuatu.. Tetapi
ia agak lalai untuk membedakan bau Hi Kiam-gin. Kini
baru ia mengetahui mengapa tiba2 wajah bibi gurunya
berobah bengis. Bibinya itu seorang penderita Asmara
yang gagal. Sudah tentu membenci kalau seorang
pemuda hendak mempermainkan seorang gadis.
Kemudian bcrkata pula Siu-mey : "Dari bekas bau, jelas
ia pernah menjenguk kemari :.. engkau .... harus merasa
puas !" Gak Lui segera menuturkan tentang peristiwa ia
mengangkat saudara dengan Hi Kiam-gin.
"Aku telah menerima permintaan tolong dari ayahnya.
Mau tak mau terpaksa mengurusnya. Dan lagi ia
berwatak terus terang. Jika dia sudah pergi, kelak aku
tetap akan membalaskan sakit hatinya !" kata Gak Lui
pula. Melihat sikap kekasihnya yang jujur dan ternyata
tak menaruh maksud apa2 terhadap Kiam-gin, berkatalah
Siu-mey dengan nada minta maaf "Asal engkau tak
melupakan aku, tambah seorang taci angkat, pun tak
apalah. Dan lagi bibi gurupun telah meninggalkan surat
pesan ... 201 "Lekas berikan padaku !" sera Gak Lui.
"Jangan sekarang !"
"Mengapa ?" . "Beliau menulis Jelas, supaya aku yang membacakan
dihadapan makamnya !"
"Ohh...., tentu penting sekali. Hayo kita kesana seru
Gak Lui sambil mengamasi sepasang pedangnya terus
hendak keluar..... "Engkoh Lui, mungkin engkau tak dapat menyusup
keluar. Lebih baik engkau membuat lubang," kata Siumey. Gak Lui merasa tenaganya bertambah besar. Ia
hendak mencobanya. Segera ia menjamah batu dinding
dan menekannya, Ah...., ternyata pada batu itu tertinggal
bekas telapak tangannya. "Adik Mey, mundurlah sedikit !" serunya gembira.
Setelah gadis itu menyingkir, Gak Lui kerahkan tenaga
dan menghantam. Bum ..., batu yang diletakkan Pedang
Bidadari untuk menutup terowongan, meledak hancur
dan terbukalah sebuah lubang besar.
"Mari!" seru Gak Lui seraya menerobos keluar.
Sejenak mereka memandang kearah-tumpukan tulang2
tengkorak dan kepingan sumber air setelah itu mereka
bergandengan tangan lari keluar guha. Memang yang
dikatakan Siu-mey itu benar. Pedang Bidadari Li Siokgim telah binasa. Betapa sedih hati Gak Lui, sukar
dilukiskan. Berulang kali, ia bertemu dengan paman dan
bibi gurunya. Setiap kali paman dan bibi gurunya itu tentu
meninggal. Setelah mengubur, maka berlututlah Gak Lui
dihadapan makam bibinya. Memberi hormat yang
terakhir dan mendengarkan Siu- mey akan membaca
surat wasiat bibi gurunya.
202 "Kepada murid keponakanku Gak Lui ........" demikian
Siu mey mulai membaca, hidup manusia itu sudah
diientukan o!eh garis nasib. Wanita yang berwajah cantik
tentu, malang nasibnya. Sehingga menyebabkan Empat
Pedang Busan tercerai berai. Oleh karena itu maka,
kurusaklah wajahku dan tinggal mengasingkan diri dalam
guha. Untuk menebus dosa..."
"Siu-mey berhenti sejenak lalu melanjutkan.
"Ternyata tiga dari keempat pedang Bu-san telah
berturut-turut mati ditangan musuh. Aku makin jemu
hidup. Maka kuberikan kepadamu apa yang telah
kupelajari selama ini. Kuharap engkau belajar dengan
giat. Demi untuk membalas sakit-hati .... Ilmu istimewa
yang akan kuajarkan kepada mu hanya terdiri dari dua
jurus, yakni : 1. Cenderawasih pentang sayap menutup
matahari dan rembulan. 2. Awan berarak bertebaran
ribuan li tiada berbekas. Yang pertama itu adalah ilmu
pedang dan yang kedua ilmu meringankan-tubuh.
Merupakan ilmu simpanan dari perguruan Empat Pedang
Busan. Dengan tenaga yang engkau miliki saat ini, boleh
engkau di anggap sebagai jago muda yang tangguh.
Tetapi ilmu kepandaian itu, kecuali mengandalkan bakat
dan latihan tekun, juga memerlukan penjelasan dari
seorang guru kenamaan. Sayang paman gurumu
Pedang Aneh dan Pedang Iblis, sudah tak dapat
memberi pelajaran lagi. Maka terpaksa engkau harus giat


Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlatih sendiri. "Mengenai ........ mengenai ........." Membaca, sampai
disitu, tiba2 pipi Siu-mey merah. Ia berhenti karena
sungkan. Setelah menunggu sampai sekian jenak belum
juga nona itu melanjutkan pembacaannya, Gak Lui
mengangkat muka dan memandang Siu-mey. Siu-mey
loncat menghampiri, serunya tersekat : "Engkoh Lui,
203 bangunlah dan eagkau baca sendiri saja!" Dengan
khidmat, Gak Lui menyambuti surat itu lalu membacanya.
"Mengenai diri Gadis Ular Li Siu-mey. Ia seorang
gadis yang berwatak murni. Cintanya tulus ikhlas.
Merupakan pasangan yang setimpal sekali dengan
engkau. Tetapi anak muda itu memang masih berdarah
panas. Jangan sekali-kali engkau berpaling haluan dan,
beralih hati kepada lain gadis. Terkutuklah...,
terkutuklah.....!" Dibalik robekan kain itu terdapat tulisan
berbunyi : "Pesan terakhir bibi gurumu."
Habis membaca, airmata Gak Lui berlinang-linang. Ia
tegak termenung-menung, Kiranya barulah ia mengetahui bahwa bibi gurunya itu memang sengaja
merusak wajahnya sendiri. Hal itu tentulah disebabkan
karena kisah Asmaranya dengan Gak Tiang-beng atau
ayah Gak Lui dan memutus kasih pada paman gurunya
Pedang Iblis. Seketika terbayang lagi wajah bibi-gurunya penuh
luka guratan pedang itu. Seolah-olah, bibi gurunya
mendaskan pesan agar dia jangan sembarangan
bermain cinta . Merenung hal itu, tiba2 ujung mata Gak
Lui berkilat cahaya. Dengan wajah kemerah-merahan,
Siu-mey menghaturkan sebutir batu berlian besar ke
hadapannya. "Adik Mey, rupanya, berlian ini berasal dari Lembah
Maut" tegur Gak Lui. Siu-mey mengiakan: "Benar, semua
simpanan mereka kuambil! "
"Baik juga! Daripada jatuh ditangan gerombolan
orang jahat" kata Gak Lui,
"eh...., apa, artinya ini" " .
"Kuhaturkan kepadamu! " sahut Siu-mey.
204 "Ah, lebih baik engkau yang menyimpan saja" Wajah
nona itu makin merah. Setelah berdiam diri beberapa
saat, akhirnya ia memberanikan diri berkata: "Apa yang
ditulis dalam surat pesan bibi guru, sudah jelas. Kita ...,
seharusnya memberi-tanda." Mendengar itu tersadarlah
Gak Lui. Dan dengan tersipu-sipu malu, Siu-mey
susupkan mutiara itu ke dalam tangan Gak Lui seraya
menarik lengan baju pemuda itu: " Engkoh Lui, mari kita
keluar. Di sana terdapat banyak benda yang aneh."
Gak Lui sekali lagi memberi hormat ke arah makam
Pedang Bidadari Li Siok-gim, lalu bangkit dan tinggalkan
guha rahasia itu. SEBELAH SELATAN dari puncak gunung situ,
adalah sebuah hutan bambu. Sebuah bangunan
bertingkat dari bambu, didirikan pada karang gunung.
Dari sebelah luar, memang bangunan bambu bertingkat
itu tak tampak. Tetapi dari dalam bangunan bambu
bertingkat itu dapat melihat dengan jelas ke seluruh
penjuru. Satu-satunya jalan menuju ke rumah bambu
bertingkat itu hanya melalui sebuah jembatan-goyang
terbuat dari bambu dan rotan. Pada saat tiba di jembatan
itu, Gak Lui menjerit ngeri. Ternyata jembatan itu tak
kurang dari 10 tombak panjangnya. Di bawahnya
terbentang lembah yang curam sekali. Sebelum kaki
melangkah ke jembatan, tubuh sudah seperti bergoyanggoyang mau jatuh. Kecuali memiliki ilmu Meringankantubuh yang tinggi orang harus merangkak melalui
jembatan itu. Pula di atas jembatan gantung itu penuh
dihias dengan bambu yang runcing. Bambu2 runcing itu
sengaja dipasang miring. Seolah-olah untuk menyongsong tubuh orang yang bergontai. Setelah
memperhatikan beberapa saat, Gak Lui kerutkan alis.
"Adik Mey, pada waktu engkau datang, apakah
205 engkau melihat jembatan ini" " tanyanya.
"Pertama kali mengobati bibi guru, belum ada. Tetapi
datang yang kedua kalinya untuk mengubur bibi guru
baru terpasang. " "Lalu bagaimana engkau melintasinya?"
"Aku tak melintasi karena bibi guru menggeletak
rubuh di kaki karang ini," sahut Siu-mey seraya menunjuk
ke sebuah batu karang besar:
"Dan di situ bibi guru telah meninggalkan cara untuk
melintasi jembatan," tambahnya. Gak Lui berpaling.
Dilihatnya pada karang itu memang terdapat beberapa
tulisan: Tabahkan nyali, melintasi jembatan. Tak boleh
berloncatan, pun tak boleh berhenti. Harus gunakan
pedang menyiak bambu, tetapi jangan sampai
dipapas kutung. Jika tak mampu melakukan, tak
boleh masuk!. Gak Lui kucurkan keringat dingin. Diperhatikannya
bambu2 runcing yang menghias jembatan itu rapat sekali
dan amat kokoh. Ilmu melayang jauh dengan jurus
Rajawali-pentang-sayap, hanya dapat digunakan untuk
melambung ke udara. Sukar untuk dilakukan melayang
secara mendatar. Pula ilmu pedangnya, mempunyai
daya gerak istimewa untuk memapas pedang. Jika tak
diperbolehkan memapas kutung bambu itu, memang
sukar sekali. Gak Lui termenung-menung.
"Engkoh Lui, apakah engkau mempunyai daya untuk
melintasi ....." "Engkau tak mengerti, biarlah kupikirnya sendiri!"
tukas Gak Lui. Merah wajah Siu-mey. Diam2 tekadnya
untuk belajar ilmu silat makin besar. Gak Lui tak
206 menghiraukan. la terus memeriksa jembatan itu. Tetapi
sampai hampir setengah hari, belum juga ia menemukan
akal. Tiba2 pandang matanya. seperti melihat bibi
gurunya muncul. Dan bibi guru itu berlincahan seperti
tatkala bertempur dengan ia di gunung. Gerak
langkahnya amat lstimewa, tangkasnya bukan kepalang.
Pedang bibi gurunya waktu itu seperti dimainkan dalam
jurus Burung-merah-merentang-sayap
dan tahu2 pedangnya Gak Lui dapat dihalau.
"Ya, benarlah!" tiba2 Gak Lui berseru girang. Jelas
bambu runcing pada jembatan itu merupakan seperti
gerakan pedang lawan. Segera ia meniru gerakan bibi
gurunya, maju menyerang. Cepat sekali ia sudah tiba di
muka jembatan. Matanya tetap tak berkesip memandang
ke muka. Seolah-olah sedang menerjang sebuah hutan
pedang yang merintangi jalannya. Selangkah .... dua
langkah .... tiga langkah. Gak Lui seperti tenggelam
dalam alam persemedhian. Ia tak menghiraukan bahwa
saat itu matahari mulai terbenam di balik gunung dan
malampun mulai merayap datang.
---oo0oo--DIA BAGAIKAN SEBUAH PATUNG yang tegak
pejamkan mata. Barisan bambu runcing itu terbayang
melekat ke dalam benaknya. Siu-mey tak mau
mengganggunya. Akhirnya fajar menyingsing. Hampir
semalam suntuk Gak Lui mempelajari keadaan jembatan
itu dan akhirnya mulailah ia melangkah. Pedangnya
berkelebat kian-kemari. Begitu membentur bambu
penghias jembatan, tersiak tetapi tak sampai putus.
Sedang jembatannya sendiri tak goncang. Girang Siumey bukan kepalang, serunya : "Bagus, engkoh Lui,
engkau berhasil memecahkan rahasia jembatan itu ......"
207 Baru ia berteriak begitu, tiba2 terdengar suara gemertak
dari rumah bambu bertingkat diseberang jembatan.
Tiang2 penyangga rumah bambu itu, putus dan meluncur
ke dalam jurang. "Hai ... !". Siu-mey menjerit ngeri. Ternyata Gak Lui
sudah berhasil melintasi jembatan terus masuk kedalam
rumah bambu bertingkat. Tetapi begitu hendak mendaki
ke atas, tiang rumah patah dan rumah bambu itu pun
ambruk. Cepat Gak Lui loncat melambung ke udara lalu
melayang ke ujung jembatan. Dengan gerak yang mahir,
ia melintasi jembatan itu lagi. Dan cepat sekali ia sudah
kembali ke tempat semula lagi.
"Adik Mey, dalam rumah bambu itu tiada isinya apa2,
seru Gak Lui dengan gembira," tetapi rahasianya terletak
pada jembatan itu. Kira-nya bibi guru kuatir aku tak dapat
mempelajari ilmu yang telah diberikan ketika bertempur
dengan aku di guha, maka beliau menggunakan cara itu
......... hai, kenapa engkau !" Tiba2 Gak Lui hentikan
bicara dan berseru kaget ketika melihat Siu-mey tegak
seperti patung dan mata tak berkedip. Gadis itu berdiri
didepan karang. Gak Lui cepat dapat menduga bahwa
nona itu telah ditutuk jalan darah-nya. Dan cepat pula ia
mengetahui bahwa beberapa orang yang tak dikenal,
bersembunyi dibalik batu karang itu. Demi keselamatan
Siu-mey, Gak Lui tak berani gegabah turun tangan. Tiba2
ia mendapat akal. Dengan wajah tetap tenang, ia
berseru: "Adik Mey, mengapa engkau terlongong saja"
Masih banyak hal yang hendak kuberitahukan.
kepadamu ......" secepat kilat ia lekatkan tangan kirinya
kedada gadis itu lalu gunakan tenaga sakti Algojo dunia
untuk menyedot. Pikirnya hendak membuka jalan darah
sinona yang tertutuk. Tetapi dalam gugupnya, ia telah
salah tafsir. Dia tak ingat bahwa nona itu mengenakan
baju kulit ular yang tak tembus penyaluran tenagadalam.
208 Karena tergesa-gesa ia tak sempat mencari lain jalan
darah ditubuh sinona. Tangannya meluncur kearah
ketiak. Tiba2 dari balik karang terdengar gelak tawa
bergemuruh. Seorang bertubuh tinggi besar melesat
keluar dari balik karang itu. Dan menyusul 8 orang
menghunus pedang tegak berjajar dibelakang sitinggi
besar itu. Dari tindakan orang yang telah menutuk jalan
darah Siu-mey dari jarak jauh, tahulah Gak Lui bahwa
orang2 itu tentu tak bermaksud baik. Dipandangnya
sitinggi besar itu dengan seksama. Wajahnya merah
seperti tembaga dan bentuknya aneh. Cepat Gak Lui
melesat kedepan Siu-mey untuk melindunginya. Tetapi
ternyata sitinggi besar itu hanya ganda tertawa dan
mengangkat tangan memberi hormat: "Gak sauhiap,
engkau tangkas sekali ....."
"Mengapa engkau kenal padaku?" tegur Gak Lui.
"Namamu amat menggetarkan dunia persilatan.
Siapakah yang tak mendengar ...."
"Mengapa angkau melukai kawanku"
"Kulihat engkau sedang melintasi jembatan gantung
itu. Kuatir kawanmu menjerit kaget sehingga
mengganggu pemusatan pikiranmu, maka kututuk
jalandarahnya. Sekarang biarlah kubukan lagi." Tetapi
Gak Lui menolak dan mengatakan: "ia dapat
membukanya sendiri." Orang itu tertegun lalu bertanya:
"Mohon tanya, apakah orang yang meninggalkan tulisan
pada karang itu apa masih disini" Dan siapakah kiranya
locianpwe itu ?" "Beliau ....." tiba2 Gak Lui merasa bahwa
orang itu memang mencurigakan maka cepat ia beralih
jawaban: "Sekalipun disini tetapi tak mau bertemu orang.
Bahkan namanya pun tak mau " memberitahukan".
"Lalu apakah dia juga yang membunuh rombongan
209 Lembah mati itu ?" "Ada hubungan apakah engkau dengan mereka"
Mengapa engkau begitu memperhatikan sekali ?" Gak
Lui Was bertanya. "Kami kebetulan lalu disana dan merasa heran." Gak
Lui makin curiga. Dipandangnya orang itu dengan tajam,
tanyanya: "Siapakah saudara ini " Maukah saudara
memberitahukan nama?"
"Aku Rajawali-mas-bersayap-besi Oh Toa-hay," kata
sitinggi besar lalu menunjuk kearah delapan orang yang
berada dibelakangnya: "dan kawan2 ini adalah Delapanjago-pedang besi !"
Gak Lui mengangguk lalu berseru lantang : "Kalau
kalian hendak bertanya tentang peristiwa gerombolan,
Setan kering itu, terus terang saja, akulah yang
membunuhnya. Batu2 permata merekapun telah
kusimpan!" Tetapi sitinggi besar tertawa tebang; "Benarlah,
dengan kepandaian sauhiap, tentu mudah sekali
melakukannya ... Tetapi wajah kedelapan orang cepat
berobah memberingas, Ada beberapa yang segera
mencabut pedang. Gak Lui tertawa dingin ; "Ho...!,
kiranya kalian ini anak buah Maharaja, makanya bernyali
besar datang kemari !"
Wajah sitinggi Rajawali-emas-sayap-besi berobah
seketika dan mundur setengah langkah, serunya "Harap
sauhiap jangan menghambur fitnah aku ....."
"Sikap kalian sudah mengunjuk warna diri, tak perlu
menyangkal !" tukas Gak Lui.
Tinggi besar Rajawali-emas mendengus : "Hm, tajam
benar matamu! Mengapa tak lekas menyerahkan batu
210 berlian itu .... !" "Ha..., ha..., ha..., ha ... terimalah baik2 ini! Gak Lui
merogoh kedalam saku baju lalu lemparkan sebuah
benda kekaki sitinggi besar"
Melihat benda itu, sitinggi besar menyurut mundur


Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiga langkah, serunya tergagap : "Itu ... Amanat mati !"
"Benar...!, kalian biasa menggunakan benda itu untuk
menggertak orang persilatan. Hari ini aku hendak
memintakan mereka ganti jiwa kepada kalian !"
Wajah sitinggi besar makin beringas bengis. Tangan
kanan mencabut pedang, tangan kiri terus hendak
menyambar Amanat itu. Tetapi Gak Lui lebih cepat.
Sekali gerakkan tangan kiri, kertas Amanat itu
melambung keudara dan secepat kilat pedang ditangan
kanan menusuk tangan sitinggi besar. Si Tinggi besar
terkejut loncat mundur sampai satu tombak dan dengan
gugup mencabut pedang, lalu memutar untuk melindungi
diri. Sebenarnya Gak Lui hendak menyusuli serangan
lebih lanjut tetapi ia diserbu oleh kedelapan orang itu.
Mereka menyerang dari delapan jurusan. Terpaksa Gak
Lui melayani mereka. "Hayo, kalau berani, engkau maju sekali !" serunya
kepada si tinggi besar. Rajawali-emas-sayap-besi acungkan ujung pedangnya kemuka Gak Lui. Sikapnya seperti hendak
menyerang tetapi matanya mengicup ke arah kedelapan
jago pedang itu. Cepat Gak Lui mengetahui. Ia duga
orang itu tentu mempunyai tujuan lain. Kemungkinan si
tinggi besar hendak suruh kedelapan jago itu menawan
Siau-mey. Terpaksa ia tahan kemarahannya dan
berseru: "Kalau kalian menghendaki berlian, mengapa
tak mau maju mengambil kemari!"
211 "Jika engkau takut, aku segera tinggalkan tempat ini
!" balas si tinggi besar.
"Kalau pulang dengan tangan hampa, apakah kalian
tak takut mendapat hukuman ?" ejek Gak Lui.
Ucapan itu tepat menyentuh hati rombongan
Rajawali-emas- sayap-besi. Si tinggi besar mendengus
lalu bersama kedelapan jago menyerang Gak Lui.
Serangan sembilan jago itu, hebatnya bukan kepalang.
Batu dan debu berhamburan ke-empat penjuru. Tetapi
Gak Lui tak gentar. "Bagus....!" teriaknya, seraya mainkan pedang
laksana bianglala bercengkerama di angkasa. Tiga jurus
kemudian, ia dapat mengetahui bahwa sesungguhnya si
tinggi besar itu memang hebat tenaga dalamnya. Jurus
serangannyapun amat ganas sekali. Apalagi ke Delapanjago- pedang-besi itu mahir sekali bergerak secara
keroyokan. Rupanya mereka terlatih dalam barisan yang
lihay. Tanpa memberi isyarat, mereka masing2 dapat
bergerak secara otomatis dan rapi. Maju mundur,
menyerang dan bertahan selalu teratur rapi dan cepat.
Karena ditabur oleh 9 pedang yang mencurah lebat, Gak
Lui tak sempat mengembangkan permainan pedangnya,
dan terpaksa terdesak mundur.
Melihat itu, sambil perhebat serangan pedangnya, si
tinggi besar tertawa mengekeh : "Orang she Gak, hatimu
nanti hendak kukorek keluar untuk menyembahyangi
adikku Setan Kering, heh..., heh..., heh..., heh ......"
Tetapi belum kumandang tertawanya sirap, terdengarlah
dering gemerincing yang tajam sekali. Tubuh Gak Lui
tiba2 berputar- putar dan pedang-nya berobah seperti
segulung sinar yang membungkus dirinya. Gulungan,
sinar pedang itu merupakan bentuk sekuntum bunga
Teratai yang tengah berhamburan mekar ....
212 Ke 9 pedang lawan yang menyerang ganas itu,
terpental dan hanya berkelebatan di luar gulungan sinar
pedang Gak Lui. Ternyata Gak Lui telah mempraktekkan
ilmupedang Cenderawasih-pentang-sayap-ajaran bibi
gurunya si Pedang Bidadari Li Siok-gim. Dan hasilnya
sungguh mengagumkan. Lawan terpancang sukar
menggerakkan pedang sehingga posisinya sekarang
terbalik. Dari menyerang menjadi bertahan. Pada saat si
tinggi hesar terkesiap kaget, tiba2 matanya silau akan
kelebat sinar pedang, dan tring..., tring..., tring ....
berhamburan pedang dari kawanan jago pedang itu.
Kalau tidak terpapas kutung, pedang merekapun terlepas
jatuh. Melihat itu patahlah nyali si tinggi-besar. Secepat
kilat ia berputar dan terus lari....
"Hai...!, hendak lari ke mana engkau!" dengan
gunakan ilmu meringankan tubuh Awan-berarak-ribuan-li,
Gak Lui apungkan tubuhnya mengejar. Pada saat
punggung Rajawali-emas-sayap-besi terancam maut,
tiba2 kedelapan jago rombongannya itu mendapat akal.
Cepat mereka lari menghampiri ke tempat Siu-mey. Gak
Lui terkejut. Cepat ia berjumpalitan melayang balik. Pada
saat berjumpalitan di udara itu iapun mencabut pedang
pusaka Pelangi. Kemudian ia taburkan kedua buah
pedangnya kepada mereka. "Auhhh ....." terdengar dua buah jeritan ngeri dan dua
orang yang lari paling depan rubuh dengan dada
tertembus pedang. Setelah itu Gak Lui lontarkan pula
pukulan sakti Algojo-dunia. Seketika terdengar pula dua
buah jeritan ngeri. Seorang terlempar ke dalam lembah
dan seorang mundur terhuyung- huyung sampai lima
enam langkah, lalu rubuh dengan kepala pecah ........
Tetapi Gak Lui masih kalah cepat dengan sisa keempat
jago pedang yang tetap lari ke tempat Siu-mey atu.
Apalagi Gak Lui sudah melayang turun dan harus
213 menginjak tanah lagi untuk melakukan loncatan yang
kedua. Keempat anggauta Delapan jago-pedang-besi itu
dengan buas lari menyergap gadis-ular Siu-mey yang
saat itu tetap masih tak berkutik. Gak Lui kucurkan
keringat dingin ...........
JILID 5 PADA saat keempat jago itu hendak menerkam gadis
ular Li Siu- mey, se-konyong2 dari, balik karang
terdengar suara mendesis. Siu-mey getarkan tubuhnya.
Serempak mulut mendesis, ia dorongkan kedua
tangannya. Dua ular, emas dan perak, yang melingkar
sebagai gelang pada kedua tangannya serentak
meluncur ke udara. Dua orang penyerang yang paling
depan sendiri, seketika rubuh ketanah. Dua orang
kawannya yang menyusul dibelakang, terkejut dan
tertegun melongo. "Cucu kecoa, hayo mundur!" Kedua orang itu serta
merta menurut. Tetapi pada saat mereka berputar tubuh,
dua batang pedang dari Gak Lui menyongsong dada
mereka. Kedua orang itu rubuh tak bernyawa. Siu-mey
cepat melesat ketempat Gak Lui. Setelah menarik nona
itu kesamping, Gak Lui segera memberi hormat kearah
karang seraya berseru: "Lo-cianpwe yang berada
dibelakang batu karang, Gak Lui menghaturkan terima
kasih atas budi pertolongan lo-cianpwe!"
"Aku siorang desa ini murid Kun-lun-pay jang
bernama Se-bun Ciok. Jangan menyebut cianpwe pada
diriku!" "Dengan ketua Kun-lun pay Hong San locia
bagaimana cianpwe memanggilnya?" seru Gak Lui pula.
214 "Hai, itulah mendiang guruku!" orang itu berseru
kaget dan terus melangkah keluar dari balik karang.
"Rasanya engkau tak kenal gelagat. Yang menjadi
ketua partaiku sekarang ini adalah suheng-ku Tang-hong
Giok, digelari orang sebagai Tang Hong Sianseng ...
Sejak tadi Siu-mey belum sempat berpaling muka melihat
penolongnya. Kini ketika memandang orang itu,
menjeritlah nona itu: "Ai...., engkau tentulah Se-bun
Sianseng ......" "Benar," sahut orang itu, "kami memang sepasang.
Satu Tang (timur) satu Se (barat)"
Mengawasi dandanan orang itu, diam2 Gak Lui geli
juga. Se-bun Sianseng itu mengenakan sebuah topi butut
yang sudah tak begitu jelas lagi warnanya. Jubahnya pun
hanya sampai keatas lutut, sepatunya dari rumput, kaos
kain kaki kasar. Punggungnya menyanggul sebatang
payung. Tangan kiri memegang kipas besi berwarna
hitam mengkilap dan tangan kanannya mencekal pipa
huncwe. Ia memelihara kumis dan jenggot, yang
dikepang dua, memakai kacamata yang diikat pada
telinga dengan pita. Boleh dikata apa yang dipakainya itu
barang butut semua. Sukar bagi orang untuk percaya
bahwa si gelandangan jembel itu memiliki kepandaian
silat yang tinggi. "Gak laute, tentu tak sedap memandang diriku yang
tak keruan ini, bukan?" Se-bun Sianseng batuk2
sehingga kacamatanya ikut bergoncangan naik turun
pada batang hidungnya. "Ah, tidak," buru2 Gak Lui menyahut, "cianpwe
seorang sakti yang tak mau unjuk diri. Ilmu tutukan Kekgeng-tiam-hwat yang cianpwe lepaskan tadi, cukup
meyakinkan orang!" 215 "Ah, engkaupun terlalu merendah diri!" seru Se-bun
Sianseng, "ilmu tenaga-dalam mendorong dan menyedot, serta
melepaskan pedang tadi, aku Se-bun Sianseng yang
sudah bergelandangan di dunia persilatan selama
berpuluh tahun, tetap tak mampu mengetahui dari
sumber mana kepandaianmu itu."
Mendengar itu Gak Lui tertegun. Ilmu melemparkan
pedang tadi, sebenarnya baru pertama kali ia gunakan
ltu, karena gugup melihat Siu-mey terancam bahaya.
"Ah, tak perlu saudara tertegun," kata Se-bun
Sianseng pula: "aku bukan bermaksud hendak mencari
penyakit. Apalagi engkau mengenakan kedok muka
karena tak ingin dilihat orang, lebih2 aku tak mau
bertanya melilit. Hanya mengenai sebuah hal,"
"Apa?" seru Gak Lui.
"Engkau kurang faham akan ilmu tutukan. Suatu hal
yang janggal dan tak seimbang dengan ilmu
kepandaianmu!" Sejak pertama kali di tunjuk hidung kalau
kepandaiannya masih rendah oleh mendiang ayah
angkatnya tempo hari, baru itulah Gak Lui memenerima
kritikan orang lagi. "Memang sessungguhnya kepandaian itu tidak
banyak ragamnya sehingga sering menimbulkan buah
tertawaan orang," sahutnya.
"Kurasa bukan soal itu. Melainkan karena engkau tak
faham akan letak jalan darah orang. Jika engkau tak
menganggap aku seorang usil, aku hendak mempersembahkan sebuah barang kepadamu!" habis
berkata Se-bun Sianseng meletakkan pipa dan kipas.
216 Lalu mengambil selembar gambar dari bungkusannya.
Begitu dibuka, ternyata Lukisan itu merupakan gambar
tubuh manusia dengan seluruh letak jalan darahnya. Gak
Lui menyurut mundur setengah langkah.
"Ah, mana aku berani menerima pemberian begitu
berharga ..." Gak Lui berseru.
"Barang ini bukan milik partaiku Kun-lun-pay
melainkan peninggalan dari sahabatku Jari-tunggal-sakti
yang mengatakan bahwa benda ini hendaknya diberikan
kepada orang yang sesuai," menerangkan Se-bun
Sianseng. "Siapakah cianpwe itu?"
"Menilik tingkatannya, dia adalah paman guru dari
Kaisar (Raja diraja) Li Liong-ci. Beliau termasyhur
sebagai ahli tutuk jalan darah yang sukar dicari
tandingannyal" "Ah, kiranva seorang jago sakti dari partai Thianliong-pay!" seru Gak Lui.
"Dia tak termasuk tokoh Thian-liong-pay. Pula peta
yang berisi gambar dari ke 36 jalan darah besar dan 343
jalandarah kecil pada tubuh manusia ini, hanya untuk
penetral bagian2 dari tubuh manusia. Tentang
penggunaannya, terserah padamu sendiri."
Mendengar penjelasan dan karena didesak, akhirnya
Gak Lui mau juga menerima. Setelah menghaturkan
terima kasih ia terus mencari tempat yang sepi lalu
merentang peta itu dan memeriksanya dengan teliti.
Tiba2 Se Bun Sianseng mengusap jenggot dan banting2
kaki: "Ah, karena terpikat oleh ramai2 aku sampai
melupakan sebuah hal yang genting!"
217 Sambil memandang peta dan merabah-rabah
bagian2 jalan darah pada tubuhnya sendiri, Gak Lui
bertanya: "Apakah yang lo- cianpwe lupakan itu?"
"Membiarkan kaki tangan Maharaja pergi sehingga
tentu menimbulkan kesulitan pada gerakan partai2
persilatan!" "Partai2 menegas. persilatan sudah bergerak?" Gak Lui "Masakan engkau tak tahu" "
"Sudah lebih dari sebulan aku masuk kedaerah
pedalaman gunung....."
"Air, banyak sekali perobahan yang terjadi sebulan
itu! " Gak Lui terkejut dan mengangkat muka: "Perobahan
apa sajakah itu?" "Teruskanlah mempelajari peta gambar itu. Akan


Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuceritakan dengan pelahan-lahan: Pertama tentang
sepak terjang dari kaki tangan Maharaja yang kian hari
kian merajalela. Siang hari bolong berani mengirim
Amanat Nasib sehingga menimbulkan kegelisahan dan
kecurigaan. Ada beberapa, partai persilatan yang
mengatakan, engkau menjadi salah seorang anggauta
gerombolan Topeng Besi!"
"O, lalu apa lagi" "
"Kecuali partaiku Kun-lun-pay dan partai Go-bi-pay,
kelima partai persilatan yang lain semua telah menerima
surat rahasia yang telah ditanda-tangani oleh tokohtokoh mereka sendiri yang telah menghilang selama
baberapa tahun. Dalam surat itu menyatakan hendak
mengadakan pembersihan kedalam partai dan memerintahkan ketua mereka, dalam waktu paling lama
218 satu tahun harus sudah mengundurkan diri:"
"Hal itu sudah kudengar," kata Gak Lui, "tetapi bahwa
kelima partai dalam waktu serempak telah menerima
ancaman semacam itu, memang baru saat ini kudengar!"
Se Bun Sianseng melanjutkan pula: "Ketiga," Kaisar
Li Liong-ci sudah muncul lagi ke daerah Tiong-goan!"
"Tentulah hendak turun tangan!"
"Sama sekali tidak begitu. Kabarnya dia tidak mau
campur tangan." Mata Gak Lui ber-kilat', serunya: "Mengapa"
"Orang yang menceritakan kepadaku tak berani
menerangkan se-jelas2nya. Kamipun tak dapat menerka.
Sekalipun Kaisar tak mengacuhkan, asal Empat Putri
mau membantu, golongan Putih dalam dunia psrsilatan
tentu masih mempunyai harapan."
"Empat Putri?" Gak Lui mengulang.
"Benar, mereka. terdiri dari Puteri Hijau, Puteri Naga
Istana-laut, Puteri Telaga Tongthing dan Bawang Putih."
"Bagaimana dengan kepandaian mereka?"
"Mereka satu kaum. Kepandaian Kaisar Li Liong-ci
mencangkum Hud dan Mo (aliran agama dan Iblis).
Sedang Empat Puteri itu meliputi ilmu sakti Ceng-ling,
Cek-cui, Tong-ting-kui-ong, Thaysiang-sia-kun dan Liokhap-mo-cun. Merupakan gabungan antara aliran Putih
dan Hitam!...." Tergerak hati Gak Lui mendengar uraian Se Bun
Sianseng itu. Katanya dengan tandas: "Jika karena
sesuatu sebab, mereka tak muncul, aku Gak Lui pasti
tetap akan berjuang melaksanakan cita2. Kalau lain
orang dapat berlatih sehingga mencapai tataran begitu
219 hebat, masakan aku juga tak mampu!"
"Bagus, bagus! Kekerasan hatimu sungguh
mengagumkan sekali. Menurut kata nona ini, kelak
engkau tentu menjadi tokoh yang cemerlang!" seru Se
Bun Sianseng. Sambil kicupkan mata, bertanyalah gadis-ular Siumey: " Menurut lo cianpwe, apakah yang dapat
kupelajari...?" "Nona memiliki kecerdasan dan simpanan hawa
murni yang kokoh. Kalau mempelajari ilmu tenaga-dalam
Lunak, kelak tentu berhasil! "
Nona itu girang sekali dan berpaling memandang ke
arah Gak Lui. Saat itu Gak Lui tengah melipat peta
gambar dan menyerahkan kembali kepada Se Bun
Sianseng: "Terimat kasih lo-cianpwe, aku sudah dapat
menghafal gambar2 itu. Budi lo-cianpwe kelak tentu
kubalas." Sambil menyambuti peta gambar, Se Bun Sianseng
melolos kaca-matanya dan menyerahkan kepada
=================== Lembar 10-11, hilang =================== Tujuan pertama itu merupakan suatu pertempuran
mati hidup dengan Maharaja. Dan tujuan yang kedua itu
untuk mengukur tinggi rendahnya kepandaiaanya yang
telah dicapai saat itu. Kedua-duanya hanya mengandalkan kekuatannya sendiri untuk menentukan
kalah menangnya atau gagal berhasilnya tujuan itu. Dan
serentak teringatlah ia akan ucapan emas mendiang bibi
gurunya Dewi Pedang bahwa ilmu kepandaiannya itu
harus ditempuh dengan kegiatan dan jerih payah. Sekalikali jangan mengandalkan pada suatu rejeki yang tak
terduga-duga ........ 220 Seketika tergugahlah semangat Gak Lui. Koberaniannya pun menyala. Dia tak menghiraukan lagi
lautan kesulitan yang harus dihadapi dalam melaksanakan tujuannya untuk membalas dendam
kematian orangtuanya. Ditain fihak gadis ular Siu-mey
pun terbenam dengan keinginan untuk belajar silat. Agar
dapat mencari ayahnya dan membantu usaha sang
kekasih (Gak Lui), bulatlah sudah tekadnya untuk
menuntut ilmu kepandaian silat yang sakti. Ucapan Se
Bun siangseng tadi, benar2 telah membangkitkan
semangatnya. Tak disadari, Siu-mey merekah senyum bahagia.
Tetapi tiba2 dalam benak si nona itu terlintaslah
Mencari Bende Mataram 13 Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Wanita Iblis 6
^