Pencarian

Mencari Bende Mataram 13

Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 13


mendamaikan persilihan dengan menantuku."
Benar-benar tercengang keempat saudagar itu"begitu
melihat dan mendengar kata-kata Raja Muda Dwijendra.
Apakah orang itu lagi melakukan siasat halus" Mengira
bahwa Dwijendra agak segan terhadap kepandaian
Widiana Sasi Kirana"salah seorang berkata berbisik
kepadanya. "Tuanku"dia memang berkepandaian tinggi.
Akan tetapi kita berjumlah lima. Menantumu"pasti
menderita luka dalam lantaran menggunakan tenaga
berlebih-lebihan demikianlah keyakinan tuanku Dadang
dan Otong. Dengan demikian, kita berlima hanya
menghadapi seorang pemuda. Masakan kita tak sanggup
melawannya" Kami berjanji akan menyembuhkan luka
904 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menantu tuanku. Terhadap pemuda itu"kami tidak
menuntut berlebih-lebihan. Cukup, asalkan dia
mengembalikan semua harta benda kami yang ikut
dipertaruhkan Tuanku Raja Muda Otong Surawijaya dan
Raja Muda Dadang Wiranata."
Keempat saudagar itu berusaha membesarkan hati
Raja Muda Dwijendra dengan menyatakan sanggup
berjuang sehidupsemati. Ia mengesankan pula, bahwa
menantunya menderita luka parah yang perlu mendapat
pengobatan dengan segera. Mak-
- sudnya"agar mertua ini"menjadi gusar. Di luar
dugaan, sikap Raja Muda Dwijendra acuh tak acuh. Dia
malahan tidak menggubris sama sekali. Dengan tetap
berdiri "tegak, ia berkata nyaring lagi.
"Tuanku, silakan tuanku keluar! Menantuku itu, benar-
benar tidak mengetahui siapa diri Tuan. Aku memintakan
maaf atas kesemberonoannya sampai berani
mengejarmu." Sekarang tahulah keempat saudagar itu jalan pikiran
Raja Muda Dwijendra. Rupanya raja muda itu mengira,
menantunya kena dilukai atau ditawan pemuda berkuda
hitam karena berani mengejar. Dia sekarang bersedia
memohonkan maaf. Dalam pada itu Widiana Sasi Kirana tetap bersikap
dingin terhadap semua yang terjadi di luar kamar.
Dengan duduk disisi Kilatsih, ia memijat-mijat dan
mengurut-urut kembali untuk mengatur letak urat
temannya itu. 905 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Adik," bisiknya. "Kalau kesehatanmu sembuh kembali
tenagamu tidak hanya pulih tapi pun bertambah berlipat.
Rupanya tenaga sakti yang kau gunakan benar-benar
ajaib sifatnya." Keempat saudagar yang berada di luar kamar, hilang
kesabarannya. Dengan serta merta, mereka berteriak-
teriak mengancam. "Baiklah kalau kalian tidak sudi mendengarkan kami
kamar kalian akan ku-bongkar!"
Mereka benar-benar membuktikan ucapannya,
lantaran nafsunya untuk merebut harta bendanya
kembali sangat besar. Dengan penuh semangat, mereka
memben-turi pintu kamar dengan batu-batu ganjalan
pintu depan. Melihat perbuatannya, Widiana Sasi Kirana sudah
dapat mengambil keputusan. Setelah berbisik pada
telinga Kilatsih, segera ia membuka pintu dan ditutupnya
kembali dengan cepat. Keempat saudagar itu tengah berkutat mendorong-
dorong daun pintu. Begitu pintu terbuka dari dalam
dengan mendadak, mereka kehilangan keseimbangan.
Tak ampun lagi mereka jatuh mengusruk14)
menungkrapi lantai. Tatkala bangkit kembali mereka melihat
Widiana Sasi Kirana sudah berdiri tegak di depan Raja
Muda Dwijendra. Pakaian yang dikenakan masih seperti
kemarin lusa. Berwarna putih dengan sulaman pedang
Sangga Buana dengan sarungnya. Segera mereka
melompat menjajari Raja Muda Dwijendra dengan sikap
mengurung. 906 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Obor mereka masih tetap menyala. Kena sinar obor
itu, wajah Widiana Sasi Kirana nampak agung dan
tenang luar biasa. Dengan pandang berwibawa ia
menatap Raja Muda Dwijendra. Berkata lembut sopan.
"Paman! Jasamu terhadap leluhur kami sangat besar.
Tatkala aku memasuki rumahmu tak sempat aku
berbicara banyak karena diketahui orang. Sekarang
perkenankan aku atas nama almarhum orang tuaku
memberi hormat kepadamu."
Dwijendra menatap wajah Widiana Sasi Kirana, begitu
kena pandang, tiba-tiba air matanya bercucuran, la
mendahului memberi sembah kepadanya sambil berkata,
"Tuanku.... Benar-benar wajah tuanku mirip dengan
kakek tuanku.... Junjungan kami."
Widiana Sasi Kirana segera mencegah pemberian
sembah itu. Ia sendiri lantas membungkuk hormat
dengan setulus hati. Sebaliknya Raja Muda Dwijendra tak
mau kalah sebat. Dengan serta merta ia menjatuhkan diri
dengan berlutut bersembahlah dia.
Melihat sikap Raja Muda Dwijendra, hancurlah
harapan keempat saudagar yang masih berdiri tegak di
belakangnya. Mereka saling pandang dengan tak
mengerti. Kilatsih yang berada di dalam kamar terperanjat pula.
Hanya saja ia mempunyai kesan lain. Katanya di dalam
hati, "Kiki ternyata seorang pemuda yang tahu sopan
santun. Melihat Paman Dwijendra hendak memberi
hormat padanya, ia mendahului membungkuk. Hanya
saja ia kalah pengalaman. Paman Dwijendra
menjatuhkan diri dengan berlutut. Inilah pasti
merupakan suatu kejadian di luar dugaan Kiki...."
907 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, wajah keempat saudagar itu masih
saja nampak terlongong-longong. Sama sekali di luar
dugaan mereka, bahwa Dwijendra dan pemuda penjahat
itu sebenarnya bersahabat dan saling menghormati.
Widiana seorang diri, mereka merasa tak sanggup
melawan. Apalagi kalau sampai dibantu Raja Muda
Dwijendra. Maka harapannya untuk bisa memperoleh
harta bendanya kembali, lenyap seakan-akan awan
tersapu angin. Widiana Sasi Kirana menoleh kepada mereka. Dengan
sikapnya yang tenang ia berkata, "Disini hadir salah
seorang pimpinan tertinggi laskar Himpunan Sangku-
riang. Coba tanyalah kepada Beliau, apakah aku ini
seorang pemuda jahat yang serakah melihat harta benda
orang!" Keempat saudagar itu biasa berdagang. Ia
menganggap semua langganannya sebagai majikan atau
rajanya. Maka mereka pandai membawa diri. Melihat
Raja Muda berubah sikap terhadap Widiana Sasi Kirana di
luar dugaan"mereka cepat-cepat merubah sikap pula.
Buru-buru mereka membungkuk hormat dengan tertawa
lebar. "Mana berani kami menuduh tuanku yang bukan-
bukan!" kata mereka berebutan.
"Tunggu!" perintah Widiana Sasi Kirana. "Di dalam
kamar terdapat harta peninggalan Raja Muda Dadang
dan Otong. Kalian ambil semuanya!"
"Ah, bagaimana kami berani berbuat begitu?" Mereka
gugup. 908 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Widiana Sasi Kirana tidak menghiraukan keadaan hati
mereka. Serenak ia membuka pintu selebar tubuhnya
untuk menutupi keberadaan Kilatsih di dalam kamar.
Kemudian masuk ke dalam kamar.
Kamar berkaca itu cukup besar. Kilatsih berada di
pojok tenggara. Pintu berada di sebelah timur. Dengan
demikian, mereka tak bisa melihat Kilatsih dari luar
kamar" walaupun seumpama pintunya terbuka penuh-
penuh. Apalagi mereka berlima tidak berani melongok.
Dari celah pintu yang terbuka separo, mereka melihat
Widiana Sasi Kirana mengambil sapu. Lalu mendorong
tumpukan harta benda yang berada di pojok kamar
dengan sapunya keluar pintu. Terhadap tumpukan harta
benda yang harganya melebihi satu juta ringgit, ia
memandangnya tak ubah tumpukan sampah belaka. Hal
itu membuat keempat saudagar makin meringkas.
"Pada umumnya, manusia ini bersedia mati demi harta
benda. Seperti burung bersedia mati karena makanan,"
kata Widiana Sasi Kirana dengan tertawa. "Tapi aku lebih
senang kepada pengetahuan dan karunia kepandaian.
Nah, kalian ambil semuanya biar kalian cepat kaya raya!"
Seumpama mereka manusia biasa, pastilah akan
tergugah rasa kehormatan dirinya begitu mendengar
ucapan Widiana Sasi Kirana yang tajam dan
merendahkan. Akan tetapi mereka sudah terlanjur butek,
apabila melihat harta. Maka yang terasa di dalam hati
mereka adalah rasa girang dan bersyukur. Mereka
menganggap rezeki itu hadiah dari tangan Tuhan. Tak
"mengherankan, mereka maju dengan serentak sampai
kaki-kaki mereka hampir saling mengkait. Lalu dengan
berebutan, mereka memasukkan harta benda yang tak
909 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ternilai harganya itu ke dalam kantung-kantung
penyimpan barang dagangan.
"Nah, sekarang pergilah kalian!" perintah Widiana Sasi
Kirana. Suaranya agak keras dan berwibawa. Kalau
bertemu dengan Raja Muda Dadang dan Otong katakan
padanya bahwa zaman sudah berubah. Dengan cara
demikian kuumpamakan ikan meninggalkan air. Sikap
mereka menakutkan, sehingga kemungkinan besar
rakyat menjauhi. Jika rakyat sudah menjauhi lantaran
rasa takut, perjuangan dalam bentuk apa pun akan
kandas. Kecuali kalau tujuan mereka hanya merampok."
Keempat saudagar itu memanggut-mang-gut seperti
burung bangau mematuk-matuk Lumpur sawah. Salah
seorang mengambil hati. "Kata-kata tuanku benar semua. Bagaimana dengan
luka sahabat tuanku" Kami mempunyai obat dan
sanggup mengobati....."
Widiana Sasi Kirana tertawa.
"Jauh sebelum engkau berkata demikian, sudah
kuobati. Sebentar lagi dia akan pulih kembali. Yang perlu
bagimu adalah mengobati dirimu sendiri. Nah, kalian
pergilah sebelum pikiranku berubah."
Tentu saja ancaman Widiana Sasi Kirana itu
menggigilkan hati mereka. Kalau pemuda itu sampai
berubah pikirannya harta karun yang diberikan mungkin
akan dirampasnya kembali. Itu masih untung. Kalau dia
menghendaki jiwa, mereka bisa berbuat apa" Maka
cepat-cepat mereka meninggalkan istana tak ubah empat
sekawan anjing kena gebuk.
Widiana Sasi Kirana tertawa berduka.
910 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Telah kusapu bersih sampah ini. Sekarang mau apa"
Jalan sudah terentang di depanku. Kemana" Ah, Paman
Dwijendra bukankah matahari sudah mulai bersinar?"
"Benar, tuanku," sahut Raja Muda Dwijendra dengan
membungkuk hormat. Sekarang orang tua itu tidak
segan-segan lagi menyatakan hormatnya, sesudah
keempat saudagar tadi tiada lagi.
"Baiklah paman. Kita sudah bertemu. Paman boleh
melanjutkan perjalanan. Aku pasti akan menyalakan api
di seluruh penjuru dunia ini agar rasa keadilan semi di
dalam tiap dada manusia."
"Ah, ucapan tuanku ini pasti akan menggembirakan
Gusti Aji, apabila Beliau mendengar. Semenjak tuanku
berada di tengah alam, Beliau sudah bersiap-siap pulang
ke kampung," kata Dwijendra.
Kilatsih terkesiap mendengar kata-kata Dwijendra.
Apakah alasan inilah yang membuat kakaknya Sangaji
meninggalkan celah Gunung Gede" Apakah alasan ini
pulalah, Manik Angkeran menjual Gedung Paguyuban
Sunda" Kalau benar demikian alasannya siapakah
pemuda ini" Kilatsih jadi sibuk tak keruan. Dwijendra
berkata demikian pasti bukan mengada-ada. Dia seorang
Raja Muda yang besar pengaruhnya. Kata-katanya
seumpama undang-undang. "Tuanku, apakah tuanku bersedia menghadap Gusti
Aji?" Dwijendra menegas setelah melihat pemuda itu
membungkam mulut. Widiana Sasi Kirana tersenyum. "Pada saat ini, belum
ada niatku demikian."
911 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Raja Muda Dwijendra menghela napas pendek.
Mengalihkan pembicaraan. "Bolehkah aku mengajukan
suatu permohonan?" "Apakah itu?" "Kembalikan menantuku."
Widiana Sasi Kirana mengekerutkan dahi.
"Tentang jodoh puterimu, serahkan kepadaku. Paman
tak usah memikirkan hal itu. Seumpama gagal, aku akan
mencarikan jodohnya yang jempolan. Nah Paman, kau
pergilah! Lebih cepat lebih baik."
Kata-kata pergilah diucapkan dengan tekanan keras


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga berkesan suatu perintah. Dan Raja Muda
Dwijendra biasanya seorang yang angkuh hati. Namun
terhadap pemuda itu, ia membungkuk hormat.
"Kalau begitu, perkenankan aku pergi. Apakah tuanku
masih menghendaki sesuatu lagi?"
"Kukira untuk sementara, cukuplah!"
Raja Muda Dwijendra membungkuk, kemudian
meninggalkan istana batu. Kilatsih yang berada di dalam
kamar heran bukan kepalang. Pikirnya sibuk di dalam
hati, "Paman Dwijendra bukan manusia lumrah.
Pengaruhnya besar seumpama melingkupi bumi
Priangan. Kepandaiannya pun tak perlu kalah
dibandingkan dengan pemuda itu. Apa sebab dia
bersikap begitu hormat dengan merendahkan diri?"
Makin direnungkan, makin tergoncanglah hati Kilatsih.
Ia merasa diri tertusuk melihat sikap pemuda itu
terhadap Sangaji. Sikapnya seolah-olah seorang majikan
yang berada di atas Sangaji. Buat Kilatsih, Sangaji
912 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merupakan seorang pendekar yang sempurna. Baik
tentang ilmu kepandaiannya maupun kejujuran hatinya.
Dia seolah-olah malaikat Tuhan yang dikirimkan ke bumi
untuk membuat perdamaian di antara sesama manusia.
Siap melindungi dan membimbing. Himpunan
Sangkuriang tanpa dia"seumpama sebuah rumah tanpa
jiwa. Mengapa pemuda ini seolah-olah tidak
menghargainya" Malah kesannya seolah-olah Sangaji
merebut kedudukannya. Tatkala Widiana Sasi Kirana memasuki kamar, wajah
Kilatsih nampak pucat. Walaupun kesehatannya sudah
pulih kembali" akan tetapi ia berpikir terlalu keras.
Tubuhnya tergoyang seakan-akan hendak roboh.
Widiana Sasi Kirana kaget bukan kepalang. Cepat-cepat
ia mengulurkan tangan. Kilatsih semenjak kanak-kanak adalah seorang gadis
yang panas dan tak pandai menguasai diri. Dahulu"
tatkala Sorohpati kena keroyok dalam tenda"dengan tak
tahu diri, ia maju menerjang. Itulah disebabkan kena
dirabu rasa panas hati. Sekarang pun demikian pula.
Walaupun semenjak kenal Sangaji, ia bisa meniru sifat-
sifat Sangaji yang tenang dan sabar"namun ia diasuh
Adipati Surengpati yang berjiwa bebas setengah liar.
Maka tak mengherankan"ia lantas menolak uluran
tangan Widiana Sasi Kirana kepadanya"dan berkata
dengan mata membelalak. "Semua raja muda yang usianya jauh lebih tua
daripadamu, bersikap hormat kepada Ketua Himpunan
Sangkuriang. Tetapi sikapmu seolah-olah tidak
memandang mata kepadanya. Mengapa?"
913 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Widiana Sasi Kirana terkejut tangannya kena tolak.
Sesudah mencoba mengerti bunyi semprotan Kilatsih, ia
tertawa geli. "Adik! Kapan aku memandang rendah Paman Sangaji"
Aku berkata kepada Paman Dwijendra, bahwa pada saat
ini belum ada niatku. Memang benar. Bukankah aku lagi
merawat dirimu" Kalau aku tidak berkata demikian"
pastilah Paman Dwijendra"akan mengajak aku bersama-
sama menghadap padanya. Ah, adikku"kau terlalu
menggunakan perasaanmu yang berlebih-lebihan..."
Tiba-tiba saja dalam hati Kilatsih ada rasa syukur.
Ternyata pemuda itu besar perhatiannya kepadanya.
Walaupun demikian" pada saat itu"ia belum dapat
menghilangkan kesannya. "Baiklah, adikku..." kata Widiana Sasi Kirana lagi.
"Paman Sangaji memang terpuja oleh semua insan yang
bercita-cita. Termasuk engkau. Hanya saja... entah apa
sebabnya engkau nampak terlalu bersemangat. Mudah-
mudahan... tebakanku tidak salah. Hari ini, kau harus
beristirahat dahulu. Kalau kau terlalu banyak
menggunakan tenaga, kau akan gagal. Mari, kubantu
engkau meluruskan peredaran darahmu."
Kilatsih tak membantah, tatkala Widiana Sasi Kirana
memijat telapakan tangannya. Pemuda itu nampak
terperanjat. Telapakan tangan Kilatsih terasa panas dan
kedua matanya nampak guram.
"Adik, kau sedang pepat. Kau bersemadilah cepat-
cepat. Kau harus bisa menguasai ke-tenanganmu
kembali." 914 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia melepaskan pegangannya. Kemudian berjalan
mondar-mandir di dalam kamar itu. Ia nampak gelisah.
Berkali-kali ia menatap atap kamar. Kemudian
menghampiri lukisan dan merenunginya.
Kilatsih berusaha menguasai ketenangannya. Ia sadar
akan hal itu. Kalau tidak, ia akan gagal memperoleh
kesehatannya kembali. Ia tahu pula, kegelisahan Widiana
Sasi Kirana karena memikirkan dirinya. Ia berduka dan
resah. Itulah sebabnya, ia berusaha untuk
menyenangkan hati pemuda itu yang begitu besar
perhatiannya terhadap dirinya. Namun beberapa kali ia
gagal. Akhirnya, ia menyibakkan rambutnya dan
bersenyum. Katanya perlahan, "Kiki! Kau berjanji hendak
mendongeng lagi. Aku bersedia mendengarkan
dongenganmu yang ketiga kalinya."
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja hati gadis itu
tenang luar biasa. Dengan lapang dada ia melihat
Widiana Sasi Kirana bersenyum syukur. Pandang
matanya berseri-seri. "Kau beristirahatlah dahulu! Dongengku nanti akan
menentukan. Eh, sampai dimana dongengku tadi pagi?"
katanya dengan gairah. Kilatsih memejamkan matanya. Ia duduk bersemadi
mengatur pernapasannya. Tatkala itu ia mendengar
Widiana Sasi Kirana berkata perlahan seperti kepada
dirinya sendiri. "O ya, ada anak keturunan Ratu Bagus Boang hilang
tatkala terjadi kericuhan di dalam istana..... Ah, ya
sampai disini. Biarlah nanti saja, adikku. Kau beristirahatlah dahulu!"
915 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam kamar itu lantas terjadi suatu kesunyian.
Dengan diam-diam, matahari merangkak-rangkak. Senja
hari telah terasa tiba. Di luar istana keredupan cahaya
matahari meresap di dalam hati dan perasaan. Berjalan-
jalan di dalam suasana alam yang mulai sejuk demikian,
alangkah menggairahkan. "Adik! Sebentar malam, kau pasti sudah pulih
kembali," seru Widiana Sasi Kirana dengan girang. "Kita
lantas bisa meneruskan perjalanan lagi."
Girang dan rasa syukur berkecamuk di dalam hati
Kilatsih. Ia percaya pernyataan Widiana Sasi Kirana.
Terus saja ia membuka matanya dan memandang
dengan perasaan penuh terima, kasih kepada pemuda
itu. "Ha, masih ada waktu sedikit sebelum " mandi sore,"
kata Widiana Sasi Kirana. "Bukankah dongengku sampai
kepada anak yang hilang" Dialah cucu Ratu Bagus
Boang. Ia kena culik salah seorang penasihat Ratu Bagus
Boang dan dibawanya masuk ke dalam gua. Dia dididik
dengan tekun di bawah restu Ketua Himpunan
Sangkuriang sekarang."
"Sangaji maksudmu?" Kilatsih menyela dengan girang.
"Benar. Paman Sangaji!" jawab Widiana Sasi Kirana.
"Di dalam gua itu cucu Ratu Bagus Boang mempelajari
ilmu ketabiban dari seorang tabib sakti bernama Maulana
Ibrahim. Lalu ilmu pedang warisan kakeknya yang
bernama Jala Karawelang."
Baru sampai disitu mendadak terdengarlah suara
langkah yang tajam sekali. Widiana Sasi Kirana
mengerutkan alisnya. Ia berdiri dengan serentak. Berkata
916 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setengah mengeluh. "Lagi-lagi ada orang datang. Kenapa
sih istana ini banyak dikunjungi orang?"
Dengan sekonyong-konyong terdengarlah ringik Panut
si kuda hitam. Kemudian dinding istana tergempur
hancur. Berbareng dengan mengepulnya debu, masuklah
tiga orang yang menyandang awut-awutan.
Tiang serambi istana memang sudah hilang
kekuatannya. Walaupun demikian, tidak sembarang
orang dapat menggempurnya roboh. Juga tembok istana.
Tetapi tiga orang yang datang itu seperti sedang
berebutan menggempur semua yang nampaknya serba
kokoh. Setelah itu, mereka tertawa berkakakan.
Kilatsih terkejut. Ia segera mengenali dua orang di
antaranya. Yang satu adalah seorang pendeta yang
memelihara rambut panjang. Orang itu berkesan liar dan
edan-edanan. Itulah orang yang pernah dilihatnya tujuh
atau delapan tahun yang lalu di tenda perkemahan
tatkala Sorohpati ayah angkatnya dikeroyok. Di kemudian
hari ia mendapat penjelasan, bahwa orang itu bernama
Ki Hajar Karangpandan. Dialah guru pendekar Sanjaya
putera angkat Pangeran Bumi Gede. Dan yang kedua
adalah seorang berusia tua mirip penyamaran
Sirtupelaheli. Dialah Ki Jaga Saradenta.
"Ah! Memang semenjak Nenek Sirtupelaheli menyamar
sebagai Ki Jaga Saradenta, banyaklah timbul pertanyaan
dalam hatiku. Guru Kangmas Sangaji itu, sudah mati atau
belum" Kalau masih hidup, apa sebab Nenek
Sirtupelaheli perlu menyamar sebagai dirinya" Sebaliknya
kalau sudah mati seperti yang pernah dilihat Kakang
Mundingsari mengapa muncul dengan tiba-tiba disini"
Dan mayat siapa yang pernah dilihat Kakang
917 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mundingsari" Kakang Mundingsari beberapa kali pernah
bertemu muka dengan Ki Jaga Saradenta sebelumnya.
Pastilah penglihatannya tak salah. Kalau begitu, apakah
orang ini palsu pula"
Sekiranya palsu, mengapa bisa berjalan bersama
dengan Ki Hajar Karangpandan?" pikir Kilatsih sibuk di
dalam hati. Ki Hajar Karangpandan adalah seorang pendekar yang
jujur, berani dan tinggi ilmu kepandaiannya. Meskipun
edan-edanan, akan tetapi cerdas. Pastilah dia tak sudi
berjalan bersama dengan seorang Ki Jaga Saradenta
palsu. Demikianlah"keyakinan Kilatsih.
Tatkala itu, Ki Hajar Karangpandan berkata nyaring
kepada orang ketiga. "Otong! Kau membawa aku kemari. Aku seorang
sinting yang paling muak terhadap semua yang serba
gelap. Batu-batu ini akan kubongkar. Ingin kutahu,
apakah engkau masih berani menantang aku berkelahi
lima hari lima malam!"
Orang ketiga itu, memang Otong Darma-wijaya tapi
bukan Otong Surawijaya yang dikalahkan Widiana Sasi
Kirana. Dialah yang disebut orang dengan nama Ki
Tunjungbiru. Orang mengira, dia seorang pendekar
pecinta bangsa yang hidup berkelana untuk menghindari
incaran Kompeni Belanda. Sesungguhnya kedudukannya
melebihi dari dugaan orang. Ternyata dia salah seorang
penasihat Ratu Bagus Boang. Kedudukannya seorang
raja muda pula. Pada zaman Perang Giyanti, Ki Hajar Karangpandan
dan Ki Tunjungbiru pernah mengadu kekuatan selama
918 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lima hari lima malam. Perkaranya remeh saja. Itulah
perkara pantat gadis Jawa Barat dan pantat gadis Jawa
Tengah. Kedua-duanya tak sudi mengalah, sebab latar
belakang sesungguhnya adalah perkara kehormatan diri
dan kehormatan sukunya. Akhirnya setelah bertempur
lima hari lima malam, keduanya tiada yang kalah dan
menang. Kini, mereka sudah berumur sembilanpu-luh tahun
lebih. Hati mereka berdua tidak segarang dahulu. Namun
perangai mereka masih saja tak berubah.
"Hajar!" sahut Ki Tunjungbiru dengan tertawa gelak.
"Kau hancurkan istana ini bagaikan abu, apa peduliku."
"Eh! Mengapa kau tak mempunyai semangat"
Bukankah istana ini terletak di bumi Priangan" Kau
mestinya harus marah! Kenapa tidak" Apakah kau sudah
jadi perempuan" Hai! Hai! Jangan-jangan kau sudah
kawin!" "Memang! Memang aku bersedia kawin kalau kau
sudah kawin pula. Kau sudah kawin atau belum?"
Hajar Karangpandan tertawa bercerocosan sampai
liurnya menyemproti kumis dan jenggotnya yang awut-
awutan. "Mana aku bisa kawin" Aku belum bertemu dengan
seorang gadis Sunda yang berpantat besar?"
"Ha"betul! Aku pun belum bertemu dengan gadis
Jawa Tengah yang berpantat gede," potong Ki
Tunjungbiru tak mau kalah.
919 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus! Bagus! Perempuan-perempuan sekarang ini
berpantat kerempeng dan tepos semua!" Ki Hajar
Karangpandan tertawa berkakakkan.
Baik Hajar Karangpandan dan Ki Tunjungbiru,
memang manusia aneh. Sesudah bertempur lima hari
lima malam perkara pantat perempuan, mereka lalu
bertaruh betah-betahan tidak kawin. Karena kehormatan
baginya merupakan suatu elan yang tertinggi dalam
hidup, maka benar-benar mereka tak mau kawin.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekian tahun lamanya"mereka baru bertemu untuk
yang kedua kalinya"secara berhadap-hadapan. Dan
setiapkali bertemu, persoalan yang dibawanya hanya itu-
itu saja. Perkara pantat besar dan perkara kawin.
13 MENCARI JEJAK SANGAJI MASIH SAJA KI HAJAR KARANGPANDAN tertawa selintasan.
Kemudian mencoba keadaan hati Ki Tunjungbiru.
"Eh, semenjak kapan kau jadi begini sabar?"
"Semenjak engkau jadi pendeta," sahut Ki Tunjungbiru
dengan cepat. Kedua-duanya sebenarnya merupakan dua tokoh yang
mempunyai keistimewaannya masing-masing. Walaupun
kedua-duanya tiba-tiba berbuat kegila-gilaan, tetapi sebenarnya menggenggam tujuan jauh. Dengan tabiat kegila-
gilaannya, Ki Hajar Karangpandan dapat mengkait Ki Jaga
920 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Saradenta dan Wirapati dalam usaha- ' nya mencari Sangaji.
Sebaliknya dengan menyamar sebagai seorang perantau yang
tidak berkedudukan, Ki Tunjungbiru bisa membawa Sangaji
mendaki ke Gunung Cibugis sehingga pemuda itu dipaksa untuk memegang
tampuk pimpinan Himpunan Sangkuriang yang sudah lama
kehilangan tiang agungnya.
Kini pun, diam-diam kedua pendekar itu sedang mengadu
kelicinannya pula. Dalam hal ini, Ki Jaga Saradenta yang
menjadi tokoh ketiga. Meskipun guru Sangaji ini bertabiat
berangasan dan pendek pikiran, akan tetapi dia seorang
Demang. Tak dapat ia berbuat se-edan Ki Hajar Karangpandan
atau selicin Ki Tunjungbiru.
"Jadi engkau kini tak dapat marah lagi?" seru Ki Hajar
Karangpandan. "Baiklah coba istana ini akan kukencingi.
Engkau marah atau tidak?"
Setelah berkata demikian, pendeta awut-awutan itu benar-
benar kencing bagaikan hujan. Ki Tunjungbiru tak sudi
mengalah. Ia pun lantas ikut-ikutan kencing pula. Sedang Ki
Jaga Saradenta sibuk melayangkan pandangnya ke ruang
istana batu dengan pandang penuh selidik. Sama sekali ia tak
ikut campur dan tak menghiraukan aksi mereka berdua.
Sebaliknya yang merasa risih adalah Kilatsih. Mendengar
ucapan Ki Hajar Karangpandan, terus saja ia memutar
pandang. Kemudian dengan mengung-kurkan jendela kaca, ia
berpura-pura bersemadi. Widiana Sasi Kirana yang berada di dekatnya, tertawa
pelahan melalui dadanya. Katanya seolah-olah kepada dirinya
sendiri. "Untung mereka tidak menghadap kemari."
Tahulah Kilatsih maksud pemuda itu. Itulah kata-kata yang
sebenarnya dialamatkan kepadanya. Tetapi ia sudah terlanjur
921 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpura-pura bersemadi. Maka ia agak segan untuk menarik
kembali. Walaupun demikian, tak dapat ia melepaskan
perhatiannya kepada guru Sangaji dan guru Sanjaya yang
kedatangannya benar-benar mengasyikkan. Tatkala itu ia
mendengar Ki Hajar Karangpandan tertawa berkakakkan dan
Ki Tunjungbiru pun ikut tertawa besar pula.
"Tak kusangka, engkau lebih edan dari-padaku!" teriak Ki
Hajar Karangpandan sambil memperbaiki letak celananya.
"Mustahil! Sesungguhnya aku belajar darimu," sahut Ki
Tunjungbiru. "O, begitu" Bagus!" teriak Ki Hajar Karangpandan. "Hei,
Otong! Benar-benar-kah engkau belajar dariku?"
"Benar!" "Dalam segala hal?"
"Dalam segala hal!"
"Bagus! Tapi biar edan, tak pernah aku berdusta terhadap
siapa pun. Apalagi terhadap diri sendiri," kata Ki Hajar
Karangpandan. "Apakah aku pernah berdusta terhadapmu?"
Ki Hajar Karangpandan tidak segera menyahut. Ia tertawa
terbahak-bahak dahulu. Lalu berkata, "Kau bilang rumah ini
adalah rumahmu. Tapi aku bilang ini bukan rumahmu."
"Mengapa begitu?"
"Walaupun kau lebih edan daripadaku, mustahil engkau
mengencingi rumahmu sendiri," . ujar Ki Hajar Karangpandan.
Disinilah terbukti kecerdasan dan kelicinan pendeta itu.
Nampaknya ia ugal-ugalan bermain mengencingi rumah, akan
tetapi sebenarnya ia lagi mencari keyakinan apakah istana itu
milik Ki Tunjungbiru. 922 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebenarnya pertemuan mereka terjadi secara kebetulan
saja. Karena terpaksa, Ki Tunjungbiru mempersilakan mereka
berdua agar singgah di istana batu itu, untuk
menyembunyikan maksudnya yang benar.
"Siapa bilang rumah ini rumahku?" sahut Ki Tunjungbiru tak
mau kalah. "Bukankah aku bilang mari kita beromong-omong
sebentar! Kebetulan aku mempunyai tempat peristirahatan."
"Benar dia bilang begitu!" tiba-tiba Ki Jaga Saradenta
menguatkan. "Baik. Rupanya kau kenal benar tempat ini sesungguhnya
rumah siapa?" kata Ki Hajar Karangpandan mengalah.
"Inilah istana junjungan kami pada seabad yang lampau.
Istana batu Ratu Bagus Boang tatkala- Beliau terpaksa
mundur dari Banten," Ki Tunjungbiru memberi keterangan.
"Secara kebetulan aku melihat engkau melintasi bumi
Priangan. Bukankah engkau lagi berusaha bertemu dengan
junjungan kami yang baru, Gusti Sangaji" Oleh pertimbangan
itu, aku mempersilakan engkau memasuki istana ini. Sebab Ki
Jaga Saradenta adalah guru junjungan kami."
"Kau menyebut anakku Sangaji dengan Gusti. Kau pun
mengangkat-angkat rekan Jaga Saredenta sebagai guru
anakku Sangaji. Kata-katamu benar semua. Dalam hal ini,
memang akulah manusia yang sial," kata Ki Hajar
Karangpandan. "Walaupun pada akhir hidupnya anakku
Sanjaya menjadi manusia lurus, akan tetapi dia mengalami
nasib sial pula. Dia mati dengan penasaran. Karena dia adalah
saudara angkat anakku Sangaji, ingin aku memberi warta
kepadanya...." "Ah!" Ki Tunjungbiru terkejut. "Siapakah yang tak takut
mati sampai berani menganiaya anakmu Sanjaya?"
"Hai! Hai! Kau tak perlu merengek-rengek seperti
perempuan!" tungkas Ki Hajar Karangpandan. "Dia sudah mati
923 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
habis perkara! Soalnya sekarang, bagaimana aku bisa bertemu
dengan anakku Sangaji?"
Ki Tunjungbiru tak segera menjawab. Ia berpaling kepada
Ki Jaga Saradenta. Dan guru Sangaji itu mengangguk.
"Benar anakku Sanjaya mati dengan penasaran. Kalau
rekan Tunjungbiru sudi membantu, tunjukkanlah dimana kami
berdua bisa bertemu Sangaji?"
Terhadap Ki Jaga Saradenta, Ki Tunjungbiru bersikap lain.
Sebab kecuali Ki Jaga Saradenta seorang yang mengenal tata
santun, dia pun guru Sangaji yang kini menjadi pemimpin
Himpunan Sangkuriang. Maka setelah diam sejenak, ia lantas
berkata tak jelas kepadanya.
Kilatsih yang berada di belakang jendela kaca, kala itu
sudah memutar tubuhnya. Melihat Ki Tunjungbiru maju
dengan membuka mulutnya, ingin ia menangkap bunyi kata-
katanya. Akan tetapi, Ki Tunjungbiru berbicara dengan mulut
komat-kamit saja. Sepatah kata pun tiada yang dapat
tertangkap pendengarannya.
"Ha, bagus! Benar-benar engkau kawanku sejati!" puji Ki
Hajar Karangpandan dengan tertawa besar lagi. "Hanya saja
tahukah engkau apa yang akan kukatakan kepada anakku
Sangaji setelah aku nanti bisa berhadapan muka dengan dia?"
"Itulah urusanmu," sahut Ki Tunjungbiru dengan cepat.
"Baik! Kalau begitu engkau bakal kehilangan," ujar Ki Hajar
Karangpandan agak mendongkol. "Tetapi selamanya aku
adalah laki-laki tulen. Datang dan pergiku harus terang."
"Bagus! Siapa bilang engkau seorang perempuan"
Sekiranya engkau seorang perempuan, pasti berengsek dan
bawel," sahut Ki Tunjungbiru dengan tersenyum.
"Kau tahu"di Jawa Tengah"bakal berkobar peperangan,"
kata Ki Hajar Karangpandan tak menghiraukan. "Karena itu,
dia hendak kami bawa pulang ke kampung."
924 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah Beliau sudah pulang ke kampung?"
"Benar tapi semenjak itu, maksudku, dia tidak bakal bisa
keluar lagi, selama peperangan belum padam."
"O, begitu?" Ki Tunjungbiru nampak terperanjat.
"Nah, selamat tinggal!" kata Ki Hajar Karangpandan
menang. Kemudian ia mendahului melesat keluar pintu. Ki
Jaga Saradenta segera mengikuti. Kilatsih yang berada di
dalam kamar menajamkan matanya. Selagi ia sibuk menebak-
nebak tentang pembicaraan itu, Ki Tunjungbiru memutar
tubuhnya menghadap kamar. Ia tercekat sewaktu melihat raja
muda itu mengulum senyum" Hai! pikir Kilatsih, ucapannya
tadi bernada kaget. Apa sebab mendadak ia kini mengulum
senyum" Ia jadi curiga.
Seperti seorang yang terlepas dari suatu masalah yang
menyesakkan dada, Ki Tunjungbiru memandang kamar tempat
Kilatsih berada. "Sasi Kirana!" Hebat kesan wajah Ki Tunjungbiru pada saat itu. Ia
nampak begitu berwibawa dan agung. Kilatsih yang berada di
balik jendela kaca, kaget sampai hampir berteriak. Entah apa
sebabnya tiba-tiba tubuhnya bergerak hendak melompat
turun. Akan tetapi belum sampai ia berhasil bergerak,
pinggangnya berasa lemah dan kaku sehingga tak dapat ia
berkutik. Sebat luar biasa Widiana Sasi Kirana menangkap kedua
pundak gadis itu. Lalu membisiki kupingnya.
"Adikku, janganlah engkau bergerak! Kau lanjutkan
semedimu! Aku akan keluar sebentar dan segera kembali. Kau
tunggulah aku dengan sabar. Nanti kulanjutkan dongengku
yang ketiga." "Sasi Kirana, dengan siapa engkau berada dalam kamar?"
925 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kilatsih berusaha bersemedi. Akan tetapi pandangnya tidak
dapat terlepas dari wajah Ki Tunjungbiru yang begitu
menakutkan dirinya. Ia merasa seolah-olah lagi menghadapi
seorang yang maha licin. Dalam pada itu Widiana Sasi Kirana
telah membuka pintu kamar. Kemudian melompat sambil
berkata berbisik. "St?" Melihat munculnya pemuda itu, Ki Tunjungbiru segera
membungkuk hormat. "Gusti Widiana Sasi Kirana!" Lalu
berhenti dengan mendadak begitu melihat isyarat jari telunjuk
pemuda itu yang merapat pada kedua bibirnya.
"St!" Demikian suara Widiana Sasi Kirana sambil meraba
kedua bibirnya dengan telunjuknya.
"Sasi Kirana!" kata Ki Tunjungbiru meru-bah sebutannya. Ia
bersikap seolah-olah seorang ayah terhadap anaknya. "Ibumu
memanggil engkau kembali pulang."
"Paman Tunjungbiru," sahut Widiana Sasi Kirana "Tolong
kau sampaikan kepada ibuku, bahwa semenjak kini aku tidak
akan kembali sebelum tercapai apa yang kukehendaki. Aku
wajib menerima kembali warisan ayahku."
Ki Tunjungbiru tidak bergerak dari tempatnya. Berkata:
"Ingatlah! Sekalipun engkau tidak memikirkan lagi kesehatan
ibumu, akan tetapi engkau harus memikirkan dirimu sendiri!
Seorang diri engkau menyeberangi bumi Priangan dan hendak
mema'-suki Jawa Tengah. Siapakah yang tahu hatimu?"
Widiana Sasi Kirana menjawab dengan suara dalam.
"Walaupun tubuhku hancur lebur menjadi berkeping-
keping, akhirnya pun aku kembali dalam pelukan ibu pertiwi.
Hal ini lebih baik daripada aku mati dalam keadaan mulia di
dalam sangkar emas. Karena itu tolong sampaikan kepada
keluargaku, agar melepaskan aku dengan rela."
926 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar sampai disitu, benak Kilatsih seperti terbuka.
Katanya di dalam hati, "Ah, benar-benar dia keturunan Gusti
Ratu Bagus Boang. Rupanya dia hendak merebut kembali
warisan orang tuanya yang kini diduduki Kangmas Sangaji.
Kangmas Sangaji bukan seorang serakah. Kalau engkau minta
dengan baik-baik, masakan Kangmas Sangaji tidak
mengembalikan kekuasaan kepadamu. Dia sendiri sebenarnya
enggan menjadi ketua Himpunan Sangkuriang."
Mendadak saja gadis ini berkesan buruk terhadap Widiana
Sasi Kirana. Tetapi tak dapat ia meneruskan bunyi pikirannya,
sebab tiba-tiba ia mendengar seruan Ki Tunjungbiru. Raja
Muda itu mengayunkan tangannya sambil menegas.
"Benar-benarkah engkau membangkang kata-kataku"
Benar-benarkah engkau berani hendak melawan Gusti
Sangaji?" "Paman Tunjungbiru!" sahut Widiana Sasi Kirana dengan
suara masgul. "Kenapa engkau berkata begitu?"
Tanpa berbicara lagi tiba-tiba Ki Tunjungbiru menghantam
dada pemuda itu. Widiana Sasi Kirana tidak mengelak. Dia menangkis. Tetapi
dia diserang lagi terus menerus. Setiap serangan Ki
Tunjungbiru mendatangkan angin berderu. Satu kali ia
menyambar batang leher pemuda itu dengan cara yang hebat
sekali. Kalut pikiran Kilatsih. Ia heran, kaget tapi pun girang pula.
Ia kaget karena melihat serangan Ki Tunjungbiru yang
dahsyat luar biasa. Kedahsyatan serangannya melebihi
pukulan-pukulan Raja Muda adang Wiranata dan Otong
Surawijaya. Ia girang karena Widiana sasi Kirana mampu


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat suatu perlawanan. Keheranannya, karena apa sebab
Ki Tunjungbiru tiba-tiba menyerang Widiana Sasi Kirana.
Sedang tadinya ia menyebut dengan istilah Gusti. Tak
mengherankan ia jadi bingung tak keruan. Dia kini menjadi
927 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
curiga dan berbimbang-bimbang. Sebenarnya apakah maksud
Widiana Sasi Kirana memasuki Jawa Tengah" Benar-benar ia
bermaksud hendak melawan Sangaji"
Karena Widiana Sasi Kirana melawan, pertempuran itu
makin lama makin menjadi hebat. Pukulan mereka berdua
melesat datang pergi dengan suatu kecepatan luar biasa.
Sambaran angin menjadi bergulung-gulung tiada hentinya.
Mereka bergerak-gerak bagaikan bayangan.
Ki Tunjungbiru gesit bagaikan seekor kera, meskipun
usianya telah lanjut. Pukulannya berat bagaikan hantaman-
han-taman raksasa. Benar-benar ia seorang perkasa dan
lincah. Dengan serangannya yang bertubi-tubi itu ia membuat
Widiana Sasi Kirana mundur dan mundur.
Kilatsih menjadi tegang sendiri, la sangat cemas. Mau ia
melompat tetapi tak dapat ia menggerakkan badannya.
Akhirnya ia hanya dapat melihat saja dengan hati
berdenyutan. Tiba- tiba Ki Tunjungbiru mengulur sebelah tangannya.
Dengan suatu kecepatan yang luar biasa ia menyambar tubuh
Widiana Sasi Kirana sambil berseru nyaring.
"Pergi!" Widiana Sasi Kirana kena tersambar tubuhnya. Tatkala
hendak berusaha melepaskan diri, ia sudah terlepas ke udara.
Kilatsih kaget sehingga ia memejamkan matanya, dan berseru
tertahan. Tetapi begitu membuka matanya kembali, hatinya
lega luar biasa. Ternyata Widiana Sasi Kirana tidak kurang suatu apa. Benar
ia terbanting di atas tanah dengan bersuara akan tetapi di
dalam keadaan berdiri. Itulah berkat ilmu Widiana Sasi Kirana
yang sudah mencapai tataran sangat tinggi. Tatkala terlempar
ke udara, dengan berjumpalitan ia turun ke tanah dengan
kakinya terlebih dahulu. 928 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sampai disitu Ki Tunjungbiru maju dua langkah dengan
tersenyum manis. "Sasi Kirana, tidak kecewa engkau mewarisi ilmu sakti
leluhurmu. Kau benar-benar hebat. Aku kagum, karena
engkau dapat melayani lebih dari lima puluh jurus. Mulai saat
ini kau bisa menjagoi orang-orang yang setingkat ilmunya di
bawahku. Engkau boleh membawa dirimu mengarungi daratan
dan laut. Tetapi berhati-hatilah! Aku akan menyampaikan
pesanmu kepada ibumu."
Baru sekarang Widiana Sasi Kirana tahu, bahwa orang tua
itu sebenarnya bermaksud mengujinya. Itulah sebabnya ia
lantas membungkuk hormat. Katanya dengan suara
merendahkan diri. "Paman, dalam segala hal aku percaya kepadamu. Bahkan
aku mempertaruhkan' hari depanku kepadamu juga."
Ki Tunjungbiru memanggut. Tiba-tiba katanya minta
keterangan. "Siapakah yang berada dalam kamar?"
"Dia sahabatku," sahut Widiana Sasi Kirana. "Tak ingin dia
bertemu dengan Paman. Itulah sebabnya aku mohon
janganlah engkau membuatnya kaget!"
"Jikalau dia tak sudi bertemu denganku, tak usah aku
memaksanya," kata Ki Tunjungbiru. "Tahukah engkau,
kedatangan kedua orang pendekar tadi ke Jawa Barat?"
"St!" Widiana Sasi Kirana mencegah.
Ki Tunjungbiru membatalkan ucapannya. Lalu tertawa
terbahak-bahak. Berkata di antara tertawanya.
"Baiklah. Kita sekarang sudah bertemu. Aku harus berbicara
denganmu. Mari kita keluar!"
Tanpa menunggu jawaban, Ki Tunjungbiru menyambar
tubuh Widiana Sasi Kirana dan dibawanya melompat keluar
929 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
istana. Langkahnya yang ringan makin lama makin jauh
terdengar. Kilatsih bernapas lega melihat kepergian mereka. Entah apa
sebabnya tiba-tiba ia merasa bersyukur. Cepat ia mencoba
menghimpun tenaga saktinya dan berusaha melancarkan
peredaran darahnya. Dan Tiba-tiba Ki Tunjungbiru mengulur sebelah tangannya.
Dengan suatu kecepatan yang luar biasa ia menyambar tubuh
Widiana Sasi Kirana sambil berseru nyaring:
"Pergi!" kali ini ia berhasil. Serentak ia melompat dari
pembaringan. Sambil memperbaiki letak pakaiannya, ia
berpikir: "Aku tunggu apa lagi. Kangmas Sangaji ternyata
sudah kembali ke kampung halaman. Aku harus cepat-cepat
memberi khabar kepadanya. Bahwasanya para raja muda,
setidak-tidaknya Ki Tunjungbiru hendak berkhianat kepadanya. Betapapun juga Ki Tunjungbiru lebih senang
apabila ketua Himpunan diduduki oleh anak keturunan Ratu
Bagus Boang." Sesudah berpikir demikian, ia memungut pedangnya.
Kemudian membuka pintu kamar. Dengan berjingkit-jingkit ia
keluar dari istana batu mencari kudanya.
Megananda ternyata berada tidak jauh dari istana batu itu.
Ia masih menyenggut rerumputan dengan senangnya di
samping Panut. Dengan siulan panjang, Kilatsih memanggil.
Megananda seperti seorang prajurit yang patuh dan taat.
Begitu mendengar siulan majikannya, mendadak saja ia
menegakkan kepala. Kemudian lari menghampiri. Kilatsih
dengan serta merta melompat ke atas punggungnya,
kemudian kabur meninggalkan istana batu, memasuki daerah
Jawa Tengah. Khawatir ia kena kejar
Widiana Sasi Kirana ia mengaburkan Megananda terus
menerus. Pada malam hari, ia meneruskan perjalanan tanpa
beristirahat. Sebenarnya, hal ini mengganggu kesehatannya.
930 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apalagi ia baru saja sembuh dari luka dalam. Tetapi Kilatsih
adalah seorang gadis yang keras hati. Dalam menghadapi
kesan-kesan yang menegangkan, kerapkali ia lupa kepada
keselamatan jiwanya sendiri. Untunglah luka dalam yang
dideritanya benar-benar sudah teratasi. Peredaran darahnya
sudah lancar kembali, sehingga himpunan sakti yang berada di
dalam tubuh melindungi kesehatannya. Demikianlah ia
melakukan perjalanan sampai larut malam. Menjelang fajar
hari, ia menemukan sebuah gubug. Dan ia beristirahat
melepaskan lelah. Tetapi keesokan harinya kembali lagi ia
meneruskan perjalanan. ?Sekarang ini ia benar-benar telah
memasuki wilayah Jawa Tengah. Hatinya makin besar dan
semangatnya timbul dengan dahsyatnya.
Dari Majenang ia menyeberangi Kali Kawung menuju
Ajibarang. Lalu melintasi Kali Tajum dan sampai di Dusun
Karangsari menjelang petang hari. Setelah mengisi perut dan
memberi makan kudanya, ia melanjutkan perjalanannya lagi.
Menjelang larut malam, tibalah ia di Sukareja dan kemudian
Bukateja. Di kota ini, ia tidur melepaskan lelah.
Keesokan harinya ia meneruskan perjalanannya kembali.
Sampailah ia di Wono-dadi pada siang hari. Tatkala melintasi
Kota Waringin, ia jadi teringat pada masa kanak-kanaknya. Ia
duduk berjuntai di tepi kali mengenangkan semua peristiwa
yang menimpa ayah angkatnya: Sorohpati. Tiba-tiba saja ia
memutuskan hendak melanjutkan perjalanan lewat sungai
saja. Sesudah memperoleh keputusan demikian. Kilatsih segera
mencari perahu. Ia paham sekali, tempat dimana banyak
perahu penambang. Tetapi pada hari itu hanya kelihatan
sebuah perahu sedang saja besarnya yang ditambat di bawah
pohon elo. Hal itu mengherankan Kilatsih.
Waktu itu musim dimana sangat menguntungkan bagi para
penambang perahu. Biasartya para Saudagar datang dengan
931 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menumpang perahu untuk mengangkut barang-barangnya.
Kenapa sekarang begitu sunyi"
Selagi Kilatsih tertegun-tegun di tepi sungai"pemilik
perahu yang beralis tebal, bermata besar dan berperawakan
tinggi kasar"lantas membuka tali tambatan dan segera
berseru kepada Kilatsih. "Apakah Tuan hendak ikut kami?"
"Benar!" jawab Kilatsih. "Kemana jurusan Bapak?"
"Ke Leksono," jawab orang itu. "Kudamu sangat bagus.
Biarlah aku yang menuntun naik perahu."
Pemandangan sepanjang perjalanan sangat indahnya.
Dengan dikipasi angin sejuk, Kilatsih memandang arus sungai
yang berwarna biru. Beberapa kali ia melihat rombongan ikan-
ikan sungai berenang dengan riangnya, seolah-olah
menyambut kedatangannya. Tetapi Kilatsih tak mempunyai
kegembiraan untuk menikmati pemandangan alam itu. Selalu
saja hatinya berdebar-debar teringat kesan-kesan pertemuannya dengan Widiana Sasi Kirana serta kakaknya
Sangaji dan Titisari. Baginya Sangaji dan Titisari adalah
seumpama dewa dan dewi yang tugasnya melindungi dan
menyelamatkan umat manusia. Sebaliknya, Widiana Sasi
Kirana mempunyai pribadi yang menarik. Hanya saja pemuda
itu terlalu besar angannya, la hendak mencoba merebut
kedudukannya kembali dari Sangaji dan Titisari. Namun
melihat lagak lagunya ia tidak percaya bahwa pemuda itu
akan berbuat demikian kepada Sangaji dan Titisari.
Sebaliknya, apabila tidak bermaksud demikian, apa sebab Ki
Tunjungbiru berpesan kepadanya agar membatalkan niatan
itu" la jadi berdiri tertegun-tegun dengan pandang mata kabur.
Tiba-tiba ia tersentak dari lamunannya, la seperti tersadar.
Dan pada saat itu jauh di depannya terlihat dua buah perahu
besar sedang mendatangi. Dua perahu itu bukan perahu
932 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dagang atau perahu pesiar. Yang berdiri di depan adalah dua
orang laki-laki bertubuh tinggi besar. Mereka berdua
melemparkan pandang kepada Kilatsih tanpa berkedip. Hal itu
membuat Kilatsih terkejut dan heran. Apa sebab mereka
melihat dirinya demikian rupa"
Tiba-tiba pemilik perahu berkata dengan suara
menyeramkan. "Hai, tuan muda! Selama hidup aku berada di atas
perahuku ini dan selama hidup aku senang bergaul dan
senang punya banyak uang. Hahaha.... Hari ini aku sungguh
amat beruntung. Karena aku mendapat seekor kambing
gemuk!" Mendengar ucapan pemilik perahu, Kilatsih terperanjat.
"Kau berkata apa?"
"Tuan!" sahutnya dengan suara tetap garang. "Bolehkah
aku bertanya kepadamu. Kau senang makanan besi tua apa
makanan serba panas?"
"Apa itu makanan besi tua dan makanan serba panas?"
Kilatsih minta keterangan dengan tak mengerti.
Dengan tertawa melalui dada, pemilik perahu yang
bertubuh kasar itu tiba-tiba membuka papan perahu.
Kemudian ia mengambil sebatang golok.
"Tuan ingin tahu apa artinya makanan besi tua" Nah,
inilah! Dengan golok inilah sekali menyambar, kau akan
menjadi dua potong. Dan makanan serba panas engkau akan
diikat kencang-kencang. Setelah engkau dibakar sampai
hangus, kemudian dilempar ke dalam air. Terang tuan?"
"Kau berkata apa?" bentak Kilatsih dengan suara gusar.
"Pada siang hari begini kau berani hendak merampok dan
membunuh penumpangmu?"
933 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ala.... keluarkan saja semua milikmu!" sahut pemilik
perahu dengan membentak. "Aku akan mengampuni jiwamu,
jika engkau patuh pada perintahku."
Dalam pada itu, kedua buah perahu besar tadi semakin
dekat. Salah seorang yang berdiri di depan, tiba-tiba berteriak
nyaring. "Hai! Mengapa berbicara berkepanjangan" Lempar saja ke
air, biar ia jadi setengah mampus dahulu. Hahaha... Kemudian
bawalah ia kemari. Kami akan menyerahkan kepada Letnan
Suwangsa." "Kalau begitu, dia harus diterimakan secara panas dahulu,"
jawab pemilik perahu. Dengan tangan kiri memegang golok
dan tangan kanan memegang tali, ia menghampiri Kilatsih.
Tiba-tiba saja beberapa biji sawo melesat dari tangan
Kilatsih. Suatu sinar berkeredep menyambar. Tanpa
berkesempatan mengeluarkan suara, pemilik perahu itu
tercebur ke dalam sungai. Leher tertembus empat biji sawo
dengan sekaligus. Ternyata dia sendirilah yang menjadi
makanan serba panas. Kilatsih sebenarnya bukan seorang gadis yang kejam.
Tetapi begitu mendengar bunyi teriakan laki-laki tinggi besar
itu, tersadarlah ia bahwa kawanan perampok ini bukanlah
merupakan kawanan perampok biasa. Maka ia tak sudi lagi
memberi ampun. Dalam pada itu, tubuh pemilik perahu timbul tenggelam
beberapa kali dan akhirnya lenyap dari permukaan sungai.
Sedang perahunya berputar-putar beberapa kali.
"Bagus! Bocah itu hebat juga!" seru orang tinggi besar itu.
Kemudian dengan suara ribut ia memberi perintah kepada
anak buahnya agar mengayuh kedua perahu secepat
mungkin, dengan maksud hendak menjepit perahu Kilatsih.
934

Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kilatsih beberapa tahun lamanya hidup di atas pulau
Karimun Jawa. Dengan sendirinya ia kenal akan gerak gerik
dan sifat perahu. Menyaksikan gerakan kedua perahu itu
segera ia mengetahui maksudnya. Ia seorang gadis yang
panas hati dan cepat sekali menjadi gusar. Dalam gusarnya, ia
melepaskan puluhan biji sawo dengan kedua belah tangannya.
Seperti hujan gerimis, senjata bidiknya menyambar orang-
orang yang berada di kedua buah perahu itu.
Orang tinggi besar yang berteriak-teriak tadi sebenarnya
seorang Sersan laskar Mangkunegara. Ia bernama Komar.
Waktu itu mengenakan pakaian preman. Rupanya ia
mencontoh Letnan Suwangsa. Yang berada di sampingnya
seorang Kopral bernama Jayeng Dipa. Sersan Komar
bertenaga besar. Melihat meyambarnya biji-biji sawo, dengan
serentak ia mengambil perisai. Dan dengan perisai tersebut ia
melindungi diri. Sebaliknya, Kopral Jayeng Dipa. Ia lambat gerakannya tak
segesit kawannya. Buru-buru ia menangkis sambaran puluhan
biji sawo Kilatsih sambil menggerak-gerakkan badannya untuk
mengelak. Dia berhasil meruntuhkan beberapa biji sawo, yang
kemudian menancap pada papan perahu. Tetapi beberapa biji
sawo lainnya, menyambar kawan-kawan lain yang berada di
belakangnya. Kilatsih melepaskan senjata bidiknya dari jarak sepuluh
meter jauhnya. Walaupun demikian bidikannya tepat sekali,
dan bertenaga kuat. Menghadapi kepandaian Kilatsih, kedua
orang itu kaget dan tak berani bermain sembrono. Buru-buru
ia memberi perintah kepada anak buahnya agar menahan
kelajuan perahunya. Tetapi Komar dan Jayeng Dipa adalah dua tokoh laskar
yang mempunyai pengalaman banyak bertempur di atas air.
Dan segera mereka mengetahui bahwa Kilatsih Tidak begitu
pandai berkelahi di atas perahu. Nampak demikian jelas
bahwa gerak geriknya serba terbatas dan serba canggung.
935 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memperoleh kesan demikian Sersan Komar dan Kopral Jayeng
Dipa segera memberi perintah kepada anak buahnya untuk
membentur perahu Kilatsih dengan lemparan batu atau
benda-benda berat lainnya. Benar saja. Setelah perahu Kilatsih
kena bentur benda-benda keras seketika itu juga berputar-
putar seperti gangsingan. Dan mata Kilatsih menjadi
berkunang-kunang. Hampir saja ia muntah. Sersan Komar
tertawa berkakakan. la mendapat hati. Lalu berteriak tinggi
kepada anak buahnya. "Hei, cepat tenggelamkan perahu bocah itu!"
Sebagai seorang yang sudah berpengalaman belasan
tahun, berkelahi di atas air, tahulah Sersan Komar, bahwa
perahu yang mempunyai muatan ringan akan ter-goncang-
goncang apabila menghadapi angin dan ombak besar.
Pengertian itu dialihkan kepada sifat Sungai Serayu. Sungai
Serayu tidak mempunyai ombak seperti lautan. Sebagai
gantinya ia memuati perahu dengan timbunan batu-batu
besar. Dengan demikian perahunya mempunyai daya berat
jauh lebih besar daripada perahu-perahu tambang. Selagi
berpapasan saja perahu tambang akan tergoncang oleh daya
beratnya, apalagi apabila sungai kena dibenturi batu-batu
muatannya. Maka goncangan yang bakal membentur perahu
Kilatsih akan bertambah menjadi-jadi.
Anak buah Sersan Komar berjumlah tujuhbelas orang.
Mereka semua mempunyai pengalaman pula. Di antara
mereka lima orang roboh di atas perahu kena sambaran biji-
biji sawo Kilatsih. Tetapi lainnya dapat melakukan perintah
pemimpinnya. Sebentar saja Kilatsih menghadapi suatu
kesukaran. Perahunya berputar-putar, makin lama makin
cepat. Kepalanya menjadi pusing. Dan ia membungkuk-
bungkuk hendak muntah. Menyaksikan hal itu, Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa
tertawa gemuruh, sambil berteriak-teriak.
936 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hayo bocah, sambutlah ini, sambutlah sekali lagi! Inilah
batu yang lebih besar daripada kepalamu sendiri!"
Kedua orang itu lalu mengambil sebuah batu besar di
tangan masing-masing. Dengan meneriakkan aba-aba mereka
berdua melontarkan batu-batu pilihannya dengan satu kali
gerak ke permukaan air. Begitu kedua batu jatuh ke
permukaan air, perahu Kilatsih tergoncang hebat, sehingga
sekarang tidak hanya berputar-putar, tetapi miring pula.
Buru-buru Kilatsih mengerahkan tenaga ilmu saktinya untuk
menguasai peredaran darahnya yang bergolak. Kedua kakinya
menancap di atas lantai perahu dengan kuat-kuat. Ia
berusaha menguasai perahunya dengan ilmu sakti ajaran
Adipati Surengpati. Namun tetap saja gagal. Benar, tubuhnya
tidak terpengaruh lagi oleh goncangan perahu, akan tetapi
karena perahu itu terus berputar-putar, lambat laun matanya
berkunangan juga. Hal itu disebabkan karena dia belum mencapai latihan yang
sempurna. Seperti diketahui, ia adalah murid Adipati
Surengpati, ilmu sakti yang diberikan kepadanya, bernama
Witaradya. Apabila dia sudah menguasai penuh-penuh intisari
rahasia ilmu sakti Witaradya, pastilah dengan gampang ia
dapat menguasai goncangan ombak yang membuat
perahunya terus berputar-putar.
Lagi-lagi Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa tertawa
kegirangan. Sambil melontarkan lagi beberapa buah batu
besar yang jatuh di sebelah kiri atau di sebelah kanan perahu
Kilatsih. Permukaan sungai memuncrat ke udara, sehingga
pakaian Kilatsih menjadi basah kuyup. Kecuali itu arus sungai
menjadi berombak semakin lama semakin besar. Sambil terus
membentak keras, Sersan Komar melemparkan batunya yang
lain dan jatuh ke sebelah kanan perahu Kilatsih.
Dapat dibayangkan, betapa hebat ombak yang
menghantam perahu Kilatsih. Seketika itu juga perahu Kilatsih
berputar makin kencang, miring, timbul tenggelam dan
937 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beberapa kali hampir-hampir saja tertelan ombak. Mata
Kilatsih semakin kabur, kepalanya semakin pening. Sejenak
kemudian ia me-lontakkan semua makanan yang telah
dimakannya tadi pagi. Ia kaget dan gusar. Tetapi seluruh badannya menjadi
lemas. Itulah disebabkan ia baru saja sembuh dari luka dalam.
Namun justru demikian membuat Sersan Komar dan kawan-
kawannya bersorak-sorak penuh kemenangan. Sekali lagi ia
melemparkan batu besar, sebesar kepala kerbau. Apabila batu
itu sampai jatuh ke dekat perahu Kilatsih, pastilah dapat
menenggelamkannya. Pada saat segenting itu, tiba-tiba terdengarlah suara siulan
yang panjang dan nyaring. Dari arah timur, muncullah sebuah
perahu kecil, yang mendatangi dengan kecepatan kilat,
seakan-akan sebatang anak panah terlepas dari busurnya.
Tujuan perahu itu jelas sekali. Penumpangnya sengaja
meluncurkan tepat di antara kedua perahu besar dan perahu
Kilatsih. "Hei! Apakah kau cari mati?" teriak Sersan Komar.
Dari dalam perahu, muncul seorang yang tertawa nyaring
sekali. "Di siang hari bolong begini, kalian berani mencoba
merampok dan membunuh. Apakah kalian kira dunia ini
milikmu sediri?" Suara itu nyaring sekali, seperti suara kanak-
kanak. Mendengar suara itu, Kilatsih tergoncang hatinya. Ia
seakan-akan kenal nada suaranya. Ia menyenakkan matanya
dengan segera. Dan di antara penglihatannya yang masih
kabur, ia melihat seorang pemuda tanggung berkulit hitam.
Pemuda tanggung itu mengenakan caping hitam pula, dan
wajahnya dibedaki dengan lumpur ketat. Sehingga ia lebih
mirip setan-setanan. Akan tetapi kedua matanya bersinar
938 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terang. Sayang, pada saat itu Kilatsih lagi mabuk, sehingga
tak dapat ia mengenal pemuda tanggung itu dengan segera.
"Hai, binatang kecil. Benar-benar kau mau mencari mati?"
bentak Sersan Komar. "Nah"kau mendapat hadiah sebuah
batu pula dariku!" Berkata demikian, Sersan Komar melemparkan sebuah batu
besar. Batu itu membentur permukaan air. Dan kena deburan
ombak, perahu bocah tanggung itu serta merta terbalik.
Sudah barang tentu Kilatsih terperanjat. Mendadak saja ia
merasakan seakan-akan perahunya didorong orang dari
bawah permukaan air. Hebat dorongannya. Dengan sekejap
mata saja, perahunya terbawa laju keluar dari lingkaran
gencetan dua perahu Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa.
Itulah suatu kejadian yang benar-benar tak terduga. Dan
begitu berada di atas permukaan sungai yang tenang, mabuk
Kilatsih menjadi reda. Setelah mengatur kembali jalan
pernapasannya, tenaganya segera pulih kembali. Buru-buru ia
menyambar sebatang pengayuh, dan mengayuh secepat
mungkin ke tepi. Walaupun tidak mengerti ilmu mengayuh,
akan tetapi kerapkali ia melihat nelayan-nelayan menjalankan
perahunya di atas lautan, sekitar Pulau Karimun Jawa. Kecuali
itu, permukaan sungai yang diambahnya tenang tiada
berombak lagi. Maka perahu itu dapat juga melaju dan
mengikuti arus air. Teringat pemuda tanggung tadi, Kilatsih menengok ke
belakang. Ia melihat perahu pemuda tanggung tadi
mengambang di atas permukaan sungai dan pemiliknya tak
kelihatan bayangannya. Pastilah ia sudah tenggelam di dasar
sungai. Kilatsih menjadi berduka dan berkata di dalam hati. "Hai!
Dengan kenakalannya, secara kebetulan ia menolong jiwaku.
Akan tetapi untuk itu ia harus mengorbankan jiwanya sendiri."
939 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba ia mendengar Sersan Komar berteriak-teriak
dengan nada kegusaran yang hebat. Ternyata perahunya
sedang berputar-putar dan miring ke sana ke sini.
"Bangsat! Ada orang main gila di bawah air!" seru salah
seorang anak buahnya. Temannya yang berada di sebelah kiri
terus saja melompat ke dalam air.
"Jayeng Dipa!" teriak Sersan Komar. "Tolong kejar bocah
yang sedang kabur itu!" - Pada saat itu jarak perahu Kopral
Jayeng Dipa dan Kilatsih kira-kira sudah mencapai tiga puluh
meter. Tenaga Kopral Jayeng Dipa itu tidaklah sebesar tenaga
Sersan Komar, sehingga tak mampu menimpuk Kilatsih
dengan batu besar. Tetapi ia pandai menjalankan perahunya.
Dengan bantuan dua orang pengemudi, dalam tempo tidak
terlalu lama ia sudah berhasil mengubar Kilatsih. Tentu saja
Kilatsih tidak sudi menyerah begitu saja. Dengan sekaligus ia
menebarkan lima biji sawonya. Sebuah biji sawonya langsung
mengarah dada Kopral Jayeng Dipa. Tetapi dengan gesit,
Kopral ini dapat memukul runtuh dengan sebatang golok.
Sebaliknya, dua orang pembantunya kena sambaran biji sawo
Kilatsih dengan tepat sekali. Dua pengemudi itu berdiri
sebelah menyebelah. Begitu kena sambaran biji sawo Kilatsih,
mereka terjungkal ke dalam air tanpa bersuara lagi.
Kopral Jayeng Dipa terkesiap. Dalam pada itu,- perahu
Kilatsih sudah dapat diubar sangat dekat. Jaraknya kurang
lebih hanya sejauh tujuh meter saja. Dengan berteriak gusar
Kopral Jayeng Dipa menyambar pengayuhnya untuk
mengubar Kilatsih terlebih dekat lagi. Mendadak saja pada
saat itu ia mendengar teriakan Sersan Komar.
"Kopral Jayeng Dipa! Balik!"
Ia menengok dan melihat permukaan sungai berwarna
merah tua. Pada saat itu timbullah mayat anak buah Sersan
Komar yang tadi melompat ke dalam air. Mayat tersebut
terapung-apung hanyut di atas permukaan sungai dengan
mengucurkan darah segar. Lebih celaka lagi air sungai
940 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendadak mengalir masuk ke dalam perahu. Dengan cepat
perahu itu menjadi oleng dan perlahan-lahan hendak
tenggelam. Ternyata anak buah Sersan Komar tadi mati terbunuh oleh
pemuda tanggung yang perahunya kena dibalikkan. Sesudah
tercebur ke dalam sungai, dia tidak hanya mendorong perahu
Kilatsih saja, tapi pun berbareng membocorkan perahu Sersan
Komar. Di luar dugaan, Sersan Komar yang memimpin
perampokan ini, ternyata tidak pandai berenang. Buktinya, ia
nampak ketakutan. Dengan gugup pula ia menyeru Kopral
Jayeng Dipa agar kembali."
Dengan terpaksa Kopral Jayeng Dipa melepaskan Kilatsih
dan membelokkan perahunya cepat-cepat untuk menolong
Sersan Komar. Dengan sekuat tenaga Kopral Jayeng Dipa
mengayuh perahunya yang terpisah kira-kira empatpuluh
meter dari perahu Sersan Komar.
Ketika sudah berdekatan, perahu Sersan Komar nyaris
tenggelam seluruhnya. Kaki Sersan Komar yang berdiri di
pinggiran perahu telah mulai terendam air. Pengemudi perahu
yang satunya lagi buru-buru terjun ke dalam sungai. Tetapi
beberapa saat kemudian, warna merah kembali tersembul ke
atas permukaan. Ia mengalami nasib seperti kawannya tadi.
Menyaksikan keadaan yang sudah sangat mendesak, Kopral
Jayeng Dipa segera melemparkan sebuah papan sambil
berteriak, "Sersan Komar! Lihatlah ini!"
Sersan Komar segera meloncat dan kedua kakinya hinggap
di atas papan. Tetapi sekonyong-konyong pemuda tanggung
tadi muncul lagi ke permukaan air, dan kemudian menarik
papan yang sedang diinjak Sersan Komar. Katanya sambil
tertawa hahaha... "Hai, orang gede! Hayolah kita main-main sebentar di
dalam air!" 941 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan mata merah, Sersan Komar menghantam sekuat
tenaga. Pukulannya hebat luar biasa. Air sungai muncrat
tinggi. "Horeee, tidak kena!" teriak pemuda tanggung tadi sambil


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelam menghindari. Tetapi Sersan Komar benar-benar seorang bintara yang
dapat menjaga nama kesatuannya. Pada detik yang sangat
berbahaya itu, ujung kakinya menjejak papan, dan badannya
segera melesat tinggi ke udara. Selagi berada di tengah udara,
ia memutarkan tubuh dan kedua kakinya hinggap di atas
perahu Kopral Jayeng Dipa dengan selamat.
"Bangsat kecil itu benar-benar setan!" katanya dengan
nada mendongkol. Kemudian meneruskan dengan napas
tersengal-sengal. "Kopral Jayeng Dipa, cobalah kau turun!"
Sambil memegang sumpitan anak panah, Kopral Jayeng
Dipa terjun ke dalam sungai. Ia menyelam dengan berdiam
diri di dalam air. Ia berusaha tidak bergerak. Maksudnya akan
membokong pemuda tanggung tadi dengan panahnya, secara
diam-diam. Tidak lama kemudian, ia melihat bayangan hitam melesat
di dalam air kira-kira berjarak sepuluh meter di depannya.
Gerakan bayangan hitam tersebut gesit bukan main, seperti
seekor ikan terbang. Segera ia memburu sambil
mempersiapkan sumpitan anak panahnya. Di luar dugaan ia
ternyata kalah jauh kepandaiannya. Dalam sekejapan saja
pemuda tanggung itu sudah sampai ke perahu Kilatsih.
Dalam pada itu, setelah terlepas dari bahaya, dengan
perlahan-lahan Kilatsih mengayuh perahunya. Ia mengawaskan perahu Sersan Komar. Dengan terkejut
berbareng heran, ia melihat perahu itu mendadak oleng dan
kemudian tenggelam. Tahulah ia sekarang, bahwa semuanya
itu adalah hasil pekerjaan pemuda tanggung tadi.
942 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia menjadi kagum dan tidak mengerti. Bagaimana mungkin
pemuda tanggung itu memiliki kepandaian yang demikian
tinggi. Lapat-lapat ia seperti pernah bertemu dengan pemuda
tanggung tersebut. Akan tetapi dimana dan kapan, ia lupa.
Selagi mengingat-ingat, mendadak perahunya bergoncang.
Pada saat itu kembali perahunya melesat ke depan karena
dorongan yang hebat dari bawah air.
"Hai-hai! Anak nakal! Lekas naik!" teriak Kilatsih. Tetapi
teriakan itu tidak dilayani. Bahkan perahunya makin laju
bagaikan terbang. Dalam waktu sekejap saja, perahu Kilatsih sudah tiba di
wilayah Leksono. Baru saja perahu itu menempel di tebing,
Kilatsih segera melompat ke darat. Ia merasa seolah-olah
sudah berada di kampung halamannya sendiri.
"Hai, sudah hampir-hampir tiba di rumah," ujar Kilatsih
dengan tertawa girang. Ia menengok Megananda yang masih berada di atas
perahu. Karena jarak antara tebing dan perahu hanya lima
langkah, dengan gampang Kilatsih melompat ke atas perahu
kembali. Kemudian dengan rasa penuh syukur, ia membawa
Megananda, yang sedari tadi ikut terombang-ambing, ke
darat. Gntunglah ia tidak memberontak dan tetap tenang,
tatkala perahu majikannya dibuat oleng kesana-kemari, karena
ulah Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa.
Selagi ia ribut membawa Megananda ke darat, sekonyong-
konyong pemuda tanggung tadi meloncat dari dalam air.
Bagaikan kilat ia membedaki wajah dan kepala Kilatsih dengan
lumpur. Dengan cepat Kilatsih menangkis gerakan tangan
pemuda tanggung itu. Tetapi ia sudah menyeburkan diri ke
dalam air kembali. Dengan cepat ia berenang ke jauh sana.
Kemudian mendarat. Lalu berteriak-teriak.
"Hayoo"jika kau mampu, kejarlah aku!" " "Hmm, baru
sekarang aku tahu, kau bukan bocah lagi," gerendeng Kilatsih.
943 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hm," pemuda tanggung tadi membalas menggerendeng.
"Aku pun baru tahu, bahwa kau bukan seorang pemuda,
melainkan seorang nona besar!"
Kilatsih menatap wajah pemuda tanggung itu dengan
tajam. Lapat-lapat ia segera mengenal kembali. Bukankah
pemuda tanggung itu Senot Muradi, putera Sanjaya"
Kilatsih girang bukan alang kepalang. Pikirnya dalam hati,
"Menurut Paman Mun-dingsari, sebelum Paman Sanjaya wafat,
dia minta kepadanya agar membawa Senot Muradi kepada
Kangmas Sangaji. Di kemudian hari Paman Sanjaya
mengharap Kangmas Sangaji menerimanya sebagai murid.
Aku mencoba mencarinya dimana-mana, akan tetapi ia hilang
seperti ditelan bumi. Tak kuduga, dia berada di sini. Dekat
dengan Desa Karang Tinalang, tempat Kangmas Sangaji
dilahirkan dan dibesarkan."
Rasa gusar Kilatsih segera lenyap seperti tersapu angin. Ia
berteriak dengan nada girang.
"Adikku! Senot! Kau masih nakal saja. Baiklah! Aku mau
lihat, kau hendak lari kemana?" Kilatsih melepaskan tali
kendali kudanya dan berusaha hendak mengejar. Tiba-tiba
Senot Muradi berseru sambil tertawa terbahak-bahak.
"Aku tak mau bermain-main dengan anak perempuan!"
Setelah berkata demikian, ia kabur dengan cepat bagaikan
seekor kera. Dalam sekejap mata saja, tubuhnya hilang ditelan
lebatnya pohon-pohon. Kilatsih tertegun. Barulah sekarang ia mengetahui, bahwa
ikat kepalanya tadi kena ditarik Senot Muradi, sehingga
rambutnya menjadi terurai lepas. Ia tidak hanya berbedak
lumpur sungai, tetapi pun bajunya menjadi kotor pula.
Sedangkan rambutnya terurai awut-awutan. Pada saat itu ia
melihat dua orang dusun berjalan mendatangi. Cepat-cepat
Kilatsih kembali ke air dan segera mencuci mukanya. Sesudah
membereskan rambut, ia kembali meloncat ke dalam perahu.
944 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di dalam perahu itu ia bertukar pakaian yang bersih. Tatkala
ia mendarat, tidak hanya Senot Muradi saja, tetapi kedua
orang tadi pun tak kelihatan batang hidungnya lagi. Dengan
kepala penuh teka-teki, ia segera naik ke atas punggung
Megananda. Katanya di dalam hati, "Senot Muradi, meskipun
engkau pintar luar biasa, tetapi jika tiada seorang pandai
memimpinmu, tidak bakal engkau berkepandaian secepat ini.
Baru satu dua bulan aku berpisah denganmu, akan tetapi ilmu
kepandaianmu mendadak maju dengan cepat sekali. Ah, tak
salah lagi. Pastilah ada seorang yang memberi petunjuk-
petunjuk luar biasa kepadanya. Siapa lagi kalau bukan kedua
kakakku, Kangmas Sangaji dan Ayunda Titisari. Ha"kalau
begitu, baik Kangmas Sangaji maupun Ayunda Titisari sudah
mengetahui belaka tentang meninggalnya Paman Sanjaya.
Sehingga mereka berdua membawa Senot Muradi pulang ke
Dusun Karang Tinalang."
Sambil berpikir demikian, Kilatsih melanjutkan perjalanannya. Ia melintasi Dusun Krasak terus menuju ke
arah timur. Setelah melampaui beberapa dusun lagi sampailah
ia di Dusun Karang Tinalang. Sudah beberapa kali ia
mengunjungi dusun ini. Karena itu ia mengenal letak sawah
tegalan pekarangan dan petak-petak dusun yang mengepung
dan melintasi Desa Karang Tinalang ini.
Waktu itu musim tanam. Biasanya penduduk keluar rumah
masing-masing menggarap sawah, tegalan atau pekarangan.
Akan tetapi, di sepanjang jalan Kilatsih tidak melihat seorang
petani pun. Ia juga tidak mendengar nyanyian gadis-gadis
dusun atau jerit permainan kanak-kanak. Kecuali dua orang
tadi, baik di sawah maupun di tegalan, sama sekali tiada
nampak seorang manusia. Inilah suatu kejadian yang luar
biasa, yang membuat hati Kilatsih berdebar-debar. Segera ia
mengaburkan kudanya, memasuki Dusun Karang Tinalang.
dengan hati bertanya-tanya.
945 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dusun Karang Tinalang tidak berubah. Ia tetap seperti
sediakala, sepuluh atau duapu-luh tahun yang lalu. Tenang,
tenteram dan damai. Penduduknya tidak begitu banyak
jumlahnya. Akan tetapi cukuplah mengisi kekosongan daerah
Karang Tinalang yang pada dewasa itu masih sangat luas.
Tatkala tiba di depan rumah, hati Kilatsih lapang dan lega
luar biasa. Walaupun keadaannya sunyi lengang tetapi rumah
Sangaji tidak terjadi suatu perubahan. Dengan hati-hati ia
melompat turun dari punggung kudanya. Kemudian
menghampiri pintu yang selalu tertutup. Sambil mengetuk
daun pintu ia berseru dengan nyaring.
"Aku pulang! Guru, aku pulang! Kangmas, aku pulang!
Ayunda Titisari, aku pulang!"
Setelah menjadi keluarga Adipati Sureng-pati, yang dengan
sendirinya menjadi keluarga Sangaji dan Titisari pula,
seringkali ia datang dan pergi ke Dusun Karang Tinalang.
Penduduk yang berjumlah kecil mengenal padanya belaka.
Bahkan suaranya pun dikenal baik oleh mereka. Tetapi kali ini
sesudah memanggil-manggil tiga empat kali beruntun, ia tak
memperoleh suatu jawaban, mau tak mau hati Kilatsih heran
bukan kepalang. Segera ia menolak daun pintu dan di dalam
rumah ternyata tiada nampak seorang jua pun.
"Kangmas! Aku pulang," teriaknya lagi.
Suaranya yang nyaring berkumandang dalam taman rumah
Sangaji. Akan tetapi keadaannya tetap sunyi senyap.
Menghadapi kesenyapan itu bulu roma Kilatsih bergeridik. Ia
mengembarakan penglihatan ke sekitarnya. Bunga-bunga,
pohon-pohon dan tanam-tanaman lainnya masih seperti
sediakala. Sama sekali tidak terjadi suatu perubahan. Akan
tetapi mengapa begini sunyi" Sangaji mempunyai banyak
pembantu-pembantu rumah tangga. Apabila dia berada di
Jawa Barat, pembantu-pembantu itulah yang merawat dan
memelihara rumah tangganya yang berada di Dusun Karang
Tinalang itu. Tak mengherankan, hati Kilatsih menjadi
946 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berdebar-debar. Ia mundur ke halaman, kemudian berjalan
mengitari rumah sambil berteriak-teriak: "Kangmas Sangaji,
aku pulang! Ayunda Titisari, aku pulang!" Setelah berteriak
demikian, ia memasuki rumah yang berbentuk panjang.
Sekarang, rumah yang panjang itu mempunyai sembilan
kamar. Dan tiap-tiap kamar tertutup oleh dua pintu yang kuat.
Titisari adalah seorang wanita yang gemar akan keindahan.
Setelah melihat rumah Sangaji dan kemudian menjadi
miliknya, segera ia merubah bentuk dalamnya. Ia membuat
sembilan kamar yang masing-masing diberi jendela.
Dinding'dalam dicat dengan warna hijau muda dan kuning
gading. Kilatsih memanggil-manggil namanya sambil mengetuk tiap
daun pintu, tetapi dari dalam kamar tiada seorang pun yang
menyahut panggilannya. Sekarang Kilatsih benar-benar
cemas. Dengan cermat ia mengamat-amati, barangkali terjadi
suatu perubahan. Benar saja, gambar dan tulisan-tulisan
tangan kedua kakaknya hilang. Dengan demikian isi rumah itu
kosong melompong. "Kangmas Sangaji telah meninggalkan markasnya di
Gunung Gede. Khabarnya ia pulang ke dusun. Akan tetapi
disini pun dia tiada. Malahan hiasan dinding rumah lenyap dari
tempatnya. Mengapa" Apakah dia pindah lagi?" kata Kilatsih di
dalam hati. Kilatsih benar-benar menjadi tak enak hati. Dengan hati
terus berdebar-debar, ia memeriksa setiap tempat dengan
cermat. Gerendengnya, "Apakah Guru mendapat malapetaka?"
Tetapi segera ia membantah kata-katanya itu sendiri. "Tidak
mungkin! Hal itu tidak mungkin terjadi. Aku tidak percaya,
bahwa ada orang yang melebihi kepandaian Kangmas Sangaji
berdua. Andaikata Kangmas Sangaji berdua menghadapi
seorang yang berkepandaian lebih tinggi pun, tidak akan
mengalami suatu bencana."
947 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi, biar bagaimanapun juga semakin lama Kilatsih
semakin menjadi gelisah. Ia keluar masuk kamar, dan pergi ke
berbagai pojok. Tetapi tetap saja ia tak bertemu dengan siapa
pun. la berteriak-teriak, memanggil-manggil, namun yang
menyahut hanya gaung suaranya sendiri. Akhirnya ia pergi ke
kamar tidur Sangaji. Begitu tiba di depan kamar, dari sela-sela
pintu ia mencium harum kayu garu yang sangat digemari
Titisari, dan seringkali dibakar di dalam kamar tidurnya.
"Kenapa Kangmas Sangaji berdua membakar kayu garu
pada sore hari begini?" tanya Kilatsih di dalam hatinya. Tetapi
pertanyaan itu sesungguhnya hanyalah untuk menghibur
dirinya sendiri. Pada detik itu ia melihat suatu perubahan
aneh. Dalam hati kecilnya ia merasa bahwa di dalam rumah ini
telah terjadi suatu hal yang luar biasa.
Beberapa saat lamanya, ia berdiri terpaku di depan kamar.
Kemudian dengan memberanikan diri ia mengetuk pintu
kamar perlahan-lahan. Memanggil dengan suara lembut.
"Kangmas, aku pulang!"
Sekian lamanya ia menunggu tetapi tetap saja tiada yang
menjawab. Segera ia mengulang panggilannya dua sampai
empat kali. Tetapi tetap saja tidak terjawab. Oleh karena itu ia
segera memberanikan diri untuk menempelkan telinganya
pada daun pintu. Ia heran bukan main karena lapat-lapat ia
mendengar napas seseorang.
"Apakah Kangmas berdua sedang tidur pada sore hari
begini?" Ia bertanya pada dirinya sendiri. Setelah bersangsi-
sangsi sebentar, perlahan-lahan ia menolak daun pintu.
Begitu masuk, Kilatsih yang biasanya tabah dan gagah
berani, hampir-hampir mencelat karena kagetnya. Di atas dua
pembaringan, masing-masing terdapat seorang yang sedang
duduk bersila. Orang yang duduk bersila di atas pembaringan
sebelah kiri, bermuka hitam. Sedangkan orang yang duduk
948 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersila di atas pembaringan di sebelah kanan, berkulit putih.
Rambut mereka terikal, hidungnya bengkok.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mulut mereka seperti mulut singa. Sedangkan pandang
mata mereka tajam luar biasa.
Masuknya Kilatsih ke dalam kamar, seolah-olah tidak
mereka ketahui. Walaupun kedua matanya memancar dengan
sinar tajam, namun gundu matanya seolah-olah tidak melihat
masuknya Kilatsih. Mereka berdua mengenakan sepatu.
Sepatunya meninggalkan bekas tapak-tapak kaki yang kotor di
atas alas pembaringan. Menyaksikan hal itu, Kilatsih menjadi gusar bukan
kepalang. Sambil menuding ia membentak.
"Hei! Siapa kalian" Kenapa begitu tak tahu adat?"
Mendadak Kilatsih mundur ke belakang. Sekarang ia
mengenal, siapa mereka berdua. Ternyata mereka adalah Raja
Muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.
Mendengar bentakan Kilatsih, mata Dadang Wiranata dan
Otong Surawijaya memancar dengan sangat tajam. Akan
tetapi setelah melihat Kilatsih mereka memejamkan matanya
seolah-olah mengacuhkan. Titisari adalah seorang yang sangat tertib. Ia
mengutamakan kebersihan pula. Sangaji sendiri semenjak
menjadi pemuda tanggung hidup di dalam tangsi militer
Belanda. Meskipun tidak setertib dan secermat Titisari, tetapi
pengaruh kebersihan serdadu-serdadu Belanda sedikit banyak
diwarisinya. Dengan demikian, kedua orang itu sesungguhnya
termasuk orang-orang yang bersih, tata tertib dan cermat.
Kamar tidur mereka, baik yang berada dalam markas besar di
Jawa Barat, maupun yang berada di Dusun Karang Tinalang,
selalu dirawatnya dengan seksama. Kilatsih tentu saja tahu
akan kebiasaan itu. Maka tak mengherankan. Melihat Dadang
Wiranata dan Otong Surawijaya mengotori pembaringan
kedua kakaknya, Kilatsih tak dapat lagi menahan marahnya.
949 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apalagi terhadap kedua orang raja muda itu pernah ia
mengadu kepandaian. Maka sambil mendorong Dadang
Wiranata ia membentak. "Kamu tidak melayani aku. Karena itu aku pun tidak akan
segan-segan terhadap kalian. Pergi!"
Tetapi, begitu tenaganya menumbuk badan Dadang
Wiranata"Kilatsih kaget sampai berjingkrak. Ternyata ia
seperti menumbuk suatu benda yang lemah luar biasa
bagaikan kapuk kapas. Itulah suatu tanda, bahwa Dadang
Wiranata, sebenarnya memiliki suatu himpunan tenaga sakti
tinggi luar biasa. Teringat betapa dia pernah mengadu
kepandaian dengan mereka berdua, Kilatsih jadi meragukan
kemenangannya dahulu. Apakah mereka berdua sengaja
mengalah terhadapnya"
Selagi hendak memutar badannya" Dadang Wiranata"
tertawa terbahak-bahak dan Kilatsih yang mudah tersinggung
mengulangi hantamannya lagi. Juga kali ini, dia terperanjat
sendiri. Kini bukan menumbuk benda lemas, akan tetapi
seakan-akan menumbuk suatu dinding besi yang sedang
panas membara. Walaupun tubuh Dadang Wiranata tergoyang
kena hantamannya, akan tetapi dia masih saja tertawa.
Sedangkan tinjunya terasa nyeri. Karena mendongkol, gadis
itu lantas menghunus pedangnya. .
"Kalian mau pergi atau tidak?" bantaknya. "Kalian membuat
kotor pembaringan, kakakku. Aku tak dapat membiarkan
kalian berbuat begitu."
Tetap saja kedua raja muda itu membungkam seribu
bahasa. Malahan mereka mulai memejamkan matanya.
Kilatsih merasa diri dihina. Hatinya jadi panas.
Pedangnya lantas berkelebat menikam pinggang Dadang
Wiranata. Pedang Kilatsih adalah pedang mustika pemberian Adipati
Surengpati. Gkurannya pendek, akan tetapi tajam luar biasa.
950 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan pedang Widiana Sasi Kirana merupakan sepasang
pedang yang setimpal, karena ukurannya panjang. Dalam
suatu pertarungan kerjasama, daya tempurnya sangat hebat.
Kecuali itu merupakan sepasang pedang yang dapat
menembus seorang sakti yang memiliki ilmu kebal.
Terdorong oleh rasa panas hati, Kilatsih menikam Dadang
Wiranata dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi begitu
pedangnya bergerak, hati gadis itu menyesal sendiri. Cepat ia
membelokkan arah bidikannya. Tidak lagi menikam pinggang,
akan tetapi menikam bagian tubuh yang tidak berbahaya.
Tenaga tikamannya dikurangi tujuh bagian pula.
Namun baru saja ujung pedangnya menyentuh baju
mendadak saja terasa terpeleset seakan-akan menikam suatu
benda yang licin. Tentu saja, Kilatsih kaget luar biasa.
Pada saat itu Dadang Wiranata tertawa terbahak-bahak.
"Tikamanmu seperti menggaruk luka yang gatal. Coba
tolong, kau tambah tenaga tikamanmu!"
Kilatsih menjadi kalap. Raja Muda itu ternyata tak mau
mengerti maksud kebaikan hatinya. Terus saja ia mendorong
pedangnya dengan tenaga penuh-penuh.
"Brt." Baju Dadang Wiranata terobek. Kilatsih terkesiap
lantaran khawatir Dadang Wiranata benar-benar kena
tercublas tubuhnya. Maka buru-buru ia menarik kembali
tikamannya. Akan tetapi lagi-lagi, ia terkejut. Gjung
pedangnya seperti kena terjepit celah pintu baja, yang
sifatnya lembek. Segera ia menariknya dengan sekuat tenaga.
Namun masih saja tak berhasil. Ia jadi heran. Setelah diamat-
amati, ternyata ujung pedangnya kena terjepit himpunan urat-
urat besar. Walaupun demikian daya lengketnya luar biasa
kuatnya. "Ilmu sakti apakah ini?"
Wajah Kilatsih merah padam. Hal itu disebabkan ia teringat
kepada pengalamannya beberapa hari yang lalu. Tatkala dia
dan Widiana Sasi Kirana dapat mengalahkan, ia mengira
951 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dirinya menang secara mutlak. Akan tetapi menilik
pengalamannya sekarang, benar-benar ilmu sakti Dadang
Wiranata jauh berada di atasnya. Sekarang soalnya apa sebab
ia dahulu mengalah kepadanya" Tetapi sebenarnya, tidaklah
demikian. Kilatsih memang kalah jauh apabila bertanding seorang
lawan seorang. Juga Widiana Sasi Kirana tidak dapat
mengalahkannya. Hanya setelah kedua muda-mudi itu
bergabung, baik Dadang Wiranata maupun Otong Wurawijaya
benar-benar kalah. Sebab ilmu pedang gabungan itu benar-
benar merupakan ilmu pedang sakti Jala Karawelang yang
merupakan salah satu warisan Pangeran Semono pada zaman
purba. Demikianlah selagi Kilatsih berkutat menarik ujung
pedangnya, mendadak tengkuknya terasa kena ditiup
seseorang dari belakang. Berbareng dengan rasa terkejutnya,
terdengarlah suara kanak-kanak. Itulah Senot Muradi yang
datang memasuki kamar dengan berjingkit-jingkit. Kata
pemuda tanggung itu, "Kau memang manusia usilan! Kenapa kau berani
mengganggu kedua guruku" Nah, kau sekarang menubruk
tembok. Apakah kau memerlukan bantuanku atau' tidak?"
Pada saat itu sekonyong-konyong Dadang Wiranata
mengendorkan himpunan ototototnya15) dan pedang Kilatsih
terlepas dari jepitannya.
"Ah benar-benar tidak memalukan engkau menjadi adik
angkat junjungan kami Gusti Sangaji," kata Dadang Wiranata
dengan bergelora. "Kepandaianmu sudah cukup tinggi.
Agaknya engkau pun mewarisi ilmu sakti Witaradya Adipati
Surengpati. Bagus! Manakala kau berhasil menggabung ilmu
sakti gurumu dan ilmu sakti warisan kakakmu berdua, engkau
akan menjadi seorang pendekar wanita tiada tandingnya di
kemudian hari. Hai, Senot! Kau jangan besar mulut! Meskipun
engkau berlatih siang malam selama tiga tahun, belum dapat
952 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyusul ilmu saktinya. Di kemudian hari engkau bakal
membutuhkan petunjuk-petunjuknya. Nah, berilah hormat
kepadanya!" Mendengar pujian Dadang Wiranata, wajah Kilatsih merasa
panas. Apalagi dengan tiba-tiba Senot Muradi benar-benar
memberi hormat padanya dengan membungkukkan badannya.
Dadang Wiranata tidak bermaksud mengejeknya.
Bahwasanya seorang gadis 15> Otot-otot = urat-urat
seusia Kilatsih dapat menggoyangkan tubuh Dadang
Wiranata yang sedang menghimpun tenaga sakti adalah suatu
kejadian yang luar biasa. Sekiranya tidak memiliki suatu
tenaga ilmu yang hebat, mustahil dia dapat menembus
dinding himpunan tenaga sakti Dadang Wiranata.
Kilatsih segera tahu diri. Kedudukannya dengan kedua Raja
Muda itu terpaut sangat jauh. Kecuali usianya yang masih
muda, ia pun hanya anak seorang laskar anggota Himpunan
Sangkuriang. Kalau kedua Raja Muda itu berbicara ramah
kepadanya, seolah-olah dirinya salah seorang anggota
keluarga mereka, adalah karena dia bersandar kepada nama
Sangaji. Maka cepat-cepat ia memberi hormat kepada kedua
Raja Muda itu. Katanya dengan suara rendah hati sambil
menyimpan pedangnya. "Paman sekalian, maafkan daku. Terdorong oleh suatu
luapan hati semata, aku sampai berani mengganggu
ketentraman Paman sekalian. Itulah disebabkan paman
sekalian membuat kotor kamar kakakku Sangaji berdua."
Otong Surawijaya yang berada di pembaringan kedua
tertawa bergelak. "Anak manis, jika kami berdua tidak memikul tugas
kakakmu, bagaimana bisa berada dalam dusun ini" Apalagi
kamar kakakmu ini sangat menyesakkan napas kami."
953 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa?" seru Kilatsih heran.
Otong Surawijaya tertawa melalui dadanya. Menyahut
sambil menuding dada Kilatsih.
"Bukankah tadi siang engkau bertempur dengan kaki
tangan anjing-anjing Belanda?"
"Tidak hanya bertempur, tetapi ia dihajar pulang pergi!"
Senot Muradi menyambung. "Lihatlah, bukankah bajunya kini
menjadi putih bersih. Tadinya bajunya penuh lumpur. Malahan
ia berbedak lumpur sungai pula." Sambil berkata demikian
pemuda tanggung itu mengusap-usap pinggang Kilatsih. Tentu
saja Kilatsih menjadi risih. Dengan sekali gerak ia menyambar
tangan pemuda tanggung yang jahil mulut itu, lalu
digencetnya sehingga pemuda jahil mulut itu berteriak
kesakitan. "Itulah gara-garamu!" Kilatsih mengomeli. "Awas! Jika kau
nakal lagi, akan kuhajar sampai berkaing-kaing."
"Dahulu kau telah membikin badanku penuh lumpur," kata
Senot Muradi. "Hari ini aku membalasmu."
Dadang Wiranata tertawa menyaksikan pertengkaran itu.
Sejenak kemudian menyambung.
"Sedang engkau saja dikejar-kejar oleh laskar-laskar anjing
Belanda. Apalagi terhadap kakakmu berdua."
Kilatsih terperanjat. Teringatlah dia kepada nasib Sanjaya.
Kemudian bertanya kepada Dadang Wiranata. "Apakah alasan
ini yang membuat Kangmas Sangaji dan Ayunda Titisari
meninggalkan markas besar Gunung Gede?"
Kilatsih biasanya mendewa-dewakan Sangaji dan Titisari. la
menganggap kedua kakaknya itu dapat mengatasi semua
kejadian apa saja. Sama sekali ia tidak mengerti, mengapa
kedua kakaknya itu bisa didesak sampai harus menyingkir dari
markas besar Himpunan Sangkuriang yang berada di atas
Gunung Gede. 954 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kakakmu segan terhadap segala kerewelan," sahut Otong
Surawijaya. "Tetapi kami berdua, justru ingin melampiaskan
rasa mendongkolnya."
"Sebenarnya, kemana perginya Kangmas Sangaji dan
Ayunda Titisari?" Kilatsih minta keterangan.
"Jauh, jauh sekali," jawab Dadang Wiranata. Selagi hendak
melanjutkan ucapannya, tiba-tiba ia berhenti dengan
memasang kupingnya. Sejenak kemudian ia berkata lagi
sambil tertawa. "Anakku Senot Muradi! Apakah engkau masih
ingat semua pelajaran Hasta Sila yang kuajarkan kepadamu?"
"Tentu saja," jawab Senot Muradi. "Apakah aku harus
menghafalkan kembali?"
"Kalau hanya pandai menghafal tetapi tidak mengerti daya
gunanya, apakah faedahnya?" kata Dadang Wiranata. "Yang
penting engkau harus dapat menggunakannya terhadap
lawan. Baiklah, sebentar lagi aku akan mengajarkan ilmu
Hasta Sila itu di dalam prakteknya. Kau nanti dapat melihat
bagaimana harus menggunakan ilmu pukulan Hasta Sila
terhadap musuh yang jumlahnya jauh lebih besar."
"Bagus!" seru Senot Muradi. "Apakah kita akan berlatih di lapangan belakang?"
"Tidak, tetapi di dalam kamar ini," jawab Dadang Wiranata.
"Tetapi engkau harus memperhatikan dengan saksama! Nah,
sekarang kalian berdua bersembunyi saja di belakang almari
pakaian itu!" Baik Senot Muradi maupun Kilatsih heran atas perintah
Dadang Wiranata. Tetapi selagi hendak menanyakan
maksudnya, terdengarlah tiba-tiba langkah beberapa orang
memasuki halaman. Buru-buru Kilatsih menarik tangan Senot
Muradi, dan dibawanya bersembunyi di belakang lemari
pakaian. Bisik Kilatsih kepada senot Muradi. "
955 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hai, anak nakal! Sebentar lagi bakal ada tontonan yang
menarik hati. Gurumu berdua ingin menggunakan musuh
untuk berlatih silat, agar engkau dapat mengamat-amati
dengan saksama." Setelah berbisik demikian, gadis itu tertawa
girang. Tiba-tiba saja di luar kamar terdengarlah suara teriakan
seram. "Hai, Sangaji! Engkau diperintahkan berlutut dahulu
sebelum aku membacakan surat perintah Patih Danurejo."
Dadang Wiranata gusar bukan kepalang mendengar bunyi
teriakan itu. Dengan meniru-niru suara Sangaji ia menyahut.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak sudi menerima surat Patih Danurejo dan segala
pembesar anjing!" Mereka berdua berasal dari Jawa Barat. Karena itu
meskipun suaranya mirip dengan suara Sangaji, akan tetapi
bahasa Jawa yang dipergunakan masih kaku dan kacau balau
sebenarnya. Mendengar hal itu Kilatsih tak tahan lagi. Ia
tertawa terpingkal-pingkal di tempat persembunyiannya.
Katanya di dalam hati, "Kangmas Sangaji tidak pernah
menggunakan kata-kata yang begitu kasar. Walaupun dia
benci terhadap musuh, belum pernah ia memaki dengan
istilah anjing." Orang-orang yang berada di luar kamar, sangat heran
mendengar jawaban yang berani mati itu.
"Sangaji!" demikian terdengar mereka membentak.
"Mengapa engkau berani bersikap kurang ajar terhadap Patih
Danurejo" Apakah engkau tak takut nanti seluruh anggota
rumah tanggamu ditumpas habis?"
"Dak!" pintu ditendang dan terpental.
Mereka yang berada di luar berdiri berjajar menghadap ke
pintu. Di antara mereka terdapat Sersan Komar dan Kopral
Jayeng Dipa. Orang-orang itu datang dari Jogjakarta. Mereka
956 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membawa surat perintah Patih Danurejo untuk menangkap
Sangaji dan Titisari, yang khabarnya menghilang dari markas
besarnya di Jawa Barat. Sebenarnya Patih Danurejo hendak
mengirimkan dua pasukan besar untuk menangkap Sangaji
dan Titisari. Mengingat kepandaian mereka berdua sangat
tinggi. Akan tetapi karena khawatir gerakan itu akan segera
diketahui Sangaji, maka ia mengurungkan niatnya. Lalu
mengirimkan tujuh orang laskar pilihan yang didatangkan dari
Surakarta. Ketujuh laskar pilihan itu adalah anak buah Letnan
Suwangsa, seorang ahli pedang kenamaan. Mereka segera
berangkat menuju Desa Karang Tinalang. Akan tetapi Sangaji
dan Titisari ternyata tidak berada di rumahnya. Mereka jadi
penasaran, dan pada setiap harinya dengan bergiliran mereka
mengamat-amati rumah Sangaji itu. Sersan Komar dan Kopral
Jayeng Dipa mendapat tugas mengamat-amati Sungai Serayu.
Teman-temannya yang lain beronda di sekitar pedusunan.
Tatkala sedang beronda di Sungai Serayu, Sersan Komar dan
Kopral Jayeng Dipa bertemu dengan Kilatsih dan Senot
Muradi. Mereka menubruk tembok gara-gara Senot Muradi
yang dapat menyelam di dalam air dan membocorkan perahu
mereka. Begitu pintu terpental, Sersan Komar dan Kopral Jayeng
Dipa terkesiap tetkala melihat wajah Dadang Wiranata dan
Otong Surawijaya yang menyeramkan.
"Siapa kau?" bentak Sersan Komar.
Otong Surawijaya tertawa terbahak-bahak.
"Kami adalah Dadang dan Otong. Dua hantu yang
ditugaskan malaikat mencabut lengan dan kaki anjing-anjing
Belanda!" "Ah! Dua bangsat kecil itu berada pula di sini!" seru Sersan
Komar dan Kopral Jayeng Dipa dengan berbareng. Kopral
957 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jayeng Dipa yang penasaran segera menghantam pintu almari
dengan rantai besi. "Hahaha...!" Otong Surawijaya tertawa berkakakan. "Aku
justru sedang mencari seutas rantai untuk membelenggu
setan. Bagus! Tak pernah kuduga bahwa engkau telah
membawa rantai pembelenggumu sendiri!"
Sersan Komar tertawa seram seraya menyahut. "Di
hadapan malaikat janganlah engkau mencoba menakut-nakuti
orang dengan berlagak menjadi setan!"
Sersan Komar sebenarnya adalah seorang penembak ulung.
Kecuali itu dia mempunyai kepandaian melepaskan senjata
bidik pula. Demikianlah berbareng dengan bentakannya ia
melemparkan sepuluh biji pelor timah mengarah kepada
Otong Surawijaya yang semenjak tadi masih duduk bersila di
atas pembaringan. Luas kamar tidur Sangaji berukuran tidak
lebih dari empat meter persegi. Baik Dadang Wiranata
maupun Otong Surawijaya, duduk bersila di atas dua
pembaringan yang berhadap-hadapan. Jarak antara dua
pembaringan itu sangat dekat. Menurut perhitungan, sambitan
pelor timah itu pasti mengenai sasaran.
Tetapi Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya menyambut
sambaran pelor-pelor timah itu dengan tertawa gelak. Kata
Otong Surawijaya, "Ha! Terima kasih. Badanku memang
sedang gatal. Enak benar garukanmu!"
Semua senjata bidik Sersan Komar tepat mengenai badan
Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya, dan kemudian jatuh
meluruk di atas pembaringan. Sedang mereka berdua sama
sekali tidak bergeming. "Lagi! Lagi!" Mereka berteriak-teriak sambil tertawa
terbahak-bahak. Sersan Komar tercekat hatinya, la tertegun karena
tercengang. Pikirnya di dalam hati, apakah benar-benar
sedang menghadapi dua iblis yang tidak mempan pelor timah.
958 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebaliknya Kopral Jayeng Dipa gusar bukan main,
mendengar dan menyaksikan kesombongan mereka. Sambil
menggerung hebat dia melompat masuk. Begitu tiba di dekat
Dadang Wiranata ia menghantamkan rantai besinya kembali
yang panjangnya kurang lebih dua meter. Sementara rantai
besinya menyambar Dadang Wiranata, tangan kirinya
menghantamkan seutas rantai besi yang lain kepada Otong
Surawijaya. Itulah suatu kecekatan yang luar biasa cepatnya.
"Bagus!" seru Dadang Wiranata sambil mengebaskan
lengannya dan rantai besi itu lantas saja terpental membalik.
Terkena hantaman tenaga sakti Dadang Wiranata, Kopral
Jayeng Dipa yang menggunakan seluruh tenaganya, terpukul
mundur sampai terhuyung-huyung.
Dalam pada itu, dengan tenang-tenang, Otong Surawijaya
menangkap rantai besi yang lain. Dengan cepat ia
menggunakan untuk melilit kedua tangan Kopral Jayeng Dipa.
Katanya sambil tertawa riuh.
"Hihahaha...! Nah, seekor anjing buduk telah terantai!"
Pada saat itu kelima temannya melompat berbareng
memasuki kamar. Sekonyong-konyong Dadang Wiranata
melesat tinggi dari pembaringan dan berdiri di tengah-tengah
pintu. Dengan demikian ia mencegat jalan mundur para
penyerbu. Lalu berkata kepada Senot Muradi.
"Senot! Nah, sekarang perhatikanlah baik-baik!"
Melihat gerakan Dadang Wiranata yang gesit luar biasa itu,
diam-diam hati kelima teman Sersan Komar dan Kopral Jayeng
Dipa gentar. Tetapi mengingat jumlah rekan-rekannya lebih
besar, lantas saja memberanikan diri untuk menyerang
dengan berbareng. Seorang di antara mereka memukul kepala
Otong Surawijaya yang masih duduk bersila di atas
pembaringan dengan sepotong tongkat besi. Bagaikan kilat
Otong Surawijaya menangkis dengan tangan kirinya dan
membabat dengan tangan kanannya.
959 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Krak,". pergelangan tangan orang itu patah sekaligus.
"Senot, masih ingatkah kau, pukulan apa ini" Inilah salah
satu jurus Dasa Sardula!" seru Otong Surawijaya.
Hampir berbareng dua orang menerjang lagi. Otong
Surawijaya mengelak ke kiri sambil menghantam hidung
mereka dengan tinjunya. "Dak!" Hidung mereka berdua
melesak ke dalam dan mata mereka melotot keluar.
"Itulah pukulan Dasa Griwa. Nah, kau ingat-ingatlah hal
ini!" teriak Dadang Wiranata dari samping. Kemudian berkata
kepada musuh-musuhnya. "Hai! Kalian jangan memukul
terlalu cepat. Perlahan sedikit, agar muridku Senot Muradi,
dapat melihat dengan jelas!"
"Cukup jelas," teriak Senot Muradi dari belakang lemari
dengan suara kegirangan. Melihat gelagat tidak baik, salah seorang buru-buru
membalikkan diri dan mencoba kabur. Orang itu agaknya
mahir dalam ilmu tendangan. Dalam usahanya melewati tubuh
Dadang Wiranata yang menghadang seperti dewa maut di
tengah ambang pintu, ia melompat sambil mendupak. Melihat
gerakannya, Otong Surawijaya berseru kepada Dadang
Wiranata. "Akang! Sekarang giliranmu!"
Dadang Wiranata merapatkan kelima jarinya. Bagaikan
sebuah pacul ia memukul lutut orang itu. Dengan suatu
teriakan yang mengerikan, orang itu mundur sempoyongan
dan jatuh terkapar di atas lantai. Ternyata lututnya yang kena
pukul Dadang Wiranata remuk. Dadang Wiranata lantas
membarengi menghantam seorang lain lagi dengan tinju
kirinya sampai terpental menubruk tembok.
"Senot, itulah yang dinamakan salah satu jurus Dasa
Rewanda. Hai! Kau pun tak boleh memukul begitu cepat!"
960 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hahahaha...!" Senot Muradi tertawa berkakakan sambil
bertepuk-tepuk tangan. "Guru, benar-benar hebat pukulan
Dasa Rewanda. Sayang sekali, seumpama Guru berjalan
bergontai, pastilah tepat benar dengan namanya. Guru akan
kelihatan sebagai gorilla menerkam lawan."
Selagi Senot Muradi mengajak Dadang Wiranata berbicara,
diam-diam Kopral Jayeng Dipa mengerahkan tenaga saktinya.
Dengan sekali membetot, ia berhasil melepaskan diri dari
rantai ikatan. Begitu bebas, dengan sekuat tenaga ia
menghantam ketiak Otong Surawijaya.
Dengan tinju kiri Otong Surawijaya memapaki pukulannya,
sedangkan telapak tangan kanannya menghantam dari atas ke
bawah. Meskipun Kopral Jayeng Dipa bertenaga besar, tetapi
tak dapat melawan tenaga hantaman Otong Surawijaya yang
dahsyat luar biasa. Dengan teriakan yang menyayatkan hati
tangannya berdarah dan kelima jari-jarinya remuk.
"Itulah yang dinamakan pukulan Dasa Paksi!" seru Otong
Surawijaya. Mulutnya berbicara, tetapi tangannya terus
bekerja. Dengan gerakan melilit tangannya menghantam
telapak tangan seorang lawan lagi. Dengan cepat tinjunya
menyusul. Lagi-lagi seorang musuh menyusul roboh terjungkir
balik. "Ha"aku kenal pukulan itu!" teriak Senot Muradi.
"Bukankah itu salah satu pukulan Dasa Sarpa?"
"Benar," sahut Dadang Wiranata dari sebelah. "Coba lihat
apakah ini?" Bagaikan kilat Dadang Wiranata menggerakkan tinjunya
menghantam seorang lawan dengan gerakan mematuk.
Sebuah tinjunya menjotos punggung, dan tinju yang lain
menghantam perut. Buru-buru orang itu mengempeskan perutnya. Ia mencoba
berkelit secepat-cepatnya. Ia berhasil meloloskan diri. Tetapi
961 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tak urung ia berputar-putar beberapa kali akibat sambaran
angin tenaga sakti. "Itulah salah satu jurus pukulan Dasa Paksi!" teriak Senot
Muradi. "Hanya sayang tidak dapat mengenai sasaran."
Orang yang terkena salah satu jurus ilmu Dasa Paksi
sebenarnya adalah kepala rombongan itu. Pangkatnya letnan
muda. Ia bernama Jayalaga. Salah satu tangan kanan Letnan
Suwangsa. Jika Dadang Wiranata menggunakan seluruh
tenaganya, ia pasti akan terjungkal roboh pada saat itu juga.
Tetapi tujuan Dadang Wiranata hanyalah untuk memberi
contoh pelajaran kepada Senot Muradi,- bagaimana
mempraktekkan ilmu Hasta Sila yang diwariskan kepadanya.
Karena itu ia hanya menggunakan tenaga tiga bagian saja.
Sebagai seorang ahli, Letnan Muda Jayalaga mengetahui
hal itu, ia tak berani lagi menyambut pukulan Dadang
Wiranata yang kedua. Buru-buru ia meloncat minggir, dan
bersembunyi di belakang salah seorang temannya.
Dadang Wiranata tertawa terbahak-bahak, serunya nyaring
bagaikan geledek. "Engkau dapat menyambut sebelah pu-kulanku. Kau boleh
dihitung sebagai seorang ahli yang susah sekali kutemukan.
Karena itu kali ini aku mengampuni jiwamu. Akan tetapi di
kemudian hari, tak boleh kau datang lagi kemari. Apabila
sampai bertemu lagi denganku di tempat ini, aku akan
memukulmu sungguh-sungguh."
Sambil berkata demikian, dengan sekali menghentak ia
melemparkan seorang lawan yang berada di depan Letnan
Muda Jayalaga. Orang itu terbang sekaligus dan terbanting di
atas pembaringan. Dadang Wiranata bekerja tidak kepalang
tanggung. Dengan tangan kirinya, ia menyambar Letnan Muda
Jayalaga dan dilemparkan keluar kamar seperti melempar
seekor ayam. Segera terdengarlah bunyi gedu-brakan dan
962 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pecahnya genteng. Mungkin sekali Letnan Muda Jayalaga
jatuh di atas genteng kamar sebelah.
"Bagus! Bagus!" teriak Senot Muradi. "Tetapi itu bukan
salah satu jurus Hasta Sila. Guru, pukulan apakah itu
namanya?" "Benar. Memang itu bukan salah satu jurus yang berasal
dari ilmu Hasta Sila," jawab Dadang Wiranata.
"Nah sekarang muncul lagi salah satu jurus pukulan Hasta
Sila," berbareng dengan perkataannya, dia menghampiri orang
yang tadi terbanting di atas pembaringan. Dengan sekali
hantam, orang itu yang baru saja hendak merangkak bangun,
roboh terjengkang di atas pembaringan yang lain.
Demikianlah Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya
menghajar pulang pergi ketujuh lawannya, sehingga mereka
menjadi babak belur dan mata mereka berkunang-kunang.
Sebenarnya mereka ingin melarikan diri, tetapi maksud itu tak
dapat dilakukan karena di tengah pintu menghadang Dadang
Wiranata seperti dewa maut.
Ilmu Hasta Sila yang dipergunakan Dadang Wiranata dan
Otong Surawijaya adalah ilmu sakti gabungan yang terdiri dari
delapan macam. Itulah sebabnya dinamakan Hasta (delapan)
Sila. Ialah: Dasa Griwa"Dasa Sardula"Dasa Rewanda" Dasa


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paksi"Dasa Handaka"Dasa Sarpa" Dasa Waraha dan Dasa
Baruna. Sebenarnya ilmu sakti Hasta Sila pada zaman dahulu,
diambil dari nama tokoh-tokoh delapan Wasu yang terusir dari
Sorgaloka. Kedelapan Wasu itulah yang mewariskan ilmu
saktinya masing-masing kepada seorang ksatria sakti bernama
Dewabrata. Masing-masing bagian terdiri dari sepuluh (dasa)
jurus. Kemudian hari ksatria Dewabrata menjadi seorang
Brahmana yang sakti luar biasa. Konon dikhabarkan, bahkan
963 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dewa-dewa sendiri tak ada yang mampu mengalahkannya,
berkat ilmu sakti Hasta Sila.
Tetapi menurut tulisan Mahabharata, sesungguhnya ilmu
sakti Hasta Sila dipergunakan sebagai latihan kesehatan tubuh
dan latihan menghimpun kekuatan rohaniah. Tetapi seorang
sakti pada zaman kini merubah tata latihan rohaniah itu
menjadi pukulan-pukulan sakti tiada tara. Dia tetap
menggunakan nama ilmu sakti Hasta Sila. Sebenarnya
pukulan-pukulan sakti yang diwariskan kepada angkatan
mendatang adalah ciptaannya sendiri. Barangkali ia begitu
tertarik kepada ceritera tentang Dewabrata, sehingga ilmu
ciptaannya dinamakan Hasta Sila. Mungkin pula dimaksudkan
untuk menjunjung tinggi dan meluhurkan dewa-dewa di
khayangan. Ilmu pukulan Hasta Sila dahsyat luar biasa. Apabila tepat
mengenai sasaran, ia merupakan ancaman bahaya yang sukar
sekali untuk disembuhkan.
Setelah ilmu sakti Hasta Sila berada di tangan Dadang
Wiranata dan Otong Surawijaya, kedua pendekar itu
menamakan ilmu sakti itu dengan Aji Gineng. Menghadapi
musuh tangguh betapapun tangguhnya, mereka berdua tak
menggunakan senjata. Hanya tatkala mereka menghadapi
Widiana Sasi Kirana dan Kilatsih terpaksalah menggunakan
senjata. Tatkala kena dikalahkan oleh gabungan ilmu
pedang mereka, tak mengherankan Dadang Wiranata dan
Otong Surawijaya heran bukan kepalang. Tak pernah terlintas
dalam benaknya bahwa dalam satu kali nanti ilmu sakti Hasta
Sila yang sangat dibangga-banggakan dapat dikalahkan oleh
sepasang muda-mudi yang baru muncul dalam percaturan
masyarakat. Hal itu disebabkan karena sesungguhnya segala
ilmu sakti yang terdapat di seluruh dunia ini bersumber satu.
Dan yang mewarisi ilmu sakti Jala Karawelang adalah seorang
maha sakti yang sudah memiliki puncak-puncak dari semua
ilmu sakti yang terdapat di seluruh jagad. Tidaklah
964 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengherankan, bahwa salah satu ilmu warisannya yang
bernama Jala Karawelang dapat mengalahkan ilmu sakti Hasta
Sila yang sesungguhnya merupakan percikan dan bagian dari
puncak ilmu sakti warisan sang maha sakti pada zaman purba.
Seperti diketahui, ilmu sakti Jala Karawelang adalah
warisan Pangeran Semono yang hidup entah berapa ribu
tahun yang silam. Kecuali ilmu sakti Jala Karawelang,
Pangeran Semono mewariskan dua ilmu sakti lagi. Ialah ilmu
sakti yang terdapat pada ukiran keris Kyai Tunggulmanik dan
yang berada pada pusaka Bende Mataram.
Semenjak Sangaji menjadi ketua Himpunan Sangkuriang,
teringatlah dia selalu kepada saudara angkatnya Sanjaya yang
telah menjadi orang cacat kaki. Hal itu se-ringkali
dikemukakannya di hadapan'para raja-raja muda. Sebagai
pembalas budi rakyat Jawa Barat kepada Sangaji, Raja Muda
Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya menyediakan diri
untuk menjadi guru Sanjaya. Tentu saja kesediaan mereka
berdua diterima oleh Sangaji dengan hati penuh rasa syukur.
Maka mulai saat itu Raja Muda Dadang Wiranata dan Otong
Surawijaya, seringkali berkunjung ke rumah Sanjaya. Dengan
tekun mereka melatih Sanjaya sehingga bekas putera
Pangeran Bumi Gede ini menjadi manusia lain. Meskipun cacat
kaki, tetapi tubuhnya kuat luar biasa. Ia memiliki pukulan-
pukulan dahsyat berkat Aji Gineng yang diwarisinya dari kedua
raja muda tersebut. Sesudah Sanjaya meninggal dunia, kedua Raja Muda itu
mengambil Senot Muradi sebagai muridnya. Segala rahasia
intisari ilmu sakti Hasta Sila diturunkan kepadanya. Akan tetapi
karena usianya masih sangat muda, Senot Muradi belum
dapat menangkap seluruh intisarinya. Sekarang dengan
menyaksikan pukulan-pukulan kedua gurunya terhadap tujuh
laskar Mangku-negaran yang dikirimkan Patih Danurejo ke
Dusun Karang Tinalang, membuat anak muda itu maju dengan
cepat. 965 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan mudah ia bisa memahami dan menangkap bagian-
bagian yang tadinya masih gelap baginya. Dalam pelajaran
praktek itu, bukan saja Senot Muradi akan tetapi Kilatsih pun
memperoleh keuntungan luar biasa banyaknya.
Selagi Kilatsih memusatkan seluruh perhatiannya ke arah
jalannya pertarungan itu mendadak Senot Muradi bertanya.
"Hai, apakah pada hari itu engkau bisa bertemu dengan
Ayah?" Memperoleh pertanyaan dengan tiba-tiba itu-hati Kilatsih
tercekat. Barulah ia tahu bahwa bocah itu belum mengetahui
kema-tian orang tuanya. Di antara ketujuh laskar Kompeni yang menyerbu rumah
Sangaji itu, Sersan Komar sudah dalam keadaan setengah
mati. Letnan Muda Jayalaga sudah terlempar keluar kamar,
sedangkan kelima laskar lainnya" kecuali Kopral Jayeng
Dipa"menderita luka-luka berat. Bahkan Kopral Jayeng Dipa
dapat terlolos dari luka berat, sama sekali bukan karena
kepandaiannya lebih tinggi daripada kawan-kawannya, akan
tetapi lantaran kelicikannya belaka.
Ia selalu main petak, dan bersembunyi di belakang kawan-
kawannya. Sesaat itu dengan satu pukulan geledeg, Dadang
Wiranata memukul roboh dua orang temannya. Sedangkan
Kopral Jayeng Dipa pun terpental mundur sehingga jatuh
terguling-guling ke dalam kolong pembaringan. Selagi
merangkak-rangkak bangun, mendadak ia melihat Senot
Muradi sedang berbicara dengan Kilatsih di belakang lemari
pakaian. Melihat mereka berdua, hatinya geram dan panas
bukan kepalang. Dengan mendadak saja ia melepaskan dua
batang senjata bidiknya yang berbentuk anak panah
sepanjang jari. Senot Muradi yang sedang menanyakan tentang keadaan
ayahnya, sangat terperanjat tatkala melihat anak panah
menyambar. Buru-buru ia mengangkat tangannya hendak
966 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mencoba menangkis. Tetapi Kilatsih sudah mendahuluinya.
Dengan suatu kecepatan yang luar biasa ia menyentilkan dua
biji sawo yang semenjak tadi telah digenggamnya, untuk
berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Kedua batang anak panah itu terpental jatuh di atas lantai.
Dan hampir berbareng dua biji sawo menyambar tenggorokan
Kopral Jayeng Dipa. Dengan suara teriakan yang menyayat
hati Kopral Jayeng Dipa terpental tinggi hampir-hampir
kepalanya membentur atap rumah. Otong Surawijaya tertawa
berkakakan dan tangannya menyambar. Pada detik itu badan
Sersan Komar juga terlempar keluar kamar dengan tulang
remuk akibat kena remasan ilmu Hasta Sila.
Gerakan Kilatsih menyentil jatuh kedua anak panah dan
dengan berbareng melepaskan dua biji sawonya. Benar-benar
mengagumkan Senot Muradi, karena gerakan itu cepat luar
biasa. "Ayunda, engkau benar-benar hebat!" katanya. "Ilmu sakti
guru yang diwariskan kepadaku sangat sukar dipelajari. Akan
tetapi di kemudian hari aku dapat menyusul kepandaianmu.
Pada hari ini saja hatiku sudah merasa puas sekali."
Mendengar ucapan Senot Muradi, Dadang Wiranata dan
Otong Surawijaya, yang tadinya mengira Kilatsih adalah
seorang pemuda, menjadi heran berbareng kagum. Entah apa
sebabnya tiba-tiba saja mereka berdua menjadi iri hati. Di
dalam hatinya masing-masing mereka berjanji hendak
mendidik Senot Muradi menjadi seorang pendekar yang ulung,
barulah akan diserahkan kembali kepada Sangaji.
Sesudah berhasil melukai musuh, sedang Senot Muradi
bertepuk tangan lantaran rasa girangnya"Kilatsih sendiri
nampak berme-nung-menung mengerutkan alisnya, seakan-
akan sedang berduka. 967 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ayunda! Kau kenapakah?" tanya Senot Muradi. "O ya,
sampai dimana kita tadi berbicara" Oh ya. Apakah hari itu kau
dapat bertemu dengan Ayah?"
"Benar! Ia meninggalkan dua rupa barang. Sebentar akan
kuserahkan kepadamu," sahut Kilatsih.
"Kalau begitu, engkau benar-benar telah bertemu dengan
Ayah!" kata Senot Muradi setengah bersorak. "Biarlah barang
itu nanti saja kuterima. Hai, coba lihatlah dulu! Indah sungguh
pukulan Guru!" Pada saat itu Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya
sedang menghujani empat lawannya yang masih agak segar
dengan pukulan-pukulan dahsyat. Meskipun demikian pukulan-
pukulan dahsyat tersebut sudah diperhitungkan daya
tekanannya. Setiap tinju membuat lawan terjungkal roboh di
atas pembaringan. Begitu merangkak-rangkak bangun,
mereka segera menghantam lagi dengan pukulan yang lain,
sehingga keempat lawannya kembali roboh terjengkang.
Begitulah mereka menghajar keempat lawannya pulang pergi,
sehingga jatuh bangun tak keruan macam.
"Senot Muradi, perhatikanlah ini!" seru Dadang Wiranata.
"Inilah pukulan Dasa Sarpa. Semuanya ada sepuluh jurus.
Lihat! Akan kuperlihatkan kepadamu sejurus demi sejurus."
Benar-benar sial nasib keempat laskar itu. Badan mereka
dijadikan karung pasir untuk melatih pukulan. Siapa pun
mengetahui, bahwa barang siapa yang mempunyai ilmu
kepandaian tata tempur, secara wajar akan. mengerahkan
tenaganya untuk melawan bilamana kena serang. Itulah
sebabnya dalam menghadapi hujan pukulan kedua Raja Muda
itu mereka berempat sangatlah menderitanya.
Sebelum Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya
menghabiskan sepuluh jurus pukulan Dasa Sarpa, tenaga
keempat laskar itu sudah musnah sama sekali. Keringatnya
Hikmah Pedang Hijau 1 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Kelelawar Hijau 10
^